lebih objektif. Istilah "fundamentalis" |uga begihr mudah menyebar dan bahkan diterima oleh
sebagian kalangan Muslim "tantpa reserue".
Kerancuan istilah ihr, misalnya, dapat dilihat dari penggunaan
istilah ini oleh sejumlah tokoh di Indonesia. Dalam desertasinya di
Universiti Sains Malaysia (USM) yang diterbitkan Paramadina (Lg99),
dengan jtrdul Modernisnte dan Fundnntentnlisme dalam Politik lslam--
Perbandingan Pnrtai Masywrri (lrrdonesin) dnn Partni lamn'nt-i-lslnmi
( P akista n ) -Yusril Ihza Mahendra menyimpulkan bahwa Jama'at-iIslami dan al-Ikhwan al-Muslimun termasuk kategori kelompok
fundamentalis. Sedangkan Masyumi masuk kelompok modernis
bersama Liga Muslim Pakistan. Dalam "Catatan Pinggirnya" di Maj alalr Te ntp o, 27 J anuari 2002, Goenawan Muhammad memr hrp hrlisannya dengan kalimat, "Fundamentalisme memang aneh dan keras
dan menakutkan: ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada
gilirarrnya membunuh perbedaan." LalLt, pada pidatonya di Taman
Ismail Marzuki Jakarta, 21 Oktober 1992, Nurcholish Madjid mengatakan, "Kultus dan ftindamentalisme yaitu sama berbahayanya
dengan narkotika."
)ika digabungkan kesimpulan Yusril Ihza Mahendra, Goenawan Mtrhammad, dan Nurcholish Madjid, yang sama-sama menggunakan istilah "ftindamentalis", maka bisa ditarik kesimpulan,
bahwa tokoh-tokoh Islam, seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthub,
Yusuf al-Qaradhawi, Abul A la Maududi, Syekh Ahmad Yassin, dan
sebagainya, pantas dicap "sama bahayanya dengan narkotika" dan
"menakutkan". Ihllah yang dilakukan Israel, dengan membunuh
Syeikh Ahmad Yasin. Jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang
memiliki kaitan dengan perjuangan Ikhwanul Muslimin juga di-masukkan dalam ketegori "fundamentalis" maka dengan logika
yang sama, Dr. Hidayat Nunrrahid yang memimpin MPR juga perltt
dimusnahkan, karena dia lebih berbahaya dari narkoba.
Mengaitkan faktor 'kekerasan' dengan 'fundamentalisme
agama' juga tidak selalu tepat. Rezim-rezim biadab di berbagai belahan bumi, seperti Rezim Reza Pahlevi, Marcos, Apartheid Afrika
Selatan, Augusto Pinochet, dan sebagainya, bukanlah pengikut
"fundamentalis". Mereka yaitu rezim sekuler. Rezim di Israel yang
kejam juga bukan pengikut Yahudi fundametrtalis atau Yahudi Ortodoks melainkan rezim yang lahir dan hrmbuh dari kalangan Yahudi
sekular. Presiden George W. Bush yang tega membt.rnuhi anak-anak
dan warga sipil Afghan, Irak, Palestina, dan sebaga.inya, juga tidak
secara tegas menyatakan diri sebagai fundamentalis Kristen, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari lingkungan fundamentalis
Kristen. Memang, dalam bukunya, Tlrc Clash of Ciailizntion and tlrc
Renmking of World Order, Huntington mengtmgkap hasilpolling diAS,
November 1994, y angmengungkapkan, 33 persen publik AS melihat
"Islam fundamentaiis" sebagai ancaman. Di kalangan pimpinan AS,
jtrrnlahnya malah 39 persen. Dalarn polling lain yang melibatkan
35.000 responden yang peduli pada kebijakan politik luar negeri AS,
6L persen responden menyatakan, "Islamic revival" sebagai ancaman
bagi ,45.6
Di AS, kelompok Kristen ftindamentalis diistilahkan sebagai
Nelll Christian Riglrt (NCR), juga berpengamh besar dalam pemerintahan AS. Presiden Bush dikenal memiliki hubungan yang sangat
dekat dengan kalangan Kristen fundamentalis seperti Billy Graham,
Pat Robertson, Jerry Falwell. Tokoh-tokoh Kristen inilah yang memberikan dukungan kuat kepada Israel. Soal keterkaitan erat Bush dengan kaum fundamentalis Kristen banyak diungkap oleh pengamat
politikAmerika Serikat. Dalam bukunya berjudul Tlrc Eagle's Shadow:
Wlry An'iericn Fascinates and lnftfiates the World, Mark Hertsgaard
mencatat tentang Bush junior ini, "George W. Bttsh, yang menyebut
Yesus Kristus sebagai filosof favoritnya, yaitu seorang Kristen yang
"terlahir kembali" yang punya utang politik terhadap kaum Kristen
ftrndamentalis."
Menumt Hertsgaard, seiak awal2000, kelompok Kristen sayap
kanan (Clilstian rigltt) inimemang telah memilih berdiri.di belakang
Bush. Presiden AS ini pun kemudian membuat politik balas budi terhadap kelompok yang memiliki basis kuat temtama di AS bagian
Selatan. Diantaranya dengan menggeser tanggung jawab sosial dari
pemerintah kepada gereja dan mengangkat hakim serta pejabat-pejabat federal yang bersimpati terhadap kepentingan fundamentalis.
Kekuatan Kristen sayap kanan bisa dilihat saat "the two most powerful Repubiicans" Trent Lott dan Tom Delay berhasil menggerakkan proses hnpeocltnmrt terhadap Clinton dalam kasus skandal seksnya dengan Monica Lewinsky. Di jajaran Republikan, hanya sedikit
senator yang dapat terpilih tanpa dukungan kelompok Kristen sayap
kanan ini. Memang, dalam soal agama, AS sering bersifat ambigu.
Pada sahr sisi tetap memegang prinsip sekuler, bahwa negara tidak
melakukan campur tangan dalam urlrsan agama. Tetapi, kata Hertsgaard, "Agama mempakan kunci guna memahami banyak hal tentang Amerika Serikat." Maka, tak heran, jika politisi Demokrat pun
sering menampilkan diri sebagai sosok yang religius. Clinton dan Al
Core, misahrya, juga bangga menyatakan dirinya sebagai "born
agatn" Baptists. Clinton juga melakukan ritualitas Kristen saat melakukan pengakuan dan permohonan maaf kepada rakyat AS atas
skandalnya dengan Lewinsky.T
Kristen fundamentalis alias Kristen Sayap Kanan (The New
Christian Right/NCR), mulai dikenal pada akhir 1970-an. Ketika itrr
masyarakat AS menyaksikan kebangkitan munculnya kelornpok ini,
yang dalam politik AS dikenal sebagai "gerakan politik keagamaan
konservartif (a conserantiae religio-pol iticnl moaenrent)". Gerakan yang
berakar pada " Antericnn ettnngelicnl Protestantisnt" ini bertujuan untuk
mendirikan agama Kristen tradisional sebagai kekuatan dominan
dalam seluruh aspek sosial kemasyarakatan, termasuk politik. Pesan
dari NCR yaitu menyemkan kebangkitan agama, regenerasi moral,
dan kebangkitan kembali bangsa Amerika. Jerry Falwell, seorang tokoh NC& menyatakan bahwa Amerika membutuhkan dampak dari
kebangkitan spirihral murni, yang dibimbing oieh pendeta-pendeta
yang percaya pada Bible; bahwa 'kanker moral' telah menyebabkan
pembusukan masyarakat dari dalam.s
Karena menyimpan banyak masalah, Mark Jurgensmayer menolak menggunakan istilah "fundamentalis" kepada kaum Muslim
yang menginginkan kebangkitan nasional religius. Ia menulis bukunya dengan judul: The Ne::u Cold War? Religiorts Nntionalisnt Confronts
the Seailar Stnte. Menurut Jurgensmayer, istilah "fundamentalis"
bernada peyoratif (penghinaan), yang berkonotasi "intoleran" , "rr.erasa benar sendiri", dan "menerapkan pandangan sempit dogma
agama secara literal". Istilah ini lebih mempakan hrduhan ketimbang bersifat deskriptif. Artinya, Iebih mencerminkan sikap terhadap kelompok lain, ketimbang menielaskan siapa mereka. Karena
itu, menurut Jurgensmayer, lebih tepat memberi identitas para aktivis yang berorientasi keagamaan secara pribadi dan politik sebagai
"nasionalis religius", sebagai lawan dari "nasionalis sekula{'.e Pada
tataran praktis, perbedaan perlakuan terhadap "fundamentalis" Yahudi, Kristen, atau lslam, dalam kamus terorisme internasional saat
ini, menunjukkan istilah "terorisme" masih begihl lekat dengan kepentingan politik--baik dalam maupun luar negeri--AS yang kemudian menjadi pangkal berbagai problema pelik internasional.
Problema pelik internasional ihr temyata dalam pandangan
Bush bisa menjadi sangatsederhana. Bush membagi dunia meniadi
dua: dunia jahat dan dunia baik. Dunia jahat yaitu musuh AS dan
dunia baik yaitu yang mendukungnya.Siapapun bisa melihat ketidakberesan sikap politik "siapa yang kuat dia yang benar" ini. Penguasa AS yang i.gi^ bersikap lain, akan tersingkir atau disingkirkan, seperti yang terjadi pada John F. Kennedy. Dalam bahasa Mahathir Mohamrnad, bekas perdana menteri Malaysia, dunia kini
kembali ke "zaman batlt" karena menempatkan "perang" sebagai
jalan menyelesaikan masalah. Hukum dan aturan internasional yang
disusun sendiri oleh AS dan sekutu-sekutu pemenang Perang Dunia
II, kini justru diinjak-injaknya sendiri. Inilah sebenamya akhir tatanan internasional (pax-Americana). Inilah akhir dari aliran politik
idealis yang mengagungkan hukttm dan moral dalam menciptakanperdamaian. Yang menang akhirnya aliran politik realis, yang menempatkan "S)ower" sebagai faktor utama pencipta perdamaian.
Standar ganda juga diterapkan dalam kasus persenjataan kimia.
Negara-negara yang dianggap bukan teman Barat, dihamskan menerima pemeriksaan tim inspeksi senjata pemusnah massal. Jika tidak mau terima, maka negara itu akan diberikan sanksi ekonomi.
Tetapi, peraturan internasional itu tidak berlaku unhrk AS. Tahun
1997, Senat AS meluluskan undang-undang yang meratifikasi implementasi "Conaention of tlrc Prohibition of the Deaelopment, Production, Stockpiling nnd LIse of Chentical Weapons and on their Destruction".
Namun, ihl dengan syarat: Presiden AS berhak menolak permintaan
inspeksi fasilitas persenjataan kimia di dalam negeri AS, jika Presiden menganggap inspeksi tersebut akan mengancam kepentingan
pertahanan nasional (tlrc national searity interests) AS.
Dalam buku Western State Terrorism (ed. Alexander George), dikompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward
S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya ,yang menunjukkan bagaimana Barat, temtama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme
sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as n tool of foreign policy). Menjelang akhir hayatnya, setelah menyaksikan Perang
Dunia I, ahli psikoanalisis Sigmund Freud menulis, "Pengetahuan
kita tentang alam pikiran manusia suahr saat kelak boleh jadi bisa dipakai untuk menimbulkan 'patologi masyarakat kulhlral'." Editor
buku ihr mengkhawatirkan, bahwa masyarakat AS telah men;'adi
' neurotic' . Ia berspekulasi,
"Apakah masa depan semacam ihl akan memberi pembenaran
bagi diagnosis bahwa, di bawah pengamh tekanan kulhrral, beberapa peradaban, atan sebagian masa dalam peradaban--
mungkin selumh umat manusia--telah mengalami gangguan
syaraf (neurotic). Saya khawatir kita di Amerika Serikat sudah
begitu. Kemungkinan tentang kembalinya kewarasan dalam
waktu dekat masih belum jelas benar. Yang jelas, betapapun, tahap-tahap pertama membuhrhkan kejujuran tentang diri kita
sendiri."
Gejala ganggtlan jiwa semacam'neurotic' yang dikhawatirkan
melanda dunia, khususnya di AS, menjadi sesuafu yang logis, mengingat kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah AS dan sekutunya.
William Blum menyebut, kebijakan politik luar negeri AS, memang
secara klinis dapat dikatakan "g7la". Dan ihl diakui oleh para pembuat kebijakan ihr sendiri. Blum meletakkan kesimpuiannya itu di
bawah strbjudul "tlrc ntndnmn plilosoplty" (filosofi orang gila). Penulis
yang hengkang dari Deplu AS tahun 1967 gara-gara menentang Perang Vietnam ini, mengungkap shrdi internal "US Strategic Command" tentang "Essentials of Post-Cold War Deterrence". Dikatakan bahwa tindakan AS yang kadang kelihatan 'out of conLrol',
irasional, dan pendendam, bisa jadi mengunhlngkan untuk menciptakan rasa takut dan keraguan pada musuh-musuhnya.ll
Unhrk rnengakhiri kemelut internasional dan menciptakan rasa
aman bagi masyarakat AS, William Blum mengajukan konsep sederhana. Jika ia menjadi Presiden AS, kata Blum, ia akan sanggup
menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa
hari. Dan ihl bersifat pernanen. Caranya, pertnma, ia akan meminta
maaf kepada semtia janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka
dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan
dengan jiwa yang hrlus, ke selumh pelosok dunia, bahwa intervensi
global AS telahberakhir, dan umumkanbahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Lalu, Blum--andai jadi Presiden
AS-akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangrya
90 persen, dari angka 330 miliar USD per tahun. Jumlah ihr sama
dengan pembelanjaan dana pertahanan sebesar 18.000 USD per jam,
sejak kelahiran Yestrs. Ihrlah yang akan dikerjakan Blum pada tiga
hari pertamanya di Gedung Putih. Tapi kemudian katanya, sebagai
hasil pertama dari langkah-langkah ihr, maka, "On tlrc fourth day,I'd
be assassinated (pada hari keempat saya akan dibunuh). "tz
NIaka, ketika begihr banyak paradoks yang ditampilkan oleh
Barat, tidak sedikit yang mempertanyakan praduga Fukuyama tentangThe End of History dengan kemenangan di pihak Demokrasi Liberal. Mungkin lebih tepat apa yang dikatakan Mikhail Gorbachevsekien Partai Komunis Uni Soviet yang terakhir, bukan Barat yang
menang dalam Perang Dingin, tetapi kemenangan untuk semua. Tetapi, yang lebih tepat lagi, tidak ada yang menang. Yang menang
yaitu perang dan perdamaian belum menang, seperti ungkapan
Einstein pada 10 Desember 1945, saat jamuan makan malam dalam
acara ulang tahun Hadiah Nobel, di New York. Ketika ihr, Albert
Einstein menyampaikan sahr pidato bertajuk, "Tlte War Is Won, bttt
tlrc Pesce rs Nof. " Saat ihr, Einstein menyatakan bahwa para ilmuwan
telah membanhr menciptakan senjata-senjata barur unhrk tujuan perdamaian. Senjata-senjata ihr kini dipercayakan kepada Amerika Serikat dan Inggris sebagai "wak71" umat manusia dalarr, menciptakan
perdamaian dan kebebasan. Tetapi, kata Einstein, "Sejauh ini kita tidak memiliki jaminan perdamaian maupun kemerdekaan yang dijanjikan oleh Piagam Atlantik. Perang telah menang, dan perdamaian belum menang. Kekuatan-kekuatan besar, bersafu dalam perang,
telah terpecah belah mengenai soal penciptaan perdamaian. Masyarakat dunia diberi janji akan kebebasan dari rasa takut; namun faktanya yaitu ketakutan diantara bangsa-bangsa telah meningkat sangat tinggi sejak berakhirnya perang."r3
Rekayasa informasi global ihllah yang sekarang tems berlangsung/ melalui media-media massa global. Masyarakat global diberi
ketidakberdayaan (disenrpowerntent) dalam berbagai hal menghad api hegemoni informasi. Kepentingan-kepentingan Barat--temtama
AS-dapat terwujud. Dalam bidang ekonomi, Amerika Syarikat (AS)
berhasil mengglobalkan berbagai produk industrinya, sehingga menjadi "selera dunia" @lobol taste). Terjadilah homogenitas dalam 3F
dan 1l yakaifood (makanan) ,frm (hlb:uran), danfashion (mode), dan
pikiran (tltougltt). Banyak warga dunia merasa bangga meminum
Coca-Cola, makan ayam goreng KFC dan burger McDonald's, menikmaii musik AS, dan tidak malu-malu merriru mode pakaian
Britney Spears atau Jennifer Lopez yang sangat tidak pantas. Bukan
hanya ihr, umat manusia juga dipaksa dan diprovokasi supaya berpikir seperti Barat, berpikir sekular dan liberal, sebagai bagian dari
budaya global. Bahkan, kaum muslimin didorong unhrk meninggal-
kan cara berpikir tauhid, yang hanya mengakui Al-Qur'an sebagai
Kitab Suci yang valid dan mukjizat, dan hanya mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar.
Sedangkan wacana terorisme yang kini berkembang--dengan
aktor utama yaitu al-Qaeda-sebenarnya mempakan wacana yang
sudah masuk dalam bingkai kepentingan dan hegemoni wacana. Sebagai penguasa dunia, berbagai kejahatan AS memang tidak dapat
dijangkau oleh hukum internasional. William Oltmans, misalnya,
mengungkapkan, tahun 1992, Ramsey Clark, ]aksa Agung di masa
Lyndon B. |ohnson, menerbitkan laporan setebal 325 halaman berjtrdul 'The Fire this Tinte'. Di bawah subjudul 'L[S Wnr Crimes in tlte
Gulf' , Clark menceritakan, ia sedang berada di Baghdad saat sebuah
bom presisi yang dikendalikan laser ditembakkan ke tempat-tempat
perlindungan bawah tanah dan membunu| ratusan orang termasuk
perempuan dan anak-anak. Angkatan Udara AS menjahrhkan 88.000
ton bom di Irak pada 1997, jumlah yang setara dengan tujuh kali lipat yang dijahrJrkan di Hiroshima. Keiahatan perang AS di lrak itr"r
sebenarnya sangat luar biasa, tetapi media massa di AS melupakannya. Padahal, Pengadilan Kejahatan Perang Amerika (Tribunal for
Anterican War Crintes) di New York, yang dihadiri 22 hakim dari 18
negara, menyimpulkan bahwa AS dan para pejabat terasnya dinyatakan bersalah atas ke-19 tuduhan kejahatan. Mereka juga menunjukkan bagaimana Bush senior telah melanggar Piagam PBB dan
konstitusi AS. Ironisnya, tidak sahl media massapun berani menerbitkan berita tersebut. William Ollmans, wartawan senior asal Belanda yang kini menetap di New York, menyorot ironi pers di AS itu
dengan mencatat: "Itlllah keadaannya di negara yang menggembargemborkan keberhasilan bahwa mereka telah dapat membangun
masyarakat yang bebas dan berdemokrasi."l{ Kapankah dunia akan
mampu keluar dari paradoks global semacam ini?
J auh sebelum Bemard Lewis dan muridnya, Samuel p.
. W* Huntington raiin mengangkat istt "the clnsh of ciailizntiotts"
E+*'f,. ' yang makin hari arahannya makin jelas menghadap-hadapkan Barat dan Islam, sebenamya kajian tentang peradaban Barat sudah lama berkembang di kalangan ilmuwan Muslim. Abul Hasan
Ali an-Nadwi, Muhammad Asad, Muhammad Iqbal, AbulA,la Maududi, Sayyid Qutb, dan banyak lagi, telah memberikan kritik dan
analisis tajam tentang karakteristik peradaban Barat. Mereka melakukan kajian komparatif antara peradaban Barat dengan peradaban
Islam dan kemudian mengingatkan kaum Muslim untuk tidak gampang mengikuti pandangan dan jalan hidup peradaban Barat.
Peradaban Barat, menurut pemikir Muslim terkenal asal India,
Abul Hasan Ali an-Nadwi, yaitu kelanjutan peradaban yunani dan
Romawi yang telah mewariskan kebudayaan politik, pemikiran, dan
kebudayaan. Kebudayaan Yunani, yang menjadi inti kebudayaan
Barat, memiliki sejumlah "keistimewaan", yaitu: (1) kepercayaan
yang berlebihan terhadap kemampuan panca indera dengan meremehkan hal-hal yang di luar panca indera, (2) kelangkaan rasa keagamaan dan kerohanian, (3) sangat menjunjung tinggi kehidupan
duniarvi dan menamh perhatian yang berlebihan terhadap manfaat
dan kenikmatan hidup, dan (4) memiliki kebanggaan patriotisme.
Semua ittr dapat diringkas dalam satu kata, "materialisme". Peradaban Romawi yang menggantikan peradaban Yunani memiliki keunggulan dalam hal kekuatan, tata pemerintaltan, luasnya wilayah, dan
sifat-sifat kemiliteran. Romawi kemudian mewarisi peradaban Yunani sampai ke akar-akarnya, sehingga Bangsa Romawi tidak lagi
berbeda dengan Yunani dalam karakteristik dasar. Keduanya memiliki persamaan besa-r: rnengagtmgkan hal duniawi, skeptis terhadap
agama, lemah iman, meremehkan ajaran dan praktik keagamaan, fanatik kebangsaan, serta patriotisme yang berlebihan. Sejarah menur..jukkan bahwa bangsa Romawi tidak memiliki kepercayaan keagamaan yang mantap. Sejak semula mereka telah mengembangkan
paham sekularisme yang menganggap Tuhan tidak berhak memasuki urusan politik maupun tlrllsan keduniaan lainnya.l
Muhammad Asad (Leopold Weiss) mencatat, Peradaban Barat
modem hanya mengakui penyerahan manusia kepada hrnhrtantuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tirhan mereka yang sebenamya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan duniawi. Mereka mewarisi watak nafstt trntuk berkuasa dari
peradaban Romawi Kuno. Konsep "keadilatr" bagi Romawi, yaitu
"keadilan" bagi orang-orang Romawi saja. Sikap semacam itu hanya
mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada konsepsi
hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan agama Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban Barat ihr sendiri sebenarnya irreligiotts.
(....so charncteristic of ntodern Vlestern Ciailizatiort, is os unacceptable to Clristinnity as it is to lslnm or nny other religion, becnuse it is irreligiotrs in its aery essence).?
Sayyid Qutb juga Cikenal sangat kritis terhadap Barat, temtama
setelah berkunjung ke Amerika Serikat tahun 1948-1950. Di sanaQtrthb belajar tentang metode pendidikan Barat (Western Methods of
Education). Ia belajar di Wilsorr'.s Tenclrcrs' College (saat ini bernama fhe
L[niuersity of tlrc District of Colwnbia) pada tlrc Llniaersity of Nortlrcrn
Colorado's Teaclrcrs' College.Ia meraih gelar MA di unversitas ittl dan
juga di Stnnford Uniaersity. Setelah tamat kuliah, Quthb juga sempat
berkunjung ke Inggris, Swiss dan ltalia. Pengalamannya lebih dari
dtra tahun di Amerika itu, tampaknya menjadi "titik balik" yung
penting dalarn hidup.'nya. Ia kemudian menjadi kritikus Barat yang
tajam dan segera sekembalinya ke Mesir pada 1952, ia bergabung
dengan Al-Ikhwanul Muslimin. Quthb juga dikenal sangat menekankan bahaya perang pemikiran. Dia menulis,
"Para penjajah dewasa ini tidak mengalahkan kita dengan senjata dan kekuatan, tetapi melalui orang-orang kita yang telah
terjajah jiwa dan pikirannya. Kita dikala.hkan oleh dampak yang
ditinggalkan oleh para imperialis pada departemen pendidikan
dan pengajaran, juga di pers serta buku-buku. Kita kalah oleh
pena-pena yang tenggelam dalam tinta kehinaan dan jiwa yang
kerdil, sehingga pena-pena itu hanya bangga jika menulis tentang para pembesar Perancis,Inggris dan Amerika."3
Quthb juga mengritik tentang hilangnya nilai kemanusiaan di
masyarakat Amerika dan yang ada hanya "materialisme jahiliyah."
Kata Qtrthb,
"Telah jelas terlihat, keunggulan Amerika tampak dan menonjol pada bidang pekerjaan dan produksi, hingga tidak tersisa
segi lain yang menghasilkan sesuattr dalam nilai kemanusiaan.
Dalam hal di atas Amerika telah mencapai jenjang yang belum
bisa dicapai oleh bangsa lain, bahkan Amerika telah membuat
suahr muk;'izat (karya-karya) yang mengubah kehidupan nyata
menl'adi tingkatan yang sulit digambarkan dan dipercaya oleh
orang yang tidak menyaksikannya sendiri.... SesungguJrnya
mereka semua hlmbuh dari sahl akar yang sama, yaitur budaya
materi yang tidak memiliki hati dan;'iwa, yang hanya mendengarkan suara dan alat-alat. Hanya bicara dengan bahasa
perdagangan, hanya melihat dengan lensa keuntungan dan
mengukur nilai-nilai kemanusiaan dengan ukuran tersebut."a
Sarjana dan penyair Muslim terkenal, Dr. Muhammad Iqbal pun
dikenal sangat tajam dalam menyorot peradaban Barat dan banyak
menulis puisi tentang kebobrokannya. Iqbal sendiri mempakan
'produk pendidikan Barat'. Ia meraih Ph.D. di Eropa dengan tesis
berjudtrl "Tlrc Deaelopment of Metnplisics in Persin". Dalam kumpulan
ptrisinya, I aaid N nnmh, Iqbal nengungkap ketamakan peradaban Barat modem yang kurang mempedulikan aspek kemanusiaar., "Her
eyes lack of tlte tenrs of luunanity, becmtse of tlrc loae of gold and silaer."
Dalam ptrisinya Bal-e-libril,Iqbal juga mengingatkan bahaya pendidikan Barat modern yang berdampak terhadap hilangnya keyakinan
kaum muda Muslim terhadap agamanya. Padahal, menumt Iqbal,
keyakinan yaitu aset yang sangat penting dalam kehidupan seorang manusia. Jika keyakinan hilang dari diri seorang manusia,
maka ihr lebih buruk ketimbang perbudakan. Dikatakan Iqbal dalam puisinya:
"Conaiction ennbled Abralnm to unde into tlrc fire; conaiction is nn
intoxicnnt zuhich nmkes men self-sncrificirtg; Knozu you, olt aictims of
modern ciailization! Lock of conaictiort is worse than slaaery."s
Dalam bukunya lslam aersus the West, Maryam |ameela--seorang
keturunan Yahudi Amerika yang sebelum memeluk Islam bernama
Margareth Marcus--memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang ftmdamental. Sehingga, memrmtnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan hidup Barat yang
berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekuler, akan
bemjung pada pemusnahan Islam.
Kritik-kritik para sariana Muslim terkenal itu dikemukakan jauh
sebeltrm Perang Dingin (Cold War) usai, dimana secara politis, Dunia
Barat masih melakukan berbagai kerjasama dengan negara-negara
Muslim untuk menghadapi musuJr utama mereka, yaitu komunisme.
Mereka melakukan ka;'ian terhadap peradaban Barat bukan karena
kepentingan politik tetapi bemsaha menyelami hakikat perbedaan
antara peradaban Islam dan Barat. Diantara mereka muncul seorang
cendekiawan terkemuka kelahiran Bogoq, |awa Barat, bemama Syed
Muhamrnad Naquib al-Attas. Dibandingkan dengan cendekiawancendekiawan Musim lain, Naquib al-Attas mengungkapkan pandangan yang lebih sistematis, filosofis, dan mendasar tentang Barat.
Ia mengungkapkan, karena adanya perbedaan yang sangat ftrndamental antara peradaban Barat dan peradaban Islam, maka apa yang
sestrnggrrhnya terjadi disebutnya sebagai sattr kondisi "pernnnent
confrontat ior " (konfrontasi permanen), atau konflik abadi.
Al-Attas meraih gelar Ph.D. dari University of London, pada
awal tahun 1970-an. Sejak itu ia justm semakin aktif menulis dan berceramah tentang tantangan dan ancaman peradaban Barat terhadap
kaum Muslim dan dunia Islam, khususnya dalam bidang keilmuan
dan kebudayaan. Ia kemudian dikenal luas sebagai cendekiawan yang
sangat kritis dalam menyorot masalah sekularisme dan menulis satut
btrktr yang sangat terkenal di dunia intemasional yaihr buku "lslnnr
and Seailarisnt".
Tentang konflik abadi Islam-Barat ini, al-Attas mencatat dalam
buku klasiknya itu, bahwa konfrontasi antara peradaban Barat de-
ngan Islam telah bergerak dari lersel sejarah keagamaan dan militer
ke leuel intelektual. Menurut hasil pengkajiannya, konfrontasi itu secara historis bersifat pernanen. Islam dipandang Barat sebagai tantangan terhadap prinsip yang paling asasi dari pandangan hidup
Barat. Islam bukan hanya tantangan bagi Kekristenan Barat tetapi
juga prinsip-prinsip Aristotellianisme dan epistemologi serta dasardasar filosofi yang diwarisi dari pemikiran Yttnani-Romawi. Unsurunsur itulah yang membenhrk komponen dominan yang mengintegrasikan elemen-elemen kunci dalam berbagai dimensi pandangan
hidup Barat.
"Tlrc confrontation betueen Western ailture and ciailization and
lslam,from tlrc listoricsl religiotts and military leaels,lms now moued
on to tlte intellectual leael; tnd ue nurst realize, tlrcn, tint this
confrontation is by nature a historically perma-nent one. Islanr
is seen by the West as posing a clmllenge to its oery zuny of life; n
chnllenge not ortly to Western Christinnity, but olso to Aristotelianisnt
and the epistentological and pltilo-sophicol principles deriaing f'ront
Grneco-Romnn thougltt ruhiclt fornts tlrc dominattt contponent integrating the key elentents in dimensions of tlrc Western uorldaieu."s
Unhlk menyadarkan kaum Muslim akan tantangan besar yang
mereka hadapi, khususnya dari peradaban Barat, al-Attas memberikan banyak ceramah dan menulis berbagai buku dan risalah. Salah
satu kumpulan ceramahnya pada tahun 1973 kemudian dibukukan
dalam sebtrah buku berjudul "Risnlslt untuk Kaum Muslimin", yang berbahasa Melayu. [a menyem kaum Muslimin agar benar-benar
mengenal peradaban Barat, sebab peradaban inilah yang kini sedang
rnenguasai dan tidak henti-hentinya melakukan serangan terhadap
Islam dalam berbagai bentuknya.
"Seperti juga dalam ilmu peperangan kau hams mengenali siapakah dia setemmu itu; di manakah letaknya kekuatan dan kelemahan tenaganya; apakah helah dan tiptt muslihatnya bagi
mengalahkanmu; bagaimanakah cara dia menyerang dan apakah yang akan diserangnya; dari jumsan manakah akan serangan ihr didatangkan; siapakah yang membantLrnya, baik dengan secara disedari mahupun tiada disedari--dan sebagainya
ini, maka begihrlah kau akan lebih insaf lagi memahami nasib
serta kedudukan Islam dan kau sendiri dewasa ini apabila penjelasan mengenai setentmu itu dapat dipaparkan terlebih dahulu."e
Dalam pandangan Al-Attas, kedatangan Islam, sejak awal memang telah memberikan tantangan yang sangat ftrndamental terhadap sendi-sendi utama agama Kristen yang merupakan suatu unsur penting bagi peradaban Barat. Islam menjelaskan bahwa agama
Kristen yang dikenal sekarang bukanlah agama yang ditanzilkan
oleh Allah swt, dan bukan agama yang mendapat pengesahan daripada-Nya. Nabi Isa as. yaitu utusan Allah yang diperintahkan
membehrlkan semrla penyelewengan agama Yahudi dan menyampaikan kabar baik tentang kedatangan Nabi Muhammad saw. Jadi,
Nabi Isa as. tidaklah diutus unhrk membawa agama baru yang kemudian dikenal dengan nama Kristen. Allah berfirman:
"Wahai Bani Israel, aku ini yaitu utusan Allah yang diutus kepadamu
bagi mengesahkan semulaThurat yang telah datang sebelumku dan untuk menyampaikan kabar baik tentang seorang Rasul yang akan datang sesudahku
bernama Ahmadl' (ash-Shaff: 6)
Karena itu, dalam memandang agama Kristen sekarang, al-Attas
mempunyai pandangan yang jelas:
Maka agama Kristian, agama Barat--sebagaimana juga agamaagama lain yang bukan Islam--yaitu agama kebudayaan, agama 'buatan' mannsia yang terbina dari pengalaman sejarah,
yang terkandung oleh sejarah, yang dilahirkan serta dibela dan
diasuh dan dibesarkan oleh sejarah."l0
Bukan hanya dari segi ajaran,Islam membongkar dasar-dasar
kepercayaan agama Kristen, tetapi kemunculan Islam pada awal
abad ke-7 M, juga memberikan tantangan hebat terhadap eksistensi
politik, ekonomi, dan geografi Kristen. Fajar Islam kemudian mengubah peta sejarah, khususnya di kawasan Timur Tengah. Islam menggantikan posisi Kristen sebagai agama dominan saat itu. Secara panjang lebar hal ini dikatakan oleh al-Attas:
"Pada wakhr fajar Islam mulai menyingsing maka agama Kristian ihr sudahpun menguasai kawasan yang luasnya melingkungi Eropah Barat hingga ke Timuq, termasuk Asia Barat dan
Afrika Utara.... akan tetapi impian agung dan idam-idaman
yang tentu giat membujuk hasrat dan ghairah pengan;'ur serta
penganut-penganut agama Kristian Barat itu tiba-tiba getar gugur hancur akibat terbitnya Islam.
Islamlah agama yang mula-mula mendakwahkan peranannya
sebagai agama yang bersifat menyeluruh bagi anutan segenap
masyarakat insani; agama yang merupakan fitrah atau mengandung bawaan abal sifat insani; yang mula-mula menda'wa
bagi membehrl dan melengkapkan agama-agama lampau, khu-
susnya agama Yahudi dan Kristian; yang mula-mtlla menggtlgat dan melabrak dasar-dasar akidah agama Kristian.....
Kemudian gugatan serta labrakan batin terhadap agama Kristian itu disusuli segera dengan cabaran (tantangan) zahir yang
mempakan perkobaran Islam, dalam masa sejarah yang sesingkat lebih kurang lima pultrJr tahun sahaia, laksana api yang
merebak menjalar keluar dari tanah Arab ke Mesir; ke Afrika
Utara (al-Maghrib); ke Spanyol; ke Irak; ke Syria; ke Farsi; ke
India dan China sehingga sampai juga ke Kepulauan Melaytr
Indonesia ini!
Dalam masa hampir dua rahrs tahun sesudah Hijrahr'l-Nabiy
(slnllnllnnlut'alaihi rua snllnnt), maka jajahan dan kawasan Islam
ihr luasnya lebih jauh besar dari jajahan dan kawasan agama
dan imperahrria manapun dalam dunia, dan melingkungi kawasan-kawasan Eropa Barat dan Timur termasuk negeri Thrki.
Orang-orang Islamlah yang pertama mena'lukkan orang Barat;
yang pertama memainkan peranan besar dalam menyanjung
tinggi pelita ilmu pengetahuan ke Eropa dan dengan demikian
menerangi suasana gelap gulita yang menyelubungi dunia
Barat dewasa ihr; yang pertama melangsungkan pembicaraan
akliah menemsi ilmu kalam dengan para failasuf dan ahli teologi agama Kristian Barat.....
Pukulan zahir batin yang mahahebat yang telah dikenakan oleh
Islam kepada agama Kristian dan Kebudayaan Barat itu tentulah terasa oleh hati sanubarinya bagai sebatan cemeti yang terlalu amat pedih menggeleparkan, hingga lalu memaksa meragut keluar dari dalam kunhi jiwanya satu laungan maha dahshat yang ngilunya masih dirasai olehnya kini!
Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau
agama Kristian Barat dan orang Barat yang men;'elmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan
orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan setemnya
yang hlnggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan
duniawi. Dan kita pun tahu bahawa tiyaitu dapat Islam ihr
bertolak-ansur dalam menghadapi serangan Kebudayaan Barat, justm sehingga Kebudayaan Barat ihr tentulah menganggap Islam sebagai seterunya yang mutlak; dan kesejahteraannya hanya akan dapat terjamin dengan kemenangarulya dalarn
pertandingan mati-matian dengan Islam, sebab selagi Islam belum dapat ditewaskan olehnya maka akan terus ada tancting
dan setenr yang tiada akan berganjak daripada mencabar dan
menggugat kedaulatan serta faham dasar-dasar hidup yang di
da'yahkan olehnya ihl."11
Al-Attas mengimbau agar kaum Muslimin tidak alpa dan lena
dalam mengemban tugasnya sebagai umat Islam. Umat Islam tidak
sehamsnya secara bulat-bulat menerima dan mengharapkan harapan yang sia-sia bantuan dan kerjasama serta persahabatan yang ikhlas
dari yang lain. Ia mengajak umat Islam merenungkan makna firman
Allah dalam surah al-Baqarah 120,
"Tiada akan orang Yahudi dan Kristian itu rela menerimamu melainkan
kau jua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya. Katakanlah (olehmu): Sesungguhnya Petunjuk Allah--itulah satu-satunya Petunjuk. Andai kata
kau mengikuthawa nafsu mereka, sesudah sampai kepadamu llmu yang Sebenarfiya, maka tiada akan kau dapati bagimu Pelindung mahupun Penolong
yang akan dapat mencegah tindak balasan Allah!'
Diingatkan pula oleh al-Attas dengan bahasa yang lugas:
"Bukankah di zaman kita ini pun jelas bahawa orang-orang Yahudi dan Kristian--yang keduanya menjehnakan sifat asasi Kebudayaan Barat--memang tiada rela menerima baik seruan Islam
dan kaum Muslimin, melainkan kita jua yang dikehendaki mereka mengikttt cnra agamanyn?--menganuti sikap hidup yang
berdasarkan semata-mata keutamaan kebendaan, kenegaraan
dan keduniaan belaka.
Dan agama dijadikannya hanya sebagai alat bagi melayani hawa nafsu. Bukankah Ilmu yang Sebenarnya sudah sampai kepada kita? Maka mengapa pula kita membiarkan sahaja nasib
Umat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan juga para ulama yang lemah
dan palsu yang sebenarnya tiada sedar bahawa mereka sedangmengekori hawa nafsu Kebudayaan Barati
N{ereka membayangi Kebudayaan Barat dalam cara berpikir,
dalam sikap beragama, dalam memahami nilai-nilai kebudaya-
. an dan mengelimkan faham serta tuiuan ilmu. Kepada Kebudayaan Baratkah akan kita berlindung, akan kita memohon pertolongan, yang akan dapat mencegah tindakbalasanAllah kelak?
Waspyaitu saudaraku Muslimin sekalian!"12
Berbeda dengan Samuel P. Huntington yang sejak tahun 1960-
an sudah rnenjadi penasihat politik Amerika Serikat (AS), dan mennlis btrktrnya, Closlt of Ciuilizntions nnd tlp Rentnkirtg of World Order,
untnk bahan merumuskan kebijakan politik negaranya, sosok alAttas yaitu sosok seorang ilmuwan dan akademisi yang hampir di
selumh- hidupnya berkecimpung dalam ciunia pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Attas sama sekali bukan sosok
pemikir-politisi. Ia tipe iimuvran murni, ulama, yang meyakini bahwa problem mendasar yang dihadapi umat Islam dan dunia internasional yaitu masalah keilmuan (knozoledge). Ia seperti mengikut
jejak ulama-ulama Islam terdahultt, seperti al-Shafii, al-Ghazali,
Imam Ahmad, dan sei-.againya, yang bergiat dalam ilrnu dan menjaga kernandirian dan sikap kritis terhadap penguasa. Sebagai ulama
yang memiliki tanggung jawab keilmuan dan penjagaan akidah dan
eksistensi umat Islam, Naquib al-Attas menyemkan agar kaum
Muslim-di samping memahami islam dengan baik--juga memahami
secara mendalam realita peradaban Barat. Ia mencatat bahwa, "Kebanyakan orang Islam belum lagi mengetahui dan mengenali apa
dia sebenarnya Kebudayaan Barat ihr. Sebelum dapat kita mengukuhkan diri terhadap serangan yang ditujukan kepada kita oleh Kebudayaan Barat maka perlulah bagi kita mengenali sifat-sifat asasi
kebudayaan itu."
Teori al-Attas tentang sifat-sifat asasi peradaban Barat dan Islam
telah menarik banyak perhatian dunia internasional, baik kalangan
Muslim maupun non-Muslim. Buku-bukunya diterjemahkan dalam
berbagai bahasa. Ia men'riliki pendirian yang kokoh dan tajam, meskipun hams memberikan kriiik langsung terhadap peradaban Barat
di depan para cendekiawan Barat ihl sendiri. Ia memberikan kritikkeras terhadap berbagai pendapat orientalis. Tetapi, ia juga tidak segan-segan berdiskusi dan bergaul dengan kalangan orientalis.
Sebagai contoh, perhatian terhadap teori al-Attas yaitu apa
yang dilakukan oleh The Myer Foundation di Australia bemama
"The Cranlana Program" yung menerbitkan dua volume buku berjudttl Powerfril ldeas: Perspectiaes on the Good Society (2002). Buku ini
menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah umat
mantrsia. Volume 1 buku ini memuat pemikiran: Sopocles (495-406
SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-
3225M), Conftrcius (557-479 SM), Mencius (371-289 SM), Xunzi (310-
220 SM), St. Agustine (354-430 SM), Nicolo Machiavelli (1469-7527),
Thomas Hobbes (1588-7679), John Locke (L632-7704), Jean-Jacques
Rotrsseatr (1712-7778), Adam Smith (L723-7790), Immanuel Kant
(1724-7804), Karl Marx (1818-1883), Frederick Engels (1820-1895),
John Shrart Mill (L806-7873), Harriet Thylor Mill (1807-1858).
Sedangkan Volume 2 buku ihr memuat pemikiran: Simone Weil
(1909-1943),Iohn Rawls (1921-), Avishai Margalit (1939-), Raimond
Gaita (1946-), R.H. Thwney (1880-1962), Friedrich Hayek (1899-1992),
Milton Friedman (1912-), Arthur Okun (1928-1980), Rachel Carson
(1907 -19 64), Garret Hardin (L915-), Isaiah Berlin (1909 -1997), Amartya
Sen (1933-), Nelson Mandela (1918-), Marthin Luther King Jr. (1929-
1969), Virginia Woolf (1882-1947), Carol Gilligan (1936-), J. Appleby,
E. Covington, D. Hoyt, M. Latham, A. Sneider, Edward Said (1935-
2003), Syed Naquib al-Attas (7931-), Kevin Gilbert (1,933-1993), JeanPatrl Sartre (1905-1980), Umberto Echo (1932-), Peter Singer (7946-),
Vaclav Havel (7936-), Ursula Le Guin (1929-). Dari sederetan nama
itu, Al-Attas mempakan satu-sahrnya ilmuwan Muslim yang pemikirannya diambil sebagai representasi dalam memandang Barat
secara kritis. Menariknya, gagasan al-Attas yang diambil yaitu
pemikirannya yang tertuang dalam sebuah tulisan berjudul "Tlrc Dew e st er nization of Knoul e d ge" .13
Dalam hrlisannya ihl, al-Attas mencatat, bahwa yang disebut
sebagai Western Ciailization yaitu peradaban yang dibangun atasunsllr-unsur budaya, filsafat, dan nilai-nilai Yunani dan Rornawi kuno, Judaisme, Kristery dan tradisi sejumlah bangsa Eropa.
"...t\rc ciailization tlnt has eaolaed out of the historical fusion of
utltures, philosophies, onlues and aspirations of ancient Greece and
Rome; tlrcir amnlgamation uitlt ludnism and Chris-tianity, and their
firther deaelopment andfortnationby the lttin, Germanic, Celtic and
Nordic peoples".
Secara lebih sederhana, hakikat peradaban Barat dijelaskan alAttas dalam buku Risalnh urttuk Knunt Muslimin,
"Biasanya yang disebutkan orang sebagai Kebudayaan Barat
ihr yaitu hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropah dari Kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian
diadun pttla dengan campuran Kebudayaan Rumawi dan unsllr-unsur lain dari hasil cita-rasa dan gerak-daya bangsa-bangsa Eropah sendiri, khususnya dari suku-suku bangsa ]erman,
Inggris dan Perancis.
Dari Kebudayaan Yunani Kuno mereka telah meletakkan dasardasar falsafah kenegaraan serta pendidikan dan ilmu pengetahuan dan kesenian; dari Kebudayaan Rumawi Purbakala mereka telah merumuskan dasar-dasar undang-undang dan hokum
serta ketatanegaraan. Agama Kristian, sunggtr-hpun berjaya
memasuki benua Eropah, namun tiada juga meresap ke dalam
kalbu Eropah. Justru sesungguhnya agama yang berasal dari
Asia Barat dan mempakan, pada tafsiran aslinyn, bukan agama
baham tetapi suahr temsan dari agama Yahudi ihr, telah diambil-alih dan dirobah-ganti oleh Kebudayaan Barat demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan yang telah lama dianutnya sebelum kedatangan "agama Kristian".
Mereka telah mencampuradukkan ajaran-ajaran yang kemudian menjelma sebagai agama Kristian dengan kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan Rumawi, dan Mesir dan Farsi dan
juga anutan-anutan golongan Kaum Biadab.Dengan sifat dan posisi agama Kristen, sebagai agama mayoritas bangsa Barat, semacam ihr, maka Kebudayaan Barat sejatinlza
btrkanlah berdasarkan pada agarrta, tetapi pada falsafah. Dalam hal
ini, pandangan al-Attas sejalan dengan pandangan Iqbal, Sayyid
Qutb, Ali an-Nadwi, Muhammad Asad, dan banyak cendekiawan
Muslim lainnya. Namun, pandangan al-Attas tentang peradaban Barat ini tampak lebih mendalam dan sistematis, yaitu ketika ia berhasil meramu unsur-urLsur pembentuk peradaban Barat itu dengan proporsional, temtama ketika mendudukkan posisi warisan Yunani Kuno, Romawi, dan Kristen dalam peradaban Barat. Dengan mengesampingkan agama dan menjadikan falsafah sebagai asas berpikirnya, maka tiada tempat dalam jiwa pengalaman mereka itr.r beragama sesuahl ketetapan mengenai keyakinan. Mereka hanya menegaskan dasar " teorl" , yaitu ilmu pengetahuan atau hasil akal-nazari
yang berlandaskan dugaan dan sangkaan-sangkaan dan pencapaian
akal jasmani vang mungkin benar dan mungkin tidak benar. Maka
dari ihr, dasar'ilmu'yang demikian dan sikap hidup yang menjadi
akibatnya, tiadaiah akan dapat membawa kepada keyakinan. Sifat
agama Kristen ihl sendiri, yaig problematis dalam asas-asas kepercayaannya, menurut al-Attas, juga hrmt membenhrk sikap peradaban Barat. Secara singkat, al-Attas menyimpulkan sifat-sifat asasi Kebudayaan Barat, yaitu:
(1) berdasarkan falsafah dan bukan agama,
(2) falsafah yang menjelmakan sifatnya sebagai humanisme, mengikrarkan faham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan
kesahlan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta, dan
(3) Kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang
trngic. Yakni, mereka menerima pengalaman 'kesengsaraan hidup'sebagai suahr kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia. Al-Attas menjelaskan tentang konsep 'Tiagedi'dalam peradaban Barat.
"Sedari zamanYunani Kuno lagi kita lihat bahawa bangsa-bangsa Yunani itu menganggap tragedi sebagai sahl unsur penting
kehidupan manusia: bahawa mantrsia ini mempakan pelakon
dalam drama kehidupan dan pahlawan-pahlawannya membayangkan watak tragic. Faham tragedi kehidupan ini disebabkanoleh kehampaan kalbu akan nikmat iman.
Kehampaan iman ini yaitu akibat dari falsafah penduaan
mutlak yang mengikrarkan adanya dua hakikat yang saling
bertentangan sahr sama lain hingga menimbttlkan syak serta
ketegangan jiwa. Keadaan jiwa yang tiada tenteram ini mengakibatkan pula perasaan takut dan sedih menenangkan nasib
dirinya. Keadaan ji\ ra yang tegang ini jugalah yang menganjurkan orang Barat, yang mensifatkan ke.budayaannya, r-rnhrk
mencari jawapan bagi soal-soal abadi, unhrk giat berusaha menyelidik dan mengkaji dan mereka teori-teori baharu, mengemukakan masalah-masalah asal-usul alam dan manusia dan
lain-lain renungan yang dianggapnya sebagai ilmu pengetahuan--tems madang mencari dengan tiada akhirnya!
Pengembaraan dalam alam pikiran dan renungan yang tiada
berakhir ini mempakan semangat Kebudayaan Barat, dan sesungguhnya mereka tiada ingin mengakhirkan pengembaraan
itu justm sebab pengembaraan itu sekurang-kurangn)/a meringankan beban kekosongan dan kesunyian kalbu, seolah-olah
bagai penawar hati jiwa yang tegang. Semangat Kebudayaan
Barat ihr membayangkan suatr"r yang 'menjadi' tetapi tiada juga
,. r. t ttlq
laor . '-
Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam. itu, alAttas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini yaitu hegemoni dan dominasi keilmuan
Barat yang mengarah pada kehancuran ttmat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.
Al-Attas memulai tulisannya dalam "Dewesternization of
Kno'wledge" dengan ungkapan, bahwa sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacallan. Tetapi,
belum pemah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius
daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini.
"Many challenges haoe arisen in tlrc midst of man's confusion
tfuottghottt tlrc ages, but none perlnps more setiotts and destructioe to
man tlmn today's challenge posed by Western Ciailization.Kekacauan itu, menlrrut al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat ittl sendiri. Al-Attas mencatat,
"l uenture to mointain that the greatest clnllenge that hns ntrreptitiously arisen in our nge is the challenge ofknozuledge, indeed, not as
against ignorance; but knowledge ns conceiaed and disseminnted
througlrortt tlrc world by Western ciailizntion."
Knowledge yang disebarkan Barat itu, menumt al-Attas, pada
hakikatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan
yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (clnos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan;
knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan
dan skeptisisme (confusion and scepticlsrz); bahkan knouledge yarrg
untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan
dalam "tlrc Three Kingdom of Nature" yaitu dunia binatang, hlmbuhan, dan mineral. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran ftindamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut
dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian.
Konsekuensinya, yaitu penegasian Tlrhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-safunya yang berhak mengahlr
dunia. Manusia akhirnya dihrhankan dan Tuhan pun dimanusiakan.
Man is deified and Deity hwnanised.l6
Kritik-kritik al-Attas terhadap karakteristik keilmuan Barat
modern, misahrya, juga disampaikan saat Konferensi Internasional
para Filsuf pada |anuari 2000, di University of Hawaii. Konferensi
ini diikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan berlangstrng selama dua minggu. Tema yang dibahas ialah "Technology and
Cultural Values on tlrc Edge of the Third Millennium". Dalam editorialnya terhadap buku kompilasi hasil konferensi itu, tiga ilmuwan terkenal, yaifu Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T.
Ames, mencatat bahwa paparan al-Attas yang menyorot kesesuaian
dan ketidaksesuaian antara tradisi Barat dalam sains dan teknologi
dengan sistem epistemologi dan metafisika Islam, mempakan paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, yaitu tentang basis revisiIslami terhadap tujuan dan premis-premis moral dalam sains dan
teknologi.
Ketika ihr al-Attas menyampaikan makalah bertajuk "Islanr and
the Challenge of Modernity: Diaergence of Worldaiews". AI-Attas menguraikan konsep-konsep pokok dalam epistemologi dan metafisika
Islam, seperti konsep "religion" dalam Islam (ad-din), yang sumber
tertingginya diambil dari Al-Qur'an. Ia juga menguraikan tentang
konsep "the tmth" yang tidak mengenal dikotomi "subjektif" dan
'objektif', sebagaimana dalam tradisi Filsafat Yunani. Ia mengritik
konsep desakralisasi alam ilmuwan sekular, yang melepaskan keterkaitan alam dengan segala Lrnstu Ketuhanan. Ia menekankan, bahwa
alam bukanlah entitas Kehrhanan, tetapi mempakan bentr.rk yang
memanifestasikan Ketuhanan. Agama menentang desakralisasi, jika
desakralisasi diartikan sebagai pembuangan semtla rnakna spirihral
dalam pandangan terhadap alam. Agama juga menentang desakralisasi yang diartikan sebagai pembatasan terhadap metode pemahaman manusia terhadap metode ilmiah (scientific ntetlnd) yang diajukan
oleh filsafat dan sains sekuler. Tentang konsep Tlthan, al--Attas menggarisbawahi:
"God is not n ntytlt, an inmge, a symbol, tlnt keeps clmnging with the
times. He is Reality itself. Belief lms cognitiae content, and one of the
main points of diaergence betueen tnrc religion and sealar plilosoplry and science is tlte uay in whiclr the sources and methods of krtowledge are wtderstood."
Dalam uraiannya ini, al-Attas banyak menjelaskan berbagai perbedaan ftrndamental antara konsep sekuler Barat dan Islam dalam
berbagai persoalan. Dalam soal konsep kebahagiaan (happireess), misalnya, al-Attas menjelaskan sikap Muslim yang menolak konsep
Aristotelian tentang kebahagiaan yang hanya menyenhrJr aspek
duniawi, dan hingga kini diikuti oleh konsep modern. Ia menegaskan tentang sikap pandangan hidup (worldaieu) Islam yang tidak
memisahkan aspek duniawi dengan akhirat. Konsepsi modern tentang kebahagiaan, menurut al-Attas, esensinya sama dengan konsepsi manusia di masa lalu, di era paganisme. Sedangkan konsep kebahagiaan dalam Islam, (sa'adalt), akan dialami dan disadari oleh
orang-orang yang benar-benar tunduk dan patuh kepada Allah danmengikuti bimbingan-Nyu. Puncak kebaikan dalam hidup yaitu
Cinta kepada Allah.17
Paparan al-Attas tentang konsep epistemoiogi dan metafisika
Islam dan tantangan konsep Barat modern menunjukkanbahwa rr,emang, konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan peradaban Barat sekular merupakan tantangan terbesar bagi kaum muslim saat
ini. Karena itu, tentang Islam dan Barat, al-Attas dengan tegas menyatakan, secara konsephral, antara keduanya terdapat perbedaan
yang ftindamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Berangkat dari pehamamannya yang fundamental
terhadap peradaban Barat dan Islam, al-Attas mencurahk-an perl-ratian dan pikirannya untuk membangun satu pusat pendidikan tinggi
yang mengkaii dengan serius peradaban Islam dan peradaban Barat,
juga berbagai peradaban lain. Proyek ittilah vang kemudian dikenal
dtrnia Islam dengan nama intenntiottnl lnstitute of lslantic Thottght nnd
Ciailization (ISTAC). Di ISTAC, setiap mahasis'ara dikenalkan dengan
peradaban Barat sampai ke "ttrat akamya". Berbagai mata kuliah
tentang peradaban Barat, ditawarkan, seperti History of Westent Ciailization, History of Western Philosopity, History of Western Science,
Greek Pltilosophy, Hermeneutics, Mtjor Western Tlinkers, Greek
I^onguage, Intin ktnguage, lslnm and the \Nest: Conflict or Dinlogue,
Globolizntiorr : Clmlenges nnd Oportunitias, dan sebagainya.
Para mahasiswa di instihri ini juga diwajibkan menamatkan
kuliah bahasa Arab, mata kuliah tentang sejarah dan metodologi ha-
dits, tentang Al-Q-rlr'ary Religiott of lslam, dan berbagai kuliah tentang pemikiran para pemikir besar Islam di masa laltt, seperti alGhazali, al-Raniri, dan sebagainya. Sosok al-Attas dikenal gigih dalam memperjuangkan konsep pendidikan Islam dan Islamisasi ilmu
pengetahuan. [a menekankan perlunya kaum Muslim memahami,
bahwa konsep keilmuan dalam Islam juga sangat berbeda dengan
Barat. Islam mengenal konsep ilrnu fardhrt 'ain dan ilrnu fardhrt klfnyah.Islarn juga menekankan kaitan yang erat antara ilmu dengan
akhlak. Dalam pandangan Islam, jika seorang penuntut ilmu tidak
mengenal diri, mengokohkan akhlak dan budi pekerti, maka siasialah ilmunya. Ia telah membohongi dirinya, dan men-yesatkan, serta menzalimi dirinya sendiri. Kata al-Attas:
"Berbanding dengan Islam, Kebudayaan Barat tiada menjelaskan perkaitan antara ilmu dan diri dan agama dan hikmah dan
keadilan dan akhlak dan budi pekerti. Ilmu itu dianggapnya sebagai perkara akliah belaka, dan tiada bersabit dengan akhlak."18
Dalam berbagai hrlisan dan ceramahnya, al-Attas berusaha keras memberikan keyakinan kepada kaum Muslimin, terutama para cendekiawannya, tentang keagungan konsep peradaban Islam, dibandingkan konsep peradaban lainnya. Ia sangat menekankan perIunya kaum Muslimin mengkaji dan memahami khazanah keilmuan
yang telah dicapai para ulama Muslim yang agrmg di masa lalu. Ia
menanamkan jiwa optirnisme, meskipun Islam menghadapi serangan hebat dari berbagai penjum. Tahun L959, jauh sebelum menempuh jenjang pendidikan tinggi di Barat, al-Attas sudah mengamati
kondisi kaum Muslimin yang memilukan. Ketika itu, ia menulis sebuah puisi,
Muslim tergenggnm belenggu knfir,
Aklirat luput, dwtio tercicir,
Budayn jalil luns membnnjir,
Bnnynk yang karnm tiada tertnksir.
BnrtLs dan Singkel, Pnsni dan Rnnir,
Silam ditelan fllasa nnn numgkir;
Lrrya jarunban dihnfol nnlir,
Bagi menyangknl Mwrfutr dnn Nakir.
Sebab utama yang melilit kondisi kaum Muslimin, kata al-Attas,
yaitu kejahilan masyarakat Islam terhadap Islam, sebagai agama
yang sebenarnya dan peradaban yang luhur dan agung yang telah
menghasilkan ilmu-ilmu islamiyah yang mampu mewujudkan pandangan hidup (toorlduiezu) tersendiri yang unik. Tentang kejahilan
umat ini, al-Attas menyatakan,
"...kejahilan yang melenyapkan kesedaran akan tanggung
jawabnya terhadap meletakkan amanah ilmu dan akhlak pada
tempatnya yang wajar, sehingga sanggup membiarkan saha;'a
kekeliman dan pelbagai macam penyelewenangan dalam ilmu
dan amal terus mengharungi pemikiran dan perbuatan para
sarjana dan cendekiawan kita yang kebanyakannya masih terbelenggu pada gelang penghambaan ilmu-ilmu orientaiis dan
kolonial."le
Namun, di tengah beratnya berbagai tantangan yang dihadapi
kaum Muslimin, al-Attas mengajak unfuk tidak berputus asa, "Ba-gaimana prm, kita bukanlah kaum yang boleh puhls harapan, dan
dari ihr maka tiada boleh berdiam sahaja membiarkan cabaran zaman berlalu berleluasa tanpa tantangan." Sebuah puisi difulisnya,
Sifut sejaralt, menurut ornng,
lbarat pentas bermain wayflng;
Ceritn lantpau difurai dalang,
'Pnbila tamnt segera dhilang
likn demikian nutstalil pantang,
Giliran lslant pila ntendntnng;
Lakonnn lmna indalt gemilnng,
Di laynr dtmia senuila terbentnng.
"Kita hams insaf," kata al-Attas, "bahwa nilai-nilai yang mempakan daya penggerak "lakonan lama" ifu sebenarnya bersifat
kulli,yalcniuniaersnl, dan dari ihr maka ia senantiasabaharu dankefuil
dalam agama kita. Tetapi, "lakonan lama" ihr pula tiada dapat dimainkan sekiranya para pelakonnya kaum mttslimin sudah kehilangan makna-dirinya, kehilangan pribadi dan wataknya; sudah
Iupa akan peranannya, lupa akan sejarahnya, akan nilai-nilai anutannya, akan ilmu-ilmu yang menayangkartny a." 20
Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat, 5 September 1931,,
dan menjalani pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Nama
lengkapnya, Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn
Muhsin Al-Attas. Ia menempuh pendidikan di Tlrc Roynl Military
Acadenty, Sandhurst, England (1952-1955), lalu berhrgas sebagai pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Malaysia yang waktu itu
sedang sibuk menghadapi serangan komunis. Namun panggilan
jiwanya sebagai ilmuwan membawanya ke University of Malaya,
Singapnra (1957-L959). Gelar master diraihnya di McGill University,
Montreal, Canada (1962), dan Ph.D. di University of London, London,
Inggris (1965), dengan konsentrasi bidang "lslsmic plilosoplry" ,
"tlrcology" dan " ntetapltysics" .
Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan dipegangnya, antara lain sebagai berikut.
Ketr.ra Departntent of Malay ltrtgunge and Literstu re, University of
Malaya
Dekan tlrc Fauilty of Arts, University of Malaya
Pemegang pertama 'tlrc Clnir of Mnlay Longtnge and Literature'.
Direkhrr pertama Tlrc lnstitttte of Malay Lrtnguage, Literature nnd
Cttlture, yang ia dirikan tahun 1973.
Ketua The Dioision of Literature di Department of Malay Studies,
University of Malaya, Kuala Lumpur.
UNESCO expert on Islam.
Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University
dan Ohio University.
Professor kehormatan pada Islamic Studies dan pemegang pertarna tlrc'tun AbdrLl Rnzak Distinguislrcd Clnir of Soutlrcast Asian
Studies pada American University, Washington.
Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies (1980.
Life Holder Distinguished Al-Ghazali Chair of Islamic Thought,
International Instihrte of Islamic Thought and Civilization
(rsrAC)
Professor al-Attas telah memberikan kuliah di berbagai belahan
dunia dan menulis lebih dari 30 buku dan berbagai artikel tentang
Islam, menyangkut masalah filsafat Islam, teologi, metafisika, sejarah, sastra, agama, dan peradaban. Beberapa bukunya yang ditulis
dalam bahasa Melayu dan Inggris telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab, Persia, T[rki, Urdu, ]erman, Italia, Rusia, Bosnia, Alabia, Jepang, Korea, India, dan Indonesia. Atas ja