n empat anggota polisi
menandatangani pernyataan yang mengecam Syiah sebagai bidah dan
mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap pengikut Syiah
atas tindak penistaan agama. Majelis Ulama Indonesia setempat kemudian
mengeluarkan fatwa yang melarang pengamalan dan penyebaran ajaran
Syiah. Meskipun tidak memiliki dasar hukum yang jelas, fatwa ini
digunakan untuk membenarkan penyerangan-penyerangan anti-Syiah.
Kaum Islamis militan di Madura kemudian meningkatkan tuntutannya
pada 2011 dengan membakar tempat ibadah, madrasah, dan rumah
para pengikut Syiah. Hanya seorang saja yang dihukum atas tindakan
pembakaran. Solusi yang ditawarkan polisi yaitu agar Tajul Muluk dan
pemuka Syiah lainnya meninggalkan desa. Jaksa setempat, yang juga
yaitu anggota Bakor Pakem, mendesak pelarangan terhadap ajaran yang
dibawa Tajul dan mulai memproses tindak penistaan agama. Hukuman
semula untuk Tajul, dua tahun penjara, yang diberikan pengadilan negeri
setempat, kemudian digandakan oleh pengadilan tinggi dalam upaya
banding. Pengadilan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa Tajul pantas
mendapat tambahan masa hukuman sebab telah merusak kerukunan
di antara Muslim. Pemerintah setempat seperti Bupati Sampang
mendukung tuntutan kelompok anti-Syiah agar pengikut Syiah tidak
diperbolehkan kembali sampai mereka menganut Islam Sunni. sebab
tidak bisa menggarap tanahnya, banyak korban yang kemudian menjadi
pengangguran atau bekerja dengan penghasilan rendah.78
Demokrasi Terkonsolidasi dengan Kualitas masih belum
Pasti
Dibandingkan dengan Amerika Serikat dan India, demokrasi di Indonesia
tergolong masih muda. Pranata demokrasinya kurang begitu mapan dan
prospeknya lebih sulit diprediksi. Kalangan yang optimis menunjukkan
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 169
pemilu yang damai dan kompetitif di Indonesia, yang terus dimenangkan
partai politik sekular. Kalangan pesimis menunjukkan kejadian-kejadian
yang dijelaskan dalam bab ini dan tahu bahwa tidak semuanya berjalan
baik. Demokrasi yang masih muda boleh jadi terlalu kuat untuk gagal,
tetapi nilai-nilai demokrasinya paling baru berkembang secara parsial saja.
Selain kekerasan yang kerap berulang, data survei menunjukkan naiknya
intoleransi beragama di masyarakat secara umum. Penolakan kuat terhadap
RUU anti-pornografi menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia
enggan melepaskan begitu saja kebebasan media dan hak mereka untuk
berkumpul, men-tweet, atau mengunggah sesuatu, yang telah mereka
dapatkan dengan susah payah. Akan tetapi banyak di antara mereka yang
tidak mau berbagi hak-hak ini dengan kelompok minoritas yang
tidak populer.
Akar dari pengerasan agama-agama di Indonesia sangatlah kompleks.
Para pengecam keras “SiPiLis” seolah bertujuan mengubah Indonesia
menjadi kekhalifahan Islam di bawah aturan Syariah dan terbebas dari
penyimpangan. Tapi studi-studi yang terperinci mengenai politik dan
agama di Indonesia mengungkap adanya agenda lain yang lebih samar-
samar. Sebut saja soal tuntutan pemberlakuan Syariah. John Bowel, seorang
antropolog, melihat bahwa kecenderungan yang ada yaitu “Indonesia
sedang dalam proses mendefinisikan dan melegitimasi kembali pranata-
pranatanya, bukan Indonesia yang sedang dikuasai oleh gegap gempita
agama.”79 Kalangan elite memakai Syariah sebagai simbol keotentikan
dan kekuasaan, lanjut Bowen. Pelintiran kebencian juga punya fungsi
simbolik. Kampanye moral terbesar pasca-reformasi menghasilkan
peraturan baru yang melarang pornografi dan “porno-aksi,” tetapi setelah
kemenangan simbolik itu tercapai, kalangan garis-keras tidak benar-
benar memakai aturan ini untuk membersihkan Indonesia dari
hal-hal yang tidak senonoh. Hal ini serupa dengan aksi protes terhadap
trailer film Innocence of Muslims di Youtube yang dibahas pada bab 3.
Serentetan aksi protes memuncak dalam unjuk rasa yang diikuti ribuan
orang di luar Kedutaan Amerika Serikat, diorganisir oleh Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).80 Kontroversi mereda setelah Google mencabut trailer
film ini di YouTube Indonesia; tapi tidak ada protes saat belakangan
film lengkapnya tersedia di situs yang sama.
Meskipun pelintiran kebencian terhadap pengikut Ahmadiyah dan
pengikut Syiah umumnya bersifat simbolik, tetapi kadang hal itu bereskalasi
Bab 5170
menjadi kekerasan. Sebagian besar peraturan anti-Ahmadiyah tidak
diberlakukan, demikian temuan studi Melissa Crouch yang terperinci
di tingkat nasional.81 Mary McCoy, peneliti retorika politik, mengatakan
bahwa kelompok minoritas menempati “fungsi fantasi” bagi kalangan
absolutis yang menginginkan masyarakat yang murni dan satu.82 Kohesi
ini , kata McCoy, merupakan “ilusi yang sulit diwujudkan,” terutama
di negara yang sangat luas dan beragam seperti Indonesia.83 sebab itu,
kaum intoleran memerlukan kambing hitam untuk setiap kegagalan dalam
mewujudkan masyarakat yang murni. Paradoksnya, pengambinghitaman
kelompok penyimpang yaitu cara yang efektif untuk terus menyebarkan
khayalan bahwa masyarakat yang satu itu kelak dapat terwujud. McCoy
mengatakan bahwa unsur intoleran dalam retorika politik Indonesia ini
bersumber dari perumpamaan pokok yang dikembangkan di era Suharto,
yang menggambarkan masyarakat sebagai “badan dan wadah yang harus
dilindungi dari serangan eksternal dan perpecahan internal.”84 Agenda
sesungguhnya tentu yaitu konsolidasi kekuasaan dengan membentuk
musuh bayangan—mirip dengan yang dilakukan kalangan nasionalis
Hindu di India.
Meski kita tidak dapat memperkirakan ke mana kecenderungan ini akan
membawa Indonesia, tapi kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor utama
yang dapat mendekatkan atau menjauhkan Indonesia dari pluralisme
dan toleransi. Saya telah membahas salah satunya secara mendetail:
ketentuan konstitusional, perundangan, dan peraturan di Indonesia perlu
menyamakan visinya mengenai kesetaraan. Hal itu perlu memperhatikan
keberadaan kelompok-kelompok yang siap mengeksploitasi setiap celah
atau sinyal simbolis yang dapat mereka anggap sebagai lampu hijau untuk
melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan. Meski
sebagian besar diskusi seputar ujaran kebencian di tataran internasional
berfokus pada soal aturan kebebasan berekspresi, kasus-kasus di Indonesia
menunjukkan pentingnya peraturan seputar kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Ketimpangan dalam pendistribusian hak-hak inilah yang
melatari pelintiran kebencian di Indonesia, ditambah dengan hak yang
diberikan kepada kelompok mayoritas untuk merasa tersinggung oleh
praktik keagamaan kelompok minoritas.
Dua faktor lainnya masih merupakan bayang-bayang besar: masyarakat
sipil dan kepemimpinan politik. Keduanya memiliki kemampuan untuk
menumbuhkan toleransi, maupun sebaliknya, kian menjerumuskan
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 171
Indonesia ke dalam polarisasi dan konflik agama. Arah yang akan diambil
keduanya tidak begitu jelas. Namun secara umum kita melihat bahwa
peran masyarakat sipil sebagai pembendung intoleransi makin melemah,
sementara komitmen politik ke arah pluralisme sepertinya banyak
bergantung pada kepribadian dan kalkulasi perseorangan.
Meredupnya Cahaya Masyarakat Sipil
Dibandingkan dengan India, Indonesia memiliki tradisi liberal-sekular
yang lebih hidup secara intelektual, terlembaga, dan terorganisasi dengan
baik di kalangan agama mayoritasnya. Dua organisasi Muslim yang
dominan, NU dan Muhammadiyah, memiliki tradisi untuk mendukung
demokrasi yang inklusif dan sekular. NU, khususnya, mengembangkan
sikap pragmatis yang terbuka terhadap keragaman budaya dan sumber
intelektual, serta kesadaran akan kewajibannya sebagai kelompok
mayoritas dalam resolusi konflik secara damai.85 Ini yaitu gerakan yang
terdesentralisasi, bergantung kepada pemimpin lokal yang boleh jadi
tidak memiliki pikiran terbuka. Akan tetapi beberapa kelompok NU kerap
berada di barisan terdepan dalam melindungi gereja-gereja Kristen dari
tindak kekerasan.
Para pemuka gerakan ini menunjukkan kepada masyarakat Indonesia
bahwa mereka dapat menggugat dan melawan kelompok absolutis garis-
keras dengan percaya-diri, memakai bahasa teologis maupun bahasa
sekular. Contohnya yang paling menonjol yaitu pemuka NU, mendiang
Abdurrahman Wahid, yang terkenal dengan panggilan Gus Dur. Terpilih
sebagai presiden Indonesia pada 1999, Gus Dur mengedepankan citra
Islam yang terbuka dan toleran. saat menentang RUU anti-pornografi,
Gus Dur berseloroh bahwa, dengan acuan yang digunakan para perumus
RUU itu, Alquran pun boleh jadi akan dilarang. Kalangan garis-keras tentu
saja marah mendengarnya, tetapi mereka tidak bisa menampik pernyataan
Gus Dur ini sebagai pernyataan dari seorang musuh Islam. Mantan
Ketua Muhammadiyah, Amien Rais, juga memberikan pernyataan yang
sama tegasnya mengenai pluralisme dan perlunya memaknai Alquran di
zaman modern saat ini. Alquran, menurutnya, yaitu “sumber hukum,
sumber prinsip etis dan moral,” tapi “bukan kitab undang-undang”: “Jika
Alquran dianggap sebagai kitab undang-undang, maka umat Muslim akan
menjadi umat paling malang di dunia.”86
Bab 5172
Kekuatan ormas Muslim di Indonesia sebagian ada pada ketidakpercayaan
masyarakat Indonesia terhadap kekuasaan politik yang tersentralisasi serta
pengaruh buruknya terhadap agama. Pada masa penjajahan Belanda,
para pendiri madrasah Alquran dan kelompok Muslim lainnya berpikir
lebih baik menanam benih mereka jauh dari pusat kekuasaan politik.
Ekses Suharto memperkuat sikap ini.87 Dia juga berperan memberikan
patronase negara kepada Islam yang berkeadaban, dengan aktif mendorong
pemaknaan liberal dari agama. Ruang ini lalu dimasuki pemikir-pemikir
terkemuka dengan latar belakang pendidikan tradisional Islam serta filsafat
dan teologi modern. Cendekiawan Harun Nasution mengembangkan
pendekatan rasional, interpretif, dan kritis dalam studi Islam. Pendekatan
ini melahirkan cendekiawan publik seperti Nurcholish Madjid, yang turut
menghidupkan pemikiran Islam yang dinamis dan inklusif. Pemikiran
mereka cukup berkembang hingga mampu menahan gempuran ajaran luar
yang intoleran. Mirjam Künkler menulis bahwa ini semua menghasilkan
“suatu diskursus baru yang hegemonik yang mengedepankan pluralisme
agama, hermeneutika rasionalis dalam memahami teks-teks agama, dan
pembelaan terhadap norma-norma demokrasi dan prosesnya.”88
Tapi Islam yang berkeadaban itu tidaklah terlepas dari apa yang disebut
sebagai belokan konservatif dalam arus utama Islam Indonesia sejak awal
2000-an.89 Di dalam NU dan Muhammadiyah, kalangan konservatif dan
kelompok absolutis kian mampu menandingi kalangan progresif dan
liberal. Kematian Abdurrahman Wahid pada 2009 membuat NU tak lagi
memiliki sosok pengusung nilai-nilai pluralis yang setara. Ketua NU
penerusnya, Hasyim Muzadi, menentang SKB tentang Ahmadiyah pada
2005, tetapi pada 2011 dia menyerukan agar Ahmadiyah dipisahkan dari
Islam.90 Donald Emmerson memandang bahwa kecenderungan serupa
juga terjadi di Muhammadiyah. Ahmad Syafii Maarif, yang memimpin
Muhammadiyah dari 1998 hingga 2005, bersedia mengambil risiko
menentang kekerasan intoleran di masyarakat Muslim, kata Emmerson.
“Sebaliknya, Din Syamsuddin penerusnya lebih cenderung merespons
insiden-insiden semacam itu dengan menyebutkan keikutsertaannya dalam
dialog lintas-iman yang diselenggarakan di Indonesia dan di berbagai
belahan dunia.” Syamsuddin juga menjabat sebagai wakil ketua, lalu ketua,
MUI di masa saat ketundukan kepada kalangan ortodoks didahulukan
atas kebebasan berpikir dan tafsir.91
Cendekiawan Muslim reformis yang terkemuka di Indonesia pada akhir
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 173
abad ke-21, Nurcholish Madjid, wafat pada 2005. “Sampai 2015 ini belum
ada cendekiawan Muslim Indonesia yang sepadan dengannya dalam hal
keilmuan, wawasan, dan pandangan reformisnya,” kata Emmerson.
Kegagalan Politik
Di permukaan, pemerintah Indonesia terus mempertahankan tradisi
kemajemukan agamanya. Dalam beberapa kesempatan—seperti saat
mengangkat citra Indonesia sebagai model demokrasi Muslim—presiden
Indonesia tidak hanya menyampaikan sapaan Islam “Assalamu’alaikum,”
tapi juga sapaan Hindu, “Om Swastyastu” dan “Om Shanti Shanti Shanti
Om,” serta sapaan Yahudi “Shalom.” Akan tetapi, basa-basi semacam
itu tidak seberapa dibandingkan tantangan yang dihadapi demokrasi
Indonesia. Dialog lintas-iman seperti forum Aliansi Peradaban di Bali
pada 2014 seringkali “hanya sekadar percakapan basa-basi yang tidak
menyentuh persoalan sesungguhnya,” keluh International Crisis Group.92
Yang paling diperlukan peradaban dari Indonesia yaitu keteguhan untuk
melawan ujaran dan tindakan intoleran. “Negara kurang punya keberanian
untuk menjalankan tugasnya dan hal ini secara tidak langsung mendorong
kekerasan dan impunitas bagi organisasi dan kelompok intoleran,” kata
pemuka agama Katolik, Romo Magnis-Suseno.93
Seperti dialami banyak negara berwilayah luas, Indonesia juga punya
masalah dengan kinerja polisi yang kurang profesional. Di beberapa
wilayah, polisi memiliki hubungan simbiosis dengan pemerasan yang
dilakukan kelompok moralis militan. saat preman-preman FPI
mengadukan kegiatan-kegiatan maksiat, polisi punya “kesempatan untuk
memperingatkan bisnis-bisnis yang disasar FPI, untuk membayar uang
keamanan kepada polisi untuk memperkuat keamanan, atau membuat
kesepakatan dengan FPI.”94 Di banyak kasus, polisi lebih memilih membela
yang kuat daripada membela yang berhak.
Pimpinan politik dan pejabat pemerintah turut bersalah sebab
bersekongkol dengan kelompok-kelompok pembenci atau sebab kalkulasi
utilitarian mereka yang mengorbankan hak minoritas demi perolehan
politik. Banyak pengamat Indonesia yang menyalahkan kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) sebab gagal memoderasi
pembelokan konservatif dalam Islam Indonesia; jika ada, dia malah ikut
mendorongnya. Pemerintahannya mengurusi persoalan agama dengan cara
Bab 5174
yang mendorong atau bahkan melembagakan intoleransi. Di tahun pertama
jabatannya, Yudhoyono menerima undangan MUI untuk membuka
musyawarah nasionalnya. Pidatonya pada Juli 2005 mendorong prestise
dan rasa percaya-diri mereka. Yudhoyono menyampaikan bahwa dia dan
pemerintahannya membuka “hati dan pikirannya” kepada masukan dari
MUI dan para ulama. “Kami ingin agar MUI berperan sentral dalam
hal yang menyangkut akidah keislaman,” ungkapnya.95 Yudhoyono
menyampaikan pernyataan ini di musyawarah yang sama di mana
MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan liberalisme, pluralisme,
dan sekularisme.
Pemerintahannya menghidupkan kembali badan anti-penyimpangan,
Bakor Pakem—badan ciptaan Suharto yang mati setelah reformasi—
sebagai respons terhadap fatwa MUI tahun 2005 tentang Ahmadiyah.96
Ini memberi MUI mitra permanen di dalam pemerintah. Yudhoyono juga
mengangkat tokoh konservatif untuk menempati beberapa posisi menteri
utama dan tidak bisa menegur mereka saat mereka melakukan ujaran
kebencian. Pemerintahannya melakukan kesalahan dengan berusaha
menghakimi perselisihan teologis dan menenangkan perasaan kelompok
beragama dengan mengorbankan penegakan hukum. Peraturan Bersama
Menteri tahun 2006 tentang pembangunan rumah ibadah dan Surat
Keputusan Bersama tahun 2008 tentang Ahmadiyah yaitu kasus-kasus
klasik. Ilmuwan sosial Abdul Malik Gismar, yang berkeliling Indonesia
dalam rangka mengembangkan Indeks Demokrasi Indonesia, memandang
bahwa kedua peraturan ini telah menimbulkan kerusakan yang tidak
terkira besarnya. “Peraturan ini tidak menyelesaikan masalah; tapi
justru malah menciptakan masalah.”97
Para pengamat menyebutkan sejumlah faktor yang membuat SBY
tunduk kepada kalangan Islamis. Salah satunya yaitu bahwa SBY harus
menyesuaikan diri dengan mayoritas Muslim yang menjadi makin
konservatif. Meski partai-partai Islam tampak tidak mampu memenangkan
kekuasaan, itu bukan berarti mereka tidak punya pengaruh. Koalisi
pemerintah Yudhoyono termasuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
yang berbasis Muslim. Yudhoyono boleh jadi merasa perlu memberikan
posisi menteri agama kepada ketua PPP, Suryadharma Ali, yang kemudian
sering memakai jabatannya untuk mengeluarkan pernyataan dan
peraturan intoleran. Dalam budaya politik yang mengharapkan kesalehan
para pejabat publiknya, para politisi dan pejabat takut dituding kurang
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 175
religius—tudingan yang dimainkan dengan lihai oleh kalangan Islamis.
“Mereka memakai simbol agama dengan sangat efektif,” kata Endy
Bayuni, wartawan veteran dan salah satu pendiri International Association
of Religion Journalists (Asosiasi Jurnalis Peliput Agama Internasional).
“Jika Anda dianggap anti-Islam, maka hal itu bisa berbahaya.”98
Faktor lainnya yaitu pembawaan pribadi Yudhoyono dan falsafah
pemerintahannya. Dia dikenal kerap memicu konfrontasi dan kontroversi
sebab kelambanannya dalam mengambil tindakan. saat dipaksa
mengambil keputusan, dia memilih untuk memilih sesuatu yang berimbang
kepada kedua pihak yang berlawanan. “Jika pemenang menyapu bersih
semuanya, itu berbahaya, akan ada pihak yang kalah, mereka umumnya
suka membalas, dan jika itu sampai di luar batas maka akibatnya bisa
mengerikan,” jelasnya dalam sebuah wawancara dengan akademisi
setelah selesai masa jabatannya. “Ya, saya akui bahwa saya suka menjaga
keseimbangan, ya, keseimbangan dalam hidup, di negara kita.”99 Pendekatan
ini boleh jadi didasarkan pada pandangan yang akurat bahwa negaranya
terpecah-pecah, dan ada dorongan paternalistik untuk memediasi berbagai
kepentingan yang saling berlawanan itu. Akan tetapi itu berarti hak-hak
kelompok minoritas tidak dianggap sebagai suatu yang penting. Seperti
disadari oleh akademisi yang mewawancarainya, “pengambilan keputusan
yang dapat memicu ‘benturan’ itu, baginya, sama beratnya dengan jaminan
konstitusi untuk kebebasan beragama.”100
Semua itu menunjukkan bahwa jenis kepemimpinan presiden yang lain
boleh jadi dapat lebih tegas dalam melawan kekuatan intoleran. Penerus
Yudhoyono memberikan harapan. Gubernur Jakarta Joko Widodo, yang
lebih dikenal dengan Jokowi, mencalonkan presiden pada 2014 dengan
menjanjikan pemerintahan yang lebih tegas dan efektif. saat menjabat
Gubernur, Jokowi memenangkan “pertunjukan” yang menarik perhatian
dengan kelompok militan FPI. Dia menetapkan sistem penunjukan lurah
berdasarkan prestasi, yang dengan itu seorang perempuan Kristen menjadi
lurah di wilayah Jakarta yang mayoritas Muslim. saat FPI mengajukan
petisi untuk menolak sang lurah, Jokowi tetap bergeming dan keributan
pun mereda dengan sendirinya.101 “Terbukti bahwa kekhawatiran itu tak
berdasar,” kata Bayuni.102
Saat berkampanye untuk pemilihan presiden, Jokowi harus menghadapi
serangan-serangan yang dilancarkan kepada wakilnya, Basuki Tjahaja
Bab 5176
Purnama, seorang Kristen Tionghoa. Basuki akan mengambil-alih
posisi gubernur jika Jokowi terpilih menjadi presiden. Kelompok Islamis
mengatakan bahwa suara untuk Jokowi sama artinya dengan satu suara
untuk gubernur Kristen Tionghoa di ibu kota negara. Jokowi membela
Basuki, mengatakan bahwa hukum dalam pergantian gubernur sudah
jelas. Jokowi bukannya tidak perlu menampakkan kesalehannya. Ibadah
umroh di Mekkah yang dijalaninya di masa rehat kampanye sebelum
hari pemilihan boleh jadi ditujukan untuk menghapuskan keraguan akan
pandangan keagamaannya.103 Akan tetapi, Jokowi menegaskan bahwa
dia hendak membendung kecenderungan ke arah intoleransi beragama.
Platformnya menyebutkan “intoleransi dan krisis kepribadian nasional”
sebagai salah satu dari tiga tantangan utama yang dihadapi republik ini.
Setelah memenangkan kursi presiden, Jokowi dan Menteri Agamanya,
Lukman Hakim Saifuddin, berjanji untuk merumuskan rancangan undang-
undang tentang toleransi beragama dan perlindungan kelompok agama
minoritas. Melalui penunjukan dan pernyataan publik yang dibuatnya,
Jokowi mengangkat kedudukan Nahdlatul Ulama dari lawan-lawannya
yang garis-keras. Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama
Internasional mengakui ada “nada yang berbeda, yang lebih inklusif ”
dalam pernyataan-pernyataan pemerintahannya.104
Gubernur Jakarta yang baru, Basuki, juga memberi angin segar.
Kalangan elite non-Muslim di Indonesia umumnya takut dilabeli anti-
Islam. Di awal masa jabatannya, Basuki mematahkan pandangan ini
dengan meminta pelarangan FPI setelah terjadinya insiden kekerasan di
Jakarta. Meskipun tidak berhasil, Basuki memperlihatkan bahwa kelompok
garis-keras itu bukannya tidak tersentuh. Hal ini dia teruskan dengan
memberikan pembelaan yang tegas terhadap Ahmadiyah.
Jokowi dan Basuki mematahkan pandangan umum bahwa menentang
kelompok Muslim garis-keras sama saja dengan melakukan bunuh-diri
politik.105 “Mitos bahwa mereka dapat menggerakkan mayoritas pemilih
sekarang menjadi kurang begitu meyakinkan,” kata Bambang Harymurti,
pemimpin Tempo. Tapi perjuangan melawan kekuatan intoleran masih jauh
dari selesai. Salah satu indikatornya yang jelas dapat dilihat di luar istana
presiden. Sudah lebih dari setahun Jokowi menjabat, tetapi jemaat Filadelfia
dan Yasmin masih menyelenggarakan kegiatan ibadahnya di tempat
terbuka setiap dua bulan sekali. Pemerintah masih harus menemukan
Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi 177
cara untuk menghapuskan hambatan di tingkat lokal yang menghalangi
mereka untuk membangun tempat ibadah.
Perkembangan demokrasi Indonesia merupakan cerita sukses tetapi,
seperti halnya India, negara ini diguncang oleh berbagai visi kebangsaan
yang saling berlawanan. “Keberadaan sistem politik demokratis semata tidak
menjamin akan ada toleransi beragama,” kata Donald Emmerson. “Budaya,
opini publik dan para pemimpin yang mempengaruhinya dapat bergerak
lepas dari norma liberal yang umumnya dijunjung dalam demokrasi. Dan
norma-norma itu sendiri bisa jadi, atau berubah menjadi, tidak liberal.”
Mohamad Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal percaya bahwa dasar
toleransi beragama telah ada di landasan negara. “Jika kita kembali ke UUD,
cita-cita Pancasila, ada jaminan untuk kebebasan berekspresi, kebebasan
beragama, dan masyarakat yang majemuk,” terangnya. Itu yaitu nilai-
nilai yang ingin dia bela saat dia memimpin unjuk rasa mendukung
Ahmadiyah pada 2008, yang membuatnya dipukuli dan para pejabat
yang dipilihnya malah berpihak kepada kekuatan intoleran. Menurutnya,
identitas Indonesia, seperti ekonominya, masih lemah. “Siapakah orang
Indonesia itu? Muslim? Jawa? Suka dengan Amerika dan Barat? Atau Arab?
Bahasan ini belum berakhir. Mungkin masalahnya yaitu kita memiliki
impian yang berbeda.”106 ***
179
Saat ini, kota-kota di Alabama diingat oleh masyarakat Amerika Serikat
(AS) sebagai tempat terjadinya sejumlah peristiwa rasisme paling parah
sekaligus keberhasilan gerakan hak-hak sipil yang paling menggugah.
Selama puluhan tahun, orang-orang Afrika-Amerika dibunuhi di Alabama
dan kota-kota di bagian selatan lainnya tanpa ada hukuman apa pun
bagi para pelakunya. Pada 1963, sebuah bom yang diletakkan Ku Klux
Klan meledak di sebuah gereja di Birmingham, menewaskan empat
gadis Afrika-Amerika. Di tahun yang sama, Gubenur Alabama berdiri
di pintu universitas negeri setempat dan berbicara di hadapan kamera
televisi, bahwa desegregasi rasial tidak diterima di tempatnya. Akan tetapi,
Alabama juga mengalami peristiwa-peristiwa yang positif. Di sanalah aksi
penolakan Rosa Parks di bis umum pada 1955 memicu boikot dan gerakan
di daerah ini ; di sana jugalah Martin Luther King Jr., seorang pendeta
muda, memulai kampanye perlawanan sipil yang kemudian menghasilkan
Undang-undang Hak-hak Sipil pada 1964 dan Undang-undang Hak Suara
pada 1965.
Limapuluh tahun kemudian, peristiwa-peristiwa ini menjadikan
Alabama sebagai tempat bersejarah bagi warga AS. Pembaca USA Today
menyebut ibukota negara bagian Alabama, Montgomery, sebagai “Kota
Bersejarah Terbaik” Amerika pada 2004.1 Pada awal 2015, warga dari
berbagai penjuru Amerika berkumpul untuk mengenang kembali unjuk
rasa menuntut hak suara dari kota Selma ke Montgomery. Bagi yang
enggan ikut dalam barisan unjuk rasa, Hollywood membuat film “Selma”,
dengan lagu tema “Glory” yang memenangkan Oscar. Tidak mau kalah,
Barack Obama menyampaikan salah satu pidato yang paling menggugah
6
Amerika Serikat: Kebebasan yang Luar Biasa,
Ketakutan yang Mengada-ada
Bab 6180
selama masa jabatannya di Jembatan Edmund Pettus. Dia menyampaikan
bagaimana para pengunjuk rasa menghadapi polisi dalam “perjuangan
merebut makna Amerika”, dan bahwa berkat mereka, “cita-cita akan
Amerika yang adil, setara, dan murah hati—akhirnya dapat diwujudkan.”2
Konon mereka yang melupakan masa lalu sangat mungkin untuk
mengulanginya; tetapi peristiwa di Alabama baru-baru ini menunjukkan
bahwa ingatan akan ketidakadilan di masa lalu pun tidak dapat mencegah
terulangnya prasangka dan kebencian. Pada 2014, legislator negara bagian
menyetujui pemungutan suara untuk memutuskan amandemen terhadap
konstitusi negara bagian, yang disebut “American and Alabama Laws
for Alabama Courts” (Undang-undang Alabama dan Amerika untuk
Pengadilan Alabama). Nama undang-undang yang terkesan biasa-biasa
saja itu menutupi upaya serangan bertahun-tahun terhadap kelompok
minoritas melalui perundang-undangan. Para pengusungnya menyatakan
bahwa amandemen ini diperlukan untuk melindungi negara bagian dari
ancaman serius—umat Muslim, yang agamanya memerintahkan untuk
menerapkan tirani hukum Syariah di mana pun mereka berada. Usulan
amandemen ini disetujui oleh lebih dari 72% suara pada bulan November.3
Islamofobia sudah marak di masyarakat Amerika. Pada pertengahan
2014, sekitar 40 persen warga Amerika mengaku bersikap “dingin” terhadap
Islam (dibandingkan dengan 17% yang bersikap sama terhadap Katolik dan
10% terhadap Yahudi).4 Persentase warga Amerika yang kurang lebih sama
ingin agar warga Muslim dan Arab diperiksa riwayatnya oleh penegak
hukum.5 Ironisnya, pandangan semacam ini beredar bahkan saat seluruh
negeri sedang memperingati perayaan ke-50 gerakan membela hak-hak
minoritas dan ini disampaikan seorang warga Muslim Alabama yang saya
temui. Apakah prasangka etnis sekadar beralih sasaran? tanya saya. “Warga
Amerika akan selalu butuh orang negro,” tandasnya.
Antipati masyarakat Amerika terhadap umat Muslim memang dapat
dimaklumi, terutama pasca-serangan teror pada 11 September 2001. Jauh
sebelum itu, pada 1979-1981 terjadi peristiwa penyanderaan di Iran, negara
teokrasi Islam yang pemimpinnya, Ayatollah Khomeini, menyebut AS
sebagai The Great Satan. Baru-baru ini, kekejian kelompok yang menyebut
dirinya Islamic State (IS) membuat kesabaran masyarakat dunia makin
menipis. Selain pemenggalan tawanan di Suriah dan Irak, serangan-
serangan IS terhadap “sasaran lunak” di AS dan Eropa memicu mentalitas
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 181
waspada, yang ditunjukkan dengan dukungan terhadap pernyataan calon
presiden AS Donald Trump bahwa AS sebaiknya menutup perbatasan
untuk semua orang Muslim hingga pemerintah menemukan cara untuk
menghadapi kelompok Islam radikal. Sebagian kalangan di Amerika yang
disurvei—dan sebagian besar pendukung Partai Republik—setuju dengan
ide ini, meskipun berlawanan dengan Konstitusi dan akal sehat.6
Sentimen yang dieksploitasi Trump ini tidak dapat dijelaskan dengan
terorisme jihadis saja. Enam bulan setelah peristiwa 9/11, warga Amerika
yang memandang bahwa Islam lebih mungkin mendorong tindak kekerasan
dibanding agama lainnya yaitu 25%. Satu dasawarsa setelahnya, pada
2011, jumlahnya meningkat menjadi 35%. Persentase masyarakat yang
memiliki pandangan positif terhadap Islam menurun dari 45% pada
2005 menjadi 30% pada 2010.7 Ini agak mengherankan sebab sentimen
anti-Muslim meningkat selama periode tenang antara peristiwa 9/11 dan
kemunculan IS.
Menurut kelompok-kelompok pemantau kebencian (hatewatch),
peningkatan ini didorong oleh agitasi sekelompok penghasut sayap-
kanan. Kelompok ini membentuk “gerakan yang terorganisir dan didanai
dengan baik” untuk mendorong ”kebijakan-kebijakan yang diskriminatif
terhadap sebagian masyarakat Amerika dengan sengaja menyebarkan
kebohongan serta memanfaatkan ketakutan dan kegelisahan publik,”
demikian laporan Center for American Progress (CAP), sebuah lembaga
kebijakan yang progresif.8
Meskipun para agen pelintiran kebencian itu mengambil keuntungan
dari prasangka yang telah ada, tapi penekanan dan politisasi prasangka
ini —yaitu mengubah ketakacuhan menjadi ketakutan dan ketakutan
menjadi usulan kebijakan—bergantung pada intrik yang mereka lakukan.
Rekayasa kebencian dan ketakutan oleh tokoh dan organisasi sayap-
kanan ini begitu sistematis dan sarat dengan kepentingan golongan
hingga para pengamat intoleransi menyebut mereka sebagai “industri
Islamofobia.”9 Istilah “Islamofobia” mengacu pada rasa takut yang tidak
berdasar terhadap umat Muslim di tataran individual dan psikologis, tapi
juga dapat terlembagakan dalam kebijakan dan kebiasaan masyarakat.10
Kampanye pemilihan presiden tahun 2016 memperlihatkan keberhasilan
industri Islamofobia ini dalam memasuki kancah politik nasional. Salah
satu contohnya yaitu ahli misinformasi, Frank Gaffney dari Center for
Bab 6182
Security Policy, yang menjadi sumber berbagai propaganda anti-Muslim.
Dia, misalnya, menyebut bahwa Barack Obama yaitu presiden Muslim
pertama di AS dan bahwa kelompok Ikhwanul Muslimin telah menyusupi
sistem sekolah negeri di Amerika. saat Trump menyerukan larangan
terhadap Muslim untuk masuk ke AS, dia mengutip hasil jajak pendapat
Center for Security Policy mengenai tingginya dukungan terhadap tindak
kekerasan di kalangan Muslim, yang kemudian disanggah oleh para
pengamat.11 Saingan Trump untuk kandidat calon presiden dari Partai
Republik, Ted Cruz, punya hubungan yang lebih erat dengan jaringan
Islamofobia itu dan menunjuk Frank Gaffney sebagai bagian dari tim
penasihat keamanan nasionalnya.12
Mereka yang diuntungkan oleh ketakutan masyarakat ini tentu akan
beralasan bahwa rasa takut terhadap kaum Muslim yaitu hal yang
rasional. Untuk mendapatkan perspektif ahli yang obyektif mengenai
ancaman ini, saya bertanya kepada Southern Poverty Law Center (SPLC),
sebuah lembaga pemantau independen. Berlokasi persis di seberang
Civil Rights Memorial di Montgomery, Alabama, organisasi nirlaba ini
didirikan pada 1971 untuk melawan kebencian dan sikap fanatik di
masa itu. Awalnya, SPLC sibuk menghadapi gerakan Ku Klux Klan yang
mendukung supremasi kulit putih—sampai-sampai pada akhir 1983,
anggota Ku Klux Klan membakar kantor SPLC—akan tetapi, mulai akhir
1990-an, organisasi ini memperluas garapannya dengan menghadapi
berbagai kelompok kebencian lainnya. Pada Februari 2015, saya menemui
Mark Potok yang sedang merampungkan laporan terbaru SPLC, Intelligence
Report, yang memuat hasil survei tahunan SPLC mengenai kelompok
kebencian dalam negeri. Sebagai wartawan surat kabar pada awal 1990-an,
Potok meliput konfrontasi berbahaya antara pihak berwenang dan sekte
Branch Davidian Christian di Waco, Texas. Dua tahun kemudian, dia juga
mengulas serangan balas dendam Timothy McVeigh di Kota Oklahoma,
yang membunuh 168 orang dalam aksi terorisme terburuk sebelum
peristiwa 9/11. Potok bergabung dengan SPLC pada 1997 dan sejak itu
dia terus memantau kelompok-kelompok kebencian.
Menurut Potok, kebencian terhadap umat Muslim mengalami
peningkatan yang signifikan. “Saya pikir kita memasuki masa yang sangat
buruk.”13 Tapi lalu timbul pertanyaan yang tak berujung. Mana yang
lebih dulu: sikap anti-Muslim yang disebarkan melalui radio Kristen, Fox
News, dan para pakar gadungan, atau sentimen ekstrem anti-Amerika
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 183
yang disebarkan Muslim radikal melalui media sosial dan masjid-masjid?
Dengan kata lain, mana ancaman yang lebih besar bagi demokrasi Amerika
saat ini, Islamofobia atau ekstremis Islam? Tanpa pikir panjang Potok
menjawab, “menurut saya Islamofobia merupakan bahaya yang lebih besar
di negeri ini.” Ini bukan Prancis, lanjutnya. Muslim Amerika merupakan
kelompok kecil yang terintegrasi dengan baik, dan mereka tidak lebih
condong kepada kejahatan kebencian atau kekerasan dibanding kelompok
lainnya.
Perjalanan demokrasi AS merupakan sumber inspirasi bagi banyak
orang di luar Amerika. Namun, di saat yang sama, ada banyak peristiwa
intoleransi yang bertubi-tubi menimpa berbagai kelompok minoritas.
Kebangkitan ekonomi AS, misalnya, bergantung pada ideologi kebencian
yang memicu perlakuan tidak manusiawi terhadap bangsa Afrika dan suku
Indian, dengan merampas tanah dan tenaga mereka. Bangsa China, Jepang,
Irlandia, Yahudi dan Katolik, serta kelompok homoseksual menjadi korban
prasangka, diskriminasi dan kekerasan. Kini, penyebar Islamofobia menjadi
kelompok terdepan dalam melakukan pelintiran kebencian di AS. Mereka
mengobarkan kemarahan terhadap pembangunan tempat ibadah Muslim,
buku pelajaran yang memuat penjelasan yang baik mengenai agama Islam,
serta tudingan pengaruh hukum Islam terhadap hukum AS. Di bab ini,
saya akan membahas motivasi dan metode mereka. Tapi pertama-tama,
saya akan meninjau bagaimana agama, demokrasi, dan kebebasan berbicara
saling terkait dalam sistem politik Amerika.
Amandemen Pertama dan Perang Budaya
ada persamaan antara AS, India, dan Indonesia. Di masing-masing
negara, singgungan dan ketersinggungan bernuansa agama dapat
menjadi senjata politik yang ampuh. Pertarungan kebijakannya pun
mirip: penyusunan buku pelajaran sejarah dan pendirian tempat ibadah
dapat menjadi kontroversi baik di AS, maupun di India dan di Indonesia.
Meski begitu, seperti bidang sosial politik lainnya, AS memiliki sejumlah
pengecualian yang penting. Konstitusi AS yang khas terkait soal kebencian
agama membuat agen pelintiran kebencian di sana bergerak di ranah
hukum yang sangat berbeda dari tempat lain. Tidak seperti demokrasi di
negara lain—baik dalam budaya politik maupun hukum—di AS, ujaran
kebencian umumnya dibiarkan selesai dengan sendirinya lewat mekanisme
Bab 6184
pertukaran gagasan. Doktrin konstitusional Amerika tidak membolehkan
negara untuk mencampuri debat publik yang nirkekerasan antara kalangan
yang menjunjung nilai kewargaan dengan kalangan fanatik.
Orang luar kerap menilai posisi Amerika ini sebagai akibat dari pemujaan
yang berlebihan kepada kebebasan berbicara dan hak individu, dengan
mengabaikan nilai-nilai komunitas yang dianggap sakral. Anggapan ini
keliru memahami sekularisme Amerika, yang mesti dibedakan dari laicité
Prancis, misalnya, yang sering disebut dengan fundamentalisme sekular.
Perlu juga diingat bahwa Amandemen Pertama dalam Konstitusi AS tidak
hanya melindungi kebebasan berekspresi. Klausul pembukanya—“Kongres
tidak boleh membuat hukum yang mendukung pengukuhan agama,
maupun melarang pengamalan agama secara bebas”—menjadi dua prinsip
dasar mengenai agama. Bagian yang dikenal sebagai Establishment Clause
(Klausul Pengukuhan) mencegah ditetapkannya satu agama resmi atau
diberlakukannya perlakuan khusus terhadap agama atau sekte tertentu.
Klausul lainnya, The Free Exercise Clause (Klausul Kebebasan Beribadah),
melarang pemerintah untuk mengganggu hak asasi warganya dalam
menjalankan keyakinan agamanya. Akibatnya, kelompok agama minoritas
di AS harus tahan menanggung cercaan tanpa adanya perlindungan dari
negara, sementara di waktu yang sama mereka dijamin terbebas dari
diskriminasi dan represi negara.
Prinsip-prinsip dasar ini juga tidak mengakhiri perdebatan
mengenai pemisahan antara gereja dan negara. Kebijakan-kebijakan
mengenai poligami, praktik ibadah di sekolah, aborsi, dan pernikahan
sesama jenis telah mendorong Mahkamah Agung AS untuk membuat
penilaian-penilaian kontroversial dalam rangka menyeimbangkan hak-
hak asasi dan kepentingan-kepentingan yang berbeda. Pertanyaan soal di
mana batas antara keduanya terus menimbulkan perdebatan politik dalam
negeri yang sengit. Di Alabama, misalnya, Ketua Mahkamah Agung Roy
Moore dipecat sebab menolak mematuhi perintah pemerintah pusat, yang
dibuat berdasarkan Establishment Clause, agar memindahkan monumen 10
Hukum Kitab Suci yang dia dirikan di gedung pengadilan. Eric Johnston,
pengacara yang merancang Amandemen I untuk melindungi warga
Alabama dari Syariah, selama puluhan tahun menentang apa yang dia
anggap sebagai intervensi anti-agama oleh Mahkamah Agung. Dalam
pandangan seorang Kristen konservatif seperti Johnston, Mahkamah
Agung lebih mendahulukan Establishment Clause daripada Free Exercise
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 185
Clause, membiarkan pandangan sekular merusak kebebasan beragama
warga Amerika.14
Ketegangan-ketegangan semacam ini telah lama berakar dalam sejarah
Amerika. Pada abad ke-17 dan 18, bangsa Eropa berlayar menuju Dunia
Baru demi mencari suaka agama serta peluang ekonomi. Jika para pendiri
AS menjauhkan pemerintahan barunya dari jangkauan otoritas agama, itu
bukan sebab cita-cita masyarakat multikultural yang melampaui agama
atau sebab visi perdamaian dan pengertian antar-agama. Ketidakpercayaan
itulah—antara kelompok agama maupun pemerintah—yang membuat
mereka tidak rela jika pemerintah dikuasai kelompok agama. Keinginan
untuk mencegah tirani, serta menghargai perbedaan, inilah yang mendasari
klausul-klausul agama pada Amandemen Pertama. Ini juga menjelaskan
hubungan AS yang kadang paradoksal dengan agama. AS mempunyai
tingkat intoleransi yang cukup tinggi terhadap kelompok minoritas, tetapi
juga dikenal mampu memberi kelompok minoritas perlindungan hukum
yang jarang ditemui di tempat lain.
Seperti di India dan Indonesia, demokrasi di Amerika berayun di
antara dua visi kebangsaan. Buku-buku pengantar mengenai AS umumnya
hanya menekankan salah satunya saja, yaitu amanat konstitusi yang biasa
disebut sebagai “agama sipil” (civil religion). Meski jelas menyatakan bahwa
AS ada “di bawah naungan Tuhan,” perspektif ini juga menekankan AS
sebagai “satu negara kesatuan” yang beragam, setara, dan inklusif. Hal ini
ditunjukkan, misalnya, oleh kisah Thomas Jefferson yang sampai memiliki
terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris sebab keinginannya yang kuat
untuk memahami peradaban asing yang tidak dapat dikesampingkan
jika warga Amerika sungguh-sungguh ingin membangun masyarakat
yang didasari prinsip hak-hak sipil yang universal.15 saat para pejabat
Departemen Luar Negeri AS membawa delegasi-delegasi negara Muslim
berkeliling ibukota, mereka menunjukkan mural pada interior kubah
bangunan Perpustakaan Kongres yang dibangun pada abad ke-19, di mana
dua belas sosok melingkar menggambarkan sumbangsih utama terhadap
peradaban barat dan salah satunya berlabel “ISLAM”.
Semangat keterbukaan ini berasal dari ide kebangsaan yang bersandar
bukan pada sejarah maupun budaya, melainkan pada nilai-nilai politik
yang transenden. Konstitusi AS sebagai ungkapan kehendak rakyat di
tingkat tertinggi merupakan keputusan akhir. “Prinsip-prinsip Konstitusi
Bab 6186
kita menyatukan kita sebagai bangsa,” ungkap film buatan pemerintah
berdurasi 12 menit yang mengenalkan sejarah dan kewarganegaraan AS
kepada para imigran. Film ini mengakui bahwa demokrasi Amerika
tidak serta merta sempurna dan masih harus terus diperbaiki, yang dalam
prosesnya melibatkan perdebatan berkelanjutan. Akan tetapi, dalam
pandangan liberal-sekular ini, arah perintah konstitusi sudah jelas; “seiring
berjalannya waktu, kebebasan yang dijanjikan akan mencakup lebih dan
lebih banyak orang lagi,” lanjut film ini. “Banyak kelompok yang tidak
mendapat kebebasan di masa lalu, tapi kemudian mencapai kesetaraan
melalui amandemen Konstitusi AS. Butuh waktu 75 tahun dan satu Perang
Sipil untuk mengakhiri perbudakan. Butuh waktu 100 tahun lagi untuk
meloloskan hukum yang menentang diskriminasi berdasarkan ras, warna
kulit, agama, jenis kelamin, atau asal negara.” Satu-satunya saran yang
menyangkut identitas budaya imigran yaitu , “Belajar Bahasa Inggris.”
Ini bukan tradisi agama atau ras, melainkan “nilai-nilai kewarganegaraan
yang umum sebagai warga Amerika.”16
Cita-cita yang transenden ini diungkapkan dengan begitu fasih
hingga mudah mengabaikan paradigma saingannya—yakni nasionalisme
keagamaan yang intoleran dan eksklusif yang mengakar di kalangan
Kristen dan kulit putih Amerika. Arus berlawanan ini telah menjadi bagian
dari sejarah Amerika sejak awal, naik dan turun, namun selalu ada. Kecuali
masa konsensus liberal pada dua dasawarsa pertama pasca-Perang Dunia
II, nasionalisme agama merupakan segi yang terus ada dalam kehidupan
masyarakat Amerika.17 Pada 1992, kandidat presiden Patrick Buchanan
menyerukan pandangan ini dalam pidatonya pada Konvensi Nasional
Partai Republik. Dia menyoroti perbedaan pandangan di antara Partai
Republik dan Demokrat mengenai aborsi, hak homoseksual, dan praktik
ibadah di sekolah. Pidatonya itu kemudian dikenal sebagai Pidato Perang
Budaya. “Kawan, pemilihan ini lebih dari sekadar siapa memperoleh
apa. Ini tentang diri kita,” serunya. “Ini tentang apa yang kita yakini dan
perjuangkan sebagai warga Amerika. Sedang terjadi perang agama di
negeri ini. Ini yaitu perang budaya, sama seriusnya dengan Perang Dingin
dalam menentukan nasib bangsa kita. sebab perang ini menyangkut roh
Amerika.”18
Saat itu, strategi Perang Budaya paling tidak sudah muncul sejak
20 tahun sebelumnya. Dalam kampanye pemilihan presiden pada 1968
dan 1972, Richard Nixon berhasil memakai pendekatan ini untuk
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 187
memenangkan kelompok mayoritas Kristen kulit putih.19 Nixon mengusung
isu ras, agama, dan patriotisme untuk menarik suara terlepas dari kelas
sosialnya. Strategi ini akan menjadi strategi yang penting bagi Partai
Republik. “Dengan memecah warga Amerika berdasarkan budaya, Partai
Republik mengalihkan isu ekonomi dan menyatukan kelas pekerja kulit
putih dalam sebuah koalisi yang sebenarnya hanya melayani kepentingan
kalangan kelas atas Amerika,” terang ilmuwan politik Scott Hibbard.
“Penganut populisme sayap-kanan inilah yang menyerukan perang budaya
pada tahun 1990-an.”20
Lalu terjadilah peristiwa besar pada 11 September 2011. Dengan
mengesampingkan beberapa fakta—seperti peran kebijakan luar negeri
AS dalam kemunculan Al Qaeda dan radikalisasi Osama bin Laden—
peristiwa itu pun menguatkan narasi besar mengenai sebuah bangsa
Kristen yang nilai-nilainya terancam oleh penjahat kafir dari luar serta
pengkhianat liberal di dalam negeri. Pada 2008, pendulum tampaknya
berbalik. Barack Obama terpilih sebagai presiden AS dengan membawa
kembali visi agama sipil, membawa harapan akan kemampuan demokrasi
untuk membenahi diri sendiri. Tapi pada waktu itu masyarakat Amerika
sudah terlalu terpolarisasi. Paradigma nasionalisme agama mengemuka
dalam pergerakan yang dikenal sebagai Partai Teh (Tea Party), yang bahkan
mengejutkan banyak kalangan konservatif di Partai Republik. Sejarawan
Robert Horwitz memandang konservatisme Partai Teh yang “anti-
kemapanan” berbeda dari nilai-nilai konvensional yang dipegang Partai
Republik. Dogmatisme Partai Teh yang kaku dan lebih mendahulukan
“iman daripada fakta” merupakan upaya radikal untuk “menggulingkan
hukum, norma, dan pranata yang ada.”21 Kecenderungan ini mendominasi
pemilihan kandidat presiden Partai Republik pada 2016. Ted Cruz yaitu
pendukung setia gerakan ini. Sementara itu, Donald Trump bukanlah
seorang penganut agama yang taat, tapi kampanyenya yang tak jauh beda
dari Cruz menunjukkan besarnya pengaruh kalangan nasionalisme agama
dalam mengubah percakapan nasional. Yang paling mengkhawatirkan,
konservatisme Partai Teh ini menanamkan “perasaan sebagai korban,
kebencian, dan amarah atas hilangnya otonomi individu,” yang mengikis
budaya toleran dan inklusif.22 sebab nya, Partai Teh yaitu penerus “gaya
paranoid” dalam politik Amerika, kata sejarawan Richard Hofstadter
saat menjelaskan bagaimana bangsa Amerika bisa begitu terpesona oleh
gembar-gembor yang irasional dari Senator Joseph McCarthy dan Barry
Bab 6188
Goldwater pada 1950 dan 1960-an.23
Tesis Hofstadter mengenai “gaya paranoid” ini masih relevan saat ini,
tapi ini hanya sebagian gambaran saja. Hofstadter fokus pada keadaan
mental sosial yang mendasari budaya politik Amerika dan akibatnya di
tataran struktural. Yang luput diperhatikan, menurut Robert Horwitz,
yaitu analisis di tataran menengah: bagaimana dan mengapa lembaga
tertentu menyalurkan dan menggerakkan rasa takut dan marah ini
ke arah konservatif. Horwitz menyoroti peran aktif “jaringan dana sayap-
kanan, organisasi-organisasi politik pembentuk opini, dan media massa.”24
Dinamika serupa juga ada di balik paranoia terhadap Islam.
Penggalakan Islamofobia
Di Birmingham, Alabama, Larry Houck yang berusia 67 tahun
menggambarkan wajah gerakan anti-Islam di akar-rumput. Houck yaitu
pengusaha kecil-kecilan di bidang perumahan yang mengendarai truk
Toyota dengan stiker bumper yang bertuliskan “Keluarkan AS dari PBB.”
Sebagai pendukung tokoh-tokoh Islamofobia, dia memimpin cabang
jaringan anti-Islam radikal, ACT! for Amerika, di daerahnya. Pada 2010,
dia tertarik bergabung dengan gerakan anti-Islam ini setelah membaca
berbagai buku, semuanya 14 buku, mengenai bahaya Islam terhadap AS
dan Eropa. “Saat ini sedang terjadi perang,” ungkapnya kepada saya di
sebuah kedai kopi di Alabama.25
Houck merasa khawatir sekaligus tergerak oleh banyaknya warga
Amerika yang tidak memiliki pandangan yang sama dengannya, dan
dia berusaha keras untuk menyadarkan mereka. Menurutnya, umat
Muslim berencana menegakkan Syariah untuk menguasai dunia barat.
Syariah, menurut Houck, yaitu sistem totaliter yang memperbudak
kaum perempuan dan mengatur seluruh aspek kehidupan. saat umat
Muslim mengatakan bahwa agama mereka menjunjung perdamaian,
non-Muslim harus menyadari bahwa doktrin taqiyyah dalam Alquran
memperbolehkan umat Muslim untuk mengelabui non-Muslim. Jika umat
Muslim berkuasa, kata Houck, perempuan non-Muslim akan disuruh
menutupi seluruh tubuh mereka seperti yang mereka lakukan di Prancis.
Islam perlahan akan menguasai Eropa, ramalnya, sebab laki-laki Muslim
dapat menikahi empat istri, sehingga angka kelahiran lebih tinggi. Di Eropa
sudah ada daerah yang terlarang bagi Muslim; para walikota di Eropa sudah
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 189
menyangkal keberadaan mereka, tapi mereka dapat ditemukan secara
online, katanya. Islam telah menghancurkan India, mengambil-alih lebih
dari separuh negeri, lanjutnya. Houck percaya bahwa Presiden Obama
menyelundupkan Ikhwanul Muslimin ke Washington D.C., dan seterusnya.
Houck dan aktivis lain yang mirip dengannya ibarat pengusaha dalam
industri Islamofobia. Bagi banyak orang, Muslim atau bukan, yang tahu
fakta-fakta mengenai agama, penggambaran di atas mungkin akan dinilai
sebagai ocehan orang fanatik belaka. Akan tetapi, jika diperhatikan,
pernyataan-pernyataan ini menggemakan apa yang disampaikan oleh
para politisi nasional. Seperti halnya retorika Hindutva di India, jaringan
Islamofobia di AS memakai narasi dengan tema dan fakta buatan
yang terus diulang hingga membutakan akal sehat.
Kabar baiknya, ini bukanlah “konspirasi besar-besaran sayap-kanan,”
menurut Center for American Progress (CAP).26 Kampanye Islamofobia
dapat ditekan dengan kontra-ujaran yang kuat, kata Yasmine Taeb,
pengacara hak-hak sipil yang turut menyusun laporan CAP mengenai
Islamofobia pada 2015.27 Kelompok pemantau kebencian seperti CAP
menemukan setengah lusin pakar gadungan yang saling merujuk dalam
melancarkan propaganda anti-Islam di AS. Orang-orang ini bekerja
melalui sepuluh organisasi utama yang pekerjaan utamanya yaitu untuk
menanamkan kebencian terhadap Islam. Dari 2001 hingga 2012, kelompok
ini menerima 57 juta dolar AS dari delapan donor utama, menurut CAP.28
Council on American-Islamic Relations (CAIR) menemukan sedikitnya 37
kelompok inti dalam jaringan Islamofobia, dengan pendapatan mencapai
hampir 120 juta dolar AS dari 2008 hingga 2011.29
Informasi yang keliru disebarkan oleh para politisi dan pemuka agama
yang berpengaruh. Jangkauan media dari industri Islamofobia juga luas.
Fox News dan Washington Times menjadi corong utama mereka dalam
menyuarakan pandangan-pandangan mereka. Penyiar talkshow di jaringan
radio nasional seperti Rush Limbaugh, Sean Hannity, Glenn Beck, dan Mike
Savage secara rutin menyebarkan pandangan-pandangan mengandung
Islamofobia. Kelompok-kelompok dan anggota-anggota inti juga memiliki
platform mereka sendiri, seperti situs web Jihad Watch (www.jihadwatch.
org) dan Middle East Forum (www.meforum.org). Mereka sama sekali
bukan amatiran. Situs-situs yang sarat konten dan ramah mesin pencari
ini selalu berada di daftar teratas hasil pencarian Google untuk informasi
Bab 6190
tentang Islam. (Contohnya, tulisan MEforum yang bias berada di posisi
atas, mengungguli Wikipedia, saat saya mencari “taqiyyah” melalui
Google di Hongkong).30
Meskipun para pengusung Islamofobia di Amerika mendukung perang
melawan teror, usaha mereka sebenarnya tidak membantu tujuan ini .
saat tentara AS dan personel kontraterorisme melawan kaum militan
Muslim di luar negeri, mereka harus bekerja sama dengan sekutu Muslim
dan hidup di antara warga sipil Muslim. Di dalam negeri, keterangan
mengenai aktivitas yang mencurigakan datang dari warga Muslim Amerika
sendiri. sebab itu, dari perspektif keamanan, AS tentu tidak mau dinilai
memerangi Islam oleh umat Muslim. Ini mungkin menjelaskan mengapa
Presiden George W. Bush menyatakan penghargaannya terhadap mayoritas
umat Islam dan kepercayaan mereka. Penekanan pemerintahan Bush
bahwa Islam bukanlah musuh itu mungkin dapat menjelaskan mengapa
kejahatan kebencian dan kecaman terhadap Islam sempat menurun meski
sebelumnya meningkat pasca-peristiwa 9/11.
Jaringan Islamofobia memiliki agenda yang lebih besar daripada
memerangi terorisme. Beberapa pendukungnya digerakkan oleh konflik
Israel-Palestina. “Mayoritas individu dan kelompok yang menyerukan
retorika anti-Muslim di AS yaitu pendukung ideologi Israel dan
kebijakannya terhadap orang Palestina,” ungkap Nathan Lean, penulis
buku The Islamofobia Industry yang terbit pada 2012. “Pada beberapa
kasus, seperti Clarion Fund, yang menghasilkan tiga atau empat film
anti-Muslim, mereka terlibat langsung dengan Israel.”31 Mengecam umat
Muslim merupakan salah satu cara paling efektif untuk memastikan agar
warga Amerika dan para wakil mereka terus mendorong pemerintah AS
untuk tetap mendukung Israel.
Organisasi-organisasi di lingkaran luar dengan misi-misi berbeda
menambah kekuatan (dan sumber dana) pendukung Islamofobia. Berbagai
kelompok agama sayap-kanan ini membawa motivasi yang berbeda dalam
upaya mereka melawan Islam. Beberapa memiliki semangat keagamaan
yang menggebu-gebu untuk mengalahkan apa yang mereka anggap sebagai
agama palsu. Akan tetapi, kebanyakan mereka lebih digerakkan oleh perasaan
frustrasi dan kegelisahan mengenai kecenderungan sosial di dalam negeri
mereka yang sudah lama dirasakan oleh kelompok konservatif—seperti
dikemukakan Buchanan dalam pidato “Perang Budaya”-nya. Perlindungan
Amerika: Kebebasan yang Luar Biasa, Ketakutan yang Mengada-ada 191
terhadap hak-hak asasi individu yang makin luas menyebabkan kekalahan
kelompok konservatif dalam isu-isu kontroversial, misalnya isu pernikahan
sesama jenis baru-baru ini.
Sementara itu, imigrasi mengubah corak negara ini; warga Amerika
kulit putih Amerika mencakup kurang dari separuh populasi saja dalam
beberapa dasawarsa. “Untuk pertama kali sejak kedatangan orang-orang
Eropa, kaum kulit putih tidak lagi menjadi kelompok mayoritas. Ini
masalah serius,” terang Potok.32 “Hal ini mengubah kehidupan sehari-
hari masyarakat di lingkungan sekitar. Bagaimana kita menjalani transisi
menjadi negeri multikultural di mana tidak ada satu pun kelompok yang
mendominasi untuk pertama kalinya dalam sejarah? Saya pikir ini akan
menjadi masa yang sulit.” Gambaran dan retorika presiden Kristen kulit
putih dalam sosok George W. Bush tampaknya membantu meredakan
gejolak ini , tapi terpilihnya Barack Obama sebagai presiden menaikkan
kekhawatiran itu lagi.
Kelompok Muslim hanya satu persen saja dari seluruh populasi AS,
membuat mereka menjadi sasaran empuk untuk disalahkan atas keresahan
budaya orang Amerika.33 Berbeda dari warga Amerika Latin yang jumlah
populasinya cukup dapat memengaruhi hasil pemilihan sehingga memaksa
politisi untuk membingkai perdebatan imigrasi sebagai masalah hukum
dan bukan masalah budaya. Kalangan konservatif juga harus lebih hati-hati
dalam mengeluarkan pernyataan mengenai kelompok minoritas dari segi
orientasi seksual, yang kini memiliki cukup dukungan dari media untuk
melawan para politisi yang homofobia. Malah, pada akhir 2014, beberapa
juru ulas di media menyatakan akhir, atau paling tidak pergeseran, dalam
gelombang Perang Budaya. “Bagi generasi pemilih muda, gembar-gembor
sayap-kanan mengenai ‘kesucian hidup’ dan ‘kesucian pernikahan’ dianggap
sebagai pengacauan terhadap kebebasan manusia.” ungkap New York Times
di tajuk rencananya.34 Di saat yang sama, seorang analis dalam Politico
mengklaim bahwa kubu Republikan telah kalah dalam Perang Budaya:
“Partai Republik memang kehilangan banyak suaranya terutama dari
pemilih generasi muda.”35 Penduduk Muslim Amerika, kata cendekiawan
Saeed Khan, yaitu “salah satu dari sedikit komunitas yang menjadi sasaran
cemooh dan kurang memiliki kekuatan sosial dan politik.”36 Kemarahan
yang dibangkitkan terhadap masjid, buku pelajaran, dan kebudayaan
Muslim dapat dilihat dalam konteks yang lebih luas ini .
Bab 6192
Penolakan terhadap Masjid
Industri Islamofobia berkembang pesat pada 2009-2010, saat seorang
pengusaha Muslim setempat berencana membangun pusat komunitas
Muslim di Lower Manhattan. Pusat komunitas ini meliputi tempat
ibadah yang memang sangat dibutuhkan oleh ribuan Muslim yang tinggal
dan bekerja di wilayah ini . Penentang rencana ini menyebutnya,
“Masjid Ground Zero”, mengecamnya sebagai penghinaan terhadap 3.000
jiwa yang menjadi korban teroris Muslim di World Trade Center (WTC)
yang hanya berjarak beberapa blok dari situ. Kontroversi ini menjadi ujian
bagi supremasi hukum (yang kemudian berhasil dilalui) serta budaya
toleransi (yang kemudian agak terkoyak) di Ameri