penunggu

 

    Sepi menyentak waktu jam dinding berdentang dengan suara yang mengejutkan.

Lebih keras dari biasa. Meninggalkan gaung memanjang di ruang depan yang sempit,

di mana beberapa orang lelaki tengah duduk bersila dalam bentuk lingkaran. Gaung itu

seperti bersatu dengan asap dari dupa menyan yang mengepul di tengah-tengah

lingkaran. Meliuk liuk liar, biarpun tidak ada angin yang bertiup. Pintu terkunci rapat.

Demikian pula jendela. Pengap bukan main. Dan asap menyan yang bertemperasan di

langit langit ruangan, benar benar menimbulkan bau tidak enak. Namun tidak seorang

pun yang bangkit untuk membuka jendela. Agar hawa segar masuk ke dalam .

   Apalagi, menyingkapkan tirai ruang tengah. . 

   Tidak. Tak seorang pun yang bergerak dari tempat duduknya. 

   Sampai :

   "sudah jam sepuluh" salah seorang di antara mereka berbisik. 

   Pelan. namun  begitu tiba tiba .Semua kepala tertengadah, menatap orang itu.

Berpasang pasang mata memancarkan kecemasan .   "Ya Sudah jam sepuluh lebih. Mengapa orang itu belum datang"'' keluh laki-laki yang

lebih muda di dekat pintu keluar. Suaranya resah. Ia bergerak sedikit. Gelisah. Ia baru

saja akan membuka mulut untuk meneruskan keluhannya waktu sayup terdengar

gonggongan anjing. Bukan! Bukan gonggongan. namun  lolongan. Mula-mula rendah.

Lalu tinggi. Rendah lagi  Memanjang. 

   Reflex, mereka saling berpandangan. 

   Dan. seperti dikomando, pandangan semua laki-laki

itu beralih ke gorden pintu yang menutupi pemandangan ke ruang tengah. Kain gorden

itu bergerak perlahan lahan. Nafas-nafas berat sesaat  meluncur dari mulut salah

seorang di antara mereka. Laki laki pertama tadi. yang rambutnya sudah ubanan dan

tulang pipinya kempot dimakan usia. 

   Enggan, ia bergumam: 

   "Sayang. Anak-anak dan ibunya sudah mengungsi ke rumah jessica ..." Ia menoleh

pada laki laki di dekat pintu." Mengapa tak kau buatkan kopi lagi. aidit ?" 

   Yang dipanggil dengan nama aidit  menelan ludah. Dengan kecut matanya

memandangi gelas demi gelas di depan mereka. Ada yang sudah kosong. Ada yang

masih berisi setengah. Bahkan ada yang penuh. Belum disentuh sama sekali. Tentunya

sudah teramat dingin sebab  sudah dihidangkan semenjak lepas Isya. sebelum nyonya

rumah hijrah ke rumah sebelah .

   "Ah, tak usah repot repot. " untung ada  suara-suara mendesah 

   untung  menarik nafas lega. 

   Lalu sepi lagi. 

   Seseorang yang duduknya paling dekat dengan pedupaan. menambahkan biji batu

batu menyan kepedUpaan. Berkeratak bunyinya. Berpercik perCik apinya. Seperti

mercon. Meledak ledak memecah kesepian yang mencekam di dalam ruangan. Helaan

helaan nafas lagi. Lalu diam. 

   Suara bergemerasak  yang keras terdengar di luar rumah. 

   Diiringi lolongan anjing yang menyayatkan hati. 

   Semua kepala menengadah lagi Kali ini, menatap ke arah pintu. 

   "Apa itu?" Seseorang berbisik. Gemetar. 

   "Entah..." rungut aidit  Kecut. 

   "Pergilah lihat!" kata laki laki bertulang pipi kempot dengan mata marah ke arah

untung . 

   Yang diperintah secara halus. Menelan ludah. Berkali-kali. Lalu pelan pelan bangkit.

Kakinya agak gontai" 

   waktu berjalan ke arah pintu. Di sana. ia tertegun sebentar. Diam. Mendengarkan.

Lantas menoleh ke belakang. pada orang orang yang masih duduk bersila di tempat

masing-masing. Mereka juga sama memerhatikan dirinya, sehingga dengan rikuh aidit 

terpaksa memutar anak kunci dengan jari jemari gemetar. Tangannya berkeringat

keluar. Dan: 

   "Hek!" Suaranya seperti tercekik waktu ia tiba tiba melompat mundur. 

   Yang lain terperanjat. 

   "Ada apa?" desah seseorang .

   aidit  menghela nafas panjang. 

   "Ah, bukan apaapa. Hanya kaget." rungutnya. Lantas berjalan lagi ke pintu. Ia

membukanya lebih lebar. Dan berpasang pasang mata di belakangnya. juga terpontang

lebih lebar. malah ada yang seperti mau terloncat ke luar. Engsel pintu berderit nyaring

dan lalu  terhempas keras. menghantam tembok. Angin dingin berhembus masuk. 

   Sesosok tubuh bermuka pucat. berdiri di muka pintu 

   Ia mengenakan celam hitam, kemeja kotak-kotak berwarna gelap dengan kain sarung

yang juga hitam melingkar dari pundak sampai batas pinggang. Ia rupanya tidak

mengenakan alas kaki sehingga langkah langkahnya tidak terdengar waktu berjalan ke

teras lantas berdiri  di pintu waktu aidit  tiba tiba membukanya. 

   Aku syam kamaruzaman . ' gumamnya dengan suara berat. 

   "Ooooh" cetus aidit . lalu menyingkir memberi jalan. "Malam, Pak syam kamaruzaman . Kami

sudah lama menunggu. 

   Laki Laki setengah umur bermuka pucat itu masuk ke dalam tubuhnya sedang" tidak

tinggi, tidak pula pendek. Tidak gemuk, namun tak bisa dikatakan kurus. Gerak

geriknya tenang, bahkan tampak lamban sehingga ia bukanlah tipe seorang lelaki yang

patut diperhatikan secara khusus. namun  saat  bibirnya yang tipis memperlihatkan

seulas senyum kering ditambah sinar mata yang tajam berkilat kilat, semua orang yang

berada di ruang depan itu seolaholah melihat makhluk asing yang kehadirannya 

tidak boleh dilepaskan sekejap mata pun jua. 

   Lakilaki beruban dekat pintu ruang tengah. berdiri menyongsong. Yang lain mengikuti

   "Kami senang Nak syam kamaruzaman  datang," ujarnya sambil  menjabat tangan tamu yang datang

kemalaman itu. 

   "terima kasih. Mana mayatnya" ' 

   Orang tua yang rUpanya adalah penghuni rumah. menggerakkan dagu ke arah ruang

dalam. 

   'Di sana! ' sungutnya Menguatkan. 

   "Hem," syam kamaruzaman  memperhatikan dupa menyan yang mengepulkan asap di atas tikar

pandan. Ia menghirup asap menyan itu dengan perasaan nikmat, dan sepasang matanya

yang berkilat kilat tampak kesenangan. Angin dingin bertiup semakin kencang lewat

pintu yang menganga. 

   "Tutupkan, aidit ," kata orang tua tadi dengan muka memberengut. 

   aidit  bergerak ke pintu demikian malas. dan sebelum menutupkannya ia sempat

meninjau ke luar. Lewat pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat bayangan

sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di

atas keempat kakikakinya yang kukuh, dengan kepala tegak. memandang ke arah

rumah. aidit  tak dapat melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan, namun ia bisa

menangkap suara mendengusnya yang keras dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok

makhluk berbaring diatas tanah berumput. Juga dengan kepala tegak memandang ke

arah rumah. Sinar matanya tampak samar samar membentuk sepasang bintik bintik

kecil berwarna kuning kemerahan. 

   "Anjing..." desis aidit  kecut. sambil  menutupkan pintu buru buru. 

   Berderak bunyinya, sebab  tergesa gesa. 

   Sementara yang lain  termasuk aidit  duduk kembali di tempat masing masing, syam kamaruzaman 

masuk ke ruang dalam ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai garden yang terbuka

sebagian waktu mereka masuk, kedua orang itu berjalan pelan pelan ke tengah ruangan

yang diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotan perabotan yang

 disingkirkan ke tepi. tergelar tikar lebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran

kecil. Selendang batik dari harga murahan menutupi sesosok tubuh mulai dari ujung

kaki sampai ke ujung rambut. Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari

mayat itu. di sekelilingnya masih dipasang lilin lilin yang tinggal puing-puingnya saja

lagi. menyala lemah. Bau menyan campur baur dengan bunga rempah-rempah di dekat

kepala mayat. 

   sesudah  kumat kamit sebentar, Pak syam kamaruzaman  memerintah: 

   "Bukalah." 

   Orangtua itu berjongkok. lalu dengan tangan gemetar pelan-pelan ia menyingkapkan

Ujung kain yang menutupi bagian kepala. Pelan pelan pula wajahnya ia tolehkan ke

arah lain. dengan mata yang terpejam. Didekatnya. tamu bermuka pucat itu

memandang ke baWah dengan mata terbuka lebar. Mula mula ia melihat rambut yang

ikal, panjang bergerai. lebat dan hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis,

meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru biruan. Di bawah alis tipis, lentik dan

bagus bentuknya. sepasang mata tampak melotot di antara kelopak kelopak yang

hancur bercampur darah mengering. 

   "terus!" sungut syam kamaruzaman  Waktu gerakan tangan yang membuka kain penutup agak

tersendat .

   Orang tua itu terkejut. lantas menyingkapkan kain selendang sekaligus sehingga

wujud  mayat itu tampak lebih jelas. Orang orang yang berada di ruang depan sama

sama menarik nafas. Lantas sama sama pada memalingkan muka dari arah ruang 

tengah. Orangtua yang berjongkok di sebelah syam kamaruzaman , mulai menangis. Tersendat sendat.

Diantara suara tangisnya ia berkata. 

   " anak malang. Ia ia " 

   syam kamaruzaman  manggut manggut. Bergumam' 

   "Ya Ya .Aku maklum. Aku belum mengenal menantu bapak ini. Kalaupun ia pernah

bertemu denganku. ia tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak. Boleh dikata

anggota anggota tubuhnya hampir hancur. Anak malang' Hem. Apa yang menyebabkan

ia mati dalam 

keadaan sedemikian rupa. Pak chucky ?" 

   Orang tua yang sudah ubanan itu sesenggukan. 

   "... nekad" jawabnya 'Ningsih nekat. Tak bisa menahan diri. Kami tidak tahu mengapa

ia tiba tiba menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada orang mengabari

bahwa... bahwa ia... ia..." chucky tiba-tiba berteriak histeris: 

   "Mengapa. Ningsih" Mengapa" Mengapa kau lakukan itu, anakku" Mengapa?" 

   "Apa yang ia lakukan, Pak chucky "' 

   "Ia... oh!" orangtua itu menahan sedu sedannya. Suara berat Pak syam kamaruzaman  memberikan

pengaruh aneh pada dirinya. 'Ia bunuh diri!" 

   "Bunuh diri?" 

   "Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang lewat... Aduh! Orang itu bilang ada

yang melihat... melihat Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mulamula disangka

mau menyeberang, sampai kereta itu datang dan Ningsih tiba tiba berlari ke arah maut

itu datang. Ia tak sempat terjun ke tengah tengah rel saat  tubuhnya disambar oleh

lokomotip dan " 

   syam kamaruzaman  manggut manggut lagi. Dalam 

   "Ia terhempas ke pinggir rel, begitu" Orang yang menjemputku ke rumah sudah 

menceritakannya padaku. Sangat tergesa gesa, sehingga aku tidak mendengar seluruh

kejadiannya " 

   'Ia mati sesaat . syam kamaruzaman ! Lalu kami buru buru kesana. dan...." 

   "Tentu. namun  yang ingin kutanyakan, mengapa ia melakukannya?" 

   Orang tua itu tertengadah. memandang  tamu asing itu. 

   Matanya tampak tidak senang 

   "Anakku sudah  mati." Sungutnya, dingin. "Tak sempat kami kuburkan hari ini. Lalu

kau kami panggil untuk menjaganya. itu saja. Jadi" "    sambil  geleng geleng kepala, syam kamaruzaman  bergumam: 

   "Lihatlah pandangan matanya. Ia mati penasaran. sebab   itulah aku kalian panggil.

Pak chucky !" syam kamaruzaman  tersenyum renyah. Dan erang kaku: 

   "Kalian penakut! ' 

   "Nak...." 

   'Kalian penakut. sebab  kalian merasa bersalah, kalian jadi penakut!" 

   Berkata demikian. sepasang mata syam kamaruzaman  berkilau kilauan di wajahnya yang pucat.

chucky terbungkam. lalu merundukkan kepala dengan patuh, seolah-olah mengakui

tuduhan yang dilemparkan padanya. 

   'wanita  lesbian  ini punya kamar Sendiri?" tanya syam kamaruzaman  lalu . 

   Orangtua itu manggut manggut. 

   "Tidak bisakah kalian memberi penghormatan  padanya barang sedikit" Baringkanlah

anak bapak di atas ranjangnya sendiri!" 

   chucky memandang syam kamaruzaman  dengan heran. 

   Matanya beradu dengan sepasang mata yang bersinar  ganjil. 

   Dengan kecut. chucky bangkit lalu memanggil orang-orang di ruang depan .

   Bersama sama mereka masuk ke dalam. Enggan. Bersama sama pula mereka

pindahkan mayat yang sudah rusak wajah dan bagian bagian tubuhnya itu ke kamar

tidur. Teramat enggan. Selesai melakukan tugasnya orang orang itu cepat cepat berlalu

ke ruang depan. Kepada  aidit  yang duduk termangu tanpa ikut masuk ke dalam,

orang-orang itu pamit Tak lama lalu  .chucky menyusul. Ia menggamit aidit ,

mengajaknya ke luar sambil  menjelaskan: 

   "Orang itu minta dibiarkan sendirian. Ia ada di kamar tidur bersama mayat isterimu."

   Wajah syam kamaruzaman  yang pucat diam tak bergerak-gerak sesudah  ia mengambil  tempat duduk

di sebuah kursi dekat kepala tempat tidur. Dihadapannya. terbaring mayat yang baru

saja dipindahkan dari ruang tengah. Bagian-bagian wajah yang masih utuh tampak

lebih pucat lagi. Di beberapa tempat malah sudah kebiru-biruan. demikian pula

sebahagian lehernya yang jenjang. sambil  bibirnya yang kering kumat kamit  membaca

mantera. perlahan-lahan syam kamaruzaman  membungkukkan badannya ke depan. 

   Kain selendang yang menutupi mayat itu ia singkapkan seluruhnya. 

   Mata syam kamaruzaman  terpejam. 

   Mulutnya kumat kamit lebih cepat. Terkadang ditambah keluhan-keluhan berat dan

rintihan rintihan seperti kesakitan. Waktu ia buka matanya kembali. dua berkas sinar

hijau kemerah merahan membersit dari sepasang mata syam kamaruzaman . menatap langsung ke

arah di mana seharusnya terletak sepasang mata di wajah mayat yang sudah rusak itu.

Tubuh syam kamaruzaman  mulai bergetar. 

   Keringat sebesar jagung membercik dari jidatnya waktu pelan-pelan ia berbisik: 

   "... kembalilah. Kembalilah kau. wahai arwah yang sudah  pergi!" 

   Sepi sejenak. 

   syam kamaruzaman  menggeram. 

   "Kubilang, kembalilah! Aku tahu kau masih gentayangan di sekitar jasadmu. Kau

belum tiba di padang yang semestinya. sebab  kau tak rela. Kembalilah. arwah yang

sudah  hilang. kembalilah!" 

   Sosok tubuh yang hampir hancur di atas kasur 

bergerak sedikit. 

   Hanya sedikit. 

   "Jangan enggan. Kembalilah!" syam kamaruzaman  membentak dengan suara kesal. 

   Tiba-tiba. gelembung-gelembung payudara di tubuh wanita  lesbian  telanjang yang sudah

menjadi mayat itu. naik turun dengan gerakan gerakan lambat mula mula, lantas makin

lama makin kencang. lambat lagi, kencang kembali dan sesudah  helaan nafas berat

terluncur dari bibir pecah-pecah yang sebagian sudah somplak dagingnya sehingga

tampak beberapa buah gigi bertonjolan ke luar, gerakan naik turun dada mayat itu

mulai teratur. Tanda tanda kehidupan sudah terlihat nyata, biarpun anggota-anggota

tubuh lainnya masih diam. tidak bergerak gerak. Orang orang yang sudah  memandikan

mayat itu senja hari-harinya tampaknya tergesagesa atau demikian ketakutan sehingga

pekerjaan mereka tidak sempurna. 

   Darah kering masih melekat di bahu yang bengkak kebiru-biruan. Juga

dipertengahan lengan kanan yang hampir putus. Lutut kanan yang pecah. letaknya

menyimpang. Mungkin tidak ada yang teringat untuk membetulkannya. Mungkin pula

sebab   tulang-tulang lutut itu sudah hancur berantakan sehingga sukar

membetulkannya dalam posisi semula. 

   "Anak malang!" desah syam kamaruzaman . Serak. 

   Ia menelan ludah. 

   Dan: 

   ?" mereka benar-benar mentelantarkan engkau. Tentu kau begitu penasaran, bukan?"

   Helaan nafas berat keluar dari mulut mayat yang rusak itu. 

   Dadanya bergelombang. Cepat. Seperti marah. 

   "Tidak!" gumam syam kamaruzaman  sambil  menyeringai. "Aku tidak bermaksud menyakiti dirimu." 

   Wajah mayat yang rusak itu. terangkat dari bantal.    Sekejap cuma, sebab  lalu  terhempas kembali dengan keras. 

   syam kamaruzaman  tertawa kecil. 

   "Tulang lehermu patah" Nah. Jadi, diamlah. Kau tidak bisa bergerak. Kau akan

menurut segala perintahku. Sekarang jawablah. Siapa namamu, anak manis?" 

   Helaan nafas dari mulut mayat berubah jadi desau angin. 

   Sayup-sayup terdengar suara memelas. Suara seorang wanita  lesbian  Setengah marah.

setengah menangis. 

   M a r n i...." 

   "Umurmu?" 

   buat apa... kau tahu"' 

   "Harus kuketahui yang sekecil kecilnya mengenai mayat-mayat yang kutunggui." 

   tiga puluh tahun. dua bulan dan. dan.. 

   "Cukup. Tak usah kau sebutkan harinya. Lahirmu?" 

   "Ya?" 

   "Siang" Atau malam?" 

   senja." 

   "Patut. Patut matimu penasaran. Orang yang lahir senja hari seperti kau. umumnya

berhati penasaran. Apa yang terjadi pagi" Mengapa begitu cepat datangnya malam"

Kau tak tahu. sebab  kau lahir senja hari lalu kau ingin tahu. Itulah sifatmu yang lebih

menonjol dari sifat sifat lain. Sangat penasaran, Serba ingin tahu. dan tidak sabaran!" 

   Dada mayat itu berbuncah bungah. 

   syam kamaruzaman  memperhatikannya. Dan mulutnya tersenyum senang. 

   'Sifat jelek itulah yang menyebabkan kematianmu. Benar. bukan?" 

   Suara sayup sayup itu bersungut-sungut kini: 

   "He eh. Lantas apa perdulimu?" 

   syam kamaruzaman  angkat bahu. 

   "Sudahi pertanyaan-pertanyaanmu, manusia terkutuk. Sudahilah.aku sangat lelah dan

kesakitan..." Tubuh mayat itu bergerak gerak kekiri kanan menyertai permintaannya

yang teramat memelas "Aku sudah  memenuhi panggilanmu. sebab  itu, sudahilah

siksaan ini. Cukuplah sudah siksaan yang kuterima menjelang saat saat terakhir

hidupku. Jangan tambah tambah lagi. Hentikan. hentikan, kau manusia pengabdi setan.

Aku sudah  datang. Kau tentunya puas, pengabdi setan. sebab  itu, katakanlah sekarang.

Maukah kau menolongku?" 

   syam kamaruzaman  menyeringai lebar 

   "Tentu," sahutnya. 

   "Bangkitkan aku kembali. Bangkitkan aku. untuk membalas sakit hatiku'" 

   "Sakit hati'" Pada siapa kau sakit hati"' 

   "wanita  lesbian  laknat itu'" 

   Alis mata syam kamaruzaman  yang berbentuk golok. menyipit. 

   "Kau dimadu?" 

   "Ya. Aku dimadu. Haram jadah benar, aku dimadu. wanita  lesbian  laknat itu sudah 

merenggut kebahagiaanku. Merenggut cintaku. Merenggut suamiku. lalu 

merenggut hidupku!" 

   "Ia tak bersalah apa apa terhadapmu," syam kamaruzaman  keberatan. "Tak patut aku libatkan

dirinya. siapapun juga wanita  lesbian  itu...." 

   "Tolonglah." Suara sayup sayup itu berubah jadi jeritan  sayup-sayup. "Tolonglah

.Kau bangkitkan aku dan biarkan aku yang melakukannya. Kau tak usah turun tangan" 

   'Hm Caranya?" 

   "Lewat tangan suamiku! ' 

   "namun  ' 

   "Demi setan yang kau puja.tolonglah aku!" 

   syam kamaruzaman  mengeluh. Lalu terdiam lama. 

   ' Bagaimana" Bersediakah kau'" 

   Lama pula baru syam kamaruzaman  menjawab. 

   "Boleh. namun  dengan satu syarat" 

   Suara sayup sayup itu berubah jadi suara tertawa pahit. Dan: 

   "Terkutuk kau. Najis dirimu .namun  apa boleh buat. Apa syaratmu?" 

   "Dari duniamu. kau sudah bisa menebak keinginanku." 

   "Jadah. Jadah. Seleramu terlalu rendah. Masihkah nafsu bejatmu bisa terbangkit

melihat keadaan tubuhku yang begini rusak" Melihat dirimu saja aku sudah tidak

bergairah. Padahal kau manusia yang utuh. Masih hidup. Dan aku tahu. kau seorang

laki-laki yang bisa memuaskan seorang wanita  lesbian , bisa saja yang kau setubuhi

wanita  lesbian  yang masih bernyawa..." Mayat itu cekikian lewat bibir sobek dan gigi gigi

depannya yang bertonjolan keluar. "Tidak jijikkah kau melihatku?" 

   syam kamaruzaman  tersenyum. 

   Ia meraba kantong kemejanya yang hitam. 

   Sebuah pisau cukur ia letakkan dipinggir tempat tidur. Lalu sehelai daun kdapa muda.

dan seutas tali dari pelepah pisang. 

   'Untuk apa itu?" 

   "Diam sajalah kau." sungut syam kamaruzaman  

   Matanya yang hijau kemerah merahan menatap kebagian mata wajah mayat. Lama.

Tubuh mayat itu tergetar. 

   Dan suaranya berubah ubah menyayatkan hati: 

   "Kau... kau tak serius dengan maksudmu!" 

   "Mengapa tidak?" 

   "namun  aku... aku tidak bergairah!" 

   "Perduli!" 

   "Aku jijik melihatmu. pengabdi setan. Aku jijik. Aku hanya mau disentuh oleh

suamiku. Aku...." 

   syam kamaruzaman  membuka pisau cukur, lalu mulai menyayat urat nadi lengan kirinya sendiri. 

   Mayat itu berteriak: 

   "Aku benci melihat darah. Aku benci melihatmu!" 

   namun  tubuh mayat di tempat tidur tidak bergerak sama sekali untuk melawan. waktu

dari urat nadi syam kamaruzaman  mengucur darah deras yang oleh syam kamaruzaman  lalu  diteteskan tepat

di bagian mana jantmg mayat terletak. Payudara wanita  lesbian  itu naik turun dengan

gelisah saat  darah merah yang segar dan hangat itu mengenai 

bagian kulitnya. Terdengar suara seperti belerang disiram air. 

   Seperti belerang pula. dari sekujur tubuh mayat berkebul asap putih ke langit langit,

 bercampur dengan asap dupa menyan yang memenuhi empat pojok kamar tidur. Bau

tak enak menusuk hidung. namun syam kamaruzaman  menghisapnya dengan perasaan nikmat.

Wajahnya yang pucat justru jadi kemerah merahan kini, dan tubuhnya mulai basah oleh

peluh. 

   Ia dengar suara si wanita  lesbian  yang memohon: 

   'Jangan..." 

   namun  ia tak perduli. 

   'Jangan'" 

   syam kamaruzaman  tetap tidak perduli. Darah semakin banyak mengucur. Asap semakin banyak

terkepul. Lalu tubuh mayat di atas tempat tidur mulai berubah wujud. Bagian bagian

yang sudah  rusak ditabrak lokomotip kereta api yang merenggut kematian si 

wanita  lesbian , kembali dalam wujud semula yang terbaring di atas tempat tidur bukanlah

lagi sosok tubuh yang mengerikan, akan namun  sosok tubuh telanjang seorang

wanita  lesbian  berwajah manis meskipun tidak begitu cantik, namun liku liku tubuhnya di

mata syam kamaruzaman  tampak begitu indah dan sempurna. 

   Lakilaki itu mulai mengerang. 

   Si mayat mengeluh: 

   "Tidak... tidak.." disusul teriakan lengking "Tidaaaaaakk!" 

   Ia terus berteriak sementara syam kamaruzaman  membuka pakaiannya. Berteriak dan berteriak

memilukan selagi syam kamaruzaman  naik ke tempat tidur dengan  nafsu binatang meronai wajahnya

yang berubah mengerikan. Jeritan arwah yang kembali menghuni mayat di rumah itu,

terbawa angin lewat celah celah pintu lewat celah celah jendela, lewat celah celah

atap. Mdam yang sepi menyentak, jadi terlonjak. 

   Di rumah sebelah. chucky terloncat dari tempat duduknya. 

   "... dengar" gunamnya. Serak. Dengan wajah pucat pasi. Dan tubuh gemetar. 

   orang-orang lain di rumah itu, terpaku diam. 

   "itu jeritan Marni!" desis Pak chucky . 

   Di kursinya. aidit  duduk meringkuk. 

   Peluh dingin mengalir dari seluruh pori-pori kulitnya. membasahi wajahnya.

menguyupi pakaiannya. saat  akhirnya ia bangkit dengan seluruh tubuh gemetar. dari

selangkangannya mengucur air hangat berbau pesing. Ia lalu  berlari masuk ke

salah sebuah kamar sambil  terkencing-kencing, melompat ketempat tidur di samping

salah seorang adiknya yang sedang berusaha menahan kantuk. lau merintih dengan

suara ketakutan: 

   "Kau dengar" Kau dengar itu?" 

   Si adik tak menjawab. 

   Dan aidit  menggulung tubuhnya di bawah selimut. 

   Di ruang tengah, Bu chucky  jatuh pingsan dalam pelukan suaminya .

   Namun tak seorangpun yang berani keluar rumah, untuk memastikan suara jeritan

itu. Tidak seorang pun. Di luar. malam semakin kelam. Udara semakin dingin Dan

angin bertiup kencang. Gersang. Dan kering! 

   saat  pagi datang, syam kamaruzaman  meluncur turun dari tempat tidur. 

   Sesaat. ia berdiri gontai. Sekujur tubuhnya letih dan basah oleh peluh. Pelan pelan ia

mengenakan pakaiannya. sesudah  itu duduk di kursi, terpekur. Kedua telapak tangan

menekan di wajahnya yang pucat. Lengan kirinya yang sebelum naik ke pembaringan

lebih dari dua jam berselang ia balut dengan daun kelapa muda dan diikat pakai tali

pelepah pisang. bergetar hebat. 

   'Wahai." keluhnya Lirih 'Kapan kutuk ini akan berakhir'?" 

   Lantas ia tersedu. 

   Habis tersedu. kedua telapak tangannya ia buka. 

   Matanya yang berjam jam  sebelumnya berkilau merah kehijau hijauan, kini tampak

lesu dan pucat. Sepasang mata yang bersinar lemah itu. memandang sosok tubuh yang

terbaring di atas tempat tidur. Sesosok mayat wanita  lesbian , dengan wajah hampir rusak.

lengan dan lutut hancur dan darah kering melekat di sana sini. Ia tak tahu yang mana

darah si wanita  lesbian  dan yang mana darahnya sendiri. Hidungnya mencium bau anyir

dari tubuh mayat. dan bau pengap dari dupa menyan yang memenuhi ruangan. 

   "Aduh!" desahnya dengan perut melilit. 

   Lalu: 

   "Aaaghhh!" terbungkuk bungkuk. Muntah. 

   Habis muntah, ia terpekur lagi di tempat duduknya .

   Wajahnya kian pucat. Matanya kian pucat. Lengan kirinya jauh lebih pucat. Lengan

itu ia gerak gerakkan dengan hati hati. Sementara itu. lengan kanan ia pergunakan

untuk membersihkan darah yang melekat di 

sekujur tubuh mayat dengan mempergunakan sarung hitam miliknya. sesudah  ia rasa

cukup bersih, sarung hitam itu ia belitkan di pinggang. Kain selendang yang tertumpuk

di kaki tempat tidur ia selimutkan menutupi mayat mulai dari rambut sampai ke ujung

kaki. lalu  duduk diam diam. Menunggu. 

Pintu rumah sebelah baru terbuka saat  matahari sudah  muncul di ufuk timur. Pak

chucky  adalah orang pertama yang keluar. Tiba di halaman mmahnya sendiri ia melihat

beberapa orang tetangga, sudah  menunggu dengan peralatan masing masing .Mereka

mengangguk pada orangtua yang beruban itu dengan wajah menyatakan ikut prihatin .

   Sementara tetangga tetangganya sibuk membuat peti mati di luar. Pak chucky 

bergegas masuk ke dalam rumah. 

   Ruang depan kosong. 

   Juga ruang tengah 

   Resah, ia masuk ke kamar tidur. Dan melihat syam kamaruzaman  masih menunggui mayat dengan

kepala menekuk setengah mengantuk, dan wajah kian memucat. Langkah langkah kaki

chucky membuat kantuknya terenggut. Ia mengangkat wajah, memandang tuan

rumah. 

   kau baik baik saja, Nak syam kamaruzaman ?" sapa chucky 

   syam kamaruzaman  manggut-manggut. 

   chucky memandang ke tempat tidur. 

   Lantas menghela nafas Lega. 

   "Syukurlah, ' gumamnya. 

   "Kenapa?" tanya syam kamaruzaman  

   chucky mengernyitkan kening. "Kami dengar jeritan Marni tadi malam." "Oh ya?"

desah syam kamaruzaman  Seperti orang bodoh. Dan tak 

berdosa. 

   chucky duduk di pinggir tempat tidur  menatap selendang yang menutupi wajah

mayat. 

   'Mungkin kami begitu ia benci disaat saat menjelang kematiannya." ia mengeluh.

"Hingga kami dikejar kejar oleh perasaan bersalah. Ah! Ia menarik nafas. Berat. Dan

panjang. "Mengapa aku begitu tolol" Marni sudah mati. Tak mungkin kami mendengar

jeritannya lagi'" 

   "Bapak mengkhayal! ' gumam syam kamaruzaman . 

   "Ya. Ya. Aku mengkhayal. Juga isteriku. Dan aidit ." Wajah orangtua itu tampak

kebingungan. "Mungkin... mungkin juga perasaan bersalah itu yang membuat isteriku

begitu lelah sampai pingsan, dan aidit  terbirit birit ke kamar sambil terkencing

kencing ..." 

   "Ah?" syam kamaruzaman  tersenyum. Kecut. 

   "Anak malang," desah Pak chucky , seperti pada dirinya sendiri. "Kasihan Marni.

Seharusnya. semua ini tidak terjadi padanya." 

   'Hem'." syam kamaruzaman  acuh tak acuh. 

   Dan chucky tak perduli .Ia terus berkata-kata seperti pada dirinya sendiri

.Suaranya penuh dengan punyesalan. 

   " Ia yatim piatu. Masih termasuk sanak keluargaku sendiri.  Ayahnya terbenam di laut

waktu perahu mereka dilanda topan. Nelayan-nelayan lain pulang tanpa ikan  tanpa

ayah Marni dan dua orang nelayan lainnya. Marni masih bayi waktu itu .Dan masih

menyusu saat  dia ditinggal mati pula oleh ibunya yang meninggal sebab  busung

lapar. Marni lalu kami ambil. Kami hidupi seperti  kami menghidupi anak anak kami

sendiri. namun  kehidupan di pantai semakin kering. Ikan-ikan semakin habis. Kapal

kapal besar milik orang orang asing merampas kehidupan kami. Lalu pantai di mana

kami lahir dan dibesarkan, terpaksa kami tinggalkan. Bertahun tahun kami hidup di

tempat ini. Membesarkan anak-anak kami. Membesarkan Marni. dengan susah

payah...." 

   chucky menggeleng gelengkan kepala tiba-tiba. 

   "Sayang." keluhnya. "Semua itu ternyata sia-sia." 

   "Sia-sia?" syam kamaruzaman  berminat. 

   "Heeh." sesudah  Marni tumbuh jadi perawan belasan tahun. kecantikan wajah dan

kemontokan tubuhnya sudah  menarik banyak mata lakilaki. Termasuk aidit  sendiri...." 

   "aidit  suaminya sebelum Marni meninggal. Begitukah?" 

   "He eh. Celakanya aidit  anak kandungku sendiri." 

   "Lho Apa salahnya?" 

   "Salahnya?" Wajah chucky berubah merah padam. "sesudah  ibunya meninggal,

Marni menyusu pada isteriku!" 

   "Maksud bapak, aidit  dan Marni satu susu?" 

   Orangtua itu tak menjawab 

   Ia menggeram, sehingga giginya bergemeretakkan. 

   "Terlalu benar. Seharusnya tidak kami beritahu pada anak anak itu. bahwa mereka

bukan saudara kandung. Seharusnya kami  rahasiakan. sehingga mereka tidak saling

jatuh cinta dan lantas?" 

   'lantas?" 

   Kepala chucky menekuk Lesu .

   namun  suaranya geram dan marah .

   "Lantas sementara adik adik mereka ke sekolah... Sementara isteriku ke sawah dan

aku ke hutan untuk menebang kayu... mereka melakukannya. Terkutuk! Mereka

melakukannya! ' 

   "Zinah'?" 

   chucky menoleh ke arah syam kamaruzaman . sehingga yang belakangan ini agak terkejut.

Sudut-sudut mata chucky berkilau oleh butir butir air. Bibirnya kering waktu

bersungut-sungut' 

   "Adakah kata lain yang lebih nista dari ' itu?" 

   syam kamaruzaman  angkat bahu. 

   chucky memalingkan muka. Menahan tangis. 

   "Yah!' keluhnya Sakit "Memang itulah kata yang tepat. Zinah. Zinah. Zinaah'" Ia

tekapkan telapak tangan ke wajah, lantas mulai tersedu. "Seharusnya aku membenci

mereka. Mengusir mereka. Melupakan mereka. namun  mereka tetap anak-anakku. Yang

seorang lahir dari darah dagingku sendiri. Yang lain dibesarkan oleh susu isteriku.

Kami terlalu mencintai mereka. Dan terpaksa menutup mata, saat  mengetahui apa

yang mereka lakukan. Sampai mereka berdua memaksa untuk kawin...!" 

   "Wah...!" 

   "Begitulah. Petuah apa pun tak masuk di kepala anak-anak bodoh ini. Akhirnya

mereka lari ke kota lain. Menikah diam diam di sana. Pada keluarga dan tetangga

tetangga yang bertanya tanya. kami bilang saja anak anak itu mencari hidupnya sendiri

sendiri di kota. Mereka percaya. Dan kami pun percaya. anak-anak kami akan hidup

tenang dan tenteram. Biarlah dosadosa mereka kami tanggungkan di neraka.

namun .Tuhan juga yang Maha Kuasa"." 

   chucky menarik nafas. Letih .

   "Kutuk itu menimpa rumah tangga mereka." ia melanjutkan. 'Tiga kali Marni bunting.

Tiga kali ia keguguran. Kali keempat. anak mereka lahir dalam keadaan cacat dan

sudah tak bernyawa. Kehidupan ekonomi mereka seret. Mereka pindah dari  satu rumah

kontrakan ke rumah kontrakan lain, dari satu usaha ke usaha lain, dari satu kota ke

kota lain. Selalu menemui. Gagal Dan gagal lagi. Dan kesadaran itu perlahan lahan 

datang. Bahwa mereka sesusu. Mereka seharusnya tidak jadi suami isteri. Dan aidit 

mulai berpaling ke wanita  lesbian  lain ?" 

   "Mengapa Marni sampai mati di sini?" tanya syam kamaruzaman . 

   "ia sadar akan dosanya. Tapi tidak bisa melepaskan cintanya. saat  aidit  dan

wanita  lesbian  itu menikah, Marni kabur ke mari. aidit  ia tinggali surat di mana ia

katakan ia mengancam akan bunuh diri kalau aidit  tidak menceraikan wanita  lesbian 

madunya. Marni kami terima baik baik. dan satu dua kali usahanya untuk bunuh diri

berhasil kami gagalkan. Nasihat nasihat kami masuk juga dihatinya. namun  ....

   Wajah chucky menggambarkan kesedihan bercampur kegembiraan .

   "... suatu hari, kami dengar aidit  sudah  punya anak!" 

   Ia geleng-geleng kepala. 

   "Akhirnya aku punya cucu. namun  kegembiraan itu. lenyap begitu saja, sebab  hal

yang sebaliknya justru terjadi pada Marni. Ia semakin susah dan pemurung. Ia tahu.

dengan lahirnya anak itu, cinta aidit  padanya semakin berkurang. wanita  lesbian 

madunya itu ia anggap sudah  merenggut segalagalanya dari dirinya. Wajahnya begitu

polos. Sikap sikapnya begitu wajar. Tak tahunya, jiwanya begitu hancur. Kami tidak

menduga apa apa saat  kemarin siang ia menghilang dari rumah tanpa ada yang

mengetahui. Kami sangka ia ke sawah untuk menemani ibunya membersihkan

rumput...." 

   Langkah langkah kaki di ruangan itu mengejutkan keduanya. 

   aidit  sudah  berdiri di samping Pak chucky . 

   'Mereka sudah siap. ayah.' katanya. 

   Laki laki itu sama sekali tidak berani memandang mayat di atas tempat tidur. 

   saat  salah seorang tetangga menginterlokalnya kemarin sore dari kantor polisi

desa. ia sedang berada dalam pelukan isterinya di rumah mertua mereka yang besar

dan mewah. Isteri dan mertuanya sudah  memberikan segala galanya pada aidit .

Pekerjaan, hidup senang, dan anak laki laki yang mungil. Ia tahu cintanya pada Marni

sudah  redup perlahan lahan. namun  selama ngebut dengan mobil pulang ke kampung

orangtuanya. ia pun tahu cinta Marni justru kian berkobar didorong oleh kecemburuan

dan sakit hati. Cinta yang berkobar itu sudah  merenggut nyawa Marni. aidit  merasa

berdosa. Dosa yang lebih besar dari dosa yang ia perbuat saat  mulai pertama ia

menyetubuhi adik angkatnya itu. 

   Masih tanpa memandang ke mayat. aidit  lalu  bergegas ke luar. 

   syam kamaruzaman  mendengus. Perlahan. 

   Perlahan pula ia berjalan ke jendela. Jendela itu berhadapan dengan sebuah

lapangan kosong dan ditumbuhi semak belukar. Ia melihat kereta kudanya di sana.

   Melihat anjingnya yang bertubuh besar dan berkulit hitam legam berkilat kilat.

meringkuk di samping roda kereta. Seekor kuda tinggi besar dengan kulit berwarna

coklat kehitaman. tengah merumput dengan rakus, masih mengenakan tali kekang kuda

yang disimpulkan pada cagak kayu di samping tempat duduk kereta. syam kamaruzaman  tersenyum.

Binatang binatang itu tadi malam tentu sudah  berpindah sendiri dari halaman depan. 

   'Kawan kawanku yang baik, ' gumamnya. Pelan. 

   namun  anjing itu seperti mendengar. Matanya memandang tuannya di jendela.

Berkilat kilat. Ekornya berkibas ke kiri ke kanan. Kuda itu juga mendengar. Ia menoleh

ke jendela. dan mendengus dengan keras. 

   syam kamaruzaman  tersenyum lagi. 

   Lengan kirinya ia acungkan ke arah matahari terbit sehingga balutan dari daun

kelapa itu berkilau kilau bersiram mandi matahari. Beberapa orang tetangga yang

bekerja di samping rumah. melihat apa yang ia lakukan. Dengan tenang, syam kamaruzaman 

membuka tali pengikat balutan lengan kirinya. Luka bekas sayatan di urat nadi lengan

kinnya sudah  mengatup .Dan waktu luka itu ia hadapkan langsung ke arah matahari,

mulutnya kumat kamit membaca mantera. Hanya dalam beberapa detik, luka itu

perlahan lahan Sirna. lalu tidak meninggalkan bekas sama sekali. Seorang yang berdiri

di dekat peti mati yang hampir siap, bergumam heran 

   "Sedang apa orang itu" 

   "Entahlah," jawab temannya di sampingnya. 

   "Mungkin si penunggu mayat sedang berdo'a dengan jimat di tangan." 

   Roda kereta berdetak waktu terantuk ke sebuah batu tepat di depan pintu pekuburan.

syam kamaruzaman  tersentak dari kantuk yang membuatnya terangguk angguk semenjak tadi di

tempat duduk. Ia menggelengkan kepala. Sepasang matanya yang sempat bersinar

tajam menembus kegelapan malam. Memandang berkeliling. Gelap semata. Sepi.

Menyentak. Pandangannya lalu  beradu dengan mata besar berkilat kilat dari

kepala kudanya yang menoleh ke belakang. 

   syam kamaruzaman  tersenyum 

   "Terima kasih, anak baik." ia bergumam. 

   Kuda itu mendengus. Senang. syam kamaruzaman  meloncat turun dan membiarkan tali les berjuntai

menyentuh tanah berbatu. Seekor anjing besar dan hitam. mendekat dengan mengibas

ngibaskan ekor. lalu lidahnya yang lembut kemerahan menjilati betis syam kamaruzaman  yang

telanjang .

   "Ala. biyung." Sungut syam kamaruzaman  sambil  memandangi anjing itu. 'Aku berani bertaruh. kau

tak akan sudi masuk ke dalam," ia tolehkan kepala ke arah pekuburan. Anjing itu

melolong kecil, lalu  meringkuk di samping roda kereta. syam kamaruzaman  memeluk meluk

punggung kuda, lalu  mengusap moncong anjingnya. "Kalian akan sabar

menunggu. bukan?" _ 

   Sekali lagi ia memandang berkeliling. 

   sesudah  merasa puas, ia lalu memasuki kompleks pekuburan. Dengan bantuan sinar

rembulan dan cahaya bintang gumintang melangkah tenang-tenang di jalan tikus yang

dibagian kiri dan kanannya dipenuhi gundukan gundukan tanah dan  batu-batu nisan.

Dibantu ingatannya saat  ikut mengantarkan jenazah yang dimakamkan tadi siang.

syam kamaruzaman  lalu  tiba di tempat yang ia tuju. Ia pandangi gundukan tanah yang masih

baru dengan nisan yang juga baru. terbuat dari kayu, tak jauh dari kakinya. 

   Ada suara berkepak tiba tiba. 

   syam kamaruzaman  menoleh. Seekor kelelawar rupanya terkejut oleh kedatangan syam kamaruzaman . lantas

terbang dengan suara ribut dari rimbunan dedaunan sebuah pohon kemboja yang

tumbuh subur. Burung itu seakan-akan melejit ke langit yang biru. berputar putar

sebentar di atas tempat syam kamaruzaman  berdiri. terbang lagi. Kian tinggi. akhirnya hanya tampak

seperti bintik kecil yang seakan akan menerobos masuk ke perut rembulan. 

   syam kamaruzaman  menghela nafas. 

   Ia rogoh saku kemejanya yang lebar. mengeluarkan sesuatu yang lalu  ia

letakkan tepat di depan kayu nisan. di atas gundukan tanah makam. Bau harum yang

semerbak menusuk hidung syam kamaruzaman  saat  mancis ia nyalakan. tampak bunga rampai

beraneka ragam berserakan di sekitar pedupaan yang barusan ia letakkan. Dengan

mempergunakan ranting ranting kering yang juga ia bawa. ia lalu  menyalakan isi

dupa. Cahaya api membersit-bersit  Kuning kemerahan. sesudah  nyala api itu padam.

kini tinggal asup putih berkebul, meliuk liuk ditiup angin malam yang dingin menusuk

tulang. Sesaat. syam kamaruzaman  menggigil. Ia kencangkan kain syaal tebal yang membelit di leher

lalu dengan nikmat menghirup asap yang berkebul dari pedupaan. Perlahan lahan.

kepalanya bergeleng-geleng Ke kiri ke kanan. Lama lama makin cepat. sementara

tangannya terus membubuhkan serbuk halus ke pedupaan. Bau menyan yang keras

dengan cepat memenuhi udara di sekitar tempat syam kamaruzaman  duduk bersila. Matanya terpejam

rapat. Dan bibirnya komat-kamit membaca mantera. 

   Tak lama lalu . tubuh syam kamaruzaman  berguncang guncang dengan keras. 

   Butir butir keringat sebesar jagung mulai membasahi jidatnya. Mantera yang keluar

dari bibirnya kian keras dan nyaring pula...

   "yaa bardaa. ya guru, ya Marni.?" Berulang kali ia membacakan mantera yang sama.

   Lalu: 

   "Kudatang. Kudatang. Kudatang'" 

   Asap menyan membubung semakin banyak. 

   Keringat di wajahnya semakin membanjir. Tubuhnya bergoyang goyang.

berguncang-guncang, gemetar dengan hebat sedangkan kedua lengan yang menekan di

dada jadi kaku dan tegang. 

   Tiba tiba ia berhenti membaca mantera. 

   Mata syam kamaruzaman  pelan pelan membuka. Kepala ia tengadahkan. Menatap langsung ke

arah rembulan yang entah semenjak kapan tau tau sudah  bersembunyi di balik awan

putih perak yang mengapas di langit. Sinar lemah dari balik awan itu beradu dengan

sinar tajam yang terpancar keluar dan sela kelopak kelopak mata syam kamaruzaman  yang tidak

berkedip sekejap pun juga. lama ia bersikap seperti itu. tanpa bergeming dari

duduknya, tanpa mengerdipkan mata. bahkan tanpa bernafas sama sekali. Kulit

mukanya mulai kemerahan dan terasa panas. Uap tipis sedikit demi sedikit keluar dari

kulit wajah syam kamaruzaman  yang basah oleh peluh. beradu dengan asap menyan yang juga 

semakin menipis sebab  syam kamaruzaman  tidak lagi mengisi dupa dengan serbuk baru. 

   "Huuuuu'" syam kamaruzaman  tiba tiba mengeluh dengan suara seperti menangis .

   Ia renggutkan wajahnya dari  rembulan. menatap ke tanah makam. tepat ke kayu

nisan. sesudah  meludah tiga kali ke kayu nisan itu. matanya kembali terpejam. Sesaat .

tubuh syam kamaruzaman  kembali terguncang. Dari mulutnya lepas erang yang tersendat sendat. 

   "Bangkitlah. Bangkitlah, demi kepuasan hatimu. demi cinta kasihku pada tubuhmu

yang sudah  sempat menyatu dengan tubuhku. Bangkitlah Marni, sempurnakanlah

kepenasaran jiwamu yang melayang-layang di langit kelam. yang terlunta lunta di alam

baka. yang terkapar di tanah kering". Bangkitlah, Marni. bangkitlah lalu cepatlah kau

kembali. Yaa bardaa. ya guruu. ya Marniiiiii!" 

   Asap menyan sudah  habis. 

   namun  pedupaan itu kini tak lagi diam. Dupa kecil itu bergoyang pelan pelan, pelan,

lalu makin keras, lalu  berguling ke sisi waktu tanah yang penuh oleh bunga

rampai tempat dupa tadi terletak. mulai rekah, lalu  terbongkar dengan hebat

seperti ada pacul dan sekop sekop yang tidak terlihat menggerakkan tanah-tanah

makam itu sehingga berhamburan ke sekitar nya. Pada waktu rembulan keluar dari

balik awan, sinar nya kembali menerangi bumi, menerangi makam di depan syam kamaruzaman .

Kayu nisan terbalik. lalu  jatuh menganga lebar dan hitam tepat di tempat mana

tadi dupa menyan terletak. 

   Lalu suara mendesah mulai terdengar. 

   Bukan dari mulut syam kamaruzaman  yang kini mengatup rapat. namun  suara mendesah itu

terdengar keluar dari lubang besar itu. disusul oleh suara tangis yang pilu menyayat.

tersendat-sendat  Suara seorang wanita  lesbian ! 

   Sayup sayup. terdengar suara anjing melolong. 

   Jerit lengking dari lubang menganga, sesaat  menyentak kesepian malam yang

menyelimuti kompleks pekuburan yang besar dan luas itu. Pada detik yang sama.

sesosok makhluk muncul dari dalam lubang. Sosok tubuh yang terbungkus kain kafan

putih yang sudah  dikotori tanah. Kain kafan itu robek  disana sini pada saat tubuh yang

terbungkus di dalamnya bergerak gerak dengan hebat. Beberapa saat berikutnya dari 

bagian atas kain tersembul keluar sesosok tubuh yang pucat dengan pelipis yang

hancur. sepasang mata terpentang lebar seakan akan mau terloncat keluar dari

tahanan sisa sisa kelopak yang hancur. 

   syam kamaruzaman  tidak bergerak di tempatnya.    Tubuhnya diam. Kaku Dan dingin. Hanya mulutnya yang kumat kamit membaca

mantera. ia sama sekali tidak melihat bagaimana makhluk itu lalu  berjalan

menjauh dari tempat itu. dengan langkah langkah kaki yang seperti melayang layang di

atas permukaan tanah. . 

   Makhluk itu pun seperti tidak melihat bahkan tidak perduli pada syam kamaruzaman . Berjalan

terus, cepat sekali, makin lama makin jauh, makin lama makin samar dan tiba-tiba sudah 

lenyap ditelan kegelapan malam. 

   Angin keras tiba-tiba bertiup dengan kencang. 

   syam kamaruzaman  menggigil. 

   Dari kejauhan. lolongan anjing terdengar kembali. Halus. Menyayat. Lalu tiba tiba

"guuuk. guuuk. guuuk"!" lolongan itu berubah. Pelan mula mula lalu makin keras.

syam kamaruzaman  membuka matanya, terloncat berdiri pada saat yang sama. Ia melihat ke lubang

menganga. gemetar sesaat, lalu memandang berkeliling. Yang tampak hanya

gundukan-gundukan tanah, semak belukar, batu batu dan kayu kayu nisan yang

berserakan. pohon pohon yang berdiri diam dengan rimbunan dedaunan menunduk

menatap bumi dan" kelap-kelip lampu petromak dikejauhan. 

   'Hem!" syam kamaruzaman  memberengut, 

   Lalu merunduk. Matanya mencari  cari. lalu  juga tangannya. Tak lama. tangan

itu sudah  menggenggam pedupaan. Sekali lagi ia memandang kekejauhan. ke arah kelap

kelip petromak itu mendatang. Lalu bergegas ia berjalan di antara batu-batu nisan,

meloncati satu dua dari nisan nisan itu dan dengan cepat sudah  tiba di pintu makam.

Kudanya mendengus keras dengan salah satu kaki belakang berdetak detak dihentak

hentakkan ke tanah berbatu batu. Anjing yang tadi meringkuk di samping roda kereta.

menyambut syam kamaruzaman  di pintu makam dengan ekor berkibas kibas tak sabar .

   syam kamaruzaman  menyambar tali les. 

   Tanpa menaiki kereta, ia menarik tali les itu hati hati. Kudanya maklum, lalu berjalan

di atas keempat kakinya hampir-hampir tanpa menimbulkan suara. Roda kereta

berputar. Pelan. Dan anjing itu tak lagi melolong waktu mereka sudah  bersembunyi

dibalik pepohonan dan semak belukar yang memenuhi pinggir jalan yang

berseberangan dengan kompleks pemakaman. Cahaya pe tromak itu menerangi

beberapa sosok tubuh yang berjalan dengan rapat satu sama lainnya. Waktu akan

memasuki makam. syam kamaruzaman  mengenal orang yang berjalan paling depan. Ia adalah Pak

chucky . yang mendampingi isterinya sambil  memeluk pinggang wanita  lesbian  itu. Suami

isteri yang sudah tua itu ditemani oleh beberapa orang tetangga dan salah seorang

anak mereka. 

   Lamat-lamat telinga syam kamaruzaman  menangkap suara tangis si wanita  lesbian  yang tersendat

sendat. 

   Lalu suara chucky yang kesal: 

   "Sudah. Hentikanlah tangismu. Kita sudah  tiba di makam...." 

   Justru sesenggukan wanita  lesbian  itu kian menjadi. 

   Suaranya kering dan putus asa waktu mengeluh: 

   "... biarkan aku. pak. Biarkan aku... " 

   "Wah, kau bikin suasana duka cita jadi kacau. Tidakkah kau ingin menghormati" 

   "Pak! Justru... justru sebab  aku ingin menghormati roh Marni, maka kuminta kalian

menemaniku ke sini malam ini. Oh. Pak. Aku mencintai Marni seperti aku mencintai

anak anak kita yang lainnya. Ia anak baik. namun  bernasib malang " suara itu kian

sayup sesudah  sosok sosok tubuh mereka berjalan di antara batu batu nisan,

menimbulkan bayangan bayangan hitam memanjang dan menari nari kian ke mari.

Namun telinga syam kamaruzaman  yang ditajamkan masih  mendengar keluh kesah si wanita  lesbian . 

   "aku nyesal pak. Tak seharusnya anak kita yang malang itu kita biarkan terbaring

sendirian tadi malam!" 

   'Wah! Ia kan ditemani Nak syam kamaruzaman  " 

   "Penunggu jenazah itu bukan sanak saudara kita. Bukan sanak saudara Marni Pak,

aku .. oh, pak. Percayalah. firasat aneh sepanjang hari ini membuat perasaanku tak

enak. Tidakkah kau pernah memikirkan. dosa-dosa yang sudah  diperbuat Marni mungkin

membuat rohnya tak diterima oleh bumi' Tidakkah..." 

   "Hem!" Ditempat persembunyiannya. syam kamaruzaman  mendengus. 'Celaka. Apa maunya orang

tua itu" Menemani anaknva tidur di kuburan?" 

   Sambil bersungut sungut. syam kamaruzaman  menarik tali les kuda. kembali ke jalan dan menjauh

dari tempat itu. sesudah  merasa aman. ia lalu  naik ke tempat duduk. Kuda itu

berjalan cepat di atas jalaran yang tak lagi berbatu batu. Anjingnya berlarilari

mengikuti dengan lidah terjulur-julur dan ludah berlendir menetes satu persatu.

berpencaran ditiup angin sebelum jatuh membasahi tanah yang lembab oleh embun. 

   Dan.... 

   syam kamaruzaman  menghentikan kereta kudanya waktu jeritan itu terdengar 

   Jauh sekali. 

   namun  syam kamaruzaman  bisa mengenal suaranya. Dan malah bisa membayangkan. bagaimana

ibu Marni yang malang, jatuh pingsan dalam pelukan suaminya. Bahkan. mungkin

bersama sama dengan chucky sendiri. syam kamaruzaman  tengadah. Menatap rembulan. yang

kembali bersembunyi di balik awan. Lalu. dengan sekali pecut yang tak terlalu keras.

kuda di depan tempat duduknya berjalan semakin cepat menembus malam yang pekat di

antara pohon pohon raksasa di kiri kanan jalan.... 

tiny  berbaring gelisah di tempat tidurnya. 

   Bayinya baru saja tidur di box. sesudah  menyusu. Entah mengapa, tiny  lebih

senang andaikata bayi itu tidak tidur saja. Biarlah tangisnya memekakkan telinga, asal

tiny  tidak kesepian. Ah. Seharusnya ia tidur di rumah orang tuanya saja. Akan

namun . waktu akan pulang ke kampung malam kemarin. aidit  sudah mengatakan bahwa

ia akan kembali malam ini langsung ke rumah mereka. ia tak akan lama di kampung

untuk menghadiri pemakaman adiknya yang bernama Ningsih Sumarni itu. Katanya ia

akan pulang malam ini juga. Tak kuat lama berpisah dengan tiny . Apalagi dengan

bayi mereka. 

   Baiklah. tiny  bisa memaklumi perasaan suamiuya. Lebih-lebih sesudah  aidit 

menegaskan dengan katakata: 

   "Lagipula. tiny . aku tak ingin nantinya suasana berkabung yang kubawa dari

kampung. ikut mengganggu ketenangan keluargamu." 

   Kalau memang hanya sekedar itu. memang benar. namun  patutkah aidit  menolak

keinginan keluarga tiny , agar ada salah seorang di antara mereka, yang ikut ke

kampung untuk menemani aidit " tiny  sendiri. betapa ingin. Ia belum pernah

bertemu dengan keluarga suaminya, demikian pula kedua orangtua tiny . Selama ini,

mereka terpaksa menyerah pada kemauan aidit . sebab  perkawinan laki laki itu

dengan tiny , tanpa setahu kedua orangtuanya. Konon, aidit  sudah  dicalonkan

dengan salah seorang anak famili, dan orangtua aidit  berulangkali menekankan agar

pilihan aidit  tidak jatuh pada wanita  lesbian  lain. Bahkan persiapan Untuk perbesanan itu

sudah  lama, tinggal menunggu aidit  memberikan lampu hijau saja .

   "Selama ini kuulur ulur waktu saja. Aku tak setuju dan tidak mencintai sama sekali

calon orangtuaku itu. Dengan alasan aku belum punya pekerjaan dengan penghasilan

yang bisa menghidupi rumah tanggaku. orangtuaku dan besan mereka terpaksa

mengalah. Jadi. bisa kau bayangkan bagaimana murkanya mereka kalau tahu pilihanku

sudah  jatuh pada wanita  lesbian  lain." demikian aidit  pernah menjelaskan, 

   "Lantas. kapan aku kau perkenalkan pada orangtuamu?" tanya tiny . 

   'Tunggulah. Semurka murkanya orang tua, kalau sudah disodorin cucu, toh akan

menyerah juga." 

 Edit teks 30 Saiful Bahri Situbondo 

   Dan kini. aidit  dan tiny  sudah  punya bayi. Orangtua laki laki itu sudah  punya cucu.

Tinggal menunggu waktu saja. Sampai kesehatan tiny  pulih sesudah  melahirkan. Dan

bayi mereka cukup kuat mereka rencanakan akan berangkat bersama sama ke kampung

ditemani oleh kedua orangtua tiny . bahkan dengan beberapa sanak keluarga lain.

Biar ramai. Biar orangtua aidit  tidak sempat marah dan bikin ribut sehingga malu

sendiri di hadapan sekian banyak tamu. Yang sudah  jadi besannya pula lagi. Dan sudah 

membawa kado yang paling menarik, hadiah yang tiada duanya dari anak sulung

mereka: seorang cucu yang mungil dan manis seperti ibunya. namun  tak seperti

ayahnya! 

   tiny  tersenyum kecut. 

   Memandang ke box. ia lihat bayinya tertidur dengan lelap. 

   Betapa nikmat. Makhluk kecil yang polos itu. tidak tahu apa yang harus dihadapi

orangtuanya. Tidak tahu, apa yang membuat ibunya malam ini begitu gelisah. tiny 

sendiri memang tidak tahu juga Mengapa" Kecewa" sebab  sebelum rencana untuk

beranjang sana tercapai, sudah  terjadi musibah yang memilukan itu" Demikian

memilukan. sehingga waktu menerima interlokal dari kampung, aidit  sampai sempat

pingsan dengan butir butir air melelehi sudut sudut matanya!

   Apakah arti Nengsih Sumarni buat aidit "

   Sekedar adik" 

   namun  aidit  pernah menceritakan, Nengsih atau Marni itu adalah adik angkat.

Pertalian itu tidak wajar. Tampaknya kalau dihubung-hubungkan dengan suasana

ganjil yang berlangsung selama perkawinan mereka. aidit  yang suka mengigau waktu

tidur. Menyebut nyebut nama adiknya, Marni, ditambah kata kata "kasih" atau "sayang".

Yang bila ditanya tiny  sesudah  suaminya terbangun, dijawab aidit  dengan tandas: 

   "Ia anak malang. Ditinggal mati kedua orangtuanya. Wajar toh kalau tidak saja

orangtuaku. namun  aku juga mengasihi dan menyayangi Marni?" 

   Demikian merasa wajarnya aidit . sampai kadang kadang diwaktu mereka berada di

meja makan dan tiny  menghidangkan sesuatu. aidit  tiba tiba nyeletuk. 

   'Wah. sayur asam itu kesukaan Marni." 

   Atau, waktu terbangun sebab  impian buruk di tengah malam. aidit  menyentuh

pundak tiny  sambil  berbisik. 

   'Marni, Marni sayang. Aku mellhat kita...." 

   Betapa kasihnya aidit  pada Marni. 

   Dan betapa sakitnya hati tiny ! 

   Suara berderit dari box menyadarkan tiny  dari lamunannya. Ia menoleh. Melihat

bayinya menggeliat. dan tiba tiba menangis. tiny  bangkit cepat cepat dari tempat

tidur. Berjalan ke box. menepuk-nepuk paha bayi itu dengan lembut dan penuh kasih,

mengusap usap wajahnya dengan rasa cinta. namun  sang bayi terus menangis. Malah

semakin keras. Kedua kaki dan kedua tangannya menyentak nyentak Waktu tiny 

mengangkatnya, ia lihat kain lapis kasur box. basah kuyup. dan juga merasakan hal

yang sama di popok anaknya. 

   "Hussy. pipis saja kok ribut banget!" celetuk tiny . 

   Ia merasa agak tenang sesudah   memangku bayinya. 

   Cepat-cepat p0pok anak itu ia ganti. Meskipun ia ingin kesepian malam itu diusir oleh

tangis anaknya, toh akhirnya ia tidak sampai hati. Ia susui juga bayi itu. Untuk tidak

sampai resah sendiri, bayi itu tidak ia tidurkan kembali di box, melainkan di atas

tempat tidurnya sendiri. sesudah  merasa mulutnya menempel di putik susu ibunya. sang

bayi rupanya merasa nyaman dan enak. lantas tertidur kembali. tiny  melepaskan

mulut bayi dari putik susu. Lalu merebahkannya di sampingnya Ia pandangi bayi itu

berlamalama. Dan sekali, tercetus  tanya dari mulut:    "Sungguh sungguhkah ayahmu mencintaiku, nak"' 

   Habis berkata begitu. mata tiny  terasa perih. Ia memejamkannya. 

   Dan kegelisahan itu kembali menerpa. 

   Ia coba memejamkan mata. Gagal. Melirik ke jam antik yang terletak diatas buffet

kamar, ia lihat jam sudah menunjukkan pukul dua lewat tengah malam. Mengapa aidit 

belum kembali" Apakah ia mengalami sesuatu di jalan" Atau" ya. Barangkali, kematian

adik angkatnya yang bernama Nengsih Sumarni "terkasih" dan "tersayang" itu

membuat aidit   betah tinggal di kampung. 

   dan lupa kata-katanya sendiri bahwa ia tidak bisa berjauhan lama-lama dengan isteri

dan anaknya. Sekujur tubuh tiny  tiba tiba terasa dingin. 

   "Hem." ia bergumam sendirian. "Kalau ia tak pulang malam ini, baiklah. Aku akan

nekad menyusulnya besok. Kalau perlu. anaknya akan kubawa dan . Biar dia sadar

dan...." 

   Dan kecemburuan melecut lecut hatinya dengan cepat. 

   namun . bukankah Marni itu adik aidit " 

   Mengapa ia harus cemburu" 

   Mengapa tiny  harus didera oleh prasangka buruk dan takut yang tidak beralasan" 

   tiny  mengerang sendiri .

   Hatinya teramat sakit. Sakit sekali. Celakanya. matanya tidak juga mau terpejam.

Kesal. ia duduk mencangkung di tempat tidur. Berpikir keras. Dan tiba tiba tersenyum.

Dan berbisik pada dirinya sendiri. 

   "Bodohnya aku ini. Tentu saja aku tidak bisa tidur. Bukankah aku harus membukakan

pintu untuk aidit ?" 

   Persis ia habis berkata begitu. terdengar ketukan ketukan halus di pintu depan. 

   tiny  terkejut sebab  ketukan itu begitu tiba tiba. 

   "aidit !" bisiknya lalu , lantas meluncur cepat cepat dari tempat tidur. berjalan

ke luar kamar dan bergegas ke ruang depan. Sebelum membuka pintu. terlebih dahulu

ia menekan tombol lampu. namun  ia salah pijit. Yang tertekan adalah tombol lampu

ruang depan di mana ia berada sehingga jadi terang benderang sesaat . Padahal yang

ia maksud adalah menerangi terras di luar. namun  apa perdulinya" Yang penting aidit 

sudah  pulang. Lampu tak akan jadi persoalan! 

   Ketukan itu tak terdengar lagi. 

   Sesaat, tiny  ragu. Jangan jangan, tadi ia salah dengar. Bukankah kalau pdang ke

rumah, selain mengetuk pintu. aidit  selalu memanggil manggil namanya" Barusan.

ketukan itu begitu halus. tidak keras seperti biasa. Tiada suara memanggil. Dan ketukan

itu sendiri." 

   tidak berulang lagi. Atau. memang tidak ada ketukan sama  sekali. 

   "Ah. mungkin suamiku teramat lelah. dan lupa kebiasaannya..." pikir tiny . 

   Pada saat itu. kecemburuan yang tidak beralasan dan kerinduan yang teramat sangat

pada suami. sudah  membuat tiny  lupa akan keselamatan dirinya sendiri. Ia yakin 

suaminya sudah  kembali .Ia yakin aidit  yang mengetuk pintu. Dan ia merasa kasihan.

tentulah aidit  teramat lelah sehingga kini hanya tersandar diam di bendul bagian luar

dengan tubuh lesu, lelah dan kedinginan. Tak ayal lagi. kletak! Kunci diputarkan. Lalu.

brai! Pintu ia buka. 

   Angin dingin menerobos masuk ke dalam. 

   Dingin sekali. 

   tiny  menggigil. Dan keberaniannya ciut sesaat . waktu ia tidak melihat siapapun

di depan pintu. kecuali sinar lampu yang menerobos keluar menerangi terras. menjilati

vas dan bunga kaktus. lalu kerikil kerikil putih kekuningan. Selebihnya. gelap semata.

Gelap gulita. Tidak. Bukan saja kegelapan. namun  juga angin yang teramat dingin itu.

meniupkan semacam bau tak enak. Mula mula hanya sedikit. namun  sesudah  ia hirup bau

tak enak itu lebih banyak. perutnya terasa mulas. Ia mencium bau busuk. Bau bangkai! 

   Dan sesosok bayangan tau tau sudah  berdiri di hadapannya .

   Bayangan itu menyeringai. Di mulutnya yang rusak. dan disepasang mata yang

terpentang lebar, tanpa kelopak, dan  pelipis yang hancur.... 

   aidit  membelokkan mobil memasuki pekarangan rumahnya dengan suara ban

berdecit nyaring dan kerikil  yang ribut waktu mobil itu berhenti tepat di depan teras.

Sejak ngebut dari kampung selama berjam jam. aidit  dihinggapi perasaan ganjil yang

tidak menentu. Kehilangan Marni yang tidak ia sangka sangka seakan sudah  merenggut

sebagian jiwanya. namun  kematian adik angkat yang sempat hidup sebagai suami isteri

dengannya. yang begitu mengerikan. membuat aidit  tidak saja tak sanggup melihat

mayat Marni. akan namun  juga tidak kuat berlama lama di kampung. Segera sesudah 

pemakaman selesai. ia langsung mengebut mobilnya pulang ke kota. Semakin dekat ke

rumah, semakin cepat mobil ia larikan. Dan anehnya, Sesuatu  perasaan ganjil itu kian

menggila. 

   Mesin mobil sudah ia matikan .

   namun  lampu depan. masih Ia nyalakan. Lampu mobil yang terang benderang itu.

menangkap sesosok bayangan tubuh langsing dan padat dengan liku  liku tubuh yang

menggiurkan terbayang di balik kimono tidur yang tipis, tengah berdiri tegak di

ambang pintu. aidit  berusaha menekan perasaan ganjil yang menghantuinya semenjak

dari kampung, lantas mematikan lampu dan keluar dari mobil. Lalu berjalan di atas

kerikil dengan suara ribut yang ditimbulkan oleh sepatunya. Angin malam yang dingin

membuat kulit wajah aidit  terasa kaku. Ia melangkah ke teras. berjalan ke arah sosok

tubuh itu masih tetap berdiri di tempatnya. Terpaku diam. dengan wajah pucat pasi.

dan sepasang mata memandang jauh ke depan. Teramat jauh. Melewati bahu aidit .

melewati mobil di depan. melewati pekarangan. melewati pagar halaman, melewati

jalan raya yang sepi. bahkan seperti 

melewati kegelapan yang tidak bertepi.. 

   aidit  tercengang. 

   Ia sentuh lengan wanita  lesbian  itu. 

   "tiny ?" 

   Tak ada sahutan. 

   Bingung, aidit  lalu  menepuk nepuk pipi tiny . Dari menepuk, lantas

memeluk. Sambil memeluk. juga mencium. Barulah lalu  ia merasakan gerakan

pada tubuh si wanita  lesbian . Ia harapkan. gerakan itu adalah gerakan kerinduan. Lengan

lengan halus mulus yang balas memeluk, dan bibir hangat berapi yang balas memagut. 

   namun . yang diperoleh aidit  adalah apa yang sama sekali tidak ia duga. 

   "Plak!" Sebuah tamparan deras hinggap di pipi aidit . 

   tiny  meronta dari pelukan sang suami, dan sambil menjauh mulutnya melepas

cerca: 

   "Jadah!" 

   "tiny !" aidit  terkejut dan bengong. Ia cepat cepat masuk, menutupkan pintu lalu

berjalan mendekati isteri nya dengan pikiran bahwa tiny  hanya bersandiwara.

sedang mengajak guyon. Baru juga selangkah. tiny  sudah berdesis: 

   "Jadah. Diam di situ. Jangan sentuh aku. laki laki berjiwa kotor!" 

   "Hen..." 

   "Apa" Mau merayu" Terkutuk! Pencinta yang palsu dan menjijikkan! sesudah  puas

mencicipi tubuhku, kau lari ke wanita  lesbian  lain!" wanita  lesbian  itu mendengus. aidit 

menyadari sesuatu di antara rasa kejut dan panik yang menyerangnya tiba tiba. Sesuatu

yang membuat darahnya tiba tiba dingin. Matanya melihat tubuh tiny , namun

telinganya menangkap suara Nengsih Sumarni! Belum juga ia bisa mempercayai

penglihatan dan pendengarannya. tau tau wanita  lesbian  itu sudah  berlari masuk ke kamar

tidur. Waktu keluar. bayi mereka sudah  berada di tangan tiny . Bayi itu terpekik dan

menangis keras " 

   sebab  dibangunkan dengan kasar dan secara paksa. 

   "Gumpalan daging dan darah kotor inikah yang mengguna gunaimu, eh?" jerit si

wanita  lesbian  sambil  mengangkat bayi itu tinggi-tinggi. 

   aidit  terkesiap. 

   'Jangan sakiti anak itu!" teriaknya. lalu meloncat ke depan. ia berusaha menyambar

bayi dari tangan tiny . akan namun  isterinya berkelit dengan cepat. Sambil menjauh,

si wanita  lesbian  tertawa mengikik, membuat bulu roma di pundak aidit  pada berdiri.

Sesaat ia kehilangan keseimbangan badan, namun  waktu melihat bagaimana tiny 

kembali mengangkat bayi yang menangis menjerit jerit itu tinggi tinggi lalu siap untuk

dihempaskan ke lantai, maka aidit  menjadi nekad. sambil  menerjang, ia tendang salah

satu lutut si wanita  lesbian  .

   tiny  terpekik kesakitan. 

   "Jadah! Jadah' Kau menyiksaku'" ia memaki maki. Badannya agak lunglai oleh

tendangan itu sehingga waktu aidit  mengembangkan kedua lengan ke depan. tiny 

tidak sempat lagi mempertahankan anak yang ia pegang. aidit  sudah  merenggutnya

sesaat . memeluk dan mendekapkannya ke dada sambil  membujuk sang bayi dengan

kata kata manis dan penuh kasih sayang .Akan namun  tangis si bayi tidak juga reda.

Kulit bayi itu pucat, dan anggota-anggota tubuhnya melejat lejat keras. Dengan panik

aidit  terus membujuknya. Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana tiny  sudah 

berdiri tegak kembali. 

   Dengan seringai lebar di mulutnya. si wanita  lesbian  mengumpat: 

   "Berikan dia padaku aidit . Ia anakku!" 

   aidit  tak perduli. 

   "Berikan padaku. aidit . Berikan..." suara si wanita  lesbian  melemah kini. Suara yang

letih, suara yang minta dibelas kasihani. Suaranya yang asli. aidit  memperhatikan

isterinya. ragu ragu sebentar maju lalu  menyodorkan si bayi untuk diambil

kembali oleh tiny . Si wanita  lesbian  maju dengan wajah masih memelas. Namun begitu

jari-jarinya menyentuh tubuh anak itu. sesaat  seringai di mulutnya melemparkan

bayangan muak yang mengerikan. Ia cengkeram salah satu kaki bayi itu. berusaha

menariknya. dan di antara tawanya yang mengikik ia menjerit: 

   "Lepaskan! Biar kubunuh dia. Lepaskan. aidit . Lepaskan!" 

   aidit  tersentak mundur. 

   Malang. salah satu kaki sang bayi masih dibetot oleh isterinya. Anak itu menjerit

lengking oleh siksaan yang teramat sangat itu. Jeritannya menggugah hati aidit 

sebagai lelaki. Sebagai seorang ayah yang memiliki naluri untuk membela darah

dagingnya. 

   "wanita  lesbian  tak tahu diri"  Ia bersunguta Bersamaan dengan itu, kakinya menendang

sekali lagi. Pegangan tiny  mengendur. aidit  menendang sekali lagi. Pegangan itu

lepas kini. aidit  berharap si wanita  lesbian  meringkuk atau menjauh kesakitan sehingga ia

bisa berlari ke kamar untuk menyelamatkan si bayi dari amukan ibunya yang

bertingkah laku aneh itu. namun  tiny  masih berdiri tegak di atas kedua kakinya

dengan seringai yang semakin mengerikan di mulut. Sepasang matanya merah berapi

api. Dengan kaki terpincang pincang akibat kena tendang. ia merangsek ke depan.

Kedua lengan terjulur memperlihatkan jari  jemarinya yang dalam keadaan lain lentik

dan manis akan namun  saat itu di mata aidit  tampak bagai cakar kera dengan kuku

kuku panjang yang mengancam. 

   Dalam keadaan panik oleh perubahan yang aneh pada tingkah laku isterinya, aidit 

masih punya kesadaran untuk berusaha tenang. Sambil mundur perlahan-lahan menuju

ke kamar. ia mencoba tersenyum. 

   Kaku memang. namun  bagaimanapun ia harus tersenyum. 

   'tiny . ada apa dengan kau?" 

   "Hhheeeegghhh...!" geram si wanita  lesbian . 

   "tiny . dengarlah. Kautak sadar dengan apa yang kau perbuat, bukan?" 

   "Hiii'" 

   "tiny . sayangku kau?" 

   "Sayangku! Sayang nenek moyangmu. babi terkutukl' jerit si wanita  lesbian  begitu

mendengar ucapan yang lemah lembut dan penuh rasa sayang keluar dari  mulut aidit .

Seluruh tubuh wanita  lesbian  itu gemetar dengan hebat. Peluh tidak saja sudah  membanjiri

wajahnya. akan namun  juga menguyupi kimono tidur yang ia kenakan. Lekak lekuk tubuh

yang menggairahkan terlebih lebih sebab  baru melahirkan anak pertama itu, sama

sekali tidak lagi menarik di mata aidit . wanita  lesbian  itu tak ubahnya makhluk yang

menteror diri dan bermaksud menciderai bahkan ingin membunuh anaknya. Anaknya!

Darah dagingnya sendiri! 

   Dalam hati, ia berbisik dengan perasaan ciut' "Kau kesurupan, sayangku. Kau

dimasuki setan... setannya Nengsih Sumarni ' 

   Tiba pada pikiran itu. rasa takut menggerogoti jiwa  aidit . 

   'Tidaaaak!' ia berteriak. 'Kau adalah tiny . Kau adalah isteriku. Kau adalah ibu

anak ini. Dengan ini anakmu. tiny . Ini anakmu. Ingatlah! Ingatlah. tiny ! ini anakmu!" 

   "Yiiiieeeee'" Si wanita  lesbian  memekik lengking lantas menerkam ke depan. 

   Reflex saja. aidit  menghindar. 

   Gerakan tubuh si wanita  lesbian  demikian keras dan cepat. sehingga waktu aidit 

mengelak. tak ayal lagi tiny  doyong ke depan, meluncur ke tembok. Terdengar suara

berdebuk yang lembab dan keras. disusul oleh keluhan lirih. suara tubuh terjerembab

jatuh ke lantai. Dengan dahi remuk oleh hantaman tembok. wanita  lesbian  itu masih

berusaha berdiri. Darah merah mengalir dari luka menganga di dahinya, menetes

membasahi kelopak dan membuat bola matanya semakin menyala nyala. aidit  menelan

ludah. 

   Ia terpukau diam di tempatnya berdiri. 

   ia ingin lari. namun  kakinya bagai terpacak ke lantai. Ia ingin menjerit minta tolong.

namun  lidahnya kelu membeku. 

   Akhirnya. dengan tangan gemetar memeluk bayinya yang tiba tiba terdiam dengan

tanpa sesuatu sebab. ia memasrahkan dirinya pada Tuhan. Apapun yang akan terjadi,

ia tampaknya tidak bisa lagi mengelak. la ingin mencubit pipinya keras keras untuk

meyakinkan bahwa semua ini hanya impian buruk belaka. namun  tidak saja ia tak ingin

melepaskan pelukannya yang kencang pada tubuh anaknya yang sudah diam tak

bergerak gerak lagi, akan namun  juga, sebab  ia sama sekali tidak bisa meng gerakkan

apa pun lagi dari anggota anggota tubuhnya. Bahkan. bernafas pun aidit  seperti tidak

mampu: 

   Lalu: 

   "aidit ..." suara tiny  yang memelas. menyentuh tekak telinganya. 

   aidit  tergugah. 

   'Apa yang terjadi denganku aidit " Apa. sayangku" Aku ..'aku. ." tubuh si wanita  lesbian 

lunglai. Ia berlutut di lantai, dengan darah yang semakin banyak menetes memerahi

wajahnya, memerahi kimononya. memerahi iubin. "aidit . Mendekatlah ke mari,

suamiku. Ini aku. tiny ! Demi Tuhan, aidit , ini aku tiny . Mengapa kau

memandangku seperti itu...?" 

   Perlahan lahan kesadaran aidit  muncul kembali. 

   "tiny ..." bisiknya. 

   "Kemarilah. aidit . Tolonglah aku." 

   aidit  melangkah. Berusaha melangkah. Dan ia berhasil. Satu Dua. Tiga. Dan ia kini

berdiri di depan isterinya yang masih berlutut di lantai. Pandangan mata si wanita  lesbian 

sangat memelas. Begitu putus asa. Begitu kebingungan. seolah-olah rasa sakit yang

tengah ia derita. 

sama sekali tidak ia rasakan. Tangan si wanita  lesbian  terangkat. Lemah. Dan gemetar.

Pucat. Jari jemarinya lentik dan lembut. Tak berdaya. Berusaha membelai paha

suaminya. dan berusaha mendekapnya. 

   aidit  ikut berjongkok. 

   Mereka bertatapan sesaat lalu . pada waktu yang bersamaan. menatap pula bayi

dalam pelukan aidit . Anak itu diam. Tiada gerakan sama sekali. Lengan lengannya

terkulai. Kaki-kakinya terkulai. Wajahnya masih menekap didada aidit . Menekap

rapat. sedari tadi. Demikian rapat. sehingga anak itu tidak bisa bernafas sama sekali.

Sesaat . darah aidit  tersirap. Ia kembangkan kedua lengannya. Seolah olah ia ingin

menempatkan bayi itu di antara dia dengan isterinya. Untuk mereka peluk  bersama.

Untuk mereka kasihi bersama. 

   Namun yang keluar dari mulut aidit . bukan bujukan sayang. 

   Melainkan: 

   mati!" 

   tiny  tengadah. Menatap tajam ke mata suaminya. 

   "Ya?" suaranya hilang hilang timbul .

   "Anak kita sudah  mati. Mati oleh tanganku sendiri" 

   Wajah tiny  yang letih dan pucat, mengapas kini. 

   "Tidak..." desahnya. Lalu: "Tidaaaaak!" jeritnya. Ia sambar anak itu. Ia perhatikan

dengan sepasang mata terpentang lebar. Memandang tidak percaya. Mulutnya

menceracau panik: "Anakku. bangunlah. Bangunlah nak... ini ayahmu. Ini ayahmu.

anakku. Ia sudah  pulang. Ia sudah  kembali padaku. padamu. pada kita.... Anakku,

mengapa kau tak menjawab" Mengapa" Mengapaaa?" Ia goncang goncangkan tubuh

bayi yang masih hangat di tangannya. Diam. Tetap diam. Jangankan bergerak. Tangis

pun tidak. Nafaspun tak lagi terhela. 

   aidit  berdiri. 

   ini hanya impian buruk. bukan" Tanyanya pada diri sendiri. Katakanlah. Ini hanya

impian buruk, bukan" 

   tiny  mengerang 

   "Tidak. Tidak mungkin." lalu. belakang kepalanya ia 

bentur-benturkan ke tembok. Ia benturkan berulang kali. 

   Sambil menangis terisak-isak. sesudah  puas membenturkan kepala ke tembok. ia peluk

bayinya rapat-rapat. Ke dada. Kancing atas kimononya dibuka. Dadanya segera

tersembul keluar. Keras dan kencang. 

   "ini, nak. Menyusulah. Hayo. jangan menangis lagi ya. Ini, ayo. menyusulah..." lantas

sambil  memaksakan putik payudaranya masuk ke dalam mulut mayat bayi itu. ia

tertawa. Tertawa terkekeh-kekeh. Habis tertawa, ia menangis. Puas menangis, ia

tertawa. Makin lama. suaranya makin lemah. Makin lama. tubuhnya makin lemah.

Akhirnya. tubuh wanita  lesbian  malang itu, lunglai. Terjerembab di lantai. Pingsan. 

   Sekujur tubuh aidit  dingin. Dingin. Teramat dingin. 

   Lehernya menekuk. 

   Memandang ke bawah. Ke tubuh isterinya. Ke tubuh anaknya. 

   Sepi menyentak. 

   Lama 

   Lalu lagi: 

   "aidit ?"" 

   Tubuh isterinya terdiam. Masih bernafas. Akan namun . mulutnya mengatup 

   "Kang aidit ?" desah itu terdengar lagi. Lirih. Sayup sayup. "Aku di sini, kekasih " 

   Pelan-pelan aidit  memutar tubuh. 

   Dan ia melihatnya. 

   "Nengsih . ." 

   "Aku bukan adikmu. Aku kekasihmu.?" 

   "Marni...." 

   "Nah, begitu. Aku lebih menyukai kau memanggilku dengan nama itu. Sekarang.

marilah kita tinggalkan tempat ini. sayangku..." 

   "namun ... namun ?" 

   "Mengapa heran" Aku toh selalu menyimpan pakaian pengantin yang selalu

kukenakan pada malam malam pertama kita hidup Serumah dulu... apakah aku masih

tetap cantik, aidit ?" 

   wanita  lesbian  itu berputar-putar. Perlahan sekali gerakannya, seperti digerakkan oleh

gemulainya Pakaian pengantinnya yang putih gemerlapan, berkibar lembut kian

kemari. Tubuhnya penuh daya pesona. Wajahnya yang cantik, tampak amat cemerlang.

Dan sinar ajaib mengelilingi dirinya. Sinar cinta. Sinar kasih. untung  menelan ludah.

Kekuatan gaib menarik dirinya untuk mendekati wanita  lesbian  itu, berusaha memeluknya.

Akan namun  Marni mundur ke pintu. aidit  tertegun. Di sana. ia menoleh ke belakang. Ia

berada antara sadar dan tidak. Ia dipengaruhi kemunculan Nengsih Sumarni. 

   Ia justru juga melihat, tiny  dan anaknya .

   Terbaring diam di lantai. 

   "Sudahlah. Kang aidit . Anak itu lebih baik mati, daripada hidup terlunta lunta.

Bukankah kita tidak diperkenankan punya anak selama ini'" Biarkan ia. sayangku.

Biarkan ia tidur tenang dan abadi...." 

   Mata aidit  terpantul ke tubuh tiny . 

   "Ah. Kau masih sayang padanya" Jangan membuatnya cemburu dan kembali sakit

hati, kekasih. tiny  masih hidup. Sayang. Ia berlaku bodoh. Syaraf mata dan otaknya

rusak. Ia tidak akan melihat apa apa lagi, bila ia sadar. ia tidak ingat apa-apa lagi. bila

kesehatannya pulih. Ia akan melupakanmu. Melupakan anaknya. Sudahlah, mari kita

tinggalkan tempat terkutuk ini !.." 

   aidit  menoleh ke arah bayangan putih cemerlang di antara kegelapan itu. 

   "Kau memasuki jasadnya tadi, Marni?" 

   Nengsih Sumarni tersenyum .

   Lembut sekali .

   "Aku hanya meminjamnya sebentar.' jawabnya. 

   aidit  menelan ludah. 

   "Kudengar suaramu tadi....' 

   "Sudah kubilang, aku meminjamnya sebentar. Sayang, tiny  tak begitu kuat. Aku

berhasil menguasainya. pada saat pertama kali berpandang mata di sini. Di ambang

pintu ini. Ia menunggumu waktu itu. Mengira kau yang pulang dan...." 

   "Dan kau mendahului aku!" 

   "Salahkah aku. sayangku?" senyum di bibir merah merekah itu mengembang. 

   aidit  menarik nafas. Salah, jerit hatinya dengan nyeri. 

   "Kemana aku akan kau bawa?" tanyanya. 

   "Kemana" Jauh. sayangku. Jauh. Ke tempat di mana, kita hanya hidup berdua Ke

tempat di mana, cinta kita akan abadi selamanya. Tidak ada orang yang akan melarang

kita untuk memadu kasih. Tidak ada orang yang akan mengurut dada. sebab  ingat kau

dan aku satu susu. dari seorang ibu.... O. tidakkah semua ini begitu menyakitkan,

aidit " Tidakkah?" suaranya berubah ke cewa. "Kau lari ke wanita  lesbian  lain. Aku tak

mampu berpisah denganmu. Tak sanggup melihat kau dalam dekapan wanita  lesbian  itu.

Lalu aku pergi ke rel itu. Sudah kau dengar ceritanya, bukan" Sesaat, aku masih

raguragu. Dan saat  kereta api itu datang, aku tidak terjun ke depan, namun  juga tidak

mau mundur. Maka aku disambar oleh moncong lokOmOtip yang mengerikan itu. dan...

dan.?" 

   Sepasang mata wanita  lesbian  yang masih berputar melayang layang itu. berkilat kilat. 

   "Sesuatu yang lebih mengerikan sudah  menimpaku. kekasih." 

   "Sesuatu yang lebih mengerikan" Pario mengulang, dan tidak sadar ia terus

melangkah menembus kegelapan subuh di luar rumah. Sepi dan dingin. namun  ia tidak

merasakannya. Ia hanya melihat bayangan kekasihnya yang mengenakan pakaian

pengantin yang cemerlang itu. Ia mengikutinya, dan tidak teringat sama sekali untuk

bertanya lagi. kemana mereka akan pergi. 

   Marni merintih. Sedih. Katanya 

   "Laki-laki itu sudah  menjamah tubuhku." 

   Kecemburuan meledak di dada aidit . 

   "Laki-laki" Laki-laki yang mana?" 

   Marni tertawa Kecut. 

   "Ah. Tak usah kau berprasangka buruk. Aku hanya 

mencintai dirimu seorang. Hanya mau dijamah oleh kau seorang. namun  laki laki itu...

aku tidak sanggup melawan kekuatan dahsyat yang terpancar dari sorot mata. yang

mengalir lewat tetes-tetes darahnya.... Lagipula. aku terpaksa menyerah. Dengan

syarat, ia mau membangkitkan aku kembali untuk bisa menemuimu dan.?" 

   "Siapa laki-laki itu, Marni?" 

   "syam kamaruzaman ...." 

   aidit  tertegun. Waktu itu. ia tertegun. Tepat di tengah jalan besar yang lengang, tak

jauh dari sebuah pengkolan. Ada suara mengguruh dari kejauhan. Lalu sinar lampu

yang samar-samar.... 

   'Maksudmu, si penunggu jenazah?" dengus aidit . 

   Marni mengangguk. 

   "namun . kapan, Marni" Bukankah kau belum pernah"." 

   'Malam itu. kekasih. Malam di mana kau tidak mau melihat jenazahku. Malam di

mana kau justru lari bersembunyi di rumah lain. meninggalkan aku dikamar. Sendirian,

dengan si penunggu jenazah. Seharusnya kau melindungiku. Ia tak akan berani berlaku

tak senonoh. andaikata kau ada di dekatku... " 

   "Bangsat!" aidit  memaki "Akan  kubunuh binatang itu!" 

   ' "Kita. sayangku. Kita akan sama sama membunuhnya. Arwah kita harus bersatu.

Kutuk yang menimpa diri kita, akan merupakan kekuatan ampuh yang tidak akan

mampu ia tolak"." 

   "Arwah" Maksudmu, aku 

   Marni mengikik. 

   Dan sinar lampu itu mulai berputar di pengkolan. Suara mengguruh itu kian menderu,

ditambah suara mendecit decit lengking. Bunyi ban beradu dengan aspal oleh tekanan

kekuatan berlari yang tidak dikurangi. aidit  mendengarnya. mengetahui bahaya yang

mengancam. namun  sesuatu membuat ia tetap tertegun di tempatnya berdiri. Sesuatu

yang mengerikan. Perwujudan Nengsih Sumarni yang cantik jelita dalam pakaian

pengantin yang 

berkibarkibar cemerlang. tau-tau saja sudah  berubah jadi perwujudan mayat marni yang

rusak. terbungkus kain kafan yang porak poranda .

   "Ikutlah denganku sekarang. aidit !' jerit si wanita  lesbian , lengking, disusul oleh tawa

mengikik. 

   Bayangan makhluk itu lenyap. Dan bayangan lain muncul. 

   Sebuah benda besar. Besar dan hitam. Tak ubahnya makhluk raksasa yang kejam dan

tidak kenal ampun. aidit  menjerit. Bunyi rem, terdengar mendecit decit. Terdengar

suara benturan keras. Dan sebuah truck pengangkut kayu, tiba tiba berhenti sesudah 

lebih dulu menyeret tubuh aidit  yang luluh lantak sepanjang beberapa meter.... 

   Seseorang melompat turun dari dalam truck. 

   Berlari ke belakang. dan melihat mayat yang hancur berlumur darah itu. 

   "Ada apa?" seru seorang lainnya yang ikut turun. 

   "Celaka?" bisik orang pertama. 

   Sebuah pintu dari rumah terdekat, dibuka dengan tiba tiba. Ada cahaya lampu

menerjang ke arah jalan. 

   "Wah...." dengus orang pertama yang keluar dari truck, dengan suara cemas "Ayo,

cepat naik kembali." 

   Dan begitu mereka sudah  berada di tempat duduknya masing-masing. mesin truck

kembali menderum. Dan makhluk raksasa yang besar dan berat itu, kabur dengan

kecepatan tinggi . 

   Senja baru saja jatuh. Penduduk kampung seperti biasanya tengah berkumpul dengan

keluarga masing masing. Pak tani baru saja pulang dari sawah. dengan pacul

terpanggul di bahu. Ternak ternak sudah  bermasukan ke kandang. Warung-warung yang

masih buka sudah  mulai menyalakan lampu, Dan adzan baru saja  hilang dari mesjid.

meninggalkan gaung yang seolah olah masih menggema di anak telinga. Jalanan

kampung mulai sepi. Hanya satu dua orang yang masih lalu lalang. dan sekelompok

anak-anak muda tanggung tengah bercengkerama di dekat balai desa. Seorang

wanita  lesbian  setengah baya dengan suntil di mulut dan kemben membelit sebatas dada,

berseru memanggil nama  beberapa orang anak anaknya yang masih main kelereng di

depan rumah tetangga. 

   Temarampun turun. 

   Lengang sudah jalan, saat  kereta berbentuk aneh itu muncul memasuki mulut desa.

Meskipun ditarik  seekor kuda, jelas itu bukan kereta atau andong. sebab  tempat

duduknya hanya satu, di depan Seorang laki laki setengah umur, mengenakan kemeja

gunting cina dan celana katun warna hitam sampai batas setengah betis dengan kaki

telanjang. duduk kaku di atasnya. Sebelah tangannya bersembunyi di balik sarung yang

melingkari punggung sampai perut, untuk menahan udara senja yang teramat dingin.

Sebelah tangannya yang lain, memegang tali les yang menjuntai seenaknya. 

   Di depannya, kuda besar berkulit hitam legam itu, berjalan di atas keempat kakinya

tanpa tergesagesa. Di belakang tempat duduknya. di bak kereta. terbaring diam sebuah

peti empat persegi panjang yang lebar dan  panjangnya hampir sama dengan bak

kereta. Peti itu tertutup. Terbuat dari kayu jati yang peliturnya sudah  mulai luntur di

sana-sini, sehingga tampak kesat dan kusam. 

   Roda-roda kereta berderak waktu melalui jalanan berbatu. Dan menimbulkan bunyi

lembut yang aneh saat  berputar di atas jalan bertanah keras dan licin berdebu. 

   Di antara debu-debu yang beterbangan, berlari-lari seekor anjing yang juga berkulit

legam dan hitam sebesar anak macan. Ekornya meringkuk di belakang kedua kaki

belakangnya, sementara dari moncongnya yang bergigi-gigi tajam kekuningan, terjulur

keluar lidah panjang kemerahan yang basah berlendir. 

   Benar-benar sebuah pemandangan yang tak bisa dikatakan nyaman. Namun

orang-orang hanya sepintas lalu memperhatikannya. sebab  pendatang berkereta kuda

dikawal anjing besar itu, sudah cukup dikenal oleh seantero penduduk daerah di sekitar

itu. Dan mereka pun sudah tahu maksud kedatangannya senja hari itu. Acuh tak acuh

saja kusir kereta duduk di tempatnya, dan sang kuda seperti tidak perduli akan suasana

di sekitarnya. Kereta itu melaju tidak terlalu cepat namun tak pula lambat, membelah

jalan desa, memecah kesepian senja. 

   sesudah  satu belokan, kereta itu lalu  berhenti di depan sebuah rumah sederhana

berpekarangan sempit. Demikian sempitnya, sehingga halaman rumah satu-satunya

yang masih menerima kehadiran banyak-orang yang hilir mudik keluar masuk, jadi

penuh sesak. Orang-orang itu menyingkir waktu laki-laki bermuka pucat tadi turun dari

kereta. 

   Seseorang datang menyongsong. 

   "Besar sekali terima kasih kami, Pak syam kamaruzaman  mau datang." syam kamaruzaman  mengangguk sambil 

tersenyum. Sedikit, cuma. Ia masuk ke dalam rumah diikuti pandangan semua orang.

Masih acuh tak acuh. Ia membalas anggukkan beberapa orang yang beradu pandang

dengannya, berjalan terus ke ruang tengah di tempat mana segelintir orang sedang

melingkari kain selendang yang menutupi sesuatu di atas tikar pandan yang lebar. 

   syam kamaruzaman  tertegun menatap gundukan berselubung kain selendang itu. Sepasang matanya

mengecil, dan mulutnya melontarkan desah yang aneh. sesudah  beberapa saat lamanya

berlaku demikian, ia memandangi orang-orang yang duduk bersila, lalu 

bergumam: 

   "Kalau diperkenankan, biarlah saya hanya sendirian saja di sini, bersama ayah dari

anak ini...." Orang-orang itu saling bertukar pandang, saling mengangguk dan

lalu  sama-sama berdiri.    

   sesudah  semua orang menyingkir, yang duduk bersila di atas tikar pandan hanyalah

seorang laki-laki muda. Ia mengenakan pakaian yang letak kancingnya tidak teratur,

dengan kain sarung yang membelit sekenanya di pinggang. Rambutnya kusut. Matanya

lesu menatap selubung bergunduk di depannya. Dan wajah itu, tampak kaku. Demikian

pula sekujur tubuhnya. Desah nafasnya menghendus-hendus keras, menahan emosi

yang terpendam. Dari ruangan dalam, terdengar isak tangis saling bersahut dengan

suara wanita  lesbian  membujuk-bujuk, menyabarkan. Dan tentu saja, dengan kata-kata

yang sudah lumrah terdengar:

    "Sudahlah. Tabahkan hati Neng Yuyu...."

    Jadi wanita  lesbian  yang menangis itu bernama Yuyu. Orang mudah saja berkata,

sebab  tidak mengalami sendiri. namun  Neng Yuyu tentu saja tidak bisa menerima

kata-kata membujuk itu begitu saja. 

   Tidak. 

   sebab  andaikata orang yang membujuk itu yang tengah terkena musibah, tentulah ia

sendiri akan menangis tersendat-sendat, melolong meraung-raung. 

   syam kamaruzaman  memandangi laki-laki yang duduk bersila itu sejenak. lalu : 

   "... bagaimana terjadinya" Laki-laki itu menggeleng. Patah-patah. Tanpa menoleh

pada yang bertanya. 

   "Hem. Kapan mayatnya diketemukan"

   "Dua jam yang lalu. Tersangkut di akar kayu di pinggir sungai." syam kamaruzaman 

manggut-manggut. Ia maklum, mengapa suara laki-laki itu begitu sakit, letih dan putus

asa. 

   "Anak ke berapa"

    "Empat..." 

   "Ah. Masih ada tiga yang lain, bukan"

    Barulah laki-laki itu mengangkat dagu. Ia memandang tajam pada tamunya. Yang

dipandang, tidak mengelak. Tidak pula memperlihatkan wajah cerah atau senyum

bersahabat untuk menghibur. Dan lakilaki yang duduk bersila itu, kembali menatap ke

gundukan berselubung kain selendang. Butir-butir air bening mulai berjatuhan satu

persatu dari sudut-sudut matanya. 

   "Si bungsu yang malang..." ia berdesah. 

   Sakit. 

   "Boleh aku melihatnya" Laki-laki itu menatap syam kamaruzaman  lagi. Lalu, mencondongkan

badan ke depan. Wajahnya kaku, dan tatapan matanya keras, waktu tangan tangannya

yang gemetar menyingkapkan kain selendang itu.

    Sekaligus, seluruhnya. 

   Di depan biji mata syam kamaruzaman , tergeletak sesosok mayat anak kecil berusia kira-kira enam

tahun. Berkaki telanjang. Bercelana pendek, yang masih lembab bekas basah dan agak

kotor oleh lumpur. Demikian pula kemejanya yang berlengan pendek. Ada sisa-sisa

darah mengering di bagian kerah. Dan warna merah kehitaman berbentuk lingkaran

selebar piring kecil tempat gelas teh. Hanya sampai di situ saja bagian tubuh itu. syam kamaruzaman 

menarik nafas. Panjang. Lalu: 

   "Kau cukup kuat, kulihat. Jadi, aku dipanggil tidak untuk sekedar menunggui mayat

anakmu saja, bukan?" 

   "Ya..." angguk lelaki itu. Suaranya memelas. 

   "Kudengar, Pak syam kamaruzaman  punya ilmu..." ia tengadah, menatap ke mata tamunya.

Mendengar permintaan ayah yang bernasib malang itu, syam kamaruzaman  tercenung. Lama berpikir

dengan dahi berkerut. Baru:

   "Itu bukan pekerjaan yang gampang," gumamnya dengan suara berat.

    "Diperlukan ketabahan..." 

   "Apa yang harus saya lakukan". syam kamaruzaman  memandang mayat anak kecil tanpa kepala itu.

Lalu: 

   "Dia yang akan melakukannya." Ayah yang masih muda itu tercengang. Ia

memandang ganti berganti. Ke si anak, ke syam kamaruzaman , ke mayat anaknya lagi, ke syam kamaruzaman 

kembali. Beberapa kali ia menelan ludah. Beberapa kali pula ia menarik nafas.

    Panjang.

    Membuangnya berkali-kali. Teramat panjang. Pada tarikan nafas yang kesekian, ia

basahi bibirnya yang pucat dan kering, lantas berkata dengan nada tidak percaya: 

   "Anak ini yang... ah, Pak syam kamaruzaman  berseloroh." 

   "Aku bersunguh-sungguh." 

   "namun ...." 

   "Sudah kukatakan, dia yang akan melakukannya. namun  untuk itu, ia perlu bantuan

dari seseorang yang bisa mengerti perasaannya sebagai seorang anak. Maka itu aku

bilang, diperlukan ketabahan. Yang tidak tanggung-tanggung. Adakah orang lain di sini

yang sanggup"

    Tanpa berpikir panjang, tuan rumah menjawab tandas: 

   "Saya bersedia." syam kamaruzaman  manggut-manggut. 

   "Memang sebaiknya begitu. Anak ini tanpa kepala. namun , dalam dadanya masih

tersimpan hati dan jantung. Di situ terletak perasaannya. Dan perasaan anak ini, hanya

bisa dipertemukan dengan orang yang paling dekat dengannya. Yakni ibu, atau ayah..." 

   ia memandang ayah muda yang malang itu dengan tajam.

   "Kuharap kau tidak menyesal." Tatapan itu dibalas tuan rumah dengan bernafsu. 

   "Demi kesempurnaan jasad anakku, apapun akan kulakukan!" syam kamaruzaman 

manggut-manggut lagi. lalu : 

   "Suruhlah orang-orang yang tidak berkepentingan pulang ke rumahnya

masing-masing. Yang tinggal, diharap tidur selekasnya." Meskipun masih bingung,

yang disuruh melakukan perintah itu dengan cepat. Terdengar suara orang bergumam

ramai di ruang depan, demikian juga di dapur. Lalu langkah-langkah bergegas,

suara-suara bergumam yang kian menyepi, pintu-pintu kamar yang ditutup dan nafas

lelah tuan rumah waktu kembali ke dalam dan duduk di samping syam kamaruzaman  yang tengah

mempersiapkan pedupaan dan  menyan. Sambil membakar kemenyan itu, ia bertanya: 

   "Siapa nama anak ini"

   "Dudung." 

   "Ayahnya"

   "Aku Sumantri." 

   "Dengan panggilan apa Dudung menyebutnya" 

   "Bapak." Asap kemenyan mulai mengepul ke atas. syam kamaruzaman  menghirupnya dengan

lubang-lubang hidung mengembang, seakan ingin memasukkan asap menyan itu

sebanyak-banyaknya ke dalam dada. sesudah  kumat kamit sesaat, ia memandangi

laki-laki bernama Sumantri itu. Mata syam kamaruzaman  kelihatan berwarna kelabu

kehitam-hitaman. 

   "Ambil nafas yang panjang." Sumantri menghirup udara di kamar itu

sebanyakbanyaknya. 

   "Buang sekarang." Sumantri melepaskan nafas panjang. 

   "Ambil lagi. Lebih panjang. Dua kali!" sesudah  tarikan nafas yang ketiga, syam kamaruzaman 

lalu  mengeluarkan pisau cukur dari kantong bawah kemejanya yang lebar, daun

kelapa muda, tali dari pelepah pisang, yang ia letakkan hati-hati di samping mayat.

Sumantri memperhatikan dengan penuh minat. Ia lihat syam kamaruzaman  menghirup asap menyan

lagi, lagi dan lagi, sambil terus kumat kamit membaca do'a-do'a dan  mantera-mantera

yang tidak dimengerti oleh Sumantri. la mendengar kata-kata yang aneh mengalir

keluar dari mulut syam kamaruzaman , lalu tubuh dukun setengah baya itu gemetar perlahan-lahan,

makin lama makin keras ditambah dengan percikan-percikan keringat sebesar butir-butir

jagung dari pori-pori kulit wajahnya. 

   Waktu kumat kamit itu dari mulut syam kamaruzaman  didengar sesekali oleh Sumantri kalau

namanya dan nama anaknya disebut-sebut, ditambah erang dan rintih yang silih berganti.

Butir-butir keringat semakin banyak membasahi wajah syam kamaruzaman , sampai suatu saat ia

bergumam. Parau suaranya: 

   "... ikuti ucapanku. Dung, ini aku, bapakmu..." Sumantri yang dari tadi asyik

memperhatikannya, melongo saja. 

   syam kamaruzaman  menyentak: 

   "Ikuti, kubilang!" 

   "Ya, Pak syam kamaruzaman ?" 

   "Dung, ini aku, bapakmu." Sumantri menelan ludah. Lalu: 

   "Dung, ini aku bapakmu..." 

   "Bangkitlah." Terperangah Sumantri membetulkan letak duduknya kembali, lantas

sambil kepalanya dipenuhi tandatanya oleh maksud si penunggu jenazah, pelan-pelan

ia menggerimit: 

   "... bangkitlah..." 

   "Lebih keras!" 

   "Bangkitlah!" 

   "Sekarang, pikiranmu pusatkan. Buang jauh-jauh pikiran lain kecuali untuk

berhubungan dengan hati dan perasaan anak ini. Apapun yang akan terjadi, jangan

sampai kau lupa akan ketabahanmu. Ingat, dalam pikiran yang akan kau salurkan

dalam perasaanmu, bahwa kau adalah bapaknya, yang mengasihinya yang tetap

menganggapnya sebagai anakmu yang dalam keadaan hidup..." 

   "namun , anak ini sudah...." 

   "Kau ingin aku pergi saja?" dengus syam kamaruzaman , tersinggung. Sumantri menelan ludah. 

   "Maafkan saya, Pak syam kamaruzaman ," rungut Sumantri dengan suara kering. Tanpa

memperdulikan ucapan Sumantri, syam kamaruzaman  lalu  kumat kamit dengan kedua mata

mengatup rapat. Sesekali ia meludah, ke kiri ke kanan, sesekali menghembuskan asap

menyan ke arah tubuh mayat terbaring. Kumat kamit lagi, ia lalu pegang sebelah

tangan Sumantri yang diletakkan di atas dada mayat yang sudah dingin dari beku itu. 

   Ya, Sumantri yakin dada itu dingin dan beku sebab  anaknya sudah  menjadi mayat

semenjak beberapa jam yang lalu, dan ia pun sudah  beberapa kali menyentuhnya. namun 

kini. Kini dada mayat itu terasa hangat. Memang masih diam, namun  hangat! 

   Sumantri terbelalak, dan hampir saja menarik tangannya mundur kembali saking

kaget, kalau tidak segera matanya beradu dengan mata syam kamaruzaman  yang marah. Dengan

menguat-nguatkan hati, Sumantri tetap meletakkan tangannya di dada mayat anaknya.

Maklum arti pandangan mata si penunggu jenazah yang dikenal juga punya ilmu gaib

itu, 

   Sumantri lalu  memusatkan pikiran sebulat-bulatnya. Dengan menarik nafas

berulang-ulang seperti yang diperintahkan syam kamaruzaman  tadi, pelan-pelan pikirannya mulai

terpusat. Dimatanya terbayang anaknya yang bungsu, terbaring dalam keadaan tidur

yang nyenyak, dengan dada naik turun teratur. 

   Dudung hidup, anakku hidup, anakku terkasih, anakku sayang... jerit hati Sumantri. 

   Pada saat pikiran itu tersalur ke hati Sumantri, samarsamar ia sempat melihat

bayangan tangan syam kamaruzaman  bergerak mengambil pisau cukur. Lipatan pisau ia buka tanpa

suara. Lalu matanya yang tajam berkilatkilat, ia goreskan ke urat nadi lengan kirinya.

Wajah Sumantri memucat memperhatikan tingkah laku dukun itu. 

   namun  perhatiannya segera tertuju ke arah darah syam kamaruzaman  yang mulai mengucur keluar,

lantas menetes jatuh membasahi punggung tangan Sumantri, meleleh di sana,

menyelusup di antara celah-celah jari, lantas membasahi dada mayat anaknya. Bau

menyan bercampur bau darah membuat Sumantri merasa puyeng. Namun ia

kuat-kuatkan juga hati, sambil berpikir-pikir apa yang akan terjadi selanjutnya. 

   syam kamaruzaman  mendesis perlahan: 

   "Pikiranmu terpecah, Sumantri!" Desisan itu memperingatkan Sumantri pada

tekadnya semula. 

   Lantas, pikirannya kembali ia pusatkan pada anaknya. Ia rasakan darah itu mulai

mengaliri dada mayat itu, membuat warna merah mengorak di sana sini, seakan

menyelusup masuk menembus kulit mayat dan... 

   Dada mayat itu bergerak. 

   Bergerak! 

   Hampir saja Sumantri terlonjak. namun  ia ingat kembali tekadnya semula. Lantas,

dengan mata terpejam untuk bisa lebih memusatkan pikiran dan  perasaannya yang

agak tergoncang, ia dengar syam kamaruzaman  memerintahkan untuk mengucapkan kembali kalimat

kalimat tadi: 

   "Dung, ini aku... bapakmu... Bangkitlah!" 

   Gerakan-gerakan di dada lebih keras. namun  tubuh mayat itu masih diam. Sumantri

mengulang lagi. Kali ini, tanpa ragu-ragu: 

   "Dung, ini aku, bapakmu. Bangkitlah!" 

   Dan, tangan si anak mulai ikut bergerak. Demikian juga kakinya. Seolah-olah

menggeliat-geliat. Tak ubah dengan keadaannya waktu ia dibangunkan dari tidur yang

nyenyak. Hanya bedanya, ia tidak menguap seperti biasa. 

   Namun Sumantri yang matanya nyalang terbuka oleh sentuhan-sentuhan kaki yang

melejat lejat di pahanya, tidak perduli lagi apakah anaknya menguap atau tidak. Ia

tiba-tiba menjatuhkan diri, memeluk anak itu sambil  menangis tersedu-sedu: 

   "Anakku, anakku, kau hidup, anakku. Kau belum mati, anakku... ini aku, bapakmu.

Dung, ayoh peluk aku, nak. Peluk bapakmu,... Mari kucium pipimu." 

   saat  itulah, saat  akan mencium arah pipi si anak, mulut Sumantri yang manyun

tidak menemukan apaapa, kecuali angin yang dingin, dan  dagunya menyentuh leher

yang rata dan berselemak darah mengering. Rasanya ia ingin jatuh pingsan, namun 

ingatan bahwa syam kamaruzaman  hadir di sampingnya segera membuat ia sadar kembali, bahwa

tubuh yang ia pegang adalah tubuh mayat, bukan tubuh yang hidup sesungguh

sungguhnya. sambil  menarik nafas, ia lepaskan pelukannya di tubuh mayat itu. 

   "Bantulah ia berdiri," Ia dengar suara syam kamaruzaman . sesudah  menyeka air matanya. Sumantri

membantu anaknya berdiri. Andaikata, ya, andaikata di atas leher itu masih terdapat

kepala, Sumantri pasti sudah terlepas dari pikiran semula, dan akan mengira anaknya

benar-benar hidup seperti sediakala. Dengan hati yang hancur, ia gapaikan tangannya

ke arah tangan Dudung yang terangkat seperti minta tolong. Air mata Sumantri menetes

lagi, waktu anak itu berdiri sempoyongan. Sumantri memegang pinggang Dudung agar

tidak sampai terjatuh. Ia lalu  menoleh pada syam kamaruzaman . 

   Penunggu jenazah itu tengah sibuk membalut lengan kirinya dengan daun kelapa

muda yang lalu  ia ikat pakai tali pelepah pisang. 

   "Biarkan ia," gumam syam kamaruzaman . Hati-hati, Sumantri menarik tangannya dari pinggang

mayat anaknya. Dudung berdiri tegak kini. Tegak diam, seolah-olah menanti perintah. 

   "Suruh tunjukkan tempat di mana kepalanya ditanam orang." Sumantri terkesiap. Ia

menatap syam kamaruzaman . 

   "Di tanam orang  Maksud Pak syam kamaruzaman ...." 

   "Jangan berlama-lama. Kita harus mengejar waktu matahari terbit esok hari...!"

Sumantri mengalihkan perhatiannya ke tubuh anaknya. Suaranya gemetar waktu

bertanya: 

   "Duh, biyung. Kejam nian orang... duh, biyung. Dimana gerangan kepalamu

tersimpan, anakku".Tangan kanan itu terangkat, lalu jari telunjuknya membentuk garis

lurus ke arah utara. 

   "Bisa kau katakan...." 

   "Tak bisa. Mulutnya ada di kepalanya," potong syam kamaruzaman .  "Suruh ia tunjukkan jalan!" 

   "Biyung, anak manis, si bungsu sayang. Maukah kau bawa bapak ke sana, nak?"

Tangan kecil mungil dan pucat kebiru-biruan itu, turun perlahan-lahan. lalu 

kakinya mulai bergerak. Mayat tanpa kepala itu berjalan dengan langkah langkah

seorang bocah menuju pintu keluar, diikuti oleh syam kamaruzaman  dan Sumantri. Di ruang depan,

seseorang yang rupanya tidak bisa tidur, melihat mayat itu lewat. Sesaat, mulut dan

matanya terbuka lebar, disaat berikutnya mulut dan mata itu terkatup, disusul oleh

suara tubuhnya yang jatuh terhempas ke lantai.

    Pingsan.

     Lolongan anjing menyambut mereka tiba di luar rumah. Malam sudah  mulai larut.

Kampung itu sepi. Jangankan makhluk-makhluk hidup. Angin pun seperti enggan

berhembus. Anjing itu berdiri tegak di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh,

mendengus sesaat. Matanya yang bulat dan besar, berkilat memperhatikan makhluk

yang baginya sangat aneh, dan kini berjalan di sampingnya kearah tempat duduk

kereta. Makhluk itu tampaknya adalah manusia seperti juga majikanku, mungkin begitu

pikiran yang terlintas di kepala kuda itu. 

   namun ... mana kepalanya" sesudah  mereka bertiga duduk di atas tempat duduk kereta,

syam kamaruzaman  menggerakkan tali kekang menyuruh kudanya mulai berjalan. Terdengar suara

berderak roda kereta di antara depak-depak kaki kuda, lalu angin mulai berhembus. 

   Dingin menusuk tulang. Di samping kereta, anjing berkulit hitam legam namun  dengan

sepasang mata berkilat-kilat terang itu, berlari-lari mengikuti. Sebuah pengaruh aneh

dari malam yang gelap tanpa bulan dan angin yang dingin dan  makhluk-makhluk

misterius di dekatnya, membuat sekujur tubuh Sumantri dialiri peluh. 

   Peluh dingin, tentu. 

   Hanya tekad dan keinginan yang kuat untuk memakamkan mayat anaknya dalam

keadaan yang sempurna yang membuat ia tetap betah duduk di tempatnya. Meski

sesekali terlintas juga ingatan untuk terjun saja dari kereta, berlari-Iarian pulang,

menjerit minta tolong, melompat ke tempat tidur dan meminta isterinya menyelimuti

tubuhnya yang gemetar ketakutan. 

   Bulan pucat di langit kelam, berpegangan kepinggir pinggir awan hitam waktu

tangan Dudung bergerak lurus ke arah kiri. Jalan yang ia tunjuk adalah jalan menuruni

bukit terjal, jauh ke bawah, di mana sebuah sungai mengalir. Mereka berada di mulut

sebuah jembatan besar yang tinggal puing-puingnya saja. Seingat Sumantri, jembatan

itu runtuh minggu yang lewat dilanda banjir yang dahsyat. Di kiri kanan jalan

bertumpuk-tumpuk bahan-bahan untuk membangun sebuah jembatan baru. 

   Sebuah truck kosong di parkir tak jauh dari bukit-bukit pasir. Nun jauh di belakang

mereka, terlihat kelap kelip lampu sayup-sayup dari perkampungan yang tadi mereka

lalui. Tadi, di sana, truck lebih banyak, ada satu dua orang yang masih tertawa-tawa di

warung kopi ditemani wanita  lesbian -wanita  lesbian  yang berdandan berlebihan. 

   Tentu pekerja-pekerja yang sudah siap akan membangun jembatan baru, tidur di

perkampungan itu. Mereka turun dari kereta. Lalu bergerak ke bawah bukit. Tiada rasa

takut dan cemas lagi dalam diri Sumantri. Melihat anaknya sempoyongan waktu

menuruni bukit, timbul rasa kasih dan sayangnya. Ia bimbing Dudung menuruni bukit,

berjalan di antara batu-batu besar, sesekali tergelincir oleh tanah longsor, bangun lagi,

berjalan terus ke bawah dengan mayat anak tanpa kepala itu tetap berjalan paling

depan. 

   Adakalanya, sebab  jarak lompatan terlalu jauh, Sumantri dengan tabah membopong

anaknya. Dalam kepala ayah yang masih berusia muda itu, hanya terpikir satu hal: 

   kepala anaknya akan segera mereka temukan, dan si bungsu itu akan mereka

makamkan dengan anggota tubuh yang lengkap. Tak jauh dari pinggir sungai, 

   Dudung berhenti. Tangannya menunjuk ke tanah, tak jauh dari kakinya. Dengan

mempergunakan sekop yang mereka bawa dari rumah Sumantri, tanah di dekat kaki

Dudung mulai mereka gali. Di atas, anjing syam kamaruzaman  melolong panjang, mengalunkan

nada-nada lirih menusuk ke tulang, menggetarkan hati. 

   Sumantri menoleh ke atas. Ia lihat anjing besar itu mengangkat kepalanya

tinggi-tinggi sambil terus melolong. Seakan-akan meratap ke arah rembulan. Waktu

mendengar hendusan nafas yang keras, ia menoleh pula ke samping, dan melihat syam kamaruzaman 

juga tengah menatap rembulan. Wajahnya yang kelam, keras seperti batu. Sepasang

matanya yang kecil dan menjorok jauh di balik kelopak, berkilat-kilat dengan ganjil.

Dari mulut syam kamaruzaman  terluncur ucapan-ucapan mantera yang tidak bisa dimengerti oleh

Sumantri. 

   Ia sendiri gemetar dan pucat. Di sampingnya, berdiri anaknya, Dudung, yang masih

berusia enam tahun itu. 

   Tegak dengan diam. Kedua lengannya terjuntai lemas disisi tubuhnya. Mayat anak itu

tak bergerak sama sekali. Terpaku ditempatnya. Sumantri mengerti. Semacam

pengertian yang aneh. Dalam pikirannya, ia lihat anak itu dengan wajahnya yang

manis, lugu dan kekanak-kanakan, tengah memperhatikan sang ayah bekerja. 

   Sumantri terus menggali. Sampai lalu  tubuh anak itu bergerak ke kiri kanan,

dan syam kamaruzaman  mendesah: 

   "Hentikan!" 

   Sumantri berhenti menggali. 

   "Sekarang, gali dengan tangan." 

   Dengan bernafsu, Sumantri menggaruk tanah dengan tangannya. Jari jemarinya

berubah jadi cakar besi yang keras dan tajam, didorong oleh keinginan yang amat

sangat untuk melihat wajah anaknya. Sambil menggaruk-garuk tanah, mulutnya tidak

berhenti henti menceracau: 

   "Anakku, anakku... Biyung, anakku. Dung, anakku...." 

   Dan air mata menetes tak berhenti, mengaliri kedua belah pipi. Ia tertegun sesaat

waktu tangannya menyentuh benda yang dingin dan lunak. Sumantri mengerling ke

arah syam kamaruzaman . Orang itu membalas kerlingannya dan mengangguk. Sumantri

mempergunakan kedua belah tangannya untuk mengeluarkan benda itu dari dalam

tanah. Ia lalu  naik dari lubang, berdiri di antara syam kamaruzaman  dan mayat anaknya.

Dengan mata berlinang dan tubuh gemetar oleh berbagai perasaan, ia perhatikan

benda itu dibawah jilatan rembulan yang pucat. 

   Sebentuk kepala kecil berlumpur. Ia usap dengan jari jemari bagian wajahnya, dan

saat  mengenali wajah dari kepala ditangannya, sesaat  Sumantri bergumam: 

   "Ya Tuhan-ku!" 

   Lantas, ia sempoyongan mau jatuh. syam kamaruzaman  cepat menangkap tubuh Sumantri dengan

sebelah tangan, sementara tangan yang lain menyambar potongan kepala itu. 

   "Ayoh. Ingat. Tabahkan hatimu. Kita sudah berhasil, bukan"

   Ia menghibur. Nada suaranya kini sudah sympathi. Sumantri mengeluh panjang

pendek, tidak berani memandang potongan kepala itu, juga tidak berani memandang

mayat anaknya. Ia lalu  berjalan mendahului naik ke atas. syam kamaruzaman  mengikuti dengan

susah payah, sebab  ia tidak saja harus memegang potongan kepala Dudung, akan

namun  juga harus membimbing dan sesekali memangku mayat Dudung yang tanpa

kepala. Tiba di atas, mereka disambut oleh lolongan panjang sang anjing. syam kamaruzaman 

mengangguk puas. 

   Anjing itu mengibas ngibaskan ekornya. Dan sang kuda mendengus dengus keras.

Tidak seorang pun diantara mereka yang berbicara saat  kereta itu mulai bergerak,

dengan bunyi roda yang berderak-derak. Tanpa dipecut, kuda itu berlari dengan

teratur. Sementara syam kamaruzaman  menatap ke langit kelam dengan sinar mata berkilat-kilat

ganjil. Mukanya tampak semakin keras, dan beberapa kali ia mengeluh. Bukan keluh

letih, namun  keluh yang seakan-akan kesakitan. Ia geleng gelengkan kepala ke kiri

kanan, sesekali mengibas ngibaskan tangan ke udara seolah mengusir sesuatu yang

tidak tampak oleh mata. 

   Sumantri yang sudah  agak pulih kesadarannya, bertanya enggan: 

   "Ada apa, Pak syam kamaruzaman "

   "Ada yang marah." 

   "Siapa"

   "Entahlah." 

   Habis berkata begitu, syam kamaruzaman  kumat-kamit dengan keras. lalu  ia melihat ke arah

anjing yang berlari-lari di samping kereta. 

   "Bantu aku, kawanku," pintanya. 

   Anjing itu seperti mendengar. Hati Sumantri menciut waktu melihat bagaimana

seekor anjing bisa berlari sambil melolong-lolong. Setahunya, anjing hanya melolong

selirih itu dalam posisi tubuh duduk di atas kedua kaki belakang atau berdiri tegak di

atas keempat kakinya, dengan kepala tertengadah. Kuda di depan kereta

mendengus-dengus keras, sekali meringkik dengan suara menyeramkan, sehingga

Sumantri terpaksa menelan ludah, sambil memandang berkeliling dengan mata

ketakutan. 

    Begitu sadar dari pingsannya, orang yang tadi melihat mayat Dudung berjalan ke

luar memandang seputar ruangan dengan mata melotot dan wajah pucat seperti kapas. 

   Ada tiga orang lainnya yang tertidur di ruang depan itu. Ketiga orang itu tampak

nyenyak. Seperti tidak terjadi apa-apa. 

   "Ataukah hanya mimpi jelekku saja?" orang itu berbisik pada diri sendiri. Ia mencoba

tidur. namun  tidak berhasil. Suara dengkur kawan sebelahnya membuat ketakutan.

Seingatnya, tadi juga ia tidak tertidur. 

   Sumantri sudah menyuruhnya pulang, demikian juga tiga orang lainnya,

tetangga-tetangga sudah pada pergi, mungkin juga kini tengah tertidur nyenyak seperti

orang-orang di sebelah kiri kanannya. Akan namun , mereka berempat adalah sanak

keluarga yang wajib menunggui rumah, dan begitu bangun pagi-pagi besok, harus

mempersiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman, ya, pemakaman Dudung. 

   namun  tadi... 

   Ah, sekedar mimpikah" Ia tajamkan telinga. 

   Tidak. 

   Tak terdengar suara apa-apa di ruangan dalam yang... ah, pintunya terbuka! 

   saat  Sumantri masuk tadi, pintunya ia tutupkan. Dan dari dalam ia dengar suara

sepupunya itu tengah berbicara dengan tamu mereka. 

   Penunggu jenazah yang konon punya ilmu gaib yang masyhur itu. Pak syam kamaruzaman , yang

hidup menyendiri di sebuah rumah kecil, tanpa orang lain untuk menemani, kecuali

seekor anjing, seekor kuda, dan sebuah kereta di mana ia lebih banyak diam untuk

berkeliling memenuhi panggilan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Dan,

kehadiran syam kamaruzaman  malam ini, adalah atas permintaan Sumantri, dengan maksud untuk

minta tolong menemukan kepala mayat keponakannya Jadi, tadi... 

   sambil  menelan ludah, ia berjingkat-jingkat ke arah pintu ruang tengah. Lalu

mengintai ke dalam. 

   Sepi. 

   Tak ada suara-suara. 

   Tak ada Sumantri tak ada Pak syam kamaruzaman . Dan... juga mayat itu tidak lagi ada di

tempatnya. 

   "Astaga!" 

   ia tersentak. Semakin pucat. Lalu melihat pada kawan-kawannya yang masih

mendengkur. Dan tiba-tiba menjerit: 

   "Hai, kalian. Bangun! Bangun! Bangun!" 

   Ia goncang tubuh mereka satu persatu. Yang seorang menggeliat. Yang lain

menggerutu, lantas tidur lagi. Yang ketiga, bangun sambil  bersungut-sungut. Ia

mendengarkan penuturan orang pertama dengan setengah sadar setengah mengantuk.

Setengah mengantuk pula, ia mengintai ke ruang dalam. Dan apa yang dilihatnya,

membuat suara bersungutnya semakin menjadi. 

   "Lantas itu, apa, eh" ejeknya, sambil  menunjuk. Yang ditanya, melongokkan kepala ke

dalam. Matanya seakan mau terloncat ke luar. Di atas tikar, di tempat di mana barusan

ia melihat hanya ada kain kain selendang menutup mayat, ia lihat kain-kain selendang

itu memang menutupi sesosok tubuh kecil. 

   Sesaat, ia memandang temannya dengan bingung. Tatap dan seringai ejekan yang ia

peroleh. Puas mengejek, sang teman lantas tidur kembali, tak lupa meninggalkan

umpatan: 

   "Dasar penakut!" 

   Yang diejek sakit hati. Memang, ia takut. namun , ia ingat apa yang pertama kali

dilihatnya. Mayat berjalan ke luar. Ia pingsan. Bangun kembali, ia lihat ruangan

tengah yang kosong. Lalu membangunkan teman-temannya yang lain, dan kini... 

   mayat itu sudah  ada di tempatnya semula. 

   Mungkinkah. 

   Dan ke mana Sumantri. Ke mana dukun itu. Ya, ya, ia takut. namun  ia tidak mau

menyerah begitu saja. Dengan kaki gemetar, ia merangkak hati-hati masuk ke ruang

dalam. Kain selendang ia singkapkan. 

 Edit teks 62 Saiful Bahri Situbondo 

   Itu memang mayat Dudung, beku dan dingin tanpa..... 

   sambil  memejamkan mata, ia bergerak mundur kembali ke ruang depan, lantas

membaringkan tubuh di samping temannya yang sudah  mendengkur kembali. Ia

berbaring di sana diam-diam, tidak berani bergerak, apalagi untuk membuka matanya. 

   Di luar rumah, Sumantri bergumam: 

   "Ia sudah tidur kembali!" syam kamaruzaman  menarik pandangannya 

   Dengan matanya yang menembus pintu depan terus ke ruang dalam, ke arah kain

selendang terhampar. Perhatiannya berpindah pada orang yang baru saja

membaringkan tubuh, lewat kaca jendela. Lantas bersungut: 

   "Untung aku berhasil menyesatkan pandangan mata mereka," 

   lalu sambil  menimang potongan kepala anak kecil di tangan yang satu dan

menggenggam telapak tangan kecil Dudung di tangan yang lain, ia melanjutkan dengan

perasaan lega: 

   "Kalau tidak, penyempurnaan jasad anakmu ini akan gagal kita lakukan...." 

   Mereka lalu  membuka pintu, masuk ke dalam dan berharap orang tadi tidak

bangun kembali. Orang itu memang tidak bangun, tidak pula membuka mata untuk

melihat apa yang didengar telinga: suara langkah-langkah kaki membuka pintu rumah.

Langkah-langkah kaki orang dewasa. Dan langkah-langkah kaki anak kecil... 

   Begitu berbaring, tubuh si kecil Dudung, diam tidak bergerak-gerak. Waktu

menutupkan selendang sampai pertengahan dada mayat, tangan Sumantri terasa

menyentuh tubuh yang beku dan dingin. Tidak lagi kehangatan. Tiada lagi gerakan.

Sosok tubuh itu memang sudah  mati. Dengan air mata berlinang, ayah yang malang itu

memperhatikan kepala anaknya yang masih terpisah dengan leher. Ia sudah  mencoba

menyatukannya, namun toh masih jelas terlihat garis pemisah berwarna pucat

kebiru-biruan diselemaki oleh darah mengering. 

   "Dudung, betapa malang nasibmu, nak," keluh Sumantri. Lirih dan sakit. 

   "Apa dosamu, sehingga harus engkau yang dijadikan tumbal untuk jembatan terkutuk

itu" Habis berkata begitu, Sumantri menangis terisak-isak. syam kamaruzaman  menghela nafas. 

   "Sudah ah," katanya. 

   "Ditangisi pun anakmu tidak akan hidup kembali. Yang penting, harus kita

sempurnakan jasadnya. Untuk itulah aku kau minta datang, bukan?" Sumantri

mengangguk. Patah-patah. syam kamaruzaman  meneruskan: 

   "Sudah kita temukan kepalanya. Sekarang, tinggal penyempurnaannya. Ketabahan

masih diperlukan." 

   Dengan mata basah, Sumantri memandang syam kamaruzaman . 

   "Apalagi yang harus kulakukan" tanyanya dengan bersemangat. 

   "Tak ada." 

   "Tidak?"

   "Ya. Kecuali ketabahan. Dan hati yang ikhlas." 

   "Maksud bapak" 

   "Relakan kematian anak ini." Sumantri menangis lagi. Sesenggukan. 

   "Dudung yang malang," isaknya. 

   "Mengapa ia.." 

   "Kau relakan" Lama baru terdengar sahutan: 

   "Demi anakku, aku rela." 

   "Tak ada dendam?" Sumantri diam. 

   "Camkanlah," ujar syam kamaruzaman  mengingatkan. 

   "Tidak ada orang yang bisa kau tuduh. Tidak ada bukti, anakmu dijadikan tumbal.

Orang pasti angkat bahu. Mungkin mentertawakan. Lantas mengelak dengan alasan,

toh anak ini bisa mati di mana saja .Oleh siapa saja. Hanya kebetulan yang

menyebabkan kepala anak ini tertanam di bawah jembatan. Begitulah yang sering

terjadi. Apa sebabnya ia mati, orang tidak peduli. Memang diselidiki, namun 

penyelidikan akan berhenti suatu saat . Dengan dua kemungkinan. Penyelidikan

dihentikan berkat pengaruh sejumlah uang. Atau kalau pun si pembunuh diketemukan,

hanya ia yang dihukum, terpantang bagi seorang dukun pencari tumbal, untuk

mengakui bahwa ia melakukan pembunuhan itu atas permintaan seseorang..." syam kamaruzaman 

berhenti sebentar. 

   Ia memperhatikan Sumantri, untuk melihat reaksi ayah yang malang itu, akan namun ,

perhatian Sumantri hanya tertuju pada bagian tubuh anaknya yang terpisah. Begitupun,

apa yang diutarakan oleh syam kamaruzaman , jelas terdengar di telinganya. syam kamaruzaman  yakin akan hal itu,

dan dengan keyakinan itu ia melanjutkan: 

   "Jadi begitulah. Sekali ucapan itu terlontar dari mulut si dukun, ia akan

mencelakakan diri sendiri. Toh orang lain hanya meminta ia agar membantu

keselamatan pembangunan jembatan, bukan untuk membunuh seorang anak yang tidak

berdosa. Ada dukun yang minta tumbal kambing atau kerbau. namun  ada pula yang

menjadikan tumbal nyawa manusia. Sayangnya, pemborong jembatan itu minta bantuan

ke alamat yang keliru. Dan jangan lupa. Mayat anakmu akan kita sempurnakan. Bila itu

terlaksana, mana ada yang percaya bahwa kepala anakmu pernah dijadikan tumbal.

Sukar membuktikannya. Kecuali, bila kau rela anakmu kita makamkan seperti keadaan

yang sekarang..." 

   Sumantri memperhatikan mayat anaknya lagi. Lagi dan lagi. Lalu: 

   "Tidak. Anakku harus dimakamkan dalam keadaan yang utuh." 

   "Kalau begitu, lupakanlah dendammu." 

   "Dan membiarkan dukun terkutuk itu tidak menerima akibat perbuatannya?" dengus

Sumantri, tajam. 

   "Dukun itu akan menerima akibatnya. Percayalah." 

   "Bagaimana Pak syam kamaruzaman  tahu. Bahkan kita tak tahu siapa orangnya." syam kamaruzaman 

memandang mayat Dudung: 

   "Anak ini tahu siapa orangnya." Sumantri ikut pula memperhatikan mayat anaknya. 

   "namun  ia...."

    "Jasadnya. Memang jasadnya sudah mati. Tidak rohnya. Roh anakmu masih

hidup...." Pengertian yang ganjil membersit di kepala Sumantri. Wajahnya memucat.

Lantas dengan suara kering, ia bergumam: 

   "Anakku mau kau suruh membunuh" syam kamaruzaman  tersenyum. Tipis. Jawabnya: 

   "Anakmu tidak akan membunuh dengan tangannya sendiri. Percayalah..." 

   "Bagaimana mungkin"

   "Kalau tidak, tak akan kau memintaku datang!" Sumantri menelan ludah. Lalu

tercenung, lama, memandangi mayat anaknya. Airmatanya menetes pula. syam kamaruzaman  berkata

dengan suara menghibur: 

   "Tidurlah sekarang. Ada yang harus kukerjakan. Bila kau bangun pagi-pagi, mayat

anakmu sudah dalam keadaan utuh. Aku berjanji...!" 

   Tuan rumah menatap penunggu jenazah itu. lalu , bangkit, dan berjalan masuk

ke kamarnya, menutupkan pintu dengan enggan, lantas berbaring di samping isterinya

yang rupanya sebab  letih tubuh dan jiwanya, sudah tertidur resah dengan mata

bengkak bekas menangis. 

   Sepeninggal Sumantri, syam kamaruzaman  mengheningkan cipta. Dari pedupaan, mengepul asap

menyan dengan baunya yang khas. Berulang kali asap menyan itu ia hirup, berulang

kali pula ia kumat-kamit membaca mantera. Sekali, tubuhnya tergoncang keras dan

keringat menetes ke lantai. Dengan mata liar, syam kamaruzaman  memandang seputar ruangan. Dari

mulutnya lepas ucapan membantah: 

   "... memang aku. Memang aku yang mengambil anak ini. namun  aku tidak bermaksud

mencelakakan engkau!" 

   Diam lagi. 

   Tergoncang lagi tubuhnya. Lantas: 

   "Terkutuk! Pekerjaan kita memang sama-sama terkutuk. Kita sama-sama pengabdi

setan. namun  aku tidak pernah mencabut nyawa-nyawa orang yang hidup. Aku hanya

mengganggu orang-orang yang sudah  mati. Dan kau! Kau!" 

   Ia meludah. Tiga kali. Ke udara! 

   Terdengar angin bersiuran kencang. Jendela terhempas membuka. Dan, rembulan

yang pucat, mengintai ke dalam. Ada lolongan anjing. Keras. Dan dengus kuda. 

   Keras. 

   syam kamaruzaman  menggoyang-goyangkan kepala dengan keras, kumat kamit lagi. Menambah

menyan ke dupa, berpercik-percik apinya. Pakaian yang ia kenakan basah oleh peluh,

demikian pula rambut dikepalanya. saat  gerakan tubuhnya perlahan berhenti,

tatapan matanya terpusat ke kepala yang terpisah dari leher Dudung. 

   "Demi kesempurnaan jasadmu, bergeraklah, arwah anak yang tersiksa!" 

   Tiada gerakan. 

   Tapi, ada suara. 

   Suara seorang anak, 

   suara bocah yang menangis. Sayup-sayup sampai, terdengar dari mulut di kepala

Dudung. Suara tangis yang memilukan itu mengaung di seluruh ruangan. 

   syam kamaruzaman  memejamkan mata rapat-rapat. 

   Di kamarnya, Sumantri terlonjak duduk. Di ruang depan, saudara Sumantri yang

disesatkan pandangan matanya oleh kekuatan gaib syam kamaruzaman , terpentang lebar matanya,

namun  segera memejamkan matanya kembali sambil  mengerang: 

   "Celaka. Mimpi buruk lagi!" 

   Tangis bocah itu menyayup, lalu  lenyap dibawa angin yang bertiup lewatjendela. 

    Puluhan kilometer letaknya dari kampung Sumantri, seorang laki-laki setengah umur,

tersentak dari duduknya yang resah. Di atas meja yang ia hadapi, terletak sebuah

baskom besar berisi air bening. Di dasar baskom, terbenam segumpal darah yang sudah 

dibekukan. Darah yang sudah  beku itu, secara berangsur-angsur mulai mencair. Warna

 air berubah jadi merah, merah dan semakin merah. Permukaan air bergolak seperti

digerakkan oleh tangan-tangan yang tak mau diam. Meja sama sekali tidak bergerak,

demikian pula laki-laki setengah baya itu. 

   Diam di tempat duduknya dengan tubuh tegang, ia dengar tangis bocah yang

sayup-sayup sampai. Ia tutup telinga dengan kedua telapak tangan. Namun suara tangis

itu malah semakin jelas di telinganya. Ia berteriak, marah: 

   "Siapa kau, yang sudah  kurang ajar mengganggu tumbalku!" 

   Tangis bocah itu lenyap sesaat . Orang itu menarik nafas. 

   "Celaka," keluhnya. 

   "Aku harus memeriksa kesana...!" 

   Ia bergegas ke luar rumah. Setengah berlari ke kandang, mengeluarkan seekor kuda

berkulit coklat kehitaman dengan tubuh yang kurus. namun  waktu ia naiki dan pecut,

kuda itu berlari dengan keempat kakinya yang kurus seperti melayang di permukaan

tanah. Tiba di dekat reruntuhan jembatan, ia turun dari kuda. Subuh hampir datang,

saat  ia meluncur ke bawah bukit berlari naik kembali, meloncat ke punggung kuda

sambil  mencaci maki: 

   "Sialan, aku gagal kali ini!" 

   Bergegas ia pacu kudanya kearah perkampungan di mana para pekerja yang akan

mulai membangun jembatan keesokan harinya, menginap. Sayup-sayup ia lihat kelap

kelip lampu, dan sayup sayup suara itu kembali memenuhi telinganya. Suara tangis

seorang bocah. Ia sudah berhari-hari berkeliling waktu menemukan seorang anak

bermain-main sendirian di tengah sawah, tak jauh dari sebuah perkampungan. Anak itu

mungkin menemani ayahnya ke sawah, lantas berkeliaran sendirian selagi orangtuanya

bekerja. Ia rupanya mengejar seekor kupu-kupu yang bersayap warna warni, indah

sekali. Kupu-kupu itu ia tangkap, lalu diberikan pada si anak. 

   "Mau lebih banyak lagi. Yang lebih bagus, biyung?" bujuknya. 

   Anak itu mengangguk. Tertawa senang sewaktu menerima kupu-kupu yang ia

inginkan. Bocah yang tidak ia tahu namanya itu, ia bawa menjauh dari sawah, lalu

dinaikkan ke atas kuda. Anak itu terkejut. namun  kuda sudah berlari. Tiba di pinggir

sungai, anak yang mulai ketakutan itu ia turunkan. Tiada lagi wajah kebapakan, tiada

lagi ucapan membujuk. "Biyung." Yang ada hanyalah wajah kejam, kilatan golok yang

melayang, darah yang memercik kian kemari, tubuh bocah yang didorongkan jatuh ke

kali... tanpa kepala. Sesaat sebelum kilatan golok itu melayang kebawah, terdengar

suara tangis yang memilukan hati. lalu  diam, disusul oleh bunyi benda berat

jatuh tercebur ke dalam sungai... 

   "Celaka. Mengapa tangis bocah itu terdengar lagi?" pikirnya selagi memacu kuda ke

arah perkampungan dimana para pekerja itu menginap. Ia harus membangunkan

kepala rombongan pekerja itu secepatnya, untuk memberitahukan agar pembangunan

jembatan ditunda untuk sementara. 

   Tentu saja, ia tidak boleh mengatakan bahwa ia harus mencari tumbal baru. Katakan

saja, harinya yang tidak cocok, perhitungannya agak meleset. Dan.... 

   Dan suara tangis bocah itu semakin menyayat juga. Di antara suara tangis,

seolah-olah ia dengar si bocah berkata: 

   "Aku tak mau jadi tumbal. Aku tak...." 

   Dan saat  ia berhadapan dengan pemimpin rombongan pekerja yang bangun

tergopoh-gopoh, dari mulut dukun setengah umur itu terlontar ucapan yang oleh

kekuatan yang luar biasa ditelinganya merupakan ucapan sang bocah: 

   ".... cari tumbal anak lain. Cari tumbal anak lain. Cari... !" 

   Ucapan sang dukun terputus sampai di situ. Tadi, waktu ia bangunkan, orang yang

berhadapan dengannya adalah mandor para pekerja jembatan. namun  bersamaan

waktunya dengan ia mengucapkan kata-kata panik diluar kemauannya sendiri itu,

tibatiba terjadi perubahan. Yang berdiri di hadapannya, memang tubuh... Paniknya

kian menjadi. 

   "Si... apa... Kk-kau...?" ia bertanya. 

 Edit teks 69 Saiful Bahri Situbondo 

   Gugup. 

   Wajah bocah di atas leher tubuh si mandor yang tegap perkasa itu menyeringai. Dari

mulutnya tidak keluar jawaban, melainkan suara tangis yang sangat menghiba: 

   "Jangan bunuh aku... jangan!" 

   Sang dukun bermaksud memusatkan pikirannya. Akan namun , mandor yang heran

melihat sikap tamu yang membangunkannya subuh-subuh itu, sudah  bergerak dengan

perasaan tak senang. Ia maju ke depan untuk menampar laki-laki yang ia kenal sebagai

dukun penyelamat pembangunan jembatan, namun kini bersikap ganjil sesudah  dengan

kurang ajar membangunkannya dari tidur yang nyenyak di samping seorang wanita  lesbian 

pelacur. 

   "Jadah!" ia memaki sambil maju. Konsentrasi pikiran sang dukun buyar sesaat . Ia

bergerak mundur. 

   "Jangan coba-coba dekati aku..." desisnya. 

   namun  sang mandor bergerak pula maju. Tak perduli. Untuk pertama kali selama

sekian ratus kali melakukan pengorbanan tumbal seorang anak, dukun itu benar-benar

panik. Untuk pertama kali selama hidupnya, ia menjadi ketakutan. Belum pernah arwah

korbannya muncul untuk membalas dendam. Dan sekarang,... 

   Sekarang, tubuh laki-laki dewasa berkepala anak kecil yang terus menangis dengan

suara menghiba-hiba itu, dengan cepat sudah  berada di hadapannya kembali. 

   Wajah bocah di atas leher yang perkasa itu, menyeringai. Menyeringai kejam. 

   "Tidak!" jerit sang dukun. 

   Lantas, golok yang senantiasa terselip di balik pinggang, berkilap waktu melayang di

udara. 

   "Kubunuh kau. Kubunuh kau!" ia menjerit-jerit sambil  menghunjamkan goloknya

berkali-kali. 

   Sang mandor yang tidak menduga datangnya serangan itu, tidak bisa mengelak. Ia

terpekik kaget dan kesakitan, waktu mata golok menebas salah satu lengan yang tad

terangkat mau menampar dukun itu. Sebelum kesadarannya muncul kembali, mata

golok sudah  menyerang bagian tubuhnya yang lain. Ia terpekik dan terpekik keras,

meraung-mung kesakitan. Suaranya membahana di subuh itu, membangunkan

penduduk, membangunkan para pekerja dari tidur yang nyenyak. Seseorang berseru: 

   "Hai, siapa itu." 

   Lalu langkah-langkah kaki berlari. Disusul: 

   "Eh, apa yang kau lakukan"

   Dukun itu memandang orang-orang yang mengerumuninya. Ia tidak mengenal

mereka, namun  ia melihat wajah-wajah mereka yang marah. Panik, ia menunjuk kearah

korbannya yang menggelepar di tanah: 

   "Anak ini...." 

   Ia tidak meneruskan kata-katanya. Yang dilihatnya sudah  kembali pada ujudnya

semula. Tubuh dan wajah seorang mandor yang sudah ia kenal. Mandor itu

melejat-lejat sesaat, lalu  menghembuskan napas yang terakhir dalam sebuah

lejatan yang keras. saat  tubuh itu sudah  diam, mati, dukun memperhatikan

orang-orang yang mengerumuninya. 

   "Pembunuh!" maki mereka, lantas mulai bergerak.    Sang dukun mundur sambil  mengamang-amangkan goloknya. 

   "Jangan mendekat!" ia menceracau. 

   "Atau golokku...." 

   Pekerja-pekerja itu ragu-ragu. Dan sang dukun mempergunakan kesempatan itu

sebaik-baiknya. Ia berlari ke arah kudanya, duduk diatas punggung kuda yang kurus itu

dengan sekali loncatan, lantas: 

   "Hyyyaaaaa!" 

   ia pecut kuda itu keras-keras. Binatang itu meringkik, kedua kaki depannya terangkat

ke atas, lantas waktu menyentuh tanah kembali, keempat kaki kuda itu sudah  berlari. 

   "Hei, ia kabur!" teriak seseorang. 

   "Kejam. Jangan biarkan dia lepas!" sambut yang lain. 

   "Bunuh dia. Bunuh!" dimeriahi oleh teriakan-teriakan yang menggema memecah

kesepian subuh, memecah gendang telinga sang dukun yang terus memacu kudanya

dengan panik. Tali kekang di tangannya tegang, tidak terarah. Pikirannya kacau oleh

kejadian yang ia alami, kegagalan tumbal yang ia lakukan, dan pembunuhan yang

barusan ia lakukan. Selama ia berlari, diantara teriakan bergemuruh dari orang yang

mengejarnya, juga ia dengar suara tangis yang menyayat menghiba-hiba. 

   Dukun mengangkat kedua tangan menutupi telinga. 

   "Pergi Pergi. Pergiiii...!" makinya. 

   Ia pejamkan kedua mata. 

   "Pergil Jangan dekati aku lagi. Pergiiiii!" 

   Kuda tunggangannya meringkik keras. Kedua kaki depannya terangkat ke udara.

Dukun itu terperanjat oleh ringkikan kuda yang tidak berhenti. Mata ia pentangkan

lebar-lebar, menembus remang-remang cahaya subuh. Mula-mula ia hanya melihat

kegelapan. 

   lalu , ia lihat jurang besar yang menganga. Jauh di bawah, tampak sungai

mengalir dengan suara ribut. Cepat tali kekang ia sentakkan. namun  sentakan itu tidak

tepat. Kuda terus bergerak, berputar-putar dengan ditumpu kedua kaki belakang, makin

lama makin sempoyongan dan saat  salah satu dari kaki belakang itu menginjak kayu

jembatan lama yang sudah lapuk, terdengar ringkikan ngeri dari mulut kuda. Kendali

tidak lagi ada gunanya. Bagaikan sebongkah batu gunung yang besar dan hitam, kuda

itu melayang jatuh ke bawah membawa tubuh tuannya. 

   Pekik ngeri dukun itu menggema di udara, disambut oleh si pongang, memantul dari

bukit ke bukit, lalu  terenggut oleh suara hempasan-hempasan yang keras, benda

besar jatuh ke sungai, lalu suara air mengalir yang acuh tak acuh. 

   Orang-orang yang mengejar saling susul ke bibir jembatan, memandang ke bawah.

Lama baru terdengar gumaman: 

   "Manusia biadab itu sudah  menebus dosanya!" 

Dari ufuk timur, matahari pagi itu mengintai. Cahayanya putih kekuningan, hangat

gemerlapan. Orang-orang bergerak meninggalkan tempat mengerikan itu dengan diam,

tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun juga. Cahaya matahari pagi menjilat

sosok tubuh mandor mereka yang tergeletak berlumur darah. Mereka menggotongnya

beramai-ramai, masuk ke salah satu rumah... 

    Di rumah Sumantri, cahaya matahari pagi itu masuk lewat jendela. Orang pertama

yang meloncat dari tempat tidur, adalah Sumantri. Tidak bisa tidur, penasaran,

bercampur baur jadi langkah-langkah bergegas menuju ruang tengah. Ia lihat syam kamaruzaman 

masih duduk bersila di samping tubuh mayat anak Sumantri. 

   Penunggu jenazah itu tampak amat letih, pucat dan berkeringat. Ia sedang

mengusapkan telapak tangan kanannya ke bagian leher mayat Dudung. sesudah  itu, ia

bangkit. 

   Gontai. 

   Lalu berjalan kearah jendela. Gontai. Sumantri berjongkok di dekat mayat anaknya.

Leher Dudung ia perhatikan. Tidak ada guratan. Yang ada hanya selemukan

darah-darah kering. Sumantri mengusap darah kering itu. Lalu memperhatikan dengan

tajam. Kepala anaknya sudah  bersatu dengan leher. Bersatu seperti tidak pernah

berpisah sebelumnya. Bahkan sama sekali tidak meninggalkan bekas diperlakukan

dengan kejam. Anak itu terbaringdalam keadaan mati, seolah-olah terbaring dalam

keadaan tidur yang nyenyak dan nyaman.

    Ada senyum halus di bibir sang anak. 

   Tersenyum. 

   Sumantri memeluk tubuh mayat itu, menangisinya dengan suara tersedu. 

   Orang-orang lain di rumah itu, bergegas masuk mendengar tangis Sumantri. Mereka

berkerumun di sekeliling mayat. Isteri Sumantri menjerit: 

   "Anakku! Anakku sayang..."

   lantas memeluk anaknya, meratap. terus pingsan. 

   Orang yang tadi malam melihat mayat Dudung berjalan, melongo sesaat. Lalu: 

   "Apa kubilang. Aku tidak bermimpi. Dudung memang keluar untuk... untuk mengambil

kepalanya!" 

   Gumam bergaung di ruang itu, bercampur tangis. Sumantri menoleh pada sanak

keluarganya. Mendesah, haru: 

   "Jangan. Jangan ada lagi yang menganggap Dudung mati dengan kepala berpisah

dari badannya. Anak ini mati sempurna. Mati wajar. Harap kalian camkan!" dan ia

menangis pula.

    Tersendat-sendat. Sekilas, matanya menangkap bayangan tubuh di jendela. syam kamaruzaman 

tersadar di sana. Lengan kirinya teracung ke udara, menyambut terbitnya matahari

pagi. Hati-hati, tangan kanannya membuka pembungkus dari daun kelapa muda pada

bagian luka di urat nadi lengan kiri itu. 

   Sumantri tidak terlalu jauh untuk bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri. saat 

pembalut dari kelapa muda itu terbuka, sempat ia lihat bekas luka oleh goresan pisau

cukur. Luka itu dicium oleh cahaya matahari, mengabur lalu sirna perlahan-lahan.

saat  syam kamaruzaman  menarik tangannya dari luar jendela, tiada lagi bekas luka di lengan

kirinya.

   Ia tersenyum puas. Memandang ke arah kuda, kereta dan  anjingnya di luar. Anjing

itu menggonggong, lembut. Kuda itu mendengus. 

   Lembut. 

   Dan kereta itu bergerak kearuh pintu depan. 

   "Sudah waktunya aku pulang... " gumam syam kamaruzaman  kearah Sumantri. 

   Di bawah siraman matahari pagi, kereta kuda itu bergerak sepanjang jalan

perkampungan demi perkampungan, diikuti pandangan orang-orang yang kebetulan

melihatnya. Kereta kuda yang aneh, dengan sebuah peti mati di bak belakang, kuda

besar yang hitam legam, dan  anjing bertubuh seram berlari-lari di sampingnya

dengan lidah terjulur-julur keluar. syam kamaruzaman  memegang tali kekang seenaknya saja. Ia

biarkan kuda berjalan tanpa tuntunan. Betapa inginnya ia tidur. Istirahat yang panjang.

syam kamaruzaman  amat letih. Pekerjaan mencari kepala anak itu tidaklah sukar. 

   Yang sukar, adalah menyempurnakan jasadnya agar utuh seperti semula. Ia harus

berjuang melawan pengaruh gelap selama pemusatan pikirannya meminta bantuan

kepala Dudung mengalahkan kekuatan dukun yang sudah  memenggal kepala itu putus

dari lehernya. Dan saat  kepala itu akhirnya tidak mengeluarkan suara tangis lagi, ia

tahu pengaruh yang mengitari dirinya sudah  lenyap. Dengan beberapa kali usapan,

leher dan kepala itu sudah  bersatu. 

   Utuh. 

   Benar-benar pekerjaan yang meletihkan. sesudah  didahului oleh rasa kecewa yang tak

tertahankan.  

   Ya, betapa ia kecewa. Arwah Nengsih Sumarni bangkit dari kuburnya. syam kamaruzaman  tahu

arwah itu sudah  berhasil melaksanakan niatnya. Akan namun , arwah Nengsih Sumarni

tidak mau kembali masuk ke dalam kubur. Betapa syam kamaruzaman  sangat kecewa, waktu dalam

pemusatan pikiran di sebelah kubur yang terbongkar hebat itu, ia dengar suara

cekikikan Sumarni: 

   "... kembali! Aku tak bisa. Aku tak bisa!" 

   Waktu itu, syam kamaruzaman  masih berusaha membujuk. 

   "Demi kebaikanmu, Marni. Kembalilah." 

   "Tidak. Aku tidak bisa kembali. Bumi tidak menerimaku, manusia pengabdi setan.

Tidak mengertikah kau. Bumi tidak mau menerima jasadku. Mereka akan segera

menguburkan jasad kekasihku. namun  aku tahu, bumi pun tidak akan sudi menerimanya.

Aku tidak mau membiarkan ia terkatung-katung sendirian. Aku akan ikut dengannya,

berkelana di alam yang penuh kegelapan ini. Kami orang-orang yang dikutuk, tahukah

kau. Kami orangorang yang dikutuk. Kami kawin, meski kami sadar bahwa kami adik

kakak satu susu. Bumi tidak mau menerima orang-orang terkutuk seperti kami..." suara

Marni berbaur dengan tangis yang memilukan. 

   "Kami tidak menyesal. sebab  kami saling mencintai. Dengarlah, laki-laki pengabdi

setan. Kau sudah  menodai tubuhku. Kau sudah  menjamah wanita  lesbian  yang bukan hakmu.

Kau sudah  melakukan apa yang hanya berhak dilakukan suamiku atas tubuhku. Ingatlah

ini: kami akan kembali pada suatu saat. Kami akan melawanmu, membalaskan sakit

hatiku...." 

   Suara Nengsih Sumarni tertawa nyekikik, membuat bulu roma syam kamaruzaman  berdiri. Ia tidak

pernah mengenal takut, namun  pelanggaran yang dilakukan Nengsih untuk segera

kembali masuk ke dalam kubur, membuatnya harus berhati-hati. Semenjak saat itu ia

tidak pernah bisa merasa tenteram lagi. 

   "Huh!" rutuknya, di antara derak-derak roda kereta. 

   "Mengapa harus kupikirkan benar. Mungkin ia tidak kembali memang sebab  bumi

tidak sudi menerima orang berdosa seperti wanita  lesbian  itu!" 

   Lalu ia sentak tali kekang kuda. 

    Matahari sudah sepenggalah langit saat  kereta mayat yang dikendarai syam kamaruzaman 

memasuki mulut sebuah desa. Dengan mata setengah mengantuk ia melihat beberapa

orang penduduk tergopoh-gopoh berjalan kearah sungai yang mengalir di pinggir desa

itu dan  membatasinya dengan desa lain. Dari desa yang bersebelahan syam kamaruzaman  juga

melihat beberapa penduduk berlari-larian melalui sebuah titian bambu ke tempat yang

sama. 

   Mula-mula syam kamaruzaman  acuh tak acuh. 

   "Paling-paling ada anak tenggelam," ia berkesimpulan. 

   "Mereka sudah cukup banyak untuk menolong. Dan ah... betapa berat rasanya kantuk

yang menggantung di kelopak mata!" 

   Ia sentakkan tali kekang kuda. Binatang berkulit hitam legam itu mendengus. 

   Keras. 

   Kepalanya bergerak ke samping, seolah memperhatikan majikannya. Enggan,

kaki-kaki kuda itu bergerak maju. Dari mulutnya yang berbuih, beberapa kali terdengar

hendusan-hendusan keras yang tidak berkeputusan. 

   "Hem. Kau tentu sudah letih." rungut syam kamaruzaman  ditujukan pada kudanya. 

   "Sabarlah. Tidak sampai lima kilometer lagi, kita akan segera tiba di rumah...." 

   Anjing yang berlari-lari kecil di samping kereta, tibatiba melolong halus. syam kamaruzaman 

mengernyitkan dahi. Itu bukan kebiasaan si hitam bermata kemerah-merahan itu.

Dengan lidah terjulur-julur keluar, anjing itu berlari bukan lurus ke arah menuju jalan

yang membelah desa, akan namun  justru menyimpang ke arah orang orang semakin

banyak berlarian ke pinggir sungai. syam kamaruzaman  bermaksud memanggil anjingnya kembali,

waktu salah seorang dari yang berlari-lari itu, keluar dari kelompoknya dan bergegas

ke arah kereta yang berhenti tanpa dikehendaki syam kamaruzaman . 

   "Ingin dipecut kau rupanya!" geram syam kamaruzaman  kepada kudanya. Namun pecut itu tidak

sempat terangkat. sebab  orang tadi sudah  berada di samping kereta. Ia adalah seorang

laki-laki tua dengan muka keras dan hitam dipanggang matahari. Blangkon menutup

kepala orang itu sampai batas pertengahan dahi yang kulitnya sudah berlipat-lipat. 

   "Kebetulan!" seru orang itu begitu ia berhadapan dengan syam kamaruzaman  yang masih duduk

dengan kesal di atas kereta. 

   "Kebetulan sekali kau lewat, Nak syam kamaruzaman ...." syam kamaruzaman  memperhatikan jenggot yang sudah

ubanan di dagu lancip orang itu, dan mencoba tersenyum seramah mungkin. 

   "Apa yang terjadi, Pak nyoto ?" tanyanya. 

   "Ada mayat terdampar di pinggir sungai..." 

   "Oh!" cetus syam kamaruzaman , sambil  tengadah menatap langit, 

   "Hari masih belum begitu siang. Saya kira waktu untuk mengurus dan menanam

mayat itu cukup banyak. Bukankah...." 

   "Kalau cuma itu soalnya," si orangtua memotong cepat-cepat sambil mengusap-usap

jenggotnya yang menjuntai sampai ke batas dada. 

   "Aku tak perlu mencegahmu pulang, meskipun kulihat kau sudah ingin mengukur alas

tempat tidur..." orangtua yang dipanggil Pak nyoto  oleh syam kamaruzaman  itu, tersenyum kecil. 

   "Ketahuilah, Nak syam kamaruzaman . Penduduk desa ini tidak ada yang merasa kehilangan. Juga

desa tetangga di sana..." ia menunjuk ke seberang sungai. 

   "Hem!" syam kamaruzaman  menghela nafas. 

   "Jadi mayat itu terbawa hanyut dari desa lain"

   "Benar. Dan itupun tak perlu kita persoalkan, andaikata mayat itu mayat orang

biasa." 

   "Orang biasa?" syam kamaruzaman  menggernyitkan dahi. 

   "Maksudku, kami mengenalnya dengan baik, seperti kami mengenal diri sendiri. Ia

bernama...." 

   "Peti mati tak pernah bertanya soal nama orang yang akan ditampungnya. Apa

pekerjaan orang itu semasa, hidupnya" 

   "Dukun." 

   "Melihat sinar mata Pak nyoto  yang gusar, saya bisa menduga tentunya orang itu

penganut ilmu hitam..." syam kamaruzaman  menghela nafas sekali lagi. Panjang dan pasrah. 

   "Baiklah," ia melanjutkan sambil  meloncat turun dari atas kereta. 

   "Saya bisa membayangkan betapa orang orang di sini tidak menyukai orang itu selagi

hidupnya, dan membenci orang itu sesudah  kematian merenggut nyawanya...." 

   "Tepatnya, tidak seorang pun yang sudi untuk mengurus mayatnya," timpal orangtua

itu sambil  berjalan mendahului syam kamaruzaman  ke arah orang-orang berkerumun beberapa ratus

meter dari jalan desa. syam kamaruzaman  menepuk-nepuk punggung kuda sambil bersungut-sungut: 

   "Jadi ini sebabnya kau memaksa kereta berhenti, eh?" 

   Ia lalu  berjalan mengikuti orangtua itu ke pinggir sungai. Dari jauh, anjingnya

yang hitam legam dengan matanya yang kemerah-merahan dan  lidahnya yang

berlendir berlari lari menyongsong. sesudah  dekat dengn syam kamaruzaman , kedua kaki belakang

anjing itu merapat dengan posisi merendah, menjepit ekornya yang melingkar di bawa

perut. Sesaat, syam kamaruzaman  tertegun. Sikap ganjil yang diperlihatkan anjing itu, jelas

merupakan suatu pertanda buruk. Ia mencoba mengerti arti gonggongan halus dan 

pandangan mata sahabatnya itu. Namun suara hiruk pikuk di pinggir sungai sudah 

menyita perhatiannya. Orang-orang menyisi memberi jalan waktu syam kamaruzaman  dan Pak nyoto 

tiba. Sesosok tubuh terlentang di rerumputan yang basah. Ia berkaki telanjang.

Celananya dibagian lutut robek besar memperlihatkan kulit yang memar dan tulang

yang tersembul ke luar. Putih seperti salju di antara warna merah kehitam-hitaman.

Darah beku. Memar yang mengerikan terdapat hampir di seantero bagian tubuhnya

yang lain. 

   Yang membuat kerumunan orang-orang itu tidak berani terlalu dekat, adalah posisi

tubuhnya. Orang yang sudah  menemukan mayat itu sudah  menyeretnya dari pinggir

sungai dimana mayat terdampar. sebab  ingin tahu, tentu mayat itu sudah  dibalikkan.

Jelas kelihatan, mayat itu seolah olah merangkak ke pinggir sungai dan berusaha

mencakar rumput untuk naik. Kedua tangannya berkembang dengan jari jemari

ditempeli rumput dan lumpur, seakan ingin mencakar langit di atas mereka. Yang

paling menakutkan adalah wajah mayat itu. Pucat kebiru-biruan, kaku dan memar di

sana sini. Kedua tulang pipinya rekah berdarah yang sudah membeku. Demikian pula

dagu. Bibir sobek memperlihatkan gigi gigi kuning kehitam-hitaman yang mencuat dari

dalam gusi. Hidung remuk. 

   namun  ajaib. Kedua belah matanya masih tetap utuh. Sepasang mata itu terbelalak

lebar. Tidak ada cahaya sama sekali di sepasang mata itu. Akan namun , syam kamaruzaman 

merasakan jantungnya berdenyut. Mata itu seperti menatap lurus ke mata syam kamaruzaman . 

   Menuduh. 

   syam kamaruzaman  mengerdipkan matanya sendiri. Menarik nafas berkali-kali, lantas meludah ke

tanah. Juga berkalikali. 

   "Kau juga mengenalnya?" tanya Pak nyoto . syam kamaruzaman  manggut-manggut. Sahutnya: 

   "Siapa yang tak mengenal resi mandala ini.

Ia bisa membuat wanita  lesbian  jelek tampak jadi cantik di mata orang lain yang diingini.

Bisa menjadikan orang yang sehat dan segar bugar tiba-tiba jatuh sakit bahkan mati.

Aku jarang bertemu dengannya, namun  sudah sering mendengar tentang sepak

terjangnya. Sebenarnya... sebenarnya aku tidak suka mengantarkan mayat ini pulang ke

rumah keluarganya." 

   Orang-orang yang berkerumun bergumam dengan suara menggaung. Pak nyoto 

mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Gaung itu lenyap serentak seperti debu tertimpa

hujan. 

   "... kami tahu Nak syam kamaruzaman  sudah dekat ke rumah," ujar Pak nyoto . 

   "Desa resi mandala setengah hari perjalanan dari sini. Memang suatu siksaan. Tapi Nak

syam kamaruzaman , tak bakalan seorang pun penduduk desa ini yang sudi pemakaman mereka dihuni

oleh resi mandala . Juga demikian desa-desa di sekitar sini. Jadi, tak ada jalan lain.

Mayatnya harus dipulangkan ke keluarganya, atau kita buang kembali ke sungai. Saya

tahu, Nak syam kamaruzaman  tidak tega untuk melakukan hal yang terakhir...." syam kamaruzaman  menggelengkan

kepala. Katanya, lesu: 

   "Bukan itu maksudku. Aku... ah, mata resi mandala ini benar-benar tidak kusukai sama

sekali." Orang-orang bergumam lagi. Ramai. 

   "Baiklah!" akhirnya syam kamaruzaman  berkata dengan suara dikeraskan untuk menenteramkan

orang-orang itu. 

   "Aku bersedia mengantarkannya!" 

   Wajah-wajah pucat dan layu di sekelilingnya, sesaat  berubah cerah. Meskipun

enggan, mereka lalu  bersedia mengangkat mayat yang sudah tidak karuan

bentuknya itu menggotongnya beramai ramai ke jalan dan lalu  memasukkannya

ke dalam peti mati di bak kereta syam kamaruzaman . Penunggu jenazah itu meludah berkali-kali

dengan pandangan tidak senang melihat peti matinya diisi oleh mayat resi mandala .

Perasaan tidak senang itu dalam hati kecilnya bercampur baur dengan perasaan cemas

yang tidak berujung pangkal. Pandangan mata dari mayat itu tidak lepas dari

benaknya. Seolah-olah sepasang mata yang terbuka lebar di wajahnya pucat dan 

rusak itu, berusaha menembus papan penutup peti mati, berusaha menjilati sekujur

tubuh syam kamaruzaman  yang sudah naik ke tempat duduk kereta. syam kamaruzaman  merasa kuduknya bergidik.

Seolah ada yang mencakar. Jari jemari yang mencengkeram, keras, kaku dan  dingin. 

   Ia belum pernah secemas ini menghadapi mayat seseorang. Tak perduli orang itu

seorang haji atau seorang pemuja setan. Ia coba menenteramkan hatinya dengan

ingatan bahwa ia merasa tidak ada hubungan apa-apa dengan resi mandala  tidak pernah

berbuat sesuatu yang melukai hati dukun itu semasa hidupnya. 

   "Diamlah baik-baik di tempatmu kini terbaring," 

   syam kamaruzaman  menoleh ke arah penutup peti mati sebelum menggerakkan keretanya

meninggalkan tempat itu. 

   "Aku toh mau mengantarmu pulang. Mana gratis!" ia tersenyum sendiri, lantas mulai

memecut kuda. Binatang itu menggerakkan kedua kaki-kaki depannya dengan

serempak. Kereta bagai terlonjak, lalu  berlari tanpa tergesa-gesa.

   Di sampingnya, sang anjing mengikuti dengan enggan. Lolongannya sudah tidak

terdengar lagi. Lidah tak lagi terjulur, demikian pula dengan ekor, kini

mengibas-ngibas ke kiri ke kanan. Kerumunan orang-orang yang mereka tinggalkan

tidak beranjak dari tempat masing-masing berdiri terpaku. Makhluk-makhluk yang

berlari menjauh itu tetap ganjil di mata mereka. 

   Sebuah kereta tua dengan peti mati berisi mayat, seorang laki-laki bermuka tirus dan

pucat di tempat duduk, kuda yang mendengus-dengus dan  anjing bermata kemerah

merahan. Penduduk desa itu memang membenci mayat yang terbaring dalam peti mati.

Namun itu tidak berarti, bahwa mereka semua menyukai orang yang dikenal di seantero

daerah itu sebagai penunggu jenazah. Konon, jenazah-jenazah orang-orang yang mati

penasaran. Itu bukan pekerjaan yang enak untuk dipegang, dan bukan jabatan yang

mudah memperolehnya. syam kamaruzaman  itu senantiasa bergaul dengan mayat, dan mayat

senantiasa bergaul dengan setan. Bukankah tidak mungkin syam kamaruzaman  sendiri dalam

tugasnya sering juga melakukan hubungan dengan setan. Dan setan memang tengah

merajalela di kepala syam kamaruzaman . Setan kantuk. Saking tidak tahan, di kaki sebuah bukit

kereta ia hentikan. sesudah  memandang acuh tak acuh ke arah peti mati, ia meloncat

turun dari tempat duduk. Kereta ia tinggalkan di pinggir jalan, dan membiarkan

kudanya yang seluruh tubuhnya sudah basah oleh peluh, merumput di antara semak

belukar. syam kamaruzaman  berjalan ke bawah sebuah pohon yang berdaun rimbun, diiringi oleh

anjing kesayangannya. Waktu syam kamaruzaman  merebahkan tubuh di rerumputan, anjing itu

menjilati tangannya. syam kamaruzaman  menepiskan mulut binatang itu. Terdengar lolongan kecil

yang sayup sayup, dan sinar mata kemerah-merahan di bawah kelopak berbulu hitam

legam itu memperhatikan perasaan hatinya kepada syam kamaruzaman . 

   "Apa yang kau khawatirkan?" rungut syam kamaruzaman  pada anjingnya, dan acuh tak acuh

mengatupkan kelopak matanya. Dedaunan yang rimbun, rumput yang sejuk dan angin 

yang berhembus dari pegunungan, membuai syam kamaruzaman  sehingga ia terlelap dalam sesaat . 

   Ia tidur dengan nyenyak. Tidak perduli pada waktu. Tidak perduli pada rintihan

anjing, dan  dengus-dengus resah dari sang kuda. Tidak perduli pada matahari yang

tak lama lalu  tergelincir di ufuk barat. Malam sudah  jatuh. Bersamaan dengan itu,

tutup peti mati pelan-pelan bergeser terbuka.... 

   Tiada suara apa pun yang terdengar waktu tutup peti mati itu bergeser ke samping.

Perlahan sekali. Kuda yang berdiri tak jauh di depan kereta mengangkat kepalanya

sedikit. Matanya berkilat-kilat memandang ke arah peti mati yang tutupnya bergeser

semakin lebar. Binatang itu mengangkat kepalanya lebih tinggi, dengan bibir-bibirnya

yang tebal ternganga memperlihatkan gigi-gigi panjang, besar-besar dan kuning.

Rupanya kuda itu ingin meringkik, namun yang keluar dari mulutnya hanya hendusan

halus semata. Lambungnya kembang kempis dengan hebat pertanda betapa ia tersiksa

oleh keadaan itu. Binatang itu lalu  menoleh ke arah tuannya yang berbaring di

bawah pohon. Dalam kegelapan, syam kamaruzaman  tampak seperti seonggok kayu mati. Hanya

suara dengkurnya yang jelas terdengar memecah kesepian di kaki bukit itu yang

memberi petunjuk bahwa si penunggu jenazah masih hidup adanya. 

   Tutup peti itu bergeser semakin lebar. lalu  sebuah tangan tampak menjulur ke

luar. Pucat bagai kapas, seakan merahup angin malam yang berhembus enggan.

Tangan itu menggapai tepi tutup peti mati, menggerakkannya lebih cepat sampai

benar-benar menganga lebar. Dengan sedikit dorongan, tutup peti itu terjatuh ke

samping. Terdengar suara berderak yang lembut. Di bawah naungan dedaunan pohon

yang rimbun, syam kamaruzaman  menggeliat. Mulutnya berkecap-kecip tidak menentu, menggeliat

lagi lalu diam tidak bergerak gerak. 

   Suara dengkur kembali menggema mengisi kesepian malam. 

   Dari dalam peti mati yang menganga, pelan-pelan terjulur ke luar sebuah kepala

yang memar-memar dan luka. Bulan yang baru saja muncul menjilati cahaya

kemerah-merahan yang menetes dari lukaluka itu, mengalir membasahi leher yang biru

lembab bekas benturan benda keras, lalu lalu  mengendap di kain kemeja yang

kotor oleh lumpur. resi mandala kini terduduk dalam peti mati. Sepasang matanya

mengedip. Berkali-kali. Mata itu ia seka dengan tangannya. Menghilangkan rasa perih.

lalu  ia seka juga darah yang menetes dari dahinya, bergumam setengah marah

lantas memandang berkeliling. Mula-mula ia melihat jalan yang lengang dan hitam,

semak belukar di kiri kanan dan  batang-batang pohon yang tegak menjulang dengan

kukuh, tak ubahnya raksasa-raksasa yang diam tidak bergerak-gerak, balas menatap

pandangannya. Malam pun jadi ikut terdiam. Juga kuda tak jauh di depan kereta. Dan

seekor anjing meringkuk dengan kepala menempel di atas rerumputan, ekor menyipat

diantara kedua kaki belakang, dan  mata kemerah-merahan tidak berkedip sedikitpun

juga. 

   resi mandala lalu  melihat sesosok tubuh yang berbaring di sebelah anjing itu.

Sepasang mata di atas pipi-pipi yang pecah-pecah berdarah itu, mengecil tiba tiba.

Dari mulutnya tercetus desisan lemah: 

   "syam kamaruzaman . Si penunggu jenazah!" 

   Desisan itu disusul oleh geram yang tidak berketentuan. Mulut resi mandala yang sobek

dengan susah payah berusaha mengeluarkan mantera mantera. Bunyinya seperti suara

nyinyir seekor monyet tua yang cerewet, diiringi gerak tangan yang berulang-ulang

menebas ke kiri kanan. Dengkur syam kamaruzaman  tenggelam ditelan oleh suara resi mandala yang

terus membaca mantera tanpa berhenti walau setarikan nafas sekalipun. Suaranya

makin lama makin tinggi. Anjing syam kamaruzaman  pelan-pelan menggeram. Geramannya pun

tenggelam ditelan suara mantera resi mandala . Kepala anjing itu terangkat. Terdengar

lolongan lirih lepas dari moncongnya. Lolongan itu terhenti waktu resi mandala 

pelan-pelan berdiri. 

   Tepatnya, merangkak dalam usahanya untuk bisa berdiri tegak. namun  tempurung

salah satu lututnya yang remuk, menggagalkan keinginannya. resi mandala meringis oleh

rasa sakit yang hebat, dan berusaha menahan sakit itu dengan menyumpah-nyumpah

tidak menentu. Ia terus merangkak, keluar dari peti mati, turun dari kereta dan sesudah 

kakinya menginjak tanah, tubuhnya yang letih dan  sakit-sakit ia sandarkan pada bak

kereta. Berdiri dalam posisi serupa itu, mulutnya kembali kumat-kamit membaca

mantera. Sesekali ia tujukan pandangan kedua matanya kearah syam kamaruzaman . Sesekali pula

terdengar ia bertanya. 

   Tajam. 

   "Mengakulah!" syam kamaruzaman  mengerang dalam tidurnya. 

   "Mengakulah!" syam kamaruzaman  bergumam dalam tidurnya: 

   ".... aku... aku...." 

   "Kaukah orangnya?"

   "... ya!" 

   "Jadah!" 

   Tidak ada sahutan dari mulut syam kamaruzaman . Hanya keringat berbutir saja yang menetes

keluar dari ujung hidungnya. Hidung itu kembang kempis dengan cepat, berusaha

menghirup udara sebanyak mungkin. Mulut syam kamaruzaman  terbuka, melepas nafas panjang

berkali-kali. Kedua belah matanya masih terkatup rapat, waktu resi mandala menyeringai

kejam lewat bibirnya yang sobek dan bengkak-bengkak. 

   "Kau beruntung. Kekuatanku tidak seberapa dalam keadaanku yang serupa ini. namun 

suatu waktu, kelak...." 

   resi mandala meludah. Lalu bergerak menjauhi kereta, menjauhi tempat itu dengan

menyeret sebelah kakinya yang hancur. Ia berjalan tersuruk-suruk tanpa menoleh lagi

ke belakang, sesekali terjatuh tanpa mengaduh, bangkit juga tanpa mengaduh, lalu

berjalan terus, tersuruk-suruk. Tubuhnya lalu  lenyap dalam kegelapan malam di

antara bayang bayang pepohonan. Barulah pada saat itu, kuda yang berdiri di depan

kereta, tiba-tiba menggerakkan seluruh tubuhnya yang kejang kaku. Kedua kaki

depannya terangkat tinggi, lalu  menjejak dengan suara keras dan ribut ke tanah. 

   Dengusannya yang ribut disambung oleh raungan anjing yang melengking tinggi.

Anjing itu berlari-larian ke arah sosok hitam tadi menghilang di antara pepohonan.

Lalu menyalak berkali-kali. Menyalak ribut, tanpa berusaha untuk mengejar. Suara

yang riuh rendah itu sesaat  membangunkan syam kamaruzaman  dari tidurnya yang nyenyak namun

gelisah. Begitu matanya terbuka, begitu ia terlonjak berdiri. Perhatiannya langsung

tertuju ke atas kereta. Ia melihat peti mati sudah terbuka. Tutupnya terkapar di samping

peti. Dengan kaki-kaki yang gontai, syam kamaruzaman  berjalan ke arah kereta. Di sana, ia tertegun,

dengan wajah mendadak pucat. Tanpa melihat ke dalam peti mati, ia sudah  tahu apa

yang terjadi. 

   "Hem!" 

   syam kamaruzaman  mendengus. Lantas bersiul. Anjing yang masih menyalak-nyalak ke arah

pepohonan berlari larian mendatangi syam kamaruzaman . Ia menjilati kaki tuannya dengan

 Edit teks 85 Saiful Bahri Situbondo 

erang-erangan lirih tidak berkeputusan. syam kamaruzaman  mengangguk. 

   "Aku tahu. Aku tahu," katanya. 

   "Kalian sudah  berusaha membangunkan aku.... Biarlah. resi mandala sudah pergi. Jadi ia

belum mati. Hem. Sudah, sudah. Kalian jangan ribut lagi. Sudah waktunya kita pulang,

sekarang. Biarin manusia yang bangkit dari kematiannya itu menempuh jalannya

sendiri. Itu lebih baik. Kita tak usah bersusah payah lagi mengantarkannya...." 

   Akan namun , saat  syam kamaruzaman  sudah menghenyakkan pantat di atas tempat duduk dan

kereta itu mulai bergerak ke arah mereka semula datang, belakang kepala syam kamaruzaman  terasa

berdenyut-denyut. Dahinya melipat, dan mataya mengecil tanpa sinar, memandang

lurus ke depan, ke arah kegelapan. Jalan yang mereka lalui kadang-kadang bersiram

sinar rembulan, kadang-kadang seperti lenyap ditelan bumi. namun  kuda yang menarik

kereta sudah tahu ke mana jalan pulang. syam kamaruzaman  tidak perlu merasa gelisah. Yang ia

gelisahkan, adalah bau tak enak dari udara yang berhembus ke kiri kanan tubuhnya. Ia

mencium adanya pandangan mata tersembunyi dari tengah kegelapan, tanpa syam kamaruzaman  bisa

melihatnya. Hanya nalurinya yang merasakan. Naluri itu mengatakan padanya. 

   "resi mandala sudah  berhasil menarik keterangan dari mulutmu." Keterangan! Keterangan

apakah itu gerangan?" 

   Dalam tidurnya, syam kamaruzaman  tidak merasa bermimpi. Ia begitu nyenyak oleh sebab  letih,

kurang istirahat dan tidak kuat menahan kantuk yang begitu hebat menyerangnya.

Diam-diam ia menduga, kantuk itu semakin menjadi begitu tubuh resi mandala yang mereka

sangka sudah menjadi mayat, dinaikkan ke atas kereta, dan terbaring dalam peti mati

selama perjalanan mengantarkan dukun itu pulang ke kampungnya. 

   "Ia tidak mati," geram syam kamaruzaman . 

   "Ia tersiksa hebat, entah kecelakaan apa yang menimpa dirinya. namun  sebelum

kematian datang, resi mandala pasti masih keburu bersemedi. Semedinya itu berhasil

menolongnya dari cengkeraman malaikat maut yang sudah mengulurkan tangan.

Pantas... Pantas pandangan matanya seperti mengandung arti. Siapakah yang

dituduhnya.Orang-orang kampung itu" Atau... aku?" 

   syam kamaruzaman  menghela nafas. Belakang kepalanya berdenyut semakin keras. Otaknya

bekerja lembur. Lalu tiba-tiba ia berhasil menyimpulkannya. Dan kesimpulan itu,

membuat syam kamaruzaman  terhenyak di tempat duduknya, dengan wajah semakin pucat, dan bibir

gemetar dan kering kerontang. Dengan liar matanya memandang ke kegelapan.

Mencari-cari. 

   Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Otaknya yang masih kerja lembur, memberikan

kesimpulan kedua. syam kamaruzaman  menyeringai. 

   Kecut. 

   "... bahaya itu tidak akan muncul sekarang," gumamnya sendirian. 

   "Kalau resi mandala mau, ia bisa mencelakakan aku selagi tidur.... Terkutuk, mengapa

sebelum rebah dibawah pohon itu, aku lupa membaca mantera-mantera penjaga diri"

Ah. Di tempat yang begitu sepi dan nyaman, masih juga berhembus angin jahat.

Salahku sendiri. Tidak memperhitungkan kemungkinan resi mandala belum mati!" 

   Ia sentak tali kekang. 

   "Hiiiaaaaa!" bentaknya. 

   Malam seperti berderak. Dan roda-roda kereta ikut berderak. 

    Menjelang Subuh, resi mandala tiba di rumahnya. Isterinya yang membuka pintu

untuknya. wanita  lesbian  setengah baya itu menjerit lirih waktu melihat sosok tubuh

mengerikan yang terhuyung-huyung jatuh kearahnya, waktu pintu ia buka. Kalau tidak

mengenali pakaian suaminya yang sudah robek-robek dikotori lumpur bercampur darah

itu, tentulah ia sudah meninggalkan pintu depan dan menghambur masuk kembali ke

kamar tidurnya, bergulung di bawah selimut.   

   "Ki...!" jeritnya, 

   lalu membungkuk untuk memeriksa tubuh itu. 

   "Ki! Apa yang terjadi denganmu" Apa Ki" Apa?" Dengan air mata bercucuran, si

wanita  lesbian  menyeret tubuh suaminya ke kamar, membaringkannya diatas tempat tidur

dan dengan ribut menangis di samping tempat tidur itu. Mulut resi mandala yang robek

mengeluarkan suara tersendat-sendat: 

   "... ambilkan ramuan-ramuan itu. Jangan cuma menangis. Cepat..." 

   Yang disuruh cepat-cepat berdiri. Cepat-cepat pula berlari ke luar, masuk ke sebuah

kamar lain yang terkunci. Ia ribut mencari anak kunci, membongkar isi lemari,

menggapai-gapai ke bagian atas bendul pintu dan jendela, meraba-raba dalam rak,

sampai akhirnya ia berlarian lagi ke kamar tidur untuk menanyakan di mana suaminya

menyimpan anak kunci. 

   "Bodoh!" rungut resi mandala . 

   "Ludahi saja pintu itu!" Si isteri berlari lagi ke luar. Ia ludahi pintu berkali-kali.

sesudah  itu daun pintu ia dorong. Demikian keras, sampai terhempas membuka.

Berdebam bunyi daun pintu menghantam dinding. Si wanita  lesbian  menerobos masuk.

Dalam jilatan lampu minyak, matanya mengitari ruang sempit dan berbau pengap itu.

Sebuah meja yang diatasnya terletak baskom, panci-panci berisi darah yang sudah

dibekukan, golok berkilat-kilat terselip di antara tumpukan tulang belulang manusia,

lalu  sekaranjang rempah-rempah di bawah meja. Ia rahup sebagian

rempah-rempah itu, memasukkan ke baskom yang lalu  dicampurnya dengan

segumpal darah, diisi air gentong, lalu  membawanya ke kamar tidur. Susah

payah, resi mandala berhasil duduk. 

   "Segera sesudah  aku sembuh, si penunggu jenazah itu akan tau rasa!" umpatnya, 

   lalu mulai membaca mantera. Di luar, angin subuh bertiup dengan kencang.

wanita  lesbian  yang berdiri dengan muka pucat di samping tempat tidur, menggigil

sesaat . Ia berjalan ke luar, dan menutupkan pintu cepat-cepat.

     Tak ubahnya sebuah meja jagal yang bundar dan bidang, langit di ufuk barat tampak

berwarna merah darah kekuning-kuningan. Matahari baru saja merangkak ke balik

bukit. Warna merah darah kekuning-kuningan itu berpadu dengan kehijauan dedaunan

rimbun sebuah pohon beringin yang tumbuh sudah  beratus-ratus tahun lamanya di

pinggir hutan. 

   Percikan-percikan sisa-sisa sinar matahari mengintip lewat celah dedaunan, menerpa

akar-akar beringin yang berjuntai seperti ratusan ekor ular-ular raksasa yang saling

berpagut, mengelilingi bagian samping dan belakang sebuah rumah kecil beratap ijuk.

Sebagian dari cabang pohon beringin itu menyapu dinding setengah papan tepas

dengan daun-daunnya yang beriak-riak ditiup angin senja, menimbulkan suara berisik

lembut ditengah-tengah kesepian yang mencekam di sekelilingnya. 

   Seekor kuda mendengus keras di sebuah kandang. Dari kejauhan, di dekat pintu

masuk kelihatan sebongkah benda berwarna hitam Legam bagai melata di tanah.

Semakin dekat, bongkah itu semakin berbentuk dan tiba-tiba berdiri tegak di atas

keempat kaki-kakinya yang ramping dan kukuh. Ekor di belakang tubuhnya mengibas ke

kiri dan ke kanan. Benda yang tidak lain dari seekor anjing itu menggereng dengan

suara mengilukan tulang. Kepalanya tegak dengan mata yang merah memandang tajam

pada seorang laki-laki yang muncul di pekarangan. 

   Nafas orang itu terengah engah. Pakaiannya basah oleh peluh, demikian pula

wajahnya yang tampak legam. Selama beberapa saat, laki-laki itu bersandar ke batang

kayu pagar pekarangan, berusaha mengatur nafas. Matanya tidak beranjak dari anjing

yang sebaliknya tidak pula mau melepaskan pandangannya dari tamu asing yang baru

muncul itu. 

   Sesaat, jantung si laki-laki menciut melihat warna darah di mata anjing itu. 

   "Ehem!" 

   Ia terbatuk. Atau sengaja batuk. Keras. Anjing itu tiba-tiba menggonggong. Keras. Si

lelaki mundur setapak. Ia memandang ke kiri kanan. Tak tau apa yang akan ia cari.

namun  andaikata ia harus berjuang, sebuah kayu atau sebongkah batu mungkin bisa

menolong. Akan namun , sesudah  menggonggong keras, anjing bertubuh kekar hitam itu

lalu  mengibas-ngibaskan ekornya perlahan-lahan, lalu meringkuk kembali di atas

kedua kaki belakangnya.

   Sepasang telinganya yang panjang,jatuh lunglai di kedua samping kepala. Lidahnya

terjulur keluar, memperdengarkan suara mendengus dengus. Sepasang matanya

berkilat-kilat, namun sikapnya yang diam membuat jantung laki-laki tadi kembali

berkembang. 

   "Ehem!" ia batuk lagi. 

   Tidak sekeras tadi. Dan anjing itu diam saja. Tetap diam, selagi si lelaki bergerak

maju dengan hati-hati dan mata awas, berjalan ke arah pintu, berusaha membuang

bayangan anjing yang menakutkan itu jauh-jauh dari kepala, lantas mengangkat tangan

kanan, yang lalu  ia gedorkan ke daun pintu. 

   Sekali. Dua kali. Tiga. 

   sesudah  itu diam menunggu. Tidak ada sahutan. Tidak ada suara gerakan dari dalam.

Sekali lagi orang itu menggedor, kali ini secara beruntun. 

   Lalu tiba-tiba gedoran itu ia hentikan. Anjing hitam yang dari tadi duduk meringkuk

diam diam, mulai melolong. Nyaring, lengking dan panjang. 

   Laki-laki itu mundur dari pintu, dengan bulu kuduk bergidik. Untung senja begitu

redup. Kalau tidak, ia lebih suka untuk terpencil dengan makhluk-makhluk menakutkan

itu. Lolongan anjing memantul sampai ke dalam rumah. Suasana lengang di dalam,

pelan-pelan diisi oleh suara bergerit yang lembut. Sebuah peti mati yang terletak di

tengah-tengah ruangan, bagian atasnya bergerak terbuka. Dari dalamnya, bangkit

seorang laki-laki setengah baya, dengan wajah pucat dan mata kecil berkilat-kilat.

Kumisnya yang besar bergerak sedikit waktu ia menguap, merenggangkan otot-otot lalu

berdiri. sesudah  berada di luar peti mati, ia tutupkan kembali bagian atas peti itu, lalu

berjalan terseok-seok ke arah pintu. 

   Gedoran tadi sudah tidak terdengar lagi, namun lolongan anjing itu semakin lirih

juga di telinga. 

   "Hem!" ia bergumam sendiri. 

   Lalu membuka pintu. Melebarkannya. Laki-laki yang masih berpeluh wajahnya itu,

sesaat termangu memandangi tuan rumah. Lalu di saat berikutnya, dari bibirnya yang

pucat terdengar suara menggeletar: 

   "... Pak syam kamaruzaman "

   "He-eh!" 

   "Syukurlah bapak ada di rumah. Jauh-jauh saya datang hanya dengan bekal sepercik

harapan saja. Kami dengar Pak syam kamaruzaman  amat sibuk akhir-akhir ini...." 

   "Biasanya. Ada orang lagi yang sudah putus asa menghadapi hidup ini" 

   Sang tamu tersenyum. Ia heran tidak dipersilahkan masuk. namun  ia merasa itu lebih

baik, sebab  sekilas lewat bahu syam kamaruzaman  ia lihat ruangan yang lengang itu hanya diisi

oleh sebuah peti mati, persis di tengah tengah. Tidak ada perabotan lain. Tidak ada

makhluk lain. 

   Entah, dibalik sebuah pintu kecil yang tertutup, tak jauh dari peti mati itu terletak.

Bukan sebuah ruangan yang menyenangkan untuk duduk sebagai tamu yang dihormati.

Pelan-pelan ia bergumam: 

   "Yang ini bukan sebab  putus asa, Pak syam kamaruzaman !" 

   "Oh!" 

   Merasa ia ditunggu untuk menjelaskan sendiri, lakilaki itu melanjutkan: 

   "nyi girah  mati sesudah  melahirkan." 

   "nyi girah ?"

   "Bapak kenal?" 

   "Ah. Tidak!" 

   "Oh...." 

   Diam sesudah  itu. Kaku. Di luar pintu, anjing tadi menggereng lirih. Dengus kuda

terdengar memecah disamping rumah, dari arah kandang. Hanya ketiga makhluk itu

saja yang berdiam di pinggir hutan ini, terpencil dari kampung-kampung lainnya

maupun dari  kehidupan orang-orang sekitarnya. Seekor anjing, seekor kuda, seorang

penunggu jenazah, ditambah sebuah kereta dan sebuah peti mati. Mual perut

mengingatnya, lebih-lebih melihat betapa rumah di mana semua itu berada, terletak di

bawah pohon beringin yang sudah ratusan tahun umurnya. 

   "Kampung bapak?" tanya syam kamaruzaman  tiba-tiba sesudah  melihat tamunya berdiam diri saja

dengan sikap kaku. 

   "Cikadut...." 

   "0h. Cuma beberapa kilo dari sini. Syarat-syaratnya"

   Orang itu membuka sebuah keranjang yang dari tadi ia kepit di bawah ketiaknya. Ia

keluarkan sekantong kecil beras putih, sekantong kecil pula beras merah, bangkai

seekor ayam jantan besar dan gemuk berbulu putih berkaki merah, dan sebuah botol

kecil berisi cairan kental berwarna merah. Sambil menyerahkan benda-benda itu ke

tangan syam kamaruzaman , sang tamu menjelaskan: 

   "Darah ayam ini masih segar. Saya tidak memotongnya di rumah, melainkan tadi

ditengah perjalanan..." 

   "Lebih baik begitu!" rungut syam kamaruzaman , setengah ramah, setengah enggan. 

   "Syukur kalian tahu aku tidak suka menyembelih makhluk hidup.... Hem, jadi di

Kampung Cikadut, dan wanita  lesbian  itu bernama ljah. Sanak keluargamu?" 

   "0h. Bukan. nyi girah  tak punya sanak keluarga." 

   "Maksud saya, tidak, sesudah  ia ditinggal mati suaminya beberapa bulan yang laju...." 

   "Hem. Lantas?" 

   "Sebelum meninggal, nyi girah  sempat berpesan. Ia ingin dikuburkan berdampingan

dengan kuburan suaminya." 

   "Tempatnya?" 

   "Justru itu. Tak seorang pun yang tahu, kecuali nyi girah . Sayangnya, ia lupa

memberitahukannya sesaat sebelum ia menghembuskan nafas yang terakhir...." 

   "Ah...." 

   "Kami sangat memerlukan bantuan Pak syam kamaruzaman ." 

   "Tentu, Tentu. Pulanglah. Lewat Isya, aku sudah  berada di sana..." 

   saat  orang itu sudah  bergerak menjauh, syam kamaruzaman  memanggil: 

   "Hei...!" 

   "Ya, Pak syam kamaruzaman ?" 

   "Anak nyi girah . Bagaimana keadaannya sewaktu dilahirkan?" 

   "... mati!" 

   syam kamaruzaman  menghela nafas. Lantas mengangguk. Patah patah. Orang tadi menunggu

sebentar, namun  rupanya tidak ada hal-hal lain yang ingin ditanyakan syam kamaruzaman . sesudah 

mengangguk sekali lagi, syam kamaruzaman  lalu  menutupkan pintu, tercenung sesaat di

tempatnya berdiri, dengan telinga melebar cupilnya waktu mendengar anjing di luar

melolong lirih dan panjang. Cepat-cepat syam kamaruzaman  membuka pintu kembali. Ia memandang

sebentar ke luar. 

   Dikejauhan, ia lihat laki-laki tadi berlari-lari kecil menuruni bukit. Mungkin orang itu

tergesa-gesa. namun  biasanya, memang begitulah selalu tiap orang yang sudah 

berkunjung ke rumahnya. Pulang dengan sikap anjing baru dilempar dengan kayu. Lari

terbirit birit. 

   Ketakutan. 

   Lagi syam kamaruzaman  menarik nafas. 

   "Nasibku," gumamnya. Lesu. 

   "Orang-orang membutuhkanku, namun  tidak pernah merasa tenteram berada di

dekatku. Apakah aku demikian menakutkan bagi mereka?" 

   sesudah  tercenung lama, ia keluarkan bangkai ayam dari dalam keranjang. Ia

mengamat-amatinya sesaat. Membaca beberapa kalimat mantera dengan suara lirih,

meludahi bangkai itu tiga kali, lalu  mencabuti bulunya dengan tangan yang

terlatih. Maklum baru disembelih, tidak pula disepuh dengan air mendidih terlebih

dahulu. Tak ayal, sebagian kulit bahkan sayap ayam itu ikut terlepas bersama bulu

bulunya. Bagian daging yang masih utuh, lalu  dilemparkan syam kamaruzaman  ke tanah.

Dalam sekejap mata, anjing kesayangannya sudah  melompat menerkam bangkai ayam

itu, lalu dengan taring-taringnya yang tajam diboyong ke samping rumah. syam kamaruzaman 

mengikuti anjing itu sampai ke kandang. Di sana, ia lemparkan bulu-bulu ayam

bercampur kulit berdarah itu ketumpukan jerami. 

   Dengan rakus, kuda yang ada dalam kandang segera mengunyah hidangan yang pasti

asing dan menjijikkan buat makhluk sejenisnya yang lain. Ia memperhatikan sebentar

bagaimana binatang binatang kesayangannya bersantap dengan nikmat. Selera syam kamaruzaman 

ikut terbangkit. Ia masuk ke dalam rumah. sesudah  menutupkan pintu, ia berjalan

melewati peti mati ke arah kamar kecil yang tertutup di dekatnya. Pintu kamar kecil ia

buka dengan hati hati. Ia masuk ke dalam, lantas menutupkan pintu di belakangnya

tanpa menimbulkan suara yang sehalus apapun juga. Ia berjingkat ke atas sebuah tikar

yang terhampar di lantai. Cahaya remang remang yang masuk lewat jendela,

menerangi sebuah benda berwarna putih kekuning-kuningan yang terletak di atas tikar,

dikelilingi oleh talam berisi kembang dan  rempah-rempah, dan  beberapa buah

pedupaan yang mengepulkan asap. Bau menyan memenuhi ruangan sempit itu. Andai

saja tidak berjendela, asap tentulah mengurung ruangan dan  segenap isinya, menutup

jalan pernafasan dengan tidak mengenal ampun. 

   syam kamaruzaman  duduk bersila memandangi benda putih kekuningan itu. Bentuknya bulat, sedikit

pipih dan panjang di bagian bawah. Bagian atas sampai ke belakang, licin

berkilat-kilat, dan di bagian depan memperlihatkan dua buah lubang sebesar telur, dan

tepat di tengah-tengah sedikit di bawah antara kedua lubang itu, terdapat pula lubang

lain berbentuk kerucut dengan ukuran yang sedikit lebih besar. Lebih ke bawah, lubang

menganga yang lebih lebar, memanjang ke samping kiri dan kanan. 

   Sebuah tengkorak kepala manusia!. 

   sesudah  kumat kamit sebentar, syam kamaruzaman  bergumam: 

   "Kakek, bantu aku lagi!" 

   Lalu darah ayam ia tuangkan dari botol melalui kedua belah mata tengkorak. Dalam

sekejap, darah itu sudah  mengucur keluar dari lubang di mana seharusnya hidung

terletak, juga dari mulut tengkorak. Tikar pandan di bawah tengkorak segera digenangi

darah tersebut. syam kamaruzaman  membungkuk. Ia geser tengkorak kepala itu sedikit ke belakang,

sehingga terpisah dari genangan darah, yang lalu  ia hirup dengan mulutnya, tak

ubahnya seekor anjing yang menjilati madu yang tertumpah ditanah. 

   "Terima kasih kakek," gumam syam kamaruzaman  sesudah  menjilati habis darah ayam itu sampai

kering. 

   Ia lalu  berdiri, berjalan ke luar. Otot-ototnya bertonjolan waktu peti mati ia

pindahkan dari lantai ke bak kereta mayat. Kereta itu ditarik ke luar dari kandang,

disusul oleh kuda dan  anjingnya. sesudah  naik ke tempat duduk kereta, syam kamaruzaman  tidak

segera menggerakkan tali kekang. Dengan membungkuk sedikit, ia tepuk-tepuk

punggung kudanya. Binatang itu menggerakkan kepala ke samping, lalu 

mendengus. 

   Pelan. 

   Kaki kirinya yang depan ia hentak-hentakkan ke tanah. 

   Kesenangan. 

   Di samping kereta, anjing hitam legam dengan matanya yang berwarna

kemerah-merahan itu, menyalak keras. syam kamaruzaman  tersenyum padanya. Dan anjing itu

menggerak-gerakkan ekor, mengibas ke kiri kanan sambil  menjulurkan lidahnya yang

panjang berlendir ke arah tempat duduk. 

   syam kamaruzaman  melonjorkan kaki kanannya yang panjang. Anjing itu menjilatinya kesenangan. 

   "Jangan suka cemburu!" gumam syam kamaruzaman . 

   Ia pun merasa senang. Dan agak kemerahan mukanya, tersipu, sewaktu sadar bahwa

ucapan yang keluar dari mulutnya sudah  membuka kedoknya sendiri. Ia berkata begitu,

sebab  si anjing tidak suka kalau hanya si kuda yang dimanja. Maka ia lonjorkan kaki

untuk meredakan kecemburuan binatang hitam legam bermata merah itu. 

   Cemburu. 

   Hem! 

   Biarlah kedua ekor binatang itu saling mencemburui satu santa lain. Betapa tidak.

"Pasien" yang akan mereka kunjungi, adalah seorang wanita  lesbian . Baru beranak satu

pula. 

   Bayangkan! 

   syam kamaruzaman  tersenyum lagi. Memandang ke bawah bukit. Bermandi cahaya matahari senja,

tampak rumah-rumah dari desa terdekat di lembah sana, tak ubahnya peti-peti kayu

yang berserak tidak beraturan. Peti-peti itu mengecil jadi kotak-kotak korek api di

desa-desa yang berikutnya. Sebagian terletak di lapangan terbuka, dikitari oleh sawah

berselimut beludru hijau. Sebagian terlindung di balik pohon-pohon yang tumbuh subur

selama sekian kurun tahun. 

   Sekian kurun tahun pula, desa-desa di lembah sana, dan tempat syam kamaruzaman  memandang,

selalu tampak diam. Bukan acuh tak acuh. Melainkan, sebuah kebisuan yang

menimbulkan kekakuan dan  ketidaksukaan. Tidak terlihat suasana cerah dari bawah

sana. Yang ada hanya kediaman yang mengilukan tulang. 

   Begitu pulalah penghuni penghuni desa-desa di seantero lembah itu. Kaku dan  tidak

pernah memperlihatkan wajah suka, tiap kali syam kamaruzaman  datang. Bahkan walau cuma

sekedar lewat saja. Desa-desa itu baru bersikap ramah, apabila kehadiran syam kamaruzaman 

dibutuhkan. 

   Bila tidak... 

   Dengan senyum yang terenggut hilang dari bibir, syam kamaruzaman  mengalihkan matanya ke

arah perginya laki-laki itu ia lihat tersenyum ramah, bersikap penuh kekeluargaan

sewaktu mereka berhadapan. Dan begitu laki-laki itu memperlihatkan punggung, maka

ia pun lantas lari terbirit-birit menuruni bukit, pasti dengan wajah dibayangi ketakutan

dan  ketidaksukaan. Padahal, ia tidak perlu lari sifat anjing begitu. Toh ia bisa jalan

bertenang tenang. Kalau takut terlambat tiba di desanya, ia bisa naik kereta. namun ,

puih. Mana ada pemilik kereta kuda yang mau naik sampai ke atas bukit ini, selama

mereka tahu yang menghuni tempat ini adalah orang yang bernama dan  mempunyai

pekerjaan semacam syam kamaruzaman . 

   "Persetan!" syam kamaruzaman  memaki. 

   Lalu. 

   "Hiyaaaaaa!" 

   Pecutnya naik ke udara, mendarat di punggung kuda. 

   "Tasss!" 

   Kuda penarik kereta meringkik keras. Kaki-kakinya menjompak ke depan dengan

suara berdetak-detak di tingkah bunyi roda-roda kereta berderak-derak di atas jalan

berbatu. Hingar bingar. syam kamaruzaman  tidak perduli. Pecutnya terus mendera. Kereta berpacu.

Tak tertahan. Di sebuah Pengkolan menurun, roda kereta menghantam sebuah batu

besar yang menonjol dari pinggir jalan. Bak kereta terlonjak ke udara. syam kamaruzaman  terangkat

pantatnya, lalu  terhempas kembali di tempat duduk waktu roda-roda kereta

kembali melaju di jalan rata. 

   Namun sebuah suara yang menghempas dengan ribut, membuat syam kamaruzaman  menolehkan

kepala ke belakang. Peti mati yang ia letakkan di bak kereta, terbuka tutupnya. syam kamaruzaman 

cepat-cepat menarik tali kekang kuda. Pelan pelan kereta itu berhenti. syam kamaruzaman  turun ke

bak, memungut tutup peti mati yang hampir jatuh lalu bermaksud menutupkannya

kembali, di saat itulah ia tertegun. Peti mati itu kosong melompong. 

   Memang! 

   Memang kosong. Tadi malam, di rumah, ia tidur di dalam peti mati itu. Tak sampai

satu jam berselang, ia keluar dari dalamnya untuk menyambut tamu yang datang sore

itu. lalu  peti mati ia naikkan ke bak kereta, di tempatnya yang sekarang. Jadi, ia

yakin benar, peti mati itu memang kosong. Akan namun , kenapa waktu mau ia tutup

sekarang, terasa uap dingin keluar dari dalam peti menyambar tangannya". 

   Itu belum penah terjadi. Mungkinkah sebab  tutup peti mati sudah  terbuka semenjak

tadi dan ruangannya diisi oleh udara dingin" 

   syam kamaruzaman  memusatkan pernafasan. 

   Benar. Udara senja itu memang teramat dingin. Tidak ada suatu keanehan, kalau

begitu. Ia membungkuk, bermaksud meneruskan niatnya. Dan otot-otot syam kamaruzaman  sesaat 

mengencang. Keringat membersit dari jidat. Ia kerahkan terus tenaganya. Namun jelas,

ada dorongan menolak dari dalam ruangan peti mati. 

   Dorongan yang sangat keras, dan uapnya teramat dingin. Menusuk-nusuk, menembus

kulit-kulit lengannya, merambat liar seperti tusukan ribuan jarum yang secara teratur

ditusukkan oleh tangan tangan ahli. syam kamaruzaman  meringis kesakitan, lantas cepat cepat

menarik mundur tutup peti mati. 

   Sesaat, ia tegak dengan muka kaku dan dingin. Lalu, di saat berikutnya, tutup peti

mati ia letakkan di dekat kakinya. sesudah  mana ia lalu  duduk bersila, di atas

permukaan tutup peti mati itu. Matanya terpejam. 

   Rapat. 

   Kedua telapak tangan ditekap menutup dada. Sementara mulut syam kamaruzaman  kumat kamit

membaca mantera, kain sarung yang melingkari punggungnya berkibar-kibar ditiup

angin kencang yang tiba-tiba melanda tempat sekitar kereta berhenti. Kuda di depan,

berdiri kaku di atas keempat  kaki-kakinya yang kokoh, dengan kepala tegak. 

   Diam. 

   Uap putih berpencar-pencar keluar dari lubang hidung yang kembang kempis tak

teratur. Anjing di belakang, memperlihatkan sikap yang sama. Keempat kaki berdiri

kaku, kepala tegak, hidung mengendus-endus. Lalu, saat majikannya

mengggoyang-goyangkan kepala ke kiri kanan, mula-mula pelan, lalu  makin lama

makin cepat, anjing itu mulai melolong. Mula-mula sayup-sayup. Sampai, lalu 

panjang melengking. 

   "Puah!" 

   syam kamaruzaman  tiba-tiba meludah ke dalam peti mati di depannya. Kuda di depan meringkik.

Anjing di belakang menyalak. syam kamaruzaman  berdiri, memungut tutup peti mati, lalu 

menempatkannya di tempat yang seharusnya. Tiada uap dingin lagi. Tiada dorongan

aneh lagi. Peti mati itu memang kosong. Kosong melompong. syam kamaruzaman  menarik nafas

panjang berulang-ulang, mengulangi ketegangan otot-otot tubuhnya. Pelan pelan

mulutnya melepas seringai hambar. 

   "Ada orang mau mengusik ketenangan kita," 

   ia bergumam sedikit keras. Kuda dan anjing itu sama-sama mendengus. syam kamaruzaman 

kembali naik ke tempat duduk kereta, lantas mulai menarik tali kekang. 

   "Hiyyyaaaaa!" 

   Roda-roda kereta mulai berputar. Berderak-derak.    Pelan.    Lalu cepat. Dan malam pun segera jatuh. 

    Gemeretak roda-roda kereta mayat itu menarik perhatian orang-orang yang sedang

berada di luar rumah waktu syam kamaruzaman  memasuki desa yang ia tuju. Dalam jilatan

lampu-lampu minyak di pintu-pintu pekarangan, gambaran kereta itu tampak amat

menakutkan. Di depan, berjalan terengah-engah seekor kuda berkulit hitam yang

berkilat-kilat mandi keringat, sementara binatang sejenisnya sudah  pada masuk kandang

sebab  tidak biasa ke luar malam. Di atas tempat duduk kereta, tampak bayangan

laki-laki berpakaian hitam dengan sarung membelit pundak sampai sebatas pinggang,

terhenyak diam dengan wajah acuh tak acuh, dan  mata yang lurus memandang ke

depan. 

   Di belakangnya, berlari-larian seekor anjing besar juga berkulit hitam legam, akan

namun  dengan mata yang merah seperti darah tiap kali terpantul pada sinar lampu. 

   ".... siapa dia?" seseorang mendesah. 

   Temannya menunjuk: 

   "Lihat saja apa yang ada di bak kereta. Kau akan tahu siapa dia." 

   "0h. Diakah si penunggu jenazah yang tersohor itu?" 

   "He-eh!" 

   "Orang misterius. Dengan makhluk-makhluk menakutkan sebagai teman-teman

setianya. Kudengar, orang itu adalah penjelmaan setan...." 

   "Husy! Pelan-pelan sedikit kalau ngomong. Bila ia dengar...." 

   orang yang satunya lagi dengan tangan gemetar menarik tangan temannya agar

menyingkir jauh-jauh. Gemeretak roda-roda kereta menyayup, dan bayangan

tamu-tamu asing itu semakin pudar ditelan malam. Hanya sesekali tampak merupakan

makhluk makhluk ganjil yang samar-samar terlihat melewati lampu demi lampu minyak

di pinggir jalan. 

   "Jadi benar ia penjelmaan setan?" 

   orang pertama masih penasaran. 

   "Setan tidak muncul di siang bolong. Kalau orang bertamu ke rumahnya, tak pernah

ada yang berani malam hari. Orang-orang itu bertemu dia, jadi dia bukan penjelmaan

setan. Menurutku, ia ada sering berhubungan dengan setan. Kalau tidak, tak akan ia

berani bekerja sebagai penunggu mayat. Konon lagi mayat-mayat yang diakibatkan

mati sebab  penasaran. Seperti nyi girah  itu misalnya...." 

   "Benarkah nyi girah  akan menjelma jadi kuntilanak?" 

   "Entahlah. Ia mati bersama bayi yang ia lahirkan. Jadi..." yang menyahut menggigil. 

   Cepat-cepat masuk ke rumah yang mereka tuju, dan cepat-cepat pula menutupkan

pintu. Di luar, angin malam mendesau-desau, keras namun  kering. Mengerang-ngerang.

Merintih-rintih. 

   Lirih. 

   Hanya sebuah pintu rumah yang masih terbuka di desa itu. Dan hanya beberapa

orang yang masih tinggal di sana. Satu dua diantaranya keluar masuk untuk mengurusi

sesuatu. namun  semakin larut malam, semakin sedikit orang yang masih tinggal. Satu

persatu mereka kembali ke rumahnya masing-masing, cepat-cepat menutup pintu,

mungkin cepat-cepat pula menggulung diri di bawah selimut, biarpun yakin sampai

pagi esoknya mata tidak akan sudi terpejam. 

   syam kamaruzaman  menghentikan kereta di pekarangan rumah yang pintunya masih terbuka itu.

Seseorang menyongsong keluar waktu ia turun. sesudah  melihat siapa tamu yang

datang, orang yang baru keluar dari rumah sesaat tertegun, lalu: 

   "... Pak syam kamaruzaman ?" sapanya. 

   "He-eh!" 

   Orang itu mendekat untuk lebih seksama mengenali tamu desanya. Mulutnya melepas

sebuah senyuman, tampak amat ramah dan senang didatangi. namun  mata syam kamaruzaman  yang

awas, menangkap bayangan yang sebaliknya di mata orang itu. Gambaran curiga, takut

dan tidak senang. Selalu begitu. Dan selalu pula syam kamaruzaman  harus menyabarkan diri. Sudah

kodratnya untuk bekerja seperti apa yang segera harus ia laksanakan. sesudah  sekilas

melirik ke arah peti mati di bak kereta, orang tadi bergumam: 

   "Masuk. Masuklah, Pak syam kamaruzaman . Kami sudah lama menunggu...." 

   "Maaf. Ada gangguan di jalan, sehingga aku terlambat." 

   "Ah, pokoknya Pak syam kamaruzaman  datang!" Ucapan terakhir itu bernada senang. 

   Tentu saja, pikir syam kamaruzaman . 

   Dengan kehadiranku, orang itu tidak lagi harus duduk diam-diam di samping mayat

yang mati sebab  melahirkan. Orang ini takut mayat itu bangkit lalu mencekik lehernya

sambil  tertawa mengikik... 

   "Puah!" 

   "Boleh minta beras putih?" 

   Orang tadi yang sedang memperhatikan kuda dan  anjing syam kamaruzaman , terjengah. 

   "Ya, Pak syam kamaruzaman ?" 

   "Beras putih!" 

   "Oh. Ada di dalam. Mari, masuk. Nanti akan...." 

   "Ambilkan sekarang saja." 

   "Tak masuk dulu?" 

   syam kamaruzaman  tak menjawab. Dan orang itu tahu, ia tidak akan memperoleh jawaban lisan,

sebab  mata syam kamaruzaman  yang mengecil memandang dengan dingin ke arahnya. Mata yang

sangat pucat... sehingga mengingatkan orang itu pada mata nyi girah  yang terbaring

diam di ruang tengah rumah. Dalam satu helaan nafas, ia sudah  membalikkan tubuh lalu

bergegas masuk ke dalam rumah. Terdengar suara berbisik-bisik di dalam, diikuti suara

berbisik orang-orang sedang sibuk. syam kamaruzaman  tak perduli. Ia tengadah. Menatap langit

kelam digantungi mendung mendung hitam. Tiada sekerlip bintang pun. Yang tampak

hanya rembulan yang berwajah pucat, mengintip dengan enggan dari awan pekat yang

berarak ke arah utara. Pantas desa ini sepi. Hujan akan turun. Pasti. Yang tidak pasti,

hanya bahwa malam ini desa itu akan diganggu oleh makhluk bernama kuntilanak.

Biarpun kehadiran kuntilanak itu belum bisa dipastikan, mereka toh lebih baik

mengunci pintu rumahnya masing-masing dari pada memberanikan diri ke luar rumah

dan tiba-tiba.... 

   Tiba-tiba sesosok tubuh sudah berdiri di samping syam kamaruzaman .

     Desah nafas orang itu menyadarkan syam kamaruzaman . Ia melepas nafas panjang, lalu 

bertanya: 

   "Mana?" 

   Orang itu menyodorkan sebuah baskom berisi penuh dengan beras putih. syam kamaruzaman 

tersenyum kecil. 

   "Tidak perlu sebanyak ini!" 

   Lantas ia comot beberapa butir beras dari baskom, didekatkan ke mulutnya yang

kemak-kemik membaca mantera. Ia memerlukan hanya beberapa detik untuk melakukan

itu. sesudah  ia semburkan dengan sedikit ludah, butir-butir putih itu ia taburkan satu

persatu mengelilingi rumah dengan jarak masing masing satu tombak. Waktu ia

mengakhiri putaran mengelilingi rumah dan tiba di depan kembali, orang tadi masih

berdiri termangu-mangu. Ia memegang baskom berisi beras putih dengan tangan

terangkat, sikapnya tetap seperti menyodorkan benda tersebut seperti tadi. 

   "Hei!" 

   tegur syam kamaruzaman  sambil  menyentuh bahunya. Orang itu tersentak kaget. Hampir saja

baskom jatuh dari tangan. namun  tak urung beberapa jumput beras ikut tertumpah. 

   "Ya Pak syam kamaruzaman ?" tanyanya gagap. 

   "Ah. Enggak apa-apa. Mari kita, masuk sekarang!" 

   syam kamaruzaman  berjalan duluan. Orang itu mengikuti lalu . Wajahnya pucat, dan tubuhnya

masih gemetar. Berkecamuk pikiran dibenaknya. Betapa tidak. Begitu butir beras

pertama jatuh ke tanah dari tangan syam kamaruzaman , ia merasa sekujur tubuhnya dingin dan kaku.

Semula ia kira sebab  pengaruh udara malam. namun  saat  ia mau menggerakkan

kaki, ternyata kakinya terpaku di tanah. Demikian pula dengan kedua tangannya. Ia

sadar penunggu jenazah itu berkeliling rumah menaburkan butir beras, akan namun  ia

tidak dapat menggerakkan leher untuk bisa melihat dengan mata kepalanya. Yang ia

tahu, hanyalah, tiba-tiba bahunya disentuh oleh syam kamaruzaman , dan segala kejadian ganjil yang

menjalari dirinya, sesaat  menghilang. sebab  tak kuat menahan hati, ia bertanya

takut takut: 

   "Apa yang Pak syam kamaruzaman  lakukan tadi?" 

   "Menaburkan beras," jawab syam kamaruzaman . Tenang-tenang saja. 

   "Untuk apa?" 

   "Di jalan tadi ada yang mengusikku. Di sini, aku tak mau diusik lagi. Kalau diusik,

tidak saja pekerjaanku gagal, akan namun  juga keselamatanku bisa terancam..." 

   "Oh!" 

   "Itukah mayatnya?" 

   syam kamaruzaman  menunjuk pada sesosok tubuh yang ditutupi kain selendang batik, terbujur

diatas permadani kecil dengan rajutan-rajutan warna yang semarak. Satu-satunya

orang yang ada di ruangan itu selain syam kamaruzaman  dan laki-laki yang menyongsongnya,

hanyalah seorang wanita  lesbian  tiga perempat umur, yang duduk bersimpuh di dekat

bagian kaki mayat. Kepalanya tegak waktu syam kamaruzaman  masuk. Mulutnya yang keriput

mencoba mengeluarkan senyum ramah. Namun ia gagal. sebab  kesedihan yang

terbayang di matanya, sudah  memukul habis keinginan yang sangat bertentangan itu. 

   "Dia jessica ," menjelaskan laki-laki di samping syam kamaruzaman . 

   "Ia yang punya rumah ini. nyi girah  indekost di sini semenjak almarhumah mula-mula

datang ke desa kami." 

   "Hem..." 

   syam kamaruzaman  mengangguk pada wanita  lesbian  tua itu, yang dibalas dengan anggukkan

samar-samar, sekedar untuk basa basi. 

   "Ia sendirian tinggal di sini?" 

   "Ya." 

   "Dan...?" 

   syam kamaruzaman  menyidik dengan matanya ke arah lakilaki di sampingnya. 

   "Oh. Saya lurah." 

   "O, Pak Lurah. Mana orang-orang lainnya?" 

   Laki-laki itu kelihatan sangat gugup. Lama baru ia menjawab dengan suara

terputus-putus: 

   "Mereka... mereka... Ah. Bagaimana ya" 

   Siang tadi sih banyak yang melayat. namun  begitu matahari turun... Oh ya. Keamanan

di desa belakangan ini kurang terjamin. Maka lumrah kalau mereka cepat-cepat

menutup pintu." 

   syam kamaruzaman  tertawa kecil. Ia tahu laki-laki itu berdusta, maka ia nyeletuk seenaknya: 

   "Tak aman kok malah mengunci diri. Bukan berjaga jaga...." 

   Lurah tertawa. Pahit. Ia tak suka berbantah dengan tamu mereka. Dan ia lebih tidak

suka untuk tinggal berlama-lama di tempat itu. Oleh sebab nya ia segera mendekati Bu

Enjuh, berbisik di telinganya. wanita  lesbian  itu bangkit dengan enggan. 

   "jessica  ada baiknya menginap di rumahku saja malam ini. Ada sesuatu yang Pak

syam kamaruzaman  perlukan sebelumnya..." 

   "Jangan pergi dulu!" 

   Lurah menyeringai. syam kamaruzaman  juga menyeringai. jessica  tampak agak senang.

Kelihatan dari nada suaranya waktu ia berkata enggan: 

   "Biarlah aku tinggal, Nak Ibing." 

   Lurah bernama Ibing itu kelihatan ragu-ragu, akan namun  pandangan mata yang tegas

dari tuan rumah membuatnya tidak berdaya. Oleh sebab  itu ia angkat bahu sambil 

berkata. 

   "Saya maklum betapa sayang ibu pada nyi girah . Tadinya saya khawatir kalau-kalau

ibu...." 

   "Ah," potong jessica . 

   "Aku sayang pada nyi girah  seperti kau katakan, bukan" Jadi, sebab  nyi girah  pun tau

aku sayang padanya, maka arwahnya tidak akan mengganggu ibu!" 

   Lurah Ibing jadi tersipu. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera ke luar. Juga tanpa

menoleh ke belakang, biarpun hanya satu kali. la berjalan seperti orang yang sedang

diburu setan. Barangkali kalau punya sayap, ia ingin terbang saja. Hanya beberapa

detik, ia sudah  berada di luar rumah, disambut oleh kepekatan malam, udara dingin sepi

yang memekik, dan ditengah jalan... 

   sebuah bayangan keputih-putihan keluar dari dalam kegelapan. Bayangan

samar-samar itu bergerak cepat ke arah lurah Ibing. Ia terpaku diam ditempatnya,

dengan wajah pucat-pasi, ketiak bersimbah peluh, tubuh gemetar dan mulut terkatup

rapat, berbeda dengan sepasang mata yang terpelotot lebar-lebar. Lurah Ibing ingin

menjerit, waktu bayangan itu tiba tiba melalui lampu minyak di pintu pagar terdekat.

Ternyata bukan arwah nyi girah  yang penasaran, melainkan sosok tubuh seorang

laki-laki yang berjalan dengan nafas tersengal-sengal dan baju basah kuyup oleh keringat. 

   "... Kau itu, Dung?" seru Lurah lbing. Suaranya masih gemetar. 

   "Saya, pak lurah." 

   "Wah, kenapa tak bilang-bilang dari tadi...." 

   Ketegangan otot-otot Lurah Ibing mengendur. 

   "Dari mana kau?" Orang itu tercengang. 

   Ia mengatur nafas sebentar. Lalu: 

   "Lho, kan menjemput dukun turunan set...." 

   "Sssst," 

   Lurah Ibing menekan jari telunjuk ke bibir, dengan wajah semakin pucat. 

   "Pelan-pelan, jangan main tuduh. Ia sudah di dalam dan...dan...." 

   Kalimatnya terputus sampai di situ. Matanya jelalatan memandang kearah kereta.

Diikuti oleh orang yang baru datang. Mereka melihat kuda dan anjing si penunggu

jenazah, berdiri resah di dekat kereta. Secara kebetulan pada saat yang bersamaan

pandangan mata anjing dan  kuda itu, tertuju pula kearah lurah dan temannya. 

   "Nah. Apa kubilang," bisik Lurah, sengau. 

   "Bahkan binatang-binatang itu pun sudah  jadi mata-matanya. Ayo, kita cepat

pulang...." 

   Lurah lalu  bergerak kearah utara. Temannya ke arah selatan. 

   "He, kau mau ke mana?" seru lurah. Temannya berhenti. 

   "Pulang." 

   "Jalannya ke sini, Dung." 

   "Rumah saya di sana, pak Lurah." 

   "Jangan bertingkah. Kau tidur di rumahku malam ini. Hayo!" 

   Mau tak mau, orang itu menurut. Ia berjalan disamping pak Lurah yang melangkah

tergopoh gopoh. Dan waktu tiba-tiba anjing syam kamaruzaman  melolong dengan suara halus namun 

tinggi menyayat tulang, tanpa berkata ba atau bu lagi, Lurah Ibing kabur mengambil

langkah seribu kearah rumahnya. Tak ayal pula, temannya ikut berlari dengan kaki

bagai tak menginjak tanah samasekali.... 

   Lolongan anjing itu sayup-sayup sampai ke telinga syam kamaruzaman  yang sudah duduk bersama

jessica  di samping mayat nyi girah . Kepala syam kamaruzaman  tegak. Matanya berkilat kilat,

menatap ke arah pintu luar, sementara cupil telinganya bergerak-gerak. Lama ia

berlaku demikian, sampai lolongan anjing itu mereda, lalu  lenyap sama sekali.

Barulah ia menghela nafas, sambil  bergumam: 

   "Hem. Si pengusik itu mengikuti aku rupanya.... "

   jessica  memandang syam kamaruzaman , bertanya lewat sinar mata. Cepat-cepat syam kamaruzaman 

tersenyum. 

   "Ah, bukan siapa-siapa," katanya, maklum arti pandangan mata jessica . 

   "Tak usah dicemaskan. Si pengusik tak bakal mengganggu sampai ke sini..." ia

menghela nafas lagi. Berulang ulang. Lantas: 

   "Jadi nyi girah  indekost dengan ibu...." 

   "Benar, Nak syam kamaruzaman . Rumahku ini tadinya gubuk bobrok. saat  nyi girah  datang ke

desa, kebetulan akulah orang pertama yang bertemu dengannya. sesudah  ia tahu aku

menjanda dan hidup sendirian, ia lantas memaksa untuk diberi tempat tinggal

dirumahku. Mula-mula aku menolak sebab  maklumlah, tidak saja rumahku sudah

bobrok dan jelek, akan namun  juga aku tak sanggup menerima tamu. Maklum, untuk satu

dua suap nasi, aku peroleh dari belas kasihan orang. Yaitu, orang-orang yang mau

dipijit sebab  otot-otot pegal-pegal atau sakit-sakit pusing..." 

   "Hem. Lantas?" jessica  tampak senang sebab  tamunya serba ingin tahu. 

   "nyi girah  tetap memaksa ikut tinggal denganku. sesudah  masuk ke rumah, ia tidak

kecewa. Ia punya uang banyak, dan sekali dua pergi meninggalkan desa. Kalau

kembali, ia membawa uang lebih banyak lagi, dan persediaan makanan yang tidak

sedikit.... Malah lalu  ia membantu memperbaiki rumahku yang jelek. Hasilnya,

seperti kau lihat sekarang..." 

   jessica  menoleh berkeliling ruangan dengan mata bangga. Untuk memuaskan

hatinya, syam kamaruzaman  ikut melihat berkeliling sambil mengangguk-anggukkan kepala. 

   "nyi girah  benar-benar anak semang yang baik," gumamnya mengomentari, sambil 

menatap sosok mayat berselimut kain selendang batik yang terbujur di depan mereka.

"Anak semang" nyi girah  sudah kuanggap anak sendiri...." Mata wanita  lesbian  itu tiba-tiba

basah. 

   "Sayang, ia pergi terlalu cepat..." 

   "Kudengar ia mati saat  melahirkan. Pendarahan?" jessica  lama baru menjawab. 

   "He-eh." 

   "Bayinya?" 

   "Sudah dikubur di belakang rumah, sesaat sesudah  dilahirkan..!" 

   "Koq...?" sesudah  mengigit bibir sesaat, jessica  menjelaskan: 

   "jessica  tak mau dipanggilkan bidan. Ia minta agar aku yang mengurus pada saat-saat

yang mencemaskan       itu. Pernah sekali dua aku membantu bidan menolong orang

yang melahirkan, jadi apa boleh buat. Kupikir toh aku bisa. O, Nak jessica , Nak jessica 

manis. Kau toh tak akan menuduh ibu yang mencelakakanmu, bukan?"

    wanita  lesbian  tua itu tiba-tiba sesenggukan. syam kamaruzaman  menghela nafas. 

   "Sudahlah, Ibu sayang pada nyi girah . Tentu ia tau, bukan ibu yang menyebabkan

kematiannya...." jessica  manggut-manggut. 

   "Memang...." sedunya. 

   "Memang bukan aku. Melainkan...." 

   Tangisnya tiba-tiba terhenti. Ia menelan ludah, berkali kali. Lantas: 

   "Ah, begitulah. Ia lalu  mati. Dan anaknya... Aku cuma melaksanakan amanat.

Untung Lurah Ibing mau mengerti...." 

   "Amanat?" 

   "Sebelum meninggal, jessica  sempat berpesan. Kalau anaknya terus hidup, harus

cepat-cepat kusingkirkan ke tempat jauh. Kalau anaknya mati agar cepat-cepat

ku-kuburkan, sebelum dilihat orang... " 

   "Mengapa harus begitu?" 

   "Anak itu... lahir cacat. Kepalanya besar. Mata indah dan sempurna seperti ibunya.

Akan namun ... mulut dan hidungnya bersatu. Dan... tangan-tangannya panjang sampai

ke tumit kaki, dan .... dan  berbulu pula. Ibu hampir pingsan waktu melihatnya..." dan

wajah wanita  lesbian  itu tiba-tiba pucat pasi. 

   Ia memandang syam kamaruzaman  dengan mata menyesal. Lalu, sambil  menakupkan wajah di

kedua telapak tangan, ia menangis dan  berkata tersendat-sendat: 

   "Oh. Mengapa! Mengapa kuceritakan musibah mengerikan itu pada orang lain?" 

   syam kamaruzaman  membuang muka. Semenjak tadi ia menatap mata wanita  lesbian  tua itu

sedemikian rupa sehingga dengan kekuatan batinnya, ia berhasil memaksa si

wanita  lesbian  untuk mengeluarkan perasaan hatinya. Tentu saja ia tidak sampai hati

untuk menerangkan hal itu. Namun melihat rasa penyesalan di wajah jessica  mau

tidak mau syam kamaruzaman  ikut pula menyesali diri sendiri. Tidak patut ia mengusik duka cita

yang dikandung jessica  dengan menimbulkan perasaan berdosa. Akhirnya syam kamaruzaman 

berusaha menghibur: 

   "Yang sudah, ya sudahlah, bu. Tak usah ditangisi..." 

   "namun ," ratap jessica . 

   "Aku sudah  berjanji pada Nak jessica  agar tidak...." 

   Ia lalu  merahup mayat di hadapan mereka sambil  menangis tersedu-sedu. 

   "Anakku. Anakku. Maafkan ibu, nak. Ibu sudah  lancang mulut. Ibu sudah  melanggar

janji, nak. Ooo, andaikata kau masih hidup, ibu bersedia kau tempeleng. Katakan, jessica .

Katakan. Kau bersedia memaafkan wanita  lesbian  tua renta itu. jessica , katakanlah. jessica ...!" 

   Tanpa sadar tangannya sudah  menggerakkan kain selendang penutup mayat sehingga

tersingkap bagian atasnya. Sesaat , mata syam kamaruzaman  mengecil. Di hadapannya, terbujur

sesosok tubuh wanita  lesbian  berumur sekitar dua-puluh limaan. Berhidung bangir, dagu

tergantung lembut di bawah sepasang gondewa bibir mungil yang penuh mencuat.

Meskipun sudut-sudut bibir itu bergaris tajam dengan kerut-kerut halus pertanda

betapa ia menderita di saat elmaut datang untuk mencabut nyawanya, namun jelas

terbayang betapa indah bentuk mulut itu bila dia masih segar dan hidup. syam kamaruzaman  sampai

menahan nafas. 

   Dalam. 

   Teramat dalam.... 

   Berulang-ulang. Tarikan nafasnya terdengar semakin kentara manakala sepasang

matanya yang mengecil dan bersinar pucat itu, terpandang pada sepasang bola mata

yang bundar dengan manik manik yang sudah mati. Bukan putih mata yang ia lihat.

Sungguh. Sepasang bola mata dalam lingkaran hitam yang besar. Mata itu terpentang

lebar. Dengan ta'jub, syam kamaruzaman  menyingkapkan seluruh kain penutup mayat. Semakin jelas

terlihat keadaan wanita  lesbian  muda bernama nyi girah  itu. Tubuhnya montok berisi.

Kulitnya berwarna putih kemerah merahan. Benar. Putih, tidak pucat sama sekali,

malah kemerah-merahan. Yang jadi tanda ia sudah  mati, hanyalah denyut jantung yang

sudah berhenti dan  manik-manik mata yang sudah tidak bercahaya sama sekali. 

   "... kematian yang aneh," syam kamaruzaman  bergumam. 

   Ia mencoba memusatkan konsentrasi. namun  tangis jessica  yang tersendat-sendat

mengganggu konsentrasinya. syam kamaruzaman  memegang bahu si wanita  lesbian . Memintanya berdiri

dan lalu  menuntunnya berjalan keluar dari rumah. Di halaman, kegelapan malam

yang sehitam pekat tak ubahnya tabir tebal dari sebuah kehidupan yang tidak mengenal

ampun. Lampu-lampu minyak berkelap-kelip dengan lemah di sana-sini. Sesaat syam kamaruzaman 

tertegun. Biasanya, bila penduduk takut akan mereka perbesar sumbunya, sehingga

kampung jadi terang benderang dan hantu takut menampakkan diri. Benar, waktu ia

datang, jalan utama di kampung itu diterangi oleh lampu-lampu minyak, akan namun 

sekarang jalan utama itu bagaikan hilang. 

   Bangunan bangunan rumah penduduk di kiri-kanan jalan tak ubahnya barisan

raksasa-raksasa yang berjongkok diam-diam dalam kegelapan. syam kamaruzaman  tidak merasakan

angin bertiup kala itu. Akan namun , lampu-lampu minyak menari-nari liar, makin lama

makin lemah, dan mulai berpadaman satu demi satu. syam kamaruzaman  mencoba menembus

kegelapan malam di sekelilingnya. namun  ia tidak melihat sesuatu apapun. Tidak

dengan matanya. Ia melihat lewat perasaannya. Seringai pendek terukir di bibir syam kamaruzaman . 

   "Si pengusik itu lagi," cetusnya serak. 

   "Kau tak akan berhasil. Tak akan....!" 

   Lalu pada si wanita  lesbian  yang memandang heran pada sikap syam kamaruzaman , ia bertanya

dengan suara ramah: 

   "Ibu tahu letaknya rumah pak lurah?" jessica  manggut-manggut. 

   "Ibu berani jalan sendirian?" Anggukan lagi. Tegas. 

   "Syukurlah. Nah, sekarang pergilah ke sana, dan tidurlah di rumah pak lurah malam

ini. Ia akan senang, sebab  tadi ia pun berkata demikian. Tenangkan pikiran ibu.

Tidurlah. Bila ibu terbangun esok pagi, mudah-mudahan segalanya berjalan selamat.

Aku bisa mengetahui di mana kubur suami nyi girah , dan ibu boleh berlega hati arwah

nyi girah  tak akan gentanyangan sebagai... sebagai kuntilanak!" 

   Dahi wanita  lesbian  tua itu mengerut. 

   "Anakku tak akan jadi kuntilanak," desisnya. 

   "Mereka yang mengatakan begitu. Mereka terlalu..." syam kamaruzaman  mengangguk setuju. 

   "Oleh sebab  ituah, mereka harus kita yakinkan, bukan?" 

   jessica  ragu-ragu, lalu  mengangguk. Ia memegang tangan syam kamaruzaman  sejenak.

Memegangnya erat erat. Hati syam kamaruzaman  terenyuh. Tak biasanya ia diperlakukan oleh

"langganan-langganannya" seakrab itu. Hati syam kamaruzaman  jadi tergoncang. Lama sesudah  Bu

Enjuh menghilang ditelan kegelapan malam, syam kamaruzaman  baru mengerti. wanita  lesbian  itu tidak

bermaksud ramah terhadapnya. wanita  lesbian  itu berlaku demikian, sebab  ia benar

benar berharap syam kamaruzaman  bisa mengabulkan apa yang ia inginkan. Agar arwah anak

angkatnya tidak gentayangan jadi kuntilanak. Tak lebih dari itu! 

   "Hem," desah syam kamaruzaman , lalu memutar tubuh masuk kedalam rumah kembali. 

   Ia lalu  menutupkan pintu. Telinganya masih menangkap sempat dengus kuda

dan lolongan anjing yang lirih di halaman. namun  ia tidak sempat melihat, bagaimana

lampu-lampu minyak yang masih menyala, padam sesaat . Seolah-olah ada orang

yang meniupnya dengan keras. syam kamaruzaman  langsung ke tengah rumah, duduk bersimpuh

menghadapi mayat nyi girah  yang terbujur di atas permadani. Goncangan-goncangan

dalam dirinya menyentak-nyentak kembali, waktu memandangi sekujur tubuh nyi girah ,

memandangi bibir mungil yang mencuat itu, memandangi gelembung dada yang diam

tak bergerak-gerak itu. Sukar bagi syam kamaruzaman  untuk menahan diri agar tidak segera

melaksanakan hajat tiap kali ia berhadapan dengan mayat wanita  lesbian . Bila saja

sepasang mata nyi girah  itu terpentang lebar, tentulah syam kamaruzaman  tidak bisa menahan diri.

Memandang mata yang seolah-olah hidup itu, syam kamaruzaman  merasakan pengaruh ganjil dalam

dirinya. 

   Sesuatu yang menimbulkan perasaan tidak enak, dan  kecemasan yang tersembunyi.

Tangan syam kamaruzaman  gemetar waktu mengeluarkan dupa dan menyan dari saku bawah yang

lebar dari kemejanya. Ia letakkan benda-benda itu di antara lututnya dengan tubuh

mayat, di tempat mana lalu  ia juga meletakkan sebuah pisau cukur, sehelai daun

kelapa muda dan tali dari pelepah pisang yang sudah kering. sesudah  ia rasa sudah

tersedia segala peralatan, syam kamaruzaman  memasukkan bubuk menyan ke dalam dupa, lalu

menyalakannya dengan sebatang korek api. Terdengar suara membersit halus,

percikan-percikan kuning berpencaran dari dupa, nyala korek api padam, nyala di dupa

membesar. Benggol dupa sebesar anak jari lalu  ia sorongkan ke tengah-tengah

nyala api dupa. Percikan-percikan lagi, nyala api yang padam, disusul oleh kebulan

asap yang kian lama kian menebal. Asap menyan itu ia hirup dalam-dalam, berulang

ulang. Lantas mulut syam kamaruzaman  mulai kumat kamit membaca mantera. Suaranya terdengar

sangat perlahan mulanya, lalu  makin keras dan di saat berikutnya tubuh syam kamaruzaman 

tergoncang-goncang ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya, mantera-mantera itu

terdengar seperti rentetan derak-derak roda kereta yang terdengar sayup-sayup,

sementara butir-butir keringat sebesar jagung mulai berlelehan dari pori-pori

wajahnya. 

   Pada saat asap menyan memenuhi ruangan tengah rumah yang tidak begitu lebar itu,

syam kamaruzaman  tiba-tiba membentak: 

   "Jangan pergi!" 

   Dengan sepasang mata tertutup rapat dan mulut kembali kumat kamit membaca

mantera, syam kamaruzaman  bergerak bersamaan dengan terdengarnya suara bentakan yang kedua: 

   "Kembali!" 

   Kedua lengannya terpentang ke depan, dengan jari jemari terkembang. Suatu saat

jari jemari itu seperti menyentuh sesuatu di atas sosok tubuh mayat nyi girah , yang ia

cengkeram kuat-kuat lalu ia tekan sebisa-bisanya ke bawah. Sesuatu yang tidak terlihat

itu rupanya melakukan perlawanan sehingga beberapa kali tubuh syam kamaruzaman  doyong mau

jatuh dan pegangannya terlepas. Baru sesudah  ia berlutut, sesuatu yang ia pegang

rupanya tidak bisa lepas lagi. Otot-otot dan urat-urat lengan syam kamaruzaman  bersembulan,

demikian pula urat-urat lehernya yang banjir oleh peluh. Bertumpu pada lutut, ia

tekankan telapak tangannya kembali seperti tadi. Terarah ke bawah, makin lama makin

dekat ke bagian dada si wanita  lesbian . Seinci demi seinci, ditambah dengan nafas lelah dari

hidung syam kamaruzaman , lalu: 

   "Hap!" 

   Kedua telapak tangannya mendarat malah sedikit terbenam di sepasang gelembung

payudara nyi girah . Masih tanpa membuka mata, syam kamaruzaman  lalu  meludahi. 

   "Cuh!" 

   Langsung ke dada nyi girah . Tubuh mayat Itu tersentak, lalu  diam. syam kamaruzaman 

menarik kedua telapak tangannya, membuka matanya, memandangi mayat di

hadapannya dengan muka tegang. Wajah syam kamaruzaman  yang pucat kini berubah merah padam,

berkilat-kilat oleh keringat. Ia tatap sepasang mata yang terpentang lebar di wajah

mayat itu, lalu sambil  menyeringai lebar syam kamaruzaman  mendesah: 

   "Diamlah di jasadmu, roh wanita  lesbian  manis. Kau tak boleh lari lagi seperti tadi. Kau

tak akan bisa. Tak akan bisa...." 

   Ia hirup lagi asap menyan. Lalu mengatur nafas. Baru berkata: 

   "Rohmu masih berada di tubuhmu, wanita  lesbian  manis. Jadi aku tidak bersusah payah

untuk memanggilkan kembali. Mengapa" Mengapa rohmu tidak mau pergi, tatkala kau

sudah mati?" 

   Mula-mula tidak ada reaksi. Baru sesudah  syam kamaruzaman  membentak: 

   "Jawablah!" 

   Bibir nyi girah  mulai bergerak-gerak. Menggerimit. Seperti desau angin, terdengar

suara lemah seorang wanita  lesbian : 

   "... aku... aku tak mau... aku... aku tak sudi." 

   "Itu tak patut!" 

   "Aku ingin... berada di jasadku... di jasad anakku..." 

   "Anakmu sudah  dikubur." 

   "Jasadnya. Tidak rohnya. Kami... kami tidak mau berpisah. Kami... kami masih ingin

hidup... namun  kematian... kegelapan yang mengerikan... kenistaan yang menyakitkan,...

O, kau pengabdi setan... ketahuilah, aku... aku masih ingin memperkenalkan hidup ini

pada anakku... aku... aku ingin ia merasakan arti... hidup ini. namun  ia... ia mati. Dan

aku... aku ia bawa mati..." 

   "Biarkan roh anakmu hidup tenteram di alam baka. Biarkan ia tetap suci seperti

saat  ia masih kau kandung." 

   "namun ... aku ingin membopongnya. Aku ingin... ingin memperlihatkan pada semua

orang... inilah anakku, inilah anakku. Aku ingin... anakku tahu... keadaan dunia ini...

siapa-siapa yang kukenal dan harus ia kenal..." 

   "Biarpun untuk itu kau harus terbang dari satu pohon ke pohon lain di kala malam,

dengan anakmu dalam gendongan?" 

   "... ya!" 

   "Orang-orang tak akan sudi melihat anakmu. Mereka melainkan menjauhi anakmu." 

   "... oh... Tak mungkin. Mereka kejam." 

   "Bukan. Bukan sebab  mereka kejam. namun  sebab  mereka takut... takut pada rohmu

yang bergelantungan di pohon-pohon rindang, takut pada tangis anakmu yang

menyayat-nyayat tanpa terlihat.... Tahukah kau sebutan apa yang mereka berikan

padamu, kalau kau teruskan niatmu itu?" 

   syam kamaruzaman  menyeringai, lantas melanjutkan dengan suara kejam: 

   "Kuntilanak! Kuntilanak! Kuntilanak!" 

   Mulut mayat nyi girah  terbuka lebar. Terdengar jerit memilukan memecah kesepian

malam itu: 

   "Tidaaaaaaakkkkk!" 

   Seluruh kampung terenggut diam. Malam terpaku diam. Kuda dan anjing di halaman

rumah jessica , tegak dengan diam. Pohon-pohon diam. Angin diam. Gunung-gunung

diam. Bahkan awan pekat yang bergulung-gulung di langit, ikut terdiam. Tidak seorang

pun manusia yang ada di kampung itu, yang tidak terdiam kala jerit memilukan itu

terdengar, biarpun ada di antara mereka yang saat itu tengah bermain kartu dengan

suara ribut untuk mengendurkan rasa takut yang sudah  timbul semenjak mereka tahu Nyi

jessica  sudah  mati di saat wanita  lesbian  itu melahirkan. Mereka sudah menduga nyi girah  akan

gentayangan sebagai kuntilanak. namun  mereka tidak pernah menduga, demikian

memilukan dan mengerikan suara jeritannya. Jeritan yang lalu  disusul oleh isak

tangis-isak tangis yang bagai merangkak dari satu rumah kelain rumah, ditambah suara

memohon yang lirih: 

   "Kasihanilah aku. Kasihanilah anakku...!" 

    Suara syam kamaruzaman  merendah. 

   "Kalau begitu, tinggalkan dunia ini. Tinggalkan dengan perasaan aman dan

tenteram..." 

   "Tidak!" 

   Suara yang lepas dari mulut mayat nyi girah  seperti suara orang sakit. 

   "Aku tidak bisa. Aku...." 

   "Hem. Yang kau maksud sudah dikatakan oleh mereka padaku. Kau Ingin

dimakamkan disamping makam suamimu, bukan?" Mulut mungil itu renyai sedikit. 

   Malah sepasang kelopak matanya, sempat mengerjap. Lalu: 

   "Ya.... namun  mereka... mereka tidak tahu. Aku sendiri tidak pernah tahu di mana

letaknya makam itu." 

   "kau akan menunjukkannya padaku, wanita  lesbian  manis," ujar syam kamaruzaman  sambil  tersenyum.

Manis. 

   "Maksudku, rohmu...." Mulut nyi girah  meringis. 

   "Kalau kau melakukannya, aku... aku akan sangat menderita, dan..." 

   "Kau ingin disemayamkan di samping suamimu?" 

   "... ya!" 

   "Kalau begitu, kau harus tabah!" 

   "Bukan itu saja. Aku...aku...." 

   "Jangan membantah!" Suara syam kamaruzaman  berubah tajam. 

   "Kalau tidak, akan kubiarkan mereka menyebut kau kuntilanak, dan menyebut

anakmu anak kuntilanak!" 

   "Aaaa, tidaaaaak!" jerit nyi girah , nyaring. 

   "Hussyyy, jangan menjerit lagi. Geger orang sekampung kau buat!" 

   Wajah nyi girah  berubah memelas. syam kamaruzaman  menghembuskan asap menyan ke wajah

wanita  lesbian  muda itu. nyi girah  terengah-engah. lalu  terbatuk-batuk. Keras.

Sampai tubuhnya terangkat dari permadani, seakan menghindar. 

   "... bau apa ini?" Jerit nyi girah  tertahan. 

   "Aku tak tahan. Aku... aku tak kuat. Tolong bukakan pintu. Bukakan jendela. Biar bau

busuk ini pergi,... Tolonglah!" 

   "Dan rohmu ikut pergi?" syam kamaruzaman  menyeringai. 

   "Tidak. Rohmu akan tetap ada dalam jasadmu, sebab  rohmu yang akan menunjukkan

di mana terletak makam suamimu.... Bukan pekerjaan mudah. namun  selagi kau hidup,

kau beramanat pada mereka, agar mayatmu dimakamkan di samping makam suamimu.

Amanat itu adalah tutur katamu. Amanat itu adalah sumpahmu. Kau tidak mungkin

mundur lagi..." 

   "Sudah kubilang, aku tidak tahu..." 

   "Dengan bantuanku, kau pasti tahu!" tukas syam kamaruzaman , tegas. 

   "Sungguh?" 

   "Aku berjanji. namun  diperlukan kerjasama..." 

   "Aku mencintai suamiku... Hanya ia... ia seorang yang... yang memperhatikan dan

memperlakukan aku... sebagaimana layaknya ia memperhatikan dan memperlakukan

orang yang... yang ia kasihi. Hanya ia seorang. Banyak laki-laki... ah. Banyak orang,..

aduh! Aku tidak berani mengatakannya. Aku hanya bisa mengatakan padamu, aku

mencintainya dengan segenap jiwa ragaku. Malah saat  keluarganya menentang keras

hubungan kami... ia... ia berontak. Ia bersedia mati... lalu  ia berjanji untuk

sehidup semati denganku, kalau tidak... Ia, ia pasti mencintaiku. Ia pasti menungguku

dipersemayamannya. Ia...." 

   "Kau ragu terhadap cintanya, bukan?" 

   "Aku... aku tidak perduli." 

   "Kau ragu. Berkatalah jujur. Kalau tidak, aku tidak mungkin membantumu...." 

   "Kau harus membantuku!" 

   "sebab  itu, wanita  lesbian  manis, ceritakanlah sejujur jujurnya!" 

   "Mengapa kau ingin tahu?" 

   "Supaya aku mengetahui bagaimana perkembangan jiwa dari rohmu di saat-saat

terakhir hidupmu. Keadaan jiwamu itu penting sekali, agar aku bisa menyesuaikan diri

dengan kemampuanku...." 

   "Kau memperalatku. Memperalat roh orang yang sudah mati!" sungut nyi girah .

Tubuhnya gemetar. 

   "Apa boleh buat. Coba kau mati dalam keadaan tenang, tidak penasaran seperti ini.

Sudahlah. Tak perlu lagi hal itu diungkit-ungkit. Ceritakan saja, apa yang dialami jiwa

dari rohmu semasa hidupmu, menjelang kau mati..."    syam kamaruzaman  duduk bersila, seperti layaknya seorang anak yang siap mendengar dongeng

dari sang nenek. namun  sebelum nyi girah  membuka mulut kembali .syam kamaruzaman  cepat-cepat

memperingatkan: 

   "Camkan. Hanya yang ada hubungan dengan suamimu. sebab  kearah dia-lah

pekerjaanku akan kulakukan...!" 

   nyi girah  manggut-manggut. Benar-benar mengangguk! 

   Gara-gara persoalan harta, ayah nyi girah  yang keturunan tuan tanah, menceraikan

ibu nyi girah  yang lahir dari keluarga penggarap sawah orang. Ayahnya lalu 

kawin dengan salah seorang anak sanak famili yang tinggal di kota. nyi girah  dan 

ibunya ditinggalkan begitu saja di kampung, dan hanya boleh bersyukur sudah 

menerima sebuah rumah gubuk dan dua kotak sawah sebagai tanda putus hubungan.

Tentu saja memiliki sawah sendiri meskipun cuma dua kotak merupakan suatu

kebanggaan dari keluarga ibu nyi girah  yang selama hidup mereka hanya

menggantungkan hidup dari menggarap sawah orang lain. namun  apalah artinya sawah

dua kotak dan sebuah rumah gubuk yang dimakan dan ditempati bersama-sama oleh

kakek nenek dan sanak keluarga ibu nyi girah  yang jumlahnya belasan orang. Dengan

cepat harta kekayaan yang tidak seberap a itu, ludas tanpa bersisa sedikitpun. Ibunya

kembali bekerja sebagai penggarap di sawah orang, dan nyi girah  yang masih bocah

terpaksa ikut belajar bergumul dengan lumpur yang mengotori kulitnya yang putih

bersih dan "gagang ketam padi meleceti telapak tangannya yang halus. Dengan suara

memelas, ibunya lalu  berkata: 

   "Nak, kau di rumah saja. Memasak nasi untuk ibu, atau menangkap kupu-kupu..." 

   Meningkat remaja, ibunya yang tampak jauh semakin tua mengeluh: 

   "Melihat wajah dan pembawaanmu, anakku, mengingatkan ibu pada ayahmu. Orang

memandang wajahmu sambil  tersenyum kagum. Orang memperhatikan tingkah lakumu

sambil  geleng-geleng kepala. Kau tidak pantas jadi anak petani. Pantasnya kau jadi

anak tuan tanah...!" 

   saat  ibunya mau meninggal, tiada lagi harta kekayaan yang bersisa untuk diberikan

pada nyi girah  yang sedang ranum-ranumnya. Dari pembaringan di mana wanita  lesbian 

tua yang malang itu tergeletak lemah dengan nafas yang tinggal satu-satu, ibu nyi girah 

mengulurkan tangan untuk mengusap wajah anaknya. 

   "Anakku," ia berpesan. 

   "Di kampung ini, kau akan terlunta-lunta. Ibu tak punya apa-apa yang bisa

ditinggalkan untuk kau makan dan kau pakai. Paman paman dan bibi-bibi dan 

uwa-uwamu yang masih hidup, berkelana dari satu kampung ke lain kampung untuk

mengharap belas kasihan pemilik-pemilik sawah yang membutuhkan para pekerja.

Orang-orang seperti kita tidak ada yang sanggup membelamu. Paling-paling

orang-orang kaya, yang ibu tahu dan arif, suka mengganggumu. Ibu malah sering

ditawari bantuan. Ibu tahu maksud mereka. namun  ibu lebih tahu pengalaman apa yang

sudah  ibu jalani. Mereka akan tetap menganggapmu anak melarat, yang hanya patut

dibelas kasihani, namun  tidak patut untuk duduk sejajar dengan mereka. Suatu saat ,

kau akan mereka lemparkan semenamena sebagaimana mereka pernah melempar

ibu...." 

   Di antara isak tangisnya, nyi girah  mendengar pesan terakhir sang ibu: 

   "Anakku, hanya kepada satu oranglah kau bisa pergi. Ayahmu." 

   Lalu ibunya pun mati, tidak dengan tenang. 

   Dengan sedikit bekal yang dikumpulkan bersusah payah oleh sanak famili ibunya, Nyi

jessica  pun berangkat ke kota. Ia naik bus yang lewat menjelang hari siang tak jauh dari

kampung, dan tiba bersamaan dengan datangnya malam ditengah-tengah kota. Untuk

beberapa saat lamanya nyi girah  hanya terbengong-bengong memandangi terminal bus,

kagum dan suasana di sekelilingnya. Pertokoan yang ramai, gedung-gedung yang

megah, pasar yang tidak pernah diam, manusia yang hilir mudik dengan pakaian aneka

ragam yang bagus-bagus semuanya di mata nyi girah . Terpandang sandal jepit di kaki

dan rok dari bahan tetrex murahan di tubuhnya, nyi girah  tersipu sendiri. Wajahnya

merah padam tiap kali beradu pandang dengan orang-orang di terminal. 

   Barulah saat  seseorang menegur: 

   "Cari siapa, Neng?" nyi girah  tersentak. 

   Ia pandangi si penanya. Ternyata petugas de-el-el-de-terminal yang memandangi

penuh perhatian pada perawan ranum yang tampak sekali baru pertama kali

menginjakkan kaki di kota besar itu. Dengan wajah menunduk malu dan tangan

mempermainkan kuku, nyi girah  menjawab gemetar: 

   "Cari ayah, Pak...." 

   "Oo, sama-sama datang dari kampung?" 

   "Siapa?" nyi girah  gugup. 

   "Ayah eneng." 

   "Nama saya jessica , bukan Eneng...." 

   Petugas berkemeja putih bercelana biru itu terkekeh kekeh. Habis kekehnya, ia

berkata: 

   "Ayahmu. Aku bertanya, apakah ayahmu tadi datang bersama-sama dengan Eneng...

eh, Neng jessica ." Semakin jessica  tersipu. 

   "... tidak," katanya. Lambat. Hampir-hampir tidak terdengar. namun  geleng kepalanya

cukup jelas terlihat oleh si petugas. 

   "Ayah saya tinggal di kota ini...." 

   "Tahu alamatnya?" 

   jessica  menyebutkan alamat ayahnya dengan mata mengharap, semoga orang yang

berhadapan dengannya tahu di mana letaknya alamat ayahnya tinggal, semoga orang

itu kenal baik dengan ayahnya pula. Tentulah sebagai orang kaya, ayahnya cukup

terkenal. namun  waktu ia sebut alamat dan lalu  juga nama ayahnya, petugas

de-el-el-de itu hanya manggut-manggut, hampir-hampir tanpa perhatian. sesudah 

menatap sejurus pada tubuh perawan yang baru jadi di hadapannya, petugas terminal

itu  memegang tangan nyi girah . Si gadis tersentak kaget. 

   "Jangan takut," rungut si laki-laki sambil membalas pandangan beberapa orang

lainnya di terminal itu, yang memperhatikan mereka semenjak tadi. 

   "Akan kuantarkan kau ke luar terminal, di sana banyak becak yang bisa

mengantarkan kau ke rumah ayahmu...!" 

   Dan kepada abang becak yang kendaraannya lalu  dinaiki nyi girah , petugas

de-eI-el-de itu berpesan: 

   "Sampai ketemu orang yang dicari, mang!" 

   Sepanjang jalan, abang becak itu banyak bertanya tanya. Dari mana asal nyi girah ,

siapa namanya, berapa kali sudah ke kota, berapa umurnya dan sebagainya dan

sebagainya, yang hanya dijawab nyi girah   dengan kata-kata pendek-pendek. 

   Ia lebih tertarik pada jalan-jalan lebar yang diterangi lampu-lampu mercury,

kendaraan-kendaraan hilir mudik, rumah rumah megah, toko-toko yang menjual banyak

ragam pakaian dan makanan. nyi girah  semakin malu pada apa yang ia kenakan di

tubuh, dan semakin merungkut pada perut yang melilit. Ia sudah lapar sekali. Tadi

dijalan, bus berhenti di rumah makan. Banyak penumpang yang turun untuk makan.

namun  nyi girah  lebih suka duduk diam-diam, sebab  dari rumah ia sudah makan

banyak-banyak agar tidak kelaparan di jalan. 

   Toh, nanti di kota, ayahnya pasti akan memberi makanan yang banyak dan lezat-lezat.

   ".... nomor berapa rumahnya, Neng?" Pertanyaan abang becak itu menyadarkan jessica 

dari lamunannya. 

   "Tiga dua...." sahutnya. 

   "Inikah jalannya?" 

   "Benar, Neng. Nah yang ini tiga belas, nomor ganjil. Sebelah kanan, nah, nomor dua

puluh dua. Barangkali itu tuh, yang ada mobil diparkir di depannya..." 

   Bukan bayangan ayahnya punya mobil bagus yang membuat jantung jessica  berdenyut.

Melainkan bayangan ayahnya sendiri. Ia masih bocah ingusan saat  ditinggalkan oleh

ayahnya. jessica  sudah lupa-lupa ingat, bagaimana rupa sang ayah. Apakah ayahnya juga

demikian" Dan bagaimana sikap ayahnya nanti, bila ia tahu jessica , anak yang

merindukan dan sangat mengharapkan pertolongannya, tiba-tiba berdiri di

hadapannya. Dada jessica  berdebar kencang waktu becak berhenti di depan rumah

bernomor tiga puluh dua. 

   Bersebelahan dengan rumah yang ada mobil bagus di pekarangannya tadi. Di sini

tidak ada mobil. namun  pekarangannya luas. Ada taman bunga. Dan patung seorang

wanita  lesbian  dari pualam putih gemerlapan di jilat lampu neon bundar tersembul di

antara rerumputan. Dengan menjinjing tas kecil yang ia bawa dari kampung berisi dua

helai pakaian ganti dan  foto lama saat  ia masih bayi dipangku ibu disebelah

ayahnya, nyi girah  melangkahi jalan masuk pekarangan yang dilapisi batu koral. Rumah

gedung itu sepi. Tidak ada orang di teras depan. Lewat jendela kaca bertirai kain

gorden putih yang tipis, ia melihat ruangan depan yang megah dan  cemerlang, juga

tidak ada orang. Sesaat, jessica  menoleh ke belakang. Becak tadi sudah berangkat. Hanya

samar-samar terlihat melaju ditelan kegelapan malam, menghilang di sebuah

pengkolan. Tiada teman untuk berbicara. Tiada tempat lagi untuk bertanya. 

   Tinggal pada diri sendiri: bolehkah aku masuk" Ada ayah dirumah" Masihkah ia

mengakui aku datang bersandal jepit, ber-rok yang sudah lusuh sepanjang perjalanan

dari kampung, dan  muka kotor oleh debu" Apa pula kata isteri ayahnya nanti" Istri

ayahnya. Ia itu ibu tiri nyi girah . Ibu tiri. Wahai, seperti apa gerangan rasanya beribu

tiri" Dari radio nyi girah  sering mendengar lagu lagu sedih tentang ibu tiri yang.... 

   Salak seekor anjing membuat nyi girah  tersentak. Ia terpaku ditempatnya berdiri, tepat

di depan pintu, di teras. Tangannya baru saja akan mengetuk pintu tanpa melihat, atau

kalaupun melihat tidak tahu bagaimana menggunakan bel di dekat pintu itu, saat 

salak anjing yang lantang itu terdengar, jantungnya sampai berhenti berdenyut, dan

jalan darahnya bagai terputus. 

   Dengan wajah pucat ia memandang berkeliling. Liar matanya mencari. namun  ia

tidak melihat anjing datang mengejar, atau menerkam. Ia hanya mendengar

gonggongannya yang tidak putus-putus, semakin lama semakin lebar. Ia tak tahu itu

garasi samping. nyi girah  menghela nafas. Kejutnya mereda, namun  takutnya tidak. Ia

bergerak mundur. Siapa tau sewaktu-waktu pintu lebar itu terbuka dan.... 

   Dan pintu lebar itu memang terbuka tiba-tiba, ditambah bentakan: 

   "Bruno! Masuk!" 

   Gonggongan keras itu berhenti. Jantung nyi girah  berdenyut kembali. Darahnya

kembali pula mengalir. Didahului oleh seorang wanita  lesbian  gadis seumur nyi girah 

sendiri tampak anjing itu menjulurkan kepalanya lewat sela-sela daun pintu. Sebentuk

kepala yang hampir sebesar kepala jessica  sendiri, berbulu hitam pekat, bermata merah

menyala-nyala, bermoncong sempit dengan gigi taring yang mencuat ke luar dari

mulut. Seekor boxer besar, yang membuat nyi girah  bergerak mundur menjauh. 

   "Hayo, Bruno masuk!" membentak lagi gadis yang keluar dari pintu lebar itu, yang

segera ia tutupkan begitu anjing boxer tadi menarik kepalanya mundur dari sela-sela

daun pintu. Gadis itu lalu  memandangi nyi girah  dengan mata penuh selidik, dari

ujung rambut yang awut-awutan, sampai ke ujung kakinya yang telanjang, berdebu.

Sebaliknya, nyi girah  balas memandangi gadis tersebut. Bedanya, alangkah jauh. Sandal

si gadis bagus. Bajunya berwarna-warni, indah sekali di mata jessica . Tubuhnya tampak

manis. Telinganya pakai anting-anting. Bibirnya merah bersepu, pipinya semua putih

berbedak. 

   "... cari siapa?" tanya si gadis, waktu mereka beradu pandang. 

   nyi girah  mengatur nafas. Berusaha tenang: 

   "Ayah," sahutnya. 

   "Ya?" 

   "Cari ayah." 

   Kembali gadis itu memandangi sekujur tubuh nyi girah , dari ujung rambut ke ujung

kaki. Kembali pula nyi girah  membalas, memperhatikan si gadis. Tentulah ia ini anak

ayahnya dari isterinya yang sekarang. Jadi, saudara tiri nyi girah . Pantaslah ia penuh

selidik. Pantas. Ia tentu tidak mau mengaku bahwa...    "Ayahmu Siapa?" 

   nyi girah  dongkol. Ia sebutkan nama ayahnya keras keras. Dari ruang tengah, tampak

bayangan seorang laki-laki berjalan keluar. nyi girah  dan si gadis serempak menoleh

waktu pintu yang tadi mau diketuk jessica , terbuka. 

   "Mirah!" seru laki-laki itu sesudah  ke luar. 

   "Apakah taksi itu belum...." kalimatnya terputus begitu melihat ada orang lain di

samping gadis yang ia panggil dengan nama Mirah. Lalu: 

   "Siapa anak ini?" Setengah membungkuk, gadis di dekat nyi girah  menyahut: 

   "Entah, Tuan. Katanya ia mencari ayahnya." Dahi laki-laki berpakaian perlente itu

mengerut. 

   "Ayahnya?" 

   "Saya, Tuan," jessica  kini yang menyahut, mengikuti panggilan si gadis terhadap

laki-laki itu, malah juga mengikuti gerak membungkuk yang sedikit kaku. 

   "Keluarga saya memberi tahu alamat ini pada saya...." Laki-laki perlente itu

memandangi nyi girah  sejurus. Lantas: 

   "Benar nama jalannya?" 

   "Benar, Tuan." 

   "Nomor rumahnya?" 

   "Saya, Tuan." 

   "Apa?" 

   "Benar, Tuan. Nomornya sama." 

   "Eh. Kok... siapa namanya?" 

   jessica  menyebutkan nama ayahnya. Laki-laki itu berpikir sebentar, lalu 

tersenyum. Jelas tidak ramah sama sekali. Dipaksakan. namun  nyi girah  tidak merasakan

senyuman yang terpaksa itu. Ia sudah putus harapan sebab  tampaknya ia terbentur ke

alamat yang salah. Lebih-lebih lagi waktu si laki-laki tiba-tiba berujar: 

   "O, baru aku ingat. Memang dulu ia pemilik rumah ini, sebelum kami beli..." 

   "Oh" 

   "Kau siapa?" 

   "Anaknya, Tuan." 

   "Oh, ya, ya. Tadi sudah kau bilang...." lantas pada Mirah ia bersungut: 

   "Eh, kenapa masih berdiri di situ" Si boy lagi berak di kamar mandi. Ayo tunggui

sana!" 

   Mirah membuka pintu lebar tadi, disambut salak anjing, lalu  pintu tertutup

kembali. Si laki-laki perlente ikut pula memutar tubuh mau masuk ke dalam rumah. 

   "Tuan...." Laki-laki itu memandangi Nyi ljah dengan malas. 

   "Apa lagi?" 

   "Ke mana pindahnya ayah saya?" 

   "Wah. Mana aku tahu. Kalaupun tahu, aku sudah lupa. Ia sudah pindah sepuluh

tahun yang lewat... !" lantas sambil  bersungut-sungut sendirian: 

   "Brengsek benar taksi itu. Sudah sejam menunggu...."

   dan pintu dihempas tertutup. nyi girah  berdiri termangu-mangu. Wajahnya semakin

pucat. Bukan sebab  salak anjing boxer mengerikan itu masih terdengar dari balik

pintu lebar ditambah suara kuku menggaruk-garuk daun pintu, akan namun  sebab 

kepastian yang menghancurkan sisa-sisa harapannya. Bahwa ayahnya sudah  lama

pindah. Dan tidak seorang pun tahu alamatnya yang baru. Seharusnya aku tanyakan

pada keluarga ayahku di kampung, pikir jessica  sambil  berjalan meninggalkan rumah itu. 

   namun , ah. Mereka terlalu pongah. Baru saja aku tampak di kejauhan, mereka sudah

menutup pintu. Padahal aku cuma sekedar lewat di depan rumah. Diperlakukan seperti

pengemis saja. 

   Aduh, ibu, ibu! Kau beruntung. Tidak mengalami nasib seperti aku. Kemana ayah

akan kucari" Kemana, ibu" Tanpa terasa lagi, air mata nyi girah  jatuh bercucuran, ia

berjalan dengan gontai. Kakinya lemah sekali, kebingungan membuatnya lupa diri.

Tiba-tiba matanya   silau oleh cahaya silau, lantas telinganya menangkap bunyi rem

mendecit-decit nyaring, sebuah mobil berhenti didepannya lalu dari kegelapan ia

dengar suara supir menyumpah-nyumpah: 

   "Jadah! Mau bunuh diri, bukan di sini tempatnya!" 

   Lalu mobil itu melaju lagi, sesudah  nyi girah  buru-buru menepi. Selintas ia masih

sempat melihat bagaimana mobil tadi membelok memasuki pekarangan rumah yang

baru ia tinggalkan. Tentulah taksi yang ditunggu tunggu laki-laki itu sehingga tampak

sangat begitu kesal. Yang ia tahu, adalah hal yang sangat bertentangan. Ketidaktahuan.

Ke mana akan pergi! 

   "Becak, Neng?" 

   Lagi-lagi nyi girah  tersentak. Sebuah becak melaju perlahan-lahan di sampingnya. Nyi

jessica  memperhatikan pengendaranya, berharap mudah-mudahan ia adalah abang becak

yang tadi. Ternyata bukan. Yang tadi sudah tua, berwajah kelimis. Yang ini masih

muda, bertubuh kekar, dengan kumis melintang di atas bibirnya yang tebal. Seram juga,

namun  nyi girah  perlu seseorang untuk bertanya: 

   "Benarkan jalan ini jalan Pandu, Kang?" Dipanggil akang, abang becak itu tampak

senang. 

   "Benar. Mengapa?" Kalau begitu, nomor rumah tadi juga benar. Tentulah laki-laki

parlente itu tidak berdusta. Ayahnya sudah pindah. Entah ke mana. 

   "Cari seseorang, Neng?" nyi girah  tiba-tiba punya harapan lagi. 

   "Ya," katanya. 

   "Mencari ayah saya," lantas ia sebut nama ayahnya, berharap semoga abang becak

itu kenal. 

   "Di mana tinggalnya ayahmu?" tanya abang becak, sama sekali tanpa perhatian pada

nama ayah nyi girah . Jadi, orang inipun tidak tahu. Tidak kenal. jessica  semakin lemas.

Lututnya mulai goyah. Tidak saja tubuh, akan namun  juga jiwanya mulai letih. Abang

becak itu menghentikan kendaraannya. 

   "Naik saja, Neng. Kita cari bersama-sama...." jessica  menurut saja. Ia tak tau mau ke

mana pergi, namun  mudah-mudahan si abang becak bisa menanyakan alamat ayahnya

kesana kemari. Mereka berputar-putar di bagian kota, namun  perhatian jessica  pada

suasana cemerlang dan megah disekelilingnya sudah hilang. Tiada kekaguman lagi.

Tiada rasa takjub. Yang ada hanya kecemasan pikiran kalut, dan keringat dingin yang

berlelehan di ketiak. Sampai tiba-tiba becak berhenti, dan pengendaranya berkata: 

   "Kita turun di sini saja, Neng." Sesaat , jessica  melihat berkeliling. Mereka berada di

sebuah jalan aspal yang sudah rusak berat, tanpa lampu-lampu mercury, tanpa

gedung-gedung megah, tanpa toko-toko yang gemerlapan. Gelap sepanjang jalan, dan

bau busuk yang pengap terlempar dari sebuah selokan besar yang airnya

kehitam-hitaman di pinggir jalan. 

   "Di sinikah ayahku tinggal?" tanya nyi girah , memandang ke rumah-rumah

disekitarnya. Rumah rumah dari dinding papan dengan atap-atap genteng yang sudah

lumutan. Ayahnya kan orang kaya, tidak mungkin dia.... 

   "Kita tak tahu di mana ayahmu tinggal, Neng. Aku yang tinggal di sini. Mau ikut?"

jessica  kebingungan. Abang becak itu tersenyum lebar, sambil  memperhatikan sekujur

tubuh dan wajah jessica  dengan mata lebar. 

   "Kau tentu lelah. Perlu istirahat. Mandi, makan, lalu tidur..." 

   Ya, ya, orang ini benar, pikir jessica , lantas turun dari becak, berjalan mengikutkan

laki-laki itu memasuki salah sebuah rumah petak tak jauh dari selokan. Rumah itu

berlantai tanah ruang depan yang sempit hanya diisi kursi rotan yang sudah reot,

diterangi lampu 25 watt. Ruang tengah merangkap ruang makan dan ruang dapur,

dengan perabotan ala kadarnya, lalu sebuah kamar berpintu kayu yang kapurnya sudah

luntur. Orang itu mengatakan ia tinggal sendirian dirumah ini, jadi jessica  tak usah malu

malu. Ia menyuruh jessica  mandi ke sumur di belakang. Tertawa dengan ramah di mulut,

dan tersenyum nakal di matanya yang tak berkedip memandangi perawakan tubuh dan 

raut wajah nyi girah . 

    "Kau bertele-tele," rungut syam kamaruzaman  memotong cerita nyi girah  yang terbujur diam

dihadapannya. 

   Mulut si mayat kumat-kamit melontarkan sumpah serapah yang samar-samar

kedengaran. lalu : 

   ".... aku menceritakan..." Nafasnya terdengar berat dan lelah. 

   "Menceritakan apa yang... yang ada hubungannya dengan suamiku, seperti yang

kau... kau minta!" 

   "Langsung saja!" 

   "Tidak. Kau harus tahu bagaimana mulanya aku bertemu dia. Kau harus tahu

bagaimana baiknya ia padaku. Kau harus!" Suara nyi girah  terdengar penuh semangat. 

   "Ia benar-benar seorang lelaki yang patut didambakan wanita manapun di dunia ini.

Ia...." 

   "Baik. Ia laki-laki terbaik. namun  ceritakan tentang dia saja. Tak usah bawa-bawa

nama tukang becak yang tidak karuan itu." 

   "Tanpa abang becak itu, tak akan aku bertemu dengan suamiku!" desis mayat Nyi

jessica . Marah. 

   "Hem!"

   Beberapa saat hanya terdengar nafas-nafas lelah saja. syam kamaruzaman  membiarkan. Kebulan

dari dupa sudah  menipis. Ia tambahkan sebonggol kecil lagi batu menyan. Membersit

bunyinya. sebab  asap dupa tidak membesar juga, syam kamaruzaman  mengipas-ngipas dupa itu

dengan sarung hitam. Asap dengan cepat berkebul, membawa bau khas yang

mendirikan bulu roma orang-orang yang tidak menyukainya. Dan jessica ! Ia

terbatuk-batuk. 

   "Asap itu!" katanya setengah merintih, di antara suara batuk yang

menguncang-goncang tubuhnya. 

   "Asap itu. Hentikan!" 

   "Akan kuhentikan, begitu selesai ceritamu!" 

   "Baik. Baik. Akan kuteruskan. namun  asap itu, aduh... huk... Uhuuk! Uhuuk...!" Suara

batuk nyi girah  terdengar sampai ke luar rumah. jessica  yang beberapa saat

berselang mendengar jeritan anak angkatnya yang sudah mati itu, kembali tertegun di

dekat sebuah batang pohon besar, hanya beberapa meter lagi dari rumah pak lurah. Ia

memutar tubuh, memandang ke arah rumahnya di kejauhan. namun  yang ia lihat hanya

malam yang pekat, kehitaman yang mencekam. Suara batuk-batuk barusan tidak

sekeras jeritan tadi. Namun, di malam sesunyi sekarang, disaat mana jangankan

tetangga tetangganya, bahkan jengkerik pun pada takut untuk menimbulkan suara.

Suara batuk-batuk itu terdengar sangat jelas memecah kesepian malam. 

   "Anakku...." bisik jessica . Parau. 

   "Apakah kau...." Ia ingin berlari. Pulang. Untuk membuktikan bahwa anak angkatnya

tersayang tidak mati, akan namun  masih hidup. Atau si dukun penunggu jenazah itu sudah 

menghidupkannya kembali. jessica  ingin berlari ke sana, secepatnya, sekuatnya. Tak

perduli apa nanti kata syam kamaruzaman . namun  waktu ia gerak-gerakkan kaki, aduh, lemasnya.

Otot-otot jessica  teramat kejang. Tidak, ia tidak sanggup berlari ke rumah. Tidak

pula ia sanggup memandang muka syam kamaruzaman  yang pasti akan marah besar sebab  merasa

diganggu. Lebih baik ia teruskan perjalanan ke rumah pak lurah. Bahkan untuk

memutar tubuh kembali pun, otot-otot kaki jessica  terasa lemah sekali. Ia tahu rumah

pak lurah tinggal beberapa langkah lagi. Ia kuat-kuatkan hati. Ia kuat-kuatkan pula

kaki. Suara kaki-kakinya menjejak di tanah, biasanya tidak terdengar sama sekali.

Tanah terlalu lembut untuk memantulkan jejak-jejak kaki tua dan lemah, setua dan

selemah kaki jessica . Namun di telinga wanita  lesbian  tua itu, suara-suara jejak kakinya

di tanah terdengar berdebum-debum, seperti langkah-langkah kaki raksasa. Ia cemas

memikirkan nasib anak angkatnya di rumah. namun  kecemasan itu, perlahan-lahan

dirayapi perasaan takut oleh bunyi langkahnya sendiri. 

   Benar-benar berisik. Arwah-arwah yang selama ini terbaring tenang dalam

kegelapan, bisa bangkit sebab  marah. Termasuk arwah anak-angkatnya. Ah

   " Arwah anak-angkatnya" jessica  tertegun sesaat. Bagaimana kalau arwah

anak-angkatnya yang bangkit. Bila itu terjadi, tentu ia tidak melihat nyi girah  berjalan

lemah gemulai mendatanginya, melainkan berjalan tanpa menjejak di tanah. Mungkin

terbang, sambil  menyeringai, tertawa terkikik-kikik, menggendong mayat bayinya yang

berbentuk aneh itu.... 

   Hiiii! 

   "Tidak!" bisik jessica , menghibur dirinya. 

   "jessica  tak akan jadi kuntilanak. Tak...." Suaranya terputus sampai disitu. Ia mendengar

sebuah suara. Suara yang aneh. Seperti orang batuk. Bukan batuk nyi girah , melainkan

batuk lelaki. Kering dan serak. Jelalatan mata jessica  melihat ke kiri ke kanan,

menembus kegelapan malam, ia menoleh ke belakang terus membesarkan mata

memandang ke depan. Kegelapan semata. Paling-paling tampak bayang-bayang pagar

bambu... 

   Ah, mungkin hanya lamunanku saja, pikir jessica  lalu melangkah lagi. Pelahan,

agar tak terdengar suara kakinya, agar tak berisik membangkitkan arwah-arwah

dikegelapan malam, agar.... 

   "Hheeeeiii...!" 

   Suara berat itu jelas sekali terdengar. Dekat di telinganya. Sebelah kiri, jessica 

menggigil. 

   "Lihat ke mariii...!" 

   "Ap... appaaa?" sentak jessica , sengau, lalu menoleh ke kiri. 

   "... mendekatlah!" 

   jessica  mendekat. Ada kekuatan gaib yang menyuruh mendekat, melewati

pepohonan yang hitam, memasuki kegelapan yang lebih hitam lagi. Semakin dekat,

semakin ia dengar suara ganjil itu. Suara yang berat, letih, serak, desah-desah nafas

yang tersentak-sentak, mirip desah nafas kerbau yang sekarat dengan leher yang putus

disembelih... 

   Di rumah jessica , mayat nyi girah  melanjutkan ceritanya dengan desah nafas yang

sama letihnya; Sebagai gadis kampung, hatinya polos tanpa  prasangka. Abang becak

itu ia anggap sebagai penolong, dan besok pasti bersedia mencarikan alamat yang baru

dari ayahnya. Laki-laki ini begitu baik. Membolehkannya ikut dengan becaknya tanpa

membayar. Coba kalau nyi girah  harus jalan kaki! Membawanya ke rumahnya. Coba,

kalau tidak, di mana jessica  harus tidur" Disini, sebelum tidur ia malah diberi makan

sekenyang-kenyangnya. Sehingga begitu ia baringkan tubuh di dipan kecil dalam kamar

satu-satunya di rumah petak itu, ia lantas terlelap seperti seorang puteri yang habis

bermain yang melelahkan sepanjang hari. Dalam tidurnya ia bermimpi. Ia lihat

ayahnya datang. Ia lupa-lupa ingat wajah ayahnya, hanya tahu dari potret. Setahunya,

ayahnya bermuka kelimis. namun  yang datang ini, berkumis, dengan rambut awut

awutan tak terurus. Ia mendekati jessica , mengulurkan tangannya. jessica  berharap ayahnya

memeluknya sambil  mengucapkan kata-kata: 

   "Anakku. Anakku yang malang, syukurlah kita bertemu, Nak." jessica  ingin berkata: 

   "Ayah! Ayah. Dari mana kau ayah" Di mana kau tinggal dan mengapa..." jessica 

tersentak. Laki-laki yang ia sangka ayahnya itu, memang memeluknya. Kuat sekali.

namun , laki-laki itu berbuat lebih dari sekedar memeluk. Ia juga mencium jessica . Bukan

saja di pipi, namun  juga di leher, di bibir, bahkan jari jemarinya yang kasar

meremas-remas dada jessica  yang baru tumbuh. jessica  terlonjak. Bangun dengan kaget.

Ternyata abang becak yang mengajaknya tidur di rumah petak itu yang tengah

menggeluti tubuhnya. 

   "Kang!" katanya. 

   "Mau apa kau, Kang?" 

   "Hem, diam-diamlah, anak manis. Kau akan senang." 

   "Kang, aduh!" Abang becak itu merenggut pakaian yang melekat di tubuh nyi girah .

Gadis itu mau menjerit, namun  mulutnya keburu di bungkam oleh si laki-laki. 

   "Kalau kau menjerit lagi, kupukul kau. Mengerti?" Dengan mata melotot ketakutan.

nyi girah  mengangguk-anggukkan kepala. 

   "Nah, berlakulah seperti anak manis. Kau sudah  kutolong, dan aku akan terus

menolongmu...!" namun  jessica  sempat juga memekik tertahan, manakala laki-laki durjana

itu berhasil merenggut keperawanannya. Gadis itu menangis, tidak saja oleh rasa

kesakitan, akan namun  juga rasa sedih dan takut. Laki-laki itu berulang kali melakukan

hal yang sama atas tubuh nyi girah , sehingga gadis itu hampir jatuh pingsan. Ia tak bisa

bangkit dari tempat tidur, sewaktu pagi harinya abang becak itu keluar sesudah  lebih

dulu meninggalkan ancaman: 

   "Jangan coba-coba lari. Kau akan kubunuh, bila kutemukan!" Jangankan lari. Turun

saja dari tempat tidur jessica  tak sanggup. Mana pintu dikunci pula dari luar. Ia hanya

menangis sampai matanya bengkak terus menerus. Akhirnya laki-laki itu datang,

menyuruhnya mandi dan berganti pakaian, memberinya makan nasi bungkus. namun 

jessica  tidak bisa menikmati makanan yang dalam keadaan lain pasti sangat enak itu. Ada

goreng ayam, ada gulai hati dan petai rebus. 

   "Bawa aku pergi dari sini. Bawa aku ke ayahku," tangisnya. Laki-laki itu tertawa. 

   "Kau memang akan kubawa pergi. namun  mana tahu aku, di mana ayahmu tinggal"

namun , senangkanlah hatimu. Kau akan kubawa ke sebuah rumah di mana kau bisa

hidup senang...." Dan laki-laki itu membawanya ke sebuah rumah yang lumayan megah.

wanita  lesbian  setengah baya pemilik rumah itu berwajah manis, bersenyum manis. Leher,

pergelangan tangan, jari jemari, telinga bahkan pergelangan kakinya penuh dengan

perhiasan emas yang bagus-bagus. Rumahnya mempunyai banyak kamar, dengan

perabotan yang bagus-bagus. Anak anaknya, semua anak gadis, berperawakan,

berwajah dan berpakaian bagus-bagus. jessica  pun lalu  diberi pakaian dan kamar

yang bagus. Perasaan sedih dan sakit hatinya akan perbuatan si abang becak,

perlahan-lahan lenyap, sampai suatu malam, seorang laki-laki datang ke kamarnya,

menutup pintu bahkan menguncinya sekalian. Dan laki-laki itu, berbuatlah hal yang

sama terhadap jessica . 

   Memperkosanya! 

   "sudah  kubeli kau dengan harga mahal dari penarik becak itu!" rungut induk

semangnya, saat  jessica  mengeluh keesokan harinya. 

   "sebab  itu, kau harus menurut dengan patuh, apa saja pun yang diperbuat laki-laki

yang datang ke rumah ini, pada dirimu. Mengerti"!" Dan laki-laki demi laki-laki, silih

berganti menikmati  tubuh nyi girah . Di kamarnya, atau ke luar dari rumah, naik mobil

ke hotel atau ke luar kota. Begitu terus dari hari ke hari, minggu ke minggu, sampai

berbilang tahun. Ia sudah melupakan ayahnya. namun  ia tidak bisa melupakan sakit

hatinya. Abang becak itu sudah  menjual tubuhnya, dan hanya memberi sedikit bagian

saja, sekedar makan enak, dan bisa membeli pakaian bagus dan  sedikit perhiasan. jessica 

tak boleh memiliki banyak uang, dan tiap kali menerima pembayaran dari laki-laki yang

mencarternya, harus menyetorkan uangnya pada wanita  lesbian  bermuka manis namun

berhati busuk itu. 

   "Aku ingin keluar!" Pernah ia berkata dengan marah. 

   "Pergilah. Dan tukang-tukang pukulku akan menyilet mukamu yang cantik biar cacat

seumur hidupmu. Lalu kau mereka lemparkan ke pinggir jalan supaya hidup sebagai

seorang pengemis. Masih mau pergi, oh?" Tidak. jessica  tak mau mukanya disilet. Ia tak

sudi dilempar ke pinggir jalan. 

   "Kau harus pindah. wanita  lesbian  itu memerasmu. Kau pantas untuk hidup senang, dan

diperlakukan sebagai wanita  lesbian  terhormat!" seseorang tiba-tiba berkata begitu

padanya. Dan orang itu terus menerus menekankan hal demikian. Dan ia memang

memperlakukan jessica  sebagai. wanita  lesbian  terhormat. Diajak keluar rumah makan

minum di restoran, masuk nite club, nonton, piknik, semua tanpa memperlakukan

tubuhnya sebagai mana diperlakukan oleh laki-laki lain. Paling-paling laki-laki itu...

yang juga membayar sebagaimana laki-laki lain membayar jessica , hanya memeluk

dengan lembut, dan mencium dengan penuh kasih sayang, diakhiri dengan sebuah

kalimat pendek yang membuat nyi girah  merasa hidup kembali: 

   "Aku akan memperisteri kau, sayangku!" Dan laki-laki itu menebus jessica  dengan harga

yang mahal. namun , ia juga lalu  hari terpaksa harus menebus tekadnya untuk

memperisteri jessica , dengan harga yang jauh lebih mahal. 

   "Dia kan laki-laki yang kau maksud makamnya harus harus kita Cari?" Lagi-lagi

syam kamaruzaman  menukas cerita nyi girah  dengan tidak sabar. 

   "He-eh...." 

   "Ceritakan kenapa ia mati. Ceritakan mengapa kau tidak tahu di mana jenazahnya

dimakamkan. Kau menghabis-habiskan waktuku dengan kisahmu yang berlarut-larut

itu!" Kembali mulut mayat yang terbujur di lantai bergerak gerak melontarkan sumpah

serapah pertanda ia sangat marah. 

   "Ia laki-laki yang baik. Ia laki-laki yang harus dihormati. Ia...." 

   "Ya, aku tahu. Aku tahu!" rungut syam kamaruzaman . 

   "Bagaimana kematiannya terjadi?" 

   "Mana aku tahu?" Suara mayat itu, letih dan marah. 

   "Sebabnya?" Kalau saja jasad itu hidup, tentulah sudah tergoncang goncang

menahan amarah. namun  sebab  jasad itu jasad mati, hanya mulut kemak-kemiknya

saja yang sanggup melontarkan sumpah serapah tidak berkeputusan, sampai syam kamaruzaman  ikut

marah. 

   "Hentikan menghinaku, atau kau kubiarkan gentayangan jadi kuntilanak

menggendong mayat bayimu kemana-mana!" bentaknya. 

   Mayat itu terbatuk. 

   "Baiklah. Baiklah.... Kaulah yang harus bersabar sedikit." 

   "Eh, mayat terkutuk. Mau tawar menawar pula lagi!" 

   "Kumohon...." 

   "Hem, lanjutkanlah." 

     Jauh di luar rumah, Bi Enjuh mendengar lanjutan dari ucapan-ucapan aneh dari

dalam kegelapan di depannya: 

   "Kau kembalilah ke rumah itu!" jessica  membesarkan mata. namun  ia tidak melihat

apa-apa. 

   "Kau, siapa?" tanyanya, takut. 

   "Tak perlu tahu. Kembalilah kesana, dan lihat apa yang dilakukan oleh syam kamaruzaman  laknat

itu pada mayat anak angkatmu!" 

   "Mengapa... kau tidak pergi sendiri melihatnya?" Terdengar suara orang meludah.

Lalu gerutuan marah: 

   "Jadah. Beras putih yang ia tebarkan mengelilingi rumah itu. Aku tidak bisa

mencarinya malam-malam begini, dan memungutinya satu persatu. Aku tak bisa

menerobos ilmu sihir yang...." 

   "Sihir?" jessica  menggigil. 

   "Jadah!" makian lagi, lalu: 

   "Hufff", seperti suara orang meniup. Angin dingin menampar wajah jessica ,

sampai beku rasanya kulit mukanya. Begitu angin dingin itu lenyap, jessica  tidak

ingin berkata apaapa lagi. Malah tidak ingat apa-apa lagi, siapa dirinya, di mana ia

berada, siapa orang itu, apa maunya. Ia berdiri kaku, wajah kaku, pandangan mata

kaku. 

   "Salahmu!" Terdengar lagi suara dari kegelapan. 

   "Terlalu ceriwis. Dasar nini-nini! Pergi sana, dan lakukan apa yang kuperintahkan!"

Angin bertiup lagi. jessica  memutar tubuh. Kaku. Dan perlahan sekali. Ia melangkah.

Kaku. Juga perlahan sekali. Ia sudah  dijadikan robot hidup oleh makhluk asing yang

mempengaruhi jalan darah dan pikirannya. Dalam keadaan biasa, dalam beberapa

menit ia akan bisa sampai di rumah. namun  dalam keadaan serupa itu, mungkin banyak

waktu yang ia perlukan. 

   "Nenek sialan!" maki suara dalam kegelapan. 

   "Tulang tulangnya bisa bercopotan dipengaruhi ilmuku. Apa boleh buat. Aku harus

tahu apa yang dikerjakan musuhku itu. Mudah-mudahan saja si nenek ini tidak mundur

dan berlari menjauh dari rumahnya, begitu pengaruhku hilang di saat ia menginjakkan

kaki melewati garis ilmu si penunggu jenazah itu!" 

    Penunggu jenazah itu mendengarkan dengan sabar. jessica  lalu  menikah dengan

lak-laki yang mengangkatnya dari dunia hitam yang nista itu, dengan mendapat

tantangan keras dari orangtua si laki-laki. Suaminya bukan saja tidak diaku anak lagi,

malah dikutuk agar hidup sengsara dan menderita, selama ia bersikeras untuk

berumah-tangga dengan bekas pelacur bernama jessica  itu. 

   "Mula-mula kutuk itu kami anggap sepi," ujar jessica  lirih. 

   "namun  usaha suamiku, kekayaan yang kami miliki, ludas dengan cepat. Kami

berusaha menghemat, namun  ada saja pengeluaran yang tidak terduga. Suamiku

seringkali jatuh sakit, dan aku semakin disingkirkan tiap kali ia mulai sehat kembali..."

sebab  panasaran, nyi girah  mendatangi seorang dukun. 

   "Suamimu diguna-gunai keluarganya," ujar dukun itu. 

   "Tolonglah aku melawan guna-guna itu," mohon jessica . 

   "Wah. Berat. Orang yang dipakai keluarga suamimu bukan kaliberku. Ilmunya tinggi.

Kau harus mencari guru yang lebih tinggi dari dia." 

   "Siapa" Di mana tempatnya" Berapa biayanya?" desak nyi girah  tidak sabar. 

   "Hampir-hampir tanpa biaya. Ia hanya memberikan syarat-syarat tertentu. Akan

kuberitahukan tempatnya padamu!" Tempatnya jauh. Di lereng sebuah gunung yang

jarang dijamah manusia. Gurunya bukan sembarang guru. jessica  harus menyerahkan

tubuhnya untuk ditiduri sebagai syarat utama, meskipun... 

   "Wah, sudah  larut malam!" protes syam kamaruzaman  tiba-tiba sewaktu ia dengar lolongan anjing

yang lirih menyayat tulang di luar rumah. Lolongan itu ditambah dengus kuda yang

keras. 

   "Persingkat ceritamu. Hanya tentang suamimu, sudah kubilang berkali-kali padamu!"

Mayat nyi girah  terdiam sebentar. Sepasang matanya yang terbuka lebar dengan

manik-manik yang sudah mati, memandang langi-langit kamar dengan kosong. Lalu: 

   "... aku pulang ke rumah, sesudah  apa yang kukehendaki kuperoleh. namun  di sana

sudah  ada mertuaku, dan banyak sekali orang. Ternyata suamiku sudah  mati waktu

mereka tiba dirumahku." jessica  dikutuk tidak saja oleh mertuanya, namun  juga

kebanyakan orang di tempat itu. Ia dituduh sudah  meninggalkan suami yang tengah

sakit, dituduh mencari laki-laki lain, melacurkan diri. Ia lalu  diusir, dan mayat

suaminya dibawa pergi oleh mertuanya, betapa pun jessica  bersikeras untuk memakamkan

sendiri suaminya. Dalam keputusasaan, jessica  lari pada gurunya ditengah hutan, dan

memperoleh jawaban: 

   "Lawanku kalah. Ia marah, dan lupa diri. Gunagunanya ia rubah jadi sumpah

kematian. Itulah sebabnya begitu kau pulang, suamimu sudah  tiada." jessica  jadi putus asa.

Ia ingin bunuh diri. namun  gurunya berkata dengan tegas: 

   "Kematian itu akan datang sendiri. namun  bukan sekarang waktunya...!" Dan

kandungan di perut nyi girah , memberi dorongan untuk menunda datangnya kematian

itu. 

   "Anakku... harus hidup...." desis mayat nyi girah . 

   "Ia satu-satunya peninggalan suamiku. Satu-satunya yang paling berharga di dunia

ini. sebab  itu aku pun... harus hidup... demi anakku. Aku lalu meninggalkan hutan, dan

terdampar di kampung ini...." Mayat itu menghentikan ceritanya dengan nafas lirih dan

teramat letih. 

   "namun  saat  anakku lahir... ternyata anakku... anakku...." Suara tangis menyayatkan

hati, menggaung di dalam rumah. 

   "Hem!" Berengut syam kamaruzaman . Ia mengembangkan kedua tangannya. Ia putarkan secara

bersilang di atas wajah mayat nyi girah . Suara tangis itu perlahan-lahan hilang, mulut

yang kemak-kemik itu lalu  berhenti. Yang terdengar adalah suara syam kamaruzaman  membaca

mantera, gerakan tangannya yang semakin liar, lalu  bentakan yang halus: 

   "Sekarang, sebagai imbalan bantuanku, kau harus memenuhi syarat yang

kukehendaki." Mulut mayat itu bergerak-gerak: 

   "... ap-paaa?" 

   "Kau harus bersedia kusenggamai!" Terdengar pekik halus. Lalu: 

   "Tidak... aku tak sudi!" 

   "Harus!" syam kamaruzaman  terkekeh. 

   "Bukankah kau sudah biasa begitu dengan banyak lelaki lain?" 

   "Aku... aku tak keberatan. namun  kau harus tahu... aku sedang kotor.... darahku,

kotor... Lagipula, kau harus tahu siapa guruku dan apa yang ia tentukan sebagai..." 

   "Aku tak perduli siapa gurumu. Kau sudah  mati jadi kau bukan muridnya lagi." Suara

memelas dari mayat nyi girah , tiba-tiba berubah jadi suara mengikik. Ya. nyi girah 

tertawa mengikik. 

   "Kau...." katanya sambil  terkikik-kikik. 

   "Kau tak tahu sumpahku yang segera akan terjadi... kau... penunggu jenazah terkutuk.

Teruskan niatmu, teruskanlah, dan kau akan menyesal. Aku mengutukmu, aku...." 

   "Arwah yang kembali!" seru syam kamaruzaman  keras mengatasi suara ketawa mengikik dan

sumpah serapah mayat nyi girah . 

   "Hangatilah jasadmu yang diam ini. Isilah jalan darahnya kembali...!" Habis berkata

begitu, 

   "Jress!" syam kamaruzaman  menyayat urat nadi lengan kirinya pakai pisau cukur. Darah

menyembur, bersimbah di dua jantung mayat. Terdengar pekik nyaring,

melengking-lengking. Di luar rumah, penduduk kampung meringkuk dibalik selimut

masing-masing. Takut dan ngeri. Tidak ada yang bergerak dari tempatnya. Termasuk

jessica , yang sudah berada dalam garis pengaruh ilmu si penunggu jenazah.

Begitulah ia tiba di garis itu, lenyaplah pengaruh ilmu dari orang yang bersembunyi

dalam kegelapan nun tak jauh dari rumah pak lurah. jessica  tersadar dari kesima. Ia

dengar pekik nyi girah  yang memilukan hati. Ia dengar lolongan anjing didekatnya,

panjang dan lirih, dengus kuda yang keras dan menyembur nyembur, lantas merasakan

ketakutan dalam dirinya. Lama ia tertegun di tempatnya berdiri, sementara jeritan itu

perlahan-lahan menurun lalu  tidak terdengar sama sekali. Yang terdengar hanya

lolongan anjing, dengan kuda, bersahut-sahutan, lalu terlihat bayangan kereta dan peti

mati di atasnya, hanya beberapa langkah dari tempat jessica  berdiri. Tubuhnya

menggigil dengan hebat. 

   "... apa... apa yang harus kulakukan?" ia berbisik ketakutan, memandang berkeliling,

ke arah kegelapan. Tidak. Ia tidak berani mengganggu syam kamaruzaman . namun  di sana... dalam

kegelapan, makhluk yang tidak terlihat itu, suaranya yang mendirikan bulu roma, dan

pengaruh gaibnya yang membekukan tubuh dan perasaan... 

   Tidak, jessica  juga tidak berani kembali kesana. Ia harus masuk ke dalam rumah.

Rumah yang terdekat, adalah rumahnya sendiri. Tak ada jalan lain. Perlahan-lahan, ia

masuk ke dalam rumah dengan  berjingkat-jingkat, berharap syam kamaruzaman  tidak mendengar

lantas terusik pekerjaannya. namun  lolongan anjing si penunggu jenazah yang

lalu  menyentak nyentak tinggi membuatnya terkejut. 

   "Tolong!" jessica  menjerit tertahan, lantas menghambur ke ruang tengah. Di sana,

ia tertegun. Dan terkesima kembali. Dia melihat sebuah pemandangan yang sangat

ganjil di lantai, di atas hamparan permadani, ia lihat dua sosok tubuh yang tidak

mengenakan pakaian selembar pun tengah bergelut. Masih sempat ia perhatikan baik

baik, apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh nyi girah , anak angkatnya yang sudah mati,

tergeletak diam, sementara syam kamaruzaman  dengan liar menggagahinya.... 

   "Ya Allah!" keluh jessica , lantas dengan rona ngeri tiada tara di wajahnya,

wanita  lesbian  itu sesaat  menghambur ke luar rumah. 

   "Aaaak!" syam kamaruzaman  menjerit mendengar seruan jessica , meloncat berdiri, menyambar

pakaian dan sarung, mengenakannya buru-buru. Ia terus berteriak kesakitan sambil 

memegangi kedua telinga, menutupnya rapat-rapat dengan telunjuk, sampai lalu 

tubuhnya menjadi tenang kembali. Pada waktu matanya ia buka ia masih sempat

melihat tubuh jessica  yang berlari ke luar. Ia hampir saja berlari menyusul kalau

saja suaranya tidak menangkap perubahan pada mayat nyi girah , yang tergeletak

dengan posisi tidak karuan di lantai. Tadi, kulit tubuh itu halus dan licin. Kini tampak

kasar, berbulu kehitam-hitaman, makin lama makin lebar, memenuhi seluruh tubuh

kecuali bagian-bagian tertentu. Dahi nyi girah  menyempit, hidung dan mulutnya

melebar. Dari sudut-sudut mulutnya keluar taring-taring tajam dan panjang. 

    syam kamaruzaman  jatuh terduduk di lantai. Sekujur tubuhnya lemas dan gemetar. Ya, tidak

perduli lagi apakah jessica  lari ke salah sebuah rumah dan dengan ribut

menceritakan apa yang tadi ia saksikan. Ia tidak perduli. Bahkan bila pun penduduk

nanti datang beramai-ramai untuk membunuhnya, syam kamaruzaman  juga tidak perduli. Toh nanti

ia bisa mempengaruhi pikiran wanita  lesbian  itu agar bercerita lain di hadapan semua

orang. Ia akan gunakan dan ia percaya, orang-orang akan mengiyakan bila ia tuduh: 

   "wanita  lesbian  tua mengatakan!" Ia akan mempengaruhi mereka semua. Akan membuat

mereka percaya. Kini, ia sendiri yang terpengaruh. Tidak percaya dengan apa yang ia

saksikan dengan mata kepalanya sendiri. wanita  lesbian  muda yang terbujur mati di lantai,

payudaranya basah oleh darah bercampur keringat syam kamaruzaman , tengah menistanya! 

   Terdengar suara mengekeh berat dari mulut mayat: 

   "... muridku... sudah memperingatkan kau. namun  kau tidak mau dengar. Kau...." 

   syam kamaruzaman  memusatkan pikiran. Memusatkan jiwa. Kala, sambil  memejamkan mata, ia

menyenggak: 

   "Katakan, siapa kau gerangan!" 

   "Aku gurunya!" 

   "Mengapa kau mengusik pekerjaanku" Bukankah muridmu sudah mati dan tidak layak

lagi kau ganggu gugat?" 

   Suara terkekeh itu menggema lebih berat. Lalu: 

   "Kau yang mengusikku. Mengusik jasad muridku. Pengabdiku, bila mati, tepat tengah

malam dan berubah jasad seperti jasadku. namun  kau menggagalkan pekerjaanku. Kau

menggoda muridku. Aku terpaksa memunculkan wujudku pada jasadnya. Supaya kau

tahu kau tidak patut menjamah tubuhnya. Hanya aku. Hanya aku yang berhak

menjamahnya...." 

   "Pantas. Pantas bayi nyi girah  yang sudah mati, berujud sebagian manusia, sebagian

kera, demikian menurut yang kudengar...." 

   "Terkutuk. Bayi itu percampuran kasihku dengan benih suami wanita  lesbian  ini. Ia lahir

membawa jiwa ayahnya, namun  membawa perwujudanku sekaligus. Untunglah ia mati.

Orang akan membencinya bila ia hidup dan aku tidak bersedia didekatinya sebagai

ayah kedua itu akan membuatku celaka. Biarlah ia mati serupa itu. Mati tanpa terusik

oleh kekuatan apapun, kecuali penciptanya. Hanya yang ini pengabdiku yang muda,

cantik dan patuh ini, harus kubawa. Sekarang juga!" 

   "Tidak. Itu tidak boleh kau lakukan!" dengus syam kamaruzaman . 

   "Aku berhak!" 

   "namun  kita harus saling menghormati pekerjaan kita satu sama lain. Aku

melaksanakan amanat. Amanat orang yang mau meninggal. Amanat nyi girah . Aku

harus memenuhinya sebab  aku sudah  berjanji..." 

   "Apa amanatnya itu, ?" 

   "Ia ingin dimakamkan di samping makam suaminya!" 

   "Hem..." 

   "Pergilah. Kumohon, pergilah. Waktuku tinggal sedikit...!" 

   "namun ...." 

   "Kumohon padamu, siapapun jua kau adanya. Manusia biasa seperti aku, atau setan

seperti yang kuabdi. Aku tidak tahu muridmu masih menjadi hakmu, sesudah  ia mati.

Sungguh, aku tidak tahu... kini, pergilah. Jangan mengusik pekerjaanku, dan akupun

tidak akan mengusik keinginanmu. Kau boleh ambil muridmu ini kembali, apabila

tugasku sudah  kuselesaikan." 

   Lama tak terdengar jawaban. syam kamaruzaman  hampir-hampir tak sabar. Mantera-manteranya

ia bacakan sekuat-kuat ia bisa, asap pedupaan menyan ia hembus semampu ia dapat.

Terdengar suara batuk-batuk, suara helaan nafas berat, lantas suara seperti igauan: 

   "... kukira kau benar. Aku akan mengambil muridku dari makamnya nanti. Tugasmu

tidak gampang, bukan?" 

   "Aku akan berusaha. Kau sudah  mengusikku, danmasih ada orang lain di luar sana

yang bermaksud mengusikku. Orang itu tidak menghormatiku, mungkin sebab  aku juga

ia kira tak pernah tidak menghormati pekerjaannya. namun  aku menghormatimu. Aku

sudah  meminta maaf. Kumohon, agar kaupun menghormatiku barang sedikit...." 

   Terdengar tawa parau. Mengakak, diselang-seling oleh suara mengik-ngik-ngik-ngik,

suara kera besar yang banyak berkeliaran di hutan-hutan terlarang. syam kamaruzaman  merasakan

sekujur tubuhnya bersimbah peluh dingin, lalu  angin gersang menyapu ruangan

itu, dan ketenangan kembali pada dirinya. Ia membuka matanya, memperhatikan

berkeliling ruangan, menembus asap menyan yang berkebul, baru lalu 

memusatkan pikiran kembali sambil  bergumam lemah lembut: 

   "nyi girah , perlihatkanlah wujudmu yang asli." Lalu: 

   "Puah!" 

   Ia meludah ke dada mayat. Terdengar rintihan kesakitan, suara erang yang

terengah-engah, lalu sepi menyentak. syam kamaruzaman  membuka matanya. Di lantai, terbaring

jasad nyi girah . Tiada bulu-bulu hitam yang lebat, tiada kening yang sempit, hidung dan

mulut yang lebar, ataupun taring tajam mengerikan. Yang ada hanyalah sesosok tubuh

lemah, berkulit halus dan licin, berbibir bagus, berdahi manis, berhidung indah...

dengan sepasang mata yang masih tetap terpentang lebar lebar, persis seperti mata

yang dilihat syam kamaruzaman  atau dilihat orang-orang, dikala wanita  lesbian  muda yang malang itu

menghembuskan nafasnya yang terakhir. syam kamaruzaman  terperangah. Lelah. 

   "Sekarang." bisiknya lemah, ditujukan ke arah jantung nyi girah . 

   "Hai kau roh yang sudah  sempat gentayangan, pergilah. Tunjukkanlah di mana letak

mayat suami wanita  lesbian  ini, tunjukkanlah kedalam pikiranku. Tunjukkanlah, hai kau

roh yang penasaran...!" Ia bersimpuh, membaca mantera perlahan-lahan sambil

memusatkan jalan pikirannya. Ada hentakan- hentakan halus di belakang kepala, pada

otak syam kamaruzaman , lalu  lecutan-lecutan keras sehingga tubuh syam kamaruzaman  terombang-ambing

ke kiri dan ke kanan. Angin keras bertiup dalam ruangan, membuyarkan asap menyan

yang berkebul-kebul, berputar seperti angin puyuh di atas ubun-ubun syam kamaruzaman . saat 

desau angin itu berhenti dengan sendirinya, syam kamaruzaman  menganggukkan kepala. 

   "Aku tahu. Aku tahu sudah..." desahnya. Lirih. Dan letih. lalu , ia membaca

mantera lagi, lalu diam. Tiada suara apa-apa lagi yang terdengar dalam ruangan.

Apalagi di luar rumah. Anjing syam kamaruzaman  merintih perlahan. Kuda didekatnya

menghentak-hentakkan kaki dengan enggan. Lolongan anjing dan hentakan kaki kuda

itu demikian halusnya sampai-sampai tidak terdengar oleh telinga biasa. Apalagi

telinga penduduk desa itu, yang sedang menciutkan tubuh sekecil mungkin, agar tidak

terlihat dan terjamah oleh hantu mengerikan yang sewaktu-waktu bisa muncul. Namun,

sayup-sayup telinga mereka menangkap suara asing. 

   Suara teriakan minta tolong, suara orang berlari-lari, mengarah ke rumah pak lurah. 

   "..... jessica  sudah ketemu kuntilanak nyi girah ," bisik semua orang ketakutan. 

   Memang jessica  yang berlari-larian sambil  menjeritjerit minta tolong itu. Ia

menggedor pintu rumah demi pintu rumah, yang tidak satupun penghuni nya bersedia

membuka. Akhirnya, dalam keputusasaan, jessica  berlari dalam kegelapan ke arah

rumah pak Lurah. Beberapa kali kakinya terantuk pagar, terantuk batu, terantuk

akar-akar pohon yang melintang jalan. namun  ia terus berlari, jatuh bangun. Sampai

suatu saat, tepat di tempat di mana ia tadi mendengar suara ganjil, tubuhnya terpaku

diam, dan suara itu kembali terdengar: 

   ".... h h e e i i i, kemarilah...!" Tiupan angin dingin itu menyapu wajah jessica . Ia

mendekat, digerakkan oleh kekuatan gaib. 

   ".... apa yang kau lihat di rumahmu?" wanita  lesbian  tua yang malang itu,

menceritakannya. Lebih tepat dikatakan, mengeja kata demi kata, tentang apa yang

disaksikannya. 

   "Puih," suara meludah. 

   "Aku tahu sudah. Pergi, pergi kau sana, wanita  lesbian  tua renta!" Tiupan angin dingin

kembali, dan jessica  sadar dari kesima. Begitu sadar, ia menjerit lagi, dan berusaha

lari. namun  jeritan itu tertahan di kerongkongan, lututnya goyah tak mau digerakkan.

Dalam sekejap, tubuh wanita  lesbian  tua yang malang itu limbung. Ia jatuh ke tanah tanpa

suara, kecuali erang sakit dan ngeri yang terlontar dari mulutnya, sesaat sebelum

kepalanya membentur benda keras di permukaan tanah. 

   "Wah, celaka!" gumam suara dalam kegelapan. 

   Cemas. 

   "Aku harus cepat-cepat menyingkir dari tempat ini!" Lolongan anjing, menggema

dikejauhan. Tinggi, mendaki ke balik awan pekat, di mana rembulan sedang

menyembunyikan diri dengan segala kecemasannya. Awan hitam itu mulai bergerak,

perlahan, lalu  makin cepat. Petir tiba-tiba menyambar. Guntur menggelegar. Tak

lama lalu , hujan deras pun turun menyiram bumi yang masih diam

ternganganganga itu.... 

   Hujan baru berhenti pada waktu pagi datang. namun  penduduk kampung itu baru

berani ke luar rumah masing-masing, sesudah  matahari terbit dan ternak ternak ribut

berkeliaran mencari makan. Orang-orang melupakan pekerjaannya, dan

bergerombol-gerombol menuju rumah jessica . Mereka ingin tahu, peristiwa apa saja

yang terjadi sepanjang malam yang mengerikan itu. Dan bagaimana halnya dengan

syam kamaruzaman , si penunggu jenazah" Penunggu jenazah itu sedang berdiri di luar rumah, saat 

orang-orang berdatangan. Ia baru saja melepas pembalut dari daun kelapa muda di

pergelangan tangan kiri yang ia rentangkan ke arah matahari terbit. Tiada luka

sayatan, tiada bekas sama sekali. Ia menarik nafas lega, memperhatikan orang-orang

yang datang dengan wajah dingin dan sukar dibaca. Sepi mencekam sesaat 

orang-orang itu berhadapan dengan syam kamaruzaman . Sampai pak lurah yang memulai: 

   "... Pak syam kamaruzaman  selamat?" 

   Barulah syam kamaruzaman  tersenyum. Ramah, dan sedikit kecut. 

   "Berkat do'a kalian," ujarnya, lemah. 

   "Wajah-wajah kalian membuat aku bertanya-tanya. Gerangan apa yang membuat

kalian cemas?" 

   "Kunti...." seseorang membuka mulut, namun  segera menutupnya kembali dengan

wajah yang pucat pasi. 

   "Maksud saya, apakah mayat nyi girah  masih di tempatnya...." 

   "Oh. Masih. Masih." 

   "Syukurlah." 

   "... rohnya?" seseorang nyeletuk pula. Dan terkejut sendiri oleh pertanyaannya,

sementara beberapa orang lain menyesali si pembicara yang terlanjur buka mulut

tanpa dipikir panjang itu. syam kamaruzaman  mengernyitkan dahi. 

   Heran.   

   "Bukankah kalian semua tahu, orang mati ditinggalkan oleh rohnya?" Orang tadi

mengangguk. Yang lain-lain pun ikut mengangguk. 

   "Nah, rohnya pergi. Ke alam baka, tentu. Aku mengerti apa yang tersirat di balik

kepala beberapa orang di antara kalian. Percayalah. Aku berjanji roh itu tidak akan

kembali atau gentayangan di antara kalian. Bukankah untuk tujuan itu kalian

memanggilku ke mari?" 

   Orang-orang mengangguk lagi. Dan pak lurah mengiyakan dengan mulut: 

   "Memang benar, Pak syam kamaruzaman . Juga kami ingin meyakinkan, bahwa mayat wanita  lesbian 

malang itu disemayamkan di samping makam suaminya." syam kamaruzaman  manggut-manggut. 

   "Memang itulah tugasku," katanya. 

   "Kalau begitu, kami percaya. Pak syam kamaruzaman  Istirahatlah dulu. Kami akan memandikan

jenazah, sebelum Pak syam kamaruzaman  bawa pergi." syam kamaruzaman  mau melangkah masuk ke rumah,

waktu pak lurah nyeletuk: 

   "Mana jessica ?" syam kamaruzaman  angkat bahu. 

   "Ia tinggalkan aku semalam. Katanya mau ke rumahmu. Tidakkah ia ke sana malam

tadi?" Orang-orang pada bengong. lalu  ribut mencari. Dan tak jauh dari rumah

pak lurah, di antara batang batang pohon kelapa, orang menemukan jessica . Ia

rebah di atas tanah berlumpur, dengan belakang kepala tepat berada di permukaan

sebuah batu besar dan tajam. wanita  lesbian  itu sudah  mati. Pada wajahnya tidak terlihat

gurat-gurat kesakitan melainkan penderitaan yang ditimbulkan oleh rasa takut yang

luar biasa.

     Mayat nyi girah  sudah dimasukkan ke dalam peti mati, saat  syam kamaruzaman  mendengar

tentang kematian jessica . Orang-orang menjadi gempar sesaat . syam kamaruzaman  menghela

nafas. 

   Lega. 

   Mati adalah pilihan yang paling terbaik bagi wanita  lesbian  itu. Ia sudah tua renta, tidak

punya sanak famili, dan  anak angkat kesayangannya sudah  pula mendahuluinya.

Setidak tidaknya, kematian wanita  lesbian  itu jelas sangat menguntungkan syam kamaruzaman . jessica 

bisa membahayakan dirinya, sebab  wanita  lesbian  tua itu adalah satu satunya saksi hidup

yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang diperbuat syam kamaruzaman  terhadap

jenazah wanita  lesbian  yang ia tunggui. Hanya satu-satunya orang. Dan orang itu kini

sudah  mati. Dengan menyimpan keinginan untuk tersenyum, syam kamaruzaman  lalu  bergegas

mengikuti orang-orang yang berlari-larian kearah mana mayat jessica  diketemukan.

Dalam hati ia bertanya-tanya. Mengapa wanita  lesbian  itu kembali lagi ke rumah, malam

tadi" Kekuatan apa yang mendorongnya" Takut ke luar sendirian" Atau sebab  ingin

berdekatan dengan anak angkat kesayangannya, meski nyi girah  sudah tak mungkin ia

ajak tertawa dan bersenda gurau"

   Kepenasaran syam kamaruzaman  terpenuhi sesudah  ia menyeruak di antara orang banyak dan

melihat raut wajah jessica . Lagi-lagi syam kamaruzaman  menarik nafas. Gumamnya: 

   ".... wanita  lesbian  malang!" Orang-orang di dekatnya menoleh. Mata mereka

memancarkan keinginan agar syam kamaruzaman  mengulangi ucapannya yang samar-samar mereka

dengar. namun  syam kamaruzaman  hanya berdiam diri, lantas satu dua orang di antara mereka yang

berkerumun itu ikut mengulang apa yang diucapkan syam kamaruzaman : 

   "wanita  lesbian  malang!" Pak lurah berbisik: 

   "wanita  lesbian  ini tidak mati begitu saja. Tentu ada sebab-sebabnya?" Seorang

menyahut: 

   "Benar, Ia terjatuh. Kepalanya menimpa batu. Pecah. Lalu ia mati." 

   "Ah, kau. Kau kira semudah itu" Tak kau lihat raut wajahnya yang mengerikan"

Sebelum matinya, ia pasti sudah  melihat sesuatu yang dahsyat. Sesuatu yang menteror

jiwanya. Aku kira, ia malah sudah  mati sebelum kepalanya jatuh menghantam batu!" pak

lurah menoleh pada syam kamaruzaman . Ia pandang penungu jenazah itu dengan sorot mata tajam,

lantas mendesah.  

   "Apakah dugaan saya salah, Pak syam kamaruzaman ?" syam kamaruzaman  geleng-geleng kepala. 

   "Tidak!" jawabnya. 

   "Kau benar. Ia sudah  melihat sesuatu yang mengerikan... dan itu adalah apa yang

kulakukan atas mayat nyi girah  tadi malam, pikirannya, sambil  melanjutkan: 

   "Ada makhluk asing berkeliaran disekitar tempat ini tadi malam...!" Sepi menyentak

sesaat . Lalu: 

   "Kuntil..." ucap seseorang, seperti tidak disengaja.    "Bukan!" potong syam kamaruzaman . 

   "Mayat nyi girah  tak lepas dari penjagaanku sepanjang malam. Ia tak mungkin

berkeliaran di luar...." 

   "Jadi...?" 

   "Makhluk asing. Dan yang ia kehendaki sebenarnya bukan wanita  lesbian  malang ini.

namun  aku!" Lalu syam kamaruzaman  bergegas meninggalkan tempat itu. Pak lurah mengikutinya,

sesudah  memerintahkan warganya mengangkat mayat jessica  ke rumahnya. Ia tidak

mengerti kenapa mayat nyi girah  tahu-tahu sudah  berada dalam peti mayat, dan

ketidakmengertiannya itu ia ungkapkan terang-terangan pada syam kamaruzaman . 

   "Apa tak sebaiknya almarhumah kita sembahyangkan lebih dahulu?" syam kamaruzaman  membalas

pandangan tak enak dari pak lurah. Tanyanya: 

   "Apakah mayat nyi girah  kalian sembahyangkan pula sebelum dikuburkan?" Pak lurah

terdiam. lalu , dengan gelisah ia menyahut: 

   "ltu... lain soalnya. Amanat dan...." 

   "Anaknya lain. Ibunya pun lain," rungut syam kamaruzaman , lalu: 

   "Hys, heiyyaaa," Tali kekang ia sentak, disusul pukulan pecut sekali dua. Kuda di

depan kereta meringkik. Kedua kaki depannya terangkat tinggi ke atas, lalu 

menjompak dengan dahsyat di permukaan tanah yang lembab dan basah. Beberapa

saat lalu ... hampir-hampir tak disadari orang-orang yang ada di tempat itu, syam kamaruzaman 

dengan sahabat-sahabatnya yang setia itu sudah  menghilang membawa mayat nyi girah 

dalam peti mati. syam kamaruzaman  acuh tak acuh saja terhadap setiap orang yang ia lalui dan

mengangguk padanya. Itu bukan anggukan hormat. Melainkan anggukan takut. Dan

mata mereka! Mata yang penuh kecurigaan! Mata yang menggambarkan

ketidaksukaan. 

   Persetan! 

   sebab  tidak ingin berpapasan dengan muka-muka yang ia benci seperti itu. syam kamaruzaman 

mengambil keputusan meninggalkan jalan besar. Sebenarnya dengan mudah ia

mengikuti jalan utama desa. Jalannya lebar, halus dan rata meskipun tidak diaspal dan

agak becek di sana sini bekas hujan. namun , sekali lagi dan senantiasa selalu begitu, ia

pastilah akan berpapasan dengan penduduk yang tidak akan melepaskan perhatian

mereka pada dirinya, sahabat-sahabatnya, kuda dan anjing yang setia itu, dan 

terutama peti mati di bak belakang kereta. Tidak, ia tidak suka pandangan mereka,

seperti mereka juga tidak suka memandangnya. Ia ambil jalan memintas.

    Berlubang-lubang, permukaannya seperti habis dilanda gempa, ditumbuhi onak dan

duri, melalui semak belukar, anak-anak sungai bahkan air sungai yang sedang meluap,

tanpa ada jembatan diatasnya di mana ia bisa melaju dengan santai. Ia menyukai jalan

memintas yang buruk dan  menyiksa itu. Dengan demikian, ia bisa menghindari

penduduk, menghindari pandangan-pandangan tidak suka dan  menjijikkan itu.

Mungkin ia akan tiba lebih lama dibanding dengan bila ia menempuh jalan utama,

namun  ia tidak perduli. Soal waktu, adakalanya menentukan, adakalanya boleh

diabaikan. Menunggui jenazah, waktu syam kamaruzaman  terbatas. namun  membawa jenazah untuk

dikuburkan di tempat yang semestinya, ia tidak perlu tergesa-gesa. Pokoknya sampai di

tempat tujuan. Maklum akan kebiasaan tuannya, kuda penarik yang gagah itu terus

berpacu tanpa kenal lelah, diikuti oleh anjing besar berkulit hitam legam dengan

matanya yang hijau kemerah-merahan itu tidak sekalipun meredup kecapaian.

Ternak-ternak yang sedang merumput tak jauh dari kampung demi kampung yang

mereka lewati, terpaku diam memperhatikan makhluk-makhluk asing itu lewat.

   Binatang-binatang hutan menjauhkan diri. Ada pengaruh aneh keluar dari sorot mata

sahabat-sahabat syam kamaruzaman  yang mentakjubkan itu, terhadap binatang lain. Pengaruh yang

jangankan makhluk-makhluk sejenis, bahkan manusia yang sempat melihatnya pun

tidak akan pernah tahu, apa... 

   Hanya syam kamaruzaman  yang tahu. sebab  yang memberi makan anjing itu dengan bangkai

ayam yang sudah  ia jampe. Ia yang memberi kuda itu memamah bulu-bulu ayam yang

sudah  diludahi. Terutama sebab  sebelum meninggal, ayahnya sudah  mengamanatkan: 

   "Makhluk-makhluk ini warisan turun temurun. Apa yang kuberikan pada mereka,

adalah apa yang diberikan ayahku pada mereka, atau moyangku pada mereka. Kau pun

harus memberikan itu pada mereka...." 

   Warisan turun temurun! 

   Dan satu-satunya yang tidak diketahui syam kamaruzaman , sudah berapa puluh atau ratus

tahunkah umur kedua ekor makhluk itu. Anjing dan kuda itu sudah  sebesar sekarang,

saat  syam kamaruzaman  dilahirkan, dan lalu  menjadi sahabat-sahabatnya, saat  ia

menangisi mayat ibunya yang meninggal waktu ia masih bocah ingusan. Anjing dan

kuda itu juga yang menemaninya, saat  ayahnya mati meninggalkan pesan: 

   "Kita mewarisi kutuk yang ditimpakan pada nenek moyang kita, anakku. Kau

ditakdirkan jadi penunggu jenazah seperti juga sudah  ditakdirkan padaku, pada

kakekmu, pada moyangmu. Takdir kedua yang harus kau jalani: membujang seumur

hidupnya, atau isterimu mati saat  kau masih sayang-sayangnya padanya, saat 

anak-anakmu masih memerlukan bimbingannya. namun  moyangmu manusia biasa.

Kakekmu manusia biasa. Aku pun manusia biasa. Sebagai manusia, moyangmu,

kakekmu, ayahmu ini, merindukan teman untuk bersenda, teman untuk bercumbu.

sebab  itu, anakku. Sebagai manusia, aku tahu suatu saat  kau akan berusaha

menolak takdir. Sebelum kau melakukan itu, anakku, ingatlah, suatu saat  kau akan

kehilangan orang yang paling kau sayangi dan cintai di dunia ini. Kau akan sendirian

kembali. Kesepian kembali. Tak ada yang melindungimu. Tak ada yang mengasihimu.

Hanya dirimu sendiri, anakku. Dirimu sendiri...!" 

   Lalu ayahnya mati. Dan syam kamaruzaman  tidak ingin menolak takdir itu. Ia masuk ke kamar

tempat selama ini ayahnya bersemedi, kakeknya bersemedi, dan moyangnya bersemedi.

Ia bakar menyan di dupa. Ia tebarkan ramu-ramu kembang di atas tikar yang ia duduki.

Lalu ia bersimpuh, menyembah tengkorak yang tidak pernah ia tahu milik siapa namun 

ia tahu sudah  ada di situ semenjak ia lahir ke dunia ini. lalu  menghaturkan

sumpah: 

   "Kuikuti takdirku, suatu saat  aku akan mati. Kutolak takdir, aku pun mati, namun 

orang lain akan ikut mati. sebab  itu, aku tak mau orang lain ikut mati sebab  aku.

Biarlah aku mati dalam kesepianku, dalam kesendirianku. Kuterima takdirmu!" 

   Ia lalu  menyembelih seekor ayam jaman berbulu putih, berparuh putih, bertaji

putih. Darahnya ia masukkan ke dalam rongga telinga tengkorak, mengalir di antara

kedua baris gigi benda itu, membasahi tikar yang lalu  ia jilati dengan jijik, dan

lama kelamaan dengan bernafsu. Bulu-bulu ayam itu ia ludahi, demikian pula

bangkainya, yang lalu  ia berikan sebagai santapan sahabatnya yang misterius itu.

Ayam putih itulah, satu-satunya makhluk yang pernah dibunuh syam kamaruzaman , sepanjang

hidupnya ia biarkan ular menyelinap di semak belukar, biarpun kakinya sudah  dipatuk.

Ia biarkan nyamuk menggigit kulit, biarpun itu berarti darah terhisap dari tubuh dan 

kulitnya menjadi gatal-gatal. Bahkan ia biarkan seekor kijang melarikan diri meskipun

sudah terperangkap di dalam rumah dan ia sudah teramat lapar dan  ingin mengunyah

daging. Dengan sabar ia bersemedi di bawah pohon-pohon, menunggu buahnya jatuh

untuk dimakan. Dengan sabar, ia menanti kabar seseorang sudah  mati, menunggu ada

orang mengirim darah bangkai ayam. Godaan paling dahsyat yang hampir-hampir

tidak bisa ia lewatkan, adalah kehadiran seorang wanita  lesbian .  

   Mira nama wanita  lesbian  itu. semasih kecil, syam kamaruzaman  sesekali bermain ke tengah kampung

meskipun dilarang ayahnya. Penduduk di mana ia datang, menjauhi bahkan sering

mengusirnya. namun  tidak Mira. Gadis kecil itu sering mengantarkan makanan

untuknya tanpa setahu orang-tuanya. Mereka selalu bertemu diam-diam, bermain

diam-diam, bercinta pula, dengan diam-diam, sampai tiba-tiba ayah syam kamaruzaman  mati, dan ia

harus melepaskan Mira untuk diboyong oleh lelaki lain. Ia tahu betul. Mira tidak

pernah mencintai laki-laki itu, ia hanya mencintai syam kamaruzaman , melebihi cintanya kepada

orangtuanya sendiri. Hanya sebab  syam kamaruzaman  ingat pada kutuk yang menimpa keluarganya,

ia lalu  rela melepaskan Mira untuk dijamah laki-laki lain. Mira lalu  kawin

dengan laki-laki lain itu. namun  kekasih syam kamaruzaman  yang malang itu, tidak bisa melepaskan

kenang-kenangan manisnya dengan laki-laki yang ia cintai. Pada saat suaminya

menjamah tubuhnya, ia merasa jijik, marah, benci, sakit hati. Ia merasa orang sudah 

menodai tubuhnya. menodai jiwanya. Ia merasa ia sudah  menodai cintanya. Mira putus

asa, melarikan diri dari rumah. lalu  terjun ke sungai yang sedang meluap oleh

banjir. Alam dan cinta mereka yang tulus jualah yang mempertemukan syam kamaruzaman  dengan

mayat Mira yang terdampar di muara. Sebelum mayat itu disambar buaya, syam kamaruzaman  yang

panik mengikuti arus sungai sesudah  mendengar Mira bunuh diri, cepat-cepat

menariknya ke pinggir. Ia tangisi kekasihnya. Ia peluk dan cium kekasihnya. saat 

itulah, sebuah naluri yang ganjil merasuk dalam diri syam kamaruzaman . Ia tidak saja menangisi,

memeluk, menciumi tubuh Mira yang sudah  menjadi mayat itu. Ia lalu  melakukan

apa yang pernah ia ingin lakukan bersama kekasihnya namun sudah  jadi mayat itu, ia

gauli. Mula-mula dengan segenap rasa cinta dan  dendam rindu, namun lama

kelamaan semata mata sebab  didorong birahi. namun  dari hari ke hari, mayat Mira

mengalami proses alami. Mira mulai membusuk, lalu  daging di seluruh tubuh

wanita  lesbian  itu mulai dimakan ulat. Betapa pedihnya hati syam kamaruzaman , sebab  ia tidak boleh

membunuh ulat-ulat yang sudah  merusak keindahan tubuh kekasihnya. Ia biarkan ulat

itu melampiaskan nafsu biadabnya, ditemani oleh cacing tanah, binatang melata,

sampai Mira tinggal tulang-tulang berserakan belaka dan dengan sudut-sudut mata

yang basah, syam kamaruzaman  melemparkan tulang belulang Mira kembali ke tengah sungai, sambil 

bergumam lirih: 

   "Selamat jalan, kekasihku. Pergilah, ke mana kau ingin pergi. Kurelakan kau kini...." 

   Bahkan hanya dengan bercinta... tanpa pernah menikah... orang yang paling

disayangi pun harus mati! 

    Roda kereta beradu dengan batu besar, membuat peti mati di bak belokan bergerak

dengan suara berisik. syam kamaruzaman  menoleh. Hari sudah  mulai senja saat  itu, dan

samar-samar ia lihat tubuh peti mati agak tersingkap, ia melihat paha mayat itu

tersembul. Mulus, putih dan halus. syam kamaruzaman  menelan ludah. Birahinya datang tibatiba.

Kereta segera ia hentikan. Kudanya mendengus kesenangan.

     sesudah  mengganjal bagian depan kereta pakai sepotong kayu agar posisi bak

belakang tetap rata, syam kamaruzaman  membiarkan kudanya menjauh ke semak belukar, mencari

rumput-rumput segar. syam kamaruzaman  menggeliat, mengendurkan otot-ototnya yang kejang.

Rintihan anjing di dekat kakinya membuat ia tersenyum. 

   "Kau cemburu lagi!" berengut syam kamaruzaman . 

   "Kalalu tak suka, kau boleh menghindar, sahabatku yang baik..." Anjing itu

mengibas-ngibaskan ekor, lalu menjilati kaki syam kamaruzaman  yang telanjang sesudah  mana

lalu  berlari-lari kecil, menjauh ke tempat di mana tadi kuda penarik kereta

menghilang di balik semak belukar diantara pohon-pohon raksasa yang menjulang

menjangkau langit. Sesaat syam kamaruzaman  menghirup udara senja yang segar. Ia menatap ke

arah bukit di balik bayangan pepohonan. Bukit itu berwarna kelabu, berpeluk sisa-sisa

kehangatan matahari yang baru saja kembali ke peraduan. Angin berhembus

sepoi-sepoi basah, membuat mata syam kamaruzaman  terasa berat. 

   "Hem," pikirnya. 

   "Malam belum jatuh." Lalu ia duduk dengan merebahkan punggung ke roda kereta.

Dalam sekejap, matanya sudah  rapat, dan dengkur yang keras lepas dari hidungnya.

Rupanya ia tidak kuat menahan kantuk dan tidak berwaspada. syam kamaruzaman  baru tersentak

bangun waktu kudan ya mendengus dengan keras, dan anjingnya melolong tinggi,

mengalun tanpa irama, memecah kesepian di sekeliling mereka, menusuk-nusuk sampai

sumsum syam kamaruzaman . Tersentak, ia bangkit berdiri. Bulan mengintai di sepenggalahan langit,

diantara rimbunan dedaunan. Awas, mata syam kamaruzaman  tajam memandang ke sekitanya. Tak

ada apa-apa, kecuali kegelapan bayangan pepohonan dan dedaunan yang menimbulkan

bercak bercak hitam di atas rerumputan. Dari balik semak belukar, dengus kuda itu

terdengar lagi, disambut oleh lolong anjing yang lirih. syam kamaruzaman  melirik ke atas bak kereta.

Peti mati itu masih terletak di sana. Dan waktu ia meloncat naik, mayat nyi girah  pun

masih terbaring di dalam, tutup peti yang sedikit terbuka menyingkap kain yang

menutupi paha wanita  lesbian  itu. Warna putih yang mulus itu, tampak samar-samar.

syam kamaruzaman  menelan ludah, tubuhnya menggigil sesaat. Semenjak ia menyetubuhi mayat

kekasihnya, syam kamaruzaman  selalu bergairah tiap kali melihat tubuh mayat yang lain.

wanita  lesbian , tentu, muda. Baru beranak satu. Banyak darahnya yang keluar waktu

melahirkan anaknya yang lalu  mati itu, akan namun  bentuk tubuhnya   tidak

terpengaruh sebab nya. syam kamaruzaman  sudah  melihatnya. Bahkan sudah  menjamahnya, tadi

malam. Kini, hasrat untuk menjamah mayat itu, kembali bergolak. Tutup peti mati ia

geser sampai lepas, lalu  ia letakkan di samping. Tubuh nyi girah  jelas-jelas kini

terbaring di hadapannya. Menantang. syam kamaruzaman  menelan ludah untuk kesekian kalinya, lalu

tengadah menatap rembulan. Ia kumat kamit membaca mantera, sesudah  mana

lalu  ia keluarkan pisau lipat dari saku kemeja. Mentera-mentera yang keluar dari

mulutnya kian keras, kian cepat, hampir-hampir tanpa aturan, diiringi oleh

gerakan-gerakan tubuhnya yang bergoyang keras, ke kiri dan ke kanan. 

   "Kembalilah, roh yang sudah  pergi. Hangatilah jasadmu yang terbaring ini!" tiba-tiba

ia berseru tertahan. Lalu, 

   "jres," urat nadi lengan kirinya ia sayat. Dari lengan kirinya itu, luka segera

menganga, darah mengucur jatuh langsung di arah jantung mayat nyi girah . Angin

tiba-tiba berhembus keras. Ada suara orang menangis. Suara wanita  lesbian . Lirih, seperti

sedang sakit hati, lalu tubuh wanita  lesbian  di dalam peti mati tersentak-sentak, tak

ubahnya orang yang terkejut di kala tidur namun  tidak dapat bangun untuk melepaskan

diri dari kejutan-kejutan yang menyiksa itu. Dari semak belukar, terdengar kuda

meringkik berkali-kali, sahut bersahut dengan lolongan anjing yang lengking dan

nyaring. Jidat syam kamaruzaman  basah oleh peluh saat  ia tutup lengan kirinya yang luka dengan

helai daun kelapa kering yang sudah  dilemaskan dan selalu sudah tersedia di saku

kemejanya. sesudah  membalut lengan kirinya dengan pelepah daun kelapa, ia lalu 

mengikatnya erat-erat mempergunakan tali pelepah pisang. 

   Mulutnya berhenti kumat kamit, dan matanya yang terpejam sementara membaca

mantera, kini terbuka. 

   Nyalang. Ia menyeringai waktu memperhatikan gerakan-gerakan halus di dada Nyi

jessica  yang menggelembung padat. Tanpa sadar, lidah syam kamaruzaman  membasahi bibirnya yang

kering. Ia lalu  masuk ke dalam peti mati. Kedua kakinya rapat diantara kedua

kaki nyi girah . Dengan gerakan tidak sabar ia lepaskan pakaian yang melekat di

tubuhnya, lalu  merebahkan diri di atas tubuh nyi girah . Dari balik semak belukar,

anjing dan kuda itu memperhatikan dengan dua pasang mata mereka yang

bersinar-sinar menembus kegelapan malam. Binatang-binatang itu melihat peti mati di

bak kereta, bergerak-gerak liar. Binatang-binatang itu kembali memperdengarkan

suara, sahut bersahut, sampai tak lama lalu  peti mati diatas bak kereta tiba-tiba

tidak bergerak, dan angin pun seperti berhenti berhembus. Tau-tau saja, syam kamaruzaman  sudah 

meloncat berdiri dari peti mati, sambil  mengenakan pakaiannya buru buru. 

   ".... Siapa kau?" tanyanya, keras dan lirih. Anjing dan kuda di balik semak belukar,

memandang tajam ke sesosok bayang-bayang yang keluar dari kegelapan, tak jauh dari

kereta. 

   Tampaknya seperti sebatang pohon tua yang buntung dengan akar-akar mencakar

kian ke mari, merayap di antara pepohonan. syam kamaruzaman  melihat munculnya sosok hitam itu.

Persis bayangan asing itu berada di tempat terbuka sehingga wujudnya bersiram

cahaya rembulan, segera syam kamaruzaman  mengenalinya. 

   "resi mandala !" ia mendengus. Anjing dan kuda di balik semak belukar, ikut puIa

mendengus. resi mandala menolehkan wajahnya yang tanpa hidung dan  kedua belah

tulang pipinya menganga oleh bekas luka, ke arah semak belukar. Ia meludah, jijik,

acuh tak acuh pada sahabat-sahabat syam kamaruzaman , dan lebih mementingkan berhadapan muka

dengan si penunggu jenazah yang kini sudah meluncur turun dari kereta. Suara sengau

yang berat. keluar dari mulut resi mandala : 

   "... jadi, kau ternyata manusia yang lebih busuk dari aku!" Kalaulah waktu itu siang,

resi mandala akan melihat bagaimana kulit muka syam kamaruzaman  merah padam sampai ke daun daun

telinganya, sekujur tubuhnya gemetar marah dan malu luar biasa. Seseorang sudah 

mengetahui rahasianya, itu tidak boleh terjadi. Kalau sampai terjadi, tidak akan ada

lagi penduduk yang datang untuk minta tolong. Tidak akan ada lagi mayat-mayat yang

harus ia tunggui. Tidak akan ada lagi sesajen-sesajen dari orang-orang yang

membutuhkan bantuannya menunggui mayat sanak keluarga mereka. Bahkan, penduduk

lalu  akan beramai-ramai mencarinya. Beramai-ramai membunuhnya. Barangkali

juga, mereka tidak berani turun tangan. Takut, itu pun tidak berarti, syam kamaruzaman  akan

terlepas dari siksaan. Tidak ada lagi darah-darah sesajen untuk memuaskan nafsu

lapar dan  dahaga. Tidak ada bangkai untuk disantap sahabat sahabatnya. 

   Tidak ada mayat wanita  lesbian  untuk... 

   syam kamaruzaman  mungkin bisa menggali kuburan-kuburan, mencari mayat-mayat yang ia

kehendaki. namun  ia tidak menyukai pekerjaan itu. Dan di dalam kuburan-kuburan yang

ia gali, tidak ada darah sesajen. Tidak ada bangkai untuk sesajen. 

   "Terkutuk! Haram jadah! Setan hina dina!" ia menyumpah serapah. resi mandala 

tertawa. Bergelak. Ia melangkah lebih dekat. Gerakannya pincang. Ia menyeret sebelah

kakinya. 

   "... kau sudah  membuatku jadi manusia yang tidak sempurna wujudnya," ia balas

menyumpah. 

   "Perbuatanmu tidak akan kubiarkan, syam kamaruzaman . Kau harus mengalami bagaimana sakit

dan menderitanya jadi laki-laki yang tidak punya hidung, laki-laki yang punya pipi

rusak menakutkan, laki-laki yang tergantung gantung tanpa tenaga dari kaki-kakinya.

Sesudah itu, aku akan membuatmu malu. Membuatmu tersiksa, dengan apa yang

kusaksikan barusan..." 

   "Hem. Hem." resi mandala menyeringai lebar. 

   "Sudah kesampaiankah hajatmu pada tubuh mayat itu. Kalau belum, kau boleh

meneruskan. Siapa tahu, aku bukannya jijik dan mau muntah, namun  ikut pula

bergairah..." 

   Lantas ia tertawa. Terkekeh-kekeh. 

   "Bangsat!" maki syam kamaruzaman . 

   "Kita sama-sama bangsat. Aku membangsati orang hidup, dan kau membangsati

orang mati. Jadi, tak usah kau tamatkan kata-kata terpuji itu kepadaku, sebab 

bisa-bisa kembali ke alamat si pengirim!" 

   "Mau apa kau?" syam kamaruzaman  berusaha menyabarkan diri. 

   "Sudah kukatakan tadi. Membalas perbuatanmu, sesudah  itu...." 

   "Jadah. Kau tak akan bisa menjamahku!" 

   "Tidak! Kau laki-laki. namun , aku juga laki-laki, bukan?" 

   "Jangan coba!" 

   "Justru aku ingin...." 

   "Kubunuh kau!" 

   "Kau tak akan! Setahu yang kudengar, kau tak akan membunuh, apalagi melukai

makhluk apapun di dunia ini. Kalau kau lakukan, matamu akan buta, otot-otot tubuhmu

akan berhenti bekerja, dan otakmu akan membatu di kepalamu. Kau akan tersiksa detik

demi detik, sampai maut menggerogoti tubuhmu. Atau  kalau tak salah pula, sampai

binatang-binatang peliharaanmu, mengoyak-ngoyak lalu  mengunyah-ngunyah

jasadmu. Betulkah itu?" syam kamaruzaman  menggigil. 

 

   "Kau tahu banyak," desisnya. 

   "namun  kau pun tentu tahu aku bisa membunuhmu, tanpa menurunkan tangan..."

Kembali resi mandala melepas tawa mengekeh. Ia tampaknya amat senang, sehingga ia

terbungkuk bungkuk oleh kesenangan dan  tawanya yang tidak berhenti-henti. Mungkin

air matanya sampai jatuh bercucuran, sebab  saat  ia lalu  berhenti tertawa

lantas tengadah menatap lawannya, kedua belah pipinya yang rusak mengerikan itu,

berkilat-kilat oleh butir-butir air. Ia terengah-engah waktu mengejek: 

   "Kau akan menggunakan kekuatan bathinmu, bukan" Kau lupa, syam kamaruzaman . Bathinku akan

melawanmu. Dan kalau bathinku kalah, dan  aku sampai terbunuh sebab nya, maka itu

pun, berarti kau sudah  membunuhku juga, jadi, kau tak akan menggunakan ilmumu yang

terkutuk. Aku" ia tertawa lagi, bergelak, lalu  melanjutkan dengan suara rendah

dan tajam. 

   "Aku bebas mempergunakan senjata apa saja yang kumaui. Ilmu yang meresap dalam

di bathinku, dan ini..." Ia mencabut sebuah golok dari balik kemejanya. 

   "Dengan ilmuku aku akan membuat kau tidak berdaya. Dengan golokku, aku akan      

mengeluarkan hidung, mencercah pipi, membuntungkan kakimu...." 

   Habis berkata begitu, ia tengadah menatap bulan. Dari mulutnya lepas rintihan

sengau. syam kamaruzaman  pucat pasi sesaat . Tanpa mengerahkan kekuatan ilmunya, orang tua

yang menakutkan itu dengan mudah akan menaklukkan syam kamaruzaman . Sementara resi mandala 

kumat kamit membaca mantera dan meludah kian kemari seperti orang yang punya

persediaan berember-ember. Lendir busuk di mulutnya, syam kamaruzaman  mulai panik. Ia

terumbang-ambing oleh dua pilihan. Turun tangan langsung, dan ia yakin ia bisa

mengalahkan musuhnya... 

   atau membiarkan dirinya dicacah resi mandala . Kedua alternatip itu akan berakibat

sama. Turun tangan, ia akan mati tersiksa. Tidak turun tangan, juga akan lebih tersiksa.

syam kamaruzaman  sudah lama ingin mati, terutama semenjak ia ditinggal mati oleh Mira. namun 

kematian itu tidak pernah datang dengan sendirinya. 

   Kini, kematian itu muncul didepan mata. Kematian yang menyiksa. Ia ingin mati,

namun  juga ia ingin tidak tersiksa menjelang kematiannya. Pada saat syam kamaruzaman  bimbang

oleh kepanikannya, sekonyong-konyong semak belukar di belakang resi mandala  terkuak.

Dari kegelapan, muncul dua sosok makhluk hitam dengan mata yang berkilat-kilat.

Buas dan mengerikan. Terdengar dengus marah yang aneh. Lalu salah satu dari

makhluk itu yang terkecil, tahu tahu sudah  terbang di udara. Gerakan makhluk hitam

yang menerpa dengan sekonyong-konyong itu sesaat  membuat konsentrasi resi mandala 

menjadi buyar. Suara aneh ditambah desir angin menyentuh selaput telinganya yang

peka. Dengan melupakan sama sekali tujuan utamanya untuk melumpuhkan kekuatan

ilmu syam kamaruzaman , laki-laki setengah umur yang sebelah kakinya hampir lumpuh itu masih

sempat mengelak dengan gesit. Sedikit memiringkan bahu, bayangan makhluk hitam itu

meluncur melewati tubuhnya dan jatuh bergulingan di tanah yang berbatu. Terdengar

suara menggeram marah bersamaan waktunya mahluk itu kembali berdiri di atas

keempat kaki-kakinya yang kukuh. 

   "Anjing hina dina!" maki resi mandala  lantas mengamang amangkan golok. 

   "Ayo, maju lagi kalau kau mampu!" Sepasang mata anjing milik syam kamaruzaman  yang setia itu,

bernyala-nyala dengan hebat. Hijau kemerah merahan, seakan ingin membakar

kegelapan malam yang mencekam itu. Tiba-tiba kedua kaki depannya menekuk. Dari

moncongnya yang menganga lepas geram dahsyat yang sesaat membuat jantung Ki

Sanca menciut. Nalurinya segera menyadari, bahwa yang ia dengar bukan geraman

seekor anjing biasa. Dan tatapan sepasang mata berwarna ganjil itu menguatkan

dugaannya. Dengan waspada ia mundur beberapa langkah sambil menyilangkan golok

di depan tubuh. Lalu, dengan sebuah loncatan yang hampir-hampir tidak kelihatan

saking cepatnya, anjing besar dan hitam itu tau-tau sudah  meluncur sekali lagi di udara.

   Moncongnya menjurus langsung ke arah leher resi mandala . Dukun yang sedang dimakan

rasa dendam itu cepat cepat mengayunkan golok. 

   Meleset. 

   "Celaka!" cetusnya, terkesiap. Ia berusaha menghindar. Malang baginya, gerakan

makhluk yang dahsyat itu tak ubahnya terror yang tidak kenal ampun. Moncongnya

gagal menyambar leher resi mandala  namun tidak urung kuku-kuku kakinya yang tajam

menggurat batang leher dan sebelah pipi resi mandala . Luka di pipi yang belum sembuh itu

menganga kembali, mengeluarkan darah. resi mandala meringis sambil memutar tubuh dan

mengatur posisi untuk menghadapi serangan berikut dari lawannya. 

   Namun, makhluk yang diwarisi syam kamaruzaman  turun temurun itu memperlihatkan dirinya

bukan sembarang binatang, bukan anjing yang gampang dipecundangi. Begitu kakinya

menjejak di tanah ia sudah  berputar dan kali ini tanpa pasang ancang-ancang langsung

menyerang. Mengira serangan ketiga itu ditujukan kepada lehernya sebagaimana

kebiasaan anjing yang sedang dilanda nafsu ingin membunuh, resi mandala kembali

menyilangkan golok di depan muka, sambil  sebelah tangan yang bebas berusaha

menyambar tubuh makhluk itu sedapat-dapatnya. 

   Ternyata dugaan resi mandala keliru. Serangan anjing itu justru ditujukan ke kaki Ki

Sanca. Laki-laki itu tiba-tiba merasakan daging betisnya bagai ditusuk dengan sembilu,

lalu  dicapit oleh gegep yang tajam, seterusnya daging betisnya itu terenggut lepas

ditambah perasaan sakit yang alang kepalang. Saking sakitnya, resi mandala menjerit marah:

   "Kubunuh kau! Kubunuh kau, anjing buduk!" 

   Sambil menjerit-jerit dan menyumpah serapah, kakinya yang utuh menyepak-nyepak

dengan membabi-buta. Gerakan reflek yang tidak diperhitungkan itu rupanya

menolong. Salah satu tendangannya mengenai perut anjing syam kamaruzaman  yang baru saja mau

menerkam untuk kesekian kalinya. Anjing itu mengaing sesaat , berusaha mundur,

namun  tendangan berikutnya membuat tubuhnya yang besar dan kokoh terkumbalang

dengan dahsyat, melayang di udara lalu  membentur pohon. Sempat merapalkan

beberapa ajian yang ia miliki, sebab  sadar bahwa anjing yang ia hadapi tidak bisa

dianggap sepele. syam kamaruzaman  yang dari tadi terpaku diam dalam kepanikannya, saat  melihat

sahabatnya yang setia muncul pada waktu yang tepat, sempat merasa lega. Lebih-lebih

sesudah  resi mandala ia lihat jadi repot bahkan terluka kakinya. Barangkali kaki yang

terseret-seret itu kini benar-benar sudah lumpuh. Namun kakinya yang masih utuh

ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa pula. Sekali sepak, anjingnya sudah

mengaing, dan sepakan berikutnya anjingnya sudah terhantar sesudah  membentur

batang pohon. Kelegaan syam kamaruzaman  lenyap sesaat , dan kepanikan muncul kembali pada

dadanya. Apa yang harus ia lakukan" 

   Melawan" 

   Berarti ia akan hidup tersiksa, sebab  ia harus melumpuhkan resi mandala dan

membunuhnya sekaligus demi nama baik dan pekerjaannya. Berdiam diri saja, dan

menerima sambaran golok resi mandala begitu saja, juga tetap merupakan kematian yang

tersiksa. Ia sadar resi mandala akan melaksanakan dendamnya untuk melukai sebelah kaki

syam kamaruzaman  sampai lumpuh lalu  merusak wajahnya sampai cacat menakutkan, dan

syam kamaruzaman  akan tidak bisa bekerja, kalaupun bisa, orang orang yang sudah takut akan

semakin takut lagi padanya, bahkan mungkin tidak mau lagi meminta bantuannya.

Hilanglah kesempatan untuk memperoleh sesajen-sesajen yang bisa meneruskan

kelanjutan hidupnya. Selagi syam kamaruzaman  masih belum bisa menentukan alternatip mana yang

harus ia pilih, dengan menyeret sebelah kakinya resi mandala sudah  berada satu langkah di

depan syam kamaruzaman . Di dalam jilatan cahaya rembulan yang samar samar, dari sepasang

matanya terpancar keluar sinar kebuasan dan dendam yang menyala-nyala. 

   "Rasakanlah sekarang!" teriak resi mandala . 

   Goloknya melayang. Langsung ke wajah syam kamaruzaman . syam kamaruzaman  terkesiap, namun  sempat

mengelak mundur. Tampaknya resi mandala benar-benar sangat bernafsu melaksanakan

niatnya. syam kamaruzaman  tidak melihat jalan lain, kecuali melawan. Dalam hatinya, ia bertekad

untuk melakukan perlawanan yang sehebat-hebatnya, sehingga resi mandala tidak hanya

akan merusak wajah atau memotong kakinya, akan namun  didorong oleh dendam dan

nafsu amarahnya, akan membunuh syam kamaruzaman  sekaligus. Itu merupakan angan-angan yang

paling manis untuk bisa diharap dalam keadaan segawat itu, dan syam kamaruzaman  akan terlepas

dari tekanan jiwa yang menghantui dirinya selama ini. 

   Menunggui jenazah orang lain, melahap darah yang mengalir dari tengkorak

manusia di kamar semedi, menzinahi mayat-mayat. 

   "Hem!" ia menggeram. 

   "Apa boleh buat!" Ia kumat kamit membaca ajian-ajian yang ia miliki. Tubuhnya

tergoncang dengan hebat, seluruh darah di tubuh itu naik ke kepala, membakarnya

menghanguskan segenap kesukaran, lalu dengan mata merah bersinar-sinar ia tegak

menunggu datangnya serangan lawan! Namun serangan itu tidak pernah tiba. saat 

syam kamaruzaman  membaca ajiannya, resi mandala mempergunakan kesempatan yang hanya beberapa

detik itu untuk membacokkan golok. Ia sama sekali tidak melihat bahkan tidak

mendengar bagaimana sesosok makhluk lain yang jauh lebih besar dan lebih kuat dari

anjing yang sedang berusaha bangkit dari tanah, berlari dari semak belukar. Sebuah

ringkikan yang keras memecah kesepian malam. Disusul oleh hantaman dahsyat yang

menerpa punggung resi mandala . Ia terjerembab jatuh sesaat . Goloknya terlepas,

menghunjam di tanah tak jauh dari kepalanya. Masih untung, tidak jatuh menimpa

kepalanya sendiri sehingga bisa-bisa senjata makan tuan. Kaget dan panik, ia

menggulingkan tubuh lalu berusaha berdiri dengan susah payah. Namun hantaman

yang mirip palu godam menimpa itu, sudah  mematahkan beberapa tulang-tulang di

tubuhnya, ia menggeliat, meliuk dan lalu  jatuh kembali. Makhluk ganas itu

meringkik sekali lagi, maju pula sekali lagi. Kedua kaki depannya terangkat tinggi di

udara. resi mandala terbeliak, terpana oleh bayangan tubuh yang nampaknya seperti

raksasa sebesar gunung yang siap terjun ke bawah.    "... jangan!" ia mengerang lirih. 

   "Jangan!" namun  kaki-kaki kuda itu sudah  terhunjam jatuh. Tak ubahnya batang pohon

yang dipacakkan ke tubuh resi mandala . Salah satu hunjaman kaki itu menghancurkan

dadanya, dan yang satu lagi hanya seinci melewati pinggangnya. resi mandala menjerit

histeris menggelepar gelepar liar, sambil matanya tidak beranjak dari kuda yang

berdiri di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, memandang musuhnya dengan

tatapan yang mengerikan. Kejadian itu pun tidak lepas dari perhatian syam kamaruzaman . Ia

terpesona, dan jantungnya seperti luluh melihat nasib apa yang menimpa diri resi mandala .

Ia tahu, sahabat sahabatnya ingin menolongnya dari bahaya maut, melepaskan dirinya

dari kesulitan yang menggerogoti jiwa. Akan namun , sama sekali tidak ia nyana, akan

begitu buasnya makhluk-makhluk yang selama ini belum pernah ia lihat membunuh

makhluk lain apalagi membunuh manusia. syam kamaruzaman  tegang kaku menyaksikan kebuasan

binatang-binatang kesayangannya, tak kuasa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. 

   Kelu sekali. 

   Rasanya, tubuhnya yang dihantam kaki-kaki yang kukuh itu, bukan tubuh resi mandala . 

   "... syam kamaruzaman !" 

   syam kamaruzaman  tersentak. Ia menoleh ke arah resi mandala yang sudah berhenti menggelepar.

Dalam kegelapan malam, tampak mata laki-laki malang itu menatap langsung ke mata

syam kamaruzaman . 

   Tajam. 

   Menusuk. 

   Api dendam bersinar-sinar dari kilatan matanya. Hanya itu sajalah yang bisa ia

lakukan kini. Berbaring diam, menahan azab yang menyiksa, namun masih mampu

untuk menumpahkan dendam kesumatnya. 

   "Aku akan mati!" rintih resi mandala 

   "Tertawalah, syam kamaruzaman . Tertawalah melihat kematianku yang mengerikan ini. namun 

rohku akan bangkit. Kau bisa menahan roh orang-orang lain, namun  tidak rohku. Aku

akan bangkit, syam kamaruzaman ... untuk melaksanakan... dendamku. Aku akan  menyiksa engkau...

membangkitkan roh-roh orang orang yang pernah sakit hati padamu, pernah... berniat

balas dendam atas perbuatanmu...." 

   Ia mengerang kesakitan sesaat, lalu melanjutkan: 

   "Darahku, syam kamaruzaman ... darahku yang mengalir... akan menjelmakan roh-roh mereka di

sekitarmu... di depan biji matamu... sehingga... sahabat-sahabatmu yang terkutuk itu,

akan mati di tanganmu. Aku bersumpah!" Sehabis berkata begitu, kepalanya terkulai.

Andaikata matanya ikut terpejam oleh kematian, syam kamaruzaman  tidak akan tergoncang. namun 

sepasang mata itu, terbelalak liar dan langsung menatap ke mata syam kamaruzaman . Mata yang

sudah tidak bersinar lagi. 

   Mati. 

   Namun pengaruhnya, terasa sampai ke sumsum. syam kamaruzaman  tidak tahan, memalingkan

muka, lalu  berjongkok. Beban berat di selangkangannya lepas tanpa bisa ia

tahan. Ia terkencing di tempat itu juga. Entah beberapa lama ia dalam keadaan shock.

syam kamaruzaman  tidak tahu, dan tidak mau tahu. Ia baru bangkit, sesudah  warna subuh yang

temaram muncul dari balik bukit di kejauhan. Angin dingin menerpa tubuhnya. Ia

menggigil, dengan gigi yang gemeletuk. Erangan halus menggerakkan kepalanya. Ia

lihat anjingnya yang setia... dan tidak akan ia lupakan kebuasannya... meringkuk

didekat roda kereta. Waktu syam kamaruzaman  bangkit, anjing itu melolong lirih. Tampaknya

makhluk bersinar mata ganjil itu sudah  lepas dari sakit yang menerpa tubuhnya oleh

tendangan resi mandala . syam kamaruzaman  menarik nafas. Gersang di udara yang lembab. Embun

mulai naik, mengapur di udara. Kuda penarik kereta yang tidak beranjak dari samping

mayat resi mandala semenjak manusia yang malang itu menerima nasibnya, mendengus

perlahan, lalu  meringkik tertahan, seolah-olah berusaha menyambut datangnya

pagi dengan pikiran yang masih kalut. Kuda itu memperhatikan tuannya dengan

diam-diam, dan syam kamaruzaman  menyadari kalau ia diperhatikan. Ia tidak ingin membalas

pandangan kuda itu. sebab , betapapun, sahabatnya yang juga setia ini, sudah 

melakukan suatu pekerjaan yang paling mengerikan dari segala macam

kejadian-kejadian buruk yang selama ini pernah dilihat oleh syam kamaruzaman . Selama beberapa

saat, ia masih termangu-mangu memikirkan kejadian itu. Akan diapakan mayat resi mandala " 

   Betapa rusak dan porak porandanya tubuh laki-laki itu. Tentulah rohnya teramat

penasaran. Lebih dari apapun di dunia ini. Penasaran syam kamaruzaman  menggigil lagi. Selama ini

ia bertugas menunggui orang-orang mati yang diperkirakan rohnya penasaran. Tadi

malam pun ia melakukan hal yang sama. Bedanya, kali ini terpaksa. Tanpa ada yang

meminta. Tanpa ada sesajen. Ia punya persediaan menyan di kantong. Bunga-bunga

rampai banyak terdapat di sekeliling tempat itu, namun  semua itu tidak berguna. Sumpah

resi mandala sebelum kematiannya, tergurat dalam di benak syam kamaruzaman . Diam diam ia mengakui

rasa takut yang mengaliri seluruh pembuluh darahnya. Roh resi mandala  tidak akan

mudah ditaklukkan. 

   Hem. 

   Jadi, ia akan membangkitkan roh-roh orang yang pernah dibuat sakit hati oleh syam kamaruzaman .

   "Jadah!" maki syam kamaruzaman . 

   "Aku tak sudi mengingat-ingat itu!" 

   Lalu ia menghardik pada sahabat-sahabatnya! Ia lalu  menutupkan peti mati

yang menganga terbuka semenjak tadi malam. syam kamaruzaman  tidak berselera lagi untuk

memperhatikan tubuh mayat wanita  lesbian  di dalam peti mati itu, saat  ia menutupinya.

Ia bahkan tidak melihat perubahan di kulit tubuh yang putih mulus dan  halus itu. Bulu

yang panjang bermunculan disana-sini, banyak sekali bulu-bulu berwarna coklat

kehitam-hitaman. Kedua belah tangan nyi girah  memanjang. Demikian pula

kuku-kukunya. Perubahan yang lebih dahsyat terlihat lebih jelas di wajahnya yang

tadinya manis dan penuh daya pesona. Andaikata syam kamaruzaman  mau memperhatikannya.

     sesudah  menghenyakkan punggung yang letih di tempat duduk kereta, syam kamaruzaman 

termangu-mangu memandangi mayat resi mandala . Akan dibiarkan sajakah tubuh laki-laki

yang sudah tidak berketentuan wujudnya itu terhampar di tanah" 

   Atau lemparkan ke dalam jurang" 

   Biar tubuh itu remuk atau terpotong potong, berserakan tak dikenali lagi sehingga

penduduk yang kebetulan melalui jalanan hutan ini tidak berlari terbirit-birit ketakutan

pulang ke rumah untuk lalu  jatuh pingsan atau meriang dan membuat panik di

mana-mana. 

   namun  ah... buat apa susah-susah menggotong tubuhnya ke pinggir jurang. Sudah

saja di sana. Toh nanti burung-burung pemakan bangkai akan membereskannya. Atau

binatang binatang hutan lainnya. Mereka tidak perlu banting tulang untuk mendapatkan

santapan pagi. Mengingat umurnya, daging-daging tubuh resi mandala mungkin agak

sedikit liat. namun  bagaimanapun, makanan gratis selalu menarik selera... 

   namun  saat  kereta sudah berjalan meninggalkan tempat itu, dan  hamparan

sawah-sawah penduduk mulai tampak hijau keputih-putihan dalam pelukan embun pagi

nun dibawah sana, syam kamaruzaman  berbalik pikir. Alangkah bahagianya penduduk yang hidup di

kampung sana. Alangkah bahagianya. Manusia yang bisa menikmati cucuran

keringatnya. Mereka bisa meninggalkan sesuatu untuk keturunan mereka kelak. Dan

kalau mereka mati, akan ada yang menangisi dan  mengurus. 

   syam kamaruzaman "

   Atau resi mandala " 

   Benar, mereka juga menikmati hasil cucuran keringat sendiri, meskipun

kenikmatannya sangat jauh berbeda dengan orang-orang lain yang tidak perlu

memenggal leher anak-anak seperti resi mandala atau meretanya. namun  apa boleh buat. Ia

harus mengejar waktu, sesudah  itu pulang kembali ke rumah membersihkan peti bekas

ditiduri mayat nyi girah  lalu tidur di dalamnya sesudah  lebih dahulu menutupnya. 

   Alangkah menyenangkan tidur dalam peti mati itu. Tidak terdengar suara apapun

yang mengganggu. Tak ada cahaya yang masuk. Bahkan udara pun, hampa. Ia bisa

tidur tanpa gangguan, bisa memusatkan pernafasan tanpa harus membuat lelah

paru-parunya. Sejam dua jam. Atau sehari dua hari. Bahkan ia kuat tidur dalam peti

selama berminggu-minggu, sampai ada orang datang mengetuk pintu rumahnya, dan

nalurinya menyuruhnya bangun sebab  ada yang harus dikerjakan. 

   Di sebuah mata air, syam kamaruzaman  berhenti. Ia membersihkan golok, tangan dan kakinya yang

dikotori tanah. Mulutnya kering, namun ia sama sekali tidak berselera untuk meminum

air itu. Apa yang ia makan, apa yang ia minum, hanya darah sesajen. Darah

semata-mata. Itu adalah ketentuan yang harus ia jalankan. 

   Kutuk, tepatnya, tanpa mengetahui kapan kutuk itu akan berakhir. Ia hanya tahu

ayahnya sudah  melatih dirinya menjalankan hal itu semenjak ia lahir ke dunia, tanpa

sekalipun mengenal apa artinya susu ibu. Itu pula sebabnya syam kamaruzaman  tidak mungkin

menikah dengan Mira. Mira akan heran mengapa syam kamaruzaman  hanya meminum dan memakan

darah. Kalaupun Mira tahu dan mengerti, Mira tak akan tega membiarkan anaknya

nanti hidup semata-mata dari meminum darah sesajen pula. Mira akan tersiksa, dan

mati menderita, seperti moyang wanita  lesbian nya. Wajah-wajah curiga menyambut syam kamaruzaman 

saat  ia membawa kereta melewati jalan utama sebuah desa. 

   Mula-mula orang tertarik untuk memperhatikan peti di bak belakang. Anak kecil pun

tahu, buat apa peti itu. Meskipun mereka tidak tahu apakah peti itu berisi atau kosong,

namun orang-orang yang berpapasan, dengan syam kamaruzaman  memicingkan mata dengan dahi

berkerut, dan beberapa diantaranya menghindari cepat-cepat. Kalau pun ada yang

berani untuk mendekat, orang itu segera mundur sesudah  anjing yang berjalan di

samping kereta menaikkan kepala untuk memperlihatkan sinar matanya yang hijau

kemerah-merahan, moncong lebar dengan gigi-gigi taring yang runcing dan  lidah

terjulur keluar berwarna lebih merah lagi. Merah darah. Ia menggoyang-goyangkan

ekornya dengan liar, seolah olah memberi isyarat agar orang-orang jangan coba coba

mendekat. 

   "Puah!" umpat syam kamaruzaman , lalu  meludah ke tanah. Ia terus memacu keretanya. Roda

berderak ribut, hampir melabrak seorang anak yang berlari ke jalan untuk mengejar

seekor ayam burik, sehingga seorang laki-laki setengah umur terpekik kaget dan

buru-buru menyeret anaknya ke tepi. Namun tak urung lepas caci maki dari mulutnya

yang ditempeli tembakau: 

   "Setan! Ngebut! Ia kira kereta reot itu mobil, eh?" 

   syam kamaruzaman  acuh tak acuh. Selalu begitu. Juga saat  di ujung desa seseorang yang duduk

mencangkring dalam lindungan bayang-bayang pohon beringin menyapa: 

   "Tergesa-gesa benar, mau ke mana, Pak?" Sapaan yang ramah itu menarik hati

syam kamaruzaman . 

   "Biasa. Ada urusan," jawabnya. Jawaban lumrah, sambil membalas anggukan orang

tersebut. Namun tiba-tiba hatinya terkesiap. Ia menoleh ke belakang. Orang itu tertawa.

Tawa yang tersendat sendat, membuat wajahnya yang rusak tampak mengerikan

dengan mata melotot lebar, mengingatkan syam kamaruzaman  pada seseorang Pilot tertawa, orang

itu berdiri lalu bertumpu ke batang pohon. Kakinya pincang sebelah, sementara dari

dadanya yang rusak berlumur darah, bersembulan tulang belulang yang patah-patah. 

   "Kaget" Memang akulah ini, kau.... Mengapa tidak turun dari kereta supaya kita

berbincang-bincang barang sesaat dua saat?" 

   syam kamaruzaman  menarik tali kekang kuda sesaat . Kaki-kaki depan kuda terangkat tinggi,

lalu  menjompak jatuh ke tanah keras, menimbulkan suara berdebuk mirip

batang-batang kelapa tumbang dengan dahsyat, kuda meringkik, berdiri dengan gelisah

di atas keempat kaki-kakinya yang kukuh, syam kamaruzaman  hampir saja terlempar dari tempat

duduk kereta. Sekali lompat, ia sudah menjejakkan kakinya di tanah. sambil  berseru

lantang melontarkan sumpah serapah, ia mendekat ke bawah bayangan pohon beringin

besar itu dengan marah. 

   "Sialan kau, resi mandala . Kau mau kita selesaikan di sini sekarang, eh?" 

   lantas lupa pada kutuk yang ditimpakan atas dirinya, ia keluarkan golok dari balik

kemeja yang langsung ia sambarkan ke tempat di mana tadi ia lihat orang itu berdiri. 

   "Clep!" terdengar suara mata golok menghunjam ke sebuah benda. Bukan lunak

semacam leher, namun  keras. Tangan syam kamaruzaman  tegang, dengan jari jemari semutan tiba tiba. Matanya melotot memperhatikan apa yang sudah  dimakan oleh mata goloknya.

Batang pohon beringin. Tidak ada orang. Tidak ada suara apa-apa, kecuali helaan

nafasnya sendiri, yang terengah-engah menahan amarah. Di belakangnya, terdengar

suara mendengus. syam kamaruzaman  memutar tubuh dengan cepat sambil  menarik goloknya

kuat-kuat dari batang pohon. Golok itu lepas, dan ia sudah siap menerima serangan.

namun  yang berada di hadapannya, hanyalah kereta mayat yang sudah reot itu, dan 

kuda penarik yang menolehkan kepala kearah syam kamaruzaman , memperlihatkan sorot mata tajam

dan seperti mencemooh. Ternyata kuda itu yang mendengus. 

   "Jadah!" maki syam kamaruzaman  perlahan. Ia mengurut dadanya yang sakit. Liar, matanya

mencari kian kemari. Tidak ada siapa-siapa. Dari rumah penduduk yang terdekat, ia

lihat ada orang memperhatikan. Meskipun jauh, syam kamaruzaman  bisa menebak pancaran di mata

orang tersebut. sambil  angkat bahu, ia naik kembali ke tempat duduk kereta. Menghela

nafas berulang kali, lalu  melecut punggung kuda. 

   "Hiyyyaaa...!" 

   Tidak. 

   Ia tidak percaya, bayangan tadi hanyalah kosong semata. Ia yakin ia melihat

bayangan resi mandala  ia yakin mendengar suaranya pula. Kalau tidak, amarahnya tidak

akan begitu meluap sehingga ia lupa diri. Selama ini ia cukup berhati-hati menghindari

pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar kemauannya. namun  kali ini... 

   "Hebat dia!" diam-diam syam kamaruzaman  memuji. 

   "Siang bolong, bisa memperlihatkan diri. Benar-benar penasaran arwah resi mandala .

Jangan-jangan mayatnya pun ikut bangkit dari kubur, dan ia seret sepanjang

perjalanan ke mana ia pergi.... Kalau tidak, mana mungkin ia muncul dalam wujud

yang sempurna" Ilmu yang luar biasa. Arwah yang muncul di siang bolong. Hem!" 

   Ia geleng-geleng kepala. Hampir-hampir tidak yakin sekarang, pada dirinya sendiri.

Ia bayangkan, mayat resi mandala bangkit dari kuburnya di pagi buta itu. Sementara kereta

melaju, ia pusatkan jiwa. Semedhi, dengan mulut kumat kamit membaca aji-aji dan

mantera-mantera yang ia miliki, sambil tidak lupa memohon kepada arwah pemilik

tengkorak kepala di rumah yang ia tinggalkan, agar memberinya kekuatan dan

petunjuk. Samar-samar di antara kabut yang menutupi kegelapan dibalik kelopak

matanya yang mengatup, ia melihat gerakan dan suara. Gerakan tanah rekah, dan

batu-batu besar yang ia susun, bergelinding jatuh dengan suara yang bising sehingga

tekak telinganya terasa sakit. Dari rekahan tanah dan lubang dibawah mana tadinya

batu-batu itu terletak, mayat resi mandala berusaha duduk, lalu  bangkit. Kabut

semakin menebal. Mata syam kamaruzaman  perih. Ia berusaha bertahan, namun  kabut itu mengeras

seperti batu sehingga kelopak matanya cepat-cepat ia pentang lebar-lebar. Ia melihat

kudanya berhenti dengan dengus gelisah sambil  menelengkan kepala ke samping kiri.

Perasaan tidak enak menyentuh uluh hati syam kamaruzaman . 

    syam kamaruzaman  sangat terkejut waktu menyadari apa yang menyebabkan kuda menjadi

demikian gelisah. Ternyata anjingnya yang setia itu tengah tergeletak di pinggir jalan,

dengan dua kaki belakangnya melejat lejat liar. Sepasang matanya yang besar hampir

hampir terloncat ke luar dari rongga menahankan rasa sakit. Dari moncongnya keluar

darah berwarna merah kehitam-hitaman, diantara lendir yang berbusa. Dengan cemas

syam kamaruzaman  melompat dari tempat duduk kereta, bergegas mendapatkan sahabatnya itu. 

   "Mengapa...." pertanyaan itu tidak ia teruskan. Mata syam kamaruzaman  menangkap bengkak yang

besar di selangkangan anjingnya. Ucapan kaget lepas dari mulut syam kamaruzaman : 

   "Wah. Baru kuingat. Kau terkena sepak resi mandala tadi malam!" Ia rahup anjing itu

dalam pelukannya. Ia elus-elus kepalanya sambil  menghibur dengan kata-kata manis

yang disambut oleh anjing itu dengan erangan halus. Matanya yang hijau

kemerah-merahan menatap ke mata syam kamaruzaman . Entah apa yang ingin disampaikan anjing

itu, syam kamaruzaman  tidak tahu. namun  jantungnya sempat berhenti berdenyut waktu menyadari

betapa tatapan mata anjing itu teramat ganjil. Antara minta dibelas kasihani, dan

ditinggalkan begitu saja. Ada perintah samar-samar tersembunyi dibalik sinar mata itu.

Agar syam kamaruzaman  menjauh. Menjauh, dan jangan memperdulikan sahabatnya. 

   "Tidak!" berengut syam kamaruzaman . 

   "Kau tak akan kutinggalkan. Kau akan sembuh," katanya, memelas. Anjing itu

merintih. lalu  melolong. syam kamaruzaman  menoleh waktu mendengar suara orang berlari

larian. Ternyata laki-laki yang tadi memperhatikan waktu syam kamaruzaman  membacok pohon

beringin. Orang itu adalah seorang laki-laki yang sudah lanjut usianya. Kaki dan

tangannya kurus sekali, demikian pula wajahnya yang tirus. syam kamaruzaman  heran ia bisa berlari

secepat itu, namun  keheranannya segera lenyap sesudah  melihat tatapan mata laki-laki

tua tersebut. Pandangannya yang tajam dan berpengaruh, membisikkan ke hati syam kamaruzaman 

kalau ia sedang berhadapan dengan seorang manusia yang punya ilmu. Diam-diam ia

merasakan uap dingin pada tubuhnya dan segera sadar orangtua ini berasal dari

kalangan magi putih. 

   "... boleh kubantu?" sapanya begitu ia berjongkok disamping syam kamaruzaman . Si penunggu

jenazah termangu beberapa helaan nafas. Ia tidak menyukai orang asing. Seperti kata

hatinya menegaskan orang lain lebih tidak menyukai dia lagi. namun  suara ramah itu

agak mendinginkan pula hatinya, sehingga sambil  mencoba tersenyum ia menyerahkan

anjingnya untuk diperiksa oleh orangtua yang aneh itu. 

   "... hem!" rungut si orangtua. Ia mengusap jenggot putihnya sejenak, memandang ke

arah luka di selangkangan anjing. 

   "Siapa yang menganiaya makhluk malang ini"  Tadi waktu keretamu melewati

rumahku aku sudah lihat anjing ini berlari-lari sambil  menyeret kaki-kaki belakangnya.

Itu makanya aku terus mengikuti dengan mataku, sampai kulihat anjing itu tersentak

menggelepar di pinggir jalan tanpa kau sadari..." 

   "0h!.." cetus syam kamaruzaman . Itu saja. 

   "Namaku Jumena..." orangtua itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan,

sebab  ia tengah sibuk memijit-mijit bagian yang bengkak di selangkangan anjing,

sehingga binatang itu melolong-lolong dengan suara lirih. Mendengar suara lolongan

memilukan itu hati syam kamaruzaman  memelas. Ia lupa untuk balas memperkenalkan diri. 

   "... apakah bisa sembuh?" tanyanya dengan bernafsu. Jumena manggut-manggut. 

   "Agak lama. Terapi untuk sementara, bengkaknya bisa dibuat hilang. Hem. Yang

menendang bagian ini tentu seseorang yang sangat kuat. Tulang selangkangan anjing

ini patah. Namun, aduhai, anjing ini ternyata lebih kuat lagi. Anjing-anjing lain pasti

sudah mati!" Ia menoleh pada syam kamaruzaman . 

   "Mau kau ambilkan akar ilalang dan getah daun embacang?" Tumbuh-tumbuhan

yang diminta si tua Jumena itu banyak terdapat di pinggir jalan sehingga dalam waktu

beberapa detik syam kamaruzaman  sudah  memperoleh dan memberikan segenggam akar ilalang dan

berapa helai daun embacang yang getahnya bertetesan. 

   "Kau rupanya enggak mau susah-susah memanjat, mau cepat-cepat saja," rungut

Jumena sambil  menerima benda-benda itu. 

   "Daun embacang ini sudah tua-tua." syam kamaruzaman  mau berlari lagi ke batang embacang

terdekat, namun  orangtua itu keburu meneruskan: 

   "Sudahlah. Yang ini juga memadai!" Ia lalu  meletakkan akar-akar itu di atas

sebuah batu berpermukaan rata. Lalu, akar itu ia gilas dengan tangannya sampai lumat

dan mengeluarkan cairan putih kecoklat-coklatan. Cairan itu segera ia sodorkan ke

mulut anjing sementara getah dedaunan ia oleskan ke bagian yang membengkak.

Mulutnya kumat-kamit, namun tidak ada suara apa pun yang didengar oleh syam kamaruzaman 

kecuali hembusan angin dan  helaan nafasnya sendiri. Tidak lama lalu  rintihan

anjing itu berhenti, matanya mengatup dengan tenang. Orang tua itu  berhenti kumat

kamit. Barulah ia mendesah: 

   "Aneh," katanya. 

   "Darah yang keluar dari mulut binatang malang ini, merah kehitam-hitaman. Kupikir,

ini bukan darahnya sendiri..." syam kamaruzaman  gelagapan. Ingatan selintas pada saat-saat anjing

itu menerkam lalu merengut betis resi mandala membuat ia kehilangan kata-kata. Lama

baru ia bergumam: 

   "Di tengah jalan ia menerkam binatang lain..." 

   "Oh ya?" Orangtua itu menoleh ke arah kuda didepan kereta. Salah satu kaki kuda itu

dilekati oleh darah kering bercampur lumpur. 

   "Apakah kudamu juga melakukan hal yang sama?" syam kamaruzaman  terjengah. Namun cepat ia

memperoleh jawaban: 

   "Tadi malam seekor macan kumbang mau menerkamku. namun  keburu

sahabat-sahabatku yang setia ini menolong. Macan itu sudah  mati sebelum

kuku-kukunya sempat menjamah tubuhku...." 

   "Hem!" orangtua itu mendehem. Ia serahkan anjing yang sakit itu ke tangan syam kamaruzaman . 

   "Setahuku darah macan tidak hitam... entah kalau macan jadian..." Ia geleng-geleng

kepala dengan dahi mengernyit dan sudut-sudut mulutnya menggurat tajam. 

   "Pergilah. Bengkak di tubuh anjingmu akan lenyap, dan  tulangnya yang patah akan

bersambung kembali. Jangan biarkan bergerak untuk sementara." syam kamaruzaman  mau

mengucapkan terimakasih, namun  si tua Jumena buru-buru menjauh sambil 

mengibaskan sebelah tangannya. 

   "Pergilah. Aku mencium bau tidak enak di sini...." Dan sesudah  kereta syam kamaruzaman  menjauh.

Jumena bersungut sungut sendirian: 

   "Makhluk terkutuk. Jasadnya saja anjing, namun  rohnya..... Kuda itu juga! Dan

tampaknya orang yang duduk di tempat duduk kereta itu tidak mengetahui makhluk apa

yang selama ini ia anggap sahabat sahabatnya. Hem. Orang ini pun tidak memiliki

mata yang jernih. Apakah ia yang dijuluki si penunggu jenazah bernama syam kamaruzaman  itu"

Kalau ya, huh. Menyesal aku mengurangi penderitaan salah seekor makhluk

peliharaannya!" lalu  ia mengurut dada. Dan berucap: 

   "Jauhkan hamba-Mu ini dari cengkeraman setan, ya Tuhanku!" Lalu ia memutar

tubuh. Kembali ke rumahnya. Dengan langkah terseok seok . Tidak biasanya ia

melakukan pekerjaan mengobati orang atau binatang berakibat hampir lumpuhnya

persendian-persendian tubuhnya. Oleh sebab itulah ia menyadari binatang yang ia

jamah tadi, bukan binatang yang terlihat pada wujudnya saja. Ada sesuatu kekuatan

atau makhluk lain bersembunyi didalam tubuh binatang itu. Sesuatu yang ia duga,

tentulah manusia adanya, seperti dirinya sendiri. Ah, ia letih benar. Untunglah

kesadarannya muncul segera, sehingga ia tidak perlu menjamah makhluk terkutuk itu

berlama-lama. Makhluk itu sudah  ia lepaskan dari siksaan sakit, namun  ia tak yakin

apakah perbuatan itu perlu ia lakukan.... 

    syam kamaruzaman  merasa berterima kasih sekali. Ia biarkan kereta berjalan dengan lambat, agar

goncangannya tidak menimbulkan rasa sakit kembali di tubuh anjing yang kini

meringkuk diam-diam di sampingnya. Tampaknya anjing itu sudah  jatuh tertidur.

Selintas syam kamaruzaman  memperhatikan moncong binatang kesayangannya. Benar, warna darah

yang keluar dari mulut anjing itu, agak kehitam-hitaman. Ia mencoba mempertajam

matanya untuk memperhatikan darah kering diantara lumpur yang mengotori salah

satu kaki depan kuda penarik kereta. Juga darah itu tentulah kehitam-hitaman, sebab 

sesudah  mengering sudah  berubah warnanya seperti arang. 

   "Darah resi mandala . Darah membusuk!" sungutnya. Terngiang kembali sumpah Ki

Sanca: 

   "Darahku yang mengalir akan menjelmakan roh-roh...! Darahnya yang mengalir!

Apa maksud resi mandala " Mereka tinggal menempuh satu desa lagi sebelum tiba di

pinggir kota kecamatan di mana makam suami nyi girah  terletak. Ia sudah  menyuruh roh

nyi girah  mencari makam itu, dan roh itu memastikan tempat di mana suaminya

dikuburkan oleh sanak keluarga mereka. Lengkap dengan petaknya, bagian keberapa

dari petak itu, dan  pohon apa yang terdapat di dekat nisannya yang berbatu pualam

putih, satu-satunya nisan berbatu pualam di pemakaman yang akan didatangi syam kamaruzaman .

Mudah sekali mengenali makam itu, akan namun  sekarang sudah keburu datang malam.

Kalau saja anjingnya yang malang tidak terluka, sehingga kereta harus berjalan

lambat.... 

   "Mudah-mudahan saja mayat Nyi ljah tidak keburu membusuk," sungutnya, tak lupa

menoleh ke belakang. Tutup peti mati terletak rapat di tempatnya. Peti Itu tidak

bergerak-gerak. Alangkah damainya mayat itu berada disana. namun  alangkah

tersiksanya roh dan jasad mayat itu nantinya. Begitu ia menemukan makam suaminya,

berbaring sejenak di sana untuk melampiaskan kerinduan yang lama terpendam, maka

nyi girah  akan pergi lagi. Pergi dalam bentuk yang lain. Bentuk yang seorang manusia

pun tidak akan pernah menyukainya... seburuk-buruknya kematian syam kamaruzaman , ia masih

termasuk orang yang beruntung. Jasadnya akan mati dalam keadaan sempurna sebagai

manusia, dan rohnya akan tetap roh seorang manusia pula. Sedang nyi girah .... 

   Roda kereta terantuk ke akar sebatang pohon. syam kamaruzaman  agak terlonjak, dan anjing yang

meringkuk disebelahnya terbangun. 

   "Pelan, sahabatku," bujuk syam kamaruzaman  sambil  membungkuk dan mengelus-elus punggung

kuda. 

   "Pergunakan matamu yang menakjubkan itu dalam gelap malam... tak usah

tergesa-gesa. Terlambat beberapa jam, tak ada salahnya...." Kuda itu meringkik. Halus.

   Ah. Halus" 

   Ia tajamkan telinganya. 

   Bukan. 

   Kuda itu tidak meringkik. namun  bersorak. Sorak kegembiraan yang tertahan,

seolah-olah senang melihat munculnya rembulan yang retak-retak diantara gumpalan

gumpalan awan berarak. 

   Bulan retak. 

   Itu adalah pertanda tidak baik, pikir syam kamaruzaman . 

   namun  kuda ini.... syam kamaruzaman  terkesiap. Kuda ini masih terus berlari perlahan-lahan

menarik kereta. 

   namun ... kaki-kaki depannya tampak lebih pendek, dan menekuk berlawanan dengan

tekukan biasa. Juga kedua kaki belakangnya. Menekuk di lutut, ke arah depan. Apa

yang terjadi dengan kudanya" Ia coba menahan tali kekang. namun  kuda itu terus

berlari. Hanya sedikit menggoyangkan kepala oleh tarikan tali, namun  terus berlari

sambil  bersorak. 

   Ya. 

   Jelas kini. 

   Bersorak. 

   Senang. Dalam cahaya bulan, kulit kuda yang hitam legam berkilat-kilat itu

perlahan-lahan mulai berubah warna, bahkan berubah bentuk. Tiba-tiba syam kamaruzaman 

menyadari, bahwa yang menarik kereta bukanlah seekor binatang. Melainkan sesosok

tubuh lain. Tubuh manusia yang hancur mengeluarkan darah di sana sini,

memperlihatkan tulang belulangnya yang putih remuk sama sekali. Sekali kuda itu

menoleh ke belakang. Menyeringai. 

   Bukan seringai kuda. namun  seringai seseorang. Seseorang manusia yang juga hancur

wajahnya. Bukan pula wajah resi mandala . Melainkan wajah seorang laki-laki yang belum

pernah ia kenal..., 

   Laki-laki yang menyeringai liar, dengan mata buas memandang syam kamaruzaman  di tempat

duduk kereta, dan  kedua tangan dan kakinya bukan berlari, namun  mencakar-cakar

tanah, berusaha menahan berat beban yang dibawanya. Tanpa sengaja, syam kamaruzaman 

menyentuh anjing yang setahunya berbaring meringkuk di sebelahnya. namun 

tangannya menyentuh udara hampa yang dingin, ia menoleh. 

   Tersirap darahnya sesaat . Di sampingnya duduk sesosok tubuh yang juga sudah

rusak di sana sini. Sosok tubuh wanita  lesbian . Benar. Sesosok tubuh wanita  lesbian , akan

namun  tangannya tidak merasa menyentuh sesuatu meskipun tangan syam kamaruzaman  berada tepat

di bagian tengah dada wanita  lesbian  itu. 

   Kaget, tangan syam kamaruzaman  tersentak mundur. Sikapnya berubah jadi hati-hati. Betapa tidak.

Bukan saja perubahan sudah  terjadi pada wujud binatang kesayangannya. Akan namun 

juga, barusan tadi syam kamaruzaman  tidak menyentuh tubuh yang hangat, melainkan udara hampa

yang dingin. Dengan mata terpentang lebar, ia perhatikan sosok tubuh yang berjongkok

di   sampingnya itu, bergoyang-goyang hebat oleh guncangan kereta yang berlari

dengan kecepatan tinggi. Mata syam kamaruzaman  yang tajam segera mengenali wajah makhluk itu: 

   "... kau!" cetusnya, hampir-hampir tidak percaya pada pandangan matanya. 

   "Hi... hi... hi...." 

   Mulut yang mengerikan itu menyeringai lebar, memperdengarkan suara mengikik.

Bersamaan dengan terdengarnya suara mengikik itu, hidung syam kamaruzaman  mencium bau busuk

dan hanyir, yang keluar dari sekujur tubuh wanita  lesbian  itu. Lamat-lamat mata syam kamaruzaman 

menangkap genangan darah membeku di bagian bagian tubuh si wanita  lesbian  yang rusak

hebat terhantam benda berat yang tidak kenal ampun. syam kamaruzaman  ingat betul wanita  lesbian  ini

mati sebab  menerjunkan diri ke atas rel persis pada waktu sebuah kereta api kilat

lewat di kampung mereka. 

   "Mau apa kau?" rungut syam kamaruzaman . Hati-hati. 

   "Hih... hi... hi...." 

   "Apa maksudmu menggangguku, Marni?" Arwah wanita  lesbian  yang sudah  mengambil

alih wujud anjing syam kamaruzaman  itu, hanya tertawa menyeringai. Dalam bayangan bulan yang

retak-retak di makan gerhana, sepasang matanya tampak berkilat-kilat, seolah-olah

semburan api yang menyambar-nyambar ke wajah syam kamaruzaman . 

   Penunggu jenazah itu mengelakkan pandangan si wanita  lesbian , lalu  berusaha

memusatkan pikiran. Ia melakukan semedi, membaca segala macam mantera yang

pernah ia miliki. Namun sampai otot-otot tubuhnya kejang dan bulir-bulir keringat

sebesar jagung membanjiri pakaiannya sehingga basah kuyup, syam kamaruzaman  tidak berhasil

memusatkan pikiran. Ingatannya melayang ke saat-saat ia dipanggil oleh keluarga

Nengsih Sumarni untuk menunggui jenazah wanita  lesbian  muda yang mati bunuh diri itu.

Tidak bisa ia lepaskan sama sekali bayangan waktu mana ia menggeluti wanita  lesbian  itu,

membangkitkan si wanita  lesbian  dari kuburnya, dan tidak pernah kembali lagi... Ingatan

itu benar-benar mengganggu konsentrasinya.

   Lebih-lebih lagi goncangan-goncangan kereta. Derak derak roda, dan  berciutnya

engsel-engsel. Ribut sekali. 

   "Celaka!" rutuknya dalam hati. Lantas: 

   "Hiyaaaaa. Berhenti, kau. Berhenti!" 

   Ia berseru lantang. Namun apa daya. Makhluk aneh yang kini menarik kereta itu

malah mempercepat larinya. Lari yang terombang-ambing di atas kedua kaki-kaki

depan yang lebih pendek dengan kedua kaki-kaki belakangnya itu. Kuda yang sudah 

berganti wujud itu malah balas menoleh ke belakang, menyeringai kearah syam kamaruzaman 

lalu  tertawa membahana. Sungguh, tertawa membahana. Tidak lagi meringkik.

syam kamaruzaman  menjadi marah. 

   "Setan!" umpatnya, lalu menyambar pecut. Baru saja pecut itu akan ia derakkan ke

punggung makhluk penarik kereta, terdengar suara menggereng liar, lalu suara angin

keras menyambar. Dalam sekejap pecut di tangan syam kamaruzaman  sudah  lenyap. Yang tinggal

hanyalah rasa kebas akibat renggutan yang sekonyong-konyong itu. Ia sampai terpekik

lirih. Dan kemarahannya benar-benar sudah  naik sampai ke kepala. 

   "Biadab!" ia berteriak, lantang, memecahkan kesepian malam di tengah rimba

belantara itu. 

   "Aku tahu, kalian berada dibawah perintah!" Lantas, ia meluadah ke kiri ke kanan,

berkali-kali, sambil kumat kamit membaca mantera. Namun, sekali kepalanya

tertengadah saat  meludah itu, dengan maksud mengusir bau busuk dari udara

diatasnya. Matanya terpaut pada bulan. Bulan yang retak-retak dan buruk itu, ia tidak

menyukai bulan dalam keadaan seperti itu. Pengaruh ilmunya jadi berkurang. Tak

pelak lagi, syam kamaruzaman  menarik tali kekang kuat-kuat, sambil  berdiri tegak di tempat duduk

kereta. Ia pacakkan kuat-kuat kedua tumit kakinya, dan mengerahkan segenap

kekuatan-kekuatan otot-ototnya menarik ke belakang sehingga tubuhnya miring sampai

45 derajat. Usahanya tidak membawa hasil. Diam-diam ia menyadari, bahwa yang

menarik kereta masih tetap kudanya, hanya wujudnya saja yang berubah. namun 

kebinatangan kuda itu sudah  dipengaruhi oleh suatu kekuatan yang dahsyat, kekuatan

yang berada di luar pengaruh syam kamaruzaman . Kekuatan dari alam barzah. Kekuatan dari roh.

Roh orang yang berilmu. Tak salah lagi. Arwah resi mandala tengah mempermainkan

dirinya, dengan mempergunakan arwah-arwah manusia yang pernah sakit hati pada

syam kamaruzaman . resi mandala sudah  menjanjikannya. Lewat darah-darahnya. syam kamaruzaman  tibatiba

menyesal. Mengapa ia tidak membersihkan darah resi mandala dari moncong anjing dan 

kuku-kuku kudanya. Tenaga syam kamaruzaman  kian lama kian melemah. Dalam keadaan demikian,

makhluk yang dari tadi tetap berjongkok di sampingnya, bergerak untuk kedua kalinya.

Salah sebuah tangan makhluk itu, syam kamaruzaman  tak tahu apakah itu anjing atau manusia,

terangkat ke arah tali-tali kekang, menjepitnya dengan jari-jari dan  kuku-kukunya,

lalu  mendekatkannya ke arah gigi taring, lantas merencah-rencah tali kekang

makhluk itu. Tau-tau saja, salah satu dari tali itu sudah  putus. Segenap kekuatan syam kamaruzaman 

kini berbalik total melawan kemauannya. Ia terhumbalang ke belakang, menimpa peti

mati di atas bak kereta, terlontar ke samping, jatuh di atas jalanan yang untunglah

hanya tanah. Akan namun , tanah itu keras, dan di beberapa tempat dihunjani batu- batu.

Tak pelak lagi, syam kamaruzaman  terhempas hempas di jalan, sementara tangannya yang memegang

seutas tali lain berputar-putar sehingga tali itu membelit lengannya. Ia tidak bisa

melepaskannya sama sekali, dan hanya mampu untuk berusaha agar tubuhnya tidak

sampai hancur terseret. 

   Ia tumpukan kekuatan pada ujung-ujung jari kakinya, satu-satunya bagian tubuhnya

yang tidak mungkin ia elakkan dari torehan tanah keras dan hantaman batu-batu. Lama

kelamaan ia menyadari kalau kaki-kakinya itu mulai luka memar disana sini, berdarah,

dan menimbulkan rasa sakit yang alang kepalang. Ia menggigit bibirnya keras-keras,

agar tidak sampai mengeluarkan jerit kesakitan. 

   Dan tiba-tiba siksaan yang dahsyat itu berakhir. Ia dengar ringkikan kuda. Dan

lolongan anjing yang sayup-sayup sampai ke telinga. Ia coba menajamkan pandangan

matanya, menembus kegelapan malam. Kereta itu berhenti tak jauh dari sebuah jalan

besar, beraspal dan  rumah-rumah yang diterangi lampu listrik. 

   Mereka sudah  tiba di pinggir kota kecamatan itu. namun  mengapa makhluk-makhluk

itu menghentikan siksaan atas dirinya" Bukankah dengan menyeret syam kamaruzaman  di atas

jalanan beraspal itu, kematian akan datang lebih cepat" 

   "Hem!" 

   syam kamaruzaman  bersungut pada dirinya sendiri. Makhlukmakhluk itu, atau arwah-arwah itu,

tidak mengingini kematian syam kamaruzaman  yang begitu mudah. syam kamaruzaman  berharap ada orang lewat

di jalan. Atau bus. Atau apa saja. Yang bisa melihat keadaannya, dan datang untuk

membantu, sehingga arwah-arwah itu melarikan diri. syam kamaruzaman  tahu betul. Mereka

menginginkan dirinya. Bukan orang lain. Dan mereka, hanya terlihat oleh syam kamaruzaman 

seorang. Tidak oleh orang lain. namun  orang lain akan melihat syam kamaruzaman . 

   Mula-mula mereka tentu heran, lalu  sesudah  melihat luka-luka syam kamaruzaman , akan

cepat-cepat datang menolong... 

   Tidak. 

   Tiak ada orang lewat. 

   Tidak ada bendi. 

   Tidak ada bus. 

   Bahkan tidak ada suara apa-apa sama sekali, kecuali kesunyian malam, kegelapan

yang menghantui, dan  dengus nafas terengah-engah. Nafas syam kamaruzaman . Nafas anjing. Nafas

kuda. Ia menelan ludah. Membasahi bibirnya yang kering. Harapannya timbul lagi.

Untuk melihat anjing dan  kudanya yang setia. Sempoyongan ia coba berdiri. Dengan

sebelah tangannya yang bebas, ia seka mata yang basah oleh peluh bercampur debu.

Perih rasanya. namun  ia bisa melihat dengan lebih jelas kini. Melihat, makhluk makhluk

itu tidak beranjak dari binatang-binatang kesayangannya. Makhluk-makhluk itu

bergerak-gerak dengan liar, berjumpalitan, menggereng, melolong, meringkik. syam kamaruzaman 

segera menyadari. Jika anjing dan  kuda itu melakukan perlawanan. Namun kekuatan

dari alam barzah, dari roh- roh itu, tidak mampu mereka lawan. syam kamaruzaman  menggeram: 

   "Enyah, kalian makhluk-makhluk busuk. Enyah kau, aidit . Aku sudah  membantu

kalian agar bisa bertemu kembali. Bersatu di dunia lain. sebab  itu, enyahlah.

Anggaplah sebagai balas jasa!" 

   "Hih... Hi... Hii...." 

   Nengsih Sumarni menyeringai. 

   "Balas jasamu sudah  kau ambil. Kau sudah  menodai tubuhku. Melanggar

kehormatanku. Kau makhluk terkutuk, manusia berhati busuk...!" 

   Pengaruh resi mandala rupanya menang. Tiada lagi perlawanan dari jiwa anjing itu.

Yang ada hanya kepatuhan kini. Anjing yang sudah  berubah wujud jadi Nengsih

Sumarni itu, menerkam ke depan. Disusul hentakan-hentakan kaki kuda. Hentakan

hentakan kaki yang menggebu-gebu hebat mendatangi tempat syam kamaruzaman  berdiri

sempoyongan, ditambah sumpah serapah dari mulut makhluk itu, menyumpahi kelakuan

syam kamaruzaman , melepaskan rasa sakit hati sebab  kekasihnya sudah  dinodai syam kamaruzaman , mengutuk

perbuatan syam kamaruzaman  yang katanya sudah  mengakibatkan ia kehilangan anak dan  isterinya

yang kedua. syam kamaruzaman  mulanya pasrah. Ia tidak perduli kematian bagaimana yang harus ia

alami. namun  pandangan matanya yang tajam segera melihat sosok-sosok tubuh lain

dibalik penjelmaan arwah-arwah itu. Sosok tubuh anjing dan  kudanya yang setia.

Binatang-binatang itu tidak boleh tersiksa jiwanya. syam kamaruzaman  tidak tega. Ia harus

melepaskan siksaan itu, bagaimanapun juga caranya. syam kamaruzaman  hanya memerlukan tempo

tak sampai tiga detik untuk berpikir. Tangannya yang bebas mengeluarkan golok dari

sarung yang terikat di pinggangnya. Ia tidak pernah membunuh makhluk hidup, namun 

ia pun tidak sampai hati membiarkan makhluk-makhluk setia yang selama ini

melindunginya itu, terlunta-lunta arwahnya. 

   "Matilah dengan tenang!" 

   bisik syam kamaruzaman , lirih, dan goloknya dengan cepat sudah  terayun. Kilatan golok itu

membersitkan bayangan lain di mata syam kamaruzaman . Bayangan dirinya. Dengan mata buta,

otot-otot lumpuh, otak tidak mau bekerja, dan kematian yang datang secara lambat,

siksaan yang akan menggerogoti hidupnya detik demi detik. Pengorbanan itu ternyata

tidak sampai terjadi. Golok syam kamaruzaman  hanya memapas angin. Angin keras yang lewat di

sampingnya, oleh lontaran tubuh yang berat. Terdengar suara berdebuk yang lunak,

lalu lolongan anjing yang lirih. Waktu syam kamaruzaman  menoleh ke arah suara itu, tahulah ia

bahwa makhluk pertama yang menerkam dirinya, sudah  gagal melaksanakan niatnya.

Pada detik terakhir, kesadaran anjing itu akan kesetiaannya sebagai binatang

pelindung tuannya, muncul. Binatang itu mengelakkan sambaran golok syam kamaruzaman Akibatnya, tubuhnya yang sudah keburu terbang ke udara, meluncur deras ke bawah,

dengan kepala terlebih dahulu tiba di tanah keras dan berbatu. 

   Pada detik peristiwa itu berlangsung, wujud makhluk itu sudah  kembali pada wujud

semula. Anjing besar, berkulit hitam legam, namun kekokohan tubuhnya sudah  tidak

berdaya sama sekali. 

   Jumena, dukun berilmu putih dari desa yang mereka lewati senja tadi sudah 

mengisyaratkannya. Goncangan sedikit saja, akan membuat anjing itu mati. Apalagi,

hempasan keras dari kepalanya ke atas batu. syam kamaruzaman  tersentak ke bak kereta dengan hati

yang luluh. Ia sama sekali tidak memperhatikan bagaimana sosok tubuh lain yang jauh

lebih besar dan  lebih perkasa dari anjing itu melakukan tindakan ganjil pula.

Rentakan-rentakan kaki keras menghempas di tanah. Wujud aidit  menghilang. Yang

ada hanyalah wujud seekor kuda tinggi besar, dengan tubuh yang kuat kokoh. Kulitnya

yang hitam berkilat-kilat membasahi keringat. Kilatan lain membersit lebih nyata dari

sepasang matanya. Kuda itu memandang anjing yang sedang sekarat di tanah,

lalu  berjalan mendekat, berdiri sebentar di dekat anjing itu, lalu  kepalanya

menekuk ke bawah. Kuda itu menjilati anjing itu dengan gerakan-gerakan yang di mata

syam kamaruzaman  jelas hanya berarti satu hal: kasih sayang! 

   Habis menjilati bangkai anjing, sang kuda menoleh kearah syam kamaruzaman . Dalam

remang-remang malam, mata syam kamaruzaman  menangkap cairan bening di sudut-sudut mata

kuda. 

   "... kau menangis," bisik syam kamaruzaman . 

   Ta'jub. 

   Dan ia sendiri pun, sebenarnya ingin menangis. Belum lagi air mata syam kamaruzaman  mengalir

keluar, sahabatnya yang tinggal satu-satunya di dunia itu, sudah  melakukan gerakan

tidak terduga. Binatang besar itu berjalan kearah sebatang pohon besar, mengangkat

kedua kaki depannya tinggi-tinggi, lalu  dengan satu hentakan kuat pada kaki-kaki

belakangnya, kuda  itu menghempaskan tubuhnya ke depan. Kepalanya dengan dahsyat

melanda batang pohon. Terdengar suara berderak. syam kamaruzaman  tidak tahu apakah suara

berderak itu berasal dari kepala kuda atau batang pohon, atau barangkali juga

kedua-duanya. Yang ia tahu hanyalah, binatang bertubuh besar dan kokoh itu,

terhempas ke tanah, keempat kaki-kakinya menyepak-nyepak dengan liar. Tak lama

lalu  tinggal lejotan-lejotan perlahan dan  dengus-dengus napas lemah. 

    Kejadian yang susul menyusul itu berlangsung sangat cepat. syam kamaruzaman  belum sempat

mengatur nafasnya yang memburu, saat  binatang-binatang kesayangannya itu sudah 

terkapar di hadapannya. 

   Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia saksikan, sehingga merasa sangat

terpukul manakala telinganya menangkap bayangan-bayangan tubuh yang sekarang

sekarat itu. Sekujur tubuhnya seolah-olah mendadak lumpuh, sehingga ia jatuh melorot,

terduduk di tanah. Golok di tangannya terlepas tanpa ia sadari, gagangnya menimpa

punggung kaki kanannya yang memar-memar, berdarah. Ia tidak merasakan kesakitan

dan perih yang ditimbulkan oleh luka-luka di kaki dan  lecet-lecet berdarah pada

tangannya yang masih dibelit tali. 

   "Apa... apa yang kalian perbuat?" bisiknya, lirih. 

   Ia berusaha memikirkannya. lalu  teringat sekilas pandang mata mereka yang

 Edit teks 183 Saiful Bahri Situbondo 

diarahkan pada syam kamaruzaman , sebelum sahabat-sahabatnya itu berbuat nekad. Dan syam kamaruzaman 

semakin runtuh, manakala ia sadari apa maksud semuanya itu. 

   "Mengapa?" ia tiba-tiba menjerit tertahan. 

   "Mengapa kalian lakukan itu" Mengapa justru kalian yang harus berkorban"

Bukankah mati di tanganku bagi kalian berarti sama saja" Kematian" Kematian"

Mengapa" Mengapa?" 

   Lalu perlahan-lahan, ia kembali menangis. Hancur hatinya. Bukan saja sebab  kini

tinggal sendirian. namun  juga, sebab  terharu oleh pengorbanan sahabat-sahabatnya

yang setia itu. Di antara kehancuran hati yang tengah melanda syam kamaruzaman , diam-diam

sanubarinya diselinapi perasaan ta'jub. Binatang-binatang kesayangannya itu

seakan-akan tahu apa akibat yang terjadi pada syam kamaruzaman  apabila syam kamaruzaman  melakukan sesuatu

yang bisa mematikan bahkan cuma melukai makhluk lain. Mereka seperti tahu. Atau

mereka memang tahu. Itu sebabnya mereka menerjang resi mandala malam kemarin, dan

kini nekad pula bunuh diri. 

   "... belum cukupkah lindungan yang kalian berikan padaku" Belum cukupkah?"

keluhnya. 

   Terbayang di matanya saat-saat di mana binatang binatang itu selalu bertindak

sebagai pelindung. Anjing itu pernah menggigit putus leher seekor ular Sanca yang

hampir saja mematuk syam kamaruzaman . Seekor macan tutul yang hampir saja menerkam syam kamaruzaman ,

lumat kepalanya di tendang kudanya. 

   Dulu, saat  penduduk kampung Mira mengetahui gadis itu bercinta-cintaan dengan

resi mandala  pernah beberapa orang pemuda mau mengeroyoknya. namun  mereka lari

serabutan begitu  anjing dan kuda syam kamaruzaman  menggeram-geram di dekat mereka. Anjing

dan kuda itu pun selalu mengawasi dari kejauhan tatkala syam kamaruzaman  dan Mira sedang

memadu janji di tempat-tempat tersembunyi. Seakan-akan anjing dan kuda itu mengerti

apa yang tengah melanda dada muda mudi yang masih remaja itu dan ... 

   Kenangan-kenangan manis itu terputus tiba-tiba. Sepasang mata syam kamaruzaman  yang dari tadi

terpaut ke tubuh binatang-binatang kesayangannya itu, kini terbelalak lebar. Mata yang

sudah terbiasa dengan kegelapan malam itu, bergulat dengan bathin syam kamaruzaman  yang masih

bimbang. 

   Tidak. 

   Ia tidak tengah bermimpi. 

   Ia tidak tengah membayangkan pemandangan-pemandangan ganjil. Ia tidak percaya.

Itu saja, sebab  apa yang tengah berlangsung di hadapannya, mungkin merupakan

peristiwa aneh yang pernah ia saksikan seumur hidupnya. Ia sekali dua mendengar

bahkan pernah menyaksikan proses manusia berubah jadi binatang, sebab  si manusia

itu "munjung" atau pengabdi setan berwujud binatang. 

   namun  kini... 

   yang ia lihat adalah sebaliknya. Anjing dan kuda, dua ekor binatang yang paling

dekat dengannya selama ini, pelan-pelan namun  pasti berubah wujud seorang

wanita  lesbian , sementara kuda berubah jadi wujud seorang laki-laki! 

   "Demi roh-roh yang melindungiku!" syam kamaruzaman  bergumam, serak. 

   "Apa artinya semua ini?" 

   Laki-laki yang berasal dari wujud kuda, rupanya mendengar erangan syam kamaruzaman . Ia

mengangkat kepalanya. Perlahan. Kepala yang rusak berat sebab  di hantam pohon.

Darah mengalir di sana sini. syam kamaruzaman  tidak mengenal laki-laki itu. Biarpun wajahnya

misalnya utuh, syam kamaruzaman  yakin ia juga tidak akan mengenalinya. Dengan terheran-heran ia

mendengar suara patah patah: 

   "syam kamaruzaman .... Kami adalah moyangmu. Itulah artinya...!" 

   syam kamaruzaman  jadi tegang. Ia pandangi laki-laki yang sedang sekarat itu. 

   "Mo... moyangku..." Kalian berdua?" 

   Matanya lalu  berpindah ke tubuh si wanita  lesbian . Juga rusak wajahnya.

Terhantam batu. Tiada gerakan dari wanita  lesbian  itu. Tiada sama sekali. syam kamaruzaman 

menajamkan pandangannya, mempergunakan seluruh kekuatan bathinnya. lalu  ia

menyadari mengapa si wanita  lesbian  kini tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda hidup.

Kepalanya pecah. Di bagian belakang ada bercak-bercak putih. Otak. 

   "Moyangku!" syam kamaruzaman  mendengus. Segenap kekuatan lalu  kembali pada dirinya. Ia

bangkit, dan bermaksud mendapatkan kedua orang yang mengaku moyangnya itu.

namun  si laki-laki kembali menggerakkan kepalanya, seakan-akan memprotes sehingga

syam kamaruzaman  urung niatnya. Ia lalu  hanya berdiri, tegang dan gemetar, mendengar

ucapan laki-laki yang sekarat itu: 

   "Jangan! Jangan kau... sentuh kami ini. Jangan, syam kamaruzaman . Percuma saja... isteriku sudah

mati. Ajalku pun akan segera tiba. Jangan kau sentuh jasad kami. Biarkan jasad kami

ini... meneruskan takdir..." 

   Ada batuk-batuk serak sebentar, lalu  helaan helaan nafas tersengal-sengal, dan

dilanjutkan suara terputus-putus: 

   "Tajamkan telingamu, syam kamaruzaman . Dengarkan apa yang akan kuceritakan..." 

   syam kamaruzaman  mengerahkan kekuatan bathin. Ia lalu  mendengar, bahkan seolah-olah

bisa menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepalanya sendiri. Kedua suami isteri itu

lebih dari seratus tahun yang lalu pernah sama-sama bertapa. Mereka ingin kebal, dan

juga ingin tetap awet muda. Keinginan itu  ditentang habis-habisan oleh ayah si suami,

yang dengan tandas menegaskan: 

   "Yang maha kuasa sudah mengguratkan kekuatan phisik dan  keampuhan usia

manusia melawan alam!" 

   Si suami memberi dalih: 

   "Kami cuma menuntut ilmu, untuk menjaga diri. Tidak ada tujuan-tujuan lain." 

   "Bohong. Kalian terdorong nafsu birahi, dan ingin perkasa seumur hidup kalian." 

   "Kami tak akan pergunakan untuk maksud-maksud jahat, ayah. Hanya untuk

kelanjutan hidup kami berdua saja. Kami berjanji!" 

   sebab  mereka bersikeras juga, akhirnya sang ayah tidak kuasa lagi menahan.

Dengan lesu, ia mengingatkan: 

   "Baiklah. Teruskanlah maksud kalian yang bagiku tetap berbau busuk itu. namun ,

tanggunglah sendiri sendiri resikonya!" 

   Banyak resiko-resiko berat yang harus mereka lampaui. namun  demi ilmu kebal dan 

keinginan awet muda sampai mati, mereka terima saja semua cobaan-cobaan dan 

resiko-resiko itu. Termasuk keharusan mereka meninggalkan menu sehari-hari. Dari

nasi dan lauk pauk, menjadi hanya darah ayam putih. Itu pun, ayamnya harus

dipotongkan orang. Dengan lain perkataan, resiko yang lebih berat adalah, mereka

tidak boleh melukai makhluk lain, apalagi membunuhnya. Celakanya lagi, darah itu

harus mengalir dari lubang lubang hidung dan  mulut sebuah tengkorak manusia. dan 

tengkorak itu, haruslah tengkorak orang yang sama-sama sudah  melahirkan mereka ke

dunia ini. Dengan hati berat, mereka laksanakan semua syarat syarat itu. Memang,

mereka jadi kebal. Terhadap senjata tajam. Akan namun , tidak terhadap penyakit. Sang

isteri, yang orangtuanya masih hidup kedua-duanya tidak bertahan cukup lama untuk

menunggu ibunya mati. Ia diserang penyakit asthma. Penyakit itu menyiksa selama

menjalani sisa-sisa hidup yang tidak pernah lagi berbahagia. Sementara si suami,

saat  ketahuan oleh ayahnya yang fanatik itu sudah  membongkar kuburan ibunya

lalu  mengambil tengkorak kepalanya, dikutuk dan disumpah, dan  tidak diaku

anak, dan tidak akan mendapat warisan. Anak dan ayah itu bertengkar hebat.

Kedua-duanya jadi emosi. Si ayah sebab  merasa terhina, tengkorak isterinya diangkat

dari kuburan, sementara si anak kecewa dengan keputusan ayahnya, disamping sudah

putus asa menghadapi penyakit sang isteri. Tak dapat menahan emosi, keduanya

berkelahi. Sebuah tinju yang deras dari sang anak, menerpa mata sang ayah, sehingga

pecah berdarah. Si ayah kalap, menyambar sebilah pedang dan bermaksud membunuh

anaknya. namun  pedang itu tidak berhasil melukai sang anak. Ia kebal. Dan tau-tau saja

senjata sudah  makan tuan. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, sang ayah

sempat menyumpah serapah: 

   "Kukutuk kalian, kalian akan menunggu jasadku seumur hidup kalian berdua. Dan

 Edit teks 187 Saiful Bahri Situbondo 

turun-temurun kalian berdua, akan menunggui jasad orang-orang yang mati penasaran

seperti diriku!"

   Seperangkat kutuk masih ia tambahkan dalam sumpah serapahnya. sesudah  merasa

puas, sang ayah pun mati. Meskipun jasad sang ayah sudah  membusuk, namun  sang anak

tidak pernah berhasil mereka lenyapkan. Di kubur, tanah terbongkar dan jasad itu

kembali berada di rumah. Dilempar ke sungai, tenggelam, namun  malam harinya sudah

hadir kembali di rumah. 

   Kengerian dan  bau busuk tidak kuat mereka tahan. Suami isteri yang durhaka itu

meninggalkan rumah untuk pindah ke tempat lain. Kemana pun mereka pergi, mayat itu

tetap mengikuti, sampai tinggal tulang belulangnya saja. Akhirnya mereka

meninggalkan rumah untuk terakhir kalinya, kembali ke tempat di mana dulu mereka

pernah bertapa. Tempat itu adalah tempat dimana sekarang berdiri rumah yang

didiami turun temurun oleh anak dan cucu-cucu mereka, tempat syam kamaruzaman  sebagai turun

terakhir tinggal. saat  mereka tiba di pertapaan itu, kerangka sang ayah sudah

menunggu di sana. Namun sebab  mereka sudah terbiasa, mereka membiarkannya saja.

Tidak panik. Tidak pula terpengaruh. Apalagi mundur. Terpantang bagi keduanya.

Mereka meletakkan tapa brata bersama-sama, diganggu oleh siksaan bathin. Si isteri,

oleh siksaan asthma. Mereka satukan kekuatan bathin. Mereka minta: 

   "Jauhkan kami dari pohon beringin tua, pohon yang menaungi rumah kediaman

mereka dan keturunan mereka lalu  di tempat itu, pohon yang mereka sembah

adalah: 

   "Pisahkah tulang belulangnya. Lempar ke dalam penjuru angin!" 

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, kerangka sang ayah mereka luluh lantakkan,

lalu  dilempar lemparkan ke delapan penjuru angin. Habis melakukan perbuatan

itu, mereka kembali bertapa brata. 

   Pohon keramat itu berkata: 

   "Kalian tak akan diganggu oleh kerangka-kerangka itu lagi. namun , kalian sudah 

melanggar peraturan yang kuberikan. Kau, wanita  lesbian ! Kau tidak berhasil memperoleh

tengkorak kepala ibumu. Kau gagal. Dan kau, laki-laki. Kau peroleh tengkorak ibumu.

namun  kau lukai, bahkan lalu  kau bunuh ibumu. Kau pun sudah  gagal!" 

   Mereka mengaku bersalah, dan mohon ampun. 

   "Tidak. Jangan menjilat ludah. Jangan melanggar janji. Kalian seharusnya malu!" 

   "Tolonglah...!" 

   "Tidak! Aku tidak sudi menolong manusia-manusia tak berguna seperti kamu berdua.

Kukutuk kalian, untuk tetap tinggal di tempat ini sampai keturunan kalian yang paling

akhir. Hehehe... jangan keburu berlega hati, mengira hukumanku terlalu ringan. Ilmu

kalian hilang, akan namun  tidak berani syarat-syaratku juga kucabut. Kamu berdua

harus tetap menyembah tengkorak yang diambil dari kubur itu. Kamu berdua pun harus

tetap menjalani peraturan-peraturan yang sudah  kalian setujui bersama. Hidup dari

darah ayam putih, ayam yang disembelihkan orang lain!" 

   Harta peninggalan sang ayah cukup banyak. Dengan itu mereka bisa mendatangi

penduduk di berbagai desa, membeli ayam putih dan minta tolong menyembelihkannya

sekalian. Semua mereka jalankan dengan terpaksa, sampai anak mereka seorang

laki-laki, lahir, bertumbuh lambat, dan lalu  mereka berdua cepat menjadi tua.

saat  kematian mereka rasa tak akan terelakkan lagi, kedua suami isteri itu kembali

melakukan tapa brata. 

   "Anak kami belum cukup besar. namun  kami akan mati. Sedangkan kami ingin tetap

merawat dan melindunginya. Tunjukkanlah pada kami, hal apa yang harus kami

perbuat?" 

   kedua suami isteri itu memohon dengan sangat. 

   "Malah kalau kau perbolehkan, ingin sekali kami jadi pelindung keturunan kami

sampai yang paling akhir. Betapa malangnya mereka, sudah  termakan sumpah yang

dijatuhkan ayah!"

    Pohon menjawab: 

   "Ada dua makhluk yang bisa melakukan hal-hal itu. Yang satu, anjing. Yang kedua,

kuda. Mau kalian berubah wujud jadi binatang-binatang itu?" 

   Lama waktu yang mereka perlukan untuk berpikir. Sampai ajal kian mendekat, dan

siksaan tak tertahankan lagi. Mereka menyembah pohon beringin itu, dan berujar: 

   "Demi keselamatan darah daging kami, isteriku bersedia ganti rupa jadi dengan

anjing. Jadikanlah aku seekor kuda!" 

   "Demikianlah yang terjadi, syam kamaruzaman ...." kata laki-laki itu dengan nafas terengah-engah,

dan  batuk-batuk yang kian menjadi. Sesaat, bibirnya yang terluka menyeringai seulas

senyum. Katanya: 

   "Ah, batuk ini. Rupanya aku sempat terjangkit oleh penyakit isteriku!" syam kamaruzaman  tidak

menganggap ucapan itu sebagai hal yang lucu. 

   "Lalu..." ia bergumam. Hati-hati. 

   "Kenapa moyang berdua berganti wujud jadi manusia lagi?" 

   Laki-laki itu tertawa. Terkekeh-kekeh. Parau. 

   "Begini," jawabnya. 

   "Pohon keramat yang melindungi rumah kita selama ini, berkata bahwa aku dan

isteriku akan mati wajar sebagai manusia, apabila salah seorang keturunan kami rela

mengorbankan diri untuk ketenangan jiwa kami berdua. Dan itu sudah  kau lakukan,

syam kamaruzaman .... Betapa besar terimakasih kami padamu." 

   "Lantas mengapa moyang berdua harus bunuh diri" Bukanlah dengan golok

ditanganku...." 

   "syam kamaruzaman !" tukas si laki-laki. 

   "Meskipun aku dan isteriku sudah  berganti rupa jadi anjing, namun  kutuk ayahku tetap

kami ingat baik-baik. Maka, lebih baik kami bunuh diri daripada meninggalkan kau

harus mati dengan cara mengerikan dan  tersiksa di setiap helaan nafas dan  detikan

jantung, yang akan makan waktu cukup lama...." 

   syam kamaruzaman  memelas: 

 Edit teks 190 Saiful Bahri Situbondo 

   "Mengapa aku tidak mati saja seperti kalian" Seperti orang-tuaku" Seperti Mira?" 

   "Bila gerhana bulan... ilmu dan kutuk itu..." Suara si lelaki terputus sampai di satu.

syam kamaruzaman  lebih mendekatkan telinganya lagi. namun  tidak ada ucapan apapun yang ia

dengar sebagai lanjutan kalimat yang terputus itu. Bahkan juga tidak tarikan nafas. Ia

perhatikan wajah laki-laki itu. Kaku. Pucat. Dan diam. Ia ingin

menggoyang-goyangkan tubuh si laki-laki, ingin memaksa agar ia teruskan ucapannya

yang tidak selesai. namun  segera teringat akan peringatan moyangnya, agar jangan

menyentuh jasad mereka. Apa yang akan terjadi dengan jasad kedua orang moyangnya

itu" Dan apa maksudnya dengan kata-kata, 

   "BiIa gerhana bulan...." Reflex, syam kamaruzaman  tengadah. Dan melihatnya. Semenjak datang

malam, ia sudah  melihatnya. Bulan retak-retak. 

   Gerhana! 

   Lalu kutuk dan ilmu. dan  hubungannya dengan hidup syam kamaruzaman . Dengan hati yang

penasaran, syam kamaruzaman  merundukkan mukanya lagi. Berharap, moyangnya belum mati dan

masih mau melanjutkan kata-katanya. namun  untuk kesekian kalinya, mata syam kamaruzaman 

terbelalak sangat lebar... 

   Moyang wanita  lesbian nya. Kedua tubuh yang tadi berkulit halus itu, dengan cepat sudah 

menjadi keriput. Keriput disekujur tubuh keduanya, diiringi oleh warna rambut yang

hitam berubah jadi putih. Belum lagi syam kamaruzaman  sempat mengatur nafas, peristiwa

berikutnya dengan cepat sudah  berlangsung. Tubuh yang tadi tinggal kulit, kini tinggal

tulang belulang dan  tengkorak tanpa biji mata, tanpa telinga, tanpa daun hidung,

tanpa bibir. 

   "Demi roh..." bisiknya, tersendat. Dan, tulang belulang dan  tengkorak itu pun lenyap

dengan tiba-tiba. Tinggal debu belaka, yang tertangkap jelas oleh sinar mata syam kamaruzaman 

yang masih dibantu kekuatan bathin. Pelan-pelan, namun  pasti, ia merasa kekuatan

bathin itu pun menurun. Angin dingin bertiup disekelilingnya, mula-mula perlahan,

lalu  keras. Ia menggigil. Tidak pernah ia merasa sedingin ini. Tidak pernah ia

merasa segemetar ini. Rasa-rasa sakit pada kaki dan  tangannya, muncul pula

tiba-tiba. Tidak pernah ia merasa sesakit ini. Matanya terasa perih, namun  ia paksakan

juga untuk melihat apa yang terjadi dengan debu-debu keputihan-keputihan itu. Dengan

sinar mata yang kian melemah, ia lihat bagaimana debu kedua orang moyangnya

bertemperasan ditiup angin, bertemperasan kian ke mari. lalu  lenyap sama

sekali. 

   Hilang. 

   Ke arah delapan penjuru angin! 

   Angin dingin itu kian kencang bertiup. Kegelapan menghantu dengan tiba-tiba. syam kamaruzaman 

tengadah. Bulan retak-retak itu sudah  hilang. Mendung berlari-lari di langit kelam.

Mendung hitam. Lalu guntur tiba-tiba menggelegar, sehingga syam kamaruzaman  terlonjak berdiri

saking kagetnya. saat  lalu  petir menyambar ia tutupkan kedua tangannya diatas

kepala. Aneh ia juga belum pernah merasa setakut ini. Apa yang terjadi dengan

dirinya" 

   Apa" Apa" 

   syam kamaruzaman  berusaha mengatur nafas. Diantara hutan yang mulai turun rintik-rintik, ia

coba memusatkan pikiran. namun  tidak berhasil. Pikirannya terpecah. Kacau balau. 

   Bingung. 

   Ia coba membaca mantera. Namun hanya satu dua yang berhasil ia ucapkan.

Kebanyakan, kacau susunannya, terganggu oleh kebingungan dan kekalutan pikiran.

Suatu perasaan ganjil menyentuh ulu hatinya. 

   "Apakah ilmuku sudah ..." 

   Ia merasa kecewa. Hanya sekejap, tapi. sebab  tibatiba ia merasa kegembiraan

menyelinap pula di dada. 

   Pikirnya: 

   "Apakah ini juga berarti, kutuk atas diriku juga sudah  sirna?" 

   Petir menyambar lagi. Dalam cahaya yang bersinar hanya sekejap saja itu. syam kamaruzaman 

melihat sebuah benda besar dan hitam tak jauh dari tempatnya berdiri. Peti mati di bak

kereta itu. Butir-butir hujan yang kian menderas, menerpa tutup peti mati itu,

menimbulkan warna-warni putih keperak-perakan, dan  suara berdetak-detak yang

teratur. Mungkin juga suara detak-detak itu berasal dari dalam tubuh syam kamaruzaman . Dari

jantungnya. 

   "Ah," ia bergumam. 

   "Seperti kata moyangku aku tidak boleh melanggar janji. Harus kuselesaikan tugasku.

Kalau benar ilmu dan kutuk atas diriku akan berakhir mulai sekarang, maka ini pun

tentulah merupakan tugas yang paling akhir pula. Entah apa yang terjadi sesudah  ini

padaku. namun  yang penting, aku tidak boleh menjilat ludah. Aku tidak boleh melanggar

janji...." 

   lalu  tali kekang yang sudah putus-putus itu ia sambung-sambung dibawah

siraman air hujan. Ditambah dengan segulung tali lain yang ia ambil dari bawah

tempat duduk kereta, ia lalu  membuat ikatan yang kuat di sekeliling peti mati itu,

menarik simpul. Ujung yang lain ia belitkan dari dada sampai ke punggung dengan

simpul besar yang bisa ia pegang dibagian depan. sesudah  menyelesaikan pekerjaan itu,

ia lalu  berusaha menurunkan peti mati. Dengan susah payah usaha itu berhasil ia

lakukan, meski salah satu ujung peti itu terhempas dengan keras ke tanah saat 

mula-mula ia turunkan dengan cara mengangkat bagian depan bak kereta tinggi-tinggi

sehingga peti meluncur ke belakang dan jatuh dengan deras ke jalan bertanah yang

becek. sesudah  itu, ia berdiri terengah-engah. Mengatur nafas. 

   "Sekarang, nyi girah ," bisiknya kearah peti mati. 

   "Kau akan kuantar ke kuburan suamimu. Akan kugali kuburan disebelahnya, sehingga

kau bisa berbaring dengan tenang di samping pembaringan suamimu..." 

   Ia lalu  memandang berkeliling. 

   "Dimana letaknya kuburan itu?" Ya. Tiba-tiba ia sadar. Dimana letaknya kuburan itu,

pernah ia catat baik-baik di otaknya. Itu, dengan bantuan roh nyi girah  sendiri. namun 

kini, otaknya menemui jalan buntu. Otaknya seperti tidak mau berpikir, sebab 

mengalami perubahan total yang tidak ia mengerti. Ingatannya yang berhasil diberi

petunjuk oleh roh wanita  lesbian  yang kini terbaring di dalam peti, entah mengapa sudah 

hilang begitu saja. 

   "Celaka," pikirnya. 

   "Ilmuku benar-benar hilang kini!" Ia memandangi peti mati itu. lalu : 

   nyi girah . Bangkitlah. Tunjukkan padaku dimana kubur suamimu..." namun  peti mati

itu tidak bergerak-gerak. Hanya menimbulkan suara detak-detuk. Aneh. Suara itu keras

sekali. Seperti suara sesuatu yang digedor gedorkan pada tutup peti. Lalu ia melihat

butir-butir hujan yang sebesar-besar jagung, berpercikan di sekitar peti mati. 

   "Hem. Suara itu tentu ditimbulkan oleh hujan. Buktinya, kepalaku juga terasa perih

ditimpa oleh butir-butir air sebesar besar jagung ini. Wahai, sakit sekali. Dinginnya,

ampun!" 

   Ia coba berpikir. Dari pengalamannya selama ini, ia ingat bahwa penduduk biasanya

menyediakan tempat untuk orang-orang yang sudah mati, di pinggir desa atau

kampung. Tentu kuburan yang dimaksud oleh nyi girah  selama ini, juga terletak di

pinggir kota kecil ini. namun  pinggir sebelah mana" syam kamaruzaman  memandang ke arah jalan

raya. Yang ada hanya kegelapan, dan sinar lemah dari lampu-lampu rumah di

kejauhan. Apakah ia harus berjalan menempuh jalan besar itu, menarik peti mati tanpa

tujuan" 

   Ia coba memperhitungkan waktu. Sekarang sudah menjelang subuh. Syukur kalau

pekuburan itu ia temukan sebelum satu jam. Kalau tidak"

   Bukan saja ia akan tersiksa oleh usaha menarik peti mati itu, akan namun  orang-orang

akan sudah bangun, dan apa kata mereka kala melihat seorang laki-laki asing terlihat

menyeret peti mati sepanjang jalan" 

   Benar benar mengerikan. Itu berarti, percuma saja. Kutuk atas diri syam kamaruzaman  hilang.

Padahal, diam-diam ia sudah membayangkan, bagaimana rasanya mencicipi nasi,

mencicipi lauk pauk, dari hangatnya tubuh seorang wanita  lesbian  yang masih hidup.

Bukan tubuh sesosok mayat yang sudah dingin membeku... 

   Mau muntah rasanya syam kamaruzaman  ingat sampai di situ. 

   "Hem," ia menemukan jalan keluar. sesudah  melepaskan tali pengikat pada tubuhnya,

ia lalu  berjalan tersuruk-suruk ke arah rumah terdekat, yang letaknya beberapa

ratus meter dari tempat itu. Kesakitan yang amat sangat menderita kedua kakinya, ia

sampai terjatuh berulang-ulang. namun  ia segera bangkit lagi, dan berusaha berjalan,

sesekali merangkak ke arah rumah yang ia tuju. Betapa sukarnya menempuh perjalanan

yang begini pendek. Bagaimana nanti bila ia harus menyeret sebuah peti mati sebagai

tambahan beban" 

   Peti" 

   Mengapa pula ia harus membawanya" 

   Peti itu bisa ia buka, dan mayat nyi girah  ia panggul. 

   "Hem... dengan begitu, mungkin bebanku agak ringan," cetusnya dengan perasaan

puas, tepat saat  ia berhasil mendekati pintu rumah yang ia tuju, lalu 

mengetuknya perlahan-lahan. Tidak ada sahutan. 

   "Ah, hujan badai menelan suara ketukan..." gumamnya, lantas pintu itu ia gedor. 

   Sekali. Dua kali. Tiga. Tiap kali lebih keras, sampai lampu ruang depan menyala,

pintu terbuka tiba-tiba dan mata Kurdl silau oleh cahaya. 

   "Ada ap..." Pertanyaan dari penghuni rumah itu tidak diteruskan. syam kamaruzaman  membiasakan

matanya pada cahaya, lalu  memperhatikan orang yang berdiri dihadapannya.

Orang itu, seorang laki-laki setengah baya, bertubuh sedang, berkain sarung dengan

kaus singlet tampak gemetar dan pucat wajahnya. Sebelum syam kamaruzaman  membuka mulut untuk

menerangkan siapa dirinya, orang itu sudah  berusaha menutupkan pintu. syam kamaruzaman  cepat

menahan dengan tangannya. Tangan yang  lecet-lecet, luka dan berdarah. Orang itu

pun melihatnya, sebagai extra dari pemandangan sebelumnya, yakni tubuh sesosok

manusia asing, berlumur darah dan basah kuyup oleh hujan dan  wajah yang tampak

seram sebab  demikian pucatnya. Penghuni rumah itu lebih terpesona lagi waktu syam kamaruzaman 

bertanya: 

   "Di mana letaknya kuburan daerah ini?" Mendengar itu, si laki-laki setengah baya

menjerit: 

   "Hantu. Kau... hanttuuuuuuuuu!" 

   Lantas ia berlari masuk ke rumah dengan suara ribut, tanpa menutupkan pintu

kembali. Orang-orang lain di rumah itu segera pada bangun. Sebelum mereka keluar.

syam kamaruzaman  sudah mengundurkan diri cepat-cepat. 

   Celaka, rutuknya, mengumpat-umpat. Haruskah ia pergi ke rumah lain dan menerima

perlakuan yang sama" 

   Fuih. Penakut benar, aku disangka hantu. 

   Puih! ia meludah, dan terseok-seok berlari ke tempat semula. Sudah. Ia cari saja

kuburan itu, dengan berusaha menghindarkan bertemu dengan penduduk. namun , apa

yang terjadi. Tali pengikat peti sudah  putus-putus, dan tutup peti mati itu terbuka

perlahan-lahan. Mula-mula syam kamaruzaman  tidak melihat apa-apa. namun  bersamaan dengan

menyambarnya kilat di udara, tutup peti mati terhempas membuka, dan sesosok tubuh

besar berbulu coklat kehitam-hitaman bangkit dari peti mati. 

   "Nyi...." syam kamaruzaman  tidak melanjutkan suaranya yang terengah. Itu bukan nyi girah .

Melainkan sesosok makhluk tinggi besar dan mengerikan, yang hanya terdapat ditengah

rimba belantara. Seekor mawas, yang menyeringai lebar di wajahnya yang buruk,

memperlihatkan gigi gigi taring yang panjang-panjang. Mawas itu menggeram. 

   "... kau," bathin syam kamaruzaman  seolah-olah mendengar. 

   "Kau gagal menguburkan jasadku di samping suamiku!" 

   "Tidak!" jerit syam kamaruzaman . 

   "Aku tidak..." 

   "Geeeeerrrr!" 

   Dan makhluk itu sudah  menerjang syam kamaruzaman . Mencekik lehernya, lalu  taring-taring

yang panjang dan  runcing merengkah kepalanya. syam kamaruzaman  tak sempat berteriak lagi. 

   Dan, saat  penghuni rumah terdekat dari tempat itu, datang berlari-lari ditambah oleh

tetangga-tetangga sesudah  hujan berhenti dan matahari mulai muncul, laki-laki

setengah baya itu terpaku di dekat peti mati yang menganga terbuka. Di dalam peti,

terbaring tubuh syam kamaruzaman  yang sudah menjadi mayat. Lama tak terdengar suara. Bahkan

helaan nafas. Sampai seseorang tiba-tiba bertanya dengan suara kecut: 

   "Inikah... hantu yang katamu subuh tadi datang ke rumahmu?" Laki-laki setengah

baya berkain sarung dan berkaos singlet itu, tidak kuasa menjawabnya. 

   Tidak. Tentu saja. Hantu tidak pernah muncul di siang bolong! Atau, arwahnya-kah

yang muncul di rumahnya" 

   "Ia..." ujarnya lalu . 

   "Ia bertanya di mana letaknya kuburan..." Beberapa jam lalu , penduduk

setempat menggali sebuah kuburan di komplex pemakaman mereka. Mayat syam kamaruzaman 

mereka tanam di sana, bersebelahan dengan sebuah kuburan lama. Di alam lain, roh

syam kamaruzaman  bertemu dengan roh pemilik kuburan tetangganya. Ternyata tetangganya itu

adalah laki-laki yang sewaktu hidupnya pernah menjadi suami nyi girah . Sementara

orang-orang sibuk menutup kembali kuburan syam kamaruzaman , dari kejauhan, bergelantungan di

sebuah pohon besar dan rimbun, sepasang mata ikut memperhatikan. sesudah 

orang-orang menyelesaikan tugasnya, makhluk itu pun menggeram, lalu 

menyeringai lebar memperlihatkan gigi-gigi taring yang panjang. Sudut-sudut matanya

yang kecil-kecil, dibasahi oleh butir-butir air bening. Lama makhluk itu berlaku

demikian, sampai lalu  ia berpaling. sesudah  itu, ia menyelinap, masuk ke dalam

hutan... 

   

Read More