Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 4

 



lusuri niat sejati para pendiri 

kepercayaan, atau keyakinan mendalam dari umat yang beriman. Ini jalan 

buntu dalam mencoba menjelaskan pelintiran kebencian. Ungkapan bahwa 

agama yaitu  apa pun yang bersifat “inheren”, atau bawaan, telah gagal 

dalam memahami peran penafsiran manusia yang tak terhindarkan dalam 

beragama. Sebagai gantinya, sambil menerapkan berbagai tilikan dari 

studi-studi tentang aksi kolektif, saya akan melihat agama sebagai sumber 

daya yang bisa dibentuk menjadi apa saja di tangan pengusaha politik. Dari 

perspektif kebijakan, mengatur keyakinan agama dari tiap-tiap individu 

yaitu  pekerjaan yang tidak perlu dan tidak menarik. Yang penting yaitu  

bagaimana pemeluk agama ini  bertindak. Uji demokrasi mudah 

dilakukan: apakah seseorang mengejar nilai dan minat mereka dengan 

cara yang menghormati hak-hak dasar orang lain. Seperti yang bab ini 

tunjukkan, agen pelintiran kebencian tidak lulus dalam ujian ini.***

Pada 1 Juli 2012, film dokumenter berdurasi 14 menit, Innocence of Muslims, 

memulai debutnya di platform berbagi video paling populer sedunia. 

Film itu yaitu  setitik air di tengah samudera YouTube, kira-kira 0,00025 

persen dari keseluruhan konten yang terunggah di jaringan daringnya 

dalam sehari saja.1 Tanpa daya tarik yang jelas, Innocence of Muslims tidak 

pernah disangka akan menjadi fenomena viral layaknya sensasi “Gangnam 

Style” dari artis Korea Psy, yang dirilis pada bulan yang sama. Lepas dari 

itu, reaksi global terhadap film itu—sebagian besarnya dari orang-orang 

yang tidak pernah melihatnya langsung—menegaskan tempatnya yang 

penting dalam diskusi soal penghinaan agama abad ke-21.

Tidak diragukan lagi, film ini yaitu  serangan sengaja terhadap Islam. 

Tapi efektivitasnya sebagai propaganda kebencian patut diragukan. Kualitas 

produksinya yang buruk, kasar dan dilebih-lebihkan, tidak mungkin 

akan memengaruhi sikap para pemirsanya terhadap satu agama dan para 

penganutnya. Lepas dari itu, orang-orang tertentu dalam masyarakat 

Muslim memandang film itu sebagai sesuatu yang menyerang Islam dan 

mendorong komunitas mereka untuk mengungkapkan kemarahan dengan 

lantang dan keras. Begitu terkenalnya pola itu sehingga para pejabat 

Amerika Serikat (AS) juga menyalahkan video itu, sebab  provokasi yang 

ditimbulkannya mengakibatkan terjadinya serangan mematikan atas 

kompleks diplomatik AS di Benghazi, Libya, pada 11 September 2012. 

Insiden Benghazi ternyata suatu serangan militer yang tidak ada sangkut 

pautnya dengan video di atas. Kendati demikian, di berbagai lokasi lainnya, 

75 orang tewas dalam kerusuhan yang dipicu oleh film ini . sebab nya, 

Innocence of Muslims yaitu  gambaran pola dasar kasus pelintiran 

kebencian lintas-batas. Video ini  juga merupakan peristiwa penting 

dalam tata kelola Internet: kontroversi ini menghasilkan permintaan tak 

terhitung agar konten ini  ditarik dari jejaring daring. Beberapa negara 

bahkan memblokir total akses warganegaranya ke platform YouTube. 

Perdagangan lintas-batas dalam ideologi kebencian sekarang masuk 

dalam radar pakar keamanan internasional dan kini menghasilkan banyak 

ketertarikan para sarjana komunikasi. Sebagian besar diskusi berpusat 

pada ujaran kebencian klasik—propaganda yang memicu kekerasan. 

Swaradikalisasi teroris jihadis yang didukung oleh Internet mendominasi 

agenda.2 Internet tidak memulai aliran global ini, dan masih belum bisa 

dibilang mendominasinya. Seperti yang anggota Senat AS nyatakan, 

“Bahan-bahan cetak, rekaman video aktivitas teroris, termasuk operasi dan 

pelatihan, serta rekaman khotbah dan pidato yang mendukung kebenaran 

ideologi Islam keras, telah terdistribusikan dan terjual di seluruh dunia 

selama berdekade-dekade lamanya.”3

Propaganda lintas-batas juga telah mempengaruhi komunitas-

komunitas etnik lain. Salah satu contoh yang mengerikan ditemukan 

dalam manifesto pembunuhan massal di Norwegia oleh Anders Behring 

Breivik, yang menghabisi nyawa 77 orang dalam satu hari pada musim 

panas 2011, di tengah protes melawan toleransi negaranya terhadap kaum 

Muslim dan imigran lainnya. Dokumen yang disusunnya bersama, 2083: 

A European Declaration of Independence, dengan bebas mengutip para 

produsen kesalahan informasi atas Muslim terkemuka di AS. Jumlah 

kutipan mereka tentu akan membuat jaringan Islamofobia AS bangga, 

seandainya itu sebuah departemen dalam universitas. Robert Spencer, 

dan blog Jihad Watch miliknya, dikutip sebanyak 162 kali; Daniel Pipe, 

dan Middle East Forum, 18 kali; Frank Gaffney, dan Center for Security 

Policy kepunyaannya, tujuh kali.4 Daya tarik ideologisnya tampak saling 

menguntungkan: Pamela Geller, yang dikutip sebanyak 12 kali dalam 

dokumen Breivik, kemudian menyatakan bahwa kamp pemuda yang 

menjadi target penembak yaitu  “pusat pelatihan indoktrinasi” anti-Israel.5

Dalam bab ini saya fokus pada aspek pelintiran kebencian lintas-batas 

yang lebih jarang dipelajari daripada hasutan, yaitu ketersinggungan hasil 

dari rekayasa (manufactured offendedness). Kompleksitas yang nyata sudah 

muncul dalam proses meregulasi ujaran yang menyinggung populasi 

lintas-batas nasional. Pertanyaannya yaitu  undang-undang siapa dan 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 77

norma sosial mana yang harus bertahan. sebab  perbedaan budaya, 

populasi nasional yang berbeda akan memaknai pesan dan simbol dengan 

cara berbeda pula. Ambillah, sebagai contoh, ruang-ruang Buddha Bar 

yang ciamik dan telah menyebar dari Paris ke beberapa kota di Eropa 

dan Timur Tengah. Patung Buddha raksasa menegaskan eksistensi bar-

bar “eksotis” ini . Meskipun diduga terinspirasi oleh kecintaan pada 

budaya wilayah Asia-Pasifik, Manila, yang mayoritas penduduknya Kristen, 

yaitu  satu-satunya kota di belahan dunia itu di mana Buddha Bar bisa 

ditemukan. Waralaba macam itu mungkin tidak akan berhasil di negara-

negara dengan populasi mayoritas Buddha, di mana penduduknya akan 

kesulitan mendamaikan pemahaman mereka akan pesan-pesan Buddha 

agar kita hidup sederhana dengan gelontoran bir tiada henti serta makan-

makan enak sepuasnya di hari Minggu. Di Indonesia—di mana populasi 

umat Buddha-nya hanya berkisar satu persen, tapi agama itu sendiri diakui 

sebagai salah satu agama resmi negara—waralaba semacam itu dengan 

cepat memancing reaksi oposisi dan berujung pada penutupannya. Pada 

2015, di Myanmar, di mana agama Buddha menjadi agama mayoritas 

penduduk, tiga pengusaha—yang terbukti merintis konsep Buddha 

Bar yang bertujuan menarik turis dari Barat—dipenjarakan sebab  

unggahan Facebook mereka yang menunjukkan patung Buddha sedang 

memakai  telepon genggam dan mengiklankan sisha serta “Bottomless 

Frozen Mararita” di pub mereka.6

Konflik-konflik di antara berbagai pengertian tentang kepatutan 

semacam itu tidak dapat dihindari. “Di dunia modern lanjut kita ini, 

kelainan mereka yang asing selalu mondar-mandir di depan mata: 

di ruang-ruang publik yang nyata, di realitas yang dibayangkan dan 

dikomunikasikan dalam tempat-tempat yang termediasi,” ujar mendiang 

sarjana media Roger Silverstone. “Ada perdebatan besar muncul mengenai 

bagaimana dunia baru ini dapat, dan seharusnya, dihidupi.”7 Agen pelintiran 

kebencian telah mengeksploitasi friksi-friksi ini  sebagai kesempatan 

memproduksi ketersinggungan lintas-batas. Untuk memahami fenomena 

ini, saya menelaah tiga kasus luar biasa dari kemarahan transnasional yang 

dipolitisasi: novel Salman Rushdie yang memperoleh banyak penghargaan, 

The Satanic Verses, kartun Nabi Muhammad yang dipublikasikan koran 

Denmark Jyllands-Posten, dan video YouTube Innocence of Muslims. sebab  

penghinaan di dunia daring telah menjadi bagian kunci dalam cerita ini, 

saya akan juga melihat peran Google dan perantara Internet lainnya, yang 

secara teratur menghadapi masalah hukum dan norma sosial yang timpang.

The Satanic Verses Karya Salman Rushdie

Ketersinggungan keagamaan lintas-batas telah ada sebelum Internet sendiri 

ditemukan—untuk mendorongnya berlangsung lebih jauh lagi. Diterbitkan 

dalam bahasa Yunani pada 1953 dan dalam bahasa Inggris pada 1960, The 

Last Temptation of Christ disambut dengan badai protes transnasional. 

Novel garapan Nikos Kazantzakis itu menggambarkan Yesus Kristus sebagai 

yang ilahi, namun selalu didera siksa dari keraguan dan kerinduan manusia, 

yang pada akhirnya berhasil dilaluinya.  Eksperimentasi Kazantzakis cerita-

cerita biblikal telah membangkitkan kemarahan kalangan konservatif 

agama. Dia dikucilkan oleh Gereja Ortodoks Timur dan bukunya 

dimasukkan ke dalam Index of Forbidden Books yang disusun Gereja 

Katolik.8 Kontroversi yang lebih besar mengiringinya saat  sutradara 

terkenal Hollywood, Martin Scorsese, menuangkan kisah ini  dalam 

sebuah film pada 1988. Tetapi semua ini bukanlah apa-apa dibandingkan 

dengan kemarahan yang diakibatkan oleh penerbitan karya sastra lain 

pada tahun yang sama. 

Karya itu yaitu  The Satanic Verses karangan Salman Rushdie. 

Mengambil tempat di India dan Inggris kontemporer, tema utama novel 

itu yaitu  ketegangan dalam pengalaman poskolonial antara identitas 

migran dan nasional.9 Ditulis dalam gaya realisme magis ala Rushdie, 

novel ini terdiri dari sekuensi mimpi, yang salah satunya menceritakan 

kehidupan Mahound “Sang Utusan”, yang dengan jelas memakai  

Nabi Muhammad sebagai referensi. Sang Utusan mengartikulasikan 

ide-ide politeistik, tetapi kemudian menariknya kembali seolah-olah dia 

habis kerasukan setan. Satu dari sahabat-sahabatnya mengaku sudah 

mengubah beberapa bagian dari teks suci yang didiktekan kepadanya. 

Para kritikus tidak bersepakat mengenai apakah konten ini  benar-

benar sebuah bentuk penistaan. Pengacara Rushdie, Geoffrey Robertson, 

telah menunjukkan bahwa pihak penuntut swasta gagal menjadikan ini 

sebuah kasus, bahkan saat  undang-undang penistaan ada di Inggris. 

Enam tuntutan penistaan masing-masing “didasarkan pada kesalahan 

pembacaan atau kesalahan teologis.” Contohnya, meskipun Rushdie 

diserang sebab  menyebut Nabi seorang “ahli sihir”, “pesulap”, dan “nabi 

palsu”, julukan ini ditempatkan di mulut “seorang murtad pemabuk, sebuah 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 79

karakter yang penulis maupun pembacanya tidak bakal menaruh simpati 

padanya.”10 Sekuens mimpi yang terpisah menampilkan pemimpin alim 

yang fanatik, mengingatkan pembaca kepada Ayatullah Khomeini-nya Iran 

dalam pengasingannya di Paris. Sementara Rushdie tidak pernah secara 

khusus membantah bahwa novelnya bukan bermaksud memprovokasi, dia 

bersikeras bahwa targetnya bukan agama atau apa pun yang menyangkut 

itu, tetapi kemunafikan sebagian para penganutnya. 

Viking Penguin menerbitkan novel itu pada September 1988. sebab  

Rushdie sudah merupakan salah satu novelis paling terkenal di dunia, 

bukunya itu dengan cepat mendapat perhatian global. Di negara asalnya, 

India, pemerintah melarang penjualan dan distribusi buku ini dalam waktu 

dua minggu setelah diluncurkan. Buku ini memenangkan penghargaan 

bergengsi Whitbread pada awal November sehingga menegaskan kembali 

rasa ketidakberdayaan yang dirasakan beberapa kelompok Muslim serta 

menguatkan keinginan mereka untuk melawan penghinaan ini . 

Pada Januari 1989, penduduk Muslim di Bradford, Inggris, membakar 

salinan buku ini . Sebulan kemudian, enam orang tewas dalam 

demonstrasi berdarah di Pakistan. Namun, Ayatullah Khomeini yaitu  

pihak yang mengeskalasi konflik menjadi benturan nilai berskala global. 

Pada 14 Februari 1989, dia mengeluarkan fatwa menghebohkan, menuntut 

kematian Rushdie dan editornya. “Saya berseru kepada semua Muslim 

yang taat agar mengeksekusi mereka secepatnya, di mana pun mereka 

menemukan keduanya, sehingga tidak ada yang berani menghina ajaran-

ajaran Islam. Siapa pun yang terbunuh dalam urusan ini akan dianggap 

sebagai martir, Insya Allah,” begitu bunyi fatwa ini .11

Mehdi Mozzafari, seorang profesor filsafat politik, menyatakan bahwa 

fatwa ini  yaitu  produk sikap tanpa kompromi Khomeini yang 

memisahkan dunia ke dalam si baik dan si jahat, keyakinannya bahwa 

Alquran berisi semua kebenaran mutlak, ditambah dengan perasaan 

bahwa dia menopang tanggung jawab yang unik sebagai satu-satunya 

pemimpin agama yang sekaligus juga kepala negara di dunia Muslim. 

Namun, terlepas dari ketulusan kemarahan Khomeini, konteks politiknya 

penting diperhatikan. Iran saat itu sedang mulai berkembang lagi, setelah 

perang delapan tahunnya dengan Irak, salah satu konflik paling mematikan 

pada abad ke-20. Dua bulan sebelum penerbitan buku Rushdie, Iran 

menyetujui gencatan senjata. Perang tidak berakhir dengan kemuliaan 

di sisi Iran. Iran tidak hanya kehilangan jutaan warganya, tapi juga harga 

Bab 380

diri di mata negara-negara Muslim dari kejayaan Revolusi 1979-nya 

dahulu. Perang menghancurkan Republik Islam yang berusia satu dekade 

itu; bahkan di antara para ulama, pemberontakan sedikit demi sedikit 

mulai berkembang.12 Dengan pemahaman ini, tanggapan Iran terhadap 

The Satanic Verses tidak didasarkan atas perintah Alquran, tetapi lebih 

didorong oleh satu halaman dalam buku teks politik klasik: dihadapkan 

pada tidak tersedianya jawaban, ciptakanlah musuh bersama, internal 

atau eksternal. Itulah “jenis tanggapan yang mungkin didapat seseorang 

saat  satu peradaban tengah berada dalam kemundurannya yang paling 

mentok, atau saat  peradaban itu tidak dapat membangun kembali visi 

masa depannya,” kata Sohail Inayatullah, seorang sarjana politik.13

Upaya Khomeini mengundang siapa saja untuk membunuh warganegara 

lain, secara terbuka pula, mengejutkan masyarakat internasional dan 

memaksa Rushdie untuk bersembunyi. Dalam beberapa tahun terakhir, 

penulis buron ini aktif menentang “budaya ketersinggungan” ini, yang 

menjadikannya korban, dan yang merupakan kepedulian utama buku ini.

Kartun Nabi Muhammad di Koran Jyllands-Posten

Kasus kartun Denmark menunjukkan pertentangan di antara seperangkat 

aturan hukum dan norma sosial yang berbeda yang mengatur penistaan 

agama. Hukum penistaan asli Denmark, berasal dari tahun 1683, mirip 

dengan aturan yang kini beroperasi di Arab Saudi dan di tempat lain. 

Hukum Denmark mengikat status agama, raja, dan negara, dalam 

satu kesatuan sehingga melestarikan legalitas penguasa duniawi untuk 

melindungi nama Tuhan. Pada sekitar 1920-an, ekspresi penistaan 

masih dianggap tidak beradab, namun anggota parlemen percaya bahwa 

sebagian besar masyarakat Denmark telah sama-sama dewasa sehingga 

ujaran semacam itu dapat diatur tanpa memakai  kekuatan hukum.15 

Menjelang akhir 1920-an, anggota parlemen dan ahli hukum Denmark 

sepakat bahwa undang-undang ini  harus diikutsertakan hanya untuk 

memelihara perdamaian di antara masyarakat-masyarakat yang berbeda, 

bukan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan Tuhan. Para 

reformis menjadikan tokoh Reformasi Protestan Martin Luther dan filsuf 

Denmark Soren Kierkegaard sebagai contoh penista yang positif, sebab  

mereka telah berkontribusi pada kemajuan masyarakat melalui ejekan 

mereka terhadap kebiasaan yang membelenggu. Terakhir kali sebuah 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 81

pengadilan di Denmark menjatuhkan hukuman pada pelaku penistaan 

pada 1938, saat  undang-undang ini  digunakan untuk melindungi 

kelompok minoritas: kasus ini  melibatkan propaganda anti-Semitisme 

oleh para pengikut Nazi di Denmark.

Pada 1970-an, seniman Jens Jorgen Thorsen menguji budaya liberal ini. 

Pada 1973, dia merilis sebuah naskah film, The Many Faces of Jesus Christ, 

yang menggambarkan Yesus sebagai orang mabuk dengan kehidupan seks 

liar. Kedubes Denmark di Madrid dan Roma menjadi sasaran ancaman 

dan potensi nyata kekerasan. Di bawah tekanan, pemerintah memaksa 

Danish Film Institute menyetop pendanaan proyek film ini , namun 

pihak berwenang tidak pernah benar-benar menuduh Thorsen melakukan 

tindak kriminal. Dia juga tidak dituntut sebab  karya mural-nya pada 1985, 

yang menggambar Yesus sedang ereksi.

Dalam sikapnya yang berkembang terkait penanganan atas penistaan 

agama, Denmark mewakili semesta liberal dalam mikrokosmos. Seperti 

yang telah saya bahas pada Bab 2, fokus hukum dan kebijakan legislatif 

dalam yurisprudensi modern bergerak berbalik dari melindungi 

perasaan elite dan kelompok mayoritas kepada akomodasi atas kelompok 

minoritas dan sudut pandang tandingan. Namun, dalam kasus Denmark, 

pengalaman negara ini, yang bermasalah dengan kelompok imigran, 

telah mempersulit kecenderungan di atas. sebab  tidak senang dengan 

sikap intoleran beberapa imigran, kaum liberal Denmark membelokkan 

argumen kebebasan berekspresi untuk menentang prinsip perlindungan 

minoritas, sehingga perdebatan soal penistaan tadi berkembang menjadi 

soal “hak artistik untuk menyinggung kelompok-kelompok minoritas 

agama,” seperti dikatakan Signe Larsen, seorang sarjana kebudayaan 

pada Universitas Aarhus.17 Dalam pola pikir ini, para penista tidak lagi 

dipandang sebagai “yang liyan”, sebuah bentuk manifestasi “identitas 

tandingan” yang mungkin bisa menjalankan fungsi sosial positif namun 

harus ditolerir oleh masyarakat yang dewasa; sebaliknya, ekspresi penistaan 

memenuhi “atribut ke-Denmark-an kontemporer”.18

Partai Rakyat Denmark, yang beraliran sayap-kanan, mendorong 

kecenderungan ini dengan agresif, dengan alasan bahwa prinsip sekular 

dan tradisi Lutheran—ajaran yang lahir dari perlawanan terhadap Gereja 

Katolik—terancam oleh Islamisasi yang merayap dengan pasti. Dan 

memang, beberapa Muslim menantang nilai bahwa masyarakat Denmark 

Bab 382

terikat pada kebebasan berekspresi. Pada 2004, misalnya, beberapa 

wakil Muslim mencoba mengambil langkah hukum saat stasiun televisi 

Denmark menyiarkan Submission, film pendek arahan Theo van Gogh, 

yang mengkritik perlakuan terhadap kaum perempuan di masyarakat-

masyarakat Muslim. Pembunuhan brutal atas seorang pembuat film 

Belanda di Amsterdam, pada akhir tahun itu, memaksa kalangan liberal 

Eropa untuk menghadapi kenyataan bahwa beberapa imigran dan 

keturunan mereka memang menolak nilai-nilai milik negara tuan rumah. 

“Kisah menyedihkan ini menimbulkan masalah besar tidak hanya di 

Belanda, tapi juga di seluruh Eropa: seberapa jauh masyarakat liberal dapat 

menolerir orang yang intoleran?” tulis Economist pada saat itu.19

Eskalasi sebuah Kontroversi

Inilah konteks saat  mana para jurnalis di surat kabar Jyllands-Posten 

menggagas kartun Nabi Muhammad. Para jurnalis merasa terganggu 

mendengar bahwa penerbit buku anak-anak tentang Muhammad tidak 

bisa menemukan seniman yang bersedia menggambarkan wujud tokoh 

utama buku itu. Mereka merasa bahwa ketakutan dan swasensor semacam 

itu seharusnya tidak punya tempat di Denmark. Editor budaya koran 

ini , Flemming Rose, mengumumkan sayembara kepada anggota 

Serikat Illustrator Denmark untuk mengirimkan gambar Muhammad, 

sesuai dengan bayangan mereka masing-masing. Pada 30 September 

2005, koran ini  mencurahkan satu halaman penuh untuk 12 di 

bawah tajuk utama, “Wajah Muhammad”. Beberapa kartun, seperti yang 

menggambarkan seorang anak sekolah bernama Muhammad, melintasi 

ladang ranjau dengan hati-hati. Yang paling provokatif, oleh Kurt 

Westergaard, menunjukkan bahwa Nabi memakai turban berbentuk bom.

Seperti yang juga akan terjadi pada para penulis di Charlie Hebdo, sejak 

itu muncul keraguan terkait ketulusan motivasi para jurnalis: para kritikus 

mencurigai adanya bias anti-imigran yang mendasari aksi itu.20 Namun, 

dalam artikel halaman depannya, koran ini  secara serius menegaskan 

maksudnya untuk menghormati kebebasan berekspresi di Denmark. 

“Beberapa Muslim menolak masyarakat yang modern dan sekular,” 

keluhnya. “Mereka menuntut perlakuan khusus, bersikeras meminta 

agar perasaan keagamaan mereka dihormati. Ini tidak sesuai dengan 

demokrasi sekular dan kebebasan berekspresi, di mana seseorang harus 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 

siap menghadapi cemoohan, olok-olokan, dan ejekan.”21 Artikel Flemming 

Rose di bawah kartun mengulangi kekhawatiran bahwa beberapa Muslim 

menginginkan perlakuan khusus berupa jenis aksi yang mengancam 

pertukaran gagasan secara bebas. Dengan menerbitkan kartun ini , 

Jyllands-Posten sengaja mengambil posisi provokatif dalam perdebatan 

tentang apakah Islam harus diperlakukan berbeda dari agama-agama lain.

Dan sesuai harapan, provokasi itu benar-benar terjadi. Kaum Muslim 

Denmark melakukan demonstrasi damai. Salah seorang pemrotes yaitu  

seorang aktivis muda bernama Ahmed Akkari. Kelompok Akkari bukanlah 

organisasi Muslim yang paling berpengaruh atau representatif di Denmark; 

seorang Muslim Denmark yang lebih menonjol yaitu  anggota parlemen 

Naser Khader, seorang pendukung integrasi dan kritikus radikalisme yang 

vokal. Tindakan Akkari mungkin dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri 

untuk dapat bersaing dengan tokoh-tokoh mapan di komunitas Muslim 

Denmark.

Dalam seminggu sesudah publikasi kartun ini , kelompok 

Akkari menghubungi kedutaan-kedutaan besar negara-negara Muslim di 

Kopenhagen. Sebelas duta besar yang mewakili negara-negara berpenduduk 

mayoritas Muslim menulis surat kepada perdana menteri Denmark pada 19 

Oktober, untuk meminta pertemuan mendesak. Perdana Menteri ini  

menjawab—menyatakan bahwa mereka yang merasa dizalimi dipersilakan 

mengajukan keluhan penistaan—namun tidak menyetujui secara khusus 

permintaan untuk bertemu. Pemerintah Mesir yaitu  yang paling getol 

merespon permintaan Akkari. Pemerintahan Husni Mubarak di Mesir 

mulai melobi PBB, Uni Eropa, dan Organisasi Keamanan dan Koordinasi di 

Eropa untuk mengutuk kartun di atas dan tindakan diskriminasi terhadap 

umat Islam secara umum. Mesir juga mendesak Liga Arab dan OKI untuk 

terus melancarkan tekanan diplomatik ke Denmark.22

Kartun ini  muncul pada tahun penting bagi rezim Mesir yang 

ditopang militer. Mubarak, yang berkuasa sejak 1981, sudah lama ditekan 

untuk menyelenggarakan pemilihan presiden multi-kandidat untuk 

pertama kalinya. Kemenangannya yaitu  sebuah keputusan yang tidak 

dapat dielakkan—dia dinyatakan sebagai pemenang dengan hampir 89 

persen suara pada awal September 2005—namun pemilihan parlemen yang 

akan datang, pada bulan November-Desember, kurang dapat diprediksi. 

Ancaman terbesar datang dari kandidat yang terkait dengan organisasi 

Bab 384

terlarang Ikhwanul Muslimin.23 Untuk mengalahkan mereka, negara 

butuh kesempatan untuk menggambarkan dirinya sebagai “hampir sama 

Islami-nya dengan oposisi yang paling Islam sekalipun,” ujar seorang 

analis.24 Pemilu legislatif akan berlangsung hanya beberapa minggu lagi 

saat  pemerintah Mesir menerima kabar permohonan dukungan Akkari 

ke kedutaan besarnya di Kopenhagen. Godaan untuk “menari” di atas 

kasus kartun ini, sebagai simbol ketidakadilan, pasti amat kuat. “Menurut 

saya, Mubarak sedang berusaha memakai  kartun Denmark untuk 

mempromosikan kredensial keislaman Mesir, dan menetralisasi kekuatan 

Ikhwanul Muslimin untuk pemilu parlemen mendatang,” kenang seorang 

diplomat Asia yang tinggal di Kairo pada waktu itu.25

Sementara itu, Akkari melanjutkan kampanyenya. Dia memimpin 

delegasi ke Kairo, Damaskus, dan Beirut pada Desember 2005, untuk 

menyosialisasikan kasus ini . Mereka membawa serta sebuah dokumen 

setebal empat puluh tiga halaman, yang tidak hanya berisi dua belas kartun 

yang bermasalah, tapi juga tiga gambar lain yang tidak jelas sumbernya. 

“Saya siap menggerakkan seluruh dunia,” kata Akkari kemudian, “Saya 

hanya terkejut bahwa gerakannya bakal secepat ini.”26

Dalam tiga bulan pertama setelah publikasi kartun, demonstrasi 

dilakukan dengan damai dan secara sah memakai  ruang demokrasi 

dan diplomatik untuk menyatakan rasa kecewa dari para Muslim atas apa 

yang dirasakannya sebagai imbas provokasi yang tidak adil. Kontroversi 

ini  memasuki fase buruk pada akhir Januari 2006, setelah saluran 

televisi satelit Al-Jazeera dan Al-Arabiya yang berpengaruh meliput 

ceritanya. Kemudian isu ini  diangkat dalam khotbah Jumat di Mesir, 

Arab Saudi, dan Irak. Laporan tentang perkembangan ini beredar heboh, 

diwarnai rumor dan gambar palsu yang menunjukkan persekusi umat 

Islam oleh Barat. Pada akhir Januari dan Februari 2006, kekerasan serius 

terjadi di tiga benua, baik berupa tanggapan atas publikasi asli kartun di 

koran Jyllands-Posten atau cetak ulang kartun oleh berbagai surat kabar 

lain di Eropa—di antaranya Charlie Hebdo, yang menambahkan beberapa 

kartun ke rangkaian yang sudah ada, sebagai bagian dari fitur sampul 

depan sebanyak 16 halaman pada Februari 2006. Beberapa kedutaan besar 

diserang di Indonesia, Iran, Lebanon, dan Suriah, dan protes memakan 

korban jiwa di Afghanistan, Libya, dan Pakistan. Sekitar seratus orang 

Nigeria terbunuh dalam kekerasan sektarian Muslim-Kristen yang terkait 

dengan penerbitan kartun ini . Ekstremis mengancam dan menyerang 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 85

individu dan organisasi yang terlibat dalam publikasi kartun ini .

Memutuskan untuk Meledakkan

Pada puncak demonstrasi, di balik kemiripan beberapa ledakan emosi 

yang spontan, ada bukti yang menunjukkan bahwa ada pilihan yang 

dipertimbangkan dan ada keputusan yang akhirnya dibuat. Di Mesir, dua 

pengkhotbah televisi populer secara terbuka memperdebatkan bagaimana 

kontroversi kartun ini dihadapi. Amr Khaled memilih berdialog dengan 

orang-orang Denmark; dia bahkan menyelenggarakan konferensi di 

Kopenhagen. Tapi Youssef al-Qaradawi, seorang ulama konservatif yang 

lebih senior, mencaci Khaled, dengan alasan bahwa ini bukan waktu 

yang tepat untuk berdamai. Yang penting diperhatikan, al-Qaradawi 

mengungkapkan posisinya bukan atas landasan tuntutan moral, namun 

atas pertimbangan strategi politik: kemarahan yang diprovokasi oleh kartun 

ini  merupakan kesempatan untuk menyatukan dunia Muslim dan 

menghadapi pihak lain dari posisi yang kuat.27 Inilah saat seorang aktivis 

sadar betul akan potensi kartun ini  sebagai “simbol ketidakadilan 

transnasional”.

Kebanyakan pengamat pada saat itu merujuk pada larangan Islam 

untuk menggambarkan Nabi sebagai penjelasan atas emosi kemarahan 

umat Islam. Landasan kitab suci untuk posisi ini sendiri menarik, namun 

hal itu tidak banyak membantu atau mencerahkan untuk keperluan kita 

di sini. Jika larangan itu memang mutlak, tanpa ruang bagi interpretasi 

dan tidak ada tempat bagi konteks, maka kita tidak akan pernah berharap 

menemukan kartun itu diterbitkan kembali di media Muslim. Tapi bukan 

itu yang terjadi. Pada 17 Oktober 2005, sebuah surat kabar Kairo, El-

Fagr, menerbitkan ulang enam kartun ini  untuk melengkapi sebuah 

artikel yang mengutuk orang-orang Denmark sebab  penistaan mereka, 

dan bagaimana mereka luput dari hukuman (walaupun koran ini  

kemudian menghapus gambar dari situsnya).28 Selain itu, sebuah tabloid di 

Saudi mencetak tiga kartun di tengah kehebohan itu pada Februari 2006, 

sebagai ilustrasi mendampingi sebuah wawancara dengan seorang ulama 

yang menyerukan pemboikotan terhadap Denmark. Meskipun pemerintah 

Saudi segera menghentikan penerbitan koran itu, keputusan awal editor 

ini  mengingkari teori larangan mutlak, yang diinternalisasi oleh 

semua pemeluk agama.

Bab 386

Di Indonesia, situs berita daring Rakyat Merdeka, bagian dari grup Jawa 

Pos, menerbitkan kartun di atas dua kali pada Oktober 2005, bersamaan 

dengan cerita tentang kontroversi ini . “Tidak ada yang peduli dengan 

hal itu,” kenang editornya, Teguh Santosa.29 saat  melakukan hal yang 

sama pada Februari 2006, sekitar 300 orang anggota Front Pembela Islam 

(FPI) garis keras mengepung kantornya. Setelah menerima pengaduan 

masyarakat, pihak berwenang mendakwa Santosa dengan tuduhan 

penistaan, meski tidak ada yang terjadi setelahnya. Santosa—yang 

merupakan anggota terkemuka dari salah satu organisasi Muslim terbesar 

di Indonesia, Muhammadiyah—merasa perlu menerbitkan kartun ini  

untuk membantu menginformasikan ke pembaca tentang apa yang dia 

sadari merupakan isu yang tengah memanas. Dia berhasil meyakinkan 

umat garis keras soal kemurnian niatnya. Berkat kemampuan persuasifnya, 

aktivis FPI yang datang ke kantornya dengan teriakan “Kafir! Kafir!” 

menutup kunjungannya dengan seruan gembira, “Viva Rakyat Merdeka!” 

sebab  dia memilih untuk senantiasa menjaga saluran komunikasi dengan 

kaum radikal, Santosa bahkan membicarakan keputusan editorialnya 

dengan Abu Bakar Baasyir, pemimpin spiritual kelompok militan, Jemaah 

Islamiyah, yang bertanggungjawab atas insiden terorisme terburuk di 

Asia Tenggara. “Saat itu, dia baru saja keluar dari penjara. Kami bertemu 

di sebuah masjid, dan saya mengatakan kepadanya apa yang telah saya 

lakukan. Dia mengatakan, ini bukan penistaan Nabi atau agama. Apa yang 

harus Anda tunjukkan di pengadilan yaitu  bahwa Anda yaitu  seorang 

Muslim yang baik, itu saja,” begitu cerita Santosa pada saya.

Kasus-kasus semacam itu menunjukkan bahwa pendekatan filosofis 

atas pidato ekstrem di masyarakat-masyarakat Muslim tidak berbeda dari 

pendekatan yang ditempuh di negara-negara Barat sekular seperti yang 

seringkali dikesankan. Seperti di Barat, masyarakat Muslim juga sungguh-

sungguh mempertimbangkan maksud penerbit dan konteks komunikasi, 

sama seriusnya dengan pertimbangan atas isi dari ekspresi itu sendiri. 

Pada gilirannya, hal ini membuka pintu bagi interpretasi dan negosiasi atas 

makna. Tidak ada hubungan sebab-akibat yang mekanistik dan mutlak 

antara ucapan provokatif, pelanggaran, dan pengambilan keputusan untuk 

melakukan aksi kekerasan. Di tengah-tengahnya ada seorang perantara 

seperti Abu Bakar Baasyir di Indonesia dan Youssef al-Qaradawi di Mesir, 

yang memutuskan apakah perlu menekan tombol kepanikan moral atau 

tidak. Para navigator terampil dalam medan kompleks ini, seperti Teguh 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 87

Santosa, tahu bahwa nasib mereka tidak hanya terletak pada Tuhan 

dan hukum, tapi juga pada para perantara pelintiran kebencian, yang 

menentukan insiden mana yang cocok untuk dieskalasikan lebih jauh.

Sedangkan terkait Ahmed Akkari, agen pelintiran kebencian yang telah 

bekerja keras untuk mendorong satu kebijakan editorial yang abu-abu ke 

dalam satu skandal global, dia berubah drastis, 180 derajat, pada 2013. 

Dia menyatakan bahwa dia kini menghormati kebebasan yang dihargai 

tinggi di Denmark dan meminta maaf kepada editor Flemming Rose, 

seniman Kurt Westergaard, politisi Naser Khader, dan bangsa Denmark 

secara keseluruhan.30

Video Innocence of Muslims 

Sebagai salah satu contoh awal dari kekerasan ketersinggungan terhadap 

konten daring, Innocence of Muslims yaitu  sebuah kontroversi yang sudah 

diperkirakan akan terjadi. Lebih dari satu dekade sudah berlalu sejak 

Internet global mendesakkan jaringan padat rangkaian pertukaran, yang 

bersifat cair dan terbuka, ke dalam satu peta dunia yang sebenarnya masih 

disekat-sekat oleh cara hidup dan berpikir yang berbeda. Kontradiksi antara 

komunikasi, yang bersifat tanpa batas, dan budaya, yang saling terikat, 

menawarkan banyak potensi bagi pelintiran kebencian. Kasus-kasus yang 

digambarkan sebelumnya sudah menunjukkan bagaimana globalisasi 

memberi jalan bagi pelintiran kebencian transnasional, bahkan melalui 

teknologi media yang lebih tradisional. Kehadiran Internet menciptakan 

kesempatan-kesempatan baru bagi ketersinggungan.

Meskipun demikian, dalam banyak hal lainnya, kasus Innocence of 

Muslims mengikuti pola yang sama seperti kasus novel The Satanic Verses 

dan kartun Jyllands-Posten. Rilis awal video ini  diikuti oleh jeda 

waktu, baru kemudian menyusul suhu kontroversi yang melonjak, disertai 

demonstrasi yang besar yang menggentingkan komitmen demokrasi 

terhadap kebebasan berekspresi.

Innocence yaitu  trailer untuk sebuah debut film panjang yang akan 

keluar pada 2012 dan masih dalam masa pengerjaannya. Film ini diproduksi 

oleh Nakoula Basseley Nakoula, seorang warga Amerika dari komunitas 

Kristen Koptik Mesir. Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, 

dia mengatakan bahwa persekusi terhadap orang-orang Koptik di Mesir 

menjadi pendorongnya membuat film ini .31 Versi awal naskahnya 

Bab 388

ditulis dengan judul The First Terrorist. Video ini  menggambarkan 

Islam sebagai agama yang kejam dan menggambarkan Nabi Muhammad 

sebagai seorang ambisius dan bodoh yang membenarkan pelecehan seksual 

terhadap anak-anak. Karakter ini  ditampilkan berhubungan seksual 

dengan istri dan beberapa perempuan lain. Film ini menunjukkan bahwa 

istrinya, Khadijah, memiliki peran penting dalam penciptaan Alquran.

Proyek ini didukung oleh Media for Christ, sebuah organisasi nirlaba. 

Sutradara yang mereka pekerjakan memiliki koleksi karya yang terutama 

terdiri dari film-film porno soft-core. Pembuatan film berlangsung di Los 

Angeles selama lebih dari limabelas hari. Nakoula menipu para aktor untuk 

berpartisipasi dalam film ini: naskah yang mereka kerjakan tidak ada 

hubungannya dengan Islam; konon bercerita tentang seorang pemimpin 

suku kuno bernama George. Produser kemudian mengisi sendiri suara 

(dubbing) dialog terakhir di atas rekaman aslinya.

Anak Nakoula mengunggah video itu di Facebook dan YouTube pada 

2 Juli 2012; para aktivis Amerika lain yang memiliki sejarah aktivisme 

merendahkan Islam, termasuk Terry Jones, pengkhotbah Florida dan 

aktor di balik kampanye “Hari Pembakaran Alquran Sedunia” pada 2010, 

turut serta mempromosikan video itu.32 Media Arab memungutnya dua 

bulan kemudian, pada September 2012, tepat pada peringatan serangan 

teror 9/11. Kerusuhan segera terasa, dimulai di Kairo, saat  sekitar 350 

orang Mesir menyerang Kedutaan Besar AS pada 11 September. Saat itu, 

asal-usul video ini  masih belum jelas. Pada 12 September, Associated 

Press melaporkan bahwa para investor Yahudi mendanai film ini . 

Lembaga ini  mengeluarkan koreksi dua hari kemudian, namun kala 

itu mitos konspirasi Yahudi sudah kadung tersebar.33

Ada juga demonstrasi kekerasan di Dhaka (Bangladesh), Karachi 

(Pakistan), dan Kabul (Afghanistan). Laporan awal menunjukkan bahwa 

film ini  memprovokasi serangan roket yang menewaskan seorang duta 

besar AS dan lainnya di Benghazi pada 11 September. Kemudian diketahui 

bahwa serangan militan telah direncanakan sebelumnya; pemrotes yang 

diwawancarai di tempat kejadian perkara bahkan tidak tahu banyak soal 

film ini .34 Namun demikian, serangan di Benghazi menambah kesan 

bahwa film ini  telah melampaui batas dan situasinya meliar tak 

terkendali.

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 89

Pemerintah dan Google Merespon

Respon liberal yang sudah diduga atas rilis video Innocence dan buntut 

kejadiannya menegaskan kembali pentingnya melindungi kebebasan 

berpendapat dengan undang-undang sambil menekankan perlunya 

menghormati agama. Pemerintah AS memang tidak menganggap remeh 

emosi kemarahan kaum Muslim ketimbang yang dilakukan Denmark 

sebelumnya. Para pejabat AS mungkin sudah banyak belajar dari kesalahan 

Denmark. Tapi yang lebih tepat yaitu  bahwa AS sangat bergantung pada 

kerja sama dengan negara-negara Muslim untuk kepentingan militer dan 

operasi kontra-terorisme-nya. Pada 2010, misalnya, menghadapi ancaman 

kampanye pembakaran Alquran oleh Terry Jones, Presiden Barack Obama 

muncul di program Good Morning America, milik jaringan televisi ABC, 

untuk mengatakan bahwa “aksi” pendeta itu “benar-benar bertentangan 

dengan nilai-nilai kita” dan merupakan sebuah “tindakan destruktif ” 

yang bisa “sangat membahayakan pemuda-pemudi yang tengah bertugas 

di medan konflik.”35

Kontroversi video Innocence memaksa Obama untuk mengambil 

langkah-langkah “kontrol-kerusakan” sekali lagi. Pemerintahannya 

mengambil langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yakni 

memproduksi iklan komersial televisi yang dibintangi presiden dan 

Sekretaris Negara Hillary Clinton, untuk “menolak” video produksi swasta 

ini .36 Video tandingan dari pemerintah AS ini juga disiarkan di televisi 

Pakistan. Pemerintah AS, juga Australia dan Mesir, meminta Google 

untuk memeriksa apakah video ini  melanggar pedoman konten 

perusahaannya. Mengingat bahwa kontroversi antarnegara hampir pasti 

bakal mendorong satu perusahaan untuk meninjau video terkait walaupun 

tanpa permintaan pemerintah, permintaan pejabat AS itu mungkin bersifat 

simbolis saja, untuk melepaskan negara dari ikut bertanggungjawab atas 

tindakan beberapa warganegaranya.

Google memutuskan bahwa Innocence tidak melanggar Pedoman 

Komunitas YouTube soal ujaran yang menyinggung, yang secara luas 

sejalan dengan posisi liberal dalam kebebasan berekspresi, melarang 

serangan terhadap manusia yang hidup tapi bukan pada sistem-sistem 

kepercayaan. “Kami mendorong kebebasan berbicara dan membela hak 

setiap orang mengekspresikan sudut pandang yang tidak populer. Tapi kami 

tidak mengizinkan perkataan yang mendorong kebencian (ujaran yang 

Bab 390

menyerang atau menghancurkan kelompok berdasarkan ras atau etnis, 

agama, disabilitas, jenis kelamin, usia, status veteran, dan orientasi seksual/

identitas gender).”37 Namun demikian, Google tetap mengambil langkah 

drastis secara sepihak dengan membatasi video itu dari akses pemirsa 

Mesir dan Libya, “disebab kan situasi yang rumit.”38 Langkah ini sejak 

saat itu dipandang sebagai langkah tidak biasa, dan tidak mencerminkan 

kebijakan YouTube. Manajemen tertinggi perusahaan tampaknya membuat 

keputusan itu dalam keadaan panik, menafikan saran-saran rekan kerja 

lain yang memperingatkan agar tidak menetapkan preseden semacam itu.

Tindakan Google di delapan negara lain lebih sesuai dengan 

protokolnya. Sebagai tanggapan atas permintaan pemerintah—bukannya 

memutuskan secara sepihak—YouTube memblokir video ini  dari 

pemirsa di Indonesia, India, Yordania, Malaysia, Rusia, Arab Saudi, 

Singapura, dan Turki. Di tiga negara lain—Afghanistan, Bangladesh, dan 

Pakistan—pemerintah bahkan menyasar saklar utamanya, memblokir 

keseluruhan akses warganegara ke platform YouTube.

Di semua negara ini, kaum Muslim merupakan populasi mayoritas 

atau kelompok minoritas yang memiliki peran penting secara politis. 

Tanggapan pemerintah mereka sesuai dengan narasi penghinaan agama 

yang efek peradangannya hanya bisa dibendung lewat penyensoran. 

Namun, penelusuran yang lebih teliti dan seksama menunjukkan bahwa 

ini mungkin bukanlah motivasi utama pemerintah dalam setiap kasus. 

Di Bangladesh, kata Faheem Hussain, seorang sarjana Bangladesh yang 

meneliti teknologi dan masyarakat, pemerintah sudah gatal hendak 

menindak YouTube, yang sering dimanfaatkan untuk mengedarkan laporan 

tentang isu-isu politik sensitif soal kejahatan perang.39 Situasi serupa 

terjadi di Pakistan: video YouTube telah mengekspos perilaku tidak patut 

para politisi dan liputan pelanggaran HAM oleh tentara, kata Nighat Dad, 

Direktur Digital Rights Foundation. Video warga tentang pembunuhan di 

luar proses hukum (extra-judicial killing) dan penyiksaan di Balochistan, 

misalnya, telah berkontribusi pada keputusan pemerintah AS untuk 

menyetop pendanaan bagi unit-unit Pakistan yang terlibat.

Tanggapan Singapura menunjukkan dampak hubungan internasional 

terhadap keputusan untuk menyensor. Dengan populasi Muslim sekitar 

15 persen, pemerintah awalnya menanggapi kontroversi ini  dengan 

percaya diri bahwa masyarakat akan bisa mencernanya dengan kepala 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 91

dingin. “Saya yakin bahwa masyarakat Singapura bakal bereaksi atas film 

ini secara rasional dan dengan kepala dingin seperti yang telah mereka 

lakukan sebelum-sebelumnya,” kata Teo Chee Hean, wakil perdana menteri 

dan pejabat tinggi bidang keamanan, pada 14 September.40 Hari berikutnya, 

Perdana Menteri Lee Hsien Loong, terus mempertahankan kebijakan 

mengambil jarak ini. “Tidak masalah apa yang terjadi di tempat-tempat 

lain di dunia ini,” katanya. “Ini bukan pertengkaran kami dan kami harus 

terus hidup damai, harmonis bersama, di antara kami dan memelihara serta 

melestarikan keharmonisan ini.”41 Tapi, pada 19 September, pemerintah 

mengumumkan bahwa mereka meminta Google untuk memblokir 

akses daring ke video ini : “Sirkulasi lanjutan film ini cenderung 

menyebabkan ketidakharmonisan atau rasa ketidaknyamanan di antara 

berbagai kelompok di Singapura.”42

Sikap balik arah ini, meskipun seolah-olah menanggapi ancaman 

keamanan internal, mungkin dilakukan untuk menjaga kedekatan 

Singapura dengan dua negara tetangganya, Indonesia dan Malaysia. Ini 

bukan pertama kalinya Singapura mengekspresikan solidaritas semacam 

itu. Pada 2002, Singapura melarang masuknya film komedi Hollywood 

Zoolander dengan alasan “mengandung unsur-unsur kontroversial”—

hampir dipastikan sebab  film ini  bercerita tentang sebuah konspirasi 

pembunuhan atas Perdana Menteri Malaysia fiktif, yang telah lebih dahulu 

dicekal di negeri-negeri jiran.43 Atau, mungkin Singapura merasa bahwa 

waktunya telah tiba untuk mengambil sikap simbolis menentang doktrin 

liberal Barat. Apapun alasan keputusan Singapura, hal itu kemungkinan 

besar tidak didasarkan atas penilaian tentang risiko gangguan publik 

semata. Pasalnya, sudah seminggu penuh kontroversi video itu berlangsung, 

tanpa ada gangguan berarti di Singapura.

Para Pembangkit Ketersinggungan

Argumen ketertiban umum untuk membenarkan aksi negara mendapat 

dukungan dari beberapa pengamat di Barat. Eric Posner, profesor pada 

Chicago Law School, sambil mengkritisi cara Amandemen Pertama 

diterapkan, berpendapat bahwa pada faktanya mungkin ada situasi 

saat  pemerintah AS harus campur tangan, “dalam semangat kehati-

hatian,” saat  terjadi krisis-krisis dalam hubungan luar negeri, seperti 

insiden video Innocence.44 Tapi terlalu simplistik untuk menyimpulkan 

Bab 392

bahwa hanya kepekaan budaya yang lebih tinggi dan undang-undang 

ujaran kebencian yang lebih ketat dapat mengatasi tantangan yang 

ditimbulkan oleh video seperti Innocence. Resep-resep kebijakan 

semacam itu didasarkan atas pembacaan kasus yang tidak menyeluruh, 

yang berfokus hanya pada pihak penyinggung (pelaku penistaan) dan 

tanpa mencermati strategi ketersinggungan yang melibatkan rekayasa. 

Seperti tampak pada kasus-kasus yang telah dibahas di atas, rekayasa 

ketersinggungan membutuhkan pihak penyebar dan makelar yang 

secara aktif menjelmakan video yang tidak jelas juntrungannya menjadi 

penyebab merebaknya peristiwa internasional yang menghebohkan.

Laporan-laporan awal menunjuk kepada Sheikh Khaled Abdullah 

sebagai pihak yang bersalah, seorang presenter di saluran TV satelit 

keagamaan yang berpengaruh, al-Nas. Jaringan satelit milik negara 

Mesir, NileSat, membawa stasiun milik Saudi. Sheikh Khaled memiliki 

rekam jejak sebagai presenter yang suka menggambarkan AS sebagai 

agresor anti-Islam dan menyerang komunitas Kristen Koptik Mesir.45 

Pada 8 September, programnya menyiarkan klip video Innocence dengan 

isian suara (dubbing) berbahasa Arab. Segmen ini segera menyebar secara 

daring. Namun, program Sheikh Khaled bukanlah organisasi media 

pertama yang mempublikasikan keberadaan video Innocence. Menurut 

sebuah laporan investigasi dalam Columbia Journalism Review oleh Emad 

Mekay, video ini  pertama kali dilaporkan di Mesir pada 6 September, 

oleh media sekular yang dikendalikan oleh pendukung rezim Mubarak 

lama.46 Laporan-laporan ini  dimuat di koran Youm7 dan El-Fagr, 

dengan koran kedua mendapat gelar “kehormatan” sebagai koran pertama 

yang menerbitkan ulang kartun Jyllands-Posten yang “termasyhur” itu. 

Para editor di kedua koran ini  tampaknya didorong oleh keinginan 

untuk mendiskreditkan kelompok Islam di pemerintahan yang baru. 

Youm7 tampak sangat ingin memperkeruh suasana dengan menerbitkan 

liputan panjangnya pada 8 September.

Kanal-kanal pro-Mubarak lainnya segera menindaklanjuti. Bahkan 

satu situs milik seorang kaya Mesir, yang berasal dari komunitas Kristen 

Koptik, dan yang saudara-saudaranya di Amerika berada di belakang 

produksi Innocence, menerbitkan artikel-artikel yang menggoda kelompok 

Islam yang diam seribu bahasa menghadapi penghinaan ini . Sebuah 

surat kabar liberal yang biasanya mewakili orang-orang Kristen Mesir, 

Wafd, memprovokasi para Islamis dengan tajuk utama, “Ikhwanul 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 93

Muslimin Mengecewakan Nabinya.” Sementara campuran sentimen anti-

AS dan emosi keagamaan membantu memastikan nilai video ini  

sebagai simbol ketidakadilan internasional, hasil forensik yang terperinci 

mengungkapkan bahwa mereka yang paling banyak menyokong narasi 

ini  dimotivasi terutama oleh kepentingan politik dalam negeri. 

Meregulasi Perantara Internet

Kasus Innocence membangkitkan sensasi déjà vu, sebab  dinamika 

itu menyerupai sejumlah kontroversi internasional sebelumnya yang 

melibatkan penghinaan agama. Ini juga membayang-bayangi peristiwa 

Charlie Hebdo pada 2015. Namun, dalam satu hal, Innocence mewakili satu 

terobosan besar. Perdebatan kebijakan yang mengiringinya berpusat pada 

satu jenis pemain baru—perantara Internet global. Perantara yaitu  entitas 

yang “menawarkan fasilitas dan layanan membantu orang mengakses, 

mentransmisikan, menjadi tuan rumah, menyimpan, menyembunyikan, 

mengindeks, dan menemukan informasi di Internet.”47 Selain berlaku 

sebagai penyedia layanan Internet, mereka juga termasuk mesin pencari, 

situs berbagi video, platform blogging, dan situs media sosial. Perantara 

Internet tidak menciptakan konten yang menarik ratusan juta pengguna 

ke depan layar monitor setiap hari—pesan, berita, video rumahan, selfie, 

lagu, permainan, komentar, atau item untuk dijual. Tapi tanpa perantara, 

Internet akan menjadi ruang rekreasi tak populer khusus bagi para geek 

dan tempat hidup para organisasi yang memiliki waktu dan uang untuk 

berenang menyelami lautan data; ilmuwan Clifford Stoll bisa jadi benar 

saat mencemooh kegandrungan pada teknologi di kolom Newsweek tahun 

1995 yang berjudul, “Internet? Bah!”48

Pada tahun-tahun awal World Wide Web, teknologi sangat 

terdesentralisasi, menciptakan persepsi bahwa hampir tidak mungkin 

untuk mengaturnya. Seiring pertumbuhannya, penyedia layanan 

Internet menjadi lebih padat modal dan tunduk pada skala ekonomi, 

sehingga sektor yang sangat terkonsentrasi lebih mudah disasar oleh para 

pembuat peraturan.49 Dan sasaran utama dari semuanya yaitu  Google. 

“Rahasianya sudah diketahui: jika Anda bisa mengatur Google, Anda 

bisa mengatur Internet,” catat Uta Kohl dari Aberystwyth University.50

Google mulai sebagai mesin pencari yang sangat kuat mempengaruhi 

pengalaman semua pengguna Internet. Ini berkembang menjadi merek 

Bab 394

unit, dengan ambisi tak terbatas: “mengatur informasi dunia dan 

membuatnya dapat diakses dan berguna secara universal.”51 Sedini awal 

2003, Thomas Friedman dari New York Times bertanya, “Apakah Google 

Tuhan?”52 Google membeli YouTube pada 2006. Pada 2010, Google 

dijuluki sebagai perusahaan paling kuat di dunia dan mendapat perhatian 

dari kelompok-kelompok pengawas khusus.53

Bahkan setelah kegandrungannya mereda, jelas bahwa pelintiran 

kebencian transnasional menjadi lebih menarik—dan kompleks—saat  

disokong oleh Internet. Masalah utamanya yaitu  standar yang harus 

dimiliki oleh perantara Internet global seperti Google. Pertanyaannya juga 

memiliki dimensi praktis: apakah secara teknis mungkin bagi pemerintah, 

atau bahkan perantara sendiri, untuk menyaring derasnya aliran konten 

daring?

Yahoo! dan Memorabilia Nazi

Mengingat peran penting perantara sudah jelas, tanggung jawab mereka 

menjadi subyek perdebatan kebijakan. Pada 2000, sebuah kasus pengadilan 

tinggi di Prancis melibatkan Yahoo!, pendahulu Google sebagai perusahaan 

Internet paling populer di dunia. Pembeli dan penjual memakai  situs 

lelang online Yahoo! untuk saling bertukar memorabilia Nazi, mulai dari 

bendera dan seragam hingga bantalan mouse dan bantal. Meskipun pihak 

berwenang mungkin bisa mengadili Yahoo! di bawah KUHP Prancis, 

yang melarang menampilkan barang-barang Nazi, mereka memilih untuk 

tidak melakukannya. Sebagai gantinya, dua organisasi masyarakat sipil 

menindaklanjuti masalah ini dengan gugatan sipil.

Perusahaan melayangkan beberapa argumen dalam pembelaannya, 

namun tidak ada satu pun di antaranya yang berhasil meyakinkan 

pengadilan Prancis.54 Pertama, Yahoo! mengklaim bahwa hakim Prancis 

tidak memiliki yurisdiksi atas perusahaan Amerika ini . Hakim 

menolak ini, sebab  perusahaan ini  memiliki saham 70 persen 

di anak perusahaan Prancis, bahwa perusahaan ini  menerbitkan 

iklan berbahasa Prancis dan yang menargetkan pemirsa Prancis, dan 

barang-barang yang diiklankan di situs lelangnya dapat dibeli di Prancis. 

Kedua, Yahoo! berpendapat bahwa ia hanyalah saluran pasif dan tidak 

dapat dimintai pertanggungjawaban atas konten yang ditempatkan di 

situsnya. Tapi Yahoo! didapati telah memantau dan mengedit bagian 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 95

dari situs lelangnya, yang mengingkari klaimnya sendiri yang katanya 

tidak lebih dari operator biasa, seperti perusahaan telepon. Ketiga, 

Yahoo! mencoba merujuk kepada Amandemen Pertama. Perusahaan 

ini  berkilah bahwa Konstitusi AS mencegah bentuk penyensoran 

atas apa yang dapat dilihat pemirsa, dan bahwa Nazisme dan rasisme 

paling baik dipertandingkan di pasar bebas pertarungan gagasan. sebab  

Amandemen Pertama hanya mengacu kepada pembatasan oleh otoritas 

publik dan bukan individu atau pemilik media, namun sebab  Yahoo! 

sudah memasang berbagai pelarangan di situs pelelangannya—termasuk 

pelarangan perdagangan hewan hidup, narkoba, senjata, dan bahkan 

pakaian dalam bekas—argumen ini tidak terlalu meyakinkan. Akhirnya, 

setelah pengadilan Prancis memerintahkan Yahoo! mengambil langkah-

langkah pencegahan agar pengguna di Prancis tidak lagi mengakses 

barang dagangan Nazi di situs lelangnya, perusahaan ini  berpendapat 

bahwa langkah ini  akan sangat mahal harganya. Hakim bersikeras, 

meminta Yahoo! untuk patuh pada “kesepakatan yang masuk akal” dalam 

waktu tiga bulan.

Keputusan Prancis ini  membantu menyusun prinsip bahwa, 

“sementara Internet memungkinkan para aktor untuk menjangkau 

audiens yang tersebar secara geografis, Internet tidak boleh mengubah 

pertanggungjawaban aktor-aktor ini  atas tindakan mereka di 

dalam batas-batas nasional,” seperti yang dikatakan Joel Reidenberg, 

seorang sarjana hukum.55 Ini juga merupakan satu langkah lebih dekat 

untuk memaksa “para elite di bidang teknis untuk menghormati nilai-

nilai yang dipilih secara demokratis dan supremasi hukum.”56 Keputusan 

pengadilan dapat dilihat sebagai sebuah penyangkalan, dari dalam dunia 

moral demokrasi Barat, atas “Deklarasi Kemerdekaan Ruang Siber” oleh 

John Perry Barlow pada 1996.57 Keputusan ini  menegaskan kembali 

pengertian tradisional tentang yurisdiksi era Internet. Perkembangan 

teknis di tahun-tahun berikutnya menunjukkan bahwa perantara 

Internet memang bisa menerapkan penyaringan geografis konten online 

yang cukup efektif.58

Namun, dalam satu hal, Yahoo! terbukti benar: pembatasan ini  

tidak sesuai dengan pembacaan pengadilan-pengadilan AS atas 

Amandemen Pertama. Untuk menetapkan hal ini, perusahaan ini  

menuntut penggugat Prancis di California. Yahoo! mendapat apa yang 

diinginkannya: sebuah pernyataan pengadilan bahwa keputusan Prancis 

Bab 396

tidak diakui di AS. Menariknya, beberapa bulan sebelum tindakan ini, pada 

Januari 2001, Yahoo! secara sepihak melarang penjualan memorabilia Nazi 

di situs-situs pelelangannya di AS, seraya menekankan bahwa keputusan 

ini bukan hasil dari tekanan perintah pengadilan mana pun. Perusahaan 

berharap dapat menunjukkan bahwa mereka akan menantang aksi 

pembatasan hukum yang tidak masuk akal, dengan segala kemampuan 

mereka, namun mereka juga bersedia menjalankan tanggung jawab sosial 

mereka secara sukarela. Di AS, Yahoo! sudah berada di bawah tekanan dari 

organisasi-organisasi anti-kebencian seperti Simon Wiesenthal Center dan 

Anti-Defamation League.59

Prinsip-prinsip Pengaturan

Dalam beberapa hal, masalah yang diangkat oleh perantara Internet 

secara konseptual sama dengan apa yang mempengaruhi perusahaan 

transnasional lain, yang berselancar di dunia dengan standar-standar 

lingkungan dan peraturan mengenai korupsi yang beragam. Garis paralel 

juga dapat ditarik ke peraturan penerbangan internasional, yang memiliki 

kepentingan sama dalam memfasilitasi pengiriman lintas-batas yang 

aman. Namun, kebijakan mengenai perantara Internet tidak dapat disusun 

berdasarkan model-model yang sudah ada untuk sektor-sektor yang lebih 

mapan ini.

Pertama, tidak mungkin dibentuk badan pembuat regulasi global 

untuk konten Internet seperti Organisasi Penerbangan Sipil Internasional 

(ICAO) sebab , pertama-tama, tidak ada kesepakatan mengenai apa arti 

“keamanan” dalam komunikasi melalui Internet. Berdasarkan uji ilmiah, 

ICAO sejak 2015 telah melarang pengangkutan baterai logam lithium 

yang dikemas sendiri sebagai kargo pada pesawat terbang komersial.60 

Sebaliknya, tidak ada cara yang disepakati untuk menentukan apa 

yang dianggap sebagai konten daring yang sifatnya meledak-ledak atau 

memanas-manasi, dan apa yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal 

itu. Kedua, bisnis perantara Internet berbeda dari kebanyakan kegiatan 

internasional lainnya sebab  melibatkan hak kebebasan berekspresi para 

penggunanya. Dalam laporan tahun 2011 kepada Majelis Umum PBB, 

Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi Frank La Rue mencatat 

bahwa meskipun akses Internet “belum menjadi HAM seperti yang lain-

lainnya”—mengimplikasikan bahwa hal itu sangat mungkin suatu hari 

Tuhan, Google, dan Globalisasi Ketersinggungan 97

nanti—Internet diperlakukan sebagai salah satu sarana yang diperlukan 

dalam pelaksanaan kebebasan berpendapat. Mengingat bahwa itu 

sudah merupakan “alat yang sangat diperlukan untuk partisipasi penuh 

dalam kehidupan politik, budaya, sosial dan ekonomi,” negara memiliki 

kewajiban untuk membuat Internet tersedia secara luas dan mudah 

diakses.61

Seperti HAM lainnya, kebebasan berekspresi pada prinsipnya 

melampaui hukum yang berlaku di mana seseorang berstatus warganegara. 

Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan pada 1948, 

menandai sebuah terobosan konseptual dalam hukum internasional 

dan wacana etis global: ia menantang gagasan tradisional bahwa 

sistem internasional hanya dapat menangani negara-negara berdaulat. 

DUHAM justru menekankan keunggulan individu. Kehendak negara 

tidak seharusnya mengalahkan kebebasan warganegara untuk “memiliki 

pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima, dan 

menyampaikan informasi serta gagasan melalui media apa pun, terlepas 

dari batas-batas wilayahnya,” seperti yang dikatakan DUHAM. Dalam 

praktiknya, sistem internasional memiliki kekuatan yang sangat terbatas 

untuk campur tangan demi menegakkan HAM dalam urusan dalam 

negeri, bahkan saat  jutaan nyawa dipertaruhkan, seperti dalam 

genosida di Suriah saat ini atau genosida