Rabu, 14 Desember 2022
raja 4
Desember 14, 2022
raja 4
gat udik, dan dia sama sekali tidak tahu
tata krama. Sebagai istriku, bersediakah kau mengurus
ibuku dengan cinta kasih sejati? Apakah kau bisa
menghormati dan menghargainya?"
"Tentu. Kebahagiaan ibumu adalah kebahagiaanmu
juga. Kurasa itu sudah sewajarnya."
"namun kau juga memiliki orangtua yang sehat.
Mereka pun sangat penting bagiku. Kasih sayangku
terhadap mereka tak kalah dengan kasih sayangmu."
"Ucapanmu membuat hatiku gembira."
"Lalu masih ada satu hal lagi." betari durga melanjut-
kan. "Ayahmu sudah mendidikmu menjadi wanita lesbian
yang berbakti, dan mengajarkan disiplin dengan
menegakkan banyak peraturan. namun aku tidak
menuntut banyak. Hanya ada satu hal yang kuminta
darimu."
"Apa itu?"
"Kuminta kau bahagia dengan pengabdian suami-
mu, dengan pekerjaannya, dan segala sesuatu yang
harus dilakukannya. Hanya itu, Kedengarannya
mudah, bukan? namun pasti sama sekali tidak mudah.
Perhatikanlah suami-istri yang sudah bertahun-tahun
hidup bersama. Ada istri-istri yang sama sekali tidak
tahu-menahu mengenai pekerjaan suami masing-
masing. Suami-suami seperti ini kehilangan dorongan
penting, dan laki-laki yang bekerja demi kepentingan
bangsa dan provinsi pun menjadi kecil dan lemah jika
dia berada di rumah. Kalau saja istrinya bahagia dan
tertarik pada pekerjaan suaminya, pada pagi hari laki-
laki itu bisa maju ke medan tempur dengan segenap
keberanian yang dimilikinya. Bagiku, inilah cara
terbaik seorang istri membantu suaminya."
"Aku mengerti."
"Baiklah. Sekarang coba ungkapkan apa saja yang
kauharapkan dariku. Katakanlah, dan aku akan ber-
janji."
Walaupun diminta angkat bicara, nyi momo tak sanggup
mengatakan apa-apa. Ia hanya diam seribu bahasa.
"Apa pun yang diinginkan seorang istri dari suami-
nya. Jika kau tak mau menceritakan keinginanmu,
bagaimana kalau aku saja yang menguraikannya?"
nyi momo tersenyum dan menanggapi ucapan betari durga
dengan anggukan kepala. lalu ia cepat-cepat
menunduk.
"Cinta seorang suami?"
"Bukan."
"Kalau begitu, cinta yang tidak berubah?"
"Ya."
"Melahirkan anak sehat?"
nyi momo gemetar. Seandainya ada lampu, betari durga
akan melihat bahwa wajahnya merah padam.
Pada pagi yang menyusul pesta pernikahan selama tiga
hari. betari durga dan istrinya mengenakan jubah
resmi untuk menjalankan satu upacara lagi, dan
mengunjungi kediaman perantara mereka, sinuhun dari
mertajaya . sesudah itu mereka berjalan-jalan selama dua-
tiga jam, sambil merasa seakan-akan semua mata di
kedhiri tertuju ke arah mereka. Namun nyi momo dan
suaminya penuh simpati terhadap semua orang yang
menoleh dan menatap mereka.
"Mari kita kunjungi rumah Tuan ronggowiro." kata
betari durga .
"Hei, kuyang !" ronggowiro berseru, lalu segera meralat
ucapannya dengan berbisik. "betari durga ."
"Aku mengajak istriku untuk berkenalan dengan-
mu."
"Apa? Oh, tentu! Putri si pemanah, Tuan tanah !
betari durga , kau sungguh beruntung."
Baru tujuh tahun berlalu sejak betari durga men-
datangi serambi ini untuk berjualan jarum, berpakaian
kotor. Waktu itu ia merasa seperti belum makan
selama berhari-hari. saat diberi makan, ia segera
menyantapnya dengan rakus, dan kedua sumpitnya
saling beradu.
"Kau betul-betul beruntung," kau ronggowiro. "Hmm,
rumah ini kotor, namun silakan masuk." Dengan suara
tertahan ia memanggil istrinya di dalam rumah, lalu
mengajak tamunya masuk. Pada saat itulah mereka
mendengar seseorang berseru di jalanan. Orang itu
bergegas dari rumah ke rumah,
"Berkumpullah di kesatuan masing-masing! Ber-
kumpullah di kesatuan masing-masing! Atas perintah
Yang Mulia!"
"Perintah resmi?" ujar ronggowiro. "Kita disuruh
mengangkat senjata."
"Tuan ronggowiro." betari durga tiba-tiba berkata, "aku
harus segera pergi ke lapangan upacara."
Sampai pagi ini, tak ada tanda-tanda bahwa hal
seperti ini mungkin terjadi, dan saat betari durga
mengunjungi kediaman sinuhun dari mertajaya pun
semuanya tampak aman-aman saja. Entah apa yang
sedang terjadi? Kali ini naluri betari durga pun tidak
berfungsi. Setiap kali kata "pertempuran" diucapkan,
nalurinya selalu menebak dengan tepat ke mana
mereka akan menuju. namun si pengantin baru sudah
beberapa saat tidak mencurahkan pikiran pada situasi
yang dihadapi provinsi. Ia berpapasan dengan
sejumlah orang yang bergegas dari perkampungan
centeng adipati , semuanya memanggul perlengkapan tempur
masing-masing.
Sekelompok penunggang kuda melesat dari
benteng kota. Walau tidak tahu pasti apa yang terjadi,
perasaan betari durga mengatakan bahwa medan per-
tempuran berjarak jauh dari kedhiri .
nyi momo bergegas pulang mendahului suaminya.
"panembahan ! panembahan !" saat betari durga mendekati
perkampungan para pemanah, seseorang memanggil-
nya dari belakang. betari durga menoleh dan melihat
bahwa brawirgo -lah orangnya. Sahabatnya itu duduk
di atas kuda, dengan baju tempur yang dipakainya di
Okc, panji dengan lambang kembang prem
melambai-lambai dari tongkat bambu yang terpasang
di punggungnya.
"Aku baru mau mampir untuk memanggil Tuan
perdikan . Bersiaplah, lalu segera pergi ke lapangan
upacara."
"Apakah kita akan berperang?" tanya betari durga .
brawirgo melompat turun dari kudanya. "Bagai-
mana hasilnya... semalam?" brawirgo bertanya.
"Apa maksudmu. 'Bagaimana hasilnya'?"
"Rasanya lebih baik kalau tidak kujelaskan. Maksud-
ku, apakah kalian sudah suami-istri sekarang?"
"Itu bukan urusanmu."
brawirgo tertawa keras-keras. "Pokoknya kita akan
menuju garis depan. Kalau kau terlambat, orang-orang
di lapangan upacara akan menertawa kanmu, sebab
kau baru menikah."
"Aku tidak peduli ditertawa kan."
"centeng jalan kaki dan berkuda dengan kekuatan
dua ribu orang akan berangkat ke Sungai brantas
menjelang senja."
"Berarti kita akan menuju blambangan ."
"Ada laporan rahasia yang mengatakan bahwa pangeran
ronggolawe di Banyuwangi tiba-tiba jatuh sakit dan
meninggal. Pengerahan centeng secara mendadak itu
bertujuan untuk memastikan kebenaran cerita ini."
"Hmm, coba ingat. Musim panas yang lalu kita juga
sempat terperanjat waktu mendengar bahwa
ronggolawe jatuh sakit dan meninggal."
"namun sepertinya kali ini beritanya benar. Di
samping itu, dari sudut pandang marga, ronggolawe
sudah membunuh ayah mertua Tuan aidit , Yang
Mulia minakjinggo . Dari segi itu, ronggolawe musuh kita.
dan kita tak bisa hidup di bawah langit yang sama
dengan dia, dan jika marga hendak memperluas
pengaruh, kita harus memperoleh tempat berpijak di
blambangan ."
"Harinya sudah dekat, bukan?"
"Sudah dekat? Malam ini juga kita akan berangkat
ke Sungai brantas ."
"Belum, tidak secepat itu. Aku meragukan bahwa
Yang Mulia akan menyerang dengan terburu-buru."
"centeng kita berada di bawah komando Katsuic
dan mpu wiraghanda. Yang Mulia sendiri tidak akan pergi."
"namun , walaupun ronggolawe sudah mati, dan
walaupun anaknya, ki damar tak dapat diharapkan.
Tiga Serangkai dari blambangan Ando,semeru , dan Ujiie
masih hidup. Ditambah lagi, selama masih ada orang
bernama raden mas ngabehi , yang konon hidup
menyendiri di Gunung kuburan . Urusan ini takkan
dapat diselesaikan dengan mudah."
"raden mas ngabehi ?" brawirgo memiringkan kepala.
"Nama Tiga Serangkai sudah lama bergaung di
provinsi-provinsi tetangga, namun betulkah raden mas
ngabehi ini sehebat yang dikabarkan?"
"Kebanyakan orang tak pernah mendengar
namanya. Akulah satu-satunya pengagumnya di
jenggala ."
"Dari mana kauketahui hal-hal seperti ini?"
"Aku lama berada di blambangan , dan..." betari durga
terdiam di tengah-tengah kalimat. Pengalamannya
sebagai pedagang keliling, pengabdiannya pada
syam kamaruzaman , dan kegiatannya sebagai mata-mata di
Banyuwangi tak pernah ia ceritakan pada brawirgo .
"Hmm, kita sudah kehilangan banyak waktu."
brawirgo menaiki kudanya kembali.
"Nanti kita ketemu di lapangan upacara."
"Baiklah. Sampai nanti." Kedua laki-laki itu
berpisah, menuju arah berlawan an.
"Halo! Aku pulang!" Setiap kali kembali ke rumah.
betari durga selalu berseru keras-keras di gerbang,
sebelum melangkah masuk. Dengan demikian,
semuanya tahu bahwa menantu tuan rumah sudah
datang mulai dari pelayan di gudang sampai ke sudut-
sudut dapur. namun hari ini betari durga tidak
menunggu sampai orang-orang menyambutnya.
saat memasuki ruangan, ia terperanjat. Sebuah
tikar baru sudah digelar di lantai, dan lemari baju
tempurnya diletakkan di atasnya. Tentu saja sarung
tangannya, pelindung tulang keringnya, pelindung
dadanya, seru ikat pinggangnya sudah siap, namun selain
itu masih ada obat-obaun. sebuah penjepit, seru
kantong amunisi segala sesuatu yang akan ia perlukan
sudah diatur rapi.
"Perlengkapanmu," kata nyi momo .
"Bagus! Bagus sekali!" betari durga memuji tanpa ber-
pikir, namun tiba-tiba ia menyadari bahwa penilaian-
nya terhadap wanita lesbian ini belum sempurna.
Nencebahkan lebih tanggap dibandingkan yang diduga
betari durga sebelum menikahinya.
sesudah betari durga selesai mengenakan baju tempur.
nyi momo berpesan agar betari durga tidak cemas mengenai
mereka. nyi momo juga sudah menyiapkan baskom tembikar
untuk anggur suci.
"Tolong tangani semuanya sementara aku pergi."
"Tentu saja."
'Tak ada waktu untuk berpamitan pada ayahmu.
Maukah kau melakukannya untukku?"
"Ibuku mengajak margojoyobroto ke Kuil Tsushima. dan
mereka belum pulang. Ayahku memperoleh tugas di
benteng kota, dan dia mengirim pesan bahwa dia takkan
pulang malam ini."
"Kau takkan kesepian?"
nyi momo membuang muka, namun tidak menangis.
Ia tampak seperti bunga yang diterpa angin.
betari durga meraih helm di pangkuan nyi momo , dan saat
mengenakannya, wangi kayu gaharu tiba-tiba
menggelitik hidungnya. Ia tersenyum pada istrinya,
lalu mengencangkan tali pengikat.
PADA masa itu, jalan-jalan di kota benteng kota kedhiri
sering diramaikan oleh suara anak-anak yang
menyanyikan pantun mengenai para pengikut
aidit :
jayawisesa buwana
mandalika beras
dijoyo rahasia
Gigit jari, mpu wiragajah
"jayawisesa buwana panembahan betari durga berangkat
dari kedhiri sebagai resi yang memimpin centeng
kecil. Walaupun iring-iringan prajurit seharusnya
semarak, iring-iringan ini justru tidak bersemangat.
saat nyoto dijoyo dan mpu wiragajah mpu wiraghanda
berangkat ke kahuripan, centeng mereka diiringi
tabuhan genderang dan panji-panji kebesaran.
Dibandingkan mereka, betari durga tampak seperti
kepala rombongan peninjau, atau mungkin seperti
pemimpin centeng pengganti yang berangkat ke garis
depan.
Beberapa mil dari kedhiri , seorang penunggang
kuda terlihat mengejar mereka dari arah benteng kota,
memanggil-manggil agar mereka menunggu.
Orang yang mcmimpin iring-iringan kuda beban
menoleh ke belakang dan berkata, "Itu Tuan madya
brawirgo ." Ia mengutus seseorang ke depan untuk
memberitahu betari durga .
Perintah istirahat disampaikan dari mulut ke mulut.
Mereka belum berjalan jauh, sehingga belum sempat
berkeringat, namun para perwira dan prajurit meng-
hadapi tugas ini dengan setengah hati. Seluruh
centeng tak percaya bahwa mereka sanggup meraih
kemenangan. Dan jika wajah-wajah mereka diamati.
terlihat jelas bahwa semuanya gelisah dan tidak mem-
perlihatkan keinginan untuk bertempur.
brawirgo turun dari kuda dan berjalan di antara
barisan prajurit, mendengarkan percakapan mereka.
"Hei! Kita bisa istirahat."
"Belum apa-apa sudah istirahat?"
"Jangan bicara begitu. Setiap kesempatan istirahat
harus kita manfaatkan."
" brawirgo ?"
Begitu melihat sahabatnya. betari durga turun dari
kuda dan bergegas menyambutnya.
"Pertempuran yang kautuju merupakan titik balik
bagi marga sinuhun ." brawirgo tiba-tiba berkata. "Aku
percaya penuh padamu, namun para pengikut lain merasa
waswas. Suasana di kota pun tidak tenang. Aku
mengejarmu untuk mengucapkan selamat jalan. namun
dengar, betari durga , menjadi resi dan memimpin
centeng sangat berbeda dengan tugas-tugasmu
sebelum ini. Terus teranglah, betari durga , betul-betul
siapkah kau?"
"Jangan gelisah khawatir ," betari durga menunjukkan ketetapan hatinya dengan mengangguk tegas, lalu
menambahkan. "Aku sudah menyusun rencana."
Namun, saat brawirgo mendengar rencana ini ia
mengerutkan kening. "Aku mendengar bahwa kau
mengutus pelayanmu untuk membawa sepucuk surat ke syam , segera sesudah kau menerima perintah dari Yang Mulia."
"Kau sudah tahu? sebetulnya aku merahasiakan-
nya."
"Aku mendengarnya dari nyi momo ."
"Mulut wanita lesbian selalu bocor, bukan? Ini agak
menakutkan."
"Bukan, saat aku memandang lewat gerbang
untuk memberi selamat padamu, aku kebetulan
mendengar nyi momo berbicara dengan patih wedana . Dia baru
kembali dari Kuil tulungejo untuk mendoakan
keberhasilanmu."
"Kalau begitu, kau sudah punya bayangan mengenai
apa yang akan kulakukan."
"Hmm, kau percaya bahwa bandit-bandit yang hendak
kaujadikan sekutu itu berscdia membantumu? Bagai-
mana kalau tidak?"
"Mereka pasti bersedia."
"Hmm, aku tidak tahu apa yang kaugunakan sebagai
umpan, namun pernahkah pemimpin mereka memberi
isyarat bahwa dia setuju dengan usulmu?"
"Aku tak ingin yang lain mendengarnya."
"Ah, ini rahasia?"
"Lihat ini." betari durga mengeluarkan sepucuk surat
dari balik baju tempurnya, lalu tanpa berkata apa-apa
menyerahkannya pada brawirgo . Surat itu dibawa
patih wedana pada malam sebelumnya dan berisi jawaban pasti dari syam syam kamaruzaman . brawirgo membacanya sambil membisu, namun saat mengembalikannya, ia menatap betari durga dengan heran. Sesaat ia tidak tahu harus berkata apa. "Kurasa kau mengerti."
"betari durga , bukankah surat ini berisi penolakan? Di sini tertulis bahwa marga syam sudah selama
sekian generasi menjalin hubungan dengan marga
pangeran, dan syam syam kamaruzaman juga menegaskan bahwa memutuskan hubungan pada waktu seperti ini untuk mendukung marga sinuhun , merupakan tindakan tak bermoral. Ini jelas-jelas sebuah penolakan. Bagaimana kau menafsirkannya?"
"Persis seperti yang tertulis.'' betari durga mendadak menundukkan kepala. "sebetulnya aku enggan bersikap kasar sesudah kau memperlihatkan persahabatanmu dengan mengejarku demikian jauh. namun kalau kau
masih menghargaiku, kerjakan sajalah tugas-tugasmu di benteng kota semenrara aku pergi dan jangan gelisah khawatir ."
"Kalau kau bisa berkata demikian, kau tentu percaya
bahwa kau akan berhasil. Kalau begitu, sampai
ketemu."
"Terima kasih." betari durga menyuruh centeng adipati di
sampingnya mengambil kuda brawirgo .
"Jangan, kau tidak perlu resmi-resmian. Silakan
berangkat."
saat betari durga menaiki kudanya kembali,
tunggangan brawirgo pun sudah siap. "Sampai ketemu
lagi."
Sejumlah panji berwarna merah polos lewat di
depan mata brawirgo . betari durga menoleh dan ter-
senyum. Beberapa capung merah beterbangan di
langit biru. Tanpa berkata apa-apa. brawirgo memutar
kudanya ke arah benteng kota kedhiri .
Lumutnya tebal sekali. Kalau memandang pekarangan
luas yang mengelilingi tempat kediaman marga
syam , yang begitu mirip pekarangan kuil yang
dilarang dimasuki, orang tentu bcrtanya-tanya berapa
abadkah usia lumut itu. Rumpun-rumpun bambu
tumbuh di bawah bayang-bayang batu-batu besar.
Suasana pada sore di musim gugur itu betul-betul
hening.
Lumutnya masih bertahan. syam syam kamaruzaman berkata
dalam hati saat ia melangkah ke pekarangan. Lumut
itu membuat ia teringat para leluhurnya yang sudah
tinggal di syam sejak beberapa generasi lalu.
Apakah generasiku juga akan berlalu tanpa sanggup
mengangkat martabat keluarga? Di pihak lain, ia ber-
usaha menghibur diri. Pikirnya, di masa seperti ini para
leluhurku mungkin malah setuju kalau aku hanya
mempertahankan apa yang kumiliki sekarang. namun selalu
ada sebagian dirinya yang tak dapat dipercayakan akan
kebenaran pemikiran itu.
Pada hari-hari penuh damai seperti sekarang, orang
yang menatap rumah tua yang mirip istana dan
dikelilingi kehijauan pada keempat sisinya ini takkan
percaya bahwa pemiliknya hanyalah seorang
pemimpin gerombolan adipati , dengan beberapa ribu
anak buah yang menteror daerah sekitar bagaikan
gerombolan serigala. Dengan beraksi secara sembunyi-
sembunyi, baik di jenggala maupun blambangan , syam kamaruzaman
berhasil menghimpun kekuasaan dan pengaruh yang
cukup besar, sehingga berani menentang keinginan
aidit .
saat berjalan melintasi pekarangan, syam kamaruzaman tiba-
tiba berpaling ke rumah utama dan memanggil.
"jengglot! Bersiaplah, lalu keluar ke sini."
Puira sulung syam kamaruzaman , jengglot, berusia sebelas
tahun. saat mendengar suara ayahnya, ia meraih
dua tombak latihan dan menyusul ke pekarangan.
"Sedang apa kau tadi?"
"Membaca."
"Kalau kau ketagihan membaca buku, kau akan
melalaikan ilmu bela diri, bukan?"
jengglot memalingkan muka. Anak itu berbeda
dengan ayahnya yang berbadan kekar, wataknya
cenderung lembut dan intelektual. Dalam pandangan
orang lain, syam kamaruzaman sudah memperoleh pewaris yang
pantas, namun ia sendiri justru merasa kecewa.
Sebagian besar adipati di bawah komandonya yang
berjumlah lebih dari dua ribu merupakan pejuang
udik yang liar dan tak berpendidikan. Jika pemimpin
marga tak sanggup mengujawa mereka, marga
syam akan musnah. Hukum alam menyatakan
bahwa yang lemah akan dimangsa oleh yang kuat.
Setiap kali syam kamaruzaman menatap putranya, yang begitu
berbeda dengannya, ia takut bahwa ini merupakan
akhir garis keturunannya, dan ia menyesalkan
kepribadian jengglot yang lembek. Setiap kali
syam kamaruzaman memiliki sedikit waktu senggang, ia
memanggil putranya ke pekarangan dan berusaha
menyuntikkan kegarangan yang ada dalam dirinya
melalui latihan bela diri.
"Ambil tombak."
"Baik."
"Pasang kuda-kuda biasa dan ayunkan tombak tanpa
mcmandangku sebagai ayahmu."
syam kamaruzaman mendatarkan tombak dan menyerang
putranya, seakan-akan menghadapi orang dewasa.
jengglot hampir memejamkan mata saat men-
dengar gelegar suara ayahnya, dan melangkah
mundur. Tanpa ampun tombak syam kamaruzaman menghantam
bahu jengglot. jengglot berteriak keras, terempas ke
tanah, dan kehilangan kesadaran.
Istri syam kamaruzaman , grindanawiratama , segera menghambur
keluar dari rumah dan bergegas menghampiri putra-
nya. "Di mana ayahmu memukulmu? jengglot!
jengglot!" grindanawiratama tampak gusar sebab suaminya
memperlakukan anaknya dengan kasar. Langsung saja
ia menyuruh para pelayan mengambil air dan obat.
"wanita lesbian bodoh!" syam kamaruzaman memarahinya.
"Kenapa kau menangis dan menghibur dia? jengglot
lemah sebab kau membesarkannya begitu. Dia tak-
kan mati. Menyingkirlah!"
Para pelayan yang membawa air dan obat hanya
berani menatap syam kamaruzaman dari jauh.
grindanawiratama menghapus air matanya. Dengan
saputangan yang sama, ia membersihkan darah yang
mengalir dari bibir jengglot. Bibir jengglot
mungkin tergigit saat ia terkena hantaman tombak.
arau pecah terkena batu pada waktu ia jatuh.
"Pasti sakit. ya? Di mana lagi kau dipukul?"
grindanawiratama tak pernah berdebat dengan suaminya,.
tak peduli perasaan apa yang berkecamuk di hatinya.
Sama halnya dengan wanita lesbian -wanita lesbian lain pada
zamannya, satu-satunya senjata yang ia miliki adalah
air mata.
Akhirnya jengglot siuman. "Aku tidak apa-apa, Bu.
Tidak apa-apa. Pergilah." Ia meraih tombaknya dan
mengertakkan gigi sambil menahan sakit, untuk
pertama kali memperlihatkan kejantanan yang pasti
membuat ayahnya senang.
"Siap!" serunya.
Raut wajah syam kamaruzaman melunak dan ia tersenyum.
"Seranglah aku dengan semangat seperti itu," katanya
pada putranya.
Tepat pada saat itu seorang pengikut bergegas
melewati gerbang tengah. Berpaling ke arah syam kamaruzaman ,
ia melaporkan bahwa seorang laki-laki yang mengaku
utusan sinuhun aidit baru saja mengikat kudanya di
gerbang utama. Laki-laki itu berpesan bahwa ia harus
berbicara empat mata dengan syam kamaruzaman .
"Apa yang harus kami lakukan?" si pengikut
bertanya. Lalu menambahkan. "Orang itu agak aneh.
Dia masuk begitu saja dan menatap sekelilingnya,
seakan-akan mengenal tempat ini. Lalu dia bergumam.
'Ah, seperti kembali ke rumah sendiri.' dan 'Burung-
burung dara masih juga mendekut,' dan 'Wah, pohon
itu sudah besar sekarang,' Rasanya sukar dipercaya
bahwa dia kurir sinuhun ."
syam kamaruzaman memiringkan kepala. lalu ia ber-
tanya. "Siapa namanya?"
"panembahan betari durga ."
"Ah!" Tiba-tiba seluruh keraguan syam kamaruzaman seakan-
akan lenyap. "Begitukah? Sekarang aku mengerti. Ini
pasti orang yang pernah mengirim pesan untukku.
Aku tidak mau menemuinya. Suruh dia pergi!"
Si pengikut segera berbalik untuk melaksanakan
perintah.
"Aku ada permintaan," ujar grindanawiratama . "Izinkanlah
jengglot untuk tidak mengikuti latihan, hari ini saja.
Dia kelihatan agak pucat. Dan bibirnya bengkak."
"Hmm, baiklah. bawa dia masuk." syam kamaruzaman me-
nyerahkan tombak dan anaknya kepada grindanawiratama .
"namun jangan terlalu memanjakan dia. Dan jangan
biarkan dia terlalu banyak membaca, hanya sebab
kaupikir itu baik untuknya."
syam kamaruzaman berjalan ke arah rumah, dan baru hendak
melepaskan sandalnya di ambang serambi, saat
pengikut tadi muncul lagi.
"Tuanku, orang itu semakin aneh saja. Dia tidak
mau pergi. Bukan itu saja, dia malah masuk lewat
gerbang samping dan langsung menuju kandang,
mencegat seorang tukang sapu dan seorang pesuruh,
dan berbincang-bincang dengan kedua orang itu,
seakan-akan sudah lama mengenal mereka."
"Usir dia. Kenapa kau bersikap begitu lembek
terhadap utusan marga sinuhun ?"
"Hamba bahkan melangkah lebih jauh, namun saat
orang-orang keluar dari barak untuk melemparnya ke
luar, dia minta agar hamba sekali lagi menghadap
tuanku. Dia berpesan bahwa tuanku tentu akan meng-
ingatnya, jika hamba memberitahu tuanku bahwa dia
chucky yang tuanku temukan di tepi Sungai mbesi
sepuluh tahun lalu."
"Sungai mbesi
!" syam kamaruzaman sama sekali tak ingat.
"Tuanku tidak ingat?"
"Tidak."
"Hmm, kalau begitu dia memang aneh. Dia hanya
mengoceh tak keruan. Bagaimana kalau hamba
memberi pelajaran padanya, lalu menyuruh dia pulang
ke kedhiri ?"
Kelihatan jelas bahwa si pengikut mulai dongkol
sebab terpaksa bolak-balik terus. Dengan pandangan
yang seakan-akan berkata. "Hah, tunggu saja!" ia
berbalik dan sudah berlari sampai ke gerbang saat
syam kamaruzaman yang berdiri di tangga serambi, memanggilnya.
"Tunggu!"
"Tuanku?"
"Tunggu sebentar. Mungkin ini si kuyang ?"
"Tuanku tahu namanya? Dia memang menyuruh
hamba menyebutkan nama kuyang seandainya
tuanku tidak mengingat chucky ."
"Ternyata memang si kuyang ," gumam syam kamaruzaman .
"Tuanku mengenalnya?"
"dahulu dia pernah tinggal di sini. Waktu itu dia
bertugas menyapu pekarangan dan mengurus
jengglot."
"namun rasanya agak aneh kalau dia kini datang
sebagai utusan sinuhun aidit ."
"Aku pun tidak memahaminya. Seperti apa
rupanya?"
"Seperti orang terhormat."
"Oh?"
"Dia memakai mantel pendek di luar baju
tempurnya, dan sepertinya dia datang dari jauh. Baik
pelana maupun sanggurdinya berlepotan lumpur, dan
di pelananya ada keranjang rotan untuk membawa
makanan dan perlengkapan lain untuk melakukan
perjalanan."
"Hmm, biarkan dia masuk."
"Biarkan dia masuk?"
"Supaya percaya, aku ingin melihat tampangnya."
syam kamaruzaman duduk di serambi dan menunggu.
Jarak dari benteng kota aidit ke syam tidak
seberapa jauh. Berdasarkan hak, desa itu seharusnya
termasuk daerah kckuasaan marga sinuhun , namun syam kamaruzaman
tidak mengakui aidit , dan ia pun tidak
menerima upah dari marga sinuhun . Ayahnya dan marga
pangeran dari blambangan saling mendukung, dan rasa setia di
kalangan adipati amat kuat. sebetulnya , di zaman
yang kacau-balau itu, mereka tetap menjunjung tinggi
kesetiaan dan keksatriaan, begitu juga kehormatan
melebihi para centeng adipati . Walau ditakdirkan hidup
sebagai perampok, di antara sesama adipati terjalin
ikatan bagaikan ayah dan anak, sehingga ketidak-
setiaan dan ketidakjujuran tak mungkin diterima.
Pembunuhan minakjinggo dan kematian ronggolawe
tahun lalu sudah menimbulkan serangkaian masalah di
blambangan . syam kamaruzaman pun terkena akibatnya. Upah yang
biasa diberikan kepada marga syam pada waktu
minakjinggo masih hidup sudah terhenti sejak orang-orang
sinuhun menutup semua jalan dari jenggala ke blambangan . Meski
demikian, syam kamaruzaman takkan mencampakkan kesetiaan-
nya. Justru sebaliknya, rasa permusuhannya terhadap
marga sinuhun semakin tajam dan dalam tahun-tahun
terakhir, ia secara tak langsung membantu beberapa
pembelot yang menyeberang dari kubu aidit .
syam kamaruzaman juga menjadi satu dari enam tokoh penghasut
utama yang bergerak di wilayah marga sinuhun .
"Hamba sudah mcmbawan ya ke sini," pengikut tadi
berkata dari gerbang kayu. Sekadar untuk berjaga-jaga,
lima atau enam anak buah syam kamaruzaman mengelilingi
betari durga saat ia masuk.
syam kamaruzaman menatap tajam ke arahnya. "Masuk." Kata-
nya sambil mengangguk dengan angkuh.
Laki-laki yang bcrdiri di hadapannya berpenampilan
biasa-biasa saja. Ucapan pertamanya pun begitu.
"Hmm, sudah lama kita tidak berjumpa."
syam kamaruzaman memandangnya tanpa berkedip. "Ternyata
memang si Monyct. Wajahmu tidak berubah banyak."
Meski syam kamaruzaman tidak menunjukkan ekspresi apa pun
di wajahnya, namun dalam hati ia tak dapat
menyembunyikan rasa kagetnya saat melihat
perubahan pada pakaian betari durga . syam kamaruzaman kini
teringat jelas malam sepuluh tahun lalu di tepi Sungai
mbesi
, saat betari durga dengan jubah nya yang
kotor, dengan tengkuk, tangan, dan kaki tertutup
debu, tidur di pinggiran sungai. Pada waktu dibangun-
kan oleh seorang prajurit, tanggapan betari durga berupa
kata-kata besar yang dilontarkan demikian berapi-api,
sehingga semuanya bertanya-tanya siapa ia sesungguh-
nya. namun sesudah diterangi cahaya lampu, mereka
menemukan bahwa ia hanyalah seorang anak muda
bertampang aneh.
Ucapan betari durga bernada merendah, seakan-akan
tidak membedakan kedudukannya dahulu dengan
sekarang. "Hmm, aku memang agak lalai sesudah pergi
dari sini. Aku gembira melihat Tuan dalam keadaan
sehat seperti biasa. Tuan Muda jengglot pasti sudah
besar sckarang. Istri Tuan juga sehat-sehat saja? sesudah
kembali ke sini, sepuluh tahun rasanya seperti sekejap
saja."
lalu , sambil memandang berkeliling ke arah
pohon-pohon dan atap-atap bangunan, ia terus ber-
nostalgia bagaimana ia dahulu setiap hari mengangkat air
dari sumur, bagaimana ia dimarahi oleh majikannya,
bagaimana ia menggendong jengglot. dan bagaimana
ia menangkapkan jangkrik untuknya.
Namun rupanya syam kamaruzaman tidak terpengaruh oleh
cerita betari durga . Ia malah memperhatikan setiap
gerakan betari durga , dan akhirnya berkata dengan
tajam. "kuyang ," ia menyapa betari durga seperti dahulu .
"kau sudah menjadi centeng adipati ?" sebetulnya pertanyaan
itu sudah dijawab oleh pakaian yang dikenakan
betari durga , namun betari durga tidak terganggu sama sekali.
"Ya, meski upah yang kuterima tak seberapa
jumlahnya, namun aku sudah menjadi centeng adipati . Moga-
moga kabar ini dapat menyenangkan hati. Sesungguh-
nya. aku datang jauh-jauh dari posku di kahuripan.
antara lain sebab menduga bahwa Tuan akan
gembira mendengarnya."
syam kamaruzaman memaksakan senyum. "Zaman sekarang
memang enak. Bahkan orang seperti kau pun diangkat
menjadi centeng adipati . Siapa majikanmu?"
"Yang Mulia sinuhun aidit ."
"Tukang gertak itu?"
"Oh, ya..." betari durga sedikit mengubah nada
suaranya. "Aku agak menyimpang dengan membicara-
kan urusan pribadiku. Hari ini aku datang sebagai
panembahan betari durga atas perintah Yang Mulia
aidit ."
"Bcgitukah? Kau bertugas sebagai utusan?"
"Aku akan masuk. Permisi." Sambil berkata begitu,
betari durga melepaskan sandalnya menaiki tangga
serambi tempat syam kamaruzaman sedang duduk, lalu duduk
dengan tenang, menempati kursi kehormatan di
ruangan itu.
"Huh!" syam kamaruzaman menggerutu. Ia tidak mempersila-
kan betari durga masuk namun betari durga tetap melangkah
masuk dan duduk tanpa ragu-ragu. syam kamaruzaman berpaling
ke arahnya dan berkata, "kuyang ?"
Walaupun sebelumnya betari durga menjawab saat
dipanggil dengan nama ini, kali ini ia menolak. Ia
hanya menatap syam kamaruzaman . yang lalu menggsinuhun nya
sebab sikap kekanak-kanakan ini. "Ayo, kuyang . Kau
tiba-tiba mengubah sikapmu," katanya, "namun sampai
sekarang kau bicara seperti orang biasa denganku.
Apakah kau kini ingin diperlakukan sebagai utusan
aidit ?"
"Itu betul."
"Hmm, kalau begitu, pulanglah sekarang juga.
Keluar dari sini, kuyang !" syam kamaruzaman berdiri dan
melangkah ke pekarangan. Suaranya bernada kasar,
dan matanya menyala-nyala. "aidit mungkin
berpendapat bahwa syam termasuk wilayahnya,
namun sebetulnya hampir seluruh karangmalang berada di
bawah kekuasaanku. Seingatku, baik aku maupun
para leluhurku tak pernah memperoleh sebutir beras pun
dari aidit . Tak masuk akal kalau tiba-tiba dia
memperlakukanku scbagai pengikutnya. Puanglah,
kuyang . Dan kalau kau berani lancang, aku akan
membunuhmu!" syam kamaruzaman memelototi betari durga dan
melanjutkan. "sesudah kembali ke sana, beritahu
aidit bahwa dia dan aku setaraf. Kalau dia ada
urusan denganku, dia harus datang sendiri. Kau
mengerti. Monyct?"
"Tidak."
"Apa?"
"Sayang sekali. Betulkah Tuan tak lebih dari
pemimpin gcrombolan bandit bodoh?"
"A... apa?! Beraninya kau!" syam kamaruzaman melompat ke
serambi dan menghadapi betari durga sambil meng-
genggam gagang pedang panjangnya. "kuyang , coba
kauulangi itu sekali lagi."
"Duduklah."
"Diam!"
"Tidak, duduklah. Ada yang harus kukatakan pada
Tuan."
"Jaga mulutmu!"
"Tidak, aku justru akan memperlihatkan
kebodohan Tuan. Ada sesuatu vang perlu kuajarkan.
Duduklah!"
"Kau..."
"Tunggu, syam kamaruzaman ! Kalau Tuan hendak membunuh-
ku, inilah tempatnya dan tuanlah orang yang akan
melakukannya, jadi kurasa tak ada alasan untuk
tcrburu-buru. namun jika Tuan membunuhku, siapa
yang akan mengajari Tuan?"
"Kau... kau gila!"
"Pokoknya. duduk dahulu . Ayo, duduklah. Singkirkan
kepongahanmu yang tak berguna. Yang akan
kuceritakan padamu tidak sekadar menyangkut Yang
Mulia aidit dan hubungan beliau dengan marga
syam . Yang paling penting adalah bahwa kalian
berdua sama-sama dilahirkan di Negeri majapahit ,
Menurutmu, Yang Mulia aidit bukan penguasa
provinsi ini. Hmm, ucapanmu ini masuk akal. dan
aku pun setuju. namun aku tak dapat menerima bahwa kau mengakui wilayah syam sebagai milikmu sendiri. Kau keliru."
"Keliru bagaimana?"
"Bagian mana pun dari negeri ini yang diakui
sebagai milik pribadi. apakah itu syam atau
jenggala , sebuah teluk, atau bahkan tanah sepetak pun, tidak lagi merupakan bagian dari Kekaisaran. Bukankah begitu, syam kamaruzaman ?"
"Hmm."
"Dengan scgala hormat, berbicara seperti itu
mengenai sang pengikut pemilik negeri ini sesungguhnya ah, bukan, berdiri di hadapanku sambil memegang pedang pada waktu aku mengatakan ini, merupakan penghinaan yang tak ada duanya. Rakyat jelata pun takkan bersikap seperti ini, sedangkan Tuan pemimpin 50000 adipati , bukan? Duduk, dan dengarkanlah!"
Seruan tcrakhir itu bukan sekadar unjuk
keberanian, melainkan tercetus dari hati nurani. Pada saat genting itulah sescorang memanggil dari dalam rumah.
"Tuan syam kamaruzaman , duduklah! Tuan tak dapat berbuat lain."
Siapakah itu? syam kamaruzaman bertanya-tanya sambil menengok. betari durga pun heran, dan menoleh ke arah suara itu. lalu dalam pantulan cahaya kehijauan dari pekarangan dalam seseorang terlihat berdiri di pintu koridor. Setengah tubuh laki-laki itu terlindung dalam bayang-bayang tembok. Mereka tak dapat memastikan siapa orang itu, namun sepintas lalu ia sepertinya mengenakan jubah biksu.
"Oh. Tuan yosobremargo bukan?" ujar syam kamaruzaman .
"Betul. Aku sudah bersikap lancang dengan berseru dari luar, namun aku sudah mendengar apa yang kalian ributkan." kata yosobremargo . Ia masih berdiri di tempat semula.
"Kami tentu sudah mengusik ketenangan Tuan." kata syam kamaruzaman dengan tenang. "Maafkan aku Yang Terhormat. Aku akan segera mengusir utusan yang tak tahu diri ini."
"Tunggu, Tuan syam kamaruzaman ." yosobremargo melangkah ke serambi. "Tuan tidak boleh bersikap kasar." yosobremargo ,
biksu pengembara berusia sekitar empat puluh tahun, yang kebetulan sedang bertamu. namun pertemananya lebih cocok untuk seorang prajurit. Yang paling menarik pcrhatian adalah mulutnya yang lebar. Melihat gelagat bahwa biksu ini. yang sedang bertamu di rumahnya, mungkin berpihak pada betari durga .
syam kamaruzaman menatap tajam ke arahnya.
"Mengapa Tuan yosobremargo berkata begitu?"
"Hmm, begini. Tak ada alasan bagi Tuan untuk
menyangkal kebenaran ucapan utusan ini. Tuan
panembahan menyatakan bahwa baik wilayah ini
maupun Provinsi jenggala bukan milik aidit dan
marga brekerto , melainkan milik sang pengikut .
Dapatkah Tuan membantah kebenaran pernyataan
ini? Tidak. Tuan tak dapat membantahnya. Mengemukakan ketidak-puasan terhadap negeri ini sama saja dengan berkhianat kepada sang pengikut , dan inilah yang hendak dikatakan Tuan panembahan . Jadi duduklah sejenak, terimalah kebenaran dan dengarkan baik-baik apa yang akan disampaikan utusan ini. sesudah itu, Tuan bisa memutuskan apakah Tuan akan mengusirnya atau memenuhi permintaannya. Inilah pendapatku."
syam kamaruzaman bukan bandit bodoh yang tak berpendidikan. Ia sudah mempelajari dasar-dasar
kesusastraan majapahit , dan ia mengetahui tradisi-tradisi negerinya, dan dari garis keturunan mana ia berasal.
"Maafkan aku. Aku sudah bersikap bodoh dengan
menentang prinsip-prinsip kcwajiban moral. Aku akan mendengarkan utusan ini."
Melihat bahwa syam kamaruzaman sudah tenang dan kembali duduk. yosobremargo merasa puas. "Kalau begitu, tidak
sepatutnya aku terus berada di sini. Perkenankanlah
aku mcngundurkan diri dari hadapan Tuan. namun , Tuan syam kamaruzaman , sebelum Tuan memberikan jawaban pasti
pada utusan ini sudikah Tuan mampir sejenak ke
kamarku? Ada sesuatu yang ingin kukatakan."
Kcmudian yosobremargo berlalu.
syam kamaruzaman mengangguk, lalu berpaling pada
betari durga . "kuyang bukan, maksudku Yang Ter-
hormat Utusan Yang Mulia sinuhun urusan apa yang
hcndak Tuan bicarakan dcnganku?"
Tanpa sadar betari durga membasahi bibir.
Perasaannya mengatakan bahwa pcrtemuannya
dengan syam kamaruzaman sudah mencapai titik balik. Apakah ia
akan sanggup membujuk syam kamaruzaman dengan lidah fasih
dan kepala dingin? Pembangunan benteng kota di
kahuripan, seluruh sisa hidupnya, dan pada gilirannya.
kejayaan atau kehancuran marga junjungannya,
semuanya tergantung apakah syam kamaruzaman menjawab ya
atau tidak. betari durga pun merasa tegang.
"sebetulnya kunjunganku berkaitan dengan
pesan mengenai pendirian Tuan yang kukirim melalui
pembantuku, patih wedana , sebelum ini."
"Mengenai itu, aku menolak tegas, scperti yang
kutulis dalam surat jawab anku. Tuan membaca
jawab anku atau tidak?" syam kamaruzaman mcmotong dengan
ketus.
"Aku membacanya." saat melihat bahwa lawan
bicaranya takkan mengubah pendiriannya. betari durga
mcnundukkan kepala dengan lesu. "namun patih wedana
mengantarkan surat yang ditulis olehku. Hari ini aku
mengantarkan permintaan Yang Mulia aidit ."
"Siapa pun yang menanyakannya, aku tetap pada
pendirianku. Aku tidak akan mendukung marga sinuhun .
Dan jawaban pasti itu tak perlu kutulis dua kali."
"Hmm, kalau begitu, apakah Tuan hendak
membawa garis keturunan yang diwariskan oleh para
leluhur Tuan menuju kchancuran?"
"Apa?"
"Jangan ccpar naik darah. Sepuluh tahun lalu aku
sendiri sempat menikmati keramahan Tuan.
sebetulnya patut disayangkan bahwa orang seperti
Tuan hidup tersembunyi di sini, tanpa dapat
memberikan sumbangan berarti. Baik dari segi
kepentingan umum maupun dari segi kepentinganku
sendiri, aku akan menyesal sekali jika marga
syam musnah akibat kesalahan sendiri.
Kedatanganku ke sini merupakan upaya terakhir
untuk membalas budi baik marga syam yang
pernah kuterima."
"betari durga ."
"Ya?"
"Kau masih muda. Kau belum mampu menjalankan
tugas untuk majikanmu dengan mengandalkan
kepandaian lidah. Kau hanya membuat gusar lawan
bicaramu, padahal aku tak ingin marah pada anak
muda seperti kau. Sebaiknya kau pergi saja sebelum
kau melangkah terlalu jauh."
"Aku tidak akan pergi sebelum aku selesai
menyampaikan pesan yang dipercayakan padaku."
"Aku menghargai semangatmu, namun sikapmu seperti
orang pandir."
"Terima kasih. Prestasi-prestasi besar, yang melebihi
kemampuan manusia, biasanya memang mirip
tindak-tanduk orang pandir. namun orang bijak tidak
menyusuri jalan kebijaksanaan. Misalnya, aku
menduga bahwa Tuan menganggap diri Tuan lebih
bijak dibandingkan diriku. namun , kalau diamati secara
sungguh-sungguh, Tuan persis seperti si dungu yang
duduk di atap sambil melihatlihat rumahnya
terbakar. Tuan tetap keras kepala, meskipun api sudah
berkobar di sekeliling Tuan. Padahal Tuan hanya
memiliki 50000 adipati ."
"kuyang ! Lehermu semakin dekat saja ke
pedangku!"
"Apa? Leherku yang terancam bahaya? Kalaupun
Tuan tetap setia pada marga pangeran, orang-orang seperti
apakah mereka itu? Mereka sudah melakukan peng-
khianatan dan kekejian. Pernahkah Tuan melihat ada
provinsi lain dengan hubungan antarmanusia yang
begitu buruk? Bukankah Tuan memiliki putra?
Bukankah Tuan memiliki keluarga? Coba perhati-
an dusun nyi kembang . Yang Mulia prabu kertoarjowardana mpu mojosongo pun sudah
bersekutu dengan marga sinuhun . Pada saat marga pangeran
runtuh pada siapa Tuan akan menggantungkan diri?
Jika Tuan mengandalkan orang-orang mpu marijan , Tuan
akan dicegat oleh pihak dusun nyi kembang ; jika Tuan minta
bantuan dari Ise, Tuan akan dikepung oleh pihak
sinuhun . Tak peduli siapa yang Tuan pilih sebagai sekutu,
bagaimana Tuan akan melindungi keluarga Tuan?
Tuan akan terkucil dan menuju kehancuran,
bukankah begitu?"
syam kamaruzaman membisu, seakan-akan tercengang, seakan-
akan termakan oleh kepandaian bicara betari durga .
namun , walaupun kesungguh-sungguhan betari durga
tercermin pada wajahnya saat ia bicara, ia tak
pernah memelototi lawan bicaranya atau terlalu
mendesak. Dan kesungguh-sungguhan, jika diungkap-
kan dengan penuh semangat, akan terdengar fasih,
meski sebetulnya tergagap-gagap.
"Aku mohon agar Tuan sekali lagi mempertimbang-
kan keputusan Tuan. Tak ada orang berakal di dunia
ini yang menyetujui kelaliman di blambangan . Bersekutu
dengan provinsi yang tak mengenal hukum berarti
mengundang bencana. Kalau Tuan sudah berhasil
menghancurkan diri sendiri, akankah ada yang
memuji Tuan sebagai martir yang gugur sebab
mengikuti Jalan centeng adipati ? Lebih baik Tuan akhiri
persekutuan tak berharga ini, dan bertemu satu kali
saja dengan junjunganku, Yang Mulia aidit .
Walaupun sering dikatakan bahwa seluruh negeri
penuh dengan pejuang, tak seorang pun di tanah ini
yang dapat menyaingi Yang Mulia aidit . Apakah
Tuan mengira bahwa dunia tidak akan berubah? Hal
ini tak pantas diucapkan, namun sebetulnya
kepandita an sudah mencapai akhir perjalanannya. Tak
seorang pun menaati sang pandita , dan para
bawah annya tak sanggup memegang kendali
pemerintahan. Semua provinsi sibuk memperkuat
wilayah masing-masing, memperkokoh centeng
sendiri, mengasah senjata, dan menumpuk bedil. Satu-
satunya cara untuk tetap hidup adalah dengan
mengetahui siapa di antara panglima-panglima itu
yang berusaha menegakkan suatu orde baru."
Untuk pertama kali syam kamaruzaman mengangguk tanda
setuju.
betari durga mendekatinya. "Orang itu berada di
antara kita dan dia memiliki pandangan jauh ke
depan. Hanya saja orang-orang biasa tak mampu
melihatnya. Tuan berkeras mempertahankan kesctiaan
Tuan terhadap marga pangeran, namun Tuan begitu sibuk
dengan kesetiaan sepele sehingga tidak menghiraukan
kesetiaan yang lebih besar. Ini patut disayangkan, baik
bagi Tuan maupun bagi Yang Mulia aidit .
Hapuslah hal-hal tak berarti dari benak Tuan dan
berpikirlah secara lebih luas. Waktunya sudah tiba.
Betapapun tak berartinya aku, aku tdah ditugaskan
untuk mendirikan benteng kota di Sunomau. Dan dengan
benteng kota itu sebagai pangkalan, aku memperoleh perintah
memimpin barisan depan untuk menyerbu ke blambangan .
Marga sinuhun tidak kekurangan komandan yang cerdas
dan berani. Dengan menunjuk orang bawah an seperti
aku, Yang Mulia aidit sudah melakukan tindakan
berani. Beliau menunjukkan bahwa beliau bukan
pemimpin biasa seperti yang lain. Dalam perintah
Yang Mulia aidit tersirat bahwa benteng kota
kahuripan akan bcrada di bawah komando orang yang
membangunnya. Bagi orang-orang seperti kita, adakah
kesempatan untuk maju selain sekarang? Di pihak
lain, secara perorangan kita takkan dapat berbuat
banyak. Tidak, aku tidak akan memperindah kata-
kataku. Kupikir aku bisa memanfaatkan kesempatan
ini dan aku mempertaruhkan nyawa ku dengan datang
ke sini untuk membujuk Tuan. namun aku tidak datang
dengan tangan kosong. Di luar ada tiga kuda yang
membawa emas dan perak scbagai kompensasi untuk
menutup biaya militer untuk anak buah Tuan. Aku
akan berterima kasih sekali jika Tuan berkenan
mencrimanya." Sctdah betari durga selesai bicara,
seseorang mcmanggil syam kamaruzaman dari pekarangan.
"Paman," seorang prajurit berkata sambil
menyembah.
"Siapa yang memanggilku 'Paman'?" syam kamaruzaman meng-
anggapnya ganjil dan memandang prajurit itu dengan
saksama.
"Sudah lama kita tidak berjumpa," si prajurit
berkata, lalu mengangkat kepala. syam kamaruzaman tertegun.
Tanpa sadar ia membuka mulut.
"latief ?"
"Ya. Paman."
"Mau apa kau di sini?"
"Aku tak menyangka bahwa aku akan bcrjumpa lagi
dengan Paman, namun berkat kebaikan hati Tuan
panembahan aku ditugaskan untuk menyertainya dalam
misi ini."
"Apa? Kalian datang bersama-sama?"
"sesudah aku membelot dan lari dari syam , aku
dipekerjakan sebagai ninja oleh marga mpu ireng di Kai
selama waktu yang cukup panjang. lalu , kira-
kira tiga tahun lalu aku diperintahkan memata-matai
marga sinuhun , jadi aku pergi ke kota benteng kota kedhiri .
saat aku di sana, aku dipcrgoki oleh anak buah
Yang Mulia aidit dan dimasukkan ke penjara.
namun bcrkat jasa baik Tuan panembahan , aku akhirnya
dibebaskan."
"Jadi, sekarang kau pembantu Tuan panembahan ?"
"Tidak, sctdah dibebaskan dari penjara dan dengan
bantuan Tuan panembahan aku bergabung dengan
centeng ninja marga sinuhun . namun Tuan panembahan
hendak berangkat ke kahuripan, aku memohon izin
untuk menyertainya."
"Oh?" syam kamaruzaman mcngamati kepribadian nya sambil
terheran-heran. Perubahan watak latief bahkan lebih
besar dibandingkan perubahan penampilannya. Sang
kepribadian yang tak dapat diatur, yang oleh orang-
orang syam pun dianggap brutal dan tak beradab
tak kelihatan lagi. Kini tindak-tanduknya penuh
sopan-santun. Ia menyesali masa lalunya. dan minta
maaf atas segala kejahatan yang pernah dilakukannya.
Sepuluh tahun lalu betul-betul sepuluh tahun lalu
syam kamaruzaman hendak mencincang tubuh kcpnyi girah nnya itu!
Kala itu, sebab marah atas perbuatan latief ,
syam kamaruzaman mengejar latief sampai ke perbatasan Kai
untuk menghukumnya. namun sekarang, saat meman-
dang mata latief yang tabah syam kamaruzaman hampir tak
sanggup mengingat kemarahannya dahulu . Ini bukan
sekadar rasa simpati bagi orang sedarah. Kepribadian
latief memang sudah berubah.
"Aku tidak menyinggung soal ini, sebab kupikir
bisa dibicarakan belakangan," kata betari durga . "namun
aku mohon agar Tuan bersedia mengampuni
kepribadian Tuan, latief sudah menjadi pengikut sinuhun
yang sctia. Dia pun sudah mohon maaf atas perbuatan-
nya dahulu . Dia sering berkata bahwa dia ingin
memohon maaf secara langsung pada Tuan namun
terlalu malu untuk kembali ke sini. Jadi, sebab aku
memang ada urusan di syam , kupikir ini
kesempatan baik baginya. Kuminta dia mcngambil
kuda untuk menyertaiku. Aku berharap hubungan
antara paman dan kepribadian dapat kembali mulus
seperti sediakala."
Mendengar penjelasan betari durga , syam kamaruzaman pun tak
sampai hati mengungkit-ungkit sesuatu yang terjadi
scpuluh tahun lalu. Dan saat syam kamaruzaman membiarkan
pintu hatinya terbuka, betari durga tidak mcnyia-nyiakan
kesempatan itu.
"latief , sudah kausiapkan emas dan perak yang kita
bawa ?" Pada waktu bicara dengan Tcnzo,. suara
betari durga tentu saja bernada memerintah.
"Sudah. Tuan."
"Hmm, kalau begitu mari kita periksa. Suruh
seorang pelayan membawa nya ke sini."
"Baik. Tuan."
namun saat Tcnzo mulai melangkah, syam kamaruzaman
berseru dengan terburu-buru, "Tunggu, latief . Aku
tak bisa menerima pemberian ini. Kalau aku
menerimanya itu berarti aku berjanji mengabdi pada
marga sinuhun . Tunggu sampai aku selesai mcmikirkan-
nya." Wajah syam kamaruzaman yang memerah menccrminkan
pertentangan yang terjadi dalam batinnya. Secara
mendadak ia berdiri dan masuk ke rumah.
Sejak kembali ke kamarnya, yosobremargo sibuk melengkapi
catatan perjalanannya, namun kini ia tiba-tiba berdiri.
"Tuan syam kamaruzaman ." ujar yosobremargo sambil mengintip ke
kamar syam kamaruzaman , namun laki-laki itu tidak ada di sana. yosobremargo
pergi ke ruang sembahyang, mengintip ke dalam dan
menemukan syam kamaruzaman sedang duduk bersilang tangan
di depan tempat pemujaan leluhur.
"Sudahkah Tuan memberikan jawaban pasti kepada
utusan Yang Mulia aidit ?"
"Dia belum pergi, namun semakin lama aku semakin
tak sanggup mendengarkan omongannya, jadi kubiar-
kan saja dia di serambi."
"Kemungkinan besar dia takkan mau pergi." ujar
yosobremargo , namun syam kamaruzaman tetap membisu.
"Tuan syam kamaruzaman ," yosobremargo akhirnya berkata.
"Ada apa?"
"Kudengar utusan itu pernah dipekerjakan sebagai
pelayan di sini."
"Aku hanya mengenalnya dengan nama 'kuyang '.
dan sama sekali tidak tahu dari mana dia berasal.
Kutemukan dia di tepi Sungai mbesi
, lalu kuberi
pekerjaan."
"Ini tidak baik."
"Tidak baik?"
"Tuan belum menghapus gambaran itu dari benak
Tuan. Dalam hati, Tuan tetap menganggap dia sebagai
pelayan yang dahulu . Ini yang memicu Tuan tak
dapat melihat siapa laki-laki yang kini berdiri di
hadapan Tuan."
"Begitukah?"
"Belum pernah aku merasa begitu terkejut seperti
hari ini."
"Kenapa?"
"sebab wajah utusan itu. Kebanyakan orang tentu
sependapat bahwa wajahnya tidak biasa. Mengamati
tampang orang lain hanyalah sebuah hobi dan jika
aku mcnilai watak seseorang dengan menatap wajah-
nya, biasanya kurahasiakan kesimpulanku. namun kali
ini aku sungguh-sungguh terpana. Kelak orang itu
akan melakukan sesuatu yang luar biasa."
"Si muka monyct itu?"
"Ya. Suatu hari nanti, orang itu mungkin meng-
gerakkan seluruh negen. Seandainya dia tidak berada
di Ncgeri Matahari Terbit dia mungkin menjadi
seorang raja."
"Apa maksud Tuan yosobremargo ?"
"Dari semula sudah kuduga bahwa Tuan takkan
menanggapi permintaannya secara sungguh-sungguh,
jadi kuceritakan ini semua sebelum Tuan mengambil
keputusan. Singkirkanlah segala prasangka. Kalau
Tuan memandang seseorang, pandanglah dia dengan
mata hati, jangan dengan mata kepala. Kalau Tuan
membiarkan orang itu pergi dengan membawa
penolakan Tuan, Tuan akan menyesal selama seratus
tahun berikut."
"Bagaimana Tuan yosobremargo bisa bicara seperti ini
mengenai seseorang yang belum pernah Tuan temui
sebelumnya?"
"Aku mengatakan ini bukan sekadar sebab
mengamati wajahnya. Aku tertegun waktu mendengar
uraiannya mengenai keadilan dan kebenaran. Da tidak
terpengaruh oleh ejekan dan ancaman Tuan dan dia
menyangkal segala ucapan Tuan dengan tulus dan
jujur. Aku percaya sepercaya-percayanya bahwa kelak dia
akan menjadi orang besar."
syam kamaruzaman langsung mcnyembah di hadapan yosobremargo , dan
berkata dengan tegas. "Dengan segala kerendahan hati,
aku tunduk pada kata-kaia Tuan. Terus terang, jika
kubandingkan diriku dengan dia, bukan diriku yang
keluar sebagai pemenang. Akan kusingkirkan
kesombonganku yang tak berguna dan segera mem-
berikan jawaban pasti positif. Aku sungguh berterima kasih
atas petunjuk Tuan."
syam kamaruzaman langsung pergi. Matanya berbinar-binar
seakan-akan ia sudah melihatlihat kelahiran sebuah era
baru.
Beberapa jam sesudah betari durga tiba di syam ,
dua penunggang kuda membelah kegelapan malam
dalam pcrjalanan menuju kedhiri . saat itu tak ada
yang tahu bahwa mereka syam kamaruzaman dan betari durga .
Malam itu juga aidit bcrbicara dengan keduanya
di sebuah ruangan kecil di dalam benteng kota.
Pembicaraan rahasia mereka berlangsung beberapa
jam. Hanya orang-orang terpilih, termasuk latief yang
mengetahui maksud kedatangan mereka.
Kecsokan harinya syam kamaruzaman mengadakan rapat
perang. Semua yang memenuhi undangan adalah
adipati . Sudah bertahun-tahun mereka berada di bawah
komando syam kamaruzaman dan mereka mengakui kepemim-
pinannya dengan cara yang sama seperti para panglima
provinsi menaati keputusan-keputusan pandita .
Masing-masing pemimpin mengepalai sekelompok
pejuang di desa atau kubu pertahanannya, menunggu
hari mereka dibutuhkan. Semuanya merasa heran
melihat kehadiran dul latief dari ranggawirakerta .
yang sepuluh tahun lalu sudah mcmbangkang terhadap
syam kamaruzaman .
sesudah semuanya mengambil tcmpat duduk,
syam kamaruzaman mengumumkan keputusannya untuk mem-
batalkan persekutuan dengan marga pangeran dan beralih
kepada marga sinuhun . Dalam kesempatan itu, ia juga
menjelaskan mengapa kepribadian nya kembali. Pada
akhir pidatonya syam kamaruzaman berkata. "Aku tahu bahwa
beberapa dari kalian tidak setuju dan bahwa ada yang
memiliki hubungan dekat dengan orang-orang pangeran.
Aku tidak akan memaksa kalian. Kalian boleh pergi
tanpa ragu-ragu dan aku takkan mendendam pada
siapa pun yang menyeberang ke pihak pangeran."
Namun tak seorang pun bangkit untuk pergi. Tak
seorang pun memperlihatkan perasaan sebetulnya .
betari durga minta izin pada syam kamaruzaman untuk berbicara
dengan orang-orang itu.
"Aku menerima perinrah dari Yang Mulia
aidit untuk membangun benteng kota di kahuripan.
Aku bisa membayangkan bahwa kalian semua sampai
sckarang hidup sesuka hati. namun pernahkah kalian
menempati sebuah benteng kota? Dunia sedang berubah.
Gunung-gunung dan lembah-lembah tempat kalian
bisa hidup bebas mulai lenyap. Kalau tidak begitu,
takkan ada kemajuan. Kalian bisa menempuh hidup
sebagai adipati sebab sang pandita tak berdaya. Apa
kalian pikir kepandita an akan sanggup bertahan lebih
lama? Negeri ini sedang berubah, era baru sudah
menyingsing. Kita tak lagi hidup untuk diri sendiri,
melainkan untuk anak-cucu kita. Kalian memiliki
kesempatan untuk membentuk rumah tangga sendiri,
untuk menjadi centeng adipati sejati. Jangan biarkan
kesempatan ini berlalu bcgitu saja."
Setclah ia selesai, seluruh ruangan diliputi
keheningan. namun tak ada tanda-tanda perasaan tak
senang. Orang-orang itu yang biasanya hidup tanpa
memikirkan masa depan, kini merenungkan ucapan
betari durga .
Satu orang memecahkan keheningan. "Aku tidak
keberatan."
Ia diikuti oleh yang lain, yang memberikan jawaban pasti
sama. Mereka sadar bahwa mereka sudah memper-
taruhkan nyawa dengan mendukung marga sinuhun dan
ketetapan hati mereka tampak membara dalam sorot
mata masing-masing.
Bunyi kapak mcnebang pohon... disusul bunyi
cipratan air saat pohon itu jatuh ke Sungai brantas .
Sebuah rakit dibuat dan didorong ke dalam arus,
mengambang ke arah hilir untuk berjumpa dengan air
Sungai Ibi dan Yabu dari utara dan barat, lalu
mencapai gosong pasir yang luas kahuripan.
Perbatasan antara blambangan dan jenggala . Lokasi
pembangunan benteng kota, tempat mpu wiragajah mpu wiraghanda,
nyoto dijoyo , dan sinuhun Kageyu menemui kegagalan
yang sama.
"Dasar tolol, mereka hanya buang-buang waktu
saja." Dari scberang sungai, para prajurit pangeran
memperhatikan kesibukan itu sambil berkelakar dan
melindungi mata dari sinar matahari.
"Ini sudah keempat kali."
"Mereka belum kapok juga."
"Siapa resi centeng Mayat kali ini? Sungguh
menyedihkan walaupun dia dari pihak musuh. Paling
tidak, aku akan mengenang namanya."
"Dia bernama panembahan betari durga . Aku belum
pernah mendengar tentang orang ini."
"panembahan ... Ah. dialah yang mereka juluki si
kuyang . Dia hanya perwira berpangkat rendah.
Nilainya tak lebih dari lima puluh atau enam puluh
kan."
"Orang tak berarti seperti itu dijadikan pemimpin?
Kalau begitu, musuh kita tentu tidak serius."
"Siapa tahu ini jebakan untuk kita."
"Mungkin saja. Barangkali mereka berencana
menarik perhatian kita ke sini, lalu menyeberang di
tcmpat lain."
Semakin lama para prajurit blambangan mcmperhatikan
kegiatan pembangunan di sisi seberang, semakin tak
peduli mereka. Sekitar satu bulan sudah berlalu,
betari durga memimpin para adipati dari syam , yang
mulai bekerja begitu mereka tiba. Dua atau tiga kali
hujan turun deras, namun itu malah membantu
menghanyutkan rakit-rakit kayu. saat air sungai
mcmbanjiri gosong pasir pada suatu malam pun
orang-orang syam segera bahu-membahu, seolah-
olah tidak terjadi apa-apa. Apakah awan hujan akan
tiba sebelum mereka sempat menyelesaikan tembok
tanah? Alam atau manusiakah yang akan menang?
Para adipati bekerja seperti orang yang sudah lupa cara
makan dan tidur. Kedua ribu orang yang berangkat
dari syam sudah menjadi lima atau enam ribu
pada saat mereka tiba di tcmpat tujuan.
betari durga hampir tidak perlu memakai tongkat
panglima. Anak buahnya sigap dan bekerja keras, dan
hari demi hari pekerjaan mereka tcrus maju, tepat di
depan matanya.
Para adipati tcrbiasa menempuh perjalanan di
pegunungan maupun daratan. Dan mereka jauh lebih
memahami prinsip-prinsip pengendalian banjir dan
konstruksi tanah dibandingkan betari durga .
Tujuan mereka adalah membuat tempat ini menjadi
milik mereka. Dengan pekerjaan ini, mereka
meninggalkan cara hidup lama yang penuh pesta pora dan kemalasan. Mereka merasakan kepuasan dan
kesenangan yang muncul sebab mengerjakan sesuatu
yang berarti.
"Hmm, gundukan tanah ini tidak akan jebol,
walaupun diterjang banjir bandang," kata salah
seorang adipati dengan bangga.
Sebelum bulan pertama berlalu, mereka sudah
meratakan daerah yang lebih luas dibandingkan
pekarangan benteng kota, dan bahkan sudah membangun
jalan ke daratan.
Di tepi seberang, orang-orang blambangan mengamati
tempat pembangunan. "Bentuknya sudah mulai
kelihatan, ya?"
"Mereka belum mendirikan tembok batu, jadi
bentuk benteng kotanya belum tampak, namun fondasinya
sudah siap."
"Aku tidak melihat tukang kayu atau tukang
plester."
"Aku percaya mereka masih memerlukan seratus hari
sampai mereka bisa mendatangkan tukang kayu dan
tukang plester."
Tanpa semangat, sekadar untuk mengusir rasa
bosan para prajurit memandang ke seberang. Sungai
itu cukup lebar. Pada hari-hari cerah, kabut tipis naik
dari permukaan air. Sulit untuk melihat tepi seberang
dengan jelas, namun sesekali ada hari saat bunyi batu
dipotong dan teriakan teriakan dari tempat pem-
bangunan terbawa angin ke sisi berlawan an.
"Apakah kita akan melancarkan serangan mendadak
kali ini? Tepat di tengah-tengah pembangunan?"
"Kelihatannya tidak. Ada perintah tegas dari resi
betari jawi ."
"Bagaimana perintahnya?"
"Jangan lepaskan satu tembakan pun. Biarkan
musuh bekerja sesuka hati."
"Kita diperintahkan melihatlihat mereka menyele-
saikan benteng kota itu?"
"Menurut rencana semula, kita seharusnya meng-
gempur musuh dengan serangan kramajaya pada wakiu mereka baru mulai bekerja. Berdasarkan rencana kedua, kita disuruh menyerbu saat benteng kota setengah jadi lalu memporak-porandakannya. namun sekarang
kita diperintahkan menunggu sampai mereka
merampungkan pekerjaan."
"Dan sesudah itu?"
"Merebut benteng kota mereka, tentu saja!"
"Aha! Kita biarkan musuh menyelesaikan pekerjaan, lalu mengambil alih benteng kota mereka."
"Sepertinva begitulah rencananya."
"Hei, cerdik juga. Kedua resi sinuhun , dijoyo dan
mpu wiragajah memang agak sukar ditaklukkan, namun
komandan yang baru ini, si panembahan , tak lebih dari
prajurit biasa." kata orang itu ditanggapi dengan
pandangan tajam oleh salah satu prajurit lain.
Tiba-tiba orang ketiga bergegas memasuki pos jaga.
Sebuah perahu yang datang dari arah hulu sudah
mencpi. Seorang resi berkumis melangkah ke
darat, diikuti oleh beberapa pembantu. Seekor kuda
dituntun mengikutinya.
"Si Macan datang!" kata salah seorang penjaga.
"Si Macan dari panarukan , di sini!" Mereka saling
bcrbisik dan melirik. Inilah komandan benteng kota
panarukan , di hulu sungai; terkenal sebagai salah satu
resi paling garang di blambangan , nama sebetulnya
adalah mpu sindok kedaton. Orang ini demikian
menakutkan, sehingga para ibu di Banyuwangi biasa
berkata. "Si Macan datang!" untuk mendiamkan anak-
anak mereka yang sedang menangis.
"Apakah resi betari jawi ada di sini?" tanya
kedaton.
"Ada, tuanku. Beliau sedang di perkemahan."
"sebetulnya aku tidak keberatan menemui dia di
perkemahan, namun tempat ini lebih cocok untuk
berbicara. Segeralah panggil dia ke sini."
"Siap, tuanku." Prajurit itu langsung pergi.
Tak lama lalu betari jawi Heishiro, diikuti oleh
prajurit tadi dan lima atau enam bawah annya.
melangkah cepat ke arah tepi sungai. "Si Macan! Mau
apa dia?" betari jawi bergumam.
"resi betari jawi , terima kasih atas kesediaan Tuan
menemuiku di sini."
"Oh, tidak apa-apa. Bagaimana aku dapat
mcmbantu?"
"Di seberang sana." mpu sindok menunjuk ke seberang
sungai.
"centeng musuh di Sunomau?"
"Betul. Tentunya mereka dikertoarjo si siang dan malam."
"Tentu saja! Percayalah, kami terus-menerus berjaga-
jaga."
"Hmm, meski benteng kota yang kupimpin berada di
hulu, aku tidak hanya memikirkan pertahanan
panarukan ."
"Ya, tentu saja."
"Sesekali aku menaiki perahu auu berjalan
mcnyusuri tepi sungai untuk melihat keadaan di
bagian hilir, dan waktu aku tiba hari ini, aku terkejut
sekali. Mungkin sudah terlambat, namun kalau kuamati
perkemahan ini aku memperoleh kesan bahwa suasana-
nya agak terlalu santai. Apa rencana resi sekarang
ini?"
"Apa maksud Tuan, 'sudah terlambat'?"
"Maksudku, pembangunan benteng kota musuh sudah
mencapai tahap mengejutkan. Kelihaiannya pihak
musuh sudah membangun tanggul kedua, menyiapkan
fondasi, dan sudah mendirikan setengah tembok batu
mereka, sementara resi menyerbu mereka tanpa
ambil pusing."
betari jawi menggerutu, kesal.
"Bagaimana kalau para tukang kayu sudah
menyiapkan kayu untuk benteng kota di pegunungan di
balik kahuripan? Dan bukankah ada kemungkinan
mereka sudah menyiapkan hampir segala sesuatu,
mulai dari jembatan jungkat sampai perlengkapan
interior, belum lagi tembok-tembok? Begitulah
pandanganku mengenai situasi ini."
"Hmm... begitu."
"Sekarang ini, pada malam hari centeng musuh
pasti lelah sebab bekerja keras sepanjang siang.
Mereka pun lalai mcmbentuk pos pcrtahanan. Bukan
itu saja, para pekerja dan pengrajin. yang hanya akan
menjadi penghalang saat pertempuran pecah, tinggal
bersama para prajurit. Seandainya kita sekarang
melancarkan serangan besar-besaran. menyeberangi
sungai dalam kegelapan. dan menyerang dari arah
hulu, hilir, dan dari tepi sungai, kita bisa menumpas
musuh sampai ke akar-akarnya. namun jika kita lalai,
suatu pagi dalam waktu dekat ini kita akan bangun
dengan kaget sebab menemukan sebuah benteng kota
tiba-tiba sudah berdiri kokoh. Sebaiknya kita hindari
kejutan seperti itu."
"Betul."
"Kalau begitu, Tuan setuju?"
tawa betari jawi meledak. "Astaga, resi mpu sindok! Jadi
aku dipanggil ke sini sebab Tuan gelisah khawatir mengenai
itu?"
"Aku mulai ragu apakah Tuan memiliki mata,
sehingga aku memutuskan untuk menjelaskan situasi-
nya di sini, di tepi sungai."
"Tuan melangkah terlalu jauh! Sebagai komandan
militer, pikiran Tuan sungguh dangkal. Kali ini aku
sengaja membiarkan pihak musuh membangun
benteng kota mereka. Tidakkah Tuan mcnyadarinya?"
"Tentu saja. Dan aku menduga bahwa Tuan
berencana untuk membiarkan mereka menyelesaikan
pembangunan, lalu menyerang, dan selanjutnya me-
manfaatkan benteng kota itu sebagai pangkalan centeng
blambangan untuk merebut keunggulan di jenggala ."
"Tepat."
"Sejak semula aku percaya bahwa itulah pemikiran
Tuan, namun sebetulnya strategi ini sangat berbahaya
jika Tuan tidak tahu siapa yang Tuan hadapi. Aku tak
bisa diam saja dan melihatlihat kehancuran centeng
kita sendiri."
"Kenapa rencana ini akan membawa kehancuran
bagi centeng kita? Aku tidak mengerti."
"Bersihkanlah telinga Tuan dan perhatikan baik-
baik bunyi apa yang terdengar dari seberang. Tuan
akan menyadari seberapa jauh kemajuan pem-
bangunan benteng kota yang sudah dicapai. Bunyi yang
terdengar menunjuk-kan bahwa para prajurit pun
terlibat dalam pembangunan. Ini berbeda dengan
mpu wiraghanda dan dijoyo . Kali ini pemimpin mereka
betul-betul menggebu-gebu. Sudah jelas bahwa
komando jatuh ke tangan seseorang berkepribadian
unggul, biarpun dia dari pihak sinuhun ."
betari jawi memegangi perutnya dan tertawa , mengejek
mpu sindok sebab memberi penilaian terlalu tinggi kepada
lawan mereka. Walaupun betari jawi dan mpu sindok bertempur
di pihak yang sama, jalan pikiran keduanya tidak
segaris. mpu sindok mendecakkan lidahnya dengan keras.
"Apa boleh buat. Silakan tertawa scpuas hati. Nanti
Tuan akan lihat sendiri." Dengan ucapan terakhir ini,
mpu sindok memanggil pembawa kudanya, lalu pergi
sambil mendongkol.
Sebelum sepuluh hari berlalu, ramalan mpu sindok
kedaton sudah terbukti tepat. Pembangunan
benteng kota di kahuripan maju pesat dalam tiga malam
saja.
saat para penjaga terbangun pada pagi sesudah
malam ketiga dan memandang ke seberang sungai.
benteng kota itu sudah hampir rampung.
betari jawi menggosok-gosok tangan dan berkata, "Bagai-
mana kalau kita mengusir mereka dari sana?"
centeng betari jawi sudah terlatih menyeberangi sungai
dan melakukan serangan pada malam hari. Seperti
pernah mereka lakukan sebelumnya, mereka men-
dekati dan mengepung kahuripan di tengah malam
buta, berencana merebutnya dengan sekali pukul.
namun kali ini mereka memperoleh sambutan
berbeda. betari durga dan para adipati di bawah
komandonya sudah siap siaga. Mereka membangun
benteng kota ini dengan cucuran keringat dan darah.
Apakah orang-orang pangeran menyangka mereka akan
menyerahkannya begitu saja? Gaya tempur para adipati
sama sekali tidak mengikuti aturan. Berbeda dengan
prajurit-prajurit mpu wiraghanda dan dijoyo , orang-orang
ini bagaikan serigala. Dalam pertempuran yang terjadi,
perahu-perahu centeng blambangan disiram minyak dan
dilalap api. saat betari jawi menyadari bahwa anak
buahnya tak mampu merebut posisi unggul, ia mem-
berikan perintah mundur. namun pada waktu kata-kata
itu meluncur dari mulutnya, semuanya sudah ter-
lambat.
Dikejar-kejar dari tembok batu ke tepi sungai, para
prajurit blambangan masih bcruntung bisa menyelamatkan
nyawa . Hampir seribu orang sudah menjadi mayat.
Sejumlah pasukan yang sudah kehilangan rakit terpaksa
melarikan diri ke arah hulu atau hilir, namun orang-orang
syam tidak bcrmaksud membiarkan mereka
lolos. Bagaimana mungkin centeng blambangan lolos dari
kejaran para adipati yang begitu terbiasa dengan medan
berat?
Serangan malam itu berhasil ditangkal. betari jawi
melipatgandakan kekuatannya dan sekali lagi
menyerbu kahuripan. Gosong pasir dan air sungai
rampak merah oleh darah. namun saat matahari terbit,
centeng di dalam benteng kota mengumandangkan
nyanyian kemenangan.
"Sarapan pagi ini akan terasa lebih lezat!"
betari jawi menjadi nekad, dan sambil menunggu
datangnya badai malam itu, ia merencanakan serangan
ketiga secara habis-habisan. Serbuan centeng blambangan
datang dari arah hulu dan hilar.
Ke arah hulu, di Bentcng panarukan , hanya centeng
mpu sindok kedaton yang tidak menanggapi seruan
untuk mengadakan serangan umum. Pertempuran
malam itu begitu mengerikan, sehingga para adipati pun
kehilangan banyak orang dalam air sungai yang penuh
lumpur. namun centeng blambangan dipaksa mengaku bahwa
mereka menderita kekalahan total.
tahun itu tidak ada serangan mendadak lagi dari
pihak blambangan . Sementara itu, betari durga hampir selesai
dengan pekerjaan interior dan pekerjaan garis
pertahanan luar yang masih tersisa. Pada awal bulan
pertama di tahun berikutnya, ia, ditambah syam kamaruzaman ,
menghadap aidit untuk mengucapkan selamat
Tahun Baru, sekaligus memberikan laporan.
Selama betari durga pergi sudah terjadi perubahan
besar. Rencana yang pernah diusulkannya ternyata
diterima. benteng kota kedhiri , yang memiliki kekurangan
dari segi letak maupun persediaan air, sudah ditinggal-
kan. aidit memindahkan tempat kediamannya
ke Gunung merah . Para penduduk kota kedhiri pun
hijrah bersama junjungan mereka, dan sedang mem-
bangun kota baru di kaki benteng kota merah .
saat aidit menerima betari durga di benteng kota-
nya yang baru, ia berkata, "Aku sudah berjanji. Kau
boleh menempati benteng kota kahuripan, dan upahmu
kunaikkan menjadi lima ratus kan." Menjelang
berakhirnya pertemuan mereka. aidit memper-
lihatkan rasa terima kasihnya dengan memberikan
nama baru pada pengikutnya yang sudah berjasa. Mulai
saat itu betari durga akan dipanggil panembahan patih ronggolawe .
"Kalau kau sanggup membangunnya, benteng kota itu
milikmu," begitulah janji aidit semula. namun
saat patih ronggolawe kembali untuk melaporkan bahwa
pembangunan benteng kota sudah selesai. aidit hanya
berkata. "Kau boleh menempati Bentcng kahuripan."
dan tidak menyinggung soal kepemilikan. sebetulnya
tak banyak ditambah ya, namun patih ronggolawe menganggapnya
sebagai isyarat bahwa kemampuannya untuk menjadi
komandan benteng kota belum terbukti. Hal ini disimpul-
kannya saat mendengar bahwa syam kamaruzaman yang baru-
baru ini menjadi pengikut marga sinuhun berkat
rekomendasi patih ronggolawe ditugaskan di kahuripan
sebagai pembantu patih ronggolawe . namun patih ronggolawe bukan-
nya mendongkol sebab sikap junjungannya, melain-
kan berkata. "Dengan segala kerendahan hati. Tuanku,
dibandingkan menerima upah lima ratus kan yang hendak
tuanku anugertahkan, perkenankanlah hamba me-
rebut tanah dengan nilai yang sama dari blambangan . sesudah
memperoleh izin aidit , pada hari ketujuh di
tahun yang baru patih ronggolawe kembali ke kahuripan.
"Kita membangun benteng kota ini tanpa memicu
satu pun pengikut Yang Mulia mengalami cedera, dan
tanpa memakai satu pun pohon atau batu dari
wilayah kesatuan Yang Mulia. Barangkali kita juga bisa
merebut tanah dari tangan musuh dan hidup dengan
upah dari para dewa. Bagaimana menurutmu,
banaspati ?"
syam kamaruzaman sudah melepaskan nama lamanya, dan sejak
Tahun Baru, menggantinya menjadi banaspati .
"Menarik juga." banaspati membalas. Kini ia
sepenuhnya setia pada patih ronggolawe . Ia bersikap seolah-
olah ia pengikut patih ronggolawe , dan sama sekali melupa-
kan hubungan mereka sebelumnya.
Dengan mengerahkan centeng nya setiap kali ada
kesempatan, patih ronggolawe menyerang daerah-daerah
sekitar. Tentunya tanah yang berhasil ia rebut semula
merupakan bagian dari blambangan . Tanah yang ditawa rkan
aidit padanya bernilai lima ratus namun tanah yang
ditaklukkan patih ronggolawe bernilai lebih dari dua kali
lipat.
saat aidit mengetahui ini, ia memaksakan
senyum. "Si kuyang itu saja sudah cukup untuk
merebut seluruh Provinsi blambangan . Ternyata ada orang di
dunia ini yang tidak pernah mengeluh."
kahuripan sudah diamankan. aidit merasa
seolah-olah blambangan sudah jatuh ke tangannya. namun
meski mereka menyangka sudah berhasil menggeser
perbatasan blambangan , pusat kekuatan marga pangeran, yang
dipisahkan oleh Sungai brantas dari jenggala , tetap tak
terusik.
Dengan memanfaatkan benteng kota baru di kahuripan
sebagai pangkalan, aidit dua kali mencoba
menembus pertahanan blambangan , namun gagal. Ia merasa
seperti menghantam dinding besi. Namun ini tidak
mengejutkan bagi patih ronggolawe maupun banaspati .
Bagaimanapun, kali ini pihak musuh bertempur
untuk mempertahankan nyawa . centeng jenggala yang
kecil takkan mungkin mengalahkan blambangan dengan
taktik-taktik biasa.
Dan masih ada lagi. sesudah pembangunan benteng kota
selesai, pihak musuh menyadari kelalaian mereka dan
mempetajari patih ronggolawe dengan lebih saksama. kuyang
ini muncul entah dari mana, dan meskipun ia tidak
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh marga sinuhun ,
ia jelas pejuang yang hebat dan panjang akal, yang
tahu bagaimana menggerakkan anak buahnya.
Reputasinya justru lebih cepat menanjak di mata
pihak musuh dibandingkan di mata orang-orang sinuhun , dan
akibatnya centeng musuh semakin memperkuat
pertahanan mereka. Orang-orang pangeran menyadari
bahwa mereka tak boleh lalai lagi.
sesudah mengalami dua kekalahan, aidit
mundur ke Gunung merah untuk menanti
penghujung tahun. namun patih ronggolawe tidak menunggu.
Dari benteng kotanya ia dapat memandang Dataran blambangan
sampai ke Pegunungan Tengah. Berdiri dengan tangan
terlipat, ia bertanya dalam hati. "Apa yang harus kita
lakukan dengan blambangan ?" centeng besar yang
dikerahkannya tidak bermarkas di Gunung merah
maupun di kahuripan. melainkan di dalam benaknya.
Begitu turun dari menara jaga dan kembali ke
ruangannya, patih ronggolawe menyuruh banaspati meng-
hadap.
banaspati muncul sesaat . dan bertanya. "Apa
yang dapat hamba lakukan untuk tuanku?" Tanpa
mcngindahkan hubungan mereka sebelumnya, ia
memberi hormat pada laki-laki yang lebih muda itu.
"Mendekatlah sedikit."
"Dengan izin tuanku.
"Yang lain boleh pcrgi sampai aku memanggil
kalian." patih ronggolawe berkata kepada para centeng adipati yang
mengelilinginya. lalu ia berpaling pada
banaspati . "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan
denganmu."
"Baik. Apa itu?"
"namun pertama-tama," patih ronggolawe berkata sambil
merendahkan suara. "kurasa kau lebih mengenal
kondisi blambangan dibandingkan aku. Menurutmu, di mana
letak dasar kekuatan blambangan , yang membuat kita tak
dapat tidur nyenyak di kahuripan?"
"Pada orang-orang mereka yang paling mampu.
hamba rasa."
"Pada orang-orang yang paling mampu. Jadi, pasti
tidak berkaitan pangeran ki damar ."
"Tiga Serangkai dari blambangan mengucapkan sumpah
setia pada masa ayah dan kakek ki damar ."
"Siapa Tiga Serangkai itu?"
"Hamba rasa tuanku pasti sudah mendengar kabar
mengenai mereka. Ada Ando Noritoshi, komandan
benteng kota kalinyamat ." patih ronggolawe meletakkan satu
tangan pada lutut dan menjulurkan satu jari sambil
mengangguk. "Iyo ki luragung, komandan benteng kota
njemanu."
"He-he." Jari kedua.
"Dan ki jomprang, penguasa benteng kota
Ogaki." Jari ketiga.
"Ada lagi?"
"Hmm." banaspati memiringkan kepala. "Selain
mereka, masih ada raden mas ngabehi . namun sudah
beberapa tahun terakhir ini dia menghentikan
pengabdiannya pada marga pangeran, dan hidup
menyendiri di Bukit kuburan . Hamba rasa tuanku
belum memperhitungkan dia."
"Hmm, kalau begitu, pertama-tama kita bisa
menyimpulkan bahwa Tiga Serangkai itu merupakan
tonggak utama kekuatan blambangan . Betulkah itu?"
"Hamba kira begitu."
"Itulah yang ingin kubicarakan denganmu.
Menurutmu, adakah cara untuk merobohkan tonggak
itu?"
"Hamba menyangsikannya," banaspati menang-
gapi. "Laki-laki sejati adalah laki-laki yang berpegang
teguh pada ucapannya. Dia tidak aki sinuhun oleh nama
dan kemasyhuran. Sebagai contoh, seandainya
Tuanku diminta mencabut tiga gigi sehat, tuanku
tentu takkan melakukannya, bukan?"
"Masalahnya tidak sesederhana itu. Pasti ada
jalan...." patih ronggolawe menjawab perlahan-lahan.
"centeng musuh beberapa kali melakukan serangan
pada waktu kita sedang membangun benteng kota, namun
saat itu ada satu resi musuh yang tidak berbuat
apa-apa."
"Siapa itu?"
"mpu sindok, komandan benteng kota panarukan ."
"Ah, mpu sindok kedaton , si Macan dari panarukan ."
"Orang itu... si Macan... mungkinkah kita bisa
menghubungi dia melalui seorang kerabatnya?"
"mpu sindok mcmpunyai adik laki-laki, namanva
ki margo." ujar banaspati . "Sudah beberapa tahun adik
hamba, wilapati , maupun hamba sendiri, menjalin
hubungan baik dengannya."
"Ini berita bagus." patih ronggolawe melampiaskan
kegembiraannya dengan bertepuk tangan. "Di mana
tempat tinggal ki margo ini?"
"Kalau hamba tidak salah, dia mengabdi di kota
Banyuwangi ."
"Utus adikmu sekarang juga. Moga-moga saja dia
bisa menemukan ki margo."
"Kalau perlu, hamba sendiri yang akan pergi," jawab
banaspati . "Apa rencana tuanku?"
"Dengan memakai ki margo. aku ingin menjauh-
kan mpu sindok dari marga pangeran. sesudah itu, aku akan
memanfaatkan mpu sindok untuk mcmisahkan Tiga
Scrangkai dari blambangan satu per satu, persis seperti
mencabut gigi."
"Hamba ragu apakah tuanku sendiri dapat
melakukannya, namun untung saja ki margo tidak seperti
kakaknya, dan sangat memperhatikan keuntungan
pribadi."
"Tidak. ki margo saja tidak cukup untuk membujuk
si Macan dari panarukan . Kita memerlukan pemain lain
untuk memasukkan harimau itu ke dalam kerangkeng.
Dan kupikir kita bisa memakai latief untuk itu."
"Bagus! namun rencana apa yang sudah tuanku siapkan
untuk mereka bcrdua?"
"Begini, banaspati ." patih ronggolawe bergerak mendekat
dan membisikkan rencananya ke telinga syam
banaspati .
Sesaat banaspati menatap patih ronggolawe . Rambut
patih ronggolawe dan rambutnya sendiri sama-sama hitam,
jadi dari mana ide gemilang itu muncul? saat mem-
bandingkan kecerdikan patih ronggolawe dengan dirinya
sendiri, banaspati terkagum-kagum.
"Hmm, aku ingin wilapati dan latief segera mulai
bergcrak." patih ronggolawe berkata.
"Hamba mengerti. namun mereka akan menyusup ke
wilayah musuh. Jadi mereka harus menunggu sampai
tengah malam sebelum menyeberangi sungai."
"Kuminta kau menjelaskan rencana ini secara
terperinci pada mereka, lalu memberikan perintah
selanjutnya."
"Tentu, tuanku."
sesudah tahu apa yang harus dilakukannya.
banaspati mengundurkan diri dari ruangan
patih ronggolawe . Saat ini, lebih dari setengah centeng di
benteng kota terdiri atas bekas adipati dari syam . Kini
mereka sudah menetap dan menjadi centeng adipati .
Adik banaspati , wilapati , dan kcpnyi girah nnya,
Tcnzo, menerima perintah dari banaspati , menyamar
sebagai saudagar dan meninggalkan benteng kota malam
itu untuk menuju sarang musuh, kota Banyuwangi .
Baik latief maupun wilapati cocok sekali untuk misi
semacam ini. Satu bulan lalu , sesudah
menyelesaikan tugas, mereka kembali ke kahuripan.
Di seberang sungai di blambangan , desas-desus mulai
beredar:
"Ada sesuatu yang mencurigakan pada diri si Macan
dari panarukan ."
"mpu sindok kedaton sudah bcrtahun-tahun ber-
sekongkol dengan jenggala ."
"Pantas saja dia tidak mengindahkan perintah betari jawi
saat pembangunan benteng kota di kahuripan sedang
berlangsung. Seharusnya mereka bekerja sama, namun
mpu sindok sama sekali tidak mengerahkan centeng nya."
Desas-desus ini mengundang spekulasi lebih lanjut.
"Dalam waktu dekat, Yang Mulia ki damar akan
memanggil mpu sindok kedaton ke Banyuwangi untuk
minta pertanggungjawaban pasti atas kekalahan di
kahuripan."
"benteng kota panarukan akan disita. Segera sesudah si
Macan pergi ke Banyuwangi ."
Scsungguhnya desas-desus yang beredar di blambangan ini
muncul akibat hasutan dul latief , dan di
baliknya ada patih ronggolawe yang duduk di bentcng di
kahuripan.
"Tidakkah kau sependapat bahwa waktunya sudah
tiba? Berangkatlah ke panarukan sekarang juga."
patih ronggolawe berkata pada banaspati . "Aku sudah
menulis surat yang harus kauserahkan pada mpu sindok."
"Baik, tuanku."
"Kau harus bisa membujuknya. Atur hari dan
tempat pertemuan." Dengan membawa surat
patih ronggolawe . banaspati diam-diam mengunjungi
panarukan .
saat mendengar bahwa utusan rahasia dari
kahuripan tiba di benteng kotanya. mpu sindok bertanya-tanya
apa gerangan maksudnya. Si Macan dari panarukan yang
garang ini sudah beberapa waktu kelihatan sedih dan
tidak bahagia. Berpura-pura sakit, ia menghindari
semua orang. Belum lama ini ia menerima panggilan
untuk segera datang ke Banyuwangi , dan baik keluarga
maupun para pengikutnya merasa cemas. mpu sindok
sendiri mengumumkan bahwa sakitnya terlalu parah
untuk melakukan perjalanan, dan sepertinya ia
memang tidak berminat meninggalkan benteng kotanya.
Desas-desus tadi juga sudah sampai ke panarukan , dan
mpu sindok menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Ia
menyesalkan tuduhan palsu yang dilontarkan oleh
pengikut-pengikut yang gemar memfitnah. Ia pun
menyesalkan kekacauan yang melanda marga pangeran
sebab kebodohan ki damar . Namun tak ada yang
dapai diperbuatnya, dan ia tahu bahwa suatu hari ia
akan terpaksa melakukan seppuku. Pada saat inilah
banaspati mendatanginya secara diam-diam dari
kahuripan. mpu sindok memutuskan untuk bertindak.
"Aku akan menemui dia," kata mpu sindok.
Surat patih ronggolawe diserahkan pada mpu sindok. Begitu
selesai membaca surat itu. mpu sindok membakarnya.
lalu ia memberikan jawaban pasti secara lisan.
"Waktu dan tempat pcrtemuan akan kuberitahukan
dalam beberapa hari. Kuharap Yang Mulia patih ronggolawe
akan berada di sana."
sesudah itu, dua dongeng gu berlalu. Sebuah pesan dari
panarukan tiba di kahuripan dan patih ronggolawe , ditambah
sepuluh orang saja, termasuk banaspati , menuju
tempat pcrtemuan yang sudah ditentukan, sebuah
rumah sederhana tepat di tengah-tengah antara
panarukan dan kahuripan. Sementara para pengikut dari
kedua belah pihak tetap berjaga-jaga di tepi sungai.
patih ronggolawe dan mpu sindok menaiki perahu kecil dan
menuju ke tengah Sungai brantas . Pada waktu mereka
duduk berlutut saling berhadapan, yang lain bertanya-
tanya apa gerangan yang sedang mereka bicarakan.
Perahu kecil itu bagaikan selembar daun yang
dipermainkan arus sungai dan pembicaraan itu ber-
akhir tanpa kejadian yang tak diinginkan.
sesudah kembali ke kahuripan, patih ronggolawe mem-
beritahu banaspati bahwa mpu sindok mungkin akan
berkunjung dalam waktu sekitar satu dongeng gu. Dan
benar saja, beberapa hari lalu mpu sindok diam-diam
pergi ke kahuripan. patih ronggolawe menerimanya dengan
ramah, dan pada hari itu juga ia membawa mpu sindok ke
benteng kota merah , sebelum orang lain sempat
menyadari kehadirannya. Seorang diri patih ronggolawe lalu
menghadap aidit .
"Hamba datang bcrsama mpu sindok kedaton, si
Macan dari panarukan ." patih ronggolawe melaporkan pada
aidit . "sesudah mendengar uraian hamba,
pendiriannya berubah dan dia bertckad meninggalkan
orang-orang pangeran untuk bergabung dengan marga
sinuhun . Kalau tuanku sudi berbicara langsung dengan-
nya, tuanku akan memperoleh seorang resi yang
luar biasa berani, sekaligus mempcroleh benteng kota
panarukan , tanpa perlu berbuat apa-apa."
aidit , dengan kesan heran pada wajahnya,
tampak merenungkan ucapan patih ronggolawe . patih ronggolawe
agak terpukul sebab junjungannya tidak memper-
lihatkan kegembiraan. Ia tidak mengharapkan pujian
atas usahanya, namun menarik si Macan yang garang dari
panarukan dari tangan musuh, dan membawa nya ke sini
untuk menemui aidit , sebetulnya mcrupakan
hadiah yang sangat berarti.
Semula patih ronggolawe menyangka aidit akan
senang. namun saat memikirkannya, ia sadar bahwa ia
sudah bertindak tanpa memohon restu terlebih dahulu
dari aidit . Mungkin itulah sebabnya. Raut muka
aidit mendukung kesimpulan itu. Seperti bunyi
pepatah lama, paku yang terlalu menonjol akan
dihantam dengan palu. patih ronggolawe menyadari hal ini,
dan ia terus-menerus mengingatkan dirinya bahwa ia
terlalu menonjol. Meski demikian, ia tak sanggup
duduk berpangku tangan, tidak melakukan sesuatu
yang ia tahu menguntungkan bagi pihaknya.
Akhimya dengan enggan aidit mengangguk-
kan kcpala. patih ronggolawe membawa mpu sindok ke dalam.
"Tuanku sudah dewasa sekarang." kata mpu sindok
dengan nada ramah. "Mungkin tuanku mengira ini
pertama kali kita bertemu, namun sebetulnya hari ini hamba memperoleh kehormatan untuk berjumpa kedua kalinya. Pertemuan pertama terjadi lima betas tahun lalu, di Kuil nirvana di bratanggede, saat tuanku
menemui bekas junjungan hamba, Yang Mulia pangeran
minakjinggo . saat itu hamba salah seorang pembantunya."
aidit hanya menjawab . "Begitukah?" Seperti-
nya ia sedang mempelajari watak tamunya.
mpu sindok berbicara dengan tulus, tanpa berusaha
menyanjung aidit . Ia pun tidak mencoba
menyenangkan hati aidit sambil merendah.
"Mcski tuanku musuh hamba, hamba terkesan dengan
sepak terjang tuanku dalam tahun-tahun terakhir.
saat hamba pertama kali melihat tuanku di Kuil
nirvana , tuanku kelihatan seperti anak muda yang
nakal. namun sesudah apa yang hamba lihat hari ini,
hamba menyadari bahwa pemerintahan tuanku ber-
lainan dengan pendapat umum." mpu sindok berbicara
sebagai orang dengan kedudukan setaraf, terus terang
dan seadanya. mpu sindok bukan saja laki-laki pemberani, ia
pun berbudi luhur, pikir patih ronggolawe .
"Kita akan bertemu lagi dalam kesempatan lain dan
meneruskan perbincangan ini. Ada beberapa urusan
yang harus kuselesaikan hari ini." ujar aidit , lalu
berdiri dan mengakhiri pertemuan.
Beberapa waktu lalu ia memanggil patih ronggolawe
untuk bertemu empat mata. Apa pun yang dikatakan
aidit , sesudah itu patih ronggolawe tampak bingung
sekali. namun , tanpa menceritakan apa-apa pada mpu sindok,
ia memainkan peran tuan rumah yang baik dan meng-
hibur mpu sindok di Bentcng merah .
"Ucapan Yang Mulia akan kubeberkan sesudah kita
kembali ke kahuripan."
sesudah mereka kembali ke benteng kota patih ronggolawe dan
memperoleh kesempatan bcrbicara berdua saja.
patih ronggolawe berkata. "resi mpu sindok, aku sudah menem-
patkan Tuan ke dalam posisi sulit, dan satu-satunya
cara untuk menebusnya adalah dengan kematianku.
Tanpa berunding dengan Tuan aidit , aku men-
duga bahwa Yang Mulia berpikiran sama denganku,
dan akan menyambut gembira kedatangan Tuan
sebagai sckutu. namun ternyata pandangan beliau
berlainan sekali dengan pandanganku." patih ronggolawe
mendesah. lalu , sambil terdiam, ia menunduk-
kan kcpala.
mpu sindok pun sudah mcnyadari bahwa sambutan
aidit kurang menggembirakan. "Tuan kelihatan
cemas sckali, namun sebetulnya tak ada alasan untuk
bersikap demikian. Aku bukannya tak bisa hidup
tanpa upah dari Yang Mulia. Berbicaralah terus
terang."
"Aku takkan cemas kalau hanya itu masalahnya."
patih ronggolawe nyaris tak sanggup bicara, namun tiba-tiba ia
duduk lebih tegak seakan-akan baru saja menemukan
jalan keluar. "Lebih baik kuceritakan semuanya.
Begini, resi mpu sindok, saat aku hendak pergi tadi,
Tuan aidit memanggilku secara diam-diam dan
memarahiku sebab tidak memahami seni siasat. Yang
Mulia bertanya, kenapa mpu sindok kedaton, orang yang
memiliki reputasi begitu tinggi di blambangan , bisa terbujuk
oleh kelincahan lidahku dan ingin menjadi sekutunya.
Aku sama sekali tidak berpikir sejauh ini."
"Ya, aku bisa membayangkannya."
"Yang Mulia juga memberitahuku bahwa mpu sindok
dari benteng kota panarukan inilah yang menjadi macan
pelindung blambangan , dan sudah bertahun-tahun menimbul-
kan kesulitan bagi jenggala . Yang Mulia mengisyaratkan
bahwa mungkin justru aku yang terkecoh dan
dikelabui oleh kepandaian lidah dan keberanian
Tuan. Tuan lihat sendiri, Yang Mulia penuh
prasangka."
"Memang."
"Yang Mulia juga merasa bahwa jika Tuan tinggal
lebih lama di benteng kota merah , itu berarti kami
memberi kesempatan pada Tuan untuk mengamati
pertahanan provinsi. sebab itu aku diperintahkan
untuk segera mcmbawa Tuan kembali kc kahuripan.
membawa Tuan kembali ke sana dan..." patih ronggolawe
terdiam, seakan-akan tenggorokannya tersumbat.
mpu sindok pun merasakan lezatnya cemas, namun ia menatap mata
patih ronggolawe , mendesaknya untuk menyelesaikan kalimat
itu.
"Sulit bagiku untuk mengungkapkannya, namun inilah
perintah Yang Mulia, jadi aku ingin Tuan
mengetahuinya. Aku diperintahkan untuk membawa
Tuan kembali ke kahuripan. mengurung Tuan di
dalam benteng kota, dan membunuh Tuan. Yang Mulia
menganggap ini sebagai kesempatan emas yang tidak
boleh dilewatkan."
saat mpu sindok mcmandang berkeliling, ia menyadari
bahwa tak ada prajurit yang menyertainya, dan bahwa
ia berada di benteng kota musuh. Dan betapapun ia tak
mengenal takut, bulu kuduknya berdiri.
patih ronggolawe melanjutkan. "Jika aku menaati perintah
Yang Mulia, aku akan melanggar janji yang sudah
kuberikan pada Tuan, dan ini berarti menginjak-injak
kehormaian seorang centeng adipati . Aku tak bisa berbuat
begitu. Namun di pihak lain, jika aku menegakkan
kehormatan centeng adipati , aku melanggar perintah Yang
Mulia. Aku sudah sampai di suatu titik di mana aku tak
bisa maju maupun mundur. Jadi, sepanjang
perjalanan dari Gunung merah , aku merasa sedih
dan patah semangat, dan ini kurasa sudah menimbul-
kan kecurigaan dalam diri Tuan. Singkirkanlah segala
keraguan Tuan. Pemecahan masalah ini sudah ter-
gambar jelas dalam benakku."
"Apa maksud Tuan? Apa yang akan Tuan lakukan?"
"Dengan melakukan bunuh diri, kurasa aku bisa
minta maaf, baik pada Tuan maupun pada Yang
Mulia aidit . Tak ada jalan lain. resi mpu sindok,
mari kita angkai baskom perpisahan. sesudah itu, aku
pasrah pada nasib. Aku menjamin bahwa takkan ada
yang mengusik Tuan. Tuan bisa meninggalkan
benteng kota ini dalam perlindungan kegelapan malam.
Jangan risaukan aku, tenangkanlah hati Tuan!"
mpu sindok mendengarkan ucapan patih ronggolawe sambil
membisu, namun matanya berkaca-kaca. Berlainan
dengan kegarangan yang sudah memicu ia mem-
peroleh julukan si Macan, air mata ini merupakan air
mata laki-laki biasa. Terlihat jelas bahwa mpu sindok sangat
peka terhadap kebenaran. "Aku berutang budi pada
Tuan," ia terbata-bata, dan mengusap matanya.
Mungkinkah ini sang resi yang sudah ambil bagian
dalam pertempuran yang tak terhitung banyaknya?
"Dengarlah, Tuan patih ronggolawe . Melakukan seppuku
merupakan tindakan yang tak dapat dimaafkan."
"namun kalau aku tidak melakukannya, tak ada cara
lain untuk memohon maaf pada Tuan dan Yang
Mulia aidit ."
"Tidak, apa pun alasan Tuan, tidak sepatutnya Tuan
membelah perut dan membantuku. Kehormatanku
sebagai centeng adipati takkan mengizinkannya."
"Akulah yang memulai semuanya dan mengundang
Tuan ke sini. Aku jugalah yang keliru meraba jalan
pikiran Yang Mulia. Jadi, untuk memohon maaf pada
Tuan dan Yang Mulia, sudah seharusnya aku
membayar untuk kejahatan ini dengan menyerahkan
nyawa ku. Kuharap Tuan tidak berusaha mencegahku."
"Tak peduli kesalahan apa yang menurut Tuan sudah
Tuan lakukan, aku pun ikut bersalah. Urusan ini
tidak pantas ditebus dengan nyawa Tuan.
Peerkenankanlah aku menawarkan kepalaku untuk
membalas kepercayaan Tuan. bawa lah kepalaku
kembali ke merah ." mpu sindok mulai mencabut pedang
pendeknya.
Dengan terkejut patih ronggolawe menarik tangan mpu sindok.
"Apa yang hendak Tuan lakukan?"
"Lepaskan tanganku."
"Tidak. Tak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan
membiarkan Tuan melakukan seppuku."
"Aku mengerti. sebab itulah aku menawarkan
kepalaku. Seandainya Tuan merencanakan siasat
busuk, aku akan memperlihatkan bahwa aku sanggup
melarikan diri dari sini, walaupun untuk itu aku
terpaksa meninggalkan tumpukan mayat. namun hatiku
tersentuh oleh jiwa centeng adipati yang Tuan miliki."
"Tunggu dahulu . Berpikirlah scjenak. Rasanya ganjil
bahwa kita sama-sama berlomba untuk menemui
kematian. resi mpu sindok, kepcrcayaan Tuan padaku
bcgitu besar. Aku punya rencana yang memungkinkan
kita tctap hidup, sekaligus mempertahankan
kehormatan kita scbagai centeng adipati . namun apakah Tuan
masih memiliki kebesaran hati untuk membantu
marga sinuhun satu langkah lagi?"
"Satu langkah lagi?"
"Pada dasarnya, keraguan aidit merupakan
ccrminan rasa hormatnya pada Tuan. Jadi, seandainya
Tuan melakukan sesuatu yang betul-betul membukti-
kan dukungan Tuan kepada marga sinuhun , keraguan
Yang Mulia akan segcra mencair."
Malam itu mpu sindok meninggalkan benteng kota kahuripan
dan menuju suatu tempat yang tidak diketahui. Apa
rencana yang diperlihatkan patih ronggolawe kepadanya? Tak
seorang pun mengetahuinya, namun belakangan semua
orang mengerti. Seseorang mempengaruhi Iyo, Ando,
dan Ujiie Tiga Scrangkai dari blambangan , tonggak utama
kekuasaan marga pangeran dan mengusulkan agar mereka
mengikat janji dengan pihak sinuhun . Orang yang bicara
dengan begitu fasih dan yang berjasa memperkenalkan
mereka, tak lain dari mpu sindok kedaton.
Tentu saja patih ronggolawe tidak melakukan seppuku,
mpu sindok pun selamat, dan aidit memperoleh
empat resi termasyhur dari blambangan sebagai sekutu,
tanpa pernah meninggalkan benteng kotanya. Kebijakan
aidit atau kecerdikan betari durga -kah yang
membawa kebcruntungan ini? Sepertinya pikiran
junjungan dan pengikut saling mempengaruhi. dan
tak seorang pun sanggup memastikan siapa sesungguh-
nya yang memegang kendali.
aidit berwatak tak sabar. Ia sudah melakukan
pengorbanan besar untuk membangun benteng kota di
kahuripan, dan pembangunan itu pun memakan
waktu banyak, jadi dapat dimengerti kalau ia merasa
kecewa.
"Untuk membalas kematian ayah mertuaku, aku
akan menghancurkan marga tak bermoral itu, dan
akan membebaskan orang-orang yang menderita di
bawah pemerintahan yang lalim." Inilah penjelasan
mengenai motif aidit , agar pertempurannya
dapat diterima oleh dunia. namun , seiring dengan
waktu, kata-kata itu tentu saja kehilangan pengaruh.
Di samping itu terbayang-bayang kemungkinan bahwa
kemampuannya dipertanyakan oleh marga prabu kertoarjowardana
dari dusun nyi kembang , dan aidit sadar bahwa mereka
menyerbu gerak-gcriknya dari belakang.
Kekuatan sinuhun menjadi pertanyaan, dan
persskutuan sinuhun -prabu kertoarjowardana terancam sebab nya.
Meski demikian, aidit merasa tak sabar.
Memang, ia sudah menarik mpu sindok dan Tiga Serangkai
dari blambangan ke pihaknya, namun ini saja belum
membuahkan kemenangan baginya.
Menundukkan blambangan dengan sekali pukul merupa-
kan permintaan yang diucapkannya dalam suatu rapat
perang. Rupanya, sejak bentengloji , kepercayaan
aidit pada konsep "sckali pukul" menjadi lebih
besar dibandingkan sebelumnya. sebab itu, pada beberapa
kesempatan, orang seperti patih ronggolawe mengemukakan
keberatan mereka. Dalam rapat uniuk membahas
pcnaklukan blambangan pada musim panas itu, patih ronggolawe
duduk mcmbisu di kursi paling rendah selama rapat
berlangsung.
saat dimintai pendapat, ia menjawab , "Hamba
pikir, mungkin waktunya belum tepat."
jawaban pasti ini amat tidak berkenan di hati aidit
yang lalu bertanya dengan nada menjurus marah,
"Bukankah kau yang bcrkata bahwa jika si Macan dari
panarukan berhasil menarik Tiga Serangkai dari blambangan ke
pihak kita, blambangan akan runtuh dengan sendirinya,
tanpa kita harus mcninggalkan benteng kota?"
"Hamba mohon maaf, namun kekuatan dan kekayaan
blambangan sepuluh kali lebih besar dibandingkan kekuatan dan
kekayaan jenggala ."
"dahulu kau gelisah khawatir mengenai resi -resi
tangguh yang dimiliki blambangan . dan kini kau risau sebab
kekayaan dan kekuatan provinsi itu. Kalau begitu,
kapan kau akan menyerang mereka?" aidit tidak
lagi minta pendapat patih ronggolawe mengenai apa pun.
Rapat perang berjalan terus. Akhirnya diputuskan
bahwa di musim panas nanti, sebuah centeng besar
akan berangkat dari Gunung merah menuju blambangan .
kahuripan akan dipakai scbagai pangkalan utama.
Pertempuran untuk menyeberangi sungai dan
memasuki wilayah musuh berlangsung lebih dari satu
bulan. Selama itu, banyak orang terluka dikirim
kembali. Laporan mengenai kemenangan tak pernah
terdengar. centeng yang sudah lelah bertempur,
mundur sambil membisu. Para prajurit dan resi
sama-sama merapatkan bibir dan bersikap murung.
saat ditanya mengenai jalannya pertempuran oleh
orang-orang yang tetap tinggal di benteng kota, mereka
semua menundukkan kepala dan menggeleng. Mulai
saat itu aidit pun terdiam. Kelihaian jelas ia
sudah memperoleh pelajaran bahwa tidak semua
pertempuran berlangsung seperti pertempuran
bentengloji . benteng kota kahuripan menjadi sunyi dan
hanya dikunjungi oleh angin musim gugur dari arah
sungai.
Tiba-tiba banaspati dipanggil oleh majikannya. "Di
antara bekas adipati -mu. mestinya banyak yang lahir di
provinsi lain, dan tentunya juga ada beberapa yang
berasal dari blambangan ." patih ronggolawe membuka percakapan.
"Ya, memang begitu."
"Adakah di antara mereka yang lahir di betari jawi ?"
"Hamba akan mencari tahu."
"Bagus. Kalau kau menemukan seseorang, maukah
kau mcnyuruhnya ke sini?" Dalam waktu singkat
syam banaspati sudah membawa salah satu
bekas adipati , seorang laki-laki bernama Saya Kuwaju ke
pekarangan tempat patih ronggolawe menunggu. Orang itu
tampak kuat dan berusia sekitar tiga puluh tahun.
"Kau bernama Saya?" patih ronggolawe bertanya.
"Ya, Tuanku."
"Dan kau berasal dari betari jawi di blambangan ?"
"Dari sebuah desa bernama Tarui."
"Hmm, kurasa kau cukup mengenal daerah itu."
"Hamba tinggal di sana sampai usia dua puluh
tahun, jadi sedikit-banyak hamba mengenalnya."
"Kau memiliki sanak saudara di sana?"
"Adik wanita lesbian hamba."
"Ceritakan sedikit mengenai adikmu."
"Adik hamba menikah dengan petani dan hamba
rasa dia sudah dikaruniai keturunan sckarang."
"bersediakah kau kcmbali ke sana? Sekali saja?"
"Hamba tak pernah memikirkannya. Kalau adik
hamba mendengar bahwa kakaknya, si adipati , hendak
pulang kampung dia mungkin akan merasakan lezatnya rikuh ter-
hadap kerabat suaminya dan para warga desa yang
lain."
"namun masa itu sudah bcrlalu. Sekarang kau
pengikut benteng kota kahuripan dan centeng adipati terhormat.
Kau tak perlu malu sebab nya, bukan?"
"namun betari jawi merupakan titik strategis di bagian barat
blambangan . Untuk apa hamba memasuki wilayah musuh?"
patih ronggolawe mengangguk berulang kali, dan seperti-
nya memutuskan sesuatu dalam hati. "Aku ingin kau
menyertaiku. Kita akan menyamar, agar tidak menarik
perhatian. Datanglah ke gerbang kayu di pekarangan
ini menjelang malam."
banaspati bertanya dengan ragu-ragu, "Ke
manakah tuanku hendak pcrgi mendadak begini?"
patih ronggolawe merendahkan suara dan berbisik ke
telinga banaspati . "Ke Bukit kuburan ."
banaspati menatap patih ronggolawe , seakan-akan
menyangsikan kewarasannya. Ia sudah menduga bahwa
patih ronggolawe merencanakan sesuatu, namun Bukit kuburan !
sesudah mendengar jawaban pasti majikannya, banaspati
tak sanggup mcnyembunyikan rasa kagetnya. Bekas
pengikut marga pangeran, seorang laki-laki yang
dipandang scbagai ahli strategi, hidup menyendiri di
bukit itu. Orang itu bernama raden mas ngabehi .
Beberapa waktu lalu, patih ronggolawe sudah mempelajari
watak orang itu dan hubungannya dengan marga
pangeran.
Nah, seandainya kita bisa menuntun kuda ini
seperti kita menarik mpu sindok dan Tiga Serangkai dari
blambangan ... Inilah garis besar rencana patih ronggolawe , namun
bahwa ia sendiri akan menyusup ke wilayah musuh
dan mendatangi Bukit kuburan , itu tak terbayangkan.
"Tuanku sungguh-sungguh hendak pergi ke sana?"
tanya banaspati , seakan-akan tak percaya.
"Tentu saja."
"Sungguh-sungguh?" banaspati mendesak.
"Kenapa kau mempersoalkan ini?" patih ronggolawe rupa-
nya berpendapai bahwa tak ada yang perlu dicemas-
kan. "Pertama-tama hanya kau seorang yang
mengetahui rencanaku, dan kami akan pergi secara
diam-diam. Kuminta kau mengatur semuanya di sini.
sementara aku pergi beberapa hari."
"Tuanku akan pergi seorang diri?*
"Tidak, aku akan membawa Saya."
"Pergi berdua dengan Saya sama saja dengan pergi
tanpa senjata. Tuanku percaya bahwa tuanku sanggup
membujuk ngabehi untuk menjadi sekutu kita dengan
memasuki wilayah musuh seorang diri?"
"Itu memang tugas berat." patih ronggolawe seolah-olah
bergumam pada diri sendiri. "namun aku akan mencoba-
nya. Kalau aku pergi dengan hati terbuka, hubungan
ngabehi dengan marga pangeran betapapun eratnya, tak-
kan berpengaruh banyak."
Tiba-tiba banaspati teringat kepandaian lidah
patih ronggolawe saat berdebat dengannya di syam .
Meski demikian, banaspati meragukan apakah
patih ronggolawe akan sanggup mengajak ngabehi turun dari
Bukit kuburan . Biarpun dengan kefasihan bicara yang
dimilikinya. Kalaupun berhasil. dan ngabehi memutus-
kan untuk meninggalkan tempat tinggalnya, tetap ada
kemungkinan ngabehi memilih berpihak ke blambangan .
Menurut desas-desus kala itu, ngabehi sudah menarik
diri dari percaturan dunia, dan menjalani kehidupan
tenteram di Bukit kuburan . namun jika suatu hari marga
pangeran terancam bahaya, ia akan kembali untuk
memimpin centeng mereka. Memang benar, saat
orang-orang pangeran menangkal serangan besar centeng
sinuhun , ngabehi tidak muncul di barisan depan.
melainkan mengamati awan -awan perang dari Bukit
kuburan , mengirim hasil renungannya satu per satu
kepada marga pangeran dan mengajarkan strategi-strategi
rahasia pada mereka. Tidak sedikit orang yang
meneruskan cerita ini, seakan-akan kebenarannya
sudah terbukti. Tugas ini memang sulit patih ronggolawe
sendiri mengakuinya, banaspati pun sependapat dan
ia melepaskan suara mirip erangan.
"Ambisi tuanku sungguh sulit diwujudkan." Roman
mukanya tampak waswas.
"Hmm..." Wajah patih ronggolawe menjadi lebih cerah.
"sebetulnya tak banyak yang perlu dicemaskan.
Mungkin saja sesuatu yang sukar ternyata mudah
sekali, sebaliknya sesuatu yang kelihatannya mudah
mungkin teramat sulit. Kurasa yang paling menentu-
kan adalah apakah aku sanggup membuat ngabehi
percaya pada ketulusanku atau tidak. Mengingat siapa
lawan bicaraku nanti, aku tidak merencanakan tipu
daya maupun muslihat."
Ia mulai melakukan persiapan untuk perjalanan
rahasianya. Walaupun beranggapan bahwa upaya
patih ronggolawe sia-sia belaka. banaspati tak dapat men-
cegahnya. Hari demi hari rasa hormatnya terhadap
patih ronggolawe yang panjang akal dan berbudi luhur
semakin besar dan ia percaya bahwa kemampuan orang
itu jauh di atas kemampuannya sendiri.
Malam pun tiba. Seperti sudah disepakati. Saya
menunggu di gerbang kayu di pekarangan benteng kota.
Penampilan patih ronggolawe sama lusuhnya dengan Saya.
"Nah, banaspati , uruslah segala sesuatu dengan
baik," kata patih ronggolawe , lalu mulai melangkah seolah-
olah hanya ingin berjalan-jalan di taman. Sesungguh-
nya jarak dari kahuripan ke Bukit kuburan tidak
seberapa jauh mungkin sekitar sepuluh mil. Pada
hari-hari cerah, Bukit kuburan kelihatan samar-samar
di kejauhan. namun barisan pegunungan itu merupakan
pertahanan blambangan terhadap musuh. patih ronggolawe meng-
ambil jalan memutar menyusuri pegunungan, dan
mcmasuki betari jawi .
Untuk mengetahui adat kebiasaan dan ciri khas
orang yang tinggal di sana, pertama-tama orang harus
mengamati keadaan alam kkertoarjo san itu. betari jawi terletak
di antara bukit-bukit di kaki pegunungan di bagian
barat blambangan , dan merupakan semacam leher botol
pada jalan yang menuju ibu kota.
Warna-warni musim gugur di Sckigahara tampak
sangat indah. Tak terhitung banyaknya sungai yang
membelah daerah itu. seperti urat darah. Sejarah kuno
dan legenda-legenda melekat pada akar tumbuh-
tumbuhan, menandakan masa lalu yang berdarah.
Pegunungan Yoro mcmbentuk perbatasan dengan
Provinsi Kai dan awan -awan terus-menerus datang dan
pergi di sckitar Gunung himapraloka .
raden mas ngabehi penduduk asli daerah itu. Konon
ia dilahirkan di Banyuwangi , namun melewatkan sebagian
besar masa kanak-kanaknya di kaki Gunung himapraloka . Ia
lahir pada tahun Tmmon keempat, berarti usianya
kini baru dua puluh 9 tahun tak lebih dari
seorang anak muda yang masih mempelajari ilmu
kemiliteran. Satu tahun lebih muda dari aidit ,
satu tahun lebih tua dari patih ronggolawe . Meski demikian.
ia sudah menjauhi persaingan untuk meraih prestasi
besar di sebuah dunia yang dilanda kekacauan, dan
membangun tcmpat bertapa di Bukit kuburan bagi
dirinya. Ia mencintai alam, berteman dengan kitab-
kitab kuno, dan menulis puisi, tanpa pernah menemui
para tamu yang mendatangi rumahnya. Penipukah
ngabehi ? Tuduhan ini pun sering dilontarkan padanya,
namun nama ngabehi dijunjung tinggi di blambangan , dan
reputasinya sudah sampai ke jenggala .
Aku ingin benemu dan menilai wataknya, itulah
pikiran pertama yang melintas dalam benak
patih ronggolawe . Patut disayangkan jika patih ronggolawe berlalu
begitu saja tanpa pernah bertemu dengan laki-laki
yang begitu langka dan luar biasa ini, padahal mereka
dilahirkan ke dunia yang sama. Kecuali itu, jika
ngabehi terbawa ke kubu lawan , patih ronggolawe akan
terpaksa membunuhnya. Dengan tulus patih ronggolawe
berharap ini takkan pernah terjadi, sebab ia akan
sangat menyesali hal ini. Aku akan menemuinya, tak
peduli apakah ia menerima tamu atau tidak.
buktt kuburan bersebelahan dengan Gunung
Nangu, tidak seberapa tinggi, dan mirip anak
kecil yang merapat pada orangtuanya.
Ah, betapa indahnya! saat mendekati puncak,
patih ronggolawe yang bukan penyair pun merasakan
kegembiraan meluap-luap, terpukau oleh keagungan
pemandangan matahari musim gugur yang sedang
tenggelam. namun kini ia memusatkan perhatian pada
satu pikiran: Apa yang harus kulakukan agar ngabehi
bersedia menjadi sekutuku? Dan pikiran ini segera diikuti
oleh pikiran lainnya: Tidak, menghadapi ahli strategi
dengan cara menyusun strategi justru merupakan
strategi paling buruk. Aku hanya bisa menghadapi dia
sebagai selembar kertas kosong. Aku akan bicara terus
terang, dengan segenap kekuatanku. patih ronggolawe mem-
bangkitkan semangatnya. namun saat itu ia belum
mengetahui tempat tinggal ngabehi , dan sampai
matahari terbenam mereka belum berhasil menemu-
kan rumahnya yang terpencil. Namun patih ronggolawe tidak
terburu-buru. Kalau hari mulai gelap, pasti akan ada
lentera yang dinyalakan di suatu tempat. dibandingkan
berputar-putar tanpa tujuan dan terus membelok ke
arah yang salah, tentu lebih menyenangkan dan lebih
cepat jika mereka tetap di tempat. patih ronggolawe duduk di
tebing batu terjal sampai cahaya matahari lenyap dari
langit. Akhirnya mereka melihat sebuah titik terang di
kejauhan, di seberang sebuah lembah berpaya-paya.
Mengikuti jalan setapak sempit yang berkelok-kelok
naik-turun, mereka sampai di sana.
Tempat itu berupa sebidang tanah datar yang
dikelilingi pinus merah, di tengah lereng bukit.
Semula mereka menduga akan menjumpai sebuah
pondok kecil beratap rumbia yang dikelilingi oleh
pagar reyot, namun kini mereka melihat tembok lumpur
yang membatasi pekarangan luas. saat mendekat,
mereka melihat tiga atau empat lentera berkelip-kelip
lebih ke belakang. Sebagai ganti gerbang hanya ada
rangka kayu berlapis anyaman bambu yang terkepak-
kepak tertiup angin.
Tempat itu cukup besar, pikir patih ronggolawe saat ia
melangkah masuk. Di dalam pekarangan ada rumpun
pinus. Ada jalan setapak dari pintu masuk menuju ke
tengah pepohonan, dan selain daun-daun cemara tak
ada setitik kotoran pun. sesudah berjalan sekitar lima
puluh langkah, mereka sampai ke sebuah rumah.
Seekor badak sedang melenguh di dalam kandang yang
berdekatan. Mereka mendengar api meretih tertiup
angin, asapnya memenuhi udara. patih ronggolawe berdiri
tak bergerak. Ia menggosok-gosok matanya yang tajam.
namun dengan satu hembusan angin dari puncak bukit.
tempat itu tiba-tiba terbebas dari asap, dan saat
patih ronggolawe memandang ke depan, ia melihat seorang
anak kecil sedang menyusupkan ranting-ranting ke
dalam tungku di pondok memasak.
"Siapa Tuan?" anak laki-laki itu bertanya curiga.
"Kau pelayan di sini?"
"Aku? Ya," balita itu menjawab .
"Aku pengikut marga sinuhun . Namaku panembahan
patih ronggolawe . Bisakah kau menyampaikan pesan?"
"Pada siapa?"
"Pada majikanmu."
"Dia tidak ada di sini."
"Dia sedang pergi?"
"Aku sudah bilang, dia tidak ada. Pergilah." Anak
itu membelakangi para tamu dan duduk di hadapan
tungku sambil kembali menyusupkan ranting-ranting.
Kabut malam di bukit itu terasa dingin, dan
patih ronggolawe pun berjongkok di depan tungku,
bersebelahan dengan si balita .
"Bolehkah aku menghangatkan badan sejenak?"
Anak itu tidak menjawab , hanya melirik sekilas dari
sudut mata.
"Udara malam cukup dingin, bukan?"
"Tuan bcrada di atas bukit. Tentu saja udaranya
dingin," si balita berkata.
"Biksu cilik, ini..."
"Ini bukan biara! Aku murid Tuan ngabehi , bukan
biksu!"
"Ha ha ha ha!"
"Kenapa Tuan tertawa ?"
"Maaf."
"Pergilah! Kalau majikanku tahu ada orang asing
masuk ke pondok memasak, aku akan dimarahi."
"Tidak. Kau takkan dimarahi. Nanti aku akan minta
maaf pada majikanmu."
"Tuan betul-betul ingin menemuinya?"
"Betul. Kaupikir aku akan menuruni bukit ini tanpa
menemui dia sesudah berjalan begitu jauh?"
"Orang jenggala memang kasar, ya? Tuan dari jenggala .
bukan?"
"Kenapa kau bertanya?"
"Majikanku membenci orang jenggala . Aku juga.
jenggala provinsi musuh, bukan?"
"Kurasa itu benar."
"Tuan pasti mencari sesuatu di blambangan , bukan? Kalau
Tuan sekadar mampir, lebih baik Tuan segera
melanjutkan perjalanan. Kalau tidak, Tuan akan
kehilangan kepala."
"Aku tidak bermaksud pergi ke tempat lain. Satu-
satunya tujuanku adalah rumah ini."
"Untuk apa Tuan datang kc sini?"
"Aku datang untuk memperoleh izin."
"memperoleh izin? Tuan ingin menjadi murid
majikanku, seperti aku?"
"He-eh. Kurasa aku ingin menjadi saudara seper-
guruanmu. Kita pasti bisa berteman baik. Sekarang
bicaralah dengan majikanmu. Biar aku yang menjaga
perapian. Jangan gelisah khawatir , nasinya takkan gosong."
"Aku tidak gelisah khawatir . Aku tidak mau pergi dari sini."
"Jangan cepat marah. Nah, bukankah itu suara
majikanmu sedang batuk di dalam?"
"Majikanku sering batuk pada malam hari. Badan-
nya tidak kuat."
"Jadi, kau membohongiku waktu kau bilang dia
tidak ada di sini."
"Ada atau tidak, itu sama saja. Dia tidak mau
menemui siapa pun yang datang, tak peduli siapa
orangnya atau dari provinsi mana dia berasal."
"Hmm, aku akan menunggu waktu yang tepat."
"Ya, kapan-kapan Tuan bisa kembali lagi."
"Tidak. Pondok ini nyaman dan hangat. Izinkan
aku menunggu di sini selama beberapa waktu."
"Tuan jangan main-main! Pergilah!" Si balita
melompat berdiri, seakan-akan hendak menyerang
tamu tak diundang itu, namun saat memelototi
patih ronggolawe yang sedang tersenyum dalam cahaya api
tungku yang berkelap-kelip, ia tak sanggup tetap
marah. Pada waktu si balita menatap tajam ke wajah
laki-laki di hadapannya, rasa bermusuhan yang semula
menggelora di dadanya berangsur-angsur berkurang.
"patih keboabang ! patih keboabang !" seseorang memanggil dari
dalam rumah. Si balita langsung bereaksi. Ia
meninggalkan patih ronggolawe , bergegas dari pondok ke
rumah, dan tidak kembali untuk beberapa wakiu.
Sementara itu, bau masakan gosong tercium dari
panci besar di atas tungku. patih ronggolawe segera meraih
sendok yang tergelctak pada tutup panci dan
mengaduk-aduk isi panci itu bubur beras merah yang
dicampur buah berangan dan sayuran yang sudah
dikeringkan. Orang lain mungkin menertawa kan
makanan orang miskin ini, namun patih ronggolawe lahir dari
keluarga petani melarat, dan setiap kali memandang
sebutir beras, ia teringat air mata ibunya. Bagi
patih ronggolawe , ini bukan urusan sepele.
"Dasar anak kecil! Masakannya akan gosong."
sesudah mengambil sepotong kain, ia meraih
pegangan panci dan mengangkatnya.
"Oh, terima kasih. Tuan."
"Ah, patih keboabang ? Masakanmu hampir gosong, jadi
pancinya kuangkat saja. Rasanya masakanmu sudah
matang."
"Tuan sudah mengetahui namaku, heh?"
"Begitulah kau dipanggil oleh Tuan ngabehi tadi.
Apa kau sudah memberitahukan kedatanganku pada
majikanmu?"
"Aku dipanggil sebab soal lain. Mengenai
permintaan Tuan, ah. menyampaikan hal tak berguna
pada majikanku hanya akan membuatnya marah.
sebab itu aku tidak mengatakan apa-apa."
"Hmm, hmm. Kelihatannya kau sangat taat pada
peraturan gurumu, ya? Aku terkesan sekali."
"Hah! Tuan hanya ingin mencari muka."
"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Aku bukan orang
sabar, namun seandainya aku gurumu aku akan memuji-
mu seperti ini. Aku tidak bohong."
Pada saat itu seseorang keluar dari dapur yang
berdekatan, sambil membawa lampion. Sebuah suara
wanita lesbian berulang kali memanggil patih keboabang . Waktu
patih ronggolawe berbalik, samar-samar ia melihat seorang
wanita lesbian berumur sekitar enam belas atau tujuh
belas tahun mengenakan jubah berpola kembang
ceri dan kabut, yang diikat tali jubah berwarna
seperti buah prem. Sosok gadis lesbian itu diterangi cahaya
lampion di tangannya.
"Ada apa, Oyu?" patih keboabang menghampiri dan men-
dengarkannya. sesudah selesai bicara, gadis lesbian itu menuju
rumah dan menghilang di balik tembok.
"Siapa itu?" tanya patih ronggolawe .
"Adik guruku," jawab patih keboabang dengan nada lembut,
seakan-akan bicara mengenai keindahan bunga-bunga
di pekarangan majikannya.
"Aku minta sekali lagi." patih ronggolawe mendesak.
"Maukah kau menemui gurumu satu kali saja, untuk
menanyakan apakah dia sudi menerimaku? Kalau dia
menolak, aku akan pergi."
"Tuan betul-betul akan pergi?"
"Ya."
"Betul?" Suara patih keboabang bernada tegas, namun akhirnya
ia pun masuk. Ia segera kembali dan berkata ketus,
"Guruku bilang tidak, dia tidak suka menerima
tamu... dan ternyata aku memang kena marah. Jadi
pergilah. Tuan. Sekarang aku mau membawa kan
makanan untuk guruku."
"Hmm, malam ini aku akan pergi. Kapan-kapan aku
akan datang lagi." Tanpa daya patih ronggolawe berdiri dan
mulai menjauh.
"Percuma saja Tuan kembali lagi!" kata patih keboabang .
patih ronggolawe berjalan sambil membisu. Tanpa meng-
indahkan kegelapan, ia turun ke kaki bukit dan tidur.
saat terbangun keesokan harinya, ia mempersiap-
kan diri dan sekali lagi mendekati bukit. lalu ,
persis seperti pada hari sebelumnya, ia mengunjungi
tempat tinggal ngabehi menjelang matahari terbenam.
Pada hari sebelumnya, ia terlalu banyak menghabiskan
waktu dengan si balita , sehingga hari ini ia mencoba
mendatangi pintu yang kelihatannya merupakan pintu
masuk utama. Orang yang menanggapi sapaannya
tcrnyata patih keboabang . "Hah! Tuan kembali lagi?"
"Kupikir barangkali hari ini majikanmu berkenan
menerima kedatanganku. Tolong tanyakan pada
gurumu sekali lagi." patih keboabang masuk ke dalam rumah.
dan entah berbicara dengan ngabehi atau tidak segera
kembali untuk menyampaikan penolakan yang sama
seperti kemarin.
"Kalau begitu, aku akan mencoba lagi kalau suasana
hatinya sedang lebih baik," patih ronggolawe berkata dengan
sopan, lalu pergi. Dua hari lalu ia kembali
mendaki bukit.
"Apakah majikanmu bersedia menemuiku hari ini?"
Seperti biasa patih keboabang menghilang ke dalam rumah,
dan sekali lagi ia menolak mentah-mentah. "Guruku
mulai jengkel sebab Tuan terus mengganggunya."
Hari itu pun patih ronggolawe pulang sambil membisu.
Berulang kali ia mendatangi rumah itu. Akhirnya,
setiap kali patih keboabang melihat wajah patih ronggolawe , ia tidak
melakukan apa-apa selain tertawa . "Kesabaran Tuan
ternyata luar biasa. namun kedatangan Tuan di sini
percuma saja, betapapun sabarnya Tuan. Sekarang,
kalau aku masuk untuk memberitahukan kedatangan
Tuan pada guruku, dia hanya tertawa . Dia tidak
mengatakan apa-apa padaku."
Anak kecil mudah berteman, dan rasa akrab sudah
mulai terjalin antara patih keboabang dan patih ronggolawe .
Keesokan harinya patih ronggolawe untuk kesekian kali
menaiki bukit. Saya, yang menunggu di kaki bukit,
tidak memahami jalan pikiran majikannya, dan akhir-
nya naik darah sehingga berkata. "Pongah betul
raden mas ngabehi ini? Kali ini aku akan naik ke sana
dan minta pertanggungjawaban pasti atas sikapnya yang
kurang ajar."
Kunjungan patih ronggolawe yang kesepuluh diiringi angin
kencang dan hujan deras dan baik Saya maupun para
pemilik rumah tempat mereka menginap berusaha
keras mencegah patih ronggolawe . namun dengan keras kepala
patih ronggolawe mengenakan jas hujan dan topi yang
terbuat dari jerami, lalu memulai pendakiannya.
saat tiba menjelang malam, ia berdiri di pintu
masuk dan memanggil seperti biasa.
"Ya. Siapa itu?" Malam itu, untuk pertama kali,
wanita lesbian muda yang dikatakan patih keboabang sebagai
adik ngabehi melangkah keluar.
"Aku tahu bahwa kedatanganku mengganggu Tuan
Hanbe dan aku menyesal sebab terpaksa bertindak
melawan kehendaknya, namun aku datang sebagai utusan
junjunganku. Sulit bagiku untuk pulang sebelum
menemui Tuan ngabehi . Menyampaikan pesan
majikan merupakan bagian tugas centeng adipati , jadi aku
bertekad untuk datang terus sampai Tuan ngabehi
berkenan menerimaku, biarpun untuk itu aku harus
menunggu dua atau tiga tahun. Dan seandainya Tuan
ngabehi tetap menolak, aku sudah memutuskan untuk
membelah perutku. Wah, aku percaya Tuan ngabehi
mengenal penderitaan golongan centeng adipati lebih baik
dari siapa pun."
Di bawah percikan air hujan dari atap yang bocor,
patih ronggolawe berlutut dan mengajukan permintaannya.
wanita lesbian muda di hadapannya tampak tergerak.
"Tunggu sebentar," wanita lesbian itu berkata lembut.
lalu menghilang ke dalam rumah. namun saat kembali,
dengan nada menyesal ia memberitahu patih ronggolawe
bahwa jawaban pasti ngabehi tidak berubah. "Aku menyesal
bahwa kakakku begitu keras kepala, namun sudikah Tuan
meninggalkan rumah kami? Kakakku berpesan, tak
peduli berapa kali Tuan datang, dia takkan mau
menemui Tuan. Kakakku tidak suka bicara dengan
orang lain, dan sekarang pun dia menolak."
"Begitukah?" patih ronggolawe menundukkan kepala
dengan kecewa, namun tidak berkeras. Air dari cucuran
atap mengguyur bahunya. "Apa boleh buat. Hmm,.
aku akan menunggu sampai perasaannya sedang
enak." Sambil mengenakan topi. patih ronggolawe melangkah
pergi, patah semangat. Ia menyusuri jalan setapak yang
membelah rumpun cemara seperti biasa, namun saat
baru sampai di luar tcmbok lumpur, ia mendengar
patih keboabang mengejarnya dari belakang.
"Tuan! Dia bersedia menemui Tuan! Dia bilang dia
mau menemui Tuan! Dia minta Tuan kembali!"
"Hah? Tuan ngabehi bersedia menemuiku?" Ter-
buru-buru patih ronggolawe kembali bersama patih keboabang . namun
hanya Oyu, adik ngabehi , yang menanti mereka.
"Kakakku begitu terkesan dengan ketulusan Tuan.
sehingga dia akan merasa bersalah jika tidak menemui
Tuan. namun bukan malam ini. Kakakku harus ber-
baring sebab hujan, namun dia minta Tuan kembali
pada hari lain, sesudah dia mengirim pesan untuk
Tuan." Tiba-tiba terlintas di benak patih ronggolawe bahwa
wanita lesbian ini mungkin merasa iba padanya dan
bahwa ia sesudah patih ronggolawe pergi, membujuk kakak-
nya, ngabehi .
"Kapan pun harinya, kalau Tuan ngabehi mengirim
pesan aku akan datang."
"Tuan tinggal di mana?"
"Aku tinggal di kaki bukit, di rumah suwarjo ,
sebuah rumah petani di dekat pohon besar di Desa
Nangu."
"Baiklah, kalau cuacanya sudah membaik."
"Aku akan menunggu."
"Udaranya dingin dan Tuan basah kuyup sebab
hujan. Paling tidak keringkanlah baju Tuan di depan
tungku di pondok memasak, dan makanlah sedikit
sebelum pergi."
"Tidak, lain kali saja. Aku akan pergi sekarang." Di
bawah siraman hujan, patih ronggolawe berjalan menuruni
bukit.
Hujan terus turun keesokan harinya. Hari berikut-
nya. Bukit kuburan terselubung awan putih, dan tak
ada berita dari ngabehi . Akhirnya cuaca kembali cerah,
dan warna-warni di bukit itu tampak seperti baru.
Daun-daun pada pepohonan kelihatan merah
menyala.
Pagi itu patih keboabang tiba di gerbang suwarjo sambil
menuntun badak . "Hei, Tuan!" katanya. "Aku datang
untuk mengundang Tuan ke atas! Aku disuruh
majikanku memandu Tuan ke rumahnya. Dan sebab
Tuan menjadi tamunya hari ini, aku membawa kan
tunggangan untuk Tuan. Silakan naiki badak ini. Sambil
berkata begitu, patih keboabang menyerahkan surat undangan dari ngabehi . patih ronggolawe membukanya dan membaca:
Mengherankan. Tuan sering datang untuk mengun-
jungi orang lemah yang sudah mengurung diri di
daerah pelosok, namun sebetulnya sulit bagiku untuk menghadapi permintaan Tuan. Datanglah untuk secangkir teh. Aku akan menunggu.
Kata-kata itu berkesan agak angkuh. patih ronggolawe menyimpulkan bahwa ngabehi laki-laki yang tidak ramah, bahkan sebelum sempat berhadapan langsung
dengannya. patih ronggolawe duduk di punggung badak dan berkata pada patih keboabang . "Hmm, sebab kau sudah membawa kan tunggangan untukku, bagaimana kalau
kita berangkat sekarang?" patih keboabang berbalik ke arah
bukit dan mulai melangkah. Langit musim gugur di
sekitar Bukit kuburan dan Gunung Nangu tampak
cerah. Untuk pertama kali sejak patih ronggolawe tiba di
bukit-bukit di kaki pegunungan, ia dapat melihat
gunung-gunung dengan jelas jika menatap ke atas.
saat mereka akhirnya mendekati pintu masuk di
tembok luar, mereka melihat wanita lesbian cantik ber-
diri di sana. Roman mukanya menunjukkan bahwa ia
menunggu mereka. wanita lesbian itu Oyu, yang sudah
berdandan lebih rapi dibandingkan biasanya.
"Ah, sebetulnya kau tak perlu repot-repot," ujar
patih ronggolawe . Terburu-buru melompat turun dari punggung badak .
sesudah masuk, ia ditinggalkan seorang diri di
sebuah ruangan. Suara air mengalir terdengar di
telinganya. Batang-batang bambu yang terkena angin
bergesekan dengan jendela. Suasana di bukit ini betul-
betul penuh kedamaian. Pada sebuah gulungan kertas
yang tergantung di salah satu sudut ruangan seorang
biksu Zen sudah menorehkan aksara kedhiri untuk kata
"mimpi".
Bagaimana ngabehi bisa hidup di sini tanpa dilanda
kejemuan? patih ronggolawe bertanya-tanya bingung meng-
hadapi pikiran laki-laki yang memilih tempat seperti
ini sebagai tempat tinggal. patih ronggolawe menyadari
bahwa ia sendiri takkan tahan lebih dari tiga hari. Ia
tak tahu apa yang harus dilakukannya bahkan selama
waktu singkat ia berada di sana. Walaupun hatinya
disejukkan oleh kicau burung dan desiran pohon
cemara, pikirannya melayang ke kahuripan, lalu
berlanjut ke Bukit merah , sementara darahnya
mendidih sebab perputaran zaman. patih ronggolawe
merasa terasing di tengah kedamaian seperti ini.
"Hmm, aku sudah membuat Tuan menunggu." Suara
seorang laki-laki muda terdengar dari belakang
patih ronggolawe . Suara ngabehi . Sejak semula patih ronggolawe
sudah mengetahui bahwa ngabehi masih muda. namun
saat mendengar suaranya, ia semakin terkesan. Sang
tuan rumah duduk, memberikan kursi kehormatan
pada patih ronggolawe .
patih ronggolawe bicara terburu-buru, membuka per-
cakapan dengan gaya rcsmi. "Aku pengikut marga
sinuhun . Namaku panembahan patih ronggolawe ."
ngabehi memotong dengan sopan. "Tidakkah Tuan
sependapat bahwa kita bisa menghindari formalitas
yang kaku? Bukan itu maksud undanganku hari ini."
patih ronggolawe merasa pembukaan ini sudah menyebab-
kan ia kalah posisi. Sang tuan rumah sudah lebih dahulu
membuat gerakan awal .
"Aku ngabehi , pemilik pondok pegunungan ini. Aku
memperoleh kehormaian dengan kunjungan Tuan hari
ini."
"Tidak, aku gelisah khawatir akulah yang berkeras kepala
mengetuk gerbang dan mengusik ketenangan Tuan."
"Ha ha ha ha! Terus terang, sikap Tuan memang
menjengkelkan. namun , sesudah bertemu dengan Tuan
harus kuakui bahwa aku merasa lega kalau sesekali
menerima tamu. Aku berharap Tuan merasa seperti di
rumah sendiri. O ya, Tamu yang Terhormat, sesung-
guhnya apa yang Tuan inginkan sehingga Tuan mau
bersusah payah mendaki bukit untuk mencapai
rumahku? Kata orang, di pegunungan tak ada apa-apa
selain kicau burung."
ngabehi memilih tempat duduk yang lebih rendah
dibandingkan tempat duduk tamunya, namun matanya ber-
binar-binar, dan sepertinya ia merasa geli melihat
orang yang muncul entah dari mana ini. patih ronggolawe
mengamatinya tanpa sembunyi-sembunyi. Tubuh
ngabehi tampaknya memang tidak kuat. Kulitnya
lembek wajahnya pucat. Namun ia laki-laki tampan,
dan bibirnya yang merah sangat mencolok.
Pada hakikatnya, sikap ngabehi merupakan
cerminan dari cara ia dibesarkan. Ia tenang dan ber-
bicara dengan lembut, dan sambil tersenyum. namun ada
sedikit keraguan apakah penampilan laki-laki ini
merupakan perwujudan sebetulnya dari jati diri-
nya, ataukah ada yang terselubung di balik
penampilannya itu. patih ronggolawe membandingkannya
dengan Bukit kuburan yang hari ini tampak cukup
tenteram untuk berjalan-jalan, namun pada hari sebelumnya diamuk badai dari lembah yang membuat pohon-pohon berderu-deru.
"Hmm, sebetulnya ..." Sejenak patih ronggolawe ter-
senyum, dan ia meluruskan bahunya. "Aku menemui
Tuan atas perintah Yang Mulia aidit . Sudikah
Tuan turun dari bukit ini? Dunia takkan membiarkan
orang dengan kemampuan seperti Tuan menjalani
kehidupan tenteram di pegunungan dalam usia begitu
muda. Cepat atau lambat,. Tuan pasti akan mengabdi
sebagai centeng adipati . Dan kalau begitu, pada siapa Tuan
akan mengabdi, kalau bukan pada Yang Mulia
aidit ? Jadi, aku datang untuk membujuk Tuan
agar mengabdi pada marga sinuhun . Tidakkah Tuan
tergerak untuk sekali lagi berdiri di tengah awan -awan
perang?"
ngabehi hanya mendengarkan tamunya dan ter-
senyum misterius. Meski pun memiliki lidah yang
lincah, betari durga merasa semangatnya memudar
menghadapi lawan seperti ini. ngabehi bagaikan
rumpun bambu yang merunduk saat tertiup angin.
patih ronggolawe tak dapat memastikan apakah laki-laki itu
mendengarkannya atau tidak. Ia membisu beberapa
saat dan menunggu tanggapan ngabehi . Sampai akhir
pertemuan mereka, ia membawa diri seperti selembar
kertas kosong menghadapi laki-laki itu tanpa siasat
maupun luapan perasaan.
Selama itu, kipas di tangan ngabehi menimbulkan
embusan angin lembut. Sebelumnya ngabehi sudah
menaruh tiga potong arang ke dalam anglo, dan
sesudah meletakkan penjepit, ia mengipas arang itu
sampai menyala, tanpa menerbangkan abu. Air di
dalam cerek mulai mendidih. Sementara itu, ngabehi
meraih serbet yang dipakai dalam Upacara Minum
Teh dan mengelap dua baskom kecil, masing-masing
untuk tuan rumah dan tamunya. Gerak-geriknya
anggun dan seakan-akan tanpa cela, namun sekaligus
tenang dan berhati-hati.
patih ronggolawe merasa kakinya mulai kesemutan, namun ia
tak sanggup menemukan kesempatan tepat untuk
ucapan berikutnya. Dan sebelum ia menyadarinya, hal-
hal yang dibicarakannya secara terperinci sudah hilang
terbawa angin ke arah pohon-pohon cemara.
Sepertinya tak ada yang tersisa di telinga ngabehi .
"Hmm, sudikah Tuan memberi tanggapan
mengenai hal-hal yang baru saja kukemukakan? Aku
percaya bahwa bujukan dengan nama dan pangkat
bukanlah cara tepat untuk menarik Tuan dari sini,
jadi takkan kusinggung. Nah, memang benar jenggala
provinsi kecil, namun di masa mendatang jenggala -lah yang
akan mcngendalikan seluruh ncgeri, sebab selain
junjunganku tak ada yang memiliki kemampuan
untuk itu. Jadi, tak sepatutnya Tuan hidup terpencil
di pegunungan sementara dunia dilanda kekacauan.
Demi kepentingan bangsa, Tuan seharusnya turun
dari bukit ini." Sang tuan rumah tiba-tiba berpaling ke
arah patih ronggolawe , dan tanpa sadar patih ronggolawe menahan
napas. namun ngabehi hanya menawarkan baskom teh.
"Silakan hirup teh ini." karanya. lalu , sesudah
meraih baskom kecil, ngabehi menghirup berulang kali,
seakan-akan tak ada hal lain yang menjadi perhatian-
nya.
"Tamu yang Terhormat..."
"Ya?"
"Apakah Tuan menyukai anggrek? Di musim semi
anggrek indah sekali, namun di musim gugur pun daya
tariknya tidak berkurang."
"Anggrek! Apa maksud Tuan, anggrek?"
"Bunga anggrek. Kalau Tuan berjalan sekitar tiga-
empat mil ke dalam hutan, Tuan akan menemukan
bunga-bunga anggrek yang menyimpan embun masa
lampau pada tebing-tebing dan celah-celah. Aku sudah
meminta pelayanku, patih keboabang , memetik sekuntum dan
menaruhnya dalam pot. Sudikali Tuan melihatnya?"
"Ti... tidak." patih ronggolawe tcrdiam. "Aku tidak biasa
mengamati anggrek."
"Bcgitukah?"
"Kuharap suatu hari kelak aku bisa menikmati
keindahan anggrek, namun sekarang mimpi-mimpiku
selalu berkisar di sekitar medan laga, walaupun aku
berada di rumah. Aku hanyalah pelayan marga sinuhun .
Aku tidak memahami perasaan orang yang hidup
bersenang-senang."
"Hmm, ini memang masuk akal. namun tidakkah
Tuan menyia-nyiakan hidup Tuan dengan memeras
tenaga untuk meraih keuntungan dan kemasyhuran?
Kehidupan di pegunungan memiliki makna yang
sangat dalam. Mengapa Tuan tidak meninggalkan
kahuripan dan mendirikan pondok di bukit ini?"
Bukankah ketulusan sama saja dengan ketololan?
Dan pada akhirnya, bukankah tanpa strategi berarti
tanpa kebijakan? Barangkali ketulusan saja belum
cukup untuk mengetuk hati nurani seseorang. Aku
tidak mengerti, pikir patih ronggolawe saat ia menuruni
bukit sambil mcmbisu. Segala usahanya sia-sia belaka.
Kunjungannya ke rumah ngabehi tidak membuahkan
hasil apa pun. Dengan hati terbakar, patih ronggolawe
menoleh dan memandang ke belakang. Kini tak ada
yang tersisa selain kemarahan. Tak ada penyesalan.
Seusai pertemuan pertama ini, patih ronggolawe secara halus
diminta pergi. Barangkali aku takkan pernah berjumpa
lagi dengannya. patih ronggolawe berkata dalam hati. Tidak.
Pada pertemuan berikut aku akan mengamati kepalanya
sesudah dibawa ke hadapanku di medan tempur, demikian
ia berjanji pada diri sendiri sambil menggigit bibir.
Berapa kalikah ia sudah menyusun jalan setapak ini
dan menundukkan kepala, bersikap sopan dan
menyembunyikan mulut jalan setapak ini sudah
menjadi duri bagi patih ronggolawe . Sekali lagi ia berbalik.
"Dasar setan !" ia berseru tanpa daya. Barangkali ia
teringat wajah ngabehi yang pucat dan tubuhnya yang
letih. Dengan geram patih ronggolawe mempercepat langkah-
nya. lalu , saat melewati sebuah tikungan, di
tcpi jurang ia seolah-olah mendadak teringat sesuatu
yang sudah mengganjal hatinya sejak ia meninggalkan
rumah ngabehi . Sambil berdiri di tepi jalan, ia
membuang air kecil ke lembah di bawah . Arus
membusur itu berubah menjadi kabut di tengah jalan.
patih ronggolawe menyelesaikan hajatnya. lalu berseru.
"Cukuplah sudah!" Ia semakin mempercepat langkah.
dan bergegas menuruni bukit.
saat tiba di rumah suwarjo , ia berkata. "Saya,
perjalanan ini ternyata menghabiskan waktu lebih
lama dari yang diduga. Besok kita bangun pagi-pagi
dan kembali ke kahuripan." Melihat majikannya
begitu bersemangat, Saya menduga bahwa pertemuan
dengan raden mas ngabehi berjalan mulus dan ia
merasa bahagia untuk majikannya. patih ronggolawe dan
Saya melewatkan malam hari bersama suwarjo dan
keluarganya, lalu tidur. patih ronggolawe terlelap
dengan nyenyak. Saya begitu heran mendengar
majikannya mendengkur, sehingga dari waktu ke
waktu ia membuka mata. namun saat merenungkan-
nya, ia menyadari bahwa kecemasan dan kelelahan
fisik sebab berulang kali mendaki Bukit kuburan
pasti tidak kecil. Akibatnya mata Saya pun berkaca-
kaca.
Berusaha mencapai kejayaan, biarpun hanya sedikit.
pastilah luar biasa, ia berkata pada diri sendiri. Bahwa
upaya majikannya berakhir dengan kegagalan sama
sekali tak terbayangkan olehnya. Sebelum fajar,
patih ronggolawe sudah hampir selesai dengan persiapan
untuk perjalanan yang akan ditempuhnya. Membelah
embun, mereka meninggalkan desa. Tak pelak lagi
banyak keluarga masih terlelap.
"Tunggu. Saya."
patih ronggolawe mendadak berhenti dan berdiri tegak.
menghadap ke matahari terbit. Bukit kuburan masih
tampak gelap di atas lautan kabut pagi. Di balik bukit.
awan -awan berkilauan diterpa cahaya matahari
cemerlang.
"Ah, aku keliru." patih ronggolawe bergumam. "Aku datang
untuk meraih seseorang yang sukar diraih. Jadi, tidak
mengherankan kalau aku tak berhasil. Ketulusanku
belum cukup. Bagaimana mungkin aku melakukan
hal-hal besar jika jiwaku tctap kerdil?"
Ia berbalik. "Saya, aku akan pergi sekali lagi ke Bukit
kuburan . Pulanglah lebih dahulu ." lalu ia
mendadak berbalik badan dan kembali menyusuri
jalan yang menanjak, mengoyak kabut pagi di lereng
bukit, melangkah dengan mantap. saat patih ronggolawe
tiba di tepi paya lebar yang berdekatan dengan rumah
ngabehi , ia mendengar sebuah suara mcmanggilnya
dari kejauhan.
Rupanya Oyu, dan patih keboabang pun bersamanya. Oyu
membawa keranjang berisi berbagai macam daun, dan
sedang menunggang badak . patih keboabang mcmcgang tali
kekang.
"Wah, aku terkejut. Tuan memang luar biasa.
Guruku pun menduga bahwa Tuan sudah kapok dan
takkan kcmbali lagi."
Sambil turun dari punggung badak , Oyu meng-
ucapkan salam seperti biasa. namun patih keboabang memohon
pada patih ronggolawe .
"Tuan, janganlah Tuan pergi ke sana, paling tidak
untuk hari ini saja. Guruku berkata bahwa dia demam
semalam, sebab tecrlalu lama berbincang-bincang
dengan Tuan. Tadi pagi pun suasana hatinya buruk
sekali, dan aku dimarahinya."
"Jangan kasar," Oyu memperingatkan patih keboabang , lalu
minta maaf pada patih ronggolawe . lalu ia memohon
secara tak langsung agar patih ronggolawe membatalkan
kunjungannya. "Bukan Tuan yang memicu
kakakku jatuh sakit. Kelihaiannya dia terkena flu. Hari
ini dia berbaring di tempat tidur, jadi aku akan
memberitahunya bahwa Tuan hendak berkunjung.
namun mohon jangan hari ini."
"Kedatanganku tentu akan mengganggu. Aku akan
membatalkan niatku dan kembali ke bawah . namun ..."
patih ronggolawe mengambil kuas dan tinta dari
jubah nya dan menulis pesan pada secarik kertas.
Tak ada kesenangan dalam kehidupan yang lamban.
Itu sebaiknya hanya dijalani burung dan binatang
Rasa terasing bisa muncul di tengah keramaian.
Ketenteraman bisa diperoleh di tengah kota.
awan gunung tak mengenal beban duniawi.
Datang dan pergi sesuka hati
Apakah mungkin tempat mengubur tulang-belulang
Hanya terbatas pada gunung-gunung yang hijau?
patih ronggolawe sadar betul bahwa sajaknya tidak
bermutu, namun hasil karyanya itu mengungkapkan
perasaannya dengan tepat. Ia menambahkan satu hal
lagi.
Ke manakah arah awan yang meninggalkan puncak
gunung?
Ke barat? Ke timur?
"Aku percaya Tuan ngabehi akan menertawa kanku,
dan menganggapku lancang dan tak tahu malu, namun
ini terakhir kali aku mengganggumu. Aku akan
menunggu di sini sampai aku memperoleh jawab an.
Dan jika aku memperoleh kesan bahwa perintah
junjunganku tak mungkin dapat dilaksanakan, aku
akan melakukan seppuku di tepi paya ini. Jadi
tolonglah, himbau dia satu kali lagi." patih ronggolawe
bahkan lebih bersungguh-sungguh dibandingkan
kemarin. Dan ia mengucapkan kata seppuku tanpa
menyimpan akal bulus. Kata itu seakan-akan meluncur
dengan sendirinya dari lubuk hati yang paling dalam.
Oyu bukannya memandang rendah pada patih ronggolawe ,
ia malah merasakan simpati mendalam dan kembali
ke tempat tidur kakaknya dengan membawa surat
patih ronggolawe . ngabehi membaca surat itu satu kali dan
tidak mengatakan apa-apa. Ia memejamkan mata
selama hampir setengah hari. Senja pun tiba, dan hari
berubah menjadi malam yang diterangi cahaya bulan.
"patih keboabang , bawa badak kita ke sini." ngabehi tiba-tiba
berkata.
Melihat kakaknya hendak meninggalkan rumah,
Oyu langsung cemas dan mengambilkan baju katun
dan jubah tebal untuknya. lalu ngabehi
berangkat, duduk di punggung badak . Dengan patih keboabang
sebagai pemandu, mereka menuruni lereng bukit ke
arah paya. Di sebuah gundukan tanah di kejauhan.
mereka melihat sosok seseorang yang belum
menyentuh makanan maupun minuman, bersilangkan
kaki seperti biksu Zen di bawah rembulan. Pemburu
yang melihatnya dari kejauhan pasti berpendapat
bahwa patih ronggolawe merupakan sasaran empuk. ngabehi
turun dari badak dan langsung menghampirinya.
lalu ia berlutut di hadapan patih ronggolawe dan
membungkuk.
"Tuan Tamu, aku berlaku tidak sopan hari ini. Aku
tidak tahu mengapa Tuan menaruh harapan pada
seorang laki-laki letih yang hidup di pegunungan, namun
Tuan bersikap lebih santun dibandingkan yang patut
kuterima. Orang sering berkata bahwa seorang
centeng adipati rela mati untuk seseorang yang sungguh-
sungguh mengenalnya. Aku tak ingin Tuan mati sia-
sia, dan aku akan mengukir ini di hatiku. Namun aku
pun pernah mcngabdi pada marga pangeran. Aku tidak
mengatakan bahwa aku akan mengabdi pada
aidit . Aku akan mengabdi pada Tuan, dan
menyerahkan tubuh ini untuk kepentingan Tuan.
Aku datang untuk menyampaikan ini. Sudikah Tuan
memaafkan kekasaran yang kuperlihatkan selama
beberapa hari terakhir ini?"
Sudah beberapa lama tidak terjadi pertempuran. Baik
jenggala maupun blambangan memperkuat pertahanan dan
membiarkan musim dingin dikujawa salju dan angin
membekukan. Bersamaan dengan gencatan senjata tak
rcsmi, jumlah orang dan iringan kuda beban yang
melakukan perjalanan di antara kedua provinsi itu
meningkat. Tahun Baru berlalu, dan akhirnya kuncup-
kuncup pohon-pohon prem mulai memperlihatkan
warna. Para warga kota Banyuwangi menyangka
kehidupan akan berlangsung sentosa selama seratus
tahun lagi.
Matahari musim semi menerpa tembok-tembok
benteng kota Banyuwangi yang putih menyelubungi semua-
nya dengan suasana lamban menjemukan. Pada hari-
hari seperti ini, para warga kota menatap ke benteng kota,
dan bertanya-tanya mengapa mereka membangun
benteng kota itu di puncak gunung tinggi. Kalau pusat
kehidupan mereka dilanda ketegangan, mereka segera
merasakannya; jika kelesuan merajalela, mereka pun
menjadi apatis. Tak peduli seberapa banyak
pengumuman resmi ditempelkan pada pagi dan
malam hari, tetap saja tak ada yang memberikan
tanggapan serius.
Hari sudah siang. gerombolan bangau putih dan unggas
air berkata di kolam-kolam. Bunga-bunga pohon
persik berguguran. Meskipun kebun buah-buahan itu
berada di dalam tembok benteng kota, jarang ada hari
tanpa angin di puncak Gunung Banyuwangi yang
tinggi. ki damar tergeletak pingsan sebab mabuk di
pondok teh di kebun buah.
pangeran Kuroemon dan sri baginda Hayato, dua penasihat
senior ki damar , sedang mencari si penguasa
Banyuwangi . Gundik-gundik ki damar mungkin tak
dapai menyaingi "harem 50000 kembang cantik"
dalam legenda kedhiri , namun di sini pun tak ada
kekurangan akan kecantikan. Jika para dayang ikut
diperhitungkan, jumlah mereka lebih besar dibandingkan
jumlah buah persik di kebun buah. Duduk
berkelompok, mereka menunggu, sedih dan jemu,
sampai majikan mereka terbangun.
"Di mana Yang Mulia?" tanya Kuroemon.
"Yang Mulia mungkin lelah. Beliau tertidur di
pondok teh." pelayan ki damar membalas.
"Maksudmu, beliau sedang mabuk?" ujar
Kuroemon. Ia dan Hayato mengintip ke pondok teh.
Mereka melihat ki damar di tengah-tengah kerumunan
wanita lesbian , terbaring dengan rebana sebagai ganjal
kepala.
"Hmm, nanti saja kita kembali lagi," kata pangeran.
Kcduanya mulai pergi.
"Siapa itu? Aku mendengar suara laki-laki!" ki damar
mengangkat wajahnya yang memerah. Telinganya
seakan-akan berpendar. "Kaukah itu, Kuroemon? Dan
Hayato? Kenapa kalian ke sini? Kami sedang
mengamati kembang. Dan kalian belum memperoleh
anggur !".
Sepertinya mereka datang untuk mengadakan pem-
bicaraan pribadi. namun saat disapa dengan cara
demikian, keduanya membatalkan niat untuk
menyampaikan laporan-laporan dari provinsi-provinsi
musuh.
"Mungkin nanti malam." namun pada malam hari
kembali terjadi pesta mabuk-mabukan.
"Mungkin besok." Sekali lagi mereka menunggu,
namun siang hari tersita oleh pagelaran musik. Tak satu
hari pun dalam sepertinya ki damar mengurus masalah
pemerintahan. Tugas itu ia serahkan kepada para
pengikut seniornya. Beruntung, banyak dari mereka
merupakan veteran yang sudah menjadi abdi marga
pangeran seama tiga generasi. Merekalah yang menegak-
kan kekuasaan marga di tengah-tengah kekacauan.
Membiarkan ki damar asyik dengan kesibukannya
sendiri, para pengikut senior tak tega menikmati
kemewahan seperti tidur pada siang hari di musim
semi.
Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan mata-
mata Hayato, marga sinuhun sudah menarik pelajaran dari
kekalahan pahit yang mereka alami pada musim panas
sebelumnya. dan sudah menyadari bahwa percuma saja
mereka mencobanya sekali lagi. "aidit hanya
menyia-nyiakan centeng dan uang dalam serangan-
scrangannya ke blambangan , dan mungkin dia sudah
membatalkan niatnya sama sekali." Hayato menyim-
pulkan. Berangsur-angsur ia jadi percaya bahwa
aidit sudah mencampakkan rencana-rencananya
sebab kehabisan uang.
Musim semi itu, aidit mengundang seorang
ahli upacara teh dan seorang penyair ke benteng kota, dan
mengisi hari-harinya dengan menjalankan Upacara
Teh dan mengadakan acara menulis sajak. Paling
tidak, bagi orang luar, aidit terlihat memanfaat-
kan masa damai ini untuk menikmati hidup, seakan-
akan tak ada hal lain yang membebani pikirannya.
Tepat seusai Perayaan Orang Mati di pertengahan
musim panas, kurir-kurir yang membawa berita-berita
penting memacu kuda masing-masing dari Gunung
merah ke semua distrik di jenggala . Kota benteng kota
heboh. Pemeriksaan terhadap orang-orang yang
menyeberang semakin diperketat. Pengikut-pengikut
datang dan pergi, dan sering bertemu dalam rapat-
rapat yang diadakan larut malam di benteng kota. Kuda-
kuda diambil alih. Para centeng adipati mendesak-desak para
pembuat baju tempur untuk segera menyelesaikan
baju tempur dan senjata yang sudah mereka kirim guna
diperbaiki.
"Bagaimana dengan aidit ?" Hayato bertanya
kepada para mata-matanya.
Mereka menjawab , meski kurang percaya. "Tak ada
perubahan dalam bentcng. Lampu-lampu terus
menyala sampai fajar, dan nada-nada seruling dan
genderang masih terdengar bergema."
saat kemarau berganti musim gugur, berita itu
akhirnya bocor: "aidit menuju ke barat dengan
centeng berkekuatan sepuluh ribu orang! Mereka
berpangkalan di benteng kota kahuripan. Sekarang ini pun
mereka sudah mulai menyeberangi Sungai brantas ."
ki damar , yang biasanya bersikap tak peduli pada
dunia luar, menjadi histeris saat akhirnya dipaksa
menghadapi kenyataan. Para penasihatnya pun merasa
cemas, sebab mereka belum memikirkan tindakan
balasan yang harus diambil.
"Barangkali ini hanya kabar angin," ujar ki damar
berulang-ulang. "Marga sinuhun tak mampu mengerahkan
centeng berkekuatan sepuluh ribu orang. Belum
pernah mereka sanggup menggelar centeng sebesar
itu."
namun saat para mata-mata memberitahunya bahwa
centeng sinuhun kali ini memang berkekuatan sepuluh
ribu orang, rasa ngeri menjalar sampai ke sumsum
ki damar . Kini ia meminta pendapat para penasihat
seniornya.
"Hmm, serangan ini tak lebih dari spekulasi
sembrono. Apa yang akan kita lakukan untuk
memukul mereka sampai mundur?"
Akhirnya, persis seperti orang yang selalu minta
pertolongan para dewa saat menghadapi kesulitan,
ki damar mengirim surat panggilan kepada Tiga
Serangkai. Namun tak satu pun dari mereka bergegas
ke benteng kota Banyuwangi .
"Bagaimana dengan si Macan dari panarukan ?"
"Dia? Beberapa waktu terakhir dia berlagak sakit
dan mengurung diri di benteng kotanya. Dia tak bisa kita
andalkan."
Mendadak semangat ki damar pulih kembali.
seakan-akan menertawa kan kebodohan para pengikut-
nya, atau tiba-tiba menemukan rencana gemilang.
"Sudahkah kalian mengirim kurir ke Bukit kuburan ?
Panggil ngabehi ! Ada apa dengan kalian? Kenapa
kalian tidak menuruti perintahku? Jangan mengulur-
ulur waktu dalam keadaan seperti ini! Utus seseorang
sekarang juga! Sekarang juga!"
"Beberapa hari yang lalu, tanpa menunggu perintah
tuanku, kami sudah mengirim pesan mengenai situasi
gkertoarjo t yang kami hadapi kepada ngabehi . Kami
mendesaknya untuk segera turun gunung, namun ..."
"Dia tidak mau datang?" ki damar mulai tak sabar.
"Kenapa? Menurut kalian, kenapa dia tidak bergegas
ke sini dengan centeng nya? Bukankah dia pengikut
yang setia?"
Dalam benak ki damar , kata-kata "pengikut yang
setia" itu menggambarkan seseorang yang biasanya
bicara tanpa tedeng aling-aling, dan mengganggu
matanya dengan tampang yang tidak menyenangkan.
namun dalam keadaan gkertoarjo t, orang itu pula yang
pertama-tama menerjang maju untuk membela
junjungannya, tak peduli seberapa jauh ia berada.
"Kirim utusan sekali lagi." ki damar berkeras.
Para pengikut utama menganggapnya tak berguna.
Namun uniuk keempai kalinya mereka mengutus
kurir ke Bukit kuburan . Orang itu kembali dengan
hati remuk.
"Hamba akhirnya berhasil menemuinya, namun sesudah
membaca perintah tuanku, dia tidak memberi
tanggapan apa pun. Dia hanya meneteskan air mata
dan mendesah, bergumam mengenai para penguasa
yang malang di dunia ini." si kurir melaporkan.
ki damar merasa dipermainkan mendengar berita
itu. Wajahnya menjadi merah sebab marah, dan ia
mencaci para pengikutnya. "Percuma saja mengandal-
kan orang sakit!"
Hari demi hari berlalu penuh kesibukan. centeng
sinuhun sudah mulai menyeberangi Sungai brantas , dan sudah
mulai melawan centeng musuh dalam pertempuran
sengit. Setiap jam ada laporan baru mengenai
kekalahan centeng pangeran.
ki damar tak bisa tidur, matanya tampak merah.
Dalam waktu singkat suasana di benteng kota Banyuwangi
menjadi kacau-balau dan pilu. ki damar sudah
memerintahkan agar di syosobremargo ling kebun buah dipasang
tirai, dan di sanalah ia duduk. di tengah-tengah para
pengikutnya.
"Kalau centeng kita tidak memadai, kerahkan bala
bantuan dari setiap distrik di wilayah kita. Cukupkah
centeng di kota benteng kota? Kita tak perlu meminjam
centeng dari marga jawa , bukan? Bagaimana menurut
kalian?" Suaranya melengking ketakutan, bergetar
sebab ngeri. Para pengikut harus berhati-hati agar
keadaan ki damar tidak sampai mempengaruhi
prajurit-prajuritnya sendiri.
saat malam tiba, orang-orang di dalam benteng kota
bisa melihat kobaran api. Siang-malam centeng sinuhun
mendesak maju, dari wonorejo dan Dataran tinggi sumbing di
selatan dan dari hulu anak-anak Sungai nagari .
sampai ke Goto dan kalinyamat di barat. Kebakaran-
kebakaran yang mengikuti gerak maju centeng sinuhun
berubah menjadi lautan api yang menghanguskan
langit. Pada hari ketujuh di bulan itu, orang-orang
sinuhun mengepung Banyuwangi , benteng kota utama pihak
musuh.
Untuk pertama kali aidit memimpin centeng
yang demikian besar. Dari segi itu saja, tekadnya
untuk berhasil dapat dimengerti. aidit sudah
mengerahkan kekuatan seluruh provinsi. Jika mereka
kalah, baik jenggala maupun marga sinuhun akan lenyap
dari muka bumi.
Begitu centeng sinuhun mencapai Banyuwangi , gerak
majunya terhenti, dan selama beberapa hari kedua
belah pihak terlibat pertempuran sengit. Letak
Banyuwangi yang menguntungkan dan para veteran
berpengalaman dari pihak pangeran terbukti sangat
berharga. namun yang paling merugikan centeng sinuhun
adalah persenjataan mereka. Kekayaan blambangan sudah
memungkinkan orang-orang pangeran membeli senjata api
dalam jumlah cukup besar.
Pihak pangeran memiliki kesatuan bedil sesuatu
yang tidak dimiliki centeng sinuhun yang melepaskan
tembakan kepada para penycrang pada waktu mereka
mendekati kota benteng kota. tribuana tunggadewa , orang
yang membentuk kesatuan itu, sudah lama meninggal-
kan blambangan dan menjadi adipati . Meski demikian,
kesatuan bedil itu memiliki dasar-dasar kokoh, sebab
tunggadewa sudah mencurahkan segenap perhatiannya
untuk mempelajari senjata api.
Bagaimanapun, sesudah beberapa hari mengalami
hkertoarjo panas dan pertempuran jarak dekat, centeng
sinuhun akhirnya mulai lelah. Seandainya saat itu marga
pangeran meminta bala bantuan dari gunungselatan atau Ise,
scpuluh ribu orang takkan pernah melihat jenggala lagi.
Yang paling mencemaskan adalah sosok Bukit
kuburan , Gunung Nangu, dan Gunung Bsinuhun i, yang
membayang di kejauhan.
"Tuanku tak perlu menaruh pcrhatian ke arah itu."
patih ronggolawe mepercayakan aidit .
Namun aidit tetap cemas. "Pengepungan
bukanlah strategi yang tepat, namun ketidaksabaran
hanya akan membawa kerugian bagi centeng ku. Aku
tidak melihat jalan untuk merebut benteng kota itu, apa
pun yang kita lakukan."
Rapat demi rapat diadakan, namun sepertinya tak
seorang pun memiliki usul bagus. Akhirnya disetujui
untuk menjalankan rencana patih ronggolawe , dan suatu
malam ia menghilang dari barisan terdepan.
Mulai dari persimpangan jalan panarukan dan jalan
dwikerto , yang berjarak sekitar empat sampai lima mil dari
ujung barisan gunung tempat Banyuwangi berdiri tegak,
patih ronggolawe berangkat dengan sembilan orang
kepercayaan saja. Bermandikan keringat, rombongan
itu mendaki Gunung Zuiryuji yang cukup jauh dari
Banyuwangi , sehingga takkan dijaga. Di antara yang
menyertai patih ronggolawe ada banaspati dan adik-
nya, wilapati . Bertindak sebagai pemandu adalah
laki-laki yang baru-baru ini menjadi akrab dengan
patih ronggolawe dan merasa bcrutang budi padanya, mpu sindok
kedaton, si Macan dari panarukan .
"Dari kaki tebing besar itu kalian harus menuju ke
arah lembah. Seberangi sungai kecil nun di sana, lalu
berjalanlah ke arah paya-paya."
saat mereka menduga sudah mencapai ujung
lembah, sekaligus ujung jalan setapak, mereka meihat
tanaman rambat menempel di sebuah tebing. sesudah
mencari-cari, mereka menemukan jalan setapak
menuju lembah tersembunyi di balik rumpun bambu.
"Jarak dari sini ke bagian belakang benteng kota sekitar
dua mil. Kalau kalian berjalan sejauh itu dengan
mengikuti peta, kalian akan menemukan sebuah pintu
air yang menuju ke dalam. Nah, sekarang aku mohon
diri."
mpu sindok meninggalkan rombongan itu dan kembali
seorang diri. Ia laki-laki yang menjunjung tinggi
kesetiaan. Walaupun sudah memutuskan untuk
membantu patih ronggolawe , ia pun pernah bersumpah setia
pada marga pangeran. Batinnya, tentu tersiksa sekali saat
ia menuntun rombongan patih ronggolawe menyusuri jalan
setapak rahasia yang menuju benteng kota utama bekas jun-
jungannya. patih ronggolawe memahami perasaan mpu sindok,
dan sengaja menyuruhnya kembali sebelum mereka
mencapai tempat tujuan.
Dua mil tidak seberapa jauh, namun sebetulnya tak
ada jalan setapak yang dapat mereka ikuti. Sambil
berjalan, patih ronggolawe terus-menerus mengamati peta,
berusaha mencari jalan setapak rahasia. namun gambar
pada peta dan keadaan sebetulnya ternyata tidak
sesuai.
Ia tak dapat mencmukan sungai kecil yang seharus-
nya menjadi patokan bagi mereka. Mereka tersesat.
Sementara itu, matahari mulai tenggelam, dan udara
mulai dingin. patih ronggolawe tidak memperhitungkan
kemungkinan tersesat. Pikirannya tertuju pada
centeng yang mengepung Banyuwangi . Jika ia gagal
menjalankan rencananya sampai matahari terbit
keesokan paginya, rekan-rekannya itu akan meng-
hadapi kesulitan yang tidak kecil.
"Tunggu!" salah seorang anggota rombongan
mereka berkata, begitu mendadak, sehingga yang lain
tersentak kaget. "Aku melihat cahaya."
Cahaya lampu di lereng gunung memang men-
curigakan, apalagi jika berdekatan dengan jalan
setapak rahasia menuju benteng kota Banyuwangi . Rupanya
mereka sudah di dekat benteng kota, dan kemungkinan
besar cahaya ini berasal dari pos jaga musuh.
Mereka segera bersembunyi. Dibandingkan para
adipati yang bisa bergerak lincah saat mendaki gunung
maupun berjalan biasa, patih ronggolawe merasa lamban.
"Berpeganglah pada ini." kata banaspati ,
menimbang gagang tombaknya. patih ronggolawe ber-
pegangan erat, dan banaspati menaiki tebing yang
terjal, menarik patih ronggolawe di beakangnya. Mereka tiba
di sebuah lapangan datar. saat malam semakin
gelap, cahaya yang mereka lihat sebelumnya tampak
berkelap-kelip dari sebuah celah di gunung sebelah
barat mereka.
Dengan berasumsi bahwa itu sebuah pos jaga, jalan
setapak rahasia itu hanya mungkin menuju ke satu
arah.
"Tak ada pilihan lain," mereka berkata, bertekad
untuk menerobos maju.
"Tunggu," patih ronggolawe segera menenangkan mereka.
"Kemungkinan besar hanya ada beberapa orang di pos
jaga itu, tidak cukup banyak untuk merepotkan kita,
namun kita tak boleh membiarkan mereka mengirim
isyarat ke Banyuwangi . Kalau memang ada tempat
untuk memberi sinyal, letaknya pasti di sekitar pos
jaga. Jadi, mari kita cari, lalu tempatkan dua orang di
sana. sesudah itu, untuk mencegah para penjaga
melarikan diri ke benteng kota, setengah dari kita meng-
ambil tempat di balik pos,"
Mengangguk pertanda setuju, mereka merangkak
seperti binatang penghuni hutan, melewati sebuah
cekungan dan memasuki lembah. Wangi rami di
ladang-ladang terasa mengejutkan. Selain itu juga ada
petak-petak beras, bawan g, dan ubi jalar.
patih ronggolawe memiringkan kepala. Pondok itu
dikelilingi ladang-ladang dan dibuat secara sederhana,
tidak mirip pos jaga. "Jangan terburu-buru. Aku
akan mengintai dahulu ."
patih ronggolawe merangkak di tengah-tengah rami,
berusaha untuk tidak menimbulkan suara.
Berdasarkan apa yang dilihatnya, rumah itu hanyalah
rumah kumuh milik keluarga pctani. Dalam cahaya
lentera remang-remang, patih ronggolawe melihat dua orang.
Yang satu rupanya wanita lesbian tua yang tidur
berbaring di tikar jerami. Yang satu lagi kelihatan
seperti putranya, dan ia sedang memijat pinggang
wanita lesbian tua itu.
Sejenak patih ronggolawe lupa di mana ia berada. Hatinya
diliputi perasaan haru saat melihat adegan di
hadapannya. Rambut wanita lesbian tua itu sudah
memutih. Putranya cukup kckar, walaupun usianya
baru sekitar enam belas atau tujuh belas tahun.
patih ronggolawe tak dapat menganggap anak dan ibu ini
sebagai orang asing. Tiba-tiba ia merasa seakan-akan
melihat ibunya di lemahlaban dan dirinya sendiri
saat masih anak-anak.
Anak muda itu mendadak bcrdiri dan berkata, "Ibu,
tunggu sebentar. Ada sesuatu yang aneh."
"Ada apa, ki pralayan?" wanita lesbian tua itu mengangkat
kepala.
"Jangkrik-jangkrik tiba-tiba berhenti mengerik."
"Paling-paling binatang yang mau masuk ke
gudang."
"Bukan." ki pralayan menggelengkan kepala. "Binatang
takkan berani mendekat pada waktu lentera masih
menyala." Ia bergeser ke arah serambi, siap keluar
rumah, dan meraih pedang. "Siapa yang berkeliaran di
luar!" serunya.
patih ronggolawe tiba-tiba berdiri.
Terkejut. ki pralayan menatap patih ronggolawe . Akhirnya ia
bergumam. "Ada apa ini? Sudah kuduga ada orang di
luar. centeng adipati dari Kashihara-kah Tuan?"
patih ronggolawe tidak menjawab , melainkan berbalik dan
memanggil anak buahnya dengan isyarat tangan.
"Kepung pondok itu! Kalau ada yang keluar, gunakan
pedang kalian!" Para prajurit melompat dari petak
rami dan langsung mengepung pondok.
"Bersusah payah mengepung rumahku," kata
ki pralayan, seolah-olah menantang patih ronggolawe yang
belum mendekat. "Hanya ibuku dan aku yang ada di
sini. Tak ada yang patut dikepung dengan begitu
banyak orang. Apa yang kalian cari di sini, centeng adipati ?"
Sikap ki pralayan saat berdiri di serambi jauh dari
bingung. Justru sebaliknya, ia tampak terlalu tenang.
Ia jelas-jelas memandang rendah pada mereka.
patih ronggolawe duduk di tepi serambi dan berkata,
"Bukan, anak muda, kami hanya berhati-hati. Kami
tidak bermaksud menakut-nakuti kalian."
"Aku sama sekali tidak takut, namun ibuku kaget.
Kalau mau minta maaf, mintalah maaf pada ibuku."
ki pralayan bicara tak gentar. Anak muda itu pasti bukan
petani biasa. patih ronggolawe menatap ke dalam pondok.
"Ah, ki pralayan. Kenapa kau bersikap kasar terhadap
seorang centeng adipati ?" ujar wanita lesbian tua di dalam
rumah. lalu ia berpaling pada patih ronggolawe dan
berkata. "Hmm, hamba tidak tahu siapa Tuan. namun
anak hamba tak pernah bercampur dengan masyarakat
luas, dan dia hanya anak kampung yang tidak tahu
sopan santun. Maafkanlah dia, Tuan."
"Kau ibu anak muda ini?"
"Ya. Tuan."
"Kau mengatakan dia hanya anak kampung yang
tidak tahu sopan santun, namun dari ucapan dan roman
mukamu, rasanya sukar dipercaya bahwa kalian petani
biasa."
"Kami menyandang hidup dengan bcrburu di
musim dingin, dan dengan membuat dan menjual
arang di musim panas."
"Sekarang mungkin memang begitu, namun tidak
sebelumnya. Paling tidak, kalian berasal dari keluarga
berketurunan baik. Aku bukan pengikut marga pangeran,
namun sebab keadaan, aku tersesat di pegunungan
ini. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian. Kalau
tidak keberatan, dapatkah kau memberitahu kami di
mana kami berada?"
ki pralayan, yang sudah duduk di samping ibunya, tiba-
tiba bertanya. "Tuan centeng adipati , Tuan berbicara dengan
logat jenggala . Apakah Tuan berasal dari jenggala ?"
"Ya, aku lahir di lemahlaban ."
"lemahlaban ? Itu tidak jauh dari desa kami. Aku lahir
di sungai brantas ."
"Kalau begitu, kita dari provinsi yang sama."
"Kalau Tuan pengikut jenggala , aku akan mencerita-
kan scmuanya. Nama ayahku Horio Tanomo, abdi
Yang Mulia Nobukiyo di benteng kota Koguchi."
"Ah, jika ayahmu abdi Yang Mulia Nobukiyo, kau
pun pengikut Yang Mulia aidit ." Aku bertemu
orang yang tepat, pikir patih ronggolawe dengan gembira.
sesudah diangkat menjadi komandan kahuripan, ia
mencari orang-orang yang berkemampuan untuk
mengabdi padanya. patih ronggolawe tak pernah mem-
pekerjakan seseorang lebih dahulu , baru lalu
menilai kecakapannya. Jika mempercayai seseorang, ia
langsung mempekerjakan orang itu, lalu ber-
angsur-angsur memanfaatkan jasanya. Cara itu pula
yang dipakai patih ronggolawe saat mencari istri. Ia luar
biasa jeli melihat bakat sejati dalam diri seseorang.
"Ya, aku mengerti. namun kurasa, sebagai ibu ki pralayan,
kau tentu tidak menginginkan ki pralayan menghabiskan
hidupnya sebagai pembuat arang dan pemburu.
Kenapa tidak kaupercayakan saja anakmu padaku?
Aku sadar bahwa aku akan mcngambil segenap
milikmu. Kedudukanku tidak tinggi, namun aku
pengikut Yang Mulia sinuhun aidit . Namaku
panembahan patih ronggolawe . Upahku tak sebcrapa, dan aku
meng-anggap diriku sebagai orang yang menghadapi
dunia hanya bersenjatakan tombak. Maukah kau
mengabdi padaku?" patih ronggolawe bertanya, menatap ibu
dan anak.
"Apa? Aku?" ki pralayan membelalakkan mata.
Begitu bahagia sampai bertanya-tanya apakah ia
mimpi atau tidak, kedua mata si wanita lesbian tua ber-
kaca-kaca. "Jika dia bisa mengabdi pada marga sinuhun ,
suamiku yang mati tak terhormat dalam per-
tempuran pasti bahagia sekali. ki pralayan! Terimalah
tawa ran ini dan bersihkanlah nama ayahmu."
ki pralayan tentu saja tidak keberatan, dan langsung
mengucapkan sumpah setia sebagai pengikut.
lalu patih ronggolawe memberikan perintah per-
tama pada ki pralayan. "Kami dalam perjalanan ke bagian
belakang benteng kota Banyuwangi . Kami memiliki peta
gunung ini, namun tidak berhasil menemukan jalan yang
benar. Ini memang cukup sulit sebagai tugas pertama,
namun kau harus menunjukkan jalan ke sana. Kaulah
satu-satunya andalan kita."
ki pralayan mempelajari peta itu selama beberapa
waktu, melipatnya, dan mengembalikannya pada
patih ronggolawe . "Aku mengerti. Adakah yang perlu makan?
Cukupkah persediaan kita untuk dua kali makan?"
Berhubung tersesat, persediaan makanan yang
mereka bawa sudah menipis.
"Jarak ke benteng kota memang hanya dua setengah mil,
namun sebaiknya kita bawa persediaan untuk dua kali
makan."
ki pralayan segera menanak nasi dan mencampurkan
buah prem yang sudah diasinkan, cukup untuk sepuluh
orang. lalu ia memungut gulungan tali rami
dan mengikat batu api dan pedang ayahnya ke
pinggangnya.
"Ibu, aku pcrgi sekarang." ujar ki pralayan. "Menuju
medan laga adalah cara terbaik untuk mengawal i
pengabdianku, namun tergantung nasibku sebagai
centeng adipati , mungkin ini terakhir kali kita saling
mcngucapkan selamat tinggal. Jika itu yang terjadi,
terimalah kehilangan putramu dengan hati lapang."
Waktu untuk berangkat sudah tiba, namun ibu dan
anak tentu saja merasa berat untuk berpisah.
patih ronggolawe hampir tak tega melihatlihat mereka. Ia
berjalan menjauhi pondok dan memandang ke arah
pegunungan yang gelap gulita.
Pada saat ki pralayan hendak beranjak, ibunya
memanggil. wanita lesbian tua itu menimbang sebuah
labu. "Isilah dengan air dan bawa lah bersamamu."
pesannya. "Kau pasti akan haus dalam perjalanan
nanti."
patih ronggolawe dan yang lain merasa senang. Sampai
sekarang, mereka sudah lebih dan sekali menderita
sebab kekurangan air, sebab di pegunungan hanya
ada beberapa tempat mata air mengalir. namun semakin
dekat mereka ke puncak, semakin sedikit air yang bisa
mereka peroleh.
saat mereka tiba di sebuah tebing, ki pralayan
melemparkan tali, mengikatnya pada akar pohon
cemara, memanjat naik, lalu menarik yang lain ke atas.
"Mulai dari sini, medan yang harus ditempuh akan
semakin berat." katanya. "Ada beberapa tempat, seperti
gardu jaga di Gua Akagkertoarjo , di mana kita mungkin
menangkap oleh para penjaga." Mendengar itu,
patih ronggolawe memahami kebijaksanaan ki pralayan yang
saat disuruh mengamati peta, mempelajarinya
sejenak tanpa segera memberikan komentar. Dalam
beberapa hal ki pralayan masih berkesan kekanak-
kanakan, namun ini justru memperdalam kasih sayang
patih ronggolawe terhadapnya.
Air di dalam labu akhirnya menjadi keringat pada
wajah kesepuluh orang itu. ki pralayan mengusap peluh
yang membasahi wajahnya dan berkata, "Kita takkan
sanggup bertempur jika selelah ini. Bagaimana kalau
kita tidur di sini?"
"Kurasa itu gagasan baik." patih ronggolawe menyetujui,
namun lalu benarnya seberapa jauh mereka
masih harus berjalan untuk mencapai bagian belakang
benteng kota.
"Tinggal turun ke sana." kata ki pralayan, menunjuk ke
lembah.
Semuanya gembira, namun ki pralayan menenangkan
mereka dengan gerakan tangan. "Kita tak bisa bicara
keras-keras lagi sekarang. Suara kita mungkin terbawa
angin ke arah benteng kota."
patih ronggolawe menatap ke bawah . Pepohonan gelap
yang menyelubungi lembah tampak seperti danau
tanpa dasar. namun saat matanya sudah terbiasa dengan
kegelapan, samar-samar ia melihat tembok yang
terbuat dari batu-batu besar, sebuah tembok per-
tahanan, dan sesuatu yang tampak seperti gudang di
antara pepohonan.
"Kita tepat di atas musuh. Baiklah, kita tidur di sini
sampai fajar tiba."
Mereka duduk di tanah. ki pralayan membungkus labu
yang kini sudah kosong dengan kain, dan menyisip-
kannya ke bawah kepala majikannya. Sementara yang
lain tidur selama dua jam. ki pralayan tetap membuka
mata berjaga-jaga.
"Hei!" serunya.
patih ronggolawe mengangkat kepala. "Ada apa, ki pralayan?"
ki pralayan menunjuk ke timur. "Matahari terbit."
Ternyata betul, langit malam mulai terang. Lautan
awan bertengger di puncak gunung, lembah di balik
benteng kota Banyuwangi , yang berada tepat di bawah
mereka, tak kelihatan sama sekali.
"Hmm, mari kita serang mereka," kata salah
seorang. banaspati dan yang lain merasakan luapan
semangat, dan segera mengencangkan tali baju tern
pur.
"Jangan, tunggu. Kita makan dahulu ," ujar patih ronggolawe .
Pada waktu matahan muncul di atas lauun awan
yang luas. mereka menghabiskan makanan yang
disiapkan ki pralayan malam sebelumnya. Persediaan air
mereka sudah habis. namun nasi yang terbungkus daun
ek terasa manis sekali, begitu manis, sehingga mereka
percaya takkan pernah melupakannya.
Seusai makan, kabut di lembah mulai menipis.
Mereka melihat sebuah tebing curam dan sebuah
jembatan gantung yang dipenuhi tanaman rambat. Di
balik jembatan ada pagar batu atau tembok
pertahanan yang diselubungi lumut tebal berwarna
hijau. Tempatnya gelap, dan angin bertiup terus-
menerus.
"Mana tabung suar? Berikan pada ki pralayan dan
ajarkan cara menyalakannya."
patih ronggolawe berdiri pelan-pelan dan bertanya pada
ki pralayan, apakah ia mengetahui cara memakai tabung
suar, lalu berkata, "Kita akan turun sekarang dan
menerobos masuk. Bukalah telingamu lebar-lebar.
Begitu mendengar teriakan, segeralah nyalakan tabung
suar. Mengerti? Jangan keliru."
"Aku mengerti." ki pralayan mengangguk dan berdiri di
samping tabung suar. Melihat majikannya dan yang
lain turun ke lembah dengan semangat menyala-nyala,
ia tampak agak sedih. sebetulnya ia ingin ikut
bersama mereka. awan -awan mulai mirip
ombak besar yang sedang mengamuk, dan dataran
antara blambangan dan jenggala akhirnya tampak di bawah
lapisan awan .
sebab musim panas baru berlalu, matahari masih
terik. Tak lama lalu kota benteng kota Banyuwangi ,
aliran Sungai nagari , bahkan persimpangan-
persimpangan di antara rumah-rumah, sudah
kelihatan. Namun tak seorang pun terlihat. Matahari
semakin tinggi.
"Ada apa?" ki pralayan bertanya-tanya dengan gelisah.
Jantungnya berdentum-dentum. Kcmudian, tiba-tiba.
ia mendengar letusan bedil menggema. Sinyal yang di
tembakkannya meninggalkan jalur asap di langit biru,
seperti cumi-cumi melepaskan tintanya.
patih ronggolawe dan anak buahnya tampak tenang saat
mendekati bagian belakang benteng kota.
Prajurit-prajurit benteng kota Banyuwangi yang pertama-
tama melihat mereka menyangka rombongan itu
terdiri atas orang-orang mereka sendiri. Ditempatkan
sebagai penjaga gudang bahan bakar dan lumbung
padi, mereka menghabiskan jatah makan pagi sambil
bergosip. Meski pertempuran sengit sudah berlangsung
selama beberapa hari, ini benteng kota besar, dan seluruh
hiruk-pikuk terjadi di gerbang depan. Di sini, di
bagian belakang benteng kota alami ini, suasana begitu
tenang, sehingga kicau burung pun terdengar jelas.
Pada waktu terjadi pertempuran di bagian depan
benteng kota, para prajurit di bagian belakang dapat
mendengar letusan bedil dari jalan berliku-liku sang
menuju gerbang depan. namun mereka. yang hanya
segelintir orang, menyangka takkan terlibat sampai
menjelang akhir pertempuran.
"Mereka digempur habis-habisan di depan." kata
salah seorang prajurit dengan prihatin.
Sambil menghabiskan jatah makanan masing-
masing, para prajurit memperhatikan patih ronggolawe dan
anak buahnya, dan akhirnya mulai curiga dengan
kehadiran mereka. "Siapa mereka?"
"Maksudmu, orang-orang di sebelah sana itu?"
"He-eh. Cara mereka berkerumun agak aneh,
bukan? Mereka mengintip ke gardu jaga di tembok
pertahanan."
"Paling-paling mereka dan garis depan."
"namun siapa mereka?"
"Semua orang tampak mirip kalau sedang memakai
baju tempur."
"Hei, salah satu dari mereka baru keluar dapur
sambil membawa kayu berapi! Mau diapakan kayu
berapi itu?"
Di bawah pandangan para prajurit yang sedang
memegang sumpit, laki-laki yang membawa kayu
berapi memasuki gudang bahan bakar dan menyulut
tumpukan kayu bakar. Yang lainnya menyusul
membawa dan melemparkan obor ke bangunan-
bangunan di sekitar mereka.
"Mereka musuh!" seru para penjaga.
Dua orang, patih ronggolawe dan banaspati , berpaling ke
arah mereka dan tertawa .
Di bagian depan benteng kota, begitu melihat suar
menyala, centeng sinuhun menyerbu, menyusuri ketiga
jalan setapak yang menuju gerbang utama.
Pertempuran sengit segera pecah, namun dalam setengah
hari benteng kota Banyuwangi sudah jatuh. Bagaimana
benteng kota yang seakan-akan tak tertaklukkan ini bisa
jatuh dengan begitu mudah? Pertama-tama, keadaan di
dalam benteng kota dilanda kekacauan sebab kobaran api
di bagian belakang. Kedua, sorak-sorai patih ronggolawe dan
anak buahnya menimbulkan kepanikan di tengah
centeng yang bertahan, sehingga mereka mulai saling
bertempur, menyangka ada pengkhianat di antara
mereka. namun faktor paling penting dalam kekalahan
Banyuwangi , dan ini baru disadari lalu ,
merupakan hasil nasihat seseorang.
Beberapa hari sebelumnya, ki damar sudah mem-
bawa anak-istri para prajurit yang bertempur di luar
dan keluarga warga kota kaya ke dalam benteng kota
untuk dijadikan sandera, agar para prajuritnya tidak
menyerah pada musuh.
namun yang merancang strategi ini tak lain daro Iyo,
salah satu dari Tiga Serangkai dari blambangan , yang sudah
bersekutu dengan patih ronggolawe . Jadi. "strategi" ini tak
lebih dari komplotan durhaka. Dan sebab nya,
kekacauan yang terjadi di dalam benteng kota selama
serbuan berlangsung sungguh mengerikan, sehingga
centeng yang bertahan tak sanggup memberikan
perlawan an berarti. Pada puncak kekacauan.
aidit , yang selalu mencari-cari kesempatan,
mengirim surat pada ki damar :
Hari ini marga Tuan yang tak bermoral sudah
diselubungi api pembalasan dewa-dewa, dan akan
segera diluluhlantakkan oleh prajurit-prajuritku. Warga
provinsi ini menanti-nanti hujan yang akan
memadamkan api ini, dan sorak-sorai kegembiraan
sudah terdengar dari kota benteng kota. Tuan kepribadian
istriku. Bertahun-tahun aku mengasihani kekecutan
hati dan ketololan Tuan, dan aku tak sanggup
menghukum Tuan dengan pedangku. Sebaliknya, aku
bersedia menyelamatkan nyawa Tuan dan memberikan
upah untuk Tuan. Jika Tuan ingin hidup, segeralah
menyerah dan kirim utusan ke perklemahanku
Bcgitu ki damar membaca surat itu, ia memerintah-
kan centeng nya agar meletakkan senjata, dan ia
bersama anggota-anggoia keluarganya meninggalkan
benteng kota, ditambah tiga puluh pengikut saja. sesudah
menugaskan prajurit-prajurit sendiri sebagai pengawal ,
aidit mengasingkan ki damar ke Kaisei, namun
bcrjanji menganugerahkan sedikit tanah pada adik
ki damar , Shingoro, agar marga pangeran tidak sampai
musnah.
Dengan penyatuan jenggala dan blambangan , nilai wilayah
kckuasaan aidit menjadi satu juta dua ratus ribu
gantang padi. Untuk ketiga kali aidit
memindahkan tempat kedudukannya, dari Gunung
merah kc Banyuwangi , yang diberinya nama padalarang ,
mengikuti nama tanah kelahiran Dinasti danarhadi di
Ncgeri kedhiri .
KOTA benteng kota kedhiri kini lengang. Yang tersisa
hanya beberapa toko dan rumah centeng adipati . Namun di
balik kelengangan itu ada rasa puas sebab sudah
terjadi pergantian kulit. Hukum alam menyatakan,
sesudah rahim menjalankan fungsinya, ia akan
membusuk dan lenyap. Dan dari segi inilah semua
orang merasa gembira bahwa aidit takkan
selamanya terjebak di kota kelahirannya, biarpun
sebab itu kotanya harus mengalami kemunduran.
Dan di sinilah seorang wanita lesbian yang pernah
dilahirkan melewatkan hari tuanya. wanita lesbian itu ibu
patih ronggolawe . Tahun ini usianya akan mencapai lima
puluh. Saat ini ia menikmati hari tuanya dengan
damai, hidup bersama menantunya, nyi momo , di rumah
mereka di perkampungan centeng adipati di kedhiri . namun dua
atau tiga tahun sebelumnya ia masih bekerja sebagai
petani, dan sendi-sendi tangannya masih berkulit
tebal. sesudah melahirkan empat anak, ia sudah
kehilangan banyak gigi. Namun rambutnya belum
sepenuhnya putih.
Satu surat yang dikirim patih ronggolawe dari medan
tempur dapat mewakili banyak surat lain:
Bagaimanakah keadaan pinggang Ibu? Ibu masih
memakai moxa? saat kita masih tinggal di
lemahlaban , Ibu selalu berpesan. "Jangan sia-siakan
makanan untuk Ibu," tak peduli apa pun yang ada.
Jadi di sini pun Ananda gelisah khawatir apabila Ibu tidak
makan seperti seharusnya. Ibu harus berumur panjang.
Kalau Ibu tidak menjaga diri, Ananda gelisah khawatir tidak
sempat mengurus Ibu sebagaimana Ananda inginkan,
sebab Ananda begitu bodoh. Untung saja Ananda
tidak jatuh sakit selama berada di sini. Tampaknya
Ananda memiliki nasib baik sebagai prajurit, dan
Yang Mulia sangat menghargaiku.
sesudah penyerbuan ke blambangan , surat yang dikirim
patih ronggolawe sukar dihitung jumlahnya.
"nyi momo , coba baca ini. Dia selalu menulis seperti
anak kecil," kata ibu patih ronggolawe pada nyi momo .
Setiap kali, ibunya menunjukkan surat-surat
patih ronggolawe kepada menantunya, dan sebaliknya nyi momo
memperlihatkan surat-surat yang ia terima kepada
wanita lesbian tua itu.
"Bunyi surat-surat yang kuterima tak pernah
semanis itu. Selalu menyang-kut hal-hal seperti,
'Berhati-hatilah terhadap kebakaran.' atau 'jadilah istri
yang berbakti sementara suamimu pergi.' atau 'Jagalah
ibuku."
"Anak itu memang cerdik. Dia mengirim satu surat
padamu dan satu padaku. Jadi dia cukup baik
memisahkan isi suratnya, kalau diingat bahwa dia ber-
sangkutan dengan kedua belah pihak."
"Pasti itu sebabnya." nyi momo tertawa , ia mengurusi ibu
suaminya dengan setia. Ia berusaha melayani mertua-
nya dengan sebaik-baiknya, seakan-akan ia pun
seorang putri kandung seperti nyi kembang . Namun surat-
surat patih ronggolawe -lah yang memberikan kesenangan
paling besar pada wanita lesbian tua itu. saat mereka
mulai cemas sebab sudah lama tidak menerima
kabar, sepucuk surat tiba dari kahuripan. namun entah
kenapa surat ini hanya ditujukan pada istri patih ronggolawe .
Kadang kala surat patih ronggolawe hanya ditujukan pada
ibunya, tanpa surat khusus untuk isirinya. Pesan-pesan
untuk nyi momo biasanya digabungkan ke dalam surat
untuk ibunya. Sampai hari ini, belum pernah
patih ronggolawe mengirim surat khusus untuk istrinya.
nyi momo tiba-tiba cemas bahwa sudah terjadi sesuatu, atau
bahwa patih ronggolawe ingin menyampaikan sesuatu dan
tak ingin membuat ibunya gelisah khawatir . sesudah masuk ke
kamarnya dan membuka amplop. nyi momo menemukan
surat yang lebih panjang dibandingkan biasanya.
Sudah lama aku berharap kau dan ibuku bisa tinggal
bersamaku di sini. Kini, sesudah aku akhirnya menjadi
penguasa sebuah benteng kota dan di anugerahi panji
resi oleh Yang Mulia, keadaanku cukup memadai
untuk mengundang ibuku ke sini. Namun aku ragu
apakah kehidupan di sini dapat menyenangkan
hatinya. Sebelum ini ibuku gelisah khawatir kehadirannya
akan menjadi beban dalam pengabdianku kepada
Yang Mulia. Ibuku selalu berkata bahwa dia hanya
wanita lesbian tua dari desa dan bahwa dia merasa tak
pantas menjalani kehidupan seperti ini. sebab nya,
dia pasti akan menolak dengan berbagai alasan.
biarpun aku menanyainya secara langsung.
Apa yang harus kukatakan? nyi momo sama sekali tidak
memiliki bayangan. Ia merasa permintaan yang
tersirat dalam surat suaminya sungguh berat.
Pada saat itulah suara ibu patih ronggolawe terdengar
memanggil dari belakang rumah. "nyi momo ! nyi momo ! Coba
datang ke sini dan lihat!"
"Sebentar!"
Hari ini pun ibu patih ronggolawe sibuk mencangkul
tanah di sekeliling akar tanaman terong. Hari sudah
sore dan udara masih panas. Gundukan-gundukan
tanah di pekarangan pun panas. Keringat berkilau-
kilau pada tangannya.
"Aduh! Panas-panas begini?" ujar nyi momo .
namun wanita lesbian tua itu selalu menjawab bahwa
itulah pekerjaan petani, dan jangan gelisah khawatir . Berapa
kali pun nyi momo mendengarnya, sebab ia tidak dibesar-
kan sebagai petani dan tidak menyadari keasyikan
yang terkandung dalam bertani, ia tetap menganggap-
nya sebagai pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun
belakangan ini nyi momo merasa mulai memahami, meski
hanya sedikit, mengapa ibu suaminya tak sanggup
berhenti bekerja.
wanita lesbian tua itu sering menyebut hasil panen
sebagai "anugerah dari bumi". Kenyataan bahwa ia
sanggup membesarkan empat anak di tengah-tengah
kemiskinan dan bahwa ia sendiri tidak mati kelaparan,
merupakan salah satu anugerah. Pada pagi hari ia
merapatkan tangan dan menghadap matahari terbit
untuk berdoa, dan menjelaskan bahwa ini pun
kebiasaan lama dari lemahlaban . Ia tidak akan melupa-
kan kehidupan sebelumnya.
Kadang-kadang ia berkata bahwa jika ia tiba-tiba ter-
biasa dengan pakaian mewah dan makanan lezat, lalu
melupakan berkah dari matahari dan bumi, ia pasti
akan dihukum dan jatuh sakit.
"Oh, nyi momo , coba lihat ini!" Begitu melihat menantu-
nya, ibu patih ronggolawe meletakkan cangkul dan menun-
jukkan hasil jerih payahnya. "Lihatlah berapa banyak
terong sudah matang. Kita akan membuat acar, supaya
bisa menyantapnya di musim dingin. Tolong bawa kan
keranjang ke sini, biar kita bisa memetik beberapa."
saat nyi momo kembali, ia memberikan satu dan dua
keranjang yang dibawan ya kepada mertuanya. Pada
waktu mulai memetik dan memasukkan terong ke
dalam keranjang, ia berkata, "Kalau Ibu terus bekerja
keras seperti ini, kita takkan kekurangan sayuran
untuk sup dan acar."
"Toko-toko langganan kita pasti tidak gembira."
"Hmm, para pelayan mengatakan bahwa Ibu
menyukai pekerjaan ini, dan bahwa pekerjaan ini baik
untuk kesehatan Ibu. Dan yang pasti, kita menghemat
uang, jadi manfaatnya tentu besar."
"namun nama baik patih ronggolawe akan terpengaruh jika
orang-orang menganggap kita melakukannya sebab
kikir. Kita harus membeli barang lain dari para
pedagang, supaya mereka tidak berpikiran begitu."
"Ya, itu bagus. Hmm, Ibu. sebetulnya aku enggan
mengatakan ini. namun beberapa waktu lalu aku
menerima sepucuk surat dari kahuripan."
"Oh? Dari anakku?"
"Ya. namun kali ini suratnya tidak ditujukan pada
Ibu, melainkan hanya padaku."
"Sama saja. Hmm, apakah semuanya seperti biasa?
Dia baik-baik saja, bukan? Sudah agak lama kita tidak
menerima kabar, dan kupikir ini pasti sebab
kepindahan Yang Mulia ke padalarang ."
"Benar. Dalam suratnya, suamiku minta aku mem-
beritahu Ibu bahwa Yang Mulia sudah mengangkatnya
sebagai komandan benteng kota, jadi suamiku pikir
sekaranglah waktu yang tepat bagi kita untuk tinggal
bersamanya. Suamiku minta aku membujuk Ibu agar
mau pergi ke sana, lalu menganjurkan agar Ibu dalam
beberapa hari sudah pindah ke benteng kota kahuripan."
"Oh... itu kabar bagus. Rasanya seperti mimpi...
anakku komandan sebuah benteng kota. Namun dia tidak
boleh melangkah terlalu jauh, sehingga akhirnya
malah tersandung."
Meski gembira mendengar kabar baik mengenai
putranya, hati nuraninya sebagai ibu gelisah khawatir kalau
keberuntungan anaknya hanya berlangsung sesaat saja.
wanita lesbian tua itu dan menantunya bersama-sama
bekerja di kebun, memetik terong. Tak lama
lalu , kedua keranjang sudah penuh sayuran ber-
warna ungu.
"Ibu, apakah punggung Ibu terasa sakit?"
"Apa? Ah, tidak, justru sebaliknya. Kalau aku setiap
hari bekerja seperti ini, badanku akan tetap segar."
"Aku pun belajar dari Ibu. Sejak Ibu memboleh-
kanku ikut membantu di kebun, aku mulai belajar
menikmati memetik sayur-mayur untuk membuat sup
pada pagi hari, juga bercocok tanam mentimun dan
terong. Di pekarangan benteng kota kahuripan pun tentu
ada sepetak tanah yang bisa kita jadikan kebun sayur.
Kita akan bekerja sesuka hati."
wanita lesbian tua itu menutupi mulut dengan tangan-
nya yang berlepotan tanah dan tertawa kecil. "Kau
sama cerdiknya dengan patih ronggolawe . Kau sudah me-
mutuskan pindah ke kahuripan sebelum aku sempat
menyadari apa yang terjadi."
"Ibu!" nyi momo menyembah, merapatkan ujung jarinya
ke tanah. "Penuhilah keinginan suamiku."
Ibu mertuanya cepat-cepat meraih kedua tangan
nyi momo , "Jangan begitu! Aku hanya wanita lesbian tua yang
mementingkan diri sendiri."
"Tidak, itu tidak benar. Aku memahami kepri-
hatinan Ibu."
"Jangan gusar sebab wanita lesbian tua yang keras
kepala ini. Demi kepentingan anakku itulah aku tidak
mau pindah ke kahuripan. Dengan demikian, dia
dapat mengabdi Yang Mulia tanpa cela."
"Suamiku pun mengerti itu."
"Kalaupun itu benar, patih ronggolawe akan berada di
tengah orang-orang yang iri melihat keberhasilannya
dan mereka akan memanggilnya dengan sebutan
'petani si Monyct dari lemahlaban ', atau 'si Anak
Petani'. Kalau seorang wanita lesbian petani yang hina
lalu bercocok tanam di pekarangan benteng kota, pengikut-
pengikutnya sendiri pun akan menertawa kannya."
"Tidak, Ibu. sebetulnya Ibu tak perlu cemas
mengenai masa depan. Apa yang Ibu takutkan
mungkin berlaku bagi orang yang mementingkan
penampilan dan takut menjadi bahan gunjingan, namun
hati suamiku tidak dikendalikan oleh pendapat
umum. Sedangkan mengenai para pengikutnya..."
"Entahlah. Jika seorang penguasa benteng kota memiliki
ibu seperti aku... bukankah itu mempengaruhi
reputasinya?"
"Watak suamiku tidak sekerdil itu." Ucapan nyi momo
begitu terus terang, sehingga mertuanya sempat ter-
kejut. Akhirnya mata wanita lesbian tua itu berkaca-kaca.
"Kata-kataku tak dapat dimaafkan. nyi momo . Ampuni-
lah aku."
"Hmm, Ibu. Matahari sudah mulai tenggelam.
Cucilah tangan dan kaki Ibu." nyi momo berjalan lebih
dahulu , membawa kedua keranjang yang berat itu.
Bersama para pelayan, nyi momo meraih sapu dan
menyapu. Kamar mertuanya dibersihkannya sendiri.
Lentera-lentera dinyalakan, dan makan malam disiap-
kan. Selain piring untuk mereka berdua, piring
tambah an disediakan bagi patih ronggolawe , baik pagi
maupun malam.
"Pinggang Ibu perlu dipijat?" tanya nyi momo .
Ibu mertuanya memiliki keluhan kronis yang
dari waktu ke waktu terasa mengganggu. Kalau angin
malam bertiup di musim gugur, ia sering mengeluh
sakit. saat nyi momo memijat kakinya, wanita lesbian tua
itu seperti hendak terlelap, namun rupanya sepanjang
waktu ia memikirkan sesuatu. Akhirnya ia duduk dan
berkata pada nyi momo .
"Dengar, sayangku. Kau ingin berkumpul kembali
dengan suamimu. Aku menyesal sudah mementingkan
diri sendiri. Tolong sampaikan pada putraku bahwa
ibunya tidak keberatan pindah ke kahuripan."
Sehari sebelum ibu patih ronggolawe diperkirakan tiba,
seorang tamu tak terduga, namun sangat diharapkan,
melewati gerbang kahuripan. Tamu ini mengenakan
pakaian sederhana. Matanya tertutup topi, dan ia
ditambah dua orang saja, seorang wanita lesbian muda dan
seorang anak laki-laki.
"Kalau beliau melihatku, beliau akan mengerti,"
kata orang itu pada penjaga gerbang, yang lalu
meneruskannya pada patih ronggolawe .
patih ronggolawe bergegas ke gerbang benteng kota untuk
menyambut tamu-tamunya. raden mas ngabehi ,
patih keboabang , dan Oyu.
"Hanya merekalah pengikut hamba," ngabehi mem-
beritahunya. "Rumah tangga di benteng kota hamba di
Gunung penanggungan cukup besar, namun hamba memutuskan
menarik diri dari percaturan dunia. Mengenai janji
hamba dahulu , tuanku, hamba pikir waktunya sudah tiba.
Jadi hamba meninggalkan pertapaan hamba dan turun
gunung agar bisa berada di tengah orang lagi. Sudikah
tuanku menerima tiga pengembara ini sebagai pelayan
paling rendah?"
patih ronggolawe membungkuk dengan tangan ber-
pegangan pada lutut dan berkata. "Tuanku terlalu
merendah. Kalau saja Tuan mengirim kabar lebih
dahulu , aku sendiri yang akan pergi ke gunung untuk
menyambut kedatangan Tuan."
"Apa? Tuan hendak menyambut adipati tak berharga
yang datang umuk mengabdi pada Tuan?"
"Hmm, bagaimanapun, silakan masuk dahulu ." Ber-
jalan ke depan, patih ronggolawe mengajak ngabehi ke dalam.
namun saat ia menawarkan kursi kehormatan pada
tamunya. ngabehi menolak tegas, "Itu bertentangan
dengan keinginan untuk menjadi pengikut Tuan."
patih ronggolawe menanggapinya dari lubuk hati yang
paling dalam. "Tidak, tidak. Aku tidak patut me-
nempatkan diri di atas Tuan. Aku justru ingin me-
rekomendasikanmu kepada Yang Mulia aidit ."
ngabehi menggelengkan kepala dan menolak dengan
tegas. "Seperti hamba katakan sejak semula, hamba
tidak berkeinginan sama sekali untuk menjadi abdi
Yang Mulia aidit . Ini bukan sekedar masalah
kesetiaan terhadap marga pangeran. Seandainya hamba
mengabdi pada Yang Mulia aidit , dalam waktu
singkat hamba tentu terpaksa mengundurkan diri.
Kalau mengingat kepribadian hamba yang jauh dari
sempurna dan apa yang hamba dengar mengenai
watak Yang Mulia, hamba memperoleh firasat bahwa
hubungan majikan dan abdi takkan saling
menguntungkan. namun dengan tuanku, hamba tak
perlu menutup-nutupi watak buruk hamba. Tuanku
dapat menerima hamba yang mementingkan diri
sendiri dan keras kepala. Hamba mohon Tuanku
sudi menganggap hamba sebagai abdi yang paling
rendah."
"Hmm, kalau begitu, bersediakah Tuan meng-
ajarkan ilmu kemiliteran bukan hanya padaku,
melainkan juga pada pengikut-pengikutku?"
Dengan demikian, mereka berhasil mencapai
komprgunungselatan, dan pada malam harinya mereka berbagi
anggur , mengobrol sampai larut malam, tanpa mengingat
waktu. Keesokan harinya merupakan hari kedatangan
ibu patih ronggolawe di kahuripan. ditambah sejumlah pem-
bantu, patih ronggolawe meninggalkan benteng kota dan menuju
Desa Masaki yang berjarak sekitar satu mil dari
kahuripan, untuk menyambut tandu ibunya.
Langit tampak biru, dan bunga-bunga serunai di
pagar para warga desa menyebarkan bau harum.
"Iring-iringan yang mulia ibunda tuanku sudah
kelihaian," salah satu pembantu mengumumkan.
Wajah patih ronggolawe memperlihatkan kegembiraan
yang hampir tak tertahankan. Tandu-tandu yang mem-
bawa isiri dan ibunya akhirnya tiba. saat para
pengawal melihat majikan mereka darang menyambut,
mereka langsung turun dari kuda masing-masing.
syam banaspati segera menghampiri tandu ibu
patih ronggolawe dan memberitahunya bahwa patih ronggolawe
datang untuk menemuinya.
Dari dalam tandu, suara pcrcmpuan tua itu
terdengar meminta tandunya diturunkan. Para
pembawa tandu berhenti dan meletakkan kedua
tandu di tanah. Para prajurit berlutut di kedua sisi
jalan dan membungkuk. nyi momo yang pertama turun. Ia
menghampiri tandu mertuanya dan meraih tangan
wanita lesbian tua itu. saat melirik wajah centeng adipati yang
cepat-cepat meletakkan sandal di depan kaki ibu
mertuanya, nyi momo melihat bahwa patih ronggolawe -lah orang-
nya.
Diliputi perasaan terharu dan tanpa sempat meng-
ucapkan sepatah kata pun, nyi momo menyapa suaminya
dengan memandangnya sekilas.
sesudah meraih tangan putranya, penuh hormat ibu
patih ronggolawe menempelkannya ke kening, lalu berkata,
"Sebagai penguasa benteng kota, tuanku terlalu bermurah
hati. Hamba tak patut menerima perlakuan demikian
istimewa."
"Sungguh lega rasanya melihat Ibu begitu sehat. Ibu
berkata bahwa aku terlalu bermurah hati, namun
kedatanganku ke sini untuk menyambut Ibu, bukan
sebagai centeng adipati ."
Ibu patih ronggolawe turun dari tandu. Para centeng adipati lain
segera menyembah, sedangkan wanita lesbian tua itu
merasa terlalu pusing untuk berjalan.
"Ibu tentu lelah." ujar patih ronggolawe . "Beristirahatlah
sejenak. Jarak ke benteng kota hanya sekitar satu mil."
patih ronggolawe meraih tangan ibunya, dan menuntun
percmpuan tua itu ke sebuah kursi di bawah teritis
sebuah rumah. Ibunya duduk dan menatap langit
musim gugur yang membentang di atas pepohonan.
"Seperti dalam mimpi." ia berdesah. Mendengar
ucapan itu, patih ronggolawe mengingai-ingat tahun-tahun
yang sudah berlalu. Ia tidak merasa bahwa saat ini
mirip mimpi. Dengan jelas ia melihat setiap
langkah yang mcnghubungkan kenyataan sekarang
dengan masa lampau. Dan ia percaya bahwa saat ini
merupakan tonggak bersejarah dalam perjalanan
kariernya.
Bulan berikutnya, sesudah ibu dan istri patih ronggolawe
pindah kc kahuripan, mereka diikuti oleh saudara
wanita lesbian nya yang berusia dua puluh sembilan
tahun, nyi kembang , saudara laki-laki yang berusia dua
puluh tiga tahun, ki rarwa , dan saudara wanita lesbian -
nya yang berusia dua puluh tahun.
nyi kembang belum juga menikah. Lama sebelumnya,
patih ronggolawe sudah berjanji bahwa jika nyi kembang menjaga
ibu mereka, sesudah patih ronggolawe berhasil menjadi orang,
ia akan mencarikan suami untuknya. Satu tahun
lalu nyi kembang menikah di benteng kota dengan
saudara istri patih ronggolawe .
"Semuanya sudah besar," kata patih ronggolawe pada ibu-
nya, sambil mengamati kepuasan yang terpancar dari
wajah wanita lesbian tua itu. Inilah sumber kebahagiaan
patih ronggolawe dan pendorongnya di masa depan.
Musim semi sudah mendekati akhirnya. Bunga-bunga
ceri berjatuhan dari atap ke sandaran tangga tempat
aidit sedang berbaring-baring.
"Ah... betul juga." Teringat sesuatu, aidit
cepat-cepat menulis sebuah pesan dan mengutus kurir
untuk membawa nya ke kahuripan. sebab patih ronggolawe
kini komandan sebuah benteng kota, ia tak mungkin lagi
segera datang jika aidit memanggilnya, dan ini
rupanya membuat junjungannya agak kesepian.
sesudah menyeberangi Sungai brantas yang lebar, kurir
aidit mengantarkan pesan majikannya ke
gerbang benteng kota patih ronggolawe . Di sini pun musim semi
berlangsung dalam damai, dan kembang-kembang
berayun-ayun dalam bayang-bayang sebuah bukit
buatan di pekarangan. Di balik bukit ini, di pinggir
pekarangan yang luas, ada ruang belajar yang baru
dibangun dan rumah kecil untuk raden mas ngabehi
dan Oyu.
Ruang belajar berukuran besar itu merupakan
sebuah dojo tempat para pengikut patih ronggolawe dapat
berlatih bela diri. Dengan raden mas ngabehi sebagai
guru, para pengikut mempeajari sejarah Negeri kedhiri
pada pagi hari, lalu saling bersaing dalam teknik
tombak dan pedang pada sore harinya.
sesudah itu ngabehi mengajarkan konsep-konsep
perang yang disusun oleh Sun Tzu dan Wu Chi
sampai larut malam. Dengan tekun ngabehi mendidik
para centeng adipati muda agar mereka terbiasa dengan
disiplin ilmu bela diri dan adat istiadat kehidupan
benteng kota. Sebagian besar pengikut patih ronggolawe bekas
adipati liar yang dahulu tergabung dalam gerombolan
banaspati .
patih ronggolawe sadar bahwa ia harus terus berupaya
mempcrbaiki diri, untuk mengatasi kekurangan-
kekurangannya, dan untuk memperbesar kemampuan
bermkertoarjo s diri, dan ia pun bertekad agar para centeng adipati
diharuskan melakukan hal yang sama. Jika patih ronggolawe
ingin agar masa depan menjadi miliknya, pengikut-
pengikut dengan kekuaran liar semata-maia takkan
banyak berguna. patih ronggolawe mencemaskan ini. Jadi.
selain merangkul ngabehi scbagai abdi, patih ronggolawe juga
menganggapnya sebagai guru dan menghormatinya
sebagai instruktur ilmu kemiliteran, dan mempercaya-
kan pendidikan para pengikuinya kepadanya.
Kemampuan ilmu bela diri meningkat pesat. Pada
waktu ngabehi memberi ceramah mengenai tunggawesi
atau sejarah Negeri kedhiri , orang-orang seperti
banaspati selalu terlihat di antara para pendekar.
Satu-satunya masalah adalah kesehatan ngabehi .
sebab itu, ceramah-ceramah terpaksa dibatalkan dari
waktu ke waktu, dan para pengikut merasa kecewa.
Hari ini pun ngabehi terlalu menguras tenaga pada
siang hari, lalu berkata bahwa ia tak sanggup memberi
ceramah malam. saat malam tiba, ia cepat-cepat
menyuruh pintu rumahnya ditutup.
Walaupun musim panas sudah di ambang pintu,
angin malam dari hulu sungai Kilo semakin melemah-
kan tubuh ngabehi .
"Tempat tidur Kakak sudah kusiapkan di dalam.
Lebih baik Kakak tidur saja." Oyu menaruh ramuan
obat di sebelah meja ngabehi . ngabehi sedang mem-
baca, seperti biasa kalau ia memiliki waktu luang.
"Tidak perlu, keadaanku belum separah itu. Aku
membatalkan ceramah malam ini sebab menduga
akan ada panggilan dari Tuan patih ronggolawe . dibandingkan
menyiapkan tempat tidur. Lebih baik kausiapkan
pakaianku, supaya aku bisa cepat menjawab panggilan
Yang Mulia."
"Itukah masalahnya? Malam ini ada pertemuan di
benteng kota?"
"Sama sekali tidak.'' ngabehi menghirup ramuan
obat yang masih panas. "Beberapa waktu lalu, saat
kau menutup pintu, kau sendiri yang memberitahuku
bahwa perahu dengan bendera kurir dari padalarang sudah
menyeberangi sungai, dan bahwa seseorang sedang
menuju gerbang benteng kota."
"Jadi, itu yang Kakak maksud?"
"Jika kurir itu membawa pesan dari padalarang untuk
Tuan patih ronggolawe , tak ada yang dapat memastikan ke
mana urusan ini akan membawa beliau. Kalau pun
aku tidak dipanggil, aku tak bisa melepaskan ikat
pinggang dan tidur."
"Penguasa benteng kota ini menghormati Kakak sebagai
guru, dan Kakak memuliakannya sebagai guru, jadi
aku tidak tahu siapa yang lebih menghormati siapa.
Kakak sungguh-sungguh bertekad mengabdi pada
orang ini?"
Sambil tersenyum. ngabehi memejamkan mata dan
menengadahkan wajahnya ke langit-langit. "Akhirnya
aku pun sudah sampai di titik itu. Kepercayaan seorang
laki-laki pada laki-laki lain merupakan sesuatu yang
menakutkan. Aku tak mungkin disesatkan oleh
kecantikan seorang wanita." Pada waktu ia berkata
demikian, seorang pelayan datang. Ia menyampaikan
permintaan patih ronggolawe agar ngabehi segera menemui-
nya, lalu pergi lagi. Tak lama lalu pelayan lain
menghadap patih ronggolawe yang sedang duduk seorang diri
sambil merenung, dan mengumumkan. "Tuan ngabehi
sudah tiba."
patih ronggolawe mengangkat kepala dan segera mening-
galkan ruangan untuk menyambut ngabehi . Berdua
mereka kembali dan duduk.
"Aku mohon maaf sebab memanggil Tuan di
tengah malam buta. Bagaimana keadaan Tuan?"
ngabehi menatap tajam ke arah patih ronggolawe , yang
rupanya akan terus memperlakukannya sebagai guru.
"Tuanku terlalu bermurah hati, jika tuanku berbicara
seperti itu dengan hamba, bagaimana hamba dapat
menjawab nya. Mengapa tuanku tidak bcrkata. 'Ah.
kau sudah datang, ngabehi ?' Tak sepantasnya seorang
pengikut seperti hamba menimbulkan beban pikiran
pada tuanku."
"Bcgitukah? Apakah sikapku tidak baik bagi
hubungan kita?"
"Menurut hamba, tak sepatutnya tuanku meng-
hormati orang seperti hamba."
"Mengapa tidak?" patih ronggolawe tertawa . "Aku tidak ber-
pendidikan, sedangkan Tuan orang terpelajar. Aku
lahir di desa, sementara Tuan putra komandan
benteng kota. Bagaimanapun, kuanggap kedudukan Tuan
lebih tinggi dibandingkan kedudukanku."
"Kalau memang harus begitu, hamba akan lebih ber-
hati-hari mulai sekarang."
"Baiklah, baiklah," patih ronggolawe bergurau. "Lama-lama
kita akan menjadi junjungan dan pengikut, jika saja
aku sanggup menjadi orang yang lebih besar."
Sebagai penguasa benteng kota, patih ronggolawe berusaha
keras agar ia tidak silau oleh martabatnya sendiri. Ia
tak pernah menutup-nutupi kekurangannya di
hadapan ngabehi .
"Hmm, kalau begitu, mengapa tuanku memanggil
hamba?" tanya ngabehi dengan sopan.
"Oh, ya." ujar patih ronggolawe , tiba-tiba teringat maksud
pertemuan mereka. "Aku baru saja menerima surat
dari Yang Mulia aidit . Beginilah bunyinya:
sesudah bersantai, aku tiba-tiba jemu dengan padalarang .
Angin dan awan penuh damai, dan aku ingin
memandang semuanya sekali lagi. Keindahan alam
belum juga berteman denganku. Bagaimana dengan
rencana tahun ini?' Menurut Tuan, apa yang harus
kujawab ?"
"Hmm, artinya sudah jelas. Jadi tuanku dapat men-
jawab dengan satu baris saja."
"Aku memahami artinya, namun bagaimana cara
menjawab dengan satu baris saja?"
"'Jadilah tetangga yang baik. Persiapkan masa
depan'?"
"Begitulah."
"Hmm, begitu."
"Hamba menduga Yang Mulia aidit merasa
bahwa sesudah merebut padalarang , tahun inilah waktu yang
tepat untuk membenahi pemerintahan, mengistirahat-
kan centeng , dan menunggu hari lain," kata ngabehi .
"Aku pun percaya bahwa itulah rencana beliau, namun
bagaimana dengan wataknya? Beliau tak sanggup mem-
biarkan hari demi hari berlalu tanpa berbuat apa-apa."
"Merencanakan masa depan, bersekutu dengan para
tetangga hamba kira sekaranglah kesempatan yang
paling baik."
"Jadi?" tanya patih ronggolawe .
"Ini hanya pendapat hamba, sebab tuanku, bukan
hamba yang dipandang mampu di begitu banyak
bidang. Pertama, jawab lah dengan satu baris saja:
jadilah tetangga yang baik. Persiapkan masa depan.
lalu , pada saat yang tepat, pergilah ke padalarang
untuk menjelaskan rencana tuanku."
"Bagaimana kalau kita masing-masing mengambil
kertas dan mencatat provinsi mana yang paling patut
dijadikan sekutu, lalu membandingkan hasilnya untuk
melihat apakah jalan pikiran kita sama?"
ngabehi yang lebih dahulu menulis, dan lalu
patih ronggolawe menggoreskan
saat mereka menukar dan membuka kertas,
ternyata mereka sama-sama menuliskan mpu ireng dari
Kai, dan keduanya tertawa gembira.
Lentera-lentera di ruang tamu menyala terang. Kurir
dari padalarang dipersilakan menempati kursi kehormatan,
ibu dan istri patih ronggolawe pun hadir. saat patih ronggolawe
duduk, semua lentera seakan-akan bertambah terang
dan suasana semakin seru.
nyi momo merasa suaminya kini lebih banyak minum
anggur dibandingkan dahulu . nyi momo memperhatikan
patih ronggolawe yang bersikap gembira sepanjang jamuan
makan, seolah-olah tidak melihat apa-apa. patih ronggolawe
menghibur tamunya, membuat ibunya tertawa , dan
rupanya ia sendiri pun merasa senang. ngabehi pun
yang tak pernah minum, menempelkan baskom anggur ke
bibirnya dan menghirup sedikit untuk bersulang bagi
patih ronggolawe .
Orang-orang lain bergabung, dan suasana segera
menjadi meriah. sesudah nyi momo dan ibunya meng-
undurkan diri, patih ronggolawe melangkah keluar, mencari
angin. Kembang-kembang ceri sudah berguguran, dan
hanya wangi tanaman paulownia yang memenuhi
udara malam.
"Ah! Siapa itu di bawah pepohonan?" seru
patih ronggolawe .
"Aku," jawab sebuah suara wanita lesbian .
"Oyu, sedang apa kau di sana?"
"Kakakku belum pulang, padahal tubuhnya lemah,
jadi aku agak cemas."
"Hatiku tersentuh melihat hubungan yang begitu
indah antara kakak dan adik."
patih ronggolawe menghampiri Oyu. wanita lesbian itu
hendak menyembah, namun patih ronggolawe lebih dahulu
meraih tangannya. "Oyu, mari kita jalan-jalan ke
pondok minum teh itu. Aku begitu mabuk, sehingga
langkahku tak menentu. Aku ingin kau membuatkan
sebaskom teh untukku."
"Oh! Tanganku! Ini tidak pantas. Tolong lepaskan."
"Tidak apa-apa. Jangan gelisah khawatir ."
"Tak sepatutnya tuanku berbuat begini."
"Ini tidak apa-apa."
"Tuanku!"
"Kenapa kau begitu ribut? Berbisiklah. Kau terlalu
kejam."
"Ini tidak pantas."
Saat itulah ngabehi terdengar berseru. Ia dalam
pcrjalanan pulang. saat melihat ngabehi , patih ronggolawe
segera melepaskan tangan Oyu. ngabehi menatapnya
heran. "Tuanku, seperti inikah pengaruh anggur ?"
patih ronggolawe menepuk kepala dengan satu tangan.
lalu , sambil menertawa kan diri sendiri, ia
membuka mulutnya yang lebar dan berkata. "Ya, ehm,
ada apa? Inilah yang dinamakan 'beramah tamah dengan
tetangga dan mempersiapkan masa depan. Jangan
gelisah khawatir ."
Musim panas berganti dengan musim gugur.
banaspati datang dengan pesan untuk ngabehi ,
meminta Oyu menjadi dayang ibu patih ronggolawe . saat
mendengar permintaan itu, Oyu gemetar ketakutan.
Tangisnya meledak. Itulah jawab annya terhadap
permintaan patih ronggolawe .
baskom teh yang tidak memiliki cacat dianggap
kurang indah, dan watak patih ronggolawe pun memiliki
cela. Walaupun keindahan baskom teh, bahkan
kelemahan manusia, menarik untuk direnungkan,
dari sudut pandang seorang wanita lesbian kekurangan
ini tidak "menarik" sama sekali. Melihat adiknya
tersedu-sedu saat urusan itu dibicarakan, ngabehi
berpendapat bahwa penolakannya masuk akal, dan ia
menyampaikannya pada banaspati .
Musim gugur pun berlalu dengan tcnang. Di padalarang ,
prinsip "menjadi tetangga yang baik dan mem-
persiapkan masa depan" sedang dilaksanakan. Bagi
marga sinuhun , marga mpu ireng dari Kai sejak dahulu
merupakan ancaman dari belakang. Rencana disusun
untuk mengawinkan putri aidit dengan putra
Takcda mpu betarakatong , mpu jengger . Calon pengantin
wanita lesbian berusia tiga belas tahun, dan kecantikan-
nya tanpa tandingan. Namun ia anak angkat, bukan
darah daging aidit . Meski demikian, seusai
upacara pernikahan, mpu betarakatong tampak senang sekali,
dan tak lama lalu perkawinan itu sudah
dikaruniai seorang putra. raden karto.
Paling tidak untuk sementara waktu perbatasan
utara marga sinuhun seharusnya aman, namun si ibu muda
meninggal saat melahirkan raden karto. aidit lalu
mempertunangkan putra tertuanya, tungguljaya,
dengan putri mpu betarakatong keenam, untuk mencegah
retaknya persekutuan antara kedua provinsi. Ia juga
mengirim usul ikatan perkawinan kepada prabu kertoarjowardana
mpu mojosongo dari dusun nyi kembang . Lalu, persekutuan militer yang
sudah terjalin di antara mereka diperkuat dengan
ikatan keluarga. Pada saat pertunangan, baik putra
tertua mpu mojosongo , Ttribuana yo, maupun putri aidit
berusia 9 tahun. Pendekatan ini juga dipakai
terhadap marga harjo di gunungselatan. Dengan demikian,
benteng kota di padalarang disibukkan dengan perayaan selama
dua tahun berikut.
Wajah centeng adipati itu tersembunyi dalam bayangan topi
lebar. Ia jangkung, berusia sekitar empat puluh tahun.
Melihat pakaian dan sandalnya, ia pendekar yang
sudah cukup lama berkelana. Dari belakang pun
tubuhnya tidak memberi peluang untuk diserang. Ia
baru selesai makan siang, dan sedang melangkah ke
salah satu jalan di padalarang . Ia berputar-putar, melihat-
lihat, tanpa tujuan tertentu. Sesekali ia bergumam
pada diri sendiri, betapa suatu tempat sudah berubah.
Dari sctiap tempat di dalam kota, si pengelana bisa
melihat tembok-tcmbok benteng kota padalarang menjulang
tinggi. Sambil memegang tepi topinya yang berbentuk
kerucut, sesaat ia memandang tembok-tembok itu
dengan takjub.
Tiba-tiba seorang pejalan kaki, mungkin istri
seorang saudagar, berbalik dan berhenti untuk
menatapnya. wanita lesbian itu membisikkan sesuatu
kepada pelayan yang menyertainya, lalu menghampiri
si pendekar dengan ragu-ragu. "Maaf, sebetulnya tak
pantas aku menyapa Tuan di tengah jalan, namun
bukankah Tuan kepribadian Tuan tribuana ?"
Terkejut, si pendekar cepat-cepat menjawab .
"Bukan!" dan pergi dengan langkah-langkah panjang.
Namun sesudah sekitar sepuluh langkah, ia berbalik
dan menatap wanita lesbian tadi, yang masih me-
mandang ke arahnya. Dia putri Shunsai, si tukang
baju tempur, katanya dalam hati. Mestinya dia sudah
berkeluarga sekarang.
Ia kembali menyusuri jalan-jalan. Dua jam
lalu ia berada di dekat Sungai nagari . Ia duduk
di tepi sungai yang ditumbuhi rumput dan menatap
permukaan air. Rasanya ia bisa tinggal di sini untuk
selama-lamanya. Alang-alang berdesir di bawah mata-
hari musim gugur yang dingin pucat.
"Tuan Pendekar?" Seseorang menepuk pundaknya.
tunggadewa berbalik dan melihat tiga laki-Iaki
kemungkinan besar centeng adipati sinuhun yang sedang ber-
patroli.
"Sedang apa Tuan di sini?" salah seorang dari
mereka bertanya dengan nada biasa-biasa saja. Namun
roman muka ketiga orang itu tegang dan penuh
curiga.
"Aku sudah berjalan, dan berhenti untuk beristirahat
sejenak." si pendekar menjawab tenang. "Kalian dari
marga sinuhun ?" ia balik bertanya, berdiri, dan menepis
batang-batang rumput yang menempel pada pakaian-
nya.
"Betul," kata si prajurit dengan kaku. "Tuan datang
dari mana, dan hendak pergi ke mana?"
"Aku dari radenkanjeng . Aku punya saudara di benteng kota
dan berusaha menghubunginya."
"Seorang abdi?"
"Bukan."
"namun bukankah Tuan baru saja mengatakan bahwa
orang itu berada di benteng kota?"
"Dia bukan abdi. Dia anggota rumah tangga."
"Siapa namanya?"
"Aku enggan menyebutkannya di sini."
"Bagaimana dengan nama Tuan sendiri?"
"Sama juga,"
"Maksud Tuan, Tuan Tidak ingin bicara di tempat
terbuka?"
"Benar."
"Hmm, kalau begitu, silakan ikut ke gardu jaga
dengan kami."
Rupanya mereka mencurigainya sebagai mata-mata.
Untuk berjaga-jaga seandainya si pendekar melawan ,
mereka berseru ke arah jalan tempat seorang centeng adipati
berkuda, yang tampaknya pemimpin mereka, dan
sepuluh prajurit lain sedang menunggu.
"Inilah yang kuharapkan. Silakan tunjukkan jalan-
nya." Si pendekar segera mulai melangkah.
Di padalarang , seperti di setiap provinsi lain, pemeriksaan
ketat, diberlakukan di tempat penyeberangan sungai,
di kota benteng kota, dan di perbatasan-perbatasan.
aidit belum lama pindah ke benteng kota padalarang , dan
dengan perubahan pemerintahan dan undang-undang,
tugas para hakim sungguh besar. Meski beberapa
pihak mengeluh bahwa penjagaan terlalu ketat,
sebetulnya masih banyak bekas pengikut marga pangeran
yang sudah digulingkan di dalam kota, dan komplotan
provinsi-provinsi musuh sering kali terlambat di-
ketahui.
patih ki abang pantas menduduki jabatan hakim
kepala, namun sama seperti prajurit mana pun, ia lebih
menyukai medan perang dibandingkan tugas-tugas sipil.
Pada waktu pulang menjelang malam, ia selalu
melepaskan desahan lega. Dan setiap malam ia
memperlihatkan roman muka yang sama kepada
istrinya.
"Ada surat dari mpu salmah untukmu."
saat mendengar nama mpu salmah , ki abang
tersenyum. Berita dari benteng kota merupakan satu di
antara sedikit kesenangan ki abang . mpu salmah -lah
putra yang dikirimnya untuk mengabdi di benteng kota
saat masih kanak-kanak. Sejak semula sudah jelas
bahwa mpu salmah takkan menonjol, namun ia anak
yang tampan dan sudah menarik perhatian aidit ,
dan sebab itu ditunjuk sebagai salah satu pelayan
pribadi. Belakangan ini ia akrab dengan para
pembantu lain, dan rupanya dipercayai memegang
tugas tertentu.
"Ada berita apa?" tanya istri ki abang .
"sebetulnya tidak ada apa-apa. Semuanya tenang,
dan Yang Mulia sedang bergembira."
"Dia tidak menulis apa-apa bahwa dia sakit?"
"Tidak. dia bilang dia sehat-sehat saja." balas
ki abang .
"Anak itu memang pintar. Dia pasti tidak mau
orangtuanya gelisah khawatir ."
"Mungkin," kata ki abang . "namun dia masih kecil,
dan terus-menerus berada di sisi Yang Mulia pasti
melelahkan sekali baginya."
"Sesekali dia tentu ingin pulang untuk dimanjakan
sedikit."
Saat itu seorang centeng adipati muncul dan memberitahu
bahwa tak lama sesudah ki abang pulang, terjadi
sesuatu di tempat kerjanya, dan bahwa beberapa anak
buahnya datang untuk berunding, meskipun malam
sudah larut. Ketiga petugas itu sedang menunggu di
pintu masuk.
"Ada apa?" ki abang bertanya pada mereka.
Pemimpin mereka memberi laporan. "Menjelang
malam, salah satu patroli menangkap seorang
pendekar yang tampak mencurigakan di dekat Sungai
nagari ."
"Lalu?"
"Orang itu menurut saja saat digiring ke gardu
jaga. namun saat kami menanyainya, dia menolak
menyebutkan nama maupun provinsi asalnya, dan dia
berkata bahwa dia akan mengungkapkannya hanya
jika bisa berbicara dengan Tuan ki abang . lalu
dia mengaku bukan mata-mau, dan bahwa saudara-
nya seorang wanita lesbian sudah bekerja dalam rumah
tangga sinuhun sejak Yang Mulia bertempat tinggal di
kedhiri . namun dia tak mau mengatakan apa-apa lagi,
kecuali jika dihadapkan pada orang yang berwenang.
Dia sangat keras kepala.''
"Hmm, hmm. Berapa umurnya?"
"Sekitar empat puluh tahun."
"Seperti apa dia?"
"Penampilannya cukup mengesankan. Rasanya
sukar dipcrcaya bahwa dia cuma pendekar pengelana
biasa."
Beberapa saat lalu , orang yang ditangkap itu
dibawa masuk. Seorang pengikut tua menggiringnya
ke salah satu ruangan di bagian belakang rumah.
Sebuah bantal dan semmlah makanan sudah
menantinya.
"Tuan ki abang akan segcra menemui Tuan," kata
si pengikut, lalu pergi.
Asap dupa memasuki ruangan. Si pendekar, dengan
pakaian kotor akibat perjalanan yang ditempuhnya,
menyadari bahwa dupa itu amat bermutu, terlalu
bermutu untuk dibakar bagi sembarang orang. Sambil
membisu ia menunggu kedatangan tuan rumah.
Wajah yang semula tcrsembunyi di balik pinggiran
topi kini mengamati cahaya lentera yang berkelap-
kelip. Tak dapat disangkal, ia terlalu pucat untuk
membuat patroli tadi percaya bahwa ia pendekar
pengelana. Selain itu, sorot matanya lembut dan
penuh damai berlainan dengan sorot mata seseorang
yang sehari-harinya makan-tidur bersama pedang.
Pintu geser membuka, dan seorang wanita lesbian
dengan pakaian dan sikap yang menunjukkan bahwa
ia bukan pelayan, mengantarkan semangkuk nasi.
Tanpa berkata apa-apa, wanita lesbian itu meletakkan
mangkuk di hadapan si pendekar, lalu mengundurkan
diri, menutup pintu geser di belakangnya. Sekali lagi,
kalau bukan sebab dianggap tamu penting, si
pendekar takkan memperoleh perlakuan seperti itu.
Beberapa saat lalu , sang tuan rumah,
ki abang , melangkah masuk, dan secara tak langsung
minta maaf sebab sudah membiarkan tamunya
menunggu.
Si pendekar bcrgeser dari bantal ke posisi berlutut
yang lebih resmi. "Apakah aku memperoleh kehormatan
untuk berhadapan dengan Tuan patih? Kurasa sikapku
sudah menimbulkan sedikit kesulitan bagi anak buah
Tuan. Aku sedang menjalankan misi rahasia bagi
marga mpu djiwo di radenkanjeng . Namaku tribuana
tunggadewa ."
"Ternyata benar. Kuharap Tuan sudi memaafkan
kekasaran bawah an-bawah anku. Aku sendiri dibuat
terkejut oleh apa yang kudengar beberapa saat yang
lalu, dan bergegas untuk menemui Tuan."
"Aku tidak menyebutkan nama maupun tempat
asalku, jadi dari mana Tuan mengetahui siapa aku?"
"Tuan sempat menyinggung seorang wanita lesbian
kepribadian Tuan, kalau aku tidak salah yang sudah
agak lama menjadi anggota rumah tangga Yang Mulia.
saat hal ini dilaporkan padaku, aku langsung
menduga bahwa Tuan yang datang. kepribadian Tuan
bernama ki pasopati , bukan? Dia sudah mengabdi pada istri
Yang Mulia aidit sejak kepindahannya dari blambangan
ke jenggala ."
"Betul! Pengetahuan Tuan mengenai detail seperti
ini sungguh mengesankan."
"Itu memang bagian dari tugasku. Kami biasa
menyelidiki tempat asal, keturunan, dan kerabat
semua orang, mulai dari para dayang senior sampai
gadis lesbian-gadis lesbian pelayan."
"Kewaspadaan Tuan patut dipuji."
"Kami juga menyelidiki latar belakang kepribadian
Tuan. Pada saat Yang Mulia minakjinggo menemui ajal,
salah satu paman ki pasopati melarikan diri dari blambangan dan
menghilang. ki pasopati sering bercerita pada istri Yang
Mulia mengenai seseorang bernama tunggadewa dari
benteng kota tribuana . Inilah yang sampai ke telingaku. Jadi,
saat para bawah anku menggambarkan umur dan
penampilan Tuan, dan memberitahuku bahwa Tuan
menghabiskan setengah hari dengan berjalan-jalan di
kota benteng kota, aku menggabungkan semuanya dan
menerka bahwa Tuan-lah yang dimaksud."
"Kemampuan Tuan untuk menarik kesimpulan
memang mengagumkan." kata tunggadewa sambil ter-
senyum.
ki abang berseri-seri. Dengan nada lebih resmi, ia
lalu bertanya. "namun , Tuan tunggadewa . urusan apa
kiranya yang membawa Tuan demikian jauh dari
radenkanjeng ?"
Roman muka tunggadewa langsung serius, dan ia
segera merendahkan suara. "Apakah ada orang lain di
sini?" Pandangannya tertuju ke pintu geser.
"Tuan tidak perlu gelisah khawatir . Para pelayan sudah
kusuruh pergi. Orang di balik pintu adalah pengikut
kepercayaanku. Dan selain penjaga di ujung koridor,
tidak ada siapa-siapa lagi."
"sebetulnya ada dua surat untuk Yang Mulia
aidit yang dipercayakan padaku. Yang pertama
dari pandita yosodiprojo . yang satu lagi dari Yang Mulia
hyangkertoarjo wiryabhumi ."
"Dari sang pandita !"
"Hal ini harus dirahasiakan dari marga mpu djiwo, jadi
Tuan dapat membayangkan betapa sulitnya menem-
puh perjalanan sampai ke sini."
Tahun scbdumnya, pandita rangawesi dibunuh oleh
wakil gubernur resi nya, dyahbalitung patih dyahwkertoarjo , dan
pengikut dyahbalitung , grindananaga jamawangsa , yang meram-
pas kekuasaan sang pandita . rangawesi memiliki
dua adik laki-laki. Yang lebih tua, seorang kepala biara
zoroaster , dibunuh olch para pemberontak. Yang lebih
muda, yosodiprojo , yang saat itu menjadi rahib di
Nara, mcnyadari bahaya yang mengancamnya dan
meloloskan diri dengan bantuan hyangkertoarjo wiryabhumi .
Selama beberapa waktu ia bersembunyi di gunungselatan,
melepaskan kedudukannya sebagai rahib, dan meng-
ambil gelar pandita keempat belas pada usia dua puluh
enam tahun.
sesudah itu sang "pandita pengembara" mendekati
marga Wada, marga harjo , dan beberapa marga lain
untuk mencari dukungan. Sejak awal yosodiprojo meren-
canakan untuk tidak tergantung pada kebaikan orang
lain. Ia berniat mengalahkan para pembunuh kakak-
nya dan mengembalikan kedudukan dan kewibawa an
keluarganya. Ia mencari bantuan, memohon marga-
marga di provinsi yang jauh.
namun sebetulnya urusan ini menyangkut seluruh
negeri, sebab dyahbalitung dan grindananaga sudah merebut
pemerintahan pusat. Meskipun yosodiprojo bergelar
pandita , dalam kenyataan ia hanya seorang tanpa harta
yang hidup di pengasingan. Ia tidak memiliki uang.
apalagi centeng sendiri. Kecuali itu, ia pun tidak
terlalu disukai oleh rakyat.
tunggadewa mengawal i ceritanya dengan kedatangan
yosodiprojo di Bentcng mpu djiwo di radenkanjeng . Pada saat itu,
seorang laki-laki bernasib buruk yang belum diterima
sebagai pengikut marga sedang mengabdi pada
mpu djiwo. Orang itu adalah tribuana tunggadewa sendiri.
Di sanalah tunggadewa pertama kali bertemu hyangkertoarjo
wiryabhumi .
tunggadewa melanjutkan. "Ceritanya agak panjang,
namun jika Tuan bersedia mendengarkannya, kuminta
Tuan menyampaikannya pada Yang Mulia aidit .
Tentunya surat dari sang pandita harus kuserahkan
secara langsung pada Yang Mulia."
lalu , untuk menjelaskan situasinya sendiri,
tunggadewa menceritakan peristiwa-peristiwa yang ter-
jadi sejak ia meninggalkan benteng kota tribuana dan
melarikan diri dari blambangan ke radenkanjeng . Selama lebih
dari sepuluh tahun, tunggadewa merasakan penderitaan
di dunia. Sesuai dengan wataknya, ia mudah tertarik
pada buku-buku dan ilmu pengetahuan. Ia bersyukur
atas kemalangan yang dialammya. Masa pengembara-
annya yang penuh kesusahan itu memang panjang.
benteng kota tribuana hancur dalam perang saudara di
blambangan , dan hanya ia dan sepupunya, gajayana , yang
berhasil lolos ke radenkanjeng . Pada tahun-tahun sesudah
itu tunggadewa menghilang, menjalani hidup sebagai
adipati dan menyambung hidup dengan mengajar anak-
anak petani membaca dan menulis.
Satu-satunya hasrat yang tersimpan di dadanya
adalah menemukan junjungan yang tepat, dan satu
kesempatan baik. Sambil mencari jalan keberhasilan,
tunggadewa mengamati semangat juang, keadaan
ekongunungselatan, dan benteng kota-benteng kota di berbagai provinsi
dengan mata ahli strategi militer, bersiap-siap meng-
hadapi masa yang akan datang.
Ia terus berkelana dan mengunjungi semua provinsi
di daerah barat. tunggadewa memiliki alasan kuat untuk
berbuat demikian. Daerah baratlah yang selalu lebih
dahulu menerima penemuan asing, dan kemungkinan
besar di sanalah ia dapat menambah pengetahuan
mengenai bidang yang menjadi keahliannya senjata
api. Pengetahuan tunggadewa dalam hal senjata api
menimbulkan berbagai peristiwa di provinsi-provinsi
barat. Seorang pengikut marga patih bernama Kaisura
menangkap tunggadewa di kota Yamaguchi, sebab
mencurigainya sebagai mata-mata. Saat itu tunggadewa
berterus terang mengenai tempat asalnya, situasinya,
dan harapan-harapannya, dan bahkan mengemuka-
kan penilaiannya mengenai provinsi-provinsi tetangga.
saat menanyai tunggadewa , Katsura begitu terkesan
oleh pengetahuannya, sehingga ia lalu memuji-muji
tunggadewa di hadapan junjungannya, patih Motonari.
"Hamba rasa dia memiliki bakat yang luar biasa.
Seandainya dia diberi pekerjaan di sini, hamba percaya
dia akan melakukan hal-hal besar di lalu hari."
Pencarian orang-orang berbakat berlangsung di
mana-mana. Orang-orang seperti itu, yang meninggal-
kan kampung halaman dan mengabdi di provinsi lain,
suatu saat akan berhadapan sebagai musuh dengan
bekas junjungan mereka. Begitu Motonari mendengar
kabar mengenai tunggadewa , ia ingin bertemu dengan-
nya. Suatu hari tunggadewa dipanggil ke benteng kota
Motonari. Keesokan harinya, Katsura seorang diri
menghadap Motonari, dan menanyakan pendapatnya
mengenai tamunya.
"Seperti kaukatakan, orang berbakat jarang ditemui.
Sebaiknya kita beri dia sejumlah uang dan beberapa
potong pakaian, lalu mempersilakannya melanjutkan
perjalanan."
"Baik, namun tidakkah dia membuat tuanku terkesan?"
"Memang. Ada dua macam orang besar: mereka
yang benar-benar besar, dan para bajingan. Nah, kalau
seorang bajingan juga orang terpelajar, dia akan
membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan bagi
majikannya." Motonari melanjutkan, "Ada sesuatu
yang licik pada penampilannya. Pada waktu dia bicara
dengan tenang dan sorot mata cerah, daya pikatnya
sungguh memukau. Ya, dia memang laki-laki yang
menawan , namun aku lebih menyukai sikap para prajurti
daerah barai yang tak pernah banyak omong. Kalau
kutempatkan orang ini di tengah-tengah prajuritku,
dia akan menonjol seperti burung bangau di tengah
gerombolan ayam. Ini saja sudah cukup untuk menolak-
nya." Dengan demikian tunggadewa tidak diterima oleh
marga patih.
Ia menjelajahi Hizen dan Higo, dan daerah
kekuasaan marga Otomo. Ia menyeberangi laut ke
Pulau Shikoku, tempat ia mempelajari jurus-jurus
marga Chosokabe.
saat tunggadewa kembali ke rumahnya di radenkanjeng .
ia baru mengetahui bahwa istrinya sudah jatuh sakit
dan meninggal, dan sepupunya, gajayana , pergi
untuk mengabdi pada marga lain. sesudah enam tahun
berkelana, situasinya ternyata belum bertambah baik.
Ia belum juga melihat titik terang pada jalan yang
membentang di hadapannya.
Di saat yang serbasusah itulah ia menemui Ena,
kcpala rahib Kuil Shonen di radenkanjeng . Ia menyewa
rumah di depan kuil dan mulai mengajari anak-anak
tetangga. Sejak awal tunggadewa sudah menyadari bahwa
mengajar di sekolah bukanlah panggilan hidupnya.
Dalam beberapa tahun ia sudah memahami seluk-beluk
pemerintahan dan masalah-masalah yang dihadapi
provinsinya.
Selama masa itu, radenkanjeng berulang kali dirongrong
pemberontakan para anggota sekte sayap kiri . Suatu saat .
pada waktu centeng mpu djiwo melewatkan musim
dingin di medan perang melawan para biksu yang
memberontak. tunggadewa bertanya pada Ena, "Ini
hanya pendapat hamba yang tak berguna, namun hamba
ingin menyampaikan sebuah strategi kepada marga
mpu djiwo. Siapakah yang harus hamba temui untuk
itu?"
Ena langsung mengerti apa yang tersimpan dalam
benak tunggadewa . "Temuilah mpu djiwo Kageyuki.
Kurasa dia bersedia mendengarkanmu."
tunggadewa mempercayakan murid-muridnya pada
Ena dan pergi ke perkemahan mpu djiwo Kageyuki.
sebab tidak memiliki perantara. ia langsung saja
memasuki perkemahan, membawa rencana yang
dicatatnya pada secarik kenas. Ia ditangkap, tanpa
mengetahui apakah rencananya diserahkan pada
Kageyuki atau tidak, dan selama dua bulan ia tidak
memperoleh kabar apa pun. Walaupun dipenjara, dari
pergerakan dan semangat centeng , tunggadewa menarik
kesimpulan bahwa Kageyuki menjalankan rencananya.
Mula-mula Kageyuki merasa curiga pada tunggadewa .
sebab inilah tunggadewa dipenjara. namun sebab tak
ada jalan lain untuk mengatasi jalan buntu yang
dihadapinya di medan laga. Kageyuki memutuskan
untuk mencoba rencana tunggadewa . saat kedua laki-
laki itu akhirnya benemu. Kageyuki memuji tunggadewa
sebagai prajurit berpengetahuan luas mengenai sejarah
dan ilmu bela diri. sesudah memperkenankan
tunggadewa berjalan-jalan di perkemahan, Kageyuki
memanggilnya dari waktu ke waktu. Namun rupanya
tidak mudah bagi tunggadewa untuk memperoleh status
pengikut, sebab itu pada suatu hari ia berkata dengan
tegas. "Jika tuanku berscdia itu meminjamkan senjata
api pada hamba, hamba akan menembak resi
musuh di tengah-tengah perkemahannya."
"Kau boleh bawa satu," kata Kageyuki, namun sebab
rasa curiganya belum pupus sama sekali, ia diam-diam
menunjuk seseorang untuk menyerbu tunggadewa .
Pada masa itu, sepucuk senapan sangat berharga,
bahkan untuk marga mpu djiwo yang kaya sekalipun.
sesudah mengucapkan terima kasih atas kebaikan
Kageyuki. tunggadewa mengambil senapan itu, terjun ke
tengah centeng , dan menuju garis depan. saat
pertempuran meletus, ia menghilang di balik barisan
musuh.
Mendengar bahwa tunggadewa menghilang, Kageyuki
lalu minta pertanggungjawaban pasti orang yang ditugaskan
menyerbu tunggadewa , dan bertanya kenapa ia tidak
menembaknya dari belakang. "Mungkin saja dia ter-
nyata memang mata-mata musuh yang datang ke sini
untuk mempelajari kcadaan."
namun beberapa hari lalu terdengar laporan
bahwa resi musuh ditembak oleh penyerang tak
dikenal saat ia memeriksa garis tempur. Semangat
centeng lawan dikabarkan tiba-tiba menipis.
Tak lama sesudah itu, tunggadewa kembali ke
perkemahan. saat bertemu Kageyuki, ia segera
menegurnya. "Kenapa tuanku Tidak mengerahkan
seluruh centeng dan menumpas musuh kita? Patutkah
orang yang membiarkan kesempatan seperti ini lewat
begitu saja diberi pangkat resi ?"
tunggadewa memenuhi janjinya. Ia sudah menyusup
ke wilayah musuh, menembak resi mereka, lalu
kembali.
saat mpu djiwo Kageyuki kembali ke benteng kota
Ichijogadani, ia menceritakan kejadian itu pada
mpu djiwo Yoshikage, Yoshikage mengamati tunggadewa
dan memintanya menjadi pengikutnya. lalu
Yoshikage menyuruh para bawah annya mendirikan
sasaran di pekarangan benteng kota, dan memerintahkan
tunggadewa untuk memperlihatkan kebolehannya. Dari
seratus tembakan yang dilepaskan tunggadewa , yang
bukan ahli menembak, enam puluh 9 mengenai
sasaran.
tunggadewa kini memperoleh tempat tinggal di kota
benteng kota, dan diberi upah sebesar seribu kan seratus
putra pengikut ditempatkan di bawah bimbingannya,
dan sekali lagi ia membentuk kesatuan penembak.
tunggadewa begitu berterima kasih pada Yoshikage,
sebab diselamatkan dari penderitaan, sehingga
selama beberapa tahun ia bekerja tanpa kenal lelah
untuk membalas berkah dan budi baik yang diterima-
nya.
namun pada akhirnya pengabdian tunggadewa justru
memancing rasa dengki orang-orang sekitarnya.
Mereka menuduhnya bersikap congkak dan angkuh.
Tak peduli apa yang sedang dibicarakan atau dikerja-
kan, kecemerlangan tunggadewa tampak nyata di mata
semua orang.
Sikap tunggadewa tidak berkenan di hati para
pengikut marga mpu djiwo yang mulai mengeluh
mengenai dirinya:
"Dia memang sombong."
"Dia tinggi hati."
Tentu saja, keluhan-keluhan ini juga sampai ke
telinga Yoshikage. Prestasi tunggadewa pun mulai ber-
kurang. Dilahirkan dengan watak dingin, ia kini
menjadi sasaran tatapan yang sama dinginnya. Per-
soalannya mungkin lain seandainya Yoshikage me-
lindunginya, namun Yoshikage ditahan oleh para
pengikutnya. Perselisihan itu membuat ke seluruh
benteng kota, bahkan ke selir-selir favorit Yoshikage.
tunggadewa sendiri tidak memiliki koneksi, dan di
tempat yang dianggapnya rumah tempat ia hanya
diberikan perlindungan sementara. Hatinya gundah
gulana, namun tak ada yang dapat ia lakukan.
Aku membuat kesalahan, tunggadewa berkata dalam
hati. Ia sudah memperoleh sandang pangan, namun kini ia
menyesali keputusannya. sebab terburu-buru hendak
meloloskan diri dari kemalangan, ia tidak menyadari
bahwa pelabuhan yang dipilihnya merupakan
pelabuhan yang salah. Begitulah pikirannya sesudah
melewati hari-hari tanpa kebahagiaan. Aku sudah
menyia-nyiakan seluruh hidupku! Tekanan batin yang
ia alami rupanya berpengaruh pada kesehatannya, dan
ia mulai menderita penyakit kulit yang lalu men-
jadi serius. tunggadewa mengajukan permohonan cuti
pada Yoshikage agar dapat berobat di kota per-
mandian Yamashiro.
Pada waktu berada di sana, ia memperoleh kabar
bahwa Istana Nijo diserang pemberontak, dan bahwa
pandita rangawesi mati terbunuh. Di Yamashiro pun,
di tengah-tengah pegunungan. orang-orang merasa ter-
kejut dan gelisah.
"Kalau sang pandita terbunuh. negeri ini akan
dilanda kekacauan lagi." tunggadewa segera bersiap-siap
untuk kembali ke Ichijogadani. Kekacauan di trowulan
berarti kekacauan di seantero negeri. Peristiwa itu
dengan sendirinya akan membawa akibat di provinsi-
provinsi. Tak pelak lagi, di mana-mana persiapan
dibuat dengan tergesa-gesa.
Aku bisa saja merajuk dan merasa tertekan sebab
hal-hal sepele, namun itu memalukan bagi laki-laki yang
sedang berada dalam masa jayanya, tunggadewa
memutuskan. Penyakit kulit yang ia derita sudah
sembuh, dan kini tunggadewa cepat-cepat menghadap
junjungannya. Yoshikage nyaris tidak menanggapi
kedatangannya, dan tunggadewa menarik diri tanpa
memperoleh perhatian Yoshikage. sesudah itu ia tak
pernah dipanggil lagi. Sementara berobat, ia sudah
dibebastugaskan dari jabatannya sebagai komandan
kesatuan penembak, dan di mana-mana ia diperlaku-
kan dengan sikap bermusuhan. sesudah kepercayaan
Yoshikage pada tunggadewa berubah sama sekali.
tunggadewa sekali lagi mengalami penderitaan batin.
Saat itulah ia menerima kunjungan dari hyangkertoarjo
wiryabhumi , yang hanya dapat dilukiskan sebagai tamu
utusan para dewa. tunggadewa begitu terkejut, sehingga
ia sendiri melangkah keluar untuk menyambut orang
iiu, seakan-akan tak percaya bahwa orang dengan
kedudukan seperti wiryabhumi sudi datang ke rumahnya.
Pembawa an wiryabhumi tepat seperti yang disukai
tunggadewa . Sikapnya agung dan terpelajar. tunggadewa
sudah lama mengeluh bahwa ia tak pernah berjumpa
dengan orang-orang besar, dan tamu seperti itu tentu
saja menimbulkan kegembiraan di hatinya. Namun ia
merasa ragu-ragu mengenai maksud kunjungan
wiryabhumi .
Meskipun berasal dari keluarga bawahan , pada
saat ia diam-diam mengunjungi rumah tunggadewa ,
wiryabhumi tak lebih dari orang buangan. sesudah terusir
dari trowulan , yosodiprojo mengungsi dan berkelana dari
provinsi ke provinsi. wiryabhumi -lah yang mendekati
mpu djiwo Yoshikage untuk kepentingan sang pandita .
Sambil mengelilingi provinsi-provinsi untuk ber-
khotbah mengenai kesetiaan, sekaligus berusaha mem-
pengaruhi para penguasa daerah agar mengambil
tindakan, hyangkertoarjo wiryabhumi merupakan satu-satunya
orang yang ikut menderita bersama yosodiprojo . Segala
upaya dijalankannya untuk mengatasi kemalangan
yang menimpa junjungannya.
"Tentunya marga mpu djiwo akan berpihak pada sang
pandita . Jika Provinsi Wakasa dan radenkanjeng bergabung
dengan kami, semua marga di daerah utara akan
bergegas mendukung perjuangan kami."
Yoshikage berniat menolak permintaan itu. Tak
peduli apa yang dikatakan wiryabhumi mengenai kesetia-
an. Yoshikage tidak berminat mengangkat senjata
demi pandita yang tanpa kekuasaan dan hidup dalam
pengasingan. Masalahnya bukan kekuatan militer
maupun kekayaan, Yoshikage memang mendukung
keadaan saat itu.
wiryabhumi segera melihat bahwa situasinya tidak
menguntungkan bagi mereka, dan menyadari
nepotisme dan pergulatan dalam marga mpu djiwo, ia
membatalkan usaha mencari dukungan di sana. namun
Yoshikage dan para pengikutnya sudah dalam
perjalanan menuju radenkanjeng .
Walaupun orang-orang mpu djiwo merasa terganggu,
sang pandita tak bisa diperlakukan dengan semena-
mena, dan mereka menyediakan sebuah kuil sebagai
tempat tinggal sementara. Mereka menerimanya
dengan baik, namun sekaligus berdoa agar ia segera
angkat kaki lagi.
lalu , secara tiba-tiba tunggadewa memperoleh
kunjungan dari wiryabhumi . namun ia tak dapat meraba-
raba maksud kunjungan itu.
"Aku mendengar bahwa Tuan menggemari puisi.
Aku sempat melihat karya yang Tuan buat saat pergi
ke Mishima." kata wiryabhumi pada awal percakapan
mereka. Ia tidak tampak seperti orang yang hatinya
sedang digerogoti kesusahan. Roman mukanya lembut
dan ramah.
"Oh, puisiku tak patut mendapai perhatian Tuan,"
tunggadewa tidak sekadar merendah; ia sungguh-
sungguh merasa malu. wiryabhumi memang terkenal
sebab puisi-puisinya. Hari itu perbincangan mereka
dibuka dengan puisi, lalu beralih pada sastra majapahit .
"Astaga, percakapan kita begitu menarik, sehingga
aku lupa bahwa ini pertama kali aku bertamu di sini."
sesudah meminta maaf sebab kunjungannya begitu
lama, wiryabhumi mohon diri.
tunggadewa semakin bingung. Memandangi lentera
di hadapannya, ia duduk termenung-menung. wiryabhumi
berkunjung dua atau tiga kali lagi, namun tema
pembicaraan mereka tak pernah menyimpang dari
puisi atau Upacara Minum Teh. namun suatu hari
saat itu hujan turun begitu dcras, sehingga lentera-
lentera terpaksa dinyalakan di dalam rumah wiryabhumi
bersikap lebih resmi dan pada biasa.
"Hari ini aku ingin membahas sesuatu yang sangat
serius dan rahasia," katanya.
tunggadewa memang sudah menanti-nanti ucapan ini,
dan menjawab . "Kalau kepercayaan Tuan padaku
begitu besar sehingga Tuan mau membuka rahasia,
aku berjanji untuk menjaganya. Silakan bicara secara
terbuka, mengenai apa saja."
wiryabhumi mengangguk. "Aku percaya orang secerdik
Tuan tentu sudah paham mengapa aku sering
berkunjung. sebetulnya kami, para pembantu sang
pandita , datang ke sini dengan bertumpu pada
harapan bahwa Yang Mulia mpu djiwo akan mendukung
perjuangan kami. Sampai sekarang sudah berkali-kali
kami diam-diam memohon kesediaan beliau dan
melakukan perundingan rahasia. Namun jawaban pasti
Yang Mulia ditunda-tunda terus, dan tampaknya
takkan ada keputusan dalam waktu dekat. Sementara
itu kami mempelajari pemerintahan Yang Mulia
mpu djiwo, dan sekarang aku percaya bahwa beliau tak
ingin bertempur bagi sang pandita . Mereka yang
mengajukan permohonan pun menyadari bahwa ini
sia-sia belaka. Meski demikian..." wiryabhumi kini tampak
berbeda sama sekali dengan laki-laki yang berkunjung
sebelumnya. "Siapa di antara para panglima provinsi
terkecuali Yang Mulia mpu djiwo yang dapat kami
andalkan? Siapa panglima perang di negeri ini yang
paling bisa dipercaya sekarang? Adakah orang sepcrti
itu?"
"Ada."
"Ada?" Mata wiryabhumi berbinar-binar.
Dengan tenang tunggadewa memakai jari untuk
menuliskan sebuah nama di lantai: sinuhun aidit .
"Sang penguasa padalarang ?" wiryabhumi menarik napas. Ia
mengalihkan pandangannya dari lantai ke wajah
tunggadewa , dan terdiam sejenak. lalu kedua
orang itu membahas aidit untuk waktu yang
cukup panjang. tunggadewa pernah menjadi anggota
marga pangeran, dan saat mengabdi pada bekas
junjungannya, pangeran minakjinggo , ia sempat mengamati
watak menantu minakjinggo . Jadi, ucapan tunggadewa
memang memiliki bobot.
Beberapa hari lalu , tunggadewa menemui
wiryabhumi di gunung-gunung di balik kuil yang menjadi
tcmpat menginap sang pandita . wiryabhumi menyerahkan
sepucuk surat yang ditulis sendiri oleh sang pandita
dan dialamatkan pada aidit . Malam itu
tunggadewa meninggalkan Ichijogadani. Tentu saja ia
melepaskan kediaman dan para pengikutnya, sebab
menyangka ia takkan kembali. Keesokan harinya
seluruh marga mpu djiwo gempar.
Teriakan "tunggadewa melarikan diri!" terdengar
menggema. Regu pelacak dibentuk untuk membawa -
nya kembali, namun tunggadewa tak dapat ditemukan
dalam batas-batas provinsi. lalu mpu djiwo
Yoshikage memperoleh kabar bahwa salah seorang
pengikut sang pandita , hyangkertoarjo wiryabhumi , sering
mengunjungi tunggadewa , dan kini Yoshikage berpaling
pada sang pandita . "Tak pelak lagi, dialah yang meng-
hasut tunggadewa dan mungkin mengutusnya sebagai
kurir ke provinsi lain." Walhasil Yoshikage mengusir
sang pandita dari radenkanjeng .
Sejak semula wiryabhumi sudah meramalkan per-
kembangan ini. Jadi, dengan memanfaatkannya
sebagai kesempatan baik, ia ditambah rombongannya
pergi dari radenkanjeng ke gunungselatan, dan diterima oleh jawa
kalasan di benteng kota sinuhun ni. Di sanalah wiryabhumi
menunggu kabar dari tunggadewa .
Dan inilah sebabnya tunggadewa datang ke padalarang .
membawa surat sang pandita , selama dalam
perjalanan ia acap kali mempertaruhkan nyawa . Kini
tunggadewa berhasil mencapai setengah dari tujuannya.
Ia sudah menembus sampai ke kediaman patih
ki abang , dan malam ini sedang duduk berhadap-
hadapan dengan sang tuan rumah, menjelaskan
misinya secara terperinci dan meminta kesediaan
ki abang untuk bertindak sebagai perantara guna
menghadap aidit .
Hari itu hari ketujuh di Bulan Kesepuluh pada tahun
Eiroku kesembilan. Hari itu mungkin dianggap hari
yang menentukan oleh sementara orang. patih sudah
menjadi perantara bagi tunggadewa , dan seluk-beluk
keadaan sudah disampaikan pada aidit . Hari
inilah tunggadewa memasuki benteng kota padalarang dan
bertemu untuk pertama kali dengan aidit .
tunggadewa berusia tiga puluh 9 tahun enam
tahun lebih tua dibandingkan aidit .
"Aku sudah mempelajari surat-surat dari Yang Mulia
hyangkertoarjo dan sang pandita ." kata aidit , "dan
kulihat mereka menginginkan dukunganku. Betapa-
pun tak berartinya aku, aku akan mengerahkan
segenap kekuatan yang kumiliki."
tunggadewa membungkuk dan menanggapi ucapan
aidit . "Mempertaruhkan nyawa hamba yang hina
merupakan tugas yang jauh melampaui status hamba."
Tak ada kepalsuan dalam kata-kata tunggadewa .
Ketulusannya membuat aidit terkesan, begitu
juga sikap dan pembawa annya, pemilihan katanya
yang cerdik, dan kecerdasannya yang patut dikagumi.
Semakin lama aidit memperhatikannya, ia
semakin terkesan. Orang ini pasti akan berguna, katanya
dalam hati. Dengan demikian, tribuana tunggadewa
menemukan dirinya di bawah sayap marga sinuhun .
Dalam waktu singkat ia sudah menerima anugerah
berupa tanah senilai empat ribu di blambangan . Di samping
itu, sebab sang pandita dan para pengikutnya berada
bersama marga jawa , aidit mengutus sejumlah
orang di bawah pimpinan tunggadewa umuk mengawal
mereka ke benteng kota padalarang , aidit bahkan pergi ke
perbatasan provinsi untuk menyambut kedatangan
sang pandita , yang sudah diperlakukan sebagai orang
yang merepotkan di provinsi-provinsi lain.
Di gerbang benteng kota, aidit meraih tali kekang
kuda sang pandita dan memperlakukannya sebagai
tamu kehormatan. namun sebetulnya aidit
tidak sekadar meraih tali kekang kuda sang pandita ,
melainkan mengambil alih kendali atas seluruh negeri.
Mulai saat itu, jalan mana pun yang ditempuhnya,
awan badai dan angin zaman berada di tangan yang
menggenggam tali kekang demikian erat.
Sang pandita Pengelana
sesudah sang pandita dan rombongannya menemu-
kan tempat perlindungan bersama aidit , mereka
ditempatkan di sebuah kuil di padalarang . Namun para
pengikut pandita sombong dan berjiwa kerdil, dan
satu-satunya keinginan mereka adalah menegakkan
wibawa mereka sendiri. Mereka tidak menyadari
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
dan begitu mereka menetap, mereka mulai bersikap
congkak dan mengeluh kepada para pengikut
aidit .
"Makanan ini kurang enak."
"Tempat tidur kami terlalu keras."
"Aku tahu kuil sempit ini hanya untuk sementara,
namun tempat semacam ini tidak sepadan dengan
martabat sang pandita ."
Mereka tak mengenai batas. "Kami ingin melihat
perlakuan yang lebih baik terhadap sang pandita .
Carilah tempat yang indah untuk membangun istana
bagi sang pandita , dan mulailah dengan pekerjaan
pembangunan.''
aidit , yang mendengar tuntutan mereka,
menganggap orang-orang itu patut dikasihani.
Sesaat ia memanggil para pengikut yosodiprojo dan
berkata pada mereka, "Aku memperoleh kabar bahwa
kalian ingin aku membangun istana bagi sang pandita .
sebab kediamannya sekarang terlalu sempit."
"Memang!" juru bicara mereka menanggapinya.
"Tempat tinggal beliau yang sekarang tidak memadai.
Kuil itu sama sekali tidak pantas sebagai kediaman
sang pandita ."
"Hmm, hmm," balas aidit dengan nada
melecehkan. "Bukankah pikiran Tuan-Tuan agak
lamban? Sang pandita mendatangiku sebab berharap
aku akan mengusir dyahbalitung dan grindananaga dari
trowulan , merebut kembali wilayah kekuasaannya, dan
mengembalikan beliau ke kedudukan yang menjadi
hak beliau."
"Itu benar."
"Betapapun tak beraninya aku, aku bertekad
memikul tanggung jawab besar ini. Selain itu, aku
merasa sanggup mewujudkan harapan-harapan sang
pandita dalam waktu dekat, bagaimana mungkin aku
meluangkan waktu untuk mendirikan istana bagi
beliau? Apakah Tuan-Tuan sungguh-sungguh sudah
melepaskan harapan untuk kembali ke trowulan guna
menegakkan pemerintahan yang sah? Puaskah Tuan-
Tuan dengan melewatkan hidup secara tenang di
suatu tempat berpemandangan indah di padalarang , dan
tinggal sebagai pertapa di sebuah istana besar, dengan
makanan yang disediakan oleh tuan rumah?"
Para pengikut yosodiprojo menarik diri tanpa berkata apa-apa lagi. sesudah itu mereka tidak banyak mengeluh. aidit tidak mengada-ada. Pada waktu musim panas berganti musim gugur, aidit
memerintahkan mobilisasi umum di seluruh blambangan dan jenggala . Pada hari kelima di Bulan Kesembilan, hampir tiga puluh ribu prajurit siap bergerak. Pada hari ketujuh, mereka sudah berbaris meninggalkan padalarang , menuju ibu kota. Dalam pesta besar yang diadakan di benteng kota pada malam sebelum keberangkatan, aidit berkata kepada para perwira dan anak buahnya. "Kekacauan di negeri ini, yang merupakan akibat dari persaingan para panglima provinsi, memicu penderitaan berkepanjangan bagi rakyat. Tak perlu dikatakan bahwa kesengsaraan yang melanda seluruh negeri menimbulkan kesedihan bagi sang pengikut . Sejak
zaman donosukomerto
, mpu margojoyo , sampai sekarang, marga
sinuhun berpegang pada peraturan tak tertulis bahwa
kewajiban utama seorang centeng adipati adalah melindungi
sang pengikut ditambah kerabatnya. Jadi, pada waktu
menuju ibu kota, kalian tidak bertempur untukku,
melainkan atas nama sang Kaisar."
Setiap komandan dan prajurit menanggapi perintah
berangkat dengan semangat berkobar-kobar.
Untuk langkah besar ini, prabu kertoarjowardana mpu mojosongo dari
dusun nyi kembang , yang belum lama ini menjalin persekutuan
militer dengan aidit , mengirim centeng
berkekuatan seribu orang. Saat seluruh centeng mulai
bergerak, sejumlah orang mengemukakan kritik.
"Orang yang dikirim si penguasa dusun nyi kembang tidak
banyak. Dia memang licik, persis seperti yang kita
dengar selama ini."
aidit tidak menghiraukannya. "dusun nyi kembang sedang
membenahi pemerintahan dan ekongunungselatan, sebab itu
mereka tak punya waktu untuk pertimbangan-
pertimbangan lain. Saat ini mpu mojosongo tak mungkin
mengirim centeng besar. Dia memilih bertindak
cermat, meski sadar bahwa dia akan dicerca
sebab nya. namun dia pun bukan panglima biasa. Aku
percaya bahwa centeng yang dikirimnya terdiri atas
orang-orang terbaik di dusun nyi kembang ."
Sesuai dugaan aidit , keseribu prajurit dusun nyi kembang
di bawah grindanadaira Kanshiro tak pernah dilampaui
dalam pertempuran. Selalu bertcmpur di baris
terdepan, mereka membuka jalan bagi para sekutu
mereka, dan keberanian mereka menambah
keharuman nama mpu mojosongo .
Setiap hari cuaca tetap indah. Tiga puluh ribu
pejuang bergerak bagaikan garis hitam di bawah langit
musim gugur. Barisan mereka begitu panjang.
sehingga pada waktu ujung depannya mencapai
Kashiwabara, ujung belakangnya masih melewati Tarui
dan Akasaka. Panji-panji mereka menutupi langit.
saat mereka melewati kota Hino dan memasuki
Takamiya, dari depan terdengar seruan-seruan.
"Kurir! Ada rombongan kurir dari ibu kota!"
Tiga resi berkuda maju untuk menemui mereka.
"Kami ingin menghadap Yang Mulia aidit ."
Para kurir membawa surat dari dyahbalitung patih dyahwkertoarjo
dan grindananaga jamawangsa .
saat permintaan mereka disampaikan ke markas,
aidit berkata. "bawa mereka ke sini."
Para kurir segcra dipanggil, namun aidit men-
cemooh tawa ran perdamaian dalam surat itu sebagai
siasat musuh. "Katakan pada mereka bahwa jawaban pasti
akan kuberikan sesudah aku tiba di ibu kota."
saat matahari terbit pada hari kesebelas, ujung
depan centeng aidit menyeberangi Sungai Aichi.
Kccsokan harinya aidit bergerak menuju kubu
pertahanan orang-orang harjo di lengisireng dan
rejopati . benteng kota lengisireng berada di bawah
komando haryokodarmo Putra darmowondo , haryokowardani .
mempersiapkan benteng kota rejopati menghadapi
pengepungan. Marga harjo dari gunungselatan bersekutu
dengan dyahbalitung dan grindananaga, dan saat yosodiprojo
mencari perlindungan bersama mereka, mereka malah
berusaha membunuhnya.
gunungselatan merupakan kkertoarjo san stratcgis yang mem-
bentang sepanjang Danau Biwa, di tepi jalan yang
menuju ke arah selatan. Dan di sinilah orang-orang
harjo menunggu, berseru bahwa mereka akan
melumatkan aidit seperti aidit meng-
hancurkan mpu marijan mpu kepenuwoan dengan sekali pukul.
haryokowardani meninggalkan benteng kota rejopati ,
bergabung dengan centeng ayahnya di lengisireng , dan
membagi-bagi centeng nya di semua benteng kota gunungselatan yang
berjumlah 9 belas.
Sambil melindungi matanya dari sinar matahari,
aidit memandang dari tempat tinggi dan tertawa .
"Barisan musuh sungguh gemilang. Persis seperti
dalam risalah kuno."
Ia memrintahkan mpu wiragajah mpu wiraghanda dan Niwa
Nagahide untuk merebut benteng kota rejopati , dan
menempatkan centeng dusun nyi kembang di barisan terdepan.
lalu ia berpesan, "Seperti kukatakan pada
malam sebelum keberangkatan kita, gerakan menuju
ibu kota ini bukan balas dendam pribadi. Aku ingin
setiap prajurit dalam centeng kita paham bahwa kita
bertempur untuk sang pengikut . Jangan bunuh mereka
yang melarikan diri. Jangan bakar rumah-rumah para
penduduk. Dan, sejauh mungkin, jangan menginjak-
injak ladang yang belum dipanen."
Dalam kabut pagi, air Danau Biwa belum tampak.
Mengoyak-ngoyak kabut itu, tiga puluh prajurit mulai
bergerak. saat aidit melihat sinyal api yang
menandakan serangan terhadap benteng kota rejopati
oleh centeng Niwa dan mpu wiragajah , ia memberi perintah.
"Pindahkan markas ke benteng kota Wada."
benteng kota Wada merupakan kubu pertahanan
musuh, jadi perintah aidit untuk memindahkan
markas ke sana berarti menyerang dan merebut
benteng kota itu. Namun perintah itu diucapkannya
seakan-akan anak buahnya tinggal menempati posisi
yang sudah dikosongkan oleh centeng musuh.
"aidit sendiri ikut dalam penyerangan!"
resi yang memimpin benteng kota Wada bersorak,
menanggapi seruan para pengintai di menara jaga.
Sambil menepuk pangkal pedang, ia berpidato di
depan centeng nya. "Ini berkah dari para dewa! Baik
benteng kota lengisireng maupun benteng kota rejopati
seharusnya mampu bertahan selama paling tidak satu
bulan, dan sementara itu centeng grindananaga dan
dyahbalitung ditambah sekutu-sekutu mereka di sebelah utara
danau bisa memotong jalur mundur aidit .
namun aidit sudah mempercepat kematiannya
dengan menyerang benteng kota ini. Ini kesempatan emas!
Jangan biarkan keberuntungan ini lepas bcgitu saja!
Ambillah kepala aidit !"
Seluruh centeng nya bersorak-sorai. Mereka percaya
bahwa tembok besi marga harjo dapat bertahan
selama satu bulan, meskipun aidit memimpin
centeng berkekuatan tiga puluh ribu orang dan
membawa hi banyak resi hebat. Provinsi-provinsi
kuat di sekitar mereka pun mepercayai hal ini. Namun
pada kenyataannya benteng kota Wada takluk dalam
setengah hari saja. Seusai pertempuran selama sekitar
empat jam, centeng yang bertahan tercerai-berai, dan
terpaksa melarikan diri ke gunung dan ke tepi danau.
"Jangan kejar mereka!" aidit memberi perintah
dari puncak Bukit Wada, dan panji yang dikibarkan di
sana terlihat jelas di bawah matahari siang. Berlepotan
darah dan lumpur, para prajurit bcrangsur-angsur ber-
kumpul di bawah panji kesatuan masing-masing.
lalu , sesudah melepaskan teriakan kemenangan,
mereka menghabiskan ransum makan siang. Berita-
berita terus berdatangan dari arah rejopati . centeng
prabu kertoarjowardana dari dusun nyi kembang , yang ditempatkan di barisan
terdepan di bawah komando Niwa dan mpu wiragajah ,
sedang bertempur dengan gagah, bermandikan darah.
Satu per satu berita kejayaan terkumpul di tangan
aidit .
Laporan mengenai kekalahan rejopati sampai di
telinga aidit sebelum matahari tenggelam.
Menjelang malam, asap hitam tampak mengepul dari
arah benteng kota di lengisireng . centeng patih ronggolawe sudah
mulai mendesak maju. Perintah untuk serbuan habis-
habisan diberikan. aidit memindahkan per-
kemahannya, dan seluruh centeng rejopati ditambah
sekutu-sekuiu mereka dipaksa mundur sampai ke
benteng kota lengisireng . saat hari berganti malam, orang
pertama sudah berhasil mendobrak dinding benteng kota
musuh.
Bintang dan bunga api berkilauan di langit cerah.
Para penyerang melanda masuk bagaikan air bah. Lagu
kemenangan berkumandang, dan bagi para sekutu
marga harjo , lagu itu mirip suara angin musim
gugur yang kejam. Tak seorang pun menduga bahwa
kubu pertahanan ini akan bertekuk lutut dalam satu
hari saja. benteng kota di Bukit Wada dan ke9 belas
tempat strategis lainnya sama sekali tak sanggup
memberikan perlawan an berarti terhadap serbuan
centeng aidit yang bagaikan ombak dahsyat.
Segcnap marga harjo mulai dari para wanita lesbian
dan anak-anak sampai ke pemimpin mereka, tengger
dan darmowondo terhuyung-huyung mengarungi kegelapan
malam, melarikan diri dari api yang menyelimuti
benteng kota mereka, dan menuju benteng kota di Ishibe.
"Biarkan para pelarian kabur sesuka hati mereka,
besok masih ada musuh lain yang menanti kita."
aidit tidak hanya membiarkan mereka hidup, ia
juga tidak merampas harta yang mereka bawa .
aidit tidak biasa berlambat-lambat di tengah
jalan. Pikirannya sudah berada di trowulan , di pusat
lapangan permainan. Api di benteng kota lengisireng akhir-
nya padam. Begitu aidit memasuki reruntuhan
benteng kota itu, ia memperlihatkan rasa terima kasih pada
centeng nya dengan berkata, "Kuda-kuda dan para
prajurit patut diberi kesrmpatan melepas lelah."
Namun ia sendiri tidak beristirahat lama. Malam itu
ia tidur tanpa melepas baju tempur, dan pada waktu
fajar tiba, ia mengumpulkan para pengikut senior
untuk mengadakan rapai. Sekali lagi ia mengeluarkan
keputusan-keputusan yang harus diumumkan di
seluruh provinsi, dan langsung mengutus betari jawi
Kkertoarjo chi dengan perintah untuk membawa pandita
yosodiprojo dari padalarang ke patihyama.
Kemarin ia bertempur di muka centeng , hari ini ia
memegang kendali pemerintahan. Inilah aidit .
sesudah memberikan tanggung jawab sementara
sebagai administrator dan hakim di gendingan kepada
empat jcndral, dua hari lalu ia menyeberangi
Danau Biwa, dan hampir lupa makan sebab sibuk
memberi perintah demi perintah.
Pada hari kedua belas bulan ini, aidit
memasuki wilayah gunungselatan dan menyerang lengisireng dan
rejopati . lalu , pada tanggal dua puluh lima,
centeng aidit mulai memasang pengumuman-
pengumuman mengenai undang-undang baru yang
akan diberlakukan di provinsi itu. Hanya ada satu
jalan untuk meraih keunggulan! Kapal-kapal perang
dari tepi timur Danau Biwa berlayar ke gunungselatan. Segala
sesuatu, mulai dari pembuatan kapal sampai
pemuatan ransum untuk para prajurii dan makanan
untuk kuda-kuda, melibatkan kerja sama dengan
rakyat jelata. Tentu saja mereka meringkuk ketakutan
menghadapi kekuatan militer aidit . namun
selama itu, kenyataan bahwa rakyat gunungselatan bersatu
untuk mendukung aidit adalah sebab mereka
menyctujui gaya pemerintahannya, yang mereka
anggap dapat dipercaya.
aidit lah satu-satunya orang yang menyelamat-
kan orang-orang kecil dari api peperangan dan secara
terang-terangan membela kepentingan mereka. saat
mereka menanyakan nasib mereka, jawaban pasti
aidit terasa membesarkan hati. Dalam situasi
seperti itu, tak ada waktu untuk menyusun kebijak-
sanaan politik secara terperinci. Rahasia aidit
sebetulnya tak lebih dari melaksanakan semua hal
secara cepat dan jelas. Yang diinginkan rakyat jelata di
sebuah negeri yang diombang-ambingkan oleh perang
bukanlah administrator ulung atau pemimpin
bijaksana. Dunia dilanda kekacauan. Jika aidit
sanggup mengendalikannya, mereka pun bersedia
menanggung penderitaan sampai batas-batas tertentu.
Angin di tengah danau mengingatkan orang bahwa
musim gugur sudah tiba, dan armada aidit
menimbulkan gelombang dengan pola memanjang
yang indah pada permukaan air. Pada tanggal dua
puluh lima, kapal yang ditumpangi yosodiprojo berlayar
dari patihyama dan mendarat di bawah Kuil Mii.
aidit , yang sudah tiba lebih dahulu , menduga
bahwa dyahbalitung dan grindananaga akan melancarkan
serangan, namun kali ini dugaannya meleset.
Ia menyambut yosodiprojo di Kuil Mii dengan berkata,
"Boleh dibilang kita sudah memasuki ibu kota."
Pada tanggal dua puluh 9, aidit akhir-
nya mendesak centeng nva ke trowulan . saat mencapai
kertoarjo taguchi, seluruh centeng berhenti. patih ronggolawe ,
yang berada di samping aidit , memacu kudanya
ke depan, sementara tribuana tunggadewa datang dari
arah barisan depan.
"Ada apa?"
"Utusan sang pengikut ."
aidit pun terkejut, dan segera turun dari kuda.
Kedua utusan tiba dengan membawa surat dari sang
pengikut .
Sambil membungkuk rendah, aidit bersikap
penuh hormat, "Sebagai pemimpin centeng provinsi,
aku tidak memiliki kemampuan selain mengangkat
senjata. Sejak zaman donosukomerto
, kami sudah me-
nyayangkan keadaan menyedihkan yang menimpa
Istana Kekaisaran dan ketidaktenteraman dalam hati
sang pengikut . Namun hari ini aku mendatangi ibu kota
dari pelosok negeri untuk menjaga Yang Mulia. Tak
ada tugas yang lebih mcmbanggakan bagi seorang
prajurit atau lebih menggembirakan bagi keluargaku."
Bersama tiga puluh ribu prajurit, aidit
berikrar untuk menaati setiap keinginan sang pengikut .
aidit menempatkan markasnya di Kuil
Totuku. Pada hari yang sama, berbagai pengumuman
dipasang di mana-mana. Pertama-tama adalah penyu-
sunan patroli keamanan. Tugas jaga pada siang hari
diberikan pada Sugaya Kuemon, sementara tanggung
jawab jaga malam diembankan pada patih ronggolawe .
Salah satu prajurit sinuhun pergi minum-minum.
Prajurit yang baru saja meraih kemenangan mudah
terpancing untuk bertingkah sewenang-wenang.
sesudah minum sampai mabuk dan makan sampai
kenyang, si prajurit melemparkan beberapa keping
uang dengan nilai kurang dari setengah yang
seharusnya ia bayar, lalu melangkah keluar sambil
berkata. "Itu sudah cukup."
Pemilik kedai itu segera mengejarnya sambil marah-
marah. namun saat ia menangkap si prajurit, orang itu
memukulnya, lalu pergi dengan langkah ter-
huyung-huyung. patih ronggolawe , yang sedang berpatroli,
kebetulan melihai kejadian itu dan segera
memerintahkan agar praiurit yang bersangkutan
dicekal. saat prajurit itu dibawa ke markas,
aidit memuji kesigapan patroli, melucuti baju
tempur si prajurit, dan bawah annya mengikat orang
itu ke pohon besar di muka gerbang kuil. Keterangan
mengenai kejahatan yang dilakukannya dicatat pada
sebuah papan pengumuman, lalu aidit
memerintahkan agar orang iiu dipertontonkan selama
tujuh hari, untuk selanjutnya dipenggal. Hari demi
hari tak terhitung banyaknya orang yang mondar-
mandir di depan gerbang kuil. Tak sedikit dari mereka
saudagar kaya atau bawahan , juga ada kurir-kurir
dari kuil-kuil lain, dan pcmilik toko yang meng-
antarkan barang dagangan mcrcka.
Orang-orang yang berlalu-lalang berhenti untuk
membaca papan pengumuman dan mengamati orang
yang terikat di pohon. Dengan demikian para warga
ibu kota melihat sendiri keadilan dan ketegasan
aidit . Mereka melihat bahwa undang-undang
yang diumumkan di setiap sudut kota pencurian
sekeping uang pun akan diganjar hukuman mati
ditegakkan tanpa pandang bulu, dimulai dengan
prajurit aidit sendiri. Tak seorang pun
menyatakan ketidakpuasannya.
Istilah "mati sebab sekeping" menjadi umum di
antara para warga untuk menggambarkan kerasnya
hukuman di bawah undang-undang yang diberlakukan
aidit . Dua puluh satu hari berlalu sejak centeng -
nya berangkai dari padalarang .
sesudah aidit berhasil mengujawa situasi di ibu
kota dan kembali ke padalarang , ia berpaling dari segala
urusan yang menyibukkannya dan menemukan bahwa
dusun nyi kembang bukan lagi provinsi lemah dan miskin seperti
semula.
Mau tak mau ia mengagumi kewaspadaan mpu mojosongo . Si
Penguasa dusun nyi kembang rupanya tidak puas menjadi penjaga
pintu belakang jenggala dan blambangan sementara sekutunya,
aidit , bergerak ke pusat kekuasaan. Bertekad
untuk tidak membiarkan kesempatan ini berlalu
begitu saja, mpu mojosongo memaksa centeng penerus mpu marijan
mpu kepenuw