Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 7. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 7

 



yono berbicara mengenai perlunya dialog, toleransi, dan harmoni 

dengan tuhan, alam semesta, dan sesama manusia. Tema-tema itu sejalan 

dengan amanat Aliansi Peradaban, yang dibentuk untuk membangun 

jembatan antara komunitas Muslim dan Barat setelah serangan Al Qaeda ke 

Amerika Serikat (AS) dan peperangan setelahnya di Afghanistan dan Irak. 

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, posisi Indonesia 

dalam perdebatan ideologi ini  sangat penting. Dalam pidatonya, 

Yudhoyono menekankan budaya keterbukaan Indonesia:

Mengingat strategisnya posisi Indonesia, di tengah jalur perdagangan 

dan transportasi laut dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, 

penduduk Nusantara selalu terpapar oleh arus peradaban dunia. 

Selama berabad-abad, peradaban Islam, Hindu, Buddha, China, dan 

Barat telah membaur dengan kebudayaan setempat yang membentuk 

khazanah kebangsaan kita. sebab  itu, di Indonesia tidak ada 

benturan peradaban yang mendasar. Yang ada umumnya justru yaitu  

perpaduan harmonis antara berbagai peradaban yang kemudian 

membentuk hati dan jiwa Indonesia. Pada abad ke-21 ini, Indonesia 

telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa Islam, demokrasi, dan 

modernitas dapat hidup berdampingan secara harmonis.1

Pernyataan presiden ini  menunjukkan harapan Indonesia untuk 

5  

Indonesia: Demokrasi yang Diuji 

di Tengah Intoleransi

Bab 5146

menjadi model bagi demokrasi Muslim—yang juga merupakan harapan 

banyak kalangan. Sejak jatuhnya rezim otoritarian Suharto pada 1998, 

Indonesia mengalami demokratisasi yang sangat pesat. Menurut indeks 

Freedom House, skor hak-hak politik di Indonesia telah meningkat 

dari tujuh (skor yang paling buruk) ke dua.2 Setelah empat pergantian 

pemerintahan melalui pemilihan umum yang berlangsung damai, 

Indonesia telah mengalami konsolidasi demokrasi, yang dalam istilah 

pakar perbandingan politik, kini diterima sebagai satu-satunya aturan main 

atau “the only game in town.”3 Kalangan nasionalis yang agamis kini dapat 

berpartisipasi dalam “permainan” ini  dan 140 juta pemilik suara di 

Indonesia memiliki pilihan untuk mendukung mereka—atau tidak. Sejak 

1999, Indonesia telah berkali-kali menolak usulan untuk menjadi negara 

Islam. Jumlah suara dari lima partai Islam terbesar di Indonesia mencapai 

sepertiga dari total suara.4

Meski demikian, Indonesia tidak terlepas dari konflik sektarian. Dari 

1997 sampai 2001, sedikitnya 19.000 penduduk Indonesia terbunuh dan 

sekitar 1,3 juta lainnya harus mengungsi akibat kekerasan etnis. Hal 

ini  merupakan sisi gelap dari proses demokratisasi dan desentralisasi, 

yang mempertajam persaingan antara aktor lokal dari berbagai komunitas 

dan kelompok politik identitas untuk memperoleh kekuasaan di tingkat 

provinsi dan kabupaten/kota.5 Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi 

serangan terorisme. Pada tahun 2002, aksi kelompok jihadis dalam 

pengeboman di Bali menewaskan 131 warga Australia, Eropa, Amerika, 

serta warga Indonesia. Demi menjaga investasi asing dan sektor pariwisata, 

Indonesia pun menggalakkan kemampuan anti-terorismenya.

Pemerintah Indonesia kurang memberi perhatian kepada naiknya 

budaya kebencian dan kekerasan yang ditujukan kepada sasaran-sasaran 

lokal.6 Hal ini dikhawatirkan oleh Sidney Jones, pakar konflik di Indonesia. 

“Masalah terbesar bagi demokrasi Indonesia bukanlah terorisme tetapi 

intoleransi yang menjalar dari kelompok radikal yang pinggiran ke arah arus 

utama (mainstream),” kata Jones.7 saat  laporan hak-hak asasi manusia 

(HAM) di Indonesia muncul dalam Universal Periodic Reiew oleh Dewan 

HAM PBB pada 2012, Indonesia dikritik sebab  ketidakmampuannya 

dalam melindungi kelompok minoritas.8 Di sejumlah daerah di Indonesia, 

kelompok Muslim absolutis kerap menghambat pembangunan gereja yang 

sebenarnya telah mendapatkan izin pembangunan. Kelompok minoritas 

di dalam umat Muslim, khususnya kelompok Ahmadiyah dan Syiah, 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 147

menjadi bulan-bulanan. Undang-undang penistaan agama dimanfaatkan 

betul oleh kelompok-kelompok intoleran. Meski jarang dipakai, undang-

undang ini  menjadi senjata kelompok garis keras dalam melakukan 

pelintiran kebencian.

Dalam bab ini saya akan mengupas kekuatan-kekuatan intoleran dalam 

komunitas Islam di Indonesia, menyingkap berbagai episode pelintiran 

kebencian untuk menggali kepentingan dari para pihak yang terlibat. Saya 

meletakkan berbagai peristiwa mutakhir ini  dalam konteks historis 

dari hubungan yang belum tuntas antara agama dan politik di Indonesia. 

Saya juga menganalisis kerangka legal di mana pelintiran kebencian 

ini  beroperasi, khususnya Undang-Undang Penistaan Agama yang 

problematis di negara ini. Seperti halnya India, Indonesia memiliki undang-

undang yang sebenarnya bertujuan baik untuk mengatur soal penghinaan, 

tetapi kemudian dimanfaatkan oleh kelompok intoleran. Dengan kurang 

tegasnya pengaturan soal hasutan, semua undang-undang ini  menjadi 

ancaman ganda bagi kelompok-kelompok minoritas.

Berbeda dari jaringan Sangh Parivar di India dan ideologi Hindutva-

nya, intoleransi kelompok mayoritas di Indonesia tidak didorong oleh 

gerakan terpadu dengan doktrin yang jelas. Yang ada yaitu  sekian 

banyak organisasi dan kelompok kepentingan—partai politik, kelompok 

militan, lembaga pemerintahan, serta organisasi Muslim—yang tindakan-

tindakannya, meskipun tidak terkoordinasi, telah menciptakan lingkungan 

yang menyuburkan kebencian. Presiden-presiden Indonesia mungkin tidak 

secara langsung memperoleh keuntungan dari pelintiran kebencian dan 

dampak kerasnya. Mereka memperoleh kekuasaan terlepas dari, bukan 

akibat dari, intoleransi yang berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. 

Meskipun pemerintah Indonesia membanggakan “perpaduan yang 

harmonis antara berbagai peradaban” di negara ini, mereka tidak dapat 

mengaku telah memberikan tempat yang setara bagi kelompok minoritas 

dalam demokrasi terbesar ketiga di dunia ini.

Agama dalam Demokrasi Indonesia

Indonesia dihuni oleh penduduk Muslim yang jumlahnya kurang lebih 

sama dengan jumlah penduduk lima negara terbesar Arab. Mereka 

mencapai 87 persen dari penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 

250 juta jiwa. Sepuluh persen sisanya menganut agama Kristen, dan 1,5 

Bab 5148

persen lainnya menganut agama Hindu. Selain itu juga ada  penganut 

agama Buddha dan Konghucu di antara penduduk etnis Tionghoa di 

Indonesia. Sekitar 20 juta penduduk Indonesia menganut berbagai 

kepercayaan tradisional.9 Mengingat banyaknya penduduk Indonesia yang 

Muslim, tidak mengherankan jika Islam begitu berpengaruh terhadap 

nasionalisme Indonesia. Yang juga sangat menarik dari cerita Indonesia 

bagi banyak ilmuwan politik yang mengamati negeri ini, dari generasi ke 

generasi, yaitu  peran Islam dalam politik yang tampaknya lebih “adem” 

dibandingkan dengan misalnya Iran atau Mesir. Para pengamat menyatakan 

bahwa Indonesia yaitu  contoh positif yang mengkonter klaim-klaim 

serampangan tentang ketidakcocokan Islam dengan demokrasi sekular.10

Sejarawan mengemukakan beberapa penjelasan tentang mengapa visi 

kebangsaan Islam yang eksklusif, meski terus berusaha diperjuangkan, 

tidak pernah berhasil menghentikan pembangunan-negara di Indonesia. 

Yang pertama yaitu  faktor budaya. Sebagaimana ditekankan Presiden 

Yudhoyono dalam pidatonya di depan Aliansi Peradaban, Asia Tenggara 

merupakan persilangan antara berbagai kebudayaan. Kecenderungan 

pemurnian selalu diredakan oleh masyarakat Jawa yang dominan, yang 

memilih untuk membaurkan Islam dengan kepercayaan dan praktik 

tradisional.11 Islam di Indonesia tidak pernah bersekutu dengan suatu 

kerajaan yang mampu memaksakan satu kepercayaan yang baku. 

Sebaliknya, di masa pra-kolonial, nusantara terdiri atas kota-kota 

perdagangan, kerajaan pedalaman, dan wilayah-wilayah kesukuan. 

Sebagaimana dikatakan antropolog budaya Robert Hefner, “Selalu ada 

penguasa-penguasa Muslim yang berbeda, beragam asosiasi keagamaan 

yang berbeda, dan gagasan tentang menjadi Muslim yang baik yang juga 

berbeda.”12

Meski demikian, godaan untuk menegaskan kekuatan politik Islam 

selalu kuat. Presiden pertama Indonesia, Sukarno, sadar bahwa Islam 

menempati kedudukan istimewa di Indonesia. Piagam Jakarta, draf 

mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, memuat klausul soal keharusan 

seorang Muslim untuk menjalankan ajaran-ajaran agamanya (Syariah). 

Setelah perdebatan dan negosiasi yang alot, akhirnya ditetapkanlah 

konstitusi yang berdasarkan sistem peradilan nasional yang sekular, tanpa 

pengistimewaan terhadap agama yang dianut sebagian besar penduduknya 

itu.13 Keputusan ini lebih didasarkan atas pentingnya integritas wilayah, 

dan bukan sebab  pengakuan atas kebebasan beragama tiap individu 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 149

warganegara. Di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia, non-Muslim 

yaitu  penduduk mayoritas—Bali mayoritas Hindu, sementara provinsi 

seperti Papua dan Sulawesi Utara mayoritas Kristen—dan wilayah-wilayah 

ini  kemungkinan akan melepaskan diri dari Indonesia jika Jakarta 

memaksakan Islam kepada mereka.14

Di bawah ideologi nasional Pancasila, negara mengakui agama Katolik, 

Protestan, Hindu, Buddha, dan Islam. Hari besar agama-agama ini  

dijadikan hari libur nasional. Belakangan, Konghucu juga masuk dalam 

daftar agama yang diakui negara. Sila pertama Pancasila menyatakan 

soal kepercayaan kepada Tuhan yang esa, menjadikan Indonesia negara 

monoteis, tapi bukan negara Islam. Sekolah-sekolah diharuskan untuk 

menyediakan pengajaran agama bagi setiap murid sesuai dengan agama 

atau kepercayaannya.15

Tetapi seperti halnya nasionalisme sekular dari para pendiri negara 

Amerika dan India yang tidak pernah sepenuhnya menghilangkan tuntutan 

akan identitas nasional yang lebih sempit berdasarkan agama, Pancasila 

juga harus berhadapan dengan tuntutan kalangan Islamis tentang negara 

Indonesia itu. “Negara Syariah selalu merupakan kemungkinan sejarah,” 

kata Mirjam Künkler, seorang pakar agama dan politik.16 Dalam sejarah 

Indonesia setelah era kemerdekaan, banyak yang menuntut agar Indonesia 

menjadi negara Islam, di mana hukum Islam bersifat mengikat untuk 

setiap Muslim. Meski demikian, para pengusung negara Islam Indonesia 

itu bersaing dengan kalangan sekular dan cendekiawan Muslim, serta para 

tokoh masyarakat yang mendukung pluralisme agama. “Meskipun para 

ulama konservatif tidak senang dengan percekcokan ini , hasilnya 

tidak mempersempit tapi justru memperkaya suara politik kaum Muslim,” 

terang Hefner.17

Sebagian kalangan sekular di atas diidentikkan dengan kalangan kiri, 

artinya mereka merupakan sasaran utama saat  militer dan kelompok 

Muslim menghabisi kelompok komunis pada tahun 1965. Rezim Orde 

Baru Soeharto yang ditopang oleh militer segera mengambil-alih 

keunggulan partai-partai Muslim dan membatasi aktivitas politik. Kuatnya 

cengkeraman Suharto mampu mengekang politik Islam bahkan saat  

Indonesia mengalami kebangkitan agama yang kuat pada akhir 1970-an 

dan awal 1980-an, suatu fenomena yang berlangsung bersamaan dengan 

Revolusi Iran dan ditunjang oleh program pemberantasan buta huruf yang 

Bab 5150

turut memfasilitasi pengajaran agama. Seperti halnya Hosni Mubarak di 

Mesir, Suharto juga meminggirkan politik Islam. Meski begitu, selama 

12 tahun terakhir masa kekuasaannya, Suharto akhirnya memanfaatkan 

kekuatan unsur-unsur anti-demokrasi dalam organisasi-organisasi 

Islam, merangkul kelompok-kelompok yang bersedia mendukung rezim 

otoriternya, dan membalas mereka dengan akses kepada kekuasaan. Sejak 

1996, saat  kelompok oposisi pendukung demokrasi menguat dan Suharto 

semakin terdesak, antek-antek Suharto mulai memakai  retorika 

anti-Kristen dan anti-China untuk memecah-belah lawan politik dengan 

isu-isu etnis dan agama.18 Hal ini  tidak hanya memicu kekerasan 

yang ekstrem, tetapi juga mengikis budaya toleransi dan keterbukaan yang 

diperlukan oleh demokrasi Indonesia yang baru.

Organisasi Muslim dalam Demokrasi Indonesia

Di masa pasca-Suharto, berbagai kelompok berlomba-lomba 

memperebutkan kekuasaan dan pengaruh melalui sesuatu yang dapat 

disebut ruang publik Islam. Demokratisasi membawa konsekuensi yang 

sangat penting bagi kelompok beragama garis-keras. Pada satu sisi, 

keterbukaan yang baru di Indonesia memberikan keleluasaan kepada 

kelompok-kelompok ini . Tapi di sisi lain, mereka tidak dapat 

bermimpi menguasai panggung. Mereka harus terus bersaing dengan 

kelompok lain yang berbeda paham. Termasuk di antaranya yaitu  

kelompok yang meyakini “Islam sosial” atau yang oleh Hefner disebut 

“Civil Islam,” yang menolak gambaran keliru mengenai negara Islam dan 

menafikan peran agama dalam persoalan publik. Jalan tengahnya “muncul 

dalam bentuk agama publik yang mengemuka melalui asosiasi yang bebas, 

dialog publik yang bernas, serta kedewasaan para pemeluknya.”19

sebab nya, naiknya keberagamaan tidak selalu ditampakkan dengan 

sikap intoleran atau eksklusif. Sebagaimana telah saya sampaikan pada bab 

2, kuatnya identifikasi keagamaan tidak langsung terkait dengan komitmen 

terhadap demokrasi sekular—seperti, misalnya, Gereja Anglikan di Inggris 

yang lebih melindungi kelompok minoritas jika dibandingkan dengan 

Liga Pertahanan Inggris (English Defense League) yang sekular. Begitu 

pun di Indonesia, kelompok yang cenderung konservatif tidak serta merta 

menunjukkan sikap intoleran mereka terhadap kelompok lain. Sebaliknya, 

kelompok-kelompok Muslim yang anti-demokrasi dan eksklusif tidak serta 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 151

merupakan kelompok yang paling taat atau berpengaruh.

Di antara kelompok yang paling keras yaitu  Jemaah Islamiyah (JI) 

yang memiliki kaitan dengan Al Qaeda, yang bertanggungjawab atas teror 

bom di Bali dan Jakarta pada tahun 2001. Sementara JI mulai melemah, 

kelompok-kelompok Islam keras lainnya bermunculan, menyasar penganut 

Kristen di tingkat lokal. Mereka memandang bahwa umat Yahudi dan 

Nasrani yaitu  musuh Islam. Mereka mengaku membela umat Muslim dari 

gencarnya penyebaran agama Kristen yang dilakukan para misionaris.20

Di antara kelompok yang paling gencar menyebarkan kebencian 

yaitu  Forum Pembela Islam (FPI). Tidak ada organisasi yang dapat 

menggambarkan dengan lebih jelas sumber pelintiran kebencian dalam 

oportunisme politik selain organisasi keagamaan. FPI tidak lahir dari 

madrasah radikal atau gagasan tentang kekhalifahan dunia. Dia lahir dari 

aparat negara yang sekular. Mereka digalang dan dilatih oleh militer untuk 

menghalau para pemrotes terhadap pemerintah—kebanyakan mahasiswa 

dan masyarakat kelas menengah—beberapa bulan setelah Suharto lengser 

dan digantikan oleh wakilnya, B. J. Habibie. FPI memakai  kekuatan 

massa untuk menghadapi kekuatan rakyat. Berbeda dengan kelompok 

teroris, FPI tidak memakai  senjata api atau bom—“senjata mereka 

yaitu  tongkat dan pemukul, yang lebih cocok untuk mengintimidasi 

lawan dan merusak properti.”21

Setelah menguasai bidangnya, FPI tidak mengakhiri fungsinya sebagai 

“preman bayaran” meskipun dominasi politik militer mulai memudar. 

Dengan seragam hitam dan bersenjatakan bambu, FPI terus mencari 

patron—termasuk pejabat pemerintahan dan lembaga keamanan—yang 

memerlukan peran FPI untuk menjadi kelompok Muslim yang reaksioner.22 

Pasca-serangan terhadap warga Kristen oleh anggota JI di Sulawesi Tengah 

pada 2005, pihak kepolisian bahkan mengirim pimpinan FPI untuk 

berceramah keliling provinsi. “Polisi beranggapan bahwa jika seorang 

pemuda dapat diubah menjadi preman bermoral, setidaknya itu lebih baik 

daripada berubah menjadi teroris,” kata Sidney Jones.23

FPI terang-terangan anti-demokrasi, memandang bahwa keterbukaan 

politik akan mengubah rakyat Indonesia menjadi kafir. International Crisis 

Group menyebut FPI “kaum moralis ekstrem,” tetapi sepak terjang mereka 

lebih dapat dijelaskan dengan faktor uang dibandingkan dengan faktor 

moral. “FPI telah mengukuhkan kedudukannya dalam dunia perpolitikan 

Bab 5152

dengan sengaja menciptakan ketegangan sosial dan kepanikan moral 

yang dengan itu mereka menempatkan dirinya sebagai broker; semacam 

pemeras moralitas,” kata Ian Wilson, ilmuwan politik yang mempelajari 

FPI dari dekat.24

Kelompok kebencian lainnya tidak terlibat dalam aksi kekerasan secara 

langsung tetapi menyebarluaskan pandangan intoleran yang mendorong 

kaum ekstremis dan membenarkan diskriminasi. Di antara yang paling 

berpengaruh yaitu  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok utopis 

radikal ini mendekati kelompok menengah terdidik di organisasi Muslim 

lain, di universitas, dan instansi pemerintahan, untuk menyebarkan paham 

kekhalifahan dunia. Seperti halnya JI dan FPI, anggota HTI menolak 

pemilihan umum dalam demokrasi sebab  dianggap sebagai hukum 

buatan manusia. Meski tidak melakukan kekerasan, mereka mendukung 

intoleransi dan permusuhan terhadap non-Muslim dan kelompok Muslim 

lainnya yang mereka anggap menyimpang. HTI lihai dalam “meyakinkan 

kalangan Muslim moderat untuk menerima pandangan Islamis mengenai 

suatu masalah sebagai pandangan Islam.”25

Tapi yang paling berperan dalam menyuburkan intoleransi yaitu  

Majelis Ulama Indonesia (MUI). Didirikan oleh Suharto pada 1975 

sebagai suara sah umat Muslim Indonesia, lembaga ini menyatakan 

berlepas diri dari pemerintah setelah Suharto tumbang. MUI berusaha 

menjauhkan masyarakat Indonesia dari mengadopsi gaya hidup yang luwes 

dan cenderung menerima lingkungan baru yang makin kosmopolitan; 

sebaliknya, lembaga itu mendorong kepatuhan yang lebih ketat kepada 

fatwa-fatwa yang dikeluarkannya. Hal ini turut menjustifikasi keberadaan 

MUI—dan menjadi andalannya. MUI mengatur sertifikasi halal yang 

menjadi sumber utama pendapatannya. Maraknya make up halal, 

misalnya, menguntungkan pengusaha Muslim sekaligus MUI. Fatwa yang 

dikeluarkan MUI tidak mengikat secara hukum tetapi kerap digunakan 

untuk membenarkan tindakan intoleran. Agen pelintiran kebencian 

terus merujuk fatwa MUI pada 2005, yang mengharamkan sekularisme, 

pluralisme, dan liberalisme—sengaja disingkat SiPiLis agar sama dengan 

nama penyakit kelamin.26

Dua pilar utama yang menghalau kecenderungan ektremis dalam 

ruang publik Islam yaitu  dua ormas Islam Nahdlatul Ulama dan 

Muhammadiyah. Ada juga Jaringan Islam Liberal (JIL) yang lebih kecil 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 153

serta jaringan cendekiawan urban yang diinspirasi oleh gerakan pembaruan 

mendiang Nurcholish Madjid, yang mengedepankan kebebasan dan 

keterbukaan.27 Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan pada 1926 dan kini 

diperkirakan telah memiliki sekitar 50 juta anggota, yaitu  organisasi 

Islam terbesar di Indonesia, dan boleh jadi merupakan organisasi Muslim 

Sunni terbesar di dunia. Setelah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, 

NU kemudian menarik-diri dari dunia politik dan memusatkan kegiatan 

keagamaannya di bidang pendidikan dan kebudayaan. Tujuannya yaitu  

untuk menciptakan masyarakat Muslim yang beradab dengan nilai-nilai 

toleransi dan partisipasi, untuk mengimbangi negara yang dirasa semakin 

tidak amanah.

Tokoh yang lama memimpin NU, Abdurrahman Wahid, menjadi 

presiden pertama Indonesia yang terpilih melalui proses pemilihan 

demokratis. NU memiliki keluwesan tradisionalis, yang terbuka terhadap 

budaya dan sikap sinkretis yang telah lama dianut masyarakat bawah, 

berbanding terbalik dengan pendekatan Islam yang lebih doktriner. 

NU didirikan sebagai reaksi terhadap berdirinya Muhammadiyah yang 

kini merupakan kelompok Muslim terbesar kedua di Indonesia. Sejak 

didirikan pada 1912, Muhammadiyah berupaya memodernkan Islam 

di Indonesia dengan menghilangkan praktik-praktik sinkretis. Hal ini 

membuat Muhammadiyah tampak condong kepada pemurnian agama, 

yang kemudian dibawa ke tingkat ekstrem oleh sebagian pengikutnya yang 

garis-keras. Tapi penekanan organisasi ini kepada kajian dan penafsiran 

pribadi, yang diperlawankan dengan ketundukan buta kepada ajaran ulama, 

membuatnya terbuka kepada dialog dan menjauhkannya dari kekerasan.

Indonesia juga memiliki sejumlah partai politik yang berbasis Muslim, 

yang paling besar dan berpengaruh di antaranya yaitu  Partai Keadilan 

Sejahtera (PKS). PKS mencitrakan dirinya sebagai partai modern yang 

tidak bertujuan mendirikan negara Islam. Meski sebelumnya sempat 

menekankan pentingnya Syariah, PKS kini lebih fokus pada agenda 

anti-korupsi dan nilai-nilai konservatif. PKS awalnya diinspirasikan oleh 

Ikhwanul Muslimin di Mesir, tapi belakangan lebih menyerupai partai 

yang kini berkuasa di Turki, AKP.28 Partai Islam tertua di Indonesia yaitu  

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengusung Syariah. Partai-

partai Islam yang lainnya lebih moderat, seperti Partai Kebangkitan Bangsa 

(PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKB menjadi partai pengusung 

pimpinan Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid.

Bab 5154

Salah satu paradoks dalam demokrasi Indonesia yaitu  kegagalan 

partai-partai berbasis Muslim dalam pemilu, di tengah antusiasme 

publik akan peran agama yang lebih besar dalam kehidupan publik. 

Banyak pengamat menjelaskan lemahnya kinerja partai-partai Islam 

ini  sebagai kemenangan nilai-nilai demokrasi sekular. Akan tetapi 

hasil pemilu menunjukkan gambaran yang lebih pelik. Salah satu alasan 

mengapa partai-partai Islam itu kurang mampu mengapitalisasi suasana 

keagamaan penduduk Indonesia yaitu  sebab  partai-partai sekular 

sendiri merespons perkembangan ini  dengan memakai  simbol 

dan jargon Islam.29 Para pejabat Muslim yang lebih konservatif mulai 

bermunculan di jabatan-jabatan pemerintahan utama, mendesakkan 

nilai-nilainya dengan mengorbankan kebebasan berekspresi dan hak-hak 

kaum minoritas agama. Pada periode kedua pemerintahan Yudhoyono, 

empat menteri kabinetnya termasuk dewan penasihat MUI, yang turut 

diuntungkan oleh limpahan dana pemerintah. sebab  itu, melihat politik 

Indonesia dari kacamata biner agama/sekular dapat menyesatkan, kata 

ilmuwan politik Robin Bush. Negara sekular yang bukan negara Islam 

seperti Indonesia, sebab  kalkulasi politik yang rasional, bisa mengusung 

agenda konservatif dan anti-pluralisme.30

Di tingkat bawah, intoleransi agama terlembagakan dalam badan 

pemerintah yang bernama Bakorpakem. Ini yaitu  singkatan dari Badan 

Koordinasi Pengawas aliran Kepercayaan Masyarakat. Badan ini berada di 

bawah bagian intelijen kantor kejaksaan, yang memiliki cabang di setiap 

provinsi dan kabupaten/kota. Badan itu bertugas mengawasi kepercayaan 

dan praktik yang dianggap berbahaya oleh kelompok garis keras.31 Badan 

seperti Bakor Pakem ini, bersama para politisi oportunis, pemuka MUI, 

dan preman FPI, serta kelompok penyebar kebencian lainnya menjadikan 

pelintiran kebencian sebagai bagian dari demokrasi Indonesia. Wacana 

pluralisme dan toleransi, meski memiliki fondasi yang kuat di masyarakat 

Indonesia, tergoyahkan oleh norma-norma agama yang lebih absolut dan 

eksklusif. “Naiknya legitimasi terhadap ortodoksi di masyarakat Muslim 

di seluruh dunia—yang mencerminkan perubahan sosial dan sikap yang 

mendasarinya—tidak luput menyapu Indonesia,” kata Donald Emmerson, 

pakar politik Indonesia terkemuka.

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 155

Lingkungan Hukum

Pelintiran kebencian di Indonesia berlangsung dalam lingkungan hukum 

yang campur-aduk di mana unsur progresif bersanding dengan unsur yang 

sudah ketinggalan zaman. Gerakan Reformasi pro-demokrasi yang telah 

menjatuhkan rezim Suharto pada Mei 1998 bahkan mempengaruhi para 

anggota dewan yang dipilih secara langsung oleh Suharto. Hanya dalam 

kurun enam bulan sejak jatuhnya Suharto, mereka mendukung ratifikasi 

instrumen-instrumen HAM PBB.32 Pembatasan izin pers dan larangan 

lainnya dicabut di masa euforia reformasi ini, mendorong lahirnya banyak 

media kritis.33 Sebagai bagian dari amandemen yang disahkan pada tahun 

2000, kebebasan berekspresi dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 

Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh 

informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta 

berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, 

dan menyampaikan informasi dengan memakai  segala jenis saluran 

yang tersedia.”34

Akan tetapi, sejak 2004, arus liberalisasi itu tampaknya harus 

menghadapi arus balik konservatisme. Rancangan Undang-Undang 

Anti-pornografi yang awalnya hanya berisi pernyataan-pernyataan 

umum dan tidak kontroversial tiba-tiba melebar sampai mengatur soal 

“porno-aksi”—segala sesuatu yang dianggap tidak patut oleh kalangan 

konservatif. Rumusan yang baru ini akan menjerat hiburan populer, seni 

tradisional, perilaku publik, dan pakaian perempuan yang tidak sesuai 

dengan standar kepatutan yang ditetapkan sebagian pemuka Muslim.35 

“Perang budaya” pun mengemuka, menghadapkan kalangan konservatif 

Muslim dengan banyak aktor masyarakat sipil, termasuk di antaranya 

kelompok perempuan dan organisasi kebudayaan.36 ada  setidaknya 

empat provinsi—termasuk di antaranya Bali yang mayoritas Hindu dan 

Sulawesi Utara yang mayoritas Kristen—yang menentang rencana undang-

undang ini  sebab  bias budaya di dalamnya. saat  RUU itu akhirnya 

disahkan pada 2008, jelas bahwa dia pada dasarnya sulit diberlakukan.37

Perdebatan mengenai pornografi yaitu  cerminan dari persoalan 

yang lebih besar mengenai siapa yang berhak mendefinisikan budaya 

Indonesia yang baru. Jawabannya beragam. Di satu sisi, keberhasilan 

kalangan konservatif dalam meloloskan undang-undang yang bermasalah 

memperlihatkan besarnya kekuatan mereka di mata para elite politik. 

Bab 5156

Di sisi lain, undang-undang anti-pornografi sendiri kini umumnya 

terabaikan, menunjukkan bahwa sebagian besar Muslim di Indonesia, serta 

sebagian kecil non-Muslim yang berpengaruh, tidak akan membiarkan 

kalangan konservatif garis-keras mencampuri kehidupan mereka terlalu 

jauh. Kelompok garis-keras mungkin sudah keterlaluan saat  mereka 

mengecam segala macam, mulai dari lukisan telanjang hingga pertunjukan 

dangdut—genre musik dan tari yang populer di Indonesia. Seandainya para 

agen pelintiran kebencian menyasar hal-hal yang tidak begitu menarik 

perhatian publik, mungkin mereka tidak akan mendapatkan banyak 

penolakan. Mereka dengan mudah mendapatkan kambing hitam pada 

kelompok agama minoritas yang tidak populer. Kelompok garis-keras 

bahkan tidak perlu membuat undang-undang baru sebagai senjata mereka. 

Undang-Undang Penistaan Agama yang sudah berusia puluhan tahun 

dapat mereka gunakan untuk melancarkan kampanye pelintiran kebencian.

Kebebasan Beragama dan Undang-Undang Penistaan 

Agama

Jeratan Undang-Undang Penistaan Agama, serta perlakuan istimewa 

kepada kelompok agama tertentu, telah menciptakan kondisi ideal bagi 

pelintiran kebencian yang menyasar kelompok agama minoritas. Hukum 

disalahgunakan sebagai alat penindas oleh kelompok penyebar kebencian 

yang mengklaim mewakili mayoritas Muslim Sunni. Seperti halnya di 

India, hukum yang melarang penghinaan terhadap agama di Indonesia 

memungkinkan agen pelintiran kebencian untuk menodongkan perangkat 

koersif negara kepada kelompok-kelompok sasarannya. Kebijakan-

kebijakan negara yang diskriminatif juga digunakan secara tidak langsung. 

Aktor-aktor non-pemerintah membenarkan hasutan kekerasan yang 

mereka lakukan dengan mengutip Undang-Undang Penistaan Agama serta 

pernyataan pejabat yang menyebut kelompok minoritas tertentu sebagai 

kelompok sesat.

Undang-Undang 1945 Indonesia menjamin kebebasan setiap orang 

untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Undang-

Undang HAM Tahun 1999 (39/1999) menjamin kebebasan beragama, 

dan Amandemen UUD Tahun 2001 memperkuat hal itu. Pasal 28E UUD 

menjamin hak warganegara untuk memilih dan menjalankan agama yang 

dipilihnya, serta untuk meyakini dan mengekspresikan keyakinannya 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 157

itu sesuai nuraninya. Akan tetapi, Pasal 28F membolehkan negara untuk 

membatasi pelaksanaan hak kebebasan beragama atas dasar tertentu. 

Hal ini sebagian sejalan dengan Pasal 18 Konvensi Internasional tentang 

Hak-Hak Sipil dan Politik (IICPR), yang membolehkan pembatasan demi 

“melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, moral, atau hak asasi dan 

kebebasan seseorang.” Akan tetapi, versi yang ada di Indonesia mengakui 

alasan tambahan untuk membatasi kebebasan beragama, yaitu “nilai-nilai 

agama.” Dengan kata lain, negara dapat membatasi ekspresi keagamaan 

kelompok tertentu jika dianggap bertentangan dengan nilai agama lain—

yang tentu menyalahi prinsip kebebasan beragama itu sendiri.

Celah itulah yang membuat Undang-Undang Penistaan Agama terus 

bertahan hingga abad ke-21.38 Disahkan oleh Dekrit Presiden pada tahun 

1965, Pasal 1 Undang-Undang Penistaan Agama melarang berbagai 

tindakan dan pemaknaan yang menyimpang dari ajaran dasar sebuah 

agama. Hal ini berlaku pada enam agama “yang dianut oleh penduduk 

Indonesia.” Ajaran dan praktik keagamaan di antara keenam agama 

ini  (misalnya Protestantisme) tidak dianggap sebagai penyimpangan 

dari yang lain (misalnya Katolisisme). Undang-undang itu juga tidak 

melarang agama yang jelas berbeda dari keenam agama ini , misalnya 

Yahudi.39 sebab  itu, dampaknya lebih banyak berimbas kepada komunitas 

yang mengamalkan bentuk Islam yang lain, seperti aliran Ahmadiyah. 

Menurut Pasal 2 undang-undang ini, sang pelanggar terlebih dahulu 

akan diminta untuk menghentikan amalan keagamaannya. Jika tidak, 

maka akan dikenakan pelarangan atau pembubaran terhadap kelompok 

pelanggar serta hukuman penjara selama lima tahun (Pasal 3). Pasal 4 

dapat digunakan untuk menyasar penganut kepercayaan tradisional: 

Pasal itu melarang pandangan-pandangan yang menjauhkan orang untuk 

menganut agama monoteis.

Perundangan yang sangat restriktif ini luput diperhatikan di tengah 

gegap-gempita periode Reformasi pasca-Suharto. Selain sebab  undang-

undang ini  jarang digunakan, hal ini terjadi sebab  perubahan 

undang-undang komunikasi di Indonesia mengikuti pola yang umum 

terjadi dalam transisi demokrasi: penghapusan batasan struktural terhadap 

media industri didahulukan, baru belakangan mengurusi batasan pada 

kontennya.40 Baru saat  potensi represif dari Undang-Undang Penistaan 

Agama mulai tampak, orang-orang mulai menuntut agar undang-undang 

ini  dicabut.41 Mereka menilai undang-undang ini bertentangan 

Bab 5158

dengan konstitusi dan melanggar Konvensi Internasional tentang Hak-

Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006. 

Menurut mereka, undang-undang ini menempatkan negara dalam posisi 

yang tidak bisa diterima, sebab  negara harus ikut menetapkan ajaran 

dasar sebuah agama dan memilah mana yang menyimpang darinya. 

Meski demikian, pada 2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk 

mempertahankan undang-undang ini. MK mengutip UUD 1945 Pasal 28J 

yang disebut di atas, yang menyatakan bahwa undang-undang ini masih 

“sangat diperlukan” untuk mencegah penyimpangan agama serta menjamin 

kerukunan umat beragama dan ketertiban umum.42

Yang mirip dengan Undang-Undang Penistaan Agama yaitu  Pasal 

156A Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang larangan 

menghina atau menodai agama-agama yang telah diakui di Indonesia. 

Penodaan agama juga diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 11/2008 

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal ini  menyasar siapa 

pun yang “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang 

ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu 

dan/atau kelompok masyarakat tertentu” berdasarkan suku, agama, atau 

ras. Pasal inilah yang digunakan untuk memenjarakan Alexander Aan 

yang mengaku atheis dan menyebarkan laman provokatif tentang Islam 

di Facebook.43

Alih-alih memelihara kerukunan dan ketertiban, aturan-aturan ini  

justru memungkinkan terjadinya pelintiran kebencian, yang kemudian 

memicu diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan 

yang dianggap tidak beragama. Di atas kertas, undang-undang Indonesia 

memberikan jaminan perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan 

semacam itu. Undang-Undang No. 40/2008 tentang Penghapusan 

Diskriminasi Ras dan Etnis, misalnya, melarang hasutan kebencian. Pasal 

156 KUHP mengancam hukuman penjara selama empat tahun untuk 

ujaran kebencian atas dasar ras, agama, dan golongan. Tapi penegakan 

hukum yang tebang pilih membuat hukum kerap berpihak kepada 

gerombolan massa yang menentang kelompok minoritas yang rentan.

Kebencian anti-Kristen

Kelompok garis-keras sangat menentang apa yang mereka sebut sebagai 

“Kristenisasi” Indonesia. Mereka menunjukkan upaya-upaya penyebaran 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 159

agama dari para misionaris dan evangelis, serta semakin besarnya pengaruh 

Kristen di kalangan politisi dan pengusaha. Seperti biasanya, hal itu kerap 

kali dibesar-besarkan dari sebagian kecil fakta. Para penyebar agama 

Protestan, baik dari Amerika maupun lokal, memang aktif di Indonesia, 

khususnya di wilayah Jawa Barat yang berdekatan dengan Jakarta. Beberapa 

dari mereka terang-terangan membawa misi untuk mengajak umat Muslim 

berpindah agama ke Kristen. Cara kontroversial yang mereka lakukan 

misalnya yaitu  menyebarkan selebaran dengan tulisan Arab, sehingga 

sekilas tampak seperti bacaan Islam.44 Yayasan Mahanaim, misalnya, 

konon membentuk tanda salib di depan sebuah masjid di Bekasi untuk 

menyucikan area ini .45 Cara-cara penyebaran agama yang agresif 

semacam itu membuat masyarakat Indonesia gusar. Banyak kelompok 

Islamis yang berusaha menggalakkan kegusaran ini menjadi reaksi 

ketersinggungan yang lebih keras. Akibatnya, orang dan kelompok yang 

tidak ada sangkut pautnya dengan tindakan provokatif dari segelintir 

kelompok evangelis itu pun turut terkena imbasnya.

Salah satu kasus pelintiran kebencian, misalnya, menyasar patung 

“Tiga Mojang” karya seniman Bali, Nyoman Nuarta.46 Patung setinggi 

17 meter ini  didirikan di Bekasi pada 2007, menggambarkan tiga 

perempuan yang mengenakan pakaian adat Sunda, kelompok etnis di Jawa 

Barat yang sebagian besar beragama Islam. Patung ini  sesuai dengan 

gaya Nyoman Nuarta yang sarat dengan tema budaya dan non-agama. 

Selama tiga tahun, patung yang terbuat dari perunggu dan tembaga itu 

berdiri di depan sebuah kompleks perumahan. Akan tetapi, pada awal 

2001, kelompok-kelompok Islamis mulai menuding bahwa patung ini  

merupakan provokasi umat Kristen. Mereka menyebutkan bahwa patung 

ini  sebenarnya yaitu  lambang Perawan Maria—atau, boleh jadi, 

Trinitas.47 Untuk mengaitkannya dengan simbol ketidakadilan, mereka 

juga menyatakan bahwa patung ini  diletakkan di tempat bersejarah di 

mana para pejuang Muslim gugur dalam perang melawan penjajah Belanda. 

Pada 14 Mei 2010, terjadilah demonstrasi massa menentang Kristenisasi 

dan para pendemo mengecat patung ini  dan menutupinya dengan 

kain. saat  mereka mengajukan petisi kepada Walikota Bekasi untuk 

merobohkan patung ini , Walikota menyetujuinya. Dia tampaknya 

kurang mendapatkan dukungan politik dari kelompok Muslim dan takut 

dituduh bersimpati kepada kelompok Kristen. Pemilik patung kemudian 

membongkar patung ini  dan memindahkannya ke kota lain.48

Bab 5160

Tapi pelintiran kebencian anti-Kristen yang paling serius dan 

berkepanjangan yaitu  yang menyasar pembangunan gereja. Banyak 

rencana pembangunan gereja yang terganjal di tataran birokrasi dan 

beberapa di antaranya mendapatkan serangan fisik.49 Salah satu korbannya 

yaitu  Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi. Denominasi 

berbasis-etnis ini memang tidak bertujuan menarik umat Muslim 

berpindah agama menjadi Kristen tetapi mereka dituduh mendorong 

Kristenisasi di Indonesia. Suku Batak merupakan kelompok pendatang 

terbesar di Bekasi sehingga masalah terbesar mereka dengan kelompok 

lokal Betawi lebih terkait dengan persoalan sosio-ekonomi dan xenofobia 

daripada persoalan agama. Pada 2007, salah satu dari kongregasi HKBP, 

Filadelfia, membeli sebidang tanah untuk mendirikan gereja. Jemaatnya, 

yang kurang lebih terdiri dari 130 keluarga, sebelumnya melakukan 

kegiatan ibadah di rumah salah satu anggota jemaat. Meskipun telah 

memenuhi berbagai persyaratan, rencana pendirian gereja ini  

mendapat hambatan dari pemerintah setempat. Nasib serupa juga dialami 

Kelompok Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor. Yang menarik 

dari kedua kasus ini  yaitu  mereka berhasil membawa kasusnya 

hingga ke Mahkamah Agung; dua-duanya menang di atas kertas—tetapi 

tidak di lapangan, sebab  mereka tetap mendapat hambatan dari pejabat 

setempat. Pemerintah Indonesia tidak mengambil tindakan apa-apa 

untuk menegakkan putusan MA ini .50 Sebagai bentuk protes, setiap 

dua minggu sekali jemaat HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin mengadakan 

kegiatan ibadah bersama di seberang Istana Presiden.51

Pimpinan dua jemaat ini tidak melihat Islam sebagai masalah.52 

Buktinya, mereka selalu memberi tempat kepada wakil organisasi Islam 

terbesar, seperti Nahdlatul Ulama, dalam kegiatan ibadah mereka. 

Mereka lebih merasa sebagai korban pemerintah daerah yang Islamis atau 

memerlukan dukungan politik kelompok Islamis. Malah, ada beberapa 

kelompok garis-keras yang bersedia menurunkan kadar penolakan mereka 

jika ada ongkosnya. Kelompok yang terang-terangan mendasari tindakan 

intoleransinya atas dasar agama diam-diam menarik uang keamanan 

dari para korbannya, dengan imbalan tidak akan melakukan penolakan 

terhadap pembangunan rumah ibadah mereka. Banyak gereja yang memilih 

solusi pragmatis ini , tapi Filadelfia dan Yasmin lebih memilih untuk 

menuntut kebebasan beragama yang dijanjikan Pancasila. Didorong oleh 

putusan Mahkamah Agung yang memenangkan mereka, mereka merasa 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 161

punya tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan mereka. “Membayar 

kelompok-kelompok itu mungkin akan menyelesaikan masalah kita, tapi 

tidak menyelesaikan akar masalahnya, yaitu untuk membela konstitusi 

kita,” kata juru bicara Yasmin, Bonar Sigalingging. “Kami percaya bahwa 

kami harus memperjuangkan hak kami sebagai warganegara Indonesia.”53

Pemerhati agama dan politik Indonesia berpendapat bahwa hukum 

yang buruk turut menyebabkan masalah yang dialami gereja-gereja 

ini . Kendala administratif terbesar bagi jemaat Filadelfia yaitu  

Peraturan Bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama 

8/9. Peraturan ini  menyatakan bahwa untuk rencana pendirian 

rumah ibadah harus disetujui oleh 60 warga dari penganut agama yang 

berbeda, serta kepala kantor urusan agama daerah dan Forum Kerukunan 

Umat Beragama (FKUB). Proses ini dimaksudkan untuk mengurangi 

risiko terjadinya konflik, tetapi sering kali malah berakibat sebaliknya. 

Dengan memberi peluang kepada para pemuka agama dan masyarakat 

untuk memutuskan permohonan pendirian rumah ibadah, negara telah 

melepaskan kewajibannya untuk melindungi hak kelompok minoritas.

Penempatan dan peraturan teknis memang diperlukan, kata Ihsan Ali-

Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) di Universitas 

Paramadina. “Tetapi keputusan-keputusan ini  seharusnya diambil di 

ruang perundingan, bukan di jalan,” lanjutnya.54 Dalam dua kasus yang 

diamatinya, peraturan bersama 2006 merusak norma-norma kerjasama 

antar-agama yang sebelumnya dimiliki masyarakat. Di Ende dan Ambon, 

misalnya, umat Muslim dan Kristiani memiliki tradisi untuk bergotong-

royong membangun masjid dan gereja: Umat Kristen menyumbangkan 

tiang untuk masjid sementara umat Muslim turut membantu pembangunan 

gereja. Peraturan perizinan yang baru mematikan tradisi ini  dengan 

memungkinkan pemerintah daerah untuk menolak pembangunan tempat 

ibadah yang dianggap dapat mengundang penolakan kelompok intoleran. 

Dalam kasus Filadelfia, panitia pembangunan gereja berhasil mendapatkan 

60 tanda tangan persetujuan warga, tetapi permohonan mereka digagalkan 

di kantor kementerian agama daerah.

Dari berbagai studi mengenai represi terhadap umat Kristiani di 

Indonesia, tidak ditemukan bukti mengenai adanya perseteruan atau 

pertentangan mendasar antara umat Kristiani dengan negara berpenduduk 

mayoritas Muslim ini.55 Yang bermasalah yaitu  pembatasan dan 

Bab 5162

pembiaran dari sejumlah aktor yang teridentifikasi: kelompok kebencian 

dan kekerasan beserta para pemimpin ideologisnya, juga pejabat 

pemerintah yang gagal menegakkan hukum. Jika ada reformasi hukum dan 

ada komitmen pemerintah di semua tataran untuk menegakkan hukum, 

mestinya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak bisa memenuhi 

kewajibannya untuk melindungi warganya yang Kristiani.

Persekusi terhadap para Penyimpang

Kelompok minoritas di dalam kelompok Muslim Indonesia juga mengalami 

penganiayaan dan mereka diabaikan oleh negara. Menurut Franz Magnis-

Suseno, romo Katolik dan filsuf yang telah tinggal di Indonesia selama 

hampir 50 tahun, kaum minoritas Muslim merasakan pukulan berat akibat 

intoleransi di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa teologi Muslim arus 

utama umumnya menerima agama lain seperti Kristen dan tidak merasa 

“dinistakan” oleh keberadaan maupun cara peribadahan mereka.56 sebab  

itu, dia menilai, sebagian besar Muslim di Indonesia tidak keberatan 

dengan pandangan bahwa umat Kristiani juga harus diperlakukan sebagai 

warganegara. Tetapi tidak demikian halnya dengan penganut Ahmadiyah 

atau Syiah. “Hanya sebagian kecil Muslim saja yang dapat mengakui hak 

kebebasan beragama mereka secara penuh,” kata Magnis-Suseno.57

Kebencian anti-Ahmadiyah

Jemaat Ahmadiyah yaitu  kelompok yang paling sering mengalami 

penganiayaan secara terbuka di Indonesia. Ahmadiyah yaitu  sebuah 

gerakan yang muncul di kalangan Muslim India pada 1880-an dan masuk 

ke Indonesia pada 1920-an. Mereka mengklaim memiliki 400.000 orang 

anggota, meski demikian Kementerian Agama menyebutkan jumlahnya 

hanya 50.000 sampai 80.000 orang saja.58 Kelompok arus utama melaporkan 

Ahmadiyah sebagai aliran menyimpang terutama sebab  keyakinan 

mereka bahwa Nabi Muhammad bukanlah penerima wahyu terakhir; 

Ahmad, pendirinya, mengaku telah menerima wahyu sebagai Imam 

Mahdi. “Sebagian umat Muslim melihat ‘aliran’ semacam itu sebagai 

ancaman langsung terhadap keyakinan mereka, merusak agama mereka 

dari dalam, dan sebagai pengingkaran terhadap agama yang diturunkan 

Tuhan.” kata Magnis-Suseno.59 Bambang Harymurti, pemimpin majalah 

Tempo, sependapat bahwa prasangka terhadap Ahmadiyah memang 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 163

meluas. “Kalangan terdidik sekalipun ikut tertipu, bahwa Ahmadiyah 

memiliki Alquran yang berbeda, dan sebagainya.”60 Pasca-tahun 2000, 

kelompok moralis ekstrem seperti Forum Pembela Islam (FPI) menyasar 

Ahmadiyah secara khusus. Pada tahun 2005, MUI—di salah satu dari 

sekian fatwa intoleran yang dikeluarkan pada tahun itu—menyatakan 

bahwa Ahmadiyah seharusnya dilarang.61

Pemerintah, paling banter, abai memberikan perlindungan keamanan 

kepada warganegara yang lemah itu. Yang lebih buruk, pemerintah ikut 

mendorong budaya intoleran. Pada 2005, jemaat Ahmadiyah dipaksa 

memohon perlindungan ke pihak kepolisian setelah pertemuan tahunannya 

di Bogor diserang. Pemerintah kota merespons seperti umumnya di 

mana penegakan hukum lemah: mereka memihak kepada para penindas 

yang jumlahnya lebih besar, bukan korban yang jumlahnya lebih 

sedikit, yang dianggap telah memprovokasi kalangan mayoritas. saat  

pemerintah meminta jemaat Ahmadiyah menutup kantornya di Bogor, 

FPI mendesakkan putusan itu dengan mengerahkan sekitar 3.000 massa. 

Setelah pengikut Ahmadiyah dievakuasi, massa kemudian menjarah dan 

membakar rumah serta bangunan lainnya. Tidak ada yang ditangkap atas 

tindakan ini .62 Sejak itu, kantor pusat Ahmadiyah sering mendapatkan 

serangan. Di sejumlah daerah, massa mengusir pengikut Ahmadiyah dari 

tempat tinggalnya. Pada 2005, sebuah komunitas diusir dari Mataram, 

Nusa Tenggara Barat, dan lebih dari 100 orang masih menjadi pengungsi 

dalam negeri setelah sepuluh tahun peristiwa itu terjadi.63

Tahun 2008 menandai titik puncaknya. Pada bulan April, badan 

pemerintah yang mengurusi soal penyimpangan, Bakor Pakem, 

mendukung pelarangan nasional terhadap semua aktivitas Ahmadiyah, 

mengulangi rekomendasi yang muncul pada tahun sebelumnya.64

Menanggapi hal itu, kalangan liberal menggelar aksi damai sebagai 

bentuk dukungan kepada Pancasila dan kebebasan beragama. Aksi pada 

1 Juni di Jakarta pusat diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan untuk 

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), sebuah organisasi yang 

memayungi lebih dari 70 organisasi, termasuk Ahmadiyah.

Sedikitnya 400 orang anggota FPI dan kelompok radikal lainya menyerbu 

aksi yang berlangsung di Monumen Nasional (Monas) itu. Bersenjatakan 

pentungan dan bambu runcing serta teriakan kecaman kepada Ahmadiyah, 

mereka menganiaya para pengunjuk rasa dan mencederai sekitar 70 

Bab 5164

orang. Salah satu koordinator aksi ini , Mohammad Guntur Romli 

dari Jaringan Islam Liberal, mengingat bagaimana tidak siapnya mereka 

menghadapi serangan ini . Kejadian ini  tidak terjadi di tempat 

terpencil, melainkan di salah satu titik penting nasional, yang dikelilingi 

oleh Istana Presiden dan bangunan pemerintahan lainnya. Pagi di hari 

yang sama, di lokasi yang persis sama, sebuah perhelatan Pancasila 

diselenggarakan oleh sebuah partai politik dan diawasi secara ketat oleh 

polisi. Sorenya petugas kepolisian meninggalkan lokasi dan FPI mulai 

mendatangi aksi damai ini . Guntur menghabiskan empat hari 

berikutnya di rumah sakit untuk perawatan luka-luka yang dideritanya.65

Kemarahan publik atas kejadian ini  kemudian memaksa 

pemerintah bereaksi—sekalipun dengan cara klasik tanpa menyoal 

pelintiran kebencian dan kekerasan massa. Pemerintah mengutamakan 

ketertiban di atas hukum, dengan memihak kelompok intoleran yang 

telah melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas yang taat 

hukum. Pada 9 Juni 2008, delapan hari setelah serangan itu, Kementerian 

Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung, mengeluarkan 

Keputusan Bersama yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah jika 

mereka mengaku sebagai penganut agama Islam. Keputusan ini dikeluarkan 

berdasarkan Undang-Undang Penodaan Agama. Keputusan Bersama 

ini tidak serta-merta menyatakan bahwa Ahmadiyah yaitu  kelompok 

terlarang. Selain itu, Keputusan Bersama ini  melarang tindakan main 

hakim sendiri terhadap Ahmadiyah. Akan tetapi, keputusan ini  sama 

saja dengan menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah tidak memiliki hak 

yang sama dengan pengikut agama lainnya.66

Jika Keputusan Bersama ini  ditujukan untuk menenangkan 

kalangan Muslim ortodoks dan memelihara perdamaian, maka hal itu 

gagal total. Ketersinggungan yang dibuat-buat semacam itu, dalam rumus 

pelintiran kebencian, tidak ditujukan untuk perdamaian, tetapi lebih untuk 

keuntungan politik yang diperoleh dari kondisi keterhasutan. Tidak heran 

jika kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah kepada kelompok 

absolutis itu semakin membesarkan mereka. Langkah pemerintah pusat 

ini  juga mendorong sejumlah pemerintah daerah untuk melarang 

aktivitas jemaat Ahmadiyah.67

Menteri-menteri, pemerintah daerah, dan kelompok-kelompok 

penyebar kebencian saling memberikan umpan. Gerakan anti-Ahmadiyah 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 165

semakin meningkat. Pada Oktober 2010, Menteri Agama, Suryadharma 

Ali, melontarkan ide untuk melarang Ahmadiyah sepenuhnya. Pada 

2011, sekitar setengah dari 33 provinsi di Indonesia telah memberlakukan 

pelarangan terhadap Ahmadiyah.68

Bagi umat Muslim arus utama, pelarangan terhadap Ahmadiyah 

mungkin hanya langkah simbolis saja. Tapi di daerah-daerah di mana 

pelanggaran kebebasan beragama rutin terjadi, pernyataan pemerintah 

semacam itu tidak hanya sampai ke telinga tetapi juga ke tangan-tangan 

yang tidak sabar menerjemahkan abstraksi teologis ke dalam aksi 

kekerasan. Pada 6 Februari 2011, tiga pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, 

Banten, diserang dan dibunuh dalam insiden anti-Ahmadiyah paling parah 

yang terjadi di Indonesia.69

Sudah bertahun-tahun para pemuka agama setempat merasa tidak 

senang kepada Ismail Suparman, pengurus Ahmadiyah di Cikeusik, dalam 

menyebarkan agamanya. Rumahnya dijadikan pusat aktivitas Ahmadiyah 

di daerahnya. Sepuluh bulan sebelum penyerangan, April 2010, kepala 

desa menyampaikan pidato bahwa Ahmadiyah harus dibubarkan. Dari 

September hingga November 2010, Suparman dipanggil untuk menghadiri 

sejumlah pertemuan—pertama dengan kepala desa, lalu pemerintah 

daerah, Bakor Pakem dan kelompok anti-Ahmadiyah—memintanya untuk 

membubarkan Ahmadiyah. Suparman menolak tetapi bersedia mematuhi 

Keputusan Bersama mengenai penyebaran ajaran Ahmadiyah. Hal ini 

tidak membuat kelompok garis-keras puas. Pada Januari 2011, mereka 

menghubungi Ujang Muhammad Arif, pemuka agama berpengaruh, yang 

lalu mengirimkan pesan pendek kepada umat Muslim untuk menyerbu 

Ahmadiyah di Cikeusik.70

Setelah merencanakan waktu pembubaran Ahmadiyah, para 

penggiatnya kemudian mengumpulkan masyarakat sekitar untuk 

bergabung. Rencana ini  diketahui oleh pengikut Ahmadiyah. 

Mereka lalu memberi tahu pihak kepolisian, militer, dan aparat keamanan 

empat hari sebelum kejadian. Pada 5 Februari 2011, polisi mengevakuasi 

Suparman, istri, dan anaknya, serta pimpinan Ahmadiyah lainnya. Mereka 

diamankan di kantor polisi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak 

diinginkan. Tapi pada 6 Februari 2011 pagi, 17 pengikut Ahmadiyah 

tiba di rumah Suparman dengan maksud untuk melindunginya. Mereka 

dipimpin Deden Sudjana, kepala keamanan nasional Ahmadiyah. Mereka 

Bab 5166

mengabaikan permintaan polisi untuk meninggalkan tempat itu.71

Massa yang berjumlah antara 1.000 sampai 1.500 orang mendatangi 

rumah Suparman, sementara petugas kepolisian dan militer memerhatikan. 

Video kekerasan, yang belakangan beredar di internet, menunjukkan detail 

yang mengerikan.72 Para pemuda—banyak di antaranya mengenakan peci 

dan beberapa membawa parang panjang—memasuki halaman dengan 

berteriak “Allahu Akbar,” dan beberapa petugas kepolisian berusaha dengan 

sia-sia untuk menahan mereka. Serangan bermula dengan pelemparan 

batu ke dalam rumah. saat  para pengikut Ahmadiyah melemparkan 

balik batu-batu itu ke arah penyerang, massa kemudian merangsek masuk. 

Video berikutnya memperlihatkan tubuh-tubuh korban yang meringkuk, 

setengah telanjang, dan berlumuran darah di halaman rumah. Para 

penyerang bergantian memukuli tubuh-tubuh yang sudah tak sadarkan 

diri dan mungkin sudah tak bernyawa itu dengan tongkat kayu, kadang 

dengan sekuat tenaga hingga tongkat ini  retak dan pecah.

Pantas jika kejadian ini  digolongkan sebagai perbuatan tidak 

manusiawi dan tidak bisa diterima akal sehat. Tapi sayangnya, fakta-fakta 

itu tidak lantas memberikan perlindungan bagi pengikut Ahmadiyah. 

“Menyebut pembunuhan di Cikeusik sebagai pembunuhan berencana 

itu meremehkan,” kata penulis dan seniman, Bramantyo Prijosusilo.73 

Seperti yang dijelaskan di atas, jalan terakhir yang dipilih kalangan Muslim 

Cikeusik untuk mengatasi masalah mereka dengan Ahmadiyah telah 

dirancang selama beberapa bulan. Di level nasional, kebencian terhadap 

para pengikut Ahmadiyah telah berlangsung jauh lebih lama. “Nasib 

para pengikut Ahmadiyah di Indonesia telah diputuskan bertahun-tahun 

sebelumnya, saat  para pemimpin Forum Pembela Islam (FPI) mulai 

menyerukan untuk membunuh mereka,” kata Prijosusilo. Komisi Nasional 

Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah memperingatkan sejak awal 

2006 bahwa fatwa-fatwa yang menolak Ahmadiyah dapat digolongkan 

sebagai ujaran kebencian. Salah satu pimpinan FPI, Sobri Lubis, muncul 

dalam sebuah video di YouTube, berceramah sambil meneriakkan, 

“Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh Ahmadiyah!” Prijosusilo mengatakan 

bahwa media telah ramai memberitakan video ini  jauh sebelum 

terjadinya pembunuhan Cikeusik. Pemerintah Indonesia mengabaikan 

ancaman ini  meskipun ada hukum yang melarang hasutan berbau 

kebencian berdasarkan agama. Salah satu alasan umum dari ketidaktegasan 

pemerintah ini  yaitu  kurangnya kapasitas polisi. Hal ini mungkin 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 167

terjadi di sebuah negara yang sangat luas dengan beberapa titik yang 

berjarak 3.000 kilometer dari ibukota. Tapi Cikeusik bukanlah daerah yang 

seperti itu. Meskipun kecil dan berada di desa provinsi, daerah itu bukan 

berada di luar jangkauan hukum yang pendek sekalipun, sebab  jaraknya 

hanya empat jam perjalanan melalui jalan tol dari Jakarta.

Menteri-menteri pemerintahan—yang pernyataan-pernyataannya 

menyuburkan budaya kebencian dan impunitas—memberi alasan untuk 

kejadian di Cikeusik dan bahkan memakluminya. Presiden Susilo Bambang 

Yudhoyono tidak secara terbuka menegur para menterinya itu.74 Sikap tak 

acuh pemerintah terhadap kelompok agama minoritas ini tampak dalam 

proses pengadilan terhadap para pembunuh. Duabelas orang, termasuk 

guru dan murid dari pesantren setempat, didakwa atas kekerasan terhadap 

pengikut Ahmadiyah, yang terekam dalam sejumlah ponsel. Akan tetapi 

jaksa hanya menuntut hukuman lima hingga tujuh bulan penjara bagi 

kedua belas pelaku. Pengadilan memutuskan hukuman penjara selama 

dua hingga tiga bulan bagi mereka. Dengan waktu yang mereka habiskan 

di penjara sebelumnya, kedua belas orang itu pun dapat keluar bebas 

hanya limabelas hari sejak putusan ini . Pengadilan juga memutuskan 

bahwa ada tindak penghasutan, tapi ajaibnya ini didakwakan kepada 

Deden Sudjana, kepala keamanan nasional Ahmadiyah, yang terluka di 

kepala. Tindakan ini  dituntut hukuman enam tahun penjara dan 

menimbulkan kemarahan publik sehingga pengadilan memutuskan 

hukuman enam bulan penjara.75 Satu bulan setelah terbunuhnya tiga 

pengikut Ahmadiyah, Gubernur Banten mengeluarkan larangan terhadap 

kegiatan Ahmadiyah di provinsinya.76

Menyasar Syiah

Pemilahan Sunni-Syiah, yang ada  di banyak masyarakat Muslim, 

memberi kesempatan lain kepada aktor pelintiran kebencian di Indonesia 

untuk melakukan mobilisasi. Contoh kasus di Madura memperlihatkan 

bagaimana perselisihan keluarga dapat meluas menjadi konflik agama. 

Kasus ini berujung dengan hukuman empat tahun penjara untuk Tajul 

Muluk, seorang pemuka Syiah, atas tindak penistaan agama dalam Pasal 

156A KUHP. Lebih dari seratus orang pengikutnya diusir dari rumah 

mereka.

Tajul Muluk berasal dari keluarga yang mengikuti tradisi Sunni, tetapi 

Bab 5168

kemudian menjadi pengikut Syiah setelah dewasa. Menurut laporan berita, 

masalah bermula pada 2004. Saudara Tajul yang Sunni, Rois al-Hukama, 

melamar seorang perempuan bernama Halima, akan tetapi lamarannya 

ditolak. Rois kemudian mengetahui bahwa Halima telah menerima 

lamaran seorang pemuda pengikut Syiah. Comblangnya tak lain yaitu  

saudara Rois sendiri yang merupakan pemuka Syiah, Tajul. Rois yang 

menyimpan amarah mulai melancarkan agitasi terhadap komunitas Syiah 

saudaranya itu.77 Pada 2006, 40 pemuka Sunni da