Tampilkan postingan dengan label rakyat 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 8. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 8
Desember 14, 2022
rakyat 8
mpu wungubhumi . Aku takkan menuntut padamu
untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau menimbang dan
menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak
memiliki arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar
dari emakmu sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau
anggap emakmu tidak setia pada raden panji gelang-gelang , sudahlah
jadi nasibku, terserah padamu. Kalau kau menjadi murka
padaku, terserahlah pula padamu….”
“Terimakasih, Mak, anakmu yang bernama mpu wungubhumi ini
lebih percaya pada emaknya dibandingkan siapa pun. Sekarang,
Mak apakah orang itu, yang suka membius itu—”
“Apalah gunanya kau tanyakan lagi? Aku tak sudi kau
menyebutkan namanya.”
“Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya,” dan
ia lihat duka-cita sudah membenam wajah ibunya. Buru-
buru ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup,
“hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.”
lalu ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya
menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat
menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri.
“mpu wungubhumi !” kata ibunya. “mpu wungubhumi ! Gelaaaar!” ia lari
memburunya. Di dekatnya ia berkata menghiba-hiba, “Aku
sudah kecewakan kau. Maafkan aku. mpu wungubhumi .”
mpu wungubhumi berjalan menuju ke kandang kuda, membuka
palang-palang dan menuntun kanjeng sinuhun keluar.
“Kau mau ke mana, anakku? pagi-pagi begini?” tanya
ibunya kuatir.
“Mari ke gubuk dahulu , Mak.”
Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda,
menuju ke gubuk. mpu wungubhumi masuk ke dalam dan memanggil
adiknya.
“Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak.
Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang.
Gantikanlah pekerjaanku selama aku tak ada.”
“Kau mau ke mana. mpu wungubhumi ?” nyi girah bertanya.
“Mak, ambilkan gada ku.”
Tanpa membantah nyi girah pergi mengambilkan apa yang
dikata oleh anaknya. Dan waktu ia datang mpu wungubhumi segera
berkata: ‘Tanganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu
sendiri.”
“Kau mau ke mana. mpu wungubhumi ? Aku tak mau kehilangan
kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil,” pohonnya
selama memasangkan ikat pinggang gada pada tubuh
mpu wungubhumi .
“Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang.”
“Apa kataku kalau bapakmu datang?”
“Mak, pasangkan destarku.”
nyi girah pergi lagi dan datang membawa destar terbaik.
mpu wungubhumi berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi
rambutnya sebelum didestari.
“Aneh benar tingkahmu. Nak?”
“gada wesi bapak, Mak.”
“Kau seperti hendak berangkat perang,” kata ibunya
sambil menyelitkan gada wesi yang sudah membunuh Sang Patih
kediri .
mpu wungubhumi berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum,
bertanya: “Lihatlah anakmu sebelum berangkat, Mak,
gagahkah dia?”
“Tak ada yang lebih gagah.”
“Gagah manakah dengan orang itu sewaktu muda,
Mak?”
“Jangan sakiti hati emakmu. mpu wungubhumi .”
“Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakmu baik-baik,
Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar
kau bisa kenangkan dia dengan baik.”
“mpu wungubhumi ! Mau ke mana kau?” untuk ke sekian kalinya
nyi girah memohon. “Kau takkan tinggalkan kami berdua,
bukan?”
Sekarang mpu wungubhumi berlutut lagi dan bersujud ibunya.
“Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat,” dan nyi girah
terpaksa merestuinya. lalu ia berjalan keluar dan
memanggil kudanya: “kanjeng sinuhun ! kanjeng sinuhun !” Kuda itu datang
menghampiri. Ia melompat ke atasnya.
“Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang?” Ia
selitkan cambuk-perang yang selama ini dipakai nya
berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang
tombak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di
belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau
langit. Kuda itu bergerak, berpacu.
Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, lalu
hilang di dalam hutan….
Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang
alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu.
Pada suatu padang rumput barulah berhenti. mpu wungubhumi turun
dan membiarkan kanjeng sinuhun merumput Ia sendiri duduk di
tepian padang, makan rebus jagung muda.
Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa
patih wirabuana kediri ke Jawa sudah menyebar ke seluruh
pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga
mpu wungubhumi tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita.
Sesudah kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat
pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya.
Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. lalu ia
melanjutkan perjalanan kembali.
“Puh, puh, puh! lari, cepat kanjeng sinuhun , cepat. Lebih cepat!
Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.”
Padang rumput itu sudah terlalui dan kini ia memasuki
jalanan desa.
“Stt. Kau lari ini hendak ke mana? Tahu kau ke mana
kau harus bawa aku?”
Sawah dan beberapa rumah mulai dilewati dan
dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan
makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan
kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil
melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada
berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia
ini.
“Ah-ah, kau memang cerdik, kanjeng sinuhun , tahu ke mana aku
hendak pergi.”
Kuda sudah meninggalkan desa dan kembali memasuki
persawahan.
“Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada
nyi kanjeng blora,” ia memperingatkan. “Sekiranya, kanjeng sinuhun ,
sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang
sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa
kembali. Mengerti? Apa? Kau sudah lelah lagi? sinar matahari pun
belum lagi bergeser sejengkal. Jangan manja.”
Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui
jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap
kuda dan desau angin pada kuping memicu ia tak
banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya
matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia
pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon
tinggi, menyuruhnya berhenti.
Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan
bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung.
Sampai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. mpu wungubhumi
menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap
menolak maju dan terus juga meringkik.
“Turun!” terdengar suara dari balik semak hutan.
mpu wungubhumi menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia
mencabut tombak.
“Orang siapa? pajang bintoro ?”
“Bukan.” .
“nyi kanjeng blora?”
‘Tidak.”
“kediri ?”
“Tiga-tiganya tidak!”
“Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah.
Siapa kau?”
“Keluar kau dari semak, Laki-laki , inilah mpu wungubhumi .”
Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa
belas orang keluar melingkarinya. mpu wungubhumi sendiri duduk di
atas kuda menyiap tombak dan meruncingkan
kewaspadaan.
“Kau, mpu wungubhumi !” mereka berseru senang.
“ayolah , turun.” mpu wungubhumi curiga. namun suara tawa mereka
bersabda . Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang
melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang
centeng pengawal kediri .
“ayolah , mpu wungubhumi , turun! Tak ada orang memiliki gaya berkuda
seperti kau.”
“Siapa kalian,” mpu wungubhumi bertanya curiga. “pajang bintoro atau
kediri ?” ia bertanya kembali.
“kediri . Sudah butakah matamu? ayolah , minum tuak
dahulu ! Semua ini teman-temanmu sendiri sepasukan. Tidak,
tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan
menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang
seperti itu?”
mpu wungubhumi mengembalikan tombak pada tempatnya, tertawa
waspada dan turun.
“Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran…’ ia
awasi centeng -centeng pengawal itu.
“Pertengkaran apa? Terlalu banyak musuh untuk boleh
bertengkar pajang bintoro , nyi kanjeng blora. Kau toh akan bergabung
dengan kami?”
Dengan tetap memegangi hulu gada ia hamp iri bekas
tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: “Aku
mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke kediri .
Dengar?”
“Beres. Bergabung dahulu . Minum, ambil tuak itu.
Tuaaaak.” Mereka masuk ke dalam hutan, merubung
ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar
lalu mereka sudah riuh-rendah dalam keredupan .
“Kau sudah perjaka gagah berani. mpu wungubhumi !” seorang
memulai. ‘Tahukah, kau. mpu wungubhumi ,” seseorang menyambung,
“patih wirabuana itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih?”
mpu wungubhumi tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam
menembusi mata si penanya, lalu meletakkan cangkir
di tanah.
“Jangan kau gusar,” segera orang meredakan. “nyi kanjeng blora
sudah membebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi
segala macam kecelakaan.”
mpu wungubhumi menahan diri. Ia mencoba memahami adakah
ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina
ataukah sekedar memberitahukan, Belum lagi ia dapat
memutuskan terdengar derap kuda datang mendekati.
“Siapa itu?” mpu wungubhumi bertanya curiga.
“Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, mpu wungubhumi , kau mau ke
mana dengan kelengkapan perang selengkap ini?”
mpu wungubhumi tak bermaksud menjawab. Orang lain sudah bicara:
“Ingin kami lihat tampangmu kalau sudah berhadapan
dengan nyi kanjeng blora. Terhadap teman-temanmu sendiri kami
sudah cukup tahu. mpu wungubhumi ”
“Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau
mendengar musket dan gada rujakpolo . Pucat, kau. mpu wungubhumi ,
mungkin pingsan sewindu”.
Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru
dan derap kudanya padam: “Kembali kalian! Semua!
panembahan senapati ki ageng wilareja sudah datang, panembahan senapati ki ageng wilareja yang lama. ayolah
kembali!”
Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke
jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda
menyampaikan perintah: ‘Tanpa kecuali, semua kembali.
panembahan senapati ki ageng wilareja sudah datang.”
“ki glodog ireng ?”
“Bodoh. raden panji gelang-gelang ! Bersoraklah untuk panembahan senapati ki ageng wilareja .”
Orang pun bersorak-sorai. mpu wungubhumi menyembunyikan muka
pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu
bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang
panembahan senapati ki ageng kediri . Ia merasa seumur hidupnya sudah jadi duri
dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang
panembahan senapati ki ageng ?
“kanjeng sinuhun !” sebutnya pada kudanya meminta simpati.
Kuda itu menengok padanya. Sorak-sorai itu sudah berhenti.
“Kau tidak ikut bersorak. mpu wungubhumi !” seseorang menegur.
“Seumur hidupku aku sudah bersorak untuknya,”
jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada
punggung kanjeng sinuhun .
“ayolah , semua berangkat sekarang juga.”
Orang pun mengemasi bawaannya masing-masing dan
naik ke atas kuda. Juga mpu wungubhumi bergabung dengan sendirinya
dan ikut berangkat
Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan
sudah hilang di balik tabir debu. la memerlukan waktu
untuk memantapkan kembali hatinya. panembahan senapati ki ageng wilareja !
panembahan senapati ki ageng wilareja , masihkah diri ini anakmu? Akan kau terima
diri ini bila ikut datang menjemputmu? Mengabdi padamu?
Aku bangga berbapak kau. Ah, panembahan senapati ki ageng wilareja . Ia pacu
kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku.
Bapak! Bapak, aku, mpu wungubhumi datang.
mpu wungubhumi diterima kembali oleh pasukannya.
Dan panembahan senapati ki ageng kediri , raden panji gelang-gelang , ternyata tak pernah
dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita
bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian
kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap centeng .
Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap
seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu
dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu
pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat
dilawannya.
centeng -centeng yang selama ini dibiayai oleh praja
kediri , dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani,
sudah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja
centeng yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari
perampokan langsung atas petani. panembahan senapati ki ageng sudah tindas
kecenderungan jahat ini, dan memerintahkan setiap centeng
menjadi petani dan setiap petani menjadi centeng . Dan
ternyata setiap centeng bisa menjadi petani dan setiap petani
bisa menjadi centeng .
Dan panembahan senapati ki ageng kediri masih juga tidak dilihat oleh orang.
mpu wungubhumi harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk
memperoleh restu, untuk memperoleh ijin istimewa memasuki
kediri , menemui patih wirabuana pakanewon Habibullah AlMasawa.
nyi girah sudah mengatakan melalui jalan kelok, patih wirabuana
itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya
dan bersujud nya sebagai seorang ayah. Biar semua
orang membenci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya,
orang yang suka membius itu. Ia ingin tahu dengan mata
dan kuping sendin bagaimana macamnya.
Dan keinginan itu tak juga terpenuhi.
Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi
pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih
memainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu
fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan
selamat. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia
dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan
betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang
membenci orang Moro itu. Mereka berhak membencinya
dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam
perang terakhir nanti.
Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang
saja bisa membuat diri dan emak dan panembahan senapati ki ageng menelan
kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak patih wirabuana itu
sendiri yang harus menanggungkannya? Tidak adil! ia
berteriak sunyi.
Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan
pengiriman seorang telik untuk memasuki kota, ialah yang
terpilih. Ia sudah memperoleh nilai sebagai pemuda yang
berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan
syukur pada sang Hyang betari durga . Dengan menyandang semua
senjatanya ia naik ke atas punggung kanjeng sinuhun dan berpacu ke
utara.
Sampai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia
nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas,
bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak
ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan
pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini
diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakau-
bakau.
Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada
keredupan , beda dibandingkan pondoknya dalam
pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang sudah
lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin.
Ia masuki sebuah rumah, sudah doyong, dan dua orang
anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata
orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah
pertanian. Juga di rumah-rumah lain, yang ada hanya
anak anak. Semua nelayan sudah meninggalkan laut
untuk bertani.
Di malam hari waktu mereka pulang ia memperoleh cerita,
penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi
orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman.
Mereka pun sudah berhenti membuat ikan asin dan trasi.
Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan.
namun mpu wungubhumi melihat, sawah-sawah garam mereka sudah
tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan
yang amat sangat.
Walau begitu ia tak ragu-ragu memerintahkan seorang
laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara
kuda dan barang-barang titipannya.
Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke
jurusan timur pengalaman pertama dalam hidupnya
sebagai orang pedalaman.
Ia sudah memperoleh tugas untuk menemukan pemusatan-
pemusatan kekuatan nyi kanjeng blora, mencatat adat-kebiasaannya
di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah
geraknya.
Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri
pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir
maut begini suatu kehormatan untuknya. Ia akan
tunjukkan pada emaknya, pada panembahan senapati ki ageng , pada semua yang
mengenal dan tidak mengenalnya, ia mampu lakukan tugas
berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak panembahan senapati ki ageng
kediri . Dan panembahan senapati ki ageng akan bangga memiliki anak seperti
dirinya. Ia takkan memalukan orangtuanya.
Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak
menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan
selamat di barat jenggala kota, dan jenggala itupun terbentang
di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal
pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir
telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat,
berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan
tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan
mata menatap hanya pada satu titik. Rambut kacaunya
jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya,
terutama hidung-bengkungnya.
Tanpa ragu-ragu ia mendekati centeng -centeng kanjuruhan
dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan
cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan
permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak
kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup
manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan.
kepala nya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan
tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak
rambut yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan
satu-satunya adalah pangan, namun justru itu yang
memicu ia mengurus dan nampak pucat. Dan itu
lebih baik baginya.
Untuk memperoleh kan pemusatan-pemusatan kekuatan
baginya tak merupakan kesulitan. gada rujakpolo -gada rujakpolo ia dapat
mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar
benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu.
Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan
nyi kanjeng blora. Sedang jenggala sendiri nampaknya tak begitu
terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng memang
merupakan bahaya awal bagi belapara bala tentara kediri , namun di
malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga
mata para bala tentara nyi kanjeng blora itu tidur di malam hari.
Ia lihat para bala tentara -para bala tentara berkeliaran di kampung-
kampung dan menggauli wanita yang tak mampu
meninggalkan kota. namun lebih banyak lagi adalah yang
berkeliaran di gubuk-gubuk jenggala . Dan di sini pula ia
sekali melihat patih wirabuana kediri keluar dari sebuah gubuk,
tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus
tua. lalu ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi
kembang Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak
terpelihara lagi seperti dahulu .
Beberapa hari lamanya ia memata-matai patih wirabuana , la
selalu melihat orang itu berada dalam kawalan para bala tentara dan
setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi kembang Kati, seorang
diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk
itu pengawal-pengawalnya lalu pergi dan masuk ke
tempat-tempat lain.
Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir
jalan ia lihat patih wirabuana lewat dalam pengawalan. Ia
berhenti, mengawasinya sejenak lalu bicara sesuatu
dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat
patih wirabuana itu memerlukan untuk membuang inya, dan mpu wungubhumi
tertawa berbahagia memperoleh pukul itu dan menyekanya
dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu
dengan pandangnya.
Itulah bapakmu yang sebetulnya . mpu wungubhumi , buruk
sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat
sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia?
Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan?
Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya? namun
itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri
mengatakan dengan jalan dan cara lain.
Betapa ibunda ku menderita sebab kau, menanggung
malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke
tanganku iblis tua! Inilah mpu wungubhumi , anakmu, dia akan datang
padamu. Hati-hatilah. 30 hari lalu , pada
suatu sore ia melihat Nyi kembang Kati menggendong bakul
entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran,
la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya sudah
goyah, tiada mantap seperti biasanya.
Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu
memasuki gubuk dan sebentar lalu juga patih wirabuana
dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawal-
pengawal itu menjauh dan memasuki gubuk lain.
Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan
debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret
dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara
tawa patih wirabuana dan Nyi kembang .
“Kau semakin kelihatan kurus, Kati.”
“Tidak, Tuan, saya hanya lelah.”
Seorang pelacur yang lewat sudah mengganggunya
dengan pukul dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa,
mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain
muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari
bercekikikan. Ia belok kanan jalan memburu mereka,
lalu kembali ke gubuk Nyi kembang .
Pintu daun kacangtanah itu terbuka. Ia melompat masuk
sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung.
Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya
ternganga.
Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi
kembang berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap
serangan. raden sanggabuana bumikerta naik ke atas ambin
kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya.
wanita lesbian itu segera mengenalnya dan berseru dari
tempatnya: “mpu wungubhumi !”
“Nyi kembang !” tiba-tiba saja mpu wungubhumi lupa pada kegilaannya.
“mpu wungubhumi ! anakku, mengapa kau jadi begini?” ia melangkah
mendekat.
Dan mpu wungubhumi merasa agak berkecilhati sebab wanita itu
segera mengenalnya. Ia melengos memandangi
patih wirabuana .
“Beginilah nasib anakmu, Nyi kembang .”
“mpu wungubhumi ?” patih wirabuana bengong dan turun dari ambin.
“Ya, inilah mpu wungubhumi .”
“Sudah kucari Nyi kembang ke mana-mana. Beri aku
makan,” perintah mpu wungubhumi . Kasar.
“mpu wungubhumi ? Kau sudah bisa sekasar itu? Ya, tunggulah aku
masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.”
“Makan?” mpu wungubhumi tertawa sinting. “Siapa yang cukup
makan sekarang? Siapa cukup pakaian?” ia melotot pada
raden .
“Compang-camping begitu,” gumam patih wirabuana ,
“mungkin memang sudah gila.” Ia mengendurkan
kesiagaannya. “Kulihat memang mpu wungubhumi seperti celeng keluar
dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar,
biar Nyi kembang selesaikan masaknya.”
“Di mana emakmu?” tanya Nyi kembang .
“Lari. Tak tahu aku ke mana.”
“Seperti gila, namun bisa menjawab,” patih wirabuana
meneruskan bicara pada diri sendiri. “Busuk benar baunya,
dan lalat mengikuti begitu rupa.” Dan sekarang ditujukan
pada mpu wungubhumi , “Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan
centeng kediri ?”
“Minum, Nyi kembang !” mpu wungubhumi meminta kasar, membelalak.
Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta
maaf dan menghampiri: ‘Tuak aku tak memiliki , mpu wungubhumi .”
“Air tawar?” gumam mpu wungubhumi , lalu meneguk dan
meletakkan gendi di atas lantai tanah. “Aku kotor, lapar,
namun masih tetap mpu wungubhumi , Nyi kembang ,” ia tersenyum di buat-
buat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada
patih wirabuana , “Siapa orang ini, Nyi kembang ?”
wanita lesbian itu mengambil gendi dari tanah dan
menaruhnya kembali di dalam gantungan: “Masa kau lupa
siapa dia?”
“Apa guna kau mengenal aku?” patih wirabuana menolak
untuk dinamakan namanya. Ia bergerak hendak keluar dari
pintu.
mpu wungubhumi mencegahnya melangkah lebih jauh.
“Siapa!” tanyanya pendek dengan suara menggeram.
“Tingkahmu menakut-nakuti orang mpu wungubhumi . dahulu kau
tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, mpu wungubhumi .
Kau begitu kotor dan busuk.”
Dan kembali patih wirabuana bersiaga dan mundur menjauh
beberapa langkah.
“Jangan mundur!” tegah mpu wungubhumi . “Biar kuingat-ingat siapa
kau;” ia raba-raba hidungnya sendiri. “Hidungku seperti
hidungmu.” gumamnya. “Aku lupa seakan pernah kulihat
kau dalam hidupku.”
“Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat,”
tegah Nyi kembang sambil meneruskan masak.
“Bukankah itu Tuan patih wirabuana kediri ?”
“Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan patih wirabuana ,”
mpu wungubhumi meneruskan gumamnya. “Kalau aku sudah menjadi
tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau?”
raden sanggabuana berusaha hendak keluar dan gubuk, dan
kembali mpu wungubhumi menghalangi.
“Kupukul kau kalau merintangi jalanku,” ancam
patih wirabuana .
“patih wirabuana , Tuan patih wirabuana ,” bisik mpu wungubhumi . “Tuan
patih wirabuana kediri . namun siapakah namanya? Sudah lama
kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. namun
siapakah namanya?”
“mpu wungubhumi ! Kau mengganggu aku memasak. Jangan ganggu
pula Tuan pakanewon Habibullah Al-Masawa itu.”
“Benar, pakanewon Habibullah Al-Masawa!” mpu wungubhumi
mendengus. “Benar, ingat aku sekarang.”
“Mengapa kau nampak begitu menakutkan?” tegur Nyi
kembang yang kembali mendekatinya. “Hormati dia
sebagaimana kau menghormati orangtua.”
mpu wungubhumi mencibir. Dan patih wirabuana tetap siaga dengan
tongkatnya.
“mpu wungubhumi ! Kau atau aku yang pergi dan situ!” bentak
patih wirabuana . “Kau ini orang pajang bintoro atau kediri , atau
hanya main pura-pura gila?”
“Kau menghadapi Tuan patih wirabuana sebagai
menghadapi…,” Nyi kembang memperingatkan.
“Nyi kembang , ingatkah Nyi kembang semasa aku masih kecil?”
tiba-tiba mpu wungubhumi bertanya kekanak-kanakan. “Ini dia Tuan
patih wirabuana pakanewon Habibullah Al-Masawa. Kata orang. Nyi
kembang , dia bapakku.”
“Penipu! Tak ada aku beranakkan kau!” bentak raden
sanggabuana bumikerta , tak jadi pergi.
“Benarkah itu, Nyi kembang ?”
Wanita itu meneliti wajah mpu wungubhumi , memarahi: “Kau
datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan
tidak pada waktunya.”
mpu wungubhumi tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak:
“Mengapa begitu pucat. Tuan patih wirabuana ? Jangan, jangan
pergi. Anakmu ingin bicara,”
“Tak ada aku memiliki anak seperti kau.”
“Jadi kau bukan bapakku? Kaukah yang menipu ataukah
ibunda ku nyi girah ?”
“Jelas nyi girah penipu!” patih wirabuana memutuskan.
Nyi kembang memegangi bahu anak muda itu, bertanya
lunak: “Pernahkah nyi girah bilang begitu?”
“Tak pernah nyi girah mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi
kembang , kau yang pernah membidani emak waktu aku lahir.
Apa katamu?”
Nyi kembang menarik mpu wungubhumi agar duduk di ambin, namun ia
menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan
masakannya.
“Jangan menakut-nakuti begitu, kau, mpu wungubhumi ,” ia
memperingatkan, “kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan
patih wirabuana , nampaknya memang seperti dua orang
kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai.
Tuan patih wirabuana ….”
“Apa saja semua ini…,” protes patih wirabuana .
“… Jangkung, namun tua dan bongkok. Memang
sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata,
rambut….”
“Diam, kau, Kati,” bentak raden sanggabuana . “Gila kalian
berdua ini. Aku pergi.”
Dan mpu wungubhumi menghadang.
“Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami?
Nyi kembang , ceritakan penderitaan ibunda ku sesudah
melahirkan.”
“Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan
dituduh oleh suaminya, raden panji gelang-gelang . Si periang itu, jadi
pendiam untuk selama-lamanya sesudah itu, jadi pemenung.
Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan
sendiri. Dia sudah serahkan diri pada suaminya untuk
dicundrik mati.”
“Kau dengar itu, Tuan pakanewon , bapakku?”
“Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan
ibunda ku sebab tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi kembang .”
“raden panji gelang-gelang tidak mencundrik emakmu. Dia tetap
mencintainya. Betapa agung cinta Laki-laki itu. namun wanita
itu, perasaannya sudah rusak hancur sejak itu, takkan dapat
pulih kembali.”
“Dan semua dimulai dengan obat bius,” mpu wungubhumi
menambahi.
“lalu , baru lalu itu diketahui,” Nyi kembang
Kati membetulkan.
“Tak perlu aku membius seorang pun!” bantah
patih wirabuana .
“Aku pun pernah kau bius, Tuan,” Nyi kembang menuduh.
“Kau, Kati, kau juga menuduh aku?”
“Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang nyi kanjeng blora
pelarian,” mpu wungubhumi meneruskan, “korban obat bius.”
“Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan
penderitaan nyi girah ?”
patih wirabuana seperti kehilangan kepribadiannya. Ia
menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat
memutuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada
sumpahnya untuk mengakui mpu wungubhumi sebagai anaknya. Dan
anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu
aturan.
“Setiap dia melihat kau. mpu wungubhumi ,” Kati meneruskan, dia
akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan
yang mengguncangkan itu, sebab dia sangat, sangat
mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa
saja. sebab besarnya cintanya itu sebelumnya dia sudah
hadapi maut, menolak jadi selir Sang adiputro , menolak
segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan patih wirabuana
membiusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran
dosa sudah meraba tubuhnya, dan kau, mpu wungubhumi , kau pun
lahirlah. Kau anak Tuan patih wirabuana ini. Tak salah lagi.
Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.”
raden sanggabuana berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan
tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan,
namun justru mendengarkan.
“Marilah duduk sini di sampingku. Tuan,” namun
patih wirabuana tak menggubris seolah tak dengar. “mpu wungubhumi !
Akulah yang pertama-tama menyambut kedatanganmu di
dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak
lain dari anak Tuan pakanewon ini Akulah juga orang yang
pertama-tama kaget. Sesudah kau kumandikan dan
kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diam-
diam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan pakanewon ,
Tuanlah sekarang yang bicara.”
“Dia tak pernah mengatakan aku anaknya,” mpu wungubhumi
menuduh.
“Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan memiliki anak
dia?”
‘Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila.”
mpu wungubhumi makin menghadang dengan tongkat pada ketiak.
patih wirabuana berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan
suatu gerakan semu. mpu wungubhumi meliriki tangannya, tertawa,
lalu : “Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau
aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepala mu. Uh,
siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu?
Orang-orang tak berdaya sudah kau bunuhi, seakan hanya
babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhtumenggung dijoyo di hadapanku,
tangan yang menghunus peserta gnya akan kuremukkan. Kalau tidak
percaya, ayolah coba.”
raden sanggabuana tak meneruskan usahanya.
“sudah kau aniaya perasaan ibunda ku sejak kelahiranku.
sudah kau hinakan panembahan senapati ki ageng wilareja . Diam! Jangan bicara. sudah
kau aniaya dan kau khianati penduduk kediri . Dengarkan
kalau mpu wungubhumi bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. sudah kau
bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-mana dan
kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan ibunda ku !
Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!”
Untuk sekian kali raden sanggabuana berusaha menguasai
diri. namun syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya.
Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup
membantunya melawan anak kemarin yang tak
berpengetahuan ini. Terdengar “Kau sudah bikin bahaya
untuk dirimu sendiri.”
“Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa.”
‘Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak?”
“Setiap saat para bala tentara nyi kanjeng blora bisa datang dan bunuh
kau, anak gila.”
“Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah
bedanya?”
“Tidakkah pernah kau dengar? Sedikit saja tanganku
melambai, dan para bala tentara nyi kanjeng blora akan terkerta
berdatangan?”
‘Tangan itu akan remuk sebelum melambai.”
“Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding,
dengan atau tanpa nama.”
“Jari itu akan patah sebelum menuding.”
“Itu benar, mpu wungubhumi ,” Nyi kembang menggarami.
“Aku sudah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi:
adakah kau bapakku?”
‘Tak pernah aku memiliki anak seperti kau.”
“Bagus. Maha sri ratu kertanegari takkan mengutuk aku. Lebih
mudah rasanya berhadapan denganmu sebagai bukan
bapak,” ia menuding. “Kau sumber sengsara. Kau bukan
bapakku, aku bukan anakmu.”
“Kau memang terlalu. Tuan, mpu wungubhumi sudah marah begitu.”
“Dia kira mudah membunuh pakanewon Habbibullah Al-
Masawa,” ejek patih wirabuana . ”Kau hadapi seribu nyi kanjeng blora.
Kau takkan lepas!”
“Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak
sendiri? Dia darah dan daging Tuan sendiri!”
“Diam!” bentak patih wirabuana pada istrinya. Dan pada
mpu wungubhumi , “Setan mana yang membawa kau padaku?”
patih wirabuana tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat
tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang
hitam sudah terhtumenggung dijoyo dan dengan cepat maju-mundur
membuat gerak penikaman yang mematikan.
mpu wungubhumi berkelit ke samping dan memutar tongkat kayunya
sambil mendesis cepat: “Nyi kembang , jangan sesali aku kalau
kuperlakukan suamimu seperti ini.”
Nyi kembang menghindarkan diri dari dua Laki-laki , ayah dan
anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak mencoba melerai:
“Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk
kau!” namun suara yang berseru-seru itu tak keluar dari mulut.
Tongkat mpu wungubhumi berputar-putar. Dan tusukan-tusukan
pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu
kobra. Baru pada waktu itu orang menyaksikan patih wirabuana
dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular
berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan
berkelit, maju dan mundur dalam kesatuan dengan
senjatanya.
Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua
manusia.
Nyi kembang melompat ke atas ambin. Sekarang suaranya
dapat keluar nyaring.
‘Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!”
“Kau membela dan memberanikan dia!” jawab
patih wirabuana sambil terus menyerang.
‘Terkutuk si pembunuh anak!”
Pisau-tongkat patih wirabuana terlontar dari tangan, melesit
ke atas, menemui atap daun kacangtanah , tersangsang dan tak
turun lagi.
“Menjijikkan,” dengus Nyi kembang melihat patih wirabuana
berdiri tanpa bongkok di hadapan mpu wungubhumi tanpa bergerak,
“mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut
memperoleh ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri.”
“Kau tidak membela aku. Kati.”
mpu wungubhumi berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di
hadapan patih wirabuana . Nyi kembang Kati turun dari ambin dan
mendekati suaminya, menudingnya: “Dalam penderitaan
kau kubela. Dalam kehewan an kau kulawan, terkutuk
kau!”
mpu wungubhumi membiarkan dua-duanya sebagai suami-istri.
“Sebagai istri kau tak patut memusuhi aku.”
“Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin
menjijikkan. Panggil semua para bala tentara mu. Tak ada seorang
pun di antara mereka bisa dan mau menolongnya.”
“Kau pun akan hancur , Kati.”
“Aku tahu, namun tidak tanpa kehormatan seperti kau,”
bentak mpu wungubhumi dan melayangkan tongkatnya pada kepala
patih wirabuana .
Nyi kembang menutup mata dengan tangan, memekik:
‘Terkutuk, kau mpu wungubhumi , pembunuh ayah sendiri!”
kepala patih wirabuana tua itu pecah, tongkat itu patah, dan
tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan
mulutnya dan kupingnya keluar darah.
mpu wungubhumi menarik tangan Nyi kembang ke arah pintu.
“Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri!”
“nyi kanjeng blora akan aniaya kau!”
“hewan ! Pergi!”
mpu wungubhumi keluar dari gubuk, dan matahari sudah tenggelam.
Ia lari entah ke mana.
Nyi kembang Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke
kanan, lalu pun lari entah ke mana….
0odwo0
42. Koma
Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan
prajurit kerajaan kediri di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk
dan bedeng-bedeng dari daun kacangtanah nampak sinar pelita
suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa
dan dedaunan kering dari hutan-hutan keliling.
Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin
membuat udara semakin dingin. namun tak ada seorang
pun membuat pendiangan. Semua centeng diperintahkan
beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di
malam hari.
Istirahat sepanjang itu membuat mereka jadi gelisah,
menduga sendiri apa akan diperbuat oleh panembahan senapati ki ageng
raden panji gelang-gelang dalam mengusir nyi kanjeng blora.
Pada malam itulah mpu wungubhumi datang ke pesanggrahan.
Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya,
lalu ia turun.
“Sekarang kau boleh beristirahat, kanjeng sinuhun ,” bisiknya.
Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang
bicara hati-hati: “Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada
waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan
panembahan senapati ki ageng wilareja sejak dahulu diperoleh dalam gerakan malam,
berlindungkan kegelapan.”
mpu wungubhumi mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan
memperoleh kan peratusnya sedang duduk bersama peratus
lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat
ditangkapnya. lalu peratus lain itu pun pergi.
Ia melaporkan segala yang sudah dilihatnya di kediri ,
kecuali urusan pribadinya dengan patih wirabuana dan Nyi
kembang Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan
pekerjaannya baik.
‘namun ,” katanya lagi, “kalau keterangan-keteranganmu
ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak
pernah masuk ke kediri Kota… kau tahu sendiri
ganjarannya.”
“Barang tentu, peratusku!”
“Siapa saja yang pernah kau temui di sana?”
“Nyi kembang Kati bekas pengurus keputrian kadipaten, la
tinggal di gubuk daun kacangtanah di daerah pelabuhan.
“Maksudmu di gubuk-gubuk wanita lesbian gelandangan?”
“Benar, peratusku!”
“Tak pernah kau melihat… eh, eh. patih wirabuana ?”
“Lebih dari melihat, peratusku.”
“Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi?”
Dan mpu wungubhumi dengan rikuh menceritakan segala yang sudah
terjadi di dalam gubuk Nyi kembang Kati.
“mpu wungubhumi !” serunya, “bukankah kau dididik dalam
sri ratu kertanegari ?”
“Benar, peratusku.”
“Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu?”
“Tahu, peratusku.”
“Bagaimana bisa kau lakukan….”
“Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada.”
Peratus itu menatap centeng nya dengan mata tajam.
Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. lalu ia pergi
tanpa bicara lagi.
Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara
kediri beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang
terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki.
Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang
bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api,
membuat mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala
chucky , Rangkum, ki glodog ireng dan raden panji gelang-gelang .
Mereka menyimpulkan: kanjuruhan jelas bisa diusir dari
kediri , tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan
terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran
malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh
raden panji gelang-gelang dalam sejarah perang di Jawa, akan
menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran
tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi
gada rujakpolo musuh.
Masalah yang lalu muncul : sampai berapa lama
nyi kanjeng blora dapat menahan serangan? Benteng bawah-tanah
mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh
tombak, panah ataupun gada , sedangkan serangan harus
kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena.
Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau sinar matahari
akan memicu gada rujakpolo -gada rujakpolo nya menggagalkan
semua usaha. gada rujakpolo rampasan sudah tenggelam di laut, tak
bisa diharapkan.
Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali
pukulan yang mematikan.
Masalah yang lalu muncul : prajurit kerajaan pajang bintoro .
Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik
dahulu , setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di
mana-mana. Bila pajang bintoro tahu apa sedang direncanakan
kediri , Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang
pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambil-
alih semua usaha kediri , bahkan menguasainya pula.
Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan.
Dan yang diserahi adalah panembahan senapati ki ageng kediri raden panji gelang-gelang .
Dengan demikian perpertemuan an sambil berdiri
mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar,
panembahan senapati ki ageng masih sempat bertanya: “Bagaimana berita telik
terakhir?”
“Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu,
dengan tambahan, dia sudah memerlukan menghabisi jiwa
patih wirabuana kediri pakanewon Ulasawa,” jawab Kala chucky .
raden panji gelang-gelang terdiam.
“Dia sudah kerjakan lebih dari tugasnya,” Patih kediri itu
menambahkan.
“Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki.”
“Baik, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
‘Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia
di mana dan cara dia memperoleh kan.”
mpu wungubhumi sudah berusaha dengan berbagai cara dan jalan
untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil.
Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya.
panembahan senapati ki ageng sendiri tak pernah kelihatan pada umum.
Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari
intaian pajang bintoro .
Di mana saja panembahan senapati ki ageng berada, orang tak banyak tahu.
Juga dan apalagi mpu wungubhumi .
Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang sudah
diperbuatnya terhadap patih wirabuana terkutuk itu. Ia merasa
sudah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak
memperoleh kan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu
menghapus aib orangtua. Ia sudah merasa sebagai pahlawan
keluarga. Musuh segala orang itu sudah tumpas, oleh
tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu
membalas budi? Tak kurang suatu apa? Bahkan ia pun
abang yang baik untuk adiknya dan centeng yang baik untuk
panembahan senapati ki ageng nya? Untuk itu ia sudah pertaruhkan jiwanya, sega-
la-galanya? Mereka akan bangga pada dirinya. kediri pun
akan bangga memiliki seorang centeng seperti dirinya. Siapa
lagi bisa memusnahkan patih wirabuana kediri yang selalu
dalam kawalan nyi kanjeng blora kalau bukan hanya mpu wungubhumi ?
Ia sendiri merasa terbebas dari gada wesi auannya. Sekali
waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan
memperoleh pujian dibandingkan nya. ingin segera pulang untuk
berpanen pujian itu. namun tak mungkin. Sekiranya panembahan senapati ki ageng
bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan
prajurit kerajaan , kembali dalam lingkungan kasih-sayang
emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. raden panji gelang-gelang akan
malu pada umum memiliki anak yang melarikan diri dari
kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan.
Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas
yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa
kegiatan. Panggilan dari panembahan senapati ki ageng itu tak kunjung datang. Ia
harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang
lebih besar.
Ataukah panembahan senapati ki ageng sengaja tak mau melihatnya lagi?
Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia
mengenal mpu wungubhumi . Dan peratus itu tak juga memberinya tugas
penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak gada wesi auan ia
sudah siap untuk berbuat sesuatu apa saja untuk menarik
perhatian panembahan senapati ki ageng . Dan perintah itu datang: memimpin
tiga ratus centeng kaki, cari minyak tanah di mana saja,
dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan
padanya pribadi: perintah langsung dari panembahan senapati ki ageng sendiri.
Waktu: tiga minggu.
Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu
sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan sesudah
menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat.
Semua bersenjata lengkap.
Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman
baru bagi seorang centeng muda. Dan hanya centeng
luarbiasa saja ada kemungkinan memperoleh kehormatan
seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya dibandingkan tiga orang
peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya.
Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia
memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke
kahuripan . panembahan senapati ki ageng tak dapat ditemui. Baik. Ia akan
meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi:
membawa berita pada nyi girah tentang kedatangan panembahan senapati ki ageng .
Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat.
Begitu turun dari kuda ia langsung memperoleh kan
emaknya dan berkata: “Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang
centeng ku sekarang.”
Dan nyi girah dan Kumbang mengagumi centeng sebanyak
itu, mengagumi mpu wungubhumi , semuda itu sudah pimpin ratusan
orang yang lebih tua dibandingkan dirinya sendiri.
“Kau memperoleh kepercayaan besar, mpu wungubhumi .”
“Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi
kepercayaan ini?”
“Mana aku tahu, Nak?”
“Nanti aku bilangi. Sekarang…,” ia berbisik pada nyi girah
dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak
berpendaran berputar-putar kesana-sini.
Tiba-tiba emaknya memekik: “mpu wungubhumi !” sambil
menyorongkan badan anaknya. “Tidak mungkin! Tidak
mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu.
Aku tak percaya.”
Gejolak dan rangsang girang dalam dada mpu wungubhumi berobah
jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam
hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang
tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah
melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya.
nyi girah berdiri tegak seperti patung. Matanya masih
membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip.
mpu wungubhumi kehilangan semangat dan kepribadiannya.
Lambat-lambat nyi girah memejamkan mata, menunduk.
Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak:
“Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau
menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada
anakku bisa berbuat seperti itu!”
mpu wungubhumi tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi
berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa
lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya,
merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak
menggirangkan hatinya? Ia kehilangan pegangan. Seorang
ibu yang benar-benar dicintainya sudah menolak
persembahan bakti….
“Jadi apa harus kukerjakan, Mak?”
“Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku? Kau
berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya?”
Katanya dengan suara pedih.
Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti
tanpa mengerti duduk-soalnya.
“Kau merestui keberangkatanku, Mak.”
“Betul, namun bukan untuk perbuatan seperti itu.
Memuakkan, memuakkan.”
“Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.”
“Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha
sri ratu kertanegari tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan
sanggup sekalipun kau bohong!”
Ada juga keringanannya, pikir mpu wungubhumi . Dan nyi girah
sekaligus sudah demikian berobah, bukan emaknya yang
dahulu , dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa bersabda dan
menyambut seperti dahulu . Bahkan Kumbang pun sudah
nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain,
lebih berhati-hati. Semua dirasainya sudah jadi asing. Juga
dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara
memohon: “Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah
restu.”
“Berangkatlah,” kata nyi girah seperti pada orang asing.
“Kau tak merestui aku, Mak?”
“Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang
restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. mpu wungubhumi ,
berangkatlah.”
“Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak?”
Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan
emak yang dahulu , menjadi wanita yang tidak dikenalnya.
“Baik, Mak,” katanya sambil berdiri. “Aku berangkat
lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi
di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu.
panembahan senapati ki ageng wilareja raden panji gelang-gelang sudah datang di kediri .”
“Bapak!” seru Kumbang.
Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati mpu wungubhumi . Ia
tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya.
Lambat-lambat wajah nyi girah kembali seperti semula.
Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan.
“Aku tinggalkan tiga orang centeng untuk mengantarkan
Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi,
Mak, sampaikan sembah-sujudku pada panembahan senapati ki ageng wilareja , sebagai
centeng nya.” Ia hendak mengatakan kalau toh tak
mengakui aku sebagai anaknya, namun kata-kata itu tersekat
beku di dalam jakun.
Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan
gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing
itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi
memasuki lebih dalam wilayah kahuripan .
Dari seorang centeng yang berpengalaman dalam hal
minyak-tanah ia memperoleh keterangan, minyak bisa
diperoleh di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang
patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu
atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu
biasanya sumber minyak.
Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya
pimpinan pencarian padanya.
“Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya
minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus
orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak
yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air? Dan
penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan patih
Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula
penerangan berlebihan di waktu perang? Bukankah cukup
dengan minyak kacangtanah ?
Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak
mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang
adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan pajang bintoro , dan
itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan
mungkin akan terlewati.
Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera
terdesak oleh tugasnya sebagai centeng . Kewaspadaan dan
kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua
jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan
musuh.
Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi
perbukitan Kendeng mencari sumber minyak….
raden panji gelang-gelang bersama dengan para pemimpin pasukan
sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang
dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa
orang pengawal bersenjata tombak, gada dan perisai.
Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka
adalah perbukitan rendah yang setengah gundul.
raden panji gelang-gelang berdiri bertolak pinggang dengan pandang
merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih
tegap dibandingkan tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya
nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis
kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya.
Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di
samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat
dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu
seperti sekepal ijuk.
“Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu
atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang,
bahkan diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi
nyi kanjeng blora datang.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” sela Rangkum, “sudah kumasukkan dalam
pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyak-
tanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak
tahu. Bila ada halangan, pasti sebab menghindari para bala tentara
pajang bintoro .”
“panembahan senapati ki ageng wilareja , nampak ada orang-orang datang dari celah-
celah bukit,” pengawal datang memperingatkan.
Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan
seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas
kuda, menuju ke celah-celah bukit itu.
“Nampak seperti orang desa biasa,” ki glodog ireng
berkata, “nampaknya ada juga beberapa orang centeng .”
“centeng kediri ,” kata Braja.
“Seperti centeng ku,” kata Rangkum. “Seorang menuntun
anak. wanita lesbian nampaknya. Dan jalan itu jarang
ditempuh orang.”
Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di
balik rumpun telekan, meneruskan pembicaraan.
panembahan senapati ki ageng menerangkan tentang kepercaya annya, bahwa
sekali nyi kanjeng blora dikalahkan di sesuatu tempat, mereka
takkan kembali untuk membuat perhitungan, mereka akan
pergi untuk selama-lamanya. Bahwa alat dan cara perang
mereka memang ampuh tidak menyalahi kenyataan,
mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang kediri .
Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih
mulia, namun memang lebih unggul sebab cara kerjanya.
Mereka juga memiliki kelemahan: takkan berdaya di malam
kelam. Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun
buatan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa.
Ia memerintahkan pada para kepala pasukan agar semua
centeng kediri memahami itu, dan bahwa lelanangin jagad
adalah dongengan kanak-kanak semata.
Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan
ternyata memang ada beberapa orang centeng kediri di
antaranya.
Di dekat semak-semak telekan rombongan itu berhenti,
dan terdengar suara wanita memanggil-manggil: “Kang
raden gelang-gelang , Kang, aku datang.”
raden panji gelang-gelang kurang mendengar.
Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan
masih memegangi kendali dan melaporkan: “panembahan senapati ki ageng wilareja ,
Nyi kembang nyi girah datang menghadap.”
Seluruh pancaindra panembahan senapati ki ageng seakan berhenti bekerja.
Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu,
sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan
manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan
kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya
satu nama: nyi girah .
Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang
lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya
berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan
ia jadi begitu kikuk.
“Kang raden gelang-gelang ,” panggil nyi girah sekali lagi.
“Bapak!” teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke
tanah, bersujud lalu memeluk kakinya.
“Kau datang, nyi girah .”
“Ya, Kang, dan itu anakmu,” nyi girah menuding pada
Kumbang dengan pandangnya.
panembahan senapati ki ageng mengambil anak itu dari kakinya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak
melemparkannya ke langit.
“Sudah besar, kau Nak.”
“Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku
datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk
mengantarkan anakmu. Dia berhak melihat bapaknya dan
bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat
memuliakan kau dengan sembah yang sempurna.”
panembahan senapati ki ageng itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang
berlutut: “Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang
tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya.”
“Ada apa nyi girah ? Mengapa kata-katamu begitu pahit?”
nyi girah tak menjawab, dan panembahan senapati ki ageng membelai rambut
anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di
atas sampai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar.
“Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang?
Ah-ya, siapa pula namamu?”
Semua yang mendengar tertawa.
“Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya,”
tegur nyi girah .
“Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi?”
“Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.”
“Nandi itu anakmu yang lain lagi, yang ada di jayamahanaya
sana,” sela nyi girah .
“Kunamakan siapa kau dahulu ?” tanya panembahan senapati ki ageng . Kembali
orang pada tertawa dan panembahan senapati ki ageng menurunkan Kumbang ke
tanah.
“Kumbang, Bapak,” si anak membetulkan. “Kami
tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang mpu wungubhumi yang
menjaga kami. Sekarang dia pergi.”
“Kumbang. Benar, Kumbang,” bisik panembahan senapati ki ageng , “bapak
sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana mpu wungubhumi
pergi?”
“Dengan pasukan, Bapak.”
raden panji gelang-gelang terdiam. Keningnya berkerut. Matanya
ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal,
akhirnya pada nyi girah : “Pasukan mana?”
“Pasukan panembahan senapati ki ageng raden panji gelang-gelang ,” jawab istrinya.
Mata panembahan senapati ki ageng cepat dialihkan pada para pemimpin
pasukan, bertanya: “Pasukan siapa berkeliaran di sana?”
tanyanya tajam.
“Pasukan dengan tugas khusus,” jawab Braja, “dengan
perintahmu. panembahan senapati ki ageng wilareja , mencari minyak-tanah.”
“Dialah yang bilang Bapak sudah kembali,” Kumbang
menambahkan. nyi girah merasa perlu untuk menerangkan,
agar suasana yang mulai mengandung ketegangan
kepara bala tentara an itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata
pelahan setengah bisik: “mpu wungubhumi menggabungkan diri kembali
pada para bala tentara kediri sesudah nyi kanjeng blora masuk.
Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. lalu dia
datang lagi membawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.”
“Dia yang membawa?” tanya panembahan senapati ki ageng membelalak.
“Dia yang memimpin pasukan?” kembali pandangnya
berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. “Dewa
Batara!” sebutnya.
“Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan
khusus itu,” sela Braja.
panembahan senapati ki ageng memegangi kedua belah bahu istrinya:
“Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa
pasukan?”
“Tak pernah aku ajari dia berbohong,” jawab nyi girah .
raden panji gelang-gelang menoleh pada Braja, bertanya: “Bukankah
pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari kediri
Kota, Braja?”
‘Tepat, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Ampun, Dewa Batara,” sebut raden panji gelang-gelang .
“Apakah panembahan senapati ki ageng wilareja ingin segera mengetahui orang itu
mpu wungubhumi atau bukan?” tanya Braja.
panembahan senapati ki ageng tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti
oleh semua orang.
“mpu wungubhumi , panembahan senapati ki ageng wilareja , seorang centeng yang gesit seperti
elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya
kelakuan cukup baik,” Braja menyarani.
“Maafkan kami,” Kala chucky menambahkan, “bahwa
tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala pasukan
khusus itu mpu wungubhumi ’
“Bagaimana keadaanmu, nyi girah ?” tanya panembahan senapati ki ageng .
“Kumbang,” panggil nyi girah . “Mintalah gendong pada
bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dahulu . Nak.”
wah
Kumbang dan nyi girah belum pulang ke desa. Bersama
dengan anak-anak dan wanita lesbian lain mereka ditempatkan
di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita
ditugaskan untuk mengempleng tanah liat untuk dibikin
jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan
tak dapat berdiri.
Mereka harus membuat beberapa ribu buah dalam
waktu tiga minggu.
Gendi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas
jerami, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya.
Dan pada suatu hari dalam kesibukannya nyi girah bertanya
pada anaknya: “Ada bapakmu menengok hari ini?”
“Belum, Mak. Di sana orang lebih cepat membuat ,
Mak.”
“Apakah kau kira kita kurang cepat? Kecuali malam saja
kita bisa beristirahat h, dan sudah lima hari. beristirahat hlah kau,
Nak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.”
namun Kumbang menolak dan kembali ke tempat
pekerjaan.
Dari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: “Datang
lagi, Mak. Mereka datang lagi.”
Semua orang yang sedang bekerja menengok ke jurusan
tudingan Kumbang, dan mereka melihat serombongan kecil
pengangkut lodong bambu muncul di jalanan hutan.
Mereka adalah rombongan ketiga dalam seminggu yang
mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman.
nyi girah berdiri dan lari menyongsong. namun ia tak
dapatkan mpu wungubhumi di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia
ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan
tenang dan mendalam. Dan ia sangat menyesal melayani
anaknya seperti yang sudah terjadi. Kurang layak. Ia harus
tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan
seperti seorang penuduh.
“Di mana yang lain-lain?” ia bertanya.
“Belum bisa pulang, para bala tentara pajang bintoro menyergap, kami
diungsikan lebih dahulu. Mereka masih terus bertempur.”
nyi girah berlutut di pinggir jalan memunggungi rombongan
yang lewat, la berdoa untuk keselamatan mpu wungubhumi .
“Mengapa Kang mpu wungubhumi , Mak?”
“Berlututlah, Nak, dan berdoalah untuk
keselamatannya.” Dan Kumbang pun berlutut, membuat
sembah dada dengan kepala menunduk.
“Nyi kembang ,” seseorang mendekati, “ada apa?”
“Anakku. Pasukannya disergap pajang bintoro . Anak semuda
itu.”
Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka
berdoa.
“Nyi kembang , tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. Nyi
kembang , semua akan selesai pada waktunya.”
“Mari bekerja lagi,” jawabnya.
Dan ia bekerja lagi, sekarang lebih keras dibandingkan yang
sudah-sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya.
Anak manja itu. Dan bagaimana ia berani merestui seorang
yang sudah … tak mungkin. Dia patut menerima
hukumannya pada umur tuanya. namun mengapa yang
melakukan harus anakku? anaknya? Mengapa bukan orang
lain? Mengapa bukan raden gelang-gelang ? Bahkan Kang raden gelang-gelang pun
nampak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak
ini bila perang selesai? Tak ada seorang pun mau diajaknya
bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-orangtua
akan menyingkirinya. Gadis-gadis akan lari dibandingkan nya.
Bagaimana akan jadinya? Haruskah dia mengembarai dunia
ini seorang diri sampai matinya? Bahkan emaknya sendiri,
aku, sudah kehilangan kepercayaan terhadapnya, tak mampu
hidup di bawah satu atap dengannya. Dan Kang raden gelang-gelang ,
bagaimana sikapmu? Betapa sulit bisa bertemu denganmu.
Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu
Kumbang datang dan menegurnya: “Emak tak bekerja?”
Ia terbangun, namun sinar matahari sudah hampir tenggelam.
Di kejauhan nampak beberapa dapur pembakaran mulai
mengepulkan asap tipis ke udara.
wah
43. kediri Dibebaskan
Keterangan tentang nyi kanjeng blora di kediri Kota sudah
lengkap di tangan pimpinan prajurit kerajaan kediri . Sudah jelas
benteng bawah tanah musuh berpintu hanya sebuah,
sedang dinding-dinding berlubang untuk tempat menembak
dan untuk jalan udara. Di dalamnya tersimpan obat gada rujakpolo
dan senapan. Satu regu tak henti-hentinya mondar-mandir
meronda kota siang dan malam Gedung kadipaten
dipakai sebagai tempat mengatur patroli, ke sana
mereka pulang, dan dari sana mereka berangkat.
Patroli-patroli tak jarang memasuki luar kota dan
merampasi ternak dan harta-benda. Tak ada perlawanan, dan mereka dapat berbuat sesukanya.
Kekuatan nyi kanjeng blora seluruhnya ditaksir 450 orang,
centeng berpengalaman perang di mana-mana. Obat ledaknya yang berkadar tinggi tak dapat dianggap enteng. namun yang lebih menggentarkan adalah semangat tinggi dan
berkobar mereka dari suatu bangsa muda yang sedang gairah menaklukkan dunia.
Dengan diam-diam panembahan senapati ki ageng menilai mesiu dan daya-ledak tinggi yang jadi sumber keampuhan nyi kanjeng blora itu harus tetap berdaya-ledak tinggi untuk menghancurkan
nyi kanjeng blora sendiri. Semua rencananya berkisar pada
memakai kekuatan yang ada pada lawannya sendiri.
Sekarang datang waktunya ia hendak membuktikan,
bahwa juga lelananging jagad dapat dimusnahkan.
prajurit kerajaan kediri akan dicoba keunggulannya.
Seribu lodong bambu minyak-tanah sudah dituang ke
dalam beribu botol tanah buatan wanita dan anak-anak.
Setiap centeng yang akan maju ke medan perang adalah
juga pembakar. Pada pinggang mereka bergelantungan
botol-botol. Laskar pembakar yang khusus dibentuk untuk
keperluan itu digelantungi dengan delapan, sedang laskar
penyerang tiga di samping perlengkapan yang biasa.
Menjelang senja prajurit kerajaan kediri yang beribu-ribu
jumlahnya mulai bergerak. Dan mereka berangkat diam-
diam tanpa sorak-sorai.
Barisan paling depan yang bergendi delapan sama sekali
tidak berperisai. Mereka hanya membawa tombak. Beregu-
regu di antaranya tidak bersenjata sama sekali. Mereka
hanya mengangkuti peluru-peluru cetbang. Dan laskar itu
berjalan jauh di selatan Kota menuju ke timur. Mereka
memasuki hutan. Waktu keluar lagi mereka sudah memikuli
kayu kering. Keluar dari hutan malam gelap sudah turun,
dan dalam lindungannya mereka terus berjalan sampai
melewati selatan pinggiran tertimur Kota, membelok ke
kiri, ke kiri lagi memasuki Kota. Mereka memakai
waktu sebaik-baiknya di kala patroli nyi kanjeng blora sedang
kembali untuk berganti di gedung kadipaten.
Dengan gerak cepat mereka tumpuk kayu kering bawaan
mereka lima ratus depa di sebelah timur kadipaten,
menyelang-nyelingi bagian atas dengan peluru cetbang dan
membasahinya dengan minyak-tanah. Tumpukan kayu itu
menjadi bukit kecil.
Laskar kedua hanya bersenjatakan panah. Pada pinggang
mereka juga bergelantungan delapan gendi. Mereka
berangkat sesudah yang pertama. Pada waktu barisan
pertama melakukan penumpukan kayu mereka menyebar
ke sekitar tumpukan dan di dekat sebelah timur kadipaten.
Laskar ketiga, yang merupakan laskar terbesar, berangkat
beberapa waktu lalu , dari barat langsung ke kota
melalui darat dan laut. Mereka bersenjata tombak dan
gada dan perisai. Pinggang mereka digelantungi hanya
dengan tiga botol. Laskar keempat berjalan menyusuri
pantai, diperhitungkan akan tiba terakhir.
Pada waktu yang sudah ditentukan tumpukan kayu mulai
terbakar. Api cepat menaik dan menjilat-jilat langit. Tak
lama lalu peluru-peluru cetbang berledakan, melesit,
beterbangan ke udara, memuntahkan bunga api dan
menerangi bumi.
centeng -centeng kanjuruhan di dalam gedung kadipaten
keluar. Patroli pengganti berlari-larian ke arah api dan
ledakan. Mereka disambut dengan hujan anak panah yang
beterbangan dari atas pepohonan. Sama sekali tak menduga
adanya pencegatan. Mereka berjasang yang betari durga seperti jerami di
babat. Tak ada satu orang pun yang tidak kena. Racun sudah
merembes ke dalam jantung mereka.
Lebih banyak lagi para bala tentara keluar dari kadipaten.
Pencegatan diajukan lebih dekat lagi ke gedung. Panah
bersemburan lagi dari atas pepohonan. Sekali lagi para bala tentara -
para bala tentara nyi kanjeng blora bergelimpangan. Yang selamat melarikan
diri masuk lagi dalam pengejaran anak-panah. Sebagian
yang dapat melarikan diri menggelimpang pula sebelum
memperoleh perlindungan.
Ledakan peluru cetbang masih riuh. Lonceng menara
benteng bawah-tanah dan kadipaten bertalu tak putus-
putusnya. para bala tentara dari benteng mulai keluar dan berlarian
dengan bedil dan gada , bersiap untuk mendatangi
keributan. Aba-aba mereka terdengar bersahut-sahutan
Semua para bala tentara di jenggala sudah ditarik pula ke benteng. Dan
tak lama lalu mereka berpecahan dalam regu-regu
dan menempuh berbagai jalan, bersebaran, berlarian.
Hujan anak panah bersemburan lagi. kanjuruhan lalu
mengetahui adanya pencegatan. Mereka tembaki semua
tajuk pepohonan. centeng kediri mulai berkembang bukan jatuh
seperti buah nangka, hancur pada malam itu juga.
Dari belakang para bala tentara kanjuruhan bermunculan pasukan
tombak kediri . Mereka mulai menyerang tanpa kata an
tanpa seruan seakan sepasukan para bala tentara gagu. Tombak-tombak lempar berlayangan, bertancapan tepat pada sasaran oleh lemparan tangan-tangan yang ahli dan terlatih. kata -jerit kesakitan memenuhi udara dan merangsang
pendengaran. Segelombang pasukan kediri dengan gada terhtumenggung dijoyo menyapu lapangan.
Dari atas benteng peluru musket berhamburan seperti hujan, sedang dan dalam benteng sendiri tembakan-tembakan tiada putus-putusnya. Dan sekarang ganti centeng kediri yang berjasang yang betari durga atau menjatuhkan diri. wah
mpu wungubhumi memperoleh tugas paling berbahaya dari semua laskar. Petunjuk dan perintah diterimanya langsung dari ki glodog ireng sebagai penyelaras seluruh prajurit kerajaan . Tugasnya ialah melakukan penyerangan dan penghancuran
benteng bawah-tanah dengan jalan menyusun pantai dan menyerang dari belakang.
la merasa, bahwa ia dikirimkan ke medan pertempuran bagian terberat ini untuk tidak dilihat orang lagi dalam keadaan hidup. Ia merasa sudah terjadi persekutuan di antara para pemimpin pasukan untuk menghalaunya dari muka bumi, sebagai hukuman terhadap peristiwa anak-ayah
di kediri Kota. Ia sudah merasa tak ada seorang pun yang akan mengampuninya. Tak seorang pun memberikan sokongan batin pada perbuatannya, termasuk panembahan senapati ki ageng dan
emaknya sendiri. Dan ia mencoba berdamai dengan hukuman yang diberikan padanya. Ia harus belajar rela menerimanya. Sebagai anak panembahan senapati ki ageng ia masih akan
tunjukkan dan buktikan pada seluruh kediri , pada
raden panji gelang-gelang dan nyi girah , pada bumi dan langit, ia masih memilih mati sebagai pahlawan, la akan mati. Orangtuanya harus ada kebanggaan padanya. Mati! Mati! suara itu memanggil-manggil mengatasi tindasan hukuman batin yang tak mengenal ampun itu,
yang tak pernah diucapkan kepadanya, hanya disiratkan pada pandang mata dan sikap orang.
la bawa pasukan dari tiga ratus orang, mengendap-endap dalam bayang-bayang api di balik pepohonan. Tanpa suara sebagaimana sudah diperintahkan. Didapatinya daerah pelabuhan sudah hampir tiada berpenjagaan, menara pelabuhan sudah kosong. centeng kediri sudah menjolok penjaganya dengan semburan anak
panah. namun menara benteng masih terus menggigil dengan taluan lonceng. Beberapa orang para bala tentara peninjau sedang melihat ke arah api unggun di kejauhan. Semprotan
anak panah mengenai dua orang. Yang seorang tetap memukul lonceng. Laskar mpu wungubhumi datang ke benteng waktu para bala tentara -para bala tentara
di dalamnya sudah ditarik keluar untuk menadahi serangan umum kediri di sekitar kadipaten. Penjagaan yang tak seberapa besar sudah kena runduk. Beberapa para bala tentara yang
tidak menduga akan datang gelombang musuh dari pesisir tak sempat lagi menembak melarikan diri dan membuang senjata yang tak dapat dipakai . Dan sebelum mereka
sempat memakai gada tombak lempar sudah
berlayangan.
Di kejauhan api semakin menjilat-jilat langit Ledakan
peluru cetbang makin lama makin berkurang. Tembakan
kanjuruhan juga semakin kendor, semakin jauh dan
bersebaran. Orang dapat menduga lelaninging jagad sudah
mulai terhalau.
mpu wungubhumi terheran-heran: tugasnya ternyata tidak seberat
yang ia duga. Benteng bawah-tanah itu hampir tak
dipertahankan lagi. Pada waktu itu ia baru memahami:
nyi kanjeng blora sudah terjebak, tertarik keluar dari benteng dan
sudah diatur sedemikian rupa sehingga tak dapat kembali
berlindung ke benteng jalan-jalan sudah digunting dengan
pencegatan.
Ia masuki benteng dengan gada terhtumenggung dijoyo , diikuti oleh
laskarnya. Beberapa belas orang sedang bersiap-siap untuk
juga turun ke medan pertempuran. Gendi-gendi minyak
dilemparkan pada mereka. Dihujani gendi mereka gugup
dalam membela diri, tak sempat menyiapkan musket dan
menghtumenggung dijoyo gada . Baja beradu baja. Gerak tangan dan
kaki sudah menyempitkan ruangan. Orang-orang kanjuruhan
yang sedikit itu terdesak terus oleh tombak dan gada dari
musuhnya yang berpuluh kali lebih banyak. Mereka
disorong ke ujung penghabisan benteng dan berlompatan ke
atas peti-peti mesiu. Hujan gendi membuat mereka jadi
basah kuyup.
Minyak membasahi semua yang ada, bahkan sudah mulai
mengalir di lantai.
“Keluar!” kata mpu wungubhumi .
Orang berlarian keluar dan gendi-gendi terus juga
dilemparkan ke dalam. Tombak berapi melayang memasuki
benteng. Benda-benda dari kayu mulai dirambati api, makin
lama makin lebar, makin tinggi, seluruh lantai mulai
menyala.
mpu wungubhumi membawa pasukannya lari dari daerah benteng,
memasuki sebuah bangunan baru. Ia lihat seorang berjubah
putih sedang berlutut di depan sebuah patung kayu.
Sebelum ia dapat memastikan rumahyang dimasukinya dan
patung apa yang dilututinya, ia menduga orang itu tentu
patih wirabuana kediri angkatan nyi kanjeng blora, botol-botol minyak
sudah berlayangan membasahi jubah putihnya. Orang itu
tetap tidak bergerak dari sikapnya. Seseorang sudah lari
menghampiri, menyambarkan gada pada tubuhnya.
mpu wungubhumi memerintahkan keluar. Bangunan baru pun
menjadi unggunan api, tinggi menjilat-jilat langit.
Di tengah-tengah kota prajurit kerajaan kediri menguasai
seluruh medan. Kadipaten mulai diserbu oleh gelombang
besar centeng . Gendi-gendi beterbangan dan membasahi
segala yang dikenalnya.
Orang-orang kanjuruhan yang berhasil meloloskan diri lari
tanpa menoleh lagi, masuk ke dalam kegelapan, ke mana
saja asal selamat.
Di atas setumpuk tanah yang ketinggian berdiri wanita
dan kanak-kanak memandangi api yang menjilat-jilat di
kejauhan, di kediri Kota. Mereka melihat unggun yang
hanya sebuah, lalu menjadi dua, tiga, empat. Letusan
dan ledakan diikuti semburat bunga-api ke udara
memicu mereka membisu terpukau. Tak seorang pun
di antara mereka membuka suara. Mereka tahu maut
sedang berjingkrak berpanen nyawa di kediri Kota. Setiap
di antara mereka tak menghendaki orang-orang tercinta dan
tersayang tumpas terpaneni oleh sang maut.
Di antara mereka terdapat nyi girah . Ia berdiri memegangi
bahu Kumbang. Langit menjadi merah dan warnanya
melembayung pada wajah. Letusan dan ledakan makin
lama makin berkurang.
nyi girah menekan bahu anaknya, menyuruhnya berlutut.
“Memohon, Nak, pada sang Hyang betari durga , selamatlah
hendaknya bapak dan abangmu,” bisiknya.
“Mak, aku sudah memohon sejak mereka berangkat,”
bisik kembali Kumbang.
Ia cium anaknya dan berbisik lebih ditujukan pada diri
sendiri: “Kau masih memerlukan bapak dan abang. Nak.”
“Tak lama lagi aku pun akan besar, Mak.”
‘Tentu, tak lama lagi. namun besar saja belum cukup. Kau
memerlukan bapak seperti bapakmu. Aku sendiri tak tahu
dunia, Nak.”
lalu terdengar ledakan paling dahsyat di kediri
Kota sana. Di atas ledakan itu segala macam berwarna
merah menyala terangkat naik ke udara, mengembangkan
bunga-api. Hujan percikan ke bawah seperti berasal dari
letusan gunung berapi. Sesudah itu sunyi-senyap.
Kebakaran di kejauhan makin lama makin surut,
lalu tak kelihatan lagi, tertutup oleh puncak hutan.
Tak ada di antara mereka melihat, bahwa dengan pelan-
pelan, tanpa bunyi, di samping mereka, jauh di atas tajuk
pepohonan hutan, bulan tua sedang memperlihatkan diri.
Semua orang berlutut dan menekur dengan mata
tertutup.
“Memohon, Nak, memohon, untuk bapak dan
abangmu.”
nyi girah memohon lagi. namun , bila doanya
dipanjatkannya untuk keselamatan mpu wungubhumi , dia macat. Ada
suatu perasaan melintang di dalam hati dan pikirannya. Ia
hentikan usahanya. Pikirannya bergumul kacau, mengapa
hati tak rela berdoa untuk anak sendiri. Dan mengunci
kegagalannya ia berkata pada Kumbang: “Ledakan terakhir
berarti perang selesai, Nak. Hanya kememiliki an nyi kanjeng blora bisa
meledak menandingi petir dewa. Bapak dan abangmu
selamat.”
namun Kumbang sudah tersedat ke alam mimpi.
kepala nya sudah rebah pada pangkuan emaknya.
Ia berdiri sambil mengangkat bangun Kumbang. Dan
orang-orang lain mengikuti contohnya berdiri juga.
Bersama-sama mereka berjalan pulang ke bedeng
perumahan.
“Dia belum lagi bertemu dengan bapaknya,” gumam
nyi girah .
“Abangmu.”
“Sekarang ke mana, Mak?”
“Pulang. beristirahat h. Menunggu bapakmu.”
“Tinggal di kota lagi, Mak?”
“Tidak. Mak tak pernah suka di sana. Kau suka?”
Kumbang sudah tak dengar. Dalam berjalan ia
melayang-layang dalam alam impian. Ia sudah berusaha
untuk tetap jaga, namun kelelahan dan kantuk sudah tak dapat
ditawarnya. Dalam sekejap dari usahanya ia masih sempat
bertanya: “Bapak akan tinggal di desa lagi, Mak?”
“Mana emak tahu? Tanyalah nanti padanya sendiri.”
Kumbang tersedot sepenuhnya dalam alam mimpi. Dan
kakinya tetap bergerak terpimpin oleh tangan emaknya.
Seakan nyi girah mendengar suara anaknya masih bertanya
dengan suara sangat, sangat pelan: “Mengapa tak suka
tinggal di kota?”
“Mengapa?” jawab nyi girah . “Emak lebih suka jadi orang
biasa, orang desa biasa, tak menghendaki sesuatu yang
berlebih-lebihan dari apa pun dan siapa pun, bekerja seperti
yang lain-lain.” Ia bicara terus, pelahan, sambil berbisik, tak
menyedari ia sedang bicara dengan diri sendiri. “Menari,
menyanyi dan menangis bersamaan dengan yang lain-lain.
Bersuka dan berduka seperti dan dengan yang lain-lain. Tak
pernah aku bermimpi kan kekayaan dan kekuasaan. Sejak
ada dua-duanya, bapakmu menjadi jauh dari Emak, dan
Emak jadi jauh dari dia, bukan hanya tempatnya, juga
hatinya. Apakah arti kasih-sayang yang terpisahkan oleh
dua-duanya? Mana ada manusia suka dengan pecahan dan
gumpilan kasih-sayang?”
Sudah tak keluar bisikan kata dari mulut nyi girah . Suara itu
bergema-gema hanya dalam hati sendiri: “Perang,
kekuasaan, kekayaan, seperti api unggun dalam kegelapan
dan orang beterbangan untuk mati tumpas di dalamnya.”
Wanita dan kanak-kanak itu masuk ke dalam bedeng
pembikin gerabah.
Pembakaran baru sudah tiada. Beberapa hari yang lalu
apinya sudah padam.
nyi girah menaikkan Kumbang ke ambin. Ditutupnya pintu.
Ia pun rebahkan diri di samping anaknya, di samping
wanita dan kanak-kanak yang lain.
“Menangkah kita?” wanita di sampingnya bertanya.
“Menang,” jawab nyi girah .
“Bagaimana Nyi kembang bisa tahu?”
“Kalau orang kalah di negerinya sendiri, apa lagikah
yang bisa diharapkan?”
Sunyi-senyap di perumahan pembikin gerabah itu.
sinar matahari baru saja terbit. Pasukan kuda di bawah pimpinan
ki glodog ireng sudah memenuhi jalanan kota. Mayat-
mayat bergelimpangan di mana-mana, kanjuruhan dan kediri .
Dan mereka sama sekali tak menemukan musuh yang
masih hidup.
gada rujakpolo -gada rujakpolo tak sempat ditembakkan berjajar-jajar di
lapangan kadipaten seperti mainan kanak-kanak tanpa
dosa. Barang-barang itu berdiri mati di atas roda masing-
masing, moncong sedikit mendongak.
Orang memerlukan turun dari kuda untuk melihat-lihat
dan merabanya. Dingin, tak berdaya, mati. Lebih dingin
dibandingkan mayat yang bergelimpangan di dekat-dekatnya.
Dan jari-jari peraba meninggalkan bekas pada embun.
Peluru besi, bulat-bulat sebesar kepala n, bertebaran seperti
batu hitam di tepi kali. Sungguh tak masuk di akal benda-
benda seperti itu sudah banyak menenggelamkan kapal,
menghancurkan dan merobohkan rumah, dan menjadi
sendi kekuasaan dan kekuatan nyi kanjeng blora.
Seorang penunggang kuda berkendara tenang-tenang di
antara rerunsang yang betari durga rumah diiringkan oleh satu regu centeng
berkuda yang bersiaga dengan tombak. Antara sebentar ia
berhenti, menebarkan pandang ke mana-mana, bicara pada
pengawalnya yang terdekat sambil menuding-nuding. Ia
berdaster dengan ikatan longgar. Rambutnya jatuh berurai
di atas punggung. Mukanya mesum oleh kumis dan jenggot
yang tak terpelihara. Selembar kain batik melingkari leher
dan kedua ujungnya jatuh di punggung pula. Bila berpacu
baik ujung-ujung batik mau pun rambutnya berkibar-kibar
seperti bendera.
Sebagaimana halnya dengan para pengiringnya ia pun
menyandang gada pada pinggang. Berbeda dari yang
lain-lain, sebilah gada wesi terselit melintang di bawah dada.
Hulu gada wesi itu dari mas berukiran gambar kupu-tarung. Juga
sarung gada wesi nya terbuat dibandingkan mas. Itulah panembahan senapati ki ageng
kediri raden panji gelang-gelang .
lalu panembahan senapati ki ageng berpacu berpacu ke pelabuhan. Ia
periksa bekas benteng bawah-tanah, kini jadi lubang besar
panjang, dengan kepulan asap di sana-sini. Di sekitarnya
bergelimpangan mayat centeng kediri di antara sejumlah
kanjuruhan .
jenggala sudah jadi tumpukan arang, dengan asap yang
masih berkepulan.
“Dengar semua kalian!” katanya pada para pengiring.
“Mereka takkan mencoba datang kemari lagi. Untuk
sepanjang masa kediri akan bebas dari nyi kanjeng blora. Itulah
berkah semua temanmu yang tewas pada malam tadi. Pada
hari ini aku nyatakan musuh sudah kalah dan kita menang.”
Satu-dua tembakan masih terdengar sayup-sayup di
kejauhan.
‘Tembakan itu sebentar lagi akan padam sama sekali.
Kalian lihat: Tak ada kapal mereka nampak berlabuh.
Masih ada di antara mereka yang sempat lari meninggalkan
yang lain-lain dalam cengkebetari n maut. Ingat-ingat ini:
juga lelananging jagad ini kenal takut dan dapat digebah
punah dalam semalam.”
“Kami akan selalu mengingat-ingat. panembahan senapati ki ageng wilareja ,”
seorang pengiring berjanji.
“Dan sampaikan pada anak-anakmu, pada teman-
temanmu, bahkan juga pada musuh-musuhmu.”
“Kami akan lakukan. panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“namun kalian jangan sampai lupa, kemenangan di kediri
sangat kecil, belum berarti.”
“Kita sudah menang. panembahan senapati ki ageng wilareja , kemenangan gilang-
gemilang tiada tara.”
“Kau keliru. Kalian belum berhak bergirang-girang,
dengarkan aku baik-baik: selama nyi kanjeng blora belum terusir
dari Selat dan Semenanjung, belum terusir dari jayamahanaya dan
blora, urat-nadi kehidupan kediri , Jawa dan seluruh
Nusantara, tetap berada dalam kekuasaan mereka.”
“Kami akan selalu mengingat-ingat. panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Dan selama mereka masih menguasai panarukan ,
kemakmuran takkan lagi menyinggahi kediri .”
“panembahan senapati ki ageng wilareja .”
‘Terserah pada kalian. Adakah kediri akan bangkit
kembali atau tidak. Bila ya, perang masih panjang,
pengusiran atas nyi kanjeng blora dari seluruh Nusantara dan
Semenanjung.
“pajang bintoro tetap mengancam. panembahan senapati ki ageng wilareja .’*
“Melawan pajang bintoro lain lagi. Itu perang melawan
kebodohan.”
“Kami belum mengerti. panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Musuh pajang bintoro sebetulnya nyi kanjeng blora. Trenggono
mencari kebesaran dengan mencari musuh yang
dianggapnya tidak kuat. Dengan begitu ia bisa bebas lari
dari musuhnya yang utama: nyi kanjeng blora.”
“Bukankah pajang bintoro sudah mengusir mereka dari Sunda
kacangtanah , panembahan senapati ki ageng wilareja ?” pengawal terdekat bertanya.
“Siapa saja dapat mengusir nyi kanjeng blora kalau jumlahnya
hanya beberapa gelintir, habis ditimpa bencana laut pula.
ayolah , jalan!”
Mereka bergerak melalui jalan raya negeri, lalu
membelok ke timur dan berpacu mendekati arah datang
suara tembakan satu-satu. Sampai di suatu tempat bunyi
tembakan itu padam sama sekali. Di jalanan mereka
berpapasan dengan centeng -centeng kediri yang berjalan
dalam bondongan sedang kembali ke pusat Kota. Mereka
mengangkat tombak masing-masing, bersorak-sorak
menyambut panembahan senapati ki ageng . Wajah mereka berseri-seri gembira
penuh kepercayaan pada pemimpinnya.
Mereka meneruskan perjalanan masing-masing. centeng -
centeng yang pulang itu sudah tak nampak lagi. Hanya
sorak-sorai kemenangannya masih saja terdengar.
raden panji gelang-gelang berhenti melihat ke suatu jurusan. Di
kejauhan ia melihat seorang centeng nyi kanjeng blora sedang
berlutut menghadap pada sebatang pohon kayu, barangkali
sedang bersembahyang. Dua belah tangannya terangkat di
tentang dada.
la jalankan kudanya dan mendekatinya peiahan-lahan.
Mengetahui ada seorang musuh, para pengiring memacu
kuda, mengepung para bala tentara itu. Tombak-tombak pun teracu
siap untuk dijojohkan.
“jangan ganggu dia!” kata panembahan senapati ki ageng menegah.
Orang pun menarik tombaknya kembali namun tetap
mengepungnya. Dan raden panji gelang-gelang berpacu menghampiri.
“jangan ganggu. Lihat baik-baik. Dia lagi
bersembahyang pada dewanya. Tarik kembali semua
tombak. Ingat-ingat kalian, centeng kediri , jangan sampai
kalian meletakkan mata senjata pada seseorang yang takkan
bisa melawan dan tak mampu melawan-Barangsiapa sedang
bersembahyang, dia tidak menghadapi manusia.
Menyingkir kalian dari dia.”
Orang pun menyingkir. Dari belakangnya seseorang
membantah: dan panembahan senapati ki ageng menoleh, berkata: “Dia musuh
sewaktu memusuhi kau. Sewaktu dia tiada berdaya dan
tenaga untuk bermusuhan, samalah keadaannya dengan
bayi atau istri yang sedang menyusui.”
“Kalau lalu dia memusuhi lagi, panembahan senapati ki ageng wilareja ?”
“Kembali kau harus memeranginya.” “Lebih baik
dibunuh sekalian, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Kalau begitu kau bukan centeng , namun pembunuh,” ia
menengok ke kiri dan kanan. “Itu tak boleh terjadi. Maka
kalian harus tetap waspada. Artinya kalian harus selalu
tegak dan tetap perwira.”
Orang nyi kanjeng blora itu sudah selesai bersembahyang. Dengan
kudanya raden panji gelang-gelang makin mendekati. Orang itu pucat.
Mukanya penuh dengan jenggot, kumis dan cambang. Ia
tidak berdiri dan tak nampak bermaksud untuk beranjak
dari tempatnya. Ditengadahkan wajahnya yang pucat itu
pada panembahan senapati ki ageng .
“Mengerti jawadwipa ?” tanya raden panji gelang-gelang .
Sekarang orang kanjuruhan itu mencoba bangun, namun jatuh
berlutut kembali. Dan orang melihat darah pada kaki dan
pahanya. “Sedikit, ya. Tuan.”
“Mengapa kau tak selamatkan jiwamu?”
“Kaki tak bisa dibawa lari. Maut tak dapat dihindari.
sudah kuserahkan semua pada sang yang betari durga ,” jawabnya sambil
membuat cakra.
“Bawa dia. Peliharakan dia sampai baik,” panembahan senapati ki ageng
memerintahkan. “Tak ada orang boleh ganggu atau sakiti
dia. Bila sudah sembuh, sediakan perahu layar, persediaan
makan untuk tiga minggu, dan bebaskan dia.”
Orang kanjuruhan itu sekali lagi mencoba bangun dan gagal
untuk kedua kalinya. Pakaiannya yang compang-camping
melambai-lambai tertiup angin. Ia angkat kedua belah
tangan ke arah langit, mengucapkan syukur, dan sekali lagi
membuat gerakan cakra. lalu dengan suara lemah:
“Semoga kebaikan Tuan akan terbalas.”
“Semoga Dewa Batara melindungi kau, nyi kanjeng blora. Siapa
namamu selengkapnya?”
“Sylyester da Costa, Tuan.”
“Kosta!” panembahan senapati ki ageng mengulangi dan kanjuruhan itu
mengangguk. Sesudah mengangkat tangan memberi restu
panembahan senapati ki ageng menarik kendali. hewan itu menengok dan
berjalan berputar lalu meninggalkan Da Costa yang
terluka. Sebagian pengiring tertinggal untuk menjalankan
perintahnya.
Sylyester da Costa ditolong naik ke atas kuda. Seseorang
menuntun hewan itu. Yang lain-lain tetap di atas kuda
masing-masing. Dan mereka berjalan diam-diam penuh
pikiran, mencoba memahami maksud dan ucapan panembahan senapati ki ageng .
Waktu iring-iringan itu sampai di jalan raya negeri, baru
terdengar seseorang bicara: “Mungkinkah kiranya Sang
panembahan senapati ki ageng marak jadi raja?”
“Dengan dia kita selalu menang. Coba, menang
melawan nyi kanjeng blora!”
“Bisakah seorang anak desa jadi raja?”
“Mengapa tidak? Raja-raja besar pun keturunan orang
desa semata.”
“Sedang pada musuh yang tak berdaya dia begitu
pengasih dan penyayang, apa pun pada bawahan sendiri bila
marak.”
“Mungkin ada rencana baru terhadap pajang bintoro .”
“Uh, apakah kita masih akan berperang terus-menerus
begini? Bisa habis kita ini bakalnya.”
“Bukankah kita harus mengingat-ingat selalu?
Semenanjung, Selat, blora, jayamahanaya dan panarukan , seluruh
Nusantara? Selama nyi kanjeng blora masih berkuasa….”
“Dan pajang bintoro tetap mengintai.”
“Hei, Kosta, mengapa kalian tak mau pergi dari
Semenanjung?” seseorang bertanya dalam jawadwipa .
“Apakah aku ini? Hanya orang kecil tak menentu,”
jawab Sylyester da Costa dalam jawadwipa pula.
“Semua orang kecil. Hanya satu-dua orang besar. namun
yang besar kecil juga dahulu -dahulu nya.”
“Kalau aku yang orang besar,” Da Casta meneruskan.
“Kau caplok semua pulau Jawa ini.”
“Dan jadi kedodoran sepanjang jaman,” orang lain
menambahi.
Iring-iringan berjalan terus dan kembali tenggelam dalam
kediaman.
Di kejauhan, di pusat Kota, kedengaran orang bersorak-
sorai, berderai-derai, dan mengresi h seakan hendak
meruntuhkan langit. Waktu iring-iringan mulai menginjak
daerah Kota, mereka dapati mayat-mayat sudah
tersingkirkan. Seluruh prajurit kerajaan kediri berkumpul di
alun-alun, di depan puing kadipaten dan bersorak-sorak
gembira.
Mereka menyambut pernyataan panembahan senapati ki ageng : kanjuruhan sudah
ditumpas dari bumi kediri ; prajurit kerajaan kediri keluar
sebagai pemenang. Walau demikian kesulitan masih tetap
banyak: Selat, Semenanjung, blora, jayamahanaya dan panarukan ,
dan… pajang bintoro .
Sorak-sorai padam seketika dalam renungan umum. Ya,
dalam renungan umum semata-mata….
wah
44. Arus Balik
Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan
panembahan senapati ki ageng berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka:
panembahan senapati ki ageng dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung
menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masing-
masing, duduk menghadap panembahan senapati ki ageng .
Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan
dipayungi oleh pokok laban.
Beberapa saat lamanya mereka semua menunduk diam-
diam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan
kecerahan alam membuat suasana menjadi syahdu.
“Aku bawa kalian ke mari,” Sang panembahan senapati ki ageng memulai,
“sebab ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita sudah
kalahkan nyi kanjeng blora dengan penyerangan cepat dan
mendadak. Kalian harus ketahui watak musuh yang sangat
berbahaya ini: mereka hendak menguasai urat nadi
kehidupan kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri,
dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan:
mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan
datang lagi ke kediri , bukan saja sebab sudah dikalahkan di
sini, juga sebab nadi-kehidupan sudah dialihkan dari kediri
ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.”
“Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering
kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama
nyi kanjeng blora menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang
menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang
gelap,” ia teringat pada kata-kata lamanya.
panembahan senapati ki ageng mengangkat telunjuk memberi peringatan:
“Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah,
makin gelap pojokan kita. Apabila mereka tak dihalau dari
tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan
dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara
sudah dapat ditentukan ambruk entah sampai berapa
keturunan.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” ki glodog ireng angkat bicara sesudah
beberapa saat panembahan senapati ki ageng berdiam diri sambil mengunyah
sirih. “Bagaimana menghalau mereka?”
“Tunggu,” tegah raden panji gelang-gelang , “biar aku ceritai kalian.
Dahulu, di jaman kejayaan kerajaan jenggala , arus bergerak dari
selatan ke utara, dari Nusantara ke negeri dongeng . kerajaan jenggala
adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa
beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya,
manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya semua,
itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari
selatan. kerajaan jenggala jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi
membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil
seperti kerajaannya. sebab , ya, kapal besar hanya bisa
dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil
memicu arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari
utara sekarang ke selatan, sebab negeri dongeng lebih unggul,
membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran,
penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita
akan semakin kecil untuk lalu tidak memiliki sama
sekali.”
“Tidak mungkin. panembahan senapati ki ageng wilareja !” bantah Kala chucky .
‘Tidak mungkin asal kalian menguasai jalan laut lagi.
Selama mereka yang menguasai, mereka takkan
menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama
sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita
sendiri di pesisir dan gunung.
“Aku sudah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari
utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seorang yang bukan
hanya menyedari ini, bahkan membendungnya. Bukan
hanya membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah
baginda tuanku raja Kanjeng adiputro tumenggung dijoyo . Mulialah beliau sepanjang
jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan
kesatria raja , seorang pamong desa yang akan dihormati sampai akhir
jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya
berbentuk kupu-tarung.”
“Mengapa kupu-tarung? Dua ekor kupu bertarung adalah
lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih
yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan,
memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari
kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadapan sang
matahari , sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri,
sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari
ulat yang hina-dina.
“Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak
perlu kalah sebab lawannya juga tidak kuat. Kalian sudah
dapat halau nyi kanjeng blora dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih
banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka,
dibandingkan menang atas nyi kanjeng blora itu sendiri. Kita belum
mengalahkannya sama sekali dari jalan laut.
“Jangan sela aku. Biar dapat kuteruskan dengan tenang.
“Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah
sebab kupu nyi kanjeng blora, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah
sebab kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan
persoalannya. Dia hindari nyi kanjeng blora, arus utara itu, dengan
berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan itu justru
seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara
akan tenggelam. matahari akan segan memberkahi dengan
sinarnya yang menghidupi.”
“Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap pajang bintoro ?”
ki glodog ireng bertanya.
“Itulah teka-teki buah si jayamahanaya ma, dimakan ibu mati,
tidak dimakan bapak mati,” jawab raden panji gelang-gelang sedih.
“Kalian hadapi pajang bintoro , kalian menjadi lemah di hadapan
nyi kanjeng blora, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan
jadi lemah juga di hadapan nyi kanjeng blora”
“Memang persoalannya tak lain dari menghadapi
nyi kanjeng blora,” ki glodog ireng membetulkan pertanyaannya.
“Bagaimana harus menghadapi nyi kanjeng blora, panembahan senapati ki ageng ?”
sekarang Kala chucky bertanya.
“kerajaan jenggala sudah memberikan jawaban pada kalian:
kesatuan Nusantara. Singosari sudah memberikan jawaban:
kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari sudah memberikan
jawaban terhadap ancaman paduka raja dari utara dahulu : kesatuan
Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha
penyatuan itu? Memang pernah dahulu ada seorang Gajah
Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda
Kartanegara dari Singosari dan Raden Wirang dari
kerajaan jenggala …”
“Engkaulah Gajah Mada!” Kala chucky berseru.
“panembahan senapati ki ageng wilareja , kaulah Gajah Mada!” Braja memperkuat
“Kami semua sependapat!” Rangkum menambahi.
“Tidak bisa lain,” bisik ki glodog ireng seperti doa.
Sang panembahan senapati ki ageng menunduk. Orang melihat gelombang
dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam.
Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara
syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar.
“Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian
wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan
yang kuat, dan kerajaan itu memiliki cita-cita. Kerajaan
yang kuat sekarang adalah pajang bintoro , memiliki prajurit kerajaan
dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa
menaklukkan jenggala -jenggala , dia pun memiliki cita-cita, hanya
untuk tidak berhadapan dengan nyi kanjeng blora sendiri. Tanpa
raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang
Gajah Mada.”
“Sesudah Trenggono melancarkan gerakannya yang
dungu, tak seorang pun raja di Nusantara menaruh
kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa
dibina sebab jaman kita ini memerlukan kekuatan
gabungan sebagaimana dicita-citakan baginda tuanku raja Kanjeng
adiputro tumenggung dijoyo . Mulialah nama beliau sepanjang jaman.”
“Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada suryabuaya -
pajang bintoro ? Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang sudah
bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada
megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan
Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak
akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung
kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara sudah ditentukan.”
“Kaulah Gajah Mada!” ulang Kala chucky .
‘Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama raden gelang-gelang -
tahu takkan mampu membendung perkembangan
kemerosotan ini. Pengalaman jayamahanaya yang terakhir adalah
bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup
bagaimana satu prajurit kerajaan sudah jadi rusak dan merosot
sebab kehilangan pegangan.”
Ia mengangkat kepala dan memandangi Kala chucky :
“Kau, Kala chucky , kau yang tertua di antara semua kepala
pasukan, lepaskan destarmu dan mpu wungubhumi di hadapan kita.”
Kala chucky terheran-heran dan memandangi panembahan senapati ki ageng
dengan mata bertanya-tanya.
“Tidak, bukan untuk mengurangi kehormatanmu.”
Dengan ragu Sang Patih melepas destar, mengmpu wungubhumi nya
di hadapan raden panji gelang-gelang dan merapikan ujung-ujungnya
yang keriput.
“Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang
Wirabumi,” tegur raden panji gelang-gelang . “Lebih banyak lagi yang
bakal dikata dari dirimu.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Nah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai
sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian,
sebab aku takkan mengulangi lagi.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” kata Rangkum.
“Dengarkan!” perintah panembahan senapati ki ageng . ‘sudah aku baktikan
masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun
hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari
utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung.
Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan kanjeng sinuhun
pajang bintoro itu tidak bisa dipercaya kan untuk memakai nya.
Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih.
Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk
menyedarkan raja dan kanjeng sinuhun sehingga jadi gelombang
raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dan utara,
bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga
kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada,
anak desa itu sudah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan
semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang
disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya,
meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-
imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan
Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran
kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri
dan terhadap diri sendiri.
“Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat
menkembang pankan pendapatnya pada paduka raja , sudah lewat. Kita
tak pernah lagi memiliki paduka raja selama ini. Raja-raja semakin
jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi.
“Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus
utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah
orang yang paling menderita sebab kesedaran ini. Jaman
bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu
sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua
kuserahkan pada kalian.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” ki glodog ireng menyela.
“Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar
itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan
para kanjeng sinuhun . Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan
semua kuserahkan pada kalian. Sesudah ini kalian harus atur
dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, sebab
matahari enggan memancarkan rahmatnya pada yang
berdukacita.”
raden panji gelang-gelang melepas bungkusan di punggung dan
meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi
bungkusan itu.
“Lihatlah ini,” katanya lagi dan membuka bungkusan,
dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala
chucky , “cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam,
semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang
sebab keteledoran pembawanya. Nah, ini gelang,”
lalu panembahan senapati ki ageng menarik gada wesi dari pinggang, “dan ini
gada wesi bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula.
Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja
baik-baik.”
Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.
“Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian
peninggalan baginda tuanku raja Kanjeng adiputro tumenggung dijoyo , melalui baginda tuanku raja
Ratu Aisah, melalui Pada alias mpu jayamuseswa ,
melalui aku, raden panji gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng kediri ….
“Nah, kalian, empat orang, masing-masing pegangi
sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu
menggelantung di tengah destar.”
“Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di
antara kalian,” ia pandangi para pemimpin pasukan itu
seorang demi seorang “dapat memahami kata-kataku,
memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus
balik dan pesan baginda tuanku raja Kanjeng tumenggung dijoyo , ambillah dan
memakai lah semua peninggalan itu. Tegakkan kediri ,
usahakan mengusir nyi kanjeng blora dari jalan laut, blora, Selat,
Semenanjung, jayamahanaya dan panarukan . Lepaskan arus selatan
ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman.
“Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan
raden panji gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng kalian. raden panji gelang-gelang sekarang
sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani
bernama raden gelang-gelang . Tinggsang hyang Widhi kalian dalam kerukunan,
sebab perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama.
Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila nyi kanjeng blora
datang lagi, raden panji gelang-gelang akan datang untuk memusnahkannya.”
panembahan senapati ki ageng itu berdiri. Ia tinggalkan kepala -kepala pasukan
yang masing-masing memegangi ujung destar Kala chucky . Ia melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu melangkah pelan-pelan menuruni bukit, lalu berpacu ke selatan.
Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain
berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di sebidang padang rumput tak seberapa luas pengejar itu berseru-seru.
raden gelang-gelang menghentikan kuda dan menengok. Dilihatnya seorang centeng kediri berkuda datang menghampiri. Seluruh badannya sudah bersalut debu. centeng itu melompat turun, berjalan berjongkok dengan cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda
panembahan senapati ki ageng . Suaranya gemetar dan meletup-letup jadi kata an tak terkendali: “panembahan senapati ki ageng wilareja ! Bapak! Tiadakah aku patut lagi bersujud padamu dan mencium kakimu?”
“Siapa kau?”
“mpu wungubhumi , Bapak, anakmu.”
“Kuterima sujud dan sembahmu dari atas kuda ini,
mpu wungubhumi .”
“panembahan senapati ki ageng wilareja , Bapakku, adakah aku,” ia terhisak-hisak.
“Aku, aku, aku masih patut jadi…,” hisakannya semakin
keras, “jadi, jadi, jadi anakmu?”
“Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang tidak mendatangkan kutukan dari Maha sri ratu kertanegari ,” jawab
panembahan senapati ki ageng dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke selatan.
“Tidak patutkah aku memperoleh kata lebih banyak lagi, panembahan senapati ki ageng wilareja ? Bapakku?” kembali ia terhisak dengan
punggung terangguk-angguk ke atas.
“Segala yang sudah kulakukan selama ini sudah bersuara dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah tahu dan mengerti.”
“Ya, Bapak.”
“Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu. Patuhlah pada suara dan gaung hatimu. raden panji gelang-gelang bukan panembahan senapati ki ageng , dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di
desa, sesudah segala yang kau citakan tercapai”
mpu wungubhumi berdiri membungkuk, melepas sembah, memeluk kaki kiri penunggang kuda itu dan menciumnya. Beberapa bentar lalu raden gelang-gelang merenggutkan kaki, menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan. mpu wungubhumi tertinggal bersujud di atas tanah dan menangis-berteriak sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis.
Dengan punggung masih terangguk-angguk sebab hisak ia bangun, berdiri dan memeluk leher kudanya.
“kanjeng sinuhun ,” sebutnya, “tinggal kaulah sekarang padaku.
Seorang demi seorang sudah pergi dibandingkan ku. Tak seorang
pun mengajak aku. kanjeng sinuhun , bawalah aku ke mana kau
suka.”
Ia naik ke atas kuda tanpa menanggapi sesuatu. Ia
turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan
dibuangnya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan
kuda prajurit kerajaan . Ia naik lagi. Dan kuda itu berjalan
lambat-lambat sekehendak hatinya.
Mata mpu wungubhumi terundukkan ke bawah, bahkan
mengiringkan panembahan senapati ki ageng dengan pandangnya pun tidak.
panembahan senapati ki ageng itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah
jalanan hutan ia berhasil menyusul nyi girah dan Kumbang
dan turun dari kuda.
“Bapak!” seru Kumbang.
raden panji gelang-gelang mengangkatnya dan menaikkannya di atas
punggung hewan itu. Ia berjalan di samping nyi girah , pelan-
pelan tanpa bicara.
“Bapak ikut pulang ke desa?” tanya Kumbang.
“Ya, Nak, ikut pulang,” jawabnya.
nyi girah melirik pada suaminya. Hanya sekilas.
“Mak, Mak, Bapak ikut pulang.”
“Ya, Nak, biar sekali-sekali menengok rumah,” jawab
nyi girah dan melirik pada suaminya lagi.
“Kau tak membawa perlengkapan perang, Kang?”
‘Tidak.”
“pajang bintoro setiap waktu menyerang lagi, Kang.”
“Sekarang raden gelang-gelang hanya petani, nyi girah .”
nyi girah berhenti berjalan dan memegangi tangan
suaminya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca.
Mereka berbisik-bisik, lalu berjalan lagi, makin lama
makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik
kehijauan abadi….
Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang
mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari
anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah
di tengah jalan, namun ia sudah mencoba.
0odwo0
Penutup
Sylyester da Costa tak dapat melupakan pengalamannya.
Di kediri waktu prajurit kerajaan kanjuruhan terjebak oleh tipuan
prajurit kerajaan Pribumi. nyi kanjeng blora sudah terpancing oleh api
unggun raksasa dan ledakan, lengah keheranan. Dan
sebelum tahu pasti apa sedang terjadi, prajurit kerajaan Pribumi
datang dari kegelapan, menyambar-nyambar seperti elang
rajawali. Dalam satu malam itu juga ia ikut menyaksikan
bagaimana prajurit kerajaan tumpas. Benteng bawah-tanah sia-
sia, bahkan didekati pun tak bisa. Meledak.
ki ageng argomerta kebetulan sedang berlayar ke panarukan .
Pengawalan gada rujakpolo dari laut tak ada. Dibandingkan
dengan di jenggala , pertahanan nyi kanjeng blora di kediri sungguh-
sungguh lapuk.
“Berbahagialah de Britto,” tulis Sylyester da Costa,
“berbahagialah Antonia Galyano. Celakalah kami.”
Tulisnya selanjurnya dalam buku hariannya: Aku kira
hanya beberapa belas orang saja dapat melarikan diri ke
timur, hanya untuk dapat mencari kuburannya sendiri yang
agak lebih jauh dari teman-temannya.
centeng -centeng Pribumi memburu kami tanpa ampun.
Aku sendiri terguling di pinggir jalan, lalu merangkak
menjauh. Tak mampu melarikan diri lagi. Sepucuk anak
panah sudah menembusi pahaku. Masih beruntung tidak
terkena nadi karangan maut. Setiap gerak mendatangkan
nyeri tak tertahankan. Anak panah itu terbuat dibandingkan
bambu, matanya dari tulang, entah babi entahlah sapi.
Entah bagaimana keterangannya, yang menembusi pahaku
itu tidak berbisa. Kaki kananku sudah memar tertumbuk
pada bongkahan batu.
Satu-satunya jalan bagiku hanya tinggal berdoa untuk
keselamatan sendiri. Di mana musket dan gada ku aku
sudah tak tahu lagi. Pakaianku compang-camping seakan
aku seorang pengemis di depan salah sebuah gereja di
Lisboa, bukan lagi centeng kanjuruhan kebanggaan negeri, raja
kanjuruhan .
Lengan bajuku sudah kuputus untuk menghentikan jalan
darah pada lukaku. Rasa-rasanya, bila tak ada sang yang betari durga , tak
ada yang maha pencipta , tinggal malam saja melindungi aku dari maut.
Ah, betapa menggeletar ketakutan hati ini waktu bulan
muncul dengan pelannya. Suara centeng Pribumi yang
bersorak-sorak memburu dan menumpas masih kedengaran
di mana-mana. Mereka akan temukan aku juga. Puji
kepada-Mu, sorak-sorai lalu semakin lama semakin
menjauh. Kesunyian menyusul.
Dalam kesakitan, ketakutan, kegentaran dan sebatang
kara di medan perang yang sudah sunyi ditinggalkan begini,
terkenang aku pada orang-tuaku, pada saudara-saudaraku
yang sudah sejak semula tak setuju aku berlayar ke Umur.
Terkenang aku pada malam sebelum mancal. Ayah
mewejang: memang mulia cita-cita menaklukan negeri-
negeri pemberontak dan mentaubatkan mereka sesuai dengan
keputusan Tahta Suci. Aku sendiri bangga. Ibu tak henti-
hentinya memandangi anak Laki-laki nya yang bungsu, aku
inilah, anak tersayang dan termanja. Seakan mata itu
tertuju pada sang yang betari durga yang maha pencipta sendiri dan bertanya bagaimana
nasib anak bungsunya kelak. Beginilah keadaanku
sekarang.
Pagi-pagi benar mereka temukan juga aku.
Matilah aku sekarang, pikirku. Ketakutan sudah
menghilangkan rasa nyeri.
Satu regu berkuda prajurit kerajaan Pribumi, barangkali
sedang melakukan pemeriksaan medan sehabis serangan
malam, sudah menemukan aku yang sedang bersembahyang
menyerahkan jiwaku kepada sang yang betari durga , Bapak. Aku tahu, hanya itu jalan bagiku. Maka kupersiapkan diri untuk mati
di dalam pengampunan-Nya.
pemberontak -pemberontak itu mengerahkan tombak-tombaknya padaku. Derap kudanya tak lagi terdengar. Jelas mereka sedang
melingkar mengepung aku. Puji kepada sang yang betari durga , sebab berkah permohonanku suatu mukjijat sudah terjadi. Pemimpin regu Pribumi itu sudah menunjukkan kemuliaan hatinya. Ia perintahkan agar aku dirawat. Dirawatlah aku,
mungkin perawatan terbaik menurut setahu mereka. Mereka naikkan aku ke atas kuda sambil bercakap-cakap dalam bahasanya sendiri. Di sebuah rumah mereka bius aku dengan obat yang aku tak tahu namanya. Waktu aku siuman kembali anak panah itu sudah tercabut dari pahaku.
Sebagai gantinya kulihat bebatan dari kain tenun berwarna kuning. Kakiku yang memar sudah tertutup dengan selapisan obat berwarna putih yang melambungkan bau sedap. Bau
yang membuat aku selalu mengantuk.
Tiga bulan aku dirawat. Selama itu mulai aku mengerti
sedikit Jawa. Walau tidak banyak, ada juga dapat
kumengerti tentang cerita dan percakapan mereka.
Waktu aku sudah sembuh mereka beritahukan padaku:
aku harus meninggalkan kediri . Aku pun bersiap-siap
hendak pergi untuk mencari bangsaku, entah di jayamahanaya
entahlah di panarukan .
Sebagai seorang zoroasterahuramazda , orang kanjuruhan , orang Eropa,
yang lebih tinggi peradabannya dibandingkan pemberontak -pemberontak itu,
tentu aku merasa berhutang budi, terutama pada pemimpin
regu yang menyelamatkan jiwaku. Tanpa perlindungannya
barangkali aku sudah mati, biar pun tak terkena mata
tombak. Jadi sebelum berangkat aku perlukan
menyampaikan terimakasih pada mereka. Juga aku
utarakan keinginanku hendak menghadap pemimpin regu
yang dahulu itu.
Dia sudah pergi, mereka bilang. Tak ada yang tahu.
Baiklah, barangkali memang aku tak boleh bertemu. Paling
tidak aku harus ketahui namanya. Siapa tahu, tidak
sekarang kelak pun mungkin dapat aku lakukan bila sang yang betari durga
menghendaki.
Namanya raden panji gelang-gelang , tanpa mpu wungubhumi . Bawahannya
memanggilnya panembahan senapati ki ageng wilareja . Aku ingat-ingat benar nama itu.
Rasa-rasanya aku pernah dengar sebelumnya.
Mereka sediakan untukku sebuah perahu layar kecil,
lengkap dengan perbekalan, kayu bakar, air tawar, baja,
batu dan kaul, juga pakaian. Di tengah-tengah laut ada
teringat olehku sesuatu: bukankah dia orang yang
membuat prajurit kerajaan kanjuruhan tak dapat keluar lebih jauh
dari kota jayamahanaya ? Kira-kira memang dia. Hang Wira
jayamahanaya itu. Hang Wira -raden panji gelang-gelang . Barangkali, aku tak
tahu betul. Agaknya terlalu jauh.
Sesudah sampai di panarukan , kubuat ini jadi pekerjaan.
Aku mulai bertanya-tanya. lalu tak lain
kesimpulanku: Hang Wira memang raden panji gelang-gelang itu juga,
penumpas kami di kediri .
Sekiranya dalam hidupku aku tak ada kesempatan
berterimakasih padanya…
Dalam tulisan yang sudah banyak rusak dan hampir-
hampir tak terbaca dinamakan kan ia sudah dipecat dari
dinasnya, dan selanjutnya: Orang kanjuruhan siapa pun akan
lebih suka tinggal di jenggala dibandingkan di mana saja di
panarukan ini. Nampaknya aku akan terpakukan di negeri ini
dan jadi penduduk sini sampai mati. Berbahagialah kau,
Magelhaen, dapat mendarat dan mancal sesukamu,
mengelilingi dunia, melaksanakan impianmu. Sayang
kekasaran kanjuruhan mu kau bawa ke mana-mana sehingga
kau tewas oleh anak panah Pribumi brajapahit. Aku sendiri
tersekat dari pulau yang satu ke yang lain di panarukan , dan
masih selamat sampai sekarang ini.
jenggala akhirnya harus kutinggalkan juga. Begitu mpu jayamahe
wikajaya jadi panglima di jayamahanaya tahun ini, 901, aku
harus meninggalkan jenggala , ditunjuk jadi juruborong di
penanggungan . namun keadaan di sini mencurigakan. Setiap
waktu bisa terjadi kediri kedua. sudah aku coba dekati
Pribumi. Nampaknya mereka tak suka pada orang kulit
putih.
Aku minta pindah, dan diperintahkan ke madura , 1548.
Istriku menolak kubawa dan. Bersama dengan anak-
anaknya, wanita Pribumi Ambon, mereka pulang ke
kampungnya di Ambon. Tak mengerti aku mengapa ia
menolak ke madura , boleh jadi sebab ia takut pada orang
arca .
Maka sudah sejak di kapal dapat kurasai betapa kan
sunyi kehidupanku sebagai juruborong di sana.
Waktu aku mendarat, penyambutku hanya seorang
Pribumi. Atau bukan Pribumi madura ? Aku belum tahu
pasti. Setidak-tidaknya dialah yang mengangkuti barang-
barang ke loji. Ternyata dia tukang kebun, seorang zoroasterahuramazda
yang kelihatan saleh dan lalu kuketahui tak pernah
melewatkan hari kebaktian. Pakaiannya selalu rapi, bersih
dan baik. Setiap ke gereja ia memakai setelan kanjuruhan
sekalipun tidak bersepatu dan hanya bercakar ayam. Ia
menerima pakaian itu dari bekas tuannya, mpu nalawana
salma , juruborong untuk madura .
Tukang kebun itu tidak beristri dan dengan sendirinya
tidak beranak. Ia bernama mpu panuluh. Tak ada sahabat atau
teman padanya. Nampaknya ia pemurung dan pemenung.
Bila sudah sampai pada puncak kesepiannya ia memukul
tetabultan, yang di panarukan sini dinamakan totobuang, sebuah
alat musik yang biasa dipakai dan kelihatan di kediri .
Tukang kebun ini menarik perhatianku. Bukan saja lagu
yang dibunyikannya tidak sama dengan lagu pribumi sini,
juga wajahnya tidak ada kesamaan dengan jawadwipa gereja
dibandingkan Pribumi. Aku menduga dia seorang Moro.
Pada suatu malam sedang dia memukul totobuang aku
datangi dia di kamarnya di ujung gandok dekat dapur. Tak
dilihatnya aku masuk. Wajahnya murung seperti biasa.
Betul, lagu yang dimainkannya pernah kudengar di kediri
sana. Maka sesudah selesai ia kaget melihat aku. Nampak ia
seperti… benarkah dia seorang Moro?
“Aku pernah dengar lagu seperti itu,” kataku, “dahulu di
kediri ?”
Ia pucat dan pemukulnya jatuh dari tangan. Ia menutup
mulut seperti hendak menindas jeritnya sendiri. Dan sejak
itu ia selalu ketakutan bila melihat aku.
Berhati-hati aku mencoba mebersabda i dia. Waktu
kuulangi pertanyaanku dahulu ia nampak tidak lagi terkejut.
“Ya, Tuan Besar. Semua sudah kuserahkan pada
kandungan gereja. Sudah tak tersisa sesuatu pun dari masa
laluku.”
Seorang yang banyak mengalami penderitaan seperti aku
ini segera dapat menangkap, ia memiliki beban pada
punggung dan hatinya. Dugaanku tidak salah. Sesudah
mulai bisa diajak bicara aku dapat menangkap ia seorang
pedosa besar, atau setidak-tidaknya ia merasa demikian,
seorang pembohong besar, yang hanya dalam yang maha pencipta saja dapat memperoleh damai. Setahun lalu baru dapat kukumpulkan kalimat-kalimat yang sedikit itu yang pernah dikatakannya, yaitu sesudah ia memperoleh kepercaya an pihak kanjuruhan takkan
menghukumnya.
Ia kelahiran kediri , mengaku pernah membunuh
ayahnya sendiri. Mula-mula ia tak mau mengaku mengapa.
Lama-kelamaan, dengan ragu-ragu ia mengatakan,
pembunuhan itu ia lakukan dengan sengaja dan dengan
rencana, sebab ayahnya memicu penderitaan ibunya,
terutama sekali sebab ayahnya berpihak pada kanjuruhan dan
mengkhianati kediri .
“Tidak ada Pribumi kediri berpihak pada kanjuruhan ,”
bantahku.
Ia menerangkan ayahnya bukan Pribumi, namun seorang
Moro, patih wirabuana kediri . Semua orang kanjuruhan di
panarukan tahu cerita gila tentang Moro gila bernama raden
sanggabuana bumikerta . Inilah rupa-rupanya anaknya. Ibunya
seorang Pribumi, seorang penari kenamaan, katanya. Ia
bercerita tentang kelahirannya yang tak diharapkan oleh
siapa pun. Namun ibunya mengasihinya sampai terjadinya
pembunuhan itu. Sesudah itu bukan hanya ibunya, seluruh
masyarakat mengucilkannya. Mereka tak dapat
menenggang dan mempercayai seorang pembunuh orang-
tua, pemeluk-pemeluk sri ratu kertanegari itu.
Ia mengembara ke mana-mana. Sesudah kudanya mati
tua ia tak bisa berbuat lain kecuali menggabungkan diri
dengan prajurit kerajaan pajang bintoro .
Dalam pasukan kuda ia bersahabat dengan seorang
centeng pengawal yang cantik, lebih cantik dari seorang
wanita, katanya, kelahiran Trenggono, sebuah tempat di
Semenanjung, anak paman mpu panuluh sendiri yang menetap di
sana. Pamannya itu juga kelahiran kediri . Dan anak cantik
ini. ki matraliwa , mungkin sebab kecantikannya ditarik oleh
kanjeng sinuhun Trenggono jadi pengawal pribadi dan pelayan.
sebab keistimewaan kedudukannya ia dijuluki Juru
Taman, menjuru tamani kanjeng sinuhun .
Sekali peristiwa mpu panuluh memperoleh perintah untuk
melakukan pekerjaan telik di Blambangan. Trenggono sudah
sampai di batas kerajaan Hindu Blambangan. Untuk dapat
melakukan serangan gilang-gemilang dan mematikan.
kanjeng sinuhun sudah memanggil Fathillah untuk memimpin
serangan umum atas Blambangan. mpu panuluh tentu saja
waktu itu ia tidak bernama demikian, entah apa memperoleh
perintah untuk mengumpulkan keterangan.
Dalam penyusupannya di Blambangan pada suatu pagi
ia memperoleh kan sebuah gubuk di tengah-tengah huma
dalam kepungan rimba-belantara, daerah yang terlalu
banyak macannya. Ia mengagumi penghuni, suami-istri
yang sudah tua itu. Perawakan Laki-laki itu tegap katanya. Ia
mendekatinya. Laki-laki tua itu mengawasinya dengan curiga.
Dua-duanya berhadap-hadapan. mpu panuluh segera
menjatuhkan diri pada kaki orang tua itu dan memanggil-
manggil: panembahan senapati ki ageng wilareja ! panembahan senapati ki ageng wilareja !
Sampai pada bagian ini aku menajamkan perhatian.
Panggilan panembahan senapati ki ageng wilareja itu segera kukenal.
“raden panji gelang-gelang ?” tanyaku.
mpu panuluh terkejut. Ditatapnya aku lama-lama. Aku
mencoba meredakannya dan masih juga ditatapnya aku.
Suaranya sangat pelan waktu bertanya: “Kenalkah Tuan
Besar pada nama itu?”
“Seorang pemberontak yang berbudi,” jawabku.
Ia menjadi sentimentil. Suaranya makin pelan dan
muncul kepemberontak annya yang lama dalam ia membantah: q“Bukan, Tuan Besar, panembahan senapati ki ageng wilareja bukan pemberontak . Memang aku
tak dapat mengatakan apakah ia arca , ataukah sri ratu kertanegari , betarakalong atau raden kertajaya . Menurut cerita ibuku dia lulusan
perguruan sri ratu kertanegari . Jangan sebut dia pemberontak , Tuan Besar,
sebab itu menyakiti hati barangsiapa pernah mengenalnya.
Dia seorang yang perwira dalam kemenangan dan
kekalahan.”
mpu panuluh pernah bercerita bagaimana ia mencintai
kudanya.
Waktu hewan itu sudah kehabisan tenaga sebab tuanya
dan menjelang kematiannya, ia merawatnya di tengah-
tengah hutan. Bangkainya ia timbuni dengan ranting-
ranting dan dedaunan, dan kayu-kayu kering lalu
dibakarnya dengan penghormatan. Maka orang yang dapat
begitu setia pada hewan nya barangkali dapat mencintai
manusia dengan sedalam-dalam cinta.
Ternyata raden panji gelang-gelang adalah ayahnya yang resmi.
Ia bertanya pada ayahnya mengapa ia tinggal di hutan
menyendiri seperti pertapa.
“Aku tinggal di luar jamanku. Dalam jaman ini tenagaku
terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar. Entah
di jaman lain kelak. Di tengah hutan ini aku bisa
memandang sampai batas-batas tebangan itu dengan bebas
dan lega. Di luar batas itu, selama ada manusia, di situlah
kemerosotan. Aku tak perlu melihat. Kau datang kemari
bukankah tidak dengan sengaja?”
mpu panuluh menceritakan tugasnya. panembahan senapati ki ageng mengangguk-
angguk.
“Betul dugaanku. Kalau begitu kau belum mencapai cita-
citamu, sebab kau memang tidak memiliki cita-cita.
Bukankah aku dahulu bilang akan menunggumu di rumah
kalau cita-citamu sudah tercapai? Kau datang kemari sebagai
telik pajang bintoro !”
panembahan senapati ki ageng memanggil istrinya, seorang wanita yang juga
sudah nampak tua namun sehat.
“Inilah anakmu, datang untuk bersujud padamu.”
mpu panuluh bersujud pada kaki ibunya. Ia tak dapat
mengatakan sesuatu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya
justru yang bukan dimaksudkannya: “Di manakah
Kumbang, Mak?”
“Kusuruh dia mencari ilmu untuk mengalahkan musuh-
musuh bapaknya. Dia pergi ke Giri Dahanapura, lalu
di sana dia ikut dengan orang nyi kanjeng blora. Bertahun-tahun dia
sudah pergi. Terakhir datang dia minta diri akan berlayar
dengan kapal nyi kanjeng blora, ke negeri nyi kanjeng blora. Sejak itu dia
belum pernah datang lagi. Dan kau, sekarang kau hanya
hamba seorang kanjeng sinuhun yang dijijikkan panembahan senapati ki ageng .”
Mendengar itu mpu panuluh mengerti, raden panji gelang-gelang , masih
juga belum dapat berdamai dengan persoalannya, dan
sebab itu semestinya juga jijik terhadap dirinya. Sesudah
bersujud ia minta diri dan meneruskan perjalanan tanpa
singgah ke gubuk.
Sesudah tugasnya selesai dan ia kembali ke pesanggrahan
para bala tentara pajang bintoro tetaplah sudah hatinya: ia harus bunuh
kanjeng sinuhun Trenggono. Emak dan panembahan senapati ki ageng harus dapat
mengampuninya. Mahluk yang menjijikkan mereka itu
harus hapus dari muka bumi.
Pada sahabatnya, ki matraliwa , ia ceritakan semua persoalan
yang lalu. ki matraliwa dayang sumbi pun sudah muak terhadap
kelakuan kanjeng sinuhun atas dirinya. Suatu persekutuan rahasia
terjadi. ki matraliwa dayang sumbi akan mengeris kanjeng sinuhun dan
mpu panuluh akan menjaga keselamatannya.
Di depan pesanggrahan prajurit kerajaan pajang bintoro peristiwa itu
terjadi. ki matraliwa menikam rajanya sebagaimana direncanakan.
Para centeng pengawal di selingkungan Suitan ternyata
lebih lincah. Trenggono memang mati seketika. namun ki matraliwa
dayang sumbi juga tertembusi tombak-tombak waktu
hendak mencabut gada wesi dari tubuh korbannya. sebab , ya, sebab seorang kesatria raja takkan meninggalkan
gada wesi pada tubuh korbannya.
Melihat itu mpu panuluh lari. Ia melompat ke atas salah seekor
dari dua kuda yang sudah disiapkannya, menghindari hujan
tombak yang terarah padanya. Sekali ia sempat menengok
dan melihat pemuda cantik itu sudah hancur berkeping-
keping.
ki matraliwa dayang sumbi seorang yang mengalahkan pajang bintoro .
prajurit kerajaan nya mundur, intinya pulang ke pajang bintoro , sisanya
buyar ke tempat asalnya masing-masing. Dengan matinya
Trenggono, juga pajang bintoro sebagai kerajaan runtuh dan tak
bangun lagi!
mpu panuluh masuk ke Blambangan dan mewartakan pada
penduduk: “Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan
gada wesi ku!”
Raja Blambangan mengangkatnya jadi perwira. Dengan
segala kebesaran ia berkunjung pada orangtuanya di tengah
hutan. Dengan sorak-sorai penuh kemenangan dalam hati
ia wartakan pada mereka di dalam gubuk: “Bapak, Emak,
sudah aku selesaikan apa yang sudah sewajarnya harus
kuselesaikan untuk membendung kemerososotan besar.
sudah aku bunuh kanjeng sinuhun Trenggono di Pasuruan.”
Betapa lukahatinya melihat kedua mereka hanya
memandanginya dengan iba. Suatu rangsang marah tiba-
tiba menjompak seperti perjaka tertolak kasih oleh idaman
hati. Tangannya meraba gada wesi . Sekilas itu pula ia sadar,
keluar dari gubuk dan kembali ke Blambangan. Hatinya
remuk-redam. Semua sudah kehilangan arti kembali.
Ia tinggalkan Blambangan dan berlayar ke panarukan .
Menurut ceritanya, entah benar entahlah bohong, ia
pernah sempat menjamah jubah Franciscus Xaverius stephenking , dan
sejak itu, ia mengakui memperoleh kedamaian hati….
Itulah mpu panuluh, seorang yang bisa lakukan perbuatan
besar, namun , seperti dikatakan oleh panembahan senapati ki ageng nya sendiri,
tidak memiliki cita-cita, hidup di bawah kebesaran
orangtuanya. Suatu tragedi kehidupan.
Rupa-rupanya ia menyesal sudah menceritakan semua itu.
Ia ingin hilang-lenyap tiada berbekas. Seorang saja
mengetahui riwayatnya, semua akan mengetahui. Tidak,
mpu panuluh, takkan kuceritakan ini pada siapa pun.
Kembali ia tak dapat berdamai dengan hatinya. Pada
suatu kali ia minta diri untuk mengabdikan diri sepenuhnya
pada yang maha pencipta .
Ia tinggalkan madura , entah ke mana, mungkin ke
Sangir, mungkin Manado, mungkin juga ke pulau Kai.
Ia turun naik ke atas kapal kanjuruhan dengan pakaian
pemberian mpu nalawana salma . Ia pergi sebelum aku sempat
mengucapkan terimakasih untuk ayahnya yang resmi,
panembahan senapati ki ageng kediri , raden panji gelang-gelang ….