Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 6. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 6

 



ang 

tertunda masih berlaku. Individu yang secara serampangan dituduh di 

bawah hukum penghinaan India bisa mendapatkan ketidakadilan dalam 

waktu yang lebih lama. Ini membuat undang-undang penghinaan siap 

menjadi senjata pelecehan dan sensor, rentan disalahgunakan. “Prosesnya 

yaitu  hukumannya,” ujar Geeta Seshu, aktivis kebebasan media. Satu 

korban yang dia coba bantu yaitu  Shirin Dalvi, editor sebuah surat 

kabar Mumbai yang diburu sebab  memublikasikan gambar sampul 

Charlie Hebdo yang mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad 

sebagai pendamping cerita tentang pembunuhan di Paris. Dalvi dipanggil 

lima kepolisian berbeda tempat banyak tuntutan diajukan, ujar Seshu. 

Sebagai seorang Muslim, Dalvi jelas tidak berniat untuk menyinggung. 

Dia meminta maaf segera setelah pembaca keberatan atas publikasi 

ulang sampul itu. Seshu awalnya berharap bahwa pengadilan pada 

akhirnya akan membatalkan dakwaan, namun kerusakan telah terjadi: 

Dalvi kehilangan pekerjaan dan terpaksa bersembunyi, akibat ancaman-

ancaman kekerasan. Surat kabarnya harus ditutup dan karir yang telah 

dia bangun selama 20 tahun harus dikorbankan.38

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 121

Kemudahan yang membuat para oportunis bisa memainkan sistem 

legal juga menjelaskan kesenjangan antara peraturan pemilu dan praktek 

pemilu. Komisi Pemilu kerap dikritik atas kegagalannya mengatur ujaran 

kebencian selama masa kampanye, meski, supaya adil, pekerjaan itu terlalu 

besar diemban institusi apa pun. saat  mereka melihat pelanggaran 

jelas, Komisi Pemilu biasanya mengadopsi respon dua cabang. sebab  

pernyataan semacam itu biasanya merupakan pelanggaran menurut 

undang-undang, komisi akan mengajukan komplain ke kepolisian untuk 

menginisiasi proses penindakan secara kriminal. Sebagai tambahan dari 

KUHP, komisi ini juga memakai  “Representation of the People Act”, 

terbit tahun 1951, yang melarang praktik memaksa para pemberi suara 

untuk memilih berdasarkan “agama, kasta, komunitas atau bahasa,” atau 

mempengaruhi pilihan melalui “penggunaan, atau daya tarik simbol-

simbol agama.” Orang yang melanggar hukum ini bisa didiskualifikasi 

dari pencalonan atau menduduki kursi parlemen.39 Meski begitu, proses 

dakwa dan tuntutan bisa memakan waktu beberapa tahun, dan bisa 

terhambat pemerintah negara bagian yang tidak kooperatif. 

sebab nya, selain memasukkan laporan kepolisian, Komisi Pemilu 

juga secara independen memberitahukan bila ada kandidat yang 

melanggar aturan yang disebut “Model Code of Conduct”. Cabang kedua 

ini mulanya hanyalah sebuah mekanisme sukarela, namun kemudian 

hal itu didukung pernyataan-pernyataan resmi Mahkamah Agung. 

Aturan ini dibuka dengan pernyataan tentang komunalisme. “Tidak 

ada partai atau kandidat yang boleh terlibat dalam aktivitas yang dinilai 

akan mempertajam perbedaan yang telah ada atau memunculkan sikap 

saling-benci atau menimbulkan ketegangan antara berbagai kasta dan 

komunitas, yang bersifat keagamaan atau bahasa.” Butir ketiga dalam 

aturan itu menyatakan, “Untuk memperoleh suara, daya tarik kasta dan 

keterikatan komunal tidak boleh digunakan. Masjid, Gereja, Candi, atau 

tempat peribadatan lain tidak boleh digunakan sebagai forum propaganda 

pemilu.”40

Memberi respon melalui “Model Code of Conduct” memenuhi 

unsur kesegeraan yang tidak ada pada KUHP, kata mantan kepala 

komisioner pemilu India, S. Y. Quraishi.41 Dengan memakai  aturan 

itu, Komisi Pemilu bisa mengarahkan partai-partai politik untuk tidak 

mencalonkan kandidat yang pernah melakukan pidato-pidato komunal 

atau memerintahkan agar kandidat bersangkutan bisa menahan diri dari 

Bab 4122

mengulangi perbuatannya pada sisa-sisa masa kampanye. Otoritas moral 

Komisi Pemilu tidak bisa disepelekan, sebab  partai-partai tidak ingin 

tampak terlalu tidak bertanggung jawab. Satu keterbatasan dari aturan 

Komisi Pemilu tentang kegiatan politik yaitu  bahwa aturan itu dapat 

berlaku hanya setelah pemilu resmi dimulai. “Model Code of Conduct” 

memang mencakup menifesto-manifesto terkait pemilu kapanpun hal itu 

dikeluarkan, sebab  pada dasarnya aturan ini dimaksudkan untuk tujuan-

tujuan elektoral. Namun Komisi Pemilu tak punya kuasa untuk mengatur 

pidato ataupun bentuk komunikasi lain yang berlangsung diantara waktu 

pemilu—yang berarti hampir tiap saat.42

Aturan ini bukanlah satu-satunya aturan yang menjaga India dari 

politik sektarian. Keragaman India yang tak bisa direduksi menjadi 

alat uji lain yang kuat. Pada masa lalu, partai-partai besar dan para 

kandidat sudah dari awal menerima pandangan bahwa para pemimpin 

nasional harus mengakomodasi keragaman India, sehingga mereka 

akan menjalankan kekuasaan dengan posisi ideologis di tengah. Ini 

yang terjadi pada masa kepemimpinan BJP yang lalu, di bawah Perdana 

Menteri Vajpayee. Banyak pemimpin partai yang menafsirkan kekalahan 

memalukannya pada 2009 sebagai penolakan atas posisinya yang mulai 

cenderung mendukung nasionalisme Hindu garis-keras. Menurut 

pandangan yang umum diterima ini, figur yang memecah-belah seperti 

Modi tidak akan mampu mengumpulkan jenis dukungan besar dengan 

basis luas yang dibutuhkan satu partai nasional.43

Para pemimpin Partai Kongres terus membuat klaim ini di hari-

hari menjelang pemilu 2014, di tengah naiknya ketidakberdayaan dan 

menurunnya kredibilitas mereka. Sebaliknya, Modi tetap keras kepala. 

Alih-alih menjangkau kelompok-kelompok minoritas dan mengharapkan 

suara mereka, dia malah bermain-main dengan matematika sistem 

pemilu “first-past-the-post”, mengonsolidasikan basis massa BJP, 

dan mengamankan dukungan mayoritas Hindu yang menentukan.44 

Pencapaiannya mensyaratkan pembingkaian-ulang ideologi sekularisme 

India dan demokrasi yang jauh dari hak-hak minoritas dan dekat 

dengan kekuatan mayoritas; jauh dari eklektisisme Hindu, mendekati 

fundamentalisme Hindutva. Pelintiran kebencian merupakan hal penting 

dalam usaha ini. 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 123

Ujaran Kebencian Menuju Pemilu 2014

Akan sulit untuk menemukan pabrik pemelintir kebencian yang lebih 

sistematis dan produktif dibanding Sangh Parivar. Ujaran kebenciannya 

bukanlah hasil meriam tak terkontrol. Meski nampaknya orang-orang 

marah hingga tak masuk akal, ada metode dalam kemarahan ini. 

Kelompok Sayap Kanan Hindu memelihara kebencian anti-Muslim untuk 

memarginalisasi atau bahkan, dalam beberapa kasus tertentu, mencabut 

hak pilih anggota kelompok minoritas keagamaan terbesar di India 

itu. Mungkin yang lebih penting di atas yang lainnya, BJP memahami 

bahwa memunculkan satu kelompok luar (out group) untuk dicaci maki 

yaitu  cara paling mudah untuk mempersatukan mayoritas Hindu yang 

dipisahkan oleh kasta, kelas, dan bahasa. 

Tema-tema Utama dalam Ujaran Kebencian Hindutva

Satu kasus yang sangat ilustratif melibatkan sebuah video yang menjelek-

jelekkan kaum Muslim berjudul Bharat Ki Pukar (diterjemahkan sebagai 

“Panggilan India”). BJP menyebarkan cakram padat ini sebelum pemilu 

anggota dewan tahun 2007 di negara bagian kunci Uttar Pradesh. Video ini 

memakai  motif-motif ujaran kebencian yang kerap digunakan untuk 

menggambarkan kaum Muslim sebagai ancaman terhadap kehidupan—

yang untuk menentangnya-lah BJP tampil sebagai juru selamat. Video 

dibuka dengan suara “Ibu Pertiwi India” memberi peringatan bahwa 

negaranya tengah berada di ambang kehancuran: “dengan memakai  

para teroris, menyebarkan ketakutan dan memecah belah kita, Pakistan 

ingin menghancurkan India menjadi kepingan demi kepingan. … 

Sekarang, orang-orang India yang biasa harus berpikir, apakah mereka 

ingin perbudakan lagi atau Ram Rajya di India yang merdeka.”45

“Ram Rajya” berarti Kerajaan Ram. Meskipun BJP berujar bahwa 

istilah ini hanya berarti tata kelola pemerintahan yang baik, namun dalam 

konteks kampanye pemilu, ini merupakan panggilan emosional untuk 

mendukung Hindutva yang keras tapi ditutupi dengan kelambu tipis.46 

Video ini juga turut berisi kata-kata semacam, “Partai-partai lain, mereka 

semua agen yang membela kaum Muslim.” Pengambilalihan kekuasaan 

oleh Muslim, ancam video ini, berarti penutupan semua sekolah dan 

perguruan tinggi. “Yang akan dibuka yaitu  madrasah tempat fatwa akan 

diterbitkan untuk menyingkirkan kaum Hindu keluar dari negara ini, 

Bab 4124

memperbudak mereka—sebab  mereka ingin berkuasa di sini, mereka 

ingin membuat India menjadi Pakistan.” 

Video ini menampilkan berbagai gambaran tipu muslihat kaum 

Muslim. Dalam satu adegan, seorang pria Muslim (diidentifikasi dari 

penutup kepalanya) menanam sebuah bom di bawah mobil. Adegan 

lain menunjukkan dua anak laki-laki penyembelih Muslim menutupi 

identitasnya untuk menipu petani Hindu agar mau menjual sapinya. Ini 

lalu disusul dengan potongan adegan yang panjangnya limapuluh detik 

mempertontonkan kerbau yang disembelih. Tema lain tipu muslihat 

kaum Muslim berlanjut dengan cerita seorang anak muda yang merayu 

gadis Hindu untuk keluar dari rumahnya, sebelum menunjukkan 

identitas asli pemuda itu sebagai seorang Muslim. Anak muda itu 

kemudian memberikan gadis itu ke pria tua, untuk dinikahi. Sang gadis 

diseret sambil berteriak-teriak, sedang pria yang akan menjadi suaminya 

tertawa, “saat  gadis-gadis Hindu terpikat oleh kami, mereka menjerit-

jerit dan berteriak, namun sayangnya, tak ada yang mendengarkan mereka 

saat  kami bersenang-senang.” Adegan selanjutnya menunjukkan 

perempuan Muslim yang berikrar bahwa sudah merupakan tugasnya 

untuk memproduksi anak lebih banyak. Adegan ini disusul dengan 

sesuatu yang mirip dengan potongan berita, dimana seorang perempuan 

Hindu berkata: “Orang-orang Hindu akan memproduksi dua orang anak 

dan orang-orang Muslim akan menikah lima kali dan memproduksi 

tiga puluh lima bocah dan membuat negara ini menjadi negara Islam.” 

Mendekati akhir video, seorang pekerja sosial Hindu mendesak pemirsa 

untuk membangun satu gerakan kemerdekaan baru dan “bersumpah 

untuk mengusir para pengkhianat dari negeri ini.” Video ini berakhir 

dengan gambar bendera BJP, para pemimpin partai, Masjid Babri yang 

dihancurkan, dan lainnya. 

Berbagai kiasan yang ada  dalam Bharat Ki Pukar diulangi lagi 

dalam kampanye pemilu 2014. Propaganda BJP menyamakan musuh 

Muslimnya dengan pengkhianat Pakistan yang aksi-aksi terorisnya 

mengancam keamanan nasional. Yang dibayangkan terancam bukan saja 

target-target terkenal di kota-kota besar. Di tingkat desa, kaum Muslim 

melanggar kesucian sapi dan harga diri perempuan. Kepada para calon 

pemilih ditunjukkan, tanpa kepemimpinan BJP, kaum Muslim akan 

membuat orang-orang Hindu kewalahan sebab  mereka lebih subur dan 

produktif. 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 125

Fakta bahwa tidak ada satu pun dari semua hal di atas yang benar tidak 

menjadi persoalan bagi kalangan Sayap Kanan Hindu. Coba perhatikan 

klaim mereka mengenai laki-laki Muslim, jumlah istrinya yang banyak, 

dan besarnya jumlah keturunan mereka. Tidak ada bukti bahwa, dengan 

mengontrol pendapatan (dalam uji statistik), kaum Muslim memiliki 

rasio kesuburan lebih tinggi dibanding umat Hindu. Lepas dari itu, para 

pengikut Sangh Parivar tetap saja percaya bahwa kaum Muslim, yang saat 

ini merupakan 14% dari seluruh penduduk India, merupakan orang-orang 

yang perlu ditakuti sebab  mereka akan menjadi mayoritas dominan. 

Orang-orang yang terkenal ahli dalam bidang matematika kemudian 

memakai  kreativitas aritmatikanya, menyimpulkan bahwa orang-

orang Hindu akan menjadi minoritas di negara mereka sendiri. Jika Sangh 

Parivar bisa berlaku semau mereka dengan fiksi macam ini, maka mereka 

bisa melakukan apa saja dengan apa pun. Begitu juga dengan “love jihad.”

Jihad Asmara dan Kerusuhan Muzaffarnagar

“Love Jihad” atau jihad asmara yaitu  sebuah mitos aneh bin ajaib tentang 

upaya kaum Muslim untuk menaklukkan kaum Hindu dengan menculik 

gadis-gadis mereka, satu hari tiap kalinya. Ceritanya menyatakan bahwa 

seorang pemuda ganteng tiba-tiba muncul di masyarakat dan menaklukkan 

hati seorang gadis Hindu dengan karismanya yang menggoda dan janji-

janjinya tentang kehidupan yang lebih baik. Dia dididik di satu madrasah, 

namun memiliki “perkakas” kehidupan modern seperti motor dan 

telepon genggam. Setelah si gadis mau kabur dengannya, barulah si laki-

laki menunjukkan identitasnya yang asli, sebagai seorang Muslim, yang 

kemudian memaksa si gadis untuk berpindah agama atau dijual sebagai 

budak.

Selayaknya semua propaganda yang baik, ada satu bukit kecil berisi 

fakta (yang benar) di tengah pegunungan fiksi ini. Cinta kerap muncul 

diantara laki-laki dan perempuan muda yang keterpasangannya memang 

ditakdirkan kurang cocok. Kelihatannya, sebagian besar hubungan penuh 

skandal seperti ini melibatkan pasangan Hindu yang berbeda kasta atau 

kelas; jarang yang berasal dari beda agama. Beberapa pasangan berhasil 

bersatu; beberapa yang lainnya secara paksa dipisahkan, bahkan dengan 

akibat fatal—termasuk melalui praktek “honor killing” (pembunuhan 

perempuan, untuk menjaga nama baik keluarga) yang tersohor itu.47 

Bab 4126

India juga menghadapi masalah perdagangan manusia yang benar-benar 

berbeda. Satu cara dalam perdagangan budak modern di Asia Selatan 

melibatkan penipu yang muncul di hadapan orang tua anak gadis yang 

siap dinikahi, mengajukan lamaran dengan mahar yang menggoda, dan 

kemudian membawa pengantin barunya ke pelacuran di kota-kota besar 

atau Negara Teluk. Sedang untuk telepon genggam, asosiasinya ke kaum 

Muslim mungkin ada benarnya, sebab  toko telepon genggam di sebagian 

besar wilayah negeri biasanya dimiliki oleh laki-laki Muslim yang tak 

memiliki tanah (yang, melalui usaha ini , bisa mengumpulkan cukup 

uang untuk membeli motor).48

Ternyata lebih mudah untuk menyalahkan konspirasi mitos jihad 

asmara dibanding menghadapi kenyataan-kenyataan yang lebih pahit—

bahwa obsesi akan status sosial terkadang menjadikan cinta remaja satu 

tragedi yang tidak perlu; atau bahwa kemiskinan dan ketidakpedulian 

menjadikan keluarga mangsa empuk bagi pelaku perdagangan manusia 

yang membawa mahar. Apapun psikologi sosial di belakangnya, mitos 

jihad asmara menjadi kepercayaan yang meluas, yang rentan untuk 

dieksploitasi dalam pemilu, menjelang pemilu tahun 2014. Para operator 

BJP berperan aktif dalam menumbuhkan dan memeliharanya. 

Satu taktik sederhana dalam mempromosikan mitos di atas yaitu  

dengan mencetak poster dan iklan surat kabar sambil mencantumkan 

nomor telepon yang bisa dihubungi jika pembaca merasa takut ada 

anggota keluarganya yang menjadi korban para jihadis asmara. Iklan 

ini  melukiskan anak muda berjenggot, tampan, naik motor, dengan 

anak gadis yang sumringah duduk di belakangnya. Kreativitas dan 

kesederhanaannya bakal membuat semua perusahaan periklanan bangga. 

Bukannya membuktikan adanya penyakit, ia malah mengiklankan 

obatnya. Pesan tersembunyinya: jika orang dengan otoritas sampai 

harus membuat nomor telepon khusus, pasti ada persoalan sosial yang 

sesungguhnya. sebab  kelompok di balik iklan ini  tidak menantikan 

adanya telepon, mereka tidak perlu membuang uang untuk membuat 

pusat pengaduan via telepon; satu orang dengan satu jaringan telepon, 

jika memang ada, pun sudah cukup.

Legenda jihad asmara bukan hanya pertunjukan sampingan di salah 

satu kontes elektoral paling menarik di dunia. Ia memainkan peran 

dalam kemenangan paling penting bagi BJP—kampanye untuk Uttar 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 127

Pradesh, negara bagian paling besar di India. Seandainya sebuah negara, 

jumlah penduduk 200 juta orang di Uttar Pradesh bisa bersaing dengan 

Brasil sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia; 

negara ini menyumbang 80 dari 543 kursi di parlemen India. Dilema 

yang dihadapi BJP yaitu  bahwa setengah dari penduduk negara bagian 

itu berasal dari kasta-kasta terbelakang, yang dengan solid mendukung 

dua partai lainnya, Partai Bahujan Samaj dan Partai Samajwadi. Dalam 

pemilu parlementer tingkat negara bagian pada 2007, kedua partai 

ini  meraih lebih dari 303 kursi, dari seluruhnya 403 kursi, dengan 

BJP hanya mengamankan 51 kursi. Untuk memenangkan pemilihan 

umum, BJP harus memenangkan suara kasta-kasta terbelakang di atas 

dan menyatukan suara umat Hindu. Sementara tidak bisa menghilangkan 

citranya sebagai partai kasta atas, BJP bisa menampilkan diri sebagai satu-

satunya kekuatan yang bisa melindungi Hindu dari ancaman Muslim. 

Video Bharat Ki Pukar mungkin tidak bisa membantunya pada 2007, 

namun strategi ini akan diasah dan diulang dalam beberapa tahun ke 

depan. 

Pada pertengahan 2013, Narendra Modi menempatkan salah satu 

rekan terdekatnya, Amit Shah, untuk memegang kendali kampanye BJP 

di Uttar Pradesh. Segera setelahnya, pada September 2013, kerusuhan 

komunal meletus antara Muslim dan Hindu Jat pemilik tanah di distrik 

Muzaffarnagar. Limapuluh dua orang terbunuh dan setidaknya limapuluh 

ribu Muslim terpaksa mengungsi dari rumah mereka dalam kerusuhan 

komunal terburuk di negara itu dalam sepuluh tahun terakhir.49 Pemicu 

peristiwa ini yaitu  pertengkaran di Desa Kawal, ditengarai sebab  

pelecehan terhadap seorang perempuan, meski bisa juga ini disebabkan 

oleh kecelakaan motor. Lepas dari itu semua, tiga anak muda tewas, 

satu Muslim dan dua Hindu Jat. Kawal pada masa itu memiliki reputasi 

sebagai sebuah desa yang “harmonis dan ramah bisnis”, tempat kaum 

Muslim dan umat Hindu hidup terpisah namun saling tergantung secara 

ekonomi.50 Biasanya, perkelahian akan hilang dengan sendirinya, namun 

provokator memanfaatkan insiden ini . Semua yang terjadi setelah 

itu menjadi simbol kekerasan massal disengaja yang menjadi bagian dari 

ritme politik India. Seribuan orang hadir dalam kremasi dua anak muda 

Jat, dan setelahnya mereka masuk ke koloni Muslim di Kawal dengan 

traktor dan motor, menjarah dan merusak rumah dan toko Muslim. 

Gelombang massa meneriakkan slogan-slogan seperti “Jao Pakistan, 

Bab 4128

warna Kabristan” (Pergi ke Pakistan atau ke kuburan).51

Hanya dalam beberapa hari, sebuah video beredar di kalangan Hindu, 

menunjukkan dua pria dipukul hingga tewas oleh sekelompok Muslim. 

Meski nantinya terungkap bahwa hal itu merupakan rekaman peristiwa 

dua tahun lalu di Pakistan, video itu dianggap sebagai video pembunuhan 

dua anak muda Jat. Pemimpin Jat meneriakkan panggilan demonstrasi 

besar-besaran pada 7 September. Sekitar 150.000 orang hadir, dipimpin 

oleh politisi dan aktivis dari Uttar Pradesh dan negara bagian tetangga. 

Kekerasan menyusul dan berlangsung selama beberapa hari.52 

Meski seorang hakim distrik di Muzaffarnagar memerintahkan politisi 

untuk menjauh, godaan ini terlalu sayang untuk dilewatkan oleh BJP.53 

Beberapa politisi dituntut dengan tuduhan memicu kekerasan, dan 

satu anggota parlemen BJP dituntut dengan tuduhan mengunggah 

video palsu.54 Laporan investigatif Frontline menemukan bahwa teori 

konspirasi jihad asmara telah ditanam sebagai bagian penting platform 

BJP di pedesaan Uttar Pradesh. Warga Jats yang diwawancara sesudah 

kerusuhan mengklaim bahwa mereka perlu menyelamatkan harga diri 

anak dan saudara perempuan mereka.55 Dalam pernyataan pers mereka, 

para pemimpin Sangh Parivar menyatakan bahwa kerusuhan muncul 

sebab  masyarakat “tidak bisa lagi menerima para ‘jihadis asmara’ 

merusak kesopanan dan harga diri gadis dan perempuan Hindu” di Uttar 

Pradesh.56 Tim pencari fakta independen yang mengunjungi wilayah itu, 

dua bulan kemudian, menemukan bahwa orang-orang Jat memang yakin 

bahwa Muslim bertekad menjadikan Hindu minoritas di India. “Sangat 

luar biasa bahwa komentar semacam ini terulang kata demi kata oleh 

semua Jat yang kami temui, meski jarak memisahkan desa-desa mereka. 

Ini mungkin sebuah indikasi dari kampanye yang terorganisir dengan 

baik dalam jangka waktu tertentu untuk meng-komunal-kan atmosfer di 

seluruh wilayah,” jelas laporan ini .57

Langkah selanjutnya bagi BJP yaitu  untuk mengubah peristiwa di 

Muzafarnagar menjadi momen penentu kampanye pemilunya—seperti 

yang juga Modi lakukan dengan pembantaian Gujarat melalui “tur 

kebanggaan Hindu”-nya sebelum pemilu negara bagian pada 2002. Amit 

Shah mempersiapkan sekitar 450 minivan untuk mengelilingi Uttar 

Pradesh dengan gambar, video, dan musik berisikan pesan Modi serta 

jaringan pekerja lokal yang diorganisir mirip dengan cara perusahaan 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 129

pemasaran konsumen menjangkau komunitas pedesaan.58 Dalam satu 

demonstrasi, Shah berkata bahwa pemilu merupakan soal “pembalasan” 

dan “kehormatan”: “Pemilu kali ini yaitu  tentang memecat pemerintah 

yang melindungi dan memberi kompensasi kepada mereka yang 

membunuh Jat.”59 Pernyataan ini telah mengkhianati pengabaian yang 

sudah ada sebelumnya dan sinis atas fakta bahwa jumlah kematian 

Muslim jauh lebih tinggi dari kematian Hindu hingga dua berbanding 

satu, dan bahwa pengungsi yang menjadi korban dari peristiwa-peristiwa 

itu sebagian besarnya Muslim, yang beberapa di antaranya dipaksa untuk 

menandatangani perjanjian untuk tidak kembali ke rumah mereka, 

sebagai ganti bantuan finansial.60

Komisi Pemilu mengambil langkah yang belum pernah terjadi 

sebelumnya dengan melarang Shah berkampanye di negara bagian sebab  

melanggar aturan “Model Code of Conduct”. Namun saat  Shah berjanji 

untuk tunduk di bawah aturan itu dan tidak memakai  “bahasa yang 

kasar dan merendahkan,” larangan ini dicabut.61 Bagi mantan kepala 

komisioner pemilu, S. Y. Quraishi, tindakan komisi dan respon masuk 

akal politisi menunjukkan otoritas moral “Model Code of Conduct”. 

Sayangnya, seperti yang diakui Quraishi, Shah segera kembali ke bahasa 

yang digunakannya dulu.62 Uttar Pradesh merespon dengan memberikan 

BJP kemenangan termanisnya. Dari keunggulan bersih 166 kursi yang 

didapat BJP dalam pemilihan umum, hampir sepertiganya datang dari 

Uttar Pradesh. Modi dengan murah hati mengganjar Shah pekerjaan 

manajerial setelah pemilu, dengan menempatkan pria 49 tahun ini sebagai 

presiden BJP. 

Sentuhan Modi

Selama kampanye pemilu 2014, wakil-wakil Modi terus menebar kebencian. 

Di negara bagian Bihar, misalnya, pemimpin BJP Giriraj Singh dikecam 

oleh Komisi Pemilu sebab  pidatonya yang “sangat berkobar-kobar”, yang 

melibatkan penyembelihan sapi. Dia juga berseru bahwa orang yang 

menolak Modi yaitu  “Pakistan-parasht” (pro-Pakistan) dan harus pindah 

ke sana.63 Singh memenangkan kursi parlemennya dan terus melanjutkan 

retorika kebenciannya. 

Pemasok kebencian yang paling keras kepala diantara pemimpin 

Sangh Parivar yaitu  Praveen Togadia, presiden internasional Vishva 

Bab 4130

Hindu Parishad. Tidak terpengaruh oleh laporan-laporan kriminal yang 

berkali-kali dilayangkan padanya lebih dari satu dekade, Togadia lagi-

lagi menunjukkan rasa jijiknya terhadap hukum dan moralitas. Dalam 

perkumpulan tetangga, dia memberi anjuran teknis tentang bagaimana 

mereka bisa mengusir seorang pebisnis Muslim yang baru saja membeli 

satu rumah di area Hindu di Gujarat, dan bagaimana mereka bisa 

mencegah jual-beli semacam ini di masa mendatang. Seperti halnya 

kaum Muslim memerangi tentara [India] di Kashmir, katanya, “saat  

kita menjadi mayoritas, kita harus cukup berani untuk membawa hukum 

ke tangan kita dan menakuti mereka.”64 Modi menunggu beberapa 

hari sebelum mencaci-maki Togadia, yang beberapa tahun lalu sempat 

pecah kongsi dengannya: “Saya tidak menyetujui segala pernyataan 

tidak bertanggungjawab dan meminta mereka yang membuatnya untuk 

dengan sukarela menahan diri. Pernyataan-pernyataan picik dari mereka 

yang mengklaim sebagai simpatisan BJP telah mengalihkan kampanye 

dari isu-isu pembangunan dan tatakelola pemerintahanan yang baik,” 

kata cuitannya di akun Twitter.65 Penting dicatat, pernyataannya tidak 

memberi rujukan kepada parahnya akibat ujaran kebencian Togadia 

terhadap kelompok minoritas. Keluhan terbesarnya yaitu  bahwa hal itu 

telah mengalihkan orang dari pesan-pesan terkini BJP.

Pada minggu terakhir kampanye, 5 Mei, Modi muncul dalam satu 

rapat umum di distrik Faizabad, Uttar Pradesh, berbatasan dengan 

Ayodhya. Di balik podium ada  satu potret besar Dewa Besar Rama. 

Penempatan strategisnya memastikan bahwa tiap kamera televisi yang 

menyorot Modi juga akan menangkap keindahan wajah Rama yang 

berada di belakangnya. “Faizabad harus memperbolehkan teratai tumbuh 

di tanah Shri Tam,” ujar Modi. Meski dia tidak merujuk pada proyek 

kontroversial kuil Rama, latar belakang panggung juga memasukkan 

gambar sebuah kuil. Pembicara lain, termasuk Lalu Singh, kandidat dari 

wilayah ini , berjanji bahwa BJP akan membangun kuil di Ayodhya.66 

Sebagai kandidat, Singh mendapatkan surat peringatan sebab  dia 

telah melanggar larangan penggunaan simbol-simbol keagamaan yang 

termasuk dalam “Model Code of Conduct”.67Mengingat bahwa periode 

kampanye akan segera berakhir, Singh memperlakukan peringatan itu 

dengan santai saja, sambil berkata bahwa dia akan meminta nasihat 

hukum. 

Meskipun ujaran kebencian dan daya tarik komunal bukanlah hal 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 131

baru dalam politik India, kelakuan tak tahu malu BJP yang mengobrak-

abrik aturan dalam kampanye 2014 merupakan hal yang luar biasa. Para 

politisi, termasuk Modi, secara terbuka menantang pihak yang berwenang 

untuk mengambil langkah-langkah menghentikan mereka.68 Seorang 

komentator menyamakan Komisi Pemilu saat itu dengan “seorang 

kepala sekolah tua yang terus mengoceh sementara anak-anak muridnya 

tetap terus berulah.”69 Sementara institusi itu menikmati ruang gerak 

cukup luas, penekanannya pada proses hukum telah membuka peluang 

bagi diajukannya banding dan kontra-tuduhan, yang pada akhirnya 

memungkinkan berlanjutnya ujaran kebencian.

Para politisi amoral yang tebal muka juga tahu bahwa temuan-temuan 

Komisi Pemilu tidaklah sebanding dengan putusan opini publik—dalam 

satu pemilu, tidak ada yang lebih sukses dari kesuksesan itu sendiri. 

Para penyusun strategi BJP siap mencoret dukungan yang hilang dari 

sejumlah orang India—baik umat Hindu maupun kelompok minoritas—

yang setuju dengan Komisi Pemilu bahwa penggunaan ujaran kebencian 

oleh partai merupakan hal yang tak bisa diterima. Partai mungkin sudah 

membuat kalkulasi elektoral sederhana bahwa mengambil keuntungan 

dengan menjual daya tarik chauvinisme, khususnya di Uttar Pradesh, 

lebih bernilai dari berkurangnya suara kelompok-kelompok minoritas 

dan liberal. Kelompok-kelompok yang terakhir ini bisa didekati dengan 

menekankan agenda-agenda ekonomi Modi. Memang, banyak kaum 

Muslim yang siap mendukungnya dengan alasan itu. Yang juga penting, 

pada sekitar 2010, kelompok-kelompok bisnis yang kuat di India dan 

media-media milik mereka sudah angkat tangan dengan Partai Kongres 

dan mulai beralih mendukung Modi sebagai harapan besar mereka 

selanjutnya. Dengan didukung dana besar dan media, rasa percaya diri 

RSS dan BJP meningkat pesat. 

Logika khas dari politik sektarian yang memecah-belah memungkinkan 

sejenis alkimia retoris: apa yang pengamat netral lihat sebagai kemunduran 

dan keadaan memalukan secara magis diubah menjadi kekuatan di 

mata pendukung setia partai. Oleh sebab nya, politisi BJP secara rutin 

mengutip intervensi Komisi Pemilu sebagai bukti bagaimana sistem 

sekular dengan sengaja dan tidak adil mengganggu apa yang menjadi 

keinginan sejati rakyat. Berbagai kritik oleh jurnalis dan akademisi liberal 

ikut mendudukkan BJP sebagai korban konspirasi politik. Semakin keras 

oposisi terhadap BJP, semakin nampak jelas bagi konstituennya bahwa 

Bab 4132

partai itu membutuhkan orang kuat tak kenal kompromi seperti Modi. 

Medan Perang Sejarah

Politik intoleransi dan eksklusi Sangh Parivar, yang paling jelas ditunjukkan 

melalui penggunaan ujaran kebencian yang merajalela menjelang pemilu 

2014, telah dijalankan dengan cara-cara lainnya juga, di luar proses pemilu, 

tetapi dengan komitmen yang sama kuatnya. Alih-alih fokus pada tema-

tema kontemporer seperti para teroris Pakistan atau jihadis asmara di 

jalan-jalan, propaganda dalam jenis kampanye lain ini membawa-bawa 

para pahlawan dan penjahat dari abad dan milenium lampau. Tujuannya 

yaitu  untuk menulis kembali sejarah India agar sesuai dengan ideologi 

Hindutva. 

Tentu saja, setiap masyarakat terbuka memperdebatkan masa lalunya 

dalam terang perdebatan-perdebatan ideologis masa kini. Namun, yang 

menarik dari Sangh Parivar yaitu  kekuatan yang digunakannya untuk 

mencoba memaksakan sejarah India menurut versinya sendiri. sebab  

tak berhasil memenangkan argumen dengan fakta-fakta sejarah, gerakan 

ini dengan seenaknya menegaskan saja perasaan Hindu yang tak bisa 

diganggu-gugat. Jika ujaran kebencian yaitu  saham yang diperjualbelikan 

politisi Sangh Parivar yang gemar menghasut, maka serangan mereka 

terhadap sejarah bergantung pada perasaan ketersinggungan. Riset 

sejarah berbasis fakta bukan lawan tanding yang seimbang untuk massa 

besar yang marah, terutama saat  massa yang marah ini didukung 

oleh hukum yang didesain untuk melindungi perasaan mereka. Di sini, 

rengekan mengalahkan kebenaran. 

Pemain utama dalam kampanye ini yaitu  Dinanath Batra, pemimpin 

sayap pendidikan RSS. Sejak kemenangan BJP pada 2014, Batra, yang 

sebelumnya diberi tugas untuk merevisi buku pelajaran sejarah saat  

BJP pertama kali memerintah pada 1999, muncul sekali lagi. Menurut 

Amartya Sen, penulisan ulang sejarah India menjadi prioritas utama 

Hindutva, sebab  hal itu dimaksudkan untuk mencapai “dua tujuan: 

memainkan peran memberi landasan bersama bagi anggota Sangh 

Parivar yang beragam, dan membantu mendapatkan rekrutan baru yang 

segar bagi aktivisme politik Hindu, khususnya dari diaspora.”70 Katanya, 

mempromosikan kebanggaan kultural dalam identitas Hindu merupakan 

cara penting untuk menarik perhatian mayoritas Hindu yang tidak selalu 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 133

menjadi pendukung setia Sangh Parivar.71

Mitos versus Sejarah

Romila Thapar, salah satu sejarawan tentang India yang paling dihormati 

di dunia, merasa sangat familiar dengan misi dan metode Sangh Parivar. 

Dia dulunya, pada era 1970-an, yaitu  satu dari beberapa sejarawan yang 

bukunya diserang.72 Pada 2003, saat  dia mendapatkan kursi guru besar di 

Library of Kongres di AS, penunjukannya ditentang oleh para pendukung 

Hindutva yang melabelinya sebagai Marxis dan anti-India. Sekarang, 

sebagai seorang profesor emeritus di Jawaharlal Nehru University di Delhi, 

Thapar terus berbicara membela kebebasan akademis dan melawan sensor 

atas sejarah akademis. 

Sambil minum teh di rumahnya di Delhi, Thapar memaparkan 

sentralnya sejarah dalam proyek Hindutva. Pertama, gagasan bahwa India 

merupakan kampung halaman Hindu dan bahwa umat Hindu yaitu  

warganegara utama di India membutuhkan penerimaan takbersyarat 

atas periodisasi sejarah India yang sederhana—yakni yang mengingatkan 

kembali kepada era keemasan Hinduisme sebagai inspirasi India 

masa kini. Periode Hindu ini seharusnya diikuti oleh masa kegelapan 

kepemimpinan Muslim, yang dibawa oleh para penyerang dari luar India, 

dan kemudian oleh kolonialisme Inggris. Ironisnya, periodisasi Hindutva 

didasarkan atas historiografi kolonial—kecuali bahwa dalam versi 

Inggrisnya, kolonialisme menandai capaian tertinggi dari sejarah India. 

“‘Periode Hindu’ dan ‘Periode Muslim’—kami tidak pernah memiliki 

periodisasi semacam itu dalam penulisan sejarah apa pun sebelum 

kedatangan Inggris,” katanya. “Dan untuk mengatakan bahwa ada 

keajekan antagonisme di antara keduanya, tanpa meneliti alasan-alasan 

antagonisme dan koeksistensi damai itu, sesuai dengan masing-masing 

kasusnya, itu bukanlah pendekatan historis yang benar.” saat  menentang 

tafsiran kolonial atas masa lalu India, dan saat  menunjukkan bahwa 

kategorisasi etnis dan keagamaan yang mereka gunakan merupakan 

sebuah konstruksi untuk mendukung kebijakan kolonial, para sejarawan 

modern seperti Thapar juga mengurangi nasionalisme keagamaan 

keduanya. “Jika Anda memakai  analisa historis yang benar, maka 

sebagai akibatnya, baik nasionalisme Hindu maupun Muslim menjadi 

lebih lemah; kedua nasionalisme itu tidak memiliki landasan historis 

Bab 4134

yang kuat untuk menumbuhkan identitas yang memusuhi atau membuat 

agama sebagai penyebab utama segala kegiatan.” 

sebab nya, para pendukung Hindutva merasa tersinggung saat  

sejarawan menunjuk, misalnya, bahwa antagonisme-antagonisme kasta 

setidaknya sama pentingnya bagi sejarah India dengan pemilahan-

pemilahan antar-agama. Ini merupakan satu dari fakta-fakta tak 

menyenangkan yang membuat buku-ajar Thapar disensor: dia menyatakan 

bahwa orang-orang shudra, satu kasta rendah, tidak diperlakukan dengan 

baik oleh kasta yang lebih tinggi. Para kritikusnya merasa bahwa dia gagal 

menggarisbawahi penindasan orang-orang Hindu oleh kaum Muslim di 

abad pertengahan. 

Kedua, sejarah Hindutva melibatkan semacam aksi pengarusutamaan 

dengan tujuan agar Hinduisme lebih dapat dimanfaatkan untuk mobilisasi 

politik. “Hinduisme dalam praktik dan kepercayaan secara esensial 

merupakan jukstaposisi berbagai sekte—tempat kamu bisa memilih dewa 

sendiri, bentuk pemujaan sendiri, menentukan sendiri candi yang ingin 

kamu datangi, menentukan bahasa pemujaan sendiri, dan seterusnya,” 

catat Thapar. Hinduisme dikelola dengan sangat berbeda dari Kristen 

di Eropa atau Islam di Timur Tengah dalam hal bahwa kedua agama itu 

bisa merujuk kepada seorang pendiri secara historis, satu kitab suci, dan 

lembaga-lembaga keagamaan secara hierarkis. “Semua itu tidak terjadi 

dalam Hinduisme. Tiap orang bebas untuk mengajar dan menciptakan 

sektenya sendiri. Dan bila dia memiliki pengikut, maka ya, dia memiliki 

pengikut. Dan ini terus berlangsung demikian di seluruh anak-benua, 

dengan jumlah sektenya yang tak terhitung,” katanya.73

saat  para nasionalis Hindu merasa perlu membangkitkan orang-

orang Hindu di anak-benua, katanya, mereka merasa ada gunanya 

untuk mengadopsi beberapa fitur tradisi Yahudi-Kristen yang cocok 

untuk mobilisasi. sebab  Hinduisme tidak memiliki seorang pendiri 

agama, ideologi Hindutva menaikkan figur kepahlawanan Dewa Rama 

ke status tertinggi seperti itu dalam Hinduisme, berdasarkan bukti-

bukti skriptural yang meragukan. Mengklaim Ayodhya sebagai tempat 

lahir Rama dimaksudkan untuk mendukung tujuan yang lebih besar 

ini. Dan meskipun tidak ada kitab suci dalam Hinduisme, BJP tengah 

mengambangkan gagasan untuk memberikan status itu kepada Bhagavad 

Gita; sebab nya, mungkin bukanlah tak disengaja jika Modi memberikan 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 135

salinan buku itu ke Barack Obama di Gedung putih.74

Perlindungan sapi—gerakan yang berawal dari nasionalisme 

keagamaan pada akhir abad ke-19—bisa dilihat sebagai upaya lain untuk 

fundamentalisasi Hinduisme. Gerakan ini baru-baru ini mengalami 

kebangkitan, dengan semakin banyak negara bagian yang memperpanjang 

larangan mereka atas penyembelihan sapi. Gerakan Hindutva merasa 

perlu untuk menyatakan bahwa orang-orang Hindu yang sesungguhnya 

tidak akan pernah membunuh sapi. sebab nya, pernyataan bahwa 

orang-orang Arya pada zaman Veda mengonsumsi daging sapi—seperti 

disebutkan dalam buku-ajar karya Thapar yang disensor pada 1970an—

akan dituduh sebagai sesuatu yang nyaris menghina agama. Para 

pendukung mitologi Hindutva lebih memilih kesarjanaan Orientalis 

abad ke-19, yang menanamkan akar-akar identitas Hindu ke dalam 

peradaban Veda yang agung sekitar 3.000 tahun lalu, saat  Veda, kitab-

kitab Hindu tertua, ditulis. Kebutuhan politik untuk merujuk kepada 

tradisi asli menjelaskan mengapa para pendukung Hindutva merasa 

tersinggung saat  riset-riset tentang apa yang mereka pandang sebagai 

masa keemasan tidak sesuai dengan gambaran ideal mereka. 

Langkah ngotot pengarusutamaan atas keragaman internal Hinduisme 

di atas menunjukkan gagasan dan simbol sederhana yang di sekitarnya 

dukungan umat Hindu bisa digalakkan dan dimobilisasi. Aspek yang 

khususnya sangat licik dari gerakan Hindutva yaitu  bahwa dengan 

mendefinisikan diri sendiri sebagai ideologi nasional, ke-Hindu-an, 

gerakan itu tidak perlu mereformasi Hinduisme, atau memaksa umat 

Hindu untuk mengubah praktik mereka, atau meminta mereka untuk 

sumpah setia kepada satu pemimpin agama melawan yang lainnya. Tetap 

tidak ada Paus atau Ayatullah di sini; Hindutva tidak memerlukan kepala 

negara untuk menjadi pemimpin agama. saat  kita mengingat kembali 

berapa banyak darah yang sudah tumpah dalam perebutan kekuasaan di 

dalam agama-agama dunia sendiri—antara Katolik dan Protestan, Sunni 

dan Syiah—kita mulai bisa menghargai kejeniusan mobilisasi Hindutva. 

Gerakan itu fokus pada mewakili front simbolis yang bersatu melawan 

ancaman-ancaman asing sambil terus membolehkan keragaman tumbuh 

di dalam. 

Bab 4136

Serangan terhadap Sejarah Akademis

Sepanjang masa kepemimpinan BJP yang pertama, karya James Laine, 

seorang akademisi AS, berjudul Shivaji: The Hindu King in Muslim India, 

menjadi target serangan. Pertama terbit di New York, buku ini dirilis di India 

oleh Oxford University Press cabang New Delhi pada 2003. Shivaji, subyek 

penelitian Laine, yaitu  ksatria tersohor abad ke-17 yang mendirikan 

kerajaan Maratha pada periode Mughal. Biografi Laine mengkritisi 

bagaimana kemudian cerita pahlawan kultural diapropriasi dan dibentuk 

ulang oleh mereka yang mencari simbol kekuatan Hindu untuk berdiri 

tegak melawan penguasa asing Muslim.75 Buku ini memasukkan fakta-fakta 

yang sudah diterima khalayak ramai bahwa Shivaji mendapatkan pengaruh 

luar biasa dari ibunya, dan juga menyebut rumor-rumor sezaman, seperti: 

“Kesadaran yang ditekan bahwa Shivaji memiliki seorang ayah yang tidak 

hadir dalam kehidupannya juga tercermin dalam fakta bahwa orang-orang 

Maharashtra menyampaikan guyonan yang merujuk bahwa penjaganya, 

Dadaji Konddev, yaitu  ayah biologisnya.”76

Meski Laine tidak mengklaim bahwa cerita-cerita ini  benar, 

sekelompok akademisi India meminta penerbit untuk menarik bukunya, 

dengan menyatakan bahwa buku itu sudah memasukkan fitnah tanpa 

dasar kepada Shivaji. Oxford University Press (India) menyampaikan 

rasa sesal atas pernyataan yang menyinggung ini  dan meminta 

semua kantornya di India untuk secepatnya menarik semua salinan buku 

dari peredaran. 

Sayangnya, seperti kata pepatah, kereta telah meninggalkan 

stasiunnya. Pada bulan selanjutnya, Desember 2003, Shiv Sena, suatu 

partai politik garis kanan di negara bagian Maharashtra, muncul beraksi. 

Preman-premannya menyerang seorang profesor Sanskerta yang diberi 

ucapan terima kasih oleh Laine dalam lembar terima kasihnya. Esok 

harinya, Shiv Sena mengunjungi Bhandarkar Oriental Research Institute 

(BORI) di Pune dengan tujuan yang sama, namun pergi tanpa melukai 

siapapun. Sayangnya, pada awal Januari 2004, kelompok Maratha sayap 

kanan lainnya, Sambhaji Brigade, menyerang BORI. Preman-preman itu 

merusak perpustakaan, menghancurkan ribuan buku dan manuskrip 

yang tak ternilai harganya. Sepuluh hari kemudian, Maharashtra melarang 

buku itu di bawah Bab 95 Criminal Procedure Code. 

Negara bagian itu juga mengajukan komplain (dalam bentuk First 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 137

Information Report) terhadap Laine, penerbit, dan percetakan sebab  telah 

melanggar beberapa bab KUHP, termasuk Bab 153A. Polisi menangkap 

salah satu pemilik percetakan. Pada mulanya, Perdana Menteri Vajpayee 

mengkritisi pelarangan ini. Pada Maret, sayangnya, dengan semakin 

dekatnya pemilu, Perdana Menteri turut serta mendukung kebijakan ini, 

menyebut bahwa pengalaman Laine harus menjadi sinyal bagi orang-

orang asing untuk tidak main-main dengan kebanggaan nasional India.77 

Menurut dokumen pengadilan, Pengadilan Tinggi India mengusulkan 

jalan keluar yang pragmatis: penulis mungkin bersedia menarik bagian 

yang dinilai kurang pantas dalam bukunya, dan menyudahi kontroversi. 

Sementara itu, Laine telah mengirim fax berisi permintaan maafnya 

setelah profesor Sansekerta diserang, dan menunjukkan kesedihan 

yang mendalam terhadap insiden ini  dalam wawancara yang dia 

lakukan.78 Dia mungkin setuju untuk berkompromi, namun pemerintahan 

Maharashtra berkeberatan. 

Kasus ini akhirnya berujung di Mahkamah Agung India, yang 

membatalkan pemrosesan secara kriminal pada April 2007. Mahkamah 

mengutip satu prinsip yang ada sejak satu kasus pada 1997: sebab  

Bab 153A merujuk kepada friksi “di antara berbagai” kelompok, 

ia mengharuskan setidaknya dua komunitas untuk terlibat. Hanya 

menyinggung satu kelompok tanpa referensi dengan kelompok lain 

bukanlah pelanggaran bab itu.79 Lebih lanjut, niat penulis, target pembaca, 

dan konteks ekspresinya harus pula dipertimbangkan. Pengadilan 

puas bahwa Laine terlibat dalam “kerja-kerja yang sepenuhnya 

bersifat akademis.” Pengadilan juga menyatakan, “Seseorang tidak bisa 

bergantung hanya pada kata-kata keras dan kutipan-kutipan terisolasi 

untuk membuktikan tuduhan, atau mengambil satu kalimat di sini dan 

satu kalimat di sana dan kemudian menyambungkannya melalui proses 

penalaran inferensial.”80 Pengadilan Tinggi Bombay mencabut larangan 

terhadap buku itu sebagaimana mestinya pada 2007. Mahkamah Agung 

menolak banding dari Maharashtra pada Juli 2010, menyatakan bahwa 

pelarangan tidak mungkin dilakukan sebab  kasus terhadap Laine telah 

dibatalkan.81

Apa yang seharusnya menjadi kemenangan bagi kebebasan intelektual 

tampaknya hanyalah sebuah tipuan. Putusan Mahkamah Agung tidak 

mengurangi hasrat Sangh Parivar untuk mensterilkan lingkungan 

ideologisnya. Mereka juga tidak pula memberi basis penyelesaian yang 

Bab 4138

kuat bagi penerbit buku atau institusi akademik untuk menerbitkan 

kerja-kerja yang bisa menyinggung anggota Hindu Sayap Kanan. 

Sejalan dengan penyerangan terhadap karya Shivaji Laine, Sangh 

Parivar melancarkan sebuah kampanye sukses yang penuh sensasi 

agar University of Delhi mau menyensor esai dari akademisi literatur 

ternama tentang Ramayana. Artikel A. K. Ramanujan, “Three Hundred 

Ramayanas,” menggarisbawahi eksistensi berbagai macam versi 

Ramayana. Artikel ini diakui secara luas sebagai karya dari seorang 

pecinta berat epos itu. Terjemahan-terjemahannya telah berjasa besar 

dalam memperkenalkan mitologi India ini ke banyak penggemar baru di 

negara-negara berbahasa Inggris.82

Esai ini ditambahkan ke dalam daftar bacaan di salah satu jurusan 

Universitas Delhi pada 2005. Keluhan-keluhan mulai muncul pada 

2008. saat  universitas bersikeras, para aktivis masuk ke kantor kepala 

Departemen Sejarah, merusaknya, dan menghajar kepala departemen 

itu. Sebuah kelompok yang dipimpin oleh Batra melayangkan tuntutan 

perdata. Sebagai jawabannya, Mahkamah Agung pada 2010 meminta 

universitas untuk membentuk satu komite berisi pada ahli untuk 

mempelajari kasus itu dan membuat rekomendasi kepada Dewan 

Akademiknya. Dari empat sejarawan yang ditunjuk masuk ke dalam 

komisi, tiga di antaranya mendukung kesarjanaan Ramanujan dan 

menyatakan bahwa tidak ada kontroversi apa pun dalam artikel itu. Lepas 

dari itu, Dewan Akademik memutuskan pada akhir untuk mengeluarkan 

esai ini  dari daftar bacaan. 

Tahun sebelumnya, saat  memutuskan kasus Shivaji, Mahkamah 

Agung menyampaikan bahwa pengaruh sebuah publikasi harus dinilai 

dari “standar manusia yang masuk akal, berpendirian teguh, tegas 

dan pemberani, dan buka mereka yang lemah dan terombang-ambing 

jiwanya, atau mereka yang mencium aroma bahaya pada setiap sudut 

pandang yang memusuhi.”83 Ini nampaknya tidak memberi kesan apa-

apa bagi para akademisi, yang mendukung seorang ahli yang menjadi 

anggota komite, bahwa kombinasi guru yang kurang cakap dan jiwa-jiwa 

yang mudah dipengaruhi berarti bahwa esai ini  dapat menyinggung 

perasaan orang. Sambil merayakan sensor atas artikel itu—yang juga 

ditulis oleh seorang Hindu, harus dicatat—Batra berkata: “Ini merupakan 

konspirasi yang diciptakan oleh Misionaris Kristen dan pengikutnya untuk 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 139

merendahkan martabat para dewa dan dewi. Itu sudah dihancurkan.” 

Dia menambahkan, para pendukung akan dimobilisasi untuk mengawasi 

silabus universitas.84

Pada waktu yang sama, tantangan lain yang mengancam kebebasan 

akademik sedang berlangsung melalui sistem hukum. Pada Februari 

2010, Batra menginisiasi langkah hukum terhadap akademisi Amerika 

Wendy Doniger terkait bukunya The Hindus: An Alternative History. 

Buku ini pertama kali diterbitkan di AS oleh Viking Penguin pada 2009 

dan dirilis oleh Penguin India pada 2010. Batra mengklaim bahwa buku 

ini  “yaitu  sebuah presentasi Hinduisme yang dangkal, terdistorsi, 

dan tidak serius,” “penuh dengan kesesatan dan fakta-fakta yang tidak 

akurat,” dan sangat ofensif.85

Doniger, seorang profesor sejarah agama-agama di Divinity School, 

University of Chicago, membuat klaim—misalnya, bahwa Ramayana 

merupakan karya fiksi—yang juga ada dalam pengetahuan arus utama 

India. Sayangnya, musuhnya mengklaim bahwa karya itu menyakitkan 

perasaan jutaan kaum Hindu. Menulis di New York Times, Pankaj Mishra 

mencatat bahwa kaum fanatik akan menilai dengan benar fokus Doniger 

pada “identitas-identitas eksistensial yang cair dan metafisika yang luas 

dalam praktik-praktik keagamaan di India sebagai ancaman terhadap 

proyek homogenisasi budaya dan negara-bangsa yang militan.”86

Kampanye melawan buku Doniger menjadi cek kenyataan bagi para 

liberal yang percaya bahwa menunjukkan hormat yang lebih besar pada 

agama akan menyenangkan orang-orang yang tersinggung. Tuntutan 

asli Batra antara lain menuduh bahwa buku itu telah merusak nama 

baik Swami Vivekananda, seorang biksu yang dihormati pada abad ke-

19, dengan mengatakan bahwa dia menginginkan daging sapi. Doniger 

berkata bahwa Batra tidak mengklaim pernyataan itu salah, sebab  hal itu 

telah terdokumentasi dengan baik. “Penolakan itu terjadi hanya sebab  

mengulang pernyataan ini  dalam buku akan merusak nama baik 

Vivekananda,” katanya menjelaskan. sebab nya, perseteruan mereka 

bukanlah tentang hal-hal yang ilmiah—setidaknya, sebagaimana hal ini 

dipahami dalam masyarakat sekular. Alih-alih, Batra nampak mengklaim 

bahwa akademisi tidak harusnya mengurusi tafsir atas tradisi dan teks 

keagamaan. 

Penguin India memperjuangkan kasus ini selama empat tahun 

Bab 4140

sebelum mendekati Batra untuk menyelesaikan masalah. Pada awal 

2014, Penguin India sepakat untuk menghentikan publikasi dan berjanji 

untuk menghancurkan semua salinan yang tersisa, meski ini terbukti 

tidak perlu sebab  buku itu telah habis terjual. Penguin berujar bahwa 

mereka akan memenuhi keputusan awal untuk menerbitkan The 

Hindus, namun mengklaim bahwa Bab 295A dari KUHP membuat 

“makin sulit bagi penerbit India manapun untuk menegakkan standar 

internasional kebebasan berbicara tanpa dengan sengaja menempatkan 

diri di luar hukum.”87 Dalam sebuah esai di New York Review of Books, 

Doniger menggemakan posisi penerbitnya bahwa hukum India yang 

keterlaluanlah yang patut disalahkan. Dengan hakim yang salah, Anda 

bisa menjadi tersangka dalam hukum-hukum ini, katanya beropini. “Sulit 

untuk membayangkan bagaimana Anda dapat menulis segala hal yang 

sesensitif agama atau sejarah tanpa membuat seseorang marah; hukum 

semacam itu berarti akhir bagi pemikiran akademisi yang kreatif dan 

orisinal,” tambahnya. “Setiap ide baru menyinggung orang-orang yang 

berkomitmen pada ide lama, yang berarti, hampir semua orang. Bahkan 

di tangan orang yang secara intelektual bisa ditentang seperti Batra, Bab 

295A menjadi senjata untuk perusakan kultural secara massal.”88

Banyak kalangan liberal yang tidak semurah hati itu kepada Penguin, 

mengkritisinya atas kepengecutannya. Lawrence Liang, dari Alternative 

Law Forum yang berbasis di Bangalore, menerbitkan pemberitahuan 

hukum, penuh dengan sarkasme, menyatakan bahwa Penguin “bermutasi 

menjadi ayam” dan tak lagi tertarik untuk memperjuangkan haknya 

sebagai pemilik karya—Penguin seharusnya memperbolehkan siapapun 

untuk membuat salinan, mereproduksi, dan mengedarkan bukunya di 

India.89 Di sebuah kolom komentar di Frontline, sejarawan ternama dan 

pengacara A. G. Noorani berkata bahwa penerbit dan penulis “sangatlah 

salah” untuk berpikir pengadilan tidak akan memihak mereka dalam 

putusannya. Tak ada preseden karya sejarah seperti milik Doniger ditekan 

di bawah Bab 295A atau melalui tuntutan perdata, jelas Noorani. Batra 

menang “hanya dengan memoles mainan pistolnya.”90 Di mata Noorani, 

Penguin Books India telah mencederai keadilan saat  mereka menyerah 

pada Batra. 

Tapi tentu saja ada penjelasan lebih gamblang atas tingkah laku 

Penguin. Penguin menyerah kalah bukan sebab  mereka salah memahami 

kata-kata dan semangat hukum, namun sebab  mereka benar dalam 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 141

menilai situasi hukum negara bagian India yang menyedihkan. Terlepas 

dari putusan apapun yang diambil pengadilan, penerbit tetap harus 

berurusan dengan pengadilan jalanan. Mereka memiliki “tanggung jawab 

moral untuk melindungi para pegawai kami atas ancaman dan pelecehan 

semampu yang kami bisa,” ujar Penguin.91

Pratap Bahnu Mehta, ilmuwan sosial yang mengepalai Centre for 

Policy Research yang terkemuka di Delhi, cemas bahwa vitalitas kesalehan 

Hindu dikalahkan oleh identitas komunal yang diciptakan untuk fokus 

pada sejarah penindasan. “Ini yaitu  sebuah identitas yang disusun dari 

rasa luka, rasa selalu ada di pihak yang kalah, selalu menjadi korban tak 

bersalah.”92 Meski demikian, bagi gerakan Hindutva, merevisi sejarah 

yaitu  hal yang sudah lama tertunda. Juru bicara RSS Gujarat, Pradip 

Jain, menyatakan bahwa India yang merdeka harus mengganti tahun-

tahun yang hilang pada “periode tengah” saat  Mahatma Gandhi dan 

Jawaharlal Nehru membiarkan masa lalu jayanya dihilangkan. Mereka 

bertindak seperti pemilik baru sebuah rumah yang, saat  barusan pindah, 

membolehkan dekorasi pemilik lama tetap, lengkap dengan foto-foto 

nenek-moyang pemilik lama. “Saya akan menggantinya dengan foto-foto 

kakekku sendiri,” ujar Jain. 

Satu Tahun kemudian 

Dihadapkan kepada realitas memerintah, para kandidat yang berkampanye 

sebagai ekstremis kerap menjadi moderat saat  berkuasa. Namun dua 

tahun setelah kedatangan Modi di Delhi, hanya ada sedikit tanda-tanda 

kemoderatan dalam pelintiran kebencian Hindutva. Modi menyerahkan 

pengurusan kantor-kantor bidang pendidikan dan kebudayaan kepada 

RSS yang dogmatis, sebagai ganjaran atas dukungan mereka dalam 

kampanye.93 Gerakan ini terus memaksakan kuasanya atas perdana 

menteri, ujar sejarawan Ramachandra Guha. Pendek kata, transisi dari 

“kampanye Modi ke pemerintah Modi” bukanlah hal yang mulus.94 

Bahkan, retorika intoleransi nampak makin terangkat, dan di beberapa 

kasus telah melebihi kata-kata belaka, meletuskan serangan-serangan 

kekerasan terhadap minoritas. Misalnya, seorang anggota parlemen dari 

BJP, Yogi Adityanath, memimpin kampanye “ghar wapsi” (kembali ke 

rumah) untuk mengkonversi Muslim dan Kristen ke Hindu.95 Meski politisi 

seperti Adityanath merusak reputasi internasional Modi, sulit baginya 

Bab 4142

untuk mengekang mereka, sebab  platform nasionalisme agamalah yang 

membuatnya terpilih. “Ini bukan hal seperti remot kontrol yang bisa kamu 

nyalakan dan matikan sesuai keinginanmu,” catat jurnalis Varghese K. 

George.96

Platform kunci Modi lainnya—revitalisasi ekonomi—nampak tidak 

stabil. Dengan hanya sedikit hal yang bisa ditunjukkan untuk membuktikan 

klaim-klaim besarnya menjelang pemilu, BJP telah gagal dalam tes besar 

elektoral pertamanya pasca berkuasa: mereka kalah besar dalam pemilu 

di Delhi dan Bihar pada 2015.97 Tiadanya hasil ekonomi yang kuat, politik 

identitas masih menjadi cara termurah untuk memenangkan dukungan. 

Sesudah melewati setengah masa kepemimpinannya yang pertama, sang 

perdana menteri masih belum bisa meyakinkan kelompok-kelompok 

minoritas bahwa status mereka aman. 

Hambatan utama agenda Hindutva mungkin yaitu  sifat negara itu 

yang sama sekali tak bisa diatur—hambatan yang telah menggagalkan 

niat-niat progresif India, dan mungkin hal yang sama akan terjadi 

pada nasionalisme Hindu Modi. Segalanya, mulai dari sistem federal 

India hingga tradisi argumentatif mereka yang tak tertahankan, seperti 

berkonspirasi melawan segala visi yang hendak menyeragamkan. 

Pengadilan dan komisi kuasi-yudisial memberi tambahan perisai yang 

bersifat struktural, kata pengacara konstitusi Bhairav Acharya.98 Ditambah 

lagi, urusan-urusan penting lain negara, seperti keamanan nasional, dapat 

turut campur tangan. Setelah adanya serangan yang dipublikasikan luas 

terhadap Kristen, termasuk pemerkosaan brutal terhadap seorang suster 

lanjut usia, Sushil Kumar, mantan pemimpin angkatan laut, membuat 

intervensi penting: India tidak bisa mengorbankan lingkungan sekularnya 

sampai pada titik di mana ia harus mengkompromikan kekuatan militer 

multietnisnya. “Di India, kekuatan militer selalu dianggap sebagai 

pilar paling kuat dalam masyarakat, dan alasannya hanya sebab  kami 

merupakan kekuatan militer sekular,” ujarnya. “Untuk membiarkan virus 

semacam itu menyebar dalam tubuh militer merupakan hal yang sangat 

berbahaya.”99

Sebagian besar retorika perdana menteri berfokus pada ekonomi 

dan kebijakan luar negeri. Pada saat bersamaan, Modi terus berkata dan 

melakukan beberapa hal yang cukup untuk membesarkan hati konsituen 

intinya di Hindu sayap kanan, bahwa mimpi Hindutva masih tetap hidup. 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 143

Retorikanya yang bersifat memecah-belah sangat merusak ekonominya. 

Dia tak perlu berujar banyak. Berkat beberapa dekade propaganda 

kebencian Hindutva, kampanye yang masih berlangsung untuk menulis 

ulang sejarah India, dan pembantaian di Muzaffarnagar dan Gujarat, 

pendukung Modi yang apresiatif bisa mengisi titik-titik yang dia 

tinggalkan dengan kartu-kartu mental yang mudah didapatkan. Dalam 

salah satu pidato parlemen pertamanya sebagai perdana menteri, Modi 

merujuk, sambil lalu, kebutuhan untuk menghapus “mental budak yang 

sudah berlangsung 1.200 tahun.”100 Penontonnya tak perlu dijelaskan 

lagi. Mereka tahu bahwa menolak sejarah 12 abad berarti melampaui tak 

hanya kolonialisme Inggris namun juga warisan Muslim India. Inilah visi 

Modi tentang kencan India dengan nasib: peradaban Hindu yang agung, 

serangan asing, minoritas yang meminta lagi dan lagi, dan seorang 

pemimpin kuat yang siap untuk memberi pelajaran bagi para penyerang 

itu.***


145

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sedang berada di ujung 

masa pemerintahannya saat  dia, pada 24 Agustus 2014, menyampaikan 

pidato pembukaannya di depan undangan lintas-bangsa  Forum 

Internasional Aliansi Peradaban PBB Ke-6, di sebuah aula besar  di 

Pulau Bali yang indah. Banyak hadirin yang mengangguk setuju saat  

Yudho