ang
tertunda masih berlaku. Individu yang secara serampangan dituduh di
bawah hukum penghinaan India bisa mendapatkan ketidakadilan dalam
waktu yang lebih lama. Ini membuat undang-undang penghinaan siap
menjadi senjata pelecehan dan sensor, rentan disalahgunakan. “Prosesnya
yaitu hukumannya,” ujar Geeta Seshu, aktivis kebebasan media. Satu
korban yang dia coba bantu yaitu Shirin Dalvi, editor sebuah surat
kabar Mumbai yang diburu sebab memublikasikan gambar sampul
Charlie Hebdo yang mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad
sebagai pendamping cerita tentang pembunuhan di Paris. Dalvi dipanggil
lima kepolisian berbeda tempat banyak tuntutan diajukan, ujar Seshu.
Sebagai seorang Muslim, Dalvi jelas tidak berniat untuk menyinggung.
Dia meminta maaf segera setelah pembaca keberatan atas publikasi
ulang sampul itu. Seshu awalnya berharap bahwa pengadilan pada
akhirnya akan membatalkan dakwaan, namun kerusakan telah terjadi:
Dalvi kehilangan pekerjaan dan terpaksa bersembunyi, akibat ancaman-
ancaman kekerasan. Surat kabarnya harus ditutup dan karir yang telah
dia bangun selama 20 tahun harus dikorbankan.38
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 121
Kemudahan yang membuat para oportunis bisa memainkan sistem
legal juga menjelaskan kesenjangan antara peraturan pemilu dan praktek
pemilu. Komisi Pemilu kerap dikritik atas kegagalannya mengatur ujaran
kebencian selama masa kampanye, meski, supaya adil, pekerjaan itu terlalu
besar diemban institusi apa pun. saat mereka melihat pelanggaran
jelas, Komisi Pemilu biasanya mengadopsi respon dua cabang. sebab
pernyataan semacam itu biasanya merupakan pelanggaran menurut
undang-undang, komisi akan mengajukan komplain ke kepolisian untuk
menginisiasi proses penindakan secara kriminal. Sebagai tambahan dari
KUHP, komisi ini juga memakai “Representation of the People Act”,
terbit tahun 1951, yang melarang praktik memaksa para pemberi suara
untuk memilih berdasarkan “agama, kasta, komunitas atau bahasa,” atau
mempengaruhi pilihan melalui “penggunaan, atau daya tarik simbol-
simbol agama.” Orang yang melanggar hukum ini bisa didiskualifikasi
dari pencalonan atau menduduki kursi parlemen.39 Meski begitu, proses
dakwa dan tuntutan bisa memakan waktu beberapa tahun, dan bisa
terhambat pemerintah negara bagian yang tidak kooperatif.
sebab nya, selain memasukkan laporan kepolisian, Komisi Pemilu
juga secara independen memberitahukan bila ada kandidat yang
melanggar aturan yang disebut “Model Code of Conduct”. Cabang kedua
ini mulanya hanyalah sebuah mekanisme sukarela, namun kemudian
hal itu didukung pernyataan-pernyataan resmi Mahkamah Agung.
Aturan ini dibuka dengan pernyataan tentang komunalisme. “Tidak
ada partai atau kandidat yang boleh terlibat dalam aktivitas yang dinilai
akan mempertajam perbedaan yang telah ada atau memunculkan sikap
saling-benci atau menimbulkan ketegangan antara berbagai kasta dan
komunitas, yang bersifat keagamaan atau bahasa.” Butir ketiga dalam
aturan itu menyatakan, “Untuk memperoleh suara, daya tarik kasta dan
keterikatan komunal tidak boleh digunakan. Masjid, Gereja, Candi, atau
tempat peribadatan lain tidak boleh digunakan sebagai forum propaganda
pemilu.”40
Memberi respon melalui “Model Code of Conduct” memenuhi
unsur kesegeraan yang tidak ada pada KUHP, kata mantan kepala
komisioner pemilu India, S. Y. Quraishi.41 Dengan memakai aturan
itu, Komisi Pemilu bisa mengarahkan partai-partai politik untuk tidak
mencalonkan kandidat yang pernah melakukan pidato-pidato komunal
atau memerintahkan agar kandidat bersangkutan bisa menahan diri dari
Bab 4122
mengulangi perbuatannya pada sisa-sisa masa kampanye. Otoritas moral
Komisi Pemilu tidak bisa disepelekan, sebab partai-partai tidak ingin
tampak terlalu tidak bertanggung jawab. Satu keterbatasan dari aturan
Komisi Pemilu tentang kegiatan politik yaitu bahwa aturan itu dapat
berlaku hanya setelah pemilu resmi dimulai. “Model Code of Conduct”
memang mencakup menifesto-manifesto terkait pemilu kapanpun hal itu
dikeluarkan, sebab pada dasarnya aturan ini dimaksudkan untuk tujuan-
tujuan elektoral. Namun Komisi Pemilu tak punya kuasa untuk mengatur
pidato ataupun bentuk komunikasi lain yang berlangsung diantara waktu
pemilu—yang berarti hampir tiap saat.42
Aturan ini bukanlah satu-satunya aturan yang menjaga India dari
politik sektarian. Keragaman India yang tak bisa direduksi menjadi
alat uji lain yang kuat. Pada masa lalu, partai-partai besar dan para
kandidat sudah dari awal menerima pandangan bahwa para pemimpin
nasional harus mengakomodasi keragaman India, sehingga mereka
akan menjalankan kekuasaan dengan posisi ideologis di tengah. Ini
yang terjadi pada masa kepemimpinan BJP yang lalu, di bawah Perdana
Menteri Vajpayee. Banyak pemimpin partai yang menafsirkan kekalahan
memalukannya pada 2009 sebagai penolakan atas posisinya yang mulai
cenderung mendukung nasionalisme Hindu garis-keras. Menurut
pandangan yang umum diterima ini, figur yang memecah-belah seperti
Modi tidak akan mampu mengumpulkan jenis dukungan besar dengan
basis luas yang dibutuhkan satu partai nasional.43
Para pemimpin Partai Kongres terus membuat klaim ini di hari-
hari menjelang pemilu 2014, di tengah naiknya ketidakberdayaan dan
menurunnya kredibilitas mereka. Sebaliknya, Modi tetap keras kepala.
Alih-alih menjangkau kelompok-kelompok minoritas dan mengharapkan
suara mereka, dia malah bermain-main dengan matematika sistem
pemilu “first-past-the-post”, mengonsolidasikan basis massa BJP,
dan mengamankan dukungan mayoritas Hindu yang menentukan.44
Pencapaiannya mensyaratkan pembingkaian-ulang ideologi sekularisme
India dan demokrasi yang jauh dari hak-hak minoritas dan dekat
dengan kekuatan mayoritas; jauh dari eklektisisme Hindu, mendekati
fundamentalisme Hindutva. Pelintiran kebencian merupakan hal penting
dalam usaha ini.
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 123
Ujaran Kebencian Menuju Pemilu 2014
Akan sulit untuk menemukan pabrik pemelintir kebencian yang lebih
sistematis dan produktif dibanding Sangh Parivar. Ujaran kebenciannya
bukanlah hasil meriam tak terkontrol. Meski nampaknya orang-orang
marah hingga tak masuk akal, ada metode dalam kemarahan ini.
Kelompok Sayap Kanan Hindu memelihara kebencian anti-Muslim untuk
memarginalisasi atau bahkan, dalam beberapa kasus tertentu, mencabut
hak pilih anggota kelompok minoritas keagamaan terbesar di India
itu. Mungkin yang lebih penting di atas yang lainnya, BJP memahami
bahwa memunculkan satu kelompok luar (out group) untuk dicaci maki
yaitu cara paling mudah untuk mempersatukan mayoritas Hindu yang
dipisahkan oleh kasta, kelas, dan bahasa.
Tema-tema Utama dalam Ujaran Kebencian Hindutva
Satu kasus yang sangat ilustratif melibatkan sebuah video yang menjelek-
jelekkan kaum Muslim berjudul Bharat Ki Pukar (diterjemahkan sebagai
“Panggilan India”). BJP menyebarkan cakram padat ini sebelum pemilu
anggota dewan tahun 2007 di negara bagian kunci Uttar Pradesh. Video ini
memakai motif-motif ujaran kebencian yang kerap digunakan untuk
menggambarkan kaum Muslim sebagai ancaman terhadap kehidupan—
yang untuk menentangnya-lah BJP tampil sebagai juru selamat. Video
dibuka dengan suara “Ibu Pertiwi India” memberi peringatan bahwa
negaranya tengah berada di ambang kehancuran: “dengan memakai
para teroris, menyebarkan ketakutan dan memecah belah kita, Pakistan
ingin menghancurkan India menjadi kepingan demi kepingan. …
Sekarang, orang-orang India yang biasa harus berpikir, apakah mereka
ingin perbudakan lagi atau Ram Rajya di India yang merdeka.”45
“Ram Rajya” berarti Kerajaan Ram. Meskipun BJP berujar bahwa
istilah ini hanya berarti tata kelola pemerintahan yang baik, namun dalam
konteks kampanye pemilu, ini merupakan panggilan emosional untuk
mendukung Hindutva yang keras tapi ditutupi dengan kelambu tipis.46
Video ini juga turut berisi kata-kata semacam, “Partai-partai lain, mereka
semua agen yang membela kaum Muslim.” Pengambilalihan kekuasaan
oleh Muslim, ancam video ini, berarti penutupan semua sekolah dan
perguruan tinggi. “Yang akan dibuka yaitu madrasah tempat fatwa akan
diterbitkan untuk menyingkirkan kaum Hindu keluar dari negara ini,
Bab 4124
memperbudak mereka—sebab mereka ingin berkuasa di sini, mereka
ingin membuat India menjadi Pakistan.”
Video ini menampilkan berbagai gambaran tipu muslihat kaum
Muslim. Dalam satu adegan, seorang pria Muslim (diidentifikasi dari
penutup kepalanya) menanam sebuah bom di bawah mobil. Adegan
lain menunjukkan dua anak laki-laki penyembelih Muslim menutupi
identitasnya untuk menipu petani Hindu agar mau menjual sapinya. Ini
lalu disusul dengan potongan adegan yang panjangnya limapuluh detik
mempertontonkan kerbau yang disembelih. Tema lain tipu muslihat
kaum Muslim berlanjut dengan cerita seorang anak muda yang merayu
gadis Hindu untuk keluar dari rumahnya, sebelum menunjukkan
identitas asli pemuda itu sebagai seorang Muslim. Anak muda itu
kemudian memberikan gadis itu ke pria tua, untuk dinikahi. Sang gadis
diseret sambil berteriak-teriak, sedang pria yang akan menjadi suaminya
tertawa, “saat gadis-gadis Hindu terpikat oleh kami, mereka menjerit-
jerit dan berteriak, namun sayangnya, tak ada yang mendengarkan mereka
saat kami bersenang-senang.” Adegan selanjutnya menunjukkan
perempuan Muslim yang berikrar bahwa sudah merupakan tugasnya
untuk memproduksi anak lebih banyak. Adegan ini disusul dengan
sesuatu yang mirip dengan potongan berita, dimana seorang perempuan
Hindu berkata: “Orang-orang Hindu akan memproduksi dua orang anak
dan orang-orang Muslim akan menikah lima kali dan memproduksi
tiga puluh lima bocah dan membuat negara ini menjadi negara Islam.”
Mendekati akhir video, seorang pekerja sosial Hindu mendesak pemirsa
untuk membangun satu gerakan kemerdekaan baru dan “bersumpah
untuk mengusir para pengkhianat dari negeri ini.” Video ini berakhir
dengan gambar bendera BJP, para pemimpin partai, Masjid Babri yang
dihancurkan, dan lainnya.
Berbagai kiasan yang ada dalam Bharat Ki Pukar diulangi lagi
dalam kampanye pemilu 2014. Propaganda BJP menyamakan musuh
Muslimnya dengan pengkhianat Pakistan yang aksi-aksi terorisnya
mengancam keamanan nasional. Yang dibayangkan terancam bukan saja
target-target terkenal di kota-kota besar. Di tingkat desa, kaum Muslim
melanggar kesucian sapi dan harga diri perempuan. Kepada para calon
pemilih ditunjukkan, tanpa kepemimpinan BJP, kaum Muslim akan
membuat orang-orang Hindu kewalahan sebab mereka lebih subur dan
produktif.
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 125
Fakta bahwa tidak ada satu pun dari semua hal di atas yang benar tidak
menjadi persoalan bagi kalangan Sayap Kanan Hindu. Coba perhatikan
klaim mereka mengenai laki-laki Muslim, jumlah istrinya yang banyak,
dan besarnya jumlah keturunan mereka. Tidak ada bukti bahwa, dengan
mengontrol pendapatan (dalam uji statistik), kaum Muslim memiliki
rasio kesuburan lebih tinggi dibanding umat Hindu. Lepas dari itu, para
pengikut Sangh Parivar tetap saja percaya bahwa kaum Muslim, yang saat
ini merupakan 14% dari seluruh penduduk India, merupakan orang-orang
yang perlu ditakuti sebab mereka akan menjadi mayoritas dominan.
Orang-orang yang terkenal ahli dalam bidang matematika kemudian
memakai kreativitas aritmatikanya, menyimpulkan bahwa orang-
orang Hindu akan menjadi minoritas di negara mereka sendiri. Jika Sangh
Parivar bisa berlaku semau mereka dengan fiksi macam ini, maka mereka
bisa melakukan apa saja dengan apa pun. Begitu juga dengan “love jihad.”
Jihad Asmara dan Kerusuhan Muzaffarnagar
“Love Jihad” atau jihad asmara yaitu sebuah mitos aneh bin ajaib tentang
upaya kaum Muslim untuk menaklukkan kaum Hindu dengan menculik
gadis-gadis mereka, satu hari tiap kalinya. Ceritanya menyatakan bahwa
seorang pemuda ganteng tiba-tiba muncul di masyarakat dan menaklukkan
hati seorang gadis Hindu dengan karismanya yang menggoda dan janji-
janjinya tentang kehidupan yang lebih baik. Dia dididik di satu madrasah,
namun memiliki “perkakas” kehidupan modern seperti motor dan
telepon genggam. Setelah si gadis mau kabur dengannya, barulah si laki-
laki menunjukkan identitasnya yang asli, sebagai seorang Muslim, yang
kemudian memaksa si gadis untuk berpindah agama atau dijual sebagai
budak.
Selayaknya semua propaganda yang baik, ada satu bukit kecil berisi
fakta (yang benar) di tengah pegunungan fiksi ini. Cinta kerap muncul
diantara laki-laki dan perempuan muda yang keterpasangannya memang
ditakdirkan kurang cocok. Kelihatannya, sebagian besar hubungan penuh
skandal seperti ini melibatkan pasangan Hindu yang berbeda kasta atau
kelas; jarang yang berasal dari beda agama. Beberapa pasangan berhasil
bersatu; beberapa yang lainnya secara paksa dipisahkan, bahkan dengan
akibat fatal—termasuk melalui praktek “honor killing” (pembunuhan
perempuan, untuk menjaga nama baik keluarga) yang tersohor itu.47
Bab 4126
India juga menghadapi masalah perdagangan manusia yang benar-benar
berbeda. Satu cara dalam perdagangan budak modern di Asia Selatan
melibatkan penipu yang muncul di hadapan orang tua anak gadis yang
siap dinikahi, mengajukan lamaran dengan mahar yang menggoda, dan
kemudian membawa pengantin barunya ke pelacuran di kota-kota besar
atau Negara Teluk. Sedang untuk telepon genggam, asosiasinya ke kaum
Muslim mungkin ada benarnya, sebab toko telepon genggam di sebagian
besar wilayah negeri biasanya dimiliki oleh laki-laki Muslim yang tak
memiliki tanah (yang, melalui usaha ini , bisa mengumpulkan cukup
uang untuk membeli motor).48
Ternyata lebih mudah untuk menyalahkan konspirasi mitos jihad
asmara dibanding menghadapi kenyataan-kenyataan yang lebih pahit—
bahwa obsesi akan status sosial terkadang menjadikan cinta remaja satu
tragedi yang tidak perlu; atau bahwa kemiskinan dan ketidakpedulian
menjadikan keluarga mangsa empuk bagi pelaku perdagangan manusia
yang membawa mahar. Apapun psikologi sosial di belakangnya, mitos
jihad asmara menjadi kepercayaan yang meluas, yang rentan untuk
dieksploitasi dalam pemilu, menjelang pemilu tahun 2014. Para operator
BJP berperan aktif dalam menumbuhkan dan memeliharanya.
Satu taktik sederhana dalam mempromosikan mitos di atas yaitu
dengan mencetak poster dan iklan surat kabar sambil mencantumkan
nomor telepon yang bisa dihubungi jika pembaca merasa takut ada
anggota keluarganya yang menjadi korban para jihadis asmara. Iklan
ini melukiskan anak muda berjenggot, tampan, naik motor, dengan
anak gadis yang sumringah duduk di belakangnya. Kreativitas dan
kesederhanaannya bakal membuat semua perusahaan periklanan bangga.
Bukannya membuktikan adanya penyakit, ia malah mengiklankan
obatnya. Pesan tersembunyinya: jika orang dengan otoritas sampai
harus membuat nomor telepon khusus, pasti ada persoalan sosial yang
sesungguhnya. sebab kelompok di balik iklan ini tidak menantikan
adanya telepon, mereka tidak perlu membuang uang untuk membuat
pusat pengaduan via telepon; satu orang dengan satu jaringan telepon,
jika memang ada, pun sudah cukup.
Legenda jihad asmara bukan hanya pertunjukan sampingan di salah
satu kontes elektoral paling menarik di dunia. Ia memainkan peran
dalam kemenangan paling penting bagi BJP—kampanye untuk Uttar
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 127
Pradesh, negara bagian paling besar di India. Seandainya sebuah negara,
jumlah penduduk 200 juta orang di Uttar Pradesh bisa bersaing dengan
Brasil sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia;
negara ini menyumbang 80 dari 543 kursi di parlemen India. Dilema
yang dihadapi BJP yaitu bahwa setengah dari penduduk negara bagian
itu berasal dari kasta-kasta terbelakang, yang dengan solid mendukung
dua partai lainnya, Partai Bahujan Samaj dan Partai Samajwadi. Dalam
pemilu parlementer tingkat negara bagian pada 2007, kedua partai
ini meraih lebih dari 303 kursi, dari seluruhnya 403 kursi, dengan
BJP hanya mengamankan 51 kursi. Untuk memenangkan pemilihan
umum, BJP harus memenangkan suara kasta-kasta terbelakang di atas
dan menyatukan suara umat Hindu. Sementara tidak bisa menghilangkan
citranya sebagai partai kasta atas, BJP bisa menampilkan diri sebagai satu-
satunya kekuatan yang bisa melindungi Hindu dari ancaman Muslim.
Video Bharat Ki Pukar mungkin tidak bisa membantunya pada 2007,
namun strategi ini akan diasah dan diulang dalam beberapa tahun ke
depan.
Pada pertengahan 2013, Narendra Modi menempatkan salah satu
rekan terdekatnya, Amit Shah, untuk memegang kendali kampanye BJP
di Uttar Pradesh. Segera setelahnya, pada September 2013, kerusuhan
komunal meletus antara Muslim dan Hindu Jat pemilik tanah di distrik
Muzaffarnagar. Limapuluh dua orang terbunuh dan setidaknya limapuluh
ribu Muslim terpaksa mengungsi dari rumah mereka dalam kerusuhan
komunal terburuk di negara itu dalam sepuluh tahun terakhir.49 Pemicu
peristiwa ini yaitu pertengkaran di Desa Kawal, ditengarai sebab
pelecehan terhadap seorang perempuan, meski bisa juga ini disebabkan
oleh kecelakaan motor. Lepas dari itu semua, tiga anak muda tewas,
satu Muslim dan dua Hindu Jat. Kawal pada masa itu memiliki reputasi
sebagai sebuah desa yang “harmonis dan ramah bisnis”, tempat kaum
Muslim dan umat Hindu hidup terpisah namun saling tergantung secara
ekonomi.50 Biasanya, perkelahian akan hilang dengan sendirinya, namun
provokator memanfaatkan insiden ini . Semua yang terjadi setelah
itu menjadi simbol kekerasan massal disengaja yang menjadi bagian dari
ritme politik India. Seribuan orang hadir dalam kremasi dua anak muda
Jat, dan setelahnya mereka masuk ke koloni Muslim di Kawal dengan
traktor dan motor, menjarah dan merusak rumah dan toko Muslim.
Gelombang massa meneriakkan slogan-slogan seperti “Jao Pakistan,
Bab 4128
warna Kabristan” (Pergi ke Pakistan atau ke kuburan).51
Hanya dalam beberapa hari, sebuah video beredar di kalangan Hindu,
menunjukkan dua pria dipukul hingga tewas oleh sekelompok Muslim.
Meski nantinya terungkap bahwa hal itu merupakan rekaman peristiwa
dua tahun lalu di Pakistan, video itu dianggap sebagai video pembunuhan
dua anak muda Jat. Pemimpin Jat meneriakkan panggilan demonstrasi
besar-besaran pada 7 September. Sekitar 150.000 orang hadir, dipimpin
oleh politisi dan aktivis dari Uttar Pradesh dan negara bagian tetangga.
Kekerasan menyusul dan berlangsung selama beberapa hari.52
Meski seorang hakim distrik di Muzaffarnagar memerintahkan politisi
untuk menjauh, godaan ini terlalu sayang untuk dilewatkan oleh BJP.53
Beberapa politisi dituntut dengan tuduhan memicu kekerasan, dan
satu anggota parlemen BJP dituntut dengan tuduhan mengunggah
video palsu.54 Laporan investigatif Frontline menemukan bahwa teori
konspirasi jihad asmara telah ditanam sebagai bagian penting platform
BJP di pedesaan Uttar Pradesh. Warga Jats yang diwawancara sesudah
kerusuhan mengklaim bahwa mereka perlu menyelamatkan harga diri
anak dan saudara perempuan mereka.55 Dalam pernyataan pers mereka,
para pemimpin Sangh Parivar menyatakan bahwa kerusuhan muncul
sebab masyarakat “tidak bisa lagi menerima para ‘jihadis asmara’
merusak kesopanan dan harga diri gadis dan perempuan Hindu” di Uttar
Pradesh.56 Tim pencari fakta independen yang mengunjungi wilayah itu,
dua bulan kemudian, menemukan bahwa orang-orang Jat memang yakin
bahwa Muslim bertekad menjadikan Hindu minoritas di India. “Sangat
luar biasa bahwa komentar semacam ini terulang kata demi kata oleh
semua Jat yang kami temui, meski jarak memisahkan desa-desa mereka.
Ini mungkin sebuah indikasi dari kampanye yang terorganisir dengan
baik dalam jangka waktu tertentu untuk meng-komunal-kan atmosfer di
seluruh wilayah,” jelas laporan ini .57
Langkah selanjutnya bagi BJP yaitu untuk mengubah peristiwa di
Muzafarnagar menjadi momen penentu kampanye pemilunya—seperti
yang juga Modi lakukan dengan pembantaian Gujarat melalui “tur
kebanggaan Hindu”-nya sebelum pemilu negara bagian pada 2002. Amit
Shah mempersiapkan sekitar 450 minivan untuk mengelilingi Uttar
Pradesh dengan gambar, video, dan musik berisikan pesan Modi serta
jaringan pekerja lokal yang diorganisir mirip dengan cara perusahaan
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 129
pemasaran konsumen menjangkau komunitas pedesaan.58 Dalam satu
demonstrasi, Shah berkata bahwa pemilu merupakan soal “pembalasan”
dan “kehormatan”: “Pemilu kali ini yaitu tentang memecat pemerintah
yang melindungi dan memberi kompensasi kepada mereka yang
membunuh Jat.”59 Pernyataan ini telah mengkhianati pengabaian yang
sudah ada sebelumnya dan sinis atas fakta bahwa jumlah kematian
Muslim jauh lebih tinggi dari kematian Hindu hingga dua berbanding
satu, dan bahwa pengungsi yang menjadi korban dari peristiwa-peristiwa
itu sebagian besarnya Muslim, yang beberapa di antaranya dipaksa untuk
menandatangani perjanjian untuk tidak kembali ke rumah mereka,
sebagai ganti bantuan finansial.60
Komisi Pemilu mengambil langkah yang belum pernah terjadi
sebelumnya dengan melarang Shah berkampanye di negara bagian sebab
melanggar aturan “Model Code of Conduct”. Namun saat Shah berjanji
untuk tunduk di bawah aturan itu dan tidak memakai “bahasa yang
kasar dan merendahkan,” larangan ini dicabut.61 Bagi mantan kepala
komisioner pemilu, S. Y. Quraishi, tindakan komisi dan respon masuk
akal politisi menunjukkan otoritas moral “Model Code of Conduct”.
Sayangnya, seperti yang diakui Quraishi, Shah segera kembali ke bahasa
yang digunakannya dulu.62 Uttar Pradesh merespon dengan memberikan
BJP kemenangan termanisnya. Dari keunggulan bersih 166 kursi yang
didapat BJP dalam pemilihan umum, hampir sepertiganya datang dari
Uttar Pradesh. Modi dengan murah hati mengganjar Shah pekerjaan
manajerial setelah pemilu, dengan menempatkan pria 49 tahun ini sebagai
presiden BJP.
Sentuhan Modi
Selama kampanye pemilu 2014, wakil-wakil Modi terus menebar kebencian.
Di negara bagian Bihar, misalnya, pemimpin BJP Giriraj Singh dikecam
oleh Komisi Pemilu sebab pidatonya yang “sangat berkobar-kobar”, yang
melibatkan penyembelihan sapi. Dia juga berseru bahwa orang yang
menolak Modi yaitu “Pakistan-parasht” (pro-Pakistan) dan harus pindah
ke sana.63 Singh memenangkan kursi parlemennya dan terus melanjutkan
retorika kebenciannya.
Pemasok kebencian yang paling keras kepala diantara pemimpin
Sangh Parivar yaitu Praveen Togadia, presiden internasional Vishva
Bab 4130
Hindu Parishad. Tidak terpengaruh oleh laporan-laporan kriminal yang
berkali-kali dilayangkan padanya lebih dari satu dekade, Togadia lagi-
lagi menunjukkan rasa jijiknya terhadap hukum dan moralitas. Dalam
perkumpulan tetangga, dia memberi anjuran teknis tentang bagaimana
mereka bisa mengusir seorang pebisnis Muslim yang baru saja membeli
satu rumah di area Hindu di Gujarat, dan bagaimana mereka bisa
mencegah jual-beli semacam ini di masa mendatang. Seperti halnya
kaum Muslim memerangi tentara [India] di Kashmir, katanya, “saat
kita menjadi mayoritas, kita harus cukup berani untuk membawa hukum
ke tangan kita dan menakuti mereka.”64 Modi menunggu beberapa
hari sebelum mencaci-maki Togadia, yang beberapa tahun lalu sempat
pecah kongsi dengannya: “Saya tidak menyetujui segala pernyataan
tidak bertanggungjawab dan meminta mereka yang membuatnya untuk
dengan sukarela menahan diri. Pernyataan-pernyataan picik dari mereka
yang mengklaim sebagai simpatisan BJP telah mengalihkan kampanye
dari isu-isu pembangunan dan tatakelola pemerintahanan yang baik,”
kata cuitannya di akun Twitter.65 Penting dicatat, pernyataannya tidak
memberi rujukan kepada parahnya akibat ujaran kebencian Togadia
terhadap kelompok minoritas. Keluhan terbesarnya yaitu bahwa hal itu
telah mengalihkan orang dari pesan-pesan terkini BJP.
Pada minggu terakhir kampanye, 5 Mei, Modi muncul dalam satu
rapat umum di distrik Faizabad, Uttar Pradesh, berbatasan dengan
Ayodhya. Di balik podium ada satu potret besar Dewa Besar Rama.
Penempatan strategisnya memastikan bahwa tiap kamera televisi yang
menyorot Modi juga akan menangkap keindahan wajah Rama yang
berada di belakangnya. “Faizabad harus memperbolehkan teratai tumbuh
di tanah Shri Tam,” ujar Modi. Meski dia tidak merujuk pada proyek
kontroversial kuil Rama, latar belakang panggung juga memasukkan
gambar sebuah kuil. Pembicara lain, termasuk Lalu Singh, kandidat dari
wilayah ini , berjanji bahwa BJP akan membangun kuil di Ayodhya.66
Sebagai kandidat, Singh mendapatkan surat peringatan sebab dia
telah melanggar larangan penggunaan simbol-simbol keagamaan yang
termasuk dalam “Model Code of Conduct”.67Mengingat bahwa periode
kampanye akan segera berakhir, Singh memperlakukan peringatan itu
dengan santai saja, sambil berkata bahwa dia akan meminta nasihat
hukum.
Meskipun ujaran kebencian dan daya tarik komunal bukanlah hal
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 131
baru dalam politik India, kelakuan tak tahu malu BJP yang mengobrak-
abrik aturan dalam kampanye 2014 merupakan hal yang luar biasa. Para
politisi, termasuk Modi, secara terbuka menantang pihak yang berwenang
untuk mengambil langkah-langkah menghentikan mereka.68 Seorang
komentator menyamakan Komisi Pemilu saat itu dengan “seorang
kepala sekolah tua yang terus mengoceh sementara anak-anak muridnya
tetap terus berulah.”69 Sementara institusi itu menikmati ruang gerak
cukup luas, penekanannya pada proses hukum telah membuka peluang
bagi diajukannya banding dan kontra-tuduhan, yang pada akhirnya
memungkinkan berlanjutnya ujaran kebencian.
Para politisi amoral yang tebal muka juga tahu bahwa temuan-temuan
Komisi Pemilu tidaklah sebanding dengan putusan opini publik—dalam
satu pemilu, tidak ada yang lebih sukses dari kesuksesan itu sendiri.
Para penyusun strategi BJP siap mencoret dukungan yang hilang dari
sejumlah orang India—baik umat Hindu maupun kelompok minoritas—
yang setuju dengan Komisi Pemilu bahwa penggunaan ujaran kebencian
oleh partai merupakan hal yang tak bisa diterima. Partai mungkin sudah
membuat kalkulasi elektoral sederhana bahwa mengambil keuntungan
dengan menjual daya tarik chauvinisme, khususnya di Uttar Pradesh,
lebih bernilai dari berkurangnya suara kelompok-kelompok minoritas
dan liberal. Kelompok-kelompok yang terakhir ini bisa didekati dengan
menekankan agenda-agenda ekonomi Modi. Memang, banyak kaum
Muslim yang siap mendukungnya dengan alasan itu. Yang juga penting,
pada sekitar 2010, kelompok-kelompok bisnis yang kuat di India dan
media-media milik mereka sudah angkat tangan dengan Partai Kongres
dan mulai beralih mendukung Modi sebagai harapan besar mereka
selanjutnya. Dengan didukung dana besar dan media, rasa percaya diri
RSS dan BJP meningkat pesat.
Logika khas dari politik sektarian yang memecah-belah memungkinkan
sejenis alkimia retoris: apa yang pengamat netral lihat sebagai kemunduran
dan keadaan memalukan secara magis diubah menjadi kekuatan di
mata pendukung setia partai. Oleh sebab nya, politisi BJP secara rutin
mengutip intervensi Komisi Pemilu sebagai bukti bagaimana sistem
sekular dengan sengaja dan tidak adil mengganggu apa yang menjadi
keinginan sejati rakyat. Berbagai kritik oleh jurnalis dan akademisi liberal
ikut mendudukkan BJP sebagai korban konspirasi politik. Semakin keras
oposisi terhadap BJP, semakin nampak jelas bagi konstituennya bahwa
Bab 4132
partai itu membutuhkan orang kuat tak kenal kompromi seperti Modi.
Medan Perang Sejarah
Politik intoleransi dan eksklusi Sangh Parivar, yang paling jelas ditunjukkan
melalui penggunaan ujaran kebencian yang merajalela menjelang pemilu
2014, telah dijalankan dengan cara-cara lainnya juga, di luar proses pemilu,
tetapi dengan komitmen yang sama kuatnya. Alih-alih fokus pada tema-
tema kontemporer seperti para teroris Pakistan atau jihadis asmara di
jalan-jalan, propaganda dalam jenis kampanye lain ini membawa-bawa
para pahlawan dan penjahat dari abad dan milenium lampau. Tujuannya
yaitu untuk menulis kembali sejarah India agar sesuai dengan ideologi
Hindutva.
Tentu saja, setiap masyarakat terbuka memperdebatkan masa lalunya
dalam terang perdebatan-perdebatan ideologis masa kini. Namun, yang
menarik dari Sangh Parivar yaitu kekuatan yang digunakannya untuk
mencoba memaksakan sejarah India menurut versinya sendiri. sebab
tak berhasil memenangkan argumen dengan fakta-fakta sejarah, gerakan
ini dengan seenaknya menegaskan saja perasaan Hindu yang tak bisa
diganggu-gugat. Jika ujaran kebencian yaitu saham yang diperjualbelikan
politisi Sangh Parivar yang gemar menghasut, maka serangan mereka
terhadap sejarah bergantung pada perasaan ketersinggungan. Riset
sejarah berbasis fakta bukan lawan tanding yang seimbang untuk massa
besar yang marah, terutama saat massa yang marah ini didukung
oleh hukum yang didesain untuk melindungi perasaan mereka. Di sini,
rengekan mengalahkan kebenaran.
Pemain utama dalam kampanye ini yaitu Dinanath Batra, pemimpin
sayap pendidikan RSS. Sejak kemenangan BJP pada 2014, Batra, yang
sebelumnya diberi tugas untuk merevisi buku pelajaran sejarah saat
BJP pertama kali memerintah pada 1999, muncul sekali lagi. Menurut
Amartya Sen, penulisan ulang sejarah India menjadi prioritas utama
Hindutva, sebab hal itu dimaksudkan untuk mencapai “dua tujuan:
memainkan peran memberi landasan bersama bagi anggota Sangh
Parivar yang beragam, dan membantu mendapatkan rekrutan baru yang
segar bagi aktivisme politik Hindu, khususnya dari diaspora.”70 Katanya,
mempromosikan kebanggaan kultural dalam identitas Hindu merupakan
cara penting untuk menarik perhatian mayoritas Hindu yang tidak selalu
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 133
menjadi pendukung setia Sangh Parivar.71
Mitos versus Sejarah
Romila Thapar, salah satu sejarawan tentang India yang paling dihormati
di dunia, merasa sangat familiar dengan misi dan metode Sangh Parivar.
Dia dulunya, pada era 1970-an, yaitu satu dari beberapa sejarawan yang
bukunya diserang.72 Pada 2003, saat dia mendapatkan kursi guru besar di
Library of Kongres di AS, penunjukannya ditentang oleh para pendukung
Hindutva yang melabelinya sebagai Marxis dan anti-India. Sekarang,
sebagai seorang profesor emeritus di Jawaharlal Nehru University di Delhi,
Thapar terus berbicara membela kebebasan akademis dan melawan sensor
atas sejarah akademis.
Sambil minum teh di rumahnya di Delhi, Thapar memaparkan
sentralnya sejarah dalam proyek Hindutva. Pertama, gagasan bahwa India
merupakan kampung halaman Hindu dan bahwa umat Hindu yaitu
warganegara utama di India membutuhkan penerimaan takbersyarat
atas periodisasi sejarah India yang sederhana—yakni yang mengingatkan
kembali kepada era keemasan Hinduisme sebagai inspirasi India
masa kini. Periode Hindu ini seharusnya diikuti oleh masa kegelapan
kepemimpinan Muslim, yang dibawa oleh para penyerang dari luar India,
dan kemudian oleh kolonialisme Inggris. Ironisnya, periodisasi Hindutva
didasarkan atas historiografi kolonial—kecuali bahwa dalam versi
Inggrisnya, kolonialisme menandai capaian tertinggi dari sejarah India.
“‘Periode Hindu’ dan ‘Periode Muslim’—kami tidak pernah memiliki
periodisasi semacam itu dalam penulisan sejarah apa pun sebelum
kedatangan Inggris,” katanya. “Dan untuk mengatakan bahwa ada
keajekan antagonisme di antara keduanya, tanpa meneliti alasan-alasan
antagonisme dan koeksistensi damai itu, sesuai dengan masing-masing
kasusnya, itu bukanlah pendekatan historis yang benar.” saat menentang
tafsiran kolonial atas masa lalu India, dan saat menunjukkan bahwa
kategorisasi etnis dan keagamaan yang mereka gunakan merupakan
sebuah konstruksi untuk mendukung kebijakan kolonial, para sejarawan
modern seperti Thapar juga mengurangi nasionalisme keagamaan
keduanya. “Jika Anda memakai analisa historis yang benar, maka
sebagai akibatnya, baik nasionalisme Hindu maupun Muslim menjadi
lebih lemah; kedua nasionalisme itu tidak memiliki landasan historis
Bab 4134
yang kuat untuk menumbuhkan identitas yang memusuhi atau membuat
agama sebagai penyebab utama segala kegiatan.”
sebab nya, para pendukung Hindutva merasa tersinggung saat
sejarawan menunjuk, misalnya, bahwa antagonisme-antagonisme kasta
setidaknya sama pentingnya bagi sejarah India dengan pemilahan-
pemilahan antar-agama. Ini merupakan satu dari fakta-fakta tak
menyenangkan yang membuat buku-ajar Thapar disensor: dia menyatakan
bahwa orang-orang shudra, satu kasta rendah, tidak diperlakukan dengan
baik oleh kasta yang lebih tinggi. Para kritikusnya merasa bahwa dia gagal
menggarisbawahi penindasan orang-orang Hindu oleh kaum Muslim di
abad pertengahan.
Kedua, sejarah Hindutva melibatkan semacam aksi pengarusutamaan
dengan tujuan agar Hinduisme lebih dapat dimanfaatkan untuk mobilisasi
politik. “Hinduisme dalam praktik dan kepercayaan secara esensial
merupakan jukstaposisi berbagai sekte—tempat kamu bisa memilih dewa
sendiri, bentuk pemujaan sendiri, menentukan sendiri candi yang ingin
kamu datangi, menentukan bahasa pemujaan sendiri, dan seterusnya,”
catat Thapar. Hinduisme dikelola dengan sangat berbeda dari Kristen
di Eropa atau Islam di Timur Tengah dalam hal bahwa kedua agama itu
bisa merujuk kepada seorang pendiri secara historis, satu kitab suci, dan
lembaga-lembaga keagamaan secara hierarkis. “Semua itu tidak terjadi
dalam Hinduisme. Tiap orang bebas untuk mengajar dan menciptakan
sektenya sendiri. Dan bila dia memiliki pengikut, maka ya, dia memiliki
pengikut. Dan ini terus berlangsung demikian di seluruh anak-benua,
dengan jumlah sektenya yang tak terhitung,” katanya.73
saat para nasionalis Hindu merasa perlu membangkitkan orang-
orang Hindu di anak-benua, katanya, mereka merasa ada gunanya
untuk mengadopsi beberapa fitur tradisi Yahudi-Kristen yang cocok
untuk mobilisasi. sebab Hinduisme tidak memiliki seorang pendiri
agama, ideologi Hindutva menaikkan figur kepahlawanan Dewa Rama
ke status tertinggi seperti itu dalam Hinduisme, berdasarkan bukti-
bukti skriptural yang meragukan. Mengklaim Ayodhya sebagai tempat
lahir Rama dimaksudkan untuk mendukung tujuan yang lebih besar
ini. Dan meskipun tidak ada kitab suci dalam Hinduisme, BJP tengah
mengambangkan gagasan untuk memberikan status itu kepada Bhagavad
Gita; sebab nya, mungkin bukanlah tak disengaja jika Modi memberikan
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 135
salinan buku itu ke Barack Obama di Gedung putih.74
Perlindungan sapi—gerakan yang berawal dari nasionalisme
keagamaan pada akhir abad ke-19—bisa dilihat sebagai upaya lain untuk
fundamentalisasi Hinduisme. Gerakan ini baru-baru ini mengalami
kebangkitan, dengan semakin banyak negara bagian yang memperpanjang
larangan mereka atas penyembelihan sapi. Gerakan Hindutva merasa
perlu untuk menyatakan bahwa orang-orang Hindu yang sesungguhnya
tidak akan pernah membunuh sapi. sebab nya, pernyataan bahwa
orang-orang Arya pada zaman Veda mengonsumsi daging sapi—seperti
disebutkan dalam buku-ajar karya Thapar yang disensor pada 1970an—
akan dituduh sebagai sesuatu yang nyaris menghina agama. Para
pendukung mitologi Hindutva lebih memilih kesarjanaan Orientalis
abad ke-19, yang menanamkan akar-akar identitas Hindu ke dalam
peradaban Veda yang agung sekitar 3.000 tahun lalu, saat Veda, kitab-
kitab Hindu tertua, ditulis. Kebutuhan politik untuk merujuk kepada
tradisi asli menjelaskan mengapa para pendukung Hindutva merasa
tersinggung saat riset-riset tentang apa yang mereka pandang sebagai
masa keemasan tidak sesuai dengan gambaran ideal mereka.
Langkah ngotot pengarusutamaan atas keragaman internal Hinduisme
di atas menunjukkan gagasan dan simbol sederhana yang di sekitarnya
dukungan umat Hindu bisa digalakkan dan dimobilisasi. Aspek yang
khususnya sangat licik dari gerakan Hindutva yaitu bahwa dengan
mendefinisikan diri sendiri sebagai ideologi nasional, ke-Hindu-an,
gerakan itu tidak perlu mereformasi Hinduisme, atau memaksa umat
Hindu untuk mengubah praktik mereka, atau meminta mereka untuk
sumpah setia kepada satu pemimpin agama melawan yang lainnya. Tetap
tidak ada Paus atau Ayatullah di sini; Hindutva tidak memerlukan kepala
negara untuk menjadi pemimpin agama. saat kita mengingat kembali
berapa banyak darah yang sudah tumpah dalam perebutan kekuasaan di
dalam agama-agama dunia sendiri—antara Katolik dan Protestan, Sunni
dan Syiah—kita mulai bisa menghargai kejeniusan mobilisasi Hindutva.
Gerakan itu fokus pada mewakili front simbolis yang bersatu melawan
ancaman-ancaman asing sambil terus membolehkan keragaman tumbuh
di dalam.
Bab 4136
Serangan terhadap Sejarah Akademis
Sepanjang masa kepemimpinan BJP yang pertama, karya James Laine,
seorang akademisi AS, berjudul Shivaji: The Hindu King in Muslim India,
menjadi target serangan. Pertama terbit di New York, buku ini dirilis di India
oleh Oxford University Press cabang New Delhi pada 2003. Shivaji, subyek
penelitian Laine, yaitu ksatria tersohor abad ke-17 yang mendirikan
kerajaan Maratha pada periode Mughal. Biografi Laine mengkritisi
bagaimana kemudian cerita pahlawan kultural diapropriasi dan dibentuk
ulang oleh mereka yang mencari simbol kekuatan Hindu untuk berdiri
tegak melawan penguasa asing Muslim.75 Buku ini memasukkan fakta-fakta
yang sudah diterima khalayak ramai bahwa Shivaji mendapatkan pengaruh
luar biasa dari ibunya, dan juga menyebut rumor-rumor sezaman, seperti:
“Kesadaran yang ditekan bahwa Shivaji memiliki seorang ayah yang tidak
hadir dalam kehidupannya juga tercermin dalam fakta bahwa orang-orang
Maharashtra menyampaikan guyonan yang merujuk bahwa penjaganya,
Dadaji Konddev, yaitu ayah biologisnya.”76
Meski Laine tidak mengklaim bahwa cerita-cerita ini benar,
sekelompok akademisi India meminta penerbit untuk menarik bukunya,
dengan menyatakan bahwa buku itu sudah memasukkan fitnah tanpa
dasar kepada Shivaji. Oxford University Press (India) menyampaikan
rasa sesal atas pernyataan yang menyinggung ini dan meminta
semua kantornya di India untuk secepatnya menarik semua salinan buku
dari peredaran.
Sayangnya, seperti kata pepatah, kereta telah meninggalkan
stasiunnya. Pada bulan selanjutnya, Desember 2003, Shiv Sena, suatu
partai politik garis kanan di negara bagian Maharashtra, muncul beraksi.
Preman-premannya menyerang seorang profesor Sanskerta yang diberi
ucapan terima kasih oleh Laine dalam lembar terima kasihnya. Esok
harinya, Shiv Sena mengunjungi Bhandarkar Oriental Research Institute
(BORI) di Pune dengan tujuan yang sama, namun pergi tanpa melukai
siapapun. Sayangnya, pada awal Januari 2004, kelompok Maratha sayap
kanan lainnya, Sambhaji Brigade, menyerang BORI. Preman-preman itu
merusak perpustakaan, menghancurkan ribuan buku dan manuskrip
yang tak ternilai harganya. Sepuluh hari kemudian, Maharashtra melarang
buku itu di bawah Bab 95 Criminal Procedure Code.
Negara bagian itu juga mengajukan komplain (dalam bentuk First
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 137
Information Report) terhadap Laine, penerbit, dan percetakan sebab telah
melanggar beberapa bab KUHP, termasuk Bab 153A. Polisi menangkap
salah satu pemilik percetakan. Pada mulanya, Perdana Menteri Vajpayee
mengkritisi pelarangan ini. Pada Maret, sayangnya, dengan semakin
dekatnya pemilu, Perdana Menteri turut serta mendukung kebijakan ini,
menyebut bahwa pengalaman Laine harus menjadi sinyal bagi orang-
orang asing untuk tidak main-main dengan kebanggaan nasional India.77
Menurut dokumen pengadilan, Pengadilan Tinggi India mengusulkan
jalan keluar yang pragmatis: penulis mungkin bersedia menarik bagian
yang dinilai kurang pantas dalam bukunya, dan menyudahi kontroversi.
Sementara itu, Laine telah mengirim fax berisi permintaan maafnya
setelah profesor Sansekerta diserang, dan menunjukkan kesedihan
yang mendalam terhadap insiden ini dalam wawancara yang dia
lakukan.78 Dia mungkin setuju untuk berkompromi, namun pemerintahan
Maharashtra berkeberatan.
Kasus ini akhirnya berujung di Mahkamah Agung India, yang
membatalkan pemrosesan secara kriminal pada April 2007. Mahkamah
mengutip satu prinsip yang ada sejak satu kasus pada 1997: sebab
Bab 153A merujuk kepada friksi “di antara berbagai” kelompok,
ia mengharuskan setidaknya dua komunitas untuk terlibat. Hanya
menyinggung satu kelompok tanpa referensi dengan kelompok lain
bukanlah pelanggaran bab itu.79 Lebih lanjut, niat penulis, target pembaca,
dan konteks ekspresinya harus pula dipertimbangkan. Pengadilan
puas bahwa Laine terlibat dalam “kerja-kerja yang sepenuhnya
bersifat akademis.” Pengadilan juga menyatakan, “Seseorang tidak bisa
bergantung hanya pada kata-kata keras dan kutipan-kutipan terisolasi
untuk membuktikan tuduhan, atau mengambil satu kalimat di sini dan
satu kalimat di sana dan kemudian menyambungkannya melalui proses
penalaran inferensial.”80 Pengadilan Tinggi Bombay mencabut larangan
terhadap buku itu sebagaimana mestinya pada 2007. Mahkamah Agung
menolak banding dari Maharashtra pada Juli 2010, menyatakan bahwa
pelarangan tidak mungkin dilakukan sebab kasus terhadap Laine telah
dibatalkan.81
Apa yang seharusnya menjadi kemenangan bagi kebebasan intelektual
tampaknya hanyalah sebuah tipuan. Putusan Mahkamah Agung tidak
mengurangi hasrat Sangh Parivar untuk mensterilkan lingkungan
ideologisnya. Mereka juga tidak pula memberi basis penyelesaian yang
Bab 4138
kuat bagi penerbit buku atau institusi akademik untuk menerbitkan
kerja-kerja yang bisa menyinggung anggota Hindu Sayap Kanan.
Sejalan dengan penyerangan terhadap karya Shivaji Laine, Sangh
Parivar melancarkan sebuah kampanye sukses yang penuh sensasi
agar University of Delhi mau menyensor esai dari akademisi literatur
ternama tentang Ramayana. Artikel A. K. Ramanujan, “Three Hundred
Ramayanas,” menggarisbawahi eksistensi berbagai macam versi
Ramayana. Artikel ini diakui secara luas sebagai karya dari seorang
pecinta berat epos itu. Terjemahan-terjemahannya telah berjasa besar
dalam memperkenalkan mitologi India ini ke banyak penggemar baru di
negara-negara berbahasa Inggris.82
Esai ini ditambahkan ke dalam daftar bacaan di salah satu jurusan
Universitas Delhi pada 2005. Keluhan-keluhan mulai muncul pada
2008. saat universitas bersikeras, para aktivis masuk ke kantor kepala
Departemen Sejarah, merusaknya, dan menghajar kepala departemen
itu. Sebuah kelompok yang dipimpin oleh Batra melayangkan tuntutan
perdata. Sebagai jawabannya, Mahkamah Agung pada 2010 meminta
universitas untuk membentuk satu komite berisi pada ahli untuk
mempelajari kasus itu dan membuat rekomendasi kepada Dewan
Akademiknya. Dari empat sejarawan yang ditunjuk masuk ke dalam
komisi, tiga di antaranya mendukung kesarjanaan Ramanujan dan
menyatakan bahwa tidak ada kontroversi apa pun dalam artikel itu. Lepas
dari itu, Dewan Akademik memutuskan pada akhir untuk mengeluarkan
esai ini dari daftar bacaan.
Tahun sebelumnya, saat memutuskan kasus Shivaji, Mahkamah
Agung menyampaikan bahwa pengaruh sebuah publikasi harus dinilai
dari “standar manusia yang masuk akal, berpendirian teguh, tegas
dan pemberani, dan buka mereka yang lemah dan terombang-ambing
jiwanya, atau mereka yang mencium aroma bahaya pada setiap sudut
pandang yang memusuhi.”83 Ini nampaknya tidak memberi kesan apa-
apa bagi para akademisi, yang mendukung seorang ahli yang menjadi
anggota komite, bahwa kombinasi guru yang kurang cakap dan jiwa-jiwa
yang mudah dipengaruhi berarti bahwa esai ini dapat menyinggung
perasaan orang. Sambil merayakan sensor atas artikel itu—yang juga
ditulis oleh seorang Hindu, harus dicatat—Batra berkata: “Ini merupakan
konspirasi yang diciptakan oleh Misionaris Kristen dan pengikutnya untuk
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 139
merendahkan martabat para dewa dan dewi. Itu sudah dihancurkan.”
Dia menambahkan, para pendukung akan dimobilisasi untuk mengawasi
silabus universitas.84
Pada waktu yang sama, tantangan lain yang mengancam kebebasan
akademik sedang berlangsung melalui sistem hukum. Pada Februari
2010, Batra menginisiasi langkah hukum terhadap akademisi Amerika
Wendy Doniger terkait bukunya The Hindus: An Alternative History.
Buku ini pertama kali diterbitkan di AS oleh Viking Penguin pada 2009
dan dirilis oleh Penguin India pada 2010. Batra mengklaim bahwa buku
ini “yaitu sebuah presentasi Hinduisme yang dangkal, terdistorsi,
dan tidak serius,” “penuh dengan kesesatan dan fakta-fakta yang tidak
akurat,” dan sangat ofensif.85
Doniger, seorang profesor sejarah agama-agama di Divinity School,
University of Chicago, membuat klaim—misalnya, bahwa Ramayana
merupakan karya fiksi—yang juga ada dalam pengetahuan arus utama
India. Sayangnya, musuhnya mengklaim bahwa karya itu menyakitkan
perasaan jutaan kaum Hindu. Menulis di New York Times, Pankaj Mishra
mencatat bahwa kaum fanatik akan menilai dengan benar fokus Doniger
pada “identitas-identitas eksistensial yang cair dan metafisika yang luas
dalam praktik-praktik keagamaan di India sebagai ancaman terhadap
proyek homogenisasi budaya dan negara-bangsa yang militan.”86
Kampanye melawan buku Doniger menjadi cek kenyataan bagi para
liberal yang percaya bahwa menunjukkan hormat yang lebih besar pada
agama akan menyenangkan orang-orang yang tersinggung. Tuntutan
asli Batra antara lain menuduh bahwa buku itu telah merusak nama
baik Swami Vivekananda, seorang biksu yang dihormati pada abad ke-
19, dengan mengatakan bahwa dia menginginkan daging sapi. Doniger
berkata bahwa Batra tidak mengklaim pernyataan itu salah, sebab hal itu
telah terdokumentasi dengan baik. “Penolakan itu terjadi hanya sebab
mengulang pernyataan ini dalam buku akan merusak nama baik
Vivekananda,” katanya menjelaskan. sebab nya, perseteruan mereka
bukanlah tentang hal-hal yang ilmiah—setidaknya, sebagaimana hal ini
dipahami dalam masyarakat sekular. Alih-alih, Batra nampak mengklaim
bahwa akademisi tidak harusnya mengurusi tafsir atas tradisi dan teks
keagamaan.
Penguin India memperjuangkan kasus ini selama empat tahun
Bab 4140
sebelum mendekati Batra untuk menyelesaikan masalah. Pada awal
2014, Penguin India sepakat untuk menghentikan publikasi dan berjanji
untuk menghancurkan semua salinan yang tersisa, meski ini terbukti
tidak perlu sebab buku itu telah habis terjual. Penguin berujar bahwa
mereka akan memenuhi keputusan awal untuk menerbitkan The
Hindus, namun mengklaim bahwa Bab 295A dari KUHP membuat
“makin sulit bagi penerbit India manapun untuk menegakkan standar
internasional kebebasan berbicara tanpa dengan sengaja menempatkan
diri di luar hukum.”87 Dalam sebuah esai di New York Review of Books,
Doniger menggemakan posisi penerbitnya bahwa hukum India yang
keterlaluanlah yang patut disalahkan. Dengan hakim yang salah, Anda
bisa menjadi tersangka dalam hukum-hukum ini, katanya beropini. “Sulit
untuk membayangkan bagaimana Anda dapat menulis segala hal yang
sesensitif agama atau sejarah tanpa membuat seseorang marah; hukum
semacam itu berarti akhir bagi pemikiran akademisi yang kreatif dan
orisinal,” tambahnya. “Setiap ide baru menyinggung orang-orang yang
berkomitmen pada ide lama, yang berarti, hampir semua orang. Bahkan
di tangan orang yang secara intelektual bisa ditentang seperti Batra, Bab
295A menjadi senjata untuk perusakan kultural secara massal.”88
Banyak kalangan liberal yang tidak semurah hati itu kepada Penguin,
mengkritisinya atas kepengecutannya. Lawrence Liang, dari Alternative
Law Forum yang berbasis di Bangalore, menerbitkan pemberitahuan
hukum, penuh dengan sarkasme, menyatakan bahwa Penguin “bermutasi
menjadi ayam” dan tak lagi tertarik untuk memperjuangkan haknya
sebagai pemilik karya—Penguin seharusnya memperbolehkan siapapun
untuk membuat salinan, mereproduksi, dan mengedarkan bukunya di
India.89 Di sebuah kolom komentar di Frontline, sejarawan ternama dan
pengacara A. G. Noorani berkata bahwa penerbit dan penulis “sangatlah
salah” untuk berpikir pengadilan tidak akan memihak mereka dalam
putusannya. Tak ada preseden karya sejarah seperti milik Doniger ditekan
di bawah Bab 295A atau melalui tuntutan perdata, jelas Noorani. Batra
menang “hanya dengan memoles mainan pistolnya.”90 Di mata Noorani,
Penguin Books India telah mencederai keadilan saat mereka menyerah
pada Batra.
Tapi tentu saja ada penjelasan lebih gamblang atas tingkah laku
Penguin. Penguin menyerah kalah bukan sebab mereka salah memahami
kata-kata dan semangat hukum, namun sebab mereka benar dalam
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 141
menilai situasi hukum negara bagian India yang menyedihkan. Terlepas
dari putusan apapun yang diambil pengadilan, penerbit tetap harus
berurusan dengan pengadilan jalanan. Mereka memiliki “tanggung jawab
moral untuk melindungi para pegawai kami atas ancaman dan pelecehan
semampu yang kami bisa,” ujar Penguin.91
Pratap Bahnu Mehta, ilmuwan sosial yang mengepalai Centre for
Policy Research yang terkemuka di Delhi, cemas bahwa vitalitas kesalehan
Hindu dikalahkan oleh identitas komunal yang diciptakan untuk fokus
pada sejarah penindasan. “Ini yaitu sebuah identitas yang disusun dari
rasa luka, rasa selalu ada di pihak yang kalah, selalu menjadi korban tak
bersalah.”92 Meski demikian, bagi gerakan Hindutva, merevisi sejarah
yaitu hal yang sudah lama tertunda. Juru bicara RSS Gujarat, Pradip
Jain, menyatakan bahwa India yang merdeka harus mengganti tahun-
tahun yang hilang pada “periode tengah” saat Mahatma Gandhi dan
Jawaharlal Nehru membiarkan masa lalu jayanya dihilangkan. Mereka
bertindak seperti pemilik baru sebuah rumah yang, saat barusan pindah,
membolehkan dekorasi pemilik lama tetap, lengkap dengan foto-foto
nenek-moyang pemilik lama. “Saya akan menggantinya dengan foto-foto
kakekku sendiri,” ujar Jain.
Satu Tahun kemudian
Dihadapkan kepada realitas memerintah, para kandidat yang berkampanye
sebagai ekstremis kerap menjadi moderat saat berkuasa. Namun dua
tahun setelah kedatangan Modi di Delhi, hanya ada sedikit tanda-tanda
kemoderatan dalam pelintiran kebencian Hindutva. Modi menyerahkan
pengurusan kantor-kantor bidang pendidikan dan kebudayaan kepada
RSS yang dogmatis, sebagai ganjaran atas dukungan mereka dalam
kampanye.93 Gerakan ini terus memaksakan kuasanya atas perdana
menteri, ujar sejarawan Ramachandra Guha. Pendek kata, transisi dari
“kampanye Modi ke pemerintah Modi” bukanlah hal yang mulus.94
Bahkan, retorika intoleransi nampak makin terangkat, dan di beberapa
kasus telah melebihi kata-kata belaka, meletuskan serangan-serangan
kekerasan terhadap minoritas. Misalnya, seorang anggota parlemen dari
BJP, Yogi Adityanath, memimpin kampanye “ghar wapsi” (kembali ke
rumah) untuk mengkonversi Muslim dan Kristen ke Hindu.95 Meski politisi
seperti Adityanath merusak reputasi internasional Modi, sulit baginya
Bab 4142
untuk mengekang mereka, sebab platform nasionalisme agamalah yang
membuatnya terpilih. “Ini bukan hal seperti remot kontrol yang bisa kamu
nyalakan dan matikan sesuai keinginanmu,” catat jurnalis Varghese K.
George.96
Platform kunci Modi lainnya—revitalisasi ekonomi—nampak tidak
stabil. Dengan hanya sedikit hal yang bisa ditunjukkan untuk membuktikan
klaim-klaim besarnya menjelang pemilu, BJP telah gagal dalam tes besar
elektoral pertamanya pasca berkuasa: mereka kalah besar dalam pemilu
di Delhi dan Bihar pada 2015.97 Tiadanya hasil ekonomi yang kuat, politik
identitas masih menjadi cara termurah untuk memenangkan dukungan.
Sesudah melewati setengah masa kepemimpinannya yang pertama, sang
perdana menteri masih belum bisa meyakinkan kelompok-kelompok
minoritas bahwa status mereka aman.
Hambatan utama agenda Hindutva mungkin yaitu sifat negara itu
yang sama sekali tak bisa diatur—hambatan yang telah menggagalkan
niat-niat progresif India, dan mungkin hal yang sama akan terjadi
pada nasionalisme Hindu Modi. Segalanya, mulai dari sistem federal
India hingga tradisi argumentatif mereka yang tak tertahankan, seperti
berkonspirasi melawan segala visi yang hendak menyeragamkan.
Pengadilan dan komisi kuasi-yudisial memberi tambahan perisai yang
bersifat struktural, kata pengacara konstitusi Bhairav Acharya.98 Ditambah
lagi, urusan-urusan penting lain negara, seperti keamanan nasional, dapat
turut campur tangan. Setelah adanya serangan yang dipublikasikan luas
terhadap Kristen, termasuk pemerkosaan brutal terhadap seorang suster
lanjut usia, Sushil Kumar, mantan pemimpin angkatan laut, membuat
intervensi penting: India tidak bisa mengorbankan lingkungan sekularnya
sampai pada titik di mana ia harus mengkompromikan kekuatan militer
multietnisnya. “Di India, kekuatan militer selalu dianggap sebagai
pilar paling kuat dalam masyarakat, dan alasannya hanya sebab kami
merupakan kekuatan militer sekular,” ujarnya. “Untuk membiarkan virus
semacam itu menyebar dalam tubuh militer merupakan hal yang sangat
berbahaya.”99
Sebagian besar retorika perdana menteri berfokus pada ekonomi
dan kebijakan luar negeri. Pada saat bersamaan, Modi terus berkata dan
melakukan beberapa hal yang cukup untuk membesarkan hati konsituen
intinya di Hindu sayap kanan, bahwa mimpi Hindutva masih tetap hidup.
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 143
Retorikanya yang bersifat memecah-belah sangat merusak ekonominya.
Dia tak perlu berujar banyak. Berkat beberapa dekade propaganda
kebencian Hindutva, kampanye yang masih berlangsung untuk menulis
ulang sejarah India, dan pembantaian di Muzaffarnagar dan Gujarat,
pendukung Modi yang apresiatif bisa mengisi titik-titik yang dia
tinggalkan dengan kartu-kartu mental yang mudah didapatkan. Dalam
salah satu pidato parlemen pertamanya sebagai perdana menteri, Modi
merujuk, sambil lalu, kebutuhan untuk menghapus “mental budak yang
sudah berlangsung 1.200 tahun.”100 Penontonnya tak perlu dijelaskan
lagi. Mereka tahu bahwa menolak sejarah 12 abad berarti melampaui tak
hanya kolonialisme Inggris namun juga warisan Muslim India. Inilah visi
Modi tentang kencan India dengan nasib: peradaban Hindu yang agung,
serangan asing, minoritas yang meminta lagi dan lagi, dan seorang
pemimpin kuat yang siap untuk memberi pelajaran bagi para penyerang
itu.***
145
Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sedang berada di ujung
masa pemerintahannya saat dia, pada 24 Agustus 2014, menyampaikan
pidato pembukaannya di depan undangan lintas-bangsa Forum
Internasional Aliansi Peradaban PBB Ke-6, di sebuah aula besar di
Pulau Bali yang indah. Banyak hadirin yang mengangguk setuju saat
Yudho