Tampilkan postingan dengan label peradaban barat 14. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label peradaban barat 14. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

peradaban barat 14



 kan kebebasan berekspresi,

namlrn pada gilirannya, juga akan membahayakan demokrasi

negeri ini," begitu logika EKSPRESI.

Kasus BCG mengulang kembali berbagai kasus pro-kontra

sejenis dalam dunia hiburan dan soal kebebasan berekspresi di Indonesia. Sebelumnya, kasus Inul telah menyita begitLr banyak pikiran

warga masyarakat. Pro-kontra berlangsung hebat. Bahkan seorang

kiai terkemuka yang juga dikenal sebagai seniman dan penyair, KH

Mustofa Bisri, harts merasa ikut membela Inul dengan memamerkan karyanya bempa lukisan berjudul "Zlkir bersama Inul". Dalam

Iukisan itLr Kiai Mustofa melukis sekelompok kiai berpakaian khas

lengkap dengan sarung, jubah putih, dan sorban, duduk berzikir

mengelilingi sesosok wanita bertubuh bahenol yang sedang bergoyang ala penyanyi dangdut kontroversial ihr. Di akhir tahun 2004,

Kiai Mustofa yang didukung oleh tokoh kontroversial lain Abdur-rahman Wahid, batal menjadi salah sahr kandidat kehra tanfidziyah

Nahdlatul Ulama, organisasi ulama terbesar di Indonesia.

Di era globalisasi, dimana proses libaralisasi berlangsung di

berbagai bidang, pro-kontra tentang batas-batas moral akan selalu

terjadi. Kaum sekular-liberal dengan mudahnya berpikir, bahwa

"kebebasan bereskpresi" yaitu  "standar moral yang mutlak dan

tidak dapat diganggu-glgat". Jadi, kata mereka, tidak boleh ada

sahr pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli

kewenangan dalam melakukan penghuktrman dan pemberangusan,

atas nama apaprm. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat.

Logika kaum liberal ini berasal dari prinsip "humanisme

sekular", yang menempatkan manusia sebagai Ttrhan. Manusialah

yang menentukan segala hal, dengan kebebasan individunya--asal

tidak merugikan orang lain. Mereka tidak mau ada campur tangan

agama dalam masalah moral. Mereka ingin mengatur diri mereka

sendiri. Mentrrut mereka, Tlrhan tidak berhak campur tangan dalam

urusan kehidupan, karena manusia lebih hebat dari Tirhan. Meskipun agama jelas-jelas melarang, negara, ulama, atau kelompok apa

pun, tidak boleh ikut-ikutan melarang.

Kelompok semacam ini tidak mau bela;'ar dari sejarah dan juga

pengalaman-pengalaman negara lain. Standar moral mereka jtrga

kacau. Pada kasus film BCG, persoalan intinya,--bagi kaum Muslim

--yaitu  soal zina, dimana Al-Qur'an sudah menegaskan, agar

jangan sekali-kali mendekati zina. Allah berfirman,

"Dan janganlah kanru mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan tindakan yangburukl'(al-Isra: 32)

Rasulullah saw. bersabda,

Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk

negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiril' IHId.

Thabrani dan Al Hakim)

Beliau saw. juga bersabda,

"Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian,

maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah

Swt., semoga kalian tidak menemui zaman itu. Lima perkara itu ialah: (yang

Pertama) Tidak merajalela praktik perzinaan pada suatu kaunt, santpainrcreka berani berterus-terang tnelaktrkannya, melninkon akan terjangkit

penyakit nrcnular dengan cepat, dan nrcreka akcn ditintpa penyakit-penyakit

yangbelwn pernah nrcnimpa umat-unnt ynng lalu...'.' (HR Ibnu Majah)

Jadi, dalam pandangan Islam, zina yaitu  prerbuatan kriminal

kelas berat, dan kejahatan yang sangat serius, sehingga segala hal

yang menjurus ke arah zina, yang mendekati zina, wajib dihrhrp.

Film BCG dengan jelas sekali mengajak masyarakat untuk mendekati zina, yang dalam bahasa Aa' Gym dikatakan, judul film ihr

artinya sama dengan "bnrnan zinahi gue". Kaum sekular-liberal memandang bahwa zina bukanlah kejahatan, karena tidak merugikan

orang lain. Karena ihr, KUHP kita warisan Belanda, juga tidak melihat zina sebagai kejahatan.

Hanya mereka yang telah terikat dengan perkawinan dan kemudian melakukan hubungan seks di luar pernikahan, dapat dikatakan sebagai perzinaan. Itu pun harus ada unsur paksaan atau di

bawah umrlr. Artinya hams ada hrnhrtan dari pihak suami/istri

(pasal284 KUHP).

Karena di mata Islam zina dipandang sebagai kejahatan seritts,

maka segala hal yang menjums kepada zina, sudah semestinya tidak

diizinkan. Termasuk kebebasan berekspresi yang mempromosikan

perbtratan zina. Islam memandang bahwa zina yaitu  sumber kehancuran masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur'an dan

hadits Rasulullah saw.. Di masyarakat Indonesia, wabah zina dan

pembudayaan perilaku kebebasan seksual di luar nikah sebenarnya

sudah sangat mengkhawatirkan.

Angka aborsi (pengguguran kandungan), misalnya, tampak

fantastis. Thhun 7997,WHO memperkirakan, sekitar 4,2 jrtabayi

digugurkan di Asia Tenggara. Menumt Menteri Pemberdayaan

Perempuan, ketika ihr, Khofifah Indar Parawansa, mengutip data

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dalam tahun

7999-2000, diperkirakan wanita yang melakukan aborsi sebanyak

dua juta orang, diantaranya 750.000 remaja yang belum menikah. Dr.

Biran Affandi SpOG, Kehra Umum Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesii (POGI), menunjuk angka 2,3 jtta, untuk aborsi di

Indonesia per tahun.

Meruyaknya praktik perzinaan juga sama derasnya dengan

meruyaknya peredaran Narkoba di Indonesia dan berbagai bisniskemaksiatan lainnya. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, pemerintah sendiri punya kepentingan, sehingga tidak serius memberantas

kejahatan jenis ini. Bisnis narkotik per hari mencapai Rp 200 milyar,

bisnis judi Rp 50 milyar, bisnis minuman beralkohol Rp 4 milyar.

Omset bisnis pelacuran sekitar Rp 11 trilyun per tahun. Ketua

Umum Gerakan Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat

memperkirakan, perputaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia mencapai Rp 24 trilyun per bulan, atau Rp 800 milyar per hari.

Dr. Boyke Dian Nugraha mengakui, budaya free sex ada hubungannya dengan penyebaran nilai-nilai Barat yang serba permisif. Filmfilm Barat seperti Dausort's Creek, Beoerly Hills, Melrose Plnce, dan

sejenisnya, sangat digemari penonton TV di Indonesia. Film-film ihr

memberi teladan kebebasan seks di kalangan remaja. Di salah satu

channel TV Malaysia, belum lama ini disiarkan program "The Bachelor" yang mempertontonkan, cara memilih istri bagi seorang profesional kaya. Unhrk sampai ke jenjang perkawinan, diadakannya

iklan bagi para wanita yang berminat menikah dengan dia. Lalu, dia

seleksi satu persahl. Setelah tinggal beberapa orang calon, masingmasing diajaknya berkencan (berzina) secara bergantian, sampai

tinggal dua orang. Terakhir, dua calon terseleksi, dan keduanya

diperkenalkan kepada keluarga si laki-laki, unhrk menilai, mana

dari kedua wanita itu yang layak dikawini.

Apakah kondisi "relativitas nilai" semacam itu yang kita inginkan? Padahal, kondisi semacam itu telah memicu terjadinya lingkaran setan berbagai masalah kesehatan dan sosial, sebagai buah dari

sekularisasi dan liberalisasi moral. Ketika batasan moral diserahkan

kepada akal dan kesepakatan manusia semata, maka akan terjadi

penghancuran batas-batas moral yang pasti. Karena ihr, Islam tidak

mengenal proses "evolusi nilai" secara mutlak. Zina,homoseksual,

perjudian, sejak dulu hingga kini, tetap haram hukumnya. Bukan

nisbi. Promosi nilai-nilai moralitas sekular-Barat yang terlepas dari

agama, menjadikan batas-batas nilai menjadi kabur. Maka, di tengah

masyarakat, bisa muncul persepsi yang timpang. Perzinaan dianggap hal biasa, sedangkan korupsi dipandang sebagai kejahatan

serius. Homoseksual dan pelacuran dipandang bukan dosa, sedangkan poligami dipandang sebagai kejahatan. jika fenomena semacam

ihl sudah muncul, maka nilai moral agama akan hancur dan me-masrlki lingkaran setan kebingtmgan yang tiada ujung. Cara mengatasinya, tenhr saja kembali kepada agama dan tidak mengikuti

langkah-langkah setan yang terkutuk. Wnllnlru a'lam




































artikel  yang sedang Anda pegang ini sebagian besar

mengungkapkan fakta dan akar historis peradaban Barat

yang bertransformasi dari Clristendom menuju Liberalisme-Sekularisme, serta berbagai persoalan besar yang ditimbulkannya terhadap dunia kita dewasa ini. Dalam pembahasannya, artikel 

ini sering menggtlnakan istilah "Barat sekular-liberal". Hal ini,

untuk memrnjukkan bahwa penulis tidak bermaksud memttkul rata

semua yang berasal dari Barat dan bersikap anti kepadanya,

melainkan mengembangkan sikap kritis yang proporsional.

Salah satu tesis penting yang dibahas dalam artikel  ini yaitu 

"Konfrontasi Permanen" sebagai antitesis terhadap teori "Benturan

Peradaban (the Clash of Civilizations)" dari Bernard Lewis yang

kemudian disebarluaskan oleh Samuel P. Huntington. Kata "konfrontasi" diambil dari tesis Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas

(Bab 11), tidak harus diartikan sebagai "benhlran fisik" atau peperangan militer. Konfrontasi di sini lebih ditekankan pada aspek

intelektual dimana terdapat perbedaan yang mendasar antara Pandangan hidup Islam dengan pandangan hidup Barat, dan bangunan

peradaban yang berdiri di atasnya. Konfrontasi juga tidak berarti

tidak adanya hubungan antara peradaban Islam dan Barat. Dalam

sejarah terbukti, selama konfrontasi fisik berlangsung rahrsan tahun

dalam Perang salib, antara pasukan Muslim dan Kristen, telah terjadi interaksi sosial-budaya yang cukup intensif. Antar peradaban

akan selalu terjadi interaksi, saling memberi dan menerima. Antara

Turki utsmani dengan negara-negara Barat ketika ihr juga terjadi

hubungan diplomatik, disamping terjadi peperangan antarmereka.

Sekarang pun, di saat hubungan antar-negara berlangsung dalam

sihrasi politik internasional yang "utipolnr" di bawah "pax-Antericana", antar negara juga terjadi konfrontasi dan peperangan dalam

berbagai bidang, baik bidang perdagangan, informasi, atau budaya.

Perang dagang selalu terjadi. Perang informasi juga menjadi bagian

dari kehidupan manusia.

Sejak tahun 1970-an, cengkeraman pemikiran sekular sudah

dijejalkan ke murid-murid sMP di Indonesia, misal-nya, melalui

pelajaran sejarah. artikel  pelajaran sejarah SMP di masa ihr menggambarkan Musthafa Kemal Atahlrk sebagai pahlawan Ttrrki yang

begitu besar jasanya, seolah-olah tanpa dosa. yaitu  artikel-artikel

Btrya Hamka di majalah Pnnji Masynrnknt dalam mbrik Dsri Hnti ke

Hatiyangbanyak membuka mata saya tentang persoalan pergulatan

peradaban Barat, Kristen, Yahudi, dan Islam. Penjelasan mengenai

siapa sesunggt*urya sosok Atahrrk pun saya dapatkan dari buah

pena Buya. Tlrlisan-hrlisan Buya bisa menjadi amunisi untuk

berdebat dengan guru Biologi yang ngotot membela 'keilmiahan,

teori Darwin.

Tulisan pertama saya yang dimuat di media massa tahun 19g9

bercerita tentang trend mode 1990 dan hubungannya dengan hegemoni Barat dalam bidang ekonomi dan kebudayaan. Ketika duduk

di bangku kuliah, di Fakultas Kedoteran Hewan Instihrt pertanian

Bogor, saya menerjemahkan satu makalah bahasa Arab yang menanggapi gagasan "reaktualisasi hukum Islam"-nya Munawir

Syadzali. Sebuah artikel  tentang emansipasi wanita dalam Islam yang

ditulis oleh Abdurrahman al-Baghdadi;'uga saya terjemahkan dan

edit. saat berkecimpung dalam dunia jurnalistik, semakin banyak

kesempatan saya unhrk mendalami wacana pemikiran Islam dansekularisme/liberalisme dalam bidang sosial-politik. Menjelang

keberangkatan ke Malaysia untlrk melanjutkan shldi di ISTAC, saya

sempat menulis sahr artikel  yang mengkritik gagasan Islam Liberal.

Jadi lebih dari20 tahun, problema pemikiran Islam dan Barat

telah lama menjadi perhatian saya. Kesempatan hadir di ISTAC

tahun 2003 membuka lebar pandangan saya, tentang betapa dalamnya hunjaman pemikiran Barat sekular-liberal ke alam pemikiran

para cendekiawan Muslim. yaitu  karya-karya Prof. Naquib alAttas dan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud tentang peradaban Barat

dan peradaban Islam yang banyak menarik perhatian saya. artikel artikel  serius dan sangat klasik tentang Barat, Kristen, Yahudi, yang

cukup melimpah di perpustakaan ISTAC memberikan kesempatan

kepada saya unhrk mengkaji masalah ini lebih mendalam. Diskusidiskusi saya dengan Prof. Wan--begitu kami memanggilnya-tentang

berbagai aspek seputar peradaban dan epistemologi Islam dan Barat

cukup banyak membantu memahami masalah Islam dan peradaban

Barat, baik pemikiran al-Attas maupun pemikiran cendekiawan lain,

dengan lebih komprehansif.

Pemikiran dan pribadi Prof. Naquib al-Attas akan cukup

banyak dipaparkan dalam artikel  ini. Sedangkan sosok Prof. Wan

Mohd Nor Wan Daud, yang juga memberikan pengantar unhrk

artikel  ini, bisa secara ringkas diperkenalkan dalam pengantar ini.

Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud,lahir di Kelantan,23 Desember

1955. Ia menyelesaikan B.Sc. (Hons) Biology dan M.Sc. Ed (Kurikulum dan Pengajaran) dari Northern Illinois University (NIU), De

Kalb, Illinois, USA. Thhun 1987 menyelesaikan Ph.D. di Chicago

University dengan tesis berjudrtl "Tlrc Concept of Knowledge in Islant

and lts lntplicatiotts for Education in tlrc Malaysian Concept" di bawah

bimbingan Prof. Fazlur Rahman.

Beliau sejak 1988 ikut merintis ISTAC dan membantu Prof. Naquib al-Attas dalam setiap aspek akademis dan pelajar. Tahun L998

menjabat Deputy Director ISTAC. Pernah aktif dalam organisasi

sebagai "Nationnl President of tlrc Malaysia lslanic Study Group of tlrc

Llnited Stntes and Canada" (1981.-1982), dan "President of tlte Mtslint

Students" Associntion of tlrc Llnited Stntes nnd Canndn" (1982-1,983).

|trga sebagai anggota "Mnjlis al-Slura of the Islnmic Society of North

Americn (ISNA)";angota " Adaisory Bonrd of TODA lnstitute for GlobnlPeace and Policy Researclt, Honolulu, Hawaii; dan anggota "lntenmtional Adaisory of Post-graduate program for Islantic Studies, Llniaersity of

Melbourne, Australin" .

artikel -artikel  dan makalahya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: Persia, Rusia, Bosnia, Turki, Jepang, dan Indonesia. Di

antara btrkunya: Budnya llmu: Konsep, Prasyarat don Pelnksanann di

Malnysin, The Concept of Knoruledge in lslam and lts lrrtplicntions for

Educntiotr in n Deueloping Cottntry, Penjelasan Budnyn lltrtu, Tlw Beacon

on the Crest of n Hill: A Brief History ond Philosophy of tlrc Internntionnl

Ittstitute of lslnrnic Tlnugltt and Ciailizntion (ISTAC), Konsep llrrru Dalant

Islam, K.onsep Pengetnlnmn dalam lslant, Tlrc Educntional Plilosoplry and

Practice of Syed Mtilmnmrad Nnquib nl-Attns: An Exposition of tlrc

Originnl Cotrcept of lslanizntion (telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Irrdonesia dan Melaytt), Pentbotlgunan Di Malaysin: Ke Arah Satu

Kefahaman Bnru yang Lebilt Sentpurnn. Bukt puisinya mengenai

agama, filsafat, dan masyarakat yang berjudul Mutinro Tnman Adabi

dipuji oleh sastrawan senior Malaysia, Afandi Hasan, sebagai

"berhasil memberikan bara intelektual" dan kualitas sajak-sajaknya

tidak kalah dengan sajak Sutan Takdir Alisyahbana. artikel  puisi ke

dnanya, Dalam Terang,juga telah diterbitkan.

Dalam pertjelasannya kepada Majalah ISLAMIA (edisi ke-Z/

2004), Prof. Wan menyatakan:

"Al-Attas mengajar saya unhlk memahami sistem metafisika

Islam dan akhlak tinggi dan menghidupkannya dalam diri dan

perbuatan sebaik dan seikhlas mungkin: Bahwa Allah Tn'nln

bukan sekadar Esa dan Wujud, tetapi senantiasa hadir. Al-Attas

dengan pengajaran dan amalannya menunjukkan jalan unftik

membuat Islam bukan sekadar agama yang agrmg dan tinggi

tetapi sebagai peradaban/tamadun yang hidup, sebagai identitas diri dan sebagai lingkungan Al-attas juga menunjukkan

kesanggupannya menghormati pandangan-pandangan yang

berbeda, yang didiskusikannya dengan kritis dan berani dan

kesediaannya menerim a I u tj j al iln j j ah yang lebih baik. "

Melalui perspektif al-Attas ihllah, bacaan tentang infiltrasi,

invasi, dan pergulatan pemikiran keagamaan di Indonesia dapat

disimak dengan lebih gamblang. Sejak sekitar 20 tahun lalu, duniapemikiran Islam di Indonesia sebenamya mulai memasuki "wajah

barlr" menyusul membaniirnya artts dan pola pemikiran Barat dalam sttrdi keislaman (lslnntic sttrdle.s). Berbagai Perguruan Tinggi, baik

Islam mauprln Kristen, menawarkan Program Religious atau lslamic

Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua

dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi

ke Barat untuk belajar Islam. Mereka kemtrdian kembali dan mempromosikan gagasan dan metodologi Barat dalam studi Islam.

Menurut Prof. Dr. Mashlhu, "Jika diamati secara mendalam, studi

keislaman di IAIN dan di tanah air pada umlrmnya masih banyak

didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis) dan kurang wawasan empiris-historis." (Lihat: Trndisi Baru Penelitian Agnmn Islnnt.

Bandung: Pusjarlit dan Penerbit Nuansa, 1998, hlm. x). Karena itu,

menumt para penyokong metode Barat, mempelajari dan menguasai gagasan-gagasan para pemikir Barat menjadi suahl "keharttsan".

Persoalannya, tenhr bukan sekedar belajar. Bukan transfer

pengetahuan semata, lalu selesai. Tetapi, sejauh mana para sarjana

Muslim mamptl menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran tersebut--temtama yang menyangkut masalah-masalah yang di dalam tradisi dikategorikan sebagai "yang

strdah mapant" (tsawabit-yang oleh Arkoun disebut sebagai "tlrc unthinknble",seperti persoalan-persoalan akidatu otentisitas Al-Qur'an,

kehujjahan hadits Nabi Muhammad saw, dan sebagainya). Suahr ide

atau teori tidaklah munctrl begihr saja, tanpa sejtrmlah asumsi dan

presuposisi. Demikian pula gagasan pemikiran, tidak bisa terlepas

dari konteks peradaban di mana teori ihr dilahirkan. Thnpa menafikan hal-hal yang sifatnya universal dalam setiap pemikiran, tidak dapat dinafikan sama sekali adanya perbedaan-perbedaan prinsipil

yang melandasi dan melatarbelakangi suatu gagasan. Sekularisme

dan liberalisme yang lahir dari rahimperadaban Barat tidak terlepas

dari problema sejarah dan keagamaan Kristen di Barat. Jika ditelaah

lebih cermat, ada perbedaan yang ftindamental antara Islam dan

Kristen, baik tinjauan teologis maupun historisnya. Karena itu, seyogianya kaum Muslim bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat

dari Barat, tanpa menghancurkan bangunan Islam. Tidak perlu

mengikuti tradisi kaum pemikir Kristen Barat yang kecewa pada

doktrin-doktrin dan sejarah agama mereka, lalu mengaplikasikanmetodologi sekular-liberal dalam memahami Islam.

Kini, fenomena "hegemoni Barat" dalam lslnmic Studies di

berbagai perguruan tinggi Islam sungguh-sungguh merupakan hal

yang mencengangkan; sesuatu yang kira-kira 10 tahun lalu, tidak

terbayangkan oleh banyak cendekiawan Muslim Indonesia. Sepanjang tahun 2004, ketika saya dengan sejumlah teman-teman INSISTS

(Institute for Tlte Study of lslanic Tlrouglt nnd Ciailiznfion) melakukan

sejumlah acara workshop tentang pemikiran Islam dan Barat di

beberapa perguruan tinggi dan pondok pesantren, paham pluralisme agama/ metode hermeneutika dalam shrdi Al-Qrlr'an, liberalisme moral, dan sebagainya sudah menyebar, laksana virus atau

"penyakit mennlar" yang ganas. Paham-paham dan pemikiran yang

membongkar asas-asas Islam, bahkan yang terang-terangan melecehkan Islam, mendapat  sokongan luas di kalangan dosen dan

mahasiswa perguruan tinggi Islam.

Tenhr saja harus diakui, Barat memang memiliki berbagai keunggulan dalam shrdi Islam, karena mereka sudah menyiapkan hal

ini dengan sungguh-sungguh selama rahrsan tahun. Literatur-literatur keislaman juga berhasil mereka himpun dengan baik. Sarjanasarjana dan pakar di berbagai bidang kajian Islam juga sudah mereka

miliki. Dengan keunggulan ekonomi, mereka juga memberikan

fasilitas belajar yang nyaman kepada banyak sarjana Muslim dari

berbagai dunia Islam. Maka, setiap tahun, kita menyaksikan ribuan

sarjana Muslim belajar tentang Islam kepada sarjana-sarjana Yahudi

dan Kristen. Sementara itu, pada saat yang sama, hampir tidak

ditemukan, ada sarjana Kristen-Yahudi yang belajar tentang agama

mereka kepada sarjana Muslim.

Tentu inibahan untr.rk introspeksi diri. Belajar kepada siapa saja

memang tidak salah. Yang penting memahami, mana emas dan

mana besi berkarat, mana slnmpoo dan mana oli. Unhlk memahami

itu tentunya perlrr persiapan yang matang. Sedangkan ironisnya,

fasilitas kajian tentang hal itu di Indonesia masih sangat minim.

Padahal, unhrk kebutuhan saat ini, untuk menjadi Muslim yang

berkualitas, mutlak diperlukan pemahaman terhadap Islam yang

baik, sekaligus memahami peradaban Barat. Sebab, peradaban

Baratlah yang sekarang sedang menguasai dunia dan memaksakan

nilai-nilai dan pandangan hidupnya--disamping produk-produkekonominya--untuk dikonsumsi umat manusia.

Sebagaimana bisa disimak dalam artikel  ini, peradaban Barat

sejatinya mempakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno,

Kristen, dan tradisi paganisme Eropa. Meskipun Barat telah menjadi

sekular-liberal, namun sentimen-sentimen keagamaan Kristen tems

mewarnai kehidupan mereka. |ika dalam masa kolonialisme klasik

mereka mengusung jargon "GoId, Gospel, dan Glory", maka di era

modern, dalam beberapa hal, semboyan itu tidak bembah. Jika dianalisis secara mendalam, serbuan AS terhadap Irak tahun 2003 dan

dukungannya yang terus-menems terhadap Israel, juga tidak terlepas dari unsur "Gold, Gospel, dan Glory". Meskipunberbeda dalam

banyak hal, unsur-rlnsur Barat sekular-liberal kadang bisa bertemu

dengan kepentingan "misi Kristen", atau "sentimen Kristen."

Di masa klasik dulu, seorang misonaris legendaris Henry

Martyn, menyatakan, "Saya datang menemui umat Islam, tidak

dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi

dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta." Ia

berpendapat, bahwa Perang Salib telah gagal. Karena ihr, untuk

"menaklukkan" dunia Islam, dia mengajukan resep: gunakan "kata,

logika, dan cinta". Bukan kekuatan senjata atau kekerasan. Misionaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan hal senada, "Kulihat

banyak ksatria pergi ke Thnah Suci di seberang lautan; dan kupikir

mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya

semlra hancur sebelum mereka mendapat  apa yang tadinya

ingi. mereka rebut."

Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor di "Church

Missionary Society", tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah

Kristen dibandingkan Raymond LulI. Lull, kata Stock, yaitu 

"misionaris pertama bahkan terhebat bagi kaum Mohamtnedans".

Ihrlah resep Lull: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan "darah dan

ait rtrata", tetapi dengan "cinta kasih" dan doa.

Ungkapan Lull dan Martyn ihr diungkap oleh Samuel M.

Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam

btrkunya " Islotn: A Challen ge t o F aith" (terbit pertama tahun 1907). Di

sini, Zwemmer memberikan resep unhlk "menaklukkan" dunia

Islam. Zwemrner menyebutartikel nya sebagai "studies on tlrc Moham'

medan religion and tlrc needs and opportunities of the Molnmmedan WorldFrom tlre standpoirrt of Clfistiott Missiorts".

Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum Muslim

yaitu  sahl kehamsan. Jika tidak, maka dunia pun akan diislamkan.

Dalam laporan tentang "Centenary Conference on the Protestant

Missions of the World" di London tahun 1888, tercatat ucapan Dr.

George F. Post, "Kita hams menghadapi Pan-Islamisme dengan PanEvangelisme. Ini pertamngan hidup dan mati." Selanjutnya, dia

berpidato:

"..kita hams masuk ke Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita

harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orangorang ini atau mereka akan berbaris melewati gurun-gumn pasir

mereka, dan mereka akan mereka akan menyapu seperti api yang

melahap kekristenan kita dan menghancurkannya. Ringkasnya,

misionaris ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka

akan mengganyang Kristen! "

Kekuatan "kata" yang dipadu dengan "kasih" seperti yang

diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius. Konon,

" or ang l awa "--sebagaimana humf f awa--akan ma ti jika "dipangku".

fika seseorang dibanhr, dlbiayai, diberi perhatian yang besar (kasih),

maka hatinya akan luluh. Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak

selalu. Simaklah kasus Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid,

bagaimana pemikiran dan keyakinan mereka bembah. Simaklah,

sebagaimana dipaparkan dalam artikel  ini, bagaimana kekuatan ide

"freedom" dan "liberalisme" mampu menggulung sebuah imperitrm besar bernama Thrki Utsmani. Ketika kaum Muslim tidak lagi

memahami Islam denganbaik, tidak meyakini Islam, dan menderita

penyakit mental minder terhadap peradaban Barat, maka yang

terjadi kemudian yaitu  upaya imitasi terhadap apa saja yang

dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Mtrda

menyatakan, "Yang ada hanya satu peradaban, dan ihl yaitu 

peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat,

baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus."

Sekularisme dan liberalisme di Barat telah memukau banyak

umat mantrsia. Gerakan pembebasan (Liberntion nloaemenf) di berbagai dunia mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaihr

"Revolusi Perancis" dan "kemerdekaan AS" . A Neu Encyclopedia of

Freemasonry (1996), mencatat bahwa George Washington, ThomasJefferson, John Hancock, Benjamin Franklin yaitu  para aktivis Free

Mansory. Begihr juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin

Simon Bolivar dan Jose Rigal di Filipina. Ide pokok Freemasonry

yaitu  "Llberty, Equality, and Fraternity". Di bawah jargon inilah,

jutaan orang "tertarik" unhlk melakukan apa yang disebut sebagai

"kemerdekaan abadi semua bangsa dari tirani politik dan agama".

Dalam Revolusi Prancis, jargon Freemasonry ihr juga menjadi jargon

resmi.

Dalam konteks Utsmani ketika itu, Sultan Abdulhamid II diposisikan sebagai "kekuatan tiran\". Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, tampakny a, yartg diposisikan sebagai "ecclesiastical tyranny" yaitu  "teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah",iuga khazanah-khazanah Islam klasik karya para ulama Islam terkemuka.

Perlu ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan

liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Rene Guenon, gurlr dari Frithjof Schuon, (pelopor Sagasan

pluralisme), misalnya, yaitu  aktivis Freemasonry. Adakah misalnya pengaruh aktivitas Afghani di Freemasonry dengan pemikiran

Abduh atau tafsir al-Manamya Rasyid Ridla? Masih perlu diteliti.

Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari "teks", dekonstmksi

tafsir Qur'an (laltr menggantinya dengan metode hermenuetika

yang banyak digunakan dalam tradisi Bible), dan sebagainya, cukup

sering temngkap.

Kekuatan "kata" dan "kasih" terbukti ampuJr dalam sejarah

dalam menggulung kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik, seperti "ortodoks", "beku", dan "berorientasi masa lalu", "emosional". Sejarah

menunjukkan, kolaborasi cendekiawan Ttrrki, Kristen Eropa, dan

Zionis Yahudi berhasil menggulung Thrki utsmani. Ironisnya, dua

dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul

hamid II pada 7909, yaitu  non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel

Karasu (tokoh Yahtrdi).

Dalam artikelnya di Harian Republikn, (Jumat, 21 Mei 2004)

yang berjudrl "Mendudukkan Orientnlis", Hamid Fahmy Zarkasyi

menekankan, bahwa kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimana pun ilmiahnya,ia tetap berpijak pada presuPPosisi Barat, dan

terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad yaitu utrlsan Allah, dan Al-Qur'an yaitu  firman Allah tidak menjadi asas

bagi kajian mereka. Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai

agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui Al-Qur'an

sebagai firman Allah. Sebab Al-Qur'an memuat banyak kecaman

terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani, seperti:

"Sexmggttlmya telnlt kafirlalt orang-orang yang berkota sexmggulutyn

Allalt inlolt ol-Mnsilt putero Mnrynm"(al-Maidah [5]:17; dan juga ayat

72); " Seswtggrilrnyn knfirlnh orotlg-orang yotlg nrcngotnknn Ltahunsonnyo

Allalt snlalt sntu dnri ynng tign" (al-Maidah [5):73); "Dnn knrenn ucopotl

rrtereka sexurggulutya knni telalt nrcnfuunuh Isa nl-Mnsih, lso putra

Maryant, RnsrLl Allnlt, pndnlml mereka tidnk nrcnfuunuhnyn dnn tidnk

ntenynlibnya, tetapi orang ynng disentpnkan dengnn Isn bngi nrcreka" (alNisa [4]: 157); dan berbagai ayat lainnya.

Kandungan Al-Qur'an yang mengecam ajaran Yahudi dan

Kristen seperti ihr jelas akan menuai reaksi balik sepanjang masa,

selamanya. Seorang Kaisar Byzantium, Leo III (717-741M), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf a1-Tsaqafi, seorang gubermrr

di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah

mengubah Al-Qur'an (Arthur Jeffery: "Ghevond's Text of the

Correspondence between Umar II and Leo III", Harvard Theological

Review, 269-332). Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 rnenyebut Rasulullah saw. sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau

dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam

bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam

mengajarkan anti-Krishrs. John of Damascus berpendapat bahwa

Muhammad yaitu  seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh.

Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah

sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya,

Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena

nafsu seksnya tidak tersalurkan. (Daniel J Sahas, John of Damascus

on Islam: "Tlrc Heresy of the lslmnelites", Leiden: E. J. Brill, 1972,hlrn.

67-e5)

Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris

yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat, Muhammad yaitu 

seorang mannsia padang pasir yang liar (n wild man of desert). Bede

menggambarkan Muhammad sebagai kasar, cinta perang dan

biadab, buta humf, berstahls sosial rendah, bodoh tentang dogma

Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim dirinya nabi. Sikap menghina Rasulullah saw. berlanjut pada

zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah saw. disebut

sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam

bahasa Prancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang

sinonim dengan setan, berhala. ]adi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, ia mempakan seorang penyembah

berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh. Kata Mahound

inilah yang digunakan pula oleh Salman Rushdie sebagai tokoh

trtama dalam novel Tlrc Sntnnic Verses.

Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman

Reformasi (Reformation) Barat, pencitraan bumk terus berlanjut.

Marlowes Thmburlaine menuduh Al-Qur'an sebagai "karya setan".

Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan

mengutuknya sebagai anak setan. Pada zaman Pencerahan Barat,

Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis, dan

pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah saw. beserta AlQtrr'an tems menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan; "Pada

zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang di atas kritik, dan

suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar

bahwa Muhammad tidak pernah ada."

Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun

1930 dengan berjudul "Did Muhamrnad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi

tentang kehidupan Muhammad yaitu  buatan belaka. Muhammad

yaitu  "fiksi yang wajib" karena selalu ada asumsi "setiap agama

hams mepunyai pendiri". Sikap para orientalis seperti ihr tidak bisa

disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.

Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis

klasik sekalipun dengan kadar, cara dan strategi yang berbeda.

Intinya sama sa;'a yaihl mengingkari kenabian Muhammad dan

kebenaran Al-Qur'an. Penolakan seperti ihl yaitu  loci conurumes

(common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dime-ngerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya

Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah saw. dan Al-Qur'an tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.

Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam

sejak D.B. MacDonald, Alfred Gullimaune, Montgomery Watt, atau

sebelumnya hingga Majid Fakhry Henry Corbin, Michael Frank,

Richard J. McCarthy,Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain

mempunyai frnmework yang hampir sama. Di antara asumsi yang

umtlm mereka pegang erat-erat yaitu  bahwa filsafat, sains, dan

hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah "carbon copy" dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus filsafat

di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat

metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di

zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidttp Islam yaitu  unsur utama berkembangnya peradaban Islam.

Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta

menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Sebab, asumsi dan

jtrga konsekuensi dari frantework di atas yaitu  pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Tiansmisi

ilmtr pengetahuan melalui sumber yang disebut kabar mutnuntir

tidak diakui oleh mereka sebagai valid. Jadi, sekalipun pengetahuan

mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun

kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan

kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang

umurrr dan universal. Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik

seperti tentang sejarah Al-Qur'an, etika dalam Islam, politik dalam

Islam, dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai

suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan

tradisinya sendiri. Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman,

misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-hllisan mereka. Ilmu-ilmu

keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya unturk

beriman kepada Allah swt.. Tidak juga membuat mereka sendiri

yakin dengan kebenaran Islam. Yang jelas mereka tidak bisa disebut

sebagai ulama.

Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam yaitu  agama danpandangan hidup yang telah melahirkan Peradaban yang gemilang.

"IJnhlk mempertahankan dan mengembangan peradaban

Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur

peradaban asing. Sebaliknya tmtllk bersikap adil terhadaP peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala

macam unslrr dari peradaban lain tanpa Proses adaptasi."

Demikian paparan Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur INSISTS

(Instihrte for the Shrdy of Islamic Thought anci Civilization). Dua

kalimat terakhir paparan Hamid Fahmy iht perlu digarisbawahi.

Bahwa, sejak kelahirannya, Islam tidak pernah menolak berinteraksi

dengan peradaban lain. Ketika ihr, di masa-masa embrionalnya,

Islam sudah berhadapan dengan dua peradaban besar, Persia dan

Romawi, tetapi Islam tidak minder dan gentar. Secara keilmuan

kemudian terbukti, para cendekiawan Muslim mamPtl menyeraP

berbagai khazanah keilmtran asing, melalui Proses adopsi dan adaptasi, yang sebenarnya mempakan Proses Islamisasi ilmu. Proses

"menolak" (radd) dan "menetapkan" (itsbnt) praktis berlangsung

dengan baik. Peradaban Islam berkembang dengan gemilang dan

bertahan selama rahlsan tahun, dengan proses semacam ihl.

Tentu saja, kini, persoalannya meniadi lain. Di samping hegemoni peradaban Barat yang sangat kuat, tradisi keilmuan di kalangan katrm Muslim juga tidak berkembang dengan baik. Banyak tokoh

Muslim berpikir jalan pintas, bahwa keagungan Islam akan bisa dicapai jika kekuasaan politik mereka pegang. Politik, ekonomi, informasi, yaitu  sektor-sektor penting dalam kehidtrpan manusia. Kattm

Muslim tentu saja seyogianya memiliki potensi-potensi itu. Tetapi,

semua ihr hams berbasiskan keilmuan yang tinggi. Tiadisi keilmuanlah yang akan mamPu membangkitkan sahr peradaban. Mongol

bisa mengalahkan Islam di Baghdad dan sekitamya. Tetapi, peradaban yang rendah itu akhirnya iustm terserap oleh peradaban

Islam. Maka, ketika berticara dalam konteks peradaban, tidak bisa

lain, masalah ilmu han s meniadi perhatian utama. Ironisnya, justnt

dalam kaiian keislaman, tradisi keilmuan ini tidak berkembang dengan baik. Hampir tidak ada perhatian serius di kalangan kaum

Muslim-Indonesia, khtrsusnya-untuk melahirkan cendekiawancendekiawan yang unggul, yang menguasai wacana Islam dan Barat

sekaligus. Begihr juga beltrm ada satu pun Perguman Tinggi Islam diIndonesia yang memiliki visi membangun perpustakaan yang

lengkap dan berkualitas tinggi, sejajar dengan yang dimiliki kaum

Kristen dan Yahudi di negara-negara Barat. Pendidikan masih dijalankan dengan pola massal, mengejar target banyaknya mahasiswa dan sarjana yang dihasilkan, tanpa terlalu menekankan pada

aspek kualitas.

Buku ini lahir karena terpacu melihat fenomena memyaknya

"hegemoni Barat" dalam bidang keilmuan dan kajian keislaman di

Indonesia. Pemikiran dan metodologi Barat dijiplak begitu saja tanpa daya kritis yang berarti. Betapa ironinya, selama rahrsan tahun

kita dijaiah Belanda, hampir tidak ada kalangan ulama atau cendekiawan Muslim yang menghujat Al-Qur'an atau menyatakan, bahwa

semlra agama yaitu  sama, semllanya jalan yang sah menuju kebe,

naran dan keselamatan. Meruyaknya paham pluralisme agama,

penggunaan metodologi hermeneutika untuk tafsir Al-Qur'ary dan

sebagainya, justru terjadi dan begihr mudah diserap setelah kita

merdeka. Hal-hal yang mendasar dalam Islam dibongkaq, didekonstmksi, tanpa memikirkan dampaknya dengan serius. Yang lebih

merisatrkan, persiapan kaum Muslim unfuk menghadapi "zarnan

barLr" berupa "perang intelektual" itu begihl minim, bahkan banyak

cendekiawan yang menganggap enteng, seolah-olah sedang tidak

terjadi apa-apa.

Buku ini terdiri atas 15 bab, yang mempakan tema-tema pembahasan yang terpisah, tetapi saling terkait satu dengan lainnya. Karena buku ini relatif panjang, maka ada sejumlah data yang sengaja

diulang pada bagian lain, unhlk memudahkan pembaca menemrlkan data dan memahami pemikiran yang tertuang dalam buku ini.

Karakteristik asli peradaban Barat cukup banyak ditampilkan dalam

buku ini.

Mungkin ada yang berpendapat, bahwa saya terlalu menyorot

hal-hal yang negatif dari peradaban Barat. lhr karena menumt

hemat saya, aspek-aspek positif dari peradaban Barat sudah dianggap hal yang mafhum, dan tidak perlu didiskusikan. Dalam

bidang sains dan teknologi, kaum Muslim sudah sangat arif untuk

memanfaatkan dan mengambil keunggulan teknologi dari peradaban mana pun, termasuk yang dari Barat. Tetapi, latar belakang

penulisan buku ini yaitu  i.gir, menunjukkan, bahwa peradabanBarat yang begitu menyilaukan mata dan begihr gemerlap, seiatinya

menyimpan potensi ancaman yang begitu dahsyat bagi umat mantlsia, sebagaimana banyak dipaparkan dalam buku ini. Tidaklah

benar kesan bahwa penulis anti-Barat, karena buku ini sendiri, memanfaatkan begihl banyak sumber-sumber Barat unhrk memahami

masalah. Yang ingin penulis imbau yaitu  pentingnya kaum

Muslimin memahami peradaban Barat dengan serius dan mendalam, sehingga tidak silau, tidak minder, dan tidak n priori terhadap

Barat. Tidak menolak mentah-mentah atatt menelan begitu saja apa

yang datang dari Barat. Kebetulan, selama kuliah di ISTAC-IIUM,

penulis sempat mengambil beberapa mata kuliah yang berkaitan

dengan peradaban Barat dan hubungannya dengan Islam, seperti

History of Westeru Ciailizntiort, History of Ottonnn Empire, Islam mrd

The West: ConJlict or Dialogue, lnternttiond Relations irt lslnm. Kuliahkuliah itu juga diberikan oleh beberapa orientalis. Bahasa Latin yang

merupakan penyumbang besar dalam kosa kata bahasa Inggris juga

kami pelajari secara intensif.

Memahami Barat dengan baik akan sangat membanhr dalam

memahami problema yang mttncul di kalangan umat Muslim, yang

memang banyak disebabkan oleh invasi peradaban Barat dalam peradaban dan pemikiran Islam. Tenhr saja, penulis sadar, banyak yang

tidak sependapat dengan apa yang dipaparkan dalam buku ini. Perbedaan pendapat terkadang bisa dijembatani, terkadang bisa dipertemukan. Tetapi, terkadang juga tidak bisa, karena masing-masing

meyakini jalan hidup dan jalan pikirannya masing-masing. Jika

begitu, masalahnya kita serahkan kepada Allah swt.. Untuk membuktikan kebobrokan komunisme, orang h.arus mentlnggtl hampir

satu abad. Mungkin, unhrk beberapa masalah, kebenaran bam jelas

terlihat di Akhirat. Perdebatan antara Rasulullah saw. dengan delegasi Kristen Najran hams diakhiri dengan tawaran nufunlmlnlt dati

Rasululah saw dan ditolak oleh delegasi Kristen. Terkadang, melihat besarnya problema pemikiran yang sedang menimpa kaum

Muslim Indonesia, dan minimnya persiapan untuk menghadapinya,

masa depan pemikiran Islam Indonesia memang pahrt dikhawatirkan. Namun, Allah mengingatkan, agar kita tidak perlu merisaukan

orang-orang yang berlomba-lomtra menuju kekufnran (Ali Imran

l3l:776). Thgas kaum Muslim yaitu  "memberi peringatan", "mem-beri penjelasan", dan bcrusaha menunjukkan mana yang benar,

mana yang salah, mana yanglnq dan mana yangbntlil. Masing-masing manusia akan bertanggung jawab terhadap amal perbuatannya

sendiri-sendiri di hadapan Allah swt..

Akhirul kalam, semoga buku ini bermanfaat, tentu saja bagi

yang mau mengambil manfaat. Terima kasih kepada berbagai pihak

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya di sini.

Semoga semua bantuan dan dorongan yang memungkinkan terbitnya buku ini menjadi amal ibadah.

Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud

dan Adian Husaini

Felo Pelawat Utama (Guru Besar Tamu) Institut Alam dan

Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia.

artikel  Adian Husaini ini, seperti artikel -artikel nya yang lain,

dalam pandangan saya, penuh dengan pelbagai fakta yang

menarik. Cuma dalam karya terbesamya hingga saat ini,

fakta-fakta ini dikutip dengan lebih teliti dari pelbagai sumber yang

mencerminkan sejarah pemikiran dan kebudayaan Barat. Kebanyakan sumber-sumber itu didapatnya dari khazanah perpustakaan

ISTAC yang sebahagian terbesarnya dipilih oleh pendiri dan mantan

direktur (pengarah)-nya--Profesor Syed Muhammad Naquib alAttas, dan sebagian terbesar dari sisanya dipilih oleh saya. artikel 

terbanr dari cendekiawan muda ini, seperti karya-karyanya yar.g

lain yang sempat saya baca dengan penuh minat, ditulis dengan rasa

keprihatinan atau concern yang amat mendalam tentang pelbagai cabaran (tantangan) yang dihadapi umat Islam, khususnya di negara

Islam terbesar, Indonesia.

Seperti ramai cendekiawan muda muslim yang lain, melalui

buktr ini, Adian ingin menambah bukti tentang sesuattt yang telah

diterima oleh hampir semua umat Islam bahwa pihak berkuasa

dalam kehidupan sosio-politik dan kebudayaan Barat telah lama

merancang dan melaksanakan dasar-dasar menentang agama dan

umat Islam. Mungkin bagi sesetengah pembaca yang telah agak luas

medan kajian mereka, fakta-fakta yang dikutip dalam artikel  ini bukanlah memeranjatkan dan tidak pula baharu. Tetapi dalam bahasa

Melayu--baik di Malaysia, Brunei, Singapura dan Indonesia--hampir tidak terdapat karya asli yang menayangkan begihr banyak fakta

dari pelbagai sumber yang serius dan yang popular, seperti yang

diusahakan oleh Adian Husaini.

Pemerhati non-muslim dari selnruh dunia dan tentunya setiap

lapis umat Islam yang berpikiq, pasti senantiasa tertanya-tanya: kenapa agama Islam dan umatnya sering menjadi target kolonialisme

dan kritikan Barat berbanding agama dan umat lain dalam sejarah

manusia? Tidak terdapat kritikan-kritikan Barat yang bertubi-tubi

selama berahls-ratus tahun terhadap Gautama Buddha, Kung Fu Tse

atau Lao Tse berbanding kritikan yang dilempar ke atas pribadi dan

ajaran Muhammad Rasulullah saw. Sebahagian kecil dari tohmahan

(tuduhan) tersebut telah dipaparkan oleh Adian di sini. Begitu

jugalah sebahgian besar daripada mangsa kolonialisme Barat samada di Afrika, Asia termasuklah Kepulauan Melayu, dan Timur

Tengah yaitu  umat Islam kecuali di Amerika Latin dan Vietnam,

Laos dan Kampuchea.

Jawaban kepada soalan ini telah dijawab dengan tuntas oleh

Syed Mtrhammad Naquib al-Attas dalam bab keempat Islam and

Secularism (1978) dan telah saya uraikan dalam sebuah esei lslant

dan Tantattgan Kebudayaan Barat, dimuat dalam majalah Deuan

Budayn, edisi Oktober dan November 1993 di Kuala Lumpur. Di sini,

biarlah saya ringkaskan sebab-sebab yang dinyatakan oleh al-Attas,

dengan beberapa tambahan saya sendiri: 1) Kebangkitan Islam di

atas pentas sejarah telah mencabar (menantang) dakwaan agama

Kristian sebagai agama universal unhrk selumh umat manusia. 2)

Sejak dari awah:rya lagi, Al-Qur'an telah menggugat dasar-dasar

akidah agama Kristian dengan menolak bahawa Altah swt. bisa

beranak dan diperanakkan, serta hakikat Nabi Isa serta ibunya

Maryam, 3) Al-Qur'an;'uga telah menceritakan dengan jelas sikap

dan tingkah laku kehra-kehra agama Yahudi dalam menyelewengkan ajaran-ajaran para anbiya dari bani Israel, 4) Islam telah mengubah tubuh dan jiwa orang-orang Barat secara revohlsioner

dalam bidang-bidang linguistik, sosial, kebudayaan, keilmuan dan

ekonomi, 5) Perluasan pengaruh Islam serta tanah taklukannya ke

selumh Timur Tengah termasuk kawasan yang dulunya di miliki

oleh Kerajaan Bizantium, India dan Afrika dalam wakhr yang begihr

cepat, dan selama lima abad menguasai lalu perdagangan laut Mediteranean dan India, 6) Islam mempunyai potensi untuk bangkit

semula berdasarkan konsep tajdidnya dan mampu mencabar hegemoni kebudayaan Barat di masa akan datang.

Sahr sifat peradaban Barat ialah unhrk senantiasa mengekalkan

bentuk dan kaedah pemikirannya yang mendasar. Seorang cendekiawan Barat Profesor F. S. C. Northrop dari Yale yang berguru

dengan banyak pemikir terkenal Barat seperti William Ernest

Hocking dan Alfred North Whitehead, membuktikan, dalam artikel 

pentingnya , The Meeting of East and West (1947) bahwa walaupun

kandungan peradaban Barat seperti falsafah, sains dan agama

senantiasa, telah dan akan terus bembah, tetapi benhrk dan kaedah

pemikirannya yang mendasar tidak bembah. Apakah benhrknya

yang kekal ini? Mengikut Northrop, yang menyingkap pemikiran

banyak tokoh Barat yang lain, bentuk dan kaedah asasnya ialah

bahwa ilmu pengetahuan tentang hakikat insan dan alam semesta

diperoleh melalui andaian yang bersifat a-priori dan diisbatkan

melaltri pengalaman dan pengujian a-posteriori. Misalnya, setiap

teori sains menegaskan lebih daripada apa yang diberikan oleh

pengamatan empiris. Begitu jugalah dengan dasar agama dalam

pengalaman Barat: setiap prinsip agama bukan didasarkan pada

fakta historis dan eksternal, tetapi pada prinsip-prinsip internal

yang tidak dapat dilihat. Justem ihr, Northrop mengulas tentang

berlakunya pembahan yang berterusan dalam dasar-dasar sains,

falsafah--malah agama--dalam pengalaman peradaban Barat.

Di kalangan pemikir Muslim, al-Attas dalam The Concept of

Educatiott in Islam (1980) membuktikan pemahaman mendalamnya

tentang semangat yang memancarkan benhrk dan kaedah pemikiran Barat yang mendasar dalam setiap lapangan. Semangat ini telah

disimpulkannya kepada lima sifat yang saling berkait: L) keberganhlngan semata mata kepada akal mantrsia bagi memandu kehidupan di dunia, 2) dualisme dalam memahami pelbagai realiti dankebenaran, 3) penekanan kepada trnsur-unsur pembahan dalam

kewtrjtrdan yang menayangkan pandangan alam (worldaieu) yang

sekulat 4) doktrin humanisme, dan yang paling mendasar ialah 5)

mengangkat drama dan tragedi sebagai elemen-elemen dominan

dalam sifat dan kehidupan manusia.

Sebenarnya, Islam juga mempunyai tanggapan n priori tentang

segala objek ilmu. Yakni ilmu ialah sifat yang dipunyai--dalam hubungan perbincangan ini--oleh manusia. Ilmu bukan sahr perkara

yang wujud bebas daripada akal rohani manusia, walaupun kewujudan dan hakikat objek ilmu tidak bergantr,rng kepada akal manusia. Seperti yang telah disimpulkan al-Attas (hhat The Concept of

Educatiott in Islam, 1980), semLla ilmu manusiawi melibatkan

makna yang tiba ke dalam diri atau makna yang dicapai diri.

Namun demikian, objek ilmu tetap wujud sendiri; baik yang ada di

Itrar manusia seperti nlnm tnbi'i dan sejarah atau dalam diri manusia

seperti jiwa atau yang tidak bertempat seperti Allah swt.. Perbedaan

besar antara sifat ilmu lslam dengan kebudayaan Barat tentang perkara ini ialah gagasan a priori Islam itu bersandarkan sumber yang

terbukti tidak berbeda dari apa yang dilafazkan oleh Rasulullah saw.

yakni al-Qur'an dan hadits Nabi yang sahih. Bukan itu saja, malah

sifatbahasa Arab yang mempunyai sistem akar tidak membenarkan

makna sesuatu perkataan ihr diberikan selain daripada yang tersimpul dalam makna asal perkataan, temtama sekali apabila perkataan itu digunakan oleh Al-Qur'an dan [tasulullah saw. dalam

padang semantik tertentu. Justrt. ihr, makna tentang gagasan a priori

ini yang bertindak sebagai kerangka dan penyaring bagi pengalaman

a posteriori tidak akan berbeda pada dasarnya. Tetapi jika penafsiran

dan autoritas sumber-sumber ajaran Islam seperti Al-Qllr'an, Sunnah

Rasulullah saw. dan ajaran-ajaran para ilmuan agung diporakperandakan dengan kaedah pemikiran dan penyelidikan yang

kononnya lebih ilmiah dan objektif-atau lebih tepat saya gelari neosopltisrn, sufastaiyyah bam--tentu umat tidak akan dapat menimba

manfaat dari sumber-sumber penting ini. Perbincangan lanjut tentang hal ini telah saya hrlis dalam The Educational Philosophy and

Practice of Syed MuhanmadNaquib al-Attas: Art Exposition of the

Original Concept of Islamization (1998), dan diterbitkan dalam

bahasa Indonesia oleh MIZAN (2003).Jelaslah bahwa walatlptln Barat telah banyak berubah dalam

pandangan dan amalan keagamaannya, namun sifat dan kaedah

pemikirannya tidak bembah. Justru ihrlah tradisi dan kebudayaan

Barat akan sentiasa berkonfrantasi dengan Islam seperti yang telah

dimmuskan oleh al-Attas dan yang cuba diuraikan oleh Adian di

sini.

Thpi, umat Islam disaran oleh Adian unhrk menghadapi konfrontasi ini secara intelekhral seperti yang kerap disaran oleh beberapa tokoh Muslim mutakhir temtamanyaBadittzzaman Said Nursi

dan al-Attas sendiri. Dan ini, saya lihat sebagai sahr perkembangan

Adian amat menonjol, di mana keparahan setiap aspek kehidupan

umat Islam khasnya yang dilihat sebagai berstrmberkan dari

pengamh intelekttralisme, kebudayaan dan kepentingan sosiopolitik Barat tidak memaksa Adian untr.rk memilih jalan ekstrem.

Usaha beliau ini baik sekali. Cuma tidak salah iika pembaca

yang agak matang meminta dari penulis analisis yang lebih mendalam akan makna fakta-fakta yang dibuatkan itu dalam hubungannya dengan pemikiran dan kebudayaan Barat pada waktu ihr dan

dengan perkembangan-perkembangan semasa di Barat dan di

negara-negara Islam. Malah saya ingin juga menyarankan agar

cendekiawan dan pimpinan Muslim bukan sahaja melihat perancangan dan tindakan Barat terhadap Islam secara negatif; tetapi

secara positif. Maksud saya, kita hams mengkaji dengan baik bagaimana Barat telah berjaya membina rahrsan instihrsi-institusi pengajian tinggi yang tlnggul dalam bidang-bidang yang tidak berkait

dengan agama, bahasa serta kebudayaan mereka; sedangkan umat

Islam--dalam masa dua abad ini--masih belum bempaya membina

sahrpun instihrci yang setanding dengan yang ada di Barat hatta

dalam bidang-bidang yang berkait rapat dengan agam.a, sejarah dan

kebudayaan mereka sendiri! Jika terdapat sahr atau dua yang

kelihatan berupaya memainkan Peranan penting, ianya tidak akan

kekal kerana dirosakkan oleh sebab-sebab politik atau peribadi

kecil. Tentang ciri-ciri budaya keilmuan ddlam pelabagai tamadun

termastrk Barat telah saya hllis dalam sebuah artikel , Penielasan

Budaya llmu (1997), edisi kedua oleh Pustaka Nasional Singapura

(2003).

Saya juga ingin menyarankan bahwa kita tidak hams terlalukuatir akan cemoohan-cemoohan orang lain ke atas Islam sebab hal

itr-r akan terus terjadi jika kita jahil akan semangat hakiki agama dan

tamadun (peradaban) kita dan agama serta tamadun lain di dunia.

Kita juga tidak harus panik dengan tindakan segelintir individu

muslim yang cuba mencari nama dan mendapat tajaan di kalangan

orang-orang Barat dengan menjadi juru-sorak kepada agendaagenda pemikiran dan kebudayaan mereka. Apa yang harus kita

lebih kuatirkan ialah sifat kita yang meminggirkan tokoh-tokoh

agrmg kita dan institusi unggul--yang berupaya membina gagasan

agtmg dalam bidangnya masing-masing--dan justem itu kita ketandusan unhrk melahirkan tokoh-tokoh dan instihrsi tersebut bagi

menjulang martabat dan menjamin kesinambungan agama, budaya

dan tamadun kita dalam dunia yang semakin mencabar.

Dalam artikel  puisi terbam saya, Dalam Terang (2004) saya

menceritakan tentang Gagasan Agung, yang bermula dengan baitbait berikut, yang berkaitan dengan perbincangan kita ini:Cendekiawan dan pemimpin Muslim yang diundang berdialog dengan wakil-wakil kebudayaan Barat hingga kini kebanyakannya masih belum benar-benar melakukan tugas-hrgas berdialog

kerana apa yang mereka bincangkan kebanyakannya hanyalah

mengikrarkan persehrjuan dengan pandangan-pandangan wakilwakil dari kebudayaan Barat melalui pembacaan semula secara

radikal sumber-sumber keagamaan dan kebudayaan Islam dengan

kaedah dan andaian pemikiran yang diguna-pakai oleh Barat. Justm

itu mmusan yang terhasil selalunya selari dengan apa yang telah

ditemui dan yang dikehendaki oleh Barat. Apa yang berlaku

sebenarnya yaitu  bukan dialog tetapi monolog--seperti Barat bercakap dengan anak murid mereka sendiri yang kerdil dan tidak

sebenarnya mereka hormati--yang tidak akan membantu Barat

memahami majoriti dari satu billion umat Islam selumh dunia

walaupun boleh memudahkan Barat mencapai tujuan-hrjuan sosiopolitik dan ekonomi jangka pendek. Barat harus berdialog dengan

wakil-wakil agama dan kebudayaan Islam yang bisa menunjukkan

kelemahan-kelemahan mereka di samping mengakui kelemahankelemahan umat Islam sendiri tanpa inferiority cornplexs. Sudah tenhr

dialog juga melibatkan penegasan mengenai beberapa persamaan

yang terdapat dalam pandangan hidup serta dasar-dasar akhlak di

antara Barat dan orang Timur khasnya umat Islam. Kedua-duanya--

sama ada menyatakan dan membenarkan perbezaan dan mengisbatkan persamaan--memerlukan sikap ikhlas, keberanian dan adil

di kalangan yang terlibat. Inilah bentuk kerjasama yang sangat

diperlukan dunia hari ini.

Barat yang kini amat berkuasa dan berpengamh akan terus

memainkan peranannya dalam se1'arah dunia: hanya cendekiawan

Muslim yang perkasa mampu mengangkat cermin menunl'ukkan

pada Barat wajahnya yang sebenar agar dia dapat memperbaiki

dirinya demi kebaikan bersama.

Akhiml kalam, saya fikir artikel  Adian Husaini ini penting

unhlk cendekiawan muda Muslim membacanya bukan unhlk membenci Barat dan memusuhinya tetapi unhrk memahami sebahagian

penting dari semangat Barat yang begitu berpengamh, dan unhrk

membanhr mereka dalam dialog dengan wakil-wakil kebudayaan

Barat. Kuasa-kuasa dan kepentingan-kepentingan tertenhr di Barat,

apakah secara ekonomi, politik atau agama akan terus merancang

dan melaksa.nakan apa yang mereka fikirkan baik bagi mereka

dengan pelbagai alasan yang agak tepat (seperti demokrasi, modernisasi, dan pluralisme, contohnya) atau yang tidak munasabah

(seperti membawa tamadun, to ciailise; atau dalam kasus Iraq,

mencari Toeapons of mass destruction!). artikel  ini juga penting bagi

orang-orang Barat yang mau berdialog dengan umat Islam, dan

bagi pembuat dasar kebijakan Barat terhadap negara-negara Islam

unhrk mereka memahami perspektif sebahagian besar cendekiawan

dan remaja Muslim yang peka yang suara mereka diwakili oleh

pemuda seperti Adian ini......................