an mewujudkan cita-cita jutaan penganut Hindu yang
ingin lebih serius memaknai identitas Hindunya.
Situasi di Indonesia sangat berbeda dengan India. Kelompok Muslim
absolutis yang mengkhotbahkan intoleransi dan eksklusivitas tidak
mendominasi, apalagi memonopoli, ruang publik Muslim. Seperti
Hinduisme India, Islam di Indonesia tidak hanya memiliki pengaruh
yang beragam, tapi juga berbagai organisasi yang beragam. sebab nya,
religiusitas Muslim di Indonesia menyebar ke berbagai arah, termasuk
kepada dukungan terhadap nilai-nilai demokratis. Kelompok absolutis
tidak dapat menyeru umat Muslim dengan lebih meyakinkan dari gerakan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang lebih mewakili arus utama.
Begitu pun di AS, organisasi Kristen dan Yahudi juga kuat menentang
sesama umatnya yang terlibat dalam industri Islamofobia. Tak heran jika
yang paling lantang yaitu kelompok yang lebih liberal, yang memiliki
sejarah kerja sama lintas-iman dan dukungan terhadap hak asasi manusia.
Salah satu contohnya yaitu National Religious Campaign Against
Torture (NRCAT), sebuah koalisi lintas-iman yang didirikan pasca-
skandal pelecehan di penjara Abu Ghuraib. Pada 2010, NRCAT bergabung
dengan kelompok keagamaan dan denominasi lainnya untuk memulai
kampanye nasional bernama “Shoulder-to Shoulder” dengan misi khusus
melawan kebencian anti-Muslim. Tara Morrow, direktur NRCAT dan calon
pendeta di Serikat Gereja Metodis, melihat masuknya Kristen konservatif
ke dalam ruang ini sebagai pertanda yang menjanjikan.84 Contohnya,
New Evangelical Partnership for the Common Good, sebuah kelompok
sempalan dari kelompok agama sayap kanan, menjadikan dialog Kristen–
Muslim sebagai bagian utama agendanya.85
Perlawanan terhadap Islamofobia baru-baru ini membuat terobosan
di Alabama, saat presiden dari Christian Coalition of Alabama (CCA,
Koalisi Kristen Alabama), Randy Brinsin, muncul sebagai pengkritik keras
peraturan anti-Syariah. Meski negara bagian meloloskan Amandemen
Pertama, dia berhasil memasukkan pesan alternatif dalam diskursus
konservatif.86 Brinson, seorang ahli gastroenterologi, punya kedudukan
di kelompok agama sayap-kanan. CCA yang dia pimpin yaitu salah satu
jaringan Injili terbesar di Alabama. Dia juga mengepalai Redeem the Vote,
sebuah organisasi nirlaba yang dia dirikan untuk menggalang agamawan
muda dalam proses politik. Keterlibatannya dalam kampanye anti-Syariah
menggambarkan salah satu poin utama buku ini, bahwa keyakinan
keagamaan belaka tidak menentukan pandangan seseorang dalam
spektrum antara pluralisme dan intoleransi. Meski menggandrungi politik,
Brinson tidak mencalonkan diri sebagai pejabat atau pun mendukung
politisi tertentu. Dia mengaku lebih suka dipandu oleh nurani, dan dia
mengecam pejabat yang berbicara atas nama Kristen sayap-kanan, namun
mendukung tembakau, alkohol, dan perjudian, yang berlawanan dengan
nilai-nilai Kristen. “Saya ingin dikenal sebagai penyampai kebenaran yang
adil,” ujarnya saat mengkritik undang-undang anti-Syariah. “Kita harus
menunjukkan semangat sejati yang menjadikan Amerika hebat.”87
Morrow dari NRCAT melihat organisasi Kristen melawan kampanye
Islamofobia sebab berbagai alasan. NRCAT mendekati persoalan ini dari
perspektif hak asasi manusia. “Kami tegas melawan segala hal yang anti-
Muslim,” ujarnya. Kelompok lain bergabung dalam perlawanan ini
sebab tidak nyaman dengan dampak yang dapat ditimbulkan Islamofobia
terhadap kebebasan beragama mereka. Argumen ini dikemukakan di
media konservatif. “Jika kamu menghargai kebebasan beragamamu
sendiri, kamu harus melindungi kebebasan beragama orang lain yang
terancam,” tulis guru besar hukum dari Universitas Princeton, Robert P.
George, mantan kepala US Commision on International Religious Freedom
(Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat). “Preseden
yang dibuat oleh orang-orang seperti di Murfreesboro, Tennessee, yang
memusuhi Islam dan melihatnya sebagai kekuatan jahat, dimanfaatkan
Melawan Melalui Media dan Masyarakat Sipil 241
orang-orang seperti di San Francisco yang memiliki sikap yang sama
terhadap Katolik.”88 Dalam tulisannya di National Review, Matthew Schmitz
juga menilai “keliru besar” jika kelompok konservatif bergabung dengan
kelompok anti-Syariah, sebab hal itu akan melemahkan posisi mereka
saat menghadapi tantangan terhadap kebebasan beragama mereka
sendiri. “Para fanatik anti-Muslim dan pengikutnya mesti terus ditentang
oleh rakyat Amerika yang menghargai suara agama dalam ruang publik
dan yang percaya bahwa semua warga Amerika setara di depan hukum,
yang beragama maupun tidak beragama, Kristen, Muslim, atau Yahudi,”
ujarnya
Pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa komitmen umum
kepada inklusi dan kesetaraan dapat menjadi salah satu cara paling efektif
untuk melawan efek eksklusioner dari pelintiran kebencian berbasis agama.
Jika negara dilarang mendiskriminasi keyakinan—yang merupakan akibat
dari Establishment Clause dalam Amandemen Pertama—maka batasan
bagi satu agama akan menjadi batasan untuk semua agama lain. sebab
itu, semua kelompok agama berkepentingan untuk melawan fanatisme
dan melindungi hak kelompok agama lain. Seorang penganut agama
konservatif secara pribadi dapat meyakini bahwa agamanya yaitu satu-
satunya jalan menuju Tuhan, dan yang lainnya berada dalam cengkeraman
setan. Meski begitu, mereka tidak dapat melanggar hak orang-orang yang
berbeda keyakinan untuk mengamalkan dan mengekspresikan agamanya,
sebab pelanggaran ini dapat menimpa keyakinannya sendiri. sebab
itu, perlindungan konstitusi yang kuat terhadap kebebasan beragama dan
kesetaraan dapat mengubah kelompok doktriner di antara kaum mayoritas
sekalipun untuk menjadi pembela hak-hak minoritas untuk hidup bebas
dari diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan. Inilah tema yang akan saya
kaji berikutnya di bab terakhir.***
243
Demokrasi dianggap mampu memperbaiki dirinya sendiri. Dengan
mengekang para pemimpin lewat kompetisi dan membiarkan warga
berdebat dan mengorganisir diri, demokrasi dianggap memiliki
kecenderungan bawaan untuk merusak diri secara kreatif dan nirkekerasan,
sehingga mereka dapat belajar dari kesalahan, menyesuaikan diri, bangkit
kembali, dan tetap stabil. Jika teori ini benar, ada alasan untuk
berharap bahwa kekuatan-kekuatan intoleran tak akan menang. Akal sehat
akan menyelamatkan bangsa-bangsa dari ambang keterpurukan yang dapat
berujung pada kekerasan antar-agama. Penjelasan Amartya Sen tentang
kelaparan boleh jadi berlaku juga untuk genosida: hal itu tidak akan terjadi
di negara-negara demokrasi, sebab ketidakadilan masif yang menelan
korban nyawa hanya mungkin terjadi di negara-negara di mana informasi
tersendat dan para penguasa tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.
Tiga negara demokrasi besar yang dibahas dalam buku ini menunjukkan
beberapa tanda adanya koreksi-diri ini . Di India pada 2015, BJP
mengalami kekalahan telak dalam pemilihan umum di Delhi dan negara
bagian Bihar. Agenda Hindu nasionalis Narendra Modi ternyata terhambat
oleh ketegangan di dalam Sangh Parivar, serangan balik partai-partai
regional, dan, terutama, tantangan untuk mewujudkan janji-janji kampanye
di masa pemilihan dan memenuhi harapan rakyat kebanyakan. Demokrasi
Indonesia yang jauh lebih muda juga terbukti lebih tangguh daripada
yang dikhawatirkan banyak orang. Para pemilih berulang kali menolak
partai politik Islam yang mengancam sistem sekular dan majemuk di
Indonesia. Kemenangan Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014,
usai menundukkan Kelompok Muslim garis-keras, juga menunjukkan
keterbatasan pengaruh radikal. Di Amerika Serikat (AS), retorika politisi
anti-Muslim dan bentuk fanatisme lainnya menarik perhatian sebagian
kalangan, tapi umumnya ditolak oleh mayoritas warga.1
Meski kebanyakan warga memilih pemimpin moderat, tapi masalahnya
lebih terkait dengan kesehatan demokrasi daripada hasil pemilihan umum.
Kita juga harus mempertimbangkan “kualitas demokrasi”—faktor-faktor
yang meliputi budaya politik penunjang yang menjunjung “partisipasi,
kesetaraan dan martabat seluruh warganegara,” dan yang menyiratkan
“toleransi terhadap perbedaan politik dan sosial, serta pengakuan kelompok
dan individu bahwa orang lain (termasuk pihak musuh dan pihak yang
lebih lemah) juga memiliki hak yang sama menurut hukum.”2
Di ketiga negara yang dikaji, kampanye pelintiran kebencian yang
berkelanjutan telah menurunkan dimensi-dimensi dari kualitas demokrasi
ini . Pembicaraan yang meminggirkan kelompok minoritas telah
dianggap wajar dalam diskursus politik arus utama, sehingga mengancam
status kaum minoritas sebagai warganegara yang punya hak yang sama untuk
berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi di negara yang bersangkutan.
Di beberapa kasus ekstrem—seperti korban pengungsi akibat kekerasan
agama di India dan Indonesia—sebagian warganegara bahkan benar-benar
telah tercabut haknya. Di tengah penentangan terhadap hak jemaat Kristen
di Bekasi untuk membangun gereja, atau pengusiran terhadap kelompok
Ahmadiyah, ada sedikit pelipur sebab ekstremisme keagamaan yang
menyasar mereka tidak dapat memenangkan kekuasaan melalui pemilu.
Saya tetap berpandangan bahwa kita masih dapat mengandalkan
sistem demokrasi—tetapi hanya selama warga dan negara tahu bahwa
pencapaian tujuan sosial melalui demokrasi ialah proses yang memerlukan
komitmen aktif dan berkelanjutan. Ini tidak terberikan secara ontologis.
Beberapa musuh utama demokrasi pluralistik mengaku beriman kepada
Tuhan, namun perolehan politik yang mereka raih berasal dari keyakinan
yang sama kuatnya bahwa Tuhan menolong mereka yang menolong
dirinya sendiri. Kaum demokrat perlu menunjukkan kombinasi yang
serupa antara keyakinan kepada teori dengan kehendak untuk beraksi.
Mereka mesti mengerahkan sumber daya hukum, politik, sosial, dan
budaya untuk memerangi pelintiran kebencian. Pada bab sebelumnya, saya
membahas peran-peran yang dapat dilakukan media dan masyarakat untuk
menciptakan lingkungan yang dapat membendung pelintiran kebencian.
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 245
Di bab ini, saya akan membahas peran negara.
Tidak ada satu intervensi yang sempurna; masing-masing memiliki
kelebihan dan kelemahan. Solusi hukum tampak menjanjikan kepastian,
namun mekanisme check and balances dalam demokrasi kerap membuat
prosesnya lamban, mahal, dan tidak praktis. Jika mekanisme pengawasan
itu dikesampingkan, kita akan menghadapi penyalahgunaan yang jauh
lebih buruk daripada masalah yang hendak diatasi dengan intervensi
ini . Respon sosial dan politik—oleh masyarakat sipil, media, dan
pihak berpengaruh lainnya—dijalankan melalui kerjasama sukarela, seruan
moral, dan keteladanan. Hal itu lebih fleksibel dan responif dibanding
hukum, namun juga lebih mudah diabaikan oleh para pemelintir kebencian.
Respon hukum diperlukan saat tak ada ruang untuk memberikan
sanggahan. Contohnya, setiap warganegara tanpa terkecuali, memiliki
hak untuk dilindungi dari kekerasan akibat kebencian; hasutan kepada
ancaman serius semacam itu memerlukan kebijakan tegas. Sebaliknya,
kebijakan yang bertujuan menjaga keadaban dan penghormatan terhadap
agama tidak perlu memberantas setiap bentuk fitnah. Pendekatan non-
hukum dapat mengatasinya.
Dalam menyusun strategi untuk menanggapi pelintiran kebencian,
kita memerlukan gabungan intervensi dari hulu dan hilir. Kebijakan
hulu ialah tindakan preventif yang mengatasi kebencian langsung ke
sumbernya, sebelum kebencian ini membesar dan tak terkendali.
Namun ini yaitu tindakan yang spekulatif, mengingat kebanyakan fitnah
justru menguap dengan sendirinya jika diabaikan. Tindakan hulu berisiko
berlebihan, membungkam pidato provokatif yang boleh jadi memiliki nilai
sosial. Sementara itu, intervensi hilir yaitu intervensi yang menunggu
hingga dampak bahayanya sudah tampak dan dekat. Gerakan reaktif
seperti ini lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerugian.
Tapi, ia juga bisa terlambat, kekerasannya mungkin berhasil dicegah tetapi
ia tidak dapat mencegah efek jangka panjang dari ujaran kebencian yang
mencemari budaya.
Di buku ini, saya telah menekankan perbedaan antara kedua sisi
pelintiran kebencian, yakni hasutan dan keterhasutan, atau melontarkan
dan menerima sesuatu sebagai penghinaan. saat undang-undang
berusaha meredakan keterhasutan, ia menjadi alat bagi para agen
pelintiran kebencian dan mendorong budaya intoleran. Alih-alih melarang
penghinaan atau penistaan agama, lebih baik meminggirkannya tanpa
memakai kekuatan hukum. Sebaliknya, demokrasi harus mencegah
hasutan kebencian, mengorbankan kebebasan berekspresi saat ia
disalahgunakan untuk mendiskriminasi atau menyerang kaum minoritas
yang rentan. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa undang-undang yang
melarang hasutan, sekalipun diperlukan, bukanlah satu-satunya jalan. Kita
akan lebih maju jika mencurahkan lebih banyak perhatian kepada kebijakan
anti-diskriminasi dan kesetaraan, serta menuntut negara untuk melindungi
keamanan dan hak-hak asasi kelompok rentan. Kesimpulan ini didasarkan
pada kajian mengenai pelintiran kebencian yang berlangsung di tingkat
bawah. Saya mulai dengan mensintesiskan apa yang telah kita pelajari dari
strategi politik yang seringkali disalahpahami sebagai emosional irasional.
Bagaimana Pelintiran Kebencian Bekerja
Kajian mengenai kekisruhan politik mengalami pergeseran paradigma
saat para pakar gerakan sosial mengeluarkannya dari ranah psikologi
abnormal sekitar empat puluh tahun lalu. Bentuk-bentuk aksi kolektif yang
tidak rutin menjadi lebih dapat dipahami saat tak lagi dikesampingkan
sebagai gejala kemiringan pikiran.3 Hal yang sama berlaku pada subyek
dari buku ini. Ledakan kemarahan dan keterhasutan lebih dari sekadar
histeria para mullah dan massa yang membabi buta. saat kita mulai
menyikapi pelintiran kebencian perbuatan para wirausahawan politik, kita
menjadi sadar bahwa kita berhadapan dengan bentuk perseteruan yang
canggih—sesuatu yang strategis, serba-guna, dan berjejaring.
Tujuan Strategis
Tujuan yang kentara dari pelintiran kebencian yaitu untuk memurnikan
masyarakat dengan, misalnya, menghapuskan film yang dianggap
menyinggung dari Internet atau menyingkirkan sekte yang dianggap
sesat dari suatu daerah. Jika ditelusuri lagi, kita akan menemukan bahwa
para agen pelintiran kebencian punya tujuan yang lebih strategis, dan
biasanya tidak diutarakan. Mereka bisa tetap mendapat keuntungan
dengan membangkitkan rasa ketersinggungan (offense-taking) terlepas dari
apakah tujuan jangka-pendek protes mereka itu tercapai atau tidak. Hal ini
sudah teramati sejak puluhan tahun lalu, dalam kajian mengenai gerakan
Amerika yang menuntut larangan terhadap alkohol dan pornografi. Para
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 247
aktivis itu sebenarnya tak terlalu peduli soal penerapan atau penegakannya,
sebab tujuan mereka lebih simbolik—yakni untuk menegaskan nilai-nilai
mereka dan menggiring para pemimpin lokal dan nasional kepada nilai
ini di tengah perubahan sosial yang besar.4 Demikian halnya, di
negara-negara demokrasi kontemporer yang saya ulas di buku ini, tujuan
strategis para agen pelintiran kebencian lebih pada mengukuhkan agensi
ketimbang menghilangkan penghinaan. sebab itu, cita-cita pemurnian
yang dituju para agen pelintiran kebencian tidak pernah absolut. Para
penghasut menutup mata saja terhadap berbagai saluran di mana obyek
sasaran mereka—buku The Satanic Verses atau video Innocence of Muslims,
contohnya—tetap dapat diakses di masyarakat setelah mereka merasa
berhasil mendesakkan larangan terhadapnya. Selain itu, untuk setiap buku,
film, atau kegiatan yang dianggap sebagai penghinaan, tidaklah terlalu sulit
untuk menemukan beberapa buku, film atau kegiatan lain yang mirip,
namun diabaikan begitu saja.
Aspek strategis pelintiran kebencian ini juga menjelaskan mengapa
agen-agen itu malah memunculkan kontroversi yang justru makin
mengangkat materi-materi yang dianggap menyinggung—tindakan
yang tak sejalan dengan tujuan mereka untuk melindungi para nabi dan
junjungan mereka dari penghinaan, atau melindungi umatnya dari hal-hal
yang dianggap cemar. Produk budaya populer memang seringkali menjadi
sasaran empuk sebab sarana publisitasnya mudah dibajak. Para penerbit
dan produser mengerahkan banyak usaha untuk meningkatkan publisitas,
menelan banyak biaya yang ditimbulkan protes. “Bentuk ‘penyensoran’
semacam itu—yang menuntut penarikan film, buku, atau artikel ini dan
itu—jelas bukan hanya merupakan taktik pembungkaman; sebaliknya,
mereka memanfaatkan dan memobilisasi energi publik dari artefak yang
mereka tolak itu, demi kepentingan politiknya,” kata sebuah studi mengenai
sensor di India.5
Hasutan kepada genosida tentu lebih dari simbolik: Nazi Jerman tidak
memusnahkan kaum Yahudi untuk sekadar mendapatkan perhatian. Saat
ini, kebangkitan ujaran kebencian dan kekerasan anti-Semit di Eropa
memunculkan kembali bayang-bayang masa lalu itu. Salah seorang imam di
Denmark, Abu Bilal Ismail, memohon kepada Allah agar “menghancurkan
Zionis Yahudi” dalam suatu khotbah di Masjid Berlin: “Hitung dan bunuh
mereka hingga tidak ada yang tersisa. Jangan ada satu pun yang terlewat.”6
Partai sayap-kanan Hungaria, Jobbik, mendesak pemerintah untuk
Bab 8248
menyusun daftar orang Yahudi yang mengancam keamanan negara—
sebuah pernyataan yang menurut Simon Wiesenthal Center mengingatkan
pada “rezim genosida Nazi.”7 Segelintir penduduk Yahudi di sana menjadi
sasaran kekerasan kebencian, sehingga banyak dari mereka yang terpaksa
beremigrasi.8 Namun, meski retorika ekstrem ini mengingatkan
kepada Holokaus, anti-Semitisme baru itu tidak benar-benar dimaksudkan
untuk menyingkirkan Yahudi dari Eropa. Surat kabar liberal di Israel,
Haaretz, di beberapa artikelnya mengenai masa depan Yahudi Eropa,
membedakan insiden-insiden belakangan ini dengan teror yang pernah
mereka alami di masa lalu.9 Anti-Semitisme di Eropa saat ini nampaknya
hanya merupakan satu sarana mudah bagi politik populis ekstrem yang
dilancarkan organisasi migran Muslim radikal maupun nasionalis sayap-
kanan. Seperti halnya ungkapan ketersinggungan, ujaran kebencian yang
ditujukan kepada Yahudi saat ini memuat banyak unsur simbolik.
Ini juga berlaku untuk kebencian anti-Muslim di Eropa, yang ditujukan
untuk menyatukan kelompok sayap-kanan.10 Dan di Indonesia, serangan
Muslim radikal terhadap Ahmadiyah menunjukkan tujuan simbolik yang
mirip. Selama Ahmadiyah dicerca dan dianiaya, ia menjadi alat pemenuhan
kepentingan politik sebab “sentralnya sasaran ini bagi identitas
kelompok fundamentalis,” ujar Mary McCoy, seorang pakar retorika.11 Ini
menjelaskan mengapa kelompok seperti Front Pembela Islam terus mencari
sosok atau perilaku untuk dikecam. Kelompok-kelompok semacam ini
akan kehilangan kata-kata untuk mendefinisikan dirinya sendiri jika
mereka berhasil menghapuskan penistaan. Sepertinya, menyadur ungkapan
Voltaire, jika kejahatan tidak ada, maka perlu diadakan.
“Jika Anda ingin menjadi pahlawan, Anda memerlukan penjahat,”
demikianlah guru Asifkhan Pathan menjelaskan kebencian anti-Muslim di
India. “Jika Anda ingin menjadi pahlawan super, Anda juga memerlukan
penjahat super. Muslim bukanlah penjahat tetapi itulah ketakutan yang
tercipta.”
Pathan, seorang Muslim yang mengelola sekolah di kampung Juhapara
di Ahmedabad, menyaksikan pembantaian Gujarat pada 2002, yang dia
sebut genosida. Kini, dia harus menghadapi tantangan yang menyerupai
apertheid, di mana sekolah yang dia kelola tidak diberi akses saluran air
serta layanan kota lainnya. saat dia mendengar BJP berbicara tentang
rashtra atau bangsa Hindu, dia tahu bahwa beberapa orang radikal akan
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk
menindaklanjutinya dengan membunuh, memaksa pindah agama, dan
melakukan tindakan-tindakan diskriminatif. Namun dia juga tahu bahwa
BJP membutuhkan hantu Muslim, sebab hanya itulah jalan terbaik untuk
menyatukan perbedaan kasta-kasta dan sekte-sekte Hindu di bawah panji
partai. “Ini bukan soal agama. Jika mereka tak dapat menciptakan ancaman
bagi kalangan Hindu, mereka tak akan terpilih, dan jika tak terpilih, mereka
tak akan mendapat uang dan kekuasaan.”
Meski taktik jangka-pendek para agen pelintiran kebencian—sensor
dan persekusi—tidak niscaya mengarah ke Solusi Akhir, bukan berarti
kita tidak perlu menyikapinya dengan serius. Maksudnya yaitu agar kita
menyadari perang sebenarnya yang sedang berlangsung. Suatu kelompok
mungkin saja mencapai tujuan politiknya sekalipun gagal menghasut
kekerasan. Bagi kelompok kebencian, hasil akhir dari pertarungan di
pengadilan mungkin tidak terlalu penting dibandingkan kesempatan
yang ditawarkan proses hukum untuk melukai dan merugikan korbannya.
Pelintiran kebencian, dalam arti itu, yaitu bukti vonis. Mahkamah Agung
dapat membela hak suatu kelompok untuk membangun tempat ibadah
atau hak penerbit untuk mendistribusikan ribuan kopi buku, tetapi jika
persidangan menyediakan panggung bagi kebencian, tujuan strategis
agen-agen pelintiran kebencian sudah tercapai. Demikian halnya, undang-
undang anti-Syariah tidak perlu sampai memengaruhi kerangka hukum
negara agar tujuan mereka tercapai. “Pergeseran dalam diskursus dan
kesadaran budaya itulah yang dituju gerakan Islamofobia sebagai capaian
legislatifnya,” ungkap sosiolog Haj Yazdiha.13
Jaringan Islamofobia AS telah mengubah “perang hukum” ini
menjadi seni. Kampanye American Freedom Defense Initiative (AFDI)
yang membeli ruang untuk iklan anti-muslim di bis dan stasiun kereta
bawah tanah, di satu segi, bertujuan menyebarluaskan pesan kebencian
yang terkandung di dalam poster. Tapi, tujuan utamanya yaitu untuk
memancing larangan dari otoritas penyedia transportasi dan mendorong
proses pengadilan dengan publisitas yang bisa jauh lebih besar dari iklan
itu sendiri.14 Kadang pihak yang berwenang unggul, seperti saat Metro
di Washington, DC, melarang segala iklan yang memuat isu sehingga
tidak dianggap melakukan diskriminasi. Tapi keputusan ini kemudian
diputarbalikkan demi keuntungan strategis para aktivis. Pamela Geller
dari AFDI jadi dapat menghubung-hubungkan larangan di Metro dengan
kampanye misinformasi lainnya: “Inilah Syariah di Amerika,” serunya.
Metode Serba-Guna
Para agen pelintiran kebencian memilih berbagai taktik mulai dari
melontarkan hasutan hingga membangkitkan keterhasutan. Apakah
mereka memakai ujaran kebencian yang terang-terangan dalam politik
elektoral tampaknya lebih bergantung pada norma sosial yang berlaku
ketimbang pada undang-undang yang melarang hasutan. Meski saya tak
mengukur polanya secara kuantitatif, ujaran kebencian tampaknya lebih
marak dalam pemilu di India ketimbang di AS, sekalipun para politisi di AS
memiliki ruang gerak yang lebih luas dengan adanya Amandemen Pertama.
Kultur politik AS lebih efektif mencegah politisi nasional melakukan ujaran
kebencian dibanding segudang aturan yang melarangnya di India.
Norma sosial juga membantu menjelaskan fakta bahwa sengketa teologis
bukanlah aspek utama di kebanyakan kampanye pelintiran kebencian. Hal
ini cukup mengherankan, mengingat agama memuat banyak perbedaan
ajaran. Sekuat apa pun orang mencari landasan bersama, selalu ada
rincian penting dalam Kristen yang dapat dianggap menyinggung bagi
Muslim, sebagaimana diakui mantan Uskup Agung Canterbury Rowan
Willian.16 Meski demikian, kitab suci agama biasanya tak disasar oleh
pelintiran kebencian dalam demokrasi. Di dekat situs peringatan tragedi
9/11, ada salah satu cabang Perpustakaan Umum New York. Namun
para penentang “Masjid Ground Zero” tidak menuntut perpustakaan
yang jaraknya hanya tiga menit berjalan kaki dari Ground Zero itu untuk
mengeluarkan Alquran dan buku-buku pengetahuan mengenai Islam.
Para agen pelintiran kebencian tampaknya tahu bahwa kemarahan mereka
mestilah tampak beralasan bagi khalayak ramai.
sebab lebih dapat diterima oleh norma-norma sosial, para agen
pelintiran kebencian cenderung memilih simbol ketidakadilan yang dapat
dibingkai dalam pengertian sekular. Contohnya, kebanyakan regulasi
mengenai pembangunan kota memperhitungkan faktor-faktor subjektif
seperti kesesuaian budaya dan masukan dari masyarakat. sebab nya, orang
mudah saja menyampaikan penolakan terhadap rumah ibadah dalam
bahasa-bahasa non-agama. Sekali jendela ini terbuka, para penentang
dapat melancarkan propaganda kebencian yang menggambarkan suatu
gereja atau masjid sebagai ancaman yang membahayakan masyarakat.
Setiap taktik pelintiran kebencian punya kekuatan masing-masing.
Semuanya dikerahkan untuk mencapai tiga tujuan yang berbeda namun
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 251
saling berhubungan: efek mobilisasi (mengerahkan pengikut di akar-
rumput); publisitas gerakan (menyebarkan pesan di luar kelompoknya);
dan pelibatan dengan elite pemerintah. Agenda mobilisasi tercapai dengan
sangat baik jika kampanyenya terdesentralisasi dan para aktivis lokal
memimpin gerakan. Hal ini umumnya berlaku untuk kasus penentangan
terhadap rumah ibadah. Di AS, di mana perpustakaan umum dan sekolah
dikelola secara lokal, gugatan buku menjadi cara andalan yang mendorong
kelompok akar-rumput untuk turut andil. sebab itu, gugatan buku yang
dijalankan jaringan anti-Muslim melakukan banyak hal selain menciptakan
fakta-fakta tandingan mengenai Islam, kata Miranda Blue, peneliti dari
People For the American Way. “ACT! For America mengerahkan para
pemimpin lokal melalui gugatan buku ini, dimulai di level dewan sekolah,”
ujarnya.17
Di sisi lain, gencarnya gugatan buku perpustakaan, yang kadang
menyasar beberapa judul terkenal seperti Harry Potter, juga menunjukkan
bahwa hal itu sudah sangat jamak—sampai-sampai American Library
Association (Asosiasi Perpustakaan AS) menyelenggarakan minggu “Buku
Terlarang” setiap tahun untuk mengingatkan publik bahwa bentuk sensor
semacam itu masih terus berlangsung. Desentralisasi juga berarti bahwa
kontroversi buku sangat jarang menarik politisi di tingkat nasional dan
negara bagian.
Untuk menarik perhatian elit politik terkemuka, para agen pelintiran
kebencian memerlukan taktik yang berbeda. Forum legislatif dan
pengadilan merupakan arena yang ideal. Pengajuan rancangan undang-
undang dapat membuka kesempatan bagi pelintiran kebencian tingkat
tinggi, seperti ditunjukkan kampanye anti-Syariah. Perdebatan di ruang
legislasi tidak sesemarak unjuk rasa jalanan, namun mampu mendorong
wakil-wakil rakyat untuk menggemakan pesan kampanye mereka di
kalangan elit politik yang dekat dengan media.
Ruang hukum dan budaya yang tersedia bagi para agen pelintiran
kebencian yaitu faktor lain yang mempengaruhi taktik yang mereka pilih.
Di India dan Indonesia, di mana sistem hukum yang lebih melindungi
perasaan komunal dan lembaga pemerintah kerap melakukan penyensoran,
para wiraswasta politik menjadi mudah menyasar film, konser, karya
seni, dan buku-buku ilmiah yang dapat membuat orang marah. Di AS,
penolakan tegas negara lewat Amandemen Pertama untuk melindungi
perasaan keagamaan warga Amerika dari singgungan mempersempit
peluang untuk menuntut pemerintah agar melakukan penyensoran.
Meski demikian, di AS sekalipun, para aktivis bisa cukup kreatif dalam
menemukan ruang kelembagaan, seperti dewan sekolah dan perpustakaan
lokal, di mana mereka dapat mendesakkan tuntutannya.
Para agen pelintiran kebencian, layaknya aktivis gerakan sosial
lainnya, sama-sama mengembangkan taktiknya sendiri dan memakai
repertoar yang dikembangkan kelompok lain.18 Teknik gugatan buku
ditiru oleh jaringan Islamofobia Amerika dari gerakan Evangelis, yang
terbiasa menentang pelajaran mengenai evolusi, misalnya.19 Taktik ini
bahkan telah tersebar hingga ke luar Amerika. Salah satunya yaitu kasus
buku anak yang memenangkan penghargaan, And Tango Makes Three,
tentang kisah nyata dua penguin jantan di kebun binatang Central Park
yang mengadopsi seekor anak pinguin. Dukungan tersirat buku ini
kepada bentuk keluarga alternatif menempatkannya di posisi teratas
daftar 10 Most Challenged Books atau buku yang paling banyak digugat
menurut American Library Association (Asosiasi Perpustakaan AS) pada
2006 dan 2010.20 Pada 2014, kalangan konservatif di Singapura berhasil
meyakinkan perpustakaan nasional di sana untuk memusnahkan buku
And Tango Makes Three—memperlihatkan akibat yang dapat terjadi saat
keterhasutan meluas ke luar jangkauan Amandemen Pertama. Beberapa
organisasi konservatif di Amerika seperti Focus on the Family memiliki
afiliasi di Singapura sehingga mereka dapat mengekspor nilai-nilai dan
strateginya.
Pendekatan umum dari rekayasa keterhasutan itu sendiri yaitu sesuatu
yang dapat dipelajari. Di India, “hak untuk merasa tersinggung” sudah
digunakan oleh kelompok Muslim dan Kristen, jauh sebelum kelompok
Hindutva berhasil mengobarkan ketersinggungan kolektif. “Tapi dalam
beberapa dekade terakhir, perasaan tersinggung dipelajari dari kelompok
minoritas India,” ujar jurnalis Varghese K. George. Agen-agen pelintiran
kebencian Hindutva mencontoh kelompok Muslim untuk menggelorakan
kemarahan dan ketersinggungan orang-orang Hindu, lanjut George.
“Mereka menantang orang Hindu: ‘Apakah kalian tidak malu melihat
orang Muslim yang bangkit bergerak saat Allah menjadi sasaran,
Muslim menjadi sasaran; jika kalian tidak bangkit bergerak, kalian sama
saja menyerahkan kuasa kalian atas tanah ini.’ Tantangan ini makin
menarik banyak orang untuk ikut serta.”21
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 253
Pelintiran Kebencian yang Berlapis dan Berjejaring
ada pembagian kerja dalam kampanye pelintiran kebencian.
Kelompok pinggiran dan perseorangan memakai bahasa yang sangat
ekstrem, namun mereka umumnya kurang punya kredibilitas untuk
menarik orang-orang di luar pendukung mereka. Media aktivis yang
menyasar publik yang lebih luas menyembunyikan pandangan-pandangan
yang lebih ekstrem ini , dan memakai “rasisme yang lebih
beralasan” untuk menarik pendukung baru.22 Demikian halnya, para
pemimpin partai politik dan politisi lainnya yang bersaing di tingkat
nasional biasanya tak dapat menyampaikan ujaran ekstrem. Mereka
boleh jadi memakai kata-kata sandi yang makna kebenciannya jelas
bagi para pendengar yang mengerti, tapi mereka dapat mengelak jika
mereka dikenakan sanksi hukum atau politik. Dalam mengisi kekosongan
ini , mereka tidak hanya mengandalkan para pembicara lain, tapi
juga pada ujaran dan peristiwa-peristiwa lampau. Pencantelan pada
kerangka sejarah yang berbeda akan menambahkan “lapisan signifikansi”
ke dalam suatu diskursus, sehingga para pendengar dapat menafsirkannya
berdasarkan latar belakang pengetahuannya, seperti yang ditemukan oleh
studi mengenai pelanggaran hak asasi manusia di masa apertheid Afrika
Selatan.23 sebab itu, agen-agen pelintiran kebencian dapat melakukan
hal yang biasa disebut sebagai dog whistling, menyampaikan makna yang
tak dapat dipahami kalangan luar tetapi terdengar jelas dan keras oleh
kalangan yang dituju. Komunikasi kebencian yang efektif tidak hanya
bergantung pada kejelasan pesan pembicara tapi juga pada gagasan dan
simbol pelengkap yang telah tersedia, dari apa yang orang sampaikan dan
dari memori bersama.
Semua proses pelintiran kebencian yang dibahas di buku ini mencirikan
jaringan yang terdistribusi ini. Di India, Narendra Modi, penerima manfaat
utama dari intoleransi Hindutva, tidak perlu melontarkan ujaran kebencian
secara langsung. Hal itu diserahkan kepada bawahan-bawahannya seperti
Amit Shah. Mereka bahkan tidak perlu terlalu eksplisit, sebab pekerjaan
ini dapat dilakukan para aktivis di akar-rumput. BJP melekatkan
pesan-pesan kampanyenya dalam narasi-narasi yang terbangun selama
bertahun-tahun, atau bahkan puluhan tahun. Ancaman yang dibangkitkan
mengenai Muslim sebagai predator seks yang memiliki banyak keturunan
berasal dari masa-masa awal gerakan Hindutva, begitu juga dengan gagasan
untuk meng-Hindukan kembali India—jika perlu secara paksa.24
Narasi pokok lainnya dari kubu Nasionalis Hindu di India yaitu
penggambaran Muslim sebagai penjajah asing, Pakistan, atau teroris—
tema-tema yang mudah bergaung dengan diskursus global mengenai
ancaman terorisme Islam. Stereotip semacam itu membuat juru kampanye
BJP pada 2014 melabeli suatu wilayah di Uttar Pradesh yang tinggi populasi
Muslimnya sebagai “sarang teroris” tanpa alasan yang jelas.25 Dalam pidato
kampanye di daerah yang sama pentingnya, Modi menyerukan: “Dulu
teroris dan kriminal dihargai di negara bagian ini ... sepuluh tahun yang
lalu, di Gujarat, banyak sekali kerusuhan. Tapi sekarang penduduk Gujarat
tahu mereka harus hidup damai, bebas dari politik polarisasi. Mereka tahu
mereka harus memilih jalan pembangunan. Dan semua akan tenang.”26
Di balik kata-kata yang tampak wajar ini , ada ambiguitas
yang mengerikan. Pandangan yang umum di dalam gerakan Hindutva
maupun di antara para pengkritiknya yaitu bahwa tindakan pogrom
Modi di Gujarat pada 2002 merupakan pelajaran bagi kaum Muslim agar
tahu diri.27 Hal ini dinyatakan dengan cukup jelas oleh pemuka Sangh
Parivar lainnya. Modi sendiri tak pernah menyangkal tafsiran ini .
Ungkapannya pada 2002 yang dianggap sebagai penyesalan itu pun hanya
mengatakan bahwa siapa pun akan merasa sedih jika seekor anak anjing
tergilas mobil, terlepas siapa saja yang mengemudikannya.28 saat dia
mengumbar bahwa orang Gujarat sekarang tahu bagaimana cara hidup
damai, dan bahwa “semua tenang,” para pendengarnya tahu apa yang
sebenarnya ia maksudkan.
Di Indonesia, pelintiran kebencian kelompok Muslim garis-keras tak
punya visi koheren seperti filosofi Hindutva yang dijabarkan Vinayak
Damodar Savarkar bagi kalangan nasionalis Hindu. Jauh sebelum
pemilu 2014, jelas bahwa para pemilih di Indonesia tidak menginginkan
partai berbasis Islam memerintah negerinya. Tidak punya peluang
untuk memenangkan pertarungan politik, kelompok garis-keras pun
bereksperimen dengan cara lain untuk memperbesar kekuasaannya.
Sebagian menghindari politik elektoral sama sekali, menganggap bahwa
demokrasi itu haram: sementara sebagian yang lain bersekutu dengan
partai-partai sekular. Mereka dipersatukan oleh kepentingan bersama
untuk tetap dianggap penting, untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh
dan sumber daya. Yang menunjang tujuan ini yaitu bentukan ancaman
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 255
bersama dalam bentuk Kristen, Islam Syiah, Ahmadiyah, dan ateis. Efek
kumulatifnya ialah budaya intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan
terhadap minoritas.
Tapi, seperti di India, pelintiran kebencian di Indonesia terdistribusi dan
berlapis-lapis dalam sejarahnya sehingga sulit untuk menunjuk satu orang
atau lembaga yang bertanggungjawab. Majelis Ulama Indonesia, MUI,
mendapat keuntungan dari sertifikasi halal dan pasar keuangan Islam, tetapi
mereka juga memperbesar citranya dengan mengeluarkan fatwa intoleran.
Pernyataan MUI diperkuat oleh lembaga pengawas penyimpangan, Bakor
Pakem, yang juga menjustifikasi keberadaannya dengan menimbulkan
kepanikan moral terhadap para penyimpang. Pernyataan MUI dan Bakor
Pakem mungkin tidak ditujukan sebagai hasutan—MUI belum pernah
mengeluarkan fatwa yang sekeras perintah Ayatollah Khomeini untuk
membunuh Salman Rushdie. Akan tetapi, dengan mempersempit ruang
untuk ungkapan dan amalan yang diterima dalam Islam, MUI memberi
justifikasi bagi kelompok-kelompok yang lebih ekstrim seperti Front
Pembela Islam (FPI), untuk melakukan kekerasan fisik terhadap kelompok
yang dianggap menyimpang. Gantinya, MUI diuntungkan oleh kesediaan
FPI untuk memberikan ganjaran duniawi daripada menunggu pengadilan
ilahi di akhirat. Banyak orang Indonesia yang dulu mengabaikan kecaman
ulama kini berpikir dua kali, jangan sampai mereka memancing kelompok
militan untuk mengerahkan kekuatannya.
Pembagian kerja dalam jaringan Islamofobia di AS telah banyak dikaji
oleh kelompok-kelompok progresif.29 Kebohongan yang disebarkan
oleh ideolog inti di pusat jaringan ini kemudian digemakan oleh
sekelompok “validator,” bertampang militer dan keturunan Timur Tengah
yang menegaskan bahwa Islam itu jahat. Para ideolog ini juga
mengandalkan para aktivis akar-rumput dari organisasi-organisasi yang
mengusung isu tunggal seperti ACT! For America and Stop Islamization
of America, serta organisasi-organisasi keagamaan kanan yang lebih lama
seperti Eagle Forum. Para pemuka agama sayap-kanan seperti Franklin
Graham dan Pat Robertson juga ikut mengeraskan retorika Islamofobia.
Meski demikian, Islamofobia akan tetap berada di pinggiran kecuali yang
dianut oleh pejabat terpilih dan pemimpin politik. Politisi sayap-kanan di
level nasional dan negara bagian menyebarkan pesan-pesan anti-Muslim
melalui debat-debat pemilu, proses legislatif, dan liputan media. Calon
presiden Ted Cruz dan Donald Trump membuat retorika Islamofobia
sebagai bagian dari perbincangan nasional dalam perjalanan menuju
pemilihan umum 2016.30 Trump kurang mampu menahan-diri untuk
melakukan dog whistling, tapi meski pernyataannya terdengar seperti ujaran
kebencian, itu tidak se-ekstrem atau sesering pesan yang dihembuskan
para pentolan Islamofobia seperti Frank Gaffney dan Brigitte Gabriel. Jika
Amerika pasca-2016 kurang begitu ramah bagi orang Muslim, itu gara-gara
sepak terjang berbagai aktor.
Bagaimana Hukum Harus Merespon
Masyarakat yang berusaha mempertahankan demokrasi dari kekuatan
intoleran mesti mempertimbangkan segi strategis, serba-guna, dan jejaring
pelintiran kebencian. Respon mereka pun harus sama-sama kreatif,
dinamis, dan berjejaring luas. Tidak ada contoh solusi yang dapat berlaku
di semua masyarakat, sebab tidak ada demokrasi, yang baru sekalipun,
apalagi yang tradisinya sangat mengakar, yang dapat diperlakukan seperti
kertas kosong.31 Jadi, komitmen kuat AS kepada kebebasan berbicara
mesti diterima begitu saja, seperti halnya Indonesia yang tak terbayangkan
dapat menghapus Ketuhanan yang Maha Esa sebagai salah satu pilar
negaranya, atau India untuk menghapus keistimewaan yang diberikan
kepada kelompok etnis mayoritasnya. Meski demikian, beberapa prinsip
umum berlaku. Dapat dipastikan bahwa aturan mengenai penghinaan
sangat buruk dan seringkali kontra-produktif bagi upaya mewujudkan
budaya yang menghormati agama dan kepercayaan. Tapi di saat yang sama,
demokrasi memerlukan hukum yang kuat untuk melarang hasutan, dan
hukum ini haruslah ditegakkan secara tegas dan tak pandang bulu.
Janji Semu Undang-undang Penistaan
Cara demokrasi menangani penghinaan yaitu salah satu ujian pokok
yang membedakan masyarakat liberal dari yang lebih tradisional. Meski
ini memang perkembangan yang relatif baru dalam gerakan kebebasan,
demokrasi liberal tidak menganggap penghinaan terhadap agama sebagai
landasan absah untuk membatasi kebebasan berbicara. Norma HAM
internasional sudah menegaskan bahwa hukum hanya melindungi manusia
nyata (bukan gagasan, keyakinan, nabi, atau Tuhan) dari ancaman nyata
(bukan hanya perasaan tersinggung, tak peduli seberapa dalam itu).
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 257
Komite HAM PBB menyatakan bahwa, dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, hukum tidak boleh melarang ungkapan
yang menghina suatu agama atau sistem kepercayaan lainnya jika bukan
merupakan hasutan. Maka tidak boleh jika “larangan semacam itu
digunakan untuk menghalangi atau memidanakan kritik pemuka agama
atau komentar mengenai ajaran agama dan prinsip keimanan,” ujar komite
ini .32
Kasus-kasus kekerasan dari pihak-pihak yang tersinggung makin
mendesak demokrasi liberal untuk mempertimbangkan kembali
pembelaan mereka terhadap kebebasan berekspresi. Mempertahankan
prinsip-prinsip liberal dalam perdebatan yang damai ialah satu hal, tetapi
ongkosnya membesar saat para pihak yang geram bersiap melakukan
pembalasan berdarah.33 Setelah terbunuhnya kartunis Charlie Hebdo oleh
penembak Muslim di Paris pada Januari 2015, reaksi yang paling cepat
dan terlihat di Barat yaitu aksi solidaritas besar-besaran membela hak
untuk mengkritisi keyakinan orang lain. Namun di tengah barisan “je suis
Charlie” ini, para penjaga demokrasi menyuarakan keraguan soal apakah
kebebasan berekspresi harus selalu didahulukan di atas penghormatan
terhadap agama-agama. Mereka menilai, jenis-jenis ujaran tertentu
yang dapat memprovokasi kekerasan harus dibatasi demi ketertiban
umum. Dewan Eropa Bidang Toleransi dan Rekonsiliasi, yang dipimpin
mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, mengajukan penurunan
ambang batas intervensi pemerintah.34 Model hukum negara-negara
Eropa yang dicontohkannya menyoal tekanan “kelompok fitnah”, yang tak
hanya mencakup hasutan kekerasan tetapi juga usaha-usaha jahat untuk
menyetankan suatu kelompok, seperti menyebut semua Muslim teroris.35
ada contoh yang baik untuk mengatasi kelompok fitnah ini dengan
lebih serius. Fitnah berbasis agama dapat menciptakan sekat budaya yang
menyisihkan kaum imigran minoritas, terutama di negara-negara—seperti
di Eropa—yang kebangsaannya dituangkan dalam rumusan etno-linguistik
atau agama. Masyarakat Barat juga punya alasan untuk membuat beberapa
penyesuaian: ketidakmampuan mereka untuk menunjukkan sikap terhadap
penghinaan agama yang tidak terkesan arogan dan Eropa-sentris dapat
mempengaruhi penerimaan dunia terhadap nilai-nilai yang hendak mereka
tularkan.36
Akan tetapi, sudah jelas bahwa hukum yang melarang penistaan at
penghinaan biasanya menjadi bumerang. Di India dan Indonesia—yang
bukan termasuk pelanggar berat pun—kita telah melihat bagaimana
kepentingan politik menyalahgunakan undang-undang penghinaan agama.
Para pemimpin di kedua negara tidak hanya memakai undang-undang
ini untuk menjaga ketertiban publik, tetapi juga untuk memenangkan
tujuan politik bersama kelompok agama yang konservatif. Undang-undang
penodaan agama di Indonesia melindungi ortodoksi agama dari apa yang
dinyatakan sesat oleh otoritas agama, yang mengakibatkan pelanggaran
terhadap hak-hak minoritas. Undang-undang Pidana India Bab 295A
melarang penistaan, dan semua kelompok agama besar mengambil
keuntungan dari aturan ini. Di antara karya-karya yang dilarang di seluruh
India yaitu The Satanic Verses karya Salman Rushdie, Fire karya Deepa
Mehta, serta Jesus Christ Superstar karya Lloyd Webber dan Tim Rice,
sebab masing-masing dianggap menyinggung Muslim, Hindu, dan
Kristen. Seiring berjalannya waktu, timbul budaya untuk berlomba-lomba
merasa tersinggung.
Memberi semua kelompok hak yang sama untuk merasa tersinggung
mungkin masuk akal bagi mereka yang ingin agar penistaan agama dijauhkan
dari ruang publik; mereka ingin agar ungkapan-ungkapan semacam itu
dibatasi di ruang-ruang pribadi saja demi terciptanya koeksistensi damai.
Tapi sebaik apa pun tujuannya, yaitu naif memakai hukum semacam
itu untuk memaksakan sekat budaya. Pendekatan ini mengasumsikan
bahwa siapapun yang mengaku sebagai korban penghinaan agama pasti
beritikad baik, dalam arti melakukan usaha yang tulus untuk melindungi
diri dari hinaan, dengan semangat kooperatif dan non-agresif. Sistem
ini runtuh saat orang-orang membuat-buat atau merekayasa
ketersinggungan, dan inilah yang terjadi dalam pelintiran kebencian.
Ingat-ingat lagi beberapa peristiwa yang telah kita bahas, misalnya
aktivis Muslim yang menuding patung “Tiga Mojang” di Bekasi sebagai
simbol Trinitas dalam agama Kristen; atau para aktivis Hindu yang
menyeret M.F. Husain ke pengasingan, mengecam lukisannya yang
menggambarkan dewi Hindu dalam keadaan telanjang, seolah-olah
candi kuno menggambarkannya berpakaian lengkap; atau pengusung
Islamofobia di Amerika Serikat yang menggugat buku pelajaran sebab
tidak menggambarkan Islam sebagai ideologi yang kejam. Semua itu
yaitu contoh ketersinggungan yang dijadikan senjata, di mana mereka
yang merasa tersinggung menjadi penyerangnya dan mereka yang dituduh
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 259
menyinggung menjadi korbannya. Meski demikian, sulit bagi pemerintah
sekular untuk membantah kelompok agama yang merasa tersinggung,
mengatakan bahwa mereka mengada-ada dan sebaiknya mereka pulang
saja.37 Sekalipun pihak-pihak yang merasa tersinggung tidak punya pijakan
hukum, para politisi merasa mendapat tekanan politik untuk mendukung
mereka. Memberi mereka amunisi hukum dan dukungan politik yaitu
hal yang gila.
Tradisi hukum AS memberikan contoh yang kontras dengan hukum
yang melindungi kelompok dari penghinaan. Beberapa orang Amerika
merasa bahwa negaranya terlalu banyak memberi kebebasan untuk
menyakiti perasaan keagamaan, namun mereka menerimanya sebagai
pemberian. Posisi Mahkamah Agung jelas, bahwa tak seorang pun
yang dapat mengandalkan pemerintah untuk melindungi perasaan
keagamaannya dalam perdebatan publik, sehingga kelompok minoritas
agama menyalurkan perasaan tersakitinya ke cara lain di luar tuntutan
penyensoran. Minoritas Muslim di Murfreesboro dan Birmingham
memilih untuk terus melibatkan diri dengan masyarakat. Yang menarik
yaitu kasus Gereja Mormon—satu-satunya lembaga keagamaan yang
berasal dari negara ini. Meski sering dicemooh di media populer, Church
of Jesus Christ of Latter-Day Saints, demikian nama resminya, memiliki
kebijakan untuk tidak menyerukan boikot, sadar bahwa tindakan ini
justru malah menambah publisitas karya yang dianggap menista. Sebagai
gantinya, mereka mendesak anggotanya untuk menjadikan provokasi
semacam itu sebagai kesempatan untuk menunjukkan kematangan,
martabat, dan kebijaksanaan gereja.38 saat menanggapi drama
musikal Broadway The Book of Mormon yang sangat satir, gereja hanya
mengeluarkan pernyataan yang berbunyi, “pembuatannya mungkin
ingin menghibur penonton untuk satu malam, tapi the Book of Mormon
sebagai kitab suci akan mengubah hidup orang-orang selamanya dengan
mendekatkan mereka kepada Kristus.”39
Batasan Undang-Undang Hasutan
Meski saya mempertanyakan undang-undang yang melarang penghinaan
agama, studi saya mendukung undang-undang yang melarang hasutan.
Tidak ada argumen kebebasan berpendapat yang dapat membenarkan
pengkhotbah yang menyeru para pengikutnya untuk membunuh orang
Ahmadiyah di Indonesia, atau para aktivis Sangh Parivar yang memantik
kerusuhan Muzaffarnagar di India, misalnya. Kita tidak bisa mengharapkan
negara-negara demokrasi untuk bertemu dalam satu standar yang sama.
AS akan terus menerapkan ambang batas yang tinggi dalam melihat
potensi dampak kekerasan, sedangkan masyarakat lainnya merasa perlu
menindak hasutan yang diskriminatif, sejalan dengan norma hak asasi
manusia internasional. Definisi persisnya akan berbeda antara satu negara
dengan negara lainnya, dan kita berharap hukum dapat disempurnakan
berdasarkan pengalaman. Yang penting di sini ialah prinsip umum: negara
memiliki kewajiban untuk melindungi kelompok-kelompok rentan dari
ekspresi-ekspresi yang dapat membuat mereka menderita.
Undang-undang yang melarang hasutan memang dibutuhkan, tetapi
itu saja tidaklah memadai. Langkah-langkah hukum memiliki sejumlah
keterbatasan. Yang paling kentara yaitu di banyak negara, institusi-institusi
gagal menerapkan atau menegakkan hukum yang tertulis. Pengadilan tidak
terbebas dari tekanan mayoritas—tentunya bukan di AS, yang sebagian
besar hakimnya di tingkat bawah yaitu orang-orang terpilih. Sekalipun
sistem pengadilan melindungi hak asasi manusia, ada banyak kendala yang
membuat prosesnya berlarut dan ketidakadilan tetap terjadi, seperti yang
terjadi di India. Sementara itu, polisi gagal menjalankan tugasnya sebab
mereka sendiri penuh dengan prasangka, atau sebab mereka korup dan
kekurangan sumber daya, seperti yang terjadi di Indonesia.
Sadar akan masalah-masalah ini, Rabat Plan of Action PBB pada 2012,
yang dibahas di bab 2, tidak hanya menjabarkan undang-undang yang
diperlukan untuk menangani ujaran kebencian, tetapi juga perbaikan
yang perlu dilakukan di bidang hukum dan kebijakan lainnya untuk
menunjang undang-undang ini . Di sana disebutkan bahwa negara
harus menjamin bahwa setiap orang mendapatkan perlakuan yang adil
dari pengadilan yang kompeten, independen, dan imparsial; bahwa
pengadilan terus mengikuti perkembangan dalam ketentuan internasional;
dan bahwa polisi mendapatkan pelatihan mengenai larangan hasutan.40
Daftar rekomendasi Rabat Plan yang panjang lebar ini membuat pakar
hukum Eric Posner sangat skeptis terhadap kegunaan traktat-traktat hak
asasi manusia. Sekalipun negara-negara di kawasan Selatan Dunia bersedia
memenuhi standar hak asasi manusia internasional, ujarnya, institusi-
institusi pendukungnya terlalu tinggi untuk dicapai, terlebih banyak
masalah lainnya, seperti pengentasan kemiskinan, masih perlu mendapat
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 261
perhatian. Para pelaku pelintiran kebencian di India, misalnya, mampu
memanfaatkan celah penegakan hukum di negara ini yang tegas
melarang provokasi yang dapat memicu ketegangan komunal. Para politisi
seringkali bebas melakukan ujaran kebencian tanpa dikenakan hukuman.
Hasil pemilu pada 2014 akan memberi sinyal kepada politisi-politisi India
yang tak bertanggungjawab bahwa ujaran kebencian mendatangkan hasil
yang lumayan.
Tetapi ada masalah lain dalam pengaturan ujaran kebencian, salah
satunya berkaitan dengan kesenjangan antara bentuk ujaran kebencian
yang berlapis dan berjejaring dengan apa yang dapat diatur dengan efektif
dalam demokrasi. Undang-undang ujaran kebencian berfungsi dengan baik
saat penuturnya (A) menyampaikan pesannya (X) kepada pendengarnya
(B) yang mengincar kelompok sasaran (C); di mana A punya pengaruh
yang kuat, langsung, dan dekat terhadap B; di mana B berada dalam posisi
yang jelas dapat membahayakan C; dan saat X mengandung semua
elemen yang termasuk hasutan yang disengaja. Selain memiliki tendensi
yang membahayakan, X harus terdengar ekstrem, melanggar “norma
saling menghormati di masyarakat.”41 Seperti yang telah kita lihat, ujaran
kebencian yang paling canggih dan sistematis umumnya tidak datang
dalam bentuk yang semudah itu. Ini yaitu aktivitas terdistribusi yang
dilakukan oleh sindikat, yang serpihan makna kebenciannya dihimpun
dalam benak pendengarnya, dan para pentolannya menjaga tangan mereka
tetap bersih. Mengatur ujaran kebencian yang seperti ini ibarat menerapkan
undang-undang perampokan bersenjata untuk menjerat para penjahat
kerah putih dan penggelap pasar yang menyebabkan krisis perbankan
pada 2008. Tapi jika badan pengatur keuangan dapat menjabarkan bentuk-
bentuk pencurian yang canggih, kita tidak mungkin memperluas cakupan
hukum ujaran kebencian tanpa membatasi kebebasan berekspresi yang
disyaratkan demokrasi.
Kebebasan Berbicara
Kebebasan berekspresi bukanlah hak yang keramat. Statusnya sebagai hak
asasi manusia tidaklah menutup kemungkinan untuk menyeimbangkannya
dengan hak-hak asasi lainnya. Negara-negara demokrasi dapat
memperdebatkan di mana batasan kebebasan berbicara harus ditetapkan,
dan pengadilan sesekali dapat membuat penyesuaian. Amerika Serikat,
yang sangat permisif terhadap ujaran ekstrem, mungkin akan terus
menghasilkan contoh-contoh penyalahgunaan kebebasan yang sulit
diabaikan oleh negara-negara demokrasi lainnya. Contohnya, Amandemen
Pertama tidak banyak didukung saat mengizinkan penyebarluasan musik
kebencian berisi supremasi kulit putih dan anti-semit, yang menjadi kunci
perekrutan gerakan Neo-Nazi.42 Serangan yang sengaja memancing kaum
ekstremis Muslim seperti kontes kartun Nabi Muhammad di Texas pada
Mei 2015—yang dikutuk New York Times sebagai “bentuk kefanatikan dan
kebencian” dan “bukan soal kebebasan berbicara”—ialah contoh lain dari
penyalahgunaan yang mestinya mendorong kaum liberal untuk meninjau
kembali pendapatnya soal undang-undang kebebasan berbicara.43 saat
relawan dan imam masjid yang tak bersalah bisa seenaknya dituduh sebagai
pendukung terorisme, jelas bahwa ada masalah dengan cara Amerika
Serikat dalam menetapkan batasan kebebasan berbicara. Tetapi, kita juga
tak dapat mengandaikan begitu saja bahwa rezim yang lebih restriktif akan
lebih mendukung hak-hak minoritas. Para pengamat seringkali keliru
memperlawankan kebebasan berekspresi dengan kebebasan beragama dan
berkeyakinan, seolah-olah penekanan terhadap salah satunya mesti selalu
mengorbankan yang lainnya. “Keduanya justru saling bergantung dan
menguatkan,” tegas Rabat Plan of Action. Kebebasan untuk menjalankan
atau tidak menjalankan agama atau keyakinan hanya dapat terjadi jika
ada kebebasan berekspresi, terangnya. Sebaliknya, diskursus publik yang
bebas tergantung pada “penghormatan terhadap keragaman keyakinan
yang orang miliki.”44
Serangan paling serius terhadap martabat suatu kelompok agama
selalu disertai dengan pembungkaman anggota-anggotanya. Kelompok-
kelompok yang paling enggan menerima koeksistensi antar-agama
yaitu kelompok yang cenderung menuntut sensor negara atau yang
mengintimidasi minoritas agar bungkam. Vishva Hindu Parishad (VHP)
di India dan Front Pembela Islam di Indonesia yaitu contoh klasik dari
fenomena ini. Gerakan intoleran di Amerika Serikat seperti AFDI dan ACT!
For America, yang beroperasi dalam lingkup konstitusi yang menjunjung
kebebasan berbicara, tak terang-terangan menuntut penyensoran. Namun,
di lapisan yang lebih dalam, mereka mirip dengan FPI dan VHP. Mereka
memakai propaganda kebencian untuk menyetankan dan, kemudian,
membungkam kelompok minoritas sasaran dan juru bicaranya, seperti
Council on American-Islamic Relations (CAIR). “saat orang tidak
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 263
diberi ruang untuk berpartisipasi dan dibungkam suaranya, maka masalah,
pengalaman, dan keluhan mereka pun takkan terlihat, dan mereka akan
lebih rentan terhadap kebencian, prasangka, dan peminggiran,” demikian
Prinsip Camden mengingatkan kita.45 Genosida selalu didahului oleh
pembungkaman kebebasan berbicara, seperti digambarkan dengan tepat
oleh penyair Jerman Heinrich Heine saat ia menulis bahwa pembakaran
buku akan berujung pada pembakaran manusia.
Kebebasan berekspresi juga amat penting bagi para pekerja hak
asasi manusia, kelompok pemantau kebencian, dan jurnalis investigatif
yang melawan kekuatan-kekuatan intoleran. Perlu diingat bahwa sikap
khas Amerika Serikat terkait penodaan yaitu imbas dari kampanye
hak-hak sipil, saat para pegawai negeri memakai delik fitnah
untuk membungkam tuduhan yang ditujukan pada mereka. Keputusan
Mahkamah Agung pada 1964 untuk perkara New Yorks Times Co. v. Sullivan
yang membatalkan gugatan ini , ditujukan untuk mempermudah juru
kampanye hak-hak sipil dalam menggugat penyalahgunaan yang dilakukan
penguasa—yang lagi-lagi menunjukkan bagaimana kelompok minoritas
yang lemah diuntungkan oleh ruang kebebasan berekspresi yang lebih luas.
Saat ini, Southern Poverty Law Center, misalnya, diuntungkan oleh tradisi
ini saat menginvestigasi dan mengekspos skandal di kelompok
penebar kebencian.46
Di India, aktivis hak-hak sipil bergantung pada kebebasan di negara
ini untuk melawan narasi BJP mengenai pertumpahan darah di
Gujarat. “Advokasi memerlukan dokumentasi yang saksama dan sistematis,”
ujar Cedric Prakash, seorang pendeta Yesuit di Ahmedabad yang bergiat
di Citizen for Justice and Peace (CJP), organisasi yang dibentuk untuk
mengupayakan keadilan bagi para korban di Gujarat. “Kita yakin bahwa
jika kita tidak membeberkan faktanya, tak akan ada yang berubah. Hanya
itulah satu-satunya senjata yang dimiliki kelompok minoritas kecil seperti
kelompok kita.”
Pendiri CJP Teesta Setalvad menjadi sasaran intimidasi dan gangguan
selama bertahun-tahun sebab kampanyenya yang berusaha menyeret
Modi dan bawahannya ke pengadilan. Dia merasa pengalamannya akan
lebih buruk lagi jika India tidak memiliki kebebasan yang ada saat ini.
“Kita perlu tetap bebas seperti sekarang, tetapi kita juga harus sadar
bahwa kebebasan ini belum merata bagi semua,” ujarnya. Masalahnya di
India, menurutnya, kelompok-kelompok dominan bisa menghasut dan
melenggang bebas tanpa dihukum, sementara korbannya mengalami
pembungkaman. “Masalahnya bukan soal kebebasan belaka, tapi
bagaimana kita menerapkan kebebasan ini, kepada siapa, di mana, dan
bagaimana. Apakah kita juga tidak diskriminatif dalam menerapkan
undang-undang ini?”47 Membatasi kebebasan berbicara di mana-mana
biasanya lebih merugikan yang lemah ketimbang yang lebih kuat. Di
manapun demokrasi menetapkan batasan kebebasan berekspresi, garis
ini haruslah peka terhadap kuasa—ketimpangan struktural di pasar
gagasan yang menyulitkan kelompok-kelompok pinggiran untuk bersuara.
Dari Ujaran ke Kesetaraan
Salah satu mitos paling umum mengenai pengaturan penodaan agama
dan hasutan yaitu pandangan yang tampak meyakinkan bahwa semakin
serius masyarakat memperlakukan agama, semakin ketat negara ini
dalam mengatur ujaran. Negara-negara seperti India, yang sadar betul
akan riwayat kekerasan komunal yang dialaminya, menerapkan ambang
batas hukum yang lebih rendah bagi intervensi negara dibanding negara-
negara demokrasi Barat. Mereka seolah mengatur termostat pendingin
dengan suhu rendah, guna memutus ujaran yang menghina saat dirasa
menyinggung, ketimbang menunggunya memanas menjadi hasutan.
Dari sisi ini, kebijakan melarang penodaan agama—termasuk melukai
perasaan keagamaan, menghina agama, menistakan agama, menghujat
agama, dan sejenisnya—tampak sebagai langkah yang beralasan di dunia
yang dibayangi bahaya akibat keberagaman manusia.
Masalahnya, pandangan semacam mengandaikan penghinaan dan
hasutan tak lebih dari titik berbeda dalam skala tunggal ujaran ekstrem,
hanya berbeda derajat saja. Mitos ini terbantahkan saat kita mengkaji
bagaimana pelarangan ini diterapkan di India, Indonesia, dan negara-
negara lainnya di mana undang-undang penistaan dan penghasutan
bersandingan. Dengan perumpamaan termostat kita akan menduga
bahwa, dalam yurisdiksi di mana kasus ketersinggungan ringan saja
dapat membawa-bawa polisi, negara akan menindak juga—dan jauh lebih
tegas—hasutan ke arah kekerasan. Namun, yang terjadi tidaklah demikian.
Yang kita lihat, orang terus dituntut atau buku terus disensor sebab
dianggap melukai perasaan keagamaan, sementara yang lain dibiarkan
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 265
menghasut massa melakukan kekerasan tanpa mendapatkan hukuman.
Ternyata penghinaan dan hasutan bukan hanya dua ujaran ekstrem yang
berbeda derajat saja. Keduanya berbeda jenis dan diukur dengan skala
yang berbeda, yang mencerminkan norma yang juga berbeda. Penghinaan,
yang secara inheren subjektif, lazimnya diukur dengan seberapa besar
kemarahan ketersinggungan ditunjukkan. Pihak berwenang melihat
volume protes sebagai indikator kekacauan atau hilangnya dukungan bagi
pemegang kekuasaan. Di sisi lain, mereka mengukur hasutan, melalui
ancaman terhadap keamanan dan kesetaraan kelompok korban. Hasutan,
dengan efek yang nyata, jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan melalui
pengujian obyektif oleh pengadilan yang independen.
sebab diukur dengan skala yang berbeda, pengaturan yang
ketat mengenai penistaan seringkali bersanding dengan sikap lemah
terhadap hasutan. Para agen pelintiran kebencian dapat mengambil
keuntungan dari pengaturan yang berlebihan atas penghinaan untuk
merekayasa ketersinggungan yang beralasan, sementara di saat yang sama
mengeksploitasi kurangnya aturan mengenai hasutan untuk melontarkan
fitnah. Dua pengaturan yang berlebihan dan tidak mempan ini tampak
paradoks—sampai kita mengamatinya dengan lensa kekuasaan. Barulah
polanya akan menjadi jelas. Pemerintah menghukum penghinaan guna
menenangkan kelompok-kelompok kuat yang mengancam akan mencabut
dukungan politik mereka atau membawa kekecewaan mereka ke jalanan.
Tetapi pemerintah yang sama akan membiarkan atau bahkan ikut terlibat
dalam penghasutan apabila target kebencian yaitu kelompok yang lemah.
Hasilnya yaitu lingkungan hukum di mana kelompok-kelompok
dominan dapat melindungi identitas agamanya dari kritikan dan
memperoleh impunitas saat melontarkan ujaran kebencian yang
merugikan kelompok lain. Di sisi lain, kelompok lemah, harus menanggung
fitnah yang terus meminggirkan mereka, seraya menahan diri untuk
tidak mengekspresikan identitas dan nilai-nilai yang mereka anut.
Pendekatan hak asasi manusia berusaha menghindarkan ketidakadilan
ini dengan melindungi ujaran yang menyinggung dan melarang ujaran
yang menghasut.
Mendefinisikan Ulang Masalah
Walaupun undang-undang yang melarang hasutan diperlukan, hal itu
Bab 8266
jarang sekali memadai. Pembela hak asasi manusia paling giat sekalipun
sangsi akan efektifitasnya. Agnes Callamard, salah seorang pakar paling
terkemuka mengenai kebebasan berekspresi di dunia, menyatakan bahwa
sudah saatnya kita meninjau kembali situasi dan opsi yang kita punya.
“Apakah instrumen hukum ini membawa hasil positif bagi hak atas
kesetaraan dan pemahaman antar-budaya dan antar-agama?” tanyanya
terkait maraknya pengaturan ujaran kebencian di Eropa. “Hemat saya,
semakin cepat kita memahami dan mengakui batasan kriminalisasi atau
langkah hukum perdata, semakin cepat kita dapat menemukan langkah
alternatif dan mencurahkan energi, waktu, dan dana untuk hal yang paling
membutuhkannya.”48
Kasus pelintiran kebencian yang paling buruk—yang menggabungkan
amarah ketersinggungan dan hasutan untuk menganiaya minoritas—
memerlukan pendekatan yang lebih luas dari sekadar mengatur ujaran.
Kita memerlukan kebijakan yang secara khusus mendorong kesetaraan hak.
Sebagaimana telah kita lihat, undang-undang yang melarang penghinaan
dan hasutan cenderung menjadi alat untuk merepresi saat diterapkan
dalam sistem yang tak melindungi kesetaraan. Di masyarakat semacam
itu, kuasa untuk menetapkan penghinaan tidaklah terdistribusi dengan
adil. Kelompok yang terampas kebebasan beragama dan berkeyakinannya
melihat bahwa praktik keagamaan mereka dianggap menghina kelompok-
kelompok dominan, dan mereka menjadi sasaran kebencian.
Sebaliknya, di masyarakat yang memiliki undang-undang anti-
diskriminasi yang kuat, ujaran kebencian tak terlalu menimbulkan bahaya.
Bila kita melihat undang-undang ujaran kebencian secara sempit, Amerika
Serikat akan tampak kejam dengan keengganannya untuk melindungi
kelompok agama dari serangan ganas terhadap keyakinan yang mereka
junjung. Namun hal itu lebih didasarkan pada Amandemen Pertama
ketimbang klausul kebebasan berbicara: Amerika Serikat melindungi
kebebasan beragama dengan Free Exercise Clause (yang menjamin kebebasan
menjalankan agama) dan Establishment Clause (yang menghindarkan
pengistimewaan salah satu agama). Kebebasan berbicara berarti bahwa
penentang pembangunan masjid dapat menunjukkan permusuhannya
dengan jauh lebih bebas di Amerika Serikat daripada di negara-negara
lainnya. Tetapi kebebasan beragama berarti bahwa, terlepas dari semua
itu, umat Muslim di Amerika Serikat dapat lebih yakin dibanding umat
Kristiani di Indonesia bahwa pihak berwenang akan membela mereka dari
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 267
serangan massa dan membolehkan mereka untuk membangun rumah
ibadahnya.
Contoh lainnya yaitu isu terkait pakaian keagamaan. Pada Juni
2014, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia tak menemukan
kesalahan dari larangan pemerintah Perancis terhadap penutup wajah
di tempat-tempat publik, yang digugat oleh seorang Muslimah yang
tinggal di negara itu.49 Sementara itu, seorang Muslimah muda di
Amerika Serikat menggugat perusahaan pakaian Abercrombie & Fitch
yang menolak mempekerjakannya sebab ia berkerudung. Kasusnya
kemudian ditangani oleh badan pemerintah bernama Equal Employment
Opportunity Comission. Pada 2015, Mahkamah Agung AS memenangkan
sang Muslimah dengan margin 8-1, untuk menggugat kerugian atas
pelanggaran perusahaan ini terhadap Civil Rights Act (Undang-
Undang Hak Sipil) 1964, yang melarang diskriminasi atas nama agama
dalam keputusan perekrutan pekerja.50 Sikap tak acuh pengadilan
Amerika terhadap penistaan agama seharusnya tidak dirancukan sebagai
ketidakacuhan terhadap hak minoritas agama.
saat negara melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan
warganya tanpa terkecuali atau tanpa diskriminasi, kelompok agama
minoritas tidak terlalu khawatir dan geram saat mendapatkan ujaran
yang menghina. Ditinjau secara lebih holistik, kebijakan anti-diskriminasi
yang efektif mungkin dapat mengganti-rugi penghinaan terhadap identitas
suatu kelompok. Penghinaan tetap merupakan persoalan yang perlu
diperhatikan, tapi kita dapat lebih realistis dalam menyusun kebijakan,
meninggalkan usaha-usaha pengekangan yang sia-sia, mendorong solusi
hukum yang dapat diberlakukan, dan lebih berfokus kepada langkah-
langkah sipil dan politik yang meminggirkan ujaran kebencian dari arus
utama. Seringkali hanya inilah yang diminta kaum minoritas: sinyal yang
jelas bahwa sikap gegabah dan tak menghormati itu tidak diterima di
ruang publik, sekalipun sikap ini tak mungkin atau bahkan tak perlu
dihapuskan seluruhnya setelah dipinggirkan. Intervensi hukum yang tegas
dapat diarahkan untuk menjunjung nilai kesetaraan dalam demokrasi demi
menghalau diskriminasi yang tidak adil atas dasar agama atau penanda
identitas lainnya.
Para cendekiawan dan aktivis yang menggeluti masalah intoleransi
agama jarang sekali membahas potensi hukum anti-diskriminasi dalam
Bab 8268
membatasi efek ujaran kebencian. Perdebatan kebijakan lebih cenderung
mengarah pada pengaturan mengenai berekspresi—mungkin sebab
kita hidup di era komunikasi, di mana gambaran mengenai intoleransi
lebih menarik perhatian kita daripada ketimpangan struktural. Tapi,
membela hak-hak kelompok agama dari diskriminasi yang tak adil akan
lebih banyak mendatangkan maslahat bagi mereka dalam jangka panjang
ketimbang melindungi mereka dari penistaan. Boleh jadi kemarahan
terhadap provokasi kartun Jyllands-Posten dan Charlie Hebdo, misalnya,
lebih dipicu oleh ketidakadilan diskriminasi terhadap imigran Muslim di
Eropa ketimbang oleh penghinaan yang ditujukan kepada Nabi.
saat kelompok agama minoritas dapat mengandalkan tatanan
konstitusi yang melindungi kesetaraan, mereka punya lebih banyak
insentif untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai politik dominan. Di
Amerika Serikat beberapa kelompok minoritas, seperti Amish, memilih
untuk mengucilkan diri. Tapi kebanyakan minoritas agama di Amerika
rela menjalani semacam akomodasi yang oleh seorang ahli agama Eric
Mazur diistilahkan sebagai “Amerikanisasi.” Adaptasi semacam itu tentu
ada ongkosnya, termasuk merelakan otoritas tertinggi di negara sekular
untuk mengatur masalah-masalah duniawi serta menerima norma-
norma pluralisme dan keadaban, namun pada akhirnya hal itu membawa
kemaslahatan berupa penerimaan penuh dalam keluarga Amerika.51
Kaum Muslim Murfreesboro dan Birmingham di Selatan Amerika
berada dalam tradisi ini . Tiang bendera di luar masjid setara
tingginya dengan kubah mereka, dan, seperti gedung-gedung gereja di
Amerika, mereka mengibarkan bendera negara, the Stars and Stripes.
Bagi imam Murfreesboro, Ossama Bahloul, bentuk kesetiaan semacam
itu lebih dari sekadar kosmetik. Dalam TEDx Talk di Nashville setelah
sengketa masjidnya usai, Bahloul berbicara tentang keyakinannya yang tak
tergoyahkan pada masyarakat Amerika kebanyakan dan pada Konstitusi
AS. Beberapa keputusan pemerintah lokal di Rutherford County merugikan
proyek Masjid ini, tetapi kebebasan beragama pada akhirnya menang. Dia
mengaku sempat terheran-heran sebagai orang dari Timur Tengah, duduk
di pengadilan Amerika untuk pertama kalinya, melihat para pengacara
negara memperjuangkan Rutherford County di pihak Muslim.52
Aksi tegas negara dalam membela kesetaraan seperti inilah yang paling
efektif menangkal propaganda kebencian, dan mendorong kelompok
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 269
minoritas agar tetap berada dalam koridor hukum.
Kaum Muslim arus utama di Amerika Serikat dapat berharap kepada
rekam jejak negara ini dalam merangkul berbagai kelompok minoritas—
kulit hitam, Irlandia, Yahudi, Katolik, dan lainnya—sebagai sumber
inspirasi. Bagi Corey Saylor dari Council on American-Islamic Relations,
pengalaman orang-orang Jepang di Amerika sangatlah menginspirasi.
Mereka begitu terdiskriminasi saat Jepang berperang dengan Amerika
Serikat, tapi mereka kemudian dapat diterima dalam hitungan dekade
saja. “Ya, itu memang sulit, tapi saya yakin bahwa nanti juga Islam akan
dianggap tak lebih dari agama lain yang biasa-biasa saja di Amerika.”53
Menuju Pluralisme Asertif
Di buku ini saya sudah mewanti-wanti untuk tidak terlalu mengandalkan
hukum dalam mengatur ekspresi penghinaan dan mengembangkan budaya
toleransi. Seperti yang telah saya tekankan di bab 7, penanggulangan
intoleransi agama perlu melibatkan peran media yang punya tanggung
jawab sosial, organisasi kemasyarakatan yang progresif, serta perlawanan
publik terhadap muslihat para provokator. Tapi sarannya sering kali
hanya berhenti di sana—dan pemerintah tidak dipersoalkan. saat
membahas soal penanganan propaganda kebencian, kebanyakan
pengamat memakai kategori biner antara melindungi pendapat dan
memidanakan pendapat, mengabaikan opsi kebijakan publik lainnya.54
Sekalipun kampanye kebencian tidak dapat dilarang, tidak berarti pejabat
pemerintah boleh angkat tangan. Negara setidaknya harus menunaikan
kewajiban utamanya untuk memastikan keamanan bagi warganya.
Perdebatan filosofis seputar definisi dan pengaturan ujaran kebencian tidak
boleh mengaburkan kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya
dari kejahatan kebencian dan jenis kekerasan massa yang terus meneror
kelompok rentan di seluruh dunia. Negara perlu melindungi kelompok-
kelompok yang terancam bahaya, melalui kebijakan anti-diskriminasi dan
dengan penegakan hukum.
Negara-negara yang telah siap melakukan perubahan konstitusional
juga dapat mempertimbangkan arsitektur yang mampu mengurangi
insentif bagi para politisi yang sedang berkompetisi untuk merekayasa
kebencian berbasis kelompok. Keberagamaan sendiri bukanlah masalah
bagi demokrasi. Masalahnya hanya muncul saat politik diorganisir
berdasarkan perbedaan agama, dan saat loyalitas keagamaan yang
eksklusif dikonversi menjadi sumber daya politik. Pada titik itu, urusan
iman menjadi sangat memecah belah dan merusak. Untuk melawan
kecenderungan ini , sistem pemilihan dapat Indonesia menyajikan
contoh positif dari pendekatan ini dirancang untuk mendesak politisi
agar menarik dukungan dari berbagai kelompok budaya, sehingga dapat
membatasi atau melemahkan politik yang eksklusif.55
Indonesia memberi satu contoh positif sehubungan dengan pendekatan
ini. Gencarnya desentralisasi di Indonesia tidak mengakibatkan politik
etnis yang destruktif seperti di Yugoslavia, sebagian sebab para pihak yang
ingin berkompetisi dalam pemilihan di daerah diharuskan cukup dikenal
di tataran nasional, yang mencegah mereka untuk hanya mengandalkan
identitas etnis lokal.56 Sistem pemilihan di Singapura mengharuskan
partai politik untuk punya daftar calon yang multi-etnis jika mereka
ingin memenangkan kekuasaan, menutup kemungkinan munculnya
pemerintahan seperti BJP—sekalipun hanya kurang satu anggota parlemen
dari kelompok minoritas terbesar di sana.
Ketentuan struktural semacam itu boleh jadi dikritik sebab membatasi
pilihan dari sisi persediaan dan permintaan di dalam pemilihan. Namun,
setiap demokrasi menyesuaikan sistemnya untuk mengatasi risiko
perpecahan nasional, bahkan jika itu harus mencampuri prinsip satu
orang satu suara. Wilayah geografis umumnya mendapat perwakilan yang
tak proporsional dengan jumlah populasinya. Sebagai contoh, California
yang penduduknya 37 juta dan Wyoming yang penduduknya setengah juta
sama-sama mendapat jatah 2 persen di Dewan Perwakilan Amerika Serikat.
Tidak menutup kemungkinan bagi suatu negara untuk menyesuaikan
sistem pemilihannya untuk menanggulangi risiko politik identitas, sama
seperti yang mereka lakukan untuk mencegah agar daerah-daerahnya
tidak memisahkan diri.
Negara juga punya instrumen lain. Mereka dapat memberikan atau
tidak memberikan patronase serta mengerahkan kekuasaan simbolik
dan administratifnya. Pemerintah federal Kanada membagikan jutaan
dolar setiap tahunnya untuk proyek-proyek yang mendukung agenda
multikulturalismenya.57 Selain itu, investasi yang lebih besar juga diberikan
“untuk meningkatkan partisipasi minoritas di institusi-institusi utama
Kanada agar keberagaman di institusi ini menjadi bagian yang
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 271
wajar, normal, dan positif dalam pembuatan keputusan, alokasi sumber
daya, dan penentuan prioritas,” tulis sebuah laporan.58 Amerika Serikat
jauh lebih laissez-faire ketimbang Kanada dalam pendekatannya terhadap
keberagaman, tapi larangan Amandemen Pertama terhadap diskriminasi
dalam pengaturan diskursus publik tidak mencegah negara untuk
mengambil sikap terkait isu-isu seperti intoleransi dan rasisme, seperti
ditunjukkan Robert Post, Dekan Yale Law School. Pemerintah AS berulang
kali menegaskan prinsip kesetaraan dan toleransi. “Lihatlah perangko dan
monumen kami. Lihatlah ekspresi para pejabat Amerika mengenai masalah
ras dan toleransi. Lihatlah peraturan dan regulasi yang diberlakukan di
militer, institusi pemerintah, kontraktor, dan seterusnya,” lanjut Post.
“Jangan merancukan negara Amerika sebagai negara yang netral.”59
Jika para pejabat pemerintah, bahkan di negara demokrasi liberal,
memiliki keleluasaan untuk mengambil sikap politik dan administratif
yang tegas terhadap intoleransi agama, maka tak ada alasan bagi mereka
untuk tidak melakukannya. Undang-undang kebebasan berbicara boleh
jadi menghalangi mereka untuk menyensor atau menghukum ujaran
kebencian di ruang publik, tetapi itu tidak menghalangi para pejabat
untuk mengutarakan ujaran tandingan. Pluralisme asertif mengharuskan
para pemimpin di negara demokrasi untuk membela mati-matian hak
warganya untuk berbicara—tapi juga untuk menyatakan sanggahannya
sendiri saat ada pendapat yang mendorong intoleransi. Pemerintah yang
tidak mengambil tindakan demikian akan terkesan abai memperhatikan
identitas keagamaan warganya. Inilah kegagalan politik di balik kontroversi
kartun Jyllans-Posten pada 2005. Kejadiannya mungkin akan berbeda jika
Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen menanggapi positif
permintaan pertemuan dari utusan negara-negara Muslim.60 sebab terlalu
sibuk mengurusi persoalan legal dan konstitusional, ia luput memakai
ruang politik yang tersedia baginya.61
Kekeliruan semacam itu akan menjadi sangat serius di masyarakat
dengan supremasi hukum yang lemah. Tidak adanya sinyal yang jelas
dari pemerintah dapat diartikan sebagai kelonggaran terhadap pelanggar.
Di Indonesia, pakar keamanan Sidney Jones menyalahkan pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sebab tidak memakai
kekuasaannya untuk mengecam intoleransi.62 Mereka malah membiarkan
para pengkhotbah radikal menyebarkan pesannya di sekolah-sekolah
negeri, misalnya. Meski kekuasaan pemerintah pusat di negara yang
sangat terdesentralisasi memang terbatas, tapi presiden Indonesia dan
para menterinya masih punya berbagai sarana yang dapat mereka gunakan
untuk mendorong budaya toleransi dan menyisihkan kelompok garis-keras
di pinggiran kehidupan publik, ucapnya.
Alasan utama kegagalan kepemimpinan demokratis semacam itu cukup
jelas. Dalam beberapa situasi, seperti dicontohkan Narendra Modi dan BJP,
kekuatan-kekuatan intoleran sudah merebut kekuasaan. Mereka sendiri
yaitu masalah, dan tak dapat diharapkan untuk memberi solusi. Dalam
kasus lain, seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Barack Obama, dan Aung
San Suu Kyi, para pemimpin mungkin seperti terpenjara oleh opini publik
dan tak mampu mengerahkan modal politik dari konstituen yang terbatas
pengaruh politiknya.
Persoalan mereka mencerminkan dilema utama di balik pelintiran
kebencian. Judul buku ini menggambarkan pelintiran kebencian
sebagai ancaman bagi demokrasi. Tetapi itu juga merupakan bahaya
yang ditimbulkan oleh demokrasi. Tentu bukan demokrasi sebagaimana
mestinya, tetapi demokrasi cacat yang mengutamakan kehendak orang
banyak di atas hak individu. Ini yaitu suara demokrasi minus nilai
demokrasi, memberdayakan banyak orang, tapi menutup mata terhadap
ketidakadilan yang menimpa segelintir orang. Masyarakat demokratis
mestinya tidak hanya tahu soal hak untuk memilih pemerintahnya saja,
tapi juga paham akan syarat-syarat pokok dari kehidupan demokratis,
termasuk nilai-nilai toleransi dan saling menghormati. Nilai-nilai ini
akan sulit berkembang di masyarakat yang sudah diliputi ketakutan dan
kebencian terhadap “yang lain.” Di sana, institusi yang diharapkan dapat
menanamkan nilai yang benar—keluarga, sekolah, organisasi keagamaan,
dan media—malah menanamkan kebencian dan fanatisme.
Terlebih para penyebar intoleransi keagamaan umumnya sudah
meyakini superioritas moral dari ideologi jualannya. Manusia sudah
menghasilkan aturan-aturan sosialnya jauh sebelum adanya hak asasi
manusia modern. saat menghadapi masalah sosial, tampaknya wajar
dan benar untuk mengacu kepada tuntunan kelompok, yang seringkali
didasarkan pada ajaran keagamaan. Jadi tidak heran jika banyak
warganegara yang lebih tertarik kepada supremasi identitas daripada
supremasi hukum yang menafikan budaya.
Kekeliruan fatal dalam pemikiran ini ialah gagal mempertimbangkan
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 273
fakta kemajemukan manusia. Bagi beberapa orang, kemajemukan
ini yaitu ciri utama peradaban manusia; bagi yang lain, tuntutan
untuk mengakomodasi perbedaan yaitu kutukan globalisasi. Tapi
menyangkalnya bukanlah sebuah pilihan. Masyarakat yang dari luar
tampak homogen sekalipun tidak pernah demikian; mempertahankan
mitos homogenitas pada akhirnya akan melibatkan ketidakadilan dan
paksaan. saat masyarakat bersandar pada ketentuan masyarakat
tradisional dalam menyelesaikan perbedaan, mereka telah merancukan
komunitas dengan bangsa. Bangsa bukanlah komunitas; ia yaitu “pasar
tempat komunitas-komunitas,” seperti dikatakan Post, di mana setiap
komunitas punya “cara-cara masing-masing dalam menentukan mana
yang patut dan tak patut, mana kritik dan mana kebencian.”63
Dengan heterogenitas ini , ada godaan untuk mendasarkan
identitas dan norma nasional pada nilai-nilai bersama yang dimiliki
berbagai komunitas. Pendidikan kewarganegaraan juga memang bertujuan
menunjukkan landasan bersama ini kepada para siswa. Tetapi, dalam
menyelesaikan sengketa antar-komunitas, nilai-nilai bersama yang
tradisional hanya bisa sejauh itu saja. Tak ada komunitas yang akan senang
membatasi ungkapan nilai-nilainya menjadi denominator bersama yang
paling rendah. Beberapa praktik dan kepercayaan yang dianggap penting
bagi sebuah komunitas mungkin akan dianggap tidak selaras oleh praktik
dan kepercayaan yang lain.
Pertanyaannya, kemudian, ialah bagaimana menyikapi perbedaan
yang tak tereduksi ini. Kompromi tidak terhindarkan, dan kecuali kita
siap hidup dengan ketidakadilan dan risiko konflik kekerasan, semua
itu perlu dinegosiasikan melalui sistem yang kompatibel dengan realitas
kemajemukan. Darah dan kedudukan tak dapat mengalahkan hukum.
Itulah mengapa bangsa-bangsa memerlukan tatanan konstitusional yang
kompatibel dengan hak asasi manusia modern, untuk melindungi hak sipil
dan politik setiap individu, termasuk kebebasannya untuk berekspresi,
beragama, dan berkeyakinan. Kerangka hak asasi manusia mungkin
mencerminkan kecenderungan kultural negara-negara Barat sekular,
seperti yang sering dikatakan para pengkritiknya. Tetapi, sampai saat ini,
kita belum menemukan jalan lain yang lebih baik untuk menyelesaikan dan
mengatur ketegangan seputar ujaran keagamaan di dunia yang heterogen.64
Cara berpikir yang lebih tradisional berlaku di banyak negara, termasuk
di negara-negara demokrasi Barat. Gejolak berkepanjangan di masyarakat
Eropa tampaknya sebagian disebabkan oleh cara pandang terhadap
identitas nasional—yang biasanya dikaitkan dengan hal-hal seperti darah,
etnis, dan agama, yang tidak dipunyai oleh kebanyakan pendatang dan
pengungsi.65 Di negara yang sudah terpolarisasi berdasarkan agama,
agar siklus ini dapat diputus perlu pemimpin berani yang mampu
membuka pikiran orang-orang akan persatuan dalam keberagaman:
pemimpin seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan Nelson
Mandela. Tapi seorang Gandhi sekalipun tak pernah bisa menghapus
sektarianisme, dan bahkan dibunuh sebab nya, seperti juga King. Afrika
Selatan bahkan tak perlu menunggu Mandela wafat sebelum terjerumus ke
dalam Xenophobia. Pemimpin karismatik dan pemersatu dapat merintis
siklus yang bernilai luhur, namun tanpa pembaruan dan pelembagaan yang
berkelanjutan, warisan mereka tak akan bertahan lama.
Kerangka hukum yang melindungi kebebasan dan kesetaraan warga
mesti ditegakkan dengan nilai-nilai kewargaan yang sensitif terhadap
realitas kemajemukan. Ini termasuk mengasah apa yang disebut Martha
Nussbaum sebagai symphatetic imagination, mata batin yang membuat
seseorang melihat orang lain sebagai manusia seutuhnya, dengan segala
cita-cita dan ketakutannya.66 Ini juga termasuk mendorong orang untuk
menyadari bahwa mereka “berbeda dalam berbagai hal,” seperti kata
Amartya Sen.67 Orang tidak hanya berbeda dalam hal agama. Mereka juga
memiliki identitas ras, bahasa, bangsa, daerah, kelas, kasta, pekerjaan,
gender dan generasi ditambah kedekatan dengan berbagai lokalitas,
sekolah, selebriti, dan tim sepak bola. Hal ini tampak mempersulit upaya
membangun solidaritas sosial namun, tapi juga bisa sebaliknya. Dengan
berbeda dalam berbagai hal berarti akan selalu ada hubungan yang
dapat diaktifkan di antara anggota-anggota komunitas yang tampak
antagonis. Tetapi para agen pelintiran kebencian sangat lihai membuat
orang melupakan ikatan ini dan menonjolkan salah satu penanda identitas
utama yang sarat emosi, hanya sebab ia lebih mudah dimobilisasi.68 Insting
dasar orang-orang kemudian digunakan “untuk menggantikan kebebasan
berpikir.”69
Proyek pluralisme asertif menuntut kejelasan tujuan yang dapat
menyaingi mitos sederhana kita-lawan-mereka yang disebarkan para
propagandis kebencian. Kalangan liberal lebih memilih untuk tidak
membungkam setiap suara intoleran, meski begitulah kalangan intoleran
Pluralisme Asertif untuk Dunia yang Majemuk 275
memperlakukan lawan ideologisnya. Tapi toleransi liberal tak perlu sampai
menjadi relativisme moral yang melemahkan. Pluralisme asertif dapat
dibangun di atas pandangan yang kokoh bahwa tatanan konstitusional
yang multikultur dan melindungi kesetaraan lebih unggul daripada cara-
cara pengorganisasian negara-bangsa yang mengistimewakan salah satu
identitas agama atau budaya di atas identitas yang lainnya. Para pengusung
masyarakat yang eksklusif dan absolut itu keliru.
Pluralisme asertif tidak menafikan identitas keagamaan seseorang,
tetapi ia menuntut agar orang-orang tak menyangkal keberagaman di
sekitarnya. Ia tidak menggugat kedudukan agama yang dibenarkan dalam
kehidupan publik negara demokrasi atau menyepelekan kebutuhan para
penganutnya untuk dihormati. Namun ia menentang keras pandangan
bahwa legitimasi dan penghormatan ini hanya dapat diperoleh
satu agama saja, dan mengesampingkan keyakinan lain yang lebih kecil.
Tidak ada manusia, apalagi masyarakat, yang dapat didefinisikan oleh
satu identitas tunggal. Akan tetapi, begitulah para entrepreneur politik
memperdaya ratusan juta warganegara, untuk memperbesar kekuasaannya.
Pelintiran kebencian menjadi strategi yang sangat ampuh bagi kaum
oportunis itu—tapi ia masih dapat dimentahkan, dengan keyakinan dan
kegigihan.***