Tampilkan postingan dengan label rakyat 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 2. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 2
Desember 14, 2022
rakyat 2
uknya
lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya,
lalu nenek itu menerangkan artinya dan memberikan
tafsiran. Ia mendengarkan lebih khidmat dari pada upacara-
upacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam
upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari
suaminya ia akan kembali ke desa membawa keharuman
dan kebesaran.
Lain halnya dengan raden gelang-gelang . Sekalipun ia dilingkari Laki-laki -
Laki-laki tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti
seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali,
ingatannya tak juga mau lepas dari betari resi dan
segala akibat yang mungkin muncul . Ancaman kepala desa
itu membuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan.
Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang adiputro
sekarang ini hanya satu muslihat untuk memusnahkannya
dari muka bumi.
Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ;tu. Ia tak rasakan
tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang
melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain
pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan
nasihat mereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti
burung berkicau.
raden gelang-gelang berusaha keras mengingat-ingat kembali….
Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah
serba putih sebab tuanya dengan cepat mengutip Negara
Kertagama dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan,
negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di
bawah kekuasaan kerajaan jenggala . Bahwa di mana para bala tentara laut
kerajaan jenggala mendarat, di sana pula orang berkerumun
hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga
hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan
Candrakirana.
“Selama kalian tak mampu melihat dunia, selama itu
kalian sudah diperlakukan oleh kediri bukan sebagai
bawahan , namun sebagai musuh yang sudah dikalahkan dalam
perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui kediri dari
kalian. Barang bakal dan barang jadi…!”
“Jangan ditahan kaki ini, raden gelang-gelang biar aku tekuk,” salah
seorang pemijit menegur.
Dan raden gelang-gelang mengendorkan otot-otot kakinya.
”Bagian ini sangat tegang, raden gelang-gelang , terlalu lelah.”
Kembali ia mengenangkan mendiang betari resi :
Orang setua itu, tak memiliki sesuatu pun keeuali diri,
kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di
mana-mana, dan juga di mana-mana menimbulkan
kekaguman orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka
yang tak memerlukan kebenaran….
“Telentang, kau, raden gelang-gelang !”
Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher
sekarang memperoleh giliran.
“Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar
nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.”
“Karunia sang Hyang betari durga muncul di mana-mana,” ia
menjawabi.
Semua ototnya sudah jadi kendor. Param itu menusuk. Ia
merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di
alam mimpi…
Azan subuh dari menara tempat ibadah Kota dan pelabuhan
belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar
gamelan mulai bertalu, mendesak deburan laut,
membangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas
mandi dan memakai kembali pakaian terbaik. Bereepat-
eepat orang selesaikan sarapan, membersihkan rumah dan
membuka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih
dan Kamajaya yang sedang turun dari kediri hendaknya
juga memasuki rumah dan hati mereka. lalu mereka
membersihkan halaman dan menaburkan bunga-bungaan
dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang.
sinar matahari dengan cepat meninggalkan permukaan laut.
Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai
wama umbai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh
pesta. Sela Baginda tahu-tahu sudah dipagari dengan janur
kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu
Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya.
Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di
pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang adiputro memerlukan
datang ke kamar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan
orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: “Hari ini Soma.
Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Soma kami ubah
jadi Senin.” Kata berita itu pula: Sang adiputro kelihatan
pucat, mungkin malam-malam tidak beradu. Dengan
tangan sendiri ia sudah taburkan daun bunga pada kepala
dua orang pengantin desa itu.
Bunyi gamelan semakin riuh dari mana-mana. Dalam
rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling
depan adalah gamelan mereka, dengan atau tanpa penari,
untuk menyambut keluarnya pengantin dan juga untuk
mengiringkannya. Dengan kadipaten sudah penuh-sesak
dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang sudah
riang sekali sebab terlalu tua dan terlalu bersemangat
orang memukulnya.
Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak game\an
dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera
turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung
lalu padam. Hidangan pagi yanghangat menguap-uap
itu membuat orang lupa bahwa besok masih ada hari lain.
Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gula-
santan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi
menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang
berpesta. Untuk daerah kediri , pandan-wangi selalu
didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang
mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. Gulai ayam,
kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu
perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang
untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan:
tak ada ikan laut dihidangkan. sinar matahari mulai bersinar
gemilang.
Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten,
memasuki pelataran depan. Sebentar semua tangan
melambai-lambai menyambut. Seorang pendeta sri ratu kertanegari
membunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah
memercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang
dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu menitikan jalanan
itu. Akan ditempuh pengantin.
Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantra-
mantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti
berbunyi, seorang-orang tua, memekik memecah
keheningan: “Sambutl” Giring-giring. Berbunyi lagi.
Berhenti. “Sambut!” kata orang tua itu. Giring-giring.
kata an. Giring-giring. kata an Gumam Pendeta sri ratu kertanegari .
kata an. Susul-menyusul lalu bergulung jadi nyanyi
bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu
di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut
menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah
terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi.
lalu semua tangan terangkat ke langit seakan hendak
menerima jabatan dari Kamajaya dan Kamaratih yang akan
turun ke bumi. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para
penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai
berjalan pelan menuju ke gapura.
Sang adiputro kelihatan berdiri di pendopo. Para
pembesar dibelakangnya. Ia memang kelihatan pucat. Dan
tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu
itu sendiri terbuat dibandingkan kayu berukir. Atap dan
dindmgnya terbuat dibandingkan sutra kuning tipis terpilih dan
berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru
laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati
berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung
dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala
semua manusia.
Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gamelan mulai riuh
berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang
penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih
menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari
lain mereka memainkan riwayat raden gelang-gelang dan nyi girah di
sepanjang jalan arak-arakan.
Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka
tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu.
Sebentar jalan.
nyi girah memakai kembang keemasan berkilat-kilat.
Perhiasan dari mas dan permata memancar gemerlapan
pada kepala , kuping, leher, tangan, dada dan perut. raden gelang-gelang
bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas
dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula
dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari
mas. gada wesi nya bersarung dan berbulu kayu sawo
bertatahkan intan baiduri.
Memang mereka tak ubahnya dengan pengantin
kerajaan.
Begitu tandu sudah meninggalkan alun-alun dan mulai
menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi
dipertahankan. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda
bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu
nampak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan,
oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin
itu tetap agung duduk di tempatnya.
Kota sudah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela
Baginda di pelabuhan. Gadis-gadis mulai semakin
mendesak untuk menghampiri nyi girah . Mereka tak dapat
menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk
memperoleh kan berkahnya. Dari samping lain para perjaka
berebut dahulu untuk menyentuh raden gelang-gelang .
Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu
lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak
melarang. Suaranya lenyap dalam gelombang gamelan dan
deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli.
Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi kediri
mungkin tak bakal terjadi lagi dalam 400 tahun
mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan
berlalu tanpa memperoleh kan berkah dan kenangan. Kulit
pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus
disintuh.
Mengerti akan keinginan mereka, nyi girah dan raden gelang-gelang
mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan
para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak
berhasil memperoleh sensang yang betari durga mulai menyerang bunga-
bungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan
lenyap dari penglihatan mata.
Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan
makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang
mulai menyerang dinding dan atap tandu.
Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan
pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap matahari dan
angin.
Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gamelan terus
juga bertalu. Dan para penari terus juga berlenggang-
lenggok sepasang jalan.
Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para
perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha mengambil-
alih tugas memikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat
menyentuh dan tak memperoleh bunga, tak memperoleh
serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di
udara seperti biduk terkena terjang angin beliung.
Dari mana-mana terdengar orang memekik melarang.
Gemuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan
antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara,
menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin
terguncang-guncang.
nyi girah lupa pada sikap resminya. Tangannya
berpegangan erat-erat pada tiang tandu. raden gelang-gelang berusaha
mempertahankan keselmbangannya dengan kedua belah
tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran
heran bertanya-tanya.
Sebuah kata an tinggi melengking keluar dari mulut
seorang nenek pengawal nyi girah : “Dewa Batara! Jangan
biarkan jatuh tandu itu’.”
Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, lalu
hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli
pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika.
Gamelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun
membeku. matahari seakan hilang dari peredaran, kehilangan
teriknya.
Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu,
lalu berteriak : “Ampun, Dewa Batara, ampun!”
Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan
kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara
sedu-sedan dan memohon ampun pada sang Hyang betari durga mulai
menggelombang.
Satu lingkaran orang kaget sudah berdiri mengelilingi
pengantin yang terjatuh dari atas tandu.
Ketegangan dan kekejangan.
Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para
dewa, sebab membiarkan pengantin kekasih Kamajaya
dan Kamaratih terguling dari kedudukannya.
Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari mana-
mana membubung dengung mantra-mantra.
Dalam kerumunan orang nyi girah berdiri dari tanah,
raden gelang-gelang melompat bangun. Kedua-duanya diam tidak
bicara. Bersama-sama mereka memandang langit dan
bersujud . Selingkaran orang ketakutan itu tak
menyambut tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru
sesudah ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami
tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa
harus dikerjakan: membetulkan tandu agar pengantin naik
lagi. raden gelang-gelang dan nyi girah menolak.
Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka
meneruskan perjalanan. Kebetari ian membuncah lagi. namun
para pengiring tepat di belakang pengantin diam membisu.
Pengantin menolak ditunjang.
Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air
bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua
membawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali,
lalu menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup
bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa
ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit
ke permukaan air.
Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang sudah memanjang
pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut,
seperti sedang meneropong hari depan sendiri.
Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun
bersama ombak, bergerak pelahan, makin lama makin
menjauhi pantai.
Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya
bunga-bungaan. Dan yang mereka awasi tak ada yang bakal
kembali ke darat. Makin lama makin menjauh… jauh,
melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal… menjauh,… jauh
… jauh….
wah
6. adiputro kediri Arya Tumenggung Wilwatikta
Orang bilang: Sang adiputro kediri bukan keturunan
orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung
berasal dari darah wangsa kerajaan jenggala . Dan tak ada orang
yang meragukan. Sang adiputro sendiri bangga pada darah
yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa aman
sebab darah itu sendiri sudah memicu ia tak memiliki
penantang sebagai penguasa atas negeri kediri .
Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan
kerajaan jenggala . Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua
berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur
yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa
Timur. Ia marak jadi raja pertama kerajaan jenggala dengan nama
Kartarajasa.
Sang adiputro tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak
memberikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan
yang sudah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga
Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda
menganggap orang-orang ningrat sudah menjadi lemah
sebab kemewahan dan penghormatan dan sanjungan yang
berlebihan.
namun , pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini,
demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa kerajaan jenggala
biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak memiliki
jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka
tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya
semula. Kesetiaan memang bisa diharapkan dari mereka,
namun kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang
bijaksana.
Juga Sang adiputro kediri tahu dari resi praja: sejak
masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa
sudah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara
dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia
sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke
negara-negara jawadwipa . Juga pernah ikut memimpin
gerakan mempersatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana,
Pahang dan ikut membangunkan persekutuan militer
dengan Campa. Sesudah menjadi raja kerajaan jenggala pertama,
Sri Baginda bercita-cita hendak membangunkan kerajaan
dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia.
Dari resi praja adiputro kediri tahu: Sri Baginda
Kartarajasa memiliki dua jalan untuk mempersatukan
Nusantara. Pertama jalan kecil sebab keciilah
kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok
dan kerajaan Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat
untuk dipengaruhi dan ditembus oleh kerajaan jenggala . Yang
kedua adaiah jalan besar, sebab besarlah kemungkinannya,
yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke
negeri dongeng , ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak
terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat
menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai.
Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa
mengawini putri jawadwipa bermpu wungubhumi Dara Petak artinya Gadis
Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala
Gemit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjamin
kesetiaan jawadwipa pada kerajaan jenggala dan dengan demikian
menyelamatkan Selat Semenanjung.
Para gubernur bekas teman-teman seperjuangan Sri
Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini.
Biarpun permaisuri Gayatri tidak melahirkan seorang putra,
hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri
mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri
Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak? Bukankah
Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga
benua: Nusantara, negeri dongeng dan Wulungga? Mereka
tidak rela kalau kerajaan jenggala , hasil jerih-payah mereka, harus
jatuh ke tangan keturunan jawadwipa , hanya untuk dapat
mempertahankan Selat Semenanjung.
Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda,
namun semangat menjadi-jadi.
Gubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu,
kata resi praja pada Sang adiputro semasa masih kanak-
kanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang
dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala Gemit jadi putra
mahkota. Memang pandangan mereka hanya seluas
desanya sendiri. Gubernur kediri , Ranggalawe, yang paling
keras menentang, ditindak dengan ekspedisi militer oleh Sri
Baginda. Ia melawan dengan gagah-berani, namun sia-sia.
Pengganti Ranggalawe itulah moyang Sang adiputro .
Sang adiputro kediri Arya Teja, sebab kebijaksanaan
dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda sudah diangkat
jadi Patih kerajaan jenggala , waktu itu kerajaan jenggala sudah lemah
sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda
Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih
kerajaan jenggala Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka
untuk membangunkan kembali kerajaan jenggala Raya. Ia patah
semangat, perhatiannya lalu ia tumpahkan pada
wilayahnya sendiri berdasarkan darmaraja, yakni negeri
kediri . namun kediri tak bisa menjadi besar dan berdikari
selama kerajaan jenggala yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai
bersekongkol dengan pedagang-pedagang arca . Ialah yang
memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk
memberikan perkampungan dan pengajaran arca di
pelabuhan utara kerajaan jenggala , pasuruan . Ialah yang membentuk
persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk
semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara
arca sambil sedikit demi sedikit menunggangi kerajaan jenggala .
kerajaan jenggala sudah lama runtuh. namun adiputro kediri tak
mampu melepaskan diri dari bentuk tatap raja kerajaan jenggala . Ia
pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang
kebanyakan yang sudah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang
Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang
berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan kediri
adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara
mere ka memiliki mpu wungubhumi , kecuali mpu wungubhumi kepara bala tentara an.
Dan sekarang, bahwa ia mengangkat nyi girah dan raden gelang-gelang
pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga sebab
tradisi kerajaan jenggala . Ia merasa bangga dan puas sudah dapat
lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati.
Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernah-
memakai tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan
tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang
kemungkinan yang lebih baik. Maka begitu orang bersorak-
sorai di alun-alun dan membenarkan nyi girah , seketika itu
juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan
impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan
bernama nyi girah dan dan-merta berpihak pada sorak-sorai
itu.
Dan ia tahu, peristiwa nyi girah -raden gelang-gelang tak boleh berhenti
sampai di situ saja. Mereka dapat dipakai untuk
memelihara kesetiaan bawahan kediri kepadanya. Maka
raden gelang-gelang harus juga memperoleh jabatan yang patut.
Sesudah upacara perkawinan agung selesai sering ia
duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di
tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat
kehebatan berahinya pada tubuh nyi girah . namun sesudah
kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala,
menyambar dan membakar dalam dada tuanya.
Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat
membantunya.
Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak
dengan bayangan penari jelita itu. Gerak-gerak yang begitu
mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang…
betapa… betapa… tidak, ia mepercaya kan diri sesudah teringat
pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek
Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak
kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia
kebaskan berahinya.
Selama nyi girah , seorang wanita, apakah bedanya dengan
wanita lain? namun pribadi seperti itu! Di sana bisa
diperoleh lagi?
Dan dialahkan pikirannya sekarang pada raden gelang-gelang . Di
mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya
tahu gulat dan berani itu? Stt, stt, jangan remehkan
kemampuan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan
Gajah Mada sebagai seseorang? Namun wajah dunia sudah
berubah sebab mereka berdua, anak-anak desa itu:
Semenanjung jatuh ke tangan kerajaan jenggala . Selat dikuasai,
Jalan besar terbuka, kerajaan jenggala jaya.
Sekarang jayamahanaya jatuh ke tangan nyi kanjeng blora. Selat dengan
sendirinya, sebentar lagi mungkin blora runtuh pula dan
Selat akan jadi milik mutlak nyi kanjeng blora. Dia bukan hanya
hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang
mampu melawan dia. kediri pun tidak. namun selama
kediri di dalam tanganku, kita akan memiliki harga apa
pun juga.
wah
Sang adiputro terbangun dari pemenungannya melihat
sesosok tubuh merangkak mendekati sambil bersujud :
“Ya, raden gelang-gelang , pengantin baru yang berbahagia, adakah
sesuatu hendak kau persembahkan?”
Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah
mencoba menyusun kata.
“A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa!”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih .
Adapun patih menghadap tidak sepertinya ini ialah
memohon perkenan dari baginda tuanku raja adiputro kediri …”
Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh pegulat
itu. Sesudah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam
kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu
terhadap Sang adiputro . Sebagian dari kecurigaannya sudah
hilang. nyi girah sudah jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang
adalah kegelisahan seorang bawahan yang menunggu
datangnya hukuman. Pasti Sang adiputro sudah mengetahui
segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya
untuk melakukan sesuatu kerja memicu
kegelisahannya semakin menjadi-jadi.
“Kurang cukupkah yang sudah lewat dan yang sudah
ada…?”
“Lebih dari cukup, baginda tuanku raja , patih hanyalah petani biasa.
patih dan istri sudah rindu pada desa patih , baginda tuanku raja .”
“Bukankah kami adiputro kediri dan kau bawahan nya?
Bukankah kau mengabdi pada adiputro mu?”
Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya.
Badannya sudah kuyup.
“Kau, raden gelang-gelang , kembali ke tempatmu. Jangan tinggalkan
pengantinmu. Kau tidak kembali ke desamu.”
Juara itu sudah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia
mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat
badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh.
Dan Sang adiputro memperhatikan bahu bidang di
bawahnya itu bahu pegulat yang kukuh seperti baja.
Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati.
Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa.
centeng -centeng yang sudah diperintahkan membersihkan
gedung bekas balai sudah menyelesaikan tugasnya. Sang
adiputro sendiri yang sudah memerintah mereka. Dan sesudah
itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi
Rangga jatayuwesi ke bekas balai tersebut. Sang adiputro
menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan
sepatutnya. “Ya, raden gelang-gelang , pergi, kau!” perintah Sang
adiputro .
Anak desa itu bersujud , mengesot jauh dan
bersujud lagi, lalu hilang dari penglihatan Sang
adiputro .
Ia tahu patih wirabuana kediri sedang mencoba menghadap
untuk memprotes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit,
berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke
kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara
hewan itu sedang memakai cis untuk memerintah si
gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat
pemelihara itu lalu duduk di samping hewan nya,
bersujud pada Sang adiputro . Gajah itu sendiri
mengangkat belalai.
Sang adiputro tertawa terhibur.
wah
Tidak lebih dari lima hari lalu , di taman di tentang
kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan
rahasia dari kanjeng sinuhun adipati Syah yang sedang menyingkir
ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa
dan bertulisan Jawa.
kanjeng sinuhun mengabarkan, jayamahanaya sudah jatuh ke tangan
nyi kanjeng blora sebagai akibat pengkhianatan patih wirabuana jayamahanaya
berkebangsaan palawa bernama pakanewon adipati Al-Badaiwi.
Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok,
setengah umur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk
yang sudah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali.
kanjeng sinuhun jayamahanaya mengakui, ia sudah keliru mengangkat
orang tersebut, hanya sebab terbujuk oleh kefasihan
tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang.
Menjelang jatuhnya jayamahanaya ia malah memperoleh
kepercayaan keluar-masuk istana, dan hampir-hampir
diangkat menjadi wazir.
kanjeng sinuhun berseru pada Sang adiputro sebagai sedarah-
sedaging, seasal-keturunan kerajaan jenggala , supaya berhati-hati
terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di kediri ,
sebab orang itu sudah meninggalkan jayamahanaya di bawah
perlindungan nyi kanjeng blora.
Sang adiputro mengerti maksud surat itu. Orang yang
dimaksudkan tidak lain dari pakanewon Habibullah Almasawa.
Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak.
Penguasa kediri itu duduk di atas bangku batu yang
lebih tinggi dibandingkan duta rahasia kanjeng sinuhun adipati Syah.
Dan sesudah membacanya surat kertas itu dilipatnya baik-
baik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta
berkata dalam jawadwipa : “Kami sudah baca baik-baik surat
ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri kanjeng sinuhun
adipati Syah. Di kediri tak ada seorang palawa bernama
pakanewon adipati Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan
Duta?”
“Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran
Ispanya, negerinya Andalusia, baginda tuanku raja .”
“Kelahiran Ispanya? Tentu dia pandai Ispanya?”
“Barangtentu, baginda tuanku raja .”
“Apa dia barangkali juga berbahasa nyi kanjeng blora?”
“Jelas seperti sinar matahari , baginda tuanku raja , sebab dia dapat juga
melayani kapai nyi kanjeng blora sebelum mereka menyerbu.”
“Mengapa Tuan Duta mengandaikan dia di sini?”
“Wara-wara baginda tuanku raja adiputro kediri di atas jayamahanaya sudah
didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan patih wirabuana kediri
yang baru sangat cocok untuk pakanewon adipati Al-Badaiwi,
baginda tuanku raja . Dia akan datang kemari.”
“Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan
mengubah namanya sekiranya memasuki kediri ?”
“Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga
bertugas menjejak bekas patih wirabuana jayamahanaya ?”
“Barang tentu, baginda tuanku raja . patih sudah singgah di blora,
pekajan , pajajaran , jatikerto , Cirebon, suryabuaya sambil menuju
kediri . Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana
pengkhianat itu pergi. Semenanjung sudah berubah sangar
bagi nyawanya. Dan ternyata, baginda tuanku raja , benar belaka, pakanewon
adipati Al-Badaiwi sudah ada di kediri sini, jadi abdi
baginda tuanku raja adiputro kediri , bahkan sudah baginda tuanku raja angkat jadi
patih wirabuana kediri .”
“Maksud Tuan Duta, pakanewon adipati Al-Badaiwi itu
tidak lain dari patih wirabuana kediri sekarang? pakanewon
Habibullah Almasawa?”
“Betul, baginda tuanku raja , patih wirabuana kediri yang baru itulah bekas
patih wirabuana jayamahanaya .”
“Dan sesudah Tuan Duta mengetahui dia ada di sini,
adakah sesuatu yang Sri kanjeng sinuhun kehendaki dari kami?”
“Kalau sekiranya berkenan di hati baginda tuanku raja adiputro
kediri … ampun, baginda tuanku raja , bukan buatan terkejut patih
melihatnya di jenggala baginda tuanku raja … dia tak mengenal patih namun
patih mengenal dia… dalam hati patih membersitlah satu
doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh sang hyang Widhi kiranya Sang
adiputro kediri dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan
betapa bersyukur patih apabila nyawanya diserahkan
kepada patih ,” Duta rahasia itu terdiam.
Nampak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya
harapan.
Sang adiputro membuang pandang ke arah kandang
gajah. Persoalan jayamahanaya adalah persoalan masa silam
walau baru kemarin dahulu bencana itu terjadi. Semua yang
sudah lewat sudah beibaris masuk ke alam lampau. Yang
kemarin dahulu kanjeng sinuhun , sekarang buangan. Yang sekarang Ad-
ipati masih tetap adiputro . Ia pandangi duta itu tajam-tajam.
Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada
orang di hadapannya itu.
sinar matahari hampir tenggelam. Percakapan rahasia itu
terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu
mempersembahkan sebilah gada wesi bersarung mas bertulisan
palawa dan berbulu mas bertatahkan zamrud.
”Perkenankanlah patih mempersembahkan gada wesi pusaka
kerajaan jayamahanaya ini, baginda tuanku raja , sebagai harapan dapat
terjadinya persekutuan antara kediri dengan Sri kanjeng sinuhun ,
untuk tidak menyinggahi jayamahanaya selama dikuasai
nyi kanjeng blora.”
“sudah kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah
pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa patih wirabuana kediri
pakanewon Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan
sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan
Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia melakukan
pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana
persekutuan-persekutuan sudah Tuan Duta usahakan?”
“Ampun, baginda tuanku raja , adiputro , tentang itu pastikah bukan
patih yang harus mempersembahkan.”
Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu sinar matahari
tenggelam sama sekali.
Nyamuk mulai berkeliaran di taman. Namun Sang
adiputro masih juga belum bangkit dari bangku batu.
Betapa bodoh mengurus yang sudah masuk masa silam,
pikirnya.
Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan
menitahkan agar raden gelang-gelang datang menghadap. Dan waktu
pegulat itu sudah duduk bersembah di hadapannya segera ia
memulai: “raden gelang-gelang , apa yang kau ketahui dari kebesaran
masa silam?”
Ia sudah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan
ia dengar juara gulat itu berteriak dengan suara tertekan:
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih .”
raden gelang-gelang tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam
menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa
daya-perlawanannya menjadi layu sesudah memperistri
nyi girah , dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman.
“ayolah , persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan
malam, dan kami pun tak perlu tahu,” kata Sang adiputro ,
sekalipun ia memiliki dugaan, anak desa itu sedang kacau-
balau. Mengetahui raden gelang-gelang tak juga berdatang sembah, ia
mendesak: “Cepat, raden gelang-gelang . Kami tahu, kau sudah banyak
mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain
dari kau dan nyi girah yang sudah mengurus betari resi
sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek
gila kebesaran masa silam itu. Persembahkan!”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih .” suara
juara gulat itu gemetar.
“Kau takut, raden gelang-gelang . Juara gulat yang takut bersembah!”
Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya.
Suaranya menjadi agak lunak. “dahulu resi -resi pembicara
seperti betari resi banyak berkeliaran dan membual di
kota-kota. resi itu mungkin sisa dari gerombolan
mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh
oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara
berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil.
adiputro kediri tidak gentar pada buatan seribu resi -
pembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut.”
“Ampun, baginda tuanku raja , kata betari resi , hendaknya orang
memanggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam
pada guagarba hari depan?”
“Dari seluruh bualan resi hanya itu saja yang teringat
olehmu?”
Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu
seakan bersarang dalam kepala nya.
“Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah,
bagaimana pun kau memanggil-manggil pada guagarba hari
depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi.
Kau percaya pada kata-kata betari resi ?”
kepala raden gelang-gelang semakin mendekati tanah.
“Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin
kau… Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan
pembicara-pembicara membual?”
“Ampun, baginda tuanku raja , memang demikian halnya.”
“Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu
datang? Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara
gulat?”
“patih ada di sini, baginda tuanku raja !”
“Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat,
badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki
pikiranmu, sebab kau anak terpelajar, ingin banyak
mengetahui, sebab itu sering mendengarkan resi
berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, sebab kau tak
dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami
menghendaki jiwamu, sebab tak ada kebesaran datang
tanpa petaruh jiwa. raden gelang-gelang , kembalikan kejayaan dan
kebesaran kerajaan jenggala untuk kediri , untuk negerimu, ini
untuk adiputro sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga,
kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau
berdua di gandok kepatih wirabuana an yang sebelah kiri,
gandok arca . Dengan ototmu yang kuat lindungi jiwa
patih wirabuana baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan
pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia patih wirabuana
dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa
jawadwipa . Jadilah pembantu utama pakanewon Habibullah
Almasawa. Berangkat!”
Sesudah juara gulat itu pergi Sang adiputro bangkit dan
berjaian tenang-tenang masuk ke kadipaten.
Seminggu lalu di taman itu juga Sang adiputro
menerima seorang duta dari suryabuaya . Sore juga waktu itu.
Berbeda hainya dengan duta dari jayamahanaya , duta yang
sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia
belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta
berdiri di belakangnya.
“Ya, baginda tuanku raja , patih adalah utusan pribadi baginda tuanku raja Kanjeng
adiputro tumenggung dijoyo dari suryabuaya . Nama patih mpu logender , baginda tuanku raja .”
‘Teruskan, mpu logender yang terhormat.”
“Salam bahagia dari baginda tuanku raja Kanjeng suryabuaya , dan
pesan….” Sang adiputro berbalik. Wajahnya merah padam
menahan kemarahan. Matanya membelalak: “Pesan? Pesan
untuk adiputro kediri ? Ataukah maksud Tuan ancaman?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri . Peristiwa suryabuaya itu
memang jadi duri dalam daging kediri . Untuk itu patih
datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari
tindakan pajang bintoro , baginda tuanku raja .”
“Alasan? Apakah masih perlu ada alasan? Memasuki
dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka
gelanggang perkelahian? Hanya sebab ingin memiliki jenggala
sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah
kediri pernah menjamah pajang bintoro dengan kuda atau
gajahnya? Atau dengan kakinya? Atau itukah alasannya,
memanggil kaki dan kuda dan gajah kediri ?”
“Ampun, baginda tuanku raja , pajang bintoro tahu benar akan kekuatan
perkasa dari kediri .”
Sang adiputro mulai berjaian agak cepat dan mpu logender
mengikuti dari belakang.
“Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh
pajang bintoro rata dengan tanah.”
“pajang bintoro sebetulnya tahu benar akan itu, baginda tuanku raja
adiputro kediri , ampuni patih .”
“Mengapa perbuatan tidak kesatria raja , tanpa pernyataan
perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang
memerintah pajang bintoro ?” Sang adiputro memilin-milin kumis
putihnya. “Bukankah kami bisa perintahkan tumpas tuan
Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai
raja?”
“Inilah nyawa patih , baginda tuanku raja , bila baginda tuanku raja perlukan untuk
ditumpas, patih persembahkan dengan rela.”
“Sungguh berani mati, kau, Tuan Duta.”
“sebab memang ada yang lebih penting dibandingkan hati
mati, baginda tuanku raja , mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.”
“Apakah sebab memikirkan nasib seluruh Jawa, maka
pajang bintoro merasa dibenarkan memasuki suryabuaya ?”
“sebetulnya tiada jauh dari sangkaan baginda tuanku raja adiputro
kediri . Ampun, baginda tuanku raja .”
“sang hyang Widhi Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia
sendiri tahu tentang nasib Jawa?”
“Jauh dari itu, ya baginda tuanku raja adiputro kediri yang mulia,”
susul Duta suryabuaya itu dengan cepat-cepat. “Utusan-utusan
pajang bintoro ke seberang dan negeri dongeng , baginda tuanku raja ….”
“Siapa utusan-utusan itu? Bukankah utusan juga dari
Sampo Toalang?” Sang adiputro memotong. “Adakah
Sampo Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami
hancurkan dalam sepuluh bentar? Dengarkah, kau Aji
Usup, Duta suryabuaya . Semua orang prajawan tahu, Sampo
Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang
Tiongkok itu untuk menandingi suryabuaya . suryabuaya tidak jatuh
sebab nya. jenggala mya tetap jaya. lalu campa atau
Lasem didirikannya untuk menyaingi jenggala kediri .
Apakah adiputro kediri berbuat sesuatu terhadap campa ?
jenggala asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami
ijinkan. kediri takkan jadi pudar sebab nya. Bukankah
kerajaan pajang bintoro didirikan untuk membentengi Semarang
dari kediri ? Sekarang pajang bintoro sebagai kerajaan benteng
sudah mulai menyerang. Sang adiputro kediri masih dapat
mengendalikan diri, hai kau, mpu logender Duta suryabuaya .”
“patih , baginda tuanku raja .”
“Sekarang utusan Semarang-pajang bintoro ke seberang dan
negeri dongeng kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu
kesopanan itu.”
“patih , baginda tuanku raja .”
“suryabuaya dan Semarang takkan dapat rempah-rempah
lagi. Setiap kapal Semarang dan suryabuaya yang belayar ke
sebelah timur pasti kami hancurkan.”
“Yang demikian sudah terjadi, baginda tuanku raja .”
“Dan akan terjadi seterusnya selama kami masih hidup.”
“patih , baginda tuanku raja .”
“Sampai Semarang-pajang bintoro mengembalikan suryabuaya pada
kami dengan hormat dan patut.”
“patih , baginda tuanku raja .”
Sang adiputro berjalan menuju ke taman di tentang
kandang kuda dan mpu logender mengikuti. Ia duduk pada
bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding
kandang gajah dan menetak tajam: “Sudah kami
pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan.
Semarang-pajang bintoro akan punah tanpa rempah-rempah
kami.”
“Pasti, baginda tuanku raja .”
Agak lama Sang adiputro tidak bicara. Ia sudah semburkan
segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang.
lalu : “Apa Tuan Duta hendak persembahkan?”
“Bahwa utusan pajang bintoro ke seberang dan negeri dongeng
sudah membawa keterangan-keterangan penting nyi kanjeng blora
akan menguasai Jawa, baginda tuanku raja adiputro kediri yang mulia.
Itulah yang memicu pajang bintoro secara terburu-buru
memasuki suryabuaya . nyi kanjeng blora tidak boleh memasuki tengah-
tengah pulau Jawa ini, baginda tuanku raja . Sekali masuk, seluruh Jawa
akan dikuasainya. Itulah sebabnya pajang bintoro memasuki
suryabuaya dengan sangat terburu-buru.”
“Jauh manakah kediri dibandingkan negeri nyi kanjeng blora, maka
tak ada utusan datang padaku? Dan kau, Duta suryabuaya ,
datang jauh sesudah adiputro mu memasuki wilayah kami?
Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang
memohon ampun. Dan sekarang kau datang, bukankah
untuk itu?”
“patih datang menghadap memang untuk urusan yang
agak lain, baginda tuanku raja , ampunilah patih .”
“Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan!”
“Ampun, baginda tuanku raja , utusan pajang bintoro , dari seberang dan Atas
Angin yang datang dalam bulan ini, baginda tuanku raja ,
mempersembahkan pada baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun pajang bintoro ,
sebetulnya kediri sudah mengadakan persiapan
persenjataan untuk menghadapi nyi kanjeng blora, dan bahwa
jatuhnya jayamahanaya ke tangan nyi kanjeng blora sudah menjadi pikiran
baginda tuanku raja adiputro yang mendalam. Setidak-tidaknya sebab
kediri sebuah jenggala yang paling banyak bersangkutan
dengan jayamahanaya .”
“Betul, mpu logender . Duta suryabuaya yang terhormat.”
“baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun pajang bintoro sudah percaya adanya
persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada
suryabuaya .”
Sang adiputro tersenyum puas.
“Juga tidak akan ditujukan pada suryabuaya .”
“Untuk suryabuaya , pajang bintoro dan Semarang akan waktu lain,
mpu logender . Lihatlah betapa pongah kanjeng sinuhun mu. Mengirimkan
seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra
mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu
pernah dilakukan oleh adiputro kediri ?”
“Tidak, baginda tuanku raja adiputro kediri .”
“Apakah kediri pernah menghalangi pembangunan
Glagah Wangi? Atau pernah mengambil salah sebuah
dusun pajang bintoro ?”
“Tidak, baginda tuanku raja adiputro kediri .”
“Apakah kurang berharga adiputro kediri dibandingkan
dengan kanjeng sinuhun pajang bintoro maka hanya duta adiputro suryabuaya
yang dikinmkan pada Kami?”
”Tidak, baginda tuanku raja . Soalnya hanya sebab baginda tuanku raja Kanjeng
adiputro tumenggung dijoyo yang mengurus soal-soal manca-praja, maka
patih dikirimkan dari suryabuaya kemari.”
“Pikiran pajang bintoro sungguh berbelit-belit biar pun mudah
dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit.
Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toa-
lang untuk menghadapi kediri , sebuah kerajaan bayang-
bayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh
berbelit.”
“Ampun, baginda tuanku raja , pajang bintoro adalah kerajaan arca , itulah
keterangan satu-satunya dan tiada lain, baginda tuanku raja .”
“Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, namun bukan
sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit sebab dia
mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada arca .
Negeri betarakalong -sri ratu kertanegari juga tidak mengabdi pada betarakalong -
sri ratu kertanegari .”
“patih , baginda tuanku raja .”
“Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi
pada sesuatu agama? Kami tidak pernah tahu. kerajaan jenggala
yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.”
“Ampun, baginda tuanku raja , patih tidak ada wewenang untuk
berselisih. Barang tentu baginda tuanku raja adiputro benar.”
“Ya, dan pajang bintoro seluruhnya keliru.”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro benar.”
“Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta?”
“Masih tetap soal nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja . Sekiranya baginda tuanku raja
adiputro ada kecenderungan untuk melupakan perselisihan-
perselisihan kecil dengan pajang bintoro … sekiranya baginda tuanku raja adiputro
ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap
nyi kanjeng blora dari jayamahanaya … Itulah baginda tuanku raja , yang dipikulkan di
atas pundak patih dari kanjeng sinuhun pajang bintoro melalui baginda tuanku raja
Kanjeng adiputro suryabuaya .”
“Persembahkan, Tuan duta.”
“Maka kediri dan suryabuaya -pajang bintoro bisa bergabung dalam
satu armada besar, baginda tuanku raja .”
“Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau
memang pura-pura bukan bawahan Semarang?”
“Ampun, baginda tuanku raja , patih memikul pada bahu patih untuk
jangan sampai menggusarkan hati baginda tuanku raja adiputro kediri .”
“Tanpa kau pun pajang bintoro sudah menggusarkan kami.”
“Ampun, baginda tuanku raja , patih hanya memikul perintah soal
nyi kanjeng blora.”
“Persembahkan!”
“Semua kekuatan laut dari kediri dan suryabuaya dan
jatikerto , dan Jamto’ dan pajajaran dan Aceh akan sanggup
mengusir nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , kalau or laksanakan. Sekiranya
baginda tuanku raja adiputro berkenan menyertai.”
Sang adiputro terdiam dan sang Duta tidak memulai lagi,
menunggu jawaban.
sinar matahari semakin condong mendekati tepi bumi waktu
penguasa kediri itu berkata: “Datang kau sebulan lagi,
barangkali kami ada jawaban.”
“Dilimpahi oleh sang hyang Widhi hendaknya baginda tuanku raja adiputro kediri
dengan bersabda dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan
usia panjang sehat dan sejahtera….”
Begitu duta suryabuaya pergi, Sang adiputro tak dapat
mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat
sana. Ia takkan membiarkan siapa pun berjingkrak di atas
kepala nya dan melecehkan kediri . namun perang ia tidak
menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi
momok selama hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung
Wilwatikta di Mahapahit selama lima tahun sampai
sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak
menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan
nyi kanjeng blora. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan,
Prajawan-prajawan pada mempergunjingkan jatuhnya
jayamahanaya . Memang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi
kemakmuran dunia, hanya sebab dilewati rempah-rempah
Nusantara. namun mengapa orang begitu dungu membatasi
kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata,
seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini? Sekarang pula
nyi kanjeng blora datang justru hendak mengangkangi ke dua-
duanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula?
Sekarang. pajang bintoro pun ikut dengan pergunjingan, dan
dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami
pada tindakan mereka yang tidak kesatria raja . Puh! pajang bintoro yang
tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang nyi kanjeng blora!
Negeri-negeri pada berjasang yang betari durga di tangan nyi kanjeng blora, ini,
kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba,
terhadap tetangga sendiri dan terhadap nyi kanjeng blora sekaligus!
Sang adiputro mencoba membayangkan adiputro suryabuaya
yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya,
pikirnya, lebih besar dari akalnya. Memang semua nampak
indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri
kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak
naik ke jayamahanaya . Baik, datangilah jayamahanaya , tumenggung dijoyo ! Hanya dia
yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan
lebih baik dari nyi kanjeng blora sendiri. Semua boleh gagahi
jayamahanaya . kediri takkan hancur sebab nya!
Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri.
Dalam kegelapan para pengawal pun bergerak
mengikutinya dari kejauhan. Ia memasuki daerah
perumahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya
semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan
sebuah lampu gantung bersumbu lima.
Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam,
menggambarkan beberapa orang wanita sedang
bercengkebetari di bawah sebatang pohon jeruk macam di
sebuah taman larangan.
Gubernur kediri itu menarik seutas tali yang menjulur di
atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni.
Segera lalu pintu berkerait terbuka. Sebidang
pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu
satu terpampang di hadapannya.
Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh
di tanah menyambut dengan sembah. kepala nya menekur.
Inilah keputrian atau harem Sang adiputro .
“Bagaimana kalian, Nyi kembang Kati?”
“Karunia dan kemurahan baginda tuanku raja adiputro kuminta tanpa
henti, baginda tuanku raja ,” sembah wanita itu.
Sang adiputro langsung berjaian ke serambi, lalu
masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi
Ayu Sekar Pinjung.
Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di
pelataran atau serambi masih tetap bersimpuh di tanah pada
tempat masing-masing. Sesudah penguasa itu hilang dalam
bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik
masing-masing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi kembang
Kati.
wanita lesbian itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat
panjang sebab itulah tugasnya sebagai pengurus harem dan
sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat
puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin
meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya
bundar dan selalu nampak segar, Matanya agak sipit.
Pandang matanya tenang namun nampak tajam menembus
segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat
tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam
dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecil-
panjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul,
berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga
berbeda dari para selir Nyi kembang Kati bergigi hitam arang,
sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti
seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau
mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi
kembang Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji
jahawe yang sudah ia habiskan untuk kepentingan itu.
Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir
tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gamelan di pendopo
pun hanya sayup-sayup.
Di dalam bilik Sang adiputro duduk di atas sampai
tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada
Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki
penguasa itu dengan selembar kain basah.
Tangan Sang adiputro melambai, menarik dagu selir
kesayangan untuk memandangi wajahnya. Dan wanita itu
berkata dengan kenesnya,
“Aduh, baginda tuanku raja sesembahan patih , betapa lama patih
menunggu selama ini.”
Sang adiputro mengangguk dan tersenyum. Di bagian
bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan
tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling
waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya
ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke
keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang
lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah
peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak
bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat
dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk
memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir
kesayangan. “Awaslah jangan terlena, sebab lena adalah
hancur .”
“Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu?” ia
memancing. “Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu
dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan? Atau
kalung? Ataukah dinar emas? Atau dirham?”
“Ampun, baginda tuanku raja , bukan mas dan bukan perang, ya baginda tuanku raja
sesembahan, kalau patih diperkenankan bersembah….”
Sang adiputro menarik selir kesayangan ke atas dan
didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan
sambil meliak-liuk genit.
“Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu
sangat penting.”
“Ampun, baginda tuanku raja , adapun yang hendak patih
persembahkan, ya baginda tuanku raja , baginda tuanku raja sesembahan, bukanlah
sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, baginda tuanku raja .”
Sambil membelai-belai rambut selirnya Sang adiputro
bertanya setengah tawa namun dengan kewaspadaan semakin
tinggi: “Apakah kiranya yang kau takutkan dan was-
waskan?”
“Ampun, baginda tuanku raja , orang bilang, ya sesembahan patih , ada
bangsa berkulit putih bernama nyi kanjeng blora. Kata orang, tiada
tandingan di seantara jagad raya ini.”
“Kata orang, Nyi Ayu, teruskan.”
“Maka kata orang itu pula, baginda tuanku raja , seluruh dunia
memberinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya
baginda tuanku raja . Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang.
Kapal ditudingnya tenggelam, ya baginda tuanku raja .”
Sang adiputro tertawa senang dan didekapnya kepala
wanita itu. Bertanya: “Mengapa takut pada dongengan?”
“Kami semua takut dan was-was,” selir itu
menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang
adiputro . lalu meneruskan dengan sura yang tidak
keluar dari hati-kecilnya: “Kata orang, ya baginda tuanku raja , sebentar
lagi nyi kanjeng blora itu akan menaklukkan juga kediri .”
Sang adiputro terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia
tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di
atas ambin. lalu ia berdiri tegak lurus, bertolak
pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar
lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan.
Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu
Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun memerosotkan diri ke
lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki Laki-laki
itu dan memperdengarkan sedu-sedunya: “Ampunilah
patih , ya baginda tuanku raja .”
“Dari siapa cerita itu, Pinjung?” tanya adiputro itu
pelahan namun tajam. Kedua belah tangannya masih juga
bertolak pinggang.
Hanya sedu-sedan yang menjawab.
“Jadi kau tak bermaksud mempersembahkan siapa
orangnya?”
Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar.
Sang adiputro membongkok, meraba-raba muka selir
kesayangan. Tangan itu lalu berhenti pada kuping.
Dalam waktu pendek subang-subang selir itu sudah
berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan
sendirinya hendak mempertahankan subangnya. Terlambat.
lalu ia cegah sendiri usahanya.
Nampak Sang adiputro sedang berusaha menindas
kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang
sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah
tangan-tangan nyi kanjeng blora sudah mulai memasuki sudut
kadipaten? Ini? pikirnya. Sudah mulai menyebarkan
kegentaran pada seluruh isi kadipaten?
Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia
cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari
dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa
Jawa. Ia mendekati lampu dan membacanya. Isinya hanya
sebaris, menyatakan sudah mengirimkan selembar sutra
delapan depa, tanpa menyebut nama seseorang.
Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. namun
kertas? Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di
atas kertas. Kembali ia periksa surat itu… dengan tinta,
sedang Pribumi dengan jelaga.
Ada tangan asing bergerayangan di dalam haremku, ia
memutuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak
memperoleh jawaban. Sekarang bertanya: “Dari siapa surat
ini?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ,” suara
Nyi Sekar Pinjung gemetar. “Bukan patih hendak
menyembunyikan sesuatu dari kekuasaan baginda tuanku raja
sesembahan, memanglah patih tidak tahu siapa
pengirimnya. Ampun, beribu ampun, baginda tuanku raja .”
“Dari mana kau terima surat dan sutra?”
“Nyi kembang Kati, baginda tuanku raja .”
Sang adiputro bergegas meninggalkan bilik harem.
Beberapa hari sesudah itu ia duduk di serambi belakang
kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan
oleh para bawahan . Perhatiannya tak dapat dipusatkannya
pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi
lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih
kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh raden gelang-gelang dalam
penggerayangannya di dalam kamar patih wirabuana baru pakanewon
Habibullah Almasawa, mengabarkan sudah menerima dari
Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan
mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan.
Menurut Sang Patih. raden gelang-gelang sudah periksa seluruh kamar
patih wirabuana dan ia sudah melihat banyak botol dan benda-
benda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab
dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logam-
logam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan
gambar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya,
setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama
dan gunanya.
Dasar anak desa! namun itu hanya permulaan, gumam
Sang adiputro .
lalu diambilnya selembar daun sirih dari nampan
kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong
kecil gambir di atasnya. Menggulung dan memamahnya.
Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi.
Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih
mencampuri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak
menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai
adiputro . Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten.
Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak diperintah kannya untuk
melakukan pekerjaan itu.
Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang
wanita kepada patih wirabuana pakanewon Habibullah Almasawa.
namun tiada dinamakan kan tentangsutra. Mungkinkah barang
perhiasan itu diterima oleh Nyi kembang Kati? Dan apa jasa
Nyi kembang pada patih wirabuana ? Siapa pula pengantar dan
penghubung surat? Ha, barangkali Nyi kembang bertindak
sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan
sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami
sendiri harus dapat temukan penghubung itu.
“Panggil Nyi kembang Kati,” ia berseru, lalu
memperhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita
pengurus harem itu bersimpuh di bawah serambi dan
mengangkat sembah.
Dan Sang adiputro sengaja meneruskan perhatiannya
pada peragaan hewan -hewan itu. Baru sesudah salah
seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia
menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras,
“Mendekat!” perintahnya keras-keras.
Nyi kembang Kati beringsut mendaki anak-anak tangga
serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai
tangan Sang adiputro ia beringsut maju terus lebih
mendekat. Sang adiputro melambaikan tangan lagi sehingga
ia sudah hampir pada kakinya.
“Nyi kembang ’ ia berbisik, siapa yang pernah menyurati kau
dari luar?”
Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu menggigil.
“Ampun baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ,”
sebentar suaranya juga menggigil, lalu merata
kembali, “memang benar patih pernah….”
“Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras
bersabar?”
“Ampun, baginda tuanku raja ,” Nyi kembang menurunkan suaranya
sehingga mendekati bisikan, “memang benar patih pernah
menerima surat dari luar, namun patih tak tahu dari siapa.
Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patih , tanpa
patih ketahui siapa pembawanya.”
“Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi kembang .
Bagaimana mungkin, kau yang bertugas mengurus
keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu
sendiri?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih .
Hukumlah, patih , sebab itulah kebenaran yang
sebetulnya . Hidup-mati patih adalah milik baginda tuanku raja
adiputro !”
“Mana surat itu?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro , patih takut maka patih bakar.”
“Surat apa, Nyi kembang , lontar ataukah kertas?”
“Lon… lon… lon… kertas barangkali, baginda tuanku raja , patih tak
tahu namanya. Bukan lontar.”
“Bukankah bukan hanya surat saja sudah kau terima?
Adakah real nyi kanjeng blora pernah kau terima juga?”
“Ada, baginda tuanku raja real mas, patih mohon ampun, sebab tiada
mengetahui adakah itu real nyi kanjeng blora atau bukan.”
“Real nyi kanjeng blora, dua,” Sang adiputro mendengus
menghinakan, “dan gelang, bukan?”
“Demikianlah, baginda tuanku raja , dan gelang.”
“Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud
dan mutiara. Bukan?”
“Ampun, baginda tuanku raja , semua benar. Perkenankanlah patih
mempersembahkan semua itu ke bawah duli baginda tuanku raja
sesembahan.”
“Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu
dikirimkan untukmu. Kami tahu kau pengurus keputrian
yang jujur. Pergi!”
Ia perhatikan wanita pengurus harem itu beringsut-ingsut
mundur, bersujud dan bersujud , lalu berjalan
menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya
wanita lesbian itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak
tahu siapa penyampainya.
Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang
berjalan di kejauhan memikul kotak sampah menuju keluar
daerah perumahan. Darahnya tersirap. Sesuatu menyambar
pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu,
yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia rupa-
rupanya kutu busuk keputrian. Dia!
Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku
bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia
pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa
dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman
dengan mereka. Ya. Si bocah itu!
Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar? Dan
bocah itu menjamah hak-hakku yang paling tersembunyi?
Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja.
Tak pernah memiliki perasaan gentar. Bahkan hampir dapat
dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa jawadwipa dengan
lancar dan baik. Dia bertugas melayani pakanewon Habibullah
Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung patih wirabuana
dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem.
Perasaan cemburu sudah menariknya dengan kasar dari
tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan
ke belakang memeriksai pagar kayu tinggi, yang melingkari
keputrian, untuk memperoleh kan bekas-bekas panjatan.
Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama
coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia memakai
alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui.
Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di
serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu
pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh
bawahan . Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya.
Pada nampak lagi memikul kotak sampah yang sudah
kosong. Sang adiputro memperhatikan si bocah yang gelisah
dengan mata berpendaran ke mana-mana itu. Ia lambaikan
tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu.
Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap
pada si macan? Pikirnya jengkel dan membiarkan Pada
menghilang.
Cemburu tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan
berpikir. anak anak semuda itu sudah gerayangi
keputrianku!
Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya
melambai menyambar nampan kuningan tempat peracikan
sirih dan dibantingnya menggelintang di lantai.
O0-dw-0O
7. patih wirabuana kediri : Rangga jatayuwesi & pakanewon
Habibullah Al-Masawa
Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu
bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan
Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu sudah turun ke
jalan raya dan ia berjalan kembali hendak memasuki
gedung kepatih wirabuana an. Percakapan dengan tamu sangat
menarik: masuknya arca ke Nusantara bukan suatu
kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasa-
penguasa di Perlak, blora dan jayamahanaya yang mula-mula
masuk arca : mereka memerlukan ajaran, perlindungan,
kepercayaan lain dari segala yang serba kerajaan jenggala ….
Gedung kepatih wirabuana an yang terpampang di
hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri
kediri . Lebih indah dari kadipaten, istana Sang adiputro .
Gedung itu adalah yang kedua yang terbuat dibandingkan batu.
Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya
berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh
negeri kediri terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap,
injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah
atau kacangtanah .
Selalu bila ia sedang memintasi jalanan halaman depan
rumah, ia tak pernah melewatkan nikmat keindahan bunga-
bungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini.
Dua tahun lalu seorang anak kapal dari tumapel , terdampar
di kediri , sudah membangunnya meniru taman raja-raja
Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di
sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati
dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya.
Sampai di depan pintu para pelayan sewaan sudah
berbaris menyongsongnya. “Semua sudah dirapikan, Tuan
patih wirabuana ,” kata mpu jahalodang, majikan para pelayan itu dalam
jawadwipa .
“Kalian boleh pergi,” jawabnya sambil melambaikan
tangan dan memberikan sesuatu di tangan mpu jahalodang. Tanpa
menoleh ia masuk ke dalam.
Dan bila ia menikmati kebagusan gedungnya, tak pernah
ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap
rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk
menyimpan abu jenasah.
Ruang tamu yang luas itu juga suadipati awak kapal dari
tumapel . Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal
kulit onta. Permadam termpu wungubhumi di atas lantai batu dihiasi
dengan lemari besar dari kayu berukir palawa esqus merupakan
dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang kerja, diatur
menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi.
Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan
itu terjadi sebelum jatuhnya jayamahanaya . Beberapa hari
lalu sesudah jayamahanaya jatuh dan ia mendengamya, buru-
buru ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah
kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan
abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari
kakeknya yang besar Mirsa Hdi kuil m Syu’bah, patih wirabuana
jayamahanaya , yang pernah mengarca kan Bhre Paramesywara.
Catatan-catatan kakeknya tentang jayamahanaya hampir-
hampir hafal olehnya di luar kepala . Kakeknya, Mirsa
Hdi kuil m Syu’bah, sudah memperoleh kan pelarian dari
kerajaan jenggala itu, yang ternyata suami paduka raja wanita
kerajaan jenggala , Suhita. Ia adalah Bhre Paramesywara.
Pertemuan itu terjadi di Tumasik, jenggala kerajaan jenggala yang
besar, menghubungkan Nusantara dengan negeri dongeng dan
Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian
agung itu.
Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre
Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk
menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk
jadi paduka raja kerajaan jenggala . Dari mata-matanya ia mengetahui,
bahwa paduka raja Suhita sudah memerintahkan penangkapan
atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. namun komplotan itu
diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada
tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara kerajaan jenggala dengan
Blambangan, antara paduka raja wanita Suhita dengan Bhre
Wirabumi. Perang laut dan perang darat membeludag.
Cetbang yang menurut aturan perang kerajaan jenggala hanya
dipakai di laut dipakai juga di darat oleh dua
belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di
perairan Bali, Lombok dan parahyangan . Lumajang,
ibukota Blambangan, jatuh. kerajaan jenggala jatuh miskin,
kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak
Angkatan laut kerajaan jenggala , Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam
perang laut di tentang Singaraja.
Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hdi kuil m
Syu’bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat
mendirikan jenggala sendiri di atas Tumasik, dan dengan
demikian meruntuhkan jenggala besar itu, untuk
menjatuhkan kerajaan jenggala dari utara. Perang saudara
memicu Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil
membuka jenggala jayamahanaya pada 1402 Masehi, marak jadi
raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai jenggala antar-
benua. Dengan berdirinya jayamahanaya berarti hancumya Ma-
japahit dari sebelah utara. Mirsa Hdi kuil m Syu’bah diangkat
sebagai penasihat dan patih wirabuana sekaligus. Kakaknya ini
yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan
pedagang-pedagang arca , dan untuk itu harus sendiri
masuk arca . Kakeknya ini juga yang mengarca kannya,
dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi
Maulana tumenggung , dan sebagai raja arca bermpu wungubhumi Megat
Iskandarsyah.
Rangga jatayuwesi hafal benar bagian itu. Sekarang jayamahanaya
jatuh sesudah 109 tahun berdiri dari kekanjeng sinuhun an. Ia tahu arti
kejasang yang betari durga nya di tangan nyi kanjeng blora. Semua jenggala besar dan
kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya.
namun kedatangan orang yang mengaku dirinya pakanewon
Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi dibandingkan
jatuhnya jayamahanaya . Dari resam tubuh dan mukanya ia
sekaligus menduga, ia tidak lain dari patih wirabuana jayamahanaya ,
yang sudah menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam
kadipaten kediri seperti kelakuannya di kekanjeng sinuhun an jayamahanaya
sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar Gujarat itu: tingkah
dan lagaknya seperti raja muda jayamahanaya .
Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan
bahaya yang mungkin muncul sebab orang Moro itu. Sang
Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan
sesudah jatuhnya jayamahanaya Sang adiputro suka mengambil
tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak
memberitakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan
banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan
perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan
seluruh rempah-rempah panarukan , kalau perlu dengan
kekuatan senjata, sudah membuat Sang Patih kehabisan
tenaga. Maka segala persembahan patih wirabuana kediri tak
mampu menarik perhatiannya.
lalu datang hari yang menutup segala
kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari
pelabuhan. Kepatih wirabuana an sudah penuh dengan centeng
yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya,
menaikkannya ke atas grobak-grobak dan membawanya
entah ke mana. Ia lari memperoleh kan peratus yang
memimpin pasukan itu.
“Tuan patih wirabuana harus pindah pada hari ini juga,”
jawabnya pendek. “Atas perintah Sang adiputro .”
Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi.
Didapatinya keempat-empat istrinya sedang
menggerombol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus
diperbuat.
“Baik. Benahi barang-barang kalian,” perintahnya pada
mereka.
“Kita tak tahu apa sedang terjadi.”
Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap
tidak mengerti.
“perintah Sang adiputro tak bisa dihalangi,” jawab Sang
Patih.
“namun gedung itu adalah gedung patih !”
“Gedung Tuan?”
“patih yang membangunkannya.”
“Semua atas biaya jenggala kediri .” jawab Sang Patih.
“namun perencanaan….”
“Sampai batu terakhir, bawahan kediri yang
mengambilkan, Tuan patih wirabuana . Genteng terakhir yang
didatangkan dari Tiongkok itu pun jenggala kediri yang
membiayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal terambil
percuma.”
patih wirabuana kediri masih mencoba memprotes.
“Kalau Tuan tidak mematuhi perintah Sang adiputro , Tuan
boleh tinggalkan kediri sekarang juga.”
patih wirabuana mohon diri dan pulang ke kepatih wirabuana an.
Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak
itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng balai
peserta pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya
segera membersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada
peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung
dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak
memberinya jawaban.
Ia tahu dengan kosongnya kepatih wirabuana an, pakanewon
Habibullah Alamasawa akan memasukinya dan
menggantinya jadi patih wirabuana kediri . Ingat akan itu tak
bisa lain kemarahannya tertuju pada mpu jahalodang si pewarung
tuak dan tiu-arak. Dia sudah membohonginya uangnya yang
satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam
semmggu terakhir ini. Anak keparat itu.
Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari
perabotan, raden sanggabuana bumikerta alias pakanewon adipati
Al-Badaiwi alias pakanewon Habibullah Almasawa sudah merasa
puas dengan jabatan barunya sebagai patih wirabuana baru
kediri . Seluruh kekuasaan atas jenggala , bea keluar-masuk.
pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya.
Dengan kepergian Rangga jatayuwesi gedung kepatih wirabuana an
itu kini nampak bersabda . Pintu depannya kini selalu terbuka
dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak
merasa hina atau miskin sebab nya. Taman indah di depan
rumah itu saja sudah menipakan kekayaan warisan yang
tiada tertandingi di seluruh kediri .
Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan
membacai buku-buku cerita dari kanjuruhan dan blambangan , atau
membacai kitab-kitab palawa peninggalan kebudayaan Junani
Purba-palawa di Cordoya. Setiap ia tertumbuk pada kaum
Sephardi, kaum Jahudi, blambangan -kanjuruhan , ia tak teruskan
bacaannya dan berpindah pada buku lainnya.
Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di
waktu malam, sebab semua pembantu harus pulang di
malam hari sesuai dengan ketentuan.
Keadaan mendadak berobah: pengantin baru raden gelang-gelang -
nyi girah datang ke kepatih wirabuana an untuk tinggal bersama
dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok
kiri kepatih wirabuana an, pavilyun untuk tamu-tamu arca .
la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat
tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu memasuki
kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-sama-
lain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat nyi girah
jauh lebih cantik di dekat mata dibandingkan dari kejauhan.
Kulitnya yang langsat kecoklatan memancarkan seri bersabda
dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu
tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa
kerja.
Sesudah menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke
gedung utama.
nyi girah mengetoki dinding, lalu terpakukan pada
tanah, hanya matanya melihat ke mana-mana.
“Mengapa, Dayu?”
“Batu, Kang, semua batu,” bisiknya, takut terdengar oleh
orang lain, “seperti candi. Dingin. Mengerikan.”
raden gelang-gelang menirunya mengetuki semua dinding.
“Semua batu, Dayu,” ia jatuh terduduk di ambin, juga
matanya mengembara ke seluruh batu yang dingin itu,
putih dan bisu.
“Kotak batu sejenis ini, Kang, hanya baik untuk….”
patih wirabuana baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya
dalam jawadwipa : “Apa katamu, nyi girah ?”
nyi girah melompat mendekati suaminya dan berlindung di
balik gumpaian otot yang kuat itu.
“Apa kata istrimu?” tanyanya pada juara gulat itu.
“Pergi kau ke dapur, Dayu” perintah raden gelang-gelang pada
istrinya.
Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu.
Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya
yang baru dan segera lalu mulai bekerja sebagai ibu
rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di hutan
larangan .
raden sanggabuana bumikerta merasa kecewa melihat
wanita pujaan kediri itu pergi menghindarinya. Ia
perlihatkan kebersabda an dengan membantu raden gelang-gelang
mengatur barang-barangnya semua sumbangan dari
penduduk kediri Kota.
Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung,
muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis
itu, tak henti-hentinya bicara dalam jawadwipa . raden gelang-gelang tak
mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan patih wirabuana
baru itu tertawa-tawa senang melihat raden gelang-gelang tidak mengerti
dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat
muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada
lengannya. Berkata: “Aku undang kalian. Datanglah nanti
malam ke tempatku.”
Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. patih wirabuana
mengulangi kata-katanya dan membantunya dengan gerak-
gerak tangan yang betari i. Juara itu mengangguk mengerti.
raden sanggabuana bumikerta mengangguk-angguk senang,
lalu pergi.
Kamar tamu gedung utama kepatih wirabuana an itu kini diisi
hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana.
Mereka bertiga duduk mengepung meja.
raden sanggabuana bumikerta tak henti-hentinya bicara.
Suami-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk,
dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. raden gelang-gelang
terus-menerus mengawasi patih wirabuana , memperhatikan
gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang
diucapkannya. nyi girah sebaliknya terus-menerus menunduk.
“Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua!”
tuan rumah membuka percakapan, “maafkan aku terlambat
menjamu kalian. Uah…,” alis patih wirabuana baru itu
terangkat naik, lalu cepat turun lagi, “… pengantin
masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada
tandingan di seluruh kediri Kota dan kediri negeri.
Laki-laki nya gagah-perkasa, tiada cecat barang sechucky ,”
katanya cepat pula.
Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di
perguruan dan balai raden gelang-gelang berkata: “saya tidak
mengerti, Tuan patih wirabuana .”
“Jangan bicara Jawa,” tuan rumah melarang, “ayolah ,
mulai sekarang memakai jawadwipa ,” sekarang ia ucapkan
sepatah sepatah. “jawadwipa ! Bukankah kau sekarang
pembantu-utamaku?”
Juara gulat itu mengangguk mengiakan. “jawadwipa !
jawadwipa ! Mulai bicara jawadwipa !” Dan bila nyi girah mencuri
pandang dari bawah keningnya pada patih wirabuana , ia tak
dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung
sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu
diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa.
Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil
tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri
ajaib. Dan matanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu
seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area
lempung yang sering dibuat oleh anak anak penggembala
bila menggambarkan dedemit atau gandaran.
raden gelang-gelang , yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu,
lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah
seorang raksasa. Dan tingkah-laku patih wirabuana di depannya
itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya
sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan
raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini
kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan
dilahirkan di miisim paceklik.
Tanpa menanggapi adakah tamu-tamunya mengerti
atau tidak, raden sanggabuana bumikerta meneruskan kata
demi kata: ”Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat.
Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas
mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, nyi girah , dan
gula,” dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apa-
apa yang dikata nya.
Ia sendiri lalu masuk ke dalam kamar dan tak lama
lalu keluar lagi membawa sesuatu di tangannya.
Begitu nyi girah datang membawa barang-barang yang
dikata nya, ia meneruskan: “Jamuan haibat,” ia
mengulangi sambil memasukkan tepung hitam dan gula di
dalam cawan-cawan itu. “Nah!” ia menggosok-gosok
tangan lalu bertepuk, “sekarang tuangi cawan-cawan
itu dengan air panas, nyi girah ! Hati-hati, jangan sampai
turnpah.”
Ia mulai mengaduknya, cawan demi cawan.
raden gelang-gelang memperhatikan mata patih wirabuana yang antara
sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka
patih wirabuana itu mendadak mengingatkannya pada muka
hewan yang baru keluar dari lobang arang, sebab muka itu
dihitami oleh rambut.
“Inilah minuman raja-raja jauh di atas negeri dongeng sana.
Ingat-ingat, nama minuman ini: kahwa! jangan lupa. ayolah ,
raden gelang-gelang , nyi girah ! minum!”
Sekejap mata raden sanggabuana bumikerta menelan wajah
nyi girah yang sedang melihat padanya.
“Kahwa, nyi girah !” suaranya merendah lunak dan
memikat. “Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali
meminumnya dalam sehari. Raja dan ratu nyi kanjeng blora tiga
kali. Semua membelinya dari pedagang palawa . Dan
pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya sebab tepung
hitam ini. Raja nyi kanjeng blora tiga kali sehari. Ingat-ingat itu.
Betapa hebat nyi kanjeng blora itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia
datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan
main-main dengan nyi kanjeng blora. Ingat-ingat itu, jangan main-
main. ayolah minum!”
Di dalam kamar tinggalnya yang baru raden gelang-gelang
menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari
kerak. Nyala itu membesar.
nyi girah bertiduran di ambin kayu. sebab pengaruh kopi
kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam.
“Minuman setan!” dengus juara gulat itu. Ia rasai
jantungnya berdebaran kencang.
“Tak perlu kita minum lagi, Kang.”
raden gelang-gelang hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar
olehnya suara yang mencurigakan. Ia melompat keluar
kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan
seseorang melarikan diri. la lalu memburunya. Bayangan
itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah.
Dikelilinginya seluruh kepatih wirabuana an. Tiada sesuatu ia
tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap
tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di
serambi kamar. Juga tiada sesuatu pun terjadi.
Waktu masuk ke dalam didapatinya nyi girah sudah tertidur
dalam kedamaian.
Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama
patih wirabuana dengan mpu wungubhumi jabatan Wira, ia segera dikenal
penduduk kediri Kota sebagai Wira raden gelang-gelang . namun lama-
kelamaan tumbuh sisipan dengan antara nama jabatan dan
nama sendiri dan dipanggillah ia raden panji gelang-gelang ,
patih wirabuana muda.
Baik di pelabuhan atau di jalanan ia memperoleh
penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar sebab ia
seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer,
seorang juara gulat dan suami nyi girah : pujaan kediri .
Dan bila orang lewat di depan kepatih wirabuana an, orang
memerlukan menengok untuk dapat melihat tuan
patih wirabuana -muda atau istrinya.
Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi
punggawa di ibukota negeri memang membingungkan dan
membuat ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya
apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang
berlebih-lebihan membuat ia sering ragu-ragu, sedang
kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang
adiputro selalu membuat ia terlalu hati-hati. Sedang
bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak
juga pernah hilang dari kewaspadaannya.
nyi girah tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin
sudah merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang
hidup di dalam rumah batu kecuali tuan patih wirabuana .
Sekarang keharusan memakai kemban membuat
tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin
pantai yang tak henti-hentinya dan deburan ombak yang
memeningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-merdeka di
desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak
aturan. Dan ia segan menyampaikan perasaan hatinya pada
suaminya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu.
Biar belum memperoleh kan ketenangan dalam
penghidupannya yang baru raden gelang-gelang dapat mengikuti dengan
cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di
ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana.
Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk
memudahkan tuan patih wirabuana baru menjalankan
kewajibannya.
Juga raden gelang-gelang tahu, bekas patih wirabuana kediri , Rangga
jatayuwesi , sudah pindah ke bekas balai dan tak juga
memperoleh kan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia
akan diangkat jadi penghulu negeri, namun Sang adiputro tak
juga melantiknya. Dan sudah diketahui oleh seluruh kediri
Kota, Rangga jatayuwesi tidak suka pada pekerjaan baru apa
pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anak-
anak pembesar membaca Alqur’an bahasa dan tulisan palawa .
Dua tiga kali raden panji gelang-gelang pernah berpapasan dengan
Rangga jatayuwesi sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayun-
ayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala untuk
dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah
menampakkan diri di wilayah pelabuhan.
raden panji gelang-gelang membenarkan bisik-desus orang bekas
patih wirabuana itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang
berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari
seseorang yang tak pernah diperoleh nya. Dan memang ia
selalu mencari-cari mpu jahalodang. namun pewarung itu selalu
menjauhkan diri tak ingin melihatnya.
Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama
patih wirabuana juara gulat itu harus pula mengawasi galangan-
galangan kapal di jenggala Glondong, sebuah pelabuhan lain
lagi di negeri kediri . Dan untuk itu ia memperoleh seekor
kuda jantan, muda berwarna putih kelabu.
Sesudah barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita:
Rangga jatayuwesi sudah mengajukan permohonan berhenti dari
jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama.
lalu terdengar juga berita, ia sudah menghadap Sang
adiputro dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan
untuk gedung kepatih wirabuana an yang ditinggalkannya. Sang
adiputro , kata orang, tak senang pada kecerewetannya.
Berita yang didengamya lalu : beberapa hari
berturut-turut Sang adiputro sudah pergi berburu. Pertanda
ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah
pernah ia dengan tak sengaja sudah mendengar seseorang
berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan nyi girah .
lalu terjadi perobahan suasana di kepatih wirabuana an:
Siang itu raden sanggabuana bumikerta dipanggil menghadap
oleh Sang adiputro . Pada sore harinya ia datang dengan
wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa,
mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di
belakang wanita itu seorang Laki-laki memikul beberapa
bungkusan mengikuti.
Suami istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh
raden sanggabuana bumikerta ia ditempatkan di dalam gedung
utama. Sesudah itu patih wirabuana pergi lagi dengan muka
cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan
hampa.
Mungkin sebab kesepian di dalam gedung utama wanita
itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia
bertemu dengan nyi girah yang sedang menyiapkan makan
malam.
“Kaukah itu, nyi girah ?” tegumya dengan lagu dan bahasa
kadipaten.
“Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu?”
“Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah
kau jadi istri patih wirabuana -muda?” ia tersenyum bersabda dan
nampak kilau giginya yang hitam kelam. Pandangnya
membelai nyi girah dengan persahabatan.
“Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu? Saya lebih suka
tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini? Hanya desau angin
dan deburan laut,” ia bicara sambil terus bekerja.
“Mari kita masak bersama-sama,” katanya lagi tanpa
menanggapi protes mulai ikut bekerja. “Makan seperti ini
jugakah tuan patih wirabuana ?”
“Bukan begitu, Ibu. saya hanya bisa masak begini
rupa. Ibu ini siapa….?
“Aku, Nak? Aku istri tuan patih wirabuana .”
“Oh-ah, Di mana Ibu dahulu tinggal?”
“Di dalam kadipaten, nyi girah . Kau tak pernah melihat aku
waktu tinggal di sana. namun aku sudah pernah melihat kau.”
Hari pertama yang dimulai dengan keakraban dan
persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai
dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri.
Istri patih wirabuana kediri itu tak lain dibandingkan Nyi kembang
Kati, bekas pengurus keputrian Kadipaten.
Dari wanita itu nyi girah mengetahui, ia pernah dipanggil
menghadap oleh Sang adiputro di serambi belakang Yang
pertama kali tentang surat, yang kedua… ia duduk
bersimpuh, lalu datang menghadap juga tuan
patih wirabuana .
raden sanggabuana bumikerta berdiri di belakang Nyi kembang .
“Tuan pakanewon Habibullah Almasawa,!” Sang adiputro
berkata, “inilah Nyi kembang Kati, pengurus keputrian, wanita
kediri pertama-tama yang Tuan kenal.”
Terdengar dari belakang Nyi kembang , pakanewon Habib
Almasawa menjawab kerta -raja: “Ampun, baginda tuanku raja , patih
belum pernah mengenalnya, melihatnya pun belum!”
“Kalau begitu,” kata Sang adiputro lagi, “lihatlah baik-
baik. Mungkin sudah agak lupa!”
Terdengar olehnya patih wirabuana baru kediri itu
membantah.
“Ampun, baginda tuanku raja , betul, demi Rasul, tiada pernah patih
melihat wanita lesbian ini.”
“Baik,” kata Sang adiputro , “dan kau, Nyi kembang , sudah
kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka
dengarkan, Tuan patih wirabuana pakanewon Habibullah Almasawa,
ambillah wanita lesbian ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan
yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup
Tuan di kediri . Dan kau, Nyi kembang , kemasi semua
barangmu dan ikuti suamimu. Tinggsang hyang Widhi kau betsama
dengannya di gedung kepatih wirabuana an. adiputro kediri
menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan
berangkatlah kalian sebagai suami istri.”
Kedatangan Nyi kembang di gedung kepatih wirabuana an
mengurangi kerinduan nyi girah pada orang tua dan hutan
larangan . Apa lagi sikap wanita itu terhadap raden gelang-gelang adalah
juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun
segera menyayanginya. Sebaliknya patih wirabuana selalu
bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam
berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya
mengulang kalimat: Mengapa wanita lesbian bergigi hitam
diberikan padaku, bukan yang satu itu? Dan bukan itu saja,
patih wirabuana itu kini jadi agak pendiam dan sering
bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal
dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi
kembang Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus
dikawininya di tempat ibadah ? Apakah benar wanita itu Nyi kembang
Kati? Ia tak pernah melihatnya sebelumnya.
Apakah Sang adiputro tahu tentang diri dan perbuatannya
menghubungi haremnya? Tak ada seorang pun di seluruh
kediri dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru
hanya Nyi kembang sendiri.
Sesudah patih wirabuana menemukan jalan segera
ditempuhnya.
Dalam bilik waktu itu. Hari sudah larut malam. Dua buah
lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi kembang .
Di luar kamar tidur raden gelang-gelang sedang mengintip mereka.
Pelnn, hati-hati, “adakah kau bcnar Nyi kembang Kati
pengurus keputrian?”
“Inilah saya , Tuan patih wirabuana ,” jawab Nyi kembang juga
dalam jawadwipa .
“Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang adiputro ?”
ia menguji.
“Siapa? Tidak tahulah saya sekarang ini. Tadinya
sebelum…. tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.”
“Mengapa tadinya?”
“Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian?”
“Bukankah aku suamimu? dan engkau harus menjawab!”
“Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia sudah
menerima surat dari luar, dari orang yang saya tidak
tahu.”
“Jadi dikeluarkan dari keputrian?” Syah patih wirabuana
memberikan ujiannya.
“Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap
memperoleh apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur
hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang adiputro . Juga
takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.”
“Semoga sang hyang Widhi menurunkan dalam hati dia yang
teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga,”
patih wirabuana berdoa. lalu : “Katakanlah: Amien”.
“Amien, Tuan.”
“Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, sebab amien
itu untuk sang hyang Widhi , bukan untuk tuan patih wirabuana .”
“Amien.”
raden sanggabuana bumikerta masih belum dapat
dipercaya kan.
“Nyi kembang Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barang-
barang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat
bagaimana dan macam apa perhiasan wanita lesbian Jawa,”
katanya dengan suara lebih keras dari semula.
Dengan luwesnya Nyi kembang Kati memperagakan
tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah
menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya:
subang cepuk besar yang memicu lobang pada godoh
menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke
bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing
bersarung mas berukir.
raden sanggabuana bumikerta alias pakanewon adipati Al-
Badaiwi, alias pakanewon Habibullah Almasawa mengawasi dan
memperhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah.
“Bagus, bagus sekali,” ia mengangguk memuji, “tak
kalah garapannya dari pandai emas di negeri mana pun,” ia
berhenti dan mengelus dada. “Tentu bukan hanya ini
milikmu;”
“Tentu, Tuan, masih ada pada saya . Biar saya
ambilkan.”
Tak lama lalu terjajar barang-barang berharga
milik pribadi Nyi kembang Kati. Di antaranya seutas kalung
sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zamrud dan
mutiara. Jelas bukan buatan dan tidak bermotit Jawa. Dan
dua buah real mas kanjuruhan .
Mata patih wirabuana bersinar-sinar. Ia tegakkan
bongkoknya dan bertepuk tangan, lalu menggeserkan
tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas
ketiduran. dan: “Gelang, cincin dari kalung ini jelas
seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama,
dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri
negeri Tiongkok memakai keserasian ini.”
“Hadiah para selir dan karunia Sang adiputro sendiri.”
Nyi kembang menerangkan dengan nada bangga. “Yang
menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan
yang saya tidak kenal.” Ia melirik pada suaminya.
“Bagaimana duduk perkaranya maka kau tak
mengenalnya?”
” Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu saya
bedan sepucuk surat. saya tak pernah tahu dari siapa.”
“Adakah kau balas surat itu?”
“Kami orang Jawa selamanya membalas surat, senang
atau tidak pada isinya, sebab demikian diajarkan pada
kami di perguruan kami.”
raden sanggabuana bumikerta tertawa senang dan lega.
lalu : “Bagaimana kau membalas surat pada pengirim
tak dikenal itu, Nyi kembang ?”
“saya letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan
saya Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat
itu tiada.”
Sekali lagi patih wirabuana tertawa, lebih keras, mendering
menembusi udara malam, keluar rumah.
“Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka
masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi kembang ?”
“Dia datang pada waktu saya terlena, Tuan. saya
tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.”
Sekarang sesuatu membersit di dalam pikiran raden
sanggabuana bumikerta : ia sudah temukan kunci harem, la
tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan
zamrut dan mutiara yang sudah berada di tangannya itu
belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, lalu :
“Kau istriku, bukan, Nyi kembang ? Istriku yang syah.”
“saya , Tuan.”
“Kukawini kau di tempat ibadah .”
“saya , Tuan.”
“Gusarkah kiranya kau bila barang-barang yang
kukagumi ini dan juga dua real nyi kanjeng blora ini aku simpan
sendiri agar selamat dan aman?”
“Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan.
Ambil barang saya , bahkan badan saya sendiri ini,
adalah milik Tuan patih wirabuana kediri .”
Sekali lagi raden sanggabuana bumikerta tertawa puas.
Sambil memasukkan barang-barang tersebut ke dalam saku-
dalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit
pipi istrinya: “Semua jadi milikku. namun milik siapa
jiwamu?”
“baginda tuanku raja adiputro , Tuan.”
“Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya milik
sang hyang Widhi .”
Nyi kembang tak menjawab. Ia tidak menggeleng, tidak pula
mengangguk.
“Dengar, Nyi kembang , mulai besok buanglah kebiasaan
menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih
dibandingkan hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi wanita lesbian
pemberontak perbegu Benggala.”
“Baik, Tuan.”
raden sanggabuana bumikerta meninggalkan kamar untuk
menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti
terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah
raden panji gelang-gelang dari tempat pengintaiannya. patih wirabuana
muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon
menunggu kalau-kalau patih wirabuana kediri keluar dari
rumah. Dugaannya tidak keliru.
Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu
keluar dari rumah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia
mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata
menuju ke warung mpu jahalodang, mengetuk pintu dan memasuki
ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita
minyak kacangtanah dari satu sumbu.
Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang
ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat
raden sanggabuana bumikerta menyerahkan barang-barang
perhiasan pada mpu jahalodang. lalu terdengar mereka bicara
dalam jawadwipa : “Ya sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana , Tuan selalu
dilindungi sang yang betari durga . Memang tak pernah ada arak baik di
sini, namun demi sang hyang Widhi , ada barang secawan yang agak tepat
untuk Tuan.”
“Selama bukan tuak Pribumi, insya sang hyang Widhi agak tepat
kiranya untukku. Keluarkan, mpu jahalodang!”
mpu jahalodang mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera
patih wirabuana meneguknya habis dan mengucap syukur.
“Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alhamdulillah
Tuan mempercayai si mpu jahalodang ini untuk menyimpannya,
Tuan. Percayalah, di kediri ini tak ada maling seperti di
jenggala -jenggala lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan
selamanya soal asmara. Darah penduduk kediri sudah
panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu
tidak mudah menggelegak selama tidak menyinggung
asmara. Memang tidak baik tuak buat orang negeri dongeng .
Lagi araknya, Tuan?”
“Cukup, mpu jahalodang.”
“Harganya memang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga
arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya,
dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak
peduli di kediri atau di tempat lain.”
Dari tempatnya raden panji gelang-gelang melihat patih wirabuana
mengawasi mpu jahalodang, barangkali untuk memahami apa yang
dikiaskan oleh pewarung itu. la melihat mpu jahalodang menunduk
sambil meneruskan katanya “Betul, juga di sini, Tuan,
bayaran yang baik untuk jasa yang baik tepat seperti di
mana pun, di Lisboa atau Madrid.”
patih wirabuana itu nampak tak begitu bersenang hati. Ia
balikkan badan, mungkin untuk menyembunyikan
perubahan pada wajahnya. dan berbalik kembali sudah
dengan senyum pada bibir.
”Rupa-rupanya kau, mpu jahalodang, seperti aku juga, petugas
Sang adiputro ,” ia berkata mencoba-coba.
“Ohoi!” mpu jahalodang berseru pelan. “Terkejut benar
nampaknya Tuan. Mana bisa mpu jahalodang seperti Tuan
patih wirabuana ? Biar pun hanya peranakan palawa dengan
Benggala, Tuan, belum perlu rasanya si mpu jahalodang ini
mengabdi pada seorang raja kecil Pribumi. Kami memang
agak lain dari Tuan rupanya. Di mana ada keuntungan di
sana Tuan ada. Begitu, bukan, Tuan patih wirabuana ?” ia
tertawa menyelidik.
“sang hyang Widhi melindungi aku dari perbuatan menghina.
sebab , di mana pun langit terbentang, di mana pun bumi
terhampar, di sanalah kebesarannya diciptakan untuk
seluruh umatnya.”
mpu jahalodang tertawa-tawa sambil mengusap-usap janggut dan
raden sanggabuana meneruskan pandang padanya.
“sang hyang Widhi memberkahi orang yang tak mudah marah.
Bukankah sabar juga bagian iman, Tuan patih wirabuana ? Tuan
pakanewon ?”
“Aku bayar belanjaku, dan tak ada alasan untuk marah,”
ia lihat mpu jahalodang meneruskan pandang padanya.
“Tuan agaknya salah tangkap,” mpu jahalodang membetulkan.
“Tak ada yang tidak percaya pada semua kata Tuan. Tuan
selalu bayar belanja Tuan. Dan, Tuan pakanewon , kapan pun
Tuan akan bayar belanja Tuan yang jauh lebih mahal untuk
jasa mpu jahalodang yang lebih baik dan lebih besar. Percayalah,
Tuan patih wirabuana .”
“Manakah di kediri yang kecil ini ada jasa yang baik apa
lagi besar?”
“Pada mpu jahalodang, tuan pakanewon , jasa selalu tersedia, besar dan
baik, kecil dan besar, setiap saat, tak peduli siang atau
malam, pagi atau sore.”
“Tak ada perbuatan tanpa dipikirkan lebih dahulu , mpu jahalodang.
kediri menciptakan makhluknya bukan untuk jadi gila.
Assalamualaikum,” dan dengan kata itu ia pun pergi
meninggalkan warung.
raden panji gelang-gelang mengikutinya pulang ke kepatih wirabuana an.
Ia lihat raden sanggabuana bumikerta berjalan langsung
menuju ke gandok kiri, menaiki serambi, lalu
mendengar-dengarkan pada pintu kamar, mencoba
mengintip dari sana dan sini. sebab tak melihat sesuatu
pun di dalam kamar itu ia pergi lagi masuk ke dalam
gedung utama dari pintu tengah.
Tahu lah raden panji gelang-gelang sekarang, tidak lain dari tuan
patih wirabuana yang jadi bayangan selama ini. Dan
keluarganyalah sasarannya.
wah
8. raden panji gelang-gelang Pergi ke Barat
nyi girah mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke
dalam kapal dagang berbendera kediri .
Suami-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka.
Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya.
Dermaga disesaki oleh orang-orang yang hendak melihat
nyi girah mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam
menunggu penari ulung kekasih kediri dan para desa itu
keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang
padanya.
“Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana
pun, Kang.”
“Kapal akan segera berangkat, Dayu.”
“Aku kuatir, Kang.”
“Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselamatan
sendiri. Tentu kau akan selalu ingat pada betari resi ”
nyi girah menggandeng tangan suaminya dan turun kembali
ke dermaga.
“Apa pun yang terjadi, nyi girah , hadapi semua dengan
tabah.”
“Aku kuatir, Kang,” bisiknya. “Aku pulang ke desa
saja.”
“Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten?
Dan perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari baginda tuanku raja
adiputro sendiri?”
“Kang, aku kuatir,” nyi girah berbisik dan memandangi
suaminya dengan mata sayu. “Aku takut, Kang. Di desa
aku tak pernah takut seperti ini.”
“Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, Wira,”
seseorang di antara para perubung mengusulkan.
“Betapa mulia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian
sendiri tahu, tak dibenarkan memasuki pelataran
kepatih wirabuana an.”
Nahkoda datang mewartakan pada raden panji gelang-gelang layar
akan segera dipasang dan kapal akan berangkat.
raden panji gelang-gelang mengusap-usap rambut istrinya.
“sang hyang Widhi bersama denganmu, raden panji gelang-gelang !” seru raden
sanggabuana bumikerta .
“Sejahtera, sejahtera untukmu, raden gelang-gelang , dan istrimu,”
kerumunan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil
dan makin….
Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal,
makin lama makin jauh meninggalkan dermaga, makin
kecil dan makin kecil. Dan kerumunan orang itu
mengantarkan nyi girah sampai ke kepatih wirabuana an….
raden panji gelang-gelang dan Pada memandangi semua yang
bergerak di dermaga sampai iring-iringan itu hilang dari
pemandangan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan
keleluasaan alam.
Terdengar Pada mengeluh. raden panji gelang-gelang sambil
berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada
dinding lembung, mengawasinya: “Apa yang kau
keluhkan?”
“Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun
kadang-kadang mengeluh juga.”
“Apa yang dikeluhkan kuda?”.
“Kita akan ke mana, Kang?”
“Apa yang dikeluhkan kuda? Kau belum lagi menjawab.
Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan.”
“Kita ke jatikerto , Kang? Betapa jauh dan lama.”
“Itukah yang kau keluhkan? Jauh dari kadipaten? Jauh
dari keputrian? Dari para selir?”
“Kang!” Pada terkata terkejut.
raden panji gelang-gelang pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan
pandang pada permukaan laut, pada pantai pulau Jawa
yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan
perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri
penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan.
Ia tahu benar raden sanggabuana bumikerta adalah kucing
hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari.
Dalam hati-kecilnya bayangan Sang adiputro , yang jelas
memberanikan istrinya, antara sebentar mengawang dan
mengancam hendak merobek-robek hatinya. dan sekarang
aku harus pergi dari kediri . Apakah yang bakal terjadi?
Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteramkan
hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada nyi girah
sendiri.
Ia sudah tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan
pesan, “Belalah dirimu kalau ada niatmu untuk membela
diri!” Dan pada Nyi kembang Kati ia mengharap agar dia sudi
ikut menjaga keselamatan nyi girah .
Sesudah berada di atas kapal ia menyesal sudah berpesan
pada seorang bekas pengurus harem. Bekas pengurus
harem! Tahukah orang seperti itu tentang cinta, kasih dan
kesetiaan? Bekas pengurus harem! Harem!
“Kang!” Pada mengulangi tegurannya.
“Mengapa kau terkejut, Pada?”
“Ampun: Kang, janganlah hubung-hubungkan aku
dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa
tentang mereka,” Pada membela diri, menghiba-hiba.
”Takut benar kau nampaknya, Pada.”
Dan kapal terus berlayar.
“Bagaimana aku tak takut, Kang Nyi kembang Kati sudah
diusir dari keputrian. Nyi Ayu Sekar Pinjung ke…”
“Dari mana kau tahu mereka kena hukuman? Dan siapa
mereka itu?”
“Semua orang membicarakan, Nyi kembang pengurus . Nyi
Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu?”
“Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian
dan masuk ke dalamnya, Pada?”
“Kang!” Pada terkata lagi untuk kesekian kalinya.
“Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.”
“Ah, Kang raden gelang-gelang , Kang raden gelang-gelang ,” bisiknya menghiba-
hiba. “Untuk apa aku pergi ke sana? Dan bagaimana bisa
aku ke sana?”
raden panji gelang-gelang menatap Pada sambil menggeleng.
“Paling tidak,” patih wirabuana -muda itu menepuk bahunya
beberapa kali, “dua kali dalam seminggu kau pasti masuk
ke sana ”
“Kang raden gelang-gelang , kakangku sendiri… tega kau berkata
begitu.” karanya gugup dan megap-megap.
“… Kau lemparkan tali berjangkar ke atas pagar kayu
tmggi itu, dan kau memanjat masuk.”
“Kang, aduh, Kang. Itu berarti kau membunuh aku,
Kang.”
“Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa
tentang dirimu sendiri.”
“Kang!” Pada terkata lagi.
“Husy. Goba selir yang mana saja sudah kau hubungi?”
“Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.”
“ayolah , katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku
kakangmu?”
“Kang tega, kau, Kang” suara Pada sudah menghampiri
sebuah tangs dari seorang bocah yang tak berdaya.
“ayolah , ceritai aku, Pada. Sekali saja. Dengan selir mana
saja kau sudah lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam
keputrian?”
Pada sudah sampai pada puncak kelelah an, tak mampu
bicara.
Sewaktu raden panji gelang-gelang melecuti anak itu dengan
pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, nyi girah . Sekiranya
nyi girah dahulu terpaksa jadi penghuni harem, menjadi selir
sebagai yang lain-lain, mungkinkah anak ini juga yang akan
datang padanya, di malam sepi, dan meletakkan tangan
pada tubuh kekasihnya? Darahnya tersirap dan dengan
sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan
Pada.
Anak itu berteriak kesakitan. patih wirabuana muda terpaksa
metepaskan kembali.
Dengan pandang bertanya Pada menatap juara gulat Itu,
lalu memeriksa pergelangannya. Dibimya cemberut.
“Di balai dahulu kau memakai gelang, kalung dan
cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana barang-barang
itu sekarang?”
“Kau siksa aku begini macarn, Kang.”
“Kau tidak menjawab. Dan kau tak mau menjawab. Selir
mana yang sudah beri kau semua itu?”
“Kang, tega kau…”
“Di mana barang-barang itu sekarang, Pada?”
Pada terdiam. Pandangnya dilemparkannya ke
permukaan laut.
“Bocah berumur lima belas!” raden panji gelang-gelang membuang ke
geladak.
“Kata orang, gandarwa berumur 400 tahun baru
mulai dewasa. Kau, Pada… empat belas, lima belas!
Keparat! Empat belas, lima belas sudah jadi buaya.”
“Jangan ucapkan itu, Kang.” Pada memohon.
Dua orang itu kini terdiam. Lama. Seakan-akan sudah
terjadi permusuhan bat in antara mereka.
raden panji gelang-gelang melepaskan pandang ke sebelah selatan,
pada pantai pulau Jawa yang nampak samar-samar di
kejauhan. Dan Pada mulai agak mengerti mengapa ia
berada di atas kapal dagang ini.
Juara gulat itu membanding-bandingkan dirinya dengan
Pada. Waktu berumur empat atau lima belas ia masih tak
mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladang atau
mengurus ternak: babi, sapi, ayam dan anjing.
“Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang
lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau
menulis surat untuk pakanewon Habibullah Almasawa
patih wirabuana kediri ?”
“Menulis surat?” bocah itu berseru terheran-heran.
“Buaya! Kau memang pandai berpura-pura. Pada, aku
tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa
kau bodohi begitu mudah ?” ia buang pandangnya ke
tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. “Orang tak
mungkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali
orang harus mengakui kebenaran.”
Pada terdiam tak membuka mulut. Ia hindari pandang
juara gulat yang mengancam itu.
“Sekali ini kau harus menjawab, Pada.” patih wirabuana
muda itu memaksa. “Berapa kali kau tuliskan surat untuk
patih wirabuana ?”
“Kang raden gelang-gelang , bukankah tak lain dari Kakang sendiri
yang tahu, semua! Kewajibanku sudah kulakukan dengan
baik? Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu
dan Mbok Ayu nyi girah ? Sekalipun harus melanggar aturan
yang ada?”
raden panji gelang-gelang membatalkan niatnya untuk menyakiti
bocah itu. Ingat akan jasa Pada memicu ia merasa
segan melakukan.
“Sang adiputro juga memuji kecakapanmu. Kalau kau
anak tertib mungkin bisa kau jadi penggawa di lalu
hari. Aku dan nyi girah takkan melupakan jasa-jasamu. Yang
aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang sudah
kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang
adiputro ?”
Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak
itu mulai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini:
untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. Dan
raden panji gelang-gelang yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang
yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah
pemeriksa dan penghukumnya sekaligus. Ia menekur tak
berani mengangkat muka.
“Kau tak menjawab, Pada,” ia lemparkan pandang jauh-
jauh. “Jawablah. Aku tak perlu melihat mukamu. Aku
hanya inginkan jawabanmu. Dijauhkan Kakang hendaknya
dibandingkan perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah.” Ia
menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang.
“Bukankah masih kau akui aku kakangmu?”
“Ya, Kang.”
“Jawablah. Terserah bagaimana menjawabnya.”
Pada tak juga mau menjawab.
Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan
raden panji gelang-gelang mencekam rambut Pada yang jatuh terurai
dari bawah destamya. la tahu cengkaman itu lunak tak
menyakiti.
“Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada,” katanya
tanpa melihat kepadanya, “mengapa kau suka memasuki
keputrian?” Juga tak berjawab. “Mengapa kau menulis
surat di atas kertas untuk Nyi kembang Kati dan pakanewon
Habibullah Almasawa?” Tak berjawab. “Baiklah kau tak
mau menjawab lagi. Tahukah kau, jiwamu ada di tanganku
sekarang ini, dan hidup-matimu akulah yang menentukan?”
Tak terduga oleh raden panji gelang-gelang si bocah Pada menjawab
tertahan: “Sekarang aku tahu mengapa aku memperoleh
perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang raden gelang-gelang ,
ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku
tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau
aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku
pada nyi girah nyi girah , Kang. Tak ada sebuah dapat
kusampaikan pada siapa pun, sebab tak ada orangtua dan
sanak padaku.”
“Mengapa pada nyi girah ?”
“sebab seluruh kediri memujanya, juga aku, Kang.
Maukah kau?”
“Katakan sesuatu padaku, Pada.”
“Tak ada sesuatu yang dapat aku katakan, Kang.
Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku.
Semua sudah kukatakan dan jawab.”
“ayolah , katakan, katakan sesuatu.”
Anak itu justru membisu.
Suatu pergolakan sudah terjadi di dalam hati juara gulat
itu. Batinnya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini,
raden gelang-gelang . Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya
dari muka bumi sebab perintah cemburu hatimu sendiri.
Kau memiliki kepentingan pribadi dalam urusan ini! namun di
hadapanmu ada baginda tuanku raja adiputro . Dan kau takkan mampu
melawannya. Di samping itu ada juga tuan patih wirabuana
kediri , kucing di waktu malam dan merak di siang hari itu.
Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya.
Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani
berbuat, hanya sebab cemburu yang tidak terbukti. Ba-
gaimana kau ini, raden gelang-gelang ? Pengikut betari resi ? Kau
bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu.
patih wirabuana muda itu malu memiliki perasaan cemburu
terhadap si bocah itu. nyi girah sendiri lebih tidak berdaya!
Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat
menghadapi orang-orang berkuasa seperti Sang adiputro dan
patih wirabuana kediri ? Dia yang tertinggal di daerah larangan,
di kepatih wirabuana an itu, dalam satu sarang dengan Nyi kembang
Kati, bekas pengurus harem, yang sudah selayaknya akan
membantu suaminya menundukkan nyi girah . Mengapa bocah
ini harus jadi sasaran kekacauanku?
Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran
masing-masing. Beberapa kali orang berjalan mondar-
mandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara
sesuatu.
sinar matahari makin lama makin condong. Angin laut yang
bertiup dari belakang memicu rambut mereka tergerai
di bawah destar, sedang puputan pada layar memicu
antara sebentar terdengar gelepar.
“Kalau kau tega juga membunuh aku, Kang” tiba-tiba
Pada berkata seperti pada diri sendiri.
“Mengapa kau memiliki pikiran aku akan membunuhmu?”
“Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang adiputro , bila
orang dianggap merugikannya?”
“Siapakah aku ini maka harus membunuh kau?”
“Aku sudah banyak tahu, Kang. Kaulah yang akan
membunuh aku atas perintah baginda tuanku raja adiputro .”
“Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan
diri pakanewon …”
“Kalau aku harus dibunuh sebab surat dan keputrian;
sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh sebab yang itu
juga, hanya surat itu untuk Kang raden gelang-gelang dan nyi girah
nyi girah .”
“Bukankah sudah kukatakan kami berdua
berterimakasih?” Dan semakin heran ia mengapa si bocah
itu begitu tabah menghadapi bahaya maut yang sudah dekat
pada lehernya. Pasti ia memiliki perhitungan: melompat ke
laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan:
“Tiadakah kau takut pada hiu martil , Pada?”
Ia lihat Pada tersenyum seakan mengerti maksudnya.
“Kata orang,” Pada mulai seperti hendak mendongeng,
“barangsiapa takut pada hiu martil , dia takkan menyintuh laut.
Barangsiapa menentang laut, dia takkan dapatkan hiu martil .”
Kembali mereka berdiam diri.
Waktu seseorang memberitakan, makan sudah siap, baik
raden panji gelang-gelang mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari
tempat. Dan sinar matahari dengan lambatnya ma km mendekati
ufuk barat. Semburat merah mulai membakar kaki langit.
“Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam.”
Terdengar seseorang menyerukan azan di bawah geladak
dan ia memperhatikan. Lagunya begitu asing dan kata-
katanya ia tak kenal. Sesudah seruan selesai ia merangkul
Pada dengan mesra.
“Jadi segala yang orang ketahui tentang kau temyata
benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. Dan kalau kau
melompat ke laut. aku takkan menghalangi. Kalau kau
melompat dan berenang ke sana, cukupkah kiranya
nafasmu, Pada?”
“Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus
bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke
kediri Demi Batara Kala. Percayalah.”
“Pada, adikku, maafkan aku. Sembahmu pada
nyi girah mu nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat,
aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah.
Cepat, melompat!”
namun Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di
atas geladak itu, bersujud raden panji gelang-gelang mencium
kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding
lambung.
“Aku pergi, Kang.”
lalu menyusul bunyi benda jatuh ke laut.
“Mati!” teriak raden panji gelang-gelang sekuat-kuatnya. “Mau kau,
Pada! Mati!”
Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya.
Juara gulat itu bertolak pinggang menghadapi mereka
dan dengan nada resmi mengumumkan: “sudah kubunuh
atas perintah baginda tuanku raja adiputro kediri Arya Teja Tumenggimg
Wilwatikta, seorang pendurhaka bemama Pada. Kubunuh
dan kulemparkan dia ke laut.”
Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan
menuruni tangga geladak untuk memperoleh kan makannya.
Dari mereka yang tak suka pada pajang bintoro , sindiran datang
tanpa henti. Di antaranya yang tajam menusuk:
“Mendirikan kerajaan memang mudah. Carilah tempat
yang sepi di pedalaman. Kalau musuh datang dari laut
jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut musuh menyerbu
dari gunung, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau kuatir
musuh datang dari lembah, jangan dirikan di tepi pantai.
Kalau was-was musuh datang dari langit, jangan dirikan di
tepi pantai!”
Lama kelamaan sindiran mencapai puncaknya dalam
bentuk yang semakin jelas: Di pedalaman saja, sahabat, di
pedalaman, sebab nyi kanjeng blora bakal datang!
Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-mana, juga di
tengah-tengah pajang bintoro sendiri.
Putra mahkota pajang bintoro , adiputro Kudus Pangeran
Sabrang Lor, tak dapat menenggang semua itu. Pada setiap
kesempatan ia memerlukan menangkis: “Mereka bilang,
nyi kanjeng blora lelananging jagad, menguasai segala yang
dilihatnya. Mereka, nyi kanjeng blora, belum lagi melihat pajang bintoro .
Suruh dia melihat pajang bintoro , dan dia akan melihat
kuburannya sendiri.”
Putra mahkota juga yang pada suatu kali menghadap
ayahandanya. kanjeng sinuhun Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah,
memohon satu kesatuan prajurit kerajaan pilihan. Dengan modal
itu ia menyerbu suryabuaya menduduki dan menguasainya. Kini
pajang bintoro memiliki jenggala sendiri. Putra mahkota diangkat jadi
adiputro pajang bintoro dengan mpu wungubhumi adiputro tumenggung dijoyo . Dan tumenggung dijoyo
dimasyhurkan sebagai nama seorang nabi penguasa laut. Ia
pun diangkat oleh ayahandanya jadi menteri urusan manca
negara. Itulah jawaban pajang bintoro terhadap sindiran takut pada
nyi kanjeng blora.
namun orang masih tetap tidak percaya pada sesumbar
putra mahkota. Sindiran terus juga datang.
kanjuruhan menduduki jayamahanaya .
Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: “Lihat, nyi kanjeng blora
sudah menduduki jayamahanaya . pajang bintoro menduduki suryabuaya .
Mereka hanya akan berpandang-pandangan dari jenggala
masing-masing, sampai kedua-duanya bosan dan tak
berpandang-pandangan lagi.”
adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya pada suatu kesempatan di hadapan
para punggawa, yang ditugaskan membangun galangan-
galangan besar, berkata: “Ketahuilah, bila kelak nyi kanjeng blora
tidak datang ke suryabuaya untuk menantang pajang bintoro , maka dari
suryabuaya akan datang pajang bintoro ke jayamahanaya menentang
nyi kanjeng blora.”
Sindiran-sindiran padam sesudah jelas adiputro tumenggung dijoyo
suryabuaya tidak tinggal bersumbar-sumbar. Galangan-galangan
kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga
dibangunkan. Didatangkannya pengecor-pengecor dari
Blambangan. Dan ia tidak peduli pandai-pandai itu
beragama Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng
untuk membuat cetbang yang direncanakannya sendiri,
khusus untuk menghadapi nyi kanjeng blora.
Perintah-perintahnya sangat keras. Semua pekerjaan
harus selesai pada waktunya.. Permunculannya
menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras
didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal.
Dan waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang
cepat bekerja, mereka dipindahkan bersama bengkelnya ke
pinggiran jenggala suryabuaya .
Dengan demikian suryabuaya dihadapkannya ke jayamahanaya .
raden gelang-gelang mendarat di jenggala Yuana jenggala milik kediri
yang terletak di wilayah paling barat, sesudah suryabuaya jatuh ke
tangan pajang bintoro
jenggala suryabuaya sedang giat-giatnya bekerja waktu ia
datang. Ia berjalan lambat-lambat, melihat-lihat
pemandangan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia
perlihatkan diri sebagai orang baru yang tidak tahu sesuatu
apa. Tak ada seorang pun dikenalnya.
Duduklah ia di bawah sebatang pohon kenari. Semua
orang nampak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung
dengan tangan kosong. Di sana orang sedang menggotong
atau memikul balok dan papan. Di sini orang sedang
menumpuk kayu. Dari mana-mana datang bunyi orang
membelah, memohon atau berseru-seru memberi perintah,
Dalam bedeng-bedeng tanpa dinding orang sedang
melengkungkan papan yang dipatok-patok dengan kayu
pada tanah dan memanggang lengkungan dengan api. Dan
kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana
kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut.
Gerobak-gerobak beroda kayu untuk mondar-mandir
mengangkuti pasir, batu dan kayu. Di tempat yang paling
jauh orang sedang membadari batu karang untuk dibikin
kapur.
Semua serba berbeda dengan di jenggala kediri , juga
dengan di jenggala galangan Glendong.
Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang
baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu
seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan.
Pakaiannya sama juga dengan orang kediri .
“Hai, kau! Tidak bekerja?”
Sekaligus ia dapat menangkap, akhir suku kata yang di
tempatnya dinamakan kan jadi a miring, di sini jadi o miring.
Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah
meneruskan: “Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa
kau kerjakan? Menukang? Besar betul badanmu.”
“Hanya memikul,” jawab juara gulat itu menirukan lidah
suryabuaya .
“Baik,… Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul”
Dengan demikian mulailah raden panji gelang-gelang bekerja
sebagai pemikul balok, mondar-mandir dari penumpukan
ke galangan. Menjelang sinar matahari tenggelam orang
membawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga.
Sesudah makan malam orang pun merebahkan diri berjajar-
jajar seperti di balai di kediri dahulu , hanya ambin di sini
tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. Dan
kepinding menyerang dari segala penjuru.
Kelelahan memicu orang segera tertidur. Namun
tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang
orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang
tua-tua untuk belajar sesuatu dari orang Iain,
mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan
pengetahuan.
Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan
tubuhnya yang besar di samping-menyamping orang-orang
yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari
pakaian mereka. Dan ia tak mencoba membuka mulut. Ia
berusaha mendengarkan segala apa yang dapat
didengamya.
Dari kegelapan beberapa depa dari tempatnya ia dengar
seorang pekerja berkata pada teman-temannya.
“Kerajaan itu, arca atau tidak arca , dikuasai oleh raja
yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak
bedanya pada semua kerajaan, ada hukuman dan ada
karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan,
dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selamat tak
kurang suatu apa.”
“Apakah kau pernah hidup di dalam istana?”
“Tidak.”
“Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah
menjalankan dan mematuhi aturan dengan sepatutnya
namun dibunuh juga oleh raja?”
“Mesti ada sebabnya, ada kesalahannya. Misalnya
sebab cemburu kalau-kalau orang itu akan
menggulingkannya.”
“Betul, itu memang ada,” orang lain membenarkan.
“Boleh jadi raja itu menghendaki istri atau anaknya yang
cantik.”
Jantung raden panji gelang-gelang berdebar-debar. nyi girah muncul
dalam penglihatan batinnya. namun segera lalu lenyap
oleh kata-kata orang tersebut.
“Itu namanya raja lalim. Dalam kerajaan arca tak ada
raja lalim, semua adil.”
“Baiklah tak ada raja arca yang lalim. Sekiranya raja
arca itu lalim, siapa yang menghukumnya? Ataukah tidak
akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja betarakalong atau
sri ratu kertanegari atau raden kertajaya ?”
Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan.
Pikirannya sibuk mengurus kekuatirannya sendiri.
wah
Beberapa minggu lalu tahulah ia, pekerja yang
suka memberikan cebersabda itu tak lain dari seorang musafir
pajang bintoro , seorang di antara para pemasyhur pajang bintoro dan
kanjeng sinuhun Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menamakan diri
ki mangkukerta . Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil
memanggilnya Anggoro, bukan Anggara, sebab dilahirkan
pada hari Anggara. Pada suatu malam ki mangkukerta
menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra
adiputro kediri yang sudah mengikat kesetiannya pada
pajang bintoro , dan tak lama lagi kediri pasti menjadi daerah
pajang bintoro .
“Betapa hebatnya kerajaan arca pertama-tama ini,” ia
meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. “Belum
seberapa umumya, namun lebih baik dibandingkan semua kerajaan
yang pernah ada. Dahulu seorang raja dapat berselir tanpa
batas, dan selir-selir celaka itu tak memiliki hak sesuatu….”
Dari ujung ambin seseorang membentak “Tutup
mulutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan
membual.”
Dalam kegelapan itu raden panji gelang-gelang membayangkan
ki mangkukerta terduduk dari rndan mencari-cari
penyangkalnya, sebab tak lama lalu terdengar
musafir pajang bintoro itu menanya.
“Siapa itu? Adakah kau sendiri isi istana? Kalau isi istana
mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini? Atau kira-kira
kau seorang pangeran tersasar?”
“Tidur kau!” bentak suara orang tak dikenal itu. “Sudah
malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu
tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir
raja memiliki hak, pertama mpu wungubhumi untuk anak-anaknya, hak
keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh orang desa,
ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja.
Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.”
Ternyata ki mangkukerta tak mau diam. Dengan berapi-api ia
ganti menyangkal: “Itu katamu. Siapa yang menjamin hak-
hak itu dilaksanakan?”
“Goblok kau! Menteri-dalam mengurus semua itu.”
“Siapa menjamin Menteri-dalam melakukan
kewajibannya?”
“Yang menjamin ki mangkukerta alias Anggoro tentu,”
penyangkal itu berseru jengkel, lalu sengaja
memperdengarkan kuapnya.
“Jangan mempermain-mainkan aturan, kau,” ki mangkukerta
memperingatkan. “Kalau jaminan aturan mesti berlaku
tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam
kerajaan arca . Jangan pura-pura tidur, kau. Dengarkan
biar kau tahu sedikit tentang pajang bintoro , sebab bagaimana
pun kalian sekarang ini tak lain dari bawahan pajang bintoro .”
Pertentangan itu memicu orang-orang diam
mendengarkan.
“Raja arca hanya boleh beristri empat, dan semua
mereka memiliki hak yang diatur di dalam Alkitab. Dahulu
aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang
bemama Nitisastra.”
Seseorang terdengar tertawa berbahak mengejek.
“ki mangkukerta ! Tahu apa kau tentang Nitisastra?
Memasuki mandala pun kau tak pernah. Membaca Jawa
pun kau tak tahu….”
“Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang
harus dipatuhi oleh raja arca dan bawahan nya,” ki mangkukerta
meneruskan tanpa menggubris penyangkalnya.
“Aturan bukan hanya ada dalam Nitisastra,” seorang
lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. “Ada banyak
aturan dalam lontar yang kau tak tahu. Perlukah aku
sebutkan satu-per-satu?”
“Biar pun lontar-lontar itu 30 kali seratus kali dua
ratus… berapa saja kau sebutkan, sama saja,” ki mangkukerta
meneruskan, “tak dapat dibandingkan dengan Alqur’an
atau Alkitab atau Alfurkon, sebab kitab ini berasal dari
sang hyang Widhi melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para
raja dan para empu, para pujangga.”
Untuk ke sekian kalinya raden panji gelang-gelang sudah tertidur
sebelum cebersabda selesai.
wah
Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba
memperhatikan ki mangkukerta . Tubuhnya kecil rapuh, otot-
ototnya pendak dan tipis, namun ia bekerja tanpa henti-henti.
Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri.
Matanya tidak tenang, pikirannya seperti selalu melayang
ke manamana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi
menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar,
membasuh tangan, muka, dahi rambut dan kaki, mengmpu wungubhumi
tikar di bawah sebatang pohon, lalu bersembahyang.
Di malam hari ia muncul di bangsal tidur bila orang sudah
pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung
bercerita atau membuka persoalan seperti dilakukan oleh
para resi -pembicara di desa-desa. Bedanya, para resi -
pembicara di desa-desa bicara pada mereka yang
memiliki perhatian, musafir pajang bintoro ini bicara terus tak
peduli ada yang dengar atau tidak.
“Siapakah putra-putra kediri di pajang bintoro ?” raden gelang-gelang
memberanikan diri bertanya.
“Lidahmu seperti lidah kediri ,” tegur ki mangkukerta .
‘Tidak.”
“Dari campa barangkali?”
“Dua-duanya tidak,” jawab juara gulat itu.
“Memang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putra-
putra kediri yang terkemuka di pajang bintoro ialah Raden
Kusnan, Punggawa-dalam. Yang lain Raden Said, anggota
Majlis Kerajaan. Orang memanggilnya juga Ki Aji,
Kalijaga, dan lebih suka dipanggil demikian. Dibuangnya
Raden leluhur sendiri dari kerajaan jenggala dahulu , digantinya
dengan Ki Aji, mpu wungubhumi pemberian orang yang mencintainya.”
“Mengapa dibuang mpu wungubhumi dari leluhumya?”
“mpu wungubhumi pemberontak itu tak mengandung sesuatu arti di
dalamnya. Dalam arca , hanya perbuatan orang yang
dinilai oleh sesama dan oleh sang hyang Widhi . Perbuatan atau amal Ki
Aji Kalijaga luar biasa agungnya. Dengarkan ceritanya,
sebab barangkali di kediri sendiri tak pernah kau dengar.”
Di kediri sendiri memang tak pernah terdengar.
“Beliau sudah tinggalkan kediri dan mengembara ke
mana-mana untuk memasyhurkan arca . Beliau keluar-
masuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa
seperti para resi -pembkara yang tak tahu apaapa tentang
wahyu sang hyang Widhi itu. Beliau lebih suka memilih tempt di bawah-
bawah pohon rindang, mengajak anak-anak bermain-main
dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan
mukjijatnya. Lama-kelamaan ibu-ibu mereka ikut
mendengarkan. lalu juga para bapak.”
“Apa kisah para nabi itu? Apakah sama dengan kisah
para dewa?”
“Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, sebab
nabi memang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah
ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia,
menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari sang hyang Widhi .
Dewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu
ngawur.”
“Siapa bilang para dewa tidak ada?”
“Kalau pernah ada, mana keturunannya? Hadapkan
padaku seorang saja di antara.” Mereka yang tidak setuju
dan jengkel mulai bersorak-sorak mengejek. raden panji gelang-gelang
diam memperhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di
balai-desa mendengarkan seorang resi -pembicara. Waktu
ejekan sudah reda, terdengar lagi suara ki mangkukerta yang tak
mengacuhkan gangguan.
“Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah
desa. Mereka adalah orang-orang pemberontak penyembah Sang
Kali”
“Apa pemberontak itu?”
“Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para
nabi. Ingat-ingat, pemberontak namanya. Jadi setiap penyembah
berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, pemberontak
namanya.”
“Ngawur, kau, ki mangkukerta , tak ada orang bersujud
Sang Kali Orang hanya bersujud Sang Maha sri ratu kertanegari ”
raden gelang-gelang membantah sebab tersinggung. “Kalau kau bilang
Sang Maha sri ratu kertanegari tak pernah ada, lebih baik pecahkan
saja kepala mu sendiri.”
namun ki mangkukerta tak peduli dan meneruskan. “Anak-
anak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya.
lalu juga kepala desa. Pertentangan pendapat terjadi,
perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara
kepala desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya
mereka dapat ditaubatkan.”
“Apa artinya ditaubatkan?”
“Dipercaya kan akan kebenaran arca , dan membawa
mereka masuk arca . Mereka meninggalkan Sang Kali.
Mereka bersujud sang hyang Widhi dan mendengarkan perintah dan
meninggalkan larangan-Nya.” Ia diam sebentar. “Kau
sudah tidur?” dan waktu ia masih mendengar jawaban, ia
meneruskan, “sejak itu beliau dipanggil Ki Aji Kalijaga, Ki
Aji, yang menjaga agar Sang Kali takkan kembali untuk
seiama-lamanya. Dan sekarang Ki Aji duduk dalam majlis
kerajaan pajang bintoro . Tidak sembarang orang bisa. Raja
kerajaan jenggala pun takkan bakal mampu lakukan pekerjaan itu,
sebab pekerjaannya adalah menurunkan ajaran nabi di
dalam keprajaan. Memang hanya empat kali dalam sebulan
pertemuan nya, namun menentukan. Enam hari dalam seminggu
Ki Aji Kalijaga meneruskan pekerjaannya yang dalam,
memasyhurkan arca dan pajang bintoro di desa-desa.”
raden panji gelang-gelang sudah tertidur.
Dalam pekerjaan sehari-hari ia mengetahui, pembuatan
kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat,
tidak seperti di Glondong. Sebuah kapal terbesar, yang akan
dipakai jadi kapal bendera akan dapat mengangkut
lima ratus centeng laut dengan empat belas cetbang besar
pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa
dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kacangtanah .
Peluru nyi kanjeng blora diperkirakan takkan dapat menembusinya.
Orang tak banyak membicarakan kapal yang mereka
sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru
soal-soal lain yang orang percakapkan.
Pada malam-malam selanjutnya ki mangkukerta tak muncul.
Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan,
sebab si pengganggu tidur membiarkan mereka
melepaskan lelah dengan damai. Sebaliknya beberapa orang
yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desa-
desa menyatakan, tak ada buruknya orang mengetahui hal-
hal baru yang terjadi di atas dunia manusia ini.
Lama-kelamaan ketahuan juga ki mangkukerta tak seorang
diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata
mengikutinya. Di siang hari sekarang ia nampak tidak
seorang diri bersembahyang. Ia sudah memiliki pengikut,
dari dua jadi enam, dari enam jadi delapan. Terheran-heran
orang waktu lalu mengetahui, tak lain dari Sang
adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya sendiri yang memerintahkan
pembangunan rumah sembahyang di tempat ki mangkukerta
biasa bersembahyang.
Dan sejak itu mereka tak lagi bersembahyang di tempat
terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas.
Pada suatu tengah malam ki mangkukerta muncul lagi.
namun ia bukan pembicara cerewet yang dahulu . Ia sudah jadi
orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau
menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mulai
didengarkan oleh semua orang dengan sungguh-sungguh
suka atau tidak suka.
“Bukankah pembuatan rumah sembahyang itu, tempat
orang bersujud Hyang baru itu, mengurangi kelajuan
pembuatan kapal?” sekali waktu seseorang bertanya dalam
kegelapan.
“Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang?”
seorang lain lagi bertanya.
“Bagaimana kau dapat mengatakan pembuatan rumah
itu menyendatkan pembuatan kapal? Kapal dan arca akan
belayar bersama-sama, tidak tunggu-menunggu. Apakah
arti kerajaan arca kalau arca tak berkembang di antara
bawahan nya? Tidak seperti Hindu dan sri ratu kertanegari , orang-orang
desa harus bangunkan sendiri balai , mandala dan
perguruan sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk
menumpas nyi kanjeng blora yang jelas-jelas, memusuhi arca .
nyi kanjeng blora tak boleh memasuki Nusantara, apalagi Jawa,
sebab cepat atau lambat semua penduduknya akan masuk
arca .”
“Mana mungkin. Apakah semua kami harus masuk
arca ?”
“Tak ada yang memaksa kalian masuk arca . Adakah
aku memaksa kalian masuk arca dan bertaubat? Adakah
pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan
mengikutinya?namun sebab aturan arca adalah yang
terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang
tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah
sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu,
tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik.”
ki mangkukerta meneruskan kata-katanya tentang agamanya.
raden panji gelang-gelang tak mendengarkan lagi walaupun belum
tidur. Ia sudah temukan yang dicarinya: adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya
mempersiapkan armada untuk menyerang jayamahanaya , untuk
melindungi arca , bukan untuk memanggil kejayaan dan
kebesaran masa silam pada guagarba hari depan. tumenggung dijoyo akan
membangunkan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan
kebesaran dan kejayaan kerajaan jenggala . Ia tak dapat bayangkan
kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak
ikut jadi bagian dari padanya.
Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaannya dan
pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai
Bareng itu temyata lebih besar dibandingkan buatan kediri .
Empat orang takkan kuat memikulnya, sedang bilik-
ledaknya menggelembung sebesar buah kacangtanah . Ia tak dapat
bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemparkan
dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat
peluru cetbang.
Dua bulan lalu ia tinggalkan juga pekerjaan
barunya.
wah
Seorang diri ia berjalan kaki memasuki pajang bintoro . namun
tak ada sesuatu yang penting diperoleh nya. Ia saksikan
penyempumaan pembangunan tempat ibadah raya, pembangunan
jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah
perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden
Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga
sedang memasuki tempat ibadah . Orang yang tersohor itu
berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru,
berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup
badan-atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nampak
begitu longgar di kepala nya dengan ikatan bergaya khusus.
Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada
bahunya. Dan di bawah destar tak nampak ada rambut.
Berbeda dengan di suryabuaya , di pajang bintoro di mana-mana
orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan
tentang sekutu pajang bintoro yang akan bergabung dalam armada
kesatuan, semua kerajaan arca termasuk kediri .
Keterangan itu baginya sudah berisi segala-galanya,
walaupun ia belum mengerti betul duduk-perkaranya.
Kalau pajang bintoro satu-satunya kerajaan arca di Jawa,
mengapa kediri dan jatikerto juga dianggap sebagai kerajaan
arca ? Ia anggap itu bukan masalahnya. Yang jelas: pajang bintoro
memiliki sekutu, armada gabungan akan dibentuk, semua
akan menyerang jayamahanaya .
Sesudah lebih enam bulan meninggalkan kediri ia merasa
sudah cukup menjalankan tugasnya untuk mengetahui segala
sesuatu tentang persiapan adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya . Ia
bermaksud pulang. Di tinggalkannya pajang bintoro dan berangkat
kembali ke suryabuaya .
Sesampainya di jenggala suryabuaya ia melihat serombongan
orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian
aneh. Yang seorang berambut pirang, yang lain berambut
hitam. Kedua-duanya lari dengan gesit menyelamatkan diri
dari mata gada dan mata tombak. Orang bersorak-sorak
mengejamya.
Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar,
mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar lalu
layamya berkembang dan dengan lajunya meluncur ke arah
timur laksana burung camar.
Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan
mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada
tercapai, lebih unggul dari perahu-perahu para pengejar.
Maka pengejaran tak diteruskan.
Di jenggala orang-orang pada duduk bersujud
seseorang yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh
beberapa belas orang centeng bergada . Orang itu
lalu menuding-nuding ke arah larinya dua orang kulit
putih tersebut dan berteriak dalam bahasa Jawa langgam
setempat: “Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan
berkeliaran disini? Jawab, kau, patih wirabuana .”
“Ampun, baginda tuanku raja , adapun pelabuhan suryabuaya ini tiada
aturan menolak orang dari mana pun juga datangnya.”
“Apa katamu?”
“Selama orang tidak mengajukan permohonan untuk
menetap atau untuk tinggal sementara di sini, patih wirabuana
saja yang berwenang mengijinkan atau menolak,”
patih wirabuana suryabuaya menerangkan. “Atau orang tidak
melewati daerah jenggala . Boleh saja.”
“Benar, mengapa kau biarkan mereka? Mengapa kau
ijinkan mereka?”
“Mengapa, baginda tuanku raja ? sebab suryabuaya jenggala bebas.”
“Apa kau kira ini jenggala nenek-moyangmu sendiri? Ini
pelabuhan pajang bintoro , bukan pelabuhan siapa saja.”
“Ini pelabuhan bebas, baginda tuanku raja ,” patih wirabuana
membangkang. “Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh
baginda tuanku raja Kanjeng kanjeng sinuhun ataupun oleh baginda tuanku raja Kanjeng
adiputro .”
Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam
sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: “Baik. Kau berwenang
terhadap pelabuhan ini. namun mengapa mereka kau
biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan
bengkel?”
“Belum pernah ada larangan.”
“Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk mereka,
pendatang-pendatang? berkulit putih itu?”
“suryabuaya pelabuhan bebas, baginda tuanku raja .”
“Kau memang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan
terhadap nyi kanjeng blora? Mata-mata dari jayamahanaya , atau
diturunkan dari kapal nyi kanjeng blora?”
“Memang mereka nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , dan suryabuaya masih
tetap pelabuhan bebas.”
“Kami akan persembahkan pada baginda tuanku raja suryabuaya . Apa
kebangsaanmu, patih wirabuana ?”
“Koja, baginda tuanku raja . arca agama saya .”
raden panji gelang-gelang duduk di bawah sebatang pohon kenari
dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. nyi kanjeng blora
temyata sudah memasuki suryabuaya , pikimya, suryabuaya belum
lagi melihat jayamahanaya . Sungguh berani orang-orang kulit
putih itu hanya berdua memasuki negeri orang yang
memusuhinya.
“Selamat untukmu, patih wirabuana bukan Pribumi. Apa
saja mereka perbuat di sini?” patih wirabuana tak dapat
menjawab. Orang lain yang menjawabkan: “Hanya
melihat-lihat sambil tertawa-tawa, baginda tuanku raja .”
“Mentertawakan siapa?”
“Ampun, baginda tuanku raja ,” orang itu meneruskan, “tak ada yang
mengerti bahasanya.”
raden panji gelang-gelang menangguhkan kepulangannya.
Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu
kejadian besar. Ia harus mengetahui kelanjutannya.
Kelanjutannya adalah: patih wirabuana suryabuaya diturunkan
dari jabatannya. Anak-Laki-laki nya yang menggantikan.
Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya
sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain.
Mau tak mau ia teringat pada Moro pakanewon Habibullah
Almasawa. Satu demi satu perbuatannya yang ia pernah
ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah
patih wirabuana suryabuaya berbeda dari patih wirabuana kediri ?
Apakah mereka lebih baik dari Rangga jatayuwesi , peranakan
Benggala itu? Di kediri orang tidak suka pada Rangga
jatayuwesi ataupun pakanewon Habibullah Alamasawa. patih wirabuana
suryabuaya , lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun
mengherani mengapa adiputro kediri dan suryabuaya masih juga
memakai orang asing.
Sebelum berangkat ke kediri ia memerlukan minta diri
pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke
galangan dan bengkel. ki mangkukerta tak dijumpainya. Ia
temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang.
Beberapa orang murid memenuhi ruangan dalam. Orang itu
nampak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di
hadapannya. Beberapa orang murid mengikuti segala kata
yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya.
Lama ia duduk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba
menirukan, namun tak bisa. Ia dengarkan ki mangkukerta
membacakan tafsimya dalam bahasa jawadwipa , lalu
terjemahannya dalam bahasa jawadwipa , lalu
terjemahannya dalam bahasa Jawa: “Dengan nama sang hyang Widhi
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan:
Berlindung aku pada…,” kata-kata selanjumya
raden panji gelang-gelang tak mengerti, “dari bahasa makhluk yang
diciptakan-Nya. Dan dari bahaya kegelapan malam bila
sudah datang. Dan dari bahaya…. Dan dari bahaya orang
dengki, bila ia marasa dengki….”
Kalimat-kalimat itu tak memiliki kesamaan dengan acuan
sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti.
Dan ki mangkukerta alias Anggoro masih juga terus mengajar.
Ia tak jadi minta diri. Ditinggalkannya tempat duduknya,
berjalan pelan menuju ke laut….
wah
9. fredy krueger dan penywise
Dua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk melarikan
diri.
Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud
hendak mewujudkan impian lama: mengembarai Nusantara
sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri pemberontak dan
penduduknya yang masih perbegu.
Dua orang itu adalah pemuda-pemuda kanjuruhan
keturunan blambangan , fredy krueger dan penywise .
Dua-duanya kanonir, penembak gada rujakpolo pada kapal
nyi kanjeng blora.
Berita kemenangan-kemenangan kanjuruhan di seluruh
permukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di
seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang
berlimpahan, sudah memanggil pemuda-pemuda kanjuruhan ,
meninggalkan desanya masing-masing untuk
menggabungkan diri dengan armada-armada yang akan
berangkat belayar meneruskan Perang cakra di seberang
lautan.
Juga fredy krueger dan penywise . Mereka tak
mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan
harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga
ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan
diri. Dan mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang
lain-lain. Mereka diterima sesudah menyodorkan uang
sogokan.
Mulailah keduanya bekerja sebagai awak kapal
lalu meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra,
menaklukkan negeri-negeri, meneggelamkan kapal
saudagar-saudagar asing bedan isinya ke dasar laut. Tak
ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu
melawan. Dengan gada rujakpolo segala yang nampak di laut dan
di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi.
Mereka pun ikutserta dalam perang laut di Teluk Parsi
melawan armada gabungan negeri-negeri arca yang
dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan
mudah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap
kanjuruhan .
kanjuruhan penguasa dunia! Dan mereka berdua bangga
menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu.
Ia senang melihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian
bila melihat cakra raksasa yang tergambar pada layar.
Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka
sendiri yang menenggelamkan. Mereka dapat rasai setiap
peluru yang lepas, kena atau tidak. Setiap peluru yang
menemui sasaran memberikan ketukan pada hati mereka,
seakan memberitahukan: pelurumu kena.
namun kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan
pengembaraan sejenis itu, kehidupan tanpa perubahan,
lama kelamaan membosankan mereka juga. Kejemuan
setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu
yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar
saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dapat
melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri
sebagai pemenang tanpa lawan, memperoleh kan segala yang
mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di
keliling mereka, dan kapal-kapal musuh yang melarikan
diri, dan langit, dan bintang-bintang di malam hari, dan
badai di hari-hari sial. Mereka tak dapatkan apa yang
mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan
kesenangan yang tak terbatas.
Akhir-akhir hidup yang sebetulnya adalah di daratan,
mereka memutuskan. Di laut tak ada yang mereka dapat
kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan perampasan
kapal. namun di darat! Segala-galanya ada di sana. Dada
selalu dapat menggelembung dengan kebanggaan sebagai
putra kanjuruhan yang jaya, bangsa pemenang, bawahan raja
pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan
taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat.
Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila
pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap
barang. Dan setiap kali menginjak bumi pemberontak ,
bergejayamahanaya n nama Jesus dalam hati: daratan ini akan
segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih.
Kebanggaan seperti itu akhirnya tak memuaskan juga.
Dada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka menghendaki
lebih dari itu: kebebasan, kesenangan tanpa batas. Di darat
pun kebebasan seperti itu tak pernah mereka kenyam
sebagai awak kapal. Mereka ingin menyaksikan seluruh
Nusantara, yang begitu disanjung dalam cerita, kadang juga
dalam nyanyian. Mereka tak puas hanya melihat dan
menjamah pantai-pantainya yang digermangi nyiur. Mereka
ingin juga mendengarkan musiknya, yang kata orang tegap
dan menjamah dan meluncuri laut dan gendang dan
gongnya yang berbunyi tandas sampai mengaduk dasar
hati.
Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-mana sejak
orang tua-tua dahulu , yang mungkin mendengamya dari
orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua membuat
persepakatan untuk mengelanai Nusantara. Untuk itu
jalannya hanya satu: melarikan diri dan memiliki perahu
sendiri.
Imam kapal, Mario Fasetti, orang Italia itu, tak bosan-
bosan mengulangi pesan dalam khotbah-khotbahnya,
‘Jangan masuki daerah pemberontak tanpa perintah, sebab kalian
akan membawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang
sang hyang Widhi di setiap jengkal tanah pemberontak .’ Pesan itu malah
diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, sesudah
ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak
kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan.
namun awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi,
mereka tak bakal muncul, bertahun-tahun, dan kembali ke
tanahair, berpindah ke kota lain, membawa harta-benda
dan cerita-cerita indah, benar dan bohong juga nyanyian
baru, yang memicu mereka jadi tersohor.
Memang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang
untuk selama-lamanya dan dilupakan orang. Itu semua
orang tahu. Dan itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka
fredy krueger dan Rogriguez Dez tak ambil peduli.
Semua memang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya
dan tersohor sekaligus.
Sesudah kanjuruhan di bawah Alfonso d’Albuquerque
menguasai jayamahanaya dan tinggal beberapa bulan di sana
untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di
bawah sang cakra, mereka berdua giat mempelajari bahasa
jawadwipa dari penduduk Tanpa bahasa itu mereka takkan
mungkin dapat berdiri sendiri.
Pada seorang Pribumi mereka memesan agar dibuatkan
sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk
mereka sendiri. Sesudah jadi, perahu layar kecil itu mereka
sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilometer di
selatan jenggala , di bawah penjagaan si pembikinnya.
Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di
dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak semua
diperolehnya dari gudang perbekalan di jenggala jayamahanaya .
Menjelang Desember 1512, waktu kanjuruhan menyiapkan
armada untuk menuju ke panarukan , mereka berdua
melarikan diri. Mereka berhasil menggondol musket dengan
mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis.
Tak sulit mereka memperoleh kannya. Dan itu pun secara
kebetulan pula. Waktu itu beberapa orang para bala tentara yang
sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora menghabiskan
arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan
undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. Dan
mereka memakai kesempatan ini.
Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa
daya dalam kemabokan, fredy krueger dan penywise masuk ke
dalam kantor dan menggodol apa saja yang dapat diambil.
Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya,
mengembangkan layar dan berangkat. Belum pernah
mereka merasa begitu riang seperti kali ini. sinar matahari pagi
mulai menyinari pesisir pulau Sumatra yang kelam oleh
hijau tua rimba belantara. Perahu-perahu nelayan dan
kapal-kapal dagang belayar damai.
Dari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah
tahu: di dunia ini tak ada bangsa pemberontak yang memiliki senjata
ampuh kecuali kanjuruhan , musket dan gada rujakpolo dengan gaya
ledak tinggi. Musket ada pada mereka. Dan mereka tak
perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. gada dan
tombak para pembajak pasti akan temyata melengkung
berhadapan dengan musket. Mereka berhati besar. Tak
akan ada yang menghalangi pelayaran mereka.
Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah
berubah jadi kapal bajak. Dan kapal-kapal perang Pribumi,
yang segera nampak dari kejauhan sebab lubang-lubang
pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak
berbahaya selama tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka
berbahaya sebab cetbangnya, namun tak pernah menembak
tanpa alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang
menghalangi pelayaran mereka.
Mereka bergantian tidur, mengemudi dan masak.
Mereka menyinggahi jenggala -jenggala kecil, sepanjang
pantai Sumatra untuk memperoleh kan kacangtanah dan daging dan
air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana
pun tak ada yang mengganggu. Walau sekecil-kecilnya
jenggala kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh
mendarat dan berjual beli dengan bebas. Dan jenggala -
jenggala itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk
menjadi persinggahan rempah-rempah.
Di setiap jenggala segera dua orang petualang itu menjadi
kerumunan orang banyak. Kulit mereka, wajah mereka dan
bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. Dan
mereka senang menjadi tontonan. Dan setiap jenggala yang
disinggahinya selalu tidak sama dengan yang di blambangan
atau kanjuruhan atau Italia. Tak pernah mereka mengalami
penganiayaan. Sebaliknya kekasaran justru akan datang
dari sebangsanya sendiri. Teman-teman mereka pada suatu
kali bisa berubah jadi pemburu-pemburu yang akan
menangkapnya untuk memperoleh kan uang tebusan. Atau
bisa juga datang dari pihak orang-orang blambangan yang
mungkin akan menjualnya pada bajak-bajak laut Maroko
atau Tunisia.
Mereka sudah menyinggahi jenggala Ban ten, Sunda
kacangtanah , Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan
akhimya berlabuh di jenggala suryabuaya .
jenggala ini tidak begitu besar, buruk, namun lain dibandingkan
yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada
keistimewaan dan kekhususan, malah yang luarbiasa .
Galangan-galangan besar berdiri megah membuat kapal-
kapal, sama besarnya dengan kapal negerinya sendiri,
kanjuruhan . Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal
perang! Jelas nampak dari lubang-lubang lambung tempat
mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah
dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar
yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kacangtanah
itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat
suadipati nya. di kuil rat dari banyak tangan memicu
mereka menyingkir menghindar.
Dan yang mereka herani, hampir-hampir tak ada
perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang
sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru
lagi.
Juga di jenggala suryabuaya tak ada yang mengganggu mereka.
Bunyi logam yang di tempat memicu mereka
tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi membuat
perabot. Mereka memasuki bengkel pembuatan cetbang.
Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka
buat. Pandai-pandai Biambangan temyata tak mengerti
jawadwipa . Mereka membisu, bahkan melambaikan tangan
menyuruh pergi
fredy krueger dan penywise pergi, namun datang lagi untuk
mengherani benda yang sedang dibuat itu. penywise
menebak, itulah gada rujakpolo Pribumi. Dan fredy krueger tertawa
terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang
dan kamar-ledaknya yang sekembang buah kacangtanah .
“gada rujakpolo boneka yang baik hanya untuk melontarkan
gombal!” seru penywise.
Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang
memicu beberapa orang Pribumi merasa tersinggung.
namun sebab jenggala suryabuaya juga jenggala bebas, di mana
setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak
ada orang dapat dipeisalahkan hanya sebab tertawa.
namun orang-orang Pribumi, yang temyata pejabat-
pqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua
orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan
adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya sedang menghadap ayahandanya.
Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di suryabuaya .
Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh raden panji gelang-gelang .
fredy krueger dan penywise Deez melarikan diri dalam
kejaran para centeng . Hanya sebab tingginya kewaspadaan
memicu mereka bisa selamat mencapai perahunya
dan meneruskan pelayaran ke tunur.
Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah
seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji
syukur atas keselamatannya. Mereka bersembahyang dan
berdoa dan berdoa.
Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang
disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas
lalu mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu
lalu mereka jual di Mesir.
Dan pada suatu pagi bermendung masuklah perahu layar
langsung itu ke jenggala campa . Pelabuhan itu kecil dan
mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung,
namun kelihatan bersabda dan membentangi jenggala dari
badai.
Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk
jenggala itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, bermata
sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan
mondar-mandir tiada bekerja.
Aturan di jenggala ini lain, keras, dan memang bukan
jenggala bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum
orangnya mendarat. Pengalaman baru ini tak
menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri
sepanjang Sumatra dan Jawa tak pernah orang
memperlakukan demikian. Begitu perahu mereka
terpancang pada patok dermaga atau cerocok takkan ada
orang datang melihat untuk mengintip muatan. Orang
membiarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang
berebutan untuk menjual atau membeli barang. Orang pun
takkan menghalanginya bila mereka langsung pergi ke pasar
pelabuhan. Di campa lain yang terjadi.
Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih,
dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka
semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan.
fredy krueger tak mengerti bahasa mereka. penywise juga
tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat.
Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk
disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga
memanggil teman-temannya. Dalam waktu pendek
dermaga itu sudah penuh dengan orang. Semua
memperlihatkan sikap yang mengancam.
Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak
ditenggelamkan mereka naik ke dermaga, mengikuti tiga
orang itu.
Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar
berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga
orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang
tangkapan.
fredy krueger dan penywise memperoleh tempat duduk pada
sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri.
Dua jam lalu mereka diperintahkan masuk lebih ke
dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak
kurang dari tujuh orang sudah duduk atau berdiri menunggu
mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi sebab mata
mereka berubah, seperti terbuat dibandingkan kayu. Mereka
berpakaian wama-warni, dan semua membawa kipas pada
tangannya, sekalipun tidak dipakai . Mereka
memakai pakaian seperti jubah, semua dari sutra,
dengan lengan tangan lebar.
Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang
tipis tergantung, menanyainya dalam jawadwipa .
fredy krueger tak dapat menangkap bahasanya. penywise
juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada
perasaan mereka. penywise menatap fredy krueger dengan
pandang bertanya. fredy krueger menggeleng. Bersama-sama
mereka memandangi orang gemuk di hadapan itu, dan
orang itu mengangkat alis. fredy krueger tidak dapat menahan
tawanya mendengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang
gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para
pengapitnya mulai bicara. Dua orang kanjuruhan itu semakin
tidak mengerti.
Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya.
Suara mereka berat namun badan mereka seakan-akan terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk digerakkan.
fredy krueger merasa seperti sedang menonton suatu
pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan.
penywise juga merasa diundang untuk tertawa.
Percakapan terpaksa dihentikan.
Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain,
wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak
memakai jubah namun bercelana dan berbaju longgar,
tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan
nampak terawat baik. Ia berjalan langsung memperoleh kan
yang gemuk dan memberi hormat. Suatu pembicaraan sudah
terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk
mengangguk-angguk
Orang baru yang langsing itu berpaling pada fredy krueger dan
penywise, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah
yang sama sekali mereka tak duga: “Kalian orang kanjuruhan
memang pongah!” tuduhnya dalam bahasa kanjuruhan .
fredy krueger dan penywise tak dapat menyembunyikan
kejutnya.
“Kau bisa kanjuruhan ?” penywise bertanya.
“Demi keselamatan kalian sendiri, lepaskan kepongahan
itu,” katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan.
“jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada
kanjuruhan di sini.”
Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak
merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka.
fredy krueger mencoba memperlihatkan keunggulan
bangsanya dengan tawa kecil meremehkan.
“Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap.
Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang kanjuruhan
mengerti artinya nasihat.”
“Kau penterjemah?” fredy krueger bertanya.
“Pemeriksa kalian.”
“Pemeriksa!” penywise tertawa mengejek. “Apa yang
hendak kau periksa? Kami bukan tangkapan kalian.”
“Aku yang memeriksai kalian, bukannya kau yang
memeriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa
kanjuruhan yang benar.”
“Kaulah yang pongah, bukan kami,” bantah fredy krueger
“Kami orang bebas!” gumam penywise. ‘Tak ada alasan
memeriksa kami Kami menolak. Tak ada orang kanjuruhan
diperiksa di jenggala asing.”
“Diam!” bentak pemeriksa itu. “Aku dengar kalian tidak
mengerti jawadwipa .”
“Siapa bilang kami tak mengerti jawadwipa ? Orang itu,”
penywise menuding pada si gemuk, “yang tak keruan
jawadwipa nya.”
Seseorang memukul tangannya yang menuding dengan
kasar. penywise merah-padam sebab merasa terhina. Tak
pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu
terhadap orang kanjuruhan . la berjalan menghampiri meja si
gendut hendak memprotes.
Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya
ke lempatnya kembali. penywise meronta. namun sikutnya
terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin
meronta makin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan.
Ia meringis tanpa bisa mengerti.
“Orang kanjuruhan juga perlu belajar sopan di negeri
orang,” kata pemeriksa itu, dan menyorong penywise.
“Ingat-ingat, namaku shinoda Han.”
fredy krueger mengawasi yang pang pang dengan pandang
mempelajari cara orang itu dapat mengempit sahabatnya
sehingga tak berdaya. Ia tak mencoba membelanya.
“Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang kanjuruhan .
Kalau kalian bersikap begini terus, aku, shinoda Han,
akan lakukan segala sesuatu yang sudah kalian lakukan
terhadap diriku selama tiga tahun.”
fredy krueger diam-diam mendengarkan dan memperhatikan
tingkah laku dan bahasa kanjuruhan yang pang pang yang
cukup baik.
penywise sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis
kesakitan, lalu bertanya mencoba bersabda :
“Bagaimana kau bisa berbahasa kanjuruhan sebaik itu?”
“Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian fredy krueger del
Mar dan penywise . Siapa yang penywise?”
kepala penywise yang berambut pirang itu
mengangguk.
“Baik. Pekerjaanmu? Tentu bukan saudagar bukan
nakhoda.”
Dua orang kanjuruhan itu berpandang-pandangan.
“Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian
sudah diperoleh musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal
kanjuruhan . Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan
dalam kapal kanjuruhan . Hati-hatilah, kalian, jangan sampai
membuat onar di sini. kepala kami yang terhormat, Tuan
hwang jang lee , masih berhati luas, masih dapat menenggang
kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan
mesiunya kami tahan untuk disimpan.”
yang pang pang bicara seperti tiada kan habis-habisnya,
tidak memberikan kesempatan pada fredy krueger ataupun
penywise untuk menyela.
“Jadi kalian berdua tidak memiliki sesuatu
pekerjaan,” lalu ia memutuskan. “Hanya memiliki
musket, dan dengan senjata itu membajak perahu-perahu
kecil di tengah laut.”
“Tidak benar!” bantah fredy krueger .
“Tidak ada bukti kami berdua pernah membajak,”
banlnh penywise.
“Memang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh
jadi yang tak kalian butuhkan sudah kalian buang ke laut,
yang kalian butuhkan sudah kalian telan.”
“Bukan kebiasaan dan bukan watak kanjuruhan untuk
membajak,” susul fredy krueger dengan nada tersinggung.
“Memang dengan satu-dua orang kanjuruhan tidak pernah
membajak. namun dengan satu kapal, apalagi satu armada,
setiap kanjuruhan adalah bajak.”
“Itu soal tafsiran!” bantah fredy krueger . “Kami tidak
membajak, kami berperang.”
“Itu soal tafsiran!” tuduh shinoda Han. “Setiap kapal
dan armada kanjuruhan tidak berperang, namun membajak. Dan
setiap orang kanjuruhan yang jatuh ke tangan kami adalah juga
bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukuman
terhadap bajak?”
“Berperang dan membajak tidak sama,” bantah
penywise.
“Ya, tidak sama,” fredy krueger membenarkan, “berperang
memiliki tujuan lebih jauh, lebih mulia, membajak untuk
dirinya sendiri.”
‘Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang
terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian
bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak.
campa berada dalam wilayah kekuasaan kediri .
Hukuman atas bajak menurut ketentuan kediri adalah
kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan
ketentuan, untuk lalu menjalani hukuman mati. Kami
bisa serahkan kalian pada baginda tuanku raja adiputro kediri .”
Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka
terdiam.
hwang jang lee bicara dalam Tionghoa pada shinoda
Han. Yang belakangan mengangguk-angguk dan
nampaknya hanya mengiakan.
“kepala kami,” yang pang pang meneruskan,
“mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar.
Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian.
Kami bisa juga jual kalian pada jayamahanaya . pada bangsa kalian
sendiri. Dan sebab kalian kelihatan kuat dan segar, bisa
juga kami jual pada orang-orang palawa . Atau bisa kami
pakai sendiri untuk membajak sawah.”
yang pang pang diam. hwang jang lee dan pengapit juga
diam. Semua mengawasi dua orang kanjuruhan yang
nampaknya kehilangan diri itu.
“Kalau kami jual kalian pada jayamahanaya , kalian akan segera
naik ke tiang gantungan, dan kami memperoleh uang tebusan.
Kalau kami serahkan kalian pada baginda tuanku raja adiputro kediri ,
kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang
gantungan. namun kami tak memperoleh sesuatu keuntungan.
Kalau kami jual kalian pada orang-orang palawa , kami akan
memperoleh kan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus
bekerjapaksa sampai mati tua.” Ia diam lagi untuk dapat
melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu.
“Nah, pilihlah salah satu di antaranya.”
fredy krueger dan penywise sejenak
berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
“Tidak ada jalan untuk melarikan diri,” yang pang pang
memperingatkan.
“Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka?”
“Kami bukan bajak laut,” penywise membela diri.
“Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak.”
fredy krueger berpikir keras.
“Kau, fredy krueger , yang lebih tua, bicara, kau!” melihat
orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan,
“barangkali yang pang pang ini kau anggap kurang berharga.
Baik, silakan bicara sendiri pada kepala ku, Tuan shin tiaw hiap lu
Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai
kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak
lebih hanya bajak laut.”
fredy krueger melangkah maju mendekati hwang jang lee ,
membungkuk memberi hormat dan membela diri: “Tuan
hwang jang lee , benar kami bukan bajak laut. Kami memang
pelarian dari kapal kanjuruhan di jayamahanaya . Dalam perjalanan
sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan
kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negeri-
negeri Nusantara.”
Sesudah yang pang pang terjemahkan, hwang jang lee
berkata melalui terjemahan: “Kalian tidak sekedar hanya
melihat negeri-negeri. Ada diperoleh senjata, mesiu, peta,
kompas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.”
“Tak pernah ada larangan membawa barang-barang itu,
bahkan semua kapal kanjuruhan dilengkapi dengan semua
itu.”
“Kalian jangan permain-mainkan kami. Pelarian biasa
tidak akan membawa semua itu, kalau tidak sebab tidak
sempat tentu sulit untuk bisa memperoleh kannya. Kalian
memiliki cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya
kalian ini mata-mata kanjuruhan .”
“Mata-mata?” fredy krueger berseru kaget.
penywise terbeliak.
“Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-mata Sang
adiputro suryabuaya ? Nah, kau, penywise, mengapa tak ikuti
jejak temanmu menghadap Tuan hwang jang lee dengan
baik-baik?”
penywise maju dan memberi hormat. Ia berdiri di
samping temannya. Berkata: “sebetulnya kami memang
melarikan diri dari jayamahanaya .”
“Aku percaya,” jawab hwang jang lee . “Kalau kalian
mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak
juga menyampaikan kami apa rencana kanjuruhan sesudah
merebut jayamahanaya ? Apakah kalian yang sudah bodoh,
ataukah memang mau membodohi?”
“Tuan hwang jang lee , kanjuruhan sedang menunggu
datangnya tambahan kekuatan di jayamahanaya . Mereka akan
terus berlayar ke panarukan .”
“Ke panarukan ? Begitu cepat?” hwang jang lee terkata
dengan mata membeliak menatap shinoda Han.
lalu ia bicara dengan penterjemah itu dan shinoda
Han tidak memkanjuruhan kan.
fredy krueger dan penywise berpandang-pandangan dan
berunding dengan matanya.
yang pang pang menghampiri mereka, menusuk mereka
dengan pandangnya, menetak: “Pembohong!”
“Semua awak kapal tahu,” sekarang fredy krueger mengambil-
alih.
‘Tadinya dimaksudkan akan memberangkatkan empat
buah kapal. Tambahan kekuatan yang ditunggu belum juga
datang Kalau dalam bulan Desember… Tuan shinoda
Han mengerti artinya Desember?”
yang pang pang mengangguk. “Kalau dalam bulan
Desember tambahan kekuatan itu tak juga datang, kanjuruhan
akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang
yang ada saja.”
“Pembohong!” bentak shinoda Han.
“Kami tentu akan jadi pembohong kalau jayamahanaya
membatallcan niatnya,” sambung fredy krueger .
“Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang
akan ditempuh?”
“Menyusuri Sumatra dan Jawa.”
“Mengapa?”
“sebab hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke
panarukan . Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu
menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan panarukan .
Tak ada yang berani memasuki, bangsa apa pun, juga
bangsa Tionghoa tidak.”
hwang jang lee mengangguk-angguk mendengarkan
terjemahan shinoda Han.
“Jadi kanjuruhan tahu dia akan berhadapan dengan kapal-
kapal Jawa di panarukan ?”
“kanjuruhan berangkat untuk berperang,” kembali fredy krueger
memperoleh kan kebanggaan nasionalnya. “Dan kami tak
pernah kalah.”
“Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanmu?”
“Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami
dikalahkan baik di laut maupun di darat.”
“Dengarkan kalian, orang-orang kanjuruhan . Kalau kalian
temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian
pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur
kapal kalian. Kalian sudah bawa aku ke negeri kalian,
mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang
menariki kuncirku. Rasa-rasanya mau copot kulit kepala ku.
Tiga tahun kalian sudah siksa aku. Kalian jual aku pada
orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal
Moro membawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku
sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun!
Kalian jangan berlagak pemenang di sini.”
“Kami tak pernah tahu tentang itu.”
“Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari
mereka selebihnya. Kalian memang selamat di jenggala -
jenggala Sumatra dan Jawa. Di campa ini tidak. Kalian
tahanan kami.”
Mereka berdua tak berani membantah.
“Mengapa diam saja?” hwang jang lee mendesak.
“Kami bermaksud hanya hendak melihat-lihat negeri.”
“Kalian mata-mata!” tuduh hwang jang lee . “kanjuruhan
sudah melakukan kejahatan di mana-mana, dan bersumbar
hendak membawa bangsabangsa selebihnya pada
peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja.
Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai.
Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa
kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata nyi kanjeng blora datang ke
Jawa membuat kebodohan seperti di jayamahanaya ….”
hwang jang lee yang gendut itu tak meneruskan kata-
katanya. Ia mengangguk sambil memejamkan mata.
“Biar pun begitu kami memiliki peraturan, tidak hanya
kanjuruhan , dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami
lihat kalian memiliki perahu sendiri. Dari siapa kalian
merampasnya?”
“Kami pesan dari Pribumi jayamahanaya .” sambar penywise.
“Membeli, memesan ataupun merampas sama saja.
Kalau kanjuruhan suka merampas atau memesan?”
“Juga kami tidak mencurinya,” tambah Roodriguez.
“Memang kanjuruhan tidak pernah mencuri, hanya
merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara.
Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya.
Dengarkan, kepala kami, Tuan hwang jang lee , ingin melihat
apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan
memerlukan waktu untuk dapat kalian percaya kan. Nah,
apa keahlian kalian?”
fredy krueger dan penywise berpandang-pandangan dan
berunding dengan matanya.
“Membuat arak,” penywise menjawab. “Kalau ada
buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.”
“Kalau kau pandai membuat arak terbaik, kau takkan
gentayangan kemari,” yang pang pang melecehkan.
“Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan
putih dan kuning, mungkin lebih baik dari buatan negeri-
negeri lain,” fredy krueger memperkuat.
”Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kami,” jawab
shinoda Han.
“Boleh jadi,” sambung fredy krueger . “Kami juga bisa
menukang.”
yang pang pang tersenyum. Pengapit-pengapit shin tiaw hiap lu
Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem.
“Menukang adalah keahlian bagus,” kata shinoda Han,
“dan aku kira takkan ada tukang lebih baik dibandingkan
bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku?” dan
penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan
telapak tangan dua orang kanjuruhan itu lalu
menggeleng-geleng melecehkan.”
“Memang kami tak pernah menukang dalam beberapa
tahun belakangan ini,” fredy krueger membela diri.
“Pernahkah kalian menukang membuat kapal?”
“Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju
seperti hiu martil ,” penywise menerangkan dengan bersemangat
“Betul, orang-orang bilang memang perahu luarbiasa.
Pernah kalian membuat kapal?”
Sekali lagi fredy krueger dan penywise berpandang-pandang
berunding dengan mata.
“Pernah,” fredy krueger mengangguk mengiakan..
“Tentu saja. Membuat kapal? Uh, sudah selusin!”
“Kapal apa? Kapal samudra? Kapal kanjuruhan ?”
“Tentu kapal samudra, kapal kanjuruhan .” penywise
mepercaya kan shinoda Han.
“Aku tak percaya kalian bisa membuat kapal,” shinoda
Han mencoba mematahkan semangat mereka. “Kalian
terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun,
terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu
tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap
tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya
pembual”
“Betul, kami berpengalaman,” penywise mepercaya kan
lagi.
“Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri,”
yang pang pang terbatuk-batuk. “Barangkali kalian pernah
hanya menonton orang membuat kapal besar.”
“Di sepanjang pantai negeri kanjuruhan orang membuat
kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat,” kata
fredy krueger .
hwang jang lee melambaikan tangan menyuruh dua orang
itu menjauh dibandingkan nya. lalu ia berundingan
dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang
gendut itu lalu memberi perintah pada shinoda Han.
“Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala
kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa
kanjuruhan . kepala kami. Tuang hwang jang lee .
memerintahkan pada kalian untuk tinggal di campa
sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal
kanjuruhan datang kemari untuk mencari kalian… kalian
sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.”
“Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat
Nusantara,” bantah fredy krueger .
namun yang pang pang tak peduli dan meneruskan:
“Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan
pengawalan boleh keluar dan situ.”
“Kami belum lagi mendarat di campa sini. Kalian
yang memaksa kami mendarat,” bantah fredy krueger .
“Dan kami hanya hendak belanja,” sambut penywise.
“Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya
dengan orang kanjuruhan selebihnya. kepala kami sudah
memberikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di
galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana
kapal kami dibikin dan memberikan pendapat dan nasihat
sekedamya.”
Kembali dua orang itu berunding dengan matanya.
“Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala kami
mengambil sesuatu keputusan,” yang pang pang
memberanikan mereka.
Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin.
“Ya, kau bisa lakukan itu,” kata penywise pada
temannya, “dan aku bisa membantumu. Terimalah.”
namun fredy krueger masih juga menimbang-nimbang.
“Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa
memperrayai kalian.”
“Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya?”
tanya fredy krueger .
“Kami yang menentukan. Bukan kau,” yang pang pang
melecehkan dengan bibimya. “Hanya sebab sikap
pemurah kepala ku. Mestinya kalian cukup dihancur kan
saja.” Ia menunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum
juga datang. “Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak
kapal, kapalmu, kapal kanjuruhan . Setiap hari mendengar
ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah.
Itulah kalian orang kanjuruhan . Ayo, jawablah kalau kalian
sanggup!”
“Ya, kami sanggup,” jawab fredy krueger .
“Betapa cepat keputusan itu,” hwang jang lee
memberikan komentar.
“Makin kelihatan petualangan kalian,” kata shinoda
Han. ”namun awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami
sudah kalian perbudak selama tiga tahun. Lima di antara
kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang
kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada
kami. Begitu kalian….”
”Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu.”
fredy krueger menanggapi.
“Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari
kanjuruhan selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira
untuk kalian.”
fredy krueger yang merasa tersinggung membalas “Kelak.
kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa membalas
dendam, membajak salah sebuah kapal kanjuruhan yang
pertama-tama kalian temui, menangkap semua awak
kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.”
“Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami
keturunan awak armada Ceng He yang besar….”
Apa yang dikatakan yang pang pang tidak keliru. Sesudah
armada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini
lalu berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri
dengan jayamahanaya dan membuka pangkalan-pangkalan di
Jawa. Dalam kekuasaan kediri mereka memperoleh
perlindungan dan ijin berpangkalan di campa . Pangkalan
pokok mereka dirikan di Sam Toa-lang.
Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan
perdagangan dengan negeri dongeng sampai-sampai memasuki
Laut Merah.
Untuk membuat awak armada ini tidak lenyap ditelan
oleh Pribumi, baik sebab perkawinan mau pun sebab
kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah
organisasi pengawal yang harus mempertahankan lembaga
peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan
Lung atau Naga Selatan.
yang pang pang adalah seorang pemuka Nan Lung, yang
dihormati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai
utara pulau Jawa. Di samping kanjuruhan ia pun menguasai
Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia
diangkat jadi penghubung antara campa dengan Toa-
lang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan
kerajaan pajang bintoro
Melihat yang pang pang tetap tak menghargai mereka.
fredy krueger dan penywise kembali mengambil sikap berhati-
hati.
“Membajak adalah penghinaan untuk awak armada
Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya,” shinoda
Han memperingatkan. “Kalau bukan sebab kehendak
kepala kami… lain lagi yang akan terjadi dengan kepala
kalian. Hati-hati.”
hwang jang lee tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan
tangan dan yang pang pang menterjemahkan: “Tempat
kalian sudah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian
akan dipenuhi.”
“Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian,”
jawab fredy krueger , “namun kembalikan barang-barang kami.”
“Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barang-
barangmu seratus kali benda-benda berharga akan kalian
dapatkan dari kami” kata hwang jang lee . “Jangan banyak
bicara. Kalian sebagai orang kanjuruhan sudah memperoleh
kemurahan terlalu banyak.”
Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang
menghampiri mereka. Dengan di kuil rat mereka
memerintahkannya berjalan keluar dari rumah besar itu.
Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu
kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar
rumah batu dan terus-menerus dikawal.
Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih
berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar
dari mulut mereka. lalu dengan serentak mereka
berlutut dan membuat cakra dengan jarinya.
hwang jang lee memiliki rencana khusus terhadap
mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada billi chong sudah banyak yang ditangkap dan dihancur kan oleh
armada kanjuruhan . Dan mereka tak pernah dapat membalas.
Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini
hanya armada dagang belaka. Dengan fredy krueger dan
penywise boieh jadi ia dapat memberikan sedikit
tekanan pada kanjuruhan .
Ia hendak pamerkan dua orang tangkapan itu pada
umum. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal
di Dasun. Berita tentang mereka harus sampai ke jayamahanaya .
hwang jang lee sendiri bukan keturunan awak armada
Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang
di kediri . Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao
Sam. namun ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak
memiliki sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja
setempat.
Sesudah menyelesaikan urusannya di campa , dengan
sebuah perahu layar milik fredy krueger dan penywise ia
kembali ke kediri .
Kumbang-kumbang itu berputar-putar mengigal dalam
tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun
yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka
gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah
dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampu-
lampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna
yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang memukau
perasaan.
Seakan langsung dari langit melawan serombongan
kumbang jantan, dan buyarlah sekelompok betina yang
berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka
lalu berkitar-kitar, berkelompok dan pecah.
Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah
lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang
berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang
menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup
sampai ke dasar cawan.
Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal
bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan
gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua
menjadi satu, dan satu untuk membanyak dan membiak
mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya.
Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan
kumbang itu kehabisan cumbu, kekeringan rayu.
Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam
lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Dicerai-
beraikannya pasangan itu. Gamelan mengendap-endap ragu
dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih
tercampak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina
yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan
perkasa.
Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik
sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang
kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meranamun
sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping,
tersangsang pada selembar daun bunga.
Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu
adalah nyi girah . Kamaratih kediri .
Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana
berukir, duduk Sang adiputro . Pandangnya gelap menembusi
ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya
membisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua
gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang
memancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: nyi girah !
nyi girah !
Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang
adiputro , seorang penguasa di antara para bawahan , kendorlah
semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan
punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil
menebarkan pandang pada semua orang yang duduk
melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan
mendesiskan keluh kesakitan.
Sebelum nyi girah turun menari di kalangan, satu barisan
gadis para pembesar sudah menari bersama memperagakan
keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan
wajah. namun Sang adiputro kehilangan gairah untuk memilih
salah seorang di antaranya.
nyi girah ! nyi girah ! Hanya nyi girah ! Mengapa anak desa
perbatasan ini mampu menaklukkan aku? Sekali-dua ia
menghembuskan nafas keluh dan ratap yang
ditenggelamkan oleh bunyi gamelan. Seakan aku bukan se-
orang tua, namun seorang perjaka belasan tahun!
Di belakang Sang adiputro , berdiri di pinggiran, adalah
raden sanggabuana bumikerta , berjubah genggang, bertarbus
merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi,
menjamah dan menelan tubuh yang sedang berlenggang-
lenggok menari itu. Ia tak terbiasa mendengarkan gamelan,
tak terbiasa melihat tarian Jawa. Namun semua itu terasa
jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang
membersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia
dapatkan pada tarian blambangan dan kanjuruhan .
nyi girah nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan
kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya,
seperti kumbang betina sebetulnya yang sedang
kehilangan akal dan berputus asa.
Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang
memanggil-manggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan
geletar jari-jari yang mengundang bercengkebetari dan
bercinta itu….
Tangan raden sanggabuana bumikerta mengepal-ngepal,
seakan seluruh tubuh yang indah itu sudah berada dalam
genggamannya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun
utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya!
Dalam meranamun sayap kekasihnya yang compang-
camping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada
langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan raden
sanggabuana bumikerta merasa dalam harapannya, kekasih
baru itu tidak lain dari dirinya.
Di tempat duduknya, di samping Sang adiputro , agak di
belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampir-
hampir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata
rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan
dan gerak si penari. Serasi yang padu itu membawanya
terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak
tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan
kepayahannya mengurus pemborongan rempah-rempah
dari panarukan dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya.
Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu
mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan
menggelepar. Gamelan mendadak berhenti. nyi girah menata
diri, bersimpuh dan bersujud Sang adiputro , hilang
mengundurkan diri dari kalangan.
Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan mendeham.
Pertunjukan selesai.
Sang adiputro meninggalkan pendopo dan langsung
masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gambaran dan
bayangan tentang nyi girah . Sebuah pintu rahasia sudah
membawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya
sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah
pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke
dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang
memasuki ruangan rahasia.
Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya
ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang
membangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga
bawah tanah ini memanjang hampir dua ribu depa, dan
dikerjakan oleh bajak-bajak yang sudah tertangkap.
Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib
adiputro yang digantikannya tertumpas punah oleh
ekspedisi hukuman kerajaan jenggala . Maka dibikinnya
terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari
kepungan. Sesudah bajak-bajak ini menyelesaikan
pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan
dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah
dibuka lagi.
Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit
rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan
larangan.
Setiap adiputro kediri digantikan oleh anaknya, ia
memperoleh petunjuk memasuki rongga ini dan memperoleh
kewajiban untuk setiap bulan memeriksa dan memperbaiki
dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak.
Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang
menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu
melapuk selama lebih dari 400 tahun ini. Udara yang
basah pengap pun tak kuasa merusakkannya: Sebentar Sang
adiputro berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan
tangan lain ia menanting pelita gantung.
Gambar nyi girah kembali mengunjungi pikirannya, dan
dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih
tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil hutan larangan
yang terindah itu. namun nyi girah sudah jadi milik seseorang,
sudah disaksikan oleh seluruh penduduk kediri Kota. Ia
tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia
harus mati tanpa menjamahnya. Ya, biar pun ia sudah
kirimkan raden panji gelang-gelang jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh
lakukan itu.
Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalamnya ia
keluarkan selembar kulit yang sudah bercendawan.
Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan
dan muncul sebuah peta laut peninggalan kerajaan jenggala , yang
sudah lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah
hampir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai
melumut di sana sini.
Tak lama ia mempelajarinya. Dikembalikan barang itu di
tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan
pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang
lembab dan mencekik itu membatalkan niatnya. Memang ia
tak pernah berjalan sampai ke ujung sana. Dahulu pernah ia
tutup dengan papan di dekat ujung, sebab ia takut kalau-
kalau ular memasuki dan menjadikan sarangnya.
Sambil berjalan balik ke bilik peraduan gambar peta dan
gambaran nyi girah silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap
kali ia hendak melukiskan tempat-tempat di mana nyi kanjeng blora
berada untuk memperoleh kan kesimpulan gerak mana lagi
yang akan diambilnya, gambaran nyi girah juga yang muncul.
Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk.
Ia keluar dan menuju ke keputrian.
Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih
membuat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis
nama raden panji gelang-gelang dengan huruf Jawa. Pada papan-papan
yang lain tercantum nama petugas laut dan darat yang
bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat
itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu
pulang dari suryabuaya .
raden sanggabuana bumikerta berjalan cepat-cepat pulang.
Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya
tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan.
Didapatinya Nyi kembang Kati sudah nyenyak dalam
tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga,
melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia
mengangguk-angguk membenarkan. Dalam kotak-sirihnya
sekarang tak pernah terdapat jahawe.
Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke
dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur
terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air
dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari
saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam
gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan
mengangguk.
Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan.
Buru-buru lilin ia padamkan. Ia tinggalkan dapur dengan
tangan menggerayang.
Tak lebih dari setengah jam lalu muncul nyi girah
membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya
nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap
hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti.
Sesuatu sudah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali
nampan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di
bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar
dan meletakkannya di atas meja. lalu ia
meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin
dan deburan laut malam ini.
Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru
sebab nya terdengar lebih keras dan menggelisahkan
pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rumah, sekalipun
tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was
ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar.
Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan
nampan di atas meja, juga pelita itu. lalu sambil
berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada
sang Hyang betari durga sebab tarian sudah ia lakukan dengan baik
tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia
tidak suka menarikannya. Isinya tak memiliki sangkut-
paut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa
rusuh sekarang ini sesudah menarikannya.
Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah rambutnya
terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu
itu.
Ia sudah melangkah hendak keluar untuk menggosok
gigmya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan
menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik.
Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada
ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya
berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu
semalam ini?
Dengan cundriknya nyi girah menepak hewan bersabda itu
sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara
kakinya terpenggal.
Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di
sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. nyi girah
melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali
langit-langit dari jajaran papan.
Dengan diam-diam ia kupas pisang dan memakannya
lalu menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja.
Sesudah itu ia pun minum dari gendi.
Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok
gigi. Sesudah itu, sebelum tidur, ia akan membacakan
mantera untuk keselamatan suaminya. Tiba-tiba dirasainya
kepala nya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan
tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai
berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan
menuju ke ambin. Ia rasai kepala nya menekan berat pada
tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya ambin agar
tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan
lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak
atau digerakkan.
Dengan tangan satu ia sudah berpegangan pada ambin. Ia
masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia
ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus
memasaknya dahulu . Ia tahu bagaimana pegangannya pada
tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa
tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di
awang-awang. Ia heran dan gugup, namun tak dapat berbuat
sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia
terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari
badan. Yang tersisa hanya suatu kesubetari n.
Pada waktu itulah masuk raden sanggabuana bumikerta ke
dalam kamar. Ia sudah tidak berjubah lagj, namun bersarong
dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan
tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya
dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan
disinarinya wajah nyi girah yang terkapar di lantai, tertidur.
Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita lalu
dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hati-
hati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas
ambin….
Keesokannya sinar matahari sudah tinggi di langit sesudah dengan
susah-payah menerobosi dasar laut Pintu kamar gandok kiri
itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para
nakhoda dan saudagar sudah meninggalkan tempatnya
masing-masing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar.
EM dapur kepatih wirabuana an Nyi kembang Kati sudah sibuk
memasak.
nyi girah belum juga muncul.
Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke
semua mataangin, nyi girah baru membukakan mata.
Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu
impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia
menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya.
Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk.
Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di
tempatnya. Siapa gerangan sudah memindahkan dari
tempatnya yang biasa?
Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali
ada orang masuk ke kamamya ataukah raden gelang-gelang sudah
pulang?
Ia hendak melompat turun. namun tubuhnya dirasainya
sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari ambin. Kakinya
tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong.
Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam
sarongnya yang juga tergeletak di lantai.
Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam
sebelum tidur.
Ia percaya semalam belum lagi naik ke atas ambin.
Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit
dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki
kecuak. Pelita gantung itu masih menyala namun tidak di
tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat
dalam impian: seseorang mengangkatnya ke atas ambin dan
hembusan nafasnya meniup pada mukanya. Sayup-sayup ia
dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata
cumbu pada kupingnya.
Ia memekik, namun tak ada suara keluar dari mulutnya.
Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke
ambin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. namun
bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia termangu-
mangu. Apakah benar impin itu? Tuan patih wirabuana kediri
pakanewon Habibullah Almasawa?
Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang
bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil
dalam hati. Pastilah mungkin semalam sudah kulepas.
Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari
impian semalam.
Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada
tepian ambin dan terhisak-hisak: “Dewa Batara! Impian
apakah yang kau berikan padaku ini?”
Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya.
“Mengapa kau jadi begini, Nak?” Nyi kembang Kati
menolongnya berdiri. “Kau sakit?”
Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di
lantai dan memakai nya. Dengan langkah lunglai ia pergi
ke tempat mandi.
Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari
itu ia nampak murung. namun impian itu memburunya
terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, memohon,
membaca mantera….
Tiga hari lalu , tengah malam, ia menghadap pada
sang Hyang betari durga , memohon: “Kalau impian itu benar, duh
baginda tuanku raja , apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini?
Ambillah dia kembali, baginda tuanku raja .”
Dan sang Hyang betari durga tidak mencabut hidup yang diberikan
kepadanya.
Pada hari yang ke 9 ia ulangi menghadap. Juga
sang Hyang betari durga tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan
sekali saja terjadi. Setiap Sang adiputro memanggilnya untuk
menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang
melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya
bicara tentang itu.
Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini
barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia sudah taburkan
tepung garam pada pojokan-pojokan dan sudah ia pasang
sesaji, ia pun sudah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil.
Tetap juga patih wirabuana kediri pakanewon Habibullah Almasawa
datang berkunjung di dalam impiannya, dan membujuk,
dan merayu, dan memeluknya, tindakan demi tindakan
sampai seluruh percintaan selesai. Ia masih saja dapat rasai
sensang yang betari durga jenggot, kumis dan cambang-bauknya.
Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya.
Mengapa dalam alam impian tak dapat?
Ia pun ucapkan mantra-mantra penolak gandarwa
sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa
daya.
Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan
Tuan patih wirabuana yang memiliki daya sihir unggul. Dan
pikiran itu saja sudah membuat ia bergidik, merasa diri tak
ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada
perlindungan sang Hyang betari durga .
Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan
kepatih wirabuana an dan pulang ke desa. namun sang adiputro
tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani
mempersembahkan alasan.
Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selama ini:
ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung.
Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang
adiputro . Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda
belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang adiputro di
ambin kayu berukir.
“Kau pucat dan kurus, nyi girah , Kamaratih kediri . Ada
apa gerangan, pujaan kediri ?”
”Ampun, baginda tuanku raja sesembahan patih , justru itulah sebabnya
patih datang menghadap. Limpahkan kiranya ampun baginda tuanku raja
adiputro pada patih , sebab patih berhalangan untuk menari
dalam beberapa bulan ini.”
”Ah-ya, nyi girah , agaknya kami mengerti. Barangkali kau
mengandung.”
“Demikianlah adanya, baginda tuanku raja sesembahan patih .”
“Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak
berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati.
Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih kediri .”
Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya
yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk
membela diri. Ia bersedia membela diri dan temyata dalam
impian tidak memiliki kemampuan. “Adakah lagi yang
hendak kau persembahkan?”
“Ampun, baginda tuanku raja , bila diperkenankan, patih memohon
diperkenankan pulang ke desa baginda tuanku raja .”
Sang adiputro tertawa bersabda dan tulus.
‘Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta
pulang ke desa?” Ia bangkit mendekati penari kenamaan
itu. Waktu tangannya sudah sampai pada kepala nyi girah dan
hendak membelai rambutnya, segera ia menariknya
kembali.
“Jangan,” larangnya sesudah duduk kembali di ambin.
“Suamimu belum juga pulang. Kalau kau perlukan
seseorang untuk membantu atau menemanimu di
rumah….”
Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang
bersembah, bahwa segala sudah dipersiapkan untuk nyi girah .
“Dengar, nyi girah , seluruh kediri dan kami sendiri sangat
menghargai segala yang sudah kau pertunjukkan di hadapan
bawahan kediri dan kami selama ini. Kau sekarang
mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami
tak berkenan membiarkan kau pulang ke desa. Inilah
hiburan untukmu, majulah nyi girah , dan terimalah.” nyi girah
mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang
adiputro .
“Dan sejak hari ini. nyi girah , kami berkenan mengangkat
kau dengan mpu wungubhumi Nyi kembang ,” lalu pada menteri-
dalam, “hendaknya dimasyhurkan anugerah mpu wungubhumi ini pada
sore hari ini juga,” dan kembali pada nyi girah , “pulanglah
kau, Nyi kembang , sejahtera untukmu!”
Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan
sejak itu ia menjadi pembantu dan teman sekamamya.
Anugerah mpu wungubhumi itu dibenarkan oleh seluruh kediri . Dan
berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih
kediri mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk
menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi
sejenis itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang
dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh
negeri di lalu hari.
Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong
mengerumuni pintu gerbang kepatih wirabuana an. Dan Paman
Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan
sumbangan kepada nyi girah .
Sebaliknya nyi girah semakin berkecil hati. Semakin hari ia
semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan
sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari
balik kulitnya.
Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di
ambin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk
setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya
dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti
tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu
kata.
Dan bila malam sudah larut dan wanita muda dari
kadipaten itu sudah terlelap di pojokan, mulai teriakan-
teriakan itu berteriak dalam sanubarinya: Anak siapakah
kau yang berada di bawah jantungku ini? Anak Kang
raden gelang-gelang . Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia
anak Kang raden gelang-gelang .
sudah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba
mepercaya kan diri sendiri: ”Kau anak Kang raden gelang-gelang , Nak,
anak Kang raden gelang-gelang , tidak bisa lain.” Sambil membelai
perutnya yang semakin besar juga. “Tak ada gandarwa atau
drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku?
Kau anak Kang raden gelang-gelang .”
Namun tetap ada suara lain melengking dengan nada
tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu
mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan pakanewon , tuan
patih wirabuana . Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak
pakanewon ! pakanewon yang sakti mantraguna, nyi girah ! Tetap tak ada
seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun membisu
tentangnya.
Nyi kembang Kati pernah menegumya: “Banyak wanita tak
bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau,
nyi girah , mengapa murung seperti tak rela memperoleh kan
karunia?”
Ia semakin kurus juga dan ketenteraman batinnya tak
juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut
menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan
mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku
mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya
Batara, dan berikan pada kami impian dahulu dan selalu kami
pohonkan dahulu kepada-Mu.
Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang
Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguh-
sungguh sudah kehilangan keredupan dan kesungguhan.
Dan: Ya, Batara, biarlah Kang raden gelang-gelang tahu lebih dahulu
anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia
puaskan gada wesi nya pada dadaku sebagaimana sudah jadi
haknya, sebab hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada
gunanya..
wah
Tengah hari kala itu. Terdengar Paman Marta berseru-
seru riang: ‘Tuan patih wirabuana -muda datang, Nyi kembang !”
nyi girah merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki
seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari ambin, lupa
pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi,
kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin.
Disenyum-senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin
perunggu. Disisimya rambutnya cepat-cepat, diminpercaya ya
dan disisirinya lagi. Diambilnya pakaian terbaik tenunan
sendiri. lalu dengan terburu-buru menggosok gigi
dengan tepung arang.
Kang raden gelang-gelang datang, hatinya ia paksa menyanyi keras
untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap
kesempatan itu.
Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu
suaminya memasuki pelataran depan. Taman bunga di
depan kepatih wirabuana an itu kehilangan keindahannya.
Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya.
Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul.
“Benar, Nyi kembang ,” jawab Paman Marta. “saya
sendiri sudah melihatnya. Biar saya tengok lagi di
jenggala .”
Laki-laki itu bergegas meninggalkan pelataran
kepatih wirabuana an dan turun ke jalan besar. Mukanya berseri-
seri berbahagia sudah memperoleh pertanyaan dari Dewi Cinta
yang sedang merana itu. Tak lama lalu ia muncul lagi
dan berdiri menekur di hadapan nyi girah ; “Orang bilang, Nyi
kembang , jenggala a patih wirabuana -muda langsung naik ke kota.”
Nyi kembang Kati datang dan menegurnya: “Kau kelihatan
berdarah, nyi girah . Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu?
Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapmu?”
“Bolehkah saya pergi, Nyi kembang ?” Paman Marta
minta diri.
nyi girah mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk
meneruskan pekerjaannya.
“Sejak kecil kami bergaul tanpa perhiasan, Nyi kembang .”
“Sebaiknya kau kenakan, Nak.”
“Mengapa dia tak langsung pulang?” nyi girah bertanya
dengan nada protes.
“Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus
menghadap dahulu . Itu kewajibannya.”
nyi girah masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk
memakai perhiasan dan berganti dengan pakaian
karunia Sang adiputro , salah satu dari sekian banyak karunia
yang sudah diterimanya sesudah kepergian suaminya. Suatu
kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian
tenunan sendiri.
Sebelum sinar matahari tenggelam suami yang dirindukan itu
nampak memasuki pelataran depan. nyi girah berdiri
menyambutnya di beranda. Kedua belah tangannya sudah
merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dahulu
sebelum Laki-laki itu jadi suaminya, dan membisikkan kata-
kata cumbu.
Darahnya mendadak mendidih dan semua kerinduannya
buyar.
raden sanggabuana bumikerta lari-lari kecil menuruni
tangga kepatih wirabuana an dan memanggil suaminya yang
sedang berjalan menuju padanya.
raden gelang-gelang berhenti, balik kanan jalan dan membungkuk
pada patih wirabuana , majikannya.
patih wirabuana kediri mengangguk sambil tertawa. Ia
tegakkan bongkok, melambai lalu bertepuk-tepuk:
“Wira, Ah, Wira!”
Dan raden panji gelang-gelang mengiringkannya masuk ke gedung
utama.
“Semua orang memilikinya, kecuali aku,” nyi girah
memprotes.
“Mari ke gedung utama, nyi girah ,” Nyi kembang Kati
mengajak.
Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu:
“Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau
pulang, biarlah tak muncul lagi.”
“Cemburu kau, nyi girah ?”
nyi girah tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya,
tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selama ini. Sia-sia
Nyi kembang Kati menghibumya.
“Biar aku suruh pulang dia,” katanya, lalu
melangkah cepat-cepat ke gedung utama. nyi girah masuk ke
dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia menyesal sudah
mengasari Nyi kembang Kati yang selama itu begitu baik
terhadapnya. Tak lama lalu diketahuinya suaminya
masuk. Terdengar olehnya suaranya.
“Dewiku! Dewiku! Kakangmu datang.”
Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. namun ia pura-
pura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat
suaminya mengangkat tubuhnya dari ambin, mendekapkan
pada dadanya yang bidang. Ia menangis untuk ke sekian
kalinya, namun yang sekarang bukan tangis derita tangis
bahagia tanpa ukuran.
“Kau kurus, nyi girah , Kau terlalu banyak menari.”
“Ah, kau, Kang raden gelang-gelang , berapa bulan aku harus tunggu
kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku
seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang
sudah mengintip di bawah jantung ini.”
“Mengandung! Kau mengandung, nyi girah ?” ia letakkan
kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain nyi girah . Ia ciumi
anak yang bersembunyi di balik kulit perut. Dan suaranya
mendesis gugup: “Aih, anakku! Anakku! Tiada aku
sangka!” ia kagumi istrinya. “Mereka memuji-muji kau
belaka, nyi girah , mereka semua memohon untuk
kesejahteraan dan keselamatanmu. Dan anak ini juga.
Mereka bilang, kau sedang mengandung. Dan mereka
bilang, kau sudah memperoleh karunia mpu wungubhumi ….”
Dan malam datang dengan cepatnya.
Dunia menjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak
meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi
malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu.
nyi girah tergolek di ambin. Matanya terpejam menikmati
kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang
sedang tergolek juga.
Juara gulat itu sedang mengawasi sotoh dengan pandang
menembusi masa silam dan masa yang baru saja
dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang
punggawa berbakat dan pasti akan memperoleh kan tugas-
tugas yang lebih berarti. Semua pekerjaannya dianggap
berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaimana hasil
pekerjaannya itu. Sang Patih sudah membawanya
menghadap Sang adiputro . Penguasa itu menitahkan pada
Sang Patih untuk mengundurkan diri, lalu sendiri
berkata padanya: ‘Tidak salah pilihanku, kau,
raden panji gelang-gelang , kau, anak desa…. cepat atau lambat kaulah
orang yang akan memanggil kembali kejayaan dan
kebesaran masa silam untuk kediri . Mungkin kau sendiri
belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaanmu
sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang
seharusnya kau ketahui. Itulah rahasia kekuatanmu. Kau
ada kemampuan, hanya barangkali belum pernah terlalu
rindu padamu. Dan perlu kau ketahui, selama ini ia sering
menari di sini.’
Ia berbesar hati sebab semua pujian itu. Pujian dari
Sang Patih dan Sang adiputro sendiri! Orang-orang yang
begitu berkuasa! Dan ia berjanji pada diri sendiri untuk
menyediakan waktu guna memahami di mana hasil
pekerjaannya di suryabuaya dan pajang bintoro selama ini.
“Kau tak juga bercerita, Kang,” tegur istrinya.
“Terlampau lama kutinggalkan kau, nyi girah . Tak bisa
lain.”
“Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum
juga menceritakan sesuatu.”
“Aku rindu, nyi girah . Kau rindu juga?” dan nyi girah tak
menjawab. “Mengapa kau diam saja? Marah?”
“Aku selalu ketakutan, Kang.”
“Aku tahu apa yang kau takutkan,” raden panji gelang-gelang
membayangkan Sang adiputro dan patih wirabuana kediri .
“namun aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai
melakukan itu.”
nyi girah merangkulnya. Suaranya gemetar: “Di tanganku
ada cundrik, Kang,” ia menguatkan rangkulannya. “Tangan
ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. sebab , Kang, dia
datang dalam impian.”
“Dan kata orang tua-tua,” raden panji gelang-gelang meneruskan,
”jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian’ Kau masih
ingat itu, nyi girah ?”
“Dia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada
cundrik di tanganku.”
“Kau sedang bercericau, nyi girah ! Bicaramu begini aneh,”
dan digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. “Apa
maksudmu?”
Berceritalah nyi girah tentang pengalaman mimpi yang
berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari.
Dan raden panji gelang-gelang mendengarkan cermat-cermat
sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari
kekasihnya.
Penutup cerita adalah pertanyaan: “Bagaimana, Kang,
sekiranya impian itu benar?”
“Impian tinggsang hyang Widhi impian.”
“Dan anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan
anakmu?”
“Husy. Orang bunting memang suka mengada-ada.”
“Maka, Kang, maka akan kau htumenggung dijoyo gada wesi , kelak. bila si
anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan
tarik sebilah gada dan kau cincang si bayi yang tertidur di
samping bangkai ibunya. lalu kau akan lari, lari, lari
entah ke mana, membawa dendam dan kesakitan di dalam
hati. namun tak ada tempat di mana kau akan pernah
sampai. sebab ingatanmu selahi akan kembali pada
kekasih yang lelah kauhatra dengan gada wesi sendiri….”
“Kau semakin aneh, nyi girah . Diam, diamlah. Impian
tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau
haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dahulu di
ladang?”
nyi girah terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan:
rangkulannya pada dada suaminya. Dan dada yang bidang
itu melindunginya dari kegelisahan dan ketakutan.
Dan raden panji gelang-gelang membiarkannya. Angan patih wirabuana -
muda itu kini sibuk menggalang gambaran hari depan yang
penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua
dimulai dengan cipta, kata betari during. Semua itu tak
bakal ada tanpa cita. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin
pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta?
resi -resi nya dahulu belum pernah ada yang mengajarkan.
Ia tak tahu. Ia berusaha mepercaya kan diri, ia mengerti apa
yang dikehendaki Sang adiputro dan Sang Patih atas dirinya:
kepasang yang betari durga pada perintah dan menjalankan dengan sebaik-
baiknya tanpa menanggapi soal-soal selebihnya. Dan
inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran
dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang
adiputro sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan
kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa
restu seorang raja? Benar. Semua benar. Dan terpampang di
hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu:
kediri yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang
menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau….
Semua akan terjadi sebab jasa-nya, jasa raden panji gelang-gelang .
pajang bintoro dan suryabuaya tidak bakal bisa menandingi kediri .
Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil
kembali kebesaran dan kejayaan kerajaan jenggala pada guagarba
haridepan. Mereka tak tahu!
Dalam suasana hati yang naik semangat itu ia
mengucapkan terimakasih pada mendiang betari resi
dan semua resi -pembicaraan yang pernah didengamya.
Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam
hati suaminya, nyi girah berbisik lembut: “Nampaknya desa
kita makin lama makin jauh dari langkahmu, Kang. Rasa-
rasanya kita takkan sampai-sampai juga ke sana.”
“Sampai,” bisik juara gulat itu.
“Gubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu,
Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan
berkeruyuk untuk selama-lamanya. Dan anjing-anjing kita
takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya.”
“Bisa.”
“Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau
tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan
membawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.”
raden panji gelang-gelang tertawa dan ditariknya kuping is trinya:
“Makin tua kau makin cerewet.”
Dan nyi girah tetap memeluk suaminya, menekankan
kuping pada dadanya agar tak mendengar desau angin dan
deburan laut.
Melihat istrinya sudah tidur dalam kedamaian dan
kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa
batas.
Apa kata betari resi ? ‘Aku bicara tidak tentang
kematian, namun tentang kehidupan yang bercipta dan
mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, sebab tanpa
dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya’.
Mengapa nyi girah lebih suka bicara tentang kematian? Tidak
betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan
geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya
mencipta.
Pagi-pagi benar nyi girah sudah memulai dengan kata-
katanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela
rumah utama. Suaminya mengikuti arah tudingannya, dan
dilihatnya pada jendela itu sebagian dari muka patih wirabuana
kediri .
“Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu
mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa
kali. Dan dia datang kemari dalam impian di waktu
malam.”
“Diam, nyi girah . Kau terganggu sebab kandunganmu.”
raden panji gelang-gelang dapat menangkap kilat pada mata Thotib
Sungkai bumikerta . Ia tercenung. Barangkali keluhan dan
cerita istrinya bukan tidak memiliki dasar.
Namun ia tetap tidak menanggapi.
wah
11. Menyerang jayamahanaya
Duta kediri yang menghadap kanjeng sinuhun pajang bintoro sudah
kembali dengan membawa dan Raden Kusnan, salah
seorang putra Sang adiputro .
Beberapa minggu sesudah itu pasukan laut kediri naik ke
atas kapal-kapal perang yang sudah berlabuh berjajar pada
dermaga, sebuah jalur karang yang menjorok ke laut. Lima
ratus centeng laut akan berangkat meninggalkan kediri .
Dan genderang betari i bertalu ditingkah oleh bunyi kenong.
centeng -centeng itu sudah menjalani latihan ulangan
selama tiga bulan.
Dari seluruh negeri orang datang untuk menguntapkan
para centeng yang hendak berangkat berlayar. Juga untuk
mengagumi kapal-kapal baru yang habis diturunkan dari
galangan. Dan memang tak pernah selama kekuasaan
adiputro kediri Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terjadi
pemberangkatan pasukan laut sebanyak sekarang.
Tahun 1513 Masehi.
Gugusan pasukan laut kediri akan dipimpin oleh Raden
Kusnan. raden panji gelang-gelang dengan resmi sudah diangkat jadi
pembantu-utamanya. Sang adiputro sendiri yang melantik
beberapa hari yang lalu. Dan tujuan gugusan ini: suryabuaya .
Tujuan yang banyak menimbulkan teka-teki, sebab
nampaknya Sang adiputro mengirimkan mereka tidak
dengan tujuan merebut kembali jenggala terbarat milik
kediri itu.
Sebelum layar-layar dikembangkan Sang adiputro
menjatuhkan perintah kepada putranya: “Kau, Raden Kusnan,
kami percayakan gugusan pasukan laut kediri ini.
Berangkat kau sampai ke suryabuaya . Jangan tidak, bergabung
kau dengan armada suryabuaya . Kau sendiri lebih tahu tentang
apa yang harus kau perbuat. Sesudah bergabung kau berada
di bawah perintah baginda tuanku raja adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya , yang akan
bertindak sebagai laksamana. Kerjakan kewajibanmu
dengan baik. Semoga sejahtera selalu kau, kapal-kapalmu
dan anak-buahmu.”
Layar-layar pun menggelembung dan lima buah
kapalperang itu berangkat. Semua dipersenjatai dengan
cetbang buatan Trantang. Jurusan: barat. Angin cukup
baik. Pendayung-pendayung pembantu untuk memperlaju
pelayaran tidak dipakai .
Dari kapal dan dari darat sorak-sorai bcrgema
bersambut-sambutan. Makin jauh kapal-kapal dari darat
sorak-sorai berganti dengan lambaian umbul-umbul dan
selendang dan tangan.
Makin jauh lagi, umbul-umbul dan selendang digantikan
oleh doa. Makin jauh dan makin jauh. Dan gugusan itu
berpisahan dengan alam dan manusia kediri .
Para centeng dan awak kapal berseri-seri. Sekaranglah
baru mereka menempuh jarak jauh. Pendongeng mulai
membuka cerita dan membentuk lingkaran pendengar di
atas geladak Dalam lingkaran yang lebih kecil orang mulai
merentangkan pendapatnya ten tang sesuatu hal tertentu.
Pada hari pertama itu raden panji gelang-gelang lebih ban yak
berjalan mondar-mandir di geladak untuk menyesuaikan
diri dengan kehidupannya yang baru. Juga ia sedang
menimbang-nimbang diri apakah bakal mabuk laut atau
tidak. Sudah dua kali ia naik kapal, dan selalu merasa tidak
enak badan. Sebagai pembantu utama kepala gugusan ia
akan jatuh harga bila sampai mabuk laut. Dan dengan terus
berjalan mondar-mandir begini ia harap akan memperoleh kan
daya-tahan yang mencukupi
namun penghormatan yang berlebihan itu membuat ia
menjadi kikuk. Ia merasa risi memperoleh perhatian orang.
Dan ia tahu ia lebih diperhatikan dibandingkan Raden Kusnan.
Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk kediri lebih
memperhatikan pejabat yang berasal dari orang
kebanyakan. Anak ningrat, apalagi putra Sang adiputro ,
bukanlah suatu yang luarbiasa bila menduduki jabatan pen
ting. namun anak desa, hanya sebab keist ime waan saja
bisa meningkat ke atas.
Ya, la merasa canggung. Namun ia tahu, ia hams
beiusaha meninggalkan kesan, tak ada maksud padanya
untuk meniru-niru tingkah pembesar ningrat. Ia jawab
pandang mata bawahannya dengan senyum bersabda . Ia
dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan per-
hatian. Ia tanyai mereka yang nampak murung. Ia ajak
bicara mereka yang nampak termenung-menung
mengenangkan yang tertinggal di rumah. Ia berusaha
menjadi sahabat untuk semua mereka, seorang sahabat
yang memperhatikan.
Pandang kagum yang tertuju padanya menyehabkan ia
merasa malu pada dirinya sendiri. Ia menyadari, diri belum
layak memikul tugas setinggi itu. Sudah sejak menjabat jadi
patih wirabuana -muda selalu saja orang menyuguhkan pandang
kagum seperti itu. Dan sebagai patih wirabuana -muda ia pun
masih belum mengerti benar apa ia harus kerjakan. Dan
sebagai pengawas galangan kapal di Glondong ia lebih
banyak mondar-mandir dibandingkan melakukan pengawasan.
Apa pula yang harus ia awasi? Ia tak tahu sesuatu tentang
pembuatan kapal! Dan sekarang ia jadi pemimpin-muda
gugusan pasukan laut! Berenang pun ia tak bisa.
Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi
kebesaran untuk kediri merupakan riwayat pergolakan jiwa
yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Dua-
duanya terns juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam
hatinya. Ia selalu berada dalam keadaan was-was dan
waspada.
Ia mulai memperoleh ketenteraman nya waktu sinar matahari sudah
tenggelam dan malam mulai datang memeluk alam. Ufuk
barat di kaki langit Sana tinggal sembirat merah dan
permukaan laut mengantarkan pantulannya pada layar-
layar dan tiang-tiangnya, pada semua orang yang mondar-
mandir di geladak. Dan langit di timur dijambuinya. Ia
sendiri teringat pada rumah yang ditinggalkannya, pada
nyi girah , pada mpu wungubhumi , si anak itu.
Ia berjalan lambat-lambat ke haluan. Seorang centeng
yang sedang mencangkung pada lambung kapal terdengar
olehnya berkata pada temannya: “Sekiranya baginda tuanku raja adiputro
tidak berputra, pastilah patih wirabuana muda raden panji gelang-gelang
yang memimpin gugusan kita ini.”
Uh, sanjungan, sanjungan belaka, pikir juara gulat itu.
Semua pejabat berasal dari desa rupanya selalu disanjung-
sanjung. Dan setiap sanjungan I dirasainya melekat-liat
menganggap perasaannya dan kebebasannya bergerak.
Setiap sanjungan selalu diikuti pertanyaan pada diri sendiri:
Tidakkah langkahku selanjutnya takkan menimbulkan
kekecewaan dalam hati mereka? Mau-tak-mau ia terpaksa
lebih berhati-hati menjaga setiap langkahnya. sebab :
pejabat dari desa setiap waktu bisa terbanting ke tanah.
Pada malam pertama itu ia memperoleh tugas melakukan
pengawasan keliling, di geladak atas dan tengah dan bawah,
di lambung, haluan dan buritan. Sengaja ia lepas tanda
pangkat dan jabatan dan berpakaian sebagai centeng biasa.
Di buritan ia dapatkan beberapa orang sedang duduk
merenung dan ia mendekat. Mereka tak mengenalnya.
Di antara desauan angin dan gelepar layar didengamya
salah seorang di antaranya menyebut-nyebut namanya. Ia
menunduk menyembunyikan muka dan mendengarkan
dengan diam-diam.
“Ingat kalian pada pesta perkawinannya dahulu ? Orang
bilang, aku tidak lihat sendiri, kedua orang mempelai itu
terjatuh dari tandu pengantin. Coba, mempelai terjatuh dari
tandunya! Mana pernah ada?”
“Ya, orang-orang pada terkejut kehilangan semangat,
takut pada murka para dewa. Aku juga. Tak ada yang
membantu mereka. raden panji gelang-gelang dan nyi girah merangkak
bangun dari tanah. Mereka berdiri sendiri, berjalan dengan
prihatin ke arah Sela Baginda.”
“Rupa-rupanya itulah alamat buruk yang sedang
menimpa diri mereka berdua. Kasihan. Betapa menderita
raden panji gelang-gelang . Siapa pun tahu di balik senyum dan
kebersabda annya: batin yang teraniaya di bawah timbunan
batu.”
“Betul, siapa pun tahu,” yang lain meneruskan. “Orang
bilang tak mungkin nyi girah mau dengan sukarela. Bahkan
Sang adiputro pun ditolaknya dengan menentang maut. Dia
sungguh-sungguh menrintai juara gulat itu. Maka, mana
mungkin nyi girah bisa menerima burung aneh dari Espanya
itu?”
“Siapa tahu Guti adiputro sendiri yang memaksanya
untuk menerima dia, gandarwa Ulasawa itu?”
“Memang patih wirabuana keparat itu terlalu dimanjakan
oleh Sang adiputro ,” seorang lain menggarami. “Manusia
terkutuk!”
“Kalau Nyi kembang nyi girah berani menantang maut
menolak Gush adiputro , tak mungkin dia mau menerima
pakanewon Ulasawa, sekalipun atas paksaan baginda tuanku raja adiputro . Dia
akan tetap memilih maut. Lagi pula apa sebetulnya
kepentingan baginda tuanku raja adiputro ? Ia sendiri memberahikannya.”
“Lagi pula mengapa baginda tuanku raja adiputro tak juga mangkat?
Sudah setua itu. Makin lama makin habislah gadis-gadis
cantik kita.”
Orang-orang itu terdiam. Masing-masing memantulkan
perasaannya masing-masing, iba pada raden panji gelang-gelang dan
istrinya, tak puas pada rajanya sendiri, dan jengkel terhadap
patih wirabuana kediri .
“Kabamya patih wirabuana -muda itu jarang pulang,”
seseorang memulai lagi.
“Dapat dipahami. Coba, bagaimana perasaan hatinya
lelah, pulang ke rumah, dan lagi-lagi melihat bayi yang itu-
itu juga. Jelas-jelas seperti pakanewon Ulasawa.”
“Mengapa tak dibunuhnya saja patih wirabuana keparat itu?”
“Tak perlu dia sendiri. Siapa pun beisedia melakukan itu.
Celakanya dia dilindungi oleh Sang adiputro . Kalau tidak,
sudah lama dia lumat di bawah gada anak-anak kediri .
Orang sejenis itu tidak patut terkena gada wesi . gada pun
mungkin terlalu mulia. Sebaiknya hanya parang dapur.”
“raden panji gelang-gelang sendiri yang sepatutnya melakukannya.”
“Justru dia yang melarang anak-anak kediri
melakukannya kalau ia sendiri tidak mungkin. Dia bilang,
‘jangan’. Anak-anak kediri bertanya, ‘mengapa jangan? itu
bertentangan dengan adat kediri ’. Aku sendiri ikut waktu
itu, jadi tahu sebetulnya duduk perkaranya. Ia bilang,
‘Sang adiputro menitahkan, jiwa patih wirabuana kediri harus
dijaga, dia diperlukan oleh kediri ’”.
“Jadi cerita itu bukan omong kosong?”
“Tidak, aku sendiri menyaksikan.”
“Ah.”
“Coba, Kamaratih kediri diperlakukan seperti itu. Siapa
tidak meluap? Orang asing pula. Dengan cara yang
kurangajar pula.”
“Kata orang begini ceritanya. Cerita itu berasal dari
kepatih wirabuana an. katanya berasal dari Nyi kembang Kati. nyi girah
tidak dipaksa oleh baginda tuanku raja adiputro untuk melayani Say id
Ulasa wa. Katanya patih wirabuana keparat itu memakai
obat bius setiap nyi girah habis menari dari kadipaten.”
raden panji gelang-gelang berdiri dari duduknya, pergi menghindar
bercepat-cepat. Ia masih sempat dengar orang berseru
pelan: “Celaka! Bukankah itu raden panji gelang-gelang sendiri?”
Dan sekarang pemimpin-muda gugusan itu berdiri
seorang diri di haluan. Berdiam diri ia mencangkung
melihat lunas kapal menyibak ombak dan jutaan pasir
cahaya menyebar di sekitar lunas. Sekian ia teringat
pada cerita betari resi tentang lunas kapal-kapal
kerajaan jenggala .
Dan kapalnya terus melindas dan menerjang ombak dan
kembali jutaan pasir cahaya bersemburan. Ia merasa seolah
setiap deburan ombak yang menghantam lambung kanan
sebagai degupan jantungnya sendiri. Lama kelamaan
perhatiannya pada tingkah sang ombak semakin tumpul.
Angannya mengembara melintasi malam mengunjungi
masa yang baru silam. Berapa lama sudah silam? Tidak
lebih dari setengah tahun yang lampau….
wah
Ia rasakan betapa lama nyi girah pergi tetirah ke hutan
larangan dengan Nyi kembang Kati. Sang adiputro sudah
meluluskan permohonan agar istrinya melahirkan di desa.
Juga Sang adiputro sendiri yang menitahkan serombongan
orang untuk menandu pujaan kediri yang akan melahirkan
itu. Tak boleh ada satu cedera pun menimpa diri penari
ulung ini perintah nya. Tak boleh kulimya lecet barang seujung
jari pun. Hukuman berat akan menimpa kepala si
pelanggar.’
Dan berangkat iring-iringan itu meninggalkan kediri .
Lama benar rasanya, dan mereka belum juga kembali. Ia
sendiri tak mungkin berkunjung ke desa.
lalu datanglah sore itu. Ia sedang duduk seorang
diri di dalam kamar. Ia lihat nyi girah berjalan mengendap-
endap mendekati serambi. Perutnya sudah kempes. Jelas ia
sudah melahirkan. Tubuhnya ramping kurus, dan dadanya
gembung bcrisi. Ia melompat untuk mengelu-elukan.
Dan ia terkejut melihat istrinya berkalung melati tiga
lingkar: tanda seorang istri yang menyerahkan nyawa pada
suami untuk dibunuh.
nyi girah nampak ragu-ragu memasuki kamar. la pura-pura
tak melihat kalung melati itu.
“Mengapa kau, nyi girah ? Kau begitu pucat!”
Ia lihat nyi girah memandangnya begitu sayu. Waktu
ditolongnya wanita itu naik ke rumah, dirasainya kedinginan
pada badan istrinya.
Begitu sampai di ambang pintu ia tarik putus kalung
melati itu dan ia lemparkan ke pelataran.
“Kau sakit.”
“Tidakl” jawab nyi girah tegas namun menggigil.
“Mana anakku?”
nyi girah menatap mata suaminya, namun ia tak menjawab.
raden panji gelang-gelang merasa mau memekikkan tanya: matikah
anakku? Ia digilakan oleh kekuatiran.
“Anakmu belum lahir, Kang.”
“Kau sudah melahirkan, nyi girah .”
“Ya, Kang. Yang lahir bukan anakmu, hanya anakku,”
jawab nyi girah dengan suara ditabah-tabahkan, namun masih
juga terdengar kedinginan di dalamnya.
“Jangan aneh-anah,” dan ditolongnya istrinya masuk ke
dalam kamar. “Kau lelah dari perjalanan sejauh itu, pucat
Mana anakmu?”
“Anakku, Kang, bukan anakmu, masih di belakang
digendong Nyi kembang Kati.”
“Beristirahatlah kau, tidurlah,” perintahnya dan siap lari
untuk menjemput anaknya.
nyi girah mencegah, memegangi tangan dan berkata terbata-
bata: “Jangan, jangan jemput anak yang bukan anakmu
itu,” tegahnya, “dengarkan dahulu kata-kataku.”
Ia duduk dan dengan di kuil rat memaksa istrinya duduk
pula.
Wajah nyi girah yang pucat itu kelihatan memohon amat
sangat dan bersungguh-sungguh.
“Ingatkah kau dahulu , Kang, waktu kuceritakan padamu
tentang impianku… dan anganku, dan cundrikku yang tiada
berdaya? Dalam impian. Dia datang dalam impian… Tuan
patih wirabuana pakanewon Habibullah At masawa, Kang.”
Ia mengangkat pandang menatap suaminya yang masih
juga terheran-heran.
“Kau diam saja, Kang. kepala anakku itu sama dengan
kepala Tuan patih wirabuana , tipis gepeng, hidung juga
bengkung. Tak ada kesamaan denganmu, Kang. Ampuni
aku, Kang, Kang, Kang—”
Ia terdiam dan terengah-engah. Diambilnya cundrik dari
balik kemban. Ia pegang tangkai senjata itu. Dengan sekali
kebas sarongnya terlompat entah ke mana. Cepat ia alihkan
tangannya dan kini mata senjata itu yang dipegangnya.
Tangkainya ia ulurkan pada suaminya. Kata-katanya kini
menjadi lemah, menggigil lebih keras hampir-hampir tak
nyata: “Dengan cundrikku sendiri ini, Kang, cundrik
pemberianmu, bunuhlah istrimu yang tidak setia ini. Dia
sudah menerima seorang Laki-laki lain dalam impiannya.”
“Dayu!” kata raden panji gelang-gelang .
“… hanya pesanku, Kang, jangan bunuh bayi itu.
Serahknn dia pada bapaknya, Tuan pakanewon . Aku sudah
bilang begitu juga pada Nyi kembang Kali. Sudah, Kang…
ampunilah aku… istrimu yang tidak setia…”
“Mengapa kau ini, Dayu?”
Tangan nyi girah yang gemetar itu masih memegangi mata
cundrik dan tangkainya masih juga diulurkan pada
suaminya.
“Habis sudah kata-kataku, Kang. Ah, Kang raden gelang-gelang ….”
Mengerti bahwa istrinya menghendaki agar ia
membunuhnya, dengan cepat ia kisarkan ujung cundrik
waktu nyi girah menubrukkan senjata itu pada dirinya sendiri.
Ia lemparkan gada wesi kecil itu dan dirangkulnya istrinya.
“nyi girah , nyi girah , adik si Kakang.”
“Apa guna kau tangguhkan, Kang? Kalau kau mengerti
betul duduk-perkaranya, yang ini juga yang akan terjadi,”
suara nyi girah tak lagi menggigil. “sudah kukumpulkan
seluruh keberanianku dan ketabahanku untuk menghadapi
saat ini. Kau menangguhkan, Kang, kau, Kang?” suaranya
merendah dan kata-katanya semakin cepat dan tidak jelas.
“Tidur. Tidur. Kau lelah, nyi girah .”
‘Tidak!”
“Betapa menderita kau sebab impian itu,” ia angkat
istrinya dan ditidurkan di atas ambin. Tariklah nafas
panjang-panjang sebagaimana diajarkan dahulu di desa kalau
hati sedang tidak tenang.”
Kelibat bayang-bayang memicu raden panji gelang-gelang
menengok ke arah pintu. Dilihatnya di serambi Nyi kembang
Kati mengendap-endap mendekati pintu kamar. Pada
tangannya tergendong bayi dalam bungkusan.
“Itukah anaknya? Bawa masuk sini, Ibu.”
“Jangan, Wira, jangan bunuh anak ini.”
“Mengapa mesti kubunuh? Masuklah,” ia berjalan
keluar.
Nyi kembang Kati nampak waspada.
“Jangan, Wira, bayi ini sekarang anakku. Aku datang
untuk mengantarkannya untuk melihat ibunya.”
“Mengapa hanya melihat?”
“… melihat ibunya untuk penghabisan kali.”
“Mengapa hanya untuk penghabisan kali?”
“Barangkali susunya masih sempat diisapnya.”
wah
“Wiral” seseorang berteriak.
raden panji gelang-gelang terbangun dari kenangannya. Ia berjalan
melintasi geladak ke jurusan datangnya suara. Raden
Kusnan sudah berdiri di hadapannya dengan bertolak-
pinggang.
“Tahukah orang-orang ini ke mana tujuan kita?”
“jayamahanaya , baginda tuanku raja ,” jawabnya sambil bersujud .
“Bedebah! Dari mana mereka tahu?”
“Seluruh Jawa rasa-rasanya sudah tahu semua, baginda tuanku raja .”
“Seluruh Jawa! Jadi seluruh Jawa sedang menyaksikan
bagaimana kita akan berperang. Kau tahu apa artinya itu,
Wira?”
“patih , baginda tuanku raja .”
“Pernah kau berperang, Wira?”
“Belum, baginda tuanku raja .”
“Apalagi perang laut.”
“Apalagi perang laut, baginda tuanku raja .”
“Kita akan sama-sama mengalami, Wira, kami dan
kau.”
Dari kata-katanya itu raden panji gelang-gelang tahu, Raden Kusnan
pun belum pernah berpengalaman perang, apa lagi perang
laut. namun ia tak menanggapi.
Gugusan kediri terus berlayar tanpa sesuatu halangan.
Pada suatu senja sampailah gugusan itu di jenggala
suryabuaya . Semua centeng berderet di atas geladak kapal
masing-masing untuk melihat suryabuaya yang beberapa tahun
belakangan ini tak pernah mereka singgahi lagi. Orang
terdiam terlongok-longok. Semestinya mereka datang ke
man untuk menyerbu dan mengambil kembali untuk jadi
milik kediri .
namun pelabuhan itu kosong. Hanya perahu-perahu
nelayan sedang meninggalkan pantai yang dangkal itu dan
beberapa kapal dagang berlabuh di muara kali bengawan .
Dengan diantarkan oleh pembantu-utamanya Raden
Kusnan mendarat dan berjalan tergesa-gesa ke kadipaten
suryabuaya . Di sana tak ada mereka jumpai adiputro tumenggung dijoyo
suryabuaya . Yang ada justru abang Raden Kusnan sendiri: Ki
Aji Kalijaga.
raden panji gelang-gelang melihat bagaimana Ki Aji mengeluarkan
tangan kanan dari balik kain batik penutup dada. Dan
terdengar suaranya, tenang, terang, kata demi kata:
“Buyung! Mengapa kediri lima hari terlambat datang?”
Dalam simpuhnya Raden Kusnan menjawab:”Ampun,
Kakanda Aji,
pun yang menentukan keberangkatan bukanlah patih
Tidak lain dari ayahanda sendiri baginda tuanku raja adiputro kediri .”
Ki Aji memasukkan kembali tangannya ke balik kainnya.
“Itu tidak patut,” katanya pelahan. “Biarpun seorang
ayah, seorang adiputro , orang tak patut membuat malu
anaknya.”
“Apakah yang patih harus perbuat sekarang, Kakanda?”
“Susul Laksamana adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya . Ayahmu sudah
memalukan kita semua. Kau jangan bikin malu
kakandamu.”
Ki Aji Kalijaga membalikkan badan dan berjalan tenang
masuk ke dalam kadipaten.
Raden Kusnan dan raden panji gelang-gelang kembali bergegas ke
kapal. Dengan muka pucat ia perintahkan memberi di kuil rat
pada semua kapal untuk mengangkat sauh dan
mengembangkan layar. Ia perintahkan mengerahkan semua
dayung.
“Wira!” teriaknya memanggil pembantu-utamanya
dengan nada berang.
Dalam kamamya yang sempit juara gulat itu melihat
wajah Raden Kusnan sudah kehilangan kepucatannya, kini
merah-hitam dibakar oleh kemarahan.
“Aku percayakan padamu, tak boleh ada orang tahu
tentang keterlambatan kediri yang disengaja ini. Lima hari!
Terlambat lima hari!”
“Mereka semua sudah tahu, baginda tuanku raja .”
“Bedebah! Bagaimana mereka bisa tahu?”
“Mereka tak melihat armada suryabuaya .”
“Mereka harus percaya, armada suryabuaya ada dekat di
depan kita. Mengerti?”
“Mereka pelaut-pelaut yang mengerti tentang laut dan
kapal, baginda tuanku raja .”
“Aku tak percaya mereka tahu.”
“Ya, baginda tuanku raja , mengapa baginda tuanku raja berkata demikian? Bukankah
semua mereka bawahan baginda tuanku raja sendiri? Bukankah mereka
bukan gerombolan kambing bodoh yang tidak tahu apa-apa,
baginda tuanku raja , namun bawahan baginda tuanku raja sendiri?
Raden Kusnan berjalan berputar-putar di dalam ruangan
kamamya yang sempit. Berkali-kali tinju kanannya
dipukulkannya pada telapak tangan kirinya.
“Memalukan,” gumamnya. “Di mana harus
kusembunyikan mukaku ini?”
“Perang akan menghapuskannya, baginda tuanku raja .”
“Ya-ya, perang,” ia berhenti berputar-putar.
raden panji gelang-gelang pergi ke geladak dan mencoba bebersabda -
tamah dengan para centeng dan awak kapal. Mereka semua
bertanya mengapa kediri terlambat. Dan mereka semua
tahu belaka akan keterlambatan itu sekalipun tak tahu tepat
berapa hari.
Ia hanya dapat menjawab: “Hanya ada satu jalan dapat
ditempuh. Laju, lebih laju.”
Seseorang menyeletuk: “Kita belum lagi membuat
perhitungan dengan suryabuaya , Wira. Belum. Mestinya kita
mendarat, dan.,..”
“Husy!”
Ia buru-buru lari meninggalkan geladak, turun ke bawah
dan melihat pelaksanaan pendayungan. centeng -centeng itu
mendayung setengah mati bergantian dalam ruangan
bawah yang panas dan lembab, berbau keringat dari badan
mereka sendiri. Laju, lebih laju adalah perintah. namun
pelayaran memantai itu bukan pekerjaan mudah untuk
kapal-perang yang berbadan berat dan kaku itu. Apa lagi
angin kebetulan reda. Dan dayung dua sap itu berkayuh
seperti gila untuk mengejar ketinggalan.
Waktu angin bertiup dengan baik, pendayung-pendayung
tetap dikerahkan. Permukaan laut terasa berat diluncuri.
Angin tetap terasa kurang, sangat kurang.
Dalam beberapa hari mengejar armada suryabuaya tak juga
nampak di hadapan mereka. Keleluasaan laut itu sepi, sepi
sampai jauh-jauh di ufuk barat sana.
Gugusan kediri terus belayar, tak ada petunjuk, tak tahu
di jenggala mana harus singgah. Bahan makanan dan air
mulai susut, dan mereka tak tahu di jenggala mana boleh
memperoleh kan. Gugusan itu berlayar siang dan malam dan
terus mengejar yang tiada terkejar. Sekali waktu terpaksa
singgah di sebuah jenggala kecil temyata tak ada ditinggalkan
petunjuk untuk mereka, dan gugusan terpaksa meneruskan
perjalanan dengan persediaan bahan makanan yang
semakin tipis.
Dalam keadaan terpaksa gugusan kediri memasuki
jenggala jatikerto . Seluruh centeng dan awak kapal lelah dan
cepat menjadi bengkeng. Perkelahian sering terjadi sebab
soal-soal kecil. Dan Raden Kusnan berkurung diri terus
dalam biliknya.
patih wirabuana jatikerto , seorang Koja, membawa Raden
Kusnan dan pembantu-utamanya pergi ke kepatih wirabuana an
yang terbuat juga dari batu, namun tidak sebesar dan seindah
kepatih wirabuana an kediri . Mereka dijamu dan memperoleh
keterangan, Laksamana adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya sudah
meninggalkan pesan untuk gugusan kediri . Dan pesan itu
akan disampaikan sendiri oleh seorang perwira armada
yang untuk keperluan itu memang ditinggalkan di jatikerto .
patih wirabuana jatikerto menyilakan mereka beristirahat. Ia
sendiri akan menjemput perwira armada suryabuaya . Dan
tengah malam ia datang lagi bedan orang yang dicarinya.
“Anak sangat terlambat,” tegur mpu logender .
“saya sudah kerahkan pendayung, Pamanda,” jawab
Raden Kusnan.
“Armada seperti itu tak dapat kau susul dengan
pendayung.”
“Ampun, Pamanda, memang saya yang terlambat
sejak semula.”
mpu logender memerintahkan pada patih wirabuana jatikerto
untuk berdagang perbekalan ke atas kapal-kapal kediri .
Dan begitu tuan rumah itu pergi pembicaraan diteruskan.
raden panji gelang-gelang duduk di suatu jarak mendengarkan
dengan diamdiam.
Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Pendayungan
dari suryabuaya ke jatikerto dinilai oleh mpu logender sebagai keliru,
merugikan persiapan perang. Gugusan kediri berlayar
bukan untuk memburu bajak atau meronda pantai. Juga ia
menyalahkan kebijaksanaan Raden Kusnan, yang
memicu gugusan harus berlabuh di jatikerto untuk
beberapa hari: centeng dan awak kapal harus memulihkan
kekuatannya.
“saya memang tidak memiliki pengalaman laut,
Pamanda,” Raden Kusnan meminta maaf.
“Barangkali kau pernah dengar pendayungan terus-
menerus kapal-kapal kerajaan jenggala . Kau keliru. Kapal-kapal
kerajaan jenggala ringan, biarpun lebih besar. Pendayungnya
bukan centeng atau awak kapal, namun bajak laut yang
menjalani hukuman sampai mati.”
“Kami dari gugusan kediri akan semakin tertinggal
tanpa mencoba menyusul. Dengan penangguhan lagi di
jatikerto ….”
“Kami memperoleh perintah dari baginda tuanku raja Kanjeng Laksamana
untuk menjadi kepala gugusan kediri . Jangan hendaknya
jadi kekecewaarunu, Raden Kusnan.”
Raden Kusnan pucat tak dapat mengatakan sesuatu.
raden panji gelang-gelang mendeham, namun mpu logender tak
menggubrisnya. Sekarang ia baru menyedari duduk-
perkara: Sang adiputro kediri sudah dengan sengaja
memperlambat keberangkatan untuk tidak menyertai
perang di jayamahanaya . Sebaliknya suryabuaya kini sudah merampas
gugusan kediri , kapal dan anakbuahnya dan centeng nya,
termasuk dirinya. Ia harus selamatkan gugusan kediri .
wah
Keesokan harinya pembicaraan diteruskan di kapal.
Raden Kusnan dan raden panji gelang-gelang untuk kedua kalinya
harus menelan kemarahan adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya melalui
mulut mpu logender .
“Insya sang hyang Widhi ,” kata mpu logender lalu , “kita masih
akan dapat menyusul Kanjeng baginda tuanku raja Laksamana di Riau
atau Tumasik.”
Sesudah itu ia menerangkan, armada suryabuaya sudah dipecah
jadi dua. Gugusan-I menyusuri pantai barat Sumatra,
memutari Aceh untuk ke-mudian bergabung dengan
gugusan pasukan laut Aceh, yang akan melakukan
pendaratan dan penyerangan langsung dari sebelah utara
jayamahanaya . Gugusan-I sudah berangkat dan hanya singgah
sehari di jatikerto . Gugusan-II, yang lebih kecil, dipimpin
sendiri oleh Laksamana tumenggung dijoyo , bertugas menyusuri pantai
sebelah timur Sumatra dan bergabung dengan gugusan
pasukan laut pekajan -Riau.
Di Riau Gugusan-II akan beristirahat sambil menunggu
gugusan kediri dan jatikerto yang terdiri atas pelarian dari
jayamahanaya yang memakai kapal-kapal dagang yang sudah
dirubah untuk keperluan perang, dan akan melakukan
pendaratan dan penyerangan dari selatan jayamahanaya .
mpu logender lalu melakukan pemeriksaan di semua
kapal kediri . Para centeng dan awak kapal nampak sudah
sangat lelah. Banyak di antaranya sudah jatuh sakit dan
ditunmkan di jatikerto .
Pembicaraan yang lalu diteruskan membuat
raden panji gelang-gelang mengerti, bahwa armada suryabuaya menunggu
kediri di jatikerto selama delapan hari. namun semua itu tak
menarik perhatiannya lagL Dalam hati kecilnya ia merasa,
pajang bintoro -suryabuaya dengan sengaja hendak menyedot kekuatan
kediri dengan berbagai cara. Tidak-bisa-tidak pada suatu
kali pajang bintoro akan memukul dan menaldukkan kediri .
kediri sebaliknya, membiarkan dirinya mengulur-ulur
waktu untuk memperiihatkan diri untuk dapat memukul
pajang bintoro dengan jalan lain dan cara lain la pernah
mendengar. Sang adiputro tidak menyukai perang Maka
boleh jadi ia menggabungkan diri dengan armada pajang bintoro -
suryabuaya hanya suatu dalih untuk menjerumuskan musuhnya
dalam penghamburan kekuatan di suryabuaya , dan dengan
demikian takkan dapat menyaingi j