Sebuah aksi unjuk rasa meletus setelah video hasutan disebarkan. Di
tempat lain, segerombolan massa mengikuti seruan seorang pengkhotbah
untuk menyerang anggota kelompok minoritas. Sementara itu, seorang
politisi memimpin demonstrasi anti-pendatang dan pengungsi dengan
menggambarkan nilai-nilai agama mereka sebagai asing dan berbahaya.
Letusan-letusan intoleransi di atas sudah menjadi hal yang umum
dijumpai di seluruh dunia. Para komentator sudah membuat banyak
analisis untuk mencoba memahami kecenderungan ini . Menurut
salah satu perspektif yang cukup terkenal, kini kita sedang bergolak dalam
benturan peradaban. Kejadian-kejadian intoleransi tadi tentu didorong oleh
emosi mendalam dan naluri primordial yang mengemuka saat keyakinan
agama yang mengakar berbenturan dengan ide modernitas-sekular
dan agama-agama lain. Para komentator menyarankan agar kebebasan
berekspresi dipangkas demi menghormati nilai-nilai agama. Komentator
lain dari kalangan liberal menyarankan agar kelompok-kelompok agama
dapat menerima ujaran kebencian sebagai konsekuensi dari kewargaan
demokratis.
Pernyataan-pernyataan di atas terdengar sangat familiar bagi siapa saja
yang mengikuti debat seputar peristiwa-peristiwa semacam pembunuhan
terkait satir yang diterbitkan majalah Charlie Hebdo (2015).
Dalam buku ini, saya berpendapat bahwa pernyataan dan saran-saran
di atas, meskipun sering kita dengar, tidak tepat. Para komentator di
atas telah salah mendiagnosis penyebab-penyebab perselisihan agama,
salah menafsirkan peran yang dimainkan kebebasan berekspresi, dan
salah meresepkan hal-hal terkait ujaran kebencian, yang justru dapat
memperparah keadaan. Pada sisi lain, saya menunjukkan bahwa episode-
episode hasutan dan keterhasutan berbasis agama bukanlah produk alami
atau langsung dari keberagaman masyarakat, melainkan suatu pertunjukan
yang sengaja dibuat oleh wirausahawan politik dalam upaya meraih
kekuasaan. Para oportunis ini secara selektif memanfaatkan sentimen
agama masyarakat dan mendorong pengekspresian kehendak massa, dalam
rangka memobilisasi mereka ke arah tujuan-tujuan anti-demokratis. Ini
penggunaan kekuatan rakyat untuk memperlemah kekuatan rakyat itu
sendiri. Menurut saya, hukum harus melarang penyalahgunaan kebebasan
berekspresi untuk tujuan-tujuan diskriminasi atau kekerasan terhadap
kelompok-kelompok rentan. Di sisi lain, hukum juga tidak boleh melayani
ledakan ketersinggungan yang oportunistik dengan cara membatasi apa
pun yang dianggap menyinggung. Demokrasi harus melindungi ruang
publik untuk mewadahi perdebatan yang bermutu di antara pandangan-
pandangan yang bertolak belakang – termasuk nilai-nilai agama – dan
pada saat yang sama menjamin bahwa individu dari iman apa pun dapat
menjalankan haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
secara setara dan tanpa rasa takut. Nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan
dalam demokrasi terganggu bukan saja saat negara lalai menjalankan
tanggungjawabnya menyediakan rasa aman bagi komunitas-komunitas
paling rentan, namun juga saat ia secara serampangan melakukan intervensi
guna melindungi perasaan kelompok-kelompok yang meneriakkan
kemarahan terhadap hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan.
Sayangnya, ekspresi intoleransi agama yaitu sesuatu yang umum
terjadi. Di Hungaria dan beberapa bagian Eropa lain, misalnya, berbagai
kelompok mengekspresikan anti-Semitisme secara terang-terangan.1 Sikap
kelompok pro-pribumi dan nasionalis ekstrem cenderung mirip dengan
beberapa imigran Muslim radikal. Kelompok radikal ini menyerukan
permusuhan terhadap kelompok agama minoritas lain, seraya memprotes
aksi menyetankan (bigotry) yang mereka sendiri hadapi. Sementara itu, para
penguasa di Rusia memolisikan isu-isu penistaan agama dengan antusias.
Atas perintah salah seorang pendeta Ortodoks Rusia, pihak berwenang
membubarkan opera avant-garde yang menampilkan adegan penyaliban
Yesus Kristus di antara kaki seorang perempuan telanjang. Tuntutan
pidana diajukan terhadap direktur dan manajer teater terkait. Meski pada
akhirnya keduanya dibebaskan, manajer teater yang bersangkutan dipecat
oleh Menteri Kebudayaan Rusia.2
3
Ketegangan serupa juga ditemukan di kawasan-kawasan lain di muka
bumi. Di salah satu desa di Mesir, lima pelajar Kristen mementaskan
sandiwara humor yang menertawakan IS atau Islamic State (Negara Islam).
Setelah telepon genggam guru mereka dicuri, rekaman video sandiwara
mereka tersebar dan rumah-rumah pelajar Kristen Koptik ini diserang.
Si guru dan kelima siswanya, semua di bawah 18 tahun, dikenai tuntutan
penghinaan terhadap agama.3 Di Nigeria, pemilihan presiden tahun 2015
diwarnai ujaran kebencian. Uskup David Oyedepo, salah seorang pastor
terkaya di Afrika, secara publik menyatakan dukungannya kepada petahana
Goodluck Jonathan, seorang Kristen dari Nigeria Selatan, yang ditantang
kandidat Muslim dari Utara, Muhammadu Buhari, yang akhirnya keluar
sebagai pemenang. Dalam satu khotbah sebelum pemilihan umum, uskup
ini menyerukan ke kongregasinya bahwa dia telah dimandatkan untuk
melawan jihadis Muslim. “Jika kau menangkap seseorang yang terlihat
seperti mereka, bunuhlah! Bunuhlah dan copotlah lehernya.”4
Di Brazil, sebuah gerakan evangelis agresif menyebabkan meningkatnya
aksi-aksi intoleran terhadap kelompok homoseksual dan minoritas agama,
misalnya penganut kepercayaan lokal Candomblé. Salah seorang korbannya
yaitu seorang gadis berusia 11 tahun yang terkena lemparan batu dari
sekelompok pria yang melambai-lambaikan Alkitab,, sambil berteriak
bahwa orang-orang seperti dirinya pantas terbakar di neraka.5 Di Amerika
Serikat, aktivis anti-Islam Pamela Geller mencela umat Muslim dengan
mengorganisir pameran seni dan lomba kartun Nabi Muhammad, dengan
mengaku-ngaku bahwa kegiatan ini dilakukan guna membela kebebasan
berekspresi pasca pembunuhan terkait Charlie Hebdo. Dua orang yang
tersinggung dan menyerbu pameran ini dengan senjata api ditembak
mati di luar lokasi pameran.6 Tidak berhenti di situ, Geller mencoba
membeli ruang iklan guna menampilkan kartun Nabi Muhammad di sistem
transportasi umum Washington D.C., yang mendorong pihak berwenang
melarang semua iklan berbasis isu (bukan berbasis produk) sebab alasan
keamanan.7
Di Myanmar, kampanye anti-Muslim yang digawangi biksu-biksu
Buddha radikal seperti Ashin Wirathu mulai cenderung ke arah
genosida.8 saat Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, menyerukan
perlunya perlindungan yang lebih baik bagi minoritas Rohingya, anggota
parlemen Myanmar menuduhnya telah berbicara mengenai kelompok
etnis yang tidak pernah ada serta menghina kedaulatan Myanmar.9 Kasus
mengkhawatirkan terjadi di Singapura, bukan sebab ekstremnya tapi
sebab remehnya. Seorang blogger mengundang reaksi pihak berwajib
sebab menyamakan Lee Kuan Yew, yang baru saja wafat, dengan Yesus
Kristus. Blogger ini dituntut dan dipenjarakan menyusul aduan
kelompok Kristen kepada polisi. Yang mereka adukan ini yaitu seorang
siswa berusia 16 tahun.10
Insiden-insiden di atas, yang terjadi enam bulan sebelum dan setelah
serangan Charlie Hebdo, mengesankan bahwa pembantaian di Paris ini
melambangkan sebuah fenomena global. Kasus-kasus ini memiliki elemen
serupa, termasuk intoleransi mendalam terhadap keberagaman, hinaan
terhadap identitas, seruan mobilisasi intra-kelompok, dan penyensoran
atau pun penindasan atas kelompok tertentu. Ini semua yaitu bahan dasar
“ujaran kebencian”, salah satu kategori ujaran ekstrem yang telah menjadi
bahan kajian selama puluhan tahun. Ujaran kebencian bisa didefinisikan
sebagai penghinaan atas identitas suatu kelompok guna menindas anggota-
anggotanya serta mengurangi hak-hak mereka. Retorika anti-Semitik oleh
kelompok ekstrem kanan di Eropa masuk dalam kategori ini, sebagaimana
halnya seruan Uskup Oyedepo agar membunuh siapa saja yang “terlihat
seperti” seorang jihadis, serta klaim Ashin Wirathu bahwa setiap biksu
harus memperlakukan Muslim sebagaimana dia memperlakukan kotoran
manusia
Namun demikian, dalam kasus-kasus lain, elemen-elemen serupa
juga muncul, tapi dalam bentuk yang berbeda. Ingat bahwa dalam kasus
klasik ujaran kebencian, bahaya utamanya – aksi eksklusi maupun tindak
kekerasan – dialami oleh kelompok-kelompok yang ditarget oleh ekspresi-
ekspresi kebencian ini . Sebaliknya, dalam kasus-kasus di mana yang
diserang yaitu blogger dan jurnalis, atau saat media seperti film dan
opera disensor sebab kontennya dinilai menyinggung perasaan, yang
terjadi justru kebalikannya. Mereka yang mengaku sebagai korban yang
tersinggung melakukan pembalasan yang jauh lebih agresif dibandingkan
dengan perasaan terluka akibat hinaan media itu sendiri. Ekspresi verbal
dibalas dengan tindakan kekerasan. Ujaran kebencian biasanya yaitu
proses strategis saat mereka yang intoleran terhadap keberagaman
melukai perasaan kelompok lain, dalam kategori kedua, mereka merasa
dilukai perasaannya dan tersinggung. Yang pertama secara terang-terangan
menyerang komunitas tertentu, yang kedua mengambil posisi sebagai
korban yang terprovokasi, dengan memiliki tujuan jahat.
5
Sejauh ini, kita belum memiliki kosakata yang tepat guna menamai
hasutan dua sisi oleh kelompok intoleran ini. Saya menyebutnya pelintiran
kebencian, sebuah istilah yang mencakup ujaran kebencian dan fenomena
saudaranya, yang berkebalikan 180 derajat. Saya mendefinisikan pelintiran
kebencian sebagai penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan,
dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas
kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan.
Ada banyak agen kebencian yang secara lihai memainkan hasutan
dan keterhasutan, bahkan seringkali secara bersamaan. Kata “spin”
(pelintiran) mengilustrasikan kesewenang-wenangan kampanye mereka.
Makna kontemporer sehari-harinya menunjukkan bahwa pelintiran
kebencian yaitu propaganda yang terkalkulasi dan menipu. Ini yaitu
fakta yang hilang dalam banyak interpretasi populer mengenai intoleransi
agama, termasuk dalam pernyataan-pernyataan yang saya ajukan di
paragraf-paragraf pembuka bab ini. Kamera media fokus menggambarkan
orang-orang yang mencak-mencak terhadap buku, film, rumah ibadah,
dan orang-orang yang tidak bisa mereka terima. Kemarahan mereka
yang memikat kamera itu mungkin tidak seluruhnya dibuat-buat. Akan
tetapi, seperti yang akan kita telusuri di bagian selanjutnya, dalam
hampir semua aksi massa yang besar dan berkelanjutan, agitasinya tidak
spontan dan dapat dielakkan. Galilah sedikit permukaannya, dan kita
akan menemukan tukang pelintir yang menggerakkan aksi-aksi ini .
Mereka yaitu wirausahawan politik yang memanipulasi emosi-emosi
terdalam masyarakat, namun mereka sendiri secara dingin mengkalkulasi
penggunaan teknik-teknik persuasi, dari retorika biasa hingga fitur terbaru
dalam media sosial. Agen pelintiran kebencian ini biasanya yaitu bagian
dari kelompok elite – pemimpin organisasi politik atau agama, atau bahkan
pejabat pemerintahan – yang diuntungkan dengan menyamarkan upaya
mereka mencari kekuasaan di balik kedok sentimen populer berbasis
agama. saat para oportunis ini berhasil, mereka dapat melepaskan
kekuatan politik yang jauh lebih mengintimidasi sekaligus menggiurkan
daripada kampanye hubungan masyarakat biasa.
Dalam buku ini saya menyelidiki fenomena global pelintiran kebencian
dan implikasinya pada regulasi kebebasan berekspresi di negara-negara
demokrasi. Tantangan kebijakan menghadapi pelintiran kebencian yaitu
bagian dari dilema yang lebih besar: bagaimanakah kebebasan berekspresi
dapat dilindungi dan digalakkan sehingga arti pentingnya dapat disadari,
dengan tetap merangkul tanggung jawab yang menyertainya? Dalam
kerangka perdebatan yang lebih besar ini, mungkin tidak ada pertanyaan
lebih panas dari bagaimana merespons ujaran yang menghina agama.
Tidak ada konsensus dalam topik ini, bahkan dalam tradisi pemikiran
demokratik liberal Barat, baik secara filosofis maupun dalam ilmu hukum
dan kebijakan.
Rasanya menggoda untuk memperlakukan kedua jenis pelintiran
kebencian ini – baik ujaran kebencian konvensional maupun manipulasi
ketersinggungan – sebagai permasalahan yang dapat disembuhkan dengan
resep serupa. Bagaimana pun, saat ujung dari keduanya yaitu sama-
sama kekerasan, nampaknya tidak penting apakah massa melakukan
hasutan maupun memprotes keterhasutan. Meski demikian, keduanya
penting dibedakan. Kebebasan berekspresi tidak seharusnya bersifat
mutlak atau berlaku tanpa syarat, dan sebab nya masuk akal untuk secara
hukum membatasi ujaran kebencian yang menghasut pendukungnya agar
merampas hak-hak kelompok. Namun, menerapkan batasan ini ke dalam
kasus-kasus ketersinggungan menunjukkan cacat logika dan akan berujung
pada kebijakan yang buruk. Ini terlihat dalam undang-undang anti-
penistaan agama dan produk hukum lain yang melarang melukai sentimen
agama. Regulasi semacam ini berbahaya, bukan saja sebab membatasi
ekspresi karya seniman, jurnalis, dan mereka yang keberadaannya
menentukan keberlangsungan keterbukaan dalam masyarakat, tapi juga
sebab mereka memungkinkan kelompok-kelompok dominan menekan
minoritas yang terpinggirkan, dengan mengklaim bahwa suara minoritas
ini “menghina” nilai-nilai arus utama.
Memang sangat mudah untuk mencampuradukkan hasutan dan
ketersinggungan. Mari kita tengok catatan editor yang ditulis tahun 2012
lalu di Social Identities, jurnal akademik yang mengkhususkan diri pada
kajian ras, bangsa, dan budaya. saat mendiskusikan perkembangan
menggelisahkan seputar “politik kebebasan berekspresi”, para editor
berkesimpulan berikut: “Tentu saja, demi kepentingan publik, saat
di seluruh penjuru dunia banyak orang tidak bersalah mati terbunuh,
pemerintah harus bergerak cepat menarik hal-hal yang memicu kebencian
dan kekerasan.”12 Pernyataan ini kurang lebih selaras dengan norma-
norma internasional hak asasi manusia yang mensyaratkan larangan
7
terhadap hasutan.13 Masalahnya, catatan editor di atas yaitu tanggapan
atas kekacauan yang terjadi sesudah peluncuran film berjudul Innocence of
Muslims di YouTube pada awal tahun itu. Video kasar ini jelas menghina
Islam, tetapi pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi justru
merupakan respons terhadap video ini, bukan dampak seruan oleh video
ini . Kartunis pemenang Pulitzer, Gary Trudeau, membuat kesalahan
yang sama dalam tulisannya di The Atlantic saat dia merespons insiden
Charlie Hebdo. Memperhatikan bahwa ujaran kebencian “secara langsung
mendorong kekerasan”, dia menulis: “Baiklah, voila – tujuh juta kopi
majalah yang diterbitkan sesudah pembantaian ini berujung persis pada hal
yang sama: memicu unjuk rasa kekerasan di dunia Islam, termasuk salah
satunya di Niger, di mana sepuluh orang tewas.” Sekali lagi, komentar ini
mencampuradukkan penghinaan dan ketersinggungan.14
Tinjauan Umum
Dalam buku ini, saya menyelidiki dinamika pelintiran kebencian di level
internasional dan di negara-negara demokrasi besar dengan keberagaman
agama, khususnya India, Indonesia, dan Amerika Serikat. Argumen-
argumen sentral saya yaitu sebagai berikut:
• Pelintiran kebencian yaitu teknik politik pertikaian yang secara
strategis memainkan hasutan dan keterhasutan, penghinaan
dan ketersinggungan, secara strategis. Pelintiran kebencian
mengeksploitasi kebebasan dalam demokrasi dengan memperkuat
identitas-identitas kelompok sebagai sumber daya dalam aksi-aksi
kolektif yang tujuannya tidak prodemokrasi.
• Pelintiran kebencian perlu dilawan guna melestarikan pilar kembar
demokrasi: kebebasan (liberty), termasuk kebebasan berbagi gagasan-
gagasan provokatif; dan kesetaraan (equality), termasuk kapasitas
untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, tanpa dihambat oleh
diskriminasi atau intimidasi.
• Minimnya regulasi ujaran kebencian memungkinkan impunitas
terhadap aktor-aktor yang menghasut tindak kekerasan terhadap
kelompok-kelompok rentan. Norma hak asasi manusia internasional
mengharuskan negara melindungi masyarakat dari hasutan yang
menyerukan diskriminasi dan kekerasan.
• Regulasi yang terlalu ketat memungkinkan munculnya
ketersinggungan yang dibuat-buat, yang pada akhirnya dipakai
sebagai senjata politik. Penghinaan yang disengaja dapat dikatakan
sebagai tindakan amoral, namun terlalu subyektif untuk dapat
dinyatakan ilegal.
• Cara terbaik untuk menjunjung penghormatan terhadap nilai-nilai
agama yaitu dengan melindungi hak-hak kebebasan beragama
dan menganut kepercayaan, serta membuatnya terjamin bagi setiap
individu. Upaya-upaya meningkatkan kesetaraan dan mendorong
anti-diskriminasi – dan pelarangan tindak kejahatan kebencian (hate
crime) – akan lebih efektif daripada aturan yang melarang penghinaan
terhadap agama.
• Penghinaan terhadap agama tidak dapat dimusnahkan, namun dapat
disingkirkan dari arus utama politik dengan menerapkan pluralisme
asertif yang menggabungkan mekanisme hukum, kepemimpinan
politik, aktivisme kewargaan, dan kerja sama media.
Sinopsis Buku
Dalam buku ini, saya menggabungkan diskusi konseptual dengan studi
kasus yang mendalam. Bab 2 fokus pada hukum dan konstitusi. Di situ
saya menjabarkan norma hak asasi manusia modern, yang menyerukan
perlindungan dari ekspresi-ekspresi menyerang, dan melarang hasutan
untuk melakukan tindak kekerasan. Ini yaitu pendekatan umum
yang diadopsi Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNHRC), Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR),
dan pengadilan-pengadilan negeri mayoritas demokrasi Barat. Saya
mengontraskan pendekatan ini dengan tradisi lain, yang menghukum
penistaan agama dan perilaku melukai sentimen agama. Pendekatan
ini masih diterapkan di banyak negara—beberapa di antaranya bahkan
mengaitkannya dengan hukum internasional – melalui prinsip “penistaan
agama”. Hal ini menjadi bagian dari perdebatan seputar peran norma-
norma agama dalam tata konstitusi modern. Saya mengakhiri Bab 2 dengan
ulasan pendapat para akademisi terhadap pertanyaan yang besar ini.
Dalam empat bab selanjutnya, saya menyajikan studi kasus pelintiran
kebencian yang rinci. Pada Bab 3, saya menganalisis beberapa kasus
9
lintasnegara, termasuk konflik seputar publikasi Satanic Verses oleh Salman
Rushdie dan kartun Nabi Muhammad yang dimuat surat kabar Denmark.
Internet menyediakan platform global untuk pelintiran kebencian; pada
bab ini, saya juga akan mempertimbangkan peran pihak perantara seperti
Google dalam memfasilitasi perkembangan pelintiran kebencian.
Pada Bab 4, 5, dan 6, saya menganalisis kasus pelintiran kebencian
di tiga demokrasi terbesar dunia: India, Indonesia, dan Amerika Serikat.
Tujuan saya bukanlah membuat laporan nasional yang komprehensif
mengenai intoleransi agama di ketiga negara ini , melainkan
mempelajari bagaimana pelintiran kebencian berkembang dalam konteks
yang berbeda-beda. Pelintiran kebencian mungkin akan berdampak paling
buruk di negara-negara non-demokrasi, mengingat institusi independen
resolusi konflik dan perlindungan hak asasi manusia cenderung tidak
memadai. Dalam masyarakat semacam ini, tidak sulit menganalisis letak
permasalahannya. saat sejak awal tidak ada penghargaan terhadap
ekspresi, ketersinggungan hanyalah alasan menekan kebebasan berekspresi
– dan debat terkait bagaimana menanggulanginya cenderung “kosong atau
bahkan sekadar sandiwara – sehingga hasilnya sudah bisa diramalkan sejak
awal,” sebagaimana dikatakan penulis dan pembela HAM dari Hungaria,
Miklos Haraszti.15 Sebaliknya, pelintiran kebencian menjadi masalah yang
lebih rumit dalam masyarakat yang lebih terbuka, yang berkomitmen
menjaga ruang kebebasan berekspresi. Dalam tingkatan yang berbeda-
beda, hal ini menggambarkan kasus India, Indonesia, dan Amerika Serikat
– ketiganya sangat alergi terhadap kontrol pemerintah atas media dan
komunikasi. Masing-masing memiliki agama mayoritas yang berbeda, dan
hal ini menunjukkan bahwa fenomena pelintiran kebencian tidak terbatas
pada satu agama saja.
Dalam dua bab terakhir, saya memperluas lensa analisis dan berupaya
menemukan pola di balik kasus-kasus ini . Pada Bab 7, saya
menyelidiki peran media dan masyarakat sipil dalam memfasilitasi atau
melawan pelintiran kebencian. Aneka peran ini – seperti juga aturan
perundangan – dapat menjadi bagian dari solusi, atau justru bagian dari
masalah. Pada Bab 8, saya menyimpulkan temuan-temuan dalam buku
ini. Guna melawan pelintiran kebencian, negara-negara demokrasi harus
mengakui canggihnya para wirausahawan politik memakai strategi
ini. Saya menunjukkan bagaimana pendekatan mereka yang strategis,
fleksibel, dan berbasis jaringan menjadikan kita sulit meregulasi pelintiran
kebencian. Solusi-solusi hukum terkadang memang diperlukan, tapi
solusi biasanya tidak cukup. sebab nya, perlawanan terhadap pelintiran
kebencian membutuhkan pula respons politik dan kewargaan. Solusi-solusi
ini harus dibangun di atas komitmen normatif yang jelas terhadap visi
kebangsaan yang kosmopolitan dan inklusif.
Sebuah Dilema Demokrasi
Jika kita menyebut konflik agama, mayoritas orang akan berpikir
tentang terorisme. Studi ini, di sini lain, membahas bahaya-bahaya
yang lain. Mereka tidak sespektakuler kerusakan yang diakibatkan oleh
teroris; mereka mungkin tidak menghasilkan disrupsi dan ketakutan
yang setara dengan terorisme. Meski demikian, bukan berarti mereka
dapat diremehkan. Setiap tahunnya, jauh lebih banyak orang — bahkan
ribuan lebihnya — menjadi korban kekerasan dan diskriminasi agama
daripada tewas dan terluka oleh aksi terorisme. Secara definisi, perlu
dipahami bahwa pelaku teror berusaha mengamplifikasi dampak-dampak
simbolik dan psikologis aksi mereka dengan memilih metode-metode
yang merebut perhatian khalayak — ini dilakukan guna mengompensasi
keterbatasan kemampuan mereka dalam mengalahkan lawan. Lebih
penting lagi, kita seharusnya peka akan berbagai bentuk ketidakadilan
dan penderitaan, bahkan saat mereka tidak berdarah-darah. Dampak
negatif dari pelintiran kebencian beragam, dari elektoral (manipulasi
ketakutan sebagai strategi kampanye politik), sosial (marginalisasi agama
minoritas), dan ideologis (sensor terhadap buku-buku dan karya seni yang
menantang narasi dominan). Dampak-dampak ini memerlukan perhatian
publik, bahkan saat mereka tidak berpuncak pada genosida atau pun
bom bunuh diri.
Yang juga dipertaruhkan yaitu kemampuan demokrasi menghadapi
keberagaman agama. Banyak dari konflik yang saya deskripsikan
dalam buku ini berkaitan dengan cara-cara yang bertentangan dalam
membayangkan suatu bangsa. Di satu sisi, ada pihak yang mendukung
kesetaraan hak dalam institusi modern sekular didesain guna mengatasi
tantangan kompleks hidup dengan keberagaman; sementara di sisi lain
ada pihak yang mendukung nasionalisme agama yang menjanjikan
ikatan komunal yang sederhana, murni, dan stabil di tengah zaman yang
meresahkan. Kita akan menemukan persaingan antarkeduanya di dalam
masyarakat mayoritas Kristen di Amerika Serikat, mayoritas Hindu
di India, dan mayoritas Muslim di Indonesia. Hal ini memang sebuah
benturan; tetapi lebih tepat disebut benturan nilai-nilai peradaban, bukan
benturan di antara peradaban itu sendiri.
Persaingan memperebutkan suara konstituen dalam demokrasi
memperparah masalah pelintiran kebencian ini. Dalam dua kejadian
terpisah di Myanmar, saya menonton pidato Aung San Suu Kyi, saya tergerak
oleh seruannya yang tegas dalam membela kebebasan dan demokrasi.
Akan tetapi, dia menjadi seorang birokrat yang memilih mengelak saat
para wartawan bertanya tentang penderitaan Muslim Rohingya di Negara
Bagian Rakhine. Dia hanya akan berbicara secara garis besar mengenai
pentingnya aturan hukum, berhati-hati menghindari tuduhan. Suu Kyi
dan partainya jelas merasakan bahwa mereka tidak dapat meminggirkan
konstituen mayoritasnya, yang dipengaruhi oleh nasionalisme Buddha
dan prasangka buruk terhadap kaum Muslim yang hanya lima persen dari
populasi Myanmar itu. Setahun kemudian, partainya, Liga Nasional untuk
Demokrasi (NLD), sama sekali tidak mengikutsertakan seorang Muslim
pun dalam 1.151 pilihan kandidatnya dalam pemilihan umum tahun 2015
yang bersejarah
Di Amerika Serikat, sebuah kampanye kebencian penting terjadi di
tahun 2010, setelah komunitas Muslim di New York mengumumkan
keinginan membangun pusat komunitas dan musala beberapa blok dari
situs World Trade Center yang lama. Meskipun proyek ini mendapatkan
dukungan lokal yang kuat, propagandis kebencian merekayasa protes
melawan apa yang mereka sebut sebagai “Masjid di Ground Zero”. Presiden
Barack Obama merespon dengan apa yang New York Times sebut sebagai
“pembelaan kuat” terhadap proyek ini .17 “Ground Zero memang
yaitu tanah yang dikeramatkan,” akunya dalam pidato Gedung Putih
saat merayakan dimulainya bulan suci Ramadan. “Tapi biarlah saya
jelaskan: sebagai seorang warga negara, dan sebagai seorang Presiden, saya
percaya bahwa umat Muslim memiliki hak yang sama untuk beribadah
sebagaimana semua orang lain di negeri ini. Termasuk di dalamnya yaitu
hak membangun tempat peribadatan dan pusat komunitas di lahan pribadi
di Manhattan bagian selatan, sesuai dengan hukum dan aturan setempat.
Ini yaitu Amerika, dan komitmen kita terhadap kebebasan beragama
haruslah tidak tergoyahkan.”18 Setelah dikritik keras oleh golongan kanan,
keesokan harinya, Obama memoderasi pandangannya. “Saya, pada saat
itu dan di masa depan, tidak berkomentar mengenai bijak atau tidaknya
membangun masjid di sana,” katanya di depan para reporter. “Saya
berkomentar, dengan sangat spesifik, mengenai hak-hak yang dimiliki
masyarakat kita, yang dituliskan sejak berdirinya negara kita.”19
Filsuf Martha Nussbaum memandang komentar plin-plan ini sebagai
“kegagalan kepemimpinan.”20 Obama memang menyuarakan pidato-pidato
cerdas dalam upaya membangun jembatan antara Islam dan Barat. Dia
melawan stereotip yang mengaitkan Islam dengan terorisme. Tetapi, dia
juga memiliki keterbatasan, yaitu sejauhmana dia berani pasang badan
untuk sebuah kelompok minoritas, di tengah persepsi bahwa dia sendiri
yaitu Muslim. Barulah di tahun terakhir kepresidenannya dia merasa
aman secara politik berfoto di dalam sebuah masjid di Amerika.21 Kebetulan
Obama dan Suu Kyi yaitu sebagian kecil dari politisi aktif yang menerima
Nobel Perdamaian. saat para pemenang Nobel Perdamaian sekalipun
gagap menanggapi pelintiran kebencian, kita mulai melihat besarnya
tantangan yang dihadapi demokrasi.
Pendekatan Interdisipliner dalam Memandang Pelintiran
Kebencian
Riset buku ini telah memakan waktu bertahun-tahun, beberapa ribu mil
perjalanan, serta tinjauan pustaka tanpa kenal lelah ke beragam literatur
akademik. Di sini, saya mengidentifikasi beberapa aliran intelektual yang
telah menginspirasi saya. Pembaca dari kalangan non-akademik dapat
memilih melewati bagian ini, dan membaca kembali buku ini di bagian
“Aksi Hasutan: Ujaran Kebencian dan Bahayanya.”
Wawasan dari Studi Ilmu Sosial dan Hukum
Saya memulai perjalanan dari studi-studi komunikasi, yang sejak lama
menaruh perhatian pada kebebasan berekspresi dan diskursus publik.
Di banyak negara, kebijakan terkait media dan komunikasi cenderung
memperlakukan agama sebagai bentuk ekspresi yang khas; ketersinggungan
agama diberikan perlakuan yang berbeda dari kritik-kritik provokatif
lain. Ini cara pandang dominan di negara saya sendiri, Singapura, yang
kebetulan merupakan salah satu negara yang paling beragam dalam
hal keyakinan.22 Di sini, keinginan terpuji melestarikan keharmonisan
antaragama diterjemahkan menjadi dukungan publik yang luas terhadap
13
penyensoran ekspresi provokatif. Saya terganggu dengan konsensus ini,
dan saya mulai melihat dengan lebih teliti bahaya yang mungkin timbul
dari ujaran yang menyinggung perasaan.
Dalam studi komunikasi, analisis diskursus telah membantu kita
mendekonstruksi ujaran kebencian dan memahami bagaimana ia bekerja.
Riset dalam studi-studi media membantu menjelaskan peran ambigu
awak media dalam demokrasi, seperti memberi suara kepada kelompok
minoritas.24 Riset di bidang ini juga telah membantu kita memahami
praktik-praktik ritualistik dalam profesi jurnalis, di antaranya bagaimana
mereka memutuskan apa yang disebut sebagai “berita” – dan dengan
demikian, suara siapa dan kejadian apa yang dipublikasikan.
Saya juga mengambil pelajaran dari kesarjanaan dalam bidang hukum.
Aturan hukum memberi batasan kepada aktor-aktor politik mengenai apa
saja yang dapat diterima dan tidak saat mereka memakai ujaran
kebencian; dan dukungan apa yang mereka bisa harapkan dari negara saat
mereka memutuskan merasa tersinggung terhadap suatu lukisan, film, atau
rumah ibadah lain. Mungkin studi-studi legal telah memberikan lebih
banyak perhatian terhadap ujaran ekstrem dibandingkan disiplin lain.25 Hal
ini antara lain disebab kan perkembangan ranah hukum HAM, di mana
genosida – dan ajakan terhadapnya melalui ujaran kebencian – dianggap
sebagai permasalahan yang sangat serius. Di sisi lain, perdebatan terkait
bentuk-bentuk ujaran kebencian yang lebih ringan, dan juga bahan-bahan
lain yang dipandang ofensif, secara rutin mewarnai pengadilan negeri
dan daerah. Yurisprudensi HAM terus berevolusi, menghasilkan diskusi
ilmiah yang intens. Hukum Internet yaitu salah satu area baru dalam
lingkaran akademik dan kebijakan, dan ujaran kebencian sering menjadi
agenda prioritas.
Meski demikian, studi ini bukanlah analisis hukum, mengingat hukum
hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang mempengaruhi perilaku
politik. Kita tidak bisa mengasumsikan bahwa diskusi antara aktor-aktor
di ranah hukum – pengacara, pembuat undang-undang, dan hakim –
merefleksikan kenyataan di lapangan. Eric Posner secara tajam mengkritik
kenaifan dalam hukum HAM. “Dalam literatur ilmu hukum, untuk
setiap tulisan empiris, ada seratus artikel yang ditulis guna menguraikan
doktrin HAM secara lebih rinci lagi,” tegas profesor hukum Universitas
Chicago ini . “Biasanya, yang dibaca dan didiskusikan para pengacara
yaitu opini-opini yudisial – yang pada kenyataannya hampir tidak ada
dampaknya terhadap siapa pun – sementara di saat yang sama mereka
mengabaikan perilaku pemerintah, LSM, dan individu.”26
Guna mengilustrasikan bagaimana hukum dan konstitusi bekerja di
lapangan, kita perlu menyeberang dari ilmu hukum ke bidang-bidang
ilmu sosial lain. Ilmu politik memiliki ketertarikan tinggi terhadap peran
kebebasan berekspresi dalam demokrasi, relasi antara agama dan politik,
serta ketegangan antara kekuasaan mayoritas dan hak minoritas – yang
semuanya menjadi keprihatinan utama saya dalam buku ini. Sebagian
besar riset mengenai hal-hal ini cenderung Eurosentris, tetapi sejak
akhir Perang Dingin, sekelompok akademisi telah berupaya memahami
keragaman sistem demokrasi yang bermunculan di seluruh dunia. Sub-
bidang perbandingan politik telah menolak cara pandang bahwa negara-
negara akan atau harus mengambil trajektori serupa model demokrasi
liberal di Amerika. Para komparativis ini justru mencoba memahami
aneka kombinasi bentuk konstitusi, pengaturan kelembagaan, dan norma
kultural yang dapat mendukung masyarakat demokratis.27 Dengan
memperhitungkan perpecahan yang kerap mewarnai masyarakat yang
sedang mengalami transisi demokrasi, beberapa studi menyimpulkan
bahwa kuasa mayoritas harus diseimbangkan dengan konstitusi yang
mengakomodasi kepentingan minoritas. Tanpa pengaturan yang baik,
pemilihan umum berpeluang memolarisasi kelompok mayoritas dan
minoritas, tanpa menjamin toleransi maupun sopan santun antarmereka.28
Komparativis lain telah mengembangkan cara pandang baru mengenai
relasi gereja dan negara, yaitu dengan tidak hanya menyoroti persaingan
antara otoritas agama dan sekular, tetapi juga menolak anggapan bahwa
di dalam demokrasi, agama tidak memiliki tempat di ruang publik.29
Senada dengan temuan-temuan perbandingan politik ini , saya
mencoba menganalisis negara-negara yang saya pelajari dari kacamata
lokal, dengan menghilangkan segala prekonsepsi mengenai institusi dan
aturan yang ideal.
Memandang Pelintiran Kebencian melalui Lensa Politik
Pertikaian
Sosiologi politik yaitu ranah yang paling kondusif untuk proyek saya.
Akademisi di sub-disiplin ini telah mencoba memahami keragaman
bentuk perjuangan politik kolektif, seperti protes, gerakan sosial, dan
revolusi. Mereka memakai istilah “aksi pertikaian kolektif ” guna
menggambarkan konfrontasi antara pemberontak, elite, dan pemerintah
yang minim sumber daya, juga lawan-lawan lain yang lebih mapan.30
Separuh jalan mengeksplorasi aneka tradisi berpikir, saya menyadari
bahwa pelintiran kebencian juga dapat dianggap sebagai teknik dalam
politik pertikaian. Studi gerakan sosial biasanya menyoroti gerakan-gerakan
dengan agenda progresif, seperti HAM dan aktivisme lingkungan. Tapi,
secara konseptual tidak ada alasan mengapa konsep dan alat analisis yang
serupa tidak dapat diaplikasikan kepada agenda-agenda anti-demokrasi,
mengingat bahwa gerakan tidaklah didefinisikan oleh tujuannya,
melainkan oleh metodenya — yaitu penggunaan politik pertikaian guna
mengompensasi kelemahan relatif mereka, atau keterpinggiran mereka,
dari lingkaran elite.
memakai lensa ini, jelas bahwa agen pemelintir kebencian,
seperti pemimpin gerakan sosial, mencoba membuat orang-orang
memikirkan situasi mereka sedemikian rupa sehingga muncul solidaritas
dan dukungan terhadap tujuan mereka.32 Guna mencapai hal ini, mereka
terlibat dalam pembingkaian kultural dan intervensi kognitif.33 Seperti
dikatakan sosiolog William Gamson, “bingkai ketidakadilan” bisa secara
efektif memobilisasi pendukung. Bingkai ini menciptakan narasi yang
meyakinkan anggota sebuah kelompok bahwa ada pihak kuat di luar
sana yang melanggar kepentingan dan nilai mereka.34 saat diletakkan
dengan simbol-simbol yang kuat, bingkai ketidakadilan menjadi lebih
relevan bagi anggota kelompok ini . Simbol-simbol ketidakadilan
ini bisa bertahan lama, seperti dalam kasus Holokaus bagi orang Yahudi,
namun banyak di antaranya yang hanya berlaku sebentar, sehingga
aktivis perlu terus-menerus mencari simbol-simbol baru. Hal ini dapat
menjelaskan antusiasme agen pemelintir kebencian dalam menyatakan
sebuah buku atau video sebagai bentuk penghinaan terhadap komunitas
mereka. Ilmuwan politik Thomas Olesen menghasilkan kesimpulan serupa
dalam studinya, saat dia membahas insiden-insiden seperti publikasi
kartun Nabi Muhammad dan skandal tahanan Teluk Guantanamo. Dia
berargumen bahwa kedua peristiwa ini dimanfaatkan sebagai simbol
ketidakadilan transnasional.35
Studi politik pertikaian juga telah memberikan kita konsep “repertoar”
pertikaian, yang tersusun dari serangkaian metode protes yang telah
berakar dalam kebudayaan lokal. Para aktivis cenderung mengambil
inspirasi dari repertoar ini , dan berinovasi memperluasnya. Misalnya
saja, saat di tahun 2014 mahasiswa saya di Hong Kong bergabung
dalam kampanye pembangkangan sipil demi reformasi politik, mereka
memakai taktik sit-in yang dikembangkan oleh generasi aktivis
sebelumnya di belahan dunia lain; mereka memilih lagu “Do You Hear the
People Sing?” dari musikal Les Misérables yang berlatar pergolakan di Paris
tahun 1832, sebagai lagu pergerakan mereka; dan mengubah payung, yang
sebelumnya mereka pakai guna melindungi diri dari gas air mata, menjadi
ikon perlawanan yang orisinal. Kita harus bisa mengantisipasi bahwa agen
pelintiran kebencian tidak kalah kreatif dalam meminjam metode-metode
pertikaian yang telah dikenal luas, sambil mengadaptasikannya agar sesuai
dengan konteks lokal.
Pendekatan sosiologis terhadap politik pertikaian ini biasanya
memakai deskripsi komparatif yang mendalam guna menggambarkan
episode-episode pertikaian, dengan maksud mengidentifikasi mekanisme
dan proses kausal di baliknya.36 Saya memakai pendekatan metodologis
serupa. Dalam buku ini saya memakai analisis aras menengah, atau
“meso”, guna menyelidiki mengapa organisasi dan institusi yang berbeda
memilih tindakan tertentu. Pendekatan ini tidak mengabaikan arti penting
analisis sosio-psikologis di aras mikro. Sebagai contoh, teori “spiral of
silence” atau “pusaran kebungkaman” dalam komunikasi politik membantu
menjelaskan mengapa kelompok moderat yang takut akan isolasi sosial
memilih tidak menyerukan ketidaksetujuan mereka terhadap tindakan
kelompok intoleran yang vokal, yang sebenarnya merupakan sebagian
kecil saja dari masyarakat.37 Bidang ilmu-ilmu terkait perilaku (behavioral
science) yang sedang berkembang menunjukkan bahwa bias-bias psikologis
yang mempengaruhi orang untuk merasa benar bahkan saat fakta
menunjukkan sebaliknya.38 Wawasan ini dapat menjelaskan bagaimana
individu-individu dapat berperilaku amoral saat komunitas-komunitas
lain menjadi target kebencian. Dari ujung lain spektrum, analisis aras
makro yang memperlakukan pelintiran kebencian sebagai akibat dari
tren sejarah dan geopolitik juga memberikan kontribusi yang bermanfaat
terhadap studi ini.
17
Penghinaan: Ujaran Kebencian dan Bahayanya
Ujaran kebencian dan keterhasutan yaitu dua sisi dari satu koin yang
sama. Dari keduanya, aksi yang pertama telah menarik lebih banyak
perhatian. Keburukan ujaran kebencian jelas terlihat dalam perannya
menggerakkan Holokaus dan aksi genosida lain. Dalam kehidupan sehari-
hari, aksi ini memfasilitasi penyebaran sikap fanatik dan mengubah sikap
ini menjadi perilaku diskriminasi, intimidasi, dan opresi. Ujaran kebencian
tidaklah baru, tetapi bahayanya terasa lebih akut saat kesetaraan telah
diakui sebagai nilai universal: semua teori modern mengenai keadilan, kata
Amartya Sen, menghargai kesetaraan dalam satu bentuk atau lainnya.39
Mendefinisikan Ujaran Kebencian
Meski sepakat bahwa istilah ujaran kebencian mengacu pada sesuatu yang
nyata dan penting, tidak ada konsensus bagaimana mendefinisikannya.
Sebagian besar perdebatan terkait konsep ini berpusat pada maknanya di
mata hukum. Sebagaimana saya tunjukkan pada Bab 2, tidak mungkin bagi
kita mendefinisikan secara universal apa itu ujaran kebencian sekaligus
menetapkan garis antara apa yang secara hukum perlu dilarang dan apa
yang boleh dilarang, betapa pun hal itu tidak mengenakkan.
Terlepas dari itu, para akademisi setuju bagaimana ujaran kebencian
bekerja dan apa dampak-dampaknya. Ujaran kebencian mengomunikasikan
gagasan-gagasan yang sangat negatif tentang suatu kelompok, atau
perwakilan kelompok, di mana kelompok didefinisikan dengan penanda
identitas seperti ras, agama, dan orientasi seksual.40 Dewan Eropa – yang
tidak hanya memfokuskan perhatian kepada aturan hukum seputar
ujaran kebencian, namun juga respons sosial dan politik terhadapnya –
mendefinisikan ujaran kebencian sebagai “semua bentuk ekspresi yang
menyebarkan, membangkitkan, mempromosikan, atau menjustifikasi
kebencian rasial, xenofobia, anti-Semitisme, atau bentuk-bentuk
kebencian lain yang didasarkan atas intoleransi, termasuk: intoleransi yang
ditunjukkan dalam nasionalisme dan etnosentrisme agresif, diskriminasi
dan sikap bermusuhan terhadap minoritas, migran, dan orang-orang dari
garis keturunan imigran.”41 Ahli hukum Alexander Tsesis menyebut ujaran
kebencian sebagai “sesat informasi yang disebarkan dengan tujuan utama
mempersekusi kelompok minoritas yang ditarget.”42
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penistaan
Bab 118
hanya akan disebut sebagai ujaran kebencian saat ditujukan kepada
kelompok-kelompok rentan. Biasanya, kelompok-kelompok rentan ini
yaitu minoritas dari segi jumlah. Akan tetapi, kelompok-kelompok yang
membenci secara ekstrem kadang memiliki jumlah anggota yang bahkan
lebih kecil dibandingkan dengan target mereka. Mungkin juga bahwa
segelintir kecil elite mengontrol kekuasaan secara hegemonik, seperti
dalam kasus Hindu Brahmana di India. sebab nya, dalam analisis atas
ujaran kebencian, istilah “minoritas” harus digunakan untuk menyebut
kelompok yang secara historis berada dalam posisi yang tidak diuntungkan
dan tertindas, yang dijadikan target. saat mencoba melawan praktik
kesalahpahaman terhadap komunitasnya dalam sebuah forum diskursus ide
terbuka, anggota kelompok-kelompok ini kerap disengsarakan oleh sejarah.
Alasan inilah yang membuat mereka membutuhkan masyarakat untuk
melakukan intervensi saat menjadi subyek serangan ujaran kebencian.
Pertanyaan mengenai kelompok mana yang harus dipertimbangkan untuk
mendapat perlakuan khusus, semacam sebuah tindakan afirmasi dalam
kerangka diskursus publik, masih terus diperdebatkan. Misalnya saja,
sebagian besar masyarakat mengakui bahwa ujaran rasis lebih berbahaya
dari ujaran homofobik atau ujaran xenofobik. Saya akan memaparkan
perkembangan pemikiran-pemikiran seperti ini lebih lanjut pada Bab 2.
Terlepas dari apakah kita bertindak di ranah teori maupun kebijakan,
bentuk-bentuk ekspresi tertentu harus dipisahkan dari definisi ujaran
kebencian yang terlampau luas. Misalnya saja, ekspresi kemarahan yang
cenderung spontan dan dapat juga dimaknai sebagai luapan perasaan
positif, bahkan cinta, harus dibedakan dari ujaran kebencian sebagai
ungkapan emosi yang lebih ajeg, kontinyu, dan memantik tindakan yang
lebih disengaja.43 Definisi ini juga selayaknya tidak digunakan untuk
mengacu pada kritik politik yang ditujukan ke pemerintah. Tentunya ini
sudah jelas. Sekalipun demikian, sangat disayangkan bahwa salah satu
alasan mengapa ujaran kebencian begitu mengemuka dalam agenda global
yaitu sebab terminologi ini menggema di kalangan elite penguasa yang
terbiasa menjadi target atau penerima serangan-serangan daring namun
tidak bisa menelannya dengan baik. Meningkatkan kualitas perdebatan
dan tetap mempertahankan kehormatan di muka publik yaitu dua
tujuan mulia, namun meregulasi ujaran kebencian yaitu persoalan
lain. Pemimpin suatu pemerintahan bukanlah kelompok orang yang
disengsarakan oleh sejarah, dan tidak ada bentuk kritik terhadap pemangku
kuasa, sekejam dan semenodai apa pun itu, yang bisa disamakan dengan
ujaran kebencian.
Bahkan jika kelompok-kelompok rentanlah yang dijadikan target,
kita tidak boleh terlalu gegabah menganggap bahwa segala ekspresi yang
menyakiti perasaan yaitu ujaran kebencian. Orang-orang memang harus
mencoba menghindari ekspresi ini dan berempati dengan mereka
yang menjadi penerima ujaran ofensif. Tentu saja, rasa luka dan rasa sakit
yaitu konsekuensi tak terelakkan dari kehidupan di masyarakat yang
terbuka. Tapi hal-hal itu bukanlah indikasi adanya masalah sistemik dalam
kebebasan berbicara, lebih dari kerugian finansial dan kebangkrutan bisa
mengindikasikan kegagalan ekonomi pasar bebas. Konsep ujaran kebencian
harus dimengerti sebagai upaya membuat ruang dalam wacana mengenai
demokrasi di mana kita mengakui satu tipe kegagalan pasar dalam pasar
ide – sebuah kegagalan yang melibatkan penyalahgunaan kebebasan
berbicara dengan cara-cara seperti merampok status kesetaraan seorang
sebagai warganegara – hingga mengikis salah satu pilar dasar kehidupan
demokratis. sebab nya, meski dalam nuansa yang non-legalistik, ujaran
kebencian harus didefinisikan sesempit-sempitnya sehingga ia tak hanya
mencakup ujaran yang melukai dan menyakiti, namun juga ujaran
yang mampu menggiring ke pencelakaan obyektif seperti diskriminasi,
intimidasi, penindasan, kekerasan, dan penyingkiran sistematis atas
kelompok rentan dari hak-hak demokratis yang selayaknya mereka nikmati.
Sebagaimana yang akan kita baca pada Bab 2, Amandemen Pertama
Konstitusi Amerika Serikat menafsirkan ujaran kebencian ilegal secara
lebih ketat lagi, yakni ujaran yang mencakup hasutan-hasutan provokasi
tindak kekerasan langsung; Konstitusi itu melindungi pernyataan publik
yang melahirkan diskriminasi dan permusuhan dalam tingkat yang lebih
rendah. Akademisi yang berkutat dalam kerangka ini menyebut istilah
“ujaran kebencian” sebagai terlampau luas. Susan Benesch, misalnya,
mendorong kita untuk menaruh perhatian khusus kepada satu istilah yang
dia sebut “ujaran yang membahayakan”, yakni: “ujaran membakar yang
mendahului tindak kekerasan, khususnya letusan kekerasan massal seperti
genosida.”44 Formulasi itu masuk akal bagi diskusi-diskusi politik yang
menaruh kepedulian pada kejahatan-kejahatan paling ekstrem. Namun,
dalam buku ini, saya mempertimbangkan seluruh spektrum propaganda
kebencian yang membahayakan kesetaraan. Sementara penafsiran yang
terlalu luas akan membuka pintu bagi regulasi atas perasaan terluka
dengan ongkos kebebasan demokratis, penafsiran yang terlalu sempit
akan mengecilkan persoalan diskriminasi dan eksklusi. Anti-Semitisme
kontemporer di Eropa mungkin tidak akan bereskalasi menjadi genosida
yang lain.45 Namun hal itu tidak bisa membenarkan pengabaian terhadap
maraknya segala bentuk kebencian yang lagi-lagi ditujukan kepada kaum
Yahudi.
Dengan membandingkan berbagai penafsiran tentang ujaran
kebencian, kita bisa melihat beberapa wilayah abu-abu pada batas-batasnya.
Misalkan, bisakah sesuatu dianggap sebagai ujaran kebencian jika hal
ini tersusun hanya dari pernyataan-pernyataan faktual? Kepelikan
macam inilah yang kemudian menjadi penting dalam penafsiran secara
legal. (memakai analogi hukum pencemaran nama baik, kebenaran
yaitu sebuah pertahanan dalam masyarakat demokratis, namun tidak di
semua masyarakat non-demokratis.) Kendati demikian, secara sosiologis,
perbedaan dalam penafsirannya tidaklah sekontras itu. Proses perlakuan
stereotip dan pembingkaian memberitahu kita bahwa ketidakbenaran
berlebihan bermula dari fakta-fakta yang dicomot sesuai keinginan.
Misalnya, berkali-kali menegaskan bahwa kelompok minoritas tertentu
mengontrol sebagian besar bisnis di suatu negara dan menyebut kasus-
kasus di mana satu atau dua perusahaan dari kelompok itu terlibat dalam
praktik buruh ilegal—sambil sengaja tidak menyebut bahwa sebagian besar
anggota kelompok ini masih miskin dan bisnisnya sama kurang etisnya
dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki kelompok mayoritas—bisa
menjadikan kelompok ini sebagai target penyerangan, seperti
didokumentasikan Amy Chua dalam karyanya tentang “minoritas yang
mendominasi pasar.”
Motif dan Efek Ujaran Kebencian
Dipeliharanya kebencian yang meluas dalam kelompok memiliki
tujuan yang bermacam-macam. Yang paling jelas, ujaran kebencian
mengintimidasi kelompok-kelompok luar (out-groups) dan menjadi
landasan bagi persekusi mereka. Ujaran kebencian memiliki sejarah
panjang yang dinisbatkan kepada pembunuhan massal berskala besar atau
ancaman penindasan atas komunitas-komunitas rentan, dari pembersihan
etnis atas penduduk asli Amerika dan kaum Aborigin di Australia oleh
koloni kulit putih, hingga perbudakan orang-orang Afrika, pembunuhan
kaum Yahudi pada masa Nazi di Jerman, dan genosida Rwanda pada 1994.
Meskipun demikian, kadang-kadang tujuan utama dari ujaran kebencian
yaitu untuk membangun dukungan atas golongan sendiri (in-group).
Segala kejahatan yang dialamatkan kepada kelompok sasaran hanya
dianggap sebagai kerusakan sampingan (collateral damage), bukan tujuan
obyektif. Dengan menegaskan perbedaan Kita dan Mereka, dan dengan
mengonstruksi golongan luar (out-group) sebagai musuh, kelompok
pembenci dapat menarik perhatian anggota baru, membangun solidaritas,
dan memobilisasi anggota di sekitar agenda politiknya. Ujaran kebencian
kemudian menjadi instrumen politik identitas.
Para sarjana sudah menggambarkan sebuah proses sistematis
bagaimana propaganda membuat orang-orang rasional mau bertindak
jahat terhadap orang lain. Cees Hamelink mendekonstruksikan “spiral
eskalasi konflik”.47 Hal itu bermula dari situasi panik yang dirasakan secara
kolektif dan membuat orang menjadi rentan terhadap manipulasi. Hal ini
bisa jadi mengakar pada alasan-alasan yang obyektif, misalnya penurunan
tingkat kehidupan ekonomi, atau keresahan kultural yang diakibatkan oleh
terkikisnya kebiasaan-kebiasaan lama yang erat diyakini. Para pemimpin
kemudian menghasut dengan mengonstruksi sebuah identitas kolektif
dengan menjadikan kelompok-kelompok luar (out-group) sebagai korban,
yang dipotret sebagai obyek kepanikan komunitas. Proses alienasi kemudian
mengikutinya, saat kelompok luar tidak lagi dianggap sebagai manusia
(didehumanisasi) sampai pada titik di mana mereka tidak lagi berhak
memperoleh empati atau kewajiban moral. Sesudahnya muncul “tuduhan
dalam cermin” – sebuah istilah yang digunakan dalam pengadilan yang
menangani kasus genosida Rwanda – yang melibatkan proses meyakinkan
golongan sendiri (in-group) bahwa kelompok luar (out-group) yaitu
penyerang yang sebenarnya, dan bahwa mengeliminasi kelompok lain
yaitu aksi bela-diri dan bahkan cara untuk bertahan hidup. Harus diingat
dan digarisbawahi bahwa eskalasi semacam ini bukannya tak direncanakan
atau tak terkoordinasi. Meskipun liputan media kerap menggambarkan
kekerasan etnis sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan ledakan
spontan kekuatan yang tersembunyi, hal itu hampir selalu disebabkan oleh
aksi disengaja para aktor yang muncul untuk mencari keuntungan dari
perpecahan yang terjadi. sebab nya, Rita Whillock mengartikan ujaran
kebencian sebagai sebuah “muslihat” atau tipuan yang memunculkan suatu
“kode simbolis untuk kekerasan”: “tujuan akhirnya yaitu membakar
emosi para pendukung, mengambinghitamkan golongan luar yang disasar,
menimbulkan kerusakan permanen dan tak dapat diperbaiki pada lawan,
dan pada akhirnya menguasainya.”
Satu tantangan utama bagi para pembuat aturan yaitu bahwa ujaran
kebencian tidak pernah bisa menahan dirinya sendiri (self-contained).
Ia tak datang dalam sebuah paket yang khusus dan rapi, dengan alamat
pengembalian yang jelas. Jaksa selalu kesulitan membangun akuntabilitas
hukum sebab prosesnya berjangka panjang dan tersebar. Tsesis mencatat,
“Perlu waktu bertahun-tahun agar bentuk paling berbahaya dari bigotry
bisa berkembang, hingga ia secara kultural diterima pertama-tama untuk
memfitnah, lalu mendiskriminasi, dan akhirnya mempersekusi kelompok
luar (out-group).”49 Di Rwanda, stasiun radio RTLM mengipasi api
kebencian semenjak ia mengudara pertama kali pada Juli 1993, beberapa
bulan sebelum meletusnya kekerasan massal pada April 1994, yang
membunuh sekitar 800.000 orang. Dalam kasus ini , propagandanya
sangat eksplisit, hubungan sebab-akibatnya sangat jelas, hingga pengadilan
internasional bisa menyatakan kepala radio itu bersalah atas perannya
dalam mengorganisasi genosida. saat puncak peristiwa genosida terjadi,
radio itu bahkan menyiarkan daftar pembunuhan. Namun demikian,
pada sebagian besar kasus lainnya, jaksa tidak berhasil menyambungkan
benang merah antara ujaran kebencian yang dibuat dan kerusakan yang
ditimbulkan.
Sifat dari ujaran kebencian yang sangat menyebar juga sudah
terdokumentasi dengan baik. Yang sering kali terjadi, kelompok pembenci
membagi beban kerja di antara mereka, dengan kelompok yang cenderung
moderat mempersiapkan landasan bagi ide-ide yang rasis. Satu studi
menunjukkan bagaimana laman kelompok supremasi kulit putih Stormfront
secara sistematis memotret kaum Yahudi dan Afrika-Amerika sebagai
kelompok yang inferior (lebih rendah), manipulatif, tiranik, genosidal,
dan para syahid palsu. Namun laman ini menghindari pernyataan-
pernyataan rasis yang terang-terangan dan memakai retorika yang
tidak terlalu kejam dibandingkan dengan kelompok-kelompok ekstrem
lain yang terkait dengannya. Laman itu mencoba tampil saintifik dan
rasional, kerap mengutip (atau salah mengutip) laporan dari media-media
kredibel seperti New York Times dan Wall Street Journal. Dengan demikian,
Stormfront menyediakan batu loncatan bagi kebencian melalui “‘rasisme
yang masuk akal’, sebuah wacana terukur yang mengetengahkan diskusi
23
pseudo-rasional mengenai ras, dan pada saatnya bisa jadi memasang
jaring lebih lebar untuk mengundang daya tarik para pengunjungnya.”50
Tantangan kebijakan dalam menghadapi ujaran kebencian yang tersebar
dan berkepanjangan akan muncul dalam berbagai studi kasus – dan juga
akan mendiskusikannya secara detail pada bab terakhir.
Ketersinggungan: Rekayasa Hasutan Kebencian
Para sarjana dan pembuat kebijakan memahami lebih sedikit tentang
ketersinggungan yang sengaja diproduksi dibandingkan dengan ujaran
kebencian. Sementara motivasi agresif di balik ujaran kebencian sudah
tidak dapat diragukan, penyerangan yang disengaja bersembunyi di
balik topeng “aku sebagai korban”. Kemarahan massa kadang tampak
hipersensitif dan benar-benar tidak toleran, tapi kemurniannya jarang
diragukan. Para pengamat mengasumsikan bahwa mereka sedang
menyaksikan kemarahan yang murni dan tak terkontrol terhadap satu
provokasi. Namun beberapa hal sebenarnya bukan seperti apa yang kita
saksikan. Sebaliknya, ketersinggungan yang ditunjukkan secara mencolok
kerap merupakan contoh dari pelintiran kebencian. Saya tidak sedang
merujuk kepada kasus di mana seseorang atau sekelompok orang naik pitam
terhadap satu provokasi saat bertatap muka secara langsung – apa yang
yurisprudensi Amerika sebut sebagai “perang kata-kata” (fighting words).
Dan saya tidak meragukan ketulusan banyak orang yang menandatangani
petisi atau turun ke jalan untuk memprotes bagaimana komunitas mereka
tidak dihormati oleh suatu film atau rencana pembangunan gedung. Tetapi
saat kampanye-kampanye ini berlarut-larut dan mengambil bentuk
yang sensasional, kita harus mencari tahu wirausahawan politik yang
jangan-jangan punya agenda yang cukup terpisah dari keluhan-keluhan
yang ditunjukkan. Mereka menuntut sensor, tapi tujuan utamanya bisa jadi
untuk memobilisasi pengikut atau menyudutkan lawan. Kemarahan yang
menjadi hasilnya bukanlah hal yang spontan atau tak bisa dihindarkan.
Mitos Kemarahan Spontan
Kualitas diproduksi atau dibuatnya pelintiran kebencian biasanya hilang
dalam liputan media massa, yang pemberitaannya kerap menggambarkan
satu peristiwa sebagai sebuah reaksi kimia atau respons yang mekanis.
Dalam melaporkan video unggahan YouTube tahun 2013 berjudul
Innocence of Muslims, misalnya, Guardian menyebut bahwa film ini
“mengakibatkan kekisruhan di dunia Islam,”51 sedang New York Times
menyatakan bahwa video ini “menyalakan protes berdarah di dunia
Islam.”52 ada banyak sekali masalah dalam penyederhanaan semacam
ini. Antara lain, laporan-laporan itu mencitrakan dunia Islam sebagai
entitas homogen yang mudah terpengaruh oleh kemarahan, padahal hanya
minoritas sangat kecil yang mengekspresikan kemarahan dengan cara
ekstrem atau mendukung mereka yang bertindak demikian. Bahkan, surat
kabar-surat kabar ini, dalam kolom-kolom yang lebih bisa disebut sebagai