Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 1




Sebuah aksi unjuk rasa meletus setelah video hasutan disebarkan. Di 

tempat lain, segerombolan massa mengikuti seruan seorang pengkhotbah 

untuk menyerang anggota kelompok minoritas. Sementara itu, seorang 

politisi memimpin demonstrasi anti-pendatang dan pengungsi dengan 

menggambarkan nilai-nilai agama mereka sebagai asing dan berbahaya.

Letusan-letusan intoleransi di atas sudah menjadi hal yang umum 

dijumpai di seluruh dunia. Para komentator sudah membuat banyak 

analisis untuk mencoba memahami kecenderungan ini . Menurut 

salah satu perspektif yang cukup terkenal, kini kita sedang bergolak dalam 

benturan peradaban. Kejadian-kejadian intoleransi tadi tentu didorong oleh 

emosi mendalam dan naluri primordial yang mengemuka saat  keyakinan 

agama yang mengakar berbenturan dengan ide modernitas-sekular 

dan agama-agama lain. Para komentator menyarankan agar kebebasan 

berekspresi dipangkas demi menghormati nilai-nilai agama. Komentator 

lain dari kalangan liberal menyarankan agar kelompok-kelompok agama 

dapat menerima ujaran kebencian sebagai konsekuensi dari kewargaan 

demokratis.

Pernyataan-pernyataan di atas terdengar sangat familiar bagi siapa saja 

yang mengikuti debat seputar peristiwa-peristiwa semacam pembunuhan 

terkait satir yang diterbitkan majalah Charlie Hebdo (2015).

Dalam buku ini, saya berpendapat bahwa pernyataan dan saran-saran 

di atas, meskipun sering kita dengar, tidak tepat. Para komentator di 

atas telah salah mendiagnosis penyebab-penyebab perselisihan agama, 

salah menafsirkan peran yang dimainkan kebebasan berekspresi, dan 

salah meresepkan hal-hal terkait ujaran kebencian, yang justru dapat 

memperparah keadaan. Pada sisi lain, saya menunjukkan bahwa episode-

episode hasutan dan keterhasutan berbasis agama bukanlah produk alami 

atau langsung dari keberagaman masyarakat, melainkan suatu pertunjukan 

yang sengaja dibuat oleh wirausahawan politik dalam upaya meraih 

kekuasaan. Para oportunis ini secara selektif memanfaatkan sentimen 

agama masyarakat dan mendorong pengekspresian kehendak massa, dalam 

rangka memobilisasi mereka ke arah tujuan-tujuan anti-demokratis. Ini 

penggunaan kekuatan rakyat untuk memperlemah kekuatan rakyat itu 

sendiri. Menurut saya, hukum harus melarang penyalahgunaan kebebasan 

berekspresi untuk tujuan-tujuan diskriminasi atau kekerasan terhadap 

kelompok-kelompok rentan. Di sisi lain, hukum juga tidak boleh melayani 

ledakan ketersinggungan yang oportunistik dengan cara membatasi apa 

pun yang dianggap menyinggung. Demokrasi harus melindungi ruang 

publik untuk mewadahi perdebatan yang bermutu di antara pandangan-

pandangan yang bertolak belakang – termasuk nilai-nilai agama – dan 

pada saat yang sama menjamin bahwa individu dari iman apa pun dapat 

menjalankan haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, 

secara setara dan tanpa rasa takut. Nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan 

dalam demokrasi terganggu bukan saja saat  negara lalai menjalankan 

tanggungjawabnya menyediakan rasa aman bagi komunitas-komunitas 

paling rentan, namun juga saat ia secara serampangan melakukan intervensi 

guna melindungi perasaan kelompok-kelompok yang meneriakkan 

kemarahan terhadap hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan.

Sayangnya, ekspresi intoleransi agama yaitu  sesuatu yang umum 

terjadi. Di Hungaria dan beberapa bagian Eropa lain, misalnya, berbagai 

kelompok mengekspresikan anti-Semitisme secara terang-terangan.1 Sikap 

kelompok pro-pribumi dan nasionalis ekstrem cenderung mirip dengan 

beberapa imigran Muslim radikal. Kelompok radikal ini menyerukan 

permusuhan terhadap kelompok agama minoritas lain, seraya memprotes 

aksi menyetankan (bigotry) yang mereka sendiri hadapi. Sementara itu, para 

penguasa di Rusia memolisikan isu-isu penistaan agama dengan antusias. 

Atas perintah salah seorang pendeta Ortodoks Rusia, pihak berwenang 

membubarkan opera avant-garde yang menampilkan adegan penyaliban 

Yesus Kristus di antara kaki seorang perempuan telanjang. Tuntutan 

pidana diajukan terhadap direktur dan manajer teater terkait. Meski pada 

akhirnya keduanya dibebaskan, manajer teater yang bersangkutan dipecat 

oleh Menteri Kebudayaan Rusia.2

3

Ketegangan serupa juga ditemukan di kawasan-kawasan lain di muka 

bumi. Di salah satu desa di Mesir, lima pelajar Kristen mementaskan 

sandiwara humor yang menertawakan IS atau Islamic State (Negara Islam). 

Setelah telepon genggam guru mereka dicuri, rekaman video sandiwara 

mereka tersebar dan rumah-rumah pelajar Kristen Koptik ini  diserang. 

Si guru dan kelima siswanya, semua di bawah 18 tahun, dikenai tuntutan 

penghinaan terhadap agama.3 Di Nigeria, pemilihan presiden tahun 2015 

diwarnai ujaran kebencian. Uskup David Oyedepo, salah seorang pastor 

terkaya di Afrika, secara publik menyatakan dukungannya kepada petahana 

Goodluck Jonathan, seorang Kristen dari Nigeria Selatan, yang ditantang 

kandidat Muslim dari Utara, Muhammadu Buhari, yang akhirnya keluar 

sebagai pemenang. Dalam satu khotbah sebelum pemilihan umum, uskup 

ini  menyerukan ke kongregasinya bahwa dia telah dimandatkan untuk 

melawan jihadis Muslim. “Jika kau menangkap seseorang yang terlihat 

seperti mereka, bunuhlah! Bunuhlah dan copotlah lehernya.”4

Di Brazil, sebuah gerakan evangelis agresif menyebabkan meningkatnya 

aksi-aksi intoleran terhadap kelompok homoseksual dan minoritas agama, 

misalnya penganut kepercayaan lokal Candomblé. Salah seorang korbannya 

yaitu  seorang gadis berusia 11 tahun yang terkena lemparan batu dari 

sekelompok pria yang melambai-lambaikan Alkitab,, sambil berteriak 

bahwa orang-orang seperti dirinya pantas terbakar di neraka.5 Di Amerika 

Serikat, aktivis anti-Islam Pamela Geller mencela umat Muslim dengan 

mengorganisir pameran seni dan lomba kartun Nabi Muhammad, dengan 

mengaku-ngaku bahwa kegiatan ini dilakukan guna membela kebebasan 

berekspresi pasca pembunuhan terkait Charlie Hebdo. Dua orang yang 

tersinggung dan menyerbu pameran ini  dengan senjata api ditembak 

mati di luar lokasi pameran.6 Tidak berhenti di situ, Geller mencoba 

membeli ruang iklan guna menampilkan kartun Nabi Muhammad di sistem 

transportasi umum Washington D.C., yang mendorong pihak berwenang 

melarang semua iklan berbasis isu (bukan berbasis produk) sebab  alasan 

keamanan.7

Di Myanmar, kampanye anti-Muslim yang digawangi biksu-biksu 

Buddha radikal seperti Ashin Wirathu mulai cenderung ke arah 

genosida.8 saat  Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, menyerukan 

perlunya perlindungan yang lebih baik bagi minoritas Rohingya, anggota 

parlemen Myanmar menuduhnya telah berbicara mengenai kelompok 

etnis yang tidak pernah ada serta menghina kedaulatan Myanmar.9 Kasus 

mengkhawatirkan terjadi di Singapura, bukan sebab  ekstremnya tapi 

sebab  remehnya. Seorang blogger mengundang reaksi pihak berwajib 

sebab  menyamakan Lee Kuan Yew, yang baru saja wafat, dengan Yesus 

Kristus. Blogger ini  dituntut dan dipenjarakan menyusul aduan 

kelompok Kristen kepada polisi. Yang mereka adukan ini yaitu  seorang 

siswa berusia 16 tahun.10

Insiden-insiden di atas, yang terjadi enam bulan sebelum dan setelah 

serangan Charlie Hebdo, mengesankan bahwa pembantaian di Paris ini  

melambangkan sebuah fenomena global. Kasus-kasus ini memiliki elemen 

serupa, termasuk intoleransi mendalam terhadap keberagaman, hinaan 

terhadap identitas, seruan mobilisasi intra-kelompok, dan penyensoran 

atau pun penindasan atas kelompok tertentu. Ini semua yaitu  bahan dasar 

“ujaran kebencian”, salah satu kategori ujaran ekstrem yang telah menjadi 

bahan kajian selama puluhan tahun. Ujaran kebencian bisa didefinisikan 

sebagai penghinaan atas identitas suatu kelompok guna menindas anggota-

anggotanya serta mengurangi hak-hak mereka. Retorika anti-Semitik oleh 

kelompok ekstrem kanan di Eropa masuk dalam kategori ini, sebagaimana 

halnya seruan Uskup Oyedepo agar membunuh siapa saja yang “terlihat 

seperti” seorang jihadis, serta klaim Ashin Wirathu bahwa setiap biksu 

harus memperlakukan Muslim sebagaimana dia memperlakukan kotoran 

manusia

Namun demikian, dalam kasus-kasus lain, elemen-elemen serupa 

juga muncul, tapi dalam bentuk yang berbeda. Ingat bahwa dalam kasus 

klasik ujaran kebencian, bahaya utamanya – aksi eksklusi maupun tindak 

kekerasan – dialami oleh kelompok-kelompok yang ditarget oleh ekspresi-

ekspresi kebencian ini . Sebaliknya, dalam kasus-kasus di mana yang 

diserang yaitu  blogger dan jurnalis, atau saat  media seperti film dan 

opera disensor sebab  kontennya dinilai menyinggung perasaan, yang 

terjadi justru kebalikannya. Mereka yang mengaku sebagai korban yang 

tersinggung melakukan pembalasan yang jauh lebih agresif dibandingkan 

dengan perasaan terluka akibat hinaan media itu sendiri. Ekspresi verbal 

dibalas dengan tindakan kekerasan. Ujaran kebencian biasanya yaitu  

proses strategis saat  mereka yang intoleran terhadap keberagaman 

melukai perasaan kelompok lain, dalam kategori kedua, mereka merasa 

dilukai perasaannya dan tersinggung. Yang pertama secara terang-terangan 

menyerang komunitas tertentu, yang kedua mengambil posisi sebagai 

korban yang terprovokasi, dengan memiliki tujuan jahat.

5

Sejauh ini, kita belum memiliki kosakata yang tepat guna menamai 

hasutan dua sisi oleh kelompok intoleran ini. Saya menyebutnya pelintiran 

kebencian, sebuah istilah yang mencakup ujaran kebencian dan fenomena 

saudaranya, yang berkebalikan 180 derajat. Saya mendefinisikan pelintiran 

kebencian sebagai penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan, 

dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas 

kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan. 

Ada banyak agen kebencian yang secara lihai memainkan hasutan 

dan keterhasutan, bahkan seringkali secara bersamaan. Kata “spin” 

(pelintiran) mengilustrasikan kesewenang-wenangan kampanye mereka. 

Makna kontemporer sehari-harinya menunjukkan bahwa pelintiran 

kebencian yaitu  propaganda yang terkalkulasi dan menipu. Ini yaitu  

fakta yang hilang dalam banyak interpretasi populer mengenai intoleransi 

agama, termasuk dalam pernyataan-pernyataan yang saya ajukan di 

paragraf-paragraf pembuka bab ini. Kamera media fokus menggambarkan 

orang-orang yang mencak-mencak terhadap buku, film, rumah ibadah, 

dan orang-orang yang tidak bisa mereka terima. Kemarahan mereka 

yang memikat kamera itu mungkin tidak seluruhnya dibuat-buat. Akan 

tetapi, seperti yang akan kita telusuri di bagian selanjutnya, dalam 

hampir semua aksi massa yang besar dan berkelanjutan, agitasinya tidak 

spontan dan dapat dielakkan. Galilah sedikit permukaannya, dan kita 

akan menemukan tukang pelintir yang menggerakkan aksi-aksi ini . 

Mereka yaitu  wirausahawan politik yang memanipulasi emosi-emosi 

terdalam masyarakat, namun mereka sendiri secara dingin mengkalkulasi 

penggunaan teknik-teknik persuasi, dari retorika biasa hingga fitur terbaru 

dalam media sosial. Agen pelintiran kebencian ini biasanya yaitu  bagian 

dari kelompok elite – pemimpin organisasi politik atau agama, atau bahkan 

pejabat pemerintahan – yang diuntungkan dengan menyamarkan upaya 

mereka mencari kekuasaan di balik kedok sentimen populer berbasis 

agama. saat  para oportunis ini berhasil, mereka dapat melepaskan 

kekuatan politik yang jauh lebih mengintimidasi sekaligus menggiurkan 

daripada kampanye hubungan masyarakat biasa.

Dalam buku ini saya menyelidiki fenomena global pelintiran kebencian 

dan implikasinya pada regulasi kebebasan berekspresi di negara-negara 

demokrasi. Tantangan kebijakan menghadapi pelintiran kebencian yaitu  

bagian dari dilema yang lebih besar: bagaimanakah kebebasan berekspresi 

dapat dilindungi dan digalakkan sehingga arti pentingnya dapat disadari, 

dengan tetap merangkul tanggung jawab yang menyertainya? Dalam 

kerangka perdebatan yang lebih besar ini, mungkin tidak ada pertanyaan 

lebih panas dari bagaimana merespons ujaran yang menghina agama. 

Tidak ada konsensus dalam topik ini, bahkan dalam tradisi pemikiran 

demokratik liberal Barat, baik secara filosofis maupun dalam ilmu hukum 

dan kebijakan.

Rasanya menggoda untuk memperlakukan kedua jenis pelintiran 

kebencian ini – baik ujaran kebencian konvensional maupun manipulasi 

ketersinggungan – sebagai permasalahan yang dapat disembuhkan dengan 

resep serupa. Bagaimana pun, saat  ujung dari keduanya yaitu  sama-

sama kekerasan, nampaknya tidak penting apakah massa melakukan 

hasutan maupun memprotes keterhasutan. Meski demikian, keduanya 

penting dibedakan. Kebebasan berekspresi tidak seharusnya bersifat 

mutlak atau berlaku tanpa syarat, dan sebab nya masuk akal untuk secara 

hukum membatasi ujaran kebencian yang menghasut pendukungnya agar 

merampas hak-hak kelompok. Namun, menerapkan batasan ini ke dalam 

kasus-kasus ketersinggungan menunjukkan cacat logika dan akan berujung 

pada kebijakan yang buruk. Ini terlihat dalam undang-undang anti-

penistaan agama dan produk hukum lain yang melarang melukai sentimen 

agama. Regulasi semacam ini berbahaya, bukan saja sebab  membatasi 

ekspresi karya seniman, jurnalis, dan mereka yang keberadaannya 

menentukan keberlangsungan keterbukaan dalam masyarakat, tapi juga 

sebab  mereka memungkinkan kelompok-kelompok dominan menekan 

minoritas yang terpinggirkan, dengan mengklaim bahwa suara minoritas 

ini “menghina” nilai-nilai arus utama.

Memang sangat mudah untuk mencampuradukkan hasutan dan 

ketersinggungan. Mari kita tengok catatan editor yang ditulis tahun 2012 

lalu di Social Identities, jurnal akademik yang mengkhususkan diri pada 

kajian ras, bangsa, dan budaya. saat  mendiskusikan perkembangan 

menggelisahkan seputar “politik kebebasan berekspresi”, para editor 

berkesimpulan berikut: “Tentu saja, demi kepentingan publik, saat  

di seluruh penjuru dunia banyak orang tidak bersalah mati terbunuh, 

pemerintah harus bergerak cepat menarik hal-hal yang memicu kebencian 

dan kekerasan.”12 Pernyataan ini kurang lebih selaras dengan norma-

norma internasional hak asasi manusia yang mensyaratkan larangan 

7

terhadap hasutan.13 Masalahnya, catatan editor di atas yaitu  tanggapan 

atas kekacauan yang terjadi sesudah peluncuran film berjudul Innocence of 

Muslims di YouTube pada awal tahun itu. Video kasar ini jelas menghina 

Islam, tetapi pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi justru 

merupakan respons terhadap video ini, bukan dampak seruan oleh video 

ini . Kartunis pemenang Pulitzer, Gary Trudeau, membuat kesalahan 

yang sama dalam tulisannya di The Atlantic saat dia merespons insiden 

Charlie Hebdo. Memperhatikan bahwa ujaran kebencian “secara langsung 

mendorong kekerasan”, dia menulis: “Baiklah, voila – tujuh juta kopi 

majalah yang diterbitkan sesudah pembantaian ini berujung persis pada hal 

yang sama: memicu unjuk rasa kekerasan di dunia Islam, termasuk salah 

satunya di Niger, di mana sepuluh orang tewas.” Sekali lagi, komentar ini 

mencampuradukkan penghinaan dan ketersinggungan.14

Tinjauan Umum

Dalam buku ini, saya menyelidiki dinamika pelintiran kebencian di level 

internasional dan di negara-negara demokrasi besar dengan keberagaman 

agama, khususnya India, Indonesia, dan Amerika Serikat. Argumen-

argumen sentral saya yaitu  sebagai berikut:

Pelintiran kebencian yaitu  teknik politik pertikaian yang secara 

strategis memainkan hasutan dan keterhasutan, penghinaan 

dan ketersinggungan, secara strategis. Pelintiran kebencian 

mengeksploitasi kebebasan dalam demokrasi dengan memperkuat 

identitas-identitas kelompok sebagai sumber daya dalam aksi-aksi 

kolektif yang tujuannya tidak prodemokrasi.

Pelintiran kebencian perlu dilawan guna melestarikan pilar kembar 

demokrasi: kebebasan (liberty), termasuk kebebasan berbagi gagasan-

gagasan provokatif; dan kesetaraan (equality), termasuk kapasitas 

untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, tanpa dihambat oleh 

diskriminasi atau intimidasi.

Minimnya regulasi ujaran kebencian memungkinkan impunitas 

terhadap aktor-aktor yang menghasut tindak kekerasan terhadap 

kelompok-kelompok rentan. Norma hak asasi manusia internasional 

mengharuskan negara melindungi masyarakat dari hasutan yang 

menyerukan diskriminasi dan kekerasan.

Regulasi yang terlalu ketat memungkinkan munculnya 

ketersinggungan yang dibuat-buat, yang pada akhirnya dipakai 

sebagai senjata politik. Penghinaan yang disengaja dapat dikatakan 

sebagai tindakan amoral, namun terlalu subyektif untuk dapat 

dinyatakan ilegal.

Cara terbaik untuk menjunjung penghormatan terhadap nilai-nilai 

agama yaitu  dengan melindungi hak-hak kebebasan beragama 

dan menganut kepercayaan, serta membuatnya terjamin bagi setiap 

individu. Upaya-upaya meningkatkan kesetaraan dan mendorong 

anti-diskriminasi – dan pelarangan tindak kejahatan kebencian (hate 

crime) – akan lebih efektif daripada aturan yang melarang penghinaan 

terhadap agama.

Penghinaan terhadap agama tidak dapat dimusnahkan, namun dapat 

disingkirkan dari arus utama politik dengan menerapkan pluralisme 

asertif yang menggabungkan mekanisme hukum, kepemimpinan 

politik, aktivisme kewargaan, dan kerja sama media.

Sinopsis Buku

Dalam buku ini, saya menggabungkan diskusi konseptual dengan studi 

kasus yang mendalam. Bab 2 fokus pada hukum dan konstitusi. Di situ 

saya menjabarkan norma hak asasi manusia modern, yang menyerukan 

perlindungan dari ekspresi-ekspresi menyerang, dan melarang hasutan 

untuk melakukan tindak kekerasan. Ini yaitu  pendekatan umum 

yang diadopsi Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa 

(UNHRC), Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR), 

dan pengadilan-pengadilan negeri mayoritas demokrasi Barat. Saya 

mengontraskan pendekatan ini dengan tradisi lain, yang menghukum 

penistaan agama dan perilaku melukai sentimen agama. Pendekatan 

ini masih diterapkan di banyak negara—beberapa di antaranya bahkan 

mengaitkannya dengan hukum internasional – melalui prinsip “penistaan 

agama”. Hal ini menjadi bagian dari perdebatan seputar peran norma-

norma agama dalam tata konstitusi modern. Saya mengakhiri Bab 2 dengan 

ulasan pendapat para akademisi terhadap pertanyaan yang besar ini.

Dalam empat bab selanjutnya, saya menyajikan studi kasus pelintiran 

kebencian yang rinci. Pada Bab 3, saya menganalisis beberapa kasus 

9

lintasnegara, termasuk konflik seputar publikasi Satanic Verses oleh Salman 

Rushdie dan kartun Nabi Muhammad yang dimuat surat kabar Denmark. 

Internet menyediakan platform global untuk pelintiran kebencian; pada 

bab ini, saya juga akan mempertimbangkan peran pihak perantara seperti 

Google dalam memfasilitasi perkembangan pelintiran kebencian.

Pada Bab 4, 5, dan 6, saya menganalisis kasus pelintiran kebencian 

di tiga demokrasi terbesar dunia: India, Indonesia, dan Amerika Serikat. 

Tujuan saya bukanlah membuat laporan nasional yang komprehensif 

mengenai intoleransi agama di ketiga negara ini , melainkan 

mempelajari bagaimana pelintiran kebencian berkembang dalam konteks 

yang berbeda-beda. Pelintiran kebencian mungkin akan berdampak paling 

buruk di negara-negara non-demokrasi, mengingat institusi independen 

resolusi konflik dan perlindungan hak asasi manusia cenderung tidak 

memadai. Dalam masyarakat semacam ini, tidak sulit menganalisis letak 

permasalahannya. saat  sejak awal tidak ada penghargaan terhadap 

ekspresi, ketersinggungan hanyalah alasan menekan kebebasan berekspresi 

– dan debat terkait bagaimana menanggulanginya cenderung “kosong atau 

bahkan sekadar sandiwara – sehingga hasilnya sudah bisa diramalkan sejak 

awal,” sebagaimana dikatakan penulis dan pembela HAM dari Hungaria, 

Miklos Haraszti.15 Sebaliknya, pelintiran kebencian menjadi masalah yang 

lebih rumit dalam masyarakat yang lebih terbuka, yang berkomitmen 

menjaga ruang kebebasan berekspresi. Dalam tingkatan yang berbeda-

beda, hal ini menggambarkan kasus India, Indonesia, dan Amerika Serikat 

– ketiganya sangat alergi terhadap kontrol pemerintah atas media dan 

komunikasi. Masing-masing memiliki agama mayoritas yang berbeda, dan 

hal ini menunjukkan bahwa fenomena pelintiran kebencian tidak terbatas 

pada satu agama saja.

Dalam dua bab terakhir, saya memperluas lensa analisis dan berupaya 

menemukan pola di balik kasus-kasus ini . Pada Bab 7, saya 

menyelidiki peran media dan masyarakat sipil dalam memfasilitasi atau 

melawan pelintiran kebencian. Aneka peran ini – seperti juga aturan 

perundangan – dapat menjadi bagian dari solusi, atau justru bagian dari 

masalah. Pada Bab 8, saya menyimpulkan temuan-temuan dalam buku 

ini. Guna melawan pelintiran kebencian, negara-negara demokrasi harus 

mengakui canggihnya para wirausahawan politik memakai  strategi 

ini. Saya menunjukkan bagaimana pendekatan mereka yang strategis, 

fleksibel, dan berbasis jaringan menjadikan kita sulit meregulasi pelintiran 

kebencian. Solusi-solusi hukum terkadang memang diperlukan, tapi 

solusi biasanya tidak cukup. sebab nya, perlawanan terhadap pelintiran 

kebencian membutuhkan pula respons politik dan kewargaan. Solusi-solusi 

ini harus dibangun di atas komitmen normatif yang jelas terhadap visi 

kebangsaan yang kosmopolitan dan inklusif.

Sebuah Dilema Demokrasi

Jika kita menyebut konflik agama, mayoritas orang akan berpikir 

tentang terorisme. Studi ini, di sini lain, membahas bahaya-bahaya 

yang lain. Mereka tidak sespektakuler kerusakan yang diakibatkan oleh 

teroris; mereka mungkin tidak menghasilkan disrupsi dan ketakutan 

yang setara dengan terorisme. Meski demikian, bukan berarti mereka 

dapat diremehkan. Setiap tahunnya, jauh lebih banyak orang — bahkan 

ribuan lebihnya — menjadi korban kekerasan dan diskriminasi agama 

daripada tewas dan terluka oleh aksi terorisme. Secara definisi, perlu 

dipahami bahwa pelaku teror berusaha mengamplifikasi dampak-dampak 

simbolik dan psikologis aksi mereka dengan memilih metode-metode 

yang merebut perhatian khalayak — ini dilakukan guna mengompensasi 

keterbatasan kemampuan mereka dalam mengalahkan lawan. Lebih 

penting lagi, kita seharusnya peka akan berbagai bentuk ketidakadilan 

dan penderitaan, bahkan saat  mereka tidak berdarah-darah. Dampak 

negatif dari pelintiran kebencian beragam, dari elektoral (manipulasi 

ketakutan sebagai strategi kampanye politik), sosial (marginalisasi agama 

minoritas), dan ideologis (sensor terhadap buku-buku dan karya seni yang 

menantang narasi dominan). Dampak-dampak ini memerlukan perhatian 

publik, bahkan saat  mereka tidak berpuncak pada genosida atau pun 

bom bunuh diri.

Yang juga dipertaruhkan yaitu  kemampuan demokrasi menghadapi 

keberagaman agama. Banyak dari konflik yang saya deskripsikan 

dalam buku ini berkaitan dengan cara-cara yang bertentangan dalam 

membayangkan suatu bangsa. Di satu sisi, ada pihak yang mendukung 

kesetaraan hak dalam institusi modern sekular didesain guna mengatasi 

tantangan kompleks hidup dengan keberagaman; sementara di sisi lain 

ada pihak yang mendukung nasionalisme agama yang menjanjikan 

ikatan komunal yang sederhana, murni, dan stabil di tengah zaman yang 

meresahkan. Kita akan menemukan persaingan antarkeduanya di dalam 

masyarakat mayoritas Kristen di Amerika Serikat, mayoritas Hindu 

di India, dan mayoritas Muslim di Indonesia. Hal ini memang sebuah 

benturan; tetapi lebih tepat disebut benturan nilai-nilai peradaban, bukan 

benturan di antara peradaban itu sendiri.

Persaingan memperebutkan suara konstituen dalam demokrasi 

memperparah masalah pelintiran kebencian ini. Dalam dua kejadian 

terpisah di Myanmar, saya menonton pidato Aung San Suu Kyi, saya tergerak 

oleh seruannya yang tegas dalam membela kebebasan dan demokrasi. 

Akan tetapi, dia menjadi seorang birokrat yang memilih mengelak saat 

para wartawan bertanya tentang penderitaan Muslim Rohingya di Negara 

Bagian Rakhine. Dia hanya akan berbicara secara garis besar mengenai 

pentingnya aturan hukum, berhati-hati menghindari tuduhan. Suu Kyi 

dan partainya jelas merasakan bahwa mereka tidak dapat meminggirkan 

konstituen mayoritasnya, yang dipengaruhi oleh nasionalisme Buddha 

dan prasangka buruk terhadap kaum Muslim yang hanya lima persen dari 

populasi Myanmar itu. Setahun kemudian, partainya, Liga Nasional untuk 

Demokrasi (NLD), sama sekali tidak mengikutsertakan seorang Muslim 

pun dalam 1.151 pilihan kandidatnya dalam pemilihan umum tahun 2015 

yang bersejarah

Di Amerika Serikat, sebuah kampanye kebencian penting terjadi di 

tahun 2010, setelah komunitas Muslim di New York mengumumkan 

keinginan membangun pusat komunitas dan musala beberapa blok dari 

situs World Trade Center yang lama. Meskipun proyek ini mendapatkan 

dukungan lokal yang kuat, propagandis kebencian merekayasa protes 

melawan apa yang mereka sebut sebagai “Masjid di Ground Zero”. Presiden 

Barack Obama merespon dengan apa yang New York Times sebut sebagai 

“pembelaan kuat” terhadap proyek ini .17 “Ground Zero memang 

yaitu  tanah yang dikeramatkan,” akunya dalam pidato Gedung Putih 

saat merayakan dimulainya bulan suci Ramadan. “Tapi biarlah saya 

jelaskan: sebagai seorang warga negara, dan sebagai seorang Presiden, saya 

percaya bahwa umat Muslim memiliki hak yang sama untuk beribadah 

sebagaimana semua orang lain di negeri ini. Termasuk di dalamnya yaitu  

hak membangun tempat peribadatan dan pusat komunitas di lahan pribadi 

di Manhattan bagian selatan, sesuai dengan hukum dan aturan setempat. 

Ini yaitu  Amerika, dan komitmen kita terhadap kebebasan beragama 

haruslah tidak tergoyahkan.”18 Setelah dikritik keras oleh golongan kanan, 

keesokan harinya, Obama memoderasi pandangannya. “Saya, pada saat 

itu dan di masa depan, tidak berkomentar mengenai bijak atau tidaknya 

membangun masjid di sana,” katanya di depan para reporter. “Saya 

berkomentar, dengan sangat spesifik, mengenai hak-hak yang dimiliki 

masyarakat kita, yang dituliskan sejak berdirinya negara kita.”19

Filsuf Martha Nussbaum memandang komentar plin-plan ini sebagai 

“kegagalan kepemimpinan.”20 Obama memang menyuarakan pidato-pidato 

cerdas dalam upaya membangun jembatan antara Islam dan Barat. Dia 

melawan stereotip yang mengaitkan Islam dengan terorisme. Tetapi, dia 

juga memiliki keterbatasan, yaitu sejauhmana dia berani pasang badan 

untuk sebuah kelompok minoritas, di tengah persepsi bahwa dia sendiri 

yaitu  Muslim. Barulah di tahun terakhir kepresidenannya dia merasa 

aman secara politik berfoto di dalam sebuah masjid di Amerika.21 Kebetulan 

Obama dan Suu Kyi yaitu  sebagian kecil dari politisi aktif yang menerima 

Nobel Perdamaian. saat  para pemenang Nobel Perdamaian sekalipun 

gagap menanggapi pelintiran kebencian, kita mulai melihat besarnya 

tantangan yang dihadapi demokrasi.

Pendekatan Interdisipliner dalam Memandang Pelintiran 

Kebencian

Riset buku ini telah memakan waktu bertahun-tahun, beberapa ribu mil 

perjalanan, serta tinjauan pustaka tanpa kenal lelah ke beragam literatur 

akademik. Di sini, saya mengidentifikasi beberapa aliran intelektual yang 

telah menginspirasi saya. Pembaca dari kalangan non-akademik dapat 

memilih melewati bagian ini, dan membaca kembali buku ini di bagian 

“Aksi Hasutan: Ujaran Kebencian dan Bahayanya.”

Wawasan dari Studi Ilmu Sosial dan Hukum

Saya memulai perjalanan dari studi-studi komunikasi, yang sejak lama 

menaruh perhatian pada kebebasan berekspresi dan diskursus publik. 

Di banyak negara, kebijakan terkait media dan komunikasi cenderung 

memperlakukan agama sebagai bentuk ekspresi yang khas; ketersinggungan 

agama diberikan perlakuan yang berbeda dari kritik-kritik provokatif 

lain. Ini cara pandang dominan di negara saya sendiri, Singapura, yang 

kebetulan merupakan salah satu negara yang paling beragam dalam 

hal keyakinan.22 Di sini, keinginan terpuji melestarikan keharmonisan 

antaragama diterjemahkan menjadi dukungan publik yang luas terhadap 

13

penyensoran ekspresi provokatif. Saya terganggu dengan konsensus ini, 

dan saya mulai melihat dengan lebih teliti bahaya yang mungkin timbul 

dari ujaran yang menyinggung perasaan.

Dalam studi komunikasi, analisis diskursus telah membantu kita 

mendekonstruksi ujaran kebencian dan memahami bagaimana ia bekerja.

Riset dalam studi-studi media membantu menjelaskan peran ambigu 

awak media dalam demokrasi, seperti memberi suara kepada kelompok 

minoritas.24 Riset di bidang ini juga telah membantu kita memahami 

praktik-praktik ritualistik dalam profesi jurnalis, di antaranya bagaimana 

mereka memutuskan apa yang disebut sebagai “berita” – dan dengan 

demikian, suara siapa dan kejadian apa yang dipublikasikan.

Saya juga mengambil pelajaran dari kesarjanaan dalam bidang hukum. 

Aturan hukum memberi batasan kepada aktor-aktor politik mengenai apa 

saja yang dapat diterima dan tidak saat  mereka memakai  ujaran 

kebencian; dan dukungan apa yang mereka bisa harapkan dari negara saat  

mereka memutuskan merasa tersinggung terhadap suatu lukisan, film, atau 

rumah ibadah lain. Mungkin studi-studi legal telah memberikan lebih 

banyak perhatian terhadap ujaran ekstrem dibandingkan disiplin lain.25 Hal 

ini antara lain disebab kan perkembangan ranah hukum HAM, di mana 

genosida – dan ajakan terhadapnya melalui ujaran kebencian – dianggap 

sebagai permasalahan yang sangat serius. Di sisi lain, perdebatan terkait 

bentuk-bentuk ujaran kebencian yang lebih ringan, dan juga bahan-bahan 

lain yang dipandang ofensif, secara rutin mewarnai pengadilan negeri 

dan daerah. Yurisprudensi HAM terus berevolusi, menghasilkan diskusi 

ilmiah yang intens. Hukum Internet yaitu  salah satu area baru dalam 

lingkaran akademik dan kebijakan, dan ujaran kebencian sering menjadi 

agenda prioritas.

Meski demikian, studi ini bukanlah analisis hukum, mengingat hukum 

hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang mempengaruhi perilaku 

politik. Kita tidak bisa mengasumsikan bahwa diskusi antara aktor-aktor 

di ranah hukum – pengacara, pembuat undang-undang, dan hakim – 

merefleksikan kenyataan di lapangan. Eric Posner secara tajam mengkritik 

kenaifan dalam hukum HAM. “Dalam literatur ilmu hukum, untuk 

setiap tulisan empiris, ada seratus artikel yang ditulis guna menguraikan 

doktrin HAM secara lebih rinci lagi,” tegas profesor hukum Universitas 

Chicago ini . “Biasanya, yang dibaca dan didiskusikan para pengacara 

yaitu  opini-opini yudisial – yang pada kenyataannya hampir tidak ada 

dampaknya terhadap siapa pun – sementara di saat yang sama mereka 

mengabaikan perilaku pemerintah, LSM, dan individu.”26

Guna mengilustrasikan bagaimana hukum dan konstitusi bekerja di 

lapangan, kita perlu menyeberang dari ilmu hukum ke bidang-bidang 

ilmu sosial lain. Ilmu politik memiliki ketertarikan tinggi terhadap peran 

kebebasan berekspresi dalam demokrasi, relasi antara agama dan politik, 

serta ketegangan antara kekuasaan mayoritas dan hak minoritas – yang 

semuanya menjadi keprihatinan utama saya dalam buku ini. Sebagian 

besar riset mengenai hal-hal ini cenderung Eurosentris, tetapi sejak 

akhir Perang Dingin, sekelompok akademisi telah berupaya memahami 

keragaman sistem demokrasi yang bermunculan di seluruh dunia. Sub-

bidang perbandingan politik telah menolak cara pandang bahwa negara-

negara akan atau harus mengambil trajektori serupa model demokrasi 

liberal di Amerika. Para komparativis ini  justru mencoba memahami 

aneka kombinasi bentuk konstitusi, pengaturan kelembagaan, dan norma 

kultural yang dapat mendukung masyarakat demokratis.27 Dengan 

memperhitungkan perpecahan yang kerap mewarnai masyarakat yang 

sedang mengalami transisi demokrasi, beberapa studi menyimpulkan 

bahwa kuasa mayoritas harus diseimbangkan dengan konstitusi yang 

mengakomodasi kepentingan minoritas. Tanpa pengaturan yang baik, 

pemilihan umum berpeluang memolarisasi kelompok mayoritas dan 

minoritas, tanpa menjamin toleransi maupun sopan santun antarmereka.28

Komparativis lain telah mengembangkan cara pandang baru mengenai 

relasi gereja dan negara, yaitu dengan tidak hanya menyoroti persaingan 

antara otoritas agama dan sekular, tetapi juga menolak anggapan bahwa 

di dalam demokrasi, agama tidak memiliki tempat di ruang publik.29 

Senada dengan temuan-temuan perbandingan politik ini , saya 

mencoba menganalisis negara-negara yang saya pelajari dari kacamata 

lokal, dengan menghilangkan segala prekonsepsi mengenai institusi dan 

aturan yang ideal.

Memandang Pelintiran Kebencian melalui Lensa Politik 

Pertikaian

Sosiologi politik yaitu  ranah yang paling kondusif untuk proyek saya. 

Akademisi di sub-disiplin ini telah mencoba memahami keragaman 

bentuk perjuangan politik kolektif, seperti protes, gerakan sosial, dan 

revolusi. Mereka memakai  istilah “aksi pertikaian kolektif ” guna 

menggambarkan konfrontasi antara pemberontak, elite, dan pemerintah 

yang minim sumber daya, juga lawan-lawan lain yang lebih mapan.30

Separuh jalan mengeksplorasi aneka tradisi berpikir, saya menyadari 

bahwa pelintiran kebencian juga dapat dianggap sebagai teknik dalam 

politik pertikaian. Studi gerakan sosial biasanya menyoroti gerakan-gerakan 

dengan agenda progresif, seperti HAM dan aktivisme lingkungan. Tapi, 

secara konseptual tidak ada alasan mengapa konsep dan alat analisis yang 

serupa tidak dapat diaplikasikan kepada agenda-agenda anti-demokrasi, 

mengingat bahwa gerakan tidaklah didefinisikan oleh tujuannya, 

melainkan oleh metodenya — yaitu penggunaan politik pertikaian guna 

mengompensasi kelemahan relatif mereka, atau keterpinggiran mereka, 

dari lingkaran elite.

memakai  lensa ini, jelas bahwa agen pemelintir kebencian, 

seperti pemimpin gerakan sosial, mencoba membuat orang-orang 

memikirkan situasi mereka sedemikian rupa sehingga muncul solidaritas 

dan dukungan terhadap tujuan mereka.32 Guna mencapai hal ini, mereka 

terlibat dalam pembingkaian kultural dan intervensi kognitif.33 Seperti 

dikatakan sosiolog William Gamson, “bingkai ketidakadilan” bisa secara 

efektif memobilisasi pendukung. Bingkai ini menciptakan narasi yang 

meyakinkan anggota sebuah kelompok bahwa ada pihak kuat di luar 

sana yang melanggar kepentingan dan nilai mereka.34 saat  diletakkan 

dengan simbol-simbol yang kuat, bingkai ketidakadilan menjadi lebih 

relevan bagi anggota kelompok ini . Simbol-simbol ketidakadilan 

ini bisa bertahan lama, seperti dalam kasus Holokaus bagi orang Yahudi, 

namun banyak di antaranya yang hanya berlaku sebentar, sehingga 

aktivis perlu terus-menerus mencari simbol-simbol baru. Hal ini dapat 

menjelaskan antusiasme agen pemelintir kebencian dalam menyatakan 

sebuah buku atau video sebagai bentuk penghinaan terhadap komunitas 

mereka. Ilmuwan politik Thomas Olesen menghasilkan kesimpulan serupa 

dalam studinya, saat  dia membahas insiden-insiden seperti publikasi 

kartun Nabi Muhammad dan skandal tahanan Teluk Guantanamo. Dia 

berargumen bahwa kedua peristiwa ini  dimanfaatkan sebagai simbol 

ketidakadilan transnasional.35

Studi politik pertikaian juga telah memberikan kita konsep “repertoar” 

pertikaian, yang tersusun dari serangkaian metode protes yang telah 

berakar dalam kebudayaan lokal. Para aktivis cenderung mengambil 

inspirasi dari repertoar ini , dan berinovasi memperluasnya. Misalnya 

saja, saat  di tahun 2014 mahasiswa saya di Hong Kong bergabung 

dalam kampanye pembangkangan sipil demi reformasi politik, mereka 

memakai  taktik sit-in yang dikembangkan oleh generasi aktivis 

sebelumnya di belahan dunia lain; mereka memilih lagu “Do You Hear the 

People Sing?” dari musikal Les Misérables yang berlatar pergolakan di Paris 

tahun 1832, sebagai lagu pergerakan mereka; dan mengubah payung, yang 

sebelumnya mereka pakai guna melindungi diri dari gas air mata, menjadi 

ikon perlawanan yang orisinal. Kita harus bisa mengantisipasi bahwa agen 

pelintiran kebencian tidak kalah kreatif dalam meminjam metode-metode 

pertikaian yang telah dikenal luas, sambil mengadaptasikannya agar sesuai 

dengan konteks lokal.

Pendekatan sosiologis terhadap politik pertikaian ini biasanya 

memakai  deskripsi komparatif yang mendalam guna menggambarkan 

episode-episode pertikaian, dengan maksud mengidentifikasi mekanisme 

dan proses kausal di baliknya.36 Saya memakai  pendekatan metodologis 

serupa. Dalam buku ini saya memakai  analisis aras menengah, atau 

“meso”, guna menyelidiki mengapa organisasi dan institusi yang berbeda 

memilih tindakan tertentu. Pendekatan ini tidak mengabaikan arti penting 

analisis sosio-psikologis di aras mikro. Sebagai contoh, teori “spiral of 

silence” atau “pusaran kebungkaman” dalam komunikasi politik membantu 

menjelaskan mengapa kelompok moderat yang takut akan isolasi sosial 

memilih tidak menyerukan ketidaksetujuan mereka terhadap tindakan 

kelompok intoleran yang vokal, yang sebenarnya merupakan sebagian 

kecil saja dari masyarakat.37 Bidang ilmu-ilmu terkait perilaku (behavioral 

science) yang sedang berkembang menunjukkan bahwa bias-bias psikologis 

yang mempengaruhi orang untuk merasa benar bahkan saat  fakta 

menunjukkan sebaliknya.38 Wawasan ini dapat menjelaskan bagaimana 

individu-individu dapat berperilaku amoral saat  komunitas-komunitas 

lain menjadi target kebencian. Dari ujung lain spektrum, analisis aras 

makro yang memperlakukan pelintiran kebencian sebagai akibat dari 

tren sejarah dan geopolitik juga memberikan kontribusi yang bermanfaat 

terhadap studi ini.

17

Penghinaan: Ujaran Kebencian dan Bahayanya

Ujaran kebencian dan keterhasutan yaitu  dua sisi dari satu koin yang 

sama. Dari keduanya, aksi yang pertama telah menarik lebih banyak 

perhatian. Keburukan ujaran kebencian jelas terlihat dalam perannya 

menggerakkan Holokaus dan aksi genosida lain. Dalam kehidupan sehari-

hari, aksi ini memfasilitasi penyebaran sikap fanatik dan mengubah sikap 

ini menjadi perilaku diskriminasi, intimidasi, dan opresi. Ujaran kebencian 

tidaklah baru, tetapi bahayanya terasa lebih akut saat  kesetaraan telah 

diakui sebagai nilai universal: semua teori modern mengenai keadilan, kata 

Amartya Sen, menghargai kesetaraan dalam satu bentuk atau lainnya.39

Mendefinisikan Ujaran Kebencian

Meski sepakat bahwa istilah ujaran kebencian mengacu pada sesuatu yang 

nyata dan penting, tidak ada konsensus bagaimana mendefinisikannya. 

Sebagian besar perdebatan terkait konsep ini berpusat pada maknanya di 

mata hukum. Sebagaimana saya tunjukkan pada Bab 2, tidak mungkin bagi 

kita mendefinisikan secara universal apa itu ujaran kebencian sekaligus 

menetapkan garis antara apa yang secara hukum perlu dilarang dan apa 

yang boleh dilarang, betapa pun hal itu tidak mengenakkan.

Terlepas dari itu, para akademisi setuju bagaimana ujaran kebencian 

bekerja dan apa dampak-dampaknya. Ujaran kebencian mengomunikasikan 

gagasan-gagasan yang sangat negatif tentang suatu kelompok, atau 

perwakilan kelompok, di mana kelompok didefinisikan dengan penanda 

identitas seperti ras, agama, dan orientasi seksual.40 Dewan Eropa – yang 

tidak hanya memfokuskan perhatian kepada aturan hukum seputar 

ujaran kebencian, namun juga respons sosial dan politik terhadapnya – 

mendefinisikan ujaran kebencian sebagai “semua bentuk ekspresi yang 

menyebarkan, membangkitkan, mempromosikan, atau menjustifikasi 

kebencian rasial, xenofobia, anti-Semitisme, atau bentuk-bentuk 

kebencian lain yang didasarkan atas intoleransi, termasuk: intoleransi yang 

ditunjukkan dalam nasionalisme dan etnosentrisme agresif, diskriminasi 

dan sikap bermusuhan terhadap minoritas, migran, dan orang-orang dari 

garis keturunan imigran.”41 Ahli hukum Alexander Tsesis menyebut ujaran 

kebencian sebagai “sesat informasi yang disebarkan dengan tujuan utama 

mempersekusi kelompok minoritas yang ditarget.”42

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penistaan 

Bab 118

hanya akan disebut sebagai ujaran kebencian saat  ditujukan kepada 

kelompok-kelompok rentan. Biasanya, kelompok-kelompok rentan ini 

yaitu  minoritas dari segi jumlah. Akan tetapi, kelompok-kelompok yang 

membenci secara ekstrem kadang memiliki jumlah anggota yang bahkan 

lebih kecil dibandingkan dengan target mereka. Mungkin juga bahwa 

segelintir kecil elite mengontrol kekuasaan secara hegemonik, seperti 

dalam kasus Hindu Brahmana di India. sebab nya, dalam analisis atas 

ujaran kebencian, istilah “minoritas” harus digunakan untuk menyebut 

kelompok yang secara historis berada dalam posisi yang tidak diuntungkan 

dan tertindas, yang dijadikan target. saat  mencoba melawan praktik 

kesalahpahaman terhadap komunitasnya dalam sebuah forum diskursus ide 

terbuka, anggota kelompok-kelompok ini kerap disengsarakan oleh sejarah. 

Alasan inilah yang membuat mereka membutuhkan masyarakat untuk 

melakukan intervensi saat  menjadi subyek serangan ujaran kebencian. 

Pertanyaan mengenai kelompok mana yang harus dipertimbangkan untuk 

mendapat perlakuan khusus, semacam sebuah tindakan afirmasi dalam 

kerangka diskursus publik, masih terus diperdebatkan. Misalnya saja, 

sebagian besar masyarakat mengakui bahwa ujaran rasis lebih berbahaya 

dari ujaran homofobik atau ujaran xenofobik. Saya akan memaparkan 

perkembangan pemikiran-pemikiran seperti ini lebih lanjut pada Bab 2.

Terlepas dari apakah kita bertindak di ranah teori maupun kebijakan, 

bentuk-bentuk ekspresi tertentu harus dipisahkan dari definisi ujaran 

kebencian yang terlampau luas. Misalnya saja, ekspresi kemarahan yang 

cenderung spontan dan dapat juga dimaknai sebagai luapan perasaan 

positif, bahkan cinta, harus dibedakan dari ujaran kebencian sebagai 

ungkapan emosi yang lebih ajeg, kontinyu, dan memantik tindakan yang 

lebih disengaja.43 Definisi ini juga selayaknya tidak digunakan untuk 

mengacu pada kritik politik yang ditujukan ke pemerintah. Tentunya ini 

sudah jelas. Sekalipun demikian, sangat disayangkan bahwa salah satu 

alasan mengapa ujaran kebencian begitu mengemuka dalam agenda global 

yaitu  sebab  terminologi ini menggema di kalangan elite penguasa yang 

terbiasa menjadi target atau penerima serangan-serangan daring namun 

tidak bisa menelannya dengan baik. Meningkatkan kualitas perdebatan 

dan tetap mempertahankan kehormatan di muka publik yaitu  dua 

tujuan mulia, namun meregulasi ujaran kebencian yaitu  persoalan 

lain. Pemimpin suatu pemerintahan bukanlah kelompok orang yang 

disengsarakan oleh sejarah, dan tidak ada bentuk kritik terhadap pemangku 

kuasa, sekejam dan semenodai apa pun itu, yang bisa disamakan dengan 

ujaran kebencian.

Bahkan jika kelompok-kelompok rentanlah yang dijadikan target, 

kita tidak boleh terlalu gegabah menganggap bahwa segala ekspresi yang 

menyakiti perasaan yaitu  ujaran kebencian. Orang-orang memang harus 

mencoba menghindari ekspresi ini  dan berempati dengan mereka 

yang menjadi penerima ujaran ofensif. Tentu saja, rasa luka dan rasa sakit 

yaitu  konsekuensi tak terelakkan dari kehidupan di masyarakat yang 

terbuka. Tapi hal-hal itu bukanlah indikasi adanya masalah sistemik dalam 

kebebasan berbicara, lebih dari kerugian finansial dan kebangkrutan bisa 

mengindikasikan kegagalan ekonomi pasar bebas. Konsep ujaran kebencian 

harus dimengerti sebagai upaya membuat ruang dalam wacana mengenai 

demokrasi di mana kita mengakui satu tipe kegagalan pasar dalam pasar 

ide – sebuah kegagalan yang melibatkan penyalahgunaan kebebasan 

berbicara dengan cara-cara seperti merampok status kesetaraan seorang 

sebagai warganegara – hingga mengikis salah satu pilar dasar kehidupan 

demokratis. sebab nya, meski dalam nuansa yang non-legalistik, ujaran 

kebencian harus didefinisikan sesempit-sempitnya sehingga ia tak hanya 

mencakup ujaran yang melukai dan menyakiti, namun juga ujaran 

yang mampu menggiring ke pencelakaan obyektif seperti diskriminasi, 

intimidasi, penindasan, kekerasan, dan penyingkiran sistematis atas 

kelompok rentan dari hak-hak demokratis yang selayaknya mereka nikmati.

Sebagaimana yang akan kita baca pada Bab 2, Amandemen Pertama 

Konstitusi Amerika Serikat menafsirkan ujaran kebencian ilegal secara 

lebih ketat lagi, yakni ujaran yang mencakup hasutan-hasutan provokasi 

tindak kekerasan langsung; Konstitusi itu melindungi pernyataan publik 

yang melahirkan diskriminasi dan permusuhan dalam tingkat yang lebih 

rendah. Akademisi yang berkutat dalam kerangka ini menyebut istilah 

“ujaran kebencian” sebagai terlampau luas. Susan Benesch, misalnya, 

mendorong kita untuk menaruh perhatian khusus kepada satu istilah yang 

dia sebut “ujaran yang membahayakan”, yakni: “ujaran membakar yang 

mendahului tindak kekerasan, khususnya letusan kekerasan massal seperti 

genosida.”44 Formulasi itu masuk akal bagi diskusi-diskusi politik yang 

menaruh kepedulian pada kejahatan-kejahatan paling ekstrem. Namun, 

dalam buku ini, saya mempertimbangkan seluruh spektrum propaganda 

kebencian yang membahayakan kesetaraan. Sementara penafsiran yang 

terlalu luas akan membuka pintu bagi regulasi atas perasaan terluka 

dengan ongkos kebebasan demokratis, penafsiran yang terlalu sempit 

akan mengecilkan persoalan diskriminasi dan eksklusi. Anti-Semitisme 

kontemporer di Eropa mungkin tidak akan bereskalasi menjadi genosida 

yang lain.45 Namun hal itu tidak bisa membenarkan pengabaian terhadap 

maraknya segala bentuk kebencian yang lagi-lagi ditujukan kepada kaum 

Yahudi.

Dengan membandingkan berbagai penafsiran tentang ujaran 

kebencian, kita bisa melihat beberapa wilayah abu-abu pada batas-batasnya. 

Misalkan, bisakah sesuatu dianggap sebagai ujaran kebencian jika hal 

ini  tersusun hanya dari pernyataan-pernyataan faktual? Kepelikan 

macam inilah yang kemudian menjadi penting dalam penafsiran secara 

legal. (memakai  analogi hukum pencemaran nama baik, kebenaran 

yaitu  sebuah pertahanan dalam masyarakat demokratis, namun tidak di 

semua masyarakat non-demokratis.) Kendati demikian, secara sosiologis, 

perbedaan dalam penafsirannya tidaklah sekontras itu. Proses perlakuan 

stereotip dan pembingkaian memberitahu kita bahwa ketidakbenaran 

berlebihan bermula dari fakta-fakta yang dicomot sesuai keinginan. 

Misalnya, berkali-kali menegaskan bahwa kelompok minoritas tertentu 

mengontrol sebagian besar bisnis di suatu negara dan menyebut kasus-

kasus di mana satu atau dua perusahaan dari kelompok itu terlibat dalam 

praktik buruh ilegal—sambil sengaja tidak menyebut bahwa sebagian besar 

anggota kelompok ini  masih miskin dan bisnisnya sama kurang etisnya 

dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki kelompok mayoritas—bisa 

menjadikan kelompok ini  sebagai target penyerangan, seperti 

didokumentasikan Amy Chua dalam karyanya tentang “minoritas yang 

mendominasi pasar.”

Motif dan Efek Ujaran Kebencian

Dipeliharanya kebencian yang meluas dalam kelompok memiliki 

tujuan yang bermacam-macam. Yang paling jelas, ujaran kebencian 

mengintimidasi kelompok-kelompok luar (out-groups) dan menjadi 

landasan bagi persekusi mereka. Ujaran kebencian memiliki sejarah 

panjang yang dinisbatkan kepada pembunuhan massal berskala besar atau 

ancaman penindasan atas komunitas-komunitas rentan, dari pembersihan 

etnis atas penduduk asli Amerika dan kaum Aborigin di Australia oleh 

koloni kulit putih, hingga perbudakan orang-orang Afrika, pembunuhan 

kaum Yahudi pada masa Nazi di Jerman, dan genosida Rwanda pada 1994. 

Meskipun demikian, kadang-kadang tujuan utama dari ujaran kebencian 

yaitu  untuk membangun dukungan atas golongan sendiri (in-group). 

Segala kejahatan yang dialamatkan kepada kelompok sasaran hanya 

dianggap sebagai kerusakan sampingan (collateral damage), bukan tujuan 

obyektif. Dengan menegaskan perbedaan Kita dan Mereka, dan dengan 

mengonstruksi golongan luar (out-group) sebagai musuh, kelompok 

pembenci dapat menarik perhatian anggota baru, membangun solidaritas, 

dan memobilisasi anggota di sekitar agenda politiknya. Ujaran kebencian 

kemudian menjadi instrumen politik identitas. 

Para sarjana sudah menggambarkan sebuah proses sistematis 

bagaimana propaganda membuat orang-orang rasional mau bertindak 

jahat terhadap orang lain. Cees Hamelink mendekonstruksikan “spiral 

eskalasi konflik”.47 Hal itu bermula dari situasi panik yang dirasakan secara 

kolektif dan membuat orang menjadi rentan terhadap manipulasi. Hal ini 

bisa jadi mengakar pada alasan-alasan yang obyektif, misalnya penurunan 

tingkat kehidupan ekonomi, atau keresahan kultural yang diakibatkan oleh 

terkikisnya kebiasaan-kebiasaan lama yang erat diyakini. Para pemimpin 

kemudian menghasut dengan mengonstruksi sebuah identitas kolektif 

dengan menjadikan kelompok-kelompok luar (out-group) sebagai korban, 

yang dipotret sebagai obyek kepanikan komunitas. Proses alienasi kemudian 

mengikutinya, saat  kelompok luar tidak lagi dianggap sebagai manusia 

(didehumanisasi) sampai pada titik di mana mereka tidak lagi berhak 

memperoleh empati atau kewajiban moral. Sesudahnya muncul “tuduhan 

dalam cermin” – sebuah istilah yang digunakan dalam pengadilan yang 

menangani kasus genosida Rwanda – yang melibatkan proses meyakinkan 

golongan sendiri (in-group) bahwa kelompok luar (out-group) yaitu  

penyerang yang sebenarnya, dan bahwa mengeliminasi kelompok lain 

yaitu  aksi bela-diri dan bahkan cara untuk bertahan hidup. Harus diingat 

dan digarisbawahi bahwa eskalasi semacam ini bukannya tak direncanakan 

atau tak terkoordinasi. Meskipun liputan media kerap menggambarkan 

kekerasan etnis sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan ledakan 

spontan kekuatan yang tersembunyi, hal itu hampir selalu disebabkan oleh 

aksi disengaja para aktor yang muncul untuk mencari keuntungan dari 

perpecahan yang terjadi. sebab nya, Rita Whillock mengartikan ujaran 

kebencian sebagai sebuah “muslihat” atau tipuan yang memunculkan suatu 

“kode simbolis untuk kekerasan”: “tujuan akhirnya yaitu  membakar 

emosi para pendukung, mengambinghitamkan golongan luar yang disasar, 

menimbulkan kerusakan permanen dan tak dapat diperbaiki pada lawan, 

dan pada akhirnya menguasainya.”

Satu tantangan utama bagi para pembuat aturan yaitu  bahwa ujaran 

kebencian tidak pernah bisa menahan dirinya sendiri (self-contained). 

Ia tak datang dalam sebuah paket yang khusus dan rapi, dengan alamat 

pengembalian yang jelas. Jaksa selalu kesulitan membangun akuntabilitas 

hukum sebab  prosesnya berjangka panjang dan tersebar. Tsesis mencatat, 

“Perlu waktu bertahun-tahun agar bentuk paling berbahaya dari bigotry 

bisa berkembang, hingga ia secara kultural diterima pertama-tama untuk 

memfitnah, lalu mendiskriminasi, dan akhirnya mempersekusi kelompok 

luar (out-group).”49 Di Rwanda, stasiun radio RTLM mengipasi api 

kebencian semenjak ia mengudara pertama kali pada Juli 1993, beberapa 

bulan sebelum meletusnya kekerasan massal pada April 1994, yang 

membunuh sekitar 800.000 orang. Dalam kasus ini , propagandanya 

sangat eksplisit, hubungan sebab-akibatnya sangat jelas, hingga pengadilan 

internasional bisa menyatakan kepala radio itu bersalah atas perannya 

dalam mengorganisasi genosida. saat  puncak peristiwa genosida terjadi, 

radio itu bahkan menyiarkan daftar pembunuhan. Namun demikian, 

pada sebagian besar kasus lainnya, jaksa tidak berhasil menyambungkan 

benang merah antara ujaran kebencian yang dibuat dan kerusakan yang 

ditimbulkan.

Sifat dari ujaran kebencian yang sangat menyebar juga sudah 

terdokumentasi dengan baik. Yang sering kali terjadi, kelompok pembenci 

membagi beban kerja di antara mereka, dengan kelompok yang cenderung 

moderat mempersiapkan landasan bagi ide-ide yang rasis. Satu studi 

menunjukkan bagaimana laman kelompok supremasi kulit putih Stormfront 

secara sistematis memotret kaum Yahudi dan Afrika-Amerika sebagai 

kelompok yang inferior (lebih rendah), manipulatif, tiranik, genosidal, 

dan para syahid palsu. Namun laman ini  menghindari pernyataan-

pernyataan rasis yang terang-terangan dan memakai  retorika yang 

tidak terlalu kejam dibandingkan dengan kelompok-kelompok ekstrem 

lain yang terkait dengannya. Laman itu mencoba tampil saintifik dan 

rasional, kerap mengutip (atau salah mengutip) laporan dari media-media 

kredibel seperti New York Times dan Wall Street Journal. Dengan demikian, 

Stormfront menyediakan batu loncatan bagi kebencian melalui “‘rasisme 

yang masuk akal’, sebuah wacana terukur yang mengetengahkan diskusi 

23

pseudo-rasional mengenai ras, dan pada saatnya bisa jadi memasang 

jaring lebih lebar untuk mengundang daya tarik para pengunjungnya.”50 

Tantangan kebijakan dalam menghadapi ujaran kebencian yang tersebar 

dan berkepanjangan akan muncul dalam berbagai studi kasus – dan juga 

akan mendiskusikannya secara detail pada bab terakhir. 

Ketersinggungan: Rekayasa Hasutan Kebencian

Para sarjana dan pembuat kebijakan memahami lebih sedikit tentang 

ketersinggungan yang sengaja diproduksi dibandingkan dengan ujaran 

kebencian. Sementara motivasi agresif di balik ujaran kebencian sudah 

tidak dapat diragukan, penyerangan yang disengaja bersembunyi di 

balik topeng “aku sebagai korban”. Kemarahan massa kadang tampak 

hipersensitif dan benar-benar tidak toleran, tapi kemurniannya jarang 

diragukan. Para pengamat mengasumsikan bahwa mereka sedang 

menyaksikan kemarahan yang murni dan tak terkontrol terhadap satu 

provokasi. Namun beberapa hal sebenarnya bukan seperti apa yang kita 

saksikan. Sebaliknya, ketersinggungan yang ditunjukkan secara mencolok 

kerap merupakan contoh dari pelintiran kebencian. Saya tidak sedang 

merujuk kepada kasus di mana seseorang atau sekelompok orang naik pitam 

terhadap satu provokasi saat  bertatap muka secara langsung – apa yang 

yurisprudensi Amerika sebut sebagai “perang kata-kata” (fighting words). 

Dan saya tidak meragukan ketulusan banyak orang yang menandatangani 

petisi atau turun ke jalan untuk memprotes bagaimana komunitas mereka 

tidak dihormati oleh suatu film atau rencana pembangunan gedung. Tetapi 

saat  kampanye-kampanye ini  berlarut-larut dan mengambil bentuk 

yang sensasional, kita harus mencari tahu wirausahawan politik yang 

jangan-jangan punya agenda yang cukup terpisah dari keluhan-keluhan 

yang ditunjukkan. Mereka menuntut sensor, tapi tujuan utamanya bisa jadi 

untuk memobilisasi pengikut atau menyudutkan lawan. Kemarahan yang 

menjadi hasilnya bukanlah hal yang spontan atau tak bisa dihindarkan.

Mitos Kemarahan Spontan

Kualitas diproduksi atau dibuatnya pelintiran kebencian biasanya hilang 

dalam liputan media massa, yang pemberitaannya kerap menggambarkan 

satu peristiwa sebagai sebuah reaksi kimia atau respons yang mekanis. 

Dalam melaporkan video unggahan YouTube tahun 2013 berjudul 


Innocence of Muslims, misalnya, Guardian menyebut bahwa film ini  

“mengakibatkan kekisruhan di dunia Islam,”51 sedang New York Times 

menyatakan bahwa video ini  “menyalakan protes berdarah di dunia 

Islam.”52 ada  banyak sekali masalah dalam penyederhanaan semacam 

ini. Antara lain, laporan-laporan itu mencitrakan dunia Islam sebagai 

entitas homogen yang mudah terpengaruh oleh kemarahan, padahal hanya 

minoritas sangat kecil yang mengekspresikan kemarahan dengan cara 

ekstrem atau mendukung mereka yang bertindak demikian. Bahkan, surat 

kabar-surat kabar ini, dalam kolom-kolom yang lebih bisa disebut sebagai