Tampilkan postingan dengan label raja 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 9. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
raja 9
Desember 14, 2022
raja 9
kutnya akan mati. Apakah hanya
junjungan kita yang menderira? Tulang-belulangku
sudah tua dan waktuku tak banyak lagi, namun jika
aku dapat melihatlihat kejatuhan Yang Mulia
aidit dan sempat melihat junjunganku men-
jadi penguasa seluruh negeri, aku bisa mati tanpa
penyesalan."
lalu giliran gajayana . "Masing-masing
dari kita tentu menganggap dirinya sebagai tangan
kanan Yang Mulia, jadi sekali beliau bicara, hanya
ada satu jalan untuk ditempuh, tanpa bimbang
dan ragu. Kita jangan sampai terlambat menyam-
but ajal."
Para komandan korps menjawab serempak.
Kilau emosi di setiap mata dan mulut yang ter-
buka seakan-akan mengisyaratkan bahwa mereka
tak mengenal kata lain selain ya. saat tunggadewa
bangkit, orang-orang itu gemetar akibat gejolak
perasaan dalam batin masing-masing. Mereka
mengelu-elukannya, sesuai tradisi pada waktu
bertolak ke garis depan.
Yomsinuhun Masataka menengadahkan kepala, me-
mandang langit, lalu mendesak semuanya agar
mempersiapkan mental, "Jam Ayam jantan tidak
lama lagi. Jarak ke ibu kota sekitar lima belas mil.
Kalau kita ambil jalan pintas, pada waktu fajar
Kuil purwojati sudah bisa kita kepung. Jika kita
dapat merebut Kuil purwojati sebelum jam Naga,
lalu menghancurkan Istana Nijo, semuanya akan
selesai sebelum waktu makan pagi."
Ia sudah berpaling menghadap tunggadewa dan
gajayana , dan berbicara dengan penuh ke-
percayaan. Pidato ini tentu saja bukan saran maupun
usul, melainkan bertujuan agar para komandan
menyadari bahwa seluruh negeri sudah berada di
tangan mereka. Masataka sengaja ingin membakar
semangat mereka.
Jam Ayam jantan sudah memasuki pertengahan
kedua. Jalan sudah gelap, diselubungi bayangan
gunung. Orang-orang berbaju tempur itu memben-
tuk barisan panjang melewati Desa Oji, dan akhir-
nya mencapai bukit di Oinkahuripan . Langit malam
penuh bintang, dan ibu kota di bawah nya tampak
tak berubah.
60 tahun di bawah Langit
CAHAYA kemerahan matahari yang celah con-
dong ke barat menerpa selokan kering yang
mengelilingi Kuil purwojati . Hari ini hari pertama di
Bulan Keenam. Sepanjang hari matahari bersinar
terik di atas ibu kota, dan kini lumpur di dasar
selokan, yang sebetulnya cukup dalam, mulai
retak di sana-sini.
Tembok bergenteng membentang lebih dari
seratus meter ke timur dan barat, dan sekitar dua
ratus meter dari utara ke selatan. Selokannya
selebar lebih dari empat meter dan lebih dalam
dibandingkan selokan kuil pada umumnya. Orang-
orang yang berlalu-lalang dapat melihat atap kuil
utama dan atap-atap kesepuluh bangunan biara,
namun selain itu tak banyak yang tampak dari luar.
Hanya sebatang pohon besar di salah satu pojok
pekarangan yang kelihatan dari jauh. Pohon
itu begitu besar, sehingga kerap dijuluki
Hutan purwojati .
Pohon itu merupakan patokan yang tak kalah
tersohor dari pagsinuhun di Kuil Timur. saat mata-
hari sore menerpa puncaknya, gerombolan burung
gagak mulai berkaok-kaok serentak. Para warga
trowulan berusaha keras agar kelihatan anggun dan
terhormat, namun ada tiga hal yang tak dapat mereka
cegah: anjing-anjing berkcliaran di malam hari,
kotoran badak di jalanan pada pagi hari, dan
burung-burung gagak pada sore hari.
Di dalam pekarangan kuil ada sejumlah
tempat yang masih kosong. Masih banyak yang
harus dilakukan untuk membangun kembali
sekitar dua puluh bangunan yang dimangsa api
saat perang sipil berkecamuk di ibu kota, jika
seorang pengunjung berjalan ke arah jalan
Keempat dari gerbang utama kuil, ia akan melihat
kediaman Gubernur trowulan , pemukiman para
centeng adipati , dan jalan-jalan sebuah kota yang tertua
dengan baik. namun di bagian utara kota, kantong-
kantong perkampungan kumuh bertahan seperti
pulau, tak berbeda dari zaman kepandita an, dan
satu gang sempit tetap pantas menyandang nama-
nya yang lama, Jalan Got.
Anak-anak di daerah itu berhamburan dari
gang-gang sempit di bawah lis-lis atap yang men-
cong. Dengan borok, ruam, dan hidung berair,
mereka menyusun jalanan seperti serangga ber-
sayap berukuran raksasa.
"Para mpu datang!" mereka bersorak-sorai.
"Para pendeta dari Kuil Namban membawa
kandang burung yang indah!"
Ketiga mpu tertawa saat mendengar suara
anak-anak itu, dan memperlambat langkah, seakan-
akan menunggu teman lama.
Kuil Namban, nama yang lebih populer untuk
Gereja Kebangkitan Yesus Kristus, terletak di Jalan
Keempat. Di pagi hari, nyanyian keagamaan dari
Kuil purwojati terdengar di perkampungan kumuh,
sedangkan pada malam hari, suara lonceng gereja
bergema di gang-gang sempit. Gerbang Kuil
purwojati sungguh mengesankan, dan para biksu
yang tinggal di sana selalu lewat dengan sikap
angkuh, namun para mpu selalu bersikap rendah hati
dan ramah terhadap penduduk-penduduk setem-
pat. Jika melihat anak kecil dengan bisul di
wajahnya, mereka akan menepuk-nepuk kepalanya
dan mengajarkan cara mengobati bisulnya; jika
mereka mendengar bahwa seseorang jatuh sakit,
mereka akan mengunjungi orang itu . Konon
orang sebaiknya tidak ikut campur dalam per-
tengkaran antara suami-istri, namun jika para
mpu kebetulan menemui situasi seperti itu,
mereka akan mampir dan berusaha menengahinya.
sebab nya, mereka lalu dikenal baik hati
dan penuh pengertian. "Mereka benar-benar meng-
abdi demi kepentingan masyarakat," orang-orang
berkomentar. "Barangkali mereka utusan para
dewa."
Penduduk-penduduk perkampungan kumuh itu
sudah lama mengagumi para mpu . Amal bakti
mereka mencakup kaum papa, orang-orang sakit,
dan orang-orang yang tak memiliki tempat ber-
naung. Pihak gereja bahkan memiliki semacam
rumah sakit amal dan tempat penampungan untuk
kaum lanjut usia. Dan seakan-akan itu belum
cukup, para mpu juga menyukai anak-anak.
namun jika para mpu yang sama berpapasan
dengan biksu-biksu zoroaster di jalan, mereka tidak
menunjukkan keramahan yang mereka perlihat-
kan terhadap anak-anak. Mereka memandang para
biksu seperti musuh bebuyutan. sebab itu.
mereka lebih suka menempuh jalan memutar
lewat Jalan Got, sebisa mungkin menghindari Kuil
purwojati . Namun pada hari ini dan hari sebelum-
nya, mereka melakukan kunjungan ke kuil, ber-
hubung kuil itu sudah menjadi markas besar
Yang Mulia aidit . Ini berarti orang paling
berkuasa di seluruh majapahit kini bertetangga de-
ngan mereka.
Sambil membawa burung kecil dari daerah
tropis dalam kandang bersepuh emas dan sejumlah
kue buatan juru masak yang mereka datangkan
dari negeri sendiri, ketiga mpu tampaknya sedang
dalam perjalanan untuk mempersembahkan
hadiah-hadiah itu pada Yang Mulia aidit .
"Tuan mpu ! Hei, Tuan mpu !"
"Burung apa ini?"
"Apa isi kotak ini?"
"Kalau isinya kue, kami minta beberapa!"
"Ya, Tuan mpu , berikan beberapa untuk kami!"
Anak-anak Jalan Goi berdatangan dan meng-
halangi jalan. Namun ketiga mpu tidak kelihatan
kesal. Sambil tersenyum dan terus berjalan,
mereka menegur anak-anak itu dalam bahasa
majapahit patah-patah.
"Ini semua untuk Yang Mulia aidit .
Jangan nakal. Kalian semua akan memperoleh kue
kalau kalian datang ke gereja bersama ibu kalian,"
salah satu pastor berkata.
Mereka dibuntuti dan didahului anak-anak.
Pada waktu para pastor terkepung seperti itu, salah
satu anak berlari ke tepi selokan dan tercebur,
mengeluarkan bunyi seperti katak. Selokannya tak
berair, sehingga anak itu tidak terancam bahaya
tenggelam, namun dasarnya bagaikan rkertoarjo . balita itu
menggeliat-geliat seperti ikan di lumpur. Bagian
pinggir selokan terbuat dari batu, sehingga orang
dewasa pun akan menemui kesulitan jika hendak
memanjat keluar. Sesekali, pada malam hari, ada
pemabuk malang yang jatuh ke dalamnya dan
tenggelam pada saat selokan terisi air hujan sampai
meluap.
Seseorang segera menghubungi keluarga balita
itu. Para penghuni Jalan Got berhamburan keluar
seperti air mendidih yang bercipratan dari panci,
dan tak lama lalu kedua orangtua datang
berlari dengan bertelanjang kaki. Kejadian itu
merupakan bencana bagi mereka. Pada waktu
mereka tiba, balita cilik itu sudah berhasil di-
selamatkan. Ia tampak seperti akar kembang lotus
yang tercabut dari lumpur, dan menangis tersedu-
sedu.
Baik ia maupun dua dari ketiga mpu ber-
lepotan lumpur pada baju dan tangan. mpu ketiga
sudah melompat ke dalam selokan, dan ia sepenuh-
nya terbungkus lumpur.
saat anak-anak melihat para mpu , mereka
berlari-lari dengan riang, bersorak-sorak, bertepuk
tangan, dan berseru. "Tuan mpu jadi ikan lele!
Janggut merahnya penuh lumpur."
namun orangtua balita tadi mengucapkan terima
kasih dan memuji-muji Tuhan para mpu , walau-
pun mereka sendiri bukan penganut ajaran
ilmu tenagadalam . Mereka bersujud di depan kaki para mpu
dan mencucurkan air mata sambil merapalkan
tangan untuk berdoa. Di tengah kerumunan yang
terbentuk di belakang mereka, kata-kata pujian
untuk para mpu diteruskan dari mulut ke mulut.
Para mpu tampaknya tidak menyesal sebab
harus kembali sesudah sampai ke depan kuil, sambil
membawa hadiah-hadiah yang kini sudah tak ber-
guna. Di mata mereka, aidit dan balita dari
perkampungan kumuh sama saja. Kecuali itu,
peristiwa itu sudah menjadi buah bibir yang
akan disampaikan dari rumah ke rumah, dan para
mpu sadar bahwa ini bisa sangat menguntungkan
bagi mereka.
"kuyang , kaulihat itu?"
"Ya, aku terkesan."
"Agama itu sungguh menakutkan."
"Ya. Kepercayaan mereka membuat kita berpikir-
pikir."
Satu dari kedua orang itu merupakan laki-laki
berusia tiga puluhan, sementara yang satu lagi jauh
lebih tua. Mereka kelihatan seperti ayah dan anak.
Ada sesuatu pada diri mereka yang membedakan
mereka dari saudagar-saudagar kaya dari mpu
sebagian pembawa an mereka, mungkin menunjuk-
kan wkertoarjo san luas dan didikan mendalam. Meski
demikian, melihat mereka orang akan segera tahu
bahwa mereka pun saudagar.
sesudah didiami oleh aidit , Kuil purwojati
bukan lagi kuil biasa. Sejak malam hari kedua
puluh sembilan, gerbang utama kuil itu diramai-
kan oleh gerobak-gerobak dan tandu-tandu yang
datang dan pergi, dan oleh hiruk-pikuk orang-
orang yang keluar-masuk. Kesempatan menghadap
yang kini diberikan oleh aidit dianggap ter-
amat berharga oleh seluruh negeri. Jadi, seseorang
mungkin saja menarik diri sesudah memperoleh
sepatah kata atau sebuah senyum dari aidit ,
dan pulang ke rumahnya dengan perasaan sudah
memperoleh sesuatu yang seratus atau seribu kali
lebih bernilai dibandingkan barang-barang langka,
makanan atau minuman lezat, atau hadiah-hadiah
lain yang dipersembahkannya.
"Kita tunggu sebentar di sini. Agaknya ada
orang istana yang sedang melewati gerbang."
"Dan itu tentu sang gubernur. Orang-orang itu
sepertinya para pembantunya."
Gubemur trowulan , Murai raden panji sekarmaya, dan para
pembantunya sudah berhenti di gerbang utama.
Sepertinya mereka sedang menunggu, sementara
tandu seorang bawahan diusung keluar. Be-
berapa saat lalu , sejumlah centeng adipati menun-
tun dua atau tiga ekor kuda, menyusul iring-
iringan tandu dan usungan. saat para centeng adipati
itu mengenali raden panji sekarmaya, mereka membungkuk sam-
bil berjalan dan menggenggam tali kekang dengan
satu tangan.
Begitu mereka pergi, raden panji sekarmaya memasuki gerbang.
Dan sesudah kedua saudagar tadi mepercayakan diri
bahwa ia sudah berada di dalam, mereka meng-
ayunkan langkah ke arah yang sama.
Tentu saja penjagaan di gerbang depan teramat
ketat. Orang-orang yang keluar-masuk tidak ter-
biasa melihat kilau perang yang terpancar dari
mata tombak, dan bahkan dari mata para prajurit
yang ditemparkan di sana. Semua penjaga menge-
nakan baju tempur, dan jika seseorang tampak
mencurigakan, mereka segera menghentikan orang
itu dengan seruan lantang.
"Tunggu dahulu ! Kalian hendak ke mana?" se-
orang penjaga bertanya pada kedua saudagar itu.
"Aku mpu donoreja dari Hakata," orang yang lebih
tua menjawab sopan. saat ia menganggukkan
kepala, rekannya yang lebih muda melakukan hal
yang sama.
"Aku kuyang , juga dari Hakata."
Nama-nama itu rupanya tak berarti apa-apa bagi
para penjaga gerbang, namun atasan mereka yang ber-
diri di muka pos jaga di dalam, tersenyum dan
memberi isyarat agar kedua orang itu dibiarkan
lewat.
"Mari, silakan masuk."
Bangsal Omotemido merupakan bangunan utama
di dalam pekarangan kuil, namun pusat sesungguh-
nya adalah bangunan tempat aidit menginap.
Di luar ruangan dari mana suara aidit ter-
dengar, sebuah sungai kecil bergemeritik dari mata
air di pekarangan, dan dari bangunan-bangunan
yang terletak agak jauh sesekali terdengar tawa
wanita lesbian bernada riang yang terbawa angin.
aidit sedang berbicara dengan kurir putra
ketiganya, nosferatu , dan Niwa Nagahide. "Itu
akan meringankan tugas mandalika. Pastikan dia di-
beritahu bahwa semuanya sudah diamankan.
Dalam beberapa hari aku akan menyusul ke sana,
jadi tak lama lagi kami akan bertemu di wilayah
Barat."
Menurut rencana, centeng nosferatu dan Niwa
akan berlayar ke kertoarjo keesokan paginya. Kurir tadi
melaporkan hal itu , sekaligus menyampaikan
berita bahwa prabu kertoarjowardana mpu mojosongo sudah menempuh
perjalanan dari kahuripan ke mpu .
aidit memandang warna langit, seakan-
akan baru menyadarinya, lalu berkata pada seorang
pelayan. "Matahari sudah terbenam. Naikkan
kerai-kerai di sisi barat." lalu ia bertanya
pada tungguljaya. "Tempatmu menginap juga se-
panas ini?"
tungguljaya tiba di ibu kota beberapa waktu
sebelum ayahnya, dan menginap di Kuil Myokaku
yang berdekatan. Ia ditempatkan di sana pada
malam ayahnya memasuki ibu kota, yaitu kemarin,
juga hari ini, dan ia tampak agak lelah. Sesungguh-
nya ia hanya hendak berpamitan, namun ayahnya ber-
kata. "Bagaimana kalau kita minum teh nanti
malam? Selama dua malam terakhir, kita sudah
menerima tamu, dan aku merasa sedih kalau tak
ada waktu senggang. Aku akan mengundang se-
jumlah orang menarik untukmu." aidit ingin
membuat acara untuk putranya, dan ia takkan
suka kalau undangannya ditolak.
Seandainya diperkenankan berkata apa adanya.
tungguljaya mungkin akan berdalih bahwa usianya
baru dua puluh lima, dan bahwa ia tidak me-
mahami seni minum teh seperti ayahnya. Ia sangat
tidak menyukai para ahli seni teh yang meng-
hambur-hamburkan waktu luang di masa perang.
Jika ia memperoleh kesempatan untuk menghabiskan
waktu bersama ayahnya, ia tidak menghendaki
kehadiran ahli seni teh. sebetulnya ia ingin segera
bertolak ke medan perang. Ia tak mau tertinggal di
belakang adiknya, nosferatu , biarpun hanya satu
jam.
Rupanya aidit juga mengundang Murai
raden panji sekarmaya, bukan sebagai gubernur trowulan , melainkan
sebagai teman. Namun raden panji sekarmaya tak dapat menge-
sampingkan kekakuan yang lazim antara junjungan
dan pengikut, sehingga suasana tetap terasa kikuk.
Kerikuhan merupakan salah satu hal yang dibenci
aidit . Dengan kejadian-kejadian sehari-hari,
tekanan akibat menjalankan pemerin-tahan, tamu-
tamu yang datang dan pergi, ditambah waktu tidur
yang kurang, jika memperoleh kesempatan me-
lepaskan kewajiban-kewajibannya untuk sejenak, ia
tak tahan kalau harus berhadapan dengan ke-
kakuan seperti itu. Situasi-situasi semacam ini
selalu membuatnya terkenang akan patih ronggolawe .
"raden panji sekarmaya?" ujar aidit .
"Ya, tuanku."
"Bukankah putramu ada di sini?"
"Dia datang bersama hamba, namun dia agak
bebal, jadi hamba menyuruhnya menunggu di
luar."
"Sikap seperti ini sungguh menjemukan," Nobu-
naga bergumam. saat minta agar orang itu
mengajak putranya, ia jelas-jelas bermaksud me-
ngobrol dengan santai, bukan mengadakan pem-
bicaraan resmi antara junjungan dan pengikut.
Namun akhirnya ia juga tidak memerintahkan
raden panji sekarmaya untuk memanggil putranya.
"Hmm, bagaimana kabarnya tamu-tamu kita
dari Hakata?" ujar aidit . Ia berdiri dan ber-
jalan ke dalam kuil, meninggalkan tungguljaya dan
raden panji sekarmaya begitu saja.
Suara Bomaru terdengar dari kamar para
pelayan. Rupanya ia sedang dimarahi kakaknya,
mpu salmah , sebab suatu hal. Semua anak patih
ki abang kini sudah dewasa. Dan belakangan ter-
dengar selentingan bahwa mpu salmah berharap akan
menerima keempat distrik di sekartanjung , yang
sekarang berada di tangan marga tribuana , padahal
semula termasuk wilayah kekuasaan ayahnya.
Kabar angin ini sudah beredar luas, dan aidit
pun marah sekali saat mendengarnya. Jadi,
untuk meredakan desas-desus itu , ia mere-
nungkan kembali keputusannya untuk memper-
tahankan mpu salmah sebagai pelayan yang terus-
menerus berada di sisinya. Memperbaiki keadaan
ini juga akan membawa manfaat bagi dirinya
sendiri.
"Tuanku hendak pergi ke pekarangan?" tanya
mpu salmah .
aidit berdiri di serambi, dan mpu salmah
cepat-cepat berlari dari kamar para pelayan untuk
meletakkan sandal di depan kaki majikannya.
Betapa menyenangkan dilayani seseorang yang
begitu tanggap dan sopan, pikir aidit ; ia sudah
terbiasa dengan perhatian seperti itu selama sekitar
sepuluh tahun.
"Tidak, aku tidak bermaksud pergi ke pe-
karangan. Panasnya luar biasa tadi, ya?"
"Memang, sepanjang hari matahari benar-benar
terik."
"Apakah kuda-kuda di kandang sehat-sehat
saja?"
"Mereka kelihatan agak lesu."
aidit menengadah dan memandang bin-
tang kejora, barangkali sebab tiba-tiba teringat
pada provinsi-provinsi Barat. mpu salmah menatap
profilnya sambil melamun. tungguljaya pun sudah
masuk dan berdiri di belakang kedua orang itu,
namun sikap mpu salmah menunjukkan bahwa ia tidak
menyadari kehadiran putra aidit itu. Ia
seakan-akan memandang majikannya untuk ter-
akhir kali. Seandainya ia lebih memperhatikan
perasaannya, ia mungkin lebih menyadari bisikan
nalurinya saat itu dan kulitnya yang merinding.
Kira-kira pada waktu itulah tribuana tunggadewa tiba
di Oinkahuripan .
Asap dan dapur besar mulai menyelubungi
bagian dalam kuil. Bukan saja di tungku-tungku, di
tempat pemandian pun api dinyalakan. Hal yang
sama juga teriadi di luar Kuil purwojati ; di mana-
mana asap dari tungku membubung ke langit
malam.
aidit mengguyur tubuhnya dengan air di
tempat pemandian. Sekuntum bunga putih dari
tanaman rambat menyembul lewat kisi-kisi bambu,
pada jendela di bagian atas dinding. sesudah
rambutnya dirapikan dan mengenakan pakaian
bersih, aidit kembali melalui selasar.
mpu salmah menghampirinya dan memberitahu-
kan bahwa kuyang dan mpu donoreja dari Hakata sudah
menunggu di ruang minum teh.
"Mereka datang sebelum hari gelap, dan kedua-
nya tetap menyapu jalan setapak dari ruang
minum teh ke jalanan, dan membersihkan
serambi. lalu Tuan mpu donoreja menyiram
jalanan dan menata kembang, sementara Tuan
kuyang pergi ke dapur dan memberi petunjuk
euntuk mnyiapkan masakan minuman yang akan mereka
sajikan pada tuanku."
"Kenapa aku tidak diberitahu lebih cepat?"
"Ehm, mereka berpesan agar kami menunggu
sampai semuanya siap, sebab merekalah yang
hendak menjamu tuanku."
"Rupanya mereka punya rencana tertentu.
Apakah tungguljaya sudah diberitahu? Dan raden panji sekarmaya?"
"Hamba akan segera menyampaikan undangan."
sesudah mpu salmah pergi, aidit segera mem-
belokkan langkahnya ke arah ruang minum teh.
Penampilan bangunan itu tidak mirip
ruang minum teh. Tempat itu semula dimaksud-
kan sebagai kamar tamu, dan ruangan lebih kecil
untuk upacara minum teh dibentuk dengan meng-
gunakan penyekat yang bisa dilipat.
Para tamu adalah aidit , tungguljaya,
raden panji sekarmaya, dan putranya. Lentera-lentera mencipta-
kan suasana menyegarkan. Seusai upacara minum
teh, kedua tuan rumah dan para tamu mereka
pindah ke ruangan yang lebih besar, tempat
mereka berbincang-bincang sampai larut malam.
aidit masih lapar sekali. Ia melahap
masakan minuman -masakan minuman yang disajikan padanya, me-
reguk anggur yang seolah-olah terbuat dari batu
delima cair dan sesekali mengambil sepotong kue
Eropa, semuanya tanpa berhenti bercakap-cakap.
"Aku ingin bertamasya ke Negeri Selatan,
dengan kau dan kuyang sebagai pemandu. Tentu-
nya kalian sudah sering mengunjungi tempat-
tempat itu."
"Hamba terus memikirkannya, namun belum
sempat pergi." jawab mpu donoreja. "kuyang , kau masih
muda dan sehat. Sudahkah kau berkunjung ke
sana?"
"Belum, Yang Mulia."
"Kalian berdua belum pernah mengunjungi
Negeri Selatan?"
"Belum, walaupun para pengawal kami selalu
mondar-mandir."
"Hmm, menurutku ini kurang menguntungkan
bagi usaha kalian. Kalaupun orang seperti aku
menyimpan angan-angan serupa, tetap saja tak ada
kesempatan yang baik untuk meninggalkan majapahit ,
jadi apa boleh buat. namun kalian memiliki kapal-
kapal dan perwakilan-perwakilan, dan kalian bebas
bepergian kapan saja. Mengapa kalian belum pergi
juga?"
"Beban kerja Yang Mulia dalam mengurus
negeri ini sungguh berbeda dengan keadaan kami,
namun entah kenapa kami pun selalu terhalang
oleh urusan rumah tangga. Dan selama tahun
depan, kami tetap belum ada waktu. Meski
demikian, begitu Yang Mulia merampungkan
segala urusan yang harus ditangani, hamba ingin
pergi bersama Yang Mulia dan kuyang , dan
mengantar Yang Mulia berkeliling-keliling."
"Ya, aku suka itu! Sudah dari dahulu aku ingin
melakukannya. namun , mpu donoreja, apa kau percaya akan
hidup selama itu?"
Sementara para pelayan menuangkan anggur.
aidit bergurau dengan orang tua itu, namun
mpu donoreja tak mau kalah.
"Hmm, dibandingkan memikirkan hal itu, dapatkah
Yang Mulia menjamin bahwa segala urusan dapat
diselesaikan sebelum hamba mati? Jika Yang Mulia
terlalu lamban, hamba mungkin tak dapat me-
nunggu."
"Mestinya tidak terlalu lama lagi," ujar Nobu-
naga sambil tersenyum menanggapi senda gurau
orang tua itu.
mpu donoreja berbicara dengan cara yang mustahil
bagi para resi aidit . Sesekali selama per-
cakapan tungguljaya dan raden panji sekarmaya merasa rikuh dan
bertanya-tanya, apakah pantas kedua saudagar itu
berbicara demikian terus terang. Mereka juga
heran mengapa saudagar-saudagar itu disukai oleh
aidit . Rasanya tak masuk akal bahwa Nobu-
naga menerima mereka sebagai teman hanya
sebab mereka ahli seni minum teh.
Percakapan itu membosankan bagi tungguljaya.
Ia baru mulai tertarik saat pembicaraan beralih
ke Negeri Selatan. Hal-hal itu masih baru bagi
telinganya, dan menimbulkan impian dan ambisi
darah muda dalam dirinya.
Tanpa memandang apakah pengetahuan
mereka mengenai Negeri Selatan dalam atau tidak,
kaum cerdik pandai pada masa itu memiliki
minat untuk mempelajarinya. Intisari kebudayaan
majapahit diguncangkan oleh gelombang pembaruan
dari seberang lautan, dan yang paling menonjol di
antaranya adalah senjata air.
Sebagian besar pengetahuan mengenai Negeri
Selatan dibawa oleh kaum mpu dari Spanyol dan
Portugal, namun orang-orang seperti mpu donoreja dan
kuyang sudah merintis jalur perdagangan tanpa
menunggu para mpu . Kapal-kapal mereka menye-
berang ke blambangan dan berdagang ke Negeri kedhiri .
Amoy, dan Kamboja. Orang yang menyampaikan
berita mengenai kekayaan di negeri-negeri jauh
pada mereka bukanlah para mpu , melainkan
perompak-perompak majapahit yang bersarang di
dekat Hakata di Kyushu.
kuyang mewarisi usahanya dari ayahnya, dan
sudah mendirikan perwakilan-perwakilan di Luzon,
Siam, dan Kamboja. Konon kuyang yang meng-
impor buah pohon lilin dari bagian selatan Negeri
kedhiri dan mengembangkan cara pembuatan lilin,
dan dengan demikian menyediakan bahan bakar
yang memicu malam-malam di majapahit men-
jadi jauh lebih terang. Ia pun memperbaiki teknik
pengerjaan logam yang dibawa dari negeri
seberang, dan dianggap berjasa atas penyem-
purnaan peleburan besi.
mpu donoreja juga berkecimpung dalam perdagangan
antarbangsa dan bersaudara dengan kuyang . Tak
ada pembesar di Pubu Kyushu yang tidak memin-
jam uang darinya. Ia memiliki sepuluh atau lebih
kapal besar yang sanggup mengarungi lautan
bebas, dan sekirar seratus kapal berukuran lebih
kecil.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa aidit
memperoleh seluruh pengetahuannya mengenai
dunia di luar majapahit pada saat minum teh bersama
kedua orang ini. Bahkan sekarang pun aidit
larut dalam percakapan dan terus-menerus meng-
ambil kue Eropa. mpu donoreja memperhatikan betapa
banyak kue dimakannya, dan berkomentar. "Kue-
kue ini dibuat dengan bahan yang dinamakan
gula, jadi Yang Mulia sebaiknya jangan makan
tcrlalu banyak sebelum tidur.
"Beracunkah gula itu?" tanya aidit .
"Kalau pun bukan racun, yang jelas gula kurang
baik bagi kesehatan." mpu donoreja menjawab .
"Makanan dari negeri asal para barbar cenderung
mengenyangkan dan membuat orang jadi gemuk,
sedangkan makanan majapahit lebih ringan. Kuc-kue
ini jauh lebih manis dibandingkan kue beras. Kalau
Yang Mulia sudah terbiasa dengan gula, Yang
Mulia takkan puas dengan kue-kue kita sendiri."
"Sudah banyakkah gula yang diimpor ke
Kyushu?"
"Tidak juga. Nilai gula setara dengan emas, jadi
keuntungan bagi kami tidak seberapa. Hamba
sedang mempertimbangkan untuk membawa se-
jumlah tanaman gula dan mencoba memindahkan
tanaman-tanaman itu ke daerah hangat, namun , sama
halnya seperti tembakau, hamba ragu apakah gula
perlu diperkenalkan di majapahit ."
"Tidak biasanya kau bersikap begini." aidit
tertawa . "Jangan berpandangan picik. Tak ada
ditambah ya apakah gula dan tembakau baik atau
tidak. Kumpulkan saja semuanya dan bawa ke sini.
Pasti akan ada manfaatnya bagi budaya kita. Kini
segala macam barang dibawa dari laut Barat dan
Selatan. Penetrasi ke wilayah Timur takkan dapat
dicegah."
"Hamba menghargai kebesaran jiwa Yang
Mulia, dan cara berpikir seperti itu tentu menun-
jang usaha kami, namun hamba ragu apakah keadaan
itu bisa dibiarkan."
"Tentu saja bisa. bawa lah segala sesuatu yang
baru secepat mungkin."
"Baiklah."
"Atau, kalau itu gagal, kunyahlah semuanya
dengan baik, lalu ludahkan!"
"Ludahkan lagi?"
"Kunyahlah semuanya dengan baik, seraplah
segala sesuatu yang baik di dalam perut, lalu ludah-
kan ampasnya. Jika para prajurit, petani, pengrajin,
dan saudagar di majapahit memahami prinsip ini,
takkan ada masalah apa pun yang dibawa ke sini."
"Tidak, itu tidak baik." mpu donoreja melambaikan
tangan dengan tegas. Ia menentang gagasan itu,
dan tak segan-segan mengemukakan pendapatnya
mengenai arah pemerintahan. "Sebagai penguasa
seluruh negeri, Yang Mulia mungkin berpikiran
demikian, namun akhir-akhir ini hamba melihat
tanda-tanda mencemaskan, dan sebab nya hamba
tak dapat menyetujui pandangan Yang Mulia."
"Apa maksudmu?"
"Penyebaran ajaran sesat."
"Maksudmu kaum mpu ? Rupanya orang-orang
zoroaster juga sudah menyampaikan tuntutan
mereka padamu, mpu donoreja?"
"Yang Mulia terlalu meremehkan urusan ini,
padahal masalahnya menyusahkan seluruh negeri."
mpu donoreja lalu bercerita mengenai balita yang tercebur ke selokan beberapa jam sebelumnya, dan
tentang pengorbanan para mpu yang membuat
orang-orang terkesan.
"Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh
tahun, ribuan orang sudah berpaling dari tempat
persembahan leluhur mereka dan berpindah ke
ajaran ilmu tenagadalam . Hal ini bukan saja terjadi di
Omura dan Nagasaki, namun juga di seluruh Kyushu,
di daerah-daerah terpencil di Shikoku, bahkan di
kahuripan , trowulan , dan mpu . Yang Mulia baru saja ber-
kata bahwa tak ada yang perlu dicemaskan jika
segala sesuatu yang kami bawa ke majapahit dikunyah
baik-baik lalu diludahkan kembali, namun agama me-
rupakan hal yang berbeda dan mungkin tak dapat
ditangani dengan cara itu. Mau tak mau hati
nurani orang-orang akan tersedot ke dalam ajaran
ini, dan mereka takkan bersedia melepaskannya
lagi, biarpun mereka disalib atau dipancung."
aidit terdiam. Roman mukanya meng-
isyaratkan bahwa ini masalah serius yang tak dapat
dibahas dengan beberapa patah kaia saja. Ia sudah
membumihanguskan Gunung brahma, dan dengan
memakai kekejaman melebihi para penguasa
sebelumnya, memaksa para penganut ajaran
zoroaster bertekuk lutut. Ia menghadapi para biksu
dengan hujan api dan pedang, namun ia lebih
menyadari dari siapa pun bahwa ke mana pun ia
pergi, kemarahan terhadap dirinya takkan mereda.
Di pihak lain, ia sudah mengizinkan para mpu
membangun gereja, dan dari waktu ke waktu
bahkan mengundang mereka menghadiri jamuan
makan. Para biksu zoroaster protes keras dan mempertanyakan siapa yang dianggap orang asing oleh aidit orang-orang ilmu tenagadalam atau mereka
sendiri. aidit membenci penjelasan. Ia benci men-
dengar sesuatu diuraikan, namun ia menghargai
intuisi langsung antara dua orang. Hal itu mem-
buatnya teramat gembira.
"kuyang ." Ia kini berpaling untuk berbincang
dengan orang yang satu lagi. "Bagaimana pendapat-
mu mengenai urusan ini? Kau masih muda, jadi
kurasa kau punya pandangan berbeda dari
mpu donoreja."
Sejenak kuyang menatap lentera dengan was-
pada, namun lalu menjawab tegas.
"Hamba sependapat dengan Yang Mulia. Agama
asing ini sebaiknya dikunyah baik-baik. lalu di-
ludahkan kembali."
aidit menoleh dan menatap mpu donoreja
seperti orang yang baru saja memperoleh pene-
gasan atas pendapatnya. "Jangan gelisah khawatir . Kau
harus melihat masalah ini secara lebih luas. Be-
berapa abad silam, Yang Mulia Michizane menya-
rankan agar jiwa majapahit digabungkan dengan ilmu
pengetahuan kedhiri . Apakah kita membawa adat
kebiasaan kedhiri atau benda-benda seni dari Barat,
warna-warni musim gugur dan kembang ceri di
musim semi takkan berubah. Justru kalau hujan
jatuh ke kolam, airnya diperbarui. Kau melakukan
kesalahan dengan menilai samudra berdasarkan
selokan di sekitar Kuil pengikut . Bukan begitu,
mpu donoreja?"
"Benar, Yang Mulia, selokan harus dinilai
dengan ukuran selokan."
"Sama halnya dengan budaya-budaya asing."
"sesudah tua, hamba pun mirip katak di
dasar sumur," ujar mpu donoreja.
"Kurasa kau lebih pantas dinamakan paus."
"Memang." mpu donoreja menyetujui, "namun paus
dengan pandangan sempit."
"Hei, coba bawa air ke sini." aidit mem-
beri perintah pada pelayan yang tidur di belakang-
nya. Ia belum hendak mengakhiri malam itu.
Walaupun mereka tidak makan maupun minum
selama beberapa waktu, percakapan terus ber-
lanjut dengan seru.
"Ayah," ujar tungguljaya, beringsut-ingsut meng-
hampiri aidit . "Malam sudah larut. Aku
mohon diri."
"Nanti saja," balas aidit . "Kau menginap di
Nijo, bukan? Meski sudah malam, kau bisa
dibilang tinggal di sebelah. raden panji sekarmaya tinggal tepat di
depan gerbang, dan tamu-tamu kita dari Hakata
tentu takkan kembali ke sana malam ini."
"Tidak, hanya hamba..." mpu donoreja tampak seolah-
olah hendak berpamitan. "Hamba sudah berjanji
untuk menemui seseorang besok pagi."
"Kalau begitu, hanya kuyang yang menginap di
sini?"
"Hamba akan bertugas malam. Masih ada peker-
jaan untuk hamba, merapikan ruang minum teh."
"Bukan demi kepentinganku kau harus tinggal
di sini. Kau membawa perlengkapan minum teh
yang mahal, dan sebab itulah kau harus
menginap."
"Hamba takkan menentang kehendak Yang
Mulia."
"Bicaralah terus terang." aidit tertawa .
Tiba-tiba ia menoleh ke belakang dan menatap
lukisan yang tergantung di dinding. "Mu Ch'i
terampil sekali. Keterampilan seperti itu sudah
jarang sekarang. Kabarnya kuyang memiliki lukisan
karya Mu Ch'i yang berjudul Kapal-Kapal Kembali
dari Pelabuhan Nan Jauh. Aku tidak tahu, adakah
orang yang pantas memiliki lukisan seperti itu?"
kuyang mendadak tertawa keras-keras, seolah-
olah aidit tidak ada.
"Apa yang kautertawa kan, kuyang ?"
kuyang memandang orang-orang di sekitarnya.
"Yang Mulia aidit ingin mengujawa lukisan
Mu Ch'i milikku dengan muslihatnya yang lihai:
Adakah orang yang pantas memiliki lukisan seperti
itu? Ini sama saja dengan mengirim gerombolan
penghasut ke provinsi musuh. Sebaiknya Yang
Mulia menjaga kotak teh Yang Mulia yang terkenal
itu." Dan ia tak kuasa menghentikan tawa nya.
Ucapan itu tepat pada sasaran. Sudah beberapa
lama aidit mengejar-ngejar lukisan milik
kuyang . namun baik kotak teh maupun lukisan itu
merupakan pusaka keluarga, sehingga aidit
pun tidak dapat memaksakan kehendaknya.
Namun kini pemilik lukisan itu sudah
menyinggung persoalannya, dan aidit berang-
gapan itu sama saja dengan menjanjikan lukisan
yang diminatinya. Tentunya, sesudah menertawa -
kannya dengan begitu berani seperti tadi, kuyang
takkan sampai hati menolak permintaannya.
Jadi, aidit pun ikut tertawa . "Hmm, kau
sungguh jeli. kuyang . Kalau orang sudah seusiaku,
dia bisa menyelami seni minum teh dengan
sepenuh hati."
aidit mengungkapkan kebenaran itu se-
cara berkelakar.
mpu donoreja menimpali. "Dalam beberapa hari,
hamba akan bertemu dengan Tuan Sokyu dari
mpu . Mari kita rundingkan bersama, di mana
tempat lukisan itu. sebetulnya lebih baik lagi
kalau kita menanyakan langsung pada Mu Ch'i."
aidit semakin riang. Dan walaupun para
pembantunya berulang kali muncul untuk me-
mangkas sumbu lentera-lentera, ia hanya meng-
hirup air dan terus berbincang-bincang, tanpa
memedulikan waktu.
Pada malam musim panas seperti ini, semua
pintu dan daun penutup jendela di kuil terbuka
lebar. Mungkin sebab inilah lentera-lentera terus
berkelip-kelip dan diselubungi lingkaran cahaya
yang disebabkan oleh kabut malam.
Seandainya ada orang yang dapat membaca
masa depan dari cahaya lentera pada malam itu,
orang itu mungkin akan menemukan pertanda
buruk dalam lingkaran-lingkaran cahaya.
Seseorang mengetuk gerbang depan kuil.
sesudah beberapa saat, seorang pembantu menyam-
paikan bahwa berita dari wilayah Barat sudah tiba.
tungguljaya memanfaatkan kesempatan itu untuk
berdiri, dan mpu donoreja pun mohon diri. Lalu Nobu-
naga juga bangkit untuk mengantar mereka sampai
ke selasar.
"Selamat tidur," ujar tungguljaya sambil berbalik
sekali lagi dan menatap tosok ayahnya dari selasar.
raden panji sekarmaya dan putranya berdiri di samping Nobu-
tada, memegang lilin. Selasar-selasar di Kuil
purwojati diliputi kegelapan sepekat tinta. Malam
sudah memasuki pertengahan kedua Jam Tikus.
tunggadewa berada di sebuah persimpangan; jika
membelok ke kanan, ia akan menuju ke Barat; jika
membelok ke kiri, ia akan melewati Desa Kutsu-
kake, menyeberangi Sungai Katsura, dan kemudi-
an sampai di ibu kota. Ia sudah mencapai puncak
bukit yang didakinya sepanjang hidup. Kedua jalan
di hadapannya merupakan titik balik dan titik
akhir. namun pemandangan di hadapannya tidak
mendorongnya untuk merenung. Justru sebalik-
nya, langit luas dengan bintang-bintang berkelap-
kelip seakan-akan menjanjikan perubahan besar di
dunia, sebuah perubahan yang akan dimulai
seiring fajar menyingsing.
Tak ada yang memberikan perintah istirahat.
namun kuda tunggadewa sudah berhenti. Ia duduk di
pelanan, siluetnya tampak jelas di hadapan langit
yang penuh bintang. Menyadari bahwa untuk
sementara ia takkan bergerak, para resi di
sekitarnya semuanya dengan baju tempur ber-
kilauan dan barisan panjang prajurit, panji-panji,
dan kuda-kuda di belakangnya menunggu dengan
gelisah dalam kegelapan.
"Di sebelah sana ada mata air. Sepertinya aku
mendengar gemercik air."
"Di sana! Air!"
saat mencari-cari dalam semak-semak di
tebing yang berbatasan dengan jalan, salah seorang
akhirnya menemukan kali kecil di antara batu-
batu. Satu per satu para prajurit mendesak maju
untuk mengisi tempat air masing-masing dengan
air jernih.
"Ini cukup sampai tiba di Tenjin."
"Barangkali kiu bisa makan di bukittanjung ."
"Tidak, malamnya terlalu singkat. Hari mung-
kin sudah terang pada waktu kita tiba di Kuil
Kaiin."
"Kuda-kuda cepat lelah kalau kita bergerak di
siang hari, jadi Yang Mulia tentu merasa bahwa
kita harus berjalan sejauh mungkin selama malam
dan pagi."'
"Itu yang terbaik, sampai kita tiba di wilayah
Barat," Para prajurit tingkat bawah an, bahkan para
centeng adipati di atas mereka kecuali para komandan
masih belum tahu apa-apa. Bisik-bisik dan gelak
tawa yang tak sampai di telinga para komandan
mencerminkan anggapan bahwa medan tempur
masih jauh. Barisan mulai bergerak. Sejak saat itu
para komandan membawa tombak dan berjalan di
samping anak buah masing-masing. Mereka meng-
kertoarjo si keadaan sekitar dengan saksama dan mem-
percepat langkah.
Ke kiri! Ke kiri! Mereka mulai menuruni bukit-
bukit di Oinkahuripan ke arah timur. Tak satu prajurit
pun membelok ke jalan yang menuju ke Barat.
Kesangsian mulai muncul . namun mereka yang curiga
pun tetap bergegas maju. Orang-orang itu hanya
menatap panji-panji yang berkibar di depan; tak
pelak lagi, inilah jalan yang dilewati panji-panji
mereka. Suara langkah kuda terdengar di lereng-
lereng curam. Dari waktu ke waktu, bunyi batu
longsor hampir memekakkan telinga. centeng itu
mirip air terjun yang menyapu segala peng-
halang.
Baik orang maupun hewan bermandikan
keringat, dan semuanya megap-megap menarik
napas. Sambil meliuk-liuk di lembah-lembah yang
dalam, mereka kembali bergerak turun. sesudah
berpaling ke sungai pegunungan yang deras,
mereka mendesak maju sampai ke lereng Gunung
grindanao.
"Istirahat!"
"Bagikan ransum!"
"Jangan nyalakan api!"
Perintah demi perintah diturunkan, satu demi
satu. Mereka baru sampai di lamongan, sebuah
desa di sisi gunung yang hanya terdiri atas sekitar
sepuluh pondok penebang pohon. Meski demiki-
an, peringatan dari komando pusat bernada keras,
dan dengan segera dibentuk patroli-patroli di jalan
yang menuju bukit-bukit di kaki gunung.
"Mau ke mana kau?"
"Ke lembah, ambil air."
"Kau tak boleh keluar barisan. Minta saja sedikit
dari orang lain."
Para prajurit membuka ransum masing-masing
dan mulai makan sambil membisu. Suara bisik-
bisik terdengar saat mereka mengunyah ma-
kanan. Beberapa orang bertanya-tanya, mengapa
mereka disuruh makan pada waktu yang kurang
menguntungkan ini, di tengah lereng gunung.
Padahal mereka sudah makan sebelum bertolak
dari tempat persembahan aryadwinata malam itu.
Kenapa mereka tidak disuruh makan pada
waktu matahari terbit saja, di bukittanjung atau
Hashimoto, di tempat mereka dapat mengikat
kuda masing-masing? Walau terheran-heran.
mereka tetap menyangka bahwa mereka sedang
dalam perjalanan menuju provinsi-provinsi Barat.
Jalan di pengandaran bukan satu-satunya jalan untuk
mencapai tujuan mereka. Jika membelok ke kanan
di Kutsukakce, mereka bisa melewati Oharano dan
menuju bukittanjung dan wonorejo .
namun saat mereka berangkat lagi, seluruh
centeng langsung turun ke ki tarunagara tanpa ber-
paling ke kiri maupun kanan, lalu maju sampai ke
Desa Kkertoarjo shima. Pada waktu giliran jaga keempat,
sebagian besar centeng sudah menghadapi peman-
dangan tak terduga: Sungai Katsura di bawah
langit malam.
Para prajurit mulai resah. Begitu hkertoarjo sejuk
dari sungai terasa, seluruh centeng mendadak ber-
henti sebab ngeri.
"Tenangkan diri kalian!" para perwira memerin-
tahkan. "Jangan berisik! Dan jangan bicara kalau
tak perlu!"
Air sungai yang jernih berkelip redup, dan
kesembilan panji dengan lambang kembang
lonceng berkibar-kibar oleh embusan angin dari
arah sungai.
Amano Genemon, yang membawa hi kompi di
ujung sayap kanan centeng , disuruh menghadap
tunggadewa . Ia segera melompat dari kuda dan
bergegas menghampiri komandannya.
tunggadewa berdiri di dasar sungai yang kering.
Semua resi mengalihkan pandangan ke arah
Genemon. Ada pangeran wiropati , dengan wajah
dikelilingi rambut putih seperti bunga es, dan
gajayana , yang tampak seakan-akan mengenakan
topeng. Selain kedua orang itu, para anggota staf
lapangan yang lain mengelilingi tunggadewa bagai-
kan lingkaran besi.
"Gengo," kata tunggadewa . "sebentar lagi hari
terang. Kau dan anak buahmu yang pertama-tama
menyeberangi sungai. Dalam perjalanan, kau harus
menyingkirkan siapa saja yang berhasil menerobos
barisan kita untuk memperingatkan musuh.
Kecuali itu, mungkin ada saudagar-saudagar atau
orang lain yang melewati ibu kota di pagi buta ini.
Mereka pun harus kautangani. Ini sangat penting."
"Hamba mengerti."
"Tunggu!" tunggadewa menyuruhnya kembali.
"Untuk berjaga-jaga, aku sudah mengirim beberapa
orang untuk menyerbu jalan yang melintasi
pegunungan dari Hozu, jalan dari bagian utara
Saga, dan Jalan Raya Nishijin dari Jizoin. Jangan
keliru menyerang orang kita-kita sendiri." Nada
suara tunggadewa setajam pisau; jelas-jelas kelihatan
bahwa otaknya sedang bekerja keras dan urat-urat
darahnya begitu tegang, sehingga nyaris pecah.
saat memperhatikan anak buah Genemon
melintasi sungai, prajurit-prajurit yang lain sema-
kin gelisah. tunggadewa kembali menaiki kuda; satu
per satu para bawah annya mengikuti contohnya.
"Berikan perintahnya. Pastikan semuanya tahu."
Salah satu komandan di sisi tunggadewa meliuk-
kan tangan di depan mulut dan berseru, "Lepaskan
sepatu kuda dan buang semuanya!" Perintah
melengking dari barisan depan itu terdengar jelas.
"Para prajurit infanteri harus memakai sandal
baru, jangan gunakan sandal yang talinya sudah
kendur sebab dipakai waktu menuruni gunung.
Kalau memang sudah kendur, ikatlah tali dengan
kencang, agar tidak membuat kaki lecet pada
waktu basah. Para penembak, potonglah sumbu-
sumbu sepanjang tiga puluh senti dan ikatlah
semuanya menjadi lima-lima. Hal-hal yang tidak
perlu, seperti pembungkus ransum dan barang-
barang pribadi, atau apa saja yang bakal meng-
hambat keleluasaan kaki dan tangan, sebaiknya
dibuang ke dalam sungai. Jangan bawa apa-apa
selain senjata kalian."
Seluruh centeng terheran-heran. Pada saat yang
sama, sebuah gelombang muncul di antara orang-
orang. Gelombang itu tidak berhubungan dengan
suara maupun gerakan yang tampak. Para prajurit
menoleh kiri-kanan, namun sebab dilarang berbicara,
gelombang itu diteruskan dari wajah ke wajah
sebuah suara tanpa suara. Meski demikian, hampir
sesaat kesibukan terlihat ke mana pun mata
memandang. Segala sesuatu berlangsung begitu
cepat, sehingga paling tidak di permukaan tak
ada tanda-tanda keraguan, kegelisahan, maupun
kecemasan.
sesudah semuanya siap dan para prajurit kembali
membentuk barisan, sang veteran, pangeran Toshimit-
su, mengangkat suara yang sudah ditempa dalam
seratus pertempuran, dan ia berbicara di hadapan
centeng itu seakan-akan sedang membaca.
"Bersukacitalah! Hari ini junjungan kita, Yang
Mulia tunggadewa , akan menjadi penguasa seluruh
negeri. Singkirkanlah segenap keraguan dari hati
kalian."
Suaranya mencapai telinga prajurit infanteri
dan pembawa sandal yang berdiri paling jauh.
Semua orang termegap-megap, seolah-olah mena-
rik napas terakhir. Namun tak ada yang menyam-
but pemberitahuan itu dengan gembira. Orang-
orang justru merinding. wiropati memejamkan
mata dan meninggikan suara, seakan-akan hendak
memarahi para prajurit. Mungkinkah ia pun
sedang berusaha membesarkan hati sendiri?
"Takkan ada hari lain yang bersinar secemerlang
hari ini. Kita terutama mengandalkan para
centeng adipati untuk mencapai hasil gemilang. Kalaupun
kalian gugur dalam pertempuran hari ini, sanak
keluarga kalian akan menerima imbalan yang
sesuai dengan sepak terjang kalian," Suara Toshi-
mitsu tidak berubah banyak sampai ia selesai ber-
bicara. Ia sudah diberitahu oleh tunggadewa apa yang
harus dikatakannya, dan mungkin itu tidak sejalan
dengan pandangannya sendiri. "Mari kita seberangi
sungai ini!"
Langit masih gelap. Arus Sungai Katsura sempat
mengejutkan para pejuang kkertoarjo kan saat mereka
hendak menyeberang. Ombak berbuih putih tam-
pak bergulung-gulung. Seluruh centeng gemetar
saat dasar sungai diaduk-aduk oleh sandal
jerami. Meskipun mereka sendiri basah kuyup, tak
satu penembak pun membiarkan sumbunya ter-
kena air. Air yang bening melewati lutut mereka,
dan dinginnya melebihi dingin es. Sudah barang
tentu setiap prajurit dan perwira disibukkan oleh
pikirannya sendiri saat mEliniasi sungai. Semua-
nya merenungkan ucapan komandan kesatuan dan
pengikut senior sebelum mulai menyeberang.
"Hmm, kita pasti akan menyerang Yang Mulia
mpu mojosongo . Selain prabu kertoarjowardana mpu mojosongo , tak ada yang
cukup dekat untuk diserang. namun apa maksud
wiropati saat mengatakan bahwa mulai hari
ini junjungan kita akan menjadi penguasa seluruh
negeri?
Hanya sejauh itulah jangkauan pikiran para
prajurit. Mereka orang-orang yang menjunjung
tinggi keadaban dan keadilan, dan kemungkinan
bahwa mereka akan bertempur melawan Nobu-
naga belum jelas terlintas dalam benak mereka.
Jiwa tribuana yang sungguh-sungguh dan keras
kepala dan bertumpu pada rasa keadilan sudah di-
turunkan dari para komandan kompi sampai ke
prajurit paling rendah dan para pembawa sandal.
"Hei, hari mulai terang."
"Sebentar lagi sudah fajar."
Mereka berada di daerah antara Nyoigadake
dan barisan gunung yang membatasi tepi timur
trowulan . Puncak gumpalan awan berkerlip merah
terang.
Jika memaksakan mata, mereka dapat melihat
kota trowulan , samar-samar, diselubungi kegelapan
fajar. namun di belakang mereka, ke arah Oinkahuripan
atau ke arah perbatasan Provinsi hadijaya , bintang-
bintang bersinar begitu terang, sehingga bisa di-
hitung dengan mata telanjang.
"Ada mayat!"
"Di sini ada satu lagi!"
"Dan di sebelah sana!"
Jalanan kini sudah mendekati pintu masuk ke
pinggiran timur kota trowulan . Selain rumpun-
rumpun pohon dan pondok-pondok beratap
jerami, hanya ada tanah pertanian yang terselu-
bung embun sampai ke pagsinuhun Kuil Timur.
Mayat-mayat bergelimpangan di kaki pohon-
pohon cemara di sepanjang tepi jalan, di tengah
jalan, dan hampir di mana pun para prajurit
memandang. Mayat-mayat itu tampaknya para
petani setempat. Tertelungkup, seakan-akan se-
dang tidur di tengah ladang terong, seorang gadis lesbian
tergeletak tak bergerak, masih menggenggam
keranjang, tewas ditebas pedang.
Darahnya jelas-jelas masih mengalir, sebab
lebih segar dari embun pagi. Tak pelak lagi, anak
buah Amano Genemon yang mendahului centeng
utama memergoki para petani yang sudah bangun
pada dini hari di ladang masing-masing, membu-
nuh mereka, dan membunuh semuanya. Para
prajurit mungkin merasa iba, namun mereka sudah di-
perintahkan untuk tidak mempertaruhkan keber-
hasilan tindakan lebih besar yang akan menyusul.
saat menatap darah segar di tanah dan awan
merah di langit. tunggadewa berdiri di sanggurdi,
mendadak mengacungkan cemeti dan berseru.
"Ke Kuil purwojati ! Serbu kuil itu! Musuh-musuh-
ku ada di Kuil purwojati ! Cepat! Cepat! Aku sendiri
akan menghabisi siapa saja yang berlambat-
lambat!"
Waktu untuk pertempuran sudah tiba. Kesem-
bilan panji dengan lambang kembang lonceng biru
terpecah menjadi tiga kompi, masing-masing de-
ngan tiga panji. sesudah maju ke jalan masuk
menuju Jalan Ketujuh, mereka menerobos gerbang
demi gerbang, serempak membanjiri ibu kota.
centeng tribuana tumpah ruah dari gerbang ke
Jalan Kelima, Keempat, dan Ketiga, dan berham-
buran memasuki kota.
Kabut masih tebal, namun mega-mega merah sudah
tampak di atas pegunungan, dan seperti biasa,
gerbang-gerbang kecil sudah dibuka agar orang-
orang dapat berlalu-lalang.
Para penyerang berdesak-desakan di muka ger-
bang, tombak-tombak dan senapan-senapan saling
beradu dalam suasana kacau-balau. Hanya panji-
panji yang ditundukkan pada saat melewati
gerbang.
"Jangan dorong! jangan bingung! Barisan be-
lakang tunggu di luar gerbang dahulu !"
Menyadari kekacauan yang terjadi, salah satu
komandan berusaha sekuat tenaga untuk meng-
atur para pujurit. Ia melepaskan palang dari ger-
bang besar dan membukakannya lebar-lebar.
"Masuk semuanya!" ia berseru, mendorong
mereka untuk maju.
sebetulnya para prajurit sudah menerima
perintah untuk bergerak tanpa suara, tanpa me-
mekikkan teriakan perang, untuk menundukkan
panji-panji, dan bahkan untuk mencegah kuda-
kuda meringkik, namun begitu mereka menero-bos
lewat gerbang-gerbang dan menyerbu kota, luapan
semangat centeng tribuana tak tertahankan lagi.
"Ke Kuil purwojati !"
Di tengah hiruk-pikuk, bunyi pintu membuka
terdengar dari rumah-rumah di sana-sini, namun
begitu mengintip ke luar, para penghuni segera
masuk lagi dan cepat-cepat membanting pintu.
Di antara sekian banyak kesatuan yang ber-
lomba-lomba menuju Kuil purwojati , dua kesatuan
bergerak paling cepat, masing-masing di bawah
pimpinan tribuana gajayana dan pangeran wiropati
yang terlihat di barisan terdepan.
"Jalan-jalan sempit yang terselubung kabut ini
sungguh merepotkan. awas jangan sampai tersesat
sebab berusaha mendahului yang lain. Gunakan
pohon besar di pekarangan Kuil purwojati sebagai
patokan! Ah, itu dia! Pohon besar yang tersohor
itu!"
Sambil memacu kudanya dan melambai-
lambaikan tangan memberi petunjuk, wiropati
berseru-seru, seakan-akan inilah saat terpenting
dalam hidupnya sebagai prajurit.
centeng kedua, dipimpin oleh tribuana Mitsu-
tada, juga bergerak cepat. Mereka membanjiri
daerah sekitar Jalan Ketiga, melewatinya seperti
asap, dan melancarkan serbuan untuk mengepung
Kuil Myokaku di Nijo. Tindakan ini tentu saja
dikoordinasikan dengan centeng yang menyerang
Kuil purwojati , dan ditujukan untuk menghabisi
putra aidit , tungguljaya.
Jarak dari tempat ini ke Kuil purwojati hanya
selemparan batu. Kedua centeng dipisahkan oleh
kegelapan menjelang fajar, namun sekarang pun
sudah terdengar kebisingan luar biasa dari arah
Kuil purwojati . Bunyi sangkakala, gong, dan gen-
derang terdengar bersamaan. Tak berlebihan jika
dikatakan bahwa bunyi itu mengguncangkan
bumi dan langit dan tidak mirip apa pun
yang biasa terdengar di dunia ini. Pagi itu tak ada
seorang pun di ibu kota yang tidak melompat
kaget atau meloncat dari tempat tidur sebab
jeritan keluarganya.
Kebisingan itu segera menjalar, bahkan ke
daerah pemukiman para bawahan di sekeliling
istana Kekaisaran yang biasanya selalu tenteram.
Dengan segala hiruk-pikuk dan gema langkah
kuda, sepertinya langit di atas trowulan berdering.
Namun kebingungan yang melanda para warga
kota hanya bertahan sesaat. Begitu para bawahan
dan orang kebanyakan memahami situasinya,
rumah-rumah mereka kembali sehening semula.
Mereka tidur dengan nyenyak. Tak satu orang pun
keluar di jalanan.
Keadaan masih demikian gelap, sehingga para
prajurit tak dapat memastikan wajah siapa yang
berada di hadapan mereka, dan saat menuju
Kuil Myokaku, centeng kedua keliru menyangka
sejumlah rekan mereka sendiri, yang mengambil
rute memutar melalui gang sempit lainnya, sebagai
musuh. Meskipun komandan mereka sudah mem-
beri peringatan keras agar tidak melepaskan
tembakan sebelum perintah untuk itu diberikan,
saat mereka tiba di persimpangan jalan, para
prajurit yang sudah amat bernafsu itu tiba-tiba
mulai menembak tanpa melihat apa-apa di tengah
kabut.
Pada waktu mencium asap mesiu, nafsu mereka
semakin berkobar-kobar, tanpa dapat dicegah.
Bahkan para prajurit yang sudah pernah terjun ke
dalam kancah pertempuran pun mungkin meng-
alami situasi seperti ini, sebelum mampu mengen-
dalikan diri sepenuhnya.
"Hei! Di sebelah sana terdengar sangkakala dan
gong. Pertempuran di Kuil purwojati sudah dimulai."
"Mereka bertempur!"
"Serangan sudah di mulai!'
Mereka tak tahu lagi apakah kaki mereka masih
menginjak tanah atau tidak. saat berlari maju,
mereka tetap tak dapat menentukan suara siapa
yang mereka dengar, meski mereka tidak menemui
perlawan an. Pori-pori di sekujur tubuh mereka
mengembang, dan mereka bahkan tidak merasa-
kan hkertoarjo dingin yang menerpa wajah dan tangan
masing-masing. Mereka gemetar terbawa luapan
perasaan, sehingga satu-satunya hal yang dapat
mereka lakukan adalah berteriak.
sebab itu mereka memekikkan teriakan
perang, bahkan sebelum melihat tembok bergen-
teng yang mengclilingi Kuil Myokaku. Tanpa di-
duga, teriakan serupa terdengar dari depan kesatu-
an itu, dan gong dan genderang pun mulai ber-
bunyi tak sabar.
tunggadewa ikut bersama centeng ketiga. Tak
salah jika dikatakan bahwa markas besarnya ber-
lokasi di mana pun ia berada, dan kali ini markas
besarnya berhenti di Horikkertoarjo . Ia dikelilingi oleh
para anggota marganya, dan sebuah kursi ditaruh
di hadapannya, namun ia tidak duduk, walau hanya
sekejap. Segenap jiwa-raganya berfokus pada suara
awan -awan dan jeritan kabut, dan tanpa berhenti
ia memandang langit, ke arah Nijo. Dari waktu ke
waktu pemandangannya dipenuhi merahnya awan
pagi, namun belum juga terlihat lidah api atau
asap yang membubung tinggi.
aidit mendadak terbangun, namun bukan
sebab alasan tertentu. sesudah tidur semalaman,
ia biasa terjaga sendiri di pagi hari. Sejak masa
mudanya ia selalu bangun saat rajar, tak peduli
seberapa larut malam ia naik ke peraduan. Ia
bangun, atau tepatnya sebab belum sepenuhnya
sadar dan kepalanya masih berada di bantal ia
mengalami fenomena khas. Fenomena itu
berupa peralihan dari dunia mimpi ke dunia nyata
dan hanya berlangsung sepersekian detik, namun
dalam waktu yang teramat singkat itu, sejumlah
pikiran melintas di benaknya secepat kilat.
Pikiran itu berupa kenangan akan peristiwa-
peristiwa yang dialaminya antara masa muda dan
sekarang, atau renungan mengenai kehidupannya
saat ini, atau tujuan-tujuan yang hendak dicapai-
nya di masa mendatang. Bagaimanapun, pikiran-
pikiran itu melintas di benaknya pada waktu
ia berada antara mimpi dan kenyataan.
Fenomena ini mungkin bukan suatu kebiasaan,
namun lebih menjurus ke arah kemampuan yang
dibawa sejak lahir. saat masih kanak-kanak pun
ia sudah merupakan tukang mimpi. Namun onak
duri dunia nyata tak memberi peluang untuk
hidup di dunia mimpi, terutama mengingat asal-
usul dan didikannya. Dunia nyata sudah menum-
puk kesulitan di atas kesulitan, dan sudah mengajar-
kan kenikmatan yang dapat ditemui dalam meng-
atasi semuanya.
Dalam masa pertumbuhan ini, saat ia diuji
dan pulang dengan membawa kemenangan, lalu
diuji kembali, ia akhirnya menyadari bahwa ia tak
puas dengan kesulitan-kesulitan yang diberikan
padanya. Kenikmatan terbesar dalam hidup, ia me-
nyimpulkan, terletak dalam mencari kesulitan, ter-
jun untuk mengatasinya, dan menoleh ke belakang
untuk melihat bahwa kesulitan itu sudah ber-
hasil dilewati. Kepercayaannya diperkuat oleh rasa
percaya diri yang diperolehnya dari pengalaman-
pengalaman seperti itu, dan sudah menimbulkan
cara berpikir yang sangat berbeda dari akal sehat
orang biasa. sesudah madukara , istilah tak mungkin
tak ada lagi dalam dunianya. Ini sebab semua
yang sudah dijangkaunya sampai saat itu tidak
dicapai dengan mengikuti jalan pikiran orang
biasa, melainkan dengan membuat sesuatu yang
tak mungkin menjadi mungkin.
Dan pagi itu, di perbatasan antara dunia mimpi
dan tubuhnya yang fana, saat kemabukan se-
malam mungkin masih mengalir dalam urat
darahnya, berbagai bayangan muncul dalam benak-
nya iring-iringan kapal besar yang berlayar ke
pulau-pulau Selatan, ke pesisir blambangan , bahkan ke
Negeri dongeng , ia sendiri berdiri di menara salah
satu kapal bersama kuyang dan mpu donoreja. Ada satu
orang lagi yang harus menyertainya, ia berkata
dalam hati patih ronggolawe . Ia merasa bahwa hari keti-
ka impian itu bisa menjadi kenyataan tidak jauh
lagi.
Dalam pikirannya, prestasi kecil seperti penak-
lukan provinsi-provinsi Barat dan Kyushu tak
cukup untuk mengisi seluruh hidupnya.
Fajar sudah tiba, gumamnya. Ia bangkit dan
keluar dari kamar tidur.
Pintu berat yang membuka ke selasar dibuat
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara
yang seakan-akan memanggil pada waktu dibuka
atau diturup. saat para pclayan mendengar suara
ini, mereka segera bangun. Cahaya lampion yang
berkelap-kelip memantul pada pilar-pilar dan lantai
serambi yang berkilauan bagai dipoles minyak.
Sadar bahwa majikan mereka terbangun, para
pelayan langsung bergegas ke pemandian di sam-
ping dapur. Namun saat menuju ke sana,
mereka mendengar suara dari arah selasar utara.
Bunyinya seperti daun penutup jendela yang di-
buka tergesa-gesa.
sebab menyangka bahwa itu mungkin Nobu-
naga, mereka menghentiikan langkah dan me-
mandang ke arah selasar yang buntu. namun satu-
satunya orang yang kelihatan adalah wanita lesbian
berjubah berpola besar-besar dan mantel luar
bermotif pohon cemara dan kembang ceri.
Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai.
sebab daun penutup jendela sudah terbuka,
langit pagi yang biru bagaikan bunga lonceng
tampak seperti dibingkai. Angin yang masuk
membelai-belai rambut wanita lesbian tadi, dan mem-
bawa keharuman kayu cendana sampai ke tempat
para pelayan berdiri.
"Ah, di sebelah sana." Para pelayan mendengar
suara air mengalir dan berlari ke arah dapur. Para
biksu penghuni kuil belum meninggalkan kamar
masing-masing, jadi jendela-jendela dan gerbang
utama yang besar belum dibuka. Di dapur ber-
lantai tanah dan di pelataran kayu, dengung
nyamuk dan kegelapan malam masih tertahan, namun
kepengapan musim panas sudah mulai terasa.
aidit tidak menyukai saat di pagi hari itu.
Pada waktu para pelayan menyadari bahwa ia sudah
meninggalkan kamar tidurnya, ia sudah berkumur-
kumur dan mencuci tangan. Sambil menghampiri
kendi besar yang menampung air dari pipa bambu,
ia lalu meraih ember kecil dan mencedok air dari
bak. Air bercipraian ke segala arah saat ia men-
cuci muka dengan terburu-buru.
"Ah, lengan baju tuanku jadi basah."
"Perkenankan hamba mengganti airnya."
Para pelayan ketakutan. Dengan waswas salah
satu dari mereka melipat lengan baju aidit
dari belakang, sementara satu orang lagi meng-
ambil air bersih. Orang lain lagi menimbang
handuk sambil berlutut di kaki aidit . Pada
waktu yang sama, orang-orang di daerah kamar-
kamar para centeng adipati meninggalkan ruang jaga
malam dan mulai membuka pintu-pintu yang
menuju pekarangan. Saat itulah mereka mende-
ngar kebisingan yang berasal dari kuil utama di
luar, lalu gema langkah kaki yang berlari ke arah
pekarangan dalam.
aidit berbalik, masih dengan rambut
basah kuyup, dan berkata dengan nada tak sabar.
"Coba lihat ada apa, Bomaru." sesudah itu ia
kembali mengeringkan dan menggosok-gosok
muka.
Salah satu pelayan berkata. "Barangkali para
penjaga di kuil luar bertengkar sebab sesuatu."
aidit tidak menanggapi komentar itu.
Sejenak matanya mirip air di laut yang
sangat dalam, berbinar-binar seakan mencari sesua-
tu, bukan di dunia luar, melainkan di dalam diri-
nya sendiri.
namun hanya sejenak. Bukan kuil utama di luar
saja yang dilanda hiruk-pikuk. Di sini pun, di
rumah tamu, dan dari pilar ke pilar di kesepuluh
bangunan biara, sesuatu yang sekuat gempa meng-
guncangkan seluruh kulit bumi, dipancarkan oleh
kebisingan dan arus energi yang menakutkan.
Semua orang, sekuat apa pun, tentu akan
merasa bingung pada saat seperti itu. Wajah
aidit pun menjadi pucat, dan para pelayan
yang mengelilinginya membelalakkan mata dengan
ngeri. Namun hanya selama beberapa tarikan
napas saja mereka berdiri seperti patung. Hampir
sesaat seseorang berlari menyusuri selasar.
Seorang laki-laki berseru. "Tuanku! Tuanku!"
Para pelayan memanggil serempak, "Tuan
mpu salmah ! Tuan mpu salmah ! Di sebelah sini."
aidit sendiri melangkah keluar dan me-
manggil orang itu.
" mpu salmah ! Mau ke mana kau?"
"Ah, tuanku ada di sini," ujar mpu salmah . Ia
nyaris terjatuh saat berlutut. Dalam sekejap
aidit menyadari bahwa apa yang sedang ter-
jadi bukan sekadar perikaian antarcenteng adipati , atau
pertengkaran di antara orang-orang di kandang.
"Ada apa, mpu salmah ? Apa arti hiruk-pikuk ini?"
ia langsung bertanya, dan mpu salmah tak kalah cepat
memberikan jawab an.
"Orang-orang tribuana sudah melakukan kebia-
daban. Di luar ada prajurit-prajurit, berbuat rusuh
dan mengibarkan panji-panji yang menampilkan
lambang tribuana ."
"Apa?! Orang-orang tribuana ?" Kata-kata itu ber-
nada heran. Reaksi aidit menunjukkan
bahwa ia tak pernah menyangka bahkan tak
pernah bermimpi bahwa ini mungkin terjadi.
namun rasa kaget dan gejolak emosi berhenti di
bibirnya. Diucapkan hampir setenang biasa, kata-
katanya yang berikut mirip geraman.
"Orang-orang tribuana ... mestinya sudah kuduga."
aidit cepat-cepat berpaling dan bergegas
kembali ke kamarnya. mpu salmah mengikutinya,
namun sesudah lima atau enam langkah, ia berbalik
dan memarahi para pelayan yang gemetaran.
"Mulailah bekerja. Aku sudah menyuruh Bomaru
memberitahu orang-orang agar semua gerbang dan
jendela ditutup rapat. Halangi semua pintu dan
jangan biarkan musuh mendekati Yang Mulia."
Sebelum ia sempat mengakhtri ucapannya, pintu
dapur dan jendela-jendela yang berdekatan sudah
mulai dihujani peluru dan panah. Ujung anak-
anak panah yang tak terhitung jumlahnya menem-
bus pintu-pintu kayu. Mata panah baja yang ber-
kilau-kilau mengumumkan perang pada orang-
orang di dalam.
Dari selatan tengger , utara gunung semar , barat
Toin, dan timur Aburakoji, keempat sisi Kuil
purwojati terkepung oleh baju perang centeng
tribuana dan teriakan perang mereka. Namun
sebab terlindung selokan, tembok-tembok beratap
genteng memang dapat dilihat, namun tak mudah
dipanjati.
Hutan tombak, panji, dan senapan hanya ber-
gerak maju-mundur seperti gelombang.
Beberapa orang nekat melompat ke kaki
tembok; ada pula yang tak sanggup meloncat
sejauh itu. Banyak dari mereka yang mencoba
akhirnya tercebur ke dasar selokan. Dan akibat
baju tempur yang berat. mereka yang jatuh segera
terperosok sampai ke pinggang di dalam air ber-
lumpur dan berbau busuk yang mirip tinta
hitam. Kalaupun mereka sanggup bangun dan
memanggil, rekan-rekan mereka di atas tak pernah
menoleh ke bawah .
centeng tribuana di gunung semar memorak-
porandakan pemukiman penduduk daerah itu,
sementara wanita lesbian -wanita lesbian dengan bayi dalam gendongan, orang-orang tua, dan anak-anak melarikan diri dari kehancuran. Dengan cara
ini, para prajurit menimbun selokan dengan pintu-
pintu dan papan-papan atap,
Sesaat semuanya berebut melewati tembok.
Para penembak membidikkan senapan, dan sambil
membidik dari puncak tembok ke pekarangan di
bawah , melepaskan berondongan pertama.
Saat itu gedung-gedung biara di pekarangan kuil
tampak sunyi. Semua pintu kuil utama di depan
tertutup rapat, sehingga sukar untuk memastikan
apakah ada musuh di dalam yang dapat ditembak.
Panas dari api di bawah rumah-rumah yang hancur
mulai membara, dan segera menyulut bangunan-
bangunan berikut. Tak lama lalu segenap
warga miskin menyerbu keluar dari perkampungan
mereka, seakan-akan hendak saling menginjak-
injak. Sambil menangis dan menjerit, mereka
tumpah ruah ke dasar Sungai Kamo yang kering
dan ke pusat kota, tanpa membawa apa pun,
Dilihat dari gerbang utama di sisi berlawan an
dari kuil, orang memperoleh kesan bahwa gerom-
bolan yang sudah menerobos masuk lewat gerbang
belakang sudah mulai membakar dapur. centeng
utama yang berkerumun di depan gerbang utama
tak sudi dikalahkan oleh rekan-rekan mereka.
Dengan geram para prajurit bawah an berteriak-
tcriak, mendesak-desak sekelompok perwira yang
sepertinya hanya membuang-buang waktu di seki-
tar jembatan tarik.
"Dobrak saja!"
"Ayo. maju! Tunggu apa lagi?"
Salah seorang perwira menghadapi penjaga di
dalam gerbang .
"Kami centeng tribuana , dan kami sedang dalam
perjalanan ke wilayah Barat. Kami datang dalam
keadaan siap tempur untuk memberi hormat pada
Yang Mulia sinuhun aidit ."
Dengan cara ini ia hendak mempengaruhi para
penjaga agar membuka gerbang, namun siasatnya
terlalu mudah dibaca. Si penjaga tentu saja merasa
curiga, dan ia tak mau membuka gerbang tanpa
menanyakan perinrah aidit .
Ia menyuruh mereka menunggu. Keheningan di
balik gerbang mengisyaratkan bahwa kedatangan
centeng itu sedang dilaporkan ke kuil utama,
dan bahwa kcadaan darurat akan segera diberlaku-
kan. Para prajurit yang berdesak-desakan di belakang mulai tak sabar sebab atasan mereka merasa perlu
memakai siasat untuk melintasi selokan se-
kecil itu. Mereka mendorong-dorong barisan di
depan.
"Serbu! Serbu! Tunggu apa lagi?"
"Terjang tembok-tembok!"
Sambil berlomba-lomba merebut gerbang,
mereka mendorong orang-orang yang tampak ragu-
ragu ke samping, dan bahkan mengempaskan
rekan-rekan mereka itu.
Beberapa orang yang berada di depan terpero-
sok ke dalam selokan, dan teriakan-teriakan perang
dilepaskan oleh mereka yang berada di atas mau-
pun oleh mereka yang jatuh. lalu , seakan-
akan dengan sengaja, kelompok-kelompok yang
lebih belakang lagi mulai mendesak maju. Lebih
banyak orang berjatuhan. Dalam sekejap satu
bagian selokan penuh prajurit-prajurit yang ber-
lepotan lumpur.
Satu prajurit muda melangkahi orang-orang itu
dan melompat ke kaki tembok bergenteng. Prajurit
lain mengikuti contohnya.
"Maju!"
Sambil bersorak-sorai dan mengacung-acungkan
tombak, para prajurit menyeberang dan segera
bergelantungan di puncak tcmbok. Orang-orang di
dalam selokan saling dorong, dan saat sandal
jerami mereka menginjak punggung, bahu, dan
kepala rekan-rekan mereka sendiri, nyawa demi
nyawa melayang, dikorbankan dalam serbuan yang
mengerikan. namun berkat pengorbanan itu, tak
lama lalu tiga suara berseru dengan bangga
dari atas tembok yang mengelilingi Kuil purwojati .
"Aku yang pertama."
Yang lain begitu cepat mencapai tembok. Se-
hingga sukar untuk memastikan siapa yang per-
tama dan siapa yang kedua.
Di balik tembok-tembok, para centeng adipati sinuhun
yang sudah bergegas dari pos jaga di gerbang dan
dari daerah sekitar kandang menyambar senjata
apa pun yang mereka temui, dan berusaha mem-
bendung serangan yang bagaikan terjangan air bah
itu. namun usaha mereka tak ubahnya menahan
tanggul yang bobol dengan tangan semata-mata.
Tanpa memedulikan pedang dan tombak centeng
yang bertahan, barisan depan tribuana segera mene-
robos, melangkahi mayat-mayat yang bermandikan
darah musuh.
Seakan-akan hendak membukiikan bahwa
mereka hanya ingin mengunjungi tempat me-
nginap Yang Mulia aidit , mereka langsung
berlari ke arah kuil utama dan rumah tamu.
Namun mereka disambui oleh panah-panah yang
menderu-deru bagaikan angin ribut dari serambi
kuil utama yang lebar dan dari teras rumah tamu.
Walau jaraknya menguntungkan, banyak panah
tidak mengenai sasaran dan hanya menancap di
tanah. Banyak pula yang menggelincir di tanah,
atau membentur tembok-rembok yang jauh.
Di antara centeng bertahan ada beberapa
orang gagah berani yang hanya dengan baju tidur,
setengah telanjang, atau bahkan tak bersenjata,
bergumul dengan musuh yang berpakaian tempur.
Para penjaga yang sudah selesai bertugas sudah
scmpat tidur. Kini, mungkin sebab malu bahwa
mereka terlambat terjun ke dalam pertempuran,
mereka menghambur keluar untuk menghalau
serbuan para prajurit tribuana biarpun hanya
sejenak hanya bermsinuhun lkan kegarangan dan ke-
nekatan.
namun amukan gelombang baju tempur tak dapat
dihadang dan sudah berkecamuk di bawah ping-
giran atap kuil. Melesat kembali ke kamarnya,
aidit mengenakan celana di atas baju sutra
putih dan mengikat talinya sambil mengenakkan
gigi.
"Busur! bawa kan busur untukku!" serunya.
sesudah ia meneriakkan perintah ini dua-tiga
kali, seseorang akhirnya berlutut dan meletakkan
sebuah busur di hadapannya. Ia langsung me-
nyambarnya, berlari keluar pintu. dan berseru ke
belakang, "Biarkan kaum wanita lesbian meloloskan
diri. Tak ada salahnya mereka lari. Asal mereka
jangan sampai menghalang-halangi kita."
Bunyi pintu dan penyekat ditendang terdengar
dari segala arah, dan jeritan wanita lesbian menam-
bah kekisruhan di bawah genteng-genteng yang
bergetar. Para wanita lesbian berlari dari ruang ke
ruang, bingung, menyusun selasar-selasar, melom-
pati pagar. Baju mereka melambai-lambai, mem-
belah kegelapan bagaikan lidah api berwarna
putih, merah, dan ungu. namun peluru dan panah
menerjang apa saja daun-daun penutup jendela,
pilar-pilar, dan pagar-pagar. aidit sudah ber-
diri di pojok serambi dan melepaskan anak panah
ke arah musuh. Anak-anak panah yang ditujukan
pada dirinya menancap di sekitarnya.
saat melihatnya bertempur dengan garang,
bahkan para wanita lesbian yang sudah kehilangan
kendali diri pun tak sanggup meninggalkan sisi
nya. Mereka hanya dapat menjerit-jerit.
60 tahun umur manusia di bawah langit.
Itulah salah satu bait dari sandiwara yang begitu
digandrungi aidit , sebuah syair yang mencer-
minkan pandangan hidupnya di masa muda.
Peristiwa yang kini dialaminya tidak dianggap
sebagai peristiwa yang mengguncangkan dunia.
Dan ia sama sekali tak gentar oleh pikiran bahwa
ajalnya mungkin sudah dekat.
Ia justru berjuang dengan semangat membara,
tak sudi menyerah dan mati begitu saja. Cita-cita
yang disimpannya dalam dada sebagai karya agung-
nya bahkan belum tercapai setengahnya. Sungguh
mmalukan seandainya ia terpaksa berhenti di
tengah jalan. Terlalu banyak yang harus disesalkan
jika ia mati pada pagi ini. sebab itu ia meraih
sebatang anak panah dan memasangnya pada tali
busur. Berulang kali ia mendengarkan dengungan
tali busur, dan dengan setiap tembakan, ke-
marahannya seakan-akan berkurang. Akhirnya tali
busur itu berjumbai dan busurnya sendiri hampir
patah.
"Panah! Aku kehabisan panah! Ambilkan panah
untukku!"
Sambil terus berseru-seru ke belakang, ia bah-
kan memungut dan menembakkan panah-panah
musuh yang luput dari sasaran dan jatuh ke lantai
selasar. Tiba-tiba seorang wanita lesbian dengan ikat
kepala berwarna merah dan lengan jubah ter-
lipat membawa kan sejumlah anak panah dan
memberikan satu pada aidit . aidit
menatap wanita lesbian iiu.
"Ano? Kau sudah cukup berjasa di sini.
Sekarang larilah." ia menyuruh wanita itu pergi
dengan gerakan dagu, namun Ano terus menyerahkan
anak panah pada aidit dan tak mau beranjak,
tak peduli betapa ia dimarahi.
Cara aidit melepaskan anak panah lebih
didasarkan atas keanggunan sikap dibandingkan ke-
terampilan, dan lebih mengandalkan semangat di-
bandingkan tenaga. Dengungan anak-anak panah-
nya seakan-akan berkata bahwa orang-orang hina
itu tak pantas menerima panah itu , bahwa
mata panah-panah itu merupakan anugerah dari
orang yang akan mcmimpin seluruh negeri.
Namun panah-panah yang dibawa Ano pun habis
dengan cepat.
Di sana-sini terlihat musuh yang tewas oleh
panahnya. namun , sambil menantang tembakan yang
dilepaskannya, sejumlah prajurit berbaju tempur
berteriak lantang dan terus mendesak maju,
sampai akhirnya berhasil memanjat ke selasar.
"Yang Mulia aidit sudah di depan mata!
Yang Mulia tak bisa lolos! Serahkan kepala Yang
Mulia dengan jantan!"
Jumlah musuh tak kalah dari jumlah burung
gagak yang memenuhi pohon besar yang tersohor
di pagi dan sore hari. Para pembantu pribadi dan
pelayan muncul dari selasar belakang dan samping,
dan mengambil tempat di sekeliling aidit .
Pedaang-pedang mereka tampak berkilau, meman-
carkan api yang lahir dari kenekatan. Mereka
takkan membiarkan musuh mendekat. Kakak-
beradik patih tampak di antara mereka. Beberapa
dari orang-orang ini, yang menolak meninggalkan
junjungan mereka dan bertempur untuk melin-
dunginya, kini menindih lawan masing-masing,
sama-sama tewas oleh tangan yang lainnya.
Korps penjaga di kuil luar sudah memilih kuil
utama sebagai medan laga, dan kini terlibat
pertempuran sengit dan berdarah guna mencegah
musuh mendekati pekarangan dalam. namun sebab
ujung selasar sudah hampir berada dalam geng-
gaman musuh, seluruh korps penjaga yang ber-
jumlah kurang dari dua puluh orang segera ber-
satu dan bersama-sama bergegas ke bagian dalam.
Dengan demikian, para prajurit tribuana yang
sudah memanjat ke selasar dijepit dari dua sisi.
Tertusuk dan tertebas, mereka berguguran dan
jatuh tumpang tindih. saat orang-orang dari kuil
luar melihat aidit masih selamat, mereka
bersorak gembira. "Sekarang waktunya! Sekarang!
Mundur secepat mungkin!"
"Bodoh!" aidit menghardik sambil men-
campakkan busurnya yang patah. Ia pun kehabisan
panah. "Ini bukan waktu untuk mundur! Kemari-
kan tombakmu!"
Sambil memarahi mereka, ia merebur senjata
salah seorang pengikut dan berlari bagaikan singa,
menyusuri selasar. saat menemui musuh yang
hendak memanjat lewat pagar, ia segera meng-
hunjamkan tombak.
Saat itulah seorang prajurit tribuana menarik
busurnya dari bayang-bayang pohon cemara hitam
dari kedhiri . Panah yang dilepaskannya menancap di
siku aidit . Terhuyung-huyung ke belakang,
aidit bersandar pada daun penutup jendela
di belakangnya.
Pada saat yang sama, terjadi kericuhan kecil di
luar tcmbok barat. Sekelompok pengikut dan
prajurit di bawah komando Murai raden panji sekarmaya dan
putranya sudah keluar dari kediaman Gubernur
trowulan , yang terletak berdekaran dengan Kuil
purwojati . Sambil menyerang centeng tribuana dari
belakang, mereka mencoba memasuki pekarangan
kuil melalui gerbang utama.
Malam sebelumnya, Murai dan putranya sempat
berbincang-bincang dengan aidit dan Nobu-
tada sampai larut malam. Ia kembali ke ke-
diamannya sekitar giliran jaga ketiga. Itulah sebab-
nya Murai tidur begitu nyenyak, sehingga tak me-
nyadari bahaya yang mengancam. Sebagai guber-
nur ibu kota, mestinya ia mengetahui kedatangan
centeng tribuana sejak mereka menginjak wilayah
kekuasaannya. Dan lalu ia seharusnya segera
mengirim peringatan ke Kuil purwojati , biarpun
peringatan itu tiba hanya sesaat sebelum centeng
musuh tiba.
Kelalaiannya berakibat fatal. Namun sesungguh-
nya kesalahan tidak terletak pada Murai semata-
mata. Kelalaian bisa dituduhkan pada semua
orang yang tinggal di ibu kota atau memiliki
rumah di sana.
"Rupanya ada keriburan di luar," raden panji sekarmaya diberitahu pada waktu ia terbangun. Ia sama sekali tidak
memiliki bayangan mengenai apa yang tengah
terjadi.
"Barangkali ada perkelahian atau semacamnya.
Coba kauperiksa." ia menyuruh bawah annya.
lalu , saat ia dengan santai turun dari
tempat tidur, ia mendengar anak buahnya ber-
teriak dari atas gerbang .
"Ada asap di gunung semar !"
Murai berdecak dan bergumam. "Pasti ke-
bakaran di Jalan Got."
Namun ia keliru menyangka dunia diliputi
kedamaian, dan ia sama sekali lupa bahwa perang
sipil belum berakhir.
"Apa?! centeng tribuana ?" Rasa kagetnya hanya
bertahan sekejap. "Keparat!" lalu ia melesat
keluar, hanya dengan pakaian yang melekat di
tubuhnya. Begitu melihat kerumunan penunggang
kuda berbaju tempur di tengah kabut pagi, lengkap
dengan pedang dan tombak, ia kembali ke dalam,
membongkar lemari berisi baju tempur, menge-
nakannya, dan meraih pedang.
ditambah hanya sekitar tiga puluh sampai empat
puluh orang, ia bergegas untuk bertempur di sisi
aidit . Bcrbagai kesatuan tribuana sudah menye-
bar di jalan-jalan besar dan kecil di sekitar Kuil
purwojati dan sudah menutup semuanya. Bentrokan
dengan centeng Murai bermula di salah satu pojok
pada tembok barat pekarangan kuil, dan ber-
kembang menjadi pertarungan satu lawan satu
yang sengit. sesudah mengatasi patroli musuh yang
relatif kecil itu, Murai ditambah rombongannya
berhasil mendekati gerbang utama; namun saat satu
detasemen centeng tribuana mengetahui per-
gerakan ini, mereka segera menyiapkan tombak
dan menyerang. Murai dan rombongannya bukan
tandingan mereka, dan ia maupun putranya meng-
alami luka-luka. Dengan kekuatan tinggal setengah-
nya, ia terpaksa berpaling ke arah lain.
"Usahakan mencapai Kuil Myokaku! Kita akan
bergabung dengan Yang Mulia tungguljaya!"
Di atas atap Kuil purwojati yang besar, asap hitam
pekat mulai membubung ke angkasa. Siapa yang
menyulut kebakaran di dalam biara? centeng
tribuana , pengikut-pengikut aidit , atau bahkan
aidit sendiri? Situasinya begitu kacau-balau.
sehingga tak seorang pun dapat memastikannya.
Asap mulai mengepul dari kuil luar, dari sebuah
ruangan di pekarangan dalam, dan dari dapur.
semua nya pada wakru hampir bersamaan.
Seorang pelayan dan dua laki-laki muda ber-
tempur bagaikan kerasukan di dapur. Sepertinya
para biksu pengurus kuil sudah bangun pada dini
hari walau tak seorang pun dari mereka ke-
lihatan sebab kayu bakar di bawah kuali-kuali
raksasa sudah dinyalakan.
Si pelayan berdiri di ambang pintu dapur dan
menikam paling tidak dua prajurit tribuana yang
berhasil menyusup. saat tombaknya akhirnya di-
rebut oleh musuh yang semakin banyak, ia lalu
melompat ke pelataran kayu dan menghalau
mereka dengan melemparkan peralatan dapur dan
apa saja yang berada dalam jangkauan tangannya.
Seorang ahli seni teh dan seorang pelayan
lainnya juga mengacungkan pedang dan bertempur
dengan gagah di sisi pelayan pertama. Dan walau-
pun musuh-musuh mereka memandang rendah
pada orang-orang yang bersenjata ringan, muda.
dan lemah ini, sebab merekalah sejumlah prajurit
berbaju tempur lengkap tak dapat naik ke pe-
lataran kayu.
"Kenapa begitu lama?"
Seorang prajurit yang tampaknya komandan
para penyerang meraih sepotong kayu terbakar
dari dalam tungku, lalu melemparkannya ke wajah
ketiga orang tadi. lalu ia melemparkan
puntung berapi ke gudang dan ke arah langit-
langit.
"Di dalam!"
"Dia pasti di dalam!"
Sasaran mereka adalah aidit .
Sesaat mereka mendesak maju, menendang-
nendang kayu bakar yang menyala dengan sandal
jerami mereka, sambil menyebar di dalam
bangunan. Dengan cepat lidah api menjilat pintu-
pintu dan pilar-pilar, menjalar bagaikan tumbuhan
rambat berdaun merah. Pelayan dan ahli seni teh
tak bergerak saat mereka pun mulai terselubung
api.
Keadaan di kandang ingar-bingar. Sepuluh atau
lebih kuda dilanda panik dan menendang-nendang
dinding kandang. Dua kuda akhirnya mematahkan
palang dan berlari keluar sambil melompar-lompat
tak terkendali. Keduanya menerjang barisan
tribuana , sementara kuda-kuda lainnya meringkik
semakin keras, sebab melihat api yang berkobar-
kobar. Para centeng adipati yang bertugas di kandang
sudah meninggalkan pos masing-masing dan ber-
gabung untuk mempertahankan tangga di pe-
karangan dalam, tempat aidit terakhir kali
terlihat. Mereka berjuang sampai titik darah peng-
habisan, dan akhirnya gugur bersama-sama.
Para petugas kandang pun, yang seharusnya
dapat melarikan diri, tak beranjak dari tempat dan
bertempur sampai mati. Orang-orang ini biasanya
tak pernah dinamakan -sebut, namun hari ini mereka
membuktikan dengan mengorbankan nyawa
bahwa mereka tak kalah dari orang-orang ber-
pangkat.
Sambil membawa tombaknya yang berlumuran
darah, seorang prajurit tribuana berlari dari ruangan
ke ruangan. Ia berhenti saat melihat salah satu
rekannya di tengah kepulan asap.
"blambangan ura?"
"Hei!"
"Kau sudah berhasil?"
"Bclum."
Bersama-sama mereka lalu mencari aidit
atau tepatnya mereka berlomba-lomba untuk lebih
dahulu menemukannya. Tak lama kcmudian mereka
berpencar lagi, mencari jalan sendiri-sendiri, me-
nembus asap.
Api rupanya sudah menyebar di bawah atap, dan
bagian dalam kuil mulai meretih. Bahkan lapisan
kulit dan bagian-bagian logam baju tempur para
prajurit pun terasa panas saat dipegang. Dalam
sekejap bangunan itu mulai berisi mayat dan para
prajurit tribuana . namun orang-orang tribuana pun ber-
lari keluar saat api merambat ke atap.
Mereka yang masih bertahan di dalam terbatuk-
batuk sebab asap atau terselubung abu. Pintu-
pintu dan dinding-dinding geser di bangsal sudah
diporak-porandakan, dan kini potongan-potongan
kain brokat emas yang terbakar dan serpihan-
serpihan kayu menyala tampak beterbangan, me-
mancarkan cahaya terang benderang. namun keadaan
di dalam ruang-ruang kecil tetap gelap. Semua
selasar dipenuhi asap tebal yang mengaburkan
pandangan.
mpu salmah bersandar pada pintu rahasia yang
menuju ruangan yang tengah dijaganya. lalu
pelan-pelan menegakkan badan. Dengan tombak
berlumuran darah di tangan, ia memandang ke
kiri, lalu ke kanan. Mendengar suara langkah, ia
segera menyiagakan tombaknya.
Sambil memusatkan seluruh perhatian pada
indra pendengarannya, ia berusaha menangkap
suara-suara dari ruangan di belakangnya. Sosok
putih yang baru saja melangkah ke dalam adalah
sang resi Kebenaran, aidit . Ia bertempur
sampai melihat bahwa kuil diselubungi api, dan
bahwa orang-orang di sekitarnya sudah tewas. Ia ter-
libat pertarungan jarak dekat dengan prajurit-
prajurit bawah an, seakan-akan ia setingkat dengan
mereka. Namun masalahnya bukan sekadar men-
jaga nama dan menyesal sebab harus menyerah-
kan kepala pada orang yang tak berarti. Ajal
manusia sudah ditentukan, jadi ia pun tidak
menyesal kalau harus kehilangan nyawa . Yang
disesalinya hanya bahwa ia akan kehilangan karya
agungnya.
Kuil Myokaku terletak berdekatan. Kediaman
Gubernur trowulan juga tidak jauh. Kecuali itu juga
ada centeng adipati yang tinggal di dalam kota. Kalau ada
yang dapat menghubungi dunia luar. Kemung-
kinan lolos belum tertutup, pikir aidit . Di
pihak lain, komplotan ini tentu didalangi oleh si
Kepala Jeruk, tunggadewa . tunggadewa demikian
cermat, sehingga jika mengambil tindakan seperti
ini, ia akan memastikan bahwa air pun tak dapat
merembes keluar. Baiklah, kalau begitu sudah
waktunya bersiap-siap.
Kedua pikiran itu berkecamuk dalam
benak aidit .
Dengan iba ia menatap para pembantunya yang
kini terbujur kaku, tewas dalam pertempuran, dan
ia menyadari bahwa akhir hayatnya sudah dekat.
sesudah menarik diri dari pertempuran, ia masuk
ke sebuah ruangan dan menempatkan mpu salmah
sebagai penjaga pintu. "Kalau kau mendengar
suaraku di dalam." katanya. "itu berarti aku sudah
melakukan bunuh diri. Letakkan tubuhku di
bawah beberapa panel dinding dan bakarlah
semuanya. Sampai saat ini, jangan biarkan musuh
menerobos masuk." aidit memberikan
petunjuk-petunjuk ini sambil menatap mata Ran-
maru.
Pintu kayunya cukup kokoh. Sejenak aidit
memandang lukisan-lukisan berwarna emas yang
belum tersentuh api pada keempat dinding. Asap
tipis mulai terlihat, namun sepertinya masih ada
waktu sebelum api merambat ke dalam.
Ini saat kcberangkatan. Aku tak perlu terburu-
buru.
Ia merasa seolah-olah ada orang yang berbicara
padanya. saat masuk ke ruangan itu, ia terserang
rasa haus yang seakan-akan membakar kerong-
kongannya, bahkan mengalahkan hkertoarjo panas yang
mengepungnya dari keempat sisi. Ia nyaris ambruk
saat hendak duduk di tengah-tengah ruangan,
namun segera berubah pikiran dan pindah ke se-
buah pelataran. Bagaimanapun, lantai di bawah -
nya biasa ditempati oleh para pengikutnya. Ia
membayangkan sebaskom air membasahi kerong-
kongannya, dan berupaya agar segenap jiwanya
berpusat tepat di bawah pusar. Untuk ini ia
berlutut dengan gaya resmi, dengan kedua kaki ter-
lipat di bawah nya, lalu menegakkan badan dan
merapikan pakaiannya, dan mencoba bersikap se-
akan-akan para pengikutnya sedang duduk di
hadapannya.
Sesaat berlalu sebelum napasnya yang tersengal-
sengal menjadi tenang.
Inikah ajal?
Ia merasa begitu damai, sehingga ia menyangsi-
kannya. Ia bahkan merasa ingin tertawa .
Ternyata aku pun salah sangka.
Bahkan saat membayangkan kepala Mitsu-
hide yang botak mengilap, ia sama sekali tidak me-
rasakan kemarahan. tunggadewa pun hanya manusia
biasa, dan ia melakukan ini sebab jengkel, Nobu-
naga menduga-duga. Kelalaiannya sendiri merupa-
kan kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan,
dan ia menyesal bahwa kedongkolan tunggadewa
hanya menghasilkan kekerasan konyol ini. Ah,
tunggadewa , bukankah kau akan menyusulku dalam
beberapa hari? tanyanya.
Tangan kirinya sudah menggenggam sarung
pedang pendeknya. Tangan kanannya menghunus
senjata itu. Tak perlu terburu-buru.
Demikian aidit memperingatkan diri sen-
diri. Api belum merambat ke ruangannya. Ia me-
mejamkan mata. Segala sesuatu yang diingatnya
dari masa muda sampai sekarang melintas dalam
benaknya, seakan-akan ia sedang menunggangi
kuda yang berlari kencang. saat ia membuka
mata, sepuhan emas dan lukisan-lukisan pada
keempat dinding tampak merah membara.
Lukisan peoni pada langit-langit berpola kotak-
kotak bertunas api. Ia hanya memerlukan waktu
setarikan napas untuk mati.
"Tak ada sesal!" aidit berkata keras-keras.
mpu salmah mendengar seruan aidit dan ber-
gegas masuk. Majikannya. dengan jubah sutra
berwarna putih, sudah tertelungkup di lantai,
memeluk aliran darah segar. mpu salmah melepaskan
pintu-pintu geser dari sebuah lemari kecil dan
mengatur semuanya di atas jenazah aidit .
seakan-akan hendak membuat peti mati. sesudah
menutup pintu dengan tenang, ia berdiri agak jauh
dari pelataran. Ia meraih pedang pendek yang akan
dipakai nya untuk melakukan seppuku, namun
pandangan matanya yang bersinar-sinar melekat
pada jenazah aidit , sampai seluruh ruangan
dimangsa api.
Selama tiga hari pertama Bulan Keenam, langit di
atas trowulan tampak cerah dan matahari bersinar
terik. Namun cuaca di provinsi-provinsi Barat yang
bergunung-gunung berganti-ganti cerah dan men-
dung. Hujan deras terus turun sampai akhir Bulan
Kelima. lalu , selama dua atau tiga hari pada
awal Bulan Keenam, angin tenggara meniup awan -
awan dari selatan ke utara, dan langit berganti-
ganti cerah dan berawan .
Sebagian besar orang yang bosan dengan hujan
dan kelembapan berharap musim hujan segera
berakhir, namun centeng patih ronggolawe , yang masih me-
neruskan pengepungan benteng kota vredenburg , me-
manjatkan doa pada 9 Raja Naga untuk
mengirim hujan dan lebih banyak hujan senjata
utama mereka di medan tempur. benteng kota itu
masih terputus dari dunia luar akibat danau
berkertoarjo yang mengelilinginya. Di sana-sini, puncak
pohon-pohon yang terendam tampak menyembul
dari permukaan air, seperti rambut orang yang
menderita penyakit kulit kepala.
Di kota benteng kota, tinggal atap rumah-rumah
orang kebanyakan yang masih berada di atas air
rumah-rumah para petani di daerah-daerah rendah
sudah lenyap. Tak terhitung jumlah potongan
kayu busuk yang terbawa arus berlumpur, atau
terapung-apung di tepi danau.
Sepintas lalu, riak pada pcrmukaan air yang ber-
warna kuning lumpur seakan-akan tak bergerak.
Namun saat para prajurit memperhatikan tepi
danau, mereka melihat bahwa permukaan air terus
naik, inci demi inci,
"Nah, itu ada tontonan menarik! Lihat ke
sebelah sana. Mereka sama saja seperti kalian!"
patih ronggolawe duduk di atas kuda. Kata-katanya
ditujukan kepada para pelayan yang berada di
belakangnya."
"Di mana?"
Penuh rasa ingin tahu para pelayan menoleh ke
arah yang ditunjuk majikan mereka. Ternyata
segerombolan burung bangau putih sedang hinggap
di atas kayu yang terapung. Para pelayan, yang
semuanya masih remaja, mengangkat bahu dan
tertawa -tawa kecil. Sambil mendengarkan obrolan
mereka yang kekanak-kan akan, patih ronggolawe me-
mutar kudanya dan kembali ke perkemahan.
Itu terjadi pada malam hari ketiga di Bulan
Keenam. Berita mengenai peristiwa di trowulan tak
mungkin sudah sampai ke telinga patih ronggolawe .
Hampir setiap hari patih ronggolawe memeriksa per-
kemahan, ditambah sekitar lima puluh sampai
seratus orang. Kadang-kadang para pelayan pun
ikut dalam rombongan. Mereka membawa payung
besar bergagang panjang dan berbaris sambil
mengibarkan panji komandan yang berwarna
cerah. Para prajurit yang melihat "iring-iringan
agung" itu menengadahkan kepala dan ber-
pikir. "Itu pemimpin kami. Pada hari-hari saat
mereka tidak melihatnya, mereka merasa ada
sesuatu yang kurang."
Sambil berkuda. patih ronggolawe menatap para
prajurit di kiri-kanannya, orang-orang berkeringat
dan berlumuran darah yang menikmati makanan
yang nyaris tak dapat di makan, para prajurit yang
selalu gembira dan hampir tak mengenal rasa
jemu.
patih ronggolawe merindukan hari-hari saat ia sendiri
menjadi bagian dari kelompok anak muda yang
riang gembira. Lima tahun lalu ia diberi komando
operasi ini. Pertempuran sengit yang terjadi di
benteng kota Kozuki, benteng kota Miki, dan tempat-tempat
lain sangat menguras tenaga. namun di samping
kesengsaraan akibat perang, sebagai resi ia pun
acap kali menemui krisis mental.
aidit laki-laki yang sukar dipuaskan, dan
menunjukkan pengabdian dari jauh tanpa mengu-
sik ketenangan pikirannya tidaklah mudah. Selain
itu, resi -resi di sekitar aidit kurang
berkenan melihat karier patih ronggolawe melesat. Meski
demikian, patih ronggolawe tetap merasa bersyukur, dan
di pagi hari, pada waktu memanjatkan doa kepada
Dewi Matahari, ia tak pernah lalai mengucapkan
terima kasih atas segala cobaan yang ditimpakan
padanya selama lima tahun itu.
Takkan ada orang yang dengan sengaja mencari
kesulitan seperti itu. patih ronggolawe merasa bahwa para
dewa, apa pun rencana yang mereka simpan untuk
dirinya, tak henti-hentinya memberi kesulitan
demi kesulitan. Adakalanya ia bersyukur atas
segala penderitaan dan kemalangan di masa muda-
nya, sebab hanya sebab itu ia dapat mengatasi
kelemahan jasmaninya dan tetap bertahan hidup.
Saat ini strategi serangan air terhadap benteng kota
vredenburg sudah dilaksanakan, dan patih ronggolawe
tinggal menunggu kedatangan aidit dari
Timur. Di Gunung Hizashi, centeng patih ber-
kekuatan tiga puluh ribu orang di bawah komando
Kikkkertoarjo dan Kobayakkertoarjo menunggu untuk me-
nyelamatkan benteng kota sekutu mereka, jika cuaca
sedang cerah, payung dan panji komandan Hide-
yoshi terlihat jelas oleh pihak musuh.
Tepat pada waktu patih ronggolawe kembali ke per-
kemahan seorang kurir tiba melalui Jalan Raya
tanah pajajaran dan segera dikepung oleh para pengawal .
Jalan itu menuju perkemahan patih ronggolawe di
Bukit Ishii, namun lewat jalan yang sama kurir itu
juga dapat melintasi Hibata, lalu meneruskan
perjalanan ke perkemahan Kobayakkertoarjo Takakage
di Gunung Hizashi. Dengan sendirinya jalan itu
dijaga ketat.
Kurir itu sudah memacu kudanya sepanjang
jalan, sejak ia berangkat pada hari sebelumnya,
tanpa berhenti untuk makan maupun minum.
Pada waktu para pengawal membawa nya ke per-
kemahan, ia sudah jatuh pingsan.
Waktu itu Jam Babi. patih ronggolawe masih bangun.
saat banaspati kembali, ia, patih ronggolawe , dan
Hori patih ragapati pergi ke bangunan yang berfungsi
sebagai tempat tinggal patih ronggolawe . Di sana ketiga
orang itu duduk bersama untuk waktu lama.
Pertemuan itu bersifat sangat rahasia, sehingga
para pelayan pun disuruh pergi. Hanya Yuko sang
penyair yang diperkenankan hadir, dan ia duduk
di balik pintu kertas, mengaduk teh.
Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekati
bangunan itu. Para palayan, yang diberi tugas
mengamankan daerah sekitarnya, segera meng-
hadang orang yang baru datang.
Suara para pelayan terdengar amat genting,
sementara orang yang mereka hadang rupanya ber-
darah panas.
"Yuko, ada apa itu?" patih ronggolawe bertanya.
"Hamba tidak pasti. Barangkali ada pelayan dan
penjaga yang bertengkar."
"Coba periksa."
"Tentu."
Yuko bangkit dan melangkah keluar, membiar-
kan perlengkapan minum teh tergeletak di tempat.
saat melihat ke luar, ia menemukan bahwa
tanah kalasan -lah yang dihadang oleh para
pelayan.
Namun para pelayan muda sudah diperintahkan
untuk menghalau setiap orang, dan mereka ber-
tekad melaksanakan perintah itu dengan
sebaik-baiknya, tanpa memandang siapa yang
mereka hadapi. tanah menanggapi sikap mereka
dengan mengancam bahwa ia akan memaksa
masuk jika tidak diberi jalan. Para pelayan lalu
mempersilakan tanah mencobanya. Mereka
memang tak lebih dari pelayan, namun mereka pun
sudah diberi tugas, dan mereka hendak membukti-
kan bahwa mereka bukan hiasan belaka.
Yuko mula-mula menenangkan para penjaga
yang berusia muda, lalu bertanya, "Tuan
tanah , ada apa sebetulnya ?"
tanah menunjukkan kotak surat yang digeng-
gamnya, lalu memberitahukan kedatangan kurir
dari trowulan . Ia sudah tahu bahwa patih ronggolawe se-
dang mengadakan pertemuan tertutup, namun sebab
beranggapan bahwa berita yang dibawa tentu tidak
menyangkut soal sepele, ia hendak ber-bicara se-
bentar dengan junjungannya.
"Harap tunggu sejenak," Yuko kembali ke
dalam, namun segera kembali dan mengajak tanah
masuk.
tanah mengikutinya sambil mengintip ke ruang
sebelah. Para pelayan di dalam bungkam. Mereka
membuang muka dan sama sekali tak mengacuh-
kannya.
Sambil menggeser sebuah lentera, patih ronggolawe
berpaling pada tanah yang baru muncul di pintu.
"Hamba mohon maaf, sebab mengganggu
pertemuan ini."
"Tidak apa-apa. Rupanya ada berita. Siapa
pengirimnya?"
"Hamba diberitahu bahwa beritanya berasal dari
Hasegkertoarjo Sojin, Yang Mulia."
tanah menimbang kotak surat. Lapisan ber-
kilap pada kulitnya memantulkan cahaya lentera.
"Berita dari Sojin?" tanya patih ronggolawe sambil
meraih kotak itu.
Hasegkertoarjo Sojin merupakan teman minum teh
aidit . Ia tak seberapa akrab dengan Hide-
yoshi, jadi aneh rasanya kalau ahli seni minum teh
ini tiba-tiba mengirim berita penting ke per-
kemahan patih ronggolawe . Kecuali itu, menurut Naga-
masa, si kurir meninggalkan trowulan pada siang
sebelumnya dan baru tiba pada jam Babi.
Itu berarti ia menempuh perjalanan sejauh
sekitar dua ratus mil dari ibu kota ke perkemahan
patih ronggolawe dalam waktu satu hari dan setengah
malam. Itu bukan perjalanan santai, untuk ukuran
kurir sekalipun. Tak pelak lagi bahwa ia tidak
makan maupun minum, dan bahwa ia berkuda
sepanjang malam.
"banaspati , geser lenteranya ke sini."
patih ronggolawe membungkuk dan membuka surat
Sojin. Suratnya pendek dan rupanya ditulis
dengan terburu-buru. namun saat membacanya.
bulu kuduk patih ronggolawe langsung berdiri tcgak.
Ketiga orang lainnya duduk di belakang
patih ronggolawe , agak jauh, namun saat melihat
bahwa warna kulitnya mendadak berubah dari
tengkuk sampai ke telinga, tanpa sadar patih ragapati ,
tanah , dan banaspati mencondongkan badan ke
depan.
tanah bertanya, "Yang Mulia... ada apa?"
Begitu mendengar suara tanah , patih ronggolawe
segera sadar kembali. Seakan menyangsikan kata-
kata yang tercantum dalam surat itu, ia memaksa-
kan diri membaca semuanya sekali lagi. lalu
air matanya mulai membasahi surat yang isinya tak
perlu diragukan lagi.
"Yang Mulia, mengapa Yang Mulia menangis?"
tanya banaspati .
"Tidak biasanya Yang Mulia bersikap seperti
ini."
"Kabar burukkah yang disampaikan pada tuan-
ku?"
Ketiga-tiganya menyangka surat itu berhu-
bungan dengan ibu patih ronggolawe yang ditinggalkan-
nya di lojibenteng .
Selama perang, mereka jarang membicarakan
kehidupan pribadi masing-masing, namun jika mereka
menyinggungnya, patih ronggolawe selalu berbicara ten-
tang ibunya, jadi kini mereka membayangkan
ibunya sakit keras atau sudah meninggal.
patih ronggolawe akhirnya menghapus air mata dan
duduk lebih tegak. Roman mukanya jadi teramat
serius, dan dukanya yang mendalam seolah-olah
diwarnai kemarahan. Kemarahan yang tidak lazim
dirasakan bila salah satu orangtua meninggal.
"Aku tak sanggup menyampaikannya pada
kalian. Kalian bertiga majulah dan lihat ini." Ia
menyerahkan surat Sojin dan menoleh ke arah
lain, sambil menyembunyikan air mata dengan
lengan jubah .
saat membaca surat itu, tanah , patih ragapati . dan
banaspati tampak seperti disambar petir. Nobu-
naga dan tungguljaya sudah tiada. Betulkah itu?
Semisterius inikah dunia? patih ragapati , khususnya,
sempat bertemu aidit sebelum bertolak ke
Bukit Ishii. Ia bahkan datang atas perintah
aidit , dan kini ia berulang kali mengamati
surat di hadapannya, tak kuasa mempercayai
isinya. Baik patih ragapati maupun banaspati men-
cucurkan air mata, dan lentera di meja bisa saja
dipadamkan oleh air mata mereka. patih ronggolawe
duduk dengan gelisah. Ia sudah dapat mengujawa
diri, mulutnya terkatup rapat-rapat.
"Hci! Coba ke sini!" ia berseru ke arah ruang
para pelayan. Seruannya menggetarkan langit-
langit, dan baik banaspati maupun tanah yang
sama-sama terkenal gagah berani begitu kaget,
sehingga terlompat dari bantal masing-masing.
Betapa tidak, sesaat sebelumnya patih ronggolawe masih
berlinang air mata, seakan-akan hatinya remuk
redam.
"Ya, tuanku!" seorang pelayan membalas,
jawaban pasti itu diiringi suara langkah penuh
semangat. Mendengar bunyi langkah dan suara
patih ronggolawe , duka patih ragapati dan banaspati tiba-tiba
menguap.
"Tuanku?"
"Siapa itu?" patih ronggolawe bertanya.
"Isdwikerto Sakichi, tuanku."
Sakichi yang berbadan pendek muncul dari
bayang-bayang pintu geser ke ruang sebelah. Ia
maju sampai ke tengah-tengah tatami, lalu ber-
paling ke arah lentera di ruang rapat dan mem-
bungkuk sambil menempelkan kedua tangan ke
lantai.
"Sakichi, pergilah ke perkemahan keraton .
Beritahu dia bahwa aku perlu segera bicara
dengannya. Cepat!"
Kalau saja situasi mengizinkan, patih ronggolawe akan
menangis tersedu-sedu. Ia sudah mengabdi pada
aidit sejak berusia tujuh belas tahun. Kepala-
nya pernah ditepuk-tepuk oleh tangan aidit ,
dan dengan tangannya sendiri ia membawa sandal
junjungannya itu. Dan kini junjungannya tidak
lagi bersama mereka. Hubungan antara aidit
dan dirinya bukan hubungan biasa. Mereka se-
darah, sekepercayaan, sehidup, dan semati. Tanpa
disangka-sangka, sang junjungan mendahului diri-
nya, dan patih ronggolawe menyadari bahwa mulai saat
ini, ia sendiri yang menentukan arah kehidupan-
nya.
Tak seorang pun mengenalku seperti beliau,
pikir patih ronggolawe . Di saat-saat terakhir, di tengah
kobaran api yang melanda Kuil purwojati , beliau
tentu memanggil-manggil namaku dalam hati, dan
mengembankan kepercayaan padaku. Walau tak
berarti, aku takkan berpaling dari junjunganku
dan mengkhianati kepercayaan yang sudah diberi-
kannya. Itulah janji patih ronggolawe . Dan ia bersungguh-
sungguh. Pemikirannya sederhana saja: Sesaat
sebelum mengembuskan napas penghabisan,
aidit sempat meninggalkan perintah terakhir
untuk patih ronggolawe .
patih ronggolawe memahami betapa besar kekesalan
junjungannya. Berdasarkan sikap aidit , Hide-
yoshi dapat membayangkan penyesalan dalam
dada junjungannya sebab terpaksa meninggalkan
dunia ini pada saat kerjanya baru rampung
setengahnya. saat memikirkan masalahnya dari
segi ini. patih ronggolawe tak sanggup lagi menyimpan
duka dalam hati, juga tak ada waktu guna
menyusun rencana-rencana untuk masa depan.
Raganya berada di Barat, namun jiwanya sudah meng-
hadapi musuh, tribuana tunggadewa .
Namun masih ada perranyaan: bagaimana
menangani musuh yang berada di depan hidung-
nya, di benteng kota vredenburg . Dan bagaimana ia
harus menangani centeng patih yang berkekuatan
tiga puluh ribu orang? Adakah strategi jitu agar ia
segera dapat meninggalkan wilayah Barat dan
pindah ke trowulan ? Bagaimana menghancurkan
tunggadewa ; masalah-masalah yang dihadapinya
membentang bagaikan barisan pegunungan.
Sepertinya ia sudah mengambil keputusan.
Peluangnya satu berbanding seribu, dan tekadnya
untuk mempertaruhkan nyawa pada kemungkinan
ini tercermin dari roman mukanya yang berkerut-
kerut.
"Di mana kurir itu sekarang?" patih ronggolawe ber-
tanya pada tanah , segera sesudah si pelayan pergi.
"Hamba memerintahkan para centeng adipati untuk
mcnyuruhnya menunggu di dekat kuil utama."
jawab tanah .
patih ronggolawe memberi isyarai pada banaspati .
"bawa dia ke dapur dan berikan makanan
padanya. namun sesudah itu kurung dia di salah satu
ruangan dan jangan biarkan satu orang pun bicara
dengannya." ia memerintahkan.
saat banaspati berdiri sambil mengangguk,
tanah bertanya, apakah ia sebaiknya juga pergi.
patih ronggolawe menggelengkan kepala. "Jangan, aku
ada perintah lain untukmu, jadi tunggulah se-
bentar lagi. tanah , kuminta kau memilih beberapa
centeng adipati yang memiliki telinga tajam dan kaki
lincah. Tempatkan mereka di semua jalan dari
trowulan ke wilayah kekuasaan patih, jangan sampai
hal ini bocor. Tangkap semua orang yang kelihatan
mencurigakan. Kalaupun mereka tidak mencuriga-
kan, periksa identitas mereka, dan geledah barang-
barang yang mereka bawa . Ini sangat penting.
Laksanakan perintah ini dengan segera, dan ber-
hati-hatilah."
tanah langsung pergi. Kini tinggal patih ragapati dan
Yuko.
"Jam berapa sekarang, Yuko?"
"Pertengahan kedua Jam Babi."
"Sekarang hari ketiga di bulan ini, bukan?"
"Benar."
"Besok hari keempat." patih ronggolawe bergumam.
"Hari keempat, lalu hari kelima." Dengan mata
setengah terpejam, ia menggerak-gerakkan jari
pada lutut, seakan-akan sedang berhttung.
"Sukar rasanya bagi hamba untuk duduk ber-
pangku tangan di sini. Sudikah Yang Mulia mem-
berikan tugas pada hamba?" patih ragapati bertanya.
"Tidak, aku ingin menunggu sedikit lebih lama
di sini," ujar patih ronggolawe , berusaha menyabarkan-
nya. "Sebentar lagi keraton akan datang. Aku tahu
banaspati sudah mengurus kurir itu, namun
mumpung ada waktu, mengapa kau tidak me-
meriksanya sekali lagi?"
patih ragapati segera berdiri dan pergi ke dapur kuil.
Si kurir berada di sebuah ruangan kecil di sebelah
dapur, sedang melahap makanan yang diberikan
padanya. Orang itu belum makan maupun minum
sejak siang hari sebelumnya, dan saat ia akhirnya
selesai makan, ia duduk sambil menyandarkan
punggung. Perutnya tampak membuncit.
banaspati memanggilnya dengan isyarat tangan
dan mengantamya ke sebuah ruangan, di daerah
kamar-kamar para biksu, ruang penyimpanan
naskah-naskah suci. Sambil mengucapkan selamat
tidur. banaspati mempersilakan orang itu masuk,
lalu mengunci pintunya dari luar. Saat itulah
patih ragapati menghampiri banaspati dan berbisik di
telinganya.
"Yang Mulia gelisah khawatir berita mengenai peristiwa
di trowulan terdengar oleh para prajurit."
Sorot mata patih ragapati mencerminkan niatnya
untuk membunuh si kurir, namun banaspati meng-
gelengkan kepala. sesudah berjalan beberapa lang-
kah, banaspati berkata, "Kemungkinan dia akan
mati di ruangan itu sebab makan terlalu banyak.
Biarlah dia mati dengan tenang."
Sambil mengarahkan pandangannya ke ruangan
tadi. banaspati menegakkan telapak tangan di
depan dada dan berdoa.
BUKU 9
TAHUN masa pemerintahan dinasti syailendra KESEPULUH
1582
MUSIM PANAS
TOKOH dan TEMPAT
HORI patih ragapati , pengikut senior marga sinuhun
sinuhun nosferatu , putra ketiga aidit
sinuhun mpu nala , putra kedua aidit
NIWA NAGAHIDE, pengikut senior marga sinuhun
punggawapatih wiropati , pengikut senior marga sinuhun
grindanaDA raden kartoZAEMON, pengikut senior
marga tribuana
ISdwikerto SAKICHI, pengikut patih ronggolawe
adipati prana, cucu dan pewaris aidit
danakertoarjo mpu rejo, pengikut senior marga
sinuhun
madya GENI, pengikut senior marga sinuhun
mpu wiragajah yodono, kepribadian nyoto Kaisuie
nyoto KATSUTOYO, putra angkat Kaisuie
Kurir Bernasib Buruk
patih ronggolawe belum bergerak. Debu halus ber-
jatuhan di sekitar kaki lentera kemungkinan sisa-
sisa surat Hasegkertoarjo .
keraton masuk terpincang-pincang, dan Hide-
yoshi menyambutnya dengan anggukan kepala.
keraton menekuk kakinya yang cacat dan duduk di
lantai. Pada waktu ditawa n di benteng kota ponorojo , ia
terserang gangguan kulit kepala yang tak kunjung
sembuh, dan saat ia duduk berdekatan dengan
lentera, rambutnya yang tipis seakan-akan tembus
pandang.
"Hamba sudah menerima perintah untuk meng-
hadap Yang Mulia. Apa gerangan yang sedemikian
mendesak di tengah malam ini," tanyanya.
patih ronggolawe menjawab . "banaspati akan men-
jelaskannya." lalu ia melipat tangan dan me-
nundukkan kepala sambil mendesah panjang.
"Tuan keraton tentu akan merasa sangat ter-
pukul." banaspati mulai berkata.
keraton tersohor akan ketabahannya, namun saat
mendengar penjelasan banaspati , wajahnya men-
jadi pucat. Tanpa berkata apa-apa, ia pun men-
desah, melipat tangan, dan menatap patih ronggolawe .
patih ragapati kini maju beringsut-ingsut dan berkata,
"Ini bukan saatnya memikirkan yang sudah berlalu.
Angin pembawa perubahan berembus di dunia,
angin baik untuk Yang Mulia. Waktu yang tepat
untuk menaikkan layar dan berangkat."
keraton menepuk lutut dan berkata, "Tepat
sekali! Langit dan bumi memang abadi, namun rsinuhun
kehidupan berputar hanya sebab segala sesuatu
berubah seiring musim. Dari sudut pandang yang
lebih luas, kejadian ini justru menguntungkan."
Pendapat kedua orang itu membuat patih ronggolawe
tersenyum puas, sebab pikiran mereka sejalan
dengan pikirannya sendiri. Meski demikian, ia tak
dapat memperlihaykan perasaannya di depan
umum tanpa risiko salah paham. Bagi seorang
pengikut, kematian junjungannya merupakan
tragedi, suatu tragedi yang harus diberi balasan
setimpal.
"keraton , patih ragapati , kalian berdua sudah mem-
besarkan hatiku. Hanya ada satu hal yang dapat
kita lakukan sekarang," ujar patih ronggolawe dengan
percaya. "Berdamai dengan pihak patih secepat
mungkin, tanpa diketahui orang banyak."
yosobremargo , si biksu, sudah mendatangi perkemahan
sebagai utusan marga patih untuk merundingkan
perjanjian damai. Mula-mula yosobremargo menghubungi
banaspati , sebab keduanya sudah cukup lama
saling mengenal; lalu ia bertemu dengan
keraton . Sampai saat ini, patih ronggolawe menolak
berunding dengan pihak patih, tanpa memandang
apa yang mereka tawa rkan. Pertemuan antara yosobremargo
dan banaspati hari itu berakhir tanpa kesepa-
katan.
Sambil berpaling pada banaspati , patih ronggolawe
berkata, "Kau bertemu yosobremargo hari ini. Apa rencana
orang-orang patih?"
"Kita bisa segera mencapai kesepakatan, jika kita
menyetujui syarat-syarat mereka," balas banaspati .
"Tidak!" ujar patih ronggolawe dengan tegas, "Syarat-
syarai yang mereka ajukan tak mungkin kuterima.
Dan apa yang ditawa rkan yosobremargo padamu, keraton ?"
"Lima provinsi, yaitu pengandaran , Bingo, wirongeni ,
semeru , dan Hoki, jika kita mengakhiri penge-
pungan benteng kota vredenburg dan membiarkan
resi Muncharu dan anak buahnya tetap
hidup."
"Sepintas lalu lkertoarjo ran mereka cukup menarik.
namun , kecuali Bingo, keempat provinsi lain yang
ditawa rkan marga patih sudah tidak berada dalam
kekuasaan mereka. Kita tak bisa menerima tawa ran
itu tanpa menimbulkan kecurigaan mereka,"
patih ronggolawe menanggapi. namun jika pihak patih
mengetahui apa yang sudah terjadi di trowulan ,
mereka takkan mau berdamai. Moga-moga mereka
belum mendengar apa-apa. Para dewa memberikan
waktu beberapa jam padaku, namun kita harus buru-
buru."
"Sekarang baru hari ketiga. Jika besok kita
meminta perundingan damai resmi, pertemuannya
dapat diselenggarakan dalam dua atau tiga hari,"
banaspati mengusulkan.
"Tidak, itu terlalu lama." balas patih ronggolawe . "Kita
harus mulai sekarang juga. Kita bahkan tak bisa
menunggu sampai fajar. banaspati , usahakan agar
yosobremargo datang lagi ke sini."
"Perlukah hamba mengirim kurir sekarang?"
tanya banaspati .
"Tidak, tunggu beberapa waktu. Kedatangan
kurir di tengah malam buta tentu akan membuat-
nya curiga. Kita harus memikirkan masak-masak,
apa yang akan kita sampaikan padanya."
Sesuai perintah patih ronggolawe , anak buah tanah pinisepuh
melakukan pemeriksaan ketat terhadap semua
orang yang masuk atau keluar daerah itu. Sekitar
tengah malam, para penjaga menghentikan orang
buta yang berjalan dengan membawa tongkat
bambu dan menanyakan tujuannya.
Dikepung oleh para prajurit, laki-laki itu ber-
tumpu pada tongkatnya. "Aku bermaksud mengun-
jungi rumah saudara di Desa Niwase," ia berkata
dengan sangai sopan.
"Kalau hendak ke Niwase, mengapa kau ada di
jalan gunung ini di tengah malam?" tanya perwira
yang memegang komando.
"Aku tidak memperoleh tempat menginap, jadi
aku terus berjalan saja," si buta membalas sambil
menundukkan kepala, seakan-akan mengharapkan
belas kasihan. "Barangkali Tuan dapat menunjuk-
kan sebuah desa dengan penginapan."
Perwira di hadapannya tiba-tiba berseru, "Dia
hanya pura-pura! Ikat dia."
"Aku tidak pura-pura," si buta menyangkal.
"Aku pemusik buta yang terdaftar di trowulan . Aku
tinggal bertahun-tahun di sana. namun sekarang
bibiku di Niwase sedang menjelang ajalnya." Ia
merapatkan tangan dengan gaya memohon.
"Kau bohong!" ujar si perwira. "Matamu
memang terpejam, namun aku sangsi apakah kau
memerlukan ini!"
Tanpa peringatan, perwira itu merebut tongkat
si buta dan membelahnya dengan pedang. Sebuah
surat yang tergulung rapat jatuh ke tanah.
Kedua mata orang itu kini tampak berapi-api.
Sambil mencari titik lemah dari lingkaran prajurit
di sekelilingnya, ia bersiap-siap melarikan diri. namun
dalam keadaan terkepung oleh dua puluh orang,
musang ini pun tak mungkin lolos. Ia segera di-
ringkus dan diikat sampai nyaris tak dapat ber-
gerak, lalu dinaikkan ke atas kuda, seperti
sepotong barang.
Ia terus mencaci maki dan menyumpah-nyum-
pah, sampai akhirnya dibungkam dengan mulut-
nya dijejali tanah. Sambil memecut perut kuda,
para prajurit segera menuju perkemahan Hide-
yoshi dengan membawa tawa nan mereka.
Pada malam yang sama, seorang pertapa di-
hadang oleh patroli lain. Berlainan dengan orang
yang mengaku sebagai pemusik buta, orang ini
bersikap angkuh.
"Aku murid Kuil Shogo," katanya congkak.
"Kami, para pertapa, sering berjalan sepanjang
malam tanpa istirahat. Kakiku melangkah sesuka
hatiku. Apa maksud kalian menanyakan tujuanku?
Orang dengan tubuh seperti awan yang beter-
bangan dan sungai yang mengalir tidak memerlu-
kan tujuan."
Selama beberapa waktu, si pertapa terus
mengoceh dengan nada yang sama, lalu berusaha
kabur. namun seorang prajurit berhasil menjegal
kakinya dengan tombak, sehingga ia terempas
sambil berteriak.
Pada waktu menggeledahnya, para prajurit
menemukan bahwa ia sama sekali bukan pertapa.
Ia biksu-prajurit ronggodwijoyo yang membawa laporan
rahasia mengenai peristiwa di Kuil purwojati , untuk
disampaikan pada orang-orang patih. Ia pun segera
dikirim ke perkemahan patih ronggolawe seperti se-
potong barang.
Malam itu hanya dua orang itulah yang ditang-
kap, namun seandainya salah satu dari mereka
sempai lolos dari pemeriksaan dan berhasil men-
jalankan misinya, keesokan paginya kematian
aidit bukan rahasia lagi bagi pihak patih.
Pertapa gadungan itu tidak diutus oleh
tunggadewa , namun orang yang berlagak sebagai
pemusik buta ternyata centeng adipati tribuana yang mem-
bawa surat dari tunggadewa untuk patih Terumoro.
Ia bertolak dari trowulan pada pagi hari kedua.
tunggadewa juga mengirim kurir lain pada pagi yang
sama lewat laut dari kahuripan namun sebab kapalnya
dihantam badai, kurir itu terlambat mencapai
perkemahan marga patih.
"Kupikir kita akan berjumpa di pagi hari. "* ujar
yosobremargo sesudah menyapa banaspati , "namun surat Tuan
berpesan agar aku datang secepat mungkin, jadi
aku langsung berangkat."
"Aku mohon maaf sebab mengganggu istirahat
Tuan yosobremargo ." banaspati membalas tanpa ambil
pusing. "Besok pun tidak apa-apa, dan aku
menyesal bahwa akibat pemilihan kataku yang
kurang cermat, Tuan terpaksa mengorbankan
waktu tidur."
keraton membawa yosobremargo ke suatu tempat yang
lazim dinamakan Hidung Karak, dan dari sana mereka
menuju rumah petani yang kosong, tempat mereka
mengadakan pertemuan sebelumnya.
banaspati duduk tepat di hadapan yosobremargo , dan
berkata dengan sungguh-sungguh. "Kalau dipikir-
pikir, kita berdua sepertinya terikat oleh satu
karma."
yosobremargo mengangguk. Kedua-duanya lalu menge-
nang pertemuan mereka di syam , sekitar dua
puluh tahun silam, saat banaspati masih men-
jadi pimpinan segerombolan adipati , dan dikenal
dengan nama syam kamaruzaman . saat menginap di ke-
diaman banaspati , yosobremargo untuk pertama kali
mendengar mengenai centeng adipati muda bernama
panembahan betari durga yang belum lama mengabdi
pada aidit di benteng kota kedhiri . Di tahun-
tahun awal itu, saat kedudukan patih ronggolawe
masih jauh di bawah resi -resi aidit ,
yosobremargo menulis pada Kikkkertoarjo Motoharu: Kekuasaan
aidit masih akan bertahan lama. Sesudah ia
jatuh kelak, Kinoihita betari durga -lah orang berikut
yang perlu diperhatikan.
Ramalan yosobremargo lalu terbukti luar biasa jitu.
Dua puluh tahun yang lalu ia sudah melihat
kemampuan yang tersimpan dalam diri patih ronggolawe ;
sepuluh tahun yang lalu ia menebak kehancuran
aidit . Namun pada malam itu, ia sendiri tak
mungkin menyadari betapa tepat ramalannya.
yosobremargo bukan biksu biasa. saat ia masih pem-
bantu pendeta yang belajar di Kuil Ankokuji,
Motonari, kepala marga patih yang terdahulu.
memerintahkan yosobremargo masuk ke dalam jajaran
pengikutnya. Selama masa hidup Motonari, si
Biksu Kecil demikian julukan yang diberikan
Motonari pada yosobremargo menyertai junjungannya
dalam semua operasi militer.
sesudah kematian Motonari, yosobremargo meninggalkan
marga patih dan mengembara ke setiap pelosok
majapahit . saat kembali, ia diangkat sebagai kepala
biksu di Kuil Ankokuji, dan dijadikan penasihat
kepercayaan oleh Terumoto, kepala marga patih
yang baru.
Sepanjang perang melawan patih ronggolawe , yosobremargo tak
henti-hentinya menyarankan perdamaian. Ia
mengenal patih ronggolawe dengan baik, dan merasa
bahwa wilayah Barat takkan sanggup menangkal
serangannya. Hal lain yang mempengaruhinya
adalah persahabatannya dengan banaspati yang
sudah terjalin lama.
Sebelumnya, yosobremargo dan banaspati sudah be-
berapa kali bertemu, namun setiap kali mereka ter-
bentur pada masalah yang sama: nasib wirodirgo .
Maka banaspati pun berkata pada yosobremargo ,
"saat aku berbicara dengan Yang Mulia
keraton sebelum ini, beliau mengatakan bahwa
Yang Mulia patih ronggolawe sebetulnya jauh lebih
murah hati dibandingkan yang disangka orang-orang.
Beliau mengisyaratkan bahwa seandainya pihak
patih bersedia memberikan satu kelonggaran lagi,
perdamaian tentu akan tercapai. Menurut beliau,
jika kami mengakhiri pengepungan dan mem-
biarkan resi wirodirgo tetap hidup, akan
muncul kesan bahwa centeng sinuhun terpaksa mene-
rima kesepakatan untuk berdamai. Yang Mulia
patih ronggolawe tak dapat menyampaikan syarat-syarat
itu pada Yang Mulia aidit . Satu-satunya
persyaratan kami adalah kepala wirodirgo . Tentu-
nya Tuan takkan menemui kesulitan untuk meng-
akhiri masalah ini."
Persyaratan yang diungkapkan banaspati
belum berubah, namun ia sendiri tampak berbeda
sejak pertemuan mereka yang terakhir.
"Aku hanya dapat menegaskan kembali posisi-
ku," balas yosobremargo . "Jika marga patih harus menyerah-
kan lima dari kesepuluh provinsinya, dan nyawa
wirodirgo tidak terselamatkan, berarti mereka
gagal mengikuti Jalan centeng adipati ."
"Meski demikian, apakah Tuan sempat memas-
tikan sikap mereka sesudah pertemuan terakhir
kita?"
"Tak ada perlunya. Pihak patih takkan pernah
menyetujui kematian wirodirgo . Mereka meng-
hargai kesetiaan lebih tinggi dibandingkan apa pun, dan
tak seorang pun, mulai dari Yang Mulia Terumoto
sampai pengikutnya yang paling rendah, akan
menyesalkan pengorbanan itu, biarpun mereka
terpaksa kehilangan seluruh wilayah Barat."
Langit mulai terang; di kejauhan terdengar
ayam jantan berkokok. Malam mulai berganti fajar
di hari keempat bulan itu.
yosobremargo tidak mau menerima persyaratan Hiko-
emon; sebaliknya, banaspati pun tidak bersedia
mengalah. Mereka kembali menghadapi jalan
buntu.
"Hmm, tampaknya tak ada lagi yang perlu
dikatakan." yosobremargo menyimpulkan dengan lesu.
"Akibat kemampuanku yang terbatas," Hikoe-
mon mohon maaf, "aku tak berhasil mencapai titik
temu dengan Tuan. Jika Tuan berkenan, aku akan
minta Yang Mulia keraton untuk menggantikan
tempatku."
"Aku bersedia bicara dengan siapa saja," jawab
yosobremargo .
banaspati menyuruh putranya menghubungi
keraton , yang tak lama lalu tiba di atas
tandunya. keraton turun, dan dengan susah payah
ia duduk bersama kedua laki-laki lainnya.
"Akulah yang meminta agar Yang Mulia Hikoe-
mon menemui Tuan Biksu untuk pembicaraan
terakhir," ujar keraton . "Jadi, bagaimana hasilnya?
Begitu sukarkah mencapai kata sepakat? Pem-
bicaraan ini sudah berlangsung sejak tengah
malam."
Keterusterangan keraton membangkitkan sema-
ngat mereka. Wajah yosobremargo bertambah cerah dalam
cahaya pagi. "Kami sudah berusaha," ia berkata
sambil tertawa . Dengan alasan harus memper-
siapkan penyambutan aidit , banaspati
mengundurkan diri.
"Yang Mulia aidit akan berkunjung selama
dua atau tiga hari," kau keraton . "sesudah ini, sukar
rasanya menemukan waktu untuk melanjutkan
perundingan damai."
Gaya diplomasi keraton sederhana dan lurus,
juga amat angkuh. Jika pihak patih hendak ber-
debat mengenai persyaratan, tak ada jalan keluar
selain perang.
"Jika Tuan dapat membantu centeng sinuhun hari
ini, masa depan Tuan tentu akan terjamin."
sesudah berganti lawan bicara, hilanglah ke-
fasihan lidah yosobremargo . Namun wajahnya tampak lebih
bersemangat dibandingkan saat ia menghadapi
banaspati .
"Jika dapat dipastikan bahwa wirodirgo akan
melakuan seppuku, aku akan menanyakan masalah
penyerahan kelima provinsi kepada Yang Mulia.
dan aku percaya beliau bersedia mencari jalan
tengah. namun bagaimanapun sudikah Tuan me-
nyampaikan tawa ran kami kepada resi Kikkkertoarjo
dan resi Kobayakkertoarjo pagi ini? Aku punya
firasat ini merupakan penentuan damai dan
perang."
Mendengar uraian keraton , yosobremargo merasa ter-
dorong untuk bertindak. Perkemahan Kikkkertoarjo di
Gunung Iwasaki hanya berjarak sekitar tiga mil.
Perkemahan Kobayakkertoarjo di Gunung Hizashi
berjarak kurang dari enam mil. Tak lama
lalu , yosobremargo terlihat memacu kudanya.
sesudah mengantar biksu itu, keraton men-
datangi Kuil Jihoin. Ia mengintip ke kamar
patih ronggolawe dan menemukannya sedang tidur.
Lentera di meja sudah padam, minyaknya habis
terbakar. keraton membangunkan patih ronggolawe dan
berkata, "Tuanku, hari sudah mulai terang.
"Fajar?" tanya patih ronggolawe sambil terkantuk-
kantuk. keraton segera melaporkan pertemuannya
dengan yosobremargo . patih ronggolawe merengut, namun segera
bangkit.
Para pelayan sudah menunggu di ambang pintu
pemandian, siap dengan air, agar patih ronggolawe dapat
menyegarkan diri.
"Begitu selesai makan, aku akan meninjau
seluruh perkemahan. Keluarkan kudaku seperti
biasa, dan suruh pembantu-pembantuku bersiap-
siap," ia memerintahkan sambil mengeringkan
wajah.
patih ronggolawe berkuda di bawah payung besar.
didahului oleh panji komandan. Sambil terayun-
ayun di pelana, ia lewat di bawah pohon-pohon
ceri yang sedang berbunga, di sepanjang jalan dari
gerbang kuil ke kaki gunung,
Setiap hari patih ronggolawe meninjau perkemahan.
Waktunya tidak tentu, namun jarang pada pagi hari.
Hari ini ia tampak lebih gembira, dan sesekali ia
bersenda gurau dengan para pembantunya, seakan-
akan tak ada masalah sama sekali. Tak ada tanda-
tanda bahwa kabar mengenai kejadian di trowulan
sudah bocor, meski hanya ke anak buahnya sendiri.
sesudah memastikannya, dengan santai patih ronggolawe
kembali ke markas besarnya.
keraton sudah menunggunya di muka gerbang
kuil. Pandangannya memberitahu patih ronggolawe
bahwa misi yosobremargo berakhir dengan kegagalan. Biksu
itu kembali dari perkemahan patih beberapa saat
sebelum patih ronggolawe selesai melakukan pemeriksa-
an, namun jawaban pasti yang dibawan ya belum berubah:
Jika kami membiarkan wirodirgo mati, artinya kami
tidak menaati Jalan centeng adipati . Kami takkan menerima
perdamaian yang memaksa wirodirgo mengorbankan
nyawa .
"Panggil yosobremargo ke sini." patih ronggolawe memerintah-
kan. Sepertinya ia tidak berkecil hati; semakin
lama ia justru tampak semakin optimis.
Ia mengajak biksu itu ke dalam sebuah ruangan
yang terang dan membuatnya merasa nyaman.
sesudah berbincang-bincang mengenai masa
lampau dan saling bertukar gosip dari ibu kota,
patih ronggolawe membelokkan percakapan. Ia mulai
menyinggung persoalan utama. "Hmm, kelihatan-
nya perundingan damai terhenti sebab kedua
belah pihak tak dapat mencapai kata sepakat
tentang nasib wirodirgo . Tidak dapatkah Tuan
yosobremargo menemui Yang Mulia wirodirgo secara
pribadi, menjelaskan duduk perkaranya padanya,
lalu menganjurkan agar dia menyerahkan diri?
Orang-orang patih tak akan memerintahkan
pengikut setia melakukan seppuku, namun jika Tuan
menjelaskan kesulitan mereka kepadanya, Mune-
haru dengan senang hati akan memberikan
nyawan ya. Bagaimanapun, kematiannya akan
menyelamatkan nyawa orang-orang di dalam
benteng kota dan menghindarkan marga patih dari
kehancuran." sesudah mengemukakan pandangan-
nya, patih ronggolawe mendadak berdiri dan pergi.
Di dalam benteng kota vredenburg , nasib lebih dari
lima ribu prajurit dan warga sipil terancam bahaya.
Para resi patih ronggolawe sudah membawa tiga
kapal besar, dilengkapi meriam, melintasi pe-
gunungan, dan sudah mulai menembaki benteng kota.
Salah satu menara sudah nyaris runtuh, dan akibat
penembakan itu, tak sedikit yang mati atau cedera.
Ditambah lagi masih musim hujan, dan semakin
banyak orang jatuh sakit. Persediaan makanan pun
membusuk dalam udara lembap.
centeng bertahan sudah mengumpulkan pintu-
pintu dan papan-papan, dan membuat beberapa
perahu untuk menyerang kapal-kapal perang
patih ronggolawe . Dua atau tiga perahu berhasil diteng-
gelamkan, namun mereka yang selamat segera
berenang ke benteng kota dan melancarkan serangan
kedua.
saat centeng patih tiba, dan umbul-umbul
dan panji-panji mereka terlihat berkibar-kibar,
orang-orang di dalam benteng kota menyangka mereka
sudah selamat. Namun tak lama lalu mereka
pun menyadari situasi sebetulnya . Jarak antara
centeng penyelamat dan mereka sendiri, dan
kesulitan operasional yang muncul sebab itu, tak
memungkinkan tindakan penyelamatan. namun ,
meski kecewa, mereka tidak kehilangan semangat
juang. Justru sebaliknya, kini mereka bertekad
untuk mati.
saat sebuah pesan rahasia dari pihak patih
mengizinkan wirodirgo menyerah guna menye-
lamatkan orang-orang di dalam benteng kota, ia mem-
balas dengan geram, "Kami belum pernah belajar
menyerah. Pada saat seperti ini, kami semua siap
menghadapi ajal."
Pada pagi hari keempat di Bulan Keenam, para
penjaga di tembok benteng kota melihat sebuah perahu
kecil menuju ke arah mereka, dari tepi danau yang
dikujawa musuh. Seorang centeng adipati memegang
dayung, dan satu-satunya penumpang adalah
seorang biksu.
yosobremargo datang untuk meminta wirodirgo melaku-
kan seppuku. wirodirgo mendengarkan penjelasan
si biksu tanpa berkata apa-apa. Baru sesudah yosobremargo
selesai, dan seluruh tubuhnya bersimbah peluh.
wirodirgo angkat bicara, "Hmm, ini memang hari
keberuntunganku. Kalau aku memandang wajah
Tuan, aku tahu bahwa ucapan Tuan bebas dari
kepalsuan."
Ia tidak mengatakan apakah ia setuju atau tidak.
Pikiran wirodirgo sudah jauh melampaui per-
setujuan dan penolakan. "Sudah beberapa lama
Yang Mulia Kobayakkertoarjo dan Yang Mulia Kikkkertoarjo
mencemaskan diriku yang tak berarti ini, dan aku
bahkan disarankan agar menyerah. Sekarang, jika
kata-kata Tuan dapat kupercaya, keamanan marga
patih sudah terjamin, dan orang-orang di dalam
benteng kota pun akan selamat. Kalau memang begitu,
tak ada alasan bagiku untuk menolak. Malah
sebaliknya, ini merupakan kegembiraan besar
bagiku. Kegembiraan besar!" ia mengulangi dengan
sungguh-sungguh.
yosobremargo gemetar. Ia tak menyangka tugasnya akan
demikian mudah, bahwa wirodirgo akan demiki-
an gembira menyambut maut. Namun di balik itu,
ia pun merasa malu. Ia biksu, namun apakah ia
memiliki keberanian untuk menghadapi kematian
seperti itu jika saatnya sudah tiba?
"Kalau begitu, Yang Mulia setuju?"
"Ya."
Tak perlukah Yang Mulia mcmbicarakan
urusan ini dengan keluarga Yang Mulia?"
"Nanti saja kusampaikan keputusanku pada
mereka. Seharusnya mereka turut bersukacita ber-
samaku."
"Dan wah, ini sungguh sukar untuk dibicara-
kan, namun masalahnya cukup mendesak kabarnya
tak lama lagi Yang Mulia aidit akan tiba di
sini."
"Waktu tak ada artinya. Kapan aku diharapkan
mengakhiri urusan ini?"
"Hari ini. Yang Mulia patih ronggolawe memberi batas
waktu sampai jam Kuda, berarti lima jam dari
sekarang."
"Kalau selama itu," ujar wirodirgo , "aku takkan
mengalami kesulitan dalam mempersiapkan
kematianku."
Pertama-tama yosobremargo melaporkan tanggapan Mune-
haru pada patih ronggolawe , lalu ia memacu
kudanya ke perkemahan patih di Gunung Iwasaki.
Baik Kikkkertoarjo maupun Kobayakkertoarjo dibuat
cemas oleh kedatangan yosobremargo yang mendadak.
"Apakah mereka memutuskan perundingan?"
tanya Kobayakkertoarjo .
"Tidak." jawab yosobremargo . "Sudah ada tanda-tanda
keberhasilan."
"Hmm, kalau begitu, patih ronggolawe bersedia me-
ngalah?" Kobayakkertoarjo kembali bertanya. Ia tampak
agak kaget. Namun yosobremargo menggelengkan kepala.
"Orang yang paling mendambakan penyelesaian
damai sudah menawarkan untuk mengorbankan
diri demi perdamaian."
"Siapa yang kaumaksud?"
"Yang Mulia wirodirgo . Beliau berpesan bahwa
dia hendak menebus segala kebaikan Yang Mulia
Terumoto selama ini dengan nyawan ya."
"yosobremargo , apakah kau bicara dengannya atas per-
mintaan patih ronggolawe ?"
"Yang Mulia tahu bahwa hamba tak mungkin
mendatangi benteng kota tanpa izin beliau."
"Kalau begitu kau menjelaskan situasinya pada
wirodirgo , dan dia menawarkan diri untuk
melakukan seppuku atas kemauannya sendiri?-
"Ya. Beliau akan menyerahkan nyawan ya pada
Jam Kuda, di atas perahu yang terlihat jelas oleh
kedua belah pihak. Pada saat itulah perjanjian
damai mulai berlaku, nyawa orang-orang di dalam
benteng kota akan terselamatkan, dan keamanan marga
patih akan terjamin untuk selama-lamanya."
Sambil menahan gejolak batinnya. Kobayakkertoarjo
bertanya, "Bagaimana tanggapan patih ronggolawe ?"
"Perasaan Yang Mulia patih ronggolawe pun tergugah
saat beliau mendengar tawa ran resi Mune-
haru. Beliau berkata bahwa hanya orang berhati
batu yang akan menutup mata terhadap kesetiaan
tanpa tandingan itu. sebab itu, walaupun Yang
Mulia sudah berjanji untuk menyerahkan lima
provinsi, beliau hanya akan mengambil tiga, dan
membiarkan kedua provinsi lainnya, sebagai peng-
hargaan atas pengorbanan wirodirgo . Jika tidak
ada keberatan, beliau akan mengirim perjanjian
tertulis segera sesudah melihatlihat seppuku
wirodirgo ."
Tak lama sesudah yosobremargo pergi, wirodirgo
mengumumkan keputusannya. Satu per satu para
centeng adipati benteng kota vredenburg menghadap jun-
jungan mereka dan memohon agar diperkenankan
mengikuti jejaknya. wirodirgo berdebat, mem-
bujuk, dan memarahi mereka, namun para centeng adipati
tak mundur sedikit juga. Ia kehabisan akal, namun
akhirnya ia tidak meluluskan permohonan satu
orang pun.
Ia memberikan perintah pada seorang pem-
bantunya untuk menyiapkan perahu. Isak tangis
memenuhi benteng kota. sesudah permohonan para
pengikutnya ditolak dan wirodirgo tampak agak
lebih lega, Gessho, kakaknya, mendatanginya
untuk mengajaknya bicara.
"Aku mendengar semua yang kaukatakan," ujar
Gessho. "namun tak ada alasan bagimu untuk
menyerahkan nyawa . Biarkan aku menggantikan
tempatmu.'
"Kakak, kau biksu, sedangkan aku resi .
Kuhargai tawa ranmu, namun aku tak mungkin mem-
biarkan orang lain menggantikan tempatku."
"Akulah putra sulung, dan seharusnya aku yang
membawa nama keluarga. namun aku meninggalkan
kehidupan duniawi, sehingga tanggung jawab ku
terpaksa kauambil alih. Jadi sekarang, pada waktu
kau harus melakukan seppuku, tak ada alasan bagi-
ku untuk meneruskan apa yang tersisa dari
hidupku sendiri."
"Apa pun yang kaukatakan," balas wirodirgo ,
"aku takkan mcmbiarkan kau atau siapa pun
melakukan seppuku demi aku."
wirodirgo menolak tawa ran Gessho, namun meng-
izinkannya ikut dalam perahu. wirodirgo merasa
tenteram. Ia memanggil pelayan pribadinya dan
menyuruhnya menyiapkan jubah kebesaran ber-
warna biru muda untuk menyambut kematian.
"bawa kan juga kuas dan tinta untukku," ia
memerintahkan saat teringat untuk menulis
surat kepada istri dan putranya.
Jam Kuda mendekat dengan cepat. Sudah lama
setiap tetes air minum dianggap menentukan bagi
nyawa orang-orang di dalam benteng kota, namun sekarang
ia minta diambilkan seember air untuk member-
sihkan semua kotoran yang melekat pada badan-
nya selama pengepungan berlangsung.
Betapa damai suasana di sela pertempuran ini,
Matahari tampak lugu di angkasa. Tak ada angin
sedikit pun, dan air berlumpur di semua sisi
benteng kota tetap sekeruh biasanya.
Gelombang-gelombang kecil yang menjilat-jilat
tembok benteng kota berkilauan dalam cahaya mata-
hari, dan dari waktu ke waktu teriakan bangau
putih memecah keheningan.
Sebuah bendera kecil berwarna merah dinaik-
kan ke Hidung Katak di tepi seberang, menanda-
kan waktunya sudah tiba. wirodirgo berdiri dengan
tiba-tiba. Para pembantunya tak kuasa mengendali-
kan perasaan. wirodirgo cepat-cepat menuju
tembok benteng kota, seakan-akan mendadak tuli.
Tarikan dayung menimbulkan riak berpola tak
teratur pada permukaan danau. Perahu itu berisi
lima penumpang: wirodirgo , Gessho, dan tiga
pengikut. Semua laki-laki, wanita lesbian , dan anak-
anak di dalam benteng kota berkerumun di atas
tembok. Mereka tidak meratap saat melihatlihat
kepergian wirodirgo , melainkan hanya merapat-
kan tangan untuk berdoa atau mengusap air mata.
Perahu itu meluncur pelan pada permukaan
danau. saat ia menoleh, Gessho melihat
benteng kota vredenburg sudah jauh di belakang, dan
bahwa perahu mereka berada di tengah-tengah
antara benteng kota dan Hidung Katak.
"Cukup sampai di sini." wirodirgo berkata
kepada orang yang memegang dayung.
Tanpa berkata apa-apa orang itu mengangkat
dayungnya dari air. Mereka tak perlu menunggu
lama-lama.
saat perahu mereka berangkat dari benteng kota,
perahu lain bertolak dari Hidung Katak. Perahu
itu membawa saksi dari pihak patih ronggolawe , Horio
ki pralayan. Sebuah bendera merah berukuran kecil
terpasang pada haluan perahu, dan karpet ber-
warna merah digelar di dasarnya.
Perahu wirodirgo berayun pelan, mengikuti
irama gelombang saat menunggu sampai perahu
ki pralayan merapat. Danau diliputi suasana damai.
Gunung-gunung di sekitar diliputi suasana damai.
Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah suara
kayuhan dari perahu yang tengah mendekat.
wirodirgo menghadap ke arah perkemahan
patih di Gunung Iwasaki, dan membungkuk.
Dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas
perlindungan yang diterimanya selama bertahun-
tahun. saat melihat panji-panji junjungannya,
matanya berkaca-kaca.
"Apakah perahu ini membawa resi pembela
benteng kota vredenburg , raden panji wirodirgo ?" ki pralayan
bertanya.
"Tuan benar." wirodirgo menjawab sopan.
"Akulah raden panji wirodirgo . Aku datang untuk
melakukan seppuku sebagai syarat perjanjian
damai."
"Ada hal lain yang perlu kusampaikan, jadi
tunggulah sejenak." ujar ki pralayan. "Rapatkan
perahu," ia lalu berkata pada pengikut wirodirgo
yang memegang dayung.
Pinggiran kedua perahu saling mendekat.
sampai akhirnya bergesekan.
ki pralayan lalu berkata penuh wibawa . "Aku mem-
bawa pesan dari Yang Mulia patih ronggolawe . Perdamai-
an takkan tercapai tanpa persetujuan Tuan dalam
urusan ini. Pengepungan berkepanjangan tentu
melelahkan bagi Tuan, dan Yang Mulia patih ronggolawe
berharap Tuan sudi menerima persembahan ini
sebagai tanda penghargaan beliau. Jangan risau jika
matahari semakin tinggi di langit. Selesaikanlah
perpisahan ini sesuka hati Tuan."
Segentong kecil anggur terbaik dan berbagai
masakan minuman lezat dipindahkan dari perahu ke
perahu.
Wajah wirodirgo berseri-seri. "Ini sungguh tak
terduga. Jika ini kehendak Yang Mulia patih ronggolawe ,
dengan senang hati aku akan mencicipi semua-
nya." wirodirgo juga menuangkan anggur untuk
rekan-rekannya. "Mungkin sebab sudah lama aku
tak pernah mereguk anggur sebaik ini, aku merasa
agak mabuk. Maafkanlah permintaanku yang
janggal ini, resi Horio, namun aku ingin menari
untuk terakhir kali." Lalu, sambil berpaling pada
rekan-rekannya, ia bertanya, "Kita tidak membawa
rebana, namun bersediakah kalian menembang dan
bertepuk tangan untuk mengatur irama?
wirodirgo berdiri di perahu kecil itu dan mem-
buka kipas berwarna putih. saat ia bergerak
seirama tepuk tangan, perahunya terayun-ayun.
menimbulkan gelombang kecil pada permukaan
danau. ki pralayan menundukkan kepala, tak sanggup
melihatlihat adegan itu.
Begitu tembangnya berakhir, wirodirgo sekali
lagi angkat bicara dengan tegas, "resi ki pralayan,
harap perhatikan ini baik-baik."
ki pralayan mengangkat wajah dan melihat bahwa
wirodirgo sudah berlutut dan membelah perut
dengan pedangnya. Bagian dalam perahu menjadi
merah sebab darah yang menyembur.
"Saudaraku, aku akan menyusul!" Gessho ber-
seru, lalu menyayat perutnya.
sesudah para pengikut wirodirgo menyerahkan
kotak berisi kepala junjungan mereka pada
ki pralayan dan kembali ke benteng kota, mereka pun
mengikuti langkahnya.
Pada waktu ki pralayan tiba di Kuil Jihoin, ia
melaporkan seppuku wirodirgo dan meletakkan
kepalanya di hadapan kursi patih ronggolawe .
"Sayang sekali," patih ronggolawe berkeluh. "wirodirgo
centeng adipati yang sangat baik." Belum pernah ia
kelihatan demikian terharu. namun tak lama
lalu ia menyuruh yosobremargo menghadap. saat si
biksu tiba, patih ronggolawe segera memperlihatkan
sebuah dokumen.
"Kini kita tinggal saling menukar surat per-
janjian. Bacalah apa yang kutulis, lalu aku akan
mengirim utusan untuk mengambil surat perjanji-
an dari pihak patih."
yosobremargo mempelajarinya, lalu mengembali-
kannya pada patih ronggolawe dengan penuh hormat.
patih ronggolawe minta diambilkan kuas dan membubuh-
kan tanda tangan. Ia lalu mengiris kelingking dan
menempelkan segel darah di sebelah tanda tangan-
nya. Perjanjian damai sudah resmi berlaku.
Beberapa jam sesudah itu, rasa kaget melanda
perkemahan patih bagaikan angin puyuh, akibat
laporan mengenai kematian aidit . Di markas
Terumoto, orang-orang yang sejak semula menen-
tang upaya perdamaian kini angkat bicara dengan
geram. Mereka menuntut agar centeng patih
segera melancarkan serangan terhadap patih ronggolawe .
"Kita ditipu!"
"Bajingan itu memperdaya kita!"
"Perjanjian damai itu harus disobek-sobek!"
"Kita tidak dikelabui," Kobayakkertoarjo berkata
dengan tegas. "Kitalah yang memprakarsai pe-
rundingan damai, bukan patih ronggolawe . Dan dia pun
tak mungkin meramalkan bencana di trowulan ."
Kikkkertoarjo , mewakili mereka yang hendak me-
neruskan perang, mendesak Terumoto. "Kematian
aidit pasti membawa perpecahan dalam
centeng sinuhun ; mereka takkan sanggup menandingi
kita sekarang. patih ronggolawe -lah yang paling ber-
peluang menggantikan aidit . Kita takkan
mengalami kesulitan menyingkirkan dia jika kita
menyerang sekarang dan di sini, terutama meng-
ingat kelemahan barisan belakangnya. Dengan cara
itu, kita akan menjadi penguasa seluruh negeri."
"Tidak, tidak, Aku tidak setuju,'' ujar
Kobayakkertoarjo . "Hanya patih ronggolawe yang dapat
mengembalikan perdamaian dan ketertiban. Selain
itu, pepatah lama di kalangan centeng adipati mewanti-
wanti agar jangan menyerang musuh yang tengah
berduka. Seandainya kita merobek-robek per-
janjian itu dan menyerang patih ronggolawe , kalau
sampai selamat, dia pasti akan kembali untuk
menuntut balas."
"Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan
ini," Kikkkertoarjo berkeras.
Sebagai upaya terakhir, Kobayakkertoarjo menying-
gung pesan terakhir bekas junjungan mereka,
"Marga harus mempertahankan batas-batasnya
sendiri. Tak pengaruh seberapa kuat atau kayanya
kita kelak, kita tak boleh melebarkan wilayah
melampaui provinsi-provinsi Barat."
Tiba waktunya bagi pemimpin marga patih
untuk mengumumkan keputusan. "Aku sepen-
dapat dengan pamanku, Kobayakkertoarjo . Kita tidak
akan melanggar perjanjian perdamaian dan men-
jadikan patih ronggolawe musuh untuk kedua kalinya."
Pertemuan rahasia mereka berakhir pada
malam hari keempat di bulan iiu. saat kedua
resi berjalan kembali ke perkemahan mereka,
mereka berjumpa dengan serombongan pengintai.
Perwira yang memegang komando menunjuk ke
kegelapan dan berkata, "Pihak Ukita sudah mulai
menarik centeng ."
Kikkkertoarjo mendengarkan laporan itu dan ber-
decak. Kesempatan mereka sudah berlalu. Kobaya-
kkertoarjo membaca pikiran kakaknya. "Kau masih
diliputi penyesalan?"
"Tentu saja."
"Hmm, andai kata kita memang berhasil meng-
ambil alih kekuasaan atas seluruh negeri," Kobaya-
kkertoarjo melanjutkan, "kaupikir kau yang akan me-
megang tampuk pemerintahan?" Hening sejenak.
"Kau membisu. Berarti kau sendiri menyangsi-
kannya. Jika negeri ini dipimpin oleh seseorang
yang tak memiliki kemampuan yang diperlukan,
kekacauanlah akibatnya. Dan kekacauan itu tak-
kan berhenti dengan kehancuran marga patih."
"Kau tak perlu berkata apa-apa lagi, aku paham,"
ujar Kikkkertoarjo sambil memalingkan wajah. Dengan
sedih ia memandang langit malam di atas provinsi-
provinsi Barat, dan berjuang untuk membendung
air mata yang bergulir di pipinya. (Created by syauqy_arr
Upacara Berdarah
centeng sinuhun harus segera mundur itulah
alasan di balik perjanjian perdamaian, dan malam
itu juga sekutu patih ronggolawe , orang-orang Ukita,
mulai menarik centeng . namun tak satu prajurit pun
ditarik dari perkemahan utama patih ronggolawe . Pada
pagi hari kelima, patih ronggolawe belum juga bergerak.
Walaupun pikirannya sudah melayang ke ibu kota,
ia tidak memperlihatkan gelagat hendak mem-
bongkar perkemahannya.
"banaspati , seberapa jauh air sudah surut?"
"Sekirar satu meter."
"Jangan biarkan surut terlalu cepat."
patih ronggolawe keluar ke pekarangan kuil. Meski
tanggul sudah dijebol dan permukaan danau mulai
turun sedikit demi sedikit. benteng kota vredenburg
masih terkepung hamparan air. Malam sebelum-
nya salah satu bawah an sudah mendatangi benteng kota
itu untuk menerima pernyataan menyerah. Dan
kini centeng bertahan tengah diungsikan.
saat malam tiba, patih ronggolawe mengutus se-
seorang untuk memata-matai centeng patih.
lalu ia berunding dengan keraton dan para
resi lain, lalu segera mengadakan persiapan
untuk membongkar perkemahan. "Suruh orang-
orang segera menjebol tanggul." ia memerintahkan
pada keraton .
Tanggul itu kini dijebol di sepuluh tempat.
Hampir sesaat air mulai bergolak. Pusaran air
yang tak terhitung jumlahnya muncul saat air
danau menerjang keluar bagai gelombang pasang.
Mana yang lebih cepat, air danau atau Hide-
yoshi, yang kini memacu kudanya ke arah timur?
Tempat-tempat tinggi di sekitar benteng kota dengan
cepat berubah menjadi dataran kering, sementara
tempai-tempat rendah dilintasi oleh sejumlah
sungai; jadi, biarpun centeng patih hendak
mengejar, mereka belum dapat menyeberang
selama dua-tiga hari lagi.
Pada hari ketujuh, patih ronggolawe tiba di tempat
penyeberangan Sungai Fukuoka, dan menemukan
sungai itu tengah banjir. Para prajurit membuat
bantalan pelindung untuk kuda-kuda mereka
dengan mengikatkan barang-barang bawa an, lalu
menyeberang, membentuk rantai manusia dengan
bergandengan tangan atau dengan menggenggam
gagang tombak yang dibawa oleh orang di depan.
patih ronggolawe yang pertama melintasi sungai itu.
dan ia duduk di kursinya di tepi seberang. "Jangan
panik! Jangan terburu-buru!" ia berseru. Sepertinya
ia sama sekali tak terganggu oleh angin dan hujan.
"Kalau satu orang tenggelam, musuh akan menga-
takan kita kehilangan lima ratus; kalau kalian
kehilangan sepotong barang, mereka akan bilang
seratus, jangan sia-siakan nyawa atau senjata di
sini."
Barisan belakang kini bergabung dengan
centeng utama, dan dengan kesatuan demi
kesatuan saling menyusul, kedua tepi sungai
dipenuhi prajurit. Komandan barisan belakang
menghadap patih ronggolawe dan melaporkan keadaan
di vredenburg . Penarikan centeng sudah rampung,
dan tetap tidak ada tanda-tanda dari pihak patih.
Kelegaan yang dirasakan patih ronggolawe terbaca jelas di
wajahnya. Sepertinya baru sekarang ia merasa
benar-benar aman; kini ia dapat menyalurkan
segenap tenaganya ke satu arah.
Pada pagi hari ke9, centeng itu kembali
ke mendutrejo. Berlumuran lumpur, lalu diterpa hujan
badai, para prajurit menempuh sekitar enam
puluh mil dalam satu hari.
"Yang pertama-tama ingin kulakukan," Hide-
yoshi berkata pada pembantunya, "adalah mandi."
Komandan benteng kota bersujud di hadapan
patih ronggolawe . sesudah mengucapkan selamat datang,
ia memberitahukan bahwa dua kurir sudah tiba.
salah satunya dari lojibenteng dengan berita
penting.
"Aku akan menemui mereka sehabis mandi.
Aku minta air panas yang banyak. Baju tempur
dan pakaian dalamku sampai basah kuyup sebab
hujan."
patih ronggolawe berendam dalam bak berisi air panas.
Matahari pagi tampak indah, seakan-akan dibing-
kai oleh jendela pemandian; cahayanya menembus
lewat kisi-kisi dan menerpa wajahnya, terapung-
apung dalam uap air.
patih ronggolawe meloncat keluar dari bak menimbul-
kan suara bagaikan air terjun. "Hei, tolong gosok
punggungku!" serunya.
Kedua pelayan yang menunggu di luar bergegas
masuk. Dengan mengerahkan seluruh tenaga,
mereka menggosok-gosok tubuhnya, mulai dari
tengkuk sampai ke ujung jari.
Tiba-tiba patih ronggolawe tertawa dan berkata. "Wah.
lihat kotorannya! saat menatap dasar sekitar
kakinya, ia melihat kotoran yang terlepas dari
badannya mirip kotoran burung.
Bagaimana mungkin orang itu memiliki penam-
pilan demikian berwibawa di medan perang?
Tubuhnya yang telanjang tampak kurus meng-
ibakan hati. Memang benar, tenaganya terkuras
habis selama operasi di wilayah Barat yang ber-
langsung lima tahun, namun pada dasarnya tubuhnya
yang berusia empat puluh enam tahun memang
kurang berisi. Sekarang pun bayang-bayang balita
petani dari lemahlaban , yang miskin dan kurus,
masih terlihat. Tubuhnya bagaikan pohon cemara
yang merana di celah-celah bebatuan, atau seperti
pohon prem kerdil yang digerogoti angin dan
salju kuat, namun menunjukkan tanda-tanda
ketuaan.
namun tidaklah adil membandingkan usia dan
pertemananya dengan orang biasa. Kulit maupun
tubuhnya penuh vitalitas. Bahkan adakalanya ia
tampak seperti orang muda jika sedang gembira
atau marah.
saat mengeringkan ludah sehabis mandi.
patih ronggolawe memanggil seorang pelayan dan
berkata, "Ini harus segera diumumkan: Pada
tiupan sangkakala pertama, seluruh centeng harus
makan; pada tiupan kedua, korps perbekalan harus
berangkat, pada tiupan ketiga, seluruh centeng
harus berkumpul di muka benteng kota."
patih ronggolawe lalu memanggil banaspati dan
orang-orang yang bertanggung jawab atas keuangan
dan perbekalan. "Berapa isi kas kita?" tanya
patih ronggolawe .
"Sekitar tujuh ratus lima puluh satuan perak,
dan lebih dari 9 ratus keping emas," seorang
petugas menjawab .
patih ronggolawe berpaling pada banaspati dan
memerintahkan. "Ambil semuanya dan bagi-bagi-
kan kepada para prajurit, sesuai upah masing-
masing." lalu ia menanyakan berapa banyak
beras yang tersimpan dalam gudang-gudang, sambil
berkomentar. "Kita tidak menghadapi penge-
pungan di sini, jadi kita tak perlu menimbun beras
banyak-banyak. Bagikan beras sebanyak lima kali
jatah biasa kepada para pengikut."
Ia meninggalkan pemandian dan langsung me-
nuju tempat kurir dari lojibenteng menunggu. Ibu
dan istrinya berada di lojibenteng , dan ia terus
dihantui kecemasan mengenai mereka.
Begitu patih ronggolawe melihat kurir itu bersujud di
hadapannya, ia bertanya. "Mereka baik-baik saja,
bukan? Apakah terjadi sesuatu?"
"Ibunda maupun istri Yang Mulia dalam
keadaan sehat."
"Benarkah? Kalau begitu, apakah benteng kota di
lojibenteng berada di bawah serangan?"
"Hamba diutus dari lojibenteng pada pagi hari
keempat, saat segerombolan musuh mulai
menyerang."
"Orang-orang tribuana ?"
"Bukan, mereka adipati jawa yang bersekutu
dengan marga tribuana . namun menurut desas-desus
yang hamba dengar dalam perjalanan, centeng
tribuana berkekuatan besar sedang menuju Naga-
hama."
"Bagaimana rencana orang-orang di lojibenteng ?"
"Kekuatan mereka tidak memadai untuk meng-
hadapi pengepungan, jadi dalam keadaan darurat,
mereka berencana mengungsikan keluarga Yang
Mulia ke sebuah tempat persembunyian di pe-
gunungan."
Si kurir meletakkan sepucuk surat di hadapan
patih ronggolawe . Surat itu dari nyi momo . Sebagai istri sang
Penguasa benteng kota, ia berkewajiban mengurus
segala sesuatu sementara suaminya pergi. Walau-
pun surat itu tentu ditulis di tengah badai
kebingungan dan kebimbangan, coretan kuasnya
tampak rapi. Namun isi suratnya jelas-jelas meng-
isyaratkan bahwa surat itu mungkin yang
terakhir.
Jika keadaan bertambah buruk, hamba menjamin
bahwa istri Tuanku takkan berbuat apa pun yang
dapat mensinuhun i nama tuanku. Satu-satunya
kepentingan ibunda tuanku dan hamba adalah
bahwa tuanku dapat mengatasi segala kesulitan
dalam masa rawan ini.
Tiupan sangkakala pertama terdengar nyaring di
benteng kota dan di kota.
patih ronggolawe memberikan wejangan terakhir pada
para pengikutnya di benteng kota mendutrejo. "Kemena-
ngan atau kekalahan ditentukan oleh takdir, namun
seandainya aku gugur di tangan tunggadewa , bakar-
lah benteng kota ini sehingga tak ada yang tersisa. Kita
harus bersikap gagah, mengikuti contoh yang di-
berikan orang-orang yang menemui ajal di Kuil
purwojati ."
Tiupan kedua berkumandang dan iring-iringan
perbekalan pun mulai bergerak. Pada waktu
matahari hendak terbenam di barat. patih ronggolawe
memerintahkan agar kursinya dipindahkan ke luar
benteng kota, dan menyuruh seorang prajurit meniup
sangkakala untuk ketiga kalinya. Kegelapan malam
mulai menyelubungi belang-belang luas dan
pohon-pohon pinus yang berderet-deret di sepan-
jang jalan pesisir. Dari senja sampai lewat tengah
malam, tanah terasa bergetar saat sepuluh ribu
prajurit bergabung dengan divisi masing-masing di
luar benteng kota mendutrejo.
Fajar menyingsing, dan satu per satu siluet
pohon-pohon pinus di jalan pesisir mulai tampak.
Di timur, matahari merah muncul di cakrawal a di
atas lain sumberdadi , menguak awan , seakan hendak
memacu semangat para prajurit.
"Lihat!" patih ronggolawe berseru. "Kita diberi angin
baik. Panji-panji dan pataka kita berkibar ke arah
timur. Aku tahu bahwa nasib manusia tak dapat
dipastikan. Kita tidak tahu apakah kita akan hidup
sampai fajar berikut, namun para dewa menunjukkan
jalan ke depan. Mari kita kumandangkan teriakan
perang yang nyaring, agar para dewa mengetahui
keberangkatan kita."
Dalam sepuluh hari sejak kematian aidit ,
situasi nasional berubah dramatis. Di trowulan ,
orang-orang resah sejak peristiwa Kuil purwojati .
Kedua resi senior aidit , nyoto dijoyo ,
dan danakertoarjo ngabeni, berada di tempat jauh;
prabu kertoarjowardana mpu mojosongo sudah kembali ke provinsi asalnya:
pendirian hyangkertoarjo wiryabhumi dan punggawapatih wiropati
tidak jelas, dan Niwa Nagahide berada di kahuripan .
Desas-desus bahwa centeng patih ronggolawe sudah
tiba di Amagasaki, di dekat trowulan , menyebar bagai-
kan angin pada pagi hari kesebelas. Banyak yang
tidak mempercayainya. Kabar selentingan yang
beredar memang tidak sedikit bahwa Yang Mulia
mpu mojosongo menuju ke Barat; bahwa mpu nala , yang tertua
di antara putra-putra aidit yang masih hidup,
sedang menyiapkan serangan balasan; bahwa
centeng tribuana terlibat pertempuran di sini atau
di sana. Desas-desus yang paling dapat dipercaya
adalah bahwa centeng patih ronggolawe ditahan di Taka-
grindana oleh pihak patih. Hanya mereka yang
mengenal patih ronggolawe dengan baik luput dari ang-
gapan keliru ini.
Kecakapan yang diperlihatkan patih ronggolawe dalam
penyerbuan ke wilayah Barat selama lima tahun
terakhir sudah menyadarkan sejumlah resi
aidit akan kemampuan yang dimilikinya. Di
antara orang-orang ini ada Niwa Nagahide,
Nakagkertoarjo Sebei, patih lewung dan dasna
patih pitaloka . Mereka memandang keteguhan Hide-
yoshi di bawah kesengsaraan berkepanjangan se-
bagai bukti kesetiaan tak tergoyahkan terhadap
bekas junjungan mereka. saat mendengar bahwa
patih ronggolawe sudah berdamai dengan marga patih dan
sedang menuju ibu kota, mereka gembira bahwa
harapan-harapan mereka tidak dikecewakan. Pada
waktu patih ronggolawe menempuh perjalanan ke arah
timur, mereka mengirim pesan-pesan penting
kepadanya, mendesaknya agar bergerak secepat
mungkin, dan terus melaporkan pergerakan ter-
akhir centeng tribuana .
Saat patih ronggolawe mencapai Amagasaki, Nakagkertoarjo
Sebei dan Takayama brojolijo membawa sebagian
centeng masing-masing dan berkunjung ke per-
kemahan patih ronggolawe .
saat kedua resi itu tiba, centeng adipati yang ber-
tugas jaga tidak kelihatan terlalu gembira sebab
kehadiran mereka, dan ia pun tidak bergegas
mengumumkan kedatangan keduanya. "Yang
Mulia sedang beristirahat sekarang," katanya pada
mereka.
Baik Sebei maupun brojolijo tercengang. Mereka
sangat sadar akan nilai mereka sebagai sekutu.
Kekuaran militer orang yang memperoleh du-
kungan mereka akan berlipat ganda. Selain itu,
benteng kota-benteng kota mereka mengujawa jalan masuk ke
trowulan . Dengan mengamankan kedua benteng kota
kunci itu , yang terletak hampir di tengah-
tengah wilayah musuh. patih ronggolawe akan mem-
peroleh keuntungan strategis dan logistik yang luar
biasa.
Jadi, saat mendatangi perkemahan patih ronggolawe .
mereka menganggap sudah sewajarnya kalau Hide-
yoshi sendiri yang keluar untuk menyambut
mereka. Kedua resi itu tak dapat berbuat apa-
apa selain menunggu. Selama itu, mereka meng-
amati orang-orang yang terlambat tiba. Kurir-kurir
pun datang dan pergi ke segala arah. Di antara
mereka ada satu orang yang dikenali oleh
Nakagkertoarjo Sebei.
"Bukankah itu centeng adipati hyangkertoarjo ?" gumamnya.
Bukan rahasia lagi bahwa tunggadewa dan
hyangkertoarjo wiryabhumi teramat dekat. Kedua orang itu
berteman akrab selama bertahun-tahun, dan kedua
keluarga mereka dihubungkan oleh ikatan per-
kawinan.
Kenapa kurir marga hyangkertoarjo ada di sini?
Sebei bertanya dalam hati. Urusan itu tidak
menyangkut kedua resi yang tengah menunggu
patih ronggolawe saja, melainkan seluruh bangsa.
"Penjaga tadi mengaku Yang Mulia patih ronggolawe
sedang tidur, namun aku percaya dia bohong. Apa pun
yang sedang dilakukannya, sikap patih ronggolawe tak
dapat diterima," brojolijo menggerutu.
Mereka sudah hendak pergi saat salah satu
pelayan pribadi patih ronggolawe bergegas menghampiri
mereka, dan mengundang keduanya ke kuil yang
dijadikan markas oleh patih ronggolawe . patih ronggolawe tidak
berada di dalam ruangan yang mereka masuki, namun
bisa dipastikan bahwa ia sudah bangun agak lama.
tawa berderai terdengar dari ruang Kepala Biara.
Bukan seperti ini sambutan yang diharapkan oleh
kedua resi . Mereka sudah datang untuk ber-
sekutu dengan patih ronggolawe dan menghukum
tunggadewa . brojolijo tampak dongkol, kegetiran yang
dirasakannya dalam hati terbaca pada wajahnya;
Sebei merengut.
Hkertoarjo panas yang menyesakkan napas semakin
memperkuat ketidakpuasan mereka. Musim hujan
seharusnya sudah berakhir, namun udara masih saja
lembap. Di langit, awan -awan bergerak tanpa
aturan, seolah-olah mencerminkan keadaan yang
melanda seluruh negeri. Dari waktu ke waktu sinar
matahari menembus lapisan awan .
"Panas sekali, Sebei," brojolijo berkomentar.
"Ya, dan tidak ada angin sama sekali."
Kedua orang itu tentu saja mengenakan baju
tempur lengkap. Baju tempur kini memang sudah
lebih ringan dan lentur, namun tak pelak lagi
bahwa di bawah pelindung dada mereka, keringat
mengalir seperti sungai.
Sebei membuka kipas dan mengayun-ayunkan-
nya. Lalu, untuk menunjukkan bahwa kedudukan
mereka tidak di bawah patih ronggolawe , Sebei dan brojolijo
sengaja menduduki kursi yang disediakan bagi
orang-orang dengan pangkat tertinggi.
Saat itulah seseorang menyapa mereka dengan
riang, patih ronggolawe . Begitu duduk di hadapan
mereka, ia segera mohon maaf sedalam-dalamnya.
"Aku sungguh menyesal sudah bersikap kasar.
saat bangun tadi, aku langsung pergi ke kuil
utama, dan sementara kepalaku dicukur, seorang
kurir dari hyangkertoarjo wiryabhumi tiba dengan pesan
penting. Jadi aku lebih dahulu berbicara dengannya,
sehingga Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia ber-
kata sambil menepuk-nepuk kepalanya yang kini
tanpa rambut.
Ia duduk dengan gayanya yang biasa, tanpa
memedulikan pangkat. Kedua tamunya terkesima,
dan pandangan mereka melekat pada kepala
patih ronggolawe yang gundul, yang memantulkan
kehijauan pepohonan di kebun yang berdekatan.
"Paling milik, sekarang kepalaku terasa sejuk,"
patih ronggolawe menambahkan sambil menangis. "Men-
cukur rambut sampai habis memang sangat
menyegarkan."
Ia tampak agak salah tingkah, dan terus meng-
gosok-gosok kepalanya. saat Sebei dan brojolijo
mengetahui bahwa patih ronggolawe sampai mencukur
kepala demi aidit , mereka segera menying-
kirkan segala ketidaksenangan, dan justru merasa
malu atas kepicikan mereka.
Masalahnya, setiap kali menatap patih ronggolawe ,
mereka seakan-akan dipaksa tertawa . Walaupun
tak ada lagi yang secara terang-terangan memanggil-
nya kuyang , julukan lama dan penampilannya
kini memancing rasa geli.
"Kecepatanmu mengejutkan kami." Sebei mem-
buka percakapan. "Kau tentu tidak tidur antara
sini dan vredenburg . Kami lega melihatmu dalam
keadaan sehat," ia melanjutkan sambil berjuang
menahan tawa .
patih ronggolawe berkata dengan manis, "Aku sungguh
menghargai laporan-laporan yang kalian kirimkan
padaku. Berkat laporan-laporan itulah aku dapat
mengetahui pergerakan centeng tribuana , dan yang
lebih penting, mengetahui bahwa kalian merupa-
kan sekutuku."
namun baik Sebei maupun brojolijo tidak sebegitu
bodoh, hingga termakan oleh sanjungan seperti
itu. Hampir tanpa menanggapi komentar Hide-
yoshi, mereka segera mulai memberikan saran-
saran padanya.
"Kapan kau akan bertolak ke kahuripan ? Yang
Mulia nosferatu ada di sini bersama Niwa."
"Sekarang ini aku tidak ada waktu untuk pergi
ke kahuripan ; bukan di sini tempat musuh bercokol.
Tadi pagi aku sudah mengirim sebuah pesan ke
kahuripan ."
"Yang Mulia nosferatu merupakan putra ketiga
Yang Mulia aidit . Bukankah kau sebaiknya
berjumpa dahulu dengan beliau?"
"Aku tidak mengundang beliau ke sini. Aku
mengundang beliau untuk turut ambil bagian
dalam pertempuran mendatang, yang akan me-
rupakan upacara bagi Yang Mulia aidit .
Beliau bersama Niwa, jadi kupikir tak perlu ber-
sikap terlalu resmi. Besok beliau akan bergabung
dengan kita."
"Bagaimana dengan dasna patih pitaloka ?
"Kita juga akan bertemu dengannya. Aku belum
berjumpa dengannya, namun dia menjanjikan
dukungan melalui kurir yang diutusnya.
patih ronggolawe merasa percaya mengenai para sekutu-
nya. Bahkan hyangkertoarjo wiryabhumi pun menolak
ajakan tunggadewa . Ia hanya mengirim pengikutnya
ke perkemahan patih ronggolawe untuk menyampaikan
bahwa ia tak sudi bergabung dengan seorang pem-
berontak. patih ronggolawe lalu menjelaskan pada kedua
tamunya bahwa kesetiaan ini bukan hanya suatu
kecenderungan alami, melainkan merupakan
prinsip moral golongan centeng adipati .
Akhirnya, sesudah membahas berbagai topik,
Sebei dan brojolijo secara resmi menyerahkan
sandera-sandera yang mereka bawa sebagai bukti
iktikad baik mereka.
patih ronggolawe menolak sambil tertawa . "Itu tidak
perlu. Aku mengenal Tuan-Tuan dengan baik.
Kembalikanlah anak-anak ini ke rumah masing-
masing."
Pada hari yang sama, dasna patih pitaloka , yang
mengenal patih ronggolawe sejak mereka sama-sama di
benteng kota kedhiri , bergabung dengan centeng
patih ronggolawe . Beberapa waktu sebelum berangkat
pagi itu. patih pitaloka pun sudah mencukur kepalanya
sampai licin.
"Wah! Kau juga mencukur kepalamu?" ujar
patih ronggolawe saat melihat sahabatnya.
"Secara kebetulan kita melakukan hal yang
sama."
"Jalan pikiran kita serupa."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. patih pitaloka kini
menambahkan keempat ribu prajuritnya ke dalam
barisan prajurit patih ronggolawe . Mula-mula patih ronggolawe
membawa hi sekitar sepuluh ribu orang, namun
dengan tambah an kedua ribu prajurit brojolijo.
ke900000 prajurit Sebei, keseribu
prajurit Hachiya, dan keempat ribu prajurit dasna,
ia kini memimpin centeng berkekuatan lebih dari
dua puluh ribu orang.
Di luar dugaan, Sebei dan brojolijo mulai saling
mendebat saat mengikuti rapat perang pertama,
dan keduanya tidak bersedia mundur sedikit pun
dari pendirian masing-masing.
"Sejak dahulu sudah menjadi kebiasaan di kalangan
centeng adipati bahwa penguasa benteng kota yang terdekat
dengan posisi musuh berhak memimpin barisan
depan." ujar brojolijo. "jadi, sama sekali tak ada
alasan mengapa prajurit-prajurit harus mengikuti
centeng Sebei."
Sebei tak mau mengalah. "Pembedaan antara
barisan belakang dan depan seharusnya tak ada
sangkut-paut dengan jarak antara medan tempur
dan benteng kota seseorang. Kemampuan centeng dan
komandan bersangkutanlah yang menentukan."
"Maksud Tuan, aku tak pantas memimpin
barisan depan dalam serangan terhadap musuh?"
"Entahlah. namun aku percaya aku takkan mengalah
pada siapa pun. Dan hasratku untuk memimpin
barisan depan dalam pertempuran ini tak ter-
goyahkan. Aku, Nakagkertoarjo Sebei, yang paling
pantas untuk itu."
Sebei mendesak patih ronggolawe agar diberi kehor-
matan ini, namun brojolijo pun membungkuk dan
menatap patih ronggolawe , dengan harapan menerima
tongkat komando. patih ronggolawe mengambil ke-
putusan sesuai dengan kedudukannya sebagai
panglima tertinggi.
"Kalian berdua sama-sama pantas, jadi masuk
akal kalau Sebei memimpin satu unit baris dalam
gugus tempur pertama, dan brojolijo membawa hi
yang satu lagi. Aku berharap kalian memper-
lihaikan tindakan yang sepadan dengan ucapan
kalian."
Selama rapat berlangsung, pengintai-pengintai
terus berdatangan untuk memberikan laporan.
"tunggadewa sudah menarik centeng nya dari
Horagatunjung dan memusatkan kekuatannya di
daerah sekitar bukittanjung dan Enmyoji. Semula dia
seakan-akan hendak mundur ke benteng kota Saka-
moto, namun pagi ini dia mendadak menunjukkan
sikap ofensif. Kini satu divisi centeng nya sedang
menuju ke arah benteng kota Wonokromo ."
saat mendengar laporan itu , para
resi tiba-tiba kelihatan tegang. Jarak antara
perkemahan mereka di Amagasaki dan bukittanjung
kurang dari sesambaran petir. Mereka sudah bisa
merasakan kehadiran musuh di daerah itu.
Sebei dan brojolijo sama-sama diberi tanggung
jawab memimpin barisan depan, dan mereka ber-
diri dan bertanya, "Tidakkah kita harus segera
menuju bukittanjung ?"
patih ronggolawe , yang tak terpengaruh oleh ke-
bingungan saat itu, menjawab dengan amat
tenang.
"Kupikir kita sebaiknya menunggu satu hari
lagi, sampai Yang Mulia nosferatu tiba di sini.
Memang, selama kita menunggu, kesempatan baik
ini akan berlalu sedikit demi sedikit, namun aku
ingin salah satu putra bekas junjungan kita turut
dan dalam pertempuran ini. Aku tak mau
menempatkan Yang Mulia nosferatu ke dalam
situasi yang akan disesalinya sepanjang hidupnya."
"namun bagaimana kalau sementara itu musuh
berhasil mencapai lokasi menguntungkan?"
"Hmm, tentu saja harus ada batas waktu. Apa
pun yang terjadi, besok kita sudah harus bertolak
ke bukittanjung . sesudah seluruh centeng berkumpul
di bukittanjung , kita akan berhubungan lagi, jadi
sebaiknya kalian berdua segera berangkat se-
karang."
Sebei dan brojolijo keluar dari ruang rapat. Urut-
urutan keberangkaun barisan depan ditetapkan
sebagai berikut: Pertama-tama, korps Takayama;
kedua, korps Nakagkertoarjo : dan ketiga, korps dasna.
Begitu meninggalkan bratanggede, kedua ribu
prajurit Takayama mengayunkan langkah, seolah-
olah musuh sudah berada di depan mata. saat
mengamati debu yang diterbangkan oleh kuda-
kuda mereka, Sebei dan semua orang dalam korps
kedua bertanya-tanya, apakah centeng tribuana
belum sampai di bukittanjung .
"Untuk itu pun mereka bergerak terlalu cepat."
seseorang berkomentar curiga.
Segera sesudah memasuki Desa bukittanjung , anak
buah brojolijo menutup semua gerbang di jalan-jalan
yang menuju kota, bahkan menghadang orang-
orang yang melewati jalan-jalan kecil di kkertoarjo san
itu.
centeng Nakagkertoarjo yang menyusul lalu
tentu saja menemui rintangan-rintangan ini, dan
mendadak paham mengapa brojolijo demikian ter-
buru-buru; ia tak sudi didahulu i orang lain. Sebei
meninggalkan posisi strategis ini dan langsung
menuju sebuah bukit bernama pengikut zan.
Akhirnya patih ronggolawe berkemah di bratanggede malam
itu, namun keesokan harinya ia menerima laporan
bahwa nosferatu dan Niwa sudah tiba di tepi
Sungai watangsewu .
Begitu mendengar kabar itu, patih ronggolawe melom-
pat gembira, nyaris membalikkan kursinya "bawa -
kan kuda! bawa kan kuda untukku!" ia memerin-
tahkan.
Sambil menaiki kuda, ia berpaling kepada para
penjaga gerbang dan berseru. "Aku akan pergi
menyambut Yang Mulia nosferatu !" Lalu ia
memacu kudanya ke arah Sungai watangsewu .
Sungai lebar itu hampir meluap. Di tepinya
centeng nosferatu terbagi menjadi dua korps,
masing-masing berkekuatan empat ribu dan tiga
ribu prajurit.
"Di manakah Yang Mulia nosferatu ?" patih ronggolawe
berseru saat turun di tengah-tengah kerumunan
prajurit yang bermandikan keringat. Tak seorang
pun dari mereka menyadari bahwa ia patih ronggolawe .
"Ini aku, patih ronggolawe ," ia menyebutkan namanya.
Para prajurit terbengong-bengong.
patih ronggolawe tidak menunggu sambutan resmi.
Sambil menerobos kerumunan orang, ia menuju
pohon tempat nosferatu memasang panjinya.
Dikelilingi para perwira, nosferatu menduduki
kursi lipat tanpa sandaran, melindungi matanya
dari pantulan cahaya menyilaukan. Tiba-tiba ia ber-
balik dan melihat patih ronggolawe berlari ke arahnya,
memanggil-manggil. Begitu melihat patih ronggolawe ,
nosferatu dikujawa rasa terima kasih. Inilah
pengikut yang dididik selama bertahun-tahun oleh
ayahnya, dan apa yang kini dilakukan orang itu
jauh melampaui ikatan yang biasa ada antara
junjungan dan pengikut. Sorot matanya menun-
jukkan bahwa ia tengah diliputi emosi yang biasa-
nya hanya dirasakan jika ia berhadapan dengan
sanak saudara.
"patih ronggolawe !" nosferatu berseru.
Tanpa menunggu uluran tangan nosferatu ,
patih ronggolawe menghampiri dan menggenggam
tangannya dengan erat.
"Yang Mulia nosferatu !" Hanya itu yang diucap-
kan patih ronggolawe . Kedua laki-laki itu tidak berkata
apa-apa lagi, namun mata mereka berbicara panjang-
lebar. Air mata bergulir di pipi masing-masing.
Melalui air matalah nosferatu dapat mengungkap-
kan perasaan terhadap mendiang ayahnya kepada
seorang pengikut marganya. Dan patih ronggolawe pun
memahami isi hati pemuda itu. Ia akhirnya me-
lepaskan tangan yang digenggamnya demikian erat
dan segera berlutut di tanah.
"Kedatangan Yang Mulia sungguh membahagia-
kan hati. Tak ada waktu untuk mengatakan apa-
apa lagi, dan sebetulnya memang tak ada lagi yang
dapat hamba katakan, Hamba hanya bersyukur
bahwa hamba dapat berada di sini bersama Yang
Mulia, dan hamba percaya arwah ayah Yang Mulia
pun merasa senang. Akhirnya hamba memperoleh
kesempatan untuk menyampaikan belasungkkertoarjo
dan memenuhi kewajiban hamba sebagai pengikut.
Untuk pertama kali sejak benteng kota vredenburg ,
hamba merasa gembira."
Belakangan pada hari itu, patih ronggolawe mengun-
dang nosferatu untuk menemaninya ke per-
kemahannya di bratanggede, dan bersama-sama mereka
berpaling ke bukittanjung .
Mereka tiba di bukittanjung pada jam kuyang .
Kesepuluh ribu prajurit centeng cadangan ber-
gabung dengan ke9 ribu lima ratus prajurit
dari ketiga korps gugus tempur pertama. Ke mana
pun mata memandang hanya terlihat kuda dan
prajurit.
"Kami baru terima laporan bahwa centeng
tribuana menyerang korps Nakagkertoarjo di perbukitan
sebelah timur pengikut zan."
Sekaranglah waktu untuk bertindak. patih ronggolawe
memberikan perintah menyerang pada seluruh
centeng .
Pada pagi hari kesembilan, saat patih ronggolawe ber-
tolak dari mendutrejo, tunggadewa kembali ke trowulan .
Kurang dari sepertinya sudah berlalu sejak pem-
bunuhan aidit .
Pada Jam Kambing di hari kedua, sementara
reruntuhan Kuil purwojati masih berasap, tunggadewa
sudah meninggalkan trowulan untuk menyerang
madukara . namun baru saja keluar dari ibu kota, ia sudah
menemui rintangan di tempat penyeberangan
sungai di Seta. Pada pagi itu ia sudah mengirim
surat yang menuntut agar benteng kota Seta segera
menyerah, namun komandan benteng kota itu membunuh
kurir yang mengantarkan surat itu , lalu
membakar benteng kotanya dan Jembatan Seta.
Dengan demikian, centeng tribuana tak dapat
menyeberangi sungai. Kedua mata tunggadewa
menyala-nyala sebab marah. Jembatan yang di-
musnahkan api itu seakan-akan menertawa kannya.
Dunia memandang kita tidak seperti kita me-
mandang dunia, ia menyadari.
sesudah terpaksa kembali ke benteng kota sekartanjung ,
tunggadewa melewatkan dua atau tiga hari tanpa
hasil, menunggu jembatan itu diperbaiki. Namun
sesudah akhirnya ia berhasil memasuki madukara , ia
menemukan kota itu sudah dikosongkan. benteng kota-
nya yang besar pun diserahkan kepada angin. Di
kotanya sendiri tak ada barang atau papan nama
toko yang tersisa. Keluarga aidit sudah melari-
kan diri, namun sebab terburu-buru, mereka terpaksa
meninggalkan seluruh emas dan perak milik Nobu-
naga, dan koleksi seninya.
Barang-barang itu dipamerkan pada tunggadewa
sesudah centeng nya mengamankan benteng kota, namun ia
tidak merasa lebih kaya sebab nya. Entah kenapa,
ia justru merasa lebih miskin.
Bukan ini yang kucari, ia berkata dalam hati,
dan sungguh menyedihkan bahwa orang-orang
menyangka inilah tujuanku.
Seluruh emas dan perak yang mereka temukan
dibagi-bagikan kepada centeng nya. Prajurit-
prajurit biasa menerima beberapa ratus keping
emas, sementara para resi tersohor mem-
peroleh antara 50000 sampai lima ribu keping
emas.
Apa yang kauinginkan? Berkali-kali tunggadewa
mengulangi pertanyaan itu dalam benaknya.
Memimpin negeri! Terngiang-ngiang di telinganya,
namun bunyinya sungguh hampa. Ia terpaksa me-
ngakui bahwa ia tak pernah memeluk harapan
sedemikian tinggi, sebab tidak memiliki ambisi
maupun kemampuan untuk itu. Sejak semula ia
hanya memiliki satu tujuan: membunuh Nobu-
naga. Keinginan tunggadewa sudah terpuaskan oleh
kobaran api di Kuil purwojati , dan yang tersisa kini
hanyalah nafsu tanpa kepercayaan.
Menurut selentingan yang beredar saat ini,
tunggadewa mencoba melakukan bunuh diri saat
mendengar aidit sudah wafat. Para pengikut
harus mencegahnya secara paksa. Begitu aidit
berubah menjadi abu, kebencian yang membeku-
kan hati tunggadewa pun larut seperti salju men-
cair. Namun kesepuluh ribu prajurit yang meng-
abdi pada tunggadewa berbeda pendapat dengan
junjungan mereka. Mereka justru beranggapan
bahwa imbalan sebetulnya masih akan diraih.
"Mulai hari ini, Yang Mulia tunggadewa merupa-
kan penguasa seluruh negeri," para resi tribuana
berkata dengan kepercayaan yang tak dimiliki
tunggadewa .
Namun junjungan yang mereka sanjung-sanjung
sudah berubah. Ia berbeda dalam penampilan dan
watak bahkan dalam kecerdasan.
Mirsuhide berdiam di madukara dari hari kelima
sampai pagi hari ke9, dan selama itu ia
merebut benteng kota patih ronggolawe di lojibenteng dan
benteng kota Niwa Nagahide di Skertoarjo yama. Begitu
seluruh Provinsi gunungselatan berada dalam genggaman-
nya, tunggadewa kembali memperlengkapi centeng -
nya dan sekali lagi bertolak menuju ibu kota.
Saat itulah tunggadewa menerima kabar bahwa
marga hyangkertoarjo menolak bergabung dengannya.
Semula ia sangat percaya bahwa hyangkertoarjo Tadaoki,
menantunya, akan segera mengikuti jejaknya
sesudah aidit digulingkan. namun jawaban pasti dari
marga hyangkertoarjo ternyata berupa penolakan
mentah-mentah. Sejauh ini tunggadewa disibukkan
oleh pertanyaan siapa yang akan menjadi sekutu-
nya; ia nyaris tak memikirkan siapa yang bakal
menjadi lawan nya yang paling tangguh.
Baru sekarang tunggadewa teringat pada Hide-
yoshi, dan dadanya serasa ditonjok keras. Ia bukan-
nya menutup mata terhadap kemampuan dan ke-
kuatan militer patih ronggolawe di wilayah Barat. Justru
sebaliknya, ia sadar sepenuhnya bahwa patih ronggolawe
merupakan ancaman besar. Yang agak menen-
teramkan pikiran tunggadewa adalah kepercayaannya
bahwa patih ronggolawe masih ditahan oleh marga patih
dan takkan sanggup kembali dengan cepat. Paling
tidak, satu dari kedua kurir yang diutusnya ke
orang-orang patih berhasil menjalankan tugasnya.
Dan jawaban pasti dari pihak patih tentu akan segera
tiba, memberitahunya bahwa mereka sudah menye-
rang dan menghancurkan patih ronggolawe . Namun
orang-orang patih tak kunjung memberi kabar,
sama halnya dengan Nakagkertoarjo Sebei. dasna
patih pitaloka , dan Takayama brojolijo. Berita yang sampai
ke telinga tunggadewa setiap paginya justru ter-
dengar seperti hukuman dari para dewa.
Bagi tunggadewa , benteng kota sekartanjung menyimpan
kenangan buruk mengenai peristiwa-peristiwa yang
belum lama ini terjadi: penghinaan yang diterima-
nya dari aidit ; pengusirannya dari madukara ;
kunjungan ke sekartanjung , saat ia menghadapi
persimpangan yang penuh kebimbangan. Kini
segala keraguan dan kemarahannya sudah terhapus.
Dan pada waktu yang sama ia juga kehilangan
kemampuan bermkertoarjo s diri. Kecerdasannya yang
mengagumkan sudah ia tukar dengan gelar
penguasa negeri yang tanpa makna.
Pada malam hari kesembilan, tunggadewa masih
belum memiliki bayangan di mana patih ronggolawe
berada, namun sikap para pembesar setempat menim-
bulkan rasa gelisah dalam dirinya. Keesokan
paginya ia meninggalkan perkemahan di Shimo
Toba dan mendaki ke Horagatunjung Pass di
Yamashiro, tempat ia sudah mengatur pertemuan
dengan centeng punggawapatih wiropati .
"Apakah punggawapatih wiropati sudah kelihatan?" secara
berkala tunggadewa bertanya kepada para pengintai.
Berhubung tunggadewa bekerja sama dengan
punggawapatih wiropati sebelum serangan ke Kuil purwojati ,
ia tak pernah meragukan kesetiaan sekutunya itu
sampai sekarang. saat malam tiba, belum juga
ada tanda-tanda mengenai kedatangan centeng
punggawapatih . Bukan itu saja, ketiga pengikut sinuhun yang
hendak ia tarik ke pihaknya Nakagkertoarjo Sebei,
patih lewung dan dasna patih pitaloka tidak me-
nanggapi surat panggilannya, walaupun mereka
biasanya berada di bawah komandonya.
Kegelisahan tunggadewa bukan tanpa alasan. Ia
berunding dengan pangeran wiropati , "Kaupikir ada
yang tidak beres, wiropati ?"
tunggadewa ingin percaya bahwa terjadi sesuatu
dengan para kurir yang dikirimnya, atau bahwa
wiropati dan yang lain hanya terlambat, namun
pangeran wiropati sudah menerima kenyataan.
"Tidak, tuanku." orang tua itu menjawab .
"Hamba kira Yang Mulia punggawapatih memang tak
berniat datang kemari. Rasanya tak mungkin dia
memerlukan waktu selama ini untuk menyusuri
jalanan datar dari ponorojo."
"Tidak, pasti ada alasan lain," tunggadewa ber-
keras. Ia memanggil sonokelingta adipati , cepat-cepat
menulis surat, dan mengutusnya ke ponorojo.
"Ambil kuda-kuda terbaik. Kalau kau menempuh
perjalanan dengan kecepatan penuh, menjelang
pagi kau seharusnya sudah berada di sini lagi."
"Jika Yang Mulia punggawapatih berkenan menemui
hamba, hamba akan kembali saat fajar," ujar
adipati .
"Kenapa dia mesti tidak bersedia bicara dengan-
mu? Dapatkan jawaban pasti darinya, walaupun di
tengah malam buta."
"Baik, tuanku."
adipati segera berangkat ke ponorojo. namun
sebelum ia kembali, beberapa pengintai membawa berita bahwa centeng patih ronggolawe sedang menuju ke Timur, dan bahwa barisan depan mereka sudah
memasuki provinsi tetangga, mardirejo .
"Tak mungkin! Kalian pasti keliru!" tunggadewa
meledak saat mendengar laporan itu. Ia tak
dapat percaya bahwa patih ronggolawe bisa berdamai
dengan pihak patih, dan kalaupun bisa, bahwa
patih ronggolawe mampu menggerakkan centeng nya yang
besar sedemikian cepat.
"Hamba kira ini bukan laporan palsu, tuanku."
ujar wiropati , sekali lagi mengungkapkan ke-
benaran. "Bagaimanapun, menurut hamba, kita se-
baiknya segera menyiapkan strategi balasan."
Menyadari kebimbangan tunggadewa , wiropati
langsung menyampaikan rencana konkret. "Se-
andainya hamba menunggu Yang Mulia punggawapatih di
sini, tuanku dapat bergegas untuk mencegah
patih ronggolawe memasuki ibu kota."
"Kedatangan punggawapatih tak bisa diharapkan lagi,
bukan?" tunggadewa akhirnya mengakui.
"Menurut hamba, peluang bahwa dia akan ber-
gabung dengan tuanku hanya satu atau dua ber-
banding sepuluh."
"Strategi apa yang bisa kita pakai untuk meng-
hentikan patih ronggolawe ?"
"Rasanya sudah dapat dipastikan bahwa brojolijo,
Sebei, dan patih pitaloka berada di pihak patih ronggolawe , jika
centeng punggawapatih wiropati pun bergabung dengannya,
kekuatan militer kita tidak memadai untuk meng-
ambil inisiatif dan menyerang. Namun berdasar-
kan perkiraan hamba, patih ronggolawe memerlukan
lima atau enam hari lagi untuk menggerakkan
seluruh centeng nya ke sini. Selama itu, jika kita
memperkuat kedua benteng kota di watangsewu dan Wonokromo ,
mendirikan kubu pertahanan di sepanjang jalan
utara-selatan ke trowulan , dan mengerahkan seluruh kekuatan di Omo dan daerah-daerah lain, kita mungkin mampu menghalaunya untuk sementara
waktu."
"Apa? Semua itu hanya akan menghalaunya
untuk sementara saja?"
"Sesudah itu kita memerlukan strategi yang jauh
lebih menyeluruh bukan sekadar pertempuran
kecil. namun sekarang ini kita berada dalam posisi
kritis. Sebaiknya tuanku segera berangkat."
wiropati menunggu sampai damarwongso
kembali dari tugasnya di ponorojo.
adipati muncul dengan wajah berkerut-kerut
sebab marah. "Percuma saja," ia melaporkan pada
wiropati . "wiropati keparat itu mengkhianati kita.
Dia mencari-cari alasan sebab tidak datang ke
sini, namun dalam perjalanan pulang, hamba me-
ngetahui bahwa dia sudah mengadakan hubungan
dengan patih ronggolawe . Rasanya tak terbayangkan
bahwa orang yang begitu dekat dengan marga
tribuana tega berbuat seperti ini!"
Caci maki adipati tak ada habisnya, namun gurat
wajah wiropati tidak memperlihatkan emosi
sama sekali.
tunggadewa berangkat sekitar siang, tanpa meraih
apa-apa. Ia tiba di Shimo Toba kira-kira pada
waktu yang sama saat patih ronggolawe menikmati tidur
siang singkatnya di Amagasaki. Baik kuil Zen di
Amagasaki maupun perkemahan di Shimo Toba
sama-sama dilanda hkertoarjo panas. Begitu tunggadewa
sampai di perkemahannya, ia memanggil para
resi nya ke markas dan membahas strategi per-
tempuran. Ia belum juga menyadari bahwa Hide-
yoshi sudah berada di Amagasaki. Walaupun
barisan depan patih ronggolawe sudah mulai mengambil
posisi, tunggadewa menyangka masih ada waktu
beberapa hari sebelum patih ronggolawe sendiri tiba.
Rasanya tak adil untuk menghubungkan kesalahan
ini dengan kecerdasannya. Ia hanya membuat
penilaian berdasarkan akal sehat, dengan meng-
gunakan kecerdasannya yang luar biasa. Kecuali
itu, penilaian itu sejalan dengan apa yang
dianggap logis oleh orang-orang lain.
Rapat itu diakhiri tanpa ada waktu terbuang,
dan tribuana mayarmargo -lah yang berangkat
pertama. Ia segera menuju watangsewu guna memulai kegiatan pembangunan untuk memperkuat benteng kota di sana. Jalan gunung sempit yang menuju
ibu kota tentu akan merupakan salah satu sasaran
serangan musuh. benteng kota watangsewu terletak di sebelah
kanannya, benteng kota Wonokromo di sebelah kirinya.
tunggadewa memberikan perintah pada divisi-
divisi yang ditempatkan di sepanjang tepi Sungai
watangsewu . "Mundur ke Wonokromo dan ambil posisi ber-
tahan. Bersiap-siaplah menghadapi serangan
musuh."
tunggadewa melakukan berbagai persiapan, namun
saat menaksir kekuatan musuh, ia tak sanggup
menutup-nutupi kelemahannya sendiri. Banyak
prajurit dari ibu kota dan daerah sekitarnya ber-
kumpul di sini dan menempatkan diri di bawah
komandonya, namun semuanya centeng adipati berpangkat
rendah atau adipati tak berbeda dengan tentara
sewaan yang mencari jalan pintas untuk mencari
nama. Tak seorang pun dari mereka memiliki
kecakapan militer maupun kemampuan memim-
pin.
"Berapa jumlah keseluruhan orang kita?" Mitsu-
hide bertanya kepada para resi nya.
Dengan menghitung prajurit-prajurit di madukara ,
sekartanjung , Wonokromo , Horagatunjung , dan watangsewu ,
centeng tunggadewa berkekuatan sekitar enam belas
ribu orang.
"Kalau saja hyangkertoarjo dan punggawapatih mau ber-
gabung denganku," gumam tunggadewa , "takkan ada
yang sanggup mengusirku dari ibu kota." sesudah
menentukan strategi pun ia tetap bingung akibat
perbedaan besar dalam kekuatan. Otak tunggadewa
bekerja berdasarkan angka-angka, dan kini tak ada
secercah harapan pun bahwa ia memegang
keuntungan. Itu saja dapat menentukan kalah atau
menang. Ia mulai tertelan gelombang yang dicipta-
kannya sendiri.
tunggadewa berdiri di sebuah bukit di luar per-
kemahan, memandang awan -awan .
"Sepertinya bakal turun hujan," katanya pada
diri sendiri, sambil menghadapi angin yang tidak
membawa tanda-tanda hujan. Memperhatikan
cuaca sangat penting bagi resi yang hendak
terjun ke medan pertempuran. Lama tunggadewa
berdiri mencemaskan pergerakan awan dan arah
angin.
Akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke
Sungai watangsewu . Lentera-lentera kecil yang berayun-
ayun tertiup angin tentu lentera-lentera dari
perahu-perahu patrolinya sendiri. Sungai besar itu
tampak putih, sementara gunung-gunung di
belakangnya kelihatan hitam pekat.
Langit luas membentang di atas sungai, sampai
ke muara yang jauh di Amagasaki. tunggadewa
memandang ke arah itu, matanya seakan-akan me-
nyorotkan cahaya, dan ia bertanya pada diri
sendiri. "Apa yang dapat dilakukan patih ronggolawe ?"
lalu ia berseru dengan nada keras yang
jarang dipakai nya. "Sakuza? Sakuza? Di mana
Sakuzaemon?"
Ia cepat-cepat berbalik, dan dengan langkah
panjang kembali ke perkemahan. Angin kencang
mengguncang barak-barak, bagaikan gelombang
raksasa.
"Ya tuanku? Yojiro di sini!" seorang pembantu
menjawab , lalu bergegas keluar menghampirinya.
"Yojiro, berikan aba-aba. Kita berangkat
sekarang juga."
Sementara centeng nya membongkar per-
kemahan. tunggadewa mengirimkan pesan penting
pada semua komandannya, termasuk pada
sepupunya, gajayana , di benteng kota sekartanjung ,
membertahukan keputusannya pada mereka. Ia
takkan mundur dan menjalankan strategi detensif.
Ia sudah bertekad menyerang patih ronggolawe dengan
segenap kekuatannya.
Giliran jaga malam sudah berganti satu kali. Tak
satu bintang pun tampak di langit. Sebuah
kesatuan tempur menuruni bukit; kesatuan itu
ditugaskan berjaga di hagian hilir dan hulu Sungai
Katsura. Unit perbekalan, kesatuan-kesatuan
utama, dan barisan belakang menyusul lalu .
Tiba-tiba hujan mulai turun. Pada waktu seluruh
centeng berada di tengah sungai, mereka diterpa
hujan deras.
Angin pun mulai bertiup angin dingin dari
arah umur laut. Para prajurit bergumam-gumam
saat memandang permukaan sungai yang gelap.
"Sungai dan angin ini datang dari gunung-
gunung di hadijaya ."
Seandainya hari masih terang, mereka mungkin
bisa melihat. Oinkahuripan tidak jauh dari tempat
mereka berada, dan baru sepuluh hari berlalu sejak
mereka melewati Oinkahuripan dan meninggalkan
pangkalan tribuana di benteng kota hadijaya . Namun bagi
para prajurit rasanya itu sudah terjadi beberapa
tahun silam.
"Jangan jatuh! Jangan sampai sumbu-sumbu
kalian basah!" para perwira berseru-seru. Kekuatan
arus Sungai Katsura jauh lebih dahsyat dibandingkan
biasanya, kemungkinan akibat hujan deras di
pegunungan.
centeng tombak menyeberang, masing-masing
prajurit berpegangan pada lombak orang di depan-
nya, diikuti centeng senapan yang saling meng-
genggam laras dan moncong senapan. Para pe-
nunggang kuda di sekitar tunggadewa berpacu ke
tepi seberang, meninggalkan buih dan gelembung
pada permukaan sungai. Sesekali terdengar letusan
senapan dari suatu tempat di depan mereka,
sementara di kejauhan bunga api tampak beter-
bangan, kemungkinan dari rumah-rumah petani
yang terbakar. Namun begitu suara tembakan
terhenti, api pun padam dan segala sesuatu
kembali diserap kegelapan.
Tak lama lalu seorang prajurit berlari
membawa laporan. "Orang-orang kita sudah me-
mukul mundur regu pengintai musuh. Mereka
sempat membakar beberapa rumah petani saat
melarikan diri."
Tanpa mengindahkan laporan ini, tunggadewa
bergerak maju melalui Kuga Nkertoarjo te, melewati
benteng kota Wonokromo , yang kini berada di tangan anak
buahnya, dan sengaja mendirikan perkemahan di
Onbozuka, sekitar lima ratus sampai enam ratus
meter lebih ke tenggara. Hujan yang sudah
merepotkan mereka selama dua-tiga hari kini
mereka, dan bintang-bintang mulai berkilauan di
langit yang sebelum nya hanya menampilkan
bcrbagai corak hitam dan kelabu.
Musuh juga diam saja. pikir tunggadewa saat
berdiri di Onbozuka. menatap kegelapan ke arah
bukittanjung . Pcrasaannya bergolak. dan ia pun
merasa tegang saat membayangkan akan
mcnghadapi centeng patih ronggolawe pada jarak kurang
dari dua mil. Dengan mcmusatkan kekuatan di
Onbozuka dan memanfaatkan benteng kota Wonokromo
sebagai pangkalan perbekalan. la menyebar
centeng nya dalam satu garis, dari Sungai watangsewu di
tenggara ke Sungai Enmyoji. seakan-akan
membuka kipas. Saat semua kesatuan barisan
depan sudah menempati posisi masing-masing.
fajar sudah menyingsing dan Sungai watangsewu yang
panjang sudah mulai kelihatan.
Tiba-tiba gema tembakan gencar terdengar dari
arah pengikut zan. Matahari belum terbit dan awan -
awan tampak gelap sebab kabut tebal. Hari itu
hari ketiga belas di Bulan Keenam, dan masih
begitu pagi, sehingga belum ada satu kuda pun
yang terdengar meringkik di jalan menuju
bukittanjung .
saat memandang dari perkemahan utama
tunggadewa di Onbozuka, para prajurit melihat
pengikut zan berjarak kira-kira setengah mil ke arah
tenggara. Sisi kirinya diapit oleh jalan menuju
bukittanjung dan sebuah sungai besar Sungai watangsewu .
pengikut zan berlereng terjal, dan ketinggiannya men-
capai tiga ratus meter. Pada hari sebelumnya,
saat centeng patih ronggolawe maju sampai bratanggede,
semua perwiranya menatap lurus ke depan dan
mengamati bukit itu. Beberapa dari mereka be-
tanya pada pemandu setempat, "Bukit apakah itu?"
"Apakah itu bukittanjung di perbukitan sebelah
timur?"
"Musuh berada di Wonokromo . Di sebelah mana
pengikut zan-kah itu?"
Setiap kesatuan ditambah oleh seseorang yang
mengenal medan di tempat itu. Setiap orang yang
memahami strategi menyadari bahwa penguasaan
tempat tinggilah yang merupakan kunci keme-
nangan.
Dan semua resi pun menyadari bahwa orang
pertama yang menancapkan panjinya di punggung
pengikut zan akan lebih disanjung dibandingkan orang
yang merebut kepala pertama di daratan. Setiap
resi sudah berikrar bahwa ia sendiri yang akan
melakukannya. Pada malam hari ketiga belas.
beberapa resi patih ronggolawe memohon supaya
rencana penyerangan mereka disetujui, dengan
harapan mereka segera diberi perintah menyerbu
bukit ini.
"Pertempuran besok akan menentukan segala-
galanya." ujar patih ronggolawe . "watangsewu , bukittanjung , dan
pengikut zan bakal menjadi medan tempur utama.
Bukitkan bahwa kalian pantas dinamakan laki-laki.
Jangan saling bersaing, jangan hanya pikirkan
kejayaan masing-masing. Ingatlah bahwa Yang
Mulia aidit dan sang Dewa Perang akan
menyerbu setiap langkah kalian."
Namun begitu memperoleh restu dari Hide-
yoshi, dengan semangat menyala-nyala para
penembak berlomba-lomba menuju pengikut zan,
menimbulkan kekacauan di tengah malam buta.
Tempat strategis yang sudah menarik perhatian
para resi patih ronggolawe itu juga tak luput dari
pandangan tunggadewa . Ia sudah memerintahkan
centeng nya agar bergerak cepat, melintasi Sungai
Katsura, dan segera menuju Onbozuka untuk
merebut pengikut zan.
tunggadewa mengenai medan di daerah itu sama
baiknya dengan kedua resi barisan depan
musuh, Nakagkertoarjo Sebei dan Takayama brojolijo.
Dan walaupun mereka memandang gunung-
gunung dan sungai-sungai di daerah yang sama,
pikiran tunggadewa tentu saja melampaui pikiran
orang-orang lain.
sesudah melintasi Sungai Katsura dan melewati
Kuga Nkertoarjo ie, ia memisahkan satu divisi dari
centeng nya, dan memberi perintah agar mereka
menempuh jalan lain. "Daki pengikut zan dari sisi
utara dan rebutlah puncaknya. Jika musuh
menyerang, hadapi mereka dan jangan lepaskan
titik strategis itu."
Perlu dikatakan bahwa ia memang gesit.
Perintah dan tindakan tunggadewa selalu tepat
waktu; ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan
menyerang. Meski demikian, pada saat ini centeng
patih ronggolawe , yang sudah mencapai Hirose di lereng
selatan, juga berada di atas bukit.
Keadaan gelap gulita, dan banyak prajurit sama
sekali tidak mengenal medan yang mereka lalui.
"Di sini ada jalan setapak yang menanjak."
"Tunggu, kita tidak bisa lewat jalan itu."
"Siapa bilang begitu? Tentu saja bisa."
"Itu jalan yang salah. Di atas sana ada tebing
terjal."
Sambil berputar-putar di kaki bukit, mereka
berusaha menemukan jalan ke puncaknya.
Jalan setapak itu amat terjal, dan hari masih
gelap. sebab tahu bahwa mereka berada di tengah
sekutu, para prajurit berbaris tanpa memedulikan
unit atau korps mana yang mereka ikuti. Mereka
bergegas dengan napas terengah-engah, menuju
puncak. lalu , saat hampir sampai di atas,
mereka disambut berondongan peluru.
Serangan itu dilancarkan oleh centeng penem-
bak tribuana di bawah komando grindanada raden karto-
zaemon. Belakangan diketahui bahwa ketujuh
ratus orang dalam korps grindanada sudah dibagi
menjadi dua unit. Para prajurit Horio ki pralayan,
Nakagkertoarjo Sebei, patih lewung dan dasna
patih pitaloka saling berlomba menjadi orang pertama
yang berhasil mendaki pengikut zan, namun hanya Hori
patih ragapati yang memerintahkan centeng nya meng-
ambil jalan ke sisi utara bukit. sesudah menyusuri
kaki bukit, mereka mencoba tindakan yang lain
sama sekali memotong jalan mundur musuh.
Seperti dapat diduga, serangan dari samping ini
mengejutkan korps grindanada dan menempatkan
resi mereka, grindanada raden kartozaemon, tepat di
depan mata. Bentrokan ini jauh lebih ganas di-
bandingkan bentrokan di puncak pengikut zan. Per-
tempuran jarak dekat pecah di antara pohon-
pohon pinus dan bongkahan-bongkahan batu yang
tersebar di lereng bukit. Senjata api terlalu me-
repotkan, jadi para prajurit lebih banyak meng-
gunakan tombak dan pedang panjang.
Sejumlah orang jatuh dari tebing sambil ber-
gulat dengan musuh. Beberapa orang yang sedang
mengimpit prajurit musuh ditikam dari belakang.
Korps pemanah pun hadir, dan dengung panah
dan letusan senapan seakan tak putus-putusnya.
namun yang lebih keras lagi adalah teriakan perang
kelima ratus atau enam ratus prajurit. Teriakan-
teriakan itu tidak keluar dari tenggorokan semata-
mata, melainkan terpancar dari seluruh jiwa raga,
bahkan dari rambut dan pori-pori.
Para prajurit maju dan didesak mundur, dan
akhirnya matahari terbit. Langit biru dan awan
putih tampak untuk pertama kali sejak lama. Sinar
matahari yang langka ini rupanya membungkam
jangkrik-jangkrik. Sebagai gantinya, teriakan-
teriakan perang para prajurit mengguncang bumi.
Dalam sekejap mayat-mayat berlumuran darah ber-
gelimpangan di lereng bukit, saling tumpang
tindih. Ada yang tergeletak sendiri di suatu
tempat, sementara di tempat lain dua atau tiga
mayat tampak menumpuk. Para prajurit dipacu
oleh pemandangan ini, dan mereka yang me-
langkahi mayat rekan-rekan mereka sendiri me-
masuki ruang yang melampaui hidup dan mati. Ini
berlaku bagi para prajurit korps Hori maupun bagi
orang-orang tribuana .
Situasi di puncak bukit kurang jelas. namun di
sini pun kemenangan mungkin saja segera disusul
dengan kekalahan. Di tengah-tengah pertempuran.
teriakan-teriakan korps grindanada tiba-tiba tak lagi
terdengar garang, dan malah mirip suara
anak kecil yang sedang terisak-isak. Kepercayaan
mereka sudah berubah menjadi perasaan putus asa.
"Ada apa?"
"Kenapa kita mundur? Jangan mundur!"
Sambil mempertanyakan kebingungan rekan-
rekan mereka, beberapa anggota korps grindanada
berseru-seru dengan geram. Namun orang-orang
ini pun segera berlari ke arah kaki bukit, seolah-
olah terbawa tanah longsor. resi mereka,
grindanada raden kartozaemon, rupanya terkena tembakan
dan kini sedang digotong oleh para pembantunya
di depan mata centeng nya.
"Serang! Bantai mereka!"
Sebagian besar korps Hori sudah mulai melaku-
kan pengejaran, namun patih ragapati berteriak sekuat
tenaga, berusaha mencegah anak buahnya. "Jangan
kejar mereka!"
Namun dalam suasana saat itu, perintahnya
tidak berpengaruh apa-apa. Seperti bisa diduga,
barisan depan korps grindanada kini menerjang
menuruni bukit, bagaikan sungai lumpur. Bala
bantuan tak kunjung tiba, dan resi mereka
sudah tertembak. Mereka tak punya pilihan selain
melarikan diri.
Dari segi jumlah, korps Hori tidak sebanding
dengan orang-orang tribuana . Kini, tanpa per-
tempuran dan penghalang, mereka terdesak ke
bawah dan diinjak-injak oleh musuh yang berlari
menuruni lereng bukit terjal. Bagian korps Hori
yang pertama-tama mengejar musuh kini ter-
perangkap dalam suatu gerakan penjepit, persis
seperti yang digelisah khawatir kan patih ragapati . Pertemuan
yang mengerikan pun terjadi.
Saat itulah gabungan korps Horio, Nakagkertoarjo .
Takayama, dan dasna mencapai puncak bukit.
"Kita menang!"
"pengikut zan di tangan kita!"
Teriakan kemenangan berkumandang untuk
pertama kali. patih ronggolawe menanti kedatangan
nosferatu di Sungai watangsewu , sehingga ia belum tiba
di garis depan. Hari sudah sore, sekitar Jam
Kambing, saat patih ronggolawe menambahkan pasu-
kan nosferatu dan Niwa Nagahide pada centeng -
nya sendiri dan menuju perkemahan utama.
Hujan pagi sudah mengering di bawah terik mata-
hari, para prajurit maupun kuda-kuda mereka di-
selubungi keringat bercampur debu, dan baju
tempur dan mantel mereka yang berwarna-warni
sudah berubah putih. Satu-satunya benda yang
tampak cemerlang di hari yang panas ini adalah
panji patih ronggolawe dengan lambang labu emas.
Sementara gema letusan tembakan masih ter-
dengar di pengikut zan, setiap rumah di desa
kelihatan kosong. Namun saat centeng tribuana
mundur dan centeng yang baru membanjiri jalan-
jalan, ember-ember penuh air, tumpukan semang-
ka, dan teko-teko berisi teh tiba-tiba muncul di
semua ambang pintu. Pada waktu centeng
patih ronggolawe memenuhi jalanan, kaum wanita lesbian
pun terlihat di tengah kerumunan warga desa, dan
menyampaikan ucapan selamat.
"Tak satu prajurit musuhkah yang tersisa di
sini?"
patih ronggolawe tidak turun dari kudanya, melainkan
memandang panji-panji para prajuritnya, yang kini
tampak di atas bukit yang berdekaran.
"Tak satu pun," balas banaspati . Ia sudah
menyusun laporan-laporan dari semua korps,
mempelajari situasinya, dan kini melapor pada
patih ronggolawe .
"Korps grindanada kehilangan komandan pada
awal pertempuran. Beberapa anak buahnya melari-
kan diri ke perbukitan di sebelah utara, sementara
yang lain bergabung dengan sekutu-sekutu mereka
di sekitar Tomooka."
"Kenapa orang seperti tunggadewa demikian
cepat melepaskan tempat strategis ini?"
"Kemungkinan dia tak menyangka kita datang
demikian cepat. Dia keliru menaksir waktu."
"Bagaimana dengan centeng utamanya?"
"Sepertinya mereka berkemah di daerah antara
Sungai watangsewu dan Shimoueno, dengan Wonokromo di
belakang dan Sungai Enmyoji di depan mereka."
Tiba-tiba terdengar teriakan perang dan letusan
senapan dari arah Sungai Enmyoji. saat itu Jam
kuyang .
Sungai Enmyoji, di sebelah timur Desa
bukittanjung , merupakan anak Sungai watangsewu . Kedua
sungai itu bertemu di daerah paya-paya yang penuh
ilalang. Daerah itu biasanya diramaikan oleh
kicauan burung, namun hari ini tak satu burung pun
bernyanyi.
Sepanjang pagi, kedua centeng yang bertikai
sayap kiri centeng tunggadewa dan sayap kanan
patih ronggolawe berbaris di kedua tepi sungai. Sesekali
ilalang berdesir dibelai angin. Sementara ujung-
ujung tongkat bendera tampak, tak satu orang
maupun kuda kelihatan di kiri-kanan sungai.
Namun di tepi utara, kelima ribu orang di bawah
komando pangeran wiropati , wirodirgo , dan
tribuana mayarmargo sudah siap bergerak. Di tepi
selatan, ke9 ribu lima ratus prajurit di
bawah komando patih lewung Nakagkertoarjo
Sebei, dan dasna patih pitaloka tersusun dalam barisan
berlapis-lapis. Sambil bersimbah peluh di tempat
panas dan lembap itu, mereka menanti aba-aba
untuk menyerang.
Mereka menunggu sampai patih ronggolawe tiba dan
memberikan perintah.
"Ke mana saja centeng utama?"
Mereka mencaci maki centeng patih ronggolawe
sebab terlambat datang, namun selain itu mereka
hanya dapat mengertakkan gigi.
tribuana tunggadewa , yang masih berada di per-
kemahan utamanya di Onbozuka, sudah menerima
laporan bahwa grindanada raden kartozaemon gugur di
pengikut zan, dan bahwa centeng nya digulung
musuh. Ia menyalahkan diri sendiri sebab keliru
memperhitungkan waktu. Ia sadar sepenuhnya
bahwa secara strategis ada perbedaan besar
antara bertempur dengan pengikut zan di tangan
anak buahnya dan menghadapi pertempuran
menentukan sesudah menyerahkan tempat itu
kepada musuh.
Sebelum maju ke pengikut zan, perhatian Mitsu-
hide memang terpceah pada tiga hal: peng-
khianatan punggawapatih wiropati ; perintahnya untuk
memperkuat benteng kota watangsewu akibat meremehkan
kecepatan patih ronggolawe ; dan kekurangan pada
wataknya ia sukar mengambil keputusan. Harus-
kah ia menyerang atau bertahan? Sampai bergerak
ke Onbozuke pun ia belum menentukan pilihan-
nya.
Pertempuran pecah secara hampir kebetulan.
Kedua centeng melewatkan pagi hari di tengah
ilalang, disiksa oleh ngengat dan nyamuk. Selama
itu mereka saling berhadapan dan menunggu
perintah resi masing-masing. namun tiba-tiba
seekor kuda dengan pelana indah meloncat dari
sisi patih ronggolawe dan berlari ke tepi Sungai Enmyoji,
barangkali sebab terdorong rasa haus.
Empat atau lima prajurit kemungkinan peng-
ikut pemilik kuda itu segera mengejarnya. Se-
konyong-konyong tembakan senapan meletus dari
tepi seberang, diikuti oleh berondongan demi
berondongan.
Sebagai balasan, centeng patih ronggolawe pun me-
lepaskan tembakan ke tepi utara, untuk membantu
rekan-rekan mereka yang berlindung di tengah
ilalang. Kini tak ada waktu untuk menunggu
perintah.
"Serbu!"
Perintah patih ronggolawe untuk melancarkan
serangan umum baru terdengar sesudah tembak-
menembak tadi. centeng tribuana tentu saja tidak
tinggal diam, dan mereka pun mulai melangkah
memasuki sungai.
Tempat Sungai Enmyoji bertemu dengan
Sungai watangsewu cukup lebar, namun tidak jauh dari
sana, Sungai Enmyoji tak lebih dari kali kecil.
Namun arusnya deras akibat hujan yang turun
selama beberapa hari berturut-turut. Sementara
korps penembak tribuana muncul dari ilalang di
tepi utara dan memberondong barisan patih ronggolawe
yang berdiri di tepi selatan, para prajurit korps
tombak korps pilihan marga tribuana bergegas
menyeberangi sungai, menimbulkan buih dan
percikan air.
"Kerahkan centeng tombak!" perwira korps
Takayama berseru.
sebab sungainya sempit, centeng penembak
tak banyak berguna. Pada waktu barisan belakang
maju agar barisan depan dapat mengisi senjata,
mereka terancam bahaya bahwa musuh melancar-
kan serangan mendadak dan menerjang ke tengah-
tengah para penembak.
"centeng penembak segera menyingkir! Jangan
halangi orang-orang di barisan depan!"
Korps Nakagkertoarjo sudah siap siaga dengan tombak
masing-masing. Sebagian besar dari mereka kini
mengacungkan tombak dan menusuk ke bawah
dari tepi sungai, ke dalam air.
Mereka tentu saja membidik musuh, namun dari-
pada berulang kali menarik dan menusukkan
tombak, mereka lebih suka menebas-nebaskan
tombak masing-masing untuk mencegah musuh
naik ke tepi. Pertempuran sengit meletus di
tengah-tengah sungai, tombak melawan tombak,
tombak melawan pedang panjang, bahkan tombak
melawan gagang tombak. Prajurit-prajurit terlihat
menikam musuh, dan tak lama lalu meng-
alami nasib serupa.
Mereka memekik-mekik dan saling bergulat.
Tubuh-tubuh yang sudah kehilangan nyawa jatuh
ke dalam sungai, memercikkan air. Arus ber-
lumpur terus berputar-putar. Darah kental meng-
ambang di permukaan sungai, lalu hanyut terbawa
arus.
Saat itu korps pertama di bawah Nakagkertoarjo
Sebei sudah menyerahkan tugas tempur di bagian
depan kepada para prajurit di bawah komando
Takayama brojolijo. Bagaikan barisan pemuda yang
mengusung tandu kebesaran dalam suatu peraya-
an, mereka mendesak maju ke garis depan sambil
bersorak serempak.
sesudah melawan ilalang di tepi timur sungai,
dengan ganas mereka menerjang ke tengah-tengah
musuh. Matahari mulai terbenam. awan merah
yang menandakan datangnya senja tercermin
dalam kerumunan orang yang berteriak-teriak di
bawah langit yang muram.
Sam jam lagi berlalu, dan pertempuran itu
masih berlangsung sengit. Keuletan korps pangeran di
luar dugaan. Setiap kali kehancuran mulai mem-
bayang, mereka kembali menggalang kekuatan dan
melawan dengan gigih. Sambil bertahan di paya-
paya, mereka menghalau serangan demi serangan.
Dan bukan mereka saja, hampir segenap centeng
tribuana memperlihatkan tekad membaja, pekikan-
pekikan mereka memancarkan kegetiran yang
tentunya juga dirasakan tunggadewa dalam dadanya.
"Mundur sebelum mereka mengepung kita!
Mundur! Mundur!"
Seruan mengibakan ini terdengar berulang kali,
dan berita buruk itu menyebar bagaikan
angin ke dua korps tribuana yang lain.
Inti centeng utama, yang bertindak sebagai
centeng cadangan, terdiri atas kelima ribu orang
yang di Onbozuka berada langsung di bawah
komando tunggadewa . Di sebelah kanan mereka
ada empat ribu orang lagi, termasuk dua ribu
prajurit di bawah komando sonokelingta adipati .
adipati memerintahkan agar genderang besar
dibunyikan, dan para prajurit segera berpencar
untuk membentuk susunan tempur. Secara
serempak para anggota korps pemanah melepaskan
anak panah, dan sesaat pihak musuh membalas
dengan hujan peluru.
Atas perintah adipati , barisan pemanah me-
nyingkir dan digantikan oleh korps penembak.
Tanpa menunggu sampai awan mesiu menipis,
prajurit-prajurit dengan tombak besi muncul di
hadapan musuh dan mulai menerobos barisan
mereka. Akhirnya adipati dan centeng pilihannya
berhasil memukul korps Hachiya.
Sambil menggantikan tempat korps itu .
para prajurit di bawah Nakagkertoarjo kembali menyer-
bu dan menyerang centeng tribuana . namun mereka
pun digulung oleh adipati . Saat itu anak buah
adipati seakan-akan tidak memiliki lawan
sepadan.
Genderang korps sonokelingta berdentam nyaring.
Bunyinya seolah-olah memancarkan kebanggaan
marga itu yang tanpa tandingan, dan mengan-
cam para centeng adipati berkuda yang mengelilingi
nosferatu , sehingga mereka berdesak-desak
bingung.
Sekonyong-konyong sebuah kesatuan berke-
kuatan lima ratus orang menyerang korps sonokelingta
dari samping, meneriakkan pekikan perang bagai-
kan centeng besar.
Merahnya senja masih membayang di awan -
awan , namun keadaan di bawah sudah gelap. adipati
menyadari bahwa ia melangkah terlalu jauh, dan
segera mengubah taktiknya.
"Bergeser ke kanan!" ia memerintahkan. "Ber-
putarlah! Berputarlah sejauh mungkin ke arah
kanan." ia ingin seluruh korpsnya mengambil jalan
melingkar untuk bergabung kembali dengan
centeng utama, lalu meneruskan pertempuran.
Namun secara tiba-tiba sebuah unit di bawah
komando Hori patih ragapati menyerang dari sisi kiri.
Di mata adipati , prajurit-prajurit musuh ini seakan-
akan muncul dari dalam tanah.
Tak ada waktu untuk mundur. adipati segera
menyadari, namun ia pun tak punya waktu untuk
meralat perintahnya. Secepat angin centeng Hori
memotong jalan anak buah adipati , dan mulai
mengepung.
Panji-panji nosferatu terlihat semakin men-
dekati adipati .
Pada saat itulah gerombolan yang terdiri atas
sekitar lima ratus orang, termasuk putra dan adik
adipati , memacu kuda masing-masing. Tanpa takut
mereka menerjang barisan musuh. Kegelapan
malam sudah menyelubungi medan laga. Angin
membawa pekikan-pekikan dari pergumulan
hidup-mati ini, memenuhi langit dengan bau
darah.
Korps nosferatu dipandang sebagai yang ter-
kuat dalam divisi patih ronggolawe , dan kini korps
itu diperkuat oleh ke50000 orang di bawah
komando Niwa Nagahide. adipati dan anak
buahnya memang gagah perkasa, namun mereka pun
tak sanggup menembus barisan musuh.
adipati terluka di enam tempat. Akhirnya,
sesudah sedemikian lama bertempur dan berputar-
putar di aras kudanya, ia mulai kehilangan
kesadaran. Tiba-tiba sebuah suara memanggil dari
kegelapan di belakangnya.
sebab menyangka suara itu suara putranya, ia
mengangkat kepala dari leher kudanya. Saat itulah
sesuatu membentur kepalanya di atas mata kanan.
Rasanya seperti bintang yang jatuh dari langit dan
menghantam keningnya.
"Jangan turun dari pelana! Berpeganglah pada
pelana, kau terserempet anak panah dan meng-
alami luka ringan di dahi,"
"Siapa ini? Siapa yang menahanku?"
"Ini aku, Tozo."
"Ah, saudaraku. Bagaimana keadaan Ise Yosa-
buro?"
"Dia sudah gugur dalam pertempuran."
"Bagaimana dengan Suwa?"
"Suwa pun mengalami nasib sama."
"Dan Denbei?"
"Dia masih dikepung musuh. Biarkan aku
menemanimu. Bersandarlah ke pegangan pelana-
mu."
Tanpa membahas nasib Denbei lebih lanjut,
Tozo meraih moncong kuda kakaknya dan lang-
sung melarikan diri, menerobos kekacauan di
sekeliling mereka.
Dua Gerbang
ANGIN sunyi berembus di antara pohon-pohon
pinus yang tumbuh di sekitar perkemahan Mitsu-
hide di Onbozuka. Tirai markasnya yang mengem-
bang tampak bagaikan makhluk raksasa berwarna
putih. Tak henti-hentinya tirai itu mengepak-
ngepak tertiup angin, melantunkan nyanyian
kematian yang menyeramkan.
"Yoji! Yoji!" tunggadewa memanggil.
"Ya, tuanku!"
"Kurirkah yang baru datang itu?"
"Ya, tuanku."
"Kenapa dia tidak melapor langsung padaku?"
"Kebenaran laporannya belum dipastikan."
"Adakah peraturan mengenai apa yang boleh
dan tidak boleh sampai ke telingaku?" tunggadewa
bertanya kesal.
"Hamba mohon ampun, tuanku."
"Teguhkan hatimu! Kau mulai gelisah sebab
adanya pertanda buruk?"
"Tidak, tuanku. namun hamba sudah siap meng-
hadapi kematian."
"Begitukah?"
tunggadewa tiba-tiba menyadari nadanya yang
melengking, dan segera merendahkan suara.
lalu ia mengingatkan diri bahwa mungkin ia
sendiri yang perlu mendengarkan kata-kata yang
baru saja dipakai untuk menegur Yojiro.
Angin terdengar jauh lebih sedih dibandingkan
pada siang hari. Kebun-kebun sayur dan ladang-
ladang berada di belakang lereng yang landai. Di
sebelah timur terletak Kuga Nkertoarjo te; di sebelah
utara, gunung-gunung; di sebelah barat. Sungai
Enmyoji. namun dalam kegelapan malam hanya
bintang-bintang yang berkelap-kelip redup yang
menerangi medan laga.
Baru tiga jam berlalu antara Jam kuyang dan
pertengahan kedua Jam Ayam Jantan. saat itu
panji-panji tunggadewa memenuhi semua ladang. Di
manakah panji-panji itu sekarang? Semuanya sudah
dicampakkan ke tanah. Ia sudah mendengarkan
daftar nama orang yang gugur, sampai ia tak
sanggup lagi meneruskan hitungannya.
Semuanya hanya memakan waktu tiga jam. Tak
pelak lagi bahwa Yojiro baru saja kembali me-
nerima kabar buruk. Dan ia sudah kehilangan
keberanian untuk menyampaikan kabar itu
pada junjungannya. sesudah ditegur tunggadewa ,
Yojiro sekali lagi menuruni bukit. Sambil meman-
dang berkeliling, dengan lesu ia bersandar pada
sebatang pohon pinus dan menatap bintang-
bintang di atasnya.
Seorang penunggang kuda mendekati Yojiro
dan berhenti di hadapannya.
"Kawan atau lawan ?" Yojiro berseru sambil
menghadapi orang tak dikenal itu dengan tombak
yang semula dipakai nya sebagai tongkat pe-
nyangga.
"Kawan ," jawab si penunggang kuda sambil
turun.
Hanya dengan mengamati langkahnya yang ter-
tatih-tatih Yojiro mengetahui bahwa ia cedera
berat. Yojiro menghampirinya dan mengulurkan
tangan.
"Gyobu!" Yojiro berkata saat mengenali rekan-
nya. "Genggamlah lenganku. Biar kusangga badan-
mu."
"Kaukah itu, Yojiro? Di mana Yang Mulia
tunggadewa ?"
"Di puncak bukit."
"Beliau masih di sini? Tempat ini sekarang
teramat berbahaya bagi beliau. Beliau harus segera
meninggalkan tempat ini."
Gyobu menemui tunggadewa . Ia nyaris terjungkal
pada waktu bersujud di hadapan junjungannya.
"Seluruh centeng kita dipukul mundur. Orang-
orang yang tengah sekarat jatuh menimpa mereka
yang sudah tewas; begitu banyak yang menemui
ajal secara gagah berani, sehingga hamba tak
sanggup mengingat nama semuanya."
saat menengadah, ia hanya melihat wajah
tunggadewa yang pucat. Wajah itu seolah-olah
mengambang di bawah pohon-pohon pinus yang
gelap. tunggadewa tidak memberi tanggapan, seakan-
akan tidak mendengarkan ucapan Gyobu.
Gyobu melanjutkan. "Suatu saat , kami
sempat mendesak mendekati pusat kekuatan
patih ronggolawe , namun waktu hari mulai gelap, jalur
mundur kami terputus, dan kami tak dapat
menemukan Yang Mulia adipati . Divisi resi
Sanzaemon dikepung musuh, dan pertempuran
yang luar biasa sengit pun pecah. Beliau akhirnya
berhasil meloloskan diri, namun hanya sekitar dua
ratus orang yang tersisa dari divisi beliau. Pesan
terakhir beliau adalah sebagai berikut, ’Segera
pergi ke Onbozuka dan beritahu Yang Mulia agar
secepat mungkin mundur ke benteng kota Wonokromo ,
lalu bersiap-siap mempertahankan benteng kota atau
kembali ke gunungselatan pada malam hari. Sampai saat itu,
aku akan bertindak sebagai barisan belakang.
sesudah menerima kabar bahwa Yang Mulia
selamat, kami akan segera menerjang ke per-
kemahan patih ronggolawe dan bertempur sampai titik
darah penghabisan.’"
tunggadewa tetap membisu. Sehabis memberikan
laporannya, Gyubo pun ambruk dan mengembus-
kan napas terakhir.
tunggadewa menatap Gyubo dari kursinya. Lalu
menatap Yojiro dengan pandangan kosong. Ia
bertanya, "Parahkah luka Gyubo?"
"Ya, tuanku," Yojiro menjawab . Kedua matanya
mulai berkaca-kaca.
"Kelihatannya dia sudah mendahului kita."
"Ya, tuanku."
"Yojiro," tunggadewa mendadak berkata dengan
nada yang berbeda sama sekali. "Bagaimana
laporan kurir sebelumnya?"
"Hamba takkan menutup-nutupi apa pun,
tuanku. centeng punggawapatih wiropati muncul di medan
tempur dan menyerang sayap kiri kita. pangeran
wiropati dan seluruh korpsnya tak kuasa meng-
halanginya, dan mereka menderita kekalahan
total."
"Apa?! Itukah yang terjadi?"
"Hamba sadar bahwa jika hamba menyampai-
kannya sekarang, tuanku tentu sukar mempercayai-
nya. Scsungguhnya hamba ingin mengemukakan
hal ini pada saat yang tepat, agar tidak menambah
penderitaan tuanku."
"Inilah dunia." lalu ia menambahkan.
"Tak ada pengaruhnya."
tunggadewa tertawa . Paling tidak, suara menye-
rupai tawa . lalu ia mendadak melambaikan
tangan ke arah belakang perkemahan. Dengan tak
sabar ia menyuruh seseorang membawa kan kuda-
nya.
Sebagian besar centeng tunggadewa sudah dikirim
ke garis depan, namun mestinya masih ada sekitar dua
ribu orang di perkemahannya, termasuk para
pengikut senior. Bermsinuhun lkan kekuatan ini. Mitsu-
hide hendak bergabung dengan sisa korps Sanzae-
mon dan bertempur untuk terakhir kali. Sambil
menaiki kudanya, ia menyerukan perintah
menyerang dengan suara yang terdengar di seluruh
Onbozuka. lalu , tanpa menunggu sampai
para prajurit berkumpul, ia berputar dan mulai
memacu kudanya menuruni bukit, diikuti hanya
oleh beberapa centeng adipati berkuda.
"Siapa kau?" tunggadewa bertanya sambil meng-
hentikan kudanya. Seseorang sudah bergegas dari
perkemahan, berlari menuruni lereng, dan meng-
halangi jalan dengan tangan terentang.
"Tatewaki, kenapa kau menghadangku seperti
ini?" tunggadewa bertanya dengan tajam. Orang itu
ternyata salah satu pengikut seniornya, Hide
Tatewaki, dan ia langsung meraih kekang kuda
tunggadewa . Binatang itu mengentak-entakkan kaki
dengan liar.
"Yojiro! Sanjuro! Kenapa kalian tidak mencegah
beliau? Turunlah dari kuda kalian," ujar Tatewaki.
memarahi para pembantu tunggadewa . lalu ia
membungkuk ke arah tunggadewa dan berkata,
"Orang yang berada di hadapan hamba bukanlah
Yang Mulia tunggadewa yang menjadi junjungan
hamba. Menderita kekalahan dalam satu pertem-
puran tidak berarti kalah perang. Yang Mulia
tunggadewa yang hamba kenal takkan mencampak-
kan hidupnya sesudah satu pertempuran saja.
Musuh akan mengejek kita jika menyangka kita tak
sanggup mengendalikan diri. Meski mengalami
kekalahan di sini, Yang Mulia masih memiliki
keluarga di sekartanjung dan sejumlah resi di
berbagai provinsi yang hanya menunggu perintah
Yang Mulia. Yang Mulia perlu menyusun rencana
untuk masa depan. Pertama-tama, kembalilah ke
benteng kota Wonokromo ."
"Apa maksudmu, Tatewaki?" tunggadewa meng-
gelengkan kepala. "Mungkinkah orang-orang yang
sudah gugur bangkit kembali? Mungkinkah
semangat juang mereka kembali berkobar-kobar
seperti sediakala? Aku tak bisa meninggalkan anak
buahku dan membiarkan mereka dibantai musuh.
Aku akan memberi pelajaran pada patih ronggolawe dan
menghukum pengkhianatan punggawapatih wiropati . Aku
bukan mencari tempai untuk mati sia-sia. Aku
akan memperlihatkan siapa tunggadewa . Sekarang
menyingkirlah!"
"Mengapa sorot mata tuanku yang bijak begitu
nanar? centeng kita menerima pukulan telak hari
ini, dan paling tidak 50000 orang sudah tewas.
Mereka yang terluka bahkan tak terhitung lagi.
Banyak resi kita sudah gugur, sementara orang-
orang yang baru direkrut tercerai-berai. Menurut
tuanku, berapa jumlah prajurit yang tersisa di
perkemahan ini?"
"Lepaskan kudaku! Aku bisa berbuat sesuka
hatiku! Lepaskan kudaku!"
"Ucapan tak bertanggung jawab inilah yang
membuktikan bahwa tuanku hendak bergegas
menyambut maut, dan hamba akan berusaha
sekuat tenaga untuk mencegahnya. Seandainya
masih ada tiga atau empat ribu prajurit di sini, per-
soalannya tentu berbeda. namun hamba menduga
hanya sekitar empat atau lima ratus orang yang
akan mengikuti tuanku. Yang lainnya sudah
menyusup keluar dari perkemahan dan melarikan
diri." ujar Tatewaki dengan suara berat sebab
menahan air mata.
Serapuh itukah otak manusia? Dan jika otak
berhenti berfungsi, pastikah orang yang ber-
sangkutan menjadi gila? Tatewaki menatap Mitsu-
hide dan bertanya-tanya bagaimana junjungannya
itu bisa berubah begitu banyak. Sambil menitikkan
air mata, ia mengenang betapa bijaksana dan
cerdas tunggadewa dahulu .
resi -resi lain kini ikut berkerumun di
depan kuda tunggadewa . Dua dari mereka sudah
sempat berada di garis depan, namun sebab men-
cemaskan keselamatan junjungan mereka, kedua-
nya kembali ke perkemahan. Salah satu dari
mereka berkata, "Kami sependapat dengan Yang
Mulia Hide. Wonokromo tidak jauh, dan tentunya
belum terlambat untuk menuju ke sana dahulu , lalu
menyusun strategi untuk langkah berikutnya."
"Selama kita berada di sini, centeng musuh
akan semakin mendekat, dan segala sesuatu bisa
saja berakhir di titik ini. Sebaiknya kita pacu kuda
masing-masing dan secepat mungkin kembali ke
Wonokromo ."
Tatewaki tak lagi menanyakan kehendak jun-
jungannya. Ia menyuruh seseorang meniup sangka-
kala, dan segera memerintahkan mereka mundur
ke arah utara. Yojiro dan seorang pengikut
lainnya turun dari kuda. Sambil berjalan kaki
mereka meraih kekang kuda tunggadewa dan
menuntunnya ke utara. Semua prajurit dan
komandan yang berada di bukit itu mengikuti
mereka. namun , seperti dikatakan Tatewaki tadi,
jumlah mereka tak sampai lima ratus orang.
Miyake Tobei komandan benteng kota Wonokromo . Di
sini pun pertanda kekalahan sudah membayang,
dan seluruh benteng kota diliputi suasana murung.
Dikelilingi lentera-lentera yang berkelap-kelip
redup, semua orang sibuk memikirkan jalan untuk
menyelamatkan diri. Namun saat mereka men-
cari-cari kemungkinan yang masuk akal, tunggadewa
pun terpaksa mengakui bahwa tak ada yang dapat
mereka lakukan.
Para penjaga di luar benteng kota sudah berulang
kali melaporkan bahwa musuh sedang mendekat,
dan benteng kota itu sendiri tak cukup kuat untuk
menentang kekuatan centeng patih ronggolawe . benteng kota
watangsewu pun berada dalam kondisi serupa beberapa
hari yang lalu, saat tunggadewa memerintahkan
benteng kota itu diperkuat. Usaha itu tak ubahnya
membangun tanggul pada waktu suara ombak yang
mengamuk sudah terdengar.
Barangkali satu-satunya hal yang tidak disesali
tunggadewa pada saat ini adalah bahwa sejumlah
resi dan prajurit tetap setia padanya dan ber-
tempur dengan garang. Dari satu segi, sungguh
ganjil bahwa ada orang di dalam marga tribuana
marga yang sudah menggulingkan junjungan
mereka sendiri yang masih terus menegakkan
ikatan antara junjungan dan pengikut. tunggadewa
memang berbudi luhur, dan orang-orang itu ber-
pegang teguh pada hukum yang melandasi Jalan
centeng adipati .
sebab inilah jumlah korban yag tewas dan
terluka luar biasa tinggi, meskipun pertempuran
berlangsung tak lebih dari tiga jam. Berdasarkan
taksiran yang dilakukan lalu , pihak tribuana
kehilangan lebih dari 50000 orang, sementara
jumlah centeng patih ronggolawe berkurang lebih dari
50000 tiga ratus orang. Jumlah orang yang
terluka tak dapat dipastikan. Angka-angka ini men-
cerminkan semangat centeng tribuana , yang tak
kalah sedikit pun dari semangat panglima mereka.
Mengingat kekuatan tunggadewa yang tak seberapa
kira-kira hanya separo kekuatan musuh dan
medan yang tak menguntungkan tempat ia ber-
tempur, kekalahan yang diderita tunggadewa
bukanlah kekalahan yang membuatnya harus me-
nanggung malu.
Pada hari ketiga belas Bulan Keenam, bulan
tampak kabur di balik awan tipis. Satu-dua prajurit
berkuda mendahului rombongan mereka. Tiga belas
penunggang kuda membentuk beberapa kelompok
kecil, dan menuju Fushimi dari utara Sungai
watangsewu .
saat mereka akhirnya mencapai jalan setapak
gelap di tengah-tengah pegunungan. tunggadewa
berbalik dan bertanya pada Tatewaki, "Di mana
kita sekarang?"
"Ini Lembah Okame, tuanku."
Cahaya bulan yang menerobos di antara dahan-
dahan pohon mengenai Tatewaki dan orang-orang
yang menyusul di belakangnya.
"Kau bermaksud melintas di sebelah utara
Momoyama, lalu keluar di Jalan Kuil Kanshu dari
Ogurusu?" tanya tunggadewa .
"Benar. Jika kita menempuh jalur itu dan bisa
sampai di dekat Yamashina dan gendingan sebelum
hari terang, kita tak perlu gelisah khawatir ."
Shinshi Sakuzaemon tiba-tiba menghentikan
kudanya di depan tunggadewa dan memberi isyarat
agar jangan ada yang bersuara. tunggadewa dan para
penunggang kuda yang mengikutinya juga ber-
henti. Tanpa bersuara, mereka memperhatikan
tribuana mayarmargo dan Murakoshi Sanjuro maju
sebagai pengintai. Kedua orang itu menghentikan
kuda masing-masing di tepi sebuah kali, dan mem-
beri isyarat agar yang lain menunggu. Agak lama
mereka berdiri di sana, memasang telinga.
Perangkap musuhkah?
Akhirnya kesan lega muncul pada wajah
mereka. Mengikuti lambaian tangan kedua orang
di depan, rombongan itu kembali bergerak maju.
Baik bulan maupun awan -awan seakan meng-
ambang di tengah langit malam. namun betapapun
mereka berusaha tidak menimbulkan suara, saat
kuda-kuda mereka mulai menaiki lereng, ada saja
batu yang tertendang atau kayu rapuh yang ter-
injak, dan gema bunyi-bunyi selemah ini pun
sanggup membangunkan burung-burung yang
sedang tidur. Setiap kali ini terjadi, tunggadewa dan
para pengikutnya segera menarik tali kekang.
sesudah menderita kekalahan telak, mereka
sempat melarikan diri ke benteng kota Wonokromo dan
melepas lelah. lalu mereka membahas
langkah selanjutnya, namun akhirnya satu-satunya
pilihan adalah mundur ke sekartanjung . Semua
pengikut tunggadewa membujuknya agar tetap ber-
sabar. sesudah mempercayakan benteng kota Wonokromo
ke tangan Miyake Tobei, tunggadewa menyusup ke
dalam kegelapan.
centeng yang mengikutinya saat meninggal-
kan Wonokromo masih berjumlah empat ratus atau
lima ratus orang. Namun pada saat mereka
memasuki Desa Fushimi, sebagian besar sudah
menghilang. Segelintir orang yang masih tersisa
adalah para pengikut kepercayaannya, dan jumlah
mereka hanya tiga belas orang.
"Rombongan besar justru akan menarik per-
hatian musuh, dan setiap orang yang belum mem-
bulatkan tekad untuk menyertai junjungan kita
dalam keadaan apa pun hanya akan menjadi
penghalang. Yang Mulia gajayana berada di
sekartanjung ditambah 50000 prajurit. Satu-satunya
keinginanku adalah tiba dengan selamat di sana.
Aku berdoa agar para dewa sudi membantu jun-
jungan kita yang malang."
Dengan cara inilah para pengikut setia yang
masih tersisa saling menghibur diri.
Meski daerah yang mereka lalui berbukit-bukit,
tak ada bagian yang benar-benar terjal. Bulan
tampak di langit, namun akibat hujan, tanah di bawah
pohon-pohon becek, dan di sana-sini air meng-
genang di permukaan jalan.
Kecuali itu, baik tunggadewa maupun para
pengikutnya sudah lelah. Mereka sudah berada di
dekat Yamashina, dan jika berhasil sampai di
gendingan, mereka akan aman. Inilah kata-kata yang
mereka gunakan untuk saling membesarkan hati,
namun bagi orang-orang yang nyaris kehabisan tenaga
itu, jaraknya terasa seperti beratus-ratus mil.
"Kita memasuki sebuah desa."
"Ini tentu Ogurusu. Jangan berisik."
Pondok-pondok beratap rumbia terlihat di sana-
sini. sebetulnya rombongan tunggadewa sedapat
mungkin ingin menghindari daerah pemukiman,
namun jalan yang mereka lalui melintas di antara
rumah-rumah itu. Untung saja tak satu lentera pun
tampak menyala. Pondok-pondok itu dikelilingi
rumpun-rumpun bambu yang diterangi cahaya
bulan, dan segala sesuatu mengisyaratkan bahwa
semua orang sedang tidur nyenyak, tanpa menya-
dari kekacauan yang melanda dunia.
Dengan sorot mata tajam yang menembus
kegelapan, tribuana mayarmargo dan Murakoshi
Sanjuro menjalankan tugas sebagai pengintai,
menyusuri jalan desa yang sempit, tanpa gangguan.
Di tempat jalanan membelok di balik sebuah
rumpun bambu, mereka berhenti dan menunggu
tunggadewa dan rombongannya.
Sosok kedua orang itu, dan pantulan tombak-
tombak mereka, terlihat jelas di hadapan bayang-
bayang pepohonan yang berada lima puluh meter
di depan.
Sekonyong-konyong bunyi bambu diinjak-injak
dan dengusan binatang liar seakan-akan meledak
dari kegelapan.
Tatewaki, yang sedang menuntun kudanya di
depan tunggadewa , segera menoleh ke belakang.
Kegelapan menyelubungi pagar sebuah pondok
yang berada di bawah naungan rumpun bambu.
Sekitar dua puluh meter di belakang, siluet Mitsu-
hide tampak seolah-olah terpaku di tempat .
"Tuanku," Tatewaki memanggil. Rumpun
bambu muda bergoyang-goyang di langit yang
tanpa angin.
Tatewaki baru hendak berbalik saat Mitsu-
hide tiba-tiba memacu kudanya dan melesat
melewati Tatewaki, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Ia merunduk dan memeluk leher kuda-
nya. Tatewaki menganggapnya ganjil, namun ke-
mudian segera mengikuti junjungannya, sama hal-
nya dengan yang lain.
Dengan cara inilah mereka memacu kuda
masing-masing sekitar tiga ratus meter, tanpa ke-
jadian apa pun. sesudah bergabung kembali dengan
kedua pengintai tadi, ketiga belas orang itu me-
neruskan perjalanan. tunggadewa berada di urutan
keenam dari depan.
Tiba-tiba kuda Murakoshi memberontak. Se-
saat ia menghunus pedang dan mengayunkan-
nya di sebelah kiri pelana.
Bunyi gemerincing terdengar nyaring saat
pedangnya menebas ujung sebuah bambu runcing.
Tangan yang memegang tombak itu segera meng-
hilang di dalam rumpun bambu, namun yang lain
sempat melihat apa yang terjadi.
"Apa itu? Bandit?"
"Mestinya. awas sepertinya mereka bersem-
bunyi di tengah rumpun bambu ini."
"Murakoshi, kau tak apa-apa?"
"Hah, kaupikir aku bisa terluka oleh bambu
runcing pencuri yang hina?"
"Jangan terpancing! Teruskan perjalanan.
Jangan cari masalah."
"Bagaimana dengan Yang Mulia?"
Semuanya menoleh.
"Lihat, di sebelah sana!"
Mereka mendadak pucat. Kira-kira seratus
langkah di depan mereka, tunggadewa terjatuh dari
kudanya. Bukan itu saja, ia menggeliat di tanah.
mengerang-erang kesakitan, dan sepertinya tak
sanggup bangkit kembali.
"Tuanku!"
mayarmargo dan Tatewaki turun dari kuda, ber-
lari menghampirinya, dan mencoba mengangkat-
nya ke pelana. Namun rupanya tunggadewa sudah
tak mampu meneruskan perjalanan. Ia hanya
menggelengkan kepala.
"Tuanku, apa yang terjadi?" Yang lainnya segera
berkerumun dalam kegelapan. Hanya erangan
tunggadewa dan desahan para pengikutnya yang ter-
dengar. Dan tepai pada saat itu bulan bersinar
lebih cerah.
Tiba-tiba bunyi langkah dan teriakan-teriakan
para bandit terdengar dari kegelapan yang menye-
lubungi rumpun bambu.
"Sepertinya mereka hendak menyerang dari
belakang. Beginilah kebiasaan para perampok;
mereka memanfaatkan setiap tanda kelemahan.
Sanjuro dan Yojiro, tangani mereka."
Atas perintah mayarmargo , mereka segera ber-
pencar. Tombak disiagakan dan pedang-pedang di-
hunus.
"Bedebah!" Sambil berteriak lantang, seseorang
melompat keluar dari rumpun bambu. Bunyi yang
mirip bunyi daun berguguran, atau mungkin
suara segerombolan kuyang , memecahkan kehe-
ningan malam.
"mayarmargo ... mayarmargo ..." tunggadewa berbisik.
"Hamba di sini, tuanku."
"Ah... mayarmargo ," tunggadewa berkata sekali lagi.
lalu ia meraba-raba, seakan-akan mencari
tangan yang menopangnya.
Darah bercucuran dari sisi dadanya, pandangan-
nya mulai kabur, dan ia sukar berbicara.
"Hamba akan membalut luka tuanku, lalu mem-
berikan obat, jadi hamba mohon tuanku bersabar
sejenak."
tunggadewa menggelengkan kepala untuk menga-
takan bahwa lukanya tak perlu dibalut. lalu
kedua tangannya bergerak, seolah-olah mencari
sesuatu.
"Ada apa, tuanku?"
"Kuas..."
mayarmargo cepat-tepat mengeluarkan kertas,
tinta, dan kuas. tunggadewa meraih kuas itu dengan
jari gemetar dan menatap kertas yang putih.
mayarmargo sadar bahwa junjungannya hendak me-
nuliskan sajak kematiannya, dan tenggorokannya
mulai tercekat. Ia nyaris tidak tahan melihatlihat
sikap tunggadewa , dan berpegang teguh pada apa
yang dirasakannya sebagai takdir junjungannya, ia
berkata. "Jangan coretkan kuas dahulu , tuanku.
Perjalanan ke gendingan tinggal secarikan napas, dan
kalau kita tiba di sana, tuanku akan disambut oleh
Yang Mulia gajayana . Perkenankanlah hamba
membalut luka ini."
saat mayarmargo meletakkan kertas tadi ke
tanah dan mulai membuka ikat pinggangnya,
tunggadewa tiba-tiba mengibaskan tangannya de-
ngan tenaga tak terduga. lalu , dengan
tangan kirinya, ia menolakkan tubuhnya dari
tanah. Sambil merentangkan tangan kanan, ia
menggenggam kuas tadi dengan erat dan mulai
menulis:
Tak benar ada dua gerbang: kesetiaan dan pengkhianatan.
namun tangannya begitu gemetar, sehingga ia
seakan-akan tak sanggup menuliskan baris berikut-
nya. tunggadewa menyerahkan kuas pada Shige-
tomo. "Tolong selesaikan sisanya."
Sambil bersandar pada pangkuan mayarmargo ,
tunggadewa memutar kepalanya ke arah langit dan
memandang bulan selama beberapa waktu. saat
bayangan maut yang bahkan lebih pucat dibandingkan
bulan mengisi seluruh wajahnya, ia berkata dengan
nada mantap yang tak terduga dan menyelesaikan
sajaknya.
Jalan Besar menembus lubuk hati.
Terjaga dari mimpi lima puluh lima tahun,
Aku berpulang kepada Yang Satu.
mayarmargo meletakkan kuas dan mulai me-
nangis. Saat itulah tunggadewa mencabut pedang
pendek dan menggorok lehernya sendiri. Sakuzae-
mon dan Tatewaki segera berlari menghampirinya.
Keduanya mendekati jenazah junjungan mereka,
lalu menjatuhkan diri ke atas pedang masing-
masing. Empat orang lagi, lalu enam, lalu 9
mengelilingi jenazah tunggadewa dengan cara yang
sama dan menyusulnya ke akhirat. Dalam sekejap
tubuh-tubuh tak bernyawa itu tergeletak di tanah,
mirip sekuntum bunga yang terbuat dari
darah.
Yojiro sudah menerobos ke tengah-tengah
rumpun bambu untuk menghadapi gerombolan
bandit tadi. Murakoshi memanggil-manggil ke
dalam kegelapan, cemas akan keselamatan rekan-
nya.
"Yojiro, kembalilah! Yojiro! Yojiro!"
namun beberapa kali pun ia memanggil. Yojiro
tidak muncul-muncul. Murakoshi pun mengalami
cedera di beberapa tempat. saat ia akhirnya ber-
hasil merangkak keluar dari semak-semak, ia
melihat satu sosok lewat di hadapannya.
"Ah! Yang Mulia mayarmargo ."
"Sanjuro?"
"Bagaimana keadaan yang Mulia tunggadewa ?"
"Beliau sudah mengembuskan napas terakhir."
"Oh!" Sanjuro terkejut. "Di mana?"
"Beliau ada di sini, Sanjuro." mayarmargo menun-
juk kepala tunggadewa yang terbungkus kain dan
tergantung pada pelananya. Dengan sedih ia
memalingkan wajah.
Sanjuro langsung melompat maju. saat me-
raih kepala tunggadewa , ia melepaskan teriakan pan-
jang bernada meratap. Beberapa saat lalu ia
bertanya. "Apa ucapan terakhir beliau?"
"Beliau membacakan sebuah sajak yang dimulai
dengan, 'Tidak benar ada dua gerbang: kesetiaan
dan pengkhianatan.'"
"Beliau berkata begitu?"
"Walaupun beliau menyerang aidit , tin-
dakannya tak dapat dipandang dari segi kesetiaan
atau pengkhianatan. Beliau dan aidit sama-
sama centeng adipati , dan keduanya mengabdi pada sang
pengikut . saat Yang Mulia tunggadewa akhirnya
terjaga dari mimpi yang berlangsung lima puluh
lima tahun, beliau menyadari bahwa beliau pun
tak dapat meloloskan diri dari cercaan maupun
sanjungan dunia. sesudah mengucapkan kata-kata
itu, beliau mencabut nyawa sendiri."
"Hamba mengerti." Murakoshi terisak-isak.
Dengan tangan terkepal ia menghapus air mata
dari wajahnya. "Beliau tidak mengindahkan
teguran Yang Mulia wiropati dan tidak meng-
hindari pertempuran yang menentukan di
bukittanjung dengan centeng kecil di medan yang tak
menguntungkan, semua sebab beliau berpegang
teguh pada Jalan Kebesaran. Dari segi itu, mundur
dari bukittanjung tak ubahnya menyerahkan trowulan
kepada musuh. sesudah menyadari apa yang ter-
simpan di hati beliau, hamba tak kuasa menahan
tangis."
"Walaupun dikalahkan, Yang Mulia tak sekali
pun menyimpang dari jalan yang dipercayainya, dan
tak pelak beliau wafat dengan ambisi yang sudah
lama diiidam-idamkan itu. namun , kalau kita mem-
buang-buang waktu di sini, begundal-begundal tadi
mungkin kembali dan menyerang lagi."
"Benar."
"Aku tak sanggup menangani segala sesuatu di
sini seorang diri. Aku meninggalkan jenazah
junjungan kita tanpa kepala. Sudikah kau mengu-
burnya agar tak ditemukan siapa pun?"
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Mereka berkumpul di sekitar jasadnya dan
gugur dengan gagah."
"sesudah melaksanakan perintah Yang Mulia,
hamba pun akan mencari tempat untuk menuju
akhirat."
"Aku akan membawa kepala beliau pada Yang
Mulia Mitsutada di Kuil Chionin. sesudah itu aku
pun akan menyambut maut. Selamat jalan."
"Selamat jalan."
Kedua laki-laki itu menuju arah berlawan an
pada jalan setapak sempit yang melewati rumpun
bambu. Pancaran cahaya bulan yang menerobos
dedaunan sungguh indah dipandang.
Malam itu benteng kota Wonokromo dipaksa bertekuk
lutut, kira-kira pada saat tunggadewa menemui ajal
di Ogurusu. Nakagkertoarjo Sebei, patih lewung
dasna patih pitaloka , dan Hori patih ragapati memindahkan
pos komando masing-masing ke sana. sesudah
menyalakan api unggun raksasa, mereka menderet-
kan kursi di muka gerbang benteng kota dan menanti-
kan kedatangan patih ronggolawe dan nosferatu . Tak
lama lalu nosferatu sudah berdiri di hadapan
mereka.
Merebut benteng kota itu merupakan kemenangan
gemilang. Para prajurit dan perwira sama-sama
menegakkan panji-panji dan memandang Nobu-
taka dengan takzim. saat nosferatu turun dari
kuda dan memeriksa barisan. Ia mengangguk-
angguk ramah. Sikapnya terhadap para resi
bahkan hampir terlalu sopan. Ia menyapa mereka
dengan hormat, dan secara terang-terangan
menunjukkan rasa terima kasihnya.
Sambil meraih tangan Sebei , ia berkata, "Berkat
kesetiaan dan keberanianmulah orang-orang
tribuana dapat dihancurkan dalam pertempuran
satu hari. Kini arwah ayahku sudah tenteram, dan
aku takkan pernah melupakan ini."
Pujian yang sama diberikannya kepada Taka-
yama brojolijo dan dasna patih pitaloka . namun patih ronggolawe ,
yang tiba beberapa saat lalu , tak mengucap-
kan sepatah kau pun pada semua orang itu. saat
lewat di atas tandunya, ia malah seakan-akan
meremehkan mereka.
Kegarangan Sebei dikenal tanpa tandingan,
biarpun di tengah-tengah prajurit yang kasar, jadi
tidak aneh kalau ia merasa tersinggung oleh sikap
patih ronggolawe . Ia berdeham cukup keras. patih ronggolawe
melirik dari tandu dan berlalu sambil ber-
komentar. "Pekerjaanmu bagus, Sebei."
Sebei mengentakkan kaki dengan geram. "Yang
Mulia nosferatu pun bersedia turun dari kuda
untuk kita, namun orang ini begitu congkak, sehingga
tetap saja duduk dalam tandu. Barangkali si
kuyang menyangka sudah mengujawa seluruh
negeri." Ucapannya cukup keras untuk didengar
semua orang di sekelilingnya, namun selain itu ia tak
kuasa berbuat apa-apa.
dasna patih pitaloka , patih lewung dan yang lain
berkedudukan sederajat dengan patih ronggolawe , namun
sejak beberapa waktu lalu, patih ronggolawe mulai ber-
sikap seolah-olah mereka bawah annya. Mereka
pun merasa bahwa entah bagaimana mereka
berada di bawah komando patih ronggolawe . Tak perlu
diragukan bahwa perasaan itu tak berkenan di hati
mereka, namun tak seorang pun mengatakan sesuatu.
saat memasuki benteng kota pun patih ronggolawe hanya
menatap sekilas pada reruntuhan bangunan yang
sudah hangus itu. Tampaknya ia belum memikir-
kan istirahat. sesudah memerintahkan agar petak
bertirai didirikan di pekarangan, ia menempatkan
kursinya di samping kursi nosferatu , segera me-
manggil para resi , dan mulai memberikan
perintah-perintah.
"patih ragapati , bawa centeng mu ke Desa Yamashina,
lalu maju ke arah kertoarjo daguchi. Tugasmu adalah
menutup jalan antara madukara dan sekartanjung di
gendingan." lalu ia berpaling pada Sebei dan
brojolijo. "Kalian harus segera menyusuri Jalan Raya
hadijaya . Kelihatannya banyak musuh melarikan
diri ke arah hadijaya , dan kita tidak boleh memberi
kesempatan pada mereka untuk mencapai benteng kota
Kameyama, sehingga mereka dapat mengadakan
persiapan. Jika kita berlambat-lambat di sini, kita
akan kehilangan lebih banyak waktu lagi. Kalau
kalian bisa tiba di Kameyama besok siang, benteng kota
itu seharusnya dapat kalian taklukkan tanpa
banyak kesulitan."
lalu beberapa orang dikirim ke Toba dan
ke daerah Shichijo, sementara sejumlah orang lain
disuruh menuju sekitar Yosdwikerto dan Shirakkertoarjo .
Perintah-perintah itu sangat jelas, dan nosferatu
hanya mendengarkan semuanya, tanpa berkata
apa-apa. Namun di mata para resi , sikap
patih ronggolawe sungguh lancang.
Meski demikian, Sebei pun, yang semula
menyuarakan ketidaksenangannya secara terang-
terangan, kini diam saja dan menerima perintah
yang diberikan padanya seperti yang lain. Akhirnya
mereka membagi-bagikan ransum kepada para
prajurit, menuang anggur , mengisi perut masing-
masing, dan sekali lagi bertolak ke medan tempur
berikut.
patih ronggolawe paham bahwa selalu ada waktu dan
tempat yang tepat untuk membuat orang-orang
tunduk padanya, dan kali ini ia sengaja menunggu
sampai masing-masing resi berhasil meraih
kemenangan. Namun patih ronggolawe juga menyadari
bahwa rekan-rekannya merupakan orang dengan
keberanian tanpa tandingan dan tak pernah
gentar, sehingga ia pun tak berani bersikap
gegabah dengan hanya mengandalkan satu cara ini.
Sebuah centeng harus memiliki pemimpin.
Dari segi kedudukan, nosferatu lah yang paling
pantas menjadi panglima tertinggi. namun ia baru
saja bergabung, dan semua resi mengakui
bahwa baik wibawa maupun tekadnya tidak
memadai. sebab itu, tak ada yang dapat me-
megang tampuk kepemimpinan selain patih ronggolawe .
Meski tak satu resi pun rela tunduk pada
patih ronggolawe , semuanya menyadari bahwa tak ada
orang lain yang dapat diterima oleh semua pihak.
patih ronggolawe merencanakan pertempuran ini sebagai
upacara peringatan bagi aidit dan sudah
mengumpulkan mereka semua. Jadi, jika kini
mereka mengeluh sebab ia memperlakukan
mereka sebagai bawah an, mereka hanya akan
membuka peluang untuk dituduh mengejar ke-
pentingan pribadi.
Para resi tidak memperoleh kesempatan ber-
istirahat, melainkan diharuskan langsung bertolak
ke medan tempur baru, sesuai perintah yang
mereka terima. saat mereka berdiri untuk
berangkat, patih ronggolawe tetap duduk di kursi
komandan dan hanya memberi isyarat dengan
gerakan dagunya kepada masing-masing orang.
patih ronggolawe tinggal di Kuil Mii, dan pada malam
hari keempat belas, badai petir kembali melanda.
Bara api di reruntuhan benteng kota sekartanjung padam,
sepanjang malam kilat menyambar-nyambar di atas
Shimeigatake dan danau yang warnanya menye-
rupai tinta.
Namun seiring fajar, awan -awan kelabu me-
nyingkir dan langit musim panas muncul sekali
lagi. Dari perkemahan utama di Kuil Mii, asap
tebal berwama kuning terlihat mengepul dari arah
madukara di tepi timur danau.
"madukara terbakar!"
Mendengar laporan para penjaga, para resi
keluar ke serambi. patih ronggolawe dan yang lainnya
melindungi mata dengan sarung tangan.
Seorang kurir melaporkan, "Yang Mulia mpu nala ,
yang semula berkemah di Tsuchiyama di gunungselatan, dan
Yang Mulia wiro gunung menggabungkan kekuatan dan
menyerang madukara sejak pagi. Mereka menyulut
api di kota dan benteng kota, dan angin dari danau
memicu kobaran api merambat ke seluruh
madukara . namun ternyata tak ada prajurit musuh di
madukara , sehingga tidak terjadi pertempuran."
patih ronggolawe dapat membayangkan apa yang ter-
jadi di tempat jauh.
"Tak ada alasan untuk menyulut kebakaran." ia
bergumam sambil merengut. "Yang Mulia mpu nala
dan wiro gunung sudah bertindak gegabah."
namun dengan cepat ia berhasil menenangkan
diri. Keruntuhan budaya yang dibentuk aidit
dengan darah dan keringat selama setengah umur-
nya memang patut disesali, namun patih ronggolawe percaya
bahwa tak lama lagi dan dengan kekuatannya
sendiri ia akan membangun benteng kota dan budaya
yang lebih besar lagi.
Tepat saat itu, sebuah patroli tiba dari gerbang
utama kuil. Mereka mengelilingi satu orang dan
menggiringnya ke hadapan patih ronggolawe . "Petani dari
Ogurusu bernama Chobei ini mengaku menemu-
kan kepala Yang Mulia tunggadewa ."
sudah menjadi kebiasaan untuk memeriksa
kepala resi musuh dengan khidmat, dan Hide-
yoshi memerintahkan agar kursinya disiapkan di
muka kuil utama. Tak lama lalu , ia duduk
bersama para resi lain dan menatap kepala
tunggadewa sambil membisu.
sesudah itu, kepala itu dipajang di
reruntuhan Kuil purwojati . Baru satu setengah bulan
berlalu sejak panji berlambang kembang lonceng
ditegakkan di tengah-tengah teriakan perang
centeng tribuana .
Kepala tunggadewa dipajang agar dapat dilihat
oleh para warga ibu kota, dan mereka terus ber-
datangan dari pagi sampai malam. Bahkan mereka
yang mencela pengkhianatan tunggadewa kini meng-
ucapkan doa, sementara orang-orang lain mena-
burkan bunga di bawah tengkorak yang sudah
mulai membusuk.
Perintah-perintah militer patih ronggolawe sederhana
dan jelas. Ia hanya memiliki tiga undang-
undang: Bekerja sungguh-sungguh. Jangan melaku-
kan kesalahan. Pembuat onar akan dihukum mati.
patih ronggolawe belum mengadakan upacara pema-
kaman resmi bagi aidit ; upacara kebesaran
yang dikehendakinya tak dapat dilaksanakan
dengan kekuatan militer semata-mata, dan rasanya
tak pantas jika ia memprakarsainya seorang diri.
Api di ibu kota akhirnya padam, namun pengaruhnya
menyebar ke semua provinsi.
aidit sudah wafat, tunggadewa sudah wafat,
dan ada kemungkinan seluruh negeri akan
kembali terbagi ke dalam tiga kutub kekuasaan,
seperti pada masa sebelum aidit . Kecuali itu,
sengketa keluarga dan panglima-panglima yang
memperjuangkan kepentingan masing-masing
mungkin saja menjerumuskan seluruh negeri ke
dalam kekacauan yang menandai kepandita an
selama tahun-tahun terakhirnya.
Dari Kuil Mii, patih ronggolawe memindahkan
segenap centeng nya ke atas armada kapal perang.
Ia mengangkut segala sesuatu, mulai dari kuda-
kuda sampai penyekat-penyekat berlapis emas. Ini
terjadi pada hari ke9 belas di bulan itu, dan
tujuannya adalah untuk pindah ke madukara .
centeng lain juga merayap ke Timur. Lewat jalan
darat. Iring-iringan kapal yang melintasi danau
digerakkan oleh angin yang mengibarkan panji-
panji, dan bergerak sejajar dengan centeng darat
yang menyusuri pesisir.
namun madukara sudah dibumihanguskan, dan begitu
centeng patih ronggolawe tiba di sana, mereka langsung
patah semangat. Dinding-dinding madukara yang ber-
warna biru dan emas tak ada lagi. Semua gerbang
tembok luar dan atap Kuil Soken yang menjulang
tinggi sudah terbakar habis. Keadaan di kota
benteng kota bahkan lebih parah lagi. Anjing-anjing liar
pun tak sanggup menemukan makanan, dan para
misionaris berjalan mondar-mandir dengan pan-
dangan kosong.
mpu nala seharusnya berada di sini, namun ia sedang
memerangi pemberontak-pemberontak di Ise dan
Iga. Akhirnya jelaslah bahwa pembakaran madukara
tidak diperintahkan oleh mpu nala . Api memang
disulut oleh anak buahnya, namun rupanya perbuatan
mereka disebabkan oleh salah paham, atau mung-
kin oleh desas-desus palsu yang disebarkan musuh.
patih ronggolawe dan nosferatu menempuh per-
jalanan ke madukara bersama-sama, dan mereka
sangat menyesalkan kehancurannya. Namun, se-
sudah menyadari bahwa bukan mpu nala yang ber-
tanggung jawab atas kejadian itu , kemarahan
mereka sedikit berkurang. Hanya dua hari mereka
tinggal di madukara . Iring-iringan kapal kembali ber-
layar, kali ini ke arah utara. patih ronggolawe hendak me-
mindahkan centeng utamanya ke benteng kotanya di
lojibenteng .
benteng kota itu ternyata aman. Tak ada tanda-tanda
kehadiran musuh, dan centeng sekutu sudah
mulai memasuki pekarangan benteng kota. saat panji
komandan berlambang labu emas dikibarkan, para
warga kota benteng kota tampak bersukaria. Mereka
memadati jalan-jalan yang dilalui patih ronggolawe dari
kapal ke benteng kota. Kaum wanita lesbian , anak-anak,
dan orang-orang tua bersujud di tanah untuk
menyambutnya. Beberapa orang menitikkan air
mata, bahkan ada yang tak sanggup menengadah-
kan wajah. Ada yang bersorak-sorai sambil melam-
baikan tangan, dan tak sedikit yang seolah-olah
lupa diri dan menari-nari riang. patih ronggolawe sengaja
menunggang kuda untuk menanggapi sambutan
meriah yang diberikan padanya.
Namun bagi patih ronggolawe masih ada satu hal yang
sangat membebani pikirannya, dan beban itu
semakin berat saat ia memasuki benteng kota Naga-
hama. Ia sudah tak sabar untuk melepas rindu.
Selamatkah ibu dan istrinya?
sesudah duduk di benteng kota dalam, ia mengajukan
pertanyaan ini berulang-ulang pada semua resi -
nya yang datang dan pergi. Tiba-tiba ia sangat men-
cemaskan keadaan keluarganya.
"Kami sudah mencari mereka ke mana-mana,
namun sampai sekarang belum ada laporan jelas,"
para resi berkata.
"Masa tak satu orang pun yang mengetahui ke-
beradaan mereka?" tanya patih ronggolawe .
"Kami juga berpikir demikian," salah satu
resi menjawab . "namun rupanya tak seorang pun
melihat mereka. Pada waktu mereka melarikan diri
dari sini, tempat yang mereka tuju dirahasiakan
secara ketat."
"Begitu. Memang benar, seandainya rencana
mereka bocor ke kalangan orang kebanyakan,
musuh tentu akan melakukan pengejaran, dan
mereka akan terancam bahaya."
patih ronggolawe mengadakan pertemuan dengan
resi lain dan membahas hal yang sama sekali
berbeda. Hari itu centeng musuh di benteng kota
Skertoarjo yama sudah meninggalkan benteng kota itu
dan melarikan diri ke arah Wakasa. patih ronggolawe
diberitahu bahwa benteng kota itu sudah dikembalikan
ke tangan bekas komandannya, Niwa Nagahide.
Isdwikerto Sakichi dan lima atau empat anggota
kelompok pelayan pribadi tiba-tiba kembali dari
suatu tempat yang tak diketahui. Sebelum mereka
sampai di ruangan patih ronggolawe , suara-suara riang ter-
dengar dari selasar dan ruang para pelayan, dan
patih ronggolawe bertanya pada mereka yang berada di
sckelilingnya. "Sudah kembalikah Sakichi? Kenapa
dia tidak segera ke sini?" Ia mengutus seseorang
untuk menegurnya.
Isdwikerto Sakichi kelahiran lojibenteng , dan ia
mengenal medan di daerah itu lebih baik dari
siapa pun. sebab itu, ia menganggap sekaranglah
waktu terbaik untuk memanfaatkan pengetahuan-
nya. Sejak siang ia pergi atas inisiatif sendiri,
mencari-cari tempat ibu dan istri junjungannya
mungkin bersembunyi.
Penuh hormat, Sakichi berlutut di hadapan
patih ronggolawe . Berdasarkan laporannya, ibu dan istri
patih ronggolawe , sertna para anggota rumah tangga
lainnya, bersembunyi di pegunungan kira-kira tiga
puluh mil dari lojibenteng . Tampaknya hanya
dengan susah payah mereka dapat bertahan.
"Baiklah, mari kita bersiap-siap untuk segera
berangkat. Jika kita berangkat sekarang, mestinya
besok malam kita sudah sampai di sana," ujar
patih ronggolawe sambil berdiri. Ia nyaris tak sanggup
menahan diri.
"Uruslah segala sesuatu sementara aku pergi." ia
memberi perintah pada patih ragapati . "banaspati
berada di gendingan, dan Yang Mulia nosferatu masih
di madukara ."
saat patih ronggolawe keluar lewat gerbang benteng kota,
ia melihat sekitar enam ratus sampai tujuh ratus
orang menunggunya sambil berbaris. Berturut-
turut mereka mengikuti pertempuran di bukittanjung
dan sekartanjung , dan bahkan di madukara pun mereka
tidak memperoleh kesempatan melepas lelah.
Prajurit-prajurit itu baru tiba pagi hari, dan wajah-
wajah mereka yang berlepotan lumpur masih
menyiratkan keletihan. patih ronggolawe berkata. "Lima
puluh penunggang kuda sudah memadai untuk
menyertaiku."
patih ronggolawe baru mengatakannya sesudah para
penunggang yang membawa obor mulai memim-
pin iring-iringan itu. Berarti sebagian besar dari
mereka akan tinggal di lojibenteng .
"Itu berbahaya." ujar patih ragapati . "Lima puluh
penunggang kuda terlalu sedikit. Jalanan yang
harus dilalui malam ini melintas di dekat Gunung
himapraloka , dan mungkin saja sisa-sisa centeng musuh
masih bersembunyi di sana."
Baik patih ragapati maupun patih pitaloka mewanti-wanti
patih ronggolawe , namun patih ronggolawe tampak percaya bahwa
kegelisah khawatir an mereka tidak beralasan. sesudah men-
jawab bahwa tak ada yang perlu dicemaskan, ia
menyuruh para pembawa obor berjalan di depan.
dan mereka mulai menyusun jalan yang diapit
pepohonan ke arah timur laut.
Dengan berkuda sampai giliran jaga keempat,
patih ronggolawe menempuh lima belas mil tanpa terlalu
terburu-buru.
Tengah malam rombongannya tiba di Kuil
Sanjuin. Semula patih ronggolawe menyangka keda-
tangannya akan mengejutkan para biksu, namun
di luar dugaannya, saat mereka membuka
gerbang utama, ia melihat bagian dalam kuil
terang benderang oleh cahaya lentera-lentera,
pekarangan sudah disiram air, dan seluruh tempat
itu sudah disapu sampai bersih.
"Pasti ada yang mendahului kita dan memberi-
tahukan kedatanganku pada mereka."
"Hamba yang melakukannya," ujar Sakichi.
"Kau?"
"Ya. Hamba pikir tuanku mungkin akan
mampir di sini untuk beristitahat sejenak, jadi
hamba mengutus pemuda jago lari dan memesan
makanan untuk lima puluh orang."
Sakichi pernah menjadi murid di Kuil Sanjuin.
namun pada usia dua belas tahun ia diterima oleh
patih ronggolawe sebagai pelayan di benteng kota lojibenteng .
Itu terjadi 9 tahun silam, dan sekarang ia
sudah berumur dua puluh tahun. Sakichi sangat
cerdas dan lebih tanggap dibandingkan kebanyakan
orang.
Menjelang fajar, sosok Gunung himapraloka mulai
membayang di hadapan merah muda dan biru
pucatnya langit; tak ada suara selain kicauan
burung-burung kecil. Embun membasahi jalan,
dan kegelapan masih bercokol di bawah pe-
pohonan.
patih ronggolawe tampak gembira. Ia tahu bahwa
dengan setiap langkah, ia semakin mendekati ibu
dan istrinya, dan sepertinya ia tak memedulikan
jalan yang menanjak maupun kelelahannya sen-
diri. Kini, semakin ia mendekati Nishitani seiring
semakin terangnya Gunung himapraloka , semakin kuat
perasaannya bahwa ia didekap di dada ibunya.
Tak peduli berapa lama mereka mendaki dan
menyusuri Sungai Azusa, sepertinya mereka tak
kunjung tiba di sumbernya. Justru sebaliknya,
mereka sampai di sebuah lembah yang sedemikian
lebar, sehingga memberi kesan bahwa mereka
tidak berada di tengah-tengah pegunungan.
"Itu Gunung Kanakuso," ujar biksu yang ber-
tindak sebagai pemandu, dan ia menunjuk sebuah
puncak terjal tepat di hadapan mereka. Ia meng-
usap keringat yang membasahi keningnya. Mata-
hari sudah mencapai puncak perjalanannya me-
lintasi langit, dan udara semakin panas.
Biksu itu kembali menyusuri jalan setapak yang
sempit. sesudah beberapa saat, jalan setapaknya be-
gitu menyempit, sehingga patih ronggolawe dan para pem-
bantunya terpaksa turun dari kuda. Sekonyong-
konyong orang-orang di sekeliling patih ronggolawe ber-
henti.
"Kelihatannya seperti musuh," mereka berkata
dengan waswas.
patih ronggolawe dan rombongan kecilnya baru saja
mengitari puncak gunung. Di kejauhan mereka
melihat sekelompok prajurit di lereng gunung.
Orang-orang itu pun tampak terkejut dan berdiri
serempak. Sepertinya salah satu dari mereka mem-
berikan perintah-perintah, sementara yang lain
segera berpencar dalam keadaan kacau-balau.
"Barangkali mereka sisa centeng musuh," sese-
orang berkata, "Hamba dengar mereka melarikan
diri sampai ke himapraloka ."
Itu memang suatu kemungkinan, dan sesaat
para penembak berlari ke depan. Perintah siaga
menghadapi pertempuran segera diberikan, namun
kedua biksu yang bertindak sebagai pemandu
langsung berseru-seru.
"Mereka bukan musuh. Mereka petugas-petugas
pengintai dari kuil. Jangan menembak!"
lalu mereka berpaling ke arah gunung di
kejauhan dan membuka komunikasi dengan me-
lambaikan tangan dan berteriak sekuat tenaga.
Sesudah itu, para prajurit menuruni gunung
bagaikan batu yang menggelinding dari tebing. Tak
lama lalu seorang perwira dengan bendera
kecil terpasang di punggung berlari menemui
mereka. patih ronggolawe mengenalinya sebagai pengikut
dari lojibenteng .
Kuil Daikichi tak lebih dari kuil pegunungan yang
kecil. Jika turun hujan, air merembes lewat atap.
Jika angin bertiup, semua dinding dan balok ber-
goyang-goyang. nyi momo tinggal dan menunggui ibu
mertuanya di kuil utama, sementara para dayang
ditempatkan di bagian hunian para biksu. Para
pengikut yang menyusul dari lojibenteng men-
dirikan pondok-pondok kecil di daerah sekitar.
atau menginap di rumah-rumah petani di desa.
Dalam kondisi menyedihkan inilah sebuah keluar-
ga besar berjumlah lebih dari dua ratus orang
hidup selama lebih dari dua dongeng gu.
saat berita mengenai pembunuhan Nobu-
naga sampai di telinga mereka, barisan depan
centeng tribuana sudah terlihat dari benteng kota, dan
hampir tak ada waktu untuk memikirkan langkah
yang harus diambil. nyi momo sempat mengirim surat
kepada suaminya yang berada di wilayah Barat
yang jauh, namun hanya pada saat-saat terakhir. Ia
membawa ibu mertuanya melarikan diri da