yono berbicara mengenai perlunya dialog, toleransi, dan harmoni
dengan tuhan, alam semesta, dan sesama manusia. Tema-tema itu sejalan
dengan amanat Aliansi Peradaban, yang dibentuk untuk membangun
jembatan antara komunitas Muslim dan Barat setelah serangan Al Qaeda ke
Amerika Serikat (AS) dan peperangan setelahnya di Afghanistan dan Irak.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, posisi Indonesia
dalam perdebatan ideologi ini sangat penting. Dalam pidatonya,
Yudhoyono menekankan budaya keterbukaan Indonesia:
Mengingat strategisnya posisi Indonesia, di tengah jalur perdagangan
dan transportasi laut dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik,
penduduk Nusantara selalu terpapar oleh arus peradaban dunia.
Selama berabad-abad, peradaban Islam, Hindu, Buddha, China, dan
Barat telah membaur dengan kebudayaan setempat yang membentuk
khazanah kebangsaan kita. sebab itu, di Indonesia tidak ada
benturan peradaban yang mendasar. Yang ada umumnya justru yaitu
perpaduan harmonis antara berbagai peradaban yang kemudian
membentuk hati dan jiwa Indonesia. Pada abad ke-21 ini, Indonesia
telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa Islam, demokrasi, dan
modernitas dapat hidup berdampingan secara harmonis.1
Pernyataan presiden ini menunjukkan harapan Indonesia untuk
5
Indonesia: Demokrasi yang Diuji
di Tengah Intoleransi
Bab 5146
menjadi model bagi demokrasi Muslim—yang juga merupakan harapan
banyak kalangan. Sejak jatuhnya rezim otoritarian Suharto pada 1998,
Indonesia mengalami demokratisasi yang sangat pesat. Menurut indeks
Freedom House, skor hak-hak politik di Indonesia telah meningkat
dari tujuh (skor yang paling buruk) ke dua.2 Setelah empat pergantian
pemerintahan melalui pemilihan umum yang berlangsung damai,
Indonesia telah mengalami konsolidasi demokrasi, yang dalam istilah
pakar perbandingan politik, kini diterima sebagai satu-satunya aturan main
atau “the only game in town.”3 Kalangan nasionalis yang agamis kini dapat
berpartisipasi dalam “permainan” ini dan 140 juta pemilik suara di
Indonesia memiliki pilihan untuk mendukung mereka—atau tidak. Sejak
1999, Indonesia telah berkali-kali menolak usulan untuk menjadi negara
Islam. Jumlah suara dari lima partai Islam terbesar di Indonesia mencapai
sepertiga dari total suara.4
Meski demikian, Indonesia tidak terlepas dari konflik sektarian. Dari
1997 sampai 2001, sedikitnya 19.000 penduduk Indonesia terbunuh dan
sekitar 1,3 juta lainnya harus mengungsi akibat kekerasan etnis. Hal
ini merupakan sisi gelap dari proses demokratisasi dan desentralisasi,
yang mempertajam persaingan antara aktor lokal dari berbagai komunitas
dan kelompok politik identitas untuk memperoleh kekuasaan di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.5 Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi
serangan terorisme. Pada tahun 2002, aksi kelompok jihadis dalam
pengeboman di Bali menewaskan 131 warga Australia, Eropa, Amerika,
serta warga Indonesia. Demi menjaga investasi asing dan sektor pariwisata,
Indonesia pun menggalakkan kemampuan anti-terorismenya.
Pemerintah Indonesia kurang memberi perhatian kepada naiknya
budaya kebencian dan kekerasan yang ditujukan kepada sasaran-sasaran
lokal.6 Hal ini dikhawatirkan oleh Sidney Jones, pakar konflik di Indonesia.
“Masalah terbesar bagi demokrasi Indonesia bukanlah terorisme tetapi
intoleransi yang menjalar dari kelompok radikal yang pinggiran ke arah arus
utama (mainstream),” kata Jones.7 saat laporan hak-hak asasi manusia
(HAM) di Indonesia muncul dalam Universal Periodic Reiew oleh Dewan
HAM PBB pada 2012, Indonesia dikritik sebab ketidakmampuannya
dalam melindungi kelompok minoritas.8 Di sejumlah daerah di Indonesia,
kelompok Muslim absolutis kerap menghambat pembangunan gereja yang
sebenarnya telah mendapatkan izin pembangunan. Kelompok minoritas
di dalam umat Muslim, khususnya kelompok Ahmadiyah dan Syiah,
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 147
menjadi bulan-bulanan. Undang-undang penistaan agama dimanfaatkan
betul oleh kelompok-kelompok intoleran. Meski jarang dipakai, undang-
undang ini menjadi senjata kelompok garis keras dalam melakukan
pelintiran kebencian.
Dalam bab ini saya akan mengupas kekuatan-kekuatan intoleran dalam
komunitas Islam di Indonesia, menyingkap berbagai episode pelintiran
kebencian untuk menggali kepentingan dari para pihak yang terlibat. Saya
meletakkan berbagai peristiwa mutakhir ini dalam konteks historis
dari hubungan yang belum tuntas antara agama dan politik di Indonesia.
Saya juga menganalisis kerangka legal di mana pelintiran kebencian
ini beroperasi, khususnya Undang-Undang Penistaan Agama yang
problematis di negara ini. Seperti halnya India, Indonesia memiliki undang-
undang yang sebenarnya bertujuan baik untuk mengatur soal penghinaan,
tetapi kemudian dimanfaatkan oleh kelompok intoleran. Dengan kurang
tegasnya pengaturan soal hasutan, semua undang-undang ini menjadi
ancaman ganda bagi kelompok-kelompok minoritas.
Berbeda dari jaringan Sangh Parivar di India dan ideologi Hindutva-
nya, intoleransi kelompok mayoritas di Indonesia tidak didorong oleh
gerakan terpadu dengan doktrin yang jelas. Yang ada yaitu sekian
banyak organisasi dan kelompok kepentingan—partai politik, kelompok
militan, lembaga pemerintahan, serta organisasi Muslim—yang tindakan-
tindakannya, meskipun tidak terkoordinasi, telah menciptakan lingkungan
yang menyuburkan kebencian. Presiden-presiden Indonesia mungkin tidak
secara langsung memperoleh keuntungan dari pelintiran kebencian dan
dampak kerasnya. Mereka memperoleh kekuasaan terlepas dari, bukan
akibat dari, intoleransi yang berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi.
Meskipun pemerintah Indonesia membanggakan “perpaduan yang
harmonis antara berbagai peradaban” di negara ini, mereka tidak dapat
mengaku telah memberikan tempat yang setara bagi kelompok minoritas
dalam demokrasi terbesar ketiga di dunia ini.
Agama dalam Demokrasi Indonesia
Indonesia dihuni oleh penduduk Muslim yang jumlahnya kurang lebih
sama dengan jumlah penduduk lima negara terbesar Arab. Mereka
mencapai 87 persen dari penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari
250 juta jiwa. Sepuluh persen sisanya menganut agama Kristen, dan 1,5
Bab 5148
persen lainnya menganut agama Hindu. Selain itu juga ada penganut
agama Buddha dan Konghucu di antara penduduk etnis Tionghoa di
Indonesia. Sekitar 20 juta penduduk Indonesia menganut berbagai
kepercayaan tradisional.9 Mengingat banyaknya penduduk Indonesia yang
Muslim, tidak mengherankan jika Islam begitu berpengaruh terhadap
nasionalisme Indonesia. Yang juga sangat menarik dari cerita Indonesia
bagi banyak ilmuwan politik yang mengamati negeri ini, dari generasi ke
generasi, yaitu peran Islam dalam politik yang tampaknya lebih “adem”
dibandingkan dengan misalnya Iran atau Mesir. Para pengamat menyatakan
bahwa Indonesia yaitu contoh positif yang mengkonter klaim-klaim
serampangan tentang ketidakcocokan Islam dengan demokrasi sekular.10
Sejarawan mengemukakan beberapa penjelasan tentang mengapa visi
kebangsaan Islam yang eksklusif, meski terus berusaha diperjuangkan,
tidak pernah berhasil menghentikan pembangunan-negara di Indonesia.
Yang pertama yaitu faktor budaya. Sebagaimana ditekankan Presiden
Yudhoyono dalam pidatonya di depan Aliansi Peradaban, Asia Tenggara
merupakan persilangan antara berbagai kebudayaan. Kecenderungan
pemurnian selalu diredakan oleh masyarakat Jawa yang dominan, yang
memilih untuk membaurkan Islam dengan kepercayaan dan praktik
tradisional.11 Islam di Indonesia tidak pernah bersekutu dengan suatu
kerajaan yang mampu memaksakan satu kepercayaan yang baku.
Sebaliknya, di masa pra-kolonial, nusantara terdiri atas kota-kota
perdagangan, kerajaan pedalaman, dan wilayah-wilayah kesukuan.
Sebagaimana dikatakan antropolog budaya Robert Hefner, “Selalu ada
penguasa-penguasa Muslim yang berbeda, beragam asosiasi keagamaan
yang berbeda, dan gagasan tentang menjadi Muslim yang baik yang juga
berbeda.”12
Meski demikian, godaan untuk menegaskan kekuatan politik Islam
selalu kuat. Presiden pertama Indonesia, Sukarno, sadar bahwa Islam
menempati kedudukan istimewa di Indonesia. Piagam Jakarta, draf
mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, memuat klausul soal keharusan
seorang Muslim untuk menjalankan ajaran-ajaran agamanya (Syariah).
Setelah perdebatan dan negosiasi yang alot, akhirnya ditetapkanlah
konstitusi yang berdasarkan sistem peradilan nasional yang sekular, tanpa
pengistimewaan terhadap agama yang dianut sebagian besar penduduknya
itu.13 Keputusan ini lebih didasarkan atas pentingnya integritas wilayah,
dan bukan sebab pengakuan atas kebebasan beragama tiap individu
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 149
warganegara. Di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia, non-Muslim
yaitu penduduk mayoritas—Bali mayoritas Hindu, sementara provinsi
seperti Papua dan Sulawesi Utara mayoritas Kristen—dan wilayah-wilayah
ini kemungkinan akan melepaskan diri dari Indonesia jika Jakarta
memaksakan Islam kepada mereka.14
Di bawah ideologi nasional Pancasila, negara mengakui agama Katolik,
Protestan, Hindu, Buddha, dan Islam. Hari besar agama-agama ini
dijadikan hari libur nasional. Belakangan, Konghucu juga masuk dalam
daftar agama yang diakui negara. Sila pertama Pancasila menyatakan
soal kepercayaan kepada Tuhan yang esa, menjadikan Indonesia negara
monoteis, tapi bukan negara Islam. Sekolah-sekolah diharuskan untuk
menyediakan pengajaran agama bagi setiap murid sesuai dengan agama
atau kepercayaannya.15
Tetapi seperti halnya nasionalisme sekular dari para pendiri negara
Amerika dan India yang tidak pernah sepenuhnya menghilangkan tuntutan
akan identitas nasional yang lebih sempit berdasarkan agama, Pancasila
juga harus berhadapan dengan tuntutan kalangan Islamis tentang negara
Indonesia itu. “Negara Syariah selalu merupakan kemungkinan sejarah,”
kata Mirjam Künkler, seorang pakar agama dan politik.16 Dalam sejarah
Indonesia setelah era kemerdekaan, banyak yang menuntut agar Indonesia
menjadi negara Islam, di mana hukum Islam bersifat mengikat untuk
setiap Muslim. Meski demikian, para pengusung negara Islam Indonesia
itu bersaing dengan kalangan sekular dan cendekiawan Muslim, serta para
tokoh masyarakat yang mendukung pluralisme agama. “Meskipun para
ulama konservatif tidak senang dengan percekcokan ini , hasilnya
tidak mempersempit tapi justru memperkaya suara politik kaum Muslim,”
terang Hefner.17
Sebagian kalangan sekular di atas diidentikkan dengan kalangan kiri,
artinya mereka merupakan sasaran utama saat militer dan kelompok
Muslim menghabisi kelompok komunis pada tahun 1965. Rezim Orde
Baru Soeharto yang ditopang oleh militer segera mengambil-alih
keunggulan partai-partai Muslim dan membatasi aktivitas politik. Kuatnya
cengkeraman Suharto mampu mengekang politik Islam bahkan saat
Indonesia mengalami kebangkitan agama yang kuat pada akhir 1970-an
dan awal 1980-an, suatu fenomena yang berlangsung bersamaan dengan
Revolusi Iran dan ditunjang oleh program pemberantasan buta huruf yang
Bab 5150
turut memfasilitasi pengajaran agama. Seperti halnya Hosni Mubarak di
Mesir, Suharto juga meminggirkan politik Islam. Meski begitu, selama
12 tahun terakhir masa kekuasaannya, Suharto akhirnya memanfaatkan
kekuatan unsur-unsur anti-demokrasi dalam organisasi-organisasi
Islam, merangkul kelompok-kelompok yang bersedia mendukung rezim
otoriternya, dan membalas mereka dengan akses kepada kekuasaan. Sejak
1996, saat kelompok oposisi pendukung demokrasi menguat dan Suharto
semakin terdesak, antek-antek Suharto mulai memakai retorika
anti-Kristen dan anti-China untuk memecah-belah lawan politik dengan
isu-isu etnis dan agama.18 Hal ini tidak hanya memicu kekerasan
yang ekstrem, tetapi juga mengikis budaya toleransi dan keterbukaan yang
diperlukan oleh demokrasi Indonesia yang baru.
Organisasi Muslim dalam Demokrasi Indonesia
Di masa pasca-Suharto, berbagai kelompok berlomba-lomba
memperebutkan kekuasaan dan pengaruh melalui sesuatu yang dapat
disebut ruang publik Islam. Demokratisasi membawa konsekuensi yang
sangat penting bagi kelompok beragama garis-keras. Pada satu sisi,
keterbukaan yang baru di Indonesia memberikan keleluasaan kepada
kelompok-kelompok ini . Tapi di sisi lain, mereka tidak dapat
bermimpi menguasai panggung. Mereka harus terus bersaing dengan
kelompok lain yang berbeda paham. Termasuk di antaranya yaitu
kelompok yang meyakini “Islam sosial” atau yang oleh Hefner disebut
“Civil Islam,” yang menolak gambaran keliru mengenai negara Islam dan
menafikan peran agama dalam persoalan publik. Jalan tengahnya “muncul
dalam bentuk agama publik yang mengemuka melalui asosiasi yang bebas,
dialog publik yang bernas, serta kedewasaan para pemeluknya.”19
sebab nya, naiknya keberagamaan tidak selalu ditampakkan dengan
sikap intoleran atau eksklusif. Sebagaimana telah saya sampaikan pada bab
2, kuatnya identifikasi keagamaan tidak langsung terkait dengan komitmen
terhadap demokrasi sekular—seperti, misalnya, Gereja Anglikan di Inggris
yang lebih melindungi kelompok minoritas jika dibandingkan dengan
Liga Pertahanan Inggris (English Defense League) yang sekular. Begitu
pun di Indonesia, kelompok yang cenderung konservatif tidak serta merta
menunjukkan sikap intoleran mereka terhadap kelompok lain. Sebaliknya,
kelompok-kelompok Muslim yang anti-demokrasi dan eksklusif tidak serta
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 151
merupakan kelompok yang paling taat atau berpengaruh.
Di antara kelompok yang paling keras yaitu Jemaah Islamiyah (JI)
yang memiliki kaitan dengan Al Qaeda, yang bertanggungjawab atas teror
bom di Bali dan Jakarta pada tahun 2001. Sementara JI mulai melemah,
kelompok-kelompok Islam keras lainnya bermunculan, menyasar penganut
Kristen di tingkat lokal. Mereka memandang bahwa umat Yahudi dan
Nasrani yaitu musuh Islam. Mereka mengaku membela umat Muslim dari
gencarnya penyebaran agama Kristen yang dilakukan para misionaris.20
Di antara kelompok yang paling gencar menyebarkan kebencian
yaitu Forum Pembela Islam (FPI). Tidak ada organisasi yang dapat
menggambarkan dengan lebih jelas sumber pelintiran kebencian dalam
oportunisme politik selain organisasi keagamaan. FPI tidak lahir dari
madrasah radikal atau gagasan tentang kekhalifahan dunia. Dia lahir dari
aparat negara yang sekular. Mereka digalang dan dilatih oleh militer untuk
menghalau para pemrotes terhadap pemerintah—kebanyakan mahasiswa
dan masyarakat kelas menengah—beberapa bulan setelah Suharto lengser
dan digantikan oleh wakilnya, B. J. Habibie. FPI memakai kekuatan
massa untuk menghadapi kekuatan rakyat. Berbeda dengan kelompok
teroris, FPI tidak memakai senjata api atau bom—“senjata mereka
yaitu tongkat dan pemukul, yang lebih cocok untuk mengintimidasi
lawan dan merusak properti.”21
Setelah menguasai bidangnya, FPI tidak mengakhiri fungsinya sebagai
“preman bayaran” meskipun dominasi politik militer mulai memudar.
Dengan seragam hitam dan bersenjatakan bambu, FPI terus mencari
patron—termasuk pejabat pemerintahan dan lembaga keamanan—yang
memerlukan peran FPI untuk menjadi kelompok Muslim yang reaksioner.22
Pasca-serangan terhadap warga Kristen oleh anggota JI di Sulawesi Tengah
pada 2005, pihak kepolisian bahkan mengirim pimpinan FPI untuk
berceramah keliling provinsi. “Polisi beranggapan bahwa jika seorang
pemuda dapat diubah menjadi preman bermoral, setidaknya itu lebih baik
daripada berubah menjadi teroris,” kata Sidney Jones.23
FPI terang-terangan anti-demokrasi, memandang bahwa keterbukaan
politik akan mengubah rakyat Indonesia menjadi kafir. International Crisis
Group menyebut FPI “kaum moralis ekstrem,” tetapi sepak terjang mereka
lebih dapat dijelaskan dengan faktor uang dibandingkan dengan faktor
moral. “FPI telah mengukuhkan kedudukannya dalam dunia perpolitikan
Bab 5152
dengan sengaja menciptakan ketegangan sosial dan kepanikan moral
yang dengan itu mereka menempatkan dirinya sebagai broker; semacam
pemeras moralitas,” kata Ian Wilson, ilmuwan politik yang mempelajari
FPI dari dekat.24
Kelompok kebencian lainnya tidak terlibat dalam aksi kekerasan secara
langsung tetapi menyebarluaskan pandangan intoleran yang mendorong
kaum ekstremis dan membenarkan diskriminasi. Di antara yang paling
berpengaruh yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok utopis
radikal ini mendekati kelompok menengah terdidik di organisasi Muslim
lain, di universitas, dan instansi pemerintahan, untuk menyebarkan paham
kekhalifahan dunia. Seperti halnya JI dan FPI, anggota HTI menolak
pemilihan umum dalam demokrasi sebab dianggap sebagai hukum
buatan manusia. Meski tidak melakukan kekerasan, mereka mendukung
intoleransi dan permusuhan terhadap non-Muslim dan kelompok Muslim
lainnya yang mereka anggap menyimpang. HTI lihai dalam “meyakinkan
kalangan Muslim moderat untuk menerima pandangan Islamis mengenai
suatu masalah sebagai pandangan Islam.”25
Tapi yang paling berperan dalam menyuburkan intoleransi yaitu
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Didirikan oleh Suharto pada 1975
sebagai suara sah umat Muslim Indonesia, lembaga ini menyatakan
berlepas diri dari pemerintah setelah Suharto tumbang. MUI berusaha
menjauhkan masyarakat Indonesia dari mengadopsi gaya hidup yang luwes
dan cenderung menerima lingkungan baru yang makin kosmopolitan;
sebaliknya, lembaga itu mendorong kepatuhan yang lebih ketat kepada
fatwa-fatwa yang dikeluarkannya. Hal ini turut menjustifikasi keberadaan
MUI—dan menjadi andalannya. MUI mengatur sertifikasi halal yang
menjadi sumber utama pendapatannya. Maraknya make up halal,
misalnya, menguntungkan pengusaha Muslim sekaligus MUI. Fatwa yang
dikeluarkan MUI tidak mengikat secara hukum tetapi kerap digunakan
untuk membenarkan tindakan intoleran. Agen pelintiran kebencian
terus merujuk fatwa MUI pada 2005, yang mengharamkan sekularisme,
pluralisme, dan liberalisme—sengaja disingkat SiPiLis agar sama dengan
nama penyakit kelamin.26
Dua pilar utama yang menghalau kecenderungan ektremis dalam
ruang publik Islam yaitu dua ormas Islam Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Ada juga Jaringan Islam Liberal (JIL) yang lebih kecil
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 153
serta jaringan cendekiawan urban yang diinspirasi oleh gerakan pembaruan
mendiang Nurcholish Madjid, yang mengedepankan kebebasan dan
keterbukaan.27 Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan pada 1926 dan kini
diperkirakan telah memiliki sekitar 50 juta anggota, yaitu organisasi
Islam terbesar di Indonesia, dan boleh jadi merupakan organisasi Muslim
Sunni terbesar di dunia. Setelah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan,
NU kemudian menarik-diri dari dunia politik dan memusatkan kegiatan
keagamaannya di bidang pendidikan dan kebudayaan. Tujuannya yaitu
untuk menciptakan masyarakat Muslim yang beradab dengan nilai-nilai
toleransi dan partisipasi, untuk mengimbangi negara yang dirasa semakin
tidak amanah.
Tokoh yang lama memimpin NU, Abdurrahman Wahid, menjadi
presiden pertama Indonesia yang terpilih melalui proses pemilihan
demokratis. NU memiliki keluwesan tradisionalis, yang terbuka terhadap
budaya dan sikap sinkretis yang telah lama dianut masyarakat bawah,
berbanding terbalik dengan pendekatan Islam yang lebih doktriner.
NU didirikan sebagai reaksi terhadap berdirinya Muhammadiyah yang
kini merupakan kelompok Muslim terbesar kedua di Indonesia. Sejak
didirikan pada 1912, Muhammadiyah berupaya memodernkan Islam
di Indonesia dengan menghilangkan praktik-praktik sinkretis. Hal ini
membuat Muhammadiyah tampak condong kepada pemurnian agama,
yang kemudian dibawa ke tingkat ekstrem oleh sebagian pengikutnya yang
garis-keras. Tapi penekanan organisasi ini kepada kajian dan penafsiran
pribadi, yang diperlawankan dengan ketundukan buta kepada ajaran ulama,
membuatnya terbuka kepada dialog dan menjauhkannya dari kekerasan.
Indonesia juga memiliki sejumlah partai politik yang berbasis Muslim,
yang paling besar dan berpengaruh di antaranya yaitu Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). PKS mencitrakan dirinya sebagai partai modern yang
tidak bertujuan mendirikan negara Islam. Meski sebelumnya sempat
menekankan pentingnya Syariah, PKS kini lebih fokus pada agenda
anti-korupsi dan nilai-nilai konservatif. PKS awalnya diinspirasikan oleh
Ikhwanul Muslimin di Mesir, tapi belakangan lebih menyerupai partai
yang kini berkuasa di Turki, AKP.28 Partai Islam tertua di Indonesia yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengusung Syariah. Partai-
partai Islam yang lainnya lebih moderat, seperti Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKB menjadi partai pengusung
pimpinan Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid.
Bab 5154
Salah satu paradoks dalam demokrasi Indonesia yaitu kegagalan
partai-partai berbasis Muslim dalam pemilu, di tengah antusiasme
publik akan peran agama yang lebih besar dalam kehidupan publik.
Banyak pengamat menjelaskan lemahnya kinerja partai-partai Islam
ini sebagai kemenangan nilai-nilai demokrasi sekular. Akan tetapi
hasil pemilu menunjukkan gambaran yang lebih pelik. Salah satu alasan
mengapa partai-partai Islam itu kurang mampu mengapitalisasi suasana
keagamaan penduduk Indonesia yaitu sebab partai-partai sekular
sendiri merespons perkembangan ini dengan memakai simbol
dan jargon Islam.29 Para pejabat Muslim yang lebih konservatif mulai
bermunculan di jabatan-jabatan pemerintahan utama, mendesakkan
nilai-nilainya dengan mengorbankan kebebasan berekspresi dan hak-hak
kaum minoritas agama. Pada periode kedua pemerintahan Yudhoyono,
empat menteri kabinetnya termasuk dewan penasihat MUI, yang turut
diuntungkan oleh limpahan dana pemerintah. sebab itu, melihat politik
Indonesia dari kacamata biner agama/sekular dapat menyesatkan, kata
ilmuwan politik Robin Bush. Negara sekular yang bukan negara Islam
seperti Indonesia, sebab kalkulasi politik yang rasional, bisa mengusung
agenda konservatif dan anti-pluralisme.30
Di tingkat bawah, intoleransi agama terlembagakan dalam badan
pemerintah yang bernama Bakorpakem. Ini yaitu singkatan dari Badan
Koordinasi Pengawas aliran Kepercayaan Masyarakat. Badan ini berada di
bawah bagian intelijen kantor kejaksaan, yang memiliki cabang di setiap
provinsi dan kabupaten/kota. Badan itu bertugas mengawasi kepercayaan
dan praktik yang dianggap berbahaya oleh kelompok garis keras.31 Badan
seperti Bakor Pakem ini, bersama para politisi oportunis, pemuka MUI,
dan preman FPI, serta kelompok penyebar kebencian lainnya menjadikan
pelintiran kebencian sebagai bagian dari demokrasi Indonesia. Wacana
pluralisme dan toleransi, meski memiliki fondasi yang kuat di masyarakat
Indonesia, tergoyahkan oleh norma-norma agama yang lebih absolut dan
eksklusif. “Naiknya legitimasi terhadap ortodoksi di masyarakat Muslim
di seluruh dunia—yang mencerminkan perubahan sosial dan sikap yang
mendasarinya—tidak luput menyapu Indonesia,” kata Donald Emmerson,
pakar politik Indonesia terkemuka.
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 155
Lingkungan Hukum
Pelintiran kebencian di Indonesia berlangsung dalam lingkungan hukum
yang campur-aduk di mana unsur progresif bersanding dengan unsur yang
sudah ketinggalan zaman. Gerakan Reformasi pro-demokrasi yang telah
menjatuhkan rezim Suharto pada Mei 1998 bahkan mempengaruhi para
anggota dewan yang dipilih secara langsung oleh Suharto. Hanya dalam
kurun enam bulan sejak jatuhnya Suharto, mereka mendukung ratifikasi
instrumen-instrumen HAM PBB.32 Pembatasan izin pers dan larangan
lainnya dicabut di masa euforia reformasi ini, mendorong lahirnya banyak
media kritis.33 Sebagai bagian dari amandemen yang disahkan pada tahun
2000, kebebasan berekspresi dituangkan dalam Undang-Undang Dasar
Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan memakai segala jenis saluran
yang tersedia.”34
Akan tetapi, sejak 2004, arus liberalisasi itu tampaknya harus
menghadapi arus balik konservatisme. Rancangan Undang-Undang
Anti-pornografi yang awalnya hanya berisi pernyataan-pernyataan
umum dan tidak kontroversial tiba-tiba melebar sampai mengatur soal
“porno-aksi”—segala sesuatu yang dianggap tidak patut oleh kalangan
konservatif. Rumusan yang baru ini akan menjerat hiburan populer, seni
tradisional, perilaku publik, dan pakaian perempuan yang tidak sesuai
dengan standar kepatutan yang ditetapkan sebagian pemuka Muslim.35
“Perang budaya” pun mengemuka, menghadapkan kalangan konservatif
Muslim dengan banyak aktor masyarakat sipil, termasuk di antaranya
kelompok perempuan dan organisasi kebudayaan.36 ada setidaknya
empat provinsi—termasuk di antaranya Bali yang mayoritas Hindu dan
Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen—yang menentang rencana undang-
undang ini sebab bias budaya di dalamnya. saat RUU itu akhirnya
disahkan pada 2008, jelas bahwa dia pada dasarnya sulit diberlakukan.37
Perdebatan mengenai pornografi yaitu cerminan dari persoalan
yang lebih besar mengenai siapa yang berhak mendefinisikan budaya
Indonesia yang baru. Jawabannya beragam. Di satu sisi, keberhasilan
kalangan konservatif dalam meloloskan undang-undang yang bermasalah
memperlihatkan besarnya kekuatan mereka di mata para elite politik.
Bab 5156
Di sisi lain, undang-undang anti-pornografi sendiri kini umumnya
terabaikan, menunjukkan bahwa sebagian besar Muslim di Indonesia, serta
sebagian kecil non-Muslim yang berpengaruh, tidak akan membiarkan
kalangan konservatif garis-keras mencampuri kehidupan mereka terlalu
jauh. Kelompok garis-keras mungkin sudah keterlaluan saat mereka
mengecam segala macam, mulai dari lukisan telanjang hingga pertunjukan
dangdut—genre musik dan tari yang populer di Indonesia. Seandainya para
agen pelintiran kebencian menyasar hal-hal yang tidak begitu menarik
perhatian publik, mungkin mereka tidak akan mendapatkan banyak
penolakan. Mereka dengan mudah mendapatkan kambing hitam pada
kelompok agama minoritas yang tidak populer. Kelompok garis-keras
bahkan tidak perlu membuat undang-undang baru sebagai senjata mereka.
Undang-Undang Penistaan Agama yang sudah berusia puluhan tahun
dapat mereka gunakan untuk melancarkan kampanye pelintiran kebencian.
Kebebasan Beragama dan Undang-Undang Penistaan
Agama
Jeratan Undang-Undang Penistaan Agama, serta perlakuan istimewa
kepada kelompok agama tertentu, telah menciptakan kondisi ideal bagi
pelintiran kebencian yang menyasar kelompok agama minoritas. Hukum
disalahgunakan sebagai alat penindas oleh kelompok penyebar kebencian
yang mengklaim mewakili mayoritas Muslim Sunni. Seperti halnya di
India, hukum yang melarang penghinaan terhadap agama di Indonesia
memungkinkan agen pelintiran kebencian untuk menodongkan perangkat
koersif negara kepada kelompok-kelompok sasarannya. Kebijakan-
kebijakan negara yang diskriminatif juga digunakan secara tidak langsung.
Aktor-aktor non-pemerintah membenarkan hasutan kekerasan yang
mereka lakukan dengan mengutip Undang-Undang Penistaan Agama serta
pernyataan pejabat yang menyebut kelompok minoritas tertentu sebagai
kelompok sesat.
Undang-Undang 1945 Indonesia menjamin kebebasan setiap orang
untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Undang-
Undang HAM Tahun 1999 (39/1999) menjamin kebebasan beragama,
dan Amandemen UUD Tahun 2001 memperkuat hal itu. Pasal 28E UUD
menjamin hak warganegara untuk memilih dan menjalankan agama yang
dipilihnya, serta untuk meyakini dan mengekspresikan keyakinannya
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 157
itu sesuai nuraninya. Akan tetapi, Pasal 28F membolehkan negara untuk
membatasi pelaksanaan hak kebebasan beragama atas dasar tertentu.
Hal ini sebagian sejalan dengan Pasal 18 Konvensi Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik (IICPR), yang membolehkan pembatasan demi
“melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, moral, atau hak asasi dan
kebebasan seseorang.” Akan tetapi, versi yang ada di Indonesia mengakui
alasan tambahan untuk membatasi kebebasan beragama, yaitu “nilai-nilai
agama.” Dengan kata lain, negara dapat membatasi ekspresi keagamaan
kelompok tertentu jika dianggap bertentangan dengan nilai agama lain—
yang tentu menyalahi prinsip kebebasan beragama itu sendiri.
Celah itulah yang membuat Undang-Undang Penistaan Agama terus
bertahan hingga abad ke-21.38 Disahkan oleh Dekrit Presiden pada tahun
1965, Pasal 1 Undang-Undang Penistaan Agama melarang berbagai
tindakan dan pemaknaan yang menyimpang dari ajaran dasar sebuah
agama. Hal ini berlaku pada enam agama “yang dianut oleh penduduk
Indonesia.” Ajaran dan praktik keagamaan di antara keenam agama
ini (misalnya Protestantisme) tidak dianggap sebagai penyimpangan
dari yang lain (misalnya Katolisisme). Undang-undang itu juga tidak
melarang agama yang jelas berbeda dari keenam agama ini , misalnya
Yahudi.39 sebab itu, dampaknya lebih banyak berimbas kepada komunitas
yang mengamalkan bentuk Islam yang lain, seperti aliran Ahmadiyah.
Menurut Pasal 2 undang-undang ini, sang pelanggar terlebih dahulu
akan diminta untuk menghentikan amalan keagamaannya. Jika tidak,
maka akan dikenakan pelarangan atau pembubaran terhadap kelompok
pelanggar serta hukuman penjara selama lima tahun (Pasal 3). Pasal 4
dapat digunakan untuk menyasar penganut kepercayaan tradisional:
Pasal itu melarang pandangan-pandangan yang menjauhkan orang untuk
menganut agama monoteis.
Perundangan yang sangat restriktif ini luput diperhatikan di tengah
gegap-gempita periode Reformasi pasca-Suharto. Selain sebab undang-
undang ini jarang digunakan, hal ini terjadi sebab perubahan
undang-undang komunikasi di Indonesia mengikuti pola yang umum
terjadi dalam transisi demokrasi: penghapusan batasan struktural terhadap
media industri didahulukan, baru belakangan mengurusi batasan pada
kontennya.40 Baru saat potensi represif dari Undang-Undang Penistaan
Agama mulai tampak, orang-orang mulai menuntut agar undang-undang
ini dicabut.41 Mereka menilai undang-undang ini bertentangan
Bab 5158
dengan konstitusi dan melanggar Konvensi Internasional tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006.
Menurut mereka, undang-undang ini menempatkan negara dalam posisi
yang tidak bisa diterima, sebab negara harus ikut menetapkan ajaran
dasar sebuah agama dan memilah mana yang menyimpang darinya.
Meski demikian, pada 2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk
mempertahankan undang-undang ini. MK mengutip UUD 1945 Pasal 28J
yang disebut di atas, yang menyatakan bahwa undang-undang ini masih
“sangat diperlukan” untuk mencegah penyimpangan agama serta menjamin
kerukunan umat beragama dan ketertiban umum.42
Yang mirip dengan Undang-Undang Penistaan Agama yaitu Pasal
156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang larangan
menghina atau menodai agama-agama yang telah diakui di Indonesia.
Penodaan agama juga diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 11/2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal ini menyasar siapa
pun yang “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu” berdasarkan suku, agama, atau
ras. Pasal inilah yang digunakan untuk memenjarakan Alexander Aan
yang mengaku atheis dan menyebarkan laman provokatif tentang Islam
di Facebook.43
Alih-alih memelihara kerukunan dan ketertiban, aturan-aturan ini
justru memungkinkan terjadinya pelintiran kebencian, yang kemudian
memicu diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan
yang dianggap tidak beragama. Di atas kertas, undang-undang Indonesia
memberikan jaminan perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan
semacam itu. Undang-Undang No. 40/2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, misalnya, melarang hasutan kebencian. Pasal
156 KUHP mengancam hukuman penjara selama empat tahun untuk
ujaran kebencian atas dasar ras, agama, dan golongan. Tapi penegakan
hukum yang tebang pilih membuat hukum kerap berpihak kepada
gerombolan massa yang menentang kelompok minoritas yang rentan.
Kebencian anti-Kristen
Kelompok garis-keras sangat menentang apa yang mereka sebut sebagai
“Kristenisasi” Indonesia. Mereka menunjukkan upaya-upaya penyebaran
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 159
agama dari para misionaris dan evangelis, serta semakin besarnya pengaruh
Kristen di kalangan politisi dan pengusaha. Seperti biasanya, hal itu kerap
kali dibesar-besarkan dari sebagian kecil fakta. Para penyebar agama
Protestan, baik dari Amerika maupun lokal, memang aktif di Indonesia,
khususnya di wilayah Jawa Barat yang berdekatan dengan Jakarta. Beberapa
dari mereka terang-terangan membawa misi untuk mengajak umat Muslim
berpindah agama ke Kristen. Cara kontroversial yang mereka lakukan
misalnya yaitu menyebarkan selebaran dengan tulisan Arab, sehingga
sekilas tampak seperti bacaan Islam.44 Yayasan Mahanaim, misalnya,
konon membentuk tanda salib di depan sebuah masjid di Bekasi untuk
menyucikan area ini .45 Cara-cara penyebaran agama yang agresif
semacam itu membuat masyarakat Indonesia gusar. Banyak kelompok
Islamis yang berusaha menggalakkan kegusaran ini menjadi reaksi
ketersinggungan yang lebih keras. Akibatnya, orang dan kelompok yang
tidak ada sangkut pautnya dengan tindakan provokatif dari segelintir
kelompok evangelis itu pun turut terkena imbasnya.
Salah satu kasus pelintiran kebencian, misalnya, menyasar patung
“Tiga Mojang” karya seniman Bali, Nyoman Nuarta.46 Patung setinggi
17 meter ini didirikan di Bekasi pada 2007, menggambarkan tiga
perempuan yang mengenakan pakaian adat Sunda, kelompok etnis di Jawa
Barat yang sebagian besar beragama Islam. Patung ini sesuai dengan
gaya Nyoman Nuarta yang sarat dengan tema budaya dan non-agama.
Selama tiga tahun, patung yang terbuat dari perunggu dan tembaga itu
berdiri di depan sebuah kompleks perumahan. Akan tetapi, pada awal
2001, kelompok-kelompok Islamis mulai menuding bahwa patung ini
merupakan provokasi umat Kristen. Mereka menyebutkan bahwa patung
ini sebenarnya yaitu lambang Perawan Maria—atau, boleh jadi,
Trinitas.47 Untuk mengaitkannya dengan simbol ketidakadilan, mereka
juga menyatakan bahwa patung ini diletakkan di tempat bersejarah di
mana para pejuang Muslim gugur dalam perang melawan penjajah Belanda.
Pada 14 Mei 2010, terjadilah demonstrasi massa menentang Kristenisasi
dan para pendemo mengecat patung ini dan menutupinya dengan
kain. saat mereka mengajukan petisi kepada Walikota Bekasi untuk
merobohkan patung ini , Walikota menyetujuinya. Dia tampaknya
kurang mendapatkan dukungan politik dari kelompok Muslim dan takut
dituduh bersimpati kepada kelompok Kristen. Pemilik patung kemudian
membongkar patung ini dan memindahkannya ke kota lain.48
Bab 5160
Tapi pelintiran kebencian anti-Kristen yang paling serius dan
berkepanjangan yaitu yang menyasar pembangunan gereja. Banyak
rencana pembangunan gereja yang terganjal di tataran birokrasi dan
beberapa di antaranya mendapatkan serangan fisik.49 Salah satu korbannya
yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi. Denominasi
berbasis-etnis ini memang tidak bertujuan menarik umat Muslim
berpindah agama menjadi Kristen tetapi mereka dituduh mendorong
Kristenisasi di Indonesia. Suku Batak merupakan kelompok pendatang
terbesar di Bekasi sehingga masalah terbesar mereka dengan kelompok
lokal Betawi lebih terkait dengan persoalan sosio-ekonomi dan xenofobia
daripada persoalan agama. Pada 2007, salah satu dari kongregasi HKBP,
Filadelfia, membeli sebidang tanah untuk mendirikan gereja. Jemaatnya,
yang kurang lebih terdiri dari 130 keluarga, sebelumnya melakukan
kegiatan ibadah di rumah salah satu anggota jemaat. Meskipun telah
memenuhi berbagai persyaratan, rencana pendirian gereja ini
mendapat hambatan dari pemerintah setempat. Nasib serupa juga dialami
Kelompok Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor. Yang menarik
dari kedua kasus ini yaitu mereka berhasil membawa kasusnya
hingga ke Mahkamah Agung; dua-duanya menang di atas kertas—tetapi
tidak di lapangan, sebab mereka tetap mendapat hambatan dari pejabat
setempat. Pemerintah Indonesia tidak mengambil tindakan apa-apa
untuk menegakkan putusan MA ini .50 Sebagai bentuk protes, setiap
dua minggu sekali jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin mengadakan
kegiatan ibadah bersama di seberang Istana Presiden.51
Pimpinan dua jemaat ini tidak melihat Islam sebagai masalah.52
Buktinya, mereka selalu memberi tempat kepada wakil organisasi Islam
terbesar, seperti Nahdlatul Ulama, dalam kegiatan ibadah mereka.
Mereka lebih merasa sebagai korban pemerintah daerah yang Islamis atau
memerlukan dukungan politik kelompok Islamis. Malah, ada beberapa
kelompok garis-keras yang bersedia menurunkan kadar penolakan mereka
jika ada ongkosnya. Kelompok yang terang-terangan mendasari tindakan
intoleransinya atas dasar agama diam-diam menarik uang keamanan
dari para korbannya, dengan imbalan tidak akan melakukan penolakan
terhadap pembangunan rumah ibadah mereka. Banyak gereja yang memilih
solusi pragmatis ini , tapi Filadelfia dan Yasmin lebih memilih untuk
menuntut kebebasan beragama yang dijanjikan Pancasila. Didorong oleh
putusan Mahkamah Agung yang memenangkan mereka, mereka merasa
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 161
punya tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan mereka. “Membayar
kelompok-kelompok itu mungkin akan menyelesaikan masalah kita, tapi
tidak menyelesaikan akar masalahnya, yaitu untuk membela konstitusi
kita,” kata juru bicara Yasmin, Bonar Sigalingging. “Kami percaya bahwa
kami harus memperjuangkan hak kami sebagai warganegara Indonesia.”53
Pemerhati agama dan politik Indonesia berpendapat bahwa hukum
yang buruk turut menyebabkan masalah yang dialami gereja-gereja
ini . Kendala administratif terbesar bagi jemaat Filadelfia yaitu
Peraturan Bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama
8/9. Peraturan ini menyatakan bahwa untuk rencana pendirian
rumah ibadah harus disetujui oleh 60 warga dari penganut agama yang
berbeda, serta kepala kantor urusan agama daerah dan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB). Proses ini dimaksudkan untuk mengurangi
risiko terjadinya konflik, tetapi sering kali malah berakibat sebaliknya.
Dengan memberi peluang kepada para pemuka agama dan masyarakat
untuk memutuskan permohonan pendirian rumah ibadah, negara telah
melepaskan kewajibannya untuk melindungi hak kelompok minoritas.
Penempatan dan peraturan teknis memang diperlukan, kata Ihsan Ali-
Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) di Universitas
Paramadina. “Tetapi keputusan-keputusan ini seharusnya diambil di
ruang perundingan, bukan di jalan,” lanjutnya.54 Dalam dua kasus yang
diamatinya, peraturan bersama 2006 merusak norma-norma kerjasama
antar-agama yang sebelumnya dimiliki masyarakat. Di Ende dan Ambon,
misalnya, umat Muslim dan Kristiani memiliki tradisi untuk bergotong-
royong membangun masjid dan gereja: Umat Kristen menyumbangkan
tiang untuk masjid sementara umat Muslim turut membantu pembangunan
gereja. Peraturan perizinan yang baru mematikan tradisi ini dengan
memungkinkan pemerintah daerah untuk menolak pembangunan tempat
ibadah yang dianggap dapat mengundang penolakan kelompok intoleran.
Dalam kasus Filadelfia, panitia pembangunan gereja berhasil mendapatkan
60 tanda tangan persetujuan warga, tetapi permohonan mereka digagalkan
di kantor kementerian agama daerah.
Dari berbagai studi mengenai represi terhadap umat Kristiani di
Indonesia, tidak ditemukan bukti mengenai adanya perseteruan atau
pertentangan mendasar antara umat Kristiani dengan negara berpenduduk
mayoritas Muslim ini.55 Yang bermasalah yaitu pembatasan dan
Bab 5162
pembiaran dari sejumlah aktor yang teridentifikasi: kelompok kebencian
dan kekerasan beserta para pemimpin ideologisnya, juga pejabat
pemerintah yang gagal menegakkan hukum. Jika ada reformasi hukum dan
ada komitmen pemerintah di semua tataran untuk menegakkan hukum,
mestinya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak bisa memenuhi
kewajibannya untuk melindungi warganya yang Kristiani.
Persekusi terhadap para Penyimpang
Kelompok minoritas di dalam kelompok Muslim Indonesia juga mengalami
penganiayaan dan mereka diabaikan oleh negara. Menurut Franz Magnis-
Suseno, romo Katolik dan filsuf yang telah tinggal di Indonesia selama
hampir 50 tahun, kaum minoritas Muslim merasakan pukulan berat akibat
intoleransi di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa teologi Muslim arus
utama umumnya menerima agama lain seperti Kristen dan tidak merasa
“dinistakan” oleh keberadaan maupun cara peribadahan mereka.56 sebab
itu, dia menilai, sebagian besar Muslim di Indonesia tidak keberatan
dengan pandangan bahwa umat Kristiani juga harus diperlakukan sebagai
warganegara. Tetapi tidak demikian halnya dengan penganut Ahmadiyah
atau Syiah. “Hanya sebagian kecil Muslim saja yang dapat mengakui hak
kebebasan beragama mereka secara penuh,” kata Magnis-Suseno.57
Kebencian anti-Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah yaitu kelompok yang paling sering mengalami
penganiayaan secara terbuka di Indonesia. Ahmadiyah yaitu sebuah
gerakan yang muncul di kalangan Muslim India pada 1880-an dan masuk
ke Indonesia pada 1920-an. Mereka mengklaim memiliki 400.000 orang
anggota, meski demikian Kementerian Agama menyebutkan jumlahnya
hanya 50.000 sampai 80.000 orang saja.58 Kelompok arus utama melaporkan
Ahmadiyah sebagai aliran menyimpang terutama sebab keyakinan
mereka bahwa Nabi Muhammad bukanlah penerima wahyu terakhir;
Ahmad, pendirinya, mengaku telah menerima wahyu sebagai Imam
Mahdi. “Sebagian umat Muslim melihat ‘aliran’ semacam itu sebagai
ancaman langsung terhadap keyakinan mereka, merusak agama mereka
dari dalam, dan sebagai pengingkaran terhadap agama yang diturunkan
Tuhan.” kata Magnis-Suseno.59 Bambang Harymurti, pemimpin majalah
Tempo, sependapat bahwa prasangka terhadap Ahmadiyah memang
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 163
meluas. “Kalangan terdidik sekalipun ikut tertipu, bahwa Ahmadiyah
memiliki Alquran yang berbeda, dan sebagainya.”60 Pasca-tahun 2000,
kelompok moralis ekstrem seperti Forum Pembela Islam (FPI) menyasar
Ahmadiyah secara khusus. Pada tahun 2005, MUI—di salah satu dari
sekian fatwa intoleran yang dikeluarkan pada tahun itu—menyatakan
bahwa Ahmadiyah seharusnya dilarang.61
Pemerintah, paling banter, abai memberikan perlindungan keamanan
kepada warganegara yang lemah itu. Yang lebih buruk, pemerintah ikut
mendorong budaya intoleran. Pada 2005, jemaat Ahmadiyah dipaksa
memohon perlindungan ke pihak kepolisian setelah pertemuan tahunannya
di Bogor diserang. Pemerintah kota merespons seperti umumnya di
mana penegakan hukum lemah: mereka memihak kepada para penindas
yang jumlahnya lebih besar, bukan korban yang jumlahnya lebih
sedikit, yang dianggap telah memprovokasi kalangan mayoritas. saat
pemerintah meminta jemaat Ahmadiyah menutup kantornya di Bogor,
FPI mendesakkan putusan itu dengan mengerahkan sekitar 3.000 massa.
Setelah pengikut Ahmadiyah dievakuasi, massa kemudian menjarah dan
membakar rumah serta bangunan lainnya. Tidak ada yang ditangkap atas
tindakan ini .62 Sejak itu, kantor pusat Ahmadiyah sering mendapatkan
serangan. Di sejumlah daerah, massa mengusir pengikut Ahmadiyah dari
tempat tinggalnya. Pada 2005, sebuah komunitas diusir dari Mataram,
Nusa Tenggara Barat, dan lebih dari 100 orang masih menjadi pengungsi
dalam negeri setelah sepuluh tahun peristiwa itu terjadi.63
Tahun 2008 menandai titik puncaknya. Pada bulan April, badan
pemerintah yang mengurusi soal penyimpangan, Bakor Pakem,
mendukung pelarangan nasional terhadap semua aktivitas Ahmadiyah,
mengulangi rekomendasi yang muncul pada tahun sebelumnya.64
Menanggapi hal itu, kalangan liberal menggelar aksi damai sebagai
bentuk dukungan kepada Pancasila dan kebebasan beragama. Aksi pada
1 Juni di Jakarta pusat diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), sebuah organisasi yang
memayungi lebih dari 70 organisasi, termasuk Ahmadiyah.
Sedikitnya 400 orang anggota FPI dan kelompok radikal lainya menyerbu
aksi yang berlangsung di Monumen Nasional (Monas) itu. Bersenjatakan
pentungan dan bambu runcing serta teriakan kecaman kepada Ahmadiyah,
mereka menganiaya para pengunjuk rasa dan mencederai sekitar 70
Bab 5164
orang. Salah satu koordinator aksi ini , Mohammad Guntur Romli
dari Jaringan Islam Liberal, mengingat bagaimana tidak siapnya mereka
menghadapi serangan ini . Kejadian ini tidak terjadi di tempat
terpencil, melainkan di salah satu titik penting nasional, yang dikelilingi
oleh Istana Presiden dan bangunan pemerintahan lainnya. Pagi di hari
yang sama, di lokasi yang persis sama, sebuah perhelatan Pancasila
diselenggarakan oleh sebuah partai politik dan diawasi secara ketat oleh
polisi. Sorenya petugas kepolisian meninggalkan lokasi dan FPI mulai
mendatangi aksi damai ini . Guntur menghabiskan empat hari
berikutnya di rumah sakit untuk perawatan luka-luka yang dideritanya.65
Kemarahan publik atas kejadian ini kemudian memaksa
pemerintah bereaksi—sekalipun dengan cara klasik tanpa menyoal
pelintiran kebencian dan kekerasan massa. Pemerintah mengutamakan
ketertiban di atas hukum, dengan memihak kelompok intoleran yang
telah melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas yang taat
hukum. Pada 9 Juni 2008, delapan hari setelah serangan itu, Kementerian
Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, mengeluarkan
Keputusan Bersama yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah jika
mereka mengaku sebagai penganut agama Islam. Keputusan ini dikeluarkan
berdasarkan Undang-Undang Penodaan Agama. Keputusan Bersama
ini tidak serta-merta menyatakan bahwa Ahmadiyah yaitu kelompok
terlarang. Selain itu, Keputusan Bersama ini melarang tindakan main
hakim sendiri terhadap Ahmadiyah. Akan tetapi, keputusan ini sama
saja dengan menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah tidak memiliki hak
yang sama dengan pengikut agama lainnya.66
Jika Keputusan Bersama ini ditujukan untuk menenangkan
kalangan Muslim ortodoks dan memelihara perdamaian, maka hal itu
gagal total. Ketersinggungan yang dibuat-buat semacam itu, dalam rumus
pelintiran kebencian, tidak ditujukan untuk perdamaian, tetapi lebih untuk
keuntungan politik yang diperoleh dari kondisi keterhasutan. Tidak heran
jika kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah kepada kelompok
absolutis itu semakin membesarkan mereka. Langkah pemerintah pusat
ini juga mendorong sejumlah pemerintah daerah untuk melarang
aktivitas jemaat Ahmadiyah.67
Menteri-menteri, pemerintah daerah, dan kelompok-kelompok
penyebar kebencian saling memberikan umpan. Gerakan anti-Ahmadiyah
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 165
semakin meningkat. Pada Oktober 2010, Menteri Agama, Suryadharma
Ali, melontarkan ide untuk melarang Ahmadiyah sepenuhnya. Pada
2011, sekitar setengah dari 33 provinsi di Indonesia telah memberlakukan
pelarangan terhadap Ahmadiyah.68
Bagi umat Muslim arus utama, pelarangan terhadap Ahmadiyah
mungkin hanya langkah simbolis saja. Tapi di daerah-daerah di mana
pelanggaran kebebasan beragama rutin terjadi, pernyataan pemerintah
semacam itu tidak hanya sampai ke telinga tetapi juga ke tangan-tangan
yang tidak sabar menerjemahkan abstraksi teologis ke dalam aksi
kekerasan. Pada 6 Februari 2011, tiga pengikut Ahmadiyah di Cikeusik,
Banten, diserang dan dibunuh dalam insiden anti-Ahmadiyah paling parah
yang terjadi di Indonesia.69
Sudah bertahun-tahun para pemuka agama setempat merasa tidak
senang kepada Ismail Suparman, pengurus Ahmadiyah di Cikeusik, dalam
menyebarkan agamanya. Rumahnya dijadikan pusat aktivitas Ahmadiyah
di daerahnya. Sepuluh bulan sebelum penyerangan, April 2010, kepala
desa menyampaikan pidato bahwa Ahmadiyah harus dibubarkan. Dari
September hingga November 2010, Suparman dipanggil untuk menghadiri
sejumlah pertemuan—pertama dengan kepala desa, lalu pemerintah
daerah, Bakor Pakem dan kelompok anti-Ahmadiyah—memintanya untuk
membubarkan Ahmadiyah. Suparman menolak tetapi bersedia mematuhi
Keputusan Bersama mengenai penyebaran ajaran Ahmadiyah. Hal ini
tidak membuat kelompok garis-keras puas. Pada Januari 2011, mereka
menghubungi Ujang Muhammad Arif, pemuka agama berpengaruh, yang
lalu mengirimkan pesan pendek kepada umat Muslim untuk menyerbu
Ahmadiyah di Cikeusik.70
Setelah merencanakan waktu pembubaran Ahmadiyah, para
penggiatnya kemudian mengumpulkan masyarakat sekitar untuk
bergabung. Rencana ini diketahui oleh pengikut Ahmadiyah.
Mereka lalu memberi tahu pihak kepolisian, militer, dan aparat keamanan
empat hari sebelum kejadian. Pada 5 Februari 2011, polisi mengevakuasi
Suparman, istri, dan anaknya, serta pimpinan Ahmadiyah lainnya. Mereka
diamankan di kantor polisi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan. Tapi pada 6 Februari 2011 pagi, 17 pengikut Ahmadiyah
tiba di rumah Suparman dengan maksud untuk melindunginya. Mereka
dipimpin Deden Sudjana, kepala keamanan nasional Ahmadiyah. Mereka
Bab 5166
mengabaikan permintaan polisi untuk meninggalkan tempat itu.71
Massa yang berjumlah antara 1.000 sampai 1.500 orang mendatangi
rumah Suparman, sementara petugas kepolisian dan militer memerhatikan.
Video kekerasan, yang belakangan beredar di internet, menunjukkan detail
yang mengerikan.72 Para pemuda—banyak di antaranya mengenakan peci
dan beberapa membawa parang panjang—memasuki halaman dengan
berteriak “Allahu Akbar,” dan beberapa petugas kepolisian berusaha dengan
sia-sia untuk menahan mereka. Serangan bermula dengan pelemparan
batu ke dalam rumah. saat para pengikut Ahmadiyah melemparkan
balik batu-batu itu ke arah penyerang, massa kemudian merangsek masuk.
Video berikutnya memperlihatkan tubuh-tubuh korban yang meringkuk,
setengah telanjang, dan berlumuran darah di halaman rumah. Para
penyerang bergantian memukuli tubuh-tubuh yang sudah tak sadarkan
diri dan mungkin sudah tak bernyawa itu dengan tongkat kayu, kadang
dengan sekuat tenaga hingga tongkat ini retak dan pecah.
Pantas jika kejadian ini digolongkan sebagai perbuatan tidak
manusiawi dan tidak bisa diterima akal sehat. Tapi sayangnya, fakta-fakta
itu tidak lantas memberikan perlindungan bagi pengikut Ahmadiyah.
“Menyebut pembunuhan di Cikeusik sebagai pembunuhan berencana
itu meremehkan,” kata penulis dan seniman, Bramantyo Prijosusilo.73
Seperti yang dijelaskan di atas, jalan terakhir yang dipilih kalangan Muslim
Cikeusik untuk mengatasi masalah mereka dengan Ahmadiyah telah
dirancang selama beberapa bulan. Di level nasional, kebencian terhadap
para pengikut Ahmadiyah telah berlangsung jauh lebih lama. “Nasib
para pengikut Ahmadiyah di Indonesia telah diputuskan bertahun-tahun
sebelumnya, saat para pemimpin Forum Pembela Islam (FPI) mulai
menyerukan untuk membunuh mereka,” kata Prijosusilo. Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah memperingatkan sejak awal
2006 bahwa fatwa-fatwa yang menolak Ahmadiyah dapat digolongkan
sebagai ujaran kebencian. Salah satu pimpinan FPI, Sobri Lubis, muncul
dalam sebuah video di YouTube, berceramah sambil meneriakkan,
“Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh Ahmadiyah!” Prijosusilo mengatakan
bahwa media telah ramai memberitakan video ini jauh sebelum
terjadinya pembunuhan Cikeusik. Pemerintah Indonesia mengabaikan
ancaman ini meskipun ada hukum yang melarang hasutan berbau
kebencian berdasarkan agama. Salah satu alasan umum dari ketidaktegasan
pemerintah ini yaitu kurangnya kapasitas polisi. Hal ini mungkin
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 167
terjadi di sebuah negara yang sangat luas dengan beberapa titik yang
berjarak 3.000 kilometer dari ibukota. Tapi Cikeusik bukanlah daerah yang
seperti itu. Meskipun kecil dan berada di desa provinsi, daerah itu bukan
berada di luar jangkauan hukum yang pendek sekalipun, sebab jaraknya
hanya empat jam perjalanan melalui jalan tol dari Jakarta.
Menteri-menteri pemerintahan—yang pernyataan-pernyataannya
menyuburkan budaya kebencian dan impunitas—memberi alasan untuk
kejadian di Cikeusik dan bahkan memakluminya. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tidak secara terbuka menegur para menterinya itu.74 Sikap tak
acuh pemerintah terhadap kelompok agama minoritas ini tampak dalam
proses pengadilan terhadap para pembunuh. Duabelas orang, termasuk
guru dan murid dari pesantren setempat, didakwa atas kekerasan terhadap
pengikut Ahmadiyah, yang terekam dalam sejumlah ponsel. Akan tetapi
jaksa hanya menuntut hukuman lima hingga tujuh bulan penjara bagi
kedua belas pelaku. Pengadilan memutuskan hukuman penjara selama
dua hingga tiga bulan bagi mereka. Dengan waktu yang mereka habiskan
di penjara sebelumnya, kedua belas orang itu pun dapat keluar bebas
hanya limabelas hari sejak putusan ini . Pengadilan juga memutuskan
bahwa ada tindak penghasutan, tapi ajaibnya ini didakwakan kepada
Deden Sudjana, kepala keamanan nasional Ahmadiyah, yang terluka di
kepala. Tindakan ini dituntut hukuman enam tahun penjara dan
menimbulkan kemarahan publik sehingga pengadilan memutuskan
hukuman enam bulan penjara.75 Satu bulan setelah terbunuhnya tiga
pengikut Ahmadiyah, Gubernur Banten mengeluarkan larangan terhadap
kegiatan Ahmadiyah di provinsinya.76
Menyasar Syiah
Pemilahan Sunni-Syiah, yang ada di banyak masyarakat Muslim,
memberi kesempatan lain kepada aktor pelintiran kebencian di Indonesia
untuk melakukan mobilisasi. Contoh kasus di Madura memperlihatkan
bagaimana perselisihan keluarga dapat meluas menjadi konflik agama.
Kasus ini berujung dengan hukuman empat tahun penjara untuk Tajul
Muluk, seorang pemuka Syiah, atas tindak penistaan agama dalam Pasal
156A KUHP. Lebih dari seratus orang pengikutnya diusir dari rumah
mereka.
Tajul Muluk berasal dari keluarga yang mengikuti tradisi Sunni, tetapi
Bab 5168
kemudian menjadi pengikut Syiah setelah dewasa. Menurut laporan berita,
masalah bermula pada 2004. Saudara Tajul yang Sunni, Rois al-Hukama,
melamar seorang perempuan bernama Halima, akan tetapi lamarannya
ditolak. Rois kemudian mengetahui bahwa Halima telah menerima
lamaran seorang pemuda pengikut Syiah. Comblangnya tak lain yaitu
saudara Rois sendiri yang merupakan pemuka Syiah, Tajul. Rois yang
menyimpan amarah mulai melancarkan agitasi terhadap komunitas Syiah
saudaranya itu.77 Pada 2006, 40 pemuka Sunni da