yang diinspirasikan oleh krisis terbaru yaitu perang dan pendudukan.
Di atas segalanya, perdebatan dan argumentasi yang berkobar saat ini
berpusat pada pertanyaan pertanggungjawaban. Lebih jelasnya lagi,
apakah tanggung jawab dari penulis atau intelektual dalam lanskap
yang tampaknya seperti tempat buangan moral?
ada berbagai tema besar, contohnya, dari novelis Albert
Camus, yang novelnya L’Étranger (‘The Outsider’ atau ‘Orang Luar’)
terbitan tahun 1941 telah dipuji-puji di Prancis dan luar negeri sebagai
contoh novel Eksistensialis. Camus dilahirkan dan dididik di Aljazair
dan sebenarnya juga orang-luar dalam masyarakat kota Paris. Kendati
ia menikmati gaya hidup di Tepi Kiri, ia juga dengan cepat menemukan
bahwa ia bukanlah seorang Eksistensialis, setidaknya dalam artian
gaya berpakaian. Cerita L’Étranger sederhana: seorang pria muda tanpa
tujuan, bagian dari komunitas kolonial di Aljazair, menembak mati
seorang Arab tanpa alasan. Inti filosofi dari buku ini yaitu ‘eksistensial’
dalam artian bahwa filsafat ini menjelaskan isu-isu fundamental dari
tindakan dan tanggung jawab moral di mana para penulis seperti
Sartre telah mengakuinya sebagai wilayah kekuasaan mereka. Buku ini
telah melampaui status bergayanya sebab tidak menawarkan jawaban
atau solusi yang mudah terhadap pertanyaan yang dilontarkannya.
504
Aspek penting lainnya dari L’Étranger yaitu latarnya di Aljazair masa
kolonial, sebuah fakta yang sering dilewatkan oleh para penggemar
awalnya namun memiliki signifikansi yang dalam bagi Camus sendiri.
Pembunuhan acak terhadap warga yang terkolonisasi oleh para
pengkolonisasi, dalam beberapa tahun kemudian saat krisis Aljazair
berkembang menjadi perang, akan menjadi salah satu motif yang
paling kerap muncul dan paling merusak dalam kehidupan warga
Prancis di Aljazair dan Paris.
Perang Kebudayaan
Dalam beberapa hal, Pembebasan tidak mengubah kualitas kehidupan
sehari-hari. Perekonomian Prancis sudah hancur dan, di luar ke-
hidupan malam yang riuh dari Saint-Germain-des-Prés, sebagian
besar warga hidup dalam tingkat penghidupan yang tak membaik
sejak hari-hari Pendudukan yang terburuk. Di wilayah kelas pekerja
Belleville dan Ménilmontant, para veteran perang yang cacat dan
termutilasi yaitu pemandangan yang umum ditemukan. Mereka
minum-minum di sudut, tak mampu bekerja pada sedikit pekerjaan
yang tersedia. Makanan rumah tangga yang standar yaitu kubis
rebus dan remah-remah makanan apa pun yang dapat ditemukan di
pasar yang diadakan secara tidak teratur di Rue de Ménilmontant.
saat perancang busana Christian Dior salah mengira waktu untuk
mengorganisasi suatu sesi fotografi busana terbarunya—yang berjuluk
‘New Look’ atau ‘Penampilan Baru’—di pasar jalanan ‘Paris yang
umum’ di Montmartre, para wanita kelas pekerja menyerang para
model, merobek-robek pakaian mereka dengan marah dan jijik.9
Pada 1847, Amerika Serikat mengimplementasikan Marshall Plan,
mengalihkan ratusan juta dolar kepada Prancis untuk memulihkan
perindustriannya yang babak belur. Bantuan ini segera dirasakan
dampaknya, namun sebagian besar warga mengetahui bahwa ini
hanyalah suatu upaya terselubung untuk mencegah revolusi Komunis.
Pada saat itu, Eropa telah terbagi menjadi Timur dan Barat, antara
lingkaran pengaruh pimpinan Komunis dengan markas besarnya
di Moskow dan negara-negara lain di bawah pengaruh kekuasaan
505
mantan Sekutu. Bagi mereka di Barat, kemerdekaan Paris berdiri
sebagai jaminan akan kemerdekaan masa depan di sebuah benua yang
baru saja muncul dari konflik paling berdarah dalam sejarah manusia.
Signifikansi totemik dari kota Paris kembali diuji di musim gugur
tahun 1947, saat Prancis bertahan terhadap gelombang kerusuhan
industri pimpinan Komunis terbesar yang pernah diketahui sejak
1930-an. Namun rasa takut dan ketegangan yang ditimbulkan oleh
aksi pemogokan dan konfrontasi hanya menghasilkan berdiri tegaknya
Prancis di kamp Barat dalam Perang Dingin.
Ironi atas ketidakpastian politik di masa itulah yang akan men-
jadikan era ini kaya oleh aktivitas kebudayaan. Para penulis Prancis,
dari Sartre hingga Camus ke bawah, memiliki prestise di penjuru
dunia yang tak tertandingi sejak hari-hari Voltaire dan Rousseau.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh heroisme perolehan yang
dimiliki sebuah bangsa yang pada awalnya dikalahkan namun
kembali berjuang melawan mesin perang politik yang lebih berkuasa
dan jahat, serta bagi kegemerlapan belaka dari pembuatan teori Paris,
yang memunculkan Eksistensialisme ke Marxisme via Freudianisme
dan ilmu pengetahuan baru ‘Strukturalisme’ yang kembali membuat
klaim sombong untuk menyingkap hal yang paling mendasar dari
pengetahuan manusia.
506
42
‘Wilaya’ Ketujuh
Bertentangan dengan keyakinan intelektual yang muncul di
kawasan Tepi Kiri, perasaan yang umum dari kondisi politik kota Paris
sepanjang 1950-an yaitu terombang-ambing dan malu. Republik
Keempat, serangkaian pemerintahan goyah yang pertama dibentuk
pada 1946, bergerak dari satu krisis ke krisis lainnya di bawah sebuah
konstitusi yang tak bergerak sejak 1930-an. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh campuran bergejolak dari kegugupan politik, krisis
luar negeri, dan tuntutan tak terhenti dari pembangunan ekonomi
internal. Serangkaian pemerintahan yang kemudian ada, tak satu pun
yang memiliki mandat seutuhnya ataupun rencana sesungguhnya bagi
Prancis. De Gaulle sendiri, yang sempat memimpin pasca-Pembebasan,
mengundurkan diri dengan murka pada 1946, secara efektif mundur
dari kekacauan politik selama tiga belas tahun kemudian.
Periode ini juga dicirikan oleh perubahan dramatis pada populasi,
yang terus berkembang pasca-perang, dan kemunculan kebudayaan
konsumerisme yang akan terus berkembang menjadi lebih menuntut
dan kompleks saat perekonomian Prancis yang diporakporandakan
oleh perang memulai pemulihannya yang lambat. Pemerintah Prancis
jelas gagal mengikuti perkembangan ini dan negara sering kali berada
di jurang bencana saat suksesi pemerintahan yang tidak stabil datang
dan pergi. Perasaan ketidaksukaan yang umum dirasakan warga kota
Paris dari semua kelas selama tahun-tahun ini kerap disalurkan menjadi
anti-Amerikanisme yang kasar dan membingungkan, yang mana pada
awalnya dipenuhi oleh kontradiksi-kontradiksi: contohnya, banyak
warga kota Paris dari semua dorongan politik yang menyatakan bahwa
diri mereka sangat menentang hampir semua kebijakan luar negeri
Amerika pada akhir 1940-an namun mereka juga jatuh cinta pada
507
kebudayaan Amerika mulai dari jazz, film, hingga pakaian. Di wilayah
Tepi Kiri pada khususnya, skizofrenia semacam ini menghasilkan
generasi warga kota Paris intelektual muda yang, kendati diperbudak
oleh semua jenis produksi kebudayaan Amerika, tetap dengan bangga
menyatakan kesetiaan mereka kepada Moskow sebagai lambang
atas superioritas filosofis dan moral. Warga kota Paris lainnya, yang
merasa bosan oleh politisi dan dikecewakan oleh kebijakan mereka,
mundur ke dalam perasaan puas dan ketidakpedulian. Popularitas
singkat dari ‘Poujadisme’—pada dasarnya gerakan unjuk rasa sayap
kanan pimpinan agen berita Pierre Poujade—yaitu demonstrasi
nyata dari kurangnya bimbingan moral dan politik selama masa ini.
Para pendukung Poujade tidak memiliki agenda yang jelas, kecuali
bahwa mereka tidak menyukai orang asing dan tidak memercayai
semua politisi profesional.
Sementara itu, di sisi lain Laut Mediterania, dari tahun 1945 dan
seterusnya ada sejumlah perang menggemparkan yang akan
mengguncang Prancis hingga ke dasarnya. Masa depan Prancis dan
Paris memang akan segera ditentukan oleh peristiwa yang sedang
terjadi tidak di Paris tapi di Aljazair. Untuk sementara waktu, banyak
warga kota Paris tidak terlalu peduli akan peristiwa yang terjadi jauh
dari kota mereka. Namun mereka tak akan mampu mempertahankan
kondisi ini untuk waktu lama. Dengan segera, kekacauan di Aljazair
akan menemukan gema kekerasan mereka di jalan-jalan kota Paris.
***
Bencana baru telah dimulai pada 1945 dengan sejumlah berita samar
yang pelan-pelan mencapai Prancis akan pembantaian di Sétif, sebuah
kota pasar yang tenang di wilayah Constantine di Aljazair. Diberitakan
bahwa kaum Muslim Aljazair telah mengubah unjuk rasa menuntut
kemerdekaan menjadi sebuah kerusuhan. Sebuah bendera Aljazair
dikibarkan di tengah bendera-bendera Inggris, Prancis, dan Rusia
yang tengah diarak. saat polisi berusaha mengambil bendera ini,
senjata api ditembakkan. Para pengunjuk rasa kemudian menyerang
populasi Eropa lokal, yang disebut para pieds noir (lihat Bab 29) dengan
kapak dan pisau. Lebih dari seratus orang Eropa dibunuh dalam lima
508
hari pertempuran—banyak dari mereka mengalami penggorokan dan
mutilasi yang amat mengerikan. Kaum pria dipotong kemaluannya
dan para wanita diperkosa. Para pemimpin agama lokal menyebut hal
ini sebagai ‘Jihad’ dan menyatakan bahwa sudah menjadi tugas religius
semua orang Muslim untuk membunuh orang kafir.1
Memang sudah menjadi nasib buruk, namun bukan kebetulan,
bahwa pemberontakan ini dimulai pada 8 Mei, yang juga merupakan
VE Day (Victory Europe Day—Hari Kemenangan Eropa), sehari sesudah
pasukan Jerman berhenti bertempur di Eropa. Dapat dipahami bahwa
di Paris semua kabar dari luar negeri tampaknya hilang di tengah
minuman keras, ciuman, dan perayaan tak berakhir. Tak ada surat
kabar Paris yang berpikir perlu mengirimkan seorang koresponden
ke Aljazair. De Gaulle sendiri mengabaikan peristiwa itu sebagai “awal
dari pemberontakan, yang terjadi di Constantionois … dipadamkan
oleh Gubernur Jenderal Chataigneau.”2
Walaupun media bersuasana tenang, respons Prancis di Aljazair
pada faktanya tak kenal ampun. Selama beberapa pekan kemudian,
hampir 6.000 Muslim dibantai oleh pasukan Prancis, yang ingin
menunjukkan kemampuan mereka (dan kemungkinan membalas
dendam atas penghinaan yang baru saja terjadi di tangan pasukan
Jerman). Radio Kairo melaporkan bahwa lebih dari 45.000 orang
dibunuh—sebuah angka yang kemudian ditetapkan sebagai fakta
oleh kelompok nasionalis Aljazair. sesudah Sétif, konflik di Aljazair
dilakukan di tingkat yang cukup rendah dan terbatas hanya pada
bentrokan antara prajurit Prancis dan pasukan nasionalis lawannya
dari ‘Parti du Peuple Algérien’ (PPA) dan pasukan yang baru dan
lebih kuat dari ‘Front de Libération Nationale’ (FLN), sayap bersenjata
dari gerakan kemerdekaan Aljazair. Skala konflik yang relatif kecil
memungkinkan kelompok nasionalis Aljazair untuk mengorganisasi
dan merencanakan perang yang lebih lama dan lebih keras. Mereka
juga mampu mengatasi sebagian besar perbedaan internal. Pada 1954,
didanai oleh kekuatan bayangan lain di dunia Arab, dan dipersenjatai
oleh senjata-senjata baru dan ideologi Marxis-Leninis, FLN-lah yang
menguasai Aljazair dan hampir semua lokasi di penjuru negeri.
Perang Aljazair secara resmi diluncurkan pada All Saint’s Day saat
FLN—dalam serangkaian bom, pamflet, dan siaran radio dari Kairo
509
secara tiba-tiba—mengumumkan tujuan mereka untuk “memulihkan
kembali negara Aljazair, berdaulat, demokratis dan sosial, dalam
kerangka prinsip-prinsip agama Islam.” Metode-metodenya mencakup
“semua cara hingga tujuan kami terwujud.” Demi tujuan operasional,
FLN membagi Aljazair menjadi enam ‘Wilayas’—istilah Arab yang
berarti ‘di bawah kendali pemerintah (atau militer)’. Ini juga menjadi
tujuan yang dinyatakan untuk membawa ‘perang pulang ke rumahnya
di Prancis’, dan dengan melakukannya menjadikan Paris ‘Wilaya
ketujuh’.3
Pertempuran untuk Paris
Pecahnya kekerasan baru di Aljazair bertepatan dengan gelombang
imigrasi baru di Paris yang sebagian besar datang dari Afrika Utara.
Antara tahun 1947 dan 1953, para pejabat mencatat bahwa 740.000
imigran tiba di Paris hanya dari Aljazair. Jumlah yang sebenarnya,
tentu saja, kemungkinan besar lebih tinggi dari angka tersebut.
Pada awalnya para pendatang Afrika Utara bermukim di bagian
tengah kota Paris yang telah dikenal oleh generasi Afrika Utara pra-
perang yang datang ke tempat itu pada 1920-an dan 1930-an—Place
Maubert, Rue des Anglais, Les Halles, atau daerah pinggiran Clichy
dan Gennevilliers (di mana sudah ada komunitas Maroko
yang mapan). Generasi pra-perang ini telah lama menjadi objek
praduga dan sasaran pengawasan polisi. Prefect polisi Jean Chiappe
memang telah menyiapkan satu brigade khusus pada 1925 untuk
mengendalikan populasi Afrika Utara dengan markas besarnya di
6 Rue Lecomte di arrondissement ke-17. Brigade ini dihapus pasca-
Pembebasan—stafnya yang terdiri atas para mantan kolonial diduga
amat dekat dengan Gestapo dan Vichy.
Warga Afrika Utara di Paris dengan cepat menyadari bahwa
banyak janji-janji dari Pembebasan terkait toleransi rasial tidak
akan pernah dipenuhi atau telah dilanggar. Mereka menghadapi
sikap berprasangka setiap hari dan, seperti warga Yahudi sebelum
mereka, mereka mulai berkumpul dalam kelompok-kelompok di
penjuru kota untuk keamanan diri mereka sendiri dan juga untuk
510
hal lainnya. Mereka juga mengorganisasi diri mereka secara politis ke
dalam kelompok-kelompok, yang dengan segera dilarang. Pada 1952,
Messali Hadj, pemimpin kelompok nasionalis terlarang ‘Mouvement
pour le Triomphe des Libertés Démocratiques’ (MTLD), telah dihukum
tahanan rumah di Paris, dan warga kota Paris diingatkan oleh media
akan fakta bahwa nasionalis Aljazair seperti Abderrhamane Yacine, Si
Djilani dan Mohamed el-Maadi telah berkolaborasi dengan Jerman.
ada keluhan umum di Kiri dan Kanan tentang kehigienisan para
pendatang ini, ketidakcocokan Islam dengan ‘peradaban Eropa’ dan,
yang paling sering, kecenderungan pendatang Afrika Utara melakukan
tindak kejahatan dengan kekerasan.
Banyak imigran yang baru tiba menemukan bahwa kehidupan
di Paris pada kenyataannya lebih berbahaya dan dikendalikan lebih
ketat daripada tatanan pemerintahan kolonial di tanah kelahiran
mereka. Kepolisian Paris sangat takut akan penyebaran pengaruh
nasionalisme pan-Arab, yang saat itu mewujud dalam bentuk tokoh
karismatik Presiden Nasser dari Mesir. Publikasi pan-Arab radikal
kerap didirikan dan segera ditutup. Ketegangan semakin terlihat jelas
di jalan-jalan kota Paris di awal dekade 1950-an dalam bentuk unjuk
rasa Arab yang teratur dan populer yang kerap meledak menjadi aksi
kekerasan. Pada 14 Juli 1953, sekelompok militan Aljazair, anggota
MTLD, ditembak mati oleh polisi saat mereka menjadi bagian dari
unjuk rasa lebih besar yang diikuti 4.000 nasionalis di Place de la
Nation menuntut pembebasan Messali Hadj.
Sebagai aksi solidaritas, lebih dari 20.000 orang Arab dari berbagai
bangsa berkumpul di Cirque d’Hiver beberapa pekan kemudian untuk
berkabung bagi rekan-rekan mereka yang tewas. Sekretaris jenderal
prefektur polisi, Maurice Papon (yang terlibat dalam pendeportasian
warga Yahudi di Vél d’Hiv), dengan segera membentuk suatu unit
khusus, ‘Brigade des Agressions et Violences’ (BAV), yang secara khusus
menanggulangi ‘masalah Aljazair’. Ini yaitu saat di mana perang
kolonial benar-benar dimulai untuk diimpor ke jalan-jalan ibukota
(ini juga saat istilah bavure, ‘kesalahan besar’, yang sebelumnya
diaplikasikan pada peristiwa yang memicu pecahnya Perang Dunia
Pertama, menjadi ekspresi ketidaksukaan umum terhadap kegiatan-
kegiatan brigade khusus Papon, ‘BAV’).
511
Tugas polisi menjadi lebih rumit dengan adanya perang perebutan
wilayah yang bergolak di jalanan arrondissement ke-13, arrondissement
ke-15 dan arrondissement ke-18 antara FLN dan kelompok-kelompok
nasionalis pesaingnya. ada pula aksi baku tembak berkala di
arrondissement ke-19 di Rue Petit dan Rue Meaux antara FLN dan
MTLD atau PPA. Maurice Papon harus mengandalkan informasi orang
dalam dari para warga asli Aljazair untuk intelijen dan menempatkan
di wilayah-wilayah tersebut satu jaringan harki—warga Aljazair yang
setia kepada Paris dan bukannya Aljazair—yang tugasnya yaitu
mengawasi dan memberitahukan kegiatan-kegiatan rekan sebangsa
mereka. Dibenci oleh kaum nasionalis Aljazair sebagai pengkhianat
dan kolaborator, para harki yaitu rahasia memalukan pasukan
Prancis, dikenal tidak hanya oleh akses mereka pada informasi sensitif
namun juga interogasi mereka yang keras terhadap sesama orang
Aljazair.
Namun pada umumnya, polisi sudah puas membiarkan faksi-
faksi Aljazair yang bersaing untuk bertempur di antara mereka
sendiri. Sepanjang tahun-tahun penutup dekade 1950-an, secara
efektif ada perang saudara rahasia yang terjadi di Paris, yang
terjadi antara FLN dan faksi-faksi nasionalis Aljazair yang menjadi
pesaingnya. Surat kabar L’Aurore mencatat pada 1957 bahwa distrik
La Goutte d’Or, berjuluk ‘Madinah Paris’, secara efektif yaitu daerah
terlarang bagi orang-orang Eropa dan tempat di mana para militan
FLN dan MTLD memamerkan senapan mesin di siang bolong. Tempat
paling mematikan dari semuanya yaitu Rue de la Charbonnière, Rue
de Chartres, Rue Myrha, dan Rue Stephenson di Paris utara, tidak jauh
dari stasiun metro Barbès. Inilah tempat-tempat di Paris “di mana
polisi tidak berani melangkah ke sana.”4
Kelompok Kiri Prancis umumnya bersimpati pada perjuangan
orang Aljazair dan banyak intelektual yang mengembangkan posisi
bahwa satu-satunya tanggapan yang benar yaitu berpartisipasi secara
aktif dalam perjuangan. Tokoh paling terkemuka yaitu pengajar
filsafat bernama Francis Jeanson, teman akrab Sartre, mengorganisasi
jaringan dukungan bagi FLN di Paris yang menyebabkan ia ditangkap
dan diadili pada 1960. Sebuah kampanye yang dipimpin oleh Jean-Paul
Sartre menghasilkan ‘Manifesto 121’ yang terkenal. Ini yaitu petisi
512
menentang perang Aljazair yang ditandatangani oleh para intelektual
terkemuka saat itu. Argumen utamanya yaitu orang Prancis di
Aljazair sekarang melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh
Nazi sepuluh tahun sebelumnya di Prancis. Saat tuduhan penyiksaan
dan pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Prancis menjadi
pengetahuan umum dan diperkuat dengan bukti, menjadi semakin
sulit bahkan bagi kaum moderat untuk membenarkan perang di
Aljazair.
Pada saat itu, Charles de Gaulle kembali ke pemerintahan, sebagai
hasil dari keadaan darurat yang dipicu oleh kekacauan menyebar
luas akibat krisis Aljazair yaitu kekacauan yang hampir saja berubah
menjadi perang saudara. Pemerintahan yang sedang berkuasa di
bawah pimpinan René Coty bubar begitu saja. Bukan sekadar ironi
kecil bahwa krisis di Aljazair pada akhirnya mengembalikan de
Gaulle ke tampuk kekuasaan. Katalisnya yaitu pemogokan massal
dan perebutan gedung gubernur-jenderal di kota Aljir pada Mei 1958
oleh koalisi para perwira sayap kanan dan para pied-noir biasa yang
sepenuhnya kehilangan kepercayaan terhadap kelas-kelas politik
Paris. De Gaulle berhati-hati untuk menjauhkan dirinya dari para
putschiste tetapi tetap saja merekayasa proses kembali ke kekuasaan
secara konstitusional yang memungkinkannya mengambil alih kontrol
terhadap pemerintah dan situasi. Pada 1959, dengan mengecewakan
banyak orang Kanan jauh yang telah mendukungnya untuk kembali,
ia sudah mengindikasikan bahwa satu-satunya jalan terhormat bagi
‘bangsa besar’ seperti Prancis yaitu untuk menawarkan penentuan
nasib sendiri bagi bangsa Aljazair.
Kembalinya de Gaulle membawa kembalinya otoritas kepada
pemerintah Prancis tetapi tidak membawa kembali ketertiban ke
jalanan Paris. Bahkan, perang tiba-tiba menjadi lebih keras dan brutal
sesudah terjadinya peristiwa yang disebut ‘pertempuran Aljir’ yaitu
kampanye teroris yang dilancarkan oleh FLN pada 1957. Kampanye
ini termasuk pengeboman dan penembakan secara acak yang
dimaksudkan untuk menakut-nakuti populasi Prancis agar keluar
dari kota. Reaksi insting polisi Paris yaitu menindak tegas semua
orang Aljazair, dan bahkan semua orang Afrika Utara, yang mungkin
berpotensi menjadi teroris. Maurice Papon kemudian mengeluarkan
513
jam malam bagi semua Muslim Prancis ‘berpenampilan Afrika Utara’
yang kemudian berujung dengan bencana.
Kebijakan ini memiliki konsekuensi mengerikan pada 17 Oktober
1961, saat puluhan ribu orang Aljazair berkumpul di pusat kota untuk
berdemonstrasi menuntut perdamaian dan kemerdekaan. Tanggapan
polisi keras dan kejam. Sebagai pengingat mengerikan atas evakuasi
orang Yahudi ke Vél d’Hiv, Papon mengorganisasi truk-truk polisi
untuk membawa pergi para demonstran tanpa pengadilan ke Stade
de Coubertin, Palais des Sports, dan Château de Vincennes tempat
para demonstran dipukuli dengan kejam. Di Pont de Neuilly, sebuah
bentrokan kecil antara para demonstran dengan polisi berubah
menjadi kerusuhan. Pada satu titik dalam kerusuhan ini, pasukan polisi
bersenjata lengkap menyerbu ke dalam kerumunan, menewaskan
dua orang dan melukai banyak orang lainnya. Polisi kemudian mulai
membunuhi orang-orang Aljazair dan melemparkan mayat-mayat
mereka ke sungai Seine.
Konflik ini nantinya dimuliakan dengan nama ‘pertempuran untuk
Paris’, tetapi pada kenyataannya hanyalah pembantaian lainnya dalam
sejarah panjang pembunuhan massal di Paris. Prioritas utama Papon
yaitu menutupi semua bukti kesalahan polisi. Namun demikian, di
pagi hari sesudah demonstrasi, sekelompok kecil militan Komunis—
semuanya orang Eropa—di bawah arahan penulis Arthur Adamov dan
aktor Jean-Marie Binoche, berangkat untuk menulis slogan dengan cat
yang berbunyi ‘Di tempat ini kami membunuh orang-orang Aljazair!’
di jembatan sebelum mengundurkan diri ke bar The Old Navy di
Boulevard Saint-Germain. Slogan ini dengan cepat dihapus, tetapi
polisi tidak bisa menghancurkan semua bukti pembunuhan. Mayat-
mayat orang Aljazair yang menggelembung yang terdampar ke tepian
oleh arus sungai Seine secara berkala ditemukan oleh Parisian biasa
selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan kemudian.
Masih ada lagi yang lain: pada Februari 1962, sebuah demonstrasi
menentang kekerasan yang dilakukan oleh OAS (‘Organisaion Armée
Secrète’—organisasi teror sayap kanan yang didirikan oleh para pied-
noir di Aljazair) dan menuntut keadilan berubah menjadi kekerasan
saat polisi kembali menyerbu para demonstran. Sembilan orang
terbunuh dan ratusan orang terluka dalam bentrokan di stasiun metro
514
Charonne. Pada saat itu, perang Aljazair sudah benar-benar tiba di
Paris, saat para teroris OAS mengklaim bertanggung jawab atas
pengeboman ‘Drugstore’ baru di Champs-Élysées, kantor surat kabar
France Soir, kantor luar negeri di Quai d’Orsay dan apartemen Jean-
Paul Sartre di Rue Bonaparte. Rencana lainnya termasuk meledakkan
Menara Eiffel dan membunuh de Gaulle sendiri (memang pernah
terjadi upaya OAS yang gagal untuk membunuh de Gaulle di Petit-
Clamart pada 1962). Publik Paris segera muak dengan siklus kekerasan
yang tidak berakhir dan sepertinya tak bisa dihentikan. Saat de Gaulle
akhirnya memberikan kemerdekaan kepada Aljazair pada tahun
yang sama, sebagian besar Parisian menyambut langkah ini dengan
perasaan lega alih-alih rasa bahwa keadilan telah dilakukan.
“Bentuk kota …”
Memang, saat kuali Aljazair terus mendidih sepanjang dekade 1950-
an, perhatian para politisi dan juga orang biasa terlalu sering diarahkan
pada isu-isu lain yang tidak terlalu dramatis.
Isu pertama dan paling mendesak yaitu peningkatan jumlah
penduduk dan masalah perumahan yang berkaitan dengannya.
Kurangnya persediaan rumah yang sesuai di kota-kota Prancis, dan
terutama di Paris, sebagian merupakan warisan dari perang. Hampir
seperempat perumahan di Prancis telah rusak parah atau hancur
sama sekali antara 1940 dan 1945. Prioritas utama pemerintah sesudah
perang berakhir yaitu mulai membangun kembali infrastruktur
negara—jalan raya, rel kereta api, dan pelabuhan.
Artinya yaitu pada awal dekade 1950-an, hampir 90 persen
rumah di Paris kekurangan kebutuhan dasar—termasuk kamar mandi
pancuran, toilet, atau kamar mandi. Banyak dari bagian kota yang
sekarang menjadi pusat mode Paris—wilayah yang luas di Tepi Kiri
yang berdekatan dengan sungai Seine selain sejumlah arrondissement
luar di Tepi Barat—menjadi daerah kumuh dan dihuni oleh kelas
pekerja termiskin atau imigran. Sedikit sekali apartemen di wilayah
ini: sebagian besar orang tinggal di hotel murah yang kotor atau hostel.
Soup kitchen (tempat makan yang menyediakan sup gratis untuk
515
orang tidak punya) banyak dibuka dan tidak hanya di distrik-distrik
proletar. Yang paling memalukan yaitu sejumlah bidonville atau
kawasan gubuk, yang dibangun dari beton dan besi bergelombang,
yang didirikan di luar Paris dalam bayangan yang dahulunya yaitu
Zona, di Noisy, Ivry, Villejuif, dan Nanterre.
Kawasan gubuk yaitu aib dan kelompok Kiri sering menyerukan
agar dilakukan sesuatu tentang situasi ini. Namun, tidak ada solusi
yang tidak melibatkan rekonstruksi Paris tengah secara keseluruhan—
yang akan sangat tidak populer baik sebab alasan estetika dan
politik—atau mengevakuasi kelas-kelas pekerja keluar dari banlieue
yang menyeramkan, yaitu langkah yang ditentang keras oleh setiap
kelompok Kiri di kota yang memandang ibukota mereka sebenarnya
dalam mitos ‘Paris Merah’.
Setidaknya sejak 1948, pemerintah telah membuat rencana bagi
perumahan sosial dalam bentuk yang nantinya disebut habitations à
loyer modéré (‘perumahan dengan sewa menengah’) atau HLM. Ini
yaitu bangunan-bangunan berkualitas tinggi, sering kali dibangun
di bagian tengah kota atau bagian lainnya yang diinginkan, tetapi
jumlahnya jauh sekali dari kebutuhan dan sering kali terlalu mahal.
Program HLM diperbaiki dan diluncurkan kembali pada awal 1950-
an namun kali ini otoritas kota bertujuan untuk mengembangkan
apa yang disebut grands ensemble, estat-estat bertingkat di luar jalan
lingkar yang melingkari Paris dan vila-vila pinggiran kota yang ada
di sekitarnya. Estat paling ‘terkenal’ ada di Sarcelles di utara kota
yang diselesaikan pada 1954 dan segera menjadi rumah bagi sekitar
10.000 orang. Tidak lama kemudian, muncul penyakit sarcellitis—
yaitu bentuk anomi abad ke-20 yang sepenuhnya disebabkan oleh
kebosanan dan keputusasaan yang terjadi sebab tinggal di lingkungan
berteknologi tinggi yang tidak memberi tempat bagi kafe, bar, jalanan
kecil, toko, pasar jalanan, atau aspek ornamental kehidupan sehari-
hari lainnya yang membuat Paris begitu kaya dalam setiap detailnya.
Namun, ‘kesuksesan’ Sarcelles menyemangati para perencana kota.
Pada akhir 1950-an, Paris dikelilingi oleh lebih dari 90 estat jelek dan
dibangun dengan biaya murah yang membuat para penduduk dan
pengunjungnya menjadi tertekan. Populasi Paris sedang dikurangi,
tetapi dengan harga yang harus dibayar.
516
***
Dalam iklim budaya yang tidak stabil tersebut, Parisian yang lebih
tua mencatat bahwa Pembebasan telah menghancurkan banyak aspek
kehidupan Parisian, yang tidak akan pernah kembali. Puisi-puisi
Baudelaire dari abad ke-19 tentang kematian ‘Paris Tua’ juga dapat
diterapkan bagi transformasi-transformasi yang sedang terjadi saat
ia merujuk pada “bentuk sebuah kota yang berubah, yang sayangnya,
lebih cepat daripada jantung manusia fana.”5
Perubahan-perubahan ini termasuk, yang paling terkenal dan
kontroversial, hilangnya rumah-rumah bordil gaya lama semi-resmi
di kota yang telah beroperasi di ibukota sepanjang ingatan siapa pun.
Kampanye untuk menutup rumah bordil dipimpin oleh Marthe Richard
(yang pada masa mudanya juga pernah menjadi seorang pelacur dan
mata-mata). Ia memobilisasi pers untuk menentang rumah-rumah
bordil yang, dalam iklim pasca-perang yang keras, dipandang sebagai
penanda bagi semacam dekadensi yang menyebabkan kejatuhan
Prancis. Rumah bordil tidak banyak membantu dirinya sendiri sebab
dilaporkan bahwa bisnis mereka mengalami peningkatan selama
Pendudukan dan bahwa mereka terkenal menyambut baik orang-
orang Jerman seperti mereka menyambut orang Prancis. Dalam satu
tindakan, saat undang-undang disahkan pada 1946, lebih dari 180
rumah bordil ditutup di Paris yang termasuk nama-nama terkenal
seperti Le Chabanais (yang dibuka sejak 1820), Le Sphinx dan Le One
Two Two.
Tempat-tempat ini tidak saja banyak masuk dalam cerita rakyat
Paris—dan bahwa orang-orang asing yang datang ke Paris untuk
mencicipi kesenangan-kesenangannya yang legendaris—tetapi telah
berdiri sebagai monumen yang rumit dan kaya bagi semua bentuk
aktivitas seksual manusia. Tempat-tempat seperti Le Sphinx atau Le
One Two Two tidak hanya menawarkan bentuk-bentuk persetubuhan
reguler yang bisa dibeli di seantero kota, tetapi berspesialisasi dalam
‘pertunjukan’ dan ‘tontonan’ yang dibuat mengikuti keinginan
para klien, yang makan dengan baik di restoran-restoran yang
menempel kepadanya sebagai pendahuluan bagi kesenangan yang
lebih bersifat badaniah. Kehipokritan para senator yang memberikan
517
suara mendukung penutupan rumah-rumah bordil ini tidak lepas
dari pengamatan Fabienne Jamet, patronne terkenal di Le One Two
Two. sesudah mengenali fitur-fitur malu sejumlah klien reguler di
antara mereka yang memberikan suara mendukung penutupannya,
ia merasa kasihan kepada para istri senator-senator tersebut, yang
tidak akan pernah mengharapkan para pria mereka untuk bisa lagi
mencapai ekstase setinggi itu.6 Tentu saja, bisnis prostitusi tidak
menghilang tetapi meluber ke jalanan. Para pelacur dapat ditemukan
di seluruh kota tetapi terutama lebih disukai di Rue Saint-Denis,
jalan-jalan belakang di Pigalle, dan jalan-jalan pendek dan sempit
di sekitar Opéra. Penutupan rumah-rumah bordil diusulkan sebagai
langkah menjauh dari Prancis lama yang jelas sekali sudah gagal dan
mendekat ke arah model modernitas Anglo-Saxon yang berhasil
bertahan. Penutupannya diratapi oleh semua orang yang memandang
kepergiannya sebagai matinya sebuah bentuk hiburan Paris yang
rumit, telah berusia berabad-abad dan ditempa secara unik.
Anehnya, Paris tidak pernah lebih indah atau fotogenik daripada
selama periode pasca-perang ini saat Paris secara bersamaan
dihancurkan dan dibangun kembali. Jalan-jalan yang hancur dan
vista-vista yang baru dibuka membuat kota menjadi tontonan
memesona yang selalu berubah dan tidak henti-hentinya bagi para
fotografer seperti Robert Doisneau dan Henri Cartier-Bresson, yang
minat utamanya sebagai seniman yaitu menangkap berbagai macam
kehidupan sehari-hari yang mengalami perubahan di ibukota. Seperti
Eugène Atget atau Georges Brassaï sebelum mereka, para fotografer
ini memetakan lanskap kota yang berubah, saat kota bergerak dari
masa lalu menuju wilayah masa depannya yang belum terpetakan.
Foto-foto mereka banyak dipenuhi oleh kejadian-kejadian kehidupan
yang tidak jelas di kota dengan latar belakang hitam putih bangunan-
bangunan yang rusak sebab perang, quartier-quartier setengah
hancur dan adegan-adegan interior yang dipergelap, yang sering
sekali memperjelas detail terkecil—senyum seorang gadis muda,
seorang pelacur yang bermain dengan seekor anjing, seorang wanita
yang bernyanyi sambil berlinang air mata di sebuah kafe.
Observasi pantang mundur yang sama terhadap kehidupan sehari-
hari pada akhirnya memengaruhi sinema nouvelle vague orang-orang
518
seperti François Truffaut dan Jean-Luc Godard, yang revolusinya
sendiri dalam seni dimulai dalam jalanan kota yang sama. Sinema
yang mereka temukan yaitu seni detail intim—dari gang-gang
berbatu yang bergemerincing dan interior-interior klaustrofobia yang
digambarkan dalam Les Quatre Cents Coups (‘400 Pukulan’) karya
Truffaut pada 1959, hingga kafe-kafe dan jalanan-jalanan belakang
yang mengundang secara teatrikal yang ditampilkan dalam Bande
à part (‘Orang Luar’) karya Godard pada 1964, pemandangan Paris
sepertinya menawarkan potensi dan petualangan tanpa henti. Salah
satu kunci untuk memahami sinema baru yaitu sinema tersebut
didorong oleh semangat improvisasi yang pada gilirannya berasal dari
latar suatu adegan. Tujuannya, sebagaimana diteorikan oleh François
Truffaut dalam Jurnal Cahiers du cinéma, yaitu untuk membuat
skenario yang intim dan terperinci, di mana sutradara juga menjadi
seorang pengarah (pada kenyataannya seorang auteur dalam konteks
paling sejati), dan oleh sebab itu merupakan partisipan dalam film.
Hasilnya sering kali memesona dan bahkan membuat lupa bernapas
dalam kecepatan dan semangatnya—tentu saja contoh terawal dan
terbaik dari genre nouvelle vague (sekali lagi biasanya dari Godard
dan Truffaut) yaitu adikarya visual yang secara bersamaan berani
dan penuh invensi selain sebagai contoh terbaik modernisme puitis
di kota.
Hal yang paling penting pada awal dekade 1960-an, saat Paris
akhirnya mulai muncul dalam konteks budaya dan politik dari
reruntuhan paruh pertama abad ini, jalanan kota yang menyediakan
latar belakang bagi revolusi mini dalam bioskop sekarang dipandang
sebagai lokasi-lokasi baru bagi bentuk-bentuk baru drama dan ke-
cantikan daripada hanya sekadar latar bagi perang. Namun demikian,
lokasi-lokasi ini juga segera menjadi latar bagi upaya revolusi yang
jauh lebih dramatis dan bervariasi.
519
43
Konspirasi Kabur
Memang, pada tahun-tahun awal dekade 1960-an hampir tidak
ada hal yang menunjukkan bahwa pada akhir dekade tersebut
pemerintah Prancis akan dilumpuhkan dan hampir dijatuhkan oleh
pemberontakan yang diperjuangkan dengan penuh semangat di
jalanan Paris. Namun, seperti itulah yang terjadi pada Mei 1968, saat
serangkaian demonstrasi dan gangguan di jalanan yang dipimpin oleh
orang-orang muda di Tepi Timur memicu gelombang protes serupa
di seantero negeri. Konsensus pada saat itu yaitu kerusuhan dan
gangguan yang telah muncul secara tiba-tiba. Walaupun demikian,
kejadian-kejadian pada Mei 1968 akan menandai titik balik dalam
sejarah budaya Eropa pada abad ke-20.
Momen ini juga merupakan momen yang memiliki banyak
preseden dalam sejarah Paris: ‘Front Populaire’ pada 1936, Komune
Paris pada 1871, pemberontakan revolusioner pada 1831 dan 1848
dan bahkan Revolusi pada 1789 disebut sebagai modelnya. Namun,
momen ini memiliki fitur pembeda yaitu bahwa untuk pertama
kalinya ini bukanlah pemberontakan kelas bawah yang miskin dan
setengah-kelaparan, dan bukan sebuah kampanye gerilya terpadu yang
diperjuangkan oleh para subversif terorganisasi, tetapi merupakan
sebuah pemberontakan oleh para mahasiswa kelas menengah, para
putra dan putri orang-orang yang paling banyak mendapatkan
keuntungan dari pemulihan ekonomi Prancis di masa pasca-perang.
Bagi banyak orang dalam kelompok Kiri tradisional, yang telah
memperjuangkan peningkatan gaji dan kondisi kehidupan, inilah
fakta yang membuat revolusi begitu tidak dapat dipahami dan sangat
mengejutkan.
Namun, hal ini tidak berlaku bagi orang-orang di Paris yang dekat
520
dengan berbagai sisa-sisa gerakan-gerakan avant-garde revolusioner
yang berhasil selamat dari banyak pergolakan perkembangan
pasca-perang. Mereka termasuk para anggota Kelompok Surealis
Revolusioner, Partai Komunis Revolusioner, para anarkis dan ber-
bagai faksi kecil yang masih beroperasi di Saint-Germain-des-Prés
dan Quartier Latin, menerbitkan pamflet, traktat, dan tuduhan yang
terutama ditujukan kepada satu sama lain. Kesamaan yang dimiliki
kelompok-kelompok ini yaitu mereka memutuskan bahwa janji-janji
Utopis yang dibuat oleh para avant-garde pada paruh pertama abad
ini masih harus ditepati. Mereka telah lama mengidentifikasi subversi
bawah tanah sebagai prinsip pemandu sejarah Paris—sebuah teori
yang dikonfirmasi oleh aktivitas-aktivitas perlawanan di masa yang
baru berlalu—dan bertekad untuk bertindak mengikuti pemahaman
ini. Visi revolusioner dari kelompok-kelompok ini dirangkum dalam
grafiti terkenal pada Mei 1968: “Realistislah, Tuntut yang Mustahil!”
Sebenarnya, ada sejumlah tanda lainnya bahwa badai
akan datang. Dekade telah dimulai dengan de Gaulle sepenuhnya
menguasai pemerintahan yang kewenangannya, walaupun meng-
hadapi kesulitan dalam perang Aljazair, umumnya tidak menghadapi
tantangan dalam arena politik arus utama. Gangguan mahasiswa
yang kadang kala terjadi, seperti pemogokan di Strasbourg atau
Nantes pada pertengahan 1960-an umumnya dijelaskan, bahkan
oleh para komentator bersimpati Kiri, sebagai penyimpangan yaitu
buah dari terlalu banyak kenyamanan material dan kebosanan dan
bukan konfrontasi politik serius apa pun. Budaya bawah tanah baru
yaitu jazz, rock ‘n’ roll, dan kesusastraan beatnik juga hanya dianggap
sebagai impor Amerika belaka yang tidak bisa bersaing dengan
atau menggantikan kebijaksanaan rakyat dari para penampil Paris
pribumi—walaupun pemakaman Édith Piaf pada 1963 dikatakan
menandai kematian kebudayaan populer lokal di kota ini. Sosiolog
Edgar Morin membuat istilah musique yéyé untuk mendeskripsikan
suara-suara baru yang sumbang yang menginvasi Paris dari New York,
San Francisco dan Liverpool. Kebudayaan pemuda Prancis—yang
dicontohkan oleh ‘Elvis palsu’ Johnny Hallyday dan France Gall yang
gemulai—terutama hanyalah fenomena submisif imitatif dan lemah
(kondisi ini tidak akan bertahan lama; orang-orang seperti Serge
521
Gainsbourg dan Michel Polnareff, selain para mantan boneka pop
seperti François Hardy, akan segera menciptakan kosakata Galia yang
sangat unik untuk pop dan rock).
Fakta utama kehidupan Paris bagi generasi lebih muda pada
dekade 1960-an yaitu anomi dan kebosanan. Sebagian besar anak
muda masih tinggal di rumah, atau di asrama mahasiswa yang sangat
membosankan, dan kehidupan kota—selain dari ghetto mahasiswa di
Quartier Latin—berjarak sangat jauh baik secara finansial maupun
budaya dan kehidupan dan keinginan mereka. Tidak seperti rekan-
rekannya di negara-negera penutur bahasa Inggris, di mana kaum
muda sedang mendominasi kekuatan politik budaya, kaum muda di
Prancis masih didominasi oleh paternalisme dan hierarki sosial yang
kaku. Momen revolusioner pada pemberontakan 1968 yaitu , seperti
akan kita lihat, sangat diinspirasi oleh reaksi terhadap batasan-batasan
ini, seperti diartikulasikan oleh sebagian kelompok avant-garde dan
sekte Kiri-jauh paling liar, selain dari bacaan Marx dan Hegel mana
pun.
Kota Instan
Secara fisik, Paris masih merupakan tempat yang kotor dan kumuh
pada awal dekade 1960-an. Hal ini sebagian disebabkan fakta bahwa
sejak perang berakhir pihak-pihak berwenang telah disibukkan oleh
urusan-urusan lain yang lebih mendesak daripada membersihkan
kota. Fasad dari sebagian besar bangunan publik dan bahkan hotel-
hotel termegah sekarang menghitam sebab jelaga. Kisah cinta
Parisian dengan mobil tentu saja telah membuat masalah semakin
parah. Sulit sekali untuk menyeberangi bulevar besar mana pun yang
masih menjadi jalan-jalan arteri utama kota tanpa menderita penyakit
hampir kehabisan napas. Bagian lain dari masalah yaitu bahwa
reorganisasi kota yang telah terjadi di bawah pengawasan Haussmann
pada abad ke-19 sangat tidak sesuai bagi abad ke-20. Dalam banyak
hal, seakan-seakan Haussmann hanya bisa menyelesaikan setengah
pekerjaan: terutama bulevar-bulevar besar di seantero Paris masih
belum menyentuh labirin jalan kecil, lorong, jalan buntu, dan jalanan
522
beratap yang terlalu sempit untuk lalu lintas sehingga membuat
gerakan di dalam kota menjadi sangat lambat.
Para arsitek dan perencana kota bermimpi untuk membentuk
kembali Paris menggunakan teknologi-teknologi baru masa tersebut;
mereka berfantasi tentang terowongan bawah tanah, gedung pencakar
langit dan lorong beratap dengan pusat perbelanjaan besar tempat
para pejalan kaki berjalan dengan santai dari rumah ke metro untuk
berbelanja untuk bekerja dan kemudian kembali ke rumah tanpa
melakukan kontak dengan dunia ‘nyata’.
Inilah Paris yang disatirkan oleh adikarya komik Playtime karya
Jacques Tati, sebuah film yang menggambarkan seorang pahlawan
yang tenggelam dalam distopia dehumanisasi berupa kaca lembaran,
trotoar berjalan dan lalu lintas, tempat satu-satunya kontak manusia
yang dilakukannya yaitu dengan serombongan turis Amerika yang
berkeliling tanpa tujuan di kota yang tidak nyata ini. Tidak heran jika
Playtime gagal secara komersial dan kritis saat pertama kali muncul
pada 1967 sebab banyak Parisian masih ingin percaya bahwa kota
mereka yaitu perlambang bagi masa depan cerah selain monumen
bagi masa lalu.
Bersama dengan gairah bagi hal baru masih ada insting untuk
memelihara dan memulihkan apa yang tersisa dari kota tua. Pada
akhir dekade 1950-an, proses pembersihan dan modernisasi dimulai
di daerah-daerah di sekitar Rue Lafayette dan Gare Saint-Lazare. Ini
yaitu inisiatif menteri konstruksi, Pierre Sudreau, yang telah melihat
potensi wisata dari kota yang lebih bersih dan lebih indah. Para tuan
tanah meragukan bahwa proyek ini menguntungkan dan enggan untuk
membayar pajak lokal yang tidak seberapa guna membiayai pekerjaan
restorasi. Sebaliknya, pers dan publik Paris tidak seperti biasanya
sangat berminat terhadap proyek ini dan mendorong Sudreau untuk
memperluasnya dengan melakukan penyemprotan-pasir terhadap
Notre-Dame, Louvre dan Les Invalides guna mengungkapkan kembali
kompleksitas warna pada batu yang tidak pernah terlihat lagi selama
berabad-abad.
Pada 1962, menteri kebudayaan de Gaulle, André Malraux, me-
ngeluarkan undang-undang yang mengidentifikasikan daerah-daerah
di pusat kota yang akan dilestarikan sebagai secteurs sauvegardés
523
(‘sektor-sektor konservasi’), yang dipilih atas pertimbangan nilai
historis. Undang-undang tersebut pertama kali diterapkan di Marais,
yang pada saat itu yaitu salah satu bagian kota yang paling reyot,
tidak sehat, dan berbahaya. Banyak dari bangunan di distrik ini tidak
pernah tersentuh selama seratus tahun atau lebih; sebagian besar
jalannya yaitu campur aduk dari bangunan-bangunan terabaikan
berupa hôtel yang sebelumnya megah dari masa grand siècle, gudang
dan bengkel kerja yang reyot, serta butik dan studio mungil. Semua
bangunan ini indah, tetapi sangat bau dan sebagian besar bangunan
tidak memiliki kebutuhan dasar seperti air mengalir dan listrik.
Pekerjaan pertama yaitu menyikat hingga bersih fasad-fasad dan
menghilangkan bangunan tambahan yang kacau-balau, untuk meng-
ungkapkan lapangan dalam terbuka, gapura lengkung elegan dan rasa
megah yang sebelumnya ada di sana.
Rencana-rencana lainnya untuk mengembangkan kota tidak
terlalu berhasil dan tentu saja kurang populer. Contohnya yaitu
penghancuran Les Halles, lambang Paris tua atau setidaknya kota
Imperium Kedua. Les Halles bukan hanya pasar makanan tetapi
bahkan setidaknya pada akhir dekade 1950-an telah memiliki dunia-
mikronya sendiri yaitu para pelacur, pencuri, pedagang kaki lima,
dan makelar yang bahasanya yaitu penghubung langsung dengan
masa lalu yang menghilang dengan cepat. Dalam konteks yang tidak
terlalu nostalgia, jalan-jalan di sekitar Les Halles menjadi rumah bagi
komunitas besar kelas pekerja yang tidak ingin dipindahkan ke estat-
estat bangunan tinggi di luar kota, tetapi juga tidak mampu untuk
hidup di tempat lain di Paris tengah. Prioritas pemerintah yaitu
untuk mengurangi populasi Paris agar dapat melestarikan apa yang
dianggapnya sebagai nilai historis. Tentu saja ada biaya manusia yang
tinggi yang terkait dalam rencana ini.
Tidak terhindarkan lagi bahwa keluhan-keluhan pertama yaitu
Paris sedang dibuat menjadi lokasi film atau museum. Dalam novela
satirenya pada 1965 berjudul Les Choses (‘Hal-hal’), penulis Georges
Perec mendeskripsikan kehidupan dua anak muda Paris bernama
Sylvie dan Jérôme, yang berjalan-jalan tanpa tujuan mengelilingi Paris
yang bisa mereka kagumi dalam konteks visual—dan yang memicu
fantasi mereka tentang kehidupan ideal—tetapi yang tidak bisa mereka
524
sentuh atau miliki. Namun demikian, keluhan tentang Paris sebagai
tontonan urban tidak selalu datang dari para intelektual atau seniman
terkemuka. Keluhan ini juga datang dari kelas pekerja sendiri. Tetapi
bahkan Partai Komunis hanya menganggap banyak keberatan ini
sebagai reaksioner dan penolakan berpandangan ke belakang untuk
menyambut kemajuan.
Bawah Tanah Paris
Namun pada awal dekade 1960-an, sudah ada berbagai elemen
bijaksana dalam masyarakat Paris yang menolak untuk dipandu
oleh pendukung de Gaulle atau paternalisme Komunis yang kaku.
Mereka termasuk kelompok-kelompok mahasiswa dan anarkis—yang
gagasan-gagasannya bangkit kembali untuk pertama kalinya sejak
1890-an—selain komunitas-komunitas kelas pekerja dan imigran
yang merasa bahwa mereka hanya memiliki sedikit kesamaan dengan
orang-orang yang dianggap sebagai atasannya di dalam partai-partai,
baik Kanan ataupun Kiri.
Paris pada saat itu juga menjadi rumah dari latar bawah tanah
yang sedang tumbuh yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan serupa
di Amerika Serikat dan Inggris. Tentu saja, bawah tanah Paris dan
dunia luar memiliki banyak pahlawan yang sama, dari Miles Davis
hingga Jack Kerouac hingga Rolling Stones. Paris sendiri walaupun
tidak lama pernah menjadi ibukota kontra-budaya pada akhir dekade
1950-an bagi American Beats, yang tertarik oleh prestise intelektual
kota dan kesenangan dekadennya. Markas besar Beats di Paris yaitu
sebuah hotel kecil, berjuluk ‘Beat Hotel’, yang dikelola oleh Madame
Rachou di Rue Git-le-Coeur. Di tempat inilah William Burroughs
dan Brion Gysin memakan opium mentah dan mengisap hasish,
melakukan eksperimen ajaib dan menciptakan ‘mesin impian’ yang
akan melepaskan kekuatan dahsyat subjektivitas tanpa batas terhadap
kota.
Namun demikian, kebudayaan narkoba Paris yaitu fenomena
massal, seperti yang tidak lama kemudian terjadi di dunia berbahasa
Inggris, tetapi terutama terbatas pada elite kecil yang berhubungan erat
525
dengan gerakan avant-garde yang sekarat di kafe-kafe di Montparnasse
dan Saint-Germain-des-Prés. Oleh sebab itu, penggunaan narkoba,
setidaknya pada awal dekade 1960-an, yaitu kegiatan intelektual
dengan perhitungan daripada kegiatan yang kemudian segera terjadi
di tempat lain di seantero dunia Barat. Bagi para calon intelektual dan
aktor, seperti penulis pemula Jean-Pierre Kalfon dan Jean-Claude
Bailly, modelnya yaitu ‘le Grand Jeu’ (Permainan Besar’), sebuah
sempalan gerakan Surealis yang telah melakukan korespondensi
jangka panjang dengan André Breton pada dekade 1920-an tentang
kesinambungan obat-obatan halusinogenik sebagai jalan pintas bagi
pengalaman Surealis. Breton akhirnya menyetujui pendapat mereka,
tetapi kelompok ini terus bereskperimen dengan asfiksiasi dan opium
sebagai proyek mistik. Tujuan dari mereka yang menggunakan
narkoba dalam kelompok Kalfon yaitu pencerahan instan, cara baru
untuk melihat kota yang telah dilewatkan oleh rute-rute tradisional ke
arah penerangan.
Narkoba yang paling banyak digunakan yaitu ganja, dalam
bentuk kif Aljazair atau Maroko, yang kadang kala dicampur
dengan opium. Narkoba ini dengan mudah diperoleh di tempat-
tempat terkenal seperti Rue Xavier-Privas atau Rue Muffetard. LSD
datang bersama kembalinya Jean-Pierre Merle ke Paris, teman lama
‘guru sarkastik’ Amerika bernama Timothy Leary. Markas besar
bagi kancah perangsang kecil di Paris yaitu toko Mandala di Rue
Vavin, tempat LSD diedarkan dengan dilatarberlakangi oleh R&B
Inggris atau Amerika atau, tidak kalah sering dan sama akrabnya,
musik dari Timur. ada pula sejumlah upaya Parisian di bidang
obat perangsang dalam bentuk band Mahjun dan band Red Noise.
American Center di Boulevard Raspail akan menjadi ‘ruang bebas’
lainnya, yang didedikasikan bagi narkoba, seks, protes politik, dan
filsafat di luar hal-hal duniawi dalam besaran yang hampir setara.1
Kancah narkoba menyeberang ke dunia kabaret dan chanson. Salah
satu buah paling memikat dan tidak biasa umum dari penyatuan ini
yaitu karya Brigitte Fontaine—seorang penyanyi, seniman, dan jiwa
bebas yang, di bawah panduan temannya yaitu penulis lagu Jacques
Higelin dan musisi Aljazair Araski Belkacem, dijuluki ‘Juliette Gréco
Freaky’. Fontaine telah memulai kariernya dalam tradisi la chanson
526
française—suatu genre yang eksponen paling terkenalnya yaitu
Jacques Brel, Georges Brassens, dan Léo Ferré, yang menyukai kata-
kata sebanyak menyukai musik, menciptakan drama atau komedi
mini yang terpelajar dan cerdik dalam lagu-lagu mereka. Brigitte
menumbuhkan gaya ironis sarkastik yang dapat dibandingkan dengan
Serge Gainsbourg. Album Brigitte Fontaine est folle (‘Brigitte Fontaine
Gila’) kemungkinan yaitu contoh terbaik dari gaya ini dan lagu ‘Cet
enfant que je t’avais fait’ (‘Anak ini yang kuberikan kepadamu’) yaitu
bagian esensial dari lagu latar kehidupan Parisian pada dekade 1960-
an.
Fontaine juga bereksperimen dengan suatu bentuk dunia musik
bersama Araski, membawa pengaruh Arab dan Oriental lainnya ke
dalam musiknya. Ia berkolaborasi dengan Art Ensemble dari Chicago,
yang saat itu berbasis di Paris dan pemain reguler di festival bebas
mengambang di American Center di Boulevard Raspail. Ia dilupakan
untuk sementara waktu pada dekade 1980-an tetapi ditemukan kembali
oleh generasi penampil baru termasuk Noir Désir, Étienne Daho, dan
Les Rita Mitsouko (yang kemungkinan merupakan penerusnya yang
paling berhasil), dan sekarang dipuja sebagai diva bawah tanah Paris
dan pahlawan masa rangsangan di kota.
Namun demikian, seperti musik rock Inggris-Amerika, narkoba
perangsang tidaklah langsung sukses, bahkan di kalangan bagian-
bagian paling ‘maju’ bawah tanah Paris. Jurnal Le Crapouillot,
yang biasanya yaitu teman yang dapat diandalkan dari semua hal
subversif, menghasilkan edisi ‘anti-LSD’ sementara lainnya mengutuk
LSD sebagai ‘mode Amerika untuk orang kate’. Jalan ke depan, seperti
diperdebatkan dalam jurnal-jurnal kabur keras kepala seperti Groupe
Artistique Révolutionnaire dan L’Internationale situationniste, yaitu
politis dan dalam konflik.
Para Pemimpi
Fitur paling terlihat dari Revolusi Mei 1968 yaitu bahwa revolusi ini
merupakan negasi total bagi semua yang ditawarkan oleh masyarakat
Barat. Masyarakat Barat sedang sakit dan sekarat, seperti diperdebatkan
527
dalam ruang-ruang seminar dan di terrasse-terrase di Tepi Kiri; satu-
satunya obat yaitu transformasi total masyarakat yaitu suatu revolusi
total. Hal ini tidak akan hanya datang dari kebudayaan saja—film dan
musik memang hanyalah bagian dari ‘kebudayaan citra’ yang harus
dihancurkan—tetapi dari pemutusan radikal dengan masa lalu dan
segala tabunya.
Posisi yang berani, keras kepala, dan tak kenal kompromi ini yaitu
salah satu tema utama film The Dreames pada 2004 yang disutradarai
oleh Bernardo Bertolucci, yang mendeskripsikan dan menganalisis
ménage à trois seks sedarah dan biseksual yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan saudara perempuannya dari sebuah keluarga borjuis Tepi
Kiri dengan seorang mahasiswa Amerika. Film ini banyak dikritisi,
terutama di Prancis, sebab catatannya yang dangkal dan disterilkan
tentang gangguan-gangguan jalanan hasil hasutan.2 Namun demikian,
film ini berisikan resonansi yang masih berbekas dan misterius, yang
dalam banyak hal diturunkan dari cara di mana pengejaran dewasa
terhadap kebebasan absolut dan mustahil ditempatkan dengan latar
belakang kerusuhan-kerusuhan dan perkelahian jalanan di Boulevard
Saint-Michel dan Boulevard Saint-Germain. Terutama, Bertoluci
sepertinya mengatakan bahwa letusan kekerasan di jalanan di Tepi
Kiri yaitu kejadian patologis selain politis—yaitu untuk mengatakan
bahwa semangat revolusioner para mahasiswa dipicu oleh kelebihan
energi seksual dewasa yang sama besarnya dengan tuntutan yang
benar-benar radikal.
Salah satu kelompok yang mengklaim telah memahami insting
ini sebagai bagian utama dalam pembuatan revolusi yaitu ‘L’Inter-
nationale situationniste’ (‘Situationist International’ atau SI). Ini
yaitu kelompok yang sangat kecil beranggotakan para berandal
intelektual yang dipimpin oleh Guy Debord yang berusia 36 tahun.
Ia menerbitkan jurnal dengan nama yang sama dari markas besarnya
yang selalu berpindah-pindah di bar-bar dan kafe-kafe Quartier Latin.
SI umumnya tidak dikenal pada masa itu, dan kelompok kecil para
intelektual Tepi Kiri berpikiran serupa kemungkinan yaitu satu-
satunya pembacanya.
Guy Debord sendiri yaitu pembuat onar yang berani, karismatik,
dan cerdik, sangat menyukai minuman keras dan perkembangan
528
posisi-posisi teoritis tak kenal kompromi yang tidak dapat diterima.
Terinspirasi dalam kadar yang kurang-lebih sama oleh penyair
Baudelaire dan Lautrémont, tulisan-tulisan kritis Marx dan Hegel serta
praktik para Dadais dan Surealis, Debord memandang dirinya sendiri
dan ‘L’Internationale situationniste’ sebagai memimpin pembuka jalur
revolusioner final abad ini, ‘konspirasi kabur’ yang akan meninggalkan
‘dunia tua’ di belakangnya bagi ‘seni baru masa depan, penciptaan
situasi’.3
Apa yang dimaksudkan oleh Debord dalam seruannya untuk
mengangkat senjata yaitu aktivitas politik dan seni terkonsentrasi
yang melawan kekuasaan pengontrol ‘tontonan’—gagasan bahwa
semua hubungan manusia dimediasi oleh citra dari televisi, film, iklan,
surat kabar, dan majalah. ‘Tontonan’ yaitu musuh eksistensi manusia
yang bersemangat: “Semua yang dahulu dijalani secara langsung
sekarang menjadi sekadar representasi.” Debord menulis dalam tesis
pertamanya dalam bukunya La Société du spectacle (‘Masyarakat
Tontonan’), yang ia terbitkan di Paris pada 1967 dengan niat tersurat
“merusak masyarakat spektakuler.”4 Buku ini akan menjadi salah
satu karya paling terkenal dan berpengaruh yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian pada Mei 1968.
Teori ‘masyarakat tontonan’ segera sukses dan populer di kalangan
Paris radikal. Namun, penting untuk dipahami bahwa ‘tontonan’ tidak
hanya merujuk pada citra-citra palsu yang dibiaskan melalui media.
Tontonan juga, dan yang paling penting dalam teori Situasionis,
merupakan neksus tanda dan citra, yang, saat dikembangkan ke seantero
hubungan sosial, mengarah pada apa yang disebut Debord sebagai
“kolonisasi kehidupan sehari-hari.” Para Situasionis memiliki perasaan
bermusuhan yang tanpa belas kasihan dan tidak dapat didamaikan
terhadap segala bentuk kebudayaan pop, lokasi pemisahan antara
penonton dan tontonan. Permusuhan ini diiringi oleh keyakinan
mereka bahwa yaitu para pemuda yang tidak puas, bagian dari
masyarakat yang mengonsumsi hadiah-hadiah murah masyarakat
‘spektakuler’ dalam bentuk rekaman, pakaian dan narkoba, yang akan
menjadi ujung tombak momen revolusioner.
Hal seperti ini sudah diumumkan setidaknya sejak akhir dekade
1940-an oleh tokoh ‘Letterist’ Isidore Isou dalam Traité d’économie
529
nucléaire: le soulèvement de la jeunesse (‘Perjanjian-Perjanjian tentang
Ekonomi Nuklir: Kebangkitan Pemuda’). Dalam tulisan ini Isou,
yang memiliki pengaruh krusial terhadap kelompok situasional awal,
menyatakan bahwa para pemuda telah dikecualikan dari ekonomi
sebab tidak memiliki nilai tukar: tanpa pekerjaan, keluarga, modal,
‘para pemuda’ bukanlah orang tetapi ‘benda mewah’ atau ‘perkakas’.5
Seruan Isou bagi revolusi Letterist telah didasarkan pada prinsip-
prinsip negasi gerakan, yang menuntut bahwa semuanya harus
dikurangi hingga elemen-elemen esensial paling mendasarnya dan
kemudian ditransformasikan secara total.
Bukannya tunduk pada tuntutan palsu ‘tontonan kebudayaan’, para
Situasionis memilih untuk hidup sebesar yang mereka bisa, menolak
keluarga, kerja, belajar, kesenangan, dan uang dengan memilih
kemabukan, seks tanpa batas dan eksistensi mengambang di hotel,
apartemen murah dan rumah kos. Mereka membenci kota yang
dibersihkan dan dimodernisasi. Melalui praktik yang mereka sebut
‘psikogeografi’, mereka berusaha mengubah organisasi kota menjadi
jungkir balik. ‘Psikogeografi’ yaitu permainan, atau serangkaian per-
mainan, di mana para pesertanya berupaya menciptakan atmosfer yang
memiliki kekuatan untuk mengganggu rutinitas dan fungsi kehidupan
sehari-hari. Minuman keras, narkoba, musik, kebosanan, ketakutan,
dan kekaguman semuanya memiliki peran untuk dimainkan. Sasaran
pertama teknik-teknik ‘psikogeografis’ ini yaitu mengaburkan
perbedaan antara makna dan fungsi di kota.6 Pada satu titik, para
Situasionis mendorong dalam jurnal mereka bahwa metro harus
terbuka bagi para pejalan kaki, bahwa toko-toko obat harus menjual
cerutu dan bahwa lampu jalanan harus memiliki sakelar mati/hidup.
Sasarannya yaitu mengganggu organisasi kota, membangunkannya
kembali ke makna yang baru dan lebih bergairah.
Salah satu buku kunci Situasionis yaitu Traité de savoir-vivre à
l’usage des jeunes générations (diterjemahkan ke bahasa Inggris secara
kurang tepat sebagai ‘The Revolution of Everyday Life’—‘Revolusi
Kehidupan Sehari-Hari’) karya Raoul Vaneigem. Buku ini diterbitkan
pada 1967 dan menyaingi karya Debord sendiri dalam hal pengaruh dan
popularitasnya. Hal yang paling signifikan, dalam buku ini Vaneigem
menetapkan pandangannya ke arah belakang menuju Surealisme,
530
yang ia puji sebab sama-sama menghargai kekhawatiran di luar hal
duniawi (kematian Tuhan), kekerasan bersifat halusinasi dan erotisme
yang mengalahkan tuntutan-tuntunan sistem rasional. Masalah
dengan masyarakat Barat yaitu masyarakat ini tidak mengalami
pengalaman-pengalaman ‘irasional’ ini dan lebih menyukai ketertiban,
disiplin dan ‘makna’. Vaneigem sendiri mengatakan bahwa, sebagai
seorang Situasionis, ia mendukung kebebasan total, terutama dalam
bidang seks dan termasuk mendobrak tabu hubungan seks sedarah.
“Inilah sebabnya situasi kondisi saat ini cenderung menguntungkan
hasutan Situasionis,” kata Vaneigem berharap dapat menjelaskannya.7
Namun, meski mereka mengklaim memiliki kemampuan melihat
masa depan, baik ia maupun para Situasionis lainnya tidak bisa
mengantisipasi bahwa kejadian-kejadian revolusioner di Paris yang
mereka mimpikan sudah begitu dekat.
Kebebasan Sekarang
Benih-benih revolusi pada kenyataannya disemai di luar Paris di
Universitas Nanterre. Serangkaian bangunan suram ini dibuka pada
1964 sebagai ‘universitas percontohan’, yang berarti bahwa universitas
tersebut ditujukan untuk melatih generasi-generasi teknokrat masa
depan yang akan mengawasi gerakan permesinan halus masyarakat
Prancis. Daerah pinggiran Nanterre sangat jauh dari pusat Paris dan
hanya bisa dicapai sesudah perjalanan metro yang panjang ke ujung jalur,
atau rute bus yang lebih rumit yang membawa para mahasiswa melalui
daerah kumuh dan bangunan seadanya yang reyot di daerah ini. Pada
1967, kampus Nanterre penuh sesak oleh sekitar 12.000 mahasiswa.
Pemogokan mahasiswa menentang aturan kehidupan kampus yang
sangat keras dengan cepat menjadi fitur berkala kehidupan universitas.
Pamflet-pamflet dari Kiri jauh, termasuk Situasionis, yang bersatu
melawan segala bentuk otoritas dan menyerukan mahasiswa untuk
beraksi, dengan cepat dibaca habis.
Ketegangan di Nanterre meningkat hingga titik didih pada 22 Maret
saat sekelompok mahasiswa pro-Situasionis yang menyebut dirinya
sendiri ‘Enragés’ (sebagai penghormatan bagi para ekstremis tahun
531
1789 yang bahkan bisa membuat takut Robespierre) melancarkan
pendudukan bangunan utama. Pengambilalihan ini dengan cepat
dapat diusir tetapi sekarang menarik perhatian media internasional.
Pada saat yang sama, slogan-slogan Situasionis—‘Jangan Pernah
Bekerja!’, ‘Kebosanan yaitu kontra-revolusioner!’, ‘Semuanya
mungkin!’—mulai bermunculan secara misterius di seluruh kampus.
Fokus berpindah ke Paris tengah pada 3 Mei saat tuduhan
pendisiplinan diajukan terhadap para aktivis Nanterre di Sorbonne.
Sebuah dengar pendapat dijadwalkan pada 6 Mei, tetapi pada tengah
hari tanggal 3 Mei sudah muncul janji akan terjadinya kekerasan
serius. Atmosfernya semakin panas dengan kehadiran para anggota
‘Occident’ di sekitar Sorbone, yaitu gerakan mahasiswa sayap-kanan
ekstrem yang ingin memulai perkelahian dengan ‘kaum bolshevik’.
Para Enragé dan rekan-rekan seperjalanannya mulai menghancurkan
meja untuk digunakan sebagai tongkat guna ‘membela diri’ melawan
para anggota Occident. Inilah saat saat otoritas yang gugup
memutuskan untuk memanggil polisi. Pada pukul empat di sore yang
sama, universitas dikelilingi oleh CRS—‘Compagnies Républicaines de
Sécurité’, yang sangat terkenal akan metode-metode kerasnya dalam
membubarkan pemogokan.
CRS tidak menyia-nyiakan waktu dalam menangkap para militan,
atau siapa pun yang terlihat seperti seorang militan, sambil tidak
lupa memberikan pukulan kepada mereka dalam prosesnya. Para
mahasiswa yang telah menyaksikan semua ini tepat di depan matanya
mulai keluar dari kafe, toko buku dan bar untuk membela rekan-
rekannya. Saat pelemparan batu dan perkelahian di Boulevard Saint-
Michel menjadi kerusuhan skala penuh, Sorbonne pun diputuskan
untuk ditutup. Hal ini hanya terjadi satu kali dalam sejarah panjang
institusi ini selama 700 tahun—yaitu pada 1940, di bawah kekuasaan
Nazi. Penutupan ini menjadi pertanda momen mengerikan bagi
pemerintah.
Saat perkelahian berlanjut di jalanan Paris sepanjang akhir pekan
tanggal 4 dan 5 Mei, sudah jelas bahwa de Gaulle sendiri, setidaknya
pada awalnya, sangat memandang remeh sifat dan kekuatan ancaman
terhadap pemerintahannya ini. Tidak seorang pun politisinya yang bisa
menyepakati sebuah solusi dan membiarkan kekuasaan secara efektif
532
dan dengan dampak merusak berada di tangan polisi. Sejak awal,
para petugas kepolisian bertindak dengan kebrutalan yang konsisten
dan ketidakpedulian terhadap dunia yang menonton. Para pria dan
wanita muda dipukuli dengan kejam tepat di hadapan teman-teman
dan rekan-rekannya selain di hadapan pers dunia. Seorang perawat
mengingat kembali penangkapan dan penahanannya di Beaujon
selama akhir pekan pertama:
Kami keluar dari bus dan dipukuli; kemudian berjalan melewati dua
barisan CRS, saya tiba di sebuah stadion yang dikelilingi oleh kawat berduri
… Seorang pria CRS berkata kepada saya: “Ikuti aku, akan kugunduli kau,
rambut keriting.” Ia memukul saya. Seorang perwira mengintervensi tetapi
gadis di depan saya semua rambutnya telah dicukur habis. Saya kemudian
dibawa ke sebuah sel, tiga meter kali enam. sesudah lima jam, sel tersebut
berisikan 80 orang dari kami. Kami harus berdiri. Saya bisa melihat
lapangan dalam; seorang pria muda berjalan melintas setengah telanjang,
kaki-kakinya terkoyak akibat pukulan tongkat, berdarah, memegang
perutnya, buang air kecil di mana-mana. Seorang wanita muda yang
sebelumnya bersama pemuda tersebut mengatakan kepada saya bahwa
CRS memukuli pemuda tersebut hingga pingsan, kemudian melepaskan
pakaiannya dan memukuli organ seksualnya hingga dagingnya tercabik-
cabik.
Café de la Mairie di Place Saint-Sulpice, yang merupakan tempat
bersantai mahasiswa, diserbu oleh polisi yang memukuli siapa pun
konsumennya. Saat memprotes bahwa ia yaitu orang asing yang
tidak bersalah, seorang pemuda dipukul di wajahnya oleh seorang
anggota CRS yang berkata, “Ya, dan kau datang untuk buang kotoran
di atas kami di Prancis.”8
Perkelahian semakin keras dan semakin menakutkan daripada
yang pernah dibayangkan siapa pun. Para mahasiswa, bersama dengan
kelompok-kelompok Kiri-ekstrem yang datang untuk bergabung
dengan mereka (termasuk orang-orang Situasionis), membarikade
jalan dan pada akhirnya menduduki Sorbonne sendiri. Sebagai
tanggapannya, polisi mulai menggunakan granat CS terhadap para
perusuh, senjata yang baru pernah digunakan di Vietnam. Tetap
saja para perusuh menolak untuk menyerah—membakar mobil-
mobil dan melemparkan bom-bom Molotov kepada barisan polisi.
533
Para mahasiswa—baik pria maupun wanita—orang asing, pekerja,
semua bergabung dalam pertempuran. Saat senja datang sesudah
malam-malam pertama perkelahian, jalanan di Quartier Latin
terlihat seperti bekas zona perang yang kosong. Grafiti situasionis
dan anarkis melingkupi kekuatan-kekuatan memotivasi di belakang
perkelahian. Contohnya yaitu ‘BAWALAH HASRATMU MENJADI
KENYATAAN’, ‘IMAJINASI MENGAMBIL KEKUATAN’ dan
‘BIARKAN KAMI MENJADI KEJAM!’ Pemimpin Situasionis Guy
Debord sangat senang melihat kemurkaan yang ia bantu lepaskan dan
memprediksi masa depan kebebasan tak terbatas. “Kami tidak takut
pada reruntuhan,” katanya.9
“Lari, kamerad...”
Situasi tak terkontrol ini sudah cukup serius tetapi, setidaknya menurut
polisi, tidak ada pertanyaan bahwa revolusi mahasiswa akan menjadi
revolusi sepenuhnya.
Kemudian, kejadian-kejadian berubah menjadi lebih serius saat ,
pada 14 Mei, gelombang pemogokan di kalangan pekerja mulai
terlihat membawa negara berhenti sepenuhnya. Inilah momen yang
ditakuti oleh pemerintah, saat pekerja dan mahasiswa bersiap untuk
membuat persekutuan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang
bisa menjatuhkan pemerintah. Saat para pekerja pos, guru, penjaga
toko, pegawai negeri semua bergabung dalam pemogokan, sepertinya
bahwa Paris akan terjerumus ke tingkat anarki dan ketiadaan hukum
yang belum pernah terjadi sejak 1871. Fakta ini dirayakan dalam
grafiti optimis: ‘Cours, camarade, le vieux monde est derrière toi!’ (‘Lari,
kamerad, dunia lama ada di belakangmu!’).
Selama sebagian besar masa tersebut, de Gaulle sedang pergi
melakukan kunjungan kepresidenan ke Rumania. Beredar desas-desus
bahwa ia takut untuk kembali ke Prancis. Tetapi pada malam tanggal
24 Mei, seperti yang telah ia lakukan dalam begitu banyak krisis
sebelumnya, pemimpin Prancis memutuskan untuk berbicara kepada
bangsa. Ia berbicara kepada para pemogok secara langsung dan secara
jijik, menuduh mereka ‘buang air besar di tempat tidurnya sendiri’. Ia
534
tidak menyetujui satu pun tuntutan mereka—yang bagaimanapun juga
tidak koheren sehingga layak untuk mendapatkan tanggapan—tetapi
ia memang mengakui bahwa cengkeraman lama terhadap kekuasaan
harus diputuskan, dan bahwa ada kebutuhan bagi “mutasi dalam
masyarakat kita … partisipasi lebih ekstensif bagi semua orang dalam
pelaksanaan dan hasil dari aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan
mereka.”10
Namun, pidato yang menggugah ini tidak bisa menghentikan
momentum konflik ini. Malam tanggal 24 Mei memang merupakan
malam paling menakutkan dan kejam. Barikade-barikade ber-
munculan di Bordeaux, Nantes, dan Lyons, tempat seorang petugas
polisi terbunuh. Di Paris, sekitar 30.000 demonstran yang berbaris
menuju Place de la Bastille menemukan bahwa jalan mereka
dihambat oleh polisi. Mereka mulai mencabuti batu-batu penutup
jalanan, mengambil kursi-kursi dan meja-meja kafe serta semua yang
bisa mereka temukan di depannya, dan melemparkannya ke arah
polisi. sebab kekuatannya sudah sangat kewalahan, polisi dan CRS
mengelilingi Hôtel de Ville, Istana Élysée dan bangunan-bangunan
utama kenegaraan lainnya. sesudah entah bagaimana mereka
mengetahui bahwa Bursa Saham tidak dijaga, sekelompok perusuh
bersenjata lengkap bergerak menuju bangunan yang kemudian
dibakar dengan diiringi nyanyian ‘Kuil Emas’.
Gangguan-gangguan ini sepertinya tidak bisa lebih buruk lagi. Semua
aktivitas perekonomian di Prancis telah berhenti dan sepertinya akan
hancur sama sekali. Pemerintah menyadari bahwa kesepakatan harus
dibuat dengan serikat-serikat pekerja untuk menghindari skenario
mimpi buruk yaitu para mahasiswa dan pekerja terus bersekutu. Pada
pukul tiga di Châtelet Hotel di Rue de Grenelle, para pemimpin serikat
dan perwakilan pemerintah membuat kesepakatan gaji yang mereka
pikir akan menandai akhir dari konflik. Namun, kesepakatan tersebut
hampir saja ditolak secara mufakat saat para pemimpin serikat
menyadari bahwa mereka memegang kendali. Yang tidak kurang
oportunis yaitu partai-partai Kiri parlemen yang dipimpin oleh
François Mitterrand dan Pierre Mendès France, yang mengusulkan
koalisi Kiri, dengan mereka sendiri sebagai pemimpinnya. Sementara
itu, de Gaulle kembali meninggalkan negara. Saat desas-desus segar
535
tentang pengunduran dirinya mulai beredar, pada kenyataannya ia
sedang bertemu dengan para jenderalnya yang ditempatkan di Rhine
untuk meyakinkan dirinya sendiri akan dukungan mereka jika revolusi
sejati memang terjadi.
Momen tersebut tidak pernah terjadi. Sebaliknya pada pukul 4.30
sore tanggal 30 Mei, de Gaulle kembali berpidato kepada bangsa.
Kali ini ia mengumumkan bahwa akan ada pemilihan umum dalam
waktu empat puluh hari, menyatakan bahwa akan ada ‘tindakan sipil
terhadap subversi’ dan memperingatkan rakyat terhadap ancaman
‘komunisme totaliter’.11 Dengan rasa kelegaan dan kemenangan luar
biasa, Prancis patriotis yang merupakan konstituen alami de Gaulle
bangkit sebagai satu kesatuan: terjadi parade kemenangan yang diikuti
ribuan orang menyusuri Champs-Élysées, melambaikan tricolores dan
bernyanyi, ‘Prancis kembali bekerja’, ‘Bersihkan Sorbonne’ dan, lebih
terkenal lagi, ‘Algérie Française!’
Dalam Sorbonne yang diduduki, ‘festival revolusioner’ telah lama
berubah menjadi mimpi buruk. Koridor-koridor yang kotor sekarang
berbau tajam dan dipenuhi oleh tikus yang berkeliaran. Koridor-
koridor ini juga dipenuhi oleh para hippy yang sedang mabuk dan
tubuhnya penuh kutu. Para mahasiswa ‘politik’ garis keras yang
telah menggerakkan pemberontakan ini merasa bingung dan sedikit
ketakutan saat menemukan diri mereka bersenggolan dengan setiap
pengedar narkoba kecil, penjahat kelas teri dan pelacur yang tertarik
ke universitas sebab ketiadaan hukum dan pasar yang selalu lapar
akan narkoba dan seks murah. Sekelompok tentara bayaran yang
disebut