Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 16



yang diinspirasikan oleh krisis terbaru yaitu perang dan pendudukan. 

Di atas segalanya, perdebatan dan argumentasi yang berkobar saat ini 

berpusat pada pertanyaan pertanggungjawaban. Lebih jelasnya lagi, 

apakah tanggung jawab dari penulis atau intelektual dalam lanskap 

yang tampaknya seperti tempat buangan moral?

ada  berbagai tema besar, contohnya, dari novelis Albert 

Camus,  yang novelnya L’Étranger (‘The Outsider’ atau ‘Orang Luar’) 

terbitan tahun 1941 telah dipuji-puji di Prancis dan luar negeri sebagai 

contoh  novel Eksistensialis. Camus dilahirkan dan dididik di Aljazair 

dan sebenarnya juga orang-luar dalam masyarakat kota Paris. Kendati 

ia menikmati gaya hidup di Tepi Kiri, ia juga dengan cepat menemukan 

bahwa ia bukanlah seorang Eksistensialis, setidaknya dalam artian 

gaya berpakaian. Cerita L’Étranger sederhana: seorang pria muda tanpa 

tujuan, bagian dari komunitas kolonial di Aljazair, menembak mati 

seorang Arab tanpa alasan. Inti filosofi dari buku ini yaitu  ‘eksistensial’ 

dalam artian bahwa filsafat ini menjelaskan isu-isu fundamental dari 

tindakan dan tanggung jawab moral di mana para penulis seperti 

Sartre telah mengakuinya sebagai wilayah kekuasaan mereka. Buku ini 

telah melampaui status bergayanya sebab  tidak menawarkan jawaban 

atau solusi yang mudah terhadap pertanyaan yang dilontarkannya. 



504

Aspek penting lainnya dari L’Étranger yaitu  latarnya di Aljazair masa 

kolonial, sebuah fakta yang sering dilewatkan oleh para penggemar 

awalnya namun memiliki signifikansi yang dalam bagi Camus sendiri. 

Pembunuhan acak terhadap warga yang terkolonisasi oleh para 

pengkolonisasi, dalam beberapa tahun kemudian saat krisis Aljazair 

berkembang menjadi perang, akan menjadi salah satu motif yang 

paling kerap muncul dan paling merusak dalam kehidupan warga 

Prancis di Aljazair dan Paris.

Perang Kebudayaan

Dalam beberapa hal, Pembebasan tidak mengubah kualitas kehidupan 

sehari-hari. Perekonomian Prancis sudah hancur dan, di luar ke-

hidupan malam yang riuh dari Saint-Germain-des-Prés, sebagian 

besar warga hidup dalam tingkat penghidupan yang tak membaik 

sejak hari-hari Pendudukan yang terburuk. Di wilayah kelas pekerja 

Belleville dan Ménilmontant, para veteran perang yang cacat dan 

termutilasi yaitu  pemandangan yang umum ditemukan. Mereka 

minum-minum di sudut, tak mampu bekerja pada sedikit pekerjaan 

yang tersedia. Makanan rumah tangga yang standar yaitu  kubis 

rebus dan remah-remah makanan apa pun yang dapat ditemukan di 

pasar yang diadakan secara tidak teratur di Rue de Ménilmontant. 

saat  perancang busana Christian Dior salah mengira waktu untuk 

mengorganisasi suatu sesi fotografi busana terbarunya—yang berjuluk 

‘New Look’ atau ‘Penampilan Baru’—di pasar jalanan ‘Paris yang 

umum’ di Montmartre, para wanita kelas pekerja menyerang para 

model, merobek-robek pakaian mereka dengan marah dan jijik.9

Pada 1847, Amerika Serikat mengimplementasikan Marshall Plan, 

mengalihkan ratusan juta dolar kepada Prancis untuk memulihkan 

perindustriannya yang babak belur. Bantuan ini segera dirasakan 

dampaknya, namun sebagian besar warga mengetahui bahwa ini 

hanyalah suatu upaya terselubung untuk mencegah revolusi Komunis. 

Pada saat itu, Eropa telah terbagi menjadi Timur dan Barat, antara 

lingkaran pengaruh pimpinan Komunis dengan markas besarnya 

di Moskow dan negara-negara lain di bawah pengaruh kekuasaan 


505


mantan Sekutu. Bagi mereka di Barat, kemerdekaan Paris berdiri 

sebagai jaminan akan kemerdekaan masa depan di sebuah benua yang 

baru saja muncul dari konflik paling berdarah dalam sejarah manusia. 

Signifikansi totemik dari kota Paris kembali diuji di musim gugur 

tahun 1947, saat  Prancis bertahan terhadap gelombang kerusuhan 

industri pimpinan Komunis terbesar yang pernah diketahui sejak 

1930-an. Namun rasa takut dan ketegangan yang ditimbulkan oleh 

aksi pemogokan dan konfrontasi hanya menghasilkan berdiri tegaknya 

Prancis di kamp Barat dalam Perang Dingin.

Ironi atas ketidakpastian politik di masa itulah yang akan men-

jadikan era ini kaya oleh aktivitas kebudayaan. Para penulis Prancis, 

dari Sartre hingga Camus ke bawah, memiliki prestise di penjuru 

dunia yang tak tertandingi sejak hari-hari Voltaire dan Rousseau. 

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh heroisme perolehan yang 

dimiliki sebuah bangsa yang pada awalnya dikalahkan namun 

kembali berjuang melawan mesin perang politik yang lebih berkuasa 

dan jahat, serta bagi kegemerlapan belaka dari pembuatan teori Paris, 

yang memunculkan Eksistensialisme ke Marxisme via Freudianisme 

dan ilmu pengetahuan baru ‘Strukturalisme’ yang kembali membuat 

klaim sombong untuk menyingkap hal yang paling mendasar dari 

pengetahuan manusia.



506

42

‘Wilaya’ Ketujuh

Bertentangan dengan keyakinan intelektual yang muncul di 

kawasan Tepi Kiri, perasaan yang umum dari kondisi politik kota Paris 

sepanjang 1950-an yaitu  terombang-ambing dan malu. Republik 

Keempat, serangkaian pemerintahan goyah yang pertama dibentuk 

pada 1946, bergerak dari satu krisis ke krisis lainnya di bawah sebuah 

konstitusi yang tak bergerak sejak 1930-an. Hal ini sebagian besar 

disebabkan oleh campuran bergejolak dari kegugupan politik, krisis 

luar negeri, dan tuntutan tak terhenti dari pembangunan ekonomi 

internal. Serangkaian pemerintahan yang kemudian ada, tak satu pun 

yang memiliki mandat seutuhnya ataupun rencana sesungguhnya bagi 

Prancis. De Gaulle sendiri, yang sempat memimpin pasca-Pembebasan, 

mengundurkan diri dengan murka pada 1946, secara efektif mundur 

dari kekacauan politik selama tiga belas tahun kemudian.

Periode ini juga dicirikan oleh perubahan dramatis pada populasi, 

yang terus berkembang pasca-perang, dan kemunculan kebudayaan 

konsumerisme yang akan terus berkembang menjadi lebih menuntut 

dan kompleks saat perekonomian Prancis yang diporakporandakan 

oleh perang memulai pemulihannya yang lambat. Pemerintah Prancis 

jelas gagal mengikuti perkembangan ini dan negara sering kali berada 

di jurang bencana saat suksesi pemerintahan yang tidak stabil datang 

dan pergi. Perasaan ketidaksukaan yang umum dirasakan warga kota 

Paris dari semua kelas selama tahun-tahun ini kerap disalurkan menjadi 

anti-Amerikanisme yang kasar dan membingungkan, yang mana pada 

awalnya dipenuhi oleh kontradiksi-kontradiksi: contohnya, banyak 

warga kota Paris dari semua dorongan politik yang menyatakan bahwa 

diri mereka sangat menentang hampir semua kebijakan luar negeri 

Amerika pada akhir 1940-an namun mereka juga jatuh cinta pada 



507


kebudayaan Amerika mulai dari jazz, film, hingga pakaian. Di wilayah 

Tepi Kiri pada khususnya, skizofrenia semacam ini menghasilkan 

generasi warga kota Paris intelektual muda yang, kendati diperbudak 

oleh semua jenis produksi kebudayaan Amerika, tetap dengan bangga 

menyatakan kesetiaan mereka kepada Moskow sebagai lambang 

atas superioritas filosofis dan moral. Warga kota Paris lainnya, yang 

merasa bosan oleh politisi dan dikecewakan oleh kebijakan mereka, 

mundur ke dalam perasaan puas dan ketidakpedulian. Popularitas 

singkat dari ‘Poujadisme’—pada dasarnya gerakan unjuk rasa sayap 

kanan pimpinan agen berita Pierre Poujade—yaitu  demonstrasi 

nyata dari kurangnya bimbingan moral dan politik selama masa ini. 

Para pendukung Poujade tidak memiliki agenda yang jelas, kecuali 

bahwa mereka tidak menyukai orang asing dan tidak memercayai 

semua politisi profesional.

Sementara itu, di sisi lain Laut Mediterania, dari tahun 1945 dan 

seterusnya ada  sejumlah perang menggemparkan yang akan 

mengguncang Prancis hingga ke dasarnya. Masa depan Prancis dan 

Paris memang akan segera ditentukan oleh peristiwa yang sedang 

terjadi tidak di Paris tapi di Aljazair. Untuk sementara waktu, banyak 

warga kota Paris tidak terlalu peduli akan peristiwa yang terjadi jauh 

dari kota mereka. Namun mereka tak akan mampu mempertahankan 

kondisi ini untuk waktu lama. Dengan segera, kekacauan di Aljazair 

akan menemukan gema kekerasan mereka di jalan-jalan kota Paris.

***

Bencana baru telah dimulai pada 1945 dengan sejumlah berita samar 

yang pelan-pelan mencapai Prancis akan pembantaian di Sétif, sebuah 

kota pasar yang tenang di wilayah Constantine di Aljazair. Diberitakan 

bahwa kaum Muslim Aljazair telah mengubah unjuk rasa menuntut 

kemerdekaan menjadi sebuah kerusuhan. Sebuah bendera Aljazair 

dikibarkan di tengah bendera-bendera Inggris, Prancis, dan Rusia 

yang tengah diarak. saat  polisi berusaha mengambil bendera ini, 

senjata api ditembakkan. Para pengunjuk rasa kemudian menyerang 

populasi Eropa lokal, yang disebut para pieds noir (lihat Bab 29) dengan 

kapak dan pisau. Lebih dari seratus orang Eropa dibunuh dalam lima 



508

hari pertempuran—banyak dari mereka mengalami penggorokan dan 

mutilasi yang amat mengerikan. Kaum pria dipotong kemaluannya 

dan para wanita diperkosa. Para pemimpin agama lokal menyebut hal 

ini sebagai ‘Jihad’ dan menyatakan bahwa sudah menjadi tugas religius 

semua orang Muslim untuk membunuh orang kafir.1

Memang sudah menjadi nasib buruk, namun bukan kebetulan, 

bahwa pemberontakan ini dimulai pada 8 Mei, yang juga merupakan 

VE Day (Victory Europe Day—Hari Kemenangan Eropa), sehari sesudah  

pasukan Jerman berhenti bertempur di Eropa. Dapat dipahami bahwa 

di Paris semua kabar dari luar negeri tampaknya hilang di tengah 

minuman keras, ciuman, dan perayaan tak berakhir. Tak ada surat 

kabar Paris yang berpikir perlu mengirimkan seorang koresponden 

ke Aljazair. De Gaulle sendiri mengabaikan peristiwa itu sebagai “awal 

dari pemberontakan, yang terjadi di Constantionois … dipadamkan 

oleh Gubernur Jenderal Chataigneau.”2

Walaupun media bersuasana tenang, respons Prancis di Aljazair 

pada faktanya tak kenal ampun. Selama beberapa pekan kemudian, 

hampir 6.000 Muslim dibantai oleh pasukan Prancis, yang ingin 

menunjukkan kemampuan mereka (dan kemungkinan membalas 

dendam atas penghinaan yang baru saja terjadi di tangan pasukan 

Jerman). Radio Kairo melaporkan bahwa lebih dari 45.000 orang 

dibunuh—sebuah angka yang kemudian ditetapkan sebagai fakta 

oleh kelompok nasionalis Aljazair. sesudah  Sétif, konflik di Aljazair 

dilakukan di tingkat yang cukup rendah dan terbatas hanya pada 

bentrokan antara prajurit Prancis dan pasukan nasionalis lawannya 

dari ‘Parti du Peuple Algérien’ (PPA) dan pasukan yang baru dan 

lebih kuat dari ‘Front de Libération Nationale’ (FLN), sayap bersenjata 

dari gerakan kemerdekaan Aljazair. Skala konflik yang relatif kecil 

memungkinkan kelompok nasionalis Aljazair untuk mengorganisasi 

dan merencanakan perang yang lebih lama dan lebih keras. Mereka 

juga mampu mengatasi sebagian besar perbedaan internal. Pada 1954, 

didanai oleh kekuatan bayangan lain di dunia Arab, dan dipersenjatai 

oleh senjata-senjata baru dan ideologi Marxis-Leninis, FLN-lah yang 

menguasai Aljazair dan hampir semua lokasi di penjuru negeri.

Perang Aljazair secara resmi diluncurkan pada All Saint’s Day saat  

FLN—dalam serangkaian bom, pamflet, dan siaran radio dari Kairo 


509


secara tiba-tiba—mengumumkan tujuan mereka untuk “memulihkan 

kembali negara Aljazair, berdaulat, demokratis dan sosial, dalam 

kerangka prinsip-prinsip agama Islam.” Metode-metodenya mencakup 

“semua cara hingga tujuan kami terwujud.” Demi tujuan operasional, 

FLN membagi Aljazair menjadi enam ‘Wilayas’—istilah Arab yang 

berarti ‘di bawah kendali pemerintah (atau militer)’. Ini juga menjadi 

tujuan yang dinyatakan untuk membawa ‘perang pulang ke rumahnya 

di Prancis’, dan dengan melakukannya menjadikan Paris ‘Wilaya 

ketujuh’.3

Pertempuran untuk Paris

Pecahnya kekerasan baru di Aljazair bertepatan dengan gelombang 

imigrasi baru di Paris yang sebagian besar datang dari Afrika Utara. 

Antara tahun 1947 dan 1953, para pejabat mencatat bahwa 740.000 

imigran tiba di Paris hanya dari Aljazair. Jumlah yang sebenarnya, 

tentu saja, kemungkinan besar lebih tinggi dari angka tersebut.

Pada awalnya para pendatang Afrika Utara bermukim di bagian 

tengah kota Paris yang telah dikenal oleh generasi Afrika Utara pra-

perang yang datang ke tempat itu pada 1920-an dan 1930-an—Place 

Maubert, Rue des Anglais, Les Halles, atau daerah pinggiran Clichy 

dan Gennevilliers (di mana sudah ada  komunitas Maroko 

yang mapan). Generasi pra-perang ini telah lama menjadi objek 

praduga dan sasaran pengawasan polisi. Prefect polisi Jean Chiappe 

memang telah menyiapkan satu brigade khusus pada 1925 untuk 

mengendalikan populasi Afrika Utara dengan markas besarnya di 

6 Rue Lecomte di arrondissement ke-17. Brigade ini dihapus pasca-

Pembebasan—stafnya yang terdiri atas para mantan kolonial diduga 

amat dekat dengan Gestapo dan Vichy.

Warga Afrika Utara di Paris dengan cepat menyadari bahwa 

banyak janji-janji dari Pembebasan terkait toleransi rasial tidak 

akan pernah dipenuhi atau telah dilanggar. Mereka menghadapi 

sikap berprasangka setiap hari dan, seperti warga Yahudi sebelum 

mereka, mereka mulai berkumpul dalam kelompok-kelompok di 

penjuru kota untuk keamanan diri mereka sendiri dan juga untuk 



510

hal lainnya. Mereka juga mengorganisasi diri mereka secara politis ke 

dalam kelompok-kelompok, yang dengan segera dilarang. Pada 1952, 

Messali Hadj, pemimpin kelompok nasionalis terlarang ‘Mouvement 

pour le Triomphe des Libertés Démocratiques’ (MTLD), telah dihukum 

tahanan rumah di Paris, dan warga kota Paris diingatkan oleh media 

akan fakta bahwa nasionalis Aljazair seperti Abderrhamane Yacine, Si 

Djilani dan Mohamed el-Maadi telah berkolaborasi dengan Jerman. 

ada  keluhan umum di Kiri dan Kanan tentang kehigienisan para 

pendatang ini, ketidakcocokan Islam dengan ‘peradaban Eropa’ dan, 

yang paling sering, kecenderungan pendatang Afrika Utara melakukan 

tindak kejahatan dengan kekerasan. 

Banyak imigran yang baru tiba menemukan bahwa kehidupan 

di Paris pada kenyataannya lebih berbahaya dan dikendalikan lebih 

ketat daripada tatanan pemerintahan kolonial di tanah kelahiran 

mereka. Kepolisian Paris sangat takut akan penyebaran pengaruh 

nasionalisme pan-Arab, yang saat itu mewujud dalam bentuk tokoh 

karismatik Presiden Nasser dari Mesir. Publikasi pan-Arab radikal 

kerap didirikan dan segera ditutup. Ketegangan semakin terlihat jelas 

di jalan-jalan kota Paris di awal dekade 1950-an dalam bentuk unjuk 

rasa Arab yang teratur dan populer yang kerap meledak menjadi aksi 

kekerasan. Pada 14 Juli 1953, sekelompok militan Aljazair, anggota 

MTLD, ditembak mati oleh polisi saat mereka menjadi bagian dari 

unjuk rasa lebih besar yang diikuti 4.000 nasionalis di Place de la 

Nation menuntut pembebasan Messali Hadj.

Sebagai aksi solidaritas, lebih dari 20.000 orang Arab dari berbagai 

bangsa berkumpul di Cirque d’Hiver beberapa pekan kemudian untuk 

berkabung bagi rekan-rekan mereka yang tewas. Sekretaris jenderal 

prefektur polisi, Maurice Papon (yang terlibat dalam pendeportasian 

warga Yahudi di Vél d’Hiv), dengan segera membentuk suatu unit 

khusus, ‘Brigade des Agressions et Violences’ (BAV), yang secara khusus 

menanggulangi ‘masalah Aljazair’. Ini yaitu  saat di mana perang 

kolonial benar-benar dimulai untuk diimpor ke jalan-jalan ibukota 

(ini juga saat istilah bavure, ‘kesalahan besar’, yang sebelumnya 

diaplikasikan pada peristiwa yang memicu pecahnya Perang Dunia 

Pertama, menjadi ekspresi ketidaksukaan umum terhadap kegiatan-

kegiatan brigade khusus Papon, ‘BAV’).


511


Tugas polisi menjadi lebih rumit dengan adanya perang perebutan 

wilayah yang bergolak di jalanan arrondissement ke-13, arrondissement 

ke-15 dan arrondissement ke-18 antara FLN dan kelompok-kelompok 

nasionalis pesaingnya. ada  pula aksi baku tembak berkala di 

arrondissement ke-19 di Rue Petit dan Rue Meaux antara FLN dan 

MTLD atau PPA. Maurice Papon harus mengandalkan informasi orang 

dalam dari para warga asli Aljazair untuk intelijen dan menempatkan 

di wilayah-wilayah tersebut satu jaringan harki—warga Aljazair yang 

setia kepada Paris dan bukannya Aljazair—yang tugasnya yaitu  

mengawasi dan memberitahukan kegiatan-kegiatan rekan sebangsa 

mereka. Dibenci oleh kaum nasionalis Aljazair sebagai pengkhianat 

dan kolaborator, para harki yaitu  rahasia memalukan pasukan 

Prancis, dikenal tidak hanya oleh akses mereka pada informasi sensitif 

namun juga interogasi mereka yang keras terhadap sesama orang 

Aljazair.

Namun pada umumnya, polisi sudah puas membiarkan faksi-

faksi Aljazair yang bersaing untuk bertempur di antara mereka 

sendiri. Sepanjang tahun-tahun penutup dekade 1950-an, secara 

efektif ada  perang saudara rahasia yang terjadi di Paris, yang 

terjadi antara FLN dan faksi-faksi nasionalis Aljazair yang menjadi 

pesaingnya. Surat kabar L’Aurore mencatat pada 1957 bahwa distrik 

La Goutte d’Or, berjuluk ‘Madinah Paris’, secara efektif yaitu  daerah 

terlarang bagi orang-orang Eropa dan tempat di mana para militan 

FLN dan MTLD memamerkan senapan mesin di siang bolong. Tempat 

paling mematikan dari semuanya yaitu  Rue de la Charbonnière, Rue 

de Chartres, Rue Myrha, dan Rue Stephenson di Paris utara, tidak jauh 

dari stasiun metro Barbès. Inilah tempat-tempat di Paris “di mana 

polisi tidak berani melangkah ke sana.”4

Kelompok Kiri Prancis umumnya bersimpati pada perjuangan 

orang Aljazair dan banyak intelektual yang mengembangkan posisi 

bahwa satu-satunya tanggapan yang benar yaitu  berpartisipasi secara 

aktif dalam perjuangan. Tokoh paling terkemuka yaitu  pengajar 

filsafat bernama Francis Jeanson, teman akrab Sartre, mengorganisasi 

jaringan dukungan bagi FLN di Paris yang menyebabkan ia ditangkap 

dan diadili pada 1960. Sebuah kampanye yang dipimpin oleh Jean-Paul 

Sartre menghasilkan ‘Manifesto 121’ yang terkenal. Ini yaitu  petisi 



512

menentang perang Aljazair yang ditandatangani oleh para intelektual 

terkemuka saat itu. Argumen utamanya yaitu  orang Prancis di 

Aljazair sekarang melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh 

Nazi sepuluh tahun sebelumnya di Prancis. Saat tuduhan penyiksaan 

dan pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Prancis menjadi 

pengetahuan umum dan diperkuat dengan bukti, menjadi semakin 

sulit bahkan bagi kaum moderat untuk membenarkan perang di 

Aljazair.

Pada saat itu, Charles de Gaulle kembali ke pemerintahan, sebagai 

hasil dari keadaan darurat yang dipicu oleh kekacauan menyebar 

luas akibat krisis Aljazair yaitu kekacauan yang hampir saja berubah 

menjadi perang saudara. Pemerintahan yang sedang berkuasa di 

bawah pimpinan René Coty bubar begitu saja. Bukan sekadar ironi 

kecil bahwa krisis di Aljazair pada akhirnya mengembalikan de 

Gaulle ke tampuk kekuasaan. Katalisnya yaitu  pemogokan massal 

dan perebutan gedung gubernur-jenderal di kota Aljir pada Mei 1958 

oleh koalisi para perwira sayap kanan dan para pied-noir biasa yang 

sepenuhnya kehilangan kepercayaan terhadap kelas-kelas politik 

Paris. De Gaulle berhati-hati untuk menjauhkan dirinya dari para 

putschiste tetapi tetap saja merekayasa proses kembali ke kekuasaan 

secara konstitusional yang memungkinkannya mengambil alih kontrol 

terhadap pemerintah dan situasi. Pada 1959, dengan mengecewakan 

banyak orang Kanan jauh yang telah mendukungnya untuk kembali, 

ia sudah mengindikasikan bahwa satu-satunya jalan terhormat bagi 

‘bangsa besar’ seperti Prancis yaitu  untuk menawarkan penentuan 

nasib sendiri bagi bangsa Aljazair.

Kembalinya de Gaulle membawa kembalinya otoritas kepada 

pemerintah Prancis tetapi tidak membawa kembali ketertiban ke 

jalanan Paris. Bahkan, perang tiba-tiba menjadi lebih keras dan brutal 

sesudah  terjadinya peristiwa yang disebut ‘pertempuran Aljir’ yaitu 

kampanye teroris yang dilancarkan oleh FLN pada 1957. Kampanye 

ini termasuk pengeboman dan penembakan secara acak yang 

dimaksudkan untuk menakut-nakuti populasi Prancis agar keluar 

dari kota. Reaksi insting polisi Paris yaitu  menindak tegas semua 

orang Aljazair, dan bahkan semua orang Afrika Utara, yang mungkin 

berpotensi menjadi teroris. Maurice Papon kemudian mengeluarkan 


513


jam malam bagi semua Muslim Prancis ‘berpenampilan Afrika Utara’ 

yang kemudian berujung dengan bencana.

Kebijakan ini memiliki konsekuensi mengerikan pada 17 Oktober 

1961, saat puluhan ribu orang Aljazair berkumpul di pusat kota untuk 

berdemonstrasi menuntut perdamaian dan kemerdekaan. Tanggapan 

polisi keras dan kejam. Sebagai pengingat mengerikan atas evakuasi 

orang Yahudi ke Vél d’Hiv, Papon mengorganisasi truk-truk polisi 

untuk membawa pergi para demonstran tanpa pengadilan ke Stade 

de Coubertin, Palais des Sports, dan Château de Vincennes tempat 

para demonstran dipukuli dengan kejam. Di Pont de Neuilly, sebuah 

bentrokan kecil antara para demonstran dengan polisi berubah 

menjadi kerusuhan. Pada satu titik dalam kerusuhan ini, pasukan polisi 

bersenjata lengkap menyerbu ke dalam kerumunan, menewaskan 

dua orang dan melukai banyak orang lainnya. Polisi kemudian mulai 

membunuhi orang-orang Aljazair dan melemparkan mayat-mayat 

mereka ke sungai Seine.

Konflik ini nantinya dimuliakan dengan nama ‘pertempuran untuk 

Paris’, tetapi pada kenyataannya hanyalah pembantaian lainnya dalam 

sejarah panjang pembunuhan massal di Paris. Prioritas utama Papon 

yaitu  menutupi semua bukti kesalahan polisi. Namun demikian, di 

pagi hari sesudah  demonstrasi, sekelompok kecil militan Komunis—

semuanya orang Eropa—di bawah arahan penulis Arthur Adamov dan 

aktor Jean-Marie Binoche, berangkat untuk menulis slogan dengan cat 

yang berbunyi ‘Di tempat ini kami membunuh orang-orang Aljazair!’ 

di jembatan sebelum mengundurkan diri ke bar The Old Navy di 

Boulevard Saint-Germain. Slogan ini dengan cepat dihapus, tetapi 

polisi tidak bisa menghancurkan semua bukti pembunuhan. Mayat-

mayat orang Aljazair yang menggelembung yang terdampar ke tepian 

oleh arus sungai Seine secara berkala ditemukan oleh Parisian biasa 

selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan kemudian.

Masih ada lagi yang lain: pada Februari 1962, sebuah demonstrasi 

menentang kekerasan yang dilakukan oleh OAS (‘Organisaion Armée 

Secrète’—organisasi teror sayap kanan yang didirikan oleh para pied-

noir di Aljazair) dan menuntut keadilan berubah menjadi kekerasan 

saat polisi kembali menyerbu para demonstran. Sembilan orang 

terbunuh dan ratusan orang terluka dalam bentrokan di stasiun metro 



514

Charonne. Pada saat itu, perang Aljazair sudah benar-benar tiba di 

Paris, saat para teroris OAS mengklaim bertanggung jawab atas 

pengeboman ‘Drugstore’ baru di Champs-Élysées, kantor surat kabar 

France Soir, kantor luar negeri di Quai d’Orsay dan apartemen Jean-

Paul Sartre di Rue Bonaparte. Rencana lainnya termasuk meledakkan 

Menara Eiffel dan membunuh de Gaulle sendiri (memang pernah 

terjadi upaya OAS yang gagal untuk membunuh de Gaulle di Petit-

Clamart pada 1962). Publik Paris segera muak dengan siklus kekerasan 

yang tidak berakhir dan sepertinya tak bisa dihentikan. Saat de Gaulle 

akhirnya memberikan kemerdekaan kepada Aljazair pada tahun 

yang sama, sebagian besar Parisian menyambut langkah ini dengan 

perasaan lega alih-alih rasa bahwa keadilan telah dilakukan.

“Bentuk kota …”

Memang, saat kuali Aljazair terus mendidih sepanjang dekade 1950-

an, perhatian para politisi dan juga orang biasa terlalu sering diarahkan 

pada isu-isu lain yang tidak terlalu dramatis.

Isu pertama dan paling mendesak yaitu  peningkatan jumlah 

penduduk dan masalah perumahan yang berkaitan dengannya. 

Kurangnya persediaan rumah yang sesuai di kota-kota Prancis, dan 

terutama di Paris, sebagian merupakan warisan dari perang. Hampir 

seperempat perumahan di Prancis telah rusak parah atau hancur 

sama sekali antara 1940 dan 1945. Prioritas utama pemerintah sesudah  

perang berakhir yaitu  mulai membangun kembali infrastruktur 

negara—jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan.

Artinya yaitu  pada awal dekade 1950-an, hampir 90 persen 

rumah di Paris kekurangan kebutuhan dasar—termasuk kamar mandi 

pancuran, toilet, atau kamar mandi. Banyak dari bagian kota yang 

sekarang menjadi pusat mode Paris—wilayah yang luas di Tepi Kiri 

yang berdekatan dengan sungai Seine selain sejumlah arrondissement 

luar di Tepi Barat—menjadi daerah kumuh dan dihuni oleh kelas 

pekerja termiskin atau imigran. Sedikit sekali apartemen di wilayah 

ini: sebagian besar orang tinggal di hotel murah yang kotor atau hostel. 

Soup kitchen (tempat makan yang menyediakan sup gratis untuk 


515


orang tidak punya) banyak dibuka dan tidak hanya di distrik-distrik 

proletar. Yang paling memalukan yaitu  sejumlah bidonville atau 

kawasan gubuk, yang dibangun dari beton dan besi bergelombang, 

yang didirikan di luar Paris dalam bayangan yang dahulunya yaitu  

Zona, di Noisy, Ivry, Villejuif, dan Nanterre.

Kawasan gubuk yaitu  aib dan kelompok Kiri sering menyerukan 

agar dilakukan sesuatu tentang situasi ini. Namun, tidak ada solusi 

yang tidak melibatkan rekonstruksi Paris tengah secara keseluruhan—

yang akan sangat tidak populer baik sebab  alasan estetika dan 

politik—atau mengevakuasi kelas-kelas pekerja keluar dari banlieue 

yang menyeramkan, yaitu langkah yang ditentang keras oleh setiap 

kelompok Kiri di kota yang memandang ibukota mereka sebenarnya 

dalam mitos ‘Paris Merah’.

Setidaknya sejak 1948, pemerintah telah membuat rencana bagi 

perumahan sosial dalam bentuk yang nantinya disebut habitations à 

loyer modéré (‘perumahan dengan sewa menengah’) atau HLM. Ini 

yaitu  bangunan-bangunan berkualitas tinggi, sering kali dibangun 

di bagian tengah kota atau bagian lainnya yang diinginkan, tetapi 

jumlahnya jauh sekali dari kebutuhan dan sering kali terlalu mahal. 

Program HLM diperbaiki dan diluncurkan kembali pada awal 1950-

an namun kali ini otoritas kota bertujuan untuk mengembangkan 

apa yang disebut grands ensemble, estat-estat bertingkat di luar jalan 

lingkar yang melingkari Paris dan vila-vila pinggiran kota yang ada 

di sekitarnya. Estat paling ‘terkenal’ ada di Sarcelles di utara kota 

yang diselesaikan pada 1954 dan segera menjadi rumah bagi sekitar 

10.000 orang. Tidak lama kemudian, muncul penyakit sarcellitis—

yaitu bentuk anomi abad ke-20 yang sepenuhnya disebabkan oleh 

kebosanan dan keputusasaan yang terjadi sebab  tinggal di lingkungan 

berteknologi tinggi yang tidak memberi tempat bagi kafe, bar, jalanan 

kecil, toko, pasar jalanan, atau aspek ornamental kehidupan sehari-

hari lainnya yang membuat Paris begitu kaya dalam setiap detailnya. 

Namun, ‘kesuksesan’ Sarcelles menyemangati para perencana kota. 

Pada akhir 1950-an, Paris dikelilingi oleh lebih dari 90 estat jelek dan 

dibangun dengan biaya murah yang membuat para penduduk dan 

pengunjungnya menjadi tertekan. Populasi Paris sedang dikurangi, 

tetapi dengan harga yang harus dibayar.



516

***

Dalam iklim budaya yang tidak stabil tersebut, Parisian yang lebih 

tua mencatat bahwa Pembebasan telah menghancurkan banyak aspek 

kehidupan Parisian, yang tidak akan pernah kembali. Puisi-puisi 

Baudelaire dari abad ke-19 tentang kematian ‘Paris Tua’ juga dapat 

diterapkan bagi transformasi-transformasi yang sedang terjadi saat 

ia merujuk pada “bentuk sebuah kota yang berubah, yang sayangnya, 

lebih cepat daripada jantung manusia fana.”5

Perubahan-perubahan ini termasuk, yang paling terkenal dan 

kontroversial, hilangnya rumah-rumah bordil gaya lama semi-resmi 

di kota yang telah beroperasi di ibukota sepanjang ingatan siapa pun. 

Kampanye untuk menutup rumah bordil dipimpin oleh Marthe Richard 

(yang pada masa mudanya juga pernah menjadi seorang pelacur dan 

mata-mata). Ia memobilisasi pers untuk menentang rumah-rumah 

bordil yang, dalam iklim pasca-perang yang keras, dipandang sebagai 

penanda bagi semacam dekadensi yang menyebabkan kejatuhan 

Prancis. Rumah bordil tidak banyak membantu dirinya sendiri sebab  

dilaporkan bahwa bisnis mereka mengalami peningkatan selama 

Pendudukan dan bahwa mereka terkenal menyambut baik orang-

orang Jerman seperti mereka menyambut orang Prancis. Dalam satu 

tindakan, saat undang-undang disahkan pada 1946, lebih dari 180 

rumah bordil ditutup di Paris yang termasuk nama-nama terkenal 

seperti Le Chabanais (yang dibuka sejak 1820), Le Sphinx dan Le One 

Two Two.

Tempat-tempat ini tidak saja banyak masuk dalam cerita rakyat 

Paris—dan bahwa orang-orang asing yang datang ke Paris untuk 

mencicipi kesenangan-kesenangannya yang legendaris—tetapi telah 

berdiri sebagai monumen yang rumit dan kaya bagi semua bentuk 

aktivitas seksual manusia. Tempat-tempat seperti Le Sphinx atau Le 

One Two Two tidak hanya menawarkan bentuk-bentuk persetubuhan 

reguler yang bisa dibeli di seantero kota, tetapi berspesialisasi dalam 

‘pertunjukan’ dan ‘tontonan’ yang dibuat mengikuti keinginan 

para klien, yang makan dengan baik di restoran-restoran yang 

menempel kepadanya sebagai pendahuluan bagi kesenangan yang 

lebih bersifat badaniah. Kehipokritan para senator yang memberikan 


517


suara mendukung penutupan rumah-rumah bordil ini tidak lepas 

dari pengamatan Fabienne Jamet, patronne terkenal di Le One Two 

Two. sesudah  mengenali fitur-fitur malu sejumlah klien reguler di 

antara mereka yang memberikan suara mendukung penutupannya, 

ia merasa kasihan kepada para istri senator-senator tersebut, yang 

tidak akan pernah mengharapkan para pria mereka untuk bisa lagi 

mencapai ekstase setinggi itu.6 Tentu saja, bisnis prostitusi tidak 

menghilang tetapi meluber ke jalanan. Para pelacur dapat ditemukan 

di seluruh kota tetapi terutama lebih disukai di Rue Saint-Denis, 

jalan-jalan belakang di Pigalle, dan jalan-jalan pendek dan sempit 

di sekitar Opéra. Penutupan rumah-rumah bordil diusulkan sebagai 

langkah menjauh dari Prancis lama yang jelas sekali sudah gagal dan 

mendekat ke arah model modernitas Anglo-Saxon yang berhasil 

bertahan. Penutupannya diratapi oleh semua orang yang memandang 

kepergiannya sebagai matinya sebuah bentuk hiburan Paris yang 

rumit, telah berusia berabad-abad dan ditempa secara unik.

Anehnya, Paris tidak pernah lebih indah atau fotogenik daripada 

selama periode pasca-perang ini saat  Paris secara bersamaan 

dihancurkan dan dibangun kembali. Jalan-jalan yang hancur dan 

vista-vista yang baru dibuka membuat kota menjadi tontonan 

memesona yang selalu berubah dan tidak henti-hentinya bagi para 

fotografer seperti Robert Doisneau dan Henri Cartier-Bresson, yang 

minat utamanya sebagai seniman yaitu  menangkap berbagai macam 

kehidupan sehari-hari yang mengalami perubahan di ibukota. Seperti 

Eugène Atget atau Georges Brassaï sebelum mereka, para fotografer 

ini memetakan lanskap kota yang berubah, saat kota bergerak dari 

masa lalu menuju wilayah masa depannya yang belum terpetakan. 

Foto-foto mereka banyak dipenuhi oleh kejadian-kejadian kehidupan 

yang tidak jelas di kota dengan latar belakang hitam putih bangunan-

bangunan yang rusak sebab  perang, quartier-quartier setengah 

hancur dan adegan-adegan interior yang dipergelap, yang sering 

sekali memperjelas detail terkecil—senyum seorang gadis muda, 

seorang pelacur yang bermain dengan seekor anjing, seorang wanita 

yang bernyanyi sambil berlinang air mata di sebuah kafe.

Observasi pantang mundur yang sama terhadap kehidupan sehari-

hari pada akhirnya memengaruhi sinema nouvelle vague orang-orang 



518

seperti François Truffaut dan Jean-Luc Godard, yang revolusinya 

sendiri dalam seni dimulai dalam jalanan kota yang sama. Sinema 

yang mereka temukan yaitu  seni detail intim—dari gang-gang 

berbatu yang bergemerincing dan interior-interior klaustrofobia yang 

digambarkan dalam Les Quatre Cents Coups (‘400 Pukulan’) karya 

Truffaut pada 1959, hingga kafe-kafe dan jalanan-jalanan belakang 

yang mengundang secara teatrikal yang ditampilkan dalam Bande 

à part (‘Orang Luar’) karya Godard pada 1964, pemandangan Paris 

sepertinya menawarkan potensi dan petualangan tanpa henti. Salah 

satu kunci untuk memahami sinema baru yaitu  sinema tersebut 

didorong oleh semangat improvisasi yang pada gilirannya berasal dari 

latar suatu adegan. Tujuannya, sebagaimana diteorikan oleh François 

Truffaut dalam Jurnal Cahiers du cinéma, yaitu  untuk membuat 

skenario yang intim dan terperinci, di mana sutradara juga menjadi 

seorang pengarah (pada kenyataannya seorang auteur dalam konteks 

paling sejati), dan oleh sebab  itu merupakan partisipan dalam film. 

Hasilnya sering kali memesona dan bahkan membuat lupa bernapas 

dalam kecepatan dan semangatnya—tentu saja contoh terawal dan 

terbaik dari genre nouvelle vague (sekali lagi biasanya dari Godard 

dan Truffaut) yaitu  adikarya visual yang secara bersamaan berani 

dan penuh invensi selain sebagai contoh terbaik modernisme puitis 

di kota.

Hal yang paling penting pada awal dekade 1960-an, saat Paris 

akhirnya mulai muncul dalam konteks budaya dan politik dari 

reruntuhan paruh pertama abad ini, jalanan kota yang menyediakan 

latar belakang bagi revolusi mini dalam bioskop sekarang dipandang 

sebagai lokasi-lokasi baru bagi bentuk-bentuk baru drama dan ke-

cantikan daripada hanya sekadar latar bagi perang. Namun demikian, 

lokasi-lokasi ini juga segera menjadi latar bagi upaya revolusi yang 

jauh lebih dramatis dan bervariasi.


519


43 

Konspirasi Kabur

Memang, pada tahun-tahun awal dekade 1960-an hampir tidak 

ada hal yang menunjukkan bahwa pada akhir dekade tersebut 

pemerintah Prancis akan dilumpuhkan dan hampir dijatuhkan oleh 

pemberontakan yang diperjuangkan dengan penuh semangat di 

jalanan Paris. Namun, seperti itulah yang terjadi pada Mei 1968, saat 

serangkaian demonstrasi dan gangguan di jalanan yang dipimpin oleh 

orang-orang muda di Tepi Timur memicu gelombang protes serupa 

di seantero negeri. Konsensus pada saat itu yaitu  kerusuhan dan 

gangguan yang telah muncul secara tiba-tiba. Walaupun demikian, 

kejadian-kejadian pada Mei 1968 akan menandai titik balik dalam 

sejarah budaya Eropa pada abad ke-20.

Momen ini juga merupakan momen yang memiliki banyak 

preseden dalam sejarah Paris: ‘Front Populaire’ pada 1936, Komune 

Paris pada 1871, pemberontakan revolusioner pada 1831 dan 1848 

dan bahkan Revolusi pada 1789 disebut sebagai modelnya. Namun, 

momen ini memiliki fitur pembeda yaitu bahwa untuk pertama 

kalinya ini bukanlah pemberontakan kelas bawah yang miskin dan 

setengah-kelaparan, dan bukan sebuah kampanye gerilya terpadu yang 

diperjuangkan oleh para subversif terorganisasi, tetapi merupakan 

sebuah pemberontakan oleh para mahasiswa kelas menengah, para 

putra dan putri orang-orang yang paling banyak mendapatkan 

keuntungan dari pemulihan ekonomi Prancis di masa pasca-perang. 

Bagi banyak orang dalam kelompok Kiri tradisional, yang telah 

memperjuangkan peningkatan gaji dan kondisi kehidupan, inilah 

fakta yang membuat revolusi begitu tidak dapat dipahami dan sangat 

mengejutkan.

Namun, hal ini tidak berlaku bagi orang-orang di Paris yang dekat 




520

dengan berbagai sisa-sisa gerakan-gerakan avant-garde revolusioner 

yang berhasil selamat dari banyak pergolakan perkembangan 

pasca-perang. Mereka termasuk para anggota Kelompok Surealis 

Revolusioner, Partai Komunis Revolusioner, para anarkis dan ber-

bagai faksi kecil yang masih beroperasi di Saint-Germain-des-Prés 

dan Quartier Latin, menerbitkan pamflet, traktat, dan tuduhan yang 

terutama ditujukan kepada satu sama lain. Kesamaan yang dimiliki 

kelompok-kelompok ini yaitu  mereka memutuskan bahwa janji-janji 

Utopis yang dibuat oleh para avant-garde pada paruh pertama abad 

ini masih harus ditepati. Mereka telah lama mengidentifikasi subversi 

bawah tanah sebagai prinsip pemandu sejarah Paris—sebuah teori 

yang dikonfirmasi oleh aktivitas-aktivitas perlawanan di masa yang 

baru berlalu—dan bertekad untuk bertindak mengikuti pemahaman 

ini. Visi revolusioner dari kelompok-kelompok ini dirangkum dalam 

grafiti terkenal pada Mei 1968: “Realistislah, Tuntut yang Mustahil!”

Sebenarnya, ada  sejumlah tanda lainnya bahwa badai 

akan datang. Dekade telah dimulai dengan de Gaulle sepenuhnya 

menguasai pemerintahan yang kewenangannya, walaupun meng-

hadapi kesulitan dalam perang Aljazair, umumnya tidak menghadapi 

tantangan dalam arena politik arus utama. Gangguan mahasiswa 

yang kadang kala terjadi, seperti pemogokan di Strasbourg atau 

Nantes pada pertengahan 1960-an umumnya dijelaskan, bahkan 

oleh para komentator bersimpati Kiri, sebagai penyimpangan yaitu 

buah dari terlalu banyak kenyamanan material dan kebosanan dan 

bukan konfrontasi politik serius apa pun. Budaya bawah tanah baru 

yaitu jazz, rock ‘n’ roll, dan kesusastraan beatnik juga hanya dianggap 

sebagai impor Amerika belaka yang tidak bisa bersaing dengan 

atau menggantikan kebijaksanaan rakyat dari para penampil Paris 

pribumi—walaupun pemakaman Édith Piaf pada 1963 dikatakan 

menandai kematian kebudayaan populer lokal di kota ini. Sosiolog 

Edgar Morin membuat istilah musique yéyé untuk mendeskripsikan 

suara-suara baru yang sumbang yang menginvasi Paris dari New York, 

San Francisco dan Liverpool. Kebudayaan pemuda Prancis—yang 

dicontohkan oleh ‘Elvis palsu’ Johnny Hallyday dan France Gall yang 

gemulai—terutama hanyalah fenomena submisif imitatif dan lemah 

(kondisi ini tidak akan bertahan lama; orang-orang seperti Serge 


521


Gainsbourg dan Michel Polnareff, selain para mantan boneka pop 

seperti François Hardy, akan segera menciptakan kosakata Galia yang 

sangat unik untuk pop dan rock).

Fakta utama kehidupan Paris bagi generasi lebih muda pada 

dekade 1960-an yaitu  anomi dan kebosanan. Sebagian besar anak 

muda masih tinggal di rumah, atau di asrama mahasiswa yang sangat 

membosankan, dan kehidupan kota—selain dari ghetto mahasiswa di 

Quartier Latin—berjarak sangat jauh baik secara finansial maupun 

budaya dan kehidupan dan keinginan mereka. Tidak seperti rekan-

rekannya di negara-negera penutur bahasa Inggris, di mana kaum 

muda sedang mendominasi kekuatan politik budaya, kaum muda di 

Prancis masih didominasi oleh paternalisme dan hierarki sosial yang 

kaku. Momen revolusioner pada pemberontakan 1968 yaitu , seperti 

akan kita lihat, sangat diinspirasi oleh reaksi terhadap batasan-batasan 

ini, seperti diartikulasikan oleh sebagian kelompok avant-garde dan 

sekte Kiri-jauh paling liar, selain dari bacaan Marx dan Hegel mana 

pun.

Kota Instan

Secara fisik, Paris masih merupakan tempat yang kotor dan kumuh 

pada awal dekade 1960-an. Hal ini sebagian disebabkan fakta bahwa 

sejak perang berakhir pihak-pihak berwenang telah disibukkan oleh 

urusan-urusan lain yang lebih mendesak daripada membersihkan 

kota. Fasad dari sebagian besar bangunan publik dan bahkan hotel-

hotel termegah sekarang menghitam sebab  jelaga. Kisah cinta 

Parisian dengan mobil tentu saja telah membuat masalah semakin 

parah. Sulit sekali untuk menyeberangi bulevar besar mana pun yang 

masih menjadi jalan-jalan arteri utama kota tanpa menderita penyakit 

hampir kehabisan napas. Bagian lain dari masalah yaitu  bahwa 

reorganisasi kota yang telah terjadi di bawah pengawasan Haussmann 

pada abad ke-19 sangat tidak sesuai bagi abad ke-20. Dalam banyak 

hal, seakan-seakan Haussmann hanya bisa menyelesaikan setengah 

pekerjaan: terutama bulevar-bulevar besar di seantero Paris masih 

belum menyentuh labirin jalan kecil, lorong, jalan buntu, dan jalanan 



522

beratap yang terlalu sempit untuk lalu lintas sehingga membuat 

gerakan di dalam kota menjadi sangat lambat.

Para arsitek dan perencana kota bermimpi untuk membentuk 

kembali Paris menggunakan teknologi-teknologi baru masa tersebut; 

mereka berfantasi tentang terowongan bawah tanah, gedung pencakar 

langit dan lorong beratap dengan pusat perbelanjaan besar tempat 

para pejalan kaki berjalan dengan santai dari rumah ke metro untuk 

berbelanja untuk bekerja dan kemudian kembali ke rumah tanpa 

melakukan kontak dengan dunia ‘nyata’.

Inilah Paris yang disatirkan oleh adikarya komik Playtime karya 

Jacques Tati, sebuah film yang menggambarkan seorang pahlawan 

yang tenggelam dalam distopia dehumanisasi berupa kaca lembaran, 

trotoar berjalan dan lalu lintas, tempat satu-satunya kontak manusia 

yang dilakukannya yaitu  dengan serombongan turis Amerika yang 

berkeliling tanpa tujuan di kota yang tidak nyata ini. Tidak heran jika 

Playtime gagal secara komersial dan kritis saat pertama kali muncul 

pada 1967 sebab  banyak Parisian masih ingin percaya bahwa kota 

mereka yaitu  perlambang bagi masa depan cerah selain monumen 

bagi masa lalu. 

Bersama dengan gairah bagi hal baru masih ada insting untuk 

memelihara dan memulihkan apa yang tersisa dari kota tua. Pada 

akhir dekade 1950-an, proses pembersihan dan modernisasi dimulai 

di daerah-daerah di sekitar Rue Lafayette dan Gare Saint-Lazare. Ini 

yaitu  inisiatif menteri konstruksi, Pierre Sudreau, yang telah melihat 

potensi wisata dari kota yang lebih bersih dan lebih indah. Para tuan 

tanah meragukan bahwa proyek ini menguntungkan dan enggan untuk 

membayar pajak lokal yang tidak seberapa guna membiayai pekerjaan 

restorasi. Sebaliknya, pers dan publik Paris tidak seperti biasanya 

sangat berminat terhadap proyek ini dan mendorong Sudreau untuk 

memperluasnya dengan melakukan penyemprotan-pasir terhadap 

Notre-Dame, Louvre dan Les Invalides guna mengungkapkan kembali 

kompleksitas warna pada batu yang tidak pernah terlihat lagi selama 

berabad-abad.

Pada 1962, menteri kebudayaan de Gaulle, André Malraux, me-

ngeluarkan undang-undang yang mengidentifikasikan daerah-daerah 

di pusat kota yang akan dilestarikan sebagai secteurs sauvegardés 


523


(‘sektor-sektor konservasi’), yang dipilih atas pertimbangan nilai 

historis. Undang-undang tersebut pertama kali diterapkan di Marais, 

yang pada saat itu yaitu  salah satu bagian kota yang paling reyot, 

tidak sehat, dan berbahaya. Banyak dari bangunan di distrik ini tidak 

pernah tersentuh selama seratus tahun atau lebih; sebagian besar 

jalannya yaitu  campur aduk dari bangunan-bangunan terabaikan 

berupa hôtel yang sebelumnya megah dari masa grand siècle, gudang 

dan bengkel kerja yang reyot, serta butik dan studio mungil. Semua 

bangunan ini indah, tetapi sangat bau dan sebagian besar bangunan 

tidak memiliki kebutuhan dasar seperti air mengalir dan listrik. 

Pekerjaan pertama yaitu  menyikat hingga bersih fasad-fasad dan 

menghilangkan bangunan tambahan yang kacau-balau, untuk meng-

ungkapkan lapangan dalam terbuka, gapura lengkung elegan dan rasa 

megah yang sebelumnya ada di sana.

Rencana-rencana lainnya untuk mengembangkan kota tidak 

terlalu berhasil dan tentu saja kurang populer. Contohnya yaitu  

penghancuran Les Halles, lambang Paris tua atau setidaknya kota 

Imperium Kedua. Les Halles bukan hanya pasar makanan tetapi 

bahkan setidaknya pada akhir dekade 1950-an telah memiliki dunia-

mikronya sendiri yaitu para pelacur, pencuri, pedagang kaki lima, 

dan makelar yang bahasanya yaitu  penghubung langsung dengan 

masa lalu yang menghilang dengan cepat. Dalam konteks yang tidak 

terlalu nostalgia, jalan-jalan di sekitar Les Halles menjadi rumah bagi 

komunitas besar kelas pekerja yang tidak ingin dipindahkan ke estat-

estat bangunan tinggi di luar kota, tetapi juga tidak mampu untuk 

hidup di tempat lain di Paris tengah. Prioritas pemerintah yaitu  

untuk mengurangi populasi Paris agar dapat melestarikan apa yang 

dianggapnya sebagai nilai historis. Tentu saja ada biaya manusia yang 

tinggi yang terkait dalam rencana ini.

Tidak terhindarkan lagi bahwa keluhan-keluhan pertama yaitu  

Paris sedang dibuat menjadi lokasi film atau museum. Dalam novela 

satirenya pada 1965 berjudul Les Choses (‘Hal-hal’), penulis Georges 

Perec mendeskripsikan kehidupan dua anak muda Paris bernama 

Sylvie dan Jérôme, yang berjalan-jalan tanpa tujuan mengelilingi Paris 

yang bisa mereka kagumi dalam konteks visual—dan yang memicu 

fantasi mereka tentang kehidupan ideal—tetapi yang tidak bisa mereka 



524

sentuh atau miliki. Namun demikian, keluhan tentang Paris sebagai 

tontonan urban tidak selalu datang dari para intelektual atau seniman 

terkemuka. Keluhan ini juga datang dari kelas pekerja sendiri. Tetapi 

bahkan Partai Komunis hanya menganggap banyak keberatan ini 

sebagai reaksioner dan penolakan berpandangan ke belakang untuk 

menyambut kemajuan.

Bawah Tanah Paris

Namun pada awal dekade 1960-an, sudah ada berbagai elemen 

bijaksana dalam masyarakat Paris yang menolak untuk dipandu 

oleh pendukung de Gaulle atau paternalisme Komunis yang kaku. 

Mereka termasuk kelompok-kelompok mahasiswa dan anarkis—yang 

gagasan-gagasannya bangkit kembali untuk pertama kalinya sejak 

1890-an—selain komunitas-komunitas kelas pekerja dan imigran 

yang merasa bahwa mereka hanya memiliki sedikit kesamaan dengan 

orang-orang yang dianggap sebagai atasannya di dalam partai-partai, 

baik Kanan ataupun Kiri.

Paris pada saat itu juga menjadi rumah dari latar bawah tanah 

yang sedang tumbuh yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan serupa 

di Amerika Serikat dan Inggris. Tentu saja, bawah tanah Paris dan 

dunia luar memiliki banyak pahlawan yang sama, dari Miles Davis 

hingga Jack Kerouac hingga Rolling Stones. Paris sendiri walaupun 

tidak lama pernah menjadi ibukota kontra-budaya pada akhir dekade 

1950-an bagi American Beats, yang tertarik oleh prestise intelektual 

kota dan kesenangan dekadennya. Markas besar Beats di Paris yaitu  

sebuah hotel kecil, berjuluk ‘Beat Hotel’, yang dikelola oleh Madame 

Rachou di Rue Git-le-Coeur. Di tempat inilah William Burroughs 

dan Brion Gysin memakan opium mentah dan mengisap hasish, 

melakukan eksperimen ajaib dan menciptakan ‘mesin impian’ yang 

akan melepaskan kekuatan dahsyat subjektivitas tanpa batas terhadap 

kota.

Namun demikian, kebudayaan narkoba Paris yaitu  fenomena 

massal, seperti yang tidak lama kemudian terjadi di dunia berbahasa 

Inggris, tetapi terutama terbatas pada elite kecil yang berhubungan erat 


525


dengan gerakan avant-garde yang sekarat di kafe-kafe di Montparnasse 

dan Saint-Germain-des-Prés. Oleh sebab  itu, penggunaan narkoba, 

setidaknya pada awal dekade 1960-an, yaitu  kegiatan intelektual 

dengan perhitungan daripada kegiatan yang kemudian segera terjadi 

di tempat lain di seantero dunia Barat. Bagi para calon intelektual dan 

aktor, seperti penulis pemula Jean-Pierre Kalfon dan Jean-Claude 

Bailly, modelnya yaitu  ‘le Grand Jeu’ (Permainan Besar’), sebuah 

sempalan gerakan Surealis yang telah melakukan korespondensi 

jangka panjang dengan André Breton pada dekade 1920-an tentang 

kesinambungan obat-obatan halusinogenik sebagai jalan pintas bagi 

pengalaman Surealis. Breton akhirnya menyetujui pendapat mereka, 

tetapi kelompok ini terus bereskperimen dengan asfiksiasi dan opium 

sebagai proyek mistik. Tujuan dari mereka yang menggunakan 

narkoba dalam kelompok Kalfon yaitu  pencerahan instan, cara baru 

untuk melihat kota yang telah dilewatkan oleh rute-rute tradisional ke 

arah penerangan.

Narkoba yang paling banyak digunakan yaitu  ganja, dalam 

bentuk kif Aljazair atau Maroko, yang kadang kala dicampur 

dengan opium. Narkoba ini dengan mudah diperoleh di tempat-

tempat terkenal seperti Rue Xavier-Privas atau Rue Muffetard. LSD 

datang bersama kembalinya Jean-Pierre Merle ke Paris, teman lama 

‘guru sarkastik’ Amerika bernama Timothy Leary. Markas besar 

bagi kancah perangsang kecil di Paris yaitu  toko Mandala di Rue 

Vavin, tempat LSD diedarkan dengan dilatarberlakangi oleh R&B 

Inggris atau Amerika atau, tidak kalah sering dan sama akrabnya, 

musik dari Timur. ada  pula sejumlah upaya Parisian di bidang 

obat perangsang dalam bentuk band Mahjun dan band Red Noise. 

American Center di Boulevard Raspail akan menjadi ‘ruang bebas’ 

lainnya, yang didedikasikan bagi narkoba, seks, protes politik, dan 

filsafat di luar hal-hal duniawi dalam besaran yang hampir setara.1

Kancah narkoba menyeberang ke dunia kabaret dan chanson. Salah 

satu buah paling memikat dan tidak biasa umum dari penyatuan ini 

yaitu  karya Brigitte Fontaine—seorang penyanyi, seniman, dan jiwa 

bebas yang, di bawah panduan temannya yaitu penulis lagu Jacques 

Higelin dan musisi Aljazair Araski Belkacem, dijuluki ‘Juliette Gréco 

Freaky’. Fontaine telah memulai kariernya dalam tradisi la chanson 



526

française—suatu genre yang eksponen paling terkenalnya yaitu  

Jacques Brel, Georges Brassens, dan Léo Ferré, yang menyukai kata-

kata sebanyak menyukai musik, menciptakan drama atau komedi 

mini yang terpelajar dan cerdik dalam lagu-lagu mereka. Brigitte 

menumbuhkan gaya ironis sarkastik yang dapat dibandingkan dengan 

Serge Gainsbourg. Album Brigitte Fontaine est folle  (‘Brigitte Fontaine 

Gila’) kemungkinan yaitu  contoh terbaik dari gaya ini dan lagu ‘Cet 

enfant que je t’avais fait’ (‘Anak ini yang kuberikan kepadamu’) yaitu  

bagian esensial dari lagu latar kehidupan Parisian pada dekade 1960-

an.

Fontaine juga bereksperimen dengan suatu bentuk dunia musik 

bersama Araski, membawa pengaruh Arab dan Oriental lainnya ke 

dalam musiknya. Ia berkolaborasi dengan Art Ensemble dari Chicago, 

yang saat itu berbasis di Paris dan pemain reguler di festival bebas 

mengambang di American Center di Boulevard Raspail. Ia dilupakan 

untuk sementara waktu pada dekade 1980-an tetapi ditemukan kembali 

oleh generasi penampil baru termasuk Noir Désir, Étienne Daho, dan 

Les Rita Mitsouko (yang kemungkinan merupakan penerusnya yang 

paling berhasil), dan sekarang dipuja sebagai diva bawah tanah Paris 

dan pahlawan masa rangsangan di kota.

Namun demikian, seperti musik rock Inggris-Amerika, narkoba 

perangsang tidaklah langsung sukses, bahkan di kalangan bagian-

bagian paling ‘maju’ bawah tanah Paris. Jurnal Le Crapouillot, 

yang biasanya yaitu  teman yang dapat diandalkan dari semua hal 

subversif, menghasilkan edisi ‘anti-LSD’ sementara lainnya mengutuk 

LSD sebagai ‘mode Amerika untuk orang kate’. Jalan ke depan, seperti 

diperdebatkan dalam jurnal-jurnal kabur keras kepala seperti Groupe 

Artistique Révolutionnaire dan L’Internationale situationniste, yaitu  

politis dan dalam konflik.

Para Pemimpi

Fitur paling terlihat dari Revolusi Mei 1968 yaitu  bahwa revolusi ini 

merupakan negasi total bagi semua yang ditawarkan oleh masyarakat 

Barat. Masyarakat Barat sedang sakit dan sekarat, seperti diperdebatkan 


527


dalam ruang-ruang seminar dan di terrasse-terrase di Tepi Kiri; satu-

satunya obat yaitu  transformasi total masyarakat yaitu suatu revolusi 

total. Hal ini tidak akan hanya datang dari kebudayaan saja—film dan 

musik memang hanyalah bagian dari ‘kebudayaan citra’ yang harus 

dihancurkan—tetapi dari pemutusan radikal dengan masa lalu dan 

segala tabunya.

Posisi yang berani, keras kepala, dan tak kenal kompromi ini yaitu  

salah satu tema utama film The Dreames pada 2004 yang disutradarai 

oleh Bernardo Bertolucci, yang mendeskripsikan dan menganalisis 

ménage à trois seks sedarah dan biseksual yang dilakukan oleh seorang 

laki-laki dan saudara perempuannya dari sebuah keluarga borjuis Tepi 

Kiri dengan seorang mahasiswa Amerika. Film ini banyak dikritisi, 

terutama di Prancis, sebab  catatannya yang dangkal dan disterilkan 

tentang gangguan-gangguan jalanan hasil hasutan.2 Namun demikian, 

film ini berisikan resonansi yang masih berbekas dan misterius, yang 

dalam banyak hal diturunkan dari cara di mana pengejaran dewasa 

terhadap kebebasan absolut dan mustahil ditempatkan dengan latar 

belakang kerusuhan-kerusuhan dan perkelahian jalanan di Boulevard 

Saint-Michel dan Boulevard Saint-Germain. Terutama, Bertoluci 

sepertinya mengatakan bahwa letusan kekerasan di jalanan di Tepi 

Kiri yaitu  kejadian patologis selain politis—yaitu untuk mengatakan 

bahwa semangat revolusioner para mahasiswa dipicu oleh kelebihan 

energi seksual dewasa yang sama besarnya dengan tuntutan yang 

benar-benar radikal.

Salah satu kelompok yang mengklaim telah memahami insting 

ini sebagai bagian utama dalam pembuatan revolusi yaitu  ‘L’Inter-

nationale situationniste’ (‘Situationist International’ atau SI). Ini 

yaitu  kelompok yang sangat kecil beranggotakan para berandal 

intelektual yang dipimpin oleh Guy Debord yang berusia 36 tahun. 

Ia menerbitkan jurnal dengan nama yang sama dari markas besarnya 

yang selalu berpindah-pindah di bar-bar dan kafe-kafe Quartier Latin. 

SI umumnya tidak dikenal pada masa itu, dan kelompok kecil para 

intelektual Tepi Kiri berpikiran serupa kemungkinan yaitu  satu-

satunya pembacanya.

Guy Debord sendiri yaitu  pembuat onar yang berani, karismatik, 

dan cerdik, sangat menyukai minuman keras dan perkembangan 



528

posisi-posisi teoritis tak kenal kompromi yang tidak dapat diterima. 

Terinspirasi dalam kadar yang kurang-lebih sama oleh penyair 

Baudelaire dan Lautrémont, tulisan-tulisan kritis Marx dan Hegel serta 

praktik para Dadais dan Surealis, Debord memandang dirinya sendiri 

dan ‘L’Internationale situationniste’ sebagai memimpin pembuka jalur 

revolusioner final abad ini, ‘konspirasi kabur’ yang akan meninggalkan 

‘dunia tua’ di belakangnya bagi ‘seni baru masa depan, penciptaan 

situasi’.3

Apa yang dimaksudkan oleh Debord dalam seruannya untuk 

mengangkat senjata yaitu  aktivitas politik dan seni terkonsentrasi 

yang melawan kekuasaan pengontrol ‘tontonan’—gagasan bahwa 

semua hubungan manusia dimediasi oleh citra dari televisi, film, iklan, 

surat kabar, dan majalah. ‘Tontonan’ yaitu  musuh eksistensi manusia 

yang bersemangat: “Semua yang dahulu dijalani secara langsung 

sekarang menjadi sekadar representasi.” Debord menulis dalam tesis 

pertamanya dalam bukunya La Société du spectacle (‘Masyarakat 

Tontonan’), yang ia terbitkan di Paris pada 1967 dengan niat tersurat 

“merusak masyarakat spektakuler.”4 Buku ini akan menjadi salah 

satu karya paling terkenal dan berpengaruh yang berkaitan dengan 

kejadian-kejadian pada Mei 1968.

Teori ‘masyarakat tontonan’ segera sukses dan populer di kalangan 

Paris radikal. Namun, penting untuk dipahami bahwa ‘tontonan’ tidak 

hanya merujuk pada citra-citra palsu yang dibiaskan melalui media. 

Tontonan juga, dan yang paling penting dalam teori Situasionis, 

merupakan neksus tanda dan citra, yang, saat dikembangkan ke seantero 

hubungan sosial, mengarah pada apa yang disebut Debord sebagai 

“kolonisasi kehidupan sehari-hari.” Para Situasionis memiliki perasaan 

bermusuhan yang tanpa belas kasihan dan tidak dapat didamaikan 

terhadap segala bentuk kebudayaan pop, lokasi pemisahan antara 

penonton dan tontonan. Permusuhan ini diiringi oleh keyakinan 

mereka bahwa yaitu  para pemuda yang tidak puas, bagian dari 

masyarakat yang mengonsumsi hadiah-hadiah murah masyarakat 

‘spektakuler’ dalam bentuk rekaman, pakaian dan narkoba, yang akan 

menjadi ujung tombak momen revolusioner.

Hal seperti ini sudah diumumkan setidaknya sejak akhir dekade 

1940-an oleh tokoh ‘Letterist’ Isidore Isou dalam Traité d’économie 


529


nucléaire: le soulèvement de la jeunesse (‘Perjanjian-Perjanjian tentang 

Ekonomi Nuklir: Kebangkitan Pemuda’). Dalam tulisan ini Isou, 

yang memiliki pengaruh krusial terhadap kelompok situasional awal, 

menyatakan bahwa para pemuda telah dikecualikan dari ekonomi 

sebab  tidak memiliki nilai tukar: tanpa pekerjaan, keluarga, modal, 

‘para pemuda’ bukanlah orang tetapi ‘benda mewah’ atau ‘perkakas’.5 

Seruan Isou bagi revolusi Letterist telah didasarkan pada prinsip-

prinsip negasi gerakan, yang menuntut bahwa semuanya harus 

dikurangi hingga elemen-elemen esensial paling mendasarnya dan 

kemudian ditransformasikan secara total.

Bukannya tunduk pada tuntutan palsu ‘tontonan kebudayaan’, para 

Situasionis memilih untuk hidup sebesar yang mereka bisa, menolak 

keluarga, kerja, belajar, kesenangan, dan uang dengan memilih 

kemabukan, seks tanpa batas dan eksistensi mengambang di hotel, 

apartemen murah dan rumah kos. Mereka membenci kota yang 

dibersihkan dan dimodernisasi. Melalui praktik yang mereka sebut 

‘psikogeografi’, mereka berusaha mengubah organisasi kota menjadi 

jungkir balik. ‘Psikogeografi’ yaitu  permainan, atau serangkaian per-

mainan, di mana para pesertanya berupaya menciptakan atmosfer yang 

memiliki kekuatan untuk mengganggu rutinitas dan fungsi kehidupan 

sehari-hari. Minuman keras, narkoba, musik, kebosanan, ketakutan, 

dan kekaguman semuanya memiliki peran untuk dimainkan. Sasaran 

pertama teknik-teknik ‘psikogeografis’ ini yaitu  mengaburkan 

perbedaan antara makna dan fungsi di kota.6 Pada satu titik, para 

Situasionis mendorong dalam jurnal mereka bahwa metro harus 

terbuka bagi para pejalan kaki, bahwa toko-toko obat harus menjual 

cerutu dan bahwa lampu jalanan harus memiliki sakelar mati/hidup. 

Sasarannya yaitu  mengganggu organisasi kota, membangunkannya 

kembali ke makna yang baru dan lebih bergairah.

Salah satu buku kunci Situasionis yaitu  Traité de savoir-vivre à 

l’usage des jeunes générations (diterjemahkan ke bahasa Inggris secara 

kurang tepat sebagai ‘The Revolution of Everyday Life’—‘Revolusi 

Kehidupan Sehari-Hari’) karya Raoul Vaneigem. Buku ini diterbitkan 

pada 1967 dan menyaingi karya Debord sendiri dalam hal pengaruh dan 

popularitasnya. Hal yang paling signifikan, dalam buku ini Vaneigem 

menetapkan pandangannya ke arah belakang menuju Surealisme, 



530

yang ia puji sebab  sama-sama menghargai kekhawatiran di luar hal 

duniawi (kematian Tuhan), kekerasan bersifat halusinasi dan erotisme 

yang mengalahkan tuntutan-tuntunan sistem rasional. Masalah 

dengan masyarakat Barat yaitu  masyarakat ini tidak mengalami 

pengalaman-pengalaman ‘irasional’ ini dan lebih menyukai ketertiban, 

disiplin dan ‘makna’. Vaneigem sendiri mengatakan bahwa, sebagai 

seorang Situasionis, ia mendukung kebebasan total, terutama dalam 

bidang seks dan termasuk mendobrak tabu hubungan seks sedarah. 

“Inilah sebabnya situasi kondisi saat ini cenderung menguntungkan 

hasutan Situasionis,” kata Vaneigem berharap dapat menjelaskannya.7 

Namun, meski mereka mengklaim memiliki kemampuan melihat 

masa depan, baik ia maupun para Situasionis lainnya tidak bisa 

mengantisipasi bahwa kejadian-kejadian revolusioner di Paris yang 

mereka mimpikan sudah begitu dekat.

Kebebasan Sekarang

Benih-benih revolusi pada kenyataannya disemai di luar Paris di 

Universitas Nanterre. Serangkaian bangunan suram ini dibuka pada 

1964 sebagai ‘universitas percontohan’, yang berarti bahwa universitas 

tersebut ditujukan untuk melatih generasi-generasi teknokrat masa 

depan yang akan mengawasi gerakan permesinan halus masyarakat 

Prancis. Daerah pinggiran Nanterre sangat jauh dari pusat Paris dan 

hanya bisa dicapai sesudah  perjalanan metro yang panjang ke ujung jalur, 

atau rute bus yang lebih rumit yang membawa para mahasiswa melalui 

daerah kumuh dan bangunan seadanya yang reyot di daerah ini. Pada 

1967, kampus Nanterre penuh sesak oleh sekitar 12.000 mahasiswa. 

Pemogokan mahasiswa menentang aturan kehidupan kampus yang 

sangat keras dengan cepat menjadi fitur berkala kehidupan universitas. 

Pamflet-pamflet dari Kiri jauh, termasuk Situasionis, yang bersatu 

melawan segala bentuk otoritas dan menyerukan mahasiswa untuk 

beraksi, dengan cepat dibaca habis.

Ketegangan di Nanterre meningkat hingga titik didih pada 22 Maret 

saat sekelompok mahasiswa pro-Situasionis yang menyebut dirinya 

sendiri ‘Enragés’ (sebagai penghormatan bagi para ekstremis tahun 


531


1789 yang bahkan bisa membuat takut Robespierre) melancarkan 

pendudukan bangunan utama. Pengambilalihan ini dengan cepat 

dapat diusir tetapi sekarang menarik perhatian media internasional. 

Pada saat yang sama, slogan-slogan Situasionis—‘Jangan Pernah 

Bekerja!’, ‘Kebosanan yaitu  kontra-revolusioner!’, ‘Semuanya 

mungkin!’—mulai bermunculan secara misterius di seluruh kampus.

Fokus berpindah ke Paris tengah pada 3 Mei saat tuduhan 

pendisiplinan diajukan terhadap para aktivis Nanterre di Sorbonne. 

Sebuah dengar pendapat dijadwalkan pada 6 Mei, tetapi pada tengah 

hari tanggal 3 Mei sudah muncul janji akan terjadinya kekerasan 

serius. Atmosfernya semakin panas dengan kehadiran para anggota 

‘Occident’ di sekitar Sorbone, yaitu gerakan mahasiswa sayap-kanan 

ekstrem yang ingin memulai perkelahian dengan ‘kaum bolshevik’. 

Para Enragé dan rekan-rekan seperjalanannya mulai menghancurkan 

meja untuk digunakan sebagai tongkat guna ‘membela diri’ melawan 

para anggota Occident. Inilah saat saat  otoritas yang gugup 

memutuskan untuk memanggil polisi. Pada pukul empat di sore yang 

sama, universitas dikelilingi oleh CRS—‘Compagnies Républicaines de 

Sécurité’, yang sangat terkenal akan metode-metode kerasnya dalam 

membubarkan pemogokan.

CRS tidak menyia-nyiakan waktu dalam menangkap para militan, 

atau siapa pun yang terlihat seperti seorang militan, sambil tidak 

lupa memberikan pukulan kepada mereka dalam prosesnya. Para 

mahasiswa yang telah menyaksikan semua ini tepat di depan matanya 

mulai keluar dari kafe, toko buku dan bar untuk membela rekan-

rekannya. Saat pelemparan batu dan perkelahian di Boulevard Saint-

Michel menjadi kerusuhan skala penuh,  Sorbonne pun diputuskan 

untuk ditutup. Hal ini hanya terjadi satu kali dalam sejarah panjang 

institusi ini selama 700 tahun—yaitu pada 1940, di bawah kekuasaan 

Nazi. Penutupan ini menjadi pertanda momen mengerikan bagi 

pemerintah.

Saat perkelahian berlanjut di jalanan Paris sepanjang akhir pekan 

tanggal 4 dan 5 Mei, sudah jelas bahwa de Gaulle sendiri, setidaknya 

pada awalnya, sangat memandang remeh sifat dan kekuatan ancaman 

terhadap pemerintahannya ini. Tidak seorang pun politisinya yang bisa 

menyepakati sebuah solusi dan membiarkan kekuasaan secara efektif 



532

dan dengan dampak merusak berada di tangan polisi. Sejak awal, 

para petugas kepolisian bertindak dengan kebrutalan yang konsisten 

dan ketidakpedulian terhadap dunia yang menonton. Para pria dan 

wanita muda dipukuli dengan kejam tepat di hadapan teman-teman 

dan rekan-rekannya selain di hadapan pers dunia. Seorang perawat 

mengingat kembali penangkapan dan penahanannya di Beaujon 

selama akhir pekan pertama:

Kami keluar dari bus dan dipukuli; kemudian berjalan melewati dua 

barisan CRS, saya tiba di sebuah stadion yang dikelilingi oleh kawat berduri 

… Seorang pria CRS berkata kepada saya: “Ikuti aku, akan kugunduli kau, 

rambut keriting.” Ia memukul saya. Seorang perwira mengintervensi tetapi 

gadis di depan saya semua rambutnya telah dicukur habis. Saya kemudian 

dibawa ke sebuah sel, tiga meter kali enam. sesudah  lima jam, sel tersebut 

berisikan 80 orang dari kami. Kami harus berdiri. Saya bisa melihat 

lapangan dalam; seorang pria muda berjalan melintas setengah telanjang, 

kaki-kakinya terkoyak akibat pukulan tongkat, berdarah, memegang 

perutnya, buang air kecil di mana-mana. Seorang wanita muda yang 

sebelumnya bersama pemuda tersebut mengatakan kepada saya bahwa 

CRS memukuli pemuda tersebut hingga pingsan, kemudian melepaskan 

pakaiannya dan memukuli organ seksualnya hingga dagingnya tercabik-

cabik.

Café de la Mairie di Place Saint-Sulpice, yang merupakan tempat 

bersantai mahasiswa, diserbu oleh polisi yang memukuli siapa pun 

konsumennya. Saat memprotes bahwa ia yaitu  orang asing yang 

tidak bersalah, seorang pemuda dipukul di wajahnya oleh seorang 

anggota CRS yang berkata, “Ya, dan kau datang untuk buang kotoran 

di atas kami di Prancis.”8

Perkelahian semakin keras dan semakin menakutkan daripada 

yang pernah dibayangkan siapa pun. Para mahasiswa, bersama dengan 

kelompok-kelompok Kiri-ekstrem yang datang untuk bergabung 

dengan mereka (termasuk orang-orang Situasionis), membarikade 

jalan dan pada akhirnya menduduki Sorbonne sendiri. Sebagai 

tanggapannya, polisi mulai menggunakan granat CS terhadap para 

perusuh, senjata yang baru pernah digunakan di Vietnam. Tetap 

saja para perusuh menolak untuk menyerah—membakar mobil-

mobil dan melemparkan bom-bom Molotov kepada barisan polisi. 


533


Para mahasiswa—baik pria maupun wanita—orang asing, pekerja, 

semua bergabung dalam pertempuran. Saat senja datang sesudah  

malam-malam pertama perkelahian, jalanan di Quartier Latin 

terlihat seperti bekas zona perang yang kosong. Grafiti situasionis 

dan anarkis melingkupi kekuatan-kekuatan memotivasi di belakang 

perkelahian. Contohnya yaitu  ‘BAWALAH HASRATMU MENJADI 

KENYATAAN’, ‘IMAJINASI MENGAMBIL KEKUATAN’ dan 

‘BIARKAN KAMI MENJADI KEJAM!’ Pemimpin Situasionis Guy 

Debord sangat senang melihat kemurkaan yang ia bantu lepaskan dan 

memprediksi masa depan kebebasan tak terbatas. “Kami tidak takut 

pada reruntuhan,” katanya.9

“Lari, kamerad...”

Situasi tak terkontrol ini sudah cukup serius tetapi, setidaknya menurut 

polisi, tidak ada pertanyaan bahwa revolusi mahasiswa akan menjadi 

revolusi sepenuhnya.

Kemudian, kejadian-kejadian berubah menjadi lebih serius saat , 

pada 14 Mei, gelombang pemogokan di kalangan pekerja mulai 

terlihat membawa negara berhenti sepenuhnya. Inilah momen yang 

ditakuti oleh pemerintah, saat pekerja dan mahasiswa bersiap untuk 

membuat persekutuan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang 

bisa menjatuhkan pemerintah. Saat para pekerja pos, guru, penjaga 

toko, pegawai negeri semua bergabung dalam pemogokan, sepertinya 

bahwa Paris akan terjerumus ke tingkat anarki dan ketiadaan hukum 

yang belum pernah terjadi sejak 1871. Fakta ini dirayakan dalam 

grafiti optimis: ‘Cours, camarade, le vieux monde est derrière toi!’ (‘Lari, 

kamerad, dunia lama ada di belakangmu!’).

Selama sebagian besar masa tersebut, de Gaulle sedang pergi 

melakukan kunjungan kepresidenan ke Rumania. Beredar desas-desus 

bahwa ia takut untuk kembali ke Prancis. Tetapi pada malam tanggal 

24 Mei, seperti yang telah ia lakukan dalam begitu banyak krisis 

sebelumnya, pemimpin Prancis memutuskan untuk berbicara kepada 

bangsa. Ia berbicara kepada para pemogok secara langsung dan secara 

jijik, menuduh mereka ‘buang air besar di tempat tidurnya sendiri’. Ia 



534

tidak menyetujui satu pun tuntutan mereka—yang bagaimanapun juga 

tidak koheren sehingga layak untuk mendapatkan tanggapan—tetapi 

ia memang mengakui bahwa cengkeraman lama terhadap kekuasaan 

harus diputuskan, dan bahwa ada  kebutuhan bagi “mutasi dalam 

masyarakat kita … partisipasi lebih ekstensif bagi semua orang dalam 

pelaksanaan dan hasil dari aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan 

mereka.”10

Namun, pidato yang menggugah ini tidak bisa menghentikan 

momentum konflik ini. Malam tanggal 24 Mei memang merupakan 

malam paling menakutkan dan kejam. Barikade-barikade ber-

munculan di Bordeaux, Nantes, dan Lyons, tempat seorang petugas 

polisi terbunuh. Di Paris, sekitar 30.000 demonstran yang berbaris 

menuju Place de la Bastille menemukan bahwa jalan mereka 

dihambat oleh polisi. Mereka mulai mencabuti batu-batu penutup 

jalanan, mengambil kursi-kursi dan meja-meja kafe serta semua yang 

bisa mereka temukan di depannya, dan melemparkannya ke arah 

polisi. sebab  kekuatannya sudah sangat kewalahan, polisi dan CRS 

mengelilingi Hôtel de Ville, Istana Élysée dan bangunan-bangunan 

utama kenegaraan lainnya. sesudah  entah bagaimana mereka 

mengetahui bahwa Bursa Saham tidak dijaga, sekelompok perusuh 

bersenjata lengkap bergerak menuju bangunan yang kemudian 

dibakar dengan diiringi nyanyian ‘Kuil Emas’.

Gangguan-gangguan ini sepertinya tidak bisa lebih buruk lagi. Semua 

aktivitas perekonomian di Prancis telah berhenti dan sepertinya akan 

hancur sama sekali. Pemerintah menyadari bahwa kesepakatan harus 

dibuat dengan serikat-serikat pekerja untuk menghindari skenario 

mimpi buruk yaitu para mahasiswa dan pekerja terus bersekutu. Pada 

pukul tiga di Châtelet Hotel di Rue de Grenelle, para pemimpin serikat 

dan perwakilan pemerintah membuat kesepakatan gaji yang mereka 

pikir akan menandai akhir dari konflik. Namun, kesepakatan tersebut 

hampir saja ditolak secara mufakat saat para pemimpin serikat 

menyadari bahwa mereka memegang kendali. Yang tidak kurang 

oportunis yaitu  partai-partai Kiri parlemen yang dipimpin oleh 

François Mitterrand dan Pierre Mendès France, yang mengusulkan 

koalisi Kiri, dengan mereka sendiri sebagai pemimpinnya. Sementara 

itu, de Gaulle kembali meninggalkan negara. Saat desas-desus segar 


535


tentang pengunduran dirinya mulai beredar, pada kenyataannya ia 

sedang bertemu dengan para jenderalnya yang ditempatkan di Rhine 

untuk meyakinkan dirinya sendiri akan dukungan mereka jika revolusi 

sejati memang terjadi.

Momen tersebut tidak pernah terjadi. Sebaliknya pada pukul 4.30 

sore tanggal 30 Mei, de Gaulle kembali berpidato kepada bangsa. 

Kali ini ia mengumumkan bahwa akan ada pemilihan umum dalam 

waktu empat puluh hari, menyatakan bahwa akan ada ‘tindakan sipil 

terhadap subversi’ dan memperingatkan rakyat terhadap ancaman 

‘komunisme totaliter’.11 Dengan rasa kelegaan dan kemenangan luar 

biasa, Prancis patriotis yang merupakan konstituen alami de Gaulle 

bangkit sebagai satu kesatuan: terjadi parade kemenangan yang diikuti 

ribuan orang menyusuri Champs-Élysées, melambaikan tricolores dan 

bernyanyi, ‘Prancis kembali bekerja’, ‘Bersihkan Sorbonne’ dan, lebih 

terkenal lagi, ‘Algérie Française!’

Dalam Sorbonne yang diduduki, ‘festival revolusioner’ telah lama 

berubah menjadi mimpi buruk. Koridor-koridor yang kotor sekarang 

berbau tajam dan dipenuhi oleh tikus yang berkeliaran. Koridor-

koridor ini juga dipenuhi oleh para hippy yang sedang mabuk dan 

tubuhnya penuh kutu. Para mahasiswa ‘politik’ garis keras yang 

telah menggerakkan pemberontakan ini merasa bingung dan sedikit 

ketakutan saat menemukan diri mereka bersenggolan dengan setiap 

pengedar narkoba kecil, penjahat kelas teri dan pelacur yang tertarik 

ke universitas sebab  ketiadaan hukum dan pasar yang selalu lapar 

akan narkoba dan seks murah. Sekelompok tentara bayaran yang 

disebut 

‘Katangais’, yang terdiri atas para desertir tentara dan tukang 
pukul kelas bawah, mengorganisasi ‘komite pertahanan’ dan berupaya 
menerapkan semacam ketertiban di atas kekacauan ini, namun tidak 
lama kemudian kekerasan yang mereka lakukan dianggap berlebihan 
oleh para mahasiswa yang tidak suka diatur ini dan mereka diusir 
pada minggu-minggu awal bulan Juni.
‘Komune’ tanpa pertahanan ini pada akhirnya diambil alih oleh 
polisi pada 16 Juni. Pertempuran historis demi Utopia akhirnya 
terhenti tiba-tiba, mimpi akan kebebasan total akhirnya berakhir.


536
44 
Pembunuhan Paris?
Salah satu tindakan pertama pemerintah kota sesudah  kerusuhan 
yaitu  melapiskan aspal di atas batu-batu penutup jalanan historis di 
Quartier Latin. Hal ini sebagian dilakukan atas nama kemanfaatan 
ekonomis seperti dikatakan oleh pihak berwenang. Tetapi, simbolisme 
tindakan ini tidak hilang di sebuah kota tempat begitu banyak momen 
historis telah dibentuk oleh barikade dan senjata yang dibuat dari 
bebatuan dan batu penutup jalanan dari lorong dan gang tertuanya. 
Salah satu slogan grafiti paling banyak terlihat dari Mei 1968 yaitu  
‘Sous les pavés, la plage’ (‘Di bawah batu-batu penutup jalanan, 
pantai’), sebuah saran yang cerdik dan provokatif bahwa Utopia dapat 
ditemukan dengan membongkar ke bawah jalanan itu sendiri. Di Paris 
baru yang termekanisasi pada dekade 1970-an, hal ini tidak lagi bisa 
dilakukan atau dibayangkan.
Kehidupan budaya dan politik Paris dalam dua dekade terakhir 
abad ke-20 pada kenyataannya ditentukan oleh penghematan di 
Kanan dan kemudian kekecewaan di Kiri. De Gaulle sendiri turun 
dari jabatannya pada 1969. Walaupun ia telah meninggalkan jejak 
dalam sejarah Prancis, ia meninggalkan jabatan tersebut sebagai orang 
yang kecewa. Ia telah kalah dalam referendum nasional, yang sebagian 
sebab  keterkaitannya dengan kerusuhan Mei 1968. Walaupun 
pada pemakamannya setahun kemudian ia mendapatkan semua 
kehormatan besar yang dapat diberikan Prancis kepadanya, ia masih 
dianggap sebagai pengingat masa lalu. Penerusnya sebagai presiden 
yaitu Georges Pompidou yang tidak mudah panik dan penuh tipu 
daya beserta perdana menterinya Jacques Chaban-Delmas berjanji 
untuk merangkul modernitas dalam segala bentuknya. Namun 
pada praktiknya, sebagian besar kebijakan mereka sama seperti atau 


537

dibentuk sebagai tanggapan langsung atas kebijakan yang sudah di-
formulasikan di bawah pemerintahan de Gaulle.
Sebagai konsekuensinya, Paris terhanyut semakin menjauh dari 
arus utama global, sambil menekankan sentralitasnya dalam arena 
perpolitikan Eropa. Oleh sebab nya, pemerintahan-pemerintahan 
sayap-kanan pada dekade 1970-an terutama bersifat sentris dan 
mata para pemimpinnya, sejak Pompidou hingga Giscard d’Easting, 
diarahkan pada tempat mereka dalam sejarah Eropa dan bukan 
kualitas hidup bagi Parisian biasa.
Perkembangan Paris pada dua dekade terakhir abad ini sangat 
mencerminkan kecenderungan tersebut. Dorongan pertama pada 
dekade 1970-an—mengikuti model Manhattan dan teori Le Cor-
busier—untuk membuat pemutusan radikal dengan masa lalu dan 
mengejar modernitas dengan segala biayanya, membangun semakin 
ke atas untuk membuat Paris menjadi kota pencakar langit. Proyek 
ini terutama ditujukan guna membantu merenovasi îlots insalubre—
daerah-daerah kumuh yang terutama berada di luar Paris dari 
arrondissement ke-12 hingga arrondisement ke-20.
Rencana ini dihentikan pada 1974 oleh Valéry Giscard d’Easting, 
yang menentang pencakar langit sebab  alasan estetika, dengan 
mengutip bagaimana Place des Fêtes di arrondissement ke-19 sebelum-
nya menarik tetapi sekarang sepenuhnya terkalahkan oleh menara-
menara yang mengelilinginya sejak 1971 dan seterusnya. Di Paris 
tengah, hanya Tour Montparnasse dan Tour Zamansky di Jussieu yang 
selamat dari periode ini. Giscard d’Estaing juga meminta penghentian 
sementara bagi rencana untuk merenovasi Les Halles.
Pembangunan di Les Halles dan Beaubourg yaitu  contoh paling 
terkenal dan paling terlihat jelas dari mania untuk merangkul masa 
depan dengan biaya berapa pun yang menentukan perencanaan 
urban Paris pada akhir dekade 1960-an dan 1970-an, tetapi kota pada 
kenyataannya dipenuhi dengan upaya modernitas yang tidak kalah 
lucu dan menjadi bencana. Ini termasuk distrik bisnis La Défense dan 
Tour Montparnasse. Hampir seakan-akan bahwa, sesudah  1968, pihak 
pemerintah kota berupaya secara sengaja untuk menyapu bersih 
kehidupan nyata di jalanan dan menggantikannya dengan bangunan-
bangunan yang mendominasi dan mengontrol ruang kota dengan 


538
kekuasaan dan volume mereka belaka.
“Paris Las Vegas— kota yang hanya bisa dicintai 
oleh orang Amerika”
Proyek untuk memindahkan Les Halles dari pusat kota dimulai 
kembali dengan penuh semangat di bawah pengawasan Jacques Chirac, 
walikota Paris pada 1977. ‘Perut tua Paris’ ditutupi oleh serangkaian 
balkon besi dan kaca yang memparodikan struktur asli abad ke-
19—Baltard Pavilions—tempat generasi demi generasi Parisian telah 
datang untuk mencicipi substansi berani kehidupan proletar. Sebuah 
mal perbelanjaan dibangun hingga dalam di bawah tanah di pusat 
pembangunan. Menurut arsiteknya yaitu Claude Vasconi dan Georges 
Pencréa’ch, yang meyakinkan dirinya sendiri secara berlebihan, ini 
yaitu  trik yang cerdik: sebuah pencakar langit terbalik di jantung 
Paris. Keburukan konstruksi ini hanya disamai oleh efek membuat 
depresi dan mengalienasi yang disebabkannya terhadap Parisian dan 
juga pengunjung kasual. Demikian pula, Centre Georges Pompidou 
(kadang kala disebut Beaubourg—sebuah area yang diidentifikasi 
sebagai îlot insulabre setidaknya sejak 1932), yang walaupun tidak 
jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki, juga paling terkenal sebab  
penentangannya terhadap kekakuan arsitektur atau kepekaan artistik 
mana pun. Dirancang oleh arsitek Inggris Richard Rogers dan arsitek 
Italia Renzo Piano, tidak diragukan lagi bangunan ini akan bertahan 
hingga abad ke-21—jika mampu bertahan dari polusi, turis dan lalu 
lintas—sebagai monumen bagi arogansi para arsitek yang menghargai 
efek murahan di atas keindahan atau gaya.
Opini yang dimiliki para intelektual Paris pada saat pembangunan 
tersebut yaitu  kekuatan modal dan keteraturan telah melakukan 
pembalasan dendam melawan kota yang tidak teratur yang muncul 
ke permukaan dalam ‘festival revolusioner’ pada Mei 1968. Misalnya, 
inilah salah satu alasan mengapa sebuah tulisan pendek berjudul 
L’Assassinat de Paris (‘Pembunuhan Paris’) oleh Louis Chevalier 
menjadi begitu populer pada akhir 1970-an. Dalam buku ini, 
Chevalier menegaskan bahwa Paris telah memulai kemerosotan yang 
sangat cepat pada akhir dekade 1960-an dan awal 1970-an saat de 

539

Gaulle dan kemudian Pompidou telah meluruskan jalanan, merapikan 
quartier-quartier yang reyot dan mengevakuasi kelas-kelas pekerja 
keluar dari kota. Sejak saat itu, kota sudah memasuki masa sekarat 
dan tidak dapat dikenali bahkan oleh mereka yang lahir kurang dari 
satu generasi lalu. Chevalier yang pada titik ini dalam kariernya paling 
dikenal sebagai sejarawan ‘kelas-kelas berbahaya’ di Paris abad ke-
19—para pengelana, imigran, dan pecandu alkohol selain kelas-kelas 
pekerja tradisional—menegaskan bahwa yaitu  hubungan dinamis 
dan selalu berubah antara Paris tengah dengan tokoh-tokoh marjinal 
ini yang telah mendefinisikan sejarah kota.
Sekarang, katanya, ia sia-sia mencari mereka di bagian-bagian kota 
yang secara tradisional menjadi milik kelas-kelas ini—Belleville atau 
Barbès yang baru saja dibuat lebih indah. Paris, menurut pandangannya, 
sedang dibunuh di depan mata kita. Hal ini, menurut pendapat 
Chevalier, yaitu  hasil langsung dari kesepakatan-kesepakatan korup 
dan rencana terarah untuk menghancurkan warisan politik kota, dan 
ia mengutip sebuah artikel dalam International Herald Tribune yang 
mendeskripsikan kota yang dibangun pada dekade 1970-an sebagai 
“Paris Las Vegas—kota yang hanya bisa dicintai oleh orang Amerika.”1
Chevalier mungkin saja hanya bernostalgia, dan bahkan terlalu 
berlebihan untuk mengatakan bahwa seluruh kota sedang dibersihkan 
dan disanitasikan: kunjungan singkat ke La Goutte d’Or pada awal 
dekade 1970-an akan menghilangkan gagasan ini dari siapa pun. 
Namun, ia tidak sepenuhnya salah mengenai cara di mana bagian-
bagian tengah Paris kehilangan identitas uniknya. Pada kenyataannya, 
bukti argumentasinya dapat dilihat kapan pun juga di daerah seperti 
Marais, sebelumnya bagian kota yang tidak terawat, tempat benturan 
lalu lintas, turis dan pembeli di toko-toko perancang sepanjang Rue des 
Francs-Bourgeois tidak membenarkan gagasan bahwa bagaimanapun 
juga ini yaitu  distrik Paris biasa, yang entah bagaimana masih utuh 
dan bersentuhan dengan masa lalunya. Praktik façadisme—teknik 
arsitektur di mana bangunan tua dihancurkan kecuali bagian depannya 
untuk memberi ilusi kehadiran masa lalu—menjadi kebiasaan dalam 
pembangunan kembali Marais dan daerah-daerah kuno lainnya pada 
dekade 1970-an. Istilah ini kemudian mulai diterapkan untuk seluruh 
konsep membangun kembali Paris, yang sudah sejak lama kehilangan 


540
‘kelas-kelas berbahaya’ yang aslinya menjadi pembuat sejarahnya, 
sebagai museum kosong. Saat ini, Marais yaitu  distrik yang disiapkan 
untuk mereka yang mengejar pakaian mahal, galeri seni, furnitur yang 
berselera buruk atau seks yang riang. Namun penting untuk diingat 
bahwa distrik ini terutama yaitu  distrik hiburan—menawarkan 
tontonan tanpa hubungan dengan kehidupan nyata. Oleh sebab  
itu, makanannya hampir selalu biasa saja dan bar-barnya sekarang 
terutama dipenuhi para klien internasional yang sama saja dengan 
kota besar Barat mana pun di abad ke-21. Sekarang, sebagian besar 
kekhususan Marais sudah hilang selamanya.
Penampilan Modern
Bukanlah kebetulan bahwa migrasi ke arrondissement ke-13 dan 
arrondissement lainnya yang letaknya tidak terlalu di tengah telah 
bersamaan dengan stagnasi politik dekade 1970-an. Pada akhir dekade 
tersebut, bagian tengah Paris yang berpusat di sungai Seine dari 
Tepi Kanan atau Tepi Kiri, secara bertahap menjadi semakin terlalu 
mahal bagi semua orang kecuali kelas-kelas terkaya. Bagi banyak 
generasi pasca-’68 (yang disebut soixante-huitards), yang menuntut 
akses ke kesenangan kehidupan kota sebagai hak fundamental tetapi 
tidak memiliki uang atau minat dalam menghasilkan uang, satu-
satunya alternatif yaitu  hidup secara komunal dalam bangunan 
yang digunakan secara bersama-sama atau bangunan yang biasanya 
dikhususkan untuk para imigran dan pekerja kelas rendah. Berbagai 
kelompok ‘otonom’ menduduki bangunan kosong atau tak terpakai, 
yang membuat pemerintah kota sangat kecewa. Sebagian besar 
bangunan ini berada di arrondissement ke-19, arrondissement ke-20, 
atau arrondissement ke-13 dan segera menjadi markas besar kontra-
kebudayaan yang mungkin saja telah kalah dalam pertempuran pada 
1968 tetapi menganggap dirinya sendiri sebagai pewaris sejati identitas 
kota.
Dampak punk rock juga mengubah geografi budaya kota. 
Pergerakan, yang menyebar paling dramatis pada pertengahan 1970-
an sebagai fenomena budaya di New York dan London, sebagian 

541

akarnya berada di Paris. Para pengusaha yang berbasis di Paris, 
seperti produser rekaman Marc Zermati dan band-band awal seperti 
Shag Nasty dan Stinky Toys memang merupakan bagian integral dari 
latar punk Eropa (para Situasionis juga diklaim memiliki pengaruh 
oleh Malcolm McLaren yang merupakan manajer Sex Pistols). Sejalan 
dengan filosofi punk nihilis masa tersebut, menjadi gaya untuk 
meremehkan pusat dan bergerak ke penggiran. Popularitas tindakan 
menduduki gedung tanpa izin, bersamaan dengan kebangkitan 
narkoba keras, juga membantu untuk menentukan estetika ‘orang luar’ 
yang secara sengaja menghancurkan diri sendiri. Seniman periode 
ini yang menjadi contoh sempurna yaitu  Robet Malaval, pengagum 
karismatik Keith Richards dan Picasso, yang dikagumi dan didorong 
oleh Dali dan seorang ‘bunuh diri dunia seni’ yang flamboyan. Malaval 
hidup (dengan uang pinjaman) secara bergaya—ia memiliki apartemen 
di Rue de Pont-Louis-Philippe yang cukup mewah. Ia meninggal pada 
1980 sebab  overdosis yang disengaja sambil mendengarkan lagu 
kebangsaan punk klasik Richard Hell berjudul ‘Blank Generation’. 
Dalam catatan bunuh dirinya, ia menulis bahwa inilah satu-satunya 
hadiah bagi masa depan.
Namun demikian, isyarat melodramatis semacam ini tidak di-
apresiasi secara universal oleh para punk Paris, yang sering kali lebih 
politis dan menuntut daripada rekan-rekan Inggris-Amerikanya. Salah 
satu alasannya yaitu  bahwa latar punk Paris dipengaruhi oleh latar 
seni yang sangat dipolitisasi selain oleh musik rock belaka. Misalnya, 
kekuatan pendorong kunci yaitu  kelompok ‘Bazooka’ yaitu kumpulan 
orang yang menyebut dirinya sendiri ‘teroris seni’ yang didirikan pada 
1975 dengan tujuan yang dinyatakan yaitu  mengganggu sebanyak 
mungkin sesuai kemampuan mereka tontonan media Paris modern. 
Anggota mereka termasuk Olivia Clavel, Lulu Larsen, Bernard Vidal, 
Jean Rouzaud, serta Kiki dan Loulou Picasso. Walaupun semuanya 
yaitu  veteran dari berbagai kelompok yang menduduki bangunan 
tanpai izin dan kolektif namun mereka sangat membenci para hippy 
(yang dalam bahasa Prancis dikenal sebagai babas cool). Dalam foto-
foto awalnya, dari 1975, yang sangat dipengaruhi oleh New York Dolls 
dan gaya ‘trash (sampah)’ New York generik, mereka terlihat seksi 
dan bergaya, versi bingung dan tidak jelas sebab  narkoba dari Manic 


542
Street Preachers awal.
Pada kenyataannya, Bazooka bukanlah punk sejati (dan tentu saja 
bukan hippy), melainkan keturunan sejati para Situasionis, menyatakan 
dalam sebuah manifesto bahwa mereka yaitu  “Republik Bebas di 
jantung Media. Inilah mengapa kami diancam.”2 Mereka juga sangat 
provokatif: “Kami menolak untuk mengakui negara Israel” yaitu  
pernyataan awal yang menghina secara sengaja. Di antara aktivitas 
mereka yang sangat terkenal yaitu  serangan satire terhadap dunia 
dalam majalah mini Un regard moderne dan Sandwich. Majalah mini 
ini diberikan secara gratis oleh surat kabar harian Libération, yang 
didirikan pada 1973 sebagai pembawa bendera liberalisme pasca-’68. 
Kelompok Bazooka bubar pada 1978—dalam gaya band-rock terbaik, 
masalah narkoba dan percobaan bunuh diri yaitu  penyebab bubarnya 
mereka.
Namun demikian, pengaruh mereka sangat cepat dan menyebar 
luas, merangkul band-band lain seperti feminis punk Paris LUV 
(‘Ladies United Violently’), di bawah pimpinan seniman Dominique 
Fury, yang menyatakan bahwa “Marx, Hitler, dan Mao semuanya 
menggelikan dan semuanya pria”. Feminisme pada titik ini dalam 
sejarah budaya Paris sudah sangat tinggi posisinya. MLF (‘Mouvement 
pour la Libération des Femmes’) didirikan pada 1968 oleh Antoinette 
Fouque, Josiane Chanel, dan Monique Wittig, yang sekarang men-
duduki posisi otoritas politik yang memengaruhi semua partai Kiri. 
Karya-karya Simone de Beauvoir telah memberikan dorongan awal 
pada dekade 1940-an; MLF juga mengklaim suara-suara radikal baru 
seperti Christine Delphy, yang menyatakan perlunya transformasi 
total kehidupan sehari-hari wanita.
Band-band lain, dengan nama seperti Métal Urbain dan Skydog 
Commando, tidak kalah politisnya dari LUV. Dari Bazooka mereka 
mengambil kemuakan terhadap media dan bahasa resmi kebudayaan. 
Karya seni sampul kaset oleh band-band ini sering kali hampir 
dipinjam secara langsung dari gaya Bazooka, dengan motif naskah 
cetakan yang memasukkan gambar dan kolase gaya-Situasionis. 
Selebaran untuk klub-klub seperti Rose Bon Bon dan Gibus juga 
mengadopsi cara tipografi yang sama. Gaya ini bertahan ke dalam 
arus utama kontemporer melalui mingguan satire Hara Kiri, Charlie 

543

Hebdo dan L’Écho des savanes.
Di antara semuanya, Bazooka dan kelompok-kelompok yang 
dipengaruhinya memperkenalkan gaya pembangkang keras kepala 
ke dalam jantung kota yang, bagi banyak penduduknya, menjadi 
pameran masa lalu dan monumen hampa bagi kapitalisme. Dalam hal 
ini, Paris setidaknya mampu melangkah bersama New York, Berlin 
dan London, bahkan jika Paris tidak cukup bisa mengambil peran 
tradisionalnya sebagai pemimpin budaya.
Raja Terakhir Sejati Prancis
Saat François Mitterand naik ke tampuk kekuasaan pada 1981, 
Paris menyambut gembira kedatangan seorang presiden Sosialis 
dan kembalinya warisan radikalnya. Hantu-hantu Front Populaire, 
Komune dan bahkan Mei 1968, dibangkitkan kembali oleh Parisian 
yang sangat ingin melihat kota mereka kembali dipulihkan sebagai 
ibukota dunia bagi perpolitikan revolusioner. Namun, tidak lama 
kemudian mereka akan kecewa. Mitterrand yaitu  ahli menipu dan 
berbicara ambigu dengan loyalitas sejati hanyalah kepada diri sendiri 
dan posisinya dalam kekuasaan. Sebagian besar energi Mitterrand 
selama dekade 1980-an telah dihabiskan oleh keinginannya untuk 
mengarahkan peristiwa-peristiwa dengan biaya apa pun, bahkan jika 
hal itu berarti mengabaikan hampir semua janji dan prinsip yang 
membuatnya berkuasa. Para pengkritik pemerintahan Mitterrand 
segera menyadarinya. Sang presiden biasanya dideskripsikan sebagai 
‘raja terakhir Prancis’ sebab  caranya mengelola para pendamping 
dalamnya bagaikan di sebuah istana dan juga sebab  perilaku dan 
sikapnya. Ia sering kali mengambil prestise amat tinggi seorang 
manusia takdir penuh kesedihan sebagai pemimpin sebuah negara 
yang sedang mengalami kemerosotan yang tidak disebabkannya dan 
yang tidak bisa dihentikannya.3
Namun, Prancis menerimanya sebagai tokoh yang dipandang 
sebagai seorang paman (umumnya mereka memanggilnya tonton—
‘paman’) yang—mereka harus berasumsi—pada dasarnya memikirkan 
kepentingan terbaik mereka. Menjelang akhir periode masa jabatannya, 


544
saat ia terbaring sakit sebab  kanker prostat, muncul perincian-
perincian masa lalu sayap-kanannya dan tuduhan kolaborasi yang 
telah berhasil dihindarinya sejak 1945. Apa pun kebenaran sejatinya, 
desas-desus ini telah memberikan bayangan panjang dan gelap 
terhadap elite politik Prancis, sementara sebagian besar orang biasa 
hanya merasakan rasa malu dan dikhianati. Kelemahan para Sosialis 
penerus Mitterand, dan kemudian sejumlah upaya koalisi sentris 
yang kemudian terjadi sesudah  kekalahan mereka dalam pemilihan 
umum, dapat diperdebatkan telah disebabkan oleh pengungkapan ini. 
Kesuksesan Jacques Chirac, manipulator ulung dan oportunis sinis, 
pahlawan haut bourgeois Kanan dan musuh seluruh Prancis lainnya, 
juga dapat dijelaskan oleh kevakuman politik yang merupakan warisan 
nyata Mitterrand kepada negaranya.
Konsekuensi campuran kesombongan dan hauteur dingin yang 
menjadi ciri khas tahun-tahun terakhir masa jabatan Mitterand 
disebut grands travaux (‘karya-karya besar’) yang ia perintahkan untuk 
dibangun di seantero Paris, dan yang dirancang sebagai monumen yang 
bertahan lama bagi pemerintahannya. Hal ini melibatkan perubahan 
signifikan terhadap lanskap Paris, termasuk renovasi taman-taman 
Tuileris dan Louvre serta penambahan piramida kaca di halaman 
dalamnya, pembangunan Grande Arche de la Défense, Opéra de la 
Bastille dan Bibliothèque baru di Tolbiac. Semua proyek ini dikotori 
oleh kontroversi dan skandal, berkisar dari tuduhan urusan keuangan 
yang tidak jelas hingga ketidakmampuan manajerial. Lebih buruk 
lagi, proyek-proyek ini hampir secara universal tidak disukai sebab  
alasan estetika oleh Parisian biasa yang harus hidup berdampingan 
dengannya. Jauh dari merayakan Paris rakyat yang ‘populer’—orang-
orang yang benar-benar membuat sejarah kota—bangunan-bangunan 
tersebut yaitu  konstruksi yang abstrak dan tak berjiwa yang hanya 
bisa memuaskan mata dingin arsitek dan birokrat.
Secara Teori
Setahun sebelum Mitterrand berkuasa, Jean-Paul Sartre wafat pada 
usia 75 tahun. Seperti pemakaman Victor Hugo hampir satu abad 
sebelumnya, pemakaman ini dipandang sebagai momen sangat 

545

penting dalam sejarah masa tersebut, bahkan oleh mereka yang belum 
pernah membaca buku Sartre. Lebih dari 50.000 orang memenuhi 
jalanan Tepi Kiri saat ia dimakamkan di permakaman Montparnasse di 
pagi yang suram di bulan April. Surat-surat kabar menyatakan bahwa 
ini yaitu  kematian, baik secara nyata maupun simbolis, intelektual 
Prancis—yang pada dasarnya tokoh Paris dengan tujuannya yaitu  
mengintervensi kehidupan budaya dan politik, yang telah diciptakan 
oleh Zola pada awal abad ke-20 dan dilahirkan kembali selama dekade-
dekade selanjutnya dengan setiap krisis dan bencana baru.
Sartre mulai diperhitungkan selama Pendudukan tetapi trajektori 
intelektualnya telah membawanya melalui keterlibatan intelektual 
selama beberapa generasi, melalui berbagai krisis perang Aljazair, 
Vietnam, Mei 1968 dan terorisme dekade 1970-an. Diakui bahwa 
kematiannya telah menjadi pertanda bagi berakhirnya Paris sebagai 
ibukota intelektual dunia. Ratapan yang sama didengar selama sekitar 
satu dekade kemudian, dengan wafatnya secara berturut-turut Roland 
Barthes (1980), Raymond Aron (1983), Simone de Beauvoir (1984), 
Michel Foucault (1984), Louis Althusser (1990), Guy Debord (1994) 
dan, baru-baru ini, Jacques Derrida (2004).
Pernyataan ini memang ada benarnya. Tentu saja sejak awal 
dekade 1980-an dan seterusnya, sedikit sekali intelektual Prancis yang 
memiliki posisi terkemuka apa pun dalam kehidupan publik atau opini 
publik seperti yang pernah mereka duduki di masa-masa sebelumnya. 
Hal ini sebagian disebabkan oleh bangkitnya media massa—yang 
tentu saja memberikan publik yang lebih besar kepada para intelektual 
tetapi juga mengurangi kontrol mereka terhadap posisi editorial dan 
bahkan keputusan pemasaran yang dibuat untuk mempromosikan 
buku. Berdampingan dengan popularitas program televisi ‘intelektual’ 
pasar-masal, seperti Apostrophes, muncullah para intelektual pasar-
massal seperti Bernard Henri-Lévy. Ia yaitu  guru terkemuka dari 
orang-orang yang menyebut dirinya sendiri ‘filsuf baru’. Kemeja 
sutranya dan teman-teman wanitanya yang glamor mendapatkan 
nilai penting yang sama dalam pers sebanding dengan pandangannya 
terhadap dialektik Hegelian atau Bosnia. Tokoh-tokoh serius, seperti 
Jean Baudrillard, yang dirinya sendiri merupakan kritikus kehidupan 
kontemporer ‘tontonan’ atau ‘simulakrum’ yang didorong oleh media, 


546
tak terelakkan lagi turut tertangkap dalam silau liputan media yang 
sama, bahkan saat  mereka mencoba untuk menghindarinya.
Dengan ‘kematian’ intelektual telah datang kemerosotan bagi 
daerah-daerah seperti Saint-Germain-des-Prés atau Montparnasse, 
yang pada pertengahan abad ke-20 menawarkan demokrasi meja 
kafe untuk semua orang yang datang. Orang muda, orang miskin, 
orang kreatif dan pembangkang yang sebelumnya menentukan 
quartier-quartier ini sudah sejak lama pindah, tidak mampu untuk 
menyewa kamar atau membeli kopi di terrasse-terrasse. Namun, 
berlawanan dengan kebijaksanaan yang diterima, intelektual Paris 
masih hidup dan sehat; mereka hanya berpindah alamat. Daerah-
daerah yang sebelumnya ‘marjinal’ seperti arrondissement ke-12, 
arrondissement ke-13, sebagian dari arrondissement ke-14 bagian 
bawah, arrondissement ke-18 dan arrondissement ke-20, atau bahkan 
Saint-Denis dan Gennevilliers menjadi rumah bagi generasi baru 
intelektual yang menulis, melukis, menerbitkan, dan berdebat dalam 
cara tradisional. Argumentasinya sekarang yaitu  tentang tantangan 
Eropa pasca-kolonial atau perpolitikan trans-seksual dan bukan 
dialektikal materialisme atau hubungan orang dengan partainya. 
Derrida masih dibaca, selain Debord, Deleuze, Blanchot, dan Bataille 
selain para ahli pemikiran abad ke-20 lainnya, tetapi mereka dibaca 
berdampingan dengan Alain Badiou, Giorgio Agamben, Edward Said, 
Fatima Mernissi, atau pemikir-pemikir muda seperti Mehdi Belhaj 
Kacem.
Motif paling kuat yang berulang kali muncul dalam perdebatan 
saat itu yaitu  pertanyaan yang diformulasikan oleh Jacques Derrida 
pada awal dekade 1990-an tentang etika dan makna ‘keramahan’. 
Dalam dunia di mana pemikiran biner yang memisahkan ‘diri sendiri’ 
dan ‘orang lain’ menjadi rasionalitas bagi agresi paling membunuh, 
pentingnya pertanyaan Derrida terbukti dengan sendirinya.
Sudah menjadi gaya selama waktu yang lama di dunia penutur 
bahasa Inggris untuk memproklamasikan kematian intelektual 
Prancis atau ketidakrelevanan dan ketidakefektifannya di masa 
modern. Sejumlah kecil intelektual Prancis sebenarnya mengakui 
hal ini dan dengan sejumlah justifikasi. Pada akhir dekade 1990-an, 
saya menghadiri sebuah seminar di Paris yang diberikan oleh Jean 

547

Baudrillard, yang selalu mengejar kebenaran etis atau ontologis di 
belakang bencana seperti genosida di Rwanda atau pembersihan etnis 
di Bosnia atau mempertimbangkan masa depan terorisme. Baudrillard 
sekarang yaitu  tokoh yang sudah tua tetapi ‘anak-anaknya’—generasi 
baru intelektual yang tidak puas—ada di mana-mana.
Apa yang telah berubah yaitu  gagasan, opini dan terutama teori 
pembangkang baru sama mungkinnya untuk dibahas dalam halaman 
majalah bergaya seperti Les Inrockuptibles—keturunan lainnya dari 
suasana punk Paris—maupun di halaman Le Monde yang lebih 
istimewa. Apa yang sama-sama dimiliki oleh arena budaya ini yaitu  
keduanya menganggap serius teori filosofis seperti seriusnya generasi 
Paris mana pun sebelumnya.
Tahun-Tahun Hitam
Dekade 1990-an dalam banyak hal yaitu  dekade yang sulit bagi 
Parisian. Periode dimulai dengan kota di bawah bayangan seorang 
presiden yang sedang sekarat dan rasa terombang-ambing secara 
historis. Jacques Chirac dipilih sebagai presiden pada Mei 1995, namun 
kewenangannya segera dirongrong oleh serangkaian pemogokan, 
skandal korupsi dan manuver kikuk dari perdana menterinya, Alain 
Juppé, yang arogansi dan selera nepotismenya membuatnya sangat 
tidak populer. Kembalinya partai-partai kanan ke kekuasaan juga 
memicu pemogokan di sektor publik—dipimpin oleh serikat pekerja 
transportasi Paris—yang tumbuh semakin sengit dengan setiap 
kegagalan kesepakatan upah yang diperantarai oleh Juppé. Pada akhir 
Desember 1995, sesudah  kekacauan dan kekerasan tingkat rendah yang 
sporadis, Paris terasa seperti kota hantu; di hari-hari belanja tersibuk 
sepanjang tahun, sebagian besar jalanan kosong, kecuali sejumlah kecil 
turis yang mampu membayar harga tinggi dan yang tidak terancam 
oleh hantu ganda pengangguran dan pajak tinggi. Pers melaporkan 
rasa drepresi dan kekhawatiran yang menyebar ke seantero kota 
dan mulai menggunakan istilah la morosité untuk mendeskripsikan 
sifat kehidupan Paris ‘yang hampir punah’. Bahkan sekarang, para 
komentator budaya biasanya menyebut tahun 1994 dan 1995 sebagai 


548
‘tahun-tahun hitam’, saat identitas Paris menghadapi bahaya serius 
yaitu tenggelam di bawah serangkaian krisis lainnya.
Atmosfer kota juga dibungkam sebagai konsekuensi gelombang 
serangan teroris pada 1995. Paris pada saat itu sudah lama akrab 
dengan terorisme dan para pelakunya. Kehidupan kota yang mengalir 
lancar sudah berulang kali diganggu oleh serangan teroris pada dekade 
1980-an. Salah satu aksi paling terkenal yaitu  pembunuhan yang 
dilakukan oleh kelompok anarkis bernama ‘Action Directe’. Aktivitas 
mereka berpuncak pada penembakan oleh dua orang wanita bertopeng 
terhadap Georges Besse, eksekutif kepala Renault, di rumahnya pada 
17 November 1986.
Kota Paris sebelumnya telah dikejutkan oleh penembakan 
terhadap enam orang pengunjung restoran yang tidak bersalah di 
Goldberg’s Deli di Rue des Rosiers pada 1982, yang kelihatannya atas 
nama kemerdekaan Palestina. ada  sejumlah serangan terkait 
Islam lainnya pada 1986, termasuk satu serangan di sebuah pusat 
perbelanjaan di Champs-Élysées pada Maret; dua orang terbunuh 
dan dua puluh delapan orang lainnya terluka. Pada September tahun 
tersebut, sebuah badai api benar-benar menyapu kota. Bom-bom 
dipasang di Hôtel de Ville, La Défense, kantor Renault dan di Tati 
di Rue de Rennes. Dengan kebijakan harga rendah dan atmosfernya 
yang santai, Tati sudah lama menjadi toko favorit bagi para imigran 
dan orang-orang miskin Paris. Serangan ini lebih mengejutkan 
sebab  ketidakpeduliannya kepada kelas-kelas termiskin kota: Bom 
menewaskan tujuh orang dan melukai lima puluh tujuh orang lainnya.
Namun, pengeboman pada 1995 mengumumkan tingkatan baru 
dalam perang antara faksi-faksi di dunia Arab dan Paris. Pada 25 Juli, 
sebuah bom di jalur metro menuju daerah pinggiran di stasiun metro 
Saint-Michel menewaskan tujuh orang dan melukai delapan puluh 
empat orang lainnya. Bom lainnya yang meledak pada 17 Agustus 
di Place de l’Étoile melukai tujuh belas orang. Terjadi pula sejumlah 
pengeboman lainnya—di Maison Blanche, Orsay, dan Saint-Michel, 
hingga sel Islamist Algerians yang bertanggung jawab, yang dipimpin 
oleh Khaled Kelkal, diburu hingga Lyons tempat Kelkal ditembak oleh 
polisi. Serangan terhadap Paris hampir selalu merupakan limpahan 
energi teroris dari perang saudara Aljazair yang saat itu mencapai 

549

puncak paling berdarahnya. Saat ratusan ribu orang sedang dibantai di 
Aljir—oleh para teroris Islam dan pasukan pemerintah: tidak seorang 
pun mengetahui dengan jelas apa yang sedang terjadi—para milisi 
Islam, yang terdiri atas para veteran yang kembali dari peperangan 
Afganistan, menyalahkan Prancis sebab  mendukung pemerintah 
Aljazair yang sekuler dan untuk segala kesalahan kolonial di masa lalu. 
Kelompok ini juga memprediksi sejumlah serangan terhadap New 
York dan London pada tahun-tahun pertama abad ke-21. Nantinya 
terungkap bahwa salah satu rencana milenium teroris Islam untuk 
Paris yaitu  menabrakkan sebuah pesawat terbang ke Menara Eiffel.
Pemuda-Pemuda (dan Gadis-Gadis) Seksi
Saat kekerasan dan teror mendominasi jalanan, seks dan cinta entah 
bagaimana masih menjadi pusat dari etos dan mitologi Paris. Tetapi 
hal ini juga dalam bentuk yang termutasi secara aneh. Hantu AIDS, 
yang mulai menjadi bagian dari kehidupan kota pada dekade 1980-
an, sekarang memunculkan awan tebal di atas Paris. Malam-malam 
liar di klub malam Palace di dekat Folies-Bergère, yang telah dibasahi 
oleh LSD, kokain dan amfetamin di hampir sepanjang dekade 1980-an 
dalam hiruk-pikuk pan-seksual, sekarang digantikan oleh suasana yang 
lebih keras dan lebih berat. Edmund White menyebut Palace ‘Studio 
54 di Paris’—tentu saja menjadi tempat bergaul utama bagi calon 
bintang media dan sastrawan muda. (Secara pribadi, saya memiliki 
memori indah tentang Palace: inilah tempat pertama kalinya saya 
menggunakan LSD pada 1984 dan jatuh cinta pada seorang sekretaris 
bermata-kohl dari Feyzin bernama Françoise Bailly, berdansa diiringi 
oleh lagu Dalida, Prince, dan Les Rita Mitsouko.)
Perasaan akhir zaman tertangkap dalam film Les Nuits fauves 
(‘Malam-Malam Liar’) karya Cyril Collard pada 1992. Ini yaitu  
film tentang perjalanan memanjakan diri sendiri tetapi berpengaruh 
melalui kehidupan malam Paris yang biseksual. Collard sendiri tidak 
berumur panjang untuk melihat film atau menerima penghargaan 
yang diraihnya sebab ia meninggal dunia sebab  AIDS saat film 
tersebut sedang menjalani pemrosesan akhir. Kematian penulis 


550
Hervé Guibert pada 1991 menjadi tontonan publik yang lebih besar 
walau tidak terlalu mengejutkan. Guibert pernah menjadi teman 
intim Roland Barthes dan Michel Foucault (yaitu  Guibert yang 
pada kenyataannya ‘mengeluarkan’ Foucault sebagai seorang sado-
masokistik dalam memoarnya À l’ami qui ne m’a pas sauvé la vie—
‘Kepada teman yang tidak menyelamatkan nyawaku’—tahun 1990) dan 
memainkan koneksinya untuk meningkatkan posisinya.  Ia membuat 
sebuah film tentang dirinya sendiri yang sedang sekara (La Pudeur ou 
l’impudeur—‘Rasa Malu dan Tidak Tahu Malu’), tetapi pada saat itu 
banyak orang dalam komunitas gay menemukan bahwa ia bersalah 
melakukan eksibisionisme mengasihi diri sendiri yang terburuk. 
Meninggal sebab  AIDS yaitu  takdir yang suram; mengubahnya 
menjadi acara realitas TV yaitu  penghinaan terhadap semua orang 
yang terpaksa meninggal secara tersembunyi dan sendirian. Para 
penulis gay lainnya, seperti Renaud Camus, menjauhkan diri dari 
publisitas murahan seperti itu dan sebaliknya mengajukan identitas 
‘ganjil’ plural baru yang meninggalkan ide-ide seperti rasa malu dan 
rasa takut di masa lalu, berdampingan dengan ‘pendeta supranatural’ 
Jean Genet (bagi orang-orang seperti Camus, Genet menghidupkan 
kembali ‘homoseksualitas gaya-lama’ di mana ia diperbudak oleh 
agama dan tatanan moral yang disangkal oleh homoseksualitasnya 
tetapi dibiarkan tetap ada).
Pada dekade 1990-an, Paris tidak hanya muncul sebagai ibukota 
gay Eropa teapi juga ibukota dunia échangisme atau pertukaran 
istri. Ini bukanlah, seperti di sebagian besar negara Eropa, aktivitas 
pinggiran yang kumal tetapi tontonan yang sangat urban yang 
terjadi di klub-klub bergaya dan eksklusif seperti Bambou atau 
Christ et Manu dan dirayakan dalam majalah-majalah glossy seperti 
New Look dan Interview, yang menawarkan pornografi ringan, 
politik dan kebudayaan dalam paket yang sama. Bagi mereka yang 
lebih suka berpetualang dan eksibisionis selalu ada échangisme 
sauvage yang terjadi di Porte Dauphine atau Bois de Boulougne. 
Kesuksesan petualangan seksual arus utama Catherine Millet seperti 
dideskripsikan dalam ‘autobiografinya’ yang laris mengonfirmasi 
selera publik terhadap bahan ini.4
Novel-novel laris karya Michel Houellebecq, pengagum dan penerus 

551

Céline, juga sering mengambil latar dunia ini. Pada 1995, Houellebecq 
hidup di sebuah HLM di dekat stasiun metro Boucicaut dan bekerja 
sebagai operator komputer di Majelis Nasional. Pada saat itu, ia 
telah mendapatkan reputasi kecil sebagai penyair dengan karyanya 
yang unik sebab  merupakan kombinasi realisme dan melankolis; 
bahkan puisi-puisinya dari periode ini lebih sejalan dengan penyair 
Inggris seperti Philip Larkin daripada eksperimen kesadaran-diri 
yang masih populer di sejumlah kelompok orang di Tepi Kiri. Lebih 
terlihat lagi yaitu  fakta bahwa Houellebecq, yang sangat cemerlang 
dalam menulis tentang Paris kontemporer, menangkap kontradiksi 
kota dalam segala glamornya yang tidak rapi, dari erotika industri di 
Saint-Denis hingga bulevar-bulevar panjang dan menjemukan yang 
dibasahi hujan.
Pada 1996, Houellebecq mulai mengerjakan novelnya yang 
paling ambisius, Les Particules élémentaires (diterjemahkan sebagai 
‘Atomized’ dalam bahasa Inggris). Inilah saat pertama saya bertemu 
dengannya (kami minum dan menonton sepak bola bersama-sama 
di flat bersamanya—Inggris dan Prancis sama-sama tersingkir dari 
semifinal Euro ’96). Saya tidak menyadari bahwa buku ini, yang 
tergeletak dalam tumpukan berkas dengan sudut-sudutnya yang 
terlipat dalam ruang samping jelek yang disebut Houellebecq sebagai 
kantor, akan menjadi buku yang sangat laris di Prancis dan di seluruh 
dunia. “Buku ini akan membuatku terkenal atau menghancurkanku,” 
kata Houellebecq sambil mabuk dan melambaikan kumpulan kertas 
yang disebutnya sebuah novel. Saya berpikir itu yaitu  lelucon.
Pada 1998, penerjemahan bukunya ke dalam bahasa Inggris 
membuatnya masuk dalam daftar buku terlaris di seluruh dunia. 
Musik latar bagi musim panas tersebut yaitu  musik disko kartun 
band Air dari Versailles, yang mengagumi Gainsbourg, Pink Floyd dan 
tekno Jerman secara kurang-lebih setara. Lagu mereka yang pertama 
kali sangat laris ‘Sexy Boy’ yaitu  sintesis canggih dari semua elemen 
ini dan, terutama, mengungkapkan kepada dunia luar apa yang dapat 
dipikirkan dan ditarikan oleh Parisian intelektual pada saat yang sama. 
Berdampingan dengan popularitas internasional Houellebecq yang 
baru saja terjadi, keduanya seperti mengumumkan renaisans dalam 
kebudayaan populer Paris.


552
Semua ini semakin aneh sebab  begitu sarkastik dan putus asanya 
nada dalam karya Houellebecq. Novel ini memang dibuat sebagai 
serangan atas nilai-nilai liberal pada dekade 1960-an yang, menurut 
Houellebecq, yaitu  sumber kekacauan moral dan budaya yang 
sedang terjadi di Prancis kontemporer. Kebebasan paling berbahaya 
dan merusak dari semua kebebasan yang dimenangkan oleh Kiri 
liberal pada dekade 1960-an, katanya, yaitu  cinta bebas. Houellebecq 
menunjukkan bahwa pada kenyataannya tidak ada hal seperti itu. 
Cinta bebas memang seperti pasar bebas; harus ada, melalui kekuatan 
kebutuhan, pemenang dan pecundang. Kebebasan seksual total tidak 
hanya mustahil tetapi juga datang dengan biaya sangat tinggi. Bunuh 
diri, gangguan mental, alkoholisme, gangguan makan semuanya ini 
terlalu sering menjadi nasib mereka yang, mungkin sebab  mereka 
tidak memiliki wajah tampan/cantik, daya tarik atau keberuntungan, 
dikecualikan dari pasar seksual.
Semuanya ini membuat Houellebecq mendapat reputasi 
dalam dunia penutur bahasa Inggris sebagai seorang amoral yang 
terobsesi oleh seks. (Ia tidak membantu membela dirinya sendiri 
sebab  terkenal menggoda pewawancara dari The New York Times 
yang datang untuk menemuinya dengan cara mengundangnya 
untuk tampil dalam film erotiknya.) Namun pada kenyataannya 
Houellebecq mendokumentasikan dunia bawah tanah échangisme 
Sadean dengan campuran ketepatan ilmiah dan membangkitkan 
perasaan simpati yang menyentuh. Visinya tentang ‘Paris yang 
berayun’ secara bersamaan rumit, menggelikan dan tragis. Terutama, 
Houellebecq—bekas Komunis dan mengakui sebagai pengagum 
Stalin—yaitu  seorang moralis kaku yang deskripsi suramnya tentang 
seks sebagai komoditas hanya disamai oleh prognosa pesimisnya bagi 
masa depan kemanusiaan (ia menyatakan sendiri dalam Atomized 
bahwa ia mendukung kloning sebagai cara keluar dari kesulitan dan 
godaan hasrat seksual manusia). Popularitasnya sebagai penulis tidak 
diragukan lagi dikaitkan dengan fakta bahwa visinya yang suram dalam 
cara tertentu mencerminkan pandangan yang narsis tetapi terbatas 
yang dimiliki oleh Parisian sendiri selama tahun-tahun terakhir abad 
ke-20.

553

Inilah mengapa salah satu kejutan terbesar pada dekade 1990-an, 
dilihat dari sudut mana pun, yaitu  ledakan sentimen populer yang 
menyambut kemenangan tim sepak bola Prancis dalam Piala Dunia 
1998. Dalam dekade yang sejauh ini telah didominasi oleh pembicaraan 
kemerosotan budaya, ini yaitu  kilatan warna dan cahaya yang jarang 
terjadi.
Kemenangan atas Brasil di Stade de France membawa publik 
Prancis yang biasanya tidak peduli turun ke jalanan dalam hiruk-
pikuk perayaan nasional. Bahkan para intelektual paling tinggi, yang 
menjauhkan diri dari sepak bola dan aktivitas-aktivitas ‘prolo’ lainnya, 
mengklaim bahwa peristiwa ini kemungkinan menjadi peristiwa 
terbesar sejak Pembebasan. Gambar Zinédine Zidane, pemain tengah 
keturunan Aljazair pembuat gol penentu kemenangan, yang dibuat 
dalam warna merah, putih, dan biru dipasang melintang di Champs-
Élysées di bawah tulisan ‘Zidane Président’. Bahkan para tokoh paling 
berhati-hati di Kiri Prancis—termasuk Jean Daniel yang sangat 
dihargai dalam Nouvel Observateur—mulai membicarakan ‘l’Effet 
Zidane’—sebuah Prancis baru yang toleran dengan ras campuran.
Ilusi ini tidak bertahan lebih lama daripada rasa pusing yang 
ditinggalkan oleh pesta yang merayakan pertandingan tersebut. 
Sebelum piala dunia, penghasut rakyat dari sayap-kanan Jean-Marie 
Le Pen, pemimpin Front Nasional, telah mengeluhkan komposisi rasial 
tim sepak bola Prancis yang beranggotakan orang Afrika dan Arab 
serta orang Eropa. saat  saya mendapat kesempatan untuk bertanya 
kepada pelatih Prancis Aimé Jacquet tentang hal ini dalam wawancara 
yang saya lakukan bagi BBC tentang kemenangan terkenalnya ini, ia 
mengangkat bahu dan menyatakan bahwa ia sendiri telah bertempur 
di Aljazair tetapi tidak bisa lagi melihat signifikansinya. Saya juga 
dapat menanyakan pertanyaan yang sama kepada Zinédine Zidane 
sendiri, yang baru-baru ini terpilih sebagai ‘orang Prancis paling 
populer sepanjang masa’. Jawabannya yaitu  muka yang kosong dan 
diam: Dalam dunia perpolitikan rasial Paris yang bergejolak pada 
akhir dekade 1990-an, mungkin lebih baik untuk tidak mengatakan 
apa pun daripada tersangkut dalam pertarungan antara kekuatan-
kekuatan yang tidak bisa dikontrol atau dipahaminya.


554
Clair-Obscur
Hal ini tentu saja tidak berlaku bagi Michel Houellebecq, yang pada 
September 2001, beberapa hari sebelum serangan terhadap Menara 
Kembar di New York, menyatakan secara mabuk dalam wawancara 
dengan majalah Lire bahwa “Islam yaitu  agama yang paling bodoh.” 
Novel terakhir Houellebecq, Plateforme, yang berupaya ia promosikan 
dalam wawancara ini, menawarkan diagnosis suram dari kebencian 
bersama yang mendefinisikan hubungan antara Timur dan Barat pada 
titik tersebut di abad ini, dan yang terlihat jelas di jalanan Paris tengah 
selain di daerah pinggirannya. Kata-katanya diiringi beberapa minggu 
kemudian oleh kegagalan total pertandingan sepak bola persahabatan 
antara Prancis melawan Aljazair sesudah  para pemuda Aljazair 
masuk ke lapangan dan meneriakkan dukungan kepada Bin Laden. 
Zinédine Zidane, kapten tim Prancis pada kesempatan tersebut, 
mendeskripsikan insiden tersebut sebagai ‘saat terburuk’ dalam karier 
profesionalnya.
Di mana pun di Paris pada musim gugur tersebut, sepertinya 
toleransi Parisian sudah semakin menipis. Pers dan televisi berulang 
kali mengeluhkan bahwa kota sedang tercekik oleh kemacetan lalu 
lintas dan polusi, dan terancam oleh gelombang masuk baru orang-
orang luar dari Eropa Timur atau bagian-bagian berbahaya lainnya 
di dunia. Kebudayaan Paris sedang dirongrong dan dirusak oleh 
globalisasi—yang membawa Starbucks dan bola basket ke kota, 
menyapu ruang tradisional hubungan urban gaya-lama. Kebudayaan 
Paris sedang digantikan oleh ‘Parisiana’—versi kota yang berselera 
buruk bagi turis. Para komentator sosial mulai berbicara dan menulis 
dengan nada putus asa tentang ‘Paris désemparigoté’—Paris tanpa 
Parisian.
Sebagian sebagai reaksi atas proses ini, menjadi kegilaan pada 
musim gugur tersebut bagi para pemuda kulit hitam dan Arab dari 
daerah-daerah miskin kota, atau pinggiran kota, untuk datang ke 
distrik-distrik perbelanjaan di pusat kota—Les Halles, La Défense—
untuk membuat masalah. Berpakaian seperti Black Americans 
(orang Kulit Hitam Amerika), tetapi dengan aksen dan tingkah laku 
dari wilayah Maghribi, anak-anak ini mulai melakukan perkelahian 

555

yang membuat takut orang-orang yang berbelanja dan para pekerja. 
Seperti kekerasan retoris dalam musik rap—yang sangat dikuasai oleh 
penduduk pinggiran Paris ini—tujuannya yaitu  untuk mengejutkan 
para penonton yang letih menjadi merasakan sesuatu, apa pun. 
Insting yang sama yaitu  kekuatan pendorong di belakang kerusuhan 
spektakuler yang membuat gaduh daerah-daerah pinggiran Paris dan 
kemudian Prancis pada musim gugur 2005. Pembakaran mobil dan 
serangan terhadap polisi bersenjata lengkap menjadi kejadian rutin di 
estat-estat perumahan ini selama dua puluh tahun. Sepertinya bahwa 
Louis Chevalier memang salah: kelas-kelas berbahaya tidak benar-
benar pergi, tetapi hanya meninggalkan Paris tengah menuju banlieue.
Ahli teori sosial Marc Augé telah mencoba menjelaskan per-
geseran ini dengan menulis bahwa kota sekarang dibentuk oleh 
‘non-ruang’, pusat perbelanjaan, parkiran mobil, distrik bisnis, yang 
mengontradiksi apa pun yang selalu diwakili Paris dalam keintiman 
eklektiknya. Satu-satunya tanggapan yang sesuai, menurutnya, yaitu  
alienasi atau pemberontakan dengan kekerasan.5 Sejarawan arsitektur 
Paul Virilio secara jenaka tetapi putus asa mendeskripsikan bagaimana 
Paris sekarang tidak lagi dibatasi oleh jalan lingkar luarnya tetapi oleh 
alat-alat antiteroris di bandara.6
Dalam sebuah ekskursi kesusastraan yang langka ke kota, penulis 
Inggris Peter Ackroyd mendeskripsikan Paris sebagai sebuah ‘kota 
spektakuler’ tetapi ini bukanlah pujian.7 Paris memang terlalu sering 
berurusan dengan citra dan ilusi, dari kaca-kaca sangat besar yang 
bersinar di setiap kafe hingga pantulan tanpa akhir di kaca-kaca toko di 
bulevar-bulevar besar. Ilusi paling kuat dari semuanya yaitu  tentang 
sejarahnya sebagai tempat penyimpanan dari semua hal yang paling 
terbaik dan hebat dalam semangat manusia. sebab  alasan ini, Paris 
kontemporer sering kali diajukan sebagai kota besar yang, sekarang, 
remuk sebab  bobot masa lalunya.
Namun, sejarah Paris sebenarnya yaitu , sebagaimana dikatakan 
oleh penyair Jean de Boschère, gerakan antara ‘clair’ dan ‘obscur’; 
terlihat jelas di jalanan, tulisnya, sebagai permainan polaritas tanpa 
akhir—bayang-bayang dan cahaya, masa lalu dan masa kini.8 Dalam 
konteks politik spesifik, sejarah kota juga dibuat oleh gerakan antara 
ruang abstrak negara dan kontrol pemerintah, dengan ruang terhuni 


556
dan nyata para pemimpi, pembangkang, subversif, penghasut. Paris 
secara harfiah dibuat oleh hubungan dinamis gagasan dan hasrat yang 
saling memengaruhi.
Hal ini menjelaskan gairah, pertumpahan darah, glamor dan 
fanatisme yang masih, dan akan selalu, menjadi bagian integral 
kehidupan sehari-hari di tempat kuno ini. Gaya hidup baru, per-
politikan baru, kekerasan dan kesenangan dalam bentuk baru, saat 
saya menulis, sedang membentuk kota abad ke-21. Paris masih 
menawarkan segala hal ekstrem yang lezat dan melelahkan dari 
kehidupan modern.
Tetapi tentu saja, kota ini selalu melakukannya.

557
Epi log:  Par i s  Bawah Tanah
EPILOG
Paris Bawah Tanah
Pada musim panas 2004, saat  masih menulis buku ini, dan 
tinggal di sebuah flat kecil di distrik Temple, saya bepergian ke Tangier 
untuk menemui seorang penulis Spanyol Juan Goytisolo, yang kini 
bermukim di sana. Alasan pertemuan ini yaitu  bahwa saya telah 
membaca sebuah esai pendek karyanya yang berjudul ‘Paris, capital del 
siglo XXI’ (‘Paris, Ibukota Abad ke Dua Puluh Satu’).1 Kendati ringkas, 
esai ini yaitu  satu tulisan yang paling mengganggu dan provokatif 
yang pernah saya baca tentang kota Paris. Inti argumentasinya yaitu  
bahwa Paris haruslah benar-benar dihancurkan supaya dapat muncul 
sebagai ibukota abad ke-21. Saya ingin bertanya kepada Goytisolo 
apakah, di dunia pasca-9/11, ia bersungguh-sungguh dengan apa yang 
ia katakan.
Kami bertemu di Café Maravillosa yang dinamai dengan indah 
di Quartier ‘Spanyol’ di Tangier yang sebagian besar terdiri atas para 
orang terbuang dari Spanyol di masa pemerintahan Franco dan, 
melalui perluasan, Eropa (‘Ibu tiri yang kotor’ yaitu  bagaimana 
Goytisolo menggambarkan daratan Eropa). Goytisolo kini berusia 
tujuh puluhan namun, meski dipuja di penjuru dunia Hispanik sebagai 
tokoh ternama dalam sastra Spanyol, ia tampaknya tidak kehilangan 
gaya agresifnya ataupun ketidaksukaannya pada nilai-nilai kelas 
menengah. Ia teman dekat Jean Genet dan telah mewarisi dari pencuri 
tua itu suatu praduga mendalam terhadap semua jenis kekuasaan. Ia 
juga menghabiskan puluhan tahun hidupnya di Paris, sebagian besar 
bermukim di distrik Sentier. Di tempat inilah pencerahan datang 
padanya bahwa ide dari sebuah ibukota Eropa—dibuat oleh dan 
didiami hanya oleh bangsa Eropa—tidak hanya sebuah anakronisme 
namun juga sebuah mitos berbahaya yang harus dihancurkan. Alasan 


558
untuk hal ini, menurutnya, yaitu  bahwa sebuah ide kota yang 
murni Eropa tidak sejalan dengan realitas di jalan-jalan. Paris yaitu , 
contohnya, kota Afrika terbesar di dunia. Namun kota ini tidak berada 
di Afrika. Bahasa yang ia dengar di luar jendelanya di Sentier yaitu  
Swahili, Arab, Kurdi, Hindi, China, dan juga berbagai jenis bahasa 
Prancis non-Eropa. Menurutnya, suara polifonik dari kota yang hidup 
ini yaitu  suara yang sesungguhnya, pada kenyataannya, dari Paris 
kontemporer—kota bawah tanah yang berada di bawah permukaan 
dari ‘masyarakat tontonan’.
Goytisolo berkomentar bahwa ia selalu mencintai Paris sebab  
ia memercayai bahwa tradisi paling kuno dan sesungguhnya yaitu  
insting bagi subversi kebudayaan dan politik—inilah mengapa ia 
sendiri datang ke Paris sebagai pembangkang dari Spanyol di masa 
pemerintahan Franco. Tradisi inilah, ia turut mengungkapkan, yang 
secara temporer menghilang pada satu titik menuju akhir abad ke-
21, dan yang harus dibangunkan kembali. saat  ia berjalan di jalan-
jalan kota Paris saat ini, ia hanya melihat versi tersanitisasi dari masa 
lalu dan tidak lagi mengalami gairah atau penerangan yang telah ia 
kenal di masa awal hidupnya. Kota itu harus di ‘de-Eropanisasi’ untuk 
memberi ruang bagi suara pembangkang yang baru ini. Inilah inti dari 
esai singkatnya itu.
Saya kembali ke Paris, ke flat empat lantai saya di Temple di 
atas sebuah kedai kopi Berber, di sebelah sebuah bangunan yang 
penghuninya sebagian besar orang Afrika Barat, dan di jantung apa 
yang dikenal sebagai distrik kelas pekerja China, dan berpikir apakah 
Goytisolo benar. Saya juga berpikir tentang Paris yang masih tetap 
aneh dan dapat dibedakan. Di dunia di mana perjalanan internasional 
murah, di mana semua orang bepergian ke mana pun dan kapan 
pun mereka inginkan, sangatlah mudah untuk melupakan hal ini. 
Namun Paris yaitu , bahkan di abad ke-21 yang terglobalisasi, suatu 
pengalaman yang total dan unik. Bukti dari hal ini yaitu , saya 
simpulkan, terasa saat menyusuri jalanan. Goytisolo yaitu  imigran 
nostalgik, rindu akan Paris yang telah ia kenal bertahun-tahun silam, 
namun ia juga keliru. Semuanya masih ada di sana. Triknya yaitu  
mengetahui bagaimana melihat—lebih tepatnya, trik ini bergantung 
pada realisasi bahwa masa lalu dan masa depan kota ini ada  dalam 

559
Epi log:  Par i s  Bawah Tanah
satu pengalaman tunggal dari jalanan masa kini, setiap hari. Hal ini, 
saya putuskan, yaitu  rahasia dalam memahami Paris, keabadiannya 
dan semua detailnya. 
Satu dari rute jalan yang paling saya sukai di Paris men-
demonstrasikan gagasan ini. Rute saya bermula dari pojok Rue 
d’Oran dan Rue Léon di arrondissement ke-18. Dari tempat ini Anda 
dapat berjalan ke berbagai arah menuju pusat kota—menuju pasar di 
Doudeauville, atau Rue Myrha atau Rue Polonceau. Pada titik mana 
pun, bergantung pada sudut pandang Anda, Anda dapat berada di 
Kasablanka, Aljir, Dakar, Tirana, Beirut, atau jalan belakang di Bukares. 
Namun Anda selalu menyadari bahwa Anda berada di Paris—di jalan 
Haussmann yang panjang dan abu-abu, atau gang-gang yang lantainya 
ditutupi batu atau jalan belakang dengan lengkungan dan tepian abad 
pertengahan; Anda tak mungkin benar-benar ada di tempat lain.
Dan saat Anda terus berjalan, menuju pusat kota, menyusuri 
jalanan Barbès yang ramai dan berbau, menghindari para pengemis 
Bosnia, pencandu narkoba Prancis dan cenayang Afrika, berjalan 
secara hati-hati melalui kemelaratan Oriental menuju Gare du Nord 
atau Terminal Eurostar, hanya satu hal yang pasti: kota ini kembali 
berubah.   
, Paris, November 2005

Related Posts:

  • Paris Perancis 16yang diinspirasikan oleh krisis terbaru yaitu perang dan pendudukan. Di atas segalanya, perdebatan dan argumentasi yang berkobar saat ini berpusat pada pertanyaan pertanggungjawaban. Lebih jelasnya lagi, apakah… Read More