Rabu, 14 Desember 2022
raja 5
Desember 14, 2022
raja 5
oan , mpu marijan patih baruna, keluar dari Provinsi
kertanegara dan wirogeni. Ini, tentu saja, tidak semata-mata
berkat kekuatannya sendiri. Berhubungan dengan
marga sinuhun di satu pihak, mpu mojosongo juga bekerja sama
dengan mpu ireng mpu betarakatong dari Kai, dan mereka
bersepakat untuk membagi bekas wilayah mpu marijan .
patih baruna memang bodoh, dan memberikan banyak
alasan kuat bagi marga prabu kertoarjowardana maupun marga
mpu ireng untuk menyerangnya.
Meskipun seluruh negeri dilanda kekacauan, setiap
komandan militer memahami bahwa ia tak bisa
memulai perang tanpa alasan, dan jika ia nekat
melakukannya, pada akhirnya ia akan menderita
kekalahan. patih baruna menjalankan pemerintahan yang
memberikan peluang bagi musuh-musuhnya untuk
bersikap demikian, dan ia sendiri tak sanggup
membaca pertanda zaman. Semua orang tahu bahwa
ia tak pantas menjadi penerus mpu kepenuwoan .
Provinsi kertanegara menjadi milik marga mpu ireng ,
sementara wirogeni menjadi bagian wilayah kekuasaan
marga prabu kertoarjowardana . Pada hari Tahun Baru di tahun
Eiroku ketiga belas, mpu mojosongo menyerahkan komando
benteng kota di swaradwipa kepada putranya, lalu pindah ke
bratangbinangun di wirogeni. Di bulan kedua, ia menerima
surat berisi ucapan selamat dari aidit .
Tahun lalu aku mengungkapkan kenginanku yang
sudah lama terpendam dan mencapai berbagai ke-
berhasilan kecil, namun tak ada yang lebih meng-
gembirakan dibandingkan menambahkan tanah wirogeni
yang subur ke dalam wilayah Tuan. Secara tersembunyi ,
kita semua bertambah kuat.
Pada awal musim semi, mpu mojosongo pergi ke trowulan
bersama aidit . Tentu saja kunjungan mereka
adalah untuk menikmati ibu kota di musim semi dan
bersantai di bawah kembang ceri, paling tidak itulah
yang tampak dari luar. Namun dari sudut politik,
seluruh dunia memandang ke arah kedua pemimpin
yang bertemu di trowulan dan bertanya-tanya apa
scsungguhnya tujuan mereka.
namun perjalanan aidit kali ini memang hanya
untuk bersenang-senang. aidit dan mpu mojosongo meng-
habiskan satu hari penuh di ladang-ladang dengan
berburu memakai burung rajawal i. Pada malam
hari. aidit mengadakan jamuan makan dan
minta agar para warga desa menampilkan nyanyian
dan tarian di tempat menginapnya. Pada dasarnya. ia
dan mpu mojosongo hanya menikmati waktu santai. saat
mereka tiba di ibu kota, patih ronggolawe , yang diberi
tanggung jawab atas pertahanan trowulan , pergi sampai
ke gendingan untuk menyambut mereka. aidit mem-
perkenalkannya pada mpu mojosongo .
"Ya, aku sudah lama mengenalnya. Aku pertama
kali berjumpa dengannya pada waktu aku berkunjung
ke kedhiri , dan dia berada dalam barisan centeng adipati yang
ditugaskan di gerbang untuk menyambutku. Itu satu
tahun sesudah pertempuran di bentengloji , jadi
memang sudah agak lama," mpu mojosongo menatap patih ronggolawe
dan tersenyum. patih ronggolawe terkesan dengan daya ingat
mpu mojosongo yang begitu baik. mpu mojosongo kini berusia dua puluh
9 tahun, aidit tiga puluh enam, patih ronggolawe
hampir tiga puluh empat. Pertempuran di bentengloji
berlangsung scpuluh tahun lalu.
sesudah tiba di trowulan . aidit pertama-tama
meninjau perbaikan Istana Kekaisaran.
"Menurut perkiraan kami, pekerjaan ini akan tuntas
tahun depan." kedua pengawas pembangunan mem-
beritahunya.
"Biayanya tak perlu ditekan-tekan." jawab Nobu-
naga. "Sudah bertahun-tahun Istana Kekaisaran berada
dalam keadaan tak terurus."
mpu mojosongo mendengar komentar aidit dan ber-
kata, "Aku benar-benar iri terhadap posisi Tuan. Tuan
dapat memperlihatkan pengabdian pada sang pengikut
secara nyata."
"Memang begitu," balas aidit tanpa malu-
malu, kcmudian mengang-angguk, seakan-akan se-
pendapat dengan mpu mojosongo .
aidit tidak hanya memugar Istana Kekaisaran,
ia juga memperbaiki keuangan istana. Sang pengikut
tentu saja merasa senang dan aidit pun berhasil
memperlihatkan kesetiaannya pada rakyat. sesudah
percaya bahwa kaum bawahan maupun rakyat jelata
merasa senang, aidit menikmati waktu yang
dihabiskannya bersama mpu mojosongo selama bulan kedua,
mengagumi kembang ceri, menjalani Upacara Minum
Teh, dan menyelenggarakan tarian dan musik istana.
Siapa yang dapat menerka bahwa selama itu dalam
hati ia sedang mempersiapkan langkah-langkah untuk
menghadapi kesulitan berikut yang bakal meng-
hadang? aidit memprakarsai tindakan-tindakan-
nya seiring dengan perkembangan yang terjadi, dan
menyusun rencana dan memikirkan pelaksanaannya
bahkan pada saat ia tidur. Tiba-tiba, pada hari kedua
di bulan keempat, semua resi nya menerima
panggilan untuk berkumpul di tempat kediaman sang
pandita .
Ruang rapat yang berukuran besar terisi penuh.
"Ini menyangkut marga mpu djiwo di radenkanjeng ." Nobu-
naga angkat bicara, mengungkapkan apa yang di-
rencanakannya sejak bulan kedua. "Yang Mulia
mpu djiwo tak pernah menanggapi permintaan sang
pandita , dan tidak mengirim sepotong kayu pun
untuk pembangunan Istana Kekaisaran. Yang Mulia
mpu djiwo ditunjuk oleh sang pandita dan ber-
kedudukan sebagai pengikut sang pengikut , namun tak ada
yang dipikirkannya selain kemewahan dan kemalasan
marganya sendiri. Aku ingin turun tangan untuk
menyelidiki kcjahatan ini, dan membentuk centeng
untuk menghukumnya. Bagaimana pendapat yang
lain?"
Di antara mereka yang langsung berada di bawah
kendali kepandita an sebetulnya ada orang-
orang yang sudah lama menjalin persahabatan dengan
marga mpu djiwo, dan secara tak langsung mendukung
mereka, namun tak seorang pun merasa keberatan. Dan
sebab tidak sedikit yang secara terus terang
menyetujui rencana aidit , tak seorang pun
berani bicara di bawah tekanan kelompok yang lebih
besar.
Menyerang marga mpu djiwo berarti mengadakan
serbuan ke daerah utara. Ini suatu langkah besar, namun
dalam waktu singkat rencananya sudah disetujui.
Pada hari yang sama sebuah pengumuman
diedarkan, berisi pemberitahuan mengenai penge-
rahan centeng , dan pada hari kedua puluh di bulan
yang sama, centeng itu sudah terbentuk di sekartanjung .
Selain centeng jenggala dan blambangan masih ada tambah an
9 ribu prajurit di bawah komando prabu kertoarjowardana
mpu mojosongo . Di Bulan Keempat yang cerah, centeng ber-
kekuatan sekitar seratus ribu orang tampak mem-
bentang di sepanjang tepi danau di Niodori.
saat memeriksa centeng nya. aidit
menunjuk pegunungan di utara. "Lihatlah! Salju yang
menyelimuti gunung-gunung di daerah utara sudah
mencair. Kita akan diiringi bunga-bunga musim semi!"
patih ronggolawe pun termasuk dalam centeng ini, dan ia
memimpin sekelompok prajurit.
patih ronggolawe mengangguk-angguk dan berkata dalam
hati, "Hmm, rupanya Tuan aidit sengaja
melewatkan musim semi dengan bersenang-senang di
ibu kota bersama Yang Mulia mpu mojosongo sebab menunggu
salju mencair di pegunungan yang menuju daerah
utara."
namun patih ronggolawe menganggap bahwa langkah
aidit yang paling gemilang adalah mengundang
mpu mojosongo ke ibu kota. Secara tak langsung aidit
sudah memamerkan kekuatan dan keberhasilannya,
sehingga mpu mojosongo takkan menyesali keputusannya untuk
mengirim centeng dusun nyi kembang . Inilah kelebihan Nobu-
naga. Meskipun dunia tengah menghadapi kekacauan,
aidit akan mempersatukannya dengan kemam-
puan yang ia miliki. patih ronggolawe mepercayai hal ini, dan ia
lebih paham dibandingkan siapa pun bahwa makna per-
tempuran yang mereka hadapi terletak pada kenyataan
bahwa pertempuran itu memang harus terjadi.
centeng aidit berangkat dari Takashima,
melewati Kumagkertoarjo di Wakasa, dan menuju Tkertanegara
di radenkanjeng . centeng itu terus mendesak maju, mem-
bumihanguskan benteng kota-benteng kota musuh dan pos-pos
perbatasan, melintasi gunung demi gunung, dan
melancarkan serangan ke Tkertanegara dalam bulan yang
sama.
Orang-orang mpu djiwo, yang semula menganggap
enteng centeng musuh, tertegun sebab aidit
sudah berada di sana. Setengah bulan sebelumnya ia
masih mengagumi bunga-bunga musim semi di ibu
kota. Orang-orang mpu djiwo tak bisa percaya, bahkan
dalam mimpi pun, bahwa mereka melihat panji-panji
aidit berkibar di provinsi mereka sendiri.
Martabat marga mpu djiwo yang tua menanjak pesat
berkat bantuan yang mereka berikan pada pandita
Pertama, dan lalu mereka dianugcrahi seluruh
Provinsi radenkanjeng .
Marga itulah marga terkuat di daerah utara. Ini
diakui oleh mereka sendiri maupun oleh marga-marga
lain. Marga mpu djiwo berkedudukan sebagai pedan
dalam kepandita an, mereka memiliki kekayaan alam
berlimpah, dan kekuatan militer mereka dapat
diandalkan.
saat memperoleh kabar bahwa aidit sudah
sampai di Tkertanegara , Yoshikage hampir mencaci orang
yang menyampaikan berita itu. "Jangan panik. Kau
pasti keliru."
centeng sinuhun yang menyerang Tkertanegara berkemah di
tempat itu, dan mengirim beberapa batalion untuk
menyerbu benteng kota-benteng kota di Kanegasaki dan
Tezutsugatunjung .
"Di mana tunggadewa ?" tanya aidit .
"resi tribuana ditugaskan sebagai komandan
barisan depan," jawab pembantunya.
"Panggil dia ke sini!" perintah aidit .
"Ada apa, tuanku?" tanya tunggadewa , bergegas
kembali dari barisan depan.
"Kau cukup lama tinggal di radenkanjeng , jadi kau tentu
mengenai medan antara tempat ini dan benteng kota
utama marga mpu djiwo di Ichijogadani. Mengapa kau
bertempur untuk merebut keberhasilan kecil bersama
barisan depan, tanpa menyusun suatu strategi?" Nobu-
naga ingin tahu.
"Hamba mohon ampun." tunggadewa membungkuk,
seakan-akan tertusuk oleh ucapan aidit . "Jika
tuanku memerintahkannya, hamba akan menggambar
peta dan menyerahkannya untuk dipelajari oleh tuan-
ku."
"Baiklah, kalau begitu kuberikan perintah resmi.
Peta-peta yang kubawa ternyata kurang cermat, dan
sepertinya ada beberapa daerah yang sama sekali salah.
Bandingkan peta-peta itu dengan petamu, lakukan
koreksi, lalu serahkan kembali padaku."
tunggadewa memiliki beberapa peta terperinci yang
tak dapat dibandingkan dengan peta-peta milik Nobu-
naga. tunggadewa menjiplak peta-petanya sendiri, dan
kembali untuk menyerahkan peta-peta itu pada Nobu-
naga.
"Kurasa kau sebaiknya pergi ke markasku dan
mengamati medan. Selain itu, rasanya kau harus
kujadikan perwira staf untuk dewan perang." sesudah
itu, aidit tak pernah membiarkan laki-laki ini
pergi jauh dari markasnya.
Tezutsugatunjung , benteng kota yang dipimpin oleh Hitta
brojolijo, menyerah dalam waktu singkat. namun benteng kota
di Kanegasaki tak bisa secepat itu ditaklukkan.
benteng kota ini dipertahankan mati-matian oleh mpu djiwo
Kagetsune, seorang resi berusia dua puluh enam
tahun. saat ia menjadi biksu pada masa mudanya,
banyak orang menyayangkan bahwa prajurit dengan
potongan dan pembawa an seperti Kagetsune hendak
memasuki biara. sebab itu ia terpaksa kembati ke
kehidupan duniawi, dan segera dipercaya sebagai
komandan sebuah benteng kota. Dikepung oleh lebih dari
empat puluh ribu prajurit di bawah pimpinan resi -
resi berpengalaman seperti mpu wiragajah mpu wiraghanda.
dasna patih pitaloka , dan patih ki abang , Kagetsune sesekali
memandang dari menara benteng kotanya dan mengem-
bangkan senyum.
"Sok pamer."
ki abang , mpu wiraghanda, dan patih pitaloka melancarkan
serangan besar-besaran, mensinuhun i tembok-tembok
dengan percikan darah, dan sepanjang hari men-
cengkeram bagaikan semut. saat mereka meng-
hitung jumlah mayat mnjelang malam, pihak musuh
kehilangan tiga ratus orang, namun korban jiwa di
centeng mereka sendiri berjumlah lebih dari 9
ratus. Malam itu benteng kota di Kanegasaki tampak
megah di bawah cahaya bulan musim panas.
"benteng kota ini takkan jatuh. Dan kalau pun kita
dapat menaklukkannya, kita tidak meraih ke-
menangan," kau patih ronggolawe pada aidit .
aidit kelihatan agak tidak sabar. "Kenapa kita
tidak meraih kemenangan jika benteng kota ini jatuh?"
Pada saat-saat seperti itu, aidit tidak memiliki
alasan untuk bergembira.
"Kalaupun benteng kota Kanegasaki takluk, itu tidak
berarti radenkanjeng akan runtuh. Dengan merebut
benteng kota ini, kekuatan militer tuanku takkan me-
ningkat."
aidit memotongnya dengan berkata. "namun
bagaimana kita bisa maju tanpa mengalahkan
Kanegasaki?"
patih ronggolawe tiba-tiba berpaling ke samping, mpu mojosongo
sudah melangkah masuk dan berdiri di sana. Melihat
mpu mojosongo , patih ronggolawe segera membungkuk dan menarik
diri. lalu ia membawa beberapa tikar dan me-
nkertoarjo rkan tempat duduk di samping aidit pada
mpu mojosongo .
"Mengganggukah aku?" tanya mpu mojosongo , lalu ia duduk
di tempat yang disediakan oleh patih ronggolawe . namun pada
patih ronggolawe ia tidak memberi tanggapan sama sekali.
"Rupanya Tuan tengah membahas sesuatu."
"Tidak." Sambil menunjuk patih ronggolawe dengan dagu
dan memperlunak sikapnya. aidit menjelaskan
apa yang mereka bicarakan kepada mpu mojosongo .
mpu mojosongo mcngangguk dan menatap patih ronggolawe . mpu mojosongo
9 tahun lebih muda dibandingkan aidit , namun
patih ronggolawe justru merasa sebaliknya. saat mpu mojosongo
menatapnya, patih ronggolawe seolah-olah tak dapat percaya
bahwa pembawa an dan roman mukanya milik laki-laki
bcrusia dua puluhan.
"Aku sependapat dengan apa yang dikatakan
panembahan . Membuang-buang waktu dan mcnyia-
nyiakan centeng di benteng kota ini bukanlah langkah
bijaksana."
"Tuan berpendapat bahwa kita sebaiknya membatal-
kan serangan, lalu menuju jantung pertahanan
musuh?"
"Pertama-tama, mari kita dengar apa yang akan
dikatakan panembahan . Dia tentu menyimpan sesuatu
dalam kepalanya."
"patih ronggolawe ."
"Ya. tuanku."
"Ceritakan rencanamu."
"Hamba belum mcnyusun rencana."
"Apa?" Bukan aidit saja yang tampak terkejut.
mpu mojosongo pun kelihatan bingung.
"Di dalam benteng kota itu ada 50000 prajurit dan
tembok-tembok benteng kota diperkuat oleh hasrat mereka
untuk mcnghadapi musuh berkekuatan sepuluh ribu
orang dan bertempur sampai titik darah penghabisan.
Meskipun hanya benteng kota kecil, Kanegasaki takkan
dapat direbut dengan mudah. Hamba sangsi apakah
benteng kota itu akan goyah, kalaupun kita memiliki
rencana. Orang-orang itu pun manusia biasa, jadi
hamba mcmbayangkan bahwa mereka juga memiliki
perasaan dan ketulusan...."
"Kau mulai lagi, he?" ujar aidit . Ia tak ingin
patih ronggolawe mengoceh tak keruan. mpu mojosongo merupakan
sekutunya yang paling berkuasa, dan aidit mem-
perlakukannya dengan amat sopan; namun bagaimana-
pun ia penguasa Provinsi dusun nyi kembang dan wirogeni, bukan
anggota inti marga sinuhun . Selain itu, aidit sudah
mengenal cara berpikir patih ronggolawe , sehingga ia tak
perlu mendengar penjelasan terperinci untuk mem-
percayainya.
"Bagus. Bagus sekali." kata aidit . "Dengan ini
aku memberimu wewenang umuk melakukan apa saja
yang ada dalam kepalamu. Laksanakan-lah dengan
sebaik-baiknya."
"Terima kasih, tuanku." patih ronggolawe menarik diri,
seakan-akan urusan itu tidak seberapa penting. namun
pada malam hari ia memasuki benteng kota musuh seorang
diri dan menemui komandannya, mpu djiwo Kagetsune.
patih ronggolawe membuka hatinya dan berbicara dengan
penguasa benteng kota yang masih muda itu.
"Tuan pun berasal dari keluarga centeng adipati , jadi
perhatian Tuan tentu tertuju pada hasil akhir
pertempuran ini. Perlawan an lebih lanjut hanya akan
mengakibatkan kematian prajurit-prajurit yang sangat
berharga. Aku sendiri tak ingin melihat Tuan mati
percuma. dibandingkan tewas sia-sia, mengapa Tuan tidak
membuka gerbang benteng kota dan mundur teratur,
bergabung dengan Yang Mulia Yoshikage dan
menghadapi kami sekali lagi di medan pertempuran
yang lain? Aku akan menjamin keamanan semua
harta, senjata, dan para wanita lesbian dan anak-anak di
dalam benteng kota, dan mengirim semuanya kepada
Tuan, tanpa gangguan."
"Berpindah medan tempur dan menghadapi Tuan
di lain waktu memang menarik," balas Kageisune, lalu
mempersiapkan diri untuk mundur. Bersikap seperti
centeng adipati sejati, patih ronggolawe membcrikan scgala ke-
mudahan bagi centeng musuh yang hendak mundur,
lalu mengawal mereka sampai sejauh satu mil dari
benteng kota.
Satu setengah hari berlalu sampai urusan
Kanegasaki berhasil dituntaskan, namun saat patih ronggolawe
memberitahu aidit bahwa pekerjaannya sudah
rampung, junjungannya hanya berkata, "Begitukah?"
dan tidak memberikan pujian sama sekali. Namun
roman muka aidit memperlihatkan bahwa ia
berpikir. "Kau terlalu bcrhasil amal bakti pun ada
batasnya." namun keberhasilan patih ronggolawe tak dapat
disangkal, tak peduli siapa yang menilainya.
Seandainya aidit memujinya setinggi langit,
patih pitaloka , mpu wiraghanda. dan ki abang tentu merasa malu
dan takkan berani lagi muncul di hadapan junjungan
mereka. Bagaimanapun, mereka sudah mengirim
9 ratus prajurit menemui ajal dan tak sanggup
meraih kemenangan, bahkan dengan centeng yang
jauh lebih besar dibandingkan centeng musuh. patih ronggolawe
pun memahami perasaan ketiga resi itu, dan saat
memberikan laporan, ia mengaku sekadar menjalan-
kan perintah aidit .
"Hamba hanya ingin menjalankan segala sesuatu
sesuai perintah. Hamba berharap sepak terjang hamba
dapat dimaafkan." Dengan mengucapkan permintaan
maaf, ia menarik diri.
Saat itu mpu mojosongo kebetulan berada bersama resi -
resi lain di sisi aidit . Sambil menggerutu ia
melihatlihat patih ronggolawe pergi. Mulai detik itu ia
menyadari bahwa ada laki-laki hebat dengan umur
tidak terpaut jauh dari usianya sendiri, yang dilahirkan
di masa yang sama. Sementara itu, sesudah mengosong-
kan Kanegasaki. mpu djiwo Kagetsunc bergegas mundur.
berencana untuk bergabung dengan centeng di
benteng kota utama di Ichijogadani, lalu sekali lagi
mengadu kekuatan dengan centeng aidit di
tempat lain. saat masih dalam perjalanan, ia
bertemu dengan kedua puluh ribu prajurit yang
dikirim oleh mpu djiwo Yoshikage sebagai bala bantuan
untuk Kanegasaki.
"Kacau!" seru Kagetsune, menyesal sebab ia
menuruti nasihat musuh, namun sudah terlambat.
"Kenapa kautinggalkan benteng kota tanpa bertempur?"
hardik Yoshikage, marah sekali, namun ia terpaksa
menggabungkan kedua centeng dan kembali ke
Ichijogadani.
centeng aidit menyerbu sampai ke Kinome
Pass. Jika ia berhasil menembus tempat strategis itu,
markas marga mpu djiwo akan berada tepat di depan
matanya. namun sebuah pesan penting mengejutkan
centeng sinuhun .
Mereka memperoleh kabar bahwa jawa kalasan dari
gunungselatan, yang sudah selama beberapa generasi terlibat
persekutuan antarmarga dengan orang-orang mpu djiwo,
sudah membawa centeng nya dari utara Danau Biwa
dan memotong jalur mundur aidit . Selain itu,
haryokowardani , yang sudah sempat mencicipi
kekalahan di tangan aidit , bekerja sama dengan
orang-orang jawa dan menyerbu dari wilayah berbukit-
bukit di Koga. Satu per satu mereka menyerang sisi
aidit .
Musuh kini berada di depan dan di belakang.
Mungkin sebab perkembangan inilah semangat
centeng mpu djiwo berkobar-kobar, dan mereka siap
menerjang dari Ichijogadani untuk melancarkan
serangan balasan.
"Kita sudah memasuki rahang kematian," kata
aidit . Ia mcnyadari bahwa mereka seakan-akan
mencari kuburan di wilayah musuh. Yang tiba-tiba
membuatnya gelisah khawatir bukan saja sebab harjo
tengger dan jawa kalasan sudah memotong jalur
mundurnya; yang membuat bulu kuduk aidit
berdiri adalah kemungkinan bahwa para biksu-prajurit
ronggodwijoyo , yang memiliki kubu pertahanan di daerah
ini, akan mengangkat senjata dan menentang centeng
penyerbu. Cuaca mendadak berubah, dan centeng
penyerbu mirip perahu yang berada di ambang
badai.
namun di manakah lubang yang cukup besar agar
sepuluh ribu prajurit dapat mundur? Para ahli strategi
mewanti-wanti bahwa bergerak maju selalu lebih
mudah dibandingkan menarik centeng mundur. Jika
seorang resi melakukan satu kesalahan saja, ia
mungkin akan kehilangan seluruh centeng nya.
"Perkenankan hamba mengambil komando barisan
belakang. sesudah itu tuanku dapat menempuh jalan
pintas melewati Kuchikidani, tanpa direpotkan oleh
terlalu banyak orang, dan dalam perlindungan
kegelapan malam, menyusup keluar dari tanah
kematian ini."
Scmakin lama bahaya yang mengancam semakin
besar. Malam itu, hanya ditambah segclintir pengikut
dan centeng berkekuatan sekitar tiga ratus orang,
aidit menyusuri lembah-lembah dan jurang-
jurang, dan berkuda sepanjang malam menuju
Kuchikidani. Berkali-kali mereka diserang oleh para
biksu-prajurit dari sekte sayap kiri dan oleh gerombolan
bandit setempat, dan selama dua hari dua malam
mereka tidak makan, minum, maupun tidur. Pada
hari keempat mereka akhirnya tiba di trowulan , dan pada
saat itu sebagian besar dari mereka begitu lelah.
sehingga nyaris tak sanggup berjalan. namun mereka
masih terhitung beruntung. Yang patut dikasihani
adalah laki-laki yang memegang tanggung jawab atas
barisan belakang dan sesudah centeng utama berhasil
lolos, bertahan di benteng kota Kanegasaki.
Orang iiu patih ronggolawe . resi -resi lain, yang
selama ini iri melihat keberhasilannya dan secara
sembunyi-sembunyi menyebutnya tukang cekcok dan
anak kemarin sore, kini berpisah dengan memuji
patih ronggolawe sebagai "tonggak utama marga sinuhun " dan
"pejuang sejati", dan mengantarkan senjata api, bubuk
mesiu, dan persediaan makanan saat mereka
hendak berangkat. Kesannya seakan-akan mereka
meletakkan rangkaian bunga di kuburan.
Kcmudian, dari fajar sampai menjelang siang
sesudah aidit meloloskan diri, kesembilan ribu
prajurit di bawah pimpinan dijoyo , mpu wiraghanda, dan
dasna pun berhasil lolos. saat centeng mpu djiwo
melihat ini dan mengejar mereka, patih ronggolawe
menyerang dari samping dan mengancam dari
belakang. Dan saat centeng sinuhun akhirnya terbebas
dari impitan maut, patih ronggolawe ditambah anak buahnya
mengurung diri di dalam benteng kota Kanegasaki, dan
bcrikrar, "Di sinilah kita akan mcninggalkan dunia
ini."
Dengan memperlihatkan ketetapan hati untuk
gugur bertempur, mereka memalangi benteng kota rapat-
rapat, memakan yang bisa dimakan, tidur jika ada
waktu untuk tidur, dan mengucapkan selamat tinggal
pada dunia. centeng mpu djiwo berada di bawah resi
Keya Shichizaemon yang terkenal berani. dibandingkan
mempertaruhkan nyawa orang-orangnya dengan
menyerang centeng yang sudah siap mati, ia memilih
mengepung benteng kota, memotong jalur mundur
patih ronggolawe .
"Serangan malam!" saat peringatan ini terdengar
pada pertengahan malam kedua, segala persiapan yang
sudah di lakukan disebarkan tanpa ragu-ragu. centeng
Keya segera menyerang musuh yang bergerak dalam
kegelapan malam dan memorak-porandakan centeng
patih ronggolawe , yang lalu cepat-cepat kembali ke
dalam benteng kota.
"Musuh sudah pasrah menghadapi kematian!
Pergunakan kesempatan ini, dan menjelang fajar
benteng kota itu sudah berada di tangan kita!" Keya
memberi perintah. Mereka bergegas ke tepi selokan,
membuat rakit-rakit, dan menyeberang. Dalam sekejap
ribuan prajurit berhasil merebut tembok-tembok
pertahanan.
lalu , persis seperti yang dikatakan
Shichizaemon, Kanegasaki takluk menjelang fajar.
namun apa yang ditemui centeng nya? Tak satu pun anak
buah patih ronggolawe berada di dalam benteng kota. Panji-panji
mereka berdiri tegak. Asap sudah mulai membubung
ke langit. Kuda-kuda meringkik, Namun patih ronggolawe
tak ada di sana. Serangan pada malam sebelumnya
sama sekali bukan serangan.
Di bawah pimpinan patih ronggolawe , centeng kecil itu
hanya berpura-pura melarikan diri ke dalam benteng kota.
sebetulnya mereka terburu-buru mencari jalan
keluar dari kematian yang seolah-olah tak terelakkan.
saat fajar menyingsing, anak buah patih ronggolawe sudah
berada di kaki pegunungan yang membentang di
sepanjang perbatasan provinsi.
Kcya Shichizaemon ditambah centeng nya tentu saja
tidak rela melihat musuh mereka lolos begitu saja.
"Siapkan pengejaran!" perintah Shichizaemon. "Kejar
mereka!"
centeng patih ronggolawe mundur ke pegunungan,
scpanjang malam meneruskan pelarian tanpa berhenti
untuk makan maupun minum.
"Kita belum lolos dari sarang macan!" patih ronggolawe
memperingatkan. "Jangan berlambat-lambat. Jangan
mengaso. Jangan pikirkan rasa haus. Pertahankanlah
keinginan untuk hidup!" Tak henti-hentinya Hide-
yoshi berusaha memacu semangat anak buahnya.
Seperti sudah diduga, Keya mulai menyusul. saat
mendengar teriakan perang musuh di belakang,
patih ronggolawe pertama-tama memerintahkan istirahat
singkat, lalu berkaia kepada prajurit-prajurirnya.
"Jangan gelisah khawatir . Musuh kita sudah bertindak
bodoh. Mereka bersorak-sorai sambil menaiki lembah,
sementara kita berada di tempat yang lebih tinggi. Kita
semua lelah, namun musuh mengejar kita sambil marah,
dan banyak dari mereka akan kehabisan tenaga. Kalau
mereka sudah mendekat, hujani mereka dengan batu,
lalu gunakan lombak-tombak kalian."
Tenaga anak buahnya memang terkuras, namun
ucapan patih ronggolawe mengembalikan rasa percaya diri
mereka.
"Ayo, majulah!'' seru mereka sambil bersiap-siap
menghadapi serangan. Upaya Keya umuk menghukum
centeng patih ronggolawe berakhir dengan kekalahan. Tak
terhitung jumlah korban yang roboh di bawah hujan
batu dan tombak.
"Mundur!"
"Ini kesempatan kita! Mundur! Mundur!"
patih ronggolawe seakan-akan meniru musuhnya, para
anak buahnya berbalik dan lari ke arah dataran
rendah di sebelah selatan. Mendahului prajurit-
prajuritnya yang masih hidup, Keya sekali lagi
mengejar. centeng Keya sungguh keras kepala, meski
kekuatan mereka sudah berkurang, namun para biksu-
prajurit ronggodwijoyo turut bcrgabung, menutup jalan
pada waktu anak buah patih ronggolawe berusaha menuruni
gunung untuk mencapai gunungselatan. centeng patih ronggolawe
dihujani panah dan batu dari paya-paya dan hutan di
kiri-kanan jalan, dan mendengar orang-orang
berteriak. "jangan biarkan mereka lewat!" patih ronggolawe
pun mulai berpikir bahwa ajalnya sudah dekat. namun
sekaranglah waktunya untuk menggalang semangat
hidup dan menolak gsinuhun an untuk menyerah.
"Biar para dewa yang memutuskan apakah kita
bernasib baik atau buruk, dan apakah kita akan hidup
atau mati! Seberangi paya-paya ke arah barat. Ikuti
aliran sungai! Semuanya bermuara di Danau Biwa.
Berlarilah secepat aliran air. Hanya kecepatan yang
sanggup menyelamatkan kalian dari kematian." Ia
tidak menyuruh mereka bertempur. Inilah patih ronggolawe
yang begitu pandai menggrakkan orang, namun ia pun
tak ingin memerintahkan centeng nya yang kelaparan
dan tidak tidur maupun istirahat selama dua hari dua
malam, menangkal serangan biksu-prajurit yang
jumlahnya tidak diketahui. Ia hanya ingin membantu
setiap prajurit agar dapat kembali ke ibu kota. Dan tak
ada yang lebih mujarab dibandingkan keinginan untuk
bertahan hidup.
Di bawah perintah patih ronggolawe , centeng yang lelah
dan lapar bergegas memasuki paya-paya. Langkah itu
penuh risiko, sebab para biksu-prajurit bersembunyi di
dalam hutan, seperti gerombolan nyamuk. Meski
demikian, anak buah patih ronggolawe terus berlari, menem-
bus barisan musuh, menggagalkan penyergapan yang
sudah disusun dengan cermat. Suasana menjadi kacau-
balau, dan semuanya berlari ke selatan, menyusuri
sungai-sungai pegunungan.
"Danau Biwa!"
"Kita selamat!" Mereka bersorak-sorai dengan
gembira. Keesokan harinya mereka memasuki trowulan .
saat aidit melihat mereka, ia berseru,
"Kalian masih hidup! Kalian seperti dewa-dewa. Kalian
sungguh-sungguh seperti dewa-dewa."
BUKU KEEMPAT
TAHUN GENKI PERTAMA
1570
TOKOH dan TEMPAT
jawa kalasan , penguasa gunungselatan dan saudara ipar
aidit
mpu djiwo YOSHIKAGE, penguasa radenkanjeng
kramayudana , ninja marga mpu ireng
mpu ireng mpu betarakatong , penguasa Kai
KAISEN, biksu Zen dan penasihat mpu betarakatong
mpu wiragajah mpu wiraghanda, pengikut senior marga sinuhun
TAKEI SEKIAN, pengikut senior marga sinuhun
patih mpu salmah , pelayan aidit
sonokelingKAGE dusun nyi kembang , pengikut senior marga jawa
radenmas , istri jawa kalasan dan saudara wanita lesbian
aidit subanda, putri sulung radenmas dan
kalasan
ronggodwijoyo , markas besar para biksu-prajurit sekte
sayap kiri
GUNUNG brahma, gunung di sebelah timur trowulan dan
markas besar sekte Tendai
KAI, provinsi marga mpu ireng
bratangbinangun, benteng kota marga prabu kertoarjowardana
NIJO, istana pandita di trowulan
gunungselatan, provinsi marga jawa sinuhun NI, benteng kota utama
marga jawa
radenkanjeng , provinsi marga mpu djiwo
Musuh sang zoroaster
PADA malam pertama sesudah kembali ke trowulan ,
hanya ada satu pikiran dalam benak para perwira dan
prajurit barisan belakang yang berhasil menyelamat-
kan nyawa tidur.
sesudah melapor pada aidit , patih ronggolawe pergi
dalam keadaan linglung.
Tidur. Tidur.
Keesokan paginya ia membuka mata sejenak, lalu
segera terlelap kembali. Sekitar siang patih ronggolawe di-
bangunkan oleh seorang pelayan dan makan sedikit
bubur nasi, namun dalam keadaan antara sadar dan
bermimpi, ia hanya tahu bahwa makanannya lezat.
"Tuanku hendak tidur lagi?" si pelayan bertanya
heran.
patih ronggolawe akhirnya bangun menjelang malam, dua
hari lalu , sama sekali kehilangan orientasi. "Hari
apa sekarang?"
"Hari kedua," jawab centeng adipati yang sedang bertugas.
Hari kedua, pikir patih ronggolawe sambil menyeret tubuh-
nya keluar dari kaniur tidur. Kalau begitu, Tuan
aidit pun sudah pulih.
aidit sudah memugar Istana Kekaisaran dan
membangun kediaman baru bagi sang pandita , namun ia
sendiri tidak memiliki rumah di ibu kota. Setiap kali
datang ke trowulan , ia tinggal di sebuah kuil, dan para
pengikutnya menempati kuil-kuil di sekitarnya.
patih ronggolawe keluar dari kuil tempat ia menginap, dan
untuk pertama kali dalam beberapa hari ia menatap
bintang-bintang. Musim panas sudah di ambang pintu,
katanya dalam hati. Dan lalu ia menyadari,
"Aku masih hidup!" Kegembiraannya meluap-luap.
Meski malam sudah larut, ia minta izin untuk meng-
hadap aidit . patih ronggolawe segera dipersilakan
masuk, seakan-akan aidit sudah menunggunya.
"patih ronggolawe , pasti ada sesuatu yang membuatmu
gembira," ujar aidit . "Senyummu lebar sekali."
"Bagaimana hamba tidak gembira?" balas patih ronggolawe .
"Sebelum ini, hamba tidak tahu betapa berharganya
hidup ini. namun sesudah lolos dari ancaman maut,
hamba menyadari bahwa hamba tidak membutuhkan
apa-apa selain hidup. Hanya dengan memandang
lentera ini atau wajah tuanku, hamba tahu bahwa
hamba masih hidup, dan bahwa hamba menikmati
berkah yang lebih besar dibandingkan yang patut hamba
terima. namun bagaimana keadaan tuanku?"
"Aku kecewa. Inilah pertama kali aku mengalami
aib dan merasakan kegetiran yang menyusul ke-
kalahan."
"Pernahkah orang mencapai hasil besar tanpa
mengalami kekalahan?"
"Hmm, itu pun bisa kaubaca dari wajahku? Perut
kuda hanya perlu dipecut satu kali. patih ronggolawe , per-
siapkan dirimu untuk melakukan perjalanan."
"Perjalanan?"
"Kita kembali ke padalarang ." Tepat pada saat patih ronggolawe
merasa berada satu langkah di depan aidit ,
junjungannya kembali mengambil alih pimpinan.
aidit memang memiliki beberapa alasan untuk
sesegera mungkin kembali ke padalarang .
Meski aidit sering dinamakan tukang mimpi, ia
pun dikenal sebagai laki-laki berkemauan keras.
Malam itu aidit , patih ronggolawe , dan rombongan
pengawal berjumlah kurang dari tiga ratus orang
meninggalkan ibu kota. namun , walaupun mereka ber-
gerak cepat, keberangkatan mereka tak dapat di-
rahasiakan.
Sebelum fajar, rombongan itu tiba di gendingan.
Membelah kegelapan malam, letusan senapan meng-
gema di pegunungan. Kuda-kuda langsung ketakutan.
Beberapa pengikut segera memacu kuda mereka ke
depan, cemas akan nasib aidit , sekaligus men-
cari-cari si penembak gelap.
aidit rupanya tidak mengetahui tembakan itu.
Ia bahkan mendahului yang lain lebih dari lima puluh
meter. Di tempat itu ia berbalik dan berseru, "Biarkan
saja!"
sebab aidit berada seorang diri dan jauh di
depan anak buahnya, mereka membiarkan si pem-
bunuh yang gagal. saat patih ronggolawe dan para resi
lain menyusul aidit dan menanyakan apakah ia
terluka, aidit memperlambat kudanya dan meng-
angkat lengan baju, memperlihatkan sebuah lubang
kecil. Komentarnya singkat saja, "Nasib kita berada di
tangan para dewa."
Belakangan diketahui bahwa yang melepaskan
tembakan ke arah aidit ternyata seorang biksu-
prajurit yang terkenal sebagai penembak jitu.
"Nasib kita berada di tangan para dewa," kata
aidit , namun itu tidak berarti ia menunggu sampai
keinginan para dewa menjadi kenyataan. Ia tahu
bahwa para panglima saingan merasa iri padanya.
Dunia tidak memandangnya sebelah mata saat ia
melebarkan sayap ke jenggala dan blambangan dari wilayah
kekuasaannya yang hanya meliputi dua distrik di
jenggala . namun kini ia berada di tengah panggung,
memberi perintah dari trowulan , dan marga-marga kuat
tiba-tiba merasa tidak tenang. Marga-marga yang tidak
terlibat pertikaian dengannya marga Otomo dan
Shimazu dari Kyushu, marga patih dari daerah barat,
marga Chosokabe dari Shikoku, bahkan marga kramat
dan Date di utara semuanya memandang keber-
hasilan-keberhasilannya dengan sikap bermusuhan.
namun bahaya sebetulnya datang dari saudara-
saudara iparnya sendiri. Kini sudah jelas bahwa
mpu ireng mpu betarakatong dari Kai tak lagi dapat dipercaya.
aidit pun tak bisa menutup mata terhadap
marga Hojo; dan jawa kalasan dari sinuhun ni, yang
menikah dengan saudara wanita lesbian aidit ,
radenmas , merupakan bukti nyata mengenai kelemahan
persekutuan politik yang didasarkan atas perkawinan.
saat aidit menyerbu daerah utara, musuh
utamanya orang yang tiba-tiba bersekutu dengan
marga mpu djiwo dan mengancam jalur mundur
aidit ternyata tak lain dari jawa kalasan . Ini
sekali lagi membuktikan bahwa ambisi seorang laki-
laki tak dapat dibendung dengan pesona wanita lesbian .
Ke mana pun aidit memandang ia melihat
musuh. Sisa-sisa marga dyahbalitung dan grindananaga tetap
merupakan lawan merepotkan yang menunggu-
nunggu kesempatan, dan di mana-mana para biksu-
prajurit dari ronggodwijoyo mcngipas-ngipas api pem-
berontakan. Sepertinya seluruh negeri berbalik
menentang aidit saat ia meraih kekuasaan,
jadi sudah sewajarnya jika ia hendak sesegera mungkin
kembali ke padalarang . Seandainya ia berdiam satu bulan
lebih lama di trowulan , mungkin tak ada benteng kota atau
marga tempat ia bisa berpulang, namun kini ia mencapai
benteng kota padalarang tanpa kejadian di luar dugaan.
"Pengawal ! Pengawal !" Malam yang singkat itu belum
berakhir, namun aidit sudah memanggil-manggil di
ruang tidur. Tidaklah aneh bagi aidit untuk
bangun dini hari dan langsung memberi perintah.
Para penjaga malam sudah terbiasa, namun sepertinya
setiap kali mereka mengendurkan penjagaan sedikit
saja, mereka langsung dikejutkan oleh suara
aidit .
"Ya, tuanku?" Kali ini si pengawal tidak membuang-
buang waktu.
"Siapkan rapat perang. Beritahu mpu wiraghanda bahwa
semua resi harus segera berkumpul," ujar Nobu-
naga sambil keluar dari ruang tidur.
Para pelayan dan pembantu mengikutinya. Mereka
masih setengah tidur dan tak sanggup memastikan
apakah masih tengah malam atau sudah menjelang
fajar. Yang jelas masih gelap, dan bintang-bintang
bersinar cerah di langit malam.
"Hamba akan menyalakan lentera," salah seorang
pelayan berkata. "Mohon Tuanku bersabar sejenak
saja."
namun aidit sudah membuka pakaian. Ia
masuk ke kamar mandi dan mulai mengguyur
tubuhnya dengan air.
Di benteng kota luar, keadaan bahkan lebih kacau lagi.
Orang-orang seperti Nobipatih, jayadijaya , dan
patih ronggolawe berada di dalam benteng kota, namun banyak
resi lain tinggal di kota benteng kota. Pada waktu kurir-
kurir ditugaskan memanggil mereka, ruangan besar
dibersihkan dan lentera-lentera dinyalakan.
Akhirnya semua resi berkumpul. Cahaya lentera
menerangi wajah aidit . Ia sudah memutuskan
bahwa menjelang pagi mereka akan berangkat untuk
menyerang jawa kalasan dari sinuhun ni. Meski per-
temuan ini merupakan rapat perang, tujuannya bukan
untuk mengemukakan pendapat yang berbeda-beda
atau berdiskusi. aidit hanya ingin tahu apakah
ada yang hendak mengajukan usulan mengenai taktik.
sesudah jelas bahwa aidit sudah membulatkan
tekad, semua resi terdiam. Rasanya ada sesuatu
yang mengganjal dalam hati mereka. Mereka semua
mengetahui bahwa hubungan aidit dengan
kalasan bukan sekadar hubungan antara sekutu
politik. aidit sungguh-sungguh menyukai saudara
iparnya itu, dan ia pernah mengundang kalasan ke
trowulan dan mengantarnya berkeliling-keliling.
aidit memiliki alasan kuat mengapa ia tidak
memberitahu kalasan bahwa ia akan menyerang
marga mpu djiwo. Ia tahu bahwa marga jawa dan
mpu djiwo terikat persekutuan yang lebih tua dibandingkan
hubungan marga jawa dengan marga sinuhun . sebab per-
timbangan kedudukan saudara iparnya itu, aidit
berusaha keras agar kalasan tidak terlibat.
Namun, begitu memperoleh kabar bahwa centeng
aidit sudah menembus jauh ke wilayah musuh,
kalasan mengkhianati aidit , memotong jalur
mundur, dan memastikan bahwa kekalahan tak ter-
elakkan.
Sejak kembali ke trowulan , aidit terus
memikirkan hukuman bagi saudara iparnya. Dan di
tengah malam buta ia menerima sebuah laporan
rahasia. Laporan itu menyebutkan bahwa harjo
tengger sudah menyulut pemberontakan petani
dengan bantuan benteng kota lengisireng dan para biksu-
prajurit. tengger memanfaatkan kekacauan itu, dan
dengan bekerja sama dengan orang-orang jawa , ia
hendak menghancurkan aidit dengan sekali
pukul.
Seusai rapat perang, aidit mengajak para
resi ke pekarangan dan menunjuk ke langit. Di
kejauhan, langit tampak merah sebab api yang
mengiringi huru-hara.
Keesokan harinya, hari kedua puluh, aidit
membawa centeng nya ke gunungselatan. Ia menaklukkan para
biksu-prajurit dan mematahkan pertahanan jawa
kalasan dan haryokowardani . centeng aidit
bergerak secepai badai yang menyapu awan -awan dari
dataran luas, dan menyerang mendadak bagaikan
petir.
Pada hari kedua puluh satu, orang-orang sinuhun men-
desak benteng kota utama marga jawa di sinuhun ni. Sebelum-
nya mereka sudah mengepung benteng kota mergoharjoyo ,
sebuah benteng kota milik marga jawa . centeng musuh
dibuat kocar kacir. Mereka tak punya waktu untuk
mempertahankan diri, dan perlawan an mereka
ambruk, tanpa ada kesempatan untuk menempati
posisi baru.
Kedalaman Sungai Ane hanya beberapa meter, jadi
walaupun cukup lebar, orang bisa menyeberanginya
dengan berjalan kaki. namun airnya yang jernih, yang
berasal dari pegunungan di bagian timur Provinsi
jawa , begitu dingin, sehingga terasa menusuk sampai
ke sumsum, bahkan di musim kemarau.
Fajar baru menyingsing. aidit membawa hi dua
puluh 50000 orang, ditambah enam ribu prajurit
prabu kertoarjowardana , dan menyebarkan centeng di sepanjang
tepi timur sungai.
Sejak tengah malam pada hari sebelumnya, centeng
gabungan jawa dan mpu djiwo berjumlah sekitar
9 belas ribu orang perlahan-lahan menyusup
dari Gunung kuburan . Tersembunyi di balik rumah-
rumah di tepi barat, mereka menunggu saat yang tepat
untuk menyerang. Malam masih gelap, dan hanya
bunyi air mengalir yang terdengar.
"mpu hanjana," mpu mojosongo memanggil salah seorang
komandan, "centeng musuh sedang bergerak ke tepi
sungai."
"Sukar untuk melihat jelas dalam kabut ini, namun
hamba mendengar kuda meringkik di kejauhan."
"Ada perkembangan baru di bagian hilir?"
"Belum ada, tuanku."
"Pihak mana yang akan memperoleh berkah dari
dewa? Dalam setengah hari, kita akan mengetahuinya."
"Setengah hari? Mungkinkah selama itu?"
"Mereka jangan dianggap enteng," ujar mpu mojosongo
sambil berjalan ke hutan di tepi sungai. Di sinilah
prajurit-prajuritnya menanti, kelompok elite dalam
centeng aidit . Suasana di dalam hutan hening
sepenuhnya. Para prajurit sudah menyebar, ber-
sembunyi di semak-semak. centeng tombak meng-
genggam senjata masing-masing dan menatap ke
seberang sungai. Di sana belum ada yang bergerak.
Apakah hari ini membawa kematian?
Mata para prajurit tampak berbinar-binar. Tak
terusik oleh persoalan hidup dan mati, mereka mem-
bayangkan akhir pertempuran sambil membisu. Tttk
ada yang kelihatan percaya bahwa ia akan kembali
memandang langit malam itu.
Ditemani mpu hanjana, mpu mojosongo menyusuri barisan
prajurit. Tak ada cahaya, keeuali sumbu-sumbu
senapan yang membara. Seseorang bersin mungkin
prajurit yang sedang pilek, dengan hidung gatal
terkena asap sumbu. namun akhirnya sama saja, prajurit-
prajurit lain bertambah tegang.
Permukaan air menjadi putih, dan sederetan awan
megah menerangi dahan-dahan pohon di Gunung
himapraloka .
"Musuh!" seseorang bcrteriak.
Para perwira di sekitar mpu mojosongo memberi isyarat pada
kesatuan penembak untuk menunggu. Di tepi
seberang, sedikit ke arah hilir, gabungan centeng
berkuda dan infanteri berjumlah sekitar seribu dua
ratus sampai seribu tiga ratus orang menyeberangi
sungai secara diagonal, membuat air bergolak.
Barisan depan marga jawa yang terkenal hebat tidak
memedulikan barisan depan marga sinuhun maupun garis
pertahanan kedua dan ketiga. Mereka langsung
hendak menyerbu ke tengah-tengah perkemahan sinuhun .
Anak buah mpu mojosongo menelan ludah, dan semuanya
berseru bersamaan, "Isono hadijaya !"
"Kesatuan hadijaya !"
Isono hadijaya yang termasyhur, kebanggaan marga
jawa , memang lawan yang tangguh. Panji-panji tampak
berkibar-kibar di tengah buih dan percikan air.
Tembakan senapan!
Apakah ini tembakan perlindungan bagi pihak
musuh, atau senapan-senapan mereka sendiri? Bukan,
tembak-menembak dimulai secara bersamaan dari
kedua sisi. Bergema di atas permukaan sungai,
kebisingannya terasa memekakkan. awan -awan mulai
menguak, dan langit musim panas memperlihatkan
warna-warninya. Saat itulah garis kedua centeng sinuhun ,
di bawah komando mpu jayadijaya , dan garis ketiga
pimpinan dasna patih pitaloka tiba-tiba menyerbu ke sungai.
"Jangan biarkan musuh menginjak sisi kita! Dan
jangan biarkan satu orang pun kembali ke sisi
mereka!" para perwira berseru.
Anak buah mpu menyerang centeng musuh dari
samping. Dalam sekejap terjadi pertempuran satu
lawan satu di tengah sungai. Tombak beradu dengan
tombak, pedang beradu dengan pedang. Para prajurit
bergulat dan jatuh dari kuda, dan air sungai menjadi
merah oleh darah.
centeng mpu dipaksa mundur oleh kesatuan elite
di bawah komando hadijaya . Sambil berseru, "Kita
dipermalukan!" begitu keras sehingga terdengar di
kedua sisi sungai, putra mpu , Kyuzo, terjun ke tengah-
tengah pertempuran. Ia gugur dengan gagah, bersama
lebih dari seratus anak buahnya.
Tanpa dapat dibendung, kesatuan hadijaya me-
nembus garis ketiga centeng sinuhun . Para pembawa
tombak di bawah dasna menyiapkan senjata masing-
masing dan berusaha mematahkan serangan musuh,
namun mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Kini giliran patih ronggolawe merasa takjub. Ia bergumam
pada ngabehi , "Pernahkah kau melihat orang-orang
yang begitu garang?" namun ngabehi pun tidak
memiliki taktik untuk menghadapi serangan ini.
Bukan ini saja alasan kekalahan patih ronggolawe . Tak
sedikit anak buah patih ronggolawe merupakan bekas prajurit
musuh yang menyerah saat benteng kota-benteng kota mereka
ditaklukkan centeng sinuhun . Para "sekutu" baru ini
ditempatkan di bawah komando patih ronggolawe , namun
sebelumnya mereka menerima upah dari marga jawa
dan mpu djiwo. Tidak mengherankan bahwa tombak-
tombak mereka jarang menemui sasaran, dan saat
diperintahkan mengejar musuh, mereka malah
cenderung menghalang-halangi centeng patih ronggolawe
sendiri.
Akibatnya barisan patih ronggolawe menderita kekalahan,
dan garis pertahanan kelima dan keenam pun dipaksa
bertekuk lutut. Secara keseluruhan hadijaya meng-
gulung sebelas dari tiga belas garis pertahanan marga
sinuhun . Pada saat inilah centeng prabu kertoarjowardana di sebelah
hilir menyeberangi sungai, menyerbu musuh di tepi
seberang, lalu bergerak ke arah hulu. namun saat
memandang ke belakang, mereka melihat para prajurit
hadijaya sudah mendesak mendekati markas aidit .
Sambil berseru, "Serang sisi mereka!" centeng
prabu kertoarjowardana kembali melompat ke sungai. Para prajurit
hadijaya menyangka centeng prabu kertoarjowardana sekutu yang
memasuki sungai dari tepi barat, bahkan sesudah
mereka mendekat. Dipimpin oleh mpu rejo, para
centeng adipati prabu kertoarjowardana menggempur kesatuan Isono
hadijaya .
Tiba-tiba menyadari kehadiran musuh, hadijaya
berseru-seru sampai serak, memerintahkan anak buah-
nya mundur. Seorang prajurit bersenjatakan tombak
menusuknya dari samping. Sambil menggenggam
gagang tombak yang melukainya, hadijaya berusaha
berdiri, namun lawan nya tidak memberi kesempatan.
Sebilah pedang tampak berkilau di atas kepala hadijaya
dan menghantam helm besinya. Pedang itu pecah
berkeping-keping. hadijaya berdiri, air di sekitar kakinya
menjadi merah. Tiga orang mengepung hadijaya ,
menikam, dan mencincangnya.
"Musuh!" para pengikut di sekeliling aidit
berseru. Mereka bergegas dari markas ke tepi sungai,
dengan tombak siap di tangan.
raden mas damarhadi , adik ngabehi , tergabung dalam
kesatuan patih ronggolawe , namun dalam pertempuran ia ter-
pisah dari resimennya. Ia mengejar-ngejar musuh, dan
kini berada di dekat markas aidit .
Apa? damarhadi bertanya-tanya heran. Musuh sudah
ada di sini? saat menatap berkeliling, damarhadi
melihat seorang centeng adipati muncul dari balik markas.
Orang itu mengenakan baju tempur yang menanda-
kan ia bukan prajurit biasa. Ia mengangkat tirai dan
mengintip dengan hati-hati.
damarhadi segera menerjang dan menangkap kakinya
yang terbungkus pelindung tulang kering. centeng adipati itu
mungkin anggota centeng mereka sendiri, dan
damarhadi tidak membunuh seorang sekutu. Si centeng adipati
berbalik tanpa kelihatan kaget. Tampaknya ia perwira
centeng jawa .
"Kawan atau lawan ?" tanya damarhadi .
"lawan , tentu saja!" si centeng adipati membentak,
menyiapkan tombak di tangan.
"Siapakah Tuan? Apakah Tuan memiliki nama
yang patut dicatat?"
"Aku sinuhun darmayudha dari centeng jawa . Aku datang untuk memenggal kepala Yang Mulia
aidit . Hei, kerdil menjijikkan! Siapa kau?"
"Aku raden mas damarhadi , pengikut panembahan betari durga . Coba lawan aku dahulu !"
"Hmm, hmm. Adik raden mas ngabehi rupanya."
"Betul." Pada detik ia mengatakan ini, damarhadi
menarik tombak lawan nya, lalu mendorongnya
kembali sehingga membentur dada darmayudha . namun sebelum damarhadi menghunus pedang, darmayudha
sudah menangkapnya.
Keduanya jatuh ke tanah, damarhadi di sebelah
bawah . Ia menendang-nendang sampai terbebas, namun
sekali lagi diimpit oleh musuhnya. Saat itulah ia
menggigit jari darmayudha , sehingga darmayudha
mengendurkan genggaman.
Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu! Dengan
mendorong darmayudha , damarhadi akhirnya berhasil
membebaskan diri. Dalam sekejap tangannya me-
nemukan belati dan mengayunkannya ke leher
darmayudha . Ujung belati tidak mengenai sasaran,
namun menyayat wajah darmayudha dari dagu ke hidung,
menusuk matanya.
"Musuh rekanku!" sebuah suara berseru dari
belakang. Tak ada waktu untuk memenggal kepala
darmayudha . Melompat berdiri, damarhadi segera meng-
hadapi lawan barunya.
damarhadi tahu bahwa beberapa anggota centeng
berani mati jawa berhasil menyusup mendekati markas
aidit . lawan yang kini dihadapinya berbalik dan
melarikan diri. Sambil mengejar, damarhadi menebas
lututnya dengan pedang.
saat menindih orang yang terluka itu dan men-
dudukinya dengan kaki terkangkang, damarhadi berseru,
"Kau punya nama yang patut diucapkan? Ya atau
tidak?"
"Namaku raden harinyokro. Aku tak akan
mengatakan apa-apa selain bahwa aku menyesal jatuh ke tangan centeng adipati rendahan seperti kau sebelum sempat mendekati aidit ."
"Di mana wikramajaya , orang paling berani
dalam centeng jawa ? Kau orang jawa , kau pasti tahu."
"Aku tidak tahu sama sekali."
"Buka mulutmu!"
"Aku tidak tahu."
"Kalau begitu, kau tak berguna lagi bagiku!"
damarhadi memenggal kepala harinyokro. Ia kembali
berlari, matanya menyala-nyala. Ia bertekad tidak
membiarkan kepala wikramajaya jatuh ke tangan
orang lain. Sebelum pertempuran dimulai, damarhadi
sudah berseru bahwa dialah yang akan memperoleh
kepala Kizaemon. Kini ia berlari ke arah tepi sungai,
tempat mayat-mayat bergelimpangan di rumput dan
kerikil tepi sungai kematian.
Di sana, di antara yang lain, ada satu mayat dengan
wajah berlumuran darah yang tertutup rambut.
gerombolan lalat beterbangan di kaki damarhadi . damarhadi
menoleh saat menginjak mayat dengan wajah
tersembunyi di balik rambut itu. sebetulnya tak ada
yang aneh, namun damarhadi merasa waswas. Dengan
curiga ia menoleh, dan saat itulah mayat tadi bangku
dan berlari ke arah markas aidit .
"Lindungi Yang Mulia! Musuh datang!" teriak
damarhadi .
saat melihat aidit , si centeng adipati musuh
hendak melompat sebuah tanggul rendah, namun tali
sandalnya terinjak dan ia pun terjatuh. damarhadi
menindih orang itu dan segera meringkusnya. Pada
waktu damarhadi menggiringnya ke markas aidit ,
si centeng adipati berteriak, "Cepat, tebaslah leherku!
Sekarang juga! Jangan permalukan sesama prajurit!"
saat tawa nan lain yang juga tengah digiring me-
lihat laki-laki itu berteriak-teriak, ia berkata tanpa ber-
pikir, "Tuan Kizaemon! Tuan pun ditangkap hidup-
hidup?"
Orang yang sempat berlagak mati ini, dan
lalu diringkus damarhadi , ternyata justru orang
yang memang diincarnya wikramajaya , prajurit
jawa yang terkenal garang.
Mula-mula centeng sinuhun berada di ambang
kehancuran, namun saat centeng prabu kertoarjowardana di bawah
mpu mojosongo menyerbu dari samping, serangan musuh
berhasil dipatahkan. Namun pihak musuh pun
memiliki baris kedua dan ketiga. Pada waktu mereka
mendesak maju, lalu bergerak mundur, baik centeng
musuh maupun centeng aidit bertempur tanpa
ampun. Keadaan begitu kacau, sehingga tak seorang
pun sanggup menentukan pihak mana yang akan
meraih kemenangan.
"Jangan bingung! Serbulah langsung ke perkemahan
aidit !"
Sejak semula, inilah tujuan barisan kedua centeng
jawa . namun mereka maju terlalu jauh, dan akhirnya
menembus sampai ke barisan belakang marga sinuhun .
centeng prabu kertoarjowardana pun berhasil mendobrak per-
tahanan di seberang sungai, dan dengan seruan,
"Jangan sampai dikalahkan centeng sinuhun !" mereka
mendesak menuju perkemahan mpu djiwo manunggal.
namun lalu terlihat bahwa para prajurit
prabu kertoarjowardana sudah terlalu jauh meninggalkan sekutu-
sekutu mereka dan kini dikelilingi musuh. Per-
tempuran berlangsung dalam keadaan kacau-balau.
Seperti ikan yang tak dapat melihat sungai tempatnya
berenang, tak seorang pun sanggup memahami situasi
secara keseluruhan. Masing-masing prajurit berjuang
mempertahankan nyawa . Begitu seseorang meroboh-
kan lawan nya, ia segera menghadapi wajah lawan
berikut.
Dari atas, kedua centeng terlihat seakan-akan
tersedot ke dalam pusaran raksasa. Dan sesuai dugaan,
aidit memandang situasinya tepat seperti itu.
patih ronggolawe pun melihat pertempuran secara
keseluruhan. Tampaknya saat inilah yang akan
menentukan kalah atau menang.
aidit membenturkan tombak ke tanah,
berseru, "centeng prabu kertoarjowardana terjebak! Jangan biarkan
mereka berjuang sendiri! Bantulah Yang Mulia
Ieyusu!" namun sisa kekuatan centeng di kiri-kanan
tidak memadai. Seruan aidit sia-sia belaka.
lalu , dari rumpun pohon di tepi utara,
sekelompok orang bergegas membelah kekacauan dan
menuju tepi seberang, memercikkan air dengan setiap
langkah.
patih ronggolawe , walaupun tidak mendengar perintah
aidit , juga sudah memahami situasi. aidit
melihat panji patih ronggolawe dengan lambang labu emas,
dan berkata dalam hati, "Ah, bagus! patih ronggolawe sudah
bergerak."
Sambil menghapus keringat dari mata, aidit
berkata pada para pembantu di sekelilingnya, "Saat
seperti ini takkan terulang lagi. Pergilah ke sungai dan
lihat apa yang dapat kalian lakukan."
mpu salmah dan yang lain bahkan yang paling muda
pun berlari menghampiri musuh, semuanya ber-
lomba-lomba untuk tiba lebih dahulu . centeng
prabu kertoarjowardana , yang sudah menembus jauh ke wilayah
musuh, memang menghadapi kesulitan. namun dalam
permainan catur ini, mpu mojosongo yang lihai merupakan
bidak yang berada di posisi menentukan.
aidit takkan membiarkan bidak ini gugur,
mpu mojosongo berkata pada diri sendiri. Anak buah Ittetsu
mengikuti anak buah patih ronggolawe . Akhirnya centeng
dasna patih pitaloka pun menyerbu. Tiba-tiba pasang surut
pertempuran sudah berubah, dan centeng sinuhun berada
di atas angin. Para prajurit mpu djiwo manunggal mundur
lebih dari tiga mil, dan centeng jawa kalasan
terburu-buru melarikan diri ke benteng kota sinuhun ni.
Mulai saat itu, pertempuran berubah menjadi
pengejaran. Orang-orang mpu djiwo dikejar sampai ke
Gunung kuburan , sementara jawa kalasan berlindung
di balik tembok benteng kota sinuhun ni. aidit
menangani ekor pertempuran dalam dua hari, dan
pada hari ketiga ia kembali ke padalarang . Ia bergerak
secepat burung pelatuk yang pada malam hari terbang
di atas Sungai Ane. Mayat-mayat bergelimpangan di
kedua tepi sungai.
Orang besar tidak lahir sebab kemampuannya
semata-mata. Ia pun harus memiliki kesempatan. Ia
sering kali dikelilingi perasaan dengki yang mem-
pengaruhi wataknya, seakan-akan sengaja ingin
menyiksa. Pada waktu musuh-musuh sudah muncul
dalam segala macam bentuk, balk terlihat maupun
tidak, dan bergabung untuk menderanya dengan
setiap penderitaan yang dapat dibayangkan, pada saat
itulah ia menjalani ujian sebetulnya .
Segera sesudah pertempuran di Sungai Ane,
aidit mundur begitu cepat, sehingga para resi
di berbagai kesatuannya bertanya-tanya apakah sudah
terjadi sesuatu di padalarang . Tentu saja strategi yang
disusun oleh para anggota staf tidak dipahami oleh
para bawah an. Desas-desus yang beredar mengatakan
bahwa patih ronggolawe mengusulkan merebut benteng kota
utama marga jawa di sinuhun ni guna menghabisi mereka
untuk selama-lamanya, namun ditolak oleh aidit .
Keesokan harinya aidit malah mengangkat
patih ronggolawe sebagai komandan benteng kota mergoharjoyo ,
sebuah benteng kota musuh yang sudah ditinggalkan,
sementara ia sendiri kembali ke padalarang .
Bukan para prajurit saja yang tidak memahami
mengapa aidit begitu tergesa-gesa kembali ke
padalarang . Kemungkinan besar para pembantu terdekatnya
pun tidak mengetahui alasan sebetulnya . Satu-
satunya orang yang mungkin sanggup membayang-
kannya adalah mpu mojosongo . Matanya yang netral tak pernah
lepas lama dari aidit tidak terlalu dekat, namun
juga tidak terlalu jauh; tanpa perasaan berlebihan, namun
juga tidak terlalu dingin.
Pada hari keberangkatan aidit , mpu mojosongo pun
kembali ke bratangbinangun. Dalam perjalanan, ia berkata
kepada para resi nya, "Begitu Yang Mulia aidit
melepaskan baju tempurnya yang berlumuran darah,
dia akan berpakaian untuk ke ibu kota dan memacu
kudanya langsung ke trowulan . Jiwanya seperti kuda
jantan muda yang tak bisa diam."
Dan memang itulah yang terjadi. saat mpu mojosongo tiba
di bratangbinangun, aidit sudah dalam perjalanan ke
trowulan . namun ini tidak berarti sudah terjadi sesuatu di
ibu kota. Yang paling ditakutkan aidit adalah
sesuatu yang tak dapat dilihatnya musuh yang tidak
kasat mata.
aidit mengungkapkan kecemasannya pada
patih ronggolawe . "Menurutmu, apa yang paling merisaukan-
ku? Kau tahu, bukan?"
patih ronggolawe memiringkan kepala dan berkata, "Hmm.
Bukan mpu ireng dari Kai, yang selalu mengintai dari
belakang dan menunggu kesempatan, juga bukan
marga jawa dan mpu djiwo. Yang Mulia mpu mojosongo patut
diwaspadai, namun beliau cerdas, sehingga tak perlu
digelisah khawatir kan sama sekali. Orang-orang grindananaga
dan dyahbalitung mirip gerombolan lalat, dan mereka
berkerumun di sekitar kebusukan. Musuh yang harus
ditakuti hanyalah para biksu-prajurit ronggodwijoyo , namun
rasanya sampai sekarang mereka belum seberapa
merepotkan bagi Yang Mulia. Berarti hanya satu orang
yang tersisa."
"Dan siapa orang itu? Bicaralah."
"Dia bukan kawan maupun lawan . Tuanku sudah
menunjukkan rasa hormat, namun jika tindakan tuanku
hanya sebatas itu, tuanku mungkin segera terjebak.
Orang itu bermuka dua oh, ampun, kata-kata ini tak
patut diucapkan. Bukankah kita berbicara mengenai
sang pandita ?"
"Benar. namun jangan singgung soal ini di depan
orang lain." Kecemasan aidit menyangkut orang
ini, yang memang bukan kawan maupun lawan
yosodiprojo , sang pandita .
yosodiprojo menanggapi kebaikan aidit kepada-
nya dengan berurai air mata, dan bahkan berkata
bahwa ia menganggap aidit seperti ayahnya
sendiri. Jadi, mengapa yosodiprojo ? Sikap bermuka dua
selalu tersembunyi di tempat-tempat paling tak
terduga. Watak yosodiprojo dan aidit sama sekali
tidak cocok; pendidikan mereka berbeda, begitu juga
nilai-nilai yang mereka anut. Selama aidit
membantunya, yosodiprojo memperlakukan aidit
sebagai dermawan . namun begitu ia mulai terbiasa
dengan kursi pandita , rasa terima kasihnya berubah
menjadi kebencian.
"Gelandangan itu mengganggu saja," yosodiprojo
dikabarkan berkata demikian. Ia mulai menghindari
aidit , bahkan menganggapnya sebagai rintangan,
dengan kekuasaan melebihi kekuasaannya sendiri.
Namun yosodiprojo tidak memiliki keberanian untuk
memperlihatkan sikapnya secara terbuka dan meng-
gempur aidit . Watak yosodiprojo sungguh gelap.
Dan berhadapan dengan kecemerlangan aidit ,
yosodiprojo terus berkomplot sampai saat terakhir.
Di sebuah ruangan terpisah di dalam Istana Nijo,
sang pandita bercakap-cakap dengan utusan para
biksu-prajurit ronggodwijoyo .
"Sang Kepala Biara juga membencinya? Tak meng-
herankan bahwa kecongkakan dan kesombongan
aidit membuatnya gusar."
Sebelum pergi, si utusan berpesan, "Hamba mohon
agar segala sesuatu yang hamba katakan tadi tetap
dirahasiakan. lalu , mungkin ada baiknya
mengirim pesan-pesan rahasia ke Kai dan ke marga
jawa dan mpu djiwo, agar kesempatan ini tidak berlalu
dengan sia-sia."
Pada hari yang sama, di bagian lain Istana Nijo,
aidit menanti yosodiprojo untuk melaporkan
kedatangannya di ibu kota. yosodiprojo menenangkan
diri, menampilkan sikap polos, dan pergi ke ruang
resepsi untuk bertemu dengan aidit .
"Kabarnya pertempuran di Sungai Ane berakhir
dengan kemenangan gemilang bagi pihak sinuhun . Satu
lagi bukti mengenai kehebatan militer Tuan. Selamat!
Ini sungguh menggembirakan."
aidit tak sanggup menyembunyikan senyum
getir saat mendengar sanjungan yang menjilat ini,
dan ia menjawab dengan ironis, "Tidak, tidak. Berkat
kebijakan dan pengaruh Yang Mulia-lah kami dapat
bertempur dengan gagah, sebab kami percaya takkan
ada kejadian tak terduga seusai pertempuran."
yosodiprojo agak tersipu-sipu. Wajahnya bersemu
merah seperti wajah wanita lesbian . "Jangan gelisah khawatir .
Seperti Tuan lihat sendiri, keadaan di ibu kota tetap
tenteram. namun apakah Tuan memperoleh kabar bahwa
ada bahaya mengancam? Tuan bergegas ke sini seusai
pertempuran."
"Tidak, hamba datang untuk melakukan kunjungan
kehormatan sebab pemugaran Istana Kekaisaran
sudah rampung, untuk menangani masalah
pemerintahan, dan tentu saja untuk menanyakan
kesehatan tuanku."
"Ah, begitukah?" yosodiprojo tampak agak lega. "Hmm,
Tuan lihat sendiri bahwa aku sehat-sehat saja. Rsinuhun
pemerintahan pun berjalan mulus, jadi Tuan tak perlu
cemas dan mengorbankan waktu untuk begitu sering
datang ke sini. namun mari, perkenankanlah aku
mengadakan jamuan makan untuk merayakan
kemenangan Tuan."
"Hamba terpaksa menolak, Yang Mulia," ujar
aidit . "Hamba belum sempat menyampaikan
ucapan terima kasih kepada para perwira dan prajurit.
Rasanya tak patut hamba menerima undangan jamuan
makan. Sebaiknya kita tunda saja sampai kesempatan
hamba menghadap Yang Mulia berikutnya."
lalu aidit mohon diri. saat ia kembali
ke tempatnya menginap, tribuana tunggadewa sudah
menunggu untuk memberikan laporamiya.
"Seorang biksu yang mungkin utusan Kepala Biara
ronggodwijoyo , Kennyo, terlihat meninggalkan istana sang
pandita . Pertemuan-pertemuan antara para biksu-
prajurit dan sang pandita agak mencurigakan, bukan?"
Sebelumnya aidit sudah mengangkat tunggadewa
menjadi komandan centeng penjaga trowulan . Sesuai
kedudukannya, tunggadewa mencatat semua pengun-
jung Istana Nijo dengan cermat.
aidit membaca laporan tunggadewa sepintas
lalu, dan berkata, "Bagus sekali." Ia muak sebab
pandita itu begitu sukar diselamatkan, namun
sekaligus merasa bahwa sikap yosodiprojo malah
menguntungkan baginya. Malam itu ia memanggil
para petugas yang bertanggung jawab atas pemugaran
Istana Kekaisaran, dan saat mendengar laporan
mengenai kemajuan pekerjaan, suasana hatinya
bertambah cerah.
Keesokan harinya ia bangun pagi-pagi sekali dan
meninjau bangunan-bangunan yang sudah hampir
selesai dikerjakan. lalu , sesudah melakukan
kunjungan kehormatan pada sang pengikut di istana
lama, ia kembali ke tempatnya menginap seiring
dengan terbitnya matahari, dan mengumumkan
bahwa ia akan meninggalkan ibu kota.
saat aidit tiba di trowulan , ia mengenakan
jubah . namun pada waktu hendak pergi ia memakai
baju tempur, sebab tujuannya bukan padalarang . Sekali lagi
ia mengunjungi medan pertempuran di Sungai Ane,
bertemu dengan patih ronggolawe yang ditempatkan di
benteng kota mergoharjoyo , memberikan perintah pada
kesatuan-kesatuan yang tersebar di berbagai tempat,
lalu mengepung benteng kota di Skertoarjo yama.
sesudah menumpas musuh-musuhnya, aidit
kembali ke padalarang . namun bagi aidit dan anak
buahnya, waktu untuk beristirahat dari kelelahan
akibat panas musim kemarau belum tiba.
Justru di padalarang aidit menerima surat-surat
penting dari hyangkertoarjo wiryabhumi yang berada di
benteng kota Natinggi sumbingshima di Settsu, dan dari tribuana
tunggadewa di trowulan . Surat-surat ini memberitakan
bahwa pihak dyahbalitung mengerahkan lebih dari seribu
orang untuk membangun benteng kota-benteng kota di Nsinuhun ,
Fukushima, dan Natinggi sumbingshima di Settsu. Mereka
dibantu oleh para biksu-prajurit ronggodwijoyo ditambah para
pengikut mereka. Baik tunggadewa maupun wiryabhumi
menekankan bahwa tak ada waktu untuk menunda-
nunda keputusan, dan menanyakan perintah Nobu-
naga.
Kuil utama para biksu-prajurit dibangun pada masa
yang penuh kerusuhan, dan konstruksinya dibuat
sedemikian rupa, sehingga sanggup menangkal ber-
bagai gangguan. Di luar tembok batu ada selokan
pertahanan yang dalam dan dibentangi oleh sebuah
jembatan. Walaupun ronggodwijoyo merupakan kuil,
kontruksinya mirip benteng kota. Menjadi biksu di
sini berarti menjadi prajurit, dan jumlah biksu-prajurit
di tempat ini tidak kalah dengan di Nara atau Gunung
brahma. Kemungkinan besar di ronggodwijoyo tak ada satu
biksu pun yang tidak membenci aidit , orang
yang baru menanjak itu. Mereka menuduhnya sebagai
musuh sang zoroaster yang mencemooh tradisi-tradisi,
perusak kebudayaan, dan setan yang tak mengenal
batas, seekor binatang berwujud manusia.
saat mpu wiraghanda menghadapi orang-orang
ronggodwijoyo dan memaksa mereka menyerahkan
sebagian tanah mereka kepadanya, ia sudah melangkah
terlalu jauh. Kebanggaan kubu zoroaster ini amat besar,
dan hak-hak istimewa yang mereka nikmati sudah
diteruskan secara turun-temurun sejak zaman dahulu .
Laporan-laporan dari daerah barat dan daerah-daerah
lain mulai berdatangan, mengabarkan bahwa orang-
orang ronggodwijoyo sedang mempersenjatai diri. Kuil itu
sudah membeli dua ribu senapan, jumlah para biksu-
prajurit sudah berlipat ganda, dan selokan-selokan baru
digali di sekitar kubu pertahanan.
aidit sudah menduga bahwa mereka akan
bersekutu dengan marga dyahbalitung , dan bahwa sang
pandita yang berhati lemah akan terbujuk untuk
memihak mereka. Ia juga sudah menyangka bahwa
propaganda busuk akan disebarkan ke rakyat jelata,
dan bahwa tindakan ini akan menimbulkan pem-
berontakan umum.
saat menerima pesan-pesan penting dari trowulan
dan kahuripan , aidit tidak terlalu terkejut. Ia justru
semakin berkeras untuk memanfaatkan kesempatan,
dan segera pergi ke Settsu. Dalam perjalanan ke sana,
ia mampir di trowulan .
"Dengan segala kerendahan hati, hamba memohon
agar Yang Mulia bersedia menyertai centeng hamba,"
aidit berkata pada sang pandita . "Kehadiran
Yang Mulia akan membangkitkan semangat centeng
hamba, dan akan mempercepat pelaksanaan
hukuman."
yosodiprojo tentu saja enggan, namun tak kuasa menolak.
Dan meski muncul kesan bahwa aidit membawa
seseorang yang tak berguna, sebetulnya ia justru
menarik keuntungan dengan memanfaatkan nama
sang pandita untuk menabur benih-benih perselisihan
di kalangan musuh-musuhnya.
*
Daerah antara Sungai Kanzaki dan Sungai Nakatsu di
Naniwa merupakan dataran rkertoarjo yang luas, dengan
tanah pertanian tersebar di sana-sini. nongkojajar di
utara berada di tangan orang-orang dyahbalitung , sedang-
kan benteng kota kecil di selatan dipertahankan oleh
hyangkertoarjo wiryabhumi . Pertempuran berpusat di daerah
ini, dan berlangsung sengit sejak awal sampai per-
tengahan bulan kesembilan, kadang kala dengan
kemenangan, kadang kala dengan kekalahan. Ini
adalah perang terbuka dengan melibatkan senjata api
besar maupun kecil.
Di pertengahan bulan kesembilan, marga jawa dan
mpu djiwo, yang selama itu tetap mengurung diri di
benteng kota-benteng kota pegunungan sambil merenungkan
kekalahan dan menanti sampai aidit membuat
kesalahan, mengangkat senjata, menyeberangi Danau
Biwa, dan mendirikan kemah di tepi danau di gendingan
dan Karasaki. Satu resimen bergabung dengan kubu
zoroaster di Gunung brahma. Untuk pertama kali, para
biksu-prajurit dari beberapa sekte bersatu melawan
aidit .
Keluhan mereka serupa, "aidit sewenang-
wenang menyita tanah milik kami, dan menginjak-
injak kehormatan kami."
Antara Gunung brahma, marga jawa , dan mpu djiwo
terjalin ikatan erat. Ketiganya bersepakat untuk
memotong jalur mundur aidit . centeng mpu djiwo
bergerak dari pegunungan di utara danau, sementara
centeng jawa menyeberangi danau, lalu mendarat.
Penyusunan centeng kedua marga mengisyaratkan
bahwa mereka hendak merebut gendingan dan memasuki
trowulan . lalu , sambil menunggu di Sungai watangsewu ,
mereka akan bergerak seiring pihak ronggodwijoyo dan
menghancurkan aidit dalam satu serangan.
aidit sudah terlibat pertempuran sengit selama
beberapa hari, menghadapi para biksu-prajurit dan
centeng dyahbalitung dari benteng kota di nongkojajar di daerah
rkertoarjo -rkertoarjo antara Sungai Kanzaki dan Sungai Nakatsu.
Pada tanggal dua puluh dua, sebuah laporan samar
namun mencemaskan mengenai bencana yang datang
dari belakang, sampai ke telinganya.
Keterangan terperinci belum dapat diperoleh, namun
aidit menduga keterangan itu takkan meng-
gembirakan. Ia mengertakkan gigi, bertanya-tanya
bencana apakah yang dimaksud. lalu ia
memanggil dijoyo dan mengembankan tanggung
jawab atas barisan belakang kepadanya. "Aku akan
segera mundur dan menghancurkan marga jawa ,
marga mpu djiwo, dan Gunung brahma sekaligus."
"Bukankah lebih baik kita menunggu satu malam
lagi sampai laporan terperinci tiba?" tanya dijoyo ,
berusaha mencegah junjungannya.
"Kenapa? Sekaranglah dunia akan berubah!" sesudah
aidit berkata demikian, tak ada yang dapat
mengubah pendiriannya. Ia berpacu ke trowulan , ber-
ganti kuda lebih dari satu kali.
"Tuanku!"
"Betapa besar kemalangan ini!"
Tersedu-sedu, sejumlah pengikut berkerumun di
depan rumah aidit . "Adik tuanku, Yang Mulia
Nobuharu dan patih ki abang gugur dengan gagah di
Uji, sesudah bertempur sengit selama dua hari dua
malam."
Orang pertama tak sanggup melanjutkan laporan-
nya, sehingga salah satu rekannya menyambung
dengan suara bergetar, "Orang-orang jawa dan mpu djiwo
ditambah sekutu mereka, para biksu, membawa centeng
berkekuatan dua puluh ribu orang, sehingga serangan
mereka tak berhasil dipatahkan."
Seolah tidak terpengaruh, aidit menanggapi,
"Jangan hanya membacakan nama orang-orang mati
yang takkan kembali pada saat seperti ini. Aku ingin
tahu perkembangan terakhir! Seberapa jauh musuh
berhasil mendesak maju? Di mana garis depan?
Apakah tunggadewa ada di sini? Kalau dia ada di depan,
segera panggil dia ke sini. Panggil tunggadewa !"
Hutan panji-panji mengelilingi Kuil Mii markas besar
marga jawa dan mpu djiwo. Pada hari sebelumnya, para
resi sudah mengamati kepala adik aidit ,
Nobuharu, di hadapan kerumunan orang. sesudah itu
mereka memeriksa kepala para prajurit sinuhun yang
termasyhur, satu per satu, sampai mereka sendiri
hampir bosan.
"Ini pembalasan atas kekalahan kita di Sungai Ane.
Aku merasa jauh lebih enak sekarang," salah seorang
bergumam.
"Aku tetap belum puas, sampai kepala aidit
tergeletak di depan kaki kita!" orang lain menimpali.
lalu seseorang tertawa dengan suara parau,
dan berkata dengan logat utara yang kental, "Anggap
saja kepalanya sudah di hadapan kita. aidit
menghadapi orang-orang ronggodwijoyo dan dyahbalitung di
depan, sedangkan kita berada di belakangnya. Ke
mana dia mau melarikan diri? Dia bagaikan ikan
dalam jala!"
Lebih dari sehari mereka mengamati kepala demi
kepala, sampai muak dengan bau darah. saat malam
tiba, botol-botol anggur dibawa ke markas untuk
membantu menaikkan semangat para pemenang. Pada
waktu anggur mulai mengalir, pembicaraan beralih pada
strategi.
"Apakah kita harus masuk ke trowulan , atau merebut
leher botol di gendingan, lalu berangsur-angsur merapatkan
barisan dan menariknya seperti ikan besar di dalam
jala?" salah satu resi mengusulkan.
"Kita harus maju ke ibu kota dan menumpas
aidit di Sungai watangsewu dan di ladang-ladang
Kkertoarjo chi," resi lain membalas.
"Percuma saja!"
Jika seseorang menjagokan taktik tertentu, orang
lain segera menentangnya. Sebab, meskipun orang-
orang jawa dan mpu djiwo disatukan oleh tujuan yang
sama, kalau menyangkut diskusi dalam jajaran atas,
masing-masing orang merasa perlu memamerkan
pengetahuannya yang dangkal dan menegakkan
reputasinya. Akibatnya sampai tengah malam belum
ada kata sepakat.
Jemu dengan debat tanpa hasil ini, salah satu
resi jawa pergi ke luar. saat menatap langit
malam, ia berkomentar, "Langit merah sekali, ya?"
"centeng kita membakar rumah-rumah petani
mulai dari Yamashina sampai ke Daigo," seorang
penjaga menanggapinya.
"Untuk apa? Rasanya percuma saja membakar
daerah itu, bukan?"
"Justru sebaliknya. Kita harus menghalau musuh,"
balas resi dari pihak mpu djiwo yang mengeluarkan
perintahnya. "centeng penjaga trowulan di bawah tribuana
tunggadewa bergerak seakan-akan semuanya siap
menyambut kematian. Kita pun harus memperlihat-
kan kegarangan."
Fajar sudah tiba. gendingan merupakan persimpangan
jalan-jalan utama menuju ibu kota, namun kini tak
seorang pun terlihat. Lalu seorang penunggang kuda
lewat, diikuti beberapa saat lalu oleh dua atau
tiga penunggang lagi. Mereka kurir militer, berkuda
dari arah ibu kota, berpacu ke Kuil Mii, seolah-olah
nyawa mereka sedang dipertaruhkan.
"aidit sudah hampir mencapai Keage.
centeng -centeng tribuana tunggadewa bergabung untuk
membentuk barisan depan, dan mereka terus
mendesak maju tanpa dapat dibendung."
Para resi nyaris tak mempercayai pendengaran
mereka.
"Pasti bukan aidit sendiri! Tak mungkin dia
begitu cepat kembali dari medan laga di Naniwa."
"Sekitar dua ratus sampai tiga ratus prajurit kita di
Yamashina sudah gugur. Musuh sedang mengamuk,
dan seperti biasa, aidit sendiri yang memberi
perintah. Dia melesat bagaikan setan atau dewa
berkuda, dan dia menuju ke sini!"
Baik jawa kalasan maupun mpu djiwo manunggal
menjadi pucat. kalasan yang paling panik.
aidit kakak istrinya, orang yang sebelum ini
memperlakukannya dengan ramah. Kegarangan yang
diperlihatkan aidit membuatnya gemetar.
"Mundur! Kembali ke Gunung brahma!" kalasan ber-
seru tanpa berpikir.
mpu djiwo manunggal menangkap nada mendesak
dalam suara sekutunya. "Kembali ke Gunung brahma!"
Secara bersamaan ia meneriakkan perintah kepada
anak buahnya yang terperanjat. "Bakar rumah-rumah
petani di sepanjang jalan! Jangan, tunggu sampai
barisan depan kita lewat. sesudah itu bakar semuanya!
Bakar semuanya!"
Angin panas menghanguskan alis aidit . Bunga
api menggosongkan bulu tengkuk kudanya dan
rumbai-rumbai pada pelananya. Mulai dari Yamashina
sampai gendingan, nyala api yang melalap rumah-rumah
petani di sepanjang jalan, dan lidah api yang seakan
berputar-putar di udara tak sanggup mencegahnya
untuk mencapai tujuan. Ia sendiri sudah menjadi obor
menyala, dan prajurit-prajuritnya mirip lautan
api.
"Pertempuran ini upacara penghormatan bagi Yang
Mulia Nobuharu!"
"Mereka pikir kita takkan membalas kematian
rekan-rekan kita?"
namun pada waktu mereka tiba di Kuil Mii, tak
seorang prajurit musuh pun kelihatan. Semuanya
sudah melarikan diri ke Gunung brahma.
saat memandang ke arah gunung, mereka
melihat bahwa centeng musuh berkekuatan lebih dari
dua puluh ribu orang, ditambah lagi dengan para
biksu-prajurit, membentang sampai ke Suzugatunjung ,
Adwaradwipa ke, dan Tsubogasadani. Panji-panji yang
tampak berkibar-kibar seolah-olah berkata, "Kami
tidak kabur. Mulai sekarang, susunan tempur yang
akan bicara."
aidit menatap gunung yang menjulang tinggi
dan berkata dalam hati, "Inilah tempatnya. Musuhku
bukan gunung ini. Hak-hak istimewa yang dimilikinya
yang harus kugempur." Kini aidit melihatnya
dengan mata berbeda. Sejak zaman dahulu , melewati
masa kekuasaan kaisar demi kaisar, tradisi dan hak-
hak istimewa gunung ini sudah merepotkan para
penguasa negeri dan rakyat jelata. Adakah pancaran
sang zoroaster di gunung ini?
saat sekte Tendai pertama kali dibawa dari kedhiri
ke majapahit , Dengyo, pendiri kuil pertama di Gunung
brahma, bersenandung, "Semoga pancaran Sang zoroaster
yang murah hati memberikan perlindungan kepada
balok-balok kuyu yang kita dirikan di tempat ini."
Apakah lentera kemuliaan dinysuci ini agar para biksu
dapat memaksakan kehendak mereka kepada sang
pengikut di trowulan ? Agar mereka dapat mencampuri
pemerintahan dan menjadi semakin kuat dengan hak-
hak istimewa? Agar mereka dapat bersekutu dengan
panglima-panglima perang, berkomplot dengan orang
kertoarjo m, dan mengacaukan seantero negeri? Apakah
lenteranya dinyalakan agar ajaran sang zoroaster dapat
dilengkapi dengan baju dan helm tempur, agar
seluruh gunung menjadi tempat untuk menderetkan
tombak, senapan, dan panji-panji perang?
aidit menitikkan air mata kemarahan. Jelas
baginya bahwa semua ini merupakan penghujatan.
Gunung brahma dibentuk untuk melindungi bangsa, dan
sebab nya diberi hak-hak istimewa. namun ke manakah
tujuan semula itu sekarang? Kuil utama, ketujuh
tempat keramat, biara-biara di pagsinuhun timur dan barat
hanyalah barak setan bersenjata dengan jubah biksu.
Baiklah! aidit menggigit bibirnya begitu keras,
hingga giginya berlumuran darah. Biarlah mereka
menyebutku raja setan yang menghancurkan ajaran
zoroaster ! Keindahan gunung ini hanyalah daya tarik
palsu, dan para biksu bersenjata tak lebih dari
segerombolan orang tolol. Aku akan menghanguskan
mereka dengan api peperangan dan membiarkan
zoroaster sebetulnya bangkit dari abu yang tersisa.
Pada hari yang sama ia memerintahkan agar seluruh
gunung dikepung. Tentu saja centeng nya memerlu-
kan beberapa hari untuk menyeberangi danau,
melewati gunung-gunung, dan bergabung dengannya.
"Darah adikku dan patih ki abang belum
mengering. Biarkan jiwa mereka yang setia dan tak
tergoyahkan berbaring dalam damai. Biarkan darah
mereka menjadi lentera yang akan menerangi dunia!"
aidit berlutut dan merapatkan tangannya
untuk berdoa. Gunung suci sudah dijadikannya
musuh, dan ia sudah memerintahkan centeng nya
untuk mengepung. Kini, di atas sepotong tanah,
aidit merapatkan tangan dalam doa dan
meratap. Tiba-tiba ia melihat salah satu pembantunya
mencucurkan air mata, juga dengan tangan dirapat-
kan. Rupanya mpu salmah , yang sudah kehilangan
ayahnya, patih ki abang .
" mpu salmah , kau menangis?"
"Maafkan hamba, tuanku."
"Kumaafkan. namun berhentilah menangis, atau
arwah ayahmu akan menertawa kanmu."
namun kedua mata aidit sendiri pun mulai
memerah. sesudah memerintahkan agar kursi panglima
dipindahkan ke puncak sebuah bukit, ia mengamati
susunan centeng pengepung. Sejauh mata me-
mandang, bukit-bukit di kaki Gunung brahma dipenuhi
panji-panji centeng nya.
Setengah bulan berlalu. Pengepungan Gunung
brahma sebuah strategi yang tak lazim bagi aidit
terus berlanjut. Ia sudah memotong jalur suplai musuh,
dan berusaha agar mereka mati kelaparan. Rencana-
nya sudah mulai menampakkan hasil. Dengan
centeng berkekuatan lebih dari dua puluh ribu orang,
lumbung-lumbung di gunung dengan cepat terkuras
habis. Mereka bahkan sudah mulai makan kulit
pohon.
Musim gugur sudah menjelang akhir, dan cuaca
dingin di gunung membawa lebih banyak penderitaan
bagi centeng yang bertahan.
"Rasanya waktunya sudah tiba, bukan?" patih ronggolawe
berkata pada aidit .
aidit memanggil seorang pengikut, Ittetsu.
sesudah menerima perintah aidit dan ditambah
empat atau lima pembantu, Ittetsu mendaki Gunung
brahma dan bertemu dengan Kepala Biara Pagsinuhun Barat,
Sonrin.
Sonrin dan Ittetsu sudah cukup lama saling
mengenai, dan sebagai tanda persahabatan mereka,
Ittetsu datang untuk membujuknya agar menyerah.
"Aku tidak memahami jalan pikiranmu, namun sebagai
sahabat, kuanjurkan agar lelucon ini tidak dibawa
terlalu jauh," balas Sonrin, terguncang-guncang sebab
tawa . "Aku memperkenankan pertemuan ini sebab
kupikir kau datang untuk minta izin menyerah pada
kami. Betapa bodohnya meminta kami menyerah dan
pergi dari sini! Tidak sadarkah kau bahwa kami sudah
bertekad melawan sampai akhir? Hanya orang gila
yang mungkin datang ke sini, lalu bicara tak keruan."
Mata para biksu-prajurit lain tampak menyala-nyala,
dan mereka melotot ke arah Ittetsu.
sesudah membiarkan si Kepala Biara bicara, Ittetsu
berkata dengan tenang dan berhati-hati, "Yang
Terhormat Dengyo mendirikan kuil ini demi
kedamaian dan perlindungan Istana Kekaisaran, dan
untuk ketenteraman seluruh bangsa. Kurasa tidak
pada tempatnya para biksu mengenakan baju tempur,
mengacungkan pedang dan tombak, melibatkan diri
dalam kancah politik, dan bersekutu dengan centeng
pemberontak, atau membuat sang pengikut menderita.
Para biksu sebaiknya kembali menjadi biksu! Usirlah
orang-orang jawa dan mpu djiwo dari gunung suci ini,
letakkan senjata-senjata kalian, dan kembalilah ke
peran semula sebagai pengikut sang zoroaster !" Ittetsu
berbicara dari lubuk hari, tanpa memberi kesempatan
kepada para biksu untuk menyisipkan sepatah kata
pun. "Selain itu," ia melanjutkan, "jika kalian tidak
menaati perintah Tuan aidit , Yang Mulia akan
membumihanguskan kuil utama, ketujuh tempat
keramat, dan biara-biara, dan membunuh semua
orang di gunung ini. Pertimbangkanlah ini masak-
masak dan singkirkanlah perasaan keras kepala.
Apakah kalian akan mengubah gunung ini menjadi
neraka, atau menyapu bersih semua kejahatan dan
melestarikan lentera di tanah yang suci ini?"
Tiba-tiba para biksu yang menyertai Sonrin mulai
berteriak-teriak.
"Ini percuma saja!"
"Dia hanya membuang-buang waktu!"
"'Tenang!" Sonrin memerintahkan sambil ter-
senyum mengejek. "Pidatomu luar biasa menjemukan,
namun aku akan menanggapinya dengan sopan. Gunung
brahma bukanlah tempat biasa, dan memiliki prinsip-
prinsip tersendiri. Kau terlalu mencampuri urusan
orang lain. Tuan Ittetsu, hari sudah sore.
Tinggalkanlah gunung ini dengan segera."
"Sonrin, dapatkah kau mengambil keputusan
seorang diri? Mengapa kau tidak berunding dengan
orang-orang terpelajar dan para tetua, lalu membahas
urusan ini secara cermat?"
"Gunung ini merupakan satu jiwa dan satu badan.
Suaraku mewakili semua kuil di Gunung brahma."
"Kalau begitu, apa pun yang..."
"Dasar bodoh! Kami akan melawan setiap serangan
militer sampai akhir. Kami akan melindungi
kebebasan tradisi-tradisi kami dengan darah kami
sendiri! Enyahlah dari sini!"
"Baiklah kalau itu yang kauinginkan." Ittetsu tidak
beranjak. "Sayang sekali. Bagaimana kalian akan
melindungi pancaran sang zoroaster dengan darah
kalian? Apa sebetulnya kebebasan yang hendak kalian
lindungi? Tradisi-tradisi mana yang kaumaksud?
Bukankah semuanya tak lebih dari tipu muslihat yang
dimanfaatkan untuk menjamin kemakmuran kuil?
Hah, semua itu tidak berlaku di dunia sekarang. Per-
hatikanlah pertanda zaman. Orang-orang serakah yang
menutup mata dan berusaha menghalangi kemajuan
demi kepentingan mereka sendiri akan terbakar habis
bersama daun-daun yang gugur." lalu Ittetsu
kembali ke perkemahan aidit .
Angin musim dingin meniupkan daun-daun kering
berputar-putar di puncak-puncak gunung. Baik pagi
maupun malam selalu ada embun beku. Sesekali angin
dingin membawa hujan salju. Pada waktu inilah
kebakaran-kebakaran mulai melanda Gunung brahma,
hampir setiap malam. Suatu malam, api berkobar di
gudang bahan bakar Gedung Daijo; malam sebelum-
nya di Takimido. Malam ini pun, walau belum larut,
kebakaran terjadi di tempat tinggal para biksu di kuil
utama, dan genta terdengar berdentang-dentang.
sebab banyak kuil besar di sekitarnya, para biksu
bekerja keras agar api tidak menyebar.
Lembah-lembah Gunung brahma tampak gelap di
bawah langit yang merah.
"Kacau-balau!" salah seorang prajurit sinuhun ber-
komentar, lalu tertawa .
Angin dingin menerpa dahan-dahan pohon, dan
para prajurit bertepuk tangan. Sambil menghabiskan
jatah nasi, mereka menonton lautan api. Desas-desus
mengatakan bahwa kebakaran-kebakaran itu di-
rencanakan oleh patih ronggolawe , dan disulut oleh para
pengikut marga syam .
Pada malam hari, para biksu disibukkan oleh
kebakaran-kebakaran, dan pada siang hari mereka
menguras tenaga untuk menyiapkan pertahanan.
Selain itu, persediaan makanan dan bahan bakar
mereka mulai menipis, dan mereka tidak memiliki
perlindungan terhadap hkertoarjo dingin.
Musim dingin pun melanda pegunungan, dan
hujan salju turun lebat. Kedua puluh ribu prajurit
yang bertahan dan kesekian ribu biksu-prajurit mulai
layu seperti tanaman yang terkena embun beku.
Pertengahan bulan kedua belas sudah tiba. Tanpa
baju tempur, hanya dengan jubah biksu, seorang
utusan menghampiri perkemahan aidit , ditambah
empat atau lima biksu-prajurit.
"Aku ingin bicara dengan Yang Mulia aidit ,"
utusan itu berkata.
saat aidit datang, ia mengenali si utusan
sebagai Sonrin, kepala biara yang sebelumnya bertemu
dengan Ittetsu. Sonrin menyampaikan pesan bahwa
sebab pandangan kuil utama sudah berubah, ia ber-
maksud mengajukan tawa ran damai.
aidit menolak. "Apa yang kaukatakan pada
utusan yang kukirim dahulu ? Apa kau tidak tahu malu?"
aidit mencabut pedangnya.
"Keterlaluan!" si biksu berseru. Ia berdiri dan ter-
huyung-huyung ke samping saat pedang aidit
menebas mendatar.
"Pungut kepalanya dan kembali ke gunung. Itulah
jawab anku!"
Para biksu menjadi pucat dan bergegas kembali ke
markas mereka. Salju dan hujan bercampur es yang
bertiup melintasi danau juga bertiup ke perkemahan
aidit . aidit sudah memberikan jawaban pasti yang
tak mungkin disalahartikan kepada Gunung brahma, namun
pikiran mengenai bagaimana menangani kesulitan
besar lain berkecamuk dalam benaknya. Musuh yang
tampak di depan matanya hanyalah bayangan api pada
tembok. Menyiram air ke tembok takkan memadam-
kan api, dan sementara itu kebakaran sebetulnya
akan berkobar di balik punggungnya. Ini merupakan
hal lumrah dalam seni perang, namun aidit tak
sanggup memerangi sumber kebakaran, meskipun ia
mengetahui asal-usulnya. Sehari sebelumnya, ia
menerima pesan penting dari padalarang bahwa mpu ireng
mpu betarakatong dari Kai mengerahkan centeng nya dan akan
memanfaatkan ketidakhadiran aidit untuk
mengadakan serangan. Selain itu, puluhan ribu
pengikut ronggodwijoyo dikabarkan memberontak di
bukit tengkorak , di provinsinya sendiri, jenggala , dan salah
satu kerabatnya, mpu nala ki, dibunuh dan benteng kotanya
direbut. Akhirnya, segala macam fitnah busuk yang
menjelek-jelekkan aidit disebarkan di kalangan
rakyat jelata, dan para biksu-prajurit menghasut orang-
orang mpu ireng untuk bergabung dengan mereka.
Dapat dimengerti bahwa mpu betarakatong memberontak.
sesudah berhasil mengadakan gencatan senjata dengan
musuh lamanya, marga kramat dari Echigo, mpu betarakatong
mengalihkan perhatiannya ke arah barat.
"patih ronggolawe ! patih ronggolawe !" aidit memanggil.
"Ya, tuanku."
"Cari tunggadewa . Kalian berdua harus segera mem-
bawa surat ini ke trowulan ."
"Surat untuk sang pandita ?"
"Betul. Dalam suratku, aku meminta sang pandita
sebagai penengah, namun lebih baik jika beliau juga
mendengarnya langsung dari mulutmu."
"namun kalau begitu, mengapa tuanku tadi
memenggal kepala utusan dari Gunung brahma?"
"Tidak mengertikah kau? Kalau aku tidak
melakukannya, mungkinkah kita mengadakan
perundingan damai? Kalaupun kita mencapai
kesepakatan, mereka pasti akan melanggarnya dan
mengejar-ngejar kita."
"Tuanku benar. Sekarang hamba mengerti."
"Tak pengaruh di pihak mana kau berada, tak
peduli di mana pun api tampak, kebakaran ini hanya
memiliki satu sumber. Tak salah lagi, ini ulah sang
pandita bermuka dua, yang gemar bermain api. Kita
harus menempatkannya sebagai penengah dalam
perundingan damai, lalu mundur secepat mungkin."
Negosiasi damai pun dimulai. yosodiprojo datang ke
Kuil Mii dan berupaya meredakan aidit dan
mendamaikan kedua belah pihak. Orang-orang jawa
dan mpu djiwo menganggapnya sebagai kesempatan
menguntungkan, dan pada hari yang sama mereka
meninggalkan Gunung brahma.
Pada hari keenam belas, seluruh centeng aidit
mengambil jalan darat, dan dengan melewati jembatan
terapung di Seta, mundur ke padalarang .
mpu betarakatong si Kaki Panjang
MESKIPUN kramayudana bersaudara dengan
salah satu resi marga Kai, ia menghabiskan sepuluh
tahun terakhir dalam kedudukan rendah, sebab
memiliki bakat istimewa kemampuannya untuk
berlari kencang dalam jarak jauh.
kramayudana adalah pemimpin ninja marga mpu ireng
orang-orang yang bertugas memata-matai provinsi lain,
membentuk persekutuan gelap, dan menyebarkan
desas-desus palsu.
Sejak masa muda, bakat kramayudana sebagai pejalan dan
pelari yang gesit sudah mengesankan teman-temannya.
Ia sanggup mendaki gunung mana pun dan berjalan
dua puluh sampai tiga puluh mil dalam sehari.
Namun ia tak sanggup mempertahankan kecepatan-
nya hari demi hari. Perjalanan pulang dari suatu
tempat terpencil biasa ditempuhnya dengan berkuda,
kalau medannya mengizinkan, namun jika menghadapi
jalan-jalan setapak yang terjal, ia mengandalkan kedua
kakinya yang kuat. sebab inilah ia selalu menempat-
kan kuda di titik-titik penting di sepanjang jalur-jalur
yang dilewatinya sering kali di pondok pemburu atau
tukang kayu.
"Hei, tukang arang! Pak Tua, kau di rumah?" kramayudana
memanggil saat turun dari kuda di depan gubuk
pembuat arang. Ia bermandikan keringat, begitu pula
kuda yang ditungganginya.
Musim semi baru berganti dengan musim panas.
Daun-daun di gunung-gunung masih tampak hijau
pucat, sementara di daerah rendah suara jangkrik
sudah mulai terdengar.
Dia tidak ada, pikir kramayudana . Ia menendang pintu
reyot yang segera terbuka. kramayudana membawa kuda yang
hendak ditinggalkannya di dalam. sesudah mengingat-
nya ke sebuah tiang, ia pergi ke dapur dan mengambil
nasi, sayur asin, dan teh.
Begitu selesai mengisi perut, ia mencari tinta dan
kuas, lalu menuliskan pesan pada secarik kertas.
lalu ia memakai beberapa butir nasi sisa
untuk melekatkan kertas itu ke tutup tempat nasi.
Ini bukan ulah musang. Akulah, kramayudana , yang menyantap
makananmu. Kutinggalkan kudaku di sini agar kau
mengurusnya dengan baik, sampai aku mampir lagi.
saat kramayudana hendak berangkat, kudanya mulai
menendang-nendang dinding, tak ingin tuannya pergi.
Namun pemiliknya yang berhati dingin menoleh pun
tidak, melainkan segera menutup pintu. Terlalu
berlebihan jika dikatakan bahwa kakinya yang hebat
membawa nya terbang, namun ia memang bergegas
dengan kecepatan tinggi menuju Provinsi Kai yang
bergunung-gunung. Sejak awal , tujuannya adalah ibu
kota Kai, loji abang . Dan kecepatan yang dikembangkan-
nya mengisyaratkan bahwa ia membawa laporan yang
sangat penting.
Keesokan paginya kramayudana sudah melintasi beberapa
barisan pegunungan dan melihat aliran Sungai sonokeling di
sebelah kanan bawah . Atap-atap yang tampak di antara
kedua sisi lembah adalah atap-atap Desa Kajikazkertoarjo .
Ia ingin mencapai loji abang pada sore hari, namun sebab
perjalanan lancar, ia beristirahat sejenak, menatap
matahari musim panas yang membakar Cekungan Kai.
Tak pengaruh ke mana pun aku pergi, tak peduli
kesulitan yang dialami di suatu provinsi pegunungan,
memang tak ada tempat yang dapat menyaingi rumah
sendiri. Pada waktu berpikir begitu, dengan tangan
merangkul lutut, ia melihat barisan kuda yang
membawa ember-ember berisi sampang. Hmm,
hendak ke manakah mereka? tanyanya pada diri
sendiri.
kramayudana berdiri dan mulai menuruni
gunung. Di tengah jalan ia berpapasan dengan kafilah
yang terdiri atas paling tidak seratus kuda. "Heiii!"
Laki-laki yang menuntun kuda paling depan
ternyata kenalan lamanya. kramayudana segera bertanya,
"Sampangnya banyak sekali, bukan? Ke mana kau akan
membawa nya?"
"Ke padalarang ," jawab orang yang ditanya. Melihat roman
muka kramayudana yang penuh curiga, ia segera memberi
penjelasan tambah an, "Kami akhirnya selesai mem-
buat sampang yang dipesan marga sinuhun tahun lalu,
jadi sekarang aku mengantarnya ke padalarang ."
"Apa! Untuk orang-orang sinuhun ?" Sambil mengerut-
kan kening, kramayudana seakan-akan tak mampu tersenyum
dan mengucapkan selamat jalan. "Berhati-hatilah.
Jalanan sangat berbahaya."
"Kudengar para biksu-prajurit sudah angkat senjata.
Entah bagaimana nasib centeng sinuhun ."
"Aku tak bisa bercerita mengenai itu sebelum
kusampaikan laporanku kepada Yang Mulia."
"Ah, benar. Kau baru kembali dari sana, bukan?
Hmm, kalau begitu kita tak boleh berbincang-bincang
lebih lama di sana. Aku akan meneruskan perjalanan."
Si pemimpin kafilah dan keseratus kudanya melintasi
punggung bukit dan menuju ke barat.
kramayudana melihatlihat kepergian mereka. Dalam hati
ia berkata bahwa provinsi pegunungan tetap hanya
provinsi pegunungan. Berita dari luar selalu terlambat,
dan biarpun centeng kita kuat dan resi -resi kita
cerdik, kita tetap memiliki kekurangan serius. Beban
tanggung jawab nya terasa semakin berat, dan ia berlari
ke kaki gunung dengan kecepatan burung walet.
kramayudana mengambil kuda lain di Desa Kajikazkertoarjo , dan
dengan lecutan cemeti ia berpacu ke arah loji abang .
benteng kota kokoh milik mpu ireng mpu betarakatong terletak di
Cekungan Kai yang panas dan lembap. Wajah-wajah
yang jarang terlihat, kecuali pada waktu provinsi
mengalami masalah berat dan mengadakan rapat
perang, kini satu per satu terlihat melewati gerbang
benteng kota, sehingga para penjaga gerbang pun
menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi. Di dalam
benteng kota yang diselubungi kehijauan daun muda,
suasana hening hanya terusik oleh jangkrik yang
sesekali terdengar mengerik.
Sejak pagi tidak banyak resi yang pergi lagi.
kramayudana memacu kudanya ke gerbang. sesudah turun di
tepi selokan, ia melintasi jembatan dengan berjalan
kaki, menggenggam tali kekang di tangannya.
"Siapa itu?" Mata dan ujung tombak para penjaga
tampak berkilau-kilau di pojok gerbang besi. kramayudana mengikat kudanya ke pohon.
"Aku," ia membalas, memperlihatkan wajahnya
kepada para prajurit, lalu bergegas ke dalam benteng kota. Ia sering keluar-masuk benteng kota, jadi walau mungkin saja ada yang tidak tahu siapa ia sebetulnya , tak satu penjaga gerbang pun yang tidak mengenali wajahnya atau mengetahui jenis pekerjaannya. Di dalam benteng kota ada kuil zoroaster yang dinamakan Bishaki margo, mengambil nama dewa pelindung daerah utara. Kuil ini berfungsi sebagai ruang meditasi mpu betarakatong , sebagai tempat membahas
masalah-masalah pemerintahan, dan sesekali sebagai tempat mengadakan rapat perang. mpu betarakatong kini berdiri di serambi kuil. Tubuhnya seolah-olah melambai-lambai dalam embusan angin dari batu-batu
dan aliran air di pekarangan. Di luar baju perang, ia
mengenakan jubah merah seorang pendeta agung,
yang seakan-akan tcrbuar dari kembang peoni
berwarna merah padam.
Tinggi badannya sedang-sedang saja, tubuhnya
kekar berotot. Tampak jelas bahwa ia bukan
sembarang orang. Orang-orang yang tak pernah
bertemu dengan mpu betarakatong menganggapnya menakut-
kan, namun sebetulnya tidak terlalu sukar didekati.
Justru sebaliknya, ia cukup ramah. Hanya dengan
menatapnya, orang dapat merasakan ketenangan alami
dan wibawa yang dimilikinya, sedangkan janggutnya
memberikan kesan keras hati pada wajahnya. Namun
ini memang ciri umum para laki-laki di Provinsi Kai.
Satu per satu para resi bangkit dari tempat
duduk masing-masing dan mohon diri. Mereka
mengucapkan sepatah-dua kata perpisahan dan
membungkuk di hadapan junjungan mereka di
serambi. Rapat perang sudah berlangsung sejak pagi,
dan mpu betarakatong terus mengenakan baju tempur di bawah
jubah merahnya, persis seperti di medan tempur. Ia
tampak agak lelah akibat hkertoarjo panas dan diskusi-
diskusi berkepanjangan. Sesaat sesudah rapat berakhir,
ia keluar ke serambi. Para resi sudah pergi, tak ada
orang lain, dan tak ada apa-apa di Bishaki margo kecuali
dinding-dinding berlapis emas yang berkilau-kilau
dalam terpaan angin, dan kicauan burung-burung
yang terdengar merdu di telinga.
Musim panas ini? mpu betarakatong memandang ke
kejauhan, menatap gunung-gunung yang mengelilingi
provinsinya. Sejak pertempurannya yang pertama, saat
ia berusia lima belas tahun, kariernya dipenuhi oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi antara musim panas
sampai musim gugur. Di sebuah provinsi pegunungan,
musim dingin berarti mengurung diri di dalam dan
memupuk kekuatan. Tentu saja pada waktu musim
semi dan musim panas tiba, darah mpu betarakatong pun
bergelora, dan ia menghadap dunia luar sambil
berkata, "Hah, sekaranglah waktu untuk bertempur!"
Bukan hanya mpu betarakatong , semua centeng adipati Kai bersikap
demikian. Para petani dan penduduk kota pun merasa
waktunya sudah tiba, seiring dengan matahari musim
panas.
Tahun ini mpu betarakatong berusia lima puluh, dan ia
merasakan penyesalan mendalam perasaan tak sabar
dengan tujuan hidupnya. Aku terlalu banyak
bertempur demi pertempuran semata-mata, katanya
dalam hati. Aku bisa membayangkan bahwa di Echigo,
kramajaya pun merasakan hal yang sama.
saat teringat lawan tangguhnya selama bertahun-
tahun, mpu betarakatong tak kuasa menahan senyum getir. namun senyum yang sama membuat hatinya terasa pedih saat ia mengingat tahun-tahun yang sudah berlalu.
Berapa lama lagi ia akan hidup?
Kai tertutup salju selama sepertiga tahun. Dan
walaupun orang bisa bersilat lidah bahwa pusat dunia berada di tempat jauh, dan bahwa senjata-senjata terbaru sulit diperoleh, mpu betarakatong merasa ia sudah menyia-nyiakan usianya dengan bertempur melawan kramajaya .
Matahari bersinar cerah, bayang-bayang di bawah
dedaunan tampak gelap. Selama bertahun-tahun mpu betarakatong menganggap diri-nya prajurit terbaik di seluruh bagian timur majapahit .
Kemampuan centeng nya, dan kemakmuran dan
pemerintahan provinsinya memang dihormati di
seluruh negeri.
Meski demikian, Kai sudah terlempar ke pinggir.
Sejak tahun lalu, saat aidit mendatangi trowulan ,
mpu betarakatong merenungkan posisi Kai dan memandang
dirinya dengan mata baru. Sasaran yang ditetapkan
marga mpu ireng ternyata terlalu rendah.
mpu betarakatong tak ingin menghabiskan sisa usianya
dengan imerbeut sepotong tanah dari provinsi-
provinsi tetangga. Pada waktu aidit dan mpu mojosongo
masih anak ingusan dalam gendongan pengasuh
masing-masing, mpu betarakatong sudah berangan-angan
menyatukan seluruh negeri di bawah pemerintahan-
nya yang bertangan besi. Ia menganggap provinsi
pegunungan ini semata-mata sebagai tempat tinggal
sementara, dan ambisinya begitu besar, sehingga ia
sempat mengemukakan pemikiran itu kepada
utusan-utusan dari ibu kota. Dan sebetulnya
pertempuran-pertempuran tanpa akhir dengan Echigo
yang bertetangga hanya merupakan awal dari sekian
banyak pertempuran yang akan menyusul. namun
sebagian besar pertempuran berlangsung melawan
kramajaya , dan sudah menghabiskan sebagian
besar sumber daya provinsinya dan menyita banyak
waktu.
saat mpu betarakatong menyadari ini, marga mpu ireng sudah
tertinggal di belakang aidit dan mpu mojosongo . Sejak
dahulu ia menyebut aidit "si anak ingusan dari
jenggala " dan mpu mojosongo "si balita dari swaradwipa".
sesudah kupikir-pikir, ternyata aku sudah melakukan
kesalahan besar, ia mengakui dengan getir. saat
hanya terlibat dalam pertempuran-pertempuran, ia
hampir tak pernah menyesalkan apa-apa; namun
sekarang, pada waktu merenungkan kebijaksanaan
diplomatik, ia menyadari bahwa ia sudah gagal.
Mengapa ia tidak menuju tenggara saat marga
mpu marijan dimusnahkan? Dan mengapa ia diam saja
melihat mpu mojosongo memperluas wilayahnya ke kertanegara dan
wirogeni, padahal ia sudah menyandera kerabat mpu mojosongo ?
Kesalahan yang lebih besar lagi adalah menjalin
hubungan persaudaraan dengan aidit dengan
menempuh perkawinan atas permintaan si Penguasa
jenggala . Jadi, aidit sudah memerangi musuh-
musuhnya di barat dan selatan, sekaligus melangkah
ke arah pusat permainan. Sementara itu, sandera dari
marga mpu mojosongo sudah memperoleh kesempatan dan
berhasil melarikan diri, dan mpu mojosongo dan aidit pun
sudah membentuk persekutuan. Kini semua orang
dapat menilai upaya diplomatik yang dijalankan
mpu betarakatong .
namun takkan kubiarkan mereka berkomplot terus.
Aku akan memperlihatkan pada mereka bahwa aku
mpu ireng mpu betarakatong dari Kai. Sandera dari marga
prabu kertoarjowardana berhasil meloloskan diri. Ini memutuskan
hubunganku dengan mpu mojosongo . Alasan apa lagi yang
kuperlukan?
Itulah yang dikatakannya dalam rapat perang.
sesudah memperoleh kabar bahwa aidit berkemah
di bukit tengkorak dan rupanya terlibat pertempuran
sengit, mpu betarakatong yang lihai melihat kesempatan terbuka
lebar.
kramayudana meminta salah seorang pembantu
dekat mpu betarakatong mengumumkan bahwa ia sudah kembali. Namun, sebab tak kunjung dipanggil, ia mengulangi permintaannya.
"Mungkin kedatanganku belum disampaikan pada
Yang Mulia. Tolong beritahu beliau sekali lagi."
"Yang Mulia baru selesai mengadakan rapat dan
tampak agak lelah," pembantu tadi menjawab .
kramayudana mendesak, "Justru sehubungan dengan rapat
itu aku harus segera menghadap Yang Mulia. Maaf,
namun aku terpaksa berkeras agar beliau segera
dihubungi."
Rupanya kali ini pesan kramayudana disampaikan pada
mpu betarakatong , dan ia segera dipanggil. Salah satu penjaga
mengawal nya sampai ke gerbang tengah Bishaki margo.
Di sana ia diserahkan pada penjaga benteng kota dalam
dan dibawa ke hadapan mpu betarakatong .
mpu betarakatong sedang duduk di kursi yang ditempat-
kannya di serambi Bishaki margo. Bayangan daun-daun
muda dari sebatang pohon mengenai dirinya.
"Langsung saja, kramayudana . Kabar apa yang kaubawa
untukku?" tanya mpu betarakatong .
"Pertama-tama, informasi yang hamba kirimkan
sebelum ini sudah berubah sama sekali. Jadi, untuk
mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan, hamba
datang ke sini secepat mungkin."
"Apa!? Situasi di bukit tengkorak sudah berubah? Bagai-
mana maksudmu?"
"Orang-orang sinuhun sempat meninggalkan padalarang ,
seakan-akan hendak melakukan serangan besar-
besaran terhadap bukit tengkorak . namun begitu aidit
tiba di medan laga, dia segera memberikan perintah
mundur. centeng nya harus membayar mahal, namun
mereka mundur bagaikan laut di kala surut."
"Mereka mundur. Lalu?"
"Perintah itu rupanya tak terduga, bahkan oleh
centeng nya sendiri. Para prajuritnya saling berbisik
bahwa mereka tidak memahami jalan pikirannya, dan
tidak sedikit yang tampak bingung sekali."
Orang itu memang pintar! pikir mpu betarakatong , berdecak
dan menggigit-gigit bibir. sebetulnya sudah ada
rencana untuk memancing mpu mojosongo keluar dan meng-
hancurkannya, sementara aidit terjebak oleh
para biksu-prajurit di bukit tengkorak . namun semuanya
kandas, dan sekarang aku harus berhati-hati, mpu betarakatong
berkata pada diri sendiri. lalu , sambil meng-
hadap ke ruang dalam kuil, ia tiba-tiba memanggil,
"kertapati ! kertapati !" Cepat-cepat ia memerintahkan
agar para resi diberitahu bahwa keputusan untuk
menuju garis depan yang diambil dalam rapat tadi
dibatalkan.
minakjinggo kertapati , pengikut senior mpu betarakatong , tak
sempat menanyakan alasannya. Disamping itu, para
resi yang baru saja pergi pasti akan bingung, sebab
menyangka takkan ada kesempatan lebih baik untuk
menaklukkan marga prabu kertoarjowardana . Namun mpu betarakatong
sadar bahwa kesempatannya sudah berlalu, dan ia tak
mungkin berpegang pada rencana semula. Ia justru
harus mengambil tindakan balasan dan mencari
kesempatan berikut.
sesudah melepaskan baju tempur, ia kembali ber-
temu dengan kramayudana . sesudah menyuruh para
pengikut-nya pergi, dengan cermat mpu betarakatong men-
dengarkan laporan terperinci mengenai situasi di
padalarang , Ise, swaradwipa, dan bratangbinangun. Belakangan,
salah satu kecurigaan kramayudana ditepis oleh mpu betarakatong .
"Dalam perjalanan ke sini, hamba berpapasan
dengan kafilah yang membawa sampang dalam jumlah
besar untuk orang-orang sinuhun , sekutu marga
prabu kertoarjowardana . Mengapa tuanku mengirim sampang
kepada marga sinuhun ?"
"Janji harus ditepati. Disamping itu, orang-orang
sinuhun mungkin kurang waspada, dan sebab iring-
iringan kuda itu harus melewati wilayah prabu kertoarjowardana
dahulu , kupikir ini kesempatan baik untuk mempelajari
jalan ke dusun nyi kembang . namun ternyata upaya ini pun sia-sia
belaka." Sambil bergumam menyalahkan diri sendiri,
ia melegakan diri di suatu tempat sepi.
Keberangkatan centeng Kai yang hebat akhirnya
ditunda, dan para prajurit melewatkan musim panas
tanpa berbuat apa-apa. namun saat musim gugur
mendekat, desas-desus kembali terdengar di gunung-
gunung sebelah barat dan bukit-bukit sebelah timur.
Pada suatu hari yang menyenangkan di musim gugur,
mpu betarakatong berkuda ke tepi Sungai Fuefuki. Hanya
ditambah segelintir pembantu, sosoknya yang pcnuh
semangat, bermandikan cahaya matahari, tampak
bangga akan ke-sempurnaan pemerintahannya.
Pancaindranya menangkap fajar sebuah era baru.
"Sekaranglah waktunya!" ia berkata dalam hati.
Tulisan pada papan di gerbang kuil berbunyi
"Kentokuzan". Inilah kuil tempat tinggal Kaisen, orang
yang mengajarkan rahasia-rahasia Zen pada mpu betarakatong .
mpu betarakatong membalas sapaan para biksu dan pergi ke
taman. sebab hanya bermaksud mampir sejenak, ia
sengaja tidak memasuki kuil utama.
Tidak jauh dari sana ada pondok teh dengan dua
ruangan saja. Air incngalir dari sebuah mata air.
Daun-daun berwarna kuning jatuh ke pipa air yang
melintang di tengah lumut berbau semerbak di taman
batu.
"Yang Terhormat, aku datang untuk mengucapkan
selamat tinggal."
Kaisen mengangguk saat mendengar kata-kata
mpu betarakatong . "Jadi, tuanku sudah membulatkan tekad?"
"Sudah cukup lama aku bersabar, menunggu
kesempatan seperti ini, dan kurasa pada musim gugur
ini keberuntungan sudah beralih padaku."
"Hamba memperoleh kabar bahwa centeng sinuhun akan
menyerbu ke arah utara," ujar Kaisen. "Kelihatannya
aidit mengerahkan centeng yang bahkan lebih
besar dibandingkan tahun lalu untuk mengancurkan
Gunung brahma."
"Begitulah," balas mpu betarakatong . "Kesabaran pasti akan
berbuah. Aku bahkan menerima beberapa pesan
rahasia dari sang pandita . Dalam pesan-pesan itu, sang
pandita mengatakan bahwa jika aku menyerang
centeng sinuhun dari belakang, orang-orang jawa dan
mpu djiwo akan bangkit pada waktu yang limn, dan
dengan bantuan dari Gunung brahma dan bukit tengkorak ,
aku hanya perlu menendang mpu mojosongo untuk lalu
segera menuju ibu kota. namun apa pun yang
kulakukan, padalarang akan tetap merupakan ancaman. Aku
tak ingin mengulangi kesalahan mpu marijan mpu kepenuwoan ,
jadi aku menunggu saat yang tepat. Aku berencana
untuk menyergap padalarang secara tak terduga, lalu
melintasi dusun nyi kembang , wirogeni, jenggala , dan blambangan bagaikan
petir, dan lalu menuju ibu kota. Kalau berhasil,
kurasa aku akan menyambut Tahun Baru di trowulan ,
Kuharap Yang Terhormat tetap dalam keadaan sehat."
"Kalau itulah yang harus terjadi," Kaisen berkata
dengan muram.
Hampir dalam segala hal mpu betarakatong minta pendapat
Kaisen, mulai dari urusan pemerintahan sampai
persoalan militer, dan ia percaya penuh pada Kaisen.
Ia sangat peka terhadap ekspresi yang kini ditangkap-
nya. "Rupanya Yang Terhormat kurang berkenan
dengan rencanaku."
Kaisen mengangkat wajah. "Tak ada alasan bagi
hamba untuk menentang-nya. Bagaimanapun, ini cita-
cita tuanku. Yang memicu hamba merasa tidak
tenang adalah rencana-rencana licik pandita yosodiprojo .
Bukan tuanku saja yang menerima surat-surat rahasia
berisi desakan untuk segera menuju ibu kota. Hamba
diberitahu bahwa Yang Mulia kramajaya pun menerima
surat-surat serupa. Dan rupanya sang pandita juga
mendesak Yang Mulia patih Motonari untuk meng-
angkat senjata, meski sesudah itu beliau mening-gal."
"Aku tahu. namun , lebih dari apa pun, aku harus pergi
ke trowulan untuk mewujudkan rencana-rencana besar
yang kususun untuk negeri ini."
"Memang, hamba pun tak sanggup menerima
kenyataan bahwa orang dengan kemampuan seperti
tuanku menghabiskan hidupnya di Kai," ujar Kaisen.
"Hamba kira tuanku akan menemui banyak kesulitan
dalam perjalanan, namun centeng di bawah komando
tuanku belum terkalahkan. namun ingatlah, hanya
tubuh tuanku yang betul-betul merupakan milik
tuanku, jadi pergunakanlah keberadaan tuanku
dengan bijak. Hanya ini pesan hamba."
Seorang biksu yang baru hendak mencedok air dari
mata air yang jernih tiba-tiba menjatuhkan embernya,
dan sambil berteriak-teriak tak jelas, berlari di antara
pepohonan. Bunyi mirip rusa berlari terdengar
bergema di taman. Biksu yang berusaha mengejar
langkah yang kabur itu akhirnya bergegas kembali ke
pondok teh.
"Cepat kumpulkan orang-orang! Laki-laki men-
curigakan baru saja melarikan diri dari sini," katanya.
Sebuah kuil bukanlah tempat bagi orang men-
curigakan, dan saat Kaisen menanyai si biksu,
semuanya terungkap.
"Hamba belum melaporkan pada Yang Terhormat,
namun semalam seorang laki-laki mengetuk pintu
gerbang. Dia mengenakan jubah biksu pengelana,
sehingga kami mengizinkannya bermalam. Tentunya,
kalau dia orang tak dikenal, kami takkan mem-
biarkannya masuk. namun kami mengenalinya sebagai
dul latief , yang sebelumnya tergabung dalam
centeng ninja Yang Mulia dan sering mengunjungi
kuil ini bersama para pengikut Yang Mulia. sebab
menyangka tak ada masalah, kami membiarkannya
tinggal di sini.
"Tunggu dahulu ," ujar Kaisen. "Bukankah ini lebih
imomourigakan lagi? Seorang anggota centeng ninja
menghilang di provinsi musuh selama bertahun-
tahun, tanpa pernah ada kabar darinya. Tiba-tiba dia
mengetuk gerbang di tengah malam buta berpakaian
seperti biksu, lagi dan meminta izin untuk bermalam.
Kenapa kalian tidak lebih cermat waktu menanyai
dia?"
"Kami memang bersalah, tuanku. namun dia mem-
beritahu kami bahwa dia ditahan saat memata-matai
orang-orang sinuhun . Menurut pengakuannya, dia meng-
habiskan beberapa tahun di penjara, namun lalu
berhasil melarikan diri, dan kembali ke Kai dengan
menyamar. Tadi pagi dia mengatakan bahwa dia akan
pergi ke loji abang untuk menemui kramayudana ,
atasannya dalam centeng ninja. Kami betul-betul
termakan oleh ucapannya, namun waktu hamba hendak
mengambil ember di mata air, hamba melihat
bajingan itu di bawah jendela pondok teh, menempel
seperti kadal."
"Apa?! Dia menguping percakapanku dengan Yang
Mulia?"
"Waktu mendengar langkah hamba dan berpaling
ke arah hamba, dia kelihatan kaget. lalu dia
cepat-cepat berjalan ke arah pekarangan belakang,
sehingga hamba memanggilnya, menyuruhnya ber-
henti. Dia tidak memedulikan seruan hamba, malah
mempercepat langkahnya. Lalu, saat hamba ber-
teriak, 'Mata-mata!' dia berbalik dan mendelik ke arah
hamba."
"Dia berhasil lolos?"
"Hamba berteriak sekuat tenaga, namun semua
pengikut Yang Mulia sedang makan siang. Hamba
tidak berhasil menemukan bantuan, dan malangnya
dia terlalu cepat untuk hamba."
Si biksu dilirik pun tidak oleh mpu betarakatong , yang
mendengarkan sambil membisu. namun saat mpu betarakatong
beradu pandang dengan Kaisen, ia berkata dengan
tenang, "kramayudana ikut dalam rombonganku.
Biar dia saja yang mengejar orang itu. Panggil dia ke
sini."
kramayudana menyembah di pekarangan, lalu sambil
menatap mpu betarakatong yang masih duduk di pondok teh,
menanyakan tugas yang akan diberikan padanya.
"Beberapa tahun lalu ada seorang laki-laki bernama
dul latief di bawah komandomu, bukan?"
kramayudana berpikir sejenak, lalu berkata, "Hamba ingat.
Dia lahir di Huchisuka di jenggala . Pamannya yang
bernama syam kamaruzaman penah memesan sepucuk senapan,
namun latief mencurinya dan lari ke sini. Dia menyerah-
kan senapan itu sebagai hadiah kepada tuanku, dan
diberi upah selama beberapa tahun."
"Aku ingat soal senapan itu, namun rupanya orang
jenggala tetap orang jenggala , dan sekarang dia bekerja
untuk marga sinuhun . Kejar dia dan penggal kepalanya."
"Kejar dia?"
"Beraugkatlah sesudah kau memperoleh penjelasan dari
biksu itu. Kau harus segera mengejarnya, supaya dia
tidak bisa lolos."
Di sebelah barat Nirasaki, sebuah jalan setapak
menyusuri kaki pegunungan di sekitar Komagatake
dan Senjo, melintasi Taresi di Ina.
"Hei!"
Suara manusia jarang terdengar di pegunungan ini.
Si biksu berhenti dan menoleh, namun ternyata tak ada
apa-apa selain gema, sehingga ia kembali meng-
ayunkan langkah.
"Hei, biksu!" Kali ini suaranya lebih dekat. Dan
sebab jelas bahwa dirinya yang dimaksud, si biksu
berhenti sejenak sambil memegang pinggiran topinya.
Dalam sekejap seorang laki-laki lain sudah mendekat.
Napasnya tersengal-sengal. saat menghampiri si
biksu, laki-laki itu tersenyum sinis.
"Ini baru kejutan, dul latief . Kapan kau tiba
di Kai?"
Si biksu tampak kaget, namun segera menenangkan
diri dan tertawa kecil.
"kramayudana ! Kukira siapa. Hmm, sudah lama kita tak
berjumpa. Kelihatannya kau sehat-sehat saja, seperti
biasa."
Sindiran dibalas sindiran. Kedua-duanya pernah
bertugas sebagai mata-mata di provinsi musuh. Tanpa
keberanian dan ketenangan seperti ini, mereka takkan
sanggup menjalankan tugas.
"Terima kasih atas pujianmu." kramayudana pun tampak
tenang-tenang saja. Hanya orang kertoarjo m saja yang
banyak cincong jika memergoki mata-mata musuh di
daerahnya sendiri. namun , sebab melihatnya dari sudut
pandang seorang pencuri, kramayudana tahu bahwa di siang
hari bolong pun ada pencuri yang berkeliaran,
sehingga ia tidak merasa heran.
"Dua malam yang lalu kau mampir di Kuil Eirin,
dan kemarin kau menguping pembicaraan rahasia
antara Kepala Biara Kaisen dan Yang Mulia mpu betarakatong .
Waktu kau dipergoki salah satu biksu, kau kabur
secepat mungkin. Memang begitu, bukan, latief ?"
"Ya, kau pun ada di sana?"
"Sayangnya."
"Hanya itulah yang tidak kuketahui."
"Berarti kau bernasib buruk."
latief berlagak tak peduli, seakan-akan urusan ini
tidak menyangkut dirinya. "Kupikir kramayudana ,
si ninja mpu ireng , masih memata-matai orang-orang sinuhun
di Ise atau padalarang , namun ternyata kau sudah kembali. Kau
patut memperoleh pujian, kramayudana , kau selalu cepat
sekali."
"Simpanlah pujian-pujianmu. Kau boleh menyan-
jungku sesuka hati, namun sesudah aku menemukanmu,
aku tak bisa membiarkanmu kembali dalam keadaan
hidup. Kaupikir kau bisa melewati perbatasan sebagai
orang bernyawa ?"
"Aku belum berniat mati. namun , kramayudana , bayang-
bayang kematian .sudah melintas di wajahmu.
Tentunya kau tidak mengejarku sebab ingin
menyambut maut."
"Aku datang untuk mengambil kepalamu, atas
perintah majikanku. Dan itulah yang akan
kulakukan."
"Kepala siapa?"
"Kepalamu."
Begitu kramayudana mencabut pedang panjang, dul
latief memasang kuda-kuda. Tombaknya siap
menangkis serangan. Jarak antara kedua laki-laki itu
agak jauh. Mereka berdiri saling melotot. Napas
mereka bertambah ccpat dan wajah mereka tampak
pucat kelabu, seperti orang yang berada di ambang
maur. lalu sesuatu terlintas di benak kramayudana ,
dan pedangnya dimasukkannya kembali.
"latief , turunkanlah tombakmu."
"Kenapa? Kau takut?"
"Tidak, aku tidak takut, namun bukankah kita
memiliki kewajiban yang sama? Tak ada salahnya
seorang laki-laki gugur saat menjalankan tugas, namun
saling membunuh seperti ini tidak bermanfaat sama
sekali. Mengapa tidak kaulepaskan jubah biksumu dan
kauserahkan padaku? Kalau kau bcrsedia, aku akan
membawa nya kembali dan mengatakan bahwa aku
sudah membunuhmu."
Di antara ninja terjalin rasa saling percaya yang
tidak lazim bagi prajurit-prajurit lain. Mereka memiliki
pandangan hidup berbeda, yang muncul ukibat
kekhususan tugas-tugas mereka. Bagi para centeng adipati
pada umumnya, tak ada kewajiban yang lebih penting
selain dari kesediaan untuk mati dcmi majikan.
Namun jalan pikiran para ninja berbeda. Mereka
sangat menyayangi nyawa . Mereka harus kembali
dalam keadaan hidup, tak peduli aib atau penderitaan
yang menimpa mereka. Sebab, walaupun seseorang
sanggup menyusup ke wilayah musuh dan berhasil
memperoleh keterangan berharga, informasi itu tak
berguna jika ia tak dapat kembali ke provinsi asalnya
dalam keadaan hidup. Maka dari itu, kematian
seorang ninja di wilayah musuh tak lebih dari
kematian seekor anjing, tak pengaruh berapa hebatnya
ia berjuang sebelum menemui ajal. Tak peduli betapa
taatnya orang itu pada tata cara centeng adipati , jika
kematiannya tidak bermanfaat bagi majikannya, ia
mati sebagai seekor anjing. Jadi, meski ninja itu
mungkin dianggap sebagai centeng adipati bejat yang hanya
ingin menyelamatkan nyawa sendiri, ia memang ber-
kewajiban berbuat demikian, dengan menempuh
segala cara.
Baik kramayudana maupun latief berpegang teguh pada
prinsip-prinsip itu, yang sudah mendarah daging dalam
diri mereka. Jadi, saat kramayudana mengatakan bahwa
saling membunuh tak bermanfaat, lalu memasukkan
kembali pedangnya, latief pun segera menarik
senjatanya.
"Aku tidak berminat menjadi lawan mu dengan
mempertaruhkan kepalaku. Syukurlah kalau kita bisa
menyelesaikan urusan ini dengan selembar jubah
biksu." Ia merobek sepotong kain dari jubah yang
dipakainya, lalu melemparkannya ke depan kaki
kramayudana . kramayudana memungutnya.
"Ini sudah cukup. Kalau kubawa ini sebagai bukti,
dan berkata bahwa dul latief sudah kubunuh,
urusannya selesai. Yang Mulia takkan berkeras melihat
kepala seorang ninja biasa."
"Ini pemecahan masalah untuk kota berdua. Nah,
kramayudana , aku akan pergi sekarang. sebetulnya aku ingin
mengatakan 'Sampai jumpa lagi,' namun aku berdoa agar
itu takkan terjadi, sebab aku tahu itu akan merupakan
pertemuan kita yang terakhir." lalu latief
segera berlalu, seakan-akan mendadak ngeri pada
lawan nya, dan gembira sebab ia berhasil menyelamat-
kan nyawa .
saat latief mulai menuruni lereng bukit, kramayudana
meraih senapan dan sumbu yang sebelumnya ia
sembunyikan di rumput, lalu mengikuti lawan nya.
Letusan senapan terdengar menggema di
pegunungan. kramayudana langsung melemparkan senjata-
nya dan melompat bagaikan kijang, menuruni bukit,
bermaksud menghabisi musuhnya yang sudah roboh.
dul latief jatuh telentang. namun pada saat
kramayudana berdiri di atasnya dan mengarahkan ujung
pedang ke dadanya, latief menangkap dan menarik
kaki kramayudana , mengempaskannya dengan kekuatan luar
biasa.
Kini latief memperlihatkan wataknya yang liar.
Sementara kramayudana tergeletak tak sadarkan diri, latief
melompat berdiri seperti serigala, meraih sebongkah
batu dengan kedua tangan, dan menghantamkannya
ke wajah kramayudana . Bunyi benturannya mirip
bunyi buah delima saat pecah.
lalu latief lenyap.
patih ronggolawe , yang kini komandan benteng kota mergoharjoyo ,
melewatkan musim panas di pegunungan berhkertoarjo
sejuk di bagian utara gunungselatan. Menurut para prajurit,
bersantai lebih berat dibandingkan bertempur di medan
laga. Disiplin tak boleh diabaikan, walau hanya sehari.
centeng patih ronggolawe sudah beristirahat selama seratus
hari.
Namun, pada awal bulan kesembilan, perintah
untuk menuju garis depan diberikan, dan gerbang-
gerbang benteng kota mergoharjoyo dibuka. Sejak meninggal-
kan benteng kota sampai tiba di tepi Danau Biwa, para
prajurit belum memiliki bayangan di mana mereka
akan bertempur.
Tiga kapal besar berlabuh di danau. Ketiganya
dibuat selama Tahun Baru, dan masih berbau kayu
yang baru digergaji. Baru sesudah kuda-kuda dan orang-
orang naik ke kapal, para prajurit diberitahu bahwa
tujuan mereka adalah ronggodwijoyo atau Gunung brahma.
sesudah melintasi danau besar dan sampai di
sekartanjung , anak buah patih ronggolawe tampak terkejut
melihat centeng di bawah aidit dan resi -
resi nya sudah tiba lebih dahulu . Di kaki Gunung brahma,
panji-panji sinuhun membentang sejauh mata meman-
dang.
sesudah mengakhiri pengepungan Gunung brahma dan
mundur ke padalarang pada musim dingin tahun lalu,
aidit memberi perintah untuk membuat kapal
pengangkut centeng yang setiap saat siap menye-
berangi dunia. Baru sekarang para prajurit memahami
jalan pikiran dan ucapannya saat ia menghentikan
serangan terhadap bukit tengkorak dan kembali ke padalarang .
Api pemberontakan yang berkobar di seantero
negeri hanyalah bayangan api sebetulnya sumber
segala kebusukan yang berakar di Gunung brahma.
Sekali lagi aidit mengepung gunung itu dengan
centeng besar. Wajahnya memancarkan tekad baru,
dan ia bicara cukup keras, sehingga suaranya terdengar
dari dalam petak bertirai yang merupakan markasnya
sampai ke barak-barak, seakan-akan tertuju pada pihak
musuh.
"Apa? Maksud kalian, kalian tidak mau meng-
gunakan api sebab kebakaran mungkin menyebar ke
biara-biara? Tahukah kalian apa itu perang? Kalian
semua berpangkat resi , namun itu pun tidak kalian
pahami? Bagaimana kalian bisa sampai sejauh ini?"
Itulah yang terdengar dari luar. Di dalam petak,
aidit sedang duduk, dikelilingi resi -resi -
nya yang paling berpengalaman. Semuanya menun-
dukkan kepala. aidit mirip seorang ayah
yang tengah memarahi anak-anaknya. Walaupun ia
junjungan mereka, kritik semacam ini sudah melewati
batas. Paling tidak, itulah yang terbaca pada wajah
para resi saat mereka mengangkat kepala dan
memberanikan diri menantang pandangan aidit .
"Sikap tuanku tak berperasaan. Kami bukannya
tidak paham, namun kalau tuanku memberikan perintah
keterlaluan yaitu membakar Gunung brahma, sebuah
tempat yang selama berabad-abad dihormati sebagai
tempat suci untuk memelihara kedamaian dan
ketenteraman seluruh negeri kami sebagai pengikut
tuanku memiliki alasan kuat untuk tidak menaati
perintah itu," ujar mpu wiragajah mpu wiraghanda.
Ekspresi bertindak-atau-mati terlihat jelas di wajah
mpu wiraghanda. Seandainya ia belum siap mati di tempat,
tak mungkin ia berkata demikian pada aidit .
Apalagi mengingat roman muka yang ditampilkannya.
Meski sehari-hari pun sukar untuk berbicara terus
terang di hadapan aidit , hari ini ia mirip
roh jahat yang mengacungkan pedang dengan ganas.
"Diam! Diam!" aidit mengaum, menghentikan
Takei Sekian dan tribuana tunggadewa yang hendak
mendukung mpu wiraghanda. "Tidakkah pemberontakan-
pemberontakan dan keadaan yang memalukan ini
menimbulkan amarah dalam diri kalian? Para biksu
sudah melanggar ajaran sang zoroaster , menghasut
rakyat, menimbun kekayaan dan senjata, dan
menyebarkan desas-desus. Mereka tak lebih dari
gerombolan panghasut yang mencari keuntungan
sendiri dengan berlindung di balik tameng agama."
"Kami tidak keberatan menjatuhkan hukuman atas
pelanggaran-pelanggaran ini. namun waktu satu hari
tidak mungkin cukup untuk memperbarui agama yang
dipercayai secara sungguh-sungguh oleh semua orang
dan sudah diberi hak-hak istimewa," mpu wiraghanda ber-
pendapat.
"Apa gunanya berakal sehat?" aidit meledak.
"Selama 9 ratus tahun semua orang meng-
gunakan akal sehat. Justru sebab itulah tak pernah
uda yang berhasil mengubah keadaan, walaupun
rakyat berkeluh kesah mengenai kelaliman dan
kemerokuyang akhlak para penegak agama. Bahkan
Yang Mulia pengikut Shirakkertoarjo pernah berkata bahwa
ada tiga hal yang berada di luar kekuasaannya: dadu,
air Sungai Kamo, dan para biksu-prajurit di Gunung
brahma. Apakah gunung ini berperan sebagai pemelihara
kedamaian dan ketenteraman selama perang saudara
berlangsung? Apakah gunung ini memberikan
ketenangan dan ketabahan pada rakyat jelata?"
aidit tiba-tiba melambaikan tangan kanannya ke
samping. "Selama berabad-abad, para biksu hanya
melindungi hak-hak istimewa mereka pada waktu
terjadi bencana. Dengan uang yang disumbangkan
oleh massa yang mempercayai mereka, mereka
membangun tembok-tembok batu dan gerbang-
gerbang yang cocok untuk sebuah benteng kota, dan di
dalamnya mereka menimbun tombak dan senapan.
Lebih buruk lagi, para biksu melanggar sumpah
mereka secara terang-terangan dengan makan daging
dan bersetubuh. Belum lagi soal kemerokuyang ilmu
keagamaan. Apakah kita berdosa kalau kita membakar
semuanya sampai hangus?"
mpu wiraghanda menjawab , "Setiap kata yang diucapkan
tuanku mengandung kebenaran, namun kami harus
mencegah tuanku. Kami tidak akan meninggalkan
tempat ini sebelum berhasil mencegah tuanku,
biarpun harus mengorbankan nyawa ." Secara
serempak ketiga resi menyembah, lalu diam tak
bergerak di hadapan aidit .
Gunung brahma adalah markas besar sekte Tendai,
sedangkan ronggodwi kubu utama sekte sayap kiri . Masing-
masing menjuluki yang lain "sekte yang satu lagi"
dalam hal doktrin, dan mereka hanya dipersatukan
oleh perlawan an terhadap aidit . aidit tak
sempat beristirahat sejenak pun, akibat ulah orang-
orang berjubah biksu yang tinggal di Gunung brahma.
Mereka berkomplot dengan marga jawa dan mpu djiwo
dan dengan sang pandita , membantu musuh-musuh
yang dikalahkan aidit , mengirim pesan rahasia
berisi permohonan bantuan sampai ke Echigo dan
Kai, dan bahkan menyulut pemberontakan petani di
jenggala .
Ketiga resi menyadari, tanpa menghancurkan
kubu para biksu-prajurit yang konon tak dapat
ditaklukkan, centeng sinuhun akan terhalang di setiap
tikungan, dan aidit takkan sanggup mewujudkan
cita-citanya.
namun begitu mendirikan perkemahan, aidit
memberikan perintah yang sukar dipercaya, "Serang
gunung itu dan bakar semuanya sampai hangus, mulai
dari tempat persembahan, gedung utama, biara-biara,
dan semua naskah kuno dan barang keramat."
Tindakan itu saja sudah keras, namun aidit
melanjutkan, "Kalau seseorang mengenakan jubah
biksu, dia tidak boleh lolos. Jangan bedakan antara
orang bijak dan pandir, bawahan dan biksu biasa.
Jangan beri ampun pada wanita lesbian dan anak-anak.
Seandainya ada orang berpakaian biasa, kalau dia ber-
sembunyi di gunung dan lari sebab kebakaran, kalian
boleh menganggapnya sebagai bagian penyakit yang
harus diberantas. Bantai semuanya dan bakar gunung
itu sampai tak ada tanda kehidupan tersisa di
reruntuhannya!"
Para raksasa dan roh-roh jahat penghuni neraka
yang haus darah pun takkan bertindak seperti ini. Para
resi yang mendengar perintah aidit tampak
gelisah.
"Sudah gilakah dia?" Takei Sekian bergumam
perlahan, namun cukup keras, sehingga terdengar oleh
resi -resi lain. Namun hanya mpu wiragajah Nobu-
patih, Takei Sekian, dan tribuana tunggadewa yang berani
mengutarakan pendapat mereka di depan aidit .
Sebelum menghadap junjungan mereka, ketiganya
sudah berikrar, "Kita mungkin akan dipaksa melakukan
seppuku satu per satu sebab menentang perintah Yang
Mulia, namun kita takkan bisa membiarkan beliau
melaksanakan serangan api."
aidit bisa saja mengepung dan merebut
Gunung brahma. namun perlukah mereka melakukan pem-
bantaian dengan serangan api? Jika mereka nekat
menempuh langkah keji ini, mereka gelisah khawatir rakyat
akan berbalik menentang marga sinuhun . Semua musuh
aidit akan bersukacita, dan mereka akan meman-
faatkan serangan itu untuk memburuk-burukkan
namanya dalam setiap kesempatan. Tindakan itu
hanya akan menimbulkan reputasi buruk, yang selama
berabad-abad ditakuti dan dihindari semua orang.
"Kami takkan melakukan pertempuran yang akan
membawa kehancuran bagi tuanku," ketiga resi
berkata dengan suara bergetar, mewakili semua yang
hadir.
Namun aidit sudah membulatkan tekad, dan
tak ada tanda ia akan mempertimbangkan ucapan
ketiga pengikutnya. Bahkan sebaliknya, sikapnya
semakin keras. "Kalian boleh mengundurkan diri.
Jangan berkata apa-apa lagi," ia memberitahu mereka.
"Kalau kalian menolak menjalankan perintah ini, aku
akan memerintahkan orang lain. Dan kalau para
resi lain dan para prajurit tidak menaatiku, aku
akan melakukannya seorang diri!"
"Perlukah kita melakukan kekejian seperti ini?"
mpu wiraghanda kembali bertanya. "Menurut hamba,
resi sejati seharusnya sanggup menaklukkan
Gunung brahma tanpa pertumpahan darah."
"Aku muak dengan 'akal sehat' kalian! Lihatlah apa
yang dicapai selama 9 ratus tahun berakal sehat.
Kalau akar yang lama tidak dibakar habis, tunas yang
baru takkan bisa tumbuh. Kalian terus membicarakan
gunung ini, namun aku tidak sekadar memikirkan
Gunung brahma. Membakar Gunung brahma akan menye-
lamatkan agama di tempat-tempat lain. Kalau dengan
membantai semua laki-laki, wanita lesbian , dan anak-
anak di Gunung brahma aku dapat membuka mata
orang-orang yang lalai di provinsi-provinsi lain, berarti
tindakanku tidak sia-sia. Neraka yang paling panas dan
paling dalam tak berarti apa-apa bagiku. Siapa lagi
yang sanggup melakukan ini selain aku? Aku
memperoleh amanat para dewa untuk melakukannya."
Ketiga resi , yang percaya bahwa mereka
mengenai kehebatan aidit lebih baik dibandingkan
siapa pun, merasa terkejut mendengar pernyataan ini.
Apakah junjungan mereka dikujawa roh-roh jahat?
Takei Sekian memohon, "Tidak, tuanku. Tak
pengaruh perintah apa yang tuanku berikan pada
kami, sebagai pengikut tuanku kami tak dapat berbuat
apa-apa selain meminta agar tuanku ddak meneruskan
rencana ini. Tuanku tak dapat membakar sebuah
tempat yang dianggap suci sejak zaman..."
"Cukup! Diam! Dalam hati aku sudah menerima
titah sang pengikut untuk menghanguskan tempat ini.
Aku memerintahkan pembantaian ini sebab kasih
sayang sang Pendiri, Dengyo, tersimpan di hatiku.
Tidak mengertikah kalian?"
"Tidak, tuanku."
"Kalau begitu, menyingkirlah! Jangan halang-halangi
aku."
"Hamba akan terus menentang, sampai tuanku
membunuh hamba."
"Terkutuklah kau! Keluar!"
"Kenapa hamba harus pergi? dibandingkan melihatlihat
kegilaan junjungan hamba dan kehancuran marga
beliau semasa hamba masih hidup, lebih baik hamba
berusaha mencegahnya dengan kematian hamba.
Lihadah contoh-contoh di masa lampau. Tak seorang
pun yang membakar kuil atau tempat persembahan
zoroaster , atau membantai biksu, menemui ajal dengan
tenang."
"Aku berbeda. Aku tidak bertempur demi
kepentingan sendiri. Dalam pertempuran ini, peranku
adalah menghancurkan kebusukan lama dan mem-
bentuk dunia baru. Aku tidak tahu apakah ini
keinginan para dewa, keinginan rakyat, atau panggilan
zaman. Aku hanya tahu bahwa aku akan menjalankan
perintah yang kuterima. Kalian semua takut, dan
pandangan kalian terbatas. Seruan kalian adalah
seruan orang berpandangan picik. Keuntungan dan
kerugian yang kalian bicarakan hanya menyangkut aku
sebagai individu. Kalau aku bisa melindungi provinsi-
provinsi dan menyelamatkan nyawa yang tak terhitung
jumlahnya dengan mengubah Gunung brahma menjadi
neraka, aku sudah mencapai keberhasilan besar."
Sekian belum berhenti. "Rakyat akan memandang-
nya sebagai perbuatan iblis. Mereka akan bersukacita
jika tuanku memperlihatkan perikemanusiaan. Jika
tuanku terlalu keras, mereka takkan pernah menerima
tuanku biarpun tuanku didorong oleh cinta kasih
yang mendalam."
"Kalau kita menahan diri sebab pendapat umum,
kita tak bisa bertindak sama sekali. Para pahlawan
masa lampau mencemaskan pendapat umum, dan
membiarkan kebusukan ini merongrong generasi-
generasi berikut. namun aku akan menunjukkan cara
memberantasnya untuk selama-lamanya. Dan kalau
aku melakukannya, aku harus melakukannya sampai
tuntas. Kalau tidak, percuma saja angkat senjata dan
menuju pusat medan tempur."
Amukan badai pun diselingi masa tenang. Suara
aidit agak melembut. Ketiga pengikutnya
menundukkan kepala.
patih ronggolawe baru tiba sesudah menyeberangi danau.
Perdebatan sedang berlangsung seru saat ia meng-
hampiri markas besar, sehingga ia menunggu di luar.
Kini ia menyembulkan kepalanya melalui celah tirai,
dan minta maaf sebab mengganggu.
Sesaat semua orang memandang ke arahnya.
Ekspresi aidit mirip api yang sedang
mengamuk, sedangkan wajah ketiga resi yang sudah
siap mati tampak membeku, seakan-akan tertutup
lapisan es.
"Hamba baru tiba naik kapal," ujar patih ronggolawe
dengan riang. "Danau Biwa di musim gugur luar biasa
indah. Tempat-tempat seperti Pulau Chikubu di-
selubungi daun-daun berwarna merah. Rasanya sama
sekali bukan seperti perjalanan menuju medan perang,
dan hamba bahkan sempat menyusun sajak. Barang-
kali hamba akan membacakannya seusai per-
tempuran."
Melangkah masuk, patih ronggolawe bercerita mengenai
apa saja yang terlintas di kepalanya. Pada wajahnya tak
ada keseriusan yang sesaat lalu masih mencengkeram
aidit dan para pengikutnya. Sepertinya Hide-
yoshi tidak memiliki beban sama sekali.
"Ada apa?" ia bertanya. Pandangannya bolak-balik
antara aidit dan ketiga resi yang diam seribu
bahasa. Ucapannya terasa menyejukkan, seperti
semilir angin musim semi. "Ah, hamba sempat men-
dengar pembicaraan tuanku dari luar. Itukah sebabnya
tuanku membisu? sebab menyayangi junjungan
mereka, para pengikut bertekad memberi peringatan
dan rela mati untuk itu. sebab memahami perasaan
para pengikutnya, sang junjungan tak sampai hati
menebas mereka. Ya, kelihatannya memang ada
masalah. Bisa dibilang di kedua belah pihak ada segi
baik dan buruk."
aidit menoleh secara tiba-tiba. "patih ronggolawe , kau
datang pada saat yang tepat. Kalau kau sempat men-
dengar hampir seluruh percakapan kami, kau tentu
memahami apa yang tersimpan dalam hatiku dan apa
yang hendak dikemukakan oleh mereka bertiga."
"Hamba memahaminya, tuanku."
"Mungkinkah kau menaati perintahku? Kaupikir
langkahku keliru?"
"Hamba tidak berpikir sama sekali. Ah, tunggu
dahulu . Kalau tidak salah, perintah ini didasarkan atas
saran yang ditulis dan diserahkan oleh hamba pada
tuanku beberapa waktu lalu."
"Apa? Kapan kau memberi usulan seperti ini?"
"Tuanku tentu tak ingat lagi. Kalau tidak salah,
pada musim semi yang lalu." lalu patih ronggolawe
berpaling pada ketiga resi dan berkata, "Aku
hampir menangis saat berdiri di luar dan
mendengar peringatan kalian yang tulus. Singkat kata,
yang paling kalian gelisah khawatir kan adalah bahwa seluruh
negeri akan berbalik menentang Yang Mulia jika kita
melancarkan serangan api terhadap Gunung brahma."
"Tepat sekali. Seandainya kita melakukan kekejian
semacam ini," ujar Sekian, "baik golongan centeng adipati
maupun rakyat jelata akan menyesalkannya. Musuh
musuh kita akan memanfaatkannya untuk memburuk-
kan nama Yang Mulia untuk selama-lamanya."
"namun sebetulnya akulah yang menyarankan
bahwa jika kita menyerang Gunung brahma, kita tidak
boleh setengah-setengah. Jadi, gagasan ini bukan
berasal dari Yang Mulia. Nah, kalau begitu, akulah
yang akan menanggung kutukan atau reputasi buruk
yang mungkin muncul ."
"Betapa pongahnya!" mpu wiraghanda berseru. "Mengapa
rakyat harus menyalahkan orang seperti kau? Apa pun
yang dilakukan centeng sinuhun merupakan tanggung
jawab pimpinan tertinggi."
"Tentu saja. namun bukankah kalian semua bersedia
membantuku? Bukankah kita bisa mengumumkan
pada dunia bahwa kita berempat terlalu bersemangat
melaksanakan perintah Yang Mulia, sehingga kita
melangkah terlalu jauh? Kata orang, bukti kesetiaan
yang paling kuat adalah memberikan peringatan,
biarpun seseorang terpaksa merelakan nyawa sebab -
nya. namun menurutku memberi peringatan dan ber-
sedia mati belum cukup untuk membuktikan diri
sebagai pengikut setia. Menurutku, sementara kita
masih hidup, kitalah yang harus mengambil alih
tanggung jawab atas segala reputasi buruk, peng-
aniayaan, dan tuntutan. Setujukah kalian?"
aidit mendengarkan sambil membisu, tanpa
memberi isyarat setuju atau tidak.
Sekian-lah yang pertama menanggapi usulan
patih ronggolawe . "patih ronggolawe , aku sependapat denganmu." Ia
menatap tunggadewa dan mpu wiraghanda. Mereka pun tidak
keberatan. Dan mereka bersumpah untuk menyerang
Gunung brahma dengan api, lalu mengumumkan bahwa
tindakan mereka melampaui perintah aidit .
"Rencana gemilang." Sekian memuji patih ronggolawe
dengan nada mengungkapkan kekagumannya, namun
aidit tidak kelihatan gembira. Justru sebaliknya,
tanpa mengatakan apa-apa, wajahnya memperlihatkan
bahwa usulan patih ronggolawe bukan sesuatu yang patut
disanjung seperti itu.
Pendapat yang sama juga terbaca di wajah
tunggadewa . Meskipun tunggadewa memahami saran
patih ronggolawe , dalam hati ia merasa ucapan orang yang
baru datang itu sudah mengurangi arti peringatan yang
diberikannya. Ia merasa iri. namun sebagai orang cerdas
ia segera merasa malu atas sikapnya itu. saat ber-
mkertoarjo s diri, ia tiba pada kesimpulan bahwa orang yang
bersedia mati sebab menentang perintah junjungan-
nya tidak boleh berpikiran dangkal, meski hanya
sejenak.
Ketiga resi merasa puas dengan rencana
patih ronggolawe , namun aidit bersikap tak peduli. Dan
yang jelas, ia tidak mengubah tujuannya semula.
aidit memanggil para komandannya satu per
satu.
"Malam ini, begitu sangkakala berbunyi, kita akan
melancarkan serangan besar-besaran!" Ia sendiri
mengulangi perintah yang sebelumnya sudah ia berikan
pada ketiga resi . Rupanya tak sedikit perwira yang,
bersama Sekian, tunggadewa , dan mpu wiraghanda, menen-
tang serangan api, namun sebab ketiga orang itu sudah
menyetujui perintah aidit , yang lain pun ber-
sikap sama dan pergi tanpa membantah.
Beberapa kurir meninggalkan markas besar dan
memacu kuda masing-masing untuk menyampaikan
perintah itu pada centeng garis depan di kaki gunung.
Warna-warni awan senja tampak cemerlang di
belakang Shimeigadake saat matahari tenggelam.
Berkas-berkas cahaya kemerahan menyapu permukaan
danau yang berombak.
"Lihat!" aidit berdiri di puncak bukit dan
berkata pada orang-orang di sekitarnya, sambil
memandang awan di sekeliling Gunung brahma. "Dewa-
dewa ditambah kita! Angin bertiup kencang. Ini cuaca
paling baik untuk serangan api!"
Pakaian mereka berdesir terkena embusan angin
musim gugur yang dingin. aidit hanya ditambah
lima atau enam pengikut, dan pada saat itu seorang
laki-laki mengintip ke balik tirai, seakan-akan mencari
seseorang.
Sekian menghardik orang itu, "Ada perlu apa? Yang
Mulia ada di sini."
centeng adipati itu segera menghampirinya dan berlutut.
"Bukan, hamba tidak membawa berita untuk Yang
Mulia. Apakah resi patih ronggolawe ada di sini?"
saat patih ronggolawe muncul, si centeng adipati berkata,
"Seorang laki-laki berpakaian biksu baru saja
memasuki perkemahan. Dia mengaku bernama
dul latief , salah satu pengikut tuanku, dan dia
baru kembali dari Kai. Sepertinya dia membawa
laporan yang sangat penting, sehingga hamba bergegas
ke sini."
Walaupun aidit berdiri agak jauh dari
patih ronggolawe , ia tiba-tiba berpaling ke arahnya.
"patih ronggolawe , orang yang baru kembali dari Kai itu
termasuk pengikutmu?"
"Rasanya tuanku pun mengenalnya. dul
latief , kepribadian banaspati ."
"latief ? Hmm, coba kita dengar apakah dia mem-
bawa berita baru," ujar aidit . "Panggil dia ke sini.
Aku juga ingin mendengar laporannya."
latief berlutut di hadapan patih ronggolawe dan Nobu-
naga, lalu menceritakan pcmbicaraan yang didengar-
nya di Kuil Eirin.
aidit menggerutu. Ini ancaman berbahaya dari
belakang. Seperti halnya serangan terhadap Gunung
brahma tahun lalu, bahayanya belum berkurang sedikit
pun. Justru sebaliknya, baik posisinya terhadap
centeng mpu ireng maupun keadaan di daerah Naga-
shima sudah memburuk. Namun dalam serbuan tahun
lalu centeng jawa bergabung dengan centeng Asa-
kura, dan mundur ke Gunung brahma. Kali ini
aidit tidak memberi kesempatan kepada musuh-
musuhnya, jadi centeng yang kini dihadapinya tidak
begitu kuat. Hanya saja selalu ada ancaman dari
belakang.
"Kurasa orang-orang mpu ireng sudah mengirim pesan
ke Gunung brahma, jadi para biksu pasti berkepercayaan
bahwa centeng kita akan berputar dan kembali
pulang," ujar aidit , lalu menyuruh latief pergi.
"Ini berkah dari para dewa," katanya. Ia tertawa puas.
"Mana yang lebih cepat centeng mpu ireng yang
melintasi Pegunugan Kai dan menyerbu ke jenggala
dan blambangan , atau centeng sinuhun yang kembali sesudah
menghancurkan Gunung brahma dan merebut ibu kota
dan Settsu? Sepertinya kita diidongeng -idongeng i insentif
tambah an dalam persaingan ini. Semuanya kembali ke
pos masing-masing!"
aidit menghilang di balik tirai. Asap mem-
bubung dari perkemahan raksasa yang mengitari bukit-
bukit di kaki Gunung brahma. saat malam tiba, angin
bertambah kencang. Genta yang biasanya terdengar
dari Kuil Mii kini membisu.
Bunyi sangkakala berkumandang di puncak bukit,
disambut teriakan perang para prajurit. Pembunuhan
besar-besaran berlangsung mulai malam itu sampai
fajar keesokan harinya. Para prajurit sinuhun mendobrak
rintangan-rintangan yang didirikan para biksu-prajurit
di jalan-jalan setapak menuju puncak.
Asap hitam memenuhi lembah. Api melahap
seluruh gunung. Dari bukit-bukit di kaki gunung,
lidah api terlihat di mana-mana. Danau Biwa pun
tampak berpijar, memantulkan cahaya merah. Lokasi
kebakaran terbesar menunjukkan bahwa kuil utama
sudah menyala, begitu juga ketujuh tempat per-
sembahan, gedung utama, menara genta, biara-biara,
pagsinuhun tempat penyimpanan harta, pagsinuhun besar, dan
semua kuil yang lebih kecil. saat fajar menyingsing
keesokan harinya, tak satu pun kuil yang masih
berdiri.
Para resi , yang saling membangkitkan semangat
setiap kali menatap pemandangan mengerikan itu,
harus mengingatkan diri bahwa aidit mengaku
sudah menerima amanat dewa-dewa dan pemberkahan
dari Dengyo, sebelum kembali mendesak maju. Sikap
para resi yang tampaknya menerjang penuh
kepercayaan, dijadikan contoh oleh anak buah mereka.
Sambil menembus api dan asap hitam, para penyerang
melaksanakan perintah aidit dengan taat.
9 ribu biksu-prajurit tewas dalam pertempuran
yang mirip neraka. Para biksu yang merangkak
di lembah-lembah, bersembunyi di dalam gua, atau
memanjat pohon untuk meloloskan diri, diburu dan
dibunuh seperti hama pada tanaman padi.
Sekitar tengah malam, aidit sendiri menaiki
gunung untuk melihat hasil apa yang dibawa oleh
tekadnya yang membaja. Para biksu Gunung brahma
sudah salah perhitungan. Meskipun terkepung oleh
centeng aidit , mereka tidak mau menyadari
betapa seriusnya situasi mereka, dan menganggap
semuanya sebagai gertakan kosong. Mereka sudah
bersumpah untuk menunggu sampai centeng sinuhun
mundur, lalu mengejar dan menghancurkan musuh.
Dan mereka menunggu tanpa berbuat apa-apa, merasa
tenang sebab banyaknya surat berisi pernyataan
dukungan yang datang dari trowulan yang berarti, tentu
saja, dari sang pandita .
Bagi semua biksu-prajurit dan pengikut-pengikut
mereka di seluruh negeri, Gunung brahma merupakan
pusat perlawan an terhadap aidit . namun tokoh
yang tak henti-hentinya mengirim perbekalan dan
senjata ke Gunung brahma, dan yang berusaha keras
untuk menghasut para biksu dan mendesak mereka
agar bertempur, adalah pandita yosodiprojo .
"mpu betarakatong dalam perjalanan!" Begitulah janji yang
tercantum dalam pesan dari Kai untuk sang pandita .
yosodiprojo mengandalkan janji ini dengan harapan
besar, dan sudah meneruskannya ke Gunung brahma.
Para biksu-prajurit tentu saja percaya bahwa
centeng Kai akan menyerang aidit dari
belakang. Dengan demikian aidit akan terpaksa
mundur, sama seperti tahun lalu di bukit tengkorak . Dan
ada satu hal lagi. sebab sudah hidup tak terganggu
selama 9 ratus tahun terakhir, para biksu tidak
menyadari perubahan-perubahan yang sudah melanda
seantero negeri dalam tahun-tahun terakhir.
Dalam setengah malam saja, Gunung brahma berubah
menjadi neraka di bumi. Agak terlambat, sekitar
tengah malam, saat api sudah merambat ke mana-
mana, utusan dari Gunung brahma, gemetar sebab takut
dan panik, datang ke perkemahan aidit untuk
memohon perdamaian.
"Kami akan memberikan uang dalam jumlah berapa
saja yang dimintanya, dan kami akan menyetujui
setiap persyaratan yang ditetapkannya."
aidit hanya menyeringai dan berkata pada
orang-orang di sekitarnya, seakan-akan melemparkan
umpan pada burung rajawal i, "Tak perlu mereka
diberi jawab an. Bunuh mereka di tempat." Sekali lagi
para biksu mengirim rombongan utusan, dan kali ini
mereka memohon langsung di hadapan aidit .
aidit membuang muka, dan memerintahkan
agar mereka dibunuh.
Fajar tiba. Gunung brahma diselubungi asap yang tak
hilang-hilang, abu, dan pohon-pohon hangus; di
mana-mana mayat-mayat tampak membeku dalam
posisi seperti saat maut datang menjemput.
Di antara mereka tentu ada orang-orang
terpelajar dan bijak, dan para biksu muda harapan
masa depan, pikir tunggadewa , yang pada pembantaian
semalam berada dalam barisan terdepan. Pagi ini ia
berdiri di tengah asap tipis, menutupi wajah, dan
merasakan sesak di dada.
Pada pagi yang sama, tunggadewa sudah menerima
anugerah dari aidit . "Mulai sekarang kau ber-
tanggung jawab atas Distrik Shiga. Kau akan
menempati benteng kota sekartanjung di perbukitan di kaki
gunung."
Dua hari lalu , aidit menuruni gunung
dan memasuki trowulan . Asap hitam masih membubung
dari Gunung brahma. Rupanya tak sedikit biksu prajurit
yang melarikan diri ke trowulan agar lolos dari
pembantaian, dan orang-orang itu kini membicara-
kannya seakan-akan ia merupakan penjelmaan iblis.
"Orang itu raja setan."
"Utusan dari neraka!"
Para warga trowulan diberi gambaran gamblang
mengenai Gunung brahma dan peristiwa memilukan
yang terjadi malam itu. Kini, pada waktu mereka
memperoleh kabar bahwa aidit menarik mundur
centeng nya dan menuruni bukit, mereka terguncang.
Desas-desus pun berkembang subur.
"Sekarang giliran trowulan !"
"Istana pandita di sampangan takkan sanggup
menangkal serangan api."
Orang-orang mengunci pintu masing-masing, meski
hari masih terang, mengemasi barang-barang, dan ber-
siap-siap mengungsi. namun para prajurit aidit
berkemah di tepi Sungai Kamo dan dilarang
memasuki kota. Orang yang mengeluarkan larangan
ini tak lain dari si raja setan yang sudah memerintah-
kan serangan terhadap Gunung brahma. ditambah
beberapa resi , ia kini memasuki sebuah kuil.
sesudah melepaskan baju tempur dan helm dan
menyantap makanan panas, ia mengenakan jubah
istana dan hiasan kepala, lalu pergi.
aidit menunggangi kuda gagah berpelana
indah. resi -resi nya tetap memakai baju tempur
dan helm. Bersama keempat belas atau kelima belas
orang ini, ia berkuda menyusuri jalan-jalan dengan
sikap acuh tak acuh. Si raja setan tampak sangat
tenang, dan tersenyum ramah pada orang-orang yang
ditemuinya. Para warga membanjiri jalanan dan
menyembah pada saat aidit lewat. Takkan terjadi
apa-apa. Mereka mulai bersorak-sorai, seiring rasa lega
yang menyebar bagaikan gelombang.
Tiba-tiba terdengar letusan senapan dari tengah-
tengah massa. Pelurunya menyerempet aidit ,
namun ia bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa, dan
hanya menoleh ke arah sumber letusan. Para resi
di sekelilingnya tentu saja segera melompat turun dari
kuda masing-masing dan bergegas menangkap si
penjahat. Penembakan itu ternyata menyulut ke-
marahan para penduduk kota, dan mereka berseru-
seru dengan gusar, "Tangkap dia!" Pelaku kejahatan
itu, yang menduga bahwa orang-orang trowulan berada di
pihaknya, rupanya salah perhitungan, dan tak me-
nemukan tempat bersembunyi. Ia seorang biksu-
prajurit, konon yang paling berani, dan ia terus
mencaci maki aidit , bahkan saat ia diringkus.
"Kau musuh sang zoroaster ! Raja setan!"
Roman muka aidit tak berubah sedikit pun.
Sesuai rencana, ia menuju Istana Kekaisaran dan
turun dari kuda. sesudah mencuci tangan, dengan
tenang ia menuju gerbang, lalu berlutut.
"Amukan api yang terjadi semalam tentu mengejut-
kan Yang Mulia. Hamba memohon ampun sebab
sudah menimbulkan kegelisahan dalam diri Yang
Mulia."
Ia berlutut untuk waktu lama, sehingga orang yang
melihatnya mungkin merasa bahwa permintaan maaf
itu berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam. namun
kini ia menatap gerbang dan tembok-tembok istana
yang baru, lalu melemparkan pandangan puas ke arah
resi -resi di kiri-kanannya.
Meninggalkan pekerjaan adalah tindakan melawan
hukum. Mereka yang menyebarkan desas-desus dan berita palsu langsung dihukutn mati.
Segala sesuatu harus tetap seperti semula. Atas perintah sinuhun aidit , Hakim Kepala
sesudah ketiga ketetapan ini ditempelkan di semua penjuru kota, aidit kembali ke padalarang . Ia pergi
tanpa menemui sang pandita , yang sudah beberapa saat
sibuk memperdalam selokan-selokan, membeli
senapan, dan bersiap-siap menghadapi serangan api.
Para penghuni istana pandita melepaskan desahan
lega, namun tetap merasa tidak tenang saat
melihatlihat kepergian aidit .
API peperangan tidak hanya mengamuk di Gunung
brahma melainkan juga berkobar bagaikan kebakaran
padang belantara, mulai dari distrik-distrik bagian
barat dusun nyi kembang , sampai ke desa-desa di tepi Sungai
mahakam , bahkan sejauh perbatasan blambangan . centeng
mpu ireng mpu betarakatong sudah melintasi Pegunungan Kai, dan
kini menuju ke selatan.
Orang-orang prabu kertoarjowardana , yang memberi julukan
"mpu betarakatong si Kaki Panjang" pada musuh mereka,
bersumpah akan menghalangi perjalanannya ke ibu
kota. Ini bukan semata-mata demi kepentingan sekutu
mereka, marga sinuhun . Kai sangat berdekatan dengan
Provinsi dusun nyi kembang dan wirogeni, dan jika centeng
mpu ireng berhasil menerobos, itu berarti kehancuran
bagi seluruh marga prabu kertoarjowardana .
mpu mojosongo kini berusia tiga puluh satu tahun dan
sedang dalam masa kejayaannya. Para pengikutnya
sudah didera kemalangan dan penderitaan selama dua
puluh tahun terakhir, namun akhirnya mpu mojosongo tumbuh
dewasa, marganya pun menjalin hubungan per-
sahabatan dengan marga sinuhun , dan sedikit demi sedikit
ia mulai melanggar batas-batas wilayah mpu marijan .
Provinsinya dipenuhi harapan akan kemakmuran
dan keinginan untuk memperluas wilayah, demikian
hebatnya, sehingga para pengikut, baik tua maupun
muda, para petani, dan para penduduk kota tampak
amat bersemangat.
dusun nyi kembang bukan tandingan Kai dalam hal per-
senjataan dan kekayaan, namun dalam hal tekad,
provinsi itu tidak kalah sedikit pun. Itu sebabnya para
prajurit prabu kertoarjowardana memberi julukan "si Kaki Panjang"
kepada mpu betarakatong . Lelucon ini pernah dicantumkan
oleh aidit dalam sepucuk surat kepada mpu mojosongo .
dan saat mpu mojosongo membacanya, ia menganggap ini
patut diceritakan kepada para pengikutnya.
Julukan itu memang berdasar, sebab jika kemarin
mpu betarakatong masih bertempur melawan marga kramat di
perbatasan utara Kai, hari ini ia sudah berada di
Kozuke dan Sagami dan mengancam marga Hojo.
Atau, berbalik secara cepat, ia menyulut api
peperangan di dusun nyi kembang atau blambangan .
Selain itu, mpu betarakatong selalu ikut terjun langsung ke
medan perang untuk memberi pengarahan. Jadi orang-
orang mulai menyangka bahwa ia memiliki boneka-
boneka yang dapat menggantikan tempatnya. namun
sebetulnya , setiap kali anak buahnya bertempur, ia
tampak belum puas kalau tidak berada di medan laga.
namun kalau mpu betarakatong berkaki panjang, aidit patut
dinamakan berkaki lincah.
aidit menulis kepada mpu mojosongo :
Rasanya lebih baik jika Tuan tidak melakukan konfrontasi
frontal dengan centeng Kai. Aku ber-harap Tuan tetap
tabah Jika situasi menjadi genting dan Tuan terpaksa
mundur dan bratangbinangun ke swaradwipa. Kalaupun kita harus
menunggu hari lain. aku percaya hari itu tak lama
aidit mengirim pesan kepada mpu mojosongo sebelum
membumihanguskan Gunung brahma, namun mpu mojosongo
berpaling kepada para pengikut senior dan berkata di
hadapan kurir sinuhun , "Sebelum meninggalkan benteng kota
bratangbinangun, lebih baik kita patahkan busur kita dan
keluar dari golongan centeng adipati !"
Dalam pandangan aidit , provinsi mpu mojosongo
hanyalah salah satu garis pertahanan, namun bagi
mpu mojosongo , dusun nyi kembang merupakan rumah. saat menerima
surat balasan yang dibawa si kurir, aidit
bergumam mengenai ketidaksabaran mpu mojosongo , lalu
kembali ke padalarang begitu ia selesai menangani Gunung
brahma. mpu betarakatong tentu terkesan dengan kecepatan yang
diperlihatkan aidit . Sudah bisa diduga bahwa ia
pun selalu siap mencari kesempatan.
mpu betarakatong pernah berkata bahwa terlambat satu hari
saja dapat menimbulkan bencana untuk satu tahun,
dan kini ia merasa semakin didesak untuk segera
mewujudkan cita-citanya, yaitu memasuki ibu kota.
sebab alasan inilah semua upaya diplomatik
dipergiat. Persahabatannya dengan marga Hojo kini
mulai membuahkan hasil, namun perundingannya
dengan marga kramat tetap tidak memuaskan. Dengan
demikian, ia terpaksa menunggu sampai bulan
kesepuluh sebelum meninggalkan Kai.
Tak lama lagi perbatasan dengan Echigo akan ter-
tutup salju, sehingga mengurangi kegelisah khawatir an
mpu betarakatong mengenai kramajaya . centeng nya yang
berkekuatan sekitar 30.000 orang antara lain terdiri
atas centeng wajib militer dari seluruh wilayah
kekuasaannya yang mencakup Kai, Shinano, kertanegara .
bagian utara wirogeni, bagian timur dusun nyi kembang , bagian
barat Kozuke, sebagian dwikerto , dan bagian selatan
Ktchu seluruhnya bernilai hampir 1.300.000 gantang.
"Langkah terbaik bagi kita adalah memperkuat
pertahanan," salah satu resi berkata.
"Paling tidak, sampai ada bala bantuan dari Yang
Mulia aidit ."
Sebagian orang di benteng kota Hamamauu cenderung
memilih strategi bertahan. Biarpun semua centeng adipati di
provinsi mereka dikerahkan, kekuatan militer marga
prabu kertoarjowardana tidak mencapai 14.000 orang tak sampai
setengah kekuatan centeng mpu ireng . Meski demikian,
mpu mojosongo memerintahkan mobilisasi umum.
"Hah! Masalah ini terlalu mendesak untuk me-
nunggu bala bantuan Yang Mulia aidit ."
Semua pengikutnya percaya bahwa para prajurit sinuhun
akan datang membantu sebab merasa memiliki
kewajiban moral atau sekadar untuk membalas jasa
atas peran marga prabu kertoarjowardana di Sungai Ane. Namun
mpu mojosongo seakan-akan tidak mengharapkan bala bantuan.
Sekaranglah waktu yang tepat untuk memastikan
apakah anak buahnya siap menghadapi situasi hidup
mati, dan untuk menyadarkan mereka bahwa mereka
harus mengandalkan kekuatan sendiri.
"Kalau maju maupun mundur membawa kita pada
kehancuran, bukankah sudah sepantasnya kita me-
lancarkan serangan habis-habisan, mengukir nama
harum sebagai prajurit, dan gugur dengan gagah
berani?" ia bertanya dengan tenang.
Didera kemalangan dan penderitaan sejak masa
muda. mpu mojosongo menjadi laki-laki yang tak pernah
membesar-besarkan urusan sepele. Kini. menghadapi
situasi seperti ini, suasana di benteng kota bratangbinangun
terasa mendidih. namun , meski mpu mojosongo memilih jalan
kekerasan untuk menghadapi serangan orang-orang
mpu ireng , nada suaranya hampir tak berubah. sebab
itu ada beberapa pengikut yang merasa waswas
mengenai perbedaan antara ucapannya dan arti kata-
kata itu. Namun mpu mojosongo meneruskan persiapan untuk
berangkat ke medan pertempuran.
Satu per satu, seperti gigi sisir yang dipatahkan,
laporan mengenai setiap kekalahan berdatangan.
mpu betarakatong sudah menyerang wirogeni. Saat ini ada
kemungkinan benteng kota-benteng kota di Tadaki dan Iida
tidak memiliki pilihan selain menyerah. Di desa
Fukuroi, Kakegkertoarjo , dan Kihara, tak ada sejengkal
tanah pun yang tidak diinjak-injak oleh centeng Kai.
Lebih gkertoarjo t lagi, barisan terdepan mpu mojosongo , yang
berkekuatan 50000 orang dan berada di bawah
komando mpu panjalu , mpu bajul , dan mpu jalapala , dipergoki oleh
pihak musuh di sekitar Sungai mahakam . centeng
prabu kertoarjowardana mengalami kekalahan total dan dipaksa
mundur ke bratangbinangun.
Laporan ini membuat pucat semua orang di dalam
benteng kota. namun dengan diam mpu mojosongo melanjutkan
persiapan militer. Ia menaruh perhatian khusus pada
pengamanan jalur-jalur komunikasi, dan sudah
menangani pertahanan daerah itu sampai menjelang
akhir bulan kesepuluh. Dan untuk mengamankan
benteng kota mojowiryo di tepi Sungai mahakam , ia mengirim
centeng tambah an, senjata, dan perbekalan.
centeng nya meninggalkan benteng kota bratangbinangun,
maju sampai ke Desa wiroguno di tepi Sungai mahakam ,
dan menemukan perkemahan centeng Kai. Setiap
posisi berhubungan dengan markas besar mpu betarakatong .
seperti jari-jari yang mengelilingi naf.
"Ah, persis seperti yang diduga." mpu mojosongo pun berdiri
di bukit dengan tangan terlipat dan melepaskan
desahan kagum. Biarpun dari kejauhan, panji-panji di
perkemahan utama mpu betarakatong tampak jelas. Dari jarak
lebih dekat, orang dapat membaca apa yang tertulis.
Kata-kata itu merupakan ucapan tunggawesi yang
tersohor, dikenal oleh kawan maupun lawan .
Cepat bagaikan angin.
Hening bagaikan hutan.
Bergairah bagaikan api.
Diam seperti gunung.
Diam seperti gunung, baik mpu betarakatong maupun mpu mojosongo
tidak mengambil tindakan selama beberapa hari.
Dengan Sungai mahakam di antara kedua perkemahan.
musim dingin tiba di bulan kesebelas.
Dua hal
Melampaui mpu mojosongo :
Helm bertanduk di kepala mpu mojosongo
Dan mpu panjalu wongsokerto.
Salah seorang prajurit mpu ireng mengibarkan cercaan
ini di Bukit kaliluragung Di sanalah centeng mpu mojosongo
dikalahkan dan dibuat terkocar-kacir paling tidak,
demikianlah pendapat para prajurit mpu ireng yang
mabuk kemenangan, namun , seperti diakui dalam sajak
itu, marga prabu kertoarjowardana memiliki sejumlah orang andal,
dan gerak mundur mpu panjalu wongsokerto patut dikagumi.
mpu mojosongo pun bukan lawan ringan. namun dalam per-
tempuran berikut, segenap kekuatan mpu ireng akan ber-
hadapan dengan segenap kekuatan prabu kertoarjowardana . Mereka
akan saling menggempur dalam satu pertempuran
yang menentukan seluruh perang.
Bayangan mengenai pertempuran itu justru me-
macu semangat tempur orang-orang Kai. Begitulah
watak mereka. mpu betarakatong memindahkan perkemahan
utamanya ke bambanglipuro dan menyuruh putranya,
mpu jengger , dan kertoraharja wirajaya menggerakkan
centeng mereka melawan benteng kota mojowiryo , diiringi
perintah tegas untuk tidak membuang-buang waktu.
Sebagai tindakan balasan, mpu mojosongo cepat-cepat
mengirim bala bantuan, sambil berkata, "benteng kota
mojowiryo merupakan garis pertahanan penting. Jika
musuh berhasil merebutnya, mereka memiliki tempat
menguntungkan untuk melancarkan serangan."
mpu mojosongo sendiri yang membawa hi barisan belakang,
namun centeng mpu ireng yang selalu berubah-ubah formasi
kembali membentuk susunan baru dan mulai men-
desah dari semua sisi. Sepertinya, sekali saja mpu mojosongo
mengambil langkah keliru, ia akan terputus dari
markas besarnya di bratangbinangun.
Persediaan air benteng kota mojowiryo titik lemah
benteng kota itu dipotong oleh pihak musuh. Pada satu
sisi, benteng kota itu berbatasan dengan Sungai mahakam .
dan air yang menopang kehidupan para prajurit di
dalamnya harus ditimba dengan ember yang
diturunkan dari sebuah menara. Untuk menghenti-
kannya, centeng mpu ireng meluncurkan rakit-rakit dari
arah hulu dan merusak fondasi menara. Mulai hari
itu, para prajurit di dalam benteng kota menderita
kekurangan air, walaupun Sungai mahakam mengalir
tepat di depan mata mereka.
Pada malam kesembilan belas, centeng yang ber-
tahan menyerah. saat mpu betarakatong memperoleh kabar
bahwa benteng kota itu menyerah, ia segera memberikan
perintah baru. "mpu wiraghanda akan menempati benteng kota
mojowiryo . Sano, Toysinuhun , dan Iwata akan terus ber-
hubungan dan bersiap-siap di sepanjang jalur mundur
musuh."
Seperti pemain go yang menyerbu langkah setiap
bidak, mpu betarakatong waspada dengan formasi dan gerak
maju centeng nya. Ke-270.000 prajurit Kai bergerak
perlahan namun pasti, seperu awan hitam, diiringi
tabuhan genderang yang menggema sampai ke langit.
sesudah itu centeng utama mpu betarakatong melintasi Dataran
Iidani dan mulai memasuki bagian timur dusun nyi kembang .
Menjelang siang, pada ranggal dua puluh satu,
kabut merah tampak di Mikatagahara. mencemooh
matahari musim dingin yang tak berdaya. Hawan ya
cukup dingin untuk mengiris hidung dan telinga
sampai putus. Sudah beberapa hari tak ada hujan,
udara pun kering kerontang.
"Ke Iidani!" demikian bunyi perintah yang me-
nimbulkan perbedaan pendapat di antara resi -
resi mpu betarakatong .
"Kalau kita menuju Iidani. berani Yang Mulia
hendak mengepung bratangbinangun. Bukankah ini suatu
kesalahan?"
Beberapa orang merasa was-was sebab centeng
sinuhun sudah tiba di bratangbinangun, dan tak seorang pun
mengetahui jumlah prajurit yang kini berada di sana.
Menurut laporan-laporan rahasia yang berdatangan
sejak pagi hari. kekuatan pihak musuh tak dapat
dipastikan. Isi laporan-laporan itu selalu sama: Desas-
desus yang beredar di desa-desa sepanjang jalan
memang ada benarnya centeng sinuhun berkekuatan
besar konon sedang menuju ke arah selatan untuk
bergabung dengan centeng mpu mojosongo di bratangbinangun.
Akan namun kabar burung itu pun sudah bercampur
dengan berita-berita palsu yang sengaja dilontarkan
oleh musuh.
Para resi mpu betarakatong menawarkan pendapat
masing-masing.
"Kalau aidit datang dengan centeng besar dan
bertindak sebagai barisan belakang bagi bratangbinangun.
langkah berikut tuanku sebaiknya dipertimbangkan
dengan matang."
"Jika serangan terhadap benteng kota bratangbinangun ber-
kepanjangan sampai Tahun Baru, centeng kita ter-
paksa melewatkan musim dingin di medan laga.
Dengan serangan-serangan mendadak yang terus di-
lakukan oleh musuh, perbekalan kita akan menipis
dan centeng kita akan menjadi korban penyakit. Yang
jelas, para prajurit akan menderita."
"Di lain pihak, hamba gelisah khawatir mereka mungkin
memotong jalur mundur di sepanjang pantai dan di
tempat-tempat lain."
"Kalau barisan belakang sinuhun memperoleh bala
bantuan, centeng kita akan terjebak di wilayah
musuh suatu ancaman yang tak mudah diatasi. Kalau
ini sampai terjadi, cita-cita tuanku untuk memasuki
trowulan akan terhalang, dan kita akan terpaksa mem-
buka jalur mundur yang penuh darah. Berhubung
centeng kita sudah dalam keadaan siaga, mengapa
tuanku tidak mengejar tujuan utama dan maju ke ibu
kota dibandingkan menyerang benteng kota bratangbinangun?"
mpu betarakatong duduk di tengah-tengah para resi .
Kedua matanya nyaris terpejam, mirip jarum, ia
mengangguk-angguk saat mendengar pandangan
anak buahnya, lalu berkata dengan hati-hati, "Semua
ucapan kalian memang masuk akal. namun aku percaya
bala bantuan marga sinuhun takkan berkekuatan lebih
dari tiga sampai empat ribu orang. Kalaupun sebagian
besar centeng sinuhun menuju bratangbinangun. orang-orang
jawa dan mpu djiwo yang sudah kuhubungi sebelumnya
akan menyerang aidit dari belakang. Selain itu,
sang pandita di trowulan mengirim pesan kepada para
biksu-prajurit, dan mendesak mereka untuk segera
angkat senjata. Orang-orang sinuhun bukan ancaman
besar bagi kita."
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan
tenang, "Sejak semula keinginanku adalah memasuki
trowulan . namun kalau kita melewati mpu mojosongo begitu saja
sekarang, pada waktu kita berpaling ke padalarang , mpu mojosongo
akan membantu orang-orang sinuhun dengan meng-
hadang di belakang kita. Bukankah paling baik kalau
mpu mojosongo dihancurkan di benteng kota bratangbinangun, sebelum
orang-orang sinuhun sempat mengirim bala bantuan
memadai?"
Para resi tak dapat berbuat apa-apa selain
menerima keputusan mpu betarakatong , bukan saja sebab ia
junjungan mereka, melainkan sebab mereka mem-
percayai keahliannya sebagai penyusun taktik.
Namun, saat mereka kembali ke resimen masing-
masing, di antara mereka ada satu orang, kartawiwaha
brewirabumi , yang menatap matahari musim dingin
sambil berkata dalam hati, "Orang ini hidup untuk
perang, dan kemampuannya sebagai pemimpin
centeng sungguh luar biasa, namun kali ini..."
Pada malam hari, laporan mengenai pergantian
arah centeng Kai sampai di benteng kota bratangbinangun.
Hanya 50000 orang di bawah danakertoarjo ngabeni
dan mpu wiragajah mpu wiraghanda yang tiba di benteng kota itu, bala
bantuan dari aidit .
"Jumlah yang tak ada artinya," salah seorang
pengikut prabu kertoarjowardana berkomentar kecewa, namun mpu mojosongo
tidak memperlihatkan kegembiraan maupun ketidak-
puasan. saat laporan demi laporan berdatangan,
sebuah rapat perang dimulai. Tidak sedikit resi
mpu mojosongo yang menganjurkan untuk mundur sementara
ke swaradwipa, dan mereka memperoleh dukungan para
komandan sinuhun .
Hanya mpu mojosongo yang tak tergerak, tetap berkeras
untuk bertempur. "Apakah kita akan mundur tanpa
melepaskan satu anak panah pun, sementara musuh
menghina provinsiku?"
Di sebelah utara bratangbinangun ada sebuah dataran
yang lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya, lebarnya
lebih dari dua mil. sedangkan panjangnya tiga mil
Mikatagahara.
Menjelang fajar pada hari ke-22, centeng mpu mojosongo
meninggalkan bratangbinangun dan mengambil posisi di
sebelah utara sebuah tebing terjal. Di sanalah mereka
menanti kedatangan centeng mpu ireng .
Matahari muncul, lalu langit diselubungi
awan . Dengan tenang seekor burung melintasi langit
yang membentang di atas datatan yang tandus dan
gersang. Dari waktu ke waktu, para pengintai kedua
centeng merangkak di tengah rerumputan, menye-
rupai bayangan burung, lalu kembali ke perkemahan
masing-masing. Pagi itu centeng mpu betarakatong , yang semula
berkemah di dataran itu, melintasi Sungai mahakam .
terus berbaris, dan mencapai Saigadani beberapa saat
sesudah siang hari.
Perintah berhenti diberikan pada seluruh centeng .
dwaradwipa Nobushigc dan para resi lain berkumpul
di sisi mpu betarakatong untuk memastikan posisi musuh yang
akan segera berada tepat di depan mereka. sesudah
berpikir sejenak. mpu betarakatong memerintahkan agar satu
resimen bertugas sebagai barisan belakang, sementara
centeng utama sesuai rencana terus melintasi Dataran
Mikatagahara.
Mereka berada di dekat Desa Iwaibe. Barisan ter-
depan sudah memasuki desa itu. Orang-orang di kepala
iring-iringan yang bagaikan ular ini tak dapat melihat
para prajurit di ujung yang satu lagi, biarpun sambil
berdiri di sanggurdi.
mpu betarakatong menoleh dan berkata kepada para pengikut
yang mengelilinginya, "Di belakang sedang terjadi
sesuatu."
Anak buahnya memandang ke belakang, berusaha
menembus debu kuning yang umpak di kejauhan.
Sepertinya barisan belakang mereka sedang diserang
musuh.
"Mereka pasti terkepung!
"Jumlah mereka hanya dua ribu atau 50000
orang! Kalau mereka terkepung, mereka akan di-
gulung habis!"
Semua resi merasa kasihan pada orang-orang di
balik awan debu itu. Sambil menggenggam tali kekang
masing-masing, mereka menonton dengan perasaan
galau. mpu betarakatong pun membisu. Walaupun mereka sudah
menduga, anak buah mereka dibantai dan roboh satu
per satu.
Tentu ada beberapa orang yang memiliki putra,
ayah, atau saudara yang tergabung dalam barisan
belakang. Dan ini bukan hanya berlaku bagi para
pengikut dan resi yang berkumpul di sekitar
mpu betarakatong . Seluruh centeng sampai ke para prajurit
infanteri memandang ke samping sambil terus ber-
jalan.
Menyusul dari belakang, dwaradwipa Nobushige
memacu kudanya ke sisi mpu betarakatong . Suara Nobushide
bernada tegang dan terdengar jelas oleh mereka yang
berada di dekatnya. Dari atas kudanya ia berkata.
"Tuanku! Kesempatan untuk membantai sepuluh ribu
prajurit musuh takkan terulang lagi. Hamba baru
kembali dari mengamati formasi musuh yang
menyerang barisan belakang kita. Masing-masing
kesatuan membentuk formasi sayap bangau. Sepintas
lalu, mereka tampak seperti centeng besar, namun
sebetulnya garis kedua dan ketiga tidak memiliki
kekuatan, mpu mojosongo dikawal oleh segelintir prajurit yang
nyaris tak berarti apa-apa. Bukan itu saja, resimen-
resimen mereka tampak kacau-balau, dan kelihatan
jelas bahwa bala bantuan sinuhun tak ingin bertempur.
Jika tuanku memanfaatkan kesempatan ini dan
menyerang, sudah pasti tuanku akan meraih
kemenangan."
sesudah mendengar laporan Nobushige, mpu betarakatong
menoleh ke belakang dan mengutus beberapa
pengintai untuk menyelidiki kebenaran laporan itu.
Mendengar nada suara mpu betarakatong , Nobushige
mengekang kudanya dan menahan diri.
Dua pengintai memacu kuda masing-masing. sudah
diketahui oleh mpu betarakatong bahwa centeng musuh jauh
lebih kecil dibandingkan centeng mereka, dan Nobushige
menghormati keengganan junjungannya untuk meng-
ambil tindakan tergesa-gesa. namun ia sendiri memiliki
watak seperti seekor kuda yang sukar dikendalikan,
dan hampir tak sanggup memaksakan diri agar
bersabar.
Kesempatan militer dapat menguap secepat kilat
menyambar.
Kedua pengintai tadi kembali dan memberikan
laporan, "Pengamatan dwaradwipa Nobushige dan
pengamatan kami persis sama. Ini suatu kesempatan
yang diberikan oleh para dewa."
Suara mpu betarakatong terdengar menggemuruh. Rumbai-
rumbai berwarna putih pada helmnya terguncang
maju-mundur saat ia memberikan perintah kepada
para resi yang berada di kiri-kanannya. Sangkakala
dibunyikan. saat centeng berkekuatan dua puluh
ribu orang itu mendengar bunyinya yang ber-
kumandang dan ujung depan sampai ke ujung
belakang, barisannya langsung pecah, memicu
bumi bergetar. Lalu dengan segera para prajurit
mpu betarakatong membentuk formasi mirip ikan dan
bergerak maju ke arah centeng prabu kertoarjowardana , diiringi
tabuhan genderang.
mpu mojosongo terpesona melihatlihat kecepatan yang
diperagakan centeng mpu betarakatong , dan bagaimana
centeng itu bereaksi atas setiap perintah yang
diberikan. Ia berkara, "Jika aku sempat mencapai usia
setua mpu betarakatong , aku berharap aku pun mampu meng-
gerakkan centeng besar seterampil dia, biarpun hanya
sekali saja. sesudah melihat bakatnya sebagai pemimpin
centeng , aku enggan melihatnya terbunuh, walaupun
ada yang menawarkan untuk meracuni dia."
resi -resi musuh pun terkagum-kagum melihat
kepemimpinan mpu betarakatong di medan laga. Baginya
bertempur merupakan seni. Para resi nya yang
perkasa dan prajurit-prajuritnya yang berani menghiasi
kuda, baju tempur, dan panji-panji mereka, agar dapat
mencapai dunia berikut dengan lebih gemilang.
Kesannya seakan-akan puluhan ribu rajawal i dilepas-
kan atas perintah mpu betarakatong .
Dalam satu tarikan napas, mereka maju, sehingga
wajah musuh terlihat di depan mata. centeng
prabu kertoarjowardana berputar bagaikan rsinuhun raksasa, mem-
pertahankan formasi sayap bangau, dan menghadapi
lawan seperti bendungan manusia.
Debu yang diterbangkan oleh musuh dan orang-
orang mereka sendiri menutupi langit. Hanya
pantulan sinar matahari pada ujung-ujung tombak
yang terlihat dalam kegelapan. centeng tombak Kai
dan dusun nyi kembang sudah maju ke garis depan, dan kini saling
berhadapan. Pada waktu satu pihak melepaskan
teriakan, pihak satunya segera membalas hampir
seperti gema. saat awan debu mulai mengendap,
kedua belah pihak dapat saling melihat, namun jarak
yang memisahkan mereka masih cukup jauh. Tak
seorang pun maju dari kedua barisan tombak yang
sejajar.
Pada saat seperti ini, prajurit paling berani pun
gemetar ketakutan. Bisa dibilang mereka "ngeri", namun
ini berbeda sama sekali dari rasa takut biasa. Bukan
semangat mereka yang goyah; mereka gemetar sebab
perubahan dari kehidupan sehari-hari ke suasana
pertempuran. Ini hanya berlangsung beberapa detik,
namun selama itu kulit mereka merinding dan menjadi
semerah jengger ayam jantan.
Bagi sebuah provinsi yang sedang berperang, nyawa
seorang prajurit tak berbeda dari nyawa petani yang
membawa pacul. Masing-masing sama berharganya.
Dan jika provinsi itu runtuh, semuanya akan ikut
binasa. Mereka yang tidak memedulikan pasang-
surutnya provinsi mereka dan hidup bermalas-
malasan, mirip kotoran yang menempel pada
tubuh manusia lebih tak bernilai dari satu kedipan
mata.
namun disamping itu semua, saat pertama kali
berhadap-hadapan dengan musuh konon sungguh
mengerikan, langit dan bumi menjadi gelap, biarpun
di tengah siang bolong. Orang tak dapat melihat apa
yang berada di depan matanya. Ia tak sanggup maju
maupun mundur, dan ia terdorong ke sana kemari di
tengah tombak-tombak.
Dan orang yang cukup berani untuk melangkah
maju mendahului yang lain diberi gelar Tombak
Pertama. Orang itu dipandang penuh hormat
oleh ribuan prajurit di kedua belah pihak. Namun
tidaklah mudah mengayunkan langkah pertama.
lalu satu orang melangkah maju.
"resi Kuroji dari centeng prabu kertoarjowardana adalah
Tombak Pertama!" seorang centeng adipati berseru. Baju
tempur resi sederhana saja, dan namanya tidak
terkenal. Kemungkinan ia hanya centeng adipati biasa dari
marga prabu kertoarjowardana .
Orang kedua menerobos dari barisan prabu kertoarjowardana .
"Adik Kuroji, Genjiro, adalah Tombak Kedua!"
Kakaknya lenyap dalam barisan musuh dan tertelan
dalam kemelut.
"Aku Tombak Kedua! Aku adik resi Kuroji.
Tataplah aku baik-baik, serangga-serangga mpu ireng !"
Empat atau lima kali Genjiro mengacung-acungkan
tombaknya di hadapan centeng musuh.
Seorang prajurit Kai meneriakkan penghinaan dan
menerjang maju. Genjiro terjatuh ke belakang, namun
sempat meraih tombak yang membentur pelindung
dadanya, lalu melompat berdiri sambil bersumpah
serapah.
Saat itu rekan-rekannya juga sudah mulai
menyerang, namun orang-orang mpu ireng pun melakukan
hal yang sama. Pemandangan itu mirip dua
gelombang darah, tombak, dan baju tempur yang
saling menghantam. Terinjak-injak oleh rekan-
rekannya sendiri dan oleh kaki kuda-kuda. Genjiro
memanggil-manggil kakaknya. Sambil merangkak, ia
menangkap kaki seorang prajurit Kai dan menariknya
sampai jaruh. Langsung saja ia memenggal kepala
orang itu, lalu membuangnya. sesudah itu, tak seorang
pun pernah melihat Genjiro lagi.
Pertempuran pecah dalam suasana kacau-balau, namun
bentrokan antara sayap kanan centeng prabu kertoarjowardana dan
sayap kiri centeng mpu ireng belum mencapai tingkat
kekerasan seperti ini.
Kedua barisan sejajar itu membentang jauh.
Gemuruh genderang-genderang dan tiupan sangkakala
terdengar di tengah-tengah awan debu. Entah bagai-
mana, para pengikut mpu betarakatong berada agak di belakang.
Kedua belah pihak tak sempat menempatkan centeng
senapan di garis depan, jadi pihak mpu ireng
mengerahkan resimen Mizumata centeng adipati bersenjata
katapel. Batu-batu yang mereka tembakkan jatuh
bagaikan hujan. lawan mereka centeng di bawah
mpu jayadijaya . dan di belakang itu bala bantuan
marga sinuhun . jayadijaya duduk di atas kudanya,
mendecakkan lidah dengan kesal.
Hujan batu dari garis depan centeng Kai mengenai
kudanya dan membuatnya tak terkendali. Dan bukan
kudanya saja. Kuda-kuda centeng kavaleri yang
menunggu kesempatan di belakang kesatuan tombak
pun memberontak dan meninggalkan formasi.
centeng tombak menunggu perintah jayadijaya
yang menahan mereka dengan suara parau. "Jangan
dahulu ! Tunggu sampai kuberi aba-aba!"
Kesatuan katapel di garis depan bertugas melemah-
kan kekuatan musuh dan membuka jalan bagi
serangan centeng utama. Resimen Mizumata sendiri
tidak terlalu ditakuti, namun di belakang mereka sudah
menunggu prajurit-prajurit pilihan. Di sinilah panji-
panji korps Yamagau, mpu jalapala , dan dwaradwipa terlihat
berkibar. Mereka terkenal berani, bahkan di antara
centeng Kai.
Kelihatannya mereka hendak memancing kita
dengan mengerahkan resimen Mizumata, pikir
jayadijaya . Ia segera memahami strategi musuh, namun
sayap kiri centeng prabu kertoarjowardana sudah terlibat per-
tempuran jarak dekar, sehingga garis kedua, yang ter-
diri atas centeng sinuhun , harus berjuang sendiri. Selain
itu, ia tidak dapat memastikan bagaimana mpu mojosongo
melihat situasi dari posisinya di tengah.
"Serbu!" jayadijaya berteriak, membuka mulutnya
begitu lebar, sehingga tali helmnya nyaris putus, la
sadar sepenuhnya bahwa ia masuk perangkap lawan ,
namun sejak pertempuran pecah ia tak sanggup meraih
keunggulan. Inilah awal kekalahan centeng prabu kertoarjowardana
dan sekutu-sekutu mereka.
Hujan batu tiba-tiba terhenti. Pada detik yang sama.
sekitar tujuh ratus sampai 9 ratus anggota
resimen Mizumata menyingkir ke kiri-kanan, dan
mendadak bergerak mundur.
"Habislah kita!" jayadijaya berseru.
Pada waktu ia melihat garis kedua musuh,
semuanya sudah terlambat. Tersembunyi di antara
resimen Mizumata dan centeng kavaleri ternyata
masih ada satu garis lagi centeng senapan. Semua
anggotanya menelungkup di tengah rerumputan,
dengan senjata siap menembak.
Senapan-senapan meletus bersamaan, dan awan
asap naik ke angkasa. sebab sudut tembak yang
rendah, sebagian besar peluru bersarang di kaki
prajurit mpu yang menyerang. Kuda-kuda mereka
memberontak dan tertembak di perut. Para perwira
melompat dari pelana sebelum kuda mereka roboh,
dan melarikan diri bersama anak buah mereka,
melompati mayat-mayat yang bergelimpangan.
centeng senapan segera mundur. Berdiam di
tempat berarti membiarkan diri dihantam serangan
centeng tombak marga sinuhun . Dengan moncong kuda
dalam posisi sejajar, korps kartawiwaha , centeng
kebanggaan Kai, menerobos maju, tenang dan penuh
percaya diri. Mereka segera diikuti korps desa gurit .
Dalam beberapa menit saja garis mpu jayadijaya sudah
musnah di tangan mereka.
Dengan bangga centeng Kai melepaskan teriakan-
teriakan kemenangan. Tiba-tiba korps dwaradwipa
mengambil jalan melingkar dan menyerang centeng
sinuhun garis penahanan kedua centeng prabu kertoarjowardana dari
samping. Debu beterbangan di bawah kala kuda-kuda
mereka. Dalam sekejap seluruh centeng prabu kertoarjowardana
sudah terkepung centeng Kai yang mirip rsinuhun
besi.
mpu mojosongo berdiri di atas bukit, mengamati centeng nya.
Kita kalah, ia menyadari. Kekalahan tak terelakkan
lagi.
Dengan pandangan lurus ke depan. Torii Tadahiro.
resi terkemuka di bawah mpu mojosongo , sudah mem-
peringatkan junjungannya untuk tidak mengadakan
serangan besar-besaran, melainkan melancarkan
serangan mendadak pada malam hari ke perkemahan
musuh. namun mpu betarakatong yang penuh tipu daya sengaja
memberi umpan dengan menempatkan barisan
belakang berkekuatan kecil, memancing mpu mojosongo untuk
bergerak.
"Kita tidak bisa tetap di sini. Tuanku harus kembali
ke bratangbinangun." Tadahiro mendesak. "Lebih cepat
lebih baik."
mpu mojosongo tidak berkata apa-apa.
"Tuanku! Tuanku!" Tadahiro memohon.
mpu mojosongo tidak menatap wajah Tadahiro. Waktu
matahari mulai terbenam, kabut senja dan kegelapan
berangsur-angsur menyelubungi tepi Dataran Mikata-
gahara. Diiringi angin dingin, kurir-kurir berulang kali
membawa berita menyedihkan.
"mpu wiragajah mpu wiraghanda dari marga sinuhun digulung habis.
danakertoarjo ngabeni terpaksa mundur sambil kocar-
kacir, dan varnajaya kalasan terbunuh. Tinggal mpu
jayadijaya yang masih bertempur dengan gagah."
"mpu ireng mpu jengger menggabungkan centeng nya
dengan korps Yamagara dan mengepung sayap kiri
kita. mpu harjo mpu rejo terluka. dan Nakane
Masateru dan Aoki Hirgendingangu tewas."
"grindanadaira Yasuzumi memacu kudanya ke tengah-
tengah musuh dan menemui ajal di sana."
"centeng di bawah mpu panjalu Tadamasa dan Naruse
Masayoshi mengincar para pengikur mpu betarakatong dan
berhasil menembus jauh ke dalam barisan musuh.
namun lalu mereka dikepung oleh beberapa ribu
prajurit, dan tak seorang pun dari mereka kembali
dalam keadaan hidup."
Tiba-tiba Tadahiro meraih lengan mpu mojosongo . dan
dengan bantuan resi -resi lain, menaikkannya ke
atas kudanya.
"Pergi dari sini." kuda itu dibentaknya sambil
ditepuk.
sesudah mpu mojosongo duduk di pelana dan kuda berlari
menjauh. Tadahiro dan para pengikut lain menaiki
kuda masing-masing, lalu mengikuti junjungan
mereka.
Hujan salju mulai turun mungkin saljunya
menunggu sampai matahari terbenam semakin mem-
persulit gerak mundur centeng yang dikalahkan.
Orang-orang berseru bingung. "Yang Mulia... di mana
Yang Mulia?"
"Ke arah manakah markas besar?"
centeng senapan Kai membidik prajurit-prajurit
musuh yang tengah melarikan diri, melepaskan
tembakan dari tengah-tengah salju yang terbang
berputar-putar.
"Mundur!" seorang centeng adipati prabu kertoarjowardana berseru.
"Sangkakala sudah memberi aba-aba mundur!"
"Mereka pasti sudah mengungsi ke markas besar."
orang lain menimpali.
Bagaikan gelombang pasang, centeng prabu kertoarjowardana
mundur ke utara. namun sebab kehilangan arah,
korban di pihak mereka kembali berjatuhan. Akhirnya
semua orang mulai mendesak ke satu arah ke selatan.
mpu mojosongo , yang baru saja lolos dari mara bahaya
bersama Torii Tadahiro, menoleh ke arah orang-orang
yang mengikutinya, dan tiba-tiba menghentikan kuda.
"Kibarkan panji-panji. Kibarkan panji-panji dan
kumpulkan orang-orang," ia memerintahkan.
Malam sudah dekat, dan hujan salju semakin lebai.
Para pengikut mpu mojosongo berkerumun di sekelilingnya dan
membunyikan sangkakala. Sambil melambai-lambai-
kan panji para komandan, mereka memanggil-manggil
anak buah masing-masing. Perlahan-lahan para
prajurit yang kalah itu mulai berkumpul. Setiap orang
bermandikan darah.
Namun korps di bawah komando minakjinggo Noburusa
dan desa gurit Kazusa dari centeng Kai mengetahui
bahwa centeng utama musuh berada di sana, lalu
segera mulai mendesak dengan busur dan panah dari
satu sisi dan dengan senapan dari sisi yang satu lagi.
Rupanya mereka hendak memotong jalur mundur
mpu mojosongo .
"Tempat ini berbahaya, tuanku. Sebaiknya tuanku
segera mundur." patih Sakon mendesak mpu mojosongo .
lalu , sambil berpaling kepada orang-orang, ia
memerintahkan. "Lindungilah Yang Mulia. Aku akan
membawa beberapa orang dan menyerang musuh.
Siapa saja yang ingin mengorbankan nyawa bagi Yang
Mulia, ikuti aku."
Sakon langsung menerjang ke arah musuh, tanpa
menoleh untuk melihat apakah ada yang meng-
ikutinya. Sekitar tiga puluh sampai empat puluh
prajurit segera menyusul, memacu kuda masing-
masing untuk menantang maut. Hampir sesaat
ratapan, teriakan, benturan pedang dan tombak
bercampur dengan deru angin yang menerbangkan
salju, membentuk pusaran raksasa.
"Sakon tidak boleh mati!" teriak mpu mojosongo . Sikapnya
tidak seperti biasanya. Para pengikut berusaha men-
cegahnya dengan meraih kekang kudanya, namun ia
menepiskan mereka, dan pada waktu mereka bangkit,
mpu mojosongo sudah terjun ke tengah pusaran. Penampilannya
betul-betul mirip setan.
"Tuanku! Tuanku!" mereka berseru-seru.
saat Natsume kedaton, perwira yang diberi
tanggung jawab atas benteng kota bratangbinangun, memperoleh
kabar mengenai kekalahan rekan-rekannya, ia segera
berangkat bersama sekitar tiga puluh penunggang
kuda untuk memastikan keselamatan mpu mojosongo . saat
menemukan junjungannya tengah terlibat per-
tempuran sengit, ia melompat turun dari kuda dan
berlari ke arah pergulatan, dan memindahkan
tombaknya ke tangan kiri.
"A... apa ini? Kekerasan ini tidak seperti tuanku.
Kembalilah ke bratangbinangun! Mundurlah, tuanku!"
sesudah meraih moncong kuda mpu mojosongo , ia menuntun-
nya dengan susah payah.
"kedaton? Lepaskan aku! Bodoh betul kau,
menghalang-halangiku di tengah-tengah musuh!"
"Kalau hamba bodoh, tuanku lebih bodoh lagi! jika
tuanku terbantai di tempat seperti ini, apa makna
segala penderitaan yang tuanku alami sampai
sekarang? Tuanku akan dikenang sebagai resi
pandir. Kalau tuanku memang hendak menonjolkan
diri, lakukanlah sesuatu bagi bangsa ini di lain
kesempatan!" Dengan mata berkaca-kaca, kedaton
menghardik mpu mojosongo begitu keras, sehingga mulutnya
nyaris robek dari telinga ke telinga, dan pada saat yang
sama, tanpa ampun ia memukul-mukul kuda mpu mojosongo
dengan tombaknya. Banyak pengikut dan pembantu
dekat mpu mojosongo yang semalam masih berada bersamanya,
tidak terlihat lagi malam ini. Lebih dari tiga ratus anak
buah mpu mojosongo gugur dalam pertempuran, dan tak
seorang pun mengetahui jumlah yang luka-luka.
Sambil memikul beban kekalahan, centeng mpu mojosongo
berbaris dan kembali ke kota benteng kota yang diselimuti
salju. Mereka tampak seakan-akan muak pada diri
sendiri. namun warna merah pada salju jelas-jelas berasal
dari darah para prajurit yang kembali dari medan
perang.
"Apa yang terjadi dengan Yang Mulia?" orang-orang
itu bertanya dengan mata berkaca-kaca. Mereka ber-
gerak mundur sebab menyangka mpu mojosongo sudah kembali
ke benteng kota, namun kini mereka diberitahu oleh para
penjaga gerbang bahwa junjungan mereka belum
kembali. Apakah ia masih terkepung musuh, ataukah
ia sudah gugur? Apa pun nasib yang menimpa mpu mojosongo .
yang jelas mereka sudah melarikan diri sebelum
junjungan mereka, dan mereka begitu malu, sehingga
menolak memasuki benteng kota. Mereka terus berdiri di
luar. mengentak-entakkan kaki dalam hkertoarjo dingin.
Tiba-tiba terdengar letusan senapan dari gerbang
barat, menambah kebingungan. Ternyata centeng
musuh sudah mendekat. Maut sudah siap menjemput
mereka. Dan jika orang-orang mpu ireng sudah maju
sejauh ini, nasib mpu mojosongo memang patut dipertanyakan.
sebab mengira bahwa saat terakhir marga
prabu kertoarjowardana sudah tiba, sambil berteriak mereka berlari
kc arah letusan senapan, siap untuk mati, dengan
pandangan hampa tanpa harapan. saat sekelompok
dari mereka berdesak-desakan melewati gerbang,
mereka hampir bertabrakan dengan sejumlah orang
berkuda yang baru hendak masuk.
Di luar dugaan, penunggang-penunggang kuda itu
ternyata para komandan yang baru kembali dari
medan tempur. Teriakan menyedihkan para prajurit
berubah menjadi sorak-sorai kegembiraan. Sambil
mengacung-acungkan pedang dan tombak, mereka
mengikuti orang-orang yang baru tiba. Satu
penunggang kuda, lalu satu lagi, lalu yang
berikut memasuki benteng kota; orang ke9 ternyata
mpu mojosongo sendiri, sebelah lengan baju tempurnya ter-
koyak, tubuhnya berlumuran darah dan salju.
"Yang Mulia mpu mojosongo kembali! Yang Mulia mpu mojosongo !"
Begitu junjungan mereka terlihat, kabar mengenai
kedatangannya diteruskan dari mulut ke mulut. Para
prajurit melompat-lompat kegirangan, seakan-akan
lupa diri.
Sambil melangkah ke ruang duduk, mpu mojosongo me-
manggil dengan lantang, "Hisano! Hisano!" seolah-olah
ia masih berada di medan perang.
Dayang itu segera menghampirinya dan menyem-
bah. Api di lentera kecil yang dibawan ya tertiup angin,
menerangi profil mpu mojosongo dengan cahaya kerlap-kerlip.
Darah menempel di pipinya, dan rambutnya acak-
acakan.
"Ambilkan sisir," ia berkata sambil duduk.
Sementara Hisano merapikan rambutnya, ia mem-
berikan perintah lain, "Aku lapar. bawa kan makanan
untukku,"
sesudah makanan yang dimintanya tersaji, ia segera
meraih sumpit, namun tidak segera mulai makan,
melainkan malah berkata, "Buka semua pintu ke
serambi."
Walaupun lentera-lentera retah menyala, ruangan
itu lebih terang jika pintu-pintu dibuka lebar, akibat
salju yang beterbangan di luar. Samar-samar terlihat
sosok-sosok prajurit yang sedang melepas lelah di
serambi. Begitu mpu mojosongo selesai makan, ia keluar dari
ruang duduk dan berkeliling untuk memeriksa
pertahanan, ia memberi perintah kepada Amano
Yasukage dan Uemura Masakatsu untuk bersiap-siap
menghadapi serangan musuh. Komandan-komandan
lain ditempatkannya mulai dari gerbang utama sampai
pintu utama ke ruang duduk.
"Biarpun seluruh centeng Kai menyerang dengan
segenap kekuatan, kita akan memperlihatkan
kekuatan kita pada mereka. Mereka takkan sanggup
merebut sejengkal pun dari tembok-tembok ini," para
komandan berseru .
Walaupun dengan suara bernada tegang, mereka
berusaha menenangkan mpu mojosongo dan membesarkan
hatinya.
mpu mojosongo memahami maksud mereka dan meng-
angguk-angguk penuh semangat. namun saat mereka
hendak bergegas ke pos masing-masing, ia memanggil
mereka, "Biarkan semua pintu mulai dari gerbang
utama sampai ruang duduk dalam keadaan terbuka.
Mengertikah kalian?"
"Apa? Apa maksud tuanku?" Para komandan
tampak ragu-ragu. Perintah ini bertentangan dengan
prinsip-prinsip pertahanan yang paling mendasar.
Pintu-pintu besi di semua gerbang sudah ditutup rapat.
centeng musuh sudah mendekati kota benteng kota,
mendesak maju untuk menghancurkan mereka.
Mengapa mpu mojosongo memerintahkan agar pintu air di
bendungan dibuka, justru pada saat gelombang pasang
siap menerjang?
Tadahiro berkata. "Tidak, hamba rasa situasinya
belum memaksa kita untuk bertindak sejauh itu.
Kalau centeng kita tiba dari medan laga, kita bisa
membuka gerbang agar mereka bisa masuk. namun kita
tidak perlu membiarkan gerbang benteng kota terbuka
lebar untuk mereka."
mpu mojosongo tertawa dan menegur Tadahiro sebab salah
mengerti. "Ini bukan untuk orang-orang yang ter-
lambat kembali. Ini langkah persiapan untuk meng-
hadapi centeng mpu ireng yang menerjang bagaikan air
bah, penuh kepercayaan bahwa mereka akan menang.
Dan aku tidak sekadar ingin gerbang benteng kota dibuka.
Aku ingin lima atau enam api unggun dinyalakan di
depan gerbang. Selain itu, api unggun juga harus
berkobar di dalam tembok. namun pastikan bahwa
pertahanan kita tetap siaga sepenuhnya. Jangan
bersuara dan amati gerak maju musuh."
Strategi nekat macam apa ini? Tanpa ragu sejenak
pun, mereka menjalankan perintah itu.
Sesuai keinginan mpu mojosongo semua gerbang dibuka
lebar, dan beberapa api unggun menerangi salju,
mulai dari selokan pertahanan sampai ke pintu ruang
duduk. sesudah mengamati pemandangan itu, mpu mojosongo
kembali ke dalam.
Kelihatan para resi senior memahami maksud
junjungan mereka, namun sebagian besar prajurit mem-
percayai desas-desus bahwa mpu betarakatong sudah mati. dan
bahwa centeng prabu kertoarjowardana sudah kehilangan
pemimpin. Padahal sebetulnya desas-desus itu
disebarkan oleh perwira-perwira mpu mojosongo sendiri.
"Aku lelah. Hisano. Rasanya aku ingin minum
sebaskom anggur . Tolong tuangkan sedikit untukku."
mpu mojosongo kembali ke ruangan utama, dan sesudah meng-
habiskan isi baskom , membaringkan diri. Ia menarik
selimut yang dibawa kan Hisano, lalu tertidur pulas.
Tak lama lalu , centeng Kai di bawah minakjinggo
kertapati dan kartawiwaha brewirabumi tiba di dekat
selokan pertahanan, siap melancarkan serangan
malam.
"Apa ini? Tunggu!" saat minakjinggo dan kartawiwaha
menghampiri gerbang, mereka mengekang kuda
masing-masing dan mencegah seluruh centeng untuk
maju tergesa-gesa.
"resi minakjinggo , bagaimana menurut resi ?"
kartawiwaha bertanya sambil menyejajarkan kudanya
dangan kuda rekannya. Ia tampak terheran-heran.
minakjinggo pun merasa curiga dan menatap ke arah gerbang
musuh. Di sana, di kejauhan, ia melihat nyala api
unggun, baik di luar maupun di balik gerbang. Dan
semua gerbang terbuka lebar. Mereka menghadapi
gerbang tanpa gerbang. Situasi ini menimbulkan
pertanyaan yang mengusik.
Air di dalam selokan kelihatan hitam, salju di
benteng kota yang siap siaga berwarna putih. Tak ada suara
apa pun. Jika mereka memasang telinga baik-baik.
mereka dapat mendengar api unggun meretih di
kejauhan. Dan seandainya mereka memasang telinga
sambil berkonsentrasi penuh, mereka mungkin men-
dengar dengkuran mpu mojosongo , resi yang sudah men-
derita kekalahan dan kini tengah bermimpi di ruang
duduk otak di balik gerbang tanpa gerbang ini.
kartawiwaha berkata, "Sepertinya serangan kita begitu
cepat dan musuh begitu bingung, sehingga mereka tak
sempat menutup gerbang benteng kota dan kini ber-
sembunyi di dalam. Sebaiknya kita habisi saja mereka."
"Jangan, tunggu." minakjinggo memotong. Ia dikenal
sebagai komandan yang pandai bersiasat. Orang bijak
yang memupuk kebijaksanaan dapat tenggelam di
dalamnya, ia menjelaskan pada kartawiwaha mengapa
langkahnya keliru.
"Mengamankan gerbang benteng kota merupakan
langkah logis bagi seseorang yang baru saja mengalami
kekalahan. namun dengan membiarkan gerbangnya
terbuka lebar dan dengan menyempatkan diri
menyalakan api unggun, mpu mojosongo membuktikan bahwa
dia tak kenal takut. Tentunya dia sedang menunggu
kita menyerang dengan tergesa-gesa. Seluruh per-
hatiannya hanya tertuju pada benteng kota ini, dan dia
percaya akan kemenangannya. lawan kita memang
masih muda, namun dia prabu kertoarjowardana mpu mojosongo . Lebih baik
kita jangan bertindak gegabah, agar tidak membawa
aib bagi marga mpu ireng dan malah menjadi bahan
tertawa an di lalu hari."
Mereka sudah mendesak sedemikian jauh, namun pada
akhirnya kedua resi itu menarik mundur centeng
mereka.
Di dalam benteng kota, mimpi mpu mojosongo dibuyarkan oleh
salah seorang pembantunya. Ia segera berdiri. "Aku
tidak mati!" ia berseru dan melompat gembira.
Sesaat ia mengirim centeng untuk mengejar musuh.
namun , sesuai dengan reputasi mereka, kartawiwaha dan
minakjinggo tetap mengujawa diri di tengah kekacauan.
Mereka mengadakan perlawan an, menyulut kebakaran
di sekitar Naguri, dan menjalankan sejumlah manuver
brilian.
Orang-orang prabu kertoarjowardana mengalami kekalahan besar,
namun tidak salah kalau dikatakan bahwa mereka sudah
memperlihatkan keberanian. Bukan itu saja, mereka
sekali lagi berhasil menggagalkan rencana mpu betarakatong
untuk maju ke ibu kota, dan memaksanya mundur ke
Kai. Banyak orang menjadi korban. Dibandingkan
keempat ratus korban jiwa di pihak mpu ireng , centeng
prabu kertoarjowardana kehilangan jauh lebih banyak prajurit.
Korban di pihak mereka berjumlah seribu seratus
9 puluh jiwa.
Pemakaman bagi Mereka yang Hidup
DAUN-DAUN bunga berwarna merah dan pulih
terbawa angin dari benteng kota padalarang di puncak gunung,
berjatuhan di atap-atap rumah di kota di bawah .
Tahun demi tahun, kepercayaan rakyat terhadap
aidit semakin besar kepercayaan yang tumbuh
dari ketenteraman dalam kehidupan mereka. Hukum
ditegakkan secara ketat, namun ucapan aidit bukan
kata-kata kosong. Janji-janjinya yang menyangkut mata
pencaharian rakyat selalu dipenuhi, dan ini tercermin
dalam kesejahteraan mereka.
Umur manusia
Hanya 60 tahun.
Dunia ini
Impian belaka....
Warga provinsi mengenal syair-syair yang suka
ditembangkan aidit pada waktu ia minum. namun
ia mengartikan kata-kata itu dengan cara berbeda
dibandingkan para biksu bahwa dunia tak lebih dari
impian sesaat yang tidak kekal. Adakah sesuatu yang
tidak membusuk? adalah bau kesukaannya, dan setiap
kali menyanyikannya, ia meninggikan suara. Bait ini
seakan-akan merumuskan pandangan hidupnya.
Seseorang takkan dapat memanfaatkan hidupnya
secara maksimal jika ia tidak merenungkannya secara
mendalam. Satu hal diketahui aidit mengenai
kehidupan. Pada akhirnya kita akan mati. aidit
sudah berusia 37 tahun, dan baginya hidup ini tidak
bakal berlangsung lama lagi. Dan untuk jangka waktu
sedemikian singkat, ambisinya luar biasa besar. Cita-
citanya tak terbatas, dan menghadapi cita-cita dan
mengatasi rintangan-rintangan memberikan kepuasan
sepenuhnya. Namun umur manusia sudah ditentukan,
aidit pun tak dapat menepis perasaan menyesal.
" mpu salmah , mainkan rebana." Ia hendak menari lagi.
Sebelumnya, pada hari itu, ia sudah menghibur seorang
utusan dari Ise. Dan sisa harinya dihabiskan dengan
minum-minum.
mpu salmah membawa rebana dari ruang sebelah, namun
ia tidak menabuhnya, melainkan berkata. "Tuanku,
Yang Mulia patih ronggolawe sudah tiba."
Pada suatu saat , marga jawa dan mpu djiwo tampak
akan bergerak, dan mereka mulai memperlihatkan
tanda-tanda keresahan. namun sesudah mpu betarakatong mundur,
mereka gemetar ketakutan di provinsi sendiri dan
mulai memperkuat pertahanan masing-masing.
patih ronggolawe merasa masa damai sudah menjelang.
Diam-diam dia meninggalkan benteng kota mergoharjoyo , lalu
mengunjungi daerah di sekitar ibu kota. Tak seorang
komandan benteng kota pun, tak peduli betapa hebatnya
kekacauan yang melanda seluruh negeri, akan
mengurung diri di dalam benteng kotanya. Kadang-kadang
mereka pura-pura pergi, namun sebetulnya ada di
sana. Pada waktu lain mereka pura-pura ada di sana.
namun sebetulnya pergi, sebab jalan prajurit
menuntut pemanfaatan kebebasan dan kebohongan
secara tepat.
Tentu saja patih ronggolawe menempuh perjalanannya
sambil menyamar, dan kemungkinan besar itu pula
yang memicu kemunculannya yang tiba-tiba di
padalarang .
"patih ronggolawe ?" aidit menyuruhnya menunggu di
ruangan lain. Tak lama lalu ia masuk dan
duduk. Ia sangat gembira.
patih ronggolawe berpakaian sangat sederhana, tak
berbeda dari orang biasa pada saat bepergian. Dengan
penampilan seperti inilah ia menyembah. namun
lalu ia menengadahkan wajah dan tertawa .
"Tuanku pasti terkejut."
aidit menatap patih ronggolawe , seakan-akan tidak
memahami maksudnya. "Mengenai apa?" ia bertanya.
"Kedatangan hamba yang mendadak ini."
"Jangan berkelakar. Aku tahu bahwa kau tidak ada
di mergoharjoyo selama dua dongeng gu terakhir."
"namun tuanku tidak menduga bahwa hamba akan
muncul hari ini, bukan?"
aidit tertawa . "Kaupikir aku buta? Aku percaya
kau bermain-main sampai bosan dengan para pelacur
di ibu kota, lalu menyusuri jalan Raya gunungselatan dan
mendatangi rumah seorang kaya di lojibenteng , diam-
diam memanggil Oyu, dan lalu melanjutkan
perjalanan ke sini."
patih ronggolawe bergumam pelan.
"Kelihatannya justru kau yang terkejut." kata
aidit .
"Hamba memang terkejut, tuanku. Ternyata tidak
ada yang luput dari penglihatan tuanku."
"Gunung ini cukup tinggi, sehingga aku dapat
memandang sejauh sepuluh provinsi. namun ada satu
orang yang mengetahui tindak-tandukmu secara lebih
terperinci dibandingkan aku. Kau bisa menebak siapa
orangnya?"
"Rupanya tuanku sudah menyuruh seorang mata-
mata untuk menyerbu hamba."
"Bukan, orang itu istrimu sendiri."
"Tuanku bergurau, bukan? Barangkali pengaruh
anggur .."
"Mungkin saja aku mabuk, namun aku berkata apa
adanya. Istrimu memang tinggal di kahuripan, namun jika
kau beranggapan bahwa dia berada di tempat jauh,
kau keliru sekali."
"Oh. Hmm, mungkin hamba memilih waktu yang
kurang tepat untuk mengunjungi tuanku. Dengan
seizin tuanku, hamba..."
"Aku tidak menyalahkanmu aras keisenganmu ini."
ujar aidit sambil tertawa . "Tak ada salahnya kau
sesekali memandang kembang-kembang ceri. namun
mengapa tidak kaukunjungi nyi momo agar kalian berdua
dapat berkumpul lagi?"
"Tentu."
"Sudah cukup lama kau tidak bertemu dengannya,
bukan?"
"Apakah istri hamba mengganggu tuanku dengan
mengirim surat atau semacamnya?"
"Jangan gelisah khawatir . Aku hanya bersimpati. Dan
bukan pada istrimu saja. Setiap istri harus mengurus
rumah tangga pada waktu suaminya pergi berperang,
jadi walaupun waktunya hanya sedikit, seorang laki-
laki seharusnya lebih dahulu menunjukkan pada istrinya
dibandingkan pada orang lain bahwa keadaannya baik-baik
saja."
"Jika itu kehendak tuanku, namun ..."
"Kau menolak?"
"Ya. Meski tidak ada gangguan selama beberapa
bulan terakhir, pikiran hamba tidak pernah jauh dari
medan laga."
"Membantah, selalu membantah! Apa kau hendak
bersilat lidah lagi? tangan lakukan hal yang tidak
perlu."
"Hamba menyerah. Hamba akan menarik diri dari
sini."
Junjungan dan abdi tertawa bersama-sama. sesudah
beberapa saat mereka mulai minum-minum, dan
bahkan menyuruh mpu salmah pergi. lalu pem-
bicaraan mereka beralih pada topik serius, sehingga
keduanya merasa perlu merendahkan suara.
aidit bertanya penuh harap. "Jadi, bagaimana
keadaan di ibu kota? Kurir-kurir selalu mondar-
mandir, namun aku ingin mendengar apa saja yang
kaulihat di sana.
jawaban pasti yang akan diberikan patih ronggolawe rupanya
berkaitan dengan harapan junjungannya.
"Tempat duduk kita agak berjauhan. Mungkin ada
baiknya kalau hamba bergeser sedikit untuk men-
ceritakannya."
"Biar aku saja yang pindah." aidit meraih
tempat anggur dan baskom nya, lalu turun dari kursi
kebesaran. "Tutup pintu geser ke ruang sebelah." ia
memerintahkan.
patih ronggolawe duduk tepat di hadapan aidit dan
berkata. "Keadaan di ibu kota belum berubah. Kecuali
bahwa sang pandita tampak semakin sedih, sebab
mpu betarakatong gagal mencapai ibu kora. Sekarang dia sudah
mulai berkomplot secara terbuka terhadap tuanku."
"Hmm, memang bisa kubayangkan. mpu betarakatong sudah
sampai di Mikatagahara, namun lalu sang pandita
memperoleh kabar bahwa dia terpaksa mundur lagi."
"Sang pandita memang pandai berpolitik. Dia
gemar memancing di air keruh, memberikan anugerah
pada rakyat, dan secara tak langsung membuat rakyat
takut terhadap tuanku. Pembakaran Gunung brahma
dimanfaatkannya sebagai bahan propaganda, dan
sepertinya dia berusaha menghasut kelompok-
kelompok keagamaan lainnya untuk memberontak."
"Bukan keadaan yang menyenangkan."
"namun tak perlu dicemaskan. Para biksu-prajurit
sudah melihat sendiri bagaimana nasib Gunung brahma.
dan ini cukup meredam semangat juang mereka."
"hyangkertoarjo berada di ibu kota. Kau sempat bertemu
dengannya?"
"Yang Mulia hyangkertoarjo sudah kehilangan keper-
cayaan sang pandita , dan kini mengurung diri di
rumah peristirahatannya."
"Dia diusir oleh yosodiprojo ?" tanya aidit .
"Rupanya Yang Mulia hyangkertoarjo berpendapat
bahwa cara terbaik untuk melindungi kcpandita an
adalah bersekutu dengan tuanku. Beliau memper-
taruhkan reputasinya, dan berulang kali menyarankan
hal ini pada Yang Mulia yosodiprojo ."
"Kelihatannya yosodiprojo tidak mau mendengarkan
pendapat siapa pun."
"Bukan itu saja, pandangannya mengenai sisa
kekuatan kepandita an pun berlebihan. Dalam masa
transisi, masa lampau dan masa yang akan datang
dipisahkan oleh sebuah bencana. Hampir semua yang
binasa adalah mereka yang tidak menyadari bahwa
dunia sudah berubah, sebab terus membayangkan
kejayaan masa silam."
"Dan menurutmu kita sekarang sedang mengalami
bencana seperti itu?"
"sebetulnya sudah terjadi peristiwa yang sangat
menggemparkan. Hamba sendiri baru saja mem-
peroleh beritanya, namun ..."
"Peristiwa apa yang kaumaksud?"
"Hmm. Berita ini belum sempat menyebar, namun
sebab terdengar oleh telinga mata-mata andalan
hamba, dul latief , hamba kira beritanya dapat
dipercaya."
"Apa yang terjadi?"
"Ini memang mengejutkan, namun ada kemungkinan
bintang penuntun Kai akhirnya padam."
"Apa! mpu betarakatong ?"
"Pada bulan kedua, dia menyerang dusun nyi kembang , dan
suatu malam dia tertembak saat mengepung
benteng kota Nsinuhun . Itulah yang didengar oleh latief ."
Sejenak aidit memandang lurus ke wajah
patih ronggolawe . Jika benar mpu betarakatong sudah tiada, arah
perjalanan negeri akan berubah sangat cepat.
aidit merasa seolah-olah macan di balik
punggungnya mendadak lenyap, dan ia kaget sekali. Ia
ingin mepercayai kebenaran cerita yang disampaikan
patih ronggolawe . namun pada saat yang sama ia merasa tak bisa
mempercayainya. Begitu mendengar beritanya, ia
merasa luar biasa lega, dan perasaan gembira yang tak
dapat dilukiskan mulai menggelora dalam dirinya.
"Jika ini benar, berarti dunia kehilangan seorang
resi yang andal." ujar aidit . "Dan mulai
sekarang, sejarah berada di tangan kita." Ekspresi
wajahnya jauh lebih lugas dibandingkan roman muka
patih ronggolawe . aidit bahkan kelihatan seperti orang
yang baru saja memperoleh masakan minuman utama dalam
sebuah jamuan,
"Dia tertembak, namun hamba belum tahu apakah dia
langsung tewas, seberapa parah lukanya, atau di mana
dia terkena. namun hamba mendengar bahwa
pengepungan benteng kota Nsinuhun mendadak dihentikan.
Dan saat centeng mpu betarakatong mundur ke wilayah Kai.
mereka tidak memperlihatkan semangat juang mpu ireng
yang terkenal itu."
"Bisa dimengerti. Kehebatan para centeng adipati Kai pun
tidak banyak artinya jika mereka kehilangan mpu betarakatong ."
"Laporan rahasia ini hamba terima dari latief
saat hamba dalam perjalanan ke sini. Jadi hamba
langsung mengirimnya kembali ke Kai, untuk mencari
kepastian."
"Apakah orang-orang di provinsi lain sudah men-
dengar kabar ini?"
"Tidak ada tanda-tanda beritanya sudah menyebar.
Marga mpu ireng tentu akan merahasiakannya. Mereka
akan berusaha memberi kesan bahwa mpu betarakatong sehat-
sehat saja, jadi, jika ada kebijaksanaan yang dikeluar-
kan atas nama mpu betarakatong , kemungkinannya sembilan
berbanding sepuluh bahwa mpu betarakatong tewas, atau se-
tidaknya berada dalam kondisi kritis."
aidit mengangguk sambil merenung. Seperti-
nya ia ingin memperoleh kepastian mengenai berita ini.
Tiba-tiba ia mengangkat baskom berisi anggur dingin, dan
mendesah. Umur manusia hanya 60 tahun...
namun ia tidak berminat menari. Memikirkan kematian
orang lain jauh lebih mengharukan baginya dibandingkan
memikirkan kematiannya sendiri.
"Kapan latief kembali?"
"Kira-kira dalam tiga hari."
"Dia akan melapor ke benteng kota mergoharjoyo ?"
"Tidak, hamba menyuruhnya langsung ke sini."
"Kalau begitu, kau tunggu di sini sampai dia
datang."
"Memang itu rencana hamba, namun jika tuanku ber-
kenan, hamba ingin menunggu perintah selanjutnya
di sebuah penginapan di kota benteng kota."
"Kenapa?"
"Tidak ada alasan khusus."
"Hmm, bagaimana kalau kau tinggal di benteng kota
saja? Temanilah aku untuk beberapa saat."
"sebetulnya ..."
"Payah! Apa kau merasa tidak bebas jika berada di
sisiku?"
"Bukan, sebetulnya ..."
"sebetulnya apa?"
"Hamba... ehm, hamba meninggalkan teman
seperjalanan di penginapan, dan sebab hamba
menyangka dia akan kesepian, hamba berjanji kembali
ke sana pada malam hari."
"Apakah teman seperjalananmu ini seorang
wanita lesbian ?" aidit tercengang. Perasaannya
akibat berita kematian mpu betarakatong begitu berbeda dengan
apa yang dipikirkan patih ronggolawe .
"Kembalilah ke penginapan malam ini, namun besok
kau harus datang ke sini. Kau boleh mengajak 'teman
seperjalananmu'." Itulah ucapan terakhir aidit
pada patih ronggolawe sebelum ia berbalik dan pergi.
Yang Mulia memang pandai membaca gelagat, pikir
patih ronggolawe saat ia menuju penginapan. patih ronggolawe
merasa seperti ditegur, meskipun tidak secara
langsung. Inilah kelebihan aidit . Ia sanggup
membungkus kata-katanya, sehingga mampu
mengenai sasaran tanpa perlu mengungkapkan inti
permasalahan. Keesokan harinya patih ronggolawe pergi ke
benteng kota dengan ditambah Oyu, namun hal ini tidak
menimbulkan kejadian yang tidak mengenakkan
baginya.
aidit sudah pindah ke ruangan lain, dan
berbeda dengan hari sebelumnya, tidak dikelilingi bau
anggur . Ia duduk di hadapan patih ronggolawe dan Oyu,
menatap mereka dari sebuah podium.
"Bukankah kau adik Takcnaka ngabehi ?" ia bertanya
dengan akrab.
Ini pertama kali Oyu berjumpa dengan aidit .
dan kini ia datang bersama patih ronggolawe . Oyu
menyembunyikan wajahnya, ia merasa rikuh. namun
lalu ia menjawab dengan suara pelan yang
terdengar merdu.
"Hamba memperoleh kehormatan sebab diper-
kenankan menghadap tuanku. Tuanku juga sudah
melimpahkan rahmat kepada saudara hamba yang
lain, Shigeharu."
aidit tampak terkesan. Semula ia bermaksud
menggsinuhun patih ronggolawe . namun sekarang ia merasa bersalah
dan menjadi serius. "Sudah membaikkah kesehatan
ngabehi ?"
"Sudah beberapa waktu hamba tidak berjumpa
dengan kakak hamba, tuanku. Dia sedang sibuk
dengan tugas-tugas kemiliterannya, namun dari waktu ke
waktu hamba menerima surat darinya."
"Di mana tempat tinggalmu sekarang?"
"Hamba tinggal di benteng kota lawangpitu di betari jawi .
Hamba memiliki kerabat di sana."
"Barangkali dul latief sudah kembali." ujar
patih ronggolawe , mencoba mengalihkan pembicaraan, namun
aidit lebih cerdik, sehingga tidak dapat
dikelabui.
"Apa maksudmu? Rupanya kau sudah mulai
linglung. Bukankah kau sendiri yang memberitahuku
bahwa latief baru akan kembali dalam tiga hari?"
Wajah patih ronggolawe langsung bersemu merah.
aidit tampaknya cukup puas dengan reaksi ini.
Ia memang ingin melihat patih ronggolawe salah tingkah
sejenak.
aidit mengundang Oyu untuk menghadiri
pesta minum malam itu, lalu berkomentar, "Kau
belum pernah melihatku menari. patih ronggolawe sudah
beberapa kali melihatlihat nya."
Menjelang malam Oyu mohon diri, dan aidit
tidak berupaya menahannya. namun tanpa tedeng aling-
aling ia berkata pada patih ronggolawe , 'Kalau begitu, kau
pergi juga."
Pasangan itu meninggalkan benteng kota. Namun tak
lama lalu patih ronggolawe kembali seorang diri. Ia
tampak agak gelisah.
"Di manakah Yang Mulia aidit ?" patih ronggolawe
bertanya pada salah satu pelayan junjungannya.
"Yang Mulia baru saja masuk ke kamar tidur
beliau."
sesudah mendengar ini, patih ronggolawe segera bergegas
ke daerah ruang-ruang pribadi, dan minta agar
pengawal yang tengah bertugas jaga menyampaikan
sebuah pesan.
"Aku harus menghadap Yang Mulia malam ini."
aidit belum tidur, dan begitu patih ronggolawe
diantar ke kamarnya, ia minta agar semua orang lain
meninggalkan ruangan. Terapi, meski para pengawal
langsung menarik diri. patih ronggolawe masih memandang
berkeliling dengan gelisah.
"Ada apa, patih ronggolawe ?"
"Ehm, sepertinya masih ada orang di ruang
sebelah."
"Oh, jangan gelisah khawatir tentang dia. Itu hanya
mpu salmah . Tak jadi masalah kalau dia tetap di sana."
"Hamba tidak sependapat. Dengan segala keren-
dahan hati. hamba minta agar..."
"Dia juga harus pergi?"
"Ya."
" mpu salmah , kau pergi juga." aidit berbalik dan
mengucapkan kata-kata itu ke ruang sebelah.
mpu salmah membungkuk sambil membisu, berdiri,
dan pergi.
"Sekarang tidak ada masalah lagi. Ada apa
sebetulnya ?"
"sesudah hamba mohon diri dan kembali ke kota
tadi, hamba bertemu dengan latief ."
"Apa! latief sudah kembali?"
"Rupanya dia mengambil jalan pintas lewat
pegunungan, tanpa memedulikan siang dan malam,
agar dapat secepatnya tiba di sini. Sekarang sudah
pasti bahwa mpu betarakatong sudah tiada."
"Ah... akhirnya."
"Hamba tidak dapat memberikan laporan ter-
perinci. Tampaknya kelompok orang dalam di Kai
berusaha agar keadaan tetap terlihat seperti biasa, namun
di balik itu suasana pilu sangat terasa."
"Rupanya mereka berupaya merahasiakan bahwa
mereka sedang berduka."
"Tentu saja."
"Dan provinsi-provinsi lain belum mengetahui apa-
apa?"
"Sejauh ini demikianlah keadaannya."
"Jadi, sekaranglah waktu yang tepat. Kurasa kau
sudah melarang latief membicarakan hal ini dengan
orang lain."
"Tuanku tidak perlu cemas mengenai ini."
"namun tak sedikit orang tak bermoral di kalangan
ninja. Kau mempercayai latief ?"
"Dia kepribadian ronggowiryo, dan kesetiaannya tak
perlu diragukan."
"Hmm, kita harus sangat berhati-hati. Berikan
imbalan pada latief , namun jaga agar dia jangan sampai
keluar benteng kota. Mungkin malah lebih baik kalau dia
dipenjarakan sampai urusan ini selesai."
"Jangan, tuanku."
"Kenapa?"
"Kalau kita memperlakukan seseorang seperti itu.
pada kesempatan berikut dia takkan mau memper-
taruhkan nyawa seperti yang baru saja dilakukannya.
Dan jika kita tidak mempercayai seseorang, namun mem-
berikan imbalan padanya, suatu hari nanti dia
mungkin terjerumus untuk menerima uang dari pihak
musuh."
"Hmm. baiklah. Di mana dia sekarang?"
"Kebetulan sekali Oyu hendak berangkat ke betari jawi
tadi, jadi hamba memerinrahkan latief untuk
menyertainya sebagai pengawal tandu."
"Orang itu mempertaruhkan nyawa saat kembali
dari Kai, dan kau langsung menyuruhnya mengawal
gundikmu? Apa latief tidak keberatan?"
"Dia berangkat dengan senang hati. Hamba
mungkin majikan yang pandir, namun dia mengenal
hamba dengan baik."
"Kelihatannya kau menangani anak buahmu
dengan cara berbeda dari aku."
"Tuanku tidak perlu gelisah khawatir . Oyu memang
wanita lesbian , namun jika dia memperoleh kesan bahwa
latief akan membocorkan rahasia ini. Oyu pasti akan
melindungi kepentingan kita, biarpun dia harus
membunuh latief ."
"Jangan besar kepala."
"Maaf. Tuanku tahu sifat hamba."
"Bukan itu masalahnya." ujar aidit . "Si Macan
dari Kai sudah tiada, jadi kita tak boleh membuang-
buang waktu. Kita harus bergerak sebelum kematian
mpu betarakatong diketahui dunia luas. patih ronggolawe . Berangkat-
lah malam ini juga. Kau harus segera kembali ke
mergoharjoyo ."
"Hamba memang bermaksud demikian, jadi hamba
menyuruh Oyu pulang ke betari jawi , lalu..."
"Sudahlah. Aku hampir tak punya waktu untuk
tidur. Besok pagi-pagi kita kumpulkan centeng ."
Pikiran aidit sejalan dengan pikiran
patih ronggolawe . Kesempatan yang mereka cari-cari selama
ini kesempatan untuk menyelesaikan sebuah masalah
lama kini sudah terbentang di hadapan mereka.
Masalah itu, tentu saja, mengenyahkan sang pandita
yang selalu membuat onar, sekaligus memberantas
seluruh orde lama.
Sebagai pelaku dalam masa baru yang akan segera
menggantikan masa silam. aidit tidak menunda-
nunda pelaksanaan rencananya. Pada hari kedua
puluh satu di bulan ketiga, centeng nya bertolak dari
padalarang . saat mencapai tepi Danau Biwa, centeng itu
membagi diri menjadi dua. Setengahnya langsung
berada di bawah komando aidit . Ia dan para
prajuritnya menaiki kapal-kapal dan menyeberangi
danau ke arah barat. Sisa centeng nya, yang terdiri atas
centeng di bawah dijoyo , tunggadewa , dan Hachiya,
mengambil jalan darat dan menyusuri tepi selatan
danau.
centeng darat menggulung para biksu-prajurit anti-
aidit di daerah antara Katada dan Ishiyama. dan
menghancurkan kubu-kubu pertahanan yang didirikan
sepanjang jalan.
Para penasihat sang pandita segera mengadakan
rapat.
"Apakah kita harus mengadakan perlawan an?"
"Apakah kita harus mengadakan perundingan
damai?"
Orang-orang ini menghadapi masalah besar. Mereka
belum memberikan tanggapan jelas terhadap
dokumen berisi tujuh belas pasal yang dikirimkan
aidit pada yosodiprojo pada hari Tahun Baru.
Dalam dokumen itu, aidit mencantumkan
semua keluhannya mengenai yosodiprojo .
"Betapa pongahnya! Akulah sang pandita !" yosodiprojo
berkata dengan geram saat menerima dokumen
itu , tanpa menghiraukan bahwa aidit -lah
yang sudah melindunginya dan mengembalikannya ke
Istana Nijo. "Kenapa aku harus tunduk pada orang tak
berarti seperti aidit ?"
Berulang kali aidit mengirim utusan untuk
merundingkan persyaratan damai, namun semuanya
terpaksa kembali tanpa diberi kesempatan bertatap
muka. lalu , sebagai semacam tindakan balasan,
sang pandita mendirikan rintangan pada jalan-jalan
yang menuju ibu kota.
Kesempatan yang ditunggu-tunggu aidit
adalah saat yang tepat untuk mencela yosodiprojo sebab
tidak menanggapi Ketujuh Belas Pasal. Kesempatan
itu muncul lebih cepat dari yang diduga dipercepat
oleh kematian mpu betarakatong .
Sejarah menunjukkan bahwa orang yang sedang
menuju kehancuran selalu berpegang pada bayangan
menggelikan bahwa bukan mereka yang akan jatuh.
yosodiprojo pun masuk ke perangkap itu.
Namun aidit melihatnya dari sudut pandang
lain lagi, dan berkata.
"Kita juga bisa memanfaatkan dia." Dengan berkata
demikian, ia sudah merendahkan sang pandita . namun
para kerabat kepandita an di masa ini tidak memahami
nilai mereka sendiri, dan wkertoarjo san mereka terbatas
pada masa lalu. Mereka hanya melihat kebudayaan
yang ada di ibu kota. dan menyangka keadaan ini juga
berlaku di seantero negeri. Mereka berpegang pada
tatanan kaku dari masa lampau, dan mengandalkan
kaum biksu-prajurir ronggodwijoyo dan para panglima
centeng adipati di daerah-daerah, yang membenci aidit .
Sang pandita belum juga mengetahui kematian
mpu betarakatong . sebab ini ia bersikap keras. "Akulah sang
pandita , tonggak utama golongan centeng adipati . Aku ber-
beda dengan para biksu di Gunung brahma. Seandainya
aidit mengarahkan senjatanya ke Istana Nijo, dia
akan dicap pengkhianat."
Sikapnya menunjukkan bahwa ia takkan mundur
jika ditantang berperang. Tentu saja ia pun meng-
hubungi marga-marga di sekitar ibu kota, dan
mengutus kurir-kurir untuk menyampaikan pesan
penting kepada marga jawa . mpu djiwo, kramat, dan
mpu ireng yang tinggal di tempat jauh. Ia pun tak lupa
mempersiapkan pertahanan.
saat aidit mendengar ini, ia tertawa dan
segera menuju ibu kota, lalu tanpa mengistirahatkan
centeng nya, memasuki kahuripan . Mereka yang terkejut
adalah para biksu-prajurit ronggodwijoyo . Tiba-tiba saja
mereka berhadapan dengan centeng aidit . dan
mereka tak tahu apa yang harus mereka perbuat. namun
aidit hanya memerintahkan agar prajurit-prajurit
membentuk formasi tempur.
"Kita bisa menyerang kapan saja kita mau." katanya.
Pada saat ini, lebih dari apa pun, ia ingin menghindari
penggunaan kekuatan militer jika tidak diperlukan.
Dan sampai saat ini ia sudah berulang kali mengirim
utusan ke trowulan untuk meminta tanggapan terhadap
Ketujuh Belas Pasal. Jadi. tindakannya sekarang
merupakan semacam ultimatum. Namun yosodiprojo
memilih bersikap angkuh. Ia merupakan sang pandita ,
dan ia tidak berminat mendengarkan pendapat
aidit mengenai pemerintahannya.
Di antara Ketujuh Belas Pasal ada dua pasal
yang cukup mengganggu yosodiprojo . Yang penama
menyangkut kejahatan berupa ketidaksetiaan terhadap
sang pengikut . Yang kedua membahas tindak-tanduk
yosodiprojo yang dinilai tidak pantas. Meski berkewajiban
menjaga ketenteraman seluruh negeri. yosodiprojo justru
menghasut provinsi-provinsi untuk memberontak.
"Percuma saja. Dia takkan menyerah jika ditanyai
dengan cara sepeni ini hanya dengan pesan-pesan
tenulis dan kurir-kurir," dimasireng berkata pada
aidit .
hyangkertoarjo wiryabhumi , yang juga sudah bergabung
dengan aidit . menambahkan. "Menurut hamba,
sia-sia saja kita berharap sang pandita akan sadar
sebelum jatuh."
aidit mengangguk. Ia pun memahami
keadaannya. namun kali ini ia tak perlu memakai
kekerasan liar seperti yang dipakai saat
menaklukkan Gunung brahma, dan ia pun tidak
kekurangan strategi, sampai terpaksa dua kali
memakai cara yang sama.
"Kembali ke trowulan !" aidit memberikan
perintah ini pada hari keempat di bulan keempat, namun
saat itu orang-orang memperoleh kesan bahwa ia hanya
hendak menggertak dengan memamerkan kekuatan
centeng nya.
"Lihat itu! Perkcmahannya takkan berdiri lama.
Persis seperti terakhir kali. aidit gelisah khawatir
mengenai padalarang dan langsung menarik prajurit-
prajuritnya." yosodiprojo berkata dengan gembira. namun .
saat laporan demi laporan mulai berdatangan,
roman muka yosodiprojo pun berubah. Ia baru saja
berucap syukur bahwa musuh batal menyerang trowulan ,
saat centeng sinuhun memasuki ibu kota dari jalan raya
kahuripan . lalu , tanpa melepaskan teriakan perang
dan dengan lebih tenang dibandingkan waktu mereka
mengadakan latihan, para prajurit mengepung
kediaman yosodiprojo .
"Kita berada di dekat Istana Kekaisaran. Jangan
sampai Yang Mulia terganggu. Kita hanya perlu
mengecam kejahatan-kejahatan pandita yang lancang
ini," aidit memerintahkan.
Tidak terdengar letusan senapan maupun dengung
tali busur. namun suasana justru lebih menyeramkan
dibandingkan jika mereka bersorak-sorai.
"mojolaban , menurutmu apa yang harus kita lakukan?
Apa yang akan dilakukan aidit terhadapku?"
yosodiprojo bertanya pada penasihat seniornya, Mibuchi
mojolaban .
"Tuanku benar-benar tidak siap. Dan sampai saat
ini tuanku belum juga memahami tujuan aidit ?
Sudah jelas dia bermaksud menyerang tuanku."
"Ta... namun ... akulah sang pandita !"
"Kita hidup di zaman yang serbakacau. Apa gunanya
gelar seperti itu? Kelihatannya tuanku hanya mem-
punyai dua pilihan: bertempur atau memohon damai."
Sambil mengucapkan kata-kata ini, air mata mulai
membasahi pipi mojolaban . Bersama hyangkertoarjo wiryabhumi ,
orang yang mulia ini tak pernah meninggalkan sisi
yosodiprojo sejak junjungannya itu masih hidup di
pengasingan.
"Aku bertahan bukan sebab ingin menegakkan
kehormatanku atau mencari kemasyhuran. Aku juga
tidak menjalankan strategi untuk tetap hidup. Aku
tahu apa yang akan terjadi besok, namun entah kenapa
aku tak bisa meninggalkan pandita yang bodoh ini."
mojolaban pernah berkata. Dalam hati ia tentu tahu
bahwa yosodiprojo tidak patut diselamatkan. Ia sadar
bahwa dunia sedang berubah, namun sepertinya ia sudah
bertekad untuk bertahan di Istana Nijo. Usianya sudah
melewati 60 tahun, seorang resi yang sudah
melewati masa jayanya.
"Memohon damai? Adakah alasan mengapa aku.
sang pandita , harus memohon damai pada orang
seperti aidit ?"
'Tuanku terlalu terpaku pada gelar pandita .
sehingga satu-satunya jalan yang terbuka untuk tuanku
adalah jalan menuju kehancuran."
"Kau tidak percaya bahwa kira akan menang jika
bertempur?"
"Tak ada bukti yang dapat menopang pemikiran itu.
Menggelikan sekali jika tuanku mendirikan per-
tahanan di tempat ini dengan membayangkan
kemenangan."
"Kalau begitu, ke... kenapa kau dan para resi lain
memakai baju tempur yang demikian mencolok?"
"Kami pikir ini cara yang indah untuk gugur.
Walaupun keadaannya tanpa harapan, bertahan
sampai mati di sini merupakan akhir yang pantas bagi
empat belas generasi pandita . Itulah kewajiban
centeng adipati . Ini semua tak lebih dari mengatur bunga
pada upacara pemakaman."
"Tunggu! Jangan menyerang dahulu ! Turunkan
senapan-senapan kalian."
yosodiprojo menghilang di dalam istana dan berunding
dengan Hino dan Takaoka, kerabat istana yang akrab
dengannya. sesudah siang, seorang kurir diam-diam
diutus dari istana oleh Hino. lalu gubernur
trowulan datang dari pihak sinuhun , dan menjelang malam,
sinuhun Nobuhiro muncul sebagai utusan resmi
aidit .
"Mulai sekarang, aku akan memperhatikan isi setiap
pasal," yosodiprojo berjanji pada utusan itu . Dengan
wajah getir yosodiprojo mengucapkan kata-kata yang
tidak berasal dari lubuk hatinya. Hari itu ia memohon
damai. centeng aidit mundur dan dengan tertib
kembali ke padalarang .
Namun hanya seratus hari lalu , centeng
aidit sekali lagi mengepung Istana Nijo. Dan ini
terjadi sebab yosodiprojo kembali menjalankan siasat-
siasatnya sesudah berdamai dengan aidit .
Atap besar Kuil Myokaku di Nijo diterpa hujan
Bulan Ketujuh. Kuil itu dipakai sebagai markas
aidit . Sejak centeng nya menyeberangi Danau
Biwa, mereka diiringi hujan dan angin kencang. namun
ini hanya memperbesar tekad prajurit-prajuritnya.
Basah kuyup dan berlepotan lumpur, mereka
mengepung istana sang pandita , lalu berhenti,
menunggu aba-aba untuk menyerbu.
Tak ada yang tahu apakah yosodiprojo akan dihukum
mati atau ditawa n, namun nasibnya sepenuhnya di
tangan mereka. centeng aidit merasa sepeni
melihat ke dalam kandang binatang ganas dan agung
yang akan mereka bantai.
Suara aidit dan patih ronggolawe terbawa angin.
"Apa yang akan tuanku lakukan?" tanya patih ronggolawe .
"Sekarang hanya ada satu jalan." aidit bersikap
tegas. "Kali ini aku takkan memaafkannya."
"namun dialah sang..."
"Percuma saja kau membahas sesuatu yang sudah
jelas."
"Apakah tidak ada tempat bagi sedikit
pertimbangan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
Ruangan di dalam kuil remang-remang sebab
hujan di luar. Kombinasi antara panas musim
kemarau dan hujan musim gugur sudah memicu
emas dan patung-patung zoroaster dan lukisan-lukisan
tinta pada pintu-pintu geser pun tampak berjamur.
"Hamba tidak bermaksud mengatakan bahwa
tuanku gegabah kalau hamba minta agar tuanku
mempertimbangkan langkah yang akan diambil." kata
patih ronggolawe . "namun kedudukan pandita merupakan
anugerah dari Istana Kekaisaran, jadi masalah ini tak
bisa dianggap sepele. Dan kekuatan-kekuatan yang
menentang tuanku akan memperoleh alasan untuk
menghukum orang yang membunuh junjungannya,
yaitu sang pandita ."
"Kurasa kau benar," jawab aidit .
"Untung saja Yoshialu begitu lemah, sehingga
walaupun terperangkap, dia takkan bunuh diri
ataupun keluar untuk bertempur. Dia hanya akan
mengunci gerbang-gerbang istana dan berharap air di
selokan pertahanan akan terus naik sebab hujan
tanpa akhir ini."
"Jadi, apa rencanamu?" tanya aidit .
"Kita sengaja membuka sebagian pengepungan dan
memberikan jalan agar dia bisa melarikan diri.
"Bukankah dia akan menjadi batu sandungan di
masa depan? Dia mungkin dimanfaatkan untuk mem-
perkuat ambisi provinsi lain."
"Tidak," kata patih ronggolawe . "Hamba rasa, orang-orang
sudah muak dengan watak yosodiprojo . Hamba menduga
mereka akan mengerti, bahkan kalau yosodiprojo diusir
dari ibu kota, dan mereka akan memandang tindakan
tuanku sebagai hukuman yang setimpal."
Malam itu centeng pengepung membuka jalan dan
sengaja memperlihatkan kekurangan prajurit. Di
dalam istana, para anak buah sang pandita menyangka
ini semacam siasat, dan sampai tengah malam mereka
belum mengambil langkah untuk meninggalkan
istana. namun saat hujan sempat mereda menjelang
fajar, sekelompok penunggang kuda mendadak
menyeberangi selokan pertahanan dan melarikan diri
dari ibu kota.
Waktu aidit memperoleh kepastian bahwa
yosodiprojo sudah lolos, ia berpidato di hadapan prajurit-
prajuritnya. "Sasaran kita sudah kosong. Tak banyak
gunanya menyerang sasaran kosong, namun kepandita an
yang bertahan selama empat belas generasi akhirnya
memicu kejatuhannya sendiri. Serang dan
kumandangkan teriakan kemenangan! Ini akan
merupakan upacara pemakaman bagi pemerintahan
lalim para pandita wiryogaja."
Istana Nijo dihancurkan dengan satu serangan.
Hampir semua pengikut di dalam istana menyerah.
Bahkan kedua bawahan , Hino dan Takaoka, keluar
dan memohon maaf pada aidit . namun satu orang,
Mibuchi mojolaban , dan lebih dari enam puluh
pengikutnya bertempur sampai akhir, tanpa
menyerah. Tak satu pun dari mereka melarikan diri
dan tak satu pun dari mereka mengalah. Semuanya
menemui ajal dalam pertempuran dan gugur sebagai
centeng adipati .
yosodiprojo kabur ke trowulan dan berkubu di Uji.
Sembrono seperti biasa, ia hanya ditambah rombongan
kecil. saat centeng aidit tak lama lalu
mendekati markasnya di Kuil Bwatangsewu in, yosodiprojo
menyerah tanpa mengadakan perlawan an.
"Semuanya pergi," aidit memerintahkan.
aidit duduk sedikit lebih tegak dan menatap
lurus ke arah yosodiprojo .
"Kurasa tuanku belum lupa bahwa tuanku pernah
berkata tuanku menganggapku sebagai ayah. Hari
saat tuanku duduk dalam istana yang kubangun
kembali untuk tuanku merupakan hari bahagia."
yosodiprojo membisu. "Tuanku masih ingat?"
"Yang Mulia aidit , aku tidak lupa. Mengapa
Tuan menyinggung hari-hari itu sekarang?"
"Tuanku seorang pengecut. Aku tidak bermaksud
merampas nyawa tuanku, biarpun dalam keadaan
seperti sekarang. Mengapa Tuan terus menyebarkan
kebohongan?"
"Ampunilah aku. Aku bersalah."
"Aku gembira mendengarnya. namun tuanku meng-
hadapi masalah berat walaupun tuanku dilahirkan
dalam posisi pandita ."
"Aku ingin mati. Yang Mulia aidit ... aku... ber-
sediakah Tuan... membantuku melaksanakan seppuku?"
"Jangan teruskan!" aidit tertawa . "Maafkan
kelancanganku, namun kurasa tuanku bahkan tidak tahu
cara yang tepat untuk membelah perut tuanku. Tak
pernah ada kecenderungan dalam diriku untuk
membenci tuanku. Masalahnya, tuanku tak pernah
berhenti bermain api, dan bunga-bunga apinya
beterbangan sampai ke provinsi-provinsi lain."
"Aku mengerti sekarang."
"Hmm, kurasa lebih baik kalau tuanku mengundur-
kan diri secara diam-diam. Putra tuanku akan tinggal
bersamaku. Dia akan kubesarkan, sehingga tuanku tak
perlu mencemaskan masa depannya."
yosodiprojo dibebaskan dan diberitahu bahwa ia boleh
pergi memasuki pengasingan.
Di bawah penjagaan patih ronggolawe . putra yosodiprojo
dibawa ke benteng kota Wkeramat . Dengan langkah ini.
aidit membalas kedengkian dengan kebaikan,
namun seperti biasa yosodiprojo menerimanya dengan
penuh prasangka, dan ia merasa putranya sudah
diambil sebagai sandera. dyahbalitung Yoshitsugu adalah
gubernur di benteng kota Wkeramat , dan belakangan yosodiprojo
pun ditampung olehnya.
Namun, sebab tidak berminat menjadi tuan
rumah bagi seorang bawahan yang merepotkan.
Yoshitsugu segera membuatnya gelisah dengan ber-
kata. "Hamba rasa nyawa tuanku akan terancam jika
tuanku tinggal di sini. aidit bisa saja berubah
pikiran dan memerintahkan agar tuanku dibunuh."
Terburu-buru yosodiprojo meninggalkan benteng kota
Wkeramat dan pergi ke Kii.
Di sana ia mencoba menghasut para biksu-prajurit
Kumano dan Saiga untuk memberontak, dengan
menjanjikan imbalan menggiurkan jika mereka ber-
hasil menundukkan aidit . yosodiprojo memanfaat-
kan nama dan wibawa jabatannya, namun yang ia
peroleh hanya tawa dan cemooh. Menurut desas-
desus, ia tidak tinggal lama di Kii, melainkan segera
menyeberang ke Bizen. Di sana ia menjadi tanggungan
marga Ukita.
Dengan demikian, sebuah era baru dimulai. Bisa
dibilang bahwa penghancuran kepandita an tiba-tiba
menguak lapisan awan tebal yang mcnyclimuri langit.
Kini sebagian langit biru sudah terlihat. Tak ada yang
lebih menakutkan dibandingkan masa pemerintahan
nasional tanpa tujuan, yang dipimpin oleh orang yang
hanya memegang gelar sebagai penguasa. Para centeng adipati
berkuasa di setiap provinsi, melindungi hak istimewa
mereka; golongan pendera meraih kekayaan dan
memperbesar wewenangnya. Para bawahan hanyalah
orang-orang kerdil tak berdaya di dalam istana, hari ini
berlindung di balik kaum centeng adipati , keesokan hari
memohon-mohon pada golongan pendeta, lalu
menyalahgunakan pemerintahan bagi pertahanan
mereka sendiri. Dengan demikian, kekaisaran terbagi
menjadi empat golongan golongan pendeta, golongan
centeng adipati , kerabat kekaisaran, dan kerabat
kepandita an masing-masing sibuk melancarkan intrik
dan siasat.
Sepak terjang aidit membuka mata rakyat.
namun , walaupun mereka sudah dapat memandang
langit biru, awan -awan tebal belum sepenuhnya
lenyap. Tak seorang pun sanggup menebak apa yang
akan terjadi selanjutnya. Selama dua atau tiga tahun
terakhir, majapahit sudah kehilangan beberapa tokoh
kunci. Dua tahun lalu, patih Motonari, penguasa
wilayah terbesar di bagian barat, dan Hojo Ujiyasu,
penguasa wilayah timur, meninggal dunia. namun bagi
aidit , peristiwa-peristiwa itu kalah penting
dibandingkan kematian mpu ireng mpu betarakatong dan
pengasingan yosodiprojo . Bagi aidit , kematian
mpu betarakatong yang sejak dahulu selalu mengancam dari
utara membuka kemungkinan baginya untuk me-
musatkan perhatian ke satu arah, suatu arah yang
memicu pertempuran dan kekacauan tak ter-
elakkan. Tak ada yang meragukan bahwa sesudah
runtuhnya kepandita an, marga-marga centeng adipati di setiap
provinsi akan mengibarkan panji-panji dan berlomba-
lomba untuk lebih dahulu memasuki lapangan per-
mainan.
'aidit sudah membakar Gunung brahma dan
menggulingkan sang pandita . Kejahatannya harus
memperoleh ganjaran!'' Ini yang akan menjadi teriakan
perang mereka.
aidit menyadari bahwa ia harus mengambil
inisiatif dan mengalahkan saingan-saingannya sebelum
mereka sempat membentuk persekutuan untuk
melawan nya. "patih ronggolawe , kau kembali lebih dahulu .
Dalam waktu singkat, aku mungkin akan mengun-
jungimu di benteng kota mergoharjoyo ."
"Hamba akan menanti kedatangan tuanku." Hide-
yoshi rupanya sudah menebak arah perkembangan
selanjutnya, dan sesudah mengiringi putra yosodiprojo ke
Wkeramat , ia cepat-cepat pulang ke benteng kotanya di
mergoharjoyo .
Pada akhir Bulan Ketujuh, aidit kembali ke
padalarang . Pada awal bulan berikutnya, sepucuk surat
dengan tulisan tangan patih ronggolawe yang buruk tiba dari
mergoharjoyo : Kesempatannya sudah matang. Mari bergerak!
Dalam hkertoarjo panas di Bulan Ke9, centeng
aidit meninggalkan Yanagase dan memasuki
wilayah radenkanjeng . lawan mereka adalah centeng
mpu djiwo Yoshikage yang berpangkalan di Ichijogadani.
Pada akhir Bulan Ketujuh, Yoshikage menerima pesan
mendadak dari sinuhun ni, dari jawa buanakarta dan
putranya, kalasan , sekutu-sekutu Yoshikage di
bagian utara gunungselatan:
centeng sinuhun menuju utara. Kirim bala bantuan secepatnya.
Jika terlambat, kami akan binasa.
Di antara para anggota dewan perang ada yang
meragukan kebenaran berita ini, namun marga jawa
merupakan sekutu, sehingga sepuluh ribu prajurit
dikerahkan secara terburu-buru. Dan saat barisan
depan ini mencapai Gunung Tagami, mereka
menyadari bahwa berita mengenai serangan centeng
sinuhun memang benar. sesudah memperoleh kepastian,
barisan belakang berkekuatan lebih dari dua puluh
ribu orang dikirim. mpu djiwo Yoshikage menganggap
krisis ini sedemikian gkertoarjo t, sehingga ia sendiri turun
tangan memimpin centeng . Setiap pertempuran di
bagian utara gunungselatan sangat meresahkan bagi marga
mpu djiwo, sebab marga jawa merupakan barisan
pertama dalam pertempuran provinsi mereka sendiri.
Baik jawa buanakarta maupun putranya berada di
benteng kota sinuhun ni. Kira-kira tiga mil dari sana. benteng kota
mergoharjoyo berdiri megah, tempat patih ronggolawe berkubu
sambil mengamati marga jawa , bagaikan elang untuk
aidit .
Pada awal musim gugur aidit sudah menyerang
pihak jawa . Ia menundukkan Kinomoto dalam
serangan mendadak melawan centeng radenkanjeng .
centeng sinuhun berhasil merebut lebih dari dua ribu
9 ratus kepala. Mereka terus mendesak musuh
yang kini melarikan diri dari Yanagase, mengejar
mereka dan membanjiri rumput yang mulai
mengering dengan darah.
Para prajurit radenkanjeng menyesali kelemahan centeng
mereka. namun para resi dan prajurit gagah yang
berbalik untuk berperang akhirnya takluk dalam per-
tempuran. Mengapa mereka begitu lemah? Mengapa
mereka tak mampu menangkis serangan orang-orang
sinuhun ? Sebuah kekalahan selalu disebabkan oleh
kombinasi beberapa faktor, dan saat kejatuhan datang
secara mendadak. Namun kalau saat itu tiba, baik
kawan maupun lawan tercengang. namun pasang-surut
sebuah provinsi selalu didasarkan atas fenomena alam,
dan di sini pun sebetulnya tak ada keajaiban atau
keanehan. Ketidakberdayaan centeng mpu djiwo dapat
dimengerti dengan melihat sikap panglimanya,
Yoshikage. Terperangkap dalam arus prajurit yang
melarikan diri dari Yanagase. Yoshikage tampak
kalang kabut.
"Semuanya sudah berakhir! Kita bahkan tak bisa
melarikan diri! Aku dan kudaku kehabisan tenaga.
Lari ke pegunungan!" ia berseru. Yoshikage tak punya
rencana untuk serangan balasan. Semangat juangnya
tak tersisa sedikit pun. Ia hanya memikirkan dirinya
sendiri. Ia turun dari kudanya dan mencoba ber-
sembunyi di gunung-gunung.
"Apa yang tuanku lakukan?" Sambil memarahinya
dengan mara berkaca-kaca, pengikut utama Yoshikagc.
Takuma wirongeni . menarik ikat pinggang junjungan-
nya. memaksanya kembali menaiki kuda. dan men-
dorongnya ke arah radenkanjeng . lalu , untuk mem-
beri waktu pada junjungannya untuk melarikan diri,
Takuma wirongeni mengumpulkan lebih dari seribu
prajurit dan menghadapi centeng sinuhun selama
mungkin.
Rasanya tak perlu diceritakan bahwa Takuma dan
seluruh anak buahnya gugur. Mereka menderita
kekalahan total. namun , sementara pengikut-pengikut
yang begini setia mengorbankan nyawa , Yoshikagc
mengurung diri di dalam benteng kota utamanya di
Ichijogadani. Namun ia bahkan tak sanggup
mengerahkan semangat tempur untuk mempertahan-
kan tanah leluhurnya.
Tak lama sesudah kembali ke benteng kotanya, ia
membawa anak-istrinya dan melarikan diri ke sebuah
kuil di Distrik Ono. Ia berdalih bahwa jika ia tetap
bertahan di dalam benteng kota dan keadaan bertambah
gkertoarjo t, ia tak punya kesempatan untuk meloloskan
diri. Melihat pemimpin mereka bersikap seperti ini.
semua resi dan prajuritnya membelot.
Musim gugur sudah tiba. aidit kembali ke
perkemahannya di Gunung lawu . Ia sudah
mengepung sinuhun ni. Sejak kedatangannya, ia tampak luar biasa tenang, seakan-akan ia tinggal menunggu sampai benteng kota itu takluk. sesudah kekalahan radenkanjeng
yang begitu cepat, ia segera kembali sementara
reruntuhan Ichijogadani masih membara. Kini ia
memberikan perintah-perintah.
sinuhun Yoshitsugu, resi radenkanjeng yang sudah
menyerah, diberi komando atas benteng kota Toyohara.
mpu djiwo Kageaki ditunjuk untuk mempenahankan
benteng kota Ino, dan Tsinuhun Yarokuro diperintahkan
menempati benteng kota di Fuchu. Dengan demikian,
aidit memberi tugas pada sejumlah besar
pengikut mpu djiwo yang sudah mengenal kondisi di
provinsi itu . Akhirnya tribuana tunggadewa mem-
peroleh tanggung jawab sebagai pengawas mereka.
Kemungkinan besar tak ada yang lebih pantas
mengemban tanggung lkertoarjo b ini selain tunggadewa .
Dalam pengembaraannya ia sempat menjadi pengikut
marga mpu djiwo dan tinggal di kota benteng kota
Ichijogadani. saat itu ia hanya memperoleh tatapan
dingin dari rekan-rekannya. Kini situasinya terbalik, ia
menyerbu bekas majikannya.
Dada tunggadewa tentu menggelora dengan perasaan
bangga dan berbagai emosi lain. Kecerdasan dan
kemampuan tunggadewa sudah berulang kali menarik
perhatian, dan ia sudah menjadi salah satu pengikut
favorit aidit . Daya pengamatan tunggadewa lebih
tinggi dibanding sebagian besar orang lain. dan sesudah
bertahun-tahun ikut dan dalam pertempuran-
pertempuran dan menjalankan tugas sehari-hari. ia
cukup mengenal watak Nobiinaga. Ia memahami
roman muka, ucapan, dan tatapan junjungannya
bahkan dari jauh sama seperti ia memahami dirinya
sendiri.
Setiap hari sinuhunprabu berkali-kali mengutus kurir dari radenkanjeng . Masalah yang paling kecil pun tak pernah ia putuskan sendiri. Dalam situasi apa pun ia memohon petunjuk aidit . aidit mengambil keputusan di perkemahan di Gunung lawu .
sambil mempelajari catatan dan surat yang dikirim
tunggadewa .
Gunung-gunung yang diselubungi warna-warni
musim gugur berbatasan dengan langit biru tak
berawan , yang sebaliknya terpantul pada permukaan
air danau di bawah . Kicau burung mengundang kuap
di sana-sini.
patih ronggolawe bergegas melintasi pegunungan dari
mergoharjoyo . Sepanjang perjalanan ia bersenda gurau
dengan anak buahnya. Giginya terlihat putih berkilau,
setiap kali ia tertawa . Ia menegur semua orang di
sekitarnya saat mendekati tujuan. Inilah orang yang
membangun benteng kota di kahuripan. dan lalu
diberi kepercayaan untuk memimpin benteng kota
mergoharjoyo . Tanggung jawab dan kedudukannya di
antara resi -resi centeng sinuhun menanjak cepat
sekali, namun sikapnya tetap sama.
Di antara resi -resi lain yang membandingkan
tingkah laku patih ronggolawe dengan pembawa an mereka
sendiri yang serbaserius, ada yang berpendapat bahwa
ia sembrono dan tidak bijaksana, namun ada juga yang
memandangnya secara berbeda. Mereka ini kerap
berkata. "Dia pantas menduduki posisinya. Dia tidak
berubah dari dahulu , walaupun upahnya sudah naik.
Mula-mula dia seorang pelayan, lalu seorang
centeng adipati , dan tiba-tiba dia sudah menjadi komandan
benteng kota. namun dia sendiri tidak berubah. Bisa
dibayangkan bahwa dia akan merebut wilayah yang
lebih luas lagi."
patih ronggolawe baru saja memperlihatkan batang
hidungnya di perkemahan. sebelum menarik per-
hatian aidit dengan beberapa patah kata. Berdua
mereka mendaki lereng gunung.
"Tak tahu diri!" nyoto dijoyo berseru saat ia
dan mpu wiragajah mpu wiraghanda berjalan melewati barak-barak.
"Inilah sebabnya dia tidak disukai, padahal seharus-
nya tak perlu begitu. Tak ada yang lebih menyebalkan
selain mendengarkan orang yang selalu membangga-
banggakan kecerdikannya sendiri." Sambil menyem-
burkan kata-kata itu, mereka memperhatikan sosok
patih ronggolawe melintasi daerah paya-paya di kejauhan
bersama aidit .
"Dia tak pernah mengatakan apa-apa pada kita tak
pernah berkonsultasi."
"Dan bukankah tindakannya sekarang amat
berbahaya? Bahkan di siang hari bolong, musuh bisa
bersembunyi di mana-mana di pegunungan ini. Apa
jadinya kalau mereka mulai menembak?
"Hmm, itulah Yang Mulia."
"Bukan, ini salah patih ronggolawe . Walaupun Yang Mulia
dikelilingi banyak orang, patih ronggolawe tak segan-segan
melakukan apa saja untuk menarik perhatiannya."
Selain dijoyo dan mpu wiraghanda masih ada beberapa
komandan lain yang tidak menyukai situasi ini.
Sebagian besar dari mereka menduga bahwa
patih ronggolawe mengajak aidit ke pegunungan untuk
membahas strategi perang dengan memanfaatkan
lidahnya yang fasih. Inilah yang menimbulkan
perasaan tak senang dalam hati mereka.
"Dia tidak mengacuhkan kita kelompok utama di
antara resi -resi nya."
Tidak jelas apakah patih ronggolawe tidak memahami sifat
manusia atau memang memilih untuk tidak mem-
perhatikannya, namun nyatanya ia mengajak aidit
berjalan-jalan di pegunungan. Sesekali ia tertawa
dengan suara keras, yang sebetulnya lebih cocok
untuk suasana berlibur. Jika pengikut patih ronggolawe dan
aidit digabungkan, rombongan pengiring
mereka berjumlah tak lebih dari dua puluh sampai
tiga puluh orang.
"Mendaki gunung betul-betul memancing keringat.
Apakah hamba bisa membantu tuanku?"
"Jangan menghina."
"Tinggal sedikit lagi."
"Aku belum puas mendaki. Tak adakah gunung
yang lebih tinggi dari ini?"
"Sayangnya tidak, paling tidak di sekitar sini. namun
ini pun sudah cukup tinggi!"
Sambil mengusap keringat dari wajahnya.
aidit memandang lembah-lembah di bawah
mereka. Ia melihat centeng patih ronggolawe bersembunyi di
antara pepohonan, berjaga-jaga.
"Orang-orang yang menyertai kita sebaiknya ber-
henti di sini. lebih baik tidak ada rombongan besar
yang melewati titik ini." patih ronggolawe dan aidit
berjalan sekitar tiga puluh langkah ke punggung bukit.
Di sini tidak ada pohon. Rumput hijau yang cocok
untuk makanan kuda tumbuh subur di lereng gunung.
Kedua laki-laki itu maju tanpa bersuara. Mereka
seakan-akan memandang ke tengah laut, ke hamparan
luas yang kosong.
"Merunduklah, tuanku."
"Seperti ini?"
"Bersembunyilah di tengah rerumputan." saat
mereka merangkak ke tepi jurang, sebuah benteng kota
mulai tampak di lembah di bawah mereka.
"Itulah sinuhun ni." ujar patih ronggolawe sambil menunjuk ke
arah benteng kota itu.
aidit mengangguk dan memandangnya sambil
membisu. Matanya diselubungi emosi mendalam, la
tidak sekadar mengamati benteng kota utama pihak
musuh, benteng kota yang kini sudah terkepung itu
merupakan tempat tinggal adik wanita lesbian nya, radenmas .
yang sudah melahirkan empat anak sejak menjadi istri
penguasa benteng kota itu .
aidit dan patih ronggolawe duduk. Bunga-bunga dan
ujung rerumpuran menggelitik telinga mereka. Tanpa
berkedip aidit menatap benteng kota di lembah, lalu
berpaling pada patih ronggolawe .
"Aku percaya adikku marah padaku. Akulah yang
memutuskan bahwa dia harus menikah dengan
anggota marga jawa , bahkan tanpa menanyakan
pendapatnya. Dia memperoleh pesan bahwa dia harus
berkorban demi kebaikan marga sinuhun , dan bahwa
pernikahan itu diperlukan untuk melindungi provinsi
kita. patih ronggolawe , peristiwanya masih terbayang jelas di
depan mataku."
"Hamba juga masih mengingatnya," kata patih ronggolawe .
"Adik tuanku membawa barang dalam jumlah yang
luar biasa, dan tandunya indah sekali. Dia dikelilingi
pelayan dan kuda-kuda yang penuh hiasan.
Keberangkatannya menuju tempat pernikahannya di
utara Danau Biwa memang sukar dilupakan."
"saat itu radenmas masih gadis lesbian polos yang baru
berusia empat belas tahun."
"Pengantin cilik yang cantik sekali."
"patih ronggolawe ."
"Ya?"
"Kau mengerti, bukan? Hariku serasa disayat-sayat..."
"sebab alasan yang sama, hamba pun merasa berat
sekali."
aidit menunjuk ke arah benteng kota dengan
dagunya. "Memutuskan untuk menghancurkan
benteng kota ini tidak sulit, namun kalau aku memikirkan
untuk mengeluarkan radenmas dari sana tanpa cedera...
"saat tuanku memberikan perintah pada hamba
untuk mempelajari medan di sekitar benteng kota sinuhun ni.
hamba segera menebak bahwa tuanku merencanakan
serangan terhadap orang-orang mpu djiwo dan jawa .
Ucapan hamba mungkin berkesan menyombongkan
diri, namun jika tuanku memperkenankan hamba
berbicara apa adanya menurut hamba, tampaknya
tuanku enggan mengemukakan perasaan tuanku,
apalagi sumber kegelisahan tuanku. Tak sepatutnya
hamba mengatakan ini, namun sepertinya hamba sudah
menemukan satu lagi kelebihan tuanku."
"Kau satu-satunya." aidit berdecak. "dijoyo ,
mpu wiraghanda, dan yang lain memandangku seakan-akan
aku sudah membuang-buang waktu selama sepuluh
hari terakhir. Wajah mereka menunjukkan bahwa
mereka sama sekali tidak memahami perasaanku.
Terutama dijoyo . Sepertinya dia menertawa kanku di
balik punggungku."
"Itu sebab tuanku masih bimbang."
"Bagaimana aku tidak bimbang? Kalau kita
menghancurkan musuh sedikit demi sedikit, tak perlu
diragukan bahwa jawa kalasan dan ayahnya akan
menyeret radenmas menuju kematian di tengah kobaran
api bersama mereka."
"Rasanya memang itu yang akan terjadi."
"patih ronggolawe , sejak pertama kau bilang perasaanmu
sama dengan perasaanku, namun kau mendengarkan
semuanya ini dengan ketenangan yang luar biasa.
Apakah kau memiliki sebuah rencana?"
"Hamba bukannya tanpa rencana."
"Hmm, kalau begitu mengapa kau tidak menjelas-
kannya, agar pikiranku bisa tenang kembali?"
"Belakangan ini hamba berusaha keras tidak mem-
berikan saran-saran."
"Kenapa?"
"sebab masih banyak orang lain di markas
tuanku."
"Kau takut memancing kedengkian? Itu pun bisa
mengganggu. namun yang paling penting, akulah yang
memutuskan segala sesuatu. Cepat, ceritakan rencana-
mu."
"Perhatikan benteng kota itu dengan saksama."
patih ronggolawe menunjuk benteng kota sinuhun ni. "Yang membuat
benteng kota ini istimewa adalah letak ketiga kubu
pertahanan yang saling terpisah dan tidak tergantung
satu sama lain. Yang Mulia buanakarta tinggal di kubu
penama, sedangkan putranya. kalasan , ditambah Putri
radenmas dan anak-anaknya tinggal di kubu ketiga."
"Di sebelah sana?"
"Ya, tuanku. Nah, daerah yang bisa tuanku lihat
antara kubu pertama dan ketiga dinamakan Kubu
trenggono, tempat para pengikut senior, yaitu jawa
yodono, Mitamura Uemondayu, dan Onogi Tosa
ditempatkan. Jadi, untuk menaklukkan sinuhun ni,
sebaiknya jangan serang kepala maupun ekornya. Jika
kita bisa merebut Kubu trenggono, hubungan antara
kedua kubu lain akan terpotong."
"Hmm. Maksudmu, langkah kita yang berikut
adalah menyerang Kubu trenggono."
"Bukan, jika kita menyerbu kubu itu, kubu penama
dan kedua akan segera mengirim bala bantuan.
centeng kita akan diserang dari kedua sisi, dan akan
terlibat penempuran sengit. Kalau itu terjadi, apakah
kita harus mendesak maju atau bergerak mundur? Apa
pun yang kita pilih, kita tak bisa memastikan nasib
Putri radenmas di dalam benteng kota."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Strategi terbaik adalah mengirim utusan kepada
orang-orang jawa , membeberkan keuntungan dan
kerugian situasi ini dengan jelas, dan memperoleh
benteng kota dan Putri radenmas tanpa insiden."
"Mestinya kau tahu bahwa aku sudah dua kali
mencobanya. Aku sudah mengirim kurit ke sana. Aku memberitahu mereka bahwa jika mereka menyerah, mereka tetap boleh menduduki wilayah mereka. Aku
memastikan mereka mengetahui kekalahan radenkanjeng ,
namun baik kalasan maupun ayahnya udak akan
menyerah. Mereka benekad untuk memperlihatkan
betapa hebatnya mereka, namun sebetulnya
'kehebatan' mereka terbatas pada memakai nyawa
radenmas sebagai tameng. Mereka pikir aku takkan
melancarkan serangan habis-habisan selama adikku
sendiri berada di benteng kota itu."
"namun bukan itu saja. Selama dua tahun berada di
mergoharjoyo , hamba mengamati kalasan dengan
cermat, dan dia memiliki bakat dan kemauan keras.
Ehm, sudah lama hamba berusaha menyusun rencana
untuk merebut benteng kota ini, mencari strategi terbaik
seandainya suatu waktu kita harus menyerang. Hamba
berhasil merebut Kubu trenggono tanpa kehilangan
satu orang pun."
"Apa? Apa katamu?" aidit meragukan pen-
dengarannya sendiri.
"Kubu kedua yang terlihat di sebelah sana. Orang-
orang kita sudah mengikutinya," patih ronggolawe meng-
ulangi, "Jadi hamba berkata bahwa tuanku tak perlu
gelisah khawatir lagi."
"Betulkah?"
"Mungkinkah hamba berbohong dalam situasi
seperti ini, tuanku?"
"namun ... aku tak bisa mempercayainya."
"Itu bisa dimengerti, namun sebentar lagi tuanku akan
mendengarnya dari dua orang yang sudah hamba
panggil ke sini. Sudikah tuanku menemui mereka?"
"Siapa kedua orang iiu?"
"Yang pertama seorang biksu bernama Miyabe
Zensho. Yang satu lagi Onogi Tosa, komandan kubu
itu."
aidit tak sanggup menyembunyikan ke-
heranannya. Ia percaya pada patih ronggolawe , namun ia pun
bertanya-tanya bagaimana patih ronggolawe berhasil mem-
bujuk pengikut senior marga jawa untuk menyeberang
kc pihak meteka.
patih ronggolawe menjelaskan situasinya, seakan-akan
tidak ada yang luar biasa. "Tidak lama sesudah tuanku
menganugerahkan benteng kota di mergoharjoyo pada
hamba...." ia mengawal i ceritanya.
aidit agak terkejut. Ia tak sanggup menatap
orang di hadapannya tanpa berkedip-kedip. benteng kota
mergoharjoyo terletak di garis depan kkertoarjo san strategis ini.
dan centeng patih ronggolawe bertugas menyerbu orang-
orang jawa dan mpu djiwo. aidit ingat bahwa ia
menempatkan patih ronggolawe untuk sementara di sana.
namun ia tak ingat janji untuk memberikan benteng kota itu.
namun sekara