di Bosnia, Rwanda, atau
Kamboja di masa lalu. Namun, dengan jangkauannya yang luas, Internet
menawarkan kesempatan yang unik untuk mewujudkan prinsip-prinsip
HAM. Arsitektur Internet sudah dari awalnya menantang otoritas yang
terpusat dan memberdayakan pengguna ke tingkat yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Negara-negara dapat mencampuri arsitektur itu di
dalam wilayah mereka sendiri, namun untuk sebuah perubahan, mereka
berada pada posisi teknis yang tidak diuntungkan.
Jauh lebih banyak dibanding yang terkait dengan media cetak atau
media penyiaran—di mana negara menulis kebijakan dengan sedikit
perhatian kepada norma-norma internasional atau kepentingan
industri—regulasi terkait perantara Internet telah diperdebatkan secara
mendalam di forum-forum internasional. Satu pertanyaan mendasar
yaitu apakah suatu perantara dapat dianggap bertanggungjawab atas
ujaran orang lain. Jika demikian, maka pihak perantara harus mampu
melindungi dirinya dari hukuman dengan memeriksa konten apa saja
yang hendak didistribusikan melalui layanannya. Ini, tentu saja, tidak
Bab 398
berbeda dari patroli yang rutin dipraktikkan oleh surat kabar dan stasiun
televisi. Mereka yang menganggap YouTube sebagai perusahaan distribusi
media tidak akan khawatir dengan gagasan untuk membebankan bentuk
tanggung jawab ini kepada perantara Internet.
Namun jika seseorang memahami YouTube sebagai sesuatu yang lebih
dekat dengan perusahaan telekomunikasi, implikasinya agak berbeda.
Kebanyakan orang mungkin bakal merasa risih dengan gagasan tentang
perusahaan telepon yang menyadap panggilan dan memutuskan jaringan
saat pembicaraan itu dirasa mungkin melanggar undang-undang. Jadi,
sikap terhadap tanggung jawab berbeda-beda, tergantung pada bagaimana
seseorang memahami perantara—sebagai penerbit dengan tanggung
jawab kontrol atas akses, atau sebagai pembawa pesan umum yang harus
tetap netral sepenuhnya atas apa pun konten yang disirkulasikan. Tidak
mengherankan, Google lebih memilih analogi telepon: “Kami tidak
merasa bahwa perusahaan telepon bertanggungjawab saat dua penelepon
memakai saluran telepon untuk merencanakan kejahatan. Untuk
alasan-alasan yang sama, yaitu prinsip dasar Internet bahwa Anda tidak
bisa menyalahkan perantara netral atas tindakan pelanggan mereka.”62
Tapi perbandingannya tidak persis seperti itu, sebab panggilan
telepon kebanyakan yaitu komunikasi pribadi satu lawan satu,
sementara ekspresi daring dapat menjangkau publik lebih besar daripada
media massa tradisional. Google juga tidak bisa dengan meyakinkan
mengklaim bahwa kontennya netral. Proses Google mungkin berlangsung
otomatis, namun hal itu tetap mengandung jejak pengambilan keputusan
oleh manusia. Algoritma di balik fungsi pencariannya yaitu prinsip
pengorganisasian buatan manusia, “dan seperti prinsip pengorganisasian
lainnya, mereka mencerminkan bias terhadap beberapa konten dibanding
konten lainnya,” kata Uta Kohl, seorang sarjana hukum.63 Jika aljabarnya
tidak melakukan diskriminasi terhadap situs ilegal, kata Kohl lebih
jauh, ini yaitu hasil dari “kesengajaan sistematis perusahaan” untuk
“memberikan nilai nol pada faktor legalitas dalam proses otomatisasi.”64
Lepas dari itu, Google memiliki dua fitur yang membuatnya lebih
mirip perusahaan telepon daripada sebuah penerbit. Pertama, volume
konten raksasa yang dikelolanya berskala berkali-kali lebih besar daripada,
misalnya, sebuah jaringan televisi satelit semacam MTV atau kantor
berita seperti Reuters. Menyaring konten satu-persatu dari ekspresi yang
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 99
bermasalah tentu saja akan membutuhkan sumberdaya yang sangat besar
dan mahal, memaksa perantara untuk melewatkan sebagian besar konten
jika tak mau bisnisnya gulung tikar.65 Seperti yang kita lihat pada Bab 7,
beberapa organisasi berita telah secara sukarela mengambil rute ini. Tapi
bagi perusahaan-perusahaan seperti YouTube dan Twitter, yang ada semata-
mata untuk menawarkan peran sebagai perantara, melakukan proses
penyaringan jelas tidak realistis. Alasan kedua mengapa mesin pencari
dan platform media sosial besar lebih mirip perusahaan telepon daripada
penerbit yaitu bahwa mereka telah menjadi bagian dari infrastruktur,
tempat para pengguna Internet bergantung. Bagi banyak pengguna,
Google sudah sangat penting bagi pengalaman daring mereka, sehingga
ia “yaitu ” Internet itu sendiri—kegunaannya yang tak tergantikan itulah
yang memungkinkan para penggunanya untuk menyelami apa yang ada
di luar sana, seperti “cahaya yang memandu kita melihat dunia maya.”66
Kebijakan Internal Google
Kebijakan Google menjelang krisis Innocence yaitu mencoba untuk
melakukan kompromi di antara beberapa pandangan yang berlawanan
terkait Internet. Di satu sisi, perusahaan mempertahankan naluri
libertarian yang terkait dengan arsitektur awal World Wide Web. Di sisi
lain, Google memperlihatkan penerimaan setengah hati atas yurisdiksi
nasional, seraya mengakui bahwa penyangkalan tanggung jawab atas
konten yang diunggah melalui situsnya memang tidak bisa sepenuhnya
dibela. Kebijakan Google tentang konten kontroversial menyatakan “bias
yang mendukung kebebasan berekspresi,” namun juga mengakui batasan-
batasan. Semua produknya, misalnya, melarang pornografi anak. “Tapi
dalam wilayah-wilayah lain, seperti ekstremisme, [kebijakan] ini menjadi
rumit sebab produk kami tersedia di banyak negara dengan undang-
undang dan budaya yang beragam,” katanya.67
Alat pencariannya mengikuti kebijakan yang terpisah dari platform
penyiarannya, seperti YouTube.
Untuk kolom “Search”—di mana kami hanya sesederhana
mengindeks konten—kami menarik konten sesedikit mungkin sebab
itu berlawanan langsung dengan inti misi kami, yakni membantu
orang menemukan informasi. Kami menghapus laman web dari
indeks penelusuran kami saat diwajibkan oleh undang-undang, dan
Bab 3100
kami mengirimkan pemberitahuan ke “Chilling Effects” saat kami
melakukannya. Misalnya, jika kami diberitahu tentang laman tertentu
yang memuliakan Nazisme, dan dilarang oleh hukum Jerman, kami
menghapus laman spesifik dari Google.de (domain Jerman kami).
Di YouTube dan Google+, misalnya, perusahaan tidak hanya
menunjukkan tautan ke konten, tapi juga menjadi tuan rumahnya. Oleh
sebab itu, platform ini memiliki panduan yang mendorong pengguna
untuk bertanggungjawab:
Misalnya, tidak ada ujaran kebencian, tidak ada konten yang
melanggar hak cipta, tidak ada ancaman pembunuhan, tidak ada
hasutan untuk melakukan kekerasan. Dan saat kami diberi tahu
tentang konten yang melanggar pedoman ini atau melanggar
hukum—misalnya, kami menerima panggilan pengadilan—kami
akan menghapusnya, atau membatasi aksesnya di negara di mana
konten ini sifatnya ilegal.
Umumnya, Google memenuhi permintaan pembatasan atas konten
kontroversial di negara-negara di mana para pengacara perusahaan
menaksir bahwa layanan yang relevan memiliki kehadiran fisik, seperti
versi lokal atau kantor. Ia menafsirkan tuntutan sesempit mungkin, dan
menantang tuntutan yang kelihatan tidak beralasan. Selain itu, Google
hanya membatasi penayangan di yurisdiksi tempat permintaan dibuat.
Ini memastikan bahwa tidak ada satu pun pemerintah yang memutuskan
apa yang dapat diakses pengguna di negara lain. Dalam periode pelaporan
sebelum video Innocence, Google telah memenuhi sekitar setengah dari
permintaan yang diterimanya.68 Innocence membawa tantangan yang
belum pernah hadir sebelumnya. Dari 17 negara di empat benua, Google
memenuhi delapan dan menolak sisanya.
Pendekatan Google terus diserang dari kedua ujung spektrum
ideologis. Bagi mereka yang memiliki prioritas rendah terhadap
kebebasan berekspresi di Internet, pedoman Google dianggap terlampau
tidak peka terhadap bahaya dari ekspresi yang menyinggung. Beberapa
negara secara eksplisit ingin menerapkan standar nasional mereka di luar
batas negara mereka sendiri. Turki yaitu contoh yang menonjol: seorang
jaksa mencoba memaksa Google untuk memperluas larangan negara
Turki atas aksi penghinaan terhadap Mustafa Kemal Ataturk, bapak
pendiri negara itu, ke seluruh dunia, demi menjaga perasaan diaspora
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 101
Turki.69 Demikian pula, pihak berwenang Thailand menginginkan agar
para perantara menerapkan di tingkat global standar lèse majesté mereka,
yakni larangan atas penghinaan atau pengkhianatan terhadap monarki.
Google sejauh ini menolak tekanan-tekanan ini .
Namun, bagi para pendukung kebebasan digital, kebanyakan
perantara belum cukup siap menghadapi dan melawan penyensoran.
Hukum setempat yang dipatuhi Google seringkali tidak sesuai dengan
standar HAM internasional. Ketakutannya yaitu bahwa, sebagai aktor
komersial, Google tidak mengemban tanggung jawab dan cenderung
membuat keputusan yang lebih pragmatis daripada berprinsip.
Google—lebih dari Facebook dan perantara lainnya—telah mengakui
bahwa situasinya jauh dari ideal. Sebagai tanggapan, perusahaan terus
meningkatkan transparansi seputar permintaan yang diterimanya dari
pemerintah dan aktor lainnya.
Pada 2008, Google, Yahoo!, dan Microsoft, bersama beberapa lembaga
penelitian dan LSM yang mengabdikan diri pada kebebasan berekspresi,
membentuk Global Network Initiative (GNI) untuk mengatasi tantangan
dalam mematuhi undang-undang nasional sekaligus melindungi HAM.70
Anggota-anggotanya dari sektor industri kini juga termasuk Facebook
dan LinkedIn. Anggota GNI telah secara eksplisit berkomitmen pada
prinsip kebebasan berekspresi yang dimodelkan pada standar HAM
internasional—meskipun, seperti perjanjian-perjanjian internasional
lainnya, prinsip GNI mungkin lebih bersifat aspirasional daripada
cerminan langsung realitas di lapangan.
Pengganggu, Troll, dan Sasaran Simbolik
Dengan lebih banyak orang, dari berbagai budaya yang lebih beragam,
tinggal berdekatan baik di ruang fisik maupun informasi, kita dapat
berharap bahwa perdebatan tentang penghinaan akan terus berlanjut, dan
mungkin jadi lebih intensif. Raksasa-raksasa Internet AS mungkin perlu
men-de-Amerikanisasi peraturan internal mereka. Ambil sebagai contoh
Pedoman Komunitas YouTube, yang dikutip di atas. Definisinya tentang
ujaran kebencian mencakup segala ujaran yang merendahkan kelompok
berdasarkan “status veteran”. Mungkin ada alasan-alasan untuk butir
ini dalam konteks AS, tapi kebijakan global YouTube untuk melindungi
kepekaan mantan kombatan (dan mungkin hanya mereka yang berperang
Bab 3102
membela AS), bahkan saat ia mengklaim bahwa perusahaannya tidak
melihat adanya pelanggaran dalam video Innocence yang jelas-jelas
menyerang Muslim, menunjukkan biasnya pada nilai budaya Amerika
arus utama.
Pada saat yang sama, kita perlu bersikap realistis tentang apa yang
bisa atau tidak bisa dicapai oleh kepekaan yang lebih tinggi terhadap
perasaan orang. Berusaha lebih keras menghindari penghinaan dapat
memuaskan sebagian besar anggota masyarakat yang lelah menerima
perlakuan rasisme dan xenofobia terus-menerus melalui media dan
kehidupan publik. Menghormati kepercayaan dan identitas orang lain
secara umum seharusnya tidak memerlukan pembenaran khusus,
kecuali bahwa hal itu memang hal yang benar untuk dilakukan. Akan
tetapi, naif rasanya mengharapkan penyensoran oleh pemerintah,
swasensor, atau pengekangan diri mampu mengakhiri fenomena emosi
kemarahan keagamaan. Harapan semacam itu mengabaikan adanya agen
pelintiran kebencian yang tidak tertarik menghindari ketersinggungan,
selagi kekacauan yang diakibatkannya bisa menjadi sumber politik yang
berguna.
Pelaku semacam itu mungkin memang tidak bertindak dengan iktikad
baik. Mereka dapat disamakan dengan apa yang dalam bidang ilmu
hubungan internasional disebut spoilers, “pengganggu”—penyabotase yang
memang berniat menumbangkan proses perdamaian.71 Sebagai alternatif,
dengan memanfaatkan budaya Internet, kita dapat menganggapnya
sebagai “troll.” Troll yaitu jenis pengguna yang masuk ke forum-forum
hanya untuk memprovokasi reaksi emosional yang akan menyebabkan
diskusi merosot jadi konflik verbal. Istilah ini biasanya dilabelkan pada
mereka yang melecehkan pengguna lain atau memasukkan komentar
memanas-manasi. Tetapi seperti perbuatan menyinggung (offensiveness)
bisa digantikan dengan perasaan ketersinggungan (offendedness) dalam
strategi pelintiran kebencian yang serbaguna, tujuan troll tidak dapat
dicapai hanya melalui ujaran kebencian yang biasa-biasa saja, tapi melalui
kemarahan yang berapi-api. Analis Internet Rebecca MacKinnon dan Ethan
Zuckerman menunjukkan bahwa hitungan skala kepuasan troll seringkali
“berbanding lurus dengan konflik yang sebenarnya tidak dibayangkan
mampu mereka ciptakan.”72 Oleh sebab itu, moderator daring yang
berpengalaman perlu memperingatkan pendatang baru untuk tidak
“memberi makan troll” dengan memberi mereka perhatian yang mereka
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 103
cari-cari. “Menyensor troll jarang berhasil—mereka cenderung kembali,
bahkan lebih mengganggu daripada sebelumnya, dengan memakai
nama samaran baru. Sebaliknya, cara terbaik untuk membungkam troll
yaitu dengan mengabaikannya.”73
Pemerintah dan Google sebagai Sasaran
Analogi troll menunjukkan bahwa, baik secara daring maupun luring,
tanggapan atas kampanye ketersinggungan yang direkayasa harus terukur,
dengan mempertimbangkan motif dan metode aktor yang terlibat. Kasus
yang telah kami analisis dalam bab ini menunjukkan bahwa kita perlu
memikirkan kembali beberapa pandangan konvensional tentang media
dan kekuasaan. Selama lebih dari 20 tahun, para sarjana dan jurnalis yang
menyelidiki media digital memusatkan perhatian pada pertanyaan apakah
mungkin dan bagaimana teknologi baru ini melewati kontrol regulasi dan
meja editorial tradisional. Terutama di rezim-rezim yang tidak demokratis,
para sarjana terutama mempelajari Internet sebagai alat untuk mangkir
dari otoritas. Ini tentunya fungsi penting dari ruang digital, namun hal itu
seharusnya tidak membutakan kita untuk melihat aplikasi kreatif lainnya
dari Internet.
Dalam strategi pelintiran kebencian, oportunis politik memakai
Internet untuk memperbesar klaim-klaim pada negara—bukan
menghindarinya. Internet menjadi alat istimewa yang dapat menjadikan
pelintiran kebencian didukung dan dikerjakan banyak orang bersama-
sama. Melalui Internet, para penebar kebencian (hatemonger) dapat
mendistribusikan pencarian akan simbol ketidakadilan yang potensial
pada tingkat global. Internet yaitu jalur utama penghinaan, baik
yang disengaja maupun tidak. Dan, saat tujuan yang cocok sudah
diidentifikasi, Internet memfasilitasi kepanikan moral. Dalam keadaan
seperti ini, negara sering memilih untuk menghindari perhatian. Pada
kebanyakan masyarakat konservatif, pemerintah tahu bahwa mereka
tidak memiliki kapasitas untuk menegakkan moral. Mereka memilih
semacam kemunafikan zaman Victoria, saat segala macam perilaku
yang dipertanyakan boleh dilakukan di belakang layar, sementara elite
yang berkuasa pura-pura tidak tahu.
Tapi dengan menyeret ekspresi menyinggung ke ladang yang terbuka,
para pemelintir kebencian menuntut pihak berwenang untuk ambil
Bab 3104
tindak konkret. Di sini, strategi “tidak dengar kejahatan apa-apa, dan
tidak lihat kejahatan apa-apa” tidak lagi dapat dipertahankan sebagai
strategi penyeimbang antara toleransi acuh-tak-acuh khas masyarakat
kosmopolitan dengan nilai-nilai konservatif yang dianut segmen besar
populasi. Dalam beberapa kasus, kegatalan pemerintah yang hendak
menindak media dapat memanfaatkan situasi seperti itu, seperti yang
dilakukan Pakistan dan Bangladesh saat Innocence memberi mereka
kesempatan memblokir YouTube. Tapi di Asia Tenggara, pihak-pihak
berwenang di Indonesia, Malaysia, dan Singapura mungkin terpaksa
mengambil tindakan simbolis, meskipun jika mereka lebih menyukai
tindakan lainnya.
Internet juga telah menyediakan bagi agen pelintiran kebencian satu
sasaran baru yang dapat mereka tuntut: Google itu sendiri. sebab lebih
kaya dan lebih terkenal dibanding banyak negara-bangsa, profil Google
kini bukan lagi sejenis penyedia alat publik atau pengembang infrastruktur
yang tanpa karakter. Orang-orang pada semua sisi aliran perdebatan
tentang kebebasan berpendapat sudah memandang Google sebagai institusi
yang kuat pada dirinya sendiri. Posisi unik ini mendorong Google untuk
secara langsung terlibat dalam kampanye terkait pelintiran kebencian,
kadang-kadang berperan sebagai ko-konspirator hebat dalam plot liberal
melawan sebuah komunitas yang terkepung. Spanduk-spanduk dan plakat-
plakat protes yang mengecam Viking Penguin atau Jyllands-Posten tidak
akan memiliki dampak global yang sama seperti slogan-slogan semacam
“Google yaitu TERORIS worldwide web” atau “GOOGLE, YOUTUBE
yaitu BAGIAN DARI KAMPANYE KEBENCIAN TERHADAP
SEMUA MUSLIM” (yang gambar-gambarnya dapat Anda temukan secara
online—melalui Google Images, tentu saja).
Pemurnian Simbolis
Di dunia yang lebih sederhana, ketersinggungan yaitu satu respons yang
dipelajari, yang membantu manusia menghindari bahaya, analog yang
secara budaya berevolusi menuju refleks rasa muak. Tapi dorongan untuk
memurnikan ini sama sekali tidak pernah semekanistik yang disangka-
sangka. Dalam studinya yang terbit pada 1966, antropolog Mary Douglas
menunjukkan bahwa konsep-konsep komunitas agama tradisional tentang
polusi dan tabu secara kultural sangatlah canggih, dan semuanya itu tidak
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 105
hanya dimotivasi oleh beberapa kebutuhan fisiologis untuk kebersihan.74
Aturan-aturan tentang kemurnian yaitu pernyataan simbolik ekspresif
untuk memelihara sistem sosial. Mereka tidak kaku atau tanpa kompromi.
Misalnya, masyarakat memiliki ritual pembersihan sederhana untuk
memastikan bahwa dosa-dosa tidak membuat kehidupan rusak. Kotoran
dan polusi tidak dipahami secara harfiah.
Memahami sisi ketersinggungan (yang direkayasa) dari pelintiran
kebencian mungkin memerlukan pergeseran mental yang sama dari
bingkai kebersihan ke bingkai simbolis di atas. Protes atas pesan-pesan
yang menyinggung, tidak peduli seberapa pun tingkat kemarahannya,
mungkin tidak bertujuan untuk penghapusan total atau karantina
lengkap, seolah-olah mereka tengah menghadapi racun mematikan.
Mereka membuat sebuah pernyataan politik—yang setelahnya para
pemrotes bisa mundur teratur. Inilah sebabnya mengapa kita melihat
agitator memublikasikan keberadaan materi yang menyinggung dalam
satu tarikan napas yang sama dengan permintaan penyensoran atasnya—
perilaku yang tidak masuk akal jika motif sebenarnya yaitu melindungi
komunitas mereka dari keterpaparan pada konten itu. Respons negara
juga lebih kompleks dari sekadar menjalankan fungsi melindungi.
Negara dan pemimpinnya mempertontonkan reaksi mereka baik untuk
khalayak domestik dan internasional. Apakah mereka benar-benar
berhasil memblokir konten atau pada kenyataannya menarik lebih
banyak perhatian pada konten ini —semuanya tidak lebih penting
dari sekadar terlihat membuat reaksi itu sendiri.
Terkadang kepentingan agen pelintiran kebencian dan pejabat
pemerintah selaras dalam bertindak melawan konten yang menyinggung.
Tapi pendirian ini tidak berlaku selamanya, sebab masing-masing mereka
memiliki prioritas dan kepentingan lain yang juga harus diperjuangkan.
sebab nya, di saat-saat yang lain, bisa saja pihak-pihak yang sama sama
sekali tidak peduli terhadap provokasi serupa yang sebelumnya sudah
memicu kemarahan mereka. Dalam banyak kasus, konten yang ditolak
secara keras oleh kelompok keagamaan tetap tersedia secara bebas
melalui media yang paralel—tanpa ada protes sama sekali.
Ambil kasus Pakistan, sebagai contoh, di mana para penganut garis-
keras selalu dapat diandalkan amarahnya terhadap penghinaan agama.
Tidak mengherankan jika The Satanic Verses dilarang edar di Pakistan.
Bab 3106
Tapi saat saya bertanya kepada seorang teman di sebuah LSM
kebebasan digital, Bytes for All, untuk memeriksa apakah buku ini
tersedia secara daring, mereka menemukan salinan yang tersedia melalui
Amazon. Entri Wikipedia tentang kontroversi Jyllands-Posten, yang
mencakup pemindaian halaman penuh berisi dua belas kartun—juga
dapat diakses dengan bebas. Mereka mencapai konten ini melalui PTCL,
penyedia layanan Internet yang mayoritas dimiliki oleh pemerintah.
Di Indonesia, saya pribadi menguji pagar moral negara ini. Saya
menemukan bahwa versi lengkap dari video Innocence of Muslims tersedia
di YouTube, hanya beberapa tahun setelah trailer ini dikecam
sebagai tindakan penistaan. Ini tentu bukan sebab masyarakat Indonesia
masih hijau di bidang teknologi informasi. Warganegara Indonesia
yaitu pengguna media sosial terbesar di dunia, dan kelompok Muslim
garis-keras sama mahirnya dengan kelompok sekular liberal dalam
memakai teknologi ini. Inilah contoh dari laku kaum konservatif dan
pilihan pemerintah untuk melihat ke arah lain, sama sengajanya dengan
saat mereka memilih memperhatikan sesuatu dan merasa tersinggung.
Kekerasan dalam kata-kata dan tindakan oleh kalangan yang
tersinggung menunjukkan niat instrumental yang tanpa kompromi. Pihak
yang memutuskan untuk merasa tersinggung memberi kesan bahwa
mereka dimotivasi oleh keinginan kuat menjaga tanah airnya agar bebas
dari penghinaan dan kerusakan yang dibawa globalisasi. Tapi jika perilaku
mereka dicermati lagi, tampak bahwa meski mereka mungkin melibatkan
kekerasan fisik yang ekstrem, sebagian besar tujuan mereka hanyalah
simbolis. Seperti kemunculannya yang tiba-tiba, ketersinggungan itu
biasanya juga akan menghilang begitu saja. Baik titik permulaan maupun
titik akhir protes tidak berhubungan langsung dengan datang atau
perginya materi yang dianggap menyinggung. Perilaku mereka cocok
dengan deskripsi Joseph Gusfield mengenai larangan di AS: larangan
alkohol dipromosikan sebagai bagian dari “perang salib simbolis” yang
tidak terlalu peduli apakah alkohol masih tersedia atau sudah musnah
seluruhnya.75 Semuanya sama saja di zaman Internet. Tak diragukan lagi,
kampanye ketersinggungan membawa serta banyak pendukung dengan
keinginan pribadi yang kuat untuk membersihkan negara mereka dari
praktik-praktik berdosa. Tapi dinamika pelintiran kebencian tidak dapat
dipahami tanpa tinjauan skeptis atas kepentingan para agen pelintiran
kebencian dan analisis kritis atas konteks politik yang melatarinya.***
107
Pada 26 Mei 2014, Narendra Modi dilantik sebagai Perdana Menteri
India ke-15. Pergantian pemerintahan bukanlah hal baru di tempat di
mana demokrasi selalu menjadi ajang kontestasi seperti India. Namun
cara dan makna kemenangan Modi yaitu sesuatu yang revolusioner.
Partai Modi, Bharatiya Janata Party (BJP), yang beraliran nasionalis
Hindu, memenangkan kursi parlemen– 282 dari 543– sama sekali tanpa
bantuan 20-an lebih partai kecil sayap tengah-kanan dalam Aliansi
Nasional Demokrat. Di negara di mana tingkat keberagaman begitu
tinggi dan meniscayakan pembentukan koalisi politik, kemenangan Modi
menandakan bahwa inilah untuk pertama kali dalam 30 tahun hak sebuah
partai untuk memerintah tidak bergantung pada dukungan aliansinya.
Dengan hanya memperoleh 44 kursi, Kongres Nasional India, partai para
bapak pendiri bangsa di republik ini, tak pernah mendapati diri mereka
terperosok ke dalam jurang teramat dalam ini atau kehabisan kata-kata.
Terinspirasi oleh Jiwa Besar atau “Mahatma”, Mohandas K. Gandhi, doktrin
Kongres selalu menekankan hak-hak minoritas, khususnya ditujukan
kepada kelas dan kasta yang tidak diuntungkan secara historis, atau
kelompok-kelompok minoritas agama. India menjadi tempat lahirnya
banyak agama besar – Hindu, Buddha, Jainis, dan Sikh– dibanding dengan
peradaban lain. Populasi Muslimnya lebih besar dari negara-negara lain
kecuali Indonesia dan, mungkin, Pakistan.1
Dengan menolak langkah-langkah akomodatif Partai Kongres,
BJP ingin mengganti pusat gravitasi politik menjadi Hindu, agama
yang dipeluk oleh empat dari lima orang di India. Pemerintahan Modi
bukanlah pemerintahan pertama BJP. Namun, dalam pemerintahan
4
India: Narendra Modi dan
Pemanfaatan Kebencian
Bab 4108
terdahulu, dari 1996 hingga 2000, BJP dibatasi oleh kebutuhannya untuk
menarik rekan koalisi, yang hasil akhirnya yaitu pemerintahan tengah
yang masih memperlihatkan keberagaman India. Periode Modi mewakili
keterputusan radikal dari masa lalu, sebab dia datang memimpin
dengan mandat mayoritas yang kuat. Tidak ada satu pun Muslim dari
282 anggota parlemen BJP yang dipilih pada 2014. Sebagai hasil dari
gelombang kemenangan BJP ini, dari 543 anggota parlemen, hanya ada
20 perwakilan Muslim (kurang dari empat persen), di negara tempat
kaum Muslim merupakan 14 persen populasi.
Modi tidak duduk di pucuk kekuasaan hanya sebab topangan
agama. Sebanyak tiga berbanding satu orang India percaya bahwa BJP
akan bekerja lebih baik dibanding pemerintahan petahana, dari Partai
Kongres, dalam menciptakan lapangan kerja, melawan korupsi, dan
menekan inflasi.2 Citra Modi sebagai orang yang paling tepat untuk
membuat India bangkit lagi yaitu faktor utama dibalik kemenangannya,
menurut jajak pendapat nasional. Meski demikian, BJP memainkan
kartu keagamaan dengan gencar di negara-negara bagian yang menjadi
kunci.3 Tak mungkin Modi bisa muncul sebagai pemimpin BJP yang tak
tergoyahkan tanpa membangun reputasinya sebagai seorang chauvinis
Hindu. Dia melesat ke panggung publik pada 2002 sebagai Menteri
Besar (Chief Minister) negara bagian Gujarat, di mana sekitar seribuan
Muslim dibantai di bawah pengawasannya, ditengarai sebagai balasan
atas terbakarnya kereta yang mengangkut peziarah dan aktivis Hindu.4
Para politisi sudah memakai agama untuk mendapatkan
keuntungan elektoral sebelum terpilihnya Modi. Terlepas dari cita-cita
mulianya, Partai Kongres yaitu pelaku pertama apa yang orang India
sebut sebagai politik “komunal”, sektarianisme berbasis-etnis yang
berbahaya. Pada 1984, politisi Kongres memprovokasi penyerangan
terhadap kaum Sikh untuk membalas pembunuhan Perdana Menteri
Indira Gandhi oleh pengawal pribadinya yang merupakan seorang Sikh.
Lebih dari 2.700 Sikh terbunuh.5 Namun demikian, sementara para
politisi lain hanya kadang-kadang memainkan api komunalisme, BJP
menenggelamkan dan mendefinisikan dirinya persis dalam kerangka
politik komunalisme itu.6 Memang, mungkin tak ada demokrasi lain di
dunia ini yang menyaksikan bekerjanya pelintiran kebencian sekeras apa
yang dipraktikkan Modi di India.
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 109
Propaganda kebencian merupakan bagian esensial dari kebangkitan
Narendra Modi menjadi pemimpin demokrasi terbesar dunia. Fitnah-
fitnah yang ditebar gerakannya atas minoritas Muslim melalui ujaran
kebencian klasik mampu menggerakkan kelompok sayap kanan dan ikut
menyatukan mayoritas Hindu, yang sebenarnya terpecah-belah oleh kasta,
untuk mendukung BJP yang sebenarnya didominasi segelintir elite Hindu.
Kelompok Kanan Hindu juga melakukan kampanye sistematis untuk
memproduksi ketersinggungan ekstrem atas karya sejarah yang dianggap
mencemari nama baik agama mereka. Yang menakjubkan dari kasus di
India ini bukan saja soal keajegan hasutan dan rekayasa ketersinggungan,
tapi juga penggunaan cara-cara itu secara strategis dan pada tingkat
tertinggi.
Kemunculan Nasionalisme Hindu
Di kuil pertapaan tepi sungai legendaris milik Mahatma Gandhi di
Ahmedabat, Gujarat, ada poster yang mengingatkan orang akan pendirian
almarhum menentang mayoritarianisme: “Saya tidak percaya pada doktrin
yang mengatakan bahwa kebaikan hakiki terletak pada jumlah yang
terbesar. Itu artinya, secara telanjang, untuk dapat mencapai kebaikan yang
dipercaya oleh 51 persen, kepentingan 49 persen sisanya bisa saja atau
mungkin harus dikorbankan. Ini ajaran yang lalim dan telah melahirkan
malapetaka bagi kemanusiaan.”
Kutipan di atas mencerminkan keyakinan Gandhi – yang juga diamini
arsitek Konstitusi India, Bhimrao Ramji Ambedkar – bahwa kehidupan
politik “tak dapat dibayangkan tanpa kesetaraan tanpa syarat dalam
hubungan moral dan sosial,” seperti disebutkan sejarawan Aishwary
Kumar.7 Komitmen India terhadap kesetaraan dilihat dari segi agama
menjadi sangat penting secara geopolitis pasca-kemerdekaan (pemisahan
India dan Pakistan). sebab Pakistan yaitu si “lain” dari nasionalisme
India, maka penting untuk menunjukkan bahwa keputusan kaum Muslim
untuk bertahan di India yang sekular, dan tidak hijrah ke Pakistan
(yang negara Islam) pasca-pemisahan, yaitu hal yang tepat. Meski
demikian, nasionalisme sekular anti-kolonial yang dianut Kongres selalu
mendapatkan tantangan.8 Separatisme Muslim yang melahirkan Pakistan
masih terus hidup di Kashmir. Lalu ada pula nasionalisme Hindu. Gujarat
yang mengklaim anak India yang terbesar, Gandhi, yaitu Gujarat yang
Bab 4110
sama dengan yang melahirkan Narendra Modi.
Pada 1920-an, Ahmedabad-nya Gandhi yaitu pusat spiritual bagi
tumbuhnya prinsip-prinsip politik non-kekerasan dan non-diskriminasi.
Delapan puluh tahun kemudian, Ahmedabad menjadi titik mula salah
satu pembantaian komunal paling berdarah di India pasca- pemisahan.
Setelah itu, dalam era kenormalan baru di bawah Menteri Besar Modi,
kota itu dipisahkah oleh tembok-tembok fisik, institusional dan kultural
yang merupakan antitesis dari visi awal India. Kaum Muslim diisolasi di
area suburban Juhapura, yang tidak memperoleh layanan pemerintahan
kota. “Hampir tidak mungkin bagi Muslim Ahmedabad untuk
mendapatkan kredit perumahan guna membangun rumah di wilayah
Hindu, dan pemerintah kota Ahmedabad juga telah menetapkan hampir
semua Juhapura sebagai wilayah pertanian. Kaum Muslim tidak hanya
didorong ke pinggiran kota, tapi juga menuju status ilegal,” kata Zahir
Jahmohamad, pekerja hak asasi manusia Amerika yang menyaksikan
pembantaian disengaja tahun 2002 dan menulis buku tentang Ahmedabad
kontemporer.9
Partai Modi, BJP, memang didirikan pada 1980. Namun, seperti
juga nasionalisme-nasionalisme India lainnya, akar-akar partai ini bisa
dilacak ke akhir abad ke-19. BJP yaitu sayap politik jaringan kelompok
yang disegani dan secara kolektif disebut Sangh Parivar (“keluarga
organisasi”, dalam Bahasa Hindi). Penggerak utama gerakan ini yaitu
Rashtriya Swamyamsevak Sangh (RSS), organisasi chauvinis Hindu,
yang anggotanya laki-laki semua, yang dibentuk pada 1925. Saat masih
jinak-jinaknya, RSS merupakan kekuatan relawan berdisiplin tinggi
yang berdedikasi untuk melakukan pelayanan sosial, biasanya menjadi
yang pertama datang membantu saat bencana alam menimpa. Namun
kalangan militan RSS juga mereka yang berdiri paling depan dalam aksi-
aksi intoleransi ekstrem, memimpin penggunaan kekerasan terhadap
kelompok minoritas, mengorganisasi perpindahan agama secara paksa,
dan menyerang para penulis dan artis.
Pradip Jain, seorang pengacara perlente, yaitu juru bicara RSS
di Gujarat. Sambil duduk menyilangkan kaki di atas dipan dalam satu
ruangan kantor di Ahmedabad, dia memberi tahu saya bahwa peran
RSS hanyalah untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan membangun
pribadi manusia yang baik, yang kemudian akan membangun bangsa.
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 111
“Sebagaimana tiap keluarga punya kepala, tiap masyarakat juga punya
kepala, dan agamalah kepala ini .” Dia menjelaskan bahwa, seperti
halnya negara diatur oleh konstitusinya, maka bangsa diatur oleh
dharma, yang diterjemahkan secara bebas sebagai tatanan kosmik yang
memelihara kehidupan. Ini, ujarnya, yang membedakan India dari bangsa
lain. “Di India, dharma-lah yang paling dijunjung tinggi.”10
Pemahaman atas diri sendiri ini, bahwasanya kiprah mereka terpisah
dan sekaligus lebih agung dari tetek bengek politik elektoral, menjadikan
RSS suatu organisasi yang sangat ideologis dan tak mengenal kompromi.
Jain menegaskan, RSS tidak memiliki agenda politik remeh temeh: RSS
menanamkan nilai dan tidak mencampuri urusan negara. Tapi RSS bukan
sesuatu semacam sekte isolasionis. RSS mungkin tidak mau memerintah
– itu pekerjaan BJP – namun RSS jelas menikmati kekuasaan, dan tak
mengapa baginya untuk ditakuti. RSS sudah menguasai satu posisi yang
unik dalam kehidupan India, dimana-mana tapi sekaligus juga tidak
dimana-mana, baik yang cair maupun keras. RSS bahkan tidak punya
sistem keanggotaan formal, ucap Jain, namun itu tidak menghentikannya
dari tersenyum simpul, tanda kepuasan, saat saya menyebut bahwa
konon RSS yaitu organisasi sukarelawan terbesar di dunia. Bahkan
saat dia bersikeras bahwa RSS tidak menyuruh pengikutnya untuk
melakukan apa pun, Jain menyebutkan juga bahwa tiap anggota wajib
melakukan sesuatu untuk masyarakat di lingkungan masing-masing.
“Orang-orang yang sudah membangun personanya lewat Sangh (RSS)
tidak akan membiarkan satu batu pun tidak kembali (kepada RSS),” tegas
Jain dengan senyum yang sama. Anda dapat merasakan bahwa pilihan
kata-katanya, yang membuat kita merinding, bukanlah tak disengaja.
RSS dan keluarga organisasinya dijalankan berdasarkan persepsi
mengenai ancaman terhadap status agama mayoritas India. Dan
sebagaimana kelompok fasis lain sepanjang sejarah, Sayap Kanan Hindu
percaya bahwa pertahanan terbaik yaitu serangan yang baik. RSS
memproyeksikan Hinduisme yang kekar berotot, yang akan menderek
India menuju suatu era kejayaan baru jika diberi kekuasaan, dan tidak
akan membiarkan adanya perbedaan pendapat – termasuk dari sesama
Hindu dengan pendekatan lebih liberal – yang menghalangi jalannya.
Kekerasan digerakkan atau diprovokasi oleh anggota Vishva Hindu
Parishad (VHP) dan kelompok-kelompok ekstrem lain dalam keluarga
organisasi sayap kanan ini.
Bab 4112
Ideologi Sangh Parivar disebut Hindutva (“Ke-Hindu-an”), untuk
membedakannya dari Hinduisme. Gerakan ini tidak menuntut suatu
negara teokratis atau segala bentuk pengakuan resmi tentang Hinduisme
sebagai agama resmi negara. Hindutva lebih tepat dilihat sebagai suatu
kategori kultural-kebangsaan ketimbang kategori religius, dilihat sebagai
sesuatu yang sinonim dengan gagasan India itu sendiri. sebab itu,
menurut Sangh Parivar, orang-orang India pemeluk agama lain, termasuk
Muslim, seharusnya tidak memiliki masalah dengan menerima Hindutva.
Jika mereka memilih untuk tidak menerimanya, maka mereka pastilah
pengkhianat bangsa. Keluhan utama Parivar yaitu bahwa sekularisme
India, yang diarsiteki Partai Kongres, terlalu mengakomodasi kaum
Muslim dan minoritas-minoritas lainnya. Satu butir simbolik yang amat
mencolok, dan yang mereka keluhkan, yaitu pengakuan negara terhadap
aturan-aturan hukum perdata Muslim terkait dengan pernikahan dan
warisan, sementara orang-orang India lainnya harus tunduk kepada
hukum sipil yang seragam. Sangh Parivar mengklaim bahwa mereka
mencari kesetaraan formal dan ingin mencabut kebijakan-kebijakan
yang dibuat guna melindungi hak-hak minoritas.11 Namun gerakan ini
memiliki catatan diskriminasi keagamaan, bahkan dalam hal pembagian
bantuan untuk korban bencana, selain intoleransi ekstrem yang didukung
oleh kekerasan fisik.12
Koalisi yang dipimpin BJP mengecap kekuasaan singkat pada 1996
dan 1998, diikuti periode lima tahun penuh sejak 1999. Penghancuran
masjid yang berasal dari abad ke-16 di Ayodhya, pada 1992, berkontribusi
terhadap kemenangan BJP dengan menyuntik semangat anggota RSS di
lapangan. Masjid Babri diduga dibangun di atas situs candi Hindu yang
dipercaya sebagai tempat kelahiran Rama, manifestasi salah satu Dewa
Hindu, Vishnu, dan merupakan pahlawan dalam epos Ramayana. Pada
1990, Presiden BJP L. K. Advani, memulai perjalanan 10.000 kilometer
di utara India menuju Ayodhya, tempat di mana dia bilang dia akan
membangun candi baru. Dia dan rombongannya ditangkap sebelum
mereka sempat melakukan perusakan. Namun, pada Desember 1992,
pihak yang berkuasa merasa mereka tidak memiliki pilihan selain
mundur saat 200.000 aktivis meruntuhkan tempat peribadatan itu.
Meskipun para penyerang ini awalnya dilihat sebagai sebuah gerombolan
yang marah, namun para jurnalis kemudian mengungkap bahwa
para pemimpin Sangh Parivar-lah yang mengkoordinasi kelompok-
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 113
kelompok ini dan aksi penyerangan mereka. “Para relawan itu
telah dilatih, kebutuhan logistik mereka telah disiapkan dengan rapi dan
penyerangan terhadap tempat suci yang disengketakan itu dilakukan
dengan memakai sekelompok besar orang berisi relawan yang ahli
meruntuhkan struktur bangunan yang menempel,” lapor Times of India.13
Sebelumnya, daya Tarik BJP bagi pemilih India tak pernah bisa
dijamin penuh, sebab umat Hindu di India tidak biasanya bersikap
sebagai bank suara – artinya, mereka secara tradisional tidak memilih
sebagai blok atau kelompok yang utuh dan tunggal. Varghese K. George,
editor politik Hindu– surat kabar nasional yang, terlepas dari namanya,
merupakan salah satu pilar jurnalisme India yang berpegang teguh
pada nilai-nilai demokratis sekular – mengidentifikasi tiga kelemahan
struktural Sangh Parivar yang, setidaknya menurut sejarah, membatasi
prospek elektoralnya.14 Yang pertama yaitu ketegangan antara kaum
tradisionalis Hindu yang menaruh perhatian pada sesuatu yang
transendental dan ketidaksabaran kelas menengah akan kenaikan standar
kehidupan. Kedua, pembagian kasta dalam masyarakat Hindu membatasi
daya tarik elite BJP di mata kelompok-kelompok yang kurang atau tidak
diuntungkan. Ketiga, ada ketidakseimbangan kekuasaan antara RSS
yang dogmatis dan pragmatisme elektoral BJP.
Kata George, Narendra Modi memberikan jawaban atas tiga dilema
tadi. Pertama-tama, dia menjembatani yang tradisional dan yang
modern. Dengan pembantaian Gujarat 2002, Menteri Besar negara
bagian Gujarat ini telah memapankan kredensialnya sebagai pembela
tangguh kaum beriman Hindu. Kemudian, dia akan menghabiskan
dekade selanjutnya dari pemerintahannya dalam menumbuhkan bagian
kedua dari apa yang oleh seorang komentator disebut sebagai “paket dua-
dalam-satu kemarahan Hindutva dan kecerdasan pro-reformasi.”15 Modi
secara agresif mengejar pertumbuhan ekonomi sambil memperjuangkan
perkara-perkara keagamaan yang memiliki makna simbolik besar,
seperti menolak penyembelihan sapi. Seperti disebut George, Hindutva
2.0 berbeda dan memisahkan diri dari yang terdahulu terutama dalam
kebijakannya merengkuh neoliberalisme. Di bawah Modi, Gujarat
menentang kebijakan redistribusi dan merengkuh pertumbuhan
ekonomi. “Mengikuti dari dekat pernyataan-pernyataan publik Modi
selama beberapa tahun, Hindutva 2.0 yaitu varian neoliberalisme
tersendiri yang menggabungkan nasionalisme keagamaan dengan
Bab 4114
percepatan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.16
Persoalan kedua, kasta, telah menjadi rintangan utama bagi BJP untuk
memperoleh kekuasaan di negara-negara bagian termiskin di India. Kasta-
kasta terbelakang – misalnya Dalit, yang secara tradisional diperlakukan
sebagai kelompok terbuang atau tak tersentuh – merasa lebih terwakili
oleh Partai Bahujan Samaj di tingkat nasional dan organisasi-organisasi
seperti Samajwadi di Uttar Pradesh, yang condong ke kiri, di tingkat negara
bagian. Untuk memperoleh dukungan mereka, Modi memamerkan
latar belakangnya sebagai orang dengan kasta terbelakang, yang secara
signifikan memperkuat daya tariknya. Namun untuk membangun
persatuan Hindu, penting bagi Modi untuk membangun suatu musuh
bersama.17 Kaum Muslim – yang sudah diasosiasikan dengan Pakistan
dan terorisme global – yaitu kelompok rentan yang akan menjalankan
peran itu. Pendahulu Modi mengakui hal ini saat mereka meruntuhkan
masjid Ayodhya. Mahkaman Agung melarang membangun apapun di
lokasi itu, hingga situs itu menjadi simbol ketidakadilan yang ampuh
untuk membudidayakan ketakutan dan kebencian terhadap Muslim.
Modi juga berhasil mengatasi ketegangan di antara RSS dan BJP.
Sebagai anggota RSS sejak berusia delapan tahun, asal-usulnya tak perlu
dipertanyakan. Perdana Menteri BJP pertama, Atal Behari Vajpayee,
telah mencoba mengontrol kecenderungan ekstremis RSS. sebab tak
bisa menerima pembantaian Gujarat 2002, dia bahkan pernah mencoba
menggulingkan Modi dari posisinya sebagai menteri besar negara bagian
itu.18 Namun, saat itu, Modi sudah tak bisa lagi disentuh di Gujarat.
Pada 2013-2014, dia pelan tapi pasti berhasil menyingkirkan saingan-
saingannya di dalam BJP. Dia muncul sebagai harapan terbesar bagi Sangh
Parivar untuk kembali ke pucuk kekuasaan. “Dalam kepribadian Menteri
Besar Gujarat – yang memproyeksikan kebanggaan maskulinitas Hindu
sambil merengkuh filosofi ekonomi pragmatis, sambil mengenakan jam
Movado, berkacamata Bulgari, dan pena Montblanc – RSS mungkin
menemukan cara menyelesaikan, atau setidaknya menghilangkan,
ketegangan antara jiwa kebangsaan dan urgensi akan kehidupan politik
kontemporer,” catat jurnalis Dinesh Narayan.19
Jika jalan BJP menuju Delhi pada 1998 dibuka oleh batu-batu reruntuhan
Masjid Babri, maka kembalinya lagi BJP ke panggung kekuasaan secara
spektakuler pada 2014 harus melangkah memutari jalan bersimbah
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 115
darah Ahmedabad, ditambah dukungan ruang-ruang rapat pemimpin
korporasi-korporasi besar. Dalam 150 hari Modi menjadi Menteri Besar
Gujarat, Hindu garis-keras disana membantai kaum Muslim. Sebuah
investigasi yang dilakukan oleh Campaign Against Genocide – sebuah
jaringan organisasi masyarakat madani yang juga beranggotakan kelompok
Hindu dan kelompok berbasis agama lain – untuk mendalami kerusuhan
itu telah menemukan bahwa pemerintah negara bagian “terlibat dan
bersalah di tingkat yang paling tinggi.”20 Modi tak pernah bisa menurunkan
tingkat keterkaitannya dengan pembantaian 2002, meskipun dia juga tak
pernah berusaha menghilangkannya. Sebagai bagian penting dalam inti
konstituensinya, pembantaian Gujarat itu yaitu tentang bagaimana pada
akhirnya memberi pelajaran kepada kaum Muslim, tentang membalikkan
meja melawan minoritas berbahaya yang sudah lama tertunda. Kaum
moderat di kalangan Hindu tercengang, namun – sebagaimana dipahami
semua politisi di dunia – kaum moderat bukanlah pasukan paling
efektif untuk kampanye pemilu. Bala tentara yang antusiasmenya paling
dibutuhkan Modi yaitu para anggota RSS, yang mendirikan BJP pada
1980. Hanya dengan restu merekalah Modi bisa mencapai superioritas
di dalam BJP. Bahkan setelah dia tampil sebagai kandidat utama, saat
prinsip kehati-hatian mungkin saja mendorongnya untuk memposisikan
diri sebagai calon perdana menteri yang lebih moderat dan inklusif,
kampanye Modi memperlihatkan citranya sebagai seorang Hindu yang
kuat. Ujaran kebencian dan ketersinggungan atas nama agama terus
berlangsung tanpa henti.
Sektarianisme dan Peraturan Singgungan
Sebelum kita mengusut bagaimana Modi dan BJP melancarkan pelintiran
kebencian pada pemilu 2014, kita harus memetakan keunikan lanskap
hukum India. Seperti yang telah saya catat pada bab-bab sebelumnya,
pelintiran kebencian bisa dikekang dan difasilitasi oleh hukum. Aturan-
aturan hukum di India yaitu sebuah hibrida dari komitmen demokrasi
atas kebebasan berpendapat dan insting untuk menjaga perasaan
keagamaan warganya, suatu respon yang dikondisikan oleh sejarahnya
yang berisi konflik sektarian. Konstitusi India dan Mahkamah Agung
selalu menganggap kebebasan berekspresi sebagai hal serius, dan budaya
politiknya menghargai hak untuk gencar menentang otoritas pemerintah.
Bab 4116
India mengungguli negara-negara di Selatan lain dalam hal hak-hak politik
dan kebebasan perseorangan, dan negara itu yaitu satu dari lima wilayah
di Asia yang dinilai “bebas” oleh Freedom House.21 India lebih dekat
dengan Amerika Serikat jika dibanding, katakanlah, Pakistan atau Rusia
dalam hal perlindungan formal yang diberikan negara terhadap kebebasan
berekspresi.22 Pada saat bersamaan, India menyimpang dari norma-norma
demokrasi liberal dalam hasratnya untuk mengawasi ketersinggungan.
Sementara Amerika Serikat mengembangkan sikap alergi ekstrem terhadap
intervensi negara dalam perselisihan teologis sebagai reaksi terhadap
warisan konflik sektariannya, anggota parlemen India mengadopsi respon
sebaliknya, yakni: terlibat dalam untuk memisahkan komunitas-komunitas
yang berseberangan, menjadi wasit bagi persengketaan keagamaan,
dan menciptakan wilayah “tidak boleh masuk” di tempat-tempat yang
seharusnya menjadi arena publik yang diperjuangkan dengan penuh warna.
Meskipun para komentator kontemporer kerap membicarakan konflik
Hindu-Muslim sebagai sesuatu yang tak lekang oleh waktu dan akan
terus terjadi, para sejarawan India umumnya menganggap bahwa hal itu
yaitu akibat kolonialisme Inggris. Tentu saja sejarah pra-kolonial India
tidak sepenuhnya bersih dari kekerasan, namun klasifikasi administratif
pemerintah kolonial dan kebijakan memecah-belahnya memiliki efek
membekukan identitas yang sebelumnya cair dan menjadikannya lebih
kentara.23 sebab nya, konflik-konflik yang sepenuhnya sektarian terjadi
hanya baru-baru ini saja, di mana kerusuhan Hindu-Muslim baru
dimulai pada akhir kuartal abad ke-19, saat kompetisi berlangsung
makin tajam di antara para elite Muslim yang dulunya dominan dalam
administrasi kolonial dan semakin meningkatnya kelas terdidik Hindu
di India utara. Sekali negara mengakui publik yang didefinisikan secara
komunal dan memberikan organisasi perwakilan mereka dan para
pemimpin mereka sebuah status sebagai wakil resmi, maka mereka bisa
mengembangkan kehidupan mereka sendiri-sendiri. Setelahnya, saat
pemimpin nasionalis Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi mencoba
membentuk identitas India yang meliputi kesemuanya, mereka harus
menerima realitas politik bahwa para pemimpin berbagai agama dan
kelompok linguistik akan bersikeras memegang konstituennya masing-
masing.24
Tragisnya, kompetisi sektarian tertulis ke dalam narasi kemerdekaan.
Pemisahan yang kasar dan kejam menjadi Pakistan dengan mayoritas
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 117
Muslim dan India dengan mayoritas Hindu menggiring migrasi terbesar
dalam sejarah. Pergolakan tereskalasi menjadi bentrok kekerasan,
menewaskan sekitar satu juta rakyat sipil. Trauma pemisahan, bersama
dengan pembunuhan Mahatma Gandhi oleh ekstremis Hindu, memberi
urgensi bagi proyek sekular, yang sayangnya gagal menyuntik vaksin bagi
India untuk melawan wabah kekerasan komunal di masa mendatang.
Kerusuhan antar-agama masih menjadi bagian latar suara kisah India,
kebanyakan menjadi latar di konflik berintensitas rendah, namun kerap
meletus menjadi kekerasan massal. “India mungkin secara resmi sebuah
negara sekular, namun masyarakat India didefinisikan oleh identitas
keagamaan dan terbelah oleh ketidakpercayaan komunal dan kebencian,”
catat Robert Hardgrave, seorang sarjana politik Asia Selatan.25
Konstitusi India memberi semua warganegara hak kebebasan
berbicara dan berekspresi dalam Pasal 19(1)(a). Meski demikian,
Klausul (2) membolehkan pembatasan “untuk menjaga kepentingan
kedaulatan dan kesatuan India, keamanan negara, hubungan baik
dengan negara asing, ketertiban, kesopanan, atau moralitas publik atau
dalam kaitannya dengan penghinaan terhadap pengadilan, pencemaran
nama baik, atau hasutan penghinaan.” Dalam standar demokrasi, catat
pengacara konstitusi Bhairav Acharya, ini merupakan daftar pembolehan
pembatasan yang sangat panjang. “Kita tidak memiliki doktrin tentang
kebebasan berpendapat yang konsisten dan koheren,” ujarnya.26 Republik
baru mempertahankan pembatasan yang dibuat di era kolonial, yang
didesain untuk menjaga ketenteraman di antara semua komunitas. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) India memiliki banyak sekali
bab yang membatasi kebebasan berekspresi yang mengancam koeksistensi
damai di antara kelompok-kelompok agama. Dalam Bab 153A, seseorang
bisa didenda atau dipenjara hingga tiga tahun sebab mempromosikan
“permusuhan di antara berbagai kelompok atas dasar agama, ras, tempat
lahir, tempat tinggal, bahasa, dan sebagainya, dan melakukan aksi-aksi
yang dapat merugikan upaya-upaya menjaga kerukunan.”
Bab 295A yaitu hal terdekat yang India punya dengan aturan
melawan penyebutan yang menodai. Pemerintah kolonial merancangnya
pada 1927, sebagai respon terhadap kemarahan kelompok Muslim
atas pamflet kontroversial tentang kehidupan Nabi Muhammad. Pihak
berwenang gagal menghukum penerbitnya di bawah Bab 153A yang ada
sebelumnya, yang kata hakim “dimaksudkan untuk mencegah orang-
Bab 4118
orang melakukan penyerangan terhadap komunitas tertentu yang hidup
pada masa sekarang dan tidak dimaksudkan untuk menghentikan
polemik terkait para pemimpin agama yang sudah tiada.”27 Dalam
hitungan bulan, sebab kemarahan kaum Muslim terus berlangsung, Bab
295A diperkenalkan untuk menyumbat lubang dalam KUHP, mencakup
“tindakan yang disengaja dan jahat, yang dimaksudkan untuk memicu
kemarahan keagamaan kelompok mana saja dengan mengejek agama atau
kepercayaan keagamaan mereka.” Dengan begitu, ujar Acharya, hak untuk
menyinggung [perasaan] dirampas. “Gagasan bahwa pemerintah harus
tunduk kepada protes jalanan lahir di sini,” ujarnya.28 “Ini bukanlah hak
untuk menyinggung. Ini memperlebar hak untuk merasa tersinggung.”
Keluarannya, kata Acharya, yaitu produk ciri impulsif pemerintah
kolonial untuk menjaga keteraturan publik dengan mempertahankan
pemisahan komunitas – satu pendekatan tata kelola pemerintahan yang
terus bertahan hingga hari ini. Sementara konsep modern pencemaran
nama baik dimaksudkan untuk menjaga reputasi seseorang, India telah
mencangkokkan di atasnya “pandangan tentang harga diri komunitas
yang belum lengkap dan belum terdefinisikan,” tambahnya.29
Larangan-larangan KUHP atas aksi menyinggung juga dimuat dalam
Bab 505(1)(c), terkait dengan aturan tentang penyebutan atas satu
kelompok, yang mengatur pernyataan, rumor, dan laporan yang memicu
satu kelas atau komunitas untuk melakukan penyerangan atas kelas atau
komunitas lain. Bab 505(2) menghukum siapa saja yang “membuat,
menerbitkan, atau mengedarkan pernyataan apapun atau laporan
berisi rumor atau berita peringatan” yang dapat menimbulkan atau
mempromosikan “perasaan bermusuhan, kebencian atau niat tidak baik”
di antara kasta-kasta atau komunitas-komunitas yang berbeda. Sebagian
besar pelanggaran terhadap Undang-Undang Pidana bisa berakibat
hukuman dengan masa tahanan hingga tiga tahun, dengan penalti lebih
berat jika dilakukan di tempat pemujaan.
Namun, meskipun ada banyak lapisan untuk menangkal aksi-aksi
yang menyerang perasaan keagamaan, sistem politik dan budaya India
tidak bisa digolongkan berkulit tipis. Tradisi politik India meliputi
sejarah panjang kontestasi antara dorongan-dorongan konservatif dan
liberal, serta di antara beragam posisi diantara keduanya dan di masing-
masing kedua ekstrem. Bahkan pada 1927, saat anggota legislatif India
meloloskan Bab 295A, mereka mempraktikkan apa yang sejarawan Neeti
India: Narendra Modi dan Pemanfaatan Kebencian 119
Nair sebut sebagai “pragmatisme legislatif ”. Nair mengemukakan bahwa
meski otoritas kolonial merasa terdorong untuk melarang pelecehan
agama, para pembuat kebijakan di India – yang mewakili banyak sekali
kepentingan dan perspektif – berada di bawah ilusi bahwa hal ini dapat
mengatasi persoalan konflik komunal. Yang sangat penting, para anggota
legislatif memasukkan banyak usulan amendemen undang-undang
untuk memastikan bahwa undang-undang baru tidak akan menghukum
kritik yang tulus terhadap agama, seruan reformasi sosial, atau penelitian
historis.30
Sejak kemerdekaan, pengadilan tinggi India dalam banyak
kesempatan menggagalkan undang-undang tentang penyalahgunaan
penghinaan. Sadar akan nilai eksplorasi historis dan artistik atas tema-
tema komunal, para hakim membatalkan upaya-upaya untuk menyensor
ekspresi yang dianggap ofensif. saat satu dari konspirator pembunuhan
Mahatma Gandhi tahun 1948 menulis buku guna menjelaskan aksinya,
Pengadilan Tinggi Bombay membatalkan keputusan pemerintah untuk
menarik semua salinan buku itu. Dalam putusan tahun 1971, pengadilan
menyebutkan bahwa penulis buku itu sedang berurusan dengan sejarah
masa lampau dan bukan isu kontemporer, dan bahwa buku ini
hendaknya dinilai secara keseluruhan tak hanya secuil-cuil bagian yang
dibawa keluar konteks.31
Pada 1988, Mahkamah Agung memutuskan bahwa manfaat
pengajaran dari serial televisi yang memotret ekstremisme keagamaan
yang berujung pada pemisahan India lebih besar daripada dugaan bahwa
serial itu berpotensi menjadi pemicu kerusuhan.32 Demikian juga, saat
pihak berwenang menyensor film dokumenter tentang pembantaian
Sikhs tahun 1984 atas dasar kekhawatiran bahwa film itu akan memicu
ketegangan komunal, Pengadilan Tinggi Bombay membatalkannya.
Dalam putusannya tahun 1997, pengadilan mengatakan bahwa pesan
perdamaian yang dibawa film itu membuatnya berhak mendapatkan
perlindungan berupa jaminan kebebasan berpendapat dari Konstitusi.33
Pada 2005, Pengadilan Tinggi Calcutta menolak argumen pemerintah
negara bagian untuk menyita buku yang mencela nestapa perempuan
Muslim Bangladesh. Pemerintah merasa bahwa buku ini melanggar
Bab 295A KUHP, sebab akan memicu kemarahan keagamaan dan
menghina kepercayaan kaum Muslim di India. Namun, Pengadilan
Tinggi Calcutta memutuskan bahwa buku ini harus dibaca dalam
Bab 4120
konteks perjuangan untuk kesetaraan kaum perempuan.”34
Menilik putusan-putusan pengadilan India ini , beberapa analis
menempatkan India di dekat ujung paling positif dalam spektrum
kebebasan berbicara. Hukum di India, ujar salah satu ahli hukum Barat,
tidaklah terlalu luas namun dijahit dengan sempit dan “terbatas pada
maksud-maksud provokatif, atau kata-kata yang mempromosikan niat
buruk antar-kelompok, dan oleh sebab nya tidak mengekang kebebasan
berbicara lebih dari yang dibutuhkan.”35 Kesimpulan semacam ini
tampaknya didasarkan atas hasil akhir kasus-kasus menonjol yang
menemukan jalannya di dalam sistem dan menghasilkan putusan
progresif oleh pengadilan-pengadilan tinggi. Namun, tidak seperti
di Amerika Serikat, putusan-putusan ini tidak terkonsolidasikan ke
dalam ujian-ujian yang jelas dan berat, yang darinya kita dapat menilai
konstitusionalitas pembatasan kebebasan berpendapat.36 Lebih jauh,
sistem keadilan di India dinodai oleh korupsi di tingkat-tingkat bawah
dan dibuat kewalahan menghadapi banyaknya jumlah kasus: setidaknya
32 juta kasus menantikan putusan di pengadilan bawah, dengan 56.000
kasus menantikan putusan Mahkamah Agung.37
Bahkan jika pengadilan-pengadilan India akhirnya condong
melindungi kebebasan berpendapat, pepatah lama tentang keadilan y