Tampilkan postingan dengan label rakyat 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 6. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 6
Desember 14, 2022
rakyat 6
i gelang-gelang ”.
Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana
diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus memecahkan sendiri
bagaimana sebaiknya menghadapi kanjeng sinuhun . Di bawah
tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditambah
dengan kekerasan hati kanjeng sinuhun sendiri sejak kecil bila
menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan
niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang
berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan
sebagai Ratu Aisah terhadap kanjeng sinuhun . Ia akan berusaha
membujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke
jayamahanaya .
wah
Waktu tandunya memasuki perbatasan kota pajang bintoro , satu
regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu
rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan
sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda,
mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selama ini,
menyambut kedatangannya. Dan barisan-barisan itu
lalu bergerak mengiringkannya.
Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah
mengerti, semua sudah diatur menurut kehendak pasukan
kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam
balairung penghadapan. kanjeng sinuhun Trenggono menyambutnya
dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di
atas singgasana permaisuri.
Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia
membisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke
pajang bintoro hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia
dari singgasana permaisuri.
Penghadapan bubar dengan kekecewaan.
Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan
wanita tua itu langsung menuju ke taman dalam. Juru
taman sudah menyingkir dan disanalah ia hadapi kanjeng sinuhun
sebagai seorang anak.
“Trenggono, anakku.” katanya lembut. “Aku tahu sejak
kecil kau kepala batu. kepala batu memang tidak apa-apa
kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi.
Kau seorang kanjeng sinuhun . Majelis sudah tak kau dengarkan lagi.
Ibumu sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas
kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi
kehendakmu. namun yang kudengar belakangan ini kau
tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri
sudah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan
secara menyolok, berlebih-lebihan”.
“Tidak benar, bunda. saya memang kepala batu. namun
tidak benar pasukan kuda bisa menekan saya , apalagi
menelan. Takkan saya lupakan ajaran kecenteng an,
sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang
pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.”
“Jadi kau akan segera membuat perang?”
Trenggono tidak menjawab.
“Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera
menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa
pesanku: jayamahanaya .”
Ratu Aisah pulang kembali ke suryabuaya tanpa
penghormatan pasukan kuda. Ia membawa janji kanjeng sinuhun ,
bahwa ia akan mengirimkan armada ke jayamahanaya dalam
jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh tumenggung dijoyo .
Ia pun membawa oleh-oleh: seorang cucu wanita lesbian ,
anak Trenggono’.
namun yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan:
kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang jayamahanaya terlalu
kecil. Jadi kanjeng sinuhun akan tetap menyerang saudara-
saudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa.
Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda
tercinta tumenggung dijoyo dibandingkan sekutu-sekutu perang. Trenggono
nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak
menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk
menyerang jayamahanaya . Ia akan tetap mencoba dan berusaha,
Bila takkan diperoleh nya sekutu Jawa, akan dicobanya di
luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau
semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu wanita lesbian . Ia
akan mendidiknya jadi pelaksana cita-cita tumenggung dijoyo .
Demikian ia memasuki suryabuaya membawa kekecewaan di
satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di suryabuaya yang
ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada sudah
berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Namun ia tetap
tidak putus asa, justru makin meluap.
Dengan bantuan yang pang pang terjadilah persekutuan
rahasia dengan mpu logender , seorang pengikut adiputro tumenggung dijoyo
yang setia.
mpu logender adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia
memiliki pengaruh besar di kalangan praja dan golongan
agama. Beberapa tahun sebelum penyerbuan tumenggung dijoyo ke
suryabuaya ia sudah menunaikan rukun arca ke lima dan sudah
menjelajah ke negeri palawa . Ia juga penasihat tumenggung dijoyo tentang
persoalan manca praja.
yang pang pang seorang pemuka serikat rahasia Nan
Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak
armada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang
dengan raja-raja di Jawa.
Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati
dan didengarkan di seluruh negeri pajang bintoro dan suryabuaya .
Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan
usaha pembebasan jayamahanaya pada satu pihak dan pada pihak
lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk
menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya
untuk menguasai Jawa.
Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah
menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan kanjuruhan dan
akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya
rencana Trenggono yang hendak memerangi saudara-
saudaranya sendiri.
Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak
kapal yang akan berangkat meninggalkan jenggala suryabuaya
dan campa .
Dengan pengaruh yang ada padanya mpu logender
meniupkan semangat baru pada pasukan laut pajang bintoro yang
berkedudukan di suryabuaya dan lebih suka dinamakan pasukan laut
suryabuaya . Ia sudah berhasil membuat pasukan laut itu
mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan
mereka, mereka akan bikin suryabuaya memisahkan diri dari
pajang bintoro , dan membuat pajang bintoro jadi segumpal tanah
lempung tandus tidak berarti.
Pasukan laut suryabuaya sudah merupakan satu kebulatan.
Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka,
mereka pun akan mulai memisahkan diri dari pajang bintoro .
Beberapa kali yang pang pang memperingatkan mpu logender
agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang
yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. sebab itu
pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono
mulai menyerang tetangga-tetangganya, namun pada waktu
ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah
kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke
jayamahanaya takkan menemui rintangan..
Sesudah persekutuan rahasia memperoleh kata sepakat
dalam semua pokok, mpu logender meninggalkan suryabuaya dan
menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sumatra dan
Sulawesi Selatan.
Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada
umumnya para bupati merdeka dan raja-raja, yang
dihubunginya, menolak. Mereka tak menyukai kepongahan
Trenggono. Dan mereka menilai kanjeng sinuhun baru itu kepala
batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan
yang terpokok hanya menghancurkan segala yang sudah
dibangun oleh abangnya. Dan mpu logender mewakili siapa?
Bukankah suryabuaya pangkalan pasukan laut pajang bintoro ?
Walau demikian mpu logender , yang selalu memakai
nama Trenggono dan Ratu Aisah, sudah menerima
kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada
waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan
menunggu armada suryabuaya tiba di Aceh. Sekutu lain pajang bintoro ,
pekajan , dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut
dan.
Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh
Bugis sudah memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji
Usup akan menghubungi sekutu lama di Jawa: kediri .
Persekutuan juga sudah sepakat untuk menampilkan
raden panji gelang-gelang sebagai pimpinan pasukan-pasukan
gabungan dari Jawa.
Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui
tetangganya dan kewalahan.
wah
Trenggono lalu mengetahui juga sikap pasukan
laut di suryabuaya . Takut pada perpecahan memicu ia
menjadi ragu-ragu. namun pasukan kuda terus menerus
mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai
tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang dua-
duanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut
dan tanpa armada, nyi kanjeng blora sudah lama akan membalaskan
dendamnya terhadap pajang bintoro . Ia tak boleh melihat suryabuaya
dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu
kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat
perangnya tidak disalurkan.
Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan
perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetangga-
tetangganya, yang sebelumnya diawali dengan
pemberitahuan, pasukan-pasukan pajang bintoro datang bukanlah
untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari
kerusuhan para penjahat. namun pertempuran
sebetulnya terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi
untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukan-
pasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan
lama.
Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk
surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia membantu
kanjeng sinuhun , baik dalam penyiaran agama arca maupun dalam
usaha perang.
Surat yang tertulis dalam palawa berbahasa jawadwipa itu
berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di blora
melawan kanjuruhan . Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai
cucu Bhre Paramesywara, pendiri jayamahanaya . Dan ia belum
lagi tahu, yang disuratinya. tumenggung dijoyo , sudah wafat.
Dengan sebuah kapal palawa yang kembali melalui sebelah
barat Sumatra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah
datang.
Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi,
berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan
berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang matanya
dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan
ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban
putih tanpa perhiasan.
Sekali pandang Trenggono sudah berkenan hatinya pada
pemimpin perang blora itu. Dalam pembicaraan khusus,
Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitan-
kesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya
sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan
ibunda Ratu Aisah.
Trenggono memang bukan Fathillah. Trenggono
menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa.
Fathillah bermimpi kan penyebaran arca ke seluruh Jawa
dan pembalasan dendam terhadap kanjuruhan . Ia masih tak
dapat melupakan kekalahannya di blora. Dan di pajang bintoro ia
melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua
impiannya.
“Nampaknya tidak begitu sulit, Baginda kanjeng sinuhun ,” ia
mulai menjelaskan pikirannya, “pertentangan dengan
pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. pajang bintoro akan tetap
utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun
akan merestui. patih berpengalaman perang di darat, dan
patih pun pelaut. Apabila Baginda kanjeng sinuhun ada kepercayaan
pada patih biarlah semua itu patih urus”.
Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada
suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan
diiringkan oleh beberapa belas centeng kuda Fathillah
meninggalkan pajang bintoro masuk ke suryabuaya .
Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi
kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah,
dan menyampaikan dalam jawadwipa , bahwa pajang bintoro sudah
siap mengirimkan seluruh armada ke jayamahanaya .
“Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima?”
“Setiap waktu, baginda tuanku raja Ratu”.
Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan
perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat
menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap
tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat
dikendalikan.
Keesokan harinya ia mengunjungi mpu logender . Percakapan
dilakukan, dalam palawa sehingga para saksi tak ada yang
mengerti. Hanya semua orang melihat, bahwa kedua orang
itu nampaknya sama-sama puas.
Ketegangan antara pajang bintoro dan suryabuaya nampaknya akan
reda.
Tak lebih dari sebulan sesudah kunjungan Fathillah,
pajang bintoro merayakan pesta besar. Oleh kanjeng sinuhun , Fathillah
dikawinkan dengan adiknya wanita lesbian .
Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa
hari ia di samar lalu pulang lagi ke suryabuaya . pajang bintoro
dirasainya terlalu panas.
Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah
janji janji Fathillah yang mewakili kanjeng sinuhun , keputusan-
keputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus
menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak
percaya pada pajang bintoro dengan Panglima barunya, yang
dengan begitu mudah bisa memperoleh kan kepercayaan dari
kanjeng sinuhun .
Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing
pendatang baru itu pandai melayani dan membenarkan
semua keinginan pribadi kanjeng sinuhun dan pasti untuk dapat
melaksanakan keinginan-keinginan sendiri.
Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu melihat pada
suatu hari pasukan kaki pajang bintoro yang cukup besar
ditempatkan di luar kota suryabuaya .
“Fathillah sudah mengetahui rencana kita”, mpu logender
berpendapat “Mereka datang untuk menghalangi pasukan
laut suryabuaya bertindak.”
Dan ia berpendapat pula, hanya sebab adanya Ratu
Aisah di antara mereka dalam persekutuan, kanjeng sinuhun tidak
mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga shinoda
Han berpendapat demikian pula. Hanya mereka berdua tak
sampai hati menyatakan satu kepada yang lain.
Dalam pertemuan terakhir dipusatkan untuk
memperoleh kan keterangan, kapan pajang bintoro akan
menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh
Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah
harus memperoleh kan raden panji gelang-gelang untuk jadi pimpinan dan
lansung menuju ke jayamahanaya .
Untuk kepentingan itu mpu logender harus pergi ke kediri
menghadap Sang adiputro . Dan yang pang pang harus
kembali ke campa demi keselamatannya.
mpu logender berangkat dengan kapal yang sama dengan
yang pang pang
Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di suryabuaya dengan
pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima
pajang bintoro , pendatang baru dari Mekah, putra blora, menantu
Bhre Paramesywara: Fathillah.
0odwo0
30. Petani raden panji gelang-gelang
Sudah beberapa lama raden panji gelang-gelang hidup di desa
perbatasan hutan larangan , menjadi petani seperti penduduk
selebihnya. Ia sudah dapat melaksanakan impian-mudanya
impiannya bersama nyi girah . Mereka sudah mendirikan
pondok beratap injuk berdinding pelupuh. Dan pondok itu
berdiri tinggi di atas tiang.
Di waktu senggangnya Pada ikut membantu semua
pekerjaan: menebang dan mengangkuti bambu dan
pemukulnya jadi pelupuh, membuka huma, menggali
saluran, mengangkuti panen. Hanya ia tak pernah
membantu menggarap tanah. Untuk itu ia tak memiliki
kesabaran ataupun kesenangan.
Pada sudah membuka pengajian di desa itu pula.
Persahabatannya dengan raden panji gelang-gelang memicu ia
memperoleh kepercayaan dari penduduk desa. Dengan
bermodalkan kata-kata “raden panji gelang-gelang lah yang menolong
jiwaku” dan dibantu oleh kata-kata nyi girah “mpu
jayamuseswa alias Pada yang menolong jiwaku dan anak-anak
raden panji gelang-gelang ” ia muncul sebagai orang terpandang di desa
hutan larangan . Leluhur hutan larangan sudah mengajarkan:
seorang yang sudah menolong jiwa orang baik-baik
seyogyanya dibalas kebaikannya selama hidupnya oleh
semua orang baik-baik sedesa.
Dan raden panji gelang-gelang sendiri tak memiliki perhatian terhadap
kegiatan sehari-hari jayamuseswa . Juga ia tidak menganjurkan
pada anak-anak desa untuk belajar padanya. nyi girah juga
tidak pernah menganjurkan.
namun pengalaman Pada yang banyak,
pengembaraannya yang cukup luas, pergaulannya dengan
banyak orang, dan bakatnya dalam berceritera, sudah
menarik anak-anak kepadanya. Gubuknya selalu berisi
dengan kanak-kanak. Dan gubuk itu diperoleh nya sebagai
pemberian desa dengan ladang yang cukup luas di
belakangnya. namun ia tak pernah tertarik untuk menggarap
tanah maka ia pun tidak pernah jadi petani.
Sesudah banyak kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya
ia mulai mendongeng, lalu memperkenalkan nabi-
nabi yang pernah dipelajarinya di pajang bintoro . namun segera
seluruh desa tergoncang waktt ia mulai memasukkan aturan
yang memisahkan anak-anak Laki-laki dari wanita lesbian . Orang
tua-tua memerlukan datang untuk bertanya: apa salahnya
anak-anak wanita lesbian itu? Mengapa mereka dibedakan
hanya sebab mereka wanita lesbian ? Dan ia menjawab, ia
seorang bujangan maka tak baik memiliki murid wanita lesbian .
Akibat jawaban itu tidak sedikit orang-orang desa yang tak
memiliki prasangka keagamaan itu, mendesaknya agar ia
mengawini salah seorang gadis hutan larangan . Ia tak pernah
menjawab dengan jelas, hanya berdalih-dalih.
lalu desa dibikin terheran-heran mengapa
pengajiannya tidak mengajarkan baca tulis Jawa, dan
bagaimana jadinya kalau anak-anak itu nanti besar dan
tidak mengetahui sesuatu tentang ajaran letafttft sendiri? Ia
menjawab, tentang itu anak-anak itu nanti bisa belajar
sendiri dari resi -resi lama dan dari orang-tuanya.
Kesulitan yang ke sekian mulai dihadapi oleh Pada.
Huruf palawa yang diajarkannya terlalu sulit untuk bisa
dipakai untuk diucapkan. Dan murid-murid itu mulai
berguguran seorang demi seorang; Ia sedang menghadapi
kegagalan.
Dan raden panji gelang-gelang ataupun nyi girah tidak menyokongnya,
Bahkan mpu wungubhumi tidak pernah datang ke pondoknya. Ia
mengerti keberatan mereka: pengalaman mereka berdua
dengan patih Benggala sudah cukup tidak menyenangkan dan
akan kenang-kenangan buruk sepanjang masa; Maka juga ia
tak pernah meminta sokongan itu. Ia harus dapat tegakkan
dirinya sendiri.
Satu-satunya jalan untuk mengatasi kegagalan adalah
kesabaran. Dimulainya menulis tembang dalam bahasa dan
tulisan palawa tentang kisah Rasulullah. Muridnya yang
tinggal sedikit sudah merambatkan tembang; itu ke seluruh
desa hutan larangan , dan merasa berbahagia dengn
suksesnya. Ia dapat dengarkan tulisannya itu dinyanyikan
di atas punggung kerbau di padang rumput, atau di malam
sepi waktu bulan tiada terbit di rumah-rumah yang tersebar
luas dalam kegelapan.
Namun muridnya tidak juga bertambah.
Dan raden panji gelang-gelang ataupun nyi girah tak pernah datang
menengok gubuknya.
Kesulitan baru datang menantangnya waktu ia mulai
mengamatkan tentang larangan-larangan: makanan dan
minuman. Kembali orang tua-tua datang kepadanya dan
menanyakan apa sebabnya babi dan hewan bertaring
lainnya tak boleh dimakan, dan mengapa tuak tak boleh
diminum. Ia menjelaskan, bahwa masih terlalu banyak
makanan dan minuman kecuali yang dilarang. Orang tua-
tua itu tidak bisa mengerti dan tidak bisa membiarkan
ajaran tentang larangan itu. Dan Pada harus mengatakan
atau ia harus keluar dari desa hutan larangan . Ia
mengatakan: boleh makan dan diminum, asal tidak banyak,
sedikit saja cukup. Itu pun tak bisa diterima oleh desa.
Malah orang mulai mencurigainya hendak mendirikan
kekuasaan baru seperti adipati jayawisesa dengan mula-mula
membuat peraturan.
Hanya persahabatan dengan raden panji gelang-gelang dan nyi girah
membuat ia tidak terusir.
Suasana mereda, namun muridnya kian sedikit, tinggal
barang tiga orang. Tiba-tiba goncangan muncul kembali
waktu menghadapi pesta panen besar. Pada mengajarkan,
cacing tanah tidak boleh dimakan. Tentangan dari orang
tua-tua, bahkan seluruh desa, tak dapat dikendalikan lagi.
Berabad-abad lamanya cacing tanah jadi makanan pesta
yang tak pernah ditinggalkan. Sesudah dipurut cacing itu
direndam dalam air enau selama sehari, lalu setiap
orang memakannya.
Pada terpaksa menarik ajarannya. Dan ia menjadi orang
yang tidak populer di hutan larangan . Ia harus lebih bersabar
lagi. Dalam kesulitan yang amat sangat itu ia datang pada
sahabatnya untuk minta perlindungan.
Waktu itu raden panji gelang-gelang sedang di hutan untuk
menyadap enau. Ia tak berani naik ke rumah dan menyusul
sahabatnya masuk ke dalam hutan.
wah
Dan setiap Pada datang ke gubuk di pinggir hutan, dan
raden panji gelang-gelang tak ada, dan ia terus menyusul ke ladang,
huma atau hutan, nyi girah dapat melihat sinar aneh pada
mata orang muda jangkung berkumis dan tidak berjenggot
itu.
Sinar mata itu sama dengan yang terpancar waktu ia
diambil dari rumah tahanan untuk dibawa ke gua
persembunyian, sama dengan waktu mereka berempat
menyeberangi padang alang-alang yang menggentarkan itu,
melewati hutan muda dan lalu menyeberangi padang
rumput pendek… desa pertama, desa kedua, ketiga dan
sampai ke jalan negeri.
Ia masih dapat mengingat waktu mereka berhenti di
pertigaan itu. Pada menatap matanya dengan sinar yang
aneh itu pula. “Jadi nyi girah tak membelok ke kanan? ke
kediri ?”
“Tidak, Pada”.
“Ke kiri? hutan larangan ?”
Ia lihat sinar mata itu tiba-tiba jadi beku dan kepala nya
menunduk.
“Dan kau sendiri hendak ke mana, Pada?” ia bertanya.
“Biar aku antarkan sampai hutan larangan ”, jawabnya
lalu . “Itu-pun kalau nyi girah tidak merasa
terganggu.”
“Tentu lebih baik begitu. Tentu takkan ada yang
mencurigai kau sebagai pelarian pengikut adipati jayawisesa ,
kecuali kalau kau berganti pakaian. Buang itu yang serba
putih”.
Ia ikuti orang muda itu minta diri barang sebentar dan
pergi menghilang dengan parang telanjang di tangan kanan.
Ia menunggu di gaan. Memang agak lama. lalu ia
datang lagi membawa sir pisang susu matang dan
pakaiannya yang serba putih sudah menjadi coklat dilumuri
getah pisang.
“Begini baik, bukan, nyi girah ?”
“Cukup baik”.
Mereka mulai membelok ke kiri ke jurusan hutan
larangan .
Waktu ia menengok ke samping ia lihat Pada sedang
mengawasinya, lalu dengan gugup menyembunyikan
pandangannya pada pepohonan di kejauhan. Juga sinar
matanya aneh, sinar mata seorang yang gandrung
kasmaran.
“Kau tak pernah ceritakan di mana rumahmu, Pada”.
“Aku adalah seekor burung, nyi girah , di mana pun
bertengger di sanalah rumahku.”
Suara Laki-laki itu terdengar gembira tercampur tawa, dan
nyi girah tak tahan mendengarnya. Ia merasai di dalamnya
terdengar gaung dari hati yang merasa, putus-asa. Mungkin
orang muda ini memicu ia takut pada Pada, berjalan
lebih cepat dari biasanya dan ragu-ragu untuk memulai
percakapan.
Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dari suara mpu wungubhumi
yang duduk pada tengkuk ia dapat menduga berapa depa
Pada berjalan di belakangnya.
Pagi dan siang sudah lama lewat. Hari sudah senja.
Sawah dan ladang; tepi desa hutan larangan sudah senyap
ditinggalkan oleh semua orang. Hujan pun jatuh rintik-
rintik. Pintu-pintu rumah desa sudah tutup untuk menolak
angin dan dingin. Dari atap-atap keluar asap pendiangan
ternak atau dapur.
Ia dengan bayi dalam gendongan berhenti di depan
gapura rumah orangtuanya. Dan ia ragu-ragu untuk masuk.
Seekor kuda coklat dengan becak-becak putih tercancang di
samping rumah di dekat pesajian rumah tangga, yang
terbuat dari tumpukan batu merah. Abah-abah dan
sanggurdi kuda itu masih terpasang.
“Ya, nyi girah , memang kuda kediri ”. Pada
memperingatkan. “Sanggurdinya tak dapat dikelabui,
kuningan pipih-lebar. Juga hiasan kepala itu. Kau ragu-
ragu, nyi girah ”.
Ia memang ragu-ragu untuk masuk.
Dan orang muda itu mendekatinya dengan mpu wungubhumi masih
juga duduk pada tengkuknya. Sekarang ia merasa tak
senang di dekat Pada. Ia kalahkan keragu-raguannya dan
melewati gapura dengan si bayi dalam gendongan,
meninggalkan Pada di belakangnya.
Kuda itu masih berkeringat dan nafasnya masih gelisah.
Ia berhenti lagi, ragu-ragu untuk terus. Ia terpaksa
menunggu Pada, dan berjalan di belakangnya untuk
memperoleh kan perlindungan.
Tali abah-abah tempat pengikat tombak-tombak lempar
tidak tersimpul. Mungkin penunggang kuda itu membawa
tombak-tombak-nya ke dalam rumah.
Mereka tak langsung memasuki pintu, namun berjalan dari
samping rumah. Sebentar mereka berhenti untuk
mendengar-dengarkan. Dan tak ada terdengar sesuatu pun
dari dalam.
Juga pintu samping itu tak terkunci, nyi girah masuk.
Kosong tiada suara. Tak ditemuinya seorang pun. Di
manakah orangtua dan adik-adiknya? Dan siapa
penunggang kuda itu? Dan di mana dia?
Ia masuk ke dapur, dan api sedang menyala riang di
dalam tungku. Belanga di atasnya ia buka gulai bebek. Ia
buka dandang di sebelahnya: nasi yang belum lagi masak,
dalam jumlah yang lebih banyak dari biasa. Dalam belanga
di atas tanah dengan penutup tertindih batu sudah tersedia
daging babi panggang yang sudah disayat-sayat. namun di
mana orang-orang rumah? Dan mengapa anjing-anjing pun
tiada?
Ia keluar untuk meninjau rumah-rumah tetangga yang
jauh-jauh letaknya. Sayup-sayup terdengar orang tertawa-
tawa betari i dan suara itu dibawa oleh angin sore yang
dingin itu. Ia melangkah ke arah kandang sapi. hewan -
hewan itu sedang bersimpuh di tanah di dekat pediangan
sambil memamah-biak.
“Mungkin semua orang sedang berkumpul di sana,”
katanya pada diri sendiri.
Ia suruh Pada dan mpu wungubhumi beristirahat di ambin ruang
depan, di mana dahulu betari resi ia rawat. Pada dengan
mpu wungubhumi yang tidur dalam gendongan masuk ke ruang depan.
Sebelum pergi sinar mata itu dirasainya semakin aneh. Dan
untuk pertama kali ia berdebar-debar melihat pancaran
mata itu.
Si bayi ia tidurkan di atas ambin dapur dan ia
meneruskan masak. Belum lagi masakan selesai terdengar
betari i-betari i di depan rumah. Ia lari ke depan, membuka
pintu depan dan keluar. mpu wungubhumi dan Pada terbangun.
“Anak desa hutan larangan jadi panembahan senapati ki ageng kediri !” bocah-
bocah berseru mengelu-elukan, “Tidak pernah kalah. Terus
menerus menang!”
“Ya-ya, kagumi dia, anak anak! Kagumi, biar kalian
jadi orang besar juga kelak. Kagumi!”
Di hadapan nyi girah satu rombongan besar orang sedang
melewati gapura, anak anak dan orang dewasa, laki dan
wanita lesbian . Rombongan itu mengiringkan seorang
bertubuh dempal perkasa. Dan nyi girah tidak keliru. Itulah
suaminya: raden panji gelang-gelang . Ia lari menyambutnya. Tanpa
bicara ia menubruk, merangkulnya dan menangis tersedan-
sedan.
“Dayu, aku tahu kau selamat”.
Suaminya mengeluarkan popok dari ikat pinggangnya
dan disekakannya pada wajah istrinya, lalu
memapahnya masuk ke rumah. Ia merasa aman di dekat
juara gulat ini.
“Dengarkan, penduduk hutan larangan raden gelang-gelang panembahan senapati ki ageng
kediri , kembali ke desanya. Sekarang dia sudah bertemu
dengan isterinya. Dan khusus pada nyi girah , “Mana
Anakku?”
Mereka memasuki rumah disambut oleh Pada yang
berdiri seperti orang kehilangan akal. Ia melihat Laki-laki muda
itu seperti terpesona oleh kehadiran raden panji gelang-gelang .
Matanya tidak lagi memancarkan sinar aneh.
Ia lari masuk ke dapur, mengambil bayi yang tidur
nyenyak diatas ambin depan dan menyerahkannya pada
bapaknya dengan hangat “Inilah anakmu, belum lagi
bernama”, dan ia seret mpu wungubhumi dan diberikannya pada
raden gelang-gelang , “dan ini mpu wungubhumi anakku”.
panembahan senapati ki ageng kediri dalam pembuangan itu menerima bayi
itu menciumnya. Pada wajahnya memancar kebahagiaan,
kepuasan, syukur dan terima kasih, lalu
menyerahkannya kembali pada ibunya. Kini ia angkat
mpu wungubhumi dan berseru: “Kau, mpu wungubhumi , kau sudah bisa menyanyi?”
“Dia terus menyanyi di atas tengkuk Pada, Kang”
Air muka raden panji gelang-gelang berubah. Tanpa menanggapi
jawaban bocah itu ia turunkan ke tanah. Matanya mencari-
cari orang diantara orang sebanyak itu. Airmukanya
menjadi keras.
“Pada, di mana kau?” seru nyi girah , dan ia sendiri menjadi
kuatir melihat perubahan airmuka suaminya.
“Inilah aku”, jawab Pada dan meneroboskan diri
menghadap pada panembahan senapati ki ageng . “Inilah aku, Kang, adikmu
sendiri”. Ia menjatuhkan diri, bersujud dan mencium kaki
raden panji gelang-gelang .
“Dia, Kang, mpu jayamuseswa alias Pada yang
menolong jiwaku dan anak-anak raden panji gelang-gelang ”.
Tak ada seorang pun yang membuka mulut. Sunyi-
senyap dalam ruang depan yang sempit oleh manusia
sebanyak itu. Dan semua mata tertuju pada panembahan senapati ki ageng kediri
dan orang yang bersujud di hadapannya.
Tiba-tiba mpu wungubhumi merangkul leher Pada, bertanya:
“Mengapa tak bangun-bangun, Paman?”
“Ya, bangun, kau, Pada”.
Dan Pada bangun, berdiri. Mukanya pucat seperti habis
bangun dari sakit demam sebulan.
“Nanti akan kuceritakan di depan semua orang ini
bagaimana ia selamatkan kami, Kang.”
"Aku datang untuk menyusul kau, nyi girah ”.
‘Tidak. Aku tak perlu kau susul. Aku takkan kembali ke
kediri ”.
‘Tidak. Aku pun takkan kembali lagi ke kediri , nyi girah .
Aku kembali jadi si anak desa yang dahulu.”
“Kang!” seru nyi girah tak percaya.
“Kita akan membuka huma, nyi girah , mendirikan gubuk di
pinggir hutan, di tepian desa”.
“Kang!”
Pada menarik diri dan berdiri diam-diam di pojokan
memperhatikan semua kejadian itu.
wah
Berita tentang wafatnya adiputro tumenggung dijoyo dan digantikan
oleh Trenggono sudah memperkukuh niatnya untuk tidak
kembali ke pajang bintoro . Apalagi sesudah ia tahu kanjeng sinuhun baru itu
tidak memperhatikan dan tidak memerlukan jasa para
musafir. Bahkan ke Bonang pun ia tak pernah lagi, apalagi
menyampaikan laporan.
namun alasan terutama adalah nyi girah . Wanita itu
membuat ia tak mampu meninggalkan hutan larangan .
Bahkan hanya namanya pun sudah memicu ia merasa
tergenggam tanpa daya. Dan ia mendengarkan suara
hatinya menetap di hutan larangan .
Ia sudah menjadi seorang Ki Aji kecil. Orang sudah mulai
memanggilnya patih . Dan ia tidak membantah.
Dalam percakapan dengan raden panji gelang-gelang dan nyi girah
dengan diam-diam ia terpengaruh oleh pandangan yang
tidak menginginkan sesuatu kekuasaan atas orang lain pun
tidak menginginkan harta-benda orang lain.
Ia tahu beberapa ucapan nyi girah padanya dalam
perjalanan dahulu ada yang tidak cocok dengan…. Ia tak
pernah membangkit-bangkitnya kembali. namun ia pun tahu
betapa wanita lesbian itu berpengaruh terhadap suaminya. Dan
mereka berdua begitu cinta-mencintai seakan dunia luar
tidak mereka perlukan lagi. Mereka memisahkan diri dari
desa dan tidak pernah turun ke balai desa. Hanya sebab
besarnya kepribadian mereka orang-orang justru datang
pada mereka.
Akhirnya ia pun berniat hendak hidup sederhana seperti
itu, membuang segala impian tentang kebesaran dan
kehormatan. Ia lepaskan sama sekali hubungannya dengan
pajang bintoro , bahkan juga dalam pikirannya. Ia bertekat hendak
hidup sebagai manusia sederhana seperti mereka, menjadi
bagian dari kehidupan tanpa menentukan kehidupan. Ia
belajar mepercaya kan dirinya sendiri: ia berbahagia dengan
hidup begini.
Ia pun mengakui dalam hatinya: seorang saja sebenarnya
yang sudah mengubah jurusan yang semula hendak
ditempuhnya, dan mengubah -gaya dan cara hidupnya.
Orang itu adalah nyi girah . Apa pun yangKtHptitejf buatnya
seakan ada benang gaib yang menggerakkan tubuh dan
pikirannya. Dan benang itu secara gaib dikendalikan oleh
nyi girah . la menyadari ia mencintai wanita itu dengan tulus
hati. nyi girah ! istri sahabatnya! ia yang lebih tua dibandingkan nya!
ibu dari dua orang anak! istri orang yang sudah
mengembalikan jiwanya dari tangan adiputro kediri !. Bila
kasadarannya bekerja, ia merasa mengkhianati sahabatnya
dengan diam-diam Dan ia pun sadar: bukan mau dirinya
sendiri ia mencintai nyi girah .
wah
lalu datanglah berita itu: prajurit kerajaan pajang bintoro sudah
membludag. Trenggono akan menyerang ke timur dan
barat.
Mendengar itu ia lupa pada pengajiannya, lupa pada
persoalan persoalan pribadi. Dan segera ia lari menuju ke
gubuk sahabatnya di pinggir desa. Watak lama dari
pekerjaan lama sudah mengembalikannya jadi mpu
jayamuseswa yang lama.
Ia dapatkan raden panji gelang-gelang sedang menguliti rusa betina
yang terperangkap dalam ranjaunya. Tangannya
berlumuran darah. hewan celaka itu tergolek di atas
mpu wungubhumi an daun pisang, telanjang tanpa kulit. Dari dalam
kandungannya ia keluarkan bayi rusa yang belum cukup
tua. diletakkan hewan kecil belum berkulit dan bermata
terlalu besar itu di atas telapak tangan.
Pada berjongkok di hadapannya.
“Suka kau?” tanyanya padanya.
Pada bergidik.
Dan raden gelang-gelang memakannya mentah-mentah sampai habis.
Darah berlumuran pada mulutnya.
“Seperti Trenggono makan pulau Jawa,” kata Pada.
raden panji gelang-gelang tak memperhatikan siratan kata Pada. Ia
meneruskan pekerjaannya, memotong-motong daging
hewan celaka itu dan menjajar-jajarnya di atas daun
pisang.
“Kang raden gelang-gelang , tak kau dengarkan aku?”
“Seperti Trenggono makan pulau Jawa, katamu.
Mengapa, Pada apa maksudmu?”
“Mengapa? Masa kau seorang panembahan senapati ki ageng tak memiliki
perhatian?
“Apa yang perlu diherani? Dan apa yang perlu
diperhatikan? Sebelum Trenggono naik tahta, orang sudah
pernah mengabarkan hati-hatilah kalian terhadap pajang bintoro ”.
“Jadi bagaimana kau ini kalau kediri diserang?”
raden panji gelang-gelang meneruskan pekerjaan tanpa
memperhatikannya.
“Kau diam saja. Kang?”
“Aku hanya orang desa, petani. Pada, jangan macam-
macam pertanyaanmu”.
“Tidak benar. Dengan diam-diam kau sudah
memikirkannya”.
“Lantas apa kau harapkan dibandingkan ku? Pertahankan
kediri ? Serang pajang bintoro ? Atau pertahankan tanah ini? Huma
dan ladang ini, gubuk ijuk ini?” ia menuding pada
gubuknya.
“Kalau hanya begini di mana pun aku bisa dirikan lagi
Di mana pun aku bisa dapatkan tanah, mungkin lebih baik
dari ini. Kaulah yang semestinya bercerita, Pada, bukan
aku. Kau orang pajang bintoro .”
“Aku anak kediri , Kang, dilahirkan dan dibesarkan di
kediri , seperti kau juga.”
raden panji gelang-gelang berhenti bekerja dan menancapkan pisau
sayatnya pada daging paha hewan itu.
“Itulah persoalanmu. Pada. Kau orang kediri dan
pengabdianmu pada pajang bintoro . Bukan persoalanku.”
“Aku bersungguh-sungguh, Kang. Relakah kau kediri
diterjang pajang bintoro ?”
“Aku bersungguh-sungguh. Kang. Lupakah kau pada
cerita-ceritamu sendiri tentang nyi kanjeng blora dan Ispanya?
Tentang gada rujakpolo mereka? Mengapa kau bunuh Sang Patih
kediri dan kau meranamun nya untuk sisa hidupmu untuk
dapat menghancurkan patih Benggala? Tak mungkin kau tak
memiliki perhatian dan pemikiran.”
”Trenggono bukan patih Benggala!”
“Bukan.”
‘Trenggono sama dengan patih Benggala.”
“Memang sama.”
“Lantas apa lagi?”
“Hanya kerusakan saja akibatnya, Kang. Dua-duanya
akan melemahkan Jawa dan memudahkan masuknya
nyi kanjeng blora. Bukankah itu ceritamu sendiri? Sekarang
Trenggono membuka medan, dan kau enak-enak bertani
dan menjebaki rusa dan celeng”.
“Sudah ada orang lain yang mengurus , Pada.”
‘Tak ada yang sebaik kau.”
raden panji gelang-gelang mencabut pisau dan meneruskan
pekerjaannya.
Pada merampas pisau itu dan menancapkannya pada
batang pisang. “Aku sungguh-sungguh, Kang.”
“Mulai kapan kau dapat jabatan untuk mengurus soal
perang?”
“Aku hanya ingin tahu pikiran dan pendapatmu.”
“Mengapa kau yang jadi sibuk? Bukan urusanmu.”
mpu wungubhumi datang membawa kranjang. Tubuhnya bongsor.
Hampir setinggi ayahnya, sehat, kukuh dan kuat.
“Bilang pada makmu, sebagian besar daging supaya
didendeng. Dan paha ini saja digantung di dapur.”
“Ha!” seru Pada. “Kau sudah bersiap-siap dengan
makanan kering. Jadi kau hendak berangkat juga kiranya.”
“Berangkat ke mana? Cobalah lihat rusa ini, Pada. Pulau
Jawa sudah seperti dia, terkuliti, terkeping-keping. Bangkai
utuh pun sudah tiada, sudah jadi dendeng dan sayatan yang
siap untuk dimasak dan ditelan oleh pelahap.”
“Jadi kau memang sudah memikirkannya, Kang.”
“Sudah lama aku memikirkannya, dan tak ada gunanya
untuk memikirkannya lagi.”
“Kau putus asa, Kang.”
“Aku tak mengharapkan sesuatu. dahulu aku masih memiliki
harapan dahulu , sewaktu baginda tuanku raja tumenggung dijoyo belum wafat. Dan hanya
seorang saja, duanya. Sesudah wafatnya semua nakhoda,
pedagang dan orang po...... kiranya tahu: seperti bangkai
rusa terkeping-keping itulah nasib Jawa.”
“Kau putus asa. Kang. Kau, yang sendiri pernah
urungkan datangnya si pelahap.”
raden panji gelang-gelang berdiri dan tertawa. Pisau-sayat itu ia
cabut dari batang, pisang, mengasah kering pada batu
asahan, lalu berjongkok dan meneruskan
pekerjaannya. Ketika itu ia teringat pula kata-kata betari
resi dalam ajarannya terakhir di balai-desa hutan
larangan : Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar sudah
runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana.
Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan raja pajang bintoro .
Dewa-dewanya bukan dewa kalian. Dewa-dewanya tidak
mengenal kalian, dan tidak mengenal dewa-dewa kalian.
Hei, kalian yang lebih suka jadi bebal, kelak kalau pajang bintoro
mulai menyerang kalian, tiba dewa-dewa kalian,
menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur
kalian pun tak aman lagi tinggal di alam kahyangan kalian
sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa, tak
sempat diruwat oleh anak-cucu sendiri. Pada waktu itu aku
sudah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi
menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar kata-
katamu, betari .
Sekarang betari lan itu memperlihatkan tanda-tanda akan
menjadi kenyataan.
Baru ia menjawab, pelahan, dengan gaya betari resi :
“Waktu itu masih dimungkinkan. Sekarang lain, Pada.
Sekali seorang raja bernafsu menguasai Jawa, perang akan
terus menerus berkobar, takkan henti hentinya. Sampai si
rakus itu mati tua, kalau dia selamat dari sekian banyak
medan perang, cita-citanya takkan terlaksana. Dan begitu si
rakus mati, taklukannya akan bangkit lagi melawan,
mungkin mengantikan si rakus itu sendiri. Dan seterusnya,
Pada, tak ada habis-habisnya. Suaranya jadi sayu dan
murung, “Waktu itu sudah lewat, waktu orang dapat
mempersatukan Nusantara. Nusantara, Pada, bukan hanya
Jawa. Dalam hanya empat puluh, barangkali juga cuma tiga
puluh atau 30 tahun orang dapat mempersatukan
Nusantara. Sampai jambulnya beruban Trenggono takkan
dapat menguasai Jawa. Ia tak memiliki syarat untuk itu.”
Pada senang mendengar juara gulat ini bicara, sebab ia
bicara dengan seluruh kehadirannya, dengan hati dan
dengan otot-ototnya.
“Kau bicara tentang syarat, Kang.”
“Tentu, semua ada syaratnya. Barangkali di pajang bintoro kau
tak pernah pelajari itu. Coba dengarkan kata-kata betari
resi , yang kau memperoleh perintah untuk membunuhnya
itu: ‘Jawa bisa dipersatukan hanya dalam kesatuan
Nusantara. Kesatuan Nusantara bisa digalang hanya oleh
jiwa besar, berpandangan luas, meliputi luasnya Nusantara
dengan darat dan lautnya. Orang itu adalah Gajah Mada.’
Kita tak bicarakan Trenggono lagi. Pada.”
“Kau bicara tentang syarat, Kang. Aku hanya bertanya,
bagaimana kalau Trenggono menyerang kediri ?”
“Kami akan mengungsi dengan orang-orang sedesa.
Buka daerah baru. mpu wungubhumi !” kata raden gelang-gelang , “tiada kau jamu
pamanmu ini?”
mpu wungubhumi yang memasuki umurnya yang ke lima belas itu
datang berlarian.
“Mengapa tidak, Bapak? Aku pun sedang membantu
masak,” ia tertawa pada Pada lalu lari menghilang.
raden panji gelang-gelang pergi ke sumur untuk mencuci tangan dan
kaki, dan Pada mengikutinya dari belakang.
“Pada!” tiba-tiba raden gelang-gelang menengok padanya. “Mengapa
kau tak juga kawin? Kami berdua hidup berbahagia. Aku
lihat sudah terlalu lama kau mencintai istriku.”
“Kang!” Pada terkata , dan kata annya sama seperti
yang disuarakannya di atas kapal dagang dahulu .
“Matamu tak dapat bohongi aku, Pada.”
“Kang,” Pada menyebut lemah.
“Kau terlalu muda baginya. Lagi pula dia bukan arca .
Dia mencintai anak-anaknya. Bahkan aku sendiri tak
memperoleh bagian dari cintanya. Lebih baik kau tinggalkan
hutan larangan , Pada. Pergilah kau ke kota. Carilah kabar
yang betul di sana sambil cari-cari calon istri. Bukan
salahku, Pada, kalau di seluruh kediri hanya ada seorang
nyi girah . Juga bukan salahku mengapa aku tak juga mati.”
“Ya, Kang, aku akan ke kota, Kang.”
“Kau sudah dilupakan oleh Sang adiputro . Carilah Liem
Mo Han. Dia lebih banyak tahu dari hanya berita desas-
desus.”
Sesudah makan Pada minta diri. Ia berjalan lambat-
lambat tanpa menoleh.
nyi girah , raden panji gelang-gelang , mpu wungubhumi dan Kumbang
mengantarkan sampai batas sawah. lalu suami-istri
itu mengikutinya dengan pandang, sampai ia hilang di balik
semak-semak petai cina. mpu wungubhumi lari pulang,dan balik lagi
membawa kuda, melompat ke atasnya.
“Biar aku antarkan dia sampai ke desa ke dua!” katanya
pada raden panji gelang-gelang , dan tanpa menunggu jawaban ia
memacu kudanya.
Tinggsang hyang Widhi suami-istri itu dan anaknya yang bungsu.
“Mari naik,” nyi girah mengajak.
“Dia mencintai kau, nyi girah ,” bisik suaminya.
“Kasihan. Begitu muda,” jawab nyi girah dan membuang
muka.
“Siapakah lagi yang jatuh cinta padamu?”
nyi girah naik ke atas tangga rumah, tak sudi meneruskan
percakapan seperti itu. Dan suaminya mengikutinya cepat-
cepat dari belakang.
“Jadi kau sudah tahu?” tanyanya.
“Dia takkan pergi ke kota. Dia masih takut pada
hukumannya. Mungkin ke campa ”.
“Makin jauh dari sini makin baik untuknya sendiri.”
“Kumbang! ayolah naik!” seru nyi girah . “Jangan jauh-jauh
pergi. Abang mu tak ada. Macan-macan itu selalu
menghindari jebakan.”
“Sudah kukatakan padanya, sayang hanya ada satu
nyi girah ,” suaminya meneruskan.
“Apa kau bicarakan ini?” nyi girah memprotes.
namun raden panji gelang-gelang menariknya dan dibawanya ia ke
beranda gubuk yang menghadap ke jalan. Di kejauhan,
kepala kuda dan mpu wungubhumi dan Pada masih kelihatan di atas
tajuk semak-semak petai cina.
“Macan itu tak mau memasuki jebakan. Babinya bodoh
dan macannya malas. Begitulah jadinya,” kata nyi girah pada
Kumbang. Pondok itu berdiri tinggi di atas tiang kayu
nangka kuning, namun selebihnya terbuat dibandingkan bambu.
Dapurnya pun berada di atas. Dan dari atas pula
pandangan nampak sampai jauh-jauh di sekitar rumah,
sampai ke batas hutan dan sawah dan ladang. Duduk di
lantai beranda begini Gateng merasa seperti di atas
panggung gajah.
Dan kini para penunggang kuda mulai muncul dan
tenggelam di balik semak-semak. Mereka masih juga
mengikuti dengan pandangan sampai mereka hilang sama
sekali.
“Kau tahu apa yang dibawa Pada?”
“Mana aku tahu?”
‘Tiada sesuatu, kecuali pemujaannya kepadamu.”
nyi girah melengos lalu masuk ke dalam bilik,
raden panji gelang-gelang menarik Kumbang dan memangkunya.
Pandangnya masih juga pada mereka yang lenyap di balik-
balik semak, la berbisik pada Kumbang: “Kenalkah kau
siapa nyi girah ?”
“Emak, Bapak.”
“Apa lagi?”
“Penari tanpa tandingan, Bapak.”
“Apa lagi?”
“Mak! Mak!” Kumbang berseru memanggil-manggil.
“Apa lagi, Mak?”
“Husy! jangan minta bantuan makmu. Dengarkan:
jangan sampai lupa; orang tercantik di seluruh negeri
kediri , Kumbang, di seluruh jagad raya.”
Dan Kumbang tertawa-tawa senang, lalu meloncat
dari pangkuan bapaknya untuk mengadu pada emaknya.
Tak lama lalu terdengar dari dalam bilik suara nyi girah :
“Husy, jangan dengarkan bapakmu.”
Dan raden panji gelang-gelang duduk seorang diri di beranda
menunggu kedatangan mpu wungubhumi . Sementara itu ia mulai
memikirkan kemungkinan benar-tidaknya berita Pada.
Tidak! Trenggono tidak boleh memulai perang tanpa akhir
ini, kalau berita itu benar. Seorang kanjeng sinuhun harus lebih
bijaksana. Mungkin dia memang bukan orang bukan
bijaksana. Kalau tidak dia takkan membunuh abang sendiri
untuk jadi raja. Atau haruskah dia membunuh saudara
sekandung justru untuk dapat melepaskan nafsu tanpa
kendali? Takkan ada orang lagi seperti tumenggung dijoyo . Dengan
alasan arca ia persatukan raja-raja untuk menggempur
nyi kanjeng blora, dan kalah. Trenggono tak bisa memakai
arca jadi alasan. Hanya ada satu kerajaan arca di Jawa.
Ia tak bisa cari sekutu. Kalau benar ia hendak kuasai Jawa,
ia akan kehabisan nafas dan darah. Kalau betul ia hanya
kerakusan belaka ingin lebih banyak tanah, lebih banyak
orang yang takut takluk, mendengarkan dan menjalankan
perintahnya. Sekali seorang raja memulai…. Tak pernah
Jawa dipersatukan tanpa persatuan seluruh Nusantara, kata
betari resi . Itu adalah ketentuan Maha Dewa, Hyang
Widhi, kata betari pula.
Dari kejauhan nampak kepala mpu wungubhumi muncul tenggelam
dari atas tajuk semak-semak. Makin lama makin mendekat,
lalu muncul seluruh badannya dan kuda
tunggangannya di ujung jalan sana.
Dia lebih pandai menunggang kuda dibandingkan aku, anak
semuda ini. Tanpa resi .
wah
Selang tiga bulan lalu Pada datang. Langsung ia
temui. raden panji gelang-gelang di hutan sedang menurunkan air enau
dari pohon. lalu ia menolongnya memikulkan
lodong-lodong bambu ke rumah.
Bersama-sama mereka memasaknya agak jauh dari
pondok, memakai kuali tanah besar.
Pada waktu memasak itu bekas musafir pajang bintoro itu mulai
bercerita tentang usaha mpu logender menghubungi para raja di
seberang untuk duduk dalam armada gabungan memukul
jayamahanaya .
raden panji gelang-gelang mendengarkan dengan diam-diam. la
gembira namun tidak menunjukkan pada tamunya.
yang pang pang sudah menceritakan segala-galanya untuk
diteruskan pada sahabatnya itu kecuali satu hal: pertikaian
antara Ratu Aisah dan kanjeng sinuhun Trenggono. Dalam hati ia
mengucapkan syukur sudah ada kesepakatan bulat di pajang bintoro
untuk mengirimkan armada raksasa, lebih besar dibandingkan
beberapa belas tahun yang lalu. Aceh juga akan
menyumbangkan pasukan di samping sendiri akan berusaha
mengusir nyi kanjeng blora dari blora.
“Dan, Kang raden gelang-gelang , sekali ini pasukan Bugis-Makasar
yang gagah berani itu akan ikutserta juga. Mereka akan
berangkat lebih dahulu dan menunggu di Aceh. Aku lihat
kau bersinar-sinar, Kang.”
mpu wungubhumi dan Kumbang berlarian memperoleh kan Pada.
“Paman kelihatan kurus!” tegur mpu wungubhumi .
“Dan kau nampak semakin gagah, mpu wungubhumi . Hai,
Kumbang, sudahkah ada makanan buat paman kurus yang
kacangtanah ran ini?”
“Tunggu!” sambut Kumbang, dan ia lari mendaki tangga
Terdengar ia berseru-seru pada emaknya.
nyi girah muncul di beranda pondok dan menegur keras-
keras: “Pada Kaukah itu?”
“Akulah ini, nyi girah . Kalau masak hati-hati,” Pada
memperingatkan.
“Tentu, babi takkan tercampur dalam makananmu.”
“mpu wungubhumi , kayu bakar itu sudah cukup kering, bawa ke
bawah rumah” raden panji gelang-gelang memerintahkan anaknya.
“Seluruh kekuatan akan didaratkan. Perang laut akan
dihindari”
“Tak bisa lain. Memang harus begitu,” panembahan senapati ki ageng kediri
itu mengangguk dan matanya bersinar-sinar, lupa bahwa ia
hanyalah seorang petani di sebuah desa perbatasan. Dan
diulanginya kata-kata yang disukainya itu, “Benar kata
betari resi , Jawa bisa dipersekutukan hanya dalam
kesatuan Nusantara. Betapa pamong desa dia. namun benarkah
Trenggono pewaris cita-cita tumenggung dijoyo ? Mungkinkah itu?
Bukankah berita terdahulu ia hendak menguasai seluruh
Jawa? Apakah bukan kau yang salah dengar?”
“Itu cerita Babah Liem. Kau sendiri mengenal siapa dia.
Kau ragu-ragu terhadapnya?”
“Apa pun keraguanku, Pada, penghalauan nyi kanjeng blora dan
jayamahanaya adalah kunci, kunci segala.”
“Bayangkan, Kang raden gelang-gelang , berpuluh-puluh kapal dan
suryabuaya bergabung dengan kapal dari mana-mana,
membeludag di atas laut. Siapakah takkan berbesar hati jadi
laksamananya?” Pada diam.
Laki-laki yang sedang mengaduk air enau mendidih di
depannya itu termenung-menung.
“Dan barangkali juga kediri ikutserta di dalamnya,”
sambungnya. Ia lihat raden panji gelang-gelang menggeleng tak
ke utara . “Kapal suryabuaya takkan kurang dari tujuh puluh!”
“Baik, itu baik. mpu wungubhumi , mari aku bantu. Teruskan mengaduk,
Pada”. Ditinggalkannya Pada mengaduk bubur gula. Ia
sendiri mengangkati kayu bakar membantu anaknya. Tak
lama lalu ia berseru-seru ke atas: “Jangan terlambat,
Dayu. Sudah siap-belum kacangtanah parutan?”
nyi girah turun dari rumah membawa kacangtanah parutan di atas
daun pisang, menghampiri Pada, melemparkan kacangtanah itu
ke dalam bubur gula. Dari tempatnya raden panji gelang-gelang dapat
menangkap pandang Pada yang membelai wajah dan tubuh
istrinya. Tiba-tiba hatinya diliputi oleh perasaan duka
merasakan kepahitan hidup sahabatnya. Cepat-cepat
pikirannya ia alihkan pada Trenggono jauh di sebelah barat
sana.
Dalam hati-kecilnya ia masih belum percaya kanjeng sinuhun pajang bintoro
dapat berbalik pikir begitu cepat. Raja itu orang yang tidak
mampu memegang, tidak mungkin bisa bermufakat dengan
orang lain. Kalau tidak dia takkan sampai membunuh
abangnya sendiri. Tak mudah orang dapat meninggalkan
kerakusan. Bila toh benar Trenggono hendak mengirimkan
armada besar ke jayamahanaya , barang tentu sudah terjadi sesuatu.
Dan apakah sesuatu itu? Adakah muncul orang tertentu
yang begitu berpengaruh terhadap kanjeng sinuhun ?
Selesai mengangkuti kayu ia kembali menghampiri Pada.
Dan nyi girah sedang membariskan cetakan gula dari
potongan-potongan ruas bambu.
“Apakah yang pang pang pernah menghadap kanjeng sinuhun ?”
“Itu aku tak tahu.”
“Sudah, tinggalkan cetakan itu, biar kuteruskan.” nyi girah
pergi dan naik ke atas rumah.
“Barangkali sudah terjadi sesuatu yang baru di pajang bintoro ?”
“Memang ada, Kang raden gelang-gelang , datangnya Fathillah,
sekarang ipar kanjeng sinuhun .”
“Aku kenal nama itu. Teruskan, Pada.”
“Kabarnya ia sudah diangkat jadi Panglima pajang bintoro .
Seluruh pasukan darat kecuali pasukan kuda berada di
tangannya, juga seluruh armada pajang bintoro .”
Dan berceritalah Pada tentang segala yang diketahuinya
sambil tak melepaskan perhatian pada airmuka panembahan senapati ki ageng
kediri akhirnya: “Hm tampaknya kau tak percaya pada
keampuhan Fatahillah. Kang, dia orang dari blora.”
“Ya, aku tahu. Dia pernah dikalahkan nyi kanjeng blora di blora,
Dia sudah tinggalkan negerinya, makin jauh dari nyi kanjeng blora.
Mungkin semakin jauh begitu dia akan semakin berani.
Mungkinkah sesudah semakin jauh begitu dia akan berani
mendatangi jayamahanaya ? Aku ragu, Pada.”
“Tujuh puluh kapal, Kang raden gelang-gelang , paling tidak dapat
memuat sepuluh ribu centeng ”
“pajang bintoro takkan memiliki kekuatan sebanyak itu. Kau
bermimpi . Padas”.
“Siapa dapat melihat dalamnya telor, Kang raden gelang-gelang . Dan
itu belum lagi yang bakal bergabung. Dengan armada
sejenis itu ayam pun berani menyerbu jayamahanaya .”
raden panji gelang-gelang tetap termangu-mangu. Pikirannya bekerja
seakan ia kembali jadi panembahan senapati ki ageng kediri . Tujuh puluh kapal
besar, ditambah dengan yang bakal bergabung! Laut.
gada rujakpolo . Armada nyi kanjeng blora semua tiba-tiba jadi masalahnya
pribadi. Dan kapal-kapal itu dirasakan seperti kulit
tubuhnya sendiri, dan layar sebagai paru-parunya sendiri.
Dan pikiran itu selalu menjondil bila nama Trenggono
masuk kedalamnya. Mungkinkah sudah terjadi perubahan
pada kanjeng sinuhun ? namun pemipin pasukan kuda pajang bintoro tetap di
tangannya….
Pada mulai menuang bubur gula ke dalam cetakan. Busa
bubur itu sudah surut terkena kacangtanah parutan dan kini mulai
mengental.
“Ada yang belum dikatakan padamu, Kang. Jangan kau
terkejut. Putra-putra Semenanjung sendiri juga akan ikut
bergabung. Dan, dan, ada juga armada kecil Tiongkok yang
akan datang dari utara. Perang sudah juga mengganggu
perairan Tiongkok, selamat Kang.”
raden panji gelang-gelang mendengarkan dengan hati-hati dan tetap
dengan keragu-raguan pada pasukan Kuda pajang bintoro .
Waktu makan bersama panembahan senapati ki ageng kediri itu sudah
tenggelam dalam pikirannya. Ia belum dapat mempercayai
seluruhnya. Ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya
pada Trenggono, sebab dialah kunci Nusantara sekarang.
Tak ada sesuatu yang baik yang dapat diharapkan keluar
dari perbuatan seorang pembunuh saudara. nyi girah
memperhatikan raut muka dua orang Laki-laki itu berganti-
ganti. Dan ia mencoba mengalihkan suasana dengan bicara
soal makanan dan perburuan dan perladangan. Tak
berhasil.
Sesudah selesai makan, kecuali Pada, semua minum
tuwak.
Dan orang Laki-laki itu lalu menarik diri dan
bertiduran di geladak serambi. Dan waktu sinar matahari mulai
condong ke barat panembahan senapati ki ageng kediri membangunkan
tamunya, memberitahukan sudah tiba waktu baginya untuk
bersembahyang.
“Dan akan terus turun ke sawah. Pada, mpu wungubhumi ! Kau yang
membawa sapi!”
“Aku ikut,” kata Pada.
“Kau belum lagi bersembahyang.”
“Nanti di sawah sana.”
Dan mereka pun turun, berangkat ke sawah. Yang
tertinggal di rumah hanya nyi girah dan Kumbang.
Sawah itu bersambungan dengan sawah desa. Dari air
buangan itu ia menggenangi sawahnya sendiri. Dan tidak
dapat dikatakan luas, kurang dari satu bahu dan ditanami
sekali saja dalam setahun untuk menghasilkan beras selama
setahun penuh, bahkan berlebihan. Di musim kering ia
berladang dan sawah ia tinggalkan jadi padang rumput.
Pada dan mpu wungubhumi menggaru bergantian. raden panji gelang-gelang
menghancurkan bongkahan tanah di pojokan petak sawah
yang tak terkena garu. Dan bongkah-bongkah tanah yang
terkena mata garu itu pecah dan larut jadi lumpur. Anjing
tanah dan kelabang dan jengkerik berapungan, berenang
mencari daratan kering di tanggul-tanggul, menyelamatkan
diri dari kehancur an. mpu wungubhumi mencambuki hewan -hewan
itu sambil menyanyi menyenggaki Pada di atas luku yang
sedang mendendangkan kisah para nabi.
Di sawah desa tiada seorang pun nampak bekerja, sebab
memang belum waktunya.
Dalam mencangkul seorang diri di pojokan petak pikiran
raden panji gelang-gelang tetap tercencang pada Trenggono. Muka dan
seluruh badannya bergelimang lumpur. Orang takkan
mengenalnya lagi. Antara sebentar ia cuci mukanya dengan
air lumpur yang agak bening, namun tak lama lalu
lumpur menutup mukanya lagi.
“Orang yang tak pernah mencangkul tanahnya sendiri
itu yang justru paling banyak tingkah mengurus nya,”
pikirnya lalu . “Kalau Trenggono pernah mencangkul
begini, mungkin tak ada pikiran padanya untuk merayah
tanah orang lain.”
Dan pada waktu itu datang seorang penunggang kuda,
berseru-seru lantang: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! panembahan senapati ki ageng wilareja !”
raden panji gelang-gelang mencaup air yang nampak agak bening,
menyeka mukanya, dan dari balik pemandangan yang agak
kabur dilihatnya seorang centeng pengawal kediri dan
menghampiri.
“Sini!” balas raden panji gelang-gelang . Dengan masih membawa
cangkul ia naik ke atas pematang.
centeng itu melompat turun dari kuda, lari
memperoleh kannya, bersujud dan bersujud .
“Bangun!” bentak panembahan senapati ki ageng kediri . “Apa artinya semua
ini?”
“saya mengawal baginda tuanku raja Patih kediri Sang Wirabumi,
datang untuk mengunjungi panembahan senapati ki ageng wilareja . Gajahnya masih
agak jauh di belakang”
’Dengan gajah. Dia datang sebagai Patih kediri ,’ pikir
raden panji gelang-gelang ,
“Urus kudamu.”
lalu ia menceburkan diri ke dalam saluran sawah,
mandi di dalam air kuning itu, menggosok badan dengan
celana yang habis dicucinya.
“Tani begini, centeng , tak pernah berkulit bersih.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja , saya pun anak petani.”
“Dan kau lebih suka jadi centeng pengawal dibandingkan tani,
bukan?”
“saya , panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Jangan panggil aku panembahan senapati ki ageng , aku si petani kotor,”
katanya sambil memakai celananya yang basah dan
melompat naik ke atas tangguk
“Masa panembahan senapati ki ageng wilareja lupa pada bidai kecenteng an: Selama
musuh ada, belum ada atau sudah dikalahkan, panembahan senapati ki ageng
tetap panembahan senapati ki ageng ? Marilah panembahan senapati ki ageng wilareja , datang menyongsong
baginda tuanku raja Patih Kala chucky Sang Wirabumi”
“Berangkat kau dahulu , centeng ! Aku tak menyongsong
siapa pun.”
“Ampun, panembahan senapati ki ageng wilareja , bukan maksud saya ….”
“Berangkat!” perintahnya.
centeng itu mengangkat sembah, menuntun kudanya dan
pergi ke arah datangnya.
“Ada sesuatu yang sedang terjadi di kediri , Kang,” Pada
menukas “kediri memerlukan seorang raden panji gelang-gelang .”
“Husy!”
“Dan sekali ini aku pasti akan ikut denganmu. Tidak
untuk kau suruh melompat ke laut.”
mpu wungubhumi mengikuti percakapan itu tanpa mengerti duduk
perkara.
“Lebih baik kau pergi sekarang, Kang. Kami berdua
akan selesaikan petak ini.”
“Pergi dengan bagian luar basah begini?”
“Betul juga.”
Dari kejauhan terdengar sorak orang-orang desa.
“Itulah barangkali baginda tuanku raja Patih kediri ,” mpu wungubhumi naik ke
tanggul dan mendengar-dengarkan.
“Hari ini kita bekerja sampai di sini Paman, mari
mandi.” raden panji gelang-gelang pergi meninggalkan mereka berdua.
Sesudah keluar dari hutan muda dari kejauhan nampak
olehnya gajah kendaraan Sang Patih diapit oleh centeng -
centeng berkuda bersenjatakan tombak. Kala chucky berdiri
di atas bentengan kayu menerima sembah penduduk desa,
tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menjawabi
sembah dengan lambaian tidak ke utara . Destarnya
gemerlapan sebab intan-intan yang menghiasinya sedang
bercumbuan dengan sinar sinar matahari senja.
Dan di belakangnya orang-orang desa segera berdiri dari
sujud dan sembah dan lalu bersorak riuh.
Ia berhenti sejenak untuk melihat Kala chucky dengan
kebesarannya, menggeleng-geleng, tersenyum, lalu
langsung menuju ke pondoknya. Dilihatnya nyi girah dan
Kumbang sudah turun dari rumah untuk menyambut, dan ia
menggabungkan diri dengan anak dan istrinya.
Di hadapan mereka membentang panjang jalanan yang
dibikin oleh desa sampai ke depan pondok. Dan gajah itu
sudah memasuki jalanan baru itu. Pasukan pengawal
kadipaten itu mengedrap kudanya seiringan dengan gajah
yang berjalan lambat. Di belakangnya semua penduduk
desa mengiringkan.
Makin lama gajah itu makin dekat, makin mendekati
pondok. Pengawal yang di depan melepaskan diri dari
barisan dan seperti melayang menghampiri pondok,
berhenti di hadapan raden panji gelang-gelang dan mengangkat tombak
mereka. Seorang di antaranya berseru: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! Patih
kediri Kala chucky Sang Wirabumi berkenan datang untuk
berkunjung.”
“raden panji gelang-gelang sudah menunggu,” jawab panembahan senapati ki ageng .
centeng -centeng itu serentak menurunkan tombaknya dan
kembali menggabungkan diri pada barisannya.
Gajah itu semakin dekat, makin dekat. 30 depa
dari pondok hewan dalam apitan barisan itu berhenti.
Kala chucky berdiri dalam bentengan, mengangkat tangan
kanan dan berseru: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! Patih kediri Kala chucky
Sang Wirabumi datang berkunjung.”
“Masuklah, Sang Wirabumi!”
Gajah itu berlutut, lalu mendekam. Kala chucky
turun dan mengangkat sembah dada pada panembahan senapati ki ageng . Dan
raden panji gelang-gelang tidak membalasnya. nyi girah berlutut
bersujud nya dan Kumbang bersimpuh, bersujud
pula.
Jalanan itu sudah penuh dengan semua penduduk desa,
juga dari desa-desa lain. kepala dan kepala desa keluar dari
rakyatnya, menghampiri Sang Patih, bersujud dan mencium
kaki bergantian.
Kala chucky dan raden panji gelang-gelang dan keluarga naik ke
rumah. Dari bentengan kayu di atas gajah orang
menurunkan kranjang-kranjang garam dan ikan asin dan
trasi dan memasukkannya ke pondok nyi girah . Penduduk desa
masih pada duduk di jalanan menunggu perintah dari Sang
Patih kediri .
“Kau datang sebagai Patih kediri dengan segala
kebesaran, Kala chucky ,” raden panji gelang-gelang memulai.
“Tetap sebagai teman, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Kau harus menginap. Sebentar lagi malam.”
“Ya, kami semua harus menginap.”
“kepala desa nanti akan mengatur segalanya.”
“Bagaimana kesehatan panembahan senapati ki ageng wilareja dan keluarga?”
“Samalah dengan Sang Patih kediri .”
‘ah’
“Nampaknya kau sudah sangat berkuasa, Kala chucky .”
“gada wesi panembahan senapati ki ageng wilareja yang bikin aku jadi patih ini.”
raden panji gelang-gelang merasa tersinggung mendengar jawaban
itu. Ia tidak menduga tamunya sudah begitu berubah dan
mabok kekuasaan, sehingga kematian Sang Patih lama
dianggapnya sebagai pendukung atas kekuasaannya.
Kala chucky memperhatikan pakaian tuan rumah yang
kuning tercampur lumpur. lalu terdengar suaranya
yang di ucapkan dengan gaya pembesar terhadap bawahan:
“Mana mpu wungubhumi , anak panembahan senapati ki ageng wilareja ?”!’
“Uah, anak desa, masih di sawah. Senja ini baru akan
pulang”
Dan Kala chucky belum juga mengatakan apa maksud
kedatangannya, raden panji gelang-gelang memperhatikan airmuka
tamunya dengan waspada. Patih kediri itu mendekatinya,
membisikkan sesuatu, lalu tertawa terbahak. namun
tuan rumah tidak menyertainya tertawa.
“Aku bisa bayangkan,” panembahan senapati ki ageng mengangguk-angguk,
“betapa suli melayani orang tua yang semakin bawel dan
bertingkah. Lihat, akan kau biarkan bawahan mu, penduduk
desa ini bersimpuh menghormati begitu rupa?”
“Tiada kulihat mereka.”
“Kau hanya melihat ke atas. Kala chucky ,” ia turun,
menyuruh penduduk pulang, menyiapkan santapan malam
dan penginapan untuk tamu agung. Ia memberikan
petunjuk khusus pada kepala desa.
Waktu ia naik kembali Sang Patih sedang bicara dengan
nyi girah terdengar olehnya buntut kata-kata nyi girah : “Si
Kumbang belum cukup dia keloni. baginda tuanku raja .”
raden panji gelang-gelang menghentikan langkahnya. Ia lihat nyi girah
dengan terburu-buru seperti orang marah, menarik
Kumbang, memeluknya lalu dibawanya masuk ke
dalam bilik. Ia masih sempat melihat Kala chucky
membalikkan badan untuk menunggu kedatangaannya.
lalu dari dalam bilik terdengar olehnya suara istrinya;
“Nasibmu, Nak, nasibmu.”
raden panji gelang-gelang mengawasi Sang Patih dengan mata
curiga “Bukan maksudku, juga bukan kehendakku.
panembahan senapati ki ageng wilareja . Sang adiputro memanggil kembali Sang
panembahan senapati ki ageng . panembahan senapati ki ageng sudah diangkat jadi pimpinan gugusan
kediri untuk ke jayamahanaya . Lima ratus orang ada panembahan senapati ki ageng wilareja ,
seperti beberapa belas tahun yang lalu.”
raden panji gelang-gelang terduduk di ambin. Ia terpukau. pada
sesuatu yang justru tidak dilihatnya. Tangannya mendekam
paha lalu berubah jadi tinju.
“panembahan senapati ki ageng wilareja ! Aku datang sebagai Patih kediri Sang
Wirabumi.”
raden panji gelang-gelang tak menjawab. Bibirnya tertarik lempang
dan menghembuskan nafas desis.
“Bukankah panembahan senapati ki ageng wilareja masih bawahan kediri ?”
raden panji gelang-gelang menarik kedua belah lengannya jadi siku-
siku dan menompangkan tinju pada kedua belah pahanya.
Duduknya tegak, giginya berkerut. Dari dalam bilik dia
dengar suara istrinya, tak jelas.
“panembahan senapati ki ageng wilareja belum juga menjawab.”
Tuan rumah bangkit berdiri, melangkah cepat-cepat
masuk ke dalam bilik, dan tamu itu mendengar suatu
percakapan pelahan antara suami dan istri. Agak lama.
lalu , tanpa diduganya, terdengar suara nyi girah kesal:
“Semua yang berbahaya dan berat diberikan kepadamu.
Bakal memperoleh apa anak-anak ini nantinya?”
0odwo0
31. Kembali ke jayamahanaya
Memang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi.
Dahulu itu jenggala kediri penuh dengan umbul-umbul
dan sorak-sorai yang berkumandang seperti resi h. Pendeta-
pendeta sri ratu kertanegari dengan jubah kuning menggemerincingkan
giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah
banyaknya, untuk memberikan restu. Sri Baginda
Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan
berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya
dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama
Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini
harus berhasil, harus, demi Maha sri ratu kertanegari . Kalau tidak,
Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan.
Dan berangkatlah armada itu untuk memasuki daerah-
daerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada
kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil
menusuk ke selatan, memuntahkan prajurit kerajaan nya yang
termasyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan
keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun
lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara sudah memerintahkan:
persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng
terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian
armada Singosari muncul dengan segala kebesaran negeri-
negeri jawadwipa .
400 tiga puluh tiga tahun lalu , pada 1523
Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer.
Tidak ke daerah jawadwipa , namun ke jayamahanaya . Tidak dengan
umbul-umbul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta sri ratu kertanegari
membawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal
perang namun dengan tiga puluh buah jung! Tidak
diantarkankan Sang adiputro kediri , hanya oleh Patih Sang
Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang
mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan
diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang adiputro menolak
menyerahkan dua pucuk gada rujakpolo . Juga dalam dada mereka
yang mengantarkan tanpa sorak sudah terjalari perasaan
umum: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka
prajurit kerajaan dari gugusan kediri itu.
“Baik,” kata raden panji gelang-gelang pada Kala chucky yang berdiri
di dermaga. “Kami akan berangkat sebagai hukuman.”
“Patih kediri tidak menghukum siapa pun, panembahan senapati ki ageng wilareja .
Semua atas perintah langsung Sang adiputro .”
“Ingat-ingat ini: raden panji gelang-gelang takkan kembali ke negeri
ini sebelum Sang adiputro mati.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja , Kala chucky tak bisa berbuat apa-apa.”
“Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini?”
“Jung-jung para pedagang Tionghoa, panembahan senapati ki ageng wilareja , ditarik
dari mana-mana jenggala oleh shinoda Han. panembahan senapati ki ageng wilareja
nanti akan bertemu dengannya di campa . Sang adiputro
tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.”
“Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan
kapal nyi kanjeng blora! Kami diharapkan jadi makanan hiu martil . Tak
dapat bertahan sedikit pun terhadap nyi kanjeng blora. Baik, kami
jalani hukuman mati ini.”
“Kala chucky tak dapat berbuat apa-apa.”
raden panji gelang-gelang tak menggubris ulangan itu. Dengan
geram ia memasuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyi-
senyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat.
Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara.
centeng laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam
hati: Apa kesalahan maka Sang adiputro berlaku demikian
terhadap bawahan sendiri, dan siapa sebetulnya yang
mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini?
Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya,
panembahan senapati ki ageng raden panji gelang-gelang . Dan orang melihat, tak seorang
pun di antara keluarga panembahan senapati ki ageng datang menguntapkan
keberangkatannya. Orang pun mengetahui: nyi girah sudah
menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki
di ibukota negeri kediri . Bahkan anaknya memasuki umur
lima belas itu tidak mengantarkan suatu hal yang
dianggap tidak patut bagi seorang anak panembahan senapati ki ageng . Dan
ditambah lagi dengan sumpah raden panji gelang-gelang sendiri yang
takkan kembali lagi ke kediri sebelum Sang adiputro mati.
Setiap orang memiliki pikirannya sendiri. Juga panembahan senapati ki ageng . Ia
masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum
berangkat meninggalkan hutan larangan . Anak-anak itu
bersimpuh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani,
membantu dan membela ibu mereka. Dan nyi girah , ah,
wanita yang selalu ditinggalkannya itu ia tak bicara apa-
apa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya;
protes keras tak terucapkan terhadap Sang adiputro . Dan
seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selamat
jalan. Wanita pada menangis untuk nyi girah , dan Laki-laki
menekur mengherani keputusan Sang adiputro mondar-
mandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas
benteng penduduk: “Jaga Nyi kembang nyi girah dan anak-
anaknya. Urus keselamatan dan kesejahteraan mereka.”
Di kediri Kota Sang adiputro menolak dihadap. Dan
sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke
medan perang.
Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia
mengucapkan syukur alhamdulillah sebab
keberangkatannya. Setidak-tidaknya ia merasa
memperoleh kan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh
jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin mudah
ia dapat menyusun pikirannya.
Di hutan larangan ia merasa otak dan hatinya
terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu
terus juga mendayu-dayu memanggilnya. Kalaulah tidak
disuruh raden panji gelang-gelang tak bakal ia dapat meninggalkan desa
perbatasan itu untuk menemui shinoda Han.
Pada hari pertama kedatangannya di campa ia diajak
yang pang pang beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati
pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah.
Suara Gabah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan
angin keras terus-menerus, suaranya tetap tak
menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat
sepatah demi sepatah. “Memang banyak jenggala -jenggala
yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan
nyi kanjeng blora bila serangan gagal. Memang sulit untuk dapat
mengabarkan . Semestinya jayamahanaya dengan mudah bisa
dijatuhkan. Ada suatu kelemahan umum pada mereka:
penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan.
Penyerangan dari barisan punggungnya akan membuat
mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.”
Dan ia bertanya: “Kita? Maksud Babah Tiongkok juga
akan ikutserta ?”
Dan yang pang pang menjawab: “Tidak, kami hanya
perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa
membantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan.
Kami hanya pedagang, bukan centeng . Aku sudah usahakan
agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka
menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin.”
“Siapa mereka itu?”
yang pang pang tak menjawab, hanya berkata, “Aku
sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang
nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orang-
orang Tionghoa memiliki perhatian dan ikut bergabung dalam
penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti.
Kesatuan Tiongkok akan dan. Semoga berhasil.”
Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami
dengan tingkah hatinya sendiri yang bermimpi kan nyi girah ,
istri dari seorang sahabat raden panji gelang-gelang , dan berharga bagi
dirinya sendiri.
Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak
berbahasa Jawa atau jawadwipa . Semua orang Tionghoa totok,
dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan
dengan para centeng . Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang
dipakai .
Sebagian kecil dari awak kapal beragama arca dan pada
setiap kesempatan ikut berjemaat.
Di campa armada jung itu berlabuh.
yang pang pang menjemput raden panji gelang-gelang dan
menemukan Pada ikutserta .
“Tak perlu lama-lama berlabuh di sini,” pesan Babah
Liem. “panembahan senapati ki ageng wilareja bisa tertinggal oleh armada suryabuaya .”
Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jung-
jung itu bahan makanan, pakaian dan senjata.
“Juga tidak perlu bermalam di suryabuaya . Bila sudah sampai
di Semenanjung, memantai sebelah barat Sumatra,
panembahan senapati ki ageng wilareja mendarat di mana saja di sebelah utara jayamahanaya .
Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus
mendarat. Bila panembahan senapati ki ageng wilareja sampai di Aceh, pasukan
gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.”
raden panji gelang-gelang terheran-heran mengapa kata-kata
sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang
memberikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima
pajang bintoro Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang
tidak mengerti.
Melihat itu yang pang pang meneruskan dengan gugup:
“Ya, panembahan senapati ki ageng wilareja , saya hanya meneruskan pesan baginda tuanku raja
Ratu Aisah, Ibunda kanjeng sinuhun . kediri , Aceh dan Bugis akan
merupakan satu kesatuan tersendiri. pajang bintoro akan
menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri
pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur
Semenanjung. Boleh jadi armada pajang bintoro sudah berangkat
terlebih dahulu. Atau lebih lalu .”
raden panji gelang-gelang semakin terheran-heran. Bagaimana bisa
demikian? Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap
yang pang pang tak memiliki sesuatu hak untuk
memberinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan
ia menatapnya dengan curiga.
Dan yang pang pang berusaha untuk tidak bicara lagi,
mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya.
panembahan senapati ki ageng kediri mengucapkan terima kasih atas
usahanya memperoleh kan jung sebanyak itu.
Pada berusaha menyertai bicara, namun yang pang pang
hanya menghormatinya dengan sopan lalu
mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal.
Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap:
suram bertanya-tanya.
Walau sudah dipesan oleh yang pang pang agar tak
bermalam di suryabuaya , raden panji gelang-gelang memutuskan untuk
singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin
memperoleh kan petunjuk dan perintah langsung dari
Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir
dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya
padanya.
Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem
Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia
bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang
ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan
ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu.
Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram.
“Kosong!” seru raden panji gelang-gelang waktu dari jung bendera ia
melihat pelabuhan suryabuaya kosong.
Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal
bendera adiputro tumenggung dijoyo yang dipajang di pelabuhan.
“Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu!”
serunya geram.
Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas
tahun lamanya menjalankan perintah tumenggung dijoyo untuk jadi
tontonan ummat manusia sebagai kapal yang pernah
bertempur melawan nyi kanjeng blora silelananging jagad.
Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan!
Dan kapal pameran itu seakan dimaksudkan sebagai
lambang kapal mana pun bisa melawan nyi kanjeng blora.
adiputro tumenggung dijoyo sudah melarang diadakannya perbaikan
sesudah 1513.
Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal,
bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal
sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal
menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas
kerusakan yang bisa membuat kapal itu tenggelam. Dan
semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk
menonton.
kanjeng sinuhun Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah
memerintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya
pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan.
Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan
satu itu.
Lima ratus centeng laut kediri yang bersemangat rendah
sejak mancal, melihat kekosongan suryabuaya seperti melihat
bekas pesta. Di mana-mana nampak daun bekas
pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup
angin. Dan kalau selama pelayaran mereka banyak
termenung-menung, sekarang mereka mulai berteriak-
teriak: ”Kurangajar! Tak tahu diuntung!”
raden panji gelang-gelang dapat mengerti perasaan anakbuahnya.
Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia sudah
menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah
pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana.
Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun
sahabatnya itu bekas seorang musafir pajang bintoro , dan mungkin
masih tetap seorang musafir Trenggono.
Jung bendera mulai melewati yang satu itu, memasuki
selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. panembahan senapati ki ageng kediri
itu memerlukan mengangkat sembah pada gambaran gaib
adiputro tumenggung dijoyo . Dan jung menuju langsung ke pelabuhan.
jenggala itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang
umbul-umbul segala warna. Galangan dan bengkel sama
sekali berhenti bekerja. Bahkan patih wirabuana pun tak
nampak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua
berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di
samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para
penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton
berlabuhnya armada aneh itu. raden panji gelang-gelang mendarat
dengan wajah merah padam.
“Anakku,” tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu.
“Sudah kami duga kau akan singgah.”
panembahan senapati ki ageng kediri segera teringat pada wanita tua itu. Ia
bersimpuh dan bersujud : “baginda tuanku raja Ratu, patih singgah.”
“Armada suryabuaya sudah berangkat mendahului. Tentu
Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu,
raden panji gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng kediri . Jangan berkecil hati,
sebab kau, anakku, akan membentuk kesatuan sendiri
dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah
dibawa dan dikenakan almarhum tumenggung dijoyo waktu menyerang
jayamahanaya , pertanda kau diberi wewenang oleh suryabuaya dan
pajang bintoro . Sri Baginda kanjeng sinuhun Trenggono merestui kau.
panembahan senapati ki ageng kediri . sang hyang Widhi akan memimpin dan memberkati
dan melindungi kau dan semua anakbuahmu, demi doa
kami. Insya sang hyang Widhi selamat dan berhasil.”
Wanita tua itu minta raden panji gelang-gelang mengulurkan
tangan-kanannya, lalu memasangkan cincin. Dan
panembahan senapati ki ageng membalas dengan sembah dan beribu terimakasih
dengan kepercayaan itu.
Ia memberanikan diri mengangkat muka dan bertanya:
“Ya, baginda tuanku raja Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami
diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal
perang sebagaimana layaknya?”
“Jangan bertanya, anakku, sebab itulah kiriman sang hyang Widhi
dan bukan sekedar manusia yang mengusahakan.”
“Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung
untuk bisa bergabung dengan armada suryabuaya -pajang bintoro ?”
“Jalan dan tugasmu sudah ditentukan, anakku. Lepaskan
armada suryabuaya -pajang bintoro dari pikiranmu.”
“Armada jung ini takkan dapat lari dari nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja
Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.”
“Kau takkan dikejar nyi kanjeng blora, juga tidak melawan di
laut. Tugasmu melakukan pendaratan.”
Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan
para penandu lari menghampiri, bersujud , lalu
mengangkatnya, bergerak meninggalkan jenggala .
raden panji gelang-gelang tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin
tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera
mendarat: “Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan
berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat
untuk menggempur jayamahanaya . Jangan pikirkan yang lain.”
Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat
armada aneh armada jung berbendera kerajaan jenggala . Armada
apakah ini gerangan? Armada dagang membawa beras ke
blora? Dan tidak lain dari raden panji gelang-gelang juga yang merasa
jengkel armada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai
keanehan jaman yang perlu disaksikan.
Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas
tandunya mengantarkan armada jung itu dengan pandang
yang memendungi selaput awan.
“Nenenda,” panggil cucunya, “ke mana mereka
belayar?”
“jayamahanaya , mengusir nyi kanjeng blora.”
“Mengapa nenenda menangis?”
“Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah buatan
pamanmu. Upik, semestinya mengangkut mereka.”
“Ya, nenenda, namun mengapa nenenda menangis?”
“Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk
mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan
diri merasa demikian rendahnya di hadapan sang yang betari durga Yang
Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, tumenggung dijoyo ,
penantang nyi kanjeng blora?”
“Tentu, nenenda. Paman adiputro tumenggung dijoyo , penantang
nyi kanjeng blora.”
“Dan ingat-ingatlah satu nama lagi: raden panji gelang-gelang . Dia
pun menantang nyi kanjeng blora. Kau masih terlalu kecil untuk
dapat mengingat wajah pamanmu almarhum. namun
raden panji gelang-gelang kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau
lupa seumur hidup.”
“Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda?”
“Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang,
antarkan armadanya dengan doa selamat, cucunda. dani
nenenda mengucapkan doa untuk kemenangannya.”
Wanita itu mengucapkan sebaris kalimat doa dan
cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga
selesai. lalu dengan suara dalam sebab perasaan
tertekan ia meneruskan: “Kelak kalau orang-orang seumur
aku sudah dipanggil sang yang betari durga , cucunda, orang-orang
seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu
lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan
sentausa, adil dan sejahtera, adalah sebab mereka. Kalau
yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau
akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf,
berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.”
Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada
armada jung dan cericau cucu tentang umbul-umbul dan
rombongan penonton di pelabuhan.
Sesudah bersembahyang sore Ratu Aisah berdoa
sampai menjelang di kuil , doa terpanjang yang pernah
diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata
ia memohon kedamaian dan kemampuan untuk
memaafkan putranya kanjeng sinuhun Trenggono, sebab armada
suryabuaya -pajang bintoro sudah dilarang oleh putranya menerima
penggabungan kediri , dan berangkat satu hari sebelum
waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang
berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut
ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya
armada itu menuju ke jayamahanaya . Maka ia berdoa agar sang hyang Widhi
menggerakkan putranya untuk menggerakkan armada itu
langsung ke sasaran. namun hatinya tidak percaya .
Sesudah bersembahyang di kuil ia menengok cucunya yang
ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di
samping cucunya.
“Mengapa nenenda begitu terlambat?” tegur cucunya.
“Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah
hafal.”
Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan
sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah
untuk lalu terhenti dan disambung dengan nafasnya
yang teratur.
Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik.
Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman,
memandangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap.
Jiwa yang sudah tua itu berteriak -raung pada antariksa,
memanggil-manggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam
kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai
buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi
kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini,
habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa
daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah
dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku
usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku
dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, sebab
jaman yang itu akan membuat sia-sia segala dan semua
yang sudah umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya sang hyang Widhi ,
ya sang hyang Widhi .
Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para
inang masih juga menunggui. Makan malam sudah
dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah.
Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu,
lalu kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali
dan bersembahyang tahajjud sampai subuh.
Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah
utara untuk memperoleh kan angin yang lebih
menguntungkan.
Dan raden panji gelang-gelang masih juga tenggelam dalam
pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya.
Orang melihat keterangan sudah memperkosa airmukanya.
Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal
duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada
orang yang berani menyilakannya makan.
Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia
berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang
serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam.
Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato
betari resi yang terakhir itu, sewaktu cengkaman resi -
pembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini
orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan
tiba-tiba semua pandang terarah pada nyi girah yang angkat
bicara: “betari , aku tak begitu tertarik pada kata-katamu
yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman
kejayaan yang kau agung-agungkan itu.”
betari resi menengok ke arah nyi girah , tersenyum dan
mengangguk: “Permintaan yang bijaksana. Gadis, agar
kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri
sekarang ini. Dengarkan, Gadis: “Dalam seluruh
pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman
kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di
mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut
dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang
sekali. Gadis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya
mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu
lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka
lagi. Kau anak berbahagia, Gadis. Memang aku lebih suka
melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka,
sebab jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan
kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengah-
lengah tak sanggup membiakkan kacangtanah itu.”
“Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri,
betari ,” seseorang memprotes.
“Itu menurut kau. Soalnya sebab kalian sejak dahulu tak
mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku
masih terus bicara dan kalian masih juga menganga
menunggu datangnya lalat.”
“Mulailah dengan cerita itu!” nyi girah mendesak.
“Baik,” sambar betari resi untuk meninggalkan
pertengkaran secepat mungkin. “Dahulu adalah seorang
anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah
kampung nelayan di kediri . Seorang bocah yang oleh para
dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk kerajaan jenggala dia
ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang
dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan
ratus o-rang centeng dan 400 tawanan, kapal-kapal
besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang
agungnya selalu terpasang bendera hitam kuning merah yang
berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal
kecil kediri sekarang ini, hanya lebih pendek.
“Beratus-ratus kapal sejenis itu dibuat di galangan-
galangan kerajaan jenggala di kediri , pasuruan , Kawal, Panarukan,
Pasuruan, Pacitan, Juana… aku kira jumlahnya takkan
kurang dari 2000. Penuhlah laut dengan armada
kerajaan jenggala . Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka
istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu
berlayar sutra kuning gemerlapan.”
“Apakah betari pernah melihat dan menaikinya?” nyi girah
bertanya lagi.
“Waktu muda, ya, dari pasuruan sampai ke Nalagasari,
dari jayamahanaya sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara.
Tak ada yang menyamai besar dan kelajuannya. Kapal-
kapal negeri dongeng itu, huh, apalah artinya, seperti kambing
di sebelah kuda. Dan bila semua layar sudah dikembangkan,
laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya
semua buatan manusia yang terapung di atas laut. Seribu
bajak takkan dapat memburu apalagi mengepungnya. Ya,
Gadis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal
kerajaan jenggala ini. Tak ada lagi yang bisa membuat nya
sekarang.”
“Mengapa tak bisa? Bukankah di jenggala -jenggala orang
terus menggalang?” nyi girah merangsang. “Aku sendiri
pernah berkunjung ke sebuah galangan kediri setahun yang
lalu.”
‘Tidak bisa. Gadis. Sudah lebih seratus tahun orang tak
dapat membuat nya lagi. Orang yang dapat mengetahui
kayu lunas yang dipakai oleh Mpu Nala sudah tiada.
“Bocah dari kampung nelayan kediri itu bukan saja
seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia
pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja
katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar
dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun
sesudah Mpu Nala wafat, orang memang masih
membangunkan kapal kerajaan jenggala , sebab masih ada
persediaan kayu lunas. Sesudah habis, habis pula
kemungkinan.
“Pada suatu kali,” betari resi meneruskan.
Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan
kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati
setengah orang, “Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana,
begitu menurut cerita resi ku dahulu . Ternyata gunung itu
sudah meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan
tetumbuhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima
dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.”
“Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tumbuh lagi di
sana,” raden gelang-gelang mencoba menyertai.
“Mungkin kau tak salah, Perjaka. namun orang sudah tak
tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa
diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan
sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan
untuk mencari kayu, namun rempah-rempah semata.” Ia diam
sebentar untuk minum. “Memang tidak semudah itu. Mpu
Nala sudah merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu,
semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal
kerajaan jenggala bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.”
“Mengapa kau tak bicara lagi, Kang?” nyi girah berbisik
pada raden gelang-gelang .
Dan raden gelang-gelang hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita
resi itu.
“Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya.
Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya sudah berkali
diganti. Kata resi ku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas,
beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan
sesuatu. Orang tak tahu ramuannya. Pewaris tunggal
ramuan adalah anaknya, juga seorang Mpu kapal. Sayang,”
ia menghembuskan nafas keluh, “ia tewas dalam
pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang
Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang
mampu membawa ratusan centeng begitu, dan
perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapal-
kapal sejenis itu masih ada, dan sebanyak dahulu , tak bakal
ada kapal Parsi, palawa dan Benggala berkeliaran ke mari.
Satu demi satu kapal itu hancur dalam Perang Paregreg.
Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata
satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut
akhirnya semuanya.
Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari kediri
ke jayamahanaya . Yang melarikan ialah suami paduka raja Suhita.
Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran
Bhre Paramesywara itu marak jadi raja di jayamahanaya , namun
tak pernah dapat membangunkan sendiri kapal kerajaan jenggala .
Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau
kerajaan jenggala tak mampu hidup di Selatan, kami akan
hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Paramesywara.
Ternyata jayamahanaya tidak pernah melahirkan Mpu Nala.
jenggala nya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus
dibandingkan kediri , namun merugikan jenggala -jenggala di
bawahnya, dan tinggal jadi jenggala dagang dan
persinggahan. kerajaan jenggala runtuh di selatan dan tak bangun
di utara.”
“betari ,” seseorang menegur, “sebenarnya kau hendak
bicara tentang apa? Bicaramu tidak menentu. Kau
mengagungkan kejayaan kerajaan jenggala .
Yang kau agungkan runtuh. Di mana pula kejayaannya?
Bicaramu melompat-lompat seperti katak diburu ular!
“Uah! kau benar,” betari during mengangkat dagu
tinggi-tinggi, mukanya sudah berkilat-kilat sebab keringat.
“Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya
dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari
hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan
mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu melihat katak cuma
dalam buruan ular. Mengerti kau apa maksudku? Boleh jadi
kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang
bisa memperluas hatimu. Puh! betari resi bukan si
pengluas hati.”
“Tak ada yang berkeberatan betari seorang pengeluas
hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baik-
baik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam?
Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam
hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau
bicara tentang yang sudah mati, betari ,” penyanggah itu
menetak gencar. “Katakanlah, kau bicara tentang suralaya
atau kerajaan dedemit?”
“Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak
tahu. Itulah perkara ppalawa iksu, pandita dan peserta da. Aku
tak bicara tentang kema-tian. tentang kehidupan, tentang
hidup dan bercipta dan mencipta. kerajaan jenggala kehilangan
Mpu Nala, dan jayamahanaya tidak melahirkannya. Di Suralaya
dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapal-
kapalnya sudah pasti akan datang di jenggala -jenggala seluruh
dunia. namun , dengarkan, kau yang tak mengerti tentang
kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau
pembantah, negeri dengan jenggala begini,… orang cukup
duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan
banyaknya kapal sendiri yang mondar-mandir pergi dan
datang… orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu.
Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak
bakal mengerti maksudku. Dan barangkali sebab kata-
kataku ini bukan saja seorang namun banyak Mpu Nala,
sebab panggilan ini, membenih dalam guagarba perawan-
perawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini/’
betari resi diam dan berdoa. Juga raden gelang-gelang
mengangkat sembah. Kata-kata betari yang terakhir itu
menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan
kawini nyi girah . Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu
penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan.
Ia sendiri, seperti yang lain-lain, sudah banyak mendengar
tentang kebesaran dan kejayaan kerajaan jenggala kerajaan jenggala
yang kini sudah mati tinggal jadi cerita itu. Doa betari
resi ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau,
kau munculkan dia dari guagarba haridepan.
Ketika ia menengok pada nyi girah , perawan itu sedang
tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain
kerudung pada bahu pacarnya. lalu tangannya
mencari tangan nyi girah , dan mereka berpegangan tangan
seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya.
“Panas’ bisik nyi girah .
“Mereka namai dia seorang dewa haridepan,”
gumamnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan
penghargaannya, ia angkat kata: “betari , kau tahu tentang
jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan
ini seperti kau sendiri sudah katakan, maka kau berseru-seru
pada jaman mendatang, seakan kau hendak memberikan
pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti
banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu
permainan.”
“Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan
bergandengan tak putus-putusnya.”
“Ya, bersambungan terus-menerus. namun tidakkah kau
keliru. betari , atau sengaja membodohi kami, atau memang
melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua
pembohong, waktu kau mengatakan lunas kapal Mpu Nala
jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti,
sampai kapal itu mencapai umur lebih dari seratus tahun?”
“Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Memang aku tak
dapat membuktikan sebab barangnya sudah tidak ada.
Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan.
Kau sendiri pun takkan dapat membuktikan kebohonganku.
Di jaman jaya dahulu memang seorang pembicara harus bisa
buktikan kebenaran omongannya, kalau diminta. Itu aturan
dahulu . Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang
dengan sendirinya.”
betari resi menggerakkan tangan untuk melukiskan
bentuk lunas.
“betari , kau tidak memanggil kebesaran pada guagarba
haridepan. Kau memanggil prajurit kerajaan kediri untuk
menumpas kami…,” seseorang menuduh.
Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: “Mpu Nala
bukan sekedar hanya memperoleh kan kayu itu. Dia memiliki
sumber cipta agung. Dia juga yang membuat aturan
sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut
dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang
ini.”
“betari , sebab kau sudah bilang para resi -pembicara
sekarang ini tak dikenakan aturan membuktikan kebenaran
kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh membohong
sekuat mulutmu. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.”
Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya
menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerut-
kerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan
ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para
pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan pukul .
Tak ada keluar kata-kata dari mulut.
Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek.
Dan mereka yang arif dapat segera melihat, resi -pembicara
itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal
wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan
kejayaan kerajaan jenggala adalah juga singgungan terhadap
kehormatan pribadi betari .
“Mengapa terdiam? Mengapa tidak memekik dan
berjingkrak?”
“Jangan menangis, betari ,” seorang dari banjar tengah
melengking ria, “memang orang-orang muda wajib
menghormati orang tua, namun jangan kau kira kau boleh
semburkan abab semau sendiri.”
betari resi belum juga menjawab. Nampak benar ia
sedang bergulat untuk menindas perasaannya.
Tak lain dari nyi girah yang berusaha menyelamatkan
betari . Berseru ia keras-keras: “Aku menghargai betari .”
nyi girah berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi
raden gelang-gelang menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru
menyokong nyi girah dan membenarkannya.
Baru lalu keluar kata-kata betari yang berat dan
sepatah-sepa-tah: “Kalian datang di hadapanku untuk apa?
Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara.”
Suara itu bernada rendah memohon simpati…. “Seorang
diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian
tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan
kemerosotan. Lebih 30 tahun aku bicara. namun
orang masih juga tak mau mengerti.”
Sekarang suaranya mengambil nada semula, cepat dan
bersemangat: “Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti,
jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan
sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang
bakal datang tak lain dari kehancur an.”
“Kalau begitu. betari ,” raden gelang-gelang memaksa bicara hanya
untuk menunjukkan simpati. “Ceritai kami bagaimana
orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan.
Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak
mampu mengerti.” “Kau jadi panas, Kang?” nyi girah berbisik
memperingatkan. “Para pengejek itu tak hanya sekelompok
buaya.” Suasana berubah waktu gadis anak kepala desa
datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di
hadapan betari , dan mengambil cawan yang sudah kosong,
lalu pergi lagi.
resi itu nampak sangat haus. Ia ambil gendi dan minum
dari kucuran cucuknya.
“Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan
jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman
dari pengertian-pengertiannya. resi -pembicara seperti aku
ini hanya menyampaikan pengertian. Orang yang tidak
bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang
berganti kalau cambukan perang sudah mendera-dera pada
punggungnya. namun darah dan keringat yang
dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan
meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah,
jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu.
Kesalahannya hanya: bebal, tak memiliki kebijaksanaan.”
Tiba-tiba betari resi meringis. Tangannya menelusuri
perutnya. Sakit perut! orang menduga. lalu nampak
betari mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah
kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat:
“Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang sudah
membangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti dibandingkan
hanya sekedar menahan kemerosotan.”
Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri
perut.
“Ada seorang anak desa, seorang anak lurah,” katanya
cepat-cepat. “Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang
centeng pelarian prajurit kerajaan Tatar Kublai Khan. Dari
pengemongannya si bocah belajar membuat senjata-api
penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang
bocah. Dia pun memiliki cipta dan dayacipta besar. Aku akan
perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya,
dan prajurit kerajaan yang memakai nya akan menjadi
pemenang tunggal di atas bumi manusia ini.
Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat
memakai senjatanya. Sesudah dewasa ia tinggalkan
desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke
pusat kerajaan kerajaan jenggala . Dengan ilmu berkelahi dari
pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala
ki glodog dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira
pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia memperoleh nama
militer: Gajah Mada.”
Wajah betari kelihatan pucat. namun ia berkukuh
meneruskan ceritanya: “Dengan daya cipta besar ia berhasil
meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu
sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia
kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan
nama cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang
dipersenjatai cetbang armada kerajaan jenggala tak pernah
menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara,
kerajaan-kerajaan jenggala pada takluk dan menyerah.”
Kembali ia meringis dan menekan-nekan perut.
nyi girah bangkit untuk menolongnya.
betari resi meneruskan: “Tidak menemui
perlawanan di mana pun. Di setiap jenggala kerajaan di
seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang
menyongsong armada di jenggala nya. Peluru-peluru cet-bang
yang berledakan di udara, seperti kilat dan resi h sekaligus,
membuat kerajaan jenggala jadi penguasa tunggal atas Nusantara
suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selama tiga ratus
tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas
permukaan air memhancur kan armada-armada perampok
dan bajak laut. Maka darat dan laut aman.
“Dalam sepuluh tahun lalu kerajaan jenggala mulai jadi
kerajaan . lalu seluruh Nusantara bersatu di bawah
bendera hitam kuning merah nya.”
Ia menresi ti perut, dan dada dan leher. Suaranya
kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap
meneruskan: “Waktu itu hanya ada dua paduka raja . paduka raja
Tiongkok di utara dan paduka raja kerajaan jenggala di selatan….”
Kebesaran dan kejayaan masa lalu, raden panji gelang-gelang
berkata , lalu menghembuskan nafas dalam. Kapal
besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku
hanya dengan jung… jung Tiongkok pula….
Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas
kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya,
dan dibuatnya jadi penutup dada.
Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini
mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani.
Entah sudah berapa puluh saja hewan itu sudah memasuki
jebakan ranjaunya. Semua sudah ia kuliti, ia potong-potong,
didendeng. Rusa-rusa itu makhluk yang tak berbahagia di
negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami
seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang
yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara
di desa-desa. Yang dungu memiliki segala-galanya dan
dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat
kesukaannya.
Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya.
Bukan bayangan yang tiba , bukan rusa bukan
kijang, namun tanya dan duga yang tiada putus-putusnya.
Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun
mendatang? Apakah serba kebalikan dibandingkan impian betari
resi impianku pribadi? Bagaimana bakalnya nasib mpu wungubhumi
dan Kumbang? Apakah mereka akan lebih buta dan lebih
tidak berdaya, tidak berkemampuan, dibandingkan aku? Apakah
mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang
dungu?
Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah
melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia
memberanikan diri bertanya: “Bukankah kita tetap menuju
ke jayamahanaya , Kang?”
“Jangan pikirkan yang lain-lain,” ia ulangi perintahnya
pada para peratus di jenggala suryabuaya . “Kita akan gempur
jayamahanaya .”
Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari
kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung
naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung,
dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin
cerah menantang laut.
“Kau ingat rumah, Kang?”
“Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono
dan Fathillah.”
“Jung-jung ini takkan mungkin dapat memburu armada
Fathillah,” Pada mengalihkan percakapan.
‘Trenggono dan Fathillah, Pada,” raden panji gelang-gelang
memperingatkan.
“Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita
fikirkan, Kang. Hanya jayamahanaya tujuan kita. Mereka hanya
kanjeng sinuhun dan Panglimanya, laksamananya, mereka hanya ipar
dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap
jayamahanaya , Kang.”
“Mengapa yang pang pang tak bersabda terhadapmu?”
“Juga tidak padamu. Urusan kita tetap jayamahanaya , Kang.”
Armada jung aneh itu tidak menyinggahi jenggala -jenggala
kecil. Dan centeng -centeng laut ini berlayar semata-mata
dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak memiliki
banyak kerja, dan mencoba melupakan tugas tidak menentu
dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku
sebagai seorang resi -pembicara. Bergurau pun tidak terjadi,
kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin
mereka.
Ketiga armada jung akan melalui jenggala jatikerto , dari
kejauhan nampak armada suryabuaya -pajang bintoro seperti sebarisan
camar yang sedang mengapung di permukaan air, putih-
kelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal
berlayar dengan layar kuning gemerlapan.
Semua orang memerlukan meninjau. Dan mereka tidak
bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali
tidak mereka harapkan.
“Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa!”
perintah raden panji gelang-gelang . Ia sendiri malu memerintahkan
untuk mengejar. Yang demikian-memang tidak mungkin.
Orang menghindarkan pandang dari jenggala jatikerto dan
membutakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar
dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai
dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan
keemasan itu makin lama makin kecil. Memang tak
mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia
diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul
jengkel.
Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama:
”Aaaaa!” dan armada suryabuaya -pajang bintoro membelok ke kiri,
memantai pesisir barat jatikerto menuju ke selatan, ke Ujung
Kulon.
“Khianat! Benar ada pengkhianatan,” gumam
raden panji gelang-gelang pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum:
begitu juga barangkali yang dirasakan oleh adiputro tumenggung dijoyo
waktu kediri tidak juga muncul untuk bergabung.
Sekarang ia sudah dapat menangkap gambaran
selengkapnya: semua harapan tentang suryabuaya -pajang bintoro harus
dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari kediri untuk
mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal
mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa
bersalah pada Sang adiputro . Gila!
Armada suryabuaya -pajang bintoro di bawah Panglima Laksamana
Fathillah sudah membelok ke kiri, memantai sepanjang barat
jatikerto .
Para centeng laut suryabuaya terheran-heran: mengapa tidak
ke Utara? Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa
sebetulnya sedang terjadi? namun semua di kuil rat dari
kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak
berjawab.
Sampai di Ujung Kulon hanya beberapa regu centeng
dari kapal bendera diperintahkan mendarat. Juga Panglima-
Laksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin
anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka
naik lagi membawa terlalu banyak kacangtanah muda.
lalu armada itu balik lagi ke utara, memasuki selat
Sunda, kembali ke suryabuaya .
Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini
diserahkan kepada Fathillah oleh kanjeng sinuhun Trenggono
berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana
menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut.
Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan
pasukan kuda dapat dipadamkan dua-duanya
ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan
memimpin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini
akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan
kediri -Aceh-Bugis sudah mulai melakukan serangan di
jayamahanaya . kanjuruhan akan sibuk melayani serangan, maka
bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer pajang bintoro
tidak akan ada.
Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari
sebelum gugusan kediri diperkirakan akan datang ke
suryabuaya . Jung-jung itu tak boleh menyusul. pajang bintoro harus
bisa memakai hasil persekutuan rahasia Aisah-Usup-
shinoda Han.
Sesudah armada berlabuh untuk beberapa hari di jenggala
jatikerto dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak
tahu, bahwa jung-jung sudah melihat mereka. Juga tidak
mengetahui, kediri sudah melihat mereka membelok ke kiri.
Sesampainya di suryabuaya kembali armada itu beristirahat
selama tiga bulan, lalu berangkat lagi, menempuh
garis pelayaran yang sama.
Dan tak lain dari mpu logender yang giat mondar-mandir
antara suryabuaya , pajang bintoro dan campa . Ia tahu urusannya
sudah gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke
utara. Dan seluruh pasukan laut suryabuaya tak dapat berbuat
sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan
kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut sudah
membuat centeng -centeng suryabuaya itu tak dapat berbuat
sesuatu pun dibandingkan mengikuti perintah.
mpu logender insaf ia sudah kehilangan segala-galanya.
Bahkan ia sudah kehilangan keberanian ke luar lebih jauh
dari tiga tempat tersebut. Ia merasa sudah kehilangan muka.
Sesudah kunjungannya terakhir ke campa ia tak pernah
lagi meninggalkan suryabuaya . Ia memilih mati dan berkubur di
suryabuaya .
Pada suatu hari yang sudah diduganya satu regu pasukan
pengawal berkuda pajang bintoro datang mengepung rumahnya.
Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak
sudah menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas
anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang
berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri
dan menantu-wanita lesbian mati di dalam bilik dengan
tikaman gada wesi . Cucu kesayangannya yang cuma seorang
terdapat pecah kepala nya tersorong di kolong ambin.
mpu logender sudah dipunahkan sampai keturunannya.
Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar
dari rumah. Seorang sahabatnya sudah ditumpas bedan
seluruh keturunannya: yang pang pang tak pernah muncul. Ia
menunggu dengan rela datangnya regu pengawal pajang bintoro
untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita
tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita
adiputro tumenggung dijoyo .
Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud
di bawah kakinya, dari Blambangan sampai jatikerto , dari
laut Jawa sampai lautan Kidul.
Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa
pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari
pajang bintoro . Ia takkan mengampuni kanjeng sinuhun . Dan ia akan
gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan
mendidik cucunya, dan mengabdi pada sang yang betari durga nya, dan
berdoa tak henti-hentinya untuk keselamatan dan
kemenangan pasukan gabungan kediri -Aceh-Bugis….
wah
Sepanjang pelayaran memantai pesisir barat Sumatra
armada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak
pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak
dalam pemusatan besar, tak pernah memergoki kapal
nyi kanjeng blora, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai.
sebab tak jadi menyinggahi jatikerto dan perhitungan
sebab nya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan
perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai
dalam suasana gembira. Orang tak lagi memikirkan armada
suryabuaya -pajang bintoro . Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai
kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga
dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertama kali dalam
hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang
pengkhianatan, sarang intrik, sejak kediri sampai Ujung
Kulon.
Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang membaca
lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan.
Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantun-
pantunan, sahut-menyahut diikuti gelak tawa.
Puncak keredupan ialah waktu mereka mendarat di
bumi jenggala Aceh. Beratus-ratus rebana menyambut
mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan
baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau
kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian
celana dan baju serba genggang dan pasukan kediri yang
bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada
semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka
bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki
orang memperoleh kan segala penganan dan pelayanan. Tari-
tarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang
dan seruling. Setiap orang memperoleh kan kesukaan dan
persahabatan.
Untuk pertama kali orang-orang kediri itu terpeluk
dalam persahabatan yang semesra ini.
lalu datanglah hari keberangkatan. Aceh
menyerahkan tiga ratus centeng , Bugis 400 . Jumlah
seluruhnya seribu lebih dua orang: raden panji gelang-gelang dan Pada.
Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan
perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan sorak-
sorai semua orang.
Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk
ummat arca , memohonkan keselamatan untuk mereka
yang akan berangkat ke medan perang.
Begitu mancal dari darat begitu pula mata raden panji gelang-gelang
berkaca-kaca melihat ribuan orang, laki dan wanita lesbian , tua
dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan
destar, bersorak-sorak mengucapkan selamat berperang.
Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di kediri , pun tidak di
suryabuaya . Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di
tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih aman, dan
tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui
algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: nyi kanjeng blora harus dihalau.
Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap jayamahanaya
takkan sia-sia.
Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung
nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di
sebelah utara jayamahanaya .
Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana,
menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas
tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah
terbaik disediakan bagi raden panji gelang-gelang yang sudah mereka
angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan
panggilan Hang Wira.
Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh
kampung ini. Geladak pelupuh adalah segala-galanya. Di
atasnya dimpu wungubhumi i tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada
perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barang-
barang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur
di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan
nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu.
Dan penduduk tak juga muncul. sebab tak dapat menahan
keheranannya raden panji gelang-gelang terpaksa bertanya pada Pada:
“Bukankah kau pernah dengar dari cerita yang pang pang
pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita? Mana
batang hidungnya? Semestinya mereka sudah melihat kita
datang dan menghubungi kita.”
“Benar Panglimaku. Aku pun belum melihat batang
hidungnya. Heran.”
“Dan manakah armada kecil Tionghoa dari utara itu?”
“Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat
kuncirnya.”
“Apa artinya semua ini?”
“Tahu, Panglimaku.”
“Ya, begini inilah jadinya.”
“Kita hanya memikirkan jayamahanaya ini saja, Kang.”
Seorang bocah penduduk kampung sudah tertangkap oleh
centeng yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang
dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk
selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu
dilepaskan sesudah diberi makan dan perbekalan, dan diikuti
dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui,
dan mereka diperintahkan kembali ke kampung.
Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan
Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan
sebaliknya: justru nyi kanjeng blora yang sering datang, baik dari
darat maupun dari laut.
Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung
diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan
dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan
kampung dan memasuki hutan belantara. Mereka melalui
jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan
semakin memasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas
sepatu, samar-samar.
Penduduk yang ditinggalkan melihat semua centeng pergi
menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi melihat jung-jung
dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan harta-
benda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu
apa.
Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan melepaskan
harapan akan bergabungnya pasukan pajang bintoro , Tionghoa
atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan.
Perundingan antara kepala -kepala pasukan menghasilkan
keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran.
Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati
kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah.
Penduduknya berlarian entah ke mana.
Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah
tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang
gila. Sama tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang
diperoleh: sekali-dua nyi kanjeng blora pernah datang dan tak
pernah melakukan gangguan: Sesudah dua hari menembusi
hutan, perundingan antar-sekutu menyimpulkan:
penyerangan langsung ke jayamahanaya ternyata tidak mungkin.
Tak adanya pasukan semenanjung sudah memusnahkan
kemungkinan untuk memperoleh kan perbekalan. Tanpa
perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa.
Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang
pertanian harus dibuka terlebih dahulu.
Pasukan gabungan itu membelok ke timur lebih dalam
lagi dan membuka huma. Dan tidak lain dari raden panji gelang-gelang
yang menyadari: centeng -centeng ini akhirnya datang tidak
untuk berperang namun untuk bertani. Ia tahu sudah sejak
asal, ekspedisi militer ini akan gagal.
Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian
antara tiga macam kesatuan. namun pembukaan humalah
yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak henti-
hentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap
harus ditunda.
Sekali peristiwa kesatuan Bugis memperoleh giliran untuk
mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung
jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di
atas tiang-tiang itu sudah ditinggalkan oleh penduduknya.
Dan di bawah rumah-rumah itu nyi kanjeng blora sedang sibuk
memasak-masak.
Kesatuan Bugis dan-merta merunduk dan melepaskan
tombak. kata an maut dan seruan terjadi: para bala tentara -para bala tentara
nyi kanjeng blora yang tidak terkena tombak berlarian membawa
musket masing-masing dan mulai menembak dari balik-
balik pepohonan. Mereka membuat lingkaran pertahanan
dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi.
Korban di pihak kanjuruhan jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak
sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat
lagi memasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi
tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilang-
lenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli
makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat
pertempuran pertama kini memperoleh kehormatan jadi
tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang
kembali bersama-sama mereka membabat hutan,
mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma.
Tidak lebih dari seminggu lalu di sebelah selatan
nampak asap besar membubung ke langit Asap itu terlalu
kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu
besar untuk dianggap sebagai rumah terbakar. Orang segera
menduga itulah nyi kanjeng blora sedang membakar sebuah
kampung besar.
Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap sebab tempat
kebakaran itu tidaklah begitu jauh.
Dengan separoh kekuatan kesatuan kediri raden panji gelang-gelang
berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai
sudah dikirimkan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan
laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari
nyi kanjeng blora, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung
sebelah utara. Jumlah kekuatan mereka cukup besar.
Kesatuan kediri segera disusun dalam bentuk jebakan.
Dari kejauhan sudah terdengar nyi kanjeng blora menembak-
nembak untuk menghancurkan semangat lawannya.
raden panji gelang-gelang memeriksa tempat penjebakan yang
ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di
bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang
bakal di tempuh oleh para bala tentara -para bala tentara nyi kanjeng blora. Ia sudah
banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan
hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan
semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka,
sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang
berdiri berjajar dalam jarak lima belas depa, sedang tombak
hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena.
Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi
mereka yang sudah mengetahui keampuhannya.
“Kalian datang ke mari untuk menghadapi mereka. Kita
akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami
pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya.
Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka sudah berhasil. Kita akan
juga berhasil.”
Mereka sudah memasang perangkap di tempat yang tidak
terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan
peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. para bala tentara -
para bala tentara kanjuruhan tidak menggerombol sebagaimana halnya
dengan centeng kediri atau para bala tentara Jawa pada umumnya.
Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan.
Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan
keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja
kesatuan kediri yang berada di atas-atas pohon berteriak-
teriak: “nyi kanjeng blora sudah mengepung kita!”
Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang
menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari
segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah
mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan
letusan. Beberapa orang centeng kediri terjungkal dari
panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang
menyangsang di atas semak-semak atau berkembang bug di atas
tanah gundul.
raden panji gelang-gelang memerintahkan mengubah hadap ke arah
tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan,
menyiapkan tombak atau panah, dan tetap memperhatikan
datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan
akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum
lagi sampai ke jayamahanaya !
Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan
musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya
mematahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan
dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang
dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan
bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang
menyerang.
Satu semprotan musket berlalu di atas kepala
raden panji gelang-gelang . Dan ia bergidik. Bulu romanya berdiri.
”Tahankan!” serunya, “tahankan sampai muka mereka
bertemu dengan mukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.”
Pertempuran aneh. centeng -centeng kediri dalam jarak
jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan
cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam
semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan
desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran.
Dua orang sudah jatuh pingsan di tempat sebab
kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu
orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan
peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging.
Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam
perang dengan musket begini tak ada centeng , tak ada kesatria raja ,
yang ada hanya pembunuh dan korbannya.
“Mereka lebih hebat dibandingkan kita,” seru Panglima
memberanikan. Dengan musketnya nyi kanjeng bloralah yang justru
mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak
memerlukan terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini
perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah
kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik
persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin
lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi
berkurang.
Perkelahian orang-seorang memicu kanjuruhan tak
semudah itu lagi menembak dan membuat bentengan
peluru. Mereka mulai memakai gada .
Kesatuan kediri bersorak. Itulah yang mereka
kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan
pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya
di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu.
Orang mengakui keberanian nyi kanjeng blora menghadapi lawan
yang jauh lebih besar. Ayunan gada mereka begitu
mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang
menghalangi dan rotan berguguran.
Hanya sebab jatuhnya malam saja mereka mulai
menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan
meninggalkan korban-korbannya.
Beberapa pucuk musket sudah kena rampas, beberapa
gada , beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga
kesatuan kediri kehilangan beberapa centeng nya.
raden panji gelang-gelang mengatakan: pertempuran sekali ini sama
sekali tidak dimenangkan oleh nyi kanjeng blora, juga tidak oleh
kediri . Namun seluruh pasukan gabungan sudah
memperoleh kan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas
ketakutan terhadap nyi kanjeng blora dan kehebatannya. Dan itulah
modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari
jayamahanaya .
Malam itu juga diadakan penguburan untuk teman-
teman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka
yang terluka. Separuh dari kesatuan kediri mengadakan
pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar
melawan patih Benggala. Mereka bermaksud mendahului
kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya,
dengan pengetahuan, di malam hari musket kanjuruhan takkan
berdaya.
raden panji gelang-gelang memimpin pengejaran. namun hutan itu
terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak
yang sudah dilalui kanjuruhan . Jalan itu jugalah yang ditempuh.
Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka
hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang
berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya.
Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan
musuh melarikan diri.
Kesatuan kediri dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa
dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di
dekat daerah peluaran kota jayamahanaya .
0odwo0
32. mpu wungubhumi Jadi Sandera
Kemarin dahulu nyi girah masih berseru dari beranda gubuk
panggung itu: “mpu wungubhumi ! jangan begitu. Belajar yang baik!”
namun mpu wungubhumi tak peduli. Dengan melepas kendali ia
menggantungkan diri di samping kuda, tangan memeluk
leher hewan nya. Kuda itu lari terus, dan ia melompat
melalui punggung kuda, berbuat sejenis itu di samping
lain. lalu ia berpacu di jalanan desa dengan
memunggungi arah. Tak lama lalu ia berpegangan
sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda.
Ia tak mau dengar emaknya memekik-mekik ketakutan.
Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan sudah jadi satu. Dan
berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari
sehabis kerja.
Dan sekarang ia menggeletak di atas ambin kayu.
Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang
memasuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya.
Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim:
“Apa kau renungkan, Buyung! Anak panembahan senapati ki ageng kediri bukan
seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keras-
keras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak
panembahan senapati ki ageng memiliki sejambang airmata.”
Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya
dengan bantal.
Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan
menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan
ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain
masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari ambin
dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan
sorai tawa.
Pada mulanya ia berteriak -raung minta dikasihani
terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya
sebelumnya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di
desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak.
Apakah salahku sampai diperlakukan demikian? Sekarang
ia tidak berteriak lagi, walau ia tidak berani melawan atau
membela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar.
Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa.
Semua Laki-laki , centeng , tak ada seorang wanita pun!
Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar
olehnya seseorang bicara pada yang lain: “Jangan ganggu
dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan
dihormati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak
tahu batas.”
mpu wungubhumi mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat
olehnya seorang centeng pengawal bergelang baja bicara
pada bawahannya. Ia merasa memperoleh perlindungan.
Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di
antara mereka mulai merebahkan diri di samping-
menyampingnya dan segera lalu tertidur dengan
menyemburkan bau tuak dari mulut.
Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi
tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. lalu
merangkak lagi ke tempatnya.
Ia kenangkan kembali percakapan antara centeng kediri
itu dengan ibunya: “Nyi kembang nyi girah , jangan kaget. baginda tuanku raja
adiputro kediri sudah menitahkan agar mpu wungubhumi , putra Nyi
kembang yang pertama, dibawa ke kediri .”
“Apakah salahnya anakku? Bukankah suamiku sudah
juga dibawa ke kediri ?”
“Tak ada yang dapat mencegah perintah baginda tuanku raja adiputro , Nyi
kembang . Panggillah anak itu.”
Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan
kukuh tertutup dengan gumpalan otot.
“mpu wungubhumi , kau akan kami bawa ke kediri .”
“Bapak berpesan untuk menjaga dan membantu emak
dan adik.” Ia membantah, dan menerangkan tugasnya
sebagai Laki-laki tertua dalam keluarga.
Dan centeng -centeng itu mentertawakannya.
“Seluruh desa akan menjaga dan membantu Nyi kembang .
Itulah yang jadi perintah baginda tuanku raja Patih.”
“Aku sudah berjanji pada bapak….”
Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian
dan amarah pada mata nyi girah . Dan wajah nyi girah itu tetap
cantik seperti semasa masih berada di kediri dahulu , dan
tubuhnya tetap semampai berisi sebab latihan-latihan.
Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan
betina yang mencium bahaya yang mendatangi.
“dahulu begini juga yang diperbuat oleh patih Benggala,”
bentak Nyi kembang .
“Kami datang membawa perintah baginda tuanku raja Patih.”
“Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan
pakaianmu.” wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi
membawa bungkusan kecil dan selembar kain batik
dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. “Dan ini,
mpu wungubhumi , kain mak, memakai kalau kau kedinginan. Kau
harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu
pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar,
hampir lima belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah
kau seorang Laki-laki .”
Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat
mempertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan
pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun
berteriak , menjatuhkan diri dan memeluk kaki ibunya.
Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepala nya. “Belum
lagi kepala ini sempat berdestar…” gumam ibunya.
Kumbang pun memekik, merangkul leher abangnya
tercinta, berteriak : “Tidak boleh. Kang mpu wungubhumi jangan pergi!”
centeng -centeng itu dengan hati-hati melepaskan mpu wungubhumi
dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya.
Ia angkat mpu wungubhumi dalam bopongan. Dan yang dibopong
meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah
perjalanannya ke kediri . Dalam hidupnya yang semuda itu
ia mulai dapat merasakan adanya kekuasaan dan pengaruh
ayah dan ibunya terhadap kehidupan di hutan larangan .
raden panji gelang-gelang panembahan senapati ki ageng , semua orang senang padanya,
bahkan Sang Patih kediri tidak tanpa hormat
menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan.
Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang
tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari
hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. namun
apa sekarang? Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk
pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak
dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan membantah pun tidak
bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan,
bertentangan, bermusuhan, namun tak pernah terucapkan.
Dan tanpa diketahuinya kini ia sudah dijadikan sandera
oleh Sang adiputro . Penguasa tua itu sudah menitahkan agar
ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal
kadipaten, dipersiapkan untuk jadi centeng pengawal.
Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terus-
menerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya
sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari
tanpa dirinya? Siapa yang mengambil rusa, atau celeng dari
ranjau perangkap? Siapa yang menguliti? Siapa pula yang
mengerjakan sawah dan ladang? Dan siapa yang diajak
adiknya bermain? Siapa pula yang menjaganya? Betapa
akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan
betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan
kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan
terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam
kasih-sayang, tenteram dan damai, yang dimasukinya
sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan.
Sampai sejauh itu para centeng pengawal menduga, si
bocah itu disanderakan sebab raden panji gelang-gelang pernah
menyatakan sumpah takkan kembali ke kediri sebelum
Sang adiputro mati. Dugaan yang kurang berdasar, sebab
Sang adiputro tak pernah mendengar sumpah itu. Yang
didengarkan justru lain: Trenggono sudah menuduh Sang
adiputro kediri bersekongkol dengan raden panji gelang-gelang untuk
menantang kekuasaan pajang bintoro , dan kanjeng sinuhun mengancam
akan menangkap Sang adiputro hidup-hidup di waktu dekat
mendatang dan akan membelahnya hidup-hidup jadi empat
bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa,
namun ia tetap tidak rela kediri terinjak oleh prajurit kerajaan
lain. Maka ia menyesal sudah memberangkatkan
raden panji gelang-gelang dan lima ratus centeng laut, ia sudah batalkan
harapannya akan kematian panembahan senapati ki ageng . Ia memerlukan nya
untuk mempertahankan kediri . Dengan mpu wungubhumi sebagai
sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan
dapat dipanggilnya kembali.
mpu wungubhumi menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya
memicu untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai.
sinar matahari ternyata sudah tinggi.
Sepantun suara keras menggertaknya: “Pemalas! Aturan
mana orang bangun tertinggal sinar matahari ?”
Sekarang mpu wungubhumi mengerti, tak ada seorang pun akan
melindunginya. Tak percuma emaknya mengharapkan akan
jadi Laki-laki . Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu.
Di hadapannya berdiri seorang centeng bertubuh kekar.
Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik
membalik menjadi dendam yang membuncah dalam
dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan
dilatihkan oleh bapaknya ia melompat dan menerkam
centeng pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak
ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya
masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu.
Dengan dua belah tangan centeng itu menolaknya keras-
keras. mpu wungubhumi terjatuh di lantai sesudah menubruk dinding.
Dan dada centeng itu berlumuran darah.
“Kucing keparat!” sumpahnya sambil menyeka dada
dengan lengan. “Sekali lagi, kucekik sampai mampus.”
“Dan kutikam kau sampai mampus!” balas mpu wungubhumi , berdiri
dan bersiap membela diri terhadap segala penganiayaan
yang mungkin menyusul.
“Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang
dirimu? Sandera!”
“ayolah , cobalah sekali lagi.”
“Tak ada yang lebih hina dibandingkan sandera. Kalau aku
jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku,” katanya sembari
terus membersihkan dadanya.
“Cobalah sekali lagi,” tentang mpu wungubhumi . “Tak bisa kutikam
waktu jaga. waktu tidur pun kena.”
Kuatir akan terjadi geger, centeng itu mengalah dan pergi
sambil mengurus dadanya yang berdarah dengan pijitan
dan cengkaman.
Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi kata-
kata centeng itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti
hidupnya berada di ujung gada . Setiap waktu, tanpa
pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya
tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera.
Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan
siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang centeng yang
sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda
lainnya. Ia memberi di kuil rat dengan tangan.
“Naik!” perintahnya.
Dan mpu wungubhumi naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi
lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang
lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak,
seseorang sudah mencambuk hewan nya. Kuda itu terkejut,
melompat. mpu wungubhumi terbalik di atas punggung kendaraannya
dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada
sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi
orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh
menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan.
centeng yang memerintahkan tadi mendekati dan dari
atas kuda membentak.
“Siapa perintahkan kau turun? Dengar perintah baik-
baik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena,” ia
menggerakkan kudanya dan memacunya mengelilingi alun-
alun.
mpu wungubhumi bangun berdiri, memeriksai kakinya yang sobek-
sobek dan berdarah, lalu membasahinya dengan
pukul nya sendiri. hewan nya berhenti di suatu tempat tak
jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang,
memang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu
namanya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak
dinamakan -sebut belakangan ini: “kanjeng sinuhun ! kanjeng sinuhun !” ia
menghampirinya sambil berpincang.
Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus
datang padanya. Angkuh kau, kanjeng sinuhun ! Dipegangnya kendali
dan ditepuk-tepuk bahu hewan itu, dipegang kepala dan
diusap-usapnya. kepala hewan itu ditariknya ke bawah
pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai
bersih. lalu ia rangkul leher kanjeng sinuhun dan melompat ke
atasnya.
“Lari, kanjeng sinuhun , lari, kejar dia, bikin aku jadi Laki-laki . Susul
dia, biar aku gebuk kepala nya.”
mpu wungubhumi tak duduk di atas pelana. Ia memeluk leher kuda
yang tinggi besar itu dan mulai memburu.
Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk.
“ayolah , kanjeng sinuhun , jangan kau beri aku malu,” bisiknya pada
kuping kanjeng sinuhun .
Melihat centeng itu mengelak-elak juga, ia menjadi
bersemangat. “Tubruk, kanjeng sinuhun , tubruk, biar dia
menjempalit!”
Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu
pertarungan. centeng -centeng mulai turun ke alun-alun
untuk menonton. lalu orang lalulalang pun
memerlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa
pengumuman penonton semakin lama semakin banyak.
Orang berjingkrak melompat-lompat, orang menahan nafas
ketegangan.
Pada suatu tubrukan yang sudah direncanakan kudanya,
tinju bocah itu menggedabir mengenai angin. Dan demikian
beberapa kali lagi terjadi.
mpu wungubhumi naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya sudah
lapar, dan peluh kuda sudah bercampur dengan peluhnya
sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan
tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu
membungkuk dengan dua belah tangan erat-erat memeluk
leher kanjeng sinuhun dan ia persiapkan diri untuk melakukan
tubrukan yang menentukan.
centeng pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan
suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke
sekian kalinya. namun ia salah perhitungan. Tangan mpu wungubhumi
tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher
centeng itu dua belah kaki dan membuat jepitan sila.
Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher centeng itu
tetap dalam jepitan mpu wungubhumi . Sorak-sorai menjadi riuh. Orang
mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia
itu. Dan tangan mpu wungubhumi tetap memeluk kanjeng sinuhun .
“Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!”
Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan
dan bahunya sudah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh.
Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan
centeng itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula
melayangkan tumit pada muka centeng itu. Tak
diketahuinya tumit sudah masuk ke dalam rongga mata. Ia
pun berayun kembali ke atas punggung kudanya.
Penonton terdiam terkejut.
Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang
terakhir sesudah dapat melihat centeng itu duduk goyah di
atas kendaraannya.
“Sudah! Sudah! Cukup!” orang berseru-seru.
Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak mpu wungubhumi
menghentikan kanjeng sinuhun . centeng itu mulai miring. Tangannya
yang sebelah memegangi matanya dan kepala nya
menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan
pelan-pelan, lalu berhenti.
mpu wungubhumi turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun
lari memperoleh kannya.
“Bodoh!” bentak centeng bergelang baja yang semalam.
“Tidak ada aturan memakai kaki.”
Orang itu diturunkan dari kuda dengan muka
berlumuran darah.
mpu wungubhumi tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong
sambil memanggil-manggil kanjeng sinuhun yang sudah ia lepas.
hewan itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di
belakangnya.
Bola mata centeng itu sudah keluar dari rongganya. Dan
mpu wungubhumi tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan
pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendamnya menungging,
dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak
dapat berbuat sesuatu.
Hari itu kota kediri digemparkan oleh berita tentang
mpu wungubhumi si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan,
mpu wungubhumi anak panembahan senapati ki ageng kediri , calon centeng pengawal, calon
panembahan senapati ki ageng , mpu wungubhumi anak Nyi kembang nyi girah . Temui dia dalam
hidupmu: Dan penduduk kota kediri , terdidik memuliakan
kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi
bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan
sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa
menjatuhkan seorang centeng pengawal pada hari pertama
jadi calon centeng .
Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk
mengaguminya.
kepala -kepala regu menjadi sibuk mengurus para
pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan
pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah sebab
memang sudah jadi adat yang mendarah-daging. Gadis-
gadis datang membawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh
si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah
tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagah-
beraninya.
Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal betari i
dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan
daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di
dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan
tempat tidur mpu wungubhumi tak pernah sunyi dari daun bunga yang
ditebarkan.
lalu keadaan pulih kembali seperti biasa. mpu wungubhumi tak
mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan
kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di
dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap
dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad
untuk membalas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus
bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di
lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang
ibu dan adik, tidak ada seorang resi , tiada pula
pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya
dan penindasan.
Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya? Ia
tidak mengerti. Ia bingung.Seorang centeng lain yang
ditugaskan untuk melatihnya memainkan tombak,
sebelumnya sudah memamerkan keunggulannya, baik dalam
melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat,
untuk mematahkan keberaniannya.
Dan anak muda desa manakah di kediri tak tahu
memainkan tombak? Juga mpu wungubhumi tahu. Hanya lengannya
belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan
permainannya kurang cepat
Juga pelatihnya memiliki kecenderungan untuk
menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan
menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap
pelatihnya yang angkuh terhadapnya.
centeng pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara mpu wungubhumi
yang dianggap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan
kelemahan-kelemahan yang memberikan peluang bagi
lawan untuk memasukkan serangan. mpu wungubhumi tetap menolak
tak mau mengikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, namun
keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap
dirinya.
Pelatih yang jadi jengkel namun segan mengambil tindakan
itu menghentikan latihannya, mendengus: “kepala kerbau!”
“Apa?”
“Lepaskan cara lama. Salah semua.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja lebih tahu dibandingkan kau. Dia resi ku.”
“panembahan senapati ki ageng tak pernah dididik jadi centeng ”
“Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan,” bantahnya.
“Kalau terus membantah, kau takkan jadi centeng yang
baik.”
“Dan siapa bilang aku harus jadi centeng ?”
“Ada, yang jauh lebih berkuasa dari centeng ?”
“Peduli apa?”
“Dan siapa kau kira bapakmu?” pelatih itu jadi jengkel.
“Siapa lagi?”
“panembahan senapati ki ageng raden panji gelang-gelang ? Bukan!” centeng pelatih itu
menggeleng-geleng dan berkecap. “Siapa bilang panembahan senapati ki ageng itu
bapakmu?”
“Semua orang.”
“Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu.”
Dan mpu wungubhumi merasa kehormatan keluarganya sudah
dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan.
Orangtuanya tak pernah bicara sejenis itu, apalagi
penduduk hutan larangan selebihnya.
centeng itu tertawa dan mpu wungubhumi semakin tersinggung.
“Memang Nyi kembang pernah melahirkan kau. Nyi kembang
yang terhormat itu. namun panembahan senapati ki ageng bukan bapakmu. Tidak
pernah! Coba katakan, apakah raden panji gelang-gelang pernah
mengatakan kau anaknya? Kau, pembohong!”
Melihat mpu wungubhumi mulai mengukuhkan pegangan pada
tombaknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia
pun tahu sudah menghinakankeluarga dan pribadi yang
sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan
melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya.
“Jangan mencoba-coba resi mu, pelatihmu,” kata
centeng itu. “Kalau bukan sebab menghormati Sang
panembahan senapati ki ageng dan Nyi kembang , kepala mu sudah pecah. Lepaskan
tombak itu!”
Cuping hidung bengkung mpu wungubhumi sudah kembang-kempis
sebagai halnya nyi girah bila marah.
“Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu
Sang panembahan senapati ki ageng sungguh bukan bapakmu.”
namun mpu wungubhumi sudah tak mendengar lagi. Darah yang
sudah menyesaki kepala nya membuat ia menjadi kalap dan
menyerang dengan tombaknya.
Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu
mengelakkan semua serangan. Ia tahu, mpu wungubhumi bersungguh-
sungguh hendak memhancur kannya. Ia bersungguh-
sungguh bertahan.
Perkelahian dengan tombak adalah perebutan
kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh
lawan. Mata tombak hampir-hampir tidak dimainkan, namun
justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada
lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Dua-
duanya tidak memakai tombak lempar, namun tombak
pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang
perkelahiannya menyerupai permainan sodor.
mpu wungubhumi terus menyerang dan pelatih terus bertahan.
Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan
tangkisan silang. Tombak mpu wungubhumi terlepas dari tangan tanpa
ia ketahui sebabnya. “Ambil lagi tombakmu!” perintah
pelatih.
mpu wungubhumi melompat memungut senjatanya dengan mata tak
lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya
terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat
melemparkan tombaknya. centeng itu mengelak lebih cepat
dan menangkap tangkainya, lalu melemparkannya
kembali pada mpu wungubhumi dan jatuh menancap di antara dua kaki.
“Ambil tombakmu,” perintahnya lagi.
Tanpa diketahui oleh mpu wungubhumi , orang sudah datang
merubung. Dan mpu wungubhumi mulai melakukan serangan jarak
pendek. Nafasnya sudah terengah-engah dan gerak-geriknya
seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk
dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari
tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari,
melompat dan mengendap, berkelit dan menjuju.
Seorang kepala regu berkata : “Bukan orang, iblis
kacangtanah ran itu,” lalu memerintahkan: “Selesai!
Bubar!”
Bersamaan dengan itu satu pukulan sudah membuat jari-
jari mpu wungubhumi tak dapat mencekam. Tombaknya terlepas jatuh
ke tanah. Cepat ia mengambilnya kembali.Tombak itu jatuh
lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu.
Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendamnya serasa
akan memecahkan dadanya.
“Pulang!” perintah kepala regu.
Semua bubar. mpu wungubhumi berjalan paling belakang. Begitu ia
memasuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang
berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya
bergumul bergulung-gulung dengan kemurungan.
Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya
dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya
mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri
sebab tak bisa memhancur kan pelatih itu. Dan ia ingin
dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya.
Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan
habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka
lepaskan ia rasai gatal, panas dan menggigit. Ia makin tidak
mengerti mengapa semua orang memusuhinya, hanya
sebab tidak mampu mencapai apa yang sudah dicapai oleh
bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia
akan melompat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan
gigi sebab amarah. Ia panggil-panggil emaknya dalam
hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut
perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang
kekalahannya yang begitu mudah.
“Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung!”
seseorang melengking ria.
“Kalau bantal sudah tertutup mata….”
“Itulah tanda hujan deras membasahi bumi….”
Dan ingin sekali ia membuang bantal dan berteriak ia tak
takut pada siapa pun. Ingin ingin namun seluruh tubuhnya
menolak melakukan keinginannya.
“Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung?
Lihat, seorang wanita datang membawa keranjang….”
“Mana mpu wungubhumi , anakku?” mpu wungubhumi mendengar suara wanita
suara lembut memanggil-manggil.
“Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan.”
Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya.
lalu terdengar lagi suaranya: “mpu wungubhumi , anakku,
bangun.”
“mpu wungubhumi ! Bangun, kau!” kepala regu memerintah.
mpu wungubhumi menghela nafas panjang untuk mendamaikan
perasaannya, bangun dan menemui wanita itu.
“Aduh, kau sudah besar begini, mpu wungubhumi , sudah perjaka.”
Dan mpu wungubhumi berhadapan dengan seorang wanita bermata
agak sipit.
“Perjaka!” orang bersorak-sorak senang.
mpu wungubhumi duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu.
“Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau
padaku? Orang yang menyambut kedatanganmu yang
paling mula, waktu kau dilahirkan?”
“Nyi kembang ,” bisik mpu wungubhumi , lupa pada perasaannya yang
kacau sebentar tadi. Ia turun dari ambin, bersujud dan
bersujud .
Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada
kepala nya.
“Kau sudah berdestar begini,” katanya. “Aku ikut
mengantarkan panembahan senapati ki ageng wilareja berangkat. namun tak ada aku lihat
dia. Kau pun tak kelihatan. mpu wungubhumi . Mengapa pakaianmu
begini buruk? Tak dibekali secukupnya dari rumah?
Keterlaluan nyi girah . Datanglah ke kepatih wirabuana an, mpu wungubhumi .”
“Tidak boleh, Ibu,” seseorang mencampuri. “Anak yang
luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan
balai tanpa perintah baginda tuanku raja adiputro , kecuali kalau sedang
latihan.”
“namun centeng pengawal lainnya boleh,” bantah Nyi
kembang .
“Ya, yang ini tidak.”
“Baiklah,” sambungnya. “Ini kubawakan penganan
sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang
ke mari. Kau sudah memiliki kelengkapan centeng . mpu wungubhumi ?”
“Tak ada satu pun padaku kecuali itu,” ia menuding
pada bungkusan pakaian.
“Emakmu memang keterlaluan.”
“Apalah gunanya? Itu pun sudah cukup, Nyi kembang .”
“Di rumah masih ada peninggalan Sang panembahan senapati ki ageng ,
pakaian, gada dan empat bilah tombak. Nanti aku
bawakan.”
“Jangan. Ibu.” seseorang mencegah, “ia hanya sandera,
tak boleh memiliki senjata sendiri.”
“Sandera!” kata Nyi kembang Kati. “Siapa bilang dia
sandera? Tidak mungkin!”
“Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat
diragukan.”
“Apa kesalahan raden panji gelang-gelang Sang panembahan senapati ki ageng ?”
Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya
sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang
dilepas tak menepati tugas.
“mpu wungubhumi ! mpu wungubhumi !” ratapnya tiba-tiba. “Siapa yang
memicu semua ini?”
Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada
sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: “Biar, mpu wungubhumi .
Sabarlah dahulu . Biar aku urus, Nak, semoga berhasil” ia
mendehem. ‘Tinggsang hyang Widhi tenang-tenang di sini.”
Ia bersiap-siap, lalu pergi bercepat-cepat.
Tepat sebulan selama di dalam balai datanglah
beberapa orang dari hutan larangan mengantarkan upeti.
Mereka mampir untuk menemuinya: kepala desa dan para
pemikul. Mereka membawakan untuknya pakaian dan
perlengkapan centeng : tiga bilah tombak lempar, sebilah
gada , sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala
makara. namun semua kelengkapan itu harus dibawa pulang
kembali sebab tidak diperkenankan. Beberapa lembar
lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung
jumbai adalah suara dari ibunya: “mpu wungubhumi , anakku. Kau
harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk
menjamin kesetiaan panembahan senapati ki ageng pada Sang adiputro . Maka
jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu
sendiri baik-baik, mpu wungubhumi , jagalah keselamatanmu. Kau
sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk
dukacitamu, jangan kau permalukan panembahan senapati ki ageng dan emakmu.
Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau
pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat
melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau memasuki
balai , kau sudah menjadi centeng dan sudah dewasa.
Maka itu aku meminta padamu, mpu wungubhumi untuk mengerti satu
hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih
mengharapkan dapat bertemu denganmu, pada suatu kali,
di mana saja. Emak tidak menengokmu di kediri , dan
jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi
sumpahku, mpu wungubhumi .”
Dan mpu wungubhumi mengerti benar apa yang tersirat di dalam
lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam
hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan
emak! Pada suatu tempat. Ia tak memiliki persediaan lontar. Ia
berusaha memperoleh kannya dari tamu-tamunya.
“Kau tak ada hak untuk menulis surat!” tegah kepala
regunya. “Jangan menulis.”
“Sampaikan sembah sujudku pada ibunda ku yang mulia,”
katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal,
“sudah kubaca lontarnya dan mengerti isinya,” dan ia
persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali
mengucapkan terimakasih.
Orang-orang sedesanya melingkunginya dengan pandang
belas kasih. Ia bercepat memunggungi mereka, dan waktu
mereka sudah pergi semua ternyata para centeng sedang
betari i-betari i membaca lontarnya.
Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal,
bahkan dari bangsal-bangsal lain orang ikut
memeriahkannya.
mpu wungubhumi diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orang-
orang ini memperlakukan aku seperti itu hanya sebab aku
sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh.
Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia
tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara
ibunya yang memanggil mendayu-dayu: ‘pada suatu kali, di
mana saja’. Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu
kali nentukan ‘suatu kali’ itu dan ‘di mana saja itu? Jelas
bukan emaknya.
Aku sendiri, ia menentukan, tak lain diriku sendiri.
Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa.
Sekali ini kepala desa tidak ikutserta . Juga beberapa lembar
lontar datang dan: “Aku dengar banyak ejekan ditimpakan
pada dirimu. mpu wungubhumi , Aku sangat berprihatin. Kau dipanggil-
panggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermain-
mainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi
memiliki kehormatan dan harga diri, seakan-akan
panembahan senapati ki ageng wilareja raden panji gelang-gelang belum berbuat apa-apa dalam
hidupnya, seakan-akan nyi girah tak pernah mencapai sesuatu
pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain
dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang
tua-tua kita mengajarkan tentang kehormatanjdan harga
diri. Itu di desa-desa, mpu wungubhumi , di kota rupanya orang sudah
tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai
tentang betari resi dan resi -resi lainnya. Cerita-cerita
itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain
yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. panembahan senapati ki ageng
raden panji gelang-gelang adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak
ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia
sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya,
maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih
berharga untuk emakmu dibandingkan seribu pengejekdan
penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si
penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur
hidupnya. namun kau, mpu wungubhumi , anakku, akan tumbuh lebih
berharga dibandingkan mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak
perlu membalas surat emak ini, sebab aku tahu kau tak
diperkenankan. Walau demikian nyi girah tidak bicara pada si
gagu-bisu, tanpa surat pun mpu wungubhumi mengerti perasaan
emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di
sesuatu tempat entah di mana. percaya ilah itu, dan jangan
malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk
dirimu sendiri.”
mpu wungubhumi tak membalas surat itu. Ia sengaja tak mebersabda i
para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai
mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di
dalam balai yang suka membuang-buang waktu
melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang
lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang
merasa berterima kasih kadang pun merasa malu sebab
perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud mencari
orang itu.
Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang:
“ayolah , barangsiapa mau merampas surat ini, ayolah sini!”
Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia
tersenyum senang, senyum pertama selama dua bulan ini.
Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia
membacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak
sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan
pengawal pada umumnya. Dan orang-orang yang
mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi
taufan amarah dari nyi girah sendiri. Juga kepala regu itu
menunduk dalam.
wah
Sesampainya di rumah Nyi kembang Kati dengan tak
sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan
begitu raden sanggabuana bumikerta datang segera saja ia
menyerang: “Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu
kejam sejak semula dibandingkan Tuan. Keji! Bahkan pada
anaknya sendiri! Tuan malu memiliki anak seperti dia maka
kau mau hancur kan dia sebagai sandera,”
“Ada apa kau ini, Kati?” raden sanggabuana terheran-heran
tak tahu sesuatu apa.
“Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang
adiputro hanya kau!”
raden sanggabuana berubah airmukanya dipanggil kau dan
bukan tuan. “Apa kau ini?” ulangnya tersinggung.
“Kau sudah menghasut. Kau! Kau bikin mpu wungubhumi , anakmu
sendiri, jadi sandera,” tuduh Nyi kembang .
“Dari rumah utama ini, ke rumah nyi girah sana, dan
lahirlah mpu wungubhumi . nyi girah sendiri yang berkata. Seluruh kediri
tahu ceritanya, semua tahu, siapa mpu wungubhumi , kecuali mpu wungubhumi
sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu.”
“Apa kau ini, Kati?”
“Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda
sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.”
raden sanggabuana bumikerta mengambil tongkat dan
berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan
ancaman hendak menyerangnya.
“Betapa kau hinakan nyi girah . Kau paksa dia
mengandungkan anakmu selama 9 bulan….”
“Bohong! Tak ada cara begitu pada pakanewon Habibullah
Almasawa. Kau kira siapa nyi girah dibandingkan dengan
bidadari-bidadari lainnya?”
“Dan mengapa mereka kau tinggalkan, dan
menghambakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu
kau hinakan? Mengapa kau diam saja? Biar aku panggil
tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini.”
“Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar?”
“Dengarkan kata nyi girah ? Kaulah pula yang mengirimkan
raden panji gelang-gelang ke sarang patih Benggala biar terbunuh.”
“Kati!”
“Kaulah yang mengada-ada mengirimkannya ke jayamahanaya
dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas mpu wungubhumi
dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan
dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas
dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan
memakai kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua
itu tidak benar!”
“Tak satu pun benar,” raden sanggabuana menjawab tegas.
“Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh
kau di depan umum,” Nyi kembang Kati menangkap tangan
suaminya dan mulai menyeretnya.
“Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu.” Wanita itu
menyeretnya terus.
“Aku pukul kau,” raden sanggabuana bumikerta ,
patih wirabuana kediri itu melawan tarikan dan
mengamangkan tongkat.
Nyi kembang Kati mendadak melepaskan seretannya dan
patih wirabuana itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melompat
mengangkang? dan menginjak kedua telapak tangan
suaminya patih wirabuana itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari
tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan
diri.
“Hancur jari-jari ini,” kata patih wirabuana ,
“Biar remuk!”
“Aku tak bisa menulis lagi nanti,” kata nya.
Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang
dikangkangi istrinya sendiri ia tak meneruskan niatnya, namun
segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan
pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja
mencabuti rumput.
“Peduli apa? Aku sendiri nanti menghadap baginda tuanku raja
adiputro .”
“Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi kembang .”
“Jadi kau mengaku menghasut, memfitnah,
mencemarkan keluarga sebaik itu? Kau takut pada
raden panji gelang-gelang , maka kau carikan kuburan baginya di dalam
jung. Kau kalah perbawa dari nyi girah , maka kau rampas
anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus,
bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu
tatasusila!”
Nyi kembang Kati melepaskan akan injakannya dan
menyepak kepala suaminya.
patih wirabuana kediri duduk dan memijit-mijit tangan.
Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau
tongkat dan mencoba mengaitnya.
“Pelindung kepala mulia!” Nyi kembang menyepak topi itu
dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.
“Dua kali kau aniaya aku. Nyi kembang .”
“Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau
menghadap sekarang juga.”
raden sanggabuana melompat berdiri dan menubruk istrinya.
“Jangan, jangan, baginda tuanku raja adiputro sedang gering.”
”Menghadap Patih kediri Sang Wirabumi.”
“Jangan, baginda tuanku raja Patih sedang ke jayamahanaya .”
“Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada
semua orang,” ancam Nyi kembang .
“Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku
akan penuhi, Nyi kembang .”
“Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!”
“Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar mpu wungubhumi bebas
dari sandera. Biar dia lalu kembali ke desa dan
berkumpul dengan emak dan adiknya.”
“Baik, baik, akan kuusahakan. namun bukan aku yang
berkuasa. Kau sendiri tahu.”
“Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia
sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah… awas, kau
tahu apa bakal terjadi atas dirimu.”
Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu
tidur dan hidup berpisahan. raden sanggabuana As-Zubaid
terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya
yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di
malam hari, apa pula kapal-kapal negeri dongeng tak juga
kunjung berlabuh.
Dan Nyi kembang Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya
selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya
satu coretan setiap hari.
Dan sudah beberapa kali patih wirabuana menghadap untuk
mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang
nasib mpu wungubhumi .
Nyi kembang tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu
coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak.
Dan raden sanggabuana bumikerta memang tak ada
maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali membuai
Sang adiputro dalam dongengan….
wah
Memasuki bulan ke tiga mpu wungubhumi dianggap lulus dalam naik
kuda dan memmemakai tombak di atas tanah.ua
pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan
mendatang adalah memainkan tombak di atas punggung
kuda dan memmemakai cambuk perang.
Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang
sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan
terendah dalam tata hidup kediri . Sahabat seorang sandera
dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam
diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan
menghinanya? Tampangnya adalah lain dari pada yang
lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lima jari lebih
rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai patih wirabuana
kediri pakanewon Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada
sesuatu yang lucu di rumah dahulu dan tersenyum, bahkan
senyumnya pun sama dengan tuan patih wirabuana sewaktu dia
masih bayi.
“Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai
sandera?”
Darah mpu wungubhumi tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan
sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan
patih wirabuana , bahwa emaknya tidak memiliki kesetiaan
pada Sang adiputro , bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh.
Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu:
Emaknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada
suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya
yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta
Sang adiputro . Mak, aku dengar suaramu, Mak! Aku dengar!
Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak.
mpu wungubhumi mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, pura-
pura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari
terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari
kecil sambil mengaduh. Makin jauh berjalan, makin sunyi
Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang
di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. lalu
sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang
kuda.
“kanjeng sinuhun ! kanjeng sinuhun !” bisiknya memanggil-manggil.
hewan yang dipanggilnya bangun berdiri dan
meringkik pelahan.
mpu wungubhumi masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang
pintu, memeluk kuda itu pada lehernya, dan membawanya
keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk
leher kuda itu, berbisik: “Bawa aku pulang. kanjeng sinuhun , jangan
gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam
ini.” ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa
sanggurdi.
Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai
berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang,
memasuki padang alang-alang. Sesudah jauh dari daerah
perumahan mpu wungubhumi memacunya ke jurusan jalanan negeri
Malam terang bulan itu tiada angin meniup. Pepohonan
berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada
berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di
angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah
berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak
hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang
mengepul di belakang.
Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan.
mpu wungubhumi tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya
dan nafas kanjeng sinuhun . Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang
di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang
adalah maut dan penindasan.
Dan kanjeng sinuhun akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya,
biarpun ditambah dengan tiga lemparan tombak.
0odw-o0
33. pajang bintoro Mulai Bergerak
Begitu sudah memperoleh kepastian pasukan gabungan
kediri -Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota
jayamahanaya , dan kanjuruhan terpaksa membatasi ruang geraknya
di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan menyerang.
Pasukan kuda dan kaki pajang bintoro dengan cepat menerjang
kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan
jatuh. prajurit kerajaan itu bergerak tenis mengejar bab para bala tentara
Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan
para bala tentara bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga
itu tak memiliki pasukan kuda. Trenggono memperhitungkan:
juga Blora akan segera jatuh.
Semua orang Laki-laki kabupaten Santenan yang berumur di
atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat melarikan
diri, di seret terus ke timur untuk jadi para bala tentara tambahan.
prajurit kerajaan gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari
kelemahannya memasang perangkap-perangkap kaki kuda
dengan ranjau gambangan dari bambu, yang dijajar
renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan
dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan
terdepan pasukan kuda pajang bintoro memasuki semua perangkap
dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya.
Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada
pasukan kuda kesayangannya. Ia mengancam bupati-bupati
bersangkutan akan merejamnya hidup-hidup.
Maka pasukan kaki pajang bintoro yang digalakkan oleh
harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh
jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak
prajurit kerajaan yang bermusuhan tidak lagi menanggapi
aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk lalu
bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan pajang bintoro
mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya,
menerjang yang terkena terjang membongkar yang terkena
bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung
yang dilewati.
Di sebelah utara, prajurit kerajaan pajang bintoro yang sudah
dipusatkan Mfeetumnya di Juana, juga bergerak ke timur.
Rembang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya
dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah
terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang
pesisir di mana penikan kuda pajang bintoro tak dapat berbuat
sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga
Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan
sendiri turun ke medan.
Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan,
armada suryabuaya pajang bintoro , armada terbesar sesudah jatuhnya
kerajaan jenggala , tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh
Panglima-Laksamana Fathillah. meninggalkan jenggala
suryabuaya untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran
yang sama: ke jurusan jatikerto .
Sama halnya dengan dua pelayaran sebelumnya di setiap
jenggala dikatakan mereka sedang berlayar untuk
menghadap nyi kanjeng blora.
Mengetahui, bahwa prajurit kerajaan pajang bintoro bergerak ke
jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati
tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga.
Mengapa armada yang ditimang-timang adiputro tumenggung dijoyo itu
tak juga menuju ke jayamahanaya . Maka di setiap jenggala hanya
dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan
Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke
jatikerto dan membelok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan
memang sedang berja-ga-jaga agar kanjuruhan tak masuk ke
Jawa. Walau demikian seluruh jatikerto sudah bersiaga.
Kepercayaan orang terhadap Trenggono sudah punah sama
sekali.
Gerak-gerik armada diikuti oleh jatikerto dari pesisir
Mereka melihat armada besar itu menurunkan beberapa
pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu
pasukan jatikerto Pertempuran sengit segera terjadi. Armada
menurunkan pasukan bantuan, lalu mengangkat sauh
dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukan-
pasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam
pertempuran.
Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda.
Tiba-tiba membelok ke kanan, memasuki jenggala jatikerto
sambil melepaskan tembakan-tembakan cetbang. jatikerto
pun melepaskan cetbangnya, namun pasukan-nya sudah
banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran
cetbang yang berjalan selama setengah hari sudah
menghabiskan peluru jatikerto .
Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan
pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana,
ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga
pajang bintoro meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi
sedang sibuk di jayamahanaya , dan mungkin melakukan sergapan
dari belakang.
jenggala besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya
Pada hari ketiga sesudah pendaratannya kekuatan pajang bintoro
memasuki ke pedalaman jatikerto . prajurit kerajaan jatikerto kalah
dalam jumlah dan persiapan. Dan sesudah seminggu
bertahan pertahanannya pasukan jatikerto jatuh ke dalam
kekuasaan pajang bintoro .
Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orang-
orang pajang bintoro jadi pemegang kekuasaan di jatikerto . Dengan
keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan
penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan
datangnya kanjuruhan . Sebagian dari kapal-kapalnya
melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir
barat dan utara jatikerto .
Taraf pertama persekutuan militer Trenggono-Fathillah
sudah berhasil. Dengan jatikerto sebagai pangkalan pajang bintoro ,
seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan pajang bintoro
harus jadi modal.
Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih
kembali. Fathillah mulai memanggili penduduk dewasa
untuk dijadikan centeng . Dengan jalan demikian ia sudah
ganti kerugian manusia selama pertempuran seminggu.
Semua pandai besi dikerahkan untuk membuat peralatan
perang baru. jenggala dibuka kembali Dan negeri yang kaya
akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari negeri dongeng .
jatikerto adalah penghasil lada dan minyak kacangtanah .
Dengan jatuhnya jayamahanaya dan blora, ia sudah menggantikan
kedudukan pasuruan sebagai jenggala terbesar di Jawa. namun
jatikerto sendiri tidak memiliki armada dagang ataupun
militer, sebab percaya kegiatan perdagangan takkan
memicu kekuasaan lain akan berniat menyerbu
selama dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain.
Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini
sudah diperhitungkan oleh Fathillah
Dan sekarang Fathillah akan memakai penghasilan
bumi dan laut jatikerto untuk memperluas gerakan
memasuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk
jenggala jatikerto sendiri membantu dan menyokongnya.
Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampung-
kampung tersebar di sekitar jenggala . Sebagian adalah
penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara
dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan
takluk dan setia pada pajang bintoro . Tak bisa lain: prajurit kerajaan
Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu
takkan mungkin dapat ditahan oleh kekuasaan manapun!
Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh
orang di jatikerto yang sudah naik haji, dan seorang di antara
beberapa belas orang yang tahu berbahasa palawa . Dengan
pengetahuannya tentang agama arca dalam waktu hanya
beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan
melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di
tempat ibadah dengan bahasa jawadwipa , la panggili para ulama
setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan
majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan
agama arca secara teratur, juga mewajibkan padanya
membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan
oleh pajang bintoro , hanya sekarang untuk memasyhurkan
Gubernur-Panglima-Laksamana Fathillah.
Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman.
Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk
menghalau penduduk yang menolak arca dalam segala isi
dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan
senjata, namun kekuatan besar pajang bintoro yang membeludak itu
tiada terlawan. lalu mereka melawan dengan kata-
kata makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun
tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan
daerah hidup baru tanpa Fathillah.
Jatuhnya jatikerto dan Pesantenan ke dalam kekuasaan
pajang bintoro sampai pada raden panji gelang-gelang dua bulan lalu :
“Khianat” bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke
suatu tempat untuk memikirkannya “Tepat sebagaimana
kuduga. Semua sudah berkhianat! Semua hendak menari-
nari dengan nyi kanjeng blora di atas pundak si raden panji gelang-gelang , anak
desa ini: Trenggono, adiputro kediri , Fathillah shinoda
Han, Kala chucky , Ratu Aisah,… Dan pasukan gabungan ini
sekarang menjadi lola di negeri orang ”
Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang
terjadi sudah melawan cita-cita betari resi , bertentangan
dengan adiputro tumenggung dijoyo .
Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan
Jawa. Ia tak mampu. Semua memiliki ikatan dengan Jawa,
justru bersangkut-sangkutan, bertali-temali.
Ia pulang ke markasnya. Dan Pada sudah menunggunya,
juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu
teguran. raden panji gelang-gelang tak menegurnya.
panembahan senapati ki ageng itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu
pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati
bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi
pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan nyi kanjeng blora,
dapat digarap jadi daerah pertanian tetap.
Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak memberikan
jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang menyetujui.
‘Tidak, Hang Wira,” jawabnya, “bukan soal tidak atau
kurang menyetujui. Kami ada persoalan lain. Sesudah kanjeng sinuhun
Mughayat Syah, kanjeng sinuhun kami, kanjeng sinuhun jenggala Aceh
Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik,
dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang.”
Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu kanjeng sinuhun Aceh
yang baru sudah kehilangan kepercayaannya pada
Trenggono.
“Sembah sujudku ke bawah duli Baginda kanjeng sinuhun . Semoga
penumpasan terhadap nyi kanjeng blora dari jayamahanaya tetap jadi
perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaik-
baiknya.”
Berita dari Jawa itu sudah melumpuhkan semangat
kesatuan kediri . Di mana-mana tempat mereka
menggerombol dan membicarakan kemungkinan terjadinya
penyerbuan pajang bintoro terhadap kediri sendiri
“Sedang kita ada di sini’ mereka mengeluh.
Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang
Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata
betul tidak untuk pembebasan jayamahanaya , sebaliknya untuk
melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi.
‘Trenggono!” sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin
kesatuan, “sudah mengubah kedudukan kita menjadi badut
yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui
nyi kanjeng blora berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan
sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan
kepergian kesatuan Aceh.”
“Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda
kanjeng sinuhun dan mempersembahkan semua ini,” pimpinan
kesatuan Aceh menyampaikan, “bebasnya jayamahanaya dari
nyi kanjeng blora juga jadi urusan jenggala Aceh Darussalam.”
“Kami akan tetap tinggal di sini,” pimpinan kesatuan
Bugis memberikan jaminan. “Jatuhnya jayamahanaya juga jadi
urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke
utara akan kembali terbuka.”
Dua minggu sesudah itu kesatuan Aceh minta diri untuk
kembali. Kesempatan itu dipakai Hang Wira untuk
mengirimkan Pada pulang ke Jawa.
“Carilah berita yang benar, dan tengok nyi girah mu dan
kemenakan-kemenakan,” pesan Hang Wira. “Cari Liem
Mo Han, cari keterangan tentang Kala chucky : jangan lupa
menghadap baginda tuanku raja Ratu Aisah.”
Dan dengan demikian berangkatlah Pada.
Sesudah pertahanan Rembang patah dan medan
pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, prajurit kerajaan
pajang bintoro memasuki Rembang, menjarah-riah segala yang
dapat dan ditemuinya.
Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman.
prajurit kerajaan pemenang itu lalu membelok ke
selatan untuk membantu menghancurkan persekutuan
militer Pesantenan Blora.
Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya
balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan
melarikan diri ke selatan.
prajurit kerajaan pajang bintoro , di bawah pimpinan Trenggono
sendiri, menang untuk ketiga kalinya.
kanjeng sinuhun pajang bintoro semakin berbesar hati. Seorang ke jatikerto
dan memberikan perintah baru: Ambil Sunda kacangtanah !
Dalam pada itu prajurit kerajaan pajang bintoro dari barat dan utara
yang bertemu di Blora, dengan membawa para bala tentara baru dari
tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan menerobos ke
timur laut untuk menaklukkan kediri dan kahuripan .
Patih kediri Kala chucky Sang Wirabumi sudah
menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik prajurit kerajaan
pajang bintoro . Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang
dari jurusan barat daya kediri , disiapkannya pasukan gajah
di perbatasan. Ia percaya pajang bintoro takkan mungkin dapat
menembus pasukan gajah.
sudah ia pilih tanah lapang untuk membuka medan ini di
mana ia berjanji akan giling bonyok prajurit kerajaan musuhnya.
Ditunggunya para penyerbu itu menyeberangi tanah lapang
itu. Dan perhitungannya tidak keliru.
Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda
pajang bintoro yang bersenjata tombak berjumbai berwama-wami
itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip
kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke
pinggiran lapangan, gajah-gajah kediri pada berdiri,
bersuling, lari ke depan membawa bentengan kayu di atas
punggung.
Kuda-kuda pajang bintoro terkejut Tombak-tombak mereka
yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar
siap untuk melayang. namun mereka tak pernah berlatih
menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu
menyulitkan pembidikan.
Sebaliknya panah dan tombak dari atas gajah
berlayangan bebas menuju ke sasaran.
Kuda-kuda pajang bintoro masih terus berlarian gugup melihat
gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di
hadapannya. Kegugupan pajang bintoro memicu tubrukan-
tubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di
belakangnya langsung membelok menghindari tanah
lapang.
“Lindungi kanjeng sinuhun !” seseorang berseru.
Mendengar kanjeng sinuhun ada dalam pasukan kuda itu Kala
chucky menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan
kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang
bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. “Tangkap
kanjeng sinuhun !” ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui
ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di
medan pertempuran. prajurit kerajaan pajang bintoro mengalami
banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum
pasukan kaki kediri dikerahkan memburu. Bagi Trenggono
sendiri kemenangan atas kediri menjadi petaruh untuk
gerakan militer selanjurnya. Dari kediri lah seluruh Jawa
Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas
Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda kacangtanah akan
ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan
Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi arca atas
namanya. Dan arca , menurut Fathillah yang lalu
juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari
nyi kanjeng blora.
Khusus untuk Trenggono, Blambangan adalah gudang
peninggalan kerajaan jenggala . Dengan benda-benda kerajaan
kerajaan jenggala itu pajang bintoro saja yang bakal jadi kerajaan pewaris
syah dan tunggal dari kerajaan jenggala , dan seluruh Jawa akan
sujud dengan badan dan matinya padanya, pada pajang bintoro .
Kegagalannya di perbatasan barat daya kediri membuat
ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke
utara untuk dapat merebut kediri dari pesisir. Sebagian
kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki
pasukan gajah.
namun Kala chucky tidak dapat ditipu dengan siasat itu.
Melihat prajurit kerajaan pajang bintoro mengurangi kekuatannya ia
pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota.
Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan
untuk menyibuki pasukan kuda pajang bintoro .
Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi
terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa
kerusakan pada kedua belah pihak.
Induk pasukan pajang bintoro yang bergerak dari pesisir utara
menghindari daerah koloni Tionghoa campa , lalu
mengancam perbatasan timur kediri .
gada rujakpolo kanjuruhan di tangan kediri menyambut
kedatangan mereka.
pajang bintoro tertegun menerima peluru-peluru besi itu
sehingga gerakannya terhenti sama sekali. lalu
mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada
tertahankan. Cetbang-cetbang kediri mulai berledakan.
pajang bintoro meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan
pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri.
prajurit kerajaan kediri yang dipaksa bertahan melepaskan
pasukan gajah. Dan pajang bintoro meliuk kembali ke utara. Sekali
ini pajang bintoro berhasil menjebol pertahanan kediri dengan
meninggalkan pasukan gajah.
ki glodog ireng dengan pasukan kudanya belum juga
dikeluarkan oleh Kala chucky . Patih-Panglima kediri itu
memiliki rencana hendak memakai nya untuk menyergap
dari belakang, bila pajang bintoro berhasil dengan desakannya.
Tidak diketahui penghubungnya sudah tertangkap oleh
musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran.
Di kota kediri , kehidupan masih berjalan tenang. Tak
ada orang percaya pajang bintoro bisa menembusi pasukan gajah
kediri . 400 tahun lamanya pasukan ini sudah jadi
tulang punggung kerajaan jenggala pajang bintoro hanya kerajaan
kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga
pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di
tempatnya masing-masing. Kala chucky pun belum lagi
memberikan perintah untuk siaga.
gada rujakpolo kanjuruhan dan cetbang tak berhasil membendung
desakan pajang bintoro . Sorak-sorainya kini mulai terdengar di
kediri kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa
perintah Patih-Panglima mulai disiagakan untuk
mempertahankan kadipaten dan kota.
Dengan kerta -kerta Braja memasuki kadipaten untuk
mempersiapkan pengungsian Sang adiputro . Beberapa orang
perwira diperintahkannya memberitahukan pada penduduk
untuk mengungsi.
Di depan pintu peraduan Sang adiputro didapati Braja
dua orang pengawal bertombak itu masih berdiri di
tempatnya. “Siapkan tandu!” perintahnya. Dua orang itu
lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga masuk.
Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk
memperoleh kan kata-kata yang tepat. Ia bersujud , menarik
tali untuk memberitahukan pada penjaga di dalam. namun
tarikannya tak memperoleh jawaban. Ia buka pintu.
Dilihatnya Sang adiputro tergolek tenang di atas peraduan.
Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu.
“Braja!” panggil Sang adiputro .
Braja menjatuhkan diri, berlutut dan bersujud .
“Ampun baginda tuanku raja ku, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih .”
‘Trenggono berkhianat”
“Sorak-sorainya sudah terdengar dari sini. baginda tuanku raja .”
“Kami tak dengar. Sorak-sorai pajang bintoro ?”
“Sorak-sorai pajang bintoro , baginda tuanku raja .”
“Khianat! Khianat!” ia ulangi kata-kata itu dengan suara
semakin lama semakin pelahan, lalu tak terdengar
lagi.
“baginda tuanku raja , sudah datang waktunya untuk mengungsi.” Sang
adiputro tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi.
Sang adiputro sudah tak bernapas lagi. Wajahnya sudah
menjadi begitu ciut dan rambutnya yang begitu putih
seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan
jatuh di samping kepala . Ia ambil destar itu, ia tutupkan
pada wajah jenasah itu. lalu ia lari keluar dan
berteriak-teriak: “Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi!
baginda tuanku raja adiputro kediri jangan ditunggu. baginda tuanku raja sudah
mangkat.”
Ia terus lari ke belakang, tak mempedulikan orang
berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu
itu terkirai, ia masuk di bawah protes Nyi kembang Daludarmi,
ia tak peduli, berteriak: “Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke
mana saja kalian suka. Sang adiputro mangkat. prajurit kerajaan
pajang bintoro sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua
barang kalian! wanita lesbian -wanita lesbian itu pada menjerit
kebingungan.
“Diam!” bentak Braja. “Bawa harta-benda kalian. Lari
sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.”
la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa
sekarang ia kawal? Jenasah Sang adiputro ? Harta-benda
kadipaten? Ia lari masuk ke dalam balai , memanggil
semua anakbuahnya, lalu memerintahkan semua
bergerak ke selatan untuk memperoleh kan Kala chucky Sang
Wirabumi.
“Gila! Balik! Pertahankan kediri Kota.”
“Apa yang dipertahankan? Sang adiputro sudah mangkat.”
Kala chucky berlutut. kepala nya menunduk dalam.
Mangkat? Ia termangu-mangu. Apa lagikah yang harus
dipertahankan?
Dan kediri Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan para bala tentara
pajang bintoro tiga puluh ribu centeng . prajurit kerajaan pajang bintoro asli!
Tambahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu!
Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari
kendaraannya di depan gedung kabupaten kediri . Dengan
langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para
pengawal.
‘Takluk menyerah kalian yang di dalam!” serunya,
“kanjeng sinuhun Trenggono pajang bintoro datang!”
Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri
kediri tidak, selir-selir pun tidak, apalagi Laki-laki nya.
Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu
datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri
dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia menengok ke
belakang. Semua centeng nya turun belakangan dari kuda
masing-masing dan tak menyaksikan suatu penyerahan.
“Bedebah! Tumpas setiap yang hidup di dalam sini”
perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten,
Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung.
“Peraduan adiputro kediri ,” seorang perwira
mempersembahkan. “Bedebah! Keluar kau anjing kediri !”
pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang
bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada
Sang adiputro yang terbujur di peraduan. la cabut gada wesi nya.
Dan tubuh terbujur itu tiada memperdulikan-nya.
“Kaulah ini kiranya,” bentaknya murka, dan dicabutnya
destar itu dari wajah Sang adiputro kediri .
Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat
Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali
gada wesi nya dan berkata , “Sayang. Tak kau saksikan
bagaimana kejasang yang betari durga mu sendiri. Takkan lagi kau saksikan
bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang
kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobek-
sobek oleh pasukan kuda pajang bintoro !” Ia berbalik lagi dan
melusuhi mayat itu. Dengan demikian ia tak jadi bermarkas
di kadipaten.
Pasukan kediri menyingkir ke selatan. Dan Kala chucky
masih juga tak dapat memutuskan apa harus diperbuat.
Tak lain dari ki glodog ireng yang sangat kecewa
terhadap pimpinan Kala chucky . Ia lebih suka mati di medan
pertempuran dibandingkan menderita kan malu sudah kalah
tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan
kuda kediri , biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela
kalah sebelum bertempur
Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa
memberitahukan atau minta diri dan Kala chucky pasukan
kuda itu melakukan serangan mendadak atas kediri Kota
yang sudah jatuh ke tangan musuhnya.
Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan
yang sudah kehilangan raja melakukan serangan pembalasan
Maka juga pajang bintoro tak pernah memikirkan terjadinya
kemungkinan itu
namun serangan adalah serangan. Dan pagi itu prajurit kerajaan
pajang bintoro , yang masih lelah dari berpesta merayah dan
menjarah kemarin dan semalam, masih aman tenang
bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan
cambuk-perang dan gada terhtumenggung dijoyo pasukan kuda kediri
menyambar-nyambar seperti elang
prajurit kerajaan pajang bintoro lari kocar-kacir ke jurusan barat
dengan meninggalkan jarahannya
Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan
terjadi. centeng pengawal membangunkannya dengan kasar
dan menariknya pada kuda yang sudah disiapkan.
“Bedebah!” kata Trenggono
“Mereka menyerang, kembali. baginda tuanku raja ”
“Siapa menyerang, bedebah? adiputro kediri sudah
mampus.” Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya
mencari gada nya, namun senjata itu belum lagi padanya.
Bila ada, centeng itu akan belah jadi dua.
Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan ki glodog
ireng mengresi h dan segala penjuru.
Buru-buru Trenggono melompat ke atas kudanya.
“Ke sini. baginda tuanku raja ,” seorang centeng .
Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan
pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya
serasa hendak meledak sebab murka, merasa dihina dan
dipermainkan .
Dan dalam serangan mendadak itu ki glodog ireng
bertindak menggiring musuhnya keluar kota kediri . Ia
segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang adiputro .
lalu dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali,
meninggalkan kediri Kota dalam keadaan kosong.
Meninggalnya adiputro kediri tak didengar oleh
raden panji gelang-gelang . Dengan berita masuknya pajang bintoro ke negeri
kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus
mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat.
Kalau pajang bintoro menyerang kediri , jelas kediri tidak
berkhianat lagi pada cita-cita adiputro tumenggung dijoyo . namun mengapa
kediri mengirimkan armada jung? Di mana kapal-
kapalnya? Mengapa tidak diserahkan padanya? Dan
mengapa gada rujakpolo nya ditahannya sendiri? la belum dapat
memutuskan. Setidak-tidaknya pajang bintoro harus dipisahkan
dari persoalan kediri . dahulu pajang bintoro menyerang nyi kanjeng blora,
dan kediri mengkhianati. Sekarang pajang bintoro tidak
menyerang nyi kanjeng blora, namun menyerang kediri , dan kediri
mengirimkan kekuatannya ke jayamahanaya . dahulu kediri
mengirimkan para bala tentara nya ke jayamahanaya dengan ragu-ragu,
sekarang pun masih tetap ragu-ragu.
Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya.
Kelolaan memicu pasukan ini tiada memiliki pusat
pengabdian. Memang gerakannya sudah berhasil membatasi
ruang-gerak musuhnya. namun apakah artinya semua itu
bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak
mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap nyi kanjeng blora?
Dan beban tambahan yang tak kurang memberati
pikirannya adalah kemerosotan semangat centeng nya. Dari
centeng yang berani dengan cepat mereka berubah jadi
petani yang bersenjata. Dari mengusir nyi kanjeng blora tugas
mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan
nyi kanjeng blora dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan
cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang
subur menghidupi itu.
Hanya dengan ancaman hukuman keras saja ia berhasil
memerintahkan telik-teliknya memasuki jayamahanaya untuk
memperoleh kan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya
mengetahui, Pribumi dalam negeri jayamahanaya tidak
memiliki perhatian terhadap pembebasan negerinya
sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi
Nasrani, menjadi nyi kanjeng blora itu sendiri.
Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini?
Dan tak ada yang dapat membantunya berpikir. Kadang-
kadang ia menyesali diri bodoh hanya sebab berasal dari
desa. lalu ia bantah kembali: apa kurangnya
Trenggono? Dia kanjeng sinuhun memiliki segala-segalanya, namun
dungu!
Dari pengalaman selama ini ia merasa hanya
memperoleh kan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang
untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan
pelajaran ini takkan dilupakannya selama ia masih
menghadapinya.
Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata
tidak benar seluruhnya. kanjuruhan hanya mengutamakan
jenggala -jenggala pangkalan untuk dapat menyelamatkan
pelayaran ke panarukan pulang balik. Ia tak mengutamakan
luasnya daerah taklukan seperti Trenggono.
Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan kanjuruhan
sendiri? Para telik tidak tahu. raden panji gelang-gelang pun tidak.
Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi,
malah makin lama makin kendor kehabisan gairah,
mengetahui pula armada suryabuaya -pajang bintoro tidak ditujukan
pada jayamahanaya . kanjuruhan mulai memikirkan kembali rencana
lama untuk menguasai sumber lada dari selatan.
Jatuhnya jenggala jatikerto ke tangan musuhnya yang lama,
Fathillah, sudah membuat kering arus lada. Harganya di
benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali
lipat itu pun masih sulit diperoleh . kanjuruhan sudah memberi
penntah pada Goa, Goa pada jayamahanaya agar segera mengisi
pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya.
Pedagang-pedagang sekongkol kanjuruhan memberitakan
armada pajang bintoro kini merajai Selat Sunda, melakukan apa
yang dilakukan oleh kanjuruhan di Selat jayamahanaya , mengawasi
kapal dan perahu yang meninggalkan atau memasuki
jenggala .
jayamahanaya sudah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya
untuk menyelidiki apa sebetulnya sedang terjadi di
daerah Selatan Dan jayamahanaya memperoleh berita: armada
pajang bintoro mulai menutup lalulinlas laut dengan… bukan
hanya jatikerto , juga Sunda kacangtanah , sumber utama lada.
Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama
saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade.
raden panji gelang-gelang tidak tahu sama sekali tentang apa yang
terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin
menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Kedua-
duanya sudah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran,
dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menambah
kekuatan manusia? centeng setempat tidak ada. Kampung-
kampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan
penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada
pertanian dan pertukaran barang semata-mata. Mereka tak
memiliki kepentingan dengan penghalauan terhadap
kanjuruhan . Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung
merupakan yang luarbiasa . Dan pemuda-pemuda itu
lalu dibenci oleh orang-orang sekampungnya.
Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil
itu kehilangan daya dalam mengimbangi kebusang yang betari durga asmara
dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang
yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita
Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin
banyaknya berita yang datang tentang gerakan prajurit kerajaan
pajang bintoro , semangat para centeng kediri itu semakin merosot
juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di kediri , di
negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan
penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam
soal-soal asmara. Maka centeng -centeng mulai berubah jadi
pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu
seorang centeng menikahi seorang perawan kampung,
seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah
wanita lesbian kampung. Yang belum berhasil
menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke
kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu
pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai centeng . Ia
menjadi petani atau nelayan saja.
raden panji gelang-gelang tahu ia tak memiliki kemampuan untuk
membendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya sudah buyar
sebab Trenggono. Ia tahu juga: jayamahanaya takkan bakal jatuh
ke tangannya.
Pada meninggalkan jenggala Aceh Darusalam
menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa
mendarat di Makasar. Di sini ia menumpang sebuah perahu
Bali dan mendarat di pasuruan . Dengan perahu pasuruan ia
menuju ke kediri .
jenggala itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan.
Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kepatih wirabuana an pun
sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar.
Warung mpu jahalodang terkunci dari dalam.
Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia
mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai prajurit kerajaan
kediri , namun pajang bintoro , Celaka! pikirnya.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan ditangkap
punggawa Sang adiputro sebab dosa-dosa lama lenyap,
digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan pajang bintoro . Ia
rasai ke mana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut
juga yang menganga.
Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke
Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing,
yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh
penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga
Pecinan mengangakan mulut maut.
la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepat-
cepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri,
menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun.
Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada
apa-apanya?
Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu
itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di
situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya
manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di
perguruan dan pertapaan , dan resi -resi , dari dongengan
dan wayang dari kediri dan manusia, dari kehidupan dan
orang tua sendiri, ambyar tanpa makna.
Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang
lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari
tak bisa membela diri. Puluhan ribu centeng yang bersorak-
sorak di kejauhan itu hanya memiliki dua perhatian: Jarahan
dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau
anjangsana namun untuk membunuh dan hanya membunuh.
Terlepas dari centeng yang satu orang akan jatuh ke tangan
yang lain.
Pada alias mpu jayamuseswa berseru-seru dalam
tengkurapnya pada sang yang betari durga nya, memohon perlindungan atas
dirinya untuk sekali ini saja, sebab dalam keadaan seperti
itu ia merasa sudah kehilangan kemampuan untuk dapet
melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya.
Ia mengintip dan melihat pasukan kaki kediri berlarian
tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian sudah
berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan
berpendaran ke mana-mana mencari jalan paling dekat
untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar
mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai prajurit kerajaan
pajang bintoro makin lama makin mendekat
Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan
perisai yang mengganggu gerak. Ratusan orang yang diburu
oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan
timur lenyap dari penglihatan Pada.
Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan
ketakutan yang amat sangat menusuk seperti jarum panjang
di dalam dadanya sang yang betari durga , suruhlah prajurit kerajaan pajang bintoro
mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. Sesudah
berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia
merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu
dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang
mencintai dan menyayangi aku? Bahkan pikirannya sendiri
ogah menjawab, la gigit lengannya untuk membunuh
pikirannya sendiri. sang yang betari durga menjauhkan aku dari pikiran
khianat.
Dan di depan matanya kini melela pasukan kuda pajang bintoro
yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang
memburu tikus. Masing-masing membawa perisai dan
tombak yang sudah siap di lempar atau dijojohkan. Ya,
seperti petani-petani sedang memburu tikus di sawah.
Itukah wajah pajang bintoro yang selama itu kumasyhurkan?
Itukah wajahnya yang sebetulnya ?
Sebagian kecil pasukan kuda itu membelok ke kiri,
memasuki daerah pelabuhan.
Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras
tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur
agar tepukan berhenti. namun sesuatu yang merambat pada
tulang belakang memaksa pantat ini menggelombang,
memukuli tangannya, gelombang demi gelombang. Detapa
memalukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas
dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan
manusia yang sudah jadi lain Ini… aku hanya seekor
cacing. Ya sang yang betari durga , bila kau tamatkan aku dari bahaya ini,
aku akan lebih berbakti pada-Mu, lebih, lebih dari yang
sudah-sudah.
Lima orang centeng berkuda pajang bintoro mengelilingi tiang-
tiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada sudah
basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup
matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela
geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah
pelabuhan.
Sunyi-senyap sekarang.
Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur.
bagian luar dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak
berani mengucapkan syukur pada sang yang betari durga nya. Sesudah agak
tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih
kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik
selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian
kotor dan kaki
Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan.
Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan
kuda berdatangan lagi untuk lalu bertemu dengan
pasukan kaki. Mereka mengerumun seperti gerombolan
semut.
Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu membubarkan
diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumah-
rumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak.
Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang
tidak membuka diri dirusak.
Rumah kepatih wirabuana an dilindas oleh bondongan orang.
Warung mpu jahalodang bedah hingga dinding-dindingnya. Orang
mengambil apa saja yang dapat diambil, memasukkan
jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah
jadi makian dan tawa bahak.
Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi
menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan
kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak
kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah
canang perunggu.
Gelombang centeng pajang bintoro mulai menyerbu ke
pelabuhan. Galangan kapal lalu jadi api unggun,
demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuh-
rendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa
jarahan masing-masing.
Sekarang kediri Kota memperoleh giliran.
Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempat-
tempat lain.
Pada alias mpu jayamuseswa sudah lama dingin di
tempat.
0odwo0
34. Kekacauan di Jawa
Pada sadar. Keadaan sudah sunyi dan malam sudah larut.
Galangan dan bangunan lainnya di pelabuhan sudah runtuh
menjadi bara.
Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia
membersihkan diri.
Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan
bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah.
Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa
kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik
lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada
keselamatannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi.
Di bawah ia merasa resah sebab belum merasa bersih.
Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa
memperoleh kan air. Satu pikiran menegahnya: kediri sudah
jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan
kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarah-
menjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan
pikirkan kebersihan.
Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya
lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia
melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia
merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia
tidak percaya pada kekuasaan sang yang betari durga nya. Kalau peristiwa
itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada
dirinya sendiri.
Sesampainya di luar kota ia memasuki pekarangan
rumah yang sudah ditinggalkan, langsung mencari sumur
dan membersihkan diri, mencuci pakaian yang
dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati,
tanpa membangkitkan bunyi.
Dengan memakai pakaian basah ia mengambil
wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang
sudah dilanda para penjarah.
Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian
basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin
menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri
dari kedinginan sengaja ia mempercepat jalan, tubuh lari sampai
terengah-engah.
Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih
dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia.
Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik:
hutan larangan nyi girah . Ah, benar ia mengakui. nyi girah lah
yang meniupkan keberanian menerobos! kediri . Kota
dalam pendudukan pajang bintoro , la berjalan cepat, lari, terengah-
engah.
Waktu sinar matahari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke
dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu
datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia
memakannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson
kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam
serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang
sebelumnya sudah di-injak-injaknya menjadi kasur.
la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya
masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu
benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas
hangat memuputi mukanya. Dan ia meronta. lalu ia
dengar suara: “Bangun! Ya-ya, bangun,” suara wanita.
Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam
pelukan seseorang.
“Tidak salah lagi. Pada Uh ini,” suara seorang wanita
lainnya.
Pada merontak bangun. “Mati, matilah aku sekarang,”
pikirnya, “mereka sudah tangkap aku.”
“Tidak salah lagi” terdengar wanita lain berseru lega,
“memang Pada ini”
“Benar,” seru wanita lain menggarami dengan suara
hati-hati. ‘Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat
dicuri. Memang dia.”
“Sudah jantan dia sekarang,” suara wanita pertama-tama
menambahi dan pelukannya dilepaskan.
Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri.
Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat
diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki
terpakukan pada tanah.
“Jangan lari Pada!” mereka menegah. “Kau harus tolong
kami” Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba
mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung
rapat oleh lebih dari 30 orang: Semua wanita. Ya.
wanita. Mengapa wanita? Tak ada seorang pun di
antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada
yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak
pernah kena sinar sinar matahari , kemerah-merahan, kulitnya
memancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak
seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda
mereka semua tak bersuami. namun mengapa tidak hitam?
Adakah semua penari? Hanya seorang di antara mereka
nampak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit,
jelas seorang gadis Tionghoa.
“Lupakah kau padaku, Pada? Pada kami? Jantanku?”
seseorang bertanya. “Mengapa nampak takut pada kami?”
Lambat-lambat namun pasti ingatan Pada mulai bekerja dan
mencakup kenangan lama: para selir Sang adiputro ! Ia
tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik.
“Lepaskan aku.” kata nya sopan. “Mengapa Nyi Ayu
sekalian ada di sini?”
“Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai
tak tahu ada perang? Dan baginda tuanku raja adiputro sudah mangkat?”
“Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada?”
seseorang bertanya, lalu menggelendot padanya.
Pada sedang teringat pada sumpah raden panji gelang-gelang . Dan
sekarang Hang Wira sudah terbebas dari sumpahnya: Sang
adiputro sudah mangkat. Ia bisa pulang ke kediri .
“Senang kau melihat kami terlantar seperti ini?”
“Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari
perbatasan, bukan?”
“Tidak semua,” salah seorang menyangkal.
“Aku pun tidak!” yang paling tua di antara mereka
membenarkan. Suaranya tegas dan mantap.
“Dan saya dari campa ,” gadis Tionghoa itu
memperdengarkan suaranya.
Pada menatap yang tertua dan termuda itu berganti-
ganti. Ia belum pernah mengenal mereka. Yang tua tentulah
pengurus keputrian, yang muda tentu selir terbaru.
“Nyi kembang ?” ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu
menjawab dengan sembah dada.
Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di
antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara
bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak
tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu.
“Mari berjalan,” Pada menyilakan.
“Kakiku, Pada,” seseorang menyatakan protes sambil
memijit-mijit kakinya.
“Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan
terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan
harapkan aku mau menggendong.”
“Jantanku! Jantanku! Begitu kejamnya kau sekarang.
Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung?”
Pada tertegun dan menengok padanya.
“Barangkali sebab aku sudah jadi tua begini, Pada?”
Dan Pada merasa iba. namun cepat-cepat dibuangnya
perasaan.
Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak,
menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian
mengikutinya seperti anak-anak ayam membuntuti
induknya. Dan semua membawa bungkusan, di-sunggi di
atas kepala , dibopong atau digendong. Dari ujung paling
belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti
cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat.
Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang
sekali, seakan ia sedang memperlihatkan diri sudah
memunggungi masa lalunya untuk selama-lamanya. Antara
sebentar ia dengar suara memanggil-manggil minta
ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja
baginya sudah pahala yang mencukupi.
Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat,
terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi
kembang semua berebutan untuk berada di dekat Pada.
Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas
bumi ini.
Nampaknya Nyi kembang Daludarmi sudah banyak
mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseru-
seru: “Pada, Pada, berhenti dahulu !” katanya seperti
memerintah.
Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanita-
wanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan
pengurus harem itu.
“baginda tuanku raja adiputro sudah mangkat,” katanya bersungguh-
sungguh, “namun aku masih membawa tugasnya, mengemong
wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan
mereka di masa-masa yang lalu. Aku pun tak peduli apa
perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta,
pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang
memerlukan perlindungan.”
Sejenak Pada memberontak terhadap kata-kata itu.
Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh
pada tugasnya.
“Aku ada kepentingan sendiri’ Pada menerangkan.
“Bila pasukan pajang bintoro memburu, kau pun tak bakal
selamat sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa memburu
kepentingan sendiri? Kepentingan kita semua sama:
selamat’
Dan mereka yang sudah melewatinya kini pada berbalik
melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh
paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan
hewan buas hutan. namun hutan itu makin lama makin
rapat juga.
Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap
berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai
penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat
merasakan, ia menaruh hormat padanya, namun ia takkan
mengucapkannya.
Beberapa orang sudah mengeluh kacangtanah ran. Ia tak
menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak
mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan
berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai
menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti.
Senja sudah membuat hutan rapat itu jadi gelap.
Perjalanan memang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia
memerintahkan menyiapkan tempat tidur masing-masing di
atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai
mengmpu wungubhumi apa saja yang patut dipakai jadi tilam.
Api unggun disiapkan.
Ia lalu menyiapkan obor dari ranting-ranting dan
pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari
umbi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti
perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari
percakapan.
Dengan diam-diam pula orang membakar dan
memahami pendapatan mereka.
Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka
sudah dirambati oleh semut dan segala macam serangga,
juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersih-
bersihkan.
Pada memisahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura
tak mengetahui sesuatu. Melihat itu wanita lesbian -wanita lesbian
itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekat-
dekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur
demikian ketakutan lebih banyak pada hewan buas
dibandingkan manusia buas.
Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin.
Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa
risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya
agar tak padam sampai tengah malam.
Dalam desakan wanita yang terbaring di samping-
menyampingnya Pada memikirkan soal lain: sekiranya
Sang adiputro masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya
terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini
mengepungnya? Adakah dia akan melindungi mereka dari
prajurit kerajaan pajang bintoro ? Ataukah dia akan melarikan diri
sendiri? Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawar-
tawar ini? Dan dengan puas hati ia menjawab
pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selamatkan diri
sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang
sudah lolos dari hukuman matinya, justru yang melindungi
orang-orang penghiburnya selama itu. Pada! tidak lain dari
Pada!
Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini,
ia merasa sebagai manusia yang lebih agung dibandingkan
seorang adiputro yang pernah berkuasa atas hidup dan
matinya. Dan sudah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita
penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya.
Ia jadi iba hati.
Bukan hanya Sang adiputro , ia berani memastikan,
sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa
ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan
lain. sang yang betari durga , ampunilah orang-orang ywg tak memiliki
kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang
sebab kedaifan, tanpa ajaranMu, sudah melanggar
laranganMu.
Selir-selir yang jauh dibandingkan nya, dan tak percaya akan
keselamatan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya,
berebutan memeluk atau memeganginya untuk
memperoleh kan perasaan terlindung dari hewan buas.
Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. “Lepaskan
aku!” kata nya lembut ‘Takut, Pada, kami semua takut.”
“Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. ayolah ,
tidur, api itu pun harus kujaga.” Dari kejauhan terdengar
auman harimau. Semua terdiam, juga Pada.
“Macan,” akhirnya seseorang berbisik memperingatkan.
“sebab itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa
menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku
pergi seorang diri malam ini juga.”
Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi
kembang Daludarmi. Dari tempatnya wanita itu
memperingatkan para selir. “Kalau tak mau diatur, uruslah
sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan.”
Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang paduka raja
yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani,
seorang panglima yang kehabisan musuh.
Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain dibandingkan
mengikuti perintah. Tiada antara lama lalu mereka
mulai tertidur. Pada mendengar Daludarmi
menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang
menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang
adiputro dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri,
menggabungkan diri dengan yang lain-lain, lalu
membaringkan badannya yang berisi itu di atas tilam
semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh
api. la pun segera jatuh tertidur.
Pada menghampiri mereka, mengamati seorang demi
seorang. Semua sudah tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada
seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur
dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat
mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat
mengingat mana-mana yang pernah digaulinya semasa
kanak-kanak dahulu , dan semua beberapa tahun lebih tua
dibandingkan nya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang
seorang itu semua lebih tua dibandingkan Nyi kembang nyi girah .
Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun
jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan
kesudian Sang adiputro . Dan Sang adiputro tidak jarang
hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam
sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan
paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong
yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka
dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala
macam bahaya.
Dengan berbantalkan bungkusan masing-masing mereka
tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang
adiputro . Kemarin dahulu orang bisa kehilangan kepala bila
kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja!
Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus
perjaka saja pernah bermimpi kan kasih sayang dan tubuh
dan hati mereka dahulu nya? Berapa saja di antaranya sudah
putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang
adiputro , dan lari meninggalkan desa dan harapan masing-
masing?
Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah
menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok
dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada
menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan
prastika.
Sekali lagi ia umpani api dengan kayu bakar baru.
Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia
bertayamum, lalu bersembahyang, bertakbir,
bertahmid dan beristigfar. Dan ia memohon memperoleh kan
kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam
takwa. Dan ampunilah mereka, ya sang yang betari durga , sebagaimana
Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu.
Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di
bawah kaki mereka dan tertidur.
Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada
keras lagi.
Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari
sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun
terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan
mereka, tanpa memberi peluang untuk bisa bermanja atau
mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan
bersama-sama mereka mengitari tempat sekeliling. Ia
potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan
buah mlinjo, dan pungutkan mereka madu lebah.
lalu mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang
tidak secepat kemarin. Ia pun mau membantu memikulkan
beberapa bungkusan.
Sampai di depan Gowong Pada sengaja berhenti untuk
mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan
nyi girah dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik
kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang
dipujanya. Memang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa
yang bersama nyi girah . Tak ada tubuh dan jiwa lain di
dalamnya, apa lagi jiwa selir. Dan nyi girah : ibu dari dua orang
anak dan istri sahabatnya.
Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat
digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru
mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya?
“Mengapa berhenti di sini?” Daludarmi bertanya.
Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan
rumput sudah menutup sebagian mulut gua. Pada merasai
suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam
bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya.
“Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalamnya’ ia
mendongeng, “dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua
itu…. lalu datang seorang kesatria raja … dan ia merasa diri
kesatria raja yang dinamakan nya sendiri, dan sekarang ia pun merasa
sebagai kesatria raja gagah, didapatinya kepala drubiksa sudah
bunuhi bawahannya sebab ia ingin memiliki Sang Dewi
untuk dirinya sendiri. namun Sang Dewi menolaknya.”
Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, namun tak
berani tebarkan pandang pada mulut gua.
“Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam
sana. Mari kita masuk,” dan kala dilihatnya tak seorang
pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran
mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa kesatria raja itu dan
siapa pula dewi itu. Ia kecewa. “Mengapa kalian tak
bertanya mengapa Sang Dewi menolak?”
“Mari berjalan terus,” seseorang yang kengerian
memohon.
“Ya, mari berjalan terus. kesatria raja itu membunuh kepala
drubiksa itu dengan gada wesi nya, jauh lalu hari ia merasa
menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan gada wesi … oh,
tidak, ia menghabisinya dengan pisau dapur.”
‘Tentu kesatria raja itu sejenis orang linglung.” Daludarmi
menyela, “Tak ada seorang kesatria raja membawa pisau dapur ke
mana-mana.”
“Ya, barangkali sejenis kesatria raja linglung,” Pada
menjawab.
Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan
Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi
dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan Gua
Gowong. Dengan nada memaksa sekarang ia bertanya:
“Mengapa Sang Dewi menolaknya?”
“Mungkin Sang kesatria raja sudah linglung.”
“Mungkin Sang kesatria raja sudah tua,” seseorang
memaksakan diri menjawab.
“Sang adiputro adalah kesatria raja tua, kalian masih juga mau
menerimanya. Itu bukan alasan.”
“Kalau begitu Sang kesatria raja masih terlalu muda.”
“Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan
kesatria raja , dan kalian pernah juga mau menerimanya.”
Mereka semua tertawa terkikik-kikik.
“sebab Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir
tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke
kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.”
Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi
pula apakah gunanya orang lain harus melihat
kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah? Ia
kembali berdiam diri.
Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi
dalam hutan Memasuki daerah alang-alang yang
menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada
nampak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan
wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua
mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi.
Kini semua termangu-mangu di tepi hutan. Pada masuk
lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang
memohon keselamatan untuk seluruh rombongan. Ia
berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke
langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua
keselamatan, ya sang yang betari durga , penguasa bumi dan langit.
Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan
padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan
teguhkan iman, sang yang betari durga -lah semua yang menentukan.
“Mari berangkat!”
Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan
atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling
depan dibandingkan paling belakang. Tak ada seorang pun
berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi.
Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Permukaan
alang-alang tak juga mau tenang, mengimbak-imbak seperti
ombak laut setiap angin datang meniup, menyesatkan orang
dari gerakan yang mencurigakan itu.
Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir
akan membangunkan raja maut yang sedang mengintip
entah dimana. Ketakutan pada mati sudah menindas
perasaan-perasaan yang lebih kecil.
“Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada
maut,” gumam Pada sesudah selamat melalui padang alang-
alang dan memasuki hutan muda. “Alhamdulillah, ya
sang hyang Widhi , ya Robbi,” ia duduk tersandar pada sebatang pohon
kluwih dan para selir duduk mengelilingi. “Mereka yang
kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan
sejenis itu,” bisiknya lalu pada dirinya sendiri.
Suaranya dikeraskan: “Kalau sudah terlewati hutan muda
ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di
sana.”
‘Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri,” seseorang
membantah.
“Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita
nanti? Kami akan tetap mengikuti,” seorang lain
membantah juga.
“Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama
matahari sedang tenggelam dan kita menginap di sana.”
Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam
sudah jatuh. Tak ada suara gamelan. Tak ada lampu
menyala.
Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki.
Masih ada orang tinggal di dalamnya: suami-istri dengan
dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala
kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin
dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak
mencukupi untuk orang sebanyak itu.
Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari
mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi.
Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan
seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan
rombongan yang lain.
“Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya.”
Orang-orang yang menanggung kacangtanah ran dan kelelahan
dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus
merasa aman di dalam lingkungan manusia yang belum
diubah perangainya oleh perang.
Belum lagi lama mereka tidur, dan sinar matahari sudah
menyembul di timur.
Derap kuda memaksa semua orang melompat dari
ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya
sudah lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi
padang rumput menuju ke hutan.
Bagi Pada tak ada jalan lain dibandingkan naik ke atas pohon
nangka di samping rumah: Pohon itu sangat rimbun namun
tiada berbuah.
centeng -centeng berkuda itu memasuki rumah dengan
masih berkendara. Seorang centeng , yang melihat beberapa
orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah,
segera mengejar dan menyambar salah seorang dan
mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa
berhenti dan kembali ke rumah mengikuti perintah.
Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat
cambuk-perang pada pinggang centeng itu. Bukan para bala tentara
kediri , ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang,
apakah dia para bala tentara pajang bintoro atau kediri ? Ia mendekam
mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara
pelabuhan dahulu .
Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta
ketakutan. centeng itu memeluknya sambil tertawa-tawa. Di
dalam rumah selir-selir lain memekik-mekik pula. Dan
centeng itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana.
kata -kata semakin meriuh dalam rumah. Pada hanya
bisa mendengarkan. lalu tak terdengar lagi
perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang
menyesatkan.
Tiada antara lama lalu mendadak serombongan
centeng kaki datang bersorak-sorak. Mereka sudah melihat
beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu.
Dari pintu belakang rumah nampak centeng -centeng
berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat
lari membawa gada masing-masing menuju ke hutan,
melintasi padang rumput.
Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar
mengepung dan memasuki rumah. Dan Pada dapat melihat
di antara dedaunan nangka itu tombak-tombak beterbangan
mengejar. Yang dikejar memakai gada nya
menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada
ketelanjangannya di bawah matahari . Mereka terus lari ke arah
hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa
orang centeng kaki kediri melompat ke atas kuda-kuda
yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak
masing-masing. Dalam waktu pendek yang terkejar
tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari Gemerincing
gada beradu gada dan tombak terdengar nyaring dari
tempat Pada.
Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat
seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang
yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun
lagi buat selama-lamanya, la dapat saksikan dari balik
dedaunan centeng -centeng yang telanjang bulat itu tertubruk
oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas.
Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari
pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan
rumah petani itu, hilang dari pemandangan.
Empat orang berkuda dengan gada atau tombak
berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah
persembunyian Pada.
“Memang selir-selir baginda tuanku raja adiputro ,” seseorang berkata.
“Bagaimana bisa sampai ke mari?”
“Mengikuti orang bernama Pada, hendak kembali ke
desa.”
“Di mana Pada sekarang?”
“Katanya lari waktu orang-orang pajang bintoro datang.”
“Dia tidak melindungi selir-selir itu?”
“Melindungi bagaimana? Dia tak bersenjata, bukan
centeng . Katanya juga baginda tuanku raja adiputro sudah mangkat”
Pasukan kediri sudah pergi. Ia belum juga turun dari
tempatnya. lalu nampak seekor gajah perang berjalan
diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang
perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi.
Ia masih harus menunggu sampai sinar matahari tenggelam,
baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula
kembali.
“Begitu sehari-hari,” tuanrumah memulai. Dikeluarkan
ubi dan gembili lalu dibakarnya. “Sudahlah, tak perlu
kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain?”
“Sudah dibawa para bala tentara kediri .”
“O,” ia tak meneruskan.
Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka
tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-masing,
lalu tak terdengar lagi suaranya.
Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan
beribu tenma-kasih.
Pada subuh hari sampailah ia di rumah nyi girah .
Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rumahnya
sudah dipalang silang dengan dua potong bambu belah
sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu
yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk
ke dalam.
Hampir saja ia terlelap begitu menyandarkan badan pada
daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya
yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga,
berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk
menebak di mana nyi girah berada. dahulu ia dan raden panji gelang-gelang
dan mpu wungubhumi sudah membuka huma di dalam hutan untuk
tempat pengungsian bila perang terjadi.
Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi sebab sudah
kejasang yang betari durga luruhan daun selama ini. Dan ia berjalan dengan
susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi,
terperosok dan tersasar.
Pada tengah hari sesudah berputar-putar dalam hutan
sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia
sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan
baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan
huma itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana
berdiri di tengah-tengah. Dan tentu mpu wungubhumi ada di dalam situ.
Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya
terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah
nyi girah segera akan nampak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar
melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi
tombak menyambar di atas kepala nya. Dan tangkai tombak
itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon
tempat ia tadi berhenti.
“mpu wungubhumi ! Aku di sini, aku, Pada,” ia memekik.
“Pamankah itu?” terdengar suara mpu wungubhumi , dan pemuda itu
muncul dari balik semak-semak. “Beribu ampun, Paman,
tiada terduga. Paman dari jayamahanaya ? Mengapa kelihatan
lebih tinggi dan kurus? Mari, mari.”
Ia dapatkan nyi girah tiada kurang suatu apa. Nampak ia
terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan
bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyambutnya.
“Kau kelihatan lebih tua. Pada.”
“Dan nyi girah kelihatan lebih muda lagi’ jawabnya
menegang. lalu ia langsung bercerita tentang
raden panji gelang-gelang dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di
Semenanjung.
nyi girah mendengarkan dengan diam-diam. Dan mpu wungubhumi
mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu
membuat ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap
orang-orang besar yang mempermain mainkan panembahan senapati ki ageng .
“Dan kau, mpu wungubhumi , kau kelihatan lebih kukuh,” Pada
langsung memasuki persoalan pribadi sesudah ceritanya
selesai. “Lemparan tombakmu seperti centeng sungguh.”
Dan mpu wungubhumi hanya tersenyum senang mendengar pujian
itu. Ia malu bercerita sudah lari dari pasukan pengawal.
Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari
Semenanjung sampai ke kediri dengan suara semakin lama
semakin pelahan.
“Kau lelah. Pada.” tegur nyi girah . “Dan matamu merah
seperti itu. Sudahlah, kau tidur dahulu .”
Sesudah beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali
ke jayamahanaya . Masih banyak yang harus dikerjakan Dan nyi girah
seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia
semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru sebab
itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya
pada nyi girah dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus
disampaikannya pada panembahan senapati ki ageng . Dan dari tiga orang ibu-
beranak itu ia hanya memperoleh kan satu pesan untuk yang
tercinta di jayamahanaya sana: pulanglah, sebab Sang adiputro
sudah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong
pembebasan atas jayamahanaya
Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang
wanita yang dicintainya dan tidak pernah membalas
cintanya. namun juga gembira sebab akan dapat melepaskan
dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama
berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya,
memandangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan
ketabahannya. namun bila sebab sesuatu hal pandangnya
bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah
menerjang dadanya, dan darahnya membeludag seakan
hendak membuat jantungnya meledak. Beberapa kali saja
ia memohon ampun pada sang yang betari durga nya sebab sudah mencintai
wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, ampun., namun
hatinya memiliki kemauan dan hukum sendiri
Waktu ia minta diri nyi girah hanya menatapnya, lalu
mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan,
bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia
menambahi:
“Ampuni aku sudah menyusahkan nyi girah selama ini.”
Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh
wanita tercinta itu.
mpu wungubhumi pergi untuk mengurus kuda. Ia akan mengantarkan
tamunya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk
membelah kayu bakar.
“Ya, pergilah kau dengan selamat. Dan kalau aku boleh
berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi
aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan
wanita lesbian yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan
terbebas dari sikap yang mengganggu hidupmu selama ini’
Pada membuang muka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk,
ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, lalu
bersama mpu wungubhumi menerobos hutan berkendara dua ekor kuda.
“Mengapa kau tak di medan perang. mpu wungubhumi ?” tanya Pada
untuk melupakan kata-kata nyi girah .
“Di pihak siapa. Paman?”
“Di pihak kediri tentu.”
“kediri ? Apakah yang sudah diperbuat adiputro kediri
terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku
sendiri? Kau lihat sendiri Paman, bapakku. panembahan senapati ki ageng , sudah
dibuangnya di negeri orang untuk berperang.”
Ia dapat temukan kata-kata berontak dari nyi girah , dari
panembahan senapati ki ageng dan dari betari resi . Keluarga ini nampaknya
benar-benar anak-rohani betari during. Dan sekilas ia
teringat pada ajaran salah seorang resi nya dahulu bagaimana
seorang musafir pajang bintoro harus bersikap dan berbuat
terhadap resi -pembicara pemberontak tumpas! Ternyata pengaruh
betari resi sangat besar terhadap keluarga seorang yang
dicintainya. muncul dorongan dalam hatinya untuk
mengetahui lebih banyak tentang resi -resi itu. namun ia tak
jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini? Sudah bukan
tugasnya lagi.
“mpu wungubhumi , kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang
luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang
penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik
kuda dan melemparkan tombak, segera aku dapat
mengetahui kau pernah jadi centeng .”
“Betul, Paman. Aku pernah jadi calon centeng pengawal
kediri ,” mpu wungubhumi mengakui. “lalu sebentar jadi centeng
pajang bintoro .”
“pajang bintoro ?”
“Betul.”
“Kau mondar-mandir tidak karuan.”
mpu wungubhumi tertawa, lalu meneruskan: “Aku rasa, tinggal
bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk
emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada
kediri dan pajang bintoro ? Sampai sekarang aku tak tahu.”
Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa mondar-mandir
pada dua daerah yang saling bermusuhan.”
‘Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang
lain.”
“Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk? pajang bintoro
arca , kediri setengah Warn.”
“Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk
pembebasan jayamahanaya , apalagi sesudah ternyata panembahan senapati ki ageng wilareja
dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat
hanya dengan jung!”
Sekali Pada melihat semangat si raden panji gelang-gelang di dalam
kata-katanya. Dan ia membiarkan mpu wungubhumi meneruskan kata-
katanya.
Begitu, paman, hanya di rumah aku merasa damai. Di
kediri orang selalu mengejek dan mengganggu dan
menghina. Benarkah aku bukan anak panembahan senapati ki ageng wilareja ?”
Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di
belakang mpu wungubhumi sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah
itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu
tajam ke jurusan lain.
“Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak
mau menerangkan.”
“Tahu apa aku tentang itu?
Yang kuketahui selama mi kau anak panembahan senapati ki ageng dengan
nyi girah . Mengapa justru bertanya padaku
“Emak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang ‘tidak cukup
baikkah raden panji gelang-gelang dan nyi girah jadi orang tuamu?’ Aku
tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku
matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku
tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang resi -
pembicara, ia lupa namanya… ia mengulangi kutipan itu
hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin
bimbang”
“Apa katanya?”
“Tak ada seorang manusia pun,” katanya, “pernah
meminta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi.
Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang
dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.”
“Itulah resi -pembicara dungu.” Pada terangsang.
“Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak
atau ibunya.”
“Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja’
Pada terkejut, namun pura-pura tak memperhatikan. Tak
pernah ada orang bicara sejenis itu. Sendiri seorang resi -
pembicara, bekas musafir pajang bintoro , dilatih untuk
mematahkan pengaruh resi -pembicara bukan golongan
sendiri, pemberontak , secara naluriah ia bangkit untuk mengobrak-
abrik pengaruh itu.
“mpu wungubhumi , mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran
bukan saja membawa rahmat, juga membawa pesan pada
dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja.
Pesan itu juga diberikan kepadamu, padaku, juga untuk kita
teruskan Dari negeri jawadwipa sana datang bidai ‘Raja adil
raja disembah, raja lalim raja disanggah’”.
“Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang
kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan
perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti
pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan
karunia?”
Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir
Pada. Dan cepat-cepat ia membelokkan: “mpu wungubhumi , cobalah
singkirkan dahulu soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir,
bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti
halnya sekarang? Bukankah itu karunia?”
Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu
tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan
Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para
resi -pembicara yang sudah berakar di dalam keluarga
raden panji gelang-gelang .
Akhirnya mereka terdiam kebosanan.
namun mpu wungubhumi tak urung mengulangi pertanyaannya:
‘Paman belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak
panembahan senapati ki ageng wilareja ?”
“Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan
perjalanan seorang diri, mpu wungubhumi . Tentang itu, datanglah pada
emakmu. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup
dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui.
Aku tak tahu apa-apa, dan tidak memiliki hak apa-apa. Nah,
terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada
emakmu, dan berbaktilah lebih baik.”
Ia ulurkan tangan untuk dicium mpu wungubhumi , namun bocah itu
tak mengenal adat itu. mpu wungubhumi mengangkat sembah dada.
Kepemberontak an masih berkuasa atas mereka, keluhnya,
lalu ia berjalan kaki keluar dari hutan.
Begitu lepas dari cengkebetari n hutan ia berhadapan
dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia memerlukan naik ke
atasnya, meninjau gubuk yang selama ini ditinggali oleh
wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu sudah
tergeletak jauh di beranda, dan pintunya sudah terbuka. Ia
masuk ke dalam.
Semua perkakas sudah berantakan di lantai: orang-orang
pajang bintoro sudah memasuki rumah ini.
Cepat-cepat ia turun, lari, balik memasuki hutan.
0odwo0
35. campa Pajajaran -Sunda kacangtanah
Perang di kediri bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada
untuk menghadap Patih kediri Kala chucky Sang Wirabumi
gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerah-
daerah pertempuran ia memasuki campa dari sebelah
selatan.
Belum lagi memasuki daerah perkampungan campa ia
sudah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia sudah terkena
dilaso. Seutas tali sudah menjerat kaki, membantingnya ke
tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeong-
geonglah ia dengan kepala ke bawah. Bungkusan
bawaannya terlempar entah di mana.
Kelelahan dari perjalanan memicu ia tak mampu
mengangkat badan untuk membebaskan kaki dengan
tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah
dan menyesak dalam kepala nya. Nafasnya terengah-engah.
Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang
Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih
tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia sudah
jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan.
Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang
bertanya: “kediri apa pajang bintoro ?”
Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab
tabah: “Dua-duanya tidak.”
“Bukankah kau Pribumi?”
“Betul,” Pada su