Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 5. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 5



 di Bosnia, Rwanda, atau 

Kamboja di masa lalu. Namun, dengan jangkauannya yang luas, Internet 

menawarkan kesempatan yang unik untuk mewujudkan prinsip-prinsip 

HAM. Arsitektur Internet sudah dari awalnya menantang otoritas yang 

terpusat dan memberdayakan pengguna ke tingkat yang belum pernah 

terjadi sebelumnya. Negara-negara dapat mencampuri arsitektur itu di 

dalam wilayah mereka sendiri, namun untuk sebuah perubahan, mereka 

berada pada posisi teknis yang tidak diuntungkan.

Jauh lebih banyak dibanding yang terkait dengan media cetak atau 

media penyiaran—di mana negara menulis kebijakan dengan sedikit 

perhatian kepada norma-norma internasional atau kepentingan 

industri—regulasi terkait perantara Internet telah diperdebatkan secara 

mendalam di forum-forum internasional. Satu pertanyaan mendasar 

yaitu  apakah suatu perantara dapat dianggap bertanggungjawab atas 

ujaran orang lain. Jika demikian, maka pihak perantara harus mampu 

melindungi dirinya dari hukuman dengan memeriksa konten apa saja 

yang hendak didistribusikan melalui layanannya. Ini, tentu saja, tidak 

Bab 398

berbeda dari patroli yang rutin dipraktikkan oleh surat kabar dan stasiun 

televisi. Mereka yang menganggap YouTube sebagai perusahaan distribusi 

media tidak akan khawatir dengan gagasan untuk membebankan bentuk 

tanggung jawab ini kepada perantara Internet.

Namun jika seseorang memahami YouTube sebagai sesuatu yang lebih 

dekat dengan perusahaan telekomunikasi, implikasinya agak berbeda. 

Kebanyakan orang mungkin bakal merasa risih dengan gagasan tentang 

perusahaan telepon yang menyadap panggilan dan memutuskan jaringan 

saat  pembicaraan itu dirasa mungkin melanggar undang-undang. Jadi, 

sikap terhadap tanggung jawab berbeda-beda, tergantung pada bagaimana 

seseorang memahami perantara—sebagai penerbit dengan tanggung 

jawab kontrol atas akses, atau sebagai pembawa pesan umum yang harus 

tetap netral sepenuhnya atas apa pun konten yang disirkulasikan. Tidak 

mengherankan, Google lebih memilih analogi telepon: “Kami tidak 

merasa bahwa perusahaan telepon bertanggungjawab saat dua penelepon 

memakai  saluran telepon untuk merencanakan kejahatan. Untuk 

alasan-alasan yang sama, yaitu  prinsip dasar Internet bahwa Anda tidak 

bisa menyalahkan perantara netral atas tindakan pelanggan mereka.”62

Tapi perbandingannya tidak persis seperti itu, sebab  panggilan 

telepon kebanyakan yaitu  komunikasi pribadi satu lawan satu, 

sementara ekspresi daring dapat menjangkau publik lebih besar daripada 

media massa tradisional. Google juga tidak bisa dengan meyakinkan 

mengklaim bahwa kontennya netral. Proses Google mungkin berlangsung 

otomatis, namun hal itu tetap mengandung jejak pengambilan keputusan 

oleh manusia. Algoritma di balik fungsi pencariannya yaitu  prinsip 

pengorganisasian buatan manusia, “dan seperti prinsip pengorganisasian 

lainnya, mereka mencerminkan bias terhadap beberapa konten dibanding 

konten lainnya,” kata Uta Kohl, seorang sarjana hukum.63 Jika aljabarnya 

tidak melakukan diskriminasi terhadap situs ilegal, kata Kohl lebih 

jauh, ini yaitu  hasil dari “kesengajaan sistematis perusahaan” untuk 

“memberikan nilai nol pada faktor legalitas dalam proses otomatisasi.”64

Lepas dari itu, Google memiliki dua fitur yang membuatnya lebih 

mirip perusahaan telepon daripada sebuah penerbit. Pertama, volume 

konten raksasa yang dikelolanya berskala berkali-kali lebih besar daripada, 

misalnya, sebuah jaringan televisi satelit semacam MTV atau kantor 

berita seperti Reuters. Menyaring konten satu-persatu dari ekspresi yang 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 99

bermasalah tentu saja akan membutuhkan sumberdaya yang sangat besar 

dan mahal, memaksa perantara untuk melewatkan sebagian besar konten 

jika tak mau bisnisnya gulung tikar.65 Seperti yang kita lihat pada Bab 7, 

beberapa organisasi berita telah secara sukarela mengambil rute ini. Tapi 

bagi perusahaan-perusahaan seperti YouTube dan Twitter, yang ada semata-

mata untuk menawarkan peran sebagai perantara, melakukan proses 

penyaringan jelas tidak realistis. Alasan kedua mengapa mesin pencari 

dan platform media sosial besar lebih mirip perusahaan telepon daripada 

penerbit yaitu  bahwa mereka telah menjadi bagian dari infrastruktur, 

tempat para pengguna Internet bergantung. Bagi banyak pengguna, 

Google sudah sangat penting bagi pengalaman daring mereka, sehingga 

ia “yaitu ” Internet itu sendiri—kegunaannya yang tak tergantikan itulah 

yang memungkinkan para penggunanya untuk menyelami apa yang ada 

di luar sana, seperti “cahaya yang memandu kita melihat dunia maya.”66

Kebijakan Internal Google

Kebijakan Google menjelang krisis Innocence yaitu  mencoba untuk 

melakukan kompromi di antara beberapa pandangan yang berlawanan 

terkait Internet. Di satu sisi, perusahaan mempertahankan naluri 

libertarian yang terkait dengan arsitektur awal World Wide Web. Di sisi 

lain, Google memperlihatkan penerimaan setengah hati atas yurisdiksi 

nasional, seraya mengakui bahwa penyangkalan tanggung jawab atas 

konten yang diunggah melalui situsnya memang tidak bisa sepenuhnya 

dibela. Kebijakan Google tentang konten kontroversial menyatakan “bias 

yang mendukung kebebasan berekspresi,” namun juga mengakui batasan-

batasan. Semua produknya, misalnya, melarang pornografi anak. “Tapi 

dalam wilayah-wilayah lain, seperti ekstremisme, [kebijakan] ini menjadi 

rumit sebab  produk kami tersedia di banyak negara dengan undang-

undang dan budaya yang beragam,” katanya.67

Alat pencariannya mengikuti kebijakan yang terpisah dari platform 

penyiarannya, seperti YouTube.

Untuk kolom “Search”—di mana kami hanya sesederhana 

mengindeks konten—kami menarik konten sesedikit mungkin sebab  

itu berlawanan langsung dengan inti misi kami, yakni membantu 

orang menemukan informasi. Kami menghapus laman web dari 

indeks penelusuran kami saat diwajibkan oleh undang-undang, dan 

Bab 3100

kami mengirimkan pemberitahuan ke “Chilling Effects” saat kami 

melakukannya. Misalnya, jika kami diberitahu tentang laman tertentu 

yang memuliakan Nazisme, dan dilarang oleh hukum Jerman, kami 

menghapus laman spesifik dari Google.de (domain Jerman kami).

Di YouTube dan Google+, misalnya, perusahaan tidak hanya 

menunjukkan tautan ke konten, tapi juga menjadi tuan rumahnya. Oleh 

sebab  itu, platform ini memiliki panduan yang mendorong pengguna 

untuk bertanggungjawab:

Misalnya, tidak ada ujaran kebencian, tidak ada konten yang 

melanggar hak cipta, tidak ada ancaman pembunuhan, tidak ada 

hasutan untuk melakukan kekerasan. Dan saat kami diberi tahu 

tentang konten yang melanggar pedoman ini  atau melanggar 

hukum—misalnya, kami menerima panggilan pengadilan—kami 

akan menghapusnya, atau membatasi aksesnya di negara di mana 

konten ini  sifatnya ilegal.

Umumnya, Google memenuhi permintaan pembatasan atas konten 

kontroversial di negara-negara di mana para pengacara perusahaan 

menaksir bahwa layanan yang relevan memiliki kehadiran fisik, seperti 

versi lokal atau kantor. Ia menafsirkan tuntutan sesempit mungkin, dan 

menantang tuntutan yang kelihatan tidak beralasan. Selain itu, Google 

hanya membatasi penayangan di yurisdiksi tempat permintaan dibuat. 

Ini memastikan bahwa tidak ada satu pun pemerintah yang memutuskan 

apa yang dapat diakses pengguna di negara lain. Dalam periode pelaporan 

sebelum video Innocence, Google telah memenuhi sekitar setengah dari 

permintaan yang diterimanya.68 Innocence membawa tantangan yang 

belum pernah hadir sebelumnya. Dari 17 negara di empat benua, Google 

memenuhi delapan dan menolak sisanya.

Pendekatan Google terus diserang dari kedua ujung spektrum 

ideologis. Bagi mereka yang memiliki prioritas rendah terhadap 

kebebasan berekspresi di Internet, pedoman Google dianggap terlampau 

tidak peka terhadap bahaya dari ekspresi yang menyinggung. Beberapa 

negara secara eksplisit ingin menerapkan standar nasional mereka di luar 

batas negara mereka sendiri. Turki yaitu  contoh yang menonjol: seorang 

jaksa mencoba memaksa Google untuk memperluas larangan negara 

Turki atas aksi penghinaan terhadap Mustafa Kemal Ataturk, bapak 

pendiri negara itu, ke seluruh dunia, demi menjaga perasaan diaspora 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 101

Turki.69 Demikian pula, pihak berwenang Thailand menginginkan agar 

para perantara menerapkan di tingkat global standar lèse majesté mereka, 

yakni larangan atas penghinaan atau pengkhianatan terhadap monarki. 

Google sejauh ini menolak tekanan-tekanan ini .

Namun, bagi para pendukung kebebasan digital, kebanyakan 

perantara belum cukup siap menghadapi dan melawan penyensoran. 

Hukum setempat yang dipatuhi Google seringkali tidak sesuai dengan 

standar HAM internasional. Ketakutannya yaitu  bahwa, sebagai aktor 

komersial, Google tidak mengemban tanggung jawab dan cenderung 

membuat keputusan yang lebih pragmatis daripada berprinsip. 

Google—lebih dari Facebook dan perantara lainnya—telah mengakui 

bahwa situasinya jauh dari ideal. Sebagai tanggapan, perusahaan terus 

meningkatkan transparansi seputar permintaan yang diterimanya dari 

pemerintah dan aktor lainnya.

Pada 2008, Google, Yahoo!, dan Microsoft, bersama beberapa lembaga 

penelitian dan LSM yang mengabdikan diri pada kebebasan berekspresi, 

membentuk Global Network Initiative (GNI) untuk mengatasi tantangan 

dalam mematuhi undang-undang nasional sekaligus melindungi HAM.70 

Anggota-anggotanya dari sektor industri kini juga termasuk Facebook 

dan LinkedIn. Anggota GNI telah secara eksplisit berkomitmen pada 

prinsip kebebasan berekspresi yang dimodelkan pada standar HAM 

internasional—meskipun, seperti perjanjian-perjanjian internasional 

lainnya, prinsip GNI mungkin lebih bersifat aspirasional daripada 

cerminan langsung realitas di lapangan.

Pengganggu, Troll, dan Sasaran Simbolik

Dengan lebih banyak orang, dari berbagai budaya yang lebih beragam, 

tinggal berdekatan baik di ruang fisik maupun informasi, kita dapat 

berharap bahwa perdebatan tentang penghinaan akan terus berlanjut, dan 

mungkin jadi lebih intensif. Raksasa-raksasa Internet AS mungkin perlu 

men-de-Amerikanisasi peraturan internal mereka. Ambil sebagai contoh 

Pedoman Komunitas YouTube, yang dikutip di atas. Definisinya tentang 

ujaran kebencian mencakup segala ujaran yang merendahkan kelompok 

berdasarkan “status veteran”. Mungkin ada alasan-alasan untuk butir 

ini dalam konteks AS, tapi kebijakan global YouTube untuk melindungi 

kepekaan mantan kombatan (dan mungkin hanya mereka yang berperang 

Bab 3102

membela AS), bahkan saat  ia mengklaim bahwa perusahaannya tidak 

melihat adanya pelanggaran dalam video Innocence yang jelas-jelas 

menyerang Muslim, menunjukkan biasnya pada nilai budaya Amerika 

arus utama.

Pada saat yang sama, kita perlu bersikap realistis tentang apa yang 

bisa atau tidak bisa dicapai oleh kepekaan yang lebih tinggi terhadap 

perasaan orang. Berusaha lebih keras menghindari penghinaan dapat 

memuaskan sebagian besar anggota masyarakat yang lelah menerima 

perlakuan rasisme dan xenofobia terus-menerus melalui media dan 

kehidupan publik. Menghormati kepercayaan dan identitas orang lain 

secara umum seharusnya tidak memerlukan pembenaran khusus, 

kecuali bahwa hal itu memang hal yang benar untuk dilakukan. Akan 

tetapi, naif rasanya mengharapkan penyensoran oleh pemerintah, 

swasensor, atau pengekangan diri mampu mengakhiri fenomena emosi 

kemarahan keagamaan. Harapan semacam itu mengabaikan adanya agen 

pelintiran kebencian yang tidak tertarik menghindari ketersinggungan, 

selagi kekacauan yang diakibatkannya bisa menjadi sumber politik yang 

berguna.

Pelaku semacam itu mungkin memang tidak bertindak dengan iktikad 

baik. Mereka dapat disamakan dengan apa yang dalam bidang ilmu 

hubungan internasional disebut spoilers, “pengganggu”—penyabotase yang 

memang berniat menumbangkan proses perdamaian.71 Sebagai alternatif, 

dengan memanfaatkan budaya Internet, kita dapat menganggapnya 

sebagai “troll.” Troll yaitu  jenis pengguna yang masuk ke forum-forum 

hanya untuk memprovokasi reaksi emosional yang akan menyebabkan 

diskusi merosot jadi konflik verbal. Istilah ini biasanya dilabelkan pada 

mereka yang melecehkan pengguna lain atau memasukkan komentar 

memanas-manasi. Tetapi seperti perbuatan menyinggung (offensiveness) 

bisa digantikan dengan perasaan ketersinggungan (offendedness) dalam 

strategi pelintiran kebencian yang serbaguna, tujuan troll tidak dapat 

dicapai hanya melalui ujaran kebencian yang biasa-biasa saja, tapi melalui 

kemarahan yang berapi-api. Analis Internet Rebecca MacKinnon dan Ethan 

Zuckerman menunjukkan bahwa hitungan skala kepuasan troll seringkali 

“berbanding lurus dengan konflik yang sebenarnya tidak dibayangkan 

mampu mereka ciptakan.”72 Oleh sebab  itu, moderator daring yang 

berpengalaman perlu memperingatkan pendatang baru untuk tidak 

“memberi makan troll” dengan memberi mereka perhatian yang mereka 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 103

cari-cari. “Menyensor troll jarang berhasil—mereka cenderung kembali, 

bahkan lebih mengganggu daripada sebelumnya, dengan memakai  

nama samaran baru. Sebaliknya, cara terbaik untuk membungkam troll 

yaitu  dengan mengabaikannya.”73

Pemerintah dan Google sebagai Sasaran

Analogi troll menunjukkan bahwa, baik secara daring maupun luring, 

tanggapan atas kampanye ketersinggungan yang direkayasa harus terukur, 

dengan mempertimbangkan motif dan metode aktor yang terlibat. Kasus 

yang telah kami analisis dalam bab ini menunjukkan bahwa kita perlu 

memikirkan kembali beberapa pandangan konvensional tentang media 

dan kekuasaan. Selama lebih dari 20 tahun, para sarjana dan jurnalis yang 

menyelidiki media digital memusatkan perhatian pada pertanyaan apakah 

mungkin dan bagaimana teknologi baru ini melewati kontrol regulasi dan 

meja editorial tradisional. Terutama di rezim-rezim yang tidak demokratis, 

para sarjana terutama mempelajari Internet sebagai alat untuk mangkir 

dari otoritas. Ini tentunya fungsi penting dari ruang digital, namun hal itu 

seharusnya tidak membutakan kita untuk melihat aplikasi kreatif lainnya 

dari Internet.

Dalam strategi pelintiran kebencian, oportunis politik memakai  

Internet untuk memperbesar klaim-klaim pada negara—bukan 

menghindarinya. Internet menjadi alat istimewa yang dapat menjadikan 

pelintiran kebencian didukung dan dikerjakan banyak orang bersama-

sama. Melalui Internet, para penebar kebencian (hatemonger) dapat 

mendistribusikan pencarian akan simbol ketidakadilan yang potensial 

pada tingkat global. Internet yaitu  jalur utama penghinaan, baik 

yang disengaja maupun tidak. Dan, saat  tujuan yang cocok sudah 

diidentifikasi, Internet memfasilitasi kepanikan moral. Dalam keadaan 

seperti ini, negara sering memilih untuk menghindari perhatian. Pada 

kebanyakan masyarakat konservatif, pemerintah tahu bahwa mereka 

tidak memiliki kapasitas untuk menegakkan moral. Mereka memilih 

semacam kemunafikan zaman Victoria, saat  segala macam perilaku 

yang dipertanyakan boleh dilakukan di belakang layar, sementara elite 

yang berkuasa pura-pura tidak tahu.

Tapi dengan menyeret ekspresi menyinggung ke ladang yang terbuka, 

para pemelintir kebencian menuntut pihak berwenang untuk ambil 

Bab 3104

tindak konkret. Di sini, strategi “tidak dengar kejahatan apa-apa, dan 

tidak lihat kejahatan apa-apa” tidak lagi dapat dipertahankan sebagai 

strategi penyeimbang antara toleransi acuh-tak-acuh khas masyarakat 

kosmopolitan dengan nilai-nilai konservatif yang dianut segmen besar 

populasi. Dalam beberapa kasus, kegatalan pemerintah yang hendak 

menindak media dapat memanfaatkan situasi seperti itu, seperti yang 

dilakukan Pakistan dan Bangladesh saat Innocence memberi mereka 

kesempatan memblokir YouTube. Tapi di Asia Tenggara, pihak-pihak 

berwenang di Indonesia, Malaysia, dan Singapura mungkin terpaksa 

mengambil tindakan simbolis, meskipun jika mereka lebih menyukai 

tindakan lainnya.

Internet juga telah menyediakan bagi agen pelintiran kebencian satu 

sasaran baru yang dapat mereka tuntut: Google itu sendiri. sebab  lebih 

kaya dan lebih terkenal dibanding banyak negara-bangsa, profil Google 

kini bukan lagi sejenis penyedia alat publik atau pengembang infrastruktur 

yang tanpa karakter. Orang-orang pada semua sisi aliran perdebatan 

tentang kebebasan berpendapat sudah memandang Google sebagai institusi 

yang kuat pada dirinya sendiri. Posisi unik ini mendorong Google untuk 

secara langsung terlibat dalam kampanye terkait pelintiran kebencian, 

kadang-kadang berperan sebagai ko-konspirator hebat dalam plot liberal 

melawan sebuah komunitas yang terkepung. Spanduk-spanduk dan plakat-

plakat protes yang mengecam Viking Penguin atau Jyllands-Posten tidak 

akan memiliki dampak global yang sama seperti slogan-slogan semacam 

“Google yaitu  TERORIS worldwide web” atau “GOOGLE, YOUTUBE 

yaitu  BAGIAN DARI KAMPANYE KEBENCIAN TERHADAP 

SEMUA MUSLIM” (yang gambar-gambarnya dapat Anda temukan secara 

online—melalui Google Images, tentu saja).

Pemurnian Simbolis

Di dunia yang lebih sederhana, ketersinggungan yaitu  satu respons yang 

dipelajari, yang membantu manusia menghindari bahaya, analog yang 

secara budaya berevolusi menuju refleks rasa muak. Tapi dorongan untuk 

memurnikan ini sama sekali tidak pernah semekanistik yang disangka-

sangka. Dalam studinya yang terbit pada 1966, antropolog Mary Douglas 

menunjukkan bahwa konsep-konsep komunitas agama tradisional tentang 

polusi dan tabu secara kultural sangatlah canggih, dan semuanya itu tidak 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 105

hanya dimotivasi oleh beberapa kebutuhan fisiologis untuk kebersihan.74 

Aturan-aturan tentang kemurnian yaitu  pernyataan simbolik ekspresif 

untuk memelihara sistem sosial. Mereka tidak kaku atau tanpa kompromi. 

Misalnya, masyarakat memiliki ritual pembersihan sederhana untuk 

memastikan bahwa dosa-dosa tidak membuat kehidupan rusak. Kotoran 

dan polusi tidak dipahami secara harfiah.

Memahami sisi ketersinggungan (yang direkayasa) dari pelintiran 

kebencian mungkin memerlukan pergeseran mental yang sama dari 

bingkai kebersihan ke bingkai simbolis di atas. Protes atas pesan-pesan 

yang menyinggung, tidak peduli seberapa pun tingkat kemarahannya, 

mungkin tidak bertujuan untuk penghapusan total atau karantina 

lengkap, seolah-olah mereka tengah menghadapi racun mematikan. 

Mereka membuat sebuah pernyataan politik—yang setelahnya para 

pemrotes bisa mundur teratur. Inilah sebabnya mengapa kita melihat 

agitator memublikasikan keberadaan materi yang menyinggung dalam 

satu tarikan napas yang sama dengan permintaan penyensoran atasnya—

perilaku yang tidak masuk akal jika motif sebenarnya yaitu  melindungi 

komunitas mereka dari keterpaparan pada konten itu. Respons negara 

juga lebih kompleks dari sekadar menjalankan fungsi melindungi. 

Negara dan pemimpinnya mempertontonkan reaksi mereka baik untuk 

khalayak domestik dan internasional. Apakah mereka benar-benar 

berhasil memblokir konten atau pada kenyataannya menarik lebih 

banyak perhatian pada konten ini —semuanya tidak lebih penting 

dari sekadar terlihat membuat reaksi itu sendiri.

Terkadang kepentingan agen pelintiran kebencian dan pejabat 

pemerintah selaras dalam bertindak melawan konten yang menyinggung. 

Tapi pendirian ini tidak berlaku selamanya, sebab  masing-masing mereka 

memiliki prioritas dan kepentingan lain yang juga harus diperjuangkan. 

sebab nya, di saat-saat yang lain, bisa saja pihak-pihak yang sama sama 

sekali tidak peduli terhadap provokasi serupa yang sebelumnya sudah 

memicu kemarahan mereka. Dalam banyak kasus, konten yang ditolak 

secara keras oleh kelompok keagamaan tetap tersedia secara bebas 

melalui media yang paralel—tanpa ada protes sama sekali.

Ambil kasus Pakistan, sebagai contoh, di mana para penganut garis-

keras selalu dapat diandalkan amarahnya terhadap penghinaan agama. 

Tidak mengherankan jika The Satanic Verses dilarang edar di Pakistan. 

Bab 3106

Tapi saat  saya bertanya kepada seorang teman di sebuah LSM 

kebebasan digital, Bytes for All, untuk memeriksa apakah buku ini  

tersedia secara daring, mereka menemukan salinan yang tersedia melalui 

Amazon. Entri Wikipedia tentang kontroversi Jyllands-Posten, yang 

mencakup pemindaian halaman penuh berisi dua belas kartun—juga 

dapat diakses dengan bebas. Mereka mencapai konten ini melalui PTCL, 

penyedia layanan Internet yang mayoritas dimiliki oleh pemerintah.

Di Indonesia, saya pribadi menguji pagar moral negara ini. Saya 

menemukan bahwa versi lengkap dari video Innocence of Muslims tersedia 

di YouTube, hanya beberapa tahun setelah trailer ini  dikecam 

sebagai tindakan penistaan. Ini tentu bukan sebab  masyarakat Indonesia 

masih hijau di bidang teknologi informasi. Warganegara Indonesia 

yaitu  pengguna media sosial terbesar di dunia, dan kelompok Muslim 

garis-keras sama mahirnya dengan kelompok sekular liberal dalam 

memakai  teknologi ini. Inilah contoh dari laku kaum konservatif dan 

pilihan pemerintah untuk melihat ke arah lain, sama sengajanya dengan 

saat  mereka memilih memperhatikan sesuatu dan merasa tersinggung.

Kekerasan dalam kata-kata dan tindakan oleh kalangan yang 

tersinggung menunjukkan niat instrumental yang tanpa kompromi. Pihak 

yang memutuskan untuk merasa tersinggung memberi kesan bahwa 

mereka dimotivasi oleh keinginan kuat menjaga tanah airnya agar bebas 

dari penghinaan dan kerusakan yang dibawa globalisasi. Tapi jika perilaku 

mereka dicermati lagi, tampak bahwa meski mereka mungkin melibatkan 

kekerasan fisik yang ekstrem, sebagian besar tujuan mereka hanyalah 

simbolis. Seperti kemunculannya yang tiba-tiba, ketersinggungan itu 

biasanya juga akan menghilang begitu saja. Baik titik permulaan maupun 

titik akhir protes tidak berhubungan langsung dengan datang atau 

perginya materi yang dianggap menyinggung. Perilaku mereka cocok 

dengan deskripsi Joseph Gusfield mengenai larangan di AS: larangan 

alkohol dipromosikan sebagai bagian dari “perang salib simbolis” yang 

tidak terlalu peduli apakah alkohol masih tersedia atau sudah musnah 

seluruhnya.75 Semuanya sama saja di zaman Internet. Tak diragukan lagi, 

kampanye ketersinggungan membawa serta banyak pendukung dengan 

keinginan pribadi yang kuat untuk membersihkan negara mereka dari 

praktik-praktik berdosa. Tapi dinamika pelintiran kebencian tidak dapat 

dipahami tanpa tinjauan skeptis atas kepentingan para agen pelintiran 

kebencian dan analisis kritis atas konteks politik yang melatarinya.***

107

Pada 26 Mei 2014, Narendra Modi dilantik sebagai Perdana Menteri 

India ke-15. Pergantian pemerintahan bukanlah hal baru di tempat di 

mana demokrasi selalu menjadi ajang kontestasi seperti India. Namun 

cara dan makna kemenangan Modi yaitu  sesuatu yang revolusioner. 

Partai Modi, Bharatiya Janata Party (BJP), yang beraliran nasionalis 

Hindu, memenangkan kursi parlemen– 282 dari 543– sama sekali tanpa 

bantuan 20-an lebih partai kecil sayap tengah-kanan dalam Aliansi 

Nasional Demokrat. Di negara di mana tingkat keberagaman begitu 

tinggi dan meniscayakan pembentukan koalisi politik, kemenangan Modi 

menandakan bahwa inilah untuk pertama kali dalam 30 tahun hak sebuah 

partai untuk memerintah tidak bergantung pada dukungan aliansinya. 

Dengan hanya memperoleh 44 kursi, Kongres Nasional India, partai para 

bapak pendiri bangsa di republik ini, tak pernah mendapati diri mereka 

terperosok ke dalam jurang teramat dalam ini atau kehabisan kata-kata. 

Terinspirasi oleh Jiwa Besar atau “Mahatma”, Mohandas K. Gandhi, doktrin 

Kongres selalu menekankan hak-hak minoritas, khususnya ditujukan 

kepada kelas dan kasta yang tidak diuntungkan secara historis, atau 

kelompok-kelompok minoritas agama. India menjadi tempat lahirnya 

banyak agama besar – Hindu, Buddha, Jainis, dan Sikh– dibanding dengan 

peradaban lain. Populasi Muslimnya lebih besar dari negara-negara lain 

kecuali Indonesia dan, mungkin, Pakistan.1

Dengan menolak langkah-langkah akomodatif Partai Kongres, 

BJP ingin mengganti pusat gravitasi politik menjadi Hindu, agama 

yang dipeluk oleh empat dari lima orang di India. Pemerintahan Modi 

bukanlah pemerintahan pertama BJP. Namun, dalam pemerintahan 

4  

India: Narendra Modi dan 

Pemanfaatan Kebencian

Bab 4108

terdahulu, dari 1996 hingga 2000, BJP dibatasi oleh kebutuhannya untuk 

menarik rekan koalisi, yang hasil akhirnya yaitu  pemerintahan tengah 

yang masih memperlihatkan keberagaman India. Periode Modi mewakili 

keterputusan radikal dari masa lalu, sebab  dia datang memimpin 

dengan mandat mayoritas yang kuat. Tidak ada satu pun Muslim dari 

282 anggota parlemen BJP yang dipilih pada 2014. Sebagai hasil dari 

gelombang kemenangan BJP ini, dari 543 anggota parlemen, hanya ada 

20 perwakilan Muslim (kurang dari empat persen), di negara tempat 

kaum Muslim merupakan 14 persen populasi.

Modi tidak duduk di pucuk kekuasaan hanya sebab  topangan 

agama. Sebanyak tiga berbanding satu orang India percaya bahwa BJP 

akan bekerja lebih baik dibanding pemerintahan petahana, dari Partai 

Kongres, dalam menciptakan lapangan kerja, melawan korupsi, dan 

menekan inflasi.2 Citra Modi sebagai orang yang paling tepat untuk 

membuat India bangkit lagi yaitu  faktor utama dibalik kemenangannya, 

menurut jajak pendapat nasional. Meski demikian, BJP memainkan 

kartu keagamaan dengan gencar di negara-negara bagian yang menjadi 

kunci.3 Tak mungkin Modi bisa muncul sebagai pemimpin BJP yang tak 

tergoyahkan tanpa membangun reputasinya sebagai seorang chauvinis 

Hindu. Dia melesat ke panggung publik pada 2002 sebagai Menteri 

Besar (Chief Minister) negara bagian Gujarat, di mana sekitar seribuan 

Muslim dibantai di bawah pengawasannya, ditengarai sebagai balasan 

atas terbakarnya kereta yang mengangkut peziarah dan aktivis Hindu.4

Para politisi sudah memakai  agama untuk mendapatkan 

keuntungan elektoral sebelum terpilihnya Modi. Terlepas dari cita-cita 

mulianya, Partai Kongres yaitu  pelaku pertama apa yang orang India 

sebut sebagai politik “komunal”, sektarianisme berbasis-etnis yang 

berbahaya. Pada 1984, politisi Kongres memprovokasi penyerangan 

terhadap kaum Sikh untuk membalas pembunuhan Perdana Menteri 

Indira Gandhi oleh pengawal pribadinya yang merupakan seorang Sikh. 

Lebih dari 2.700 Sikh terbunuh.5 Namun demikian, sementara para 

politisi lain hanya kadang-kadang memainkan api komunalisme, BJP 

menenggelamkan dan mendefinisikan dirinya persis dalam kerangka 

politik komunalisme itu.6 Memang, mungkin tak ada demokrasi lain di 

dunia ini yang menyaksikan bekerjanya pelintiran kebencian sekeras apa 

yang dipraktikkan Modi di India.

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 109

Propaganda kebencian merupakan bagian esensial dari kebangkitan 

Narendra Modi menjadi pemimpin demokrasi terbesar dunia. Fitnah-

fitnah yang ditebar gerakannya atas minoritas Muslim melalui ujaran 

kebencian klasik mampu menggerakkan kelompok sayap kanan dan ikut 

menyatukan mayoritas Hindu, yang sebenarnya terpecah-belah oleh kasta, 

untuk mendukung BJP yang sebenarnya didominasi segelintir elite Hindu. 

Kelompok Kanan Hindu juga melakukan kampanye sistematis untuk 

memproduksi ketersinggungan ekstrem atas karya sejarah yang dianggap 

mencemari nama baik agama mereka. Yang menakjubkan dari kasus di 

India ini bukan saja soal keajegan hasutan dan rekayasa ketersinggungan, 

tapi juga penggunaan cara-cara itu secara strategis dan pada tingkat 

tertinggi.

Kemunculan Nasionalisme Hindu

Di kuil pertapaan tepi sungai legendaris milik Mahatma Gandhi di 

Ahmedabat, Gujarat, ada poster yang mengingatkan orang akan pendirian 

almarhum menentang mayoritarianisme: “Saya tidak percaya pada doktrin 

yang mengatakan bahwa kebaikan hakiki terletak pada jumlah yang 

terbesar. Itu artinya, secara telanjang, untuk dapat mencapai kebaikan yang 

dipercaya oleh 51 persen, kepentingan 49 persen sisanya bisa saja atau 

mungkin harus dikorbankan. Ini ajaran yang lalim dan telah melahirkan 

malapetaka bagi kemanusiaan.” 

Kutipan di atas mencerminkan keyakinan Gandhi – yang juga diamini 

arsitek Konstitusi India, Bhimrao Ramji Ambedkar – bahwa kehidupan 

politik “tak dapat dibayangkan tanpa kesetaraan tanpa syarat dalam 

hubungan moral dan sosial,” seperti disebutkan sejarawan Aishwary 

Kumar.7 Komitmen India terhadap kesetaraan dilihat dari segi agama 

menjadi sangat penting secara geopolitis pasca-kemerdekaan (pemisahan 

India dan Pakistan). sebab  Pakistan yaitu  si “lain” dari nasionalisme 

India, maka penting untuk menunjukkan bahwa keputusan kaum Muslim 

untuk bertahan di India yang sekular, dan tidak hijrah ke Pakistan 

(yang negara Islam) pasca-pemisahan, yaitu  hal yang tepat. Meski 

demikian, nasionalisme sekular anti-kolonial yang dianut Kongres selalu 

mendapatkan tantangan.8 Separatisme Muslim yang melahirkan Pakistan 

masih terus hidup di Kashmir. Lalu ada pula nasionalisme Hindu. Gujarat 

yang mengklaim anak India yang terbesar, Gandhi, yaitu  Gujarat yang 

Bab 4110

sama dengan yang melahirkan Narendra Modi.

Pada 1920-an, Ahmedabad-nya Gandhi yaitu  pusat spiritual bagi 

tumbuhnya prinsip-prinsip politik non-kekerasan dan non-diskriminasi. 

Delapan puluh tahun kemudian, Ahmedabad menjadi titik mula salah 

satu pembantaian komunal paling berdarah di India pasca- pemisahan. 

Setelah itu, dalam era kenormalan baru di bawah Menteri Besar Modi, 

kota itu dipisahkah oleh tembok-tembok fisik, institusional dan kultural 

yang merupakan antitesis dari visi awal India. Kaum Muslim diisolasi di 

area suburban Juhapura, yang tidak memperoleh layanan pemerintahan 

kota. “Hampir tidak mungkin bagi Muslim Ahmedabad untuk 

mendapatkan kredit perumahan guna membangun rumah di wilayah 

Hindu, dan pemerintah kota Ahmedabad juga telah menetapkan hampir 

semua Juhapura sebagai wilayah pertanian. Kaum Muslim tidak hanya 

didorong ke pinggiran kota, tapi juga menuju status ilegal,” kata Zahir 

Jahmohamad, pekerja hak asasi manusia Amerika yang menyaksikan 

pembantaian disengaja tahun 2002 dan menulis buku tentang Ahmedabad 

kontemporer.9

Partai Modi, BJP, memang didirikan pada 1980. Namun, seperti 

juga nasionalisme-nasionalisme India lainnya, akar-akar partai ini bisa 

dilacak ke akhir abad ke-19. BJP yaitu  sayap politik jaringan kelompok 

yang disegani dan secara kolektif disebut Sangh Parivar (“keluarga 

organisasi”, dalam Bahasa Hindi). Penggerak utama gerakan ini yaitu  

Rashtriya Swamyamsevak Sangh (RSS), organisasi chauvinis Hindu, 

yang anggotanya laki-laki semua, yang dibentuk pada 1925. Saat masih 

jinak-jinaknya, RSS merupakan kekuatan relawan berdisiplin tinggi 

yang berdedikasi untuk melakukan pelayanan sosial, biasanya menjadi 

yang pertama datang membantu saat  bencana alam menimpa. Namun 

kalangan militan RSS juga mereka yang berdiri paling depan dalam aksi-

aksi intoleransi ekstrem, memimpin penggunaan kekerasan terhadap 

kelompok minoritas, mengorganisasi perpindahan agama secara paksa, 

dan menyerang para penulis dan artis.

Pradip Jain, seorang pengacara perlente, yaitu  juru bicara RSS 

di Gujarat. Sambil duduk menyilangkan kaki di atas dipan dalam satu 

ruangan kantor di Ahmedabad, dia memberi tahu saya bahwa peran 

RSS hanyalah untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan membangun 

pribadi manusia yang baik, yang kemudian akan membangun bangsa. 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 111

“Sebagaimana tiap keluarga punya kepala, tiap masyarakat juga punya 

kepala, dan agamalah kepala ini .” Dia menjelaskan bahwa, seperti 

halnya negara diatur oleh konstitusinya, maka bangsa diatur oleh 

dharma, yang diterjemahkan secara bebas sebagai tatanan kosmik yang 

memelihara kehidupan. Ini, ujarnya, yang membedakan India dari bangsa 

lain. “Di India, dharma-lah yang paling dijunjung tinggi.”10

Pemahaman atas diri sendiri ini, bahwasanya kiprah mereka terpisah 

dan sekaligus lebih agung dari tetek bengek politik elektoral, menjadikan 

RSS suatu organisasi yang sangat ideologis dan tak mengenal kompromi. 

Jain menegaskan, RSS tidak memiliki agenda politik remeh temeh: RSS 

menanamkan nilai dan tidak mencampuri urusan negara. Tapi RSS bukan 

sesuatu semacam sekte isolasionis. RSS mungkin tidak mau memerintah 

– itu pekerjaan BJP – namun RSS jelas menikmati kekuasaan, dan tak 

mengapa baginya untuk ditakuti. RSS sudah menguasai satu posisi yang 

unik dalam kehidupan India, dimana-mana tapi sekaligus juga tidak 

dimana-mana, baik yang cair maupun keras. RSS bahkan tidak punya 

sistem keanggotaan formal, ucap Jain, namun itu tidak menghentikannya 

dari tersenyum simpul, tanda kepuasan, saat  saya menyebut bahwa 

konon RSS yaitu  organisasi sukarelawan terbesar di dunia. Bahkan 

saat  dia bersikeras bahwa RSS tidak menyuruh pengikutnya untuk 

melakukan apa pun, Jain menyebutkan juga bahwa tiap anggota wajib 

melakukan sesuatu untuk masyarakat di lingkungan masing-masing. 

“Orang-orang yang sudah membangun personanya lewat Sangh (RSS) 

tidak akan membiarkan satu batu pun tidak kembali (kepada RSS),” tegas 

Jain dengan senyum yang sama. Anda dapat merasakan bahwa pilihan 

kata-katanya, yang membuat kita merinding, bukanlah tak disengaja. 

RSS dan keluarga organisasinya dijalankan berdasarkan persepsi 

mengenai ancaman terhadap status agama mayoritas India. Dan 

sebagaimana kelompok fasis lain sepanjang sejarah, Sayap Kanan Hindu 

percaya bahwa pertahanan terbaik yaitu  serangan yang baik. RSS 

memproyeksikan Hinduisme yang kekar berotot, yang akan menderek 

India menuju suatu era kejayaan baru jika diberi kekuasaan, dan tidak 

akan membiarkan adanya perbedaan pendapat – termasuk dari sesama 

Hindu dengan pendekatan lebih liberal – yang menghalangi jalannya. 

Kekerasan digerakkan atau diprovokasi oleh anggota Vishva Hindu 

Parishad (VHP) dan kelompok-kelompok ekstrem lain dalam keluarga 

organisasi sayap kanan ini. 

Bab 4112

Ideologi Sangh Parivar disebut Hindutva (“Ke-Hindu-an”), untuk 

membedakannya dari Hinduisme. Gerakan ini tidak menuntut suatu 

negara teokratis atau segala bentuk pengakuan resmi tentang Hinduisme 

sebagai agama resmi negara. Hindutva lebih tepat dilihat sebagai suatu 

kategori kultural-kebangsaan ketimbang kategori religius, dilihat sebagai 

sesuatu yang sinonim dengan gagasan India itu sendiri. sebab  itu, 

menurut Sangh Parivar, orang-orang India pemeluk agama lain, termasuk 

Muslim, seharusnya tidak memiliki masalah dengan menerima Hindutva. 

Jika mereka memilih untuk tidak menerimanya, maka mereka pastilah 

pengkhianat bangsa. Keluhan utama Parivar yaitu  bahwa sekularisme 

India, yang diarsiteki Partai Kongres, terlalu mengakomodasi kaum 

Muslim dan minoritas-minoritas lainnya. Satu butir simbolik yang amat 

mencolok, dan yang mereka keluhkan, yaitu  pengakuan negara terhadap 

aturan-aturan hukum perdata Muslim terkait dengan pernikahan dan 

warisan, sementara orang-orang India lainnya harus tunduk kepada 

hukum sipil yang seragam. Sangh Parivar mengklaim bahwa mereka 

mencari kesetaraan formal dan ingin mencabut kebijakan-kebijakan 

yang dibuat guna melindungi hak-hak minoritas.11 Namun gerakan ini 

memiliki catatan diskriminasi keagamaan, bahkan dalam hal pembagian 

bantuan untuk korban bencana, selain intoleransi ekstrem yang didukung 

oleh kekerasan fisik.12

Koalisi yang dipimpin BJP mengecap kekuasaan singkat pada 1996 

dan 1998, diikuti periode lima tahun penuh sejak 1999. Penghancuran 

masjid yang berasal dari abad ke-16 di Ayodhya, pada 1992, berkontribusi 

terhadap kemenangan BJP dengan menyuntik semangat anggota RSS di 

lapangan. Masjid Babri diduga dibangun di atas situs candi Hindu yang 

dipercaya sebagai tempat kelahiran Rama, manifestasi salah satu Dewa 

Hindu, Vishnu, dan merupakan pahlawan dalam epos Ramayana. Pada 

1990, Presiden BJP L. K. Advani, memulai perjalanan 10.000 kilometer 

di utara India menuju Ayodhya, tempat di mana dia bilang dia akan 

membangun candi baru. Dia dan rombongannya ditangkap sebelum 

mereka sempat melakukan perusakan. Namun, pada Desember 1992, 

pihak yang berkuasa merasa mereka tidak memiliki pilihan selain 

mundur saat  200.000 aktivis meruntuhkan tempat peribadatan itu. 

Meskipun para penyerang ini awalnya dilihat sebagai sebuah gerombolan 

yang marah, namun para jurnalis kemudian mengungkap bahwa 

para pemimpin Sangh Parivar-lah yang mengkoordinasi kelompok-

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 113

kelompok ini  dan aksi penyerangan mereka. “Para relawan itu 

telah dilatih, kebutuhan logistik mereka telah disiapkan dengan rapi dan 

penyerangan terhadap tempat suci yang disengketakan itu dilakukan 

dengan memakai  sekelompok besar orang berisi relawan yang ahli 

meruntuhkan struktur bangunan yang menempel,” lapor Times of India.13

Sebelumnya, daya Tarik BJP bagi pemilih India tak pernah bisa 

dijamin penuh, sebab  umat Hindu di India tidak biasanya bersikap 

sebagai bank suara – artinya, mereka secara tradisional tidak memilih 

sebagai blok atau kelompok yang utuh dan tunggal. Varghese K. George, 

editor politik Hindu– surat kabar nasional yang, terlepas dari namanya, 

merupakan salah satu pilar jurnalisme India yang berpegang teguh 

pada nilai-nilai demokratis sekular – mengidentifikasi tiga kelemahan 

struktural Sangh Parivar yang, setidaknya menurut sejarah, membatasi 

prospek elektoralnya.14 Yang pertama yaitu  ketegangan antara kaum 

tradisionalis Hindu yang menaruh perhatian pada sesuatu yang 

transendental dan ketidaksabaran kelas menengah akan kenaikan standar 

kehidupan. Kedua, pembagian kasta dalam masyarakat Hindu membatasi 

daya tarik elite BJP di mata kelompok-kelompok yang kurang atau tidak 

diuntungkan. Ketiga, ada  ketidakseimbangan kekuasaan antara RSS 

yang dogmatis dan pragmatisme elektoral BJP. 

Kata George, Narendra Modi memberikan jawaban atas tiga dilema 

tadi. Pertama-tama, dia menjembatani yang tradisional dan yang 

modern. Dengan pembantaian Gujarat 2002, Menteri Besar negara 

bagian Gujarat ini telah memapankan kredensialnya sebagai pembela 

tangguh kaum beriman Hindu. Kemudian, dia akan menghabiskan 

dekade selanjutnya dari pemerintahannya dalam menumbuhkan bagian 

kedua dari apa yang oleh seorang komentator disebut sebagai “paket dua-

dalam-satu kemarahan Hindutva dan kecerdasan pro-reformasi.”15 Modi 

secara agresif mengejar pertumbuhan ekonomi sambil memperjuangkan 

perkara-perkara keagamaan yang memiliki makna simbolik besar, 

seperti menolak penyembelihan sapi. Seperti disebut George, Hindutva 

2.0 berbeda dan memisahkan diri dari yang terdahulu terutama dalam 

kebijakannya merengkuh neoliberalisme. Di bawah Modi, Gujarat 

menentang kebijakan redistribusi dan merengkuh pertumbuhan 

ekonomi. “Mengikuti dari dekat pernyataan-pernyataan publik Modi 

selama beberapa tahun, Hindutva 2.0 yaitu  varian neoliberalisme 

tersendiri yang menggabungkan nasionalisme keagamaan dengan 

Bab 4114

percepatan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.16

Persoalan kedua, kasta, telah menjadi rintangan utama bagi BJP untuk 

memperoleh kekuasaan di negara-negara bagian termiskin di India. Kasta-

kasta terbelakang – misalnya Dalit, yang secara tradisional diperlakukan 

sebagai kelompok terbuang atau tak tersentuh – merasa lebih terwakili 

oleh Partai Bahujan Samaj di tingkat nasional dan organisasi-organisasi 

seperti Samajwadi di Uttar Pradesh, yang condong ke kiri, di tingkat negara 

bagian. Untuk memperoleh dukungan mereka, Modi memamerkan 

latar belakangnya sebagai orang dengan kasta terbelakang, yang secara 

signifikan memperkuat daya tariknya. Namun untuk membangun 

persatuan Hindu, penting bagi Modi untuk membangun suatu musuh 

bersama.17 Kaum Muslim – yang sudah diasosiasikan dengan Pakistan 

dan terorisme global – yaitu  kelompok rentan yang akan menjalankan 

peran itu. Pendahulu Modi mengakui hal ini saat  mereka meruntuhkan 

masjid Ayodhya. Mahkaman Agung melarang membangun apapun di 

lokasi itu, hingga situs itu menjadi simbol ketidakadilan yang ampuh 

untuk membudidayakan ketakutan dan kebencian terhadap Muslim.

Modi juga berhasil mengatasi ketegangan di antara RSS dan BJP. 

Sebagai anggota RSS sejak berusia delapan tahun, asal-usulnya tak perlu 

dipertanyakan. Perdana Menteri BJP pertama, Atal Behari Vajpayee, 

telah mencoba mengontrol kecenderungan ekstremis RSS. sebab  tak 

bisa menerima pembantaian Gujarat 2002, dia bahkan pernah mencoba 

menggulingkan Modi dari posisinya sebagai menteri besar negara bagian 

itu.18 Namun, saat  itu, Modi sudah tak bisa lagi disentuh di Gujarat. 

Pada 2013-2014, dia pelan tapi pasti berhasil menyingkirkan saingan-

saingannya di dalam BJP. Dia muncul sebagai harapan terbesar bagi Sangh 

Parivar untuk kembali ke pucuk kekuasaan. “Dalam kepribadian Menteri 

Besar Gujarat – yang memproyeksikan kebanggaan maskulinitas Hindu 

sambil merengkuh filosofi ekonomi pragmatis, sambil mengenakan jam 

Movado, berkacamata Bulgari, dan pena Montblanc – RSS mungkin 

menemukan cara menyelesaikan, atau setidaknya menghilangkan, 

ketegangan antara jiwa kebangsaan dan urgensi akan kehidupan politik 

kontemporer,” catat jurnalis Dinesh Narayan.19

Jika jalan BJP menuju Delhi pada 1998 dibuka oleh batu-batu reruntuhan 

Masjid Babri, maka kembalinya lagi BJP ke panggung kekuasaan secara 

spektakuler pada 2014 harus melangkah memutari jalan bersimbah 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 115

darah Ahmedabad, ditambah dukungan ruang-ruang rapat pemimpin 

korporasi-korporasi besar. Dalam 150 hari Modi menjadi Menteri Besar 

Gujarat, Hindu garis-keras disana membantai kaum Muslim. Sebuah 

investigasi yang dilakukan oleh Campaign Against Genocide – sebuah 

jaringan organisasi masyarakat madani yang juga beranggotakan kelompok 

Hindu dan kelompok berbasis agama lain – untuk mendalami kerusuhan 

itu telah menemukan bahwa pemerintah negara bagian “terlibat dan 

bersalah di tingkat yang paling tinggi.”20 Modi tak pernah bisa menurunkan 

tingkat keterkaitannya dengan pembantaian 2002, meskipun dia juga tak 

pernah berusaha menghilangkannya. Sebagai bagian penting dalam inti 

konstituensinya, pembantaian Gujarat itu yaitu  tentang bagaimana pada 

akhirnya memberi pelajaran kepada kaum Muslim, tentang membalikkan 

meja melawan minoritas berbahaya yang sudah lama tertunda. Kaum 

moderat di kalangan Hindu tercengang, namun – sebagaimana dipahami 

semua politisi di dunia – kaum moderat bukanlah pasukan paling 

efektif untuk kampanye pemilu. Bala tentara yang antusiasmenya paling 

dibutuhkan Modi yaitu  para anggota RSS, yang mendirikan BJP pada 

1980. Hanya dengan restu merekalah Modi bisa mencapai superioritas 

di dalam BJP. Bahkan setelah dia tampil sebagai kandidat utama, saat  

prinsip kehati-hatian mungkin saja mendorongnya untuk memposisikan 

diri sebagai calon perdana menteri yang lebih moderat dan inklusif, 

kampanye Modi memperlihatkan citranya sebagai seorang Hindu yang 

kuat. Ujaran kebencian dan ketersinggungan atas nama agama terus 

berlangsung tanpa henti. 

Sektarianisme dan Peraturan Singgungan

Sebelum kita mengusut bagaimana Modi dan BJP melancarkan pelintiran 

kebencian pada pemilu 2014, kita harus memetakan keunikan lanskap 

hukum India. Seperti yang telah saya catat pada bab-bab sebelumnya, 

pelintiran kebencian bisa dikekang dan difasilitasi oleh hukum. Aturan-

aturan hukum di India yaitu  sebuah hibrida dari komitmen demokrasi 

atas kebebasan berpendapat dan insting untuk menjaga perasaan 

keagamaan warganya, suatu respon yang dikondisikan oleh sejarahnya 

yang berisi konflik sektarian. Konstitusi India dan Mahkamah Agung 

selalu menganggap kebebasan berekspresi sebagai hal serius, dan budaya 

politiknya menghargai hak untuk gencar menentang otoritas pemerintah. 

Bab 4116

India mengungguli negara-negara di Selatan lain dalam hal hak-hak politik 

dan kebebasan perseorangan, dan negara itu yaitu  satu dari lima wilayah 

di Asia yang dinilai “bebas” oleh Freedom House.21 India lebih dekat 

dengan Amerika Serikat jika dibanding, katakanlah, Pakistan atau Rusia 

dalam hal perlindungan formal yang diberikan negara terhadap kebebasan 

berekspresi.22 Pada saat bersamaan, India menyimpang dari norma-norma 

demokrasi liberal dalam hasratnya untuk mengawasi ketersinggungan. 

Sementara Amerika Serikat mengembangkan sikap alergi ekstrem terhadap 

intervensi negara dalam perselisihan teologis sebagai reaksi terhadap 

warisan konflik sektariannya, anggota parlemen India mengadopsi respon 

sebaliknya, yakni: terlibat dalam untuk memisahkan komunitas-komunitas 

yang berseberangan, menjadi wasit bagi persengketaan keagamaan, 

dan menciptakan wilayah “tidak boleh masuk” di tempat-tempat yang 

seharusnya menjadi arena publik yang diperjuangkan dengan penuh warna.

Meskipun para komentator kontemporer kerap membicarakan konflik 

Hindu-Muslim sebagai sesuatu yang tak lekang oleh waktu dan akan 

terus terjadi, para sejarawan India umumnya menganggap bahwa hal itu 

yaitu  akibat kolonialisme Inggris. Tentu saja sejarah pra-kolonial India 

tidak sepenuhnya bersih dari kekerasan, namun klasifikasi administratif 

pemerintah kolonial dan kebijakan memecah-belahnya memiliki efek 

membekukan identitas yang sebelumnya cair dan menjadikannya lebih 

kentara.23 sebab nya, konflik-konflik yang sepenuhnya sektarian terjadi 

hanya baru-baru ini saja, di mana kerusuhan Hindu-Muslim baru 

dimulai pada akhir kuartal abad ke-19, saat  kompetisi berlangsung 

makin tajam di antara para elite Muslim yang dulunya dominan dalam 

administrasi kolonial dan semakin meningkatnya kelas terdidik Hindu 

di India utara. Sekali negara mengakui publik yang didefinisikan secara 

komunal dan memberikan organisasi perwakilan mereka dan para 

pemimpin mereka sebuah status sebagai wakil resmi, maka mereka bisa 

mengembangkan kehidupan mereka sendiri-sendiri. Setelahnya, saat  

pemimpin nasionalis Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi mencoba 

membentuk identitas India yang meliputi kesemuanya, mereka harus 

menerima realitas politik bahwa para pemimpin berbagai agama dan 

kelompok linguistik akan bersikeras memegang konstituennya masing-

masing.24

Tragisnya, kompetisi sektarian tertulis ke dalam narasi kemerdekaan. 

Pemisahan yang kasar dan kejam menjadi Pakistan dengan mayoritas 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 117

Muslim dan India dengan mayoritas Hindu menggiring migrasi terbesar 

dalam sejarah. Pergolakan tereskalasi menjadi bentrok kekerasan, 

menewaskan sekitar satu juta rakyat sipil. Trauma pemisahan, bersama 

dengan pembunuhan Mahatma Gandhi oleh ekstremis Hindu, memberi 

urgensi bagi proyek sekular, yang sayangnya gagal menyuntik vaksin bagi 

India untuk melawan wabah kekerasan komunal di masa mendatang. 

Kerusuhan antar-agama masih menjadi bagian latar suara kisah India, 

kebanyakan menjadi latar di konflik berintensitas rendah, namun kerap 

meletus menjadi kekerasan massal. “India mungkin secara resmi sebuah 

negara sekular, namun masyarakat India didefinisikan oleh identitas 

keagamaan dan terbelah oleh ketidakpercayaan komunal dan kebencian,” 

catat Robert Hardgrave, seorang sarjana politik Asia Selatan.25

Konstitusi India memberi semua warganegara hak kebebasan 

berbicara dan berekspresi dalam Pasal 19(1)(a). Meski demikian, 

Klausul (2) membolehkan pembatasan “untuk menjaga kepentingan 

kedaulatan dan kesatuan India, keamanan negara, hubungan baik 

dengan negara asing, ketertiban, kesopanan, atau moralitas publik atau 

dalam kaitannya dengan penghinaan terhadap pengadilan, pencemaran 

nama baik, atau hasutan penghinaan.” Dalam standar demokrasi, catat 

pengacara konstitusi Bhairav Acharya, ini merupakan daftar pembolehan 

pembatasan yang sangat panjang. “Kita tidak memiliki doktrin tentang 

kebebasan berpendapat yang konsisten dan koheren,” ujarnya.26 Republik 

baru mempertahankan pembatasan yang dibuat di era kolonial, yang 

didesain untuk menjaga ketenteraman di antara semua komunitas. Kitab 

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) India memiliki banyak sekali 

bab yang membatasi kebebasan berekspresi yang mengancam koeksistensi 

damai di antara kelompok-kelompok agama. Dalam Bab 153A, seseorang 

bisa didenda atau dipenjara hingga tiga tahun sebab  mempromosikan 

“permusuhan di antara berbagai kelompok atas dasar agama, ras, tempat 

lahir, tempat tinggal, bahasa, dan sebagainya, dan melakukan aksi-aksi 

yang dapat merugikan upaya-upaya menjaga kerukunan.”

Bab 295A yaitu  hal terdekat yang India punya dengan aturan 

melawan penyebutan yang menodai. Pemerintah kolonial merancangnya 

pada 1927, sebagai respon terhadap kemarahan kelompok Muslim 

atas pamflet kontroversial tentang kehidupan Nabi Muhammad. Pihak 

berwenang gagal menghukum penerbitnya di bawah Bab 153A yang ada 

sebelumnya, yang kata hakim “dimaksudkan untuk mencegah orang-

Bab 4118

orang melakukan penyerangan terhadap komunitas tertentu yang hidup 

pada masa sekarang dan tidak dimaksudkan untuk menghentikan 

polemik terkait para pemimpin agama yang sudah tiada.”27 Dalam 

hitungan bulan, sebab  kemarahan kaum Muslim terus berlangsung, Bab 

295A diperkenalkan untuk menyumbat lubang dalam KUHP, mencakup 

“tindakan yang disengaja dan jahat, yang dimaksudkan untuk memicu 

kemarahan keagamaan kelompok mana saja dengan mengejek agama atau 

kepercayaan keagamaan mereka.” Dengan begitu, ujar Acharya, hak untuk 

menyinggung [perasaan] dirampas. “Gagasan bahwa pemerintah harus 

tunduk kepada protes jalanan lahir di sini,” ujarnya.28 “Ini bukanlah hak 

untuk menyinggung. Ini memperlebar hak untuk merasa tersinggung.” 

Keluarannya, kata Acharya, yaitu  produk ciri impulsif pemerintah 

kolonial untuk menjaga keteraturan publik dengan mempertahankan 

pemisahan komunitas – satu pendekatan tata kelola pemerintahan yang 

terus bertahan hingga hari ini. Sementara konsep modern pencemaran 

nama baik dimaksudkan untuk menjaga reputasi seseorang, India telah 

mencangkokkan di atasnya “pandangan tentang harga diri komunitas 

yang belum lengkap dan belum terdefinisikan,” tambahnya.29

Larangan-larangan KUHP atas aksi menyinggung juga dimuat dalam 

Bab 505(1)(c), terkait dengan aturan tentang penyebutan atas satu 

kelompok, yang mengatur pernyataan, rumor, dan laporan yang memicu 

satu kelas atau komunitas untuk melakukan penyerangan atas kelas atau 

komunitas lain. Bab 505(2) menghukum siapa saja yang “membuat, 

menerbitkan, atau mengedarkan pernyataan apapun atau laporan 

berisi rumor atau berita peringatan” yang dapat menimbulkan atau 

mempromosikan “perasaan bermusuhan, kebencian atau niat tidak baik” 

di antara kasta-kasta atau komunitas-komunitas yang berbeda. Sebagian 

besar pelanggaran terhadap Undang-Undang Pidana bisa berakibat 

hukuman dengan masa tahanan hingga tiga tahun, dengan penalti lebih 

berat jika dilakukan di tempat pemujaan.

Namun, meskipun ada banyak lapisan untuk menangkal aksi-aksi 

yang menyerang perasaan keagamaan, sistem politik dan budaya India 

tidak bisa digolongkan berkulit tipis. Tradisi politik India meliputi 

sejarah panjang kontestasi antara dorongan-dorongan konservatif dan 

liberal, serta di antara beragam posisi diantara keduanya dan di masing-

masing kedua ekstrem. Bahkan pada 1927, saat  anggota legislatif India 

meloloskan Bab 295A, mereka mempraktikkan apa yang sejarawan Neeti 

India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 119

Nair sebut sebagai “pragmatisme legislatif ”. Nair mengemukakan bahwa 

meski otoritas kolonial merasa terdorong untuk melarang pelecehan 

agama, para pembuat kebijakan di India – yang mewakili banyak sekali 

kepentingan dan perspektif – berada di bawah ilusi bahwa hal ini dapat 

mengatasi persoalan konflik komunal. Yang sangat penting, para anggota 

legislatif memasukkan banyak usulan amendemen undang-undang 

untuk memastikan bahwa undang-undang baru tidak akan menghukum 

kritik yang tulus terhadap agama, seruan reformasi sosial, atau penelitian 

historis.30

Sejak kemerdekaan, pengadilan tinggi India dalam banyak 

kesempatan menggagalkan undang-undang tentang penyalahgunaan 

penghinaan. Sadar akan nilai eksplorasi historis dan artistik atas tema-

tema komunal, para hakim membatalkan upaya-upaya untuk menyensor 

ekspresi yang dianggap ofensif. saat  satu dari konspirator pembunuhan 

Mahatma Gandhi tahun 1948 menulis buku guna menjelaskan aksinya, 

Pengadilan Tinggi Bombay membatalkan keputusan pemerintah untuk 

menarik semua salinan buku itu. Dalam putusan tahun 1971, pengadilan 

menyebutkan bahwa penulis buku itu sedang berurusan dengan sejarah 

masa lampau dan bukan isu kontemporer, dan bahwa buku ini  

hendaknya dinilai secara keseluruhan tak hanya secuil-cuil bagian yang 

dibawa keluar konteks.31

Pada 1988, Mahkamah Agung memutuskan bahwa manfaat 

pengajaran dari serial televisi yang memotret ekstremisme keagamaan 

yang berujung pada pemisahan India lebih besar daripada dugaan bahwa 

serial itu berpotensi menjadi pemicu kerusuhan.32 Demikian juga, saat  

pihak berwenang menyensor film dokumenter tentang pembantaian 

Sikhs tahun 1984 atas dasar kekhawatiran bahwa film itu akan memicu 

ketegangan komunal, Pengadilan Tinggi Bombay membatalkannya. 

Dalam putusannya tahun 1997, pengadilan mengatakan bahwa pesan 

perdamaian yang dibawa film itu membuatnya berhak mendapatkan 

perlindungan berupa jaminan kebebasan berpendapat dari Konstitusi.33 

Pada 2005, Pengadilan Tinggi Calcutta menolak argumen pemerintah 

negara bagian untuk menyita buku yang mencela nestapa perempuan 

Muslim Bangladesh. Pemerintah merasa bahwa buku ini  melanggar 

Bab 295A KUHP, sebab  akan memicu kemarahan keagamaan dan 

menghina kepercayaan kaum Muslim di India. Namun, Pengadilan 

Tinggi Calcutta memutuskan bahwa buku ini  harus dibaca dalam 

Bab 4120

konteks perjuangan untuk kesetaraan kaum perempuan.”34

Menilik putusan-putusan pengadilan India ini , beberapa analis 

menempatkan India di dekat ujung paling positif dalam spektrum 

kebebasan berbicara. Hukum di India, ujar salah satu ahli hukum Barat, 

tidaklah terlalu luas namun dijahit dengan sempit dan “terbatas pada 

maksud-maksud provokatif, atau kata-kata yang mempromosikan niat 

buruk antar-kelompok, dan oleh sebab nya tidak mengekang kebebasan 

berbicara lebih dari yang dibutuhkan.”35 Kesimpulan semacam ini 

tampaknya didasarkan atas hasil akhir kasus-kasus menonjol yang 

menemukan jalannya di dalam sistem dan menghasilkan putusan 

progresif oleh pengadilan-pengadilan tinggi. Namun, tidak seperti 

di Amerika Serikat, putusan-putusan ini tidak terkonsolidasikan ke 

dalam ujian-ujian yang jelas dan berat, yang darinya kita dapat menilai 

konstitusionalitas pembatasan kebebasan berpendapat.36 Lebih jauh, 

sistem keadilan di India dinodai oleh korupsi di tingkat-tingkat bawah 

dan dibuat kewalahan menghadapi banyaknya jumlah kasus: setidaknya 

32 juta kasus menantikan putusan di pengadilan bawah, dengan 56.000 

kasus menantikan putusan Mahkamah Agung.37

Bahkan jika pengadilan-pengadilan India akhirnya condong 

melindungi kebebasan berpendapat, pepatah lama tentang keadilan y