erada di daftar teratas, menyiarkan
ancaman bahaya kepada sekitar 40 juta warga Amerika setiap bulannya.18
Jaringan ini tidak hanya condong ke kanan dalam pandangan dan
tafsirannya. Lebih dari itu, mereka juga mengemukakan kebohongan yang
menarik kalangan konservatif, Kristen, Republikan, dan generasi yang
lebih tua.19 Dampaknya yaitu “Efek Fox News” yang banyak dibicarakan:
dibandingkan masyarakat pada umumnya, penonton setia Fox News lebih
mudah menyalahpahami fakta-fakta seputar isu-isu yang diperdebatkan.
Penonton Fox, misalnya, lebih mudah percaya terhadap rumor palsu
tentang “masjid Ground Zero” dibandingkan masyarakat pada umumnya.20
Survei Public Religion Research Institute di awal 2011 menemukan bahwa
sepertiga penonton Fox News mengaku percaya bahwa Muslim Amerika
ingin menegakkan Syariah di AS, sementara kurang dari 10 persen saja
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 217
responden penonton televisi publik yang menjawab demikian.21
Satiris Stephen Colbert menggambarkan gaya berita Fox dalam
neologismenya, “truthiness” (kebenaran semu)—mencerminkan daya
tarik pernyataan yang terasa benar untuk khalayak tertentu, meski hal
ini tidaklah benar.22 Tinjauan Colbert, bahwa beberapa orang lebih
memilih pesan yang “seakan benar” daripada apa yang secara aktual benar,
didukung oleh penelitian para ahli perilaku yang menyebutnya sebagai
“bias konfirmasi” atau “bias keserasian.”23 Dalam tinjauannya terhadap
literatur ini, Christoper Mooney menyarankan agar Fox mengurangi
informasi buatan untuk menarik khalayak yang ingin mempertahankan
pandangan mereka sebelumnya yang mereka pikir sedang terancam.24
Penelitian serupa jarang ditemui di negara lainnya, namun pola AS dapat
digeneralisasi; di masyarakat di mana kalangan konservatif merasa bahwa
nilai sosial sedang terkikis, ada permintaan pasar untuk media berita yang
memprioritaskan afirmasi daripada akurasi. Hal ini dapat menjadi saluran
misinformasi dari pelintiran kebencian.
Jaringan Islamofobia Amerika juga dapat mengandalkan Christian
Broadcasting Network (Jaringan Penyiaran Kristen), yang menjangkau
khalayak yang lebih sedikit, namun terkadang menyiarkan program
yang lebih ekstrem pandangannya, kepada audiens yang lebih fanatik.
Pembawa acara talkshow sindikasi paling populer di AS—Rush Limbaugh,
Sean Hannity, Mike Savage, Glenn Beck, dan Mark Levin—semuanya
mengaitkan pesan konservatif mereka dengan propaganda anti-Muslim.25
Di negara lain, pelintiran kebencian diperkuat oleh beragam media yang
berideologi sama. Di Indonesia, majalah Sabili menjadi platform bagi para
penulis Islam radikal untuk menyebarkan pandangan intoleran. Majalah
ini sangat populer di Indonesia sebelum akhirnya memudar sejak 2005.
Media Dakwah, majalah Dewan Dakwah Islam Indonesia yang konservatif,
menentang sekularisme, menuding tokoh liberal sebagai agen AS dan Israel,
serta menyebarkan paranoia bahwa Islam di Indonesia sedang dikepung
Kristen.26 Voice of Al-Islam, sebuah website yang dibuat kelompok militan
yang dilatih oleh para jihadis yang keras, yaitu aktor utama dibalik hasutan
kebencian terhadap aktivitas misi Kristen di Bekasi.27 Kelompok militan
ekstremis Laskar Jihad, yang aktif pada awal 2000-an, mengembangkan
berbagai platform media—termasuk website, media cetak, dan program
radio—yang menyerukan jihad melawan penganut Kristen.28
Bab 7218
Media Layanan Publik
Demokrasi memberi peluang bagi media yang mengusung tujuan dan
kepentingan sempit, bahkan yang tampak sangat buruk dan destruktif.
Efek sentrifugal dari media semacam itu perlu ditanggulangi oleh pihak
lain dengan mandat dan sumber daya untuk membela kepentingan publik
yang lebih besar. Meski banyak organisasi berita mengaku menjunjung misi
ini secara sukarela, pertanyaannya apakah mereka mesti mendapat
pengawasan eksternal. Sejak munculnya radio dan televisi, kearifan lama
di negara-negara demokrasi yaitu bahwa pengaturan muatan penyiaran
tidak sesuai dengan prinsip kebebasan media. Penggunaan gelombang
publik yang terbatas membenarkan peran badan publik seperti Federal
Communication Commission (Komisi Komunikasi Federal) di AS
dan Ofcom di Inggris. sebab itu, dalam sektor ini, masuk akal untuk
mengharapkan otoritas pemberi izin mencabut atau membekukan izin
penyiaran stasiun yang mempromosikan kebencian—sekalipun tidak
sampai ke hasutan kekerasan dan genosida.
Sebagian besar negara demokrasi di Barat telah memakai
konsep penyiaran publik atau public service broadcasters. Lembaga-
lembaga ini, dicontohkan oleh BBC, didanai publik namun terpisah
dari campur tangan pemerintah. Mereka biasanya diberi tanggung
jawab yang jelas untuk menjadi ruang terpercaya bagi konsiliasi dan
dialog lintas-budaya dan ideologi.29 Anggaran Dasar ABC (Australian
Broadcasting Corporation), misalnya, mewajibkan layanannya untuk
mempertimbangkan “karakter multikultural dari masyarakat Australia.”30
Sejalan dengan ini, standar editorialnya mewajibkan program-programnya
untuk menyajikan “perspektif beragam sehingga, dalam prosesnya, tidak
ada aliran kepercayaan atau pemikiran di masyarakat yang tersisih atau
terpinggirkan.”31 Terbebas dari godaan elite politik atau opini publik,
penyiaran publik mungkin lebih baik dibanding media komersial dalam
melindungi multikulturalisme dari gelombang intoleransi.
Sayangnya, sektor penyiaran publik terus melemah. Meski perannya
sebagai konsiliator makin penting, peluang kebijakan untuk membangun
penyiaran publik yang kuat telah lama berlalu. Hampir seluruh penyiaran
publik independen di dunia dikembangkan di negara-negara demokrasi
liberal pada paruh pertama abad ke-20, saat ada konsensus elite
bahwa kekuatan teknologi radio dan televisi harus digunakan untuk
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 219
kesejahteraan sosial namun tetap terbebas dari kontrol pemerintah.
Beberapa dekade kemudian, kabel, satelit, dan teknologi Internet
mengakhiri era kelangkaan bandwidth, dan bersama dengan itu juga
argumen ekonomi dari pendekatan non-pasar dalam kebijakan penyiaran
nasional. Mencuatnya ideologi neo-liberal juga makin melemahkan prinsip
media publik yang kuat.
sebab itu, banyak negara yang membuka kompetisi industri
penyiarannya sejak tahun 1990-an tidak berupaya membangun penyiaran
publik yang kuat. India, Rusia, dan Malaysia mempertahankan penyiaran
pemerintah bersama dengan saluran komersialnya. Indonesia dan
Afrika selatan berusaha mengubah penyiaran milik pemerintah menjadi
penyiaran publik independen sebagai bagian dari reformasi demokrasi,
namun prosesnya lamban. Filipina, mengikuti contoh AS, melepaskan
televisi seluruhnya ke tangan pemilik swasta. sebab itu, di banyak negara,
tugas melawan kebencian tidak dibebankan ke sektor publik melainkan
kepada jurnalis profesional yang bekerja di organisasi berita komersial.
Menumpulkan Kemerdekaan Jurnalistik
Tidak seperti penyiaran publik, media berita komersial jarang memiliki
misi perusahaan yang secara eksplisit mendorong toleransi. saat editor
ingin membela kelompok minoritas yang rentan dan mengungkap
intrik politik di balik pelintiran kebencian, mereka dapat terhalangi oleh
kepentingan perusahaan. Di India, upaya gigih para jurnalis investigatif
dan aktivis hak asasi manusia telah mengumpulkan bukti-bukti yang
menunjukkan keterlibatan Narendra Modi dalam kerusuhan di Gujarat
pada 2002. Namun, saat Modi naik lewat BJP, media arus utama di India
tidak bersikap seperti biasanya dalam mengkritik penguasa. Bisnis yang
menguasai hampir seluruh surat kabar nasional dan stasiun berita televisi
melihat kepemimpinan Modi sebagai jawaban atas krisis ekonomi di
India. “Sebelum 2009-2010, tidak ada seorang pun yang membicarakannya
(Narendra Modi) sebagai kandidat nasional,” ujar Siddharth Vardarajan,
mantan editor Hindu. “Tiba-tiba Modi muncul sebagai pusat dari komunitas
bisnis; dan media muncul sebagai pemandu sorak.”32
Permasalahan ini melampaui soal ekonomi politik media—bukan
hanya soal pebisnis serakah yang berusaha melindungi pundi penghasilan
mereka. Jurnalis dan organisasi media perlu membangun hubungan saling
Bab 7220
percaya dengan masyarakat dengan membela mereka serta mewakili nilai
dan kepentingan mereka. Mereka dapat menghimpun basis massa yang
loyal saat mereka berani mengungkap politisi dan pebisnis korup atas
nama masyarakat, atau saat mereka memainkan peran utama dalam
revolusi atau gerakan kemerdekaan. Akan tetapi, dalam kasus-kasus yang
menyangkut hak kaum minoritas, jurnalisme pengawas perlu mengarahkan
sorotannya kepada kelompok yang dianggap masyarakat umum. Sifat-sifat
yang dihargai publik—independensi dan keberanian moral dalam membela
mereka yang lemah—menjadi dibenci jika berbalik diarahkan ke kelompok
mayoritas itu sendiri. Namun, itulah yang dibutuhkan demokrasi majemuk
dari pers saat kekuatan dominan mengancam hak asasi kelompok agama
minoritas, imigran, dan kelompok tak berdaya lainnya.
Dilema ini menjelaskan respon diamnya pers Indonesia terkait
fenomena kekerasan terhadap minoritas Ahmadiyah dan Syiah. Media
berita—sebagaimana politisi—takut dicap anti-Islam, yang nyatanya bisa
terjadi sebab terlalu kritis pada kalangan garis-keras. Kompas, surat kabar
terbesar di Indonesia, terutama sangat alergi terhadap risiko ini, sebab
didirikan oleh orang Katolik. Editor yang bijak akan mengakui bahwa
publik pun dapat mengancam kebebasan dan demokrasi seperti halnya
pemerintah dan pebisnis. Namun, dilema ini jarang dibahas dalam diskusi-
diskusi profesional atau akademik mengenai jurnalisme dan demokrasi,
yang cenderung menilai bahwa pendapat mayoritas lebih dapat dipercaya
daripada bukti-bukti yang ada. Meski nilai-nilai seorang individu jurnalis
dapat menjadikan mereka pembela hak minoritas, sebagian besar tidak
dapat menyimpang jauh dari budaya dan norma masyarakat mereka.
sebab itulah survei di Indonesia mengungkap pandangan di kalangan
jurnalis yang mencerminkan sikap di level nasional: mereka resisten
terhadap segala bentuk hubungan antara agama dan kekuasaan politik,
namun simpatik terhadap argumen agama yang membenarkan diskriminasi
terhadap kaum minoritas. Meski lebih dari empat per lima jurnalis yang
disurvei tidak setuju pemimpin agama memengaruhi pemungutan suara,
hampir dua per tiga mendukung pelarangan terhadap Ahmadiyah.33
Di AS—yang persnya lebih banyak dikaji dibanding negara-negara
lainnya—studi klasik seorang ahli sosiologi Herbert Gans melihat
bahwa media elite Amerika menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu,
seperti moderatisme dan bentuk demokrasi publik.34 Nilai ini dapat
mendorong jurnalis Amerika untuk membela hak minoritas dari intoleransi
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 221
Partai Teh dan suara-suara ekstrem lainnya. Pada saat bersamaan, Gans
menemukan etnosentrisme Amerika yang pertama juga menjadi nilai
utama pers, khususnya saat ada kisah yang berdimensi internasional.
Serangkaian bentrokan militer antara AS dengan negara-negara mayoritas
Muslim selama beberapa dekade terakhir ini mempersulit para jurnalisnya
untuk menganggap Muslim Amerika sebagai kelompok minoritas belaka.
Dan hal itu berada di atas prasangka historis yang dianalisis oleh Edward
Said dalam Orientalism dan Covering Islam.35 Etnosentrisme kadang
masuk ke dalam naskah jurnalis arus utama yang terkemuka. Di tengah
kontroversi Park51 pada 2010, kolumnis sindikasi New York Times Thomas
Friedman menyampaikan pembelaan yang kuat terhadap proyek ini ,
menyebutnya sebagai bukti inklusi dan keterbukaan yang menjadikan AS
menarik bagi siapa pun yang ingin hidup di lingkungan yang inventif dan
kreatif. Kolom ini dikecam banyak pemrotes—namun juga tidak
terbebas dari bias akibat kontroversi yang berlangsung. Friedman menyoal
itikad Imam Feisal Abdul Rauf, seorang warga AS, untuk memakai
bangunan ini untuk “menjembatani dan memperbaiki perpecahan”
antara Muslim dan kelompok masyarakat lainnya. “Secara pribadi, jika
saya punya 100 USD untuk membangun masjid yang mempromosikan
toleransi antar-agama, saya tidak akan membangunnya di Manhattan. Saya
akan membangunnya di Arab Saudi atau Pakistan,” ujar Friedman. “Anda
dapat mempelajari Islam di hampir setiap universitas di Amerika, tapi
Anda bahkan tidak dapat membangun gereja sederhana di Arab Saudi.”36
Jika Friedman konsisten dalam penalaran moralnya—bahwa kewajiban
global lebih utama daripada kewajiban nasional—dia mestinya dapat
menyeru koleganya di New York Times untuk berhenti mengkritisi
disfungsi Amerika Serikat dan agar fokus kepada negara-negara yang lebih
memerlukan berita-berita yang layak cetak. Alhasil, dia memperlakukan
sang imam sebagai anggota dunia Muslim terlebih dahulu, baru kemudian
sebagai warga Amerika (kalau memang demikian). Ini tidak dapat diterima
jika diterapkan kepada seluruh kelompok lain di AS. Friedman dengan
demikian terbawa dan mendaur ulang standar ganda yang sama mengenai
identitas Muslim yang mendasari Islamofobia.
Mengeksploitasi Penilaian Berita
Meski punya itikad baik, jurnalis kadang mendapati hasil pekerjaannya
Bab 7222
dieksploitasi oleh agen pelintiran kebencian. Ahli sosiologi media menilai
media berita tidak punya pilihan selain merutinkan operasi mereka jika
ingin menerbitkan surat kabar atau buletin berita dalam tenggat waktu
yang ketat. Proses yang standar seringkali menjadi ritualistik, menjauhkan
refleksi diri yang kritis. Hal paling penting dan universal dari rutinitas ini
yaitu penilaian berita—aturan praktis yang digunakan jurnalis di seluruh
dunia untuk memutuskan sudut pandang mana yang paling menarik
bagi khalayak. Dengan demikian, lensa berita menyorot kejadian yang
memiliki dampak, memuat konflik, tidak biasa, aktual, dan dekat. Lebih
membantu jika yang terlibat yaitu nama-nama terkemuka, atau jika
kisah di dalamnya melibatkan emosi atau aspek “human interest.” Kriteria
“nilai berita” ini telah terkodifikasi dalam buku ajar jurnalisme, namun
para ahli antropologi menilai hal ini boleh jadi telah tertanam dalam diri
manusia sejak era prasejarah, sebagai cara cepat dalam meninjau ancaman
dan peluang di lingkungan sekitar.37 Jika demikian tentunya luar biasa
sebab hal itu melampaui perbedaan budaya di antara masyarakat: saat
diberi kebebasan untuk memilih, wartawan di mana-mana mengacu pada
kriteria ini untuk memperkirakan apakah masyarakat akan tertarik
pada cerita mereka.
Ketentuan itu bukan lagi rahasia. Ia telah dipelajari dan diterapkan
oleh industri hubungan masyarakat untuk merancang pesan promosi
agar mirip dengan “berita”. Inilah yang disebut dalam perniagaan sebagai
“earned media”—publisitas yang dianggap jurnalis “patut diberitakan”,
berlawanan dengan iklan berbayar atau penggunaan saluran komunikasi
pribadi. Pada pasar yang lebih maju ekonominya, karyawan hubungan
masyarakat umumnya melebihi jumlah wartawan, artinya lebih banyak jam
kerja dihabiskan untuk menyusun pesan klien—daripada mendekonstruksi
dan mengecek faktanya untuk publik, sebagaimana dilaporkan Nick
Davis, jurnalis Guardian yang terdokumentasikan dalam Flat Earth News,
mengenai kritiknya yang sangat mengena tentang pers Inggris.38 Manipulasi
ini tidak seluruhnya buruk. Jika krisis kemanusiaan tidak dianggap layak
diberitakan di negara-negara kaya sebab jauh dan melelahkan, maka wajar
jika sebuah lembaga bantuan internasional melibatkan bintang Hollywood
untuk menjadi duta amal yang menarik perhatian. Begitu pula, pemerintah
lokal yang punya cara kreatif mendapatkan liputan utama cuma-cuma
untuk kampanye pendidikan kesehatan yang membosankan mungkin layak
mendapatkan pujian sebab bisa efisien dalam memakai anggaran
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 223
publikasi. Ruang berita yang dikejar waktu biasanya memang senang jika
ada peristiwa media dan handout yang sudah siap, sebab mereka tak
perlu lagi mencari-cari sudut pandang berita. Meski citra profesi jurnalis
biasanya sangat skeptis terhadap sumber-sumber yang terlalu bersemangat,
pada praktiknya pers memiliki hubungan simbiosis dengan hubungan
masyarakat.
Pelintiran kebencian, sebagaimana humas, telah memecahkan
ketentuan berita dan belajar cara mengeksploitasi rutinitas media. Para
penyebar kebencian merancang acara semu untuk media yang menarik
lebih banyak perhatian pers dari yang seharusnya. Pertunjukan hasutan
dan keterhasutan dikoreografikan dengan nilai berita; menjadi krisis publik
yang “dimediasi”.39 Massa yang rusuh atau kekerasan ekstrem dengan
mudah memenuhi kriteria berita yang tidak biasa. Bobotnya dapat digenjot
dengan membakar simbol-simbol yang dikenali secara global seperti
patung presiden AS, bendera AS, atau kitab suci, atau dengan mengecam
nama besar seperti Google. saat meliput agama, penilaian berita yang
tidak kritis membuat kelompok ekstrem dan juru bicaranya mendapatkan
publisitas yang lebih banyak daripada mayoritas penganut agama yang
lainnya. Melalui lensa rutinitas media yang terdistorsi, segelintir pemain
dapat memiliki tingkat kehadiran yang tinggi di benak masyarakat.
Terry Jones, pendeta Florida yang dulu tidak dikenal, memahami logika
ini dengan baik. Pada 2010, dia mendeklarasikan Hari Bakar Alquran
Internasional, bertepatan dengan peringatan serangan teror 11 September
2001 di AS. Pertama-tama media nasional, lalu media internasional meliput
kisahnya, mengangkat sosok pinggiran yang tak berpengaruh menjadi ikon
anti-Muslim global. Dia tidak berhasil mengumpulkan dukungan untuk
aksinya—dan dia sendiri tidak melaksanakannya pada tahun itu, setelah
pemerintah Obama menentangnya. Namun saat itu, dia tidak pernah
berencana mengurangi jumlah Alquran yang beredar sampai dua ratus.
Hal itu ditujukan untuk memancing reaksi. “Kami melampaui tujuan kami;
kami tidak pernah membayangkan akan mendapatkan perhatian media
seperti ini,” katanya kepada BBC. “Meski kami tidak membakar Alquran,
tapi ada banyak kekerasan yang membuktikan pendapat kami.”40
Kasus Terry Jones yaitu salah satu dari banyak contoh tentang
bagaimana kejadian sensasional—yang tidak biasa dan tiba-tiba—melejit
ke puncak agenda media berkat acuan yang ritualistik pada ketentuan nilai
Bab 7224
berita. Media AS membiarkan ini terjadi meski tahu betul bahwa Jones
tidak merepresentasikan penganut Kristen di Amerika, dan tindakannya
yang penuh kebencian ini tidak akan menjadi kecenderungan. Pada
kasus seperti itu, para jurnalis membenarkan pelaporan mengenai
pandangan meragukan itu dengan ritual profesional lainnya yang sama-
sama mengakar—yaitu obyektivitas. Sebagai batu ujian sakral bagi banyak
jurnalis, obyektivitas memiliki aspek positif. Prinsip ini mendesak
mereka untuk tetap berjarak, mempertimbangkan seluruh perspektif yang
relevan, dan membangun ceritanya berdasarkan bukti-bukti empiris. Di
era saat media merupakan institusi yang kuat, obyektivitas yaitu salah
satu alat kendali agar dia tidak menyalahgunakan kekuatannya itu. Akan
tetapi, seperti penilaian berita, obyektivitas seringkali diterapkan sebagai
jalan pintas. Tidak adanya waktu untuk menilai kebenaran dan nilai dari
klaim-klaim yang saling bertentangan, reporter yang “obyektif ” puas
dengan hanya mengutip tokoh berwenang, dan agar seimbang, juga lawan
utamanya.41 Hasilnya yaitu stenografi “dia berkata begini dan begitu” yang
gagal mencerahkan publik. Penerapan obyektivitas secara ritualistik dapat
berdampak pada pemberian bobot yang tidak semestinya pada perspektif
yang ekstrem, terlepas dari nilai yang dikandungnya.42
Beberapa hari sebelum acara pembakaran Alquran, ahli etika dari
Poynter Institute, Kelly McBride, bertanya apakah media telah keliru
dengan memberikan perhatian terhadap kejadian ini . Editor harus
berpikir hati-hati mengenai bahaya yang dapat mereka timbulkan dengan
memperkuat tindakan yang ditujukan untuk memunculkan konflik,
ujarnya.43 Begitu juga, dalam laporannya ke Majelis Umum PBB pada
2012, Frank La Rue mengutip episode ini sebagai contoh agar media lebih
berhati-hati dalam memberitakan para ekstremis.44 Meski demikian, lebih
mudah menyeru agar berhati-hati daripada merinci seperti apa laporan
yang berhati-hati atas kejadian itu. Menekan berita seluruhnya mungkin
juga bukan pilihan yang paling bijak. Seandainya media AS tidak meliput
Terry Jones, kalangan Muslim boleh jadi keberatan: kesannya media AS
lebih senang menyoroti kasus-kasus intoleransi Muslim, tapi menutup-
nutupi ekstremis Kristen. Jurnalis punya tugas untuk mendokumentasikan
sudut pandang ofensif, kata McBride: “saat kita mengabaikan aksi-aksi
kebencian, kita tidak punya kesempatan untuk bereaksi mengecamnya,
atau untuk menyuarakan sistem kepercayaan yang berbeda.”
Mark Potok, mantan jurnalis investigasi di Southern Poverty Law
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 225
Center yang saya bahas di bab 6, menyampaikan perlunya menundukkan
ekstremis dengan publisitas. Dia memperhatikan bahwa media mengadopsi
strategi “karantina” yang berlawanan pada 1960-an, menentang Partai Nazi
Amerika. Lembaga-lembaga Yahudi meminta organisasi media agar tidak
meliput kalangan fasis. Hal ini mungkin dapat dilakukan saat berita
dikendalikan oleh segelintir pengawas, tapi dia kemudian gagal: Partai
Nazi meningkatkan upayanya dalam menarik perhatian dengan tindakan
yang semakin keterlaluan dan semakin sulit diabaikan.45 Bagi Potok,
jawaban terbaik atas dilema ini yaitu dengan melakukan lebih banyak
investigasi—dan bukan hanya liputan “bodoh”—mengenai kelompok
intoleran. Sayangnya, di masa saat anggaran pelaporan independen
banyak dipotong di AS dan tidak ikut tumbuh bahkan di pasar media yang
tengah berkembang, banyak agen pelintiran kebencian yang membonceng
media berita.
Respons Etis
Dilema jurnalistik yang diulas di atas tidak dimaksudkan untuk
mengecilkan hati pembaca. Media yang punya tanggung jawab sosial bisa—
dan sudah—mengambil langkah untuk memastikan agar mereka tidak
diperalat oleh agen pelintiran kebencian. Sekalipun jika mereka tidak dapat
menyelesaikan masalah, mereka setidaknya dapat menghindari hal-hal
yang dapat memperburuknya. Minimal, mereka tidak memberi panggung
kepada kolumnis yang memiliki gelagat sebagai pemimpin opini kelompok
intoleran—kecenderungan yang sangat jelas terasa di Turki, misalnya.46
Sebagian besar ketentuan dan regulasi internal industri ini—seperti dewan
pers independen, telah mendorong penghormatan pada keberagaman.
Sebagian besar merekomendasikan untuk membangun ruang berita yang
beragam dan representatif agar editor peka terhadap bias dan titik-titik
gelap yang sering mengakibatkan liputan yang tidak berimbang mengenai
isu minoritas. Mereka juga mewanti-wanti soal stereotip. Satu dari sembilan
pedoman International Federation of Journalists (IFJ, Federasi Jurnalis
Internasional) menyangkut soal diskriminasi: “Jurnalis harus waspada
untuk tidak memperparah bahaya diskriminasi, dan harus melakukan
yang terbaik untuk tidak memfasilitasi diskriminasi berdasarkan ras, jenis
kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik atau yang
lainnya, serta latar belakang nasional ataupun sosial.”47 Begitu juga dengan
Bab 7226
pedoman US Society of Professional Journalitsts yang menyebutkan bahwa
jurnalis harus “meninjau nilai budayanya sendiri dan tidak memaksakan
nilai-nilai ini kepada orang lain” serta “menghindari stereotip
berdasarkan ras, gender, usia, agama, etnisitas, geografi, orientasi seksual,
disabilitas, bentuk fisik dan status sosial.”48
Pedoman profesi juga mendesak media untuk menerapkan standar
kelayakan berita dan obyektivitas secara lebih bijaksana. Committee
of Concerned Journalists (Komite Jurnalis Peduli) menyatakan bahwa
jurnalisme “harus menjaga berita agar tetap komprehensif dan profesional”;
mereka harus menghindari “membesar-besarkan kejadian demi sensasi,
mengabaikan yang lain, memberikan stereotip, atau bersikap negatif.”49
BBC maupun Reuters, yang terbiasa bekerja melintasi batas budaya,
menginstruksikan wartawannya bahwa peliputan yang berimbang bukan
berarti memberi ruang yang sama bagi kelompok pinggiran.50 Alih-alih,
BBC meminta wartawannya untuk memberikan “bobot yang sesuai.”
Beberapa organisasi mengembangkan panduan dan program pelatihan
yang khusus menyoroti peliputan agama.51 Mereka mendorong jurnalis
untuk melaporkan intoleransi dalam konteks. Sebagai contoh, uraian tidak
boleh keliru menggambarkan seorang pengkhotbah ekstrim sebagai juru
bicara umatnya secara keseluruhan, dan harus memuat sanggahan dari
tokoh-tokoh arus utama yang lain.
Agenda reformasi yang lebih ambisius diusung oleh para pegiat
“jurnalisme damai”, sebuah gerakan yang berupaya mengembangkan
potensi positif media dalam resolusi konflik dan bina-damai. Pelatihan
jurnalisme damai mengasah kepekaan para pekerja media terhadap
penggunaan framing yang sebagian besar dilakukan tanpa sadar—
yang mau tak mau memilih detail dan konteks dalam uraiannya, yang
memengaruhi bagaimana pandangan khalayak mengenai peristiwa yang
dilaporkan. Konflik, misalnya, biasanya dilaporkan melalui “kerangka
perang”, yang fokus pada pertempuran, kekerasan, dan siapa yang menang
dan kalah—tak jauh beda dengan jurnalisme olahraga. “Kerangka damai”
yang direkomendasikan lebih menyoroti korban-korban konflik bersenjata
dan mendorong resolusi konflik dan rekonsiliasi. Liputan kesehatan
memberikan template-nya, sebab tidak hanya menyoroti upaya melawan
penyakit tertentu, namun juga mengedukasi publik mengenai akar masalah
serta langkah-langkah pengobatan dan penanggulangannya.52 Pendekatan
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 227
jurnalisme damai dapat membendung dampak pelintiran kebencian
dengan membangun ketahanan publik terhadap pesan-pesan yang sarat
dengan intoleransi dan perpecahan.
Salah satu contoh yang baik dari proyek jurnalisme damai datang dari
Ambon, Indonesia, di mana konflik Muslim-Kristen memaksa dua surat
kabar untuk mewakili kedua kubu untuk membuat ruang bersama dalam
rangka rekonsiliasi.53 Contoh lainnya yaitu Irlandia Utara pada akhir
1990-an. Sebelumnya, Catholic Irish News yang nasionalis dan Protestant
News Letter yang condong ke serikat pekerja meliput parade tahunan yang
sarat pertentangan “seperti politisi dengan aneka ragam retorikanya, serta
siasatnya dalam membingkai argumen tertentu.”54 Pada 1997 dan 1998, surat
kabar ini mengambil langkah rekonsiliasi untuk meredakan konflik
seputar parade ini . Akan tetapi, berita-berita di surat kabar yang
sama itu pun kembali pada kerangka partisannya yang lama, menunjukkan
betapa melekatnya kebiasaan ini. Selain itu, jurnalisme damai dapat
berjalan hanya jika elite lain di masyarakat condong juga kepada resolusi
konflik, sebagaimana kasus Ambon. Media arus utama—apalagi, media
partisan—tidak cukup kuat membuka jalan menuju rekonsiliasi.55
Jurnalisme damai dapat dilihat sebagai bagian dari aliran jurnalisme
“intervensionis”, yang menggugat norma dominan tentang jurnalis sebagai
pengamat yang netral dan berjarak.56 sebab nya, aliran ini memiliki sedikit
pengikut. Penekanan jurnalisme damai untuk menurunkan nilai berita
konflik juga membatasi daya tariknya. Tapi ini bukan berarti para pekerja
media berita tidak tertarik atau tidak mampu menaikkan standar etikanya.
Pada kasus Terry Jones, beberapa organisasi berita sudah melakukan
hal yang benar. Contohnya, laporan Associated Press (AP) menekankan
bahwa Jones yaitu pemimpin sejumlah kecil jemaat, dan masyarakat
setempat memandangnya sebagai “tokoh pinggiran yang tidak pantas
mendapatkan perhatian khusus.” AP juga melaporkan bahwa gereja-gereja
arus utama bersama kelompok agama lain menunjukkan solidaritasnya
kepada kelompok Muslim.57 Thomas Kent, yang saat itu editor pengawas
standar etika AP, mengatakan bahwa institusinya memahami bahwa
ujaran kebencian merupakan masalah khusus. “Jurnalis yang teliti tahu
bahwa liputan terhadap ujaran kebencian seharusnya tidak hanya sekadar
mengulang, atau mengutip kebencian yang sama dari kubu lawan,” ujarnya.
“Liputan mereka perlu menganalisis penyebab pemicu ujaran kebencian,
dan memeriksa kebenaran klaim-klaim kelompok pembenci. Suara-suara
intoleran di masyarakat harus diimbangi dengan suara-suara toleran yang
juga mungkin ada di sana.”58 Ujaran kebencian tidak selalu perlu untuk
dilaporkan, imbuhnya. “Kantor berita kami memandang bahwa ujaran dan
tindakan yang ditujukan untuk memprovokasi dan menghasut tidak layak
mendapatkan liputan, dan kita tidak seharusnya menjadi corong mereka.”59
Laporan IFJ pada 2012 merekomendasikan upaya lanjutan untuk
mengembangkan pedoman etis untuk pelaporan mengenai ras, migrasi,
dan agama. Studi ini menemukan bahwa contoh-contoh liputan media
yang buruk cenderung melibatkan “pelabelan, penggunaan data secara
selektif, menggeneralisasi insiden, stereotip negatif, liputan tak berimbang,
cercaan, pengacauan fakta dan opini, kelalaian mengecek fakta, dan keliru
menempatkan konten berita dengan judul, gambar, dan suara.” Sebaliknya,
liputan yang baik memuat “pelaporan mendalam, menyediakan informasi
yang melatarbelakangi, menjelaskan konteks hukum, menimbang dampak,
mengangkat pihak yang tidak punya suara, menunjukkan penghormatan,
meningkatkan kesadaran tentang keberagaman, menentang diskriminasi,
melampaui peristiwa, dan meminimalkan bahaya.”60
Para jurnalis memang sering melanggar prinsip etis dari profesi mereka
sendiri. Sangat diragukan apakah sebagian besar tahu mengenai pedoman
IFJ, atau setidaknya tahu apa yang dikatakannya mengenai diskriminasi.
Tapi intinya yaitu pernyataan yang muncul dari dalam profesi sendiri
ini membuka percakapan mengenai tanggung jawab etis media dalam
menghadapi intoleransi.
Agar siap menghadapi pelintiran kebencian, jurnalisme tidak perlu
melakukan perubahan radikal. Yang diperlukan yaitu lebih kembali
ke prinsip-prinsip dasar. Banyak jurnalis yang sudah menjunjung nilai
normatif yang erat dengan perlindungan hak-hak minoritas dari dominasi
mayoritas. Contohnya, mereka memandang bahwa profesi mereka berperan
“menenangkan mereka yang terusik dan mengusik mereka yang tenang.”
Kartunis pemenang Pulitzer, Gary Trudeau dan Steve Sack, mengutip
prinsip ini untuk menjelaskan mengapa mereka tidak setuju dengan
satir Charlie Hebdo dan Jyllands-Postend: publikasi satir ini lebih
“menekan” minoritas yang rentan, bukan “menggugat” yang kuat, ujar
Trudeau.61
Jika jurnalis tidak mengerahkan upayanya untuk memerangi pelintiran
kebencian, itu mungkin sebab mereka tidak memahami urgensinya.
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 229
sebab itu, tujuan utama buku ini yaitu untuk menjelaskan duduk
perkaranya, agar kita tahu apa yang kita hadapi saat kita menjumpai
hasutan dan keterhasutan bernuansa agama. Kemarahan kelompok agama
bukanlah perilaku irasional yang dapat dijelaskan seperti reaksi kimia—
video “memicu” protes, dst.—melainkan hasil dari langkah terukur yang
dilakukan para wirausaha politik yang identitas, motif, dan intriknya perlu
diinvestigasi dan disingkap oleh wartawan yang gigih. Seperti jurnalis yang
mencibir sejawatnya yang termakan pelintiran korporasi dan pemerintah,
dan mendapatkan kepuasan saat mengungkap kebenaran, mereka
pun harus menanggap dekonstruksi pelintiran kebencian sebagai suatu
kebanggaan bagi profesi mereka.
Pelintiran Kebencian Urunan
saat media berita pertama kali bereksperimen dengan Internet pada
akhir 1990-an, banyak jurnalis yang terpukau dengan potensinya dalam
meningkatkan partisipasi publik dalam usaha mereka. Jurnalisme ceramah
(searah) akan digantikan oleh jurnalisme percakapan (dua arah), ujar pionir
jurnalisme online Dan Gillmor.62 Namun, romansa ini dengan cepat
menguap.63 ada banyak sekali percakapan, namun kebanyakannya
lebih menyerupai bar yang hampir tutup daripada cafe atau salon yang
dibayangkan kaum demokrat. Ternyata banyak “orang-orang yang dulu
yaitu audiens,” seperti yang sering diacu di zaman Internet ini, merasa tak
berkepentingan mewujudkan ruang publik digital.64 Di situs-situs berita,
banyak komentar artikel yang bukan hanya tidak relevan, tapi juga kasar.
Sisi baiknya dari perkembangan ini: Internet telah mendorong keluar
pandangan ini , sehingga dapat dibantah secara terbuka. Tapi
pandangan optimistik mengenai Internet sebagai pasar ini mengasumsikan
bahwa pembicaraan seperti itu hanya mencerminkan intoleransi yang
sudah ada di masyarakat. Faktanya, unsur-unsur intoleran dapat sangat
vokal secara tidak berimbang. “Kelompok yang keras, yang jumlahnya
kecil, dikenal hiperaktif di platform digital”, ujar A.S. Panneerselvan, editor
pembaca Hindu.65 Ketimpangan ini dapat memperburuk masalah dengan
menarik lebih banyak pendukung yang keras. Hal ini juga dapat
mengikis keadaban di ruang publik, sebab ungkapan-ungkapan kebencian
kaum fanatik semakin dimaklumi. Ini kecenderungan yang dilihat
Panneerselvan di India: “Unsur-unsur yang berpikiran-sempit seperti
Bab 7230
ini, yang selama ini disamarkan oleh basa-basi, makin meningkat berkat
anonimitas sosial media. Ini yaitu sisi buruk yang terus membayangi.”66
Ujaran beracun dapat mencemari forum hingga tak dapat lagi mewadahi
diskusi yang beradab, sehingga suara-suara yang lebih bertanggungjawab
menarik diri dari percakapan. Kejadian ini mungkin merupakan hasil
dari proses “spiral of silence” atau pusaran kebungkaman yang sudah
banyak dikaji, di mana orang-orang menyimpan pandangannya untuk
dirinya sendiri sebab khawatir disisihkan oleh masyarakat mayoritas
yang berpandangan lain—pandangan yang mungkin keliru namun terus
menguat sebab makin banyak orang yang memilih bungkam.67 Eksklusi-
diri ini mungkin merupakan dampak dari kekerasan langsung dan serangan
personal, yang semakin tak tertahankan, meski hal itu datang dari segelintir
orang saja.
Meski uraian menyeluruh mustahil dilakukan, Internet—bahkan
bagian-bagian yang dikelola organisasi berita yang punya tanggung
jawab sosial sekalipun—hampir pasti menguntungkan para propagandis
kebencian, mengingat pengawasan media online lebih longgar daripada
media cetak atau media penyiaran. Di banyak tempat, kelompok intoleran
terang-terangan memakai ujaran kebencian dengan strategi yang
sengaja diatur untuk menyingkirkan para cendekiawan dan pengamat
lain yang menentang mereka. “Trolling” semacam itu meningkatkan
ongkos untuk berpartisipasi dalam perdebatan di dunia maya. Dampak
yang lebih luas lagi yaitu mengikis hak publik untuk menerima berbagai
sudut pandang yang relevan—hak yang merupakan jantung kebebasan
berekspresi dalam demokrasi.
Banyak jurnalis dan pengamat media kecewa sebab prinsip partisipasi
warganegara secara demokratis, yang mestinya difasilitasi oleh Internet,
hanya berujung pada umpatan dan hujatan. Menurut studi terhadap
104 organisasi berita di 63 negara yang dilakukan WANIFRA, asosiasi
penerbit berita, para editor dipusingkan oleh bagian komentar yang
disalahgunakan oleh pembaca, namun tidak yakin bagaimana harus
mengatasinya. Sekitar tiga per empat situs menyediakan pedoman, dan
sebagian besar menyebutkan bahwa ujaran kebencian tidak diperbolehkan.
Namun, studi ini menemukan, “hanya sedikit yang mengambil langkah
proaktif untuk mengatasinya dan sebagian besar tidak mengedukasi
pembacanya terkait isu ini.”68 Jika diskusi cerdas di antara pembaca aktif
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 231
dapat mengangkat citra kantor berita, ujaran bodoh dan ekstrem pun
dapat mencorengnya. Media berita, seperti halnya individu, dinilai oleh
mitra-mitra di sekelilingnya.
sebab itu, merupakan kepentingan pemilik dan editor forum daring
untuk memastikan norma keadaban, meski di saat yang sama mereka
menolak pemerintah menyensor ujaran yang ofensif. Tapi terlepas dari
argumen kuat tentang perlunya pendekatan yang lebih aktif dalam
mengelola forum daring, ujaran kebencian terus dibiarkan masuk dalam
pembicaraan.
Penerbit tidak mungkin menutup komentar, sebab keterlibatan
pembaca yang tinggi membuat situsnya lebih menarik bagi para pengiklan.
sebab itu, tantangannya yaitu untuk menerapkan kontrol editorial di
bagian komentar. Anonimitas umumnya menjadi penyebab utama yang
mendorong orang untuk menyampaikan pandangan yang ekstrem dan
vulgar. Banyak situs berita kini mengharuskan adanya registrasi, meski
tidak selalu dengan nama asli. Ini memungkinkan pengelola situs untuk
mengunci orang-orang yang memosting komentar yang tidak pantas.
Meski demikian, para penyebar kebencian yang nekat, registrasi dan
moderasi hanyalah rintangan kecil yang mudah diatasi dengan membuat
banyak akun dan banyak trik lainnya.
Pada media cetak tradisional, editor membaca setiap surat pembaca
untuk dimuat di surat kabar; hanya dimuat jika ada persetujuan—dan
biasanya dengan beberapa suntingan. Menurut studi WAN-IFRA, jurnalis
tahu bahwa cara ini juga baik digunakan untuk mengelola komentar di
media daring, namun jumlah komentar yang masuk membuat hal ini
tidak praktis untuk dilakukan. Alih-alih melakukan “pra-moderasi”—
jargon daring untuk proses penyuntingan sebelum dipublikasi—sebagian
besar organisasi berita memilih melakukan pasca-moderasi. Versi
paling pasif mengandalkan pembaca untuk menandai komentar yang
bermasalah, yang kemudian akan dicek kembali oleh editor. Sementara
bentuk paling aktif dari pasca-moderasi yaitu editor membaca setiap
postingan segera setelah muncul di situs. Penulis artikel boleh jadi diminta
untuk memposting balasan, untuk menggiring percakapan ke arah yang
konstruktif. Banyak organisasi berita menggabungkan kedua cara ini ,
memeriksa komentar lebih dekat untuk artikel-artikel yang menyentuh
isu sensitif atau kontroversial. Mekanisme lainnya yaitu melimpahkan
tugas memoderasi komentar kepada perusahaan-perusahaan pihak ketiga.
Beberapa di antaranya menutup bagian komentar untuk artikel-artikel
tertentu, setelah mendapati beberapa topik tertentu tidak menghasilkan
perdebatan yang produktif sama sekali.
Kendala memoderasi bagian komentar pada media berita hanya salah
satu bagian dari permasalahan yang lebih luas di Internet. Platform media
sosial memunculkan serangkaian masalah lain dan logika operasinya
agak berbeda dari media berita. Sebagaimana saya tuliskan di bab 3,
sebagian besar platform media sosial lebih menempatkan dirinya sebagai
sarana bersama yang pada prinsipnya menerapkan kontrol editorial yang
seminimal mungkin pada konten yang mereka muat. Alhasil, para penyebar
kebencian mendapat lebih banyak kebebasan di platform ini daripada
di situs media berita.
Konsensus yang berkembang membebaskan perantara Internet dari
tanggung jawab hukum untuk konten yang tidak mereka produksi atau
modifikasi. Aktivis hak digital juga menyatakan bahwa perantara Internet
tidak memiliki tanggung jawab untuk secara proaktif memantau konten
yang diposting di situs mereka.69 Namun, mengingat peran media sosial dan
forum daring dalam menyebarkan ujaran anti-sosial, kebencian di dunia
maya terus menjadi subyek penelitian dan kajian kebijakan. Peneliti tidak
hanya menyelidiki berlimpahnya ujaran kebencian di dunia maya, namun
juga bagaimana pesan-pesan kebencian itu diterima: apakah ia makin
menguatkan intoleransi atau justru memancing reaksi tandingan yang
memperkuat upaya masyarakat dalam melindungi hak-hak masyarakat
yang rentan. Jika yang terjadi yaitu yang kedua, menekan para penghasut
ke bawah tanah dan memberikan rasa aman yang semu kepada masyarakat
lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya.
Kita juga tidak cukup tahu tentang bagaimana kebencian di dunia maya
berhubungan dengan ekosistem intoleransi yang lebih luas—apakah ia
menjadi pemicu utama, ataukah hanya sebuah gejala. Meski kebencian di
dunia maya lebih tampak dibanding bentuk-bentuk intoleransi lainnya,
para pembuat kebijakan tidak boleh keliru menaksir dampaknya. Tidak
ada bukti bahwa ujaran kebencian di dunia maya lebih kuat dibanding,
misalnya, khotbah hasutan di masjid, seruan perang di radio Kristen,
atau penyebaran rumor dari rumah ke rumah. Ratusan postingan Twitter
tidak mungkin lebih berpengaruh daripada pandangan fanatik dari tokoh
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 233
agama atau politik yang dikutip mentah-mentah di surat kabar nasional
atau saluran berita.
Meski tidak ada data dan regulasi formal, tidak ada salahnya perusahaan
pengelola forum dan platform daring mengerahkan lebih banyak upaya
untuk melakukan pasca-moderasi, dipandu oleh standar yang transparan
dan sejalan dengan norma hak asasi manusia internasional. Komitmen
mereka harus disertai dengan implementasi yang saksama—contohnya,
dengan merekrut staf yang memadai yang memahami bahasa dan budaya
lokal, sehingga dapat melakukan pekerjaannya secara efektif. Perantara
Internet Barat yang beroperasi di pasar yang tidak berbahasa Inggris—
seperti Facebook di Myanmar—tidak lagi dapat berdalih terkendala oleh
bahasa untuk memastikan standar mereka tidak dilanggar.
Respon Masyarakat Sipil
Istilah “masyarakat sipil” mengacu pada ranah yang terpisah dari negara,
ekonomi, atau rumah tangga.70 Ia mencakup asosiasi sukarela, organisasi
keagamaan, kelompok kebudayaan, serikat buruh, organisasi gerakan
sosial, dan seterusnya. Ia mirip dengan yang disebut dalam diskursus
kebijakan publik sebagai “sektor kerakyatan”, yang dipisahkan dari sektor
publik ataupun privat. Konsep masyarakat sipil memiliki konotasi yang
sangat normatif. Masyarakat sipil yaitu ruang bagi masyarakat untuk
membangun modal sosial dan untuk berpartisipasi dalam rangka mengisi
kekurangan institusi politik formal. saat masyarakat memerlukan
respons bersama dalam menangani masalah besar, dan saat negara
dikhawatirkan akan terlalu koersif dan gegabah, masyarakat sipil seringkali
menawarkan solusi terbaik. Begitu juga dalam soal intoleransi agama.
Tentu saja, asosiasi sukarela, lembaga keagamaan, dan sejenisnya juga
merupakan pelaku utama pelintiran kebencian, dan tidak ada jaminan
bahwa segmen masyarakat yang lebih beradab akan unggul. Meski
demikian, organisasi masyarakat sipil telah merancang proyek-proyek
paling kreatif untuk melawan ujaran kebencian dan membangun budaya
toleransi. Berikut ini yaitu contoh-contoh dari berbagai belahan dunia.
Contoh-contoh ini mencakup respons terhadap tindakan misoginis,
rasisme, dan bentuk kebencian lainnya, sebab taktik-taktik serupa juga
dapat digunakan untuk melawan intoleransi agama.
Pemantauan Ujaran Kebencian dan Sistem Peringatan Dini
Meski platform media sosial memfasilitasi penyebaran ujaran kebencian, dia
lebih mudah melakukan pengawasan daripada diskursus offline. Sejumlah
proyek memanfaatkan fitur sosial media ini dengan melakukan pengawasan
ujaran kebencian secara real time. saat pemantau mendeteksi hal yang
mengkhawatirkan, penanggap dapat melakukan tindakan. Hatebase, yang
terbesar dari proyek-proyek ini, membuat repositori ujaran kebencian
online yang berbasis lokasi, yang digunakan oleh berbagai lembaga untuk
memprediksi kekerasan regional.71 Fight Against Hate menyoroti peran
perusahaan media sosial, mengawasi bagaimana mereka merespons
laporan mengenai ujaran kebencian. Ide utama proyek ini yaitu untuk
menuntut korporasi media sosial agar menangani para pelanggar aturan
layanan mereka.72
Memobilisasi Kalangan Menengah
Perhatian terhadap kebencian di dunia maya telah memunculkan kampanye
literasi media yang bertujuan meningkatkan kesadaran pengguna Internet
mengenai permasalahan yang ada dan mendorong mereka untuk
melawannya. Majelis Eropa, misalnya, menginisiasi “No Hate Speech
Movement” (Gerakan Tolak Ujaran Kebencian) yang menyasar kaum
muda, menyediakan sumber daya yang dapat digunakan untuk kampanye
nasional. 73 Di Myanmar, aktivis blogger, Nay Phone Latt, meluncurkan
kampanye “ungkapan bunga”, Panzagar, untuk mendorong pengguna
Internet agar terlibat aktif melawan ujaran kebencian. Upaya-upaya ini
dilakukan dengan asumsi bahwa ujaran kebencian yaitu produk segelintir
minoritas yang lantang, yang pengaruhnya menjadi besar sebab diamnya
kalangan menengah yang jumlahnya lebih banyak. Banyak orang tidak
menyukai ujaran kebencian namun tidak tahu bagaimana meresponnya;
kampanye-kampanye ini memudahkan warga untuk mengungkapkan
dukungannya terhadap toleransi, contohnya dengan mengganti foto profil
Facebook mereka atau menandatangani petisi. Kampanye lain mendorong
masyarakat untuk merespon ujaran kebencian melalui cara-cara yang
beradab namun tegas, termasuk dengan melaporkan para pelaku kepada
moderator forum dan media sosial.
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 235
Menyebut dan Mempermalukan
Menyebut dan mempermalukan pelaku pelintiran kebencian mungkin
tidak akan mempermalukan mereka, sebab biasanya mereka merasa
bangga meski kalangan liberal menganggapnya memalukan. Meski
demikian, pengungkapan para penyebar kebencian dapat menekan
organisasi terkait untuk mencabut dukungannya. Kelompok aktivis hak
perempuan di Inggris berhasil memakai taktik ini untuk memaksa
Facebook mengubah persyaratan layanan mereka setelah para aktivis
mengungkapkan bahwa banyak iklan perusahaan muncul dengan konten
grafis yang merendahkan perempuan.74 Di AS, pengungkapan jaringan
Islamofobia berhasil membujuk kalangan Republikan konservatif untuk
menjauhi retorika anti-Muslim. Hal itu juga membuat beberapa yayasan
dan perusahaan lebih waspada agar tidak dikait-kaitkan dengan kelompok
Islamofobia. Di Tennessee, pada tahun 2011, beberapa hotel menolak untuk
menjadi lokasi acara anti-Muslim. Sebuah hotel di Nashville merelakan
deposit senilai 8.000 USD dengan menolak konferensi nasional pertama
yang menyoal “ancaman” Syariah. Meski laporan berita mengatakan bahwa
keputusan pihak hotel didasarkan pada pertimbangan keamanan, Muslim
di Tennesse percaya bahwa hotel ini enggan dihubung-hubungkan
dengan ujaran kebencian saat tahu isi kegiatan ini .
Birokratisasi dan Profesionalisasi
Perusahaan penerbitan, museum, universitas dan perpustakaan yaitu
beberapa target utama dari keterhasutan yang direkayasa. Para agen
pelintiran kebencian memanfaatkan situasi di mana keputusan mengenai
produk budaya berada pada wewenang manajer. Dalam wilayah abu-abu
ini, para pembuat kebijakan dapat ditekan untuk tunduk kepada kepekaan
masyarakat dan melakukan sensor-diri. Salah satu cara agar organisasi
sasaran dapat lebih tahan terhadap kampanye seperti itu yaitu dengan
mendasarkan prosedur mereka kepada protokol dan pedoman yang lebih
jelas dan transparan yang dapat dikutip manajer saat dihujani komplain.
Bentuk positif dari birokratisasi ini dicontohkan oleh American Library
Association (Asosiasi Perpustakaan Amerika) yang sudah puluhan tahun
menghadapi gugatan buku.
Asosiasi ini mendukung para pustakawannya dalam menghadapi
komplain, termasuk komplain yang terorganisir.75 Mereka mendorong
Bab 7236
para pustakawan agar bersiap dan mengikuti prosedur secara tepat.
Library Bill of Rights-nya menyatakan, “Materi tidak boleh dilarang atau
dihapuskan sebab ketidaksetujuan berbasis doktrin dan partisan.”76
Pernyataan umum mengenai prinsip profesi ini dibarengi dengan
panduan yang mendetail, yang tidak hanya menjelaskan tanggung jawab
pustakawan, tapi juga prosedur formal dalam menghadapi komplain dan
mengomunikasikan kebijakan perpustakaan. “Sampaikan soal kebebasan
memilih, peran perpustakaan dalam melayani semua lapisan masyarakat,
dan tanggung jawab orang tua untuk mengawasi bagaimana anaknya
memanfaatkan perpustakaan,” kata pedoman ini .77
Membuyarkan Ujaran Kebencian
saat anggota parlemen Belanda yang kontroversial, Geert Wilders,
mengumumkan rencananya untuk merilis film tentang Islam berjudul
Fitna, tidak diragukan lagi film ini akan penuh dengan kebencian dan
permusuhan. Kampanye tandingan pun mulai berlangsung, mengunggah
ratusan video buatan sendiri ke Youtube, dan setiap videonya ditandai
dengan “fitna” dan “wilders”. Dampak dari serbuan video ini sama
dengan gangguan terhadap stasiun radio: di puncak kontroversi, agak
sulit menemukan film Wilders—yang dirilis pada akhir Maret 2008—
melalui mesin pencarian populer. Perusahaan multimedia di Amsterdam
berada di belakang upaya warga Belanda untuk “merebut perhatian” dan
mengutarakan apa yang mereka rasakan tentang intoleransi. “Hanya agar
dunia (dan kita) tahu bahwa membiarkan orang bingung berbicara bukan
berarti kita menyetujui apa yang mereka katakan. … Mari kita hilangkan
Wilders dalam permintaan maaf kita. Jika kita bekerja keras, tidak akan
ada yang dapat menemukan omong kosongnya di antara kegaduhan yang
kita buat.”
Meredakan Ujaran Kebencian
sebab kekuasaan sebagian yaitu soal persepsi, sangat mungkin untuk
mengurangi propaganda kebencian dengan mencibirnya. Banyak kampanye
anti-kebencian dilakukan dalam cara ini, mengutip ekspresi kebencian,
membumbuinya dengan humor gelap, dan melemparkannya kembali ke
sumbernya. Salah satu contohnya datang dari India pada 2009. Anggota
kelompok Hindu ultrakonservatif menyerang pemudi yang minum di pub;
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 237
pemimpinnya mengancam pasangan bukan suami-istri yang berkencan di
hari Valentine. Kalangan liberal yang berang membentuk Consortium of
Pub-Going, Loose, and Forward Women, lalu meluncurkan kampanye “pink
chaddi”: perempuan digalang untuk mengirimkan pakaian dalam merah
muda kepada para pemimpin kelompok Hindu ini .79 Tagar kampanye
Twitter yang mengumpulkan tanggapan ironis terhadap prasangka buruk
juga masuk dalam kategori yang sama. Contohnya yaitu #MuslimRage,
yang merespon halaman sampul Newsweek dengan judul serupa. Salah
satu ungkapannya: “Anak Anda, si Jihad, hilang di bandara. Anda tak bisa
berteriak memanggilnya. #MuslimRage.”80
“Muckraking”
Muckraking yaitu tradisi pers Amerika awal abad ke-20, di mana jurnalis
menggali skandal sebagai bagian dari upaya untuk memperjuangkan
reformasi progresif. Kelompok anti-kebencian yang punya sumber daya
untuk melakukan investigasi berkelanjutan, seperti Southern Poverty
Law Center, memakai metode ini untuk mendiskreditkan para
pentolan ujaran kebencian. Sambil memakai taktik yang lebih
konvensional, SPLC menyelidiki kelompok-kelompok kebencian dan
para pemimpinnya guna mencari celah yang dapat dieksploitasi untuk
menciptakan perselisihan internal di antara mereka. SPLC, misalnya,
berhasil mengekspos pemimpin kelompok anti-Semit yang terlahir
sebagai seorang Yahudi. Mereka mengungkap pendukung supremasi kulit
putih yang punya pacar perempuan—atau, malah, pacar laki-laki—yang
Afrika-Amerika, yaitu contoh-contoh pengungkapan skandal yang dapat
memicu perpecahan kelompok-kelompok ini .81 Mencampuri urusan
pribadi lawan mungkin terasa kurang mengenakkan. Tapi hal itu boleh
jadi absah saat ditujukan untuk melawan orang-orang yang menyerang
identitas ras, agama, dan jenis kelamin warga negara lainnya, serta yang
merasa unggul dan suci dari segi budaya.
Sanggahan terhadap Status
Sebagian besar pelaku pelintiran kebencian ingin dihormati—sumber daya
yang dapat menyangkal mereka saat mereka terus menikmati kebebasan
demokrasi. saat kelompok anti-imigran Jerman, Pegida (Patriotic
European Against the Islamization of the Occident), mengumpulkan
17.000 orang dalam konser Natal di luar Semper Opera House di Dresden
pada Desember 2014, pihak pengelola gedung mematikan lampu untuk
mengisyaratkan ketidaksetujuan mereka. Acara tetap berjalan, namun
Pegida tidak mendapat latar belakang penting untuk acaranya. Pabrik
Volkswagen di Dresden juga berubah gelap. Taktik ini digunakan di berbagai
demonstrasi Pegida di seantero Jerman.82 Di Cologne, pengurus gereja
mengecam pawai Pegida “tidak sejalan dengan Kristen” dan mematikan
lampu sorot yang menerangi bagian luar Katedral Cologne, penanda yang
paling sering dikunjungi di Jerman. Pihak berwenang juga melakukan
hal yang sama pada Brandenburg Gate di Berlin. Lawan-lawan Pegida,
yang tahu bahwa kebebasan berekspresi kelompok penyebar kebencian
tidak termasuk hak untuk mendapatkan kesempatan foto dengan leluasa,
mampu menghalangi kelompok ini untuk menyalahgunakan lanskap
bersejarah di Jerman.
Taktik di atas dan taktik-taktik lainnya membantu menumbuhkan
norma penghormatan dan keadaban di ruang publik; taktik-taktik itu tidak
mesti memadamkan ungkapan intoleran, namun mengesampingkannya.
Tentu saja tindakan-tindakan ini tidak bisa menggantikan hukum
yang kuat. Mereka juga punya tendensi untuk “mengajari yang sudah
mengerti.” Kampanye yang provokatif seperti gerakan “pink chaddi”
dimaksudkan sebagai bentuk solidaritas untuk memperkuat kalangan
liberal perkotaan, seraya menunjukkan bahwa suara-suara intoleran
tidaklah mewakili segenap masyarakat. Begitu pun kampanye anti-Fitna
yang merupakan penegasan atas kewarganegaraan liberal.83 Upaya-upaya
ini , meski penting sebagai salah satu strategi melawan pelintiran
kebencian, mungkin tidak mempan dilakukan terhadap kalangan
konservatif, apalagi kalangan garis-keras. Upaya yang lebih efektif mesti
datang dari kelompok agama yang dapat berbicara dengan bahasa yang
sama dengan kalangan garis-keras ini .
Peran bagi Kelompok Keagamaan
Sebagian besar upaya untuk memantau dan melawan propaganda kebencian
dipimpin oleh kelompok sekular-liberal atau organisasi yang mewakili
kelompok agama minoritas. Tapi kelompok-kelompok ini tidak punya
pengaruh yang signifikan terhadap khalayak utama kelompok penyebar
kebencian—sesama umat beragama yang cenderung konservatif. Biasanya,
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 239
para pengikut mereka sudah merasa bahwa negaranya menjadi terlalu
sekular dan liberal, dan kedudukan agama mereka sedang terancam. Bagi
mereka, aktivis yang mewakili kepentingan sekular atau agama lain yaitu
simbol masalah, bukan orang-orang yang menawarkan solusi. Mereka lebih
mendengarkan kelompok-kelompok agama yang sama dengan mereka.
Hal ini mungkin menjadi faktor utama yang menjelaskan mengapa
Hindu sayap-kanan di India lebih sukses mendorong India ke arah politik
yang eksklusioner dan intoleran, dibandingkan kelompok Kristen sayap-
kanan dan Muslim sayap-kanan di AS dan Indonesia. Meski sebagian
besar orang yang menentang gerakan Hindutva yaitu orang Hindu, dan
meski banyak organisasi Hindu bukan bagian dari Sangh Parivar, India
kurang punya gerakan Hindu nasional yang dapat menandingi kekuatan
mobilisasi Sangh Parivar. Artinya, Sangh Parivar berhasil menampilkan
dirinya sebagai satu-satunya sarana yang mampu mengartikulasikan,
menyalurkan, d