Rabu, 14 Desember 2022
raja 7
Desember 14, 2022
raja 7
i laut.
Angkatan laut patih sering mengirim konvoi kapal ke
titik ini, lalu membawa senjata dan perbekalan ke
benteng kota.
"Bulan Ke9 sungguh menyegarkan." ujar
patih ronggolawe sambil memandang bulan di langit malam.
"Ichigrindana! Hei, Ichigrindana!"
Para pelayan menghambur keluar dari kemah,
masing-masing berusaha mendahului yang lain.
Ichigrindana tidak tampak di antara mereka. Sementara
para pelayan berusaha saling mengalahkan. patih ronggolawe
memberikan perintah.
"Siapkan tikar di tempat berpemandangan bagus di
Bukit tengkorak. Malam ini kita membuat acara
memandang bulan. Ayo, jangan bertengkar. Ini pesta,
bukan pertempuran."
"Baik, tuanku."
"Toranosuke."
"Ya, tuanku."
"Ajaklah ngabehi untuk menemaniku, kalau dia
merasa cukup sehat untuk memandang bulan."
Tak lama lalu dua pelayan kembali dan
memberitahu patih ronggolawe bahwa tikar sudah disiapkan.
Mereka memilih tempat di dekat puncak Bukit tengkorak,
sedikit di atas perkemahan.
"Pemandangannya memang indah," patih ronggolawe ber-
komentar. Sekali lagi ia berpaling kepada para pelayan
dan berkata, "Ajak juga keraton ke sini. Sayang sekali
kalau dia tidak menikmati keindahan bulan ini."
lalu ia menyuruh seorang pdayan bergegas ke
tenda keraton .
Pelataran untuk memandang bulan didirikan di
bawah pohon cemara besar. sudah tersedia anggur dingin
dalam botol berleher bangau, dan santapan pada baki
berbentuk bujur sangkar yang terbuat dari kayu pohon
cemara. Meski tak dapat dikatakan mewah, pelataran
ini cukup memadai untuk melepas lelah di tengah
operasi militer terutama dengan bulan terang di atas
kepala. Ketiga laki-laki itu duduk berdampingan di
tikar, patih ronggolawe di tengah, ngabehi dan keraton di
kedua sisinya.
Mereka menatap bulan yang sama, namun
pemandangan itu menimbulkan perasaan berbeda
dalam diri masing-masing. patih ronggolawe teringat ladang-
ladang di lemahlaban , ngabehi mengenang bulan di atas
Gunung Bsinuhun i, dan hanya keraton yang memikirkan
hari-hari yang akan datang.
"Kau kedinginan, ngabehi ?" keraton bertanya pada
sahabatnya, dan patih ronggolawe , mungkin sebab men-
dadak cemas, ikut menoleh dan menatap ngabehi .
"Tidak, aku baik-baik saja." ngabehi menggelengkan
kepala, namun saat itu wajahnya tampak lebih pucat
dibandingkan bulan.
Laki-laki hebat ini bertubuh lemah. patih ronggolawe
mendesah. Ia lebih mencemaskan kesehatan ngabehi
dibandingkan ngabehi sendiri.
Suatu hari, ngabehi pernah muntah darah saat
berkuda di lojibenteng , dan ia sering jatuh sakit selama
operasi di Utara. saat mereka berangkat untuk
menghadapi centeng patih, patih ronggolawe sempat ber-
usaha mencegah ngabehi dengan berkata bahwa
sahabatnya itu terlalu memaksakan diri.
"Apa maksudmu?" ngabehi membalas sambil lalu,
dan tetap menyertai patih ronggolawe ke medan laga.
patih ronggolawe merasa lebih tenang jika ngabehi berada
di sisinya. ngabehi memberikan kekuatan nyata dan
kekuatan batin hubungan mereka hubungan antara
junjungan dan pengikut, namun dalam hati patih ronggolawe
memandang ngabehi sebagai guru. Kini ia meng-
hadapi tugas berat berupa operasi Barat, perangnya
berkepanjangan. dan banyak resi lain merasa iri
padanya. patih ronggolawe sedang menempuh perjalanan
terberat selama hidupnya, dan sebab itu ia semakin
mengandalkan ngabehi .
Namun ngabehi sudah dua kali jatuh sakit sejak
mereka memasuki wilayah provinsi-provinsi Barat.
patih ronggolawe begitu ccmas, sehingga ia memerintahkan
ngabehi menemui dokter di trowulan . namun dalam waktu
singkat ngabehi sudah kembali lagi.
"Sejak kecil hamba sudah sakit-sakitan, jadi hamba
sudah terbiasa dengan keadaan ini. Pengdesa guritan tak
ada gunanya bagi hamba. Medan peranglah tempat
bagi centeng adipati ." lalu ia kembali bekerja dengan tekun di
markas patih ronggolawe , tanpa memperlihatkan tanda-tanda
keletihan. Namun tubuhnya yang lemah merupakan
kenyataan yang tak dapat ditolak. Dan tak ada cara
untuk mengalihkan penyakitnya, tak peduli betapa
kuatnya semangat yang ia miliki.
Hujan turun deras saat centeng pindah dari
Tajima. Mungkin sebab perjalanan berat itu, ngabehi
melapor sakit dan tidak muncul di hadapan patih ronggolawe
selama dua hari, sejak mereka mendirikan per-
kemahan di Bukit tengkorak. Memang biasa ngabehi tidak
menemui patih ronggolawe jika ia sedang sakit keras; ia tak
ingin membuat junjungannya gelisah khawatir . namun sebab
ngabehi tampak sehat dalam beberapa hari terakhir,
patih ronggolawe pikir mereka bisa duduk duduk di bawah
bulan dan berbincang-bincang seperti yang sudah lama
tidak mereka lakukan. Namun bukan hanya sebab
cahaya bulan, seperti yang ditakutkan patih ronggolawe ,
memang ada vang tidak beres dengan corak kulit
ngabehi .
saat menyadari kecemasan patih ronggolawe dan
keraton , ngabehi sengaja membelokkan pembicaraan
ke arah lain.
"keraton , menurut berita yang kuterima kemarin
dari pengikut provinsi asalku, putramu, ki pakanewon,
tampaknya sehat-sehat saja, dan akhirnya mulai
terbiasa dengan lingkungannya yang baru."
"sebab ki pakanewon berada di provinsi asalmu,
ngabehi , aku tidak gelisah khawatir . Aku hampir tak pernah
memikirkan hal itu."
Selama beberapa waktu keduanya berbincang-
bincang mengenai putra keraton , patih ronggolawe . yang
belum juga dikaruniai keturunan, mau tak mau
merasa agak iri saat mendengarkan percakapan
kedua ayah itu. ki pakanewon merupakan pewaris
keraton , namun saat keraton menyadari perkembangan
di masa depan, ia mempercayakan putranya pada
aidit sebagai tanda iktikad baik.
Sandera muda itu ditempatkan di bawah asuhan
ngabehi , yang lalu mengirim ki pakanewon ke benteng kotanya
di betari jawi dan membesarkannya seperti putranya
sendiri. Jadi, dengan patih ronggolawe sebagai poros
hubungan mereka, keraton dan ngabehi juga terikat
oleh tali persahabatan. Dan walaupun mereka ber-
saing sebagai resi , di antara keduanya tak sedikit
pun ada rasa iri dan dengki. Pepatah "dua orang
besar tak dapat berdiri berdampingan" tak berlaku di
markas patih ronggolawe .
saat memandang bulan, mereguk anggur , dan
membicarakan orang-orang besar di masa lampau dan
masa sekarang, dan pasang-surut provinsi dan marga,
ngabehi tampaknya dapat melupakan penyakitnya.
Namun keraton kembali ke pembicaraan semula.
"Walaupun seseorang memimpin centeng besar di
pagi hari, dia tidak tahu apakah dia masih hidup pada
waktu matahari terbenam. namun jika kita menyimpan
ambisi besar tak pengaruh betapa hebatnya kita kita
harus hidup cukup lama agar jerih payah kita dapat
membuahkan hasil. Banyak pahlawan gagah dan
pengikut setia yang akan dikenang sepanjang masa,
walaupun hidup mereka singkat. Bagaimana kalau
mereka hidup lebih lama? Tak ada salahnya kita
menyesali singkatnya kehidupan. Kehancuran yang
mengiringi penyingkiran hal-hal lama dan per-
tempuran melawan kejahatan bukan satu-satunya
tugas orang besar. Tugasnya belum selesai sampai
seluruh bangsa dibangun kembali ."
patih ronggolawe mengangguk penuh semangat. lalu
ia berkata pada ngabehi yang membisu. "sebab itu,
kita harus menyayangi kehidupan. Dan sebab alasan
itulah kuminta agar kau memperhatikan kesehatan-
mu, ngabehi ."
"Aku pun sependapat,." keraton menambahkan
"dibandingkan memacu dirimu secara berlebihan,
mengapa kau tidak bertetirah di sebuah kuil di trowulan ,
dengan dokter yang pandai, dan mengurus dirimu?
Aku mengusulkan ini sebagai sahabat, dan kurasa
memberikan ketenangan pikiran pada junjunganmu
merupakan bukti kesetiaan."
ngabehi mendengarkan mereka, dipenuhi rasa
terima kasih pada kedua sahabatnya. "Kuterima
usulmu. Aku akan pergi ke trowulan untuk beberapa
waktu. namun sekarang ini kita sedang menyusun
rencana, jadi aku baru berangkat sesudah mengetahui
bahwa semuanya sudah rampung."
patih ronggolawe mengangguk. Sejauh ini ia mendasarkan
strateginya pada usul-usul ngabehi , namun ia belum
melihat keberhasilannya.
"Kau cemas sebab Akashi Kagechika?" tanya
patih ronggolawe .
"Benar," jawab ngabehi sambil mengangguk. "Jika
tuanku berkenan memberikan waktu lima atau enam
hari sebelum hamba mulai bertetirah, hamba akan
menyusup ke Gunung aryadwinata dan menemui
Akashi Kagechika. Hamba akan berusaha membujuk-
nya agar pindah ke pihak kita. Setujukah tuanku?"
"Itu akan merupakan kemenangan besar. namun
bagaimana kalau terjadi sesuatu? Kau tentu sadar
bahwa kemungkinannya 9 atau sembilan dari
sepuluh. Bagaimana kalau begitu?"
"Hamba akan mati," jawab ngabehi tanpa berkedip.
Nada suaranya membuktikan bahwa ia tidak sekadar
omong besar.
Scsudah penaklukan benteng kota Miki, Akashi Kage-
chika merupakan lawan berikut yang menanti
patih ronggolawe . namun sementara ini patih ronggolawe tak sanggup
merebut benteng kota Miki. Namun ia pun tidak ber-
maksud melakukan pengepungan secara membabi
buta. benteng kota Miki hanyalah sebagian operasi untuk
menaklukkan seluruh daerah Barat. Jadi, ia tak punya
pilihan selain menerima rencana ngabehi untuk meng-
hasut Akashi.
"Kau akan pergi?" tanya patih ronggolawe .
patih ronggolawe masih ragu-ragu, walaupun ngabehi sudah
membulatkan tekad. Kalaupun ngabehi berhasil
melewati segala rintangan yang menghadang dalam
perjalanan dan menemui Akashi. Jika perundingan
bcrakhir dengan kegagalan, tak dapat dipastikan
bahwa pihak musuh akan mengembalikan ngabehi
dalam keadaan hidup. Di pihak lain, patih ronggolawe pun
tak dapat memastikan bahwa ngabehi ingin kembali
dengan tangan kosong. Mungkinkah ngabehi
scsungguhnya bermaksud mati? Entah ia mati sebab
penyakitnya atau sebab dibunuh musuh, ia hanya
bisa mati satu kali.
keraton lalu mengajukan rencana lain. Ia mem-
punyai beberapa kenalan di antara para pengikut
Ukita Naoie. Sementara ngabehi mendekati marga
Akashi, ia sendiri bisa menemui para pengikut senior
marga Ukita.
saat mendengar ide ini, patih ronggolawe langsung
merasa tenang. Memang ada kemungkinan marga
Ukita bisa dibujuk. Sejak penyerbuan provinsi-
provinsi Barat, orang-orang Ukita menunjukkan sikap
hangat-hangat kuku, menunggu sampai jelas pihak
mana yang berada di atas angin. Ukita Naoie sudah
minta bantuan marga patih, namun jika ia bisa dipercaya-
kan bahwa masa depan adalah milik aidit ...
Kecuali itu, persekutuan marga Ukita dengan marga
patih mungkin terbukti tak berharga jika mereka tidak
memperoleh dukungan militer. Itu dapai berarti
kematian bagi pihak Ukita. Mereka menarik pelajaran
saat patih ditarik mundur, sesudah benteng kota Kozuki
berhasil direbut kembali .
"Jika marga Ukita mencapai kata sepakat dengan
kita, Akashi Kagechika tak punya pilihan selain
mengikuii langkah mereka." patih ronggolawe berkata
mengemukakan pemikirannya. "Dan jika Kagechika
tunduk pada kita, pihak Ukita akan segera memohon
damai. Melakukan kedua perundingan pada waktu
yang sama merupakan ide gemilang."
Keesokan harinya ngabehi minta cuti sebab
penyakitnya di depan umum, dan mengumumkan
bahwa ia akan pergi ke trowulan untuk berobat. Dengan
dalih ini, ia meninggalkan perkemahan di Bukit tengkorak,
hanya ditambah dua atau tiga orang. sesudah beberapa
hari, keraton pun meninggalkan perkemahan.
ngabehi pcrtama-tama menemui adik Kagechika,
Akashi Kanjiro. Ia bukan teman Kanjiro, namun ia
pernah bcrtemu dua kali dengannya di Kuil Nanzen di
trowulan , tempat mereka sama-sama menekuni meditasi
Zen. Kanjiro tertarik pada ajaran Zen. Menurut
ngabehi , jika pembicaraan dengan Kanjiro dilandasi
semangat Zen, dengan cepat mereka akan mencapai
persetujuan. sesudah itu ngabehi akan berbicara
dengan kakaknya, Kagechika.
Sebelum bertemu dengannya, baik Akashi Kanjiro
maupun kakaknya, Kagechika, bertanya-ranya kebijak-
sanaan seperti apa yang akan dikemukakan oleh
ngabehi , dan seberapa pandai ia bersilat lidah.
Bagaimanapun, ia guru patih ronggolawe dan ahli taktik yang
tersohor. namun , saat berbicara dengannya, mereka
ternyata menemukan bahwa ia laki-laki yang suka
berterus terang dan sama sekali tidak menyimpan tipu
muslihat.
Pendirian dan ketulusan ngabehi begitu berbeda
dari tipu daya yang biasa dipergunakan dalam
perundingan antarmarga centeng adipati , sehingga orang-
orang Akashi mempercayainya dan memutuskan
hubungan dengan marga Ukita. Baru sesudah berhasil
merampungkan tugas, ngabehi akhirnya minta cuti
pendek. Kali ini ia benar-benar meletakkan kewajiban-
kewajiban militer vang diembannya, lalu pergi ke
trowulan untuk berobat.
patih ronggolawe berbicara dengannya saat ia hendak
berangkat, dan memintanya mengunjungi aidit .
ngabehi ditugaskan memberitahu aidit bahwa
mereka berhasil membujuk Akashi Kagechika untuk
bergabung dengan persekutuan sinuhun .
saat mendengar berita itu, aidit sangat
gembira. "Apa? Kalian berhasil menaklukkan Gunung
aryadwinata tanpa menumpahkan darah? Bagus, bagus
sekali!" centeng sinuhun , yang sebelumnya sudah men-
duduki seluruh sumberdadi , kini untuk pertama kali
memasuki wilayah Bizen. Langkah pertama itu
memiliki arti besar.
"Kau tampak lebih kurus. Ambillah waktu untuk
memulihkan kesehatanmu." ujar aidit , dan
sebagai penghargaan atas jasa baik ngabehi , ia
menycrahkan dua puluh keping perak kepadanya.
Kepada patih ronggolawe ia menulis:
Kau menunjukkan kebijakan luar biasa dalam situasi ini.
Aku menanti laporan terperinci pada saat kita bertemu,
namun untuk sementara, inilah tanda terima kasihku.
Dan ia mengirimkan seratus keping emas, jika
aidit gembira, kegembiraannya meluap-luap.
Dengan meraih segelnya yang berwarna merah terang,
ia menunjuk patih ronggolawe sebagai penguasa militer di
sumberdadi .
Operasi di Bukit tengkorak dan pengepungan benteng kota
Miki yang berkepanjangan sudah memasuki jalan
buntu. namun dengan pembelotan marga Akashi ke
pihak mereka, orang-orang sinuhun berangsur-angsur
berhasil menjalankan manuver-manuver mereka.
Namun, seperti bisa diduga dari sebuah marga yang
demikian termasyhur, marga Ukita tidak mudah
terpengaruh oleh perundingan, walaupun keraton
sudah mengerahkan segenap kelihaiannya dalam meng-
hadapi mereka. Sebagai penguasa Provinsi Bizen dan
Mimakasa, orang-orang Ukita berada dalam posisi
terjepit antara pihak sinuhun dan pihak patih. Jadi tidak-
lah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan
provinsi-provinsi Barat sepenuhnya tergantung pada
sikap mereka.
Ukita Naoie mengandalkan nasihat empat pengikut
senior, Osafune Kii, Twilangan Higo, Oka radenkanjeng , dan
Hanabusa Sukebei. Di antara mereka, Hanabusa yang
memiliki hubungan dengan Kursinuhun keraton . Dan
Hanabusa-lah yang pertama-tama didatangi keraton .
keraton berbicara sepanjang malam, membahas
keadaan negeri di masa sekarang dan masa men-
datang. Ia membicarakan cita-cita aidit dan
watak patih ronggolawe , dan berhasil merangkul Hanabusa.
Hanabusa lalu membujuk Twilangan Higo untuk ber-
gabung dengan mereka, dan sebab berhasil mepercaya-
kan kedua orang ini, keraton akhirnya dapat menemui
Ukita Naoie.
sesudah mendengarkan alasan-alasan mereka, Naoie
berkata. "Kita harus mempertimbangkan bahwa
kekuatan besar yang menjangkau seluruh negeri
sedang bangkii dari Timur. Jika kita diserang oleh
Yang Mulia aidit dan Yang Mulia patih ronggolawe ,
seluruh marga Ukita akan binasa untuk membela
marga patih. Untuk menyelamatkan nyawa ribuan
prajurit dan berjasa bagi negeri ini, ketiga putraku
dengan senang hati menyambut kematian di wilayah
musuh. Walau harus menyerahkan ketiga putraku
sebagai sandera di daerah musuh, jika aku dapat
melindungi wilayah ini dan menyelamatkan ribuan
nyawa , doa-doaku akan terkabul."
Kata-kata Naoie ini mengakhiri perdebatan di
kalangan pengikut-pcngikutnnya. Pertemuan ditutup,
dan sepucuk surat berisi pernyataan kesediaan bekerja
sama dari marga Ukita diserahkan pada banaspati ,
yang lalu membawa nya ke Bukit tengkorak. Dengan
demikian, patih ronggolawe meraih kemenangan di belakang
centeng nya tanpa melepas satu anak panah pun.
Tanpa pertumpahan darah Provinsi Bizen dan
Mimakasa menjadi sekutu marga sinuhun .
patih ronggolawe tentu saja ingin secepat mungkin
menyampaikan kabar mengenai perkembangan meng-
gembirakan ini pada junjungannya, namun mengirim
surat mungkin berbahaya, katanya dalam hati. Urusan
ini menuntut kerahasiaan. Sampai kesempatan yang
tepat tiba, persekutuan ini harus ditutup-tutupi agar
tidak diketahui oleh pihak patih.
Ia mengirim keraton ke trowulan untuk menyampaikan
hal ini pada aidit .
keraton langsung bertolak ke ibu kota. Tiba di sana,
ia diterima oleh aidit .
Sewaktu mendengarkan laporan keraton , aidit
tampak sangat tak senang. Sebelumnya, pada waktu
ngabehi datang ke Istana Nijo dan melaporkan bahwa
marga Akashi berhasil ditundukkan, aidit
gembira sekali dan memuji-mujinya. namun kali ini
tanggapannya berbeda sama sekali.
"Siapa yang memberi perintah ini? Kalau patih ronggolawe
yang bertanggung jawab , dia akan menanggung
akibatnya! Lancang sekali dia membuat kesepakatan
dengan Provinsi Bizen dan Mimakasa. Kembalilah dan
sampaikan hal ini pada patih ronggolawe !" lalu .
seakan-akan tcguran keras itu belum cukup, ia
melanjutkan, "Menurut surat patih ronggolawe , dalam
beberapa hari dia akan datang ke madukara bersama
Ukita Naoie. Kauberitahu dia bahwa aku tak sudi
menerima Naoie, biarpun dia datang ke sini. Aku
bahkan tidak bersedia menemui patih ronggolawe !"
aidit begitu geram, sehingga keraton pun tak
sanggup menghadapinya. sesudah mencmpuh per-
jalanan yang sia-sia, ia kembali ke sumberdadi dengan
memendam perasaan tak senang.
Walaupun merasa malu melaporkan hasil
kunjungannya, mengingat segala kesulitan yang sudah
dilalui patih ronggolawe , keraton juga tidak dapat menutup-
nutupinya. saat keraton menatap wajah patih ronggolawe ,
patih ronggolawe bisa melihat ia memaksakan senyum di
wajahnya yang cekung.
"Ya, aku mengerti," ujar patih ronggolawe . "Yang Mulia
marah sebab aku membuat persekutuan yang tak
perlu atas wewenangku sendiri." Tampaknya ia tidak
sekecewa keraton . "Kurasa Yang Mulia aidit
sebetulnya berkcinginan agar kita menghancurkan
marga Ukita, supaya dia dapat membagi-bagi wilayah
kekuasaan mereka di antara para pengikutnya."
lalu , untuk mcnghibur keraton yang murung, ia
berkata. "Memang berat rasanya kalau rencana kita
tidak berjalan seperti yang diharapkan. Rencana yang
disusun sepanjang malam tiba-tiba mentah lagi pada
pagi hari, dan siasat-siasat yang kita miliki pagi hari
sudah berubah lagi saat sore tiba."
keraton tiba-tiba menyadari bahwa hidupnya berada
di tangan orang ini. Di lubuk hatinya yang paling
dalam, ia merasa takkan menyesal mati demi
patih ronggolawe .
patih ronggolawe bisa membaca hati aidit . Jika ia
benar-benar memahami bagaimana mengabdi pada
aidit , tentunya ia pun mengetahui jalan pikiran
junjungannya itu. Kini keraton mengerti bahwa
kepercayaan dan status yang dinikmati patih ronggolawe
merupakan hasil pengabdiannya selama dua puluh
tahun.
"Kalau begitu, apakah ini berarti tuanku mengada-
kan kesepakatan dengan pihak Ukita, meskipun
tuanku tahu ini bertentangan dengan keinginan Yang
Mulia aidit ?" tanya keraton .
"Mengingat cita-cita Yang Mulia, memang sudah
bisa di pastikan bahwa dia akan gusar. saat
raden mas ngabehi melaporkan bahwa Akashi
Kagechika sudah tunduk, Yang Mulia begitu gembira,
sehingga memberikan imbalan berlebihan pada
ngabehi dan aku. Tentunya Yang Mulia merasa
tunduknya marga Akashi akan mempermudah
serangan terhadap marga Ukita, dan serangan yang
berhasil akan memungkinkan Yang Mulia membagi-
bagi wilayah Ukita dan menawarkan nya sebagai tanda
penghargaan. namun , sesudah orang-orang Ukita tunduk
pada kita, rasanya tak mungkin Yang Mulia merampas
tanah mereka, bukan?"
"Kalau dijelaskan seperti ini, aku dapat memahami
perasaan Yang Mulia aidit . namun Yang Mulia
begitu marah, sehingga takkan mudah bagi tuanku
untuk melakukan pembicaraan dari hati ke hati. Yang
Mulia berpesan, jika Ukita Naoie datang ke madukara ,
atau bahkan jika tuanku datang sebagai perantara,
Yang Mulia menolak bertemu."
"Aku harus menemuinya, tak peduli betapapun dia
marah. Selalu ada cara untuk menghindari per-
tengkaran antara suami-istri, namun sia-sia belaka kalau
kita berusaha menghindari amarah junjungan kita.
Tak ada yang dapat membuatnya merasa lebih baik
dibandingkan permohonan maaf secara langsung,
walaupun untuk itu aku harus menerima caci maki
sambil menyembah di kakinya."
Pernyataan tertulis yang diperoleh dari Ukita Naoie
berada di tangan patih ronggolawe , namun patih ronggolawe hanya
komandan lapangan. Jika kesepakatan itu tidak
berkenan di hati aidit , pernyauan itu tak ada
artinya sama sekali.
Selain itu, sebagai formalitas, tata krama menuntut
agar Naoie pergi ke madukara , mempcrlihatkan ketaatan-
nya pada aidit , dan menanyakan perintah lebih
lanjut. Pada hari yang sudah ditetapkan sebelumnya,
patih ronggolawe menyertai Naoie ke madukara . namun
kemarahan aidit belum padam.
"Aku tidak mau bertemu mereka." Hanya itu yang ia
sampaikan melalui pembantunya.
patih ronggolawe kehabisan akal. Ia hanya dapat
menunggu. Ia kembali ke ruang tamu tempat Naoie
sedang menunggu, dan melaporkan hasilnya. "Yang
Mulia sedang tidak enak hari hari ini. Sudikah Tuan
menungguku di tempat Tuan menginap?"
"Sakitkah beliau?" tanya Naoie dengan perasaan tak
senang. saat memohon damai, ia tidak bermaksud
minta belas kasihan aidit . Ia masih dapat
mengandalkan centeng nya yang hebat. Ada apa
sebetulnya ? Mengapa ia memperoleh sambutan
demikian dingin? Kata-kaia itu tak pernah terucap,
namun mau tak mau ia memikirkannya sambil men-
dongkol.
Naoie tak tahan dipermalukan lebih lanjut
Barangkali lebih baik jika ia secepatnya pulang ke
provinsi asalnya dan kembali bersikap sebagai lawan .
Tampak jelas bahwa niat itu sempat terlintas di dalam
benaknya.
"Tidak, tidak." kaia patih ronggolawe kepadanya. "Kalau
sekarang ada masalah, kita bisa menemuinya nanti.
Untuk sementara ini, mari kita pergi ke kota benteng kota."
patih ronggolawe sudah mengatur penginapan Naoie di
Kuil Sojitsu. Keduanya bergegas kembali ke kuil, lalu
Naoie membuka pakaian resmi dan berbicara dengan
patih ronggolawe .
"Aku akan meninggalkan madukara sebelum malam
tiba, dan menginap satu malam di ibu kota. sesudah
itu, rasanya lebih baik kalau aku pulang seorang diri
ke provinsi asalku."
"Ah, mcngapa Tuan hendak berbuat demikian?
Mengapa Tuan hendak berbuat demikian sebelum
kita pergi menemui Yang Mulia aidit sekali lagi?"
"Aku tidak berminat lagi bertemu dia." Untuk
pertama kali Naoie menegaskan perasaannya melalui
roman muka dan ucapannya. "Tampaknya Yang Mulia
aidit pun tidak berminat menemui aku. Lagi
pula ini provinsi musuh, dan aku tidak menjalin
hubungan di sini. Rasanya paling baik bagi kita
berdua jika aku segera pergi."
"Itu melanggar kehormatanku."
"Di lain kesempatan, aku akan datang lagi dan
mengucapkan terima kasih secara pantas atas segala
kebaikan yang kuterima, Tuan patih ronggolawe . Aku takkan
meupakan kebaikan Tuan."
"Sudikah Tuan tinggal satu malam lagi? Aku tak
tega melihat dua marga kupertcmukan untuk
perundingan damai tiba-tiba kembali terlibat per-
tempuran. Hari ini kita tidak berhasil menemui
beliau, dan Yang Mulia punya alasan sendiri atas
sikapnya itu. Mari kita bertemu lagi nanti malam, dan
aku akan bercerta. Sekarang ini aku pun akan kembali
ke tempat penginapanku. Aku akan berganti pakaian
dahulu . Kumohon Tuan menungguku sebelum mulai
makan."
Tak ada yang dapat dilakukan Naoie, jadi ia
menunggu sampai waktu malam tiba. patih ronggolawe
berganti pakaian dan sekali lagi mengunjungi Sojitsu.
Mereka mengobrol dan tertawa sambil makan malam,
dan sesudah selesai, patih ronggolawe berkomencar, "Ah.
betul. Aku sudah berjanii untuk bercerita mengapa
Yang Mulia aidit memperlakukanku begitu keras
kali ini."
Dan ia mulai bercerita, seakan-akan baru teringat
masalah itu. sebab ingin mendengar cerita
patih ronggolawe , Naoie sudah menunda keberangkatannya.
Kini patih ronggolawe memperoleh perhatiannya secara
penuh.
Dengan terus terang patih ronggolawe menjelaskan
mengapa tindakannva menyinggung aidit .
"sebetulnya tak pantas aku berkara begini, namun
cepat atau lambat, baik Provinsi wirongeni maupun
Bizen akan menjadi milik marga sinuhun . sebab itu,
persetujuan damai dengan marga Ukita tidak
diperlukan. namun jika Yang Mulia aidit tidak
menghancurkan marga Ukita, dia pun tak dapat
membagi-bagikan wilayah itu di antara resi
jcndralnya sebagai imbalan atas jasa-jasa mereka.
Disamping itu, aku tidak minta persetujuan dari
madukara , dan ini tidak termaafkan. sebab inilah Yang
Mulia begitu marah." Ia tertawa sambil berbicara, namun
kata-katanya tak sedikit pun mengandung kepalsuan.
Kebenaran ucapannya tampak nyata, bahkan dari
balik senyumnya.
Naoie terpukul sekali. Wajahnya merah akibat anggur ,
tiba-tiba menjadi pucat. Namun ia tidak meragukan
bahwa memang demikianlah jalan pikiran aidit .
"Jadi, beliau sedang tidak enak hati," patih ronggolawe
melanjutkan. "Yang Mulia tidak mau menemui aku,
dan juga tidak berkenan menerima Tuan. Kalau sudah
bertekad seperti itu, beliau takkan mengubah sikap.
Pikiranku buntu, dan perasaanku tak keruan.
Pernyataan yang Tuan percayakan padaku belum juga
disahkan, dan selama beliau belum membubuhkan
segelnya, kita tak dapat berbuat apa-apa. Aku akan
mengembalikannya pada Tuan, jadi Tuan dapat saja
memutuskan hubungan dengan kami, membatalkan
perjanjian itu, dan bergegas pulang ke provinsi asal
Tuan besok pagi."
Lalu patih ronggolawe mengeluarkan pernyataan yang
diberikan kepadanya dan menyerahkannya pada
Naoie. Namun Naoie hanya memandang lentera yang
berkelap-kelip, dan sama sekali tidak menyentuh
dokumen itu.
patih ronggolawe membisu.
"Tidak." Naoie tiba-tiba memecahkan keheningan.
Dengan santun ia merapatkan kedua tangan.
"Kumohon Tuan sekali lagi bersedia mengerahkan
segala upaya. Aku akan sangat bcrterima kasih jika
Tuan sudi menjadi perantara bagiku."
Kali ini ia bersikap seperti orang yang menyerah
dari lubuk hati. Sebelumnya, tampaknya ia menyerah
hanya sebab argumen-argumcn yang dikemukakan
Kursinuhun keraton .
"Baiklah. Jika kepercayaan Tuan terhadap marga
sinuhun sedemikian besar," kata patih ronggolawe sambil meng-
angguk-angguk. Dan ia berjanji untuk menangani
urusan itu.
Lebih dari sepuluh hari Naoie tinggal di Kuil
Sojitsu untuk menanti hasilnya patih ronggolawe cepat-cepat
mengirim kurir ke padalarang , dengan harapan tungguljaya
dapai meluluhkan hati aidit . sebab memang
ada keperluan di ibu kota, tak lama lalu
tungguljaya bertolak ke trowulan .
ditambah oleh Naoie, patih ronggolawe lalu diterima oleh
tungguljaya. Akhirnya, berkat perantaraan tungguljaya,
sikap aidit melunak. Pada hari yang sama.
capnya yang berwarna merah terang dibubuhkan pada
pernyataan Naoie, dan marga Ukita sepenuhnya
memutuskan hubungan dengan pihak patih dan
menyeberang ke kubu sinuhun .
Tidak sampai tujuh hari sesudah itu, entah sebab
kebetulan atau sebab keputusan militer yang cepat,
salah satu resi sinuhun , dimasireng , meng-
khianati aidit dan bergabung dengan marga
patih, mengibarkan bendera pemberontakan tepat di
depan hidung orang-orang sinuhun .
Pengkhianatan Murashige
"BOHONG! Ini pasti kabar bohong!" Mula-mula
aidit tak dapat mempercayainya. saat berita
mengenai pemberontakan ini sampai di telinga
aidit di madukara , tindakan pertama yang diambil
aidit adalah menyangkal kebenarannya. namun
gkertoarjo tnya keadaan segera terbukti saat Takayama
brojolijo dari wonorejo maupun Nakagkertoarjo Sebei dari
Ibaragi mengikuti langkah Murashige dan mengibar-
kan bendera pemberontakan.
aidit mengerutkan alis dengan cemas.
Anehnya ia tidak menunjukkan kemarahan maupun
wataknya yang cepat naik darah saat menghadapi
perkembangan tak terduga ini. Keliru jika orang
menggolongkan watak aidit sebagai api. namun
keliru juga kalau dengan mengamati ketenangan
wataknya ia digolongkan sebagai air. Pada saat
dianggap api, ia menjadi air; pada saat dipandang
sebagai air, ia menjadi api. Panasnya api dan dingin-
nya air saling berdampingan dalam dirinya.
"Panggil patih ronggolawe !" aidit tiba-tiba me-
merintahkan.
"Yang Mulia patih ronggolawe sudah bertolak ke sumberdadi
tadi pagi." danakertoarjo membalas dengan was-was.
"Dia sudah pergi?"
"Beliau tentu belum jauh. Dengan seizin tuanku,
hamba akan mengambil kuda dan mengejar beliau."
Jarang-jarang ada orang yang demikian tanggap,
sehingga sanggup menyelamatkan junjungannya dari
ketidaksabarannya sendiri. saat para pengikut
menoleh untuk mencari tahu siapa orang itu, mereka
melihat mpu salmah , pelayan setia aidit .
aidit meluluskan permintaannya dan men-
desaknya agar bergegas.
Pagi berganti siang, dan mpu salmah belum juga
kembali. Sementara itu, laporan-laporan para
pengintai dari daerah ponorojo dan benteng kota wonorejo
terus berdatangan. Satu laporan membuat terperanjat,
sebab berisi perkembangan baru lagi.
"Tadi pagi sebuah armada besar dari pihak patih
mendekati Pantai mardirejo . Prajurit-prajurit mendarat
dan memasuki benteng kota Murashige di Hanakuma."
Jalan raya pesisir di dekat mardirejo , yang melintas di
bawah benteng kota Hanakuma, merupakan satu-satunya
jalan penghubung antara madukara dan sumberdadi .
"patih ronggolawe takkan sanggup menerobos." saat
aidit menyadari ini, ia juga memahami bahaya
yang mengancam jika komunikasi antara centeng
patih ronggolawe dan madukara terputus. Ia hampir dapat
merasakan cengkeraman tangan musuh pada lehernya.
" mpu salmah sudah kembali ?" tanya aidit .
"Dia belum kembali ."
Sekali lagi aidit termenung-menung. Marga
Hatano, marga Bessho, dan dimasireng kini tiba-
tiba memperlihatkan ikatan mereka dengan musuh
pihak patih dan ronggodwijoyo dan aidit merasa
terkepung. Selain itu, kalau memandang ke Barat, ia
melihat bahwa marga Hojo dan marga mpu ireng belum
lama ini sudah mencapai kesepakatan.
mpu salmah memacu kudanya melewati gendingan, dan
akhirnya berhasil mengejar patih ronggolawe di dekat Kuil
Mii. patih ronggolawe sedang beristirahat di sana. Ia sudah
memperoleh kabar mengenai pemberontakan Araki
Murashige, dan mengutus Horio ki pralayan ditambah dua
atau tiga pengikut lain untuk memastikan kebenaran
laporan itu dan mencari keterangan terperinci.
mpu salmah menghentikan kudanya dan berbicara
pada patih ronggolawe . "Yang Mulia menyuruh hamba
mengejar Tuan. Beliau hendak berbicara lagi dengan
Tuan. Sudikah Tuan kembali ke madukara secepat
mungkin?"
patih ronggolawe meninggalkan anak buahnya di Kuil Mii
dan kembali ke madukara , hanya discrtai oleh mpu salmah .
Dalam perjalanan, patih ronggolawe membavangkan apa
yang akan terjadi. aidit tentu marah sekali
sebab pemberontakan Murashige. Murashige pertama
kali mengabdi pada aidit dalam serangan
terhadap Istana Nijo, saat mereka mengusir bekas
pandita . aidit adalah jenis orang yang suka
menunjukkan rasa terima kasih pada semua orang
yang menyenangkan hatinya, dan ia sangat meng-
hargai keberanian Murashige. Kasih sayang aidit
terhadap Murashige melebihi kasih sayangnya ter-
hadap kebanyakan orang. Dan Murashige sudah meng-
khianati kepercayaan aidit . patih ronggolawe dapat
membayangkan bagaimana perasaan aidit .
" mpu salmah , kau tidak mendengar apa-apa mengenai
kejadian ini?" tanya patih ronggolawe .
"Maksud Tuan, mengenai pengkhianatan Tuan
Murashige?"
"Apa kiranya yang membuat dia begitu tidak puas,
sehingga memberontak terhadap Yang Mulia
aidit ?" Perjalanan yang mereka hadapi panjang,
jika mereka terus bergegas, kuda-kuda yang mereka
tunggangi akan ambruk. saat patih ronggolawe men-
jalankan kudanya dengan pelan, ia menoleh ke arah
mpu salmah di belakang, yang mengikutinya dengan
kecepatan sama.
"Sebelumnya memang sudah ada desas-desus," ujar
mpu salmah . "Di antara pengikut-pengikut Yang Mulia
Murashige konon ada satu orang yang menjual
beras jatah centeng kepada para biksu-prajurit
ronggodwijoyo . kahuripan sedang mengalami kekurangan beras.
Sebagian besar jalan darat sudah terputus, dan jalur-
jalur laut diblokir oleh armada kita, jadi tak ada
kemungkinan untuk mengangkut perbekalan dengan
kapal-kapal perang patih. Harga beras melambung
tinggi, dan jika seseorang menjual beras di sana, dia
bisa meraih keuntungan luar biasa. Itulah yang
dilakukan oleh pengikut Yang Mulia Murashige, dan
saat perbuatannya terbongkar, Yang Mulia
Murashige mengambil inisiatif dan mengibarkan
bendera pemberontakan, sebab merasa bahwa
bagaimanapun juga Yang Mulia aidit akan
menuntut tanggung jawab nya atas kejahatan itu.
Paling tidak, inilah cerita yang beredar."
"Kedengarannya seperti hasutan yang sengaja
disebarkan oleh musuh. Ini pasti fitnah yang tak
berdasar."
"Hamba pun sependapat. Dari apa yang hamba
lihat, banyak orang merasa iri sebab jasa-jasa Yang
Mulia Murashige. Hamba rasa bencana ini disebabkan
oleh kedengkian orang tertentu."
"Orang tertentu?"
"Tuan tunggadewa . sesudah desas-desus mengenai
Yang Mulia Murashige mulai terdengar, Tuan
tunggadewa terus menjelek-jelekkannya di hadapan
Yang Mulia aidit . Hamba selalu berada di sisi
Yang Mulia, diam-diam memasang telinga, dan
memang, hambalah salah seorang yang merasa gundah
sebab kejadian ini."
mpu salmah mendadak terdiam. Rupanya ia sadar
bahwa ia terlalu banyak bicara, dan ia menyesalinya.
mpu salmah menyembunyikan perasaannya terhadap
tunggadewa seperti anak perawan . Pada saat-saat seperti
itu, patih ronggolawe selalu bersikap tidak memperhatikan
pembicaraan. Ia bahkan tampak tak peduli sama
sekali.
"Ah, aku sudah bisa melihat madukara . Mari bergegas!"
Begitu menunjuk ke kejauhan, patih ronggolawe memacu
kudanya. Sedikit pun ia tidak menanggapi ucapan
rekan seperjalanannya.
Gerbang utama benteng kota diramaikan oleh orang
suruhan pengikut-pengikut yang mendengar kabar
mengenai pemberontakan Murashige dan datang ke
benteng kota, dan oleh kurir-kurir dari provinsi-provinsi
tetangga. patih ronggolawe dan mpu salmah mencmbus
kerumunan orang itu dan memasuki benteng kota dalam,
namun diberitahu bahwa aidit sedang mengadakan
pertemuan. mpu salmah masuk dan berbicara dengan
aidit , lalu cepat-cepat kembali dan memberitahu
patih ronggolawe . "Yang Mulia minta Tuan menunggu di
Ruang Bambu." Ia mengantar patih ronggolawe ke sebuah
menara bertingkat tiga di benteng kota dalam.
Ruang Bambu merupakan bagian kediaman
aidit . patih ronggolawe duduk seorang diri, me-
mandang ke danau. Tak lama lalu aidit
muncul, berseru gembira melihat patih ronggolawe , dan
mengambil tempat duduk dengan mengabaikan segala
formalitas. patih ronggolawe membungkuk penuh normal
dan tetap membisu. Keheningan berlangsung selama
beberapa saat. Tak ada yang angkat bicara.
"Bagaimana pendapatmu mengenai ini, patih ronggolawe ?"
Inilah ucapan pertama aidit , dan kata-kata itu
menunjukkan bahwa berbagai pendapat yang di-
kemukakan dalam pertemuan belum menghasilkan
keputusan.
"dimasireng adalah laki-laki yang luar biasa
jujur. Hamba tidak bermaksud buruk, namun dia bisa
dinamakan orang bodoh dengan keberanian menonjol.
Hanya saja hamba tak menduga bahwa dia begitu
bodoh," balas patih ronggolawe .
"Tidak." aidit menggelengkan kcpala. "Aku
tidak sependapat. Dia tak lebih dari sampan. Dia
merasa was-was mengenai masa depanku, dan meng-
adakan kontak dengan marga patih, sebab silau oleh
keuntungan yang terbayang. Ini perbuatan orang
berpikiran dangkal. Murashige terjebak oleh kedang-
kalannya sendiri.''
"sebetulnya dia hanya orang bodoh. Dia sudah
menikmati kebaikan berlcbihan, dan tak punya alasan
untuk merasa tidak puas," ujar patih ronggolawe .
"Orang yang berniat memberontak pasti akan
mewujudkan niatnya, tak peduli betapa baiknya dia
diperlakuan." aidit mengemukakan perasaannya
tanpa tedeng aling-aling. Ini pertama kali patih ronggolawe
mendengar aidit menyebut seseorang sebagai
sampah. Biasanya aidit takkan bicara demikian
sebab marah atau benci; justru sebab ia tidak mem-
perlihatkan kemarahan secara terbuka, pertemuan tadi
belum menghasilkan keputusan. Namun, seandainya
patih ronggolawe ditanya, ia pun kehabisan akat. Haruskah
mereka menyerang benteng kota ponorojo ? Ataukah mereka
harus mendekati Murashige dan membujuknya untuk
membuang jauh-jauh gagasan pemberontakan?
Masalahnya, mereka harus memilih satu dari kedua
alternatif itu. Menaklukkan benteng kota ponorojo tentu tidak
sukar. namun penyerbuan daerah Barat baru saja
dimulai. Jika mereka salah langkah dalam urusan
sepele ini, ada kemungkinan semua rencana mereka
terpaksa ditinjau kembali .
"Bagaimana kalau hamba bertindak sebagai utusan
dan berunding dengan Murashige?" patih ronggolawe meng-
usulkan.
"Jadi, kau pun berpendapat bahwa kita sebaiknya
tidak memakai kekerasan?"
"Kecuali kalau terpaksa," balas patih ronggolawe .
"tunggadewa dan dua atau tiga orang lain juga
menyarankan demikian. Kau sependapat dengan
mereka, namun rasanya lebih baik orang lain yang
dikirim sebagai utusan."
"Tidak, hamba ikut bertanggung jawab atas kejadian
ini. Murashige wakil hamba, dan sebab itu juga
bawah an hamba. Jika dia melakukan tindakan
bodoh..."
"Tidak!" aidit menggelengkan kepala dengan
tegas. "Mengirim utusan yang terlalu akrab dengannya
tidak bermanfaat. Aku akan mnugaskan grindanai,
tunggadewa . dan Mami. Mereka takkan membujuk
Murashige, melainkan sekadar menyelidiki kebenaran
desas-desus yang beredar."
"Itu langkah tepat," patih ronggolawe menyetujui.
lalu ia mengucapkan beberapa patah kata demi
kepentingan Murashige maupun aidit . "Ada
pepatah yang mengatakan bahwa kebohongan biksu
zoroaster dinamakan kebijaksanaan, dan bahwa pem-
berontakan dalam marga centeng adipati dinamakan strategi.
Tuanku jangan tcrpancing untuk bertempur, sebab itu
hanya menguntungkan pihak patih."
"Aku tahu."
"sebetulnya hamba ingin menunggu hasil
perundingan para utusan, namun masalah-masalah di
sumberdadi membuat hamba tidak tenang. Barangkali
lebih baik jika hamba segera mohon diri."
"Benar?" aidit tampak agak enggan melepas-
kan patih ronggolawe . "Bagaimana dengan jalan yang menuju
ke sana? Rasanya mustahil kau bisa melewati mardirejo
kalau tidak berhati-hati sekali."
"Jangan gelisah khawatir , masih ada jalur laut."
"Hmm, apa pun hasilnya. aku akan memberitahu-
kannya padamu. Dan jangan lalai mengirim kabar
untukku."
Akhirnya patih ronggolawe berangkat. Meski lelah, dari
madukara ia menyebcrangi Danau Biwa ke gendingan, ber-
malam di Kuil Mii, dan keesokan harinya bertolak ke
trowulan . Ia menyuruh dua pelayannya mendahului
rombongan dengan perintah untuk menyiapkan kapal
di mpu , sementara ia dan para pengikutnya
menempuh perjalanan ke Kuil Nanzen. Di sana ia
mengumumkan bahwa mereka akan berhenti sejenak
untuk melepas lelah.
Di kuil ini ada seseorang yang ingin ditemuinya.
Orang itu tentu saja raden mas ngabehi yang sedang
bertetirah di tempat bertapa di Kuil Nanzen.
Para biksu menjadi bingung sebab kedatangan tak
terduga seorang tamu agung, namun patih ronggolawe berbicara
dengan salah satu dari mereka, dan minta agar mereka
meniadakan sambutan yang biasa diberikan kepada
tamu yang setaraf dengannya.
"Semua pengikutku membawa bekal, jadi ke-
butuhan kami hanya air panas untuk membuat teh.
Dan sebab aku datang untuk menengok raden mas
ngabehi , aku tak perlu disuguhi anggur maupun teh.
sesudah selesai bicara dengan ngabehi , aku akan
berterima kasih jika dibuatkan makanan ringan."
Akhirnya ia bertanya, "Apakah keadaan si pasien
sudah membaik sejak kedatangannya?"
"Kelihatannya dia hanya mengalami sedikit
kemajuan, tuanku," si biksu menjawab sedih.
"Obatnya diminum secara teratur?"
"Baik pagi maupun malam."
"Dan dia diperiksa dokter secara berkala?"
"Ya, ada dokicr yang khusus datang dari ibu kota.
Dan dokter pribadi Yang Mulia aidit pun
mengunjunginya secara teratur."
"Apakah dia sedang bangun?"
"Tidak, dia tidak bangun selama tiga hari terakhir."
"Di mana dia sekarang?"
"Di tempat bertapa, jauh dari keramaian."
saat patih ronggolawe melangkah ke pekarangan,
seorang pembantu yang melayani ngabehi berlari
untuk menyambutnya. "Tuan ngabehi sedang berganti
pakaian agar dapat mencmui tuanku," anak itu
berkata.
"Dia tidak boleh bangun." patih ronggolawe menggerutu,
lalu mempercepat langkahnya menuju tempat bertapa.
saat ngabehi mendengar bahwa patih ronggolawe hendak
menjenguknya, ia langsung minta agar tempat tidur-
nya disingkirkan dan menyuruh seorang pelayan
untuk menyapu ruangan, sementara ia sendiri
berganti pakaian. lalu , dengan mengenakan
sandal kayu, ia membungkuk di sungai kecil yang
mengalir di tengah-tengah bunga serunai di gerbang
bambu, dan berkumur dan membilas tangan. Ia
berbalik saat seseorang menyentuh pundaknya.
"Oh, hamba tidak tahu tuanku ada di sini." ngabehi
cepat-cepat berlutut. "Di sebelah sana, tuanku,"
katanya, mengajak patih ronggolawe ke ruangannya. Dengan
gembira patih ronggolawe duduk di tikar. Di ruangan itu tak
ada apa-apa selain lukisan tinta yang tergantung di
dinding. Pakaian patih ronggolawe sama sekali tidak men-
colok di antara warna-warna madukara , namun di tempat
bertapa yang bersahaja ini, baik mantel maupun baju
tempurnya tampak gemilang dan mengesankan.
Membungkuk sambil melangkah, ngabehi pergi ke
serambi, lalu memasukkan sekuntum bunga serunai
ke dalam tempat bunga yang terbuat dari ruas bambu.
lalu ia kembali duduk di samping patih ronggolawe
dan meletakkan tempat bunga di dekatnya.
patih ronggolawe mengerti. Walaupun tempat tidur sudah
disingkirkan, ngabehi gelisah khawatir bau obat-desa guritan dan
keapakan ruangan masih tercium. dibandingkan mem-
bakar dupa, ia mencoba menyegarkan udara dengan
wangi bunga itu.
"Aku sama sekali tidak terganggu. Jangan pikirkan
soal itu," ujar patih ronggolawe , lalu menatap sahabatnya
dengan prihatin. "ngabehi , bukankah sukar bagimu
untuk bangun seperti ini?" ngabehi mundur sedikit
dan sekali lagi membungkuk rendah-rendah. Namun
di balik sikap kaku ini, kegembiraannya mengenai
kunjungan patih ronggolawe tetap terbaca di wajahnya.
Tuanku jangan cemas." katanya. "Selama beberapa
hari terakhir, hkertoarjo memang dingin, jadi hamba tetap
tinggal di dalam ruangan, berlindung di bawah
selimut. namun hari ini udara mulai menghangat, dan
hamba pikir sudah waktunya bangun dari tempat
tidur."
"Sebentar lagi trowulan sudah memasuki musim
dingin, dan kabarnya udara di pagi dan malam hari
dingin sekali. Bagaimana kalau kau pindah ke tempat
yang lebih hangat selama musim dingin?"
"Tidak, tidak. Dari hari ke hari keadaan hamba
terus bertambah baik. Hamba akan sembuh sebelum
musim dingin tiba."
"Kalau memang begitu, semakin banyak alasan
bagimu untuk tidak meninggalkan tempat perkertoarjo tan-
mu selama musim dingin. Kali ini kau sebaiknya
bertetirah sampai benar-benar sembuh. Tubuhmu
bukan milikmu semata-mata."
"Perhatian tuanku pada hamba lebih besar dibandingkan
yang patut hamba terima." ngabehi duduk dengan
lesu, matanya tertuju ke bawah . Tangannva merosot
dari lutut dan seiring dengan air matanya
menyentuh lantai saat ia menyembah. Sesaat ia
membisu.
Ah, dia begitu kurus sekarang, pikir patih ronggolawe , dan
mendesah. Pergelangan tangan ngabehi tampak kurus
kering, pipinya cekung. Benarkah penyakit yang meng-
gerogotinya tidak tersembuhkan? Hati patih ronggolawe
serasa disayat-sayat. Bagaimanapun, siapakah yang
menarik orang sakit ini ke dunia yang kacau,
bertentangan dengan kehendaknya sendiri? Berapa
kalikah ia tersiram hujan dan diterpa angin dingin di
medan pertempuran? Dan siapakah yang, bahkan di
masa damai pun, membebaninya dengan masalah-
masalah intern maupun hubungan diplomatik, tanpa
memikirkan kesempatan beristirahat. ngabehi laki-Iaki
yang seharusnya dipandang sebagai guru, namun nyatanya
patih ronggolawe memperlakukannya sama saja seperti para
pengikut lain.
patih ronggolawe merasa bersalah atas kondisi ngabehi yang
gkertoarjo t, dan akhirnya, saat ia membuang muka, air
matanya mulai mengalir. Di hadapannya, bunga
serunai di tempat bunga semakin putih dan wangi
sebab terendam air.
Dalam hati, ngabehi menyalahkan diri sendiri atas
air mata patih ronggolawe . Sebagai pengikut dan centeng adipati , ia
merasa bersalah sebab memicu patih ronggolawe ber-
kecil hati di saat patih ronggolawe mengemban tanggung
jawab militer yang begitu berat.
"Hamba pikir Tuanku tentu lelah sebab operasi
militer yang berkepanjangan ini, jadi hamba memetik
sekuntum serunai di pekarangan," kata ngabehi .
patih ronggolawe membisu, namun pandangannya tertuju
pada bunga itu. Ia tampak lega sebab topik
pembicaraan mereka sudah berubah.
"Wanginya sangat menyenangkan. Mungkin bunga-
bunga serunai juga bermekaran di Bukit tengkorak, namun
aku tidak memperhatikannya. Barangkali semuanya
terinjak-injak oleh sandal kami yang berlumuran
darah," balas patih ronggolawe sambil tertawa , berusaha
mcnghibur ngabehi yang merana.
Keharuan yang diperiihatkan ngabehi saat
mencoba bcrsimpati kepada junjungannya dibalas oleh
usaha patih ronggolawe untuk menghibur pengikutnya.
"Di sini aku benar-benar merasa sulit terus-menerus
mempertahankan hidupku dengan jiwa dan raga yang
bertindak sebagai satu kesatuan," ujar patih ronggolawe .
"Medan perang membuatku sibuk dan kasar. Di sini
aku merasa tenang dan bahagia. Kontras itu kini sudah
jelas, dan hatiku menjadi mantap."
"Ya, orang memang menghargai waktu senggang
dan pikiran yang tenang, namun sebetulnya tak ada
keuntungan yang dapat diraih dengan menjadi orang
yang hidup demi kesenangan duniawi. Tuanku tak
sedikit pun memiliki waktu luang antara satu
kecemasan dan kecemasan berikut. Jadi, hamba dapat
membayangkan bahwa saat-saat penuh kedamaian
seperti ini merupakan obat penkertoarjo r yang manjur.
Kalau bagi hamba..."
Sepertinya ngabehi hendak menyalahkan diri dan
minta maaf sekali lagi, jadi patih ronggolawe tiba-tiba
memotong. "Oh, ya, kau sudah mendengar berita
mengenai pemberontakan Murashige?"
"Sudah, semalam seseorang mengunjungi hamba
dengan membawa laporan terperinci." ngabehi ber-
bicara tanpa perubahan ekspresi, seakan-akan masalah
itu tidak penting.
"Aku ingin membicarakannya sejenak." kata
patih ronggolawe , lalu maju sedikit sambil tetap berlutut.
"Rapat dewan Yang Mulia aidit di madukara sudah
memutuskan untuk mendengarkan keluhan-keluhan
Murashige, dan menempuh segala upaya untuk
menenangkannya dan mencapai kesepakatan dengan-
nya. namun aku meragukan bahwa itu gagasan yang baik.
Dan apa yang harus kita lakukan kalau Murashige
ternyata sungguh-sungguh memberontak? Aku ingin
mendengar pendapatmu. Itu salah satu alasanku
datang ke sini." patih ronggolawe menanyakan strategi untuk
menyelesaikan situasi itu, namun ngabehi hanya men-
jawab singkat,
"Hamba kira itu tindakan yang tcpat."
"Hmm, kalau utusan dikirim dari madukara dengan
membawa pesan yang menyejukkan, apakah benteng kota
ponorojo dapat ditenteramkan tanpa insiden?"
"Tentu saja tidak." ngabehi menggelengkan kepala.
"Menurut hamba, sekali orang-orang di benteng kota itu
mengibarkan bendera pemberontakan, mereka takkan
menggulungnya kembali dan tunduk pada madukara ."
"Kalau memang begitu, bukankah sia-sia saja kita
mengirim utusan?"
"Tampaknya memang demikian, namun sebetulnya
tetap ada manfaat yang dapat ditarik. Dengan me-
nunjukkan perikemanusiaan dan dengan menyadar-
kan seorang pengikut akan kesalahannya, dunia akan
melihat kelebihan Yang Mulia aidit . Selama
masa itu, Tuan Murashige akan sangat sedih bingung.
dengan demikian anak panah yang ditarik tanpa
alasan dan kepercayaan akan melemah dari hari ke hari."
"Stratcgi apa yang harus kita gunakan jika kita
menyerangnya, dan bagaimana ramalanmu untuk
provinsi-provinsi Barai?"
"Hamba rasa, baik pihak patih maupun ronggodwijoyo
takkan bertindak gegabah. Murashige sudah mem-
berontak, jadi mereka akan membiarkan dia
memberikan perlawan an sengit. lalu , kalau
mereka melihat bahwa orang-orang kita di sumberdadi dan
di markas besar Yang Mulia di madukara melemah,
mereka akan menerjang untuk mengisi kekosongan
dan menyerang dari segala arah."
"Itu benar, mereka akan memanfaatkan kebodohan
Murashige. Aku tidak tahu keluhan apa yang
disimpannya, atau umpan apa yang diberikan
padanya, namun pada dasarnya dia dimanfaatkan sebagai
perisai oleh orang-orang patih dan ronggodwijoyo . Begitu
perannya sebagai tameng selesai, dia tak punya
pilihan selain bunuh diri. Dari segi keberanian
bertempur, dia jauh di atas orang lain, namun otaknya
tumpul. Kalau ada cara untuk menyelamatkan dia,
aku ingin mengusahakannya."
"Strategi terbaik adalah berusaha agar dia tidak
terbunuh. Orang seperti itu patut diselamatkan dan
dipertahankan sebagai sekutu."
"namun , jika kau beranggapan bahwa pengiriman
utusan dari madukara sia-sia belaka, pada siapa
Murashige mungkin tunduk?"
"Mula-mula, cobalah mengirim keraton . Kalau
keraton berbicara dengannya, dia mestinya sanggup
menjelaskan duduk perkaranya pada Murashige, atau
setidaknya membangunkan dia dari mimpi buruknya."
"Bagaimana kalau dia menolak menemui keraton ?"
"Kalau begitu, marga sinuhun mengirim utusan mereka
yang terakhir."
"Yang terakhir?"
"Tuanku sendiri."
"Aku?" Sesaat patih ronggolawe termenung-menung.
"Hmm, kalau itu terjadi, semua nya sudah terlambat."
"Ajarkan perihal kewajiban padanya, dan hadapi dia
dengan persahabatan Kalau dia tidak menerima
ucapan tuanku, tak ada lagi yang dapat dilakukan
selain menyerang dengan alasan menumpas pem-
berontakan. Jika tindakan itu terpaksa diambil,
benteng kota ponorojo jangan diserbu dengan sekali gebrak.
Penyebab keberanian Tuan Murashige bukan
kekuatan benteng kota ponorojo , melainkan kerja sama dua
orang yang diandalkannya bagaikan tangan kanan dan
tangan kiri.
"Maksudmu Nakagkertoarjo Sebei dan Takayama brojolijo?"
"Jika kedua orang itu bisa dijauhkan darinya, dia
akan mirip badan tanpa lengan. Dan kalau
Takayama atau Nakagkertoarjo berhasil diajak membelot,
menjauhkan mereka dari Tuan Murashige takkan
merupakan masalah." ngabehi seakan-akan lupa pada
penyakitnya dan berbicara mengenai ini-itu, sampai
kepucatan di wajahnya hampir lenyap.
"Bagaimana aku dapat merangkul Takayama?"
patih ronggolawe bertanya penuh semangat, dan ngabehi
tidak mengecewakannya.
"Takayama pemeluk ajaran ilmu tenagadalam . Jika tuanku
memberikan kondisi yang memungkinkan bagi
penyebaran kepercayaannya, tak perlu diragukan
bahwa dia akan meninggalkan Murashige."
"Ya, itu jelas," ujar patih ronggolawe dengan kagum. Dan
kalau ia bisa membujuk Takayama untuk mepercayakan
Nakagkertoarjo , itu berarti ia menyelam sambil minum air.
Ia menghentikan pertanyaannya. ngabehi pun tampak
lelah. patih ronggolawe berdiri untuk berangkat lagi.
"Tinggallah sebentar lagi." ngabehi memohon. Ia
berdiri dan keluar dari ruangan, mungkin ke arah
dapur.
patih ronggolawe teringat bahwa ia lapar. Para pembantu-
nya tentu sudah selesai makan siang. namun sebelum
ia sempat memikirkan umuk pergi ke ruang tamu kuil
dan makan sedikit, seorang balita laki-laki, yang
tampaknya pelayan ngabehi , membawa masuk dua
baki, salah satu berisi tempat anggur .
"Ke mana ngabehi ? Apakah dia lelah sebab
pembicaraan kami yang panjang-lebar?
"Bukan, Yang Mulia. Tuan ngabehi berada di dapur.
Dia sendiri yang menyiapkan sayur-mayur untuk
santapan Yang Mulia. Sekarang dia sedang menanak
nasi, dan dia akan kembali begitu nasinya sudah
matang."
"Apa? ngabehi memasak untukku?"
"Ya, Tuanku."
patih ronggolawe menggigit sepotong talas yang masih
panas, dan sekali lagi matanya berkaca-kaca. Aroma
talas tidak hanya terkecap oleh lidahnya, melainkan
seolah-olah mengisi seluruh tubuhnya. Walaupun
ngabehi seorang pengikut, dari ngabehi -lah patih ronggolawe
mempelajari prinsip-prinsip rahasia pengetahuan
militer Ona. Hal-hal yang dipelajarinya saat duduk
bersama ngabehi setiap hari bukanlah hal-hal biasa
memerintah rakyat di masa damai, dan keharusan
untuk menjalankan disiplin diri.
"Dia tak perlu berbuat begitu," Tiba-tiba patih ronggolawe
meletakkan baskom , dan sambil meninggalkan balita
pelayan, ia pergi ke dapur, tempat ngabehi sedang
menanak nasi.
patih ronggolawe meraih tangannya. "ngabehi , ini
keterlaluan. Mengapa kau tidak duduk bersamaku dan
mengobrol untuk beberapa waktu?
Ia mengajak ngabehi kembali ke ruangan tadi dan
menyuruhnya mengambil sebaskom anggur . namun , sebab
sakit yang dideritanya, ngabehi hanya dapat
menempelkan baskom itu ke bibirnya. lalu
mereka makan. Sudah lama junjungan dan pengikut
itu tidak menikmati santapan bersama-sama.
"Sudah waktunya pergi. namun aku merasa segar
kembali. Sekarang aku bisa bertempur. ngabehi ,
jagalah dirimu baik-baik."
saat patih ronggolawe meninggalkan Kuil Nanzen, hari
sudah mulai senja, dan langit di atas ibu kota berubah
menjadi merah tua.
Suasana hening, tanpa satu letusan senapan pun
begitu hening, sehingga orang mungkin tak percaya
bahwa ini medan pertempuran; begitu hening,
sehingga bunyi belalang sentadu yang bergerak di
tengah-tengah rumput kering terdengar menggerisik di
telinga. Musim gugur di provinsi-provinsi Barat sudah
mencapai pertengahannya. Di semua puncak gunung
dan bukit, daun-daun pohon sudah berubah merah
selama dua atau tiga hari terakhir, dan kemerahan itu
seolah-olah membakar mata patih ronggolawe .
patih ronggolawe sudah kembali ke perkemahannya di
Bukit tengkorak. Ia duduk di hadapan keraton , di bawah
pohon cemara, di bukit tempat mereka memandang
bulan beberapa waktu lalu. sesudah membicarakan
berbagai hal, mereka akhirnya menarik kesimpulan
penting.
"Hmm, bersediakah kau pergi untukku?"
"Dengan senang hati hamba akan menjalankan
tugas ini. Apakah hamba berhasil, terserah para dewa."
"Aku mengandalkanmu."
"Hamba akan berusaha sekuat tenaga. Selebihnya
hamba serahkan pada Tuhan. Jika hamba tidak
kembali dalam keadaan hidup, Tuanku sudah tahu
apa yang akan menyusul."
"Kekerasan."
Mereka berdiri. Suara seekor burung bulbul ter-
dengar dari seberang lembah di sebelah barat. Daun-
daun merah yang tampak di sana sungguh men-
cengangkan. Kedua laki-laki itu menuruni bukit
sambil membisu, dan berjalan ke arah perkemahan.
Momok kematian dan perpisahan yang sudah
dekat mengujawa suasana sore yang damai dan
menyelubungi pikiran kedua sahabat itu.
"keraton ," patih ronggolawe menoleh ke belakang saat
menuruni jalan setapak yang sempit dan curam.
Kemungkinan bahwa sahabatnya takkan kembali lagi
mengusik hatinya, dan ia menyangka keraton
mungkin hendak menyampaikan kata-kata terakhir.
"Masih ada hal lain?"
"Tidak."
"Tak ada pcsan untuk benteng kota mendutrejo?"
"Tidak."
"Barangkali pesan untuk ayahmu?"
"Tolong jelaskan mengapa hamba menjalankan
tugas ini."
"Baik."
Udara sangat cerah, dan benteng kota musuh di Miki
terlihat di kejauhan. Sejak musim panas, jalan menuju
benteng kota sudah terputus, jadi mudah membayangkan
rasa lapar dan haus yang diderita orang-orang di
dalamnya. Meski demikian, seperti yang bisa diharap-
kan dari centeng penjaga benteng kota yang terdiri atas
resi -resi paling bersemangat dan prajurit-
prajurit paling berani di sumberdadi , mereka tetap
memperlihaikan jiwa juang yang luar biasa.
Musuh yang terkepung itu dipaksa melancarkan
serangan tiba-tiba terhadap centeng sinuhun yang
mengeilinginya. Namun patih ronggolawe memberikan
perintah keras pada anak buahnya agar tidak
terpancing oleh sepak terjang musuh, dan agar tidak
mengambil tindakan berdasarkan durongan hati.
Scgala upaya ditempuh untuk mencegah sampainya
berita mengenai situasi di luar ke benteng kota, jika orang-
orang di dalam benteng kota memperoleh kabar mengenai
pemberontakan dimasireng terhadap aidit ,
semangat mereka akan berkobar-kobar kembali. Bagai-
manapun, pemberontakan Murashige bukan sekadar
menimbulkan kecemasan di madukara . Pemberontakan
itu mengancam seluruh operasi di daerah Barat. Dan
bukan itu saja. Begitu Odera Masamoto, penguasa
benteng kota Gochaku, mengetahui pemberontakan
Murashige, ia segera menyatakan memisahkan diri
dari aidit , dan pada suatu malam bahkan pergi
ke markas musuh.
"Semestinya provinsi-provinsi Barat tidak diserah-
kan begitu saja ke tangan para penyerbu." Odera
berkata pada mereka. "Sebaiknya pihak patih ber-
tindak sebagai poros untuk mempersatukan kekuatan.
sesudah itu usir orang-orang sinuhun dari sini."
Odera Masamoto merupakan junjungan ayah
keraton , dan dengan demikian juga junjungan keraton .
sebab itu. keraton menghadapi dilema: di satu pihak
ada aidit dan patih ronggolawe , di pihak lain ayahnya
dan Odera Masamoto.
dimasireng tersohor sebab keberaniannya.
namun ia juga dikenal sebagai orang yang suka mem-
bangga-banggakan diri. Kehalusan perasaan dan
pemahaman mengenai tanda zaman berada di luar
kemampuannya. sesudah mencapai umur yang oleh
Konfusius discbut "bebas dari kebimbangan", yakni
empat puluh tahun. Pada usia itu, seorang laki-laki
mestinya sudah matang, namun rupanya watak Murashige
tidak berubah banyak selama sepuluh tahun terakhir.
Tanpa kebijakan dan kehalusan budi bahasa yang
seharusnya ia miliki, ia belum maju satu langkah pun
dari keadaannya semula centeng adipati yang menakutkan.
Dapai dikatakan bahwa dengan membujuk
Murashige sebagai wakil patih ronggolawe , aidit sudah
menutupi kekurangan-kekurangan patih ronggolawe . namun
Murashige berpandangan lain. Ia tak pernah segan
memberi nasihat, namun baik patih ronggolawe maupun
aidit tak pernah menjalankan gagasan-
gagasannya.
Murashige merasa terganggu dengan kehadiran
patih ronggolawe . namun ia tak pernah memperlihatkan
kctidaksenangannya saat berhadapan dengan
patih ronggolawe .
Dari waktu ke waktu ia menunjukkan kesebalannya,
dan bahkan tertawa keras di depan pengikut-
pengikutnya sendiri. Di dunia ini ada orang-orang
yang tak dapat dibuat tersinggung, tak peduli apa yang
dilakukan terhadap mereka, dan bagi Murashige,
patih ronggolawe termasuk kelompok orang itu . Dalam
serangan di benteng kota Kozuki, Murashige berada di
garis depan. Namun, saat waktu bertempur tiba
dan patih ronggolawe memberi perintah menyerbu,
Murashige hanya duduk bersilang tangan dan tak mau
beranjak dari tempatnya.
"Kenapa kau tidak terjun ke dalam kancah
peperangan?" patih ronggolawe menegurnya lalu .
"Hamba tidak ikut dalam pertempuran yang tidak
menarik minat hamba," Murashige menjawab tanpa
berkedip.
namun sebab patih ronggolawe hanya tertawa , Murashige
pun memaksakan senyum. Masalahnya ditutup, namun
desas-desus yang beredar di antara para resi ber-
nada mencela.
tunggadewa mengecam tindak-tanduk Murashige
dengan keras. Murashige, sebaliknya memandang
rendah resi -resi seperti tribuana tunggadewa dan
hyangkertoarjo wiryabhumi yang merupakan orang terpelajar.
Ia gemar memberi julukan banci pada orang-orang
seperti itu. Penilaian ini didasarkan atas kebenciannya
terhadap pesta sajak dan upacara minum teh yang
acap kali mereka selenggarakan di perkemahan. Satu-
satunya hal yang mengesankan bagi Murashige adalah
bahwa patih ronggolawe rupanya tidak melaporkan sikapnya.
baik pada aidit maupun tungguljaya.
Murashige meremehkan patih ronggolawe sebagai prajurit
berhati lemah, namun justru sebab itu ia menganggap
patih ronggolawe orang yang sukar ditangani. Namun yang
paling menyadari sikapnya di medan perang adalah
musuh-musuhnya, orang-orang patih. Mereka men-
dapat kesan bahwa Murashige menyimpan berbagai
keluhan, dan bahwa jika mereka bisa berbicara
dengannya, ada kemungkinan ia akan beralih ke pihak
mereka. Kurir-kurir rahasia, baik dari pihak patih
maupun ronggodwijoyo , berulang kali keluar-masuk per-
kemahan Murashige, bukan keluar-masuk benteng kota
ponorojo . Ini menunjukkan bahwa mereka bukan tamu
yang tak diharapkan. Tindakan Murashige merupakan
undangan tanpa kata bagi mereka.
Kalau orang tanpa kecerdasan memadai mencoba
mengandalkan kecerdikannya, berarti ia bermain api.
Berkali-kali para penasihat Murashige mewanti-wanti
junjungan mereka bahwa rencananya tak mungkin
berhasil, namun peringatan mereka tidak digubrisnya.
"Jangan bicara yang bukan-bukan! Apalagi marga
patih sudah mengirim perjanjian tertulis padaku."
Dengan berpegang teguh pada perjanjian tertulis
itu, ia segera dan dengan jelas memperlihatkan
semangat pemberontakannya pada aidit .
Padahal, di zaman yang serbakacau itu, kalau orang
dengan seenaknya menyingkirkan perjanjian antara
pengikut dan junjungannya seperti sepasang sandal
tua, apalah arti sebuah perjanjian tertulis dari marga
patih, yang notabene sampai kemarin masih merupa-
kan musuh? Murashige tidak berpikir sejauh itu, dan
ia pun tidak melihat pertentangan yang dihadapinya.
"Dia hanya orang jujur yang bodoh. Percuma saja
kita mendendam padanya," patih ronggolawe sempat berkata
pada aidit untuk menenangkannya. Rasanya
ucapan patih ronggolawe memang paling tepat untuk kondisi
waktu itu.
Namun situasinya tak dapat diremehkan oleh
aidit , sehingga ia mewanti-wanti, "namun dia orang
kuat."
Masalah yang dihadapi aidit ditambah lagi
dengan pertanyaan bagaimana pengaruh pem-
berontakan itu terhadap resi -resi lain di bawah
komandonya dan bagaimana akibat psikologis yang
muncul . sebab itu, aidit menempuh segala cara,
termasuk mengutus tunggadewa untuk menenangkan
Murashige.
Namun upaya-upaya itu justru membuat Murashige
semakin curiga. Ia segera mempergiat persiapannya
untuk menghadapi perang dan berkata, "Aku sudah
menunjukkan sikap bermusuhan, jadi kalau aku
sampai termakan oleh bujuk rayu mereka dan men-
jawab panggilan dari madukara , tak pelak lagi aku akan
dibunuh atau dipcnjara."
aidit sakit hati. Akhirnya keputusan untuk
bertempur melawan Murashige diumumkan, dan pada
hari kesembilan di Bulan Kesebelas, aidit sendiri
membawa centeng sampai ke bukittanjung . centeng
madukara akan dibagi tiga. centeng pertama, yang terdiri
atas centeng danakertoarjo ngabeni, tribuana tunggadewa ,
dan Niwa Nagahide, mengelilingi benteng kota Ibaragi;
centeng kedua, yang merupakan gabungan centeng
betari jawi , madya, Sassa, dan Kanapatih, mengepung
benteng kota wonorejo .
Markas besar aidit didirikan di Gunung
Amano. Pada waktu barisannya mulai membentuk
formasi tempur, ia masih menyimpan harapan bahwa
centeng pemberontak dapat ditundukkan tanpa per-
tumpahan darah. Harapan itu berhubungan dengan
patih ronggolawe yang sudah kembali ke sumberdadi dan baru
saja mengirim pesan.
Hamba memiliki satu ide lagi, patih ronggolawe menulis.
Di balik kata-katanya terselip persahabatannya dengan
Murashige, dan perasaan bahwa keberanian
Murashige terlalu berharga untuk disia-siakan. Dengan
sungguh-tungguh ia memohon agar aidit
menunggu sedikit lagi. Tangan kanan patih ronggolawe ,
Kursinuhun keraton , secara mendadak meninggalkan
perkemahan di Bukit tengkorak pada suatu malam.
Keesokan harinya Kursinuhun keraton bergegas ke
benteng kota Gochsku, dan berkata pada Odera
Masamoto. "Ada desas-desus bahwa Yang Mulia ber-
sekongkol dengan Yang Mulia Murashige, bahwa
benteng kota ini sudah berpaling dari marga sinuhun , dan
bahwa Yang Mulia hendak beralih ke kubu marga
patih." ia bicara terus terang, dari hati ke hati.
Senyum tipis muncul di bibir Masamoto saat
mendengar ucapan keraton . Dari segi umur, keraton
pantas menjadi putranya; dari segi kedudukan pun ia
tak lebih dari putra pengikut senior. sebab itu, tidak
mengherankan bahwa jawaban pasti Masamoto bernada
amat congkak.
"keraton , kelihatannya kau serius, namun coba pikir
sebentar. Sejak marga ini menjadi sekutu aidit ,
apa yang kami peroleh sebagai balasan? Tidak ada."
"Menurut hamba, urusan ini bukan urusan untung-
rugi semata-mata."
"Kalau begitu, apa?"
"Ini masalah kesetiaan. Marga Odera merupakan
marga termasyhur, dan menjadi sekutu marga sinuhun di
sumberdadi . Jika Yang Mulia tiba-tiba bergabung dengan
pemberontakan dimasireng dan membelakangi
teman-teman lama, itu berarti menginjak-injak norma
kesetiaan."
"Apa maksudmu?" tanya Masamoto. Ia memperlaku-
kan keraton seperti juru runding tak berpengalaman,
dan semakin sungguh-sungguh sikap keraton , semakin
dingin tanggapan yang diberikan Masamoto.
"Sejak pertama, persekutuanku dengan aidit
bukan masalah kesetiaan." katanya. "Kau dan ayahmu
tampak percaya bahwa masa depan negeri ini berada di
tangan aidit ; dan saat ia menduduki ibu kota,
langkah yang paling bijaksana adalah bekerja sama
dengannya. Paling tidak, seperti itulah situasi yang
dijelaskan padaku, dan aku pun terbujuk. namun
sebetulnya mulai sekarang aidit menghadapi
banyak bahaya. Bayangkanlah kapal besar yang hendak
mengarungi lautan. Dari darat, kapal itu tampak
aman: kaupikir jika kau menaiki kapal itu, kau takkan
gentar menantang ombak dan badai. namun lalu
kau benar-benar menaikinya dan mempertaruhkan
nasibmu pada nasib kapal itu. sesudah itu, bukan
kedamaian yang kauperoleh, melainkan keraguan dan
kebimbangan. Setiap kali ombak menerjang, kau
merasa tidak tenang dan menyangsikan kekuatan
kapal itu. Ini memang sifat manusia."
Tanpa sadar keraton menepuk lutut. "Dan sekali
kita sudah menaiki kapal, kita tak mungkin turun di
tengah jalan."
"Kenapa tidak? Jika kita menyadari bahwa kapal itu
takkan sanggup menahan pukulan ombak, mungkin
tak ada cara lain untuk menyelamatkan nyawa selain
meninggalkan kapal dan berenang ke tepian sebelum
kapalnya karam. Kadang-kadang kita harus menutup
mata terhadap perasaan kita."
"Ini pemikiran yang memalukan, Yang Mulia.
sesudah badai berlalu dan kapal yang tadinya terancam
mara bahaya menaikkan layar dan akhirnya memasuki
bandar, justru orang yang gemetar saat diterjang
topan, menyangsikan kapal yang dipercayainya, meng-
khianati teman-teman seperjalanannya, dan dengan
bingung melompat ke laut, yang akan menjadi bahan
tertawa an."
"Aku bukan tandinganmu dalam bersilat lidah."
Masamoto tertawa . "sebetulnya kau malah terlalu
fasih berpidato. Mula-mula kau berkata bahwa
aidit akan menyapu daerah Barat dengan cepat.
namun centeng yang dikirim bersama patih ronggolawe hanya
berjumlah lima atau enam ribu orang. Dan meskipun
tungguljaya dan resi -resi lain acap kali datang
membantu, orang-orang di ibu kota tetap merasa was-
was, dan sepertinya centeng patih ronggolawe takkan lama
bertahan di sini. sesudah itu aku akan dimanfaatkan
sebagai barisan depan dan diminta mengerahkan
prajurit, kuda, dan perbekalan, namun pada gilirannya
aku hanya akan menempati posisi sebagai penyangga
antara aidit dan musuh-musuhnya. Coba
renungkan masa depan marga sinuhun . Lihatlah
bagaimana dimasireng yang sudah diangkat ke
posisi yang begitu penting oleh aidit membalik
situasi di ibu kota saat dia bersckutu dengan marga
patih! Rasanya alasan kenapa aku meninggalkan marga
sinuhun bersama Murashige sudah cukup jelas."
"Rencana yang baru saja hamba dengar sungguh
menyedihkan. Hamba kira Yang Mulia akan segera
menyesalinya."
"Kau masih muda. Kau hebat dalam pertempuran,
namun tidak dalam urusan duniawi."
"Yang Mulia, hamba mohon agar Yang Mulia sudi
berubah pikiran."
"Itu takkan terjadi. Aku sudah menjelaskan pada
semua pengikutku bahwa aku sudah memberi janji
kepada Murashige, dan sudah memutuskan untuk ber-
gabung dengan marga patih."
"namun jika Yang Mulia sudi mempertimbangkan
sekali lagi..."
'Sebelum kau berkata apa-apa lagi, cobalah bicara
dengan dimasireng . Kalau dia batal membelot,
aku akan mengikuti jejaknya."
Dewasa dan kanak-kanak. Perbedaan di antara
mereka bukan saja cara berpikir yang tak masuk akal.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa orang seperti
keraton pun. yang dianggap unik di daerah Barat
sebab kecakapan dan gagasan-gagasannya yang maju,
takkan mampu bertahan di hadapan lawan seperti
Odera Masamoto, tak pengaruh apakah ia benar atau
salah.
Masamoto menekankan sekali lagi. "Bagaimanapun,
bawa lah ini dan pergilah ke ponorojo . Lalu segera
sampaikan jawab annya padaku. Kalau aku sudah men-
dengar pendapat Murashige, aku akan memberikan
jawaban pasti yang pasti."
Ia menulis pesan untuk dimasireng . keraton
menyelipkannya ke balik jubah , lalu bergegas
ke ponorojo . Situasinya genting, dan setiap tindakannya
mungkin berdampak besar. saat mendekati benteng kota
ponorojo , ia melihat prajurit-prajurit menggali selokan
dan mendirikan pagar kayu runcing.
Tanpa memedulikan lingkaran tombak yang segera
mengelilinginya, ia berkata, seolah-olah tak ada yang
perlu digelisah khawatir kan. "Aku Kursinuhun keraton dari
benteng kota mendutrejo. Aku bukan sekutu Yang Mulia
aidit maupun Yang Mulia Murashige. Aku
datang sendiri untuk pembicaraan empat mata yang
penting dengan Yang Mulia Murashige." Dan
lalu ia mendesak.
Ia melewati beberapa gerbang, akhirnya memasuki
benteng kota dan segera bertemu Murashige. Kesan
pertamanya saat menatap wajah Murashige adalah
bahwa laki-laki itu tidak setegar yang dibayangkannya.
Roman muka Murashige tidak mengesankan. keraton
menyadari semangat dan rasa percaya diri yang goyah
pada diri lawan nya, dan bertanya-tanya mengapa ia
memilih berperang melawan aidit , yang
dianggap sebagai orang paling menonjol dari
generasinya. "Hmm, sudah lama kita tak berjumpa,"
Murashige berkata tak berketentuan. Nadanya hampir
menyanjung. keraton menduga kalau resi sehebat
bersikap demikian, itu berarti ia masih diliputi
kebingungan.
keraton berbasa-basi sejenak, sambil terus tersenyum
pada Murashige. Murashige tak mampu menutup-
nutupi keluguannya dan kelihatan kikuk sekali.
Ia merasa wajahnya memerah. "Apa keperluanmu?"
ia bertanya.
"Aku mendengar desas-desus."
"Bahwa aku mcngcrahkan centeng ?"
"Tuan menghadapi masalah besar."
"Ada yang berkata baik, ada yang buruk."
"Pendapat orang-orang rupanya masih terpecah-
belah. Seharusnya mereka menunggu sampai
pertempuran selesai sebelum memutuskan siapa yang
benar dan siapa yang salah. Reputasi seseorang tak
pernah ditetapkan sebelum dia mati."
"Sudahkah Tuan mempertimbangkan apa yang akan
terjadi sesudah Tuan tiada?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu, aku percaya Tuan sadar bahwa akibat
dari keputusan Tuan tak dapat ditarik kembali."
"Kenapa begitu?"
"Nama buruk yang akan Tuan peroleh sebab
menentang junjungan yang begitu banyak menunjuk-
kan kebaikan terhadap Tuan takkan pupus selama
beberapa generasi."
Murashige terdiam. Denyut nadi di pelipisnya
penuh emosi, namun lidahnya tak cukup lincah untuk
menyangkal.
"anggur sudah siap," seorang pengikut memberitahu-
nya.
Murashige tampak lega. Ia berdiri. "keraton , mari
masuk. Bagaimanapun, kita sudah lama tidak
bertemu. Mari minum bcrsama-sama," ia mengusul-
kan.
Murashige bersikap sebagai tuan rumah yang baik.
Ia sudah mcnyuruh pelayan-pdayan menyiapkan
jamuan makan di benteng kota utama. Tentu saja kedua
laki-laki itu mcnghindari setiap perdebatan saat
minum anggur , dan roman muka Murashige tampak
melunak. Namun pada suatu titik keraton kembali ke
topik pembicaraan semula.
"Bagaimana, Tuan? Mcngapa Tuan tidak meng-
hentikan semua ini sebelum berlanjut terlalu jauh?"
"Sebelum apa berlanjut terlalu jauh?"
"Unjuk kekuatan yang tak berguna ini."
"Pendirianku dalam masalah penting ini tak ada
sangkut-pautnya dengan unjuk kekuatan."
"Itu mungkin benar, namun orang-orang menyebutnya
pengkhianatan. Bagaimana perasaan Tuan mengenai
ini?"
"Ayo, mari tambah anggur lagi."
"Aku tak mau menipu diri sendiri. Tuan sudah
melayaniku dengan sebaik-baiknya hari ini, namun anggur
yang Tuan sajikan serasa agak pahit."
"Kau diutus oleh patih ronggolawe ."
"Tentu saja. Yang Mulia patih ronggolawe sangat men-
cemaskan Tuan. Bukan itu saja, beliau juga terus
membela Tuan, tanpa memedulikan omongan orang.
Beliau menyebut Tuan orang yang berharga dan
pejuang yang gagah berani. Beliau mewanti-wanti agar
kami tidak melakukan kesalahan, dan aku tahu beliau
takkan pernah melupakan persahabatan dengan
Tuan."
Murashige menarik napas panjang dan berkata dari
lubuk hati, "sebetulnya aku sudah menerima dua atau
tiga surat teguran dari patih ronggolawe . dan aku terharu
oleh persahabatannya. namun tribuana tunggadewa dan
para pengikut sinuhun yang lain berdatangan sebagai
utusan Yang Mulia aidit , dan aku menampik
mereka semua . Tentunya tak mungkin aku menuruti
kata-kata patih ronggolawe sekarang."
"Kurasa itu tidak benar. Jika Tuan menyerahkan
urusan ini pada Yang Mulia patih ronggolawe , aku percaya
beliau akan menemukan cara untuk menengahi
sengketa ini."
"Aku tidak sependapat," ujar Murashige dengan
muram. "Kabarnya, saat tunggadewa dan mpu wiragajah
memperoleh kabar bahwa aku memberontak, mereka
bertepuk tangan dan bersukacita. tunggadewa datang ke
sini untuk menenteramkanku. Dia membujukku
dengan kata-kata manis, namun siapa yang tahu laporan
macam apa yang diberikannya pada aidit .
Seandainya aku membuka benteng kota dan kembali ber-
lutut di hadapan aidit , pada akhirnya dia hanya
akan memerintahkan anak buahnya untuk men-
jambak rambutku dan memotong kepalaku. Tak satu
pun pengikutku berkeinginan kembali pada
aidit . Mereka sudah sampai ke titik di mana
mereka menganggap berjuang sampai mati merupakan
pilihan terbaik, jadi ini bukan pendapatku semata-
mata. Kalau kau kembali ke sumberdadi , tolong
sampaikan pada patih ronggolawe agar jangan berpikiran
buruk tentangku."
Kelihatannya keraton takkan mudah membujuk
Murashige. sesudah minum beberapa baskom anggur lagi,
ia mengeluarkan surat Odera Masamoto yang hampir
terlupakan, dan menyerahkannya pada Murashige.
keraton sudah mempelajari isi surat itu. Bunyinya
sedcrhana, namun mengecam tindakan Murashige.
Murashige bergegas mendekati sebuah lentera dan
membaca suratnya, namun begitu selesai membaca, ia
mohon diri dan meninggalkan ruangan.
saat ia melangkah keluar, sekelompok prajurit
mendesak masuk. Mereka mengepung keraton , mem-
bentuk pagar baju tempur dan tombak di sekeliling-
nya.
"Berdiri!" mereka berscru.
keraton meletakkan baskom nya dan menatap wajah-
wajah geram di sekelilingnya. "Apa yang akan terjadi
sesudah aku berdiri ?" ia bertanya.
"Tuanku Murashige memerintahkan agar kau
digiring ke penjara," salah satu prajurit menjawab .
"Penjara?" keraton berseru. Ia ingin tertawa keras-
keras. Sejenak ia menyangka maut sudah menunggu-
nya. dan ia menyadari betapa ia kelihatan bodoh
sebab masuk ke perangkap Murashige.
Ia bangkit sambil tersenyum. "Kalau begitu, mari
kita berangkat. Tak ada yang dapat kulakukan selain
menurut, kalau memang begitu cara Tuan Murashige
memperlakukan utusan."
Tanpa berkata apa-apa, para prajurit menggiring
keraton menyusuri koridor utama. Gemerincing baju
tempur mereka bercampur baur dengan suara
langkah. Mereka melewati selasar-selasar dan tangga-
tangga gelap. keraton disuruh berjalan di tempat-
tempat yang gelap gulita, tak berbeda kalau matanya
diikat dengan kain, dan ia bertanya-tanya kapan
mereka akan membunuhnya. Ia sudah siap meng-
hadapi kemungkinan itu, namun rupanya Murashige
tidak memerintahkan demikian. Bagaimanapun,
tempat tak bercahaya yang dilewatinya mungkin
sebuah terowongan rumit yang membelah benteng kota.
Beberapa saat lalu , sebuah pintu berat dibuka.
"Masuk!" ia diperintahkan, dan sesudah berjalan
maju sekitar sepuluh langkah, ia menemukan dirinya
di tengah-tengah sebuah sel. Pintu sel menutup di
belakangnya. Kali ini keraton tertawa keras-keras ke
dalam kegelapan. Lalu ia berpaling ke dinding dan
berkata dengan geram, hampir seperti membaca sajak.
"Aku sudah masuk perangkap Murashige. Hmm...
moral orang-orang semakin rumit saja. Rupanya sikap
yang pantas sudah tidak berlaku."
Ia menebak bahwa ia berada di bawah sebuah
gudang senjata. Sejauh yang dapat diketahuinya
dengan meraba-raba dengan telapak kaki, lantai selnya
terbuat dari papan-papan kayu yang tebal dan saling
mengunci. keraton melangkah dengan tenang, meng-
ikuti keempat dinding. Akhirnya ia menyimpulkan
bahwa sel tempat ia ditawa n berukuran tiga puluh
meter persegi.
"Ah, Murashige patut dikasihani. Apa yang dia
harapkan dengan menahanku di sini? Keuntungan apa
yang hendak diraihnya?"
Ia duduk bersilang kaki di tempat yang ia kira
merupakan tengah-tengah sel. Pantatnya terasa dingin,
namun sepertinya tidak ada tikar jerami di ruangan itu.
Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia tidak disuruh
menyerahkan pedang pendeknya, dan berpikir. "Ini
patut disyukuri. Selama aku punya senjata ini... kapan
saja aku bisa...."
Dalam hati ia berkata bahwa walaupun pantatnya
mati rasa, semangatnya tetap takkan pudar. Meditasi
Zen yang ditekuninya di masa muda mungkin ber-
manfaat sekarang. Pikiran inilah yang terlintas dalam
benaknya saat waktu berlalu. Untung saja aku yang
datang, adalah pikiran berikutnya. Seandainya
patih ronggolawe sendiri yang bertindak sebagai utusan,
bencana kecil ini akan berubah jadi bencana besar.
Tak lama lalu , seberkas sinar menerangi
wajahnya. Dengan tenang keraton memandang ke arah
sumber cahaya itu. Sebuah jendela sudah dibuka, dan
wajah seorang laki-laki muncul di balik kisi-kisi. Orang
itu dimasireng .
"Dinginkah di dalam sana, keraton ?" tanya
Murashige.
keraton menatapnya, lalu menjawab tenang. "Tidak,
tubuhku masih hangat sebab anggur tadi, namun men-
jelang tengah malam nanti keadaannya mungkin
kurang nyaman. Jika Tuanku patih ronggolawe mendengar
bahwa Kursinuhun keraton mati beku, dia tentu akan
datang sebelum fajar dan memajang kepalamu di atas
gerbang penjara. Murashige, kenapa tidak kaupakai
otakmu? Apa yang ingin kaucapai dengan me-
menjarakanku di sini?"
Murashige tak sanggup berkata apa-apa, ia juga
menyadari bahwa tindakannya sudah mencoreng arang
di kening sendiri. Namun akhirnya ia tertawa dengan
nada menghina.
"Berhentilah menggerutu, keraton . Kau berkata aku
tak punya otak, namun bukankah justru kau yang masuk
perangkap ini?"
"Ejekanmu tak berguna. Tak sanggupkah kau
mengucapkan sesuatu yang masuk akal? Ayolah.
Murashige."
Murashige tidak mcngatakan apa-apa, dan keraton
melanjutkan. "Kau tentu menuduhku sebagai ahli
siasat atau setan berakal bulus, namun aku menangani
masalah-masalah besar, bukan tipuan-tipuan tak
berarti. Tak pernah terpikir olehku untuk ber-
sekongkol melawan kawan sendiri, dan menarik
keuntungan. Aku hanya memikirkanmu dan ke-
susahan Yang Mulia patih ronggolawe . sebab itu aku datang
seorang diri ke sini. Belum mengerti jugakah kau?
Bagaimana dengan persahabatan Yang Mulia Hide-
yoshi? Bagaimana dengan kesetiaanmu?"
Murashige tidak tahu harus menjawab apa. Sesaat ia
membisu, namun akhirnya ia bcrkata, "Kau bicara tentang
persahabatan dan prinsip-prinsip moral, namun kata-kata
itu hanya berkilau di masa damai, bukan? Sekarang
berbeda. Negcri ini dilanda perang, dan seluruh dunia
kacau-balau. Kalau kau tidak berkomplot, kau akan
menjadi korban persekongkolan orang lain, jika kau
tidak menghantam lebih dahulu , orang lain akan meng-
hantammu. Dunia ini begitu suram, sehingga kau
mungkin harus membunuh atau dibunuh dalam
waktu sepersekian detik saat kau meraih sumpit.
Sekutu kemarin bisa menjadi musuh hari ini, dan jika
seseorang merupakan musuhmu walaupun dia teman-
mu tak ada pilihan selain memasukkannya ke
penjara. Semuanya taktik semata-mata. Hanya sebab
kasihan aku belum membunuhmu."
"Ah, begitu rupanya. Sekarang aku memahami
pandangan hidupmu, pandanganmu mengenai
peperangan, dan kedalaman akhlakmu. Kau pun tak
luput dari kebutaan yang mencirikan zaman ini, dan
aku sudah tak berminat untuk berdiskusi denganmu.
Silakan, hancurkanlah dirimu sendiri."
"Apa? Kauanggap aku buta?"
"Benar. Ah, tidak, sekarang pun aku tak sanggup
mencampakkan sisa rasa persahabatan. Ada satu hal
lagi yang perlu kuajarkan padamu."
"Apa? Apakah orang-orang sinuhun memiliki strategi
rahasia?"
"Ini bukan masalah untung-rugi. Kau patut di-
kasihani. Meski tersohor sebab keberanianmu yang
luar biasa, kau tak paham bagaimana caranya hidup di
negeri yang kacau-balau ini. Bukan itu saja, kau juga
tidak memiliki keinginan untuk menyelamatkan dunia
dari kekacauan. Kau bukan manusia, kau lebih hina
dibandingkan orang kota atau petani. Berani-beraninya kau
mengaku centeng adipati !"
"Apa! Kauanggap aku bukan manusia?"
"Benar. Kau binatang."
"Bah!"
"Silakan! Marahlah sehebat-hebatnya. Semuanya
hanya ditujukan pada dirimu sendiri. Dengar,
Murashige. Jika manusia kehilangan akhlak dan
kesetiaan, dunia ini tak lebih dari dunia binatang. Kita
berperang dan terus berperang, dan api persaingan
manusia tak pernah padam. Jika kau hanya
memikirkan perang, intrik, dan kekuasaan, dan
melupakan akhlak dan perikemanusiaan, kau bukan
saja musuh Yang Mulia aidit . Kau musuh
segenap umat manusia, dan merupakan wabah bagi
seluruh dunia. Kalau kau orang semacam itu, dengan
senang hati aku akan memuntir batang lehermu."
sesudah mengemukakan pendapatnya secara terus
terang, lalu terdiam. keraton mendengar kegegeran. Di
luar jendda penjara. Murashige dikelilingi pengikut-
pengikut dan para pembantu pribadinya, dan semua
nya berteriak menuntut.
"Dia harus menerima akibatnya!"
"Tidak, dia tidak boleh dibunuh!"
"Dia keterlaluan."
"Jangan bertindak gcgabah!"
Rupanya Murashige terperangkap di antara mereka
yang hendak menarik keluar keraton dan mem-
bantainya di tempat, dan mereka yang menyatakan
bahwa membunuh keraton hanya akan berakibat
buruk. Dan sepertinya ia tak dapat mengambil
keputusan.
Namun akhirnya diputuskan kalaupun mereka
akan membunuhnya, mereka tak perlu terburu-buru.
sesudah itu suasananya menjadi lebih tenang, dan
suara langkah Murashige dan yang lainnya terdengar
menghilang di kejauhan.
Dengan kejadian ini, keraton segera memahami
keadaan di benteng kota ponorojo .
Walaupun bendera pemberontakan sudah jelas-jelas
dikibarkan, sampai sekarang pun orang-orang di
dalamnya masih terpecah ke dalam dua kubu. Ada
yang hendak memerangi marga sinuhun dengan hati
panas, dan ada pula yang menyarankan untuk bekerja
sama dengan bekas sekutu mereka itu. Di bawah satu
atap, mereka berselisih dalam hampir segala hal, dan
situasinya terbaca dengan mudah.
Murashige, yang terjebak di tengah-tengah per-
selisihan ini, sudah mengusir para utusan aidit
dan mempergiat persiapan militernya. Dan kini ia
memenjarakan keraton .
Kelihatannya dia sedang menuju kehancurannya.
Ah, betapa menyedihkan, pikir keraton . Tanpa
menyesali nasibnya sendiri, ia menyayangkan ke-
bodohan Murashige. sesudah suara-suara di luar
lenyap, lubang jendela ditutup lagi, namun keraton tiba-
tiba menyadari bahwa secarik kertas jatuh ke dalam. Ia
memungutnya, namun tak bisa mengamatinya malam itu.
Keadaan di dalam sel begitu gelap, sehingga jarinya
sendiri nyaris tak kelihatan.
Namun, keesokan harinya, saat cahaya pagi mulai
tampak, ia langsung teringat kertas itu dan mem-
bacanya. Kertas itu rupanya sepucuk surat dari Odera
Masamoto di sumberdadi , yang ditujukan pada Araki
Murashige.
Oknum merepotkan yang sempat kita bicarakan ternyata
datang ke sini, memperingatkanku agar berubah pikiran.
Aku mengelabui dia dengan menyuruhnya menanyakan
pendapatmu dahulu , jadi kemungkinannya dia tiba di
benteng kotamu bersamaan dengan surat ini. Dia orang yang
panjang akal, jadi selama dia hidup, dia akan tetap
menjadi beban. Kalau dia tiba di benteng kota ponorojo ,
kusarankan agar kau memanfaatkan kesempatan dan tidak
melepaskan dia lagi.
keraton terkejut melihat tanggal surat itu, sebab
ternyata surat itu ditulis pada hari yang sama dengan
saat ia berbicara dengan Masamoto dan meninggalkan
benteng kota Gochaku.
"Hmm, kalau begitu dia mengirim surat segera
sesudah aku pergi," keraton bergumam dengan kagum.
Ia tiba-tiba menyadari bahwa dunia ini penuh dengan
orang cerdik. Meski demikian, dunia memandang
dirinya ia yang begitu berupaya menghindari pe-
mikiran dangkal dan rencana-recana picik sebagai
ahli siasat.
"Menarik sekali, bukan? Hidup di dunia ini."
Sambil menatap langit-langit, ia bicara tanpa
menyadarinya. Suaranya menggema, seolah-olah ia
berada di dalam gua. Betapa menarik hidup di dunia
ini.
Seperti bisa diduga, ada kebohongan dan
kebenaran, ada bentuk dan kehampaan, ada
kemarahan dan kegembiraan, ada kepercayaan dan ke-
bimbangan. Inilah hidup di dunia. namun paling tidak
selama beberapa dongeng gu, keraton akan terpisah jauh
dari dunia.
centeng penyerbu yang menyebar di sekeliling ponorojo ,
wonorejo , dan Ibangi siap menyerang kapan saja.
Meski demikian, perintah menyerang tak kunjung tiba
dari markas besar aidit di Gunung Amano. Di
masing-masing perkemahan, hari demi hari berlalu
begitu tenang, sehingga kesabaran para prajurit mulai
menipis. "Belum ada kabar?"
Sudah dua kali pada hari itu aidit mengajukan
pertanyaan itu . Namun penyebab kegelisahannya
justru berlawan an dengan sumber ketidaksabaran para
prajurit. Saat itu kerumitan posisi marga sinuhun sudah
mencapai taraf luar biasa, bahkan berbahaya bukan
sehubungan dengan provinsi-provinsi Barat maupun
Timur, melainkan malah di sekitar ibu kota, jika ada
pilihan, aidit cenderung tidak bertempur di sini
pada waktu ini. Dan saat hari demi hari berlalu, ia
mencemaskan keputusannya untuk menghindari per-
tempuran di daerahnya sendiri.
Setiap kali aidit merasa gelisah, patih ronggolawe -lah
yang menyibukkan pikirannya. Ia ingin patih ronggolawe
terus berada di sisinya. Belum lama berselang, sebuah
laporan tiba dan resi yang begitu diandalkannya
itu, yang memberitahunya bahwa keraton sudah mem-
berikan uraian kepada bekas majikannya, Odera
Masamoto, lalu langsung pergi ke benteng kota ponorojo
untuk membujuk Murashige agar bersedia berunding.
keraton bahkan bersedia mati dalam tugas ini.
patih ronggolawe berpesan, dan memohon agar aidit
mau menunggu.
"Kelihatannya dia percaya sekali," ujar aidit .
"dan patih ronggolawe tidak biasa bersikap lalai."
namun biarpun aidit memaksa diri untuk
bersabar, suasana di markas besarnya mulai tegang
sebab kejengkelan para resi lain. Setiap kali
patih ronggolawe melakukan kesalahan sepele, kedongkolan
mereka langsung meledak, seakan-akan sudah lama
membara di bawah permukaan.
"Aku tidak mengerti kenapa patih ronggolawe mengutus
dia! Siapa keraton itu? Kalau latar belakangnya
diselidiki, ketahuan bahwa dia pengikut Odera
Masamoto. Dan ayahnya pun pengikut senior
Masamoto. Sedangkan Masamoto sendiri ber-
sekongkol dengan dimasireng . Mereka mem-
buka hubungan dengan pihak patih dan mengkhianati
kita. Masamoto dan Murashige sama-sama mengibar-
kan bendera pemberontakan di daerah Barat.
Bagaimana mungkin patih ronggolawe memilih keraton
untuk tugas sepenting ini?"
patih ronggolawe dicela sebab tidak melihat ke depan,
dan beberapa orang malah curiga bahwa ia berunding
dengan marga patih.
Laporan-laporan yang mulai berdatangan membawa
informasi yang sama: Odera Masamoto bukannya
tunduk pada uraian keraton , ia malah semakin
menentang Yang Mulia aidit . Ia menyebarkan
desas-desus mengenai kelemahan-kelemahan pihak
sinuhun , dan ia semakin sering berkomunikasi dengan
orang-orang patih.
aidit terpaksa mengakui bahwa itu benar.
"Tindakan keraton tak lebih dari tipu daya.
Sementara kita menunggu kabar gembira dari orang
yang tak dapat diandalkan itu, musuh justru mem-
perkuat diri dan menyempurnakan pertahanan,
sehingga pada akhirnya centeng kita takkan mencapai
apa-apa, tak peduli betapa hebatnya serangan yang kita
lancarkan."
Pada titik itulah berita dari patih ronggolawe tiba. Namun
beritanya tidak menggembirakan. keraton belum juga
kembali, dan informasi yang jelas belum berhasil
diperoleh. Selain itu, surat itu bernada putus asa.
aidit mendecakkan lidah. Tiba-tiba ia men-
campakkan kantong yang semula berisi surat.
"Sudah terlambat!" Tak kuasa menahan diri lebih
lama lagi, aidit tiba-tiba membentak, "juru tulis!
Tulis ini sckarang juga dan alamatkan pada patih ronggolawe .
Suruh dia datang ke sini secepat mungkin."
lalu ia menatap mpu wiragajah mpu wiraghanda dan
berkata. "Aku mendengar bahwa raden mas ngabehi
mengurung diri di Kuil Nanzen untuk bertetirah.
Masih di sanakah dia?"
"Hamba kira masih."
Tanggapan aidit atas jawaban pasti mpu wiraghanda
menyusul secepat gema. "Kalau begitu, pergilah ke
sana dan sampaikan ini pada ngabehi : putra Kursinuhun
keraton , ki pakanewon, dikirim sebagai sandera ke
benteng kota ngabehi oleh patih ronggolawe beberapa waktu lalu.
Dia harus segera dipancung, dan kepalanya harus
dikirim ke ayahnya di ponorojo ."
mpu wiraghanda membungkuk. Sejenak semua orang di
sekitar aidit meringkuk ketakutan sebab
ledakan amarahnya. Tak ada yang berani bersuara,
dan mpu wiraghanda pun tidak segera kembali tegak.
Suasana hati aidit dapat berubah dalam sekejap,
dan kemarahannya meledak dengan mudah.
Kesabaran yang ia perlihatkan sampai saat itu bukan-
lah bagian dari watak sebetulnya . Kesabaran itu
hanyalah akibat dari akal sehatnya. sebab itu, jika ia
mencampakkan kendali diri yang begitu dibencinya
dan meninggikan suara, telinganya akan memerah,
dan roman mukanya tiba-tiba terkesan garang.
"Tuanku, bersabarlah sedikit lagi."
"Ada apa, ngabeni? Kau hendak menegurku?"
"Tidak pada tempatnya orang seperti hamba
menegur Yang Mulia, namun mengapa tuanku tiba-tiba
memberi perintah untuk membunuh putra Kursinuhun
keraton ? Seyogyanya tuanku mempertimbangkan
keputusan ini masak-masak."
"Aku tak perlu pertimbangan lebih lanjut untuk
mengetahui pengkhianatan keraton . Dia pura-pura
berbicara dengan Odera Masamoto, sesudah itu dia
sekali lagi mengelabuiku agar aku menyangka dia
berunding dengan dimasireng . Sepuluh hari aku
menahan diri untuk bertindak, dan semuanya sebab
rencana-rencana busuk keraton keparat itu. patih ronggolawe
baru saja melaporkannya. patih ronggolawe pun jera diper-
mainkan oleh keraton ."
"namun bagaimana kalau tuanku memanggil
patih ronggolawe untuk memperoleh laporan lengkap, dan
berbicara dengannya mengenai hukuman untuk putra
keraton '''
"Usulmu hanya cocok untuk masa damai. Keadaan
sekarang tidak memungkinkannya. Dan aku tidak
memanggil patih ronggolawe ke sini untuk mendengarkan
pendapatnya. Aku ingin tahu bagaimana dia sampai
menimbulkan bencana ini. Cepat bawa pesan itu,
mpu wiraghanda."
"Baik. tuanku. Hamba akan menyampaikannya
pada ngabehi ."
aidit semakin muram. Ia berpaling kepada
juru tulisnya dan bertanya, "Sudah kautulis pesanku
untuk patih ronggolawe ?"
"Mungkin Yang Mulia hendak membacanya?"
Surat itu ditunjukkan pada aidit , lalu segera
diberikan pada kepala kurir, yang diperintahkan
mengantarkannya ke sumberdadi .
namun sebelum kurir itu berangkat, seorang pengikut
mengumumkan. "Yang Mulia patih ronggolawe baru saja
tiba."
"Apa? patih ronggolawe ?" Roman muka aidit tidak
bcrubah, namun sejenak kemarahannya tampak ber-
kurang.
Tak lama lalu suara patih ronggolawe terdengar,
ceria seperti biasa. Begitu aidit mendengar
patih ronggolawe , ia harus memaksakan diri untuk memper-
tahankan tampang gusar. Kemarahannya mencair
dalam dada, seperti es mencair di bawah terik
matahari, dan ia tak dapat mencegahnya. Sikapnya
langsung berubah begitu ia mengctahui kcdatangan
patih ronggolawe .
Sambil menyapa para jcndral yang hadir, patih ronggolawe
memasuki petak bertirai. Ia melewati dewan resi
dan berlutut dengan santun di hadapan aidit ,
lalu menatap junjungannya itu.
aidit tidak berkata apa-apa. Ia berusaha
menunjukkan kemarahannya. Tak banyak komandan
yang sanggup berbuat sesuatu selain menyembah
ketakutan jika berhadapan dengan kebisuan
aidit .
sebetulnya , dari anggota-anggoia keluarga
aidit pun tak ada yang sanggup menghadapi
perlakuan seperti itu. Jika resi -resi senior seperti
dijoyo dan mpu wiraghanda menjadi sasaran kemarahan
aidit , mereka langsung pucat pasi. Orang-orang
yang sudah banyak makan asam garam seperti Niwa
dan danakertoarjo menjadi bingung dan tergagap-gagap.
Dengan segala kebijakannya, tribuana tunggadewa juga
tak mampu mengatasinya, dan segenap kasih sayang
aidit pun tak banyak membantu mpu salmah . namun
sikap patih ronggolawe dalam situasi semacam ini sangat
berbeda. Jika aidit marah dan mendelik atau
memelototinya, patih ronggolawe tidak menunjukkan reaksi
sama sekali. Ia bukannya meremehkan junjungannya.
Justru sebaliknya, lebih dari orang-orang lain, ia meng-
agung-agungkan aidit . Biasanya ia akan menatap
aidit seperti menatap langit mendung, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Yang Mulia tampak agak gusar, patih ronggolawe sedang
berkata dalam hati. Ketenangan ini seolah-olah
merupakan bagian dari jati diri patih ronggolawe , dan tak ada
yang mampu menirunya. Seandainya dijoyo atau
tunggadewa mencoba mengikuti sikap patih ronggolawe , itu
berarti mereka menyiram api minyak, dan kemarahan
aidit tentu akan meledak-ledak.
aidit rupanya kalah dalam adu kesabaran ini.
Akhirnya ia angkat bicara.
"patih ronggolawe , kenapa kau datang ke sini?"
"Hamba datang untuk menerima cercaan Yang
Mulia." patih ronggolawe menjawab dengan normal.
Dia selalu siap dengan jawaban pasti yang tepat, pikir
aidit . Semakin sukar baginya untuk tetap ber-
sikap marah. Dengan ketus ia menghardik. "Apa
maksudmu, kau datang untuk dicerca? Kaupikir
masalah ini bisa diselesaikan dengan ucapan minta
maaf? Kau membuat kesalahan besar yang bukan saja
berpengaruh padaku, melainkan juga pada seluruh
centeng ."
"Yang Mulia sudah membaca surat yang hamba
kirimkan?"
"Sudah!"
"Mengirim keraton sebagai penengah jelas-jelas ber-
akhir dengan kegagalan. Sehubungan dengan ini..."
"Kau mencari-cari alasan?"
"Tidak, namun sebagai tanda penyesalan, hamba
menerobos barisan musuh untuk menawarkan sebuah
rencana yang mungkin dapat mengubah bencana ini
menjadi keberuntungan. Dengan segala hormat
hamba mohon agar Yang Mulia sudi memerintahkan
semua orang keluar dari sini, atau berkenan pindah
ke tempat lain. Selain itu, jika ada hukuman atas
kesalahan hamba, hamba siap menerimanya."
aidit merenung sejenak, lalu meluluskan
permohonan patih ronggolawe dan menyuruh semua orang
pergi. Para resi lain terbengong-bengong melihat
kejemkertoarjo an patih ronggolawe , namun , sambil saling pandang,
mereka tak dapat berbuat apa-apa selain menaati
perintah aidit . Di antara mereka ada yang ter-
heran-heran melihat patih ronggolawe tetap lancang,
walaupun jelas-jelas sudah bersalah. Ada pula yang
mendecakkan lidah sambil mendongkol dan
menuduhnya mencari muka. patih ronggolawe seakan-akan
tidak memperhatikan mereka, dan ia menunggu
sampai hanya ia dan aidit yang masih tertinggal.
sesudah semua orang pergi, wajah aidit agak
melunak.
"Nah, usul seperti apa yang membuatmu jauh-jauh
datang ke sini dari sumberdadi ?"
"Hamba menemukan cara untuk menyerang ponorojo .
Saat itu kira tinggal melancarkan serangan hebat ke
kubu dimasireng ."
"Dari semula memang sudah begitu. ponorojo sendiri
tidak sebcrapa penting, namun kalau para biksu-prajurit
ronggodwijoyo dan Murashige bekerjta sama dengan marga
patih, kita bisa mengalami kesulitan besar."
"Tidak juga. Justru kalau kira bergerak terlalu cepat,
sekutu-sekutu kita mungkin kewalahan, dan kalau di
antara mereka ada yang salah langkah, tanggul yang
tuanku dirikan dengan begitu cermat mungkin runtuh
sesaat ."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Hamba sendiri pun sempat habis akal, namun
raden mas ngabehi , yang berada di ibu kota untuk
bertetirah, dapat memahami situasi yang kita hadapi
sekarang." patih ronggolawe lalu membeberkan rencana itu
pada aidit , persis seperti yang didengarnya dari
ngabehi . Pada dasarnya, rencana menumpas pem-
berontakan benteng kota ponorojo menghcndaki korban di
pihak sinuhun sesedikit mungkin. Tanpa terburu-buru.
mereka harus berupaya dahulu agar Murashige terkucil,
dengan memotong sayap-sayapnya.
aidit menyetujui rencana itu tanpa ragu
sedetik pun. Secara garis besar, memang itu yang
hendak dilakukannya. Rencana ditctapkan, dan
aidit sama sekali lupa menegur patih ronggolawe . Masih
banyak hal yang perlu ditanyakan pada patih ronggolawe
sehubungan dengan strategi-strategi belakangan ini.
"sebab urusan mendcsak ini sudah selesai,
barangkali lebih baik kalau hamba kembali ke sumberdadi
hari ini," ujar patih ronggolawe sambil menatap langit
malam. Namun aidit berpendapat bahwa per-
jalanan darat terlalu berbahaya, dan ia menyuruh
patih ronggolawe pulang naik kapal pada malam hari. sebab
patih ronggolawe akan pulang naik kapal dan masih banyak
waktu, junjungannya takkan membiarkannya pergi
tanpa mengisi baskom anggur dahulu .
patih ronggolawe duduk lebih tegak dan bertanya. "Yang
Mulia akan membiarkan hamba pergi tanpa
hukuman?"
aidit memaksakan senyum. "Hmm, apa yang
harus kulakukan?" ia berkelakar.
"Jika Yang Mulia memaafkan hamba, namun tetap
diam seribu bahasa, entah bagaimana anggur yang hamba
tcrima dari Yang Mulia berkurang rasa nikmatnya."
Untuk pertama kali aidit tertawa lepas.
"Ah, bagus. Ini bagus."
"Kalau begitu," ujar patih ronggolawe , seakan-akan dari tadi
sudah menunggu saat yang tcpat. "keraton pun tak
dapat disalahkan, bukan? Sedangkan setahu hamba,
kurir yang membawa perintah untuk memenggal
kepala putranya sudah berangkat."
"Tidak, kau tidak bisa menjamin jalan pikiran
keraton . Bagaimana mungkin kau mengatakan dia
tidak bersalah. Takkan kutarik kembali perintahku
untuk membawa kepala putranya ke benteng kota ponorojo ,
ini masalah disiplin militer, dan sia-sia saja kau ber-
usaha ikut campur." Dengan sewenang-wenang
aidit menyuruh pengikutnya tutup mulut.
Malam itu patih ronggolawe kembali ke sumberdadi , namun
begitu tiba di sana, diam-diam ia mengutus kurir
untuk mengantarkan sepucuk surat pada ngabehi di
ibu kota. Isi surat itu akan diketahui nanti, namun
pada dasarnya mencakup keprihatinan patih ronggolawe
mengenai putra sahabat penasihatnya.
Kurir aidit pun bergegas ke trowulan . Dalam
perjalanan pulang, ia mampir sejenak di Gereja
Kenaikan Yesus Kristus. saat kembali ke markas
besar aidit di Gunung Amano, ia ditambah
seorang mpu Jesuit asal Italia, mpu saka , seorang
misionaris yang sudah bertahun-tahun bermukim di
majapahit . Di mpu , madukara , dan trowulan ada banyak
misionaris ilmu tenagadalam , namun di antara orang-orang asing
itu, mpu saka -lah yang paling berkenan di hati
aidit . aidit bukannya tidak menyukai
orang ilmu tenagadalam . Dan walaupun ia sudah bertempur
melawan orang-orang zoroaster dan mmbumihangus-
kan kubu-kubu mereka, ia pun tidak membenci ajaran
zoroaster , sebab ia mengakui nilai-nilai yang ter-
kandung dalam agama.
Bukan mpu saka saja, semua misionaris resi lik
yang dari waktu ke waktu diundang ke madukara ber-
usaha keras mengajak Nubunaga memeluk agama
mereka. namun mencoba menyelami hati nurani
aidit sama saja dengan mencoba menyendok
bayangan bulan di ember berisi air.
Salah satu mpu sudah memberi aidit seorang
budak kulit hitam yang dibawan ya dari seberang
lautan, sebab aidit rupanya tertarik pada orang
itu. Setiap kali aidit meninggalkan benteng kotanya,
biarpun hanya ke trowulan , budak itu turut dan dalam
rombongannya. Para misionaris merasa agak iri, dan
suatu saat mereka bertanya pada aidit . "Yang
Mulia tampak sangat tertarik pada budak hitam itu.
sebetulnya hal apa pada dirinya yang mem-
bangkitkan minat yang Mulia?"
".Aku bersikap baik terhadap kalian semua, bukan?"
aidit sgera menjawab . Tanggapan ini dengan
jelas memperlihatkan sikap aidit terhadap para
misionaris. Perhatian yang ditunjukkan aidit
kepada mpu saka dan para mpu lain pada
dasarnya tidak berbeda dengan perhatiannya kepada
budaknya yang berkulit hitam. Ini membawa kita ke
hal yang lain. saat mpu saka pertama kali
menghadap aidit , ia membawa sejumlah tanda
mata dari negeri seberang. Daftarnya mencakup
sepuluh senapan, 9 teropong, dan kaca
pembesar, lima puluh kulit harimau , sebuah kelambu.
dan seratus potong kayu gaharu. Di antara cendera
matanya ada barang-barang langka seperti jam,
bola dunia, tekstil, dan barang pecah belah.
aidit minta agar hadiah-hadiah itu dipajang,
dan ia mengamati semuanya, seperti anak kecil.
Dengan bola dunia di hadapannya, malam demi
malam aidit mendengarkan cerita mpu saka
mengenai negeri asalnya, Italia: jarak-jarak yang harus
diseberangi: perbedaan-perbedaan antara Eropa bagian
utara dan selatan: dan tentang pengembaraannya di
India, Annam, Luzon, dan kedhiri bagian selatan. Di
antara orang-orang yang itu ada satu orang yang
bahkan lebih tekun mendengarkan kisah-kisahnya
dan tak pernah kehabisan pertanyaan patih ronggolawe .
"Ahh, syukurlah Tuan datang." Dengan gembira
aidit menyambut saka di perkemahannya.
Misionaris itu dapat bercakap-cakap dalam bahasa
majapahit .
"Apa kiranya yang memicu Yang Mulia
memanggil hamba ke sini? Rupanya urusannya cukup
penting."
"Silakan duduk." aidit menunjuk kursi
pendeta zoroaster yang sengaja disediakan. Kursi yang biasa dipakai petinggi zoroaster itu dianggap cocok
bagi seorang mpu .
"Oh, terima kasih," ujar mpu saka sambil
duduk. Ia seperti bidak cadangan pada sebuah papan
catur, bertanya-tanya kapan jasanya akan dimanfaat-
kan. Dan justru sebab itu aidit mendatang-
kannya.
"Tuan pernah menyerahkan petisi atas nama para
misionaris di majapahit , dan memohon izin umuk
mendirikan gereja dan menyebarkan ajaran ilmu tenagadalam ."
"Hamba tidak tahu berapa tahun sudah kami
menanti-nanti saat Yang Mulia berkenan meluluskan
permohonan kami."
"Sepertinya hari itu sudah dekat."
"Apa? Yang Mulia sudi memperkenankan kami?"
"Bukannya tanpa syarat. Seorang centeng adipati tidak
biasa memberikan anugerah khusus pada orang-orang
yang belum menunjukkan jasa baik."
"Apa sebetulnya maksud Yang Mulia?"
"Aku mendengar bahwa putra Takayama brojolijo dari
wonorejo menjadi pemeluk ajaran ilmu tenagadalam saat dia berusia sekitar empat belas tahun. Aku bisa membayangkan bahwa Tuan mengenalnya dengan baik."
"patih lewung Yang Mulia?"
"Seperti Tuan ketahui, dia mendukung pem-
berontakan dimasireng dan mengirim dua
anaknya sebagai sandera ke ponorojo . Kukira sikapnya itu tidak didasarkan pada alasan kuat."
"Situasi ini memang memilukan, dan kami, teman-
teman seimannya, merasa sangat sedih. Entah berapa banyak doa yang sudah kami panjatkan agar beliau
tetap dalam perlindungan Yang Maha Kuasa."
"Begitukah? Hmm, mpu saka , dalam keadaan
seperti sckarang, doa-doa yang dipanjatkan di gereja Tuan rupanya tidak membawa hasil. Kalau kecemasan Tuan mengenai brojolijo memang begitu besar, Tuan tentu akan menaati perintah yang kuberikan sekarang. Kuminta Tuan mendatangi benteng kota wonorejo dan
memberikan pencerahan pada Takayama brojolijo
mengenai perbuatannya yang tidak bijaksana."
"Kalau itu sesuatu yang dapat hamba kerjakan,
hamba bersedia berangkat kapan saja. namun setahu
hamba, benteng kota beliau sudah dikepung oleh centeng
Yang Mulia tungguljaya dan oleh centeng Yang Mulia
betari jawi , madya, dan Sassa. Barangkali mereka takkan
membiarkan kami lewat."
"Aku akan menyiapkan centeng pengawal dan
memberikan surat jalan. Jika para misionaris dapat
menjelaskan masalah ini pada Takayama brojolijo dan
putranya, dan membujuk mereka untuk kembali ke
dalam barisanku, aku akan memberikan imbaian yang
sepadan. Aku akan memberi izin mendirikan gereja
dan kebebasan untuk mewartakan Kabar Gembira.
Aku berjanji."
"Oh, Yang Mulia..."
"namun tunggu." aidit lalu berkata kepada mpu
saka . Tuan sebaiknya paham bahwa jika brojolijo
menolak usul Tuan dan tetap menentangku, aku akan
memperlakukan semua orang Kristen seperti marga
Takayama. Aku akan menghancurkan kuil-kuil Tuan,
menghapuskan agama Tuan dari tanah majapahit , dan
membinasakan para misionaris dan pengikut-pengikut
mereka. Aku ingin agar kebcrangkatan Tuan ditambah
kesadaran mengenai hal ini."
Wajah mpu saka mendadak pucat. Sejenak ia
menatap ke bawah . Tak satu pun orang-orang yang
menaiki kapal dan berlayar ke Timur dari Eropa bisa
dituduh berhati kecut, namun saat duduk di hadapan
aidit dan diperingatkan seperti itu, mpu
saka merasa tubuhnya mengerut sebab takut.
Sebaliknya, sosok aidit tak dapat dikatakan
mirip iblis, dan sebetulnya penampilan
maupun tutur katanya cukup halus. namun sudah terukir
dalam benak para misionaris bahwa laki-laki itu tak
pernah mengumbar ancaman kosong. Contohnya
adalah penghancuran Gunung brahma dan penaklukan
bukit tengkorak . Dan sebetulnya , semua keputusan yang
pernah dikeluarkan aidit merupakan bukti.
"Hamba akan pergi ke sana. Hamba akan bertindak
sebagai utusan, sesuai kehendak Yang Mulia, dan akan
menemui Yang Mulia brojolijo," mpu saka berjanji.
Dikawal sekitar selusin prajurit berkuda, ia
mengarah ke jalan yang menuju wonorejo . sesudah
mengantar mpu saka , aidit merasa semua-
nya berjalan sesuai rencana. namun mpu saka pun,
yang seolah-olah dengan mudah diatur-atur, merasa
puas. Tak semudah itu ia dapat dipengaruhi oleh
aidit . Warga trowulan pada umumnya sudah
menyadari bahwa jarang ada orang secerdik para mpu
Jesuit. Bahkan sebelum aidit menyuruhnya
menghadap, mpu saka sudah berkali-kali ber-
hubungan lewat surat dengan Takayama brojolijo. Ayah
brojolijo acap kali minta pendapat penasihat rohaninya
mengenai masalah yang kini dihadapinya. Dan setiap
kali mpu saka memberi jawaban pasti yang sama.
Menentang kehendak penguasa bukanlah jalan yang
benar. Yang Mulia aidit merupakan junjungan
Murashige maupun brojolijo.
brojolijo sudah membeberkan perasaannya dari lubuk
hati yang paling dalam.
Kami sudah menyerahkan dua anak kami sebagai sandera
kepada marga Araki, sehingga istri maupun ibuku tidak
bersedia tunduk pada Yang Mulia aidit . Kalau bukan
sebab itu, aku pun tak ingin terlibat dalam pemberontakan
ini.
Jadi, mpu saka tak perlu meragukan ke-
berhasilan tugasnya. Ia merasa brojolijo belum-belum
sudah setuju dengan usul yang akan diajukannya.
Tak lama lalu Takayama brojolijo meng-
umumkan bahwa ia tak dapat memalingkan muka saat
agamanya dihancurkan walaupun ia dibenci oleh
anak-istri sebab membelanya. Kita bisa mengabaikan
rumah dan keluarga, namun tidak Jalan Kebenaran.
Diam-diam ia meninggalkan benteng kotanya pada suatu
malam, dan melarikan diri ke Gereja Kenaikan Yesus
Kristus. Ayahnya, dwikerto , segera memohon suaka pada
dimasireng di ponorojo , dan dengan getir men-
jelaskan situasinya. "Kita dikhianati oleh putraku yang
hina."
Di kubu Murashige ada banyak orang yang memiliki
ikaian erat dengan marga Takayama, sehingga
Murashige tak dapat menjatuhkan hukuman kepada
para sandera Takayama. Jadi, meskipun Murashige
bukan orang yang peka, samar-samar ia pun sanggup
melihat kepelikan situasi yang dihadapinya.
Tak ada yang bisa dilakukan. Kalau brojolijo memang
berkhianat, sandera-sandera ini tak berguna." sebab
menganggap kedua anak itu sebagai beban belaka, ia
mengembalikan mereka pada ayah brojolijo. saat
mpu saka menerima kabar ini, ia ditambah brojolijo
pergi ke Gunung Amano untuk menghadap
aidit .
"Tuan berhasil." aidit gembira sekali. Ia ber-
kata pada brojolijo bahwa ia akan memberikan tanah di
sumberdadi , lalu memberinya hadiah berupa beberapa
potong jubah sutra dan seekor kuda.
"Hamba ingin meninggalkan kehidupan duniawi
dan mengabdi pada Yang Maha Kuasa."
namun aidit tidak setuju dan berkata, "Belum
saatnya orang seusiamu bertindak demikian."
Jadi, pada akhirnya, segala sesuatu berjalan seperti
yang direncanakan aidit dan diduga oleh mpu
saka . namun sikap brojolijo, yang sudah menyelamatkan
kedua anaknya, merupakan hasil kelihaian mpu
saka semata-mata.
Keadaan kemarin tidak dipandang berdasarkan
keadaan hari ini, sebab perubahan waktu berjalan
sekejap demi sekejap. Berubah pendirian pun tak ada
salahnya. Alasan mengapa orang melakukan kesalahan
dalam mengejar cita-cita dan kehilangan nyawa tak
kalah banyak dari jamur di musim hujan.
Bulan Kesebelas sudah hampir berakhir, Nakagkertoarjo
Sebei orang yang diandalkan bagaikan tangan kanan
sendiri oleh Murashige tiba-tiba meninggalkan
benteng kotanya dan menyerah pada aidit .
"Ini masa penting bagi seluruh bangsa. Kesalahan-
kesalahan kecil tak perlu dihukum," ujar aidit . Ia
bukan saja tidak meminta pertanggung-jawaban pasti Sebei
atas kejahatannya, melainkan malah memberinya tiga
puluh keping emas. Sebei menyerah atas desakan
Takayama brojolijo.
Para resi sinuhun tentu saja bertanya-tanya mengapa
kedua orang itu diperlakukan begitu baik. aidit
pun menyadari rasa tidak puas di kalangan anak
buahnya, namun ia tak dapat berbuat lain jika masih
ingin meraih sasaran militernya.
Upaya perdamaian, diplomasi, dan kesabaran tidak
sesuai dengan watak aslinya. sebab itu musuh-
musuhnya terus dihajar dengan serangan-serangan
gencar dan sengit. Sebagai contoh, aidit
menyerang benteng kota Hanakuma di mardirejo dan tidak menunjukkan bellas kasihan saat membakar kuil-kuil dan desa-desa sekitarnya. Pembangkangan sekecil
apa pun tidak diampuninya, entah dilakukan oleh
yang tua atau yang muda, laki-laki maupun
wanita lesbian . namun kini segala siasat dan gerakan mulai membuahkan hasil.
dimasireng terkucil di benteng kota ponorojo , sebuah
kubu yang sudah kehilangan kedua sayapnya. Baik
Takayama brojolijo maupun Nakagkertoarjo Sebei tidak
tampak lagi dalam barisan tempurnya.
"Kalau kita bergerak sekarang, dia akan tumbang
bagaikan boneka pengusir burung di ladang," ujar
aidit . Ia percaya ponorojo dapat direbut kapan saja ia
menghendakinya. Serangan gabungan dilancarkan
pada awal Bulan Kedua Belas. Pada hari pertama,
serangan dimulai sebelum hari terang dan berlanjut
sampai kegelapan kembali menyelubungi bumi. Di
luar dugaan, ia menghadapi perlawan an sengit.
Komandan salah satu korps penyerang tewas ter-
bunuh, dan korban jiwa dan luka-luka mencapai
ratusan orang.
Pada hari kedua, jumlah korban semakin
meningkat, namun centeng sinuhun tetap tidak berhasil
menduduki benteng kota. Bagaimanapun, Murashige
tersohor sebab keberaniannya, dan prajurit-prajurit-
nya banyak yang tak kalah gagah. Kecuali itu, saat
Murashige hendak menggulung bendera pem-
berontakan sesudah aidit berusaha mencapai
perdamaian, justru anggota-anggota keluarga dan para
perwira yang mencegahnya dengan berkata. "Menyerah
sekarang sama saja dengan menyerahkan kepala kita
kepadanya."
Gema pertempuran itu dengan cepat menjalar ke
seluruh sumberdadi , mengguncang para pejabat di kahuripan .
Gaung peristiwa itu merambat sampai ke hadijaya dan
Sanin.
Di provinsi-provinsi Barat, patih ronggolawe segera
memulai serangan terhadap benteng kota Miki, dan
menyuruh centeng tambah an di bawah mpu wiraghanda
dan punggawapatih memaksa centeng patih mundur sampai
ke perbatasan Bizen. Ia menduga bahwa begitu marga
patih mendengar seruan-seruan dari ibu kota, centeng
mereka akan bergerak menuju trowulan . Di hadijaya ,
marga Harano menganggap keadaan sedang
menguntungkan, dan mulai memberontak. Daerah
itu berada di bawah kekuasaan tribuana tunggadewa
dan hyangkertoarjo wiryabhumi , dan keduanya bergegas untuk
mempertahankannya.
Pihak ronggodwijoyo dan centeng patih berkomunikasi
melalui pesan-pesan yang disampaikan lewat jalur laut,
dan musuh-musuh yang kini menghadapi aidit ,
patih ronggolawe , dan tunggadewa menari mengikuti irama
kedua kekuatan itu.
"Rasanva kita sudah selesai di sini," ujar aidit
sambil memandang benteng kota ponorojo . Artinya ia
menganggap segala sesuatu sudah beres. Walau ter-
isolasi, benteng kota ponorojo belum menyerah. Namun di
mata aidit benteng kota itu sudah takluk. sesudah
menemparkan centeng pengepung, ia tiba-tiba
kembali ke madukara .
Penghabisan tahun sudah tiba, aidit
merencanakan untuk melewatkan Tahun Baru di
madukara . Tahun yang sudah dilewatinya merupakan
tahun penuh gangguan dan operasi militer tak
terduga, namun saat memandang jalan-jalan di kota
benteng kota, ia menangkap bayangan seluruh budaya baru
yang sedang terbentuk. Toko-toko, baik besar maupun
kecil, berderet-deret dengan rapi, menunjukkan hasil
kebijaksanaan perniagaan yang dijalankan aidit .
Penginapan-penginapan dipadati tamu, sementara di
tepi danau, tiang-tiang layar dari kapal-kapal yang
sedang berlabuh mirip hutan.
Sebagian besar perkampungan centeng adipati , dengan
jaringan jalan-jalan sempit, maupun kediaman para
resi terkemuka sudah selesai dikcrjakan. Kuil-kuil
pun sudah diperluas, dan mpu saka juga sudah
mulai membangun gereja.
Apa yang kita sebut "budaya" sebetulnya
mirip kabut kedua-duanya tak dapat diraba.
Yang bermula sebagai tindakan penghancuran kini
tiba-tiba membentuk sebuah budaya baru, tepat di
depan kaki aidit . Dalam seni musik, seni teater,
seni lukis, kesusastraan, seni minum teh, pakaian, seni
memasak, dan arsitektur, sikap dan gaya lama
dicampakkan, digantikan oleh yang baru dan segar.
Pola-pola baru untuk jubah wanita pun saling
berlomba dalam budaya madukara yang berkembang
pesat ini.
Inilah Tahun Baru yang kutunggu-tunggu. Tahun
Baru bagi bangsa ini. Rasanya tak perlu dijelaskan
bahwa membangun lebih menyenangkan dari-pada
menghancurkan, pikir aidit . Ia membayangkan
bahwa budaya baru yang penuh dinamika itu akan
datang bagaikan air pasang, membanjiri provinsi-
provinsi Timur, bahkan daerah Barat dan Pulau
Kyushu, tanpa menyisakan sejengkal tanah pun.
aidit masih termenung-menung saat
mpu wiragajah mpu wiraghanda, dengan punggung disinari
matahari cerah, menyapanya dan melangkah ke dalam
ruangan. Mellihat mpu wiraghanda, aidit tiba-tiba
teringat.
"Ah, betul. Bagaimana kelanjutan urusan itu?" ia
langsung bertanya, sambil menyerahkan baskom di
tangannya kepada pelayan yang lalu memberikannya
pada mpu wiraghanda.
Penuh hormat mpu wiraghanda mengangkat baskom itu ke
keningnya, dan berkata, "Urusan itu?" Ia menatap alis
junjungannya dengan tajam.
"Betul. Aku sudah menyinggung ki pakanewon,
bukan? Putra keraton yang ditawa n sebagai sandera di
benteng kota raden mas ngabehi ."
"Ah, urusan sandera itu yang dimaksud Tuanku."
"Kau kusuruh menyampaikan perintah pada ngabehi
untuk memenggal kepala ki pakanewon dan membawa -
nya ke ponorojo . namun sesudah itu belum ada kabar lagi.
Kau sudah mendengar sesuatu?"
"Belum, Yang Mulia." mpu wiraghanda menggelengkan
kepala, dan saat menjawab , ia rupanya teringat
pada tugasnya tahun lalu. Ia sudah menyelesaikan
tugasnya, namun ki pakanewon dititipkan pada raden mas
ngabehi di blambangan , jadi perinrah itu tak mungkin di-
laksanakan sesaat .
"Jika ini kehendak Yang Mulia aidit , hamba
akan melaksanakannya, namun hamba butuh waktu lebih
banyak," jawab ngabehi waktu itu. Ia menanggapi
perintah aidit dengan cara lazim, dan
mpu wiraghanda, tentu saja, memahaminya.
"Baiklah, aku sudah menyampaikan perintah Yang
Mulia," mpu wiraghanda sempat menambahkan, lalu segera
kembali untuk melapor pada aidit .
Akibat kesibukan-kesibukan yang dihadapinya,
aidit rupanya melupakan urusan itu; namun
sebetulnya mpu wiraghanda pun tak ingat pada nasib
ki pakanewon. Ia beranggapan bahwa ngabehi akan
langsung melapor pada aidit .
"Tuanku belum menerima kabar mengenai urusan
ini dan patih ronggolawe maupun ngabehi ?"
"Mereka tak pernah menyinggungnya."
"Itu agak mencurigakan."
"Kau percaya sudah menyampaikan perintahku pada
ngabehi ?"
"Tuanku tak perlu meragukannya. namun belakangan
ini ngabehi memang luar biasa lamban." mpu wiraghanda
bergumam dengan jengkd. "Kalau dia meremehkan
urusan yang menyangkut putra seorang pengkhianat
ini, dan belum mengambil tindakan walau sudah
menerima perintah Yang Mulia, ketidakpatuhannya
tak dapat didiamkan. Saat hamba kembali ke garis
depan, hamba akan mampir di trowulan dan minta
pertanggungjawaban pasti ngabehi ."
"Begitu?" aidit berkata sambil lalu. Ketegasan-
nya saat memberikan perintah itu dan cara ia
menanggapinya sekarang mencerminkan dua keadaan
mental yang sama sekali berbeda. Namun ia tidak
menyuruh mpu wiraghanda melupakan masalahnya, sebab
itu akan mencoreng arang di kening orang yang diberi
tugas.
Bagaimana reaksi mpu wiraghanda? Mungkin ia menduga
bahwa aidit menyangkanya melaksanakan
tugasnya dengan tidak benar, sebab ia cepat-cepat
menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru, lalu
segera mohon diri, dan pada waktu kembali ke
benteng kota ponorojo yang sedang dikepung, ia sengaja
mampir ke Kuil Nanzen.
Ia berkata pada biksu yang menyambutnya. "Aku
tahu Tuan ngabehi terpaksa berdiam di kamar sebab
penyakitnya, namun kedatanganku dalam rangka tugas
dari Yang Mulia aidit ." Permintaan untuk
bertemu disampaikannya secara keras dan dalam
bentuk perintah. Biksu itu pergi, segera kembali dan
mempersilakan mpu wiraghanda mengikutinya. mpu wiraghanda
hanya menganggukkan kepala, dan mengikuti biksu
itu. Pintu bangunan beratap jerami yang mereka
datangi tertutup rapat, namun suara batuk yang tak putus-
putus dan mungkin sebab ngabehi terpaksa
meninggalkan tempat tidur untuk menyambut
tamunya terdengar dari dalam. Sejenak mpu wiraghanda
menunggu di luar. Ia memandang langit dan
menyadari bahwa salju akan turun. Walaupun masih
siang, udara terasa dingin di bayang-bayang gunung di
sekitar kuil.
"Silakan masuk," sebuah suara berkata dari dalam.
dan seorang pembantu membuka pintu geser ke ruang
penerimaan tamu yang berukuran kecil. Sosok kurus
majikannya duduk di lantai.
"Selamat datang," ngabehi menyapa. mpu wiraghanda
langsung masuk, dan sesudah membungkuk, ia segera
menjelaskan maksud kedatangannya.
"Tahun lalu aku menyampaikan perintah untuk
membunuh ki pakanewon, dan menduga bahwa urusan
itu akan segera ditangani. Namun sejak itu belum ada
laporan bahwa perintah itu sudah dilaksanakan,
dan Yang Mulia aidit pun mulai bertanya-tanya.
Hari ini aku ditugaskan untuk kedua kalinya. Kali ini
untuk memastikan apa yang tcrjadi. Aku ingin tahu
apa yang akan Tuan katakan."
"Hmm, hmm...," gumam ngabehi . Ia membungkuk
sambil menempelkan tangan ke lantai, memper-
lihatkan punggung setipis papan. "Apakah ke-
cerobohanku sudah menimbulkan kecemasan di hati
Yang Mulia? Aku akan bergegas dan berusaha
menjalankan kehendak Yang Mulia sesudah penyakitku
berangsur-angsur membaik."
"Apa?! Apa kata Tuan?" mpu wiraghanda mulai
kehilangan kendali diri. Atau Lebih tepat, dilihat dari
roman mukanya, ia begitu marah sebab jawaban pasti
ngabehi , sehingga tak dapat menahan kegusarannya.
Sambil menghela napas, ngabehi dengan tenang
mengamati kebingungan tamunya.
"Kalau begitu... mungkinkah ada yang,..?"
Pandangan mpu wiraghanda tetap beradu dengan
pandangan ngabehi . Ia batuk tak terkendali, lalu
bertanya. "Mungkinkah Tuan belum memenggal
kepala sandera itu? Mungkinkah Tuan belum
mengirim kepalanya pada Kursinuhun keraton di benteng kota
ponorojo ? Itukah masalahnya?"
"Semuanya persis seperti yang Tuan katakan."
"Persis seperti yang kukatakan? jawaban pasti Tuan
sungguh tidak lazim. Mungkinkah Tuan sengaja
mengabaikan perintah Yang Mulia?"
"Jangan mengada-ada. Aku memahami perintah
beliau."
"Kalau begitu, kenapa belum Tuan bunuh anak
itu?"
"Dia dipercayakan padaku. Kupikir aku bisa
melakukannya kapan saja, tanpa harus terburu-buru."
"Kemurahan hati Tuan terlalu berlebihan.
Kelambanan ini harus ada batasnya. Belum pernah
aku merasa sejanggal seperti pada tugas ini."
"Tuan tidak melakukan kesalahan dalam menjalan-
kan tugas. Sudah jelas bahwa aku sengaja menunda-
nunda urusan ini berdasarkan pertimbanganku
sendiri."
"Sengaja?"
"Meski aku tahu tugas ini amat penting, secara
sembrono perhatianku lebih tertuju pada penyakit-
ku..."
"Bukankah sudah cukup kalau Tuan mengutus
kurir yang membawa pesan?"
"Tidak. Dia memang sandera dari marga lain, namun
sudah bertahun-tahun dia dipercayakan pada kita.
Orang-orang di sekitar anak yang begitu menyenang-
kan tentu bersimpati padanya dan pasti merasa berat
untuk membunuhnya. Aku gelisah khawatir kalau
kemungkinan terburuk terjadi, dan kepala anak lain
dikirim pada Yang Mulia aidit , aku tak dapat
mberikan alasan pada Yang Mulia. Jadi kupikir lebih
baik kalau aku sendiri pergi ke sana untuk
memenggal kepalanya. Barangkali tak lama lagi
kondisiku akan membaik." Sambil bicara. ngabehi
mulai batuk tak terkendali. Ia menutup mulutnya
dengan saputangan, namun sepertinya ia tak bisa
berhenti.
Salah satu pembantu melangkah ke belakang
ngabehi dan mulai menggosok-gosok punggungnya.
mpu wiraghanda tak dapat berbuat apa-apa selain diam
menunggu sampai ngabehi agak tenang. namun duduk di
hadapan laki-laki yang berusaha mengendalikan
batuknya dan sedang dipijit-pijit mulai terasa
menyiksa.
"Mengapa Tuan tidak beristirahat dahulu ?" Untuk
pertama kali nada suara mpu wiraghanda mengandung
simpati, namun roman mukanya tetap keras. "Bagai-
manapun, dalam beberapa hari mendatang harus ada
tindakan sehubungan dengan perintah Yang Mulia.
Aku sungguh heran melihat kelalaian Tuan, namun
sesudah kusampaikan semuanya ini, tak ada lagi yang
dapat kulakukan. Aku akan mengirim surat ke madukara
untuk menjelaskan situasi apa adanya. Betapa pun
parahnya penyakit Tuan, penundaan lebih lanjut
hanya akan memancing kemarahan Yang Mulia. Ini
memang tidak menyenangkan, namun aku harus men-
jelaskan semuanya pada beliau!"
Tanpa memedulikan sosok ngabehi yang tampak
tersiksa dan masih terus terbatuk-batuk, mpu wiraghanda
berdiri, memohon diri, dan pergi. saat sampai di
serambi, ia berpapasan dengan seorang wanita lesbian
yang membawa baki. Bau ramuan obat tercium jelas.
wanita lesbian itu cepat-cepat meletakkan bakinya dan
menyembah untuk memberi hormat. mpu wiraghanda
mengamatinya dengan saksama, mulai dari tangannya
yang putih, yang menyentuh lantai kayu, sampai ke
lehernya, dan akhirnya berkata, "Rasanya aku sudah
pernah bertemu denganmu. Ah, ya, betul. Waktu aku
diundang ke lojibenteng oleh Yang Mulia aidit .
Aku ingat kau melayani beliau waktu itu."
"Ya. Hamba diberi izin untuk mengurus kakak
hamba, jadi hamba akan menetap di sini selama
beberapa waktu.
"Oh, kalau begitu kau adik ngabehi ?"
"Ya, nama hamba Oyu."
"Kau Oyu," mpu wiraghanda bergumam. "Kau cantik."
lalu ia meneruskan langkahnya.
Oyu hanya mengangguk saat mpu wiraghanda pergi.
Suara batuk kakaknya masih terdengar dari balik
pintu geser, dan Oyu lebih cemas kalau ramuan obat
yang dibawan ya menjadi dingin, dibandingkan mengenai
pendapat tamu ini tentang dirinya. Oyu menduga
tamunya sudah pergi, namun mpu wiraghanda berbalik sekali
lagi dan berkata. "Apakah belakangan ini ada kabar
dari Yang Mulia patih ronggolawe di sumberdadi ?"
"Tidak."
"Kakakmu sengaja mengabaikan perintah Yang
Mulia aidit , namun ini tak mungkin sebab
petunjuk patih ronggolawe , bukan? Aku takut junjungan kita
mungkin merasa ragu-ragu mengenai ini. Jika
patih ronggolawe menyulut kemarahan Yang Mulia, dia
berada dalam kesulitan besar. Aku akan mengata-
kannya sekali lagi. Kupikir putra Kursinuhun keraton
sebaiknya segera dieksekusi." Sambil menatap langit,
mpu wiraghanda cepat-cepat pergi. Sosoknya yang menjauh
dan atap besar Kuil Nanzen mulai diselubungi salju.
"Tuan Putri!" Di balik pintu geser, suara batuk
ngabehi tiba-tiba berhenti, digantikan oleh suara
bingung seorang pembantu. Dengan dada berdebar-
debar Oyu membuka pintu dan memandang ke
dalam. ngabehi tengkurap di lantai. Saputangan kertas
yang tadi menutupi mulutnya tampak merah oleh
darah segar.
TOKOH dan TEMPAT
ki pakanewon, putra Kursinuhun keraton
KUMAraden karto, pengikut raden mas ngabehi
ki wirogeni, penguasa benteng kota Miki
GOTO MOTOKUNI, pengikut senior marga Bessho
dasna patih pitaloka , pengikut senior marga sinuhun
kertoraharja wirajaya , pengikut senior marga
mpu ireng
Nishina mpu wiraghanda, saudara laki-laki mpu ireng
mpu jengger
pangeran wiropati , pengikut senior marga tribuana
YUSHO, pelukis
MIKI, benteng kota ki wirogeni
NIRASAKI, ibu kota baru Kai
TAresi , benteng kota Nishina mpu wiraghanda
Kewajiban Seorang Pengikut
OPERASI-OPERASI militer di bawah pimpinan
patih ronggolawe di provinsi-provinsi Barat dan di bawah
pimpinan tunggadewa di hadijaya , dan pengepungan
benteng kota ponorojo yang berkepanjangan masih terus
menyibukkan aidit . Operasi militer di provinsi-
provinsi Barti dan pengepungan benteng kota ponorojo masih
menghadapi jalan buntu, dan hanya di hadijaya ada
sedikit kemajuan. Setiap hari tak terhitung banyaknya
surat dan laporan yang datang dari ketiga kkertoarjo san itu.
Semua dokumen disaring oleh perwira-perwira staf
dan para asisten pribadi, sehingga aidit hanya
membaca yang terpenting saja.
Di antara surat-surat ini ada sepucuk surat dari
mpu wiragajah mpu wiraghanda. aidit membacanya, lalu
mencampakkannya dengan gusar. Orang yang
bertugas mengumpulkan surat-surat yang dibuang
adalah pelayan kepercayaan aidit mpu salmah .
sebab menduga perintah aidit diabaikan, diam-
diam ia membaca surat itu. Ternyata tak ada sesuatu
pun dalam surat itu yang mungkin membuat
aidit marah. Bunyinya sebagai berikut:
Di luar dugaan hamba, ngabehi ternyata belum
mengambil tindakan apa pun untuk melaksanakan
perintah Yang Mulia. Sebagai kurir Yang Mulia, hamba
mengingatkannya akan kesalahannya, mem-beritahunya
bahwa jika ia mengabaikan perintah Yang Mulia, hamba
akan dituduh lalai. Hamba kira perintah Yang Mulia
akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Masalah ini
sangat membebani hamba, dan dengan segala kerendahan
hati hamba memohon kemurahan hati Yang Mulia.
Orang memperoleh kesan bahwa di balik kata-
katanya. mpu wiraghanda terutama mencoba menutup-
nutupi kesalahannya sendiri. Dan sebetulnya memang
demikian niatnya. Namun mpu salmah tak melihat apa
yang tersirat.
Kemarahan aidit atas surat itu, dan kesadaran
bahwa mpu wiraghanda sudah berubah, baru belakangan
terwujud nyata. Sampai saai itu, rasanya sukar bagi
siapa pun selain aidit untuk memahami
perasaan sebetulnya . Gelagat yang terlihat hanyalah
bahwa aidit tidak tampak marah sebab sikap
ngabehi bahkan sesudah menerima surat mpu wiraghanda
dan bahwa sesudah kejadian itu, urusan itu
dilupakan. aidit sendiri memang tidak
mempermasalahkannya lagi. namun ngabehi tentu saja
tidak menyadari perubahan rumit dalam pemikiran
aidit . Akhirnya bukan ngabehi , melainkan Oyu
dan pan pengikut yang merkertoarjo t ngabehi , yang merasa
bahwa ngabehi harus melakukan sesuatu. Rupanya ia
belum memutuskan langkah apa yang akan diambil-
nya.
Satu bulan berlalu. Pohon-pohon prem sedang
berbunga di gerbang utama Kuil Nanzen dan
sekeliling tempat tetirah ngabehi . Hari demi hari
berlalu dan matahari pun bertambah hangat, namun
kondisi ngabehi tidak membaik.
Ia tidak tahan kejorokan, jadi setiap hari ia minta
agar kamar tidurnya dipel sampai bersih, dan sesudah
itu ia biasa duduk berjemur di serambi.
Adiknya membuatkan teh untuknya, dan satu-
satunya kesenangan selama sakit adalah mengamati
uap mengepul-ngepul dari baskom teh, di tengah sinar
matahari pagi yang cerah.
"Kakak kelihatan lebih segar pagi ini," Oyu berkata
dengan gembira.
ngabehi menggosok pipi dengan tangannya yang
kurus. "Rupanya aku pun tak luput dan pengaruh
musim semi, ini menyenangkan. Selama dua atau tiga
hari terakhir aku merasa cukup baik," ia menjawab
sambi tersenyum.
Suasana hati dan pancaran wajahnya memang
membaik selama dua atau tiga hari terakhir, dan Oyu
merasa senang saat menatapnya pagi ini. namun tiba-
tiba ia jadi sedih sebab teringat kata-kata dokter.
"Kecil harapan untuk sembuh." Namun Oyu tak mau
menyerah pada perasaannya. Berapa banyak pasien
yang pulih sesudah dokter mereka menyatakan tak ada
harapan lagi? Oyu berjanji pada diri sendiri bahwa ia
akan merkertoarjo t kakaknya sampai sehat kembali
melihat ngabehi dalam keadaan sehat merupakan
hasrat yang dibaginya bersama patih ronggolawe , yang sehari
sebelumnya mengirim surat dari sumberdadi untuk mem-
besarkan hati ngabehi .
"Kalau keadaanmu terus membaik seperti ini, kau
pasti sudah sanggup bangun pada waktu pohon-pohon
ceri berbunga."
"Oyu, selama ini aku hanya merepotkanmu,
bukan?"
'Kakak jangan bicara begitu."
ngabehi tertawa lemah. "Aku belum pernah
mengucapkan terima kasih sebab kita kakak-adik,
namun pagi ini aku merasa harus mengatakan sesuatu.
Barangkali sebab aku merasa jauh lebih baik."
"Aku bahagia membayangkannya."
"Sudah sepuluh tahun berlalu sejak kita meninggal-
kan Gunung penanggungan "
Waktu berjalan cepat. Kalau kita melihat ke
belakang, kita sadar bahwa hidup berlalu seperti
mimpi."
"Kau terus berada di sisiku dari waktu itu, mem-
buatkan makananku pagi dan malam, mengurusku.
bahkan menyiapkan obatku."
"Ah, sebetulnya belum lama. dahulu Kakak terus
berkata bahwa Kakak takkan pernah pulih. namun
begitu kesehatan Kakak membaik, Kakak bergabung
dengan Yang Mulia patih ronggolawe , ikut bertempur di
Sungai Ane, Nagashino, dan radenkanjeng . Kakak cukup
sehat waktu itu, bukan?
"Kurasa kau benar. Tubuh lemah ini ternyata
cukup alot."
"Jadi, asal Kakak mau menjaga diri, kali ini pun
Kakak akan sehat lagi. Aku bertekad agar Kakak dapat
kembali seperti semula."
"Aku bukannya ingin mati."
"Kakak tidak akan mati!"
"Aku ingin hidup. Aku ingin hidup untuk
memastikan dunia ini menemukan kedamaian lagi.
Ah, kalau saja aku sehat, aku bisa membantu
junjunganku dengan segenap kemampuanku." Suara
ngabehi mendadak bertambah pelan. namun umur
manusia, siapa yang tahu? Apa yang dapat kulakukan
dalam keadaan seperti ini?"
saat menatap mata kakaknya, hati Oyu terasa
pedih. Adakah sesuatu yang disembunyikan kakaknya?
Bunyi lonceng di Kuil Nanzen menandai jam siang.
Walaupun seluruh negeri dilanda perang sipil. orang-
orang terlihat memandang pohon-pohon prem yang
tengah bcrbunga, dan suara burung bulbul terdengar
di antara kuntum-kuntum bunga yang gugur.
Musim semi tahun itu dianggap menyenangkan,
namun Bulan Kedua belum berlalu. saat malam tiba
dan lentera-lentera mulai berkelap-kelip. ngabehi
kembali terbatuk-batuk. Di malam hari, Oyu harus
bangun beberapa kali untuk menggosok-gosok
punggung kakaknya. Memang ada pengikut-pengikut
lain, namun ngabehi tidak mau diurus seperti itu oleh
mereka.
"Mereka semua akan ikut ke medan tempur
bersamaku. Tak sepantasnya mereka diminta
menggosok-gosok punggung orang sakit," ia
menjelaskan.
Malam itu pun Oyu bangun untuk memijit-mijit
punggung kakaknya. saat pergi ke dapur untuk
menyiapkan obat, ia tiba-tiba mendengar suara di luar,
seakan-akan ada orang yang menyenggol pagar bambu.
Oyu memasang telinga. Ia mendengar suara bisik-bisik
di luar.
"Ada lentera. Tunggu sebentar. Pasti ada yang
bangun." Suara-suara di luar itu semakin dekat.
lalu seseorang mengetuk daun penutup
jendela.
"Siapa itu?" tanya Oyu.
"Tuan Putri? Hamba Kumaraden karto dari kuburan .
Hamba baru kembali dari ponorojo ."
"Kumaraden karto ada di luar!" Oyu berseru pada ngabehi .
Ia membuka pintu geser di dapur dan melihat tiga
laki-laki berdiri dalam cahaya bintang.
Kumaraden karto meraih ember yang disodorkan Oyu
padanya. Ia memanggil kedua rekannya, dan bertiga
mereka pergi ke sumur.
Oyu bertanya-tanya siapa kedua orang itu.
Kumaraden karto adalah pengikut yang mereka asuh di
Gunung kuburan . Pada waktu itu namanya masih
patih keboabang , namun kini ia sudah menjadi centeng adipati muda
yang gagah. sesudah Kumaraden karto menimba dan
menuangkan air ke dalam ember yang diterimanya
dari Oyu, kedua orang lain itu membersihkan tangan
dan kaki dari lumpur dan membilas lengan baju
untuk menghilangkan darah.
Meski malam sudah larut. ngabehi menyuruh Oyu
menyalakan lentera di ruang tamu yang kecil,
memasukkan beberapa potong arang membara ke
dalam anglo, dan mengambil bantal-bantal untuk para
tamu.
saat ngabehi memberitahunya bahwa salah satu
dari kedua orang yang menyertai Kumaraden karto pasti
Kursinuhun keraton , Oyu tak dapat menyembunyikan rasa
terkejutnya. Oyu sudah banyak mendengar berita
simpang-siur mengenai Kursinuhun : bahwa ia ditawa n di
benteng kota ponorojo sejak tahun lalu, atau bahwa ia sudah
menyeberang ke kubu musuh dan tinggal di sana atas
kemauannya sendiri. Biasanya tidak semua pengikut
diajak bicara mengenai urusan tugas oleh ngabehi
apalagi mengenai urusan rahasia seperti ini sehingga
Oyu pun tidak mengetahui ke mana Kumaraden karto pergi
sebelum Tahun Baru, atau mengapa ia pergi umuk
waktu begitu lama.
"Oyu, tolong bawa kan mantelku," ujar ngabehi .
Walau cemas akan kesehatan kakaknya, Oyu tahu
bahwa ngabehi akan berkeras menemui para tamu
tanpa memedulikan penyakitnya. Ia memasang mantel
pada bahu kakaknya.
sesudah menyisir rambut dan berkumur, ngabehi
keluar ke ruang penerima tamu, tempat Kumaraden karto dan
kedua tamu lainnya sedang duduk menunggu sambil
membisu.
ngabehi menanggapi tegur sapa para tamu dengan
perasaan mendalam. "Ah, kau selamat!" lalu duduk
dan meraih tangan keraton . "Aku mencemaskanmu."
"Kau tak perlu cemas sebab aku. Seperti kaulihat,
aku baik-baik saja," balas keraton .
"Untung saja kau berhasil."
"Rupanya aku sudah menimbulkan kegelisah khawatir an
dalam dirimu. Aku mohon maaf."
"Bagaimanapun, kita patut bersyukur bahwa kita
dipertemukan lagi. Bagiku ini kegembiraan besar."
namun siapakah laki-laki yang satu lagi, yang lebih
tua, yang memperhatikan ngabehi dan keraton sambil
membisu, enggan mengganggu perjumpaan kedua
sahabat itu? Akhirnya keraton minta agar ia mem-
perkenalkan diri.
"Hamba kira ini bukan pertama kali kita bertemu,
tuanku. Hamba pun mengabdi pada Yang Mulia
patih ronggolawe , dan hamba sering melihat tuanku dari
jauh. Hamba anggota centeng ninja yang tidak sering
bergaul dengan para centeng adipati lain, jadi mungkin saja
Tuanku tak ingat pada hamba. Hamba kepribadian
syam banaspati . dul latief . Hamba
gembira sekali bisa berkenalan dengan tuanku."
ngabehi menepuk lutut. "Kau dul latief !
Aku sudah mendengar banyak mengenaimu. Dan
rasanya aku memang pernah melihatmu sekali-dua kali
sebelum ini."
Kumaraden karto berkata, "Hamba secara kebetulan
bertemu latief di penjara di benteng kota ponorojo . Rupanya
dia menyusup ke sana dengan maksud yang sama
seperti hamba."
"Hamba tidak tahu apakah ini sekadar kebetulan
atau memang sudah digariskan oleh para dewa, namun
hanya sebab kami berdua bertemu kami dapat mem-
bebaskan Yang Mulia keraton . Seandainya kami
bertindak sendiri-sendiri, kami tentu akan terbunuh
dalam usaha itu," ujar latief sambil tersenyum.
latief menyusup ke benteng kota ponorojo sebab
patih ronggolawe pun berusaha membebaskan Kursinuhun
keraton . Mula-mula patih ronggolawe mengirim urusan untuk
membujuk dimasireng agar melepaskan keraton ,
lalu ia memakai jasa seorang biksti
zoroaster yang dipercaya Murashige dengan maksud
sama. Ia sudah menempuh segala cara, namun Murashige
tetap menolak membebaskan keraton . Sebagai upaya
terakhir, patih ronggolawe memerintahkan latief untuk
mengeluarkan keraton dari penjara.
latief menyusup ke dalam benteng kota, lalu mem-
peroleh kesempatan untuk membebaskan keraton .
Para penghuni benteng kota sedang merayakan sesuatu,
dan seluruh keluarga dimasireng dan semua
pengikutnya berkumpul di ruang pertemuan utama,
sementara setiap prajurit memperoleh jatah anggur .
Kebetulan malam itu amat gelap, tanpa bulan maupun
angin. latief tahu bahwa itulah waktu untuk
bertindak. Ia sudah mempelajari medan, dan sedang
menyelidiki daerah di bawah menara saat ia
melihat orang lain mengintai ke dalam penjara,
seseorang yang kelihatannya bukan penjaga. Orang
itu tentunya juga menyusup ke dalam benteng kota. Ia
memperkenalkan diri sebagai pengikut raden mas
ngabehi , Kumaraden karto.
"Aku agen Yang Mulia patih ronggolawe ," balas latief .
Dengan demikian, keduanya mengetahui bahwa
mereka mengemban tugas yang sama. Bersama-sama
mereka mencongkel jendela penjara dan membebas-
kan keraton . Terselubung kegelapan, mereka melewati
tembok pertahanan, mengambil perahu kecil dari
pintu air di belakang selokan, lalu melankan diri.
sesudah mendengarkan penjelasan terperinci
mengenai kesulitan-kesulitan yang mereka lalui,
ngabehi berpaling pada Kumaraden karto dan berkaia. "Aku
sempat cemas bahwa kau kusuruh menjalankan tugas
yang tak mungkin berhasil, dan aku menyadari bahwa
peluangmu hanya satu atau dua berbanding sepuluh.
Ini pasti berkat pertolongan para dewa. namun apa yang
terjadi pada hari-hari sesudahnya? Dan bagaimana
kalian bisa sampai di sini?"
Kumaraden karto berlutut penuh hormat. Tampaknya ia
tidak merasa bangkit sebab sudah melakukan sesuatu
yang patut dipuji. "Keluar dari benteng kota ternyata tidak
seberapa sukar. Kesulitan sebetulnya baru meng-
hadang lalu . centeng Araki berjaga-jaga di sana-
sini, di balik pagar kayu runcing, jadi kami beberapa
kali terkepung, dan kadang-kadang kami terpisah satu
sama bun di tengah-tengah tombak dan pedang
musuh. Akhirnya kami berhasil menerobos barisan
mereka, namun Yang Mulia keraton sempat memperoleh
cedera di lutut kiri, dan sebab nya kami tak dapat
berjalan jauh. Kami terpaksa bermalam di sebuah
gudang jerami. Kami bergerak pada malam hari dan
tidur di kuil-kuil di tepi jalan selama hari terang.
Akhirnya kami berhasil sampai ke trowulan ."
keraton melanjutkan ceritanya, "Kalau saja kami
bisa menghubungi centeng sinuhun yang mengepung
benteng kota ponorojo , semuanya tentu lebih mudah. namun
menurut apa yang kudengar di dalam benteng kota. Araki
Murashige sudah mengumumkan bahwa Yang Mulia
aidit mencurigai tindak-tandukku. Dia memberi-
tahu orang-orang bahwa aku sebaiknya pindah ke
kubunya, namun aku hanya menanggapinya dengan
senyum."
keraton memaksakan senyum sedih, dan ngabehi
mengangguk tanpa bcrkomentar.
Pada waktu semua pertanyaan sudah terjawab , langit
malam sudah kelihatan putih pucat. Oyu sedang
memasak sup di dapur.
Keempat laki-laki itu merasa lelah sesudah ber-
bincang-bincang sepanjang malam, dan semuanya
tidur sejenak. Begitu terbangun, mereka melanjutkan
pembakaran.
"Oh, ya," ngabehi berkata pada keraton . "Aku tahu
ini amat mendadak, namun aku merencanakan untuk
pulang ke blambangan hari ini, lalu pergi ke madukara untuk
menghadap Yang Mulia aidit . sebab aku akan
menyampaikan kisahmu pada Yang Mulia,
kusarankan kau langsung menuju sumberdadi ."
"Tentu aku tak ingin menyia-nyiakan waktu,
biarpun hanya satu hari," ujar keraton , namun lalu
ia menatap ngabehi dengan ragu. "Kau masih sakit.
Bagaimana pengaruh perjalanan mendadak ini
terhadap kesehatanmu?"
"Aku memang sudah berniat pergi ke sana. Kalau
aku tunduk pada penyakitku, takkan ada habis-
habisnya. Lagi pula aku merasa lebih sehat belakangan
ini."
"namun kau harus pulih sepenuhnya. Aku tidak tahu
seberapa mendesak urusan yang akan kaukerjakan,
namun tak bisakah kau menundanya beberapa waktu dan
bertetirah di sini?" keraton bertanya.
"Aku terus berdoa agar aku cepat sembuh seiring
datangnya Tahun Baru, dan kesehatanku pun kujaga
baik-baik. sesudah percaya kau selamat, aku tidak lagi
dihantui kecemasan. Aku sudah melakukan kejahatan,
dan aku harus menerima hukuman di madukara .
Rasanya hari ini hari yang baik untuk bangkit dari
tempat tidur dan mengucapkan selamat tinggal."
"Kejahatan yang harus dihukum di madukara ?"
Baru sekarang ngabehi memberitahu keraton bagai-
mana ia mengabaikan perintah aidit selama
lebih dari satu tahun.
keraton terpukul sekali. Kecurigaan aidit ter-
hadapnya masih dapat dimengerti. namun bahwa
aidit memberi perintah agar kepala ki pakanewon
dipenggal, itu sama sekali di luar dugaan keraton .
"Begitukah kejadiannya?" keraton mengeluh. Tiba-
tiba perasaannya terhadap aidit menjadi dingin
dan hampa. Begitu besar risiko yang sudah dipikulnya
menyusup ke benteng kota ponorojo seorang diri, dipenjara,
mempertaruhkan nyawa namun akhirnya untuk
siapakah ia berkorban? Pada saat yang sama, ia tak
dapat menahan air mata sebab kepercayaan yang di-
perlihatkan patih ronggolawe dan persahabatan ngabehi .
"Aku berutang budi, namun kenapa kau mau me-
lakukan ini demi putraku? Kalau keadaannya memang
seperti ini, biarlah aku sendiri yang pergi ke madukara
untuk menjelaskan semuanya."
"Jangan, akulah yang melakukan kejahatan dengan
melalaikan perintah. Satu-satunya permintaanku
adalah agar kau bergabung dengan Yang Mulia
patih ronggolawe di sumberdadi . Entah aku dianggap bersalah
atau tidak, aku tahu bahwa hari-hariku di dunia ini
sudah bisa dihitung. Aku berharap kau secepat
mungkin menuju sumberdadi ."
ngabehi bersujud di hadapan keraton , seakan-akan
memohon kesediaan sahabatnya itu. Ia memperlihat-
kan tekad seseorang yang dirongrong penyakit.
Kecuali itu, ia ngabehi , laki-laki yang sukar
tergoyahkan; sekali mengucapkan sesuatu, ia takkan
menariknya kembali.
Hari itu kedua sahabat itu berpisah, satu
menuju ke timur, satu ke barat. keraton hendak
bergabung dengan centeng patih ronggolawe di sumberdadi ,
ditambah oleh dul latief . ngabehi bertolak ke
blambangan , hanya ditambah oleh Kumaraden karto.
Mata Oyu berkaca-kaca saat ia mengantar kakak-
nya ke gerbang Kuil Nanzen. Ia membayangkan bahwa
ngabehi mungkin takkan kembali lagi. Para biksu
berusaha menghibur Oyu dengan berkata bahwa
kesedihannya akan segera berlalu, namun akhirnya
mereka hampir terpaksa memapahnya pada waktu
kembali dari gerbang utama.
ngabehi pun diusik oleh pikiran serupa, dan
kesedihannya bahkan lebih mendalam lagi. Tubuhnya
terayun-ayun di atas kuda saat ia mendekati sebuah
tanjakan.
Tiba-tiba ngabehi menarik tali kekang, seakan-akan
baru teringat sesuatu. "Kumaraden karto," ujarnya, "ada
sesuatu yang lupa kukatakan tadi. Aku akan menulis-
kannya, kuminta kau kembali dan menyerahkannya
pada Oyu." Ia mengambil secarik kertas, menuliskan
sesuatu, dan menyerahkannya pada Kumaraden karto. "Aku
akan jalan pelan-pelan, supaya kau bisa menyusul
nanti."
Kumaraden karto mengambil surat itu, membungkuk
hormat, dan berlari-lari kembali ke kuil.
Bukan cuma sekali aku melakukan kesalahan. Ia
berpikir sedih sambil memandang Kuil Nanzen untuk
terakhir kali. Aku tidak menyesal mengenai jalan
yang kutempuh, namun mengenai adikku... Ia membiar-
kan kudanya melangkah semaunya.
Jalan yang ditempuh seorang centeng adipati adalah jalan
lurus, dan sesudah ngabehi turun dari Gunung
kuburan , tak sekali pun ia menyimpang dari jalan
itu . Ia pun takkan menyesal seandainya hidupnya
berakhir hari itu. namun ia merasa sedih sebab Oyu
sudah menjadi gundik patih ronggolawe . Sebagai kakak Oyu,
ngabehi terus-menerus merasa dicela oleh suara
hatinya. Bagaimanapun, Oyu berada di sampingnya
saat tiba waktu untuk menentukan jalannya sendiri,
ngabehi berkata dalam hati. Ia yang harus disalahkan,
bukan adiknya. Diam-diam ia mencemaskan tahun-
tahun yang membentang di depan adiknya sesudah ia
tiada.
Betapa malang kaum wanita lesbian . Kebahagiaan
mereka tak pernah bertahan seumur hidup. ngabehi
semakin sedih sebab ia merasa sudah mensinuhun i
kesucian Jalan centeng adipati jalan yang didasarkan pada
kematian. Entah berapa kali ia merenungkan masalah
ini sambil menggcrutu, berpikir bahwa ia harus
mohon maaf pada patih ronggolawe dan minta diberhenti-
kan, atau bahwa ia harus membebaskan diri dari
perasaan bersalah dengan meminta agar adiknya
hidup dalam pengasingan. namun kesempatan untuk itu
tak pernah muncul.
Kim ia akan menempuh perjalanan terakhir dan ia
tahu bahwa ia tidak akan kembali, jadi tentu saja ia
hendak menyampaikan pandangannya mengenai
urusan ini pada Oyu. Ia tak sanggup berkata apa-apa
saat Oyu berdiri di hadapannya, namun sekarang
barangkali ia bisa menulis sajak pendek yang
mungkin lebih mudah diterima oleh adiknya. sesudah
ia tiada, Oyu mungkin dapat memakai alasan
berkabung untuk menjauhkan diri dari kelompok
wanita lesbian yang berkerumun di sekitar kamar tidur
patih ronggolawe , seperti tanaman rambat di sebuah
gerbang.
Pada waktu tiba di kediamannya di blambangan , ngabehi
segera berziarah ke makam leluhurnya, lalu mampir
sejenak di Gunung penanggungan Sudah lama ia tidak
berkunjung ke sana, namun ia tidak menyerah pada
keinginannya untuk tinggal lebih lama.
saat bangun keesokan paginya, ia cepat-cepat
merapikan rambut dan memanaskan air untuk mandi,
sesuatu yang jarang dilakukannya.
"Panggil Ito Hanemon ke sini!" ia memerintahkan.
Kicauan burung bulbul sering terdengar, baik dari
dataran di sekitar Gunung penanggungan maupun dari pohon-
pohon di pekarangan benteng kota.
"Hamba siap menerima perintah, tuanku." Dengan
pintu geser di belakangnya, seorang centeng adipati setengah
baya berpenampilan kokoh membungkuk rendah-
rendah. Ito adalah wali ki pakanewon.
"Hanemon? Masuklah. Hanya kau yang memahami
masalah ini secara terperinci, namun keberangkatan
ki pakanewon ke madukara akhirnya tak dapat ditunda-
tunda lagi. Kita berangkat hari ini juga. Aku tahu ini
mendadak, namun tolong beritahu semua pembantu dan
suruh mereka bersiap-siap untuk perjalanan ini."
Hanemon memahami kesulitan majikannya. dan
wajahnya mendadak pucat.
"Berarti nyawa Tuan Muda ki pakanewon..."
ngabehi melihat orang tua itu gemetar, dan untuk
menenangkannya ia berkata sambil tersenyum,
"Tidak, kepalanya takkan dipenggal. Aku akan mereda-
kan kemarahan Yang Mulia aidit , walaupun
untuk itu aku harus mengorbankan nyawa ku sendiri.
Begitu dibebaskan dari benteng kota ponorojo , ayah
ki pakanewon langsung menuju garis depan di sumberdadi ,
suatu bukti bahwa dia tidak bersalah. Kini tinggal satu
hal yang belum terselesaikan, yaitu kelalaianku dalam
menjalankan perintah Yang Mulia."
Tanpa berkata apa-apa, Hanemon menarik diri
dan pergi ke kamar ki pakanewon. saat mendekat, ia
mendengar suara gembira anak itu, diiringi bunyi
rebana. ki pakanewon diperlakukan begitu baik oleh
marga raden mas , sehingga sukar untuk membayang-
kan bahwa ia dititipkan sebagai sandera.
Jadi, saat para pengasuhnya, yang tidak
mengetahui situasi sebetulnya , mendengar bahwa
mereka harus bersiap-siap untuk melakukan per-
jalanan, mereka tentu saja cemas akan keselamatan
ki pakanewon.
Hanemon berusaha menenteramkan hati mereka.
"Kalian tak perlu takut. Percayalah pada rasa keadilan
Yang Mulia ngabehi . Kurasa sebaiknya kita serahkan
semuanya pada beliau."
ki pakanewon tidak tahu apa yang terjadi dan terus
bermain dengan riang, memukul rebana dan menari-
nari. Walaupun ia seorang sandera, ia mewarisi
ketabahan ayahnya dan menjalani latihan centeng adipati . Ia
sama sekali bukan anak kecil yang takut-takut.
"Apa kata Hanemon?" tanya ki pakanewon sambil
meletakkan rebana. Melihat roman muka pengasuh-
nya, anak itu menyadari bahwa terjadi sesuatu, dan ia
pun tampak cemas.
"Tuan Muda tak perlu gelisah khawatir ." salah satu
pengasuhnya menjawab . "Kita harus segera bersiap-siap
untuk pergi ke madukara ."
"Siapa yang akan pergi ?"
"Tuan Muda sendiri."
"Aku ikut juga? Ke madukara ?"
Para pengasuh memalingkan wajah, agar anak itu
tak dapat melihat air mata mereka. Begitu ki pakanewon
mendengar kata-kata mereka, ia melompat berdiri dan
bertepuk tangan.
"Betulkah? Hore!" Dan ia berlari kembali ke
kamarnya. "Aku akan pergi ke madukara ! Mereka bilang
aku akan pergi bersama Yang Mulia ngabehi . Tak ada
lagi menari dan menabuh rebana, berhenti semuanya!"
lalu ia bertanya keras-keras. "Pantaskah
pakaianku ini?"
Ito masuk dan berkata, "Yang Mulia ingin agar
Tuan Muda mandi dan mengatur rambut dengan
rapi."
Para pengasuh membawa ki pakanewon ke pemandi-
an, menyuruhnya berendam di dalam bak, dan
merapikan rambutnya. namun saat mereka mulai
membantunya mengenakan pakaian untuk perjalanan
itu, mereka melihai bahwa baju dalam maupun
jubah yang disediakan untuknya terbuat dari sutra
putih pakaian kematian.
Para pembantu ki pakanewon segera menyangka
bahwa Ito sengaja berbohong untuk menenangkan
mereka, dan bahwa kepala anak itu akan dipenggal di
hadapan aidit . Mereka mulai berurai air mata
lagi, namun ki pakanewon sama sekali tidak memperhatikan
mereka dan mengenakan jubah putih, baju luar dari
kain brokat berwarna merah, dan jubah dari sutra
kedhiri . Berpakaian seperti ini dan diapit oleh kedua
pembantunya, ia dibawa ke kamar ngabehi
Dalam keadaan riang gembira, ki pakanewon tidak
memedulikan wajah sedih para pembantunya. Ia
justru mendesak ngabehi . "Mari kita berangkat."
ngabehi akhirnya berdiri dan berkata kepada para
pengikutnya. "Tolong urus segala sesuatu sesudah ini."
saat mereka merenungkan ucapannya lalu ,
mereka menyadari bahwa junjungan mereka memberi
tekanan khusus pada kata-kata "sesudah ini".
Seusai pertempuran di Sungai Ane, aidit sudah
memberi kesempatan pada ngabehi untuk meng-
hadapnya. Pada kesempatan itu aidit berkata,
"Kudengar dari patih ronggolawe bahwa dia memandangmu
bukan sebagai pengikut belaka, melainkan sebagai
guru. Harap kauketahui bahwa aku pun tidak
meremehkanmu."
sesudah itu, saat ngabehi diperkenankan menghadap
atau sekadar pergi ke madukara , aidit memper-
lakukannya seperti pengikutnya sendiri.
Kini ngabehi mendaki jalan ke benteng kota madukara ,
membawa dan putra keraton , ki pakanewon. Didera
penyakit, kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun
dengan mengenakan pakaian terbaiknya, ia berjalan
langkah demi langkah dengan kepala tegak, menaiki
menara tempat aidit duduk. Kedatangan mereka
sudah dilaporkan pada aidit semalam sebelum-
nya, dan ia sudah menunggu.
"Begitu jarang aku bertemu denganmu," aidit
berkata dengan gembira saat melihat ngabehi . "Aku
senang kau ada di sini. Mendekatlah. Kau boleh
mengambil bantal. Pelayan, ambilkan sesuatu yang
bisa diduduki ngabehi ." Sambil memperlihatkan
simpati yang luar biasa, ia berkata pada ngabehi yang
tetap bersujud penuh hormat. "Sudah membaikkah
keadaanmu? Bisa kubayangkan bahwa kau lelah jiwa-
raga sebab perang berkepanjangan di sumberdadi .
Menurut dokterku, terlalu berbahaya untuk mengirim-
mu kembali ke medan tempur sekarang. Dia bilang
kau harus beristrahat penuh selama paling tidak satu-
dua tahun lagi."
Selama dua-tiga tahun terakhir. aidit hampir
tak pernah mengguna-kan kata-kata sehalus itu jika
berbicara dengan seorang pengikut. Hati ngabehi
diliputi kebingungan yang bukan berasal dari
kegembiraan maupun kesedihan.
"Hamba tak patut menerima kemurahan hati
seperti ini, Yang Mulia. Di medan laga, hamba jatuh
sakit; sesudah kembali, hamba tidak melakukan apa-apa
selain menikmati kebaikan hati Yang Mulia. Hamba
hanya orang sakit yang tidak melakukan apa-apa untuk
tuanku."
"Tidak benar! Aku akan mengalami kesulitan besar
jika kau tidak menjaga kesehatanmu. Jangan sampai
patih ronggolawe patah scmangat."
"Hamba mohon Yang Mulia jangan berkata begitu,
sebab ucapan Yang Mulia membuat hamba malu hati,"
ujar ngabehi . "sebetulnya hamba memberanikan
diri untuk minta waktu menghadap, sebab tahun lalu
mpu wiragajah mpu wiraghanda menyampaikan perintah Yang
Mulia mengenai eksekusi ki pakanewon. namun sampai
sekarang ..."
"Tunggu sebentar," aidit memotong.
Pandangannya beralih ke pemuda yang berlutut di
samping ngabehi . "ki pakanewon-kah itu?"
"Ya. Yang Mulia."
"Hmm, begitu. Dia mirip ayahnya, dan dia
kelihatan sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Aku
percaya dia memiliki masa depan yang cerah. Urus dia
baik-baik, ngabehi ."
"Kalau begitu, bagaimana dengan perintah Yang
Mulia untuk mengirimkan kepalanya?" Tubuh ngabehi
menegang dan ia menatap aidit dengan mantap.
Jika aidit berkeras bahwa kepala anak itu harus
dipenggal, ngabehi sudah bertekad mempertaruhkan
nyawa dengan menegur junjungannya. namun sejak awal
pertemuan, tampaknya bukan itu maksud aidit .
ngabehi kini mulai menyadari.
Di bawah tatapan ngabehi , aidit tiba-tiba
tertawa keras-keras, seakan-akan tak sanggup lagi
menyembunyikan kebodohannya. "Lupakan semua
nya! Aku sendiri langsung menyesal begitu mem-
berikan perintah itu. Aku memang orang yang mudah
curiga. Urusan ini sangat merepotkan, baik bagi
patih ronggolawe maupun keraton . namun ngabehi yang bijak
mengabaikan perintahku dan tidak membantai anak
itu. sebetulnya , saat aku mendengar bagaimana
kau menangani masalah ini, aku merasa lega. Mana
mungkin aku menyalahkanmu? Akulah yang harus
disalahkan. Maafkanlah aku, tindakanku tidak pada
tempatnya." Meski tidak menundukkan kepala atau
membungkuk, aidit tampaknya ingin segera
mengalihkan pembicaraan.
Namun kemurahan haii aidit tidak diterima
begitu saja oleh ngabehi . aidit menyuruhnya
melupakan semuanya, membiarkan semuanya hanyut
terbawa waktu, namun roman muka ngabehi tidak
memperlihatkan kegembiraan sedikit pun.
"Kelalaian hamba dalam menjalankan perintah
Yang Mulia mungkin berpengaruh pada wibawa Yang
Mulia di lalu hari. Jika Yang Mulia membiarkan
ki pakanewon hidup sebab keraton tidak bersalah dan
sudah berjasa, perkenankanlah anak muda ini mem-
buktikan bahwa dia patut menerima kemurahan hati
Yang Mulia. Kecuali itu, tak ada yang lebih meng-
gembirakan bagi hamba selain menerima perintah
Yang Mulia untuk melakukan sesuatu, guna menebus
kesalahan hamba." ngabehi bicara dari lubuk hati yang
paling dalam. Sekali lagi ia bersujud dan menunggu
tanggapan aidit . Inilah yang diinginkan
aidit sejak awal .
sesudah menerima pengampunan junjungannya
untuk kedua kali, ngabehi berbisik agar ki pakanewon
mengucapkan terima kasih dengan sopan. lalu
ia kembali berpaling pada aidit . "Barangkali ini
terakhir kali Yang Mulia dan hamba bertemu dalam
hidup ini. Hamba berdoa agar keberuntungan di
medan tempur semakin besar bagi Yang Mulia."
"Perkataanmu agak janggal, bukan? Apakah kau
hendak menentang perintahku lagi?" aidit
mendesak ngabehi untuk menjelaskan maksudnya.
"Takkan pernah lagi." ngabehi menggelengkan
kepala, lalu menatap ki pakanewon. "Hamba mohon
Yang Mulia sudi memperhatikan cara berpakaian anak
ini. Dia akan bertolak ke sumberdadi untuk bertempur di
sisi ayahnya. Dia bertekad mengukir nama yang tak
kalah harum dari nama keraton , siap menyerahkan
segalanya pada nasib."
"Apa? Dia mau maju ke medan tempur?"
"keraton centeng adipati tersohor, dan Shojumar
u putra-
nya. Hamba mohon Yang Mulia berkenan memberi-
kan restu padanya. Suatu kebahagiaan tak terhingga l
jika Yang Mulia memerintahkannya berperang dengan
gagah berani."
"namun bagaimana denganmu?"
"Sebagai orang sakit, hamba sangsi bahwa hamba
dapat menambah kekuatan centeng kita, namun rasanya
ini waktu yang baik untuk menyertai ki pakanewon
dalam perjalanan menuju medan laga."
"Sanggupkah kau? Bagaimana dengan kesehatan-
mu?"
"Hamba lahir sebagai centeng adipati , dan meninggal
dengan tenang di tempat tidur amatlah memalukan.
Jika ajal tiba, manusia tak kuasa menolaknya."
"Kalau begitu, pergilah. Aku pun mengharapkan
segala keberuntungan bagi ki pakanewon dalam per-
tempurannya yang pertama." aidit memberikan
isyarat mata kepada pemuda itu, lalu menyerahkan
sebilah pedang pendek buatan ahli senjata terkemuka.
lalu ia menyuruh seorang pengikut mengambil
anggur , dan mereka minum bersama-sama.
TAK seorang pun dapat meramalkan sebelumnya
bahwa ki wirogeni sanggup mempertahankan
benteng kota Miki untuk waktu begitu lama. Sudah tiga
tahun benteng kota itu dikepung, dan selama lebih dari
enam bulan hubungan dengan dunia luar diputus
oleh centeng patih ronggolawe .
centeng patih ronggolawe terkesima setiap kali mengamati
kesibukan dan mendengar suara orang-orang di dalam
benteng kota. Mungkinkah sedang terjadi keajaiban?
Kadang-kadang mereka percaya bahwa musuh
memiliki kekuatan gaib, sehingga masih dapat
bertahan. Mereka terlibat adu ketahanan, dan centeng
penyerang berada di pihak yang kalah. Tak peduli
bagaimana mereka memukul, menghantam, me-
nendang, dan mencekik, musuh mereka tetap tak
berhenti menggeliat.
Jalur perbekalan dan jalur air centeng penjaga
benteng kota berkekuatan 50000 lima ratus orang sudah
terputus. Seharusnya mereka sudah terancam
kelaparan pada pertengahan Bulan Pertama, namun pada
akhir bulan itu benteng kota Miki belum tertaklukkan
juga. Dan kini sudah Bulan Ketiga.
patih ronggolawe menyadari kelelahan centeng nya, namun
memaksa diri untuk menyembunyikan rasa cemas.
Janggut kasar yang tumbuh di dagunya dan matanya
yang cekung merupakan bukti kegelisah khawatir an dan
keletihan akibat pengepungan berkepanjangan itu.
Aku salah perhitungan, patih ronggolawe mengakui dalam
hati. Dari semula aku tahu mereka akan bertahan,
namun aku tak menyangka selama ini. Ia sudah menarik
pelajaran bahwa perang bukan sekadar masalah angka
dan keuntungan logistik.
Semangat orang-orang di dalam benteng kota justru
semakin berkobar. Sama sekali tak ada tanda-tanda
bahwa mereka mungkin menyerah. Bahwa mereka
kehabisan perbekalan, itu tak perlu diragukan. Para
prajurit yang terkepung tentu sudah memakan badak -
badak dan kuda-kuda mereka, bahkan akar-akar pohon
dan rerumpuran. Segala hal yang menurut patih ronggolawe
akan menentukan kejatuhan benteng kota ternyata justru
memperkokoh semangar dan persatuan centeng .
Di Bulan Kelima mereka memasuki musim hujan.
Mereka berada di daerah pegunungan, jadi bersama
hujan yang turun tanpa henti, semua jalan berubah
mirip air terjun, dan selokan-selokan yang
semula kosong kini tergenang air lumpur. Orang-
orang terus tergelincir pada waktu naik-turun gunung.
dan pengepungan yang akhirnya mulai menampak-
kan hasil sekali lagi dimentahkan oleh kekuatan
alam.
Lutut Kursinuhun keraton yang cedera saat ia
melarikan diri dari benteng kota ponorojo tak pernah pulih
benar, dan ia memeriksa barisan depan dari atas
tandu. Setiap kali teringat bahwa ia mungkin akan
pincang seumur hidup, ia selalu memaksakan senyum.
Pada waktu ngabehi melihat kegigihan sahabatnya,
ia melupakan penderitaannya sendiri dan mulai men-
jalankan tugas beratnya. Staf lapangan patih ronggolawe
sungguh ganjil. Kedua resi utamanya, yang ia
hargai bagaikan sepasang permata berkilauan, sama-
sama terganggu kesehatannya. Yang satu menderita
penyakit tak tersembuhkan; yang satu lagi terpaksa
memimpin pertempuran dari atas usungan.
namun bantuan besar yang diberikan kedua laki-laki
itu pada patih ronggolawe tidak berupa kepanjangan akal
semata-mata. Setiap kali ia menatap mereka, hatinya
tergerak oleh perasaan yang luhur dan matanya
berkaca-kaca. ngabehi dan keraton sudah menyatu
dalam jiwa dan raga, dan hanya sebab inilah
semangat centeng tidak goyah. Paling tidak setengah
tahun sudah berlalu, namun kini perlawan an benteng kota
Miki mulai melemah. Seandainya centeng penyerang
tidak dipimpin oleh ngabehi dan keraton , benteng kota
Miki barangkali takkan pernah takluk. lalu
kapal-kapal patih mungkin berhasil menembus
kepungan dan membawa perbekalan, atau centeng
mereka melintasi pegunungan, bergabung dengan
centeng penjaga benteng kota, dan menghancurkan para
penyerbu. Dan riwayat patih ronggolawe akan tamat di
tempat itu juga. Dengan semangat seperti ini, ada-
kalanya patih ronggolawe pun merasa terlampaui oleh
kecerdikan keraton . Setengah berkelakar ia menunjuk-
kan kekagumannya dengan menyebut keraton "si Cacat
Celaka". namun jelas bahwa dalam hati ia sangat
menghormari laki-laki yang begitu diandalkannya itu.
Musim hujan sudah lama berakhir, hkertoarjo panas
musim kemarau pun sudah berlalu, dan kesejukan
musim gugur tiba seiring datangnya Bulan Ke9.
Penyakit ngabehi mendadak bertambah parah, dan kali
ini tampaknya ia takkan pernah lagi mengenakan baju
tempur.
Ah, mungkinkah para dewa akhirnya berpaling
dariku? patih ronggolawe berkeluh kesah. ngabehi terlalu
muda dan terlalu cakap untuk mati. Tak bisakah
takdir memberikan lebih banyak waktu padanya?
patih ronggolawe mengurung diri di pondok tempat
ngabehi terbaring, menemani sahabatnya siang dan
malam, namun malam itu, saat ia dipanggil sebab
urusan penting lainnya, kondisi ngabehi memburuk
dengan cepat. benteng kota-benteng kota musuh di Tatinggi sumbing dan
Gunung aryadwinata terselubung kabut senja. saat
malam tiba, letusan senapan terdengar menggema.
"Tentu saja si Cacat Celaka lagi!" pikir patih ronggolawe .
"Seharusnya dia jangan menerobos barisan musuh
sejauh itu."
patih ronggolawe mencemaskan keselamatan keraton yang
sudah menyerang musuh, namun belum kembali.
Langkah-langkah cepat terdengar mendekat dan ber-
henti di sampingnya. saat ia menoleh, seseorang
sedang bersujud sambil menitikkan air mata.
"ki pakanewon?"
sesudah ki pakanewon tiba di perkemahan di Gunung
tengkorak, ia sudah beberapa kali terjun ke kancah
pertempuran. Dalam waktu singkat ia sudah menjadi
laki-laki dewasa yang gagah perkasa. Kira-kira
sepertinya sebelumnya, saat kondisi ngabehi tampak
memburuk, patih ronggolawe menyuruh ki pakanewon menjaga
ngabehi .
"Aku percaya ngabehi lebih suka jika kau berada di
sampingnya dibandingkan seorang diri. sebetulnya aku
ingin mengurusnya sendiri, namun aku takut kalau dia
merasa menyusahkanku, keadaannya akan semakin
parah."
Bagi ki pakanewon, ngabehi merupakan guru sekaligus
ayah pengganti. Kini ia menunggui ngabehi siang dan
malam tanpa melepaskan baju tempur, mencurahkan
segenap tenaga untuk membuat ramuan obat dan
memenuhi segala kebutuhan ngabehi . ki pakanewon ini-
lah yang mendatangi patih ronggolawe dan menyembah
sambil berlinang air mata. Sesaat dada patih ronggolawe
scrasa ditusuk.
"Kenapa kau menangis, ki pakanewon?" ia menegur
pemuda itu.
"Hamba mohon ampun," ujar ki pakanewon sambil
mengusap-usap mata. "Tuan ngabehi hampir tak
sanggup bicara lagi. Beliau mungkin takkan bertahan
sampai tengah malam. Jika Yang Mulia dapat
meninggalkan pertempuran sejenak, sudikah Yang
Mulia menemui beliau?"
"Saatnya sudah tiba?"
"Ha... hamba kira begitu."
"Itukah yang dikatakan dokter?"
"Ya Tuan ngabehi melarangku menceritakan keada-
an beliau kepada Yang Mulia atau siapa pun di
perkemahan ini, namun dokter dan para pengikut beliau
mengatakan bahwa kepergian beliau dari dunia ini
sudah dekat, dan mereka menyarankan agar Yang
Mulia segera diberitahu."
patih ronggolawe sudah mengambil keputusan. "Shoju-
maru, dapatkah kau menggantikan tempatku di sini
untuk sementara? Kurasa tak lama lagi ayahmu akan
kembali dari medan tempur di Tatinggi sumbing."
"Ayah hamba bertempur di Tatinggi sumbing?"
"Seperti biasa, dia mengatur segala sesuatu dari
tandunya."
"Kalau begitu, perkenankan hamba pergi ke Tatinggi sumbing
untuk menggantikan ayah hamba di sana. Hamba
akan memberitahunya untuk segera menuju ke sisi
Tuan ngabehi ."
"Ucapanmu sungguh gagah! Pergilah, kalau
keberanianmu memang sebesar itu."
"Selama Tuan ngabehi masih bernapas, ayah hamba
tentu ingin berada bersama beliau. Tuan ngabehi tidak
mengatakannya, namun hamba percaya beliau pun ingin
melihat ayah hamba," ki pakanewon berkata dengan
gagah, dan sambil menyambar tombak yang kelihatan
terlalu besar untuknya, bergegas menuju bukit-bukit.
patih ronggolawe berjalan ke arah berlawan an. Semakin
lama langkah-langkahnya semakin panjang. Cahaya
lentera memancar dari salah satu pondok. Di pondok
itulah raden mas ngabehi terbaring, dan tepat pada saat
itu bulan mulai bersinar samar-samar di atas atapnya.
Dokter yang dikirim patih ronggolawe berada di samping
tempat tidur, sama halnya dengan para pengikut
ngabehi . Pondok itu tak lebih dan pagar kayu, namun
kain penutup seprai sudah ditumpuk-tumpuk di atas
tikar jerami, dan di salah satu pojok ada dinding
penyekat yang dapat dilipat.
"ngabehi , kau bisa mendengarku? Ini aku,
patih ronggolawe . Bagaimana keadaanmu?" patih ronggolawe duduk
di sisi sahabatnya, menatap wajahnya di atas bantal.
Mungkin sebab gelap, wajah ngabehi tampak tembus
cahaya, bagaikan permata. Mau tak mau air mata
orang yang melihatnya mulai mengalir. "Bagaimana
mungkin seseorang bisa sekurus ini?" patih ronggolawe ber-
tanya dalam hati. Pemandangannya sungguh memilu-
kan; hati patih ronggolawe serasa diiris-iris.
"Dokter, bagaimana keadaannya?"
Yang ditanya tak sanggup berkata apa-apa.
Kebisuannya menunjukkan bahwa ini hanya masalah
waktu saja, walau sebetulnya patih ronggolawe ingin
mendengar bahwa masih ada harapan.
ngabehi menggeser tangannya. Rupanya ia men-
dengar suara patih ronggolawe , dan sambil membuka mata
sedikit, ia berusaha mengatakan sesuatu pada salah
satu pembantunya, yang lalu membalas. "Yang Mulia
berkenan mengunjungi tuanku..."
ngabehi mengangguk, namun kelihatannya ia resah
mengenai sesuatu. Sepertinya ia minta dibantu duduk.
"Bagaimana?" si pelayan bertanya sambil menatap
Dokter. Dokter itu hampir tak sanggup menjawab ,
namun patih ronggolawe memahami maksud ngabehi .
"Apa? Kau hendak duduk? Mengapa tidak ber-
baring saja?" ia berkata seakan-akan menenangkan
anak kecil. ngabehi menggeleng lemah dan kembali
mengatakan sesuatu kepada para pembantunya. Ia tak
sanggup bicara keras-keras. namun hasratnya terbaca jelas
di matanya yang cekung. Dengan hati-hati mereka
mengangkat bagian atas tubuhnya yang tipis bagaikan
papan, namun saat mereka hendak mendudukkannya,
Hanbd mendorong mereka. Ia menggigit bibir dan
perlahan-tahan turun dari tempat tidur. Tindakan ini
menuntut usaha besar dari seorang laki-laki sakit yang
hanya dengan susah payah dapat menarik napas.
Terkesima oleh apa yang mereka lihat, patih ronggolawe ,
si dokter, dan para pengikut ngabehi hanya dapat
menahan napas dan menonton. Akhirnya, sesudah
merangkak beberapa langkah dari tempat tidur,
ngabehi berlutut di atas tikar jerami, Dengan bahunya
yang lancip, lututnya yang kurus, dan tangannya yang
pucat, ngabehi hampir kelihatan seperti anak
wanita lesbian . Mulutnya terkatup rapat-rapat, dan
sepertinya ia sedang mengatur napas. Akhirnya ia
membungkuk begitu rendah, sehingga badannya
seolah-olah patah.
"Malam ini hamba akan berpisah dengan Yang
Mulia. Sekali lagi hamba harus menunjukkan terima
kasih atas segala kemurahan hati Yang Mulia, yang
hamba peroleh selama bertahun-tahun." lalu ia
terdiam sejenak. "Entah daun-daun gugur atau
bermekaran, hidup atau mati, kalau kita merenung-
kannya, kita akan sadar bahwa warna-warni musim
gugur dan musim semi mengisi seluruh alam semesta.
Hamba merasa dunia ini merupakan tempat yang
menarik. Tuanku, hamba memiliki hubungan karma
dengan tuanku, dan sudah menikmati kemurahan hati
tuanku. Jika hamba memandang ke belakang, tiada
penyesalan dalam diri hamba, selain bahwa hamba tak
sempat berbuai sesuatu untuk tuanku."
Suara ngabehi pelan sckali, namun ucapannya
meluncur dengan lancar. Semua yang hadir duduk
lebih tegak saat melihatlihat keajaiban ini.
patih ronggolawe , terutama, meluruskan punggung, me-
nundukkan kepala, dan dengan kedua tangan di
pangkuan, mendengarkan ngabehi , seakan-akan tak
rela kehilangan sepatah kata pun. Lentera yang
hampir padam akan menyala cerah tepat sebelum
mati. Hidup ngabehi kini seperti itu, sekejap saja. Ia
terus berbicara, penuh hasrat untuk meninggalkan
kata-kata terakhirnya bagi patih ronggolawe .
"Segala kejadian... segala kejadian dan perubahan
yang akan dialami dunia sesudah ini, hamba
bersimpati dengan semuanya. majapahit berada di
ambang perubahan besar. Hamba ingin melihat apa
yang akan terjadi dengan bangsa ini. Inilah yang
tersimpan dalam hati hamba, namun umur yang
dianugerahkan pada hamba tidak memungkinkannya."
Kata-katanya berangsur-angsur bertambah jelas, dan
sepertinya ia berbicara dengan sisa tenaga terakhir.
Sejenak ia berjuang untuk menghirup udara, namun
lalu ia menahan napas agar dapat melanjutkan
ucapannya.
"namun ... tuanku... tidakkah tuanku merasa terpilih
sebab dilahirkan di masa seperti ini? sesudah
mengamati tuanku dengan saksama, hamba tak dapat
menemukan ambisi untuk menjadi penguasa selumh
negeri." ngabehi terdiam sebentar. "Sampai sekarang,
ini suatu kelebihan dan sebagian dari watak tuanku.
sebetulnya tak patut hamba menyinggungnya, namun
saat tuanku menjadi pembawa sandal Yang Mulia
aidit , tuanku melaksanakan tugas itu dengan
segenap hati. sesudah mencapai kedudukan centeng adipati ,
tuanku mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menjalankan tugas-tugas centeng adipati . Tak sekali pun
tuanku menoleh ke atas dan berusaha mencapai
kedudukan lebih tinggi lagi. Yang hamba gelisah khawatir kan
sekarang sesuai dengan sifat tuanku ini tuanku akan
menyelesaikan tugas tuanku di provinsi-provinsi Barat,
atau melaksanakan tugas yang diembankan Yang
Mulia aidit , atau menundukkan benteng kota Miki
tanpa memperhatikan perkembangan dunia maupun
mencari jalan untuk menonjolkan diri."
Suasana hening sekali, seakan-akan tak ada orang
lain di dalam ruangan. patih ronggolawe mendengarkan
uraian ngabehi demikian saksama, hingga seolah-olah
tak dapat menegakkan kepala atau bergerak.
"namun ... kemampuan yang dibutuhkan seseorang
untuk memcgang kendali di zaman seperti ini
merupakan anugerah dari para dewa. Para panglima
perang saling bersaing memperebutkan kekuasaan,
masing-masing mengaku bahwa hanya dirinyalah yang
sanggup membawa fajar baru ke dunia yang dilanda
kekacauan, dan menyelamatkan rakyat dari kesusahan.
namun kramajaya , yang begitu hebat, sudah menemui
ajal. mpu betarakatong dari Kai sudah tiada; Motonari dari
provinsi-provinsi Barat meninggal dunia dengan
pesan agar para penerusnya melindungi warisan
mereka dengan mengenali kemampuan mereka: di
samping itu, baik marga mpu djiwo maupun marga jawa
sudah tertimpa bencana akibat kesalahan sendiri. Siapa
yang akan membawa pemecahan untuk masalah ini?
Siapa yang memiliki kemampuan membentuk budaya
baru untuk era berikut, dan diterima oleh rakyat?
Orang seperti itu lebih sedikit dari jumlah jari di satu
tangan."
patih ronggolawe tiba-tiba menegakkan kepala, dan mata
ngabehi yang cekung tampak menyorot. ngabehi sudah
di ambang maut, dan patih ronggolawe pun tak dapat
memastikan umur yang diberikan padanya, namun
sejenak pandangan mereka beradu.
"Hamba maklum, tuanku tentu bingung men-
dengar ucapan hamba, sebab kini tuanku mengabdi
pada Yang Mulia aidit . Hamba memahami
perasaan tuanku. Tuanku dan Yang Mulia mpu mojosongo tidak
memiliki semangat yang diperlukan untuk men-
dobrak situasi ini, maupun kepercayaan untuk
mengatasi segala persoalan yang muncul sampai
sekarang. Siapa, selain Yang Mulia aidit , yang
sanggup memimpin negeri sejauh ini melalui
kekacauan zaman? namun ini tidak berarti bahwa dunia
sudah diperbarui melalui sepak terjang beliau. Hanya
dengan menundukkan provinsi-provinsi Barat,
menyerang Kyushu, dan berdamai dengan Shikoku,
bangsa ini belum tentu memperoleh kedamaian,
keempat golongan rakyat belum tentu hidup
berdampingan secara harmonis, budaya baru belum
tentu terbentuk, dan landasan untuk kesejahteraan
generasi-generasi berikut pun belum tentu terwuiud."
Rupanya ngabehi sudah merenungkan hal-hal
itu secara mendalam, menelaah semuanya
dengan berpedoman pada kitab-kitab klasik dari kedhiri .
Ia sudah membandingkan pergolakan yang dihadapi
negerinya dengan kejadian-kejadian sejarah, dan sudah
menganalisis gejolak-gejolak di balik situasinya dewasa
ini.
Selama benahun-tahun menjadi anggota staf
lapangan patih ronggolawe , ia sudah memperoleh pandangan
umum mengenai perkembangan majapahit . Namun
kesimpulannya tetap ia rahasiakan. Bukankah
patih ronggolawe "orang berikutnya"? Bahkan di antara para
pengikut patih ronggolawe sendiri, yang siang-malam berada
di dekatnya, yang kadang-kadang melihatnya bersama
istri, berkelakar mengenai urusan sepele, tampak lesu,
dan bicara tak keruan atau yang membandingkan
penampilannya dengan penampilan para pemimpin
marga lain tak ada satu dari sepuluh yang
menganggap junjungannya memiliki bakat alam yang
menonjol. namun ngabehi tidak menyesal sudah
mengabdi di sisi patih ronggolawe atau menghabiskan se-
tengah hidupnya demi kepentingan laki-laki itu. Ia
justru bersukacita sebab para dewa mempertemu-
kannya dengan junjungan seperti itu, dan ia merasa
tidak menyia-nyiakan hidupnya, sampai ke titik
penghabisan.
Jika junjungan ini menjalankan perannya seperti
yang kuduga, dan merampungkan tugas besar yang
menanti di masa mendatang, pikir ngabehi , hidupku
tidak sia-sia. Dengan semangat dan masa depan yang
dimilikinya, secara garis besar angan-anganku dapat
terlaksana. Orang mungkin berkata aku mati muda,
namun aku mati dengan baik.
"Selain itu," ujar ngabehi , "tak ada lagi yang perlu
dikatakan. Hamba mohon tuanku menjaga diri baik-
baik. Percayalah tuanku tak dapat digantikan, dan
berusahalah lebih keras lagi sesudah hamba tiada."
Begitu ngabehi selesai berbicara, dadanya roboh seperti
sepotong kayu busuk. Tak sedikit pun tersisa tenaga di
tangannya yang kurus, yang seharusnya menopang
badannya. Wajahnya membentur lantai, darah segar
mulai menggenangi tikar jerami.
patih ronggolawe melompat maju dan menahan kepala
ngabehi , dan darah yang kini mengalir deras mem-
basahi pakaiannya.
"ngabehi ! ngabehi ! Kau hendak meninggalkan aku?
Kau hendak pergi seorang diri? Apa yang harus
kulakukan di medan tempur kalau kau tak lagi berada
di sisiku?" Ia meratap, menangis sejadi-jadinya, tanpa
memedulikan penampilan maupun reputasinya.
Wajah ngabehi yang pucat tampak letih, kepalanya
bersandar di pangkuan patih ronggolawe . "Mulai sekarang
tuanku tak perlu khkertoarjo tit mengenai apa pun."
Mereka yang lahir pada pagi hari, mati sebelum
malam: dan mereka yang lahir di malam hari, mati
sebelum fajar tiba. Hal ini tidak mutlak men-
cerminkan pandangan ajaran zoroaster mengenai
kefanaan, jadi orang mungkin saja bertanya-tanya.
mengapa justru kematian ngabehi yang melontarkan
patih ronggolawe ke dalam lembah kesedihan. Bagai-
manapun, ia berada di medan perang. Setiap hari
orang tewas bagaikan daun-daun berjatuhan di musim
gugur. namun kesedihannya begitu mendalam, sehingga
orang-orang yang turut berduka pun terperanjat, dan
saat ia akhirnya sadar seperti anak kecil sehabis
meraung-raung dengan hati-hati ia mengangkat tubuh
ngabehi yang dingin dari pangkuan, dan tanpa
bantuan meletakkannya di tempai tidur beralas kain
putih, berbisik-bisik, seakan-akan ngabehi masih
hidup.
"Gagasan-gagasanmu begitu besar. Kalaupun kau
hidup dua atau tiga kali lebih lama dari umur manusia
biasa, mungkin baru setengah dari harapan-
harapanmu yang sempat terpenuhi. Kau tak ingin
mati. Seandainya aku menjadi dirimu, aku pun takkan
mau mati. Betul, ngabehi ? Kau tentu menyesal sebab
begitu banyak hal terpaksa kautinggalkan dalam
keadaan belum rampung, jika seorang jenius seperti
kau lahir ke dunia, dan kurang dari seperseratus
gagasanmu terlaksana, sudah sewajarnya kau tak ingin
mati."
Betapa dalam kasih sayangnya untuk laki-laki itu!
Tak henti-hentinya patih ronggolawe berkeluh kesah di
hadapan jenazah ngabehi . la tidak merapatkan tangan
dan mengucapkan doa, namun permohonannya untuk
ngabehi seakan-akan tanpa akhir.
keraton , yang mengetahui kondisi ngabehi dari
putranya, baru tiba sekarang .
"Terlambatkah aku?" keraton bertanya cemas. Kaki-
nya yang pincang melangkah secepat mungkin. Ia
melihat patih ronggolawe yang duduk dengan mata merah di
sisi tempat tidur, dan tubuh ngabehi yang membujur
kaku, dingin. keraton duduk sambil mengerang,
seolah-olah jiwa-raganya mendadak remuk. keraton
dan patih ronggolawe duduk diam, tanpa berkata -kata, hanya
memandang jasad ngabehi .
Ruangan itu gelap seperti gua, namun tak satu
lentera pun dinyalakan. Kain putih di bawah jenazah
tampak seperti salju di dasar sebuah jurang.
"keraton ," patih ronggolawe akhirnya berkata dengan suara
sarat oleh duka, "ini sungguh memilukan. Aku tahu
ini takkan mudah, namun ..."
keraton tak mampu menjawab . Sepertinya ia pun
tak sanggup berpikir jernih. "Ah, aku tak mengerti.
Enam bulan lalu dia masih sehat. Dan sekarang ..."
sesudah terdiam sejenak, ia melanjutkan seakan-akan
baru sadar, "Ayolah. Apakah kita hanya akan duduk
dan menangis? Kita harus menyapu ruangan dan
memandikan jenazah untuk disemayamkan dalam
kebesaran. Kita harus menyiapkan pemakaman yang
pantas."
Sementara keraton memberikan perintah, Hide-
yoshi menghilang. Dalam cahaya lentera yang ber-
kelap-kelip, saat orang-orang mulai bekerja dengan
kaku, seseorang menemukan sepucuk surat yang
ditinggalkan ngabehi di bawah bantalnya. Surat itu
ditujukan pada keraton , ditulis dua hari sebelumnya.
Mereka mengebumikan ngabehi di Bukit tengkorak.
Tiupan angin musim gugur menambah suasana pilu.
keraton memperlihatkan surat terakhir ngabehi pada
patih ronggolawe . Isinya tidak menyangkut dirinya; ngabehi
menulis mengenai patih ronggolawe , dan rencana-rencana-
nya untuk masa depan. Sebagian surat itu berbunyi
demikian:
Kalaupun tubuhku hancur dan tinggal tulang-belulang di
dalam tanah, jika tuanku tidak melupakan ketulusanku
dan mengenangku walau hanya sesekali, jiwaku akan terus
berembus dan takkan berhenti mengabdi, bahkan dari dalam
liang kubur.
sebab beranggapan bahwa jasa-jasanya tidak
memadai, namun tanpa menyesali kematiannya yang
dini, ngabehi menanti ajal dengan berpegang pada
kepercayaan bahwa ia akan terus mengabdi junjungan-
nya, meski yang tersisa dari dirinya hanyalah tulang-
belulang yang sudah memutih. Kini, pada waktu
patih ronggolawe merenungkan perasaan ngabehi yang paling
dalam, mau tak mau ia menitikkan air mata. Tak
peduli betapa ia berusaha mengujawa diri, ia tak kuasa
membendung tangisnya.
Akhirnya keraton berkata dengan tegas. "Tuanku,
seyogyanya tuanku tidak terus berduka seperti ini.
Hamba mohon tuanku sudi membaca sisa surat
ngabehi dan berpikir dengan kepala dingin. Yang
Mulia ngabehi sudah menuliskan rencana untuk
merebut benteng kota Miki."
Kesetiaan keraton pada patih ronggolawe tak tergoyahkan,
namun dalam situasi sekarang, nada suaranya menunjuk-
kan ketidaksabaran terhadap cara patih ronggolawe mem-
perlihatkan sisi emosional wataknya.
Dalam suratnya, ngabehi meramalkan bahwa
benteng kota Miki akan takluk dalam seratus hari. namun ia
pun mewanti-wanti agar kemenangan jangan diraih
dengan serangan frontal, yang akan membawa banyak
korban di pihak mereka, lalu ia menuliskan rencana
terakhir:
Di benteng kota Miki, tak seorang pun lebih pandai mem-baca
situasi dibandingkan resi Goto Motokuni. Dalam
pandanganku, dia bukan prajurit yang menutup mata
terhadap keadaan negeri dan menunjukkan kegagahannya
dengan bertempur se-cara membabi buta. Sebelum operasi
militer ini dimulai, aku beberapa kali berbincang-bincang
dengannya di benteng kota mendutrejo, jadi dapat dikatakan
bahwa kami sudah menjalin hubungan baik. Aku sudah
mengirim surat padanya, berisi desakan untuk menjelas-
kan keuntungan dan kerugian situasi saat ini kepada
junjungannya, ki wirogeni. Jika Yang Mulia
Nagaharu memahami ucapan Goto, matanya seharusnya
terbuka, dan dia akan menyerah dan memohon damai.
namun agar rencana ini dapat berjalan, kita harus
menunggu saat yang tepat. Menurutku, waktu yang paling
tepat adalah pada akhir musim gugur, saat tanah
tertutup daun-daun kering, bulan tampak sepi dan dingin
di langit, dan para prajurit musuh menundukkan sanak
tauladan. Para prajurit di benteng kota Miki sudah terancam
kelaparan. Mereka pasti sadar bahwa maut sudah
mengintai, dan mereka tentu didera oleh kesengsaraan.
Serangan besar-besaran pada saat itu hanya memberikan
kesempatan yang baik untuk mati pada mereka. namun jika
kau menunda serangan dan, sesudah memberi waktu pada
mereka untuk berpikir dengan kepala dingin, mengirim
surat untuk menjelaskan duduk perkaranya pada yang
Mulia Nagaharu dan para pengikutnya, aku tidak ragu
bahwa kau akan memperoleh hasil dalam tahun ini.
keraton menyadari bahwa patih ronggolawe sangsi, apakah
rencana ngabehi dapai berhasil, dan kini ia me-
nambahkan pemikirannya sendiri.
"sebetulnya sudah dua-tiga kali ngabehi me-
nyinggung rencana ini saat dia masih hidup, namun
selalu ditunda sebab waktunya belum tepat. Dengan
seizin tuanku, hamba setiap saat siap bertugas sebagai
utusan untuk menemui Goto di benteng kota Miki."
"Jangan, tunggu," ujar patih ronggolawe sambil meng-
gelengkan kepala. "Bukankah baru musim semi yang
lalu kita memakai rencana serupa, yaitu mendekati
salah seorang resi di dalam benteng kota melalui
kerabat tanah pinisepuh ? saat itu tak ada jawab an.
Belakangan kita baru mengetahui bahwa pada waktu
orang kita menyarankan ki wirogeni untuk
menyerah, para resi dan prajurit marah dan men-
cincangnya. Rencana yang ditinggalkan ngabehi
sekarang kedengarannya sama saja. bukan? Dan kurasa
memang sama. Kalau tidak ditangani dengan cermat.
kita hanya akan memperlihatkan kelemahan kita dan
tidak meraih keuntungan apa pun."
"Bukan begitu, tuanku. Hamba kira ngabehi justru
menekankan pentingnya menunggu saat yang tepat.
Dan hamba pikir saat itu sudah tiba."
"Kaukira sekarang saat yang tepat?"
"Hamba percaya sepenuhnya." Tiba-tiba mereka men-
dengar suara-suara di luar. Selain suara para resi
dan prajurit yang sudah biasa mereka dengar, juga ada
suara wanita lesbian . Suara itu milik adik ngabehi , Oyu.
Begitu diberitahu bahwa kakaknya berada dalam
kondisi kritis. Oyu bertolak dari trowulan , hanya ditambah
oleh beberapa pembantu. Dengan harapan ia masih
dapat menjumpai ngabehi dalam keadaan hidup, Oyu
bergegas ke Bukit tengkorak, namun semakin dekat ia ke garis
depan, semakin berat medan yang harus ditempuhnya.
Akhirnya ia terlambat.
Di mata patih ronggolawe , wanita lesbian yang kini mem-
bungkuk di hadapannya sudah berubah sama sekali. Ia
menatap pakaian Oyu dan wajahnya yang kurus, dan
lalu , saat ia hendak angkat bicara. keraton dan
para pelayan sengaja menarik diri untuk membiarkan
mereka berdua. Mula-mula Oyu hanya bisa mencucur-
kan air mata, dan untuk waktu lama ia tak sanggup
menatap patih ronggolawe . Selama operasi militer di provinsi-
provinsi Barat berlangsung, Oyu ingin bertemu
dengannya, namun kini, pada waktu berdiri di hadapan-
nya, ia hampir tak sanggup menghampiri laki-laki itu.
"Kau sudah tahu bahwa ngabehi sudah tiada?"
"Sudah."
"Kau harus menerimanya. Tak ada yang dapat kita
lakukan." Hati Oyu runtuh bagaikan salju yang men-
cair, dan ia tersedu sedan sampai tubuhnya ter-
guncang-guncang.
"Hentikan tangismu; ini tak pantas." patih ronggolawe
kehilangan kesabaran. Walau tak ada orang lain yang
hadir, para pernbantu berdiri tepat di luar petak
bertirai, dan ia merasa terpojok saat membayang-
kan apa saja yang mungkin mereka dengar.
"Mari kita pergi ke makam ngabehi bersama-sama,"
ujar patih ronggolawe , dan ia mengajak Oyu menyusuri jalan
setapak di belakang perkemahan, yang menuju
puncak sebuah bukit kecil.
Angin musim gugur bertiup dingin saat mereka
menuju ke sebatang pobon cemara yang tumbuh di
tempat terpencil. Di bawah nya ada gundukan
tanah yang masih basah, berikut batu nisan. Biasanya,
jika ada waktu senggang, selembar tikar digelar di kaki
pohon cemara ini, dan keraton , ngabehi , dan
patih ronggolawe duduk bersama-sama, membahas masa lalu
dan keadaan sekarang, sambil memandang bulan.
Oyu menyingkap semak-semak, mencari kembang
untuk diletakkan di atas makam. lalu ia meng-
hadap gundukan tanah tadi dan membungkuk di
samping patih ronggolawe . Air matanya sudah berhenti. Di
puncak bukit ini, rerumpuran dan pepohonan di
akhir musim gugur memperlihatkan bahwa keadaan
yang dihadapinya sekarang merupakan prinsip alam.
Musim gugur berganti dengan musim dingin, musim
dingin berganti dengan musim semi alam tak
mengenal duka maupun air mata.
"Tuanku, hamba ada permintaan, dan hamba ingin
menanyakannya di sini, di tempat kakak hamba ter-
baring."
"Ya?"
"Barangkali sanubari tuanku dapat memahaminya."
"Aku memahaminya."
"Hamba mohon tuanku sudi membiarkan hamba
pergi. Jika tuanku berkenan meluluskan permohonan
ini, hamba tahu bahwa kakak hamba akan merasa
lega, walau sudah berada di akhirat."
"ngabehi meninggal dengan pesan bahwa jiwanya
tetap akan mengabdi dari liang kubur. Bagaimana
mungkin aku bisa menutup mata terhadap sesuatu
yang dicemaskannya saat dia masih hidup? Ikutilah
kata hatimu."
"Terima kasih. Dengan seizin tuanku, hamba akan
berusaha memenuhi permintaannya yang terakhir."
"Ke manakah kau hendak pergi ?"
"Ke sebuah kuil di salah satu desa terpencil." Sekali
lagi Oyu meitikkan air mata.
sesudah memperoleh restu dari patih ronggolawe , Oyu
menerima sejumput rambut dan pakaian ngabehi .
Tak sepantasnya seorang wanita lesbian berlama-lama di
perkemahan militerer, jadi keesokan harinya Oyu
segera menghadap patih ronggolawe dan memberitahunya
bahwa ia sudah siap berangkat.
"Hamba datang untuk berpamitan. Hamba mohon
Yang Mulia mau menjaga diri baik-baik," katanya.
"Kenapa kau tidak tinggal dua atau tiga hari lagi di
sini?" tanya patih ronggolawe .
Selama beberapa hari berikut Oyu tinggal seorang
diri di sebuah pondok terpencil, berdoa bagi arwah
kakaknya. Hari demi hari berlalu tanpa kabar dari
patih ronggolawe . Gunung-gunung sudah diselubungi bunga
es. Setiap kali turun hujan di awal musim dingin ini,
daun-daun berguguran. lalu , pada malam
pertama bulan tampak jelas, seorang pelayan men-
datangi Oyu dan berkata, "Yang Mulia ingin bertemu,
dan beliau menunggu Tuan Putri di makam Tuan
ngabehi . Beliau juga minta agar Tuan Putri malam ini
bersiap-siap berangkat."
Persiapan Oyu untuk menempuh perjalanan tidak
banyak. Ia menuju makam ngabehi ditambah Kumaraden karto
dan dua pembantu lainnya. Pohon-pohon sudah
kehilangan daun. Rerumputan pun layu. Seluruh
bukit tampak gersang. Tanah kelihatan putih dalam
cahaya bulan, seakan-akan dilapisi bunga es.
Salah satu dari keenam pengikut yang menyertai
patih ronggolawe mengumumkan kedatangan Oyu.
"Terima kasih atas kedatanganmu, Oyu," patih ronggolawe
berkata dengan lembut. "Sejak pertemuan kita yang
terakhir, aku begitu sibuk menangani masalah-masalah
militer, sehingga tak sempat mengunjungimu. Akhir-
akhir ini udara sangat dingin, kau tentu kesepian."
"Hamba sudah bertekad menghabiskan sisa hidup
hamba di sebuah desa terpencil, jadi hamba takkan
kesepian."
"Kuharap kau berdoa untuk arwah ngabehi . Tempat
mana pun yang kaupilih sebagai tempat tinggal, aku
tetap percaya bahwa kita akan berjumpa lagi,"
patih ronggolawe berpaling pada makam ngabehi di bawah
pohon cemara. "Oyu, aku sudah menyiapkan sesuatu
untukmu di sana. Aku sangsi apakah aku akan
mendengar kemerduan koto-mu lagi. sesudah malam
ini. Bertahun-tahun lalu, kau menyertai ngabehi dalam
pengepungan benteng kota lawangpitu di blambangan . Kau me-
mainkan koto dan mencairkan hati para prajurit yang
bertempur bagaikan iblis, sehingga mereka akhirnya
menyerah. Kalau kau mau memainkannya sekarang,
permainanmu akan merupakan persembahan bagi
arwah ngabehi , sekaligus kenang-kenangan bagiku.
Selain itu, jika nada-nadanya terbawa angin sampai ke
benteng kota, para prajurit musuh mungkin akan tergugah
untuk menyadari bahwa kematian mereka kini sia-sia
belaka. ngabehi pun akan bersukacita seandainya
usaha ini berhasil."
patih ronggolawe mengajak Oyu ke pohon cemara, tempat
sebuah koto disiapkan di tikar jerami.
sesudah menghadap pengepungan selama tiga tahun
dengan segenap keberanian dan ketulusan, kegagahan
para prajurit provinsi-provinsi Barat, yang memandang
rendah pada orang lain, kini tinggal bayang-bayang.
"Aku tak peduli apakah aku mati hari ini atau
besok, asal tidak mati kelaparan," salah satu dari
mereka berkata.
Keadaan mereka demikian parah, sehingga mati
dalam pertempuran merupakan harapan terakhir
yang masih tersisa. Penampilan mereka masih seperti
manusia, namun kini mereka merasa terpaksa meng-
isap-isap sumsum tulang kuda-kuda yang sudah mati
dan makan tikus, kulit pohon, dan akar-akaran.
Untuk musim dingin yang sudah di ambang pintu,
mereka sudah siap merebus tikar-tikar tatami dan
makan tanah liat yang menempel di dinding-dinding.
Dengan mata cekung, mereka saling menghibur, dan
semangat mereka masih cukup guna menyusun
rencana untuk melewati musim dingin sebaik
mungkin. Jika musuh mendekat, mereka bahkan
sanggup melupakan rasa lapar dan lelah, dan keluar
untuk bertempur.
Namun sudah lebih dari setengah bulan para
prajurit patih ronggolawe tidak mendekati benteng kota, dan ini
lebih menyiksa centeng yang bertahan dibandingkan
bayangan kematian. Pada waktu matahari terbenam,
seluruh benteng kota diselubungi kegelapan pekat bagaikan
di dasar rkertoarjo . Tak satu lentera pun dinyalakan.
Seluruh persediaan minyak ikan dan minyak lobak
sudah dihabiskan. Sebagai makanan. Banyak burung
yang biasa berkerumun di pekarangan benteng kota pada
pagi dan malam hari sudah ditangkap dan disantap,
dan belakangan ini burung-burung yang masih tersisa
tak pernah datang lagi, mungkin sebab mengetahui
nasib yang menanti mereka. Para prajurit sudah
makan begitu banyak burung gagak, sehingga hampir
tak ada lagi yang dapat mereka tangkap. Di tengah
kegelapan, mata para penjaga berbinar-binar kalau
mendengar musang menyelinap. Secara naluri, cairan
lambung mereka mulai mengalir, dan mereka saling
berpandangan sambil menyeringai. "Perutku serasa
diperas, seperti lap basah."
Bulan malam itu tampak indah, namun para prajurit
hanya mcnyayangkan bahwa bulan tak dapat dimakan.
Daun-daun mati berjatuhan ke atap benteng kota dan di
sekitar gerbang. Salah satu prajurit mengunyah daun-
daun itu dengan rakus,
"Enak?" rekannya bertanya.
"Lebih baik dibandingkan jerami," jawab prajurit itu, lalu
memungut daun berikut. Mendadak ia tampak mual.
batuk beberapa kali, dan memuntahkan daun-daun
yang baru saja dimakannya.
"resi Goto!" seseorang tiba-tiba berseru, dan
semuanya berdiri tegak. Goto Motokuni, pengikut
utama marga Bessho, berjalan ke arah para prajurit
tadi dari menara yang gelap gulita.
"Ada yang perlu dilaporkan?" Goto bertanya.
"Tidak ada, Yang Mulia."
"Betulkah?" Goto memperlihatkan sebatang panah
pada mereka. "Panah ini ditembakkan ke dalam
benteng kota oleh musuh tadi. Sepucuk surat terikat pada
panah ini, berisi pesan agar aku menemui salah satu
resi Yang Mulia patih ronggolawe , Kursinuhun keraton , di
sini."
"keraton mau datang malam ini! Laki-laki yang
mengkhianati junjungannya demi orang-orang sinuhun .
Dia tak pantas menjadi centeng adipati . Kalau dia muncul.
kami akan menyiksanya sampai mati."
"Dia utusan Yang Mulia patih ronggolawe , dan tidak
seharusnya kita membunuh orang yang sudah mem-
berita bukan kedatangannya lebih dahulu . Di kalangan
centeng adipati berlaku kesepakatan bahwa utusan tak boleh
dibunuh."
"resi musuh mana pun yang datang. Sebagai
utusan akan kami perlakukan dengan baik, asal bukan
keraton . namun dengan keraton , rasanya belum cukup
kalau kami menggerogoti daging dari tulang-tulang-
nya."
"Jangan perlihatkan perasaan kalian pada musuh.
Tertawa lah pada waktu kalian menyambutnya."
saat Goto memandang ke dalam kegelapan, ia
dan pihak anak buahnya seakan-akan mendengar
bunyi sayup-sayup di kejauhan.
Sesaat benteng kota Miki diliputi keheningan yang
ganjil. Di malam yang sepekat tinta, rasanya tak
seorang pun sanggup menarik napas, sementara daun-
daun gugur berputar-putar dan menari-nari tak
beraturan dalam suasana gaib.
"Suara kotor," salah satu prajurit berkata sambil
menatap kehampaan di atasnya.
Kegembiraan mereka hampir meluap saat men-
dengar bunyi yang membangkitkan kerinduan itu.
Orang-orang di menara pengintai, di ruang jaga, dan
di setiap bagian benteng kota memiliki pikiran yang sama.
Di bawah hujan panah, tembakan senapan, dan
teriakan perang dari fajar sampai senja, dan dari senja
sampai fajar orang-orang yang sudah tiga tahun
berada di dalam benteng kota, terputus dari dunia luar,
tetap bertahan dengan gigih, tanpa menyerah maupun
mundur. Kini suara kotor tiba-tiba membangkitkan
berbagai pikiran dalam benak masing-masing.
Tanah Leluhur,
Sudikah kau menanti
Laki-laki yang tidak tahu
Apakah malam ini
Malam terakhir baginya
Inilah sajak kematian Kikuchi Takejayawisesa , resi
setia pengikut Gsinuhun igo, yang dikirim kepada istrinya
saat ia dikepung centeng pemberontak.
saat orang-orang di dalam benteng kota merenungkan
sajak itu dalam hati, para prajurit yang berada jauh
dari rumah tentu ada yang memikirkan ibu, anak,
kakak, dan adik yang sudah lama tidak terdengar
kabarnya. Dan para prajurit yang tak lagi memiliki
tempat pulang pun ikut terpengaruh oleh perasaan
yang muncul akibat nada-nada koto itu. Tak seorang
pun sanggup membendung air matanya.
Dalam hati Goto merasakan hal yang sama seperti
anak buahnya, namun saat melihat roman muka para
prajurit di sekelilingnya, ia cepat-cepat menahan diri.
Ia sengaja bersikap ceria saat menegur mereka.
"Apa? Bunyi koto dari perkemahan musuh? Dasar!
Untuk apa mereka membawa koto? Ini membuktikan
betapa lemahnya para prajurit musuh. Mereka tentu
lelah sebab pengepungan berkepanjangan ini, lalu
mengambil pesinden dari salah satu desa dan berusaha
menghibur diri. Prajurit yang membiarkan semangat-
nya begitu goyah tak patut diampuni. Jiwa prajurit
sejati tidak selemah itu!"
Ucapannya membuyarkan lamunan para anak
buahnya.
"dibandingkan memperhatikan kebodohan seperti int.
lebih baik masing-masing orang menjaga posnya
sendiri. Sebuah benteng kota mirip tanggul yang
menahan terjangan air lumpur. Tanggulnya panjang
dan meliuk-liuk, namun kalau satu bagian saja ambruk.
keseluruhannya akan runtuh. Kalian semua seharus-
nya berdiri tegak, bahu-membahu, tak bergerak
bahkan saat ajal tiba. Kalau salah seorang dari kalian
meninggalkan tempatnya, sehingga benteng kota Miki
jatuh ke tangan musuh, leluhurnya akan meratap di
akhirat dan keturunannya akan menanggung aib dan
menjadi bahan tertawa an."
Goto sedang membangkitkan semangat anak buah-
nya saat ia melihat dua atau tiga orang berlari ke
benteng kota. Mereka segera memberitahunya bahwa
resi musuh yang kedatangannya sudah diumumkan
sudah sampai di pagar kayu runcing di kaki bukit.
keraton tiba, diusung tandu. Tandunya ringan, ter-
buat dari kayu, jerami, dan bambu. Tak ada atap, dan
kedua sisinya rendah, ia sudah terbiasa mengayun-
ayunkan pedang dari atas tandu jika menggempur
musuh dalam pertempuran. namun malam ini ia datang
dengan maksud damai sebagai utusan.
Di atas jubah tipis berwarna kuning. keraton me-
makai baju tempur dan mantel dengan sulaman perak
di atas dasar putih. Untung saja pertemananya kecil,
sekitar seratus lima puluh tiga senti dan lebih ringan
dari rata-rata, sehingga orang-orang yang menggotong
tandunya tidak keberatan dan gerak-geriknya sendiri
tidak terlambat.
Tak lama lalu terdengar suara langkah dari
batik gerbang di pagar pertahanan. Sejumlah prajurit
dari benteng kota berlari menuruni lereng bukit.
"Tuan Utusan. Tuan diperkenankan masuk!"
mereka berseru. Begitu keraton mendengar seruan
keras itu, gerbang di hadapannya membuka. Dalam
kegelapan ia melihat sekitar seratus prajurit saling ber-
desakan. Setiap kali mereka bergerak-gerak, kilau
lombak-tombak mereka seakan-akan menusuk mata-
nya.
"Maaf kalau kedatanganku merepotkan," keraton
berkata pada orang yang mempersilakannya masuk.
"Aku pincang, jadi aku terpaksa memakai tandu.
Maafkanlah sikapku yang kurang pantas ini,"
lalu ia berpaling dan berkata kepada putranya,
ki pakanewon, satu-satunya orang yang ikut ditambah nya.
"Kau jalan di depan."
"Baik." sesudah melewati tandu ayahnya, ki pakanewon
menerobos barisan tombak musuh.
Keempat pengusung mengikuti langkah Shoju-
maru. saat melihat ketenangan yang diperlihatkan
anak berusia tiga belas tahun itu dan ayahnya yang
pincang, para prajurit benteng kota Miki yang haus darah
dan kelaparan tak bisa marah, walaupun mereka ber-
hadapan dengan musuh. Kini mereka paham bahwa
pihak musuh memiliki keteguhan dan kegigihan yang
sebanding dengan keteguhan dan kegigihan mereka
sendiri, sehingga sebagai sesama prajurit, mereka
bersimpati dengan para utusan. Anehnya, keraton dan
ki pakanewon bahkan menggugah perasaan mereka.
sesudah melewati pagar pertahanan dan gerbang
benteng kota, keraton dan putranya tiba di gerbang utama,
tempat Goto dan centeng pilihannya menunggu
dengan acuh tak acuh.
Sekarang aku mengerti bagaimana benteng kota Miki di-
pertahankan oleh orang-orang ini, pikir keraton .
benteng kota ini takkan runtuh, walaupun mereka
kehabisan perbekalan. Mereka akan bertahan, tanpa
memedulikan harga yang harus mereka bayar. keraton
melihat bahwa semangat tempur orang-orang itu tidak
berkurang sedikit pun, dan beban tanggung jawab nya
terasa semakin berat. Perasaan ini segera berubah
menjadi keprihatinan mendalam atas situasi yang di-
hadapi patih ronggolawe . Tanpa bersuara keraton mengulangi
ikrarnya di dalam hati. Entah bagaimana caranya, namun
misi yang diembankan padaku harus berhasil.
Goto dan para anak buahnya terkejut oleh sikap
utusan yang mendatangi mereka. Inilah resi
centeng penyerang, namun orang itu tidak menatap
mereka dengan angkuh. Ia malah hanya ditambah
seorang pemuda tampan. Bukan itu saja; saat
keraton menyapa Goto, ia cepat-cepat minta tandunya
diturunkan, dan dengan berdiri di atas kedua kaki,
menyapanya sambil tersenyum.
"resi Goto, aku Kursinuhun keraton , dan aku datang
sebagai utusan Yang Mulia patih ronggolawe . Aku merasa
tersanjung bahwa semua orang keluar untuk
menyambutku."
keraton sama sekali tidak bersikap tinggi hati.
Sebagai utusan musuh, ia memberi kesan yang sangat
baik. Ini mungkin sebab ia mendekati mereka dari
hati ke hati, tanpa memedulikan menang atau kalah,
dengan pengertian bahwa ia dan para musuhnya sama-
sama centeng adipati . Namun alasan ini belum cukup untuk
memaksa pihak musuh menerima tujuan kedatangan-
nya, yaitu membujuk mereka untuk menyerah. Sekitar
satu jam keraton berbicara dengan Goto di salah satu
ruangan di benteng kota yang gelap gulita, lalu bangkit dari
tempat duduknya sambil berkata, "Baiklah, aku akan
menunggu jawaban pasti Tuan."
"Aku akan memberikan jawaban pasti sesudah berunding
dengan Yang Mulia Nagaharu dan para resi lain,"
ujar Goto, dan ikut berdiri. Dengan demikian, pem-
bicaraan malam itu memberi kesan bahwa hasil
negosiasi melebihi harapan keraton dan patih ronggolawe
namun lima hari berlalu, lalu tujuh, sepuluh, dan
belum juga ada jawaban pasti dari benteng kota. Bulan Kedua
Belas datang dan pergi, dan kedua centeng yang
bertikai menyongsong Tahun Baru ketiga dari
pengepungan. Di perkemahan patih ronggolawe , para
prajurit masih memiliki nasi untuk dimakan dan
sedikit anggur untuk diminum, namun mereka tak dapat
melupakan bahwa orang-orang di dalam benteng kota
tidak memiliki perbekalan dan hanya dengan
susah payah menyambung nyawa . Sejak misi keraton di
Bulan Kesebelas, benteng kota Miki tenggelam dalam
kesedihan dan kesunyian. Konon para prajuritnya
bahkan kehabisan peluru untuk menembak centeng
penyerang. Namun patih ronggolawe tetap menunda serbuan
besar-besaran, dan berkata, "Barangkali mereka
takkan bertahan lebih lama lagi."
Kalau pengepungan ini dipandang sekadar sebagai
adu ketahanan, posisi yang kini ditempati patih ronggolawe
tak dapat dinamakan sulit atau tidak menguntungkan.
Namun sebetulnya perkemahan di Bukit tengkorak
maupun posisi patih ronggolawe bukan bagian dari per-
juangannya sendiri. Pada dasarnya, ia menggempur
salah satu mata rantai persekutuan musuh yang terdiri
atas orang-orang yang menentang supremasi Nobu-
naga, dan ia sendiri tak lebih dari perpanjangan
tangan aidit yang mencari lubang untuk men-
dobrak barisan musuh yang mengelilinginya. sebab
itu, lambat laun aidit mulai bertanya-tanya
mengenai operasi militer di provinsi-provinsi Barat
yang tak kunjung berakhir.
Dan musuh-musuh patih ronggolawe dalam staf lapangan
aidit mulai mempertanyakan pilihan aidit
dalam menentukan komandan. Mereka berkilah
bahwa sejak semula tanggung jawab ini terlalu berat
bagi patih ronggolawe .
Untuk membuktikan perasaan mereka saingan-
saingan patih ronggolawe menuduh bahwa ia menghambur-
hamburkan uang militer untuk meraih popularitas di
kalangan rakyat setempat, atau ia tidak tegas melarang
anggur di perkemahan sebab takut memancing antipati
para prajurit. namun apa pun yang dipertanyakan oleh
para saingannya, segala urusan sepele yang tak pantas
sampai di telinga aidit terdengar juga di madukara
dan dimanfaatkan untuk memfitnah patih ronggolawe .
Namun patih ronggolawe tak pernah memedulikan
gunjingan mengenai dirinya. Tentu saja ia pun
manusia biasa yang memiliki perasaan seperti semua
orang lain, dan ia juga bukannya tidak mengetahui
desas-desus yang beredar: ia hanya tak mau dipusing-
kan oleh hal-hal seperti ini.
"Urusan sepele setiap urusan sepele," ia biasa ber-
kata: "Kalau diselidiki, semuanya akan jelas dengan
sendirinya." Satu-satunya hal yang membebani
pikirannya adalah komplotan penentang aidit
yang bertambah kuat setiap hari. Marga patih yang
memiliki kekuatan besar sedang membenahi,
menyusun rencana dengan pihak ronggodwijoyo , ber-
hubungan dengan marga mpu ireng dan Hojo yang jauh
di Timur, dan menghasut marga-marga di pesisir laut
majapahit . Kekuatan mereka dapat dipahami dengan
mengkaji posisi dimasireng di benteng kota ponorojo ,
yang walau dikepung oleh centeng utama aidit .
belum juga berhasil ditaklukkan.
sebetulnya yang diandalkan Murashige dan
marga Bessho bukanlah kekuatan mereka sendiri,
maupun kekokohan tembok-tcmbok pertahanan
scmata-mata. Tak lama lagi centeng patih akan datang
membantu! Sebentar lagi aidit akan kalah! Inilah
yang memicu semangat mereka tetap tegak. Pada
umumnya, masalah paling berat bukan musuh yang
berhadap-hadapan langsung dengan aidit , me-
lainkan musuh yang menunggu dalam bayang-bayang.
Pihak ronggodwijoyo dan patih memang musuh
aidit , namun dimasireng di ponorojo dan Bessho
Nagaharu di benteng kota Miki-lah yang secara langsung
merintangi ambisinya.
Malam itu patih ronggolawe tiba-riba memutuskan untuk
menyalakan api unggun. Ia sedang melawan udara
malam yang dingin, saat ia berbalik dan melihat
para pelayan muda yang riang berdiri di dekat api.
Mereka setengah telanjang dan meributkan sesuatu
yang rupanya lucu bagi mereka.
"Sakichi! ki pakanewon! Ada apa dengan kalian
berdua?" tanya patih ronggolawe , hampir iri akan kegembira-
an mereka.
"Tidak ada apa-apa." jawab ki pakanewon, yang baru-
baru ini diangkat sebagai pelayan pribadi. Cepat-cepat
ia berpakaian dan merapikan baju tempumya.
"Tuanku." Sakichi menyela. "ki pakanewon malu hati
mengemukakan masalah pada tuanku, sebab
memang menjijikkan. namun hamba akan angkat bicara,
scbab kalau kami tidak memberitahukannya, tuanku
tentu akan curiga."
"Baiklah. Apa yang sedemikian menjanjikan se-
hingga ki pakanewon harus malu?"
"Kami saling mencari kutu."
"Kutu?"
"Ya. Mula-mula salah satu dari kami menemukan
seekor merayap di kerah baju hamba, lalu Toranosuke
memperoleh seekor lagi di dengan baju Sengoku.
Akhirnya semua berkata bahwa yang lain terserang
kutu, dan di tengah-tengah seloroh itu, saat kami
datang ke sini untuk menghangatkan badan di dekat
api, kami menemukan kutu merayap pada baju
tempur semua orang. Sekarang kami mulai merasa
gatal-gatal, jadi kami akan membantai seluruh centeng
musuh. Kami akan melakukan pembasmian, persis
seperti saat Gunung brahma dibumihanguskan!"
"Begitukah?" patih ronggolawe tertawa . "Rasanya kutu-kutu
pun letih sebab terus dikepung."
"namun situasi kami berbeda dengan benteng kota Miki.
Kutu-kutu ini tidak kekurangan perbekalan, jadi kalau
kami tidak membakar semuanya, mereka takkan
pernah menyerah."
"Cukup. Sekarang aku pun mulai terserang gatal-
gatal."
"Sudah lebih dari sepuluh hari tuanku tidak mandi.
bukan? Hamba percaya tuanku pun tengah menghadapi
serangan gerombolan 'musuh'!"
"Cukup, Sakichi!" Seakan-akan hendak menambah
kegembiraan para pelayan, patih ronggolawe bergegas meng-
hampiri mereka dan mengguncang-guncangkan badan
Sebagai bukti bahwa bukan mereka saja yang
mengatasi masalah kutu.
Tiba-tiba seorang prajurit mengintip dari luar
kemah. "Apakah Tuan ki pakanewon ada di sini?"
"Ya, aku di sini," balas ki pakanewon. Prajurit itu salah
satu pengikut ayahnya.
"Kalau Tuan tidak sedang sibuk melaksanakan
tugas, ayah Tuan ingin bertemu."
ki pakanewon minta izin pada patih ronggolawe . sebab
permintaan ini kurang lazim, patih ronggolawe tampak
terkejut, namun cepat-cepat memberikan persetujuannya.
ki pakanewon segera pergi, ditambah oleh pengikut
ayahnya. Api unggun menyala di mana-mana, dan
semua kesatuan sedang bergembira ria. Mereka
sudah kehabisan makanan dan anggur , namun sebagian
suasana Tahun Baru masih terasa. Malam ini
menandai hari kelima belas di Bulan Pertama. Ayah
ki pakanewon tidak berada di perkemahan. Tanpa
mengindahkan hkertoarjo dingin, ia duduk di sebuah
kursi, di puncak bukit yang jauh dari barak-barak
darurat.
Tak ada perlindungan dari terpaan angin dingin
yang menusuk-nusuk kulit dan hampir membuat
darah berhenti mengalir. namun keraton hanya me-
mandang ke dalam kegelapan. scolah-olah ia sebuah
patung prajurit yang terbuat dari kayu.
"Ayah, aku sudah datang."
keraton hanya bergerak sedikit saat ki pakanewon
melangkah ke sampingnya dan berlutut.
"Kau sudah memperoleh izin dari majikanmu?"
"Sudah, dan aku segera datang."
"Kalau begitu, temani aku duduk di sini sejenak"
"Baik."
"Perhatikan benteng kota Miki. Bintang-bintang ter-
selubung awan dan tak satu lentera pun menyala di
dalam benteng kota, jadi kau mungkin tidak melihat apa-
apa. namun kalau matamu sudah terbiasa dengan
kegelapan ini, benteng kotanya akan tampak samar-samar."
"Untuk inikah aku diminta datang?"
"Ya," ujar keraton , sambil memberikan tempat
duduknya pada putranya. "Selama dua atau tiga hari
terakhir aku mengamati benteng kota, dan entah kenapa
aku memperoleh kesan bahwa sedang terjadi sesuatu di
dalamnya. Sudah setengah tahun kita tidak melihat
asap, namun sekarang ada sedikit, dan ini mungkin
membuktikan bahwa hutan kecil yang mengelilingi
benteng kota satu-satunya rintangan yang menghalangi
pandangan dari luar sedang ditebang dan dipakai
Sebagai kayu bakar. Kalau kau pasang telinga saat
malam sudah larut, kau akan merasa mendengar suara-
suara, namun sulit untuk mengatakan apakah itu suara
tangis atau tawa . Pokoknya, selama Tahun Baru sudah
terjadi sesuatu yang tidak biasa di dalam benteng kota."
"Ayah percaya?"
"sebetulnya tidak ada perubahan nyata, dan kalau
aku ternyata keliru namun sudah keburu mengumum-
kannya, orang-orang kita mungkin menjadi tegang
dengan sia-sia. Itu mungkin merupakan kesalahan
serius yang dapat menimbulkan saat lengah, dan
kelengahan ini bisa saja dimanfaatkan oleh pihak
musuh. Tidak, aku hanya duduk di sini memandangi
benteng kota pada malam kemarin dan malam sebelumnya,
dan aku merasa sedang terjadi sesuatu. Bukan
memandang dengan mata kepala, melainkan dengan
mata batin."
"Itu sulit sekali."
"Ya, memang sulit, namun bisa juga dianggap mudah.
Kau tinggal menenangkan hati dan mengosongkan
batinmu. sebab itulah aku tak bisa memanggil para
prajurit lain. Kuminta kau duduk di sini dan meng-
gantikanku untuk beberapa waktu."
"Aku paham."
"Jangan sampai tertidur. Kau memang diterpa angin
dingin, namun sesudah terbiasa, kau akan mengantuk."
"Aku takkan melakukan kesalahan."
"Satu hal lagi. Segera lapor pada resi -resi Iain
begitu kau melihat api di dalam benteng kota, walau hanya
sekilas. Dan kalau kau melihat prajurit musuh me-
ninggalkan benteng kota, nyalakan sumbu cerkertoarjo t, lalu lari
menghadap Yang Mulia."
"Baik."
ki pakanewon mengangguk sambil menatap panah api
yang tertancap di tanah di depannya. Situasinya
lumrah untuk medan tempur, namun tak sekali pun
ayahnya bertanya, apakah tugas itu berat atau
menyiksa, dan keraton pun tidak berusaha menenang-
kan anak itu. Namun ki pakanewon memahami bahwa
ayahnya selalu berusaha menurunkan ilmu
kemiliterannya, sesuai situasi yang tengah dihadapi.
ki pakanewon merasakan pancaran kehangatan, bahkan
dari balik sikap ayahnya yang teramat serius, dan ia
menganggap dirinya sangat beruntung.
keraton meraih tongkatnya, dan sambil terpincang-
pincang menuju ke arah barak-barak. namun ia tidak
memasuki perkemahan, melainkan terus menuruni
gunung seorang diri. Dengan cemas para pem-
bantunya bertanya ke mana ia hendak pergi .
"Ke bukit-bukit di bawah ," keraton menjawab
singkat, dan walaupun harus bertopang pada
tongkatnya, ia mulai menuruni jalan setapak dengan
langkah yang hampir dapat dikatakan ringan. Orang-
orang yang semula menyertai keraton , patih Tahei dan
Kuriyama Zensuke, segera menyusulnya.
"Tuanku!'' patih memanggil. "Tunggu!"
keraton berhenti, memegang tongkat, dan menoleh
ke arah mereka. "Rupanya kalian berdua?"
"Hamba tercengang melihat kelincahan tuanku,"
ujar patih, tersengal-sengal. "Dengan kaki tuanku yang
cedera, hamba gelisah khawatir tuanku akan celaka."
"Aku sudah tcrbiasa berjalan dengan kakiku yang
pincang," keraton menampik sambil tertawa . "Aku
hanya jatuh kalau aku mcmikirkan kakiku saat aku
melangkah. Belakangan ini aku bisa bergerak lebih
bebas. namun aku tak ingin memamerkannya."
"Tuanku sanggup melakukannya di tengah-tengah
pertempuran?"
"Kurasa tandu lebih baik untuk medan perang.
Dalam pertempuran jarak dekat pun aku bebas meng-
genggam pedang dengan kedua tangan atau merebut
tombak musuh. Satu-satunya hal yang tak dapat
kulakukan hanyalah berlari maju-mundur. Jika aku
duduk di tandu dan melihat gelombang prajurit
musuh siap menerjang, aku dikujawa oleh gejolak tak
tertahankan. Rasanya seolah-olah musuh akan
mundur hanya dengan mendengar suaraku."
"Ah, namun keadaan sekarang sangat berbahaya.
Bagian-bagian tebing yang terlindung dari matahari
masih disdimuti salju, dan tuanku mungkin tergelincir
dalam arus salju yang mencair."
"Di bawah sana ada sungai, bukan?"
"Perkenankan hamba menggendong tuanku ke
seberang." patih menawarkan punggungnya.
keraton digotong menyeberangi sungai. Ke mana-
kah mereka hendak pergi ? Kedua pengikut keraton
tak punya bayangan sama sekali. Beberapa jam
sebelumnya, mereka melihat seorang prajurit datang
dari pagar pertahanan di kaki gunung dan menyerah-
kan sesuatu yang tampak seperti surat pada keraton ,
dan tak lama lalu , mereka tiba-riba disuruh
menyertai keraton , namun tidak memperoleh keterangan
lebih lanjut.
sesudah perjalanan lumayan jauh, Kuriyama mulai
menyinggungnya. "Tuanku, apakah komando pos jaga
di kaki gunung mengundang tuanku malam ini?"
"Apa? Kaukira kita diundang makan?" keraton
terkekeh-kekeh. "Kaupikir perayaan Tahun Baru tak
ada habis-habisnya? Bahkan Yang Mulia patih ronggolawe
pun sudah tidak lagi mcngadakan upacara minum
teh."
"Kalau begitu, ke manakah kita pergi ?"
"Ke pagar pertahanan di tepi Sungai Miki."
"Pagar pertahanan di tepi sungai? Itu tempat
berbahaya!"
"Tentu saja berbahaya. namun pihak musuh juga
menganggapnya begitu. Di situlah kedua perkemahan
bertemu."
"Hmm, bukankah lebih baik kalau kita membawa
lebih banyak orang?"
"Tidak perlu. Pihak musuh pun tidak membawa
rombongan besar. Kurasa kita hanya akan menemui
seorang pembantu dan seorang anak kecil."
"Anak kecil?"
"Benar."
"Hamba tidak mengerti."
"Ikut sajalah. Dan jangan ribut. Aku bukannya tak
mau memberi tahu kalian, namun untuk sementara lebih
baik kalau urusannya tetap kurahasiakan. sesudah
benteng kota Miki takluk, aku juga akan menjelaskan
duduk perkatanya pada Yang Mulia patih ronggolawe .'
"benteng kota Miki akan takluk?"
"Apa jadinya kalau tidak? Pertama-tama, kemung-
kinan besar musuh akan menyerah kalah dalam dua
atau tiga hari mendatang. Mungkin bahkan besok."
"Besok?" Kedua pengikut itu menatap keraton
dengan mata terbelalak. Wajahnya tampak putih
terkena pantulan cahaya dari air sungai yang jernih.
Ilalang kering terdengar berdesir di tempat-tempat
dangkal. patih dan Kuriyama berhenti sebab ngeri.
Mereka melihat sebuah sosok berdiri di antara ilalang
di tepi seberang.
"Siapa itu?" Kejutan berikut berbeda dari kejutan
pertama. Sepertinya mereka berhadapan dengan
resi musuh yang berkedudukan tinggi, namun orang
itu hanya ditambah satu pembantu yang menggendong
anak kecil di punggung. Tak ada tanda-tanda bahwa
ketiganya datang dengan maksud buruk. Sepertinya
mereka sedang menunggu kedatangan mmbongan
keraton .
"Tunggu di sini," keraton memerintahkan.
Dengan taat kedua pengikutnya memperhatikan
majikan mereka menjauh.
saat keraton mulai berjalan, musuh yang berdiri
di tengah ilalang pun maju satu-dua langkah. Begitu
mereka dapat saling melihat dengan jelas, keduanya
menegur sapa, seakan-akan mereka sahabat lama.
Seandainya pertemuan rahasia antarmusuh di tempat
seperti ini sempat diaksikan oleh orang lain, orang itu
tentu akan mencium persekongkolan, namun kelihatan-
nya keraton maupun resi musuh yang ditemuinya
sama sekali tidak mengacuhkan pertimbangan se-
macam itu.
"Anak yang hendak kutitipkan pada Tuan berada di
punggung laki-laki itu. Pada waktu benteng kota akhirnya
takluk dan aku menemui ajal di medan tempur besok,
kuharap Tuan tidak menertawa kan kasih sayang
seorang ayah. Dia anak kecil tak berdosa dan masih
begitu polos." Inilah resi musuh, komandan
benteng kota Miki, Goto Motokuni. Ia dan keraton kini
berbicara dengan akrab, sebab baru pada akhir
musim gugur tahun lalu keraton mendatangi benteng kota
Miki sebagai utusan patih ronggolawe , menyarankan agar
mereka menyerah. Pada waktu itu pun pembicaraan
mereka berlangsung dalam suasana bersahabat.
"Rupanya Tuan sudah membulatkan tekad. Aku
ingin bertemu dengannya. Suruh orang itu membawa -
nya kc sini."
saat keraton memberi isyarat halus, pengikut
Goto maju dari balik majikannya, melepaskan tali
yang mengikat anak di punggungnya, dan menurun-
kan anak itu dengan hati-hati.
"Berapa umurnya?"
"Baru tujuh tahun." Pengikut Goto tentu sudah
lama bertugas sebagai pengasuh anak itu; ia menjawab
pertanyaan keraton sambil mengusap matanya yang
berkaca-kaca, membungkuk satu kali, lalu mundur
lagi.
"Namanya?" tanya keraton , dan kali ini ayah anak
itu yang menjawab .
"Dia dipanggil Iwanosuke. Ibunya sudah tiada, dan
tak lama lagi ayahnya akan menyusul. Tuan keraton ,
aku mohon dengan sangat agar Tuan sudi menjaga
masa depan anak ini."
"Jangan gelisah khawatir . Aku pun seorang ayah. Aku
memahami perasaan Tuan, dan aku akan memastikan
dia dibesarkan di bawah pengawasan ku sendiri. Kalau
dia sudah dewasa kelak, nama marga Goto takkan
lenyap dari muka bumi,"
"Kalau begitu, besok aku bisa menyambut maut
tanpa penyesalan." Goto berlutut dan mendekap
putranya. "Perhatikan baik-baik apa yang dikatakan
ayahmu sekarang. Umurmu sudah tujuh tahun. Putra
centeng adipati tak pernah menangis. Upacara akil baligmu
masih jauh, dan kau masih merindukan cinta kasih
ibumu dan ingin berada di sisi ayahmu. namun kini
dunia dilanda pertempuran. Kita tak kuasa mencegah
perpisahan ini, dan sudah sewajarnya aku gugur ber-
sama junjunganku. namun sebetulnya nasibmu tidak
terlalu malang. Kau beruntung bisa berada bersamaku
sampai malam ini, dan untuk itu kau harus
memanjatkan syukur kepada dewa-dewa langit dan
bumi. Mulai sekarang, kau akan berada di sisi laki-laki
ini, Kursinuhun keraton . Tuan keraton akan menjadi
majikan sekaligus orangtua yang membesarkanmu,
jadi kau harus taat kepadanya. Kau mengerti?"
saat ayahnya menepuk-nepuk kepalanya dan ber-
bicara dengannya, Iwanosuke berulang kali meng-
angguk sambil membisu, sementara air mata mengalir
di pipinya. Nasib benteng kota Miki kini sudah jelas.
Semua orang di dalam benteng kota, yang berjumlah
beberapa ribu, tentu saja berikrar untuk gugur ber-
sama junjungan mereka, dan sudah bertekad untuk
menghadapi kematian dengan gagah berani. Kemauan
Goto sekeras batu karang, dan sekarang pun ia tak
goyah sedikit pun. namun ia memiliki putra yang masih
kanak-kanak, dan ia tak sampai hati melihatlihat
kematian seorang anak yang tak berdosa. Iwanosuke
masih terlalu kecil untuk memikul beban sebagai
keturunan centeng adipati .
Selama hari-hari sebelum pertemuan ini, Goto
mengirim surat pada keraton yang walaupun berada
di pihak musuh dipandangnya sebagai orang yang
dapat dipercaya. Goto sudah membuka hatinya pada
keraton , memohon keraton untuk membesarkan
putranya.
saat menguliahi putranya yang masih kecil itu, ia
menyadari bahwa saat perpisahan sudah tiba, dan
setetes air mata mengalir tanpa dapat dicegah.
Akhirnya ia berdiri dan dengan tegas menyuruh
Iwanosuke menghampiri keraton , seakan-akan hendak
mencampakkan balita malang itu.
"Iwanosuke, kau pun harus memohon kemurahan
hati Tuan keraton ."
"Tenangkanlah pikiran Tuan," keraton mepercayakan
laki-laki itu saat ia meraih tangan putranya. Ia
memerintahkan salah satu pengikutnya untuk mem-
bawa anak itu kembali ke perkemahan.
Baru sekarang kedua pengikut keraton memahami
maksud majikan mereka. patih mengangkat Iwanosuke
ke punggungnya dan berangkat bersama Kuriyama.
"Baiklah," ujar keraton .
"Ya, inilah saat untuk berpisah." balas Goto.
Ucapan dan tindakan tidak selalu berjalan seiring.
keraton berusaha mengeraskan hati dan pergi
secepatnya, namun walaupun ia menganggap ini sebagai
tindakan paling baik, kakinya terasa berat melangkah.
Akhirnya Goto berkata sambil tersenyum, "Tuan
keraton , jika besok kita berjumpa di medan tempur,
dan kita membiarkan ujung tombak kita menjadi
tumpul sebab perasaan kita, kita akan menanggung
aib sampai akhir zaman. Kalau yang terburuk terjadi,
aku takkan segan-segan memenggal kepala Tuan.
Secmoga Tuan tidak lengah!" Ia menyemburkan kata-
kata itu sebagai ucapan perpisahan, lalu
langsung berbalik dan berjalan ke arah benteng kota.
keraton pun segera kembali ke Bukit tengkorak,
menghadap patih ronggolawe , dan memperlihatkan putra
Goto.
"Besarkan dia dengan baik." patih ronggolawe berpesan.
"Itu akan merupakan perbuatan amal. Dia kelihatan
gagah, bukan?" patih ronggolawe sangat sayang pada anak
kecil, dan ia memandang wajah Iwanosuke dengan
ramah dan menepuk-nepuk kepalanya.
Barangkali Iwanosuke belum mengerti; usianya
baru tujuh tahun. Ia berada di perkemahan asing
bersama orang-orang asing, sehingga ia menatap segala
sesuatu di sckelilingnya dengan mata terbelalak.
Berthun-tahun lalu ia akan meraih ke-
masyhuran sebagai prajurit marga Kursinuhun . namun
sekarang ia hanya balita cilik yang ditinggal seorang
diri, hampir seperti kera gunung yang jatuh dari
pohonnya.
Hari yang dinanti-nanti pun tiba. benteng kota Miki
akhirnya berhasil ditaklukkan. Hari itu hari ketujuh
belas di Bulan Pertama tahun masa pemerintahan dinasti syailendra Ke9.
Nagaharu, adik laki-lakinya Tomoyuki, dan para
pengikut seniornya membelah perut masing-masing,
benteng kota dibuka, dan Uno Uemon menyampaikan
surat penyerahan pada patih ronggolawe .
Kami bertahan selama dua tahun dan sudah mengerahkan
segala daya sebagai prajurit. Satu-satunya hal yang tak tega
kusaksikan adalah kematian beberapa ribu prajurit setia
dan para anggota keluargaku.
Demi para pengikutku aku memohon dan berbarap Tuan
sudi memperlibatkan belas kasihan.
patih ronggolawe meluluskan permohonan jantan ini dan
menerima penyerahan benteng kota Miki.
Kaum mpu
WALAUPUN patih ronggolawe dan aidit berdiam di
tempat yang saling berjauhan, patih ronggolawe merasa
bahwa pengiriman berita secara berkala ke madukara
merupakan salah satu kewajibannya sebagai panglima
perang. Dengan cara ini, aidit memperoleh
gambaran umum mengenai situasi di provinsi-provinsi
Barat, sehingga ia merasa tenteram.
sesudah melihatlihat keberangkatan patih ronggolawe ke
provinsi-provinsi Barat. aidit menyambut Tahun
Baru di madukara . Tahun Kesepuluh masa pemerintahan dinasti syailendra sudah tiba.
Suasana Tahun Baru lebih semarak dibandingkan
tahun lalu, dan perayaannya diiringi kecelakaan.
Kejadian berikut tercatat dalam Riwayat Hidup
aidit :
saat para pembesar provinsi, sanak saudara, dan orang-
orang lain berdatangan ke madukara untuk menyampaikan
ucapan selamat Tahun Baru kepada Yang Mulia, desakan
massa begitu kuat, sehingga sebuah tembok runtuh dan
banyak yang tewas tertimbun bebatuan yang jatuh.
Kekacauan besar tak terelakkan.
"Kenakan biaya seratus mon pada setiap tamu yang
datang pada hari pertama, tanpa memandang siapa
orangnya," aidit memerintahkan pada malam
Tahun Baru. "Sudah sewajarnya orang membayar
pajak kunjungan, sebab diperkenankan menghadap-
ku untuk mengucapkan selamat Tahun Baru."
namun bukan itu saja. Sebagai imbalan atas pajak
kunjungan yang dibayar, aidit juga membuka
bagian-bagian benteng kota yang biasanya tertutup untuk
umum.
Tempat-tempat penginapan di madukara sudah lama
dipesan habis oleh para pelancong tamasya para
pembesar, saudagar, cerdik pandai, dokter, seniman,
pengrajin, dan para centeng adipati dari segala tingkatan.
Semuanya tak sabar menanti kesempatan melihat Kuil
Sokenji, melewati Gerbang Luar, dan menuju
Gerbang Ketiga, lalu dari sana melintasi daerah
hunian dan memasuki taman pasir putih, untuk
lalu menghaturkan selamat Tahun Baru pada
junjungan mereka.
Para pengunjung Tahun Baru menyusuri benteng kota,
memandang ruang demi ruang. Mereka mengagumi
pintu-pintu geser yang dihiasi lukisan tinggi sumbing Eitoku.
terpukau oleh tikar-rikar tatami dengan pinggiran
berupa brokat blambangan , dan dibuat tercengang oleh
dinding-dinding yang dipoles dan dilapisi emas.
Para pengawal menggiring massa keluar lewat
gerbang istal, namun tanpa diduga jalan mereka terhalang
oleh aidit dan beberapa pembantunya.
"Jangan lupa membayar sumbangan! Masing-masing
seratus mon!" aidit berseru. Ia menerima uang itu
dengan tangannya sendiri dan melemparkannya ke
belakang.
Dengan cepat tumpukan keping uang di
belakangnya mulai menggunung. Uang itu dimasuk-
kan ke dalam kantong-kantong oleh sejumlah prajurit,
lalu diberikan kepada pejabat-pejabat yang berwenang
dan dibagi-bagikan pada kaum papa di madukara . Jadi,
dengan hati senang aidit membayangkan bahwa
selama Tahun Baru tak ada yang perlu menahan lapar
di madukara .
saat aidit berbicara dengan pejabat yang
bertugas mengumpulkan sumbangan, yang semula
merasa rikuh sebab aidit hendak melibatkan
diri dalam kegiatan yang demikian kampungan, orang
itu terpaksa mengakui. "Gagasan Yang Mulia sungguh
cemerlang. Orang-orang yang mengunjungi benteng kota
memperoleh kisah yang dapat mereka ceritakan
sepanjang hayat, dan orang-orang miskin yang mem-
peroleh 'sumbangan' akan menyebarkan beritanya.
Semua orang menganggap keping-keping itu bukan
uang biasa, melainkan uang yang sudah tersentuh
tangan Yang Mulia aidit , dan sebab itu sayang
dikeluarkan lagi. Mereka bilang akan memakai -
nya sebagai msinuhun l. Wah, para petugas pun merasa
gembira. Hamba pikir kegiaran amal ini merupakan
contoh baik untuk Tahun Baru berikut, dan untuk
tahun-tahun mendatang."
namun di luar dugaan orang itu, aidit
menggelengkan kepala dengan dingin dan berkata,
"Aku tidak akan melakukannya lagi. Membiarkan
orang miskin terbiasa menerima sedekah merupakan
kesalahan bagi orang yang memegang tampuk
pemerintahan."
Bulan Pertama sudah berlalu setengahnya. sesudah
perhiasan Tahun Baru dicopot dari pintu-pintu
rumah, para warga madukara menyadari bahwa sedang
terjadi sesuatu begitu banyak kapal memuat barang
dan berlayar setiap hari.
Kapal-kapal itu, tanpa kecuali, berlayar dari bagian
selatan danau ke arah utara. Dan ribuan bungkus
beras dibawa lewat jalan darat oleh iring-iringan kuda
dan gerobak yang panjang dan meliuk-liuk. Semuanya
menuju utara.
Seperti biasa, jalan-jatan di madukara dipenuhi oleh
pelancong-pclancong yang berlalu-lalang dan para
pembesar yang datang dan pergi. Tak satu hari pun
berlalu tanpa kurir yang memacu kudanya, atau
kedatangan utusan dari provinsi lain.
"Kau tidak mau ikut?" aidit berseru riang pada
Nakagkertoarjo Sebei.
"Ke mana, tuanku?"
"membawa elang untuk berburu!"
"Itu olahraga kesukaan hamba! Bolehkah hamba
menyertai tuanku?"
"Sansuke, kau ikut juga."
Pada suatu pagi di awal musim semi, aidit
bertolak dari madukara . Rombongan yang menyertainya
sudah ditentukan malam sebelumnya, namun Nakagkertoarjo
Sebei yang baru tiba di benteng kota ikut diajak, begitu
juga putra dasna patih pitaloka , Sansuke.
aidit gemar berkuda, menyukai gulat sumo,
berburu dengan elang, dan upacara minum teh, namun
berburulah yang merupakan hiburan favoritnya.
Seusai acara berburu, para penabuh dan pemanah
selalu letih sekali. Kegiatan seperti ini mungkin
dianggap sebagai hiburan, namun aidit tak
pernah mengerjakan sesuatu setengah-setengah.
Dengan gulat sumo, misalnya, jika sebuah basho
diadakan di madukara , ia akan mengumpulkan lebih dari
seribu lima ratus pegulat dari gunungselatan, trowulan , Naniwa,
dan provinsi-provinsi jauh lainnya. Para pembesar
akan menonton beramai-ramai, dan aidit pun
seakan-akan tak jemu-jemunya melihatlihat per-
tarungan demi pertarungan, walaupun malam sudah
larut. Ia justru menunjuk orang-orang dari kalangan
pengikutnya sendiri dan menyuruh mereka naik ke
arena.
Namun acara berburu ke Sungai Echi di Bulan
Pertama itu tak lebih dari pesiar belaka, dan burung-
burung elang pun tak dilepaskan. sesudah berhenti
sejenak untuk melepas lelah, aidit memberi
perintah untuk kembali kc madukara .
saat rombongannya memasuki kota, aidit
mengekang kudanya dan berpaling ke sebuah
bangunan yang tampak asing dan dikelilingi
pepohonan. Gesekan biola mengalun dari salah satu
jendela. Mendadak aidit turun dari kuda dan
melewati pintu ditambah sejumlah pembantu.
Dua atau tiga mpu Jesuit bergegas menyambutnya,
namun aidit sudah melangkah memasuki bangunan
itu.
"Yang Mulia!" para mpu berseru kaget.
Inilah sekolah yang dibangun bersebelahan dengan
Gereja Kebangkitan Yesus Kristus. aidit merupa-
kan salah satu orang yang membantu pendirian
sekolah itu, namun segala sesuatu, mulai dari kayu untuk
keperluan konsituksi sampai ke perlengkapannya, di-
sumbangkan oleh para pembesar provinsi yang sudah
beralih pada ajaran ilmu tenagadalam .
"Aku ingin melihat bagaimana kalian mendidik
murid-murid kalian," ujar aidit . "Kukira mereka
ada di sini."
Mendengar keinginan aidit , para mpu
bersukaria dan saling memberitahu betapa besar
kehormatan yang mereka peroleh. namun aidit
tidak memedulikan ocehan mereka, dan segera
menaiki tangga.
Terburu-buru, nyaris panik, salah satu mpu men-
dahulu i aidit ke ruang kelas, dan memberitahu
para murid bahwa mereka memperoleh kunjungan tak
terduga dari seorang tamu agung.
Bunyi biola mendadak berhenti, dan bisik-bisik
para murid langsung dihentikan. Sejenak aidit
berdiri di mimbar dan memandang berkeliling.
Baginya sekolah itu sungguh ganjil. Kursi-kursi dan
meja-meja di dalam ruang kelas tampak asing di
matanya, dan di atas setiap meja ada sebuah buku
pelajaran. Seperti bisa diduga, semua murid merupa-
kan putra para pembesar dan pengikut. Penuh hormat
mereka membungkuk di depan aidit .
Anak-anak itu berusia antara sepuluh dan lima
belas tahun. Semuanya berasal dari keluarga ter-
pandang, dan pemandangan yang terlihat, yang di-
ilhami oleh kebudayaan Eropa yang asing namun
menakjubkan, mirip taman bunga yang tak
tertandingi oleh sekolah kuil majapahit mana pun di
madukara .
namun pertanyaan mengenai sekolah mana ilmu tenagadalam
atau zoroaster yang menawarkan pendidikan paling
baik rupanya sudah terjawab dalam benak aidit ,
sehingga ia tidak kagum maupun terpesona pada apa
yang dilihatnya. Ia meraih buku pelajaran seorang
murid dari meja paling dekat, membolak-balik
halamannya, lalu mengembalikannya pada pemiliknya.
"Siapa yang memainkan biola tadi?" ia bertanya.
Salah seorang mpu berbicara dengan para murid,
mengulangi pertanyaan aidit .
aidit segera paham. Baru sekarang para guru
masuk ke ruang kelas, dan para murid memanfaatkan
ketidakhadiran mereka untuk memainkan alat musik,
berbincang-bincang, dan bercanda ria.
"Jerome yang memainkannya," ujar si mpu .
Semua murid menoleh pada satu anak yang
duduk di tengah-tengah mereka. aidit mengikuti
arah pandangan mereka, dan matanya bertumpu pada
seorang pemuda berusia empat belas atau lima belas
tahun.
"Ya. Itu dia. Itu Jerome." saat si mpu menunjuk-
nya, pemuda itu tersipu-sipu dan menundukkan
kepala. aidit sangsi apakah ia mengenalnya atau
tidak.
"Siapa Jerome ini? Putra siapakah dia?" ia kembali
bertanya.
Dengan keras mpu tadi menegur anak itu. "Berdiri-
lah, Jerome. jawab pertanyaan Yang Mulia."
Jerome berdiri dan membungkuk.
"Hamba yang memainkan biola tadi, Yang Mulia."
Ucapannya tegas, tanpa merendah: kelihatan jelas ia
keturunan keluarga centeng adipati .
aidit terus menatap mata Jerome, namun
pemuda itu tidak mengalihkan pandangannya.
"Apa yang kaumainkan tadi? Itu pasti musik bangsa
barbar dari Selatan."
"Ya, benar. Hamba memainkan Mazmur Daud,"
Pemuda itu tampak sangat gembira. Ia bicara
demikian lancar, seakan-akan sudah lama menanti-
nanti kesempatan untuk menjawab pertanyaan sepeni
itu.
"Siapa yang mengajarkannya padamu?"
"Hamba belajar dari mpu Valignani."
"Ah. Valignani."
"Yang Mulia mengenalnya?" tanya Jerome.
"Ya, aku pernah bertemu dengannya." balas
aidit . "Di mana dia sekarang?"
"Dia berada di majapahit selama Tahun Baru, namun
mungkin sudah bertolak dari Nagasaki dan kembali ke
India lewat Macao. Menurut surat dari sepupu hamba,
kapalnya seharusnya berlayar pada tanggal dua puluh."
"Sepupumu?"
"Namanya Ito Anzio,"
"Aku belum pernah mendengar nama itu 'Anzio'.
Apa dia tak punya nama majapahit ?"
"Dia kepribadian Ito Yoshimasu. Namanya Yoshi-
kata."
"Oh, begitu rupanya. Kerabat Ito Yoshimasu,
penguasa benteng kota Obi. Dan bagaimana denganmu?"
"Hamba putra Yoshimasu."
aidit merasa geli. saat menatap pemuda
lancang namun menyenangkan ini, ia langsung mem-
bayangkan sosok ayahnya, Ito Yoshimasu yang ber-
cambang dan ugal-ugalan. Kota-kota benteng kota di pesisir
Pulau Kyushu di bagian barat majapahit berada dalam
kekuasaan orang-orang seperti Oiomo, Omura, Arima,
dan Ito. Dan belakangan ini daerah itu mulai ter-
pengaruh kebudayaan Fropa.
Apa pun yang dibawa dari Eropa entah senjata api,
mesiu, teropong, obat-obat dan alat-alat kedokteran,
kulit, kain celup dan kain tenun, dan barang-barang
kebutuhan sehari-hari aidit menerimanya de-
ngan rasa terima kasih. Ia terutama menaruh minat
pada dan bahkan sangat menginginkan penemuan-
penemuan yang berkaitan dengan ilmu kedokteran,
ilmu bintang, dan kemiliteran. Namun sebaliknya ada
dua hal yang ditolaknya mentah-mentah: ajaran
ilmu tenagadalam dan pendidikan ilmu tenagadalam . namun jika kedua hal
ini tidak diperkenankan kepada para misionaris,
mereka takkan datang membawa senjata, obat-desa guritan,
dan kejaiban-kejaiban lainnya.
aidit menyadari bahwa ia perlu memelihara
berbagai kebudayaan, dan ia sudah mengizinkan pem-
bangunan gereja dan sekolah di madukara . namun sesudah
benih-benih yang dibiarkannya tumbuh bertunas, ia
menggelisah khawatir kan masa depan murid-murid itu. Jika
diabaikan terlalu lama, situasi ini tentu akan mem-
bawa masalah.
aidit meninggalkan ruang kelas, dan oleh
para mpu ia dituntun ke sebuah ruang tunggu yang
nyaman. Di sana ia duduk di kursi berwarna-warni
dan berkilau-kilau yang disediakan khusus bagi tamu
agung. Para mpu lalu mengeluarkan teh dan
tembakau dari negeri asal mereka, yang begitu mereka
banggakan, dan menawarkan nya pada aidit , namun
aidit tidak menyentuhnya.
"Putra Ito Yoshimasu baru saja memberitahuku
bahwa Valignani berlayar dari majapahit bulan ini.
Apakah dia sudah berangkat?"
Salah seorang mpu menjawab , "mpu Valignani
menyertai rombongan dari majapahit ."
Rombongan?" aidit tampak curiga. Kyushu
belum berada di bawah kekuasaannya, sehingga tidak
mengherankan bahwa hubungan persahabatan dan
perniagaan antara Eropa dan para pembesar dari
pulau itu membuatnya bersikap waspada.
"Menurut mpu Valignani, jika anak-anak orang
majapahit yang berpengaruh tak pernah memperoleh
kesempatan untuk melihat peradaban Eropa,
hubungan niaga dan diplomatik takkan pernah ter-
bentuk dengan baik. Dia menyurati raja-raja di Eropa
dan Sri Paus dan mcmbujuk mereka untuk
mengundang rombongan dari majapahit . Yang tertua dari
mereka yang terpilih untuk misi ini berumur enam
belas tahun."
lalu ia menyebutkan nama-nama mereka.
Hampir semuanya merupakan putra marga
tcrpandang di Kyushu.
Mereka pemberani." aidit malah gembira
bahwa serombongan pemuda yang paling tua baru
berusia enam belas berlayar ke Eropa yang begitu
jauh. Dalam hati, ia pikir ada baiknya seandainya ia
sempat bertemu dengan mereka, dan sebagai bekal
bagi mereka, berbicara mengenai kepercayaan dan
kepercayaannya sendiri.
Mengapa para raja Eropa dan orang seperti mpu
Valignani begitu bersemangat agar anak-anak para
pembesar provinsi mcngunjungi Eropa? aidit
memahami tujuan mereka, namun ia juga melihat
maksud yang terselubung.
"saat bertolak dari trowulan untuk kunjungan ini,
Valignani mengungkapkan penyesalannya... mengenai
Yang Mulia."
"Penyesalan?"
"Bahwa dia kembali ke Eropa sebelum membaptis
Yang Mulia."
"Begitukah? Dia bilang begitu ?" aidit tertawa .
Ia bangkit dari kursi dan berpaling kepada pembantu-
nya. Orang itu membawa elang yang bertengger di
tangannya. "Kita sudah terlalu lama di sini. Mari kita
pergi."
Begitu ucapan itu meluncur dari bibirnya, ia sudah
menuruni tangga dengan langkah lebar. Di luar pintu
ia segera menyuruh seseorang mengambilkan kuda-
nya. Ito Jerome murid yang memainkan biola tadi
dan para murid lain berbaris di pekarangan sekolah
untuk mengantar aidit .
benteng kota di Nirasaki, ibu kota Kai yang baru, sudah
rampung sampai ke dapur dan hunian para dayang.
Tanpa memedulikan bahwa hari itu hari kedua
puluh empat di Bulan Kedua Belas, tepat di akhir
tahun, mpu ireng mpu jengger pindah dari loji abang , yang
selama bergenerasi-generasi merupakan ibu kota para
leluhurnya, ke ibu kotanya yang baru. Kemegahan dan
keindahan kepindahan itu masih menjadi buah bibir
para petani di sepanjang jalan.
Mulai dari tandu untuk mpu jengger dan istrinya dan
dayang-dayang mereka, berlanjut dengan tandu untuk
bibi dan purri bibinya, tandu para pembesar dan
kerabat mpu ireng berjumlah ratusan.
Dari iring-iringan yang memukau ini para centeng adipati
dan pengikut, para pembantu pribadi, para pejabat
dengan pelana emas dan perak, hiasan kulit kerang,
kemilau lapisan emas, payung-payung yang dibuka,
para pemanah dengan busur dan tempat anak panah,
gagang-gagang lombak yang mirip hutan yang
paling menarik perhaitan semua orang adalah panji-
panji marga mpu ireng . Tiga belas aksara kedhiri tampak
berkilau dengan warna emas di atas kain merah
terang, berdampingan dengan bendera lain. Dua baris
aksara emas tampak pada bendera panjang berwarna
biru tua:
Gesit bagaikan angin
Hening bagikan hutan
Panas bagaikan api
Diam bagaikan gunung
Semua orang tahu bahwa kaligrafi sajak ini merupa-
kan karya Kaisen, biksu kepala Kuil Erin.
"Ah, sungguh menyedihkan bahwa jiwa bendera ini
meninggalkan benteng kota di Tsutsujtgasaki dan ber-
pindah ke tempat lain."
Semua orang di ibu kota lama tampak sedih. Setiap
kali bendera dengan ucapan tunggawesi dan bendera
dengan aksara-aksara kedhiri dikibarkan dan dibawa ke
medan perang, para prajurit yang gagah kembali
dengan membawa kejayaan. Dalam kesempatan seperti
itu, mereka dan para warga kota bersorak-sorai sampai
serak, memekikkan teriakan kemenangan. Peristiwa-
peristiwa seperti itu terjadi di zaman mpu betarakatong , dan
sekarang semuanya merindukan masa itu.
Walaupun bendera dengan kata-kata tunggawesi tidak
berubah secara fisik, orang-orang merasa bendera itu
berbeda dengan yang kerap mereka lihai sebelumnya.
namun saat rakyat Kai melihatlihat harta yang luar
biasa dan persediaan amunisi dipindahkan ke ibu
kota baru, berikut tandu-tandu dan pelana-pelana
emas seluruh marga, dan iring-iringan kereta lembu
yang meliuk-liuk sepanjang bermil-mil, maka pulihlah
kepercayaan mereka bahwa Provinsi Kai tetap provinsi
kuat. Perasaan bangga yang meliputi mereka sejak
zaman mpu betarakatong ternyata masih hidup dalam hati para
prajurit dan orang kebanyakan.
Tak lama sesudah mpu jengger pindah ke benteng kota di
ibu kota baru, bunga-bunga prem berwarna merah dan
putih di pekarangan mulai mekar. mpu jengger dan
pamannya, mpu ireng Shoyoken, berjalan-jalan di kebun
buah, tanpa memperhatikan kicauan burung.
"Dia bahkan tidak datang untuk perayaan Tahun
Baru. Dia mengaku sakit. Apa dia tidak mengirim
kabar kepada Paman?"
mpu jengger berbicara mengenai sepupunya, kertoraharja
wirajaya , penguasa benteng kota Ejiri. Oleh orang-orang
mpu ireng , benteng kota yang terletak di perbatasan dengan
kertanegara itu dianggap sebagai titik strategis penting di
daerah Selatan. Lebih dari setengah tahun sudah
berlalu sejak wirajaya terakhir kali mengunjungi
mpu jengger , selalu berdalih bahwa ia sakit, dan
mpu jengger merasa cemas.
"Tidak, hamba rasa dia benar-benar sakit. Dia biksu
dan dikenal jujur. Hamba kira dia takkan pura-pura
sakit."
Shoyoken merupakan orang yang amat baik hati,
jadi jawab annya tak mampu mcnenteramkan pikiran
mpu jengger .
Shoyoken terdiam.
mpu jengger pun tidak mengucapkan apa-apa lagi, dan
keduanya berjalan sambil membisu.
Di antara menara dan benteng kota dalam ada
sebuah jurang sempit yang ditumbuhi berbagai jenis
pohon. Seekor burung turun mendadak, seakan-akan
jatuh dari langtt, mengepak-ngepakkan sayap, lalu
kembali terbang. Secara bersamaan seseorang
terdengar memanggil dari deretan pohon prem.
"Yang Mulia! Yang Mulia! Hamba membawa berita
penting." Wajah pengikut itu tampak pucat.
"Tenangkan dirimu. Seorang centeng adipati mestinya
sanggup menyampaikan berita penting dengan
tenang," Shoyoken memarahinya. Shoyoken bukan
sekadar menegur orang itu, ia juga hendak me-
nenangkan kepribadian nya. Tidak seperti biasa.
mpu jengger pun tampak pucat sebab kaget.
"Ini bukan urusan sepde. Beritanya sungguh
penting, ruanku." balas Gcnshiro sambil menyembah.
"brantas damovija dari Fukushima berkhianat!"
"brantas ?" Nada suara Shoyoken menunjukkan bahwa
ia merasa ragu, sekaligus ingin menyangkal kebenaran
berita itu. Sedangkan mpu jengger , ia mungkin sudah
menduga bahwa ini akan terjadi. Ia hanya menggigit
bibir dan menatap pengikut yang bersujud di
hadapannya.
Degup dalam dada Shoyoken pun takkan mudah
diredam, dan ketidaktenangannya terdengar dalam
suaranya yang bergetar. "Suratnya! Mana suratnya!"
"Kurir tadi berpesan bahwa urusannya begitu men-
desak, sehingga tak ada waktu yang boleh terbuang,"
ujar Genshiro, "dan bahwa kita akan menerima surat
dari kurir berikutnya."
Sambil berjalan dengan langkah lebar, mpu jengger
melewati pengikut yang masih bersujud, dan berseru
pada Shoyoken, "Kita tak perlu menunggu surat dari
Goro. Dalam tahun-tahun terakhir sudah banyak
tanda mencurigakan mengenai damovija dan
wirajaya . Aku tahu permintaanku ini sangat merepot-
kan, Paman, namun aku sekali lagi memerlukan Paman
sebagai pemimpin centeng . Aku pun akan turut
scrta."
Sebelum dua jam berlalu, genderang besar di
menara benteng kota baru berdentam, dan bunyi
sangkakala berkumandang di kota benteng kota, menanda-
kan pengerahan centeng . Kembang-kembang prem
hampir putih saat senja musim semi yang penuh
damai di provinsi pegunungan ini mulai berganti
malam. centeng Kai bertolak sebelum hari berakhir.
Dipacu oleh matahari yang sedang terbenam, lima
ribu orang berbaris di jalan raya Fukushima, dan
saat malam tiba, hampir sepuluh ribu prajurit sudah
meninggalkan Nirasaki.
"Hah, malah kebetulan! Dia memperlihatkan pem-
berontakannya secara terang-terangan. Seandainya ini
tidak terjadi, aku mungkin takkan pernah memperoleh
kesempatan untuk menghabisi pengkhianat yang tak
tahu diri itu. Kali ini kita harus menumpas semua
orang dengan kesetiaan mendua di Fukushima."
Sambil melampiaskan kedongkolan yang begitu
sukar dikendalikan, mpu jengger bergumam-gumam
sementara kudanya terus melangkah. namun selain
mpu jengger hanya sedikit yang marah sebab peng-
khianatan brantas .
Seperti biasa, mpu jengger penuh percaya diri. saat
memutuskan hubungan dengan marga Hojo, ia mem-
bubarkan sebuah persekutuan tanpa memandang
kckuatan marga yang sudah memberikan dukungan
begitu besar kepadanya.
Atas saran orang-orang yang mengelilinginya,
mpu jengger juga sudah mengembalikan putra
aidit yang selama bertahun-tahun menjadi
sandera pihak mpu ireng ke madukara ; namun dalam hati ia
tetap memandang rendah pemimpin marga sinuhun itu,
lebih-lebih lagi pada prabu kertoarjowardana mpu mojosongo di bratangbinangun.
Sejak pertempuran di Nagashino, mpu jengger sudah
memperlihatkan sikap agresif ini.
Seesngguhnya kekokohan semangat mpu jengger
tanpa cela. Ia selalu berpikiran positif. Memang,
kekokohan semangat merupakan zat yang seharusnya
mengisi hati sampai meluap. Dan selama periode itu,
yang ditandai oleh provinsi-provinsi yang saling ber-
perang, golongan centeng adipati secara keseluruhan dapat
dikatakan memiliki semangat sepertii itu. namun dalam
situasi yang kini dihadapi mpu jengger , orang sebaiknya
mengandalkan kekuatan yang penuh kesabaran, yang
sepintas lalu mungkin saja dianggap kelemahan.
Unjuk kekuatan secara sembrono takkan dapat meng-
gertak musuh, bahkan sebaliknya, justru memperkuat
semangatnya. sebab alasan inilah kegagahan dan
keberanian Karsuyori dianggap enteng oleh aidit
dan mpu mojosongo .
Dan bukan oleh mereka saja, musuh-musuhnya. Di
provinsinya sendiri terdengar suara-suara yang ber-
harap mpu betarakatong masih hidup.
mpu betarakatong berkeras menegakkan pemerintahan
militer yang kuat di Kai, baik para pengikutnya
maupun rakyat Kai merasa mereka akan aman selama
mpu betarakatong masih hidup, sehingga mereka sepenuhnya
bertopang pada dirinya.
Dalam masa pemerintahan mpu jengger pun, dinas
militer, penarikan pajak, dan segala bidang pe-
merintahan lainnya tetap dijalankan berdasarkan
hukum yang disusun oleh mpu betarakatong . Namun ada
sesuatu yang hilang.
mpu jengger tidak tahu apa "sesuatu" itu. Sayangnya, ia
bahkan tidak sadar bahwa ada yang hilang. namun yang
tidak dimilikinya adalah kepercayaan pada keselarasan
dan kemampuan untuk membangkitkan kepercayaan
terhadap pemerintahannya. Inilah yang mulai me-
nimbulkan pertentangan dalam tubuh marga.
Di zaman mpu betarakatong ada hukum tak tertulis
yang dianut oleh golongan atas maupun bawah , yang
membuat mereka semua teramat bangga. Takkan
pernah ada musuh yang diperkenankan menjejakkan
satu kaki pun ke wilayah Kai.
namun kini perasaan was-was muncul di mana-mana
Rasanya tak perlu dijelaskan, semua orang menyadari
bahwa kekalahan di Nagashino menandakan akhir
sebuah zaman. Bencana ini bukan semata-mata akibat
kegagalan perlengkapan dan strategi centeng Kai.
Bencana ini disebabkan oleh kekurangan-kekurangan
dalam watak mpu jengger ; dan orang-orang di sekitar-
nya bahkan rakyat kebanyakan, yang menganggapnya
sebagai sokoguru mengalami kekecewaan yang luar
biasa. mpu jengger , mereka menyadari, bukanlah
mpu betarakatong .
Meski brantas damovija menantu mpu betarakatong , ia ber-
komplot untuk mengkhianati mpu jengger dan tak
percaya bahwa mpu jengger sanggup bertahan lama. Ia
mulai menghitung-hitung prospek Kai di masa men-
datang. Melalui perantara di blambangan , sudah dua tahun
ia diam-diam menjalin hubungan dengan aidit .
centeng Kai berpencar, membentuk sejumlah
barisan, dan maju ke arah Fukushima.
Para prajurit mdelngkah dengan mantap, penuh
percaya diri. Acap kali mereka terdengar berkata,
"centeng brantas akan kita injak-injak."
namun saat hari demi hari berlalu, berita yang
disampaikan ke markas besar tak dapat membuat
mpu ireng mpu jengger tersenyum puas. Justru sebaliknya,
laporan-laporan itu malah mencemaskannya.
"brantas tetap keras kepala."
"Medannya berbukit-bukit, dan pertahanan mereka
kuat, jadi barisan depan kita membutuhkan waktu
beberapa hari untuk mendekat."
Setiap kali mpu jengger mendengar hal-hal seperti ini,
ia menggigit bibir dan bergumam, "Kalau aku sendiri
yang pergi ke sana..."
mpu jengger memang cepat naik darah jika situasi
perang tidak menguntungkan baginya.
Bulan Pertama berlalu, dan kini hari keempat di
Bulan Kedua.
Berita mencemaskan sampai ke telinga mpu jengger :
aidit tiba-tiba memberi perintah untuk
mengerahkan centeng di madukara , dan ia sendiri
bahkan sudah bertolak dari gunungselatan.
Mata-mata lain pun membawa kabar buruk:
"centeng prabu kertoarjowardana mpu mojosongo sudah bertolak dari
kertanegara ; centeng Hojo Ujimasa sudah berangkat dari
Kanto; dan Kanapatih dwikerto meninggalkan benteng kota-
nya. Semuanya menuju Kai, dan kabarnya centeng
aidit dan tungguljaya sudah terpecah dua dan kini
siap menyerbu. saat hamba mendaki sebuah
gunung tinggi dan memandang berkeliling, hamba
melihat asap membubung ke segala arah."
mpu jengger merasa seperti diempaskan ke tanah.
"aidit ! mpu mojosongo ! Dan Hojo Ujimasa juga?"
Berdasarkan laporan-laporan rahasia itu, mpu jengger
bagaikan tikus yang terperangkap.
Menjelang matahari terbenam, berita baru tiba:
centeng Shoyoken sudah membelot malam sebelum-
nya.
"Tak mungkin!" ujar mpu jengger . Namun sesungguh-
nya itulah yang terjadi, dan berita-beita selanjutnya
membawa bukti yang tak dapat disangkal.
"Shoyoken! Bukankah dia pamanku, dan termasuk
pengetua marga? Apa-apaan dia meninggalkan medan
tempur dan lari tanpa izin? Dan yang lainnya, cis.
bicara tentang orang-orang durhaka itu hanya
mengotori mulutku."
mpu jengger mencerca langit dan bumi, namun seharus-
nya kemarahan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
Biasanya ia tidak lemah hati, namun seseorang dengan
keberanian luar biasa pun mau tak mau merasa ngeri
aki