Tampilkan postingan dengan label presiden 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label presiden 4. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
presiden 4
Desember 14, 2022
presiden 4
Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah……begitulah Jules
Harmand menulis lagi:
“Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah….., yaitu suatu
kebodohan bila si penjajah itu sudah menyangka bahwa ia
dicintai, butalah ia bila menyangka bahwa masyarakat yang
dijajah itu merasa senang mengalami
penjajahannya”…..”Bagaimanapun juga lemahnya atau merosotnya,
bagaimanapun juga biadabnya disangka orang bangsa yang terjajah
itu, bagaimanapun juga jahatnya kaum ningratnya, atau
sebaliknya, bagaimanapun juga beradabnya mereka itu dalam
tingkah lakunya dan bagaimanapun juga tajam otaknya dianggap
orang……mereka itu akan memandang kepergian atau hilangnya
penjajahan asing selalu sebagai suatu pembebasan”.
Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang
menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad-abad dalam
hati rakyat? Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya di dalam
tiap-tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat bangsa
Indonesia, juga kalau kami yang dinamakan “penghasut” tidak
menghadirinya! , sebentar-sebentar terbaca atau terdengar
perkataan “merdeka”? mengertikah orang sekarang, apa sebabnya
sampai partai-partai politik yang paling sabar atau sedangpun,
contoh Budi Utomo dan Pasundan, yang toh terang sekali bukan
perkumpulan kaum “penghasut”, juga sama mengambil cita-cita
Indonesia Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan
menjadi anggota PPPKI?
Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan cita-
cita itu; Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih
tentu mengutamakan kemerdekaan nasional itu, menjunjung
kemerdekaan nasional itu sebagai syarat yang amat penting bagi
pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia
yang sekarang kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya
perjuangan menghentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang
kami terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia mengambil soal
jajahan itu di dalam hakikat yang sedalam-dalamnya, mengambil
soal jajahan itu terus ke dalam pokok-pokoknya, mengambil soal
jajahan itu di dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yaitu
filsafat, kami ulangi lagi , bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan
yaitu pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan
kaum Bumiputra; bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan umumnya,
kondisi yaitu dipengaruhi, di-“cap”-kan, diperuntukkan
bagi kepentingan-kepentingan imperialistis; bahwa sebab itu, di
dalam sistem jajahan mana pun juga, kepentingan Bumiputra tak bisa
terpelihara sesempurna-sempurnanya.
Dalil dalil pemimpin-pemimpin negeri lain
Dan juga dalam keyakinan ini, Partai nasional Indonesia tidak berdiri
sendiri. Juga di dalam keyakinan ini, Partai Nasional Indonesia
memperoleh pembenaran di dalam ujaran-ujaran pemimpin besar di
negara lain. Jikalau Mustafa kamil dari Mesir menulis,
bahwa “suatu bangsa yang tak merdeka sebetulnya yaitu suatu
bangsa yang tak hidup”, jikalau Manuel Quezon dari Filipina
berkata bahwa “lebih baik zonder Amerika ke neraka daripada
dengan Amerika ke surga”, jikalau Patrick Hendry dari Amerika
dahulu u berteriak: “Berikanlah padaku kemerdekaan, atau berikanlah
padaku maut saja” maka itu bukanlah jerit budi pekerti yang
“panas” belaka, namun di dalam hakikatnya mereka tidak lain
daripada mengutamakan kemerdekaan nasional itu. Jikalau kita
membaca pemimpin Irlandia, Michael Davitt, menulis:
“Baik keselamatan, baik bujukan maupun undang-undang
yang menguntungkan, tidak akan memuaskan bangsa Ir, jika
kami tidak memperoleh hak untuk memerintah negeri kami
sendiri”, .
Ya, jikalau kita membaca bahwa seoarang pemimpin Irlandia lain
Erskine Childers, menolak tingkat free-statedan menuntut
kemerdekaan sepenuh-penuhnya dengan perkataan:
“Kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar, kemerdekaan
yaitu sebagai maut: dia ada atau dia tidak ada. Kalau orang
menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”,
tidakkah itu dalam hakikatnya suatu pembenaran pula dari kami
punya pendirian itu? namun , perhatikanlah perkataan-perkataan Jozef
Mazzini, Bapak Rakyat Italia, yang lebih terang lagi:
“Membangunkan tanah air ini, malahan yaitu suatu keharusan .
Penguatan hati dan jalan-jalan yang saya bicarakan tadi itu, hanya
bisa datang dari suatu tanah air yang bersatu padu dan merdeka.
Keadaan masyarakat kamu hanya bisa menjadi baik, bila kamu
ikut dan dalam kehidupan politik bangsa-bangsa.” Janganlah
tertipu oleh pikiran, bahwa keadaan kebendaanmu akan menjadi
baik, dengan tidak menyelesaikan lebih dahulu soal nasional; kamu
tidak akan berhasil dalam hal itu.”
dan perhatikanlah pula perkataan-perkataan Sister Nivedita, yang
mengutamakan kemerdekaan nasional itu buat suburnya hidup
kebatinan dan hidup kesenian, di dalam buku Okakura: “Die Ideale
des Ostens”:
“Seni hanyalah bisa berkembang pada bangsa-bangsa yang hidup
merdeka. Dia, sebetulnya yaitu alat yang hebat dan buah Rasa-
Suci dari kemerdekaan, yang kita sebut keinsafan kebangsaan”.
Ini yaitu ucapan-ucapan belaka. Prakteknya?
Marilah kita contoh mendengarkan pidato Dr. Sun Yat Sen tentang
San Min Chu I, di mana Bapak Rakyat Tiongkok ini, sudah
menunjukkan bahwa Tiongkok sebetulnya tidak memiliki
kemerdekaan nasional yang sejati, melainkan malahan yaitu suatu
“hypo-colony” menggambarkan terganggunya rumah tangga
Tiongkok itu dengan kata-kata:
“Tatkala Tiongkok berdiri atas dasar politik yang sama dengan lain-
lain bangsa, ia bisa bersaingan dengan merdeka di lapangan
ekonomi dan sanggup dengan tidak membuat kesalahan
mempertahankan dirinya sendiri. namun baru saja bangsa-bangsa
asing memakai kekuasaan politik sebagai tameng bagi
maksud-maksud ekonomi, maka tiongkok pun kehilangan
kemampuannya untuk mempertahankan diri atau bersaingan
dengan mereka dengan berhasil.”
Dan sekarang, sesudah kemerdekaan nasional negeri Tiongkok itu
makin lama makin teguh, maka ahli pikir Inggris H.C. Wells,
menulis:
“Pada zaman sekarang ini bisa jadi, bahwa lebih banyak tenaga otak
yang baik dan lebih banyak orang yang sungguh hati bekerja untuk
memicu modern dan menyusun kembali peradaban Tiongkok,
daripada yang demikian itu kita jumpai di bawah pimpinan bangsa
Eropa mana pun juga”.
Mustafa Kamil (1857-1908) seorang pemimpin nasionalis Mesir yang
besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan.
Manuel Quezon (1878-1944), salah seorang pejuang kemerdekaan
Filipina, dan penulis buku “The Good Fight”.
Michael daviit, seorang pemimpin Irlandia, dikutip dari buku Yann
Morvran Goblet “L’Irlande dans la Crise Universalle” hal. 45 (terbitan F.Alcan,
Paris 1918), hal.45.
Erskine Childers, seorang pemimpin Irlandia lainnya, dikutip dari buku
Simon Tery “En Irlande de la guerre”
Guiseppe Mazani (1805-1872) pemimpin pemersatu Italia bersama
Cavour dan Garibaldi. Buku yang dikutip “De Plichten Van den Mensch”
Sister Nivedita, seorang penyair wanita Jepang. Ia menulis buku “Kaka-
su Okakura” “Die Ideale des Osten”
hypo-colony= negeri yang lebih jajahan dari jajahan.
Sun Yat Sen (1866-1925) Bapak Kemerdekaan Tiongkok, pendiri Partai
Kuo Min Tang dan pencetus “Trisila” (San Min Chu I) yang dibukukan
dengan judul “San Min Chu I”. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia.
H.G. Wells dalam bukunya “The Outline of History” Dan prakteknya di Indonesia? Adakah prakteknya di sini
membenarkan keyakinan PNI, bahwa negeri yang tak merdeka itu
memang segala atau sebagian daripada aturan-aturan dan syarat-
syarat hidupnya dipengaruhi, di-capkan, diperuntukkan bagi
kepentingan-kepentingan imperialistis, yang bertentangan dengan
Bumiputra itu? Prakteknya di sini membenarkan dengan sepenuh-
penuhnya! Kita lihat, bahwa untuk sempurnanya usaha
imperialisme-perindustrian di sini, masyarakat kita diproletarkan,
kita dijadikan “rakyat kaum buruh”; kita mengetahui, bahwa kaum
imperialisme yang butuh akan tanah murah dan kaum buruh murah
itu, sebagai diterangkan oleh Prof. Van Gelderen, memiliki
kepentingan di dalam rendahnya tenaga produksi kita punya
pergaulan hidup, jadi, dengan sengaja pula merendahkan tenaga
produksi itu dan melawan keras tiap-tiap usaha bangsa Bumiputra
yang mau menaikkan tenaga produksi itu. Lihatlah, jikalau kita mau
memajukan perusahaan kita, kebun teh dan pabrik teh, jikalau kita
mendirikan Bank Nasional di Surabaya, jikalau kita mau
mendirikan suatu maskapai perkapalan Indonesia, maka kaum
imperialisme itu menjadi geger perkara “gerakan elit” itu, geger
perkara niat pemerintah mau memberikan hak hubungan kredit pada
Bank Nasional itu, geger memaki-maki di dalam pers dan di
kalangan pelayaran atas maksud mendirikan maskapai perkapalan
itu. Dan kita lihat kaum imperialisme itu, sebagai yang kami sudah
kemukakan di dalam pemeriksaan, menjalankan
pengaruhnya, invioed-nya, ya tiraninya atas pemerintahan, sebagai
yang dimarahkan oleh Prof. Snouck Hurgronje, dengan kata-kata:
“…..perlulah, bahwa kekuasaan yang tertinggi itu dihormati oleh
mereka (oleh kaum majikan, Sk.), sama dihormati mereka seperti
pangreh praja Bumiputra menghormatinya, yang menurut kata
Colijn, selalu mengarahkan satu mata ke Bogor. Memang,
dalam waktu yang akhir-akhir ini kebanyakan mereka mengarahkan
kedua-dua matanya ke sana, akan namun bukan untuk menuruti
petunjuk-petunjuk, namun untuk mengemukakan mereka punya
tuntutan-tuntutan, yaitu supaya susunan dan kerjanya mesin
pemerintahan sesuai dengan mereka punya kemauan. Ini juga suatu
macam revolusi.”
Kita lihat kaum imperialisme itu mempengaruhi pemerintah
mengadakan politik tarip yang menguntungkan baginya, sebagai
tertulis dala AID de Preangerbode beberapa bulan yang lalu di
bawah kepala: “Vrijhandelbinnen het rijk is instrijd met het belong van
Nederland en van Indie”; kita lihat bagaimana di sini ada suatu aturan
pajak, yang sebagai ditunjukkan oleh komisi Meyer-Ranneft-
Huender, enteng sekali bagi kaum Eropa dan berat sekali bagi kaum
Indonesia; kita lihat bagaimana di sini ada bea karet, yang mengenai
karet Bumiputra saja, sehingga suburnya memperoleh rintangan besar;
kita lihat bagaimana di sini ada itu aturan kuli kontrakan
ditambah poenale sanctienya, yang sama sekali hanya menguntungkan
kaum modal belaka! Kita lihat adanya suatu undang-undang
pelindung kaum buruh dan adanya pasal 161 bis Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, yang juga melulu berarti untungnya kaum
kapital, celakanya kaum buruh; kita lihat adanya macam-macam
aturan yang mengalangi pergerakan rakyat apa saja, yang memusuhi
imperialisme itu; kita lihat suatu politik pengajaran yang membunuh
rasa kebangsaan dan mendidik pemuda-pemuda kam
menjadipennelikkers dan tidak menjadi manusia-manusia yang
tabiat semangatnya merdeka; kita melihat suatu keadaan, sebagai De
Stuw mengatakannya, bahwa rakyat
“makin lama makin jadi tergantung kepada pihak asing dan dengan
demikian juga makin lama makin jauh dari cita-cita Hindia buat
bangsa Hindia”;
Kita melihat……..namun cukup, Tuan-tuan hakim, cukup untuk
membuktikan kebenaran keyakinan PNI itu! PNI memang yaitu
suatu partai yang tidak mau ngelamun, suatu partai yang tidak mau
terapung-apung di atas awan angan-angan; PNI yaitu suatu partai
yang dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas kondisi
yang sebetulnya , dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit.
Ia melihat, bahwa imperialisme yaitu bertentangan keyakinan
dengan kita, ia melihat bahwa kaum imperialisme itu mengusahakan
kekuasaan politiknya untuk menjaga dan memelihara
kepentingannya, jadi, ia mengatakan bahwa kita barulah bisa
melawan dan memberhentikan imperialisme itu seluas-luasnya,
kalau kekuasaan politik itu sudah di dalam tangan kita, bahwa kita
barulah bisa mengusahakan pembaikan kembali kita punya
pergaulan hidup dengan sesempurna-sempurnanya, kalau kita
sudah merdeka, jadi, ia memujikan rakyat Indonesia mengejar
kemerdekaan itu! “Terang benderang sebagai kaca”, “zoo helder als
glas”, begitulah orang Belanda berkata!
Percaya pada usaha sendiri
Dan mendatangkan Indonesia merdeka itu? Juga di dalam menjawab
soal ini, maka PNI dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit.
Ia menjawab soal itu dengan yakin: “dengan usaha rakyat Indonesia
sendiri!” la. tak mau mengikuti pengelamunan setengah orang yang
mengira, bahwa adanya sistem imperialisme di sini itu ialah untuk
mendidik kita dibuat “matang” atau “rijp” dan bahwa jikalau nanti
kita sudah cukup “matang”, jikalau kita nanti sudah cukup “rijp”,
sistem imperialisme itu lantas akan “berhenti sendiri”,
“memberikan” kemerdekaan kepada kita sebagai suatu “anugerah
yang berharga”, sebagai suatu “kostbaar geschenk”!
Amboi, alangkah baiknya imperialisme kalau memang begitu;
alangkah benarnya kalau begitu perkataan
perjanjian Volkenbond pasal 22, bahwa politik jajahan itu ialah suatu
“mission sacree”, suatu “misi yang suci” dari bangsa-bangsa kulit
putih untuk bangsa-bangsa kulit berwarna!
Tidak, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, pengelamunan yang
demikian itu yaitu pengelamunan yang kosong sama sekali!
Pengelamunan yang demikian itu yaitu pengelamunan yang sama
sekali terapung-apung di atas awan, pengelamunan yang tidak
berdiri di atas kenyataan sedikit jua pun adanya! Tidak, sistem
imperialisme tidak akan mendidik kita menjadi “matang”; sistem
imperialisme tidak akan memicu kita menjadi “rijp”; sistem
imperialisme tidak akan meng-“anugerahi” kita dengan
kemerdekaan, namun malahan sebaliknya akan bertambah-tambah
mengokohkan penjajahan dengan pelbagai tali-tali wadag dan tali-tali
yang halus. Sebab kenyataan yang sebetulnya ialah, bahwa
imperialisme itu tidaklah buat “misi yang suci”, tidaklah buat
sesuatu “mission sacree.” Kenyataan yang sebetulnya ialah, bahwa
imperialisme itu yaitu untuk kepentingan-kepentingan
imperialisme sendiri! Imperialisme yaitu bertentangan kepentingan
dengan kita: bukan kepentingan imperialismelah me-“matang”-kan
kita atau me”rijp”-kan kita; bukan kepentingan imperialismelah
“menganugerahkan” kemerdekaan kepada kita. Kepentingan
imperialisme yaitu meneruskan, mengekalkan, mengokohkan
penjajahan itu buat selama-lamanya!
Bank Nasional, salah satu aksi menolong diri sendiri, yang menjadi
pendirian dr. Sutomo sudah didirikan di Surabaya di bawah panji-panji
Parindra (Partai Indonesia Raya)
“Colijn over Indie”. Hal. 41.
Pennelikkers= penjilat melalui tulisan.
O..memang, imperialisme datangnya ialah dari bangsa-bangsa yang
lebih pandai dari kita; imperialisme datangnya ialah dari negeri-
negeri yang memiliki kebudayaan lebih modern dari kita;
imperialisme datangnya ialah dari dunia yang lebih tinggi teknik dan
ilmu pikirannya dari kita, imperialisme datangnya ialah dari
kalangan yang lebih pandai menjalankan “struggle for life” dari kita.
Kita mengakui hal ini semua. namun kita tidak mau mengakui, bahwa
sistem imperialisme itu, sebab itu, mendidik kita ke arah
ke”matang”-an! Karl Kautsky, ahli teori Demokrasi Sosial yang
termashur itu, di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik”
bab III, menulis:
“namun pemerasan kapitalisme itu bukan saja berdasar kepada
kekerasan terang-terangan, kepada hak siapa yang lebih kuat, juga
bukan kepada perbedaan golongan-golongan, namun kepada
kemerdekaan dalam pergaulan hidup dari individu, yang menjadi
tidak-merdeka, oleh sebab pihak yang satu tidak memiliki apa-
apa sedang pihak yang lain memiliki semua alat-alat produksi
untuknya sendiri. namun orang yang tidak punya apa-apa dengan
sendirinya kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga
kekurangan peradaban. Maka peradaban ini kelihatannya hanya
terbatas kepada kelas yang berkuasa saja. Demikianlah kelihatannya
seolah-olah buat yang kemudian ini, kekuasaannya atas proletariat,
yaitu kekuasaan peradaban atas kebiadaban, kekuasaan kaum
intelektual yang terpilih atas rakyat banyak yang tidak terpelajar, the
great unwashed sebagai orang Inggris menyebutnya. Dari kaum
pemilik memegang keras pandangan yang salah ini…..Bukan untuk
keuntungan mereka, bukan untuk memperoleh laba mereka itu,
menurut pandangan yang salah ini, memeras kaum proletar itu,
mereka hanya memerintahi kaum proletar untuk kepentingan
umum dari masyarakat. Di dalam lingkungan bangsa sendiri
kesusilaan seperti ini berarti membenarkan hak yang lebih tinggi
dari orang yang punya terhadap orang yang tidak punya. Terhadap
bangsa-bangsa lain kesusilaan ini….. dalam prakteknya menyatakan
tidak lain dari paham, bahwa bangsa-bangsa kapitalistis berhak
menguasai seluruh dunia manusia!”
Tuan-tuan hakim yang terhormat, itulah dasar semua omongan
tentang “semboyan perwalian” dari sistem imperialisme atas kami,
bangsa yang “sekarang bodoh”, dasar semua omongan tentang
pendidikan dari “tidak matang” dijadikan “matang”.
Tidak, tidak, perwalian itu tidak ada, didikan itu omong kosong
belaka, didikan itu “mere phrase”. Kalau bangsa Indonesia ingin
mencapai “kekuasaan politik, yaitu ingin merdeka, kalau bangsa
kami itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus
mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri sendiri
berusaha dengan kebisaan dan tenaga sendiri! Dari sistem
imperialisme ia tidak memperoleh pertolongan; dari sistem
imperialisme ia malahan hanya akan memperoleh rintangan!
Sudah semestinya kaum imperialisme itu merintangi-rintangi tiap-
tiap usaha kami ke arah kedewasaan. Sudah semestinya kami
dialang-alanginya di dalam kami punya perwalian atas diri sendiri,
dimaki-maki, dimintakan hukuman, dimintakan pembuangan,
dimintakan tiang penggantungan sebagai dahulu Nieuws van den
dagmemintakannya. Oleh sebab itulah, Tuan-tuan hampir saban
minggu, saban hari membaca cacian dan makian dari pihak AID de
Preangerbode, atau Java Bode atau De Locomotief, atau
Soerabajaasch Handelsblad kepada alamat kami, membaca
hasutan-hasutan yang sampai mencoba mempengaruhi keadilan
putusan Tuan-tuan di dalam proses ini!
Ah, Tuan-tuan hakim, itu begitu logis, itu begitu vanzelf-
sprekend, itu memang semustinya: Tuan-tuan mengetahui, bahwa
AID de Preangerbode yaitu surat kabar kaum karet, kaum kina,
kaum teh di seluruh Priangan; Tuan-tuan mengetahui, bahwa
Soerabajaasch Handelsblad yaitu surat kabar kaum gula; Tuan-tuan
mengetahui bahwa Nieuws van den Dag yaitu surat kabar kaum
gula; Tuan-tuan mengetahui bahwa Nieuws van den Dag yaitu
surat kabar kaum dagang di Kali Besar; Tuan-tuan mengetahui
bahwa semua surat kabar yang reaksioner itu yaitu surat kabar
kaum imperialisme yang kami musuhi itu, bahwa jeritan-jeritan yang
mencaci maki kaum pergerakan itu ialah jeritan orang-orang yang
takut akan kebakaran gedung hartanya, takut terancam dividennya,
takut terancam keselamatan perusahaannya yang menghasilkan
kekayaan berjuta-juta itu! Tuan-tuan mengetahui hal itu semuanya!
Dan oleh sebab nya , tidak khawatirlah kami akan apa yang
dituliskan oleh Mr.Hitter dalam buku “Drukpersvrijheid” serie pro en
contra,[5], tentang:
“Kemungkinan, bahwa kekuasaan hakim kena pengaruh oleh
pendapat umum, yaitu suatu kemungkinan yang berbahaya”,
dan percayalah kami, bahwa Tuan-tuan akan menjalankan keadilan
dengan tidak kena pengaruh hasutan-hasutan surat-surat kabar yang
benci kepada pergerakan itu tadi.
Ah, Tuan-tuan Hakim, kami sudah biasa lagi akan makina-makian
yang memang sudah logis itu. Kami tak heran lagi tentang itu;
kepentingan mereka terancam oleh usaha kami, mereka tentunya
menjadi geger!
Prof. Snouck Hurgronje menulis:
“Kaum majikan sudah mengadakan organisasi yang kuat dan
memperoleh kan jaminan bantuan dari orang-orang yang licin lidahnya
dan tajam penanya, untuk dengan jalan propaganda yang luas,
bukan saja menghilangkan segala keragu-raguan terhadap berkah-
berkah (yaitu berkah-berkah kapital partikelir, Sk.), namun juga untuk
memerangi dengan hebatnya orang-orang yang ragu-ragu itu.
Sekalian surat kabar Eropa di Hindia sekarang berdiri di belakang
mereka, juga koran-koran yang dahulu dengan senang hati membuka
kolom-kolomnya untuk ratapan hati dari dunia Bumiputra. Tidak,
keberanian yaitu …. perlu, untuk melawan pasukan-pasukan yang
diperlengkapi dengan segala macam alat peperangan itu”.
Dan Tuan Lievegoed, bekas redaktur De Locomotief, seorang liberal
yang tulus hati, yang sebab itu dikeluarkan dari De Locomotief,
seorang Liberal yang tulus hati, yang sebab itu dikeluarkan dari De
Locomotief, sudah dalam tahun 1925 menulis bahwa kegegeran
kaum imperialisme itu, yaitu :
“suatu ekstremisme-kanan zonder cita-cita, yang menjalankan politik
duit secara membuta-tuli, dengan semboyan-semboyan yang
memekakkan telinga,” dan bahwa: “tidak ada golongan yang lebih
merugikan kekuasaan Hindia-Belanda di Indonesia dari golongan
yang gembar-gembor ini, yang dengan pura-pura menyokong
pemerintah, memukul kanan-kiri untuk merebahkan segala yang
mengancam kepentingannya yang sempit”. (Locomotief, 5
November 1925).
The great unwashed= kaum yang tidak tercuci
Karl Kautsky dalam “Sozialismus und Kolonial-politik” bab III hal.19.
Nieuws van den Dag, A ID de Preangerbode, yaitu surat-surat kabar
Belanda berbahasa Belanda di Indonesia tahun tiga puluhan.
Vanzelfspreken= masuk akal
Menjelang proses peradilan Bung Karno di Landraad Bandung, sudah
banyak komentar pers yang pro dan kontra, kemudian komentar itu oleh
Mr. Ritter dibukukan dengan judul “Drukpersvrijheid” (kebebasan pers)
“Colijn over Indie” hal. 39.
Ternyata kebijaksanaan memberhentikan wartawan yang dianggap
mengganggu ketertiban, sudah berlaku juga di masa itu, walau terhadap
orang Beland sendiri.
Benar! Benar sekali. Tuan-tuan Hakim: “pura-pura menyokong
pemerintah”, “onder het voorwendsel vangezagsschraging”, mereka
minta kami dihukum, dibuang, atau digantung, namun sebetulnya
ialah oleh sebab kantongnya dan dividennya terancam! Untuk
keselamatan kantong dan untuk keselamatan dividen ini juga,
mereka kalau perlu, tak segan pula melanggar kekuasaan pemerintah
itu, sebagai contoh AID de Preangerbode tak segan sebentar-
sebentar melanggar kekuasaan itu, atau sebagai contoh Nieuws
van den Dag, yang dahulu pernah menghina Gubernur Jenderal de
Graeff dengan penghinaan:
“Pergilah, enyahlah, Hindia butuh kepada orang-orang yang lebih
keras!”
Kantongnya terancam! Tuan-tuan Hakim, kantongnya terancam!
Untuk melindungi kantong ini, maka mereka mengabui mata umum,
untuk menjaga kepentingan ini maka mereka mengadakan pers
yang tiiada moral melainkan moral duit, tiada kesusilaan melainkan
kesusilaan fulus! “Juga negeri Belanda,” begitulah Tuan Vleming,
bekas kepala dinas akuntan pajak di sini, berpidato,
‘Juga negeri Belanda masih tetap suatu negeri yang diperintah
secara kapitalistis, di mana kapital besar yang disusun dalam
organisasi yang kuat itu, dan tidak kurang-kurang pula kapital besar
yang memiliki kepentingan-kepentingan di Indonesia, bukan saja
memiliki kekuasaan ekonomi yang besar sekali, namun juga bisa
menjalankan pengaruh yang hebat atas pemerintah dengan segala
alat-alat yang ada padanya. Dan alat-alat ini bukan sedikit.
Kapital besar ini berhubungan rapat dengan kapitalis-kapitalis besar
Inggris, Amerika, Belgia, Jerman, Prancis, dan lain-lain yang oleh
adanya apa yang dinamakan politik pintu terbuka, juga memiliki
kepentingan-kepentingannya di Indonesia dan yang tergabung
dengan kapitalis-kapitalis besar Belanda dalam organisasi “Dewan
Majikan untuk Hindia-Belanda, yang didirikan dalam tahun 1921.
Dengan langsung atau tidak langsung dewan majikan ini
memiliki pers dan dinas penerangan pers yang luas, sedang
anggota-anggotanya yang berkepentingan memiliki pula
hubungan dengan dua surat kabar yang terbit di luar negeri, yaitu
“The New World” dan “Le Monde Nouveau”. Dengan kebohongan,
penipuan, perampasan makanan orang, dan di mana perlu untuk
kepentingannya dan jika bisa mencapai maksudnya mereka bersedia
berlaku lebih kejam lagi maka kapital besar yang tersusun dalam
organisasi itu, melakukan perjuangan untuk kepentingannya di tiap
negeri, jadi juga di Indonesia, sekali-sekali mengubah haluan
dimana perlu.”
Lebih terang dari tuan Vleming itu tak bisalah digambarkan asal-usul
moral duit dan kesusilaan duit dari pers imperialisme di Indonesia
itu. Oleh sebab itu, tak haruslah kita heran atau marah atas
kegegeran surat-surat kabar ala AID de Preangerbode atau ala
Soerabajaasch Handelsblad itu. Biar mereka gembar-gembor, biar
mereka berpikir ke kanan dan ke kiri, biar mereka jengkelitan berdiri
di atas kepalanya, kami tak akan ambil pusing, kami tak akan
ambil mumet, kami akan bekerja terus!
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, marilah kami mengulangi lagi:
kekuasaan politik, kemerdekaan, hanyalah bisa didatangkan oleh
usaha rakyat Indonesia sendiri! Kaum imperialisme sudah
semestinya mengalang-alangi kami; dari sistem imperialisme, yang
hidupnya daripada penjajahan itu, kami tak harus mengharap
sokongan memberhentikan penjajahan itu. Nasib kami yaitu di
dalam genggaman kami sendiri; keselamatan kami yaitu di dalam
kemauan kami sendiri, di dalam tekad kami sendiri, di dalam
kebisaan kami sendiri, di dalam usaha kami sendiri. Semboyan kami
tidaklah “minta-minta”, tidaklah “mengemis”, tidaklah
“mendicancy” sebagai Tilak mengatakannya, namun semboyan
kami haruslah “noncooperation”, lebih benar: “selfhelp”, “zelfver-
werkelijking”, “selfreliance”!, sebagai yang kami lambangkan
dengan perlambang kepala banteng!
Siapa yang masih mengharap-harap pertolongan dari sistem
imperialisme, siapa yang masih percaya akan “anugerah” yang nanti
akan di-“anugerah”-kan olehnya, siapa yang masih menggugu akan
omongan “mission sacree”, siapa yang masih mengarahkan muka ke
Barat, ia yaitu sama sekali buta akan kenyataan yang sebetulnya ,
buta akan realiteit.
Sebab kenyataan yang sebetulnya ialah, sebagai tertulis di dalam
keterangan asas kami, bahwa negeri Belanda peri kehidupannya
sangat tergantung kepada penjajahan Indonesia. Kenyataan yang
sebetulnya menyebabkan Mr. Dijkstra di dalam “Indische Gids” 1914 menulis:
“Penduduk di dalam seratus dua ratus tahun ini tidak bisa
mengharapkan dari imperialisme kebudayaan kita, bahwa
kekuasaan dan pengetahuan kita akan kita pergunakan untuk
memajukan peradaban dan kesehatan mereka.”
Kenyataan yang sebetulnya menyebabkan Tuan Vleming berpidato:
“bagi kesejahteraan umum penduduk yang hampir 7½ juta dari
negeri kita yang kecil……….besar sekali faedahnya, bahwa saban
tahun mengalir ke negeri Belanda suatu saldo ekspor yang besar
jumlahnya, artinya suatu jumlah harga barang ekspor Hindia yang
jauh lebih besar dari jumlah harga impor, berupa dividen,
bunga, tantieme, gaji-gaji, pensiun, gaji-perlop, dan lain-lain.
Kenyataan yang sebetulnya ialah, bahwa, sebagai Prof. Moon
menuliskan, kebesaran negeri Belanda sekarang ini yaitu oleh
sebab negeri Belanda itu memiliki negeri jajahan Indonesia yang
luas dan banyak penduduk itu. Kenyataan yang sebetulnya lah
menjadi sebab Dr. Sandberg tempo hari geger memicu buku yang
istimewa bernama: “Indie verloren, rampspoed geboren”, Indonesia
merdeka, Belanda pun bangkrut”, menjadi sebab Komisi untuk
Pertahanan Hindia-Belanda menulis:
“Juga dipandang dari sudut ekonomi, lepasnya Hindia akan berarti
bencana nasional yang sehebat-hebatnya bagi negeri Belanda.”
Jhr. Andries C.D. de Graeff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun
1926-1931, menteri luar negeri dalam kabinet Colijn 1933-1937.
Vleming dalam bukunya “Intern. Soc. Dem, Kol. Pol”, hal.82
“Indische Gids” sebuah penerbitan Belanda yang mengutamakan
pemuatan penelitian ilmiah. Buku yang dikutip terbitan tahun 1914, No. 36
II, hal. 1240.
Vleming, Ibid hal.72.
Dr. Sandberg, dalam bukunya, “Indie verloren, rampspoed geboren”
diterbitkan D.A. Daamen, ‘s-Gravenhage, 1914.
Pledoi Sneevliet di pengadilan Belanda (1917) yang mengakibatkan
Sneevliet (1883-1942) diinternir. Sneevliet yaitu orang Belanda yang
mendirikan Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) tahun 1914 di
Indonesia.
Kenyataan yang sebetulnya yaitu , bahwa sudah zaman dahulu pun
menteri Baud sudah pernah berkata, “Indie is de kurk waarop Nederland
drijft,” “ Hindia yaitu gabus di atas mana negeri Belanda terapung-
apung,” bahwa de Kat Angelino di dalam bukunya “Staatkunding
beleid en bestuurrszorg in Ned.-Indie (buku standar yang
penerbitannya memperoleh sokongan dari Kementerian wilayah Jajahan,
Tuan-tuan Hakim), dengan terus terang menulis:
“Dunia Barat yang penuh industri itu, tidak bisa hidup dengan
tiada hasil-hasil wilayah pertanian beriklim panas dan
setengah panas, yaitu wilayah yang terutama menjadikan
dunia jajahan. Masyarakatnya terikat teguh oleh banyak tali-
temali ekonomi kepada wilayah itu dan masa depannya.”
Tidakkah ini berarti, bahwa dunia Barat itu seperti bunuh diri, kalau
dengan kemauan sendiri memberi kemerdekaan kepada dunia
Timur? Bahwa sebetulnya : siapa yang dengan keadaan yang
semacam itu masih berani mengharapkan pertolongan dari dunia
Barat di dalam usahanya memerdekakan negeri dan bangsanya, ia
yaitu menutupkan mata. PNI tidak mau menutupkan mata, PNI
tidak mau mimpi, PNI tidak mau ngelamun, PNI bangun
sebangun-bangunnya!
Banyak orang yang mengatakan, bahwa politik PNI yang bersendi
kepada “percaya diri sendiri itu”, yaitu dipicu sebab
pemerintah tidak memenuhi ia punya “janji-janji bulan November”
tahun 1918, yang menyanggupkan perluasan hak-hak bagi rakyat
Indonesia. Sangkaan yang demikian ini yaitu salah: Asas PNI
“percaya pada diri sendiri” bukanlah dipicu sebab tidak
dipenuhi janji-janji November itu; asas PNI itu, sebagai tadi kami
terangkan, yaitu keluar dari analisa keadaan jajahan di dalam
hakikatnya,-yaitu dari analisa hakikat imperialisme sendiri. Asas
“percaya pada diri sendiri” itu, tidaklah buat Indonesia saja, namun
sebetulnya dipakai untuk perjuangan tiap-tiap rakyat jajahan yang
mengejar kemerdekaan. Ia boleh dipakai oleh bangsa India, bangsa
Indocina, bangsa Filipina, bangsa Korea, bangsa Mesir, pendek kata
oleh tiap-tiap bangsa yang berkeluh kesah memikul beban
imperialisme asing. Asas kami tidaklah terikat kepada batas-batas
negeri kami sendiri saja, asas kami yaitu “supranational”, oleh
sebab hakikatnya imperialisme yaitu supranasional pula.
Imperialisme di dalam hakikatnya di mana-mana yaitu sama; di
mana-mana imperialisme yaitu : nafsu menguasai dan
mempengaruhi negeri orang lain untuk keuntungan sendiri; di
mana-mana imperialisme yaitu bertentangan kepentingan dengan
rakyat yang didudukinya! Di mana-mana sistem imperialisme
tidak akan me-“matang”-kan dan memerdekakan jajahannya
dengan kemauan sendiri!
Tidak dipenuhinya janji-janji November itu tidaklah memicu
keingkaran kami. Politik Gubernur Jenderal Fock yang mencederai
kata kehormatan yang oleh pemerintah van Limburg Stirum
disanggupi itu. Politik Gubernur Jenderal Fock yang malahan
memberatkan nasib kami dengan penghematan, dengan istilah
kebanyakan pegawai, dengan cabutan tunjangan kemahalan, dengan
tambahan pajak, dengan surat edaran pembungkeman, dengan
larangan berapat, dengan pasal 161 bis dan sebagainya; politik
Gubernur Jenderal Fock yang sama sekali suatu penghinaan atas
semangat janji-janji bulan November itu, politik yang demikian itu
tidak menjadi asal kami punya asas, namun hanya menambah
teguhnya kami punya kepercayaan di dalam kebenaran kami punya
asas itu saja, menambah teguhnya kami punya kepercayaan terhadap
kebenaran kami punya analisa: yaitu analisa, bahwa kaum
imperialisme yang sesudah perang besar itu malahan makin butuh
akan Kekayaan Indonesia, harus menjalankan pengaruhnya atas
pemerintahan! Janji-janji bulan November yang toh diberikan juga,
tidak sebab sekonyong-konyong kami dipandang lebih “matang”
sedikit, namun hanya sebab keadaan politik sangat
mengkhawatirkan, yaitu sebab pada masa itu perhubungan
Belanda-Indonesia menjadi sangat tipis sekali, pergerakan rakyat
makin membanjir, sedang keadaan di negeri Belanda sendiri sangat
berbahaya, janji-janji bulan November yang oleh sebab nya , toh
sudah memiliki sifat “janji-janji sebab takut” alias “angstbeloften”
itu, janji-janji November itu, sesudah bahaya hilang, oleh kaum
imperialisme tidak boleh tidak harus dipaksakan mencederainya!
“Ketika itu yaitu memuncaknya kejadian-kejadian internasional,
tatkala pecahan-pecahan singgasana-singgasana yang dihancurkan
mendesing-desing melintasi kuping-kuping rakyat Belanda dan
guntur revolusi-revolusi di luar negeri menggemuruh di atas
padang-padangnya,”
-begitulah Troelstra menggambarkan keadaan tatkalan janji-janji
November itu perlu diucapkan, namun , sesudah bahaya hilang, tatkala
janji-janji November itu perlu dicabut lagi, maka segeralah kita
mengetahui “rahasia” sebabnya, yaitu “rahasia” yang dibukakan
oleh Prof, Treub di dalam rapat Dewan Majikan tanggal 21 Juni 1923,
-yang bunyinya:
“Salah satu kesan yang sudah ada pada saya, lama sebelum saya
datang ke Hindia, bertambah keras waktu saya berada di sana,
yaitu bahwa dipicu sebab peperangan, Hindia menjadi jauh
lebih penting lagi buat negeri Belanda dari dahulu !”
“Rahasia!”…namun ! “rahasia” yang buat kami kaum PNI bukan
“rahasia” lagi, “rahasia” yang gemerincing dengan ringgit,
“rahasia” yang berbau gula, “rahasia” yang berbau karet, “rahasia”,
yang berbau minyak, berbau teh berbau tembakau dan lain-lain.
Sedang di zaman perang, kelebihan ekspor “hanya” kurang lebih f
300.000.000,-setahun, sedang di zaman perang itu persentase
kelebihan ekspor “hanya” rata-rata 40% dari ekspor seluruhnya,
maka di dalam tahun 1919 menjadilah ia lebih dari f 1.400.000.000,-,
menjadilah ia lebih dari 70% dari jumlah ekspor!
Oleh sebab itu, ini “rahasia” yaitu “rahasia” yang tidak
mengherankan kami lagi, janji-janji bulan November harus
dicederainya, harus digantinya dengan politik yang sangat
reaksioner!
Di dalam buku peringatan lima belas tahun berdirinya Indonesische
Vereeniging, , kami baca:
“Dan tatkala sesudah damai, oleh kerja pembinasaan besar-besaran
itu, keadaan ekonomi menjadi kacau-balau…maka eropa menjadi
berlipat ganda memerlukan ‘wilayah terbuka’ di timur,
dimana ibunda alam dengan sabarnya yang tak terhingga
memberikan kekayaan-kekayaannya. Maka perlulah suatu politik
negara yang tujuannya ialah pelaksanaan kekuasaan yang seluas-
luasnya, sebab jika tiada demikian, tidak dapat dilakukan
pengedukan sebanyak-banyaknya. Politik Inggris yang reaksioner
segera sesudah perang selesai terhadap India; yaitu suatu akibat
yang tidak bisa dielakkan dari hal ini. namun juga, Amerika, yang
terutama masih bisa hidup dari kekayaan sendiri, melepas
politikisolemen-nya yang terpuji itu dan bertindak sebagai kekuasaan
imperialis di timur. Jika tidak, apakah sebabnya keterangan-keterangan pemerintah berbeda satu sama lain….yaitu bahwa
Filipina mula-mula dianggap ‘matang’, kemudian pula tidak
‘matang’ untuk kemerdekaan, yang dijanjikan dalam jones acttahun
1916? Negeri belanda, yang sebab sikap netralnya di masa perang,
terpelihara dari kerusakan-kerusakan harta benda, namun mengalami
juga sedikit-banyaknya krisis di benua eropa, berusahalah sekuat-
kuatnya untuk menggerakkan kembali tali-tali ekonomi dengan
Hinda-Belanda yang oleh peperangan sudah menjadi
longgar”……………..
Dan Gubernur Jenderal Fock dikirimlah kemari, janji-janji November
musnahlah menjadi kabut atau halimun di dalam ingatan belaka,
lebih teguh lagilah oleh sebab nya keyakinan kami akan azas
“selfhelp” dan “Selfreliance” itu, lebih insyaf lagilah kami, bahwa
kemerdekaan yaitu hasil peruangan kami sendiri.
De Kat Angelino dalam “Staatkunding beleid en bestuurzorg in Ned Indie”
hal.89 (kebijaksanaan ketatanegaraan dan pembinaan pegawai di Hindia
Belanda).
Janji-janji bulan November tahun 1918, atau lebih terkenal “November
belofte”, yaitu janji yang diucapkan oleh Gubernur Jenderal Limburg
Stirum di Volksraad (Dewan Hindia) bulan November 1918, bahwa
Regerings-reglement (aturan pemerintahan) segera akan diubah, supaya
diperlukan pemindahan hak-hak pemerintahan dari Nederland ke
Indonesia. Janji ini tidak pernah ditepati, maka Fock dikirim menggantikan
Limburg Stirum (mulai tahun 1919).
Bandingkan Koch “Vakbeweging”, 1927 dan van Gelderen,
“Voorlezingen”-,’
Pembentukan tenaga, pembentukan kekuasaan
atau machtsvorming.
bahwa , sebagaimana kaum buruh negeri Belanda berjuang
untuk hak pemilihan umum (algemeen kiesrecht) dengan nyanyian:
“Wathelpen ons gebeden, voor het kiesrecht dient gestreden!”, “Tiada
guna meminta sayang, buat hak pilih harus berjuang!”,
Maka kami juga mendengungkan kami punya semboyan:
“Tiada guna meminta sayang, buat kemerdekaan harus berjuang!”-
“ Whathelpen ons gebeden, voor de vrijheid dient gestreden!”
Berjuang! Dengan apa berjuang? Dengan pedang? Dengan bedil?
Dengan bom? Dengan merusak keamanan umum? Dengan
menjalankan kejahatan? Amboi, tidak! Tidak dengan pedang, tidak
dengan bedil, tidak dengan bom, tidak dengan melanggar pasal 153
bis atau 169, tidak dengan melintasi batas undang-undang kami
berjuang, kami berjuang ialah dengan “pembentukan tenaga” yang
halal, dengan suatu modern georganiseerde machhtsvorming di dalam
lingkungan undang-undang, sebagaimana kaum buruh di negeri
Belanda berjuang melawan kapitalisme dan “mengambil” kekuasaan
politik itu juga tidak memakai cara-cara yang diharamkkan oleh
hukum, melainkan juga hanya dengan pembentukan tenaga yang
halal belaka. Pembentukan tenaga yang halal, pembentukan
kekuasaan di dalam lingkungan undang-undang, itulah yang PNI
maksudkan, Tuan-tuan Hakim, dan bukan pembentukan tenaga yang
diharamkan oleh undang-undang itu, bukan pembentukan
kekuasaan dengan serdadu-serdadu rahasia, bukan pembentukan
kekuasaan ala nihilisme, bukan pula pembentukan kekuasaan yang
bermaksud membahayai “keamanan umum”, melanggar pasal 153
bis dan pasal 169 undang-undang hukum pidana.
Jadi buat apa pembentukan kekuasaan! Buat
apa machtsvorming! Kami dengar orang bertanya.
Machtsvorming, pembentukan kekuasaan, oleh sebab soal jajahan
yaitu soal kekuasaan, soal macht! Pembentukan kekuasaan oleh
sebab seluruh riwayat dunia mengatakan bahwa perubahan-
perubahan besar hanya diadakan oleh kaum yang menang, kalau
pertimbangan akan untung rugi menyuruhnya, atau kalau suatu
kekuasaan menuntutnya. “Tak pernahlah suatu kelas suka
melepaskan hak-haknya dengan kemauan sendiri,” begitulah Marx
berkata. Seluruh riwayat dunia yaitu riwayat pergerakan-
pergerakan kekuasaan ini. Seluruh riwayat dunia, terutama
sesudah lahirnya faham demokrasi pada fajar abad ke-19, yaitu
menunjukkan pembentukan kekuasaan itu; tiap-tiap partai politik,
tiap-tiap serikat pekerja, tiap-tiap perkumpulan yaitu suatu
pembentukan kekuasaan, suatu pembentukan kekuatan. Orang
seorang-seorang tidaklah bisa mengembangkan kekuasaan yang
besar. Maka manusia seorang-seorang itu lantas berkumpul,
menggabungkan diri satu sama lain, suatu perkumpulan lahirlah ke
dunia. Kalau contoh orang-orang Eropa di sini mengadakan suatu
perkumpulan PEB, kalau orang-orang Eropa di sini
mendirikan Vaderlandsche Club, kalau sebagian orang Tionghoa
membangunkan Chung Hwa Hui, kalau orang-orang Bumiputra
berserikat dalam “Wargi Bandung” atau “Tulak Bahla Tawil Oemoer”,
maka mereka hanyalah mendirikan badan-badan pembentukan
kuasa belaka.
O, memang, pembentukan kekuasaan PEB, pembentukan
kekuasaan Vaderlandsche Club, pembentukan kekuasaan “Tulak Bahla
Tawil Umur” tidaklah sama sifat tabiatnya dengan pembentukan
kekuasaan PNI. Sedang P E B mengejar kepentingan-kepentingan
yang sesuai dengan kepentingan imperialisme, sedangVaderlandsche
Club mau meneruskan penjajahan Indonesia itu sampai kiamat,
sedang T B T O percaya pula dalam kebahagiaan penjajahan itu,
sedang perserikatan itu yaitu partai-partai reaksi
atau partai-partai konservatif, maka PNI yaitu h mengejar
kepentingan-kepentingan yang sama sekali bertentangan dengan
kepentingan imperialisme, PNI yaitu partai perlawanan, partai
oposisi. Pembentukan kekuasaan PNI sebagai yang tadi kami
katakan, pembentukan kekuasaan PNI yaitu timbul dari
keyakinan, bahwa soal jajahan yaitu soal kekuasaan. Selama
rakyat Indonesia belum menjadi suatu kekuasaan yang mahasentosa,
selama rakyat itu masih saja tercerai-berai dengan tiada kerukunan
satu sama lain, selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua
kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun,
selama itu maka kaum imperialisme yang mencari untung sendiri itu
akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang
menurut dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya.
Sebab tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia yaitu merugikan bagi
imperialisme; tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia tidaklah akan
diturutinya, kalau kaum imperialisme itu tidak terpaksa
menurutinya. Tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia atas kaum
imperialisme dan pemerintah adallah buah desakan yang rakyat itu
lakukan, tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia itu yaitu suatu
konsesi yang dipaksakan!
Sosialis Cramer pada 10 Juni 1925 berkata dalam Tweede kamer:
“Walaupun diselimuti dengan kata-kata manis, dari sini nyata
sekali, bahwa…..kepentingan-kepentingan Belanda, atau lebih
benar, kepentingan-kepentingan kapital besar,selalu lebih dahulu
harus dijamin keselamatannya; kepentingan-kepentingan rakyat
Hindia baru diperhatikan dalam tingkat kedua, ketiga atau keempat.
Tuan Ketua!
Rakyat Hindia tentulah tak urung menarik satu-satunya kesimpulan
yang benar, bahwa dari suatukamer yang disusun seperti sekarang
ini, tidak bisa dan tidak usah diharapkan apa-apa dan bahwa
mereka, jika hendak mencapai sesuatu harus memperhadapkan
kekuasaan dengan kekuasaan. Sebab bukankah seluruh soal matang
atau tidak matang untuk ikut memerintah itu, terutama yaitu soal
kekuasaan?”
“Memperhadapkan kekuasaan dengan kekuasaan”, “macht tegenover
macht”, begitulah nasihat Cramer. Meskipun demikian, Cramer
bukan bolsjewik Cramer bukan sosialis kiri! Cramer bukan orang
yang mau main bedil-bedilan atau bom-boman, bukan orang yang
mau “membahayai keamanan umum”, bukan orang yang mau
“menyerang” atau “merobohkan” kekuasaan pemerintah. Cramer
yaitu sosialis yang “kutuq”, seorang “warga yang tulus”. Anggota
partai oposisi SDAP yang tenang itu!
bahwa , pembentukan kekuasaan suatu partai perlawanan
tidaklah selamanya harus pembentukan kekuasaan yang melewati
batas hukum! Sebagaimana SDAP dengan jalan pembentukan
kekuasaan yang halal itu, dari suatu golongan kecil yang dihina-hina
dan dimaki-maki bisa menjadi suatu kekuasaan yang ditakuti orang,
sebab sekarang mempengaruhi orang ratusan ribu; sebagaimana
SDAP itu, dengan pergerakan puluhan ribu kaum rakyat, dengan
mendirikan serikat-serikat kaum buruh, dengan mengadakan
koperasi-koperasi, dengan mengeluarkan berpuluh-puluh surat
kabar, bisa mendesak dan memaksa kepada musuhnya
mengadakan konsesi-konsesi yang berharga; sebagaimana SDAP
atau kaum buruh di Eropa Barat dengan pembentukan kekuasaan
yang mahahebat namun halal itu, mau mencapai kekuasaan politik
dan lantas memberhentikan kapitalisme, maka PNI dengan jalan
pembentukan kekuasaan pula, ingin menjadi kekuasaan yang
ditakuti, yang akhirnya bisa menuntun rakyat Indonesia ke atas
“kekuasaan politik juga, kekuasaan politik kemerdekaan, yang
menurut penglihatan kami, yaitu syarat yang terpenting untuk
memberhentikan imperialisme sama sekali.
P.E.B. (Politiek Economische Bond) yaitu satu perkumpulan pengusaha-
pengusaha Belanda di Indonesia, yang selalu berusaha mengajukan
kepentingan mereka untuk dijadikan kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda.
Tiap partai Kemerdekaan mau berontak?
“Mencapai kekuasaan politik! Mendatangkan Indonesia merdeka! Ya,
benar, mendatangkan Indonesia merdeka! Jadi PNI mau berontak,
kalau kemerdekaan itu tidak diberikan! begitulah orang bisa
berkata.
Amboi, aneh benar “logika” yang demikian ini! Kalau memang benar
“logika” yang demikian itu, orang lantas boleh me-“logika”-kan pula:
jadi, PSI yang bercita-cita pemerintahan Islam itu, juga mau berontak!
Atau orang boleh me-“logika”-kan pula: jadi, Budi Utomo, jadi,
Pasundan, jadi kaum Betawi, jadi Sarekat Madura, jadi semua
anggota PPPKI yang juga mau mendatangkan kemerdekaan itu, juga
mau memicu huru-hara! Ya, orang boleh me-“logika”-kan pula:
jadi SDAP, jadi ISDP, jadi Albarda c.s. dan Stokvis c.s. yang
bersemboyan “mencapai kekuasan politik!, nyah dengan
kapitalisme!” itu, juga mau mengamuk dengan bom dan dinamit! :
Amboi, kocak benar kalau begitu: Orang tua Stokvis mengamuk
dengan bom dan dinamit! Padaha, bagaimanakah aksi ISDP?
Bagaimanakah aksi SDAP? Bagimanakah Stokvis c.s. dan Albarda
c.s. itu mau mencapai kekuasaan politik itu?
“Bagaimanakah jalannya mengambil kekuasaan politik?” begitulah
kami itu menjawab di dalam buku kecil mereka tentang asas dan
tujuan SDAP:
“Kami sedang melakukan yang demikan itu pada tiap-tiap keping
organisasi, yang kami dirikan dan luaskan. Kami bekerja untuk itu
pada tiap pemilihan, pada tiap perjuangan untuk hak memilih, pada
tiap aksi besar terhadap kaum borjuis. Ini bukan pemberontakan
satu hari, namun yaitu pekerjaan perlawanan kami bertahun-
tahun…..alat-alat yang kelihatan, yang dipakai oleh
proletariat dalam perjuangannya, disesuaikan dengan syarat-syarat
dan kemungkinan-kemungkinan perjuangan itu dan dengan senjata-
senjata yang diberikan oleh masyarakat kapitalis itu sendiri kepada
kami. Sebab itulah terutama kami pergunakan parlemen, sebab
itulah pula gerakan sekerja memakai senjata mogok di negeri
Belanda yaitu hak mogok, Tuan-tuan Hakim yang bisa
dipakai nya oleh sebab tenaga buruh tidak bisa ditiadakan
dalam proses produksi. namun senjata itu pula yang dipakai
oleh proletariat juga untuk tuntutan-tuntutan politik umum dan
tuntutan-tuntutan kelas, bila dianggapnya bisa mendatangkan
manfaat….kekerasan menurut pengalaman kami, ternyata yaitu
suatu senjata yang jelek, boleh bilang tidak perlu kalau kekuasaan
ada pada kita, merugikan selama kita tidak memiliki
kekuasaan….namun aksi apa pun yang hendak kita lakukan,
senjata apa pun hendak kita pakai, dasar yang tidak bisa
ditiadakan dari segala, ialah: adanya suatu organisasi yang tahan
lama, kuat susunanya dan tumbuh terus, suatu organisasi yang
memiliki hak susila dan kekuasaan, untuk memegang
pimpinan kelas kaum buruh dalam perjuangan kelas-kelas”.
sebetulnya , kocak betullah “logika” yang me-“logika”-kan,
bahwa sebab itu, PNI akan memicu huru-hara. namun , juga
dengan tidak menertawakan “logika” yang kocak itu, maka tiap-tiap
orang yang mau mengakui bahwa sedikitnya otak kami toh masih
belum terganggu, tiap-tiap orang yang tidak memandang kami orang
yang gila atau orang idioot, tentulah mengerti, bahwa kami
mustahillah tak mengetahui bahwa kemerdakaan itu hanya bisa
tercapai dengan suatu usaha susunan dan usaha kekuasaan yang
maha sukar dan mahaberat adanya, dan bahwa mustahillah pula
kami contoh bisa berkata, bahwa kemerdekaan itu akan datang
dalam tahun ‘30! Sebagaimana kekuasaan politik tidak bisa dicapai
oleh kaum buruh Eropa di dalam satu, dua, tiga, sepuluh, dua puluh
tahun, maka kemerdekaan pun tak bisa diperoleh rakyat Indonesia
dalam satu helaan nafas saja!
Ai, ai, “kemerdekaan akan datang dalam tahun ’30!”
Kami dikatakan pernah bilang, bahwa kemerdekaan akan datang
dalam tahun ’30! sebetulnya , kalau memang benar begitu, perlu
sekalilah kami dengan segera dikirimkan ke rumah sakit gila
Ciikeumeuh, bagian “pasien-pasien yang tidak sembuh lagi”,
bersama-sama dengan saudara Mr. Sartono, yang juga dikatakan
pernah berpidato kemerdekaan akan datang tahun ini.
Dalam Bintang Timur, edisi bahasa Belanda, 4 januari yang lain kami
baca:
“Atas pertanyaan Mr. Sartono apakah bukti-bukti pendakwaan,
polisi menjawab, bahwa pemerintah memperoleh kabar dari seluruh
Indonesia, bahwa PNI mau mengadakan revolusi dan juga bahwa ini pun berita-berita dari mata-mata juga Mr. Sartono di dalam
suatu rapat terbuka (???) mengatakan, bahwa tahun 1930 negeri ini
akan memperoleh - kembali kemerdekaannya….Mr. Sartono lantas
menjawab dengan tepatnya, bahwa pucuk Pimpinan tidak pernah
merancang maksud seperti itu. Sebab jika benar demikian, tentulah
Pucuk Pimpinan mengeluarkan suatu keputusan ditambah petunjuk-
petunjuk! Dan lagi pula, jika sekiranya sungguh-sungguh mereka itu
memiliki maksud jahat itu, tentulah mereka semuanya
menyimpan senjata-senjata atau sekurang-kurangnya golok di
dalam rumah, sedangkan sekarang, tatkala dilakukan
penggeledahan besar-besaran tidak didapati satu pisaupun atau
senjata lain pada pemimpin-pemimpinnya. Dia ingat, bahwa di
dalam suatu rapat umum dia pernah menerangkan bahwa dalam
tahun 1930 saudara-saudara kita bangsa Tionghoa disamakan
haknya dengan bangsa Eropa. Berhubung dengan itu ia berkata,
bahwa konsekuensi penyamaan hak itu, orang Indonesia juga
berhak memperoleh hak-hak yang timbul dari undang-undang
penyamaan hak itu. Dia selalu menerangkan, bahwa dia ingin sekali
Indonesia merdeka. Dalam hampir saban rapat umum dia
menerangkan yang demikian itu dengan tidak ada pembatasan. namun
dia tidak pernah mengatakan, bahwa Indonesia mulai 1 Januari 1930
akan merdeka, dan bahwa menjelang waktu itu, di sini kan meletus
revolusi. Jikalau dia pernah berkata begitu, dia merasa heran
mengapa dia tidak ditangkap waktu itu juga.
Benar sekali! Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa kami
mengejar kemerdekaan. Kami tak pernah tedeng aling-aling, bahwa
PNI punya idam-idaman ialah Indonesia merdeka! namun kami
tidak begitu tolol untuk mengira atau mengatakan bahwa
kemerdekaan itu dalam satu helaan nafas saja akan datang!
O, memang, kalau umpamanya kemerdekaan itu bisa jatuh dari
langit ini hari, kalau umpamanya bisa datang seorang malaikat manis
menghadiahkan kemerdekaan itu ini hari, maka kami, dari Partai
Nasional Indonesia, kami tidak akan menolaknya, namun sebaliknya
akan bersukaria. Kami di dalam hal itu akan mengucap syukur dan
alhamdulillah, oleh sebab sepanjang keyakinan kami kemerdekaan
yaitu kunci pintu gerbang surga kebesaran kami. Kami memandang
kemerdekaan ini hari itu sebagai suatu cita-cita yang seindah-
indahnya, dan oleh sebab itu, tidak yaitu bagi kami kemerdekaan
yang datangnya terlalu pagi.
Kami tidak mau bersikap sebagai kaum setengah sosialis, yang sudah
lebih dahulu apriori- menyembunyi-nyembunyikan asasnya sendiri
dengan menolak tuntutan merdeka ini hari. Menolak cita-cita
merdeka ini hari. namun ,…..kemerdekaan tidak akan datang ini hari
atau besok pagi! Kemerdekaan hanyalah hasil suatu usaha susunan
dan usaha persatuan yang sesuatu rakyat harus kerjakan tak
berhenti-hentinya dengan habis-habisan mengeluarkan keringat ,
membanting tulang, memeras tenaga. Kemerdekaan, menurut
perbandingan pemimpin India Surendra nath Banneryee, yaitu :
“laksana dewi yang cemburu, yang minta dipuja-puja dengan teliti
sekali dan menuntut dari pemuja-pemujanya pembakita n yang rajin
dan tiada hentinya.”
Kemerdekaan, begitulah kami sering-sering terangkan di dalam
rapat-rapat umum, kemerdekaan tidaklah bagi kami. Kemerdekaan
yaitu buat anak-anak kami, buat cucu-cucu kami, buat buyut-
buyut kami yang hidup di kelak kemudian hari!
Tidak! Untuk mencapai kemerdekaan itu, PNI tidak bermaksud
pedang-pedangan atau golok-golokan atau bom-boman, tidak pula
bermaksud menyindir atau memujikan pengrusakan keamanan
umum atau pelanggaran kekuasaan pemerintah atau menjalankan
hal-hal lain sebagai yang dituduhkan kepada kami dalam proses ini,
namun PNI mengerjakan pembentukan kekuasaan yang halal itu,
mengerjakan pembentukan kekuasaan itu menurut contoh organisasi
modern, dan sebagaimana kaum buruh di Eropa yang juga
memandang kekuasaan politik dan lenyapnya kapitalisme sebagai
kunci satu-satunya bagi kebahagiaan yang sejati itu, dalam sementara
menumpuk-numpuk pembentukan kekuasaan itu sudah mencoba-
coba meringankan nasibnya dengan pelbagai aturan dan
kemenangan-kemenangan yang bisa tercapai ini hari; sebagaimana
kaum uurh Eropa itu dalam sementara mengejar maksud yang
tertinggi itu, tak emoh akan keuntungan-keuntungan yang langsung,
maka PNI pun dalam sementara mengejar kemerdekaan itu, sudah
pula berjuang secara halal bagi keuntungan-keuntungan ini hari yang
demikian itu juga adanya. PNI pun dalam sementara mengejar
Indonesia merdeka itu, sudah pula berusaha di atas lapangan
ekonomi, sosial dan politik sehari-hari, ya malahan memandang
keuntungan-keuntungan ini hari itu sebagai syarat-syarat pula bagi kemerdekaan itu.
Ia mencoba mendirikan sekolah-sekolah, membangunkan rumah-
rumah sakit, melawan riba, menyokong bank-bank nasional,
membuka koperasi-koperasi, memajukan serikat-serikat sekerja dan
perserikatan-perserikatan tani. Ia mencobba menghilangkan pasal-
pasal pencegah penyebaran kebencian (haatzaai-artikelen) ditambah
pasal-pasal 153 bis-ter dan pasal 161 bis dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, menghilangkan hak-hakexorbitante dari gubernur
jenderal. Ia mencoba jadi penyokong rakyat yang sengsara itu di
dalam kebutuhannya sehari-hari. Dan jika PNI pada saat ini belum
banyak hasil di atas lapangan itu; jika PNI belum banyak sekolah-
sekolahnya, belum banyak poliklinik-polikliniknya, belum banyak
koperasi-koperasinya; jika PNI belum dapat menghapuskan ranjau-
ranjau politik yang kami sebutkan tadi, maka itu yaitu oleh sebab
PNI baru berumur dua tiga tahun saja!
Troelstra, dalam manuscript SDAP “Wat zij is en Wat zij Will” Cetakan VIII
Sekitar tahun 1930 ada issue yang mengatakan “Indonesia akan merdeka
pada tahun 1930”. Sebagai sumber issue diarahkan oleh pemerintah
kolonial, seolah-olah dari Bung Karno.
Hak exorbitante, ialah hak istimewa Gubernur Jenderal mengasingkan
tokoh pergerakan yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum.
“Aksi Dengan Perbuatan”
Di dalam makna inilah kongres PNI di Jakarta tahun yang lalu
mengambil putusan akan mengadakan “aksi dengan perbuatan”
dalam tahun 1929-1930.
Di dalam makna “berusaha secara halal mendatangkan perbaikan-
perbaikan yang bisa tercapai sekarang”, begitulah perkataan “aksi
dengan perbuatan” itu harus diartikan. Sebelum kongres di Jakarta
itu, sebelum Mei 1929 itu, maka PNI masih dalam zaman
propaganda. Segala rapat-rapat, segala ucapan-ucapan, gerak-
bangkitnya, sebelum kongres di Jakarta itu, terutama hanyalah untuk
memperkenalkan diri belaka kepada rakyat Indonesia,
mempropagandakan azas-azas dan tujuan-tujuannya, agar rakyat
Indonesia mengetahui dan menjadi tertarik dengan kebenaran azas-
azasnya itu. Hampir ditiap-tiap rapat umum yang diadakan oleh PNI
di dalam tahap yang pertama ini, kami hanya berpidato menerangkan
panjang lebar kami punya keterangan azas belaka, sebagai yang
terletak dalam buku anggaran dasar PNI itu. Hampir tiap-tiap rapat
umum di dalam tahap ini yaitu rapat umum mendirikan cabang baru,
atau rapat umum buat menambah terkenalnya diri dan azas PNI di
tempat cabang yang sudah ada. Di dalam tahap propaganda ini, maka
PNI belumlah mengadakan “aksi”; ia belum mengusahakan
organisasinya untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan yang
termaktub dalam daftar usahanya. Di dalam tahap itu PNI hanyalah
mempropagandakan dasar-dasarnya belaka, belumlah ia
“berusaha”, belumlah ia beraksi untuk melaksanakan rencana
kerjanya!
Nah, tatkala di dalam permulaan tahun 1929 PNI semakin banyak
anggotanya, tatkala pada permulaan tahun 1929 itu PNI sudah
semakin banyak memiliki tenaga, tatkala pada saat itu PNI sudah
cukup agaknya dipropagandakan, maka pucuk pimpinan
memandang perlu mengerjakan apa yang tertulis dalam daftar
usahanya, pucuk pimpinan memandang perlu menginjak lapangan
perbuatan, lapangan aksi. Azas dasar sudah cukup
dipropagandakan, nah, rencana kerja sekarang harus dikerjakan,
“aksi dengan perbuatan” sekarang harus dijalankan! Dan atas usul
pucuk pimpinan itu, maka Kongres Jakarta mengambil putusan
untuk menjalankan aksi dengan perbuatan itu tentang pasal I d dan
III d dari daftar usaha, yaitu pasal-pasal “menghapus alangan-
alangan yang merintangi kemerdekaan diri, kemerdekaan bergerak,
kemerdekaan cetak-mencetak, kemerdekaan berserikat dan
kemerdekaan berkumpul”, ditambah “memajukan serikat-serikat
sekerja dan perserikatan-perserikatan tani”. Sejak Kongres Jakarta itu
maka tahap propaganda sudah tertutup, mulailah tahap baru, mulailah
tahap pembangunan yang nyata, yaitu tahap bekerja, tahap aksi.
Caranya beraksi? Caranya beraksi dengan perbuatan? Bom, bedil,
dinamit? Tidak, caranya aksi dengan perbuatan tidaklah dengan
bom, tidaklah dengan bedil, tidak dengan dinamit, tidak pula dengan
apa-apa yang dilarang hukum. Caranya tak lain dari mengadakan
rapat-rapat umum di mana-mana untuk mempengaruhi,
menggugahkan, membangkitkan pendapat umum, menulis
karangan-karangan di dalam surat-surat kabar, mengadakan kursus-
kursus kepada anggota-anggota sendiri tentang pasal-pasal itu tadi.
Caranya tak lain yaitu menggerakkan kekuasaan kami secara halal,
membesar-besarkan kekuasaan itu. Caranya tak lain dari
menggerakkan kamu punya kekuasaan secara halal, meluaskan kami
punya pembentukan kekuasaan itu, tak lain dari sebagaimana SDAP
beraksi, sebagaimana partai Sarekat Islam beraksi, yaitu
menggerakkan semangat sendiri dan menggerakkan semangat
pendapat umum sehebat-hebatnya, mengeluarkan tenaga bekerja
ke dalam untuk melahirkan badan-badan organisasi yang perlu,
contoh serikat-serikat sekerja dan tani itu tadi, mengeluarkan
tenaga bekerja keluar untuk mengadakan desakan yang sekuat-
kuatnya agar supaya tuntutan-tuntutannya bisa terlaksana adanya.
Bukan desakan dengan bom, bukan desakan dengan dinamit, bukan
desakan dengan apa-apa yang dilarang oleh hukum! namun desakan
hahal, desakan yang sebagaimana kami katakana di dalam
pemeriksaan, oleh Dr. Ratulangi, tatkala ia masih radikal dan belum
lunak seperti sekarang, dinamakan kan “desakan semangat”, “moreel
geweld”.
Ah, tuan-tuan hakim, adakah perkataan-perkataan “aksi dengan
perbuatan” tentu berarti pemberontakan, barrikaden , perkosaan,
adakah perkataan-perkataan itu tentu berarti kekerasan, atau setidak-
tidaknya, pelanggaran hukum?
Kaum sosialis Eropa toh sering juga menganjurkan “aksi dengan
perbuatan” itu, sering juga menganjurka “aksi langsung”, dan
mereka bukankah juga tidak memaksudkan pelanggaran hukum,
perkosaan atau bom-bom dengan “aksi langsung” itu?
“Oleh sebab kekuasan kapital besar justru tidak terutama duduk
dalam parlemen, namun diluarnya, maka kaum buruh tidak bisa
membatasi perjuangannya kepada parlemen saja. Sebab itu kaum
buruh, disamping senjata aksi di dalam parlemen, harus
memakai pula, di saat-saat perjuangannya yang besar,
senjata aksi yang langsung, yaitu aksi politik dari serikat-serikat
sekerja”…
Begitulah contoh pemuka SDAP berpidato, dan semua orang
mengetahui, bahwa dengan aksi langsung diluar parlemen itu,
tidaklah dimaksudkan pelanggaran hukum atau perkosaan, atau
pemberontakan!
Tidak, tuan-tuan Hakim, sekali lagi kami ulangi: tidak dengan
maksud memicu huru-hara, tidak dengan maksud
memicu putsch tidak dengan maksud melanggar pasal 153 bis
atau lain-lain hal yang dituduhkan di dalam proses ini, PNI mau
menjalankan aksinya mengejar kemerdekaan, namun PNI mau
mencapai maksudnya dengan mengorganisasi dan menggerakkan
suatu organisasi kekuasaan yang sah, suatu organisasi kekuasaan
nasional modern, suatu massa-aksi nasional yang menolak tiap-tiap
cara yang tidak nasionalistis adanya.
Di Eropa, kalau kaum pemberontak memicu pemberontakan di kota-
kota, maka mereka mendirikan barikade di jalan-jalan di dalam kota itu,
yaitu rintangan-rintangan dari meja, kursi, lemari, karung berisi tanah, dan
lain-lain.
Troelstra dalam bukunya, “DeSoc. Dem . na den oorlog” 1921 hal. 17
Putsch= pemberontakan kecil.
Revolusioner, revolusi
namun perkataan “revolusioner”! namun halnya PNI menyebutkan
diri suatu partai “revolusioner”! Tidakkah itu berat bahwa PNI
bermaksud mengadakan pemberontakan,, atau setidak-tidaknya
bermaksud melanggar kekuasaan pemerintah, mengganggu
keamanan umum?
O, memang, kami sering mengatakan bahwa kami yaitu kaum
revolusioner, kami sering menyebut PNI itu suatu partai
revolusioner! PNI memang sedari mulanya yaitu suatu partai
revolusoner! Kalimat di dalam surat pendakwaan, bahwa PNI yaitu
kemudian menjadi revolusioner, kalimat itu yaitu salah sama sekali.
PNI tidak kemudian menjadi revolusioner, PNI yaitu revolusioner
sejak hari lahirnya! namun kata revolusioner dalam makna kami,
sama sekali tidak berarti “mau memicu pemberontakan” atau
“menjalankan sesuatu pelanggaran hukum”. Kata revolusioner di
dalam makna kami yaitu berarti “radikal”, “mau mengadakan
perubahan dengan lekas”, “omvormend in snel tempo”. Kata
revolusioner di dalam makna kami haruslah diambil sebagai
kebalikan kata “sabar”, kebalikan kata “sedang”. Kami, kaum PNI,
kami memang bukan kaum sabar, kami memang bukan kaum
sedang, kami memang bukan kaum “uler kambang”, yang selamanya
kami sebut “kapuk”; kami yaitu kaum “radikal”, kaum yang ingin
mengadakan perubahan selekas-lekasnya, kami yaitu kaum
”Kepala Banteng”.
Ah, tuan-tuan Hakim, perkataan “revolusioner” toh tidak di dalam
makna kami saja berarti “ingin perubahan dengan lekas”, yaitu
“omvormend in snel tempo”. Kalau orang berkata “mesin uap itu
mengadakan revolusi di dalam cara produksi”, kalau orang berkata,
“Prof. Einstein sudah merevolusikan segenap ilmu alam”, kalau
orang menyebutkan “Yesus kristus seorang revolusioner yang
terbesar di seluruh riwayat dunia”, kalau pasifis Tolstoyanis Ds. B.
de Light menulis buku “Christen revolutionnair”, ya, kalau kaum
Marxis, berhubung dengan hukum evolusi di dalam pergaulan hidup
(sebagai variasi atas Heraclitus “panta rei”) berkata : ”kita hidup di
dalam revolusi terus-terusan, yaitu di dalam Revolution im Permanenz”, yaitu itu semua mengingatkan akan pedang, akan
bedil, akan bom, akan dinamit, barrikaden, darah manusia dan hawa
maut?
PNI yaitu “revolusioner”, oleh sebab PNI ingin mengadakan
perubahan yang lekas dan radikal. Prof. Bluntschli, ahli hokum
kerajaan yang termashur dan yang sama sekali bukan “kaum merah”,
mengatakan bahwa revolusi umumnya berarti: “umgestal-tung van
Grund aus”, yaitu perubahan yang radikal, perubahan yang sedalam-
dalamnya. Sebagaimana tiap-tiap partai yang mau mengadakan
perubahan yang radikal yaitu suatu partai revolusioner, makas PNI
yaitu pula suatu partai yang revolusioner, PSI yaitu revolusioner,
ISDP yaitu revolusioner, sebagai Tuan Koch mengakui sendiri,
segenap perjuangan kelas dari kaum buruh yaitu revolusioner.
“Bukan bentuk-bentuk tertentu dari perjuangan kelas yang
revolusioner, namun perjuangan kelas itu sendiri yang pada
hakikatnya revolusioner, meskipun kebanyakan orang menganggap
keributan dan pemogokan, itulah “yang dinamakan revolusioner,”
begitulah Stenhuis berkata Dengarkannlah pula bagaimana social
democrat Liebknecht yang tersohor itu menerangkan perkataan
“revolusioner”:
“kita mengalami “revolusi terus-terusan”, Revolution im Permanenz.
Sejarah dunia yaitu satu revolusi yang terus-menerus. Sejarah dan
revolusi yaitu sama. Proses perubahan yang revoolusioner dalam
masyarakat dan Negara tak pernah terhenti sekejap mata pun, sebab
Negara dan masyarakat yaitu barang-barang yang hidup, dan
akhir proses perubahan, proses pembaharuan ini, yaitu maut.
Kami, kaum social democrat,mengerti akan hal itu dan itulah
sebabnya kami membentuk suatu partai revolusioner, yaitu suatu
partai yang bermaksud menghilangkan rintangan-rintangan bagi
perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara!”,
dan dengarkanlah apa sebabnya Karl Marx menyebut kaumnya itu
kaum revolusioner:
“Kaum sosialis yaitu revolusioner, bukan sebab mereka
bertingkah laku keras, namun sebab anggapan mereka tentang
tumbuhnya cara produksi, yaitu : di dalam pertumbuhan itu harus
ditimbulkan pengertian-pengertian dan bentuk-bentuk baru
tentang milik dan produksi. Sebaiknya dari anggapan orang
sekarang, mereka itu revolusioner sebab cita-cita dan usahanya
menyusun dan memicu matang untuk itu, kelas yang harus
akan melaksanakan system baru itu”.
sebetulnya , jika sekalilah perkataan Karl Kautsky: “Sosial-
demokrasi yaitu suatu partai yang revolusioner, namun bukan suatu
partai yang bikin revolusi-revolusi!”
Tidakkah ternyata sekarang kebenaran perkataan kami, bahwa SDAP
yaitu revolusioner, bahwa ISDP yaitu revolusioner, bahwa
Albarda cs. yaitu revolusioner, bahwa Stokvis, bahwa de Dreu,
bahwa Middendorp yaitu revolusioner? Tidakkah PNI revolusioner
juga, tidakkah kami kaum revolusioner juga, PNI dan kami, yang
juga bermaksud “menghilangkan rintangan-rintangan bagi
perkembangan sewajarnya dari masyarakat dan Negara”, juga
bermaksud “menyusun dan memicu matang rakyat untuk itu”?
Oleh sebab itu, sekali lagi, memang PNI yaitu revolusioner, kami
yaitu kaum revolusioner, namun tidak sebab apa-apa, melainkan
hanya sebab PNI ingin perubahan yang lekas dan radikal, ingin
“omvorming in snel tempo”, ingin “Umgestaltung von Grund aus” itu.
PNI dan kami yaitu revolusioner, tidak sebab PNI dan kami mau
golok-golokan atau bom-boman atau dinamit-dinamitan, tidka
sebab PNI (dengan perkataan Kautsky) yaitu “suatu partai yang
bikin revolusi-revolusi”, namun hanya sebab PNI ingin
menghilangkan segala hal yang merintangi dan memundurkan
suburnya pergaulan hidup Indonesia dan mengorganisir rakyat
untuk menghilangkan rintangan-rintangan itu.
Pasifis Tolstoyanis= orang yang cinta damai, seperti tercermin dari
roman Tolstoy “War and Peace”
Stenhuis dalam pidato 3 Oktober 1928 di hadapan Development
Assocation di Amsterdam Kekuasaan semangat
Amboi! Golok, bom dan dinamit! Kami dituduh golok-golokan, bom-
boman dan dinamit-dinamitan! Seperti tidak ada senjata yang lebih
tajam lagi daripada golok, bom dan dinamit! Seperti tidak ada senjata
yang lebih kuasa lagi daripada puluhan kapal perang, ratusan kapal
udara, ribuan, ketian, milyunan serdadu darat! Seperti tidak ada
senjata semangat lagi, yang, jikalau sudah sadar dan bangkit dan
berkobar-kobar di dalam kalbu rakyat, lebih hebat kekuasaannya dari
seribu bedil dan seribu meriam, ya, seribu armada laut dan seribu
tentara yang lengkap alat dan lengkap senjata! Seperti kami tak
mengetahui akan kekuasaan semangat rakyat yang bisa dibuat
mahasakti dan mahaadigjaya itu. Orang menuduh kami mau
memicu ramai-ramai dengan Mercon sumet dan mercon banting!
Seperti tidak ada ilmu ketimuran lagi, yang dinyanyikan dalam buku
Bagawad Gita dan yang mengajarkan kekuatan semangat itu!
“Ketahuilah, senjata tiada menyinggung hidup;
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
Tiada angus oleh angin yang panas.
Tiada tertembusi,
Tiada terserang, tiada terpijak dan merdeka
Kekal abadi, di mana-mana, tetap tegak,
tidak nampak, terucapkan tiada,
Tiada terangkum oleh kata, pikiran, selalu pribadi tetap
Begitulah dinamakan jiwa!”
Tidak, PNI tidak mencari kekuasaan dalam ribut-ribut atau bom-
boman atau dinamit-dinamitan, tidak pula mencari tenaga dalam
sengaja melanggar undang-undang sebagai dituduhkan disini. PNI
mencari kekuasaan pembentukan tenaga dalam organisasi sosial dan
organisasi semangat rakyat yang sedar dan bangkit, mencari
kekuasaan pembentukan tenaganya dengan lebih lagi menghidup-
hidupkan dan menyusun semangat rakyat yang oleh pengaruh
imperialisme turun-temurun, kemarin sudah hampir padam, namun kini
mulai menyala lagi. PNI mengetahui, PNI insaf, PNI yakin, bahwa jika
semangat rakyat itu sudah tersusun dan menyala-nyala berkobar-kobar,
tidak ada satu kekuasaan duniawi yang bisa membinasakannya, PNI yakin
bahwa, jika ia sudah menggenggam senjata semangat yang sedemikian
itu, ia tentu mencapai segala apa yang
dimaksudkan, zonder pedang, zonder bedil, zonder bom, zonder meriam,
ya, zonder “kocak-kocakan” sengaja melanggar pasal 153 bisa dan 169
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai yang dituduhkan kepada
kami dalam proses ini. Dengan senjata semangat yang demikian itu, maka
ia dengan sebenar-benarnya menggenggam senjata yang mahasakti,
dengan sebenar-benarnya beraji candrabirawa dan pancasona,
mahhakuasa, kekal abadi, tiada terkalahkan!
‘Siapa bisa merantai suatu bangsa, kalau semangatnya tak mau
dirantai? Siapa bisa membinasakan sesuatu bangsa, kalau
semangatnya tak mau dibinasakan?”
Begitulah sarojini Naidu, Srikandi India, berpidato tatkala membuka
Kongres Nasional India yang ke-40 dan Mac Swiney, pendekar irlandia
yang termashur itu, di dalam bukunya “Principes de la Liberte” menulis:,
“Sebab seorang yang dirampas senjatanya, tidak bisa melawan
orang banyak, satu tentara tak bisa mengalahkan tentara-tentara
yang tak terpermanai banyaknya, namun semua tentara dari semua
negara di seluruh dunia bersama-sama, tidak kuasa menundukkan
satu jiwa, yang sudah bertekad untuk berjuang mempertahankan
hak.”
sebetulnya , buat apa bom-boman atau dinamit-dinamitan, buat apa
kocak-kocakan sengaja melanggar pasal 153 bis dan 169 kalau kami
dengan pembentukan kekuasaan organisasi semangat itu saja sudah
memiliki kepastian akan mencapai semua maksud?
Sarojini Naidu (1879-1949) pejuang dan pujangga wanita India, pengikut
M.K. Gandhi, dalam buku “Asia”.
Mac Swiney dalam buku. “Principes de la liberte” dikutip dari “Intery,
en Irlande”,
Nasionalisme nyawanya pembentukan kekuasaan PNI oleh sebab nya , tak berhenti-hentinya menyubur-nyuburkan
semangat rakyat itu. Semangat tiap-tiap rakyat yang disengsarakan
oleh suatu keadaan, baik rakyat proletar di negara industri,
maupun rakyat di tanah-tanah jajahan, yaitu semangat ingin
merdeka: Nah, kami menyuburkan semangat ingin merdeka itu
pada rakyat indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama
dengan keinsafan kelas sebagai pergerakan kaum buruh
umumnya, namun terutama dengan keinsafan bangsa, dengan
keinsafan nasionaliteit, dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat
yang dikuasai oleh bangsa lain, tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap
rakyat yang saban hari, saban jam, merasakan imperialisme bangsa
lain, tiap-tiap rakyat yang diperintahi secara jajahan demikian itu,
yaitu berbudi akal nasionalistis. Rasa pertentangan, yang di Eropa
atau di Amerika, berwujud rasa pertentangan kelas, oleh sebab
kaum yang berkuasa dan kaum yang dikuasai di sana terdiri dari
satu bangsa, satu kulit, satu rasa, rasa pertentangan itu di suatu
negeri jajahan yaitu menyatu dengan pertentangan nasionalistis.
Bukan terutama rasa pertentangan si buruh terhadap si kapilistis,
bukan terutama rasa pertentangan kelas yang kita alami dalam suatu
negeri jajahan, namun , rasa pertentangan si hitam terhadap si putih, si
Timur terhadap si Barat, si terjajah terhadap si penjajah.
PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran
nasioanlistis, di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti
bisa membuka kenikmatan hari kemudian. PNI oleh sebab nya ,
menyubur-nyuburkan dan memelihara nasionalisme itu, dari
nasionalisme yang kurang hidup dibuat jadi nasionalisme yang
hidup, dari nasionalisme yang instinktif jadi nasionalisme yang
sadar, dari nasionalisme yang statis jadi nasionalisme yang dinamis,
pendek kata: dari nasionalisme yang negatif jadi nasionalisme yang
positif. dibuat jadi nasionalisme positif, Tuan-tuan Hakim, dibuat
nasionalisme positif, sebab dengan nasionalisme yang hanya rasa
protes atau rasa dendam saja terhadap imperialisme, kami belumlah
tertolong. Kami punya nasionalisme haruslah suatu nasionalisme
yang positif, suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme
yang mencipta, suatu nasionalisme yang “mendirikan”, suatu
nasionalisme yang “mencipta dan memuja”. Dengan nasionalisme
yang positif itu maka rakyat Indonesia bisa mendirikan syarat-syarat
hidup merdeka yang bersifat kebendaan dan kebatinan. Dengan
sekarang sudah menghidup-hidupkan nasionalisme yang positif itu,
maka ia bisa menjaga, jangan sampai nasionalisme itu menjadi
nasionalisme yang benci kepada bangsa lain, yaitu jangan sampai
nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang chauvinistis atau jingo-
nasionalisme yang agresif, sebagai yang kita alami jahatnya dalam
perang dunia yang lalu, suatu jingo-nasionalisme “of gain and
loss” sebagai kata C.R. Das yang agresif, yaitu suatu jingo-
nasionalisme yang bersemboyan “untung atau rugi” dan menyerang
kian kemari. Dengan nasionalisme yang positif itu, maka rakyat
Indonesia merasai kebenaran kalimat-kalimat Arabindo Chose, yang
mengatakan bahwa nasionalisme yang demikian itu yaitu
sebetulnya Allah sendiri.
Dengan nasionalisme yang demikian itu, maka rakyat kami tentulah
melihat hari kemudian itu sebagai fajar yang berseri-seri dan terang
cuaca, tentulah hatinya penuh dengan pengharapan-pengharapan
yang menghidupkan. Tidakkah lagi hari kemudian itu dipandang
olehnya sebagai malam yang gelap-gulita, tidaklah lagi hatinya
penuh dengan syak dan dendam belaka. Dengan nasionalisme yang
demikian itu rakyat kami akan rida dan suka hati menjalankan segala
pengorbanan untuk membeli hari kemudian yang indah yang
memicu hasrat itu. Pendek kata: dengan nasionalisme yang
demikian itu rakyat kami akan bernyawa, akan hidup, dan tidak
laksana bangkai sebagai sekarang!
“Oleh sebab rasa kebangsaanlah,” begitu pemimpin Mesir yang
termashur, Mustafa Kamil, menggambarkan nasionalisme positif itu:
“Oleh sebab rasa kebangsaanlah, maka bangsa-bangsa yang
keterbelakangan lekas mencapai peradaban, kebesaran dari kekuasaan.
Rasa kebangsaanlah yang menjadi darah yang mengalir dalam urat-
urat bangsa-bangsa yang kuat dan rasa kebangsaanlah yang
memberi hidup kepada tiap-tiap manusia yang hidup”. Zonder nasionalisme tiada kemajuan, zonder nasionalisme tiada
bangsa.
“Nasionalisme yaitu -milik yang berharga yang memberi kepada
suatu negara tenaga untuk mengejar kemajuan dan memberi
kepada suatu bangsa tenaga untuk mempertahankan
hidupnya,” begitulah Dr. Sun Yat Sen berkata.
Mustafa Kamil dalam “The New World of Islam” terbitan Lothrop
Stoddard, hal. 151.
Sun Yat Sen dalam bukunya “San Min Chu I” (sudah ada terjemahan
bahasa Indonesia).
Membangkitkan Nasionalisme: Hari dahulu , hari sekarang, hari kemudian
Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya
menghidupkannya? Jalannya yaitu tiga:
Pertama: kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari
dahulu , yaitu hari dahulu yang indah;
Kedua: kami menambah keinsafan rakyat, bahwa ia punya hari
sekarang, yaitu hari sekarang yang gelap;
Ketiga: Kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari
kemudian yang berseri-seri dan terang cuaca, ditambah cara-caranya
mendatangkan hari kemudian yang penuh dengan janji-janji itu.
Dengan lain perkataan, PNI membangkitkan dan menghidupkan
keinsafan rakyat akan ia punya “masa silam yang indah”, “masa
yang gelap gulita” dan; “janji-janji suatu masa depan yang
melambai-lambai, berseri-seri”. PNI mengetahui, bahwa hanya
trimurti inilah yang akan bisa menjadikan kembang Jayakusuma
yang menghidupkan kembali nasionalisme rakyat yang layu.
Kami punya hari dahulu yang indah, kami punya masa silam yang
gemilang! Ah, Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang
tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang
keindahan itu, siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya
kebesaran-kebesarannya! Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup
semangat nasionalnya, kalau mendengarkan riwayat tentang
kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya, tentang kebesaran
Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga dan
Kediri dan Singasari dan Majapahit dan Pajajaran, kebesaran pula
dari Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung!
Siapakah orang Indonesia yang tak mengeluh hatinya kalau ia ingat
akan benderanya yang dahulu ditemukan dan dihormati orang sampai
di Madagaskar, di Persia dan di Tiongkok! namun sebaliknya,
siapakah tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat
yang demikian kebesarannya hari dahulu itu, pasti cukup kekuatan
untuk mendatangkan hari kemudian yang indah pula, pasti masih
juga memiliki kebiasaan-kebiasaan menaik lagi di atas tingkat kebesaran di kelak kemudian hari? Siapakah yang tidak seolah-olah
memperoleh nyawa baru dan tenaga baru, kalau ia membaca riwayat
zaman dahulu itu! Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran
hari dahulu itu, lantas hiduplah rasa nasionalnya, lantas menyala
lagilah api harapan di dalam hatinya, dan lantas memperoleh lagilah
rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh sebab nya .
O, memang, zaman dahulu zaman feodal, zaman sekarang zaman
modern. Kami bukan mau menghidupkan lagi zaman feodal itu;
kami bukan pula mufakat dan cinta kepada aturan-aturan feodal itu.
Kami mengetahui kejelekan-kejelekannya bagi rakyat. Kami hanyalah
menunjukkan kepada rakyat, bahwa feodalisme kami hari dahulu itu
yaitu feodalisme yang hidup, feodalisme yang tidak sakit-sakitan,
feodalisme yang sehat dan bukan feodalisme yang penyakitann,
feodalisme yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan
berkembang dan yang, umpamanya tidak diganggu hidupnya oleh
imperialisme asing, niscaya bisa “meneruskan perjalanannya”, bisa
“menyelesaikan evolusinya”, yaitu niscaya bisa hamil dan akhirnya
melahirkan suatu pergaulan hidup modern yang sehat pula!
namun bagaimana pergaulan hidup kami hari sekarang ini? Bukan
sehat, bukan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan
berkembang, namun sakit-sakitan, “kosong”. Pada permulaan,
tatkala kami menggambarkan nasib rakyat Indonesia pada masa ini,
tatkala kami menceritakan caranya imperialisme mengobrak-abrik
pergaulan hidup kami itu, maka Tuan-tuan sudah memperoleh sedikit
pemandangan tentang keadaan hari sekarang itu, maka tuan-tuan
sudah memperoleh sedikit pemandangan tentang keadaan hari
sekarang itu. Berhubung dengan sempitnya waktu, cukuplah sekian
saja, tak perlulah kami tambah-tambahi. namun perlu sekalilah kami
terangkan di sini, bahwa keinsafan akan jeleknya nasib hari sekarang
inilah yang paling menghidupkan rasa nasional rakyat.
Memang bukan saja bagi rakyat kami, namun bagi tiap-tiap rakyat lain
dan tiap-tiap manusia, tiap-tiap makhluk yang bernyawa,
pengetahuan akan suatu nasib yang jelek yaitu sumber keinginan
akan nasib yang lebih nyaman baginya. Tidak ada keinginan, tidak
ada harapan, tidak ada nafsu, kalau tidak ada rasa tak puas dengan keadaan yang ada.
Itulah sebabnya, maka tiap-tiap perkumpulan atau tiap-tiap surat
kabar di tiap-tiap negeri dan di tiap-tiap zaman, suka sekali
“membongkar keadaan”, yaitu suka sekali membeber-beberkan
kondisi yang ia tidak sukai. Jikalau AID de Preangerbode
mengamuk perkara politik pemerintah sekarang atau perperkara
pergerakan rakyat yang ia takuti, jikalau PEB geger membicarakan
bahaya yang mengancam kepentingan imperialisme,
jikalau Vaderlandsche Club memaki-maki ke kanan dan ke kiri, maka
semua itu yaitu oleh sebab mereka tak senang akan keadaan
sekarang dan oleh sebab mereka dengan menyiarkan mereka punya
ketidakpuasan atau ketidaksenangan itu, bermaksud membangunkan
atau mengeraskan lagi keinginan, harapan, nafsu kaumnya akan
keadaan yang lebih nyaman baginya. Begitu pula PSI, Budi Utomo,
Pasundan dan perkumpulan atau surat kabar Indonesia mana pun
juga, dengan mereka punya propaganda atau protes-protes tak lain
daripada bermaksud menyebarkan mereka punya ketidaksenangan
dan membesarkan lagi keinginan dan nafsu mereka punya kaum.
Nah, kalau PNI lebih menginsafkan lagi rakyat Indonesia akan
kepahitan nasibnya hari sekarang itu, maka ia tak lain-pula dari
bermaksud memperkeraskan lagi keinginan dan harapan rakyat itu
akan kondisi yang lebih layak. PNI mengetahui, bahwa
keinginan dan harapan inilah yang menjadi pendorong nafsu
berusaha, pendorong “nafsu mendirikan”, pendorong “nafsu
mengadakan”. PNI mengerti, bahwa makin mendalam keinsafan
rakyat akan getirnya nasib hari sekarang itu, memicu pula makin
rajin dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang dan
memeras tenaga untuk terkabulnya kesanggupan-kesanggupan hari
kemudian yang indah itu, mengerti, bahwa makin merasuk
keinsafan akan perihnya hari sekarang itu di dalam daging dan
sumsum rakyat, memicu lebih hidupnya rasa nasional, lebih
berkobar-kobarnya nasionalisme positif yang memang sudah
menyala!
Orang boleh menamakan ini menyebarkan “ketidaksenangan”, orang
boleh menamakan ini “memicu pahit hati dan dendam hati pada
rakyat”, orang boleh mengatakan kami penghasut, pembakar
nafsu, ophitser, opruier kami menjawab: apa bertambahnya perbuatan
kami itu sebagai tadi kami terangkan, dengan perbuatan AID dna VC
dan PEB dalam hakikatnya, apa bertambahnya dengan perbuatan PSI, BU, Pasundan dan lain-lain? Lagi pula: kami tidak pernah meninggalkan
obyektifitas, kami tidak menyebarkan yang dinamakan
“ketidaksenangan” itu untuk “ketidaksenangan”, kami tidak
“memicu pahit hati dan dendam” untuk membangkitkan rasa
kebencian dan rasa kedengkian atau nafsu-nafsu lain yang rendah,
kami menyebarkan yang dinamakan “ketidaksenangan” itu
hanyalah untuk lebih menghidupkan dan lebih mengeraskan lagi
keinginan rakyat akan keadaan yang lebih nyaman, lebih
membesarkan kemuannya berusaha, lebih menyuburkan
nasionalisme positif adanya. , ‘
Kami di sini ingat akan pidato Dr. Sun Yat Sen yang berkata:
“Jikalau keadaan yang tadi saya gambarkan itu….benar, maka
haruslah kita menanam di dalam ingatan kita, bagaimana
berbahayanya kedudukan kita sekarang ini dan betapa gentingnya
waktu yang sekarang kita jalani, barulah kita bisa mengetahui,
bagaimana caranya menghidupkan kembali nasionalisme kita yang
sudah padam itu.” “jikalau kita mencoba menghidupkan kembali
dengan tidak mengerti betul keadaan, maka akan hilangla segala
harapan buat selama-lamanya dan bangsa Tionghoa akan binasa.”
“kita sendiri harus mengetahui dahulu kondisi , kita harus
mengerti bahwa bencana-bencana ini sangat mengancam, kita harus
mendengungkannya ke mana-mana sehingga tiap orang menjadi
insaf betapa besar kesedihan kita, jikalau bangsa kita sampai jatuh”.
“bila kita hendak mengobarkan nasionalisme, maka haruslah
lebih dahulu kita insafkan bangsa kita yang 400 juta itu, bahwa saat
matinya sudah dekat!”
Artinya: memicu rakyat insaf akan keadaannya yang sengsara itu,
agar supaya nasionalismenya bangun dan ia mau bergerak, itulah
pengajaran pemimpin besar ini. Itulah yang kami kerjakan pula.
Ketidaksenangan yang memang ketidaksenangan, bukanlah buatan
kami; ketidaksenangan yang tulen dan asli itu, yaitu buatan
imperialisme sendiri!
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah bagian yang pertama
dan bagian yang kedua dari usaha PNI menyuburkan semangat
nasional itu: membangunkan keinsafan akan hari dahulu dan hari
sekarang. Tentang bagian yang ketiga, yaitu bagian menunjukkan
keindahan sinar hari kemudian ditambah cara-cara mencapainya,
tentang bagian yang ketiga itu, kami, juga oleh sempitnya tempo, tak usahlah panjang kata: sebab, segenap usaha PNI akan pembentukan
kekuasaan, segenap aksi PNI keluar dan ke dalam, segenap gerak-
bangkitnya, ya, segenap jiwa raganya PNI, yaitu cara-cara
mendatangakan dan melaksanakan kesanggupan-kesanggupan hari
kemudian itu. Dan akan bisanya rakyat Indonesia mencapainya, buat
kami kaum PNI bukanlah teka-teki lagi: rakyat Indonesia yang
dahulu begitu bersinar-sinar dan tinggi kebesarannya, meskipun
sekarang sudah hampir sebagai bangkai, rakyat Indonesia itu pasti
cukup kekuatan dan cukup kebisaan mendirikan gedung
kebesaran pula di kelak kemudian hari, pasti bisa menaiki lagi
ketinggian tingkat derajatnya yang sediakala, ya, melebihi lagi
ketinggian tingakat itu!
namun wujudnya hari kemudian?
Bagaimana wujudnya hari demikian itu?
Tidak ada satu manusia yang bisa menggambarkan hari kemudian
dengan seksama. Tidak ada satu manusia yang bisa menetukan lebih
dahulu wujud hari kemudian menurut kemauannya. Tidak ada satu
manusia yang bisa mendahului riwayat. Kita hanya bisa menetapkan
ancer-ancerannya saja, kita hanya bisa mempelajari tendensinya.
contoh kaum Marxis pun tak bisa menunjukkan wujudnya
pergaulan hidup sosialistis dengan saksama, melainkan juga
hanyalah bisa mengetahui garis-garisnya yang besar dan tendensnya
belaka. Hari kemudian Indonesia kini hanyalah tampak sinarnya saja
yang indah sebagai sinar fajar yang akan menyingsing, hanyalah
kedengaran janji-janjinya saja sebagai merdunya gamelan pada
malam terang bulan yang kedengaran dari jauhan. Sebagai di dalam
cerita wayang sebelum ksatria Dananjaya datang, kita lebih dahulu
sudah melihat sinar tejanya dan sudah mendengar nyanyian burung-
burung yang mengantarkan dan mengikutinya, begitulah pula
datangnya hari kemudian yang indah itu kini sudah dialamatkan
lebih dahulu kepada kita, yang menunggu-nunggunya dengan hati
yang mengharap-harap. Kita sudah mendengar janji-janjinya akan
rezeki berjuta-juta yang tidak diangkuti ke negeri lain, akan peri
kehidupan rakyat yang sebab itu, senang dan selamat, akan keadaan
sosial yang sesuai dan memenuhi kebutuhannya, akan susunan
hidup politik yang secara kerakyatan longgar, akan kemajuan seni,
ilmu kebudayaan yang tak teralang-alang. Kita dengar janjinya akan
datang suatu Republik Indonesia Serikat, yang hidup di dalam persobatan dan kehormatan dengan bangsa-bangsa lain, akan suatu
bendera Indonesia yang menghiasi angkasa Timur. Kita mendengar janjinya akan suatu bangsa yang teguh dan sehat, ke luar dan ke
dalam….
Untuk mengerti kalimat-kalimat ini, orang harus ingat, pergaulan hidup
itu “tidak diam”. namun selalu hidup, selalu maju, selalu ber-
evolusi.
Dalam buku “San Min Chu I”.
Urat saraf pembentukan kekuasaan : Empat Macam
Tuan-tuan hakim yang terhormat, dengan menggambarkan tiga
bagian tentang hari dahulu , hari sekarang dan hari kemudian itu, maka
kami sudahlah dengan singkat sekali menunjukkan usaha PNI
tentang nyawanya pembentukan kekuasaan, yaitu nasionalisme,
kecintaan pada tanah air dan bangsa, rasa gembira atas
kebahagiaannya, rasa mengeluh atas kemalangannya. Marilah kami
sekarang menjawab pertanyaan, apakah urat-urat dan saraf-saraf
pembentukan kekuasaan PNI itu. Urat-urat dan saraf-saraf
pembentukan kekuasaan PNI yaitu bertentangan dengan urat-urat
dan saraf-saraf sistem imperialisme di sini. Urat-urat dan saraf-saraf
sistem imperialisme yang terpenting yaitu empat rupa:
Pertama: sistem imperialisme melahirkan politik divide et impera,
yaitu politik memecah-mecah;
Kedua: sistem imperialisme menetapkan rakyat Indonesia di dalam
kemuduran;
Ketiga:sistem imperialisme membangunkan kepercayaan di dalam
hati dan pikiran rakyat, bahwa bangsa kulit berwarna itu memang
bangsa yang kurang “karat”nya, dan bahwa bangsa kulit putih
memang “adhi-adhining” bangsa;
Keempat: Sistem imperialisme membangunkan kepercayaan di
dalam hati dan pikiran rakyat pula, bahwa kepentingan-kepentingan
rakyat itu yaitu sesuai dan sama dengan kepentingan-kepentingan
kaum imperialisme itu, sehingga rakyat itu jangan menjalankan
politik selfhelp dan politik ingin merdeka, namun haruslah memeluk
politik bersatu dengan kaum pertuanan, yaitu politik asosiasi
Nah, sama sekali bertentangan dengan politik divide et impera inilah,
sama sekali bertentangan dengan politik yang menetapkan rakyat di
dalam kemunduran; sama sekali berhadap-hadapan dengan politik
yang bermaksud “memasukkan pikiran tentang kurang harganya
bangsa berwarna dan tinggi harganya bangsa kulit putih”, sama
sekali kontra politik asosiasi itulah urat-urat dan saraf-saraf
pembentukan kekuasaan PNI.
a. Kontra politik memecah belah
PNI menjawab politik divide et impera itu dengan mendengungkan
tekad persatuan Indonesia, menjawab politik yang memecah belah
itu dengan dayanya mantram nasionalisme Indonesia yang
merapatkan barisan. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang,
beradab-adablah rakyat kami itu kemasukan baji pemecah tak
berhenti-hentinya, baik di zaman kompeni maupun di zaman
modern. Memang di dalam perceraian dan di dalam
ketidakrukunan itulah letaknya kelemahan kami, di dalam
perceraian kami itulah letaknya kemenangan musuh. “Verdeel en
heers”, itulah mantram tiap-tiap rakyat yang mau
mengalahkan rakyat lain, mantram imperialisme di mana-mana
zaman dan di mana-mana negeri. “Verdeel en heers” yaitu mantram
bangsa Roma yang memang penemu mantram itu, yaitu mantram
bangsa Spanyol dan Portugis di zaman dahulu yang mengibarkan
benderanya di negara orang lain, yaitu mantram bangsa
Inggris mendirikan ia punya kerajaan dunia “British Empire”.
Dengarlah bagaimana Prof. Seeley di dalam bukunya yang termashur
“The Expansion of England” menceritakan “politik divide et impera” di
India:
“Jikalau Inggris, yang bukan negeri militer itu, dengan
sebetulnya harus menguasai penduduk yang beberapa juta
jumlahnya dengan suatu kekuatan militer Inggris, tak perlu
dikatakan, bahwa beban yang sebesar itu melebihi kekuatan kami.
namun tidaklah demikian halnya, oleh sebab Inggris menaklukkan
India dan tetap menguasainya terutama dengan bantuan pasukan-
pasukan India dan dengan uang India…. Jika sekiranya di India bisa
timbul suatu gerakan nasional, seperti yang kita lihat di italia dahulu ,
maka kekuasaan Inggris belum lagi akan bisa memberikan
perlawanan sekuat perlawanan Ustria di Italia, namun segera tentu
roboh”. “Suatu kumpulan orang seorang-seorang, yang tidak terikat
oleh perasaan-perasaan dan kepentingan-kepentingan yang sama,
mudah ditaklukkan, oleh sebab mereka bisa diadu-dombakan.”
“Seperti Tuan lihat, pemberontakan itu sebagian besar bisa
dipadamkan dengan jalan mengadu-dombakan rakyat India yang
satu dengan yang lain.”
Dan di Indonesia pun imperialisme-tua dan imperialisme-modern tak
lupa akan kemajuan mantram itu; di Indonedia pun baji-pemecah tak
berhenti-hentinya bekerja:
“- musuh-musuhnya yang paling berbahaya dilumpuhkannya
sehingga hampir-hampir tidak bertenaga apa-apa lagi dengan
menjalankan politik “divide et impera”;……..kemenangan-
kemenangan yang paling gemilang didapatnya dengan senjata
orang yang lemah, perhitungan yang licik dan tipu daya”-
begitulah Prof. Veth menggambarkan politik imperialisme-tua di
Indonesia itu dan Clive Day menulis:
“Divide et impera”, itulah peribahasa asli yang dituruti bila
berhubungan dengan kerajaan-kerajaan anak negeri dan itulah asas
yang dipakai buat sebagian besar oleh orang Belanda untuk
mencapai hasil yang baik,”
Imperialisme tua kini sudah mati; namun tidak matilah warisan yang
diberikannya kepada imperialisme-modern, yaitu warisan japa-
mantram “divide et impera” yang ampuh, yang bertuah itu. Tidak
sebagai dahulu , dipakai menakluk-naklukkan dan melebar-lebarkan
jajahan, kini semua pulau sudah takluk, “pembulatan batas negara”
(staatsafronding) sudah selesai, tidak sebagai dahulu dibarengi dengan
gemerincingnya pedang, detusnya bedil dan gunturnya meriam,
namun dipakai untuk mengekalkan apa yang sudah tercapai dengan
melalui (menurut kata Stokvis) “jalan-jalan yang lebih sunyi”,
“Stillere wegen”.
Memang, semua kepulauan sudah takluk, “pembulatan batas negara”
sudah selesai, lahirnya Indonesia dibuat satu, lahirnya diikat di
dalam satu persatuan, namun “persatuan” ini, menurut perkataan
seorang sosialis yaitu suatu:
“persatuan yang ditaklukkan, yang hanya persatuan ketaklukkan
belaka,”
dan amboi…..janganlah batinnya menjadi satu, janganlah
semangatnya kemasukan nasionalisme dan menjadi semangat
bangsa! Sebab kaum imperialisme tahu, bahwa suatu rakyat yang
tiada nasionalisme dan tiada semangat bangsa yaitu sebagai Dr. Sun
Yat Sen mengatakan, hanya “a sheet of loose sand” belaka, sebagai pasir
yang meluruh dan ngeprul dan tiada hubungan satu sama lain, yang
bisa ditiuptiupkan ke mana-mana dan bisa dikorek semau-
maunya….,
Semangat, semangatlah yang terutama oleh sistem imperialisme-
modern itu dijatuhi mantram, di-“pecah-pecah” supaya sistem itu
bisa “memerintah” selama-lamanya. Semangatlah yang terutama
dimasuki baji-pemecah agar supaya tidak bisa menjadi semangat
nasionalisme yang masuk sebagai semen di dalam pasir yang ngeprul
itu dan memicu daripada satu blok beton mahabesar yang tak bisa
hancur walaupun dimeriam.
Kaum imperialisme-modern tak lupa akan wejangan karuhun-
karuhunnya itu. Japamantram “divide et impera” tak lupa saban hari,
saban jam dikemah-kemihkan. Bilaman India menyatakan diri yaitu
suatu bangsa yang ditaklukkan, “begitulah Prof. Seeley mengajarkan
padanya,
“Bilamana India menyatakan diri yaitu ….suatu bangsa yang
ditaklukkan, kita pun segeralah tahu bahwa kita tidak mungkin
akan bisa mempertahankannya”… “bila , oleh suatu sebab,
penduduk mulai merasa tergolong dalam satu kebangsaan, maka
saya tidak akan berkata ada alasan kita khawatir akan keselamatan
pemerintahan kita; tidak, saya akan berkata: kita harus segera
melepaskan segala harapan!”
Bandingkan dengan pikiran-pikiran kami dengan pikiran-pikiran
Moh.Hatta di dalam bukunya “Indonesia Vrij” (menuju Indonesia Merdeka)
dan juga pikiran-pikiran Dr. Sun Yat Sen.
Verdeel en heers= pecahkanlah, dan kuasai
Sir John Robert Seeley dalam bukunya “The Expansion of England”
terjemahan Steinmetz, Segera melepaskan segala harapan!” “Onmiddellijk alle hoop
opgeven!” sebetulnya , suatu ajaran yang mendahsyatkan! namun ,
tidak, tidak usah dahsyat dan kurang tidur!
Sebab tidakkah cukup surat-surat kabar sebagai AID de
Preangerbode, Java Bode, Nieuws van den Dag, de Locomotief,
Soerabajaasch Hahdelsblad, dan lain-lain yang saban minggu, saban
hari, biasa menebar-nebarkan benih pemecahan itu, berisi caci-maki
atas tiap usaha persatuan dan atas tiap usaha membangunkan
nasionalisme dari pihak “inlander” (bumiputra)? Tidakkah bahasa
Indonesia, yaitu bahasa persatuan akan lekas dihapuskan dari
sekolah-sekolah dan tidakkah sistem pendidikan di sekolah-sekolah
itu sudah membunuh tiap-tiap rasa kebangsaan? Tidakkah masih
ada seorang Colijn, yang dengan bukunya “Koloniale Vraagstukken
van Heden en Morgen” mencoba mewujudkan asas divide et
impera itu di dalam suatu susunan administrasi pemerintahan yang
bernama “eilandgouvernementen” pemerintahan sepulau-sepulau ,
masih ada seorang De Kat Angelino yang memicu tebal yang
penuh dengan lafal-lafal pembunuh nasionalisme Indonesia itu?
Tidakkah masih ada seorang Couvreur, yang di dalam suatu nota
memujikan kepada pemerintah:
“pembukaan Pulau Bali untuk missi dan pengkristenan
penduduknya. Dengan begitu di masa depan akan didapat suatu
pulau Bali yang beragama Room-Katolik, yang akan merupakan baji
antara Jawa dan pulau-pulau di sebelah timur. Baji seperti itu sudah
ada antara Aceh dan Minangkabau, yaitu : negeri Batak yang sudah
dikristenkan”,
tidakkah masih ada seorang Couvreur yang memujikan baji yang
demikian itu, sehingga dari kalangan bangsa Indonesia-Kristen
terdengar protes yang berbunyi:
“Astaga, suatu baji Kristen! Haruskah kita, bangsa Indonesia
Kristen, yang meskipun berbeda agama dengan orang lain bangsa
kita, yaitu putra-putra Ibu Indonesia juga, haruskah kita
membiarkan agama kita yang suci itu dipakai buat maksud itu?
Haruskah kita membiarkan agama Kristen yang luhur itu dipakai sebagai alat untuk mencegah persatuan kebangsaan kita dan untuk
mengasingkan putra-putra Ibu Indonesia yang satu dari yang
lain?”
Pendek kata, tidakkah di mana-mana masih ada sistem, yang
menjaminkan padamnya semangat itu dan menjaminkan kekalnya
perceraian antara “Inlander” dengan “Inlander” itu?
namun kami, yang ingin kuasa, kami pun tak usah kurang tidur! Kami
pun kini memiliki japa-mantram yang malahan nantinya tentu
lebih ampuh daripada mantram divide et impera itu, kami pun tak sia-
sia berguru di dalam pertapaan Sanghyang Merdeka, yang
mewejangkan pada kami saktinya ilmu “bersatu kita teguh, bercerai
kita jatuh!’ Kami pun memperhatikan, pula pengajaran Prof. Seely
tadi itu, namun di dalam kami punya arti, di dalam kami punya
makna!
Persatuan Indonesia, Tuan-Tuan Hakim, persatuan Indonesia, yang
menggabungkan segenap rakyat Indonesia itu menjadi satu umat,
satu bangsa, itulah urat dan saraf pembentukan kekuasaan PNI
yang pertama.
b. Kontra kemuduran, yaitu kontra dekadensi akal budi
Dan yang kedua? Urat saraf pembentukan kekuasaan kami yang
kedua yaitu kontra urat saraf sistem imperialisme yang kedua pula.
Sistem imperialisme mau menetapkan rakyat kami di dalam
kemunduran, wahai, kami mau menjunjung rakyat kami daripada
kemunduran itu! Kami mengetahui: kemunduran budi-akal rakyat
yaitu kepentingan sistem imperialisme di sini. Sebab imperialisme
di sini bukanlah terutama imperialisme dagang: imperialisme di sini
yaitu sebagai kami terangkan di muka, yang paling hebat terutama
di dalam shaktinya yang keempat, yang paling hebat di dalam
mengusahakan Indonesia sebagai wilayah pengusahaan dari kapital
lebih. Ia yaitu paling hebat di dalam usahanya sebagai industri-
industri pertanian, industri pertambangan, industri biasa dan
perusahaan lain-lain, yaitu semua perusahaan yang butuh akan
kaum buruh murah, akan penyewaan tanah murah, akan kebutuhan-
kebutuhan rakyat yang murah. Untuk kemurahan hal-hal ini, maka
rakyat kami dibuat rakyat yang “hidup kecil” dan “nrima”, rendah
pengetahuannya, lembek kemaluannya, sedikit nafsu-nafsunya,
padam kegagahannya, rakyat “kambing” yang bodoh dan mati
energinya!
Di muka sudah kami beberkan penyelidikan Prof. Van Gelderen yang
membuktikan kepentingan imperialisme ini atas kemunduran sosial-
ekonomi rakyat; nah, kemunduran budi-akal pun, yaitu
kepentingannya!
Di dalam Welvaartsverslag deel IX b 2, halaman 172, kami
membaca:
“Rakyat desa dan kepalanya dan kampungnya dari dahulu merupakan
“si orang kecil”, si rendah bakti,…. yang oleh sebab nya harus
ditetapkan rendah selamanya, pembayar pajak yang paling setia.
Sebaliknya kaum priayi termasuk kaum yang memerintah dan
untuk kepentingan umum perbedaan ini harus dibuat seterang-
terangnya. Seluruh pergaulan hidup di sini berdiri atas dasar
ini….Meskipun untung sekali orang makin baik memelihara
kepentingan si kecil,…… ia harus tetap kecil!”
“Ia harus tetap kecil”, Tuan-tuan Hakim, dia harus tetap “hidup
kecil” dan “nrima”, tetap rakyat “kambing” yang harus menurut saja!
Berpuluh tahun sistem ini bekerja, ya, berabad-abad sistem ini
menjalankan pengaruhnya. Herankah Tuan-tuan, kalau Ny. Augusta
de Wit di dalam bukunya “ Natuur en Menschen In Indie”’ menulis:
“Ketidakadilan sudah berjalan terlalu lama; akalbudi orang sudah
tumbuh sesuai dengan itu, tumbuh kerut merut. Akal pikiran sudah
menjadi bengkok dan kerdil, kemauan lemah terkulai.”
Herankah Tuan-tuan, kalau PNI menuliskan perlawanan kepada
dekadensi akal budi ini di atas panji-panjinya? Kami, kaum PNI,
kami mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan lebih
banyak pendidikan rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat,
mengurangi buta huruf di kalangan rakyat. Kami mencoba
membangkit-bangkitkan dan membesar-besarkan kemauan rakyat
akan nasib yang lebih mirip nasib manusia, menyalakan lebih banyak
nafsu-nafsu di dalam kalbu rakyat. Kami berusaha menghidup-
hidupkan lagi kegagahan rakyat, tenaga kemauan rakyat, energi
rakyat sebagai sediakala, rakyat yang kini “sudah mati kutunya”’
itu, “rakyat kambing” yang menurut Prof. Veth:
“Semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-kutunya”,
sebab “tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan yang lama
di bawah bangsa asing yang lebih kuat”!
Energi rakyat inilah salah satu urat saraf pembentukan kekuasaan
kami, salah satu urat saraf penolak daya imperialisme, namun
terutama sekali ialah urat saraf pendorong rakyat ke depan!
Melalui pendidikan pun kaum imperialis berusaha membunuh rasa
kebangsaan, seperti usaha mereka di tahun tiga puluhan , sesudah Kongres
Pemuda 1928. Maka pemerintahan Belanda berusaha melarang penggunaan
bahasa Indonesia, termasuk di sekolah swasta.
Untuk memecahkan bangsa Indonesia, kaum imperialis menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, bahkan agama pun mereka peralat.
Suluh Indonesia Muda, terbitan September-Oktober 1929 hal. 274/275.
“Welvaartsverslag” Laporan mengenai Kemakmuran. Bab II b.a, Terbitan Lendgedrukrij 1905-1914, Batavia
August de Wit (Ny) dalam buku Natuur en Menschen in Indie
terbitan Goede en Goedkoope Lectuur, Amsterdam 1914,
Veth dalam “Java” I,
C. Kontra penamaan kepercayaan, bahwa kami bangsa kelas kambing
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo memaksa kami membicarakan
urat saraf pembentukan kekuasaan PNI yang nomor tiga dengan cara
yang sesingkat-singkatnya pula.
Urat saraf yang nomor tiga ini yaitu bergandengan sekali dengan
urat saraf nomor dua itu, yaitu bergandengan sekali dengan urat
saraf penolak daya yang mengambing-ngambingkan itu. Sebab
sistem imperialisme di sini tidaklah berkepentingan saja atas
kemunduran sosial ekonomi dan kemunduran akal budi rakyat kami
itu, sistem imperialisme di sini yaitu pula berkepentingan atas
halnya rakyat itu percaya, bahwa ia memang suatu rakyat kelas
kambing.
Di atas sudah kami tunjukkan, bahwa kaum imperialisme itu, sebagai
kaum imperialisme di mana-mana saja, yaitu menutupi-maksudnya
yang sebenar-benarnya. Mereka menutupi dengan macam-macam
teori yang manis, mereka mengatakan bahwa maksudnya bukanlah
urusan rezeki, bukanlah urusan yang begitu “kasar” namun
maksudnya yaitu “mendidik” kami dari bodoh ke arah kemajuan,
dari “tidak matang” dijadikan “matang”, pendek kata, mereka mau
memenuhi suatu “suruhan suci”, yaitu suatu “mission sacree”.
Mereka mengatakan, bahwa mereka itu tidaklah memperoleh
keuntungan apa-apa, tidaklah memperoleh manfaat apa-apa, melainkan
malahan memperoleh rugi belaka, malahan memperoleh beban belaka,
yaitu malahan memperoleh “burden”, “white man’s
burden” menjunjung dan memikul kami ke atas kemajuan!
Maka untuk “lakunya” teori “mission sacree” ini, untuk “lakunya”
teori ‘white mans’burden” itu, perlu sekalilah kaum kulit coklat itu
dimasukkan ke dalam kepercayaan, bahwa mereka dalam hakikatnya
memang suatu bangsa inferieur atau “kurang karatnya”, bahwa
sebaliknya bangsa kulit putih yaitu bangsa yang memangsuperieur,
bangsa yang memang “adhi adhining” bangsa, dan bahwa sebab
itu sudah semestinya bangsa yang “inferieur” ini harus “dituntun”
oleh bangsa yang “superieur” itu dengan …….imperialismenya!
“itu Tuan-tuan rambut jagung,” begitulah Karl Kautsky di dalam
bukunya tentang suku bangsa dan bangsa Yahudi menggambarkan
pendirian bangsa “rambut jagung” itu terhadap bangsa Yahudi:
“itu Tuan-tuan rambut jagung mengunggul-unggulkan diri sendiri
sebagai orang yang paling budiman, paling mulia hati dan paling
kuat, kepada siapa orang lain harus mengabdikan diri”,
dan adakah pendiriannya terhadap bangsa-bangsa Asia berbeda,
adakah pendiriannya terhadap bangsa kami berlainan? Tidak, tidak
berbeda, tidak berlainan, tidak kurang kerasnya di Indonesia
bekerja sistem menanamkan kepercayaa dalam hati kalbu rakyat,
bahwa mereka memang superieur, kam memang inferieur, tidak
kurang kerasnya di sini menyala kesombongan si kulit putih, tidak
kurang kerasnya di sini merajalela rasa “Iyeu aing uyah kidul!”
Pastor van Lith, orang alim yang tulus hati itu, belum lama berselang
di dalam buku kecilnya yang termashur menulis: “namun , walaupun mereka itu sama sekali tidak termasuk golongan
pencuri-pencuri cengkeh pada waktu dahulu , mereka ikut menerima
warisannya. Mereka semua menerima bagian dari warisan kompeni
yang termashur itu. Mereka itu datang di Hindia sebagai turunan
Tuan-tuan yang XVII yang mahakuasa itu, sebagai putra-putra yang
memerintah, dengan kesombongan turunan yang memerintah
terhadap yang diperintah. Barangkali mereka itu tidak sadar akan
kesombongannya, namun mereka memiliki sifat itu. Barangkali
mereka tidak sombong tatkala berangkat dari negeri Belanda,
mungkin sekali; namun bila mereka sudah tiba di Hindia, maka
mereka tidak luput dari kesombongan itu. Keadaan di sekitarnya
mempengaruhi mereka. Yang seorang banyak, yang lain kurangan,
namun semua mereka terjangkiti sebagian oelh penyakit kesombongan
bangsa itu. Pergaulan hidup Belanda seperti yang sekarang hidup
terus di….Hindia, yaitu penerusan perusahaan dagang kompeni
dahulu , dan tiap orang Belanda, biarpun dia katolik, ….hidup dalam
suasana kedai rempah-rempah yang besar itu…..dan hidup untuk
keperluan perusahaan yang besar itu, hidupnya sendiri dan
keselamatannya sendiri tergantung kepada terus hidupnya dan
suburnya perusahaan itu.”
Lebih terang sebagai di sini, tidak bisalah dinyatakan, bahwa rasa
keunggulan itu yaitu salah satu urat saraf dari perusahaan besar
“reuzen-onderneming” itu. Memang, tidak kurang-kuranglah kita
mendengar cacian “Inlander seperti kerbau”, “inlander goblok”,
“inlander bodoh, kalau nggak ada kita modar lu”, ditambah lain-lain
“pujian” lagi yang “segar”! namun , walaupun begitu, bukan terutama
dalam ucapan-ucapan sombong orang Eropa itu letaknya bahaya
yang terbesar buat kami, bukan terutama di dalam ketinggian hati
suatu bangsa kulit putih itu letaknya bencana batin dari rakyat kami,
bahaya yang paling besar dan bencana yang paling merusak
yaitu sistem yang tak pedot-pedot , yang tak terhambat-hambat
menginjeksikan kepada rakyat kami racun kepercayaan
“kamu Inlander bodoh, kamu modar kalau tidak kita tuntun” itu.
Sebab injeksi ini lama-lama “makan”! Berabad-abad kami memperoleh
cekokan “inlander bodoh”, berabad-abad kami diinjeksi rasa kurang
karat; turun temurun kami menerima sistem ini, ketambahan lagi
kami ditetapkan “rendah” dan ditetapkan “kecil” sebagai laporan
tentang kemakmuran itu tadi mengatakan, dipadam-padamkan
segenap energi kami, sekarang percayalah kebanyakan bangsa kami,
bahwa kami, sebetulnya , memang yaitu bangsa kurang karat
yang tak bisa apa-apa! Hilanglah tiap-tiap kepercayaan atas kebisaan
sendiri, hilanglah” tiap-tiap rasa kegagahan, hilanglah tiap-tiap rasa
percaya pada diri sendiri dan keperwiraan. Kami, sediakala yaitu
bangsa yang ikut menjunjung tinggi obor kebudayaa Timur dan
kebesaran Timur, yang dahulu begitu insaf akan kebisaan diri dan
kepandaian diri, kami sekarang menjadi rakyat yang sama sekali
hilang keinsafan itu. Kami menjadilah kini rakyat yang mengira,
ya, percaya, bahwa kami memang yaitu rakyat yang
“inferieur”. Kini di mana-mana terdengarlah kesah: “yah, kami
memang bodoh kalau tidak ada bangsa Eropa, bagaimana kami bisa
hidup!”
O, Tuan-tuan Hakim, bagaimana baiknya kalau kami bisa
membongkar bencana batin yang demikian ini! Bagaimana baiknya
kalau kami bisa menanamkan lagi dengan sekejap mata saja “wahyu
Cakraningrat” yang meniadakan rantai roh yang mengikat itu! Tuan-
tuan tentu mengerti bahwa perasaan “memang kurang karat” atau
perasaan inferioriteit itu yaitu racun bagi kemajuan tiap-tiap
bangsa, rem yang sejahat-jahatnya bagi gerak suburnya atau evolusi
tiap-tiap rakyat.
Herankah Tuan-tuan , kalau Tuan melihat PNI membanting tulang
memberantas perasaan inferioriteit, memeras keringat dan tenaganya
memberantas segala perasaan “ini tak bisa itu tak bisa” ini,
memboongkar teori “mission sacree” dan “white man’s burden” dengan
akar-akarnya, mengembalikan lagi kepercayaan di dalam kalbu
rakyat, bahwa bangsa kami, asal saja diberi kesempatan, memiliki
kebisaan-kebisaan yang tak kalah dengan kebisaan-kebisaan bangsa
lain? Herankah Tuan-tuan, kalau melihat PNI membongkar-bongkar
kebohongan kata, bahwa dunia Timur akan menjadi biadab sama
sekali, kalau tidak ada dunia Barat? Tidak, bagi kami kaum Partai
Nasional Indonesia bagi kami tidaklah syak wasangka lagi, bahwa
“inferioriteit” atau “kebodohan” kami itu bukanlah “inferioriteit’ dan
kebodohan” yang memang sifat hakikat asli bangsa kulit berwarna,
namun hanyalah “inferioriteit” dan kebodohan” yang terbikin dan
terinjeksikan belaka, tidaklah pula kami syak wasangka lagi atas
kebenaran kalimat Karl Kautsky yang memang kami sudah dalilkan
itu yaitu kalimat:
“namun orang yang tidak punya apa-apa dengan sendirinya
kekurangan pula alat-alat peradaban, jadi juga kekurangan
peradaban,”
dan bahwa teori “mission sacree” itu hanyalah benar di dalam
lahirnya saja, hanya.
“Seolah-olah saja peradaban berkuasa atas kebiadaban!”
Lahirnya saja, Tuan-tuan Hakim, lahirnya!
Lahirnya saja kami bangsa yang kurang karat, lahirnya saja kaum
imperialisme kaum yang lebih superieur di dalam
hakikatnya. Memberantas pandangan yang salah ini, memberantas
rasa kurang karat, itulah kami punya urat saraf pembentukan
kekuasaan yang ketiga. Dengan memberantaas rasa kurang karat itu,
maka PNI menaruh salah satu syarat yang terpenting bagi politiknya
“percaya pada diri sendiri”, “bekerja sendiri untuk sendiri”, yaitu
syarat bagi politiknya “self-reliance” atau “self-help”!
White man’s burden = beban si kulit putih
Karl Kautsky dalam proses pengadilan Sneevliet tahun 1917.
F. Van Lith dalam bukunya “De Politiek Van Nederland ten opzichte
van Nederlandsch-Indie” Ibid hal. 11.
D. kontra politik persatuan dengan kaum sana
Marilah kami sekarang membicarakan urat saraf pembentukan
kekuasaan kami yang keempat. Juga di sini kami bisa singkat kata.
Sebab tadi sudah kami terangkan, bahwa di dalam tiap-tiap negeri
jajahan ada pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan
Bumiputra, di atas tiap-tiap lapangan, baik lapangan ekonomi, maupun
lapangan sosial, baik lapangan politik maupun lapangan apa saja pun.
Tak benarlah ajaran kaum imperialisme bahwa kedua pihak itu
memiliki persamaan kepentingan, dan oleh sebab nya , tak benarlah
pula ajarannya, bahwa sebab itu, jajahan harus selamanya bersatu
dengan “negeri induk” dan bahwa sebab itu, kami harus menjalankan
politik bersatu dengan kaum sana, yaitu politik asosiasi.
Tidak, PNI tidak mau mengakui persamaan kepentingan itu, tidak mau
menjalankan politik asosiasi itu. PNI yaitu teguh di dalam
keyakinanny, bahwa di sini ada pertentangan kepentingan, ada antitese
kepentingan, sebagaimana pula diakui oleh banyak kaum Eropa yang
tulus hati. PNI teguh di dalam keyakinannya, bahwa dengan adanya
pertentangan kepentingan itu tidak ada satu jajahan yang bisa
membereskan semua pergaulan hidupnya dengan sempurna, kalau
pertentangan kepentingan itu belum berhenti adanya, yaitu kalau
jajahan itu belum berhenti menjadi jajahan! PNI yaitu sebab partai
kemerdekaan, partai kemerdekaan nasional.Dan kemerdekaan tidak
akan “dihadiahkan” oleh imperialisme yang sekarang berusaha
“mematangkan” kami dahulu , sebab kemerdekaan yaitu ruginya
imperialisme itu. Kemerdekaan yaitu hasil yang kami sendiri harus
usahakan, yang kami sendiri harus lahirkan, yang kami sendiri harus
ciptakan dan pujikan! Politik asosiasi yaitu bertentangan dengan
faham kepribadian ini, politik asosiasi yaitu mengeruhkan keadaan. Di
dalam suatu jajahan ada antitesa kepentingan, nah, politik kami
haruslah berdiri, di atas antitese itu juga. Siapa orang Indonesia yang
tidak berdiri di atas antitesa ini di dalam politiknya, ia yaitu ngelamun!
PNI tidak mau ngelamun, PNI tidak mau terapung-apung di atas awan
angan-angan, PNI mau berdiri di atas keadaan yang sebetulnya , di
atas realiteit. Tidak, bukan politik asosiasi, namun politik antitesalah yang
menjadi urat saraf pembentukan kekuasaan PNI yang keempat. Dengan
politik antitesa ini, maka ia menarik garis yang terang antara sini dan
sana, memisahkan golongan sini dari golongan sana, menjernihkan
keadaan menjadi sejernih-jernihnya!
Badan Lahirnya Pembentukan Kekuasaan
Tuan-tuan Hakim, kami sekarang tinggal menerangkan satu hal lagi
dari pembentukan kekuasaan kami. Kami sudah menerangkan,
nyawa pembentukan kekuasaan kami, yaitu nasioalisme. Kami
sudah menerangkan pula urat-urat dan saraf-saraf pembentukan
kekuasaan itu, yaitu persatuan Indonesia, memerangi kemunduran
akal budi rakyat, memberantas perasaan rendah diri, menjalankan
politik antitesa. Kami sekarang harus menerangkan anggota-anggota
pembentukan kekuasaan kami itu, badan lahirnya, badan
wadagnya.
Badan lahirnya pembentukan kekuasaan PNI?
Badan lahir pembentukan kekuasaan PNI sebagai yang diinginkannya,
yaitu massa. Idam-idaman PNI bukanlah satu partai dari puluhan
atau ratusan orang saja, bukanlah perkumpulan segundukan kaum
“politikus salon” saja yang pekerjaannya sehari-hari hanya menggurutu
saja, -idam-idaman PNI ialah suatu pergerakan massa yang sehebat-
hebatnya, suatu massa-aksi, yang membangkitkan ribuan, laksaan,
ketian, ya, milyunan rakyat tua muda, laki-perempuan, pandai-bodoh,
menak dan somah! Hanya dengan massa-aksi yang demikian itulah,
menurut keyakinannya, pembentukan kekuasaannya bisa menjadi
sempurna. Hanya dengan massa-aksi yang sebagai banjir yang
mahakuasa dan tak dapat dicegah majunya., massa-aksi yang sebagai
gelombang melimpahi seluruh Indonesia, dari Aceh sampai ke Fak-fak,
hanya dengan massa-aksi yang begitu, pembentukan kekuasaannya bisa
menjadi kekuasaan yang sebenar-benarnya. Air-air Indonesia yang tenag
sejak berwindu-windu, air-air Indonesia itu PNI ingin mengalirkannya,
sumber sambung sumber, sungai sambung sungai, samudra sambung
samudra, sehingga kahirnya menjadi aliran yang mahalebar dan
mahatinggi, bergelombang-gelombang menuju ke satu arah. Dengan
badan lahir yang sebagai raksasa itu, dengan urat saraf empat shakti
sebagai yang tadi tadi kami terangkan, dengan nyawa nasionalisme
yang berkobar-kobar di dalam kalbu maka sepanjang idam-idaman PNI
pembentukan kekuasaannya menjadilah sebagai Krishna Tiwikrama,
hebat, tidak teralahkan!
Yang dimaksud massa, yaitu rakyat jelata yang berjuta-juta itu.
Krishna Tiwikrama! Jadi toh revolusi, jadi toh hamuk sebagai “hamuk
Jayabinangun”, jadi toh huru hara atau setidak-tidaknya
menjungkirkan hukum?
Bukan, sekali lagi bukan!
Bukan pelanggaran hukum atau revolusi, namun suatu massa-aksi
yang aman namun hebat, suatu massa-aksi yang teratur namun dahsyat,
sebagai contoh massa-aksi SDAP “tatkala dua puluh tahun yang
lalu, berjuang merebut hak pilih umum. Adakah di dalam massa-aksi
SDAP pada waktu itu, tatkala puluhan, ratusan ribu manusia
bergerak, bom-boman atau dinamit-dinamitan, pengrusakan
keamanan umum, pelanggaran kekuassan pemerintah? Adakah
SDAP di dalam massa-aksi untuk hak pilih itu mengalirkan darah,
adakah pemimpin-pemimpinnya kena hukuman lantaran melanggar
pasal ini atau pasal itu?
Tuan-tuan Hakim, rakyat Belanda sekarang merasa besar hatilah atas
kemenangan demokrasi itu; kami pun ikut mengucap syukur
atasnya, kami pun ikut berseru: “bahagia, bahagialah kamu dengan
hak pilih umum itu, hai, bangsa Belanda!” namun ……marilah kita
ingat sebentar, bagaimana rakyat Belanda itu caranya mendatangka
hak pilih umum itu, bagaimana caranya kemenangan demokrasi itu
didatangkan! Tak lain tak bukan, dengan massa aksi! Dengan massa-
aksi yang bergelombang-gelombang melimpah seluruh negeri
Belanda, membangkitkan seluruh energinya rakyat, mengelektrisasi
sekujur badannya bangsa, massa aksi yang hebat dan kini tertulis
dengan huruf emas di dalam buku riwayat bangsa Belanda dan
mendatangkan aturan pemerintah yang modern!
Massa-aksi yang demikian hebatnya itulah yang diidam-idamkan
oleh PNI, massa-aksi yang hebat dan mahakuasa, yang juga
menggetarkan seluruh tubuhnya rakyat dan juga mengelektrisasi
sekujur badannya bangsa, massa aksi yang bergelombang-
gelombang menuju ke arah maksudnya, tidak dengan bermaksud
iseng-iseng langgar-langgaran undang-undang sebagai yang
dituduhkan kepada kami dalam proses ini, tidak pula dengan senjata
bom atau bedil atau gas racun atau “ramai-ramaian” apapun juga,
melainkan hanyalah dengan senjata semangat yang berupa
nasionalisme ditambah empat urat saraf itu tadi saja, sebab senjata
semangat ini, asal sudah cukup mengasahnya, sudah bisalah
memicu kami mahasakti dan tak dapat ditundukkan, yaitu bisa
membangkitkan desakan “kekerasan batin”, moreel geweld, yang
mahabesar, sehingga maksud kami tentu dapat tercapai!
Kami kembali lagi: badan lahirnya pembentukan kekuasaan PNI
kami cari di dalam rakyat murba yang berjuta-juta itu, di dalam masa
yang berkerumun-kerumun sebagai semut.
Aha! AID sering menulis atau saksi Albreghs ala Colijn berkata- jadi,
gantinya PKI, jadi, gantinya, Gombinis”!! Satu “logika” lagi yang
kocak, Tuan-tuan Hakim!
“Logis”, bukan? PNI didirikan tidak lama sesudah PKI mati PNI
sering menunjukkan sikap anti-imperialisme sebagai PKI, PNI mau
menggerakkan massa sebagai PKI, jadi PNI sama dengan PKI, jadi,
merah putih kepala banteng sama dengan merah martil arit, jadi,
nasionalis Indonesia sama dengan “Gombinis”!
Walaupun begitu, walaupun “logika” yang begitu “logis” itu,
PNI bukan “Gombinis”! PNI memang didirikan di dalam tahun 1927,
memang anti-imperialisme, memang suatu partai massa, memang
suatu partai yang kromoistis dan marhaenistis, memang
dikhawatirkan oleh dr. Cpito akan lekas dituduh dan ditindas
sebagai gantinya PKI, namun bukan “Gombinis”, PNI bukan
“heimelijke opvolgster” dari Partai Komunis Indonesia!
PNI yaitu suatu partai nasionalisme revolusioner sebagai yang
kami terangkan tadi, dan massaisme, kromoisme, marhaenisme
PNI tidakklah sebab faham “Gombinis”, melainkan ialah sebab
susunan pergaulan hidup Indoesia yang memang menyuruh PNI
memeluk kromoisme dan marhaenisme itu!
Pemerintah Belanda memang selalu menuduh PNI yaitu lanjutan dari
PKI, seperti surat pendakwaan terhadap Bung Karno di sana tertulis bahwa
PNI yaitu “helmeyke opvolgster” dari PKI, artinya bahwa PNI yaitu
gantinya PKI dengan sembunyi-sembunyi.
Menyuruh memeluk kromoisme? Tuan-tuan Hakim, menyuruh
memeluk kromoisme, sebagaimana susunan pergaulan hidup Eropa
menyuruh kaum sosialis memeluk proletarisme pula! Sebab susunan
pergaulan hidup Indonesia sekarang yaitu pergaulan merk Kromo,
pergaulan hidup merk marhaen,- pergaulan hidup yang sebagian
besar sekali yaitu terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil,
kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, pendek kata: ……kaum
kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil! Suatu
golongan borjuis nasional yang kuasa sebagai di India, suatu
golongan borjuis yang tenaganya bisa dipakai di dalam perjuangan
melawan imperialisme itu dengan; politik “selfcontaining”[2]di sini
boleh dikatakan tidak ada. Banyak kaum nasionalis bangsa
Indonesia, yang mengatakan, bahwa pergerakan Indonesia harus
meniru pergerakan India dengan mengadakan pula boikot ekonomi
atau swadeshi sebagai di India itu. Kami menjawab: kalau bisa
memang bagus, namun pergerakan Indonesia tidak bisa meniru
pergerakan India, tidak bisa ikut-ikut mengadakan swadeshi, tidak
bisa memakai tenaga suatu golongan borjuis nasional, oleh sebab di
Indonesia tidak ada golongan borjuis nasional yang kuasa
itu. Pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang mencari
tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen saja,
oleh sebab Indonesia hampir melulu memiliki kaum kromo
dan kaum Marhaen belaka! Di dalam tangan kaum Kromo dan
kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam
organisasi kaum kromo dan kaum Marhaen itulah terutama
letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi kaum kromo dan
kaum Marhaen itu terutama harus dicari tenaganya. Siapa dari
kaum pergerakan Indonesia menjauhi atau tak mau bersatu dengan
saudara-saudara “rakyat rendah” yang sengsara dan berkeluh kesah
itu, siapa yang menjalankan politik “salon-salonan” atau “menak-
menakan”, siapa yang tidak membangun marhaenisme atau
kromoisme, walaupun ia seribu kali sehari berteriak cinta bangsa
cinta rakyat, ia hanyalah menjalankan politik
yang………Cuma”politik-politikan” belaka!
Kekromoan dan kemarhaenan!, itulah kini gambar susunan pergaulan
hidup kami. Sebab sistem imperialisme di Indonesia yaitu dari sejak
semulanya, dari zaman Kompeni sampai ke zaman Cultuurstelsel, dari
zaman Cultuurstelsel, sampai ke zaman modern, merebut dan membasmi
tiap-tiap perusahaan besar daripada rakyat kami dengan sulur-sulurnya
dan akar-akarnya, mengalang-ngalangi dan memicu tidak bisa lebih
hidup suatu perusahaan kerajinan atau industri
atau onderneming Indonesia apa pun juga. Perdagangan, pelayaran,
pertukangan, semua matilah oleh pengaruh imperialisme-tua dan
imperialisme modern yang kedua-keduanya monopolistis itu!
Kini tinggallah perdagangan kecil belaka, pelayaran kecil belaka,
pertukangan kecil belaka, pertania kecil belaka, ketambahan lagi
milyunan kaum buruh yang sama sekali tiada perusahaan sendiri,-
kini pergaulan hidup Indonesia itu hanyalah pergaulan hidup
kekromoan dan kemarhaenan saja!
Tuan-tuan Hakim, sempitnya tempo mengalang-alangi kami
menguraikan dan membuktikan keadaan yang penting ini lebih luas,
namun satu dua dalil dari bangsa Eropa yang terpelajar, tak bisa kami
tinggalkan, contoh dari Raffles, Prof. Veth, Prof. Kielstra, Prof.
Gonggripj, Prof. V. Gelderen, ataupun Schmalhausen, Rouffaer, dan
lain-lain yang semuanya yaitu membuktikan kebenaran kata kami
itu!
Di dalam buku Raffles yang termashur tentang tanah Jawa, kami
membaca tentang imperialisme-tua:
“Begitu sukarnya menggambarkan dengan panjang lebar, luasnya
perdagangan di tanah Jawa pada saat orang Belanda mulai berdiam
di laut-lau Timur, begitu pula menyedihkan hati membuktikan
dengan cara bagaimana perdagangan itu oleh perbuatan bangsa
asing dialang-alangi, diubah sama sekali dikecil-kecilkan, oleh
kekuasaan monopoli yang bobrok, oleh ketamakan dan keserakahan
akan duit dibarengi kekuasaan, dan oleh kelaliman yang picik dari
suatu pemerintah saudagar”…..
“Demikianlah pasal-pasal yang terpenting dari tiga puluh satu pasal
mengenai pembatasan, yang membelenggu tiap gerak perdagangan
dan memadamkan bara yang penghabisan dari semangat berusaha,
untuk memuaskan pemandangan-pemandangan picik angkara
murka, yang bisa dinamakan kefanatikan akan keserakahan kepada
harta.
Tuan-tuan Hakim, Raffles yaitu terkenal sebagai pembenci bangsa
Belanda! sebab itu, marilah kita menyelidiki pendapat pujangga-
pujangga Belanda sendiri dan kita akan mendengar pendapat yang
tidak berbeda. Tidakkah Prof. Veth tentang imperialisme-tua itu
mengatakan, bahwa bangsa kami,
“dalam abad ke-16, seperti juga di zaman Majapahit, terutama
terkenal sebagai kaum saudagar yang besar usaha, kaum pelaut
yang gagah, kaum perantau yang berani
, dan bahwa mereka umumnya……sudah harus mengalami
perubahan yang besar untuk menjadi petani-petani yang diam dan
damai seperti sekarang ini”, dan bahwa: “nyata” sekali, bahwa
semangat harimaunya sudah dijinakkan sampai kutu-kutunya dan
bahwa (mereka) tak luput dari bekerjanya obat tidur penjajahan
yang lama di bawah bangsa asing yang lebih kuat”!
Tidakkah Prof. Kielstra menulis:
“Politik perdagangan bangsa Belanda menyebabkan banyak
sumber-sumber penghidupan menjadi tertutup atau kering sama
sekali; namun perduli apa! Tidakkah orang…..mengajarkan, bahwa
orang tak boleh menyimpang dari pendirian, bahwa rakyat yang
miskin paling gampang bisa diperintahi!”
Dan haraplah perhatikan perkataan Prof. Gonggrijp yang berbunyi:
“Usaha yang hebat untuk mengekalkan monopoli itu sudah
membinasakan kesejahteraan pulau-pulau Maluku dan menindas
semangat dagang dan nafsu berusaha yang (masih) ada sedikit pada
penduduk bumiputra”!
Haraplah memperhatikan pula pendapat Prof. Van Gelderen yang
menulis di dalam buku pidato-pidatonya:
“Dengan adanya perpustakaan yang luas, kini tak bisa disangkal
lagi, sudah ada permulaan perdagangan yang aktif dan teratur, lalu
lintas tukar-menukar dengan seberang lautang dengan alat-alat
yang ada waktu itu…..oleh adanya system contingenten dan leverantien!
Kemudian oleh adanya sistem tanaman paksaan, maka produsen
Bumiputra didesak dari pasar dunia dan dialang-alangilah tumbuh
suburnya suatu kelas majikan dan kelas saudagar bangsa sendiri”!
Orang bisa membantah, “O, itu keadaan tempo dahulu , keadaan
sekarang sudah lain!”
O, memang,-itu keadaan tempo dahulu , itu jahatnya imperialisme-tua!
namun keadaan sekarang, di bawah imperialisme modern, tidak lain
halnya! Keadaan sekarang masih tetap mengalang-alangi timbulnya
suatu kaum perusahaan besar di Indonesia, tetap “mengkromokan”,
tetap, memarhaenkan” di dalam tendensnya, walau, dengan
meminjam lagi perkataan Stokvis, “melalui jalan-jalan yang lebih
sunyi”, “langs stillere wegen”. Keadaan sekarang tetap menunjukkan
suatu pergaulan hidup tani kecil, pedagang kecil, pelayar kecil,
segalanya kecil, ditambah berjuta-juta kaum yang tak memiliki suatu
milik atau perusahaan sendiri yang bagaimana kecilnya pun,
proletar, yang (terbawa oleh tendens imperialisme-modern yang
menurut Prof. Van Gelderen memicu kami menjadi “rakyat kaum
buruh”, dan “si buruh antara bangsa bangsa”), makin lama makin
bertambah.
Dalil- dalil? Haraplah memperhatikan perkataan bekas Asisten
Residen Schmalhausen, yang atas laporan Du Bus yang berbunyi:
“Hal yang sama, dan malahan lebih-lebih lagi, terjadi dengan barang
tenunan. Jawa di zaman dahulu mengambil kain-kain yang agak halus
dari pesisir, namun yang untuk keperluan sehari-hari dibuat nya
sendiri untuk kebutuhan tanah Jawa dan buat sebagian besar juga
untuk Kepulauan Hindia. Berkapal-kapal kain-kain itu
meninggalkan tanah Jawa dan disebarkan ke pulau-pulau
sekitarnya. Sekarang kita memasukkan di tanah Jawa dan
kepulauan Hindia kita punya kain-kain Belanda…..Di dalam
pertentangan ini perusahaan Bumiputra menjadi mundur dan
pabrik-pabrik kita di negeri Belanda ada harapan akan bisa
menggantikannya sama sekali dalam waktu yang pendek”.
Menulis komentar buat zaman sekarang yang mengatakan:
“sedangkan Du Bus menyebutkan di antara sebab-sebab maka
keadaan jelek, ialah hilangnya beberapa banyak barang-barang
ekspor yang lain, di samping tertahan-tahannya pengeluaran beras,
maka kita di zaman ini bisa pula mengatakan, bahwa banyak
Perusahaan Bumiputra binasa atau merana hidupnya!
Dan adakah beda tulisan G.P. Rouffaer yang berbunyi:
“Dalam keadaan demikian itu, maka tidak boleh tidak perusahaan
kain Bumiputra…makin lama makin tertindas oleh banyaknya
impor dari luar negeri.”
Tidak, tidak ada bertambahnya . Dan tidak bedalah pula nasib perusahaan-
perusahaan Indonesia yang lain. Di manakah sekarang kami punya
pelayaran? Dimanakah kami punya perusahaan besi dan kuningan,
kami punya kaum pedagang? sebetulnya , benarlah tulisan Prof.
Van Gelderen yang berbunyi:
“………suburnya Perusahaan modern ini, sudah mendesak
usaha-usaha industri rumahan yang agak maju. Perdagangan ekspor
Bumiputra binasa dan industri setempat-setempat hilang tersapu
oleh gelombang barang-barang impor yang murah, hasil buatan
terbanyak-banyak”.
“….Begitulah maka, juga di dalam zaman tanaman merdeka, yang
datang sesudah zaman cultuurstelsel, berlaku terus perpisahan
antara si tani Jawa, dan dengan ini sebetulnya segenap penduduk
Bumiputra,- dan pasar dunia zaman sekarang.
Tuan-tuan hakim, dengan pergaulan hidup yang demikian ini,
dengan pergaulan hidup yang tiada kelas perusahaan besar ini,
dengan pergaulan hidup yang hampir penuh dengan kaum kromo
dan kaum marhaen saja ini, kami dari Partai Nasional Indonesia,
yang selamanya berdiri diatas realiteit itu, kami harus menjalankan
politik yang Kromoistis dan Marhaenistis pula. Tidak bisalah kami
mencoba mengalahkan imperialisme itu dengan mendesaknya ke
luar dengan kekuatan persaingan ekonomi, tidak bisalah kami
mencoba melemahkan dayanya dengan daya “selfcontaining” yang
nasional-ekonomis sebagai di India itu. Kami hanya bisa
mengalahkannya dengan aksi Kang Kromo dan Kang Marhaen,
dengan massa-aksi kebangsaan yang sebesar-besarnya. Kami
mencoba menyusun-nyusun energi massa yang berjuta-juta itu,
mencoba membelokkan energi segenap kaum intelektual Indonesia
ke arah susunan massa ini; kami mencoba, -dan kami yakin akan bisa-, kami mencoba memberi keinsafan pada kaum intelektua
Indonesia itu, bahwa di dalam kalangan massa inilah mereka harus
terjun dan berjuang, di dalam kalangan massa inilah mereka harus
mencari kekuasaan bangsa, jangan lebih dahulu hanya menjalankan
politik “salon-salonan” saja, menggerutu sendiri-sendiri atau marah-
marah di dalam kalangan sendiri saja.
Tidak! “Di dalam massa, dengan massa, untuk massa!”,- itulah
harus menjadi semboyan kami dan semboyan tiap-tiap orang
Indonesia yang mau berjuang untuk keselamatan tanah air dan
bangsa!
Golongan borjuis nasional=kaum modal bangsa sendiri.
Politik selfcontaining, ialah politik memicu sendiri kebutuhan rakyat,
jadi tidak membeli barang buatan kaum imperialis, melainkan segala
kebutuhan itu dibuat oleh perusahaan bangsa sendiri.