diidentifikasi,” yang
berarti “setiap bagian dari masyarakat yang dibeda-bedakan berdasarkan
warna kulit, ras, agama, kebangsaan, atau asal-usul etnis, usia, jenis
kelamin, orientasi seksual, atau kecacatan mental atau fisik.”40 KUHP
India dan Undang-Undang Perlindungan Hak Sipil-nya melingkupi
masalah istimewa dari ujaran kebencian yang berbasis kasta. Masyarakat
liberal secara bertahap memperluas perlindungan anti-diskriminasi dan
kebencian dengan memasukkan makin banyak kelompok, biasanya dimulai
dengan etnis minoritas. Buruh migran dan minoritas seksual cenderung
ketinggalan dalam gerakan perjuangan guna mendapat pengakuan sebagai
kelompok yang layak memperoleh perlindungan. Hal ini utamanya terjadi
di tingkat internasional. Tabel 2.2 menunjukkan urutan instrumen inti
HAM PBB yang menangani hak-hak kelompok tertentu. Tabel di bawah
mengungkapkan bahwa rasisme muncul sebagai bentuk diskriminasi paling
awal yang perlu ditentang secara universal. Ketetapan ujaran kebencian
dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial (ICERD) lebih kuat daripada ICCPR Pasal 20. ICERD
mewajibkan negara-negara untuk “mengkriminalisasi” (lebih kuat dari kata
“larangan” atau “melarang”) secara luas “penyebaran gagasan berdasarkan
superioritas ras atau kebencian” dan “hasutan diskriminasi rasial”.
Pendirian masyarakat internasional lebih terbagi soal isu diskriminasi
agama. Pada tahun 1981, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan
Agama atau Keyakinan tanpa pemungutan suara. Sifatnya tidak mengikat.
Walau demikian, Irak masih mengajukan syarat berkeberatan atas nama
Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengenai kontradiksi yang dirasakan
dari deklarasi ini dan hukum Islam.41 Tidak mungkin merumuskan
Konvensi PBB yang lebih mengikat, lebih-lebih menangani diskriminasi
agama, sebab di beberapa negara anggota PBB, agama yang dominan
yaitu inti identitas nasional mereka.
Ambang Batas Intervensi Hukum
Kerusakan yang disebabkan oleh ujaran kebencian tidak hanya bergantung
pada kontennya tapi juga konteksnya, sehingga tidak mungkin memprediksi
secara presisi dampak dari ucapan tertentu. Masing-masing negara
memiliki standar waktu yang berbeda dalam memutuskan intervensi
hukum mereka. Ambang batas bagi “hasutan” lebih condong ke intervensi
di hilir, saat bahaya sudah terasa dekat. Sebagai alternatif, kehati-
hatian mungkin dibutuhkan para regulator agar mulai bertindak di hulu,
mendekati sumber ujaran, jauh sebelum efek terburuknya dapat dipastikan.
Misalnya, meskipun para ahli sepakat bahwa stasiun radio RTLM Rwanda
– yang mendukung proses genosida – tidak berhak dilindungi kebebasan
berpendapatnya, ada selisih paham soal kapan seharusnya stasiun itu
dilarang atau dicekal: saat pembunuhan dimulai, atau beberapa bulan
sebelumnya saat kampanye kebencian disiarkan.42
Sejarah konflik berbasis identitas di suatu negara berdampak dramatis
pada bagaimana hukum nasionalnya dirumuskan. India, misalnya, siap
mengadili praktik hasutan yang berujung pada “ketidakharmonisan”
di antara berbagai agama, jauh sebelum malapetaka terjadi.43 Bukan
sebab ketidakharmonisan semacam itu momok bagi masyarakat India,
namun lebih sebab sejarah konflik komunal di negara itu telah membuat
pemerintah enggan menanggung risiko tereskalasinya perselisihan menjadi
konflik kekerasan. Demikian juga, sejarah telah mendorong beberapa
negara demokrasi Barat untuk melarang penyangkalan atas peristiwa
Holokaus. Pada 1993, Komite HAM PBB menetapkan bahwa Prancis
tidak melanggar ICCPR Pasal 19 dalam keputusannya mendakwa seorang
profesor perguruan tinggi, Robert Faurisson, yang mempromosikan
gagasan bahwa Holokaus hanya sebuah rekayasa.44 Komite HAM PBB
beranggapan bahwa penyangkalan atas Holokaus dalam konteks Prancis
kontemporer bisa merupakan bentuk hasutan terhadap anti-Semitisme,
yang melanggar hak-hak masyarakat Yahudi untuk hidup dalam masyarakat
secara bermartabat.
sebab serangan terhadap kelompok-kelompok yang tertindas secara
historis sering disertai laporan pembenaran atas kejahatan masa lalu,
Prinsip-Prinsip Camden secara eksplisit mengakui bahwa membenarkan
atau menyangkal genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang, bisa digolongkan sebagai ujaran kebencian dan, sebab nya, mesti
dilarang.45 Penyangkalan semacam itu, yang juga disebut “negasi-isme”
(negationism), masuk ke dalam kategori khusus sebagai ujaran rasial.
Standar HAM lumrahnya menuntut agar calon penyensor atau jaksa
merancang hubungan kausal langsung antara ujaran yang bakal dicekal
dan bahaya yang ingin dihindari. Tapi, seperti kasus penyangkalan atas
Holokaus, negara bisa berlaku lebih luwes dalam menerapkan prinsip
kedekatan kausal. Di sisi lain, doktrin kebebasan berpendapat di Amerika
menuntut uji “bahaya yang jelas dan nyata”: regulasi pemerintah soal
ujaran kebencian dapat dibenarkan hanya jika kekerasan terbukti tidak
dapat dielakkan lagi.
Pengadilan telah mengembangkan beberapa indikator umum guna
membantu memastikan kemungkinan bahaya dari ujaran kebencian.
Indikator ini tidak hanya mencangkup konten ekspresi, tetapi juga
status dan peran sosial si penutur, jumlah audiens, ragam penyebaran,
dan konteks ujaran. Para politisi, orang partai, pejabat publik, dan
pengkhotbah, yang berhadapan dengan khalayak luas dan terpolarisasi,
dapat diasumsikan memiliki dampak lebih besar daripada warga biasa yang
berupaya menjangkau kelompok kecil di lingkungan relatif stabil. Dengan
menerapkan kriteria ini , Pengadilan HAM Eropa memutuskan bahwa
bahasa yang benar-benar kasar sekalipun layak memperoleh perlindungan
apabila memang tidak dimaksudkan untuk memulai konfrontasi.
Ambillah, sebagai contoh, putusan Pengadilan Eropa tahun 1999
mengenai pemenjaraan seorang penyair Kurdi oleh pemerintah Turki,
di bawah undang-undang anti-terorisme. Pengadilan mengakui bahwa
puisinya berisi dalih yang agresif, misalnya “bergabung dengan para martir
Kurdistan.” Para hakim mengakui, “Secara harfiah, puisi dapat ditafsirkan
sebagai hasutan kepada pembaca untuk membenci, memberontak, dan
bertindak kekerasan.” Meskipun demikian, para hakim berpendapat
bahwa karya penyair ini ditujukan pada khalayak yang amat sempit.
Faktor-faktor semacam itu secara substansial membatasi potensi dampak
puisi terhadap keamanan nasional dan ketertiban umum, sehingga para
hakim memutuskan bahwa “[puisi ini ] bukanlah bentuk ajakan
pemberontakan, namun sebuah ekspresi kesengsaraan hidup yang amat
dalam menghadapi situasi politik sulit.”46 Oleh sebab itu, pengadilan
menetapkan bahwa dakwaan pemerintah Turki ini tidak sesuai
dengan ketetapan Konvensi Eropa mengenai kebebasan berpendapat.
Pertanggungjawaban untuk Ujaran yang Berbahaya
Ujaran kebencian seringkali dimediasi oleh wartawan dan, belakangan,
platform daring. Negara-negara yang serius dalam melindungi kebebasan
berekspresi bakal menindak sumber propaganda kebencian yang sebenar-
benarnya, serta tidak akan menghukum pihak yang sekadar menyampaikan
pesan dengan niat baik maupun yang tanpa pengetahuan. Namun,
beberapa negara justru memakai alasan beredarnya hasutan sebagai
alasan menekan media yang membawa beragam sudut pandang sebagai
bagian dari perannya mengabarkan informasi. Lihat insiden di Malaysia
pada tahun 2008, saat politisi partai yang tengah berkuasa menyatakan
di depan umum bahwa minoritas ras Tionghoa di negara ini , yang
besar jumlahnya, yaitu penduduk liar yang tidak memiliki hak setara.
Pemerintah memakai Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri
untuk memperkarakan – bukan politisi yang bersangkutan, melainkan
seorang wartawan dari sebuah harian nasional berbahasa Tiongkok yang
melaporkan pidato ini secara akurat.47 Dihadapkan dengan protes
masyarakat, pemerintah kemudian membebaskan reporter ini dan
berkilah bahwa dia ditahan demi keselamatannya sendiri. Meski begitu,
sesat pikir dari keputusan penangkapan ini amat kentara.
Dalam kasus penting Jersild v. Denmark, Pengadilan Eropa mengakui
bahwa wartawan yang melaporkan insiden ujaran kebencian seharusnya
tidak diperlakukan sama dengan para penutur itu sendiri. Pengadilan
Denmark pernah memvonis seorang reporter yang mengutip pendapat
rasial ekstremis dalam dokumenter televisinya soal sayap-kanan ekstrem.
Pengadilan Eropa menilai bahwa reporter ini seharusnya tidak
bersalah dalam mendukung penyebaran ujaran kebencian, sebab pers
memang punya kewajiban untuk meningkatkan kesadaran publik dan
menyediakan ruang debat tentang kelompok kebencian. Tapi ini bukan
berarti bahwa media memiliki kekebalan tertentu. Pengadilan Eropa
tidak membantah otoritas Turki saat negara ini mendenda pemilik
terbitan mingguan yang menerbitkan dua surat yang dirasa menyinggung
dalam masa-masa konflik yang sarat ketegangan.49 Bagi perantara di
Internet, masalahnya lebih rumit; saya akan membahasnya dengan
terperinci pada Bab 3.
Maksud si penutur yaitu faktor kunci dalam menentukan kesalahan
hukum. Seniman, seperti juga jurnalis, memiliki peran sosial yang
mengharuskannya melahirkan konten provokatif. “Ekspresi artistik harus
dipertimbangkan dengan mengacu pada nilai dan konteks artistiknya,
mengingat individu dapat memakai seni untuk memprovokasi meski
tanpa niat menghasut kekerasan, diskriminasi, atau permusuhan,” ujar
Frank La Rue.50 Pelanggaran HAM mengerikan terjadi di negara-negara
yang memberlakukan hukum pelanggaran dengan cara sapu bersih
tanpa mengindahkan maksud si penutur. Di Pakistan, misalnya, undang-
undang penistaan awalnya hanya mengkriminalisasi tindakan melukai
yang disengaja.51 Di bawah Presiden Zia ul-Haq pada tahun 1970-an
dan 1980-an, rezimnya menambahkan ketentuan yang lebih keras dan
bersifat sapu-bersih , dengan tidak membedakan antara pelanggaran yang
disengaja dan yang tidak. Pada tahun 2002, seorang pria dihukum mati
sebab mencela Muhammad sebagai nabi palsu, meskipun ada indikasi
bahwa dia mengidap sakit jiwa (orang yang sama juga mengklaim bahwa
dia yaitu reinkarnasi Yesus Kristus).
Amandemen Pertama Amerika Serikat: Standar lebih
Liberal
Penyimpangan Amerika Serikat (AS) dari posisi HAM internasional terkait
kebebasan berekspresi paling cocok digambarkan sebagai perselisihan
keluarga dalam klan liberal. Namun, keberpihakannya (AS) pada kebebasan
berpendapat cukup jelas untuk menumbuhkan perbendaharaan analisis
tentang perbandingan hukum, pertengkaran hebat antara para pembela
hak-hak sipil, dan kasus-kasus pengadilan yang kompleks. Salah satu
contoh praktis dari kesenjangan regulasi dalam hal ini yaitu banyaknya
kelompok kebencian di Eropa yang memarkir situs daring mereka di
server-server AS guna menikmati kebebasan yang tidak bakal mereka
dapat di negara asal. sebab itu, dan ironisnya, AS, dengan reputasi sebagai
salesman nilai-nilai demokrasi paling terkemuka di dunia, juga termasuk
eksportir kanal terbesar bagi intoleransi anti-demokrasi. Demokrasi liberal
lainnya harus berdamai dengan pendirian AS. “Tidak ada prospek politis
bagi Amandemen Pertama terhadap Konstitusi untuk ditarik ulang,” ujar
Mark Potok dari Southern Poverty Law Center, sebuah kelompok pengawas
anti-kebencian di Amerika. “Dukungan atas kelompok ini sangat besar; hal
itu merentang dari kelompok-kelompok berhaluan paling kiri dan yang
paling kanan, mencakup semuanya.”53
Di AS, kebebasan berekspresi bukanlah hak yang mutlak. Namun ruang-
ruang yang dilindungi di sana jauh lebih luas dibanding di negara-negara
lain mana pun di dunia. Amandemen Pertama Konstitusi AS menyatakan,
“Kongres tidak boleh membuat undang-undang ... yang mengurangi
kebebasan berpendapat atau kebebasan pers.” Sejak diadopsi pada 1791,
dan terutama seperti yang ditafsirkan dalam putusan Mahkamah Agung
AS pada paruh kedua abad ke-20, Klausul tentang Kebebasan Berpendapat
dalam Amandemen Pertama telah berkembang menjadi benteng paling
kuat di dunia dalam melawan penyensoran wacana publik. Aktor-aktor
swasta dapat menerapkan peraturan dan batasan mereka sendiri, dan
perusahaan-perusahaan bebas memecat karyawan yang vokal; kanal berita
bisa dan sering kedapatan menghindari para komentator yang menyinggung
kepekaan etnis. Namun, pembatasan oleh pemerintah terhadap sudut
pandang apa pun dalam wacana publik selalu dianggap inkonstitusional.
Sebagai perbandingan, perlindungan atas kebebasan berpendapat model
ICCPR, yang sifatnya ambigu dan banyak kelemahannya, tampak “tidak
berguna,” kata Robert Prost, sarjana hukum AS.54 Doktrin Amandemen
Pertama yang berlaku menyisakan hanya beberapa jenis ujaran politik
yang tidak dilindungi, dengan alasan bahwa ujaran-ujaran itu melanggar
hak-hak orang lain: “Bila hal itu merupakan ancaman kekerasan yang
sebenarnya, saat hal itu mendorong pendengarnya untuk benar-benar
melakukan pelanggaran hukum, saat hal itu benar-benar mencemarkan
nama baik tokoh masyarakat, atau saat hal itu mencemarkan nama baik
seseorang.”
Amerika Serikat bahkan tidak melarang ujaran rasial semacam itu.
Meski dirundung pertanyaan besar dari para sarjana hukum Amerika,
dan orang-orang non-Amerika pun dibuat terheran-heran sebab nya,
Mahkamah Agung AS tidak mengizinkan pemerintah menekan ujaran
rasial. Hal itu dilakukan demi memberi jalan bagi ujaran non-rasial
dalam wacana publik. Pasalnya, mahkamah berpandangan bahwa
penekanan ujaran akan mendiskriminasi sudut pandang tertentu secara
tidak konstitusional. Dalam kasus luar biasa tahun 1992, mahkamah
mencabut peraturan kota yang melarang simbol kebencian—pernah
digunakan untuk menghukum pemuda kulit putih yang membakar salib di
pekarangan keluarga kulit hitam. Kasus itu menjelaskan bahwa pemerintah
memiliki kepentingan sah dalam melindungi anggota kelompok rentan
diskriminasi, termasuk memastikan bahwa mereka dapat hidup damai di
mana pun berada. Masalah keadilan dalam peraturan tadi yaitu bahwa hal
itu mendiskriminasi cara pandang yang penuh kebencian. Menurut
mahkamah, pemerintah setempat perlu memakai cara dengan konten
yang netral guna melindungi hak-hak minoritas.56
saat meratifikasi ICERD pada 1994, AS mengajukan sebuah syarat
keberatan terhadap Pasal 4 yang, seperti dikutip di atas, mewajibkan negara-
negara untuk mengkriminalisasi penyebaran gagasan rasial atau kebencian
berbasis ras. Dikatakan bahwa AS tidak akan patuh pada keterikatan
apa pun di bawah konvensi ini untuk membatasi hak kebebasan
berpendapat yang dilindungi Konstitusi AS dan undang-undangnya. AS
membeberkan keberatan serupa mengenai aturan anti-hasutan dalam
ICCPR Pasal 20 setelah akhirnya meratifikasi traktat ini pada 1992
– 19 tahun setelah Jerman dan 16 tahun setelah Kanada.
Doktrin Amandemen Pertama menyetujui norma HAM internasional
bahwa mereka yang menghasut aksi kekerasan seharusnya tidak diberi
perlindungan kebebasan berpendapat. Meski begitu, ada dua pendapat
berbeda perihal hasutan diskriminasi dan kebencian. Jika ICCPR
mengharuskan pemerintah untuk melarang, Konstitusi AS justru melarang
pemerintah membatasi ujaran semacam itu dalam perdebatan publik.
Bahkan hasutan kekerasan pun ditafsirkan sangat ketat oleh AS. Istilah
ini terbatas pada pernyataan publik yang melahirkan risiko kekerasan.
Istilah ini dibedakan dari “advokasi”, yang mengacu pada dukungan
kekerasan yang disengaja. Advokasi kekerasan akan termasuk ujaran yang
dilindungi apabila tidak dimaksudkan untuk menghasut. Inilah batas yang
ditentukan Mahkamah Agung dalam keputusan Branhambach v. Ohio
1969.57 Kasus ini berkembang saat anggota Ku Klux Klan yang tengah
berdemonstrasi meneriaki orang kulit hitam untuk kembali ke Afrika
dan orang Yahudi untuk pulang ke Israel, serta mengatakan bahwa jika
pemerintah tidak mengirim mereka pulang, Klan bakal turun tangan.
Mahkamah Agung dengan suara bulat membatalkan tuntutan pidana
terhadap para penyelenggara demonstrasi, dengan alasan bahwa ujaran
ini bukan berarti hasutan. Hal ini merujuk kepada pembedaan
yang didapat dari kasus 1957, yang melibatkan advokasi komunis untuk
menggulingkan pemerintah secara paksa.58 Untuk dapat disebut hasutan,
ujaran mesti membuat pendengarnya melakukan tindakan melanggar
hukum. Menurut pengadilan, advokasi atau pengajaran doktrin yang
abstrak masih terlalu jauh dari tindakan nyata yang perlu ditindak secara
hukum, meskipun niat penutur ini bisa saja mengarah pada revolusi
kekerasan.
Hambatan besar yang ditetapkan undang-undang AS terhadap reaksi
pemerintah terkait ujaran kebencian tumbuh dari status khusus yang
diberikan demokrasi AS kepada pendapat – atau, lebih tepatnya, wacana
publik. “Alasan mengapa kami menerapkan aturan-aturan ganjil semacam
itu kepada wacana publik yaitu bahwa inilah (wacana publik) lokasi persis
di mana “sendiri” dalam “pemerintahan sendiri” (self-government) lahir,”
kata Robert Post. “Inilah lokasi di mana kami memutuskan secara kolektif
apakah sesuatu itu fundamental atau tidak. Dan jika pertanyaan itu sudah
dijawab secara sepihak dan kemudian diberlakukan kepada wacana publik,
maka kami kehilangan kapasitas untuk memikirkan masalah ini dengan
sungguh-sungguh dan secara kolektif.”59 Alur logikanya: Ujaran yang
baik harus diberi kesempatan menaklukkan ujaran yang buruk, dan cara
ini selalu lebih baik daripada intervensi negara. Hanya jika benar-benar
tidak ada kemungkinan bagi ujaran tandingan untuk unjuk gigi, dan saat
pemerintah dirasa tidak dapat mencegah bahaya yang diakibatkannya,
seperti dalam kasus hasutan ke arah aksi kekerasan yang nyata, maka
langkah membatasi ujaran menjadi dapat dibenarkan.
Doktrin di atas juga dirancang untuk memenuhi persyaratan prosedural
demokrasi. Label demokratis baru layak diberikan jika wacana publik
terbuka lebar dan tidak ada sudut pandang yang dipaksakan. saat negara
membela hak-hak minoritas dari kelompok kebencian, maka sebagian
legitimasinya diperoleh dari aksi membiarkan orang-orang fanatik untuk
menyatakan pendapatnya. Mendiang filsuf dan pakar konstitusi Ronald
Bab 258
Dworkin menjelaskan prinsip ini dengan elegan. “Kita bisa dan harus
melindungi kaum perempuan, homoseksual, dan anggota kelompok
minoritas dari konsekuensi seksisme, intoleransi, dan rasisme yang spesifik
dan merusak,” katanya. “Tapi kita tidak boleh sekali-kali mencoba ikut
campur lebih jauh ke hulu, dengan melarang ekspresi sikap atau prasangka
yang menurut kita memupuk ketidakadilan atau ketidaksetaraan, sebab
jika kita gegabah campur tangan dalam proses pembentukan opini
kolektif, kita sedang merusak satu-satunya pembenaran demokratis yang
memastikan bahwa setiap orang mematuhi undang-undang ini, termasuk
mereka yang membenci dan mengganggu kelompok rentan ini .”60
Selain posisi istimewanya dalam soal ujaran kebencian, AS juga
mengembangkan perspektif yang tidak biasa dalam soal penistaan
(defamation). Hukum penodaan sipil sesuai dengan ICCPR Pasal 19, sebab
hal itu bertujuan melindungi reputasi orang lain. Namun AS meninggikan
batas penghalang bagi siapa saja tokoh masyarakat yang hendak menuntut
orang lain akibat tindakan penodaan. Tokoh masyarakat itu tidak hanya
harus menunjukkan bahwa pernyataan itu salah, tapi juga dikeluarkan
dengan sengaja meski memang salah, atau dengan pengabaian secara
gegabah soal kebenaran atau kesalahan mereka – sebuah persyaratan yang
sangat sulit dipenuhi. Menurut pandangan ini , seseorang dengan
posisi yang kuat atau yang telah menceburkan diri dalam kontroversi
terkait kepentingan publik seharusnya tidak berhak mendapat tingkat
perlindungan yang sama dengan yang diberikan kepada warganegara
biasa di bawah undang-undang penodaan, seperti yang dijelaskan Kyu Ho
Youm, sarjana yang mendalami Amandemen Pertama. “Bahkan, dia harus
cukup kuat melawan balik di tengah belantara gagasan yang terbuka ini,
mengingat pengaruhnya yang luas dan peran aktifnya dalam menentukan
agenda,” kata Youm.61 Putusan terkenal yang melahirkan standar ini, New
York Times v. Sullivan, menyediakan senjata yang menguntungkan bagi
perjuangan hak-hak sipil dengan cara mencegah para pejabat publik rasis
untuk tidak memakai tuntutan penodaan untuk melumpuhkan
aneka tuduhan terhadap mereka.62 Namun, undang-undang ini
memiliki dua mata pisau. Substansi aturan itu dapat membuat jurubicara
komunitas minoritas rentan terhadap kampanye misinformasi yang keji
yang dilakukan kelompok-kelompok kebencian.
Meskipun masyarakat Amerika memperlakukan Amandemen Pertama
sebagai sesuatu yang hampir sakral, doktrin AS tentang ujaran kebencian
masih terus diperdebatkan. Contohnya, sarjana hukum Amerika,
Alexander Tsesis, mengusulkan undang-undang ujaran kebencian baru
yang kekuatannya melebihi ketetapan soal hasutan kekerasan dan, yang
mencerminkan ICCPR, dengan menargetkan “siapa saja yang menghasut
orang lain untuk melakukan diskriminasi, persekusi, penindasan, atau
melakukan tindakan serupa pada anggota dari kelompok-kelompok
tertentu.”63 Pelaku dapat dipenjara selama tiga bulan sampai tiga tahun,
dan ditugasi empat ratus jam pelayanan masyarakat, saran Tsesis.
Kritik terhadap doktrin Amandemen Pertama kini datang dari beberapa
sudut. Mungkin yang paling relevan untuk konteks riset saya ini yaitu
argumen dari dalam teori demokrasi itu sendiri, bahwa ujaran kebencian
perlu diatur agar targetnya dapat merasakan keadilan dan kesetaraan
berpartisipasi dalam kehidupan publik. Wacana publik sudah sarat dengan
ketidaksetaraan sistemik dan historis, yang diperparah oleh praktik ujaran
kebencian. Teori-teori kritis terkait ras dan feminis telah lama membuktikan
bahwa doktrin kebebasan berpendapat yang dominan di negara ini yaitu
produk hegemoni laki-laki kulit putih, yang gagal melindungi kelompok
minoritas rentan. Profesor hukum Frederick Schauer, misalnya, menantang
pandangan konvensional bahwa toleransi hukum pada ujaran kebencian
yaitu harga yang mesti dibayar masyarakat untuk hak kebebasan
berpendapat. “Harga” itu tidak didistribusikan dengan merata, ujarnya.
Bahkan, dalam cara yang tidak proporsional, kerugian ini ditanggung
oleh korban ujaran kebencian – biasanya berasal dari anggota kelompok
terpinggirkan – yang tidak selalu mendapatkan hal terbaik dari aturan
mengenai perlindungan atas kebebasan berpendapat.64 Dengan nada yang
sama, para sarjana agama telah mengamati bahwa tatanan konstitusi sekular
AS dipengaruhi oleh akar Protestannya.
Filsuf hukum Jeremy Waldron mempertanyakan proposisi Dworkin
bahwa demokrasi akan kehilangan legitimasinya sebagai sistem
penyelesaian sengketa yang adil jika undang-undang mendiskriminasi
ujaran rasis. Ini mungkin menjadi alasan bagus untuk membiarkan
pandangan ekstrem dicerna sebagai “elemen yang dapat dipertandingkan”
seperti tindakan afirmatif atau kebijakan kesejahteraan.66 Namun demikian,
saran Waldron, premis yang mendasari kebijakan ini – bahwa rasisme
dan ketidakadilan ras yaitu sesuatu yang salah – dapat diyakini sebagai
pendirian yang sudah jelas dan pasti. Dasar-dasar keadilan dan hak –
seperti kesetaraan ras dan gender, martabat manusia, dan kebebasan dari
intimidasi – yaitu hal mendasar, dalam artian bahwa kehidupan sosial
bakal runtuh tanpanya: “Saya pikir kita sudah melewati tahap di mana kita
membutuhkan ruang pertukaran ide soal hal-hal yang berkaitan dengan
ras, bahwa kita harus menanggung harga dari serangan terhadap martabat
kelompok minoritas – atau, yang lebih penting, menuntut orang-orang
dan keluarga di dalam kelompok ini untuk menanggung harga yang
merendahkan martabat dan kedudukan sosial mereka – untuk kepentingan
wacana publik dan legitimasi politik.”
Perdebatan ini bersifat substantif, namun pengecualian AS tidak
perlu dibesar-besarkan. Pendekatan HAM milik komunitas internasional
dan pandangan AS soal kebebasan berpendapat lebih banyak kesamaan
daripada perbedaannya. Penolakan ekstrem Amandemen Pertama AS
terhadap regulasi pemerintah berlaku hanya untuk wilayah wacana publik
yang sempit dan bukan keseluruhan ranah publik. Dalam siaran televisi,
misalnya, standar AS tidak berarti lebih permisif dibanding Eropa.68 Begitu
kita memperhitungkan bagaimana aktor swasta menegakkan norma
kesopanan dalam kehidupan publik AS, sulit untuk menyatakan bahwa
AS secara keseluruhan bersikap lebih lunak terhadap ujaran kebencian
daripada Eropa Barat atau Australia, misalnya.
Konstitusi AS dan ICCPR memiliki banyak kesamaan. Keduanya
diilhami nilai-nilai Pencerahan yang menolak pandangan bahwa sistem-
sistem kepercayaan – termasuk agama, ideologi politik, dan ortodoksi
ilmiah – memiliki kekebalan hukum dari kritik dan penghinaan.
Keduanya bersikeras bahwa tidak ada hak untuk tak merasa tersinggung
dalam demokrasi. Keduanya menetapkan kebebasan berekspresi sebagai
pengaturan awal yang hanya dapat diganti oleh pemerintah jika diperlukan
untuk melindungi kelompok tertentu dari bahaya yang nyata, dan bahkan
penggantian ini memerlukan mekanisme checks and balances
dari pengadilan yang independen untuk menghindari intervensi yang
sewenang-wenang. Pada akhirnya, keduanya menekan negara-negara
untuk memperluas dukungan atas nilai-nilai kesetaraan, demi melindungi
lebih banyak komunitas dari praktik diskriminasi.
Penodaan Agama: Tantangan Kalangan Tradisionalis
Tantangan yang jauh lebih mendasar terhadap standar HAM internasional
dibandingkan doktrin Amandemen Pertama AS berasal dari ujung
spektrum ideologis yang lain. Kaum tradisionalis percaya bahwa ICCPR
terlalu menekankan hak-hak individu dalam hal meraih kebebasan
berbicara dengan mengorbankan hubungan masyarakat yang harmonis,
mengakibatkan kekebalan hukum bagi upaya menyakiti perasaan orang
lain. Di PBB, pandangan ini diperjuangkan dengan amat gigih oleh
Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Kelompok Lobi dari lima puluh
tujuh negara Muslim ini diprakarsai oleh Arab Saudi – kebetulan, Arab
Saudi yaitu satu dari delapan negara anggota PBB yang abstain saat
pemungutan suara tentang DUHAM dilakukan pada 1948, dan tidak
pernah menandatangani ICCPR.
Pada 1990, organisasi ini mengadopsi Deklarasi Kairo tentang
HAM dalam Islam, yang konon lebih didasarkan pada aturan-aturan Islam
daripada hukum internasional.69 Deklarasi Kairo mencakup komitmen
terhadap kesetaraan dan non-diskriminasi (terlepas dari kepercayaan
agama). Pasal 22(a) menjunjung kebebasan berekspresi hanya apabila
tidak bertentangan dengan hukum Islam (Syariah): “Setiap orang berhak
menyatakan pendapatnya dengan bebas memakai cara yang tidak
bertentangan dengan prinsip Syariah.” Pasal 22(c) melarang penghinaan
agama, menyatakan bahwa informasi “tidak boleh dieksploitasi atau
disalahgunakan sedemikian rupa sehingga dapat melanggar kesucian dan
martabat para nabi, merusak nilai moral dan etika atau menghancurkan,
merusak atau merugikan masyarakat atau melemahkan imannya.”
sebab nya, Deklarasi Kairo bertentangan dengan pandangan modern
tentang HAM, bahwa undang-undang tidak seharusnya melindungi
agama dari penghinaan atau kritik. Pasal 24 dan 25 mengatur semua hak
dan kebebasan dalam Deklarasi itu dalam kerangka syariah, yang menjadi
satu-satunya referensi untuk mengklarifikasi pasal-pasalnya.
Tidak puas dengan hanya menyatakan penolakan atas prinsip HAM
internasional dari negara-negara anggotanya, OKI memulai sebuah misi
untuk mengubah norma-norma global ini . Para pemimpinnya
didorong oleh perasaan bahwa Islam dan para penganutnya yaitu sasaran
empuk bagi fitnah dan diskriminasi. Mulai 1999, OKI membujuk Komisi
HAM PBB (sebelum diganti menjadi Dewan HAM) untuk mengadopsi
keputusan tahunan yang mengecam “penistaan agama”. saat Jyllands-
Posten menerbitkan kartun Nabi Muhammad pada 2005, OKI kian yakin
akan urgensi merevisi hukum internasional, bukan hanya mengeluarkan
deklarasi-deklarasi yang tak bergigi. Banyak orang di Barat setuju bahwa
tindakan koran Denmark itu yaitu perbuatan menyinggung yang tidak
perlu. Namun, hukum-hukum Barat tidak menawarkan jalan yang ampuh
melawan Islamofobia. “Sebagai akibat dari kecenderungan yang meningkat
ini, kaum Muslim, khususnya di Barat, diberi stereotip, diprofilkan, dan
dikenai berbagai bentuk perlakuan diskriminatif,” kata OKI. “Simbol-
simbol Islam yang paling sakral dicemarkan dan direndahkan dengan cara
yang menghina, menyinggung, dan merendahkan guna membangkitkan
kebencian dan kerusuhan di masyarakat.”
OKI menaikkan tingkat kampanyenya ke Majelis Umum PBB. Mereka
berpendapat, penistaan harus diakui oleh masyarakat internasional
sebagai penyakit sosial yang membutuhkan intervensi hukum. Agama
membutuhkan “perlindungan dari praktik penghinaan.”71 Perubahan
mendadak dalam nada kampanye ini segera memperoleh pukulan balik,
dipimpin oleh AS. Pada 2009, sebuah koalisi internasional berisikan lebih
dari dua ratus organisasi masyarakat sipil, termasuk orang-orang Muslim,
mendesak Dewan HAM PBB untuk menolak resolusi ini . Argumen
dalam petisi yang mereka keluarkan bersifat mendasar. “Meskipun kami
bersimpati pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai lewat resolusi itu untuk
memerangi intoleransi, rasisme, dan kebencian atas nama agama, kami
percaya bahwa resolusi semacam itu tidak akan berfungsi dalam mencapai
tujuan-tujuan ini; alih-alih, resolusi-resolusi itu hanya akan membatasi
kemampuan individu untuk mengajukan pertanyaan, kepedulian, dan
bahkan kritik, pada masa saat manusia dari segala kepercayaan agama
perlu terlibat dalam dialog yang lebih sering, bukan lebih jarang,” kata
petisi di atas.
Resolusi OKI pada dasarnya mencoba menyamakan penistaan
agama dengan rasisme di mata hukum internasional. Namun, petisi dari
masyarakat sipil tadi mencatat bahwa kritik terhadap agama tidak dapat
disamakan dengan ujaran kebencian rasial. “Agama tidak seperti ras,
suatu keadaan yang tidak dapat diubah, agama perlu mempertimbangkan
kebebasan pengikutnya untuk menuruti hari nuraninya, dan agama perlu
mempersilakan terciptanya ruang dialog serta debat terbuka tentang klaim-
klaim kebenaran yang diutarakannya,” ujar petisi.
Petisi ini menyoroti bahwa setiap agama pasti memiliki klaim
kebenarannya sendiri-sendiri, beberapa di antaranya bertentangan
dengan agama lain. Pemahaman konvensional tentang “penistaan”, yang
mengacu pada penyebaran ketidakbenaran, tidak dapat sungguh-sungguh
diterapkan pada agama, sebab tidak mungkin membuktikan klaim mana
agama yang paling benar maupun tidak benar. Hukum melawan penodaan
agama dapat digunakan untuk menjerat gagasan yang bertentangan atau
menyinggung keyakinan agama lain. Harga dari kebebasan berekspresi
nyata adanya. Tapi ada juga biaya yang perlu ditanggung demi terwujudnya
kebebasan beragama, yang tidak hanya mencakup hak untuk memegang
kepercayaan di ruang privat, tetapi juga hak untuk mengekspresikannya
secara terbuka, bahkan jika kepercayaan ini menyinggung orang
lain. Pemerintah yang didapati memberantas penodaan agama akhirnya
akan melakukan tebang pilih kepercayaan, melindungi beberapa orang
sementara menekan yang lainnya. Negara-negara dengan hukum domestik
semacam itu sudah cenderung memihak agama mayoritas daripada yang
minoritas. “Penerapan mekanisme hukum serupa di tingkat internasional
tidak hanya akan melegitimasi undang-undang domestik yang bermasalah
ini, namun bakal merembet ke undang-undang yang lebih besar ke negara
lain,” kelompok masyarakat sipil memperingatkan.
Resolusi OKI juga akan menempatkan batasan yang tidak perlu
pada kemampuan masyarakat untuk mengatasi perbedaan di antara
mereka melalui perdebatan yang damai dan berbagai inisiatif bersama
melalui dialog lintas-agama. “Pembatasan semacam itu akan memiliki
efek berlawanan yakni meningkatnya intoleransi dan kebencian agama
daripada yang konon resolusi ini berusaha capai “memberantas
penistaan agama,” ujar petisi ini . Petisi itu juga mengutip sebuah
laporan gabungan dari Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama
dan tentang Rasisme, sambil menegaskan kembali norma-norma HAM
internasional: “Kebebasan beragama terutama menganugerahkan hak bagi
pemeluk agama untuk bertindak sesuai dengan agamanya, namun tidak
menjamin hak perlindungan agama mereka dari komentar yang buruk
mengenainya.
Secara keseluruhan, badan-badan HAM PBB dan Majelis Umum PBB
mengadopsi 17 resolusi tentang penodaan agama.74 Negara-negara OKI
– didukung China, Filipina, Rusia, dan Afrika Selatan – secara konsisten
meminta perumusan instrumen baru yang mengikat secara internasional.
Namun, negara-negara Barat dan kelompok HAM secara bertahap dapat
meyakinkan negara-negara yang sebelumnya abstain. Vatikan pada
awalnya mendukung resolusi ini , namun akhirnya berubah pikiran
pada 2009. Beberapa negara Amerika Latin mengikutinya. Kala situasi
berubah, OKI diyakinkan untuk menangguhkan konsep kontroversial
tentang penodaan agama – berikut gagasan pencemaran yang tidak jelas
yang diharapkan bisa lebih dapat diterima.75 Sebagai imbalannya, OKI
menjamin komitmen dari negara-negara anggota untuk memerangi
intoleransi dalam beragama.76 Resolusi ini menegaskan kembali bahwa
perlindungan akan diberikan kepada manusianya, bukan keyakinannya,
sebagai fokus hukum internasional yang sah, menandai pembelaan penting
terhadap norma-norma HAM.
Pada akhirnya nanti, usulan terhadap penodaan agama yaitu bagian
dari klaim implisit yang lebih besar bahwa agama dapat menjadi dasar
bagi tatanan hukum, ujar sarjana hukum Lorenz Langer.77 Dalam sebagian
besar sejarah umat manusia, ini sudah menjadi “pilihan otomatis,”
tulisnya.78 Masyarakat yang menempuh rute ini telah memasukkan kategori
penghinaan agama sebagai pelecehan, penghujatan, penistaan, penyesatan,
dan pemurtadan ke dalam undang-undang mereka. Kampanye penodaan
agama oleh OKI dapat dilihat sebagai upaya kelompok masyarakat ini
untuk melakukan ekstrapolasi hukum domestik berbasis agama ke tingkat
internasional sebagai tanggapan atas fakta bahwa penghinaan agama telah
menjadi fenomena lintas-batas. Ini mungkin juga merupakan cara melawan
tuntutan masyarakat internasional tentang norma-norma HAM yang
sekular. Kata Langer, “Melarang penodaan agama yaitu upaya penegasan
kembali legitimasi norma-norma agama dalam menghadapi kritik yang
terus muncul pada norma-norma ini , oleh badan-badan HAM.”79
Mundurnya usulan OKI di Majelis Umum PBB pada 2011 bukan berarti
suatu kemenangan. Penodaan agama diperkirakan bakal muncul kembali di
forum-forum internasional. Selain itu, keberhasilan atas pembelaan norma-
norma internasional nyaris tidak berpengaruh terhadap undang-undang
domestik di negara-negara yang bertekad bulat menghukum praktik
penghinaan agama. Di tengah risiko penyederhanaan yang berlebihan,
pertentangan yang terjadi yaitu antara “supremasi hukum” dan “supremasi
identitas”, kata David Kaye, seorang profesor hukum yang ditunjuk sebagai
Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi pada 2014. Konstruksi
modern dari supremasi hukum menyatakan bahwa aturan-aturan yang
obyektif, yang diadopsi melalui proses demokrasi, mencakup semua
bidang dan mencakup hak-hak minoritas. Supremasi identitas, di sisi lain,
yaitu prinsip tradisional dalam mengatur politik dan hukum dengan
mempertimbangkan afiliasi kelompok yang kuat, seperti agama. “Dalam
praktiknya, supremasi identitas ditakdirkan menjadi diskriminatif,” catat
Kaye. “Kita hidup di masa transisi, saat kita menyaksikan pandangan
modern dan tradisional saling berbenturan dan berubah.”80
Agama dan Demokrasi
“Supremasi hukum” dan “supremasi identitas” – atau, lebih gamblang
lagi, “supremasi tuhan” – senantiasa bersaing dalam menjadi dasar bagi
tatanan masyarakat.81 Teori demokrasi dan prinsip-prinsip HAM modern
menyatakan keunggulan supremasi hukum dengan tegas. Tapi kemudian
timbul pertanyaan tentang bagaimana demokrasi harus berhubungan
dengan agama, bahan perdebatan yang sepertinya tak mengenal ujung.
Pertanyaan ini lantas membawa kita ke topik terakhir yang saya
jelajahi pada bab ini.
Tidak ada yang tidak berpendapat tentang masalah ini; sebagian besar
orang berpolemik. Kaum humanis sekular terkadang mengklaim bahwa
intoleransi yaitu hal yang tak terelakkan dari agama yang terorganisasi.
Dan bahkan kecurigaan cukup meluas bahwa musabab dari segala
kekacauan ini yaitu agama monoteistik tertentu, khususnya Islam.
Mereka percaya bahwa kebencian tidak dihasilkan secara selektif oleh
aktor politik tertentu, namun hal itu sudah diprogram ke dalam ideologi
keagamaan yang memang jahat. Kesimpulan itu didukung oleh kutipan
dari kitab suci yang mempromosikan intoleransi terhadap orang-orang
yang dianggap tidak beriman. Tapi teks, bagaimanapun juga, tidak pernah
menentukan perbuatan. Oleh sebab itu, tidak ada tafsir teologis yang
dapat mengungkapkan potensi impak agama di dunia. Bagian berikut
ini akan menarik beberapa kesimpulan dari bidang perbandingan politik
dan sosiologi agama, yang dua dekade terakhir ini telah meramaikan
studi tentang hubungan antara agama dan demokrasi.
Peran yang harus dimainkan agama dalam kehidupan publik
kontemporer yaitu salah satu isu yang paling ramai diperdebatkan
dalam teori dan praktik demokrasi. Perdebatan ini sama sekali tidak
terbantu oleh asumsi berabad-abad ilmuwan sosial bahwa masyarakat
modern tidak lagi membutuhkan Tuhan. “Kita hidup di dunia yang
seharusnya tidak ada,” kata sarjana hubungan internasional Scott Thomas
dengan bersungut-sungut. “Pengaruh agama seharusnya menurun
seiring dengan modernisasi dan perkembangan ekonomi.”82 Sebaliknya,
modernisasi yang cepat dan globalisasi ekonomi telah meracuni banyak
orang dengan “kegelisahan eksistensial” yang mendorong mereka
mencari penghiburan dalam agama yang terorganisir, sebuah pendapat
dari dua ilmuwan politik terkenal, Pippa Norris dan Ronald Inglehart.83
Bagi pemeluk agama yang tidak bermaksud menghalau modernitas
sepenuhnya, ada banyak bentuk hijrah keagamaan yang sesuai dengan
budaya konsumerisme modern, lengkap dengan penggunaan teknologi
komunikasi guna mempopulerkan dan memperluas akses terhadap
layanan spiritual.84 Kebangkitan agama secara global juga merupakan
respon terhadap menguatnya kuasa negara.85 Seperti yang akan kita lihat
pada bab-bab selanjutnya, sayap-Kanan agama di AS percaya bahwa
mereka bangkit semata-mata untuk membela negara, sebagai respon atas
langkah-langkah agresif pengadilan yang menjunjung agenda sekular
dan amoral. Di Indonesia dan banyak negara lain, profil publik agama
makin tinggi sebab politisi kerap memakai nya untuk melegitimasi
status mereka.
Kerangka Toleransi Kembar
Jika pengaruh kuat agama tidak dapat disangkal, pertanyaannya yaitu
bagaimana seharusnya ia berhubungan dengan ranah politik. Sungguh
simplistik apabila agama disebut selalu bertentangan dengan sekularisme.
Pertama-tama, rumusan biner ini (agama versus sekularisme) meremehkan
sejauhmana nilai-nilai agama yang dominan telah terpatri di dalam sistem
yang bersifat sekular. José Casanova, salah satu sarjana sosiologi agama
terkemuka di dunia, menantang apa yang dia sebut sebagai “mitos fondasi
sekular Eropa”, yang mengabaikan bagaimana identitas keagamaan sangat
kuat membentuk formasi negara.86 Bahkan negara-negara dengan angka
kehadiran di gereja yang rendah, seperti Denmark, memiliki “identitas
pengakuan dosa yang implisit, suatu manifestasi peninggalan dari pola
yang panjang, perpaduan antara gereja, negara, dan bangsa” – sebuah pola
yang menyingkapkan jati dirinya dalam diskriminasi saat berhadapan
dengan agama-agama asing.87 Dengan nada yang sama, Eric Michael Mazur
mencatat bahwa apa yang disebut sebagai perselisihan gereja-negara, yang
melibatkan kepercayaan minoritas di AS, cenderung mengabaikan fakta
bahwa negara – melalui konvensi seperti mengakui hari Minggu sebagai
hari libur – sudah bias memihak kepada mayoritas Kristen Protestan yang
secara historis dominan
Bertentangan dengan mitos bahwa demokrasi mengharuskan pemisahan
total antara gereja dan negara, sistem politik Barat telah mengembangkan
berbagai cara untuk mengatasi ketegangan antara otoritas sekular dan
agama.89 Jika Pencerahan Eropa mendambakan kebebasan dari kepercayaan
agama, sejawat AS mereka menginginkan kebebasan untuk percaya pada
agama.90 AS membangun pemisahan agama dan negara yang sangat ketat,
sehingga tidak ada pemerintah yang mendukung atau membatasi praktik
keagamaan. Sebaliknya, model Prancis, laïcité, mendelegitimasi munculnya
agama dalam kehidupan publik. Namun, beberapa tetangga Prancis di
Eropa memiliki gereja yang resmi dan mapan. Demokrasi juga menjawab
pertanyaan kebijakan yang berkaitan dengan media dan budaya dengan
berbeda saat menentukan, misalnya, konten keagamaan macam apa yang
dapat disiarkan di televisi publik, dan apakah pesan, simbol, dan pakaian
keagamaan diizinkan di sekolah-sekolah umum. Keputusan ini sendiri
tidak memiliki efek yang jelas terhadap kualitas demokrasi yang relatif.
Menganalisis keseluruhan pola, Alfred Stepan menyimpulkan
bahwa sekularisme dan pemisahan gereja dan negara bukanlah hal yang
sentral bagi demokrasi. Sebaliknya, demokrasi bergantung pada bentuk
akomodasi yang lebih subtil dan fleksibel dengan agama yang dia sebut
sebagai “toleransi kembar”. Toleransi kembar memerlukan negosiasi untuk
mendudukkan otoritas agama dan politik:
Lembaga-lembaga demokratis haruslah bebas, dalam ikatan konstitusi
dan HAM, untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan. Lembaga-
lembaga keagamaan tidak seharusnya mendapat keistimewaan
prerogatif secara konsitusional yang mengizinkan mereka
memberikan mandat kebijakan publik kepada pemerintah yang
dipilih secara demokratis. Pada saat bersamaan, orang-orang dan
komunitas keagamaan ... harus memiliki kebebasan untuk beribadah
secara privat. Selain itu, sebagai individu dan kelompok, mereka
harus diizinkan untuk memajukan nilai-nilai yang mereka yakini di
muka publik dalam masyarakat sipil dan mendukung organisasi dan
gerakan yang ada dalam masyarakat politik, sejauh tindakan mereka
tidak mengusik kemerdekaan warganegara lain atau mencederai
demokrasi serta undang-undang.
Prinsip toleransi kembar di atas konsisten dengan supremasi hukum
– keunggulan konstitusi untuk melindungi kesetaraan. Ini tidak sesuai
dengan apa yang oleh para sarjana lain disebut “supermasi Tuhan” atau
“teologi politik” – sebuah doktrin yang melegitimasi otoritas publik, dan
institusi yang menerapkannya, atas dasar wahyu ilahi.”92
Di sebagian besar negara, termasuk tiga republik yang diteliti dalam
buku ini, agama bersaing dengan prinsip-prinsip HAM modern untuk
menyediakan “dasar-dasar rasional” bagi sistem hukum.93 Ini bukan
berarti bahwa norma-norma agama sama sekali tidak sesuai dengan HAM.
HAM modern berutang pada prinsip-prinsip agama mengenai martabat
manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Agama juga telah mengilhami
upaya membangun perdamaian dan menyelesaikan konflik.94 Namun,
norma-norma agama menjadi masalah berat saat diartikulasikan secara
absolut dan eksklusif. Inilah contoh pemikiran yang telah terdistorsi, yang
oleh teolog William Schweiker disebut “hipertheisme” – sebuah keyakinan
tertinggi dalam interpretasi manusia akan kehendak ilahi. “Hiperteisme
yaitu usaha untuk menyederhanakan dan menyatukan kepercayaan
tentang Tuhan ke dalam satu bentuk yang kemudian digunakan untuk
mengatur kehidupan sosial, politik, dan pribadi,” kata Schweiker.95
Pemikiran ini merupakan antitesis dari “toleransi kembar” milik
Stepan.
Gagasan ini bisa menjadi patokan normatif saat kita menilai agenda
para agen pelintiran kebencian yang ada dalam buku ini. Kita tidak perlu
khawatir dengan level keimanan mereka, atau bahkan dengan keinginan
mereka untuk menyelaraskan kebijakan nasional dengan nilai-nilai
agama yang mereka anut. yaitu hak demokratis mereka untuk mencoba
melakukannya. Sebaliknya, ancaman yang mereka hadapi dalam demokrasi
berasal dari keengganan mereka untuk membagi hak dengan orang-orang
yang berbeda dari mereka. Berasal dari keyakinan eksklusif dan absolutis
mereka, tumbuhlah sebuah politik yang menyangkal martabat yang setara
milik para pesaing mereka, dan menolak akomodasi dan kompromi, yang
penting bagi kehidupan demokrasi.
Intoleransi sejak Lahir: Sebuah Mitos
Beberapa agama tertentu cenderung memberi otoritas lebih besar ke
sumber teks daripada agama yang lain. Agama-agama ini mungkin
lebih berisiko untuk condong ke arah hiperteisme, dan kemudian
menjauh dari toleransi kembar. Banyak komentator menggambarkan
Islam sebagai sesuatu yang amat problematik dari segi ini. Perspektif ini
paling dikenal datang dari sarjana politik Samuel Huntington: tesisnya
mengenai “benturan peradaban” memperkenalkan kajian intelektual
populer yang menggambarkan kekhawatiran bahwa friksi antara Islam
dan Barat akan menjadi pendorong utama konflik di masa depan.96 Singkat
cerita, munculnya Negara Islam telah memperburuk reputasi agama
ini. Pengultusan atas pesan-pesan mematikan dalam Alquran membuat
sejumlah pengamat kian susah menyimpulkan bahwa agama ini tidak ikut
bersalah. Seperti yang dinyatakan dalam cerita sampul The Atlantic 2015,
“Kenyataannya yaitu , Negara Islam itu sifatnya Islami. Sangat Islami.”97
Sementara orang-orang fanatik Negara Islam percaya bahwa mereka
tengah mengikuti perintah Alquran dengan saksama, namun menilai
bahwa pembacaan para fanatik itu yaitu yang paling otentik atau paling
representatif dari kehendak Allah bertentangan dengan mayoritas umat
Islam yang saleh itu sendiri. Studi empiris berskala besar, khususnya yang
dijalankan oleh Jonathan Fox di Universitas Bar-Ilan Israel, memberi hanya
sedikit dukungan kepada pandangan bahwa dengan keunikannya Islam
secara inheren memang bersifat anti-demokrasi atau rentan terhadap
kekerasan.98 Sikap politik tidak banyak membedakan warga dunia Muslim
dengan warga dunia Barat.99 Banyak studi menunjukkan bahwa korelasi
antara Islam dan kekerasan lebih baik dijelaskan oleh faktor-faktor non-
religius, termasuk konflik-konflik asimetris yang membuat resolusi damai
dalam perselisihan seperti sulit sekali terjadi.100
Adapun kecenderungan untuk melakukan kekerasan, memang sangat
mengejutkan bahwa hampir setiap episode pelintiran kebencian lintas-batas
di abad-abad terakhir ini, dimulai dengan The Satanic Verses, menampilkan
umat Islam yang intoleran sebagai pemeran utama yang mendatangkan
malu. Palestina telah menjadi simbol ketidakadilan yang kuat selama
beberapa dekade, dan, benar atau salah, banyak Muslim menghubungkan
hegemoni Barat dengan kekacauan politik dan ekonomi di lingkungan
mereka sendiri. Yang juga relevan yaitu kenyataan bahwa umat Islam
dua kali lebih mungkin menjadi kaum minoritas di mana mereka tinggal
dibanding dengan orang Kristen, membuat mereka jauh lebih mungkin
untuk mengkonfrontasi sistem nilai dominan yang bertentangan dengan
keyakinan mereka.
saat kita beralih dari level internasional ke domestik, semakin jelas
bahwa intoleransi bukanlah domain suatu agama mana pun. Tiga studi
kasus nasional dalam buku ini menampilkan tiga mayoritas agama yang
berbeda. Hindu sayap-kanan di India, Muslim sayap-kanan di Indonesia dan
Kristen sayap-kanan di AS – semuanya menyimpan cukup potensi untuk
bersikap anti-demokrasi dan bertindak eksklusif. Kelompok sayap-kanan
agama di Amerika tentu saja lebih lunak dibandingkan kedua sepupunya
di Asia – tapi itu di dalam negeri; secara internasional, perang-perang yang
dikobarkannya pada abad ke-21 ini saja telah membunuh lebih banyak
non-kombatan daripada mereka yang dibunuh organisasi teroris mana pun.
Namun, pertumpahan darah di antara sesama warganegara dalam konflik
agama mungkin diakibatkan tingkat militerisasi dan kekerasan politik
secara umum dalam masyarakat tertentu dan, sekali lagi, bukan akibat dari
teologi. saat masyarakat memiliki kebiasaan memakai kekerasan
untuk menyelesaikan perbedaan, maka perselisihan berbasis agama bakal
menemui takdir berdarahnya. Meninjau catatan buruk demokrasi di
Indonesia dan kaitannya dengan kekerasan etnis dan agama, sarjana politik
Abdul Malik Gismar mencatat, “Kekerasan berbasis agama hanyalah setitik
dari secawan penuh kasus kekerasan. Kehidupan masyarakat di Indonesia
memang sering diwarnai kekerasan, biasanya menyasar para pejabat.”
Beberapa agama melampaui sekadar prinsip moral dalam upayanya
menetapkan undang-undang khusus. Sementara beberapa komentator
keberatan dengan hukum agama yang mengatur diet, misalnya, kalangan
sekular mewanti-wanti pihak agama yang ingin mengatur perilaku publik.
Syariah khususnya sering menjadi sasaran kritik, namun para ahli sudah
mengklarifikasi bahwa Syariah bukanlah aturan hukum yang spesifik
tapi badan pengetahuan yang darinya dapat diturunkan undang-undang.
Keterbukaan Syariah terhadap interpretasi dan inovasi selalu menjadi
masalah yang diperdebatkan, baik di dalam maupun di antara komunitas
Muslim sendiri, bahkan dalam diri masing-masing pemeluknya.103 Shaheen
Sardar Ali, sarjana hukum Pakistan, mengakui bahwa tradisi hukum Islam
mungkin sudah “tertutup secara sistematis” dalam hal bahwa ia “beroperasi
hanya dalam batas-batas kerangka yang sudah ditentukan oleh wahyu
ilahi dan berupaya dengan penuh kehati-hatian untuk menjaga asal-usul
sistemik ini .” Namun, bagaimanapun juga, yang penting yaitu
“penerapan atas saluran-saluran peraturan hukum yang tertutup secara
sistematik ini tetap terbuka secara kognitif terhadap norma-norma yang
senantiasa berkembang, ‘hukum yang hidup di masyarakat’, dan kebutuhan
orang dan waktu yang juga senantiasa berubah.”
Kasus India sangat penting dilihat dalam menjawab pertanyaan
bagaimana kecenderungan agama dalam mendikte hubungannya dengan
demokrasi. Bahkan Hinduisme – sebuah sistem kepercayaan yang oleh teks
perbandingan agama mana pun akan digambarkan sebagai sistem yang pada
dasarnya terbuka dan eklektik – dapat dibuat menjadi hiperteisme yang
intoleran. Hal yang sama berlaku juga untuk Buddhisme di Myanmar dan
Sri Lanka. Oksimoron ekstremisme umat Buddha mendorong komedian
Trevor Noah dari The Daily Show merenungkan sebuah pertanyaan di
benak banyak pengamat, dan menjawabnya dengan sedikit berlebihan:
“Apa yang dilakukan umat Hindu ekstremis? Apa, apakah mereka akan
bertepuk keras-keras hanya dengan satu tangan? Tidak, konyol, mereka
ingin semua orang Islam mati.”
Tesis “benturan peradaban” Huntington didasarkan atas asumsi
yang sama sekali tidak dapat dibela bahwa masing-masing agama hanya
menawarkan satu jalur keselamatan yang tak seorang beriman pun akan
berjalan melenceng darinya. Tapi semua agama itu “multivokal”, kata Stepan,
dengan unsur-unsur yang dapat digunakan baik untuk mengonstruksi
maupun menyabotase toleransi kembar.106 William Schweiker sependapat,
sambil menegaskan bahwa bahkan mereka yang memperlakukan wahyu
ilahi sebagai panduan hidup yang serius pun memiliki pilihan yang tidak
terbatas hanya pada satu jalur anti-demokrasi saja. Tidak ada agama
yang menitahkan “satu gagasan tentang Tuhan yang entah bagaimana
didikte oleh ‘wahyu’, sebab ‘wahyu’ yaitu kumpulan gagasan, gambaran,
dan metafora yang harus ditafsirkan.”107 Memang, Schweiker mencatat,
persyaratan untuk adanya interpretasi manusia tidak dapat dielakkan
terjadi pada semua agama monoteistik – mereka semua mengklaim bahwa
Tuhan melampaui kenyataan dan tidak dapat sepenuhnya dimengerti.
sebab itu, akibat keterbatasan manusia, memikirkan soal Tuhan tidak
bisa disamakan dengan Tuhan itu sendiri.
Tesis multivokalitas agama itu dibawa oleh sejarah. Bahkan jika
pandangan dunia keagamaan berbeda dalam sikap mereka terhadap otoritas
sekular, hasil akhirnya tidak akan berbeda secara mendasar. Kata Langer,
sebagian besar sejarah Kristen menunjukkan bahwa gereja mengklaim
otoritas atas kekuasaan temporal, atau otoritas sekular mengadopsi
norma-norma agama. “Dalam apa yang dulu merupakan bagian dari
Kekristenan, sanksi berat untuk penghinaan agama sudah lama menjadi
bagian penting dari undang-undang ini,” tambahnya.108 Sebaliknya, tanah
kelahiran Yudaisme, Israel, belum menyerahkan kewenangan hukum
sepenuhnya kepada Zionis religius atau Orang-orang Yahudi Ortodoks,
yang preferensinya harus diimbangi dengan kaum sekular. Demikian pula,
kebanyakan negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak memakai
hukum Syariah.
Lepas dari itu, tidak dapat dipungkiri bahwa komunitas Muslim saat ini
memiliki masa-masa sulit dalam menangkal absolutisme dan ekstremisme.
John Anderson, seorang sarjana agama dan politik, menawarkan
interpretasi agak berbeda dari fenomena ini. Seraya mencerminkan
konsensus ilmiah para sarjana, dia menolak gagasan bahwa agama besar
mana pun sudah ditakdirkan untuk menolak nilai-nilai demokrasi. Namun,
dia mengakui juga bahwa aliran dominan sebuah agama yang ada mungkin
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dia berpendapat bahwa
meskipun agama bersifat multivokal, “pada suatu saat tertentu, suara-suara
dominan dan situasi politik praktis mungkin akan bekerja sedikit demi
sedikit untuk mendukung upaya demokratisasi.”109 Meskipun perannya
sering dibesar-besarkan, agama memang tidak tak relevan dengan politik.
“Dalam jangka pendek, apa yang disebut tradisi dominan di suatu negara
mungkin – secara tidak sadar atau dengan sengaja didorong oleh pemimpin
agama dan/atau sekular – dapat membantu membentuk hasil proses yang
demokratis,” tandas Anderson.
Dengan demikian, para sarjana yang meneliti sejarah, sosiologi, dan
politik agama sepakat bahwa agama penting dalam politik. Namun,
dampaknya tidak ditentukan oleh isi teks suci, tetapi oleh bagaimana para
pemeluk agama menafsirkan sila-silanya. Konflik berbasis agama bukanlah
hasil dari persaingan pandangan dunia yang tidak dapat didamaikan.
Sejumlah besar penelitian telah dengan meyakinkan menunjukkan bahwa
“identitas, keterhubungan, loyalitas, nilai, dan bahkan emosi dibangun
dan diciptakan secara sosial, kultural, dan diskursif – yang artinya juga
selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu.”111 Tidak ada analisis
doktrinal dari wahyu ilahi yang dapat menjelaskan mengapa beberapa
kelompok dalam beberapa situasi memilih posisi politik “hiperteistik”
yang menyangkal hak-hak orang lain. Bahkan saat sebuah keyakinan
dipegang teguh untuk menjadi satu-satunya pembacaan yang benar tentang
maksud Tuhan, itu hanya satu di antara banyak interpretasi paralel tentang
keyakinan ini .
Untuk semua alasan ini, saya tidak melakukan pembacaan atas teks-teks
suci secara mendetail, atau mencoba mene