Tampilkan postingan dengan label kudeta 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kudeta 3. Tampilkan semua postingan
Selasa, 13 Desember 2022
kudeta 3
Desember 13, 2022
kudeta 3
Kamaruzaman. Kapan Anda menjadi anggota PKI,Mei 1948 saya mendaftar menjadi anggota Partai Komunis Indonesia . Sjam juga masuk PKI pada 1948, namun waktu itu saya belum kenal dia. Kapan Anda kenal Sjam, Waktu mengajar di Sekolah Partai Central di Jalan Padang, Jakarta, saya dipanggil ke rumahnya di Paseban, Jakarta Pusat. Sjam berkata , Bung dapat misi untuk bagian pendidikan. Bung nanti mengurusi sekolah partai, mendidik perwira dan kader kader daerah. Waktu itu saya mengajar mengenai masyarakat negara kita dan revolusi negara kita . Bagaimana kesan Anda terhadap Sjam, Sjam bos saya, Ketua Biro khusus sentral . Wajahnya menakutkan, orangnya hitam, matanya besar. Dia itu seperti militer di Biro khusus sentral . Ia mengutamakan sentralisme dibandingkan demokrasi. Walaupun dia bukan militer, caranya di Biro khusus sentral kayak militer. Disiplinnya kuat. Dia suka marah,
Kepemimpinannya keras. jika saya bikin kesalahan, dia memaki maki bahkan di
depan orang. Ini salah! Itu salah! katanya.
Dia orang yang bisa dipercaya, Bung Sjam suka membesar besarkan garapannya (pengaruh Red.) terhadap militer. Sifatnya sombong. Dia suka bombastis, omong besar. Contohnya, Menjelang G30S, dia pernah berkata kepada saya, Bung enggak usah takut, kita sudah memiliki tentara. Dengan tentara, kita bisa berbuat apa saja. Ia mengatakan enggak usah ngikutin Tiongkok atau Vietnam. Kita sendiri memiliki beberapa jenderal yang prokomunis. kondisi sebetulnya saat itu,
Sebetulnya G30S itu belum matang. Persiapan hanya dua bulan: Agustus dan September 1965. Pada sebuah diskusi mengenai G30S, Sjam bertanya kepada saya, Apakah Bung siap mengadakan pergerakan militer terhadap pemerintah sekarang, Saya berkata siap saja asalkan ada dukungan. namun saat itu, untuk melancarkan pergerakan militer, massa (di bawah) belum matang. Maksud Anda,
PKI belum memiliki kekuatan massa yang betul betul siap berperang . Waktu itu partai hanya siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. namun , untuk suruh berperang , nanti dahulu . Taruhannya mati. Untuk melatih rakyat berperang , tidak bisa sebulan dua bulan, harus dipersiapkan tahun an. Mengajak rakyat berperang kan mengubah pikiran dari cara damai ke cara kekerasan. Semua butuh waktu.
Mendengar jawaban Anda, apa reaksi Sjam,
Dia marah. Bung belum bertempur, sudah takut! Yang juga menentang usul Sjam yaitu Suwandi. saat ditegur Sjam, saya diam saja. Sjam, Pono, dan Bono setuju pergerakan militer yang sudah disiapkan tentara. namun saya bertanya: akan berperang , kok, massa tidak ikut, Kita perlu belajar dari Tiongkok. Di sana rakyat yang berperang , tentara cuma hanya sekedar jadi promotor. Kesan Anda terhadap Sjam,
Sjam itu sombong dan enggak mau belajar teori. Dia bercerita pernah kerja di Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran Tanjung Priok. Dia pernah menyelamatkan Aidit lalu disuruh mengawal Aidit. Dia sobat kental Aidit. Apa sebetulnya Biro khusus sentral itu, Orang yang masuk Biro khusus sentral yaitu orang pilihan. Sebelum masuk, mereka dilatih dan diamati. Biro khusus sentral dahulu nya badan militer PKI. Biro ini ilegal (rahasia) sebab mengurusi tentara dan mempengaruhi tentara. Bahwa PKI ada juga di tentara, itu kan tertutup. Sjam yang memegang peranserta utama. Dia hubungannya langsung dengan Aidit. Empat lainnya tak boleh mengetahui apa yang diomongkan Aidit dengan Sjam. Biro khusus sentral yaitu alat Aidit untuk bisa menguasai partai. Siapa saja yang mengetahui keberadaan Biro khusus sentral , Biro khusus sentral ada sejak 1964 dengan misi membantu Ketua Partai D.N. Aidit. Sjam yaitu tangan kanan atau orang tepercaya ketua partai. Jadi yang mengetahui adanya Biro Chusus itu cuma hanya sekedar Aidit dan beberapa temannya yang dipercaya, contohnya Sudisman (sekretaris jenderal) dan Oloan Hutapea (anggota Politbiro). Dari 18 anggota Politbiro PKI, paling cuma hanya sekedar tiga orang yang mengetahui . Siapa saja anggota Biro khusus sentral , Biro khusus sentral itu terdiri atas Sjam (ketua), Pono (wakil ketua), Bono (sekretaris), Suwandi (keuangan), dan saya (pendidikan). Saya termasuk baru dalam Biro khusus sentral . Tadinya saya guru di Sekolah Partai Central (seperti kursus ideologi milik PKI ). Sjam, Pono, dan Bono sudah dihukum mati. Wandi sudah meninggal. Yang sekarang ada tinggal saya. Entah sampai kapan saya hidup, ha ha ha.... Tiga orang terpenting dalam Biro khusus sentral yaitu Sjam, Pono, dan Bono. Mereka menguasai segala hal, termasuk yang memimpin operasi militer. Wandi mengurus usaha, seperti pabrik dan bengkel. Saya bidang teori dan pendidikan.
Anda sempat ditahan bersama Sjam di penjara Cipinang, Saat di Cipinang, saya ketemu dengan Sjam. Ngobrol ngobrol. Dia berkata , Sekarang ini
bagaimana caranya untuk memperlambat eksekusi mati. sebab itu, saya bikin keterangan yang beragam agar mereka (tentara) bingung. Dari situ saya mengetahui dia itu penakut. Saya balas: Bung, Anda dahulu ngomong penjara atau mati. Sekarang Bung ngomong agar tidak segera dieksekusi. berdasar keterangan saksi Sjam, pengakuan apa yang dia berikan kepada tentara,
Dia berkata bahwa dia intel ABRI. Jadi mata mata kembar . Padahal enggak betul. Bahwa dia
menyamar sebagai intel ABRI itu kamuflase. Perwira intel memberi dia surat (keterangan) sebagai intel agar dia bisa ke mana mana, termasuk masuk pos tentara. Anda menganggap Sjam pengkhianat, Omongannya enggak pernah sesuai. dahulu dia berkata , Masuk Biro khusus sentral itu konsekuensinya penjara atau mati. Saya jawab, Untuk partai, sih, apa saja saya
lakukan. namun , sesudah itu, saat menghadapi hukuman mati, dia gentar. Dia dihukum tembak pada 1986 bareng Pono, Bono, dan seorang kolonel AURI. Sjam yang bombastis dan suka marah marah ternyata waktu menghadapi kematian menjadi oportunis. Anda ditahan dalam sel yang terpisah dengan Sjam, pernah Munir (tahanan politik PKI Red.), Bono, Sjam, dan saya dalam satu kamar. Di situ saya banyak ngomong dengan Sjam. namun orang lain enggak ada yang mau ngomong dengan dia. Sjam mereka anggap terlalu banyak membocorkan keberadaan
perwira militer dalam tubuh PKI. rumah joglo berkapur putih, dengan kusen biru, itu tampak berdebu tak terawat. Beberapa pot bunga berserakan di bagian depan, sarang laba laba bergelayutan di sudut tembok. Rumah itu memang tak lagi dihuni, cuma hanya sekedar dijadikan gudang. Di depannya, agak ke kanan, tegak rumah kayu model serupa yang lebih besar, bercat
putih dengan kusen kuning. berdasar keterangan saksi Ruslan bukan nama sebetulnya rumah kayu yang ditempatinya ini sudah berumur sekitar 125 tahun . Sudah ditempati 4 generasi,
kata menantu Sjam Kamaruzaman itu. Ruslan, 67 tahun , beristrikan Laksmi sebut saja begitu putri bungsu Sjam dari lima bersaudara, yang 23 tahun lebih muda. Pasangan ini beranak satu, sesudah menikah cukup lama. Di rumah inilah Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro khusus sentral Partai Komunis Indonesia , dilahirkan pada 30 April 1924. Rumah berlingkung tembok 1,5 meter dengan lahan 1.450 meter persegi itu terletak di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten
Tuban, Jawa Timur. Untuk ukuran kampung padat penduduk itu, rumah ini berbentuk besar. Ayah Sjam, R Achmad Moebaedah, memang berbentuk orang berada. Pada masa hidupnya, orang tua itu penghulu seperti kepala pengadilan agama. Adapun ibunya, Siti Chasanah, asal
Blitar, Jawa Timur, bergelar Raden Roro.
Sjam anak kelima dari sepuluh bersaudara dua di antaranya meninggal pada masa kanak. berdasar keterangan saksi Laksmi, berdasarkan cerita Latifah, adik Sjam yang sudah wafat, Sjam
dinamakan anak yang sulit diatur orang tua. Ia gemar menyendiri, contohnya ke kuburan. Sebagai anak penghulu, Sjam belajar mengaji sejak kecil. Sejak kecil Sjam mengagumi nenekmoyangnya , R Prawiroredjo, yang konon memiliki ilmu kanuragan. Saking kagumnya, Sjam mencantumkan nama sang kakekdi belakang foto
dirinya seukuran kartu pos, yang diambil pada 1950 an. sebab keuangan orang tuanya
yang memadai, Sjam dan para saudaranya bisa menikmati sekolah formal waktu itu. Di Tuban, Sjam masuk Sekolah Rakyat, lalu melanjutkan pendidikan ke Land & Tuinbouw School dan Suikerschool di Surabaya, yang terputus sebab Jepang datang, pada 1942. Setahun lalu , ia masuk Sekolah Menengah Dagang di Yogyakarta,
hingga kelas dua, dan putus lagi sebab pecahnya perang kemerdekaan. berdasar keterangan saksi berita acara pemeriksaannya, Sjam aktif mengikuti kegiatan Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah. sesudah di Surabaya, ia lebih banyak menghabiskan waktu bermain bola dan atletik. Belakangan, di Yogyakarta, ia juga main
musik dan menyanyi. Sjam mulai bersentuhan dengan dunia politik saat bersekolah di Yogyakarta, dengan ikut perkumpulan pemuda Pathuk. Di sini ia menumpang hidup bersama kerabatnya. berdasar keterangan saksi Suryoputro bukan nama sebetulnya yang saat itu bersekolah di Taman Siswa, Sjam sering ikut pertemuan gelap yang digelar pergerakan perlawanan. Biasanya, laki laki berambut keriting dan bertubuh gempal itu lebih banyak diam
memperhatikan. Dia itu tipenya ngoho (preman), jadi tidak banyak ngomong, kata Suryoputro. Seperti pemuda lain pada masa itu, Sjam ikut bergerilya melawan Belanda. berdasar keterangan saksi Suryoputro, Sjam ikut pertempuran di Mranggen, Ambarawa, dan Magelang, 1946 1947, dan sempat memimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Pada 31 Desember
1947, bersama Sjam dan seorang rekan lain, Suryoputro berangkat ke Jakarta untuk
melanjutkan studi. Kelompok Pathuk bubar, dan banyak anggotanya masuk partai politik.
Di Karawang, mereka bertiga sempat ditahan Kemal Idris saat itu komandan batalion di Cikampek. sesudah menunggu sehari, mereka melanjutkan perjalanan. Sengaja menunggu sebab Belanda pesta tahun baru sehingga penjagaan di Jakarta lebih kendur, kata Suryoputro. Di Jakarta, mereka tinggal di Jalan Bonang, tak jauh dari Tugu Proklamasi sekarang.
sesudah itu, mereka pindah rumah berkali kali. Sjam jadi pegawai Kantor Penerangan Jawa Barat, meski kantornya di Jakarta. namun tidak ada kerjanya, cuma hanya sekedar duduk duduk.
Sjam bersama beberapa kawan lalu ikut aksi gerilya tengah malam , melempari pasukan
Sekutu yang berjaga di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan granat. Wilayah kerja tengah malam Sjam di seputar Jalan Kramat Raya. Entah bagaimana, Sjam juga bersentuhan
dengan organisasi buruh kereta api. Bersama rekan rekannya, Sjam mengatur perjalanan desersi orang negara kita yang bergabung dengan tentara Belanda, Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), dan ingin menyeberang ke pedalaman. Ia lalu ikut mendirikan Serikat Buruh
Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor.
Pada 1949, Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, yang lalu berubah nama menjadi Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran. Jumlah anggotanya pernah mencapai 13 ribu orang di Tanjung Priok saja, kata Suryoputro, yang pernah memimpin organisasi itu.
saat terbentuk Badan Pusat Sementara Sarekat Sarekat Buruh, yaitu gabungan serikat buruh pada masa itu, Sjam dipercaya sebagai wakil ketua. Organisasi ini lalu bubar, digantikan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh negara kita (SOBSI), yang berafiliasi ke PKI. Sjam menjadi pengurus SOBSI hingga 1957. Pada masa itulah ia menikah dengan Enok Jutianah, wanita Sunda aktivis buruh pelabuhan, yang meninggal sesudah melahirkan anak kelima. berdasar keterangan saksi berita acara pemeriksaan, Sjam bertemu dengan Aidit pertama kali pada 1949. Aidit, saat itu, dalam persembunyian di Jakarta sesudah Peristiwa Madiun, 1948. Aidit lalu menawari Sjam masuk PKI. Saya terima dengan baik, kata Sjam, seperti tercantum dalam berita acara. Sejak 1957, Sjam menjadi pembantu pribadi Aidit, dan mundur dari serikat buruh. Aidit menugasinya mengurus manuscript tasi yang berhubungan dengan ideologi Marxisme Leninisme. Tiga tahun lalu , ia menjadi anggota Departemen Organisasi PKI, yang khusus menangani anggota dari unsur militer. Selang 4 tahun , dibentuklah Biro khusus sentral , dengan Sjam sebagai ketua. berdasar keterangan saksi Suryoputro, sekitar 1949, Sjam sempat memicu skenario penjemputan Aidit sepulang dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia diajak Sjam berboncengan sepeda. Di pelabuhan, Suryoputro kebagian misi menjaga sepeda, sedang Sjam berpura pura menjemput Aidit yang baru turun dari kapal. Skenario penjemputan ini dibuat untuk memberikan kesan Aidit menyingkir ke Vietnam dan mempelajari Marxisme di sana, sesudah Peristiwa Madiun. Selama di Tanjung Priok itu, berdasar keterangan saksi Suryoputro, dia tinggal bersama Sjam. Kami makan dan minum dari piring dan gelas yang sama. Sjam gemar mengenakan baju kaus berkerah. Pembawaannya sederhana dan dia
mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. namun , seingat Suryoputro, Sjam paling takut sama cecak. jika saya jengkel sama dia, saya kasih cecak saja. Dia akan lari menjauh.
Pada mata kiri atas Sjam ada bekas luka, begitu juga di belakang pahanya. Itu bekas luka akibat pantulan peluru saat berlatih menembak di Yogya dahulu , kata Suryoputro. Di mata anak anaknya, Sjam tetap ayah yang baik. Kami sering diajak makan enak di rumah makan, kata Shinta bukan nama sebetulnya anak kedua Sjam, kini 53 tahun .
Bagi Maksum bukan nama asli anak sulungnya, Sjam bahkan rada melankolis. Bapak
pernah menangis saat saya berkelahi dengan adik saya, katanya. Waktu itu, Ibu baru
saja meninggal. tengah malam semakin tengah malam saat dua tiga pemuda kelompok Pathuk berjalan dalam diam, mengintai dari balik pepohonan dan bilik rumah. Mereka mencari laki laki asing yang biasanya berseragam tentara.
Situasi seperti ini, berdasar keterangan saksi Suryoputro nama samaran aktivis Pathuk merupakan saat yang tepat untuk berburu tentara Jepang. Mereka, umum nya, baru pulang dari pelesir syahwat di Kota Yogyakarta. Pencegatan biasanya dilakukan dua tiga pemuda Pathuk merujuk pada nama kawasan di Kota Gudeg itu. Jika ketemu anak anak Pathuk, hampir bisa dipastikan Jepang itu mati, kata Suryo, kini 81 tahun . Sjam Kamaruzaman, bekas Kepala Biro khusus sentral Partai Komunis Indonesia , dan beberapa pemuda Pathuk lainnya, berdasar keterangan saksi Suryoputro, gemar melakukan aksi ini. Mereka memakai pipa besi berisi timah cor coran, mengendap dari belakang, lalu dhek wasalam.... Suryoputro saat itu masih siswa Sekolah Taman Siswa kelas satu. Sjam tercatat sebagai siswa di sebuah sekolah dagang. Ayah Suryoputro yaitu adik bungsu Ki Hajar
Dewantara, pendiri Taman Siswa dan Bapak Pendidikan Nasional. Kelompok Pathuk, berdasar keterangan saksi Suryoputro, berjumlah sekitar 50 orang, dan banyak di antaranya murid Taman Siswa. Salah satunya Isti Sudarsini, yang juga masih kerabat Tyasno Sudarso, bekas Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Aktivitas rutin para pemuda Pathuk yaitu bersekolah. Kebanyakan anggotanya siswa sekolah menengah. Mereka baru aktif menggalang kekuatan dan menyusun rencana pada tengah malam hari, diam diam, agar tak terendus intel Jepang. berdasar keterangan saksi Oemiyah, istri almarhum Dajino salah satu tokoh pemuda Pathuk anggotanya
berdiskusi tiap tengah malam mengenai situasi politik dan keamanan. Oemiyah, 81 tahun ,
masih kerabat Faisal Abda'oe, bekas Direktur Utama Pertamina. Kelompok ini melakukan apa saja untuk mengganggu ketenangan serdadu Jepang. contohnya mencopoti bola lampu di seputaran kawasan Kotabaru, Yogyakarta, hingga
mendorong serdadu Jepang dari kereta api yang sedang melaju cepat. Baru berjalan setahun dua, aksi kelompok ini tercium Ki Hajar, yang segera meminta mereka menghentikannya. Ki Hajar meminta para pemuda berlatih senjata secara
benar, dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta), bentukan Jepang. saat itu Soekarno dan beberapa pemimpin lain memang sedang berusaha menjalin kerja sama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan. Sebulan sesudah Proklamasi Kemerdekaan, para pemuda dan masyarakat berunjuk rasa, berusaha menurunkan
bendera Jepang di Gedung Agung, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan. Bersama Munir, yang lalu menjadi Ketua Umum Sentral Organisasi Buruh Seluruh negara kita yang berafiliasi dengan PKI Sjam ikut meminta mundur tentara Peta yang berjaga. Agar terlihat mempercayakan , mereka menunjukkan senapan yang mereka curi dari tangsi militer Jepang.
Akhirnya tentara Peta mau menyingkir. Melihat orang yang jumlahnya ribuan dan terus
bertambah, pasukan Jepang dan pejabatnya menyingkir keluar dari gedung. Sang Merah Putih berkibar di tiang bendera, menggantikan bendera Jepang. sebab banyaknya senjata yang dapat dirampas atau dicuri dari Jepang, berdasar keterangan saksi Suryoputro, para pemuda bekerja sama dengan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Resimen di Yogyakarta. Dari sinilah perkenalan teman teman dengan Soeharto.
Demikian juga Sjam Kamaruzaman berkenalan dengan Soeharto. namun , berdasar keterangan saksi Suryoputro, perkenalan itu tidak intensif, cuma hanya sekedar sebatas perkenalan biasa.
IA selalu berdoa tiap kali melewati deretan tiga rumah, setengah kilometer dari Stasiun Kramat, Jakarta Pusat, itu. Dari atas kereta api Bekasi Senen, kendaraannya menuju kantor setiap hari, ia mengenang rumah masa kecilnya. Saya berdoa: Ya Allah, jika memang rumah itu milik kami, kembalikanlah, kata laki laki itu, Kelana, putra keempat Sjam Kamaruzaman, yang nama aslinya kami samarkan. Keluarga Sjam tinggal di Jalan Pramuka Jati itu pada 1960 1969. Sebelumnya, mereka berpindah pindah tinggal di Kemayoran (Jakarta Utara), Jatinegara (Jakarta Timur), dan
Paseban (Jakarta Pusat). Kelana lahir pada tahun pertama keluarga itu tinggal di Pramuka Jati. Tanahnya 900 meter persegi, yang kini sudah dibagi tiga. Beberapa waktu sesudah pergerakan 30 September meletus, pasukan Corps Polisi Militer menggerebek rumah itu. Empat anggota pasukan Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi
Militer, yaitu Arneld Najir, Suyadi, Gatot Wiyono (almarhum), dan Hadi Suwito, lalu mengambil alih rumah. Mereka membagi rumah dan tanah itu menjadi tiga bagian. Empat intel Polisi Militer itu awalnya terlibat pada Operasi Kalong. misi nya mengintai keberadaan Sjam di Pramuka Jati. Untuk keperluan itu, mereka menyewa sebuah
rumah kecil di seberang rumah Sjam. Hanya rel kereta api memisahkan dua rumah ini. Rumah yang dihuni istri kedua Sjam dan lima anaknya digerebek menjelang magrib. Puluhan anggota Corps Polisi Militer Gajah Mada terlibat dalam operasi ini. Ratusan penduduk menonton penggerebekan dari seberang rel. Maksum, putra pertama Sjam, yang namanya juga kami samarkan, mengaku ketakutan melihat kerumunan massa. Budi Santoso, 79 tahun , penduduk Pramuka Jati yang dahulu ikut berkerumun,
mengatakan, Massa marah dengan Partai Komunis Indonesia dan kami terkejut dengan
keterlibatan tetangga kami. Pasukan Polisi Militer Gajah Mada bertahan satu hari di rumah Sjam. Hari berikutnya, pasukan Polisi Militer Siliwangi gantian berjaga. Sepekan sesudah itu, kelompok Arneld, Suyadi, Gatot, dan Hadi menghuni rumah itu bersama keluarga masing masing. Arneld mengatakan kepindahannya didasari surat perintah yang ditandatangani Direktur Polisi Militer Asisten II Kolonel CPM Budiono. Surat itu diterbitkan pada 20 November
1965. namun kami sudah bekerja beberapa waktu sebelum itu, kata Arneld. berdasar keterangan saksi Suyadi, misi utama mereka mencari data dan manuscript milik Sjam. Semua
buku Sjam diangkut ke pos Polisi Militer. Buku berbahasa Belanda, Cina, dan Rusia diangkut dalam satu mobil jip penuh. Sjam dan istrinya memang gemar membaca. Mereka memiliki perpustakaan 2 x 3 meter persegi. Biasanya Sjam membaca dari petang hingga pukul 21.00. Saya pernah melihat Bapak membaca buku mengenai strategi militer Sun Tzu, kata Maksum. Selain
mengangkut buku buku, kata Maksum, para anggota Polisi Militer mengambil sepatu
kulit Sjam. Sepatu hitam berbulu dari Jepang juga diangkut. Sejak kepindahan empat keluarga Polisi Militer itu, anak anak Sjam tersingkir. Para intel
sering berbicara kasar. Awalnya lima anak Sjam menempati dua kamar dari 8 kamar di rumah itu. Belakangan mereka hanya boleh tinggal di garasi. Pada 1969, mereka dengan terpaksa keluar dari rumah itu. berdasar keterangan saksi Arneld, Polisi Militer menganggap rumah Sjam sebagai sitaan negara. Rumah itu lalu dijadikan asrama kesatuan. sesudah tinggal hampir sepuluh tahun , empat keluarga ini mengajukan surat permohonan untuk membeli rumah milik negara
itu. Surat ditujukan ke Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Surjadi Soedirdja. Panglima Kodam setuju para anggota Polisi Militer membeli tanah ke negara. Saat mengurus sertifikat rumah ke dinas agraria, mereka diminta menyertakan bukti jual beli dengan pihak hak waris. Suyadi pun giat mencari Kelana. Pada 1988, usaha ini berhasil. berdasar keterangan saksi Kelana, para anggota Polisi Militer itu menemuinya di kantor tempatnya bekerja. Mereka menyatakan membayar Rp 3 5 juta untuk membeli rumah. Itu pun dicicil Rp 100 ribu setiap bulan, katanya.
hanya Arneld yang hingga kini masih menempati satu dari tiga rumah itu. Pensiunan letnan dua ini memperoleh jatah sekitar 290 meter persegi. dahulu nya ini lahan kosong yang pernah dipakai menjadi garasi mobil keluarga Sjam. Awal saya menempati, bangunannya hanya dikelilingi tembok setengah badan dan jeruji kawat di bagian atas, kata Arneld, 67 tahun . Kini di lahan itu dibangun sebuah rumah berlantai marmer merah
tua, berpagar besi hijau kuning. Suyadi dan Gatot bersama sama menempati rumah utama Sjam. Adapun Hadi menempati satu sisi lainnya. Sejak 1994, rumah Suyadi dan Gatot itu dijual. Pembeli
pertama bernama Azis, pemilik sebuah usaha percetakan, dengan nilai jual Rp 260 juta.
Empat tahun lalu , rumah dijual lagi ke Budi Yulianto, distributor alat alat kesehatan.
Rumah jatah Hadi Suwito awalnya menyatu dengan rumah utama yang ditempati Suyadi dan Gatot. Ini rumah dengan tiga kamar tidur plus sebuah garasi. Luasnya sekitar 200 meter persegi. laki-laki 68 tahun yang kini tinggal di Trenggalek, Jawa Timur, itu menjualnya pada 1995. Pemilik barunya kini menyewakan rumah itu untuk kantor
redaksi majalah Tarbawi. Teralis jendela berbentuk dua bunga teratai masih menempel di tembok ruang tamu rumah keluarga Sjam. Membingkai jendela ukuran 1 x 3,5 meter, teralis ini kenangan masa kecil yang paling diingat anak anak Sjam. Istri Sjam, Enok Jutianah, memesan
khusus teralis itu ke tukang las. Ibu yang mendesain. Dia pelukis, kata Maksum.
Kenangan teralis sangat dalam. Maksum mengatakan itulah peninggalan terakhir sang
ibu yang meninggal pada usia 37 tahun , setahun sebelum pergerakan 30 September. Setiap lekukan rumah Sjam juga dibiarkan tak berubah sesudah ditinggalkan hampir 40 tahun . Bangunan masih terlihat kukuh. Seluruh kusen, pintu, dan jendela rumah terbuat dari kayu jati. Tak terlihat satu bagian pun lapuk dimakan usia. Ubin yang dipasangi keramik putih pun masih terlihat mengkilap. Hampir 29 tahun menempati rumah Sjam, Suyadi hanya sekali mengubah warna cat. Rumah ini kan bersejarah, pernah beberapa kali dipakai rapat PKI, kata laki-laki 73 tahun yang kini tinggal di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden, Kramat Jati, Jakarta
Timur, itu. Keluarga Suyadi dan Gatot pun tak mengubah bangunan. Mereka hanya membagi
rumah yang awalnya terdiri atas lima ruangan. Selain menjadi rumah itu tempat tinggal, Suyadi, yang pensiun dengan pangkat kapten, pernah menjadi halaman depan rumah sebagai gudang penyimpanan bajaj pada 1970 1980. Toyib, pekerja Budi Yulianto, kini menempati rumah itu. Dia pun sama sekali tak memugar rumah utama. Kami hanya mengubah catnya menjadi hijau, katanya. Namun ia membangun gudang penyimpanan mesin di halaman depan rumah. Di halaman belakang juga dibangun tempat penginapan yang berkapasitas tujuh orang.
Menempati rumah itu sejak 1998, Toyib pernah menemukan kejadian ganjil. Suatu hari seorang bapak mampir dan menyatakan tertarik membeli rumah. saat bercakap cakap, sang tamu memotong pembicaraan. Ia bertanya soal tiga orang laki-laki yang berdasar keterangan saksi dia baru saja keluar dari gerbang rumah. Saya heran, kata Toyib, sebab saya sama sekali tak melihat ada siapa pun. Calon pembeli pun membuang ketertarikannya sebab menganggap tiga orang yang dilihatnya sebagai penjaga rumah. Kelana masih menyimpan harapan memiliki rumah berteralis dua bunga teratai itu. Ini
bukan perkara mudah, sebab semua sertifikat tak lagi dikuasai keluarganya. Ia pernah diberitahu bahwa ibunya pernah mengurus sertifikat rumah. Namun notaris yang dahulu mengurusnya kini bermukim di Singapura dan tak bisa dilacak.
Kini hanya doa yang ia memiliki harapan yang selalu ia rapalkan dari atas kereta. 6 hari sesudah 30 September 1965, kesibukan melanda beberapa pemimpin Biro Chusus badan rahasia Partai Komunis Indonesia . Berkumpul di rumah Waluyo, seorang aktivis PKI, di Gang Listrik, Jakarta Pusat, pemimpin pergerakan , Sjam Kamaruzaman, angkat bicara. Sekarang misi kita menyelamatkan diri. Saya akan ke Bandung. Pono pergi ke Jawa Tengah. Hamim dan Wandi berada di Jakarta untuk menghimpun partai. Hamim, 83 tahun , satu dari lima pengurus Biro, bercerita kepada Tempo. saat itu, Sjam menyatakan Biro khusus sentral dibubarkan. Sjam pamitan kepada saya. Sejak saat itu, saya putus hubungan dengan Sjam, sampai lalu bertemu lagi di penjara Cipinang. berdasar keterangan saksi pengakuan Sjam dalam berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat, keputusannya kabur ke Bandung diambil bukan atas perintah Ketua PKI D.N. Aidit. Pimpinan partai tidak sempat memberikan instruksi, katanya. 3 hari sebelumnya, beberapa pengurus Biro khusus sentral memang berkumpul di rumah Sudisman, Sekretaris Jenderal PKI. Di sana Sjam ditanya mengapa G30S gagal. Ia menjelaskan soal Batalion 530 dan 454 yang semula diandalkan PKI namun belakangan malah mundur dan bergabung dengan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad). Sudisman mengeluarkan perintah: segera selamatkan diri dan selamatkan
partai. Sejak itu, dimulailah masa pelarian Sjam. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, 8 Oktober 1965, Sjam dibawa Mustajab, anggota staf Biro khusus sentral dari Sumatera Utara, ke Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di rumah siapa, Saya tidak mengetahui . pemberangkatan dari Jakarta maupun penerimaannya di Bandung saya serahkan sepenuhnya kepada Mustajab, kata Sjam kepada penyidik. Di rumah itu, pada pukul tiga sore, Sjam masuk kamar dan tidak keluar sama sekali. Sjam meminta Mustajab mempersiapkan taksi untuk berangkat ke Bandung. Lalu kami berencana bertemu lagi di Cisarua, kata Sjam. Keesokan harinya, pukul sembilan pagi, taksi sudah siap di Kebayoran Baru. Di dalam taksi ada sopir dan seorang lagi. Dua duanya saya tidak kenal dan juga tidak memberikan nama, hanya bersalaman. Di sepanjang jalan, yang ada hanya sepi, tak ada pembicaraan apa pun. Saya sendiri juga tidak merasa safe, sebab dengan terpaksa , ya, ditempuh juga, demikian tertulis dalam berita acara pemeriksaan Sjam. Sesampai di Cisarua, dekat sanatorium, oleh pengantar itu Sjam dibawa ke sebuah rumah, tak jauh dari jalan besar. Saya disuruh menunggu sampai Mustajab datang, katanya. Sekitar pukul setengah empat sore, Mustajab tiba, lalu pengantar itu pun
kembali ke Jakarta. Menginap setengah malam di Cisarua, paginya pukul sepuluh Sjam berangkat bersama Mustajab dengan kendaraan yang lain menuju Bandung. Di perjalanan tak ada
gangguan apa apa, kata Sjam. Sekitar 10 kilometer menjelang Bandung antara Padalarang dan Cimahi kendaraan berhenti. Sjam lalu dioper ke anggota staf Biro Chusus Daerah Jawa Barat bernama Tati. Bersama Tati saya menuju Bandung dan Mustajab kembali ke Jakarta.
Sampai di Bandung pukul 14.00, Tati langsung mengantar Sjam ke rumah seseorang bernama Jaja. Dua hari lalu , Tati menjemput Sjam dan membawa bawa nya ke Cipedes, Bandung, ke sebuah kamar sewaan. Di sini saya tinggal selama dua setengah bulan, sampai akhir Desember 1965, kata Sjam. Di Cipedes, Sjam bertemu dengan Haryana, Kepala Biro khusus sentral Daerah Jawa Barat. berdasar keterangan saksi Hamim, Haryana yaitu keturunan Tionghoa yang pernah menjadi Ketua Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) di Subang. Awal Januari 1966, Sjam pindah ke daerah Cibabat, antara Bandung dan Cimahi, di
rumah anggota Polisi Militer bernama Idris. Sepekan di sana, ia mengungsi lagi ke rumah Jaja. Di rumah Jaja, saya tinggal enam bulan, katanya. Di rumah ini, pada Juni 1966, Sjam kembali bertemu dengan Haryana. Keduanya membicarakan situasi di Bandung dan masalah keamanan Sjam yang semakin sempit sebab terus ada razia tentara . Bekal uang Sjam juga makin tipis. Dari Jakarta, saya bawa uang sejuta rupiah, yang saya ambil dari uang sisa usaha Biro khusus sentral . Dalam perhitungan Sjam, uang itu bisa dipakai selama lima bulan dalam pelarian. Betul saja, sesudah itu, kantongnya kempis
dan Sjam dengan terpaksa melego arloji dan barang barang lain yang ia miliki. Dalam pelarian,
keuangan Sjam juga dibantu Biro khusus sentral daerah. Akhir Juli 1966, Sjam pindah ke rumah Suparman, seorang tentara berpangkat letnan
dua, di Cimahi. Saya tinggal hingga September, kata Sjam. Selama di Bandung, Sjam mengaku tak bisa berhubungan dengan pemimpin PKI di
Jakarta. Mula mula ia memang memanfaatkan Mustajab sebagai penghubung. Namun,
sejak Juli 1966, hubungan itu terputus. Sjam lalu menunjuk seseorang bernama Edy Suyono untuk mencari kontak dengan pemimpin partai di Jakarta. namun usaha itu gagal. Oktober 1966, Sjam pindah ke rumah seseorang bernama Idi di Jalan Taman Sari, tak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung. Sebulan lalu , dia menginap di Hotel Bali, hingga akhir Desember. saat di Hotel Bali, November 1966 itu, Sjam bertemu lagi dengan Haryana. Sambil berjalan mengelilingi lapangan Lodaya, keduanya membahas situasi organisasi. Saya sarankan agar dibentuk grup grup. Anggotanya 3, 5, atau 6 orang untuk tiap grup dengan satu koordinator, kata Sjam. Kepada penyidik, Sjam mengaku memberikan nasihat mengenai teori teori dan cara membangun kembali PKI. Awal 1967, setidaknya dua kali Sjam pindah rumah. Terakhir ia menginap di rumah
seorang pengurus PKI di daerah Padasuka. Di sini, Sjam kembali bertemu dengan Haryana. Saat itu Haryana sakit. Fisiknya lemah. Pada 6 Maret 1966, Sjam memperoleh kabar bahwa seseorang bernama Jojo, yang mengetahui persembunyiannya di Padasuka, ditangkap aparat. Tak menunggu lama, Sjam segera lari ke rumah Suparman di Jalan Simpang Nomor 15, Cimahi, diantar simpatisan PKI bernama Santa Lusina. Perpindahan dari Padasuka ke Cimahi atas
inisiatif saya sendiri. Tanpa persiapan apa apa. Mendadak, kata Sjam. Di rumah Suparman, perasaan Sjam sudah tak enak. Sjam berencana hanya dua hari di sana. namun , pada hari yang disetujui , Santa Lusina yang berjanji akan mengantar malah tidak datang. Masa pelarian Sjam memang tak panjang. Pukul satu tengah malam 9 Maret 1967, saat terlelap, ia ditangkap dalam Operasi Kodam Siliwangi dengan nama sandi Kalong. Saat pulang dari Padasuka, Santa disergap. Dia menunjukkan tempat saya menginap, kata Sjam dalam kesaksiannya.
Dosen sejarah di Universitas British Colombia, Kanada, dan penulis buku Dalih Pembunuhan Massal (2008). mengenai buku itu, lihat http://johnroosa dpm.blogspot.com. ia duduk di kursi saksi di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia Sudisman, Juli 1967. Itulah untuk pertama kali ia, Sjam Kamaruzaman, muncul di depan publik. Sebelum pergerakan 30 September terjadi, Sjam lebih dinamakan pengusaha, komisaris PT Suseno, perusahaan penjual genting di Pintu Air, Jakarta Pusat. sesudah G30S gagal, selama satu setengah tahun ia bergerak di bawah tanah sebelum akhirnya ditangkap pada sebuah tengah malam , Maret 1967, di Cimahi, Jawa Barat. Tak seorang pun di antara pengunjung yang hadir pula di pengadilan Sudisman pernah melihat Sjam sebelumnya. Hari itu ia seperti pesulap datang tiba tiba, entah dari mana. Di pengadilan Sudisman, sudah beredar kabar bahwa seorang bernama Sjam memainkan peran kunci dalam G30S. Pembela dan saksi saksi dalam sidang Mahmilub sebelumnya sudah juga menyebut bahwa Sjam yaitu seorang sipil, bagian dari kelompok inti G30S yang bertemu di Halim, 1 Oktober 1965. Namun banyak yang
berasumsi bahwa Sjam yaitu nama samaran dari petinggi PKI yang sudah dikenal luas. Soalnya, tak seorang pun petinggi PKI bernama Sjam. namun hari itu di ruang pengadilan ia muncul dan mengaku sebagai Sjam yang asli dan satu satunya. Para pengamat di pengadilan bertanya tanya kesaksian apa yang akan diberikan Sjam.
Akankah ia tutup mulut dan tetap misterius, Atau akankah ia menjelaskan peranserta nya
dalam G30S dan menerangkan hubungannya dengan PKI, Akankah ia menjelaskan
hubungannya sebagai warga sipil dengan militer dalam merencanakan G30S, Kesaksiannya sungguh mengejutkan. Ia mengaku ketua badan rahasia di dalam PKI yang bernama Biro khusus sentral dan bekerja di bawah komando Ketua PKI, D.N. Aidit. Sjam menekankan bahwa Biro khusus sentral yaitu aparat ketua partai dan sama sekali tak memiliki hubungan dengan Politbiro atau Comite Central PKI. Sebelum kesaksian Sjam itu tak seorang pun pernah mendengar soal Biro khusus sentral . Dalam propaganda militer
sebelum Juli 1967, juga dalam koran dan beberapa pernyataan di pengadilan G30S,
saya tak pernah menemukan nama Biro khusus sentral dikabarkan . Sjam bicara panjang lebar saat hakim ketua memintanya menjelaskan misi Biro Chusus. Ia menjelaskan bagaimana Biro khusus sentral berhubungan dengan aparat militer. Juga soal bagaimana ia memperoleh informasi mengenai perwira mana yang pro dan anti PKI, meminta bantuan tentara dan membujuk beberapa perwira untuk mendukung PKI.
Perusahaan genting yang ia pimpin hanyalah alat untuk mencari uang buat Biro khusus sentral
dan sarana untuk menyamarkan hubungannya dengan perwira perwira militer. Sjam juga mengklaim bahwa dialah orang yang mengorganisasi G30S, bukan Letnan
Kolonel Untung. Dia menyatakan bahwa dia diperintah oleh Aidit satu satunya orang di
dalam PKI yang berhubungan dengan dia untuk mengantisipasi gerakan gerakan oleh Dewan
Jenderal dengan memobilisasi perwira militer yang progresif dan pro Soekarno.
Menjelaskan kepemimpinannya ia berkata, Saya pegang pimpinan politiknya dan Saudara Untung pegang pimpinan militernya, namun pimpinan militer ini di bawah pimpinan politik. Katanya lagi, Saya sebagai pimpinan bertanggung jawab atas segala kejadian yang ada. Beberapa pengamat di ruang sidang ragu atas kesaksian ini. Jika Sjam berada pada posisi yang begitu tinggi dan sensitif di dalam partai, ditunjuk dan dipercaya Aidit untuk
memimpin operasi rahasia melawan militer, mengapa ia begitu saja membuka rahasia
PKI, Untuk menjadi anggota PKI seseorang harus disumpah untuk menyimpan rahasia partai. Dengan posisinya itu, Sjam mestinya menghormati aturan itu lebih dari orang lain.
Jika ia yaitu sosok penting dan rahasia dalam partai, mengapa ia tak bicara seperti Sudisman yang mengutuk diktator militer Soeharto seraya memuji muji PKI, Kesaksian Sjam tidak mengindikasikan bahwa dia yaitu pendukung partai yang loyal namun menyesali, seperti yang dilakukan Sudisman, bahwa G30S sudah memberikan alasan bagi tentara untuk menghancurkan PKI. Tak sekalipun ia pernah memakai forum pengadilan untuk meminta maaf sebab tindakannya sudah memberikan dampak yang mengerikan pada anggota partai yang lain.
Pengamat yang skeptis seperti Benedict Anderson, yang hadir pula dalam persidangan Sudisman, curiga bahwa Sjam yaitu agen tentara yang menyusup ke dalam PKI. Soalnya, kesaksian Sjam sudah membenarkan sebagian dari propaganda tentara mengenai kepemimpinan PKI dalam G30S. Sarjana Belanda W.F. Wertheim mencatat bahwa dalam berbagai pengadilan selama bertahun tahun lalu Sjam terus memberikan
kesaksian yang memberatkan orang lain. Banyak tahanan politik yang percaya bahwa Sjam yaitu intel tentara dan bukan anggota PKI. Pada masa masa awal penelitian saya mengenai G30S, saya menganggap kesaksian Sjam tak bisa diandalkan sebab hanya sedikit sumber yang membenarkan kesaksian ini . namun , belakangan, saat saya bertemu dengan kalangan internal PKI yang
bisa dipercaya, saya menyadari bahwa banyak klaim dalam kesaksian Sjam yang ternyata benar. contohnya bahwa Biro khusus sentral benar benar ada, beroperasi di bawah pengawasan Aidit secara pribadi (bukan di bawah Politbiro atau Comite Central), bahwa Sjam yaitu ketua biro itu dan ia yaitu pengorganisasi utama G30S.
Kesaksian Sjam yang tak akurat berdasar keterangan saksi saya yaitu mengenai peranserta Aidit dalam melaksanakan G30S. Sjam ingin menunjukkan bahwa ia hanya pelaksana Aidit. Ia tak ingin orang lain di PKI berpikir bahwa ia yaitu elemen independen dalam partai. Walaupun mengaku bertanggung jawab penuh atas G30S, ia juga ingin menimpakan
sebagian kesalahan kepada Aidit. Yang tidak digambarkan Sjam yaitu mengenai seberapa berpengaruh ia pada Aidit dan keputusan keputusannya. Kita mengetahui , pada Agustus September 1965, Aidit dihinggapi beberapa pertanyaan. Di antaranya, benarkah Dewan Jenderal benar benar ingin melancarkan gerakan gerakan terhadap Presiden Soekarno. Jika ya, siapa saja anggota dewan itu. Mungkinkah PKI mendahului aksi Dewan Jenderal, Apakah perwira pro PKI dan pro Soekarno cukup memiliki pasukan untuk melancarkan aksi melawan para jenderal antikomunis itu, Untuk menjawab pertanyaan itu Aidit mengandalkan informasi dari Sjam. Aidit sudah menunjuk Sjam sebagai ketua Biro khusus sentral dan ia mempercayai Sjam untuk menyuplai informasi mengenai apa saja yang terjadi dengan perwira perwira militer. Dari
beberapa sumber kita mengetahui bahwa Sjam kelewat percaya dan arogan dalam menyiapkan G30S. Saya mengira Sjam sudah mempercayakan Aidit bahwa Dewan Jenderal itu ada, dia mengetahui siapa saja anggota dewan itu, dan dari beberapa sumbernya dia percaya bahwa ada perwira militer yang mampu mendahului aksi Dewan Jenderal. Aidit tak akan membiarkan Sjam melaksanakan G30S jika ia tak percaya Sjam akan berhasil. Sementara itu, Sjam sudah membujuk beberapa perwira (Latief, Untung, dan Sujono)
untuk bergabung dalam G30S. Sjam juga mempercayakan mereka bahwa PKI sepenuhnya
berada di belakang G30S. PKI tak akan membiarkan aksi mereka gagal. Sjam, sebagai
mediator antara Aidit dan perwira militer, sudah membodohi kedua pihak untuk berpikir
bahwa ada pihak lain yang bakal ambil peran dalam G30S. Penjelasan Sjam mengenai organisasi G30S tidaklah sama dengan versi yang
dikemukakan rezim Soeharto. Sjam hanya melibatkan Aidit dan Biro khusus sentral . Ia tidak
melibatkan Politbiro, Comite Central, dan partai secara keseluruhan. G30S bukanlah revolusi sosial oleh PKI dalam arti luas. G30S hanyalah aksi kecil, terbatas, klandestin yang sebelumnya tidak diketahui oleh anggota dan kebanyakan pimpinan PKI. Soeharto dan kelompoknya membesar besarkan G30S agar ia memiliki alasan untuk melaksanakan rencananya sendiri, yaitu menghancurkan PKI dan menghentikan aksi Presiden Soekarno. namun itu cerita lain lagi.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Sjam menyebutkan Polisi Militer sudah merampas
buku catatan yang ia tulis pada saat menyiapkan G30S. Dalam berita acara pemeriksaan (Agustus 1967) secara garis besar ia sudah menyampaikan isi catatan ini . Buku ini yaitu manuscript utama dan terpenting mengenai G30S yang tak pernah dibuka kepada publik. Mengapa buku itu tetap dirahasiakan, Masihkah Polisi Militer
menyimpannya, Masyarakat negara kita berhak melihat buku catatan yang bersejarah itu.
sjam Kamaruzaman tidur tengkurap di rumahnya, 43 tahun silam itu. Di Jatibuntu, Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, Ketua Biro khusus sentral Partai Komunis Indonesia itu seharian menghabiskan waktu di kamar depan. Sorenya, tepat tiga hari sesudah geger politik 30 September 1965, Sjam menghilang. Bapak pergi tanpa pamit, kata Maksum, nama alias putra sulung Sjam, mengenang. Padahal, tengah malam sebelumnya, dia baru pulang sesudah sepekan meninggalkan rumah. Itulah awal perpisahan panjang antara lima anak Sjam dan sang ayah. Tak ada lagi
ritual rutin Sjam bersama anaknya melancong ke Sampur, Cilincing, untuk melihat matahari terbenam. Tak ada lagi kumpul kumpul keluarga minum susu di Kramat Raya. Rumah di Jatibuntu sekarang Jalan Pramuka Jati digerebek Corps Polisi Militer setahun sesudah peristiwa 30 September. Tiga mobil milik keluarga Nissan, Holden, dan Mazda disita. Ibu tiri mereka, yang belum lama dinikahi Sjam, lenyap sesudah kejadian itu. Kehidupan mereka bangkrut .
Lima anak Sjam, bersama Mun Muntarsih kakak ipar Sjam yang akhirnya mengasuh mereka hidup dempet dempetan sebab 6 dari 8 kamar di rumah itu ditempati 20 an tentara dari Kodam Siliwangi. Berbagai cara dilakoni agar bisa menyambung hidup. Mulai berdagang bumbu dapur di Pasar Genjing hingga menjual gado gado di Stasiun Kramat. Bu Mun demikian anak anak Sjam menyebut Mun Muntarsih menjual barang barang
milik Sjam di Pasar Rumput. contohnya , jas panjang musim dingin yang dibeli di Cina.
Keluarga juga dengan terpaksa menjual lukisan koleksi Sjam. Rumah dengan luas tanah 900 meter persegi itu belakangan ditempati tiga polisi militer ditambah keluarganya. Pelan pelan Maksum dan adik adiknya menyingkir ke kamar
belakang, hingga akhirnya jadi penghuni garasi. Tak tahan oleh tekanan psikologis itu, mereka hengkang, menjelang 1970, tak lama sesudah Maksum lulus sekolah menengah pertama. Sejak itulah lima bersaudara ini berpencar. Dua adik Maksum, Shinta (saat itu 14 tahun ) dan Laksmi, 5 tahun , diboyong oleh Latifah, adik Sjam, ke Tuban, Jawa Timur. Adapun Ratna, 12 tahun , anak nomor tiga, diasuh keluarga di Bandung. Maksum dan Kelana, 9 tahun , hidup luntang lantung mengembara ke beberapa kota di Jawa. Oleh Benyamin, gurunya di SMP 8 Pegangsaan Barat, Maksum diajak ke Pacet, Jawa Timur. Ia ikut sekolah persiapan dua tahun setingkat sekolah menengah atas. Dari sana Maksum masuk pesantren Lirboyo, di Kediri, Jawa Timur. Ia nyantri pada 1971 hingga 1979. Maksum memberitahu Latifah soal keberadaannya sesudah 4 tahun di Lirboyo. Lain Maksum, lain Kelana. Anak keempat Sjam ini mengelana ke Yogyakarta dan Bandung, sebelum akhirnya balik ke Jakarta. Sekolahnya putus sambung. Berbekal
informasi dari surat kabar yang mewartakan tahanan politik ditaruh di rumah tahanan
militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, Kelana memberanikan diri menanyakan keberadaan ayahnya. Ditanya oleh penjaga, ia mengaku anak Sjam. Pencariannya tak sia sia: ia diizinkan bertemu dengan sang ayah. peristiwa itu berlangsung pada 1976. sebab dari kecil sudah ditinggal pergi Sjam, Kelana tidak ingat
wajah ayahnya. Ia merasa pertemuan itu tidak begitu mengharukan. Keberadaan Sjam
disampaikan Kelana kepada Maksum.
Kelana sejak itu rajin menyambangi ayahnya. sesudah mengetahui saya anak Sjam, saya
mudah keluar masuk kamar tahanan, kata Kelana, kini 48 tahun . Sepulang dari sana, ia selalu diberi uang saku oleh Sjam. Bahkan, atas perintah Sjam, Kelana mengambil sendiri uang itu dari dalam tas bapaknya. Jumlahnya Rp 30 35 ribu per bulan.
Dari mana uang itu, Kelana mengatakan, di dalam tahanan ayahnya menjadi perajin tas. Sebulan Bapak bikin tiga empat koper, katanya. Pekerjaan itu dijalani bertahun tahun . Uangnya utuh sebab tak pernah dibelanjakan. Uang di dalam tas itu
sudah dikelompokkan dalam pecahan ratusan dan ribuan. Semuanya uang baru. Di dalam sel empat kali empat meter itu, Kelana suka memasak bersama ayahnya. Sel itu ada dapurnya. Di belakang sel, Sjam menanam bayam. Kelana juga suka tidur siang di sana. Ayahnya, kata Kelana, juga rajin main badminton. Raketnya sampai lima. Meski sering besuk, Kelana merasa Sjam tak begitu terbuka. Bapak jarang bicara, katanya. sesudah Kelana masuk pusat pendidikan dan latihan balai teknik di Bandung, ia bekerja
di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Selat Bali dan di Kepulau an Seribu. Maksum baru balik ke Jakarta pada 1981, sesudah dua tahun sebelumnya bekerja di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. sebab ada lowongan pegawai negeri sipil di Dinas Purbakala, Yogyakarta, ia balik ke Jakarta mengurus ijazah sekolah dasar dan SMP. Ia berani melamar sebab di ijazahnya nama sang ayah bukan Sjam Kamaruzaman, melainkan Sjamsudin. Di Jakarta, Maksum kembali bertemu dengan Benyamin, yang pindah profesi menjadi
redaktur di salah satu harian Ibu Kota. Bekas gurunya itu mengajak bergabung. sebab rindu kepada ayahnya saat itu sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Maksum menyambut tawaran itu. Ia lalu menjadi korektor bahasa. sesudah memperoleh kartu tanda penduduk Jakarta, Maksum datang ke Cipinang. Sjam terkejut . Inilah pertemuan pertama sesudah 16 tahun berpisah. namun saya tak menangis,
sebab air mata sudah habis, kata Maksum. Sejak itu Maksum datang ke ruang besuk Cipinang dua bulan sekali, biasanya Sabtu pagi. Berbeda dengan kepada Kelana, kepada Maksum Sjam banyak bicara soal ideologi. Mungkin sebab mengetahui saya jebolan pesantren, katanya. Sjam juga suka minta dibawakan majalah majalah berbahasa Inggris dan Belanda. namun pembicaraan tak pernah menyinggung peristiwa 1965. Sjam menitikkan air mata saat Maksum membawa bawa anaknya ke Cipinang. Ia
menggendong cucu pertamanya itu, lalu berkelakar, Kowe kok bisa kawin, Sebelum menikah, Maksum memang sudah membawa bawa calon istrinya kepada Sjam. Sang istri sempat syok sesudah mengetahui siapa calon mertuanya. namun , sesudah itu ia mau
menerima. Beberapa bulan sebelum eksekusi, September 1986, Maksum membesuk ayahnya.
Sjam memberinya Al Quran. Ia juga berpesan agar lima bersaudara itu rukun. jika adikmu butuh uang, bantu mereka. namun jangan dihitung utang, Sjam berpesan. Wajahnya terlihat tenang, tak ada beban. tengah malam terakhir menjelang eksekusi, Sjam ditemani Shinta. Anak kedua itu dijemput dari Tuban oleh dua tentara. Mereka bertemu hanya 30 menit. tengah malam itu Shinta menangis sejadi jadinya. Melihat itu, Sjam berkata , Kamu kok nangis, Semua orang nanti akan
meninggal juga. sesudah itu, Sjam dijemput. Tidak jelas di mana eksekusi berlangsung. Tak juga diketahui di mana Sjam dimakamkan. Shinta lalu menyampaikan kabar eksekusi itu
kepada keluarga. namun keluarga tak pernah berusaha mencari makam Sjam. Keberadaan tas berisi uang juga tak jelas. Dari lima anaknya, hanya Ratna dan Laksmi yang tidak membesuk Sjam. Bapak tidak pernah minta mereka datang, kata Maksum. Paling titip pesan atau tanya kabar. Ratna hingga kini menetap di Bandung. Suaminya, yang masih terhitung kerabat jauh, bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Mereka dikaruniai dua anak. Laksmi menetap bersama suami dan anaknya di Tuban. Laksmi dan Shinta sama sama lulusan IKIP Bojonegoro. namun tidak semuanya memulai rumah tangga dengan mulus. Kelana, contohnya , tiga kali diusir calon mertua sesudah mengaku putra Sjam. Gara gara itu, Kelana
menyembunyikan silsilah keluarga. Ia baru membuka rahasia kepada istrinya sesudah
anak kedua lahir, menjelang 1990. Maksum dan adiknya juga merahasiakan sosok Sjam kepada anak mereka. Cucu pertama Sjam baru mengetahui siapa eyangnya sesudah Tempo mendatangi Maksum. Begitu juga di lingkungan kerja. Anak anak Sjam kini masih membungkus rapat siapa ayah mereka. Sesuai dengan permintaan, Maksum, Kelana, Ratna, Shinta, dan Laksmi pun hanya nama samaran. Tekanan psikologis prahara politik ini begitu hebat, katanya. DI sebuah rumah di Jakarta Timur, laki laki itu bicara setengah memohon. Coba Bapak
cari informasi mengenai Sjam. Saya dengar dia masih hidup di Florida, Amerika Serikat, katanya. Yang diajak bicara menggeleng. berdasar keterangan saksi saya, dia sudah mati. Tidak ada
alasan bagi pemerintah menyelamatkannya.
laki-laki pertama yaitu Suryoputra, bukan nama sebetulnya , eks tahanan politik Partai Komunis Indonesia dan sahabat karib Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro khusus sentral Partai Komunis Indonesia . Yang kedua yaitu John Roosa, sejarawan dari Universitas British Columbia, Kanada, yang baru saja menerbitkan Dalih Pembunuhan Massal, buku mengenai tragedi G30S. Anda rindu kepada dia, Tempo memotong diskusi yang dilakukan menjelang buka puasa Ramadan lalu. Tentu saja, kata Suryo. Kami teman dekat sejak zaman revolusi. jika Sjam masih hidup, Suryo melanjutkan, saya pasti bisa mengenalinya. Setidaknya ada tiga tanda Sjam yang masih bisa diingat Suryo. Pertama, codet di dekat mata kiri. Kedua, bekas luka di paha bagian belakang sebab peluru nyasar saat keduanya berlatih menembak. Ketiga, ini yang menarik, Sjam takut pada cecak. jika bertemu dia, saya akan bawa cecak. Jika dia takut, pasti itu Sjam, kata Suryo tertawa. Azan magrib terdengar, Suryo menyeruput air minumnya. Suryo bukan satu satunya orang yang percaya Sjam masih hidup. Boengkoes, kini 83 tahun , mantan Komandan Peleton Kompi C Batalion Kawal Kehormatan Cakrabirawa, pasukan yang menculik 6 jenderal Angkatan Darat pada peristiwa G30S, mempercayai hal yang sama. Saya dengar dia dibuang ke Amerika. Ada juga yang berkata dikirim ke Arab Saudi. Kabarnya, anaknya pernah bertemu dia di Sumatera, katanya. Soal mengapa pemerintah menyelamatkan Sjam, sedang petinggi PKI lain dieksekusi mati, Boengkoes berkata pendek, Ia tokoh penting di partai, memiliki jaringan kuat di kalangan militer.
Sjam yaitu bayang bayang. Kematiannya hingga kini menjadi misteri. Tak ada kuburan penanda jasadnya. Bahkan keluarganya tak pernah diberitahu mengenai jenazah atau kuburnya. Yang ada hanya perjamuan terakhir laki-laki asal Tuban, Jawa Timur, itu dengan putri pertamanya, Shinta (nama yang disamarkan), sehari sebelum ia kabarnya dieksekusi mati. kamis pagi, 25 September 1986. Dua laki-laki bertubuh tegap mengetuk pintu rumah di Kampung Kutorejo, Tuban, Jawa Timur. Kepada tuan rumah, Latifah, mereka mengaku sebagai utusan Komando Daerah Militer V Brawijaya. Tuan rumah yaitu adik kandung Sjam. Shinta ikut mendampingi bibinya. Ia ingat, kedua tamu mengulurkan selembar surat titipan dari Jakarta . sesudah membacanya, Latifah meminta Shinta bergegas ganti baju. Bersama dua orang yang belakangan diketahui sebagai Oditur Militer Kodam Brawijaya
itu, Shinta naik bus umum menuju Surabaya. Dari Bandar Udara Juanda, perjalanan dilanjutkan ke Jakarta. 2 orang itu, sesuai dengan kartu nama yang hingga kini disimpan keluarga Sjam,
yaitu Letnan Kolonel CHK Frans Paul Lontoh dan Letnan Kolonel CHK Soewardi. Di perjalanan, mereka mengatakan hendak mempertemukan Shinta dengan Sjam. Ia terakhir menjenguk ayahnya di penjara Cipinang pada 1972, bersama kakak Sjam. Shinta mengaku menghadapi pilihan sulit. Sebagai pegawai negeri, bertemu dengan
tahanan politik yaitu persoalan baru. namun pertemuan dengan sang ayah merupakan
kebahagiaan tersendiri. Shinta didatangkan atas permintaan ayahnya, meski Sjam juga ingin Latifah hadir pula . Hal itu tertera dalam surat yang ditulis Sjam di Cipinang dan diberi judul Lieve Latifah . Surat ditulis pada November 1984 dan dibawa dua perwira ini ke Tuban. 2 perwira Kodam Brawijaya itu mengajak Shinta ke sebuah tempat. Matanya selalu ditutup. Saya tak mengetahui tempatnya, kata nya. Turun dari kendaraan, saya dibawa masuk ke sebuah ruang. Di depan saya sudah ada Bapak. Shinta memandangi ayahnya. Mereka berpelukan erat.
berdasar keterangan saksi Shinta, tidak ada perubahan fisik ayahnya yang menonjol. Bicaranya tetap tegas, bersemangat. Tampak wajahnya mulai keriput dimakan umur. Yang paling menonjol , uban Bapak banyak sekali, tuturnya. Sjam saat itu berusia 64. Di ruangan itu ada 2 meja, dua duanya dipenuhi berbagai hidangan. Semua makanan enak. Ada ikan kakap, sate, dan ayam bekakak. Sjam, berdasar keterangan saksi Maksum (bukan nama sebetulnya ), kakak Shinta yang ditemui secara terpisah, lalu berkata, Ayo kita makan enak. namun Shinta tak menyentuh satu pun makanan. Ia menangis selama pertemuan. Sjam lalu berkata , Kamu kok nangis. Semua orang nanti akan meninggal juga. Pengawal memberitahu , mereka hanya memiliki waktu setengah jam. Sjam minta maaf kepada lima anaknya sebab tak bisa membesarkan mereka. Ia berpesan kepada anak anaknya agar hidup rukun. Tak lama lalu , seorang rohaniwan berpakaian putih masuk. laki laki itu meminta Shinta segera pergi. Sjam memeluk putrinya dan kembali minta maaf. Keluar dari ruangan, Shinta ditawari menginap di hotel. Ia menolak dan meminta diantar ke rumah kakak Sjam di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Shinta menceritakan kepada kakak kakak dan keluarganya: ayahnya akan segera dieksekusi mati. Shinta lalu menyampaikan kabar sedih itu kepada saudara saudaranya yang lain. Salah satunya yaitu Kelana (bukan nama sebetulnya ), yang kala itu sedang mengerjakan sebuah proyek di Kepulau an Seribu. Saya memperoleh telepon dari Shinta bahwa Bapak dibawa ke pulau Seribu, tuturnya. Adapun Maksum menuturkan, Sekitar hari saat Bapak ditembak, saya bersama istri di rumah. Tiba tiba saya menangis. Ada kesedihan tanpa sebab. Tiba tiba Shinta menelepon. berdasar keterangan saksi 1 versi, Sjam dikeluarkan dari Cipinang pada 27 September 1986 pukul 21.00. Ia dijemput perwira Penelitian Kriminal Polisi Militer Kodam Jaya, Edy B. Sutomo, lalu dibawa ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jawa Barat. Baru tiga hari lalu , ia dan dua tahanan lain dibawa ke Tanjung Priok pada tengah tengah malam . Dengan kapal laut militer mereka diangkut ke sebuah pulau di Kepulau an Seribu. Mereka dieksekusi pada pukul 03.00.
namun keluarga Sjam tak pernah mendengar kejelasan informasi itu. jika benar Bapak
dieksekusi, di mana makamnya sekarang, kata putri bungsunya, yang kini tinggal di Tuban.
karlina Supeli, aktivis wanita , melakukan penelitian mengenai para tahanan politik pada 2001. Untuk keperluan ini, ia menyigi informasi mengenai Sjam. Ia menemukan seorang rohaniwan yang kabarnya mendampingi laki-laki 64 tahun itu saat dieksekusi. Ditemui di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tempatnya berkantor, Karlina tak banyak bicara. Ia beralasan, sang rohaniwan yang kini bermukim di Semarang itu belum memberinya izin bicara. Ditanya apakah rohaniwan itu memastikan Sjam sudah ditembak mati, ia menjawab, Itu juga bagian yang tidak boleh saya sampaikan. Sumber lain yang pernah mendengar cerita rohaniwan ini mengisahkan peluru dari regu penembak meleset dari tubuh Sjam. Komandan regu lalu mengambil alih eksekusi. Ia mengambil pistol dan menembak Sjam dalam jarak dekat. Beberapa bulan lalu , sang komandan masuk rumah sakit jiwa, ia tak tahan dengan peristiwa itu, tuturnya. Versi Mutakhir G30S (oleh : Asvi Warman Adam) Sejarawan Lembaga Ilmu pengetahuan negara kita begitu meletus peristiwa pergerakan 30 September 1965, para perwira di sekeliling Soeharto Yoga Sugama, contohnya langsung memiliki firasat: Partai Komunis Indonesia berada di balik itu. Dalam hitungan hari, 5 Oktober 1965, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto pun mengeluarkan pernyataan: Peristiwa ini jelas didalangi oleh PKI yang merencanakan gerakan gerakan ini. Versi ini memicu tanda tanya. Jika PKI berontak, kenapa tiga juta anggotanya tidak melawan, Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia itu rontok dengan mudahnya, Selama ini alasan yang dipakai pemerintah selalu mengacu pada proses Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang memutuskan PKI terlibat pemberontakan. Padahal putusan pengadilan hanya menyebutkan anggotanya yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup, dengan alasan terbukti melakukan makar. Pendekatan di atas itu dilawan oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang pada
Januari 1966 mengatakan ini persoalan intern Angkatan Darat. Pandangan itu lalu diterbitkan dan dinamakan Cornell Paper (1971). Mereka memandang G30S sebagai pemberontakan perwira asal Kodam Diponegoro yang kesal melihat perilaku para jenderal SUAD yang hidup berfoya foya di Jakarta. Perwira asal Jawa Tengah itu mengajak personel Angkatan Udara Republik Indonesia dan PKI dalam operasi mereka. analisa kedua ini lemah sebab Untung dan Latief memang dari Kodam Diponegoro,
namun tidak demikian halnya dengan Brigadir Jenderal Supardjo (Siliwangi) dan Mayor Udara Sujono. Demikian juga , mengatakan ini semata mata persoalan intern Angkatan Darat tidak tepat sebab unsur PKI, seperti Sjam dan Pono, juga terlibat. Kedua versi ini ditengahi Harold Crouch (The Army and Politics, 1978) yang menolak Cornell Paper yang membebaskan PKI sepenuhnya dari kesalahan. Namun ia
berpendirian bahwa inisiatif awal muncul dari tubuh Angkatan Darat . PKI terlibat namun
sebagai pemain kedua . Versi Crouch itu cukup beralasan, walaupun ia tak berhasil menjelaskan mengapa G30S dirancang dengan buruk, mengapa pengumuman mereka yang kedua disiarkan berselang lima jam dari yang pertama. Padahal, dalam suatu kudeta, kecepatan dan ketepatan waktu sangat krusial. Sebelum Harold Crouch, seorang penulis Belanda, Antonie Dake, menerbitkan untuk konsumsi internasional edisi dua bahasa yang berisi pengakuan ajudan sukarno , Bambang Widjanarko, The Devious Dalang (1974). Buku itu merupakan hasil
pemeriksaan Bambang Widjanarko (3 Oktober 4 November 1970) yang membenarkan bahwa Soekarno pada 4 Agustus 1965 memanggil Letnan Kolonel Untung dan memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal jenderal yang tidak loyal. Soekarno wafat 22 Juni 1970 dan tidak mungkin lagi diadili. namun , untuk apa dilakukan pemeriksaan mengenai keterlibatannya dalam G30S, Ditengarai wacana itu merupakan
usaha preventif mencegah kebangkitan pendukung Soekarno dalam pemilihan umum
Juli 1971. Versi Soekarno ini diragukan, sebab Widjanarko sendiri mengakui lalu ia dipaksa bersaksi. Apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi hari membuktikan bahwa Presiden Soekarno tidaklah mengetahui sepenuhnya rencana G30S. Mengapa ia berputar putar keliling Jakarta sebelum menuju Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, 1 Oktober 1965, Mengapa tidak langsung dari Wisma Yaso menuju Halim,
Keterlibatan Soeharto diungkapkan oleh W.F. Wertheim dalam artikelnya yang terbit musim dingin 1970: Suharto and the Untung Coup The Missing Link . Hubungan Soeharto dengan Untung dan lebih lebih lagi dengan Latief yang bertemu dengan Soeharto pada tengah malam nahas itu juga dipertanyakan. Soalnya, Soeharto tidaklah sejenius itu, bukan tipe orang yang merancang perebutan kekuasaan secara
sistematis. namun , sebab sudah mengetahui sebelumnya, ia menjadi orang yang paling siap.
Amerika Serikat tidak ikut campur pada 30 September dan 1 Oktober 1965 walaupun
berbagai manuscript menyebutkan keterlibatan mereka sebelum dan sesudah peristiwa.
Bagi Amerika, jatuhnya negara kita ke tangan komunis artinya kiamat. Keterlibatan Amerika ini sudah diperkirakan sukarno dalam pidato Nawaksara pada 1967, yang menyebut adanya subversi Nekolim . sesudah Soeharto jatuh pada 1998, bermunculan buku buku yang saat Orde Baru tidak boleh terbit di samping pencetakan ulang versi resmi. Meskipun berbentuk
penerbitan terjemahan atau tulisan baru, semua buku itu masih dapat dikategorikan atas lima pendekatan dalam melihat dalang G30S (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, dan CIA). Masing masing menentukan dalang tunggal dari peristiwa yang sebetulnya sangat kompleks. Padahal Soekarno pada 1967 sudah lebih maju dalam melihat peristiwa itu, yaitu sebagai pertemuan tiga sebab: kesombongan pemimpin PKI, subversi Nekolim, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab. Versi keenam, versi mutakhir G30S dikemukakan dalam buku John Roosa (Dalih Pembunuhan Massal: pergerakan 30 September dan Kudeta Suharto, 2008). Di sini peranserta Sjam sangat menentukan. Kelemahan utama G30S yaitu tidak adanya satu komando.
ada dua kelompok pemimpin, yaitu kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono) dan pihak Biro khusus sentral PKI (Sjam, Pono, dengan Aidit di latar belakang). Sjam memegang peranserta sentral sebab ia menjadi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun, saat usaha ini tidak memperoleh dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, kebingungan terjadi, kedua kelompok ini terpecah. Kalangan
militer ingin mematuhi, sedang Biro khusus sentral tetap melanjutkan. Ini dapat
menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama, kedua, dan ketiga ada selang waktu sampai 5 jam. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam kondisi selamat. Adapun pengumuman berikutnya, siang hari, sudah berubah drastis: pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet. manuscript Supardjo mengungkap mengapa pergerakan itu gagal dan tidak bisa diselamatkan. Kerancuan antara penyelamatan Presiden Soekarno dan percobaan kudeta dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh sebelum
peristiwa berdarah itu, Amerika sudah mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk
mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dahulu sehingga dapat dipukul secara telak oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. sebab sudah mengetahui sebelum peristiwa itu terjadi, Soeharto yaitu jenderal yang paling siap pada 1 Oktober 1965 saat orang lain bingung. Nama Soeharto sendiri tidak termasuk daftar perwira tinggi yang akan diculik. Penulis Prancis, Paul Veyne, mengatakan bahwa sejarah itu tak lain dari intrik. Pada versi ini, kerumitan misteri itu disederhanakan dengan metode ala detektif. Pembaca dipercaya kan bahwa tokoh kunci G30S, Sjam Kamaruzaman, bukanlah agen ganda,
apalagi triple agent, melainkan pembantu setia Aidit bertahun tahun . Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap pada 1968 ini baru dieksekusi pada 1986. Ia bagaikan putri Syahrezad yang menunda pembunuhan dirinya dengan menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap tengah malam , sehingga mampu bertahan 1.001 tengah malam . Sjam bertahan lebih dari 18 tahun dengan mengarang 1.001 pengakuan. Ia diberi kesempatan untuk mengungkapkan siapa saja yang pernah direkrutnya. Sjam divonis mati dalam Mahmilub pada 1968. Ia diambil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang 27 September 1986, dibawa ke RTM Cimanggis, Bogor. Pada 30 September dinihari, bersama Pono dan Bono dibawa ke lokasi eksekusi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Dari RTM Cimanggis dibawa dengan konvoi kendaraan militer ke dermaga Tanjung Priok. Dengan kapal militer berlayar selama 15 menit sampai di pulau . Mereka ditembak tepat pukul 3 pagi oleh regu tembak yang terdiri atas 12 orang. Rute kehidupan Sjam dari Tuban (30 April 1924) Jombang Surabaya Yogyakarta Jakarta RRC (berobat) Vietnam Utara penjara Cipinang RTM
Cimanggis Tanjung Priok Kepulauan Seribu (30 September 1986) berakhir tepat pada
peringatan 21 tahun tragedi berdarah itu.
Dalam versi keenam ini terungkap bahwa G30S lebih tepat dianggap sebagai aksi (untuk menculik 7 jenderal dan menghadapkan kepada Presiden), bukan sebagai pergerakan . Sebab, peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan Jawa Tengah yang dapat diberantas dalam waktu satu dua hari. Namun aksi ini (yang lalu ternyata memicu tewasnya enam jenderal) oleh Soeharto dan kawan kawan lalu dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar akarnya. Sesuatu yang di lapangan memicu terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari 1000 jiwa. jika para jenderal yang diculik itu tertangkap hidup hidup, mungkin sejarah negara kita akan lain. Massa PKI akan turun ke jalan dan menuntut para jenderal itu dipecat. Presiden akan didesak untuk memberikan kursi departemen kepada golongan kiri itu
sebab sampai 1965 Soekarno tidak pernah mempercayakan pemimpin departemen
kepada tokoh komunis kecuali Menteri Negara.
Versi terakhir ini dilakukan dengan membongkar versi versi lama (dekonstruksi) dan menyusun narasi baru (rekonstruksi) dengan memakai sumber sumber yang kesahihannya sudah diuji dan tokoh kunci yang dapat diandalkan mengenai apa yang disebut Biro khusus sentral PKI. Versi ini menampilkan data baru (berbagai manuscript dari dalam dan luar negeri), metodologi baru (dengan mengikutdan kan sejarah lisan), dan
perspektif baru (ini yaitu aksi bukan pergerakan , namun dijadikan dalih untuk peristiwa berikutnya yang lebih dahsyat). sebab Sjam menjadi tokoh sentral, silakan versi terakhir ini disebut G30S/Sjam. orang sering menjadi terkesima saat membongkar bongkar gudang yang bertimbun
dan berdebu. Sementara iseng membolak balik ratusan halaman fotokopi rekaman stenografis
dari sidang pengadilan Letkol AURI Atmodjo di depan Mahmilub, saya temukan manuscript
manuscript yang saya terjemahkan di bawah ini, yang aslinya merupakan lampiran lampiran pada
berkas sidang pengadilan itu. manuscript itu yaitu laporan yang disusun oleh sebuah tim terdiri dari lima orang ahli kedokteran forensik, yang sudah memeriksa mayat mayat enam orang jendral (Yani, Suprapto, Parman, Sutojo, Harjono, dan Pandjaitan), dan seorang letnan muda (Tendean) yang terbunuh pada pagi pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Laporan mereka yang lugas merupakan lukisan paling obyektif dan tepat yang pernah kita miliki, mengenai bagaimana tujuh orang itu mati. Mengingat kontroversi yang sudah lama mengenai masalah ini, dan berita berita yang disajikan oleh suratkabar dan majalah umum beragam maka saya memandang perlu menerjemahkan manuscript manuscript ini sepenuhnya untuk kepentingan kalangan ilmiah. Bagian atas setiap visum et repertum (otopsi) menunjukkan bahwa tim ini bekerja pada hari Senin tanggal 4 Oktober, atas perintah Mayjen Suharto selaku Komandan KOSTRAD saat itu, kepada kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Tim terdiri dari 2 orang dokter tentara (termasuk Brigjen Roebono Kertopati yang terkenal itu), dan tiga orang
sipil ahli kedokteran forensik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Di antara ketiga orang ini yang paling senior ialah Dr. Sutomo Tjokronegoro, saat itu ahli paling terkemuka dalam kedokteran forensik di negara kita . Tim bekerja sama selama 8 jam, yaitu dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober sampai 12.30 lewat tengah tengah malam tanggal 5 Oktober, bertempat di Kamar Bedah RSPAD. Jelas mereka harus bekerja cepat, oleh sebab dari berita berita pers kita ketahui mayat mayat itu baru bisa diangkat dari lubang sumur di Lubang Buaya (di mana para pembunuh sudah melemparkannya) menjelang siang tanggal 4 Oktober, lebih 75 jam
sesudah pembunuhan terjadi. Dalam jangka waktu itu, dalam iklim tropis bisa diperkirakan mayat sudah sangat membusuk. Dan sesudah hari siang, Selasa tanggal 5 Oktober, mayat mayat itu dimakamkan dengan upacara militer di Taman Pahlawan Kalibata. Satu hal yang pasti patut
diperhatikan. Mengingat bahwa otopsi itu dilakukan atas perintah langsung Mayjen Suharto,
maka kiranya tidak akan mungkin jika laporan para dokter ini tidak segera disampaikan
kepadanya, segera sesudah misi dilaksanakan.
7 buah laporan itu masing masing disusun berdasar keterangan saksi bentuk yang sama:
pernyataan adanya perintah Mayjen Suharto kepada lima orang ahli itu; identifikasi atas mayat;
deskripsi tubuh, termasuk pakaian atau hiasan hiasan badan; uraian rinci mengenai luka luka;
hasil penelitian mengenai waktu dan penyebab kematian; pernyataan di bawah sumpah dari kelima ahli itu, bahwa pemeriksaan sudah dilaksanakan sepenuh penuhnya dan sebagaimana mestinya. sebab gambaran umum mengenai matinya tujuh tokoh itu, bersandar pada apa yang diberitakan oleh dua suratkabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, dinas informasi ABRI yang memasok suratkabar suratkabar ini . Walaupun ada beberapa suratkabar non militer yang tetap terbit, namun pers kiri sudah ditindas pada petang hari tanggal 1 Oktober, sedang radio dan televisi yang dikuasai negara, dan sudah ada di tangan militer sepenuhnya menjelang 1 Oktober, tidak mengudara. sebab itu perlu diperbandingkan berita berita yang disajikan oleh suratkabar suratkabar tentara ini , dengan ini laporan dari para ahli kedokteran yang ditunjuk militer yang selesai tersusun pada hari Selasa tanggal 5 Oktober, yang bisa kita simpulkan dari manuscript manuscript lampiran itu. Mengingat bahwa dua suratkabar ini yaitu harian harian pagi, sehingga edisi 5 Oktober mereka mungkin sudah ditidurkan sementara para dokter masih menyelesaikan
pekerjaannya, maka tidak aneh bila pemberitaan mereka mengenai hari itu mungkin tergesa
gesa, tanpa memanfaatkan informasi yang panjang lebar itu. Angkatan Bersenjata memuat
beberapa buah foto kabur mayat mayat yang sudah membusuk, dan menggambarkan
pembunuhan ini sebagai perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar
batas perikemanusiaan . Berita Yudha yang selalu lebih garang, mengatakan bahwa mayat
mayat itu penuh dengan bekas bekas penyiksaan. Bekas bekas luka di sekujur tubuh akibat
siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh tubuh pahlawan kita. Mayjen Suharto sendiri
dikutip menyatakan, jelaslah bagi kita yang melihat dengan mata kepala (jenazah
jenazah itu), betapa kejamnya aniaya yang sudah dilakukan oleh petualang petualang biadab
dari apa yang dinamakan pergerakan 30 Septemberâ . Suratkabar itu meneruskan dengan
menggambarkan saat saat terakhir kehidupan Jendral Yani, mengatakan bahwa sesudah
ditembak rubuh di rumahnya, ia dilemparkan hidup hidup ke dalam sebuah truk dan terus
menerus disiksa sampai penyiksaan terakhirnya di Lubang Buaya. Bukti bukti mengenai
penyiksaan ini ditunjukkan dengan adanya luka luka pada leher dan mukanya, dan fakta
bahwa anggota anggota tubuhnya tidak sempurna lagi . Apa yang dimaksud oleh kata kata
yang agak kabur itu menjadi lebih jelas pada hari hari berikut. Pada hari Kamis tanggal 7 Oktober, Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa matanya (Yani) dicungkil . Berita ini dikuatkan dua hari lalu oleh Berita Yudha dengan menambahkan bahwa muka mayat itu ditemukan terbungkus dalam sehelai kain hitam. Pada tanggal 7 Oktober itu juga Angkatan Bersenjata melukiskan lebih lanjut, mengenai bagaimana Jendral Harjono dan Jendral Pandjaitan tewas oleh berondongan tembakan senjata api di rumah masing masing, lalu mayat mereka dilempar ke dalam sebuah truk yang menghilang dalam kegelapan tengah malam dengan deru mesinnya yang seperti harimau haus
darah . Sementara itu Berita Yudha memberitakan mengenai bekas bekas siksaan pada kedua
tangan Harjono. Pada tanggal 9 Oktober Berita Yudha memberitakan, bahwa meskipun muka dan kepala Jendral Suprapto sudah dihancurkan oleh penteror penteror biadab , namun ciri cirinya masih bisa dikenali. Pada Letnan Tendean ada luka luka pisau pada dada kiri dan perut, lehernya
digorok, dan kedua bola matanya dicungkil . Harian ini pada hari berikutnya mengutip saksi
mata pengangkat mayat bulan Oktober itu, yang mengatakan bahwa di antara korban beberapa
ada yang matanya keluar, dan beberapa lainnya ada yang dipotong kelaminnya dan banyak
hal hal lain yang sama sekali mengerikan dan di luar perikemanusiaan. Pada tanggal 11
Oktober Angkatan Bersenjata menulis panjang lebar mengenai matinya Tendean, dengan
menyatakan bahwa ia mengalami siksaan luar biasa di Lubang Buaya, sesudah diserahkan
kepada para anggota Gerwani (pergerakan Wanita negara kita ). Ia dijadikan benda permainan jahat wanita wanita ini, dipakai sebagai bulan bulanan sasaran latihan
menembak sukwati Gerwani. Begitu suratkabar suratkabar tentara memulai, maka yang lain pun segera dan sertamerta mengikuti. contohnya Api Pantjasila, orang partai IPKI yang bernaung di bawah militer, pada tanggal 20 Oktober memberitakan, bahwa alat pencungkil yang dipakai untuk jendral jendral itu sudah ditemukan oleh pemuda pemuda anti komunis, saat mereka menyerbu gedung gedung Partai Komunis, di desa Harupanggang di luar kota Garut. Walaupun tanpa
diterangkan, mengapa partai ini memandang desa itu cocok untuk menyimpannya. Pada
tanggal 25 Oktober suratkabar ini juga memuat pengakuan seseorang bernama Djamin,
anggota organisasi pemuda Partai Komunis, Pemuda Rakyat, yang mengatakan sudah
melihat bagaimana Jendral Suprapto sudah disiksa di luar batas kesusilaan oleh anggota
anggota Gerwani. Pengakuan pengakuan serupa itu dimuat berturut turut, dan memuncak pada
cerita menarik mengenai Nyonya Djamilah, disiarkan pada tanggal 6 Oktober oleh Dinas
Penerangan ABRI kepada seluruh kalangan pers. Nyonya Djamilah diceritakan sebagai hamil
tiga bulan, pimpinan Gerwani dari Pacitan berumur lima belas tahun , mengaku bahwa ia dan
di Lubang Buaya sudah menerima pembagian pisau kecil dan silet dari anggota anggota pasukan pergerakan 30 September. Lalu mereka, yang seluruhnya berjumlah seratus orang itu, mengikuti perintah orang orang itu juga , mulai memotong dan menyayat sayat kemaluan jendral jendral yang sudah mereka tangkap itu. ( Dibagi bagikan pisau kecil dan pisau silet⦠menusuk nusuk pisau pada kemaluan orang itu. Api Pantjasila, 6 November 1965). Malahan tidak berhenti di situ saja. Antara yang sudah dikuasai militer itu, pada tanggal 30 November melukiskan bagaimana orang Gerwani itu dengan mudahnya sudah menyerahkan tubuh mereka kepada para personel AURI yang ikut dan dalam pergerakan 30 September. Sementara itu pada tanggal 13 Desember Angkatan Bersenjata melukiskan mereka bertelanjang menarikan Tarian Bunga Harum di bawah pimpinan Ketua Partai Komunis Dipa Nusantara Aidit, sebelum terjun dalam pesta pora massal bersama para anggota Pemuda
Rakyat. Di dalam cerita cerita yang memenuhi suratkabar selama bulan bulan Oktober, November dan Desember ini sementara itu pembantaian besar besaran terhadap orang yang
berhubungan dengan Partai Komunis terus berjalan terkandung dua hal yang sangat
menarik diperhatikan. Pertama, ditiup tiupkan bahwa tujuh korban itu mengalami siksaan yang
mengerikan khususnya dicungkil mata dan dipotong kemaluan mereka; kedua, ditonjolkan
bahwa pelaku pelaku kejahatan yaitu orang sipil dari organisasi yang berafiliasi dengan
komunis. Apakah yang diberitakan kepada kita oleh laporan para ahli forensik pada tanggal 5 Oktober itu, Pertama, dan terutama, bahwa tidak ada satu biji mata pun dari para korban yang sudah dicungkil, dan bahwa semua kemaluan mereka pun masih utuh. Kepada kita bahkan diberitakan bahwa 4 berkhitan dan tiga tidak berkhitan. Kecuali itu, mungkin perlu korban korban itu dibagi ke dalam dua golongan: mereka yang dengan sebagian besar bukti non forensik menunjukkan sudah dibunuh dengan ditembak selagi masih di rumah oleh para penculik mereka, yaitu Jendral Yani, Jendral Pandjaitan, dan Jendral Harjono; dan mereka yang dibunuh sesudah dibawa ke Lubang Buaya, yaitu Jendral Parman, Jendral Suprapto, dan Jendral Sutojo, dan Letnan Tendean. Golongan I. Berita paling lengkap mengenai kematian mereka terbit jauh sesudah peristiwa terjadi: mengenai Yani dalam Berita Yudha tanggal 5 Desember; Pandjaitan dalam Kompas tanggal 25 Oktober; Berita Yudha Minggu tanggal 21 November, dan Berita Yudha tanggal 13 Desember; dan Harjono dalam Berita Yudha Minggu tanggal 28 November. Semua
pemberitaan menunjukkan, bahwa jendral jendral itu sudah dibunuh dengan mendadak dan
sesaat di rumah dengan berondongan tembakan yang dilakukan oleh anggota anggota Resimen Kawal Cakrabirawa, di bawah pimpinan operasi Lettu Doel Arief. Gambaran demikian
hanya sebagian saja dibenarkan oleh laporan forensik. Para ahli forensik itu menyatakan bahwa
luka luka pada tubuh Yani sajalah yang merupakan sepuluh luka tembak masuk dan tiga
tembus. Pandjaitan mengalami tiga luka tembak pada kepala, dan luka robek kecil di tangan.
Pada luka luka yang dialami Harjono muncul tanda tanya, sebab tidak dikabarkan sebagai
akibat tembakan. Penyebab kematiannya rupanya yaitu torehan panjang dan dalam pada
bagian perut, luka yang lebih mungkin disambungkan oleh bayonet dibandingkan pisau lipat atau silet. Sebuah luka serupa yang tak mematikan ada psedang ggung korban. Cedera lain satu satunya digambarkan pada tangan dan pergelangan tangan kiri, luka luka disambungkan oleh barang tumpul. Tak ada cara lain yang lebih tepat untuk menafsirkan luka luka ini kecuali harus mengatakan, bahwa luka luka itu tidak mungkin sebab siksaan jarang penyiksa
memilih pergelangan kiri dalam melakukan pekerjaan mereka dan luka itu mungkin sebab
mayat itu dilempar ke dalam sumur di Lubang Buaya yang 36 kaki dalamnya. Golongan II. Cerita lengkap mengenai matinya korban korban ini ada dalam suratkabar suratkabar berikut: Parman, Berita Yudha, 17 Oktober dan juga Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata tanggal 2 Desember; Soeprapto, Berita Yudha Minggu tanggal 5 Desember; Sutojo, Berita Yudha Minggu tanggal 21 November. Terhadap empat orang inilah berita berita mengenai siksaan biadab dan seksual paling banyak diberikan. Apa yang diungkapkan oleh laporan forensik yaitu sebagai berikut:
S. Parman mengalami lima luka tembak, termasuk dua yang mematikan pada kepala; dan, di
samping itu, robek dan patah tulang pada kepala, rahang, dan kaki kiri bawah, semuanya sebagai akibat benda tumpul dan keras popor senapan atau dinding dan lantai sumur namun
jelas bukan luka luka siksaan , juga tidak sebagai akibat silet atau pisau lipat. Soeprapto mati oleh sebab sebelas luka tembak pada berbagai bagian tubuhnya. Luka luka lain berupa enam luka robek dan patah tulang sebagai akibat dari benda tumpul pada kepala dan muka; satu disambungkan oleh benda keras tumpul pada betis kanan; luka luka dan patah tulang itu akibat benda tumpul yang sangat keras pada bagian pinggul dan pada paha kanan
atas ; dan tiga sayatan yang, melihat pada ukuran dan kedalamannya, mungkin disambungkan
oleh bayonet. Sekali lagi benda tumpul mempertunjukkan terjadinya benturan dengan benda benda keras yang besar dan berbentuk tak menentu (popor senapan dan batu batu sumur), dan bukannya silet atau pisau, Sutojo mengalami tiga luka tembak (termasuk satu yang fatal pada kepala), sedang tangan kanan dan tempurung kepala retak sebagai akibat benda tumpul keras . Sekali lagi kombinasi ganjil antara tangan kanan, tulang tengkorak, dan benda pejal berat yang memberikan kesan popor senapan atau batu batu sumur. Tendean mati akibat 4 luka tembak. Kecuali itu para ahli ini menemukan luka gores
pada dahi dan tangan kiri, demikian juga tiga luka akibat trauma pejal pada kepala. Tak ada sepatah kata pun di laporan laporan ini mengenai adanya siksaan yang tak tersangkal, dan tak ada juga bekas silet atau pisau kecil apapun. Bukan saja sebab hampir semua luka luka bukan tembak itu digambarkan sebagai akibat dari benda pejal dan keras, namun sebab pembagiannya secara jasmaniah pun pergelangan kaki, tulang kering, pergelangan tangan, paha, pelipis dan lain lain biasanya tampak sembarangan. yaitu sangat menarik, bahwa sasaran para penyiksa yang umum yaitu pelir, dubur, mata, kuku, telinga, dan lidah tidak dikabarkan . Maka dengan cukup mempercayakan bisa dikatakan bahwa enam orang dari korban korban itu mati oleh tembakan senjata api (mengenai Harjono yang mati di dalam
rumahnya tetap membingungkan); dan jika tubuh mereka mengalami tindak kekerasan lain
yaitu akibat pemukulan dengan gagang senapan yang mematahkan peluru peluru mematikan itu,
atau cedera yang mungkin diakibatkan sebab jatuh dari ketinggian 36 kaki yaitu kira kira tiga
tingkat lantai ke dalam sumur yang berdinding batu. Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam pidatonya tanggal 12 Desember 1965 kepada Kantor Berita negara kita Antara, Presiden Soekarno mengutuk para wartawan yang sudah membesar besarkan pernyataan mereka, dan menegaskan bahwa dokter dokter yang sudah memeriksa mayat para korban menyatakan, mengenai tidak adanya perusakan mengerikan pada mata dan alat kelamin sepeti sudah diberitakan dalam pers (Lihat Suara Islam, 13 Desember 1965, dan FBIS, 13 Desember 1965). Ditulis Oleh Ben Anderson
jelaslah bagi kita yang melihat dengan mata kepala batapa kejamnya aniaya yang sudah dilakukan oleh petualang petualang biadab dari apa yang dinamakan pergerakan 30
September. Pangkostrad Mayjen Soeharto, 4 Oktober 1965. Matanya dicungkil. Angkatan Bersendjata, 6 Oktober 1965. Deru mesinnya yang seperti harimau haus darah. Angkatan Bersendjata, 7 Oktober 1965. Ada yang dipotong tanda kelaminnya. Berita Yudha, 10 Oktober 1965.
Belakangan ini saya dapat bukti bahwa jenderal jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang
Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana, Visum repertum dibandingkan team dokter dokter yang menerima jenazah jenazah dibandingkan jenderal jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu. Presiden Ir. Sukarno, 13 Desember 1965 Tulisan berikut ini dimuat secara berseri di Jakartabeat.net [bag. 1 dan bag. 2], merupakan penyempurnaan dari tulisan tulisan sebelumnya di blog ini, dilengkapi dengan beberapa kutipan dari mock proposal di kelas POLS 780, juga foto foto dari Lubang Buaya, dan pemberitaan dari beberapa media massa di tahun 1965. jika Anda tak selesai membacanya, istirahat dahulu , lalu kembali lagi. Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong putih dan sarung biru bergaris garis, Lim Joe Thay duduk terdiam. Bibirnya mengatup, sering kedua telapak tangannya ditanggerakan gerakan kan di depan dada dan sekali sekali diletakkan di atas paha. Rambutnya sudah memutih sempurna. Dia tak banyak bicara. jika pun bertemu ra, kata katanya terdengar sayup dan samar. Sekali waktu laki laki yang kini berusia 83 tahun itu bergumam. Mumbling. Saya mencoba menangkap isi ceritanya. Tidak jelas. Terpotong potong, patah patah. jika disambungkan seperti cerita mengenai sepasukan tentara yang bergerak di sebuah tempat, entah di mana. namun cerita itu tak tuntas. Dia menutup sendiri ceritanya,
mengalihkan pandangan mata ke sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan diri dalam
diam. Di saat yang lain, dia kembali menanyakan nama saya. Dan jika sudah begini, saya memegang tangannya, menyebutkan nama saya sambil menatap matanya. sesudah itu senyumnya sedikit mengembang. Dikenal dengan nama dr. Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay yaitu tokoh penting. Sangat penting, bahkan. Dia yaitu satu dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini sesudah Proklamasi 1945. Pagi hari 4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh pergerakan 30 September dinihari 1 Oktober. Ketujuh perwira naas itu yaitu Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputi II Menpangad Mayjen R. Soeprapto, Deputi III Menpangad Mayjen MT. Harjono, Deputi
IV Menpangad Brigjen DI. Panjaitan, Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo
Siswomihardjo, Asisten I Menpangad Mayjen S. Parman, dan Lettu P. Tendean (Ajudan Menko
Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution).
Mayat enam jenderal dan seorang perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di dalam sebuah
sumur tua sekitar 3,5 kilometer di luar Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah
Lim Joey Thay yang saat itu yaitu lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FK UI) merupakan satu dari lima ahli forensik yangberdasarkan perintah
Soeharto memeriksa kondisi ketujuh mayat ini sebelum dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober. Empat dokter lain di dalam tim ini yaitu dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira tinggi yang
diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP
Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran
Kehakiman, juga profesor di FK UI; dan dr. Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu
Kedokteran Kehakiman FK UI. Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup. Lim Joey Thay kini sakit sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak dikemengetahui pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima beusaha selama delapan
jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
Pagi di bulan Juni tahun lalu saya dihubungi Dandhy Dwi Laksono, kawan jurnalis yang saat
itu masih bekerja sebagai kordinator liputan sebuah stasiun televisi. Dr. Arif jatuh. Sekarang dirawat di St. Carolus. Gua mau ke sana. Lu nyusul ya, begitu pesan pendeknya.
Satu jam lalu kami bertemu di kantin RS St. Carolus, Salemba, Jakarta Pusat. sesudah
sarapan dan membeli buah buahan di kantin untuk dr. Lim Joey Thay, kami berjalan menuju
kompleks rawat inap Ignatius II tempat ia dirawat.
Di teras Ignatius II, Lim Joey Thay duduk sendirian menghadap taman kecil di depannya. Istri dan beberapa kerabatnya yang berada di bagian dalam paviliun itu menyambut kami.
informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh sebab serangan
struk. Namun Ny. Arif menjelaskan bahwa dr. Lim Joey Thay terjatuh saat hendak naik ke kursi
roda di rumahnya. Mungkin sebab terlalu lelah. kondisi nya tidak mengkhawatirkan, kata Ny.
Arif. Dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi dr. Lim Joey Thay lebih baik, sambungnya.
Dandhy menemukan kembali visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi dan kisah mengenai
dr. Lim Joey Thay saat menyiapkan sebuah program liputan khusus untuk menyambut
peringatan peristiwa pergerakan 30 September yang oleh sukarno dianggap sebagai resultan
dari konflik internal Angkatan Darat, petualangan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan operasi kaum nekolim di tanah air. Tim liputan yang dipimpin Dandhy melakukan riset
ekstensif mengenai penyiksaan yang dialami ketujuh Pahlawan Revolusi itu. Dalam liputan
khusus itu, wawancara Dandhy dengan dr. Lim Joey Thay juga ditambah . Saya tak melihat liputan khusus yang diputar Oktober 2007 itu. namun dari e mail yang disampaikan Dandhy pada sebuah milis saat dia mengumumkan penayangan program ini saya menangkap penegasan sekali lagi dr. Lim Joey Thay bahwa cerita mengenai alat kelamin Pahlawan Revolusi yang disilet apalagi dipotong dan ditelan juga cerita mengenai mata mereka yang dicungkil yaitu bohong belaka. Sayangnya, menutup diri ini sudah terlanjur dianggap sebagai fakta sejarah dan diajarkan di sekolah sekolah. Tulis Dandhy dalam e mailnya, Hasil wawancara sebetulnya hanya mengonfirmasi apa yang tertera dalam manuscript visum et repertum, bahwa enam Pahlawan Revolusi tewas akibat luka
tembak, dan satu orang (Mayjen M.T. Haryono) akibat luka tusuk. Ada beberapa luka lebam
yang diragukan apakah akibat pemukulan atau akibat jenazah dijatuhkan ke dalam sumur
sedalam 12 meter. sebab masalah komunikasi, dalam wawancara, Prof Arief [Lim Joey Thay] didampingi dr. Djaja Admadja, bekas muridnya yang kini yaitu dokter forensik di RSCM (ahli DNA). dr. Djaja yang lebih banyak mengurai detil, sementara Prof Arief sesekali menimpali, demikian
tulis Dandhy. Visum et repertum jenazah Pahlawan Revolusi ini jelas bukan barang baru. Benedict Anderson dari Cornell University sudah menyalin ulang visum et repertum itu dalam artikelnya, How Did the Generals Die, di jurnal negara kita edisi April 1987. Artikel Ben Anderson ini memicu pemerintahan Soeharto marah besar, dan sejak itu Ben Anderson diharamkan menginjakkan kaki di negara kita . Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Dan pembunuhan dengan cara apapun jelas di
luar nilai nilai kemanusiaan. Namun dari hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan
teman temannya sama sekali tidak menemukan tanda pencungkilan bola mata, atau apalagi, pemotongan alat kelamin seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai Angkatan Darat, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di masa itu yaitu RRI, TVRI dan Kantor Berita Antara yang seperti 2 koran sebelumnya juga dikendalikan militer. Dalam artikelnya ini, sebelum menyalin ulang visum et repertum ketujuh mayat Pahlawan Revolusi untuk komunitas akademik
6
, Ben Anderson lebih dahulu mengutip beberapa pemberitaan media massa mengenai detil pembunuhan para perwira. Bila dibandingkan dengan semua laporan yang dipublikasikan media media massa yang dikendalikan tentara itu, kata Ben Anderson, hasil visum et repertum itu memberikan deskripsi yang paling pas dan objektif mengenai nasib mereka sesudah diculik oleh kelompok Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Kawal Presiden Cakrabiwara. Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Berita Yudha menegaskan sekali lagi soal pencungkilan mata ini dua hari lalu sambil menambahkan bahwa saat ditemukan mayat para perwira Angkatan Darat terbungkus kain hitam. Sehari lalu , 7 Oktober, Angkatan Bersendjata mempublikasikan cerita mengenai detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. sesudah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang lalu membawa bawa nya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti suara harimau yang haus darah. Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh musuh biadab namun dia masih dapat dikenali, begitu tulis Berita Yudha edisi 9 Oktober. Sehari lalu koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. berdasar keterangan saksi pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong. Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil mengenai pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani. Cerita cerita mengenai alat kelamin yang disayat, dipotong dan dimakan sudah membangkitkan amarah di akar rumput. Cerita cerita imajinatif ini, berdasar keterangan saksi Ben Anderson dalam artikelnya yang lain, Indonesia Nationalism Today and in the Future (1999), sengaja disebarkan oleh pihak
militer. Ia bagian dari dalih untuk melakukan pembantaian massal, tulis John Roosa (2006). Dan ia bagai minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar nyambar. Selanjutnya, yang terjadi yaitu pembantaian besar besaran di mana mana terhadap anggota PKI dan atau siapa saja yang
dituduh menjadi anggota PKI dan atau memiliki relasi dengan PKI. Benedict Anderson, menggarisbawahi bagaimana dan dengan maksud apa berita pemotongan alat kelamin itu disebarkan. Soeharto dan kelompoknya sudah menerima hasil otopsi detil yang dilakukan ahli forensik sipil dan militer terhadap tubuh korban, para jenderal yang dibunuh 1 Oktober. Laporan itu
memperjelas bahwa para jenderal ditembak mati dan mayat mereka dibuang ke sebuah sumur
dalam di Lubang Buaya. namun tanggal 6 Oktober, media massa yang dikendalikan Soeharto melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan bahwa mata para jenderal dicongkel dan alat kelamin mereka dipotong, tulis Ben Anderson. Propaganda pihak militer ini, percaya Ben Anderson, dilakukan untuk menciptakan atmosfer histeria di seluruh negara kita yang sudah mendorong pembantaian lebih dari setengah juta orang dengan cara paling mengerikan, tanpa melalui proses pengadilan.
Tidak keliru bila ada yang menyebut bahwa pemerintahan Orde Baru didirikan di atas tumpukan tengkorak dan tulang belulang, demikian Ben Anderson. Tidak ada catatan yang mempercayakan mengenai berapa jumlah rakyat yang tewas dalam pembantaian massal itu. Jumlah yang sejauh ini dianggap sebagai kebenaran berkisar 100 ribu Dalam artikelnya tahun lalu, Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant yang ditulis khusus untuk mengenang Soeharto yang meninggal tiga bulan sebelumnya, Ben Anderson mengutip pengakuan Jenderal Sarwo Edhie mengenai jumlah orang yang tewas dalam pembunuhan massal 1965 1966.
On his deathbed, the by then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in
1965 66, even said he had been responsible for the death of three million people. Begitulah. Sejarah, kata sementara orang, yaitu catatan para pemenang. Dus arti sebaliknya yaitu : orang yang kalah tak memiliki hak untuk ikut menuliskan sejarah. Di bawah rezim otoriter, pemerintah pusat yaitu satu satunya pihak yang memiliki hak untuk menentukan mana yang dapat disebut sebagai fakta sejarah dan mana yang tidak. Dengan memakai stabilitas politik sebagai dalih pembangunan nasional, pemerintahan Orde Baru mempabrikasi versi mereka mengenai konstruksi sejarah nasional, termasuk dalam hal ini, sejarah mengenai peristiwa G30S yang menjadi pondasi rezim berusia tiga dasawarsa itu. Pokoknya, sejarah versi penguasa yaitu satu satunya dogma yang harus diingat dan dipercaya. Bagi pemerintahan otoriter, cerita dan interpretasi yang berbeda dari versi penguasa mengenai
apa yang terjadi di masa lalu yaitu usaha untuk mensabotase kedaulatan negara dan proses
pembangunan nasional. sebab itu, cerita cerita yang tak dikehendaki penguasa ini diharamkan,
dan pihak pihak yang membawa bawa dan menyebarkannya dinyatakan sebagai musuh negara. Sensor pun yaitu aksi yang biasa dilakukan pemerintahan Orde Baru untuk mengendalikan informasi publik dan dunia akademi yang berpotensi menggugat kebenaran versi penguasa. Tidak boleh ada fakta yang bertentangan dengan fakta yang diproduksi penguasa mengenai peristiwa G30S dan tidak boleh ada penjelasan lain yang berbeda dari penjelasan versi pemerintah yang boleh hidup di ruang publik. jika pun ada, selama Soeharto berkuasa, ia hanya hidup dalam ruang bisik bisik. Bagi pemerintahan Soeharto, cerita dan sejarah mengenai peristiwa itu datar dan sederhana: ia diotaki oleh PKI dan klik kiri yang berada di dalam tubuh Angkatan Darat, dan G30S dinyatakan sebagai pergerakan yang berusaha untuk menggantikan Pancasila yang pro Tuhan dengan komunisme yang anti Tuhan. Sejak awal, Soeharto dan kelompoknya di Angkatan Darat mengaitkan kelompok G30S dengan PKI. Untuk mempertajam imajinasi publik di tahun 1984 pemerintah Orde Baru merilis film Pengkhianatan G30S/PKI. Selama beberapa tahun di setiap tanggal 30 September film itu diputar ulang. Tidak cukup sampai situ, sebuah monumen yang diberi nama Pancasila Sakti didirikan di Lubang Buaya. Semua hal ini melengkapi ritual suci hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober.
Di masa Orde Baru, tulis John Roosa dalan Pretext for Mass Murder (2006), anti komunis
seakan menjadi agama resmi negara dengan dengan tempat suci, ritual dan hari perayaan.
Setahun sesudah gelombang pembantaian besar besaran itu dihentikan, di depan DPRS, 16
Agustus 1967, Soeharto yang sudah menjadi pejabat presiden memberikan justifikasi bagi
pembantaian yang disponsori militer dan didukung oleh kelompok kelompok non komunis
terhadap siapa saja yang disebut memiliki hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan partai komunis dan peristiwa 30 September di Jakarta. Komunis yang berdasarkan pada dialektika materialisme sesunggunya yaitu anti Tuhan, sementara Pancasila mengakui Tuhan Yang Maha Kuasa, kata nya. Di sisi lain, dia juga
menyerang politik Nasakom Sukarno yang berdasar keterangan saksi Soeharto mustahil dan bertentangan dengan prinsip prinsip demokrasi.
sukarno donder, marah, mendengar kabar dan berita yang mengatakan bahwa para perwira
Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa di subuh 1 Oktober 1965 mengalami
penyiksaan mahahebat sebelum nyawa mereka dihabisi. Kabar seperti ini, berdasar keterangan saksi si Bung, sengaja disebarluaskan untuk membakar emosi rakyat dan mendorong pertengkaran di kalangan rakyat yang akhirnya menjelma menjadi sembelih sembelihan .
Donder itu terjadi dua kali dalam 24 jam. Pertama saat si Bung berbicara di depan wartawan di
Istana Bogor, tengah malam hari, tanggal 12 Desember 1965. Donder kedua, keesokan hari, saat Bung Karno berbicara di depan gubernur se Indonesia , di Istana Negara.
Kepada para wartawan, cerita sukarno di depan para gubernur, dia bertanya darimana media
massa memperoleh cerita mengenai kronologi pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira
pertama Angkatan Darat yang diculik kelompok Untung. Tak ada seorang wartawan pun yang menjawab. Menteri Penerangan Achmadi, Kepala Dinas Angkatan Darat Brigjen Ibnu Subroto dan Letkol Noor Nasution yang mengawasi Antara pun tak bisa mengatakan darimana mereka memperoleh kabar itu. Saya tidak mengetahui apakah gubernur gubernur tadi tengah malam menyetel radio atau televisi. Maka ada
baiknya saya ceritakan sedikit pengamatan saya tadi tengah malam . Begini, saat sudah
terjadi Lubang Buaya, jenazah jenazah dari jenderal dibawa kesana dan dimasukkan ke
dalam sumur. , itu wartawan wartawan suratkabar menulis, bahwa jenderal jenderal itu disiksa di luar perikemanuiaan. Semua, katanya, maaf, saudari saudari, semuanya dipotong mereka memiliki kemaluan. Malahan belakangan juga ada di dalam surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita bernama Djamilah, mengatakan bahwa motongnya kemaluan itu dengan pisau silet. Bukan satu pisau silet, namun lebih dahulu 100 anggota Gerwani dibagi silet. Dan silet ini dipakai untuk mengiris ngiris kemaluan. Demikian juga dikatakan, bahwa di antara jenderal jenderal itu
matanya dicungkil. Kisah Djamilah yang disebut sukarno ini dimuat oleh koran Api Pantjasila, edisi 6 November 1965. Koran ini berafiliasi dengan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
(IPKI), sebuah partai politik yang didukung tentara. Di tahun 1973, bersama empat partai lain,
PNI, Partai Murba, Partai Parkindo, dan Partai Katholik, partai ini difusikan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam laporan Api Pantjasila, Djamilah digambarkan sebagai seorang wanita muda, 15 tahun , yang tengah hamil tiga bulan. Anggota Gerwani ini dikatakan berasal dari Pacitan, Jawa Timur. Ia mengaku, di Lubang Buaya dinihari itu, dia dan teman temannya dipersenjatai silet oleh anggota kelompok pergerakan 30 September, dan sesudah itu mereka diperintahkan untuk menyayat
dan memotong kemaluan para perwira Angkatan Darat yang jadi korban. Sebelumnya pada edisi 20 Oktober, Api Pantjasila menurunkan laporan yang menyebutkan bahwa kelompok pemuda yang menyerang markas komunis di Harupanggang, di sekitar Garut, Jawa Barat, menemukan alat yang dipakai untuk mencungkil bola mata Ahmad Yani. Sama sekali tidak ada penjelasan bagaimana alat itu, jika memang benar dipakai untuk
mencungkil mata Ahmad Yani, bisa berada di Harupanggang, ratusan kilometer dari Pondok
Gede. Antara edisi 13 Desember 1965 menurunkan berita yang tak kalah sensasionalnya. berdasar keterangan saksi Antara, sebelum membantai korban penculikan anggota Gerwani yang sudah dipersenjatai silet terlebih dahulu menarikan tarian cabul yang dikenal dengan nama Harum Bunga, meliuk liukkan tubuh mereka sampai banyak di antaranya yang hilang kesadaran dan telanjang. berdasar keterangan saksi peneliti dari Universitas Amsterdam, Belanda, Saskia E. Wieringa dalam artikelnya di
tahun 2003, pemerintahan Orde Baru secara sistematis menghancurkan moral Gerwani dan lebih dari itu, wanita negara kita biasanya . Cerita kebinalan anggota Gerwani di Lubang Buaya semakin dianggap sebagai kebenaran sesudah tokoh agama dan media massa yang berafiliasi
dengan kelompok agama ikut angkat bicara.
Sinar Harapan edisi 9 Oktober mengutip pernyataan Dewan Gereja negara kita yang mengatakan tidak habis pikir bagaimana mungkin di sebuah negara Pancasila yang mempercayai Tuhan tindakan amoral seperti itu bisa terjadi. Edisi 12 Oktober koran Duta Masyarakat yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di negara kita dan lawan lawas PKI dalam politik segitiga Nasakom, menurunkan berita yang menggambarkan anggota Gerwani menari sambil telanjang di depan korban yang sudah sekarat dan tewas. Tarian mereka, tulis Duta Masyarakat, mengingatkan pada upacara kaum kanibal masyarakat primitif ratusan tahun lalu.
Angkatan Bersenjata edisi 3 November menurunkan laporan mengenai pengakuan seorang anggota Pemuda Rakyat yang melihat anggota Gerwani berteriak teriak sambil bernyanyi nyanyi dan mempermainkan Jenderal Ahmad Yani yang sudah sekarat tak sadarkan diri. Berita Yudha edisi 4 November kembali menurunkan berita mengenai Gerwani. Kali ini disebutkan
mengenai kelompok Kancing Hitam yang terdiri dari wanita wanita cantik anggota Gerwani yang
merelakan tubuhnya dipakai sebagai pemuas nafsu petinggi petinggi partai politik. Anggota
Kancing Hitam, demikian kata Berita Yudha, berusaha sebisa mungkin merayu petinggi partai
partai itu untuk mendukung PKI.
Tidak sampai di situ. Gambaran mengenai anggota Gerwani yang binal dan bermoral rendah
diabadikan Orde Baru pada relif di bagian bawah monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya.
Bulan Januari lalu saya menyempatkan diri mengunjungi monumen itu dan mengamati relief
ini . Tiga orang anggota Gerwani sedang menari sambil tersingkap belahan dada mereka,
sementara tak jauh dari mereka seorang korban penculikan yang mungkin sudah dibunuh
dimasukkan ke dalam sumur tua Lubang Buaya.
Itulah agaknya sedikit dari banyak berita yang memicu sukarno donder. Dan ia masih
melanjutkan pendonderannya.
Saya pada waktu itu memakai saya memiliki gezond verstand, Saudara saudara. Dan dengan
memakai saya memiliki gezond verstand, itu saya betwiffelen, ragukan kebenaran kabar ini. namun
saya melihat akibat dibandingkan pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat
seperti dibakar. Kebencian menyala nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok
gontokkan, yang lalu malahan menjadi sembelih sembelihan. Saudara saudara mengetahui , bahwa saya sejak mulanya berkata, jangan, jangan, jangan, jangan sembelih sembelihan, jangan gontok gontokkan, jangan panas panasan.
Nah, Saudara saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa memang benar sangkaan
saya itu, bahwa jenderal jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana, Visum repertum dibandingkan team dokter dokter yang menerima jenazah jenazah dibandingkan jenderal jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu. Visum repertum oleh dokter dituliskannya pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia tidak boleh
bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa fakta itu, harus dimasukkan
dalam visum repertum itu harus jadi pegangan, sebab ini satu fakta , bukan khayalan. Lim Joey Thay dan empat anggota tim forensik lainnya yang memeriksa mayat Jenderal Ahmad
Yani sama sekali tak menemukan tanda kanibalisme seperti yang diberitakan media massa yang sudah dikuasai militer dan Soeharto. Begitu juga dengan mayat enam korban lainnya.
Pada tubuh Ahmad Yani, contohnya , tim dokter menemukan delapan luka tembak dari arah depan
dan dua luka tembak dari arah belakang. Juga ditemukan dua luka tembak yang tembus di bagian perut dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung. Matanya masih utuh walau sudah kempes, begitu juga dengan kemaluannya, masih ada pada tempatnya walau sudah membusuk. Mayat Ahmad Yani diidentifikasi oleh ajudannya, Mayor CPM Soedarto, dan dokter pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan. Tanda di tubuh Jenderal Ahmad Yani, berupa parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya dan kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi gigi seri pertama, juga masih dapat dikenali. manuscript visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi ini ditulis dalam format yang sama. Di pojok kanan atas halaman depan ada tulisan Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia . Sementara di pojok kiri atas halaman depan tertulis Salinan dari salinan. Bagian kepala laporan bertuliskan Visum et Repertum diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean). Bagian awal manuscript ini dimulai dengan penjelasan mengenai dasar hukum pembentukan tim dokter untuk mengotopsi mayat ketujuh perwira Angkatan Darat. Disebutkan bahwa tim ini dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober. Selanjutnya Kepala RSP AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik tadi, termasuk Lim Joey Thay.
Berikutnya yaitu bagian yang menjelaskan waktu dan tempat visum. Tertulis pada bagian ini:
maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai
jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh
lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, sudah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang berdasar keterangan saksi surat perintah ini di atas yaitu jenazah dari pada… diikuti bagian yang menjelaskan jatidiri mayat dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan. Setiap manuscript visum et repertum itu juga menjelaskan bahwa mayat yang diperiksa yaitu korban tembakan dan atau penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun 1965 pada peristiwa apa yang dinamakan pergerakan 30 September. Mayat mayat ini diidentifikasi oleh orang yang mengenal mereka, dan disebutkan apa saja tanda tubuh atau tanda lain yang melakat di mayat yang menjadi ciri utama mayat. Selesai dengan bagian pengantar ini, barulah tim dokter membeberkan hasil pemeriksaan luar yang mereka lakukan, dan menutupnya dengan hasil penelitian dan pernyataan bahwa hasil pemeriksaan itu dituliskan dengan mengingat sumpah jabatan.
Bagian paling akhir dari manuscript ini mengenai autentifikasi keaslian manuscript . sebab
manuscript yang kami peroleh ini merupakan salinan dari salinan maka ada dua penanda
autentifikasi dalam bagian manuscript ini.
Pengesahan pertama bertuliskan disalin sesuai aslinya dan ditandatangani oleh Yang menyalin yaitu Kapten CKU Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera. Dan pengesahan kedua bertuliskan disalin sesuai dengan salinan dan ditandatangani oleh panitera dalam perkara ex LKU Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Tidak ditemukan petunjuk waktu kapan manuscript ini disalin dan disalin ulang.
Saat mengunjungi dr. Lim Joey Thay di paviliun RS St. Carolus bulan Juni tahun lalu, saya tak
menangkap guratan emosi di wajahnya. Ia tampak begitu tenang. Ia mengikuti kami yang mengabadikan gambarnya. Sesekali istrinya datang untuk membenarkan sarung dr. Lim Joey
Thay. Atau memberikan minum. Kami juga sempat bertemu dengan dokter yang menangani dr. Lim Joey Thay. Kepada dokter muda ini dr. Lim Joey Thay mencoba menjelaskan kondisi nya.
Sepintas tidak ada yang mengkhawatirkan. Ia hanya butuh istirahat sesudah kelelahan dan
terjatuh. namun Dandhy bercerita kepada saya pengalamannya saat mewawancarai i dr. Lim Joey Thay dua tahun lalu. Beberapa kali dr. Lim Joey Thay menitikkan airmata saat berbicara dengan terpatah patah mengenai menutup diri yang disebarkan mengenai kondisi mayat ketujuh Pahlawan Revolusi. Beberapa hari lalu, Dandhy kembali menulis pesan di inbox Facebook saya. Dia barusan mengunjungi dr. Lim Joey Thay. Kali ini bersama Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Djoko Utomo. Pihak Arsip Nasional kelihatannya ingin memastikan keaslian manuscript visum et repertum itu. Kepala ANRI merasa perlu bertemu langsung dengan dr. Lim Joey Thay, satu dari dua anggota tim otopsi Pahlawan Revolusi yang tersisa. Dr. Djadja, murid dr. Lim Joey Thay ikut menemani gurunya dalam pertemuan itu. berdasar keterangan saksi Dandhy dalam pesan singkatnya, konsisi terakhir dr. Lim Joey Thay benar benar sudah sulit bicara.
Menyingkap Kabut Halim (Oleh: Eduard Lukman)
Selama lebih dari 30 tahun sejak peristiwa G30S/PKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde Baru, sudah menyudutkan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pernyataan pernyataan ini bagai memvonis seakan akan Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim Perdanakusuma
menjadi markas pusat G30S/PKI dan seolah olah AURI terlibat. Tanggal 9 November 1999 diluncurkan buku Menyingkap Kabut Halim 1965
(Sinar Harapan, 1999). Ini merupakan usaha Perhimpunan Purnawirawan AURI untuk menceritakan apa yang terjadi di PAU Halim Perdanakusuma pada hari hari sekitar 1 Oktober 1965. Tiupan angin segar reformasi sudah menggugah sebagian purnawirawan AURI, pelaku
sejarah sekitar 1 Oktober 1965 untuk menguak kabut di pangkalan angkatan udara ini , sehingga memberi informasi baru kepada publik yang selama ini didominasi oleh versi tertentu peristiwa
pahit ini yang cenderung memojokkan angkatan udara kita. Berikut yaitu beberapa kisah yang diungkap Menyingkap Kabut Halim 1965, seperti dituturkan para purnawirawan AURI pelaku sejarah. Rivalitas angkatan Membicarakan peristiwa G30S/PKI, berdasar keterangan saksi buku ini tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi
politik sebelum pecahnya peristiwa ini , yang diwarnai konflik berbagai pihak termasuk
rivalitas dan friksi antar angkatan. Dalam konfrontasi menghadapi Malaysia, Presiden Soekarno memperoleh pelajaran penting
dari keberhasilan Operasi Trikora yang sudah mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu
Pertiwi. Dalam operasi seperti ini terlihat pentingnya keunggulan angkatan laut dan angkatan udara. sukarno lalu menunjuk Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya
Udara Omar Dani menjadi Panglima Komando Mandala Siaga (Kolaga). Penunjukan ini memperoleh reaksi dari angkatan darat. Sebagai Wakil Panglima ditetapkan Brigadir Jenderal
Achmad Wiranatakoesoemah yang juga Kepala Staf Kostrad. Operasi Kolaga lalu tidak berjalan sebagaimana mestinya, sebab ada keengganan dari pimpinan Angkatan Darat untuk memberikan dukungan sepenuhnya, terutama pengiriman
Suasana sekitar Halim Perdanakusuma pada hari
hari sesudah G30S pasukan ke daerah perbatasan. Dalihnya, antara lain belum siapnya pasukan, belum tersedianya sarana akomodasi, atau adanya kendala transportasi. Tidak berjalannya organisasi Kolaga itu, berdasar keterangan saksi Laksdya Udara Omar Dani, disambungkan tiadanya dukungan penuh dari angkatan darat terhadap Letnan Jenderal Ahmad Yani, Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (Koti) yang memberi supervisi pada Kolaga.
lalu Brigjen Wiranatakoesoemah, yang berdasar keterangan saksi Omar Dani juga tidak memperoleh dukungan memadai dari Departemen Angkatan Darat, diganti oleh Mayor Jenderal Soeharto yang merangkap Panglima Kostrad. saat Soeharto menjadi wakil panglima, tidak ada yang
berani menolak permintaannya, sehingga dukungan angkatan darat menjadi lebih baik dari
sebelumnya. namun , Soeharto lalu bertindak lebih jauh. Ia menyatakan penilaiannya bahwa Omar Dani tidak cocok menjabat sebagai Panglima Kolaga. Ketidak ikhlasan menerima Omar Dani sebagai Panglima Kolaga, berdasar keterangan saksi buku ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh pengalaman Men/Pangau ini yang dinilai masih terlalu yunior, namun
sudah harus membawa bawa hi senior angkatan darat yang merasa kaya pengalaman perang
kemerdekaan. Keengganan Angkatan Darat untuk sepenuhnya mendukung operasi konfrontasi Malaysia, sudah tentu menjadi pertanyaan bagi Omar Dani. Padahal Angkatan Laut dalam waktu satu bulan sudah menempatkan satu brigade KKO di sekitar Singapura, juga di pulau Sebatik,
Kalimantan Timur. Angkatan Kepolisian sudah mengirimkan Brimob ke beberapa daerah di
Semenanjung Malaya. AURI dengan PGT nya sudah juga diterjunkan di wilayah Malaysia.
Pendek kata, tulis buku ini, berbagai friksi yang muncul dalam Kolaga, sedikit banyak ikut
mewarnai iklim politik selama prolog G30S, sehingga hal ini dimanfaatkan PKI untuk
semakin mempermengenai kan elit politik di sekitar Presiden Soekarno, termasuk pimpinan
angkatan bersenjata. Namun demikian, buku ini juga mengingatkan bahwa sebagai perwira yang berbentuk muda saat dilantik menjadi Men/Pangau, maka Omar Dani merasa patut memberi komitmen kepada sukarno . Lagi juga Presiden Soekarno juga memberi kesempatan kepada AURI untuk ikut mengambil peran politik, yang selama ini hanya dijalankan angkatan darat. Laksamana
Madya Omar Dani lalu , seperti halnya tokoh lain pada masa itu, berada di jajaran terdepan dalam melaksanakan ajaran ajaran sukarno . kehadiran Presiden Soekarno di PAU Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965, meskipun atas kehendak sendiri dan sesuai dengan standard operating
procedure Resimen Tjakrabirawa, memperkuat dugaan adanya keterlibatan AURI, sebab dikait kaitkan dengan apa yang disebut Lubang Buaya. Padahal Desa Lubang Buaya yang dijadikan
tempat latihan sukarelawan dan menjadi
lokasi pembunuhan para perwira angkatan darat, letaknya di luar wilayah PAU Halim Perdanakusuma. sedang nama Lubang Buaya lainnya yaitu sebuah lapangan yang biasanya dijadikan dropping zone untuk latihan penerjunan. Lapangan ini ada dalam wilayah PAU
Halim Perdanakusuma. Di sekitar dropping zone inilah terjadi tembak menembak antara RPKAD dengan Batalyon 454/Para. Kedua pasukan itu rupanya hadir pula di alamat yang salah, sebab mereka seharusnya menuju Desa Lubang Buaya.
kehadiran sukarno di Halim Perdanakusuma, memang menjadi posisi pangkalan itu seperti menjadi bagian dari skenario pergerakan militer G30S. Pendapat publik pun terbentuk, sebab ada kegiatan lain di Desa Lubang Buaya, yang dikacaukan dengan lapangan Lubang Buaya tempat latihan terjun di Halim. Omar Dani sendiri menjelang pagi 1 Oktober itu memang sudah berada di Markas Komando Operasi, PAU Halim, sebab sebelumnya sudah mendengar (dari Letnan Kolonel Udara Heroe Atmodjo, Asisten Direktur Intelejen) akan adanya pergerakan internal dalam tubuh angkatan darat. Sebagai pimpinan Angkatan Udara, ia memutuskan untuk tidak turut campur dalam persoalan itu, namun sebaliknya meminta AURI untuk mengambil tindakan berjaga jaga, terutama mengamankan semua instalasi angkatan udara. Pagi hari itu juga Omar Dani
lalu bersama Panglima Komando Operasi Komodor Udara Leo Wattimenamenyambut
kedatangan Presiden Soekarno di Halim yang diputuskan atas pertimbangan keamanan di
sekitar Istana Merdeka. Selain itu, kehadiran Ketua CC PKI D.N. Aidit yang disembunyikan Mayor Udara Soejono (komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan dan yang memang lalu terbukti dipengaruhi PKI) di rumah Sersan Soewardi di kompleks perumahan PPP di kawasan PAU Halim, kian memperkuat pembentukan opini publik adanya keterlibatan pangkalan ini dalam G30S. Omar Dani sendiri menyangkal bahwa ia mengetahui kehadiran Aidit di Halim. Saya mengetahui nya kemudian dari persidangan Soejono , katanya. Soejono tidak pernah melaporkan keberadaan Aidit itu pada saya, pada Komodor Udara Susanto maupun pada
Komandan Halim Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo. Omar Dani lalu pada 1 Oktober 1965 tengah tengah malam memberi izin penggunaan pesawat Dakota untuk membawa bawa Aidit ke Yogyakarta, namun ia tidak mengetahui bahwa Aidit hari itu berada dalam lingkungan Halim. Omar Dani mengizinkan penggunaan Dakota untuk Aidit sebab Aidit
saat itu menjabat Menteri Koordinator/Ketua MPRS. Akhirnya, sekitar pukul 23.00 (1 Oktober), sesudah ada berita bahwa Halim akan diserang
pasukan Kostrad, diputuskan sukarno harus keluar dari sana. Omar Dani menawarkan:
Terserah Bapak ingin ke mana, Hercules, Jetstar dari Skadron 17 ditambah crew nya sudah siap semua. Bapak bisa ke Yogya, Madiun, Malang, atau luar negeri, terserah Bapak. sukarno akhirnya berangkat dengan mobil ke Istana Bogor. sesudah Presiden Soekarno keluar dari Halim, Omar Dani dan Leo Wattimena lalu naik ke
pesawat Hercules dan terbang holding selama enam jam di atas Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Tujuannya tidak lain yaitu untuk menghindari konflik terbuka dengan pasukan yang akan
menyerang Halim. Di samping itu, Omar Dani juga paham akan temperamen Leo yang cepat
panas, sehingga akan lebih baik jika Pangkoops diajak menemaninya. Pesawat ini akhirnya mendarat di PAU Iswahyudi, Madiun. Selama holding dengan Hercules, buku ini mengungkap beberapa kejadian yang makin mempersulit posisi Omar Dani pada khususnya dan AURI biasanya .
Rupanya tanpa sepengetahuan Omar Dani, Komodor Udara Leo Wattimena mengirim perintah
kepada Kolonel Sudarman, Komandan Wing Ops 002 PAU Abdurachman Saleh. Isi perintahnya
yaitu untuk mengirimkan dua P 51 Mustang, dua pembom B 25 Mitchel dan sebuah Catalina.
Maksudnya untuk menghadapi RPKAD dan Kostrad yang akan masuk ke Halim. Omar Dani
mengaku tidak mengetahui hal itu. Yang jelas, perintah itu tidak datang dari dia. Hal seperti itu hanya Leo yang bisa mengaturnya. Perintah itu bukan datang dari saya , tuturnya di hari berikutnya . Pesawat pesawat ini lalu diminta Kolonel Ashadi Tjahjadi Komandan PAU Husein
Sastranegara mendarat di Husein. Namun satu B 25 terlanjur masuk Halim dan akhirnya
bannya digembosi RPKAD agar tidak bisa mengudara. Kejadian lainnya yaitu radiogram Men/Pangau kepada Mayjen Soeharto agar tidak masuk ke Halim dalam mengejar pasukan pasukan G30S. sebab pasukan ini sudah dihalau keluar Halim oleh PGT. Leo Wattimena lalu melaksanakan perintah Omar Dani. Belakangan radiogram itu dinilai sangat keras dan bisa dianggap sebagai ultimatum kepada Mayjen Soeharto. saat sudah ditahan, Omar Dani lalu meminta arsip radiogram ini . sesudah saya baca terbukti kata katanya memang kort en bondig atau cekak aos . Bahkan dapat dikatakan agak keras: Jangan masuk Halim, jika masuk Halim akan dihadapi, katanya mengenang kejadian ini . namun Omar Dani menyatakan bahwa dia tetap bertanggung jawab akan radiogram itu. Omar Juga mengakui bahwa Perintah Harian Men/Pangau tertanggal 1 Oktober 1965 lalu menjadi suatu kekeliruan, sebab bisa ditafsirkan bahwa AURI ada di pihak sana . Padahal maksudnya tidak lain yaitu untuk mengamankan jalannya revolusi dari anasir anasir subversi asing. Lagi juga tampaknya Omar Dani tidak menyangka bahwa pergerakan pembersihan dalam angkatan darat itu berpuncak dengan dibunuhnya para jenderal pimpinan Angkatan Darat. saat Hercules yang membawa bawa Omar Dani dan Leo Wattimena baru mengudara, diperoleh hubungan komunikasi dengan Laksamana Muda Udara Sri Moeljono Herlambang, waktu itu menjabat Menteri Negara diperbantukan pada Presiden, yang tengah
dalam perjalanan kembali dari Medan dengan Jetstar. Men/Pangau meminta Herlambang membantu mengamankan Halim. Mendekati Halim, Jetstar itu bahkan ditembaki beberapa kali oleh artileri pertahanan udara Angkatan Darat. Namun pesawat akhirnya lolos dan selamat mendarat di Halim. sesudah memperoleh laporan dari Deputi Operasi Men/Pangau Komodor Udara Dewanto bahwa RPKAD akan menyerang Halim, Laksda Herlambang memerintahkan agar pasukan yang mempertahankan pangkalan menyandang
senjatanya sebagai isyarat bahwa mereka tidak menghendaki konflik. Tanggal 2 Oktober tengah tengah malam , Pangkostrad memerintahkan RPKAD untuk menguasai Halim. Tujuannya antara lain mencari para jenderal yang diculik. Maka diaturlah manuver untuk mengepung pangkalan udara ini . Selain RPKAD juga dilibatkan Batalyon 328/Para dan beberapa kompi kavaleri dari Kostrad. Perkembangan ini memicu Komodor Udara Dewanto memutuskan untuk mengetahui situasi yang ada di sekitar Halim dan di Jakarta. Dengan ditemani ajudan Kapten Udara Willy Kundimang, Dewanto menerbangkan Cessna L 180. Di lapangan parkir timur Senayan mereka
melihat konsentrasi truk dan armoured personnel carrier. saat Dewanto kembali ke Halim, ternyata RPKAD sudah masuk. Mereka menduduki hanggar Skadron 31, Skadron 2, Skadron 17, menara lalu lintas udara dan fasilitas pangkalan lainnya. Di Deputy Operasi Men/Pangau Komodor
Udara Dewanto di depan pesawat P 51 Mustang
luar dugaan pasukan penyerang, ternyata pasukan AURI sama sekali tidak memperlihatkan tanda siap tempur. Suasananya biasa biasa saja. saat itu Halim hanya dijaga satu kompi PGT, satu kompi PPP dan satu peleton Polisi AU, yang sudah diperintahkan untuk tidak memberikan perlawanan. Begitu pesawat diparkir, Komodor Udara Dewanto disambut anggota RPKAD yang siap dengan AK 47. Pistol Kapten Willy Kundimang dilucuti dengan sopan, namun Dewanto diizinkan tetap menyandang pistolnya.
Selama berada di Halim, RPKAD diterima dengan baik oleh AURI. Hubungan antar prajurit kedua angkatan tidak diwarnai dengan ketegangan. Bersama sama mereka menyantap ransum
makan prajurit prajurit AURI. Perkembangan selanjutnya, dalam usaha mendekati Halim, RPKAD akhirnya terlibat tembak menembak dengan Batalyon 454/Para yang sudah pindah dari Lapangan Monas ke daerah sekitar Halim. Pertempuran kedua pasukan itu merisaukan Komodor Dewanto yang mengkhawatirkan keselamatan aset negara yang tidak sedikit di pangkalan udara. Dewanto lalu mengambil inisiatif untuk menengahi konflik senjata ini .
Bersama Kapten Willy Kundimang, Dewanto mencoba mendekati daerah pertempuran dan
akhirnya berhasil kontak dengan Wadanyon 454 Kapten Koentjoro. Koentjoro lalu menemui
Dewanto. Lapor Jenderal. Kapten Koentjoro, Raiders. Kami melaksanakan perintah melindungi
pangkalan udara Halim agar tidak dimasuki pasukan lain, kecuali AURI. Dewanto menjawab: Bagus. Kapten yaitu tentara yang baik, namun AURI tidak mau terjadi pertempuran di Halim, bisa merusak pesawat terbang. Kapten Koentjoro akhirnya berhasil menahan pasukannya. sesudah itu, Komodor Dewanto menugaskan Kapten Udara Kundimang membawa bawa sepucuk surat untuk Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie. Surat ini akhirnya sampai di tangan Sarwo Edhie. sesudah Willy Kundimang dua kali mondar mandir daerah pertempuran antara RPKAD dan Yon 454, akhirnya disetujui bahwa Komodor Dewanto akan menemui Kolonel Sarwo Edhie. namun sebelum itu Dewanto berhasil membujuk Kapten Koentjoro untuk menghentikan aksi pasukannya menjauh dari RPKAD. Mulanya Koentjoro berkeras. Pasukan Raiders tidak mengenal menyerah , katanya. Saya tidak minta Kapten menyerah. Saya minta agar pasukan Kolonel Sarwo Edhie diberi jalan masuk ke Halim , jawab Dewanto. Dewanto lalu mengundang Sarwo Edhie datang ke Markas Komando Operasi PAU Halim. Siap Jenderal. Kami akan datang ke sana, sesudah kami ketahui pasukan kami yang masuk melalui Jatiwaringin sudah masuk Halim , kata Sarwo Ehie. Dewanto akhirnya berangkat lebih dahulu bersama Mayor Goenawan, perwira yang mendampingi Komandan RPKAD. Kolonel
Sarwo Edhie menyusul lalu . Di Halim Sarwo Edhie disambut Laksda Sri Moeljono Herlambang, Komodor Udara Dewanto, Komodor Udara Soesanto, Direktur Operasi AURI, dan Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo, Komandan Wing Ops 001/Halim. sesudah melihat sendiri kondisi Halim, Sarwo Edhie mengatakan, ia akan melaporkan hal ini kepada Mayjen Soeharto. Laksda Herlambang lalu menawarkan Sarwo Edhie ikut dengan helikopter ke Bogor, sebab hari itu Presiden Soekarno akan memberikan briefing kepada para panglima. Kemungkinan Soeharto juga akan ada di sana. Laksda Herlambang juga berhasil mempercayakan Danyon RPKAD Mayor C.I. Santoso agar menarik pasukannya dari Halim. Herlambang bertanya, Apa misi mayor di sini, . Santoso menjawab: Misi kami menguasai pangkalan untuk memastikan agar pesawat tidak dipakai untuk pemboman. Lalu Herlambang melanjutkan, jika demikian misi mayor sudah selesai, sebab di sini tidak ada perintah pemboman. Rupanya santer desas desus bahwa AURI akan membom markas Kostrad. sesudah kembali dari Bogor, Sarwo Edhie lalu melapor Mayjen Soeharto yang juga dalam perjalanan pulang dari Bogor. Soeharto lalu memerintahkan penarikan RPKAD dari Halim. Tanggal 2 Oktober pukul 22.00 pasukan berkekuatan sekitar 600 orang itu keluar dari Halim kembali ke Cijantung. AURI tidak mendukung , berdasar keterangan saksi kesaksian beberapa purnawirawan AURI saksi sejarah. Dalam usaha menyajikan fakta sejarah yang selama ini belum diungkapkan pada publik, tidak bermaksud menyalahkan pihak lain. ini tidak mengingkari bahwa ada anggota AURI yang terlibat dalam G30S, sebab dalam setiap angkatan ada oknum oknum yang memang ambil bagian. Omar Dhani yaitu kunci yang masih hidup saat dia dibebaskan dari penjara. Oleh wartawan dia pernah ditanya mengenai G30S/ PKI. memang sebetulnya Omar Dhani itu dilepaskan dengan tujuan agar mau cerita, silahkan
buka mulut. Namun entah mengapa, Omar Dhani tidak mau membeberkannya, dia memilih bungkam, mungkin Omar Dhani berpikir kalo dia
membeberkannya hanyalah merendahkan dirinya saja atau juga merendahkan harga diri Bung
Karno. Namun ada satu hal yang paling penting yang harus anda ketahui dan juga anda ingat. Omar Dhani yang mati-matian bungkam ini sempat dipancing oleh seorang wartawan, dan dengan sangat mengejutkan Omar Dhani sudah menguak sedikit rahasia dibelakang G30S/ PKI ini, namun lalu Omar Dhani menyadari bahwa dia
keceplosan bicara, lalu dia pergi tidak mau meladeni bicara dengan sang wartawan lagi.
Sang wartawan memancing Omar Dhani, pertama sang wartawan bertanya, bagaimana perasaan dia dilepaskan dari penjara, pak Omar Dhani
menjawab, tentu saya senang bisa bebas. Lalu sang wartawan bertanya lagi, apakah bapak dendam kepada pak Harto yang sudah memenjarakan Bapak, . Omar Dhani tertawa ngakak, katanya apanya yang harus saya
berdendam kepada pak Harto, . Sang wartawan kembali memberi umpan, Bukankah bapak itu dipenjarakan atas perintah pak Harto, . Kembali
bekas Laksamana Omar Dhani menjawab, Siapa yang berkata begitu, . Sang wartawan menjawab, Wah... itu khan sudah menjadi berita luas
yang menganggapnya begitu... . Omar Dhani hanya tertawa, hehehehehe.. kamu tanya lah kepada pak Harto, begitu enggak, . Sang
wartawan menjadi keheranan, lalu sebab tidak sabar, maka dia terjang langsung dengan pertanyaan inti...., sekarang pak Harto sudah
tidak lagi berkuasa, dan banyak yang menuduh bahwa pak Harto terlibat G30S/ PKI, bagaimana keterangan bapak dengan tuduhan itu, mendadak wajah bekas laksamana omar dhani mengencang, sangat serius, lalu dia berkata .... tidak ada orang negara kita yang mampu mendesign G30S/PKI , sesudah berkata begitu, bekas Laksamana Omar Dhani berkata,
...maaf, saya tak bisa lebih jauh lagi ngobrol disini , cepat dia pergi. Jadi kalo saja anda mencari lagi wawancara ini, tentu akan bisa jelas siapa wartawan yang pandai mengumpan pertanyaan yang begitu tajamnya sehingga Omar Dhani kebobolan juga akhirnya. Satu hal yang perlu anda ingat mengenai pernyataan Omar Dhani ini,
bahwa dia tak perlu, bahkan tidak merasa dendam kepada Suharto, dia juga tidak menganggap Suharto genius sebab sama sekali bukan designer G30S PKI, Omar Dhani sangat memandang rendah kemampuan Suharto, dan
yang paling puncak pentingnya dari ucapan Omar Dhani yaitu cuma hanya sekedar satu, bahwa tidak ada satupun orang negara kita yang mampu mendesign G30S PKI . Dan berdasarkan anggapan Omar Dhani, Suharto hanyalah dipaksa
untuk mengambil alih kekuasaan sukarno sehingga jenderal Suharto seakan akan melakukan kudeta terhadap Sukarno. Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata SP 11 Maret ternyata tidak pernah ada. Andaikata memang Suharto merupakan pelaku G30S PKI, apa sih susahnya memicu SP 11 Maret yang palsu yang seakan akan ditanda tangani oleh Sukarno. Memang bukanlah tidak mungkin bahwa Surat palsunya pernah dibuat, namun lalu dimusnahkannya sendiri, sebab Suharto pada hakekatnya juga memiliki nurani dan tidak mau menentang perasaannya sendiri. Jadi sebab kejadiannya sudah lama berlalu, dan memang designernya juga tidak melarang untuk mengungkapkan masalah ini, maka cukup disini saya katakan kepada pembaca, bahwa designernya itu yaitu Marshal Green yang baru saja 6 bulan diangkat sebagai Dubes untuk negara kita menggantikan P.Jones. Karir Marshal Green sangat menyolok, sebab sebelum menjadi Dubes di negara kita , dia yaitu Dubes di Saigon VietNam, dan disana dia juga mendesign hal yang sama yang bahkan lebih
rumit dari G30S pki, namun kalo anda pernah baca kejadian di VietNam, maka polanya sangat mirip, bahkan seperti foto copy nya saja, itulah sebabnya, plot G30S PKI tak perlu banyak buang waktu, kurang dari 3 bulan semua plotnya sudah lengkap dan sukses dilaksanakan dengan resiko 0% namun keberhasilannya 100%. Omar Dhani bungkam kemungkinan besar sebab dia tidak mau memicu Marshal Green seakan akan menjadi hebat dan terkenal namanya. Sementara itu Suharto bungkam sebab tidak mau menyinggung perasaan orang yang disakitinya yang kesemuanya bekas atasannya yang pangkatnya lebih tinggi. Suharto mengetahui , bahwa mereka yang dia penjarakan justru orang
yang lebih mengetahui mengenai urusan ini, dan dia sadar juga bahwa bekas atasannya tentu sulit untuk menyalahkan dirinya. sebab , sebelum
kejadian, sebetulnya Omar Dhani yang ditawarkan untuk berperanserta jadi Suhartonya, bahkan ada beberapa jenderal lain yang ditawarkan, namun mereka semua menolak, akhirnya Suharto lah yang terpilih tanpa Suharto
sendiri mengetahui kalo dia diPlot seperti itu.
Ny. Muslim binti Muskitawati. [mediacare] Omar Dhani pergerakan 30 September merupakan nama resmi pergerakan sesuai dengan apa yang sudah diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan praktis media massa lalu ditulis dengan G 30 S atau G30S. Sedang Gestapu (pergerakan
September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi dengan Gestapo nya
Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan
koran Angkatan Bersenjata, sudah banyak belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas
nama ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa negara kita (dengan
hukum DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara
luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku
Putih dipakai istilah G30S/PKI. mungkin ini merupakan standar ganda yang dengan
sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan
Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa lebih ilmiah
bahwa G30S ya PKI. Sementara itu beberapa pakar asing dalam karya karyanya memakai istilah Gestapu ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah yang dipakai begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek tidak kritis. maka dari istilah yang dipakai saja tulisan itu sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada, sudah menulis buku yang menghebohkan itu sebab secara murahan menuduh sukarno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia memakai istilah Gestapu, saat dia memakai istilah netral pergerakan 30 September‘ selalu diikuti dalam kurung(GESTAPU).
Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (pergerakan 1 Oktober) hanya untuk pergerakan
yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal ini dibandingkan pergerakan Letkol Untung.
namun mungkin saja bahwa yang dimaksud sukarno yaitu pergerakan yang dilakukan Letkol
Untung menculik beberapa jenderal dan lalu membunuhnya (terlepas dari adanya komplotan lain dalam pergerakan yang melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap pergerakan Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi pergerakan Untung dan mencegah kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim, sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh
Presiden Sukarno dan membangkang terhadap perintah perintah Presiden untuk tidak
melakukan pergerakan militer. Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober 1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan, ..Orang yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, jika perlu ditembak mati… namun marilah kita adili juga terhadap pada golongan yang sudah mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi . Mungkin sekali ini maksudnya sesudah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu diadili, maka juga terhadap pelaku yang memicu runcing persoalan sesudah itu, siapa lagi jika bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab kesombongan pimpinan PKI, kelihaian subversi Nekolim, adanya oknum yang tidak
benar . Dalam manuscript yang disebut manuscript Slipi yang berisi hasil pemeriksaan sukarno sebagai saksi ahli dalam perkara soebandrio dan merupakan kesaksian terakhir sukarno (1968), Oktober 1965 bagi saya yaitu malapetaka, sebab pergerakan yang melawan G30S pada 1 Oktober 1965 itu sudah melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak saat itu pergerakan yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya berpendapat G30S lawannya Gestok… . Jika manuscript ini memang benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh
perkembangan kejadian dan analisa sukarno mengenai G30S ini di atas. Brigjen Suparjo
segera menghentikan pergerakan G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok nya. namun sejarah juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya. sebetulnya lah peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji lebih lanjut). pergerakan selanjutnya, yang disebut sukarno Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan pergerakan kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung sukarno , ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah
tragedi sebetulnya dengan pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang
perwira pertama oleh pihak militer sendiri.
PADA dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang lalu menamakan diri sebagai pergerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah pengawalnya. Lolosnya jenderal ini sudah dibayar dengan nyawa putrinya yang lalu tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan lalu dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD). Pada pagi pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebetulnya terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen dan sertamerta menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, saat pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 menyampaikan mengenai pergerakan 30 September di bawah Letkol Untung. Maka Yoga pun memerintahkan, Siapkan
semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak . Jangan jangan Kolonel Yoga,
Kostrad, dan siapa lagi jika bukan Jenderal Suharto sudah mengantongi skenario jalannya
drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini amat mengggoda sebab manuscript manuscript rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai skenario seperti itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak penutup. berdasar keterangan saksi tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin pergerakan 30 September, para jenderal ini menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada 5 Oktober 1965. sebab itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai dengan ajaran resmi yang didengungkan saat itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka guna dihadapkan
kepada Presiden. Dalam fakta nya mereka dibunuh saat diculik atau di Lubang Buaya,
Jakarta. mengenai pembunuhan yang tidak patut ini terjadi beberapa kontroversi. berdasar keterangan saksi pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini sudah muncul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer negara kita , Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro khusus sentral (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. berdasar keterangan saksi pengakuan Syam,
pembunuhan itu atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian tidak menguntungkan pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN Aidit. Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua (double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari pengakuannya yang terus menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC
PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam
ada bayang bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya
Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek
keterangannya di depan pengadilan segera dibungkam sebab keterangan dirinya tidak akan
menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto
sebagaimana yang sudah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit. Keterangan Syam mengenai perintah Aidit mengenai pembunuhan para jenderal tidak dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub menyebutnya perintah itu dari Syam, namun siapa yang memerintahkan dirinya, Pertanyaan ini mau tidak mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu, sukarno tidak, Nasution tidak, Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani tidak ada maka berdasar keterangan saksi tradisi AD Suharto lah yang
menggantikannya. Hal ini terbukti dari fakta bahwa saat Presiden Sukarno menunjuk
Jenderal Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto
menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu satunya pengganti yang akan memanjat
lebih jauh ke atas, padahal saat itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui jelas. Perlu ditambah bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal sudah diketahui beberapa hari sebelumnya dan beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. fakta ini memicu kecewa dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang sudah berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambah lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh ini memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto sebab Suharto melakukan korupsi sebagai Pangdam Diponegoro. Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan jawatimur yang didatangkan ke Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang lalu mendukung pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan ini ditambah jejaring intelijennya, di samping adanya tali temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD saat itu. Mungkin saja jejaring Suharto yang sudah melumpuhkan logistik kedua batalion ini , hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah beberapa indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal. Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit, PKI dan sukarno pasti tidak, lawan lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang lalu menyesalkan, kenapa tidak
dikorek keterangannya di depan pengadilan), di puncaknya ialah Jenderal Suharto yang
memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan
memiliki kesempatan membeberkan peranserta dirinya dalam G30S yang sebetulnya , bukan
sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika
ini berlaku maka skenario yang sudah tersusun akan kacau.
Sejak 4 Oktober 1965, saat dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya,
maka disiapkanlah skenario yang sudah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan
propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Suharto mengenai
penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari hari selanjutnya
dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji mengenai wanita Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan
dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang
diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus menerus
dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita
Yudha, RRI dan TVRI yang juga sudah dikuasai AD, sedang koran koran lain diberangus. saat
beberapa koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat dibandingkan pencitraan Gerwani (pergerakan wanita kiri) yang dimanipulasi sebagai pelacur bejat moral . Kampanye ini benar benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama. sesudah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan tanpa henti, saat emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti agama dan anti Tuhan, kafir yang darahnya halal, maka situasi sudah matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah sesudah kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965, selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang membanggakan sudah membasmi seribu jiwa manusia. Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya seolah waktu
itu dibunuh atau membunuh seperti dalam perang saudara. Ini sama sekali tidak benar, tidak
ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan kepentingan rezim militer
Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi sudah dimatangkan oleh propaganda
hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto ditambah segala peralatannya yang menyinggung nilai nilai moral dan agama mengenai wanita sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama ditambah nilai nilai moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan pembantaian
anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir yang dilakukan pihak militer
dengan memperalat sebagian rakyat yang sudah terbakar emosinya. sesudah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa sisa anggotanya dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno yang kini dalam kondisi terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966 yang ujungnya sudah kita ketahui bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani buka mulut saat itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya negara kita menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun ubun. G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan dalang dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar manuscript rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di negara kita sebagai contoh soal, agar metode yang dipakai CIA dalam kudeta di negara kita yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia dipakai sebagai suatu tipe rancangan atau denah operasi operasi terselubung di masa yang akan datang . Itulah kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal, pengusiran sukarno dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di negara kita disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia Tenggara Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba menamakan pergerakan Letkol Untung ini dengan G30S/PKI, pendeknya nama keduanya saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang kekuasannya rezim ini terus menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak kita semua, kaum muda dan anak anak sekolah dengan kampanye ini. saat studi sejarah di negara kita tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan penyebutan ini . Studi netral hanya menyebut pergerakan 30 September sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman pergerakan di RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini sebab berbeda dengan kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau. Pada 1 Oktober 1965 sudah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama AD yang lalu dimasukkan ke sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di bawah pimpinan Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.
Pada 4 Oktober 1965, saat dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya,
Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas yang
menyatakan bahwa para jenderal sudah dianiaya sangat kejam dan biadab sebelum ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur bilur luka di seluruh tubuh para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di kawasan PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik Kodam Jaya. Di samping
itu disiarkan secara luas foto foto dan film jenazah yang sudah rusak yang begitu mudah memicu kepercayaan mengenai penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang sudah dikuasai AD, yaitu RRI dan TVRI dan koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober. Jadi sudah pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya sudah dipersiapkan skenario
yang sudah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara besar besaran dan serentak. digambarkan ada kolaborasi erat dan serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani dan anggota ormas PKI lainnya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul mundur , mengepruk, meludahi, menghina, menusuk nusuk dengan pisau, menoreh silet ke
mukanya. Dan puncaknya kaum wanita Gerwani itu digambarkan sebagai sudah
kerasukan setan, menari nari telanjang yang disebut tarian harum bunga, sambil menyanyikan lagu Genjer genjer, lalu mecungkil mata korban, menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya.... hal itu bisa kita baca dalam koran koran Orba milik AD yang lalu dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit lagi pada 6 Oktober dengan catatan harus membebek sang penguasa dan buku buku Orba. Lukisan itu pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang diterbitkan sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga dapat
menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak AD, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang bagus dari film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib ditonton oleh rakyat dan anak sekolah khususnya selama bertahun tahun . Dan jangan lupa, fitnah ini diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, namun kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu plakat
yang mudah dibaca khalayak: Di sini berdiri monumen menutup diri perzinahan politik ,
agar kita semua belajar bahwa pernah terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk
menopang kekuasaannya dengan fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap
para jenderal yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian. Fitnah hitam dongeng horor itu semua bertentangan dengan hasil visum et repertum tim dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda penyiksaan biadab, mata dan kemaluan korban dalam kondisi utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan dan tak pernah diumumkan. Kampanye hitam terhadap PKI terus menerus dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa menutup diri yang terus menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai
kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, saat informasi sudah dapat diperloleh secara
bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta informasi . Apa tujuan kampanye hitam fitnah itu, Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan situasi,
membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya menuju ke pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin membasmi sampai ke akar akarnya. Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka sudah berkembang biak dengan berbagai peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi para penguasa setempat. Selama kurun waktu 1965 1966 jika di pekarangan rumah
seseorang ada lubang, contohnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau sumur tua tak terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka dan sertamerta ia dapat ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan sudah mempersiapkan lubang
buaya untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh lawan politik PKI setempat. Dongeng ini masih dihidup hidupkan sampai saat ini. Segala macam dongeng fitnah busuk berupa temuan lubang buaya yang dipersiapkan PKI dan konco konconya untuk mengubur lawan politiknya ini bertaburan di banyak berita koran 1965 1966 dan terekam juga dalam beberapa buku termasuk buku yang ditulis Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan selalu dilengkapi dengan apa yang disebut daftar maut meskipun keduanya tak pernah
dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan. Seorang petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali mempersiapkan enam lubang
untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu siang datang beberapa polisi dan tentara
dengan serombongan pemuda yang menggelandang dirinya saat ia sedang menggali
lubang keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi percakapan seperti di bawah.
Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh musuhmu! Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak, [saya sedang hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak, ] Lubang boyo iku yo lubange boyo sing ana boyone PKI! [lubang buaya itu lubang yang ada buaya milik PKI]. Baik pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang
memeriksanya tidak mengetahui apa sebetulnya lubang buaya itu, mereka tidak mengetahui bahwa Lubang Buaya itu nama sebuah desa di Pondokgede, Jakarta. Dikiranya di situ lubang
yang benar benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot namun fakta pahit, si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh sebab adanya bukti telak terhadap tuduhan tak terbantahkan. Demikian rekaman yang saya sunting dari wawancara HD Haryo Sasongko dalam salah satu bukunya. Nama lengkapnya ialah Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, atau biasa disingkat PAU Halim atau Halim saja. Sejak meletusnya peristiwa G30S, nama Halim selalu disebut. Pada 4 Oktober 1965 Mayjen Suharto, Panglima Kostrad sudah menuduh bahwa Lubang Buaya, tempat ditemukannya jenazah para jenderal yang dibunuh pasukan G30S dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua, merupakan wilayah PAU Halim. Dalam fakta nya kawasan itu masuk wilayah milik Kodam Jaya, kira kira 3,5 km di luar kawasan PAU Halim. Penyesatan yang dilakukan oleh Suharto sejak dini ini berdampak amat luas. Perlu kita ketahui bahwa ada dua nama Lubang Buaya yang berbeda tempatnya. Pertama dalam lingkungan PAU Halim, tempat latihan terjun atau dropping zone, kini menjadi lapangan golf. Sedang yang kedua berada di luar pangkalan sejauh 3,5 km, dipisahkan jalan setapak yang dewasa ini menjadi Jl Pondokgede. Hal ini tercantum dalam
peta tahun 1936 sebagai yang digambar kembali dalam buku Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Kaum awam, bahkan para pakar Barat yang menulis mengenai G30S (seperti Ulf Sundhaussen, John D Legge, Coen Holtzappel ) mencampuradukkan nama tempat Lubang Buaya, tempat pembuangan jenazah para jenderal, dengan PAU Halim. Demikian halnya dengan gedung Penas yang terletak di Jl Baipas (sekarang Jl DI Panjahitan)
sebagai Cenko I G30S, juga disebut Halim, padahal gedung itu berada di luar wilayah PAU
Halim. Dengan kekeliruan seperti itu, mencapuradukkan nama 3 tempat sebagai Halim,
akan berdampak pada gambaran yang salah dan menyesatkan yang dapat menuju pada analisa dan hasil penelitian yang meleset. Jika dua tempat di luar Halim itu disebut sebagai Halim, maka ada gambaran seolah olah PAU Halim Perdanakusuma itu suatu tempat terbuka, hingga dengan mudah pasukan G30S dapat masuk keluar begitu saja, bahkan membawa bawa para jenderal AD untuk dibunuh di sana. Sebagai yang disebutkan oleh Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, saat itu (1965) PAU Halim merupakan pangkalan utama AU dengan Markas Komando Operasi AU yang mengendalikan seluruh penerbangan pesawat AU. Kemampuan pesawat pembomnya
menjangkau jarak Bangkok dan Manila di utara (markas SEATO dan Armada ke 7 AS) dan Perth di Australia yang dapat dicapai dari pangkalan Iswahyudi, Madiun. ada juga Markas Komando Pertahanan Udara Nasional yang bekerja melindungi wilayah udara RI dari kemungkinan penyusupan pesawat musuh, ada sebuah skuadron pesawat VIP untuk Kepresidenan dan pejabat tinggi dan batalion PGT. maka kedatangan Presiden Sukarno ke Halim pada pagi hari 1 Oktober 1965, merupakan bagian dari pengamanan presiden dalam kondisi tidak
menentu, sesuai dengan prosedur baku yang ada. fakta keberadaan Presiden Sukarno di Halim pada 1 Oktober 1965 ini oleh pakar sejarah Brigjen Prof Dr Nugroho Notosusanto disebut sebagai salah satu dari 3 kelompok pemberontak, 2 kelompok yang lain ialah Letkol Untung cs dan DN Aidit cs. Kelompok Presiden Sukarno ini ditambah oleh beberapa pejabat negara. Logika pakar Orba
ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam seri lain.
Halim juga merupakan Markas Wing 001 di bawah Kolonel (Pnb) Wisnu Djajengminardo. maka PAU Halim merupakan tempat tertutup dengan penjagaan cukup ketat. Adapun Mayor Udara Suyono, salah seorang tokoh G30S, menjabat komandan Resimen PPP (Pasukan Pertahanan Pangkalan) yang markasnya ada di Kramatjati, di luar wilayah Halim. Dalam banyak buku mengenai G30S yang ditulis oleh para ahli negara kita maupun asing (bahkan sampai saat ini), digambarkan seolah Mayor Udara Suyono ini penguasa PAU Halim, lalu seolah seluruh wilayah Halim menjadi sarang G30S. Hal ini sama sekali
tidak benar dan meleset dari fakta . Demikianlah penyesatan itu agaknya sudah menjadi bagian dari skenario yang sudah dibuat di antaranya untuk menjatuhkan para petinggi AURI saat itu, di
antaranya Men/Pangau Omar Dani guna menghancurkan para pengikut setia sukarno
untuk digantikan para pembebek Suharto. Di sepanjang kekuasaan rezim militer Suharto,
hal hal itu tak pernah memperoleh koreksi, justru dipelihara terus. Gerwani (pergerakan Wanita negara kita ) didirikan pada 1954, sedang cikal bakalnya sudah berdiri pada 1950. Organisasi ini sangat aktif sampai tragedi 1965, terutama di kalangan rakyat kecil dari perkotaan sampai pedesaan. Para pemimpin Gerwani terdiri dari kaum intelektual cerdik pandai maupun kaum aktivis buruh dan tani. Mereka sudah menghimpun
kaum wanita untuk berjuang bersama kaum laki laki merebut hak hak sosial politiknya. Di bidang pendidikan mereka sudah mendirikan sekolah Taman Kanak kanak, utamanya untuk kalangan tak bermemiliki dengan bayaran kecil maupun gratis di seluruh pelosok negeri. pergerakan ini juga giat mendirikan tempat penitipan anak anak bagi ibu pekerja dengan bayaran ringan maupun gratis. Gerwani merupakan organisasi kaum wanita paling luas menjangkau seluruh pelosok Jawa khususnya. Mereka memberikan pendidikan
kesadaran akan hak hak wanita termasuk hak hak politik dan kesadaran politik. Mereka aktif juga dalam kesenian, kursus masak memasak, pemeliharaan bayi dan anak, kesehatan wanita dan anak anak. Pendeknya organisasi ini sudah melakukan pemberdayaan wanita di seluruh kalangan, utamanya kaum buruh dan tani dan kaum pinggiran, sesuai dengan cita cita Ibu Kartini. Gerwani ini juga yang menjadi primadona sasaran fitnah keji rezim militer Orba dengan segala macam dongeng horornya. pertama propaganda hitam Orba pada 1965 dimulai dengan menyerang Gerwani habis habisan sebagai bagian dari serangan terhadap PKI. Rusaknya nama dan porak porandanya organisasi wanita ini berarti rusak dan lumpuhnya separo organisasi kiri negara kita . sesudah itu dilakukan serangan fisik terhadap PKI dan seluruh organnya sebagai bagian penumpasan lebih lanjut pada 1965/1966. Tidak aneh jika kekejaman terhadap tahanan Politik wanita anggota Gerwani maupun yang didakwa Gerwani dilakukan dengan amat kejamnya, sering lebih mengerikan sebab harkat wanita nya. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat dibandingkan pencitraan Gerwani sebagai pergerakan wanita kiri yang dimanipulasi sebagai pelacur bejat moral . Kampanye ini benar benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.
Kaum wanita tidak hanya mengalami penderitaan sebab diciduk, ditahan,
dipenjarakan, dibuang, disiksa, namun juga ditelanjangi dan diperkosa bergiliran dan
dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan rumahtangganya, pendeknya mereka
mengalami penderitaan luar biasa lahir dan batin. Perkosaan sudah menjadi kecenderungan
umum para tugas keamanan saat berhadapan dengan tahanan Politik wanita . Sering
pelecehan seksual dan perkosaan terhadap tahanan Politik wanita memicu kehamilan dan yang bersangkutan melahirkan di tempat tahanan. Penderitaan itu menjadi lebih lengkap lagi sebab mereka melihat kehancuran keluarga dan nasib anak anaknya, terpisah pisah di tempat yang berbeda beda dengan kondisi
terpuruk yang berbeda beda juga dengan perlakuan buruk negara dan masyarakat yang
diprovokasi. Tak jarang para ibu ini sudah kehilangan jejak anak anaknya selama bertahun
tahun sesudah dibebaskan dari penjara, bahkan sebagian sampai saat ini. Tak jarang juga
sesudah orangtua mereka dibebaskan, anak anak yang berkumpul kembali dengan orangtuanya, terutama dengan ibunya, anak anak memusuhi dirinya sebab merasa menjadi korban perbuatan ibunya, suatu penilaian amat tidak adil. Itulah salah satu buah indoktrinasi menyesatkan rezim Orba selama bertahun tahun yang sangat merusak. Suami seorang wanita kembang desa di Purwodadi yang anggota BTI ditangkap pada November 1965, lalu dibuang ke pulau Buru. Setiap tengah malam sang isteri kembang
desa ini digilir diperkosa oleh pamong desa setempat, tentara, pentolan ormas agama dan
nasionalis. Bahkan suatu kali datang seorang tokoh penjagal kaum komunis yang saat
tengah malam datang menidurinya dengan pakaian berlumuran darah dan kelewang yang
besimbah darah juga . Ini bukan dongeng horor model Lubang Buaya, namun sejarah horor,
sejarah hitam legam kaum militer Orba sebagai panutannya yang sudah menciptakan
kondisi dan konsep kebuasan ini .
Sungguh nama baik Gerwani yang sudah mengabdikan dirinya untuk Ibu Pertiwi dan rakyat
kecil umumnya itu, sebagai kelanjutan cita cita Ibu Kartini sudah dinodai dan dirusak habis
habisan dengan fitnah jahat tiada tara. Dengan usaha bersama semua pihak yang peduli,
terlebih lagi kaum sejarawan dan aktivis wanita , hari depan negeri ini akan
memberikan tempat yang layak bagi Gerwani dalam sejarah bangsa.
Tokoh ini tipikal seorang militer lapangan, sama sekali bukan tipe intelektual dengan otak
cemerlang yang mampu melakukan langkah manipulasi canggih penuh perhitungan. Ia
anak bodoh namun berani dan setia pada Sukarno. Hal ini amat berbeda dan berbalikan
dengan Jenderal Suharto ditambah beberapa pembantunya seperti Ali Murtopo [dan Yoga
Sugomo] Begitu analisa Ben Anderson.. meski begitu ia salah satu lulusan terbaik
Akademi Militer. Letkol Untung salah satu pelaku G30S yang sebelumnya pernah menjadi anak buah Suharto di Jawa Tengah dalam Divisi Diponegoro. Ia pun pernah menjadi anggota Kelompok Pathuk di Yogya meskipun bukan dalam kelas yang sama dengan Suharto
atau Syam. Mereka berpisah pada tahun 1950, lalu bertemu kembali pada tahun 1962 saat bersama bekerja merebut Irian Barat, ia berada di garis depan. Mendengar kisah keberaniannya selama bekerja di medan Irian, ia dianugerahi Bintang Penghargaan oleh Presiden, lalu ditarik menjadi Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, suatu kedudukan cukup strategis. Sebelumnya ia pernah menjabat Komandan Yon 454 Diponegoro, pasukan yang memiliki kualitas yang lalu terlibat G30S.
Letkol Untung menikah pada umur yang agak terlambat pada akhir 1964. Acara
perkawinannya dilaksanakan di tempat cukup jauh di daerah udik di desa terpencil
Kebumen. meski begitu Mayjen Suharto memerlukan hadir pula bersama isterinya ke
tempat yang saat itu tidak begitu mudah dicapai. Ia merupakan satu satunya perwira
tinggi yang datang, ini merupakan kehormatan besar bagi Untung dan menunjukkan
hubungan keduanya cukup akrab. Bahkan yang mempertemukan Untung dengan calon
isterinya ialah Ibu Tien Suharto. Soal kehadiran Suharto ini tidak pernah diungkapkan
olehnya sendiri yang memiliki ingatan tajam itu, namun toh terekam dalam sebuah berita
koran Pikiran Rakyat.
Letkol Untung pernah dikirim belajar ke AS, tentunya CIA memiliki cukup catatan mengenai
dirinya sehingga ia dapat direkomendasikan. Seperti tercantum dalam catatan laporan CIA
tertanggal 1 Oktober 1965 dalam CIA 2001:300, memorandum untuk Presiden Johnson
bahwa Untung memiliki military police background and was trained in the United States .
Sementara orang menyebut catatan CIA ini tidak akurat sebab Untung tidak pernah belajar ke AS. Banyak pihak menyatakan ia seorang muslim yang taat, sangat muak dengan korupsi dan tingkah laku kehidupan beberapa perwira tinggi.
berdasar keterangan saksi David Johnson, Letkol Untung bukanlah tergolong pada apa yang disebut perwira progresif , ia pun bukan tergolong perwira yang tidak puas. Ia lebih tergolong sebagai
seorang militer profesional yang berhasil. Ia pun menunjukkan tanda memiliki pandangan anti komunis. Selama beberapa bulan berkumpul di Penjara Cimahi, Bandung, soebandrio mencatat bahwa Untung bukan orang yang menyukai masalah politik, ia tipe tentara yang loyal kepada atasan. Ia risau dengan adanya isu Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Presiden Sukarno. Kepribadiannya polos dan jujur, hal ini antara lain dibuktikan dengan fakta , sampai detik terakhir sebelum eksekusinya, ia masih
percaya vonis mati terhadap dirinya tidak mungkin dilaksanakan. Percayalah Pak Ban,
vonis buat saya itu hanya sandiwara , kata nya kepada soebandrio . Ia percaya Suharto
mendukung tindakannya terhadap para jenderal dan akan memberikan bantuan seperti
dijanjikannya. Dalam persidangan Letkol Untung terungkap ia baru mengenal Syam dan Bono saat
dipertemukan oleh Mayor Udara Suyono kepada beberapa perwira dalam pertemuan
pertengahan Agustus 1965 sebelum pergerakan . Untung yang tidak pernah sepenuhnya
percaya kepada Syam, mencoba melakukan penyelidikan mengenai hubungan rahasianya
dengan ketua PKI. Hal ini tidak berlanjut, dan menganggap lebih bijak untuk tidak
menantang Syam berhubung ia terdesak waktu bagi penyelesaian agendanya sendiri. Bagi
Letkol Untung agenda mereka yaitu mengambil langkah langkah untuk menggagalkan
kudeta Dewan Jenderal dan melindungi Presiden Sukarno. Kudeta itu dipercaya nya akan
terjadi pada 5 Oktober 1965.
Berdasarkan kesaksian Mayor AU Suyono maka dapat disimpulkan adanya berbagai
pertikaian di antara tokoh pergerakan dengan ketegangan yang kian meningkat dan
bermacam perbedaan pendapat selama berjalannya waktu yang mendekat. Letkol Untung
menjadi cemas dan mungkin mempertimbangan untuk menghentikan semuanya. Rencana
pergerakan semula yaitu tanggal 25 September, namun sebab pasukan dari Jawa Timur
belum tiba maka pergerakan ditunda sampai 30 September. Dapat disimpulkan Untung bukanlah seorang komunis bawah tanah. Jika ia seorang
komunis seperti itu, ia mungkin sekali akan memperoleh akses lebih mudah untuk
menghubungi langsung ketua PKI DN Aidit untuk memastikan kedudukan Syam yang
sebetulnya . Andaikata ia seorang komunis demikian maka dalam kedudukan dan pangkat
yang disandangnya ia bakal memiliki serangkaian pendidikan dan pengalaman politik yang
cukup memadai yang akan dengan mudah membuang ilusi pribadi terhadap Jenderal
Suharto, bahwa Suharto sudah berkhianat terhadapnya bagi keuntungan diri dan
kelompoknya. Dengan begitu ia akan menyadari kesalahan analisa nya terhadap Suharto.
Ia seorang prajurit yang setia kepada sukarno . manuscript yang terkenal dengan Cornell
Paper menyebutkan sebelum peristiwa sudah bertahun tahun , Sukarno, para jenderal [AD],
pimpinan komunis dan golongan lain sudah terjerat dalam manuver politik yang rumit.
Semua itu secara keseluruhan memicu Letkol Untung melakukan aksinya. Letkol Untung dieksekusi mati pada tahun 1969 di Cimahi. Demikianlah nasib seorang prajurit yang naif politik itu tetap memendam ilusi pribadi besar sampai saat terakhir, yang pundaknya sudah menjadi panjatan sang manijuga tor. Adatah itu memang realitas kehidupan di sepanjang sejarah. Pemeo menyatakan itulah politik dalam fakta
telanjangnya, menghalalkan segala cara. Pemeran G30S ini juga pernah menjadi anak buah Suharto di Divisi Diponegoro. Ia ikut ambil bagian sebagai salah satu komandan kompi yang berani dalam SU 1 Maret 1949 di Yogya yang dipimpin Letkol Suharto. Akhirnya Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya, suatu kedudukan strategis. Sebagai Komandan Kostrad pun Suharto mendekati Kolonel Latief antara lain dengan mendatangi rumahnya saat Latief
mengkhitankan anaknya. berdasar keterangan saksi soebandrio hal ini merupakan suatu langkah sedia payung sebelum hujan , suatu saat ia akan dapat memanfaatkannya. Di samping itu Latief mengantongi rahasia skandal Suharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 seperti yang
tercantum dalam pembelaannya di depan Mahmilub pada 27 Juni 1978. Letkol Suharto tidak banyak mengambil bagian dalam SU itu, ia hanya enak enak berada di garis belakang yang aman sambil, makan soto di warung sebagai yang diceritakan Latief saat pertempuran seru terjadi dan cukup banyak korban jatuh. Adegan Suharto
makan soto babat‘ itulah yang disebut soebandrio sebagai skandal Suharto . Dalam pasukan Kapten Latief yang masuk ke Yogya dari Godean itu bergabung juga laskar Pesindo yang sudah bersiap di dalam kota di bawah pimpinan Supeno dan Pramuji, berdasar keterangan saksi AM Hanafi merupakan kekuatan militan serangan umum ini . Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris selalu mengikuti jejak Suharto. Pada gilirannya memicu hubungan Latief dan Suharto bukan lagi sekedar bawahan dan atasan, melainkan sudah sebagai dua sahabat. Suharto mengetahui Latief tak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sudah sejak sesudah agresi kedua, Latief merasa
selalu memperoleh kepercayaan dari Suharto sebagai komandannya yaitu memimpin
pasukan pada saat yang sulit. saat Trikora pun ia masih dicari bekas komandannya itu, namun Latief sedang mengikuti Seskoad. Pada bulan Juni 1965 Mayjen Suharto meminta agar Latief dapat memimpin suatu pasukan di Kalimantan Timur, namun Umar Wirahadikusuma menolak melepasnya sebab tenaganya diperlukan untuk misi keamanan di Kodam V Jaya. Di luar dinas Latief memiliki hubungan kekeluargsaan yang cukup akrab dengan Suharto dan sering berkunjung ke rumahnya. saat Sigit, anak Suharto dikhitan, isteri Latief datang. Sebaliknya saat Latief mengkhitankan anaknya maka Suharto dan Ibu Tien juga datang ke rumahnya. Bahkan pada 28 September 1965 saat Latief berkunjung ke
rumah Suharto di Jl HA Salim, ia membicarakan soal tukar menukar rumah dinas. Latief
menawarkan rumah dinas baginya di Jl Jambu bekas kedutaan Inggris yang lebih besar
untuk ditukar dengan rumah Suharto yang lebih kecil yang sedang ditempatinya. berdasar keterangan saksi soebandrio , Suharto berhasil membentuk trio bersama kedua orang ini di
atas, keduanya memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding trio yang pernah
dibentuk sebelumnya bersama Ali Murtopo dan Yoga Sugomo yang sudah menghasilkan
dirinya ditunjuk sebagai Panglima Diponegoro, lalu naik pangkat menjadi Kolonel dengan
menggeser calon kuat Kolonel Bambang Supeno yang pengangkatannya tinggal menanti
tandatangan saja. Dalam pembelaannya Letkol Latief tetap menuduh Jenderal Suharto sebagai ikut terlibat dalam G30S. Ia tidak memiliki ilusi apa pun terhadap Jenderal Suharto yang sedang
berkuasa, orang yang setiap saat dapat mengirimkan dirinya ke dunia lain atau
membebaskannya, menilik dalam fakta nya selama rezim militer Orba, Jenderal Suharto berada di atas hukum. Dapat disimpulkan ia memiliki suatu kesadaran politik cukup tinggi. Selama penahanannya Latief mengalami siksaan luar biasa seperti dipaparkan dalam pembelaannya. heboh ia masih bertahan hidup meskipun badannya cukup rusak, semangat hidupnya luar biasa. sesudah tekanan berbagai pihak di dalam dan luar negeri, ia baru dibebaskan dari penjara pada permulaan 1999. Dengan kondisi badan yang rapuh, ia terkena stroke, namun semangat hidupnya tidak pernah
pudar. Sejak itu ia harus dibantu seorang penerjemah untuk berkomunikasi dengan orang
lain. meski begitu ia tetap aktif mengikuti berbagai pertemuan, seminar, menulis manuscript . Dalam suatu kesempatan bertemu dengan penulis pada permulaan 2001, ia sedang menyelesaikan bukunya mengenai SU 1 Maret 1949. Berbagai pertanyaan muncul terhadap fakta bahwa seorang Latief tidak dihukum mati oleh pengadilan yang sekedar mementingkan proses formal dan mengabaikan pembuktian material. Bahkan untuk tokoh yang masih menjabat sebagai menteri pada tahun 1965 seperti Aidit dan Nyoto, dengan ringan dibereskan‘ oleh penguasa militer Orba. Rupanya pengadilan terhadap mereka tidak menguntungkan sang penguasa. Sebagian
orang mencurigai Latief sebagai melakukan deal tertentu dengan Suharto, sampai saat ini
tanpa bukti, atau mungkin berdasar keterangan saksi logika intelijen. Seseorang di suatu tempat dalam rezim tampaknya menghendaki ia tetap hidup, begitu tulis Carmel Budiardjo. Seseorang
itu tidak bisa lain kecuali Jenderal Suharto. Untuk kepentingan apa ia menghendaki Latief
hidup, bagian dari suatu deal, Macam apa kesepakatan itu, terlalu mahal untuk Latief dan
terlalu riskan untuk Suharto, ini bila ditinjau dari kacamata sesudah G30S. Tentu saja Suharto pun selama berkuasa dengan amat mudahnya setiap saat dapat melenyapkan Latief bagai menepuk nyamuk. fakta bahwa Latief tidak dihukum mati, memicu suatu spekulasi bahwa ia memiliki keterangan yang lebih sempurna yang disimpan di luar negara kita dengan pesan agar segera diumumkan jika ia dibunuh. Dalam majalah Far Eastern Economic Review 2 Agustus 1990 diberitakan memoar Latief disimpan di sebuah bank. Keterangan Latief memang memenuhi syarat untuk menyeret Jenderal Suharto sebagai terlibat G30S golongan A, sesuai Pasal 4 Keputusan Kopkamtib 18 Oktober 1965, semua orang yang terlibat secara langsung, mereka yang mengetahui rencana gerakan gerakan dan lalai melaporkan kepada yang berwajib. Ada satu hal lagi yang amat menonjol , Kolonel Latief ditangkap sepuluh hari sesudah kegagalan pergerakan , namun ia diadili 13 tahun lalu pada 1978. Sedang vonisnya baru
memperoleh kepastian hukum pada tahun 1982! Latief merupakan saksi kunci yang dapat
menggoyahkan kedudukan Jenderal Suharto. Pada masa permulaan bahkan pada tahun
tahun permulaan pengikut sukarno masih cukup kuat, maka diperlukan waktu bagi Suharto
untuk mengkonsolidasikan diri dan kekuasaannya. Dengan kata lain Suharto memerlukan
waktu, pendeknya faktor waktu amat penting dalam hal ini. Itulah sebabnya sesudah usaha
menyiksa dan mengisolasi Latief habis habisan selama 10 tahun tidak juga membunuhnya,
dengan berjalannya waktu ia tidak terlalu berbahaya lagi. Suharto sudah cukup kuat dan
mampu mengangkangi hukum dengan mudah. Demikian ulasan Joesoef Isak yang sangat
menarik, faktor waktulah yang diperlukan oleh rezim Suharto untuk menaklukkan
kesaksian dan bahan apa pun yang dimiliki Latief. Sudah jauh jauh hari fakta ini sudah
dimanipulasi kan dengan keterangan juru bicara militer yang menyatakan Latief dengan
sengaja tidak mematuhi perintah dokter [berhubung luka luka yang dideritanya], sehingga
ia tidak cukup sehat untuk muncul di pengadilan, sebagai disiarkan Kompas 26 Maret 1966.
peranserta apa sebetulnya yang sudah dimainkan oleh Kolonel Latief, semata mata sebagai seorang militer yang setia kepada Presiden Sukarno, seseorang yang terseret masuk ke dalam perang kap Syam, atau orang Suharto yang sepahnya dibuang sesudah habis manis,
atau yang lain, jika dia sepah yang dibuang seharusnya ia dilenyapkan sesudah dikorek
keterangan yang diperlukan kepentingan rezim, agar selanjutnya bungkam. Seseorang
yang menamakan dirinya sebagai mantan intel tiga negara sekaligus RI CIA KGB
mesinyalir Latief sebagai agen ganda, sebab itu ia selamat terus (Detak 5 Oktober
1998:9). Masih dapatkah kita mengharapkan sesuatu yang lain di samping pledoinya di
pengadilan, demi kepentingan sejarah bangsa, Sayang sampai meninggalnya tokoh ini
pada 2005, tidak ada informasi baru yang disampaikannya.
Dalam berbagai diskusi informal mengenai G30S sebagian orang mengutuk Latief sebagai
pengkhianat sebab sudah melaporkan pergerakan yang diikutinya sendiri kepada Jenderal Suharto. Hal ini perlu dipertanyakan apakah menemui Suharto sebagai bekas
komandannya dan orang yang cukup dekat dengan dirinya itu inisiatifnya sendiri, jika
bukan siapa yang memerintahkannya, Sebagian pihak menyatakan dia itu sebetulnya
anggota trio sel bawahtanah PKI bersama Letkol Untung dan.... Jenderal Suharto di bawah
binaan Syam [atau Aidit, ] sebagai bagian dari BC PKI. Dalam hubungan ini tak aneh jika
ada pihak yang menyebut Jenderal Suharto sebagai gembong PKI yang berkhianat. Ada
cerita seorang tokoh yang tidak mau disebut namanya, pada permulaan Oktober 1965
menemui Aidit di Jawa Tengah saat baru tiba dari Jakarta, DN Aidit menyatakan, Wah celaka, kita ditipu oleh Suharto!