Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 8. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 8

 



n empat anggota polisi 

menandatangani pernyataan yang mengecam Syiah sebagai bidah dan 

mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap pengikut Syiah 

atas tindak penistaan agama. Majelis Ulama Indonesia setempat kemudian 

mengeluarkan fatwa yang melarang pengamalan dan penyebaran ajaran 

Syiah. Meskipun tidak memiliki dasar hukum yang jelas, fatwa ini  

digunakan untuk membenarkan penyerangan-penyerangan anti-Syiah.

Kaum Islamis militan di Madura kemudian meningkatkan tuntutannya 

pada 2011 dengan membakar tempat ibadah, madrasah, dan rumah 

para pengikut Syiah. Hanya seorang saja yang dihukum atas tindakan 

pembakaran. Solusi yang ditawarkan polisi yaitu  agar Tajul Muluk dan 

pemuka Syiah lainnya meninggalkan desa. Jaksa setempat, yang juga 

yaitu  anggota Bakor Pakem, mendesak pelarangan terhadap ajaran yang 

dibawa Tajul dan mulai memproses tindak penistaan agama. Hukuman 

semula untuk Tajul, dua tahun penjara, yang diberikan pengadilan negeri 

setempat, kemudian digandakan oleh pengadilan tinggi dalam upaya 

banding. Pengadilan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa Tajul pantas 

mendapat tambahan masa hukuman sebab  telah merusak kerukunan 

di antara Muslim. Pemerintah setempat seperti Bupati Sampang 

mendukung tuntutan kelompok anti-Syiah agar pengikut Syiah tidak 

diperbolehkan kembali sampai mereka menganut Islam Sunni. sebab  

tidak bisa menggarap tanahnya, banyak korban yang kemudian menjadi 

pengangguran atau bekerja dengan penghasilan rendah.78

Demokrasi Terkonsolidasi dengan Kualitas masih belum 

Pasti

Dibandingkan dengan Amerika Serikat dan India, demokrasi di Indonesia 

tergolong masih muda. Pranata demokrasinya kurang begitu mapan dan 

prospeknya lebih sulit diprediksi. Kalangan yang optimis menunjukkan 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 169

pemilu yang damai dan kompetitif di Indonesia, yang terus dimenangkan 

partai politik sekular. Kalangan pesimis menunjukkan kejadian-kejadian 

yang dijelaskan dalam bab ini dan tahu bahwa tidak semuanya berjalan 

baik. Demokrasi yang masih muda boleh jadi terlalu kuat untuk gagal, 

tetapi nilai-nilai demokrasinya paling baru berkembang secara parsial saja. 

Selain kekerasan yang kerap berulang, data survei menunjukkan naiknya 

intoleransi beragama di masyarakat secara umum. Penolakan kuat terhadap 

RUU anti-pornografi menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia 

enggan melepaskan begitu saja kebebasan media dan hak mereka untuk 

berkumpul, men-tweet, atau mengunggah sesuatu, yang telah mereka 

dapatkan dengan susah payah. Akan tetapi banyak di antara mereka yang 

tidak mau berbagi hak-hak ini  dengan kelompok minoritas yang 

tidak populer.

Akar dari pengerasan agama-agama di Indonesia sangatlah kompleks. 

Para pengecam keras “SiPiLis” seolah bertujuan mengubah Indonesia 

menjadi kekhalifahan Islam di bawah aturan Syariah dan terbebas dari 

penyimpangan. Tapi studi-studi yang terperinci mengenai politik dan 

agama di Indonesia mengungkap adanya agenda lain yang lebih samar-

samar. Sebut saja soal tuntutan pemberlakuan Syariah. John Bowel, seorang 

antropolog, melihat bahwa kecenderungan yang ada yaitu  “Indonesia 

sedang dalam proses mendefinisikan dan melegitimasi kembali pranata-

pranatanya, bukan Indonesia yang sedang dikuasai oleh gegap gempita 

agama.”79 Kalangan elite memakai  Syariah sebagai simbol keotentikan 

dan kekuasaan, lanjut Bowen. Pelintiran kebencian juga punya fungsi 

simbolik. Kampanye moral terbesar pasca-reformasi menghasilkan 

peraturan baru yang melarang pornografi dan “porno-aksi,” tetapi setelah 

kemenangan simbolik itu tercapai, kalangan garis-keras tidak benar-

benar memakai  aturan ini  untuk membersihkan Indonesia dari 

hal-hal yang tidak senonoh. Hal ini serupa dengan aksi protes terhadap 

trailer film Innocence of Muslims di Youtube yang dibahas pada bab 3. 

Serentetan aksi protes memuncak dalam unjuk rasa yang diikuti ribuan 

orang di luar Kedutaan Amerika Serikat, diorganisir oleh Partai Keadilan 

Sejahtera (PKS).80 Kontroversi mereda setelah Google mencabut trailer 

film ini  di YouTube Indonesia; tapi tidak ada protes saat  belakangan 

film lengkapnya tersedia di situs yang sama.

Meskipun pelintiran kebencian terhadap pengikut Ahmadiyah dan 

pengikut Syiah umumnya bersifat simbolik, tetapi kadang hal itu bereskalasi 

Bab 5170

menjadi kekerasan. Sebagian besar peraturan anti-Ahmadiyah tidak 

diberlakukan, demikian temuan studi Melissa Crouch yang terperinci 

di tingkat nasional.81 Mary McCoy, peneliti retorika politik, mengatakan 

bahwa kelompok minoritas menempati “fungsi fantasi” bagi kalangan 

absolutis yang menginginkan masyarakat yang murni dan satu.82 Kohesi 

ini , kata McCoy, merupakan “ilusi yang sulit diwujudkan,” terutama 

di negara yang sangat luas dan beragam seperti Indonesia.83 sebab  itu, 

kaum intoleran memerlukan kambing hitam untuk setiap kegagalan dalam 

mewujudkan masyarakat yang murni. Paradoksnya, pengambinghitaman 

kelompok penyimpang yaitu  cara yang efektif untuk terus menyebarkan 

khayalan bahwa masyarakat yang satu itu kelak dapat terwujud. McCoy 

mengatakan bahwa unsur intoleran dalam retorika politik Indonesia ini 

bersumber dari perumpamaan pokok yang dikembangkan di era Suharto, 

yang menggambarkan masyarakat sebagai “badan dan wadah yang harus 

dilindungi dari serangan eksternal dan perpecahan internal.”84 Agenda 

sesungguhnya tentu yaitu  konsolidasi kekuasaan dengan membentuk 

musuh bayangan—mirip dengan yang dilakukan kalangan nasionalis 

Hindu di India.

Meski kita tidak dapat memperkirakan ke mana kecenderungan ini akan 

membawa Indonesia, tapi kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor utama 

yang dapat mendekatkan atau menjauhkan Indonesia dari pluralisme 

dan toleransi. Saya telah membahas salah satunya secara mendetail: 

ketentuan konstitusional, perundangan, dan peraturan di Indonesia perlu 

menyamakan visinya mengenai kesetaraan. Hal itu perlu memperhatikan 

keberadaan kelompok-kelompok yang siap mengeksploitasi setiap celah 

atau sinyal simbolis yang dapat mereka anggap sebagai lampu hijau untuk 

melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan. Meski 

sebagian besar diskusi seputar ujaran kebencian di tataran internasional 

berfokus pada soal aturan kebebasan berekspresi, kasus-kasus di Indonesia 

menunjukkan pentingnya peraturan seputar kebebasan beragama dan 

berkeyakinan. Ketimpangan dalam pendistribusian hak-hak inilah yang 

melatari pelintiran kebencian di Indonesia, ditambah dengan hak yang 

diberikan kepada kelompok mayoritas untuk merasa tersinggung oleh 

praktik keagamaan kelompok minoritas.

Dua faktor lainnya masih merupakan bayang-bayang besar: masyarakat 

sipil dan kepemimpinan politik. Keduanya memiliki kemampuan untuk 

menumbuhkan toleransi, maupun sebaliknya, kian menjerumuskan 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 171

Indonesia ke dalam polarisasi dan konflik agama. Arah yang akan diambil 

keduanya tidak begitu jelas. Namun secara umum kita melihat bahwa 

peran masyarakat sipil sebagai pembendung intoleransi makin melemah, 

sementara komitmen politik ke arah pluralisme sepertinya banyak 

bergantung pada kepribadian dan kalkulasi perseorangan.

Meredupnya Cahaya Masyarakat Sipil

Dibandingkan dengan India, Indonesia memiliki tradisi liberal-sekular 

yang lebih hidup secara intelektual, terlembaga, dan terorganisasi dengan 

baik di kalangan agama mayoritasnya. Dua organisasi Muslim yang 

dominan, NU dan Muhammadiyah, memiliki tradisi untuk mendukung 

demokrasi yang inklusif dan sekular. NU, khususnya, mengembangkan 

sikap pragmatis yang terbuka terhadap keragaman budaya dan sumber 

intelektual, serta kesadaran akan kewajibannya sebagai kelompok 

mayoritas dalam resolusi konflik secara damai.85 Ini yaitu  gerakan yang 

terdesentralisasi, bergantung kepada pemimpin lokal yang boleh jadi 

tidak memiliki pikiran terbuka. Akan tetapi beberapa kelompok NU kerap 

berada di barisan terdepan dalam melindungi gereja-gereja Kristen dari 

tindak kekerasan.

Para pemuka gerakan ini menunjukkan kepada masyarakat Indonesia 

bahwa mereka dapat menggugat dan melawan kelompok absolutis garis-

keras dengan percaya-diri, memakai  bahasa teologis maupun bahasa 

sekular. Contohnya yang paling menonjol yaitu  pemuka NU, mendiang 

Abdurrahman Wahid, yang terkenal dengan panggilan Gus Dur. Terpilih 

sebagai presiden Indonesia pada 1999, Gus Dur mengedepankan citra 

Islam yang terbuka dan toleran. saat  menentang RUU anti-pornografi, 

Gus Dur berseloroh bahwa, dengan acuan yang digunakan para perumus 

RUU itu, Alquran pun boleh jadi akan dilarang. Kalangan garis-keras tentu 

saja marah mendengarnya, tetapi mereka tidak bisa menampik pernyataan 

Gus Dur ini  sebagai pernyataan dari seorang musuh Islam. Mantan 

Ketua Muhammadiyah, Amien Rais, juga memberikan pernyataan yang 

sama tegasnya mengenai pluralisme dan perlunya memaknai Alquran di 

zaman modern saat ini. Alquran, menurutnya, yaitu  “sumber hukum, 

sumber prinsip etis dan moral,” tapi “bukan kitab undang-undang”: “Jika 

Alquran dianggap sebagai kitab undang-undang, maka umat Muslim akan 

menjadi umat paling malang di dunia.”86

Bab 5172

Kekuatan ormas Muslim di Indonesia sebagian ada pada ketidakpercayaan 

masyarakat Indonesia terhadap kekuasaan politik yang tersentralisasi serta 

pengaruh buruknya terhadap agama. Pada masa penjajahan Belanda, 

para pendiri madrasah Alquran dan kelompok Muslim lainnya berpikir 

lebih baik menanam benih mereka jauh dari pusat kekuasaan politik. 

Ekses Suharto memperkuat sikap ini.87 Dia juga berperan memberikan 

patronase negara kepada Islam yang berkeadaban, dengan aktif mendorong 

pemaknaan liberal dari agama. Ruang ini lalu dimasuki pemikir-pemikir 

terkemuka dengan latar belakang pendidikan tradisional Islam serta filsafat 

dan teologi modern. Cendekiawan Harun Nasution mengembangkan 

pendekatan rasional, interpretif, dan kritis dalam studi Islam. Pendekatan 

ini melahirkan cendekiawan publik seperti Nurcholish Madjid, yang turut 

menghidupkan pemikiran Islam yang dinamis dan inklusif. Pemikiran 

mereka cukup berkembang hingga mampu menahan gempuran ajaran luar 

yang intoleran. Mirjam Künkler menulis bahwa ini semua menghasilkan 

“suatu diskursus baru yang hegemonik yang mengedepankan pluralisme 

agama, hermeneutika rasionalis dalam memahami teks-teks agama, dan 

pembelaan terhadap norma-norma demokrasi dan prosesnya.”88

Tapi Islam yang berkeadaban itu tidaklah terlepas dari apa yang disebut 

sebagai belokan konservatif dalam arus utama Islam Indonesia sejak awal 

2000-an.89 Di dalam NU dan Muhammadiyah, kalangan konservatif dan 

kelompok absolutis kian mampu menandingi kalangan progresif dan 

liberal. Kematian Abdurrahman Wahid pada 2009 membuat NU tak lagi 

memiliki sosok pengusung nilai-nilai pluralis yang setara. Ketua NU 

penerusnya, Hasyim Muzadi, menentang SKB tentang Ahmadiyah pada 

2005, tetapi pada 2011 dia menyerukan agar Ahmadiyah dipisahkan dari 

Islam.90 Donald Emmerson memandang bahwa kecenderungan serupa 

juga terjadi di Muhammadiyah. Ahmad Syafii Maarif, yang memimpin 

Muhammadiyah dari 1998 hingga 2005, bersedia mengambil risiko 

menentang kekerasan intoleran di masyarakat Muslim, kata Emmerson. 

“Sebaliknya, Din Syamsuddin penerusnya lebih cenderung merespons 

insiden-insiden semacam itu dengan menyebutkan keikutsertaannya dalam 

dialog lintas-iman yang diselenggarakan di Indonesia dan di berbagai 

belahan dunia.” Syamsuddin juga menjabat sebagai wakil ketua, lalu ketua, 

MUI di masa saat  ketundukan kepada kalangan ortodoks didahulukan 

atas kebebasan berpikir dan tafsir.91

Cendekiawan Muslim reformis yang terkemuka di Indonesia pada akhir 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 173

abad ke-21, Nurcholish Madjid, wafat pada 2005. “Sampai 2015 ini belum 

ada cendekiawan Muslim Indonesia yang sepadan dengannya dalam hal 

keilmuan, wawasan, dan pandangan reformisnya,” kata Emmerson.

Kegagalan Politik

Di permukaan, pemerintah Indonesia terus mempertahankan tradisi 

kemajemukan agamanya. Dalam beberapa kesempatan—seperti saat  

mengangkat citra Indonesia sebagai model demokrasi Muslim—presiden 

Indonesia tidak hanya menyampaikan sapaan Islam “Assalamu’alaikum,” 

tapi juga sapaan Hindu, “Om Swastyastu” dan “Om Shanti Shanti Shanti 

Om,” serta sapaan Yahudi “Shalom.” Akan tetapi, basa-basi semacam 

itu tidak seberapa dibandingkan tantangan yang dihadapi demokrasi 

Indonesia. Dialog lintas-iman seperti forum Aliansi Peradaban di Bali 

pada 2014 seringkali “hanya sekadar percakapan basa-basi yang tidak 

menyentuh persoalan sesungguhnya,” keluh International Crisis Group.92 

Yang paling diperlukan peradaban dari Indonesia yaitu  keteguhan untuk 

melawan ujaran dan tindakan intoleran. “Negara kurang punya keberanian 

untuk menjalankan tugasnya dan hal ini secara tidak langsung mendorong 

kekerasan dan impunitas bagi organisasi dan kelompok intoleran,” kata 

pemuka agama Katolik, Romo Magnis-Suseno.93

Seperti dialami banyak negara berwilayah luas, Indonesia juga punya 

masalah dengan kinerja polisi yang kurang profesional. Di beberapa 

wilayah, polisi memiliki hubungan simbiosis dengan pemerasan yang 

dilakukan kelompok moralis militan. saat  preman-preman FPI 

mengadukan kegiatan-kegiatan maksiat, polisi punya “kesempatan untuk 

memperingatkan bisnis-bisnis yang disasar FPI, untuk membayar uang 

keamanan kepada polisi untuk memperkuat keamanan, atau membuat 

kesepakatan dengan FPI.”94 Di banyak kasus, polisi lebih memilih membela 

yang kuat daripada membela yang berhak.

Pimpinan politik dan pejabat pemerintah turut bersalah sebab  

bersekongkol dengan kelompok-kelompok pembenci atau sebab  kalkulasi 

utilitarian mereka yang mengorbankan hak minoritas demi perolehan 

politik. Banyak pengamat Indonesia yang menyalahkan kepemimpinan 

Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sebab  gagal memoderasi 

pembelokan konservatif dalam Islam Indonesia; jika ada, dia malah ikut 

mendorongnya. Pemerintahannya mengurusi persoalan agama dengan cara 

Bab 5174

yang mendorong atau bahkan melembagakan intoleransi. Di tahun pertama 

jabatannya, Yudhoyono menerima undangan MUI untuk membuka 

musyawarah nasionalnya. Pidatonya pada Juli 2005 mendorong prestise 

dan rasa percaya-diri mereka. Yudhoyono menyampaikan bahwa dia dan 

pemerintahannya membuka “hati dan pikirannya” kepada masukan dari 

MUI dan para ulama. “Kami ingin agar MUI berperan sentral dalam 

hal yang menyangkut akidah keislaman,” ungkapnya.95 Yudhoyono 

menyampaikan pernyataan ini  di musyawarah yang sama di mana 

MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan liberalisme, pluralisme, 

dan sekularisme.

Pemerintahannya menghidupkan kembali badan anti-penyimpangan, 

Bakor Pakem—badan ciptaan Suharto yang mati setelah reformasi—

sebagai respons terhadap fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah.96 

Ini memberi MUI mitra permanen di dalam pemerintah. Yudhoyono juga 

mengangkat tokoh konservatif untuk menempati beberapa posisi menteri 

utama dan tidak bisa menegur mereka saat  mereka melakukan ujaran 

kebencian. Pemerintahannya melakukan kesalahan dengan berusaha 

menghakimi perselisihan teologis dan menenangkan perasaan kelompok 

beragama dengan mengorbankan penegakan hukum. Peraturan Bersama 

Menteri tahun 2006 tentang pembangunan rumah ibadah dan Surat 

Keputusan Bersama tahun 2008 tentang Ahmadiyah yaitu  kasus-kasus 

klasik. Ilmuwan sosial Abdul Malik Gismar, yang berkeliling Indonesia 

dalam rangka mengembangkan Indeks Demokrasi Indonesia, memandang 

bahwa kedua peraturan ini  telah menimbulkan kerusakan yang tidak 

terkira besarnya. “Peraturan ini  tidak menyelesaikan masalah; tapi 

justru malah menciptakan masalah.”97

Para pengamat menyebutkan sejumlah faktor yang membuat SBY 

tunduk kepada kalangan Islamis. Salah satunya yaitu  bahwa SBY harus 

menyesuaikan diri dengan mayoritas Muslim yang menjadi makin 

konservatif. Meski partai-partai Islam tampak tidak mampu memenangkan 

kekuasaan, itu bukan berarti mereka tidak punya pengaruh. Koalisi 

pemerintah Yudhoyono termasuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 

yang berbasis Muslim. Yudhoyono boleh jadi merasa perlu memberikan 

posisi menteri agama kepada ketua PPP, Suryadharma Ali, yang kemudian 

sering memakai  jabatannya untuk mengeluarkan pernyataan dan 

peraturan intoleran. Dalam budaya politik yang mengharapkan kesalehan 

para pejabat publiknya, para politisi dan pejabat takut dituding kurang 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 175

religius—tudingan yang dimainkan dengan lihai oleh kalangan Islamis. 

“Mereka memakai  simbol agama dengan sangat efektif,” kata Endy 

Bayuni, wartawan veteran dan salah satu pendiri International Association 

of Religion Journalists (Asosiasi Jurnalis Peliput Agama Internasional). 

“Jika Anda dianggap anti-Islam, maka hal itu bisa berbahaya.”98

Faktor lainnya yaitu  pembawaan pribadi Yudhoyono dan falsafah 

pemerintahannya. Dia dikenal kerap memicu konfrontasi dan kontroversi 

sebab  kelambanannya dalam mengambil tindakan. saat  dipaksa 

mengambil keputusan, dia memilih untuk memilih sesuatu yang berimbang 

kepada kedua pihak yang berlawanan. “Jika pemenang menyapu bersih 

semuanya, itu berbahaya, akan ada pihak yang kalah, mereka umumnya 

suka membalas, dan jika itu sampai di luar batas maka akibatnya bisa 

mengerikan,” jelasnya dalam sebuah wawancara dengan akademisi 

setelah selesai masa jabatannya. “Ya, saya akui bahwa saya suka menjaga 

keseimbangan, ya, keseimbangan dalam hidup, di negara kita.”99 Pendekatan 

ini boleh jadi didasarkan pada pandangan yang akurat bahwa negaranya 

terpecah-pecah, dan ada dorongan paternalistik untuk memediasi berbagai 

kepentingan yang saling berlawanan itu. Akan tetapi itu berarti hak-hak 

kelompok minoritas tidak dianggap sebagai suatu yang penting. Seperti 

disadari oleh akademisi yang mewawancarainya, “pengambilan keputusan 

yang dapat memicu ‘benturan’ itu, baginya, sama beratnya dengan jaminan 

konstitusi untuk kebebasan beragama.”100

Semua itu menunjukkan bahwa jenis kepemimpinan presiden yang lain 

boleh jadi dapat lebih tegas dalam melawan kekuatan intoleran. Penerus 

Yudhoyono memberikan harapan. Gubernur Jakarta Joko Widodo, yang 

lebih dikenal dengan Jokowi, mencalonkan presiden pada 2014 dengan 

menjanjikan pemerintahan yang lebih tegas dan efektif. saat  menjabat 

Gubernur, Jokowi memenangkan “pertunjukan” yang menarik perhatian 

dengan kelompok militan FPI. Dia menetapkan sistem penunjukan lurah 

berdasarkan prestasi, yang dengan itu seorang perempuan Kristen menjadi 

lurah di wilayah Jakarta yang mayoritas Muslim. saat  FPI mengajukan 

petisi untuk menolak sang lurah, Jokowi tetap bergeming dan keributan 

pun mereda dengan sendirinya.101 “Terbukti bahwa kekhawatiran itu tak 

berdasar,” kata Bayuni.102

Saat berkampanye untuk pemilihan presiden, Jokowi harus menghadapi 

serangan-serangan yang dilancarkan kepada wakilnya, Basuki Tjahaja 

Bab 5176

Purnama, seorang Kristen Tionghoa. Basuki akan mengambil-alih 

posisi gubernur jika Jokowi terpilih menjadi presiden. Kelompok Islamis 

mengatakan bahwa suara untuk Jokowi sama artinya dengan satu suara 

untuk gubernur Kristen Tionghoa di ibu kota negara. Jokowi membela 

Basuki, mengatakan bahwa hukum dalam pergantian gubernur sudah 

jelas. Jokowi bukannya tidak perlu menampakkan kesalehannya. Ibadah 

umroh di Mekkah yang dijalaninya di masa rehat kampanye sebelum 

hari pemilihan boleh jadi ditujukan untuk menghapuskan keraguan akan 

pandangan keagamaannya.103 Akan tetapi, Jokowi menegaskan bahwa 

dia hendak membendung kecenderungan ke arah intoleransi beragama. 

Platformnya menyebutkan “intoleransi dan krisis kepribadian nasional” 

sebagai salah satu dari tiga tantangan utama yang dihadapi republik ini.

Setelah memenangkan kursi presiden, Jokowi dan Menteri Agamanya, 

Lukman Hakim Saifuddin, berjanji untuk merumuskan rancangan undang-

undang tentang toleransi beragama dan perlindungan kelompok agama 

minoritas. Melalui penunjukan dan pernyataan publik yang dibuatnya, 

Jokowi mengangkat kedudukan Nahdlatul Ulama dari lawan-lawannya 

yang garis-keras. Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama 

Internasional mengakui ada “nada yang berbeda, yang lebih inklusif ” 

dalam pernyataan-pernyataan pemerintahannya.104

Gubernur Jakarta yang baru, Basuki, juga memberi angin segar. 

Kalangan elite non-Muslim di Indonesia umumnya takut dilabeli anti-

Islam. Di awal masa jabatannya, Basuki mematahkan pandangan ini  

dengan meminta pelarangan FPI setelah terjadinya insiden kekerasan di 

Jakarta. Meskipun tidak berhasil, Basuki memperlihatkan bahwa kelompok 

garis-keras itu bukannya tidak tersentuh. Hal ini dia teruskan dengan 

memberikan pembelaan yang tegas terhadap Ahmadiyah.

Jokowi dan Basuki mematahkan pandangan umum bahwa menentang 

kelompok Muslim garis-keras sama saja dengan melakukan bunuh-diri 

politik.105 “Mitos bahwa mereka dapat menggerakkan mayoritas pemilih 

sekarang menjadi kurang begitu meyakinkan,” kata Bambang Harymurti, 

pemimpin Tempo. Tapi perjuangan melawan kekuatan intoleran masih jauh 

dari selesai. Salah satu indikatornya yang jelas dapat dilihat di luar istana 

presiden. Sudah lebih dari setahun Jokowi menjabat, tetapi jemaat Filadelfia 

dan Yasmin masih menyelenggarakan kegiatan ibadahnya di tempat 

terbuka setiap dua bulan sekali. Pemerintah masih harus menemukan 

Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 177

cara untuk menghapuskan hambatan di tingkat lokal yang menghalangi 

mereka untuk membangun tempat ibadah.

Perkembangan demokrasi Indonesia merupakan cerita sukses tetapi, 

seperti halnya India, negara ini diguncang oleh berbagai visi kebangsaan 

yang saling berlawanan. “Keberadaan sistem politik demokratis semata tidak 

menjamin akan ada toleransi beragama,” kata Donald Emmerson. “Budaya, 

opini publik dan para pemimpin yang mempengaruhinya dapat bergerak 

lepas dari norma liberal yang umumnya dijunjung dalam demokrasi. Dan 

norma-norma itu sendiri bisa jadi, atau berubah menjadi, tidak liberal.” 

Mohamad Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal percaya bahwa dasar 

toleransi beragama telah ada di landasan negara. “Jika kita kembali ke UUD, 

cita-cita Pancasila, ada jaminan untuk kebebasan berekspresi, kebebasan 

beragama, dan masyarakat yang majemuk,” terangnya. Itu yaitu  nilai-

nilai yang ingin dia bela saat  dia memimpin unjuk rasa mendukung 

Ahmadiyah pada 2008, yang membuatnya dipukuli dan para pejabat 

yang dipilihnya malah berpihak kepada kekuatan intoleran. Menurutnya, 

identitas Indonesia, seperti ekonominya, masih lemah. “Siapakah orang 

Indonesia itu? Muslim? Jawa? Suka dengan Amerika dan Barat? Atau Arab? 

Bahasan ini belum berakhir. Mungkin masalahnya yaitu  kita memiliki 

impian yang berbeda.”106 ***


179

Saat ini, kota-kota di Alabama diingat oleh masyarakat Amerika Serikat 

(AS) sebagai tempat terjadinya sejumlah peristiwa rasisme paling parah 

sekaligus keberhasilan gerakan hak-hak sipil yang paling menggugah. 

Selama puluhan tahun, orang-orang Afrika-Amerika dibunuhi di Alabama 

dan kota-kota di bagian selatan lainnya tanpa ada hukuman apa pun 

bagi para pelakunya. Pada 1963, sebuah bom yang diletakkan Ku Klux 

Klan meledak di sebuah gereja di Birmingham, menewaskan empat 

gadis Afrika-Amerika. Di tahun yang sama, Gubenur Alabama berdiri 

di pintu universitas negeri setempat dan berbicara di hadapan kamera 

televisi, bahwa desegregasi rasial tidak diterima di tempatnya. Akan tetapi, 

Alabama juga mengalami peristiwa-peristiwa yang positif. Di sanalah aksi 

penolakan Rosa Parks di bis umum pada 1955 memicu boikot dan gerakan 

di daerah ini ; di sana jugalah Martin Luther King Jr., seorang pendeta 

muda, memulai kampanye perlawanan sipil yang kemudian menghasilkan 

Undang-undang Hak-hak Sipil pada 1964 dan Undang-undang Hak Suara 

pada 1965.

Limapuluh tahun kemudian, peristiwa-peristiwa ini  menjadikan 

Alabama sebagai tempat bersejarah bagi warga AS. Pembaca USA Today 

menyebut ibukota negara bagian Alabama, Montgomery, sebagai “Kota 

Bersejarah Terbaik” Amerika pada 2004.1 Pada awal 2015, warga dari 

berbagai penjuru Amerika berkumpul untuk mengenang kembali unjuk 

rasa menuntut hak suara dari kota Selma ke Montgomery. Bagi yang 

enggan ikut dalam barisan unjuk rasa, Hollywood membuat film “Selma”, 

dengan lagu tema “Glory” yang memenangkan Oscar. Tidak mau kalah, 

Barack Obama menyampaikan salah satu pidato yang paling menggugah 

6  

Amerika Serikat: Kebebasan yang Luar Biasa, 

Ketakutan yang Mengada-ada

Bab 6180

selama masa jabatannya di Jembatan Edmund Pettus. Dia menyampaikan 

bagaimana para pengunjuk rasa menghadapi polisi dalam “perjuangan 

merebut makna Amerika”, dan bahwa berkat mereka, “cita-cita akan 

Amerika yang adil, setara, dan murah hati—akhirnya dapat diwujudkan.”2

Konon mereka yang melupakan masa lalu sangat mungkin untuk 

mengulanginya; tetapi peristiwa di Alabama baru-baru ini menunjukkan 

bahwa ingatan akan ketidakadilan di masa lalu pun tidak dapat mencegah 

terulangnya prasangka dan kebencian. Pada 2014, legislator negara bagian 

menyetujui pemungutan suara untuk memutuskan amandemen terhadap 

konstitusi negara bagian, yang disebut “American and Alabama Laws 

for Alabama Courts” (Undang-undang Alabama dan Amerika untuk 

Pengadilan Alabama). Nama undang-undang yang terkesan biasa-biasa 

saja itu menutupi upaya serangan bertahun-tahun terhadap kelompok 

minoritas melalui perundang-undangan. Para pengusungnya menyatakan 

bahwa amandemen ini diperlukan untuk melindungi negara bagian dari 

ancaman serius—umat Muslim, yang agamanya memerintahkan untuk 

menerapkan tirani hukum Syariah di mana pun mereka berada. Usulan 

amandemen ini disetujui oleh lebih dari 72% suara pada bulan November.3

Islamofobia sudah marak di masyarakat Amerika. Pada pertengahan 

2014, sekitar 40 persen warga Amerika mengaku bersikap “dingin” terhadap 

Islam (dibandingkan dengan 17% yang bersikap sama terhadap Katolik dan 

10% terhadap Yahudi).4 Persentase warga Amerika yang kurang lebih sama 

ingin agar warga Muslim dan Arab diperiksa riwayatnya oleh penegak 

hukum.5 Ironisnya, pandangan semacam ini beredar bahkan saat  seluruh 

negeri sedang memperingati perayaan ke-50 gerakan membela hak-hak 

minoritas dan ini disampaikan seorang warga Muslim Alabama yang saya 

temui. Apakah prasangka etnis sekadar beralih sasaran? tanya saya. “Warga 

Amerika akan selalu butuh orang negro,” tandasnya.

Antipati masyarakat Amerika terhadap umat Muslim memang dapat 

dimaklumi, terutama pasca-serangan teror pada 11 September 2001. Jauh 

sebelum itu, pada 1979-1981 terjadi peristiwa penyanderaan di Iran, negara 

teokrasi Islam yang pemimpinnya, Ayatollah Khomeini, menyebut AS 

sebagai The Great Satan. Baru-baru ini, kekejian kelompok yang menyebut 

dirinya Islamic State (IS) membuat kesabaran masyarakat dunia makin 

menipis. Selain pemenggalan tawanan di Suriah dan Irak, serangan-

serangan IS terhadap “sasaran lunak” di AS dan Eropa memicu mentalitas 

Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 181

waspada, yang ditunjukkan dengan dukungan terhadap pernyataan calon 

presiden AS Donald Trump bahwa AS sebaiknya menutup perbatasan 

untuk semua orang Muslim hingga pemerintah menemukan cara untuk 

menghadapi kelompok Islam radikal. Sebagian kalangan di Amerika yang 

disurvei—dan sebagian besar pendukung Partai Republik—setuju dengan 

ide ini, meskipun berlawanan dengan Konstitusi dan akal sehat.6

Sentimen yang dieksploitasi Trump ini tidak dapat dijelaskan dengan 

terorisme jihadis saja. Enam bulan setelah peristiwa 9/11, warga Amerika 

yang memandang bahwa Islam lebih mungkin mendorong tindak kekerasan 

dibanding agama lainnya yaitu  25%. Satu dasawarsa setelahnya, pada 

2011, jumlahnya meningkat menjadi 35%. Persentase masyarakat yang 

memiliki pandangan positif terhadap Islam menurun dari 45% pada 

2005 menjadi 30% pada 2010.7 Ini agak mengherankan sebab  sentimen 

anti-Muslim meningkat selama periode tenang antara peristiwa 9/11 dan 

kemunculan IS.

Menurut kelompok-kelompok pemantau kebencian (hatewatch), 

peningkatan ini  didorong oleh agitasi sekelompok penghasut sayap-

kanan. Kelompok ini membentuk “gerakan yang terorganisir dan didanai 

dengan baik” untuk mendorong ”kebijakan-kebijakan yang diskriminatif 

terhadap sebagian masyarakat Amerika dengan sengaja menyebarkan 

kebohongan serta memanfaatkan ketakutan dan kegelisahan publik,” 

demikian laporan Center for American Progress (CAP), sebuah lembaga 

kebijakan yang progresif.8

Meskipun para agen pelintiran kebencian itu mengambil keuntungan 

dari prasangka yang telah ada, tapi penekanan dan politisasi prasangka 

ini —yaitu mengubah ketakacuhan menjadi ketakutan dan ketakutan 

menjadi usulan kebijakan—bergantung pada intrik yang mereka lakukan. 

Rekayasa kebencian dan ketakutan oleh tokoh dan organisasi sayap-

kanan ini begitu sistematis dan sarat dengan kepentingan golongan 

hingga para pengamat intoleransi menyebut mereka sebagai “industri 

Islamofobia.”9 Istilah “Islamofobia” mengacu pada rasa takut yang tidak 

berdasar terhadap umat Muslim di tataran individual dan psikologis, tapi 

juga dapat terlembagakan dalam kebijakan dan kebiasaan masyarakat.10

Kampanye pemilihan presiden tahun 2016 memperlihatkan keberhasilan 

industri Islamofobia ini dalam memasuki kancah politik nasional. Salah 

satu contohnya yaitu  ahli misinformasi, Frank Gaffney dari Center for 

Bab 6182

Security Policy, yang menjadi sumber berbagai propaganda anti-Muslim. 

Dia, misalnya, menyebut bahwa Barack Obama yaitu  presiden Muslim 

pertama di AS dan bahwa kelompok Ikhwanul Muslimin telah menyusupi 

sistem sekolah negeri di Amerika. saat  Trump menyerukan larangan 

terhadap Muslim untuk masuk ke AS, dia mengutip hasil jajak pendapat 

Center for Security Policy mengenai tingginya dukungan terhadap tindak 

kekerasan di kalangan Muslim, yang kemudian disanggah oleh para 

pengamat.11 Saingan Trump untuk kandidat calon presiden dari Partai 

Republik, Ted Cruz, punya hubungan yang lebih erat dengan jaringan 

Islamofobia itu dan menunjuk Frank Gaffney sebagai bagian dari tim 

penasihat keamanan nasionalnya.12

Mereka yang diuntungkan oleh ketakutan masyarakat ini tentu akan 

beralasan bahwa rasa takut terhadap kaum Muslim yaitu  hal yang 

rasional. Untuk mendapatkan perspektif ahli yang obyektif mengenai 

ancaman ini, saya bertanya kepada Southern Poverty Law Center (SPLC), 

sebuah lembaga pemantau independen. Berlokasi persis di seberang 

Civil Rights Memorial di Montgomery, Alabama, organisasi nirlaba ini 

didirikan pada 1971 untuk melawan kebencian dan sikap fanatik di 

masa itu. Awalnya, SPLC sibuk menghadapi gerakan Ku Klux Klan yang 

mendukung supremasi kulit putih—sampai-sampai pada akhir 1983, 

anggota Ku Klux Klan membakar kantor SPLC—akan tetapi, mulai akhir 

1990-an, organisasi ini memperluas garapannya dengan menghadapi 

berbagai kelompok kebencian lainnya. Pada Februari 2015, saya menemui 

Mark Potok yang sedang merampungkan laporan terbaru SPLC, Intelligence 

Report, yang memuat hasil survei tahunan SPLC mengenai kelompok 

kebencian dalam negeri. Sebagai wartawan surat kabar pada awal 1990-an, 

Potok meliput konfrontasi berbahaya antara pihak berwenang dan sekte 

Branch Davidian Christian di Waco, Texas. Dua tahun kemudian, dia juga 

mengulas serangan balas dendam Timothy McVeigh di Kota Oklahoma, 

yang membunuh 168 orang dalam aksi terorisme terburuk sebelum 

peristiwa 9/11. Potok bergabung dengan SPLC pada 1997 dan sejak itu 

dia terus memantau kelompok-kelompok kebencian.

Menurut Potok, kebencian terhadap umat Muslim mengalami 

peningkatan yang signifikan. “Saya pikir kita memasuki masa yang sangat 

buruk.”13 Tapi lalu timbul pertanyaan yang tak berujung. Mana yang 

lebih dulu: sikap anti-Muslim yang disebarkan melalui radio Kristen, Fox 

News, dan para pakar gadungan, atau sentimen ekstrem anti-Amerika 

Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 183

yang disebarkan Muslim radikal melalui media sosial dan masjid-masjid? 

Dengan kata lain, mana ancaman yang lebih besar bagi demokrasi Amerika 

saat ini, Islamofobia atau ekstremis Islam? Tanpa pikir panjang Potok 

menjawab, “menurut saya Islamofobia merupakan bahaya yang lebih besar 

di negeri ini.” Ini bukan Prancis, lanjutnya. Muslim Amerika merupakan 

kelompok kecil yang terintegrasi dengan baik, dan mereka tidak lebih 

condong kepada kejahatan kebencian atau kekerasan dibanding kelompok 

lainnya.

Perjalanan demokrasi AS merupakan sumber inspirasi bagi banyak 

orang di luar Amerika. Namun, di saat yang sama, ada  banyak peristiwa 

intoleransi yang bertubi-tubi menimpa berbagai kelompok minoritas. 

Kebangkitan ekonomi AS, misalnya, bergantung pada ideologi kebencian 

yang memicu perlakuan tidak manusiawi terhadap bangsa Afrika dan suku 

Indian, dengan merampas tanah dan tenaga mereka. Bangsa China, Jepang, 

Irlandia, Yahudi dan Katolik, serta kelompok homoseksual menjadi korban 

prasangka, diskriminasi dan kekerasan. Kini, penyebar Islamofobia menjadi 

kelompok terdepan dalam melakukan pelintiran kebencian di AS. Mereka 

mengobarkan kemarahan terhadap pembangunan tempat ibadah Muslim, 

buku pelajaran yang memuat penjelasan yang baik mengenai agama Islam, 

serta tudingan pengaruh hukum Islam terhadap hukum AS. Di bab ini, 

saya akan membahas motivasi dan metode mereka. Tapi pertama-tama, 

saya akan meninjau bagaimana agama, demokrasi, dan kebebasan berbicara 

saling terkait dalam sistem politik Amerika.

Amandemen Pertama dan Perang Budaya

ada  persamaan antara AS, India, dan Indonesia. Di masing-masing 

negara, singgungan dan ketersinggungan bernuansa agama dapat 

menjadi senjata politik yang ampuh. Pertarungan kebijakannya pun 

mirip: penyusunan buku pelajaran sejarah dan pendirian tempat ibadah 

dapat menjadi kontroversi baik di AS, maupun di India dan di Indonesia. 

Meski begitu, seperti bidang sosial politik lainnya, AS memiliki sejumlah 

pengecualian yang penting. Konstitusi AS yang khas terkait soal kebencian 

agama membuat agen pelintiran kebencian di sana bergerak di ranah 

hukum yang sangat berbeda dari tempat lain. Tidak seperti demokrasi di 

negara lain—baik dalam budaya politik maupun hukum—di AS, ujaran 

kebencian umumnya dibiarkan selesai dengan sendirinya lewat mekanisme 

Bab 6184

pertukaran gagasan. Doktrin konstitusional Amerika tidak membolehkan 

negara untuk mencampuri debat publik yang nirkekerasan antara kalangan 

yang menjunjung nilai kewargaan dengan kalangan fanatik.

Orang luar kerap menilai posisi Amerika ini sebagai akibat dari pemujaan 

yang berlebihan kepada kebebasan berbicara dan hak individu, dengan 

mengabaikan nilai-nilai komunitas yang dianggap sakral. Anggapan ini 

keliru memahami sekularisme Amerika, yang mesti dibedakan dari laicité 

Prancis, misalnya, yang sering disebut dengan fundamentalisme sekular. 

Perlu juga diingat bahwa Amandemen Pertama dalam Konstitusi AS tidak 

hanya melindungi kebebasan berekspresi. Klausul pembukanya—“Kongres 

tidak boleh membuat hukum yang mendukung pengukuhan agama, 

maupun melarang pengamalan agama secara bebas”—menjadi dua prinsip 

dasar mengenai agama. Bagian yang dikenal sebagai Establishment Clause 

(Klausul Pengukuhan) mencegah ditetapkannya satu agama resmi atau 

diberlakukannya perlakuan khusus terhadap agama atau sekte tertentu. 

Klausul lainnya, The Free Exercise Clause (Klausul Kebebasan Beribadah), 

melarang pemerintah untuk mengganggu hak asasi warganya dalam 

menjalankan keyakinan agamanya. Akibatnya, kelompok agama minoritas 

di AS harus tahan menanggung cercaan tanpa adanya perlindungan dari 

negara, sementara di waktu yang sama mereka dijamin terbebas dari 

diskriminasi dan represi negara.

Prinsip-prinsip dasar ini  juga tidak mengakhiri perdebatan 

mengenai pemisahan antara gereja dan negara. Kebijakan-kebijakan 

mengenai poligami, praktik ibadah di sekolah, aborsi, dan pernikahan 

sesama jenis telah mendorong Mahkamah Agung AS untuk membuat 

penilaian-penilaian kontroversial dalam rangka menyeimbangkan hak-

hak asasi dan kepentingan-kepentingan yang berbeda. Pertanyaan soal di 

mana batas antara keduanya terus menimbulkan perdebatan politik dalam 

negeri yang sengit. Di Alabama, misalnya, Ketua Mahkamah Agung Roy 

Moore dipecat sebab  menolak mematuhi perintah pemerintah pusat, yang 

dibuat berdasarkan Establishment Clause, agar memindahkan monumen 10 

Hukum Kitab Suci yang dia dirikan di gedung pengadilan. Eric Johnston, 

pengacara yang merancang Amandemen I untuk melindungi warga 

Alabama dari Syariah, selama puluhan tahun menentang apa yang dia 

anggap sebagai intervensi anti-agama oleh Mahkamah Agung. Dalam 

pandangan seorang Kristen konservatif seperti Johnston, Mahkamah 

Agung lebih mendahulukan Establishment Clause daripada Free Exercise 

Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 185

Clause, membiarkan pandangan sekular merusak kebebasan beragama 

warga Amerika.14

Ketegangan-ketegangan semacam ini telah lama berakar dalam sejarah 

Amerika. Pada abad ke-17 dan 18, bangsa Eropa berlayar menuju Dunia 

Baru demi mencari suaka agama serta peluang ekonomi. Jika para pendiri 

AS menjauhkan pemerintahan barunya dari jangkauan otoritas agama, itu 

bukan sebab  cita-cita masyarakat multikultural yang melampaui agama 

atau sebab  visi perdamaian dan pengertian antar-agama. Ketidakpercayaan 

itulah—antara kelompok agama maupun pemerintah—yang membuat 

mereka tidak rela jika pemerintah dikuasai kelompok agama. Keinginan 

untuk mencegah tirani, serta menghargai perbedaan, inilah yang mendasari 

klausul-klausul agama pada Amandemen Pertama. Ini juga menjelaskan 

hubungan AS yang kadang paradoksal dengan agama. AS mempunyai 

tingkat intoleransi yang cukup tinggi terhadap kelompok minoritas, tetapi 

juga dikenal mampu memberi kelompok minoritas perlindungan hukum 

yang jarang ditemui di tempat lain.

Seperti di India dan Indonesia, demokrasi di Amerika berayun di 

antara dua visi kebangsaan. Buku-buku pengantar mengenai AS umumnya 

hanya menekankan salah satunya saja, yaitu amanat konstitusi yang biasa 

disebut sebagai “agama sipil” (civil religion). Meski jelas menyatakan bahwa 

AS ada “di bawah naungan Tuhan,” perspektif ini juga menekankan AS 

sebagai “satu negara kesatuan” yang beragam, setara, dan inklusif. Hal ini 

ditunjukkan, misalnya, oleh kisah Thomas Jefferson yang sampai memiliki 

terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris sebab  keinginannya yang kuat 

untuk memahami peradaban asing yang tidak dapat dikesampingkan 

jika warga Amerika sungguh-sungguh ingin membangun masyarakat 

yang didasari prinsip hak-hak sipil yang universal.15 saat  para pejabat 

Departemen Luar Negeri AS membawa delegasi-delegasi negara Muslim 

berkeliling ibukota, mereka menunjukkan mural pada interior kubah 

bangunan Perpustakaan Kongres yang dibangun pada abad ke-19, di mana 

dua belas sosok melingkar menggambarkan sumbangsih utama terhadap 

peradaban barat dan salah satunya berlabel “ISLAM”.

Semangat keterbukaan ini berasal dari ide kebangsaan yang bersandar 

bukan pada sejarah maupun budaya, melainkan pada nilai-nilai politik 

yang transenden. Konstitusi AS sebagai ungkapan kehendak rakyat di 

tingkat tertinggi merupakan keputusan akhir. “Prinsip-prinsip Konstitusi 

Bab 6186

kita menyatukan kita sebagai bangsa,” ungkap film buatan pemerintah 

berdurasi 12 menit yang mengenalkan sejarah dan kewarganegaraan AS 

kepada para imigran. Film ini  mengakui bahwa demokrasi Amerika 

tidak serta merta sempurna dan masih harus terus diperbaiki, yang dalam 

prosesnya melibatkan perdebatan berkelanjutan. Akan tetapi, dalam 

pandangan liberal-sekular ini, arah perintah konstitusi sudah jelas; “seiring 

berjalannya waktu, kebebasan yang dijanjikan akan mencakup lebih dan 

lebih banyak orang lagi,” lanjut film ini. “Banyak kelompok yang tidak 

mendapat kebebasan di masa lalu, tapi kemudian mencapai kesetaraan 

melalui amandemen Konstitusi AS. Butuh waktu 75 tahun dan satu Perang 

Sipil untuk mengakhiri perbudakan. Butuh waktu 100 tahun lagi untuk 

meloloskan hukum yang menentang diskriminasi berdasarkan ras, warna 

kulit, agama, jenis kelamin, atau asal negara.” Satu-satunya saran yang 

menyangkut identitas budaya imigran yaitu , “Belajar Bahasa Inggris.” 

Ini bukan tradisi agama atau ras, melainkan “nilai-nilai kewarganegaraan 

yang umum sebagai warga Amerika.”16

Cita-cita yang transenden ini diungkapkan dengan begitu fasih 

hingga mudah mengabaikan paradigma saingannya—yakni nasionalisme 

keagamaan yang intoleran dan eksklusif yang mengakar di kalangan 

Kristen dan kulit putih Amerika. Arus berlawanan ini telah menjadi bagian 

dari sejarah Amerika sejak awal, naik dan turun, namun selalu ada. Kecuali 

masa konsensus liberal pada dua dasawarsa pertama pasca-Perang Dunia 

II, nasionalisme agama merupakan segi yang terus ada dalam kehidupan 

masyarakat Amerika.17 Pada 1992, kandidat presiden Patrick Buchanan 

menyerukan pandangan ini dalam pidatonya pada Konvensi Nasional 

Partai Republik. Dia menyoroti perbedaan pandangan di antara Partai 

Republik dan Demokrat mengenai aborsi, hak homoseksual, dan praktik 

ibadah di sekolah. Pidatonya itu kemudian dikenal sebagai Pidato Perang 

Budaya. “Kawan, pemilihan ini lebih dari sekadar siapa memperoleh 

apa. Ini tentang diri kita,” serunya. “Ini tentang apa yang kita yakini dan 

perjuangkan sebagai warga Amerika. Sedang terjadi perang agama di 

negeri ini. Ini yaitu  perang budaya, sama seriusnya dengan Perang Dingin 

dalam menentukan nasib bangsa kita. sebab  perang ini menyangkut roh 

Amerika.”18

Saat itu, strategi Perang Budaya paling tidak sudah muncul sejak 

20 tahun sebelumnya. Dalam kampanye pemilihan presiden pada 1968 

dan 1972, Richard Nixon berhasil memakai  pendekatan ini untuk 

Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 187

memenangkan kelompok mayoritas Kristen kulit putih.19 Nixon mengusung 

isu ras, agama, dan patriotisme untuk menarik suara terlepas dari kelas 

sosialnya. Strategi ini akan menjadi strategi yang penting bagi Partai 

Republik. “Dengan memecah warga Amerika berdasarkan budaya, Partai 

Republik mengalihkan isu ekonomi dan menyatukan kelas pekerja kulit 

putih dalam sebuah koalisi yang sebenarnya hanya melayani kepentingan 

kalangan kelas atas Amerika,” terang ilmuwan politik Scott Hibbard. 

“Penganut populisme sayap-kanan inilah yang menyerukan perang budaya 

pada tahun 1990-an.”20

Lalu terjadilah peristiwa besar pada 11 September 2011. Dengan 

mengesampingkan beberapa fakta—seperti peran kebijakan luar negeri 

AS dalam kemunculan Al Qaeda dan radikalisasi Osama bin Laden—

peristiwa itu pun menguatkan narasi besar mengenai sebuah bangsa 

Kristen yang nilai-nilainya terancam oleh penjahat kafir dari luar serta 

pengkhianat liberal di dalam negeri. Pada 2008, pendulum tampaknya 

berbalik. Barack Obama terpilih sebagai presiden AS dengan membawa 

kembali visi agama sipil, membawa harapan akan kemampuan demokrasi 

untuk membenahi diri sendiri. Tapi pada waktu itu masyarakat Amerika 

sudah terlalu terpolarisasi. Paradigma nasionalisme agama mengemuka 

dalam pergerakan yang dikenal sebagai Partai Teh (Tea Party), yang bahkan 

mengejutkan banyak kalangan konservatif di Partai Republik. Sejarawan 

Robert Horwitz memandang konservatisme Partai Teh yang “anti-

kemapanan” berbeda dari nilai-nilai konvensional yang dipegang Partai 

Republik. Dogmatisme Partai Teh yang kaku dan lebih mendahulukan 

“iman daripada fakta” merupakan upaya radikal untuk “menggulingkan 

hukum, norma, dan pranata yang ada.”21 Kecenderungan ini mendominasi 

pemilihan kandidat presiden Partai Republik pada 2016. Ted Cruz yaitu  

pendukung setia gerakan ini. Sementara itu, Donald Trump bukanlah 

seorang penganut agama yang taat, tapi kampanyenya yang tak jauh beda 

dari Cruz menunjukkan besarnya pengaruh kalangan nasionalisme agama 

dalam mengubah percakapan nasional. Yang paling mengkhawatirkan, 

konservatisme Partai Teh ini menanamkan “perasaan sebagai korban, 

kebencian, dan amarah atas hilangnya otonomi individu,” yang mengikis 

budaya toleran dan inklusif.22 sebab nya, Partai Teh yaitu  penerus “gaya 

paranoid” dalam politik Amerika, kata sejarawan Richard Hofstadter 

saat  menjelaskan bagaimana bangsa Amerika bisa begitu terpesona oleh 

gembar-gembor yang irasional dari Senator Joseph McCarthy dan Barry 

Bab 6188

Goldwater pada 1950 dan 1960-an.23

Tesis Hofstadter mengenai “gaya paranoid” ini masih relevan saat ini, 

tapi ini hanya sebagian gambaran saja. Hofstadter fokus pada keadaan 

mental sosial yang mendasari budaya politik Amerika dan akibatnya di 

tataran struktural. Yang luput diperhatikan, menurut Robert Horwitz, 

yaitu  analisis di tataran menengah: bagaimana dan mengapa lembaga 

tertentu menyalurkan dan menggerakkan rasa takut dan marah ini  

ke arah konservatif. Horwitz menyoroti peran aktif “jaringan dana sayap-

kanan, organisasi-organisasi politik pembentuk opini, dan media massa.”24 

Dinamika serupa juga ada di balik paranoia terhadap Islam.

Penggalakan Islamofobia

Di Birmingham, Alabama, Larry Houck yang berusia 67 tahun 

menggambarkan wajah gerakan anti-Islam di akar-rumput. Houck yaitu  

pengusaha kecil-kecilan di bidang perumahan yang mengendarai truk 

Toyota dengan stiker bumper yang bertuliskan “Keluarkan AS dari PBB.” 

Sebagai pendukung tokoh-tokoh Islamofobia, dia memimpin cabang 

jaringan anti-Islam radikal, ACT! for Amerika, di daerahnya. Pada 2010, 

dia tertarik bergabung dengan gerakan anti-Islam ini setelah membaca 

berbagai buku, semuanya 14 buku, mengenai bahaya Islam terhadap AS 

dan Eropa. “Saat ini sedang terjadi perang,” ungkapnya kepada saya di 

sebuah kedai kopi di Alabama.25

Houck merasa khawatir sekaligus tergerak oleh banyaknya warga 

Amerika yang tidak memiliki pandangan yang sama dengannya, dan 

dia berusaha keras untuk menyadarkan mereka. Menurutnya, umat 

Muslim berencana menegakkan Syariah untuk menguasai dunia barat. 

Syariah, menurut Houck, yaitu  sistem totaliter yang memperbudak 

kaum perempuan dan mengatur seluruh aspek kehidupan. saat  umat 

Muslim mengatakan bahwa agama mereka menjunjung perdamaian, 

non-Muslim harus menyadari bahwa doktrin taqiyyah dalam Alquran 

memperbolehkan umat Muslim untuk mengelabui non-Muslim. Jika umat 

Muslim berkuasa, kata Houck, perempuan non-Muslim akan disuruh 

menutupi seluruh tubuh mereka seperti yang mereka lakukan di Prancis. 

Islam perlahan akan menguasai Eropa, ramalnya, sebab  laki-laki Muslim 

dapat menikahi empat istri, sehingga angka kelahiran lebih tinggi. Di Eropa 

sudah ada daerah yang terlarang bagi Muslim; para walikota di Eropa sudah 

Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 189

menyangkal keberadaan mereka, tapi mereka dapat ditemukan secara 

online, katanya. Islam telah menghancurkan India, mengambil-alih lebih 

dari separuh negeri, lanjutnya. Houck percaya bahwa Presiden Obama 

menyelundupkan Ikhwanul Muslimin ke Washington D.C., dan seterusnya.

Houck dan aktivis lain yang mirip dengannya ibarat pengusaha dalam 

industri Islamofobia. Bagi banyak orang, Muslim atau bukan, yang tahu 

fakta-fakta mengenai agama, penggambaran di atas mungkin akan dinilai 

sebagai ocehan orang fanatik belaka. Akan tetapi, jika diperhatikan, 

pernyataan-pernyataan ini  menggemakan apa yang disampaikan oleh 

para politisi nasional. Seperti halnya retorika Hindutva di India, jaringan 

Islamofobia di AS memakai  narasi dengan tema dan fakta buatan 

yang terus diulang hingga membutakan akal sehat.

Kabar baiknya, ini bukanlah “konspirasi besar-besaran sayap-kanan,” 

menurut Center for American Progress (CAP).26 Kampanye Islamofobia 

dapat ditekan dengan kontra-ujaran yang kuat, kata Yasmine Taeb, 

pengacara hak-hak sipil yang turut menyusun laporan CAP mengenai 

Islamofobia pada 2015.27 Kelompok pemantau kebencian seperti CAP 

menemukan setengah lusin pakar gadungan yang saling merujuk dalam 

melancarkan propaganda anti-Islam di AS. Orang-orang ini bekerja 

melalui sepuluh organisasi utama yang pekerjaan utamanya yaitu  untuk 

menanamkan kebencian terhadap Islam. Dari 2001 hingga 2012, kelompok 

ini menerima 57 juta dolar AS dari delapan donor utama, menurut CAP.28 

Council on American-Islamic Relations (CAIR) menemukan sedikitnya 37 

kelompok inti dalam jaringan Islamofobia, dengan pendapatan mencapai 

hampir 120 juta dolar AS dari 2008 hingga 2011.29

Informasi yang keliru disebarkan oleh para politisi dan pemuka agama 

yang berpengaruh. Jangkauan media dari industri Islamofobia juga luas. 

Fox News dan Washington Times menjadi corong utama mereka dalam 

menyuarakan pandangan-pandangan mereka. Penyiar talkshow di jaringan 

radio nasional seperti Rush Limbaugh, Sean Hannity, Glenn Beck, dan Mike 

Savage secara rutin menyebarkan pandangan-pandangan mengandung 

Islamofobia. Kelompok-kelompok dan anggota-anggota inti juga memiliki 

platform mereka sendiri, seperti situs web Jihad Watch (www.jihadwatch.

org) dan Middle East Forum (www.meforum.org). Mereka sama sekali 

bukan amatiran. Situs-situs yang sarat konten dan ramah mesin pencari 

ini selalu berada di daftar teratas hasil pencarian Google untuk informasi 

Bab 6190

tentang Islam. (Contohnya, tulisan MEforum yang bias berada di posisi 

atas, mengungguli Wikipedia, saat  saya mencari “taqiyyah” melalui 

Google di Hongkong).30

Meskipun para pengusung Islamofobia di Amerika mendukung perang 

melawan teror, usaha mereka sebenarnya tidak membantu tujuan ini . 

saat  tentara AS dan personel kontraterorisme melawan kaum militan 

Muslim di luar negeri, mereka harus bekerja sama dengan sekutu Muslim 

dan hidup di antara warga sipil Muslim. Di dalam negeri, keterangan 

mengenai aktivitas yang mencurigakan datang dari warga Muslim Amerika 

sendiri. sebab  itu, dari perspektif keamanan, AS tentu tidak mau dinilai 

memerangi Islam oleh umat Muslim. Ini mungkin menjelaskan mengapa 

Presiden George W. Bush menyatakan penghargaannya terhadap mayoritas 

umat Islam dan kepercayaan mereka. Penekanan pemerintahan Bush 

bahwa Islam bukanlah musuh itu mungkin dapat menjelaskan mengapa 

kejahatan kebencian dan kecaman terhadap Islam sempat menurun meski 

sebelumnya meningkat pasca-peristiwa 9/11.

Jaringan Islamofobia memiliki agenda yang lebih besar daripada 

memerangi terorisme. Beberapa pendukungnya digerakkan oleh konflik 

Israel-Palestina. “Mayoritas individu dan kelompok yang menyerukan 

retorika anti-Muslim di AS yaitu  pendukung ideologi Israel dan 

kebijakannya terhadap orang Palestina,” ungkap Nathan Lean, penulis 

buku The Islamofobia Industry yang terbit pada 2012. “Pada beberapa 

kasus, seperti Clarion Fund, yang menghasilkan tiga atau empat film 

anti-Muslim, mereka terlibat langsung dengan Israel.”31 Mengecam umat 

Muslim merupakan salah satu cara paling efektif untuk memastikan agar 

warga Amerika dan para wakil mereka terus mendorong pemerintah AS 

untuk tetap mendukung Israel.

Organisasi-organisasi di lingkaran luar dengan misi-misi berbeda 

menambah kekuatan (dan sumber dana) pendukung Islamofobia. Berbagai 

kelompok agama sayap-kanan ini membawa motivasi yang berbeda dalam 

upaya mereka melawan Islam. Beberapa memiliki semangat keagamaan 

yang menggebu-gebu untuk mengalahkan apa yang mereka anggap sebagai 

agama palsu. Akan tetapi, kebanyakan mereka lebih digerakkan oleh perasaan 

frustrasi dan kegelisahan mengenai kecenderungan sosial di dalam negeri 

mereka yang sudah lama dirasakan oleh kelompok konservatif—seperti 

dikemukakan Buchanan dalam pidato “Perang Budaya”-nya. Perlindungan 

Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 191

terhadap hak-hak asasi individu yang makin luas menyebabkan kekalahan 

kelompok konservatif dalam isu-isu kontroversial, misalnya isu pernikahan 

sesama jenis baru-baru ini.

Sementara itu, imigrasi mengubah corak negara ini; warga Amerika 

kulit putih Amerika mencakup kurang dari separuh populasi saja dalam 

beberapa dasawarsa. “Untuk pertama kali sejak kedatangan orang-orang 

Eropa, kaum kulit putih tidak lagi menjadi kelompok mayoritas. Ini 

masalah serius,” terang Potok.32 “Hal ini mengubah kehidupan sehari-

hari masyarakat di lingkungan sekitar. Bagaimana kita menjalani transisi 

menjadi negeri multikultural di mana tidak ada satu pun kelompok yang 

mendominasi untuk pertama kalinya dalam sejarah? Saya pikir ini akan 

menjadi masa yang sulit.” Gambaran dan retorika presiden Kristen kulit 

putih dalam sosok George W. Bush tampaknya membantu meredakan 

gejolak ini , tapi terpilihnya Barack Obama sebagai presiden menaikkan 

kekhawatiran itu lagi.

Kelompok Muslim hanya satu persen saja dari seluruh populasi AS, 

membuat mereka menjadi sasaran empuk untuk disalahkan atas keresahan 

budaya orang Amerika.33 Berbeda dari warga Amerika Latin yang jumlah 

populasinya cukup dapat memengaruhi hasil pemilihan sehingga memaksa 

politisi untuk membingkai perdebatan imigrasi sebagai masalah hukum 

dan bukan masalah budaya. Kalangan konservatif juga harus lebih hati-hati 

dalam mengeluarkan pernyataan mengenai kelompok minoritas dari segi 

orientasi seksual, yang kini memiliki cukup dukungan dari media untuk 

melawan para politisi yang homofobia. Malah, pada akhir 2014, beberapa 

juru ulas di media menyatakan akhir, atau paling tidak pergeseran, dalam 

gelombang Perang Budaya. “Bagi generasi pemilih muda, gembar-gembor 

sayap-kanan mengenai ‘kesucian hidup’ dan ‘kesucian pernikahan’ dianggap 

sebagai pengacauan terhadap kebebasan manusia.” ungkap New York Times 

di tajuk rencananya.34 Di saat yang sama, seorang analis dalam Politico 

mengklaim bahwa kubu Republikan telah kalah dalam Perang Budaya: 

“Partai Republik memang kehilangan banyak suaranya terutama dari 

pemilih generasi muda.”35 Penduduk Muslim Amerika, kata cendekiawan 

Saeed Khan, yaitu  “salah satu dari sedikit komunitas yang menjadi sasaran 

cemooh dan kurang memiliki kekuatan sosial dan politik.”36 Kemarahan 

yang dibangkitkan terhadap masjid, buku pelajaran, dan kebudayaan 

Muslim dapat dilihat dalam konteks yang lebih luas ini .

Bab 6192

Penolakan terhadap Masjid

Industri Islamofobia berkembang pesat pada 2009-2010, saat  seorang 

pengusaha Muslim setempat berencana membangun pusat komunitas 

Muslim di Lower Manhattan. Pusat komunitas ini  meliputi tempat 

ibadah yang memang sangat dibutuhkan oleh ribuan Muslim yang tinggal 

dan bekerja di wilayah ini . Penentang rencana ini  menyebutnya, 

“Masjid Ground Zero”, mengecamnya sebagai penghinaan terhadap 3.000 

jiwa yang menjadi korban teroris Muslim di World Trade Center (WTC) 

yang hanya berjarak beberapa blok dari situ. Kontroversi ini menjadi ujian 

bagi supremasi hukum (yang kemudian berhasil dilalui) serta budaya 

toleransi (yang kemudian agak terkoyak) di Ameri