Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 11. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 11



 an mewujudkan cita-cita jutaan penganut Hindu yang 

ingin lebih serius memaknai identitas Hindunya.

Situasi di Indonesia sangat berbeda dengan India. Kelompok Muslim 

absolutis yang mengkhotbahkan intoleransi dan eksklusivitas tidak 

mendominasi, apalagi memonopoli, ruang publik Muslim. Seperti 

Hinduisme India, Islam di Indonesia tidak hanya memiliki pengaruh 

yang beragam, tapi juga berbagai organisasi yang beragam. sebab nya, 

religiusitas Muslim di Indonesia menyebar ke berbagai arah, termasuk 

kepada dukungan terhadap nilai-nilai demokratis. Kelompok absolutis 

tidak dapat menyeru umat Muslim dengan lebih meyakinkan dari gerakan 

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang lebih mewakili arus utama.

Begitu pun di AS, organisasi Kristen dan Yahudi juga kuat menentang 

sesama umatnya yang terlibat dalam industri Islamofobia. Tak heran jika 

yang paling lantang yaitu  kelompok yang lebih liberal, yang memiliki 

sejarah kerja sama lintas-iman dan dukungan terhadap hak asasi manusia. 

Salah satu contohnya yaitu  National Religious Campaign Against 

Torture (NRCAT), sebuah koalisi lintas-iman yang didirikan pasca-

skandal pelecehan di penjara Abu Ghuraib. Pada 2010, NRCAT bergabung 

dengan kelompok keagamaan dan denominasi lainnya untuk memulai 

kampanye nasional bernama “Shoulder-to Shoulder” dengan misi khusus 

melawan kebencian anti-Muslim. Tara Morrow, direktur NRCAT dan calon 

pendeta di Serikat Gereja Metodis, melihat masuknya Kristen konservatif 

ke dalam ruang ini sebagai pertanda yang menjanjikan.84 Contohnya, 

New Evangelical Partnership for the Common Good, sebuah kelompok 

sempalan dari kelompok agama sayap kanan, menjadikan dialog Kristen–

Muslim sebagai bagian utama agendanya.85

Perlawanan terhadap Islamofobia baru-baru ini membuat terobosan 

di Alabama, saat  presiden dari Christian Coalition of Alabama (CCA, 

Koalisi Kristen Alabama), Randy Brinsin, muncul sebagai pengkritik keras 

peraturan anti-Syariah. Meski negara bagian meloloskan Amandemen 

Pertama, dia berhasil memasukkan pesan alternatif dalam diskursus 

konservatif.86 Brinson, seorang ahli gastroenterologi, punya kedudukan 

di kelompok agama sayap-kanan. CCA yang dia pimpin yaitu  salah satu 

jaringan Injili terbesar di Alabama. Dia juga mengepalai Redeem the Vote, 

sebuah organisasi nirlaba yang dia dirikan untuk menggalang agamawan 

muda dalam proses politik. Keterlibatannya dalam kampanye anti-Syariah 

menggambarkan salah satu poin utama buku ini, bahwa keyakinan 

keagamaan belaka tidak menentukan pandangan seseorang dalam 

spektrum antara pluralisme dan intoleransi. Meski menggandrungi politik, 

Brinson tidak mencalonkan diri sebagai pejabat atau pun mendukung 

politisi tertentu. Dia mengaku lebih suka dipandu oleh nurani, dan dia 

mengecam pejabat yang berbicara atas nama Kristen sayap-kanan, namun 

mendukung tembakau, alkohol, dan perjudian, yang berlawanan dengan 

nilai-nilai Kristen. “Saya ingin dikenal sebagai penyampai kebenaran yang 

adil,” ujarnya saat mengkritik undang-undang anti-Syariah. “Kita harus 

menunjukkan semangat sejati yang menjadikan Amerika hebat.”87

Morrow dari NRCAT melihat organisasi Kristen melawan kampanye 

Islamofobia sebab  berbagai alasan. NRCAT mendekati persoalan ini dari 

perspektif hak asasi manusia. “Kami tegas melawan segala hal yang anti-

Muslim,” ujarnya. Kelompok lain bergabung dalam perlawanan ini  

sebab  tidak nyaman dengan dampak yang dapat ditimbulkan Islamofobia 

terhadap kebebasan beragama mereka. Argumen ini dikemukakan di 

media konservatif. “Jika kamu menghargai kebebasan beragamamu 

sendiri, kamu harus melindungi kebebasan beragama orang lain yang 

terancam,” tulis guru besar hukum dari Universitas Princeton, Robert P. 

George, mantan kepala US Commision on International Religious Freedom 

(Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat). “Preseden 

yang dibuat oleh orang-orang seperti di Murfreesboro, Tennessee, yang 

memusuhi Islam dan melihatnya sebagai kekuatan jahat, dimanfaatkan 

Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 241

orang-orang seperti di San Francisco yang memiliki sikap yang sama 

terhadap Katolik.”88 Dalam tulisannya di National Review, Matthew Schmitz 

juga menilai “keliru besar” jika kelompok konservatif bergabung dengan 

kelompok anti-Syariah, sebab  hal itu akan melemahkan posisi mereka 

saat  menghadapi tantangan terhadap kebebasan beragama mereka 

sendiri. “Para fanatik anti-Muslim dan pengikutnya mesti terus ditentang 

oleh rakyat Amerika yang menghargai suara agama dalam ruang publik 

dan yang percaya bahwa semua warga Amerika setara di depan hukum, 

yang beragama maupun tidak beragama, Kristen, Muslim, atau Yahudi,” 

ujarnya

Pandangan-pandangan ini  menunjukkan bahwa komitmen umum 

kepada inklusi dan kesetaraan dapat menjadi salah satu cara paling efektif 

untuk melawan efek eksklusioner dari pelintiran kebencian berbasis agama. 

Jika negara dilarang mendiskriminasi keyakinan—yang merupakan akibat 

dari Establishment Clause dalam Amandemen Pertama—maka batasan 

bagi satu agama akan menjadi batasan untuk semua agama lain. sebab  

itu, semua kelompok agama berkepentingan untuk melawan fanatisme 

dan melindungi hak kelompok agama lain. Seorang penganut agama 

konservatif secara pribadi dapat meyakini bahwa agamanya yaitu  satu-

satunya jalan menuju Tuhan, dan yang lainnya berada dalam cengkeraman 

setan. Meski begitu, mereka tidak dapat melanggar hak orang-orang yang 

berbeda keyakinan untuk mengamalkan dan mengekspresikan agamanya, 

sebab  pelanggaran ini  dapat menimpa keyakinannya sendiri. sebab  

itu, perlindungan konstitusi yang kuat terhadap kebebasan beragama dan 

kesetaraan dapat mengubah kelompok doktriner di antara kaum mayoritas 

sekalipun untuk menjadi pembela hak-hak minoritas untuk hidup bebas 

dari diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan. Inilah tema yang akan saya 

kaji berikutnya di bab terakhir.***


243

Demokrasi dianggap mampu memperbaiki dirinya sendiri. Dengan 

mengekang para pemimpin lewat kompetisi dan membiarkan warga 

berdebat dan mengorganisir diri, demokrasi dianggap memiliki 

kecenderungan bawaan untuk merusak diri secara kreatif dan nirkekerasan, 

sehingga mereka dapat belajar dari kesalahan, menyesuaikan diri, bangkit 

kembali, dan tetap stabil. Jika teori ini  benar, ada alasan untuk 

berharap bahwa kekuatan-kekuatan intoleran tak akan menang. Akal sehat 

akan menyelamatkan bangsa-bangsa dari ambang keterpurukan yang dapat 

berujung pada kekerasan antar-agama. Penjelasan Amartya Sen tentang 

kelaparan boleh jadi berlaku juga untuk genosida: hal itu tidak akan terjadi 

di negara-negara demokrasi, sebab  ketidakadilan masif yang menelan 

korban nyawa hanya mungkin terjadi di negara-negara di mana informasi 

tersendat dan para penguasa tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.

Tiga negara demokrasi besar yang dibahas dalam buku ini menunjukkan 

beberapa tanda adanya koreksi-diri ini . Di India pada 2015, BJP 

mengalami kekalahan telak dalam pemilihan umum di Delhi dan negara 

bagian Bihar. Agenda Hindu nasionalis Narendra Modi ternyata terhambat 

oleh ketegangan di dalam Sangh Parivar, serangan balik partai-partai 

regional, dan, terutama, tantangan untuk mewujudkan janji-janji kampanye 

di masa pemilihan dan memenuhi harapan rakyat kebanyakan. Demokrasi 

Indonesia yang jauh lebih muda juga terbukti lebih tangguh daripada 

yang dikhawatirkan banyak orang. Para pemilih berulang kali menolak 

partai politik Islam yang mengancam sistem sekular dan majemuk di 

Indonesia. Kemenangan Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014, 

usai menundukkan Kelompok Muslim garis-keras, juga menunjukkan 

keterbatasan pengaruh radikal. Di Amerika Serikat (AS), retorika politisi 

anti-Muslim dan bentuk fanatisme lainnya menarik perhatian sebagian 

kalangan, tapi umumnya ditolak oleh mayoritas warga.1

Meski kebanyakan warga memilih pemimpin moderat, tapi masalahnya 

lebih terkait dengan kesehatan demokrasi daripada hasil pemilihan umum. 

Kita juga harus mempertimbangkan “kualitas demokrasi”—faktor-faktor 

yang meliputi budaya politik penunjang yang menjunjung “partisipasi, 

kesetaraan dan martabat seluruh warganegara,” dan yang menyiratkan 

“toleransi terhadap perbedaan politik dan sosial, serta pengakuan kelompok 

dan individu bahwa orang lain (termasuk pihak musuh dan pihak yang 

lebih lemah) juga memiliki hak yang sama menurut hukum.”2

Di ketiga negara yang dikaji, kampanye pelintiran kebencian yang 

berkelanjutan telah menurunkan dimensi-dimensi dari kualitas demokrasi 

ini . Pembicaraan yang meminggirkan kelompok minoritas telah 

dianggap wajar dalam diskursus politik arus utama, sehingga mengancam 

status kaum minoritas sebagai warganegara yang punya hak yang sama untuk 

berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi di negara yang bersangkutan. 

Di beberapa kasus ekstrem—seperti korban pengungsi akibat kekerasan 

agama di India dan Indonesia—sebagian warganegara bahkan benar-benar 

telah tercabut haknya. Di tengah penentangan terhadap hak jemaat Kristen 

di Bekasi untuk membangun gereja, atau pengusiran terhadap kelompok 

Ahmadiyah, ada sedikit pelipur sebab  ekstremisme keagamaan yang 

menyasar mereka tidak dapat memenangkan kekuasaan melalui pemilu.

Saya tetap berpandangan bahwa kita masih dapat mengandalkan 

sistem demokrasi—tetapi hanya selama warga dan negara tahu bahwa 

pencapaian tujuan sosial melalui demokrasi ialah proses yang memerlukan 

komitmen aktif dan berkelanjutan. Ini tidak terberikan secara ontologis. 

Beberapa musuh utama demokrasi pluralistik mengaku beriman kepada 

Tuhan, namun perolehan politik yang mereka raih berasal dari keyakinan 

yang sama kuatnya bahwa Tuhan menolong mereka yang menolong 

dirinya sendiri. Kaum demokrat perlu menunjukkan kombinasi yang 

serupa antara keyakinan kepada teori dengan kehendak untuk beraksi. 

Mereka mesti mengerahkan sumber daya hukum, politik, sosial, dan 

budaya untuk memerangi pelintiran kebencian. Pada bab sebelumnya, saya 

membahas peran-peran yang dapat dilakukan media dan masyarakat untuk 

menciptakan lingkungan yang dapat membendung pelintiran kebencian. 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 245

Di bab ini, saya akan membahas peran negara.

Tidak ada satu intervensi yang sempurna; masing-masing memiliki 

kelebihan dan kelemahan. Solusi hukum tampak menjanjikan kepastian, 

namun mekanisme check and balances dalam demokrasi kerap membuat 

prosesnya lamban, mahal, dan tidak praktis. Jika mekanisme pengawasan 

itu dikesampingkan, kita akan menghadapi penyalahgunaan yang jauh 

lebih buruk daripada masalah yang hendak diatasi dengan intervensi 

ini . Respon sosial dan politik—oleh masyarakat sipil, media, dan 

pihak berpengaruh lainnya—dijalankan melalui kerjasama sukarela, seruan 

moral, dan keteladanan. Hal itu lebih fleksibel dan responif dibanding 

hukum, namun juga lebih mudah diabaikan oleh para pemelintir kebencian. 

Respon hukum diperlukan saat  tak ada  ruang untuk memberikan 

sanggahan. Contohnya, setiap warganegara tanpa terkecuali, memiliki 

hak untuk dilindungi dari kekerasan akibat kebencian; hasutan kepada 

ancaman serius semacam itu memerlukan kebijakan tegas. Sebaliknya, 

kebijakan yang bertujuan menjaga keadaban dan penghormatan terhadap 

agama tidak perlu memberantas setiap bentuk fitnah. Pendekatan non-

hukum dapat mengatasinya.

Dalam menyusun strategi untuk menanggapi pelintiran kebencian, 

kita memerlukan gabungan intervensi dari hulu dan hilir. Kebijakan 

hulu ialah tindakan preventif yang mengatasi kebencian langsung ke 

sumbernya, sebelum kebencian ini  membesar dan tak terkendali. 

Namun ini yaitu  tindakan yang spekulatif, mengingat kebanyakan fitnah 

justru menguap dengan sendirinya jika diabaikan. Tindakan hulu berisiko 

berlebihan, membungkam pidato provokatif yang boleh jadi memiliki nilai 

sosial. Sementara itu, intervensi hilir yaitu  intervensi yang menunggu 

hingga dampak bahayanya sudah tampak dan dekat. Gerakan reaktif 

seperti ini lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerugian. 

Tapi, ia juga bisa terlambat, kekerasannya mungkin berhasil dicegah tetapi 

ia tidak dapat mencegah efek jangka panjang dari ujaran kebencian yang 

mencemari budaya.

Di buku ini, saya telah menekankan perbedaan antara kedua sisi 

pelintiran kebencian, yakni hasutan dan keterhasutan, atau melontarkan 

dan menerima sesuatu sebagai penghinaan. saat  undang-undang 

berusaha meredakan keterhasutan, ia menjadi alat bagi para agen 

pelintiran kebencian dan mendorong budaya intoleran. Alih-alih melarang 


penghinaan atau penistaan agama, lebih baik meminggirkannya tanpa 

memakai  kekuatan hukum. Sebaliknya, demokrasi harus mencegah 

hasutan kebencian, mengorbankan kebebasan berekspresi saat  ia 

disalahgunakan untuk mendiskriminasi atau menyerang kaum minoritas 

yang rentan. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa undang-undang yang 

melarang hasutan, sekalipun diperlukan, bukanlah satu-satunya jalan. Kita 

akan lebih maju jika mencurahkan lebih banyak perhatian kepada kebijakan 

anti-diskriminasi dan kesetaraan, serta menuntut negara untuk melindungi 

keamanan dan hak-hak asasi kelompok rentan. Kesimpulan ini didasarkan 

pada kajian mengenai pelintiran kebencian yang berlangsung di tingkat 

bawah. Saya mulai dengan mensintesiskan apa yang telah kita pelajari dari 

strategi politik yang seringkali disalahpahami sebagai emosional irasional.

Bagaimana Pelintiran Kebencian Bekerja

Kajian mengenai kekisruhan politik mengalami pergeseran paradigma 

saat  para pakar gerakan sosial mengeluarkannya dari ranah psikologi 

abnormal sekitar empat puluh tahun lalu. Bentuk-bentuk aksi kolektif yang 

tidak rutin menjadi lebih dapat dipahami saat  tak lagi dikesampingkan 

sebagai gejala kemiringan pikiran.3 Hal yang sama berlaku pada subyek 

dari buku ini. Ledakan kemarahan dan keterhasutan lebih dari sekadar 

histeria para mullah dan massa yang membabi buta. saat  kita mulai 

menyikapi pelintiran kebencian perbuatan para wirausahawan politik, kita 

menjadi sadar bahwa kita berhadapan dengan bentuk perseteruan yang 

canggih—sesuatu yang strategis, serba-guna, dan berjejaring.

Tujuan Strategis

Tujuan yang kentara dari pelintiran kebencian yaitu  untuk memurnikan 

masyarakat dengan, misalnya, menghapuskan film yang dianggap 

menyinggung dari Internet atau menyingkirkan sekte yang dianggap 

sesat dari suatu daerah. Jika ditelusuri lagi, kita akan menemukan bahwa 

para agen pelintiran kebencian punya tujuan yang lebih strategis, dan 

biasanya tidak diutarakan. Mereka bisa tetap mendapat keuntungan 

dengan membangkitkan rasa ketersinggungan (offense-taking) terlepas dari 

apakah tujuan jangka-pendek protes mereka itu tercapai atau tidak. Hal ini 

sudah teramati sejak puluhan tahun lalu, dalam kajian mengenai gerakan 

Amerika yang menuntut larangan terhadap alkohol dan pornografi. Para 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 247

aktivis itu sebenarnya tak terlalu peduli soal penerapan atau penegakannya, 

sebab  tujuan mereka lebih simbolik—yakni untuk menegaskan nilai-nilai 

mereka dan menggiring para pemimpin lokal dan nasional kepada nilai 

ini  di tengah perubahan sosial yang besar.4 Demikian halnya, di 

negara-negara demokrasi kontemporer yang saya ulas di buku ini, tujuan 

strategis para agen pelintiran kebencian lebih pada mengukuhkan agensi 

ketimbang menghilangkan penghinaan. sebab  itu, cita-cita pemurnian 

yang dituju para agen pelintiran kebencian tidak pernah absolut. Para 

penghasut menutup mata saja terhadap berbagai saluran di mana obyek 

sasaran mereka—buku The Satanic Verses atau video Innocence of Muslims, 

contohnya—tetap dapat diakses di masyarakat setelah mereka merasa 

berhasil mendesakkan larangan terhadapnya. Selain itu, untuk setiap buku, 

film, atau kegiatan yang dianggap sebagai penghinaan, tidaklah terlalu sulit 

untuk menemukan beberapa buku, film atau kegiatan lain yang mirip, 

namun diabaikan begitu saja.

Aspek strategis pelintiran kebencian ini juga menjelaskan mengapa 

agen-agen itu malah memunculkan kontroversi yang justru makin 

mengangkat materi-materi yang dianggap menyinggung—tindakan 

yang tak sejalan dengan tujuan mereka untuk melindungi para nabi dan 

junjungan mereka dari penghinaan, atau melindungi umatnya dari hal-hal 

yang dianggap cemar. Produk budaya populer memang seringkali menjadi 

sasaran empuk sebab  sarana publisitasnya mudah dibajak. Para penerbit 

dan produser mengerahkan banyak usaha untuk meningkatkan publisitas, 

menelan banyak biaya yang ditimbulkan protes. “Bentuk ‘penyensoran’ 

semacam itu—yang menuntut penarikan film, buku, atau artikel ini dan 

itu—jelas bukan hanya merupakan taktik pembungkaman; sebaliknya, 

mereka memanfaatkan dan memobilisasi energi publik dari artefak yang 

mereka tolak itu, demi kepentingan politiknya,” kata sebuah studi mengenai 

sensor di India.5

Hasutan kepada genosida tentu lebih dari simbolik: Nazi Jerman tidak 

memusnahkan kaum Yahudi untuk sekadar mendapatkan perhatian. Saat 

ini, kebangkitan ujaran kebencian dan kekerasan anti-Semit di Eropa 

memunculkan kembali bayang-bayang masa lalu itu. Salah seorang imam di 

Denmark, Abu Bilal Ismail, memohon kepada Allah agar “menghancurkan 

Zionis Yahudi” dalam suatu khotbah di Masjid Berlin: “Hitung dan bunuh 

mereka hingga tidak ada yang tersisa. Jangan ada satu pun yang terlewat.”6 

Partai sayap-kanan Hungaria, Jobbik, mendesak pemerintah untuk 

Bab 8248

menyusun daftar orang Yahudi yang mengancam keamanan negara—

sebuah pernyataan yang menurut Simon Wiesenthal Center mengingatkan 

pada “rezim genosida Nazi.”7 Segelintir penduduk Yahudi di sana menjadi 

sasaran kekerasan kebencian, sehingga banyak dari mereka yang terpaksa 

beremigrasi.8 Namun, meski retorika ekstrem ini  mengingatkan 

kepada Holokaus, anti-Semitisme baru itu tidak benar-benar dimaksudkan 

untuk menyingkirkan Yahudi dari Eropa. Surat kabar liberal di Israel, 

Haaretz, di beberapa artikelnya mengenai masa depan Yahudi Eropa, 

membedakan insiden-insiden belakangan ini dengan teror yang pernah 

mereka alami di masa lalu.9 Anti-Semitisme di Eropa saat ini nampaknya 

hanya merupakan satu sarana mudah bagi politik populis ekstrem yang 

dilancarkan organisasi migran Muslim radikal maupun nasionalis sayap-

kanan. Seperti halnya ungkapan ketersinggungan, ujaran kebencian yang 

ditujukan kepada Yahudi saat ini memuat banyak unsur simbolik.

Ini juga berlaku untuk kebencian anti-Muslim di Eropa, yang ditujukan 

untuk menyatukan kelompok sayap-kanan.10 Dan di Indonesia, serangan 

Muslim radikal terhadap Ahmadiyah menunjukkan tujuan simbolik yang 

mirip. Selama Ahmadiyah dicerca dan dianiaya, ia menjadi alat pemenuhan 

kepentingan politik sebab  “sentralnya sasaran ini  bagi identitas 

kelompok fundamentalis,” ujar Mary McCoy, seorang pakar retorika.11 Ini 

menjelaskan mengapa kelompok seperti Front Pembela Islam terus mencari 

sosok atau perilaku untuk dikecam. Kelompok-kelompok semacam ini 

akan kehilangan kata-kata untuk mendefinisikan dirinya sendiri jika 

mereka berhasil menghapuskan penistaan. Sepertinya, menyadur ungkapan 

Voltaire, jika kejahatan tidak ada, maka perlu diadakan.

“Jika Anda ingin menjadi pahlawan, Anda memerlukan penjahat,” 

demikianlah guru Asifkhan Pathan menjelaskan kebencian anti-Muslim di 

India. “Jika Anda ingin menjadi pahlawan super, Anda juga memerlukan 

penjahat super. Muslim bukanlah penjahat tetapi itulah ketakutan yang 

tercipta.”

Pathan, seorang Muslim yang mengelola sekolah di kampung Juhapara 

di Ahmedabad, menyaksikan pembantaian Gujarat pada 2002, yang dia 

sebut genosida. Kini, dia harus menghadapi tantangan yang menyerupai 

apertheid, di mana sekolah yang dia kelola tidak diberi akses saluran air 

serta layanan kota lainnya. saat  dia mendengar BJP berbicara tentang 

rashtra atau bangsa Hindu, dia tahu bahwa beberapa orang radikal akan 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 

menindaklanjutinya dengan membunuh, memaksa pindah agama, dan 

melakukan tindakan-tindakan diskriminatif. Namun dia juga tahu bahwa 

BJP membutuhkan hantu Muslim, sebab  hanya itulah jalan terbaik untuk 

menyatukan perbedaan kasta-kasta dan sekte-sekte Hindu di bawah panji 

partai. “Ini bukan soal agama. Jika mereka tak dapat menciptakan ancaman 

bagi kalangan Hindu, mereka tak akan terpilih, dan jika tak terpilih, mereka 

tak akan mendapat uang dan kekuasaan.”

Meski taktik jangka-pendek para agen pelintiran kebencian—sensor 

dan persekusi—tidak niscaya mengarah ke Solusi Akhir, bukan berarti 

kita tidak perlu menyikapinya dengan serius. Maksudnya yaitu  agar kita 

menyadari perang sebenarnya yang sedang berlangsung. Suatu kelompok 

mungkin saja mencapai tujuan politiknya sekalipun gagal menghasut 

kekerasan. Bagi kelompok kebencian, hasil akhir dari pertarungan di 

pengadilan mungkin tidak terlalu penting dibandingkan kesempatan 

yang ditawarkan proses hukum untuk melukai dan merugikan korbannya. 

Pelintiran kebencian, dalam arti itu, yaitu  bukti vonis. Mahkamah Agung 

dapat membela hak suatu kelompok untuk membangun tempat ibadah 

atau hak penerbit untuk mendistribusikan ribuan kopi buku, tetapi jika 

persidangan menyediakan panggung bagi kebencian, tujuan strategis 

agen-agen pelintiran kebencian sudah tercapai. Demikian halnya, undang-

undang anti-Syariah tidak perlu sampai memengaruhi kerangka hukum 

negara agar tujuan mereka tercapai. “Pergeseran dalam diskursus dan 

kesadaran budaya itulah yang dituju gerakan Islamofobia sebagai capaian 

legislatifnya,” ungkap sosiolog Haj Yazdiha.13

Jaringan Islamofobia AS telah mengubah “perang hukum” ini  

menjadi seni. Kampanye American Freedom Defense Initiative (AFDI) 

yang membeli ruang untuk iklan anti-muslim di bis dan stasiun kereta 

bawah tanah, di satu segi, bertujuan menyebarluaskan pesan kebencian 

yang terkandung di dalam poster. Tapi, tujuan utamanya yaitu  untuk 

memancing larangan dari otoritas penyedia transportasi dan mendorong 

proses pengadilan dengan publisitas yang bisa jauh lebih besar dari iklan 

itu sendiri.14 Kadang pihak yang berwenang  unggul, seperti saat  Metro 

di Washington, DC, melarang segala iklan yang memuat isu sehingga 

tidak dianggap melakukan diskriminasi. Tapi keputusan ini kemudian 

diputarbalikkan demi keuntungan strategis para aktivis. Pamela Geller 

dari AFDI jadi dapat menghubung-hubungkan larangan di Metro dengan 

kampanye misinformasi lainnya: “Inilah Syariah di Amerika,” serunya.

Metode Serba-Guna

Para agen pelintiran kebencian memilih berbagai taktik mulai dari 

melontarkan hasutan hingga membangkitkan keterhasutan. Apakah 

mereka memakai  ujaran kebencian yang terang-terangan dalam politik 

elektoral tampaknya lebih bergantung pada norma sosial yang berlaku 

ketimbang pada undang-undang yang melarang hasutan. Meski saya tak 

mengukur polanya secara kuantitatif, ujaran kebencian tampaknya lebih 

marak dalam pemilu di India ketimbang di AS, sekalipun para politisi di AS 

memiliki ruang gerak yang lebih luas dengan adanya Amandemen Pertama. 

Kultur politik AS lebih efektif mencegah politisi nasional melakukan ujaran 

kebencian dibanding segudang aturan yang melarangnya di India.

Norma sosial juga membantu menjelaskan fakta bahwa sengketa teologis 

bukanlah aspek utama di kebanyakan kampanye pelintiran kebencian. Hal 

ini cukup mengherankan, mengingat agama memuat banyak perbedaan 

ajaran. Sekuat apa pun orang mencari landasan bersama, selalu ada 

rincian penting dalam Kristen yang dapat dianggap menyinggung bagi 

Muslim, sebagaimana diakui mantan Uskup Agung Canterbury Rowan 

Willian.16 Meski demikian, kitab suci agama biasanya tak disasar oleh 

pelintiran kebencian dalam demokrasi. Di dekat situs peringatan tragedi 

9/11, ada  salah satu cabang Perpustakaan Umum New York. Namun 

para penentang “Masjid Ground Zero” tidak menuntut perpustakaan 

yang jaraknya hanya tiga menit berjalan kaki dari Ground Zero itu untuk 

mengeluarkan Alquran dan buku-buku pengetahuan mengenai Islam. 

Para agen pelintiran kebencian tampaknya tahu bahwa kemarahan mereka 

mestilah tampak beralasan bagi khalayak ramai.

sebab  lebih dapat diterima oleh norma-norma sosial, para agen 

pelintiran kebencian cenderung memilih simbol ketidakadilan yang dapat 

dibingkai dalam pengertian sekular. Contohnya, kebanyakan regulasi 

mengenai pembangunan kota memperhitungkan faktor-faktor subjektif 

seperti kesesuaian budaya dan masukan dari masyarakat. sebab nya, orang 

mudah saja menyampaikan penolakan terhadap rumah ibadah dalam 

bahasa-bahasa non-agama. Sekali jendela ini  terbuka, para penentang 

dapat melancarkan propaganda kebencian yang menggambarkan suatu 

gereja atau masjid sebagai ancaman yang membahayakan masyarakat.

Setiap taktik pelintiran kebencian punya kekuatan masing-masing. 

Semuanya dikerahkan untuk mencapai tiga tujuan yang berbeda namun 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 251

saling berhubungan: efek mobilisasi (mengerahkan pengikut di akar-

rumput); publisitas gerakan (menyebarkan pesan di luar kelompoknya); 

dan pelibatan dengan elite pemerintah. Agenda mobilisasi tercapai dengan 

sangat baik jika kampanyenya terdesentralisasi dan para aktivis lokal 

memimpin gerakan. Hal ini umumnya berlaku untuk kasus penentangan 

terhadap rumah ibadah. Di AS, di mana perpustakaan umum dan sekolah 

dikelola secara lokal, gugatan buku menjadi cara andalan yang mendorong 

kelompok akar-rumput untuk turut andil. sebab  itu, gugatan buku yang 

dijalankan jaringan anti-Muslim melakukan banyak hal selain menciptakan 

fakta-fakta tandingan mengenai Islam, kata Miranda Blue, peneliti dari 

People For the American Way. “ACT! For America mengerahkan para 

pemimpin lokal melalui gugatan buku ini, dimulai di level dewan sekolah,” 

ujarnya.17

Di sisi lain, gencarnya gugatan buku perpustakaan, yang kadang 

menyasar beberapa judul terkenal seperti Harry Potter, juga menunjukkan 

bahwa hal itu sudah sangat jamak—sampai-sampai American Library 

Association (Asosiasi Perpustakaan AS) menyelenggarakan minggu “Buku 

Terlarang” setiap tahun untuk mengingatkan publik bahwa bentuk sensor 

semacam itu masih terus berlangsung. Desentralisasi juga berarti bahwa 

kontroversi buku sangat jarang menarik politisi di tingkat nasional dan 

negara bagian.

Untuk menarik perhatian elit politik terkemuka, para agen pelintiran 

kebencian memerlukan taktik yang berbeda. Forum legislatif dan 

pengadilan merupakan arena yang ideal. Pengajuan rancangan undang-

undang dapat membuka kesempatan bagi pelintiran kebencian tingkat 

tinggi, seperti ditunjukkan kampanye anti-Syariah. Perdebatan di ruang 

legislasi tidak sesemarak unjuk rasa jalanan, namun mampu mendorong 

wakil-wakil rakyat untuk menggemakan pesan kampanye mereka di 

kalangan elit politik yang dekat dengan media.

Ruang hukum dan budaya yang tersedia bagi para agen pelintiran 

kebencian yaitu  faktor lain yang mempengaruhi taktik yang mereka pilih. 

Di India dan Indonesia, di mana sistem hukum yang lebih melindungi 

perasaan komunal dan lembaga pemerintah kerap melakukan penyensoran, 

para wiraswasta politik menjadi mudah menyasar film, konser, karya 

seni, dan buku-buku ilmiah yang dapat membuat orang marah. Di AS, 

penolakan tegas negara lewat Amandemen Pertama untuk melindungi 

perasaan keagamaan warga Amerika dari singgungan mempersempit 

peluang untuk menuntut pemerintah agar melakukan penyensoran. 

Meski demikian, di AS sekalipun, para aktivis bisa cukup kreatif dalam 

menemukan ruang kelembagaan, seperti dewan sekolah dan perpustakaan 

lokal, di mana mereka dapat mendesakkan tuntutannya.

Para agen pelintiran kebencian, layaknya aktivis gerakan sosial 

lainnya, sama-sama mengembangkan taktiknya sendiri dan memakai  

repertoar yang dikembangkan kelompok lain.18 Teknik gugatan buku 

ditiru oleh jaringan Islamofobia Amerika dari gerakan Evangelis, yang 

terbiasa menentang pelajaran mengenai evolusi, misalnya.19 Taktik ini 

bahkan telah tersebar hingga ke luar Amerika. Salah satunya yaitu  kasus 

buku anak yang memenangkan penghargaan, And Tango Makes Three, 

tentang kisah nyata dua penguin jantan di kebun binatang Central Park 

yang mengadopsi seekor anak pinguin. Dukungan tersirat buku ini  

kepada bentuk keluarga alternatif menempatkannya di posisi teratas 

daftar 10 Most Challenged Books atau buku yang paling banyak digugat 

menurut American Library Association (Asosiasi Perpustakaan AS) pada 

2006 dan 2010.20 Pada 2014, kalangan konservatif di Singapura berhasil 

meyakinkan perpustakaan nasional di sana untuk memusnahkan buku 

And Tango Makes Three—memperlihatkan akibat yang dapat terjadi saat  

keterhasutan meluas ke luar jangkauan Amandemen Pertama. Beberapa 

organisasi konservatif di Amerika seperti Focus on the Family memiliki 

afiliasi di Singapura sehingga mereka dapat mengekspor nilai-nilai dan 

strateginya.

Pendekatan umum dari rekayasa keterhasutan itu sendiri yaitu  sesuatu 

yang dapat dipelajari. Di India, “hak untuk merasa tersinggung” sudah 

digunakan oleh kelompok Muslim dan Kristen, jauh sebelum kelompok 

Hindutva berhasil mengobarkan ketersinggungan kolektif. “Tapi dalam 

beberapa dekade terakhir, perasaan tersinggung dipelajari dari kelompok 

minoritas India,” ujar jurnalis Varghese K. George. Agen-agen pelintiran 

kebencian Hindutva mencontoh kelompok Muslim untuk menggelorakan 

kemarahan dan ketersinggungan orang-orang Hindu, lanjut George. 

“Mereka menantang orang Hindu: ‘Apakah kalian tidak malu melihat 

orang Muslim yang bangkit bergerak saat  Allah menjadi sasaran, 

Muslim menjadi sasaran; jika kalian tidak bangkit bergerak, kalian sama 

saja menyerahkan kuasa kalian atas tanah ini.’ Tantangan ini  makin 

menarik banyak orang untuk ikut serta.”21

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 253

Pelintiran Kebencian yang Berlapis dan Berjejaring

ada  pembagian kerja dalam kampanye pelintiran kebencian. 

Kelompok pinggiran dan perseorangan memakai  bahasa yang sangat 

ekstrem, namun mereka umumnya kurang punya kredibilitas untuk 

menarik orang-orang di luar pendukung mereka. Media aktivis yang 

menyasar publik yang lebih luas menyembunyikan pandangan-pandangan 

yang lebih ekstrem ini , dan memakai  “rasisme yang lebih 

beralasan” untuk menarik pendukung baru.22 Demikian halnya, para 

pemimpin partai politik dan politisi lainnya yang bersaing di tingkat 

nasional biasanya tak dapat menyampaikan ujaran ekstrem. Mereka 

boleh jadi memakai  kata-kata sandi yang makna kebenciannya jelas 

bagi para pendengar yang mengerti, tapi mereka dapat mengelak jika 

mereka dikenakan sanksi hukum atau politik. Dalam mengisi kekosongan 

ini , mereka tidak hanya mengandalkan para pembicara lain, tapi 

juga pada ujaran dan peristiwa-peristiwa lampau. Pencantelan pada 

kerangka sejarah yang berbeda akan menambahkan “lapisan signifikansi” 

ke dalam suatu diskursus, sehingga para pendengar dapat menafsirkannya 

berdasarkan latar belakang pengetahuannya, seperti yang ditemukan oleh 

studi mengenai pelanggaran hak asasi manusia di masa apertheid Afrika 

Selatan.23 sebab  itu, agen-agen pelintiran kebencian dapat melakukan 

hal yang biasa disebut sebagai dog whistling, menyampaikan makna yang 

tak dapat dipahami kalangan luar tetapi terdengar jelas dan keras oleh 

kalangan yang dituju. Komunikasi kebencian yang efektif tidak hanya 

bergantung pada kejelasan pesan pembicara tapi juga pada gagasan dan 

simbol pelengkap yang telah tersedia, dari apa yang orang sampaikan dan 

dari memori bersama.

Semua proses pelintiran kebencian yang dibahas di buku ini mencirikan 

jaringan yang terdistribusi ini. Di India, Narendra Modi, penerima manfaat 

utama dari intoleransi Hindutva, tidak perlu melontarkan ujaran kebencian 

secara langsung. Hal itu diserahkan kepada bawahan-bawahannya seperti 

Amit Shah. Mereka bahkan tidak perlu terlalu eksplisit, sebab  pekerjaan 

ini  dapat dilakukan para aktivis di akar-rumput. BJP melekatkan 

pesan-pesan kampanyenya dalam narasi-narasi yang terbangun selama 

bertahun-tahun, atau bahkan puluhan tahun. Ancaman yang dibangkitkan 

mengenai Muslim sebagai predator seks yang memiliki banyak keturunan 

berasal dari masa-masa awal gerakan Hindutva, begitu juga dengan gagasan

untuk meng-Hindukan kembali India—jika perlu secara paksa.24

Narasi pokok lainnya dari kubu Nasionalis Hindu di India yaitu  

penggambaran Muslim sebagai penjajah asing, Pakistan, atau teroris—

tema-tema yang mudah bergaung dengan diskursus global mengenai 

ancaman terorisme Islam. Stereotip semacam itu membuat juru kampanye 

BJP pada 2014 melabeli suatu wilayah di Uttar Pradesh yang tinggi populasi 

Muslimnya sebagai “sarang teroris” tanpa alasan yang jelas.25 Dalam pidato 

kampanye di daerah yang sama pentingnya, Modi menyerukan: “Dulu 

teroris dan kriminal dihargai di negara bagian ini ... sepuluh tahun yang 

lalu, di Gujarat, banyak sekali kerusuhan. Tapi sekarang penduduk Gujarat 

tahu mereka harus hidup damai, bebas dari politik polarisasi. Mereka tahu 

mereka harus memilih jalan pembangunan. Dan semua akan tenang.”26

Di balik kata-kata yang tampak wajar ini , ada  ambiguitas 

yang mengerikan. Pandangan yang umum di dalam gerakan Hindutva 

maupun di antara para pengkritiknya yaitu  bahwa tindakan pogrom 

Modi di Gujarat pada 2002 merupakan pelajaran bagi kaum Muslim agar 

tahu diri.27 Hal ini dinyatakan dengan cukup jelas oleh pemuka Sangh 

Parivar lainnya. Modi sendiri tak pernah menyangkal tafsiran ini . 

Ungkapannya pada 2002 yang dianggap sebagai penyesalan itu pun hanya 

mengatakan bahwa siapa pun akan merasa sedih jika seekor anak anjing 

tergilas mobil, terlepas siapa saja yang mengemudikannya.28 saat  dia 

mengumbar bahwa orang Gujarat sekarang tahu bagaimana cara hidup 

damai, dan bahwa “semua tenang,” para pendengarnya tahu apa yang 

sebenarnya ia maksudkan.

Di Indonesia, pelintiran kebencian kelompok Muslim garis-keras tak 

punya visi koheren seperti filosofi Hindutva yang dijabarkan Vinayak 

Damodar Savarkar bagi kalangan nasionalis Hindu. Jauh sebelum 

pemilu 2014, jelas bahwa para pemilih di Indonesia tidak menginginkan 

partai berbasis Islam memerintah negerinya. Tidak punya peluang 

untuk memenangkan pertarungan politik, kelompok garis-keras pun 

bereksperimen dengan cara lain untuk memperbesar kekuasaannya. 

Sebagian menghindari politik elektoral sama sekali, menganggap bahwa 

demokrasi itu haram: sementara sebagian yang lain bersekutu dengan 

partai-partai sekular. Mereka dipersatukan oleh kepentingan bersama 

untuk tetap dianggap penting, untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh 

dan sumber daya. Yang menunjang tujuan ini yaitu  bentukan ancaman 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 255

bersama dalam bentuk Kristen, Islam Syiah, Ahmadiyah, dan ateis. Efek 

kumulatifnya ialah budaya intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan 

terhadap minoritas.

Tapi, seperti di India, pelintiran kebencian di Indonesia terdistribusi dan 

berlapis-lapis dalam sejarahnya sehingga sulit untuk menunjuk satu orang 

atau lembaga yang bertanggungjawab. Majelis Ulama Indonesia, MUI, 

mendapat keuntungan dari sertifikasi halal dan pasar keuangan Islam, tetapi 

mereka juga memperbesar citranya dengan mengeluarkan fatwa intoleran. 

Pernyataan MUI diperkuat oleh lembaga pengawas penyimpangan, Bakor 

Pakem, yang juga menjustifikasi keberadaannya dengan menimbulkan 

kepanikan moral terhadap para penyimpang. Pernyataan MUI dan Bakor 

Pakem mungkin tidak ditujukan sebagai hasutan—MUI belum pernah 

mengeluarkan fatwa yang sekeras perintah Ayatollah Khomeini untuk 

membunuh Salman Rushdie. Akan tetapi, dengan mempersempit ruang 

untuk ungkapan dan amalan yang diterima dalam Islam, MUI memberi 

justifikasi bagi kelompok-kelompok yang lebih ekstrim seperti Front 

Pembela Islam (FPI), untuk melakukan kekerasan fisik terhadap kelompok 

yang dianggap menyimpang. Gantinya, MUI diuntungkan oleh kesediaan 

FPI untuk memberikan ganjaran duniawi daripada menunggu pengadilan 

ilahi di akhirat. Banyak orang Indonesia yang dulu mengabaikan kecaman 

ulama kini berpikir dua kali, jangan sampai mereka memancing kelompok 

militan untuk mengerahkan kekuatannya.

Pembagian kerja dalam jaringan Islamofobia di AS telah banyak dikaji 

oleh kelompok-kelompok progresif.29 Kebohongan yang disebarkan 

oleh ideolog inti di pusat jaringan ini  kemudian digemakan oleh 

sekelompok “validator,” bertampang militer dan keturunan Timur Tengah 

yang menegaskan bahwa Islam itu jahat. Para ideolog ini  juga 

mengandalkan para aktivis akar-rumput dari organisasi-organisasi yang 

mengusung isu tunggal seperti ACT! For America and Stop Islamization 

of America, serta organisasi-organisasi keagamaan kanan yang lebih lama 

seperti Eagle Forum. Para pemuka agama sayap-kanan seperti Franklin 

Graham dan Pat Robertson juga ikut mengeraskan retorika Islamofobia.

Meski demikian, Islamofobia akan tetap berada di pinggiran kecuali yang 

dianut oleh pejabat terpilih dan pemimpin politik. Politisi sayap-kanan di 

level nasional dan negara bagian menyebarkan pesan-pesan anti-Muslim 

melalui debat-debat pemilu, proses legislatif, dan liputan media. Calon

presiden Ted Cruz dan Donald Trump membuat retorika Islamofobia 

sebagai bagian dari perbincangan nasional dalam perjalanan menuju 

pemilihan umum 2016.30 Trump kurang mampu menahan-diri untuk 

melakukan dog whistling, tapi meski pernyataannya terdengar seperti ujaran 

kebencian, itu tidak se-ekstrem atau sesering pesan yang dihembuskan 

para pentolan Islamofobia seperti Frank Gaffney dan Brigitte Gabriel. Jika 

Amerika pasca-2016 kurang begitu ramah bagi orang Muslim, itu gara-gara 

sepak terjang berbagai aktor.

Bagaimana Hukum Harus Merespon

Masyarakat yang berusaha mempertahankan demokrasi dari kekuatan 

intoleran mesti mempertimbangkan segi strategis, serba-guna, dan jejaring 

pelintiran kebencian. Respon mereka pun harus sama-sama kreatif, 

dinamis, dan berjejaring luas. Tidak ada contoh solusi yang dapat berlaku 

di semua masyarakat, sebab  tidak ada demokrasi, yang baru sekalipun, 

apalagi yang tradisinya sangat mengakar, yang dapat diperlakukan seperti 

kertas kosong.31 Jadi, komitmen kuat AS kepada kebebasan berbicara 

mesti diterima begitu saja, seperti halnya Indonesia yang tak terbayangkan 

dapat menghapus Ketuhanan yang Maha Esa sebagai salah satu pilar 

negaranya, atau India untuk menghapus keistimewaan yang diberikan 

kepada kelompok etnis mayoritasnya. Meski demikian, beberapa prinsip 

umum berlaku. Dapat dipastikan bahwa aturan mengenai penghinaan 

sangat buruk dan seringkali kontra-produktif bagi upaya mewujudkan 

budaya yang menghormati agama dan kepercayaan. Tapi di saat yang sama, 

demokrasi memerlukan hukum yang kuat untuk melarang hasutan, dan 

hukum ini  haruslah ditegakkan secara tegas dan tak pandang bulu.

Janji Semu Undang-undang Penistaan

Cara demokrasi menangani penghinaan yaitu  salah satu ujian pokok 

yang membedakan masyarakat liberal dari yang lebih tradisional. Meski 

ini memang perkembangan yang relatif baru dalam gerakan kebebasan, 

demokrasi liberal tidak menganggap penghinaan terhadap agama sebagai 

landasan absah untuk membatasi kebebasan berbicara. Norma HAM 

internasional sudah menegaskan bahwa hukum hanya melindungi manusia 

nyata (bukan gagasan, keyakinan, nabi, atau Tuhan) dari ancaman nyata 

(bukan hanya perasaan tersinggung, tak peduli seberapa dalam itu). 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 257

Komite HAM PBB menyatakan bahwa, dalam Kovenan Internasional 

tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, hukum tidak boleh melarang ungkapan 

yang menghina suatu agama atau sistem kepercayaan lainnya jika bukan 

merupakan hasutan. Maka tidak boleh jika “larangan semacam itu 

digunakan untuk menghalangi atau memidanakan kritik pemuka agama 

atau komentar mengenai ajaran agama dan prinsip keimanan,” ujar komite 

ini .32

Kasus-kasus kekerasan dari pihak-pihak yang tersinggung makin 

mendesak demokrasi liberal untuk mempertimbangkan kembali 

pembelaan mereka terhadap kebebasan berekspresi. Mempertahankan 

prinsip-prinsip liberal dalam perdebatan yang damai ialah satu hal, tetapi 

ongkosnya membesar saat  para pihak yang geram bersiap melakukan 

pembalasan berdarah.33 Setelah terbunuhnya kartunis Charlie Hebdo oleh 

penembak Muslim di Paris pada Januari 2015, reaksi yang paling cepat 

dan terlihat di Barat yaitu  aksi solidaritas besar-besaran membela hak 

untuk mengkritisi keyakinan orang lain. Namun di tengah barisan “je suis 

Charlie” ini, para penjaga demokrasi menyuarakan keraguan soal apakah 

kebebasan berekspresi harus selalu didahulukan di atas penghormatan 

terhadap agama-agama. Mereka menilai, jenis-jenis ujaran tertentu 

yang dapat memprovokasi kekerasan harus dibatasi demi ketertiban 

umum. Dewan Eropa Bidang Toleransi dan Rekonsiliasi, yang dipimpin 

mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, mengajukan penurunan 

ambang batas intervensi pemerintah.34 Model hukum negara-negara 

Eropa yang dicontohkannya menyoal tekanan “kelompok fitnah”, yang tak 

hanya mencakup hasutan kekerasan tetapi juga usaha-usaha jahat untuk 

menyetankan suatu kelompok, seperti menyebut semua Muslim teroris.35

ada  contoh yang baik untuk mengatasi kelompok fitnah ini dengan 

lebih serius. Fitnah berbasis agama dapat menciptakan sekat budaya yang 

menyisihkan kaum imigran minoritas, terutama di negara-negara—seperti 

di Eropa—yang kebangsaannya dituangkan dalam rumusan etno-linguistik 

atau agama. Masyarakat Barat juga punya alasan untuk membuat beberapa 

penyesuaian: ketidakmampuan mereka untuk menunjukkan sikap terhadap 

penghinaan agama yang tidak terkesan arogan dan Eropa-sentris dapat 

mempengaruhi penerimaan dunia terhadap nilai-nilai yang hendak mereka 

tularkan.36

Akan tetapi, sudah jelas bahwa hukum yang melarang penistaan at

penghinaan biasanya menjadi bumerang. Di India dan Indonesia—yang 

bukan termasuk pelanggar berat pun—kita telah melihat bagaimana 

kepentingan politik menyalahgunakan undang-undang penghinaan agama. 

Para pemimpin di kedua negara tidak hanya memakai  undang-undang 

ini untuk menjaga ketertiban publik, tetapi juga untuk memenangkan 

tujuan politik bersama kelompok agama yang konservatif. Undang-undang 

penodaan agama di Indonesia melindungi ortodoksi agama dari apa yang 

dinyatakan sesat oleh otoritas agama, yang mengakibatkan pelanggaran 

terhadap hak-hak minoritas. Undang-undang Pidana India Bab 295A 

melarang penistaan, dan semua kelompok agama besar mengambil 

keuntungan dari aturan ini. Di antara karya-karya yang dilarang di seluruh 

India yaitu  The Satanic Verses karya Salman Rushdie, Fire karya Deepa 

Mehta, serta Jesus Christ Superstar karya Lloyd Webber dan Tim Rice, 

sebab  masing-masing dianggap menyinggung Muslim, Hindu, dan 

Kristen. Seiring berjalannya waktu, timbul budaya untuk berlomba-lomba 

merasa tersinggung.

Memberi semua kelompok hak yang sama untuk merasa tersinggung 

mungkin masuk akal bagi mereka yang ingin agar penistaan agama dijauhkan 

dari ruang publik; mereka ingin agar ungkapan-ungkapan semacam itu 

dibatasi di ruang-ruang pribadi saja demi terciptanya koeksistensi damai. 

Tapi sebaik apa pun tujuannya, yaitu  naif memakai  hukum semacam 

itu untuk memaksakan sekat budaya. Pendekatan ini  mengasumsikan 

bahwa siapapun yang mengaku sebagai korban penghinaan agama pasti 

beritikad baik, dalam arti melakukan usaha yang tulus untuk melindungi 

diri dari hinaan, dengan semangat kooperatif dan non-agresif. Sistem 

ini  runtuh saat  orang-orang membuat-buat atau merekayasa 

ketersinggungan, dan inilah yang terjadi dalam pelintiran kebencian.

Ingat-ingat lagi beberapa peristiwa yang telah kita bahas, misalnya 

aktivis Muslim yang menuding patung “Tiga Mojang” di Bekasi sebagai 

simbol Trinitas dalam agama Kristen; atau para aktivis Hindu yang 

menyeret M.F. Husain ke pengasingan, mengecam lukisannya yang 

menggambarkan dewi Hindu dalam keadaan telanjang, seolah-olah 

candi kuno menggambarkannya berpakaian lengkap; atau pengusung 

Islamofobia di Amerika Serikat yang menggugat buku pelajaran sebab  

tidak menggambarkan Islam sebagai ideologi yang kejam. Semua itu 

yaitu  contoh ketersinggungan yang dijadikan senjata, di mana mereka 

yang merasa tersinggung menjadi penyerangnya dan mereka yang dituduh 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 259

menyinggung menjadi korbannya. Meski demikian, sulit bagi pemerintah 

sekular untuk membantah kelompok agama yang merasa tersinggung, 

mengatakan bahwa mereka mengada-ada dan sebaiknya mereka pulang 

saja.37 Sekalipun pihak-pihak yang merasa tersinggung tidak punya pijakan 

hukum, para politisi merasa mendapat tekanan politik untuk mendukung 

mereka. Memberi mereka amunisi hukum dan dukungan politik yaitu  

hal yang gila.

Tradisi hukum AS memberikan contoh yang kontras dengan hukum 

yang melindungi kelompok dari penghinaan. Beberapa orang Amerika 

merasa bahwa negaranya terlalu banyak memberi kebebasan untuk 

menyakiti perasaan keagamaan, namun mereka menerimanya sebagai 

pemberian. Posisi Mahkamah Agung jelas, bahwa tak seorang pun 

yang dapat mengandalkan pemerintah untuk melindungi perasaan 

keagamaannya dalam perdebatan publik, sehingga kelompok minoritas 

agama menyalurkan perasaan tersakitinya ke cara lain di luar tuntutan 

penyensoran. Minoritas Muslim di Murfreesboro dan Birmingham 

memilih untuk terus melibatkan diri dengan masyarakat. Yang menarik 

yaitu  kasus Gereja Mormon—satu-satunya lembaga keagamaan yang 

berasal dari negara ini. Meski sering dicemooh di media populer, Church 

of Jesus Christ of Latter-Day Saints, demikian nama resminya, memiliki 

kebijakan untuk tidak menyerukan boikot, sadar bahwa tindakan ini  

justru malah menambah publisitas karya yang dianggap menista. Sebagai 

gantinya, mereka mendesak anggotanya untuk menjadikan provokasi 

semacam itu sebagai kesempatan untuk menunjukkan kematangan, 

martabat, dan kebijaksanaan gereja.38 saat  menanggapi drama 

musikal Broadway The Book of Mormon yang sangat satir, gereja hanya 

mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, “pembuatannya mungkin 

ingin menghibur penonton untuk satu malam, tapi the Book of Mormon 

sebagai kitab suci akan mengubah hidup orang-orang selamanya dengan 

mendekatkan mereka kepada Kristus.”39

Batasan Undang-Undang Hasutan

Meski saya mempertanyakan undang-undang yang melarang penghinaan 

agama, studi saya mendukung undang-undang yang melarang hasutan. 

Tidak ada argumen kebebasan berpendapat yang dapat membenarkan 

pengkhotbah yang menyeru para pengikutnya untuk membunuh orang

Ahmadiyah di Indonesia, atau para aktivis Sangh Parivar yang memantik 

kerusuhan Muzaffarnagar di India, misalnya. Kita tidak bisa mengharapkan 

negara-negara demokrasi untuk bertemu dalam satu standar yang sama. 

AS akan terus menerapkan ambang batas yang tinggi dalam melihat 

potensi dampak kekerasan, sedangkan masyarakat lainnya merasa perlu 

menindak hasutan yang diskriminatif, sejalan dengan norma hak asasi 

manusia internasional. Definisi persisnya akan berbeda antara satu negara 

dengan negara lainnya, dan kita berharap hukum dapat disempurnakan 

berdasarkan pengalaman. Yang penting di sini ialah prinsip umum: negara 

memiliki kewajiban untuk melindungi kelompok-kelompok rentan dari 

ekspresi-ekspresi yang dapat membuat mereka menderita.

Undang-undang yang melarang hasutan memang dibutuhkan, tetapi 

itu saja tidaklah memadai. Langkah-langkah hukum memiliki sejumlah 

keterbatasan. Yang paling kentara yaitu  di banyak negara, institusi-institusi 

gagal menerapkan atau menegakkan hukum yang tertulis. Pengadilan tidak 

terbebas dari tekanan mayoritas—tentunya bukan di AS, yang sebagian 

besar hakimnya di tingkat bawah yaitu  orang-orang terpilih. Sekalipun 

sistem pengadilan melindungi hak asasi manusia, ada banyak kendala yang 

membuat prosesnya berlarut dan ketidakadilan tetap terjadi, seperti yang 

terjadi di India. Sementara itu, polisi gagal menjalankan tugasnya sebab  

mereka sendiri penuh dengan prasangka, atau sebab  mereka korup dan 

kekurangan sumber daya, seperti yang terjadi di Indonesia.

Sadar akan masalah-masalah ini, Rabat Plan of Action PBB pada 2012, 

yang dibahas di bab 2, tidak hanya menjabarkan undang-undang yang 

diperlukan untuk menangani ujaran kebencian, tetapi juga perbaikan 

yang perlu dilakukan di bidang hukum dan kebijakan lainnya untuk 

menunjang undang-undang ini . Di sana disebutkan bahwa negara 

harus menjamin bahwa setiap orang mendapatkan perlakuan yang adil 

dari pengadilan yang kompeten, independen, dan imparsial; bahwa 

pengadilan terus mengikuti perkembangan dalam ketentuan internasional; 

dan bahwa polisi mendapatkan pelatihan mengenai larangan hasutan.40 

Daftar rekomendasi Rabat Plan yang panjang lebar ini membuat pakar 

hukum Eric Posner sangat skeptis terhadap kegunaan traktat-traktat hak 

asasi manusia. Sekalipun negara-negara di kawasan Selatan Dunia bersedia 

memenuhi standar hak asasi manusia internasional, ujarnya, institusi-

institusi pendukungnya terlalu tinggi untuk dicapai, terlebih banyak 

masalah lainnya, seperti pengentasan kemiskinan, masih perlu mendapat 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 261

perhatian. Para pelaku pelintiran kebencian di India, misalnya, mampu 

memanfaatkan celah penegakan hukum di negara ini  yang tegas 

melarang provokasi yang dapat memicu ketegangan komunal. Para politisi 

seringkali bebas melakukan ujaran kebencian tanpa dikenakan hukuman. 

Hasil pemilu pada 2014 akan memberi sinyal kepada politisi-politisi India 

yang tak bertanggungjawab bahwa ujaran kebencian mendatangkan hasil 

yang lumayan.

Tetapi ada  masalah lain dalam pengaturan ujaran kebencian, salah 

satunya berkaitan dengan kesenjangan antara bentuk ujaran kebencian 

yang berlapis dan berjejaring dengan apa yang dapat diatur dengan efektif 

dalam demokrasi. Undang-undang ujaran kebencian berfungsi dengan baik 

saat  penuturnya (A) menyampaikan pesannya (X) kepada pendengarnya 

(B) yang mengincar kelompok sasaran (C); di mana A punya pengaruh 

yang kuat, langsung, dan dekat terhadap B; di mana B berada dalam posisi 

yang jelas dapat membahayakan C; dan saat  X mengandung semua 

elemen yang termasuk hasutan yang disengaja. Selain memiliki tendensi 

yang membahayakan, X harus terdengar ekstrem, melanggar “norma 

saling menghormati di masyarakat.”41 Seperti yang telah kita lihat, ujaran 

kebencian yang paling canggih dan sistematis umumnya tidak datang 

dalam bentuk yang semudah itu. Ini yaitu  aktivitas terdistribusi yang 

dilakukan oleh sindikat, yang serpihan makna kebenciannya dihimpun 

dalam benak pendengarnya, dan para pentolannya menjaga tangan mereka 

tetap bersih. Mengatur ujaran kebencian yang seperti ini ibarat menerapkan 

undang-undang perampokan bersenjata untuk menjerat para penjahat 

kerah putih dan penggelap pasar yang menyebabkan krisis perbankan 

pada 2008. Tapi jika badan pengatur keuangan dapat menjabarkan bentuk-

bentuk pencurian yang canggih, kita tidak mungkin memperluas cakupan 

hukum ujaran kebencian tanpa membatasi kebebasan berekspresi yang 

disyaratkan demokrasi.

Kebebasan Berbicara

Kebebasan berekspresi bukanlah hak yang keramat. Statusnya sebagai hak 

asasi manusia tidaklah menutup kemungkinan untuk menyeimbangkannya 

dengan hak-hak asasi lainnya. Negara-negara demokrasi dapat 

memperdebatkan di mana batasan kebebasan berbicara harus ditetapkan, 

dan pengadilan sesekali dapat membuat penyesuaian. Amerika Serikat,

yang sangat permisif terhadap ujaran ekstrem, mungkin akan terus 

menghasilkan contoh-contoh penyalahgunaan kebebasan yang sulit 

diabaikan oleh negara-negara demokrasi lainnya. Contohnya, Amandemen 

Pertama tidak banyak didukung saat  mengizinkan penyebarluasan musik 

kebencian berisi supremasi kulit putih dan anti-semit, yang menjadi kunci 

perekrutan gerakan Neo-Nazi.42 Serangan yang sengaja memancing kaum 

ekstremis Muslim seperti kontes kartun Nabi Muhammad di Texas pada 

Mei 2015—yang dikutuk New York Times sebagai “bentuk kefanatikan dan 

kebencian” dan “bukan soal kebebasan berbicara”—ialah contoh lain dari 

penyalahgunaan yang mestinya mendorong kaum liberal untuk meninjau 

kembali pendapatnya soal undang-undang kebebasan berbicara.43 saat  

relawan dan imam masjid yang tak bersalah bisa seenaknya dituduh sebagai 

pendukung terorisme, jelas bahwa ada masalah dengan cara Amerika 

Serikat dalam menetapkan batasan kebebasan berbicara. Tetapi, kita juga 

tak dapat mengandaikan begitu saja bahwa rezim yang lebih restriktif akan 

lebih mendukung hak-hak minoritas. Para pengamat seringkali keliru 

memperlawankan kebebasan berekspresi dengan kebebasan beragama dan 

berkeyakinan, seolah-olah penekanan terhadap salah satunya mesti selalu 

mengorbankan yang lainnya. “Keduanya justru saling bergantung dan 

menguatkan,” tegas Rabat Plan of Action. Kebebasan untuk menjalankan 

atau tidak menjalankan agama atau keyakinan hanya dapat terjadi jika 

ada kebebasan berekspresi, terangnya. Sebaliknya, diskursus publik yang 

bebas tergantung pada “penghormatan terhadap keragaman keyakinan 

yang orang miliki.”44

Serangan paling serius terhadap martabat suatu kelompok agama 

selalu disertai dengan pembungkaman anggota-anggotanya. Kelompok-

kelompok yang paling enggan menerima koeksistensi antar-agama 

yaitu  kelompok yang cenderung menuntut sensor negara atau yang 

mengintimidasi minoritas agar bungkam. Vishva Hindu Parishad (VHP) 

di India dan Front Pembela Islam di Indonesia yaitu  contoh klasik dari 

fenomena ini. Gerakan intoleran di Amerika Serikat seperti AFDI dan ACT! 

For America, yang beroperasi dalam lingkup konstitusi yang menjunjung 

kebebasan berbicara, tak terang-terangan menuntut penyensoran. Namun, 

di lapisan yang lebih dalam, mereka mirip dengan FPI dan VHP. Mereka 

memakai  propaganda kebencian untuk menyetankan dan, kemudian, 

membungkam kelompok minoritas sasaran dan juru bicaranya, seperti 

Council on American-Islamic Relations (CAIR). “saat  orang tidak 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 263

diberi ruang untuk berpartisipasi dan dibungkam suaranya, maka masalah, 

pengalaman, dan keluhan mereka pun takkan terlihat, dan mereka akan 

lebih rentan terhadap kebencian, prasangka, dan peminggiran,” demikian 

Prinsip Camden mengingatkan kita.45 Genosida selalu didahului oleh 

pembungkaman kebebasan berbicara, seperti digambarkan dengan tepat 

oleh penyair Jerman Heinrich Heine saat  ia menulis bahwa pembakaran 

buku akan berujung pada pembakaran manusia.

Kebebasan berekspresi juga amat penting bagi para pekerja hak 

asasi manusia, kelompok pemantau kebencian, dan jurnalis investigatif 

yang melawan kekuatan-kekuatan intoleran. Perlu diingat bahwa sikap 

khas Amerika Serikat terkait penodaan yaitu  imbas dari kampanye 

hak-hak sipil, saat  para pegawai negeri memakai  delik fitnah 

untuk membungkam tuduhan yang ditujukan pada mereka. Keputusan 

Mahkamah Agung pada 1964 untuk perkara New Yorks Times Co. v. Sullivan 

yang membatalkan gugatan ini , ditujukan untuk mempermudah juru 

kampanye hak-hak sipil dalam menggugat penyalahgunaan yang dilakukan 

penguasa—yang lagi-lagi menunjukkan bagaimana kelompok minoritas 

yang lemah diuntungkan oleh ruang kebebasan berekspresi yang lebih luas. 

Saat ini, Southern Poverty Law Center, misalnya, diuntungkan oleh tradisi 

ini  saat  menginvestigasi dan mengekspos skandal di kelompok 

penebar kebencian.46

Di India, aktivis hak-hak sipil bergantung pada kebebasan di negara 

ini  untuk melawan narasi BJP mengenai pertumpahan darah di 

Gujarat. “Advokasi memerlukan dokumentasi yang saksama dan sistematis,” 

ujar Cedric Prakash, seorang pendeta Yesuit di Ahmedabad yang bergiat 

di Citizen for Justice and Peace (CJP), organisasi yang dibentuk untuk 

mengupayakan keadilan bagi para korban di Gujarat. “Kita yakin bahwa 

jika kita tidak membeberkan faktanya, tak akan ada yang berubah. Hanya 

itulah satu-satunya senjata yang dimiliki kelompok minoritas kecil seperti 

kelompok kita.”

Pendiri CJP Teesta Setalvad menjadi sasaran intimidasi dan gangguan 

selama bertahun-tahun sebab  kampanyenya yang berusaha menyeret 

Modi dan bawahannya ke pengadilan. Dia merasa pengalamannya akan 

lebih buruk lagi jika India tidak memiliki kebebasan yang ada saat ini. 

“Kita perlu tetap bebas seperti sekarang, tetapi kita juga harus sadar 

bahwa kebebasan ini belum merata bagi semua,” ujarnya. Masalahnya di

India, menurutnya, kelompok-kelompok dominan bisa menghasut dan 

melenggang bebas tanpa dihukum, sementara korbannya mengalami 

pembungkaman. “Masalahnya bukan soal kebebasan belaka, tapi 

bagaimana kita menerapkan kebebasan ini, kepada siapa, di mana, dan 

bagaimana. Apakah kita juga tidak diskriminatif dalam menerapkan 

undang-undang ini?”47 Membatasi kebebasan berbicara di mana-mana 

biasanya lebih merugikan yang lemah ketimbang yang lebih kuat. Di 

manapun demokrasi menetapkan batasan kebebasan berekspresi, garis 

ini  haruslah peka terhadap kuasa—ketimpangan struktural di pasar 

gagasan yang menyulitkan kelompok-kelompok pinggiran untuk bersuara.

Dari Ujaran ke Kesetaraan

Salah satu mitos paling umum mengenai pengaturan penodaan agama 

dan hasutan yaitu  pandangan yang tampak meyakinkan bahwa semakin 

serius masyarakat memperlakukan agama, semakin ketat negara ini  

dalam mengatur ujaran. Negara-negara seperti India, yang sadar betul 

akan riwayat kekerasan komunal yang dialaminya, menerapkan ambang 

batas hukum yang lebih rendah bagi intervensi negara dibanding negara-

negara demokrasi Barat. Mereka seolah mengatur termostat pendingin 

dengan suhu rendah, guna memutus ujaran yang menghina saat dirasa 

menyinggung, ketimbang menunggunya memanas menjadi hasutan. 

Dari sisi ini, kebijakan melarang penodaan agama—termasuk melukai 

perasaan keagamaan, menghina agama, menistakan agama, menghujat 

agama, dan sejenisnya—tampak sebagai langkah yang beralasan di dunia 

yang dibayangi bahaya akibat keberagaman manusia.

Masalahnya, pandangan semacam mengandaikan penghinaan dan 

hasutan tak lebih dari titik berbeda dalam skala tunggal ujaran ekstrem, 

hanya berbeda derajat saja. Mitos ini  terbantahkan saat  kita mengkaji 

bagaimana pelarangan ini  diterapkan di India, Indonesia, dan negara-

negara lainnya di mana undang-undang penistaan dan penghasutan 

bersandingan. Dengan perumpamaan termostat kita akan menduga 

bahwa, dalam yurisdiksi di mana kasus ketersinggungan ringan saja 

dapat membawa-bawa polisi, negara akan menindak juga—dan jauh lebih 

tegas—hasutan ke arah kekerasan. Namun, yang terjadi tidaklah demikian. 

Yang kita lihat, orang terus dituntut atau buku terus disensor sebab  

dianggap melukai perasaan keagamaan, sementara yang lain dibiarkan 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 265

menghasut massa melakukan kekerasan tanpa mendapatkan hukuman. 

Ternyata penghinaan dan hasutan bukan hanya dua ujaran ekstrem yang 

berbeda derajat saja. Keduanya berbeda jenis dan diukur dengan skala 

yang berbeda, yang mencerminkan norma yang juga berbeda. Penghinaan, 

yang secara inheren subjektif, lazimnya diukur dengan seberapa besar 

kemarahan ketersinggungan ditunjukkan. Pihak berwenang melihat 

volume protes sebagai indikator kekacauan atau hilangnya dukungan bagi 

pemegang kekuasaan. Di sisi lain, mereka mengukur hasutan, melalui 

ancaman terhadap keamanan dan kesetaraan kelompok korban. Hasutan, 

dengan efek yang nyata, jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan melalui 

pengujian obyektif oleh pengadilan yang independen.

sebab  diukur dengan skala yang berbeda, pengaturan yang 

ketat mengenai penistaan seringkali bersanding dengan sikap lemah 

terhadap hasutan. Para agen pelintiran kebencian dapat mengambil 

keuntungan dari pengaturan yang berlebihan atas penghinaan untuk 

merekayasa ketersinggungan yang beralasan, sementara di saat yang sama 

mengeksploitasi kurangnya aturan mengenai hasutan untuk melontarkan 

fitnah. Dua pengaturan yang berlebihan dan tidak mempan ini tampak 

paradoks—sampai kita mengamatinya dengan lensa kekuasaan. Barulah 

polanya akan menjadi jelas. Pemerintah menghukum penghinaan guna 

menenangkan kelompok-kelompok kuat yang mengancam akan mencabut 

dukungan politik mereka atau membawa kekecewaan mereka ke jalanan. 

Tetapi pemerintah yang sama akan membiarkan atau bahkan ikut terlibat 

dalam penghasutan apabila target kebencian yaitu  kelompok yang lemah.

Hasilnya yaitu  lingkungan hukum di mana kelompok-kelompok 

dominan dapat melindungi identitas agamanya dari kritikan dan 

memperoleh impunitas saat  melontarkan ujaran kebencian yang 

merugikan kelompok lain. Di sisi lain, kelompok lemah, harus menanggung 

fitnah yang terus meminggirkan mereka, seraya menahan diri untuk 

tidak mengekspresikan identitas dan nilai-nilai yang mereka anut. 

Pendekatan hak asasi manusia berusaha menghindarkan ketidakadilan 

ini dengan melindungi ujaran yang menyinggung dan melarang ujaran 

yang menghasut.

Mendefinisikan Ulang Masalah

Walaupun undang-undang yang melarang hasutan diperlukan, hal itu 

Bab 8266

jarang sekali memadai. Pembela hak asasi manusia paling giat sekalipun 

sangsi akan efektifitasnya. Agnes Callamard, salah seorang pakar paling 

terkemuka mengenai kebebasan berekspresi di dunia, menyatakan bahwa 

sudah saatnya kita meninjau kembali situasi dan opsi yang kita punya. 

“Apakah instrumen hukum ini membawa hasil positif bagi hak atas 

kesetaraan dan pemahaman antar-budaya dan antar-agama?” tanyanya 

terkait maraknya pengaturan ujaran kebencian di Eropa. “Hemat saya, 

semakin cepat kita memahami dan mengakui batasan kriminalisasi atau 

langkah hukum perdata, semakin cepat kita dapat menemukan langkah 

alternatif dan mencurahkan energi, waktu, dan dana untuk hal yang paling 

membutuhkannya.”48

Kasus pelintiran kebencian yang paling buruk—yang menggabungkan 

amarah ketersinggungan dan hasutan untuk menganiaya minoritas—

memerlukan pendekatan yang lebih luas dari sekadar mengatur ujaran. 

Kita memerlukan kebijakan yang secara khusus mendorong kesetaraan hak. 

Sebagaimana telah kita lihat, undang-undang yang melarang penghinaan 

dan hasutan cenderung menjadi alat untuk merepresi saat  diterapkan 

dalam sistem yang tak melindungi kesetaraan. Di masyarakat semacam 

itu, kuasa untuk menetapkan penghinaan tidaklah terdistribusi dengan 

adil. Kelompok yang terampas kebebasan beragama dan berkeyakinannya 

melihat bahwa praktik keagamaan mereka dianggap menghina kelompok-

kelompok dominan, dan mereka menjadi sasaran kebencian.

Sebaliknya, di masyarakat yang memiliki undang-undang anti-

diskriminasi yang kuat, ujaran kebencian tak terlalu menimbulkan bahaya. 

Bila kita melihat undang-undang ujaran kebencian secara sempit, Amerika 

Serikat akan tampak kejam dengan keengganannya untuk melindungi 

kelompok agama dari serangan ganas terhadap keyakinan yang mereka 

junjung. Namun hal itu lebih didasarkan pada Amandemen Pertama 

ketimbang klausul kebebasan berbicara: Amerika Serikat melindungi 

kebebasan beragama dengan Free Exercise Clause (yang menjamin kebebasan 

menjalankan agama) dan Establishment Clause (yang menghindarkan 

pengistimewaan salah satu agama). Kebebasan berbicara berarti bahwa 

penentang pembangunan masjid dapat menunjukkan permusuhannya 

dengan jauh lebih bebas di Amerika Serikat daripada di negara-negara 

lainnya. Tetapi kebebasan beragama berarti bahwa, terlepas dari semua 

itu, umat Muslim di Amerika Serikat dapat lebih yakin dibanding umat 

Kristiani di Indonesia bahwa pihak berwenang akan membela mereka dari 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 267

serangan massa dan membolehkan mereka untuk membangun rumah 

ibadahnya.

Contoh lainnya yaitu  isu terkait pakaian keagamaan. Pada Juni 

2014, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia tak menemukan 

kesalahan dari larangan pemerintah Perancis terhadap penutup wajah 

di tempat-tempat publik, yang digugat oleh seorang Muslimah yang 

tinggal di negara itu.49 Sementara itu, seorang Muslimah muda di 

Amerika Serikat menggugat perusahaan pakaian Abercrombie & Fitch 

yang menolak mempekerjakannya sebab  ia berkerudung. Kasusnya 

kemudian ditangani oleh badan pemerintah bernama Equal Employment 

Opportunity Comission. Pada 2015, Mahkamah Agung AS memenangkan 

sang Muslimah dengan margin 8-1, untuk menggugat kerugian atas 

pelanggaran perusahaan ini  terhadap Civil Rights Act (Undang-

Undang Hak Sipil) 1964, yang melarang diskriminasi atas nama agama 

dalam keputusan perekrutan pekerja.50 Sikap tak acuh pengadilan 

Amerika terhadap penistaan agama seharusnya tidak dirancukan sebagai 

ketidakacuhan terhadap hak minoritas agama.

saat  negara melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan 

warganya tanpa terkecuali atau tanpa diskriminasi, kelompok agama 

minoritas tidak terlalu khawatir dan geram saat  mendapatkan ujaran 

yang menghina. Ditinjau secara lebih holistik, kebijakan anti-diskriminasi 

yang efektif mungkin dapat mengganti-rugi penghinaan terhadap identitas 

suatu kelompok. Penghinaan tetap merupakan persoalan yang perlu 

diperhatikan, tapi kita dapat lebih realistis dalam menyusun kebijakan, 

meninggalkan usaha-usaha pengekangan yang sia-sia, mendorong solusi 

hukum yang dapat diberlakukan, dan lebih berfokus kepada langkah-

langkah sipil dan politik yang meminggirkan ujaran kebencian dari arus 

utama. Seringkali hanya inilah yang diminta kaum minoritas: sinyal yang 

jelas bahwa sikap gegabah dan tak menghormati itu tidak diterima di 

ruang publik, sekalipun sikap ini  tak mungkin atau bahkan tak perlu 

dihapuskan seluruhnya setelah dipinggirkan. Intervensi hukum yang tegas 

dapat diarahkan untuk menjunjung nilai kesetaraan dalam demokrasi demi 

menghalau diskriminasi yang tidak adil atas dasar agama atau penanda 

identitas lainnya.

Para cendekiawan dan aktivis yang menggeluti masalah intoleransi 

agama jarang sekali membahas potensi hukum anti-diskriminasi dalam 

Bab 8268

membatasi efek ujaran kebencian. Perdebatan kebijakan lebih cenderung 

mengarah pada pengaturan mengenai berekspresi—mungkin sebab  

kita hidup di era komunikasi, di mana gambaran mengenai intoleransi 

lebih menarik perhatian kita daripada ketimpangan struktural. Tapi, 

membela hak-hak kelompok agama dari diskriminasi yang tak adil akan 

lebih banyak mendatangkan maslahat bagi mereka dalam jangka panjang 

ketimbang melindungi mereka dari penistaan. Boleh jadi kemarahan 

terhadap provokasi kartun Jyllands-Posten dan Charlie Hebdo, misalnya, 

lebih dipicu oleh ketidakadilan diskriminasi terhadap imigran Muslim di 

Eropa ketimbang oleh penghinaan yang ditujukan kepada Nabi.

saat  kelompok agama minoritas dapat mengandalkan tatanan 

konstitusi yang melindungi kesetaraan, mereka punya lebih banyak 

insentif untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai politik dominan. Di 

Amerika Serikat beberapa kelompok minoritas, seperti Amish, memilih 

untuk mengucilkan diri. Tapi kebanyakan minoritas agama di Amerika 

rela menjalani semacam akomodasi yang oleh seorang ahli agama Eric 

Mazur diistilahkan sebagai “Amerikanisasi.” Adaptasi semacam itu tentu 

ada ongkosnya, termasuk merelakan otoritas tertinggi di negara sekular 

untuk mengatur masalah-masalah duniawi serta menerima norma-

norma pluralisme dan keadaban, namun pada akhirnya hal itu membawa 

kemaslahatan berupa penerimaan penuh dalam keluarga Amerika.51

Kaum Muslim Murfreesboro dan Birmingham di Selatan Amerika 

berada dalam tradisi ini . Tiang bendera di luar masjid setara 

tingginya dengan kubah mereka, dan, seperti gedung-gedung gereja di 

Amerika, mereka mengibarkan bendera negara, the Stars and Stripes. 

Bagi imam Murfreesboro, Ossama Bahloul, bentuk kesetiaan semacam 

itu lebih dari sekadar kosmetik. Dalam TEDx Talk di Nashville setelah 

sengketa masjidnya usai, Bahloul berbicara tentang keyakinannya yang tak 

tergoyahkan pada masyarakat Amerika kebanyakan dan pada Konstitusi 

AS. Beberapa keputusan pemerintah lokal di Rutherford County merugikan 

proyek Masjid ini, tetapi kebebasan beragama pada akhirnya menang. Dia 

mengaku sempat terheran-heran sebagai orang dari Timur Tengah, duduk 

di pengadilan Amerika untuk pertama kalinya, melihat para pengacara 

negara memperjuangkan Rutherford County di pihak Muslim.52

Aksi tegas negara dalam membela kesetaraan seperti inilah yang paling 

efektif menangkal propaganda kebencian, dan mendorong kelompok 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 269

minoritas agar tetap berada dalam koridor hukum.

Kaum Muslim arus utama di Amerika Serikat dapat berharap kepada 

rekam jejak negara ini dalam merangkul berbagai kelompok minoritas—

kulit hitam, Irlandia, Yahudi, Katolik, dan lainnya—sebagai sumber 

inspirasi. Bagi Corey Saylor dari Council on American-Islamic Relations, 

pengalaman orang-orang Jepang di Amerika sangatlah menginspirasi. 

Mereka begitu terdiskriminasi saat  Jepang berperang dengan Amerika 

Serikat, tapi mereka kemudian dapat diterima dalam hitungan dekade 

saja. “Ya, itu memang sulit, tapi saya yakin bahwa nanti juga Islam akan 

dianggap tak lebih dari agama lain yang biasa-biasa saja di Amerika.”53

Menuju Pluralisme Asertif

Di buku ini saya sudah mewanti-wanti untuk tidak terlalu mengandalkan 

hukum dalam mengatur ekspresi penghinaan dan mengembangkan budaya 

toleransi. Seperti yang telah saya tekankan di bab 7, penanggulangan 

intoleransi agama perlu melibatkan peran media yang punya tanggung 

jawab sosial, organisasi kemasyarakatan yang progresif, serta perlawanan 

publik terhadap muslihat para provokator. Tapi sarannya sering kali 

hanya berhenti di sana—dan pemerintah tidak dipersoalkan. saat  

membahas soal penanganan propaganda kebencian, kebanyakan 

pengamat memakai  kategori biner antara melindungi pendapat dan 

memidanakan pendapat, mengabaikan opsi kebijakan publik lainnya.54 

Sekalipun kampanye kebencian tidak dapat dilarang, tidak berarti pejabat 

pemerintah boleh angkat tangan. Negara setidaknya harus menunaikan 

kewajiban utamanya untuk memastikan keamanan bagi warganya. 

Perdebatan filosofis seputar definisi dan pengaturan ujaran kebencian tidak 

boleh mengaburkan kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya 

dari kejahatan kebencian dan jenis kekerasan massa yang terus meneror 

kelompok rentan di seluruh dunia. Negara perlu melindungi kelompok-

kelompok yang terancam bahaya, melalui kebijakan anti-diskriminasi dan 

dengan penegakan hukum.

Negara-negara yang telah siap melakukan perubahan konstitusional 

juga dapat mempertimbangkan arsitektur yang mampu mengurangi 

insentif bagi para politisi yang sedang berkompetisi untuk merekayasa 

kebencian berbasis kelompok. Keberagamaan sendiri bukanlah masalah 

bagi demokrasi. Masalahnya hanya muncul saat  politik diorganisir 


berdasarkan perbedaan agama, dan saat  loyalitas keagamaan yang 

eksklusif dikonversi menjadi sumber daya politik. Pada titik itu, urusan 

iman menjadi sangat memecah belah dan merusak. Untuk melawan 

kecenderungan ini , sistem pemilihan dapat Indonesia menyajikan 

contoh positif dari pendekatan ini dirancang untuk mendesak politisi 

agar menarik dukungan dari berbagai kelompok budaya, sehingga dapat 

membatasi atau melemahkan politik yang eksklusif.55

Indonesia memberi satu contoh positif sehubungan dengan pendekatan 

ini. Gencarnya desentralisasi di Indonesia tidak mengakibatkan politik 

etnis yang destruktif seperti di Yugoslavia, sebagian sebab  para pihak yang 

ingin berkompetisi dalam pemilihan di daerah diharuskan cukup dikenal 

di tataran nasional, yang mencegah mereka untuk hanya mengandalkan 

identitas etnis lokal.56 Sistem pemilihan di Singapura mengharuskan 

partai politik untuk punya daftar calon yang multi-etnis jika mereka 

ingin memenangkan kekuasaan, menutup kemungkinan munculnya 

pemerintahan seperti BJP—sekalipun hanya kurang satu anggota parlemen 

dari kelompok minoritas terbesar di sana.

Ketentuan struktural semacam itu boleh jadi dikritik sebab  membatasi 

pilihan dari sisi persediaan dan permintaan di dalam pemilihan. Namun, 

setiap demokrasi menyesuaikan sistemnya untuk mengatasi risiko 

perpecahan nasional, bahkan jika itu harus mencampuri prinsip satu 

orang satu suara. Wilayah geografis umumnya mendapat perwakilan yang 

tak proporsional dengan jumlah populasinya. Sebagai contoh, California 

yang penduduknya 37 juta dan Wyoming yang penduduknya setengah juta 

sama-sama mendapat jatah 2 persen di Dewan Perwakilan Amerika Serikat. 

Tidak menutup kemungkinan bagi suatu negara untuk menyesuaikan 

sistem pemilihannya untuk menanggulangi risiko politik identitas, sama 

seperti yang mereka lakukan untuk mencegah agar daerah-daerahnya 

tidak memisahkan diri.

Negara juga punya instrumen lain. Mereka dapat memberikan atau 

tidak memberikan patronase serta mengerahkan kekuasaan simbolik 

dan administratifnya. Pemerintah federal Kanada membagikan jutaan 

dolar setiap tahunnya untuk proyek-proyek yang mendukung agenda 

multikulturalismenya.57 Selain itu, investasi yang lebih besar juga diberikan 

“untuk meningkatkan partisipasi minoritas di institusi-institusi utama 

Kanada agar keberagaman di institusi ini  menjadi bagian yang 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 271

wajar, normal, dan positif dalam pembuatan keputusan, alokasi sumber 

daya, dan penentuan prioritas,” tulis sebuah laporan.58 Amerika Serikat 

jauh lebih laissez-faire ketimbang Kanada dalam pendekatannya terhadap 

keberagaman, tapi larangan Amandemen Pertama terhadap diskriminasi 

dalam pengaturan diskursus publik tidak mencegah negara untuk 

mengambil sikap terkait isu-isu seperti intoleransi dan rasisme, seperti 

ditunjukkan Robert Post, Dekan Yale Law School. Pemerintah AS berulang 

kali menegaskan prinsip kesetaraan dan toleransi. “Lihatlah perangko dan 

monumen kami. Lihatlah ekspresi para pejabat Amerika mengenai masalah 

ras dan toleransi. Lihatlah peraturan dan regulasi yang diberlakukan di 

militer, institusi pemerintah, kontraktor, dan seterusnya,” lanjut Post. 

“Jangan merancukan negara Amerika sebagai negara yang netral.”59

Jika para pejabat pemerintah, bahkan di negara demokrasi liberal, 

memiliki keleluasaan untuk mengambil sikap politik dan administratif 

yang tegas terhadap intoleransi agama, maka tak ada alasan bagi mereka 

untuk tidak melakukannya. Undang-undang kebebasan berbicara boleh 

jadi menghalangi mereka untuk menyensor atau menghukum ujaran 

kebencian di ruang publik, tetapi itu tidak menghalangi para pejabat 

untuk mengutarakan ujaran tandingan. Pluralisme asertif mengharuskan 

para pemimpin di negara demokrasi untuk membela mati-matian hak 

warganya untuk berbicara—tapi juga untuk menyatakan sanggahannya 

sendiri saat  ada pendapat yang mendorong intoleransi. Pemerintah yang 

tidak mengambil tindakan demikian akan terkesan abai memperhatikan 

identitas keagamaan warganya. Inilah kegagalan politik di balik kontroversi 

kartun Jyllans-Posten pada 2005. Kejadiannya mungkin akan berbeda jika 

Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen menanggapi positif 

permintaan pertemuan dari utusan negara-negara Muslim.60 sebab  terlalu 

sibuk mengurusi persoalan legal dan konstitusional, ia luput memakai  

ruang politik yang tersedia baginya.61

Kekeliruan semacam itu akan menjadi sangat serius di masyarakat 

dengan supremasi hukum yang lemah. Tidak adanya sinyal yang jelas 

dari pemerintah dapat diartikan sebagai kelonggaran terhadap pelanggar. 

Di Indonesia, pakar keamanan Sidney Jones menyalahkan pemerintahan 

Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sebab  tidak memakai  

kekuasaannya untuk mengecam intoleransi.62 Mereka malah membiarkan 

para pengkhotbah radikal menyebarkan pesannya di sekolah-sekolah 

negeri, misalnya. Meski kekuasaan pemerintah pusat di negara yang 

sangat terdesentralisasi memang terbatas, tapi presiden Indonesia dan 

para menterinya masih punya berbagai sarana yang dapat mereka gunakan 

untuk mendorong budaya toleransi dan menyisihkan kelompok garis-keras 

di pinggiran kehidupan publik, ucapnya.

Alasan utama kegagalan kepemimpinan demokratis semacam itu cukup 

jelas. Dalam beberapa situasi, seperti dicontohkan Narendra Modi dan BJP, 

kekuatan-kekuatan intoleran sudah merebut kekuasaan. Mereka sendiri 

yaitu  masalah, dan tak dapat diharapkan untuk memberi solusi. Dalam 

kasus lain, seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Barack Obama, dan Aung 

San Suu Kyi, para pemimpin mungkin seperti terpenjara oleh opini publik 

dan tak mampu mengerahkan modal politik dari konstituen yang terbatas 

pengaruh politiknya.

Persoalan mereka mencerminkan dilema utama di balik pelintiran 

kebencian. Judul buku ini menggambarkan pelintiran kebencian 

sebagai ancaman bagi demokrasi. Tetapi itu juga merupakan bahaya 

yang ditimbulkan oleh demokrasi. Tentu bukan demokrasi sebagaimana 

mestinya, tetapi demokrasi cacat yang mengutamakan kehendak orang 

banyak di atas hak individu. Ini yaitu  suara demokrasi minus nilai 

demokrasi, memberdayakan banyak orang, tapi menutup mata terhadap 

ketidakadilan yang menimpa segelintir orang. Masyarakat demokratis 

mestinya tidak hanya tahu soal hak untuk memilih pemerintahnya saja, 

tapi juga paham akan syarat-syarat pokok dari kehidupan demokratis, 

termasuk nilai-nilai toleransi dan saling menghormati. Nilai-nilai ini  

akan sulit berkembang di masyarakat yang sudah diliputi ketakutan dan 

kebencian terhadap “yang lain.” Di sana, institusi yang diharapkan dapat 

menanamkan nilai yang benar—keluarga, sekolah, organisasi keagamaan, 

dan media—malah menanamkan kebencian dan fanatisme.

Terlebih para penyebar intoleransi keagamaan umumnya sudah 

meyakini superioritas moral dari ideologi jualannya. Manusia sudah 

menghasilkan aturan-aturan sosialnya jauh sebelum adanya hak asasi 

manusia modern. saat  menghadapi masalah sosial, tampaknya wajar 

dan benar untuk mengacu kepada tuntunan kelompok, yang seringkali 

didasarkan pada ajaran keagamaan. Jadi tidak heran jika banyak 

warganegara yang lebih tertarik kepada supremasi identitas daripada 

supremasi hukum yang menafikan budaya.

Kekeliruan fatal dalam pemikiran ini ialah gagal mempertimbangkan 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 273

fakta kemajemukan manusia. Bagi beberapa orang, kemajemukan 

ini  yaitu  ciri utama peradaban manusia; bagi yang lain, tuntutan 

untuk mengakomodasi perbedaan yaitu  kutukan globalisasi. Tapi 

menyangkalnya bukanlah sebuah pilihan. Masyarakat yang dari luar 

tampak homogen sekalipun tidak pernah demikian; mempertahankan 

mitos homogenitas pada akhirnya akan melibatkan ketidakadilan dan 

paksaan. saat  masyarakat bersandar pada ketentuan masyarakat 

tradisional dalam menyelesaikan perbedaan, mereka telah merancukan 

komunitas dengan bangsa. Bangsa bukanlah komunitas; ia yaitu  “pasar 

tempat komunitas-komunitas,” seperti dikatakan Post, di mana setiap 

komunitas punya “cara-cara masing-masing dalam menentukan mana 

yang patut dan tak patut, mana kritik dan mana kebencian.”63

Dengan heterogenitas ini , ada godaan untuk mendasarkan 

identitas dan norma nasional pada nilai-nilai bersama yang dimiliki 

berbagai komunitas. Pendidikan kewarganegaraan juga memang bertujuan 

menunjukkan landasan bersama ini kepada para siswa. Tetapi, dalam 

menyelesaikan sengketa antar-komunitas, nilai-nilai bersama yang 

tradisional hanya bisa sejauh itu saja. Tak ada komunitas yang akan senang 

membatasi ungkapan nilai-nilainya menjadi denominator bersama yang 

paling rendah. Beberapa praktik dan kepercayaan yang dianggap penting 

bagi sebuah komunitas mungkin akan dianggap tidak selaras oleh praktik 

dan kepercayaan yang lain.

Pertanyaannya, kemudian, ialah bagaimana menyikapi perbedaan 

yang tak tereduksi ini. Kompromi tidak terhindarkan, dan kecuali kita 

siap hidup dengan ketidakadilan dan risiko konflik kekerasan, semua 

itu perlu dinegosiasikan melalui sistem yang kompatibel dengan realitas 

kemajemukan. Darah dan kedudukan tak dapat mengalahkan hukum. 

Itulah mengapa bangsa-bangsa memerlukan tatanan konstitusional yang 

kompatibel dengan hak asasi manusia modern, untuk melindungi hak sipil 

dan politik setiap individu, termasuk kebebasannya untuk berekspresi, 

beragama, dan berkeyakinan. Kerangka hak asasi manusia mungkin 

mencerminkan kecenderungan kultural negara-negara Barat sekular, 

seperti yang sering dikatakan para pengkritiknya. Tetapi, sampai saat ini, 

kita belum menemukan jalan lain yang lebih baik untuk menyelesaikan dan 

mengatur ketegangan seputar ujaran keagamaan di dunia yang heterogen.64

Cara berpikir yang lebih tradisional berlaku di banyak negara, termasuk 

di negara-negara demokrasi Barat. Gejolak berkepanjangan di masyarakat 

Eropa tampaknya sebagian disebabkan oleh cara pandang terhadap 

identitas nasional—yang biasanya dikaitkan dengan hal-hal seperti darah, 

etnis, dan agama, yang tidak dipunyai oleh kebanyakan pendatang dan 

pengungsi.65 Di negara yang sudah terpolarisasi berdasarkan agama, 

agar siklus ini  dapat diputus perlu pemimpin berani yang mampu 

membuka pikiran orang-orang akan persatuan dalam keberagaman: 

pemimpin seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan Nelson 

Mandela. Tapi seorang Gandhi sekalipun tak pernah bisa menghapus 

sektarianisme, dan bahkan dibunuh sebab nya, seperti juga King. Afrika 

Selatan bahkan tak perlu menunggu Mandela wafat sebelum terjerumus ke 

dalam Xenophobia. Pemimpin karismatik dan pemersatu dapat merintis 

siklus yang bernilai luhur, namun tanpa pembaruan dan pelembagaan yang 

berkelanjutan, warisan mereka tak akan bertahan lama.

Kerangka hukum yang melindungi kebebasan dan kesetaraan warga 

mesti ditegakkan dengan nilai-nilai kewargaan yang sensitif terhadap 

realitas kemajemukan. Ini termasuk mengasah apa yang disebut Martha 

Nussbaum sebagai symphatetic imagination, mata batin yang membuat 

seseorang melihat orang lain sebagai manusia seutuhnya, dengan segala 

cita-cita dan ketakutannya.66 Ini juga termasuk mendorong orang untuk 

menyadari bahwa mereka “berbeda dalam berbagai hal,” seperti kata 

Amartya Sen.67 Orang tidak hanya berbeda dalam hal agama. Mereka juga 

memiliki identitas ras, bahasa, bangsa, daerah, kelas, kasta, pekerjaan, 

gender dan generasi ditambah kedekatan dengan berbagai lokalitas, 

sekolah, selebriti, dan tim sepak bola. Hal ini tampak mempersulit upaya 

membangun solidaritas sosial namun, tapi juga bisa sebaliknya. Dengan 

berbeda dalam berbagai hal berarti akan selalu ada hubungan yang 

dapat diaktifkan di antara anggota-anggota komunitas yang tampak 

antagonis. Tetapi para agen pelintiran kebencian sangat lihai membuat 

orang melupakan ikatan ini dan menonjolkan salah satu penanda identitas 

utama yang sarat emosi, hanya sebab  ia lebih mudah dimobilisasi.68 Insting 

dasar orang-orang kemudian digunakan “untuk menggantikan kebebasan 

berpikir.”69

Proyek pluralisme asertif menuntut kejelasan tujuan yang dapat 

menyaingi mitos sederhana kita-lawan-mereka yang disebarkan para 

propagandis kebencian. Kalangan liberal lebih memilih untuk tidak 

membungkam setiap suara intoleran, meski begitulah kalangan intoleran 

Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 275

memperlakukan lawan ideologisnya. Tapi toleransi liberal tak perlu sampai 

menjadi relativisme moral yang melemahkan. Pluralisme asertif dapat 

dibangun di atas pandangan yang kokoh bahwa tatanan konstitusional 

yang multikultur dan melindungi kesetaraan lebih unggul daripada cara-

cara pengorganisasian negara-bangsa yang mengistimewakan salah satu 

identitas agama atau budaya di atas identitas yang lainnya. Para pengusung 

masyarakat yang eksklusif dan absolut itu keliru.

Pluralisme asertif tidak menafikan identitas keagamaan seseorang, 

tetapi ia menuntut agar orang-orang tak menyangkal keberagaman di 

sekitarnya. Ia tidak menggugat kedudukan agama yang dibenarkan dalam 

kehidupan publik negara demokrasi atau menyepelekan kebutuhan para 

penganutnya untuk dihormati. Namun ia menentang keras pandangan 

bahwa legitimasi dan penghormatan ini  hanya dapat diperoleh 

satu agama saja, dan mengesampingkan keyakinan lain yang lebih kecil. 

Tidak ada manusia, apalagi masyarakat, yang dapat didefinisikan oleh 

satu identitas tunggal. Akan tetapi, begitulah para entrepreneur politik 

memperdaya ratusan juta warganegara, untuk memperbesar kekuasaannya. 

Pelintiran kebencian menjadi strategi yang sangat ampuh bagi kaum 

oportunis itu—tapi ia masih dapat dimentahkan, dengan keyakinan dan 

kegigihan.***