kaum
Kristen-Yahudi dalam soal otentisitas teks Kitab agama mereka, yaihr
Bible. Itulah yang terjadi pada Bible, sehingga banyak pakar mereka
yang berpendapat, mungkin sekali unhrk menghadirkan Bible alternatif. Ini tentr.r sangat berbeda dengan kondisi Al-Qur'an al-Karim.
Ajaibnya, setelah para orientalis dan misionaris Kristen-Yahudi mulai kelelahan dalam menyerang Al-Qur'an, justru dari kalangan
Muslim sendiri, muncul cendekiawan yang melanjutkan proyekproyek mereka.
Perjalanan hidup Abtt Zayd menunjukkan, ia memang menekuni sastra Arab. Thhun 1972, ia menjadi asisten dosen di Jumsan
Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Kairo. Pada tahun 1975-
1977, ia mendapat bantuan beasiswa dariThe Ford Foundafion unhrk
shrdi di Universitas Amerika Kairo. Lalu, tahun 1978-7979 ia belajar
di Universitas Pennsylvania, Philadelphia USA. Namun, dengan
cerdik ia mencoba menghilangkan jejak pengamh Barat itu dalam
beberapa karyanya, dengan memjuk kepada sumber-sumber klasik
Islam. Ini menyebabkan banyak yang menyangka bahwa kajian teks
Al-Qtrr'an versi Abu Zayd yaitu berangkat dari tradisi Islam.
Sebagaimana imbauan Mingana dan banyak tokoh orientalis
terdahulu, kajian terhadap Al-Qur'an juga tidak berhenti. Banyak
corak dan motif dalam kajian ihr. Sebagian diantara mereka ada saja
yang tems bemsaha membongkar konsep-konsep dasar Al-Qur'an.
Salah sahr yang menghebohkan, misalnya, kajian yang dilakukan
Christoph Luxenberg (nama samaran) yang tahun 2003 meluncrlrkan btrktrnya berjudul Die Syro-aranmeisclrc Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koranspraclrc, (DasArabische Buch, 2000).
Buku ini banyak menarik perhatian mayarakat Muslim, menyusul
publikasinya oleh beberapa media massa. Mulanya, Neusweek edisi
28 Jtrli 2003, melansir tulisan berjudul "Clnllnnging the Qtr'an".
Artikel yang ditulis Stefan Theil itu kemudian memicu kontroversi
dan akhirnya majalah ihr dilarang beredar di Pakistan. Di Indonesia,
masalah ini menjadi ramai, setelah majalah GATRA menampilkannya sebagai cooer story-nya pada No 37 edisi 4 Agushrs 2003.
Bagi kaum Muslimin, tenhr, upaya unhlk memnhlhkan orisinalitas Al-Qur'an sebagai wahyu Allah, bukan barang bam. Sepeninggal Rasulullah saw., Musailamah al-Kazhab sudah melakukan
upaya itu. Di setiap zaman, upaya itu selalu dijawab secara elegan
dan ilmiah oleh ulama dan cendekiawan Muslim. Bagi sebagian kalangan, temtama kalangan orientalis Barat, karya Luxenberg ini dipandang sebagai ancaman terhadap kajian Al-Qur'an. Dalam analisisnya terhadap buku Luxenburg di |urnal HLIGOYE, Journal ofSyriac Shrdies, Robert R. Phenix Jr. dan Cornelia B. Hom, dari
University of St. Thomas, Sumrnit Avenue St. Paul, mencatat implikasi metode kajian filologi vang dilakukan Luxenberg terhadap AlQrrr'an. Menurut mereka, "Kajian ilmiah apaprln di masa mendatang tentang Qur'an penting unhrk mengambil metode ini ke dalam
pertimbangan. Bahkan jika para pakar tidak setuju dengan berbagai
konklusinya, metode filologi ini kuat."
Apa pun metodenya, kesimpulan kajian Luxenberg sebenarnya
tidak terlalu beda dengan para orientalis dan rnisionaris Kristen yang
melakukan kajian serupa tehadap Al-Qur'an. Intinya, mereka menggugat Al-Qur'an sebagai "wahyLt" yang ditumnkan Allah swt. kepada Nabi Muhamrnad saw. bahwa Al-Qur'an yaitu tidaklah "tan-
271", "sLtci", bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Qur'an (QS 15:9). Menurut Luxenberg--dengan melakukan kajian
semantik terhadap sejumlah kata dalam Al-Qur'an Arab yang diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac-Al-Qur'an yang ada saat
ini (Mushaf Utsmani) yaitu salah saltn Qnistrnnscribe d) dan berbeda
dengan teks aslinya. Teks asli Al Qur'an, simpul:rya, lebih mirip bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah asli itr-r telah dimusnahkan Khalifah Utsman bin Affan. Dengan kata lain, Al-Qur'an yang
dipegang oleh kaum Muslimin saat ini, bukanlah wahyu Allah swt.,
melainkan akal-akalan Utsman bin Affan r.a..
Lunxenberg-seperti banyak orientalis lainnya--mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melakukan kodifikasi Al-Qur'an. Ia
menduga, teks Al-Qur'an yang dimusnakan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang sekarang ini. Lebih jauh,
Robert R. Phenix Jr. dan Cornelia B. Horn menyatakan, jika analisis
Luxenberg benar, maka isi Al-Qur'an Mushaf Utsmani secara substansi berbeda dengan Al-Qur'an di masa Nabi Muhamrnad saw..
Tuduhan semacam ini salah sama sekali, sebab proses kodifikasi AlQur'an di zaman Khalifah Utsman bin Affan dilakukan secala sangat transparan, dan Al-Qur'an selalu diingat oleh ratusan, ribuan--
bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliman akan selalu
dikoreksi oleh kaum Muslimin.
Memang, dalam pendahuluan bukunya, Luxenberg memaparkan signifikansi dari bahasa dan budaya Syriac bagi bangsa Arab
dan Al-Qur'an. Di masa Nabi Muhammad saw., bahasa Arab bukan-lah bahasa hrlis. Bahasa Syro-Aramaic atau Syriac yaitu bahasa
komunikasi hrtis di Timur Dekat mulai abad ke-2 sampai 7 Masehi.
Bahasa Syriac dialek Aramaic mempakan bahasa di kawasan Edessa,
sahr negara kota di Mesopotamia atas. Bahasa ini menjadi wahana
bagi penyebaran agama Kristen dan budaya Syriac ke wilayah Asia,
Malabar dan bagian Timur Cina. Sampai munculnya Al-Qur'an,
bahasa Syriac yaitu media komunikasi yang luas dan penyebaran
budaya Arameans, Arab, dan sebagian Persia. Budaya ini telah
memproduksi literahrr yang sangat kaya di Timur Dekat sejak abad
ke-4, sampai digantikan oleh bahasa Arab pada abad ke-7 dan ke-8
Masehi. Satu hal yang penting, menumt Luxenberg, literahlr the
Syriac-Aramaic dan matrik budaya ketika ihr, praktis mempakan
literatur dan budaya Kristen. Sebagian shrdi Luxenberg menyatakan, literatur Syriac yang kemudian menciptakan tradisi "Arab
tu1is" yaitu ditransmisikan melalui media Kristen.
Pada akhimya, Luxenberg menyimpulkan, transmisi teks AlQur'an dari Nabi Mtilrammad saw. bukanlah secara oral, sebagaimana keyakinan kaum Muslim. Al-Quran tak lebih dari turunan
Bible dan titurgi Kristen Syria. Bahasa asli Al-Qur'an bukanlah
" Arab". Sebagai contoh, nama surah al-Fatihah, berasal dari bahasa
Syriac ptaxn, yang artinya pembukaan. Dalam tradisi Kristen Syria,
ptnxn harus dibaca sebagai panggilan unhrk berpartisipasi dalam
peribadatan. Belakangan, dalam Islam, surat ini waiib dibaca dalam
shalat. Kata-kata lain dalam Al-Qur'an, seperti quran, jazo,lnrr, dan
sebagainya, juga berasal dari bahasa Syriac dan disalahartikan dalam
AI-Qur'an sekarang ini.
Sebenamya, soal banyaknya unsur bahasa Syriac dalam A1-
Qur'an bukanlah hal yang aneh. Karena setiap bahasa--apalagi
bahasa serumpun, seperti Arab, Ibrani, Syriac--akan saling menyerap,
sehingga banyak mengandung kosakata yang identik. Apalagi, sebagai Nabi penutup, yang--diibaratkan oleh Rasulullah saw. sendiri
--beliau yaitu laksana "satu batu-bata yang menyempumakan
bangunan bahl bata dari safu bangunan risalah kenabian". Karena
ihl, wajar, banyak istilah dan nama dalam Al-Qur'an yang memang
terdapat pada Bible atau Taurat. Bahkan, Al-Qur'an mewajibkan
kaum Muslimin unhrk mengimani Kitab-kitab yang pemah diturunkan Allah swt. kepada para Nabi.Soal tudingan bahwa Al-Qur'an bukanlah wahyu Allah dan
hanyalah jiplakan dari orang nonMuslim, sudah disebutkan dalam
Al-Qur'an:
"DAn sesungguhnya Kani mengetahui bahwa mereka berkata: ,,Sexmgguhnya Al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhamnnd)".
Padahal, bahasa orang yang mereka hrduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya, yaitu bahasa 'Ajnm. Sedangkan AlQtrr'an yaitu dalam "bahasa Arab yang terang (,Arabiyyrnt
mubin)." (QS 16:103)
Jika dicermati, Al-Qur'an memang banyak menyerap istilah
yang sama dengan istilah-istilah yang digunakan agama-agama sebelumnya, bahkan istilah dalam tradisi Quraisy. shaum (puasa),
misalnya, jelas-jelas ditegaskan dalam Al-Qur'an (eS 2:183) mempakan kewajiban yang dibebankan kepada kaum Muslimin dan
umat sebelumnya. Tapi, konsep puasa dalam Islam, lain dengan
konsep pada umat nabi sebelumnya. Begihl juga shalat,haji, nikah,
dan sebagainya. Bahkan, sebutan " Allah" telah dikenal oleh kaum
Quraisy, tetapi, konsep "Allah" dalam Al-e,r'an sangat berbeda
dengan konsep kaum jahiliyah Quraisy. Istilah "haji" sudah dikenal
sebelum Islam. Namun, istilah haji dalam Islam berbeda maknanya
dengan "haji" sebelum Islam.
Begihr juga nama-nama para Nabi. Ibrahim, Dawud, Isa, dan
para Nabi lainnya, a.s., dalam konsep Al-eur'an berbeda dengan
konsep nabi-nabi dalam Bible dan Taurat (yang sekarang). Misalnya,
Al-Qur'an menggambarkan Nabi Dawud a.s. sebagai sosok yang
saleh dan kuat. Berbeda, dengan Bible (2 Samuel 17:2-27) yang
menggambarkan Dawud sebagai sosok yang bumk moralnya. Selain merebut dan menzinahi istri pembanfunya sendiri (Batsyeba
binti Eliam), Dawud juga menjebak suami si perempuan (Uria) agar
terbunuh di medan perang. Sedangkan Al-eur'an menyatakan:
"Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan, dan ingatlah
hamba Kami, Dawud, yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya
dia amat taat kepada Allah." (QS 38:17)
Konsep Islam tentang "lsa" jugaberbeda dengan konsep ,,]esus,,
dalam Kristen, meskipun keduanya merujuk kepada figur yangsama. Bahkan, jika ada yang menyebut agama Islam, Kristen, dan
Yahtrdi yaitu rumpun "Abralmnic faitlt", maka konsep Ibrahim
dalam Islam jelas berbeda dengan konsep Ibrahim dalam Yahudi dan
Kristen. Al-Quran dengan tegas menyebtt, "Ibrnlim buknnlalr Yaludi
otntt Nnsrnri, tetnpi dia ndolnh seorang yang lnnif dan Muslint, dan dia
buknnlnh orong nutsyrik." (QS. Ali Imraan:57)
Jadi, jika ditemukan banyak istilah atau terminologi dalam AIQur'an yang sama dan identik dengan istilah dalam Bible atau
tradisi sebelum Islam, bukanlah berarti Al-Qur'an meniiplak dari
Kitab agama lain. Sebab, salah satu fungsi Al-Qur'an yaitu sebagai
"parameter" dan korektor" terhadap penyimpangan terhadap Kitab
sebelumnya. Al-Quran banyak mengingatkan teriadinya penyimpangan dan pembahan pada Kitab para Nabi itu (QS an-Nisaa': 46,
al-Baqaarah:75 dan79)
Maka, kesimpulan Luxenberg, bahwa "Al-Quran memuat artikel tertentur dari Bible (Perjanjian Lama dan Bam) yang dibacakan
dalam kebaktian Kristen", masih sangat dangkal dan sama sekali
tidak menrnhrhkan kewibawaan Mushaf Utsmani yang memiliki
ke-kuatan hujjah yang kuat sebagai wahytt Allah swt.. Apalagi,
kesimpulan seperti ini--meskipun menggtmakan metode yang berbeda dengan para orientalis sebelumnya--bukanlah barang bam
dalam tradisi orientalis dan misionaris Kristen. Ihr bisa disimak
misalnya, pada buku karya Samuel M. Zwemmer, misionaris Kristen
terkenal di Timur Tengah, yang berjudtrl lslnm: A Chnllenge to Faitlt
(terbit pertama tahun 1907). Di sini, Zwemmer memberikan resep
unfuk "menaklukkan" dttnia Islam. Zwemmer menyebut bukunya
sebagai "kajian tentang agama Mohonunednrz serta kebtrtuhan dan
peltrang di dunia Molnnunednrt dari sudut pandang missi Kristen."
Dalam bukunya ini, Zwemmer menulis, tlnstlr-tlnstlr yang dipinjam
oleh Islam dari berbagai agama dan tradisi sebelumnya, seperti
Snbennism, Arabian ldolatry, Zoroastrinnism, Buddltisnt, ludnisnl, dan
Christinnity. Termasuk yang dipinjam dari Cltristianity, menurut
Zwemmer, yaitu konsep puasa Ramadhan, cerita tentang Ashabul
Kahfi, Luqrnan, Iskandar Zulkarnain, dan sebagainya. Tentang A1-
Qur'an ini, Zwemmer menyatakan: (L) penuh dengan kesalahan
sejarah (2) banyak mengandung cerita fiktif yang tidak normal, (3)
mengajarkan hal yang salah tentang kosmogoni (4) mengabadikanperbudakan, poligami, perceraian, intoleransi keberagamaan, pengasingan dan degradasi n anita. Di akhir penjelasannya tentang AlQur'an, Zwemmer mencatat: "Karena ihl Qur'an berada di bawah
kitab-kitab suci kuno Mesir,India dan Cina, walaupun tidak seperti
yang lainnya ihr, ia berisi ajaran monoteistik (sahr Tuhan). Ia tak
sebanclirrg dengan Perjanjian Lama dan Bam." 37
Semangat seperti Samuel Zu,en-rmer dalam membongkar keyakinan katrm Muslimin terhadap kesucian dan keabadian Al-eur'an
iniiah yang tampakrrya ada pada kajian Luxenberg. Kaum Muslim_
tentu saja, perlu menelaah karya semacam ini dengan cermat, dan
memberikan argumentasi yang tepat dan ilmiah terhadap setia;r
rlpaya penghancuran Al-Qtrr'an. Tenhl saja, sangat ironis, jika di
kalangan kaum Muslim justru muncul cendekiawan-cendekiawan
yang mengikuti jejak kalangan orientalis dan misionaris Kristen.
Problema dan metode kajian Bible-dengan segala problematikanya
sendiri-diterapkan dalam kajian Al-Qur'an.
Bukan dari Tradisi Islam
Nasr Hamid Abu Zayd mengklaim konsepnya drdasari konsep
Al-Qur'an kaum lv1u'tazilah. Klaim ini perlu dikaji secara kritis,
khususnya ketika memjuk karya-karya klasik Islam. Jika ditelaah
secara mendalam, tampak bahwa konsep Al-Qur'an versi Nasr
Hamid sangat jauJr berbeda dengan konsep Al-Qur'an versi Mu'tazilah. Dalam sejarah tercatat, bagaimana dahsyatnya ulama-ulama
Ahlu Sunnah--seperti Imam Ahmad bin Hanbai--menentang konsep
Al-Qtrr'an versi Mu'tazllah, sehirrgga beliau hams rela dijebloskan
ke dalam penjara. Padahal, konsep Mu'tazilah masih tetap mengakui Al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Bisa dibayangkan, bagaimana
sikap Imam Ahmad, Imam al-Shafii, Imam al-Ash'ari, dan lain-lain,
andaikan mereka dipaksa oleh pendukung Nasr Harnid unhrk
rrenerima konsep Al-Qur'an sebagai "kata-kata Muharr.mad" dan
"produk budaya"!
]ika dicermati, konsep Al-Qur'an versi N{u'tazilah berkutat pada
level filosofis tentang sifat "Kalam Allah". Mu'tazilah berpegang
teguh dengan konsep bahwa Al-Qur'an yaitu "Kalam Allah", dan
sama sekali tidak berpendapat bahwa Al-Qur'an yaitu 'karya'
Muhammad, atau produk budaya. Ulama-ulama Mu'tazilah3s bersepakat bahwa Ai-Qur'an yaitu Kalam Allah (firman-Nya). Hanya
saja, rnereka berpendapat bahwa "Kalam Allah" yaitu diciptakan
sebagaimana makhluk lainnya diciptakan. Oleh karena ihl AlQur'an dalam pandangan mereka bukanlah suatu yang qadinl.3e Ini
sangat berbeda dari konsep dan metode penafsiran Abu Zayd yang
memang berarrgkat dari tradisi Kristen. Konsep klmlq Al-Qur'an
mastrk dalam kerangka kajian sifut Allnlt. Sebab Al-Qur'an yaitu
Kalamullah. Dan Kalam yaitu salah satu sifat-sifat Allah. Maka
tidak aneh apabila pandangan Mu'tazilah tentang Al-Qur'ann,
senantiasa mengikuti kaedah yang telah mereka benhrk semenjak
masa Wasil ibnu Atha' dalam memahami sifat-sifat Allah. Yaittr
bahwasanya sifat-sifat Aliah yaitu menyahr dengan Zat-Nya dan
tidak independen.
Jadi sebenarnya rlrang lingkup pembahasan klnlq Al-Qur'an
hanyalah menyenhrh aspek 'cabang fondasi' (far'u al-usltttl) permasalahan akiciah yang berkisar pada masalah posisi dan pengkategorian "Kalarrt" sebagai sifat Tirhan; apakah dia qndnm (eternal)
atatt mulidats (crented). Pembahasan ini tidaklah mempertanyakan,
meragukan apalagi mengingkari keberadaan sifat di sisiAllah" Sebab
dalam hal ini, pada umumnya Mu'tazilah masih mempercayai dan
sepakat dengan Ahlus Sunnah bahwa Allah bersifat mutakallintan
(berfirman). Juga, dalam pembahasannya--yang menghasilkan konsep klmlq Al-Qtr-nn--.Mu'tazilah tetap menggurrakan argumentasi
yang disandarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an yang terdapat dalam
Mushaf Uthmani, disamping penggunaan argumentasi rasional.
Artinya Mu'tazilah sama sekali tidak pernah mempertanyakan dan
mengkritik validitas Mushaf Uthmani, apalagi sampai mengajukan
gagasan 'Al-Qur'an Edisi Kritis' sebagai altematif }vlushaf Uthmani,
sebagaimana yang dilakukan para pengagum Nasr Hamid.Walaupun Mu'tazilah berpendapat bahwa Al-Qur'an yaitu
makhltrk tetapi mereka tidak sampai mengklaim bahwa posisi teks
atau unltytt Al-Qtr-arr telolt benfunh ntenjndi peradaban, seperti yang
menjadi salah satr,r tren pemikiran kontemporer. Atau menyamakan
kemunculan Al-Qur'an dalam peradaban Arab dengan kemunculan
filsafat dalam perjalanan peradaban Barat.
Demikian pula tidak didapati dalam tradisi pemikiran Mu'tazilah bahwa mereka mempermasalahkan jenis bahasa yang digunakan
Al-Qur'an sebagai media untuk memahami wahyu Ttrhan, sebab
Mu'tazilah tidak pernah memperdulikan bahasa apaprm yang
digunakan, selama bahasa tersebut bisa memudahkan manusia memahami segala firman-Nya.
Ini sangat berbeda dengan pandangan Nasr Hamid yang berpendapat, penggunaan bahasa Arab telah mencemari kesakralan
wahyu ihr sendiri. Sebab menumt Nasr Hamid, bahasa Arab yang
digunakan dalam Al-Qur'an ini bukanlah ditr.rmnkan di "tempat
yang kosong".{O Bahkan, menrlrntnya, bahasa Arab kala itu sudah
memiliki stmkhrr dan sistem yang tidak dapat dilepaskan dari
strukhlr dan sistem masyarakat Arab.
Dengan demikian dapat dipahami dari pemikiran Nasr Hamid
bahwa seolah-olah nilai Al-Qur'an sebagai wahyu dan Kalam Allah
sudah hilang kesakralannya, hanya karena Allah memilih bahasa
Arab sebagaibahasa Al-Qur'an yang pada wakhr ihr digunakan oleh
suku-suku yang berperadaban rendah dalam percakapan mereka
sehari-hari. Bisa ditanyakan, dengan bahasa apakah Al-Qur'an seharusnya dihlrunkan, sehingga manusia dapat memahami wahyu
Tuhannya tanpa mengotori kesakralannya? Al-Qur'an menceritakan
perilaku umat terdahulu yang menolak risalah kenabian dengan
alasan, bahwa para Rasul ihr yaitu manusia biasa yang memakan
makanan dan berjalan-jalan di pasar. Mereka mempertanyakan,
mengapa Allah tidak menumnkan Malaikat saja sebagai pemberi
peringatan (al-Furqan: 7).
Dengan menyimak uraian di atas, dapat dipahami bahwa tradisi
pemikiran Mu'tazilah tidak dapat disamakan dengan banyak ideide dekonstruksi konsep-konsep dasar Islam, yang dilakukan
sejumlah pemikir Arab kontemporer. Dekonstruksi konsep Al-Qur'an
yang dilakukan para pemikir kontemporer ihr lebih tepat jika dikatakan mempakan adopsi dari tradisi Kristen di Barat yang berkembang pesat pada abad ke-19, dan bukan berasal dari penggalian
tradisi pemikiran yang pemah dikembangkan Mu'tazilah. Sebab
strbs tansi pemikiran Mu'tazilah, y ang selanjutnya menjadi perdebatan berkepanjangan selama beberapa abad ke belakang, tidak sampai
menyenhrh akar pondasi hal-hal yang sudahbaku dan masihberada
dalam koridor keimanan yang disertai dengan semangat keislaman
dan keilmuan dengan paradigma yang jelas. Sebab bagaimanapun,
harus diakui dengan kedua semangat tersebut, sudah tidak terhitung
lagi jtrmlah penganut agama Majusi, Zoroaster bahkan kaum zindiq
dan naturalis-atheist (nl-Dnlriyttn) yang telah masuk Islam di tangan
Mu'tazilah. Dan pada masa Abu Hudhail al-Allaf (sekitar tahun
131H-226FI) saja tidak kurang dari 30.000 orang telah masuk Islam
setelah melalui beberapa kali perdebatan dengannya.al
Soal 'mempengamhi' atau 'dipengamhi', bisa diuji. Al-Qur'an
terbukti telah banyak merombak gaya hidup masyarakat Arab jahiliyyah, baik dengan penjelasan langsung maupun melalui penggunaan istilah. Seperti ketika Al-Qur' an menjelaskan secara langsung
perbedaan antara makna al-bni' (jual-beli) dengan ribn. Atau ketika
mengubah gaya hidup masyarakat Arab dengan penggunaan istilah
yang sama tapi beda pengertian. Di antara contohnya yaitu istilah
'nikah' dalam tradisi jahiliyyah Arab berbeda maknanya dengan pengertiannya dalam Al-Qur'an. Dari pengertian sekedar pemenuhan
kebutuhan seks tanpa batasan pertalian darah, bahkan dapat diwariskan sampai kepada anak kandung, bembah menjadi suatu
"perjanjian yang kuat" (mitsaqan glnlizln).
Abtt Zayd sendiri mengaku dirinya seorang sekular. Unhrk
memperjelas siapa dan bagaimana hubungan konsep Abu, Zayd
dengan konsep-konsep dalam tradisi Kristen-Barat, berikut ini beberapa ktrtipan dari buku Meretrc Kesarjannnn Kritis Al-Qur-nn: Teori
Henrterrcutikn Nnsr Abu Znyd (2003), yang ditulis oleh seorang murid
AbuZayd di Universitas Leiden,
"Dia telah mengkritik para Muslim konservatif seperti AlImam al-Syafi'i, Al-Imam al-Asy'ari, Abu Hamid al-Ghazali
(dari periode klasik), dan Sayyid Quthb, Hasan al-Banna,
Muhammad al-Ghazali, Fahmi Huwaydi, Muhammad alBaltaji, dan Ab al-Shabur Syahin (dari periode modern), dan
j,ga para Muslim rasionalis klasik seperti Mu'tazilah dan Ibnu
Rusyd (Averoisme), serta para Muslim liberal modern seperti
Hasan Hanafi dan Muhammad Shahrour. Abu Zayd berupaya
unhrk memformulasikan sebuah perangkat metodologis yang
dapat dipergunakan unhrk mendeteksi pembacaan-pembacaan
ideologis atas teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, pendapat
Abu Zayd yang berkaitan dengan pembacaan ideologis mengingatkan kita kepada "hermeneutic of innocent"-nya E.D. Hirsch,
Jr., walaupun tak persis sama, yang sesungguhnya, menumt
saya, tidak dapat lagi dipertahankan pada era pasca-Gadamer--
tokoh yang dianggap justm banyak mempengaruhinya.
AbuZayd secara berulang-ulang mengatakan bahwa sebuah
pembacaan ideologis dan subjektif atas Al-Qur'an tidak lebih
daripada manipulasi makna, yang bertentangan dengan objektivitas ilmiah. Bahkan, ideologi itu sendiri, menurutnya, yaitu
sebuah "penyakit" yang hams diberantas. pada titik ini, pengaruh konsep Marxis tentang ideologi, sebagaimana disinyalir
oleh para penentangnya, bagaimana pun terbukti adanya. para
Marxis melihat ideologi sebagai sebuah "distorsi" realitas, dan
mereka juga mengkontraskannya dengan 'kesadaran sejati,
(true consciousness).... Kesadaran akan strbjektivitas dan kecendemngan ideologis ini, menumt hemat saya, haruslah dimasukkan dalam asumsi-asumsi epistemologis. subjektivisme
dan kecenderungan ideologis bukanlah hal yang hams disingkirkan, namlrn malah harus dimasukkan sebagai faktor penting
dalam membangun sebuah teori hermeneutika. pada tingkat ini,
kesadaran ihr telah bekerja dalam level yang lebih riil, yakni
level epistemologis. Upaya semacam ini tampaknya absen di
dalam karya-kary arty
Meskiptrn Ab:u Zay d sangat kritis terhadap pembacaan-Pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan, sebagian besar
tulisannya, pada kenyataannya, bersifat ideologis pula. Ada
dua ideologi penting yang mendasari karya-karyanya, vaitu
sekularisme dan akademisme, dengan tanpa mengatakan bahwa kedua ideologi ini, dan pengaruh dari keduanya, berdampak negatif. Saya hanya bermaksud menunjukkan bahwa, secara sadar atau tidak ideologi dan subjektivitas Abu Zayd hadir
dalam ttrlisan-tulisannya. Artinya, 'klaim ideologis' itr"r dapat
dikenakan kepada siapa saja, karena 'klaim' itu sendiri merefleksikan ideologi tertentu. "
"sebagaimana terhrlis dalam bab pertama, Abu Zayd memosisikan dirinya sebagai seorang intelekhral Muslim sekularis.
Meskipun dia mendefinisikan sekularisme setragai sebuah
"interpretasi sejati dan ilmiah atas agama", tidaklah berarti
bahu,a sekularisme trukan sebuah ideologi.... Kepercayaan Abu
Zayd akan otoritas nalar, objektivitas, dan akademisme membimbingnya untuk menjadi n akil sah dari pengikut rasionalis
pencerahan modern. Namttn, fakta bahwa dia terkadang mengadopsi konsep-konsep posmodernisme tidaklah terbantahkan.
Fouad A1'ami, misalnya, mengatakan, bahrn'a Abu Zayd sangat
"at home dengan metode dan bahasa Michel Fotrcault dan
Antonio Gramsci", dan Edrvard Said mengatakan, bahwa "utang
terhadap Foucoult yaitu ielas" ketika Abu Zayd menggttnakan konsep "\ /acana" dalam (buku) "Naqd al-Khithab al-Dini"
(Kritik atas Wacana Keagamaan). Namun, tidak dapat dikatakan bahn,a Abu Zayd bekerja dalam kerangka 1-rosmodernisme,
yang justm menolak sentralitas nalar; objektivitas, dan akadernisme, hal vang justrtr paling dibela Abu Zayd. Lagi pula, dia
tidak pemah menyatakan dukungalmya terhadap posmodernisme, dan tidak premah mengutip karva-karya posmodernis,
meskipun, sebagaimana yang diakuinya, clia membaca beberapa karya itu."{salah sahr produk hasil penggrmaan metode hermeneutika ala
AbttZayd, misalnya, yaitu pendapatnya bahwa jin dan setan tidak
ada dalam realitas dan hanya ada dalam mitos. Karena melihat wahyu sebagai proses evolusioner transformasi dari sebuah pandangan
dunia mitologis kepada pandangan dunia rationalistik, maka di
akhir analisisnya tentang jin, setan, sihir, dan hasad, AbrZayd,berkesimpulan, bahwa semua ihr pada hakikatnya bersifat mitologis,
'hidup'dalam konsep mental saja, dan tidak ada dalam realitas.a3
Pengamh Ferdinad de saussure jelas daram interpretasi tentang
kekuatan-kekuatan jahat di atas, khususnya yang terkait dengan
tanda-tanda linguistik. De saussure berpendapat bahwa "tandatanda linguistik bukanlah hubungan (tink) antara sebuab benda dengan sebuah nama, namlrn antara sebuah konsep dengan sebuah
pola strara."{r Pendapat lain AbuZayd dari produk metode hermeneutika yaitu , bahwa bunga dalam sistem perbankan sekarang
tidaklah terkait dengan riba, poligami haram, dan perempuan mendapat bagian waris yang sama dengan laki-laki.{5
Membaca kesimpulan dan analisis murid Abrzayd. di Leiden
tersebtrt, tampak bahwa apa yang dilakukan Ab...- Zayd, dengan
mengadopsi metode hermeneutika unhrk menafsirkan Al-eur'an
masih berkutat pada dekonstruksi sejumlah hukum Islam yang memang sering menjadi hujatan kaum pembam. Thmpak 'ideologi
tertenhl'mendahului cara pandang terhadap Islam, sehingga kemudian sahr metodologi baru dibuhrhkan unhrk menafsirkan ayat-ayat
tertentu supaya sesuai dengan pandangan kaum modernis yang
terpengaruh pandangan hidup Barat atau materialis.
Tenhr saja, dengan alasan historisitas dan budaya tertentu,
banyak hukum Islam bisa dibuang dan dikatakan tidak cocok lagi
dengan za,r.a'. modem. Metode analisis semacam ini bisa berlangsung secara liar. Misalnya, ayat-ayat Al-Qur'an tentang khnntr bisa
dianalisis, karena kondisi iklim Arab yang panas, sehingga klnntr
tidak cocok untuk kesehatan. Berbeda halnya jika cuaca dingin,
klmntr bermanfaat untuk menghangatkan badan. Bagaimana jika
dianalisis secara liar--dengan menemPatkan aspek kemanfaatan--
bahwa pengharaman daging babi juga berlangsung ketika babi merupakan binatang yang langka dan menjijikkan di Arab ketika ihr.
Akibatnya, babi binatang yang mahal dan kurang manfaat. Tetapi,
sekarang, sudah dibuktikan, bahwa babi yaitu binatang ternak yang
paling produktif dan menguntr,rngkan. Lemak babi termasuk jenis
lemak yang sangat baik unhrk slrcrtening, bahan pembuat roti. soal
penyakit, sudah bisa dilakukan sterilisasi dengan cara mutakhir, sehingga aman. Btrktinya, banyak orang Barat atau Cina yang sehatsehat saja makan babi, bahkan mereka pintar dan maju.
Para pengaplikasi hermeneutika di kalangan Muslim, seperti
Arkoun, Fazlur Rahman, dan Abu Zayd, masih berkutat pada masalah "itu-itu saja". Mereka belum mampu menelorkan "ijtihad yang
komprehensif" sebagaimana para mujtahid Muslim di masa lalu.
Misalnya, bagaimana dengan metode hermeneutika sampai pada
kesimpulan bahwa salat lima waktu yaitu wajib, wakhr puasa
Ramadhan yaitu mulai subuh sampai maghrib, thawaf waktu haji
dilakukanberlawanan dengan arah jamm jam dengan Ka'bah di sisi
kiri, zakat fitrah yaitu wajib, dan sebagainya. Sementara itu, sekali
metode hermeneutika diaplikasikan, maka seketika ihr sudah berlangsung dekonstmksi terhadap berbagai konsep dasar dalam Islam,
seperti konsep Al-Qur'an dan metodologi penafsirannya. Yang
memprihatinkan kemudian, yaitu merebaknya semangat kecurigaan terhadap para ilmuwan-ilmtlwan Muslim yang agung-- dengan
mengatakan bahwa pendapat mereka harts dicurigai karena ada
tlnsur-rtnstlr kekuasaan dan motif pribadi atau terpengaruh lingktrngannya ketika itr-r. Karena itu, hasil ijtihad mereka harus dikritisi.
Generasi muda Muslim yang hamsnya melakukan kajian yang
serius terhadap warisan tradisi Islam akhirnya enggan bahkan
"mrlak" dengan tradisi Islam. Sebaliknya, mereka bangga dengan
warisan tradisi Kristen-Barat, dan menyangka bahwa ihllah jalan
menuju keselamatan dunia. Yang terjadi kemudian yaitu sebuah
fenomena kerancuan dan kekacauan berpikiq, sebagai bukti dari
kuatnya hegemoni pemikiran Barat dalam studi Islam. Ihr bisa dilihat dari upaya penyusunart counter legal draft Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang dilakukan sekelompok Muslim'
Sebagaimana halnya dengan sekttlarisasi dan liberalisasi, her-meneutika jtrga memiliki beberapa aspek positif, khustrsnya jika
ditcrapkan unhrk teks-teks sastra biasa. Tetapi, jika metocle ini
diterapkan unhrk memahami Al-eur'an, yang rnerupakan wahyu
Allah, dengan melepaskan makna yang diberika. oleh Nabi Muhammad saw., maka masalahnya akan menjadi sangat serius. Ibarat
obat, setiap jenisnya ada khasiat dan efek samping.ya. Dosis dan
objek penggunaannya juga harus tepat.
yaitu menarik menengok sosok-sosok ilmuwan besar Islam
terdahulu. Dengan segala kehebatarLnya dalam dunia keilmuan,
tengoklah bagaimana sikap "tahu diri" seorang al-Ghazali. Beliau
tetap menempatkan dirin1.2 cli baH'ah mazhab al-syafi'i dalam soal
metodologi ushul fiqih. Beliau tidak merasa lebih hebat dari alsyafi'i. Banyak ilmur.t an besar Islam yang tetap memelihara sikap
adil dan beradab dalam mengkaji dan menyebarkan ilmu kepada
masyarakat. Dalam tradisi ilmu hadits hal itu sangat terpelihara.
seseorang belum berani menviarkan sahl hadits, jika belum mendaprat izin dari gumnya. Dunia keilmuan Islam juga menjunjung
tinggi akhlak dan moralitas. seseorang yang didapati bermoral jahat
tidak dipercaya lagi periwayatannya. Ini tentu sangat berbeda dengan tradisi keilmuan di Barat. Sebagaimana disebutkan terdahulu,
Patrl Johnso., dalam brkunya "Intclleainl.s,, (198g), memaparkan
kebejatan moral sejumlah ilmuwan besar yang menjadi ru;'ukan keilmuan di Barat dan dunia internasionar saat ini, seperti Ruosseau,
Ilenrik Ibsen, Lco Tolstoy, Ernest Hemingrtay, Karl Marx, Bertrand
Russel, Jean-Paul Sartle, dan Lreberapa lainn1,a.
Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai ,,manusia gila yang
menarik" (nu itierestirtt nmtlnurn ). pada tahun 172g, saatbemmur 15
tahtm, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi
peliharaan Madame Francoise-Louise de whrens. Ernest Hemingway/ seorang ilmuwan jenius, tidak memiliki agama yang jelas. Kedua orang tuanya yaitu pengikut I(risten yang taat. Istri pertamanva, Hadley, menyatakan, ia hanya melihat IJerning*,ay sembah_
yang selama dua kali, yaihr saat perkawinan dan pembaptisan
anaknya. Untrrk menyenangkan istri keduanya, pauline, dia berganti agama menjadi Katolik Roma. Kata Johnson, dia bukan saja tidak
percaya kepada Tlrhan, tetapi mengangg ap ,,organized raligion,, seba_
gai ancaman terhadap kebahagiaan manusia.Meskipun begitu, tradisi keilmuan di Barat masih menghormati tradisi mereka sendiri. Buku-buku sejarah mereka penuh dengan
pengagtmgan tradisi mereka sendiri, yang bisanya dimulai dari
tradisi keilmuan Yttnani. Misal, btrku World of N'l,asterpit'ces, memtlat
karya-karya ilmuwan klasik yang dianggap sebagai pemikir besar
oleh Barat, seperti Homer, Xenophanes, Thucydides, Euripides, Plato,
Aristotle, Cicero, Cahlllus, St. Agustine, Dante, Erasmus, Niccolo
Machavelli, dan setragainya. Tahun 2002, Tlrc Crnrilnrm Proqrornrrrc di
Anstralia, menerbitkan dtta jilid buku beriudul Poruerftl ldans: PersTtectiue orr Gocd Society. Buku itu meniadi Pandtlan unhrk mendidik
para pemikir. Isinva bentpa petikan-petikan pemikiran dari para
pemikir Barat vang mereka anggap besar dan penting trntuk lr'.embangun masyarakat ideal yang mereka citakan, seperti Sopochles
(495-4O6SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle
(384-322 BC), St. Agtrstine (354-430), Machiavelli, llhomas Hobes,
John Locke, Ruosseatt, Adam Smith, Imanuel Kant, Karl Marx, John
stuart Mill, dan setemsnya sampai Nelson Mandela, Martin Luther
King Ja Vaclav Havel, Edr,t,ard Said, dan sebagainya.
Sebagai sahr peradaban besar yang masih bertahan hingga kini,
Islam juga memiliki akar sejarah dan tradisi intelektual yang khas.
Biasanya setiap peradaban akan menulis sejarah peradabannya
sesuai dengan perspektif mereka. Para ilmtrwan Muslim sehamsnya
tidak mudah bersikap apriori terhadap tradisi Islam, dan tanpa
sikap kritis yang memadai mudah mengadopsi pemikiran asing.
Lebih bunrk lagi, jika disertai dengan menghtriat atau mengkritik
para trlama Islam tanpa melakukan kaiian yang sunggtrh-sungguh
dan mendalam, hanya agar digolongkan sebagai pemikir yang
"bcrani melarvan kemapanan". Padahal kritikan mereka itu biasanya
hanyalah "mem'L)eo" kritikan t'ang diajukan oleh orientalis, seperti
dalam masalah hukum Islam atau shrdi Al-Qur'an.
yaitu sangat memprihatinkan, jika ada ilmttwan dengan
mudahnya menyatakan, bahn'a sudah saai.,ya kita meninggalkan
kitab-kitab tafsir klasik, ushril fiqih, dan sebagainya, padahal ia
sendiri bukan pakar dalam bidang ihr dan tidak pula menyatakan
ihr berdasarkan kaiian dan pemahamannya yang serius dan mendalam. Para ilmur,t an Mtslim terdahulu juga bersentr.rhan dengan
pemikiran dari kebudayaan asing, dan mereka juga mengadopsi danmengadapsi pemikiran asing. Thpi tenhl sesudah mereka menguasai
benar.tradisi intelektual dalam pandangan hidup Islam. sehingga
yang terjadi justm lslamisasi konsep-konsep asing.
Sebaliknya pula para pemikir Barat. Mereka mengambil pemikiran para cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang, tapi kemudian mereka transfer kedalam pandangan hidup Barat dan terjadilah
pembaratan. oleh sebab pemikiran Barat, meskipun di antaranya
berasal dari tradisi Islam, banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma Islam. unhrk mengambil berbagai saripati pemikiran Barat ihr diperlukan perubahan paradigma, agur iidak memsak
epistemologi Islam ihr sendiri.
Kasus "Kompilasi Hukum Islam,,
Gagasan "Pembaman Hukum Islam: Cotmter Legal Drnft Kompilasi Hukum Islam" (KHI) yang disustm oleh rim pengarusutamaan Gender (PUG) bentr"rkan Departemen Agama tahun 2004, telah
memicu kontroversi besar di kalangan umat Islam Indonesia. Bagi
banyak kaum Muslim, belum terbayangkary dari pe.'t Departemen
Agama, akan keluar sahl rancangan keputusan penting yang membongkar sejumlah aspek hukum Islam yang //mapan" dan telah disepakati keabsahannya sejak zarnarLNabi Muhammad saw..
Padahal, jika kita cermati, muncuLrya draft KHI versi bam ini
yaitu konsekuensi logis dari meruyaknya paham liberalisme dan
pluralisme agama di Indonesia, yang sudah ditanamkan dan disebarkan selama puluhan tahun. Banyak kalangan Muslim yang
masih tidak menyadari, bahwa mereka sedang menghadapi zaman
baru, tantangan baru, dalam bidang keilmuan khususnya, yang
sangat berbeda dengan beberapa puluJr tahun lalu.
Sejumlah pasal dalam draft KHI kali ini memang ganjil. poligami diharamkan. Perkawinan antar-agama disahkan. Kawin kontrak
diizinkan. Batas minimal perkawinan yaitu 19 tahun. Laki-laki--
sebagaimana wanita--juga memillki iddah. Rumusan draft KHI ihr
disusun dengan landasan dan visi-visi: pluralisme, nasionalitas,
penegakan HAM, demokratis, kemaslahatan, dan kesetaraan gender.
Jadi, menyimak dasar pijakan penyuslrnan draft KHI, sebenar_
nya pola pikir yang mendasari tim penyusunnya bukanlah pola
pikir yang berkembang dalam tradisi Islam. Epistemologi ataume,todologi penafsiran Al-Qur'an dan Sunnah yang digunakan
bukanlah metodologi yang digunakan kaum Muslim selama ini.
Mereka lebih suka meminiam metodologi hermeneutis. Mereka lebih
percaya kepada Paul Ricour, Ferdinand de Saussure, Emilio Betti,
Michel Foucault, Antonio Gramsci, John Hick, Wilfred Cantwell
Smith, dan teman-temannya, ketimbang percaya kepada al-Imam alSyafii atau al-Ghazali. Pendapat-pendapat para Imam kadangkala
dikutip tidak pada tempatnya, sehingga memunculkan produk yang
jauh dari kebenaran. Perubahan-perubahan itu dilakukan lebih untuk
konsumsi 'ideologi kontemporer Barat', yang sedang berkembang
dan ngetren d, seperti paham pluralisme agama. Padahal, paham ini
sangatbermasalah. Sayangnya, paham ini diimani tanpa sikap kritis.
Unhrk menjebol dan membongkar tradisi keilmuan Islam yang
agung, kelompok jenis ini biasanya melakukan penghujatan terlebih
dahtrltr kepada para Imam besar. Dalam buku Fiqilt Lintas Agnnn,
misalnya, dikatakan, "Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu fiqih yang dibuat Imam Syafi'i. Kita lupa,
Imam Syafi'i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tetapi
juga karena Syafiilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang
selama kurang lebih dua belas abad."
Unhrk bidang gender, mereka membttat klaim general, bahwa
tradisi fiqih Islam didominasi laki-laki. Tafsir yang ada yaitu bias
gender. Bahkan, ada yang menyatakan, semua kitab suci bias gender.
Fenomena ini sebenarnya mengikuti jejak kaum Kristen. Kaum
feminis Kristen, sejak lama bemsaha keras bagaimana agar gerakan
mereka mendapat legitimasi dari Bible. Mereka tidak lagi mentrlis God, tetapi |uga Goddes. Sebab, gambaran Tirhan dalam agama
mereka yaitu Ttrhan maskulin. Mereka ingin adanya Tuhan yang
(bersifat) peremprlan. Tuhan yang bukan "hlr\ /a" tetapi "hiya".
Kaum feminis Kristen tidakberani membuang Bible, tetapi melakukan perombakan terhadap metode interpretasinya. Problema
dalam tradisi Kristen ini kemudian diimpor ke dalam Islam. Dengan
menjadikan "gender equnlity" dalam konsep Barat sebagai basis
berpikir, mereka kemudian mengotak-atik Al-Qur'an, dan menyatakan, Al-Qur'an juga bias gendet kecuali jika ditafsir ulang sesuai
pola pikir dan selera mereka. Problema praktis dan partikular yang
dihadapi kaum wanita--memang banyak diantara mereka yangtertindas--ditarik ke akar ideologis dan epistemorogis. seolah-olah,
semua itu yaitu karena kesalahan ulama Islam masa lalu, yang
merumuskan fiqih yang berpihak pada laki-laki.
Maka, persoalan drnft KHI sebenarnya lebih mempakan soal
cara berpikir dan metodologi. Mereka selama ini menolak metode
literal dalam memahami nnslutnsh hukum. Namun, metode literal
yang dituduhkan kepada pengritik drnft KHr juga diterapkan oleh
penyrrsrln droft KHr sendiri. Mereka juga ingin agar draft KHI ihr
dipahami secara literal. Karena poligami menjadi bahan serangan
paham kesetaraan gendcr, maka poligami diharamkan. Kehra Tim
PUG Dr. siti Musdah Muiia, dalam wawancara dengan satu harian
di Jakarta, menyatakan, "Poligami unhlk para nabi dan mereka yang
tingkatnya sama dengan para nabi, bukan untuk manusia seperti
kita."
Logika bahwa asas perkawinan yaitu monogami (ps 3 ayat 1),
sehingga perkawinan di luar ayat t harus dinyatakan batal secara
htrknm (ps.3 ayat 2), juga tidak berdasar. Poligami saat ini, memang
bukan umsan sembarangan. Masalah yang satu ini masuk dalam
tinjatran kebijakan luar negeri AS. Dalam "RAND Corporatiort reptort
ort Ciuil Dettncrntic lslnnr" yang ditLrlis Sheryl Bernard sebagai bahan
masukan penyusunan strategi politik AS terhadap Islam, disebutkan
bahwa kaum fundamentalis Islam menerapkan poligami. Di dunia
internasional der,r,asa ini, poligami sudah climasukkan ke dalam
wilayah prolitik. Mereka yang berpoligami berarti fundamentalis,
mereka yang fundamentalis cendemng pada terorisme.
Soal perkar.t,inan antar agama juga masalah serius. Khususnya
perkau,inan antara muslimah dengan laki-laki nonmuslim. AlQtrran (60:10), clengan tegas mengharamkan perkart,inan Muslimah
dan laki-laki non-Muslim. Belum pernah ada ulama-sejati--yang
menghalalkan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Musrim.
Namnn, tmiknya, hanya dengan satti dalil "pluralisme agama,,,
semua yang haram dapat menjadi halal. Padahal, paham yang memberi keabsahan pada semua agama ini sa.gat bermasalah. cara
berpikir semacam ini sangat berbahaya, sebab dapat menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halal. I\4enurutnya ketr_ra Tim
PUC, korupsi lebih berbahal,s dari perkawinan antar agama. Ini
logika yang salah. Kompsi yaitu jahat. Perkawinan yang tidak sahjuga jahat, sebab sama saja dengan perzinaan. Pezina pahlt dijahrhi
hukum cambuk atau rajam, yang bisa jauh lebih berat ketimbang
hukuman bagi komptor. Bena1, banyak perbedaan pendapat dalam
hal pemikahan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlul Kitab. Tetapi,.
tidak ada perbedaan dalam soal haramnya Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim.
Walhasil, persoalan couter lagnl draft KHI sebenarnya soal
simptomatis, dari sebuah gunung es yang sudah bemrat berakar di
tengah sebagian cendekiar.r,an Muslim. Kebanggaan memeluk dan
mengimani paham gender, pluralisme, demokrasi, dan hak asasi
manusia, menjadikan mereka minder dengan khazanah keilmuan
Islam dan merasa rendah diri berhadapan dengan peradaban Barat.
Ini bisa terjadi karena kebodohan dan sikap n priori, kekeliman informasi dan pendidikan, atau besarnya kucuran dana unhrk proyek
semacam penguatkuasaan gender dan pluralisme agama.
Sejnmlah pasal kontroversial dalam counter legol drnft KHI, juga
sejalan dengan apa yang dibahas oleh para prembam hukum Islam,
seperti Nasr Hamid Abu Zayd. Dan ini lebih merupakan aspek
mental, cara berpikir, dan metodologi penafsiran nash, yang u;'ungnya juga tidak lepas dari invasi dan hegemoni pemikiran Barat
dalam shrdi Islam.
Karena ihr, Dr. Syamsuddin Arif dalam artikelnya di Ifarian
Repulilikn (30 September 2004), yang berjud:ul "Kisnh lntelekttLol Nnsr
Harrtid Abu Ztyd" menulis,
"Terus-terang saya tidak begihr tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis \^/acana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan
--untuk tidak rnengatakan selunrhnya-yaitu gagasan-gagasan
nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman
intelektual masyarakat Barat.... Orang macam Abu Zayd ini
cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang
digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama
dcngan lampu bam yang dijajakan oleh si hrkang sihir."
Wnllnlru a'lom.
Pluralisme agama (religiotrs plurnlisnt) yaitu sebuah paham iiit||i) _riii::ij.i
(isme) tentang "pluralitas". Paham, bagaimana melihat ke-
,J#*-t. ragaman dalam agama-agama; mengapa dan bagaimana
memandang agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada sahl agama yang benar atau semua agama benar.
Meskipun istilah ini lahir dan dikembangkan di Barat, tetapi istilah
ini mulanya tidak dikenal dalam teologi resmi Gereja. Sebagaimana
istilah sekularisme, yang semula tidak dikenal bahkan dimusuhi
oleh kaum Kristen, kemudian diterima dan dicarikan legitimasinya
dalam Bible.l
Definisi John Hick dalam Tlrc Encyclopedia of Religion:
"Secara filosofis, istilah (pluralisme) ihr memjuk pada teori tertenhr tentang hubungan antara tradisi-tradisi ini, dengan ma-
sing-masing klaim mereka yang berbeda dan saling merasa
lebih unggul. Ini merupakan teori dimana agama-agama besar
dunia meletakkan konsepsi dan persepsi yang beragam, berikut
respons-responsnya, terhadap realitas kehrhanan yang misterius dan paripttrna... Pluralisme yang eksplisit menerima posisi
yang lebih radikal dari yang diambil oleh inklusivisme: pandangan bahwa iman-iman besar dunia mewujudkan persepsi
dan konsepsi yang berbeda, dan bersamaan dengan ihr respon
yang berbeda, terhadap "Sang Wujud" (tlrc Renl) atau "sang
Paripuma" (tlw L?titrrnte), dan di dalam masing-masing keyakinan ittr secara independen terjadi transformasi keberadaan
manusia, dari pemusatan pada diri menuju pemusatan pada
kenyataan. Maka tradisi-kadisi agama besar akan dianggap
sebagai "rLuang" soteriological alternatif di mana di dalamnya --
atau "jalan-jalan" di mana--kaum lelaki dan perempuan dapat
menemukan keselamatan, kemerdekaan, dan kebah agiaant." 2
Intinya, ]ohn Hick--salah sahr tokoh utama paham religiotts
plurilism--mengajukan gagasan pluralisme sebagai pengembangan
dari inklusivisme. Bahwa, agama yaitu jalan yang berbeda-beda
menu;'tr pada keparipurnaan (the Llltimate) yang sama. Ia mengutip
Rumi yang menyatakan, "Lampu-lampunya berbeda namun cahayanya sama; ia datang dari atas." Menurt't Hick, "Sang Wujud" yang
merupakan "tujuan akhir dari pandangan beragama", mempakan
konsep universal. Di Barat, kadang digunakan istilah "riltimate
reality" ; dalam istilah Sansekerta dikenal dengan " sat" ; dalam Islam
dikenal istilah "al-haqPara penganut paham pluralisme di Indonesia, kemudian
mengembangkannya dalam bahasa-bahasa yang lebih sederhana,
menarik, dan provokatif. Seolah-olah, Pluralisme agama yaitu kehamsan, yang wajib dipeltrk oleh setiap pemeluk agama, menggantikan paham lama (eksklusivisme). Siapa yang tidak menganttt
paharn ini bisa dicap sebagai anti-pluralitas dan antitoleransi. Lebih
jauh, dipropagandakan bahr.r,a semtla agama yaitu jalan mentrju
keselamatan. Tidak ada satu agama pun yang berhak mengklaim
sebagai sahl-sahlnya yang benar dan sattt-sahrnya jalan keselamatan. Konon, menumt mereka, klain'r kebenaran pada satu agama
merupakan sumber konflik antar ttmat beragama.{
Sebuah iurnal keagamaan mencatat,
"Perbedaan';'alan' rraupun cara dalam praktik ritual tidaklal-r
mcnjadi sebab ditolak atau tercelanya seseorang melakukan
'penghormatan' total kepada apa yang diyakini. Perbedaan
jalan dan cara merupakan kekayaan bahasa Tuhan yang
memang tidak bisa secara pasti dipahami oleh bahasa-bahasa
manusia.... Memperhatikan hal ini, maka tidak perlu lagi mempersoalkan mengapa antara orang Islam, Kristen, I{indu, Budha
dan lain sebagainya tampaknya 'berbeda' dalam 'mencapai'
Tuhan. Perbedaan ritual hanyalah perbedaan lahiriah yang bisa
clitangkap oleh kasat mata, sedangkan hakikat rihral yaitu
'penghormatan'atas apa yang dianggap suci,luhur, agung, dan
sebagainya. Ritr,ral-ritual hanyalah simbol manusia beragama
karena mengikuti rangkaian sistematika tadi."
Jurnal ihr juga mengutip ungkapan seorang dosen shrdi agama:
"Perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing agama pada
dasarnya bersifat instrr.rmental. Sementara di balik perbedaan
ihl, terkandtmg pesan dasar yang sama yakni, ketuhanan dan
kemanusiaan, yang memungkinkan masing-masing agama dapat melakukan perjumpaan sejati."s
Ada yang berkampanye bahwa "Pluralisme agama" yaitu
paham yang tidak boleh ditinggalkan dan wajib diikuti oleh semua
umat beragama. Berbagai organisasi dan tokoh agama aktif membenhrk semacam "cetttrt, oJ religiotts plurnlisn/'. Salah satu sebabnya,
program ini memang mudah menyerap dana besar dari para donatur Barat ("laku dijual"). Seorang aktivis Muhammadiyah menulis
cli media massa,
"Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa
pluralisme agama sudah menjadi hukum Tlrhan (sunnahrllah)
yang tidak mungkin bembah. Dan, karena itu, mustahil pula
kita melan,an dan menghindari. Sebagai Muslim, kita tidak
punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam
menerima pluralisme agama sebagai hukum Tirhan."b
Nurcholish Madjid merrrlis: "Jadi pluralisme sesungguhnya
yaitu sebuah Ahrran Tlrhan (Sunnat Allah, "sunnahrllah") yang
tidak akan bembah, sehingga juga tidak mungkin dilar.t,an atatr diingkari."T
Pluralisme juga menjadi salah satu program pokok gerakan
liberalisasi Islam di Inclonesia.s
Berikut ini ktrtipan agak panjang dari seorang propagandis
p.rham Pluralisme Agama }'ang disebarkan melalui berbagai meclia
massa di Indonesia,
"Adakah dasar teologis yang diperlukan tmt,k suat, basis kemkunan hidup beragama? Pertanyaan ini penting, karenaselama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis yang karena
menyangkut masalah akidah (baca: kebenaran), tidaklah perlu
dibicarakan--apalagi dicarikan titik temunya. Sehingga terkesanlah teologi sebagai ilmu yang terhrtup, dan menghasilkan
masyarakat beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat
global dan pascamodern dewasa ini bersifat terbuka dan
pluralistis. Teologi Eksklusif atau Teologi Pluralis? Memang,
dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling
benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam
ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang, seperti termuat dalam buku-buku polemis maupun ilmiah."
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, masih menarik trntuk diungkapkan di sini. Katanya, "Otlrcr religiorts nre fnlse
patls, tlmt mislead tlrcir follouers" (Agama lain yaitu jalan yang sesat,
dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan Ajith Fernando yang
dibahas dalam bukunya The Christian's Attihrde toward World
Religions (1987) ini memang sangat keras dan langsung ter-gambar
eksklusivitasnya. Dan yang menjadikan kita kaget yaitu kitab suci
ternyata dianggapnya membenarkan hal tersebut. Ayat yang sering
dikutip dari Alkitab, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak
ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui
Aktr" (Yohanes 14: 6), atau "Dan keselamatan tidak ada di dalam
siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini
tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya
kita dapat diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4:12). Pandangan eksklusif memang bisa dilegitimasikan lewat kitab suci.
Tetapi ihrbukan satu-satunya kemungkinan. Sejak Konsili Vatikan II, sudah jelaslah bahwa pandangan Gereja menjadi sangat
terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agamaagama non-Kristiani. Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan
Konsili Vatikan I[, memmuskan teologi inklusifnya kira-kira dengan
mengatakan, "Otlrcr religiotts ore inrylicit forns of ow' ozun religiort"
(agama lain yaitu benhrk-benhrk implisit dari agama kita).... Kalau
batasnya yaitu Konsili Vatikan II, maka baru sejak 1963-1965lah
secara resmi ada usaha-usaha global unhlk memulai perkembanganteologi ke arah yang inklusif. Dan ban belakangan ini saja berkembang teologi yang lebih pluralis--yang lebih menekankan lebih luas
sisi yang disebutparalelisme dalam agama-agama--yang dapat lebih
digali lewat kajian teologi agama-agama.
Teologi pluralis melihat agama-agama lain sebanding dengan
agama-agama sendiri, sebagai dalam rumusan: Otlrcr religions nre
equnlly anlid zunys to tlte same tnrtlt (Jokn Hick); Other religions speak of
diftrent but equnlly anlid tnttlts (John B. Cobb Jr); Each religion expresses
nn intportant pnrt of tlrc tnftlt (Raimundo Panikkar); atau setiap agama
sebenarnya mengekspresikan adanya "The One in the nmny" (Seyyed
Hossein Nasr). Di sini jelas teologi pluralis menolak paham
eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme ihr ada kecenderungan
opresif.e
Konsili Vatikan II
Para penganjur pluralisme agama di Indonesia, biasanya mengkaitkan perlunya memeluk paham keagamaan itu dengan Konsili
Vatikan II (1962-7965). Konsili paling besar yang digelar dalam sejarah Kristen ihr memang mencatat berbagai pembahan penting dalam konsep teologi Kristen dan sikap Vatikan terhadap Kristen nonKatolik dan agama-agama lain. Tetapi, Konsili ihr sama sekalibukan
mendeklarasikan pluralisme agama. The Encyclopedia of Religion
mencatat,
"Teologi dewan tersebut, wakhl itu, mempakan sebuah teologi
transisi.... karena lembaga tersebut tetap bersifat terlalu neoscho-
/asfic dalam cara-cara kunonya membela diri dari upaya-Lrpaya
teologis modem dan juga terlalu takut dan tidak cukup kreatif
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang melibatkan teologi modern."lo
Ada kemajuan cukup besar dalam memandang agama lain dalam Konsili. Terhadap Islam, misalnya, disebutkan, "Gerejamemandang orang-orang Muslim dengan sikap hormat. Mereka menyem-
bah Allah Maha Esa yang hidup dan ada, Maharahim dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi...."il Namun, pada sisi lain, Konsili
juga tetap bertahan pada kebenaran eksklusif teologi Gereja Katolik,
dengan menyemkan dijalankannya misi Kristen kepada selumh mantrsia. Dalam "Decree ort tlrc Missiotnry Actiaity of tlte Clnrch",
disebutkan bahrva "Gereja telah dikirim oleh Langit bagi semua
bangsa dan ia akan menjadi 'sakramen keselamatan universal"'.
Bahwa Gereja harus melakukan kerja keras "Ltntttk mensyiarkan
gospal kepada semna manusia".12
Saat berpidato menyongsong Yubileum Agung Tahun 2000,
Paus Yohanes Paulus II pun merisaukan pertarnbahan ttmat manusia
yang tidak mengenal Krishrs dan menyerukan agar Cereja mengabdikan seluruh tenaga unhrk penginjilan barr. Kata Paus,
"Jumlah mereka yang tidak mengenal Krishrs dan tidak menjadi anggota Gereja tems-menenrs bertambah. Sungguh, seiak
akhir Konsili (Vatikan II) jumlahnya hamprir dua kali lipat. Bila
kita memperhatikan bagian umat manusia yang besar ini yang
dicintai Bapa dan kepada mereka Bapa mengutus Ptttra-Nya,
mendesaknya hrgas peruhrsan Gereja jelas sekali.... Di hadapan
Gereja, Allah membuka cakrawala kemanusiaan yang lebih siap
untuk penaburan lnjil. Saya merasa bahwa saatnya sudah tiba,
yaihl saat rrnhrk mengabdikan seluruh tenaga Gereja ttntttk
penginjilan baru dan unhrk penttusan kepada bangsa-bangsa
Qttl gentes). Tak ada satu pun orang yang beriman akan Kristtts,
tidak satu pun lembaga Gereja dapat menghindari tugas luhur
ini: memaklumkan Kristus kepada semlra bangsa (RM no.3)."r1Membaca berbagai pernyataan dan tekad Gereja di atas, nyatalah bahwa mengkaitkan paham "Pluralisme agama" dengan "Konsili
Vatikan II" sebenamya tidak relevan. Pembahan sikap Gereja dalam
konsili Vatikan II perlu dilihat dalam konteks problema teologis dan
sejarah Kristen dalam menghadapi dinamika masyarakat Barat.
Tiauma psikologis yang mendalam masyarakat Barat terhadap perlakuan Cereja saat memegang kekuasaan politik sangat mendalam.
Kondisi inilah yang mempengamhi corak kepuhrsan dalam Konsili
Vatikan II.rl
Sikap Vatikan terhadap Yahudi mengalami perkembangan yang
menarik. Selama ratusan tahun, Kristen sangat represif terhadap
Yahudi, karena memandang Yahudi sebagai yang bertanggrmg
jawab terhadap terbunuhnya Yesus. Menyusul berdirinya negara
Israel, 14 Mei 1948,Harian Vatikan, L'Osseraatore Romano, memrlis,
"Zionisme bukan perwujudan Israel sebagaimana yang dijelaskan di dalam Bible. Zionisme mempakan fenomena kontemporer yang bemsaha mendirikan negara modern (Israel), yang
secara filosofis maupun politis sekuler. Tanah Suci dan Tempattempat Suci sebagaimana mereka sesungguhnya, membentuk
bagian dan bagian dari Clristendont."
Tetapi, setelah Israel menang Perang tahun 1967,Yahkan mengubah pendiriannya, dengan lebih bersikap pragmatis. Monsignor
Murphy menjelaskan sikap bam Vatikan itu, "Thhta Suci mengakui
keberadaan faktual Israel, haknya untuk berdiri, haknya untuk mengamankan perbatasan-perbatasannya dan hak-haknya yang lain yang
dimiliki sebagai bangsa yang berdanlat."r5
Berbeda dengan Konsili Vatikan II yang tetap mempertahankan
teologi Kristen'tertenhl'--dan menyemkan misi Kristen ke selumh
dunia-paham'pluralisme agama' berupaya membenhlk sahl'teologi baru' yang berbeda dengan teologi agama-agama yang ada.
Biasanya mereka sebut semacam'teologi agama universal'. Karena
itn tidak berlebihan jika dikatakan, pluralisme agama sebenamya
merupakan "jenis agama barLL", yang menciptakan "kitab suci" dan
"nab|"-ttya sendiri.
Dalam tulisannya berjudul Tlrcology and the World's Religiotts
History, pendiri pusat kajian Islam di McGill University, Wilfred
Cantwell Smith mengaku dirinya merupakan pendukung gagasan
"a universal theology of religion". Menumt dia, "Visi tersebut
dibawa oleh sekelompok minoritas Kristen; kami mungkin sebuah
minoritas kecil tapi sesuahr yang tems hrmbuh." Ide ihr diakuinya
merupakan ide bam yang radikal yang dapat ditelusuri dari se;'arah
ke-Kristenan fase-fase awal. Leonard Swidler menjelaskan, yang
dimakstrd dengan "n uniaersnl theology of religion" yaitu gagasan
sistematis dan rasional tentang keyakinan terhadap agama atau
ideologi yang dipegang oleh umat manusia. Universal theology
menunjuk pada semua jenis pandangan agama atau ideologi yang
mencoba menjelaskan makna kehidupan dan bagaimana hidup
sesuai dengan pandangannya ihr-apakah itu menyebut 'Tuhan'
atau tidak. Apa yang menjadikannya universal yaitu bahwa kategori-kategori refleksi tersebut yaitu sesuahr yang dapat dimengerti
dan dipeluk oleh semLla orang pemeluk agama atau ideologi, yang
memiliki berbagai "sacred books" apakah Bible, Qur'an, Veda, atau
Das Kapital.16
yaitu men