Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 3



 diidentifikasi,” yang 

berarti “setiap bagian dari masyarakat yang dibeda-bedakan berdasarkan 

warna kulit, ras, agama, kebangsaan, atau asal-usul etnis, usia, jenis 

kelamin, orientasi seksual, atau kecacatan mental atau fisik.”40 KUHP 

India dan Undang-Undang Perlindungan Hak Sipil-nya melingkupi 

masalah istimewa dari ujaran kebencian yang berbasis kasta. Masyarakat 

liberal secara bertahap memperluas perlindungan anti-diskriminasi dan 

kebencian dengan memasukkan makin banyak kelompok, biasanya dimulai 

dengan etnis minoritas. Buruh migran dan minoritas seksual cenderung 

ketinggalan dalam gerakan perjuangan guna mendapat pengakuan sebagai 

kelompok yang layak memperoleh perlindungan. Hal ini utamanya terjadi 

di tingkat internasional. Tabel 2.2 menunjukkan urutan instrumen inti 

HAM PBB yang menangani hak-hak kelompok tertentu. Tabel di bawah 

mengungkapkan bahwa rasisme muncul sebagai bentuk diskriminasi paling 

awal yang perlu ditentang secara universal. Ketetapan ujaran kebencian 

dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk 

Diskriminasi Rasial (ICERD) lebih kuat daripada ICCPR Pasal 20. ICERD 

mewajibkan negara-negara untuk “mengkriminalisasi” (lebih kuat dari kata 

“larangan” atau “melarang”) secara luas “penyebaran gagasan berdasarkan 

superioritas ras atau kebencian” dan “hasutan diskriminasi rasial”.


Pendirian masyarakat internasional lebih terbagi  soal isu diskriminasi 

agama. Pada tahun 1981, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi tentang 

Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan 

Agama atau Keyakinan tanpa pemungutan suara. Sifatnya tidak mengikat. 

Walau demikian, Irak masih mengajukan syarat berkeberatan atas nama 

Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengenai kontradiksi yang dirasakan 

dari deklarasi ini dan hukum Islam.41 Tidak mungkin merumuskan 

Konvensi PBB yang lebih mengikat, lebih-lebih menangani diskriminasi 

agama, sebab  di beberapa negara anggota PBB, agama yang dominan 

yaitu  inti identitas nasional mereka.

Ambang Batas Intervensi Hukum 

Kerusakan yang disebabkan oleh ujaran kebencian tidak hanya bergantung 

pada kontennya tapi juga konteksnya, sehingga tidak mungkin memprediksi 

secara presisi dampak dari ucapan tertentu. Masing-masing negara 

memiliki standar waktu yang berbeda dalam memutuskan intervensi 

hukum mereka. Ambang batas bagi “hasutan” lebih condong ke intervensi 

di hilir, saat  bahaya sudah terasa dekat. Sebagai alternatif, kehati-

hatian mungkin dibutuhkan para regulator agar mulai bertindak di hulu, 

mendekati sumber ujaran, jauh sebelum efek terburuknya dapat dipastikan. 

Misalnya, meskipun para ahli sepakat bahwa stasiun radio RTLM Rwanda 

– yang mendukung proses genosida – tidak berhak dilindungi kebebasan 

berpendapatnya, ada selisih paham soal kapan seharusnya stasiun itu 

dilarang atau dicekal: saat  pembunuhan dimulai, atau beberapa bulan 

sebelumnya saat  kampanye kebencian disiarkan.42

Sejarah konflik berbasis identitas di suatu negara berdampak dramatis 

pada bagaimana hukum nasionalnya dirumuskan. India, misalnya, siap 

mengadili praktik hasutan yang berujung pada “ketidakharmonisan” 

di antara berbagai agama, jauh sebelum malapetaka terjadi.43 Bukan 

sebab  ketidakharmonisan semacam itu momok bagi masyarakat India, 

namun lebih sebab  sejarah konflik komunal di negara itu telah membuat 

pemerintah enggan menanggung risiko tereskalasinya perselisihan menjadi 

konflik kekerasan. Demikian juga, sejarah telah mendorong beberapa 

negara demokrasi Barat untuk melarang penyangkalan atas peristiwa 

Holokaus. Pada 1993, Komite HAM PBB menetapkan bahwa Prancis 

tidak melanggar ICCPR Pasal 19 dalam keputusannya mendakwa seorang 


profesor perguruan tinggi, Robert Faurisson, yang mempromosikan 

gagasan bahwa Holokaus hanya sebuah rekayasa.44 Komite HAM PBB 

beranggapan bahwa penyangkalan atas Holokaus dalam konteks Prancis 

kontemporer bisa merupakan bentuk hasutan terhadap anti-Semitisme, 

yang melanggar hak-hak masyarakat Yahudi untuk hidup dalam masyarakat 

secara bermartabat.

sebab  serangan terhadap kelompok-kelompok yang tertindas secara 

historis sering disertai laporan pembenaran atas kejahatan masa lalu, 

Prinsip-Prinsip Camden secara eksplisit mengakui bahwa membenarkan 

atau menyangkal genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan 

perang, bisa digolongkan sebagai ujaran kebencian dan, sebab nya, mesti 

dilarang.45 Penyangkalan semacam itu, yang juga disebut “negasi-isme” 

(negationism), masuk ke dalam kategori khusus sebagai ujaran rasial. 

Standar HAM lumrahnya menuntut agar calon penyensor atau jaksa 

merancang hubungan kausal langsung antara ujaran yang bakal dicekal 

dan bahaya yang ingin dihindari. Tapi, seperti kasus penyangkalan atas 

Holokaus, negara bisa berlaku lebih luwes dalam menerapkan prinsip 

kedekatan kausal. Di sisi lain, doktrin kebebasan berpendapat di Amerika 

menuntut uji “bahaya yang jelas dan nyata”: regulasi pemerintah soal 

ujaran kebencian dapat dibenarkan hanya jika kekerasan terbukti tidak 

dapat dielakkan lagi.

Pengadilan telah mengembangkan beberapa indikator umum guna 

membantu memastikan kemungkinan bahaya dari ujaran kebencian. 

Indikator ini tidak hanya mencangkup konten ekspresi, tetapi juga 

status dan peran sosial si penutur, jumlah audiens, ragam penyebaran, 

dan konteks ujaran. Para politisi, orang partai, pejabat publik, dan 

pengkhotbah, yang berhadapan dengan khalayak luas dan terpolarisasi, 

dapat diasumsikan memiliki dampak lebih besar daripada warga biasa yang 

berupaya menjangkau kelompok kecil di lingkungan relatif stabil. Dengan 

menerapkan kriteria ini , Pengadilan HAM Eropa memutuskan bahwa 

bahasa yang benar-benar kasar sekalipun layak memperoleh perlindungan 

apabila memang tidak dimaksudkan untuk memulai konfrontasi. 

Ambillah, sebagai contoh, putusan Pengadilan Eropa tahun 1999 

mengenai pemenjaraan seorang penyair Kurdi oleh pemerintah Turki, 

di bawah undang-undang anti-terorisme. Pengadilan mengakui bahwa 

puisinya berisi dalih yang agresif, misalnya “bergabung dengan para martir 

Kurdistan.” Para hakim mengakui, “Secara harfiah, puisi dapat ditafsirkan 

sebagai hasutan kepada pembaca untuk membenci, memberontak, dan 

bertindak kekerasan.” Meskipun demikian, para hakim berpendapat 

bahwa karya penyair ini  ditujukan pada khalayak yang amat sempit. 

Faktor-faktor semacam itu secara substansial membatasi potensi dampak 

puisi terhadap keamanan nasional dan ketertiban umum, sehingga para 

hakim memutuskan bahwa “[puisi ini ] bukanlah bentuk ajakan 

pemberontakan, namun sebuah ekspresi kesengsaraan hidup yang amat 

dalam menghadapi situasi politik sulit.”46 Oleh sebab  itu, pengadilan 

menetapkan bahwa dakwaan pemerintah Turki ini  tidak sesuai 

dengan ketetapan Konvensi Eropa mengenai kebebasan berpendapat.

Pertanggungjawaban untuk Ujaran yang Berbahaya

Ujaran kebencian seringkali dimediasi oleh wartawan dan, belakangan, 

platform daring. Negara-negara yang serius dalam melindungi kebebasan 

berekspresi bakal menindak sumber propaganda kebencian yang sebenar-

benarnya, serta tidak akan menghukum pihak yang sekadar menyampaikan 

pesan dengan niat baik maupun yang tanpa pengetahuan. Namun, 

beberapa negara justru memakai  alasan beredarnya hasutan sebagai 

alasan menekan media yang membawa beragam sudut pandang sebagai 

bagian dari perannya mengabarkan informasi. Lihat insiden di Malaysia 

pada tahun 2008, saat  politisi partai yang tengah berkuasa menyatakan 

di depan umum bahwa minoritas ras Tionghoa di negara ini , yang 

besar jumlahnya, yaitu  penduduk liar yang tidak memiliki hak setara. 

Pemerintah memakai  Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri 

untuk memperkarakan – bukan politisi yang bersangkutan, melainkan 

seorang wartawan dari sebuah harian nasional berbahasa Tiongkok yang 

melaporkan pidato ini  secara akurat.47 Dihadapkan dengan protes 

masyarakat, pemerintah kemudian membebaskan reporter ini  dan 

berkilah bahwa dia ditahan demi keselamatannya sendiri. Meski begitu, 

sesat pikir dari keputusan penangkapan ini  amat kentara. 

Dalam kasus penting Jersild v. Denmark, Pengadilan Eropa mengakui 

bahwa wartawan yang melaporkan insiden ujaran kebencian seharusnya 

tidak diperlakukan sama dengan para penutur itu sendiri. Pengadilan 

Denmark pernah memvonis seorang reporter yang mengutip pendapat 

rasial ekstremis dalam dokumenter televisinya soal sayap-kanan ekstrem.

Pengadilan Eropa menilai bahwa reporter ini  seharusnya tidak 

bersalah dalam mendukung penyebaran ujaran kebencian, sebab  pers 

memang punya kewajiban untuk meningkatkan kesadaran publik dan 

menyediakan ruang debat tentang kelompok kebencian. Tapi ini bukan 

berarti bahwa media memiliki kekebalan tertentu. Pengadilan Eropa 

tidak membantah otoritas Turki saat  negara ini  mendenda pemilik 

terbitan mingguan yang menerbitkan dua surat yang dirasa menyinggung 

dalam masa-masa konflik yang sarat ketegangan.49 Bagi perantara di 

Internet, masalahnya lebih rumit; saya akan membahasnya dengan 

terperinci pada Bab 3.

Maksud si penutur yaitu  faktor kunci dalam menentukan kesalahan 

hukum. Seniman, seperti juga jurnalis, memiliki peran sosial yang 

mengharuskannya melahirkan konten provokatif. “Ekspresi artistik harus 

dipertimbangkan dengan mengacu pada nilai dan konteks artistiknya, 

mengingat individu dapat memakai  seni untuk memprovokasi meski 

tanpa niat menghasut kekerasan, diskriminasi, atau permusuhan,” ujar 

Frank La Rue.50 Pelanggaran HAM mengerikan terjadi di negara-negara 

yang memberlakukan hukum pelanggaran dengan cara sapu bersih 

tanpa mengindahkan maksud si penutur. Di Pakistan, misalnya, undang-

undang penistaan awalnya hanya mengkriminalisasi tindakan melukai 

yang disengaja.51 Di bawah Presiden Zia ul-Haq pada tahun 1970-an 

dan 1980-an, rezimnya menambahkan ketentuan yang lebih keras dan 

bersifat sapu-bersih , dengan tidak membedakan antara pelanggaran yang 

disengaja dan yang tidak. Pada tahun 2002, seorang pria dihukum mati 

sebab  mencela Muhammad sebagai nabi palsu, meskipun ada indikasi 

bahwa dia mengidap sakit jiwa (orang yang sama juga mengklaim bahwa 

dia yaitu  reinkarnasi Yesus Kristus).

Amandemen Pertama Amerika Serikat: Standar lebih 

Liberal

Penyimpangan Amerika Serikat (AS) dari posisi HAM internasional terkait 

kebebasan berekspresi paling cocok digambarkan sebagai perselisihan 

keluarga dalam klan liberal. Namun, keberpihakannya (AS) pada kebebasan 

berpendapat cukup jelas untuk menumbuhkan perbendaharaan analisis 

tentang perbandingan hukum, pertengkaran hebat antara para pembela 

hak-hak sipil, dan kasus-kasus pengadilan yang kompleks. Salah satu 

contoh praktis dari kesenjangan regulasi dalam hal ini yaitu  banyaknya 

kelompok kebencian di Eropa yang memarkir situs daring mereka di 

server-server AS guna menikmati kebebasan yang tidak bakal mereka 

dapat di negara asal. sebab  itu, dan ironisnya, AS, dengan reputasi sebagai 

salesman nilai-nilai demokrasi paling terkemuka di dunia, juga termasuk 

eksportir kanal terbesar bagi intoleransi anti-demokrasi. Demokrasi liberal 

lainnya harus berdamai dengan pendirian AS. “Tidak ada prospek politis 

bagi Amandemen Pertama terhadap  Konstitusi untuk ditarik ulang,” ujar 

Mark Potok dari Southern Poverty Law Center, sebuah kelompok pengawas 

anti-kebencian di Amerika. “Dukungan atas kelompok ini sangat besar; hal 

itu merentang dari kelompok-kelompok berhaluan paling kiri dan yang 

paling kanan, mencakup semuanya.”53

Di AS, kebebasan berekspresi bukanlah hak yang mutlak. Namun ruang-

ruang yang dilindungi di sana jauh lebih luas dibanding di negara-negara 

lain mana pun di dunia. Amandemen Pertama Konstitusi AS menyatakan, 

“Kongres tidak boleh membuat undang-undang ... yang mengurangi 

kebebasan berpendapat atau kebebasan pers.” Sejak diadopsi pada 1791, 

dan terutama seperti yang ditafsirkan dalam putusan  Mahkamah Agung 

AS pada paruh kedua abad ke-20, Klausul tentang Kebebasan Berpendapat 

dalam Amandemen Pertama telah berkembang menjadi benteng paling 

kuat di dunia dalam melawan penyensoran wacana publik. Aktor-aktor 

swasta dapat menerapkan peraturan dan batasan mereka sendiri, dan 

perusahaan-perusahaan bebas memecat karyawan yang vokal; kanal berita 

bisa dan sering kedapatan menghindari para komentator yang menyinggung 

kepekaan etnis. Namun, pembatasan oleh pemerintah terhadap sudut 

pandang apa pun dalam wacana publik selalu dianggap inkonstitusional. 

Sebagai perbandingan, perlindungan atas kebebasan berpendapat model 

ICCPR, yang sifatnya ambigu dan banyak kelemahannya, tampak “tidak 

berguna,” kata Robert Prost, sarjana hukum AS.54 Doktrin Amandemen 

Pertama yang berlaku menyisakan hanya beberapa jenis ujaran politik 

yang tidak dilindungi, dengan alasan bahwa ujaran-ujaran itu melanggar 

hak-hak orang lain: “Bila hal itu merupakan ancaman kekerasan yang 

sebenarnya, saat  hal itu mendorong pendengarnya untuk benar-benar 

melakukan pelanggaran hukum, saat  hal itu benar-benar mencemarkan 

nama baik tokoh masyarakat, atau saat  hal itu mencemarkan nama baik 

seseorang.”

Amerika Serikat bahkan tidak melarang ujaran rasial semacam itu. 

Meski dirundung pertanyaan besar dari para sarjana hukum Amerika, 

dan  orang-orang  non-Amerika pun dibuat terheran-heran sebab nya, 

Mahkamah Agung AS tidak mengizinkan pemerintah menekan ujaran 

rasial. Hal itu dilakukan demi memberi jalan bagi ujaran non-rasial 

dalam wacana publik. Pasalnya, mahkamah berpandangan bahwa 

penekanan ujaran akan mendiskriminasi sudut pandang tertentu secara 

tidak konstitusional. Dalam kasus luar biasa tahun 1992, mahkamah 

mencabut peraturan kota yang melarang simbol kebencian—pernah 

digunakan untuk menghukum pemuda kulit putih yang membakar salib di 

pekarangan keluarga kulit hitam. Kasus itu menjelaskan bahwa pemerintah 

memiliki kepentingan sah dalam melindungi anggota kelompok rentan 

diskriminasi, termasuk memastikan bahwa mereka dapat hidup damai di 

mana pun berada. Masalah keadilan dalam peraturan tadi yaitu  bahwa hal 

itu  mendiskriminasi cara pandang yang penuh kebencian. Menurut 

mahkamah, pemerintah setempat perlu memakai  cara dengan konten 

yang netral guna melindungi hak-hak minoritas.56

saat  meratifikasi ICERD pada 1994, AS mengajukan sebuah syarat 

keberatan terhadap Pasal 4 yang, seperti dikutip di atas, mewajibkan negara-

negara untuk mengkriminalisasi penyebaran gagasan rasial atau kebencian 

berbasis ras. Dikatakan bahwa AS tidak akan patuh pada keterikatan 

apa pun di bawah konvensi ini  untuk membatasi hak kebebasan 

berpendapat yang dilindungi Konstitusi AS dan undang-undangnya. AS 

membeberkan keberatan serupa mengenai aturan anti-hasutan dalam 

ICCPR Pasal 20 setelah akhirnya meratifikasi traktat ini  pada 1992 

– 19 tahun setelah Jerman dan 16 tahun setelah Kanada.

Doktrin Amandemen Pertama menyetujui norma HAM internasional 

bahwa mereka yang menghasut aksi kekerasan seharusnya tidak diberi 

perlindungan kebebasan berpendapat. Meski begitu, ada dua pendapat 

berbeda perihal hasutan diskriminasi dan kebencian. Jika ICCPR 

mengharuskan pemerintah untuk melarang, Konstitusi AS justru melarang 

pemerintah membatasi ujaran semacam itu dalam perdebatan publik. 

Bahkan hasutan kekerasan pun ditafsirkan sangat ketat oleh AS. Istilah 

ini terbatas pada pernyataan publik yang melahirkan risiko kekerasan. 

Istilah ini  dibedakan dari “advokasi”, yang mengacu pada dukungan 

kekerasan yang disengaja. Advokasi kekerasan akan termasuk ujaran yang 

dilindungi apabila tidak dimaksudkan untuk menghasut. Inilah batas yang 

ditentukan Mahkamah Agung dalam keputusan Branhambach v. Ohio 

1969.57 Kasus ini berkembang saat  anggota Ku Klux Klan yang tengah 

berdemonstrasi meneriaki orang kulit hitam untuk kembali ke Afrika 

dan orang Yahudi untuk pulang ke Israel, serta mengatakan bahwa jika 

pemerintah tidak mengirim mereka pulang, Klan bakal turun tangan. 

Mahkamah Agung dengan suara bulat membatalkan tuntutan pidana 

terhadap para penyelenggara demonstrasi, dengan alasan bahwa ujaran 

ini  bukan berarti hasutan. Hal ini merujuk kepada pembedaan 

yang didapat dari kasus 1957, yang melibatkan advokasi komunis untuk 

menggulingkan pemerintah secara paksa.58 Untuk dapat disebut hasutan, 

ujaran mesti membuat pendengarnya melakukan tindakan melanggar 

hukum. Menurut pengadilan, advokasi atau pengajaran doktrin yang 

abstrak masih terlalu jauh dari tindakan nyata yang perlu ditindak secara 

hukum, meskipun niat penutur ini  bisa saja mengarah pada revolusi 

kekerasan.

Hambatan besar yang ditetapkan undang-undang AS terhadap reaksi 

pemerintah terkait ujaran kebencian tumbuh dari status khusus yang 

diberikan demokrasi AS kepada pendapat – atau, lebih tepatnya, wacana 

publik. “Alasan mengapa kami menerapkan aturan-aturan ganjil semacam 

itu kepada wacana publik yaitu  bahwa inilah (wacana publik) lokasi persis 

di mana “sendiri” dalam “pemerintahan sendiri” (self-government) lahir,” 

kata Robert Post. “Inilah lokasi di mana kami memutuskan secara kolektif 

apakah sesuatu itu fundamental atau tidak. Dan jika pertanyaan itu sudah 

dijawab secara sepihak dan kemudian diberlakukan kepada wacana publik, 

maka kami kehilangan kapasitas untuk memikirkan masalah ini dengan 

sungguh-sungguh dan secara kolektif.”59 Alur logikanya: Ujaran yang 

baik harus diberi kesempatan menaklukkan ujaran yang buruk, dan cara 

ini selalu lebih baik daripada intervensi negara. Hanya jika benar-benar 

tidak ada kemungkinan bagi ujaran tandingan untuk unjuk gigi, dan saat  

pemerintah dirasa tidak dapat mencegah bahaya yang diakibatkannya, 

seperti dalam kasus hasutan ke arah aksi kekerasan yang nyata, maka 

langkah membatasi ujaran menjadi dapat dibenarkan.

Doktrin di atas juga dirancang untuk memenuhi persyaratan prosedural 

demokrasi. Label demokratis baru layak diberikan jika wacana publik 

terbuka lebar dan tidak ada sudut pandang yang dipaksakan. saat  negara 

membela hak-hak minoritas dari kelompok kebencian, maka sebagian 

legitimasinya diperoleh dari aksi membiarkan orang-orang fanatik untuk 

menyatakan pendapatnya. Mendiang filsuf dan pakar  konstitusi Ronald 

Bab 258

Dworkin menjelaskan prinsip ini dengan elegan. “Kita bisa dan harus 

melindungi kaum perempuan, homoseksual, dan anggota kelompok 

minoritas dari konsekuensi seksisme, intoleransi, dan rasisme yang spesifik 

dan merusak,” katanya. “Tapi kita tidak boleh sekali-kali mencoba ikut 

campur lebih jauh ke hulu, dengan melarang ekspresi sikap atau prasangka 

yang menurut kita memupuk ketidakadilan atau ketidaksetaraan, sebab  

jika kita gegabah campur tangan dalam proses pembentukan opini 

kolektif, kita sedang merusak satu-satunya pembenaran demokratis yang 

memastikan bahwa setiap orang mematuhi undang-undang ini, termasuk 

mereka yang membenci dan mengganggu kelompok rentan ini .”60

Selain posisi istimewanya dalam soal ujaran kebencian, AS juga 

mengembangkan perspektif yang tidak biasa dalam soal penistaan 

(defamation). Hukum penodaan sipil sesuai dengan ICCPR Pasal 19, sebab  

hal itu bertujuan melindungi reputasi orang lain. Namun AS meninggikan 

batas penghalang bagi siapa saja tokoh masyarakat yang hendak menuntut 

orang lain akibat tindakan penodaan. Tokoh masyarakat itu tidak hanya 

harus menunjukkan bahwa pernyataan itu salah, tapi juga dikeluarkan 

dengan sengaja meski memang salah, atau dengan pengabaian secara 

gegabah soal kebenaran atau kesalahan mereka – sebuah persyaratan yang 

sangat sulit dipenuhi. Menurut pandangan ini , seseorang dengan 

posisi yang kuat atau yang telah menceburkan diri dalam kontroversi 

terkait kepentingan publik seharusnya tidak berhak mendapat tingkat 

perlindungan yang sama dengan yang diberikan kepada warganegara 

biasa di bawah undang-undang penodaan, seperti yang dijelaskan Kyu Ho 

Youm, sarjana yang mendalami Amandemen Pertama. “Bahkan, dia harus 

cukup kuat melawan balik di tengah belantara gagasan yang terbuka ini, 

mengingat pengaruhnya yang luas dan peran aktifnya dalam menentukan 

agenda,” kata Youm.61 Putusan terkenal yang melahirkan standar ini, New 

York Times v. Sullivan, menyediakan senjata yang menguntungkan bagi 

perjuangan hak-hak sipil dengan cara mencegah para pejabat publik rasis 

untuk tidak memakai  tuntutan penodaan untuk melumpuhkan 

aneka tuduhan terhadap mereka.62 Namun, undang-undang ini  

memiliki dua mata pisau. Substansi aturan itu dapat membuat jurubicara 

komunitas minoritas rentan terhadap kampanye misinformasi yang keji 

yang dilakukan kelompok-kelompok kebencian.

Meskipun masyarakat Amerika memperlakukan Amandemen Pertama 

sebagai sesuatu yang hampir sakral, doktrin AS tentang ujaran kebencian 

masih terus diperdebatkan. Contohnya, sarjana hukum Amerika, 

Alexander Tsesis, mengusulkan undang-undang ujaran kebencian baru 

yang kekuatannya melebihi ketetapan soal hasutan kekerasan dan, yang 

mencerminkan ICCPR, dengan menargetkan “siapa saja yang menghasut 

orang lain untuk melakukan diskriminasi, persekusi, penindasan, atau 

melakukan tindakan serupa pada anggota dari kelompok-kelompok 

tertentu.”63 Pelaku dapat dipenjara selama tiga bulan sampai tiga tahun, 

dan ditugasi empat ratus jam pelayanan masyarakat, saran Tsesis.

Kritik terhadap doktrin Amandemen Pertama kini datang dari beberapa 

sudut. Mungkin yang paling relevan untuk konteks riset saya ini yaitu  

argumen dari dalam teori demokrasi itu sendiri, bahwa ujaran kebencian 

perlu diatur agar targetnya dapat merasakan keadilan dan kesetaraan 

berpartisipasi dalam kehidupan publik. Wacana publik sudah sarat dengan 

ketidaksetaraan sistemik dan historis, yang diperparah oleh praktik ujaran 

kebencian. Teori-teori kritis terkait ras dan feminis telah lama membuktikan 

bahwa doktrin kebebasan berpendapat yang dominan di negara ini yaitu  

produk hegemoni laki-laki kulit putih, yang gagal melindungi kelompok 

minoritas rentan. Profesor hukum Frederick Schauer, misalnya, menantang 

pandangan konvensional bahwa toleransi hukum pada ujaran kebencian 

yaitu  harga yang mesti dibayar masyarakat untuk hak kebebasan 

berpendapat. “Harga” itu tidak didistribusikan dengan merata, ujarnya. 

Bahkan, dalam cara yang tidak proporsional, kerugian ini  ditanggung 

oleh korban ujaran kebencian – biasanya berasal dari anggota kelompok 

terpinggirkan – yang tidak selalu mendapatkan hal terbaik dari aturan 

mengenai perlindungan atas kebebasan berpendapat.64 Dengan nada yang 

sama, para sarjana agama telah mengamati bahwa tatanan konstitusi sekular 

AS dipengaruhi oleh akar Protestannya.

Filsuf hukum Jeremy Waldron mempertanyakan proposisi Dworkin 

bahwa demokrasi akan kehilangan legitimasinya sebagai sistem 

penyelesaian sengketa yang adil jika undang-undang mendiskriminasi 

ujaran rasis. Ini mungkin menjadi alasan bagus untuk membiarkan 

pandangan ekstrem dicerna sebagai “elemen yang dapat dipertandingkan” 

seperti tindakan afirmatif atau kebijakan kesejahteraan.66 Namun demikian, 

saran Waldron, premis yang mendasari kebijakan ini  – bahwa rasisme 

dan ketidakadilan ras yaitu  sesuatu yang salah – dapat diyakini sebagai 

pendirian yang sudah jelas dan pasti. Dasar-dasar keadilan dan hak – 

seperti kesetaraan ras dan gender, martabat manusia, dan kebebasan dari 

intimidasi – yaitu  hal mendasar, dalam artian bahwa kehidupan sosial 

bakal runtuh tanpanya: “Saya pikir kita sudah melewati tahap di mana kita 

membutuhkan ruang pertukaran ide soal hal-hal yang berkaitan dengan 

ras, bahwa kita harus menanggung harga dari serangan terhadap martabat 

kelompok minoritas – atau, yang lebih penting, menuntut orang-orang 

dan keluarga di dalam kelompok ini  untuk menanggung harga yang 

merendahkan martabat dan kedudukan sosial mereka – untuk kepentingan 

wacana publik dan legitimasi politik.”

Perdebatan ini bersifat substantif, namun pengecualian AS tidak 

perlu dibesar-besarkan. Pendekatan HAM milik komunitas internasional 

dan pandangan AS soal kebebasan berpendapat lebih banyak kesamaan 

daripada perbedaannya. Penolakan ekstrem Amandemen Pertama AS 

terhadap regulasi pemerintah berlaku hanya untuk wilayah wacana publik 

yang sempit dan bukan keseluruhan ranah publik. Dalam siaran televisi, 

misalnya, standar AS tidak berarti lebih permisif dibanding Eropa.68 Begitu 

kita memperhitungkan bagaimana aktor swasta menegakkan norma 

kesopanan dalam kehidupan publik AS, sulit untuk menyatakan bahwa 

AS secara keseluruhan bersikap lebih lunak terhadap ujaran kebencian 

daripada Eropa Barat atau Australia, misalnya.

Konstitusi AS dan ICCPR memiliki banyak kesamaan. Keduanya 

diilhami nilai-nilai Pencerahan yang menolak pandangan bahwa sistem-

sistem kepercayaan – termasuk agama, ideologi politik, dan ortodoksi 

ilmiah – memiliki kekebalan hukum dari kritik dan penghinaan. 

Keduanya bersikeras bahwa tidak ada hak untuk  tak merasa tersinggung 

dalam demokrasi. Keduanya menetapkan kebebasan berekspresi sebagai 

pengaturan awal yang hanya dapat diganti oleh pemerintah jika diperlukan 

untuk melindungi kelompok tertentu dari bahaya yang nyata, dan bahkan 

penggantian ini  memerlukan mekanisme checks and balances 

dari pengadilan yang independen untuk menghindari intervensi yang 

sewenang-wenang. Pada akhirnya, keduanya menekan negara-negara 

untuk memperluas dukungan atas nilai-nilai kesetaraan, demi melindungi 

lebih banyak komunitas dari praktik diskriminasi.

Penodaan Agama: Tantangan Kalangan Tradisionalis

Tantangan yang jauh lebih mendasar terhadap standar HAM internasional 

dibandingkan doktrin Amandemen Pertama AS berasal dari ujung 

spektrum ideologis yang lain. Kaum tradisionalis percaya bahwa ICCPR 

terlalu menekankan hak-hak individu dalam hal meraih kebebasan 

berbicara dengan mengorbankan hubungan masyarakat yang harmonis, 

mengakibatkan kekebalan hukum bagi upaya menyakiti perasaan orang 

lain. Di PBB, pandangan ini diperjuangkan dengan amat gigih oleh 

Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Kelompok Lobi dari lima puluh 

tujuh negara Muslim ini diprakarsai oleh Arab Saudi – kebetulan, Arab 

Saudi yaitu  satu dari delapan negara anggota PBB yang abstain saat  

pemungutan suara tentang DUHAM dilakukan pada 1948, dan tidak 

pernah menandatangani ICCPR.

Pada 1990, organisasi ini  mengadopsi Deklarasi Kairo tentang 

HAM dalam Islam, yang konon lebih didasarkan pada aturan-aturan Islam 

daripada hukum internasional.69 Deklarasi Kairo mencakup komitmen 

terhadap kesetaraan dan non-diskriminasi (terlepas dari kepercayaan 

agama). Pasal 22(a) menjunjung kebebasan berekspresi hanya apabila 

tidak bertentangan dengan hukum Islam (Syariah): “Setiap orang berhak 

menyatakan pendapatnya dengan bebas memakai  cara yang tidak 

bertentangan dengan prinsip Syariah.” Pasal 22(c) melarang penghinaan 

agama, menyatakan bahwa informasi “tidak boleh dieksploitasi atau 

disalahgunakan sedemikian rupa sehingga dapat melanggar kesucian dan 

martabat para nabi, merusak nilai moral dan etika atau menghancurkan, 

merusak atau merugikan masyarakat atau melemahkan imannya.” 

sebab nya, Deklarasi Kairo bertentangan dengan pandangan modern 

tentang HAM, bahwa undang-undang tidak seharusnya melindungi 

agama dari penghinaan atau kritik. Pasal 24 dan 25 mengatur semua hak 

dan kebebasan dalam Deklarasi itu dalam kerangka syariah, yang menjadi 

satu-satunya referensi untuk mengklarifikasi pasal-pasalnya.

Tidak puas dengan hanya menyatakan penolakan atas prinsip HAM 

internasional dari negara-negara anggotanya, OKI memulai sebuah misi 

untuk mengubah norma-norma global ini . Para pemimpinnya 

didorong oleh perasaan bahwa Islam dan para penganutnya yaitu  sasaran 

empuk bagi fitnah dan diskriminasi. Mulai 1999, OKI membujuk Komisi 

HAM PBB (sebelum diganti menjadi Dewan HAM) untuk mengadopsi 

keputusan tahunan yang mengecam “penistaan agama”. saat  Jyllands-

Posten menerbitkan kartun Nabi Muhammad pada 2005, OKI kian yakin 

akan urgensi merevisi hukum internasional, bukan hanya mengeluarkan 

deklarasi-deklarasi yang tak bergigi. Banyak orang di Barat setuju bahwa 

tindakan koran Denmark itu yaitu  perbuatan menyinggung yang tidak 

perlu. Namun, hukum-hukum Barat tidak menawarkan jalan yang ampuh 

melawan Islamofobia. “Sebagai akibat dari kecenderungan yang meningkat 

ini, kaum Muslim, khususnya di Barat, diberi stereotip, diprofilkan, dan 

dikenai berbagai bentuk perlakuan diskriminatif,” kata OKI. “Simbol-

simbol Islam yang paling sakral dicemarkan dan direndahkan dengan cara 

yang menghina, menyinggung, dan merendahkan guna membangkitkan 

kebencian dan kerusuhan di masyarakat.”

OKI menaikkan tingkat kampanyenya ke Majelis Umum PBB. Mereka 

berpendapat, penistaan harus diakui oleh masyarakat internasional 

sebagai penyakit sosial yang membutuhkan intervensi hukum. Agama 

membutuhkan “perlindungan dari praktik penghinaan.”71 Perubahan 

mendadak dalam nada kampanye ini segera memperoleh pukulan balik, 

dipimpin oleh AS. Pada 2009, sebuah koalisi internasional berisikan lebih 

dari dua ratus organisasi masyarakat sipil, termasuk orang-orang Muslim, 

mendesak Dewan HAM PBB untuk menolak resolusi ini . Argumen 

dalam petisi yang mereka keluarkan bersifat mendasar. “Meskipun kami 

bersimpati pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai lewat resolusi itu untuk 

memerangi intoleransi, rasisme, dan kebencian atas nama agama, kami 

percaya bahwa resolusi semacam itu tidak akan berfungsi dalam mencapai 

tujuan-tujuan ini; alih-alih, resolusi-resolusi itu hanya akan membatasi 

kemampuan individu untuk mengajukan pertanyaan, kepedulian, dan 

bahkan kritik, pada masa saat  manusia dari segala kepercayaan agama 

perlu terlibat dalam dialog yang lebih sering, bukan lebih jarang,” kata 

petisi di atas.

Resolusi OKI pada dasarnya mencoba menyamakan penistaan 

agama dengan rasisme di mata hukum internasional. Namun, petisi dari 

masyarakat sipil tadi mencatat bahwa kritik terhadap agama tidak dapat 

disamakan dengan ujaran kebencian rasial. “Agama tidak seperti ras, 

suatu keadaan yang tidak dapat diubah, agama perlu mempertimbangkan 

kebebasan pengikutnya untuk menuruti hari nuraninya, dan agama perlu 

mempersilakan terciptanya ruang dialog serta debat terbuka tentang klaim-

klaim kebenaran yang diutarakannya,” ujar petisi. 

Petisi ini  menyoroti bahwa setiap agama pasti memiliki klaim 

kebenarannya sendiri-sendiri, beberapa di antaranya bertentangan 

dengan agama lain. Pemahaman konvensional tentang “penistaan”, yang 

mengacu pada penyebaran ketidakbenaran, tidak dapat sungguh-sungguh 

diterapkan pada agama, sebab  tidak mungkin membuktikan klaim mana 

agama yang paling benar maupun tidak benar. Hukum melawan penodaan 

agama dapat digunakan untuk menjerat gagasan yang bertentangan atau 

menyinggung keyakinan agama lain. Harga dari kebebasan berekspresi 

nyata adanya. Tapi ada juga biaya yang perlu ditanggung demi terwujudnya 

kebebasan beragama, yang tidak hanya mencakup hak untuk memegang 

kepercayaan di ruang privat, tetapi juga hak untuk mengekspresikannya 

secara terbuka, bahkan jika kepercayaan ini  menyinggung orang 

lain. Pemerintah yang didapati memberantas penodaan agama akhirnya 

akan melakukan tebang pilih kepercayaan, melindungi beberapa orang 

sementara menekan yang lainnya. Negara-negara dengan hukum domestik 

semacam itu sudah cenderung memihak agama mayoritas daripada yang 

minoritas. “Penerapan mekanisme hukum serupa di tingkat internasional 

tidak hanya akan melegitimasi undang-undang domestik yang bermasalah 

ini, namun bakal merembet ke undang-undang yang lebih besar ke negara 

lain,” kelompok masyarakat sipil memperingatkan.

Resolusi OKI juga akan menempatkan batasan yang tidak perlu 

pada kemampuan masyarakat untuk mengatasi perbedaan di antara 

mereka melalui perdebatan yang damai dan berbagai inisiatif bersama 

melalui dialog lintas-agama. “Pembatasan semacam itu akan memiliki 

efek berlawanan yakni meningkatnya intoleransi dan kebencian agama 

daripada yang konon resolusi ini  berusaha capai “memberantas 

penistaan agama,” ujar petisi ini . Petisi itu juga mengutip sebuah 

laporan gabungan dari Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama 

dan tentang Rasisme, sambil menegaskan kembali norma-norma HAM 

internasional: “Kebebasan beragama terutama menganugerahkan hak bagi 

pemeluk agama untuk bertindak sesuai dengan agamanya, namun tidak 

menjamin hak perlindungan agama mereka dari komentar yang buruk 

mengenainya.

Secara keseluruhan, badan-badan HAM PBB dan Majelis Umum PBB 

mengadopsi 17 resolusi tentang penodaan agama.74 Negara-negara OKI 

– didukung China, Filipina, Rusia, dan Afrika Selatan – secara konsisten 

meminta perumusan instrumen baru yang mengikat secara internasional. 

Namun, negara-negara Barat dan kelompok HAM secara bertahap dapat 

meyakinkan negara-negara yang sebelumnya abstain. Vatikan pada 

awalnya mendukung resolusi ini , namun akhirnya berubah pikiran 

pada 2009. Beberapa negara Amerika Latin mengikutinya. Kala situasi 

berubah, OKI diyakinkan untuk menangguhkan konsep kontroversial 

tentang penodaan agama – berikut gagasan pencemaran yang tidak jelas 

yang diharapkan bisa lebih dapat diterima.75 Sebagai imbalannya, OKI 

menjamin komitmen dari negara-negara anggota untuk memerangi 

intoleransi dalam beragama.76 Resolusi ini menegaskan kembali bahwa 

perlindungan akan diberikan kepada manusianya, bukan keyakinannya, 

sebagai fokus hukum internasional yang sah, menandai pembelaan penting 

terhadap norma-norma HAM.

Pada akhirnya nanti, usulan terhadap penodaan agama yaitu  bagian 

dari klaim implisit yang lebih besar bahwa agama dapat menjadi dasar 

bagi tatanan hukum, ujar sarjana hukum Lorenz Langer.77 Dalam sebagian 

besar sejarah umat manusia, ini sudah menjadi “pilihan otomatis,” 

tulisnya.78 Masyarakat yang menempuh rute ini telah memasukkan kategori 

penghinaan agama sebagai pelecehan, penghujatan, penistaan, penyesatan, 

dan pemurtadan ke dalam undang-undang mereka. Kampanye penodaan 

agama oleh OKI dapat dilihat sebagai upaya kelompok masyarakat ini  

untuk melakukan ekstrapolasi hukum domestik berbasis agama ke tingkat 

internasional sebagai tanggapan atas fakta bahwa penghinaan agama telah 

menjadi fenomena lintas-batas. Ini mungkin juga merupakan cara melawan 

tuntutan masyarakat internasional tentang norma-norma HAM yang 

sekular. Kata Langer, “Melarang penodaan agama yaitu  upaya penegasan 

kembali legitimasi norma-norma agama dalam menghadapi kritik yang 

terus muncul pada norma-norma ini , oleh badan-badan HAM.”79

Mundurnya usulan OKI di Majelis Umum PBB pada 2011 bukan berarti 

suatu kemenangan. Penodaan agama diperkirakan bakal muncul kembali di 

forum-forum internasional. Selain itu, keberhasilan atas pembelaan norma-

norma internasional nyaris tidak berpengaruh terhadap undang-undang 

domestik di negara-negara yang bertekad bulat menghukum praktik 

penghinaan agama. Di tengah risiko penyederhanaan yang berlebihan, 

pertentangan yang terjadi yaitu  antara “supremasi hukum” dan “supremasi 

identitas”, kata David Kaye, seorang profesor hukum yang ditunjuk sebagai 

Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi pada 2014. Konstruksi 

modern dari supremasi hukum menyatakan bahwa aturan-aturan yang 

obyektif, yang diadopsi melalui proses demokrasi, mencakup semua 

bidang dan mencakup hak-hak minoritas. Supremasi identitas, di sisi lain, 

yaitu  prinsip tradisional dalam mengatur politik dan hukum dengan 

mempertimbangkan afiliasi kelompok yang kuat, seperti agama. “Dalam 

praktiknya, supremasi identitas ditakdirkan menjadi diskriminatif,” catat 

Kaye. “Kita hidup di masa transisi, saat  kita menyaksikan pandangan 

modern dan tradisional saling berbenturan dan berubah.”80

Agama dan Demokrasi

“Supremasi hukum” dan “supremasi identitas” – atau, lebih gamblang 

lagi, “supremasi tuhan” – senantiasa bersaing dalam menjadi dasar bagi 

tatanan masyarakat.81 Teori demokrasi dan prinsip-prinsip HAM modern 

menyatakan keunggulan supremasi hukum dengan tegas. Tapi kemudian 

timbul pertanyaan tentang bagaimana demokrasi harus berhubungan 

dengan agama, bahan perdebatan yang sepertinya tak mengenal ujung. 

Pertanyaan ini  lantas membawa kita ke topik terakhir yang saya 

jelajahi pada bab ini.

Tidak ada yang tidak berpendapat tentang masalah ini; sebagian besar 

orang berpolemik. Kaum humanis sekular terkadang mengklaim bahwa 

intoleransi yaitu  hal yang tak terelakkan dari agama yang terorganisasi. 

Dan bahkan kecurigaan cukup meluas bahwa musabab dari segala 

kekacauan ini yaitu  agama monoteistik tertentu, khususnya Islam. 

Mereka percaya bahwa kebencian tidak dihasilkan secara selektif oleh 

aktor politik tertentu, namun hal itu sudah diprogram ke dalam ideologi 

keagamaan yang memang jahat. Kesimpulan itu didukung oleh kutipan 

dari kitab suci yang mempromosikan intoleransi terhadap orang-orang 

yang dianggap tidak beriman. Tapi teks, bagaimanapun juga, tidak pernah 

menentukan perbuatan. Oleh sebab  itu, tidak ada tafsir teologis yang 

dapat mengungkapkan potensi impak agama di dunia. Bagian berikut 

ini akan menarik beberapa kesimpulan dari bidang perbandingan politik 

dan sosiologi agama, yang dua dekade terakhir ini telah meramaikan 

studi tentang hubungan antara agama dan demokrasi.

Peran yang harus dimainkan agama dalam kehidupan publik 

kontemporer yaitu  salah satu isu yang paling ramai diperdebatkan 

dalam teori dan praktik demokrasi. Perdebatan ini  sama sekali tidak 

terbantu oleh asumsi berabad-abad ilmuwan sosial bahwa masyarakat 

modern tidak lagi membutuhkan Tuhan. “Kita hidup di dunia yang 

seharusnya tidak ada,” kata sarjana hubungan internasional Scott Thomas 

dengan bersungut-sungut. “Pengaruh agama seharusnya menurun 

seiring dengan modernisasi dan perkembangan ekonomi.”82 Sebaliknya, 

modernisasi yang cepat dan globalisasi ekonomi telah meracuni banyak 

orang dengan “kegelisahan eksistensial” yang mendorong mereka 

mencari penghiburan dalam agama yang terorganisir, sebuah pendapat 

dari dua ilmuwan politik terkenal, Pippa Norris dan Ronald Inglehart.83 

Bagi pemeluk agama yang tidak bermaksud menghalau modernitas 

sepenuhnya, ada banyak bentuk hijrah keagamaan yang sesuai dengan 

budaya konsumerisme modern, lengkap dengan penggunaan teknologi 

komunikasi guna mempopulerkan dan memperluas akses terhadap 

layanan spiritual.84 Kebangkitan agama secara global juga merupakan 

respon terhadap menguatnya kuasa negara.85 Seperti yang akan kita lihat 

pada bab-bab selanjutnya, sayap-Kanan agama di AS percaya bahwa 

mereka bangkit semata-mata untuk membela negara, sebagai respon atas 

langkah-langkah agresif pengadilan yang menjunjung agenda sekular 

dan amoral. Di Indonesia dan banyak negara lain, profil publik agama 

makin tinggi sebab  politisi kerap memakai nya untuk melegitimasi 

status mereka.

Kerangka Toleransi Kembar

Jika pengaruh kuat agama tidak dapat disangkal, pertanyaannya yaitu  

bagaimana seharusnya ia berhubungan dengan ranah politik. Sungguh 

simplistik apabila agama disebut selalu bertentangan dengan sekularisme. 

Pertama-tama, rumusan biner ini (agama versus sekularisme) meremehkan 

sejauhmana nilai-nilai agama yang dominan telah terpatri di dalam sistem 

yang bersifat sekular. José Casanova, salah satu sarjana sosiologi agama 

terkemuka di dunia, menantang apa yang dia sebut sebagai “mitos fondasi 

sekular Eropa”, yang mengabaikan bagaimana identitas keagamaan sangat 

kuat membentuk formasi negara.86 Bahkan negara-negara dengan angka 

kehadiran di gereja yang rendah, seperti Denmark, memiliki “identitas 

pengakuan dosa yang implisit, suatu manifestasi peninggalan dari pola 

yang panjang, perpaduan antara gereja, negara, dan bangsa” – sebuah pola 

yang menyingkapkan jati dirinya dalam diskriminasi saat  berhadapan 

dengan agama-agama asing.87 Dengan nada yang sama, Eric Michael Mazur 

mencatat bahwa apa yang disebut sebagai perselisihan gereja-negara, yang 

melibatkan kepercayaan minoritas di AS, cenderung mengabaikan fakta 

bahwa negara – melalui konvensi seperti mengakui hari Minggu sebagai 

hari libur – sudah bias memihak kepada mayoritas Kristen Protestan yang 

secara historis dominan

Bertentangan dengan mitos bahwa demokrasi mengharuskan pemisahan 

total antara gereja dan negara, sistem politik Barat telah mengembangkan 

berbagai cara untuk mengatasi ketegangan antara otoritas sekular dan 

agama.89 Jika Pencerahan Eropa mendambakan kebebasan dari kepercayaan 

agama, sejawat AS mereka menginginkan kebebasan untuk percaya pada 

agama.90 AS membangun pemisahan agama dan negara yang sangat ketat, 

sehingga tidak ada pemerintah yang mendukung atau membatasi praktik 

keagamaan. Sebaliknya, model Prancis, laïcité, mendelegitimasi munculnya 

agama dalam kehidupan publik. Namun, beberapa tetangga Prancis di 

Eropa memiliki gereja yang resmi dan mapan. Demokrasi juga menjawab 

pertanyaan kebijakan yang berkaitan dengan media dan budaya dengan 

berbeda saat menentukan, misalnya, konten keagamaan macam apa yang 

dapat disiarkan di televisi publik, dan apakah pesan, simbol, dan pakaian 

keagamaan diizinkan di sekolah-sekolah umum. Keputusan ini sendiri 

tidak memiliki efek yang jelas terhadap kualitas demokrasi yang relatif.

Menganalisis keseluruhan pola, Alfred Stepan menyimpulkan 

bahwa sekularisme dan pemisahan gereja dan negara bukanlah hal yang 

sentral bagi demokrasi. Sebaliknya, demokrasi bergantung pada bentuk 

akomodasi yang lebih subtil dan fleksibel dengan agama yang dia sebut 

sebagai “toleransi kembar”. Toleransi kembar memerlukan negosiasi untuk 

mendudukkan otoritas agama dan politik:

Lembaga-lembaga demokratis haruslah bebas, dalam ikatan konstitusi 

dan HAM, untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan. Lembaga-

lembaga keagamaan tidak seharusnya mendapat keistimewaan 

prerogatif secara konsitusional yang mengizinkan mereka 

memberikan mandat kebijakan publik kepada pemerintah yang 

dipilih secara demokratis. Pada saat bersamaan, orang-orang dan 

komunitas keagamaan ... harus memiliki kebebasan untuk beribadah 

secara privat. Selain itu, sebagai individu dan kelompok, mereka 

harus diizinkan untuk memajukan nilai-nilai yang mereka yakini di 

muka publik dalam masyarakat sipil dan mendukung organisasi dan 

gerakan yang ada dalam masyarakat politik, sejauh tindakan mereka 

tidak mengusik kemerdekaan warganegara lain atau mencederai 

demokrasi serta undang-undang.

Prinsip toleransi kembar di atas konsisten dengan supremasi hukum 

– keunggulan konstitusi untuk melindungi kesetaraan. Ini tidak sesuai 

dengan apa yang oleh para sarjana lain disebut “supermasi Tuhan” atau 

“teologi politik” – sebuah doktrin yang melegitimasi otoritas publik, dan 

institusi yang menerapkannya, atas dasar wahyu ilahi.”92

Di sebagian besar negara, termasuk tiga republik yang diteliti dalam 

buku ini, agama bersaing dengan prinsip-prinsip HAM modern untuk 

menyediakan “dasar-dasar rasional” bagi sistem hukum.93 Ini bukan 

berarti bahwa norma-norma agama sama sekali tidak sesuai dengan HAM. 

HAM modern berutang pada prinsip-prinsip agama mengenai martabat 

manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Agama juga telah mengilhami 

upaya membangun perdamaian dan menyelesaikan konflik.94 Namun, 

norma-norma agama menjadi masalah berat saat  diartikulasikan secara 

absolut dan eksklusif. Inilah contoh pemikiran yang telah terdistorsi, yang 

oleh teolog William Schweiker disebut “hipertheisme” – sebuah keyakinan 

tertinggi dalam interpretasi manusia akan kehendak ilahi. “Hiperteisme 

yaitu  usaha untuk menyederhanakan dan menyatukan kepercayaan 

tentang Tuhan ke dalam satu bentuk yang kemudian digunakan untuk 

mengatur kehidupan sosial, politik, dan pribadi,” kata Schweiker.95 

Pemikiran ini  merupakan antitesis dari “toleransi kembar” milik 

Stepan.

Gagasan ini bisa menjadi patokan normatif saat kita menilai agenda 

para agen pelintiran kebencian yang ada dalam buku ini. Kita tidak perlu 

khawatir dengan level keimanan mereka, atau bahkan dengan keinginan 

mereka untuk menyelaraskan kebijakan nasional dengan nilai-nilai 

agama yang mereka anut. yaitu  hak demokratis mereka untuk mencoba 

melakukannya. Sebaliknya, ancaman yang mereka hadapi dalam demokrasi 

berasal dari keengganan mereka untuk membagi hak dengan orang-orang 

yang berbeda dari mereka. Berasal dari keyakinan eksklusif dan absolutis 

mereka, tumbuhlah sebuah politik yang menyangkal martabat yang setara 

milik para pesaing mereka, dan menolak akomodasi dan kompromi, yang 

penting bagi kehidupan demokrasi.

Intoleransi sejak Lahir: Sebuah Mitos

Beberapa agama tertentu cenderung memberi otoritas lebih besar ke 

sumber teks daripada agama yang lain. Agama-agama ini mungkin 

lebih berisiko untuk condong ke arah hiperteisme, dan kemudian 

menjauh dari toleransi kembar. Banyak komentator menggambarkan 

Islam sebagai sesuatu yang amat problematik dari segi ini. Perspektif ini 

paling dikenal datang dari sarjana politik Samuel Huntington: tesisnya 

mengenai “benturan peradaban” memperkenalkan kajian intelektual 

populer yang menggambarkan kekhawatiran bahwa friksi antara Islam 

dan Barat akan menjadi pendorong utama konflik di masa depan.96 Singkat 

cerita, munculnya Negara Islam telah memperburuk reputasi agama 

ini. Pengultusan atas pesan-pesan mematikan dalam Alquran membuat 

sejumlah pengamat kian susah menyimpulkan bahwa agama ini tidak ikut 

bersalah. Seperti yang dinyatakan dalam cerita sampul The Atlantic 2015, 

“Kenyataannya yaitu , Negara Islam itu sifatnya Islami. Sangat Islami.”97

Sementara orang-orang fanatik Negara Islam percaya bahwa mereka 

tengah mengikuti perintah Alquran dengan saksama, namun menilai 

bahwa pembacaan para fanatik itu yaitu  yang paling otentik atau paling 

representatif dari kehendak Allah bertentangan dengan mayoritas umat 

Islam yang saleh itu sendiri. Studi empiris berskala besar, khususnya yang 

dijalankan oleh Jonathan Fox di Universitas Bar-Ilan Israel, memberi hanya 

sedikit dukungan kepada pandangan bahwa dengan keunikannya Islam 

secara inheren memang bersifat anti-demokrasi atau rentan terhadap 

kekerasan.98 Sikap politik tidak banyak membedakan warga dunia Muslim 

dengan warga dunia Barat.99 Banyak studi menunjukkan bahwa korelasi 

antara Islam dan kekerasan lebih baik dijelaskan oleh faktor-faktor non-

religius, termasuk konflik-konflik asimetris yang membuat resolusi damai 

dalam perselisihan seperti sulit sekali terjadi.100

Adapun kecenderungan untuk melakukan kekerasan, memang sangat 

mengejutkan bahwa hampir setiap episode pelintiran kebencian lintas-batas 

di abad-abad terakhir ini, dimulai dengan The Satanic Verses, menampilkan 

umat Islam yang intoleran sebagai pemeran utama yang mendatangkan 

malu. Palestina telah menjadi simbol ketidakadilan yang kuat selama 

beberapa dekade, dan, benar atau salah, banyak Muslim menghubungkan 

hegemoni Barat dengan kekacauan politik dan ekonomi di lingkungan 

mereka sendiri. Yang juga relevan yaitu  kenyataan bahwa umat Islam 

dua kali lebih mungkin menjadi kaum minoritas di mana mereka tinggal 

dibanding dengan orang Kristen, membuat mereka jauh lebih mungkin 

untuk mengkonfrontasi sistem nilai dominan yang bertentangan dengan 

keyakinan mereka.

saat  kita beralih dari level internasional ke domestik, semakin jelas 

bahwa intoleransi bukanlah domain suatu agama mana pun. Tiga studi 

kasus nasional dalam buku ini menampilkan tiga mayoritas agama yang 

berbeda. Hindu sayap-kanan di India, Muslim sayap-kanan di Indonesia dan 

Kristen sayap-kanan di AS – semuanya menyimpan cukup potensi untuk 

bersikap anti-demokrasi dan bertindak eksklusif. Kelompok sayap-kanan 

agama di Amerika tentu saja lebih lunak dibandingkan kedua sepupunya 

di Asia – tapi itu di dalam negeri; secara internasional, perang-perang yang 

dikobarkannya pada abad ke-21 ini saja telah membunuh lebih banyak 

non-kombatan daripada mereka yang dibunuh organisasi teroris mana pun. 

Namun, pertumpahan darah di antara sesama warganegara dalam konflik 

agama mungkin diakibatkan tingkat militerisasi dan kekerasan politik 

secara umum dalam masyarakat tertentu dan, sekali lagi, bukan akibat dari 

teologi. saat  masyarakat memiliki kebiasaan memakai  kekerasan 

untuk menyelesaikan perbedaan, maka perselisihan berbasis agama bakal 

menemui takdir berdarahnya. Meninjau catatan buruk demokrasi di 

Indonesia dan kaitannya dengan kekerasan etnis dan agama, sarjana politik 

Abdul Malik Gismar mencatat, “Kekerasan berbasis agama hanyalah setitik 

dari secawan penuh kasus kekerasan. Kehidupan masyarakat di Indonesia 

memang sering diwarnai kekerasan, biasanya menyasar para pejabat.”

Beberapa agama melampaui sekadar prinsip moral dalam upayanya 

menetapkan undang-undang khusus. Sementara beberapa komentator 

keberatan dengan hukum agama yang mengatur diet, misalnya, kalangan 

sekular mewanti-wanti pihak agama yang ingin mengatur perilaku publik. 

Syariah khususnya sering menjadi sasaran kritik, namun para ahli sudah 

mengklarifikasi bahwa Syariah bukanlah aturan hukum yang spesifik 

tapi badan pengetahuan yang darinya dapat diturunkan undang-undang. 

Keterbukaan Syariah terhadap interpretasi dan inovasi selalu menjadi 

masalah yang diperdebatkan, baik di dalam maupun di antara komunitas 

Muslim sendiri, bahkan dalam diri masing-masing pemeluknya.103 Shaheen 

Sardar Ali, sarjana hukum Pakistan, mengakui bahwa tradisi hukum Islam 

mungkin sudah “tertutup secara sistematis” dalam hal bahwa ia “beroperasi 

hanya dalam batas-batas kerangka yang sudah ditentukan oleh wahyu 

ilahi dan berupaya dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga asal-usul 

sistemik ini .” Namun, bagaimanapun juga, yang penting yaitu  

“penerapan atas saluran-saluran peraturan hukum yang tertutup secara 

sistematik ini tetap terbuka secara kognitif terhadap norma-norma yang 

senantiasa berkembang, ‘hukum yang hidup di masyarakat’, dan kebutuhan 

orang dan waktu yang juga senantiasa berubah.”

Kasus India sangat penting dilihat dalam menjawab pertanyaan 

bagaimana kecenderungan agama dalam mendikte hubungannya dengan 

demokrasi. Bahkan Hinduisme – sebuah sistem kepercayaan yang oleh teks 

perbandingan agama mana pun akan digambarkan sebagai sistem yang pada 

dasarnya terbuka dan eklektik – dapat dibuat menjadi hiperteisme yang 

intoleran. Hal yang sama berlaku juga untuk Buddhisme di Myanmar dan 

Sri Lanka. Oksimoron ekstremisme umat Buddha mendorong komedian 

Trevor Noah dari The Daily Show merenungkan sebuah pertanyaan di 

benak banyak pengamat, dan menjawabnya dengan sedikit berlebihan: 

“Apa yang dilakukan umat Hindu ekstremis? Apa, apakah mereka akan 

bertepuk keras-keras hanya dengan satu tangan? Tidak, konyol, mereka 

ingin semua orang Islam mati.”

Tesis “benturan peradaban” Huntington didasarkan atas asumsi 

yang sama sekali tidak dapat dibela bahwa masing-masing agama hanya 

menawarkan satu jalur keselamatan yang tak seorang beriman pun akan 

berjalan melenceng darinya. Tapi semua agama itu “multivokal”, kata Stepan, 

dengan unsur-unsur yang dapat digunakan baik untuk mengonstruksi 

maupun menyabotase toleransi kembar.106 William Schweiker sependapat, 

sambil menegaskan bahwa bahkan mereka yang memperlakukan wahyu 

ilahi sebagai panduan hidup yang serius pun memiliki pilihan yang tidak 

terbatas hanya pada satu jalur anti-demokrasi saja. Tidak ada agama 

yang menitahkan “satu gagasan tentang Tuhan yang entah bagaimana 

didikte oleh ‘wahyu’, sebab  ‘wahyu’ yaitu  kumpulan gagasan, gambaran, 

dan metafora yang harus ditafsirkan.”107 Memang, Schweiker mencatat, 

persyaratan untuk adanya interpretasi manusia tidak dapat dielakkan 

terjadi pada semua agama monoteistik – mereka semua mengklaim bahwa 

Tuhan melampaui kenyataan dan tidak dapat sepenuhnya dimengerti. 

sebab  itu, akibat keterbatasan manusia, memikirkan soal Tuhan tidak 

bisa disamakan dengan Tuhan itu sendiri.

Tesis multivokalitas agama itu dibawa oleh sejarah. Bahkan jika 

pandangan dunia keagamaan berbeda dalam sikap mereka terhadap otoritas 

sekular, hasil akhirnya tidak akan berbeda secara mendasar. Kata Langer, 

sebagian besar sejarah Kristen menunjukkan bahwa gereja mengklaim 

otoritas atas kekuasaan temporal, atau otoritas sekular mengadopsi 

norma-norma agama. “Dalam apa yang dulu merupakan bagian dari 

Kekristenan, sanksi berat untuk penghinaan agama sudah lama menjadi 

bagian penting dari undang-undang ini,” tambahnya.108 Sebaliknya, tanah 

kelahiran Yudaisme, Israel, belum menyerahkan kewenangan hukum 

sepenuhnya kepada Zionis religius atau Orang-orang Yahudi Ortodoks, 

yang preferensinya harus diimbangi dengan kaum sekular. Demikian pula, 

kebanyakan negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak memakai  

hukum Syariah.

Lepas dari itu, tidak dapat dipungkiri bahwa komunitas Muslim saat ini 

memiliki masa-masa sulit dalam menangkal absolutisme dan ekstremisme. 

John Anderson, seorang sarjana agama dan politik, menawarkan 

interpretasi agak berbeda dari fenomena ini. Seraya mencerminkan 

konsensus ilmiah para sarjana, dia menolak gagasan bahwa agama besar 

mana pun sudah ditakdirkan untuk menolak nilai-nilai demokrasi. Namun, 

dia mengakui juga bahwa aliran dominan sebuah agama yang ada mungkin 

bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dia berpendapat bahwa 

meskipun agama bersifat multivokal, “pada suatu saat tertentu, suara-suara 

dominan dan situasi politik praktis mungkin akan bekerja sedikit demi 

sedikit untuk mendukung upaya demokratisasi.”109 Meskipun perannya 

sering dibesar-besarkan, agama memang tidak tak relevan dengan politik. 

“Dalam jangka pendek, apa yang disebut tradisi dominan di suatu negara 

mungkin – secara tidak sadar atau dengan sengaja didorong oleh pemimpin 

agama dan/atau sekular – dapat membantu membentuk hasil proses yang 

demokratis,” tandas Anderson.

Dengan demikian, para sarjana yang meneliti sejarah, sosiologi, dan 

politik agama sepakat bahwa agama penting dalam politik. Namun, 

dampaknya tidak ditentukan oleh isi teks suci, tetapi oleh bagaimana para 

pemeluk agama menafsirkan sila-silanya. Konflik berbasis agama bukanlah 

hasil dari persaingan pandangan dunia yang tidak dapat didamaikan. 

Sejumlah besar penelitian telah dengan meyakinkan menunjukkan bahwa 

“identitas, keterhubungan, loyalitas, nilai, dan bahkan emosi dibangun 

dan diciptakan secara sosial, kultural, dan diskursif – yang artinya juga 

selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu.”111 Tidak ada analisis 

doktrinal dari wahyu ilahi yang dapat menjelaskan mengapa beberapa 

kelompok dalam beberapa situasi memilih posisi politik “hiperteistik” 

yang menyangkal hak-hak orang lain. Bahkan saat  sebuah keyakinan 

dipegang teguh untuk menjadi satu-satunya pembacaan yang benar tentang 

maksud Tuhan, itu hanya satu di antara banyak interpretasi paralel tentang 

keyakinan ini .

Untuk semua alasan ini, saya tidak melakukan pembacaan atas teks-teks 

suci secara mendetail, atau mencoba mene