ka.
Bagi politisi moderat, respon yang paling umum yaitu menunjukkan
dukungan terhadap keberagaman, termasuk kebebasan umat Muslim
untuk beribadah, seraya menyampaikan bahwa lokasi pembangunan
memang kurang bijak dan kurang peka. Meski demikian, lokasi ini
awalnya tidak mendapat tentangan. saat proyek Park51, yang juga
disebut Cordoba House, pertama kali diumumkan ke publik, tidak ada
respon negatif. “Pada Desember 2009, Cordoba House tidak dianggap
sebagai proyek kontroversial, melainkan sebagai inisiatif positif dalam
menjalin hubungan di antara komunitas agama yang berbeda,” jelas
ilmuwan politik Nadia Marzouki.37 Dalam artikel pertama yang mengulas
proyek ini di New York Times, para tokoh agama dan tokoh politik dikutip
memberikan respon positif.38
Respon yang baik ini sebenarnya tidak mengejutkan, jika melihat
fakta sebenarnya dari Proyek Park51. Panitianya, Sharif el-Gamal, ingin
menjawab kebutuhan mendesak atas tempat ibadah di lingkungannya.
Daripada hanya membangun masjid, dia memilih membangun fasilitas
komunitas multifungsi yang terbuka bagi semua penganut agama. Dia
terinspirasi oleh pusat komunitas Yahudi di Upper West Side di mana
dia mengajari anak-anaknya berenang. Seperti banyak warga New York
lainnya, peristiwa 9/11 merupakan pengalaman yang mengubah hidup
el-Gamal; dia menjadi sukarelawan di Ground Zero, selama dua hari dia
membagi-bagikan air minum kepada para korban dan petugas gawat
darurat. Imam Sufi yang dia tunjuk, Feisal Raum, dikenal mendukung
perdamaian antar-agama. Bahkan, pengamat politik konservatif, Laura
Ingraham, menyambut baik Proyek Park51 saat membawakan sebuah
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 193
segmen tentang isu itu di Fox News. Mewawancarai istri Raum, Daisy
Khan, Ingraham mengatakan bahwa dia tidak melihat ada yang keberatan
dengan ide ini . “Saya suka usaha Anda,” ungkapnya dalam siaran
langsung.39
Protes dan kemarahan mestilah direkayasa, sebagian besar oleh agen
pelintiran kebencian dari luar komunitas setempat. Pada 21 Desember
2009—hampir dua minggu setelah laporan pertama di New York Times—
blogger anti-Muslim yang keras, Pamela Geller, menggugat rencana proyek
Park51. Kemudian muncul Robert Spencer, direktur organisasi Jihad
Watch dan salah satu dari enam pakar penyebar informasi palsu yang
diidentifikasi oleh CAP. Pada Mei 2010, agen Islamofobia mengerahkan
kampanye besar-besaran menentang pembangunan pusat komunitas
itu. Mereka melancarkan argumen perlawanan mereka dengan berbagai
tuduhan ekstrem. Tidak heran jika hampir semua tuduhan itu tidak
benar; fakta tidak dapat menghalangi agen pelintiran kebencian dalam
membangkitkan kemarahan.
Analisis filsuf Martha Nussbaum tentang kontroversi ini secara
sistematis membongkar kebohongan-kebohongan di dalamnya yang
dimulai dari nama itu sendiri.40 Tidak ada yang namanya “Masjid Ground
Zero”; yang ada hanya rencana pembangunan pusat komunitas yang
dilengkapi tempat ibadah. Ground Zero berjarak tiga blok dari lokasi
pembangunan dan tidak terlihat dari sana. Kalaupun yang dibangun yaitu
masjid, itu bukanlah konsep yang asing bagi Lower Manhattan. Sudah
ada masjid di Jalan Warren di sekitar situ, dan bangunan kosong tempat
pusat komunitas akan dibangun sebelumnya telah dijadikan tempat ibadah
sementara oleh umat Muslim. Para pemrotes juga tidak menunjukkan
sensitivitas mengenai Ground Zero dengan konsisten; tempat perjudian
dan dua klub striptis, New York Dolls dan Pussycat Lounge, lebih dekat
lokasinya dengan Ground Zero daripada rencana situs Park51. Selain itu,
tuduhan bahwa pusat komunitas itu akan digunakan untuk merayakan
atau menanamkan ekstremisme seperti yang mendorong serangan 9/11
tentu saja tidak berdasar. El-Gamal maupun imam yang dia tunjuk “yaitu
sosok moderat yang mengutuk keras Islam radikal apa pun bentuknya, dan
mereka menjamin bahwa paham seperti itu tidak akan diterima di pusat
komunitas,” jelas Nussbaum.41
Uraian-uraian di atas tidak dapat meruntuhkan tembok prasangka yang
Bab 6194
digalakkan jaringan penyebar Islamofobia. Beberapa orang Muslim telah
membunuh warga New York, jadi Muslim tidak bisa diperlakukan sama
dengan orang lain. Pada 6 Juni 2010, unjuk rasa yang diorganisir oleh Stop
Islamisasi Amerika berlangsung di Lower Manhattan. Ini organisasi baru
yang didirikan Geller dan Spencer dengan mencontoh organisasi serupa
di Eropa. Unjuk rasa ini menarik perhatian pembicara–pembicara dengan
keluhan dan tujuan yang beragam. “Penolakan terhadap pembangunan
pusat budaya Islam menjadi peluang untuk membela berbagai tujuan seperti
hak-hak asasi orang Koptik di Mesir, hak-hak Muslim untuk berpindah
atau meninggalkan agamanya, keamanan Israel dan keberlangsungan
hidup umat Kristen di dunia Barat.” ujar Marzouki.42 Dengan pemilihan
umum di tengah masa jabatan yang akan berlangsung lima bulan lagi,
para politisi pun bergabung dalam perdebatan ini. Rick Lazio dan Carl
Paladino, yang bersaing untuk menjadi kandidat gubernur Partai Republik,
“saling bersaing meningkatkan kecamannya terhadap pusat budaya Islam
itu.”43 Paladino, yang akhirnya memenangkan pemilihan Partai Republik,
berjanji jika terpilih, dia akan “menghentikan pembangunan masjid dan
menjadikannya situs peringatan perang, bukan monumen untuk mereka
yang menyerang negara kita.”44
Sebaliknya, warga yang dipercaya mewakili kepentingan komunitas
lokal terus mendukung Cordoba House. Pada 25 Mei 2010, Dewan
Komunitas Lower Manhattan mengadakan pemungutan suara yang hasilnya
mendukung proyek dengan perbedaan suara yang besar. Kemudian, pada
13 Juli, Komisi Pelestarian Landmark Kota New York dengan suara bulat
menolak tuntutan pemrotes agar tempat pembangunan pusat komunitas
diberikan status landmark yang dapat menghalangi rencana pembangunan
jika disetujui. Politisi yang tidak ingin menuruti kehendak kelompok
agama sayap-kanan juga memberikan dukungan yang sama-sama kuat.
Michael Bloomberg yang terpilih kembali sebagai walikota untuk ketiga
kalinya pada 2009, tanpa ragu menyuarakan dukungannya, baik untuk
kebebasan beragama maupun untuk hak properti pemilik lahan. Anggota
Kongres dari Partai Demokrat, Jerrold Nadler, mengutarakan hal yang
sama. Andrew Cuomo, yang sudah memastikan kemenangannya dalam
pemilihan calon kandidat gubernur mewakili Partai Demokrat, juga
menyatakan dukungannya bagi keragaman dan toleransi.45
Komitmen kuat AS untuk melindungi kebebasan beragama dan hak
atas properti pada akhirnya membuat perselisihan hukum ini dimenangkan
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 195
Park51. Meski demikian, banyak pengamat yang memandang bahwa,
sekalipun umat Muslim memiliki hak legal untuk menjalankan agamanya
dan membangun masjid di area sekitar lokasi peristiwa 9/11, mereka juga
seharusnya memiliki sensitivitas terkait area ini dan memindahkan
lokasi proyeknya ke tempat lain. Pandangan demikian—kalaupun
tidak berdasarkan prasangka— menunjukkan tendensi para penganut
liberal multikultural untuk memaklumi kalangan intoleran, sebab
kecenderungan mereka untuk berempati dengan perspektif orang lain.
Mereka berprasangka baik terhadap para pemelintir kebencian—seakan-
akan menyuarakan keluhan yang terdengar rasional tentang lokasi Park51
dapat membukakan hati para pemrotes itu untuk menjadi lebih toleran.
Masjid Mursfreesboro
Tidak sulit untuk menguji apakah betul bahwa proyek masjid akan
mendapat sambutan yang lebih baik jika berjarak cukup jauh dari Ground
Zero. Kita hanya perlu ke Kota Mursfreesboro, Tennessee, sekitar 800 mil
barat daya Manhattan. Di waktu yang hampir bersamaan dengan proyek
Park51, umat Muslim Mursfreesboro berencana membangun masjid baru.
Mereka mengikuti berita dari Manhattan dengan saksama, namun tidak
pernah mengira bahwa mereka akan menjadi korban dari intoleransi yang
sama. “Di New York, Anda punya alasan untuk menentang rencana itu,”
kata imam Mursfreesboro, Ossama Bahloul. “Di sini, apa alasannya?”46
Belakangan, mereka menyadari bahwa pemain kunci dalam kampanye
menentang Islam melihat Mursfreesboro sebagai kesempatan untuk
memajukan gerakannya. Saleh Sbenaty, seorang anggota dewan masjid,
mengatakan, “Di sini yaitu pusat dari Bible Belt. Mereka pikir mereka
dapat melanjutkan kampanyenya di sini.”47
Komunitas Muslim Mursfreesboro terdiri dari 250 keluarga dan 500
mahasiswa, yang mana banyak dari mereka menempuh pendidikan di
Middle Tennessee State University (MTSU). Mereka biasa beribadah
di masjid kecil di pusat kota, namun masjid ini tidak lagi mampu
menampung mereka: saat ibadah Jumat, jemaah meluber hingga ke
halaman dan parkiran masjid. Pada 2009, para pemimpin komunitas
menemukan lahan kosong di pinggiran kota dengan harga yang cocok
di mana mereka dapat membangun masjid yang lebih besar. Anggota
komunitas merespon dengan cepat permohonan donasi pembangunan
Bab 6196
masjid. Dalam satu hari, mereka berhasil mengumpulkan 300.000 dolar AS,
yang kemudian mereka pergunakan untuk membayar lunas lahan tadi.48
Tanda-tanda adanya masalah muncul pada Januari 2010. Papan penanda
yang didirikan di tempat pembangunan Islamic Center di Mursfreesboro
dicoret orang dengan tulisan “TIDAK DITERIMA”. “Kami tidak terlalu
memikirkannya, sebab kami belum pernah mengalami Islamofobia,”
kenang Sbenaty, yang tinggal di Tennesse sejak 1990-an dan bekerja
sebagai profesor teknik mesin pada MTSU. Baru pada pertengahan 2010—
bersamaan dengan penentangan terhadap Park51—para agen pelintiran
kebencian datang dan memulai aksi mereka, mulai dari mengajukan
tuntutan hukum hingga menyebarkan ketakutan dan serangan-serangan
personal. “Kami digertak dan diganggu, dengan pembakaran, ancaman
bom, dan tuntutan hukum,” kata Sbenaty.
Setelah dewan perencanaan daerah menyetujui rencana pembangunan,
para penentang menyuarakan penolakan mereka pada pertemuan dewan
komisi daerah pada bulan Juni. Pada bulan Juli, mereka mengajukan
petisi berisikan ratusan tanda tangan ke pengadilan daerah. Bulan
September, mereka mulai mengajukan gugatan hukum terhadap pejabat
daerah, menuduh mereka melanggar open meeting law negara bagian.
Bulan Mei 2012, seorang hakim menyetujui tuntutan ini sehingga
pembangunan harus berhenti. Jaksa federal lalu mengajukan gugatan
hukum mengenai adanya diskriminasi, yang hasilnya pengadilan federal
memperbolehkan masjid yang baru untuk dibuka pada bulan Ramadan,
Agustus tahun itu. Pengadilan tinggi lainnya juga melindungi hak-hak
kaum Muslim Mursfreesboro. Pada 2013, pengadilan banding negara
bagian membatalkan putusan hakim sebelumnya mengenai perizinan
pembangunan. Penentang masjid mencoba mengajukan banding, namun
ditolak Pengadilan Mahkamah Agung Tennessee. Pengadilan Mahkamah
Agung AS juga memutuskan hal yang sama pada 2014.49
Sementara itu, pada saat yang sama, komunitas Muslim Mursfreeboro
harus menanggung serangan-serangan yang lebih personal. “Mereka
memperkerjakan orang untuk menyelidiki kami,” kata Ossama, imam
masjid di sana. Ia memegang gelar PhD bidang perbandingan agama dari
Universitas Al-Azhar Kairo yang bergengsi, terlibat dalam dialog antar-
agama, dan sangat menghormati aturan hukum AS. Tapi surat kabar
lokal, Rutherford Reader, menerbitkan tulisan yang menuduhnya sebagai
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 197
anggota Ikhwanul Muslimin radikal. Laurie Cardoza Moore, seorang
aktivis pro-Israel di Nashville yang menjadi jurubicara para pemrotes, di
program televisi Anderson Cooper 360° CNN menyampaikan pernyataan
yang tidak benar bahwa masjid lama Ossama di Texas berada di bawah
penyelidikan sebab aktivitas terkait terorisme. Namun, para reporter
program ini segera melakukan pengecekan fakta, sehingga akhirnya
kebohongan ini dibongkar oleh Cooper.
Seperti di Manhattan, para politisi yang akan terlibat dalam pemilihan
umum tengah masa jabatan tahun 2010 juga mulai berkampanye. Wakil
Gubernur Tennessee Ron Ramsey, yang mencalonkan diri sebagai kandidat
gubernur dari Partai Republik, merupakan salah satu tokoh anti-Islam
dalam debat Mursfreesboro ini. Begitu juga dengan Lou Ann Zelenik, tokoh
Republikan anggota Partai Teh yang mengincar kursi di Kongres. Pada 2010,
dan lebih kencang lagi pada 2012, Zelenik meningkatkan penolakannya
terhadap masjid untuk menaikkan posisinya dalam pemilihan pendahuluan
Partai Republik.50 Sikap anti-Islamnya membuatnya mendapat dukungan
dari seorang milyuner berpengaruh.51 Apakah isu penolakan masjid ini
menjadi kunci perolehan suara masih belum jelas—Ramsey maupun
Zelenik kalah dalam pemilihan—tapi yang pasti Islamofobia membuat
mereka mendapat perhatian media. “Mereka tahu kami yaitu komunitas
kecil dan sulit bagi kami untuk membela diri,” ungkap Ossama.
“Ada semacam ketidakadilan saat kelompok tertentu diperbolehkan
mengatakan apa pun yang ingin mereka katakan,” kata Sbenaty. “Apakah
menyakiti dan mengintimidasi termasuk kebebasan berpendapat? Mereka
melemparkan lumpur begitu saja, dan itu meninggalkan bekas.” Terlepas
dari masalah-masalah dalam kebebasan berpendapat di Amerika itu,
para pemimpin masjid percaya bahwa sikap terbaik yaitu dengan
tetap membuka-diri dan terlibat dalam masyarakat. Mereka membuat
pertemuan-pertemuannya terbuka dan membiarkan para pengkritik untuk
datang dan mengamati. “Kami meyakinkan setiap orang bahwa pintu
kami akan selalu terbuka dan bahwa kami akan ikut berjuang menentang
kaum ekstremis,” kata Sbenaty. Mereka mengundang penegak hukum
untuk menyelidiki keabsahan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada
mereka.
Kepercayaan mereka terhadap sistem hukum Amerika pun terbayarkan.
Berkat Konstitusi AS dan rasa keadilan banyak warga Amerika, komunitas
Bab 6198
Muslim Mursfreesboro memenangkan perjuangan mereka untuk dapat
beribadah di masjid yang baru. Hanya saja, kerugian yang disebabkan oleh
sengketa Park51 dan Mursfreesboro cukup besar. Kedua insiden ini
memunculkan banyak propaganda anti-Muslim baru yang menarik
perhatian media, menggiatkan para aktivis, dan membangunkan lawan-
lawan ideologis. Boleh jadi inilah yang menjadi tujuan agen pelintiran
kebencian sejak awal. “Mereka tidak peduli akan ada atau tidaknya masjid,”
kata Ossama. Tujuan mereka yang lebih besar yaitu menyebarkan pesan-
pesan Islamofobia.
Salah satu pesan ini terpampang pada protes Juli 2010,
“Islam bukanlah agama.” Ini strategi hukum sekaligus slogan politik.
Izin pembangunan yang dimiliki Muslim Mursfreesboro hanya
memperbolehkan pembangunan rumah ibadah. Jika Islam bukan agama,
maka masjid tidak termasuk dalam rumah ibadah dan artinya tidak
diizinkan dibangun di sana. Pemerintah tentu tidak ada yang menerima
argumen ini . Para hakim menampik klaim itu, dan untuk berjaga-
jaga, pengadilan federal mengeluarkan laporan singkat yang menyatakan
bahwa Islam yaitu agama.52 Tapi di luar itu, menanamkan kesangsian
akan status Islam sebagai salah satu agama dunia juga merupakan bagian
dari agenda yang lebih besar dari jaringan penyebar Islamofobia. Dengan
begitu, klaim bahwa Islam yaitu ideologi politik yang keras lebih dapat
diterima dan diskriminasi terhadap umat Muslim bukan dianggap sebagai
pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama.
Gugatan Buku
Pada akhir 2013, Larry Houck dari ACT! for America mengajukan
petisi kepada Dewan Pendidikan Negara Bagian Alabama, menentang
usulan buku pelajaran ilmu sosial. Buku-buku yang dianggap bermasalah
ini —diterbitkan oleh penerbit besar seperti Pearson, McGraw Hill,
dan Houghton Mifflin—memakai pendekatan multikultural sekular
dalam mengajarkan siswa mengenai agama lain. Buku-buku teks ini
menggambarkan kontribusi Islam terhadap dunia dan nilai-nilai bersama
yang sejalan dengan keyakinan lain. Namun, Houck menuduh materi-
materi ini yaitu contoh dari “infiltrasi kebohongan Islam ke dalam
buku-buku pelajaran sekolah negara kita.”53
Intervensi ini tidak sekeras sengketa masjid di Tennessee, juga tidak
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 199
sesukses rancangan amandemen konstitusi di Alabama untuk mencegah
pengaruh hukum Syariah. Usaha Houck tidak mengubah keputusan dewan
sekolah. Biar pun begitu, gugatan buku pelajaran di Alabama ini perlu
ditinjau lebih saksama. Aksi ini yaitu contoh aktivisme akar-rumput dari
jaringan Islamofobia yang menjadikan proses administratif di tingkat lokal
menjadi kesempatan untuk melancarkan propaganda kebencian dengan
membangkitkan kemarahan dan keterhasutan.
ACT! for America yaitu jaringan aksi yang didirikan pada 2007
oleh Brigitte Gabriel, seorang tokoh Islamofobia terkemuka. Organisasi
ini mengobarkan Islamofobia dengan memakai strategi yang
dipakai National Rifle Association (Asosiasi Senapan Nasional) dalam
mengesahkan hak kepemilikan senjata api—yaitu dengan memengaruhi
perundangan dan pemilihan politik, serta menjadi pilar dari Partai
Republik. Sebagai organisasi yang relatif baru, ACT! dapat memakai
repertoar perseteruan dari kelompok agama sayap-kanan. Gugatan buku
termasuk salah satu yang sudah klasik dalam repertoar ini . Repertoar
itu telah lama menjadi bagian dari alat pertempuran kelompok agama
sayap-kanan untuk “memengaruhi apa yang dipelajari oleh para siswa
dengan mengendalikan akses mereka terhadap buku perpustakaan dan
kurikulum, serta mengatur konten dalam buku pelajaran,” jelas organisasi
think tank progresif, People for American Way (PFAW).54 Kelompok
konservatif berusaha menjauhkan perpustakaan sekolah dan kurikulum
dari buku-buku yang memuat diskusi terbuka tentang seksualitas, ras,
sejarah, atau fiksi yang bertema supernatural seperti Harry Potter.55
Keinginan kelompok agama sayap-kanan untuk mengendalikan bacaan
siswa tidaklah mengejutkan, melihat kepeduliannya terhadap nilai-nilai
dan pendidikan. Di samping itu, proses memilih buku perpustakaan dan
buku pelajaran membuka kesempatan politik untuk merekayasa perasaan
marah dan tersinggung. Celah-celah ini sangat terdesentralisasi
sebab pendidikan di AS merupakan masalah lokal. Gugatan buku
memungkinkan kelompok agama sayap-kanan untuk berpikir secara
global namun bertindak pada lingkup lokal.
Pada 1982, Mahkamah Agung AS turun tangan untuk memastikan
kebebasan berpendapat siswa tidak dibatasi oleh pemerintah lokal yang
melampaui wewenangnya dengan membuat keputusan mengenai buku-
buku perpustakaan. Pengadilan menyatakan bahwa Amandemen Pertama
Bab 6200
menjamin hak untuk menerima informasi dan gagasan, dan “siswa tidak
boleh dipandang hanya sebagai penerima pasif dari apa yang ditentukan
pemerintah.”56 Putusan peradilan memenangkan gugatan para siswa atas
keputusan dewan sekolah mereka yang menyingkirkan buku-buku yang
dinilai “anti-Amerika, anti-Kristen, anti-Semit, dan menjijikkan” dari
perpustakaan sekolah mereka.57 Pengadilan menyatakan bahwa seleksi
buku perpustakaan seharusnya hanya berdasarkan cocok tidaknya mereka
untuk tujuan pendidikan. Pengadilan menyatakan bahwa pemilihan buku
perpustakaan seharusnya hanya didasarkan pada tujuan pendidikan.
Di sisi lain, pemerintah daerah tidak dapat mengabaikan pendapat
dari kelompok-kelompok penekan yang digerakkan oleh ideologi. Dewan-
dewan sekolah dan perpustakaan-perpustakaan umum harus membuat
prosedur yang transparan dalam menyeleksi materi dan menangani
komplain. Forum dan protokol ini memungkinkan kelompok konservatif
untuk memengaruhi dan dalam beberapa kasus mengatur apa yang dapat
dibaca siswa di sekolah negeri dan perpustakaan. Ini sangat berbeda
situasinya dari di India, di mana kelompok-kelompok secara de facto
mendapatkan hak untuk merasa tersinggung sebab ada hukum yang
melarang menyakiti perasaan keagamaan. Namun tetap ada cukup celah
yang dapat dieksploitasi oleh para agen pelintiran kebencian.
ACT! for America memasuki perang buku pelajaran secara habis-habisan
pada 2001, dengan mengeluarkan panduan rinci bagi para aktivisnya.58
Laporannya menyebutkan 38 buku pelajaran umum mengandung
informasi sejarah yang tidak akurat dan kekeliruan teoretis yang terlalu
membagus-baguskan Islam. “Penggambaran Islam yang demikian itu lebih
merupakan indoktrinasi daripada pendidikan,” katanya.59 Di Alabama,
ACT! for Amerika diundang Eagle Forum, kelompok agama sayap-
kanan yang lebih mapan, untuk menggugat buku. Eagle Forum didirikan
pada 1972 untuk melawan gerakan feminis dan memperjuangkan nilai-
nilai sosial tradisional. Kelompok ini mulai bekerja dengan jaringan
penyebar Islamofobia pada sekitar 2009.60 Houck mengungkapkan salah
seorang anggota Eagle Forum memintanya untuk memimpin gugatan
buku mengenai Islam.
Setelah menemukan buku-buku yang dimaksud di perpustakaan
universitas setempat, Houck dan beberapa rekannya bekerja “siang
dan malam” memeriksa buku-buku ini . Mereka menemukan 16
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 201
buku yang mereka anggap mengandung informasi tentang Islam yang
“sangat berbahaya.”61 Memperkenalkan dirinya ke dewan sekolah sebagai
“pengamat politik Islam dan hukum Syariahnya yang brutal, barbar, dan
anti-konstitusional,” Houck mewanti-wanti soal “infiltrasi kebohongan
Islam ke dalam buku pelajaran sekolah di negara kita.”62
Dalam suratnya kepada Dewan Pendidikan Negara Bagian Alabama
pada Desember 2013, Houck menulis, “di mana-mana Islam tersebar
melalui pedang. Umat Muslim telah membunuh jutaan orang sepanjang
1400 tahun sejarah mereka serta memperbudak jutaan orang lainnya.”63
Tinjauannya terhadap buku teks terbitan Pearson untuk siswa kelas 8,
My World History, menyatakan bahwa buku itu “dipenuhi kebohongan,
propaganda, dan indoktrinasi tentang Islam.” Dia mengecam buku ini
sebab tidak menerangkan kepada siswa bahwa tujuh persen dari wakaf
Muslim digunakan untuk kepentingan jihad perang; bahwa separuh isi
Alquran mengajarkan Muslim untuk membunuh atau memperbudak
orang-orang kafir; bahwa hukum Syariah memperbolehkan pria untuk
memukul istrinya; dan seterusnya.
Melihat bahwa 44 halaman membahas agama Islam dan hanya 14
halaman membahas agama Kristen, Houck mengungkapkan bahwa My
World History “merupakan pengaruh yang kuat bagi siswa untuk nantinya
berpindah ke agama Islam.”64 Dia kemudian menyampaikan kepada pers
bahwa dia ingin memperingatkan warga Amerika mengenai aksi jihad
terselubung yang sedang berlangsung di AS dengan mempengaruhi
penerbit-penerbit buku pelajaran. Para penentang juga menggugat beberapa
pernyataan di dalam buku yang dianggap menyinggung agama Kristen.
“Yesus digambarkan sebagai orang yang mengkhotbahkan ‘gagasan-
gagasannya’ kepada masyarakat. Kelahirannya dari seorang ibu perawan
atau kedudukannya sebagai Putra Tuhan tidak disebutkan. Ini penghinaan
terhadap Injil,” tulis seorang pemrotes dalam tinjauan yang dikirim ke para
anggota dewan sekolah.65
Biasanya Dewan Pendidikan Negara Bagian bergantung pada
rekomendasi 23 anggota Komite Seleksi Buku Pelajaran, yang sebagian
besar terdiri dari guru dan ahli bidang mata pelajaran. Hanya saja dalam
kasus ini, dewan menunda pemungutan suara selama satu bulan untuk
mempertimbangkan protes keberatan dari kelompok Houck. Pada Januari
2014, dewan menyetujui daftar buku yang direkomendasikan dengan suara
Bab 6202
lima banding dua. Satu-satunya buku yang dihilangkan dari daftar yaitu
buku yang judulnya tidak sengaja tertulis dua kali.
Houck sangat kecewa saat Dewan Pendidikan Negara Bagian
mendukung keputusan para pendidik profesional. Dia menyebut
penolakan dewan terhadap permohonannya itu sebagai “lelucon yang tidak
lucu.” Dia merasa hasil penelitiannya tidak dipahami oleh para anggota
dewan—sehingga masih banyak yang masih harus dia kerjakan untuk
menyadarkan warga Amerika akan bahaya Islamisasi.66 Kalah di tingkat
negara bagian, para pemrotes bergerilya ke 130 kota dan distrik sekolah,
di mana komite dan dewannya bebas untuk menghapus judul buku dari
daftar rekomendasi negara bagian. Pada tahap ini, aktivis Eagle Forum
mengambil-alih kampanyenya.
Tekanan semacam itu boleh jadi memengaruhi keputusan para penerbit,
dewan sekolah, dan perpustakaan yang ingin menghindari kontroversi.
Asosiasi Perpustakaan Amerika memperingatkan dampak negatif dari
gugatan buku yang terus berkelanjutan. “Jika terus demikian,” kata mereka,
“materi-materi bisa jadi tidak akan diterbitkan sama sekali atau tidak dibeli
oleh toko buku, perpustakaan, atau distrik sekolah.”67
Kampanye buku teks yang dilakukan jaringan Islamofobia merupakan
serangan terhadap ide pendidikan keagamaan multikultural itu sendiri—
yaitu untuk menjunjung saling pengertian, saling hormat dan timbal-balik
di antara kelompok agama dalam masyarakat yang majemuk dan sekular—
serta peran sekolah dalam menunjang upaya-upaya ini . Pendidikan
semacam itu biasanya menekankan nilai-nilai dan pijakan bersama di
antara berbagai sistem kepercayaan tanpa mengistimewakan salah satu di
antaranya. Ini yaitu solusi yang paling umum disarankan untuk masalah
konflik agama. Sayangnya, penganut agama garis-keras dengan visi yang
eksklusif menilai pendekatan multikultural sebagai pengkhianatan dan
ancaman.
Houck begitu berkomitmen melaksanakan misinya untuk
menyingkirkan buku-buku yang dianggap bermasalah dari sekolah-
sekolah di Alabama. Tapi seperti pelintiran kebencian lainnya, misi yang
dipahami pegiat di tingkat bawah seperti Houck boleh jadi tidak sama
dengan apa yang dipikirkan oleh para pemimpinnya di tingkat atas. Agenda
tersembunyi mereka yaitu untuk menggalakkan Islamofobia. Tujuan
ini tetap dapat dicapai sekalipun buku-buku yang menjadi sasaran
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 203
itu tidak berhasil diblokir. “Mengorganisir protes atas buku pelajaran
yang dianggap ‘mendukung jihad’ bisa saja tidak membuahkan hasil yang
diharapkan, namun tetap berhasil menanamkan rasa takut dan kebencian
terhadap Muslim Amerika di komunitas ini ,” jelas PFAW. Hal serupa
juga berlaku pada contoh pelintiran kebencian yang akan kita lihat
berikutnya. Kampanye anti-hukum Syariah sekilas tampak seperti usaha
yang sia-sia terhadap ancaman yang mengada-ada; namun hal itu tetap
menjadi sarana yang efektif untuk menyebarkan propaganda anti-Muslim.
Menyasar Syariah
Jaringan Islamofobia menyebut hukum Syariah sebagai “ancaman
totaliter terbesar di masa kita.”68 Kampanyenya menentang hukum
Syariah merupakan bentuk pelintiran kebencian yang canggih, memicu
kepanikan moral terhadap ancaman yang menurut para ahli hukum
independen tidaklah nyata. Ted Cruz, saat mengikuti pemilihan Senat
AS pada 2012, merupakan salah seorang politisi yang menyuarakan
kampanye ini, menyebut hukum Syariah sebagai “masalah besar.”69 Tahun
itu, Konvensi Nasional Partai Republik memasukkan gerakan ini
dalam platformnya.70
Kampanye ini terbilang sukses, dilihat dari jumlah negara bagian—11
sampai awal 2016—yang telah mengubah hukum atau konstitusinya untuk
melindungi negara bagian dari Syariah. Dampak nyata kampanye ini
mungkin lebih luas lagi. Lebih dari 20 negara bagian lain memperdebatkan
perlunya membuat undang-undang atau konstitusi yang melarang hukum
Syariah. Meski mereka menolak usulan ini , perdebatan itu sendiri
boleh jadi telah berhasil mengubah cara pandang dan cara ucap warga
Amerika tentang Islam. Menggugat hukum Syariah di hadapan legislatif
dan pers memunculkan retorika yang buruk tentang umat Muslim dan
memperkuat persepsi mengenai ancaman Islam—selain, tentu saja,
menegaskan bahwa Islamofobia layak untuk didanai.71
Oklahoma merupakan salah satu negara bagian pertama yang
mengatur undang-undang menentang hukum Syariah. State Question
(SQ) 755—“Amandemen Selamatkan Negara Bagian Kita”—berusaha
memasukkan ketentuan dalam konstitusi negara bagian yang menjaga
pengadilan dari pengaruh hukum Islam. Amandemen ini menuntut
pengadilan untuk menegakkan dan mematuhi hukum Amerika, termasuk—
Bab 6204
jika diperlukan—hukum negara-negara bagian lain, selama hukum ini
tidak mencakup hukum Syariah. “Pengadilan tidak boleh mengikuti
aturan hukum dari negara atau budaya lain. Khususnya, pengadilan tidak
boleh mengacu kepada hukum luar negeri atau hukum Syariah,” tulis
amandemen ini .72 Pada Mei 2010, keputusan untuk mengajukan
SQ 755 ke hadapan para pemilih diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Oklahoma dengan 91 banding dua suara, dan dalam Senat 41 banding dua.
Pada November itu, lebih dari 70% pemilih mendukung proposisi ini .
Rumusan amandemen ini jelas melanggar Establishment Clause dalam
Amandemen Pertama, yang melarang diskriminasi agama. Kepala Dewan
Hubungan Islam–Amerika cabang Oklahoma mempertanyakan keabsahan
SQ 755 itu. Pengadilan distrik federal, diperkuat pengadilan banding
federal, sepakat bahwa langkah ini tidak sesuai dengan konstitusi.
Para pengusung perubahan hukum itu tidak menyerah. Untuk
mengakalinya, mereka mengganti bias agama menjadi bias nasional
dengan mengajukan bahwa hukum Amerika harus bersih dari pengaruh
yang non-Amerika. Penggerak politik utama di balik upaya anti-Syariah
yang lebih sukses ini yaitu pengacara David Yerushalmi, yang pernah
tinggal di pemukiman Yahudi di Tepi Barat.73 Sepak terjangnya di AS
membuatnya masuk dalam daftar “pakar misinformasi” dalam jaringan
Islamofobia menurut CAP.74 Anti-Defamation League (ADL, Liga Anti-
Fitnah), organisasi hak-hak sipil Yahudi Amerika, mengatakan bahwa
Yerushalmi memiliki “catatan sebagai anti-Muslim, anti-imigran dan
anti-kulit hitam yang fanatik.”75
Meskipun tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ini,
Yerushalmi percaya bahwa mengamati hukum Islam sama saja dengan
kedurhakaan. Pada 2009, Yerushalmi menemukan cara untuk menerapkan
paranoianya. Dia menyusun model statuta untuk disebarkan kepada
kelompok sayap-kanan di seantero negeri. Dia bekerja dengan Frank
Gaffney, yang punya koneksi ke para pejabat dan mantan pejabat, analis
keamanan, dan aktivis politik neo-konservatif.76 Organisasi yang didirikan
Gaffney, Center for Security Policy, telah memproduksi laporan lengkap
untuk melandasi kampanye ini. Buku mereka, Shariah: The Threat to
America (dapat diunduh gratis di shariahthethreat.com), menyamakan
kebijakan pemerintah AS terhadap Islam dengan era détente dengan Uni
Soviet pada 1970-an, dua kebijakan yang mereka anggap keliru. Laporan
ini menolak “kebijakan koeksistensi, akomodasi, dan ketundukan,”
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 205
yang mereka anggap terlalu meremehkan ancaman Islam hanya terbatas
pada ekstremisme kekerasan saja. Musuh sebenarnya, menurut mereka,
“tidak hanya Al Qaeda tapi juga ratusan juta umat Muslim, yang bercita-
cita menegakkan hukum Syariah atas kita dengan memakai kekerasan
atau diam-diam.”77 Tanggapan Yerushalmi terhadap ancaman imajiner ini,
model “Hukum Amerika untuk Pengadilan Amerika”, tidak secara eksplisit
menyebutkan hukum Syariah, tapi pembukaan dan literatur pendukungnya
jelas menunjukkan bahwa obsesi utamanya yaitu hukum Syariah.78
Pada 2011–2012, Arizona, Kansas, Louisiana, dan Tennessee menyetujui
rancangan undang-undang yang bahasanya bersumber dari Yerushalmi.79
Sementara itu, di Alabama, Eric Johnson ikut dalam kampanye anti-
Syariah ini. Sejak 1980-an, dia telah bekerja menanggulangi apa yang
dia anggap sebagai pudarnya religiusitas dan pengaruh Yudeo-Kristen di
AS.80 Salinan Bill of Rights, sepuluh amandemen pertama atas Konstitusi
AS, dalam bingkai besar digantung di samping ayat-ayat Alkitab dan foto
Ronald Reagan di kantor hukumnya di pinggiran Kota Birmingham.
Pada 2015, Johnson terlibat aktif dalam kampanye legislatif Alabama
untuk menolak keputusan bersejarah Mahkamah Agung AS mengenai
pernikahan sesama jenis. Tapi, pada 2014, kemenangan utamanya yaitu
disetujuinya Amandemen Satu untuk konstitusi negara bagian. Johnston
menawarkan-diri untuk membantu para legislator setelah menyaksikan
kegagalan senator Gerald Allen dari Partai Republik untuk meloloskan
rancangan undang-undang anti-Syariah pada 2011.81 Meniru hukum
Oklahoma, rancangan undang-undang Allen tidak pernah mengalami
kemajuan sebab secara spesifik menyebutkan hukum Syariah. sebab
itu, Johnson merancang sebuah amandemen konstitusi yang “melarang
penerapan hukum asing yang melanggar hak warganegara yang dijamin
oleh Konstitusi AS dan Alabama.”82 Pada 2013, diburu waktu di akhir
sesi tengah malam, badan legislasi Alabama menyetujui rumusan yang
memungkinkan pemilih memberikan suara untuk amandemen.”83
Mayoritas pemilih meloloskan resolusi ini pada November 2014
dengan lebih dari 72 persen menyatakan setuju.84
Sekelompok kecil Muslim di Alabama merasa tak berdaya menghadapi
arus Islamofobia ini. Ashfaq Taufique, presiden Birmingham Islamic
Society, menerima sejumlah wawancara untuk menjelaskan bahwa hukum
Syariah bukanlah ancaman bagi Alabama. Upayanya untuk menjangkau
masyarakat itu bukanlah hal baru. Pusat pertemuan masyarakat sudah
Bab 6206
bertahun-tahun membuka lebar pintunya untuk para pengunjung dan
rutin menyelenggarakan kegiatan antar-agama. Di kalangan yang lebih
progresif ini, umat Muslim, Kristen, dan Yahudi saling bekerjasama.
Seperti Muslim di Mursfreesboro, Tennessee, Muslim di Birmingham,
Alabama, pun diterima oleh lingkungan sekitarnya, bahkan pasca-peristiwa
9/11. Ini membuat undang-undang anti-Syariah agak mengejutkan. Bagi
Ashfaq, yang hijrah dari Pakistan dua dekade sebelumnya, dinamika ini
mengingatkannya pada geopolitik Asia Selatan. Seperti hubungan India
dan Pakistan, Islam yaitu tampaknya yaitu “liyan” dalam budaya politik
Amerika.85
Muslim Amerika tidak sendiri dalam menahan gelombang dukungan
terhadap perundangan anti-Syariah ini. Banyak orang dan organisasi yang
melihatnya sebagai “usaha terselubung untuk menyebarkan sikap anti-
Muslim,” dalam sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Brennan Center
for Justice di New York University.86 Ahli hukum maupun ahli agama
menunjukkan bahwa ancaman hukum Syariah tidaklah nyata. Tidak
ada bukti pengadilan AS tergoda oleh hukum Syariah atau kelompok
Muslim berusaha mendesakkannya. Para pengusung anti-Syariah tidak
pernah menyebut kasus di mana sistem peradilan AS menyelesaikan
perselisihan berdasarkan hukum Islam. Tidak ada ancaman bagi kebebasan
negara gara-gara persinggungan dengan sistem hukum asing. Pengadilan
Amerika memiliki aturan yang telah mapan mengenai bagaimana merujuk
hukum dari luar negeri, menurut para ahli.87 American Bar Association
(ABA) begitu khawatir hingga merumuskan resolusi menentang “larangan
pukul-rata” yang mencegah pengadilan memakai hukum asing atau
internasional, maupun “hukum atau doktrin agama tertentu.”88 ABA
berpendapat bahwa meski suatu praktik agama tertentu dapat diatur, tapi
“upaya menyasar agama seluruhnya atau memberi stigma kepada segenap
umatnya, seperti yang secara eksplisit ditujukan kepada ‘hukum Syariah’,
tidak sejalan dengan prinsip utama dan cita-cita hukum Amerika.” ABA
menyebut contoh Mormonisme: “Meski Mahkamah Agung menghukum
seorang Mormon dalam tuntutan poligami pada 1898 (waktu itu poligami
masih diperbolehkan dalam Mormonisme), hukum yang dipakai bukanlah
undang-undang ‘anti-Mormon’ secara umum, melainkan yang terkait
perilaku spesifik yang dianggap membahayakan masyarakat.”89
Kelompok Kristen merupakan salah satu pihak yang menentang histeria
anti-Syariah. Yang paling terkenal antara lain yaitu Randy Brinson,
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 207
kepala Koalisi Kristen Alabama yang konservatif dan tokoh Republikan.
Menurutnya, upaya ini mengirimkan pesan yang keliru tentang
Alabama. “Budaya lain akan melihat kita sebagai orang yang fanatik dan
tidak simpatik terhadap budaya mereka,” jelasnya kepada saya.90 Dia menilai
para pendukung amandemen telah mengeksploitasi ketakutan masyarakat
dan memicu bias. Meski mendukung gerakan menghidupkan nilai-nilai
Kristen tradisional, Brinson menilai bahwa sistem hukum yang ada tidak
memerlukan undang-undang anti-Syariah. “Kita tidak membutuhkannya,
seperti halnya kita tidak butuh amandemen konstitusi untuk berburu dan
memancing,” terangnya. Tampil dalam segmen Daily Show mengecam
Amandemen Satu, Brinson menjelaskan bahwa agama Kristen pun dapat
dirugikan oleh hukum semacam itu, sebab Yesus dan Injil juga berasal dari
luar. Eric Johnson tidak terpengaruh oleh kritik semacam itu. Menurutnya,
amandemennya tidak menetapkan hak atau larangan baru. Dia hanya
memberikan “bimbingan” yang, meski tidak diperlukan sekarang, mungkin
akan dibutuhkan di masa depan, mengingat populasi Muslim AS terus
tumbuh. Hakim perlu diperingatkan agar tidak terpengaruh oleh pengacara
yang mungkin memakai argumen keagamaan saat mewakili klien
Muslim, katanya. Meski ada banyak kasus semacam itu, dia menyatakan
bahwa amandemen itu terutama yaitu “penangkal” untuk mengantisipasi
masalah yang akan datang. Aspek unik dari hukum Syariah dibandingkan
dengan, misalnya, Protestanisme, atau Katolisisme, atau Yudaisme, yaitu
ada komponen politik dan hukum di dalamnya. Hal itu cenderung
bersitegang dengan kebebasan yang dijamin konstitusi Alabama dan AS,”
kata Johnston. “Kita hidup di dunia di mana berita tersebar dengan cepat
ke seluruh dunia. Ini membuat kita menjadi lebih homogen; kita menjadi
lebih mirip satu sama lain. Jika kita ingin mempertahankan eksistensi
dan identitas khas kita, kita harus mempertahankan hukum kita dan
menjaganya.”91
Beradaptasi dengan Kondisi luar biasa
Sebelum beralih dari AS, kita mesti berhenti sejenak untuk meninjau
kembali bagaimana pelintiran kebencian beroperasi dalam konteks
Amandemen Pertama yang luar biasa. Pertama, AS jelas membolehkan
ujaran kebencian pada tingkat tertentu yang di negara demokrasi lainnya
akan dikenai pidana atau setidaknya tuntutan pencemaran nama baik.
Bab 6208
Belakangan ini, beberapa politisi menyebut umat Muslim “musuh Amerika,”
menyamakan mereka dengan Nazi, mengusulkan agar mereka dikeluarkan
dari militer AS dan mencabut kebebasan berbicara mereka, menyerukan
pelarangan dan pembakaran masjid.92 Para pengamat dan pakar hukum
dunia mengkritik kurangnya perlindungan hukum dari ujaran kebencian
di AS. Dari perspektif teori ras kritis, visi doktrin Amandemen Pertama
tentang pasar bebas pertarungan gagasan (marketplace of ideas) tidak
cukup sensitif terhadap ketimpangan struktural yang membatasi partisipasi
kelompok minoritas.
Kontroversi Mursfreesboro menunjukkan ketimpangan pasar
bebas ini . Para sukarelawan di sebuah komunitas kecil yang tidak
berpengalaman dalam lobi politik tiba-tiba harus berhadapan dengan
kelompok kebencian level nasional. Meskipun penolakan di Mursfreesboro
dipimpin politisi lokal, kampanye itu menarik dukungan tokoh Islamofobia
yang terlibat dalam kampanye “Masjid Ground Zero”, di mana mereka
bersusah-payah melawan tokoh sekaliber Michael Bloomberg, Walikota
New York City. “Kita membicarakan tokoh-tokoh besar dari luar,”
kata Saleh Sbenaty. “saat isu Park51 mereda, mereka memindahkan
pertempurannya ke sini.” Komunitas tidak punya pendanaan untuk
menghadapi kemungkinan semacam ini. “Kami sama sekali tidak menduga
ini dapat terjadi.”93
Meski demikian, kedua, Amandemen Pertama menetapkan batas
bahaya yang dapat ditimpakan pelintiran kebencian kepada kelompok
agama. Establishment Clause dan terutama Free Exercise Clause
memberikan perlindungan bagi kelompok agama minoritas. Meski ada
penolakan massa yang cukup gencar terhadap pembangunan masjid,
Muslim di wilayah Bible Belt sekalipun dapat mengandalkan pengadilan
untuk mempertahankan hak-hak mereka dalam menjalankan agamanya.
“Konstitusi berpihak kepada kami,” kata Ossama Bahloul. Selain itu,
Islamofobia tidak mencerminkan mayoritas warga Amerika, tambahnya.
“Itulah sebabnya masjid ini dapat berdiri.”94
Begitu juga dengan hukum anti-Syariah, versi yang terang-terangan
mendiskriminasi ditolak oleh pengadilan atau banyak dipertanyakan.
Amandemen Satu Alabama, diakui perancangnya sendiri, yaitu legislasi
yang tidak berpengaruh terhadap hukum. Gugatan buku umumnya
dapat ditolak oleh asosiasi profesional dan lembaga publik yang, bertolak
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 209
dari doktrin Amandemen Pertama, tidak sepakat jika penghinaan
dijadikan dasar untuk melakukan sensor. Tapi yang membuat pelintiran
kebencian berbahaya yaitu sekalipun usaha-usaha untuk menggugat
buku, pembangunan tempat ibadah, atau menekan minoritas itu dapat
digagalkan, klaim yang dilancarkan para penyebar kebencian tetap berhasil
menyudutkan komunitas sasaran dan membangkitkan kekhawatiran.
Seiring berjalannya waktu—seperti ditunjukkan Donald Trump dalam
pemilihan presiden 2016—diskursus semacam itu dapat mencemari ruang
publik dan mengikis nilai-nilai kewargaan yang melandasi demokrasi
Amerika.
Pada Maret 2015, Barack Obama berbicara di Selma, Alabama, untuk
mengenang para pengunjuk rasa yang berhadapan dengan pemerintah rasis
setengah abad yang lalu: “Berkat mereka, pintu-pintu kesempatan terbuka
lebar tidak hanya bagi kulit hitam, namun bagi semua orang Amerika.
Perempuan. Orang Amerika Latin. Asia, gay, penyandang disabilitas,
mereka semua berjalan melalui pintu-pintu itu.”95 Bagi Musim di AS,
sejarah ini mungkin terasa manis sekaligus pahit, menawarkan janji
Amerika yang semakin inklusif, tapi juga rasa putus asa, sebab di tengah
semua itu, kesetaraan belum terjamin sepenuhnya dan masih harus terus
diperjuangkan.***
Bab 6210
211
Salah satu cara yang paling umum digunakan para penyebar kebencian
untuk memfitnah sebuah kelompok yaitu dengan menuduh Muslim
sebagai teroris. saat kubu Muslim membantah stereotip ini ,
para penyebar kebencian—tapi juga kalangan liberal yang mencoba
membantu—mengatakan bahwa Muslim yang cinta-damai harus berbicara
lebih lantang menolak kekerasan yang kerap dilakukan atas nama agama
mereka. Mereka menyatakan bahwa umat Muslim perlu lebih gamblang
dalam soal ini, baru orang lain akan tahu bahwa teroris yaitu sebagian
kecil kelompok yang tidak mencerminkan umat Islam pada umumnya.
Masalahnya, meski Muslim “moderat” berbicara, mereka tidak serta
merta mendapatkan kesempatan untuk menyiarkan pesan damainya.
Nyatanya, berbagai kelompok Muslim sudah berkali-kali mengecam
terorisme dari kelompok yang menamakan diri Islamic State (Negara Islam,
IS). Pada September 2014, lebih dari 120 pemimpin dan cendekiawan
Muslim dari seluruh dunia mengemukakan bantahan atas klaim ISIS
bahwa ideologinya didasarkan pada Alquran.1 Di Inggris, seratus imam
Sunni dan Syiah bersatu membuat video Youtube yang menyatakan bahwa
ISIS yaitu haram dan bukan cerminan Islam.2 Akan tetapi, pernyataan-
pernyataan semacam itu bukanlah akhir dari persoalan. Sebuah kelompok
agama yang berusaha melindungi identitasnya dari kalangan ekstremis
bergulat dalam pertarungan citra dan simbol di ranah media yang tidak
terkendali. Menemukan jurubicara yang efektif saja tak cukup; jurubicara
ini juga perlu bekerja sama dengan media massa. Sayangnya, seratus
tokoh atau dai terkemuka yang melantunkan ayat-ayat perdamaian dalam
Alquran tidak akan mendapatkan liputan berita sebanyak yang diperoleh
7
Melawan Melalui Media dan
Masyarakat Sipil
Bab 7212
militan pinggiran yang memenggal orang Barat atas nama Tuhannya.
Perhatian yang pilih-pilih itu kadang memang disengaja. Fox News di
Amerika Serikat jelas menggambarkan Muslim sebagai penyimak yang tak
bersuara dalam pertempuran melawan IS, seraya membawa agenda yang
lebih besar untuk meyakinkan warga Amerika bahwa mereka berada di
tengah perang agama. Di salah satu episode acaranya, Greta Van Susteren
termakan oleh misinformasi berita Fox sendiri, dan mengajukan tantangan:
“Saya akan memberikan kesempatan kepada tokoh Muslim di tingkat
nasional maupun internasional di acara On the Record ini, untuk mengecam
ekstremisme Islam dan menyeru para pemimpin Muslim di setiap masjid
untuk melakukan hal yang sama. Mengecam ekstremisme Islam.”3
The Council on American-Islamic Relations (CAIR, Dewan Hubungan
Islam-Amerika) segera mengajukan diri, namun ditolak. Dua minggu
kemudian, CAIR merilis videonya sendiri, menunjukkan bahwa mereka
telah berulang kali menyuarakan kecaman Muslim Amerika terhadap
ekstremisme dan terorisme agama. Mereka menyatakan bahwa setiap
pernyataan mereka dikirim ke lebih dari 170 alamat email Fox News. “Dari
waktu ke waktu, kami mendengar pembawa acara dan komentator Fox
menyeru pemimpin Muslim untuk berbicara, menanyakan di manakah
kecaman Muslim terhadap terorisme dan ekstremisme agama,” kata
direktur eksekutif CAIR, Nihad Awad. “Itu pertanyaan yang bagus. Di
manakah kecaman ini ? Jawabannya? Kecaman–kecaman ini
ada di kotak-kotak pesan staf Fox.”4
Ungkapan di atas mengangkat tema penting terkait permasalahan
yang dibahas pada bab ini. Bagaimana masyarakat merespon pelintiran
kebencian tidak hanya bergantung kepada hukum, namun juga norma
sosial—khususnya, apakah orang menganggap kebencian fanatisme dapat
dimaklumi atau mesti dilawan, seberapa nyaman mereka dengan gagasan
dan keyakinan yang berbeda, dan apakah rasa nasionalisme mereka
didasarkan pada nilai-nilai demokrasi yang inklusif atau identitas budaya
yang eksklusif. Sebagai contoh, mandulnya partai Islam di Indonesia, jika
dibandingkan Mesir, misalnya, tidak dapat dijelaskan tanpa menimbang
pengaruh moderat dua ormas Muslim di Indonesia. Demikian halnya,
meski perundangan di India lebih ketat, ujaran kebencian dalam pemilihan
umum lebih marak di sana dibanding kampanye presiden di AS, di mana
norma keadaban dan toleransi mampu membendung retorika anti-
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 213
Muslim Donald Trump, bahkan dari dalam partainya sendiri. India sendiri
bukannya tidak melakukan perlawanan terhadap pelintiran kebencian.
Pada 2014, kelompok Hindu garis-keras menggugat komedi Bollywood,
PK, yang pesan utamanya sejalan dengan buku ini—bahwa para pengusaha
mengeksploitasi kebutuhan keagamaan orang-orang demi keuntungan
pribadi. Tersinggung oleh penggambaran satiris mengenai penyembahan
dewa-dewa Hindu, para pemrotes menuntut larangan terhadap film
ini , mengorganisir boikot, dan merusak bioskop. Para penonton
bioskop tidak mengacuhkan mereka, menjadikan PK sebagai film terlaris
dalam sejarah film India.5
Dalam bab ini, saya menelusuri peran aktor non-negara dalam
menggalang respon masyarakat terhadap pelintiran kebencian. Bersama
dengan pemerintah dan hukum, aktor-aktor ini—kelompok sekular dan
ormas keagamaan, organisasi berita, dan media sosial, misalnya—menjadi
bagian penting dari upaya membangun demokrasi yang menghargai
perbedaan agama. Tetapi, seperti halnya kebijakan negara, media dan
organisasi masyarakat sipil juga kerap menjadi bagian dari masalah,
memfasilitasi, mendorong, atau bahkan melakukan pelintiran kebencian.
Campur Baur Lanskap Media
Episode pelintiran kebencian hampir selalu merupakan peristiwa media—
sebuah peristiwa yang dirancang untuk menarik perhatian melalui
berita media massa. Bagaimana mereka melakukannya tergantung pada
keputusan yang dibuat media. Editor menjalankan fungsi penjagaan yang
melibatkan penentuan ide dan kepentingan yang harus memasuki ruang
publik dari hiruk pikuk suara yang berebut masuk.6 Jurnalis juga memiliki
peran pengungkapan atau pengawas. Mereka dapat mengungkap apa
yang mesti diketahui publik tapi ditutup-tutupi kalangan elit. Jurnalisme
pengawas (watchdog journalism) berperan mengungkap penipuan ganda
dari pelintiran kebencian: yaitu kebohongan propagandanya serta motif
dan kepentingan tersembunyi di belakangnya.
Ketergantungan masyarakat terhadap jurnalis profesional dan organisasi
berita dalam menjalankan peran-peran ini sudah menurun drastis
berkat Internet, yang memungkinkan setiap orang untuk berbicara langsung
ke publik. Meski demikian, berakhirnya penjagaan di tangan World Wide
Web—serta berakhirnya jurnalisme itu sendiri—terlalu dibesar-besarkan.
Bab 7214
Di banyak masyarakat, media cetak dan siaran masih memiliki jangkauan
yang lebih luas dari Internet. Di negara-negara yang mayoritas warganya
mengonsumsi media daring sekalipun, audiens cenderung condong
pada platform Internet dari media mapan, di mana penilaian jurnalistik
tradisional kira-kira masih berlaku. Manuel Castells, seorang teoretisi
ilmu sosial, melihat bahwa “Komunikasi yang paling banyak tersosialisasi
masih diproses melalui media massa, dan website berita yang terpopuler
yaitu situs-situs media arus utama, mengingat pentingnya merek pada
sumber berita.”7 Segelintir editor tidak dapat lagi membungkam suara-
suara sumbang, namun mereka masih dapat mengangkat mereka yang
suaranya dianggap penting dan layak mendapatkan perhatian. Bahwa setiap
orang dapat memperoleh 15 detik ketenaran di Internet tidak serta merta
membuat semua orang sama tenarnya. Di tengah hiruk pikuk, khalayak
tetap mengandalkan sinyal-sinyal dari media. sebab itu, jurnalisme yang
bertanggungjawab kepada masyarakat penting untuk “menginformasikan
masyarakat mengenai isu-isu kontroversial secara seimbang” serta
“mencegah orang-orang termakan solusi muluk dan retorika ekstremis,”
ujar Frank La Rue, mantan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa
untuk Kebebasan Berekspresi.8
Media sangat berbeda-beda dalam memakai kekuatannya
sehubungan dengan pelintiran kebencian. Cita-cita pencarian kebenaran,
akurasi, dan obyektivitas bergaung di antara para jurnalis di seluruh
dunia.9 Namun, di luar generalisasi ini, kami menemukan banyak variasi
tentang bagaimana mereka menempatkan diri dalam hubungannya
dengan kepentingan yang kuat dan permasalahan sosial yang gawat.
Berdasarkan survei internasional terhadap jurnalis di delapan negara
(termasuk Indonesia dan Amerika Serikat, tapi bukan India), Thomas
Hanitzch menemukan empat ciri khas dari fungsi jurnalis di Indonesia.
Dalam perannya sebagai “diseminator populis,” jurnalisme berfokus
untuk menarik khalayak luas, menangkap isyarat publik tanpa secara
aktif menggiringnya. Peran “pengawas yang tidak memihak” menekankan
upaya membantu khalayak membuat keputusan politik, seraya berusaha
untuk tetap independen dan curiga terhadap elite. Peran “agen perubahan
kritis” membawa peran pengawas ini selangkah lebih jauh; dengan
menempati posisi yang lebih intervensionis dalam memengaruhi
perubahan sosial dengan mengangkat agenda dan memengaruhi opini
publik. Terakhir, jurnalis sebagai “fasilitator oportunis” bermitra dengan
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 215
para elite, melayaninya sebagai pemandu sorak, dan membela kepentingan
mereka. Hanitzch menemukan persepsi mengenai keempat peran ini
di setiap negara yang dia teliti, meski bobotnya bervariasi antara satu negara
dengan negara lain. Norma “pengawas yang tidak memihak” mendominasi
demokrasi Barat, sementara lebih dari separuh jurnalis di Indonesia dan
China tergolong “fasilitator oportunis.” Di sisi lain, jurnalis dari negara-
negara yang mengalami perubahan sosial besar, seperti Indonesia dan
Turki, lebih memandang diri mereka sebagai aktivis, agen perubahan
kritis, dibanding rekan-rekannya di negara demokrasi Barat yang stabil.10
Adanya pemaknaan yang beragam mengenai peran jurnalisme ini
sejalan dengan teori demokrasi pers. Tidak ada satu jenis media yang
dapat melayani semua kebutuhan komunikasi yang sangat majemuk dalam
demokrasi.11 sebab itu, menurut para ahli media seperti James Curran
dan mendiang C. Edwin Bakerm, sistem media harus dinilai berdasarkan
keberagamannya sekaligus kualitas bagian-bagiannya.12 Sebuah sistem
media yang beragam akan memasukkan bentuk organisasi yang berbeda
dan saling melengkapi. Senada dengan itu, UNESCO menyebutkan
“pluralisme” sebagai salah satu tujuan dari pengembangan media. Lembaga
ini mengatakan bahwa negara-negara membutuhkan “sektor media publik,
swasta, dan komunitas yang dapat diandalkan” untuk menyuarakan
“berbagai macam nilai sosial, politik, dan budaya; serta opini, informasi,
dan kepentingan.”13
Organisasi berita komersial swasta—rumah utama jurnalisme—dalam
sejarahnya lebih unggul dalam membangun kekuatan finansial guna
menahan tekanan pemerintah. Tapi, hal ini cenderung bias terhadap
kepentingan perusahaan dan pengiklannya. Penyiar layanan publik (public
service broadcaster) yang independen seperti BBC yaitu pelengkap
yang penting. Meski bergantung kepada negara, anggaran dasar mereka
mewajibkan mereka untuk menyediakan ruang bersama untuk rembuk
nasional, memastikan semua suara yang relevan dapat terdengar dan
seluruh kepentingan terwakili, terlepas dari nilai pasar. Sektor media
komunitas, atau, lebih luas lagi, “media alternatif ”, mencakup organisasi
masyarakat sipil, gerakan sosial, atau kelompok subkultur.14 Meski
umumnya kecil, informal dan cenderung amatir, media komunitas sejalan
dengan teori demokrasi radikal yang menekankan perlunya lebih banyak
kontra-publik agar kelompok-kelompok marginal dapat mengembangkan
“perilaku politik dan norma ujaran publik alternatif ”, jauh dari pengaruh
Bab 7216
hegemonik dari kepentingan-kepentingan dominan.15 sebab itu, di
mana pun kita akan menjumpai media berita yang berhubungan dengan
cara yang beragam dan kontradiktif dengan para penyebar kebencian
dan kaum intoleran yang mereka pupuk. Beberapa media secara aktif
melawan kekuatan-kekuatan ini , sementara yang lain secara pasif
mencerminkan kecenderungan negatif. Dan beberapa akan dengan
penuh semangat memfasilitasi kondisi yang terus memburuk itu, bersama
dengan para elit yang menyuarakan intoleransi. Masyarakat mungkin perlu
membatasi bentuk yang paling ekstrem dari media-media semacam itu.
Tapi pertanyaan terpenting yaitu apakah media yang buruk itu dinetralisir
oleh media yang lebih baik, dan jika tidak, apa sebabnya.
Fasilitator Kebencian
Dalam genosida di Rwanda, istilah “hasutan” pun tidak dapat
menggambarkan keterlibatan penyiar RTLM: “Stasiun radio tidak
hanya mengobarkan genosida tapi juga mengorganisirnya, dengan
mengidentifikasi sasaran, menyiarkan plat nomor kendaraan, tempat
persembunyian para korban, dan seterusnya.”16 Untungnya, RTLM
yaitu pengecualian yang jarang terjadi. Meski demikian, tidak sulit
menemukan aktivis dan media partisan yang kerjanya menggemakan
para agen pelintiran kebencian. Kajian Fear, Inc. mengenai Islamofobia
di Amerika Serikat (AS) mengidentifikasi beberapa media massa yang
melipatgandakan ketakutan dan kebohongan mengenai Muslim dari
segelintir aktivis anti-Islam.17 Fox News b