Tampilkan postingan dengan label presiden 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label presiden 3. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
presiden 3
Desember 14, 2022
presiden 3
Dan bukan saja di dalam dua macam itu imperialisme bisa kita bagikan, imperiaisme juga bisa kita bagikan dalam imperialisme-tua
dan imperialisme-modern. Bukankah besar bertambahnya imperialisme-tua bangsa Portugis dan Spanyol atau East India Company Inggris
atau Oost Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, 17 dan 18 dengan imperialisme-modern yang kita lihat dalam abad ke-19 atau 20, imperialisme-modern yang mulai menjalar ke mana-mana sesudah kapitalisme-modern bertakhta kerajaan di benua Eropa dan
di benua Amerika Utara? Imperialisme-modern, imperialisme-modern yang kini merajalela di
seluruh benua dan kepulauan Asia dan yang kini kami musuhi itu, imperilisme-modern itu yaitu anak kapitalisme-modern. Imperialisme-modern pun sudah memiliki perpustakaan, namun
belum begitu terkenal di dalam arti-artinya dan rahasia-rahasianya sebagai soal kapitalisme. Imperialisme-modern itu, oleh sebab nya ,
, mau kami dalilkan artinya agak lebar sedikit dari buku-buku satu dua. Kami tidak akan mendalilkan buku Sternberg “Der-Imperialismus” yang walau sangat menarik hati dan tinggi ilmu toh roda “kering” untuk mendengarkannya, kami mendalilkan Mr. Pieter Jalles Troelstra, pemimpin Belanda yang baru wafat, yang menulis:
“Yang saya artikan dengan imperialisme ialah kejadian, bahwa kapital besar sesuatu negeri yang sebagian besar dikuasai bank-bank, memakai politik luar negeri dari negeri itu untuk
kepentingannya sendiri. Perkembangan ekonomi yang cepat dalam abad ke-19 itu, memicu suatu persaingan hebat di lapangan pertanian dan industri. Salah satu akibat persaingan ini, ialah bahwa pada penghabisan abad itu, politik proteksi (melindungi negara sendiri) dengan cepat menjadi pegangan. Lahirlah industri besar yang medern, tenaga produksi industri besar
itu sangat diperbesar, namun kemungkinan-kemungkinan untuk menjualkan di negeri sendiri terbatas dan muncul keharusan mencari pasar di luar batas negeri sendiri. Caranya industri besar mengatur kesukaran ini dengan tidak
mengurangi untungnya ialah: meninggikan harga di pasar dalam negeri yang dilindungi dan menjalankan taktik dumping di luar negeri (yaitu menjual barang-barang dengan harga yang leibh murah dari harga biasa di situ).
Politik “perlindungan yang agresif” ini saja sudah memicu tambah panasnya perhubungan internasional. DI samping itu dengan cepat
bertambah subur bank-bank yang besar, kapitalnya tambah besar dan industri dan perdagangan dalam negeri tidak cukup lagi untuk
menanamkan kapital itu. Akibatnya mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negara
yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal. (contoh aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur).
Aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. negara yang mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membuat jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan, .Dalam banyak hal bagi penanam modal lebih menguntungkan
memasukkan uangnya dalam onderneming-onderneming di negara yang keterbelakangan ekonominya, di mana tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh undang perburuhan .” Begitulah keterangan Mr. Pieter Jalles Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan seorang sosialis lain, yaitu H. N. Brailsford, pengarang Inggris yang termashur itu.
“Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan kekayaan itu ialah pertama-tama kesempatan menanamkan modal dengan untung luar
biasa. Penaklukan dalam pengertian yang lama sudah tidak berlaku lagi… Memburu konsesi-konsesi di luar negeri dan membuka
kekayaan-kekayaan terpendam dari negara-negara yang lemah dan kerajaan-kerajaan yang setengah mati, makin menjadi suatu
pekerjaan resmi, suatu peristiwa nasional.
Dalam tahap ini bagi kaum berkuasa jadi lebih penting dan menarik hati mengalirkan modal keluar negeri dari mengekspor barang-barang.
Imperialisme yaitu semata-mata penglahiran politik dari kecenderungan yang bertambah besar dari modal, yang bertimbun-timbun di negara yang lebih maju industrinya, untuk
diperusahakan ke negara yang kurang maju dan kurang penduduk”. Bukankah dengan dua contoh ini nyata dengan sejelas-jelasnya,
bahwa sangkaan imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau pemerintah, atau “gezag” pada umumnya, yaitu salah sama sekali? namun marilah kita mendengarkan satu kali lagi uraian seorang sosialis lain, yaitu Otto Bauer yang termashur itu, yang melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik meluaskan wilayah , suatu expansiepolitiek yang
“selalu mengusahakan tercapainya maksud menjamin supaya kapital memperoleh lapangan menanaman dan pasar-pasar penjualan.
Di dalam perekonomian negeri kapitalis setiap waktu sebagian dari modal uang perusahaan ditarik dari peredaran kapital pabrik…
Jadinya, setiap waktu sebagian dari modal perusahaan dibekukan, setiap waktu menjadi “bero” (Jawa, maksudnya tanah kosong yang
tidak dimanfaatkan). bila banyak modal uang dibekukan, bila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini hanya lambat mengalirnya kembali ke
perusahaan-perusahaan produksi, maka yang pertama-tama . berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga kerja. Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan
keuntungan-keuntungan dalam industri alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya upah-upah kaum buruh. namun kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas
industri-industri, yang memicu barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang yang langsung dibutuhkan
untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh sebab kaum kapitalis yang memperoleh enghasilannya dari Perusahaan
alat produksi, lebih sedikit memperoleh untung, dan kedua sebab bertambah besarnya pengangguran dan turunnya upah-upah,
mengurangi tenaga pembeli golongan buruh. Oleh sebab itu, juga dalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup, harga-harga, laba , upah-upah buruh merosot
pula; demikianlah penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum, berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, dan bertambah banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk menguasai (negeri lain). Politik ini bergiat mencari lapangan untuk menanaman kapital dan pasar-pasar
buat penjualan barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, namun , pada hakekatnya
yaitu satu soal saja”.
bila banyak modal uang dibekukan, bila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini hanya lambat mengalirnya kembali ke perusahaan-perusahaan produksi, maka yang pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga kerja. Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam industri alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya upah-upah
kaum buruh. namun kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang memicu barang-barang keperluan sehari-
hari. Permintaan kepada barang-barang yang langsung dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh sebab kaum kapitalis yang memperoleh penghasilannya dari Perusahaan alat produksi, lebih sedikit memperoleh untung, dan kedua sebab
bertambah besarnya pengangguran dan turunnya upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh. Oleh sebab itu, juga dalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup,
harga-harga, laba , upah-upah buruh merosot pula; demikianlah penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum, berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, dan bertambah banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk menguasai (negeri lain). Politik ini
bergiat mencari lapangan untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat penjualan barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini
bukan soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, namun , pada hakekatnya yaitu satu soal saja”.
Sekianlah dalil-dalil kami tentang arti kata imperialisme, dari pena orang-orang sosialis. Marilah kita sekarang mendengarkan
keterangan orang yang bukan sosialis, yaitu keterangan Dr. J. S. Bartstra di dalam bukunya “Geschiedenis van het moderne
imperialisme ”, di mana nanti akan tampak juga kebenaran perkataan kami, bahwa imperialisme itu bukan pemerintahan, bukan sesuatu anggota pemerintah, bukan sesuatu bangsa asing, namun
suatu kehausan, suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain. Berkata Dr. Bartstra:
“Perkataan “imperialisme” pertama sekali dipakai di Inggris kira-kira tahun 1880. Yang dimaksud orang dengan perkataan itu, ialah usaha untuk menggerakan kembali perhubungan dengan Inggris dari wilayah jajahan yang memerintah sendiri dan pertaliannya dengan negeri induknya sudah agak kendur dalam
“masa liberal” yang lampau. Yang menarik hati ialah bahwa perkataan itu sudah hilang sama sekali maknanya yang mula-mula itu”.
…….. lama-kelamaan perkataan itu memperoleh isi-pengertian yang lain: maknanya sekarang ialah usaha bangsa Inggris, yang hendak memberi kepada “kerajaan” pengluasan wilayah jajahan yang lebih besar, baik dengan jalan menaklukkan negara yang oleh sebab letaknya dalam ilmu bumi mungkin membahayakan jika
berada dalam tangan saingan, manapun dengan jalan merampas wilayah , yang bisa dijadikan pasar penjualan yang baik atau
tepat-tempat orang bisa memperoleh bahan-bahan pokok untuk pertukangan dalam negeri, yang justru waktu itu mulai makin menderita oleh saingan luar negeri”.
“Dalam arti pengluasan wilayah jajahan dengan tidak berbatas, pengertian itu segera juga menjadi umum….” Maka sesudah itu, Dr. Bartstra lalu memberi keterangan lebih lanjut tentang penglihatan kaum sosialis terhadap imperialisme itu, demikian:
“Sebabnya perkataan itu menjadi sangat populer, ialah sebab propaganda kaum sosial-demokrat, yang menganggap peristiwa itu sebagai konsekuensi dari sistem produksi kapitalis. Memang yang memberikan perkataan itu pengertian yang lebih dalam dan luas
ialah pengarang-pengarang Marxis, seperti Rudolf Hilferding Karl Renner dan juga H. N. Brailsford yang terkenal itu. Menurut mereka, imperialisme itu yaitu politik luar negeri yang tidak bisa dielakkan dari negara-negara yang memiliki “kapitalisme keliwat matang”. Yang dimaksud mereka ialah suatu kapitalisme yang pemusatan perusahaan-perusahaan dari bank-bank yang dijalankan sampai sejauh-jauhnya. Oleh sebab itu, dan tidak sedikit pula oleh sebab fungsi proteksionisme yang sudah berubah dahulu suatu cara untuk mempertahankan diri terhadap luar negeri, sekarang menjadi “sistem dumping ”. maka imperialisme itu tidak puas lagi dengan pikiran-pikiran liberal yang tradisionil mengenai tidak ikut campurnya negara (dengan urusan partikulir), persaingan bebas dan pasifisme.
Paham-paham kemudian ini seolah-olah sudah terbalik menjadi yang sebaliknya, yaitu menjadi usaha memakai alat-alat kekuasaan negara yang melulu bersifat politik untuk maksud-maksud ekonomi, yaitu : mempengaruhi dan merampas wilayah pasaran dan wilayah bahan pokok, pun juga menjamin
pembayaran rente kapital-kapital yang ditanam di negara keterbelakangan ekonominya.
Mengenai soal belakangan ini, yaitu yang dinamakan “ekspor kapital”, oleh pengarang-pengarang itu istimewa istimewa sekali
ditunjukkan betapa pentingnya. dipicu sebab usaha kerajinan lebih sungguh-sungguh dikerjakan, oleh pemusatan bank-bank dan oleh “sistem dumping”, maka demikian kata
mereka bukan main banyaknya kapital tertimbun-timbun, yang seringkali di dalam negeri tidak cukup bisa dipakai . Itulah sebabnya maka makin lama makin terasa perlunya untuk menanam kapital besar-besar di negara yang keterbelakangan ekonominya, tentu saja dengan bunga yang setinggi-tingginya. Lagi pula dengan demikian diperoleh pesanan besar jalan kereta-api, mesin-mesin, . pada industri sendiri. Akibat segalanya itu pula: perhubungan dengan luar negeri menjadi runcing, bahaya perang,
ekspedisi militer, “wilayah pengaruh” di wilayah -wilayah seberang lautan, pengawasan atas uang masuk dan uang keluar dari negara asing oleh perserikatan bankir Eropa, pemburuan mencari jajahan. Itulah imperialisme! Akhirnya Dr. Bartstra sekali lagi mengatakan dengan saksama apa yang dinamakan nya imperialisme-modern, katanya:
“Yang dinamakan imperialisme-modern ialah usaha meluaskan milik jajahan dengan tidak berbatas, seperti cita-cita demikian itu menjadi
pendorong dalam masa ± 1880 sampai sekarang bagi politik luar negeri hampir semua negara kebudayaan yang besar, terutama untuk keuntungan industri dan kapital bank mereka
sendiri, Imperialisme bukan sekali-kali satu-satunya tenaga penggerak, bahkan tidak setiap saat yang paling kena dari tenaga-tenaga
penggerak yang sangat beragam-ragam dari jangka waktu itu, namun dalam akibat-akibatnya itulah salah satu yang menjadi sangat penting, oleh sebab panggung sejarah bertambah luas sebab nya , buat pertamakali dan buat selama-lamanya, di seluruh muka bumi”. Diambil dari manuscript “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato
Pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, 1930.
Dr. J.S Bartstra, penulis buku “Gescheiedenis van het modern imperialisme” (Sejarah Imperialisme Modern) Kanada, Australia, yang waktu itu dikenal dengan pemerintahan sendiri di bawa lindungan Inggris, atau sering dinamakan Dominion Status.
Rudolf Hilferding dalam buku “Das Finanzkapital, eine studie uber die jeugste envolklung der kapitalismus”.
] Sistime dumping yaitu menjual barang di dalam negeri lebih mahal daripada di luar negeri. Ini pertama kali dilakukan oleh Jepang pada waktu
menghadapi persaingan dari kapitalis-kapitalis Eropa dan Amerika.
Perkembangan industri yang semakin maju di Eropa sekitar tahun 1880 itu, mendorong sesama negara Eropa meluaskan wilayah jajahan, yang nantinya terbentur dan melahirkan Perang Dunia I pada tahun 1914-1918.
Imperialisme-tua dalam hakekatnya tak beda
Begitulah artinya imperialisme-modern.
Dan artinya imperialisme-tua? Imperialisme-tua, sebagai yang kita alami dalam abad-abad sebelum bagian kedua abad ke 19 , imperialisme-tua dalam hakekatnya yaitu sama dengan imperialisme-modern: nafsu, keinginan, cita-cita , kecenderungan, sistem untuk menguasai atau mempengaruhi rumah tangga negeri lain atau bangsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar pagar negeri sendiri. Sifatnya lain, azas-azasnya lain, penciptaan lain, namun hakekatnya sama! Di dalam abad-abad yang pertama atau di dalam abad ke-19, di dalam abad ke-16 atau ke-20, kedua-duanya yaitu imperialisme! Imperialisme, begitulah kami katakan tadi , ada pada semua zaman! Ya, sebagai Prof. Jos. Schumpeter katakan:
“sama tuanya dengan dunia, nafsu yang tiada berhingga dari suatu negara untuk meluaskan wilayah nya dengan kekerasan keluar batas-batasnya menurut alam” .
Imperialisme mana juga yang kita ambil, imperialisme-tua atau imperialisme-modern, bagaimana juga kita bulak-balikkan, dari
mana juga kita pandang, imperialisme tetap suatu faham, suatu nafsu, sesuatu sistem, dan bukan amtenar B.B., bukan pemerintahan, bukan gezag, bukan bangsa Belanda, bukan bangsa asing manapun juga, pendek kata bukan badan, bukan manusia, bukan benda atau materi!
Azas imperialisme itu urusan rezeki
Nafsu, kecenderungan, keinginan atau sistem ini sejak zaman purbakala sudah memicu politik luar negeri, memicu perseteruan dengan negeri lain, memicu perlengkapan senjata darat dan senjata armada, memicu perampasan
negeri asing, memicu jajahan-jajahan yang mengambil rezekinya, dalam di dalam zaman modern ia memicu “Bezugländer”, yaitu tempat mengambil bekal industri, memicu
wilayah pasaran bagi hasil-hasil industri itu, memicu lapangan bergerak bagi modal yang tertimbun-timbun…, memicu “wilayah pengaruh”, memicu “protektorat-protektorat”, memicu “negara mandat” dan “tanah jajahan”
dan bermacam-macam “lapangan usaha” yang lain, sehingga imperialisme yaitu juga bahaya bagi negara yang merdeka Baik “wilayah pengaruh”, maupun “negara mandat”, baik
“protektorat” maupun “tanah jajahan”, semua terjadinya begitu, sebagai ternyata pula dari dalil-dalil kami tadi, untuk mencari rezeki
atau untuk menjaga penarian rezeki, semuanya ialah hasil keharusan ekonomi. Partai Nasional Indonesia menolak semua teori yang mengatakan usaha asal-asal penjajahan dalam hakekatnya bukan pencarian rezeki, menolak semua teori yang mengajarkan, bahwa sebab-sebab rakyat Eropa dan Amerika mengembara di seluruh
dunia dan mengadakan tanah-tanah jajahan di mana-mana itu, ialah oleh keinginan mencari kepopuleran , atau oleh keinginan kepada
segala yang asing, atau oleh keinginan menyebarkan kemajuan dan kesopanan. Teori Gustav Klemm yang mengajarkan, bahwa
menyebarnya “bangsa menang” ke mana-mana itu selain oleh nafsu mencari kekayaan ialah didorong pula oleh “nafsu mencari kepopuleran ”, “nafsu mencari keakuran”, “nafsu melihat negeri
asing”, “nafsu mengembara merdeka”, atau teori Prof. Thomas Moon yang mengatakan, bahwa imperialisme itu selain berazas ekonomi
juga yaitu berazas nasionalisme ., sebagai diutarakan dalam bukunya “Imperialism and World-politics ”, teori-teori itu buat sebagian besar kami tolak sama sekali. Tidak! Bagi Partai Nasional Indonesia penjajahan itu asal-asalnya yang dalam dan azasi, ialah
nafsu mencari benda, nafsu mencari rezeki belaka.
“Asal penjajahan yang pertama-tama hampir selalu ialah tambah sempitnya keadaan penghidupan di negeri sendiri”, begitu Prof. Dietrich Schäfer menulis dan Dernburg, Kolonial direktor negeri Jerman sebelum perang, dengan terus terang mengakui pula:
“Penjajahan ialah usaha mengolah tanah, mengolah harta-harta di dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk, untuk keuntungan keperluan ekonomi dari bangsa
yang menjajah”….. O memang, Tuan-tuan Hakim, penjajahan membawa pengetahuan,
penjajahan membawa kemajuan, penjajahan membawa kesopanan. namun yang sedalam-dalamnya ialah urusan rezeki, atau sebagai Dr. Abraham Kuyper menulis dalam bukunya “Antirevolutionaire
staatkunde”: “suatu urusan perdagangan”, “een mercantiele betrekking”! “Jajahan-jajahan dengan tiada pembentukan keluarga sendiri yang
menetap, memberi kesempatan menyuburkan penghasilan negeri bumi-putera, menggali tambang-tambang, menjualkan barang kita di situ dan sebaliknya mencarikan pasar di negara kita buat barang-barang dari tanah jajahan itu, namun perhubungan yaitu tetap perhubungan ekonomi. Yang dipentingkan ialah pembukaan tambang-tambang, pembuatan barang-barang, perhubungan pasar dan perdagangan seberang lautan, namun bahkan dalam hal bahasa dan adat istiadat, dan terutama dalam hal agama,
bangsa yang menjajah itu bisa mengasingkan diri sama sekali dari rakyat yang dijajahnya. Perhubungan yaitu perhubungan perdagangan dan tetap demikian sifatnya, yang mengayakan negeri yang menjajah dan tidak jarang memicu miskin negeri yang dijajah”.
Dan Brailsford di dalam bukunya yang paling baru berkata:
“Imperialisme itu sudah memahatkan sejarahnya yang indah tentang keberanian dan kehebatannya dalam hal organisasi di dalam kulit bumi sendiri, dari Siberia yang ditutupi es sampai ke gurun-gurun pasir di Afrika-Selatan.
namun hadiah-hadiah pendidikan, rangsang-rangsang kecendikiaan dan pemerintahan yang lebih berperikemanusiaan yang turut
dibawanya, selalu hanyalah barang-barang sisa dari kegiatannya yang angkara murka. Menganugerahkan hadiah ini, jarang-jarang, barangkali juga tidak pernah, menjadi alasan pioner-pionernya yang kuat-kuat itu. Kalaupun mereka itu memiliki sesuatu alasan, yang agak luhur dari keuntungan kebendaan, maka alasan itu ialah untuk kemuliaan dan kebesaran negeri induk. namun nafsu yang mendorong mereka pergi ke “tempat-tempat yang bermandikan cahaya matahari” itu, biasanya ialah keinginan untuk memonopoli suatu pasar bahan-bahan mentah, atau perhitungan yang lebih rendah lagi, bahwa di situ banyak ada tenaga buruh
yang murah dan tidak tersusun dalam organisasi, sedia untuk dipakai, Kalau bukan semua ini yang menjadi alasan, maka yang menjadi alasan ialah perhitungan yang bersumber kepada saling pengaruh antara kepentingan kebendaan dan kondisi ilmu bumi. Kesopanan menghasilkan suatu keenakan,
yang jelas sekali mengabdi kepada maksud-maksud kita sendiri”. Tidakkah sebab itu, benar sekali kalau Prof. Anton Menger menulis:
“Tujuan penjajahan yang sebetulnya ialah memeras keuntungan dari suatu bangsa, yang lebih rendah tingkat kemajuannya; di masa orang rajin beramal ibadat tujuan ini dibungkus dengan perkataan untuk “Agama Kristen” dan di zaman kemajuan dengan perkataan untuk “kesopanan” orang Inlander”, atau kalau Friedrich Engels bersenda gurau: “Bangsa Inggris selamanya mengatakan Agama Kristen, namun maksudnya ialah kapas”?
Nafsu akan rezeki. Tuan-tuan Hakim, nafsu akan rezekilah yang menjadi pendorong Colombus menempuh samudera Atlantik yang luas itu; nafsu akan rezekilah yang menyuruh Bartholomeus Diaz dan Vasco da Gama
menentang hebatnya gelombang samudera Hindia; pencarian rezekilah yang menjadi “noordster” dan “kompas”nya Admiraal Drake,
Magelhaens, heemskerck atau Cornelis de Houtman. Nafsu akan rezekilah yang menjadi nyawanya kompeni di dalam abad ke-17 dan ke-18; nafsu akan rezekilah pula yang menjadi sendi-sendinya balapan cari jajahan
dalam abad ke-19, yaitu sesudah kapitalisme-modern menjelma di Eropa dan Amerika.
Prof. Jos Schumpeter, penulis buku “Zur Sosiologie der Imperialismus”.
Perang terbuka (perang dunia) atau perang lokal yang diprakarsai oleh negara-negara imperialis itu menjurus ke penguasaan wilayah dan negara lain dengan cara seperti protektorat oleh Inggris terhadap Mesir dari tahun 1923-1952, Mesopotamia lewat Volkenbond dijadikan wilayah mandat bagi Inggris. Seperti lazimnya, kaum imperialis itu menyediakan ahli-ahli yang membela tindak-tanduk mereka, termasuklah Gustav Klemm, yang menyatakan bahwa imperialisme itu bertujuan memperbaiki nasib rakyat jajahan. Prof Dietrich Schafer dalam “Kolonial Geshichte” (manuscript Penjajahan) hal 12. Dr Abraham Kupyer “Antirevolusionaire staatkunde” yang dikutip oleh Snouck Horgronje dalam bukunya “Colijn over Indie” (Colijn tentang Indonesia).
Brailsford dalam buku “Hoe long nog?”Sebelum zaman kapitalisme-modern itu, bahasa Inggris sudah menguasai sebagian dari Amerika, sebagian dari India, sebagian dari Australia dan lain-lain, yaitu sudah menaruh sendi-sendi “British Empire” nantinya, sudahlah bangsa Prancis menguasai sebagian pula dari Amerika dan sebagian juga dari India, sudahlah bangsa Portugis mengibarkan benderanya di Amerika Selatan dan di beberapa tempat di seluruh Asia, sudahlah bangsa Spanyol menguasai Amerika Tengah dan kepulauan Filipina, sudahlah bangsa Belanda menduduki Afrika Selatan, beberapa bagian kepulauan Indonesia, terutama Maluku, Jawa, Sulawesi Selatan dan Sumatera. Sudahlah di zaman itu kita melihat hebatnya tenaga
berusaha dari nafsu mencari rezeki tadi, yaitu tenaga berbuat yang kuat dari imperialisme-tua! Balapan cari jajahan di zaman imperialisme-modern Dan tatkala kapitalisme-modern beranak imperialisme-modern, maka kita menjadi saksi atas “balapan cari jajahan” yang seolah-olah tiada berhingga! Kini orang Inggris sudah bisa mengusir bangsa Prancis dan Protunis dan Belanda dari India. Tiada musuh besar-besar lagi yang menghalang-halangi menjalarnya imperialismenya, tiada hingganya lagi bendera Inggris ditanam di mana-mana, tidak puas-
puasnya kehausan kapitalisme Inggris mencari dan meminum sumber-sumber kekayaan di luar pagar dari “the Empire” sendiri, tiada suatu benua yang tak mendengar dengungnya pekik
perjuangan imperialisme Inggris:
“Tatkala Inggris demi sabda Gusti Menjelma dari samudera biru Itu memanglah haknya negeri Dan bidadari menyanyikan lagu:
Perintahlah, Inggris, Perintahlah ombak!
Bangsa Inggris tak kan menjadi budak!”
India takluk, Singapur dan Malaka diduduki, Tiongkok direbut haknya menetapkan beya dan hak-hak exterritorial, dan dibuat
“wilayah pengaruh” dengan jalan keras dan jalan “halus”, Mesir “dilindungi”, Mesopotamia “dimandati”, Hongkong, kepulauan Fiji,
India Barat, kepulauan Falkland, Gibraltar, Malta, Cyprus, Afrika. . . . Imperialisme Inggris seolah-olah tidak puas-puasnya! Dan negeri-negeri lain? negara lain pun ikut dalam balapan ini:
Prancis menjejakkan kakinya di Afrika Utara, di Indo-China, di Martinique, di Guadeloupe, di Reunion, di Guyana, di Somali, di Nieuw Caledonia, Amerika merebut Cuba, Portoriko, Filipina, Hawaii, Jerman menggencarkan tangan imperialisme ke pulau Marshall, ke Afrika Barat-Timur, ke Togo, ke Kamerun, ke pulau-pulau Karolina, ke Kiautsjau, ke kepulauan Mariana, geer perkara Marokko , Italia sibuk membangun wilayah pendudukannya Assab dekat selat Bab El Mandeb, mengatur kekuasaannya di Afrika Utara, mengambil Kossala, mencoba
menaklukkan Abessinia, serong di Tripoli . pula. bahwa , balapan mencari jajahan yang kita alami dalam zaman kapitalisme-modern itu, yang serong ke kiri dan ke kanan
dan memasang mulut dan mengulur-ngulur kukunya sebagai Maha-Kala yang angkara murka, balapan mencari jajahan ini tidak ada
bandingannya di seluruh riwayat manusia.
Jepang Dan di Asia sendiripun, imperialisme-modern itu membuktikan asal-turunannya: asal-turunan dari keserakahan ekonomi, anak
dari kapitalisme, yang di dalam lingkungan rumah tangga sendiri kekurangan lapang usaha. Di atas sudah kami katakan, bahwa
imperialisme itu bukan tabiat bangsa kulit putih saja, bukan “kejahatan hati” kulit putih saja: Bukan saja imperialisme-modern,
namun juga imperialisme-tua kita dapati pada bangsa manapun juga. Kita ingat akan imperialisme bangsa Tartar yang di dalam abad ke-13 dan ke-14 sebagai “angin musim ” menaklukkan sebagian besar benua Asia; kita ingat akan imperialisme bangsa-bangsa Aria, Machmud Gazni dan Barber yang memasuki negeri India; kita ingat akan imperialisme Sriwijaya yang menaklukkan pulau-pulau
sekelilingnya; kita ingat akan imperialisme Majapahit, yang menguasai hampir semua kepulauan Indonesia ditambah Malaka.
namun imperialisme-modern Asia baru kita lihat pada negeri Jepang tempo akhir-akhir ini; imperialisme-modern di Asia yaitu suatu
“barang baru””, suatu unicum, suatu nieuwigheid; memang hanya negeri Jepang saja dari negara Asia yang sudah masuk ke dalam kapitalisme-modern itu. Kapitalisme-modern Jepang yang
butuh akan minyak tanah dan arang batu, kapitalisme-modern Jepang yang juga membangkitkan tambahnya penduduk yang deras sekali sehingga melahirkan nafsu mencari negara emigrasi , kapitalisme-modern Jepang itu memicu rakyat Jepang lupa akan
kesatriaannya dan menanamkan kuku-kuku cengkramannya di semenanjung Sachlin dan Korea dan Mancuria. Nama “kampiunnya bangsa-bangsa Asia yang diperbudak”, nama
itu yaitu suatu barang bohong, suatu barang dusta, suatu impian kosong bagi nasionalis-nasionalis kolot, yang mengira bahwa
Jepanglah yang akan membentak imperialisme Barat dengan dengungan suara: “Berhenti!” Bukan membentak “Berhenti!”, namun
dia sendirilah ikut menjadi belorong imperialisme yang angkara
murka! Dia sendirilah yang ikut menjadi hantu yang mengancam
keselamatan negeri Tiongkok, dia sendirilah yang nanti di dalam
pergaulan mahahebat dengan belorong-belorong imperialisme
Amerika dan Inggris ikut membahayakan keamanan dan
keselamatan negara sekeliling Lautan Teduh, dia sendirilah
salah satu belorong yang nanti akan perang tanding di dalam perang
Pasifik!
Wujud balapan sekarang
“Wujud cari jajahan” di dalam bagian kedua dari abad ke-19, mula-
mula yaitu suatu balapan antara negara Eropa saja. namun
sesudah di dalam balapan ini negeri Inggris menjadi yang paling
depan, susudah kapitaisme Inggris di dalam imperialismenya bisa
membelakangkan sekalian musuh-musuhnya, sesudah John Bull
boleh berjanji “Perintahlah, Inggris, perintahlah ombak”, sesudah itu
masuklah dua kampiun baru di dalam gelanggang imperialisme dan
menjadilah balapan ini di dalam abad ke-20 suatu balapan baru
antara Inggris, Amerika dan Jepang, suatu balapan baru untuk
mengejar kekuasaan di atas negeri mahakaya yang sampai sekarang
belum bisa “terbuka” seluas-luasnya itu, yaitu negeri Tiongkok!
Perebutan kekuasaan di Tiongkok inilah kini menjadi nyawa
persaingan antara belorong-belorong imperialisme yang tiga itu,
perebutan kekuasaan di Tiongkok kini menjadi pokok politik luar
negeri Jepang, Amerika dan Inggris. Siapa kuasa di tiongkok, dialah
akan kuasa pula seluruh wilayah Pasifik. Siapa yang menggenggam
rumah tangga Tiongkok, dialah yang akan menggenggam pula segala
urusan rumah tangga seluruh dunia Timur, baik tentang ekonomi
maupun tentang militer. Oleh sebab itu, Tuan-tuan Hakim, negeri
Tiongkok itu akan diperebutkan mati-matian oleh belorong-belorong
tadi, diperjuangkan mati-matian di peperangan Lautan Teduh!
Tentang propaganda kami berhubung dengan bahaya perang Lautan
Teduh itu, akan kami uraikan lebih lebar di lain tempat. Emigrasi, pemindahan rakyat.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah gambar imperialisme di Asia diluar Indonesia.
Dan keadaan di Indonesia? Ah, Tuan-tuan Hakim, kita mengetahuinya semua. Kita mengetahui bagaimana didalam abad- abad ke-17 dan ke-18 Oos-Indische Compagnie (VOC), terdorong oleh
persaingan hebat dengan bangsa-bangsa Inggris, Portugis dan
Spanyol, menanam sistem monopolinya. Kita mengetahui,
bagaimana di Kepulauan Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan,
kerajaan-kerajaan dihancurkan, jutaan tanaman-tanaman cengkeh
dan pala saban tahun dibasmi (hongitochten). Kita mengetahui,
bagaimana, untuk menjaga monopoli di kepulauan Maluku itu,
kerajaan Makassar ditaklukkan, perdagangannya dipadamkan,
sehingga penduduk Makassar itu ratusan, ribuan yang kehilangan
pencarian-rezekinya dan terpaksa menjadi bajak laut yang merampok
kemana-mana. Kita mengetahui, bagaimana ditanah Jawa dengan
politik “devide et empera”, yaitu dengan politik “memecah belah”,
seperti dikatakan Prof. Veth atau Clive Day atau Raffles , kerajaan-
kerajaannya satu persatu diperhamba, ekonomi rakyat oleh sistem
monopoli, contingenten danleverantien sama sekali disempitkan,
ya sama sekali didesak dan dipadamkan. Kita mengetahui….namun
cukup Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Caranya Oost-Indische Compagnie menanamkan monopolinya,
caranya Oost-Indische Compagnie mengekal monopolinya, caranya Oost-
Indische Compagnie memperteguh monopolinya, tidak asing lagi bagi
siapa yang suka membaca.
namun , maafkanlah Tuan-tuan Hakim, bahwa kami disini mau
bercerita sedikit lebar tentang zaman Oost-Indische Compagnie itu dan
juga tentang zaman cultuurstelsel, yaitu oleh sebab bekas-bekas VOC
dancultuurstelsel itu sampai kini hari masih tampak didalam susunan
pergaulan hidup Indonesia, sehingga sifat-sifat PNI terpengaruh pula
oleh sebab nya .
Maafkanlah jika terhubung dengan itu kami sependapat dengan Prof. Snouck Hurgronje yang menulis:
“Orang bisa berkata, bahwa tidak ada gunanya membongkar-
bongkar dosa lama yang bukan salahnya keturunannya sekarang,
namun …..akibat dua abad pemerintahan yang jelek itu atas sikap jiwa
rakyat bumiputra terhadap dunia barat, sama sekali tidak boleh
diabaikan dalam menyelediki soal-soal itu”.
Oleh sebab itu, sekali lagi, maafkanlah berhubung
dengan cultuurstelsel itu, kami mengulangi pendapat-pendapat satu
dua kaum intelektual Eropa yang ternama:
“Kompeni itu mengusai raja-raja dan kaum bangsawan dan
membebaninya dengan kewajiban-kewajiban, yang oleh mereka
itu dijatuhkannya lagi diatas pundak rakyat. Kompeni itu lebih
rendah serakah daripada kejam, namun akibatnya yaitu sama:
Penindasan!”, begitulah Prof. Colenbrander menulis dan Prof.
Veth berkata:
“Kekejaman tidak menjadi sifat jeleknya yang biasa
namun ……keserakahannya yang picik barangkali lebih banyak
merusak daripada kekejamannya. Bahkan kebuasan Nero hanya
mencelakakan sedikit orang yang berdekatana dengan dia,
kesejahteraan propinsi-propinsi tidak diganggu-gugatnya; namun
suatu pemerintahan yang jelek peraturannya, yaitu suatu bencana
umum
Jadi, tidak selamanya “kejam”, tidak selamanya “wreed” ? namun toh
sering kejam dan buas.
Marilah kita bacakan lagi Colenbrander tentang penaman monopoli
di Ambon dan Banda:
“Coen (Jan Pieterszoon Coen, Sk.) didalam seluruh perkara ini, yang
menodai namanya, sudah bertindak dengan kelemahan yang meluar
batas kemanusiaan, kekejaman yang kelewatan bahkan dalam mata
hamba-hamba Kompeni sendiri…….
Sampai-sampai Kuasa-kuasa Kompeni pun sama terkejut membaca
cerita-cerita hukuman mati yang diceritakan dengan tenang oleh
Coen didalam surat-suratnya….”Itu benar memicu takut, namun tidak
menerbitkan kasih”……..
demikianlah kata mereka sendiri, yang untuk keperluan labanya,
suatu bangsa yang makmur…….hampir tumpas sama sekali
Dan Prof. Kielstra menceritakan:
“Monopoli dagang itu harus diperjuangkan oleh orang-orang kita
dan bila sudah didapat, maka dengan tidak pikir panjang,
dipakai tiap cara untuk mempertahankannya. Kepentingan-
kepentingan penduduk sama sekali tidak diperdulikan oleh kuasa-
kuasa kita; kaum Islam dan kaum heiden dalam mata orang
Kristen kurang harganya; menurut faham-faham zaman itu,
mereka orang gemar memakai istilah Injil yaitu keturunan yang
palsu dan sesat” yang bila berani melawan kompeni, jika perlu
boleh dibinasakan”.
Lagi satu dalil dari seorang Jerman, Prof. Dietrich Schafer, yang
berbunyi:
“Percobaan-percobaan mereka, memasukkan juga pulau-pulau
Australia yang dekat-dekat ke dalam lingkungan kegiatannya,
sudah kami ceritakan. Tatkala ternyata, bahwa disini tidak ada hasil
apa-apa untuk perusahaan mereka waktu yang sudah dikenal lebih
dahulu . Caranya hal ini terjadi, bukan tidak beralasan orang
menyebutnya yang paling kejam dalam riwayat penjajah
Sebagai penutup, pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, yang
berkata:
“Bagian pertama dari dukacita Hindia-Belanda, namanya Kompeni
dan mulai hampir sama dengan abad ke-17. Pelakon-pelakon
utamanya berhak atas rasa hormat kita, sebab energinya yang hebat,
namun maksud yang mereka kejar dan cara-cara yang mereka
pergunakan, demikian rupa, sehingga seringkali kita sukar menahan-
nahan rasa jijik kita, meskipun kita mengingat sepenuhnya akan
kaidah, harus mengukur laku perbuatan mereka dengan ukuran
zaman mereka. ‘Percobaan’ itu mulai dengan perkenalan penduduk
Hindia dengan kotoran dari bangsa Belanda, yang memperlakukan
penduduk asli itu dengan penghinaan yang sangat besar, yang
mungkin mereka tanggungkan; kewajiban mereka ialah berusaha
sekuat tenaga untuk memperkaya suatu golongan pemegang andil di
negeri Belanda. Ambetenaar-ambetenaar kompeni ini, yang oleh
majikan-majikannya digaji sangat sedikit, namun tidak kurang dari
majikannya juga suka sekali beroleh laba, memperlihatkan suatu masyarakat penuh korupsi, yang melebihi kejelekan sejelek-jeleknya yang dituduhkan kepada bangsa-bangsa Timur
Sir Thomas Stanford Raffles yang pernah menjadi Letnan Gubernur
Jenderal selama Inggris berkuasa di Indonesia (1811-1816).
Contingenten= pajak yang dibayar dengan barang-barang hasil bumi
oleh kepala-kepala.
Leverantien- Kepala-kepada dipastikan setor barang-barang hasil bumi
yang dibeli oleh kompeni. namun banyaknya dan harganya barang itu
kompenilah yang menetapkan.
Prof. Snouck Hurgronje (1857-1936) sarjana Belanda yang pernah
bermukim 2 tahun di Mekah dengan nama samaran Abd-Al-Gaffar.
Sekembalinya dari Mekah, ia bersikap oposan terhadap pemerintah
Belanda, tercemin dalam bukunya “Colijn Over Indie”.
Prof. Colenbrander dalam buku “Kolonial Geschichte” Jilid II hal. 252
Prof. J. Pieter Veth (1814-1895) seorang ahli etnologi dan bahasa
Indonesia, dengan karangan utamanya, “Java, geographisch, ethnologisch, historisch”.
Zaman Cultuurstelsel
Begitulah gambaran imperialisme-tua dari Oost-Indische Compagnie. Sesudah Oost-Indische Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati,
maka tidak ikut mati sistem monopoli, tidak ikut mati sistem mengaut untung bersendi pada paksaan. Malahan…….sesudah habis
zaman komisi-komisi dan pemerintahan Inggris, yang mengisi tahun-tahun 1800-1830; sesudah habis zaman “tergoyang-goyang” antara
ideologi-tua dan ideologi-baru, sebagai yang disebar-sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah habis “tijdvak van den twijfel” ini, maka
datanglah sistem kerja paksa yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi, yaitu sistem kerja paksa dari cultuurstelsel, yang sebagai cambuk jatuh diatas pundak dan belakangnya rakyat kami! Juga cultuurstelsel ini, Tuan-tuan Hakim, tidak usah kami beberkan panjang lebar kekejamannya; juga cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum
yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajarinya riwayatnya.
namun , juga tentang cultuurstelsel ini, yang bekas-bekasnya sampai hari ini belum juga hilang dan mempengaruhi susunan PNI itu
(sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangi satu dua pendapat ahli-ahli itu.
“Pemerasan penduduk, yang tiada batasnya lagi selain tahan tidaknya badannya, berjalan dengan tiada alangan apa-apa,” begitu kata Prof. Gonggrijp . Dan di lain tempat pujangga ini menulis pula: “Jadi sistem ini tidak hanya bersendikan paksaan; paksaan itu, di dalam dua puluh tahun pertama yang gelap dari jangka waktu yang dibicarakan di sini, lebih berat dari beban contingenten yang penagihannya terutama diserahkan kepada Kepala-kepala
Bumiputra. Cultuurstelsel menjadi lebih berat oleh kegiatan AmbtenaarEropa: ini berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan berarti pula perbaikan teknis dan keuntungan besar.”
“Tidak ada tanaman yang begitu menjadi gangguan seperti nila. Tatkala nila ini akan dalam tahun 1830 dengan cara yang
sembrono dimasukkan di tanah Priangan, maka tanaman itu sungguh-sungguh menjadi bencana bagi penduduk. Di dalam distrik Simpur di wilayah itu, orang laki-laki dari beberapa desa
dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila, 7 bulan lamanya dengan tidak putus-putusnya, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka
harus mencari makanannya sendiri. Tatkala mereka kembali ke rumahnya, didapatinya tanaman padinya sudah rusak. Selama lima
bulan yang pertama dari tahun 1831, 5000 orang laki-laki dan 3000 kerbau dari distrik itu juga, dipaksa mengerjakan tanah untuk suatu
pabrik yang sudah didirikan. Sesudah pekerjaan itu selesai, batang-batang nila tidak ada. Dua bulan kemudian, sesudah alang-alang,
rumput yang ditakuti itu, tumbuh di atas lapangan yang sudah dikerjakan itu, baru diterima untuk mengolah sekali lagi ladang-
ladang itu. Kerap kali terjadi bahwa perempuan-perempuan yang hamil melahirkan anak waktu bekerja keras”……… Dan Stokvis menceritakan:
“Sampai-sampai tahun 1886 masih ada wilayah , dimana si penanam kopi memperoleh 4-5 sen sehari, sedang ia memerlukan 30
sen buat hidup. Di dalam perkebunan nila kerap kali dibayarkan
f8[5]setahun……..Di dalam perkebunan kopi ada pembayaran f4,50
setahun buat satu keluarga,jadi 90 sen buat satu orang…..”Penulis
(Vitalis) itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang itu kelaparan seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung sepanjang
jalan. Beberapa orang begitu letih, sehingga mereka tidak bisa makan makanan yang diberikan kepada mereka sebagai persekot;
mereka meninggal….”
……….”pengungsian penduduk banyak juga kejadian di perkebunan-perkebunan itu dan dengan cara besar-besaran. Inilah jalan satu-satunya untuk keluar dari kesengsaraan. “ Pukulan dengan pentungan dan labrakan dengan cambuk terjadi sehari-hari
dan di banyak ladang nila biasa saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang.” “Di sini kita melihat suatu bangsa yang tidak
secara undang-undang hidup dalam perbudakan namun secara kenyataan. Ketakutan kepada para bangsawannya sudah merasuk ke
dalam jiwa mereka; para bangsawan itu belajar pula takut kepada kaum penjajah. Segala keberanian dan semangat merdeka yang
tadinya masih hidup dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini hilang lenyap oleh laku Kompeni yang kasar dan kesalahan yang fatal dari Van den Bosch ialah, bahwa ia menghisap lagi rakyat yang sudah
rusak itu, penghisapan yang pada hakikatnya sama betul dengan
sistem Kompeni. Malahan lebih jahat dan lebih salah lagi! Kompeni
tidak harus memikul tanggungjawab dan tidak pernah mau
memikul tanggungjawab itu, Kompeni berdagang dengan cara-cara
orang dagang yang keras. Van den Bosch mewakili negara sendiri,
negara induk, yang begitu banyak masih yang harus diperbaikinya.
Segala cara yang memicu perhubungan jajahan lebih memuakkan
lagi dari yang sudah menjadi sifatnya, sudah dipakai olehnya
dan oleh penggantinya-penggantinya. Memaksakan suatu cara
produksi Barat, jadi suatu cara produksi yang lebih banyak syarat-
syaratnya, kepada suatu masyarakat negeri panas yang hidup
bertani, sudah merupakan suatu tekanan, namun lebih berat lagi
dukacita yang dibawa oleh nafsu kuasa si bangsa asing”…….
Dua dalil lagi, Tuan-tuan Hakim, lantas kami tutup kami punya dalil-
dalil berhubung dengan cultuurstelsel ini: dua dalil lagi dari Prof.
Kielstra dan Prof. Veth:
“Di negeri Belanda orang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu,
bahwa di Hindia semua pengeluaran buat pengajaran, pekerjaan
umum, polisi dan sebagainya itu, selalu dikecilkan sampai-
minimum yang paling kecil, supaya “keuntungan bersih” bisa
bertambah besar; dan, yang lebih jahat lagi, oleh paksaan yang
dibebankan kepada mereka, penduduk begitu terhalang-alangi
dalam memelihara sawah dan ladangnya sendiri, sehingga dalam
beberapa wilayah timbul kemiskinan dan kesengsaraan, bahaya
kelaparan dan pengungsian. dan “bahkan buat mereka yang
melihat dalam cultuurstelsel itu suatu kebaikan buat Jawa dan juga
buat negeri Belanda; buat Jawa oleh sebab mengajar orang Jawa
bekerja, buat negeri Belanda oleh sebab kas negeri jadi berisi ,
bahkan buat mereka saya kira kemunafikan yang menjadi alasan
untu memasukkannya, mestinya menjijikkan, begitulah kedua
profesor itu menulis.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Oost-Indische Compagnie mengoar-
ngacirkan rumah tangga Indonesia, cultuurstelsel mengocar-
ngacirkan rumah tangga Indonesia. Tuan-tuan barangkali bisa juga
lantas memiliki pikiran: “Benar VOC dan cultuurstelsel jahat, benar
VOC dan cultuurstelsel memasukkan rakyat Indonesia ke dalam
kesengsaraan dan kehinaan, namun buat apa membongkar-bongkar
hal-hal yang sudah kuno?”
Betul Tuan-tuan Hakim, kejahatan VOC dan kejahatan cultuurstelsel yaitu
kejahatan kuno, namun hati-nasional tak gampang melupakannya.
‘Ingatan orang kepada kelaliman yang dideritanya lama
hilangnya; kelaliman yang orang lakukan, lekas lupa olehnya,”
begitulah Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi sudah kami katakan,
sebagai pula sudah dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang kami
kutip tadi, akibat-akibat VOC dan cultuurstelsel itu, naweeen VOC
dancultuurstelsel itu, yang keduanya bersistem monopoli, sampai ini
hari belum hilang, sampai ini hari masih terbayang dalam wujud
susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga politik dan gerakan
Partai Nasional Indonesia, sebagai nanti akan kami terangkan,
terpengaru oleh sebab nya !
Pada pertengahan abad ke-19 “kapitalisme-modern” yang bersendi
kepada “bisnis liberal” dan “persaingan liberal”, di negeri Belanda
mulai timbul. Toh……cultuurstelsel yang bersendi kepada “kerja
paksa” dan yang terutama memberi untung kepada negara Belanda
itu, yang sudah begitu menggemukkan kantong kapitalis Belanda
partikelir itu, cultuurstelsel itu tidak lekas-lekas dihapuskan. Bukan
oleh sebab negara Belanda tak mempedulikan kepentingan kaum
pemodal partikelirnya, bukan oleh sebab kepentingan negara itu
lebih ditinggikan dari kepentingan borjuis, namun tak lain tak bukan
ialah sebab borjuis Belanda pada masa itu butuh
pada cultuurstelsel itu sebagai pembayar segala yang perlu diadakan
lebih dahulu bagi suburnya kapitalisme di negeri Belanda sendiri!
Henriette Roland Holst di dalam bukunya “Kapital en Arbeid in
Nederland” menuliskan seperti berikut:
“Perbuatan kaum borjuis disekitar tahun lima puluh yaitu
praktis dan menunjukkan kesadaran kelas yang sehat, yaitu
perbuatan mereka tidak melemparkan cultuurstelsel ke sudut,
sebelum mereka mengambil daripadanya segala yang bisa
diambilnya…..Ada bahaya, bahwa orang-orang yang tidak sabar
dan lekas mau maju, terlalau lekas mau memberikan orang Jawa
berkah-berkah pekerjaan liberal dan menggantikancultuurstelsel,
warisan otokrasi itu, dengan inisiatif pertikelir. namun mungkin
beberapa orang berpendapat demikian, borjuis pada umumnya
mengetahui. Sebagai golongan, mereka itu terutama merasa
berkepentingan dalam hal, pertama, pelunasan utang. Kedua,
liberalisasi perdagangan dan perusahaan dengan mengurangi bea-
bea dan pajak-pajak, yang hanya bisa terlaksana oleh yang itu
dibawah! Ketiga, pembuatan jalan-jalan kereta-api dan jalan-jalan
airm dengan tidak membebani rakyat dengan ongkos-ongkos yang
besar, suatu hal yang tentu akan mengobarkan semangat
konsevatisme pada orang-orang Belanda yang selalu hemat itu.
Semua ini perlu, sebelum bisa dimulai eksploitasi pertikelir di
Hindia, sebab kredit nasional, jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-
pelabuhan di negeri Belanda, harus menjadi tumpuan eksploitasi
itu. Semua hal yang baik-baik itu didapat dari keuntungan-keuntungan Hindia, jadi keuntungan-keuntungan Hindia buat sementara harus tetap ada.”
Imperialisme-modern
namun , sesudah syarat-syarat kapitalisme-modern semua selesai
terurus, sesudah kredit nasional kokoh dan sesudah jalan-jalan kereta
api, terusan-terusan, pelabuhan-pelabuhan sudah rampung, sesudah
kapitalisme modern menjadi subur, maka kapital surplusnya, mulai
ingin orang hendak memasukkannya ke Indonesia, imperialisme
modern lahirlah. Tak berhenti-hentinya kapitalisme modern itu
lantas memukul-mukul di atas pintu gerbang Indonesia yang kurang
lekas dibukakan, tak berhenti-hentinya kampiun-kampiun
imperialisme-modern itu dengan tak sabar lagi menghantam-hantam
di atas pintu gerbang itu, tak berhenti-hentinya penjaga-penjaga
pintu itu saban-saban sama gemetar mendengar dengungnya pekik
“naar vrijheid!” (ke arah liberalisasi), “naar vrijl arbeid” (ke arah bisnis
liberal) dari kaum kapitalisme liberal, yang ingin lekas-lekas
dimasukkan. Dan akhirnya, kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu
gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin keras bertiup,
sebagai aliran sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai
gemuruh tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah,
maka sesudah Undang-undang Agraris dan Undang-undang
Tanaman Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik
oleh Staten-Generaal di negeri Belanda, masuklah, modal partikelir
itu di Indonesia, mengadakan pabrik-pabrik gula di mana-mana,
kebun-kebun teh,onderneming-onderneming tembakau dan sebagainya
ditambah lagi modal partikelir yang membuka macam-macam
perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta-api, trem,
kapal, atau pebrik-pabrik yang lain. Imperialisme tua makin lama
makin layu, imperialisme-modern menggantikan tempatnya, cara
pengedukan harta yang menggali untung bagi negara Belanda itu,
makin lama makin berubah, terdesak oleh cara pengedukan baru
yang mengayakan modal partikelir.
Caranya pengeduk berubah,- namun banyaklah perubahan bagi
rakyat Indonesia? Tidak, tuan-tuan Hakim yang terhormat, banjir
jakarta yang keluar dari Indonesia malahan makin besar,
“pengeringan” Indonesia malahan makin menghebat!
“Di dalam perbantahan tentang jajahan tahun 1848-1870 yang
menjadi soal semata-mata ialah kerja paksa dan bisnis liberal; kita
lihat berulang dengan sengitnya perselisihan pendapat dari masa
keraguan sesudah jatuhnya Kompeni; juga kini nyata jelas pendirian
kaum kolot dan kesamaran pendirian oposis. Kaum konservatif tetap
menganggap milik jajahan sebagai sumber keuntungan negara, kaum
oposisi jijik dengan eksploitasi tanah jajahan itu sebagai “ wilayah
sumber keuntungan”. Suci dan penuh kemanusiaan cita-cita mereka
hendak mencapai suatu negeri Hindia yang bekerja merdeka dan
diperintahi dengan hati yang bersih, penuh harapan berkembang;
namun seperti juga pelopor-pelopor mereka yang terbaik, mereka
memiliki persangkaan salah yang hampir-hampir simpatik,
seolah-olah kapital liberal hanya cukup dimasukkan saja ke negeri
Hindia, niscaya lepaslah negeri ini dari keadaannya menjadi wilayah
sumber keuntungan. Bukankah, buat rakyat yang sudah letih itu,
hanya ada peralihan pengeduk kekayaan negerinya? Memang
berhentilah kejelekan mencampurbaurkan kapitalisme negara dan
pemerintahan negara, dalam keadaan perhubungan di negeri
Belanda, yang tak memberi hak kepada rakyat untuk ikut bicara; namun
sejarah penjajahan yang lebih baru sudah mengajarkan, bahwa
hilangnya cultuurstelsel hanya berarti kemenangan pengeduk yang
satu atas yang lain. wilayah sumber keuntungan memperoleh
pemegang-pemegang andil yang baru. Kapital partikelir lebih besar
pengaruhnya kepada negara dan tentunya juga kepada wilayah
negara yang dijajah. Dan tidak pernah begitu banyaknya
“keuntungan bersih” mengalir justru seperti di bawah pimpinan si
pengeduk baru itu; hanya jalannya lebih tenang”……begitulah
gambaran Stokvis.
Dan tidaklah “kena” sekali perbandingan Multatuli yang
membandingkan cultuurstelsel itu dengan:
“Suatu kumpulan pipa-pipa yang bercabang-cabang tidak terhitung
banyaknya dan terbagi-bagi menjadi jutaan pembuluh-pembuluh
kecil, semuanya bermuara dalam dada jutaan orang Jawa, semuanya
berhubungan dengan induk pipa yang dipompa oleh satu pompa
kuat yang digerakkan oleh uap; sedangkan dalam pengusahaan
partikelir setiap pengejar untung bisa berhubungan dengan semua
pipa dan bisa memakai mesin pompanya sendiri untuk
mengeduk sumber.”
Tidakkah kena sekali perbandingan itu?
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, dengan dua kutipan ini, maka
sifat umum imperialisme-modern di Indonesia itu sudah cukup
tergambar.
Memang, bagi rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu
hanya perubahan cara pengedukan rezeki; bagi rakyat Indonesia,
imperialisme-tua dan imperialisme-modern kedua-duanya tinggal
imperialisme belaka, kedua-duanya tinggal pengangkutan rezeki
Indonesia keluar, kedua-duanya tinggal drainage!
“Peradaban”; keamanan, tambah penduduk, alat-alat lalu lintas, dan
sebagainya.
O, memang, zaman imperialisme modern mendatangkan
“peradaban”, zaman imperialisme modern mendatangkan peri-
kehidupan damai dan “tenteram”, yaitu mendatangkan keamanan.
Zaman imperialisme-modern mendatangkan tambahnya jumlah
rakyat yang deras. Zaman imperialisme-modern mendatangkan
jalan-jalan yang menggampangkan perhubungan antara tempat-
tempat di Indonesia, mendatangkan jalan-jalan kereta-api,
mendatangkan pelabuhan-pelabuhan dan perhubungan-
perhubungan kapal yang sempurna.
namun , adakah itu semua dalam hakikatnya, ditinjau dari
pergaulan hidup nasional, suatu kemajuan yang setimbang dengan
bencana yang disebarkan oleh usaha-usaha partikelir itu?
Ah, Tuan-tuan Hakim, berapakah tidak banyaknya orang yang
menjadi silau matanya oleh banyaknya modal dan hasil-hasil
peradaban barat yang masuk di negeri kami dan lantas mengira
bahwa imperialisme-modern itu mendatangkan kemajuan belaka.
Berapakah tidak banyaknya orang yang terbeliak matanya oleh
bayangan belakn, terbeliak matanya oleh sariat keadaan, yang
didatangkan oleh imperialisme-modern itu dan lantas memanggut-
manggutkan kepla sambil berkata: “Memang, memang sekarang
sudah lain sekali dengan zaman Kompeni atau Cultuurstelsel!
O, memang, sariatnya memang memperdayakan. Bayangannya
memang membeliakkan mata! Imperialisme-modern itu, menurut
kata Kautsky, yaitu : “berlainan dengan politik tua terhadap jajahan-
jajahan perasan, yang hanya melihat dalamnya barang-barang untuk
dirampok, kekayaan untuk dikumpulkan dan diangkut ke negeri
induk sebagai kapital. Sebaliknya imperialisme-modern yaitu suatu
politik, yang justru memasukkan kapital-kapital ke tanah jajahan,
mendirikan bangunan-bangunan budaya di negara ini. Jadi,
nampaknya tidak lagi membinasakan, namun justru memajukan
budaya”.
namun hakikatnya, bagaimanakah hakikatnya! “budaya” atau
“cultuur” yang didatangkan imperialisme-modern itu!
Berkata J.E. Stokvis menutup pemandangannya atas Oost-Indische
Compagnie: “namun keamanan dan kedamaian itu berarti suatu
perjuangan yang sia-sia, kadang-kadang suatu perjuangan
satria………untuk merebut kemerdekaan nasional; tambahnya
jumlah jiwa yang pesat ialah berkembang biaknya rakyat katulistiwa
yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena” dan tiap-
tiap perkataan dalam kalimat ini boleh kita pakaikan untuk zaman
imperialisme-modern itu. Lagi pula, tambahnya penduduk tidak
selamanya berarti kemakmuran, tambahnya penduduk tidak
selamanya berarti kesejahteraan umum, sebagai diuraikan oleh Peter
Maszlow di dalam bukunya “Die Agrarfrage in Ruszland”.
Di dalam kalangan kaum proletar di Eropa, tambahnya jumlah
manusia lebih besar dan lebih cepat dari di dalam kalangan kaum
pertengahan dan kaum atasan, adakah ini berarti bahwa kaum proletar itu lebih nyaman hidupnya dari kaum borjuis? bahwa ,
tambahnya penduduk di Indonesia itu tak lain daripada“voortplanting van ontwrichte en misbruikte tropenvolken”, yaitu “ berkembang
biaknya rakyat katulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”, sebagai Stokvis mengatakan tadi! Dan itu jalan-jalan lorong, itu jalan-jalan kereta-api, itu perhubungan kapal, itu pelabuhan ,- tidakkah itu bagus sekali bagi rakyat Indonesia?
O, memang, kami mengakui faedahnya alat-alat pengangkutan, yaitu faedahnya alat-alat lalu-lintas modern itu, mengakui pengaruhnya
yang baik atas perhubungan dan kemajuan rakyat, kami mengakui
bahwa, jikalau umpamanya rakyat Indonesia itu sekarang kehilangan
semua itu, niscaya ia merasa rugi, namun tak dapat disangkal bahwa
alat-alat lalu lintas modern itu, menggampangkan geraknya modal
partikelir. Tak dapat disangkal, bahwa alat-alat lalu lintas itu
menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang
perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana,
sehingga rezeki rakyat menjadi kocar-kacir oleh sebab nya !
Karl Kautsky di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik”
menulis (hal. 41): “perbaikan alat-alat perhubungan dan alat-alat
produksi itu sebetulnya bisa memperbesar tenaga produksi
negara yang terbelakang ekonominya, jikalau tidak sejalan
dengan itu terus-menerus bertambah besar pula bea-bea kemiliteran
dan utang-utang luar negeri. Olah adanya faktor-faktor ini perbaikan
itu hanya menjad jalan untuk memeras lebih banyak dari biasa hasil-
hasil dari negara yang miskin, begitu banyaknya sehingga
bukan saja produksi lebih jika ada yang lahir dari perbaikan-
perbaikan teknis, oleh sebab nya terisap habis, namun juga begitu
banyaknya, sehingga banyaknya hasil-hasil yang tinggal di dalam
negeri untuk keperluan kaum produsen, berkurang. Dalam keadaan
yang demikian itu, kemajuan teknis menjadi suatu jalan untuk
pertanian besar-besaran yang sembrono dan kemiskinan.”
Begitulah pendapat “kaum merah”. namun juga Kolonial-Direktor
Dernburg, pemimpin imperialisme Jerman sebelum perang besar,
seorang yang sebab itu bukan kaum “penghasut”, Kolonial-
Direktor Dernburg yang di muka sudah kami dalilkan kalimatnya
yang begitu terus terang tentang asas-asas penjajahan yang
sebetulnya , Kolonial-Director Dernburg itu dengan terus terang lagi
berkata:
“namun semua bangsa yang memiliki tanah jajahan, sudah
mengalami, bahwa wilayah jajahan yang luas dengan tiada
jalan-jalan kereta api, tetap menjadi harta milik tertutup yang tidak
memberikan jaminan keuntungan ekonomi”.
Dan keadaan di negeri kami? Bukti-bukti di negeri kami?
Bekas Assisten-Residen Schmalhansen yang terkenal itu menulis:
“Tanah Jawa memiliki jalan-jalan kereta api dan trem, banyak
sekali tanah-tanah erfpacht sudah dibuka dan diusahakan, banyak
pabrik-pabrik gula dan nila sudah berdiri,……namun apakah semua ini
bisa mencegah keadaan bahwa kesejahteraan bukannya maju, malah
menjadi mundur?”
Dan Prof. Gonggripj menulis:
“Pelengkapan Hindia dengan alat-alat lalu lintas yang modern ini
yaitu suatu keperluan yang mutlak dalam perkembangan
perusahaan partikelir, yang hasil-hasilnya yang besar-besaran harus
didagangkan di pasar-pasar dunia….
Pengaruh besar dan nyata kelihatan atas kesejahteraan orang banyak
dari penduduk bumiputra, dipicu oleh alat-alat lalu lintas yang
modern itu….belum lagi ada.”
Undang-undang Agraria dan Undang-undang Tanaman Tebu, dibuat
oleh Staten General yang berkedudukan di Belanda, bukan oleh Raad van
Indie, sebab Raad ini baru ada tahun 1918.
Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur”
Multatuli alias Dowes Dekker dalam bukunya yang terkenal “Max
Havelaar yang; dikutip oleh Roland Holst dalam bukunya “Kapitaal en
Arbeld in Nederland”
Drainage= penyedotan sampai kering
Karl Kautsky (1854-1938): Seorang bangsa Austria penganut aliran sosial
demokrat, dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik”
J.E. Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur”
Parvus, dalam bukunya “Die Kolonial Politik und der Zusammenbruch”
H.E.B. Schmalhausen, bekas Asisten Residen di Jawa, dalam bukunya
“Over Java en de Javanen” (Tentang Jawa dan orang Jawa) Prof.Gonggrijp, dalam bukunya “Ekonomische Geschiedenis Nederlandsch
Indie”,
“Keperluan mutlak dalam perkembangan perusahaan partikelir!” Dan berapakah “keperluan mutlak” yang tidak ditemukan.
Ada aturan erfpacht yang bersendi atas “gewetenstopper”
, domeinverklaring buat onderneming-onderneming di pegunungan,
ada aturan menyewa tanah bagi onderneming tanah datar yang banyak
penduduk; ada aturan kontrak buruh dengan poenale
sanctie bagi onderneming-onderneming yang kekurangan kuli; dan
“ketertiban dan keamanan” dan lapangan usaha di mana-mana dengan
“staatsafronding” yang memusnahkan kemerdekaan negara
Aceh, Jambi, Kurinci, Lombok, Bali, Bone dan lain-lain; ada sistem
pengajaran yang menghasilkan kaum buruh “halusan”; ada pasal 161 bis
Undang-undang Hukum Pidana yang meniadakan hak mogok, sedang
undang-undang pelindung buruh tidak ada sama sekali, sehingga nasib
kaum buruh boleh dipermainkan semau-maunya,- sungguh benar
kapital partikelir tak kekurangan “keperluan mutlak”, kaum
imperialisme-modern berada di surga!
Empat sifat imperialisme-modern
Hebatlah melarnya perusahaan imperialisme itu menjadi raksasa
yang makin lama makin bertambah tangan dan kepala! Imperialisme-
tua yang dahulu nya terutama hanya sistem mengangkuti bekal-bekal
hidup saja, kini sudah melar jadi raksasa imperialisme-modern yang
empat macam “shakti”nya:
Pertama : Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup
Kedua : Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk
pabrik-pabrik di Eropa
Ketiga : Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang
hasil dari macam-macam industri asing
Keempat : Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang
ratusan, ribuan-jutaan jumlahnya.
bukan saja modal Belanda, namun sejak adanya “Opendeur-
politiek” juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang,
juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi internasional sebab nya .
Terutama “shakti” yang keempat inilah, yaitu “prinsip” yang memicu
Indonesia menjadi wilayah eksploitasi dari kapital-lebih asing, menjadi
lapang usaha bagi modal-modal kelebihan dari negara asing,
yaitu yang paling hebat dan makin lama makin bertambah hebatnya!
Dalam tahun 1870 jumlah tanah erfpacht ada 35.000 bahu, dalam tahun
1901 sudah 622.000 bahu, dalam tahun 1928 sudah 2.707.000 bahu, kalau
dijumlahkan juga dengan konsesi-konsesi pertanian, jumlah ini buat
tahun 1928 menjadi 4.592.000 bahu! Jumlah tanah yang ditanami karet
kini tak kurang dari ± 488.000 bahu, hasil ± 141.000 ton jumlah kebun teh
± 132.000 bahu, hasilnya ± 73.000 ton: jumlah kebun kopi ± 127.000 bahu,
hasilnya ± 55.000 ton; jumlah kebun tembakau ± 79.000 bahu, hailnya ±
65.000 ton; jumlah kebun tebu ± 275.000 bahu, hasilnya 2.937.000 ton.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, jutaan, tidak terbilang milyar rupiah
kapital imperialis yang kini mengeduk kekayaan Indonesia!
Dr.F.G. Waller, di muka rapat anggota dari Verbond van Nederlandsche
Wetgevers[7], antara lain berpidato demikian:
“Menurut taksiran majelis majikan, keuntungan bersih dari
perusahaan-perusahaan Hindia: gula, karet, termbakau, teh, kopi,
kina, minyak tanah, hasil tambang, bank-bank, dan beberapa
perusahaan kecil yang lain, dalam tahun 1924, 490 juta rupiah, tahun
1925, 540 juta rupiah. Menurut taksiran bolehlah ditentukan, bahwa
70% dari jumlah ini jatuh di tangan pihak Belanda, jadi kira-kira 370
juta rupiah. Kalau kita perhitungkan jumlah ini dengan bunga yang
tinggi 9 atau 10%, maka harga perusahaan-perusahaan itu sekarang
mencapai angka luar biasa, yaitu 3700 hingga 4100 juta rupiah.
Angka ini tentu saja bukan angka yang teliti, namun cukup
memberikan gambaran berapa harga milik Belanda di Hindia-
Belanda dan kepada saya terbukti, bahwa perhitungan yang
dilakukan dengan jalan lain sampai kepada angka yang demikian
juga. Kekayaan yang di negeri Belanda terkena pajak kekayaan ialah
12 milyar, sehingga milik kita yang ada di Hindia tidak kurang dari
1/3 kekayaan rakyat kita semua.”
Lebih dari 4000 juta rupiah kapital Belanda saja, Tuan-tuan Hakim
yang terhormat, namun jumlah semua modal asing yang berusaha di
Indonesia yaitu lebih besar lagi, yaitu jikalau kita hitung dengan
memakai asas perhitungan Dr. Waller itu juga: kurang lebih 6000 juta rupiah!
Enam milyar rupiah dengan untung setahun rata-rata sepuluh persen! namun berapa perusahaan asingkah yang untungnya tidak
berlipat-lipat ganda lagi. Berapa perusahaan asingkah yang
dividenya sering kali lebih dari 30, 40, ya kadang-kadang sampai
lebih dari 100%! Kita mengetahui dividen tembakau Sumatra yang
besarnya 35% dalam tahun 1924, kita mengetahui dividen kina yang
berlipat-lipat lagi, kita kenal akan dividen-dividen yang sampai
170%! Kami, oleh sebab nya , tidaklah heran kalau seorang sebagai
Colijn mengatakan, bahwa modal asing harus terus mengerumuni
Indonesia itu sebagai semut mengerumuni wadah-gula, sebagai “de
mieren den suikerpot”!
Ekspor, impor, kelebihan ekspor
Memang milyunan rupiah harganya hasil-hasil perusahaan kapital asing
itu yang saban tahun diangkut dari Indonesia, milyunan rupiah
besarnya harga pengeluaran hasil-hasil itu saban tahun. Di dalam tahun
1927 pengeluaran kopi yaitu seharga f 74.000.000,-; pengeluaran teh f
90.000.000,-; pengeluaran tembakau f 107.000.000,-; pengeluaran minyak
f 155.000.000,-; pengeluaran gula f 360.000.000,- (malahan sebelum
hebatnya persaingan dari Kuba, kadang-kadang lebih dari f
400.000.000,0); pengeluaran karet f 417.000.000, jumlah semua barang
keluar tak kurang dari f 1.600.000.000,-
Pendek kata, saban tahun kekayaan yang diangkut dari Indonesia,
sedikit-dikitnya f 1.500.000.000,-!
Dan harga impor? Harga barang-barang yang masuk Indonesia? Tuan-
tuan Hakim yang terhormat, Indonesia yaitu suatu tanah jajahan, di
mana, sebagai tadi sudah kami katakan, prinsip imperialisme yang
nomor empatlah yang paling hebat. Semua tanah jajahan yang
terutama ialah jadi lapangan usaha modal asing yang kelebihan, suatu
wilayah pengusahaan surplus kapital di luar negeri. Suatu jajahan yang
demikian itu, ekspornya selamanya melebihi impor, kekayaannya yang
diangkut ke luar selamanya lebih banyak dari harga barang yang
dimasukkan.
Inilah yang menjadi sifat rumah tangga kami yang miring itu, kelebihan
ekspor, dan bukan kelebihan impor, lebih banyak kekayaan yang
keluar dan bukan lebih banyak barang yang masuk, bahkan bukan pula
“les produits se changent contre les produits”, yaitu bukan pula barang
yang keluar sama dengan barang yang masuk.
Kelebihan ekspor di Indonesia makin lama makin besar. Di dalam tahun
delapan puluhan kelebihan ekspor itu = f 25.000.000,-; di dalam tahun
sembilan puluhan sudah menjadi ± f 36.000.000,-; di dalam tahun-tahun
penghabisan abad ke-19 sudah bertambah menjadi ± f 45.000.000,-; di
dalam tahun sekitar 1910 sudah menjadi f 145.000.000,-; di dalam tahun
akhir-akhir ini sudah menjadi f 700.000.000,- Ya, di dalam tahun
1919 mencapai rekor f 1. 426.000.000,-
bahwa , Indonesia bagi kaum imperialisme yaitu suatu surga,
suatu surga yang di seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada
bandingan kenikmatannya:
“Kalau kita bandingkan dengan angka-angka internasional…nyatalah
bahwa tidak satu negeri lain persentase kelebihan ekspornya begitu
tinggi seperti Hindia-Belanda,” begitu Prof, Van Gelderen,
kepala Centraal Kantoor voor de statistiek di sini, berkata.
Gewetenstopper= pendiaman tuntutan hati
Domeinverklaring= tanah yang diakui milik negara
Ponale sanctie= mulai berlaku 1881, yaitu peratu n yang membolehkan
perusahaan perkebunan menangkap buruh bila keluar sebelum masa kontrak
berkahir. Staatsafronding= pembulatan wilayah jajahan.
Opendeur-politiek= politik pintu terbuka, yang berlaku sejak 1905. Sejak itu
masuklah modal asing lainnya, selain Belanda.
Bandingkan statist, Jaaroverz. 1928.
Verbond van Nederlandsche Wetgever, ialah Perkumpulan Pembuat Undang-
Undang Belanda, di mana dr.F.G. Waller menyampaikan makalah pada tanggal 30
September 1927,
Di masa itu 1 kg beras = f 0,07 (7 sen).
Hendrikus Colijn (1869-1944): Pernah menjadi letnan dalam perang Aceh,
kemudian menjadi Perdana Menteri Belanda tahun 1925- 39. Buku yang dikutip
“koloniale vraagstukken van heden en morgen”
Bersumber dari “Jaaroverzicht”
Data ini dibuat van Gelderen, kepala Kantor Pusat Statistik di Jakarta dalam
bukunya “Voorlezingen”. Ternyata di masa malaise (1930) ekspor dari Indonesia
mencapai 700 juta gulden
Ekspor di tahun 1919 mencapai puncak, sebelum datangnya zaman malaise.
Data ini diambil dari tulisan D.M.G.Koch “Vakbeweging 1927”,
(vakbeweging= gerakan buruh)
Nasib Rakyat Dan bangsa Indonesia?
Bagaimanakah nasib bangsa Indonesia?
Menjawab Mr. Brooshooft, seorang yang bukan sosialis, di dalam bukunya
“De Ethisce Koers in de koloniale Politiek”:
“Jawabnya singkat aja, kita jerumuskan dia ke dalam jurang!” “Kita
jerumuskan dia ke dalam lumpur kesengsaraan, yang di dalam
pergaulan hidup Barat meneggelamkan jutaan manusia sampai ke
batang lehernya: pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain
tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital, yaitu
menggenggam kekuasaan.”
Ah, Tuan-tuan hakim, begitu banyak orang bangsa Belanda yang
tidak mengetahui kesengsaraan rakyat Indonesia. Begitu banyak
bangsa Belanda yang mengira, bahwa rakyat Indonesia itu senang
kehidupannya.
Meskipun demikian….tidak kurang pula orang-orang pandai bangsa
Belanda yang menunjukkan kesengsaraan ini dalam buku-buku,
karangan-karangan atau pidato-pidato, tidak kurang kaum
terpelajar bangsa kulit putih yang mengakuinya! Kesengsaraan
rakyat Indonesia harus diakui oleh siapa saja yang mau
menyelidikinya dengan hati yang bersih; kesengsaraan rakyat itu
bukan “omong-kosong” atau “hasutan kaum penghasut”.
Kesengsaraan itu yaitu suatu kenyataan atau realiteit yang
gampang dibuktikan dengan angka-angka. Lagi pula, tuan-tuan
hakim, adanya kelebihan-kelebihan ekspor itu saja, yang juga bukan
“omong-kosong”, melainkan suatu barang yang nyata oleh adanya
angka-angka statistik adanya hal bahwa negeri Indonesia itu lebih
banyak diangkuti kekayaan keluar daripada dimasukkan. Adanya
hal itu saja, sudah cukup bagi siapa yang memiliki sedikit
pengetahuan tentang ekonomi, bahwa di sini keadaan yaitu
“miring”, bahwa di sni tidak ada “keseimbangan”. Dan bukan saja
keadaan itu “miring”, bukan saja ada “tidak seimbang” namun (oleh
sebab kelebihan-kelebihan ekspor itu makin lama makin besar),
keadaan “miring” itu makin lama juga makin “miring”, “tidak
seimbang” itu makin lama juga makin tidak seimbang!
Tatkala membicarakan kelebihan-kelebihan ekspor ini, berkata D.M.G.Koch:
“Tentu saja pengambilan yang teratur dan saban tahun bertambah
besar dari jumlah-jumlah uang dari negeri Hindia, berarti hilangnya
kekayaan-kekayaan yang mungkin bisa dipakai untuk
perkembangan ekonominya.”
Lagi pula tuan-tuan Hakim, tidakkah pemerintah sendiri mengakui
adanya “kekurangan kesejahteraan” itu, tidakkah pemerintah sendiri
mengakui adanya “mindere welvaart” itu, tatkala pemerintah beberapa
tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaartscommissie” (komisi
untuk menyelidiki kekurangan kesejahteraan). Tidakkah Menteri
Idenburg sendiri dua puluh lima tahun yang lalu sudah
menyebutkan chronischen nood, suatu “kesengsaraan yang terus-
menerus”, “yang sekarang berjangkit di sebagian besar tanah Jawa”,
tidakkah menteri itu mengakui pula adanya suatu “kemelaratan yang
sudah mendalam”, suatu “ingevreten armoede”, sehingga
“keadaan ekonomi dari sebagian besar penduduk, sangat jeleknya”?
Tidakkah menteri jajahan itu juga mengakui pula adanya
“penyerotan rezeki keluar”, yaitu adanya “drainage”, walaupun ia
berpendapat bahwa:
“menunjukkan penyakit ini lebih gampang dari memperoleh kan obat
untuk menyembuhkannya”?
Dan tidak kurang pula orang-orang Belanda lain yang mengakui
keadaan ini pada zaman itu; Tuan Pruys v.d. Hoeven, bekas Anggota
Dewan Hindia, di dalam bukunya “Veertig Jaren Indische
Dienst”, menulis:
“Nasib orang Jawa dalam empat-puluh tahun yang akhir ini, tidak
banyak diperbaiki. Di luar golongan kaum ningrat dan beberapa
hamba negeri, masih tetap hanya ada satu kelas saja yang hidupnya
sekarang makan besok tidak. Suatu kaum yang agak berada, belum
lagi bisa terbentuk, sebaliknya dalam tahun-tahun belakangan ini
kita lihat terakhir suatu kelas proletar, yang terdahulu hanya
ada di ibukota-ibukota.”
H.E.B. Schmalhausen, bekas asisten residen, di dalam bukunya, Over
Java en de Javanen, bercerita:
“Saya sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana orang-orang
perempuan, sesudah berjalan beberapa jam lamanya, sampai di
tempat yang dituju dan mengalami peristiwa, bahwa mereka tidak
bisa ikut mengetam padi, sebab kebanyakan pekerja. Maka ada
yang menangis tersedu-sedu lalu duduku di tepi jalan, putus asa.
kondisi yang demikian itu baru bisa kita mengerti,
sesudah hidup lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup punya
perhatian kepada negeri dan penduduk dan selalu membuka
mata!” “Kami memicu ……perhitungan…..menurut keterangan-
keterangan yang benar dan hasilnya ialah, bahwa harga padi yang
mereka terima (sebagai upah) sebanyak-banyaknya f 0.09 sehari.”
Untuk mencari upah 9 sen yang menyedihkan ini dengan kerja berat
di panas matahari yang terik, seperti kita katakan tadi, perempuan-
perempuan kadang-kadang harus berjam-jam lamanya berjalan kaki
dan kadang-kadang ditolak pula. Kenyataan-kenyataan seperti itu
lebih membukakan mata bagi kondisi yang sebetulnya dari banyak perslah-perslah dan pidato-pidato yang mengenai luarnya saja.”
Dan Mr. Brooshooft menulis kalimatnya yang termashur: “Kita jerumuskan dia ke dalam jurang”, Wij duwen hem ini den afgrand”,
sedang di dalam Staten-Generraall perkara inzinking (kejatuhan) ini
ramai dibicarakan. Terutama van Kol tidak berhenti-hentinya
membongkar kondisi ini, tidak berhenti-hentinya
membicarakan :negeri yang tiada sumsum lagi” atau “uitgemergelde
gewesten” itu, tidak berhenti-hentinya menggambarkan nasib
“jajahan sengsara” atau noodlijdende kolonie” ini, tidak berhenti-
hentinya menangiskan “kemunduran manusia dan ternak” itu. yaitu
“physieke achteruitgang van menschen en vee”. Begitulah keadaan beberapa tahun yang lalu, Adakah keadaan
sekarang berbeda? Adakah keadaan hari ini lebih baik?
Tuan-tuan hakim yang terhormat, tadi sudah kami buktikan dengan
angka-angka, bahwa drainage Indonesia tidak makin surut, tidak
makin kecil, melainkan makin besar, makin membanjir,
mendahsatkan, bahwa kelebihan-kelebihan ekspor makin tak
berhingga, bahwa ketidakseimbangan makin menjadi tidak
seimbang!Bagi siapa yang mau mengerti, maka tidak boleh
tidak, drainage yang makin membanjir itu pasti berarti rakyat makin
sengsara, pasti berarti rakyat itu, dengan perkataan Mr. Brooshooft,
makin terjerumus ke dalam “jurang”! Jikalau di zaman Pruys v.d. Hoeven kita sudah melihat “suatu kelas proletar, yang dahulu hanya
ada di ibukota-ibukota”, kalau di zaman Mr. Brooshooft kita
sudah melihat “pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain
tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital”.
Jikalau kita di zaman itu sudah melihat daya yang
“memproletarkan”, yaitu proletariseeringstendens dengan senyata-
nyatanya, bagaimanakah kerasnya proletariseeringstendens itu di
zaman kita sekarang ini, di mana pengedukan kekayaan secara
imperialistis itu makin lama makin mengaut, kapital asing makin
lama makin bertambah banyak dan bertambah besar “shaktinya”!
Di dalam buku Dr. Huender “Overzicht van den Econ. Toestand der
Inheemsche Bevolking van Java en Madoera”, kita membaca:
“Sedang di tahun 1905 jumlah penduduk dewasa yang bekerja tani,
ada 71%, menurut maklumat-maklumat yang akhir di Dewan
Rakyat……sekarang ini hanya 52% saja yang semata-mata
memiliki penghasilan dari pertanian”….
dan Prof, van Gelderen dari Centraal Kantoor Voor de
Siatistiek menulis:
“Perkembangan perusahaan asing dengan sendirinya cenderung
kepada usaha untuk selalu dan berangsuur-angsur secara
lebihh besar-besaran melaksanakan perbandingan pokok ini:
majikan dan kapital, jadi juga keuntungan, bagi bangsa asing; dan
kaum buruh, jadi juga upah, bagi bangsa bumiputra. Memang
dengan demikian bertambah besar permintaan kepada tenaga buruh
dan bertambah besar jumlah penduduk yang memperoleh penghasilan
berupa upah. namun hal ini terjadi secara sangat berat sebelah seperti
berikut. Penduduk bumiputra menjadi suatu bangsa yang terdiiri
dari kaum buruh belaka dan Hindia menjadi buruh antara bangsa-bangsa.”
Mr. Brooshoft, dalam bukunya “De Etische Koers in de Koloniale Politiek”
(Arah etika dalam politik Kolonial).
D.M.G. Koch dalam “Vakbeweging 1927” Alexander W.F. Idenburg (1861-1935), seorang tokoh dari partai And
revolusioner, menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda pada tahun 1909-1916, kemudian menjadi menteri jajahan tahun 1918.
Van kol dallam bukunya “Nederlandsch Indie in de Staten General”
“Veertig Jaren Indische Dienst”= Empat puluh tahun berdinas di Hindia.
Apa yang diuraikan oleh Mr. Brooshooft ini, ada juga dalam buku
Van Kol “Nederlandsch-indie in de Staten General”
Dr. Huender dalam bukunya “Overzicht van den Economischen Toestand
der Inheemsche Bevolking van java en Madoera” (manuscript keadaan ekonomi
penduduk pribumi di jawa dan Madura) menulis bahwa tahun 1905 ada 71
petani di antara penduduk. Sekitar tahun 1930 berkurang menjadi 52%. Hal
ini akibat banyaknya tanah yang diambil perkebunan asing, selain banyak
yang pindah ke kota sebab sempitnya tanah garapan.
Prof. Van Gelderen, kepala kantor Pusat Statistik di Jakarta, dalam
bukunya “voorlezingen” “Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” dan “ menjadi buruh
antara bangsa-bangsa”, Tuan-tuan Hakim, itu bukan nyaman! Itu bukan memberi harapan besar bagi hari kemudian! Itu bukan
memberi perspektif pada hari kemudian itu, jikalau terus-terusan begitu! Tidakkah oleh sebab nya , wajib tiap-tiap nasionalis mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan?
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” amboi, dan berapa besarkah upah yang biasanya diterima oleh Kang Kromo atau Kang
Marhaen itu! Berapakah, umpamanya, besarnya upah di dalam perusahaan yang terpenting, yaitu perusahaan gula, perusahaan
gula yang terdiri di tengah-tengah pusat pergaulan hidup Bumiputra,
di tengah-tengah ulu hati pergaulan hidup itu? Menurut Statistisch
Jaaroverzicht : rata-rata hanya f 0,45 seharu bagi orang laki-laki dan f 0,35 sehari bagi perempuan! sebetulnya , Dr. Huender tak salah kalau ia menulis:
“Perusahaan gula buat orang Indonesia yang berhak atas tanah,
yaitu merugikan: upah-upah yang dibayarkan kepada orang-orang
Indonesia yang bekerja padanya, jika tidak terlalu rendah untuk
menolak maut, setidak-tidaknya yaitu upah minimum, yaitu upah
yang paling rendah”
Dan bukan di dalam perusahaan gula saja kita dapatkan “Upah yang
paling rendah” atau “minimumloonen” itu! Upah minimum di
Indonesia kita dapat dimana-mana. Selama rumah tangga rakyat Bumiputra masih suatu rumah tangga yang kocar-kacir, selama
rakyat Bumiputra masih “minimumlijdstef” sebagai dikatakan Dr.Huender selama itu pula upah-upah dimana-mana
tentulah berwujud upah-upah minimum, selama itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksa menerima saja upah-upah yang
bagaimanapun juga rendahnya, “buat menolak maut”, “om er het
leven bij te houden”. Prof, van Gelderen di dalam bukunya dengan
seterang-terangnya menunjukkan perhubungan sebab akibat antara rumah tangga kami yang kocar-kacir ini dengan rendahnya upah-
upah di dalam pergaulan hidup kami , upah-upah di dalam pergaulan hidup kami yang menurut pendapatnya, bukan
“Ertragslohn” namun “Erhaltungslohn” yaitu upah yang “sekedar
supaya jangan sampai mati kelaparan”, upah yang “sekedar sama dengan
ongkos-ongkos hidup yang paling rendah”!
Dan hidupnya, bestaannya rakyat umum? Bagaimanakah hidupnya rakyat umum? Di atas sudah kami katakan, bahwa Dr. Huender menyebut rakyat Bumiputra itu “minimumlijdster” (penderita minimum).
“Yang paling sukar dan paling mengkhawatrikan berhubung dengan keadaan ekonomi di jawa dan madura, ialah bahwa penduduk yang sudah dibebani sampai batas kesanggupannya itu
rupanya yaitu “penderita minimum” dan bagi mereka ternyata beberapa peraturan yang diadakan pemerintah untuk memperbaiki
kehidupan mereka, tidak mempan……………..,
begitulah kesimpulan Dr. Huender. Dan Prof. Boeke di dalam bukunya
“Het zakelijke en persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek”, berkata:
“Si tani kecil, pak tani Jawa yang miskin itu …. bukan saja melarat
hidupnya, namun tidak bisa pula mempengaruhi apa-apa kesejahteraan
sekelilingnya; sisa-sisa yang sedikit dari perusahaannya, tidak memungkinkan dia, di luar keperluan-keperluannya yang paling
penting sehari-hari, memenuhi keperluan-keperluan lain yang agak berarti juga, yaitu keperluan-keperluan yang bisa diadakan oleh
lain-lain golongan masyarakat, yang menunggu-nunggu apa yang akan diminta dan ditawarkannya. Yang terutama bisa dikerjakannya dalam masyarakat, ialah menekan tingkat upah.” “Hidup yang melarat”, “een Ellendig bestaan” Tuan-tuan! Hakim,
begitulah pendapat Prof. Boeke, seorang yang toh bukan bolsyewik atau
“penghasut”, melainkan seorang ahli ekonomi yang ternama! Angka-
angka, Tuan-tuan Hakim? Menurut perhitungan Dr. Huender,
penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun ialah rata-
rata f 161,-, jumlah beban rata-rata/22.50,- jadi bersih penghasilan
setahun yaitu f 161,- f 22.50 = f 138.50, (seratus tiga puluh delapan
rupiah lima puluh sen!), Tuan-tuan Hakim, di dalam dua belas bulan!
yaitu , bleum sampai f 12. sebulan; yaitu belum sampai f 0.40 sehari
yaitu , kalau dimakan lima orang (besarnya sama rata), belum sampai f
0.08 sehari seorang! sebetulnya , sejak kalimatnya Pruys v.d. Hoeven yang berbunyi bahwa kebanyakan rakyat hidupnya “sekarang
makan besok tidak” sejak perkataannya Mr. Brooshooft bahwa rakyat terjerumus ke dalam “jurang”, sejak dengungnya suara van Kol yang
mendakwa atas adanya “negara yang tiada sumsum lagi”, atau “jajahan yang sengsara” atau “ kemuduran manusia dan ternak”,
sejak zaman itu tetaplah bangsa kami hidup “sekarang makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jurang”, tetaplah bangsa
kami hidup dalam “jajahan yang sengsara”!
bahwa , drainage yang kami derita dengan tiada berhentinya itu, tak luput menunjukkan pengaruhnya, imperialisme-modern tak luput
menunjukkan kejahatan shakti-shaktinya!
Orang bisa berkata: “Adakah imperialisme modern itu berkejahatan? Gula “memasukkan” uang ke dalam pergaulan hidup Indonesia dengan upah-upah dan penyewaan tanah; karet, teh, kopi, kina, hanya membuka tanah-tanah hutan yang jauh dari rakyat; minyak tanah
keluarnya dari sedalam-dalamnya tanah, semua memberi “berkah” pada rakyat dan kesempatan berburuh! O, memang, memang gula “memasukkan” uang; memang
onderneming erfpacht tidak begitu “mengenai” rakyat; memang minyak dibor dari sedalam-dalamnya tanah; memang semua memberi
kesempatan berburuh. namun marilah kita membaca pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, bagaimana macamnya “berhak” (kalau ada
“berhak”), yang modal asing itu berikan kepada kami dan sebagaimana macamnya kaum modal asing itu “memelihara” kesejahteraan kami:
“Manfaat-manfaat yang diterima oleh penduduk Bumiputra dari modal Eropa itu, hanya sisa-sisa hasil pekerjaan kaum majikan, bukan dimaksud dan sekali-kali tidak dimaksud terutama untuk
mereka. Tujuan mereka ialah…..cari duit….. Seandainya “wadah gula’ tadi untuk memakai perbandingan Colijn mulai kosong,
oleh sebab satu atau lebih hasil-hasil bumi mengalami krisis harga, maka segeralah semut-semut itu menyusup lagi ke dalam tanah,
dengan tidak memperdulikan sedikit juga nasib rakyat yang 35 atau 50 juta, yang tadinya selalu mengisi wadah gula itu. Selama,
seperti sekarang ini, semut-semut itu berdesak-desak mengerumuni wadah gula itu, artinya, selama onderneming-ondernemingEropa itu
beroleh untung, maka kepentingan-kepentingan orang Bumiputra terhadap usaha mereka yang sewajarnya untuk mencapai untung
yang lebih besar lagi, tidak aman, jika tidak ada alat penjagaan yang kuat…. Orang tidak usah seorang antikapitalis untuk mengerti
betapa berbahayanya kapital Barat mengancam penduduk Bumiputra dari suatu tanah jajahan.”
Marilah kita juga ingat akan kenyataan, sebagai yang diterangkan oleh
Prof. Van Gelderen di dalam bukunya tadi, bahwa tinggi-rendahnya
upah itu yaitu ditetapkan oleh “tenaga produksi” pergaulan hidup
umum, bahwa jikalau pergaulan hidup itu kocar-kacir, upah pasti
kocar-kacir dan serendah-rendahnya pula: bahwa jikalau pergaulan hidup umum itu suatu “Ernahrungswirtschaft” upah pasti hanya
“Erhaltungslohn” saja! Marilah kita ingat, bahwa keadaan rakyat Indonesia yang sebetulnya , memang membenarkan kenyataan ini,
yaitu , bahwa, di mana rakyat Bumiputra itu umumnya yaitu
“minimumlijdster”, upah yang biasa diterimanya juga memang hanya
“minimumloonen”, “Erhaltungslohnen” belaka! Marilah kita ingat, bahwa
industri imperialisme yang cita-citanya memicu untung setinggi-
tingginya itu, dan yang sebab itu, memiliki kepentingan atas adanya
upah-upah yang serendah-rendahnya (yaitu memiliki kepentingan
atas adanya loonen yang “minimumloonen”) oleh sebab nya ,
memiliki kepentingan pula atas tetapnya pergaulan hidup kami ini
dalam keadaan yang kocar-kacir, memiliki belang atas tetapnya kami
punya rumah tangga atau Wirtschaft itu bersifat “Ernahrungswirtschaft” adanya!
Dari statistik tahun 1928 itu diketahui, upah buruh laki-laki satu hari f 0,45, dan
upah buruh wanita f 0,35. Bandingkan dengan harga beras waktu itu f 0,07 (7 sen) 1
kg dan upah terendah buruh menurut Pemda Jabar tahun 1982 Rp. 850,- satu hari.
Minimumlijdster = Penderita paling parah.
Bandingkan dengan keadaan masyarakat kita sekarang (1982) sebab tidak ada
pilihan lain, orang mau saja bekerja di pabrik, walau dengan upah Rp. 200,- sehari
(pabrik rokok) atau Rp. 500,- sehari (buruh tani) di jawa.
Ertragslohn = upah terendah.
Erhaltungslohn = upah sekedar tidak sampai mati kelaparan
Walau ada usaha-usaha dan pemerintah Belanda memperbaiki kehidupan kaum
tani, namun perbaikan itu tidak menyentuh perombakan “kemiskinan strukturalnya”.
Prof; Kees Boekc (1884-19):
Seorang ahli pendidikan Belanda yang menulis “Het Zakelijke en persoonlijke
element in de koloniale welvaartspolitiek” (hal-hal yang wajar dan bersifat pribadi
dalam politik kesejahteraan kolonial).
Bandingkan dengan kehidupan kaum Marhaen tahun 1930 dengan pendapatan
8 sen sehari per jiwa, dengan upah Rp 850,- sehari dengan 5 orang (bapak, istri, dan
3 orang anak) di tahun 1982.
Ernahrungswirtschaft= susunan masyarakat yang kocar-kacir.
Prof. Van Gelderen menulis:
“bila tenaga produksi dari penghasil Bumiputra bertambah
besar dan oleh sebab nya harga sewa tanahnya jadi lebih tinggi,
maka dalam suatu cara perkebunan tertentu dari pengusaha-
pengusaha Eropa, bertambah kurang keuntungan perusahaannya.
Ini suatu pertentangan kepentingan yang tidak bisa dimungkiri, dan
sekali-sekali terasa benar”. “Perbedaan hasil pekerjaan dalam hal
dipakai pekerjaan orang Bumiputra dan dalam hal
dipakai pekerjaan orang asing, buat sebagian besar
menguntungkan pengusaha asing. Makin kecil perbedaan ini,
dipicu sebab tenaga produksi pekerja Bumiputra dalam
lingkungan sendiri bertambah besar (ini pada hakekatnya berarti
tenaga produksi dalam pertanian Bumiputra), maka makin kecil
pula sumber keuntungan yang lain dari perusahaan besar asing ini.”
Dan di dalam buku Prof. Schrieke “The effect of Western Influence on
native civilizations in the Malay Archipelago”, kita membaca kalimat
Tuan Meyer-Ranneft yang sekarang menjadi Ketua Dewan Rakyat:
“Jumlah yang diterima oleh kaum modal dan perusahaan industri,
menjadi sebanding lebih besar dengan bertambah jeleknya
tingkat kehidupan Bumiputra,”
Sedang Prof. Boeke dengan lebih terus-terang lagi berpidato:
“Mereka, (kaum modal asing, Sk), terutama menjalankan rol
ekonomi yang diharapkan oleh dunia dari tanah jajahan, mereka
pandai mengeduk kekayaan dari Hindia pada umumnya dan dari
bumi Hindia pada khususnya dan memicu negeri itu memberikan
keuntungan-keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, mereka
itu terutama menghasilkan barang-barang yang diperlukan di pasar
dunia dan mereka mengharap dan menuntut dari Hindia tidak lebih
dari tanah yang baik dan tenaga buruh yang murah; penduduk bagi
mereka tidak lebih dari suatu alat (ini yang mengenai penduduk
tanah Jawa) atau penyakit yang perlu (ini yang mengenai penduduk
di tanah seberang). Buat mereka yang penting hanya…
penawaran tenaga buruh dan harga tanah; apa yang menambah
banyak penawaran dan menurunkan harga, menguntungkan bagi
mereka. Mereka itu yaitu , mereka harus jadi, apa yang dinamakan oleh orang Jerman dengan tepatnya “Real-politiker”, harus mendahulukan
kenyataan dan kesoalan, anasir cita-cita dan perseorangan buat
mereka itu tidak sehat atau lebih lagi.”
Dengan lain perkataan: Kaum modal partikelir memiliki
kepentingan atas rendahnya tenaga produksi dan rendahnya tingkat
pergaulan hidup kami, imperialisme-modern sebab itu, mengalang-
alangi kemajuan sistem sosial kami itu, imperialisme-modern sebab
itu suatu rem bagi kami punya kemajuan ekonomi sosial!
Benar sekali, imperialisme-modern “memicu rakyat
Bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka
dan memicu Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan
bangsa-bangsa”!
Dan si buruh yang bagaimana, Tuan-tuan Hakim!, si buruh yang loonen-
nya. minimumloonen, si buruh yangWirtschaft-nya Minimumwirtschaft!, si
buruh yang upahnya upah Kokro! Hati nasional tentu berontak atas
kejahatan imperialisme-modern yang demikian itu!!
Lagi pula, siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-
kekayaan Indonesia yang diambil olehmijnberdrijven partikelir, yaitu
perusahaan-perusahaan tambang partikelir, sebagai timah, arang
batu, minyak! Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi
kekayaan-kekayaan tambang itu?
Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya
bagi kami, musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup
Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil
belaka!
“…….Perusahaan hasil tambang, yangblama-kelamaan
menghabiskan kekayaan-kekayaan tambang itu,” begitulah Prof,
Van Gelderen menulis.
“Juga di dalam hal ini, yang tinggal di dalam negeri hanya ongkos-
ongkos produksi saja. Hasil bersihnya jatuh ke tangan pemilik
modal asing.
Di dalam hasil bersih ini termasuk bukan saja bunga dan keuntungan
pengusaha, namun juga apa yang dinamakan “bunga pertambangan”,
yaitu pembayaran bagian monopoli yang tidak bisa diganti, bagian
yang ada dalam penghasilan segala perusahaan tambang, yang
memiliki tenaga produksi yang lebih dari ‘batas tenaga produksi’. Dengan jalan penghapusan dan pencadangan julah kapital yang
ditanam dalam pertambangan bisa tetap dala tangan si pemilik. namun
barang yang dikerjakan ini, yaitu batu arang, minyak tanah, timah,
musnah buat selama-lamanya”!
“Musnah buat selama-lamanya!” “Onkerroepelijk verloren!” bahwa ,
“bangsa kaum buruh”, “minimumloonen”, minimumlijdster”, kemajuan
ekonomi sosial direm”, “kekayaan tambang musnah buat selama-lamanya”,
semua perkataan-perkataan itu tidak menggembirakan! Dan toh…..apakah
hak-hak bangsa kami, yang kiranya boleh jadi “imbangan” dari keadaan
ekonomi yang menyedihkan itu? Apakah hak-hak bangsa kami yang boleh
dipakai sebagai obat di atas luka hati nasional yang perih itu? Pengajaran?
Oh, di dalam “abad kesopanan” ini di dalam “eeuw van beschaving” ini,
menurut angka-angka Centraal Kantoor voor dee Sfatistiek, orang laki-laki
yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%, orang perempuan belum
ada….1/2%. Dan toh, Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee
memajukan usul memberhentikan penambahan Hollandsch-Inlandsch-
Onderwijs! Pajak-pajak enteng? Laporan Meyer-Ranneft-Huender
menunjukkan, bahwa Kang Marhaen yang pendapatnya setahun rata-rata
hanya f 160. itu, harus membayar pajak sampai kurang lebih 10% dari
pendapatannya; bahwa bagi bangsa Eropa pajak yang setinggi itu baru
dikenakan kalau pendapatannya tak kurang dari f 8.000,- sampai dengan f
9.000,- setahun!; bahwa pajak yang istimewa mengenai Kang Marhaen,
yang pada tahun 1919 sudah mencapai jumlah f 86.900.000,-itu, di bawah
pemerintahan Gubernur-Jenderal Fock dinaikkan lagi menjadi f
173.400.000,- setahun!; bahwa teristimewa beban-beban desa sering berat
sekali adanya!
Kesehatan rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanya ada 343 rumah
sakit gubernemen, kematian bangsa Bumiputra setahun tak kurang dari
±20%, ya, di dalam kota-kota besar sampai kadang-kadang 30, 40, 50%[5],
seperti di betawi, di Pasuruan, di Makassar! Kesempatan bekerja di pulau-
pulau luar tanah jawa? Soal kontrak dan poenale sanctie, perbudakan zaman
baru atau moderne slavernij itu, seolah-olah takkan habis-habisnya di-
“pertimbangkan” dan sekali lagi dipertimbangkan”,
Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan yang melindungi
kaum buruh tak ada sama sekali,arbeidsinspectie tinggal namanya saja,
hak mogok, yang di dalam negara yang sopon sudah bukan
soal lagi itu, dengan adanya pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, musnah sama sekali dari realiteit, terhalimunkan sama sekali menjadi impian belaka! kemerdekaan cetak-mencetak dan hak
berserikat dan berkumpul?…
Tuan-tuan hakim, marilah kita dengan hati yang tenang dan tulus bertanya
lagi: Adakah di sini bagi kami bangsa Indonesia kemerdekaan cetak, yaitu
disini hak, yang dengan sebetulnya boleh kita namakan hak berserikat dan
berkumpul? Amboi, adakah di sini hak-hak itu, di mana Kitab Undang-
undang Hukum Pidana masih saja berisi itu pasal-pasal mengenai
penyebaran rasa kebencian (haatzaaiartikelen) yang bisa diulur-ulur sebagai
karet, itu haatzaaiartikelen yang hampir zonder perubahan diambil dari
“gewrocht der duisternis” sebagai Thorbecke menyebut peraturan cetak-
mencetak, di mana “horribel starfwetartikel” 153 bis-ter yang lebih-lebih
elastis lagi mengancam keselamatan tiap-tiap pemimpin sebagai kami ini
hari, dimana hak pendigulan memberi keuasaan yang hampir tak terhingga
kepada pemerintah terhadap tiap-tiap pergerakan dan tiap-tiap manusia
yang ia tak sukai? Adakah di sini hak-hak itu, dimana kritik di muka umum
gampang sekali memperoleh teguran atau sopan, di mana tiap-tiap rapat
penuh dengan spion-spion polisi, di mana hampir tiap-tiap pemimpin
dibuntuti reserse di dalam gerak-geriknya ke mana-mana, di mana
gampang sekali diadakan “larangan berapat”, di mana rahasia surat
seringkali dilanggar diam-diam sebagai kami lihat dengan mata sendiri?
Adakah di sini hak-hak itu, di mana laporan spion-spion itu saja atau tiap-
tiap surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat memicu
penggerebekan di mana-mana, mengunci berpuluh-puluh pemimpin di
dalam tahanan, yang menjerumuskan pemimpin-pemimpin itu ke dunia
pembuangan?
Tuan-tuan Hakim, marilah sekali lagi kita bertanya dengan hati yang
tenang dan tulus: adakah di sini bagi bangsaku kemerdekaan cetak-
mencetak dan hak berserikat dan berkumpul, dimana menjalankan
“kemerdekaan” dan “hak” itu dialang-alangi oleh macam-macam
alangan, diranjaui oleh macam-macam ranjau yang demikian itu???
Tidak! Di sini tidak ada hak-hak itu! Dengan macam-macam alangan
dan macam-macam ranjau demikian itu, maka “kemerdekaan” itu
tinggal namanya saja “kemerdekaan” “hak” itu tinggal namanya saja,
“hak”, dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka
“kemerdekaan cetak-mencetak” dan “hak berserikat dan berkumpul”
itu lantas menjadi suatu omong-kosong, suatu paskwil! Hampir tiap-
tiap jurnalis sudah pernah merasakan tangan besinya hukum, hampir
tiap-tiap pemimpin indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan radikal lantas
saja dipandang “berbahaya bagi keamanan umum”!
sebetulnya : Tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat
Indonesia untuk jadi “imbangan” kepada bencana pergaulan hidup
dan bencana kerezekian yang ditebar-tebarkan oleh imperialisme-
modern itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat kami
yang cukup nikmat dan menggemberikan untuk dijadikan pelipur
hati nasional yang mengeluh melihat kerusakan sosial dan ekonomi
yang dipicu oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak
yang orang berikan pada rakyatku yang boleh dijadikannya sebagai
peganganm sebagai penguat, sebagai sterking untuk memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak-abrik kerezekian dan pergaulan
hidup kami itu!
Pernyataan Prof.Boeke ini sekaligus membuyarkan teori, bahwa
kedatangan orang Eropa ke Indonesia untuk “misi suci”.
Sejak tahun 1931, Bung karno sudah mengingatkan akan musnahnya
kekayaan yang tersimpan dalam bumi (tambang, minyak) oleh pengusaha-
pengusaha tambang swasta.
Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee= Komisi pengajaran Indonesia
Belanda (sekolah-sekolah HIS, MULO dan AMS waktu itu).
Fock, Gubernur Jenderal Hindia belanda, pada tahun 1919 menambah
pendapatan bagi kas negara menaikkan lagi pajak, termasuk dari rakyat
miskin.
Dikutip dari statistik “Jaaroverzicht” 1928
negara yang sopan dan mengenai paham demokrasi, kesopanan
dan kedemokrasiaannya tercermin adanya hak mogok bagi kaum buruh,
kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan pers.
gewrocht der duisternis= perangkap terselubung
horribel starfwetartikel= pasal-pasal 153 bis, begitu mengerikan,
merupakan pasal yang menaikkan bulu roma.
Toh……..diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau
tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat, tiap-
tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti
akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya
menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan
celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi
manusia, jangan lagi bangsa, walau cacing pun tentu bergerak
berkeluget-berkeluget kalau merasakan sakit!
Seluruh riwayat dunia yaitu riwayat golongan-golongan manusia atau
bangsa-bangsa yang bergerak menghindarkan diri dari suatu keadaan
yang celaka; seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert
Spencer, yaitu riwayat “reactief verzet van verdrukte
elementen”! Kita ingat pergerakan Yesus kristus dan agama Kristen
yang menghindarkan rakyat-rakyat Yahudi dan rakyat-rakyat Lautan
Tengah dari bawah kaki burung garuda Roma; kita ingat perjuangan
rakyat Belanda yang menghindarkan diri dari bawah tindasan Spanyol;
kita ingat pergerakan-pergerakan demokrasi kewargaan (burgerlijke
democretie) yang menghindarkan rakyat-rakyat Eropa pada akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19 dari bawah tindasan autokrasi dan
absolutisme, kita menjadi saksi atas hebatnya pergerakan-pergerakan
sosialisme yang mau menggugurkan takhta kapitalisme; kita
mengetahui pergerakan rakyat Mesir di bawah pimpinan Arabi dan
Zaglul Pasha ditambah pergerakan rakyat India dibawah pimpinan
Tilak atau gandhi melawan ketamakan asing; kita mengetahui
perjuangan rakyat Tiongkok menjatuhkan absolutisme mancu dan
melawan imperialisme Barat; kita sudah bertahun-tahun melihat seluruh
dunia Asia bergelora sebagai lautan mendidih menentang imperialisme
asing, tidakkah ini memang sudah terbawa oleh hakikat keadaan,
tidakkah ini memang sudah terbawa oleh nafsu mempertahankan dan
melindungi diri atau nafsu zelfbehound yang ada pada tiap-tiap
sesuatu yang bernyawa, tidakkah ini memang sudah “reactief verzet van
verdrukte elementen” itu?
Rakyat indonesia pun sekarang sejak 1908 sudah berbangkit; nafsu
menyelamatkan diri sekarang sejak 1908 sudah menitis juga kepadanya!
Imperialisme-modern yang serong di Indonesia itu,
imperialisme-modern yang menyebarkan kesengsaraan di mana-mana
itu, imperialisme-modern itu sudah menyinggung dan
membangkitkan musuh-musuhnya sendiri. Raksasa Indonesia yang
tadinya pingsan seolah-olah tak bernyawa, raksasa Indonesia itu
sekarang sudah berdiri tegak dan sudah memasang tenaga! Saban kali
ia memperoleh hantaman, saban kali ia rebah, namun saban kali pula ia
tegak kembali! Sebagai memiliki kekuatan rahasia, sebagai
memiliki kekuatan penghidup, sebagai memiliki aji-pancasona
dan aji-candrabirawa, ia tidak bisa dibunuh dan malah makin lama
makin tak terbilang pengikutnya!
Amboi, di manakah kekuatan duniawi yang bisa memadamkan
semangat suatu bangsa, di manakahn kekuatan duniawi yang bisa
menahan bangkitnya suatu rakyat yang mencari hidup, dimanakah
kekuatan duniawi yang bisa membendung banjir yang digerakkan oleh
tenaga-tenaga pergaulan hidup sendiri! Di manakah kebenaran jerita
anggota-anggota dan sahabat-sahabat imperialisme yang mengatakan
ini ialah buatan beberapa kaum “penghasut”, yaitu kaum
“opruiers” kaum “raddraaiers” kaum “ophitsers” dan lain
sebagainya dan yang oleh sebab nya sama mengira bahwa pergerakan
itu bisa dibunuh kalau “penghasutnya” semua dimasukkan bui, dibuang
atau digantung? Puluhan, ratusan, ya, ribuan “penghasutnya” “opruiers”
dan “ophitsers” sudah dibui atau dibuang, namun adakah pergerakan itu
berhenti, adakah pergerakan itu mundur, tidakkah pergerakan yang
umurnya baru ± 20 tahun itu malahan semakin menjadi besar dan
semakin menjadi umum?
“Man totet den Geist nicht”, begitulah Freiligrath menyairkannya, “ orang
tak bisa membunuh semangat”! Di dalam tahun 1900, yaitu sebelum di
sini ada “ophitsers”, sebelum di sini ada “raddraaiers”, Ir. Van Kol sudah
mendengungkan peringatannya di dalam Tweede Kamer demikian:
“Teruslah……..sampai sekali waktu tiba akhirnya; sekali waktu,
siapa tahu entah kapan, pasti meledak kekuatan rahasia”
Dan sebetulnya , “kekuatan rahasia” itu sudah meledak! Seluruh
dunia sekarang melihat bangkit dan bergeraknya kekuatan rahasia
itu!
Seluruh dunia yang tidak sengaja membuta-tuli, mengertilah, bahwa
kekuatan rahasia itu bukan buatan manusia, namun buatan
pergaulan hidup yang mau mengobati diri sendiri. Seluruh dunia
yang tulus hati mengertilah, bahwa pergerakan ini ialah antitesa
imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri. Bukan buatan
“penghasut” bukan buatan “opruiers”, bukan buatan “raddraaiers”,
bukan buatan “ophitsers” pergerakan ini ialah buatan kesengsaraan
dan kemelaratan rakyat! Ir. Albarda di dalam Tweede Kamer
memperingatkan: .
“Diantara mereka, yang berwajib atau merasa wajib membicarakan
peristiwa-peristiwa zaman di muka umum, ada yang senang
menggambarkan pergerakan Bumiputra dan perkembangannya
sebagai hasil pikiran-pikiran revolusioner Barat dan yang mengira
bahwa pergerakan itu bisa ditindas dengan jalan menghadapinya
dengan kebijakan pemerintah yang keras dan dengan mengerahkan
polisi dan justisi melawan propagandis-propagandisnya.
Pemandangan dan taktik yang demikian itu sangat dangkal dan
menunjukkan bahwa mereka tidak punya pengertian sejarah dan
tidak punya pengertian politik…. Pergerakan yang demikian itu
terlahir dari kondisi masyarakat dan dari perubahan-
perubahan yang dialaminya. Pergerakan demikian itu juga akan lahir
dan juga akan tumbuh, meskipun tidak pernah seorang Eropa yang
revolusioner menjejakkan kakinya di Hindia. Pergerakan demikian
itu, tumbuh terus, meskipun semua pemimpin dan propagandisnya
dibasmi.
Seperti juga dalam abad ke-16 pergerakan kerkhervorming tidak
terhenti dengan memburu-buru kaum bid’ah, seperti juga dalam
abad ke-19 demokrasi-sosial tidak bisa dihancurkan oleh politik
penindasan dengan kekerasan oleh Bismarck, begitu juga dalam abad
ke-20 pergerakan Bumiputra tidak bisa didorong ke belakang, bahkan
tidak bisa diberhentikan oleh kebijaksanaan pemerintah yang
reaksioner. Pergerakan itu tumbuh terus dan tidak usah diragu-
ragukan, bahwa ia akan mencapai cita-citanya, yaitu memerdekakan
penduduk Hindia dari penjajahan asing!….”
Tuan-tuan Hakim barangkali berkata, “O, itu pemandangan kaum
sosialis!”
Jika demikian, marilah kita dengarkan Dr. Kraemer, seorang yang
bukan sosialis, menulis dalam Koloniale Studien “Di sinilah juga letaknya keterangan, mengapa oorang salah sangka
sama sekali, bila orang menyangka, bahwa apa yang dinamakan
kebangunan dunia Timur itu atau di dalam lingkungan kita sendiri:
pergerakan Bumiputra itu, hanya menjadi soal suatu lapisan
Intelektuan yang tipis dan jumlahnya sangat kecil. Mau tidak mau
“rakyat murba yang diam itu” juga ikut mendidih dalam kancah
pergolakan itu”,
dan Prof. Snouck Hurgronje, yang juga bukan kaum dogma, yang toh
juga bukan kaum pembuta-tuli mengikuti sesuatu kepercayaan,
tempo hari berkata:
“Sumbernya”……dahulu dan sekarang, bukan pemupukan beberapa
ribu kaum intelektual, yang terlampau banyak memperoleh
pendidikan Barat dan tidak bisa ditampung oleh masyarakat
Bumiputra, namun rasa perlawanan di mana-mana terhadap
penjajahan oleh orang-orang dari bangsa lain, rasa perlawanan yang
kadang-kadang tampak keluar dan kadang-kadang tinggal terbenam……”
Herbert Spencer (1820-1893); Seorang filusuf Inggris penganut empirisme.
reactief verzet van verdrukte elementen= perlawanan terhadap elemen yang
menindas.
Arabi dan Zaglul Pasha, adallah pendiri partai Wafd di Mesir tahun
1918, diteruskan Mustafa Nahas Pasha dari 1927.
Tilak, Bal Gangdhar (1956-1920): Politikus India yang bersama-sama
Gandhi memimpin Partai Kongres, kemudian diteruskan oleh nehru.
Zelfbehound= menolong diri sendiri (mandiri).
Opruiers= penghasut-penghasut
Raddraaiers= biang keladi
Ophitsers= penghasut-penghasut
Ir. Albarda, seorang sosialis Belanda di Tweede kamer, memberi
peringatan kepada pemerintahnya pada tanggal 19 desember 1919.
Kerkhervorming= pembaharuan gereja (Protestan)
Dr.Kraemer (1888-19-) seorang ahli orientalis yang berada di Indonesia
antara tahun 1921-1937, kemudian menulis buku “Koloniale Studien”, bahwa , matahari bukan terbit sebab ayam jantan berkokok,
ayam jantan berkokok sebab matahari terbit! Dan dengan sedikit
perubahan, maka kami dari sini, bagi kaum-kaum yang masih saja
mengira bahwa pergerakan itu buatan “penghasut” mengobarkan
lagi api pidato Jean Jaures, kampiun buruh Prancis yang termashur
itu, di dalam dewan rakyat Prancis terhadap wakil-wakil kaum
modal:
“Ah, Tuan-tuan, alangkah anehnya Tuan-tuan sampai tersilaukan
mata, dan mengatakan bahwa evolusi universal ini terjadi sebab
perbuatan beberapa orang saja! Tidakkah terkena hati Tuan-tuan
oleh luasnya pergerakan kebangsaan sehingga ada di seluruh
muka bumi? Dimana-mana, di semua negeri yang tidak merdeka, ia
muncul pada waktu yang sama, semenjak sepuluh tahun yang
kemudian ini, tidak mungkin lagi menggambarkan sejarah Mesir,
India, Tiongkok, Filipina dan Indonesia dengan tidak juga
menceritakan riwayat pergerakan nasional!… Dan di hadapan
pergerakan umum yang menghela rakyat-rakyat Asia ini, rakyat-
rakyat yang sangat berbeda satu sama lain, dalam iklim manapun
mereka itu hidup, termasuk bangsa apa pun mereka itu, di
hadapan pergerakan yang demikian itulah Tuan-tuan bicara tentang
beberapa orang Penghasut yang bertindak sendiri-sendiri. namun
dengan menuduh seperti itu Tuan-tuan terlalu memberi
penghormatan kepada orang-orang yang tuan tuduh, Tuan-tuan
menganggap terlalu berkuasa orang-orang yang Tuan-tuan sebut
penghasut itu. Bukanlah pekerjaan mereka sendiri meletuskan
pergerakan yang demikian hebatnya; tarikan nafas lemah dari
beberapa mulut manusia tidak cukup untuk meletuskan tofan
bangsa-bangsa Asia ini!
Tidak, Tuan-tuan, yang sebetulnya ialah: pergerakan ini timbul dari
pusat kejadian-kejadian sendiri; ia timbul dari penderitaan-
penderitaan yang tidak terhitung banyaknya dan sampai sekarang
tidak menghubungkan diri satu sama lain, namun memperoleh kan kata
semboyannya dalam semboyan menyerukan merdeka. Yang
sebetulnya ialah, bahwa juga di Indonesia pergerakan nasional itu
terlahir dari imperialisme yang didewa-dewakan oleh Tuan dan tidak
kurang-kurangnya dari sistem drainage ekonomi yang semenjak
berabad-abad bekerja di negeri itu…..Imperialisme itulah penghasut
yang besar, imperialisme itulah penjahat besar yang menyuruh
berontak: sebab itu bawalah imperialisme itu ke depan polisi dan
hakim!”
Benar sekali! “Bawalah imperialisme itu ke depan polisi dan
hakim!”……
Toh….bukan imperialisme, bukan anggota-anggota imperialisme,
bukan sahabat-sahabat imperialisme, bukan Treub, bukan Trib,
bukan Colijn, bukan Bruineman, bukan Fruin, bukan Ali Musa,
bukan Wormser, yang kini berada di muka mahkamah tuan-tuan
Hakim, namun kami: Gatot Mangkoepradja, Maskoen, Soepriadinata,
Soekarno!
Apa boleh buat, biarlah nasib pemimpin begitu! Kami tidak merasa
salah. Kami merasa bersih, kami tidak merasa melanggar hal-hal
yang dituduhkan, sebagai nanti akan lebih jelas kami terangkan.
Kami oleh sebab itu, memang mengharap-harap dan menunggu-
nunggu Tuan-tuan punya putusan bebas, mengharap-harap moga-
moga Tuan-tuan mengambil putusan vrijspraak adanya!
namun , tuan-tuan Hakim, marilah kami melanjutkan kami punya
pidato pembelaan.
“Ratu Adil”, “Heru Cakra”, dan lain sebagainya
Pergerakan rakyat indonesia bukanlah buatan kaum “penghasut”.
Juga sebelum ada “penghasut” itu, jugazonder ada “penghasut” itu,
udara Indonesia sudah penuh dengan hawa kesedihan merasakan
kesengsaraan dan oleh sebab nya , penuh pula dengan hawa
keinginan menghindarkan diri dari kesengsaraan itu. Sejak berpuluh-
puluh tahun udara Indonesia sudah penuh dengan hawa-hawa yang
demikian itu. Sejak berpuluh-puluh tahun rakyat Indonesia itu
hatinya selalu mengeluh, hatinya selalu menangis menunggu-
nunggu datangnya wahyu yang akan menyalakan api pengharapan
di dalamnya, menunggu-nunggu datangnya mantarm yang bisa
menyanggupkan sesuap nasi dan sepotong ikan dan sepotong ikan
kepadanya. Haraplah pikirkan, Tuan-tuan hakim, apakah sebabnya
rakyat selalu percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu
Adil”, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini hari
masih terus menyalakan harapan rakyat, apakah sebabnya seringkali
kita mendengar bahwa di desa ini atau di desa itu sudah muncul
seorang “Imam Mahdi”, atau “Heru Cakra”, atau turunan seorang
dari Wali-Sanga. Tak lain tak bukan ialah oleh sebab hati rakyat
yang menangis itu,” tak berhenti-hentinya, tak habis-habisnya
menungu-nunggu atau mengharap-harapkan “datangnya
pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak
berhenti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik,
menunggu-nunggu dan mengharap-harap: “kapan, kapankah
matahari terbit?”
O, siapa yang mengerti akan sebab-sebab yang lebih dalam ini, siapa
yang mengerti akan diepere ondergrond dari kepercayaan rakyat ini,
sebagaimana yang diterangkan pula oleh Prof. Snouck Hurgronje di
dalam brosurnya “Vergeten Jubiles” , tentu sedih dan ikut
menangislah hatinya, kalau ia saban kali mendengar suara rakyat
meratap: “Kapan, kapankah Ratu Adil datang?” tentu sedih dan
menangislah hatinya pula dan tidak tertawa, jikalau ia saban kali
melihat lekasnya dan setianya rakyat menyerahkan diri ke dalam
tangan seorang kyai atau dukun yang menyebutkan diri “Heru
Cakra” atau “Ratu Adil”!
“Selama kaum intelek Bumiputra belum bisa mengemukakan
keberatan-keberatan bangsanya, maka “perbuatan-perbuatan yang
mendahsyatkan” itu (yaitu pemberontakan, Sk) yaitu peledakan
yang sewajarnya dari kemarahan yang disimpan-simpan dan
perlawanan yang ditekan-tekan terhadap usaha yang bodoh untuk
memerintah rakyat dengan tidak memperhatikan dengan sungguh-
sungguh keinginan dan kepentingan-kepentingan mereka dan
memicu nya jadi pedoman. Sebagaimana sekarang golongan-
golongan besar dari bangsa Bumiputra selalu bersedia untuk
dengan terus terang memihak kepada salah seorang intelektual
bangsanya sendiri, yang dirasanya memperjuangkan
kepentingannya, meskipun mereka itu “belum matang” untuk
mengerti semua teori-teorinya, demikianlah mereka seringkali suka
mengikuti pemimpin-pemimpin yang menjanjikan kepada mereka
kemerdekaan yang bisa diperoleh dengan jalan rahasia dan dengan
cara-cara rahasia, atau yang dengan cara sembunyi mengerahkan
tentara untuk perang sabil dengan kaum kafir, bilamana ada
kesempatan baik. Bahwa percobaan-percobaan yang demikian itu
sia-sia saja, sebab alat-alat untuk membuka jalan sama sekali tidak
cukup, mereka tidak mengerti, dan demikianlah mereka
menganggap setiap orang yang menjanjikan kepada mereka Ratu
Adil, atau Mahdi atau pemerintahan yang adil, yaitu nabi. Syarat-syarat hidup yang perlu, yang menurut perasaannya tidak diberikan
kepadanya oleh alam, o;eh jalannya keadaan yang biasa, atau oleh
penjajahan asing, mereka coba mencapainya dengan jala gaib yang
luar biasa…dengan kepercayaan akan memperoleh pertolongan
tuhan,”
begitulah kata Prof. Snouck Hurgronje.
Dan sebagaimana sang kiai atau sang dukun itu bukan pembikin dari
kepercayaan umum dan harapan umum atas kedatangan ratu Adil
atau Heru Cakra itu, sebagaimana mereka memperoleh pengaruh itu
ialah, hanya oleh sebab rakyat umum hatinya memang menangis
mendoa-doa dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil atau Heru
Cakra itu, maka kami yang dinamakan “penghasut” bukanlah pula
pembikin pergerakan rakyat sekarang ini dan bukanlah pula
pengaruh kami itu terjadinya ialah oleh sebab licinnya kami punya
lidah atau tajamnya kami punya pena.
Pergerakan rakyat yaitu buatan kesengsaraan rakyat, pengaruh
kami diatas rakyat yaitu pula buatan kesengsaraan rakyat! Kami
hanyalah menunjukkan jalan; kami hanyalah mencarikan bagian-
bagian yang rata dan datar untuk aliran-aliran yang makin lama
makin membanjir itu; kami hanyalah menunjukkan tempat-tempat
yang harus dilalui oleh banjit itu, agar supaya banjir itu bisa dengan
sesempurna-sempurnanya mencapai Lautan Keselamatan dan
Lautan Kebesaran adanya…..
Dikutip dari pidato Jean Jaures (1859-1914) di Parlemen Prancis, tanggal
23 September 1903, “Rapport Jean Jaures” hal. 25, dengan sedikit
perubahan.
Vrijspraak= bebas dari tuntutan
diepere ondergrond= rahasia yang lebih dalam
Vergeten Jubile’s= peringatan ulang tahun yang dilupakan
Kami punya asas tentang “Kemerdekaan Indonesia”
Tempat yang harus dilalui? Manakah tempat-tempat yang harus
dilalui? Partai Nasional Indonesia dengan sepenuh-penuhnya
keyakinan menjawab: tempat-tempat yang berjajar-berjajar menuju
ke arah Indonesia Merdeka! Sebab dibelakang Indonesia Merdeka
itulah tampak kepada mata PNI keindahan Samudra Keselamatan
dan samudra kebesaran itu, di belakang Indonesia Merdeka itulah
tampak kepada mata PNI sinar hari kemudian yang melambai-
lambai!
Inilah pokok keyakinan PNI, sebagai yang tertulis di dalam buku
keterangan asasnya: “Partai Nasional Indonesia berkeyakinan,
bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua
susunan pergaulan hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan
nasional. Oleh sebab itu, maka semua bangsa Indonesia terutama
haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan nasional itu.”
Dengan bahasa Belanda: de nationale vrijhed als zeer belangrijke
voorwaarde tot de nationale reconstructie!
Berlainan dengan banyak partai-partai politik lain, yang mengatakan
“perbaikilah dahulu rumah tangga, nanti kemerdekaan datang
sendiri”; berlainan dengan partai-partai lain, yang menganggap
kemerdekaan itu sebagai buahnya pembaikan rumah tangga,
maka PNI berkata: “Kemerdekaan nasional usahakanlah, sebab
dengan kemerdekaan nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki
rumah tangganya dengan tidak terganggu,yaitu dengan
sesempurna-sempurnanya”, PNI berkata, “De-volkomen nationale
reconstructie allen mogelijk na wederkomst der nationale
onafhankelijkkheid”.
Tuan-tuan Hakim, sepanjang keyakinan kami, asas PNI yang
demikian ini dalam hakikatnya tidak beda dengan asas perjuangan
kaum buruh di Eropa dan Amerika, tidak beda dengan asas yang
mengatakan bahwa untuk melaksanakan sosialisme, kaum buruh itu
harus lebih dahulu mencapai kekuasaan pem erintahan.
“Kaum proletar hanya bisa mematahkan perlawanan kaum
modal terhadap usaha memicu alat-alat perusahaan partikelir menjadi milik umum, dengan mengambil kekuasaan
politik. Untuk maksud ini, kaum buruh seluruh dunia, yang
sudah menjadi insaf akan kewajibannya dalam perjuangan
kelas, menyusun diri,”
begitulah bunyi paragraf 11 dari keterangan asas Sociaal Democratische
Arbeiders Partij.
Nah, buat suatu rakyat jajahan, buat suatu rakyat yang di bawah
imperialisme bangsa lain, hakikat perkara sepanjang keyakinan kami,
tidaklah lain. Baut suatu rakyat yang dibencanai oleh imperialisme,
buat usaha rakyat itu melawan bencana imperialisme itu, perlu sekali
pula “kekuasaan politik” dicapainya. Buat rakyat yang demikian itu,
kalimat tadi memperoleh variasi:
“Rakyat yang dijajah hanya bisa mematahkan perlawanan
kaum imperialisme terhadap pekerjaan memperbaiki
kembali semua susunan pergaulan hidup nasionalnya,
dengan mengambil kekuasaan pemerintahan, yaitu dengan
mengambil kekuasaan politik.”
Dan apakah artinya “kekuasaan politik” bagi suatu rakyat jajahan?
Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan”, apakah artinya
“mengambil kekuasaan pemerintahan” bagi suatu rakyat jajahan?
Mencapai Kekuasaan politik bagi suatu rakyat jajahan yaitu berarti
mencapai pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional,
mencapai hak untuk mengadakan undang-undang sendiri,
mengadakan aturan-aturan sendiri, mengadakan pemerintahan
sendiri!
Nah, Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat Indonesia bisa
mencapai kekuasaan politik itu, Partai Nasional Indonesia
tidak tedeng aling-aling mengambil kemerdekaan nasional itu
sebagai maksudnya yang tertentu. Partai Nasional Indonesia
mengerti, atau lebih benar: kami mengerti, bahwa mengejar
kekuasaan politik, jadi, mengejar kemerdekaan nasional itu, yaitu
konsekuensi dan voorwaarde, buntut dan syarat, bagi suatu
perjuangan kontra imperialisme itu adanya.
Sebagai di negeri barat kaum kapitalis mengusahakan kekuasaan
politiknya mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka
punya kepentingan, sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk mengadakan aturan-aturan rumah
tangga negara yang menguntungkan mereka punya kepentingan dan
meniadakan aturan-aturan yang merugikan mereka punya
kepentingan, sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan mereka
punya kekuasaan politik untuk menjaga dan memelihara
kapitalisme , maka di suatu negeri jajahan, kaum imperialisme
mengusahakan kekuasaan politiknya pula untuk mempengaruhi
rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, yaitu
menurut kepentingan sistem imperialisme! Olah sebab pengaruh
itu, maka hampir tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri
jajahan bersifat menguntungkan kepentingan kaum imperialisme itu,
sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme itu. Hampir tiap-tiap
aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan yaitu bersifat
untuk penjajahan itu, untuk imperialisme itu.
Oleh sebab itu, maka, selama suatu negeri masih bersifat jajahan, ya,
lebih jauh lagi: selama suatu negeri masih bersifat “protektorat”
ataupun “wilayah mandat”, pendek kata selama suatu negeri masih
belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan rumah tangga
sendiri, maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah
tangganya, memiliki “cap” yang imperialistis adanya.
Artinya: selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas
negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya,
baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi
kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan
bertentangan dengan kepentingannya. Ia yaitu seolah-olah terikat
kaki dan tangannya, tak bisa leluasa berjuang melawan daya-daya
imperialisme yang membencanainya, tak bisa leluasa berjuang
mengalang-alangi syarat-syarat hidupnya diperuntukkan bagi
kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha memperuntukkan
syarat-syarat hidupnya itu bagi perikehidupan ekonominya sendiri,
perikehidupan kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa
berusaha melawan dan memberhentikan imperialisme, tak bisa pula
leluasa menyubur-nyuburkan badan sendiri
Rakyat jajahan yaitu rakyat yang tak bisa “menemukan diri
sendiri”, suatu rakyat yang tak bisa “zichzelf” (berpribadi sendiri),
suatu rakyat yang hampir semua apa-apanya kena “cap” yang
imperialistis itu, “cap” yang terjadinya ialah oleh pengaruh besar
dari kaum imperialisme adanya. Tidak ada persamaan kepentingan
antara kaum imperialisme dan kaum yang di bawah imperialisme;
tidak ada belangengetneenschap antara kedua pihak itu. Antara
kedua pihak itu ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan
kebutuhan, adategenstelling van belangen ada conflict
van behoeften. Semua kepentingan kaum imperialisme, baik
ekonomi, maupun sosial, baik politik maupun yang berhubungan
dengan kebudayaan umumnya, semua kepentingan kaum
imperialisme itu, yaitu bertentangan, tegengesteld dengan
kepentingan Bumiputra. Kaum imperialisme sebisa-bisanya mau
meneruskan adanya penjajahan, orang Bumiputra sebisa-bisanya
mau memberhentikan penjajahan itu. Aturan-aturan yang diadakan
di bawah pengaruh kaum imperialisme, yaitu sebab itu
bertentangan dengan kepentingan Bumiputra itu adanya.
Meskipun demikian, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu?
Meskipun demikian Bumiputra menghormati aturan-aturan itu? O,
memang, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu, Bumiputra
menghormati aturan-aturan itu. namun mereka menerimanya dan
menghormatinya itu, ialah hanya oleh sebab Bumiputra kalah,
hanya oleh sebab Bumiputra terpaksa menerimanya dan terpaksa
menghormatinya!
Bukankah justru kekalahan ini sebabnya maka mereka dijajah?
Bukankah justru kekalahan yang memaksa mereka menjadi rakyat,
jajahan? Jules Harmand, Ambassadeur Honoraire dan ahli jajahan
bangsa Prancis, dalam bukunya yag termashur “Domination et
Colonisation”, menulis dengan terang-terangan:
“Tentu saja bisa kejadian, bahwa kepentingan orang Bumiputra
kebetulan sama dengan kepentingan si penjajah; namun ini jarang
sekali kejadian. Biasanya….kepentingan-kepentingan itu
bertentangan satu sama lain.” “Kedua pikiran “penjajahan” dan
“kekerasan” atau sekurang-kurangnya “paksaan”, yaitu
bergandengan satu sama lain, atau isi-mengisi. Tergantung kepada
tempat, keadaan dan tingkah laku, kekerasan itu boleh nyata atau
kurang nyata, atau sedang saja, terang-terangan atau sembunyi-
sembunyi, namun penggunaannya tidak pernah bisa dihilangkan.
Pada hari paksaan hilang, berakhirlah pula penjajahan.”
Adakah pengakuan yang lebih terang-terangan, adakah ketulusan
hati yang lebih tulus? sebetulnya kita tidaklah berdiri sendiri,
kalau kita mengatakan bahwa oleh adanya pertentangan kepentingan
itu, tiap-tiap sistem atau aturan jajahan, adanya diterima dan
dihormati rakyat jajahan itu, hanya sebab mereka terpaksa
menerima dan terpaksa menghormatinya belaka, terpaksa, yaitu
tidak dengan senang hati, tidak dengan rela hati, tidak dengan
kemufakatan yang sebenar-benanrnya, tidak dengan persetujuan
yang sepenuh-penuhnya!
yaitu leidsch program (program dasar) dari Sociaal
Democratische Arbeiders Partij.
Voorwaarde= syarat
Menurut keyakinan kami, hilangnya pemerintahan asing dan Indonesia,
belum tentu juga dibarengi oleh hilangnya imperialisme asing sama sekali.
Imperialisme yang “overheersen (memerintah) hilang, namun imperialisme
yang beheersen (menguasai), lenyapnya baru kemudian. (lihat Tiongkok).
Belangengetneenschap= persamaan kepentingan.
tegenstelling van belangen=pertentangan kepentingan
conflict van Behoeften= pertentangan kebutuhan.
Jules Harmand, duta besar kehormatan dan ahli jajahan bangsa Prancis
dalam bukunya yang termashur “Domination et Colonisation” Tiap-tiap rakyat jajahan ingin merdeka
Oleh sebab itulah, Tuan-tuan Hakim, maka tidka ada satu rakyat
negeri jajahan yang tindak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat
jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan.
Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung-dengungkan
semboyan “mencapai kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional
Indonesia mengobar-ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia
hanyalah mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan
yaitu syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan
memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya.
Kemerdekaan yaitu pula syarat yang amat penting bagi pembaikan
kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan,
suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.
Ya, kemerdekaan yaitu syarat yang amat penting bagi
kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik
bangsa timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna
maupun bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa mencapai
kebesaran zonder kemerdekaan nasional, tidak ada satu negeri bisa
menjadi teguh dan kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya,
tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu
negeri jajahan yang bisa mencapai kebesaran itu. Oleh sebab itu,
maka tiap-tiap bangsa jajahan ingin akan kemerdekaan itu, ingin
supaya bisa mencapai kebesaran itu.
Tiap-tiap rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang sebab itu,
tak bisa dan tak boleh mengatur rumah tangga sendiri secara
kepentingan dan kebahagiaan sendiri, yaitu hidup di dalam
suasana yang rusuh, yaitu hidup di dalam suasana yang kami
sebutkan tadi, hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan
yang terus-menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang
saling bertentangan itu, suatu keadaan yang tidak boleh tidak
memicu pula keinginan keras akan hilangnya pertentangan-
pertentangan itu, yaitu keinginan keras akan berhentinya ketidak-
merdekaan itu tadi. Dari Maroko sampai Filipina, dari Korea sampai
Indonesia melancar-lancar kemana-mana melalui gunung dan
samudra, terdengarlah suara yang memanggil-manggil kemerdekaan
itu, bukan saja dari mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan
pengaruh imperialisme, namun juga, ya, malahan terutama, dari mulut
bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad tak menerima cahaya
matahari kebesaaran.