Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 10. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 10



 erada di daftar teratas, menyiarkan 

ancaman bahaya kepada sekitar 40 juta warga Amerika setiap bulannya.18 

Jaringan ini  tidak hanya condong ke kanan dalam pandangan dan 

tafsirannya. Lebih dari itu, mereka juga mengemukakan kebohongan yang 

menarik kalangan konservatif, Kristen, Republikan, dan generasi yang 

lebih tua.19 Dampaknya yaitu  “Efek Fox News” yang banyak dibicarakan: 

dibandingkan masyarakat pada umumnya, penonton setia Fox News lebih 

mudah menyalahpahami fakta-fakta seputar isu-isu yang diperdebatkan. 

Penonton Fox, misalnya, lebih mudah percaya terhadap rumor palsu 

tentang “masjid Ground Zero” dibandingkan masyarakat pada umumnya.20 

Survei Public Religion Research Institute di awal 2011 menemukan bahwa 

sepertiga penonton Fox News mengaku percaya bahwa Muslim Amerika 

ingin menegakkan Syariah di AS, sementara kurang dari 10 persen saja 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 217

responden penonton televisi publik yang menjawab demikian.21

Satiris Stephen Colbert menggambarkan gaya berita Fox dalam 

neologismenya, “truthiness” (kebenaran semu)—mencerminkan daya 

tarik pernyataan yang terasa benar untuk khalayak tertentu, meski hal 

ini  tidaklah benar.22 Tinjauan Colbert, bahwa beberapa orang lebih 

memilih pesan yang “seakan benar” daripada apa yang secara aktual benar, 

didukung oleh penelitian para ahli perilaku yang menyebutnya sebagai 

“bias konfirmasi” atau “bias keserasian.”23 Dalam tinjauannya terhadap 

literatur ini, Christoper Mooney menyarankan agar Fox mengurangi 

informasi buatan untuk menarik khalayak yang ingin mempertahankan 

pandangan mereka sebelumnya yang mereka pikir sedang terancam.24 

Penelitian serupa jarang ditemui di negara lainnya, namun pola AS dapat 

digeneralisasi; di masyarakat di mana kalangan konservatif merasa bahwa 

nilai sosial sedang terkikis, ada permintaan pasar untuk media berita yang 

memprioritaskan afirmasi daripada akurasi. Hal ini dapat menjadi saluran 

misinformasi dari pelintiran kebencian.

Jaringan Islamofobia Amerika juga dapat mengandalkan Christian 

Broadcasting Network (Jaringan Penyiaran Kristen), yang menjangkau 

khalayak yang lebih sedikit, namun terkadang menyiarkan program 

yang lebih ekstrem pandangannya, kepada audiens yang lebih fanatik. 

Pembawa acara talkshow sindikasi paling populer di AS—Rush Limbaugh, 

Sean Hannity, Mike Savage, Glenn Beck, dan Mark Levin—semuanya 

mengaitkan pesan konservatif mereka dengan propaganda anti-Muslim.25

Di negara lain, pelintiran kebencian diperkuat oleh beragam media yang 

berideologi sama. Di Indonesia, majalah Sabili menjadi platform bagi para 

penulis Islam radikal untuk menyebarkan pandangan intoleran. Majalah 

ini sangat populer di Indonesia sebelum akhirnya memudar sejak 2005. 

Media Dakwah, majalah Dewan Dakwah Islam Indonesia yang konservatif, 

menentang sekularisme, menuding tokoh liberal sebagai agen AS dan Israel, 

serta menyebarkan paranoia bahwa Islam di Indonesia sedang dikepung 

Kristen.26 Voice of Al-Islam, sebuah website yang dibuat kelompok militan 

yang dilatih oleh para jihadis yang keras, yaitu  aktor utama dibalik hasutan 

kebencian terhadap aktivitas misi Kristen di Bekasi.27 Kelompok militan 

ekstremis Laskar Jihad, yang aktif pada awal 2000-an, mengembangkan 

berbagai platform media—termasuk website, media cetak, dan program 

radio—yang menyerukan jihad melawan penganut Kristen.28

Bab 7218

Media Layanan Publik

Demokrasi memberi peluang bagi media yang mengusung tujuan dan 

kepentingan sempit, bahkan yang tampak sangat buruk dan destruktif. 

Efek sentrifugal dari media semacam itu perlu ditanggulangi oleh pihak 

lain dengan mandat dan sumber daya untuk membela kepentingan publik 

yang lebih besar. Meski banyak organisasi berita mengaku menjunjung misi 

ini  secara sukarela, pertanyaannya apakah mereka mesti mendapat 

pengawasan eksternal. Sejak munculnya radio dan televisi, kearifan lama 

di negara-negara demokrasi yaitu  bahwa pengaturan muatan penyiaran 

tidak sesuai dengan prinsip kebebasan media. Penggunaan gelombang 

publik yang terbatas membenarkan peran badan publik seperti Federal 

Communication Commission (Komisi Komunikasi Federal) di AS 

dan Ofcom di Inggris. sebab  itu, dalam sektor ini, masuk akal untuk 

mengharapkan otoritas pemberi izin mencabut atau membekukan izin 

penyiaran stasiun yang mempromosikan kebencian—sekalipun tidak 

sampai ke hasutan kekerasan dan genosida.

Sebagian besar negara demokrasi di Barat telah memakai  

konsep penyiaran publik atau public service broadcasters. Lembaga-

lembaga ini, dicontohkan oleh BBC, didanai publik namun terpisah 

dari campur tangan pemerintah. Mereka biasanya diberi tanggung 

jawab yang jelas untuk menjadi ruang terpercaya bagi konsiliasi dan 

dialog lintas-budaya dan ideologi.29 Anggaran Dasar ABC (Australian 

Broadcasting Corporation), misalnya, mewajibkan layanannya untuk 

mempertimbangkan “karakter multikultural dari masyarakat Australia.”30 

Sejalan dengan ini, standar editorialnya mewajibkan program-programnya 

untuk menyajikan “perspektif beragam sehingga, dalam prosesnya, tidak 

ada aliran kepercayaan atau pemikiran di masyarakat yang tersisih atau 

terpinggirkan.”31 Terbebas dari godaan elite politik atau opini publik, 

penyiaran publik mungkin lebih baik dibanding media komersial dalam 

melindungi multikulturalisme dari gelombang intoleransi.

Sayangnya, sektor penyiaran publik terus melemah. Meski perannya 

sebagai konsiliator makin penting, peluang kebijakan untuk membangun 

penyiaran publik yang kuat telah lama berlalu. Hampir seluruh penyiaran 

publik independen di dunia dikembangkan di negara-negara demokrasi 

liberal pada paruh pertama abad ke-20, saat  ada  konsensus elite 

bahwa kekuatan teknologi radio dan televisi harus digunakan untuk 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 219

kesejahteraan sosial namun tetap terbebas dari kontrol pemerintah. 

Beberapa dekade kemudian, kabel, satelit, dan teknologi Internet 

mengakhiri era kelangkaan bandwidth, dan bersama dengan itu juga 

argumen ekonomi dari pendekatan non-pasar dalam kebijakan penyiaran 

nasional. Mencuatnya ideologi neo-liberal juga makin melemahkan prinsip 

media publik yang kuat.

sebab  itu, banyak negara yang membuka kompetisi industri 

penyiarannya sejak tahun 1990-an tidak berupaya membangun penyiaran 

publik yang kuat. India, Rusia, dan Malaysia mempertahankan penyiaran 

pemerintah bersama dengan saluran komersialnya. Indonesia dan 

Afrika selatan berusaha mengubah penyiaran milik pemerintah menjadi 

penyiaran publik independen sebagai bagian dari reformasi demokrasi, 

namun prosesnya lamban. Filipina, mengikuti contoh AS, melepaskan 

televisi seluruhnya ke tangan pemilik swasta. sebab  itu, di banyak negara, 

tugas melawan kebencian tidak dibebankan ke sektor publik melainkan 

kepada jurnalis profesional yang bekerja di organisasi berita komersial.

Menumpulkan Kemerdekaan Jurnalistik

Tidak seperti penyiaran publik, media berita komersial jarang memiliki 

misi perusahaan yang secara eksplisit mendorong toleransi. saat  editor 

ingin membela kelompok minoritas yang rentan dan mengungkap 

intrik politik di balik pelintiran kebencian, mereka dapat terhalangi oleh 

kepentingan perusahaan. Di India, upaya gigih para jurnalis investigatif 

dan aktivis hak asasi manusia telah mengumpulkan bukti-bukti yang 

menunjukkan keterlibatan Narendra Modi dalam kerusuhan di Gujarat 

pada 2002. Namun, saat  Modi naik lewat BJP, media arus utama di India 

tidak bersikap seperti biasanya dalam mengkritik penguasa. Bisnis yang 

menguasai hampir seluruh surat kabar nasional dan stasiun berita televisi 

melihat kepemimpinan Modi sebagai jawaban atas krisis ekonomi di 

India. “Sebelum 2009-2010, tidak ada seorang pun yang membicarakannya 

(Narendra Modi) sebagai kandidat nasional,” ujar Siddharth Vardarajan, 

mantan editor Hindu. “Tiba-tiba Modi muncul sebagai pusat dari komunitas 

bisnis; dan media muncul sebagai pemandu sorak.”32

Permasalahan ini melampaui soal ekonomi politik media—bukan 

hanya soal pebisnis serakah yang berusaha melindungi pundi penghasilan 

mereka. Jurnalis dan organisasi media perlu membangun hubungan saling 

Bab 7220

percaya dengan masyarakat dengan membela mereka serta mewakili nilai 

dan kepentingan mereka. Mereka dapat menghimpun basis massa yang 

loyal saat  mereka berani mengungkap politisi dan pebisnis korup atas 

nama masyarakat, atau saat  mereka memainkan peran utama dalam 

revolusi atau gerakan kemerdekaan. Akan tetapi, dalam kasus-kasus yang 

menyangkut hak kaum minoritas, jurnalisme pengawas perlu mengarahkan 

sorotannya kepada kelompok yang dianggap masyarakat umum. Sifat-sifat 

yang dihargai publik—independensi dan keberanian moral dalam membela 

mereka yang lemah—menjadi dibenci jika berbalik diarahkan ke kelompok 

mayoritas itu sendiri. Namun, itulah yang dibutuhkan demokrasi majemuk 

dari pers saat  kekuatan dominan mengancam hak asasi kelompok agama 

minoritas, imigran, dan kelompok tak berdaya lainnya.

Dilema ini menjelaskan respon diamnya pers Indonesia terkait 

fenomena kekerasan terhadap minoritas Ahmadiyah dan Syiah. Media 

berita—sebagaimana politisi—takut dicap anti-Islam, yang nyatanya bisa 

terjadi sebab  terlalu kritis pada kalangan garis-keras. Kompas, surat kabar 

terbesar di Indonesia, terutama sangat alergi terhadap risiko ini, sebab  

didirikan oleh orang Katolik. Editor yang bijak akan mengakui bahwa 

publik pun dapat mengancam kebebasan dan demokrasi seperti halnya 

pemerintah dan pebisnis. Namun, dilema ini jarang dibahas dalam diskusi-

diskusi profesional atau akademik mengenai jurnalisme dan demokrasi, 

yang cenderung menilai bahwa pendapat mayoritas lebih dapat dipercaya 

daripada bukti-bukti yang ada. Meski nilai-nilai seorang individu jurnalis 

dapat menjadikan mereka pembela hak minoritas, sebagian besar tidak 

dapat menyimpang jauh dari budaya dan norma masyarakat mereka. 

sebab  itulah survei di Indonesia mengungkap pandangan di kalangan 

jurnalis yang mencerminkan sikap di level nasional: mereka resisten 

terhadap segala bentuk hubungan antara agama dan kekuasaan politik, 

namun simpatik terhadap argumen agama yang membenarkan diskriminasi 

terhadap kaum minoritas. Meski lebih dari empat per lima jurnalis yang 

disurvei tidak setuju pemimpin agama memengaruhi pemungutan suara, 

hampir dua per tiga mendukung pelarangan terhadap Ahmadiyah.33

Di AS—yang persnya lebih banyak dikaji dibanding negara-negara 

lainnya—studi klasik seorang ahli sosiologi Herbert Gans melihat 

bahwa media elite Amerika menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, 

seperti moderatisme dan bentuk demokrasi publik.34 Nilai ini  dapat 

mendorong jurnalis Amerika untuk membela hak minoritas dari intoleransi 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 221

Partai Teh dan suara-suara ekstrem lainnya. Pada saat bersamaan, Gans 

menemukan etnosentrisme Amerika yang pertama juga menjadi nilai 

utama pers, khususnya saat  ada  kisah yang berdimensi internasional. 

Serangkaian bentrokan militer antara AS dengan negara-negara mayoritas 

Muslim selama beberapa dekade terakhir ini mempersulit para jurnalisnya 

untuk menganggap Muslim Amerika sebagai kelompok minoritas belaka. 

Dan hal itu berada di atas prasangka historis yang dianalisis oleh Edward 

Said dalam Orientalism dan Covering Islam.35 Etnosentrisme kadang 

masuk ke dalam naskah jurnalis arus utama yang terkemuka. Di tengah 

kontroversi Park51 pada 2010, kolumnis sindikasi New York Times Thomas 

Friedman menyampaikan pembelaan yang kuat terhadap proyek ini , 

menyebutnya sebagai bukti inklusi dan keterbukaan yang menjadikan AS 

menarik bagi siapa pun yang ingin hidup di lingkungan yang inventif dan 

kreatif. Kolom ini  dikecam banyak pemrotes—namun juga tidak 

terbebas dari bias akibat kontroversi yang berlangsung. Friedman menyoal 

itikad Imam Feisal Abdul Rauf, seorang warga AS, untuk memakai  

bangunan ini  untuk “menjembatani dan memperbaiki perpecahan” 

antara Muslim dan kelompok masyarakat lainnya. “Secara pribadi, jika 

saya punya 100 USD untuk membangun masjid yang mempromosikan 

toleransi antar-agama, saya tidak akan membangunnya di Manhattan. Saya 

akan membangunnya di Arab Saudi atau Pakistan,” ujar Friedman. “Anda 

dapat mempelajari Islam di hampir setiap universitas di Amerika, tapi 

Anda bahkan tidak dapat membangun gereja sederhana di Arab Saudi.”36

Jika Friedman konsisten dalam penalaran moralnya—bahwa kewajiban 

global lebih utama daripada kewajiban nasional—dia mestinya dapat 

menyeru koleganya di New York Times untuk berhenti mengkritisi 

disfungsi Amerika Serikat dan agar fokus kepada negara-negara yang lebih 

memerlukan berita-berita yang layak cetak. Alhasil, dia memperlakukan 

sang imam sebagai anggota dunia Muslim terlebih dahulu, baru kemudian 

sebagai warga Amerika (kalau memang demikian). Ini tidak dapat diterima 

jika diterapkan kepada seluruh kelompok lain di AS. Friedman dengan 

demikian terbawa dan mendaur ulang standar ganda yang sama mengenai 

identitas Muslim yang mendasari Islamofobia.

Mengeksploitasi Penilaian Berita

Meski punya itikad baik, jurnalis kadang mendapati hasil pekerjaannya 

Bab 7222

dieksploitasi oleh agen pelintiran kebencian. Ahli sosiologi media menilai 

media berita tidak punya pilihan selain merutinkan operasi mereka jika 

ingin menerbitkan surat kabar atau buletin berita dalam tenggat waktu 

yang ketat. Proses yang standar seringkali menjadi ritualistik, menjauhkan 

refleksi diri yang kritis. Hal paling penting dan universal dari rutinitas ini 

yaitu  penilaian berita—aturan praktis yang digunakan jurnalis di seluruh 

dunia untuk memutuskan sudut pandang mana yang paling menarik 

bagi khalayak. Dengan demikian, lensa berita menyorot kejadian yang 

memiliki dampak, memuat konflik, tidak biasa, aktual, dan dekat. Lebih 

membantu jika yang terlibat yaitu  nama-nama terkemuka, atau jika 

kisah di dalamnya melibatkan emosi atau aspek “human interest.” Kriteria 

“nilai berita” ini telah terkodifikasi dalam buku ajar jurnalisme, namun 

para ahli antropologi menilai hal ini boleh jadi telah tertanam dalam diri 

manusia sejak era prasejarah, sebagai cara cepat dalam meninjau ancaman 

dan peluang di lingkungan sekitar.37 Jika demikian tentunya luar biasa 

sebab  hal itu melampaui perbedaan budaya di antara masyarakat: saat  

diberi kebebasan untuk memilih, wartawan di mana-mana mengacu pada 

kriteria ini  untuk memperkirakan apakah masyarakat akan tertarik 

pada cerita mereka.

Ketentuan itu bukan lagi rahasia. Ia telah dipelajari dan diterapkan 

oleh industri hubungan masyarakat untuk merancang pesan promosi 

agar mirip dengan “berita”. Inilah yang disebut dalam perniagaan sebagai 

“earned media”—publisitas yang dianggap jurnalis “patut diberitakan”, 

berlawanan dengan iklan berbayar atau penggunaan saluran komunikasi 

pribadi. Pada pasar yang lebih maju ekonominya, karyawan hubungan 

masyarakat umumnya melebihi jumlah wartawan, artinya lebih banyak jam 

kerja dihabiskan untuk menyusun pesan klien—daripada mendekonstruksi 

dan mengecek faktanya untuk publik, sebagaimana dilaporkan Nick 

Davis, jurnalis Guardian yang terdokumentasikan dalam Flat Earth News, 

mengenai kritiknya yang sangat mengena tentang pers Inggris.38 Manipulasi 

ini tidak seluruhnya buruk. Jika krisis kemanusiaan tidak dianggap layak 

diberitakan di negara-negara kaya sebab  jauh dan melelahkan, maka wajar 

jika sebuah lembaga bantuan internasional melibatkan bintang Hollywood 

untuk menjadi duta amal yang menarik perhatian. Begitu pula, pemerintah 

lokal yang punya cara kreatif mendapatkan liputan utama cuma-cuma 

untuk kampanye pendidikan kesehatan yang membosankan mungkin layak 

mendapatkan pujian sebab  bisa efisien dalam memakai  anggaran 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 223

publikasi. Ruang berita yang dikejar waktu biasanya memang senang jika 

ada peristiwa media dan handout yang sudah siap, sebab  mereka tak 

perlu lagi mencari-cari sudut pandang berita. Meski citra profesi jurnalis 

biasanya sangat skeptis terhadap sumber-sumber yang terlalu bersemangat, 

pada praktiknya pers memiliki hubungan simbiosis dengan hubungan 

masyarakat.

Pelintiran kebencian, sebagaimana humas, telah memecahkan 

ketentuan berita dan belajar cara mengeksploitasi rutinitas media. Para 

penyebar kebencian merancang acara semu untuk media yang menarik 

lebih banyak perhatian pers dari yang seharusnya. Pertunjukan hasutan 

dan keterhasutan dikoreografikan dengan nilai berita; menjadi krisis publik 

yang “dimediasi”.39 Massa yang rusuh atau kekerasan ekstrem dengan 

mudah memenuhi kriteria berita yang tidak biasa. Bobotnya dapat digenjot 

dengan membakar simbol-simbol yang dikenali secara global seperti 

patung presiden AS, bendera AS, atau kitab suci, atau dengan mengecam 

nama besar seperti Google. saat  meliput agama, penilaian berita yang 

tidak kritis membuat kelompok ekstrem dan juru bicaranya mendapatkan 

publisitas yang lebih banyak daripada mayoritas penganut agama yang 

lainnya. Melalui lensa rutinitas media yang terdistorsi, segelintir pemain 

dapat memiliki tingkat kehadiran yang tinggi di benak masyarakat.

Terry Jones, pendeta Florida yang dulu tidak dikenal, memahami logika 

ini dengan baik. Pada 2010, dia mendeklarasikan Hari Bakar Alquran 

Internasional, bertepatan dengan peringatan serangan teror 11 September 

2001 di AS. Pertama-tama media nasional, lalu media internasional meliput 

kisahnya, mengangkat sosok pinggiran yang tak berpengaruh menjadi ikon 

anti-Muslim global. Dia tidak berhasil mengumpulkan dukungan untuk 

aksinya—dan dia sendiri tidak melaksanakannya pada tahun itu, setelah 

pemerintah Obama menentangnya. Namun saat itu, dia tidak pernah 

berencana mengurangi jumlah Alquran yang beredar sampai dua ratus. 

Hal itu ditujukan untuk memancing reaksi. “Kami melampaui tujuan kami; 

kami tidak pernah membayangkan akan mendapatkan perhatian media 

seperti ini,” katanya kepada BBC. “Meski kami tidak membakar Alquran, 

tapi ada banyak kekerasan yang membuktikan pendapat kami.”40

Kasus Terry Jones yaitu  salah satu dari banyak contoh tentang 

bagaimana kejadian sensasional—yang tidak biasa dan tiba-tiba—melejit 

ke puncak agenda media berkat acuan yang ritualistik pada ketentuan nilai 

Bab 7224

berita. Media AS membiarkan ini terjadi meski tahu betul bahwa Jones 

tidak merepresentasikan penganut Kristen di Amerika, dan tindakannya 

yang penuh kebencian ini tidak akan menjadi kecenderungan. Pada 

kasus seperti itu, para jurnalis membenarkan pelaporan mengenai 

pandangan meragukan itu dengan ritual profesional lainnya yang sama-

sama mengakar—yaitu obyektivitas. Sebagai batu ujian sakral bagi banyak 

jurnalis, obyektivitas memiliki aspek positif. Prinsip ini  mendesak 

mereka untuk tetap berjarak, mempertimbangkan seluruh perspektif yang 

relevan, dan membangun ceritanya berdasarkan bukti-bukti empiris. Di 

era saat  media merupakan institusi yang kuat, obyektivitas yaitu  salah 

satu alat kendali agar dia tidak menyalahgunakan kekuatannya itu. Akan 

tetapi, seperti penilaian berita, obyektivitas seringkali diterapkan sebagai 

jalan pintas. Tidak adanya waktu untuk menilai kebenaran dan nilai dari 

klaim-klaim yang saling bertentangan, reporter yang “obyektif ” puas 

dengan hanya mengutip tokoh berwenang, dan agar seimbang, juga lawan 

utamanya.41 Hasilnya yaitu  stenografi “dia berkata begini dan begitu” yang 

gagal mencerahkan publik. Penerapan obyektivitas secara ritualistik dapat 

berdampak pada pemberian bobot yang tidak semestinya pada perspektif 

yang ekstrem, terlepas dari nilai yang dikandungnya.42

Beberapa hari sebelum acara pembakaran Alquran, ahli etika dari 

Poynter Institute, Kelly McBride, bertanya apakah media telah keliru 

dengan memberikan perhatian terhadap kejadian ini . Editor harus 

berpikir hati-hati mengenai bahaya yang dapat mereka timbulkan dengan 

memperkuat tindakan yang ditujukan untuk memunculkan konflik, 

ujarnya.43 Begitu juga, dalam laporannya ke Majelis Umum PBB pada 

2012, Frank La Rue mengutip episode ini sebagai contoh agar media lebih 

berhati-hati dalam memberitakan para ekstremis.44 Meski demikian, lebih 

mudah menyeru agar berhati-hati daripada merinci seperti apa laporan 

yang berhati-hati atas kejadian itu. Menekan berita seluruhnya mungkin 

juga bukan pilihan yang paling bijak. Seandainya media AS tidak meliput 

Terry Jones, kalangan Muslim boleh jadi keberatan: kesannya media AS 

lebih senang menyoroti kasus-kasus intoleransi Muslim, tapi menutup-

nutupi ekstremis Kristen. Jurnalis punya tugas untuk mendokumentasikan 

sudut pandang ofensif, kata McBride: “saat  kita mengabaikan aksi-aksi 

kebencian, kita tidak punya kesempatan untuk bereaksi mengecamnya, 

atau untuk menyuarakan sistem kepercayaan yang berbeda.”

Mark Potok, mantan jurnalis investigasi di Southern Poverty Law 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 225

Center yang saya bahas di bab 6, menyampaikan perlunya menundukkan 

ekstremis dengan publisitas. Dia memperhatikan bahwa media mengadopsi 

strategi “karantina” yang berlawanan pada 1960-an, menentang Partai Nazi 

Amerika. Lembaga-lembaga Yahudi meminta organisasi media agar tidak 

meliput kalangan fasis. Hal ini mungkin dapat dilakukan saat  berita 

dikendalikan oleh segelintir pengawas, tapi dia kemudian gagal: Partai 

Nazi meningkatkan upayanya dalam menarik perhatian dengan tindakan 

yang semakin keterlaluan dan semakin sulit diabaikan.45 Bagi Potok, 

jawaban terbaik atas dilema ini yaitu  dengan melakukan lebih banyak 

investigasi—dan bukan hanya liputan “bodoh”—mengenai kelompok 

intoleran. Sayangnya, di masa saat  anggaran pelaporan independen 

banyak dipotong di AS dan tidak ikut tumbuh bahkan di pasar media yang 

tengah berkembang, banyak agen pelintiran kebencian yang membonceng 

media berita.

Respons Etis

Dilema jurnalistik yang diulas di atas tidak dimaksudkan untuk 

mengecilkan hati pembaca. Media yang punya tanggung jawab sosial bisa—

dan sudah—mengambil langkah untuk memastikan agar mereka tidak 

diperalat oleh agen pelintiran kebencian. Sekalipun jika mereka tidak dapat 

menyelesaikan masalah, mereka setidaknya dapat menghindari hal-hal 

yang dapat memperburuknya. Minimal, mereka tidak memberi panggung 

kepada kolumnis yang memiliki gelagat sebagai pemimpin opini kelompok 

intoleran—kecenderungan yang sangat jelas terasa di Turki, misalnya.46 

Sebagian besar ketentuan dan regulasi internal industri ini—seperti dewan 

pers independen, telah mendorong penghormatan pada keberagaman. 

Sebagian besar merekomendasikan untuk membangun ruang berita yang 

beragam dan representatif agar editor peka terhadap bias dan titik-titik 

gelap yang sering mengakibatkan liputan yang tidak berimbang mengenai 

isu minoritas. Mereka juga mewanti-wanti soal stereotip. Satu dari sembilan 

pedoman International Federation of Journalists (IFJ, Federasi Jurnalis 

Internasional) menyangkut soal diskriminasi: “Jurnalis harus waspada 

untuk tidak memperparah bahaya diskriminasi, dan harus melakukan 

yang terbaik untuk tidak memfasilitasi diskriminasi berdasarkan ras, jenis 

kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik atau yang 

lainnya, serta latar belakang nasional ataupun sosial.”47 Begitu juga dengan 

Bab 7226

pedoman US Society of Professional Journalitsts yang menyebutkan bahwa 

jurnalis harus “meninjau nilai budayanya sendiri dan tidak memaksakan 

nilai-nilai ini  kepada orang lain” serta “menghindari stereotip 

berdasarkan ras, gender, usia, agama, etnisitas, geografi, orientasi seksual, 

disabilitas, bentuk fisik dan status sosial.”48

Pedoman profesi juga mendesak media untuk menerapkan standar 

kelayakan berita dan obyektivitas secara lebih bijaksana. Committee 

of Concerned Journalists (Komite Jurnalis Peduli) menyatakan bahwa 

jurnalisme “harus menjaga berita agar tetap komprehensif dan profesional”; 

mereka harus menghindari “membesar-besarkan kejadian demi sensasi, 

mengabaikan yang lain, memberikan stereotip, atau bersikap negatif.”49 

BBC maupun Reuters, yang terbiasa bekerja melintasi batas budaya, 

menginstruksikan wartawannya bahwa peliputan yang berimbang bukan 

berarti memberi ruang yang sama bagi kelompok pinggiran.50 Alih-alih, 

BBC meminta wartawannya untuk memberikan “bobot yang sesuai.”

Beberapa organisasi mengembangkan panduan dan program pelatihan 

yang khusus menyoroti peliputan agama.51 Mereka mendorong jurnalis 

untuk melaporkan intoleransi dalam konteks. Sebagai contoh, uraian tidak 

boleh keliru menggambarkan seorang pengkhotbah ekstrim sebagai juru 

bicara umatnya secara keseluruhan, dan harus memuat sanggahan dari 

tokoh-tokoh arus utama yang lain.

Agenda reformasi yang lebih ambisius diusung oleh para pegiat 

“jurnalisme damai”, sebuah gerakan yang berupaya mengembangkan 

potensi positif media dalam resolusi konflik dan bina-damai. Pelatihan 

jurnalisme damai mengasah kepekaan para pekerja media terhadap 

penggunaan framing yang sebagian besar dilakukan tanpa sadar—

yang mau tak mau memilih detail dan konteks dalam uraiannya, yang 

memengaruhi bagaimana pandangan khalayak mengenai peristiwa yang 

dilaporkan. Konflik, misalnya, biasanya dilaporkan melalui “kerangka 

perang”, yang fokus pada pertempuran, kekerasan, dan siapa yang menang 

dan kalah—tak jauh beda dengan jurnalisme olahraga. “Kerangka damai” 

yang direkomendasikan lebih menyoroti korban-korban konflik bersenjata 

dan mendorong resolusi konflik dan rekonsiliasi. Liputan kesehatan 

memberikan template-nya, sebab  tidak hanya menyoroti upaya melawan 

penyakit tertentu, namun juga mengedukasi publik mengenai akar masalah 

serta langkah-langkah pengobatan dan penanggulangannya.52 Pendekatan 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 227

jurnalisme damai dapat membendung dampak pelintiran kebencian 

dengan membangun ketahanan publik terhadap pesan-pesan yang sarat 

dengan intoleransi dan perpecahan.

Salah satu contoh yang baik dari proyek jurnalisme damai datang dari 

Ambon, Indonesia, di mana konflik Muslim-Kristen memaksa dua surat 

kabar untuk mewakili kedua kubu untuk membuat ruang bersama dalam 

rangka rekonsiliasi.53 Contoh lainnya yaitu  Irlandia Utara pada akhir 

1990-an. Sebelumnya, Catholic Irish News yang nasionalis dan Protestant 

News Letter  yang condong ke serikat pekerja meliput parade tahunan yang 

sarat pertentangan “seperti politisi dengan aneka ragam retorikanya, serta 

siasatnya dalam membingkai argumen tertentu.”54 Pada 1997 dan 1998, surat 

kabar ini  mengambil langkah rekonsiliasi untuk meredakan konflik 

seputar parade ini . Akan tetapi, berita-berita di surat kabar yang 

sama itu pun kembali pada kerangka partisannya yang lama, menunjukkan 

betapa melekatnya kebiasaan ini. Selain itu, jurnalisme damai dapat 

berjalan hanya jika elite lain di masyarakat condong juga kepada resolusi 

konflik, sebagaimana kasus Ambon. Media arus utama—apalagi, media 

partisan—tidak cukup kuat membuka jalan menuju rekonsiliasi.55

Jurnalisme damai dapat dilihat sebagai bagian dari aliran jurnalisme 

“intervensionis”, yang menggugat norma dominan tentang jurnalis sebagai 

pengamat yang netral dan berjarak.56 sebab nya, aliran ini memiliki sedikit 

pengikut. Penekanan jurnalisme damai untuk menurunkan nilai berita 

konflik juga membatasi daya tariknya. Tapi ini bukan berarti para pekerja 

media berita tidak tertarik atau tidak mampu menaikkan standar etikanya. 

Pada kasus Terry Jones, beberapa organisasi berita sudah melakukan 

hal yang benar. Contohnya, laporan Associated Press (AP) menekankan 

bahwa Jones yaitu  pemimpin sejumlah kecil jemaat, dan masyarakat 

setempat memandangnya sebagai “tokoh pinggiran yang tidak pantas 

mendapatkan perhatian khusus.” AP juga melaporkan bahwa gereja-gereja 

arus utama bersama kelompok agama lain menunjukkan solidaritasnya 

kepada kelompok Muslim.57 Thomas Kent, yang saat itu editor pengawas 

standar etika AP, mengatakan bahwa institusinya memahami bahwa 

ujaran kebencian merupakan masalah khusus. “Jurnalis yang teliti tahu 

bahwa liputan terhadap ujaran kebencian seharusnya tidak hanya sekadar 

mengulang, atau mengutip kebencian yang sama dari kubu lawan,” ujarnya. 

“Liputan mereka perlu menganalisis penyebab pemicu ujaran kebencian, 

dan memeriksa kebenaran klaim-klaim kelompok pembenci. Suara-suara 

intoleran di masyarakat harus diimbangi dengan suara-suara toleran yang 

juga mungkin ada di sana.”58 Ujaran kebencian tidak selalu perlu untuk 

dilaporkan, imbuhnya. “Kantor berita kami memandang bahwa ujaran dan 

tindakan yang ditujukan untuk memprovokasi dan menghasut tidak layak 

mendapatkan liputan, dan kita tidak seharusnya menjadi corong mereka.”59

Laporan IFJ pada 2012 merekomendasikan upaya lanjutan untuk 

mengembangkan pedoman etis untuk pelaporan mengenai ras, migrasi, 

dan agama. Studi ini  menemukan bahwa contoh-contoh liputan media 

yang buruk cenderung melibatkan “pelabelan, penggunaan data secara 

selektif, menggeneralisasi insiden, stereotip negatif, liputan tak berimbang, 

cercaan, pengacauan fakta dan opini, kelalaian mengecek fakta, dan keliru 

menempatkan konten berita dengan judul, gambar, dan suara.” Sebaliknya, 

liputan yang baik memuat “pelaporan mendalam, menyediakan informasi 

yang melatarbelakangi, menjelaskan konteks hukum, menimbang dampak, 

mengangkat pihak yang tidak punya suara, menunjukkan penghormatan, 

meningkatkan kesadaran tentang keberagaman, menentang diskriminasi, 

melampaui peristiwa, dan meminimalkan bahaya.”60

Para jurnalis memang sering melanggar prinsip etis dari profesi mereka 

sendiri. Sangat diragukan apakah sebagian besar tahu mengenai pedoman 

IFJ, atau setidaknya tahu apa yang dikatakannya mengenai diskriminasi. 

Tapi intinya yaitu  pernyataan yang muncul dari dalam profesi sendiri 

ini membuka percakapan mengenai tanggung jawab etis media dalam 

menghadapi intoleransi.

Agar siap menghadapi pelintiran kebencian, jurnalisme tidak perlu 

melakukan perubahan radikal. Yang diperlukan yaitu  lebih kembali 

ke prinsip-prinsip dasar. Banyak jurnalis yang sudah menjunjung nilai 

normatif yang erat dengan perlindungan hak-hak minoritas dari dominasi 

mayoritas. Contohnya, mereka memandang bahwa profesi mereka berperan 

“menenangkan mereka yang terusik dan mengusik mereka yang tenang.” 

Kartunis pemenang Pulitzer, Gary Trudeau dan Steve Sack, mengutip 

prinsip ini untuk menjelaskan mengapa mereka tidak setuju dengan 

satir Charlie Hebdo dan Jyllands-Postend: publikasi satir ini  lebih 

“menekan” minoritas yang rentan, bukan “menggugat” yang kuat, ujar 

Trudeau.61

Jika jurnalis tidak mengerahkan upayanya untuk memerangi pelintiran 

kebencian, itu mungkin sebab  mereka tidak memahami urgensinya. 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 229

sebab  itu, tujuan utama buku ini yaitu  untuk menjelaskan duduk 

perkaranya, agar kita tahu apa yang kita hadapi saat  kita menjumpai 

hasutan dan keterhasutan bernuansa agama. Kemarahan kelompok agama 

bukanlah perilaku irasional yang dapat dijelaskan seperti reaksi kimia—

video “memicu” protes, dst.—melainkan hasil dari langkah terukur yang 

dilakukan para wirausaha politik yang identitas, motif, dan intriknya perlu 

diinvestigasi dan disingkap oleh wartawan yang gigih. Seperti jurnalis yang 

mencibir sejawatnya yang termakan pelintiran korporasi dan pemerintah, 

dan mendapatkan kepuasan saat  mengungkap kebenaran, mereka 

pun harus menanggap dekonstruksi pelintiran kebencian sebagai suatu 

kebanggaan bagi profesi mereka.

Pelintiran Kebencian Urunan

saat  media berita pertama kali bereksperimen dengan Internet pada 

akhir 1990-an, banyak jurnalis yang terpukau dengan potensinya dalam 

meningkatkan partisipasi publik dalam usaha mereka. Jurnalisme ceramah 

(searah) akan digantikan oleh jurnalisme percakapan (dua arah), ujar pionir 

jurnalisme online Dan Gillmor.62 Namun, romansa ini  dengan cepat 

menguap.63 ada  banyak sekali percakapan, namun kebanyakannya 

lebih menyerupai bar yang hampir tutup daripada cafe atau salon yang 

dibayangkan kaum demokrat. Ternyata banyak “orang-orang yang dulu 

yaitu  audiens,” seperti yang sering diacu di zaman Internet ini, merasa tak 

berkepentingan mewujudkan ruang publik digital.64 Di situs-situs berita, 

banyak komentar artikel yang bukan hanya tidak relevan, tapi juga kasar.

Sisi baiknya dari perkembangan ini: Internet telah mendorong keluar 

pandangan ini , sehingga dapat dibantah secara terbuka. Tapi 

pandangan optimistik mengenai Internet sebagai pasar ini mengasumsikan 

bahwa pembicaraan seperti itu hanya mencerminkan intoleransi yang 

sudah ada di masyarakat. Faktanya, unsur-unsur intoleran dapat sangat 

vokal secara tidak berimbang. “Kelompok yang keras, yang jumlahnya 

kecil, dikenal hiperaktif di platform digital”, ujar A.S. Panneerselvan, editor 

pembaca Hindu.65 Ketimpangan ini dapat memperburuk masalah dengan 

menarik lebih banyak pendukung yang keras. Hal ini  juga dapat 

mengikis keadaban di ruang publik, sebab  ungkapan-ungkapan kebencian 

kaum fanatik semakin dimaklumi. Ini kecenderungan yang dilihat 

Panneerselvan di India: “Unsur-unsur yang berpikiran-sempit seperti 

Bab 7230

ini, yang selama ini disamarkan oleh basa-basi, makin meningkat berkat 

anonimitas sosial media. Ini yaitu  sisi buruk yang terus membayangi.”66

Ujaran beracun dapat mencemari forum hingga tak dapat lagi mewadahi 

diskusi yang beradab, sehingga suara-suara yang lebih bertanggungjawab 

menarik diri dari percakapan. Kejadian ini mungkin merupakan hasil 

dari proses “spiral of silence” atau pusaran kebungkaman yang sudah 

banyak dikaji, di mana orang-orang menyimpan pandangannya untuk 

dirinya sendiri sebab  khawatir disisihkan oleh masyarakat mayoritas 

yang berpandangan lain—pandangan yang mungkin keliru namun terus 

menguat sebab  makin banyak orang yang memilih bungkam.67 Eksklusi-

diri ini mungkin merupakan dampak dari kekerasan langsung dan serangan 

personal, yang semakin tak tertahankan, meski hal itu datang dari segelintir 

orang saja.

Meski uraian menyeluruh mustahil dilakukan, Internet—bahkan 

bagian-bagian yang dikelola organisasi berita yang punya tanggung 

jawab sosial sekalipun—hampir pasti menguntungkan para propagandis 

kebencian, mengingat pengawasan media online lebih longgar daripada 

media cetak atau media penyiaran. Di banyak tempat, kelompok intoleran 

terang-terangan memakai  ujaran kebencian dengan strategi yang 

sengaja diatur untuk menyingkirkan para cendekiawan dan pengamat 

lain yang menentang mereka. “Trolling” semacam itu meningkatkan 

ongkos untuk berpartisipasi dalam perdebatan di dunia maya. Dampak 

yang lebih luas lagi yaitu  mengikis hak publik untuk menerima berbagai 

sudut pandang yang relevan—hak yang merupakan jantung kebebasan 

berekspresi dalam demokrasi.

Banyak jurnalis dan pengamat media kecewa sebab  prinsip partisipasi 

warganegara secara demokratis, yang mestinya difasilitasi oleh Internet, 

hanya berujung pada umpatan dan hujatan. Menurut studi terhadap 

104 organisasi berita di 63 negara yang dilakukan WANIFRA, asosiasi 

penerbit berita, para editor dipusingkan oleh bagian komentar yang 

disalahgunakan oleh pembaca, namun tidak yakin bagaimana harus 

mengatasinya. Sekitar tiga per empat situs menyediakan pedoman, dan 

sebagian besar menyebutkan bahwa ujaran kebencian tidak diperbolehkan. 

Namun, studi ini menemukan, “hanya sedikit yang mengambil langkah 

proaktif untuk mengatasinya dan sebagian besar tidak mengedukasi 

pembacanya terkait isu ini.”68 Jika diskusi cerdas di antara pembaca aktif 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 231

dapat mengangkat citra kantor berita, ujaran bodoh dan ekstrem pun 

dapat mencorengnya. Media berita, seperti halnya individu, dinilai oleh 

mitra-mitra di sekelilingnya.

sebab  itu, merupakan kepentingan pemilik dan editor forum daring 

untuk memastikan norma keadaban, meski di saat yang sama mereka 

menolak pemerintah menyensor ujaran yang ofensif. Tapi terlepas dari 

argumen kuat tentang perlunya pendekatan yang lebih aktif dalam 

mengelola forum daring, ujaran kebencian terus dibiarkan masuk dalam 

pembicaraan.

Penerbit tidak mungkin menutup komentar, sebab  keterlibatan 

pembaca yang tinggi membuat situsnya lebih menarik bagi para pengiklan. 

sebab  itu, tantangannya yaitu  untuk menerapkan kontrol editorial di 

bagian komentar. Anonimitas umumnya menjadi penyebab utama yang 

mendorong orang untuk menyampaikan pandangan yang ekstrem dan 

vulgar. Banyak situs berita kini mengharuskan adanya registrasi, meski 

tidak selalu dengan nama asli. Ini memungkinkan pengelola situs untuk 

mengunci orang-orang yang memosting komentar yang tidak pantas. 

Meski demikian, para penyebar kebencian yang nekat, registrasi dan 

moderasi hanyalah rintangan kecil yang mudah diatasi dengan membuat 

banyak akun dan banyak trik lainnya.

Pada media cetak tradisional, editor membaca setiap surat pembaca 

untuk dimuat di surat kabar; hanya dimuat jika ada persetujuan—dan 

biasanya dengan beberapa suntingan. Menurut studi WAN-IFRA, jurnalis 

tahu bahwa cara ini juga baik digunakan untuk mengelola komentar di 

media daring, namun jumlah komentar yang masuk membuat hal ini 

tidak praktis untuk dilakukan. Alih-alih melakukan “pra-moderasi”—

jargon daring untuk proses penyuntingan sebelum dipublikasi—sebagian 

besar organisasi berita memilih melakukan pasca-moderasi. Versi 

paling pasif mengandalkan pembaca untuk menandai komentar yang 

bermasalah, yang kemudian akan dicek kembali oleh editor. Sementara 

bentuk paling aktif dari pasca-moderasi yaitu  editor membaca setiap 

postingan segera setelah muncul di situs. Penulis artikel boleh jadi diminta 

untuk memposting balasan, untuk menggiring percakapan ke arah yang 

konstruktif. Banyak organisasi berita menggabungkan kedua cara ini , 

memeriksa komentar lebih dekat untuk artikel-artikel yang menyentuh 

isu sensitif atau kontroversial. Mekanisme lainnya yaitu  melimpahkan 

tugas memoderasi komentar kepada perusahaan-perusahaan pihak ketiga. 

Beberapa di antaranya menutup bagian komentar untuk artikel-artikel 

tertentu, setelah mendapati beberapa topik tertentu tidak menghasilkan 

perdebatan yang produktif sama sekali.

Kendala memoderasi bagian komentar pada media berita hanya salah 

satu bagian dari permasalahan yang lebih luas di Internet. Platform media 

sosial memunculkan serangkaian masalah lain dan logika operasinya 

agak berbeda dari media berita. Sebagaimana saya tuliskan di bab 3, 

sebagian besar platform media sosial lebih menempatkan dirinya sebagai 

sarana bersama yang pada prinsipnya menerapkan kontrol editorial yang 

seminimal mungkin pada konten yang mereka muat. Alhasil, para penyebar 

kebencian mendapat lebih banyak kebebasan di platform ini  daripada 

di situs media berita.

Konsensus yang berkembang membebaskan perantara Internet dari 

tanggung jawab hukum untuk konten yang tidak mereka produksi atau 

modifikasi. Aktivis hak digital juga menyatakan bahwa perantara Internet 

tidak memiliki tanggung jawab untuk secara proaktif memantau konten 

yang diposting di situs mereka.69 Namun, mengingat peran media sosial dan 

forum daring dalam menyebarkan ujaran anti-sosial, kebencian di dunia 

maya terus menjadi subyek penelitian dan kajian kebijakan. Peneliti tidak 

hanya menyelidiki berlimpahnya ujaran kebencian di dunia maya, namun 

juga bagaimana pesan-pesan kebencian itu diterima: apakah ia makin 

menguatkan intoleransi atau justru memancing reaksi tandingan yang 

memperkuat upaya masyarakat dalam melindungi hak-hak masyarakat 

yang rentan. Jika yang terjadi yaitu  yang kedua, menekan para penghasut 

ke bawah tanah dan memberikan rasa aman yang semu kepada masyarakat 

lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya.

Kita juga tidak cukup tahu tentang bagaimana kebencian di dunia maya 

berhubungan dengan ekosistem intoleransi yang lebih luas—apakah ia 

menjadi pemicu utama, ataukah hanya sebuah gejala. Meski kebencian di 

dunia maya lebih tampak dibanding bentuk-bentuk intoleransi lainnya, 

para pembuat kebijakan tidak boleh keliru menaksir dampaknya. Tidak 

ada bukti bahwa ujaran kebencian di dunia maya lebih kuat dibanding, 

misalnya, khotbah hasutan di masjid, seruan perang di radio Kristen, 

atau penyebaran rumor dari rumah ke rumah. Ratusan postingan Twitter 

tidak mungkin lebih berpengaruh daripada pandangan fanatik dari tokoh 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 233

agama atau politik yang dikutip mentah-mentah di surat kabar nasional 

atau saluran berita.

Meski tidak ada data dan regulasi formal, tidak ada salahnya perusahaan 

pengelola forum dan platform daring mengerahkan lebih banyak upaya 

untuk melakukan pasca-moderasi, dipandu oleh standar yang transparan 

dan sejalan dengan norma hak asasi manusia internasional. Komitmen 

mereka harus disertai dengan implementasi yang saksama—contohnya, 

dengan merekrut staf yang memadai yang memahami bahasa dan budaya 

lokal, sehingga dapat melakukan pekerjaannya secara efektif. Perantara 

Internet Barat yang beroperasi di pasar yang tidak berbahasa Inggris—

seperti Facebook di Myanmar—tidak lagi dapat berdalih terkendala oleh 

bahasa untuk memastikan standar mereka tidak dilanggar.

Respon Masyarakat Sipil

Istilah “masyarakat sipil” mengacu pada ranah yang terpisah dari negara, 

ekonomi, atau rumah tangga.70 Ia mencakup asosiasi sukarela, organisasi 

keagamaan, kelompok kebudayaan, serikat buruh, organisasi gerakan 

sosial, dan seterusnya. Ia mirip dengan yang disebut dalam diskursus 

kebijakan publik sebagai “sektor kerakyatan”, yang dipisahkan dari sektor 

publik ataupun privat. Konsep masyarakat sipil memiliki konotasi yang 

sangat normatif. Masyarakat sipil yaitu  ruang bagi masyarakat untuk 

membangun modal sosial dan untuk berpartisipasi dalam rangka mengisi 

kekurangan institusi politik formal. saat  masyarakat memerlukan 

respons bersama dalam menangani masalah besar, dan saat  negara 

dikhawatirkan akan terlalu koersif dan gegabah, masyarakat sipil seringkali 

menawarkan solusi terbaik. Begitu juga dalam soal intoleransi agama.

Tentu saja, asosiasi sukarela, lembaga keagamaan, dan sejenisnya juga 

merupakan pelaku utama pelintiran kebencian, dan tidak ada jaminan 

bahwa segmen masyarakat yang lebih beradab akan unggul. Meski 

demikian, organisasi masyarakat sipil telah merancang proyek-proyek 

paling kreatif untuk melawan ujaran kebencian dan membangun budaya 

toleransi. Berikut ini yaitu  contoh-contoh dari berbagai belahan dunia. 

Contoh-contoh ini  mencakup respons terhadap tindakan misoginis, 

rasisme, dan bentuk kebencian lainnya, sebab  taktik-taktik serupa juga 

dapat digunakan untuk melawan intoleransi agama.

Pemantauan Ujaran Kebencian dan Sistem Peringatan Dini

Meski platform media sosial memfasilitasi penyebaran ujaran kebencian, dia 

lebih mudah melakukan pengawasan daripada diskursus offline. Sejumlah 

proyek memanfaatkan fitur sosial media ini dengan melakukan pengawasan 

ujaran kebencian secara real time. saat  pemantau mendeteksi hal yang 

mengkhawatirkan, penanggap dapat melakukan tindakan. Hatebase, yang 

terbesar dari proyek-proyek ini, membuat repositori ujaran kebencian 

online yang berbasis lokasi, yang digunakan oleh berbagai lembaga untuk 

memprediksi kekerasan regional.71 Fight Against Hate menyoroti peran 

perusahaan media sosial, mengawasi bagaimana mereka merespons 

laporan mengenai ujaran kebencian. Ide utama proyek ini yaitu  untuk 

menuntut korporasi media sosial agar menangani para pelanggar aturan 

layanan mereka.72

Memobilisasi Kalangan Menengah

Perhatian terhadap kebencian di dunia maya telah memunculkan kampanye 

literasi media yang bertujuan meningkatkan kesadaran pengguna Internet 

mengenai permasalahan yang ada dan mendorong mereka untuk 

melawannya. Majelis Eropa, misalnya, menginisiasi “No Hate Speech 

Movement” (Gerakan Tolak Ujaran Kebencian) yang menyasar kaum 

muda, menyediakan sumber daya yang dapat digunakan untuk kampanye 

nasional. 73 Di Myanmar, aktivis blogger, Nay Phone Latt, meluncurkan 

kampanye “ungkapan bunga”, Panzagar, untuk mendorong pengguna 

Internet agar terlibat aktif melawan ujaran kebencian. Upaya-upaya ini  

dilakukan dengan asumsi bahwa ujaran kebencian yaitu  produk segelintir 

minoritas yang lantang, yang pengaruhnya menjadi besar sebab  diamnya 

kalangan menengah yang jumlahnya lebih banyak. Banyak orang tidak 

menyukai ujaran kebencian namun tidak tahu bagaimana meresponnya; 

kampanye-kampanye ini  memudahkan warga untuk mengungkapkan 

dukungannya terhadap toleransi, contohnya dengan mengganti foto profil 

Facebook mereka atau menandatangani petisi. Kampanye lain mendorong 

masyarakat untuk merespon ujaran kebencian melalui cara-cara yang 

beradab namun tegas, termasuk dengan melaporkan para pelaku kepada 

moderator forum dan media sosial.

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 235

Menyebut dan Mempermalukan

Menyebut dan mempermalukan pelaku pelintiran kebencian mungkin 

tidak akan mempermalukan mereka, sebab  biasanya mereka merasa 

bangga meski kalangan liberal menganggapnya memalukan. Meski 

demikian, pengungkapan para penyebar kebencian dapat menekan 

organisasi terkait untuk mencabut dukungannya. Kelompok aktivis hak 

perempuan di Inggris berhasil memakai  taktik ini untuk memaksa 

Facebook mengubah persyaratan layanan mereka setelah para aktivis 

mengungkapkan bahwa banyak iklan perusahaan muncul dengan konten 

grafis yang merendahkan perempuan.74 Di AS, pengungkapan jaringan 

Islamofobia berhasil membujuk kalangan Republikan konservatif untuk 

menjauhi retorika anti-Muslim. Hal itu juga membuat beberapa yayasan 

dan perusahaan lebih waspada agar tidak dikait-kaitkan dengan kelompok 

Islamofobia. Di Tennessee, pada tahun 2011, beberapa hotel menolak untuk 

menjadi lokasi acara anti-Muslim. Sebuah hotel di Nashville merelakan 

deposit senilai 8.000 USD dengan menolak konferensi nasional pertama 

yang menyoal “ancaman” Syariah. Meski laporan berita mengatakan bahwa 

keputusan pihak hotel didasarkan pada pertimbangan keamanan, Muslim 

di Tennesse percaya bahwa hotel ini  enggan dihubung-hubungkan 

dengan ujaran kebencian saat  tahu isi kegiatan ini .

Birokratisasi dan Profesionalisasi

Perusahaan penerbitan, museum, universitas dan perpustakaan yaitu  

beberapa target utama dari keterhasutan yang direkayasa. Para agen 

pelintiran kebencian memanfaatkan situasi di mana keputusan mengenai 

produk budaya berada pada wewenang manajer. Dalam wilayah abu-abu 

ini, para pembuat kebijakan dapat ditekan untuk tunduk kepada kepekaan 

masyarakat dan melakukan sensor-diri. Salah satu cara agar organisasi 

sasaran dapat lebih tahan terhadap kampanye seperti itu yaitu  dengan 

mendasarkan prosedur mereka kepada protokol dan pedoman yang lebih 

jelas dan transparan yang dapat dikutip manajer saat  dihujani komplain. 

Bentuk positif dari birokratisasi ini dicontohkan oleh American Library 

Association (Asosiasi Perpustakaan Amerika) yang sudah puluhan tahun 

menghadapi gugatan buku.

Asosiasi ini mendukung para pustakawannya dalam menghadapi 

komplain, termasuk komplain yang terorganisir.75 Mereka mendorong 

Bab 7236

para pustakawan agar bersiap dan mengikuti prosedur secara tepat. 

Library Bill of Rights-nya menyatakan, “Materi tidak boleh dilarang atau 

dihapuskan sebab  ketidaksetujuan berbasis doktrin dan partisan.”76 

Pernyataan umum mengenai prinsip profesi ini  dibarengi dengan 

panduan yang mendetail, yang tidak hanya menjelaskan tanggung jawab 

pustakawan, tapi juga prosedur formal dalam menghadapi komplain dan 

mengomunikasikan kebijakan perpustakaan. “Sampaikan soal kebebasan 

memilih, peran perpustakaan dalam melayani semua lapisan masyarakat, 

dan tanggung jawab orang tua untuk mengawasi bagaimana anaknya 

memanfaatkan perpustakaan,” kata pedoman ini .77

Membuyarkan Ujaran Kebencian

saat  anggota parlemen Belanda yang kontroversial, Geert Wilders, 

mengumumkan rencananya untuk merilis film tentang Islam berjudul 

Fitna, tidak diragukan lagi film ini  akan penuh dengan kebencian dan 

permusuhan. Kampanye tandingan pun mulai berlangsung, mengunggah 

ratusan video buatan sendiri ke Youtube, dan setiap videonya ditandai 

dengan “fitna” dan “wilders”. Dampak dari serbuan video ini  sama 

dengan gangguan terhadap stasiun radio: di puncak kontroversi, agak 

sulit menemukan film Wilders—yang dirilis pada akhir Maret 2008—

melalui mesin pencarian populer. Perusahaan multimedia di Amsterdam 

berada di belakang upaya warga Belanda untuk “merebut perhatian” dan 

mengutarakan apa yang mereka rasakan tentang intoleransi. “Hanya agar 

dunia (dan kita) tahu bahwa membiarkan orang bingung berbicara bukan 

berarti kita menyetujui apa yang mereka katakan. … Mari kita hilangkan 

Wilders dalam permintaan maaf kita. Jika kita bekerja keras, tidak akan 

ada yang dapat menemukan omong kosongnya di antara kegaduhan yang 

kita buat.”

Meredakan Ujaran Kebencian

sebab  kekuasaan sebagian yaitu  soal persepsi, sangat mungkin untuk 

mengurangi propaganda kebencian dengan mencibirnya. Banyak kampanye 

anti-kebencian dilakukan dalam cara ini, mengutip ekspresi kebencian, 

membumbuinya dengan humor gelap, dan melemparkannya kembali ke 

sumbernya. Salah satu contohnya datang dari India pada 2009. Anggota 

kelompok Hindu ultrakonservatif menyerang pemudi yang minum di pub; 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 237

pemimpinnya mengancam pasangan bukan suami-istri yang berkencan di 

hari Valentine. Kalangan liberal yang berang membentuk Consortium of 

Pub-Going, Loose, and Forward Women, lalu meluncurkan kampanye “pink 

chaddi”: perempuan digalang untuk mengirimkan pakaian dalam merah 

muda kepada para pemimpin kelompok Hindu ini .79 Tagar kampanye 

Twitter yang mengumpulkan tanggapan ironis terhadap prasangka buruk 

juga masuk dalam kategori yang sama. Contohnya yaitu  #MuslimRage, 

yang merespon halaman sampul Newsweek dengan judul serupa. Salah 

satu ungkapannya: “Anak Anda, si Jihad, hilang di bandara. Anda tak bisa 

berteriak memanggilnya. #MuslimRage.”80

“Muckraking”

Muckraking yaitu  tradisi pers Amerika awal abad ke-20, di mana jurnalis 

menggali skandal sebagai bagian dari upaya untuk memperjuangkan 

reformasi progresif. Kelompok anti-kebencian yang punya sumber daya 

untuk melakukan investigasi berkelanjutan, seperti Southern Poverty 

Law Center, memakai  metode ini untuk mendiskreditkan para 

pentolan ujaran kebencian. Sambil memakai  taktik yang lebih 

konvensional, SPLC menyelidiki kelompok-kelompok kebencian dan 

para pemimpinnya guna mencari celah yang dapat dieksploitasi untuk 

menciptakan perselisihan internal di antara mereka. SPLC, misalnya, 

berhasil mengekspos pemimpin kelompok anti-Semit yang terlahir 

sebagai seorang Yahudi. Mereka mengungkap pendukung supremasi kulit 

putih yang punya pacar perempuan—atau, malah, pacar laki-laki—yang 

Afrika-Amerika, yaitu  contoh-contoh pengungkapan skandal yang dapat 

memicu perpecahan kelompok-kelompok ini .81 Mencampuri urusan 

pribadi lawan mungkin terasa kurang mengenakkan. Tapi hal itu boleh 

jadi absah saat  ditujukan untuk melawan orang-orang yang menyerang 

identitas ras, agama, dan jenis kelamin warga negara lainnya, serta yang 

merasa unggul dan suci dari segi budaya.

Sanggahan terhadap Status

Sebagian besar pelaku pelintiran kebencian ingin dihormati—sumber daya 

yang dapat menyangkal mereka saat mereka terus menikmati kebebasan 

demokrasi. saat  kelompok anti-imigran Jerman, Pegida (Patriotic 

European Against the Islamization of the Occident), mengumpulkan

17.000 orang dalam konser Natal di luar Semper Opera House di Dresden 

pada Desember 2014, pihak pengelola gedung mematikan lampu untuk 

mengisyaratkan ketidaksetujuan mereka. Acara tetap berjalan, namun 

Pegida tidak mendapat latar belakang penting untuk acaranya. Pabrik 

Volkswagen di Dresden juga berubah gelap. Taktik ini digunakan di berbagai 

demonstrasi Pegida di seantero Jerman.82 Di Cologne, pengurus gereja 

mengecam pawai Pegida “tidak sejalan dengan Kristen” dan mematikan 

lampu sorot yang menerangi bagian luar Katedral Cologne, penanda yang 

paling sering dikunjungi di Jerman. Pihak berwenang juga melakukan 

hal yang sama pada Brandenburg Gate di Berlin. Lawan-lawan Pegida, 

yang tahu bahwa kebebasan berekspresi kelompok penyebar kebencian 

tidak termasuk hak untuk mendapatkan kesempatan foto dengan leluasa, 

mampu menghalangi kelompok ini  untuk menyalahgunakan lanskap 

bersejarah di Jerman.

Taktik di atas dan taktik-taktik lainnya membantu menumbuhkan 

norma penghormatan dan keadaban di ruang publik; taktik-taktik itu tidak 

mesti memadamkan ungkapan intoleran, namun mengesampingkannya. 

Tentu saja tindakan-tindakan ini  tidak bisa menggantikan hukum 

yang kuat. Mereka juga punya tendensi untuk “mengajari yang sudah 

mengerti.” Kampanye yang provokatif seperti gerakan “pink chaddi” 

dimaksudkan sebagai bentuk solidaritas untuk memperkuat kalangan 

liberal perkotaan, seraya menunjukkan bahwa suara-suara intoleran 

tidaklah mewakili segenap masyarakat. Begitu pun kampanye anti-Fitna 

yang merupakan penegasan atas kewarganegaraan liberal.83 Upaya-upaya 

ini , meski penting sebagai salah satu strategi melawan pelintiran 

kebencian, mungkin tidak mempan dilakukan terhadap kalangan 

konservatif, apalagi kalangan garis-keras. Upaya yang lebih efektif mesti 

datang dari kelompok agama yang dapat berbicara dengan bahasa yang 

sama dengan kalangan garis-keras ini .

Peran bagi Kelompok Keagamaan

Sebagian besar upaya untuk memantau dan melawan propaganda kebencian 

dipimpin oleh kelompok sekular-liberal atau organisasi yang mewakili 

kelompok agama minoritas. Tapi kelompok-kelompok ini  tidak punya 

pengaruh yang signifikan terhadap khalayak utama kelompok penyebar 

kebencian—sesama umat beragama yang cenderung konservatif. Biasanya, 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 239

para pengikut mereka sudah merasa bahwa negaranya menjadi terlalu 

sekular dan liberal, dan kedudukan agama mereka sedang terancam. Bagi 

mereka, aktivis yang mewakili kepentingan sekular atau agama lain yaitu  

simbol masalah, bukan orang-orang yang menawarkan solusi. Mereka lebih 

mendengarkan kelompok-kelompok agama yang sama dengan mereka.

Hal ini mungkin menjadi faktor utama yang menjelaskan mengapa 

Hindu sayap-kanan di India lebih sukses mendorong India ke arah politik 

yang eksklusioner dan intoleran, dibandingkan kelompok Kristen sayap-

kanan dan Muslim sayap-kanan di AS dan Indonesia. Meski sebagian 

besar orang yang menentang gerakan Hindutva yaitu  orang Hindu, dan 

meski banyak organisasi Hindu bukan bagian dari Sangh Parivar, India 

kurang punya gerakan Hindu nasional yang dapat menandingi kekuatan 

mobilisasi Sangh Parivar. Artinya, Sangh Parivar berhasil menampilkan 

dirinya sebagai satu-satunya sarana yang mampu mengartikulasikan, 

menyalurkan, d