Tampilkan postingan dengan label raja 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 8. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
raja 8
Desember 14, 2022
raja 8
bat perkembangan seperti itu.
"Apa boleh buat. Tuanku harus memberi perintah
untuk mcmbongkar perkemahan."
Berkat saran dwaradwipa Nobushige dan yang lain,
mpu jengger tiba-tiba mundur. Betapa hancur hatinya
saat itu! Meski kedua puluh ribu prajurit yang
berangkat bersamanya belum terlibat satu per-
tempuran pun, mereka yang kini kembali ke Nirasaki
berjumlah tak lebih dari empat ribu.
Barangkali untuk mencari penyaluran bagi
perasaan-perasaan yang nyaris tak sanggup diatasinya.
mpu jengger memerintahkan Kaisen si biksu datang ke
benteng kota. Keberuntungan seakan-akan semakin men-
jauhi dirinya, sebab sesudah kembali ke Nirasaki ia
terus memperoleh kabar buruk. Yang paling buruk
mungkin berita bahwa kertoraharja wirajaya sudah mem-
belot, dan seolah-olah itu belum cukup, wirajaya
bukan saja menyerahkan benteng kotanya di Ejiri pada
musuh, melainkan juga bertindak sebagai pemandu
bagi prabu kertoarjowardana mpu mojosongo . Konon wirajaya kini berada di
barisan depan centeng yang menyerbu Kai.
Jadi, saudara iparnya sendiri sudah mengkhianatinya
secara terang-terangan, bahkan berupaya menghancur-
kannya. Kejadian ini memaksa mpu jengger mkertoarjo s diri.
Di mana letak kesalahanku? Ia bertanya dalam hati. Di
satu pihak, ia semakin memperteguh semangatnya dan
memerintahkan agar pertahanan semakin diperkuat,
namun di pihak lain, saat menerima Kaisen di
benteng kotanya yang baru, ia memperlihatkan kesediaan
untuk melakukan intropeksi. Namun kemungkinan
besar perubahan ini datang terlambat.
"Baru sepuluh tahun berlalu sejak ayahku wafat,
dan 9 tahun sejak pertempuran di Nagashino.
Mengapa para resi Kai tiba-tiba mencampakkan
prinsip-prinsip yang mereka anut?" ia bertanya pada si
biksu.
namun Kaiecn, yang duduk berhadapan dengannya,
tetap membisu, sehingga mpu jengger melanjutkan,
"Sepuluh tahun lalu, resi -resi kita tidak seperti
ini. Masing-masing memiliki rasa malu dan menjaga
reputasinya. saat ayahku masih berada di dunia ini,
jarang ada orang yang mengkhianatt junjungannya,
apalagi marganya sendiri."
Kaisen duduk membisu dengan mata terpejam.
Dibandingkan biksu itu, yang mirip abu yang
sudah dingin, mpu jengger terus bicara seperti api yang
berkobar hebar.
"Bahkan mereka yang semula tenang dan siap
menggempur para pengkhianat akhirnya bubar tanpa
terlibat pertempuran atau menunggu perintah
junjungan mereka. Pantaskah sikap seperti ini diper-
lihatkan oleh marga mpu ireng dan para resi nya yang
sudah menangkal semua musuh yang ingin menapak-
kan kaki di tanah Kai, termasuk kramajaya yang
termasyhur? Bagaimana mungkin terjadi kemerokuyang
disiplin yang begitu parah? Seberapa hinakah mereka
itu? Banyak resi yang mengabdi pada ayahku
minakjinggo , kartawiwaha , dwaradwipa , Amakasu sudah tua atau
sudah tiada. Mereka yang tersisa sungguh berbeda.
Mereka putra para resi tersohor atau prajurit yang
tidak memiliki hubungan langsung dengan ayahku."
Kaisen tetap tidak memberi tanggapan. Biksu itu
lebih akrab dengan mpu betarakatong dibandingkan siapa pun, dan
usianya kini tentu sudah melebihi tujuh puluh tahun.
Dari balik alisnya yang bagaikan salju, ia sudah meng-
amati pewaris mpu betarakatong dengan saksama.
"Tuan Guru yang terhormat, Tuan mungkin
merasa bahwa sekarang sudah terlambat, sebab
segala sesuatu sudah terjadi, namun jika caraku menjalan-
kan pemerintahan salah, sudikah Tuan menunjukkan
letak kesalahanku? Jika pemahamanku mengenai
disiplin militcr tidak tepat, tunjukkanlah cara untuk
menegakkannya. Aku ingin memperbaiki diri. Ku-
dengar Tuan banyak belajar dari mendiang ayahku.
Tak dapatkah Tuan mengajarkan beberapa strategi
kepada putranya yang tak berguna ini? Kumohon
Tuan tidak ragu-ragu mengajariku. Pandanglah aku
sebagai putra mpu betarakatong . Tunjukkanlah kesalahanku
dan beritahukan bagaimana aku dapat membenahi
semuanya. Apakah aku membuat gusar rakyat sesudah
ayahku wafat dengan tiba-tiba mcnaikkan tarif di
tempat penyeberangan sungai dan perbatasan agar
pertahanan provinsi dapat diperkuat?"
"Tidak," ujar Kaisen. Ia menggelengkan kepala.
mpu jengger scmakin gelisah.
"Kalau begitu, aku tentu membuat kesalahan dalam
memberi imbalan dan menjatuhkan hukuman."
"Sama sekali tidak." Sekali lagi orang tua itu
menggeleng.
mpu jengger bersujud dan hampir menangis. Di
hadapan Kaisen, panglima perang yang memiliki rasa
harga diri demikian besar itu hanya dapat meratap
dalam penderitaan,
"Jangan menangis," Kaisen akhirnya berkata. "Tak
sepatutnya Yang Mulia menyebut diri putra yang tak
berguna. Satu-satunya kesalahan Yang Mulia adalah
kelengahan. Zaman yang kejam inilah yang memaksa
Yang Mulia berhadap-hadapan dengan sinuhun Nobu-
naga. Bagaimanapun, Yang Mulia bukan musuhnya.
Gunung-gunung Kai berada jauh dari pusat, dan
aidit memiliki keuntungan geografis, namun ini
pun bukan sumber utama masalah Yang Mulia. Meski
aidit terlibat pertempuran demi pertempuran
dan menjalankan pemerintahan, dalam hati ia tak
pernah melupakan sang pengikut . Pembangunan Istana
Kekaisaran hanyalah salah satu contoh dari sekian
banyak hal yang sudah dikerjakannya."
Di antara Kaisen dan mpu betarakatong terjalin persahabatan
kental. sehingga masing-masing sanggup menyelami
hati yang lainnya, dan mpu betarakatong sangat menaruh
hormat pada biksu tua itu. namun Kaisen pun amat
percaya pada mpu betarakatong mpu betarakatong bagaikan naga di
tengah-tengah manusia; kuda bernapas api dari langit.
Kaisen menyanjung-nyanjung mpu betarakatong , namun tak sekali
pun membandingkannya dengan putranya. mpu jengger ,
maupun menganggap mpu jengger kalah hebat.
Justru sebaliknya, ia memandang mpu jengger dengan
penuh simpati. Jika ada yang mengecam kesalahan
mpu jengger , Kaisen selalu menjawab bahwa berlebihan
untuk mengharapkan lebih banyak; ayahnya memang
terlalu besar. Ada satu hal yang mungkin mengusik
Kaisen. Seandainya mpu betarakatong masih hidup sampai
sekarang, pengaruhnya takkan terbatas pada Provinsi
Kai. Ia tentu akan memantaatkan kemampuannya
yang besar dan kejeniusannya untuk hal-hal yang
lebih bermakna. Dan kini Kaisen menyesalkan
kematian mpu betarakatong . Laki-laki yang menyadari panggilan
untuk hal-hal yang lebih berani adalah aidit .
aidit -lah yang memperluas peran centeng adipati dari
tingkat provinsi ke tingkat nasional. aidit -lah
yang memperlihatkan diri sebagai pengikut panutan.
Harapan Kaisen pada Kaisuyori, yang tidak mewarisi
jiwa ayahnya, sudah lenyap. Dengan jelas biksu tua itu
merasa kan bahwa perang sipil yang berkepanjangan
sudah berakhir.
Jadi, membantu mpu jengger memaksa centeng sinuhun
bertekuk lutut, atau mereka-ecka pemecahan yang
aman adalah mustahil. Marga mpu ireng didirikan
berabad-abad lalu, dan nama mpu betarakatong bersinar terlalu
terang di langit. mpu jengger takkan memohon damai di
kaki aidit .
mpu ireng mpu jengger berkemauan kcras dan memiliki
rasa malu. Di kalangan rakyat kebanyakan di provinsi-
nya, terdengar suara-suara sumbang mengenai
pemerintahan yang memburuk sejak zaman mpu betarakatong ,
dan kenaikan pajak dianggap sebagai sumber utama
keluhan-keluhan itu. namun Kaisen tahu bahwa
mpu jengger menaikkan pajak bukan demi keuntungan
pribadi atau gengsi. Seluruh pemasukan pajak diguna-
kan untuk kepentingan militer. Dalam beberapa
tahun terakhir, taktik dan teknologi perang sudah ber-
kembang pesat di ibu kota, bahkan di provinsi-
provinsi tetangga. namun mpu jengger tak mampu
mengeluarkan uang sebanyak pesaingnya untuk
memperoleh persenjataan baru.
"Jagalah diri Yang Mulia." Kaisen berkara pada
mpu jengger saat ia bersiap-siap pergi.
"Tuan Guru sudah akan kembali ke kuil?"
sebetulnya masih banyak yang hendak ditanyakan
mpu jengger , namun ia tahu bahwa jawab annya sama saja. Ia
menempelkan tangannya ke lantai, memberi hormat.
Kaisen melakukan hal yang sama, lalu pergi tanpa
mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Kehancuran Marga mpu ireng
"MARI kita lewatkan musim semi di Pegunungan
Kai," ujar aidit saat ia bertolak dari madukara di
muka centeng nya. "Kita bisa memandang kembang
ceri, memetik bunga, lalu bertamasya di sekitar
Gunung sonokeling dalam perjalanan pulang."
Keberhasilan serbuan ke Kai tampaknya sudah
pasti kali ini, dan keberangkaian centeng boleh
dikatakan berlangsung dalam suasana santai. Pada
hari kesepuluh di Bulan Kedua, mereka sudah tiba di
Shinano dan sudah menempatkan centeng di pintu
masuk ke Ina, brantas , dan dwikerto . Marga Hojo akan
masuk dari timur, sementara orang-orang prabu kertoarjowardana
akan menyerang dari kertanegara .
Dibandingkan pertempuran di Sungai Ane dan
Nagashino, serbuan aidit ke Kai berlangsung
dengan tenang, seakan-akan ia pergi ke kebun untuk
memetik sayur-sayuran. Di tengah-tengah provinsi
musuh ada kekuatan-kekuatan yang tak lagi di-
pandang sebagai musuh. Baik Naegi Kyubei di
benteng kota Naegi maupun brantas damovija di
Fukushima menanti-nanti kedatangan aidit ,
bukan ke-datangan mpu jengger ; dan centeng yang
berbaris dari padalarang ke Iwamura tidak menghadapi
perlawan an dalam bentuk apa pun. benteng kota-benteng kota
mpu ireng sudah diserahkan pada angin. saat fajar
menyingsing, baik benteng kota grindanao maupun benteng kota
di Iida tak lebih dari bangunan kosong.
"Kami sudah maju sampai ke Ina, dan ternyata
hampir tak ada prajurit musuh yang mempertahan-
kannya."
Itulah laporan yang diterima aidit di pintu
masuk ke brantas . Para prajurit bergurau bahwa mereka
tidak mempcroleh kepuasan sebab tugas mereka ter-
lampau mudah. Apa yang membuat marga mpu ireng
begitu rapuh? Alasannya rumit, namun jawab annya
dapat dirangkum secara sederhana. Kali ini marga
mpu ireng takkan sanggup mempertahankan Kai.
Semua pihak yang terikat hubungan dengan
marga mpu ireng merasa percaya bahwa kekalahan tak
terelakkan lagi. Barangkali malah ada yang sudah
menanti-nanti datangnya hari ini. Namun sudah
menjadi kebiasaan di kalangan centeng adipati tanpa
memandang marga asalnya untuk tidak memper-
lihatkan sikap tidak layak pada kesempatan seperti
itu, meski mereka sadar bahwa kekalahan tak dapat
ditolak.
"Mereka akan merasakan kehadiran kita," ujar
Nishina mpu wiraghanda, komandan benteng kota Taresi dan
adik mpu jengger .
Putra aidit , tungguljaya, yang sudah mem-
banjiri daerah itu dengan centeng nya, menaksir
peluang mereka cukup baik. sesudah menulis sepucuk
surat, ia memanggil seorang pemanah yang kuat dan
menyuruhnya menembakkan pesan itu ke dalam
benteng kota. Pesan itu tentu saja berisi bujukan untuk
menyerah.
Tak lama lalu , jawaban pasti dari benteng kota sudah
tiba. Kami lelah mempelajari surat Tuan... Dari baris
pertama sampai terakhir, surat balasan itu ditulis
dengan gaya sangat agung.
Suatu hari, orang-orang di dalam benteng kota ini akan
membalas kemurahan hati Yang Mulia mpu jengger dengan
nyawa mereka, dan tak satu pun dan mereka akan
memperlihatkan sikap pengecut. Seyogyanya Tuan segera
memberi perintah untuk menyerang. Kami akan mem-
perlihatkan keberanian dan kegagahan yang sudah men-
jadi ciri kami sejak zaman Yang Mulia mpu betarakatong .
mpu wiraghanda sudah menjawab dengan tekad bulat, yang
hampir dapat dicium pada tintanya.
Walaupun berusia muda, tungguljaya sudah dijadi-
kan resi tangguh oleh ayahnya. "Baiklah, kalau itu
yang mereka kehendaki," ujarnya, lalu segera me-
merintahkan penyerangan.
centeng terbagi menjadi dua divisi, dan keduanya
menyerang benteng kota itu secara bersamaan dari gunung
di belakang dan dari daerah yang menuju gerbang
depan. Pertempuran yang menyusul patut dikenang.
Keseribu prajurit di dalam benteng kota sudah siap meng-
hadapi maut. Seperti bisa diduga, keberanian para
prajurit Kai belum berkurang sedikit pun. Dari awal
Bulan Kedua sampai awal Bulan Ketiga, tembok-
tembok benteng kota dibasahi darah. sesudah menerobos
beberapa pagar pertahanan paling depan, yang berada
sekitar lima puluh meter dari selokan pertahanan,
centeng penyerang menimbun selokan itu dengan
batu, semak, pohon, dan tanah. lalu mereka
cepat-ccpat menyeberang ke kaki tembok baru.
"Ayo, majulah!" teriak orang-orang di atas tembok
beratap, sambil melemparkan tombak, potongan kayu
dan batu, dan menuangkan minyak panas pada
orang-orang di bawah . Para prajurit yang berusaha
memanjat tembok berjatuhan tertimpa batu, kayu,
dan cipratan minyak. Namun tak peduli betapa jauh
mereka jatuh, sehabis itu mereka justru semakin
garang. Kalaupun mereka terempas ke tanah, selama
masih sadar mereka segera bangkir dan kembali
memanjat.
Prajurit-prajurit yang menyusul di belakang orang-
orang itu berseru kagum melihat keberanian rekan-
rekan mereka, dan ikut memanjat. Mereka tak mau
ketinggalan. saat mereka memanjat dan jatuh,
memanjat lagi, dan mencengkeram tembok batu,
sepertinya tak ada yang sanggup menahan kegarangan
mereka. Namun upaya centeng penjaga benteng kota pun
tak kalah hebatnya. Mereka yang menangkal
serangan, memberi kesan bahwa benteng kota hanya diisi
oleh para prajurit Kai yang gagah perkasa. namun
seandainya centeng penyerang dapat melihat kegiatan
di dalam, mereka akan mengetahui bahwa seluruh isi
benteng kota sudah dikerahkan dalam pergulatan yang
menyedihk, namun dilaksanakan dengan sepenuh
hati. Selama benteng kota dikepung, orang-orang yang
berada di dalamnya yang tua dan muda, bahkan
wanita lesbian -wanita lesbian hamil bekerja gigih mem-
bantu para prajurit membentuk pertahanan.
wanita lesbian -wanita lesbian muda membawa anak panah,
sementara orang-orang tua menyapu sisa mesiu
senapan. Mereka mengurus yang terluka dan
menyiapkan makanan untuk para prajurit. Tak
seorang pun menyuruh mereka berbuat demikian,
namun mereka bekerja dengan tekun, tanpa mengeluh.
"benteng kota itu pasti jatuh kalau kita kerahkan segala
kekuatan yang kita miliki." Pendapat ini dikemuka-
kan oleh Kkertoarjo jiri, salah satu resi centeng
penyerang yang datang menghadap tungguljaya.
"Korban di pihak kita terlalu banyak," ujar
tungguljaya. Ia pun sudah memikirkannya. "Kau punya
usul bagus?"
"Hamba memperoleh kesan bahwa kekuatan para
prajurit di dalam benteng kota didasarkan atas kepercayaan
bahwa mpu jengger masih berada di ibu kotanya yang
baru. Dengan mempertimbangkan hal ini, kita bisa
mundur sementara dari sini: dan mengalihkan
serangan ke loji abang dan Nirasaki. namun itu menuntut
perubahan strategi menyeluruh. Barangkali lebih baik
kita mepercayakan mereka bahwa Nirasaki sudah ber-
hasil kita rebut, dan bahwa mpu jengger sudah tewas."
tungguljaya mengangguk setuju. Pada pagi hari
pertama di Bulan Ketiga, pesan lain diikat pada
sebatang anak panah dan ditembakkan ke dalam
benteng kota.
saat mempejarinya, mpu wiraghanda hanya tertawa .
"Siasat mereka begitu mudah dibaca, seakan-akan
merupakan hasil pemikiran balita ingusan. Ini suatu
bukti bahwa musuh sudah tak sanggup melanjutkan
pengepungan."
Bunyi pesan itu sebagai bcrikut:
Pada hari ke-28 di bulan lalu, Kai dipaksa bertekuk lutut dan
Yang Mulia mpu jengger melakukan bunuh diri. Para anggota
marga yang lain menyusulnya ke akhirat, atau dijadikan
tawa nan. Sia-sialah kalian terus memperlihatkan kegagahan,
sebab benteng kota kalian kini hanya sebuah benteng kota di wilayah
penaklukan. Sebaiknya kalian segera menyerah dan mengerah-
kan tenaga kalian untuk membantu provinsi ini.
sinuhun tungguljaya
"Manis sekali. Mungkinkah mereka menganggap
siasat murahan ini sebagai seni perang?" Malam itu
mpu wiraghanda mengadakan pesta minum dan memper-
lihatkan surat tungguljaya kepada para pengikutnya.
"Kalau ada yang terbujuk oleh surat ini, dia tak perlu
ragu-ragu meninggalkan benteng kota sebelum fajar tiba."
Mereka memukul gendang, menyanyikan tembang
dari berbagai sandiwara Noh, dan menghabiskan
waktu dengan gembira. Malam itu, istri para resi
pun dipanggil dan disajikan anggur . Semuanya segera
menyadari maksud mpu wiraghanda. Keesokan paginya,
sesuai dugaan semua orang. mpu wiraghanda meraih
tombak panjang untuk dipakai sebagai tongkat
penyangga, mengikat sandal jerami ke kaki kirinya
yang bengkak terluka dalam pertempuran untuk
mempertahankan benteng kota dan berjalan pincang ke
gerbang.
Ia menyuruh semua orang berkumpul, lalu naik ke
menara gerbang yang beratap, mengamati centeng -
nya. Ia memiliki kurang-lebih seribu prajurit, tidak
termasuk mereka yang masih terlalu muda, orang-
orang tua, dan kaum wanita lesbian , namun tak satu orang
pun berkurang sejak malam sebelumnya. Sejenak ia
mcnundukkan kepala, seakan-akan berdoa dalam
hati. sebetulnya ia memang berdoa kepada arwah
ayahnya, mpu betarakatong , "Lihatlah! Kita masih punya orang-
orang seperti ini di Kai." Akhirnya ia menegakkan
kepala. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat
seluruh centeng nya.
mpu wiraghanda tidak memiliki roman wajah lebar
seperti kakaknya. sebab sudah lama menjalani
kehidupan pedesaan yang bersahaja, ia tidak
mengenal makanan mahal maupun kemewahan. Ia
diberi wajah mirip rajawal i muda yang dibesar-
kan oleh angin kencang yang bertiup di atas gunung-
gunung dan dataran Kai. Pada usia tiga puluh tiga
tahun, ia mirip ayahnya, mpu betarakatong : rambut tebal, alis
tebal, dan mulut lebar.
"Hmm, kusangka hari ini akan hujan, namun ternyata
langit tampak cerah. Dengan kembang-kembang ceri
di gunung-gunung di kejauhan, kita diberi hari yang
indah untuk menyambut kematian. Kita tentu tidak
akan mencampakkan reputasi kita sebab terjerumus
oleh imbalan duniawi. Kalian lihai sendiri, dua hari
yang lalu aku terluka dalam pertempuran. sebab
tidak leluasa bergerak, aku akan melihatlihat per-
tempuran kalian yang terakhir sambil berdiri di sini,
menunggu datangnya musuh. sesudah itu aku akan
mengakhirinya dengan berjuang sepuas hati. Jadi
majulah kalian! Keluarlah lewat gerbang depan dan
belakang, dan tunjukkan pada mereka bagaimana
kembang ceri pegunungan berguguran!"
Sorak-sorai para prajurit, yang berseru bahwa
mereka akan melaksanakan perintah itu dengan
setepat-tepatnya, mirip angin puyuh. Semua
nya menatap junjungan mereka di atas gerbang, dan
beberapa saat seruan yang sama terdengar berulang-
ulang. "Inilah perpisahan kiia!"
Masalah hidup atau mati sudah tidak dipertanya-
kan. Mereka hendak bergegas menuju kematian.
Gerbang depan dan belakang dibuka lebar oleh
orang-orang di dalam, dan seribu prajurit meng-
hambur keluar, masing-masing menyerukan teriakan
perang.
centeng penyerang dipukul mundur. Sesaat
mereka dilanda kebingungan begitu hebat, sehingga
markas tungguljaya pun sempat terancam.
"Mundur! Susun barisan!" Komandan centeng
penjaga benteng kota menanti kesempatan yang tepat, lalu
memerintahkan gerak mundur.
Para prajurit kembali ke benteng kota, masing-masing
memamerkan kepala-kepala yang berhasil dipenggal-
nya kepada mpu wiraghanda yang masih duduk di atas
gerbang.
"Aku akan masuk sebentar dan minum seteguk,
lalu segera keluar lagi," salah seorang prajurit berseru.
Dan begitulah seterusnya. Beristirahat sejenak di
gerbang depan atau belakang, lalu kembali meng-
hambur keluar dan menerjang barisan musuh anak
buah mpu wiraghanda mengulangi pola serang dan mundur
itu sebanyak enam kali, sampai empat ratus tiga
puluh tujuh kepala berhasil direbut. saat hari
hampir senja, jumlah centeng penjaga benteng kota sudah
berkurang banyak, dan mereka yang tersisa tampak
penuh luka. Hampir tak ada yang tidak terluka. Api
berkobar hebat, membakar pohon-pohon di sekeliling
benteng kota. centeng musuh sudah menerobos masuk,
mendesak dari segala arah. Tanpa berkedip
mpu wiraghanda melihatlihat para prajurit menyambut
maut.
"Tuanku! Tuanku ada di mana?" seorang pengikut
memanggil sambil berlari di sekitar gerbang.
"Aku di atas sini." mpu wiraghanda berseru, memberi-
tahu pengikutnya bahwa ia masih hidup. "Ajalku
sudah dekat. Di mana kau?" dan ia menatap ke bawah
dari kursinya. Pengikut tadi memandang sosok
junjungannya yang terselubung asap.
"Hampir semua orang kita sudah tewas. Sudahkah
tuanku mempersiapkan diri untuk bunuh diri?" ia
bertanya, tersengal-sengal menarik napas.
"Naiklah, agar kau dapat membantuku."
"Baik, tuanku." Terhuyung-huyung orang itu
berusaha menaiki tangga di dalam gerbang, namun ia tak
pernah sampai di atas. Kobaran api mulai menjilati
kaki tangga. mpu wiraghanda mendorong daun penutup
jendela yang lain dan menatap ke bawah . Semua
prajurit yang dilihatnya merupakan prajurit musuh.
lalu pandangannya beralih pada satu orang
yang bertempur dengan gagah di tengah-tengah
kerumunan musuh. Di luar dugaannya, orang itu
ternyata wanita lesbian , istri salah satu pengikutnya, dan
ia menggenggam sebatang tombak.
Walaupun mpu wiraghanda sudah bertekad mati, ia
berjuang untuk menerima perasaan tak terduga yang
tiba-tiba meliputi dirinya.
wanita lesbian itu amat pemalu. Biasanya ia bahkan
tidak berani bicara di hadapan laki-laki, apalagi
menantang mereka dengan tombak, ia berkata dalam
hati. namun kini mpu wiraghanda didesak oleh sesuatu yang
harus dilakukannya, dan dari jendela sempit tempat
ia berdiri, ia berseru kepada para prajurit musuh.
"Kalian yang bertcmpur untuk aidit dan
tungguljaya! Dengarkanlah suara kehampaan. Nobu-
naga berbangga hati di saat kemenangan ini, namun
setiap kembang ceri akan gugur, dan benteng kota setiap
penguasa akan dilalap api. Aku akan memperlihatkan
sesuatu yang takkan gugur atau terbakar sampai
kapan pun. Aku, putra kelima mpu betarakatong , mpu wiraghanda,
akan menunjukkannya pada kalian!"
saat para prajurit sinuhun akhirnya berhasil naik ke
atas gerbang, mereka mencmukan mayat dengan
perut terbelah bersilang. namun kepalanya sudah tak
ada. Sesaat lalu langit malam diterangi cahaya
merah, dan asap membubung bagaikan pilar hitam.
benteng kota Nirasaki di ibu kota baru dilanda ke-
bingungan, seakan-akan hari kiamat sudah tiba.
"benteng kota Taresi sudah ditaklukkan, dan semuanya,
termasuk adik Yang Mulia, gugur."
saat mendengar ucapan para pengikutnya.
mpu jengger seolah-olah tak tergerak sedikit pun. Meski
demikian, roman mukanya menunjukkan ia sadar
bahwa kekuatan yang dimilikinya sudah tak me-
madai, laporan berikut tiba.
"centeng sinuhun tungguljaya sudah memasuki Kai dari
Suwa, dan orang-orang kita dibantai tanpa ampun,
tak peduli apakah mereka melawan atau menyerah.
Kepala-kepala mereka dijajarkan di tepi jalan, dan
musuh menerjang ke sini bagaikan air bah."
Pesan penting lainnya menyusul. "Saudara
mpu betarakatong , si biksu buta Ryuho, ditangkap dan di-
bunuh musuh."
Kali ini mpu jengger mengangkat mata dan mencerca
musuhnya.
"centeng sinuhun tak kenal belas kasihan. Kesalahan
apa yang bisa mereka tuduhkan pada seorang biksu
buta? Bagaimana mungkin dia memiliki kekuatan
untuk melawan mereka ?" Kini ia dapat merenungkan
kematiannya sendiri secara lebih mendalam. Ia meng-
gigit bibir dan menekan gelombang perasaan yang
menggelora di lubuk hatinya. Kalau aku melampias-
kan kemarahanku seperti ini, pikirnya, mereka
mungkin menyangsikan ketabahanku, dan para
pengikut di sekitarku pun terpaksa menahan malu.
Tak sedikit yang memandang mpu jengger hanya dari
luar, dan menganggapnya berani, bahkan kasar. namun
sebetulnya ia sangat berhati-hari dalam memper-
lakukan para pengikutnya. Ditambah lagi, ia ber-
pegang teguh pada prinsip-prinsip yang dianutnya
pada kehormatannya sebagai penguasa provinsi dan
pada sikap mkertoarjo s diri. Ia sudah melanjutkan tradisi
mpu betarakatong dan belajar dasar-dasar Zen dari Kaisen.
Namun, meski ia memiliki guru yang sama dan
sama-sama menekuni Zen, ia tak sanggup meng-
hidupkannya sepert mpu betarakatong .
Bagaimana benteng kota Taresi bisa ditaklukkan?
Seharusnya benteng kota itu bisa bertahan dua dongeng gu
lagi, bahkan satu bulan, pikir mpu jengger . Ini
menunjukkan bahwa bencana ini bukan akibat
kesalahan dalam menyusun strategi pertahanan,
melainkan akibat ketidakmatangan. Kini, tanpa
memandang bagaimana wataknya, mpu jengger terpaksa
menerima nasib.
Dinding-dinding pemisah sudah dikeluarkan dari
ruang pertemuan yang luas, bahkan dari ruang-ruang
di sisi luar benteng kota utama, dan seluruh marga kini
tinggal bersama-sama, seperti pengungsi yang melari-
kan diri dari bencana yang berlangsung siang-malam.
Tirai-tirai dipasang bahkan di pekarangan, perisai-
perisai dijajarkan, dan para prajurit bertugas tanpa
sempat memejamkan mata, membawa lampion besar,
dan berpatroli pada malam hari. Setiap jam para kurir
yang membawa kabar mengenai perkembangan ter-
akhir dibawa langsung dari pintu masuk melalui
gerbang utama ke pekarangan, agar mpu jengger dapat
menyimak laporan mereka. Segala sesuatu yang meru-
pakan bagian dari pembangunan tahun lalu bau
kayu yang masih baru, perhiasan emas dan perak,
keindahan perabot dan perlengkapan kini hanya
terasa mengganggu.
Diikuti seorang pelayan wanita, sambil mengikat
ujung jubah nya, seorang dayang meninggalkan
hiruk-pikuk di pekarangan dan memasuki ruang
pertemuan yang gelap. Tanpa ragu ia memandang
sekelilingnya. Saat itu ruangan itu dipenuhi oleh
para resi , baik tua maupun muda, dan semuanya
berlomba-lomba memberikan pendapat mengenai
langkah berikut yang harus diambil.
Akhirnya wanita lesbian itu menghadap mpu jengger
dan menyampaikan pesan istrinya. "Semua perem-
puan hanya berdiri sambil meratap, dan mereka tak
mau berhenti, walau kami sudah berusaha menenang-
kan mereka. Tuan Putri berkata bahwa saat terakhir
hanya datang satu kali, dan menurut beliau mereka
mungkin bisa lebih ta seandainya diperkenankan
hadir di sini bersama para centeng adipati . Jika Yang Mulia
mengizinkan, Tuan Putri akan segera pindah ke sini.
Bagaimana kehendak Yang Mulia?"
"Boleh saja," mpu jengger menjawab cepat-cepat.
"bawa istriku ke sini, juga mereka yang masih kecil-
kecil,
Pada saat itu, pewaris mpu jengger yang berusia lima
belas tahun, raden karto Nobukatsu, melangkah maju dan
berusaha mencegahnya. "Ayah, bukankah itu tidak
berguna?"
mpu jengger berpaling pada putranya, bukan dengan
gusar, melainkan sambil memikirkan sesuatu dengan
gelisah. "Kenapa?"
"Kalau wanita lesbian -wanita lesbian itu dibawa ke sini,
mereka hanya akan menghalangi para centeng adipati . Dan
kalau para laki-laki melihat mereka meratap-ratap,
centeng adipati yang paling gagah pun mungkin patah
semangat." raden karto masih balita , namun ia berkeras mem-
berikan pendapatnya. Ia berkata bahwa Kai merupa-
kan tanah leluhur mereka sejak zaman Shinra Saburo,
dan seharusnya tetap begitu sampai saat terakhir,
walaupun untuk itu mereka harus bertempur dan
menyerahkan nyawa . Meninggalkan Nirasaki dan
melarikan diri, seperti yang baru saja diusulkan oleh
salah satu resi , hanya akan membawa aib kepada
marga mpu ireng .
Salah seorang resi membantah. "Bagaimana-
pun, musuh sudah mendesak dari keempat sisi, dan
loji abang terletak di sebuah cekungan. Sekali musuh
menyerbu, mereka akan bergerak bagaikan air yang
mengalir ke danau. Bukankah lebih baik kita
menyelamatkan diri ke Agatsuma di Joshu? Jika Yang
Mulia bisa mencapai Pegunungan Mikuni, ada
banyak provinsi tempat Yang Mulia mungkin men-
dapat suaka. Dan begitu Yang Mulia mengumpulkan
para sekutu, Yang Mulia tentu dapat merebut
kembali tanah Kai dari tangan para penyerbu."
Nagasalta Chokan sependapat, dan mpu jengger pun
cenderung ke arah itu. Ia menatap raden karto dan diam
sejenak. lalu ia berpaling kepada dayang tadi
dan berkata, "Kita akan pergi ."'
Dengan demikian, saran raden karto ditolak oleh ayah-
nya. raden karto berbalik sambil membisu dan menunduk-
kan kepala. Pertanyaan yang belum terjawab tinggal
apakah mereka sebaiknya melarikan diri ke Agatsuma
atau mendirikan kubu di daerah Gunung Iwadono.
namun rute mana pun yang mereka pilih, meninggalkan
ibu kota yang baru dan melarikan diri merupakan
suratan takdir yang tak terelakkan, dan baik mpu jengger
maupun para resi nya sudah me-nerimanya sebagai
kenyataan.
Hari itu hari ketiga di Bulan Ketiga, hari di saat
mpu jengger ditambah para pengikutnya biasa mengadakan
Perayaan Roneka di benteng kota dalam. namun pada hari
yang cerah ini seluruh marga dikejar-kejar asap hitam
saat meninggalkan Nirasaki. mpu jengger , tentu saja,
juga turut dan , sama halnya dengan semua centeng adipati
yang mengabdi padanya. namun saat ia berbalik dan
memandang rombongannya, roman mukanya
menunjukkan keheranan.
"Hanya ini?" ia bertanya. Entah kapan, beberapa
pengikut senior dan bahkan kerabatnya sendiri meng-
hilang. mpu jengger diberitahu bahwa mereka me-
manfaatkan kekacauan dalam kegelapan menjelang
fajar, dan melarikan diri ke benteng kota masing-masing
bersama para pengikut mereka.
"raden karto?"
"Aku di sini, Ayah." raden karto mendekatkan kudanya
ke sosok ayahnya yang menyendiri. Dengan meng-
hitung semua pengikut, centeng adipati biasa, dan para
prajurit infanteri, kekuatan mereka kurang dari
seribu orang. Namun tandu-tandu untuk istri
mpu jengger dan para dayang tampak berderet-deret,
dan wanita lesbian -wanita lesbian bercadar, baik yang ber-
jalan kaki maupun yang menunggang kuda, meme-
nuhi jalan.
"Oh! benteng kotanya terbakar!"
"Lidah apinya menjilat langit!"
Kaum wanita lesbian nyaris tak sampai hati untuk
pergi, dan saat baru berjalan beberapa mil dari
Nirasaki, mereka menoleh sambil terus melangkah.
Api dan asap hitam membubung tinggi di langit pagi,
menyelubungi benteng kota di ibu kota baru. Mereka sudah
membakarnya pada waktu fajar.
"Aku tak ingin hidup lama," kata salah seorang di
antara mereka. "Seperti apa masa depan yang akan
kulihat nanti? Inikah akhir dari marga Yang Mulia
mpu betarakatong ?" resi dayang yang juga bibi mpu jengger , gadis lesbian
menawan yang merupakan cucu mpu betarakatong , istri-istri
para anggota marga dan para dayang mereka semua-
nya berurai air mata, saling merangkul sambil
menangis, memanggil-manggil nama anak-anak
mereka. Tusuk konde yang terbuat dari emas dan perhiasan lainnya ditinggalkan di jalan, dan tak seorang
pun berusaha memungutnya. Berbagai perhiasan dan
alat kecantikan berlumuran lumpur, namun tak ada
yang menyayangkannya.
"Bergegaslah! Kenapa kalian menangis? Inilah yang
dinamakan kehidupan. Kalian hanya mempermalu-
kan diri di hadapan para petani!" mpu jengger berkuda
di antara usungan dan tandu yang bergerak lambat. Ia
mendesak, memacu mereka ke arah rimur.
Dengan harapan mencapai benteng kota dwaradwipa
Nobushige, mereka memandang benteng kota lama di
loji abang saat melewatinya, namun mereka hanya bisa
terus berjalan menuju pegunungan. Dalam per-
jalanan, para pengusung tandu berangsur-angsur
menghilang, para kuli yang memanggul barang-barang
bawa an kabur satu per satu, dan rombongan itu
makin mengecil. Pada waktu memasuki daerah
pegunungan di dekat Katspanarukan , kekuatan mereka
tinggal dua ratus orang, dan kurang dari dua puluh
orang yang menunggang kuda, termasuk mpu jengger
dan putranya. saat mpu jengger dan para pengikutnya
dengan susah payah berhasil mencapai Desa
Komagai, mereka menemukan bahwa satu-satunya
orang yang menjadi tumpuan harapan mereka tiba-
tiba berubah pikiran.
"Carilah suaka di tempat lain!" Dengan meng-
halangi jalan ke Sasago, dwaradwipa Nobushige me-
nolak kedatangan rombongan mpu jengger . mpu jengger ,
putranya, dan seluruh anggota rombongan habis akal.
Tak ada yang dapat mereka lakukan selain berganti
arah, dan kini mereka menuju Tago, sebuah desa di
kaki Gunung Temmoku. Musim semi sudah mencapai
puncaknya, namun gunung-gunung dan ladang-ladang,
sejauh mata memandang, tidak menjanjikan keten-
teraman maupun harapan. Kini rombongan kecil
yang masih tersisa sepenuhnya mempercayakan nasib
pada mpu jengger . Namun mpu jengger sendiri sudah habis
akal. Sambil berimpit-impitan di Tago, para pengikut-
nya menunggu dalam keadaan bingung, diterpa angin
pegunungan.
centeng gabungan sinuhun dan prabu kertoarjowardana memasuki Kai
bagaikan gelombang mengamuk. Di bawah pimpinan
kertoraharja , centeng mpu mojosongo maju dari blambangan bu ke
ki kertoarjo guchi. sinuhun tungguljaya menyerang Suwa
bagian atas, membakar Kuil Suwa Myojin dan se-
jumlah kuil zoroaster . Ia membumihanguskan rumah-
rumah penduduk di sepanjang jalan sambil mengejar-
ngejar prajurit musuh yang selamat, terus maju siang-
malam ke arah Nirasaki dan loji abang . Pada pagi hari
kesebelas di Bulan Ketiga, saat penghabisan pun tiba.
Salah satu pembantu pribadi mpu jengger menyelinap
ke desa pada malam sebelumnya, dan kembali sesudah
mengintip posisi musuh. Pagi itu, dengan napas ter-
sengal-sengal ia memberikan laporan pada majikan-
nya.
"Barisan depan centeng sinuhun sudah memasuki desa-
desa di sekitar sini. Rupanya mereka diberi tahu oleh
para penduduk bahwa tuanku ditambah seluruh kerabat
ada di sini. Tampaknya orang-orang sinuhun sudah
mengepung daerah ini dan memutuskan semua
jalan, dan sekarang mereka sedang bergerak kemari."
Rombongan mpu jengger kini hanya berjumlah
sembilan puluh satu orang keempat puluh satu
centeng adipati yang masih tersisa ditambah mpu jengger dan
putranya, dan istri mpu jengger dengan para dayang.
Pada hari-hari sebelumnya, mereka berlindung di
sebuah tempat bernama Mirayashiki, bahkan sempat
mendirikan pagar kayu runcing. namun saat mereka
mendengar laporan itu, masing-masing menyadari
bahwa saatnya sudah tiba, dan mereka segera menyiap-
kan diri untuk menghadapi kematian. Di tengah-
tengah mereka, istri mpu jengger duduk, seakan-akan
masih berada di kediamannya di benteng kota dalam.
Wajahnya mirip kembang putih saat ia
menatap dengan pandangan kosong. wanita lesbian -
wanita lesbian di sekelilingnya mencucurkan air mata.
"Jika akhirnya memang harus begini, lebih baik
kita tinggal saja di benteng kota baru di Nirasaki. Betapa
memilukan. Pantaskah istri pemimpin marga mpu ireng
tampak seperti ini?"
wanita lesbian -wanita lesbian ini bertangis-tangisan dan
berkeluh kesah tanpa henti.
mpu jengger menghampiri istrinya dan mendesaknya
untuk pergi, "Aku baru menyuruh pembantuku
mengambilkan kuda untukmu. Walaupun kita tinggal
di sini untuk waktu lama, penyesalan kita takkan
pernah berakhir, dan sekarang centeng musuh sudah
mulai mengepung. Kudengar kita tak jauh dari
Sagami, jadi sebaiknya kau segera pergi ke sana.
Lintasilah pegunungan dan kembalilah pada marga
Hojo," Mata istrinya berkaca-kaca, namun ia tidak
beranjak. Sepertinya ia justru menyesalkan kata-kara
suaminya.
"Tsuchiya! Tsuchiya Uemon!" mpu jengger me-
manggil, menyuruh seorang pengikut mendekat.
"Naikkan istriku ke atas kuda."
Orang itu menghampiri istri mpu jengger , namun
wanita lesbian itu tiba-tiba berpaling pada suaminya dan
berkata, "Kata orang, centeng adipati sejati tak mungkin
memiliki dua majikan. Begitu juga kalau seorang
wanita lesbian sudah memiliki suami, tidak seharusnya
dia kembali pada keluarganya. Meskipun dilandasi
belas kasihan, ucapan yang mcnyuruhku kembali ke
sinuhun wara seorang diri terasa begitu dingin. Takkan
kutinggalkan tempat ini. Aku akan mendampingi
suamiku sampai saat terakhir. lalu , mungkin
kita dapat bersama-sama menuju akhirat." Pada saat
itulah dua pengikut melaporkan bahwa musuh sudah
mendekat.
"Mereka sudah sampai di kuil perbukitan."
Istri mpu jengger segera menegur para pembantunya,
sebab mereka mulai meratap-ratap. "Tak ada waktu
untuk apa pun selain berduka. Bantulah mempersiap-
kan segala sesuatu."
wanita lesbian ini belum berusia dua puluh tahun,
namun ia tidak kehilangan keanggunannya, meski maut
sudah berada di depan mata. Ia setenang air di kolam
dalam, dan mpu jengger merasa ditegur oleh ketenangan
yang diperlihatkannya.
Para dayang pergi, namun segera kembali dengan
membawa baskom tanpa upaman dan sebotol anggur ,
lalu meletakkan keduanya di hadapan mpu jengger dan
putranya. Rupanya istrinya sudah bersiap-siap meng-
hadapi saat ini. Tanpa berkata apa-apa, ia menkertoarjo r-
kan baskom pada suaminya. mpu jengger meraih baskom
itu, minum seteguk, lalu menyerahkannya pada
putranya. lalu ia berbagi isinya dengan istrinya.
"Tuanku, untuk kakak-adik Tsuchiya," ujar istrinya.
"Tsuchiya, kau harus mengucapkan selamat tinggal
selama kita masih di dunia ini."
"Tsuchiya raden bobo gigolo , pembantu pribadi mpu jengger , dan
kedua adik laki-lakinya sudah membaktikan hidup
bagi junjungan mereka. raden bobo gigolo berusia dua puluh enam
tahun, adik keduanya dua puluh dua tahun, dan yang
paling kecil baru 9 belas tahun. Bersama-sama
mereka melindungi junjungan mereka yang malang
dengan setia di sepanjang jalan, sejak jatuhnya ibu
kota baru sampai ke pertahanan terakhir di Gunung
Temmoku.
"Kalau begini, hamba dapat pergi tanpa
penyesalan." sesudah mereguk habis isi baskom yang
diterimanya. raden bobo gigolo berbalik dan menatap kedua
adiknya sambil tersenyum. lalu ia berpaling
pada mpu jengger dan istrinya. "Kemalangan Yang Mulia
kali ini sepenuhnya akibat pembelotan kerabat Yang
Mulia. Selama ini Yang Mulia dan Tuan Putri tentu
risau hati dan was-was sebab harus menjalani semua
ini tanpa mengetahui isi hati orang-orang. namun dunia
tidak hanya berisi orang-orang seperti mereka yang
mengkhianati Yang Mulia. Paling tidak, di saat ter-
akhir ini, semua yang mengelilingi tuanku sudah
menyatu dalam jiwa dan raga. Kini Yang Mulia dapat
melalui gerbang kematian dengan kepala tegak dan
lapang dada." raden bobo gigolo meluruskan badan dan berjalan
menghampiri istrinya yang berada bersama para
dayangnya.
Tiba-tiba terdengar pekikan balita cilik yang
menyayat hati, dan mpu jengger berseru dengan kalut.
"raden bobo gigolo ! Apa yang kaulakukan?"
raden bobo gigolo sudah menikam putranya yang berusia empat
tahun di depan mata istrinya, dan kini wanita lesbian itu
tersedu sedan. Tanpa meletakkan pedangnya yang
berlumuran darah, dari jauh raden bobo gigolo bersujud ke arah mpu jengger .
"Sebagai bukti ucapan hamba, hamba baru saja
mengirim putra hamba mendahului kita di jalan
kematian. Kalau tidak, dia tentu hanya akan menjadi
beban. Tuanku, hamba akan menyertai tuanku; entah
hamba akan menjadi yang pertama atau yang
terakhir, semuanya akan selesai dalam sekejap."
Betapa sedih melihat kembang-kembang
Yang kutahu akan gugur
Beranjak mendahului ku.
Tak satu pun bertahan
Sampai musim semi berakhir.
Sambil menutupi wajah dengan lengan jubah ,
istri mpu jengger menembangkan bait-bait ini dan
menangis. Salah satu dayangnya menahan air mata dan melanjutkan.
Tatkala mekar
Jumlahnya tak terhitung
Namun seiring akhir musim semi
Semuanya gugur, tak satu pun tersisa.
saat suaranya bertambah lemah, beberapa
wanita lesbian mencabut belati dan menikam dada atau
tenggorokan masing-masing. Darah mengalir mem-
basahi rambut mereka yang hitam. Tiba-tiba sebatang
panah melesat, dan tak lama lalu daerah sekitar
mereka dihujani anak panah. Letusan senapan meng-
gema di kejauhan.
"Mereka datang!"
"Bersiaplah, tuanku!"
Para prajurit bangkit bersama-sama. Kaisuyori me-
mandang putranya, memastikan ketetapan hati raden karto.
"Kau siap?"
raden karto berdiri dan membungkuk. "Aku siap mati di
sisi Ayah."
"Saat perpisahan sudah tiba." saat ayah dan anak
hendak menerjang barisan musuh, istri mpu jengger ber-
seru dari belakang. "Aku akan pergi lebih dahulu ."
mpu jengger berdiri tak bergerak. Pandangannya ter-
tuju pada istrinya. Sambil menggenggam sebilah
pedang pendek, wanita lesbian itu menengadah dan me-
mejamkan mata. Wajahnya seputih dan sesempurna
rembulan yang tampak di atas gunung. Dengan
tenang ia menembangkan sebuah bait dari Sutra
Lotus, yang dahulu suka ditembangkannya.
"Tsuchiya! Tsuchiya!" mpu jengger memanggil.
"Tuanku?"
"Bantu dia."
namun istri mpu jengger tidak menanti pedang laki-laki
itu, dan menancapkan belatinya ke dalam mulut
sambil terus menembang.
Begitu sosok wanita lesbian itu roboh ke depan, salah
satu dayang mengajak mereka yang tertinggal. "Tuan
Putri sudah mendahului kita. Kita semua harus
menyertainya di jalan kematian." Dengan kata-kata
itu, ia menikam tenggorokannya dan roboh.
"Waktunya sudah riba." Sambil menangis dan
saling memanggil, dalam sekejap kelima puluh
wanita lesbian itu bertebaran seperti bunga-bunga di
pekarangan yang diterpa badai musim dingin. Mereka
tergeletak menyamping atau menelungkup, atau
menikam diri sambil berpelukan. Di tengah-tengah
adegan menyedihkan ini terdengar tangis anak-anak
yang belum diberi makan atau terlalu kecil untuk
meninggalkan pangkuan ibu mereka.
Tergesa-gesa raden bobo gigolo menaikkan empat wanita lesbian
ditambah anak-anak ke atas kuda dan mengikat mereka
ke pelana.
"Kalian takkan dianggap durhaka jika kalian tidak
gugur di sini. Kalau kalian berhasil menyelamatkan
diri, besarkanlah anak-anak kalian dan centeng
mereka mengadakan upacara peringatan bagi marga
bekas junjungan mereka yang malang." raden bobo gigolo
memarahi para ibu yang meratap-ratap bersama anak-
anak, lalu memukul ketiga kuda mereka dengan
gagang tombaknya. Kuda-kuda itu segera berlari
kencang, sementara para ibu dan anak-anak mereka
terisak-isak dan meraung-raung.
lalu raden bobo gigolo berpaling pada kedua adiknya.
"Mari kita hadapi." Pada waktu itu mereka sudah
dapat melihat wajah para prajurit sinuhun yang mendaki
lereng gunung. mpu jengger dan putranya sudah di-
kepung musuh. saat raden bobo gigolo bergegas untuk mem-
bantu mereka, ia melihat salah seorang pengikut
junjungannya melarikan diri ke arah berlawan an.
"Pengkhianat!" raden bobo gigolo berseru, mengejar orang itu.
"Mau ke mana kau?" Dan ia menikam orang itu dari
belakang. lalu , sambil membersihkan darah
yang menempel pada pedangnya, ia menerjang
barisan musuh.
"Aku perlu busur lagi! raden bobo gigolo , berikan busur baru
padaku!" Sudah dua kali tali busur mpu jengger putus,
dan kini ia meraih busur baru. raden bobo gigolo berdiri di sisi
junjungannya, melindunginya sebaik mungkin.
sesudah mpu jengger melepaskan semua anak panahnya,
ia mencampakkan busur dan memungut tombak.
lalu mengacungkan pedang panjang. saat itu
musuh sudah berada di depan matanya, dan per-
tempuran pedang melawan pedang takkan ber-
langsung lama.
"Inilah akhir perjalanan kita!"
"Yang Mulia mpu jengger ! Yang Mulia raden karto! Hamba
akan mendahului Yang Mulia berdua!"
Sambil saling memanggil, orang-orang mpu ireng yang
masih tersisa pun diempaskan musuh. Baju tempur
mpu jengger penuh bercak merah.
"raden karto!" Ia memanggil putranya, namun pandangannya
kabur sebab cucuran darahnya sendiri.
"Yang Mulia! Hamba masih di sini! raden bobo gigolo masih di
sisi tuanku!"
"raden bobo gigolo , cepat aku akan melakukan seppuku."
Sambil bersandar pada bahu orang itu, mpu jengger
mundur sekitar seratus langkah. Ia berlutut, namun
sebab tubuhnya penuh luka tombak dan pedang, ia
tak sanggup mempergunakan kedua tangannya.
Semakin keras ia berusaha, semakin sedikit tangannya
berfungsi.
"Ampunilah hamba." Tak kuasa melihatlihat nya
lebih lama. raden bobo gigolo cepat-cepat bertindak dan me-
menggal kepala junjungannya. saat mpu jengger
roboh ke depan, raden bobo gigolo meraih kepalanya dan meratap
sedih.
sesudah menyerahkan kepala mpu jengger pada
adiknya yang terkecil, raden bobo gigolo menyuruhnya lari. namun ,
sambil berurai air mata, anak muda itu menegaskan
bahwa ia akan mati bersama kakaknya.
"Bodoh! Pergi sekarang!" raden bobo gigolo mendorongnya, namun
terlambat. Para prajurit musuh yang mengepung
mereka mirip lingkaran besi. Dengan tubuh
penuh luka akibat pedang dan tombak, kedua
Tsuchiya bcrsaudara gugur dengan gagah.
Adik raden bobo gigolo yang satu lagi dari awal sampai akhir
terus berada di sisi putra mpu jengger . Kedua-duanya
tercampak dan terbunuh pada saat yang sama. raden karto
dipandang sebagai pemuda tampan, dan penulis
Riwayat Hidup aidit pun, yang tidak memper-
lihatkan simpati saat menceritakan kematian marga
mpu ireng , menyanjung kematiannya yang indah.
sebab baru berusia lima belas tahun dan berasal
dari keluarga terpandang, wajah raden karto sangat halus
dan kulitnya putih bagaikan salju. Kegagahannya
melebihi orang-orang lain, ia enggan mencemari
nama keluarga, dan mempertahankan semangat ini
sampai kematian ayahnya,
Pada Jam Ular, pertempuran itu usai. Itulah saat
marga mpu ireng terhapus dari muka bumi.
Para prajurit sinuhun yang menyerbu brantas dan Ina
berkumpul di Suwa, dan akhirnya memadati kota itu.
Markas aidit terletak di Kuil Hoyo. Pada hari
kedua puluh sembilan, pengumuman mengenai pem-
berian penghargaan untuk seluruh centeng ditempel-
kan di gerbang kuil, dan keesokan harinya aidit
dan resi -resi nya mengadakan jamuan makan
untuk merayakan kemenangan-kemenangan mereka.
"Sepertinya Tuan tunggadewa minum cukup banyak
hari ini. Tidak biasanya Tuan berbuat demikian,"
danakertoarjo ngabeni berkata pada laki-laki yang
duduk di sebelahnya.
"Aku mabuk, namun apa yang harus kulakukan?"
tunggadewa memang kelihatan mabuk, dan ini bukan
pemandangan biasa. Wajahnya, yang oleh aidit
kerap disamakan dengan buah jeruk, tampak merah
sampai ke garis rambut yang sudah mulai mundur.
"Bagaimana kalau satu baskom lagi?" Sambil minta
tambah anggur , tunggadewa terus berbicara dengan sikap
riang berlebihan. "Kita takkan sering mengalami
kejadian menggembirakan seperti ini, meskipun kita
berumur panjang. Coba lihat itu. Kita memperoleh
hasil dan jerih payah selama bertahun-tahun bukan
hanya di balik tembok-tembok ini atau hanya di
Suwa kini Kai maupun Shinano sudah terbenam di
bawah panji dan pataka sekutu-sekutu kita. Hasrat
yang begitu lama tersimpan dalam dada akhirnya ter-
wujud di depan mata." Suaranya, seperti biasa, tidak
seberapa keras, namun kata-katanya terdengar cukup
jelas oleh setiap orang yang hadir. Semua orang yang
semula berbincang-bincang dengan berisik kini ter-
diam, memandang bolak-balik antara aidit dan
tunggadewa .
Pandangan aidit melekat pada kepala
tunggadewa yang botak. Ada kalanya mata yang terlalu
jeli menemukan keadaan sumbang yang sebaiknya
dibiarkan terselubung; ini mengundang bencana yang
tak perlu. Sudah dua hari aidit memandang
tunggadewa dengan cara seperti itu. tunggadewa
berusaha keras menampilkan sikap ceria dan banyak
omong yang sebetulnya tidak cocok baginya,
padahal menurut aidit , tunggadewa sama sekali
tak punya alasan untuk berbuat demikian. Sikap
aidit bukannya tanpa sebab; dalam memberi
penghargaan, tunggadewa sengaja dilewatinya.
Diabaikan dalam pemberian penghargaan merupa-
kan pukulan berat bagi seorang prajurit, dan rasa
malu sebab dianggap tak berjasa bahkan lebih
menyiksa dibandingkan perlakuan kasar itu sendiri.
Namun tunggadewa tak sedikit pun memperlihatkan
kesedihan. Justru sebaliknya, ia bergabung dengan
para resi lain, mengobrol dengan gembira dan
mengumbar senyum.
Itu tidak jujur. tunggadewa termasuk laki-laki yang
tak sanggup membuka diri sepenuhnya dan kurang
disukai orang. Kenapa ia tak bisa menggerutu, sekali
saja? Semakin lama aidit memandang
tunggadewa , semakin panas hatinya. Perasaannya ter-
pengaruh sebab ia sedang mabuk, namun reaksinya
muncul dengan sendirinya. patih ronggolawe tidak hadir,
namun seandainya aidit menatap patih ronggolawe ,
bukannya tunggadewa , ia takkan terpancing untuk
berpikiran seperti itu. Kalau berhadapan dengan
mpu mojosongo pun ia tak mungkin segusar sekarang. namun
saat ia melihat tunggadewa , sorot matanya mendadak
berubah. dahulu tidak seperti ini, dan ia tidak tahu
pasti kapan perubahan ini terjadi.
namun ini bukan masalah perubahan mendadak
pada waktu atau kesempatan tertentu. Dan
sebetulnya , kalaupun hendak dicari-cari, orang
akan menemukan bahwa pada suatu saat sebab
rasa terima kasih yang berlebihan aidit mem-
percayakan benteng kota sekartanjung pada tunggadewa , mem-
berikan benteng kota di Kameyama padanya, mengatur
pernikahan putrinya, dan akhirnya menganugerahkan
provinsi senilai lima ratus ribu gantang.
Kala itu aidit amat bermurah hati terhadap
tunggadewa , namun tak lama lalu sikapnya mulai
berubah. Dan untuk itu ada satu sebab yang jelas:
Pembawa an dan warak tunggadewa tidak menunjuk-
kan kesediaan untuk mengubah diri. Setiap kali
aidit melihat gilapan di bawah garis rambut si
"Kepala Jeruk" yang tak pernah membuat kesalahan,
walau hanya satu kali, perasaan aidit terarah
pada apa yang dianggapnya sebagai sisi buruk watak
tunggadewa . Hatinya serasa terbakar.
Jadi, aidit tidak sewenang-wenang meng-
hakimi tunggadewa , melainkan tunggadewa sendiri yang
memperburuk keadaan. Kedongkolan aidit ,
yang tercermin dalam ucapan dan roman mukanya,
semakin menumpuk setiap kali tunggadewa memamer-
kan daya pikirnya yang cemerlang. sebetulnya ,
mencari siapa yang salah tak ubahnya menentukan
apakah tangan kiri atau tangan kanan yang bertepuk
lebih dahulu . Dan kini tunggadewa sedang berbincang-
bincang dengan danakertoarjo ngabeni, sedangkan
sepasang mata yang terus menatapnya sama sekali
tidak menyorot gembira.
Miisuhide menyadarinya, dan aidit tiba-tiba
bangkit dari tempat duduknya.
"Hei. Kepala Jeruk."
tunggadewa mengendalikan diri dan bersujud di
depan kaki aidit . Dua-tiga kali ia merasakan
rusuk-rusuk sebuah kipas mengenai tengkuknya.
"Ya, tuanku?" Wajah tunggadewa tiba-tiba memucat.
"Enyahlah dari ruangan ini!" aidit meng-
angkat kipasnya, namun kipas yang menuding ke selasar
tampak persis seperti sebilah pedang.
"Hamba tidak tahu apa yang sudah hamba perbuat,
namun jika hamba menyinggung Yang Mulia dan para
hadirin, hamba tidak tahu ke mana hamba harus ber-
paling. Sudikah Yang Mulia menguraikan kesalahan
hamba? Hamba tidak keberatan dicela di sini juga."
Sambil memohon maaf, ia tetap bersujud, menggeser-
geser badannya, dan entah bagaimana merangkak ke
scrambi yang lebar.
aidit mengikutinya. Orang-orang yang
memenuhi ruangan bertanya-tanya, apa gerangan
masalahnya. Pikiran mereka segera kembali jernih,
dan mulut mereka terasa kering. saat mendengar
bunyi gedebuk dari serambi berlantai kayu, para
resi yang semula memalingkan wajah dari sosok
tunggadewa yang mengibakan pun kembali me-
mandang ke luar ruangan.
aidit sudah melcmparkan kipasnya ke
belakang. Para resi melihat bahwa ia sedang men-
jambak rambut tunggadewa . Setiap kali laki-laki malang
itu berusaha mengangkat kepala untuk mengatakan
sesuatu, aidit menyentakkannya dan mem-
benturkannya ke pagar serambi.
"Apa katamu? Apa kaubilang? Sesuatu mengenai
hasil yang kita peroleh sesudah segala jerih payah, dan
bahwa hari ini hari bahagia sebab centeng marga
sinuhun sudah menaldukkan Kai? Itu yang kaukatakan.
bukan?"
"Be... benar."
"Bodoh! Sejak kapan kau berjerih payah? Apa
jasamu dalam penyerbuan ke Kai?"
"Hamba ..."
"Apa?"
"Meski mabuk, tak sepatutnya hamba mengucap-
kan kata-kata secongkak itu."
"Betul sekali. Kau tak berhak bersikap congkak.
Kau sembrono dengan apa yang kausembunyikan di
dalam benakmu. Kaupikir aku terlalu sibuk minum
dan mendengarkan orang lain, sehingga kau merasa
memperoleh keecmpatan untuk mengeluh."
"Ampun, tuanku! Hamba tidak berpikiran
demikian. Para dewa langit dan bumi menjadi saksi!
Sudah begitu lama hamba menerima kebaikan hati
Yang Mulia. Yang Mulia-lah yang mengangkat harkat
hamba sejak hamba masih berpakaian compang-
camping dan hanya memiliki scbilah pcdang..."
"Diam!
"Perkenankanlah hamba menarik diri."
"Tentu!" aidit mencampakkannya. "Ran-
maru! Air!" ia berseru keras-keras. mpu salmah mengisi
sebuah bejana dengan air dan memberikan nya pada
aidit . saat aidit mereguk air itu, sorot
matanya menyala-nyala.
tunggadewa sudah bergeser sejauh dua atau tiga
meter dari kaki junjungannya, merapikan baju, dan
mengusap-usap rambut. Ia bersujud begitu rendah,
sehingga dadanya menempel di lantai kayu. Sikap
tunggadewa memberi kesan yang tidak menguntung-
kan, dan aidit segera mulai mengejarnya lagi.
Seandainya mpu salmah tidak menahannya, kemung-
kinan besar lantai serambi akan bergetar lagi.
mpu salmah tidak secara langsung menyinggung adegan
yang berlangsung di depan matanya, melainkan hanya
berkata. "Sudikah tuanku kembali ke tempat duduk
tuanku? Yang Mulia tungguljaya, Yang Mulia
Nobusumi, Yang Mulia Niwa, dan para resi
menunggu."
aidit menurut dan kembali ke ruangan yang
ramai, namun tidak duduk. Sambil berdiri ia menatap
berkeliling,
"Maafkan aku. Sepertinya aku sudah merusak
suasana. Nikmatilah makanan dan minuman sepuas
hati." sesudah mengucapkan kata-kata ini, ia cepat-
cepat berlalu dan mengunci diri di ruang pribadinya.
Segerombolan burung layang-layang mengerik di bawah
lis atap di daerah pergudangan. Walaupun matahari
sedang terbenam, burung-burung dewasa rupanya
masih membawa kan makanan bagi anak-anak
mereka.
"Itu bisa dijadikan objek lukisan, bukan?" Di salah
satu ruangan sebuah bangunan yang terletak agak
jauh dari pekarangan yang luas, pangeran wiropati ,
seorang pengikut senior marga tribuana , sedang
menerima tamu. Tamu itu bernama Yoshu, dan ia
bukan penduduk asli Suwa. Usianya sekitar lima
puluh tahun, dan pertemananya yang kekar tidak
mencerminkan bahwa ia pelukis. Ia hanya sedikit
bicara. Suasana temaram mulai meliputi deretan
gudang.
"Hamba minta maaf sebab sudah mengganggu
Tuan di masa perang seperti ini, dan hanya mem-
bicarakan urusan membosankan seorang laki-laki
yang tak lagi terlibat dengan dunia ini. Hamba percaya
Tuan tentu sibuk dengan berbagai tugas penting."
Yusho rupanya hendak berpamitan dan mulai
bangkit.
"Jangan dahulu ." pangeran wiropati laki-laki yang
sangat berwibawa , dan bahkan tanpa bergerak ia
menahan tamunya.
"sebab Tuan sudah jauh-jauh kemari, rasanya
tidak patut kalau Tuan pergi sebelum menemui Yang
Mulia tunggadewa . Jika sesudah Tuan pergi aku mem-
beritahu Yang Mulia bahwa Yusho sempat ber-
kunjung saat beliau sedang tidak ada, beliau tentu
akan menegurku dan bertanya kenapa aku tidak
menahan Tuan di sini." Dan dengan sengaja ia
menyinggung topik baru, berusaha menghibur tamu
tak terduga itu. Saat itu Yusho memiliki rumah di
trowulan , namun sebetulnya ia berasal dari gunungselatan di provinsi
tunggadewa . Bukan itu saja, pada suatu saat , Yusho
sempat menerima upah prajurit dari marga pangeran di
blambangan . Pada waktu itu wiropati lama sebelum ia
menjadi pengikut marga tribuana mengabdi marga
pangeran.
sesudah menjalani hidup sebagai adipati , Yusho men-
jadi seniman, menunjuk jatuhnya padalarang sebagai alasan.
wiropati pun sudah memutuskan hubungan
dengan marga pangeran. Perpecahan yang muncul antara
wiropati dan bekas-bekas junjungannya bahkan
diperlihatkan di depan aidit , dan pertengkaran
terus berlangsung, seakan-akan mereka minta pen-
dapat aidit . namun kini semua orang sudah me-
lupakan cerita-cerita yang kala itu sempat meng-
gemparkan masyarakat, dan mereka yang memandang
rambut putih wiropati menganggapnya pengikut
yang tak tergantikan bagi marga tribuana . Semua orang
menghormati pembawa annya dan kedudukannya se-
bagai pengetua.
Tempat penginapan di markas aidit di Kuil
Hoyo tidak mencukupi, sehingga beberapa resi
tinggal di berbagai rumah di Suwa.
Orang-orang tribuana menempati gedung-gedung
kuno milik seorang saudagar, dan para prajurit
maupun para perwira mereka melepas lelah sehabis
bertempur sengit selama berhari-hari.
Seorang pemuda yang tampaknya putra tuan
rumah datang dan berbicara dengan wiropati .
"Bagaimana kalau Tuan mandi dahulu ? Semua
centeng adipati , bahkan para prajurit infanteri pun, sudah
selesai makan malam."
"Tidak, aku akan menunggu sampai Yang Mulia
kembali."
"Malam ini Yang Mulia pergi agak lama, bukan?"
"Hari ini ada jamuan makan untuk merayakan
kemenangan di markas besar. Yang Mulia jarang
menyentuh anggur , namun mungkin beliau minum sedikit
dan agak mabuk sebab ikut bersulang."
"Barangkali hamba bisa menyajikan makan malam
untuk Tuan?"
"Tidak, tidak. Nanti saja, kalau Yang Mulia sudah
kembali. namun aku agak kasihan pada tamu yang ku-
tahan di sini. Maukah kau mengantarnya ke
pemandian?"
"Maksud Tuan, scniman yang berada di sini
sepanjang sore?"
"Benar. Itu orangnya, yang sedang duduk
menyendiri sambil memandang bunga peoni di
pekarangan. Dia kelihatan agak jemu. Coba kau-
panggil dia ke sini.
Pemuda itu menarik diri. lalu memandang ber-
keliling di belakang bangunan. Di depan serumpun
semak peoni yang sedang berbunga, Yusho duduk
sambil memegang lutut, menatap dengan pandangan
kosong. Beberapa saat lalu , saat wiropati
melewati gerbang, baik pemuda itu maupun Yusho
sudah pergi.
wiropati merasa was-was. Meski menyadari
bahwa perayaan kemenangan itu akan berlangsung
sampai larut malam, ia bertanya-tanya mengapa
tunggadewa belum juga kembali.
sesudah melewati gerbang kuno beratap jerami,
jalan setapak yang disusurinya menyatu dengan jalan
raya di tepi danau. Matahari yang sudah terbenam
masih memancarkan cahaya yang berkelip redup di
langit sebelah barat Danau Suwa. Cukup lama
wiropati memandang ke ujung jalan. Dan akhirnya
ia melihat junjungannya, diikuti rombongan berkuda,
centeng tombak, dan para pembantunya. namun
kecemasan wiropati mengenai junjungannya tidak
berkurang saat mereka mendekat. Ada sesuatu yang
ganjil. Penampilan tunggadewa bukan seperti orang
yang baru kembali dari suatu perayaan kemenangan.
Seharusnya ia pulang dengan gagah, terayun-ayun di
atas kudanya, dalam keadaan mabuk sebab anggur yang
disajikan. namun tunggadewa malah berjalan kaki.
seakan-akan patah semangat.
Seorang prajurit menuntun kudanya yang me-
langkah lesu, sementara para pembantu di belakang
berjalan dengan sikap sama.
"Hamba menunggu di sini untuk menyambut
kedatangan Yang Mulia. Yang Mulia tentu lelah."
saat wiropati membungkuk di hadapannya.
tunggadewa tampak terkejut.
"wiropati ? Ah, betapa lalainya aku. Rupanya kau
cemas sebab aku pulang begitu lama. Maafkan aku.
Aku minum agak banyak hari ini, jadi aku sengaja
pulang berjalan kaki menyusuri danau, agar kepalaku
tidak terlalu berat. Jangan hiraukan tampangku. Aku
merasa sudah lebih baik sekarang."
wiropati segera menyadari bahwa majikannya
sudah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
Sudah bertahun-tahun ia menjadi pembantu dekat
tunggadewa , jadi hal semacam ini takkan lolos dari
perhatiannya. Namun ia tidak menanyakannya lebih
lanjut. Pengikut tua itu cepat-cepat mengurus
keperluan majikannya, sambil berharap agar itu bisa
menghiburnya.
"Bagaimana dengan sebaskom teh, dan sesudah itu
mandi air panas?"
Reputasi wiropati dapai membuat musuh
gemetar ketakutan di medan laga, namun saat ia
membantu tunggadewa melepaskan pakaian, tunggadewa
hanya dapat memandangnya sebagai kerabat tua yang
mencemaskan dirinya.
"Mandi? Ya. Mandi tentu amat menyegarkan di
saat seperti ini." Dan ia mengikuti wiropati ke
pemandian.
Selama beberapa waktu wiropati mendengarkan
tunggadewa bercebar-cebur di dalam bak air panas.
"Bagaimana kalau hamba menggosok punggung Yang
Mulia?" ia berseru dari luar.
"Suruh pelayan saja masuk ke sini," balas
tunggadewa . "Rasanya tidak pada tempatnya kalau aku
memaksa tubuhmu yang tua bekerja seperti itu."
"Tidak apa-apa."
wiropati memasuki pemandian, mengaduk air
panas dengan ember kayu kecil, dan berjalan kc
belakang majikannya. Tentunya ia belum pernah
melakukan hal serupa, namun saat itu ia hanya ingin
membangkitkan semangat majikannya.
"Pantaskah seorang resi menggosok-gosok
punggung orang lain?" tanya tunggadewa . Sekarang pun
ia bersikap merendah. Ia selalu menjaga jarak, bahkan
terhadap para pengikutnya sendiri, dan sebetulnya
patut dipertanyakan apakah sifat ini baik atau buruk.
wiropati menganggapnya sebagai sifat yang tidak
menguntungkan.
"Kalau prajurit tua ini bertempur membela panji
Yang Mulia, dia adalah pangeran wiropati dari marga
tribuana . namun wiropati sendiri tidak berdarah
tribuana . sebab itu, menggosok-gosok punggung Yang
Mulia, biarpun hanya satu kali ini, merupakan
kenangan bagi hamba."
wiropati menggulung lengan baju dan mulai
membersihkan punggung majikannya. saat pung-
gungnya digosok-gosok, tunggadewa menundukkan
kepala. Ia merenungkan keprihatinan yang diper-
lihatkan wiropati , dan hubungan antara dirinya
dan aidit .
Ah, aku memang salah, pikirnya. Di lubuk hati
yang paling dalam. tunggadewa menyalahkan dirinya.
Apa yang mengganggu pikiran tunggadewa dan
membuatnya begitu risau? aidit merupakan
majikan yang baik, namun apakah pengabdian tunggadewa
sebanding dengan pengabdian pengikut tua yang kini
menggosok-gosok punggungnya? Betapa memalukan.
Rasanya seakan-akan Toshimiuu membilas sanubari-
nya dengan air panas yang kini disiram ke
punggungnya.
saat keluar dari pemandian, baik penampilan
maupun nada suara Mituhide sudah berubah.
Pikirannya sudah kembali jernih, dan wiropati
pun menyadarinya.
"Memang lebih enak sesudah mandi, persis seperti
yang kausarankan. Barangkali aku terlalu lelah tadi,
dan masih terpengaruh anggur yang kuminum."
"Yang Mulia merasa lebih baik sekarang?"
"Aku tidak apa-apa, Toshimiuu. Jangan gelisah khawatir ."
"Hamba cemas sebab Yang Mulia kelihatan risau
tadi. Baiklah, ada yang perlu hamba sampaikan.
Sementara Yang Mulia pergi, kami kedatangan tamu.
Dia sedang menunggu yang Mulia."
"Tamu? Di barak ini?"
"Yusho kebetulan berada di Kai, dan dia bilang
bahwa sebelum pergi ke tempat-tempat lain, dia
ingin bertemu dan menanyakan keadaan Yang
Mulia."
"Di mana dia sekarang ?"
"Hamba mempersilakannya menunggu di kamar
hamba."
"O ya? Kalau begitu, mari kita ke sana."
"Dia tentu akan merasa sungkan kalau sang tuan
rumah menghampiri tamunya. Hamba akan me-
mintanya datang ke sini."
"Jangan, jangan. Tamu kita ini seorang seniman.
Kita tak perlu bersikap terlalu kaku."
Jamuan makan malam yang mewah untuk
tunggadewa sudah disiapkan di bangsal di bangunan
utama, namun ia memilih duduk di kamar wiropati
dan makan seadanya bersama tamunya.
sesudah berbincang-bincang selama beberapa
waktu dengan Yusho, wajahnya semakin cerah. Ia ber-
tanya mengenai gaya lukisan dinasti Sung Utara dan
Selatan di Ncgcri kedhiri , membahas selera pandita
wiryogaja damovija dan kelebihan aliran lukisan
Tosa, dan membicarakan segala sesuatu mulai dan
gaya tinggi sumbing sampai pengaruh seni lukis Belanda.
Selama perbincangan itu, tampak jelas bahwa pen-
didikan yang dienyam tunggadewa tidak dangkal.
"Kalau sudah tua nanti, rasanya aku akan me-
nekuni kegiatan yang lebih tenang, dan mungkin
bahkan mencoba melukis. Barangkali, sebelumnya,
Tuan bisa membuatkan buku contoh bergambar
untukku."
"Tentu, Yang Mulia."
Yusho sudah berusaha menyamai gaya seniman
kedhiri kuno, Liang K'ai. Belakangan ia sudah mengem-
bangkan aliran sendiri, terlepas dari tradisi tinggi sumbing
maupun Tosa, dan akhirnya ia berhasil merebut
tempat terhormat di dunia seni. saat aidit
memintanya menghiasi dinding-dinding geser di
madukara , ia berpura-pura sakit dan menolak. Bagai-
manapun, Yusho pernah menjadi pengikut marga
pangeran yang dihancurkan oleh aidit . Dapat
dimengerti kalau Yusho tidak rela menghiasi tempat
tinggal aidit dengan goresan kuasnya.
Ungkapan "lembut di luar, keras di dalam" patut
dipakai untuk menjelaskan watak Yusho. Yusho
tak dapat mempercayai logika yang mendasari ke-
hidupan tunggadewa . Seandainya tunggadewa ter-
sandung, walau hanya satu kali, ia akan menjebol
bendungan yang menahan perasaannya dan akan ter-
gelincir ke arah yang fatal.
tunggadewa tidur nyenyak malam itu. Mungkin
sebab ia baru mandi, atau sebab tamu yang tak
terduga dan menyenangkan.
Para prajurit bangun sebelum matahari terbit,
memberi makan kuda-kuda, mengenakan baju
tempur, menyiapkan perbekalan, dan kini menunggu
junjungan mereka. Pagi itu mereka harus berkumpul
di Kuil Hoyo, bertolak dari Suwa, dan menuju loji abang .
lalu mereka akan menyusuri jalan pesisir dan
kembali ke madukara dengan gilang-gemilang.
"Sebaiknya Yang Mulia segera bersiap-siap,"
wiropati berkata pada tunggadewa .
"wiropati , semalam aku tidur nyenyak!"
"Hamba gembira mendengarnya."
"Kalau Yusho berangkat nanti, sampaikan salam
hangat dariku dan bekali dia dengan sejumlah uang
untuk perjalanan."
"namun , Yang Mulia, saat hamba bangun tadi pagi
dan mencari-carinya, hamba menemukan bahwa dia
sudah pergi. Rupanya dia terbangun bersama para
prajurit sebelum matahari terbit."
Kehidupannya mengirikan hati, pikir tunggadewa
sambil menatap langit.
pangeran wiropati membuka segulung kertas. "Dia
meninggalkan ini. Hamba pikir dia lupa mem-
bawan ya, namun waktu hamba mengamatinya dari
dekat, ternyata tintanya belum mengering. lalu
hamba teringat bahwa Yang Mulia memintanya mem-
buatkan buku contoh bergambar. Hamba rasa dia
mengerjakannya sepanjang malam."
"Apa? Dia tidak tidur?"
tunggadewa memandang sekilas gulungan itu.
Kertasnya tampak lebih putih dalam cahaya pagi, dan
di atasnya terlihat dahan peoni yang baru saja dilukis.
Goresan kuas di pojok lukisan itu berbunyi.
Kesentosaan, inilah kemuliaan.
Kesentosaan, inilah kemuliaan, tunggadewa berkata
dalam hati saat ia kembali membuka gulungan itu.
Kini ia mellihat lukisan lobak besar, dan di samping-
nya tertulis. Menerima tamu merupakan cita rasa.
Lobak itu dilukis dengan tinta India, dan garis-
garisnya mengalir lembut. Jika dipandang dengan
saksama, bau tanahnya seakan-akan tercium. Lobak
ini bertungsi sebagai akar bagi daun kramajaya , dan
daun itu seolah-olah penuh semangat hidup.
Penampilannya yang liar seakan-akan menertawa kan
tunggadewa yang selalu penuh perhitungan.
tunggadewa terus mcmbuka gulungan kertas, namun
ternyata tidak ada apa-apa lagi. Sebagian besar hanya
berupa kertas kosong.
"Rupanya dia menghabiskan sepanjang malam
untuk membuat dua lukisan ini."
wiropati juga terkesan, dan membungkuk
untuk menikmati lukisan itu bersama tunggadewa .
tunggadewa tampaknya enggan melihatnya lebih
lama, dan minta agar wiropati menggulungnya.
Pada saat itulah suara sangkakala terdengar di
kejauhan, isyarat dari markas besar di Kuil Hoyo agar
seluruh centeng bersiap-siap. Di kancah perang
berdarah, sangkakala merupakan sesuatu yang amat
menakutkan dan mengumandangkan getaran menye-
dihkan. Namun pagi itu suaranya terdengar lembut,
bahkan hampir menenangkan.
Tak lama lalu tunggadewa pun sudah duduk
di atas kudanya. Wajahnya pada pagi itu mirip
Pegunungan Kai, tanpa awan dan sedikit pun tanpa
bayang-bayang kelabu.
BUKU TUJUH
TAHUN masa pemerintahan dinasti syailendra KESEPULUH
1582
MUSIM SEMI
TOKOH dan TEMPAT
raden panji wirodirgo , komandan benteng kota
vredenburg
tribuana MlTSUHARU, sepupu tunggadewa
tribuana MITSUTADA, sepupu tunggadewa
sonokelingTA adipati , pengikut senior marga tribuana
AMANO GENEMON, pengikut senior marga
tribuana
YOMsinuhun MASATAKA, pengikut senior marga
tribuana
MANASE, dokter dari trowulan
SHOHA dan SHOSITSU, penyair
sinuhun tungguljaya, putra sulung aidit
kuyang dan mpu donoreja, saudagar-saudagar dari
Kyushu
MURAI raden panji sekarmaya, gubernur trowulan
vredenburg , benteng kota raden panji wirodirgo
sekartanjung , benteng kota tribuana gajayana
hadijaya , provinsi marga tribuana
KAMEYAMA, benteng kota tribuana tunggadewa
KUIL purwojati , tempat tinggal sementara
aidit di trowulan
KUIL MYOKAKU, tempat tinggal sementara
tungguljaya di trowulan
benteng kota di Tengah Danau
DUA penunggang kuda berpacu melewati gapura
tanah pajajaran, menerbangkan awan debu saat menuju benteng kota. Sepintas lalu saja mereka menarik perhatian orang-orang. sesudah sampai di gerbang benteng kota, keduanya memberitahu para penjaga bahwa mereka membawa pesan penting dari Yang Mulia aidit di Kai.
patih ronggolawe sedang berada di benteng kota dalam saat seorang pengikut masuk untuk memberitahukan kedatangan para kurir,
"Suruh mereka tunggu di Ruang Bangau," ia
memerintahkan.
Ruangan ini khusus disediakan untuk pembicara-
an yang sifatnya amat rahasia. Segera sesudah kedua kurir masuk, patih ronggolawe menyusul dan duduk. Salah satu kurir mengeluarkan surat dari lipatan jubah ,
dan dengan hormat meletakkannya di hadapan
patih ronggolawe . Surat itu terbungkus dua atau tiga lembar
kertas minyak. patih ronggolawe melepaskan pembungkus
luar dan membuka sampulnya.
"Ah, sudah lama aku tidak melihat tulisan tangan
Yang Mulia," ia berkata. Sebelum membuka surat itu.
ia menempelkannya ke kening. Bagaimanapun, jun-
jungannya sendiri yang menulisnya.
sesudah selesai membaca. patih ronggolawe menyelipkan
surat itu ke dalam jubah nya dan bertanya,
"Berhasilkah centeng kita di Kai merebut ke-
menangan gemilang?"
"centeng Yang Mulia bagaikan kekuatan yang tak
terbendung. Pada waktu kami bertolak dari Kai,
centeng Yang Mulia tungguljaya sudah sampai di
Suwa."
"Itulah ciri Yang Mulia aidit . Rupanya beliau
sendiri ikut terjun ke kancah pertempuran. Beliau
tenru bersemangat tinggi."
"Hamba mendengar salah seorang yang ikut dalam
operasi itu berkata bahwa mereka melintasi
pegunungan seakan-akan sedang menempuh tamasya
musim semi. Kelihatannya Yang Mulia aidit
akan kembali lewat jalan pesisir, sekaligus berpesiar
ke Gunung sonokeling."
Para kurir menarik diri. patih ronggolawe tidak beranjak
dari tempatnya, mengamati lukisan bangau-bangau
putih yang menghiasi pintu geser. Titik kuning sudah
ditambah kan pada mata burung-burung, dan seperti-
nya mereka membalas tatapan patih ronggolawe .
Tak ada pilihan selain keraton , ia berkata dalam
hati. Hanya dia yang bisa kukirim. Ia memanggil
seorang pelayan dan berkata, "Kursinuhun keraton mestinya sedang berada di benteng kota luar. Suruh dia dan syam banaspati datang ke sini."
patih ronggolawe mengeluarkan surat tadi dan membacanya sekali lagi. sebetulnya para kurir bukan membawa surat, melainkan janji yang diminta patih ronggolawe dari aidit . Dengan mudah patih ronggolawe
dapat mengumpulkan centeng berkekuatan 9
0 ribu orang di tanah pajajaran. Namun ia tidak
melintasi perbatasan provinsi musuh, pengandaran , yang
harus ditaklukkannya dahulu jika ia hendak mengalah-
kan marga patih. Masih ada satu rintangan yang
menghalangi jalan patih ronggolawe ke pengandaran , dan
rintangan itu ingin ia singkirkan sedapat mungkin
tanpa pertumpahan darah. Rintangan itu berupa
benteng kota utama dari ketujuh benteng kota yang mem-
bentuk garis pertahanan musuh di sepanjang per-
batasan pengandaran : benteng kota vredenburg .
keraton dan banaspati memasuki ruangan kecil
itu, dan patih ronggolawe langsung merasa lebih tenang.
"Janji Yang Mulia baru saja tiba," patih ronggolawe mulai
berkata. "Kelihatannya aku terpaksa menyusahkan
kalian saja. Kuminta kalian pergi ke benteng kota Taka-
grindana."
"Jika diperkenankan, hamba ingin membaca janji
itu," ujar keraton .
keraton membacanya dengan penuh hormat.
seolah-olah berhadapan langsung dengan aidit .
Janji itu ditujukan pada komandan benteng kota
vredenburg , raden panji wirodirgo . aidit berjanji,
jika wirodirgo menyerah, ia akan memperoleh imbalan
berupa wilayah yang terdiri atas Provinsi pengandaran dan
Bingo. aidit juga mengemukakan bahwa ia sudah
berjanji demi para dewa, dan bahwa tak ada yang
dapat memaksanya menarik kembali janji itu.
"Kuminta kau dan banaspati secepat mungkin
berangkat ke benteng kota vredenburg ." patih ronggolawe ber-
kata. "Aku percaya takkan ada masalah saat kalian
menemui resi wirodirgo dan berbicara dengan-
nya, namun kalau ada, kurasa dia takkan berkeras sesudah
mcelihat cap ini."
patih ronggolawe tampak optimis, namun keraton dan
banaspati tak sanggup memperlihatkan kepercayaan
yang sama. Mungkinkah patih ronggolawe benar-benar
percaya bahwa raden panji wirodirgo akan meng-
khianati marga patih hanya sebab diidongeng -idongeng i
janji ini, ataukah patih ronggolawe menyimpan rencana lain
dalam benaknya?
Perjalanan dari tanah pajajaran ke benteng kota vredenburg
memakan waktu kurang dari satu hari, dan para kurir
sampai lebih cepat lagi sebab menunggang kuda.
saat melewati garis depan mereka sendiri, mereka
melihat ke arah Pegunungan Kibi, memandang
matahari merah yang sedang terbenam.
Mulai dari titik ini, siapa pun yang mereka jumpai
merupakan musuh. Ini bukan musim semi seperti
yang dahulu mereka tinggalkan di tanah pajajaran. Ladang-
ladang dan desa-desa tampak gersang.
Seorang penunggang kuda berpacu dari garis
depan ke pagar pertahanan yang mengelilingi
benteng kota vredenburg dan menunggu perintah. Akhir-
nya keraton dan banaspati digiring melewati pagar
pertahanan dan dibawa ke gerbang benteng kota.
vredenburg merupakan contoh tipikal benteng kota yang
dibangun di sebuah dataran. Di kiri-kanan jalan yang
menuju gerbang utama ada sawah
dan ladang.
Tanggul-tanggul dan tembok-tembok luar berdiri di
tengah-tengah sawah . Dengan setiap langkah menaiki
tangga batu, tembok pertahanan dan dinding-dinding
benteng kota utama yang tajam dan runcing semakin dekat
menjulang di atas kepala.
sesudah memasuki benteng kota dalam, para utusan
sadar bahwa inilah benteng kota terkuat dari ketujuh
benteng kota di sepanjang perbatasan. Mereka melihat
lapangan luas, dan walaupun lebih dan dua ribu
prajurit ditempatkan di sini, suasananya sunyi. Akibat
keputusan wirodirgo untuk berperang, benteng kota itu
juga menampung 50000 pengungsi. wirodirgo
sudah bertekad untuk menghadapi serbuan centeng
dari Timur di benteng kota yang satu ini.
keraton dan banaspati diantar ke sebuah ruangan
kosong. Tanpa tongkat penyangga, keraton masuk
terpincang-pincang.
"Yang Mulia wirodirgo akan segera menemui
Tuan-Tuan," ujar pelayan yang mengantar mereka.
Usianya kurang dari dua puluh tahun, dan pada
waktu ia meninggalkan ruangan, sikapnya tak ber-
beda dari sikapnya di masa damai.
lalu resi wirodirgo masuk, duduk tanpa
banyak lagak, dan berkata. "Aku raden panji wirodirgo .
Aku diberitahu bahwa Tuan-Tuan merupakan utusan
Yang Mulia aidit . Selamat datang." Usianya
sekitar 60 tahun, rendah hati, dan ber-
pakaian sederhana. Ia tidak diapit pengikut di kiri-
kanan, hanya ada pelayan berumur sebelas atau dua
belas tahun yang berlutut di belakangnya. Orang itu
demikian bersahaja, sehingga ia mungkin dianggap
sebagai kepala kampung, seandainya tidak membawa
pedang dan ditambah pelayan.
keraton bersikap teramat sopan terhadap resi
yang sederhana ini. "Sungguh suatu kehormatan
bagiku, bisa berkenalan dengan Tuan. Namaku
Kursinuhun keraton ."
sesudah keraton dan banaspati memperkenalkan
diri, wirodirgo membungkuk ramah. Kedua utusan
merasa gembira, menganggap bahwa mereka takkan
mengalami kesulitan membujuk wirodirgo agar
beralih ke pihak mereka.
"banaspati ," ujar keraton . "tolong sampaikan
pokok isi pesan Yang Mulia kepada resi
wirodirgo ." Pada umumnya, pembicaraan seperti ini
dibuka oleh utusan berkcdudukan lebih senior,
namun keraton beranggapan bahwa penjelasan oleh
banaspati , yang lebih tua dan lebih matang, akan
lebih membawa hasil.
"Perkenankan aku menjelaskan maksud keda-
tangan kami, Tuan resi . Yang Mulia patih ronggolawe
sudah memerintahkan kami untuk berbicara apa
adanya, jadi itulah yang akan kulakukan. Yang Mulia
patih ronggolawe sedapat mungkin ingin menghindari
pertcmpuran yang sia-sia. Kukira Tuan resi
menyadari bagaimana keadaan di daerah Barat.
Dalam hal centeng , kami dengan mudah dapat
mengerahkan seratus lima puluh ribu prajurit, semen-
tara pihak patih hanya memiliki empat puluh lima,
atau paling banyak lima puluh ribu. Ditambah lagi,
para sekutu marga patih marga kramat dari Echigo,
marga mpu ireng dari Kai, para biksu-prajurit dari
Gunung brahma dan ronggodwijoyo , dan sang pandita
semuanya sudah dihancurkan. Apa alasan moral yang
kini dapat dikemukakan marga patih untuk ber-
tcmpur dan menghanguskan daerah Barat?
"Di pihak lain," banaspati melanjutkan, "Yang
Mulia aidit sudah memperoleh dukungan sang
pengikut , dan dicintai dan dihormati oleh rakyat.
Bangsa ini akhirnya bangkit dari kegelapan perang
sipil dan menyongsong fajar baru. Yang Mulia
patih ronggolawe merasa terusik oleh bayangan bahwa Tuan
resi dan banyak orang yang mengabdi pada Tuan
resi akan mencmui ajal. Beliau bertanya-tanya.
adakah cara untuk menghindari pengorbanan itu,
dan minta agar Tuan resi memikirkannya sekali
lagi."
Sambil mcngeluarkan janji aidit dan sepucuk
surat dari patih ronggolawe , keraton angkat bicara. "Aku
tidak akan membicarakan soal untung-rugi. Aku
hanya ingin memperlihatkan sesuatu pada Tuan
resi , yang memperlihatkan maksud Yang Mulia
patih ronggolawe dan Yang Mulia aidit . Mereka sama-
sama menghargai prajurit tangguh. Yang Mulia
aidit sudah berjanji untuk memberikan Provinsi
pengandaran dan Bingo kepada Tuan resi ."
Dengan hormat wirodirgo membungkuk ke arah
dokumen itu, namun tidak meraihnya. Ia berkata pada
keraton , "Ucapan Tuan sungguh berlebihan, dan
dokumen ini menjanjikan imbalan yang tak patut
kuterima. Aku tidak tahu harus berkata apa. Upah
yang kuterima dari marga patih tak lebih dari tujuh
ribu gantang, dan sebetulnya aku hanya centeng adipati desa
yang sudah mulai tua."
wirodirgo tidak menyinggung soal persetujuan.
lalu suasana menjadi hening. Kedua utusan
duduk dengan tegang. Apa pun yang mereka katakan
padanya, ia hanya mengulangi dengan ramah dan
penuh hormat, "Ini lebih dari adil."
Baik kematangan banaspati maupun kecemer-
langan keraton tampak tak berguna menghadapi
orang ini. Namun sebagai utusan mereka bertekad
mendobrak tembok dan menempuh upaya terakhir.
"Kami sudah mengemukakan semua yang bisa
dikatakan," ujar keraton . " namun jika Tuan resi
ingin menambahkan syarat atau keinginan tertentu,
kami akan mendengarkannya dengan senang hati dan
menyampaikannya pada Yang Mulia aidit dan
Yang Mulia patih ronggolawe . Aku berharap Tuan resi
tidak segan-segan."
"Tuan minta aku tidak segan-segan?" tanya
wirodirgo , seakan-akan berbicara pada dirinya
sendiri. lalu ia menatap kedua laki-laki di
hadapannya. "Hmm, aku tidak tahu apakah Tuan-
Tuan berkenan mendengarkannya. Harapanku hanya
satu, yaitu semoga aku tidak menyimpang dari jalan
yang benar di akhir hayatku ini. Dalam hal kesetiaan
terhadap sang pengikut , marga patih tidak lebih baik
maupun lebih buruk dibandingkan junjungan Tuan-Tuan.
Betapapun tak berartinya, aku tetap pengikut marga
patih, dan walaupun aku hanya berpangku tangan,
seama bertahun-tahun aku menerima upah dari
mereka. Seluruh keluargaku sudah menikmati ke-
murahan hati mereka, dan sekarang, di masa penuh
pcrgolakan ini, aku diperintahkan menjaga per-
batasan. Kalaupun aku bermaksud mengambil ke-
untungan, menerima tawa ran Yang Mulia patih ronggolawe
dan menjadi penguasa dua provinsi, aku takkan
sebahagia sekarang. Seandainya aku mengabaikan
marga junjunganku, di mana aku harus menaruh
mukaku? Paling tidak, aku akan dianggap munafik
oleh kerabat dan para pengikutku, dan aku akan me-
langgar setiap aturan yang kuajarkan pada mereka." Ia
tertawa . "Aku menghargai kebaikan hati yang Tuan-
Tuan peliihatkan padaku, namun tolong sampaikan pada
Yang Mulia patih ronggolawe agar urusan ini dilupakan
saja."
Sambil menggelengkan kepala, seakan-akan sangat
menyesal, keraton berbicara cepat dan tegas, "Aku tak
bakal bisa membujuk Tuan resi . banaspati ,
sebaiknya kita kembali saja."
banaspati merasa kecewa sebab mereka gagal,
namun inilah yang dicemaskannya sejak awal . Keduanya
sudah meramalkan bahwa wirodirgo tak dapat disuap.
"Jalanan tidak aman pada malam hari. Mengapa
Tuan-Tuan tidak bermalam di benteng kota, lalu
berangkat pagi-pagi besok?" wirodirgo menawarkan .
Ia tidak sekadar berbasa-basi, dan kedua utusan pun
sadar bahwa ia memang orang yang ramah.
wirodirgo musuh mereka, namun kejujurannya tak
perlu diragukan.
"Tidak, Yang Mulia patih ronggolawe tentu sudah
menanti-nanti jawaban pasti Tuan resi ," balas Hikoe-
mon.
Ia dan keraton minta obor, lalu berangkat. sebab
gelisah khawatir mereka mungkin mencmui kesulitan,
wirodirgo menyuruh tiga pengikutnya menyertai
mereka sampai ke garis depan.
keraton dan banaspati menempuh perjalanan ke
dan dari benteng kota vredenburg tanpa berhenti untuk
beristirahat atau tidur. Begitu tiba di tanah pajajaran,
mereka langsung menghadap patih ronggolawe . Laporan
mereka singkat dan apa adanya. "Yang Mulia
wirodirgo menolak menyerah. Dia sudah membulat-
kan tekad, dan setiap usaha untuk melanjutkan
negosiasi takkan membawa hasil."
patih ronggolawe tidak tampak terkejut. Ia menyuruh
kedua orang itu menghadap lagi sesudah beristirahat.
Belakangan pada hari itu, patih ronggolawe memanggil
para utusan dan beberapa resi nya untuk mengada-
kan rapat.
Sambil menunjuk peta daerah itu, keraton
berkata, "Ketujuh benteng kota musuh terletak di sini, di
sini, dan di sini."
patih ronggolawe mengalihkan pandangannya dari peta
dan meregangkan tubuh, seakan-akan merasa lelah.
Sebelumnya ia sudah menerima kabar kemenangan
aidit di Kai. saat membandingkan keber-
hasilan junjungannya yang begitu mudah tercapai
dengan kesulitan-kcsulitan yang dihadapinya, ia ber-
harap keberuntungannya akan membaik. Ia segera
mengirim surat pada aidit , untuk memberi
selamat dan menjelaskan upaya-upaya yang ditempuh-
nya, dan untuk memberitahukan bahwa ia sudah
membatalkan niatnya untuk membujuk raden panji
wirodirgo agar menyerah.
Sekitar pertengahan Bulan Ketiga, kedua puluh ribu
prajurit yang sudah siaga di mendutrejo tiba di tanah pajajaran,
dan marga Ukita mengirim sepuluh ribu orang lagi.
Jadi, dengan centeng berkekuatan tiga puluh ribu
orang, patih ronggolawe pelan-pelan bergerak memasuki
pengandaran . Namun, saat mereka baru maju kira-kira
tiga mil, ia sudah menghentikan centeng dan me-
nunggu laporan para pengintai; sesudah enam mil
lagi, ia kembali berhenti dan melakukan pengintaian.
Semua prajurit sudah mengetahui kemenangan
gemilang di Kai, jadi banyak yang dibuat frustrasi
oleh sikap patih ronggolawe yang amat berhati-hati ini.
Beberapa orang bahkan sesumbar bahwa benteng kota
vredenburg dan benteng kota-benteng kota lain yang lebih kecil
dapat direbut dengan satu serbuan saja.
Namun, sesudah mengetahui kondisi medan dan
posisi-posisi musuh, mereka terpaksa mengakui
bahwa memang sukar meraih kemenangan cepat.
patih ronggolawe mendirikan perkemahan pertama di
Bukit Ryuo, sebuah dataran tinggi jauh di sebelah
utara benteng kota vredenburg . Dari sana ia bisa melihat
langsung ke dalam benteng kota. Dalam sekejap ia sudah
mempelajari medan dan hubungan antara ketujuh
benteng kota musuh. Ia juga dapat menyerbu pergerakan
centeng dari markas besar pihak patih, sehingga
setiap pengiriman bala bantuan takkan luput dari per-
hatiannya.
patih ronggolawe mengawal i operasi dengan merebut
benteng kota-benteng kota yang lebih kecil satu per satu, sampai
hanya vredenburg yang tersisa. Prihatin sebab
perkembangan tidak menguntungkan ini, wirodirgo
berutang kali mengirim pesan kepada marga patih,
memohon bantuan. Kurir demi kurir diutus, masing-
masing dengan membawa permohonan yang semakin
mendesak, namun keadaan tidak memungkinkan pihak
patih melancarkan serangan balasan. Mereka memer-
lukan waktu beberapa dongeng gu untuk mengerahkan
centeng -centeng berkekuatan empat puluh ribu
orang dan menuju benteng kota vredenburg . Satu-satunya
yang dapat mereka lakukan hanyalah membesarkan
hati wirodirgo agar terus bertahan, dan mepercaya-
kannya bahwa bala bantuan sedang dalam perjalanan.
lalu segala komunikasi antara benteng kota itu dan
para sckutunya terputus.
Pada hari kedua puluh tujuh di Bulan Kccmpat.
patih ronggolawe memulai pengepungan benteng kota Taka-
grindana. namun kelima belas ribu prajurit di markasnya
di Bukit Ryuo tidak bergerak. patih ronggolawe menempat-
kan lima ribu orang di daerah tinggi di Hirayama,
sementara kesepuluh ribu prajurit dari marga Ukita
disiagakan di Gunung aryadwinata .
Para resi patih ronggolawe mengambil posisi di
belakang centeng Ukita. Susunan centeng nya
mirip susunan awal pada papan go, dan penem-
patan para pengikutnya di belakang centeng Ukita,
yang belum lama berselang masih bersekutu dengan
marga patih, merupakan tindakan berjaga-jaga.
Sejak hari pertama sudah terjadi pertempuran-
pertempuran kecil di antara barisan depan kedua
centeng . Kursinuhun keraton , yang baru kembali sesudah
memeriksa garis depan, menghadap patih ronggolawe dan
melaporkan bentrokan berdarah di hari pertama.
"Dalam pertempuran tadi pagi," keraton mulai
berkata. "korban di pihak centeng Yang Mulia Ukita
berjumlah lebih dari lima ratus orang, sementara
musuh kehilangan tak lebih dari seratus orang.
9 puluh prajurit musuh tewas, dan dua puluh
ditawa n, namun hanya sebab mereka cedera berat."
"Mcmang sudah bisa diduga," ujar patih ronggolawe .
"benteng kota ini takkan bertekuk lutut tanpa per-
tumpahan darah. namun kelihatannya orang-orang
Ukita bertempur dengan gagah."
Kesetiaan centeng Ukita sudah diuji, dan mereka
lulus.
Pada Bulan Kelima, cuaca berubah cerah dan kering.
centeng Ukita, yang kehilangan banyak orang di awal
peperangan, menggali parit perlindungan di muka
tembok benteng kota. Mereka bekerja selama lima malam,
dilindungi oleh kegelapan. Begitu parit itu
rampung, mereka kembali melancarkan serangan.
saat centeng penjaga benteng kota melihat para
prajurit Ukita sudah maju sampai ke gerbang dan
tembok sebelah luar, mereka tak henti-hentinya men-
cerca. Tak sukar membayangkan kemarahan yang
mereka rasakan terhadap orang-orang yang semula
bersekutu dengan mereka, namun kini bertempur
sebagai barisan depan patih ronggolawe . Begitu memperoleh
kesempatan, centeng wirodirgo membuka gerbang
dan menyerbu keluar.
"Serang belatung-belatung ini!" mereka memekik.
"Bunuh semuanya!"
centeng adipati melawan centeng adipati , prajurit melawan
centeng adipati , mereka bergulat dan saling hantam. Kepala-
kepala dipenggal dan diacung-acungkan, dan mereka
bertempur dengan kegarangan yang jarang terlihat di
medan perang.
"Mundur! Mundur!" para resi Ukita tiba-tiba
berseru di tengah-tengah awan asap dan debu.
Sambil mendelik ke arah centeng Ukita yang ber-
gerak mundur, para penjaga benteng kota terbawa emosi
hendak menginjak-injak musuh. Mereka mulai
mengejar sambil berseru, "Tumpas mereka!" dan
"jangan berhenti sebelum panji-panji mereka ada di
tangan kita!"
Komandan barisan depan terlambat melihat parit
perlindungan yang membentang di hadapan anak
buahnya. Melihat perangkap yang menghadang, ia
berusaha menghentikan mereka, namun mereka terus
maju, tanpa menyadari bahaya yang mengancam.
Sesaat terdengar letusan senapan dan asap mesiu
menggumpal-gumpal dari parit. Para penyerang ter-
huyung-huyung, berjatuhan.
"Mereka pasang perangkap! Jangan masuk
perangkap musuh! Tiarap! Tiarap!" si komandan ber-
seru. "Biarkan mereka menembak! Tunggu sampai
mereka harus mengisi senapan, lalu sergap mereka!"
Sambil melepaskan teriakan perang yang menegak-
kan bulu roma, beberapa orang mengorbankan diri;
mereka bangkit untuk memancing tembakan musuh
dan dihujani peluru. Sambil menaksir selang waktu
sebelum berondongan berikut, yang lainnya berlarian
ke parit dan melompat ke dalamnya. Dalam sekejap
tanah sudah merah sebab darah.
Malam itu hujan mulai turun. Panji-panji dan
petak-petak bernilai di Bukit Ryuo basah kuyup.
patih ronggolawe berlindung di sebuah pondok dan meng-
amati awan -awan musim hujan. Tampangnya tidak
gembira.
Ia memandang berkeliling dan berseru pada
seorang pengikut, "Toranosuke, suara hujankah itu
atau bunyi langkah seseorang? Coba kauperiksa."
Toranosuke keluar, namun segera masuk lagi dan
melaporkan. "Yang Mulia keraton baru kembali dari
medan laga. Dalam perjalanan ke sini, salah satu
pengusung tandunya terpeleset di jalan setapak yang
curam, dan Yang Mulia keraton terjatuh. Beliau
terpaksa digotong. Yang Mulia keraton hanya tertawa ,
seolah-olah merasa geli."
Mengapa keraton berada di garis depan saat hujan
seperti ini? Seperti biasa, patih ronggolawe terkesan oleh
semangat keraton yang tak kenal lelah.
Toranosuke menyingkir ke ruangan sebelah dan
meletakkan kayu bakar ke dalam tungku. Seiring
datangnya hujan, nyamuk mulai menetas. Serangga-
serangga itu sangat mengganggu, terutama pada
malam hari. Api di tungku menambah suasana
pengap, namun paling tidak juga mengusir gerombolan
nyamuk.
"Banyak sekali asap di sini," ujar keraton , terbatuk-
batuk. Terpincang-pincang ia melewati para pelayan
dan memasuki ruangan patih ronggolawe tanpa memberi-
tahukan kedatangannya.
Tak lama lalu ia dan patih ronggolawe sudah asyik
bercakap-cakap. Suara mereka seakan-akan saling ber-
saing.
"Kurasa ini takkan mudah," kata patih ronggolawe .
patih ronggolawe dan keraton terdiam sejenak mendengar-
kan hujan membentur atap pondok darurat itu.
"Ini hanya masalah waktu," ujar keraton . "Serangan
habis-habisan kedua mengandung risiko besar.
Namun di pihak lain, jika kita membiarkan
pengepungan berlangsung berkepanjangan, itu pun
tidak bebas dari bahaya. Keempat puluh ribu prajurit
patih mungkin tiba di sini dan menyerang kita dari
belakang, dan kalau begitu, kita akan terjepit di
antara mereka dan orang-orang di dalam benteng kota
vredenburg ."
"Inilah yang mengusik pikiranku di musim hujan
ini. Apakah kau tidak punya ide yang baik, keraton ?"
"Selama dua hari terakhir hamba menyusun garis
depan, mengamati posisi benteng kota musuh dan kondisi
medan sekitarnya. Saat ini hamba hanya punya satu
rencana yang dapat kita pakai untuk mempertaruh-
kan semuanya."
"Penaklukan benteng kota vredenburg bukan masalah
penaklukan satu benteng kota musuh semata-mata."
patih ronggolawe berkata. "Jika benteng kota itu berhasil kita
rebut, tak lama lalu benteng kota Yosdwikerto akan
menyusul. namun kalau kita sampai tersandung di sini,
jerih payah kita selama lima tahun akan sia-sia. Kita
perlu rencana, keraton . Orang-orang di ruang sebelah
sudah kusuruh menyingkir, jadi kau bisa bicara
dengan bebas. Aku ingin tahu apa yang kaupikirkan."
"Tak sepatutnya hamba berkata begini, namun rasanya
tuanku juga harus menyusun rencana."
"Aku tidak membantahnya."
"Bolehkah hamba menanyakan rencana tuanku
lebih dahulu ?"
"Bagaimana kalau kita tuliskan saja?" patih ronggolawe
mengusulkan, lalu mengambil kertas, kuas, dan tinta.
sesudah selesai, keduanya bertukar lembaran kertas.
patih ronggolawe menuliskan satu kata, "air", dan keraton
menuliskan dua kata, "serangan air".
Sambil tertawa keras-kcras, keduanya meremas-
remas kertas di tangan masing-masing dan menyelip-
kannya ke dalam lengan jubah .
"Kecerdasan manusia rupanya tidak melewati
batas-batas tertentu," patih ronggolawe berkomentar.
"Itu benar," ujar keraton . "benteng kota vredenburg
terletak di sebuah dataran yang dikelilingi gunung-
gunung. Selain itu, Sungai Ashipatih dan tujuh sungai
lain membelah dataran itu . Mestinya tidak sukar
membelokkan aliran sungai-sungai itu dan mem-
banjiri benteng kota. Ini rencana berani yang mungkin
bahkan tak terpikir oleh kebanyakan resi . Hamba
kagum betapa ceparnya tuanku memahami situasi
yang kita hadapi. namun mengapa tuanku ragu-ragu
untuk bertindak?"
"Hmm, sejak zaman dahulu sudah banyak contoh
mengenai serangan api yang berhasil menaklukkan
benteng kota musuh, namun hampir tak pernah ada serangan
dengan memanfaatkan air."
"Rasanya hal seperti ini disinggung dalam catatan
sejarah militer mengenai Dinasti Han dan mengenai
masa Tiga Kerajaan. Dalam salah satu catatan, hamba
membaca sesuatu tentang negeri kita sendiri selama
masa pemerintahan Kaisar Tenchi. saat majapahit
diserbu centeng kedhiri , prajurit-prajurit kita men-
dirikan tanggul untuk menyimpan air. Dan pada
waktu orang-orang kedhiri menyerang, para prajurit
majapahit diperintahkan mcnjebol semua tanggul agar
musuh tersapu air bah."
"Memang, namun rencana itu akhirnya tidak jadi
dilaksanakan, sebab centeng kedhiri lebih dahulu ber-
gerak mundur. Jika kita melaksanakan rencana kita
ini, aku akan memakai strategi yang belum
pernah dicoba. Jadi, aku harus menyuruh beberapa
orang yang memahami geografi untuk menentukan
apa saja yang dibutuhkan, baik dari segi waktu, biaya,
dan tenaga."
Yang diinginkan patih ronggolawe bukan sekadar perkira-
an kasar, melainkan angka-angka yang tepat dan
rencana tanpa cela.
"Tentu saja. Salah satu pengikut hamba sangat
pikertoarjo i dalam hal-hal seperti ini, dan jika tuanku
meyuruhnya segera menghadap, hamba percaya dia
dapat memberikan jawaban pasti yang jelas sekarang juga.
sebetulnya , strategi yang hamba susun didasarkan
atas gagasan orang ini."
"Siapa dia?" tanya patih ronggolawe .
"Yosdwikerto Rokuro," balas keraton .
"Hmm, suruh dia ke sini." lalu patih ronggolawe
menambahkan. "Aku juga punya orang yang
mengujawa bidang konstruksi dan memahami kondisi
medan. Bagaimana kalau dia kita panggil juga supaya
bisa bicara langsung dengan Rokuro?"
"Hamba setuju. Siapakah dia?"
"Dia bukan pengikutku, melainkan centeng adipati dari
pengandaran . Namanya Senbara Kyuemon. Dia ada di sini
sekarang, dan dia khusus kutugaskan membuat peta
daerah ini."
patih ronggolawe bertepuk tangan untuk memanggil
pelayan, namun rupanya semua pembantu pribadi dan
pelayan menyingkir agak jauh, dan bunyi tepuk
tangannya tidak sampai ke tempat mereka. Suara
hujan membuatnya semakin tidak terdengar. Hide-
yoshi berdiri, melangkah ke ruang sebelah dan ber-
seru dengan nada yang lebih pantas dipakai di
medan tempur. "Hei! Apa tidak ada siapa-siapa di
sini?"
Begitu diputuskan untuk melancarkan serangan air,
perkemahan utama di Bukit Ryuo dipandang tidak
memadai lagi. Pada hari ketujuh di Bulan Kelima,
patih ronggolawe pindah ke Bukit Ishii, yang dipilih sebab
dari sana orang dapat langsung memandang ke dalam
benteng kota vredenburg .
Keesokan harinya patih ronggolawe berkata. "Mari kita
mulai mengukur jarak-jarak."
patih ronggolawe , ditambah sekitar setengah lusin resi ,
berkuda ke sebelah barat benteng kota vredenburg , ke
Monzen, di tepi Sungai Ashipatih. Selama perjalanan,
pandangannya terus melekat pada benteng kota di sebelah
kanannya. Sambil mengusap keringat dari wajah,
patih ronggolawe memanggil Kyuemon. "Berapa jarak dari
punggung Bukit Ishii ke Monzen?" ia bertanya.
"Kurang dari tiga mil," jawab Kyuemon.
"Coba kulihat petamu."
patih ronggolawe mengambil peta dari Kyuemon, lalu
membandingkan rencana pembangunan tanggul de-
ngan kondisi medan. Di tiga sisi ada gunung-
gunung, membentuk format mirip teluk alami,
di sebelah barat membentang dari Kibi sampai ke
gunung-gunung di daerah hulu Sungai Ashipatih; di
utara dari Bukit Ryuo ke pegunungan di sepanjang
perbatasan tanah pajajaran; di timur sampai ke sisi Bukit
Ishii dan Kkertoarjo zugahana. benteng kota vredenburg terletak
tepat di tengah-tengah dataran terbuka ini.
patih ronggolawe mengembalikan peta pada Kyuemon. Ia
mepercayai kelayakan proyek ini. Sekali lagi ia menaiki
kudanya. "Mari berangkat," ia berseru kepada para
pembantunya, lalu berkata pada Rokuro dan
Kyuemon, "aku akan berkuda dari sini ke Bukit Ishii.
Tentukan ukuran tanggul dengan mengikuti jejak
kudaku."
patih ronggolawe mengarahkan kudanya ke timur dan
langsung memacunya, menempuh garis lurus dari
Monzen ke Harakoza. lalu mengambil jalan melingkar
dari sana ke Bukit Ishii. Kyuemon dan Rokuro berlari
mengikutinya, meninggalkan jejak tepung beras.
Mereka disusul rombongan pekerja yang menancap-
kan pasak untuk menandai garis tanggul.
Pada waktu garis itu berubah menjadi tanggul,
seluruh daerah itu akan menjadi danau besar ber-
bentuk daun lotus yang setengah terbuka. saat
orang-orang mengamati medan yang membentuk
perbatasan antara Bizen dan pengandaran , mereka me-
nyadari bahwa di masa silam wilayah itu pernah
menjadi bagian dari laut. Perang sudah dimulai.
Bukan perang berdarah, melainkan perang melawan
bumi.
Tanggul itu akan membentang sejauh tiga mil;
lebarnya sepuluh meter di puncaknya dan dua puluh
meter di dasarnya. Yang menjadi masalah adalah
tingginya yang harus proporsional dengan tinggi
tembok benteng kota vredenburg , yang merupakan sasaran
serangan air.
Faktor utama yang menjamin keberhasilan
serangan air itu adalah kenyataan bahwa tembok luar
benteng kota itu hanya setinggi empat meter. sebab
itu, tinggi tanggul sebesar 9 meter merupakan
hasil perhitungan atas dasar empat meter. Jika air
naik sampai ketinggian itu, bukan tembok luar saja
yang akan terbenam, melainkan seluruh benteng kota
akan tertutup air setinggi dua meter.
Namun jarang sekali sebuah proyek berhasil di-
rampungkan mendahului jadwal yang sudah disusun.
Dan masalah yang begitu mengusik keraton adalah
masalah tenaga kerja, terpaksa mengandalkan para
pectani setempat. namun penduduk di desa-desa sekitar
tinggal sedikit. wirodirgo sudah menampung lebih
dari lima ratus keluarga petani sebelum pengepungan
dimulai, dan banyak lagi yang melarikan diri ke
gunung.
Para petani yang mengungsi ke benteng kota sudah ber-
tekad hidup atau mati bersama junjungan mereka.
Mereka orang baik, bersahaja, dan sudah bertahun-
tahun mengabdi pada wirodirgo . Banyak di antara
mereka yang memilih tinggal di desa-desa merupakan
orang berwatak buruk, atau orang yang mencari
kesempatan dan bersedia bekerja di medan perang.
patih ronggolawe juga dapat mengandalkan bantuan
Ukita Naoie, dan keraton sanggup mengerahkan
beberapa ribu orang dari tanah pajajaran. Namun yang
mengganggu pikirannya bukanlah mengumpulkan
orang sebanyak itu; masalahnya adalah bagaimana
caranya memanfaatkan mereka seefisien mungkin.
Suatu saat , pada waktu melakukan inspeksi, ia
memanggil Rokuro dan minta laporan mengenai
kemajuan yang sudah dicapai.
"Hamba sangat menyesal, namun ada kemungkinan
kami tidak dapat menepati jadwal yang ditentukan
Yang Mulia," Rokuro membalas dengan sedih.
Bahkan orang secermat Rokuro pun tak mengerti
bagaimana membuat para buruh dan bajingan mau
bekerja keras. Untuk ini, di sepanjang tanggul sudah
dibangun pos-pos jaga, berjarak sembilan puluh meter
satu sama lain, dan di masing-masing pos ditempat-
kan beberapa prajurit yang bertugas memacu para
pekerja. namun sebab prajurit-prajurit ini hanya
disuruh menyerbu pembangunan, para pekerja yang
berjumlah ribuan, yang mengayunkan pacul dan
memanggul tanah seperti semut, tetap bekerja dengan
lamban.
Kecuali itu, jadwal yang ditetapkan patih ronggolawe
sangat ketat. Siang dan malam ia menerima pesan-
pesan penting. Keempat puluh ribu prajurit patih
sudah dipecah menjadi tiga centeng , masing-masing di
bawah komando Kikkkertoarjo , Kobayakkertoarjo , dan Teru-
moto, dan mereka semakin mendekati perbatasan
provinsi.
keraton memperhatikan para pekerja. Lelah sebab
bekerja siang-malam, beberapa orang nyaris tak
bergerak sama sekali. Mereka hanya punya waktu dua
dongeng gu untuk menuntaskan pembangunan.
Dua hari. Tiga hari. Lima hari berlalu.
Dalam hati keraton mengeluh. Kemajuannya
begitu lambat, sehingga kita takkan sanggup menye-
lesaikan tanggul ini dalam lima puluh hari, atau
bahkan seratus hari, apalagi dua dongeng gu.
Rokuro dan Kyuemon tak sempat memejamkan
mata. Mereka terus menyerbu para pekerja. Namun,
apa pun yang mereka lakukan, para pekerja tetap
tidak puas dan besar mulut. Lebih buruk lagi,
beberapa orang sengaja mengacaukan jadwal pem-
bangunan dengan menghasut rekan-rekan mereka
yang lumayan rajin agar bekerja dengan lambat.
keraton tak sanggup melihatlihat nya sambil ber-
pangku tangan. Akhirnya ia sendiri turun ke
lapangan. Sambil berdiri di atas gundukan tanah
basah, di salah satu bagian tanggul yang sudah
rampung, ia memandang ke bawah dengan mata
menyala-nyala, menyerbu para pekerja . Setiap kali
menemukan seseorang yang bekerja setengah hati, ia
bergegas mcnghampiri dengan kecepatan yang tak
terbayangkan bagi orang cacat, dan menghajar orang
yang bersangkutan dengan tongkat.
"Hei, tidak bisakah kau bekerja lebih giat? Kenapa
kau bermalas-malasan?"
Para pekerja gemeiar ketakutan dan bekerja
dengan giat, namun hanya selama keraton menyerbu
mereka.
"awas si Siluman Pincang melihat ke sini lagi!"
Akhirnya keraton melaporkan hal itu pada
patih ronggolawe . "Pembangunannya tak mungkin selesai
pada waktunya. Hamba mohon tuanku sudi me-
nyusun suatu strategi untuk menghadapi kemung-
kinan bala bantuan patih tiba pada waktu tanggul
baru setengah rampung. Memaksa para buruh untuk
bekerja lebih sukar dibandingkan mengatur centeng ."
Tidak seperti biasanya. patih ronggolawe tampak gelisah.
Sambil membisu ia berhitung memakai jari.
Setiap jam ia memperoleh laporan mengenai pergerakan
centeng patih.
"Jangan purus asa, keraton . Kita masih punya tujuh
hari lagi.
"Kurang dari sepertiga yang sudah rampung.
Bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan
tanggul dalam waktu yang masih terstsa?"
"Pasti bisa." Untuk pertama kali ucapan patih ronggolawe
berlawan an dengan ucapan keraton , "Kita pasti bisa
menyelesaikannya. namun tidak kalau ke50000
pekerja kita hanya mengerahkan tenaga 50000
orang. Kalau setiap orang bekerja seperti tiga atau
bahkan lima orang, kita punya tenaga sepuluh ribu
orang. Kalau para centeng adipati yang menyerbu mereka
bertindak dengan cara yang sama, satu orang dapat
mengerahkan semangat sepuluh orang, dan kita dapat
mencapai apa saja yang kita inginkan. keraton , aku
sendiri akan pergi ke lapangan."
Keesokan paginya, seorang petugas berjubah
kuning berkeliling di tempat pembangunan, me-
merintahkan para buruh agar berhenti bekerja dan
menyuruh mereka berkumpul di sekeliling bendera
yang dipasang di atas tanggul.
Para pekerja yang bertugas malam dan kini hendak
pulang, dan orang-orang yang baru datang, semuanya
mengikuti mandor masing-masing. saat ke50000
pekerja itu berkumpul, rasanya sukar untuk mem-
bedakan warna tanah dari warna kulit mereka .
Mereka maju dengan gelisah, namun mereka tetap
bersikap angkuh, terus berkelakar dan berolok-olok.
Tiba-tiba semuanya terdiam saat patih ronggolawe
menuju kursi yang berada di samping bendera. Para
pelayan dan pengikutnya berada di kedua sisinya. Si
Siluman Pincang, yang setiap hari menjadi sasaran
kebencian para buruh, berdiri di samping, bertumpu
pada tongkatnya. Ia berbicara pada mereka dari atas
tanggul.
"Hari ini Yang Mulia patih ronggolawe berkeinginan men-
dengar keluhan-keluhan kalian. Seperti kalian
ketahui, waktu yang disediakan untuk membangun
tanggul ini sudah habis setengahnya, namun pem-
bangunannya terlalu lamban. Yang Mulia patih ronggolawe
berpendapat bahwa salah satu sebabnya adalah
sebab kalian tidak bekerja dengan sungguh-
sungguh. Beliau menyuruh kalian berkumpul di sini
agar kalian dapat menjelaskan secara terus terang apa
yang membuat kalian tidak puas, dan apa yang kalian
kehendaki."
keraton berhenti sejenak dan menatap para
pekerja. Di sana-sini ia melihat orang saling berbisik-
bisik.
"Para mandor tentu memahami perasaan anak
buah mereka. Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk
mengemukakan keluhan kalian pada Yang Mulia.
Kuminta lima atau enam orang naik ke sini sebagai
wakil untuk menyampaikan keinginan kalian. Setiap
tuntutan yang memang beralasan pasti akan men-
dapat tanggapan."
Menyusul ucapan keraton , seorang laki-laki
jangkung, bertelanjang dada, dan dengan ekspresi
membangkang, melangkah maju. Penuh nafsu ia naik
ke atas tanggul, seakan-akan hendak dianggap
pahlawan oleh rekan-rekannya. Melihat ini, tiga atau
empat pekerja menyusulnya.
"Hanya ini wakil kalian?" tanya keraton .
saat menghampiri tempat duduk patih ronggolawe ,
mereka masing-masing berlutut di tanah.
"Kalian tidak perlu berlutut." ujar keraton . "Yang
Mulia patih ronggolawe sudah bermurah hati dengan mem-
beri keecmpatan untuk menjelaskan ketidakpuasan
yang kalian rasakan. Kini kalian menghadap beliau
sebagai wakil semua pekerja, jadi bicaralah terus
terang. Apakah pembangunan tanggul ini bisa selesai
pada waktunya, tergantung pada kalian. Kami minta
kalian memberitahukan alasan ketidakpuasan yang
kalian sembunyikan sampai sekarang. Kita mulai dari
orang yang datang pertama. Bicaralah." Suara keraton
bernada mendamaikan.
saat keraton untuk kedua kali mendesak agar
mereka berterus terang, salah satu dari kelima wakil
pekerja angkat bicara.
"Hmm. Baiklah, namun jangan gusar kalau ucapan
hamba tidak berkenan di hati Tuan. Pertama-tama...
ehm, begini... tolong dengarkan ini..."
"Bicaralah!"
"Begini, kami diberi satu kilo beras dan seratus
mon untuk setiap kantong pasir yang kami angkut.
dan sebetulnya kami semua beberapa ribu orang
miskin bersyukur bahwa kami dipekerjakan. namun ,
ehm, kami semua termasuk hamba merasa waswas
bahwa janji Tuan akan ditarik kembali sebab bagai-
manapun, kami hanya buruh kasar."
"Hah," balas keraton . "atas dasar apa kalian men-
curigai seseorang dengan reputasi seperti Yang Mulia
patih ronggolawe ? Setiap kali kalian mengangkat kantong
plastik, kalian diberi sepotong bambu bercap yang
pada malam hari dapat kalian tukarkan dengan upah
kalian, bukan?"
"Benar, Yang Mulia, kami memang diberi
potongan bambu, namun kami hanya memperoleh satu
sho beras dan seratus mon, biarpun kami sudah
mengangkat sepuluh atau dua puluh karung. Sisanya
berupa tanda utang dan kupon jatah beras."
"Itu betul."
"Inilah yang meresahkan kami, Yang Mulia. Upah
kami sebetulnya memadai jika dibayar tunai, namun
kalau seperti sekarang, buruh harian seperti hamba
tak mampu menghidupi anak-istri."
"Bukankah satu sho beras dan seratus mon jauh
lebih tinggi danpada pendapatan kalian biasanya?"
"Hamba mohon Yang Mulia jangan bergurau.
Kami bukan kuda atau badak , dan jika kami mem-
banting tulang seperti ini selama satu tahun, kami
takkan pernah bisa bekerja lagi. namun baiklah, kami
sudah sepakat mengikuti perintah Yang Mulia, dan
kami sudah bekerja siang-malam. Nah, kami tidak
keberatan melakukan pekerjaan yang tak masuk akal,
asal keinginan kami pun dipenuhi. Kami ingin bisa
menikmati anggur seusai bekerja, melunasi utang-utang,
dan membelikan baju baru untuk istri. namun kalau
kami dibayar dengan janji, kami tak dapat terus-
menerus bekerja dengan sepenuh hati."
"Hmm, kalian benar-benar sukar dimengerti.
centeng Yang Mulia patih ronggolawe berprinsip untuk
selalu berbuat baik, dan sejauh ini belum pernah
melakukan tindakan lalim. Apa sebetulnya yang
kalian keluhkan?"
Kelima pekerja tertawa sinis. Salah satu dari
mereka berkata. "Yang Mulia. kami tidak mengeluh.
Kami hanya menuntut apa yang menjadi hak kami.
Kami tak bisa mengisi perut dengan kertas bekas dan
kupon beras. Dan yang lebih penting lagi, siapa yang
akan menukarkan kertas bekas itu dengan uang
sesudah Yang Mulia patih ronggolawe kalah?"
"Kalau itu masalahnya, kalian tak perlu gelisah khawatir ."
"Ah, tunggu dahulu . Yang Mulia percaya akan meraih
kemenangan, dan Yang Mulia dan semua resi
mempertaruhkan nyawa untuk itu, namun hamba
enggan memasang uang untuk taruhan seperti itu.
Hei, semuanya! Betul, tidak?"
Ia mengayun-ayunkan tangan di atas tanggul,
menanyakan pendapat para pekerja. Sesaat ter-
dengar seruan membahana, dan gelombang kepala
orang terlihat bergerak naik-turun, sejauh mata me-
mandang.
"Hanya ini keluhan kalian?" tanya keraton .
"Ya. Itulah yang ingin kami selesaikan pertama-
tama," jawab pekerja tadi. Ia memandang kerumunan
massa, mencari dukungan, namun tidak memperlihatkan
rasa takut sama sekali.
"Enak saja!" Untuk pertama kali keraton melepas-
kan topengnya. Langsung saja ia mencampakkan
tongkatnya, menghunus pedang, dan membelah
orang itu. lalu ia cepat-cepat beralih pada
orang lain yang berusaha melarikan diri, dan
membunuhnya. Secara bersamaan, Rokuro dan
Kyuemon yang berdiri di belakang keraton meng-
gunakan pedang masing-masing untuk menghabisi
ketiga orang lainnya.
Dengan cara ini, keraton , Kyuemon, dan Rokuro
membagi tugas dan menewaskan kelima orang itu
secepat kilat menyambar.
Terkejut oleh tindakan yang tak disangka-sangka
ini, para pekerja menjadi diam seperti rumput di
tengah kuburan. Tak ada lagi yang menyuarakan
ketidakpuasan. Wajah-wajah lancang, menantang, tak
terlihat lagi. Yang tersisa hanyalah wajah-wajah pucat,
gemetar sebab ngeri.
Sambil mengangkangi kelima mayat itu, ketiga
centeng adipati melotot ke arah para pekerja.
Akhirnya keraton berseru dengan garang. "Kelima
orang ini yang mewakili kalian kami menyuruh
mereka naik ke sini, mendengarkan keluhan mereka
dan memberikan jawaban pasti yang teramat jelas. namun
mungkin masih ada lagi yang ingin mengatakan
sesuatu." Ia terdiam, menunggu seseorang angkat
bicara. "Tentu ada seseorang di bawah sana yang
ingin naik ke atas tanggul. Siapa berikutnya? Kalau
ada seseorang yang hendak bicara atas nama kalian
semua, sekaranglah waktunya!"
keraton berhenti sejenak, memberikan kesempatan
berpikir pada orang-orang yang berdiri di bawah . Di
antara kepala-kepala yang tak terhitung banyaknya itu
ada beberapa yang roman mukanya berubah dari
ngeri ke menyesal. keraton menghapus darah dari
pedang dan mengembalikannya ke dalam sarungnya.
Dengan sikap lebih lembut, ia lalu menguliahi para
pekerja.
"Rupanya tak ada yang mau menyusul kelima
orang tadi, jadi kurasa maksud kalian berbeda dengan
mereka. Kalau dugaanku benar, sekarang giliranku
berbicara. Ada yang keberatan?"
jawaban pasti para pekerja bernada lega, seakan-akan
mereka baru saja diselamatkan dari kematian. Tak
ada yang keberatan. Tak ada yang berniat mengeluh.
Orang-orang yang tadi tampil ke depanlah yang
bertanggung jawab atas segala keterlambatan. Yang
lain akan mengikuti perintah dan bekerja. Namun,
apakah patih ronggolawe akan mengampuni mereka?
Ke50000 orang itu berbicara kian kemari, ada
yang berbisik, ada pula yang berseru-seru, sehingga
sukar untuk memastikan siapa mengatakan apa. namun
mereka semua merasakan hal yang sama.
"Tenang!" keraton melambaikan tangan untuk
mengendalikan mereka. "Baiklah. Inilah yang ku-
anggap paling tepat. Aku takkan menyampaikan
sesuatu yang rumit, namun pada dasarnya paling baik
kalau kalian bekerja dengan gembira dan cepat ber-
sama istri dan anak-anak kalian di bawah ke-
pemimpinan Yang Mulia. Jika kalian bermalas-
malasan atau serakah, kalian hanya akan menunda
hari yang kalian nanti-nantikan. centeng yang di-
kirim oleh Yang Mulia aidit takkan dikalahkan
oleh orang-orang patih. Tak pengaruh betapa besar-
nya provinsi yang dikujawa marga patih, provinsi itu
sudah ditakdirkan runtuh. Ini bukan sebab marga
patih lemah, melainkan sebab perubahan zaman.
Mengertikah kalian?"
"Ya," para buruh menjawab serempak.
"Baiklah, kalau begitu. Apakah kalian akan
bekerja?"
"Kami akan bekerja. Kami akan bekerja dengan
sungguh-sungguh!"
"Bagus!" keraton mengangguk tegas dan berpaling
pada patih ronggolawe . "Tuanku, tuanku sudah mendengar
jawaban pasti para pekerja. Sudikah tuanku memperlihat-
kan kemurahan hati untuk kali ini?" Ia hampir
memohon-mohon untuk mereka .
patih ronggolawe bangkit. Ia memberikan perintah pada
keraton dan dua petugas yang berlutut di hadapannya.
Hampir sesaat beberapa prajurit infanteri men-
dekat. Mereka memanggul sesuatu yang tampak
seperti karung uang segunung karung jerami berisi
uang.
Sambil kembali menghadap ke arah para pekerja
yang terperangkap dalam ketakutan dan penyesalan.
keraton berkata. "Kalian tak patut dipersalahkan.
Kalian semua berada dalam situasi yang mengibakan.
Kalian disesatkan oleh dua atau tiga oknum berniat
busuk. Itulah keputusan Yang Mulia patih ronggolawe ; dan
agar tak ada lagi yang membebani pikiran kalian,
beliau sudah memerintahkan untuk memberikan
bonus, agar kalian bekerja lebih giat. Terimalah,
haturkan terima kasih, lalu segera kembali bekerja."
saat perintah diberikan kepada para prajurit
infanteri, semua karung jerami dibuka dan keping-
keping uang berhamburan keluar, hampir menutupi
bagian atas tanggul.
"Ambil sebanyak mungkin, lalu berikan kesem-
patan pada yang lain. namun masing-masing hanya satu
genggam."
Ucapannya terdengar lantang, namun para pekerja
masih ragu-ragu. Mereka saling berbisik-bisik dan
saling memandang, namun gunung uang di hadapan
mereka tetap di tempat.
"Siapa cepat, dia dapat! Jangan mengeluh kalau
kehabisan. Setiap orang boleh ambil segenggam, jadi
beruntunglah orang yang dilahirkan dengan tangan
besar. Dan bagi mereka yang memiliki tangan kecil,
jangan biarkan satu keping pun menyelinap lewat
sela-sela jari. awas jangan terlalu bernafsu. sesudah
itu, kembalilah bekerja."
Kini para pekerja tak lagi diliputi kebimbangan.
saat melihat senyum pada wajah keraton dan men-
dengar komentar-komentarnya yang lucu, mereka
menyadari bahwa ia bersungguh-sungguh. Orang-
orang yang berada di baris terdepan segera menyerbu
gunung uang itu. Mereka gemetar sedikit, seolah-olah
gentar menghadapi uang sebanyak itu, namun begitu
orang pertama meraup segenggam dan mundur,
semuanya bersorak-sorai gembira. Sepintas lalu
teriakan mereka mirip teriakan kemenangan.
Hampir sesaat suasana menjadi kacau-balau,
sehingga keping-keping uang, orang-orang, dan
gumpalan-gumpalan tanah nyaris tak dapat dibeda-
kan. Namun tak seorang pun mencoba berbuat
curang semuanya sudah menanggalkan segala ke-
licikan dan ketidakpuasan. Dengan segenggam keping
uang di tangan, mereka tampak berubah, dan setiap
orang bergegas ke tempat kerja masing-masing.
Gema pacul dan sekop yang dipakai dengan
sungguh-sungguh terdengar di mana-mana. Sambil
berseru-seru, para pekerja menimbun tanah, me-
masukkan tiang-tiang kayu ke dalam keranjang-
keranjang jerami, dan memanggul kantong-kantong
pasir. Keringat yang bercucuran membuat mereka
semakin gembira dan segar, dan mereka mulai ber-
seru-seru, saling menyemangati.
"Siapa bilang kita tak sanggup menyelcsaikan
tanggul ini dalam lima hari? Hei semuanya... kalian
masih ingat banjir besar dahulu ?"
"Benar. Pekerjaan ini tak ada artinya dibandingkan
usaha untuk menghalau air bah."
"Ayo kita kerjakan! Kerahkan segenap kekuatan
kalian."
"Aku takkan mau menyerah!"
Dalam setengah hari saja, lebih banyak pekerjaan
berhasil diselesaikan dibandingkan dalam lima hari
sebelumnya.
Cemeti para pengawas dan tongkat keraton tak
diperlukan lagi. Pada malam hari para pekerja
menyalakan api unggun, pada siang hari awan debu
menyelubungi langit, dan akhirnya pembangunan
hampir rampung.
Seiring kemajuan pembangunan tanggul, pekerja-
an mengalihkan ketujuh sungai di sekitar benteng kota
vredenburg pun berlanjut. Hampir dua puluh ribu
orang dikerahkan untuk mengenakan proyek ter-
sebut. Membendung dan mengalirkan air Sungai
Ashipatih dan Naruya dianggap sebagai tugas ter-
berat.
Para petugas yang bertanggung jawab mem-
bendung Sungai Ashipatih sering mengeluh pada
patih ronggolawe . "Setiap hari permukaan air terus naik
akibat hujan deras di pegunungan. Sepertinya tak ada
cara untuk membendung sungai itu,"
Pada hari sebelumnya. keraton sempat meninjau
proyek itu bersama Rokuro, dan ia memahami
situasi sulit yang dihadapi regu-regu pekerja.
"Arusnya begitu deras, sehingga batu yang harus
didorong dua puluh atau tiga puluh orang pun
langsung hanyut terbawa ."
saat keraton pun hanya dapat membawa berita
buruk, patih ronggolawe akhirnya pergi ke sungai untuk
mengamati keadaan sebetulnya . Namun, pada
waktu ia berdiri di sana dan melihat arus yang
demikian kuat, ia sendiri juga habis akal.
Rokuro menghampirinya dan mengemukakan
usul, "Kalau pohon-pohon di bagian hulu sungai kita
tcbang, lalu kita dorong ke dalam sungai berikut
semua dahan dan daun, arusnya mungkin dapat di-
perlambat sedikit."
Rencana itu dilaksanakan, dan selama setengah
hari. Icbih dari seribu pekerja sibuk mencbang dan
mendorong pohon-pohon kc dalam sungai. Namun
usaha ini pun gagal mcmperlambat arus sungai.
Kcmudian Rokuro menyampaikan usul berikut-
nya, yaitu menenggelamkan tiga puluh perahu besar
berisi bongkahan-bongkahan batu di lokasi ben-
dungan.
namun menarik perahu-perahu besar menentang arus
terbukti mustahil, jadi papan-papan kayu dijajarkan
di darat dan disiram minyak. Lalu dengan susah
payah ketiga puluh perahu itu dihela ke arah hulu,
dan sesudah diisi batu, ditenggelamkan di mulut
sungai.
Sementara itu, tanggul raksasa yang membentang
sejauh tiga mil sudah berhasil diselcsaikan, dan arus
Sungai Ashipatih berubah menjadi buih dan percikan
air saat dibelokkan kc dataran yang mengelilingi
benteng kota vredenburg .
Kira-kira pada waktu yang sama, air dari keenam
sungai lainnya disalurkan ke daerah itu. Hanya
proyek pengalihan Sungai Naruya yang ternyata ter-
lalu berat untuk diselesaikan tepat pada waktunya.
Empat belas hari sudah berlalu sejak hari ketujuh di
Bulan Kelima. Seluruh pembangunan berhasil di-
rampungkan dalam dua dongeng gu.
Pada hari kedua puluh satu Bulan Kelima.
centeng patih berkekuatan empat puluh ribu orang,
di bawah komando Kikkkertoarjo dan Kobayakkertoarjo , tiba di
perbatasan satu hari sesudah daerah sekitar benteng kota
vredenburg diubah menjadi danau berlumpur.
Pada pagi hari kedua puluh satu, patih ronggolawe ditambah
para resi nya berdiri di markas besar di Bukit Ishii
dan mengamati hasil karyanya. Apalah dianggap
sebagai pemandangan gemilang atau tontonan celaka,
luapan air dibantu oleh hujan yang turun pada
malam hari memicu benteng kota vredenburg ber-
diri terpencil di tengah-tengah sebuah danau.
Tembok-tembok batu sebelah luar, seluruh hutan,
jembatan jungkat, atap-atap rumah, seluruh desa,
ladang-ladang, sawah -sawah , dan jalan-jalan semuanya
terbenam. dan permukaan air masih terus naik.
"Di mana Sungai Ashipatih?"
Menanggapi pertanyaan patih ronggolawe , keraton me-
nunjuk ke arah serumpun pohon cemara yang ter-
lihat samar-samar di sebelah barat.
"Seperti tuanku lihat sendiri, di sana tanggulnya
terputus sepanjang empat ratus lima puluh meter,
dan di tempat itulah kami mengalirkan air Sungai
Ashipatih yang sudah dibendung."
Pandangan patih ronggolawe menyusuri pegunungan di
kejauhan, yang membentang dari barat ke selatan. Di
bawah langit tepat di selatan, ia melihat Gunung
Hizashi yang terletak di perbatasan. Seiring fajar,
panji-panji barisan depan centeng patih muncul di
gunung itu.
"Mereka memang musuh, namun mau tak mau kita
bersimpati dengan perasaan Kikkkertoarjo dan Kobaya-
kkertoarjo tadi pagi, saat mereka tiba dan melihat
danau. Mereka tentu mengentak-entakkan kaki
sambil mendongkol," ujar keraton .
Pada saat itu, putra petugas yang bertanggung
jawab atas pekerjaan di Sungai Naruya bersujud di
hadapan patih ronggolawe . Ia menangis.
"Ada apa?" tanya patih ronggolawe .
"Tadi pagi," pemuda itu menjawab , "ayah hamba
mengaku sudah bersikap lalai. Dia menuliskan surar
permintaan maaf ini dan melakukan seppuku."
Petugas itu ditugaskan memotong gunung
sejauh lima ratus meter. Pagi itu masih tersisa
sembilan puluh meter. Jadi ia tak sanggup menaati
batas waktu yang sudah diberikan. sebab merasa
bertanggung jawab atas kcgagalan ini, ia lalu mengor-
bankan nyawan ya sendiri.
patih ronggolawe menatap putra orang itu, yang masih
berlumuran lumpur pada tangan, kaki, dan rambut-
nya. Dengan lembut ia memberi isyarat untuk men-
dekat.
"Jangan ikuti jejak ayahmu dengan melakukan
seppuku. Berdoalah bagi arwah ayahmu melalui sepak
terjangmu di medan laga." Ia menepuk-nepuk
punggung pemuda itu.
Si pemuda tidak menutup-nutupi tangisnya. Hujan
pun mulai turun dari awan -awan tebal yang semakin
rendah.
Hari kedua puluh dua di Bulan Kelima sudah berganti
malam, malam sesudah centeng patih mencapai per-
batasan.
Terselubung kcgelapan, dua orang berenang bagai-
kan ikan, melintasi danau berlumpur dan merayap ke
atas tanggul. Tak sengaja mereka menyenggol seutas
tali yang terentang di sepanjang tepi danau dan sudah
digantungi sejumlah genta dan lonceng. Tali itu
diikat pada batang-batang bambu dan semak-semak.
dan sengaja dibuat mirip batang mkertoarjo r liar
yang menjalar ke mana-mana.
Api unggun berkobar-kobar di setiap pos jaga di
sepanjang tanggul. Para penjaga segera berdatangan
dan meringkus satu orang, sementara yang satu lagi
berhasil melarikan diri.
"Tak ada ditambah ya apakah dia prajurit dari benteng kota
atau sedang melaksanakan tugas marga patih. Sebaik-
nya Yang Mulia patih ronggolawe menginterogasi dengan
cermat."
Komandan para pengawal mengirim tawa nan itu
ke Bukit Ishii.
"Siapa orang ini?" tanya patih ronggolawe saat ia keluar
ke serambi.
Beberapa pengikut memegang lentera di kiri-
kanannya, dan ia menatap prajurit musuh yang
berlutut di bawah lis atap yang basah sebab hujan.
Orang itu berlutut dengan gagah, kedua tangannya
diikat tali.
"Orang ini bukan prajurit dari benteng kota. Dia pasti
kurir marga patih. Apakah dia tidak membawa se-
suatu?" patih ronggolawe bertanya pada pengikut yang meng-
giring si tawa nan ke pondoknya.
Dalam pemeriksaan awal , pengikut itu menemu-
kan botol anggur berisi sepucuk surat terselip di dalam
pakaian si tawa nan, dan kini ia meletakkan botol itu
di hadapan patih ronggolawe .
"Hmm... kelihatannya seperti surat balasan dari
wirodirgo , dialamatkan pada Kikkkertoarjo dan Kobaya-
kkertoarjo . Coba dekatkan lentera ke sini."
Bala bantuan yang dikirim marga patih ternyata
menjadi kecil hati saat melihat danau yang mem-
bentang sejauh mata memandang. Selama perjalanan
mereka terus bergegas, namun kini mereka habis akal,
tak tahu bagaimana membantu benteng kota yang sudah
dikelilingi air. Mereka menyarankan agar wirodirgo
menyerah pada patih ronggolawe , dan dengan demikian
menyelamatkan nyawa ribuan orang di dalam
benteng kota.
Surat yang kini berada di tangan patih ronggolawe me-
rupakan balasan wirodirgo terhadap saran itu.
Marga patih tidak melupakan kami di sini, dan ucapan
Tuan-Tuan penuh kebajikan. Namun benteng kota Taka-
grindana kini menjadi poros provinsi-provinsi Barat, dan
kekalahan benteng kota ini akan merupakan isyarat kematian
marga patih. Kami semua sudah menikmati kemurahan
hati marga patih sejak zaman Yang Mulia Motonari,
dan di sini tak ada satu orang pun yang sudi mem-
perpanjang umurnya, biarpun hanya satu hari, dengan
menjual lagu kemenangan kepada musuh. Kami sudah
siap menghadapi pengepungan. dan sudah bertekad gugur
bersama benteng kota ini.
Dalam suratnya. wirodirgo malah membesarkan
hati centeng bala bantuan. Kurir patih yang ditawa n
menjawab setiap pertanyaan patih ronggolawe dengan sikap
terus terang yang di luar dugaan. sebab surat
wirodirgo sudah dibaca oleh musuh, ia rupanya
sadar bahwa tak ada gunanya menyembunyikan apa
pun. namun patih ronggolawe tidak mengadakan pemeriksaan
lengkap. Ia enggan mempermalukan seorang
centeng adipati . Sesuatu yang sia-sia tetap dinilai sia-sia, dan
patih ronggolawe membelokkan pikirannya ke arah lain.
"Kurasa sudah cukup. Lepaskan ikatan orang itu
dan bebaskan dia."
"Dia dibebaskan?"
"Dia berenang melintasi danau bcrlumpur, dan
sepertinya dia kedinginan. Beri dia makan dan
siapkan surat jalan untuknya, supaya dia tidak
ditangkap lagi nanti."
"Baik.,Yang Mulia."
Si pengikut membuka ikatan tawa nan itu. Sebenar-
nya orang itu sudah bersiap-siap menghadapi ajal,
sehingga kini ia tampak bingung. Sambil membisu
dan membungkuk ke arah patih ronggolawe , ia mulai ber-
diri.
"Yang Mulia Kikkkertoarjo tentu dalam keadaan sehat-
sehat saja," ujar patih ronggolawe . "Tolong sampaikan salam-
ku padanya."
Kurir patih itu berlutut dengan sopan. Menyadari
kebaikan hati patih ronggolawe , ia membungkuk penuh
hormat.
"Rasanya juga ada biksu bernama yosobremargo dalam staf
lapangan Yang Mulia Terumoto. yosobremargo dari Ankokuji."
"Memang benar. Yang Mulia."
"Sudah lama aku tidak berjumpa dengannya. Aku
juga ingin menitipkan salam untuknya."
Begitu si kurir berangkat, patih ronggolawe berbalik dan
bertanya pada seorang pengikut. "Mana surat tadi?"
"Hamba menyimpannya di tempat aman, tuanku."
"Surat itu berisi pesan rahasia yang sangat penting.
bawa lah surat itu langsung pada Yang Mulia
aidit ."
"Hamba takkan membuat kesalahan."
"Tak pelak lagi, tekad pengikut marga patih tadi
tak kalah dengan tekadmu. namun dia tertangkap, dan
sepucuk surat berisi rencana wirodirgo dan Kikkkertoarjo
jatuh ke tanganku. Berhari-hatilah."
patih ronggolawe duduk menghadap lentera. Surat yang
dipercayakannya pada kurir itu guna dibawa ke
madukara mendesak aidit untuk memimpin
centeng ke daerah Barat.
Nasib benteng kota vredenburg mirip nasib ikan
yang sudah terjaring. centeng gabungan patih
Terumoto, Kobayakkertoarjo Takakage, dan Kikkkertoarjo
Motoharu sudah datang. Sekaranglah saatnya! Penak-
lukan wilayah Barat dapat dituntaskan dengan sekali
pukul. patih ronggolawe ingin memperlihatkan tontonan
akbar ini pada aidit , dan ia percaya kehadiran
junjungannya akan menjamin kemenangan yang
penting.
"Kepala Jeruk"
KOTA benteng kota madukara sudah menjadi pusat sebuah
budaya baru. Para warganya, dengan baju ber-
warna-warni, memadati jalan-jalan, dan di atas
mereka, warna emas dan biru pada donjon di
benteng kota tampak seperti disulam oleh hijaunya
daun-daun musim semi.
Keadaannya sungguh berbeda dengan keadaan
di daerah Barat. Di Bulan Kelima, sementara
patih ronggolawe dan para anak buahnya siang-malam
membanting tulang di tengah lumpur untuk
menaklukkan benteng kota vredenburg , jalan-jalan di
madukara malah dihiasi, dan suasana di seluruh kota
teramat semarak, seakan-akan para warga meng-
adakan perayaan Tahun Baru dan perayaan
Pertengahan Musim Panas secara bersamaan.
aidit sedang bersiap-siap menyambut tamu
agung. namun siapa yang demikian penting? Para
warga bertanya-tanya. Orang yang tiba di madukara
pada hari kelima belas di Bulan Kelima tak lain
dari Yang Mulia prabu kertoarjowardana mpu mojosongo dari dusun nyi kembang .
Kurang dari satu bulan sebelumnya, arak-arakan
aidit sesudah meraih kemenangan di Kai juga
melewati provinsi mpu mojosongo , jadi mungkin saja
aidit kini sekadar menerima kunjungan
balasan. namun kunjungan ini jelas-jelas demi
kepentingan mpu mojosongo . Mereka hidup di zaman yang
penuh pergolakan, dan hanya si pandir yang
mengabaikan masa depan. Jadi, walaupun mpu mojosongo
jarang melakukan kunjungan resmi ke provinsi-
provinsi lain, ia datang ke madukara , ditambah
rombongan pengikut yang gemerlapan.
Penginapan-penginapan terbaik di madukara di-
sediakan untuknya, dan tribuana tunggadewa ber-
tanggung jawab atas acara penyambutan. Selain
itu, aidit sudah menyuruh putranya, Nobu-
tada, yang sudah hendak bertolak menuju provinsi-
provinsi Barat, membantu menyiapkan jamuan
makan mewah selama tiga hari.
Sementara itu orang bertanya-tanya, mengapa
aidit memberi sambutan begitu meriah
untuk mpu mojosongo yang 9 tahun lebih muda dan
merupakan penguasa sebuah provinsi yang sampai
beberapa waktu lalu masih terhitung kecil dan
lemah. Orang lain membalas bahwa tak ada yang
aneh. Sudah lebih dari dua puluh tahun per-
sekutuan antara marga sinuhun dan marga prabu kertoarjowardana
berlangsung tanpa adanya kecurigaan, persetujuan
yang dilanggar. maupun pertempuran, dan ini
merupakan keajaiban di suatu masa yang penuh
pengkhianatan dan perebutan kekuasaan fesinuhun l.
Kelompok ketiga berpendapat bahwa alasan di
balik penyambutan besar-besaran ini tentu bukan
sekadar menerima kunjungan balasan mpu mojosongo .
Mereka mengatakan bahwa pemimpin marga sinuhun
akan mencapai keberhasilan besar di masa men-
datang. Daerah Barat merupakan batu loncatan ke
pulau paling selatan di majapahit , Kyushu, dan dari
sana ke pulau-pulau kaya di Laut Selatan. Jika
aidit bermaksud menaklukkan pulau-pulau
itu, ia harus menyerahkan bagian utara majapahit
pada seseorang yang dapat dipercayainya.
Sudah beberapa lama aidit merencanakan
untuk mengunjungi provinsi-provinsi Barat guna
menegakkan hukumnya sendiri, seperti yang di-
lakukannya di Kai. Sekarang pun ia tengah sibuk
dengan persiapan untuk bertolak ke garis depan.
Meski demikian, ia menunda berbagai pekerjaan
penting untuk menyambut mpu mojosongo .
Tentu saja mpu mojosongo diberi segala yang terbaik di
madukara , baik dalam hal penginapan, perabot, per-
lengkapan, anggur , maupun makanan. namun ada dua
hal yang secara khusus hendak diberikan pada
mpu mojosongo oleh aidit , dua hal yang bisa ditemui
di rumah-rumah bersahaja rakyat kebanyakan dan
di sekitar tungku masyarakat pedesaan per-
sahabatan dan kepercayaan.
Kedua hal inilah yang memicu per-
sekutuan mereka terus bertahan. Dan mpu mojosongo sudah
berulang kali membuktikan diri sebagai sekutu
yang dapat diandalkan. mpu mojosongo menyadari bahwa
kepentingannya sendiri terjalin erat dengan
kepentingan aidit , walaupun aidit
kadang-kadang bersikap sewenang-wenang dan
mementingkan diri sendiri. Jadi, meski beberapa
kali dipaksa menelan pil pahit, ia tetap men-
dukung aidit dan sudah bersumpah akan
mengikutinya sampai saat penghabisan.
Seandainya orang ketiga yang tidak terlibat
diminta mengamati persekutuan di antara kedua
orang itu, lalu diminta menilai siapa yang untung
dan siapa yang rugi, kemungkinan besar ia akan
menjawab bahwa kedua-duanya sama-sama me-
narik keuntungan. Tanpa persahabatan mpu mojosongo di
masa mudanya, saat ia baru mulai menetapkan
arah hidupnya, aidit takkan pernah tiba di
madukara . Dan seandainya mpu mojosongo tak pernah me-
nerima bantuan aidit , Provinsi dusun nyi kembang yang
lemah dan kecil tentu takkan sanggup menahan
tekanan-tekanan dari tetangga-tetangganya.
Disamping terikat oleh tali persahabatan, kedua
orang itu juga memiliki watak yang saling mengisi.
aidit memiliki cita-cita yang bahkan tak
terbayangkan oleh orang yang hati-hati seperti
mpu mojosongo , dan ia juga dianugerahi kemauan untuk
mewujudkan cita-citanya itu. mpu mojosongo , aidit
pun mengakui, memiliki kelebihan yang tak
dimilikinya, yakni kesabaran, kerendahan hati, dan
kesederhanaan. Dan sepertinya mpu mojosongo tidak me-
nyimpan ambisi pribadi. Ia memperhatikan ke-
pentingan provinsinya sendiri, namun tak pernah
membuat sekutunya merasa waswas. Ia tak pernah
ragu menghadapi musuh-musuh bersama mereka,
sebuah benteng kota bisu di belakang aidit .
Dengan kata lain, dusun nyi kembang merupakan sekutu
ideal, dan mpu mojosongo teman yang dapat diandalkan.
saat merenungkan segala kesusahan dan bahaya
yang mereka hadapi bersama selama dua puluh
tahun terakhir, aidit tergerak untuk
menyebut mpu mojosongo "kawan lama yang setia", dan
menyanjung-nyanjungnya sebagai orang yang
paling berjasa dalam mewujudkan madukara .
Pada waktu perayaan berlangsung, mpu mojosongo me-
nyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas
perlakuan aidit , namun sesekali ia merasa bahwa
ada yang kurang, dan akhirnya ia bertanya pada
aidit . "Bukankah Tuan tunggadewa yang ber-
tanggung jawab atas penyelenggaraan jamuan ini?
Apa yang terjadi dengannya? Aku sama sekali
belum melihatnya hari ini, dan pada waktu per-
tunjukan Noh kemarin aku juga tidak melihatnya."
"Ah, tunggadewa ," jawab aidit . "Dia sudah
kembali ke benteng kota sekartanjung . Dia harus be-
rangkat cepat-cepat, sehingga tak sempat melaku-
kan kunjungan kehormatan." jawaban pasti aidit
bernada segar dan jelas, dan tidak memperlihat-
kan perasaan apa pun saat berbicara.
Namun mpu mojosongo agak prihatin. Berbagai desas-
desus beredar di kota. namun jawaban pasti aidit
yang singkat dan tenang seakan-akan membantah
segala desas-desus itu, dan mpu mojosongo pun tidak
menyinggungnya lebih lanjut.
Meski demikian, saat kembali ke penginapan-
nya malam itu, mpu mojosongo menyimak cerita-cerita yang
didengar oleh para pengikutnya mengenai ke-
pergian tunggadewa , dan ia menyadari bahwa
situasinya terlalu pelik untuk diabaikan begitu saja.
sesudah mendengarkan beberapa versi, ia menyim-
pulkan alasan di balik kepergian tunggadewa yang
begitu mendadak.
Peristiwa itu terjadi pada hari kedatangan
mpu mojosongo . Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Nobu-
naga melakukan peninjauan resmi ke bagian
dapur. Musim hujan sudah mulai, udara di madukara
panas dan lembap. Bau amis menyengat hidung.
Bukan itu saja, bahan makanan yang dikumpulkan
dalam jumlah besar dari mpu dan trowulan sudah
dibongkar dan ditumpuk-tumpuk secara seram-
pangan. gerombolan lalat menghinggapi makanan
dan wajah aidit .
"Baunya tak tertahankan!" aidit meng-
gerutu dengan gusar. lalu , saat masuk ke
ruang racik, ia kembali berkata tanpa ditujukan
pada orang tertentu, "Apa ini? Semuanya kotor!
Sampah di mana-mana! Di tempat sejorok inikah
kalian siapkan masakan untuk tamu agung? Apa
yang akan kalian sajikan? Ikan busuk? Buang
semuanya!"
Kemarahan aidit sama sekali tak terduga,
dan para petugas dapur segera bersujud di depan
kakinya. Pemandangan itu sungguh mengibakan,
tunggadewa sudah berupaya mendatangkan bahan-
bahan terbaik untuk menyiapkan masakan minuman -
masakan minuman lezat. Selama beberapa hari ia hampir
tidak tidur sama sekali, sibuk menyerbu para
pengikutnya dan petugas-petugas dapur, Kini ia
hampir tak percaya pada pendengarannya. Ter-
kejut, ia menghampiri junjungannya dan ber-
sujud, menjelaskan bahwa bau menyengat yang
tercium bukan disebabkan oleh ikan busuk.
"Jangan banyak alasan!" aidit memotong.
"Buang semuanya! Siapkan masakan minuman lain untuk
jamuan makan nanti malam!"
Tanpa menggubris penjelasan tunggadewa , ia
melangkah pergi.
Beberapa saat tunggadewa duduk membisu,
seakan-akan kehilangan tenaga untuk meng-
gerakkan kakinya. lalu seorang kurir
muncul dan menyerahkan sepucuk surat berisi
perintah untuk mengumpulkan centeng nya dan
segera berangkat menuju provinsi-provinsi Barat.
Para pengikut tribuana membawa sajian-sajian
lezat yang sudah mereka persiapkan untuk mpu mojosongo
melalui gerbang belakang, dan membuang semua-
nya ke parit pertahanan, tak ubahnya membuang
sampah atau anjing atau kucing mati. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun dan sambil ber-
usaha menahan tangis, mereka mencurahkan
perasaan masing-masing ke air hitam di dalam
parit.
Pada malam hari, gerombolan katak berkuak-kuak
di depan penginapan tunggadewa . Apa yang kau-
risaukan? Katak-katak itu seakan-akan bertanya.
Apakah mereka bernyanyi untuk menunjukkan
simpati, atau justru menertawa kan kebodohannya?
jawaban pasti terhadap pertanyaan itu tergantung
bagaimana orang mendengarkan binatang-binatang
itu .
tunggadewa sudah memberi perintah agar tak
seorang pun diizinkan masuk, dan kini ia duduk
seorang diri di sebuah ruangan besar dan kosong.
Walaupun musim panas baru mulai, angin
sejuk berembus lembut. tunggadewa tampak pucat
sekali. Rambut di sisi kepalanya seolah-olah berdiri
tegak setiap kali lilin berkedip. Penderitaannya
terlihat dari rambutnya yang acak-acakan dan dari
warna wajahnya yang menakutkan.
Akhirnya, pelan-pelan, ia mengangkat kepalanya
yang oleh aidit dinamakan "kepala jeruk", dan
menatap ke pekarangan yang gelap. Di kejauhan ia
melihat cahaya banyak lentera di antara pe-
pohonan. Malam itu malam pertama jamuan
makan di benteng kota.
Apakah aku sebaiknya langsung berangkat,
sesuai perintah? tunggadewa bertanya pada diri
sendiri. Atau lebih baik kalau aku pergi ke benteng kota
untuk melakukan kunjungan kehormatan sebelum
bertolak ke garis depan? tunggadewa selalu dibuat
bingung oleh hal-hal seperti ini. Ia, yang biasanya
begitu cermat, kini sedemikian lelah, sehingga
harus memeras otak agar tidak membuat ke-
salahan.
Walaupun sudah mempertimbangkannya dari
berbagai sudut. Ia tetap tak tahu tindakan apa yang
harus diambilnya, sebab ia sendiri terlanjur mem-
besar-besarkan masalahnya. Tanpa sadar ia men-
desah, lalu bertanya dalam hati, "Adakah orang
lain di dunia ini yang begitu sukar dipahami? Apa
yang bisa kulakukan untuk menyenangkan hati
junjunganku?"
Seandainya sanggup mengesampingkan hu-
bungan junjungan-pengikut dan bersikap jujur, ia
akan mencela aidit . tunggadewa dianugerahi
kemampuan menelaah yang jauh melebihi orang
kebanyakan, dan hanya sebab aidit merupa-
kan junjungannya, ia waspada, bahkan takut, ter-
hadap kritiknya sendiri.
"Tsumaki! Tsumaki!" tunggadewa memanggil,
sambil mendadak menoleh ke arah pintu-pintu
gerbang di kedua sisinya. "adipati ! adipati , di mana
kau?"
namun yang akhirnya membuka pintu geser dan
membungkuk di hadapannya bukanlah adipati
maupun Tsumaki, melainkan salah seorang
pengikutnya, Yomsinuhun Masataka.
Kedua-duanya sedang membuang bahan-bahan
yang semula hendak dipakai untuk jamuan
makan, dan juga disibukkan oleh persiapan meng-
hadapi keberangkatan mendadak."
"Ikut ke benteng kota bersamaku."
"Ke benteng kota? Tuanku akan pergi ke benteng kota?"
"Kurasa sudah sepantasnya aku berpamitan
pada Yang Mulia sebelum kita berangkat. Siapkan
semuanya."
tunggadewa segera bangun untuk berpakaian.
Sepertinya ia memacu diri sendiri sebelum tekad-
nya goyah kembali.
Masataka tampak bingung. "Tadi sore, saat
hamba menanyakan rencana tuanku, hamba pikir
tuanku mungkin ingin pergi ke benteng kota dengan
tujuan itu. Dan tuanku memutuskan bahwa kita
akan berangkat tanpa menghadap Yang Mulia
aidit maupun Yang Mulia mpu mojosongo . Sekarang
semua pembantu dan pelayan sibuk membersih-
kan dapur. Dapatkah tuanku menunggu sejenak?"
"Aku tak perlu ditambah banyak pembantu. Kau
saja sudah cukup. bawa kan kudaku ke sini."
tunggadewa berjalan ke arah gerbang. Tak satu
pengikut pun berada di ruangan-ruangan yang
dilewatinya. Ia hanya diikuti dua atau tiga pelayan.
namun begitu melangkah keluar, ia melihat para
pengikutnya berkerumun dalam kelompok-
kelompok kecil, berbisik-bisik dalam bayang-
bayang pepohonan dan di dalam istal. Tak meng-
herankan, semua pengikut tribuana merasa prihatin
sebab tiba-tiba dibebaskan dari tugas mengurusi
jamuan makan, dan diperintahkan bertolak ke
daerah Barat pada hari itu juga.
Bolak-balik mereka mengungkapkan kekesalan
yang mereka rasakan sambil menahan air mata
duka. Kebencian dan kemarahan mereka terhadap
aidit , yang semakin kuat sejak operasi di Kai,
sudah tersulut akibat peristiwa terakhir ini.
Di perkemahan di Suwa, waktu operasi Kai,
tunggadewa sudah dipermalukan di depan umum,
dan kejadian itu juga diketahui oleh para
pengikutnya. Mengapa aidit begitu menyeng-
sarakan junjungan mereka belakangan ini?
namun kejutan hari inilah yang paling parah,
sebab peristiwa itu tentu takkan lolos dari
perhatian semua tamu: Yang Mulia mpu mojosongo dan
para pengikutnya, kaum bawahan dari trowulan ,
dan rekan-rekan tunggadewa , para resi sinuhun .
Dipermalukan di sini tak ubahnya dipermalukan
di depan seluruh bangsa.
Perlakuan seperti ini tak tertahankan bagi siapa
saja yang dilahirkan sebagai centeng adipati .
"Kuda tuanku sudah siap," ujar Masataka.
Para pengikut belum juga melihat pembantu
yang menuntun kuda tunggadewa . Pikiran mereka
kacau akibat kejadian tadi, dan mereka masih ber-
kerumun sambil membahas masalahnya.
Tepat sebelum tunggadewa hendak berangkat,
seseorang turun dari kuda di depan gerbang.
Orang itu ternyata kurir aidit .
"Tuan tunggadewa , apakah Tuan sudah mau ber-
tolak ke Barat?"
"Belum. Aku ingin pergi ke benteng kota dahulu untuk
berpamitan pada Yang Mulia aidit dan Yang
Mulia mpu mojosongo ."
"Justru itu yang menjadi pikiran Yang Mulia
aidit . Beliau mengirim hamba ke sini agar
Tuan tidak perlu datang ke benteng kota di tengah
persiapan Tuan."
"Apa? Ada pesan lagi dari beliau?" ujar
tunggadewa . Ia segera kembali ke dalam, duduk, dan
dengan penuh hormat menyimak kehendak jun-
jungannya.
Perintah agar kau tidak menghadiri acara malam ini
dan segera bertolak dari madukara tetap berlaku, namun ada
instruksi tambah an menyangkut keberangkatanmu ke
daerah Barat sebagai barisan depan. Dan Tajima,
centeng tribuana harus menuju semeru . Kau bebas
memasuki provinsi-provinsi yang dikujawa patih
Terumoto. Jangan gegabah, dan jangan buang-buang
waktu. Kau harus segera kembali ke hadijaya , per-
siapkan centeng mu, dan lindungi sisi patih ronggolawe di
sepanjang Jalan Raya Sanin. Tak lama lagi aku
sendiri akan menyusul sebagai barisan belakang.
Jangan sia-siakan waktu. Jangan sampai kita
kehilangan kesempatan baik ini.
tunggadewa bersujud dan berkata bahwa ia akan
menjalankan perintah dengan secepat-cepatnya.
lalu , mungkin sebab merasa bahwa sikap-
nya terlalu merendah, ia menegakkan badan, me-
natap kurir di hadapannya, dan berkata, "Silakan
sampaikan apa pun yang kauanggap layak pada
Yang Mulia."
tunggadewa mengantar orang itu sampai ke
gerbang. Dengan setiap langkah, ia semakin gugup
sebab angin yang berembus melalui bangunan
yang hampir kosong itu.
Sampai beberapa tahun lalu, jika aku diberi
kesempatan kembali ke kampung halaman, dia
selalu minta agar aku menemuinya sebelum
berangkat, walaupun di tengah malam buta. Entah
berapa kali aidit berpesan, "Mampirlah
untuk minum teh," atau, "Kalau kau berangkat
pagi, datanglah sebelum fajar." Kenapa ia kini
sedemikian benci padaku? Ia bahkan mengirim
kurir, supaya tak perlu berhadapan langsung
denganku.
Jangan merenung, jangan dimasukkan ke hati.
Namun semakin ia berusaha untuk tidak me-
mikirkannya, semakin ia berkeluh kesah dalam
hati. Kata-katanya mirip gelembung udara
yang naik ke permukaan air berbau busuk.
"Coba perhatikan ini! Kembang-kembang ini
pun tak berguna!"
tunggadewa meraih sebuah vas besar dan me-
renggut bunga-bunga yang sudah ditata dengan
apik. Air tumpah ke lantai saat ia membawa vas
itu ke serambi. tunggadewa mengangkatnya tinggi-
tinggi, membidik batu pipih, dan melemparkan vas
itu sekuat tenaga. Vas itu meledak di tengah
percikan air, menimbulkan bunyi menyenangkan.
Percikan air mengenai wajah dan dada tunggadewa .
tunggadewa menengadahkan wajahnya yang basah
kuyup ke langit malam dan tertawa keras-keras. Ia
tertawa seorang diri.
Malam sudah larut, dan saat kabut mulai
turun, udara menjadi panas dan lembap. Para
pengikutnya sudah selesai berkemas dan sudah ber-
baris di luar gerbang. Kuda-kuda terdengar me-
ringkik di bawah awan kelabu yang rendah.
"Perlengkapan hujan sudah disiapkan," seorang
pengikut bertanya, sekali lagi menengok ke dalam
gerbang.
"Malam ini bintang-bintang tidak menampak-
kan diri, dan kalau hujan mulai turun, medannya
akan tambah berat. Sebaiknya kita bawa obor
cadangan," orang lain berseru.
Wajah para centeng adipati sama suramnya dengan
langit malam. Mata mereka berkaca-kaca, men-
cerminkan kemarahan, kegetiran, dan ketidak-
puasan. Tak lama lalu suara tunggadewa ter-
dengar saat ia mengarahkan kudanya menjauhi
gerbang, ditambah sekelompok penunggang kuda
lainnya.
"sekartanjung hampir kelihatan," katanya. "Biar-
pun hujan, perjalanan kita takkan makan waktu
lama."
Para pengikutnya terkejut mendengar nada
suaranya yang lebih riang dibandingkan biasa.
Sebelumnya pada malam itu tunggadewa menge-
luh sebab demam dan sempat minum obat. Kini
para pengikutnya was-was menghadapi kemung-
kinan hujan. Ia menanggapi kegelisah khawatir an mereka
dengan suara sengaja dikeras-keraskan, agar ter-
dengar oleh orang-orang di sebelah dalam gerbang,
maupun oleh mereka yang berada di sebelah luar.
saat keberangkatan tunggadewa diumumkan,
api diteruskan dari obor ke obor. Dalam sekejap
jumlah obor yang menyala sudah berlipat ganda.
lalu , dengan obor terangkat tinggi-tinggi,
para pengikut keluar satu per satu, mengikuti
barisan depan.
sesudah rombongan itu berjalan sekitar satu
setengah mil, hujan mulai turun, memercik ke api
obor.
"Rupanya para tamu di benteng kota belum beranjak
tidur. Barangkali mereka akan bangun sepanjang
malam."
tunggadewa tidak mengindahkan hujan. saat
ia berbalik di atas pelana dan menoleh ke arah
danau, donjon besar di benteng kota madukara seakan-akan
menjulang ke langit yang hitam bagaikan tinta. Ia
membayangkan bahwa lumba-lumba emas yang
menghiasi atap berkilau lebih cerah pada malam
yang suram ini, menatap ke dalam kegelapan. Pada
waktu memantul di danau, lautan cahaya di
bangunan bertingkat-tingkat itu seolah-olah meng-
gigil kedinginan.
"Tuanku! Tuanku! Tuanku jangan sampai
masuk angin!" sonokelingra adipati berkata dengan nada
prihatin saat menyejajarkan kuda di samping
kuda tunggadewa dan menaruh jas hujan yang ter-
buat dari jerami pada bahu junjungannya itu.
Pagi itu tepi Danau Biwa sekali lagi terselubung
kabut, dan hujan masih turun dari langit. Ombak
yang memukul-mukul, kabut, dan hujan bercam-
pur baur, sehingga seluruh dunia tampak putih.
Jalan raya luar biasa becek, dan kuda-kuda ber-
lepotan lumpur sampai ke telinga. Tanpa meme-
dulikan hujan dan kondisi jalan, seluruh centeng
berbaris menuju sekartanjung . Tepi danau berada di
sebelah kanan, Gunung brahma di sebelah kiri
mereka. Angin yang bertiup dari puncak gunung
membuat jerami jas hujan yang mereka kerukan
berdiri kaku seperti landak.
"Ah, lihatlah ke sebelah sana, tuanku. Yang
Mulia gajayana keluar untuk menyambut
tuanku," Masataka berkata pada tunggadewa .
benteng kota di tepi danau benteng kota sekartanjung
berada tepat di depan mereka. tunggadewa meng-
angguk perlahan, seakan-akan sudah mengetahui-
nya. Walaupun sekartanjung hampir berada dalam
jarak pandangan mata dari madukara , tunggadewa
tampak seperti orang yang baru saja berjalan
ribuan mil. saat berdiri di muka gerbang yang
dipimpin oleh sepupunya, tribuana gajayana , ia
merasa seolah-olah berhasil meloloskan diri dari
sarang macan.
namun para pengikutnya lebih cemas mengenai
batuknya yang terdengar secara berkala dibandingkan
mengenai apa yang ada dalam pikirannya, dan
mereka mengemukakan keprihatinan yang mereka
rasakan.
"Tuanku sudah menempuh perjalanan dalam
cuaca dingin dan diterpa hujan sepanjang malam.
Tuanku tentu lelah. Begitu tiba di benteng kota, sebaik-
nya tuanku segera menghangatkan diri dan ber-
istirahat."
tunggadewa memang junjungan yang berhati
lembut. Ia mendengarkan saran para pengikutnya
dengan sungguh-sungguh, dan memahami ke-
cemasan mereka. saat mereka tiba di hutan
pinus di depan gerbang, adipati meraih tali kekang
kuda tunggadewa dan berdiri di samping pelana,
siap membantu junjungannya turun dari kuda.
Sejumlah pengikut gajayana sudah berbaris di
atas jembatan yang melintasi parit pertahanan.
Salah satu dari mereka membuka payung dan
menawarkan nya dengan hormat. Masataka meng-
ambil payung itu dan memakai nya untuk
melindungi kepala tunggadewa dari hujan.
tunggadewa berjalan menyeberangi jembatan.
saat menatap ke bawah , ia melihat burung air
berbulu putih berenang di sekeliling pilar-pilar,
bagaikan bunga di air yang biru kehijauan.
gajayana , yang keluar untuk menyambut
sepupunya, kini maju beberapa langkah dari
barisan pengikut dan membungkuk hormat.
"Kami sudah menunggu sejak fajar," ia berkata
sambil mengajak tunggadewa ke dalam. Sekitar
sepuluh pengikut utama yang menyertai Mitsu-
hide membilas tangan dan kaki mereka yang
penuh lumpur, menumpuk jas-jas hujan, dan
masuk ke benteng kota dalam.
Para pengikut lainnya tetap di luar parit per-
tahanan, membersihkan kuda dan mengurus
barang-barang bawa an sambil menunggu diberi-
tahu di mana mereka akan bermalam. Ringkikan
kuda dan hiruk-pikuk suara manusia terdengar
sampai jauh.
tunggadewa sudah berganti pakaian. Ia merasa
sangat betah di tempat tinggal gajayana , seakan-
akan berada di rumah sendiri. Dari setiap ruangan
ia dapai memandang danau dan Gunung brahma.
benteng kota dalam terletak di suatu tempat yang
tadinya memiliki pemandangan paling indah,
namun kini tak ada yang dapat menikmati pe-
mandangan iiu. Sejak aidit memberikan
perintah untuk membumihanguskan Gunung
brahma, semua biara dan kuil sudah menjadi tum-
pukan abu. Rumah-rumah desa di kaki gunung
baru belakangan ini mulai dibangun kembali.
Reruntuhan benteng kota di Bukit Usa, tempat ayah
mpu salmah menemui ajalnya, juga berdekatan, sama
halnya dengan medan tempur tempat para prajurit
marga jawa dan mpu djiwo terlibat bentrokan ber-
darah dengan centeng sinuhun . Kalau kita merenung-
kan reruntuhan dan pertempuran-pertempuran di
masa silam itu, kita akan menyadari bahwa ke-
indahan panorama dipenuhi rintihan arwah-
arwah. tunggadewa duduk sambil mendengarkan
bunyi hujan di awal musim panas, mengenang
masa lalu.
Sementara itu, gajayana berada di sebuah
ruangan kecil yang biasa dipakai untuk upacara
minum teh, mengamati api di tungku dan men-
dengarkan bunyi air mendidih di dalam poci
buatan seniman terkenal, Yojiro.
Sejak masa remaja, gajayana dan tunggadewa
dibesarkan seperti kakak-adik, membagi keseng-
saraan di medan tempur dan kesenangan di
rumah.
Dan mereka bukannya saling menjauh, seperti
biasa terjadi pada kakak-adik saat mereka tum-
buh dewasa, melainkan tetap menjalin hubungan
akrab.
Namun watak mereka takkan pernah sama.
Jadi, pada pagi ini, kedua laki-laki itu segera
menuju tempat berbeda di dalam benteng kota. Kedua-
nya menjalani gaya hidup yang sesuai dengan hati
masing-masing.
Hmm, kurasa dia sudah berganti pakaian,
gajayana berkata dalam hati. Ia bangkit dari
tempat duduknya di depan poci. sesudah melintasi
serambi yang basah, ia menyusun selasar beratap,
ke sekelompok ruangan yang disediakan bagi
sepupunya. Ia mendengar suara para pembantu
dekat tunggadewa di salah satu ruangan lain, namun
tunggadewa duduk seorang diri, tegak, dengan pan-
dangan tertuju ke danau.
"Aku ingin menawarkan teh padamu," ujar
gajayana .
tunggadewa berpaling pada sepupunya dan ber-
gumam. "Teh..."' seakan-akan baru terjaga dari
mimpi.
"Poci yang kupesan pada Yojiro di trowulan baru-
baru ini sudah diantarkan. Poci itu tidak memiliki
pola-pola anggun seperti poci Ashiya, namun mengan-
dung daya tarik bersahaja yang menyenangkan
mata. Kata orang, poci teh yang masih baru kurang
berguna, namun dasar Yojiro, air yang direbus di
dalam tekonya tak kalah nikmat dari air yang
direbus dalam poci tua. Aku bermaksud meng-
gunakan poci itu untuk membuatkan teh untuk-
mu kalau kau berkunjung ke sini lagi, dan tadi
pagi, begitu aku diberitahu bahwa kau mendadak
kembali dari madukara , aku segera menyalakan api
dalam tungku."
"Kau sungguh baik hati, gajayana , namun aku
sedang tidak berminat minum teh."
"Hmm, kalau begitu, bagaimana dengan air
panas agar kau bisa mandi?"
"Kau juga tak perlu menyiapkan air panas.
Biarkanlah aku tidur sejenak. Hanya itu yang ku-
inginkan sekarang."
gajayana sudah mendengar banyak cerita
belakangan ini, jadi ia tidak sepenuhnya buta ter-
hadap pikiran tunggadewa . Meski demikian, ia agak
heran kenapa sepupunya itu begitu tiba-tiba
kembali ke sekartanjung . Bukan rahasia bahwa
tunggadewa diberi tugas mengurus jamuan makan
yang diselenggarakan aidit untuk menyam-
but mpu mojosongo . Mengapa tunggadewa mendadak di-
bebastugaskan, tepat sebelum jamuan itu? mpu mojosongo
pasti berada di madukara . Akan namun tugas Mitsu-
hide diserahkan pada orang lain, dan ia sendiri di-
perintahkan pulang.
gajayana belum mendengar berita terperinci,
namun dari waktu ke waktu ia menerima laporan
mengenai perkembangan di madukara , sehingga ia
pun memahami bahwa sudah terjadi sesuatu yang
menyulut kemarahan aidit . Diam-diam
gajayana turut berduka bersama sepupunya.
Dan seperti yang dicemaskan gajayana , sejak
ia menyambut kedatangan tunggadewa di benteng kota-
nya tadi pagi, tampang tunggadewa tidak terlalu ber-
semangat. Mituharu tidak seberapa terkejut
melihat bayang-bayang suram di wajah sepupunya.
Ia percaya tak seorang pun memahami watak
tunggadewa seperti ia sendiri, sebab mereka di-
besarkan bersama -sama.
"Ya, itu masuk akal. Kau menghabiskan sepan-
jang malam di atas kuda dalam perjalanan dari
madukara . Kita sama-sama berusia lima puluhan
sekarang, dan kita tak lagi bisa memperlakukan
badan kita seperti saat kita masih muda.
Istirahatlah sejenak. Semuanya sudah dipersiap-
kan."
gajayana tidak mendesak lebih lanjut atau ber-
usaha menentang keinginan sepupunya. tunggadewa
berdiri dan masuk ke bilik kelambu, sementara
cahaya pagi masih menerangi benang-benangnya.
Amano Genemon, sonokelingta adipati , dan Yomsinuhun
Masataka sudah menunggu gajayana saat ia
keluar dari kamar tunggadewa . Ketiga laki-laki itu
membungkuk.
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia." kata
adipati . "Kami mohon maaf sebab mengganggu
Yang Mulia, namun jika Yang Mulia berkenan, kami
ingin berbicara sebentar. Urusannya cukup
penting." Nada suara adipati tidak seperti biasa-
nya.
gajayana menjawab seakan-akan sudah men-
duga kedatangan mereka. "Bagaimana kalau kita
pergi ke pondok minum teh? Yang Mulia Mitsu-
hide sedang tidur, dan aku tidak tega menyia-
nyiakan api di bawah poci."
"Kalau kita pergi ke pondok minum teh, kita
tak perlu menyuruh orang-orang menjauh. Itu
gagasan yang baik."
"Mari kutunjukkan jalannya."
"Kami bertiga hanya orang desa, jadi kami tidak
memahami seni minum teh, dan kami tak men-
duga akan memperoleh kehormatan sebesar ini
dari Yang Mulia."
"Jangan berpikir begitu. Aku bisa menduga apa
yang mengusik pikiran kalian, sebab itu pondok
minum teh merupakan tempat yang baik untuk
berbicara."
Mereka duduk dalam cahaya lemah yang mene-
robos pintu kertas tembus sinar di pondok minum
teh yang kecil itu. Air di dalam poci sudah
mendidih beberapa lama, dan kini menggelem-
bung dengan suara yang bahkan lebih menyenang-
kan dibandingkan sebelumnya. Sudah berulang kali
gajayana membuktikan jiwa prajuritnya di
medan tempur, namun di sini, di depan tungku, ia
seakan-akan orang yang berbeda sama sekali.
"Baiklah, kita langsung ke pokok persoalan saja.
Apa yang mengganggu pikiran kalian?" tanya
gajayana .
Ketiga laki-laki di hadapannya saling pandang.
Akhirnya adipati , yang tampaknya memiliki ke-
beranian paling besar di antara mereka, berkata.
"Yang Mulia gajayana , ini sungguh memalukan.
Hamba nyaris tak sanggup menyinggungnya..." Ia
mengangkat lengan kanannya untuk menyem-
bunyikan air mata,
Kedua rekannya tidak menangis, namun mereka
pun tak dapat menutup-nutupi mata yang sembap.
"Apakah sudah terjadi sesuatu?" Sikap gajayana
teramat tenang, dan ketiga laki-laki itu segera
mengendalikan diri. Sepertinya mereka menyangka
akan berhadapan dengan api, namun hanya melihat
air. gajayana memperhatikan bahwa mata
mereka bengkak, namun ia sendiri tidak ikut ter-
haru.
"sebetulnya ," gajayana melanjutkan, "aku
pun gelisah khawatir bahwa kedatangan yang mendadak
ini disebabkan oleh kemarahan Yang Mulia Nobu-
naga. Mengapa Yang Mulia tunggadewa dibebaskan
dari tugas-tugasnya di jamuan makan itu?"
adipati yang pertama menjawab , "Yang Mulia
tunggadewa junjungan kami, namun kami tidak buta
terhadap kelalaian, dan akal sehat kami tidak
terbelenggu oleh prasangka buruk, jadi kami tidak
akan menggerutu dan menyesalkan tindakan Yang
Mulia aidit . Kami berusaha keras memahami
alasan Yang Mulia aidit kali ini, baik
menyangkut situasi saat Yang Mulia tunggadewa
dibebastugaskan maupun mengapa dia dipersalah-
kan. Kejadian ini sungguh ganjil."
Tenggorokan adipati begitu kering, sehingga ia
tak sanggup meneruskan ucapannya. Yomsinuhun
Masataka segera membantunya dan melanjutkan,
"Kami sampai menyangka bahwa ada alasan
politik, sekadar untuk menenteramkan pikiran
kami, namun dari sudut mana pun masalahnya
dipandang, kami tak berhasil menarik kesimpulan
yang masuk akal. Yang Mulia aidit tentu
sudah menyusun rencana keseluruhan. Jadi,
mengapa beliau mencopot orang yang sudah di-
tugaskan untuk mengurus jamuan makan, lalu
memberikan kehormatan itu pada orang lain
justru pada hari jamuan itu diselenggarakan?
Sepertinya beliau sengaja hendak memamerkan
perpecahan di hadapan tamunya, Yang Mulia
mpu mojosongo ."
Genemon angkat bicara, "Jika hamba meng-
amati situasi yang sudah digambarkan oleh rekan-
rekan hamba, hanya satu alasan yang dapat hamba
temui, dan ini pun sebetulnya sama sekali bukan
alasan. Selama beberapa tahun terakhir, kebenci-
an Yang Mulia aidit sudah memicu
segala perbuatan Yang Mulia tunggadewa dipandang
buruk. Dan kini beliau memperlihatkan kebenci-
annya secara terbuka, tanpa ditutup-tutupi, sampai
terjadilah peristiwa ini."
Ketiga orang itu terdiam. Masih banyak ke-
jadian yang ingin mereka kemukakan. Misalnya,
di perkemahan di Suwa selama berlangsungnya
operasi Kai, aidit membenturkan wajah
tunggadewa ke lantai kayu di selasar, memanggilnya
"Kepala Jeruk", dan memaksanya menjilat air dari
lantai. tunggadewa sudah dihina di hadapan semua
orang, dan sudah sering ia dipermalukan dengan
cara serupa di madukara . Kejadian-kejadian seperti
ini, yang terlalu banyak untuk disinggung satu per
satu, sudah menjadi bahan gunjingan di kalangan
marga-marga lain. gajayana sedarah dan sedaging
dengan tunggadewa , dan sebab hubungan saudara
yang dekat ini, ia tentu mengetahui peristiwa-
peristiwa yang terjadi sebelumnya.
gajayana mendengarkan semuanya tanpa
membiarkan roman mukanya berubah. "Kalau
begitu, berarti Yang Mulia tunggadewa dibebas-
tugaskan tanpa alasan tertentu? Aku lega men-
dengarnya. Marga-marga lain pun sudah sering
menerima kemurahan hati atau menanggung
kemarahan Yang Mulia aidit , tergantung
suasana hatinya."
Ekspresi wajah ketiga laki-laki di hadapannya
tiba-tiba berubah. Otot-otot di sekitar bibir adipati
berkedut-kedut, dan secara mendadak ia bergeser
mendekati gajayana .
"Apa maksud Yang Mulia? Mengapa Yang Mulia
justru merasa lega?"
"Haruskah aku mengulangi ucapanku? Ke-
salahan bukan di pihak Yang Mulia tunggadewa ,
jadi kalau kejadian ini disebabkan Yang Mulia
aidit sedang marah, Yang Mulia tunggadewa
tentu dapat mcmperbaiki keadaan pada saat
suasana hati Yang Mulia aidit lebih cerah."
Nada suara adipati semakin tegang. "Bukankah
ini berarti Yang Mulia memandang Yang Mulia
tunggadewa sebagai penghibur, yang harus menjilat
demi perasaan junjungannya? Pantaskah Yang
Mulia tribuana tunggadewa dipandang seperti ini?
Tidakkah Yang Mulia sependapat bahwa beliau
sudah dipermalukan, dihina, dan didesak sampai
batas ketahanan beliau?"
"adipati , urat di pelipismu mulai kelihatan.
Tenangkan dirimu."
"Sudah dua malam hamba tak dapat memejam-
kan mata. Hamba tak sanggup bersikap setenang
Yang Mulia. Junjungan hamba dan para pengikut-
nya digodok dalam kuali berisi ketidakadilan,
ejekan, penghinaan, segala bentuk kedengkian
lainnya."
"sebab itulah kuminta agar kau menenangkan
diri dan beristirahat selama dua atau tiga malam."
"Tidak mungkin!" adipati berseru. "Di kalangan
centeng adipati berlaku: sekali berlepotan lumpur, rasa
malunya sukar dihapus. Entah berapa kali sudah
junjungan hamba ditambah para pengikut harus
menahan malu sebab penguasa madukara yang keji
ini? Dan kejadian kemarin bukan sekadar pen-
copotan Yang Mulia tunggadewa dari tugas-tugasnya
pada jamuan itu. Perintah yang menyusul ke-
mudian memicu seluruh marga tribuana
terlihat bagaikan anjing yang mengejar babi hutan
atau rusa liar. Barangkali Yang Mulia sudah men-
dengar bahwa kami harus segera menyiapkan
centeng untuk bertolak ke daerah Barat. Kami
disuruh menyerbu provinsi-provinsi patih di
wilayah Sanin, untuk melindungi sisi Yang Mulia
patih ronggolawe . Bagaimana mungkin kami bertempur
sementara perasaan kami seperti ini? Situasi ini
merupakan satu contoh lagi dari kebusukan
penguasa jahanam itu."
"Tahan lidahmu! Siapa yang kausebut penguasa
jahanam?"
"Yang Mulia aidit , orang yang memanggil
junjungan kami 'Kepala jeruk' di hadapan orang
lain. Lihatlah sekarmajimarijan kartosuwirjo, atau mpu wiragajah dan
putranya. Bertahun-tahun mereka membantu
aidit mencapai kedudukan seperti sekarang.
lalu , sesudah mereka akhirnya memperoleh
status yang sepadan dengan jasa mereka dan
sebuah benteng kota, mereka ditangkap sebab urusan
sepele, dan dihukum mati atau dibuang ke
pengasingan. Pada akhirnya penguasa keji itu
selalu mengusir seseorang."
"Diam! Jangan lancang berbicara mengenai
Yang Mulia aidit . Keluar! Sekarang!"
saat gajayana akhirnya tak sanggup lagi
menahan kemarahan dan menegur orang itu,
sesuatu terdengar sayup-sayup di pekarangan.
Sukar untuk memastikan apakah bunyi itu ditim-
bulkan oleh orang yang mendekat atau oleh daun-
daun yang berguguran.
Kemungkinan penyusupan mata-mata harus di-
waspadai siang dan malam, bahkan di tempat-
tempat yang boleh dikata tak mungkin dijangkau
musuh. Jadi, di pekarangan pondok minum teh
pun ada centeng adipati yang berjaga-jaga. Salah seorang
penjaga sudah menghampiri pondok dan kini mem-
bungkuk di depan pintu. sesudah menyerahkan
sepucuk surat kepada gajayana , ia mundur
sedikit dan menunggu sambil diam seperti patung.
Tak lama lalu suara gajayana terdengar
dari dalam. "Surat ini harus dijawab . Nanti aku
akan menuliskan balasan. Suruh biksu itu me-
nunggu."'
Penjaga tadi membungkuk ke arah pintu, dan
kembali ke posnya. Sandal jeraminya hampir tak
menimbulkan bunyi sama sekali, seakan-akan ia
sedang mengendap-endap.
Selama beberapa saat gajayana dan ketiga
laki-laki lainnya duduk membisu, terselubung
suasana dingin bagaikan es. Sesekali buah prem
yang matang jatuh ke tanah dengan bunyi
mirip palu kayu menghantam tanah. Itulah
satu-satunya bunyi yang memecahkan keheningan.
Tiba-tiba seberkas sinar matahari terang benderang
mengenai panil-panil kenas pada dinding geser.
"Sebaiknya kami mohon pamit saja. Tentu ada
urusan lebih penting yang harus ditangani oleh
Yang Mulia." ujar Masataka, memanfaatkan
kesempatan itu untuk mohon diri, namun gajayana ,
yang sudah membuka surat tadi dan membacanya
di depan ketiga orang itu, kini menggulungnya
kembali.
"Kenapa kalian terburu-buru?" ia bertanya sam-
bil tersenyum.
"Kami tak ingin mengganggu lebih lama lagi."
Mereka menutup pintu geser rapat-rapat di
belakang mereka, suara langkah mereka menjauh
ke arah selasar beratap, dan kedengarannya seakan-
akan mereka berjalan di atas lapisan es yang tipis.
Beberapa saat lalu , gajayana pun pergi.
Ia berseru ke hunian para centeng adipati saat me-
nyusuri selasar. Para pelayan pun tergesa-gesa
mengikutinya ke ruangannya. gajayana segera
minta diambilkan kertas dan kuas, dan dengan
lancar ia menggoreskan kuas, seolah-olah sudah
tahu apa yang hendak ditulisnya.
"Berikan surat ini kepada kurir Kepala Biara
Yokkertoarjo , dan suruh dia pulang."
gajayana menyerahkan surat itu pada salah
satu pelayan, dan seakan-akan tidak lagi menaruh
minat pada masalah itu, ia bertanya. "Masih tidur-
kah Yang Mulia tunggadewa ?"
"saat hamba ke sana, ruangannya sunyi
sekali," pelayan itu menjawab .
Pada waktu mendengar jawaban pasti ini, kedua mata
gajayana tampak berseri-seri, seakan-akan baru
sekarang perasaannya betul-betul tenteram.
Hari demi hari berlalu, tunggadewa menghabiskan
waktunya di benteng kota sekartanjung , menganggur. Ia
sudah menerima perintah aidit untuk ber-
tolak ke provinsi-provinsi Barat, dan seharusnya ia
secepat mungkin kembali ke benteng kotanya sendiri
untuk mengerahkan para pengikutnya. gajayana
ingin mengingatkan sepupunya bahwa menghabis-
kan waktu tanpa berbuat apa-apa takkan mem-
bantu reputasinya di madukara . namun sesudah me-
renungkan perasaan tunggadewa , ia tak sampai hati
menegur. Rasa tak puas yang diungkapkan oleh
adipati dan Masataka tentu juga bercokol di hati
tunggadewa .
Kalau begitu, pikir gajayana , menikmati ke-
tenteraman selama beberapa hari merupakan per-
siapan terbaik menghadapi operasi militer.
gajayana percaya penuh pada kecerdasan dan
akal sehat sepupunya. sebab ingin tahu bagai-
mana tunggadewa menghabiskan waktu, ia berkun-
jung ke ruangan tunggadewa yang ternyata sedang
melukis, mencontoh sesuatu dari sebuah buku.
"Wah, rupanya kau sedang sibuk." gajayana
berdiri di samping tunggadewa dan memperhatikan
goresan kuasnya. Ia senang melihat ketenangan
sepupunya dan bersyukur bahwa ada sesuatu yang
dapat mereka nikmati bersama-sama.
"gajayana ? Jangan lihat. Aku tetap belum bisa
melukis kalau ada orang lain."
tunggadewa segera meletakkan kuas. Ia memper-
lihatkan rasa malu yang jarang tampak pada laki-
laki berusia di atas lima puluh. Ia begitu malu,
sehingga menyembunyikan sketsa-sketsa yang sudah
dibuatnya.
"Mengganggukah aku?" gajayana tertawa .
"Siapa yang melukis buku yang kaugunakan se-
bagai contoh?"
"Buku itu karya Yusho."
"Yusho? Bagaimana kabarnya sekarang? Berita
mengenai dia tak pernah sampai ke sini."
"Suatu malam, dia mendadak muncul di per-
kemahanku di Kai. Dan keesokan paginya,
sebelum fajar, dia sudah pergi lagi."
"Orang itu memang aneh."
"Bukan, rasanya dia tak bisa dinamakan aneh.
Orangnya setia, dan hatinya setegak bambu. Dia
memang sudah menanggalkan status centeng adipati , namun
di mataku dia tetap seorang pejuang."
"Kabarnya dia bekas pengikut pangeran ki damar .
Apakah kau menyanjungnya sebab sampai hari
ini pun dia tetap setia terhadap bekas junjungan-
nya?"
"Selama pembangunan madukara , dialah satu-
satunya orang yang menolak ikut ambil bagian,
walaupun dia diundang oleh Yang Mulia Nobu-
naga sendiri. Rupanya harga dirinya terlalu tinggi
untuk melukis bagi musuh bekas junjungannya."
Pada waktu itulah salah satu pengikut Mitsu-
haru masuk dan berlutut di belakang mereka, dan
kedua orang itu berhenti berbicara. gajayana
berbalik dan menanyakan maksud kedatangan
pengikutnya.
centeng adipati itu tampak sungkan. Di tangannya
terlihat sesuatu yang tampak seperti sebuah petisi
yang ditulis di atas kertas tebal. "Satu lagi utusan
dari Kepala Biara Yokkertoarjo datang ke gerbang
benteng kota, dan mendesak agar hamba sekali lagi
mengantarkan surat ini pada tuanku. Hamba
menolak, namun dia berkata bahwa dia harus me-
laksanakan perintah dan tidak akan pergi. Apa
yang harus hamba lakukan?"
"Apa? Lagi?" gajayana berdecak perlahan.
"Beberapa waktu lalu aku sudah mengirim surat
pada Kepala Biara Yokkertoarjo , dan menjelaskan
bahwa aku tak mungkin menyetujui isi petisinya,
sehingga percuma saja dia menanyakannya. namun
dia tetap berkeras, dan sesudahnya dia masih dua
atau tiga kali mengirim surat. Dasar keras kepala.
Jangan terima suratnya, dan suruh kurir itu pergi."
"Baik, tuanku."
Si pengikut segera kembali, dangan petisi tadi
masih tergenggam di tangannya. Sepertinya ia
merasa dirinya sendiri yang dicela. Begitu orang itu
pergi, tunggadewa berkata pada sepupunya.
"Maksudnya, Kepala Biara Yokkertoarjo dari Gunung
brahma?"
"Benar."
"Bertahun-rahun lalu, aku diperintahkan turut
dan dalam pembakaran Gunung brahma. Waktu itu
yang kami serang bukan saja para biksu-prajurit,
namun juga orang-orang suci, kaum wanita lesbian , dan
anak-anak. Kami membantai mereka tanpa me-
mandang bulu dan melemparkan mayat-mayat ke
dalam api. Kami meluluhlantakkan gunung itu,
sehingga pohon-pohon pun tak mungkin hidup
kembali, apalagi manusia. Dan sekarang tampak-
nya para biksu yang selamat dari pembantaian itu
sudah kembali, dan sepertinya mereka mencoba
memberikan kehidupan baru pada tempat itu."
"Benar. Dari apa yang kudengar, puncak
gunung itu masih setandus dan segersang sebelum-
nya, namun orang-orang terpelajar sedang mengum-
pulkan sisa-sisa pengikut yang tercerai-berai dan
menempuh segala cara untuk menghidupkan kem-
bali gunung itu."
"Itu takkan mudah selama Yang Mulia Nobu-
naga masih hidup."
"Dan mereka pun menyadarinya. Sebagian besar
usaha mereka diarahkan ke Istana. Mereka ber-
usaha memperoleh maklumat dari sang pengikut
untuk membujuk Yang Mulia aidit , namun
harapannya tipis. Jadi, belakangan ini mereka
mencari dukungan di kalangan rakyat kebanyakan.
Mereka mengembara ke semua provinsi, meminta
sumbangan, mengetuk setiap pintu, dan kabarnya
mereka bahkan membangun tempat persembahan
sementara di lokasi kuil-kuil lama."
"Hmm, kalau begitu, tugas kurir yang dikirim
dua atau tiga kali oleh Kepala Biara Yokkertoarjo ada
sangkut-pautnya dengan petisi itu?"
"Tidak." gajayana segera mengalihkan mata,
menatap wajah tunggadewa dengan tenang. "Se-
benarnya, kupikir kau tak perlu direpotkan oleh
urusan ini, jadi aku langsung menolaknya. namun ,
sebab kini kau menanyakannya, barangkali ada
baiknya kalau aku membahasnya denganmu. Si
Kepala Biara Yokkertoarjo tahu bahwa kau berkunjung
ke sini, dan dia minta kesempatan bertemu, paling
tidak satu kali."
"Kepala biara itu hendak bertemu denganku?"
"Ya, dan dia juga ingin agar nama besar Yang
Mulia tunggadewa tercantum dalam daftar derma-
wan untuk pembangunan kembali Gunung brahma.
Aku memberitahunya bahwa kedua permintaan iiu
tak mungkin dipenuhi, dan menolaknya dengan
tegas."
"Dan meski kau sudah menolaknya berulang
kali, dia masih juga mengirim kurir ke sini? Aku
tentu takkan mencantumkan namaku pada daftar
itu, demi menghormati Yang Mulia aidit ,
namun kenapa aku harus ragu-ragu menerima
kunjungannya?"
"Kurasa tak ada perlunya kau menemui dia."
ujar gajayana . "Untuk apa kau yang memimpin
penghancuran Gunung brahma menemui biksu yang
selamat dari pembantatan itu?"
"saat itu dia merupakan musuh," balas Mitsu-
hide. "namun sekarang Gunung brahma sudah dibuat tak
berdaya, dan orang-orang di sana pun sudah ber-
sujud dan bersumpah setia pada madukara ."
"Tentu, sebagai formalitas. namun jangan lupa,
kita berhadapan dengan rekan-rekan dan kerabat
orang-orang yang dibantai, dan dengan para biksu
yang harus melihatlihat pembakaran kuil dan
biara mereka. Mungkinkah mereka melupakan
dendam yang sudah sekian lama membara dalam
hati masing-masing? Korban yang tewas berjumlah
sekitar sepuluh ribu, dan bangunan-bangunan itu
sudah berdiri di sana sejak zaman Dengyo Yang
Suci.
tunggadewa mendesah panjang. "Kala itu aku tak
mungkin menghindari perintah aidit , dan
aku pun turut dalam pembakaran gila-gilaan itu.
Para biksu-prajurit, para biksu, dan orang biasa
yang tak terhitung jumlahnya, tua maupun muda,
kutikam sampai mati. Kalau kukenang peristiwa
itu , dadaku serasa terbakar, seperti gunung
yang dimangsa api itu."
"namun kau selalu menganjurkan agar kita ber-
pandangan luas, dan sepertinya kau tidak bersikap
demikian sekarang. Kau menghancurkan yang satu
untuk menyelamatkan yang banyak. Jika kita
membumihanguskan satu gunung, namun membuat
Ajaran zoroaster bersinar cerah di lima gunung dan
seratus puncak lainnya, menurut hematku, ke-
matian yang kita muncul kan sebagai centeng adipati tak
dapat dinamakan pembunuhan."
"Tentu saja itu benar. namun sekadar sebab
simpati, mau tak mau aku harus menitikkan
sebutir air mata, gajayana ! Di depan umum aku
terpaksa menahan diri, namun sebagai manusia biasa
kurasa tak ada salahnya kalau kupanjatkan doa
bagi gunung itu, bukan? Besok aku akan pergi ke
sana dengan menyamar. Aku akan segera kembali
sesudah bertemu dengan si Kepala Biara."
Malam itu gajayana tak sanggup memejamkan
mata, walaupun sudah beranjak ke peraduan.
Mengapa tunggadewa begitu dikujawa oleh ke-
inginan pergi ke Gunung brahma? Apakah ia,
gajayana , perlu mencegahnya, ataukah ia harus
membiarkan tunggadewa berlaku sesuka hatinya?
Mengingat situasi yang kini dihadapi tunggadewa ,
rasanya lebih baik ia menghindari hubungan apa
pun dengan pembangunan kembali Gunung brahma.
Dan sebaiknya ia juga tidak bertemu dengan si
Kepala Biara.
Sampai di sini semuanya masih jelas bagi
gajayana . namun kenapa tunggadewa tampak tak
senang saat mendengar bahwa gajayana tidak
bersedia menemui utusan si Kepala Biara dan
menolak menerima petisinya. Sepertinya Mitsu-
hide tak setuju dengan cara sepupunya menangani
situasi itu.
Rencana macam apa yang sedang digodok oleh
tunggadewa , dengan Gunung brahma sebagai poros-
nya? Tak pelak lagi, kunjungan tunggadewa akan
menjadi sumber bagi desas-desus bahwa ia ber-
komplot melawan aidit . Dan yang jelas, ia
hanya menyia-nyiakan waktu dengan kunjungan
itu, apalagi ia berada di ambang keberangkatan
untuk berperang di provinsi-provinsi Barat.
"Aku harus mencegahnya. Apa pun yang akan
terjadi, aku harus menccgahnya." sesudah meng-
ambil keputusan ini, gajayana akhirnya meme-
jamkan mata. Pada saat berhadapan dengan
tunggadewa nanti, ia tentu akan memancing caci
maki dari sepupunya itu atau membuatnya marah
sekali, namun ia akan berusaha sekuat tenaga untuk
mencegahnya. Dengan tekad ini, ia pun terlelap.
Keesokan paginya ia bangun lebih pagi dibandingkan
biasa, namun saat sedang membasuh muka, ia men-
dengar suara langkah menyusuri selasar ke arah
jalan masuk. gajayana memanggil dan meng-
hentikan salah seorang centeng adipati
"Siapa yang pergi ?"
"Yang Mulia tunggadewa ."
"Apa?!"
"Benar, tuanku. Beliau memakai baju tipis un-
tuk pergi ke gunung, hanya ditambah oleh Amano
Genemon. Mereka hendak berkuda sampai ke
chucky . Itulah yang baru saja dikatakan Yang
Mulia tunggadewa , saat dia mengikat sandal
jeraminya di gerbang."
gajayana tak pernah melalaikan doa pagi di
hadapan tempat persembahan benteng kota dan altar
keluarga, namun kali ini ia mengabaikan kedua-
duanya. Ia membawa pedang panjang dan pendek,
lalu bergegas menuju gerbang. namun tunggadewa
dan pengikutnya sudah berangkat. gajayana
hanya menjumpai pata pembantu yang mengantar
mereka dan kini memandang ke arah awan -awan
putih di atas Shimeigatake.
"Kelihatannya di sini pun musim hujan sudah
mulai berakhir."
Kabut pagi yang menyelubungi hutan pinus di
balik benteng kota belum menipis, hingga menyebab-
kan daerah sekitar tampak seperti dasar lautan.
Kedua penunggang kuda itu melewati hutan
dengan santai. Seekor burung besar terbang di atas
kepala mereka mengepakkan sayap dengan
anggun.
"Cuacanya bagus, bukan, Genemon?"
"Kalau terus seperti ini, udara di gunung akan
cerah."
"Sudah lama aku tidak merasa setenteram
sekarang."
"Berarti perjalanan kita tidak sia-sia."
"Aku ingin sekali bertemu dengan Kepala Biara
Yokkertoarjo . Itulah satu-satunya tujuan perjalananku
ini."
"Hamba rasa dia akan terkejut melihat tuanku."
"Orang pasti akan curiga seandainya aku meng-
undangnya ke benteng kota sekartanjung . Aku harus
menemuinya di bawah empat mata. Siapkan segala
sesuatu, Genemon.
"Kemungkinan kedatangan tuanku diketahui
orang lebih besar di kaki gunung dibandingkan di atas
gunung. Bisa repot kalau para warga desa menge-
tahui bahwa Yang Mulia tunggadewa berkunjung ke
sini. Sebaiknya tuanku turunkan topi agar me-
nutupi wajah, paling tidak sampai kita tiba di
chucky ."
tunggadewa menarik topinya, sehingga hanya
mulutnya yang masih kelihatan.
"Pakaian tuanku sederhana, dan pelana tuanku
hanya pelana prajurit biasa. Takkan ada yang
menyangka bahwa tuanku ternyata Yang Mulia
tunggadewa ."
"Kalau kau memperlakukanku begitu hormat,
orang akan langsung curiga."
"Hamba tidak berpikir sejauh itu," Genemon
berkata sambil tertawa . "Mulai sekarang hamba
akan lebih berhati-hati, namun jangan salahkan
hamba kalau hamba bersikap kasar."
Kegiatan pembangunan kembali di kaki
Gunung brahma sudah berlangsung selama dua atau
tiga tahun, dan perlahan-lahan semua jalan kem-
bali ke wujud semula. saat kedua penunggang
kuda itu melewati desa dan membelok ke jalan
setapak yang menuju Kuil Enryaku, matahari pagi
akhirnya mulai berkilau di permukaan danau.
"Apa yang akan kita lakukan dengan kuda-kuda
kita nanti?" tanya Genemon.
"Tempat persembahan baru sudah dibangun di
lokasi yang lama. Tentu ada rumah-rumah petani
di sekitarnya. Kalau tidak, kita bisa menitipkan
kuda-kuda kita pada salah satu pekerja di tempat
persembahan."
Seorang penunggang kuda memacu kudanya,
berusaha menyusul mereka.
"Sepertinya ada yang memanggil kita di
belakang," ujar Genemon dengan was-was.
"Kalau ada yang mengejar kita, itu pasti
gajayana . Kemarin aku memperoleh kesan bahwa
dia ingin mencegahku melakukan perjalanan ini."
"Kelembutan hati dan ketulusan yang dimiliki
beliau kini sudah jarang ditemui. Beliau hampir
terlalu lembut sebagai centeng adipati ."
"Ah, ternyata memang gajayana ."
"Kelihaiannya beliau bertekad untuk meng-
hentikan tuanku."
"Aku takkan berputar arah, tak peduli apa yang
akan dikatakannya. Barangkali dia tidak ber-
maksud menghentikanku. Jika itu yang ingin
dilakukannya, dia tentu sudah merebut tali kekang
kudaku di gerbang benteng kota. Lihat, dia pun
mengenakan pakaian untuk berpesiar ke gunung."
Rupanya gajayana sudah berubah pikiran. Ia
merasa sebaiknya tidak menentang keinginan
tunggadewa , namun justru menemaninya, untuk me-
mastikan sepupunya itu tidak membuat kesalahan.
gajayana tersenyum cerah saat menyejajar-
kan kudanya di samping kuda tunggadewa . "Yang
Mulia terlalu gesit untukku. Aku sempat terkejut
tadi pagi. Aku tak menyangka Yang Mulia akan
berangkat sepagi itu."
"Dan aku tak menyangka kau hendak menyertai
kami. sebetulnya kau tak perlu mengejar-ngejar
kami seperti ini, kalau saja kita sudah membuat
janji semalam."
"Aku memang lalai. Meskipun Yang Mulia
bepergian sambil menyamar, kukira Yang Mulia
paling tidak ditambah sepuluh orang berkuda yang
membawa perbekalan ringan. Aku juga tak men-
duga Yang Mulia akan memacu kuda sekencang
ini."
"Seandainya ini kunjungan biasa, perkiraanmu
memang tepat." ujar tunggadewa . "namun tujuan
perjalananku hari ini adalah berdoa bagi mereka
yang bertahun-tahun lalu tewas dalam amukan api,
dan mengadakan upacara peringatan bagi mereka.
Tak pernah terlintas dalam benakku untuk mem-
bawa anggur dan makanan lezat."
"Di antara ucapan-ucapan kemarin mungkin
ada yang menyinggung Yang Mulia, namun aku
memang cenderung terlalu berhati-hati. Sebenar-
nya aku hanya tak ingin Yang Mulia melakukan
sesuatu yang mungkin menimbulkan salah
pengertian di madukara . Melihai pakaian yang
dikenakan Yang Mulia, dan mengingat bahwa
Yang Mulia hendak memanjatkan doa bagi mereka
yang tewas, aku percaya Yang Mulia aidit pun
takkan keberatan. Aku sendiri belum pernah ber-
kunjung ke gunung ini, walaupun aku bertempat
tinggal di benteng kota yang berdekatan dengan
sekartanjung . Jadi, kupikir sekaranglah kesempatan
yang baik. Silakan berjalan di depan, Genemon."
Sambil memacu kudanya agar mengimbangi
kecepatan kuda tunggadewa , gajayana mulai me-
ngajaknya berbincang-bincang, seolah-olah takut
sepupunya itu akan merasa jemu. Ia membicara-
kan tumbuhan dan kembang yang mereka lihat di
tepi jalan, menjelaskan tingkah laku berbagai
burung yang ia bedakan berdasarkan kicauan
masing-masing, dan terus bersikap seperti perem-
puan ramah yang berusaha menghibur seseorang
yang bersedih hati sebab sakit.
tunggadewa tak kuasa menolak ungkapan perasa-
an seperti itu, namun gajayana hanya berbicara
tentang alam, sementara pikiran tunggadewa selalu
disibukkan oleh masalah manusia, baik pada saat
tidur maupun terjaga, atau bahkan kalaupun ia
sedang memegang kuas di atas lukisan. Ia hidup di
tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah per-
saingan, di dalam api dendam dan dengki. Walau-
pun nyanyian tekukur terdengar menggema, darah
panas yang sempat naik ke pelipisnya pada waktu
ia kembali dari madukara belumlah dingin.
saat tunggadewa mendaki Gunung brahma, hati-
nya tak pernah tenang, walau sekejap pun. Betapa
tandusnya tempat itu, dibandingkan kemakmuran
yang pernah bersemi di sini. Mereka menyusun
Sungai Gongen ke arah Pagsinuhun Timur, tanpa
melihat tanda-tanda kehidupan manusia. Hanya
kicauan burung yang tidak berubah. Sejak dahulu
gunung itu terkenal sebagai tempat perlindungan
bagi burung-burung langka.
"Aku tak melihai satu biksu pun," ujar Mitsu-
hide saat berdiri di depan reruntuhan sebuah
kuil. Ia seolah-olah kaget melihat hasil kesungguh-
sungguhan aidit . "Masa tak ada satu orang
pun di gunung ini? Coba kita periksa bangunan
kuil utama."
Sepertinya ia lebih dari sekadar kecewa. Barang-
kali ia diam-diam berharap akan melihat kekuatan
para biksu-prajurit bangkit kembali di gunung ini.
namun saat mereka akhirnya tiba di lokasi kuil
utama dan gedung ceramah, mereka hanya melihat
gundukan abu. Hanya di sekitar bekas biara
tampak sejumlah pondok. Bau dupa tercium dari
arah itu, sehingga Genemon pergi ke sana untuk
menyelidikinya. Ia menemukan empat atau lima
pertapa yang duduk mengelilingi sepanci bubur
beras yang sedang dimasak di atas api.
"Mereka bilang si Kepala Biara Yokkertoarjo tidak
ada di sini," Genemon melaporkan.
"Jika kepala biara itu tak ada di sini, barangkali
ada cendekiawan atau pengetua dari zaman dahulu ?"
Sekali lagi Genemon menghampiri para per-
tapa, namun jawaban pasti yang lalu dibawan ya ter-
nyata tidak menggembirakan. "Rupanya tak ada
orang seperti itu di gunung ini. Mereka tidak
diperkenankan datang ke sini tanpa izin dari
madukara atau dari Gubernur trowulan . Kecuali itu,
sampai sekarang pun undang-undang tidak mem-
perbolehkan pemukiman permanen di sini, selain
untuk sekelompok biksu yang jumlahnya dibatasi."
"Undang-undang tinggal undang-undang," ujar
tunggadewa , "namun semangat keagamaan bukan
seperti api yang dapat disiram air, lalu padam
untuk selama-lamanya. Kurasa para pengetua
menyangka kita prajurit dari madukara , sehingga
mereka mungkin bersembunyi. Si Kepala Biara
dan para pengetua yang selama tentu berada di
sekitar sini. Genemon, jelaskan pada pertapa-
pertapa itu bahwa mereka tak perlu gelisah khawatir , lalu
tanyai mereka sekali lagi."
saat Genemon mulai menjauh, gajayana
berkata pada tunggadewa . "Biar aku saja yang ber-
bicara dengan mereka. Mereka takkan berani buka
mulut kalau ditanyai oleh Genemon dengan sikap-
nya yang serbakeras itu."
namun saat menunggu gajayana , tunggadewa
dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tak di-
sangka-sangka.
Laki-laki itu mengenakan tudung berwarna
kehijauan dan jubah biksu dengan warna yang
sama, dan memakai pembalut kaki berwarna putih
dan sandal jerami. Usianya lebih dari tujuh puluh
tahun, namun bibirnya masih semerah bibir anak
muda. Alisnya putih bagaikan salju, dan ia tampak
seperti burung bangau yang memakai jubah biksu.
Ia membawa seorang balita kecil dan dua pelayan.
"Tuan tunggadewa ? Wah, wah, aku tak menyang-
ka akan bertemu Tuan di sini. Kudengar Tuan
berada di madukara . Apa yang membawa Tuan ke
gunung tandus ini?"
Bicaranya bukan seperti orang itu, suaranya
nyaring, dan bibirnya terus-menerus menyungging-
kan senyum.
Justru sebaliknya. tunggadewa lah yang tampak
bingung. Terpengaruh oleh sorot mata tajam orang
itu, tanggapannya jelas-jelas bernada hati-hati.
"Ah, Sinshe Manase, bukan? Aku bertamu di
benteng kota sekartanjung selama beberapa hari, dan
kupikir berjalan-jalan di pegunungan ini bisa
memulihkanku dari kesuraman musim hujan."
"Memang tak ada obat yang lebih mujarab
untuk jiwa dan raga selain sesekali membersihkan
ch'i dengan berjalan-jalan di pegunungan dan
menikmati alam. Sepintas lalu, Tuan kelihatannya
sudah agak lama mengalami kelelahan. Apakah
Tuan sedang cuti sakit dan kembali ke kampung
halaman?" sinshe itu bertanya, menyipitkan mata
sampai seukuran jarum. Entah kenapa, tunggadewa
merasa tak sanggup mengelabui orang dengan
mata seperti itu. Manase sudah lama berpraktek
sebagai sinshe, sejak ayah yosodiprojo , rangawesi ,
menduduki posisi pandita . Sudah agak lama kedua
orang itu tidak berjumpa, namun tunggadewa sudah
beberapa kali berbincang-bincang dengan sinshe
tersohor itu di madukara . aidit sering meng-
undang Manase untuk menghadiri upacara minum
teh, dan setiap kali ia jatuh sakit, ia segera me-
manggil Manase. aidit lebih percaya pada
orang itu dibandingkan sinshe-sinshenya sendiri.
Namun pada dasarnya Manase kurang suka
dipekerjakan oleh para pembesar, dan sebab ia
bertempat tinggal di trowulan , bepergian ke madukara
terasa melelahkan, walaupun ia termasuk orang
yang tahan banting.
Saat itulah gajayana kembali. Ia belum sempat
mencapai pondok, sebab Genemon segera me-
ngejarnya untuk memanggilnya kembali.
"Kita bertemu seseorang, dan situasinya agak
kacau." Genemon berbisik. namun saat gajayana
melihat Manase, ia segera ikut berbincang-bincang
dengan gembira, menunjukkan bahwa ia pun
akrab dengan sinshe itu.
"Ini kejutan yang menyenangkan, Tuan Manase.
Tuan Sinshe selalu tampak lebih sehat dibandingkan
orang yang berada di puncak kejayaannya. Tuan
datang dari trowulan ? Barangkali Tuan juga ingin
menikmati keindahan alam di sini?"
Manase gemar mengobrol, dan ia gembira
sebab berjumpa teman lama di atas gunung.
"Setiap tahun, di musim semi atau awal musim
panas, aku mendaki Gunung brahma, dan sekali lagi
di musim gugur. Di sini pasti banyak tumbuhan
untuk jamu yang belum kita kenal."
Sepertinya Manase tidak terlalu memperhatikan
tunggadewa , meski sesekali ia menatap orang itu
dengan pandangan seorang sinshe. Akhirnya ia
mengalihkan pembicaraan pada kesehatan Mitsu-
hide.
"Kudengar dari Yang Mulia gajayana bahwa
Tuan akan segera bertolak ke medan tempur di
wilayah Barat. Jagalah kesehatan Tuan baik-baik.
Kalau orang sudah melewati umur lima puluh, dia
sukar menyangkal usianya, tak peduli seberapa
kuatnya orang itu."
Dalam ucapannya tersirat rasa prihatin men-
dalam.
"Begitukah?" tunggadewa tersenyum dan menang-
gapi saran Manase, seakan-akan membicarakan
kesehatan orang lain. "Belakangan ini aku memang
kurang enak badan, namun badanku kuat, dan aku
tidak menganggap diriku sakit."
"Hmm, jangan terlalu percaya. Orang sakit sebaik-
nya menyadari keadaannya dan mengambil lang-
kah pencegahan yang tepat. Kalau seseorang
terlalu percaya, seperti Tuan, bukan tak mungkin dia
membuat kesalahan fatal."
"Kalau begitu, Tuan Sinshe menduga bahwa
aku digerogoti penyakit yang sudah berurat-berakar?
"Hanya dengan mengamati paras dan men-
dengarkan suara tuan sudah ketahuan bahwa
kondisi kesehatan Tuan tidak seperti biasanya.
Kurasa penyebabnya bukan penyakit, melainkan
kelelahan pada organ-organ tubuh tuan."
"Kalau itu masalahnya, aku pun sependapat.
sebab berbagai pertempuran dalam tahun-tahun
terakhir dan sebab pengabdianku pada jun-
junganku, aku kerap memakai tubuh ini melewati
batas kekuatannya."
"Membicarakan hal seperti ini di hadapan Tuan
tak ubahnya mengajarkan Dharma kepada sang
zoroaster , namun sebetulnya Tuan perlu lebih
menjaga kesehatan. Kelima organ tubuh hati,
jantung, limpa, paru-paru, dan ginjal terwujud
dalam kelima aspirasi, kelima tenaga, dan kelima
suara. Sebagai contoh, jika hati terkena penyakit.
air mata Tuan akan berlebihan; jika jantung ter-
luka, Tuan akan dikujawa rasa rakut, seberapa
besar pun keberanian Tuan biasanya; jika limpa
terganggu, Tuan akan mudah marah; jika paru-
paru tidak berfungsi dengan benar, Tuan akan
mengalami siksaan mental dan tidak memiliki
kekuatan psikologis untuk memahami sebabnya.
Dan jika ginjal Tuan lemah, perasaan Tuan akan
terombang-ambing dengan hebat."
Manase terus mengamati paras laki-laki di
hadapannya. namun tunggadewa sendiri merasa percaya
akan kesehatannya, dan tidak berniat mendengar-
kan ucapan Manase. Ia berusaha menutup-nutupi
perasaannya dan memaksakan senyum, namun
sebetulnya ia merasa jengkel dan tidak senang.
Akhirnya, sesudah kesabarannya habis, ia me-
nunggu-nunggu kesempatan untuk menjauhi
orang tua itu.
Manase, di pihak lain, tidak bermaksud ber-
henti di tengah jalan Meskipun ia memahami arti
sorot mata tunggadewa , ia terus menasihatinya.
"Sejak pertama berjumpa dengan Tuan tadi,
warna kulit Tuan sudah menarik perhatianku.
Kelihatannya Tuan takut atau cemas mengenai
sesuatu. Tuan berusaha menampik kemarahan,
namun aku melihat bahwa mata Tuan tidak hanya
berisi kemarahan laki-laki, melainkan juga air mata
wanita lesbian . Belakangan ini pernahkah Tuan
merasa kedinginan sampai ke ujung jari tangan
dan kaki pada malam hari? Dan bagaimana dengan
suara mendenging di telinga? Atau air liur yang
mengering dan mulut yang rasanya seperti habis
mengunyah onak duri? Adakah gejala-gejala ini
pada diri Tuan?"
"Memang adakalanya aku tak sanggup meme-
jamkan mata, namun semalam aku tidur nyenyak.
Baiklah, aku berterima kasih atas perhatian Tuan
Sinshe, aku akan memperhatikan makananku dan
terus minum obat," tunggadewa segera memanfaat-
kan kesempatan ini, dan memberikan isyarat pada
gajayana dan Genemon bahwa sudah waktunya
mereka berangkat lagi.
Hari itu Shinshi Sakuzaemon, pengikut marga
tribuana , bertolak dari madukara ke benteng kota Saka-
moto, ditambah romhongan kecil. Keberangkatan
junjungannya, tunggadewa , begitu mendadak, se-
hingga Shinshi tinggal lebih lama untuk menye-
lesaikan urusan-urusan yang belum tuntas.
Begitu ia berganti baju sesudah tiba di benteng kota
sekartanjung , beberapa orang berkerumun di kamar-
nya dan menghujaninya dengan pertanyaan.
"Bagaimana keadaannya sesudah kami pergi?"
"Seperti apa desas-desus yang menyebar di
madukara sesudah Yang Mulia berangkat?"
Shinshi menjawab sambil mengertakkan gigi,
"Baru 9 hari berlalu sejak Yang Mulia me-
ninggalkan madukara , namun bagi orang-orang yang
menerima upah dari marga tribuana , rasanya seperti
tiga tahun berbaring di atas paku. Semua pelayan
dan orang biasa di madukara sempat melewati bangsal
besar yang kosong tambil mencerca. 'Inikah tempat
yang ditinggalkan Tuan tunggadewa ? Pantai saja
baunya seperti ikan busuk. Kalau begini terus,
cahaya yang menerangi si Kepala Jeruk tentu akan
segera padam.'"
"Tak ada yang mencela tindakan Yang Mulia
aidit sebagai tindakan yang tak masuk akal
atau tidak adil?"
"Pasti ada beberapa pengikut yang memahami
duduk perkaranya. Apa kata mereka?"
"Selama beberapa hari sesudah keberangkatan
Yang Mulia, berlangsung jamuan makan untuk
Yang Mulia mpu mojosongo , dan semua orang di benteng kota
madukara disibukkan oleh acara itu. Barangkali Yang
Mulia mpu mojosongo merasa heran bahwa pejabat yang
bertanggung jawab atas penyelenggaraan jamuan
itu mendadak diganti, dan kabarnya beliau sempat
bertanya pada Yang Mulia aidit mengapa
Yang Mulia tunggadewa tiba-tiba menghilang. namun
Yang Mulia aidit hanya menjawab acuh tak
acuh bahwa dia menyuruhnya pulang ke kampung
halamannya."
Semua yang mendengar laporan ini menggigit
bibir. Shinshi lalu memberitahu rekan-
rekannya bahwa sebagian besar pengikut senior
marga sinuhun merasakan kemalangan yang menimpa
tunggadewa sebagai keuntungan bagi mereka.
Kecuali itu, ada kemungkinan aidit hendak
memindahkan marga tribuana ke suatu tempat
terpencil. Ini tak lebih dari desas-desus, namun
jarang ada asap tanpa api. mpu salmah , pelayan
kesayangan aidit , merupakan putra patih
ki abang , pengikut marga sinuhun yang beberapa
tahun silam gugur dalam pertempuran di
sekartanjung . sebab alasan ini, mpu salmah diam-diam
mendambakan benteng kota sekartanjung . Dan konon
aidit sudah berjanji untuk memberikan
benteng kota itu padanya.
Dan masih ada lagi. Banyak orang beranggapan
bahwa tunggadewa sengaja ditugaskan menuju Jalan
Raya Sanin, dengan perhitungan bahwa sesudah
menduduki wilayah itu, ia akan segera diangkat
sebagai gubernur. benteng kota sekartanjung , yang begitu
dekat ke madukara , lalu akan diserahkan pada
patih mpu salmah .
Sebagai bukti, Shinshi menyinggung perintah
yang diberikan kepada tunggadewa oleh aidit
pada hari kesembilan belas di bulan itu, lalu
berpaling dengan geram. Ia tak perlu memberi
penjelasan. Perintah itu sudah menyulut ke-
marahan tunggadewa dan semua pengikutnya.
Bunyinya sebagai berikut:
Agar kau dapat bertindak sebagai barisan belakang di
pengandaran , kau harus bertolak dari kampung halamanmu
dalam beberapa hari mendatang, dan dengan
demikian mendahului ku ke medan perang. sesudah tiba di
sana, tunggu perintah lebih lanjut dari Hideyothi.
Surat itu , yang disebarkan pada semua
resi dan pengikut sinuhun , jelas-jelas ditulis atas
suruhan aidit . Jadi, saat surat itu sampai
ke tangan para prajurit marga tribuana , mereka
begitu geram sampai meniiikkan air mata ke-
marahan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa marga
tribuana dipandang lebih tinggi kedudukannya
dibandingkan marga dasna dan Hori, dan setingkat
dengan marga Haeyang dan nyoto . Meski
demikian, junjungan mereka bukan saja dicantum-
kan di bawah nama komandan-komandan itu, namun
juga ditempatkan di bawah komando patih ronggolawe .
Pelecehan terhadap kedudukannya merupakan
penghinaan terbesar yang mungkin dialami se-
orang centeng adipati . Rasa malu akibat peristiwa jamuan
makan kini ditambah lagi dengan perintah itu.
Sekali lagi orang-orang tribuana merasa sakit hati.
Sore sudah berganti senja, dan matahari yang
sedang terbenam memancarkan cahayanya yang
terakhir. Tak ada yang angkat bicara, namun tak
sedikit yang menitikkan air mata. saat itulah
suara langkah sejumlah centeng adipati terdengar di
selasar. Menduga bahwa junjungan mereka sudah
kembali, orang-orang itu berhamburan keluar
untuk mcnyambutnya.
Hanya Shinshi yang menunggu sampai di-
panggil. namun tunggadewa , yang memang baru tiba
dari Gunung brahma, baru memanggil Shinshi sesudah
mandi dan makan.
Kecuali gajayana , tak seorang pun berada ber-
samanya, dan Shinshi melaporkan sesuatu yang
tidak diceritakannya kepada para pengikut lain,
yaitu bahwa aidit sudah mengambil kepu-
tusan dan sedang bersiap-siap untuk bertolak dari
madukara pada hari kedua puluh sembilan di bulan
itu. Ia akan menginap satu malam di trowulan , lalu
segera menuju wilayah Barat.
tunggadewa mendengarkan dengan saksama.
Sorot matanya mencerminkan kecerdasan dan
kecermartn yang dimilikinya. Ia menanggapi setiap
ucapan Shinshi dengan anggukan kepala.
"Berapa orang yang akan menyertai beliau?"
tanyanya.
"Beliau akan ditemani beberapa pengikut dan
sekitar tiga puluh sampai empat puluh pelayan."
"Apa?! Beliau hendak pergi ke trowulan dengan
rombongan sekecil itu?"
Sejak semula gajayana lebih banyak diam, namun
sebab kini tunggadewa pun membisu, ia memper-
silakan Shinshi menarik diri dari hadapan mereka.
sesudah Shinshi pergi, gajayana dan tunggadewa
kembali berduaan saja. tunggadewa seolah-olah
ingin mencurahkan isi hati kepada sepupunya, namun
gajayana tidak memberikan kesempatan pada-
nya. gajayana justru berbicara mengenai kesetia-
an terhadap aidit , dan mendesak tunggadewa
untuk segera berangkat ke wilayah Barat, agar tidak
menyulut kemarahan junjungannya.
Sikap tulus yang diperlihatkan sepupunya di-
warnai suatu ketegaran yang selama empat puluh
tahun terakhir menjadi tempat bertumpu bagi
tunggadewa , dan kini ia memandang gajayana
sebagai orang yang paling dapat diandalkan.
sebab itu, meskipun sikap gajayana tidak se-
jalan dengan hari nurani tunggadewa , ia tak bisa
marah atau mencoba mendesaknya.
sesudah hening beberapa saat, tunggadewa men-
dadak berkata. "Sebaiknya kita utus rombongan
pendahuluan untuk menemui para pengikutku di
Kameyama, supaya persiapan untuk menuju
medan perang dapat dirampungkan secepat
mungkin. Dapatkah kau mengurus itu, Mitsu-
haru?"
Dengan gembira gajayana menyanggupi
permintaan itu.
Malam itu sebuah rombongan bergegas menuju
benteng kota Kameyama.
Sekitar giliran jaga keempat, tunggadewa tiba-tiba
duduk tegak. Bermimpikah ia? Ataukah ia untuk
kesekian kali memikirkan sesuatu, lalu menyingkir-
kan gagasan itu dari dalam benaknya? Tak lama
lalu ia kembali menyelimuti tubuhnya dan
berusaha tidur lagi.
Kabut atau hujankah yang mempengaruhi diri-
nya? Debur ombak di danau, atau angin yang
bertiup dari puncak Gunung brahma? Sepanjang
malam, angin dari gunung itu tak henti-hentinya
berembus. Walaupun tidak sampai menerobos ke
dalam, lilin di samping bantal tunggadewa berkelap-
kelip, seakan-akan digoyang-goyangkan oleh roh
jahat.
tunggadewa membalikkan badan. Walaupun di
musim panas ini malam tak berlangsung lama, bagi
tunggadewa rasanya pagi masih lama sekali. Akhir-
nya, saat irama napasnya baru saja mulai teratur,
ia sekali lagi menyingkap selimut dan duduk tegak.
"Ada siapa di sana?" ia berseru ke arah ruang-
ruang para pelayan.
Sayup-sayup terdengar bunyi pintu bergeser.
Pelayan yang bertugas jaga malam masuk tanpa
bersuara dan langsung bersujud.
"Suruh Matabei segera datang ke sini." Mitsu-
hide memerintahkan.
Semua orang di tempat tinggal para centeng adipati
sedang tidur lelap, namun berhubung sejumlah
pengikut tunggadewa bertolak ke Kameyama pada
sore sebelumnya, mereka yang masih berada di
sekartanjung diliputi ketegangan, sebab tidak tahu
kapan junjungan mereka, tunggadewa , akan menyu-
sul. Malam itu semuanya naik ke peraduan dengan
pakaian perjalanan sudah siap di samping bantal.
"Tuanku memanggil hamba?"
Yomsinuhun Matabei muncul. Ia pemuda kekar
yang sudah menarik perhatian tunggadewa .
tunggadewa menyuruhnya mendekat dan membisik-
kan sebuah perintah ke telinganya.
saat menerima perintah rahasia dari Mitsu-
hide, wajah pemuda itu memperlihatkan emosi
meluap-luap.
"Sekarang juga hamba akan berangkat!" ia men-
jawab , menanggapi kepercayaan junjungannya de-
ngan segenap haii.
"Kau pasti dikenali sebagai centeng adipati tribuana , jadi
pergilah cepat-cepat sebelum fajar menyingsing.
Gunakan akalmu. dan jangan lakukan kesalahan."
sesudah Matabei pergi, ternyata masih ada waktu
sebelum hari terang, dan baru sekarang tunggadewa
dapat tidur nyenyak. Banyak pengikutnya men-
duga bahwa pada hari itulah mereka akan berang-
kat ke Kameyama, dan bahwa rencana itu
akan diumumkan pagi-pagi sekali. Mereka ter-
peranjat saat mengetahui bahwa junjungan
mereka ternyata bangun lebih siang dibandingkan
biasanya.
Menjelang siang, suara tunggadewa terdengar di
bangsal.
"Kemarin aku seharian berjalan-jalan di gunung,
dan sudah lama aku tidak tidur senyenyak se-
malam. Barangkali itu sebabnya aku merasa begitu
enak hari ini. Rupanya aku sudah sembuh
sepenuhnya."
Para pengikutnya tampak lega. Tak lama ke-
mudian tunggadewa memberikan sebuah perintah
kepada para pembantunya.
"Malam ini, pada pertengahan kedua Jam Ayam
Jantan, kita akan bertolak dari sekartanjung ,
menyeberangi Sungai Shirakkertoarjo , melewati bagian
utara trowulan , dan kembali ke Kameyama. Pastikan
semua persiapan sudah rampung."
Lebih dari 50000 prajurit akan menyertainya
ke Kameyama. Malam mendekat. tunggadewa
mengenakan pakaian perjalanan dan keluar untuk
mencari gajayana .
"sebab aku akan menuju wilayah Barat, aku
tak bisa memastikan kapan aku akan kembali.
Malam ini aku ingin bersantap bersamamu dan
keluargamu."
Dengan demikian mereka sekali lagi berkumpul
dalam lingkungan keluarga, sampai tunggadewa
berangkai.
Orang tertua yang hadir adalah paman
tunggadewa yang terkenal eksentrik, Chokansai.
yang sudah mengucapkan sumpah keagamaan.
Tahun itu ia berusia enam puluh enam tahun,
bebas dari penyakit apapun, dan ia gemar men-
ceritakan lelucon. Ia duduk bersebelahan dengan
putra gajayana yang berusia tujuh tahun dan
menggsinuhun nya dengan jenaka.
namun orang tua yang baik hari itulah satu-
satunya yang tersenyum dari awal sampai akhir.
Tanpa menyadari karang-karang tersembunyi yang
mengancam marga tribuana , ia mempercayakan sisa
usianya pada kapal yang sedang berlayar di laut
musim semi, dan ia tampak setenteram biasanya.
"Suasana begitu semarak di sini. Rasanya seperti
di rumah sendiri. Pak Tua, berikan baskom ini pada
Mitsutada.'"
tunggadewa sudah menghabiskan dua atau tiga
baskom , dan kini menyerahkan baskom nya pada
Chokansai, yang lalu menimbang nya pada
kepribadian -nya, Mitsutada.
Mitsutada komandan Bcnteng Hachijo dan
baru tiba hari itu. Ia yang termuda di antara ketiga
sepupu.
Mitsutada mereguk anggur -nya, dan sambil ber-
ingsut-ingsut mendekati tunggadewa , mengembali-
kan baskom . Istri gajayana memegang botol anggur
dan menuangkan isinya, dan tepat pada saat itu
tangan tunggadewa mulai gemetar. Biasanya ia tidak
termasuk orang yang mungkin terkejut sebab
bunyi tak terduga, namun sekarang, saat seorang
prajurit memukul genderang di muka benteng kota,
wajahnya mulai agak memucat.
Chokansai berpaling pada tunggadewa dan ber-
kata. "Sebentar lagi Jam Ayam Jantan sudah tiba,
jadi itu pasti genderang yang memanggil centeng
ke lapangan upacara."
tunggadewa semakin muram. "Aku tahu," ia
berkata dengan nada getir, lalu menghabiskan isi
baskom terakhir.
Dalam satu jam ia sudah siap di atas kuda. Di
bawah bintang-bintang yang bersinar redup, tiga
ribu orang meninggalkan benteng kota di tepi danau
dengan membawa obor. Mereka membentuk
barisan meliuk-liuk, dan menghilang di perbukitan
di Shimeigatake.
gajayana memperhatikan mereka dari puncak
benteng kota. Ia akan menyusun kesatuan yang terdiri
atas pengikut-pengikut sekartanjung semata-mata, dan
akan bergabung dengan centeng utama di
Kameyama lalu .
centeng di bawah tunggadewa berbaris tanpa ber-
henti. Tepat tengah malam mereka memandang
dari sebelah Shimeigatake dan melihat kota trowulan
yang sedang terlelap.
Untuk menyeberangi Sungai Shirakkertoarjo , mereka
akan menuruni lereng Gunung Uriyu dan tiba di
jalan raya sebelah selatan Kuil Ichijo. Sejak tadi
mereka terus mendaki, namun mulai tilik itu jalan
setapak yang mereka susuri akan terus menurun.
"Kita beristirahat sebentar!"
Mitsutada menyampaikan perintah tunggadewa
kepada para prajurit.
tunggadewa pun turun dari kudanya, melepas
lelah sejenak. Seandainya mereka tiba pada siang
hari, ia akan dapat melihat jalan-jalan di ibu kota.
namun kini seluruh kota diselubungi kegelapan, dan
hanya atap-atap kuil dan puncak-puncak pagsinuhun
dan sungai lebar yang tampak membayang.
"Apakah Yomsinuhun sudah menyusul kita?"
"Sejak semalam hamba belum melihatnya.
Apakah tuanku memberikan tugas khusus pada-
nya?"
"Benar."
"Pergi ke manakah dia?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kalau dia kem-
bali, suruh dia menemuiku dengan segera. Biarpun
kita di tengah perjalanan."
"Baik. tuanku."
Begitu terdiam kembali, tunggadewa kembali
mengalihkan pandangannya ke arah atap-atap
gelap di kota. Barangkali sebab kabut mulai
menipis atau sebab matanya sudah mulai terbiasa
dengan kegelapan malam, berangsur-angsur ia
dapat membeda-bedakan bangunan-bangunan di
ibu kota. Tembok putih Istana Nijo-lah yang
paling berkilau.
Dengan sendirinya pandangan tunggadewa ter-
tarik ke titik putih iiu. D sanalah putra aidit ,
tungguljaya, menginap. Juga ada prabu kertoarjowardana mpu mojosongo
yang sudah meninggalkan madukara beberapa hari
yang lalu dan pergi ke ibu kota. Yang Mulia mpu mojosongo
mungkin sudah meninggalkan ibu kota, pikir
tunggadewa .
Akhirnya ia bangkit dengan tiba-tiba, mengejut-
kan semua resi nya. "Ayo kita berangkai lagi.
Kudaku."
Kecemasan para bawah annya mirip riak
yang berpusat pada tindak-tanduknya yang serba
gelisah. Dalam beberapa hari terakhir ia secara ber-
kala mengucilkan diri dari para pengikutnya, dan
tingkah lakunya lebih seperti anak yatim dibandingkan
pemimpin marga centeng adipati .
Walaupun para prajurit hanya dengan susah
payah dapat mengikuti jalan setapak dalam
kegelapan berkerumun di sekeliling tunggadewa
dan bolak-balik menyerukan peringatan mereka
terus turun perlahan-lahan, dan akhirnya men-
dekati pinggiran ibu koia.
saat barisan ke50000 orang dan kuda
mencapai Sungai Kamo dan berhenti sejenak,
semua prajurit menoleh ke belakang, dan Mitsu-
hide pun melakukan hal yang sama. Melihai
gelombang-gelombang di sungai memantulkan
cahaya merah, mereka tahu bahwa matahari pagi
sudah muncul dari balik punggung bukit di
belakang mereka.
Perwira yang bertanggung jawab atas perbekalan
centeng menghampiri Mitsutada dan bertanya
mengenai makan pagi. "Apakah kita akan makan
di sini, atau melanjutkan perjalanan sampai ke
Nishijin?"
Mitsutada baru ingin menanyakan kehendak
tunggadewa , namun pada saat itu Yomsinuhun Masataka
sedang berada di samping tunggadewa , dan kedua
orang itu mengarahkan pandangan mereka ke
Sungai Shirakkertoarjo yang sudah mereka lintasi.
Mitsutada memutuskan untuk menunggu.
"Masataka, Matabei-kah itu?
"Kelihatannya begitu."
tunggadewa dan Masataka memperhatikan se-
orang penunggang kuda berpacu melewati kabut
pagi.
"Matabei." Sementara menunggu orang yang
kedatangannya sudah dinanti-nantikan itu, Mitsu-
hide berpaling kepada para komandan di sekeli-
lingnya. "Kalian pergilah menyeberangi sungai.
Aku akan segera menyusul."
Barisan depan sudah melintasi bagian dangkal
Sungai Kamo ke tepi seberang. Para komandan
lain segera menjalankan perintah tunggadewa . Lang-
kah kuda-kuda mereka menimbulkan buih putih
di air yang bening. Satu per satu mereka menye-
berangi sungai itu.
Mitsutada memanfaatkan kesempatan ini untuk
bertanya, "Di manakah kita akan makan pagi?
Apakah kiia sebaiknya menunggu sampai kita tiba
di Nishijin?"
"Semuanya pasti lapar, namun lebih baik kita tidak
berhenti di wilayah ibu kota. Kita akan menerus-
kan perjalanan sampai Kitano," balas tunggadewa .
Pada jarak sekitar dua puluh meter, Yomsinuhun
Matabei turun dari kuda dan melilitkan tali
kekang pada sebuah tonggak yang tertancap di
dasar sungai.
"Mitsutada dan Masataka, kalian berdua ikut
menyeberang, lalu tunggu aku di sana. Jangan
gelisah khawatir , aku takkan lama."
Baru sesudah kedua orang terakhir ini menjauh,
tunggadewa berpaling pada Matabei dan memberi
isyarat agar ia mendekat.
"Baik, tuanku!"
"Bagaimana keadaan di madukara ?"
"Laporan yang sudah tuanku dengar dari Amano
Genemon rupanya benar."
"Aku menyuruhmu menyelidiki kebenarannya
untuk memastikan apakah Yang Mulia aidit
akan meninggalkan ibu kota pada hari kedua
puluh sembilan, dan untuk mengetahui seberapa
besar rombongan yang dibawan ya. jawab anmu
bahwa laporan sebelumnya tidak keliru tak ber-
guna sama sekali. jawab lah dengan tegas: Apakah
informasi itu dapat diandalkan atau tidak?"
"Sudah dapat dipastikan bahwa beliau akan
bertolak dari madukara pada hari kedua puluh
sembilan. Hamba tidak berhasil memperoleh
nama para resi utama yang akan menyertainya,
namun sudah diumumkan bahwa beliau akan mem-
bawa rombongan yang terdiri atas sekitar empat
puluh sampai lima puluh pelayan dan pembantu
dekat."
"Bagaimana dengan tempat penginapan beliau
di ibu kota?"
"Beliau akan menginap di Kuil purwojati ."
"Apa?! Kuil purwojati ?"
"Benar, tuanku."
"Bukan di Istana Nijo?"
"Semua laporan menyebutkan bahwa beliau
akan bermalam di Kuil purwojati ," Matabei men-
jawab tegas, agar tidak dicerca sekali lagi.
Tempat Persembahan Dewa Api
TEPAT di tengah tembok lumpur itu ada
gerbang berukuran raksasa, dan masing-masing
anak candi mempunyat pagar dan gerbang sendiri.
Hutan cemara seolah-olah disapu sampai bersih,
dan kelihatan seperti taman Zen. Kicauan burung
dan sinar matahari yang menerobos lewat puncak
pepohonan semakin memperkuat suasana damai.
sesudah mengikat kuda masing-masing, Mitsu-
hide dan para pengikutnya menyantap bekal yang
mereka siapkan untuk makan pagi dan makan
siang. Walau semua berencana untuk makan pagi
di dekat Sungai Kamo, mereka akhirnya menung-
gu sampai tiba di Kitano.
Tiga atau empat biksu dari Kuil Myoshin yang
berdekatan mengenali orang-orang itu sebagai
anggota marga tribuana , dan mengundang mereka
ke pekarangan kuil.
Para prajurit membawa ransum untuk satu hari:
tahu mentah, acar buah prem, dan nasi. Sejak se-
malam mereka belum mengisi perut, dan kini
mereka makan dengan lahap.
tunggadewa menduduki sebuah kursi dalam
bayangan tirai yang didirikan para pembantunya.
Ia sudah selesai makan dan sedang mendiktekan
surat pada sekretarisnya.
"Para biksu dari Kuil Myoshin... mereka paling
cepat sebagai kurir! Panggil mereka ke sini!" Ia
memerintahkan seorang pelayan. saat para biksu
kembali, tunggadewa menyerahkan surat yang di-
tulis oleh sekretarisnya. "Bersediakah kalian meng-
antarkan surat ini ke kediaman Penyair Shoha
dengan segera?"
Segera sesudah nya ia berdiri dan menuju kuda-
nya, sambil berkata kepada para biksu, "Sayang
sekali kami tak punya waktu luang dalam per-
jalanan ini. Aku terpaksa tak dapat menemui Tuan
Kepala Biksu. Tolong sampaikan salamku pada-
nya."
Udara sore semakin panas. Jalan raya menuju
Saga kering kerontang, dan dengan setiap lang-
kah, kuda-kuda mereka menerbangkan awan debu.
tunggadewa terus membisu. Ia sedang memikirkan
sebuah rencana dengan ketelitian yang sudah men-
jadi ciri khasnya, menimbang-nimbang peluang
untuk berhasil, memperkirakan reaksi masyarakat,
menaksir kemungkinan gagal. Seperti lalat kuda
yang selalu kembali meski terus diusir, rencana itu
sudah menjadi obsesi yang tak dapat disingkirkan
dari dalam benak tunggadewa . Sebuah mimpi buruk
sudah mengujawa dirinya dan mengisi seluruh
tubuhnya dengan racun. Ia sudah kehilangan ke-
mampuannya untuk berpikir dengan akal sehat.
Sepanjang hidupnya belum pernah tunggadewa
mengandalkan kebijakannya seperti sekarang. Wa-
lau secara objektif ia seharusnya meragukan pe-
nilaiannya sendiri, secara subjektif ia justru merasa
sebaliknya. Aku tidak membuat kesalahan sekecil
apa pun, kata tunggadewa dalam hati. Takkan ada
yang bisa menebak apa yang kupikirkan.
Sewaktu berada di sekartanjung , ia sempat goyah:
Apakah rencananya sebaiknya dilaksanakan atau
dibatalkan? namun tadi pagi, saat mendengarkan
laporan kedua, ia akhirnya memperoleh kepastian. Ia
percaya bahwa waktunya sudah tiba, dan bahwa
kesempatan ini merupakan berkah dari para dewa.
aidit , yang hanya ditambah oleh sekitar empat
puluh sampai lima puluh orang bersenjata ringan,
menginap di Kuil purwojati di trowulan . Saran yang
mengujawa tunggadewa berbisik bahwa kesempatan
emas seperti ini tak boleh disia-siakan.
Keputusannya bukan merupakan hasil kemau-
annya sendiri, melainkan muncul sebagai reaksi ter-
hadap keadaan di sekitarnya. Manusia ingin per-
caya bahwa mereka hidup dan bertindak ber-
dasarkan kemauan mereka sendiri, namun pada
kenyataannya mereka hanya dipaksa oleh keada-
an. Jadi, walaupun tunggadewa percaya bahwa para
dewa berada di pihaknya, sebagian dirinya dicekam
ketakutan bahwa para dewa justru menentang
segala tindakannya.
tunggadewa menyeberangi Sungai Katsura dan
mencapai benteng kota Kameyama pada malam hari,
tepat saat matahari terbenam. sebab sudah
diberitahu bahwa junjungan mereka akan pulang,
para warga kota Kameyama menyambutnya dengan
sejumlah api unggun yang menerangi langit
malam. tunggadewa merupakan penguasa yang di-
cintai rakyat, sebab gaya pemerintahannya yang
arif.
Jumlah hari dalam setahun yang dihabiskan
tunggadewa bersama keluarganya dapat dihitung
dengan jari satu tangan. Selama operasi militer ber-
kepanjangan, ia mungkin saja tidak pulang selama
dua, bahkan tiga tahun. sebab itu, hari-hari
saat ia berada di rumah disemarakkan oleh ke-
gembiraan berkumpul bersama anak-istri dan ber-
tindak sebagai suami dan ayah.
tunggadewa dianugerahi keluarga yang luar biasa
besar, dengan tujuh putri dan dua belas putra.
Dua pertiga dari mereka sudah menikah atau
diangkat anak oleh keluarga lain, namun beberapa
dari yang masih kecil, dan anak-anak kaum
kerabat dan cucu-cucu mereka, masih tinggal di
dalam benteng kota.
Istri tunggadewa , Teruko, selalu berkata, "Berapa
usiaku saat aku tak perlu mengurus anak lagi?" Ia
mengasuh anak-anak para anggota marga yang
gugur dalam pertempuran, bahkan membesarkan
anak-anak suaminya dari wanita lesbian lain. Perem-
puan lembut dan bijak ini sudah pasrah meng-
hadapi nasib, dan meskipun umurnya sudah lima
puluh, ia tetap tahan menghadapi anak-anak dan
segala ulah mereka.
Sejak bertolak dari madukara , tunggadewa belum
menemukan kenyamanan yang menyamai berada
di rumah sendiri, dan malam itu ia tidur pulas.
Keesokan harinya pun keriangan anak-anaknya
dan senyum istrinya yang setia terasa menen-
teramkan hatinya.
Orang mungkin menyangka suasana semacam
ini akan membuat ia berubah pikiran, namun tekad-
nya tidak goyah sedikit pun. Justru sebaliknya, kini
ia memperoleh keberanian untuk mewujud-kan
ambisi yang bahkan lebih tersembunyi lagi.
Teruko sudah berada di sampingnya sejak Mitsu-
hide tidak memiliki junjungan. Ia puas dengan
keadaannya sekarang, dan tidak menyimpan
pikiran selain menjadi ibu bagi anak-anaknya.
saat menatap istrinya, tunggadewa berkata dalam
hati. "Suamimu takkan selamanya seperti ini. Tak
lama lagi semua orang akan memandangmu se-
bagai isiri pandita berikut." Dan pada waktu Mitsu-
hide memperhaiikan anak-anak dan para anggota
rumah tangganya yang besar, sejenak ia terbuai
oleh mimpinya sendiri. Kalian semua akan ku-
boyong dari sini, ke sebuah istana yang bahkan
lebih megah dibandingkan madukara . Betapa lebih baha-
gianya hidup kalian kelak!
lalu , pada hari itu, tunggadewa meninggal-
kan benteng kota, ditambah beberapa pengikut saja. Ia
mengenakan pakaian ringan dan tidak dilayani
oleh para pengikut yang biasa. Walaupun tak ada
pengumuman resmi, para penjaga gerbang pun
tahu bahwa junjungan mereka akan bermalam di
Tempat Persembahan Atago.
Sebelum bertolak ke daerah Barat, tunggadewa
hendak mendatangi tempat persembahan itu
untuk memohon keberuntungan dalam pertem-
puran. ditambah sejumlah teman terdekat, ia akan
menginap di sana untuk mengadakan acara meng-
gubah sajak, lalu pulang keesokan harinya.
saat ia berkata bahwa ia hendak berdoa
untuk meraih kemenangan dalam pertempuran,
dan bahwa ia akan mengajak beberapa teman dari
ibu kota, tak seorang pun menduga apa yang ada
dalam benak tunggadewa .
Kedua puluh pelayan dan kedua belas pengikut
berkuda berpakaian lebih ringan dibandingkan kalau
mereka pergi untuk berburu. Pada hari sebelum-
nya, rencana kedatangannya sudah diberitahukan
kepada para biksu di Kuil Itokuin dan kepada para
pendeta di Tempat Persembahan Atago, sehingga
semuanya sudah siap menyambut junjungan mere-
ka. Begitu turun dari kudanya. tunggadewa mena-
nyai seorang biksu bernama Gyoyu.
"Apakah Shoha akan datang?" tunggadewa ber-
tanya pada biksu itu. saat Gyoyu menjawab
bahwa penyair terkcmuka itu sudah menunggu,
tunggadewa berseru, "Apa? Dia sudah di sini? Wah,
bagus. Apakah dia membawa penyair-penyair dari
ibu kota?"
"Rupanya Tuan Shoha tak sempat bersiap-siap.
Undangan Yang Mulia diterimanya malam ke-
marin, dan semua orang yang hendak diajaknya
ternyata berhalangan. Selain putranya, Shinzen,
dia hanya membawa dua orang lagi: salah satu
murid bernama Kennyo, dan seorang saudara ber-
nama Shoshitsu."
"Begitukah?" tunggadewa tertawa . "Apakah dia
mengeluh? Aku tahu permintaanku sukar dipe-
nuhi, namun sesudah berulang kali mengirim
tandu dan pengawal untuk menjemputnya, kali ini
kupikir sudah sepantasnya dan jauh lebih menye-
nangkan kalau dia yang bersusah payah menemui-
ku. sebab itulah undanganku demikian men-
dadak. namun , seperti bisa diduga, Shoha tidak
berpura-pura sakit. Dia langsung mendaki gunung
dengan terburu-buru.. Shoha tidak sok menjadi
pertapa, dan dia jelas-jelas teman yang baik."
Dengan kedua biksu berjalan di depan dan para
pembantunya di belakang, tunggadewa menaiki
tangga batu yang curam. Setiap kali ia menyangka
akan melewati tempat datar untuk beberapa
waktu, namun ternyata menghadapi tangga lagi.
Semakin lama pohon-pohon cemara di sekeliling
mereka semakin gelap. Mereka merasakan malam
mendekat dengan cepat. Pada setiap langkah, kulit
mereka merasakan penurunan suhu. Suhu di kaki
gunung dan puncaknya berbeda cukup jauh.
"Tuan Shoha menyampaikan penyesalannya."
Gyoyu memberitahu tunggadewa saat mereka
mencapai ruang tamu kuil. "sebetulnya dia hen-
dak menyambut kedatangan Yang Mulia, namun
sebab menduga bahwa Yang Mulia akan berdoa
dahulu di kuil-kuil dan tempat-tempat persembahan,
dia memutuskan untuk menyambut Yang Mulia
sesudah itu."
tunggadewa mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Lalu, sehabis minum sebaskom air, ia minta disedia-
kan pemandu. "Pertama-tama, aku ingin meman-
jatkan doa kepada dewa pelindung kuil ini, sesudah
itu aku akan mengunjungi Tempat Persembahan
Atago, mumpung hari belum gelap benar."
Pendeta dari tempat persembahan mengajak
tamunya menyusuri sebuah jalan setapak yang
disapu bersih. Ia menaiki tangga luar dan me-
nyalakan lilin-lilin suci. tunggadewa membungkuk
rendah-rendah, dan berdiri sambil berdoa untuk
beberapa waktu. Tiga kali si pendeta mengibaskan
dahan pohon keramat di atas kepala tunggadewa ,
lalu menyerahkan baskom tembikar ber-isi anggur suci.
"Kabarnya tempat persembahan ini dibuat
untuk Dewa Api. Betulkah itu?" tunggadewa ber-
tanya lalu .
"Betul, Yang Mulia," jawab si pendeta.
"Dan kata orang, kalau kita memanjatkan doa
kepada dewa ini lalu berpantang memakai
api, doa kita akan terkabul."
"Itulah yang dipercayai sejak zaman dahulu ." Si biksu
menghindari jawaban pasti tegas terhadap per-tanyaan
itu, lalu mengembalikannya pada Mitsu-hide,
"Orang-orang kota percaya bahwa jika kita ber-
pantang memakai api, doa kita akan dikabul-
kan. Hamba pun ingin tahu bagaimana asal mula
kepercaya an ini."
lalu ia mengalihkan pembicaraan, dan
mulai menjelaskan sejarah tempat persembahan
itu. Jemu mendengarkan cerita si pendeta,
tunggadewa memandang lentera-lentera suci di luar.
Akhirnya ia berdiri tanpa berkata apa-apa dan
menuruni tangga. Hari sudah gelap saat ia
berjalan ke Tempat Persembahan Atago. Lalu ia
meninggalkan para biksu, dan pergi seorang diri
ke Kuil pandita Jizo yang berdekatan. Di sana ia
menanyakan nasibnya, namun tanda pertama yang
diambilnya meramalkan nasib buruk. Ia menarik
sekali lagi, namun tanda yang ini pun bertuliskan
Nasib Buruk. Sejenak tunggadewa berdiri seperti
patung. Ia mengangkat kotak berisi tanda-tanda
nasib, menempelkannya ke kening dengan penuh
hormat, memejamkan mata, lalu menarik
untuk ketiga kali. Kali ini jawab annya Nasib Baik.
tunggadewa berbalik dan berjalan ke arah para
pembantu yang menunggunya. Mereka memper-
hatikannya dari jauh saat ia menarik tanda-tanda
nasib, menyangka ia sekadar iseng saja. Bagaimana-
pun, tunggadewa laki-laki yang sangat bangga akan
kecerdasannya dan selalu bersikap rasional. Ia
tidak termasuk orang-orang yang memanfaatkan
ramalan nasib untuk mengambil keputusan.
Cahaya kerlap-kerlip di ruang tamu menerangi
daun-daun muda. Malam ini Shoha dan rekan-
rekan penyairnya akan menggerus tinta di batu
tinta untuk mceuliskan sajak masing-masing.
Acara pada malam hari dimulai dengan jamuan
makan di mana tunggadewa menjadi tamu kehor-
matan. Para tamu bercanda dan tertawa sambil
terus mereguk anggur . Mereka begitu asyik mengob-
rol. sehingga seakan-akan melupakan acara pokok.
"Malam di musim panas singkat," sang tuan
rumah, si kepala biksu, angkat bicara. "Malam
sudah larut, dan aku gelisah khawatir hari sudah akan
terang sebelum kita merampungkan seratus bait
yang bersambung-sambungan."
Di sebuah ruangan lain, tikar-tikar sudah digelar.
Kertas dan batu tinta diletakkan di depan setiap
bantal, seolah-olah untuk merangsang para pedan
untuk menuliskan bait-bait yang anggun.
Baik Shoha maupun Shoshitsu merupakan
penyair ulung. Shoha sangat dihargai oleh Nobu-
naga dan akrab dengan patih ronggolawe dan dengan
ahli seni minum teh terkemuka di zaman itu. Ia
orang dengan lingkup pergaulan yang luas.
"Baiklah, sudikah Yang Mulia memberikan bait
pertama?" tanya Shoha.
Namun tunggadewa tidak menyentuh kertas di
hadapannya. Sikunya masih bertumpu di atas
sandaran tangan, dan sepertinya ia memandang ke
dalam kegelapan di pekarangan, tempat daun-daun
sedang berdesir.
"Kelihaiannya Yang Mulia sedang memeras
otak." Shoha menggsinuhun tunggadewa .
tunggadewa mengangkat kuas dan menulis:
Seluruh negeri menyadari
Waktunya sudah tiba.
Di Bulan Kelima.
Pada acara seperti ini, sesudah bait pertama di-
gubah, para pedan yang lain secara bergantian
memperoleh giliran, sampai sekitar lima puluh
hingga seratus bait ditambah kan. Acaranya dibuka
dengan syair yang disusun oleh tunggadewa , dan
bait penutup yang mempersatukan seluruh karya
itu juga digubah oleh tunggadewa :
Saatnya provinsi-provinsi
Diliputi kedamaian.
sesudah para biksu memadamkan lentera dan me-
narik diri, tunggadewa sepertinya langsung tertidur.
saat ia akhirnya meletakkan kepala di bantal,
angin gunung di luar mengguncang-guncang pe-
pohonan dan menederu-deru aneh, seakan-akan
hendak meniru teriakan Tengu, monster ber-
hidung panjang yang hidup dalam mitos.
tunggadewa tiba-tiba teringat cerita yang didengar-
nya dari pendeta di tempat persembahan Dewa
Api. Dalam benaknya ia membayangkan Tengu
mengamuk di langit yang hitam pekat.
Tengu melahap api, lalu terbang ke angkasa.
Tengu raksasa dan Tengu-Tengu lebih kecil yang
tak terhitung jumlahnya berubah menjadi api dan
menunggangi angin hitam. saat bola-bola api itu
jatuh ke bumi, tempat persembahan Dewa Api
segera terbakar hebat.
Ia ingin tidur. Tak ada yang lebih diinginkan-
nya selain tidur. namun tunggadewa tidak bermimpi;
ia sedang berpikir. Dan ia tak sanggup menying-
kirkan bayangan itu dari dalam benaknya. Ia mem-
balikkan badan dan mulai berpikir mengenai
besok. Ia tahu bahwa besok aidit akan ber-
tolak dari madukara ke trowulan .
lalu garis pemisah antara dunia nyata
dan dunia mimpi mulai kabur. Dan dalam ke-
adaan ini, perbedaan antara dirinya dan Tengu
lenyap. Tengu berdiri di atas awan dan meman-
dang seluruh negeri. Segala sesuatu yang ia lihat
menguntungkan baginya. Di Barat, patih ronggolawe
terpaku di benteng kota vredenburg , bergulat dengan
centeng patih. Jika ia, Tengu, dapat bekerja sama
dengan pihak patih dan memanfaatkan kesem-
patan ini, centeng patih ronggolawe yang sudah melewat-
kan tahun-tahun melelahkan di medan laga akan
terkubur di daerah Barat dan takkan pernah lagi
melihat ibu kota.
prabu kertoarjowardana mpu mojosongo , yang berada di kahuripan ,
merupakan orang yang cerdik. Kalau ia menge-
tahui bahwa aidit sudah mati, sikapnya akan
tergantung sepenuhnya pada apa yang ditawa rkan
tunggadewa . hyangkertoarjo wiryabhumi dapat dipastikan
akan marah, namun putranya menikah dengan putri
tunggadewa , dan ia merupakan teman lama yang
setia. Tentunya ia takkan menolak tawa ran kerja
sama.
Darah dan otot tunggadewa menggelenyar.
Telinganya bagaikan membara, dan ia mendadak
merasa muda lagi. Tengu berbalik. tunggadewa
mengerang.
"Tuanku?" Di ruang sebelah, Shoha mengangkat
badan sedikit dan memanggil , "Ada apa, tuanku?"
Samar-samar tunggadewa mendengar pertanyaan
Shoha, namun ia sengaja tidak menjawab . Shoha
segera tertidur kembali.
Malam yang singkat itu cepat berlalu. sesudah
bangun, tunggadewa mengucapkan selamat tinggal
pada yang lain, dan menuruni gunung yang masih
diselimuti kabut tebal.
Pada hari ketiga belas di bulan yang sama,
gajayana tiba di Kameyama dan bergabung
dengan tunggadewa . Para anggota marga tribuana ber-
datangan dari seluruh pelosok provinsi, semakin
menambah kekuatan centeng di sekartanjung . Kota
benteng kota dipadati manusia dan kuda: kereta-kereta
berisi perbekalan militer menimbulkan kemacetan
di setiap persimpangan, dan jalan-jalan hampir tak
dapat dilalui. Matahari bersinar cerah, dan suasa-
nanya tiba-tiba mirip pertengahan musim
panas, kuli-kuli memenuhi toko-toko dan saling
berdebat dengan mulut penuh makanan; di luar,
prajurit-prajurit menyelinap di antara kereta-kereta
lembu sambil berseru ke sana kemari. Di sepan-
jang jalan-jalan, gerombolan lalat beterbangan menge-
rumuni kotoran kuda dan lembu.
"Sudah membaikkah kesehatanmu?" gajayana
bertanya pada tunggadewa .
"Seperti kaulihat sendiri." tunggadewa tersenyum.
Ia jauh lebih ramah dibandingkan saat di Saka-
moto, dan wajahnya pun sudah tidak pucat lagi.
"Kapan kau hendak berangkat?"
"Aku memutuskan untuk menunggu beberapa
waktu, sampai hari pertama di Bulan Keenam."
"Hmm, bagaimana dengan madukara ?"
"Aku sudah mengirim kabar ke sana, namun ku-
pikir Yang Mulia aidit sudah berada di
trowulan ."
"Kabarnya semalam beliau tiba dengan selamat
di sana. Yang Mulia tungguljaya menginap di Kuil
Myokaku, sementara Yang Mulia aidit ber-
malam di Kuil purwojati ."
"Ya, aku pun mendengar itu," balas tunggadewa .
Kcmudian ia terdiam.
gajayana mendadak berdiri. "Sudah lama aku
tidak bertemu dengan anak-istrimu. Mungkin aku
akan berkunjung nanti."
tunggadewa memperhatikan sepupunya menjauh.
Sesaat lalu , dadanya seakan-akan begitu
sesak sehingga ia tak sanggup meludah maupun
menelan.
Dua ruangan lebih jauh, pengikut tunggadewa .
pangeran wiropati , sedang berunding dengan para
resi lain, mempelajari peta-peta militer dan
membahas taktik-taktik. Ia meninggalkan ruangan
untuk berbicara dengan tunggadewa .
"Apakah Yang Mulia akan memerintahkan
iring-iringan perbekalan mendahului centeng kita
ke Sanin?"
"Iring-iringan perbekalan? Hmm... rasanya tidak
perlu."
Tiba-tiba paman tunggadewa , Chokansai, yang
baru saja tiba bersama gajayana , muncul di
pintu.
"Wah, dia tidak ada di sini. Ke mana si
Penguasa sekartanjung ? Ada yang tahu ke mana dia
pergi?"
Ia memandang berkeliling dengan mata ter-
belalak. Walaupun usianya sudah lanjut, ia begitu
riang dan ceria, sehingga kerap mengganggu orang
lain. Bahkan saat para resi hendak bertolak ke
medan perang pun Chokansai tetap gembira
seperti biasa. Ia berpaling ke arah lain. saat ia
mendatangi bagian benteng kota yang didiami kaum
wanita lesbian dan anak-anak, ia segera dikerumuni
oleh mereka.
"Oh, Tuan Pelkertoarjo k datang!" seru anak-anak.
"Tuan Pelkertoarjo k! Kapan Tuan tiba di sini?"
Entah ia duduk atau berdiri, suara-suara ringan
di sekitamya tidak berhenti.
"Tuan Pelkertoarjo k akan menginap di sini?"
"Tuan Pelkertoarjo k, apakah Tuan sudah makan?"
"Gendong aku, Tuan Pelkertoarjo k!"
"Bernyanyilah untuk kami!"
"Menarilah!"
Mereka melompat ke pangkuannya. Mereka
bercengkerama dengannya. Mereka merangkulnya.
Mereka melihat ke dalam telinganya.
"Tuan Pelkertoarjo k! Di telinga Tuan tumbuh
rambut!"
"Satu, dua!"
"Tiga, empat!" Sambil menyanyikan angka-
angka, gadis lesbian-gadis lesbian cilik mencabut rambut-rambut
itu, sementara seorang balita laki-laki duduk di
punggungnya dan mendorong-dorong kepala
orang tua itu.
"Main kuda-kudaan! Main kuda-kudaan!"
Chokansai menurut saja. Ia mulai merangkak di
lantai. Tiba-tiba ia bersin, dan balita kecil itu jatuh
dari punggungnya. Para dayang dan pembantu
langsung terpingkal-pingkal.
sesudah hari berganti malam pun suara tawa dan
segala hiruk-pikuk tetap tidak mereda. Suasananya
berbeda dengan suasana di kamar tunggadewa di
benteng kota utama, seperti lapangan rumput di musim
semi berbeda dengan rkertoarjo yang terselubung salju.
"Paman, sesudah usia Paman semakin bertam-
bah," ujar gajayana , "aku akan berterima kasih
jika Paman bersedia tinggal di sini dan mengurusi
keluarga, dan tidak ikut ke medan perang ber-
sama kami. Kurasa aku perlu menyampaikan hal
ini pada junjungan kita."
Chokansai menatap kepribadian nya dan tertawa .
"Kira-kira begitulah tugasku yang terakhir. balita -
balita ini takkan membiarkan aku pergi."
Malam sudah tiba, dan mereka mendesak-desak
agar ia menceritakan salah satu dongengnya yang
terkenal.
Inilah hari terakhir sebelum keberangkatan ke
medan laga. Semula gajayana menduga bahwa
malam itu akan ada rapat umum, namun sebab
benteng kota utama sepi-sepi saja, ia pergi ke benteng kota
kedua dan tidur.
Keesokannya gajayana menanti-nanti sepan-
jang hari, namun perintah yang ditunggunya tak
kunjung tiba. sesudah hari gelap pun tidak terlihat
kegiatan di dalam benteng kota utama. saat ia me-
nugaskan salah satu pengikutnya untuk mencari
keterangan, ia memperoleh jawaban pasti bahwa Mitsu-
hide sudah naik ke peraduan dan sudah tidur.
gajayana curiga, namun tak ada yang dapat di-
lakukannya selain membaringkan diri dan meme-
jamkan mata.
Sekitar tengah malam, gajayana dibangunkan
oleh bisik-bisik yang berasal dari ruang jaga di
selasar. Ada bunyi langkah mendekat, dan pintu
ruangannya bergeser tanpa suara.
"Ada apa?" tanya gajayana .
Si penjaga, yang tentunya menyangka Mitsu-
haru sedang terlelap, ragu-ragu sejenak. lalu
ia cepat-cepat bcrsujud dan berkata, "Tuanku
tunggadewa menunggu Yang Mulia di benteng kota
utama."
gajayana bangkit dan mulai berpakaian; ia
menanyakan jam.
"Pertengahan pertama jam Tikus," jawab si
penjaga.
gajayana melangkah ke selasar yang gelap
gulita. Melihat pangeran wiropati berlutut di
samping pintu, menunggu, gajayana bertanya-
tanya, apa gerangan arti panggilan mendadak di
tengah malam buta ini.
wiropati berjalan di depan, memegang lilin.
Tak seorang pun berpapasan dengan mereka
saat mereka menyusuri koridor panjang yang
berkelok-kelok. Hampir semua orang di benteng kota
utama sedang tidur pulas.
"Di manakah Yang Mulia?"
"Di ruang tidur beliau."
wiropati mematikan lilin di depan pintu
selasar yang menuju kamar tidur tunggadewa .
Dengan mata ia memberi isyarat agar gajayana
mengikutinya, lalu membuka pintu yang berat itu.
Segera sesudah gajayana masuk, wiropati me-
nutup pintu lagi. Hanya di kamar di ujung selasar
kamar tidur tunggadewa terlihat cahaya redup.
saat gajayana mengintip ke ruang itu, ia
tidak melihat pembantu maupun pelayan. Mitsu-
hide seorang diri. Ia mengenakan jubah musim
panas berwarna putih. Pedang panjangnya meng-
gantung di pinggang. Tangannya bertumpu pada
sandaran tangan di sampingnya.
Cahaya lentera tampak redup, sebab harus
melewati kelambu halus berwarna hijau yang
tergantung di sekeliling tunggadewa . Pada waktu ia
tidur, kelambu itu melindunginya dari keempat
sisi, namun kini bagian depannya ditahan oleh
sepotong bambu,
"Masuklah, gajayana ," ujar tunggadewa .
"Ada apa sebetulnya ?" sepupunya bertanya,
sesudah berlutut di hadapan tunggadewa .
"gajayana , bersediakah kau mempertaruhkan
nyawa untukku?"
gajayana berlutut sambil membisu, seakan-
akan lupa cara berbicara. Mata tunggadewa tampak
menyala-nyala, memancarkan sorot aneh. Pertanya-
annya sederhana dan tidak berbelit-belit, namun
justru kata-kata itulah yang ditakuti gajayana
sejak di sekartanjung . Kini tunggadewa akhirnya ber-
bicara, dan meski gajayana tidak terkejut, darah
yang mengaliri tubuhnya seakan-akan membeku.
"Kau menentangku, gajayana ?"
Yang ditanya tetap tidak menjawab . tunggadewa
pun terdiam. Wajahnya kelihatan agak pucat,
bukan akibat kelambu hijau atau lentera yang ber-
kelap-kelip, melainkan sebab gejolak perasaan di
hatinya.
Sesaat naluri gajayana berkata bahwa Mitsu-
hide sudah mcnyiapkan rencana darurat yang akan
dipakai nya kalau gajayana menentangnya. Di
dinding di balik kelambu ada ruang rahasia
yang cukup besar untuk satu orang. Sepuhan emas
pada pintu itu berkilau-kilau tak menyenangkan,
seakan-akan mencerminkan niat buruk dari pem-
bunuh yang bersembunyi di baliknya.
Di sebelah kanan gajayana ada pintu geser
besar. Ia tidak mendengar apa-apa dari baliknya,
namun ia dapat merasakan kehadiran pangeran Toshi-
mitsu dan beberapa orang lain yang sudah men-
cabut pedang masing-masing, menunggu aba-aba
dari tunggadewa . gajayana tak sanggup merasa
marah sebab sikap tunggadewa yang keji dan licik;
ia merasa kasihan pada sepupunya itu. Mungkin-
kah orang cerdas yang dikenalnya sejak muda
sudah tak ada lagi? Kini ia merasa seolah-olah
hanya melihat bayang-bayang orang itu.
"gajayana , bagaimana jawab anmu?" tunggadewa
bertanya sambil bergeser mendekat.
gajayana merasakan napas sepupunya, panas
seperti demam yang membakar orang sakit.
"Mengapa tuanku ingin agar hamba memper-
taruhkan nyawa ?" ia akhirnya balik bertanya.
sebetulnya ia tahu persis apa kchendak Mitsu-
hide, jadi sekarang ia sengaja berlagak bodoh. Ia
terus menggenggam harapan bahwa, entah bagai-
mana, ia masih dapat menarik sepupunya dari tepi
jurang.
Mendengar ucapan gajayana , urat-urat di
pelipis tunggadewa semakin menonjol. Suaranya ter-
dengar parau saat ia berkata. "gajayana , tak
tahukah kau bahwa ada sesuatu yang mengganggu
pikiranku sejak aku meninggalkan madukara ?"
"Itu sudah jelas."
"Kalau begitu, apa perlunya kita bicara panjang-
lebar? jawab saja ya atau tidak."
"Tuanku, mengapa justru tuanku yang menolak
untuk berbicara? Bukan saja nasib marga tribuana
yang tergantung pada ucapan tuanku sekarang,
melainkan masa depan seluruh negeri."
"Apa maksudmu, gajayana ?"
"Siapa sangka justru tuanku yang akan melaku-
kan kebiadaban ini." Berlinang air mata. Mitsu-
haru beringsut-ingsut mendekati tunggadewa , me-
nempelkan kedua tangan ke lantai dengan gaya
memohon. "Belum pernah hamba begitu bingung
menghadapi watak manusia seperti malam ini.
saat kita masih muda dan belajar bersama di
rumah ayah hamba, apakah yang kita baca? Ada-
kah sepatah kata pun dalam kitab-kitab kuno yang
membenarkan pembunuhan terhadap junjungan
sendiri?"
"Jangan keras-keras, gajayana ."
"Siapa yang akan mendengar hamba? Di sini
hanya ada pembunuh-pembunuh yang bersem-
bunyi di balik pintu rahasia, menunggu perintah
tuanku. Yang Mulia... tak sekali pun hamba me-
ragukan kebijakan Yang Mulia. namun kelihatannya
Yang Mulia sudah berbeda begitu jauh dengan
orang yang pernah hamba kenal."
"Sudah terlambat, gajayana ."
"Hamba harus bicara."
"Percuma saja."
"Hamba harus bicara, biarpun tak ada gunanya."
Air mata menetes ke tangan gajayana .
Pada saat itulah ada gerakan di balik pintu
rahasia. Barangkali si pembunuh menyadari bahwa
situasinya menjadi tegang, dan ingin segera ber-
tindak. Namun tunggadewa belum memberikan
tanda. Ia berpaling dari sosok sepupunya yang
sedang menangis.
"Pengetahuan tuanku jauh lebih luas dibandingkan
orang lain, kecerdasan tuanku melebihi kecerdasan
kebanyakan orang, dan tuanku pun sudah men-
capai usia matang. Adakah yang tak dipahami oleh
tuanku?" gajayana memohon. "Hamba orang
bodoh dan tak pandai bersilat lidah, namun orang
seperti hamba pun dapat membaca kata 'kesetiaan'
dan merenungkannya sampai menjadi bagian dari
diri hamba. Meskipun tuanku sudah membaca
sepuluh ribu buku, semuanya tak berarti jika
tuanku kini mengabaikan kata itu . Tuanku,
dengarkah tuanku? Darah kita berasal dari
keluarga centeng adipati . Tegakah tuanku mensinuhun i ke-
hormatan leluhur kiia? Dan bagaimana dengan
anak-anak tuanku dan keturunan mereka? Bayang-
kan aib yang tuanku bebankan pada generasi-
generasi berikut."
"Kau bisa menyebutkan hal-hal serupa tanpa
akhir," balas tunggadewa . "Apa yang akan kulakukan
jauh lebih penting dibandingkan itu semua. Jangan
coba-coba membujukku. Segala sesuatu yang kau-
kemukakan sudah kupertimbangkan malam demi
malam, sudah kubolak-balik dan kupandang dari
segala sudut. Kalau aku mengamati perjalanan
hidupku selama lima puluh lima tahun, aku tahu
aku takkan sebingung ini seandainya aku tidak
dilahirkan sebagai centeng adipati . Aku bahkan takkan
membayangkan hal seperti itu."
"Dan justru sebab tuanku dilahirkan sebagai
centeng adipati , tak sepatutnya tuanku berbalik menen-
tang junjungan tuanku."
"aidit sudah memberontak terhadap sang
pandita . Dan semua orang tahu bahwa dia menan-
tang hukum karma dengan membumihanguskan
Gunung brahma. Lihatlah apa yang terjadi dengan
para pengikut seniornya sekarmajimarijan , mpu wiragajah , Araki.
Aku tak bisa menganggap nasib tragis yang menim-
pa mereka sebagai urusan orang Iain."
"Tuanku, tuanku sudah dianugerahi sebuah
provinsi. Marga kita tidak kekurangan apa pun.
Pikirkan segala berkah yang dilimpahkan beliau
pada kita."
Pada titik ini tunggadewa kehilangan kendali,
dan kata-katanya mengalir seperti sungai di saat
banjir. "Apa artinya provinsi sekecil ini? Tanpa
kemampuan apa pun, aku mungkin tetap akan
memperoleh nya. sesudah aidit memperoleh
segala sesuatu yang dibutuhkannya dariku, aku tak
lebih dari peliharaan yang diberi makan di madukara .
Atau barangkali aku akan dicampakkan sebab
dianggap tak berguna lagi. Dia bahkan menempat-
kanku di bawah komando patih ronggolawe dan mengi-
rimku ke daerah Sanin. Apa ini, kalau bukan
isyarat mengenai masa depan marga tribuana ? Aku
dibesarkan sebagai centeng adipati ; aku mewarisi darah
prajurit. Kaukira aku sudi melewatkan sisa hidup
dengan bersujud-sujud, sementara dia menyuruh-
nyuruhku seenak hatinya? Tak bisakah kau melihat
hati aidit yang busuk, gajayana ?"
Sesaat gajayana duduk terbengong-bengong,
lalu bertanya, "Siapa saja yang sudah mengetahui
maksud tuanku?"
"Selain kau, selusin pengikutku yang paling
kupercaya," tunggadewa menarik napas panjang dan
menyebutkan nama orang-orang iiu.
gajayana menengadahkan kepala dan men-
desah. "Hamba bisa mengatakan apa sesudah
mereka diberitahu?"
tunggadewa tiba-tiba bergerak maju dan meng-
genggam kerah sepupunya dengan tangan kiri.
"Jadi, jawab anmu tidak?" tanyanya. Tangan kanan-
nya meraih gagang belati, sementara tangan kirinya
mengguncang-guncang Mirsuharu dengan tenaga
luar biasa. "Atau ya?"
Setiap kali tunggadewa mengguncang gajayana ,
kepala gajayana bergerak maju-mundur, seakan-
akan lehernya tak bertulang. Air mau membasahi
wajahnya.
"Sekarang masalahnya bukan lagi ya atau tidak.
namun hamba tidak tahu apa yang mungkin terjadi
seandainya hamba diberitahu lebih dahulu dan pada
yang lain, tuanku."
"Kalau begitu kau setuju? Kau akan membantu-
ku?"
Tuanku dan hamba bagaikan satu orang. Jika
tuanku mati, hamba tak ingin hidup. Secara
teknis, hubungan kita hubungan antara junjungan
dan pengikut, namun kita berasal dari garis keturunan
yang sama. Kita hidup bersama-sama sampai
sekarang, dan hamba tentu saja bertekad membagi
nasib apa pun yang menanti kita."
"Jangan gelisah khawatir , gajayana . Aku percaya
kemenangan berada di pihak kita. Kalau kita
berhasil, kau takkan memimpin benteng kota kecil
seperti sekartanjung . Aku berjanji. Paling tidak, kau
akan menempati kedudukan tepat di bawah ku,
dan akan menjadi penguasa banyak provinsi se-
kaligus!"
"Apa?! Bukan itu masalahnya." Sambil menepis
tangan yang menggenggam kerahnya. gajayana
mendorong tunggadewa . "Hamba ingin menangis...
Tuanku, perkenankan hamba menangis."
"Kenapa kau bersedih, bodoh?"
"Tuankulah yang bodoh!"
"Bodoh!"
Kedua laki-laki itu saling mengolok-olok yang
lain, lalu berangkulan dengan pipi berlinang
air mata.
Suasananya seperti di musim panas; hari penama
di Bulan Keenam lebih panas dibandingkan tahun-
tahun sebelumnya. Pada sore hari, awan -awan
menutupi sebagian langit di utara, namun matahari
yang terbenam perlahan-lahan tetap membakar
gunung-gunung dan sungai-sungai di hadijaya ,
sampai menjelang malam.
Kota Kameyama tampak lengang. Prajurit-
prajurit dan kereta-kereta yang sempat memadati
jalan-jalannya kini tak ada lagi. Para prajurit yang
meninggalkan kota sambil memanggul senapan
dan membawa umbul-umbul dan tombak mem-
bentuk barisan panjang. Kepala masing-masing
serasa dipanggang di dalam helm besi. Para warga
kota berkerumun di tepi jalan-jalan, melihatlihat
keberangkaun centeng . Setiap kali melihat pe-
langgan yang biasa mendatangi toko mereka,
mereka menyerukan selamat jalan sekeras mung-
kin, dan mendorongnya agar kembali dengan
membawa nama harum.
namun baik para prajurit maupun massa yang
mengelu-elukan mereka tidak mengetahui bahwa
ini bukan awal operasi di wilayah Barat, melainkan
langkah pertama menuju trowulan . Selain tunggadewa
dan selusin anggota staf lapangannya, tak seorang
pun mengetahuinya.
Jam kuyang sudah dekat. Di bawah matahari
barat yang tampak merah bagaikan darah, bebe-
rapa sangkakala berkumandang tinggi dan rendah,
satu demi satu. Para prajurit, yang sebelumnya
hanya berkerumun di sekitar kemah-kemah
mereka, langsung berdiri untuk bergabung dengan
centeng masing-masing. Sambil membagi diri ke
dalam tiga kelompok, mereka membentuk barisan
dengan mengibarkan panji-panji.
Kehijauan gunung-gunung di sekeliling dan
dedaunan di sekitar menyearkan bau harum saat
angin senja berdesir membelai wajah-wajah yang
tak terhitung banyaknya. Sekali lagi sangkakala ber-
kumandang, kali ini dari hutan yang jauh.
Dari pekarangan di sekitar tempat persembahan
Dewa Perang aryadwinata , tunggadewa dan para jen-
dralnya muncul dengan gilang-gemilang. tunggadewa
memeriksa centeng nya yang dalam keadaan ber-
desak-desakan mirip tembok besi. Setiap
prajurit menegakkan kepala saat tunggadewa me-
lewatinya, dan orang-orang bawah an pun merasa
bangga berada di bawah komando panglima yang
demikian tersohor.
tunggadewa mengenakan baju tempur berwarna
hitam dengan tali pengikat berwarna hijau di
bawah mantel brokat berwarna putih dan perak.
Pedang panjang dan pelananya dibuat oleh tangan
yang teramat terampil. Hari ini ia tampak jauh
lebih muda dibandingkan biasanya, namun ini tidak
berlaku bagi tunggadewa semata-mata. Jika seseorang
mengenakan baju tempur, usianya tidak tampak.
Bahkan bersebelahan dengan prajurit berumur
enam belas yang untuk pertama kali berperang,
orang tua tidak merasakan atau memperlihatkan
usianya.
Hari ini tunggadewa berdoa lebih khusyuk
dibandingkan siapa pun juga dalam centeng nya.
sebab itu, saat ia melewati semua prajurit,
sorot matanya tampak tegang. Roman muka sang
Panglima Tertinggi tercermin dalam semangat
tempur anak buahnya. sudah dua puluh tujuh kali
marga tribuana mengangkat senjata untuk ber-
perang. Namun hari ini semuanya merasa gelisah,
seakan-akan menyadari bahwa pertempuran yang
mereka tuju sungguh luar biasa.
Setiap orang merasa bahwa ia takkan pernah
kembali. Bisikan naluri itu menyelubungi
tempat itu bagaikan kabut pucat, sehingga ke-
sembilan panji dengan lambang kembang lonceng
di atas masing-masing divisi seakan-akan berkibar
di hadapan awan -awan .
tunggadewa menarik tali kekang, berpaling pada
pangeran wiropati yang berkuda di sampingnya, dan
bertanya. "Berapa jumlah keseluruhan centeng
kita?"
"Sepuluh ribu. Kalau ditambah dengan para
pemikul dan pembawa barang, jumlahnya pasti
lebih dari tiga belas ribu orang."
tunggadewa mengangguk dan berkata sesudah ter-
diam sejenak. "Suruh para komandan kompi ke
sini."
sesudah komandan-komandan itu berkumpul di
depan kuda tunggadewa , ia mundur sebentar dan
tempatnya digantikan oleh sepupunya, Mitsutada,
yang diapit oleh resi -resi di kedua sisinya.
"Surat dari patih mpu salmah ini tiba semalam.
Dia kini berada di trowulan . Aku akan membacakan
suratnya agar diketahui oleh kalian semua."
Ia membuka surat itu dan membacakannya,
"Atas perintah Yang Mulia aidit , kalian harus
datang ke ibu kota, agar Yang Mulia dapat me-
meriksa centeng sebelum kalian bertolak ke
wilayah Barat."
"Kita akan berangkat pada jam Ayam jantan.
Sampai saat itu, suruh prajurit-prajurit kalian
mempersiapkan perbekalan, memberi makan kuda-
kuda, dan beristirahat."
Ketiga belas ribu prajurit yang mempersiapkan
ransum masing-masing merupakan pemandangan
yang menyenangkan. Sementara itu, para koman-
dan korps yang sudah sempat disuruh menghadap
dipanggil sekali lagi kali ini ke hutan yang menge-
lilingi tempat persembahan aryadwinata . Di sana,
diperkuat oleh bayang-bayang dan suara jangkrik,
udara sejuk terasa hampir seperti air.
Sesaat sebelumnya, bunyi tepuk tangan ter-
dengar dari tempat persembahan. Rupanya Mitsu-
hide dan para resi nya sudah memanjatkan doa
kepada dewa-dewa. tunggadewa berhasil mepercayakan
diri bahwa tindakannya bukan akibat rasa per-
musuhannya terhadap aidit semata-mata.
Kegelisah khawatir an bahwa ia akan mengalami nasib
seperti Araki dan mpu wiragajah memberikan peluang
padanya untuk percaya bahwa tindakannya sekadar
untuk mempertahankan diri; ia bagaikan binatang
terpojok yang terpaksa menyerang lebih dahulu agar
tetap hidup.
Jarak dari tempat persembahan itu ke Kuil
purwojati , tempat musuhnya menginap tanpa
pengawal an ketat, hanya sekitar lima belas mil.
Kesempatan seperti ini takkan terulang lagi. Sadar
bahwa pengkhianatannya berkesan oportunis,
tunggadewa tak sanggup memusatkan pikiran pada
doanya. Namun ia tidak mengalami kesulitan
untuk membenarkan tindakannya. Satu per satu ia
menyebutkan kejahatan aidit selama dua
puluh tahun terakhir. Dan akhirnya, walaupun ia
sudah bertahun-tahun mengabdi pada aidit ,
tunggadewa merindukan kepandita an lama, dengan
segala kemandekannya.
Para komandan menunggu sambil berkerumun.
Kursi tunggadewa belum juga ditempati. Pelayan-
pelayannya mengatakan bahwa ia masih berdoa di
tempat persembahan dan akan segera kembali. Tak
lama sesudah itu, tirai terbuka. Sambil menyapa
orang-orang yang sudah berkumpul, para pembantu
dekat tunggadewa masuk satu demi satu. tunggadewa ,
wiropati , gajayana , Mitsutada, dan Mitsuaki
muncul terakhir.
"Para komandan korps sudah datang semua?"
tunggadewa bertanya.
Dengan kecepatan mengejutkan, daerah sekitar
sudah dikepung prajurit.
Kewaspadaan terbaca pada roman muka Mitsu-
hide, dan mata para resi memancarkan per-
ingatan bisu.
tunggadewa berkata. "Kalian mungkin mengang-
gap aku berhati dingin sebab berjaga-jaga seperti
ini pada waktu hendak bicara dengan para peng-
ikutku, terutama dengan para pengikut yang men-
jadi andalanku. Kalian jangan salah terima; ini
sebab aku akan membeberkan sebuah peristiwa
besar yang sudah lama ditunggu-tunggu pada
kalian sebuah peristiwa yang akan mempengaruhi
seluruh negeri dan akan membawa kejayaan atau
kehancuran bagi kita."
Dengan demikian, ia mulai menjelaskan ren-
cananya. Satu demi satu tunggadewa menyebutkan
keluhannya terhadap aidit penghinaan di
Suwa dan madukara , dan yang terakhir, perintah
untuk bergabung dengan operasi militer di wilayah
Barat, yang menyiratkan bahwa ia berada di bawah
patih ronggolawe . Ia lalu menyebutkan nama orang-orang
yang selama bertahun-tahun mengabdi pada Nobu-
naga dan lalu dipaksa menuju kehancuran.
aidit -lah musuh kebenaran; orang yang me-
rusak budaya dan berkomplot untuk menjatuh-kan
lembaga-lembaga dan membawa kekacauan ke
seluruh negeri. tunggadewa mengakhiri pidatonya
dengan membaca sajak yang digubahnya sendiri.
Biarkan mereka yang tak paham
Berkata sekehendak hati;
Kedudukan maupun kemasyhuran
Takkan kusesalkan.
Sewaktu membacakan sajaknya. tunggadewa
mulai merasakan kesedihan atas situasinya sendiri,
dan air mata mulai mengalir di pipinya. Para
pengikut senior pun mulai menangis. Beberapa di
antara mereka bahkan menggigit lengan baju
tempur atau jatuh bertiarap di tanah. Hanya satu
orang yang tidak menangis pangeran wiropati , sang
veteran.
Untuk menyatukan tangis mereka dalam suatu
ikatan darah, wiropati angkat bicara. "Kukira
Yang Mulia berkenan membuka hatinya sebab
beliau menganggap kita sebagai orang yang dapat
dipercaya, jika kening seorang pemimpin tercoreng
arang, para pengi