lusuri niat sejati para pendiri
kepercayaan, atau keyakinan mendalam dari umat yang beriman. Ini jalan
buntu dalam mencoba menjelaskan pelintiran kebencian. Ungkapan bahwa
agama yaitu apa pun yang bersifat “inheren”, atau bawaan, telah gagal
dalam memahami peran penafsiran manusia yang tak terhindarkan dalam
beragama. Sebagai gantinya, sambil menerapkan berbagai tilikan dari
studi-studi tentang aksi kolektif, saya akan melihat agama sebagai sumber
daya yang bisa dibentuk menjadi apa saja di tangan pengusaha politik. Dari
perspektif kebijakan, mengatur keyakinan agama dari tiap-tiap individu
yaitu pekerjaan yang tidak perlu dan tidak menarik. Yang penting yaitu
bagaimana pemeluk agama ini bertindak. Uji demokrasi mudah
dilakukan: apakah seseorang mengejar nilai dan minat mereka dengan
cara yang menghormati hak-hak dasar orang lain. Seperti yang bab ini
tunjukkan, agen pelintiran kebencian tidak lulus dalam ujian ini.***
Pada 1 Juli 2012, film dokumenter berdurasi 14 menit, Innocence of Muslims,
memulai debutnya di platform berbagi video paling populer sedunia.
Film itu yaitu setitik air di tengah samudera YouTube, kira-kira 0,00025
persen dari keseluruhan konten yang terunggah di jaringan daringnya
dalam sehari saja.1 Tanpa daya tarik yang jelas, Innocence of Muslims tidak
pernah disangka akan menjadi fenomena viral layaknya sensasi “Gangnam
Style” dari artis Korea Psy, yang dirilis pada bulan yang sama. Lepas dari
itu, reaksi global terhadap film itu—sebagian besarnya dari orang-orang
yang tidak pernah melihatnya langsung—menegaskan tempatnya yang
penting dalam diskusi soal penghinaan agama abad ke-21.
Tidak diragukan lagi, film ini yaitu serangan sengaja terhadap Islam.
Tapi efektivitasnya sebagai propaganda kebencian patut diragukan. Kualitas
produksinya yang buruk, kasar dan dilebih-lebihkan, tidak mungkin
akan memengaruhi sikap para pemirsanya terhadap satu agama dan para
penganutnya. Lepas dari itu, orang-orang tertentu dalam masyarakat
Muslim memandang film itu sebagai sesuatu yang menyerang Islam dan
mendorong komunitas mereka untuk mengungkapkan kemarahan dengan
lantang dan keras. Begitu terkenalnya pola itu sehingga para pejabat
Amerika Serikat (AS) juga menyalahkan video itu, sebab provokasi yang
ditimbulkannya mengakibatkan terjadinya serangan mematikan atas
kompleks diplomatik AS di Benghazi, Libya, pada 11 September 2012.
Insiden Benghazi ternyata suatu serangan militer yang tidak ada sangkut
pautnya dengan video di atas. Kendati demikian, di berbagai lokasi lainnya,
75 orang tewas dalam kerusuhan yang dipicu oleh film ini . sebab nya,
Innocence of Muslims yaitu gambaran pola dasar kasus pelintiran
kebencian lintas-batas. Video ini juga merupakan peristiwa penting
dalam tata kelola Internet: kontroversi ini menghasilkan permintaan tak
terhitung agar konten ini ditarik dari jejaring daring. Beberapa negara
bahkan memblokir total akses warganegaranya ke platform YouTube.
Perdagangan lintas-batas dalam ideologi kebencian sekarang masuk
dalam radar pakar keamanan internasional dan kini menghasilkan banyak
ketertarikan para sarjana komunikasi. Sebagian besar diskusi berpusat
pada ujaran kebencian klasik—propaganda yang memicu kekerasan.
Swaradikalisasi teroris jihadis yang didukung oleh Internet mendominasi
agenda.2 Internet tidak memulai aliran global ini, dan masih belum bisa
dibilang mendominasinya. Seperti yang anggota Senat AS nyatakan,
“Bahan-bahan cetak, rekaman video aktivitas teroris, termasuk operasi dan
pelatihan, serta rekaman khotbah dan pidato yang mendukung kebenaran
ideologi Islam keras, telah terdistribusikan dan terjual di seluruh dunia
selama berdekade-dekade lamanya.”3
Propaganda lintas-batas juga telah mempengaruhi komunitas-
komunitas etnik lain. Salah satu contoh yang mengerikan ditemukan
dalam manifesto pembunuhan massal di Norwegia oleh Anders Behring
Breivik, yang menghabisi nyawa 77 orang dalam satu hari pada musim
panas 2011, di tengah protes melawan toleransi negaranya terhadap kaum
Muslim dan imigran lainnya. Dokumen yang disusunnya bersama, 2083:
A European Declaration of Independence, dengan bebas mengutip para
produsen kesalahan informasi atas Muslim terkemuka di AS. Jumlah
kutipan mereka tentu akan membuat jaringan Islamofobia AS bangga,
seandainya itu sebuah departemen dalam universitas. Robert Spencer,
dan blog Jihad Watch miliknya, dikutip sebanyak 162 kali; Daniel Pipe,
dan Middle East Forum, 18 kali; Frank Gaffney, dan Center for Security
Policy kepunyaannya, tujuh kali.4 Daya tarik ideologisnya tampak saling
menguntungkan: Pamela Geller, yang dikutip sebanyak 12 kali dalam
dokumen Breivik, kemudian menyatakan bahwa kamp pemuda yang
menjadi target penembak yaitu “pusat pelatihan indoktrinasi” anti-Israel.5
Dalam bab ini saya fokus pada aspek pelintiran kebencian lintas-batas
yang lebih jarang dipelajari daripada hasutan, yaitu ketersinggungan hasil
dari rekayasa (manufactured offendedness). Kompleksitas yang nyata sudah
muncul dalam proses meregulasi ujaran yang menyinggung populasi
lintas-batas nasional. Pertanyaannya yaitu undang-undang siapa dan
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 77
norma sosial mana yang harus bertahan. sebab perbedaan budaya,
populasi nasional yang berbeda akan memaknai pesan dan simbol dengan
cara berbeda pula. Ambillah, sebagai contoh, ruang-ruang Buddha Bar
yang ciamik dan telah menyebar dari Paris ke beberapa kota di Eropa
dan Timur Tengah. Patung Buddha raksasa menegaskan eksistensi bar-
bar “eksotis” ini . Meskipun diduga terinspirasi oleh kecintaan pada
budaya wilayah Asia-Pasifik, Manila, yang mayoritas penduduknya Kristen,
yaitu satu-satunya kota di belahan dunia itu di mana Buddha Bar bisa
ditemukan. Waralaba macam itu mungkin tidak akan berhasil di negara-
negara dengan populasi mayoritas Buddha, di mana penduduknya akan
kesulitan mendamaikan pemahaman mereka akan pesan-pesan Buddha
agar kita hidup sederhana dengan gelontoran bir tiada henti serta makan-
makan enak sepuasnya di hari Minggu. Di Indonesia—di mana populasi
umat Buddha-nya hanya berkisar satu persen, tapi agama itu sendiri diakui
sebagai salah satu agama resmi negara—waralaba semacam itu dengan
cepat memancing reaksi oposisi dan berujung pada penutupannya. Pada
2015, di Myanmar, di mana agama Buddha menjadi agama mayoritas
penduduk, tiga pengusaha—yang terbukti merintis konsep Buddha
Bar yang bertujuan menarik turis dari Barat—dipenjarakan sebab
unggahan Facebook mereka yang menunjukkan patung Buddha sedang
memakai telepon genggam dan mengiklankan sisha serta “Bottomless
Frozen Mararita” di pub mereka.6
Konflik-konflik di antara berbagai pengertian tentang kepatutan
semacam itu tidak dapat dihindari. “Di dunia modern lanjut kita ini,
kelainan mereka yang asing selalu mondar-mandir di depan mata:
di ruang-ruang publik yang nyata, di realitas yang dibayangkan dan
dikomunikasikan dalam tempat-tempat yang termediasi,” ujar mendiang
sarjana media Roger Silverstone. “Ada perdebatan besar muncul mengenai
bagaimana dunia baru ini dapat, dan seharusnya, dihidupi.”7 Agen pelintiran
kebencian telah mengeksploitasi friksi-friksi ini sebagai kesempatan
memproduksi ketersinggungan lintas-batas. Untuk memahami fenomena
ini, saya menelaah tiga kasus luar biasa dari kemarahan transnasional yang
dipolitisasi: novel Salman Rushdie yang memperoleh banyak penghargaan,
The Satanic Verses, kartun Nabi Muhammad yang dipublikasikan koran
Denmark Jyllands-Posten, dan video YouTube Innocence of Muslims. sebab
penghinaan di dunia daring telah menjadi bagian kunci dalam cerita ini,
saya akan juga melihat peran Google dan perantara Internet lainnya, yang
secara teratur menghadapi masalah hukum dan norma sosial yang timpang.
The Satanic Verses Karya Salman Rushdie
Ketersinggungan keagamaan lintas-batas telah ada sebelum Internet sendiri
ditemukan—untuk mendorongnya berlangsung lebih jauh lagi. Diterbitkan
dalam bahasa Yunani pada 1953 dan dalam bahasa Inggris pada 1960, The
Last Temptation of Christ disambut dengan badai protes transnasional.
Novel garapan Nikos Kazantzakis itu menggambarkan Yesus Kristus sebagai
yang ilahi, namun selalu didera siksa dari keraguan dan kerinduan manusia,
yang pada akhirnya berhasil dilaluinya. Eksperimentasi Kazantzakis cerita-
cerita biblikal telah membangkitkan kemarahan kalangan konservatif
agama. Dia dikucilkan oleh Gereja Ortodoks Timur dan bukunya
dimasukkan ke dalam Index of Forbidden Books yang disusun Gereja
Katolik.8 Kontroversi yang lebih besar mengiringinya saat sutradara
terkenal Hollywood, Martin Scorsese, menuangkan kisah ini dalam
sebuah film pada 1988. Tetapi semua ini bukanlah apa-apa dibandingkan
dengan kemarahan yang diakibatkan oleh penerbitan karya sastra lain
pada tahun yang sama.
Karya itu yaitu The Satanic Verses karangan Salman Rushdie.
Mengambil tempat di India dan Inggris kontemporer, tema utama novel
itu yaitu ketegangan dalam pengalaman poskolonial antara identitas
migran dan nasional.9 Ditulis dalam gaya realisme magis ala Rushdie,
novel ini terdiri dari sekuensi mimpi, yang salah satunya menceritakan
kehidupan Mahound “Sang Utusan”, yang dengan jelas memakai
Nabi Muhammad sebagai referensi. Sang Utusan mengartikulasikan
ide-ide politeistik, tetapi kemudian menariknya kembali seolah-olah dia
habis kerasukan setan. Satu dari sahabat-sahabatnya mengaku sudah
mengubah beberapa bagian dari teks suci yang didiktekan kepadanya.
Para kritikus tidak bersepakat mengenai apakah konten ini benar-
benar sebuah bentuk penistaan. Pengacara Rushdie, Geoffrey Robertson,
telah menunjukkan bahwa pihak penuntut swasta gagal menjadikan ini
sebuah kasus, bahkan saat undang-undang penistaan ada di Inggris.
Enam tuntutan penistaan masing-masing “didasarkan pada kesalahan
pembacaan atau kesalahan teologis.” Contohnya, meskipun Rushdie
diserang sebab menyebut Nabi seorang “ahli sihir”, “pesulap”, dan “nabi
palsu”, julukan ini ditempatkan di mulut “seorang murtad pemabuk, sebuah
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 79
karakter yang penulis maupun pembacanya tidak bakal menaruh simpati
padanya.”10 Sekuens mimpi yang terpisah menampilkan pemimpin alim
yang fanatik, mengingatkan pembaca kepada Ayatullah Khomeini-nya Iran
dalam pengasingannya di Paris. Sementara Rushdie tidak pernah secara
khusus membantah bahwa novelnya bukan bermaksud memprovokasi, dia
bersikeras bahwa targetnya bukan agama atau apa pun yang menyangkut
itu, tetapi kemunafikan sebagian para penganutnya.
Viking Penguin menerbitkan novel itu pada September 1988. sebab
Rushdie sudah merupakan salah satu novelis paling terkenal di dunia,
bukunya itu dengan cepat mendapat perhatian global. Di negara asalnya,
India, pemerintah melarang penjualan dan distribusi buku ini dalam waktu
dua minggu setelah diluncurkan. Buku ini memenangkan penghargaan
bergengsi Whitbread pada awal November sehingga menegaskan kembali
rasa ketidakberdayaan yang dirasakan beberapa kelompok Muslim serta
menguatkan keinginan mereka untuk melawan penghinaan ini .
Pada Januari 1989, penduduk Muslim di Bradford, Inggris, membakar
salinan buku ini . Sebulan kemudian, enam orang tewas dalam
demonstrasi berdarah di Pakistan. Namun, Ayatullah Khomeini yaitu
pihak yang mengeskalasi konflik menjadi benturan nilai berskala global.
Pada 14 Februari 1989, dia mengeluarkan fatwa menghebohkan, menuntut
kematian Rushdie dan editornya. “Saya berseru kepada semua Muslim
yang taat agar mengeksekusi mereka secepatnya, di mana pun mereka
menemukan keduanya, sehingga tidak ada yang berani menghina ajaran-
ajaran Islam. Siapa pun yang terbunuh dalam urusan ini akan dianggap
sebagai martir, Insya Allah,” begitu bunyi fatwa ini .11
Mehdi Mozzafari, seorang profesor filsafat politik, menyatakan bahwa
fatwa ini yaitu produk sikap tanpa kompromi Khomeini yang
memisahkan dunia ke dalam si baik dan si jahat, keyakinannya bahwa
Alquran berisi semua kebenaran mutlak, ditambah dengan perasaan
bahwa dia menopang tanggung jawab yang unik sebagai satu-satunya
pemimpin agama yang sekaligus juga kepala negara di dunia Muslim.
Namun, terlepas dari ketulusan kemarahan Khomeini, konteks politiknya
penting diperhatikan. Iran saat itu sedang mulai berkembang lagi, setelah
perang delapan tahunnya dengan Irak, salah satu konflik paling mematikan
pada abad ke-20. Dua bulan sebelum penerbitan buku Rushdie, Iran
menyetujui gencatan senjata. Perang tidak berakhir dengan kemuliaan
di sisi Iran. Iran tidak hanya kehilangan jutaan warganya, tapi juga harga
Bab 380
diri di mata negara-negara Muslim dari kejayaan Revolusi 1979-nya
dahulu. Perang menghancurkan Republik Islam yang berusia satu dekade
itu; bahkan di antara para ulama, pemberontakan sedikit demi sedikit
mulai berkembang.12 Dengan pemahaman ini, tanggapan Iran terhadap
The Satanic Verses tidak didasarkan atas perintah Alquran, tetapi lebih
didorong oleh satu halaman dalam buku teks politik klasik: dihadapkan
pada tidak tersedianya jawaban, ciptakanlah musuh bersama, internal
atau eksternal. Itulah “jenis tanggapan yang mungkin didapat seseorang
saat satu peradaban tengah berada dalam kemundurannya yang paling
mentok, atau saat peradaban itu tidak dapat membangun kembali visi
masa depannya,” kata Sohail Inayatullah, seorang sarjana politik.13
Upaya Khomeini mengundang siapa saja untuk membunuh warganegara
lain, secara terbuka pula, mengejutkan masyarakat internasional dan
memaksa Rushdie untuk bersembunyi. Dalam beberapa tahun terakhir,
penulis buron ini aktif menentang “budaya ketersinggungan” ini, yang
menjadikannya korban, dan yang merupakan kepedulian utama buku ini.
Kartun Nabi Muhammad di Koran Jyllands-Posten
Kasus kartun Denmark menunjukkan pertentangan di antara seperangkat
aturan hukum dan norma sosial yang berbeda yang mengatur penistaan
agama. Hukum penistaan asli Denmark, berasal dari tahun 1683, mirip
dengan aturan yang kini beroperasi di Arab Saudi dan di tempat lain.
Hukum Denmark mengikat status agama, raja, dan negara, dalam
satu kesatuan sehingga melestarikan legalitas penguasa duniawi untuk
melindungi nama Tuhan. Pada sekitar 1920-an, ekspresi penistaan
masih dianggap tidak beradab, namun anggota parlemen percaya bahwa
sebagian besar masyarakat Denmark telah sama-sama dewasa sehingga
ujaran semacam itu dapat diatur tanpa memakai kekuatan hukum.15
Menjelang akhir 1920-an, anggota parlemen dan ahli hukum Denmark
sepakat bahwa undang-undang ini harus diikutsertakan hanya untuk
memelihara perdamaian di antara masyarakat-masyarakat yang berbeda,
bukan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan Tuhan. Para
reformis menjadikan tokoh Reformasi Protestan Martin Luther dan filsuf
Denmark Soren Kierkegaard sebagai contoh penista yang positif, sebab
mereka telah berkontribusi pada kemajuan masyarakat melalui ejekan
mereka terhadap kebiasaan yang membelenggu. Terakhir kali sebuah
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 81
pengadilan di Denmark menjatuhkan hukuman pada pelaku penistaan
pada 1938, saat undang-undang ini digunakan untuk melindungi
kelompok minoritas: kasus ini melibatkan propaganda anti-Semitisme
oleh para pengikut Nazi di Denmark.
Pada 1970-an, seniman Jens Jorgen Thorsen menguji budaya liberal ini.
Pada 1973, dia merilis sebuah naskah film, The Many Faces of Jesus Christ,
yang menggambarkan Yesus sebagai orang mabuk dengan kehidupan seks
liar. Kedubes Denmark di Madrid dan Roma menjadi sasaran ancaman
dan potensi nyata kekerasan. Di bawah tekanan, pemerintah memaksa
Danish Film Institute menyetop pendanaan proyek film ini , namun
pihak berwenang tidak pernah benar-benar menuduh Thorsen melakukan
tindak kriminal. Dia juga tidak dituntut sebab karya mural-nya pada 1985,
yang menggambar Yesus sedang ereksi.
Dalam sikapnya yang berkembang terkait penanganan atas penistaan
agama, Denmark mewakili semesta liberal dalam mikrokosmos. Seperti
yang telah saya bahas pada Bab 2, fokus hukum dan kebijakan legislatif
dalam yurisprudensi modern bergerak berbalik dari melindungi
perasaan elite dan kelompok mayoritas kepada akomodasi atas kelompok
minoritas dan sudut pandang tandingan. Namun, dalam kasus Denmark,
pengalaman negara ini, yang bermasalah dengan kelompok imigran,
telah mempersulit kecenderungan di atas. sebab tidak senang dengan
sikap intoleran beberapa imigran, kaum liberal Denmark membelokkan
argumen kebebasan berekspresi untuk menentang prinsip perlindungan
minoritas, sehingga perdebatan soal penistaan tadi berkembang menjadi
soal “hak artistik untuk menyinggung kelompok-kelompok minoritas
agama,” seperti dikatakan Signe Larsen, seorang sarjana kebudayaan
pada Universitas Aarhus.17 Dalam pola pikir ini, para penista tidak lagi
dipandang sebagai “yang liyan”, sebuah bentuk manifestasi “identitas
tandingan” yang mungkin bisa menjalankan fungsi sosial positif namun
harus ditolerir oleh masyarakat yang dewasa; sebaliknya, ekspresi penistaan
memenuhi “atribut ke-Denmark-an kontemporer”.18
Partai Rakyat Denmark, yang beraliran sayap-kanan, mendorong
kecenderungan ini dengan agresif, dengan alasan bahwa prinsip sekular
dan tradisi Lutheran—ajaran yang lahir dari perlawanan terhadap Gereja
Katolik—terancam oleh Islamisasi yang merayap dengan pasti. Dan
memang, beberapa Muslim menantang nilai bahwa masyarakat Denmark
Bab 382
terikat pada kebebasan berekspresi. Pada 2004, misalnya, beberapa
wakil Muslim mencoba mengambil langkah hukum saat stasiun televisi
Denmark menyiarkan Submission, film pendek arahan Theo van Gogh,
yang mengkritik perlakuan terhadap kaum perempuan di masyarakat-
masyarakat Muslim. Pembunuhan brutal atas seorang pembuat film
Belanda di Amsterdam, pada akhir tahun itu, memaksa kalangan liberal
Eropa untuk menghadapi kenyataan bahwa beberapa imigran dan
keturunan mereka memang menolak nilai-nilai milik negara tuan rumah.
“Kisah menyedihkan ini menimbulkan masalah besar tidak hanya di
Belanda, tapi juga di seluruh Eropa: seberapa jauh masyarakat liberal dapat
menolerir orang yang intoleran?” tulis Economist pada saat itu.19
Eskalasi sebuah Kontroversi
Inilah konteks saat mana para jurnalis di surat kabar Jyllands-Posten
menggagas kartun Nabi Muhammad. Para jurnalis merasa terganggu
mendengar bahwa penerbit buku anak-anak tentang Muhammad tidak
bisa menemukan seniman yang bersedia menggambarkan wujud tokoh
utama buku itu. Mereka merasa bahwa ketakutan dan swasensor semacam
itu seharusnya tidak punya tempat di Denmark. Editor budaya koran
ini , Flemming Rose, mengumumkan sayembara kepada anggota
Serikat Illustrator Denmark untuk mengirimkan gambar Muhammad,
sesuai dengan bayangan mereka masing-masing. Pada 30 September
2005, koran ini mencurahkan satu halaman penuh untuk 12 di
bawah tajuk utama, “Wajah Muhammad”. Beberapa kartun, seperti yang
menggambarkan seorang anak sekolah bernama Muhammad, melintasi
ladang ranjau dengan hati-hati. Yang paling provokatif, oleh Kurt
Westergaard, menunjukkan bahwa Nabi memakai turban berbentuk bom.
Seperti yang juga akan terjadi pada para penulis di Charlie Hebdo, sejak
itu muncul keraguan terkait ketulusan motivasi para jurnalis: para kritikus
mencurigai adanya bias anti-imigran yang mendasari aksi itu.20 Namun,
dalam artikel halaman depannya, koran ini secara serius menegaskan
maksudnya untuk menghormati kebebasan berekspresi di Denmark.
“Beberapa Muslim menolak masyarakat yang modern dan sekular,”
keluhnya. “Mereka menuntut perlakuan khusus, bersikeras meminta
agar perasaan keagamaan mereka dihormati. Ini tidak sesuai dengan
demokrasi sekular dan kebebasan berekspresi, di mana seseorang harus
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan
siap menghadapi cemoohan, olok-olokan, dan ejekan.”21 Artikel Flemming
Rose di bawah kartun mengulangi kekhawatiran bahwa beberapa Muslim
menginginkan perlakuan khusus berupa jenis aksi yang mengancam
pertukaran gagasan secara bebas. Dengan menerbitkan kartun ini ,
Jyllands-Posten sengaja mengambil posisi provokatif dalam perdebatan
tentang apakah Islam harus diperlakukan berbeda dari agama-agama lain.
Dan sesuai harapan, provokasi itu benar-benar terjadi. Kaum Muslim
Denmark melakukan demonstrasi damai. Salah seorang pemrotes yaitu
seorang aktivis muda bernama Ahmed Akkari. Kelompok Akkari bukanlah
organisasi Muslim yang paling berpengaruh atau representatif di Denmark;
seorang Muslim Denmark yang lebih menonjol yaitu anggota parlemen
Naser Khader, seorang pendukung integrasi dan kritikus radikalisme yang
vokal. Tindakan Akkari mungkin dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri
untuk dapat bersaing dengan tokoh-tokoh mapan di komunitas Muslim
Denmark.
Dalam seminggu sesudah publikasi kartun ini , kelompok
Akkari menghubungi kedutaan-kedutaan besar negara-negara Muslim di
Kopenhagen. Sebelas duta besar yang mewakili negara-negara berpenduduk
mayoritas Muslim menulis surat kepada perdana menteri Denmark pada 19
Oktober, untuk meminta pertemuan mendesak. Perdana Menteri ini
menjawab—menyatakan bahwa mereka yang merasa dizalimi dipersilakan
mengajukan keluhan penistaan—namun tidak menyetujui secara khusus
permintaan untuk bertemu. Pemerintah Mesir yaitu yang paling getol
merespon permintaan Akkari. Pemerintahan Husni Mubarak di Mesir
mulai melobi PBB, Uni Eropa, dan Organisasi Keamanan dan Koordinasi di
Eropa untuk mengutuk kartun di atas dan tindakan diskriminasi terhadap
umat Islam secara umum. Mesir juga mendesak Liga Arab dan OKI untuk
terus melancarkan tekanan diplomatik ke Denmark.22
Kartun ini muncul pada tahun penting bagi rezim Mesir yang
ditopang militer. Mubarak, yang berkuasa sejak 1981, sudah lama ditekan
untuk menyelenggarakan pemilihan presiden multi-kandidat untuk
pertama kalinya. Kemenangannya yaitu sebuah keputusan yang tidak
dapat dielakkan—dia dinyatakan sebagai pemenang dengan hampir 89
persen suara pada awal September 2005—namun pemilihan parlemen yang
akan datang, pada bulan November-Desember, kurang dapat diprediksi.
Ancaman terbesar datang dari kandidat yang terkait dengan organisasi
Bab 384
terlarang Ikhwanul Muslimin.23 Untuk mengalahkan mereka, negara
butuh kesempatan untuk menggambarkan dirinya sebagai “hampir sama
Islami-nya dengan oposisi yang paling Islam sekalipun,” ujar seorang
analis.24 Pemilu legislatif akan berlangsung hanya beberapa minggu lagi
saat pemerintah Mesir menerima kabar permohonan dukungan Akkari
ke kedutaan besarnya di Kopenhagen. Godaan untuk “menari” di atas
kasus kartun ini, sebagai simbol ketidakadilan, pasti amat kuat. “Menurut
saya, Mubarak sedang berusaha memakai kartun Denmark untuk
mempromosikan kredensial keislaman Mesir, dan menetralisasi kekuatan
Ikhwanul Muslimin untuk pemilu parlemen mendatang,” kenang seorang
diplomat Asia yang tinggal di Kairo pada waktu itu.25
Sementara itu, Akkari melanjutkan kampanyenya. Dia memimpin
delegasi ke Kairo, Damaskus, dan Beirut pada Desember 2005, untuk
menyosialisasikan kasus ini . Mereka membawa serta sebuah dokumen
setebal empat puluh tiga halaman, yang tidak hanya berisi dua belas kartun
yang bermasalah, tapi juga tiga gambar lain yang tidak jelas sumbernya.
“Saya siap menggerakkan seluruh dunia,” kata Akkari kemudian, “Saya
hanya terkejut bahwa gerakannya bakal secepat ini.”26
Dalam tiga bulan pertama setelah publikasi kartun, demonstrasi
dilakukan dengan damai dan secara sah memakai ruang demokrasi
dan diplomatik untuk menyatakan rasa kecewa dari para Muslim atas apa
yang dirasakannya sebagai imbas provokasi yang tidak adil. Kontroversi
ini memasuki fase buruk pada akhir Januari 2006, setelah saluran
televisi satelit Al-Jazeera dan Al-Arabiya yang berpengaruh meliput
ceritanya. Kemudian isu ini diangkat dalam khotbah Jumat di Mesir,
Arab Saudi, dan Irak. Laporan tentang perkembangan ini beredar heboh,
diwarnai rumor dan gambar palsu yang menunjukkan persekusi umat
Islam oleh Barat. Pada akhir Januari dan Februari 2006, kekerasan serius
terjadi di tiga benua, baik berupa tanggapan atas publikasi asli kartun di
koran Jyllands-Posten atau cetak ulang kartun oleh berbagai surat kabar
lain di Eropa—di antaranya Charlie Hebdo, yang menambahkan beberapa
kartun ke rangkaian yang sudah ada, sebagai bagian dari fitur sampul
depan sebanyak 16 halaman pada Februari 2006. Beberapa kedutaan besar
diserang di Indonesia, Iran, Lebanon, dan Suriah, dan protes memakan
korban jiwa di Afghanistan, Libya, dan Pakistan. Sekitar seratus orang
Nigeria terbunuh dalam kekerasan sektarian Muslim-Kristen yang terkait
dengan penerbitan kartun ini . Ekstremis mengancam dan menyerang
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 85
individu dan organisasi yang terlibat dalam publikasi kartun ini .
Memutuskan untuk Meledakkan
Pada puncak demonstrasi, di balik kemiripan beberapa ledakan emosi
yang spontan, ada bukti yang menunjukkan bahwa ada pilihan yang
dipertimbangkan dan ada keputusan yang akhirnya dibuat. Di Mesir, dua
pengkhotbah televisi populer secara terbuka memperdebatkan bagaimana
kontroversi kartun ini dihadapi. Amr Khaled memilih berdialog dengan
orang-orang Denmark; dia bahkan menyelenggarakan konferensi di
Kopenhagen. Tapi Youssef al-Qaradawi, seorang ulama konservatif yang
lebih senior, mencaci Khaled, dengan alasan bahwa ini bukan waktu
yang tepat untuk berdamai. Yang penting diperhatikan, al-Qaradawi
mengungkapkan posisinya bukan atas landasan tuntutan moral, namun
atas pertimbangan strategi politik: kemarahan yang diprovokasi oleh kartun
ini merupakan kesempatan untuk menyatukan dunia Muslim dan
menghadapi pihak lain dari posisi yang kuat.27 Inilah saat seorang aktivis
sadar betul akan potensi kartun ini sebagai “simbol ketidakadilan
transnasional”.
Kebanyakan pengamat pada saat itu merujuk pada larangan Islam
untuk menggambarkan Nabi sebagai penjelasan atas emosi kemarahan
umat Islam. Landasan kitab suci untuk posisi ini sendiri menarik, namun
hal itu tidak banyak membantu atau mencerahkan untuk keperluan kita
di sini. Jika larangan itu memang mutlak, tanpa ruang bagi interpretasi
dan tidak ada tempat bagi konteks, maka kita tidak akan pernah berharap
menemukan kartun itu diterbitkan kembali di media Muslim. Tapi bukan
itu yang terjadi. Pada 17 Oktober 2005, sebuah surat kabar Kairo, El-
Fagr, menerbitkan ulang enam kartun ini untuk melengkapi sebuah
artikel yang mengutuk orang-orang Denmark sebab penistaan mereka,
dan bagaimana mereka luput dari hukuman (walaupun koran ini
kemudian menghapus gambar dari situsnya).28 Selain itu, sebuah tabloid di
Saudi mencetak tiga kartun di tengah kehebohan itu pada Februari 2006,
sebagai ilustrasi mendampingi sebuah wawancara dengan seorang ulama
yang menyerukan pemboikotan terhadap Denmark. Meskipun pemerintah
Saudi segera menghentikan penerbitan koran itu, keputusan awal editor
ini mengingkari teori larangan mutlak, yang diinternalisasi oleh
semua pemeluk agama.
Bab 386
Di Indonesia, situs berita daring Rakyat Merdeka, bagian dari grup Jawa
Pos, menerbitkan kartun di atas dua kali pada Oktober 2005, bersamaan
dengan cerita tentang kontroversi ini . “Tidak ada yang peduli dengan
hal itu,” kenang editornya, Teguh Santosa.29 saat melakukan hal yang
sama pada Februari 2006, sekitar 300 orang anggota Front Pembela Islam
(FPI) garis keras mengepung kantornya. Setelah menerima pengaduan
masyarakat, pihak berwenang mendakwa Santosa dengan tuduhan
penistaan, meski tidak ada yang terjadi setelahnya. Santosa—yang
merupakan anggota terkemuka dari salah satu organisasi Muslim terbesar
di Indonesia, Muhammadiyah—merasa perlu menerbitkan kartun ini
untuk membantu menginformasikan ke pembaca tentang apa yang dia
sadari merupakan isu yang tengah memanas. Dia berhasil meyakinkan
umat garis keras soal kemurnian niatnya. Berkat kemampuan persuasifnya,
aktivis FPI yang datang ke kantornya dengan teriakan “Kafir! Kafir!”
menutup kunjungannya dengan seruan gembira, “Viva Rakyat Merdeka!”
sebab dia memilih untuk senantiasa menjaga saluran komunikasi dengan
kaum radikal, Santosa bahkan membicarakan keputusan editorialnya
dengan Abu Bakar Baasyir, pemimpin spiritual kelompok militan, Jemaah
Islamiyah, yang bertanggungjawab atas insiden terorisme terburuk di
Asia Tenggara. “Saat itu, dia baru saja keluar dari penjara. Kami bertemu
di sebuah masjid, dan saya mengatakan kepadanya apa yang telah saya
lakukan. Dia mengatakan, ini bukan penistaan Nabi atau agama. Apa yang
harus Anda tunjukkan di pengadilan yaitu bahwa Anda yaitu seorang
Muslim yang baik, itu saja,” begitu cerita Santosa pada saya.
Kasus-kasus semacam itu menunjukkan bahwa pendekatan filosofis
atas pidato ekstrem di masyarakat-masyarakat Muslim tidak berbeda dari
pendekatan yang ditempuh di negara-negara Barat sekular seperti yang
seringkali dikesankan. Seperti di Barat, masyarakat Muslim juga sungguh-
sungguh mempertimbangkan maksud penerbit dan konteks komunikasi,
sama seriusnya dengan pertimbangan atas isi dari ekspresi itu sendiri.
Pada gilirannya, hal ini membuka pintu bagi interpretasi dan negosiasi atas
makna. Tidak ada hubungan sebab-akibat yang mekanistik dan mutlak
antara ucapan provokatif, pelanggaran, dan pengambilan keputusan untuk
melakukan aksi kekerasan. Di tengah-tengahnya ada seorang perantara
seperti Abu Bakar Baasyir di Indonesia dan Youssef al-Qaradawi di Mesir,
yang memutuskan apakah perlu menekan tombol kepanikan moral atau
tidak. Para navigator terampil dalam medan kompleks ini, seperti Teguh
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 87
Santosa, tahu bahwa nasib mereka tidak hanya terletak pada Tuhan
dan hukum, tapi juga pada para perantara pelintiran kebencian, yang
menentukan insiden mana yang cocok untuk dieskalasikan lebih jauh.
Sedangkan terkait Ahmed Akkari, agen pelintiran kebencian yang telah
bekerja keras untuk mendorong satu kebijakan editorial yang abu-abu ke
dalam satu skandal global, dia berubah drastis, 180 derajat, pada 2013.
Dia menyatakan bahwa dia kini menghormati kebebasan yang dihargai
tinggi di Denmark dan meminta maaf kepada editor Flemming Rose,
seniman Kurt Westergaard, politisi Naser Khader, dan bangsa Denmark
secara keseluruhan.30
Video Innocence of Muslims
Sebagai salah satu contoh awal dari kekerasan ketersinggungan terhadap
konten daring, Innocence of Muslims yaitu sebuah kontroversi yang sudah
diperkirakan akan terjadi. Lebih dari satu dekade sudah berlalu sejak
Internet global mendesakkan jaringan padat rangkaian pertukaran, yang
bersifat cair dan terbuka, ke dalam satu peta dunia yang sebenarnya masih
disekat-sekat oleh cara hidup dan berpikir yang berbeda. Kontradiksi antara
komunikasi, yang bersifat tanpa batas, dan budaya, yang saling terikat,
menawarkan banyak potensi bagi pelintiran kebencian. Kasus-kasus yang
digambarkan sebelumnya sudah menunjukkan bagaimana globalisasi
memberi jalan bagi pelintiran kebencian transnasional, bahkan melalui
teknologi media yang lebih tradisional. Kehadiran Internet menciptakan
kesempatan-kesempatan baru bagi ketersinggungan.
Meskipun demikian, dalam banyak hal lainnya, kasus Innocence of
Muslims mengikuti pola yang sama seperti kasus novel The Satanic Verses
dan kartun Jyllands-Posten. Rilis awal video ini diikuti oleh jeda
waktu, baru kemudian menyusul suhu kontroversi yang melonjak, disertai
demonstrasi yang besar yang menggentingkan komitmen demokrasi
terhadap kebebasan berekspresi.
Innocence yaitu trailer untuk sebuah debut film panjang yang akan
keluar pada 2012 dan masih dalam masa pengerjaannya. Film ini diproduksi
oleh Nakoula Basseley Nakoula, seorang warga Amerika dari komunitas
Kristen Koptik Mesir. Dalam sebuah wawancara dengan New York Times,
dia mengatakan bahwa persekusi terhadap orang-orang Koptik di Mesir
menjadi pendorongnya membuat film ini .31 Versi awal naskahnya
Bab 388
ditulis dengan judul The First Terrorist. Video ini menggambarkan
Islam sebagai agama yang kejam dan menggambarkan Nabi Muhammad
sebagai seorang ambisius dan bodoh yang membenarkan pelecehan seksual
terhadap anak-anak. Karakter ini ditampilkan berhubungan seksual
dengan istri dan beberapa perempuan lain. Film ini menunjukkan bahwa
istrinya, Khadijah, memiliki peran penting dalam penciptaan Alquran.
Proyek ini didukung oleh Media for Christ, sebuah organisasi nirlaba.
Sutradara yang mereka pekerjakan memiliki koleksi karya yang terutama
terdiri dari film-film porno soft-core. Pembuatan film berlangsung di Los
Angeles selama lebih dari limabelas hari. Nakoula menipu para aktor untuk
berpartisipasi dalam film ini: naskah yang mereka kerjakan tidak ada
hubungannya dengan Islam; konon bercerita tentang seorang pemimpin
suku kuno bernama George. Produser kemudian mengisi sendiri suara
(dubbing) dialog terakhir di atas rekaman aslinya.
Anak Nakoula mengunggah video itu di Facebook dan YouTube pada
2 Juli 2012; para aktivis Amerika lain yang memiliki sejarah aktivisme
merendahkan Islam, termasuk Terry Jones, pengkhotbah Florida dan
aktor di balik kampanye “Hari Pembakaran Alquran Sedunia” pada 2010,
turut serta mempromosikan video itu.32 Media Arab memungutnya dua
bulan kemudian, pada September 2012, tepat pada peringatan serangan
teror 9/11. Kerusuhan segera terasa, dimulai di Kairo, saat sekitar 350
orang Mesir menyerang Kedutaan Besar AS pada 11 September. Saat itu,
asal-usul video ini masih belum jelas. Pada 12 September, Associated
Press melaporkan bahwa para investor Yahudi mendanai film ini .
Lembaga ini mengeluarkan koreksi dua hari kemudian, namun kala
itu mitos konspirasi Yahudi sudah kadung tersebar.33
Ada juga demonstrasi kekerasan di Dhaka (Bangladesh), Karachi
(Pakistan), dan Kabul (Afghanistan). Laporan awal menunjukkan bahwa
film ini memprovokasi serangan roket yang menewaskan seorang duta
besar AS dan lainnya di Benghazi pada 11 September. Kemudian diketahui
bahwa serangan militan telah direncanakan sebelumnya; pemrotes yang
diwawancarai di tempat kejadian perkara bahkan tidak tahu banyak soal
film ini .34 Namun demikian, serangan di Benghazi menambah kesan
bahwa film ini telah melampaui batas dan situasinya meliar tak
terkendali.
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 89
Pemerintah dan Google Merespon
Respon liberal yang sudah diduga atas rilis video Innocence dan buntut
kejadiannya menegaskan kembali pentingnya melindungi kebebasan
berpendapat dengan undang-undang sambil menekankan perlunya
menghormati agama. Pemerintah AS memang tidak menganggap remeh
emosi kemarahan kaum Muslim ketimbang yang dilakukan Denmark
sebelumnya. Para pejabat AS mungkin sudah banyak belajar dari kesalahan
Denmark. Tapi yang lebih tepat yaitu bahwa AS sangat bergantung pada
kerja sama dengan negara-negara Muslim untuk kepentingan militer dan
operasi kontra-terorisme-nya. Pada 2010, misalnya, menghadapi ancaman
kampanye pembakaran Alquran oleh Terry Jones, Presiden Barack Obama
muncul di program Good Morning America, milik jaringan televisi ABC,
untuk mengatakan bahwa “aksi” pendeta itu “benar-benar bertentangan
dengan nilai-nilai kita” dan merupakan sebuah “tindakan destruktif ”
yang bisa “sangat membahayakan pemuda-pemudi yang tengah bertugas
di medan konflik.”35
Kontroversi video Innocence memaksa Obama untuk mengambil
langkah-langkah “kontrol-kerusakan” sekali lagi. Pemerintahannya
mengambil langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yakni
memproduksi iklan komersial televisi yang dibintangi presiden dan
Sekretaris Negara Hillary Clinton, untuk “menolak” video produksi swasta
ini .36 Video tandingan dari pemerintah AS ini juga disiarkan di televisi
Pakistan. Pemerintah AS, juga Australia dan Mesir, meminta Google
untuk memeriksa apakah video ini melanggar pedoman konten
perusahaannya. Mengingat bahwa kontroversi antarnegara hampir pasti
bakal mendorong satu perusahaan untuk meninjau video terkait walaupun
tanpa permintaan pemerintah, permintaan pejabat AS itu mungkin bersifat
simbolis saja, untuk melepaskan negara dari ikut bertanggungjawab atas
tindakan beberapa warganegaranya.
Google memutuskan bahwa Innocence tidak melanggar Pedoman
Komunitas YouTube soal ujaran yang menyinggung, yang secara luas
sejalan dengan posisi liberal dalam kebebasan berekspresi, melarang
serangan terhadap manusia yang hidup tapi bukan pada sistem-sistem
kepercayaan. “Kami mendorong kebebasan berbicara dan membela hak
setiap orang mengekspresikan sudut pandang yang tidak populer. Tapi kami
tidak mengizinkan perkataan yang mendorong kebencian (ujaran yang
Bab 390
menyerang atau menghancurkan kelompok berdasarkan ras atau etnis,
agama, disabilitas, jenis kelamin, usia, status veteran, dan orientasi seksual/
identitas gender).”37 Namun demikian, Google tetap mengambil langkah
drastis secara sepihak dengan membatasi video itu dari akses pemirsa
Mesir dan Libya, “disebab kan situasi yang rumit.”38 Langkah ini sejak
saat itu dipandang sebagai langkah tidak biasa, dan tidak mencerminkan
kebijakan YouTube. Manajemen tertinggi perusahaan tampaknya membuat
keputusan itu dalam keadaan panik, menafikan saran-saran rekan kerja
lain yang memperingatkan agar tidak menetapkan preseden semacam itu.
Tindakan Google di delapan negara lain lebih sesuai dengan
protokolnya. Sebagai tanggapan atas permintaan pemerintah—bukannya
memutuskan secara sepihak—YouTube memblokir video ini dari
pemirsa di Indonesia, India, Yordania, Malaysia, Rusia, Arab Saudi,
Singapura, dan Turki. Di tiga negara lain—Afghanistan, Bangladesh, dan
Pakistan—pemerintah bahkan menyasar saklar utamanya, memblokir
keseluruhan akses warganegara ke platform YouTube.
Di semua negara ini, kaum Muslim merupakan populasi mayoritas
atau kelompok minoritas yang memiliki peran penting secara politis.
Tanggapan pemerintah mereka sesuai dengan narasi penghinaan agama
yang efek peradangannya hanya bisa dibendung lewat penyensoran.
Namun, penelusuran yang lebih teliti dan seksama menunjukkan bahwa
ini mungkin bukanlah motivasi utama pemerintah dalam setiap kasus.
Di Bangladesh, kata Faheem Hussain, seorang sarjana Bangladesh yang
meneliti teknologi dan masyarakat, pemerintah sudah gatal hendak
menindak YouTube, yang sering dimanfaatkan untuk mengedarkan laporan
tentang isu-isu politik sensitif soal kejahatan perang.39 Situasi serupa
terjadi di Pakistan: video YouTube telah mengekspos perilaku tidak patut
para politisi dan liputan pelanggaran HAM oleh tentara, kata Nighat Dad,
Direktur Digital Rights Foundation. Video warga tentang pembunuhan di
luar proses hukum (extra-judicial killing) dan penyiksaan di Balochistan,
misalnya, telah berkontribusi pada keputusan pemerintah AS untuk
menyetop pendanaan bagi unit-unit Pakistan yang terlibat.
Tanggapan Singapura menunjukkan dampak hubungan internasional
terhadap keputusan untuk menyensor. Dengan populasi Muslim sekitar
15 persen, pemerintah awalnya menanggapi kontroversi ini dengan
percaya diri bahwa masyarakat akan bisa mencernanya dengan kepala
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 91
dingin. “Saya yakin bahwa masyarakat Singapura bakal bereaksi atas film
ini secara rasional dan dengan kepala dingin seperti yang telah mereka
lakukan sebelum-sebelumnya,” kata Teo Chee Hean, wakil perdana menteri
dan pejabat tinggi bidang keamanan, pada 14 September.40 Hari berikutnya,
Perdana Menteri Lee Hsien Loong, terus mempertahankan kebijakan
mengambil jarak ini. “Tidak masalah apa yang terjadi di tempat-tempat
lain di dunia ini,” katanya. “Ini bukan pertengkaran kami dan kami harus
terus hidup damai, harmonis bersama, di antara kami dan memelihara serta
melestarikan keharmonisan ini.”41 Tapi, pada 19 September, pemerintah
mengumumkan bahwa mereka meminta Google untuk memblokir
akses daring ke video ini : “Sirkulasi lanjutan film ini cenderung
menyebabkan ketidakharmonisan atau rasa ketidaknyamanan di antara
berbagai kelompok di Singapura.”42
Sikap balik arah ini, meskipun seolah-olah menanggapi ancaman
keamanan internal, mungkin dilakukan untuk menjaga kedekatan
Singapura dengan dua negara tetangganya, Indonesia dan Malaysia. Ini
bukan pertama kalinya Singapura mengekspresikan solidaritas semacam
itu. Pada 2002, Singapura melarang masuknya film komedi Hollywood
Zoolander dengan alasan “mengandung unsur-unsur kontroversial”—
hampir dipastikan sebab film ini bercerita tentang sebuah konspirasi
pembunuhan atas Perdana Menteri Malaysia fiktif, yang telah lebih dahulu
dicekal di negeri-negeri jiran.43 Atau, mungkin Singapura merasa bahwa
waktunya telah tiba untuk mengambil sikap simbolis menentang doktrin
liberal Barat. Apapun alasan keputusan Singapura, hal itu kemungkinan
besar tidak didasarkan atas penilaian tentang risiko gangguan publik
semata. Pasalnya, sudah seminggu penuh kontroversi video itu berlangsung,
tanpa ada gangguan berarti di Singapura.
Para Pembangkit Ketersinggungan
Argumen ketertiban umum untuk membenarkan aksi negara mendapat
dukungan dari beberapa pengamat di Barat. Eric Posner, profesor pada
Chicago Law School, sambil mengkritisi cara Amandemen Pertama
diterapkan, berpendapat bahwa pada faktanya mungkin ada situasi
saat pemerintah AS harus campur tangan, “dalam semangat kehati-
hatian,” saat terjadi krisis-krisis dalam hubungan luar negeri, seperti
insiden video Innocence.44 Tapi terlalu simplistik untuk menyimpulkan
Bab 392
bahwa hanya kepekaan budaya yang lebih tinggi dan undang-undang
ujaran kebencian yang lebih ketat dapat mengatasi tantangan yang
ditimbulkan oleh video seperti Innocence. Resep-resep kebijakan
semacam itu didasarkan atas pembacaan kasus yang tidak menyeluruh,
yang berfokus hanya pada pihak penyinggung (pelaku penistaan) dan
tanpa mencermati strategi ketersinggungan yang melibatkan rekayasa.
Seperti tampak pada kasus-kasus yang telah dibahas di atas, rekayasa
ketersinggungan membutuhkan pihak penyebar dan makelar yang
secara aktif menjelmakan video yang tidak jelas juntrungannya menjadi
penyebab merebaknya peristiwa internasional yang menghebohkan.
Laporan-laporan awal menunjuk kepada Sheikh Khaled Abdullah
sebagai pihak yang bersalah, seorang presenter di saluran TV satelit
keagamaan yang berpengaruh, al-Nas. Jaringan satelit milik negara
Mesir, NileSat, membawa stasiun milik Saudi. Sheikh Khaled memiliki
rekam jejak sebagai presenter yang suka menggambarkan AS sebagai
agresor anti-Islam dan menyerang komunitas Kristen Koptik Mesir.45
Pada 8 September, programnya menyiarkan klip video Innocence dengan
isian suara (dubbing) berbahasa Arab. Segmen ini segera menyebar secara
daring. Namun, program Sheikh Khaled bukanlah organisasi media
pertama yang mempublikasikan keberadaan video Innocence. Menurut
sebuah laporan investigasi dalam Columbia Journalism Review oleh Emad
Mekay, video ini pertama kali dilaporkan di Mesir pada 6 September,
oleh media sekular yang dikendalikan oleh pendukung rezim Mubarak
lama.46 Laporan-laporan ini dimuat di koran Youm7 dan El-Fagr,
dengan koran kedua mendapat gelar “kehormatan” sebagai koran pertama
yang menerbitkan ulang kartun Jyllands-Posten yang “termasyhur” itu.
Para editor di kedua koran ini tampaknya didorong oleh keinginan
untuk mendiskreditkan kelompok Islam di pemerintahan yang baru.
Youm7 tampak sangat ingin memperkeruh suasana dengan menerbitkan
liputan panjangnya pada 8 September.
Kanal-kanal pro-Mubarak lainnya segera menindaklanjuti. Bahkan
satu situs milik seorang kaya Mesir, yang berasal dari komunitas Kristen
Koptik, dan yang saudara-saudaranya di Amerika berada di belakang
produksi Innocence, menerbitkan artikel-artikel yang menggoda kelompok
Islam yang diam seribu bahasa menghadapi penghinaan ini . Sebuah
surat kabar liberal yang biasanya mewakili orang-orang Kristen Mesir,
Wafd, memprovokasi para Islamis dengan tajuk utama, “Ikhwanul
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 93
Muslimin Mengecewakan Nabinya.” Sementara campuran sentimen anti-
AS dan emosi keagamaan membantu memastikan nilai video ini
sebagai simbol ketidakadilan internasional, hasil forensik yang terperinci
mengungkapkan bahwa mereka yang paling banyak menyokong narasi
ini dimotivasi terutama oleh kepentingan politik dalam negeri.
Meregulasi Perantara Internet
Kasus Innocence membangkitkan sensasi déjà vu, sebab dinamika
itu menyerupai sejumlah kontroversi internasional sebelumnya yang
melibatkan penghinaan agama. Ini juga membayang-bayangi peristiwa
Charlie Hebdo pada 2015. Namun, dalam satu hal, Innocence mewakili satu
terobosan besar. Perdebatan kebijakan yang mengiringinya berpusat pada
satu jenis pemain baru—perantara Internet global. Perantara yaitu entitas
yang “menawarkan fasilitas dan layanan membantu orang mengakses,
mentransmisikan, menjadi tuan rumah, menyimpan, menyembunyikan,
mengindeks, dan menemukan informasi di Internet.”47 Selain berlaku
sebagai penyedia layanan Internet, mereka juga termasuk mesin pencari,
situs berbagi video, platform blogging, dan situs media sosial. Perantara
Internet tidak menciptakan konten yang menarik ratusan juta pengguna
ke depan layar monitor setiap hari—pesan, berita, video rumahan, selfie,
lagu, permainan, komentar, atau item untuk dijual. Tapi tanpa perantara,
Internet akan menjadi ruang rekreasi tak populer khusus bagi para geek
dan tempat hidup para organisasi yang memiliki waktu dan uang untuk
berenang menyelami lautan data; ilmuwan Clifford Stoll bisa jadi benar
saat mencemooh kegandrungan pada teknologi di kolom Newsweek tahun
1995 yang berjudul, “Internet? Bah!”48
Pada tahun-tahun awal World Wide Web, teknologi sangat
terdesentralisasi, menciptakan persepsi bahwa hampir tidak mungkin
untuk mengaturnya. Seiring pertumbuhannya, penyedia layanan
Internet menjadi lebih padat modal dan tunduk pada skala ekonomi,
sehingga sektor yang sangat terkonsentrasi lebih mudah disasar oleh para
pembuat peraturan.49 Dan sasaran utama dari semuanya yaitu Google.
“Rahasianya sudah diketahui: jika Anda bisa mengatur Google, Anda
bisa mengatur Internet,” catat Uta Kohl dari Aberystwyth University.50
Google mulai sebagai mesin pencari yang sangat kuat mempengaruhi
pengalaman semua pengguna Internet. Ini berkembang menjadi merek
Bab 394
unit, dengan ambisi tak terbatas: “mengatur informasi dunia dan
membuatnya dapat diakses dan berguna secara universal.”51 Sedini awal
2003, Thomas Friedman dari New York Times bertanya, “Apakah Google
Tuhan?”52 Google membeli YouTube pada 2006. Pada 2010, Google
dijuluki sebagai perusahaan paling kuat di dunia dan mendapat perhatian
dari kelompok-kelompok pengawas khusus.53
Bahkan setelah kegandrungannya mereda, jelas bahwa pelintiran
kebencian transnasional menjadi lebih menarik—dan kompleks—saat
disokong oleh Internet. Masalah utamanya yaitu standar yang harus
dimiliki oleh perantara Internet global seperti Google. Pertanyaannya juga
memiliki dimensi praktis: apakah secara teknis mungkin bagi pemerintah,
atau bahkan perantara sendiri, untuk menyaring derasnya aliran konten
daring?
Yahoo! dan Memorabilia Nazi
Mengingat peran penting perantara sudah jelas, tanggung jawab mereka
menjadi subyek perdebatan kebijakan. Pada 2000, sebuah kasus pengadilan
tinggi di Prancis melibatkan Yahoo!, pendahulu Google sebagai perusahaan
Internet paling populer di dunia. Pembeli dan penjual memakai situs
lelang online Yahoo! untuk saling bertukar memorabilia Nazi, mulai dari
bendera dan seragam hingga bantalan mouse dan bantal. Meskipun pihak
berwenang mungkin bisa mengadili Yahoo! di bawah KUHP Prancis,
yang melarang menampilkan barang-barang Nazi, mereka memilih untuk
tidak melakukannya. Sebagai gantinya, dua organisasi masyarakat sipil
menindaklanjuti masalah ini dengan gugatan sipil.
Perusahaan melayangkan beberapa argumen dalam pembelaannya,
namun tidak ada satu pun di antaranya yang berhasil meyakinkan
pengadilan Prancis.54 Pertama, Yahoo! mengklaim bahwa hakim Prancis
tidak memiliki yurisdiksi atas perusahaan Amerika ini . Hakim
menolak ini, sebab perusahaan ini memiliki saham 70 persen
di anak perusahaan Prancis, bahwa perusahaan ini menerbitkan
iklan berbahasa Prancis dan yang menargetkan pemirsa Prancis, dan
barang-barang yang diiklankan di situs lelangnya dapat dibeli di Prancis.
Kedua, Yahoo! berpendapat bahwa ia hanyalah saluran pasif dan tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban atas konten yang ditempatkan di
situsnya. Tapi Yahoo! didapati telah memantau dan mengedit bagian
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 95
dari situs lelangnya, yang mengingkari klaimnya sendiri yang katanya
tidak lebih dari operator biasa, seperti perusahaan telepon. Ketiga,
Yahoo! mencoba merujuk kepada Amandemen Pertama. Perusahaan
ini berkilah bahwa Konstitusi AS mencegah bentuk penyensoran
atas apa yang dapat dilihat pemirsa, dan bahwa Nazisme dan rasisme
paling baik dipertandingkan di pasar bebas pertarungan gagasan. sebab
Amandemen Pertama hanya mengacu kepada pembatasan oleh otoritas
publik dan bukan individu atau pemilik media, namun sebab Yahoo!
sudah memasang berbagai pelarangan di situs pelelangannya—termasuk
pelarangan perdagangan hewan hidup, narkoba, senjata, dan bahkan
pakaian dalam bekas—argumen ini tidak terlalu meyakinkan. Akhirnya,
setelah pengadilan Prancis memerintahkan Yahoo! mengambil langkah-
langkah pencegahan agar pengguna di Prancis tidak lagi mengakses
barang dagangan Nazi di situs lelangnya, perusahaan ini berpendapat
bahwa langkah ini akan sangat mahal harganya. Hakim bersikeras,
meminta Yahoo! untuk patuh pada “kesepakatan yang masuk akal” dalam
waktu tiga bulan.
Keputusan Prancis ini membantu menyusun prinsip bahwa,
“sementara Internet memungkinkan para aktor untuk menjangkau
audiens yang tersebar secara geografis, Internet tidak boleh mengubah
pertanggungjawaban aktor-aktor ini atas tindakan mereka di
dalam batas-batas nasional,” seperti yang dikatakan Joel Reidenberg,
seorang sarjana hukum.55 Ini juga merupakan satu langkah lebih dekat
untuk memaksa “para elite di bidang teknis untuk menghormati nilai-
nilai yang dipilih secara demokratis dan supremasi hukum.”56 Keputusan
pengadilan dapat dilihat sebagai sebuah penyangkalan, dari dalam dunia
moral demokrasi Barat, atas “Deklarasi Kemerdekaan Ruang Siber” oleh
John Perry Barlow pada 1996.57 Keputusan ini menegaskan kembali
pengertian tradisional tentang yurisdiksi era Internet. Perkembangan
teknis di tahun-tahun berikutnya menunjukkan bahwa perantara
Internet memang bisa menerapkan penyaringan geografis konten online
yang cukup efektif.58
Namun, dalam satu hal, Yahoo! terbukti benar: pembatasan ini
tidak sesuai dengan pembacaan pengadilan-pengadilan AS atas
Amandemen Pertama. Untuk menetapkan hal ini, perusahaan ini
menuntut penggugat Prancis di California. Yahoo! mendapat apa yang
diinginkannya: sebuah pernyataan pengadilan bahwa keputusan Prancis
Bab 396
tidak diakui di AS. Menariknya, beberapa bulan sebelum tindakan ini, pada
Januari 2001, Yahoo! secara sepihak melarang penjualan memorabilia Nazi
di situs-situs pelelangannya di AS, seraya menekankan bahwa keputusan
ini bukan hasil dari tekanan perintah pengadilan mana pun. Perusahaan
berharap dapat menunjukkan bahwa mereka akan menantang aksi
pembatasan hukum yang tidak masuk akal, dengan segala kemampuan
mereka, namun mereka juga bersedia menjalankan tanggung jawab sosial
mereka secara sukarela. Di AS, Yahoo! sudah berada di bawah tekanan dari
organisasi-organisasi anti-kebencian seperti Simon Wiesenthal Center dan
Anti-Defamation League.59
Prinsip-prinsip Pengaturan
Dalam beberapa hal, masalah yang diangkat oleh perantara Internet
secara konseptual sama dengan apa yang mempengaruhi perusahaan
transnasional lain, yang berselancar di dunia dengan standar-standar
lingkungan dan peraturan mengenai korupsi yang beragam. Garis paralel
juga dapat ditarik ke peraturan penerbangan internasional, yang memiliki
kepentingan sama dalam memfasilitasi pengiriman lintas-batas yang
aman. Namun, kebijakan mengenai perantara Internet tidak dapat disusun
berdasarkan model-model yang sudah ada untuk sektor-sektor yang lebih
mapan ini.
Pertama, tidak mungkin dibentuk badan pembuat regulasi global
untuk konten Internet seperti Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(ICAO) sebab , pertama-tama, tidak ada kesepakatan mengenai apa arti
“keamanan” dalam komunikasi melalui Internet. Berdasarkan uji ilmiah,
ICAO sejak 2015 telah melarang pengangkutan baterai logam lithium
yang dikemas sendiri sebagai kargo pada pesawat terbang komersial.60
Sebaliknya, tidak ada cara yang disepakati untuk menentukan apa
yang dianggap sebagai konten daring yang sifatnya meledak-ledak atau
memanas-manasi, dan apa yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal
itu. Kedua, bisnis perantara Internet berbeda dari kebanyakan kegiatan
internasional lainnya sebab melibatkan hak kebebasan berekspresi para
penggunanya. Dalam laporan tahun 2011 kepada Majelis Umum PBB,
Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi Frank La Rue mencatat
bahwa meskipun akses Internet “belum menjadi HAM seperti yang lain-
lainnya”—mengimplikasikan bahwa hal itu sangat mungkin suatu hari
Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 97
nanti—Internet diperlakukan sebagai salah satu sarana yang diperlukan
dalam pelaksanaan kebebasan berpendapat. Mengingat bahwa itu
sudah merupakan “alat yang sangat diperlukan untuk partisipasi penuh
dalam kehidupan politik, budaya, sosial dan ekonomi,” negara memiliki
kewajiban untuk membuat Internet tersedia secara luas dan mudah
diakses.61
Seperti HAM lainnya, kebebasan berekspresi pada prinsipnya
melampaui hukum yang berlaku di mana seseorang berstatus warganegara.
Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan pada 1948,
menandai sebuah terobosan konseptual dalam hukum internasional
dan wacana etis global: ia menantang gagasan tradisional bahwa
sistem internasional hanya dapat menangani negara-negara berdaulat.
DUHAM justru menekankan keunggulan individu. Kehendak negara
tidak seharusnya mengalahkan kebebasan warganegara untuk “memiliki
pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima, dan
menyampaikan informasi serta gagasan melalui media apa pun, terlepas
dari batas-batas wilayahnya,” seperti yang dikatakan DUHAM. Dalam
praktiknya, sistem internasional memiliki kekuatan yang sangat terbatas
untuk campur tangan demi menegakkan HAM dalam urusan dalam
negeri, bahkan saat jutaan nyawa dipertaruhkan, seperti dalam
genosida di Suriah saat ini atau genosida