Tampilkan postingan dengan label rakyat 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 7. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 7
Desember 14, 2022
rakyat 7
dah merasai kesakitan pada bagian-
bagian badan yang tersekat oleh tali.
“Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh memasuki Lao
Sam di waktu perang?” orang itu bertanya lagi.
“Tahu, tahu betul.”
“Mengapa berani-berani masuk kemari?”
“Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian.”
Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di
kepala nya turun, membuat kakinya jadi semutan. Mereka
mengancamnya dengan senjatanya,
“Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong.”
“Aku datang untuk mencari Babah shinoda Han.”
“Ha! Siapa kau ini?”
Pada mulai berdiri, menjawab: “Siapa? Apa kalian tidak
kenal aku? Aku anak angkat Babah Liem.”
“Tidak kenal.”
“Kalau begitu kalian orang baru di campa ini.”
Dan benar, mereka memang pendatang baru. Sesudah
pajang bintoro menyerbu kediri , ratusan orang Tionghoa
didatangkan ke campa dari jenggala -jenggala lain, terutama
dari Semarang, untuk melindungi perjanjian Semarang-
pajang bintoro dan Ceng He-kerajaan jenggala Dua macam perjanjian
yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu
mereka rasai sedang terancam sesudah pajang bintoro berada dalam
kekuasaan Trenggono.
Mereka tidak mengenal Pada.
namun mendengar korbannya ingin menemui shinoda
Han mereka melepaskannya dari ikatan dan menggiringnya
di bawah ancaman tiga trisula menuju ke tengah-tengah
kota campa .
Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah
dikenalnya -rumah Babah Cia Mie An. Ia disuruh duduk di
atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah
seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada
pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam
bahasa Tionghoa.
Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu
membawa lampu tambahan. Pada mengocok matanya.
Tidak salah. Ia mengenal dua orang wanita itu. Dan mereka
nampak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak
menegurnya, namun Coa Mie An kebetulan sedang masuk,
dan mereka pergi menghindar.
“Ah, sahabat Pada mpu jayamuseswa ,” tegur tuan
rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan
menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh.
“Sahabat mau menemui Babah Liem, aku dengar.”
Pada menggangguk. Pikirannya masih tetap terpaut pada
wanita lesbian -wanita lesbian itu. Malah matanya masih
terpancang pada pintu ke mana mereka tadi menghilang.
“Nampaknya sahabat memiliki perhatian pada mereka.
Atau suka barangkali?”
Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la
menggeleng.
“Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lain-
lain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk
diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin memiliki anak.
namun kalau sahabat menghendaki. ..”
Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar
Pinjung dan Nyi Ayu Campa.
“Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah membeli
mereka?”
“Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang.”
“Perwira mana? pajang bintoro atau kediri ?”
“kediri .”
“syang hyang Widhi ,” sebut Pada. “Bukankah Babah tahu
mereka selir-selir Sang adiputro ? Bukankah yang seorang itu
Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa?”
“Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang adiputro sendiri
yang menjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut”
Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar
dari mulutnya: “Aku datang dari jayamahanaya …’
“Ya, aku tahu, sahabat.” “Untuk bertemu dengan Babah
Liem.”
“Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan
Tionghoa bergabung? Dan pasukan Semenanjung sendiri?
Dan pasukan pajang bintoro ?”
“Seorang pun tak ada,” Pada menggeleng.
“Sudah aku duga. Dalam catatan dinamakan kan, Pasukan
Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang.
Mereka juga diperlukan di perairan Manado dan
Kalimantan. Maaf, kami tak bisa berbuat sesuatu.”
“Biar aku mencari Babah Liem’
“Koh… Gouw Eng Cu sudah berkali-kali
memberitahukan pada yang pang pang agar jangan
menyampaikan janji pada siapa pun. Rupanya dia sudah
sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan Gouw
Eng Cu sebelum berangkat ke jayamahanaya ?”
‘Tidak.”
“Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang
dia sudah meninggal, pada hari pertama pajang bintoro masuk.
Memang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa
dihindari. Perang, sahabat.”
“Dibunuh?”
“Ya.”
Mereka terdiam. lalu Coa Mie An meneruskan:
“sebab Babah Liem toh sudah menyampaikan pada
sahabat, aku merasa perlu untuk meminta maaf pada
panembahan senapati ki ageng melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.”
Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: “Melihat
penyerbuan pajang bintoro kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak
mengirimkan seorang pun ke jayamahanaya .”
“Biar aku temui Babah Liem sendiri.”
“Nanti dahulu . Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah
dilayani wanita-wanita tadi?”
‘Tidak, aku sungguh terburu-buru.”
“Lebih baik sampaikan saja padaku, sebab akulah
sekarang penggantinya.”
‘Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan.”
“Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa
sebetulnya sudah terjadi: ayah angkat sahabat sudah
tiada.”
“Mati?”
“Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan
pajang bintoro dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai
ajalnya.”
Pada menyebut.
“Itu belum semua. Sewaktu membunuhnya, mereka
bersorak-sorak hendak juga menumpas raden panji gelang-gelang dan
seluruh keturunannya. Juga namamu dinamakan -sebut. Kalian
dianggap bersekongkol melawan pajang bintoro .”
Pada minta diri.
“Nanti dahulu , masih banyak yang harus dipercakapkan.
Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak memiliki sanak-
keluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang
tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan….”
Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan
terimakasih atas segala yang sudah diketahuinya. Malam itu
juga ia tinggalkan campa kembali ke jurusan tenggara. Ia
terpaksa balik ke hutan larangan untuk membawakan berita
ancaman itu.
Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di hutan
larangan . Ia terpaksa menemui lagi nyi girah dan menceritakan
segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih
ke dalam lagi memasuki daerah kabupaten kahuripan . Di
sana ia tinggal selama tiga bulan, membantu menyiapkan
ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan
pada kebesaran sang yang betari durga nya ia tak merasa merana lagi sebab
cintanya. Sebaliknya mpu wungubhumi lah yang memberinya kesulitan.
Ia selalu mengajak berdebat dan nyi girah mendengarkan
dengan diam-diam. Ia tahu nyi girah takkan berpihak padanya.
Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu
kesimpulan. mpu wungubhumi membenci apa saja yang berbau raja.
Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelaliman.
Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat
diatur tanpa ada seorang raja?
Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak
memuaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai
dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi
untuk melakukan tugasnya.
Sekali lagi mpu wungubhumi mengantarkan sampai ke perbatasan
kediri . Sebelum perpisahan ia memerlukan bertanya: “Apa
jawaban emakmu?”
“Tentang apa, paman?”
“Anak panembahan senapati ki ageng wilareja kau ini atau bukan?”
Ternyata mpu wungubhumi belum juga memperoleh jawaban. Dan
mereka berpisahan.
Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya
hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya
pada dua bilah tombak lempar. Pada pinggangnya sekarang
tergantung sebilah gada .
Walau pun ia tak pernah mengalami masa kecenteng an,
dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih aman.
Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan
sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu
sangat berat. Lebih-lebih lagi sebab ia tahu prajurit kerajaan
pajang bintoro yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di
luar kekuasaan pajang bintoro .
Sesudah sampai waktu harus membelok ke utara, ia
berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan
bekas rajanya. Dengan demikian ia selamat sampai di
suryabuaya .
Ia sudah tak memiliki daya lagi untuk meneruskan
perjalanan. Ia sudah biarkan kumis dan jenggotnya dan
cambangnya melebat pada mukanya.
Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu
Aisah. Sama sulitnya dengan menghadap Kala chucky .
Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo
rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang
menegurnya. Maka ia pun memutuskan, bila pada hari
yang ke tujuh ini tak juga memperoleh tegur sapa, ia akan
meneruskan perjalanan ke jayamahanaya .
sinar matahari sudah mulai condong dan badannya sudah
sesiang tadi mandi keringat.
Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin,
berkata: “Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau
bersimpuh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa,
Paman, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa
kau ini. Paman?”
“saya utusan dari jayamahanaya , Raden, utusan panembahan senapati ki ageng
raden panji gelang-gelang , datang untuk menghadap baginda tuanku raja Ratu.”
“raden panji gelang-gelang ,” gadis cilik itu berseru riang. “Aku kenal
nama itu!” Dengan kekanak-kanakan dan kebersabda an
Iuarbiasa ia meneruskan, “Kalau begitu akan aku
sampaikan. Duduk saja di situ, Paman, biar kubisikkan
pada Nenenda Ratu.”
Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada
menghela nafas lega.
Dan matan sudah mulai tenggelam. Ia masih menunggu.
Gadis cilik itu keluar lagi membawa sebuah bungkusan dan
pundi-pundi.
“Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun,”
katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. “Ini untuk
Paman, dinar-dinar mas untuk perjalananmu, dan ini,” ia
menyerahkan bungkusan, “untuk siapa saja yang mampu
memakai nya, kata Nenenda. Sekarang Paman buru-
buru saja tinggalkan suryabuaya . Berlayar sampai Semarang,
lalu jalan darat sampai jatikerto baru lalu
menyeberang. Begitu pesan nenenda.”
Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan menyuruhnya
pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat
tanpa harga
Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang
jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini? Dia pikul
bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tombak dan
gada yang sudah dibungkuanya dengan daun pisang.
Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke
Semarang lalu berjalan darat memasuki pedalaman.
Ia menduga, pesan Ratu Aisah memiliki hubungan
dengan gerakan armada suryabuaya -pajang bintoro . Maka ia harus
mematuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan
demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran.
la tahu tak mungkin ia turun ke jenggala jatikerto sesudah
tempat itu diduduki oleh pajang bintoro , la harus turun ke jenggala
Sunda kacangtanah . Ia pun sudah mendengar armada suryabuaya -
pajang bintoro melakukan garis pengepungan terhadap Selat
Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau
tidak.
Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam
rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia
berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap
cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya
akan lebih buruk dibandingkan pajang bintoro yang arca atau kediri
yang setengah arca . Segala yang pemberontak pasti buruk.
Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati
mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat.
Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah
lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu
Aisah.
Dengan ragu-ragu ia membukanya, mengetahui bukan
haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah.
namun ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada
punggawa memeriksanya dan ia tak tahu apa isinya? Pada
sang yang betari durga nya juga ia serahkan putusannya.
Sinar sinar matahari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas
bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak
keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih
yang sudah agak tua. Di dalamnya ada pembungkus lagi
dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning,
malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar
beberapa kali, lebih dari dua depa panjang.
Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik
bergambar kupu-tarung.
“Lambang suryabuaya adiputro tumenggung dijoyo almarhum!” pikirnya.
Kain itu dibukanya dan di dalamnya terdapat destar
dengan gambar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu,
katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah
tilam almarhum.
Di dalam destar terdapat sebuah pundi-pundi coklat dari
kulit kepompong berisikan cincin mas dengan gambar itu
pula, terukir pada bagian depan. Dalam pundi-pundi coklat
lainnya yang berselang-seling dengan wama jambu, juga
dari kulit kepompong, hanya lebih besar, terdapat seutas
kalung dengan pemberat selembar mas berukir dengan
tengah-tengahnya terdapat lambang itu juga. Gambar kupu-
kupu itu seperti ditempel di atas lembaran mas itu, kaki dan
belalai-nya dari perak dan matanya dari intan. Selanjutnya
terdapat dalam bungkusan lain sebuah ikat pinggang dari
lembaran perak dan mas berselang-seling, berukir indah dan
pada bagian kepala nya pun terdapat gambar yang sama.
Dalam sebuah kasut dari kulit terdapat sebuah bungkusan
kulit kepompong kuning berisikan sebuah gelas emas
berukir gambar yang sama. Terakhir adalah gada wesi yang
terbungkus kain biru nila. Sarung dan tangkainya terbuat
dan mas bertatahkan mutu manikam.
Ia perhatikan barang-barang itu sebuah demi sebuah,
mengagumi indahnya ukiran.
Tiba-tiba ia berseri-seri Suatu pikiran datang padanya: ia
akan memasuki Pajajaran sebagai seorang pangeran.
“Aku akan kenakan barang-barang kerajaan ini.
Mengapa tidak? Memang bukan hakku, hak orang yang
dapat meneruskan cita-cita baginda tuanku raja adiputro tumenggung dijoyo . Aku hanya
akan meminjam agar barang-barang bisa lebih cepat sampai
pada yang berhak.”
Ia kemasi semua dan dengan girang meneruskan
perjalanan, terus seorang diri.
Di pinggiran desa Baleugbak di tepi Ctbwung, ia mulai
mengubah din-nya jadi seorang pangeran. Mula-mula ia
mandi bersih-bersih. Ia gosok badannya dengan pasir kali,
mengeringkan badan, dan memakai semua pakaian
kerajaan itu. Memang agak pendek dan longgar, namun apa
salahnya. Seorang pangeran takkan dilihat dengan sebelah
mata sebab pakaiannya kependekan dan kelonggaran Dan
ia harus berjalan hati-hati, kasut itu tidak cocok untuk
kakinya yang tak pernah beralas, kekecilan.
Dari kejauhan dilihatnya orang-orang desa sedang
mengangkuti panen.
“Bismillah,” bisiknya, dan dalam pakaian adiputro tumenggung dijoyo
ia mengangkat sedikit kainnya dengan tangan kiri sambil
menjinjing bungkusan, dan dengan tangan kanan
berlenggang bergaya raja. Bungkusan itu ia sembunyikan
dalam sebuah rumpun semak di pinggir kali.
Ia tahu betul gaya ningrat bila berjalan. Baginya tak ada
sesuatu kesulitan. Dengan tabah, menyerahkan segalanya
pada sang hyang Widhi ia berjalan melenggang dengan tangan kanan,
meninjau ke sana-sini seakan sedang memeriksa sawah
sendiri.
Orang pertama yang dipapasinya adalah seorang gadis
yang mencari kejauhan untuk buang air. Anak itu cepat-
cepat menyingkir, meletakkan bakulnya di tanah, berlutut
dan bersujud . Dan Pada mengetahui benar anak itu
sudah tak dapat menahan desakan perutnya. la lambaikan
tangan dan meneruskan jalannya, berlenggang bangsawan
dan bergaya, lambat-lambat berwibawa.
Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu
sudah lari dari pandangan orang. Ia berhenti di bawah pohon
sambil tersenyum-senyum mengagumi keindahan dirinya
sendiri yang bukan dirinya sendiri lagi.
Beginilah rasanya jadi pangeran. Belum-belum sudah
dapat satu sembah.
namun gadis itu terlalu lama belum juga muncul, ia mulai
memanggil-manggilnya. Anak itu muncul juga dengan kain
basah. Ia merunduk-runduk mendekat dan bersujud
lagi.
Dua sembah, senyum Pada alias mpu jayamuseswa .
“Hai, Upik!” perintahnya, “pergi kau memperoleh kan
kepala desamu. Sampaikan Sang Pangeran adiputro Pada
agar dijemput.”
Ia tak percaya gadis itu dapat menangkap kata-kata
Sundanya, namun ia segera bersujud dan lari
meninggalkan keranjangnya. Dan Pada menunggu di
tengah jalan dengan satu tangan bertolak pinggang dan
tangan lain memegangi ujung kainnya.
Sawah-sawah di kiri-kanan jalan hampir seluruhnya
sudah terpaneni, jalan itu sendiri diapit oleh saluran air yang
mengalirkan air jernih tanpa putus-putusnya. Selama hidup
di daerah utara Jawa Tengah dan Umur ia tak pernah
melihat tanah sesubur itu, kaya akan air yang terkendali.
Jelas daerah ini jauh lebih baik dibandingkan kediri , suryabuaya atau
pajang bintoro . Udaranya sejuk dan nyaman.
Dari kejauhan terdengar olehnya kentongan ditabuh
bertalu-talu, dan tampak olehnya orang berlarian gugup.
Sebentar ia ragu-ragu adakah itu kentongan bahaya yang
mencurigai dirinya, ataukah kentong suka untuk
menyambut kedatangan Pangeran adiputro Pada.
Ia tersenyum bahagia melihat orang berbondong-
bondong datang tanpa membawa senjata. Dan ia mengucap
syukur.
Orang-orang berpakaian lebih baik dibandingkan umumnya
penduduk negerinya sendiri. Kulit mereka langsat. Cara
memakai destar pun berlainan, lebih ke bawah dan tak
ada nampak sudut-sudut datar yang dikakukan dengan
kanji, semua jatuh layu di bawah tengkuk.
Laki-laki dan wanita lesbian datang bersama-sama seperti
biasa terjadi di desa-desa pedalaman. Dan wajah mereka
berseri-seri, mungkin sebab panen yang berhasil, mungkin
pula sebab kedatangannya.
Tidak, bantahnya sesudah teringat pada kata-kata mpu wungubhumi ,
tak ada orang desa berseri-seri ikhlas sebab kedatangan
seorang pangeran. Jangan bohongi dirimu.
Seorang Laki-laki setengah tua berpakaian lebih baik, satu-
satunya yang menyelitkan kens pada punggungnya,
bersujud nya sekali, lalu menyila kannya berjalan
lebih dahulu .
Dan Pangeran adiputro Pada pun berjalan dengan satu
tangan berlenggang besar, tangan lain mengangkat kain.
Seseorang membawakan barang-barangnya. Dan semua
orang mengiringkan di belakangnya.
Pelataran kepala desa hampir-hampir penuh dengan
tumpukan padi sebagaimana halnya di pelataran lain.
Wanita-wanita berlutut di antara tumpukan-tumpukan itu
dan menyambutnya dengan sembah.
Melalui tumpukan padi pula ia diiringkan memasuki
rumah.
Juga di tangga rumah anggota-anggota keluarga kepala
desa berlutut bersujud . anak anak bersimpuh di
tanah, juga bersujud .
Selamat, pikir Pada, semua takluk di bawah kekuasaan
Sang Pangeran, insya sang hyang Widhi .
la naiki tangga dan masuki pendopo yang digeladaki
dengan pecahan kayu sadang yang mengkilat hitam. Sebuah
meja rendah disiapkan untuk kedudukan Sang Pangeran.
Tak ada bangku di seluruh desa itu. Dan semua orang, baik
di geladak ataupun tanah, menghadap padanya seakan
mereka punggawa pada hari penghadapan.
“Betapa sukacita sekalian bawahan di sini memperoleh
kunjungan baginda tuanku raja Pangeran..”
“Pangeran adiputro Pada!” Pada membantunya sambil
mengangkat lengan memamerkan gelang masnya.
“Dari manakah gerangan baginda tuanku raja Pangeran adiputro maka
datang ke desa Baleugbak tanpa pengiring?”
Pada mengumpulkan kata-kata Sunda yang
diperlukan nya, namun ia tak mengerti betul apakah tepat
untuk keperluan resmi sejenis ini. Ia menjawab sejadi-
jadinya: “Kami datang dari jauh, dari timur sana. Dari
suryabuaya .”
“suryabuaya !” seru beberapa mulut.
Orang tak memperhatikan keanehan kata dan
kalimatnya. Orang tersentak sebab suryabuaya .
“Bagaimana mungkin, baginda tuanku raja Pangeran, sedang armada
baginda tuanku raja sedang menerjang jenggala Sunda kacangtanah ….”
Pada menggeragap. la menyesal sudah memakai kata
suryabuaya . Mengapa ia tak memakai tempat lain?
Mengapa mesti suryabuaya ? Nama yang sedang dibenci di
mana-mana. Ia tabah dadanya untuk memperoleh kan
ketabahannya kembali. Ia tak boleh lebih lama gugup. Ia
harus segera menjawab. Dibukanya senyum manis dan
berkata mepercaya kan, lebih pada diri sendiri: “Ketahuilah,
kau. kepala Desa, kami Pangeran adiputro suryabuaya tidak
setuju armada suryabuaya -pajang bintoro melanggar Sunda kacangtanah .
Maka itulah sebabnya kami berselisih dengan kanjeng sinuhun
Trenggono pajang bintoro , saudara kami, juga dengan Panglima-
Laksamana-Gubernur Fathillah.”
Ia hampir-hampir kehabisan kata. Sedang kata-kata yang
terhambur pun belum tentu betul. Waktu ia belajar bahasa
Tionghoa, yang pang pang mengatakan padanya: kalau kau
sudah bisa menipu dengan bahasa ini, kau benar-benar
sudah pandai Tionghoa. Dan sekarang ia sedang menipu
dalam bahasa Sunda, dan ia tahu benar sama sekali tidak
pandai Sunda.
Semua orang menunggu kata-katanya selanjutnya. Dan
ia meneruskan tersendat-sendat: “Jadi larilah kami kemari
untuk mengabdi di bawah duli Sri Baginda Prabu Sedah.
Barangkali diterima dan diluluskan untuk dapat
menghadapi Panglima-Laksamana-Gubemur Fathillah.”
Pada diam dan menebarkan pandang pada semua orang
di hadapannya. Ia tahu bahasanya menubruk-nubruk, tak
ada jalan lain yang dapat ditempuhnya.
Belum lagi kepala desa membuka suara ia menggeragap
lagi, menyedari bahaya baru yang mungkin menimpa
dirinya dengan serbuan Fathillah terhadap Sunda kacangtanah .
Ia bermaksud hendak menerobos kepungan pajang bintoro dari
Sunda kacangtanah , sekarang jenggala ini justru jatuh ke tangan
pajang bintoro . Dengan menantang Fathillah hanya sebab hendak
berkelakar ia akan terjatuh dalam kesulitan yang lebih
parah.
“patih semua di sini bergagama Hindu, baginda tuanku raja , sedang
baginda tuanku raja arca . Orang-orang arca lah yang menyerbu negeri
kami dari laut, sedang baginda tuanku raja memasuki negeri kami dari
darat.”
Ia sepenuhnya mengerti ketidak-percayaan kepala desa
itu. Dan sekali dimulai dengan kebohongan, kebohongan
lain harus membantunya. Celaka. Cepat-cepat ia
menerangkan: “Ketahuilah, Pangeran adiputro suryabuaya ini
masuk dari darat tanpa membawa prajurit kerajaan . Ia datang
sebagai pelarian.”
“Kalau begitu soalnya, baginda tuanku raja akan patih kirimkan utusan
untuk mempersembahkan kedatangan baginda tuanku raja Pangeran
kepada baginda tuanku raja Patih di Ibukota.”
Pada menjadi pucat. Dan kata-katanya tak juga mau
datang ke otaknya. Ia gerak-gerakkan lengan untuk
menutupi kegugupannya. Dan keluar saja dari mulutnya:
“Ketahuilah, kami akan menghadap sendiri. Sediakan
untuk kami pengiring secukupnya, sediakan untuk kami
penginapan untuk beberapa hari….”
wah
Armada suryabuaya -pajang bintoro memblokade jenggala Sunda
kacangtanah dari laut dan darat. Perdagangan dan kesibukan
jenggala jatuh. Perahu-perahu kecil dari pantat jauh dari
jenggala , juga dari jenggala kedua Pajajaran, Cimanuk,
berbondong-bondong menerobos ke Panjang di ujung
selatan Sumatra, meloloskan diri dari blokade.
Armada Fathillah tak mampu mengatasi penerobosan di
jarak sejauh itu, Maka ia jatuhkan perintah untuk
menguasai sama sekali Sunda kacangtanah .
Pendaratan serentak dimulai. Pertempuran yang tidak
begitu berarti terjadi. Mula-mula di daerah sekitar jenggala ,
lalu meluas ke daerah rawa-rawa di peluaran jenggala .
Kekuatan Pajajaran di Sunda kacangtanah terlalu kecil dan
lemah dibandingkan dengan belasan ribu prajurit kerajaan
penyerbu. Pangeran Sunda kacangtanah sendiri yang memimpin
pertahanan. Dalam hanya satu hari pertempuran
pertahanan Sunda kacangtanah dadal, pasukan Pajajaran
terdesak mundur sampai ke pedalaman.
Pangeran Sunda kacangtanah ditemukan tewas di tengah-
tengah empat orang perwira yang hendak
menyelamatkannya.
Fathillah, yang sendiri memimpin pendaratan, ikut
melakukan penghalauan dan pembersihan terhadap daerah
jenggala . Ia temukan tugu perjanjian kanjuruhan -Pajajaran yang
berdiri di atas sebidang tanah, yang dicadangkan untuk
kantor dagang kanjuruhan .
Ia memerintahkan untuk merobohkannya dan
menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa sesuatu
upacara.
Keesokan harinya Fathillah memperoleh serangan
pembalasan. Pajajaran menurunkan prajurit kerajaan besar untuk
menguasai kembali Sunda kacangtanah . Pertempuran baru segera
terjadi di rawa-rawa, riuh-rendah ditingkah sorak-sorak dan
canang dari kedua belah pihak.
pajang bintoro memakai cetbang buatan pandai
Blambangan. Dan Pajajaran tak pernah mengenal senjata
ledak yang melumpuhkan syaraf ini. Mereka terhalau
meninggalkan rawa-rawa dan naik ke darat dalam
pengejaran peluru cetbang.
Melihat prajurit kerajaan Pajajaran menarik diri Fathillah
memerintahkan penghentian pengejaran. Seluruh jenggala
jatuh ke tangan pajang bintoro . Perlawanan Pajajaran patah dan
Sunda kacangtanah terpaksa dilepaskan.
Walaupun Trenggono-Fathillah berkokok-kokok untuk
menumpas kerajaan Hindu di sebelah barat ini, namun
Fathillah tidak bermaksud menguasai pedalaman. Tanpa
jenggala , katanya pada suatu kali di dalam khotbahnya,
Pajajaran akan jatuh dengan sendirinya tanpa arti. Maka
jenggala nya yang kedua, Cimanuk, juga harus direbut.
Seluruh pesisir harus dikawal.
Dan itulah yang akan dikenakannya.
Ia kerahkan penduduk Sunda kacangtanah yang sudah
beragama arca , dipilihnya yang muda-muda, dilatih dan
dipersenjatai, lalu dinaikkan ke kapal dan dikirimkan
ke Cimanuk
Pasukan kaki pajang bintoro ditinggalkan di Sunda kacangtanah
sebagai para bala tentara pendudukan. Ia sendiri sekarang tinggal di
Sunda kacangtanah sebagai Panglima Laksamana Gubernur
jatikerto dan Sunda kacangtanah .
Penduduk Sunda kacangtanah tidaklah banyak. Dalam banyak
hal jenggala ini tak mampu melawan jenggala jatikerto . Daerah
jenggala nya sendiri pada umumnya ditinggali oleh pelarian
dari Semenanjung, terutama jayamahanaya . Orang Pajajaran
sendiri segan tinggal di sini sebab hebatnya penyakit
demam-pembunuh. Pendatang-pendatang itu seluruhnya
beragama arca . Mereka lebih berpihak pada pajang bintoro yang
arca dibandingkan Pajajaran. Apalagi pajang bintoro lah satu-satunya
kekuatan yang dengan sunguh-sungguh berusaha mengusir
nyi kanjeng blora dari negeri kelahiran mereka. Maka jatuhnya
Sunda kacangtanah ke tangan pajang bintoro terlalu mudah.
Fathillah tak menghadapi sesuatu kesulitan dalam
mengatur kembali kehidupan. Bahkan perintahnya untuk
mendirikan tempat ibadah kemenangan di wilayah jenggala
disambut dengan bersemangat oleh penduduk. O-rang-
orang Hindu yang sedikit, yang tak dapat menenggang kerja
untuk desa lain dan untuk menguasai lain pada
membangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta
benda dan kampung-halaman. Mereka menghilang di balik-
balik perbukitan pedalaman. Yang tertinggal lalu
ditangkapi dan ditindas dengan kerja paksa. Tak ada tempat
lagi di bawah kekuasaan Fathillah untuk mereka yang
beragama Hindu.
Selama pembicaraan di pendopo Pada dapat melihat
hadirnya seorang gadis yang selalu memperhatikan gerak-
gerik dan bahasanya yang aneh, kaku dan dipaksa-
paksakan. Dialah satu-satunya yang tidak menunduk
Matanya laksana sepasang bulan kembar, bulat, dengan
bulu mata panjang dan lengkung. Nampaknya ia bersimpati
pada tamu agung yang jelas berada dalam kesulitan dan
sedang mencoba sekuat daya untuk keluar dibandingkan nya.
Ia adalah Sabarani, anak kepala desa.
Ia jatuh kasihan. Baginya tamu itu sama sekali bukan
tamu agung, bukan seorang pangeran, hanya manusia biasa
yang memerlukan pertolongan. Dalam gambarannya,
pasukan Pajajaran yang dibakar oleh dendam pada suryabuaya -
pajang bintoro akan merejamnya tanpa ampun. Dan gambarannya
itu pasti akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ini.
Ia mendengarkan suara hatinya yang memanggil-
manggil untuk menolongnya. namun bagaimana? Ia belum
lagi tahu. Ia harus menolongnya. Bagaimana? Sedang
dirinya sendiri pun memerlukan pertolongan?
Ia sendiri harus melarikan diri dari desanya. Seorang
ningrat Pakuan dalam beberapa bulan mendatang akan
merenggutkannya dari desanya.
Ia akan diselir olehnya. Orang tuanya tak dapat berbuat
sesuatu. Seluruh desa pun tidak.
Ia menunduk waktu orangtuanya menyatakan
bersenanghati menerima Pangeran itu sebagai tamunya,
sudi menyediakan penginapan, dan berjanji akan
mengirimkan utusan ke Pakuan.
Sesudah pertemuan selesai, di ruang belakang ibunya
berkata padanya: “Kau, Sabarini, putri berbangsa, hanya
kau saja yang patut melayani baginda tuanku raja Pangeran.”
Dengan demikian ia mulai melayani tamu agungnya,
mencuci kakinya dengan air hangat, merapikan tempat
tidur dan menyediakan makan dan minumnya. Simpati
memicu ia merasa lebih dekat pada orang asing ini
dibandingkan seluruh penduduk desa.
Mungkin perpaduan antara kesulitan pribadi dan
kesulitan tamu itu dapat menghasilkan satu penyelesaian
bagi mereka berdua.
Selama ini tak ada pemuda sedesa berani menyatakan
kasih-sayang pada seorang calon selir ningrat. Untuk itu
jiwa bisa jadi tebusannya. Maka sebagai seorang gadis ia
tumbuh seorang diri dalam kesepian. Ia hanya dapat
menyaksikan teman-temannya ria bergembira menikmati
keremajaannya. Dengan diam-diam ia berjanji dalam hati
untuk membantu tamu itu melarikan diri, dan ia akan
mengikutinya kapan saja dan ke mana saja, asal tidak
menjadi selir saudaranya sendiri.
Dari cerita ibunya ia dan seluruh penduduk desa sendiri
pun tahu, pada suatu kali dalam perburuan kerajaan, Patih
Narogol memperoleh penginapan di rumah kepala desa. Oleh
ayahnya, ibunya disediakan untuk Sang Patih buat jadi
pelayannya selama persinggahan. Sejak itu sang ibu tidak
digauli oleh ayahnya, sampai si bayi dilahirkan. Dan si bayi
itu dinamai Sabarini. Seluruh desa menganggapnya sebagai
putri Sang Patih. Dan tak ada seorang pun berani
mempersembahkannya pada Narogol.
Lima belas tahun lalu suatu perburuan singgah lagi
di desa Baleugbak. Putra Narogol yang melihat Sabarini
sekaligus tertarik pada kecantikannya dan meminta pada
kepala desa untuk menyelimya. Ia akan mengambilnya
barang tiga tahun lalu . Ditinggalkan olehnya
sebentuk cincin pada keluarga itu dan selembar destar
sebagai tanda pengikat. Tak ada yang dapat mematahkan
ikatan ini kecuali Sri Baginda sendiri atau Sang Patih.
Pelanggaran berarti tebusan jiwa.
Sesudah beberapa hari menginap, dan sawah sudah dituai
seluruhnya, pesta panen untuk memuliakan Dewi Sri.
Upacara-upacara sudah selesai sedang pesta menunggu
sesudah itu.
Sebuah kalangan dibuka untuk mengalahkan juara tahun
lalu. Mula-mula diadakan pertunjukan demonstrasi
perkelahian kanak-kanak yang ditingkah dengan gamelan
sederhana, gendang kemong dan banyak suling. Waktu
gamelan berhenti, anak-anak keluar dari kalangan. Muncul
sang juara dengan sebilah tongkat bambu mengkilat seperti
sudah lama di ganggang di atas api dan digosok berminggu-
minggu. Beberapa orang penantang mengeroyoknya
berbareng. Pertarungan sengit terjadi, juara itu melompat
dan menerjang, berpaling dan bergulung-gulung seperti
baling-baling lepas.
Penonton bersorak-sorak gegap-gempita dalam sinar
cempor-cempor besar di empat penjuru.
Baik juara maupun para penantang berkilau-kilau
bermandi keringat dan debu. Dan sesudah agak lama
pertunjukan berjalan, senjata seorang penantang terungkit
lepas oleh tongkat bambu sang juara, melambung ke atas
dan ditangkap oleh penantang lain. Penantang yang
kehilangan senjata keluar dari kalangan dalam iringan sorak
pujian untuk sang juara.
Selang beberapa bentar sebuah senjata lagi terungkit
lepas lagi. Dan demikian seterusnya sehingga para
pengeroyok terpaksa meninggalkan kalangan.
Sang juara mempertahankan kejuaraan desanya.
“Demikianlah kebiasaan di desa patih sejak nenek-
moyangnya,” kepala desa menerangkan pada tamu-
agungnya.
Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang
kediri dan pes tatah unannya. Satu kesedaran, bahwa ia
seorang pangeran suryabuaya , mematikan rangsangan. Ia
mengangguk dan menggarami: “Bagus. Calon-calon centeng
ulung.”
“Bukan calon centeng , baginda tuanku raja . Perang soal lain lagi. Yang
pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula
negeri kami tak pernah berperang seperti negeri baginda tuanku raja .
Kami lebih suka hidup dalam kedamaian.”
Pada menggeragap. Ia tahu sudah salah menanggapi. Dan
ia merasa beruntung kepala desa itu tidak melanjutkan
persoalan.
Gamelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau
memanggil juara baru. Dan tak terkirakan heran Pada
melihat seorang gadis tampil ke gelanggang membawa dua
batang bambu kecil sepanjang lengan. Kainnya dilipat
sedemikian rupa sehingga menjadi cawat, dan rambutnya
terkondai ramping seperti destar.
Dan gadis itu adalah Sabarini.
“Juara?” Pada bertanya.
“Juara, baginda tuanku raja ,” jawab kepala desa yang duduk di bawah
sebelah samping. Matanya berkilau-kilau bangga.
Sabarini memutar-mutarkan dua bilah tongkat pendek itu
ke udara dan menangkapnya kembali, melontarkan dan
menangkapnya lagi. Tongkat-tongkat itu berputar seperti
kitiran. Dan Pada baru sekali akan melihat perkelahian
dengan dua tongkat pendek.
Seorang gadis lain melompat ke gelanggang dengan
sebilah parang dan langsung menyerang. Orang bersorak-
sorak, lalu terdiam melihat hebatnya serangan.
Hantaman-hantaman parang itu tertangkis oleh bambu-
bambu pendek yang melindungi lengan.
Pada melihat, dengan bambu-bambu pendek itu Sabarini
ternyata juga bisa menyerang. Satu di antara bambu itu
melesit berputar mengenai tangan si penyerang. Parang itu
meleset ke samping, dan dengan bambu yang lain gadis itu
memukul tangan berparang sehingga senjata itu jatuh ke
tanah tanpa daya.
Orang bersorak-sorak riang. Penantang meninggalkan
gelanggang. Sabarini melontar-lontarkan bambunya ke
udara lagi sebagai undangan untuk penantang baru.
Tak seorang pun tampil ke depan.
“baginda tuanku raja Pangeran!” seseorang berteriak.
“Ya-ya, baginda tuanku raja Pangeran,” yang lain-lain membenarkan.
“baginda tuanku raja ,” kepala desa itu memohon, “itulah adat desa
kami. baginda tuanku raja dipersilakan turun ke gelanggang.”
“Kami!?” tanya Pada tak percaya. Peluh dingin mulai
membasahi tubuhnya.
Seumur hidup ia tak pernah berlatih berkelahi. Sekarang!
Sekarang akan terbongkar belangnya. Mana ada seorang
pangeran tak pernah berlatih kecenteng an dan berkelahi?
Mana ada? Haruskah diri dipermalukan di depan umum
oleh seorang gadis pula? Gadis desa Baleugbag? Betapa
dunia akan mentertawakan ningrat suryabuaya di lalu
hari.
“Silakan baginda tuanku raja Pangeran adiputro suryabuaya !”
Dan Pada mengerahkan pikiran untuk menemukan akal.
Lambat-lambat ia berjalan memasuki gelanggang. Memang
tak ada jalan lain untuk menyelamatkan muka.
Sabarini berlutut. Dua potong bambu pendek itu
digeletakkannya di hadapan Sang Pangeran, dan ia
bersujud .
Aku hanya pernah belajar bicara, pilar Pada, itu pun
belum tentu dapat dan bisa mepercaya kan orang….
Langkahnya gontai dan kakinya berat. Ia ambil dua bilah
dari bambu di hadapannya dan pura-pura mengagumi.
Buat para penonton perbuatannya terlalu lama. Orang
sudah tak sabar. namun akal belum juga datang pada Pada.
Sekarang ia pura-pura mengagumi Sabarini, ikut pula
berlutut seakan-akan sedang mengikuti adat gelanggang,
namun bibirnya menggeletar berbisik: “Sabarini, ah,
Sabarini.”
Sabarini bersujud lagi, juga berbisik: “baginda tuanku raja
Pangeran, patih di sini, baginda tuanku raja ,” suaranya lunak, bening dan
bernyanyi, menyirapkan darah Pada.
Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini
juga berdiri sesudah mengambil jarak. Pada mengembalikan
bambu pada yang memiliki . Sambil berpaling pada kepala
desa ia berkata dengan nada protes: ‘Tak pernah di tempat
kami bambu begini dipakai untuk berkelahi.”
“Ambilkan dua bilah gada .” seseorang berteriak.
Celaka, raung Pada dalam hatinya, dari bilah bambu
beralih ke gada . Akal! Hei, kau, akal, mengapa kau tak
juga datang hei akal?
Seseorang masuk ke gelanggang membawa dua bilah
gada lebar namun pendek. Dan badan Pada sudah basah
kuyup oleh keringat dingin sendiri.
Pembawa gada itu berjongkok bersujud , lalu
mempersembahkan dua-dua senjata itu untuk dipilih mana
yang lebih cocok Dan Pada menerima dua-duanya dan
menimang-nimang. Berdoalah ia di dalam hati memohon
perlindungan dan petunjuk dari sang yang betari durga nya. Keadaan ini
harus diatasi. Dan doa itu memberinya ketenangan barang
sedikit. Keluar lagi kata-kata bernada protes dari mulutnya:
‘Tidak ada cara di negeri kami seorang kesatria raja menghadapi
wanita dalam gelanggang sejenis ini/’
“Kang Acep, kau tampil, kang,” seseorang berseru.
Celaka, sekarang juara Laki-laki yang akan tampil.
Menghadapi Sabarini sekarang harus dianggapnya sebagai
kesempatan baik sebaik-baiknya. Ia tak memprotes lagi.
Dengan membawa dua-dua gada ia menghampiri
Sabarini dan menyerahkan semua. Cepat-cepat ia berbisik
“Lebih baik kuperistri kau dibandingkan aku hancur kan,
Sabarini, manis.”
Sabarini mengangkat mata dan memandangnya.
Tangannya salah menerima gada dan senjata itu jatuh ke
tanah. Dan Sabarini tak juga segera memungutnya.
Orang-orang terdiam, heran melihat seseorang juara
luput menerima senjata.
Gamelan berhenti mengejut. Suling-suling membisu.
“Bagaimana, Sabarini?” bisik Pada.
“gada itu jatuh, baginda tuanku raja , dan tak ada kekuatan pada
patih untuk memungutnya,” Sabarini berbisik menjawab.
Pada memperoleh kepribadiannya kembali dan berseru:
“Ambillah gada mu, Sabarini!”
Orang melihat gadis itu gemetar. Sabarini membungkuk,
tangannya layu mengambil gada nya, namun badan itu
lambat sekali tegaknya. Dan belum lagi badan itu berdiri
lurus, lututnya lalu tertekuk, gada tergelincir dan
nampak tak ada niat padanya untuk memungutnya.
“Sabarini!” terdengar beberapa wanita berseru-seru.
Sekarang gamelan berbunyi lagi, pelan-pelan, tanpa suling.
kepala desa masuk ke gelanggang, bersujud Pada
dan menghampiri anaknya, bertanya: “Mengapa kau,
anakku?” dan berpaling pada Pada.
“Dia sudah menyerah, kepala Desa, menyerah.”
Gamelan berhenti sama sekali.
kepala desa membantu anaknya berdiri.
Sabarini mengangkat sembah lagi pada tamu agung,
menerima tangan bapaknya dan berdiri dengan susah-
payah, berjalan gemetar keluar gelanggang.
Pesta malam itu bubar dengan keheranan semua
penduduk.
wah
Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan
lalu bersembahyang di dalam bilik, mengucapkan
syukur yang sebesar-besar-nya atas rahmat dan petunjuk
yang diterimanya. Selesai bersembahyang ia lihat,
sebagaimana biasa sebelum tidur, Sabarini masuk ke dalam
bilik membawa air hangat pencuci kaki.
Ia turun dari ambin dan menyerahkan kakinya.
“baginda tuanku raja ,” bisik Sabarini, “benarkah yang patih dengar di
gelanggang tadi?”
“Mengapa, Sabarini?”
“sebab , baginda tuanku raja , ternyata orangtua patih sudah
mengirimkan utusan ke Pakuan begitu panen dan upacara
panen selesai. Pastilah para bala tentara Pajajaran akan segera
datang. Larilah, baginda tuanku raja , dan bawalah patih .”
Suara ribut terdengar di luar rumah: “kepala desa! Mana
itu Pangeran adiputro suryabuaya ?”
“Mereka sudah mulai datang, baginda tuanku raja , mari patih antarkan
lari, mari….”
Sabarini menarik tangan Pada dan yang ditarik
menyambar bungkusan-bungkusan bawaan. Mereka lari
sesudah memadamkan pelita, ke belakang, langsung
menuruni tangga belakang, melintasi ladang, lalu
sawah, sampai ke pinggir Ciliwung.
“Naik, baginda tuanku raja , naik ke atas rakit ini.”
Sabarini menarik tali rakit, dan rakit itu meminggir.
Mereka berdua melompat ke atasnya, dan Sabarini
mengetengahkannya dengan sorongan galah. Tanpa bicara
gadis itu meluncurkan dan mengemudikan rakitnya menuju
ke hilir.
Pada sendiri masih terlongok-longok, kurang semangat,
belum juga sembuh dari terkejutnya,
Dunia apakah semua ini, ya sang yang betari durga , tanyanya pada
sang yang betari durga nya. Dan ia tak memperoleh jawaban. Ia menongkrong
di atas rakit bambu, menenggelamkan kepala di antara dua
belah lutut. Dan Sabarini, terus juga berjalan mondar-
mandir menyorong rakit yang laju dibawa air deras.
“Sudah jauh, Sabarini, berhentilah kau.”
“Belum, baginda tuanku raja , mereka masih bisa memburu dengan
perahu ,” dan ia bekerja terus.
Pada berdiri, menghampiri gadis itu, ragu-ragu sebentar,
lalu berkata: “Sini, Sabarini, biar aku gantikan. Kau
lelah.”
“Biarlah, baginda tuanku raja . patih biasa membawa rakit begini
Sedang baginda tuanku raja tidak pernah.”
“Aku biasa mendayung perahu.”
“Rakit bukan perahu, baginda tuanku raja , lain.”
“Air cukup deras begini, dia akan berjalan sendiri.”
“Kalau tidak dikemudikan akan menubruk-nubruk,
baginda tuanku raja . patih kenal riam-riam Ciliwung ini.”
Sabarini tak dapat dihampirinya. Ia terus juga mondar-
mandir mendorong rakit dengan galahnya.
Pada tidak tahu sesuatu tentang rakit. Ia ingin membuka
pembicaraan.
“Sudahlah, biar rakit berjalan sendiri.”
“Nanti berputar-putar. baginda tuanku raja .”
“Biar berputar-putar,” dan ditangkapnya tangan gadis
itu. Ia rasai tangan itu gemetar. “Ke mana kau akan pergi
malam-malam begini?”
“Ke mana saja asal baginda tuanku raja selamat.” Pada melepaskan
tangan itu. Sejak kanak-kanak ia sudah terbiasa bergaul
dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang
mereka inginkan. namun gadis seorang ini menerbitkan
hormat dalam hatinya. Ia tidak inginkan sesuatu
dibandingkan nya. Ia hanya ingin menyelamatkannya.
“Dan kalau aku sudah selamat kau akan ke mana lagi?”
“Ke mana saja baginda tuanku raja pergi.”
“Sabarini!” dan gadis itu tak menyahut. “Terimakasih.
terimakasih atas pertolonganmu. Nampaknya
keselamatanku menjadi kepentinganmu benar.”
“Bukankah baginda tuanku raja sudah mengucapkan kata-kata itu?
Bukankah baginda tuanku raja seorang kesatria raja , sekalipun arca ?”
Malam itu gelap. Dan Pada tidak mengerti bagaimana
gadis pendekar ini dapat mengendalikan rakit tanpa
petunjuk jalan. Nampaknya ia sudah mengenal alur
Ciliwung. Ia perhatikan arus kali permukaan air dan air-
muka Sabarini dalam kegelapan. Dan ia tak mampu
menduga. Ia tunggu gadis itu menyatakan sesuatu, dan
Sabarini tidak membuka mulut.
Jauh di sebelah timur sana ada seorang wanita yang
membangkitkan kekaguman dan hormatnya, menyemaikan
cintanya yang tulus. Orang itu adalah nyi girah . Di Pajajaran
ini ada juga seorang. Dan dia adalah Sabarini. Benarkah
langkahku, ya sang yang betari durga ? Adalah gadis asing ini Kau
pertemukan padaku dengan cara seperti ini untuk jadi
teman-hidupku yang tulus?
Dan ia tak memperoleh jawaban dari sang yang betari durga nya. namun
dari lubuk hatinya sendiri terdengar suara lantang: Kau
dungu kalau tetap bermimpi kan Istri seorang sahabat, ibu
dari anak-anaknya. Sabarini cukup baik untukmu. Suara
dari lubuk hatinya tak berulang lagi. Dan ia sendiri merasa
memang sudah memerlukan seorang istri.
“Sampai di mana kalau terus menghilir?” ia bertanya.
“Sunda kacangtanah , baginda tuanku raja .”
“Sunda kacangtanah ”, untuk ke sekian kalinya Pada
menggeragap. Mereka akan tangkap dirinya, juga Sabarini.
Ia merasa tak patut terlalu sering menggeragap begini. Ia
merasa kepercayaannya pada sang yang betari durga nya belum cukup
sempurna. Seorang yang beriman tidak akan sering
menggeragap, sebab ada iman padanya, sebab ada
kepercayaan pada sang yang betari durga dan kekuasaanNya.
“Ya, Sabarini. Kita akan sampai ke Sunda kacangtanah ,
memasuki daerah pendudukan pajang bintoro . Mereka akan paksa
kau masuk arca . Bagaimana kau?”
“Semua terserah pada baginda tuanku raja . patih hanya mengikuti
baginda tuanku raja !”
”Tidakkah kau akan takut pada hukuman dari dewa-
dewamu?”
“Barangtentu baginda tuanku raja cukup bijaksana untuk memilihkan
yang baik untuk patih ,” jawab gadis itu sambil terus
mendorong rakit dengan galahnya.
“Baik. Jadi kau sudah sedia jadi istriku.”
Sabarini tak menjawab. Sorongan pada rakitnya
bertambah keras, dan mondar-mandirnya semakin cepat.
“Kau diam saja, Sabarini.”
Waktu melewatinya Pada mendengar nafas gadis itu
yang terengah-engah sebab mendorong sekuat tenaga
dengan galahnya. Bahkan dalam kegelapan ia mengetahui
Sabarini sama sekali tidak menengok padanya. Matanya
tertuju pada permukaan air yang samar-samar.
“Kita akan kawin di Sunda kacangtanah secara arca ,
Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku.” Ia menunggu
agak lama dan tetap tak memperoleh jawaban. “Kau diam
saja.”
“Apalah yang harus patih katakan lagi, baginda tuanku raja ? Semua
baginda tuanku raja yang menentukan. Kebijaksanaan baginda tuanku raja tidak akan
patih ragukan, baginda tuanku raja .”
“Baiklah. Jadi kau akan jadi istri-tunggalku.”
“Bagaimanakah dengan selir-selir baginda tuanku raja ?”
“Selir? Seorang pun aku tak memiliki . Kaulah calon istriku
pertama-tama, calon istri-tunggal.”
Dan Sabarini tak menanggapi. Ia hanya menjalankan
rakit, tanpa pernah menengok pada Pada.
Menjelang subuh rakit dihentikan di sebuah tempat
persinggahan. Gadis itu melompat turun ke darat dan
mencancang rakit pada sebatang pohon ketapang. Galah ia
letakkan baik-baik di atas rakit, lalu diulurkan
tangannya pada Pada untuk membantunya turun.
Dua orang itu bergandengan mendaki tebing, menuju ke
sebuah bangsal bambu pada tubir tebing.
Bangsal itu luas dan menjadi penginapan mereka yang
pulang-balik melalui Citarum. Tak ada penjaga khusus.
Perawatannya diserahkan pada setiap perakit atau pemilik
perahu.
Dan pada subuh itu dalam bangsal sudah ada sebuah
keluarga pelarian dari Sunda kacangtanah . Dari percakapan
antara mereka dengan Sabarini Pada dapat mengetahui,
Sunda kacangtanah benar-benar sudah jatuh ke tangan prajurit kerajaan
pajang bintoro .
“Mereka begitu berangsangan,” salah seorang
memberikan komentarnya, “seperti orang tak pernah
bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami
lari naik kemari. Juga orang arca sendiri tidak aman.
Semua dipaksa menyerahkan batang bakau-bakau buat
perbentengan. Jangan turun, lebih baik naik kembali.”
Pada mendengarkan dengan diam-diam dari luar bangsal
sambil menggambarkan tingkah-laku centeng -centeng
pajang bintoro yang dikatakan berangsangan itu. Ia belum berani
bertemu dengan orang, la masih berpakaian pangeran.
“Masih mungkinkah turun ke sana dengan rakit?”
Sabarini terdengar bertanya. Suaranya bening, merdu dan
menyanyi.
‘Tentu saja dapat. Mengapa tak dapat? namun buat apa?
Salah-salah jiwa tebusannya. Paling tidak orang akan
terbongkok-bongkok mengangkuti bakau-bakau setiap hari
sampai mati kena demam rawa.’
Pada mengherani apa sebabnya prajurit kerajaan pajang bintoro
hendak mendirikan perbentengan. Seakan-akan mereka
sedang bersiap-siap menunggu datangnya musuh. Dan
musuh dari mana? Mungkinkah nyi kanjeng blora akan membantu
Pajajaran sebagaimana pernah diperbincangkan orang? Dan
apa keuntungan nyi kanjeng blora dengan bantuannya?
Tidak mungkin. nyi kanjeng blora takkan membantu siapa pun
tanpa memperoleh keuntungan. Boleh jadi Fathillah
membentengi dirinya sendiri dari serangan pajang bintoro . Dia
akan membangkang dan berdiri sendiri jadi raja.
Ia tak dengar percakapan selanjurnya antara Sabarini
dengan keluarga pelarian itu. Hari sudah terang tanah.
Burung-burung dari hutan sekitar menyanyi ria menyambut
datangnya sang matahari . Pagi itu ia tidak bersembahyang,
hanya mengucapkan doa selamat.
Tak lama lalu Sabarini keluar dari bangsal,
bersujud dan berbisik padanya: “Lepaskan semua
pakaian baginda tuanku raja , dan kenakan pakaian tani.” Pada
menggeleng-geleng menyedari betapa kikuk ia selama
memainkan peranan adiputro suryabuaya . Ia mengakui memang
tidak pandai menjadi seorang penipu. Dilepasnya semua
pakaian Pangeran adiputro
Uitus dan dikenakannya pakaian sendiri, pakaian dayang .
Waktu ia hendak lepas kasut kerajaan itu, tahulah ia barang
itu masih tertinggal di rumah orangtua Sabarini.
Mendung yang menutup puncak pegunungan itu kini
berubah jadi hujan deras dan membekukan darah. Keluarga
pelarian itu menyalakan pediangan penghangat lalu
naik ke ambin pelupuh dan meneruskan tidurnya.
Pada dan Sabarini pun naik ke ambin, menggolekkan
badan berdampingan dan tertidur dalam kelelahan dan
kantuk.
Hujan makin deras dan makin deras.
Dan waktu sinar matahari dengan lemahnya mewarnai langit,
dan silhuet puncak pegunungan dan tajuk pepohonan mulai
muncul, hujan masih juga turun. Ciliwung sudah meluap
sejadi-jadinya.
wah
Ciliwung adalah jalanan utama yang menghubungkan
Pakuan dengan Sunda kacangtanah . Hasil bumi dari pegunungan
turun ke jenggala melalui kali ini pula. Sebaliknya barang-
barang dari laut naik ke pegunungan melalui kali ini pula.
namun kali ini kini sunyi. Rakit dan perahu nampak segan
meluncur di atasnya sesudah Sunda kacangtanah jatuh.
Waktu Pada terbangun hujan belum juga berhenti. Ia
lihat Sabarini sudah tak ada di tempat. Penginap-pengmap
dari Sunda kacangtanah sudah berangkat meneruskan pemudikan.
Ia turun ke kali dan dilihatnya Sabarini dalam keadaan
telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini
sudah berada di tengah-tengah. Pohon ketapang tempat
mencancang berada barang sepuluh depa dari tepi air. Ia
lihat gadis itu menyelam untuk memperoleh kan tali pada
batang ketapang. lalu ia muncul lagi dengan
membawa tali menarik rakit sambil berpegangan batang
kayu itu, lalu melompat ke atasnya dan
mendorongnya ke tepian.
Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebut-
nyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: “syang hyang Widhi …
sang hyang Widhi Maha Besar… Kau karuniakan keindahan sejenis
itu kepadaku, ya sang yang betari durga , kepada hamba-Mu yang justru
tidak mencari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya sang yang betari durga ’
Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini sudah
berubah kuning berlumpur. Sinar sinar matahari yang jatuh ke bumi
sesudah menerobosi mendung hanya samar-samar
menerawang. Namun kesamaran itu tidak membatalkan
pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh
cantik, indah, gesit tubuh seorang wanita yang belum lagi
jadi istrinya.
Ia perhatikan gadis itu memakai pakaiannya yang
disangkutkan pada cabang batang gempol, dan dengan
pandangnya mengikutinya naik ke tebing. Dengan
membawa bungkusan ia keluar dari persembunyian dan
turun ke atas rakit. Dan sekali lagi ia mengagumi
keberuntungannya dalam kepercayaan pada keagungan dan
kemurahan sang yang betari durga nya.
Ia mulai periksa rakit. Sebentar-sebentar ia meninjau ke
atas mencari-cari Sabarini. namun gadis itu belum juga
nampak. Ia berteriak-teriak memanggil, lalu ia lihat
gadis itu lari menuruni tebing. Wajah merah dan nafasnya
terengah-engah. Tanpa bicara ia turun ke rakit, melompat
lagi ke pantai dan melepaskan tali pencancang, lompat lagi
ke rakit, mengambil galah dan mulai mendorong.
“Kita belum lagi makan pagi, Sabarini.”
Ia tak menjawab.
Dan Pada mencoba merebut galah, dan Sabarini tidak
mengijinkan.
“patih tidak mengenal air sejak dari sini sampai ke Sunda
kacangtanah , baginda tuanku raja , apalagi baginda tuanku raja sendiri. Biar patih yang
mengemudikan sendiri-lebih baik baginda tuanku raja ikat bungkusan itu
agar tak terlempar kalau ada apa-apa.”
Pada merasa malu sudah kalah wibawa, ia merasa dirinya
menjadi begitu bodoh di dekat gadis luarbiasa ini. Biasanya
ia merasa cerdas dan dapat memecahkan banyak perkara
yang pelik-pelik. Ia menguasai persoalan neraka dan sorga,
ia dapat menghafal nama 30 nabi, ajaran dan
mukjizatnya. namun di dekat gadis ini ia seperti seorang tua
yang pikun. Saking gemasnya pada kepikunannya sendiri
akhirnya ia menongkrong di buritan rakit Pada sebuah
celah batang bambu ia lihat sebutir lada terjepit sendirian
tanpa kawan. Ia korek dengan kuku, memungut dan
menggigitnya. Memang lada. Rakit hanya dipakai
sekali ke Sunda kacangtanah . Sampai di sana dijual atau
ditinggal. Tentu sebelum ia dan Sabarini memakai nya,
orang pernah berdagang lada di sini, lalu di
bongkar lagi dan lada di daratkan kembali, tak jadi turun ke
Sunda kacangtanah .
Ia lihat air berkecibak di belakang rakit. Seekor kakap
melompat ke atas air, berenang lari ke hulu. Di belakangnya
nampak sirip hiu martil cucut yang memburu, membentuk garis
lurus membelah air.
“Di sini ada hiu martil , Sabarini?”
“Kalau kali banjir, baginda tuanku raja , kadang-kadang ada juga.”
Kalau kali banjir, kata Sabarini. Mengapa kali ini banjir
sebelum datang musim penghujan? Dan mengapa di sini
sudah mulai turun hujan? Dan mengapa di Semenanjung
sana lain pula jatuhnya musim penghujan?
“baginda tuanku raja !” terdengar Sabarini memekik
Belum sampai ia sempat menengok rakit sudah menubruk
sesuatu. Pada jatuh dari cangkungannya, tertelentang pada
geladak rakit. Dan belum lagi ia dapat berdiri gadis itu
datang padanya dan menolongnya berdiri.
“Ampun, baginda tuanku raja , patih tak lihat ada tonggak di bawah
air.”
”Tidak apa, Sabarini.”
”Tidakkah baginda tuanku raja terluka?”
”Tidak.”
“Rakit harus meminggir. baginda tuanku raja . Tali bagian depan
putus.”
Gadis itu mengambil lagi galahnya dan
meminggirkannya. Dengan cekatan ia melompat ke darat,
mengambil sebuah batu tajam, dan menariki kulit pohon
warn.
Pada tak tahu apa sedang diperbuat gadis itu. Ia berdiri
di dekatnya, bertanya: “membuat tali?”
“Ya, baginda tuanku raja .”
“Sini, barangkali aku lebih pandai dibandingkan kau.”
”Tidak, baginda tuanku raja , sebaiknya baginda tuanku raja lihat-lihat kalau ada
perahu prajurit kerajaan Pajajaran memburu kita.”
Jengkel sebab kekikukannya Pada menjauh, mencari
pohon yang sekiranya dapat ia panjat. namun pepohonan
hutan itu tak ada sebuah pun yang dapat dipanjat. Semua
besar-besar.
”Tak usah naik, baginda tuanku raja ,” seru Sabarini. “Semua pohon
menjadi licin habis hujan begini. Lihat-lihat di dekat patih
sini saja, baginda tuanku raja .”
Dan Pada menjadi malu pada dirinya sendiri. Betapa
gadis yang belum dikenalnya itu mengutamakan
keselamatannya keselamatan seorang asing yang
mukanya penuh jenggot dan kumis dan cambang bauk.
Tentunya seorang gadis dengan pendidikan baik.
sinar matahari berada di atas kepala waktu tali-tali itu habis
terpilin. Mereka berdua mengikat bagian depan rakit dan
mengencangkan tali-temali dengan pasak bambu.
“Kita teruskan mengilir, baginda tuanku raja .”
Dan rakit meneruskan pelayarannya.
wah
Dengan seruan assalamualaikum pada penjagaan setiap
tikungan kali rakit itu memasuki Sunda kacangtanah . centeng -
centeng pajang bintoro membiarkan mereka lewat.
Dan apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata
benar. Orang-orang sibuk memikuli batang bakau-bakau
yang berat itu dari rawa-rawa ke jenggala . Di sepanjang
jenggala orang mendirikan tonggak-tonggak untuk
perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan
menimbun tanggul untuk menjadi dermaga dan benteng
sekaligus. Juga ribuan prajurit kerajaan pajang bintoro bekerja
mengangkuti batu. Dari kejauhan mereka nampak seperti
serumpun semut yang sedang menggalang perumahannya
sendiri.
Mereka berdua mendarat di tepi muara tanpa memperoleh
gangguan.
Cukup hanya dengan assalamu alaikum. Dan mereka
tidak tahu, bahwa Fathillah menghendaki agar orang-orang
pedalaman turun sebanyak-banyaknya ke Sunda kacangtanah ,
bukan saja untuk bertaubat, juga agar jumlah penduduk
yang terlalu sedikit itu bertambah tiga sampai empat kali
lipat Dengan penduduk terlalu sedikit ia tak banyak dapat
berbuat. Maka setiap pendatang dari pedalaman untuk
sementara tidak dikenakannya peraturan apa pun.
Dan pendatang-pendatang baru memang ada, walaupun
tidak banyak. Sebagian terbesar dari yang tidak banyak
datang dari sebelah barat Sunda kacangtanah . Mereka adalah
orang-orang jatikerto yang bermaksud mencari perlindungan
dari Pajajaran sesudah masuknya suryabuaya -pajang bintoro ke sana.
Serentak mereka mengetahui Sunda kacangtanah juga sudah
dikuasai Fathillah, mereka melarikan diri ke barat kembali
atau naik memasuki pedalaman Pajajaran. Sebagian kecil
dari mereka orang tua-tua dan kanak-kanak yang tak
mampu meneruskan perjalanan terpaksa tertinggal. Di
antaranya terdapat juga wanita-wanita dengan bayinya.
Fathillah memberi mereka tempat di bedeng-bedeng jenggala
yang paling jauh. Bedeng-bedeng terdekat dipakai
oleh balai centeng -centeng nya.
Pendatang dari selatan adalah laksana tetesan air, tidak
semakin banyak, malah semakin tiada. Pada dan Sabarini
adalah pendatang terakhir dari selatan.
Mereka melangsungkan perkawinan di tempat ibadah , dengan
dalih mengulangi perkawinan mereka yang sudah mereka
lakukan secara Hindu. Sabarini bertaubat masuk arca dan
Pada bertaubat untuk kedua kalinya.
Apabila mereka tinggal sampai sebulan, Pada akan
terkena wajib kerja seperti yang lain-lain. Bukan maksudnya
untuk jadi penduduk Sunda kacangtanah . Ia berada dalam
perjalanan tugas. Ia harus segera meninggalkan tempat ini.
Ia sempat menyaksikan selesainya tanggul yang sangat
panjang itu. Ia ikut menghadiri pesta pembukaan kembali
jenggala . Fathillah sudah menyatakan Sunda kacangtanah sudah
siap untuk menerima lalulintas laut. namun sebagaimana
halnya dengan jenggala jatikerto , perdagangan lada ditentukan
olehnya. Harga yang menjadi lebih tinggi sebab tingginya
pajak memicu para saudagar enggan singgah baik di
jatikerto ataupun Sunda kacangtanah . Sebaliknya sumber lada
kedua, Sumatra terselatan. Kini berubah jadi betari i. jenggala
Panjang tiba-tiba menjadi betari i dan penting.
Di sekitar tempat ibadah orang pada membicarakan peraturan-
peraturan yang berlebih-lebihan dari Fathillah. Maka Pada
dapat mengetahui, perkembangan tidak berjalan
sebagaimana dikehendaki Sang Panglima-Laksamana-
Gubemur itu. Orang sudah mendengar ancaman sudah
dinyatakannya untuk menghancurkan jenggala Panjang.
Untuk keperluan itu ia sudah batalkan persiapannya untuk
meneruskan penyerangan dari Cimanuk ke Cirebon.
Ancaman itu tak jadi dilaksanakan sebab tersusul
datangnya utusan dari Trenggono yang tidak membenarkan
maksudnya, sebab itu menyalahi persekutuan militer
Trenggono-Fathillah.
0odwo0
36. Blambangan
jenggala jatikerto dan Sunda kacangtanah tetap sunyi. jenggala
Panjang di ujung selatan Sumatra menjadi meriah.
Mengetahui akan kekeliruannya Fathillah bermaksud
membuka kembali Sunda kacangtanah jadi pelabuhan bebas.
Pada hari ketentuan itu dikeluarkan, Pada dengan
terburu-buru membeli sebuah perahu layar kecil dengan
dinar pemberian Ratu Aisah. Dipunggahnya perbekalan
dalam perahu itu bersama dengan Sabarini. Keesokan
harinya pengantin baru itu berlayar menuju Panjang.
Armada suryabuaya -pajang bintoro yang melakukan penjagaan itu
tidak terlalu jauh dari pantai. Perahu layar kecil itu hanya
sekali ditahan lalu diperkenankan meneruskan
pelayaran.
Dan mereka berlayar tenang meninggalkan pulau Jawa
yang sedang kacau-balau. Meninggalkan Sunda kacangtanah bagi
Pada berarti juga meninggalkan keadaan yang penuh
kekacauan pertama-tama yang pernah ada dalam sepanjang
sejarah Jawa.
la gembira. Dan Sabarini tak kurang gembiranya,
berlayar dengan seorang suami yang adalah untuk dirinya
sendiri. Namun ia tetap membisu bila tak ditanyai….
Begitu mendengar prajurit kerajaan pajang bintoro sudah sampai di
selatan campa , raden sanggabuana bumikerta dengan
bantuan para pekerja jenggala mengangkuti harta-bendanya
ke atas sebuah kapal Bali yang kebetulan sedang mencari
dagangan lada. Munculnya kapal itu sungguh-sungguh
suatu kebetulan Bila tidak ia akan terpaksa menyewa
perahu layar.
Tak ia tinggalkan sesuatu pun pada Nyi kembang Kati
kecuali kata-kata ini: “Nyi kembang Kati, maafkan aku selama
ini kita sudah tidak saling menegur. Sang adiputro sudah
tidak dapat menyatakan sesuatu. Pendengarannya sudah
begitu merosotnya, maka semua kata yang dipersembahkan
sia-sia saja… Sekarang ini aku harus pergi untuk sementara
dari kediri . Tinggsang hyang Widhi kau di sini dalam lindungan sang hyang Widhi
Yang Maha Pengasih.”
“Ke manakah Tuan, biar saya tahu di mana tempat
Tuan.”
Ia tak memberi jawaban, turun ke perahu dan belayar ke
jurusan timur. Tujuan: Pasuruan, jenggala Blambangan
Hindu untuk perdagangannya dengan panarukan .
Nakhoda menasihatinya agar ia langsung saja ke
Panarukan, sebab jenggala itu tidak terlalu sunyi, sebab
perdagangannya dengan parahyangan tetap berjalan baik.
Pelabuhan Pasuruan sendiri hampir saja nasibnya dengan
pasuruan atau kediri . Memang Panarukan lebih kecil
dibandingkan Pasuruan, namun adanya perdagangan yang
terpelihara memicu kehidupan jauh lebih baik.
“Barangkali ada baiknya aku ikuti nasihat Tuan,”
jawabnya.
Dan demikian ia tidak mendarat di Pasuruan Sejak
mancai dari kediri sebenarnya ia bermaksud ke Panarukan
Ia hanya hendak menyesatkan nakhoda.
patih wirabuana Panarukan ternyata bukan palawa , juga bukan
Benggala, bukan Koja dan bukan Keling, namun Pribumi
sendiri, yang berbahasa Jawa, Bali, jawadwipa dan sedikit
palawa . Ia tetap beragama Hindu, la disambut dengan bahasa
palawa . Aturan jenggala lebih longgar dibandingkan kediri ;
patih wirabuana memiliki wewenang memberikan ijin tinggal
di dalam ataupun luar wilayah jenggala tanpa menghadap
bupati atau raja.
Sesudah memperoleh ijin tinggal dan membayar bea untuk
barang-barangnya, ia kawal gerobak pengangkut harta-
bendanya menuju ke kantor dagang kanjuruhan yang sedang
dalam pembangunan. Untuk menghadapi pertemuan itu ia
berpakaian kanjuruhan dengan tetap bertarbus dan bertongkat.
Tubuhnya sudah lebih bongkok dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. kepala nya tak henti-hentinya menengok ke
kiri dan kanan, memperhatikan pagar-pagar dari suadipati
batu karang, dan arca-arca kayu di pojokan perempatan
jalan, berdiri megah di dalam bangunan persegi, seakan-
akan barang-barang dengan mata besar itu sedang
mengawasi perempatan. Gapura-gapura juga menarik
perhatiannya, terbuat dibandingkan batu merah, dan kadang
dihiasi dengan relief. Pada pagar batu itu kadang-kadang
terdapat ceruk berisi arca pula. Dan kadang ia menindas
tawanya sendiri melihat bentuk matanya yang seperti mata
peda.
Berbeda dengan di kediri atau jayamahanaya , pagar di sini
memicu rumah-rumah hanya kelihatan sirap atau
ijuknya. Dan tajuk nyiur selamanya menaungi pelataran
depan dan belakang setiap rumah.
Gedung kantor dagang itu belum lagi selesai
sepenuhnya. Pagarnya terbuat dibandingkan tembok batu tinggi,
namun gedung itu terbuat dari kayu dengan nampak batu.
Hampir semua tukang adalah kanjuruhan . Di tempat mana
pun mereka bekerja, penduduk dewasa, Laki-laki atau wanita,
berkerumun memperhatikan.
Seorang kanjuruhan yang berperawakan tinggi besar
mengawasinya sejak grobaknya memasuki pelataran. Dan
raden dapat melihat orang itu menunjukkan tak
senanghatinya akan kedatangan dan kermunculannya.
“Oh, Tuan raden sanggabuana bumikerta ,” tegurnya dalam
kanjuruhan , “tahu-tahu Tuan sudah ada di sini. Mengapa tak
kabar lebih dahulu?”
“Rupa-rupanya Tuan kurang senang memperoleh
kunjungan ini.”
“Suatu kehormatan,” jawabnya dengan muka masam.
”Kebetulan sekali ada kamar yang baru saja siap. Tuan bisa
segera masuk.”
“Apakah aku perlu memperlihatkan suratku?” sambut
raden menantang.
“Tidak, Tuan, bukan maksudku hendak menguji surat
dari jayamahanaya itu. Siapa tidak mengenal Tuan?” katanya lagi
mencoba agak bersabda . “Mari aku antarkan.”
Kamar itu baru saja selesai dibersihkan. Lantainya masih
kotor. Seorang Laki-laki Pribumi yang masih muda datang
membawa sapu lidi dan membersihkannya, lalu
memasukkan barang-barangnya dan menumpuknya di
sebuah pojokan. raden sanggabuana sendiri memberi petunjuk
bagaimana harus berbenah.
Sebuah peti berukir dipisahkan dari yang lain-lain dan
selalu berada di dekat bantal.
patih wirabuana kediri itu sama sekali tak heran melihat
Martinique sengaja memperlihatkan tak senanghatinya. Ia
sudah terbiasa melihat pembesar kanjuruhan yang
mencemburui kedudukannya, suatu kedudukan tanpa
pengawasan, selalu memperoleh kan nafkah pokok dari
kanjuruhan dan memperoleh tambahan pula dari sangkut-
pautnya. Lagi pula di dalam kawasan kanjuruhan ia harus
diperlakukan dengan baik, sekalipun di luar itu ia berada di
bawah setiap orang kanjuruhan . Sekarang ia memakai
haknya untuk dilayani sebaik-baiknya. Tidak mau bisa
mendatangkan kesulitan.
Dari dalam kamarnya yang masih berbau kapur itu ia
sudah dapat melihat roda kesibukan mulai berputar. Dan
semua disebabkan sebab kedatangannya. Ia sengaja
berlama-lama di kamar untuk memberikan kesempatan
pada Martinique menyiapkan ruang-tamu yang patut. Dari
jendela ia dapat melihat kesibukan di dapur. Dan taman
yang belum lagi siap itu sekarang dikerjakan dengan tenaga
Pribumi tambahan.
Ia tersenyum-senyum puas.
Ia lepas sepatu dan mulai bertiduran, lalu
merancang-rancang apa yang harus ia kerjakan. Tetaplah
sudah niatnya hendak kembali ke jayamahanaya dan mengakui
kegagalan kanjuruhan di kediri : bukan sebab kesalahannya
pribadi namun sebab kelengahan kanjuruhan sendiri, tak juga
datang pada waktu terbaik sebagaimana ia pernah sarankan.
Sekarang jatuhnya kediri ke tangan pajang bintoro sudah
melenyapkan arti jenggala itu untuk mengukuhkan
kekuasaan jalan laut di bagian selatan Nusantara. Tak ada
yang dapat menyalahkan bila ia tinggalkan kediri . Dengan
berkuasanya pajang bintoro di sana tempat itu kehilangan artinya
bagi kanjuruhan . Pada pihak lain gerakan penguasaan atas
seluruh Jawa oleh Trenggono sudah membantu kanjuruhan
dalam menguasai jalan laut di sebelah utara Jawa:
hubungan antar Jawa dengan panarukan akan putus sama
sekali dan rempah-rempah panarukan akan lebih sedikit
datang ke Jawa.
Bukan salah dirinya kalau tak berhasil. Perkembangan
sudah bergerak ke jurusan yang lebih menguntungkan bagi
kanjuruhan tanpa bantuannya. Pada akhirnya ia akan bisa
pulang ke Ispanya dan menghabiskan hari-tuanya di
Andalusia sebagai orang berada tanpa kekurangan suatu
apa, kecuali, bila antara kanjuruhan dan Ispanya terjadi
pertikaian berdarah lagi. Dan di Andalusia, sebagai seorang
Moro, ia takkan dan tak pernah mengalami kesulitan
selama ia mengikuti segala yang berlaku di lingkungan
hidupnya. Memang ia harus membayar pajak lebih tinggi,
memang banyak, terlalu banyak yang menghinakannya
hanya sebab ia seorang Moro, namun apa salahnya kalau ia
bisa bertenang-tenang pada hari tuanya?
Sebagai orang muda ia sudah tinggalkan semenanjung
lberia. Ia sudah tinggalkan anak dan istrinya. Dan ia akan
kembali sebagai orang tua yang sudah menyelesaikan tugas
membantu kebesaran yang sedang berkembang dan
membantu menenggelamkan kekerdilan yang sedang
menghilang. Itulah yang dinamainya tindakan peneracaan
sejarah pada masanya.
Waktu pelayan orang kanjuruhan datang ke kamarnya
dengan muka memberengut, memberitakan tuan
Martinique sudah menunggu di ruang duduk, ia pun
kenakan pakaian kanjuruhan terbaik. Terompah ia ganti
dengan sepatu. Celananya putih dan bajunya pun putih,
dengan kemeja berenda-renda kecil pada lehernya, namun
ia tetap bertarbus dan bertongkat.
Ia pandangi tubuhnya sendiri pada cermin sambil
memberengut juga, memprotes ketuaannya, menegakkan
bongkok, lalu tersenyum senang, bahwa tanpa
bongkok ia kelihatan lebih muda. dan berjanji takkan
membiarkan dirinya membengkok lagi Ah, berapa tahun
sudah diri tak bertemu cermin! Maka dengan badan tegak ia
kunci kamar dari luar dan berjalan menuju ke ruang duduk
Martinique sudah menunggunya sambil menghisap
segelintir kecil tembakau yang segera dimasukkan ke dalam
kantong lagi.
“Nampaknya Tuan ada keperluan penting,” Martinique
memulai, dan memperlihatkan wajah cerah.
“Bukan hanya penting, bahkan tak dapat ditangguhkan.”
‘Tentu saja. Barangkali ada yang dapat kuperbantukan ?”
“Pasti Tuan akan dapat membantu aku dengan sebuah
tempat yang sebaik-baiknya, di kapal yang pertama-tama
menuju ke jayamahanaya .”
Tentu itu suatu hal yang mudah, asal Tuan sudi
mengatakan dengan kapal kanjuruhan atau bukan.” ia
kelihatan lega mendengar itu, “Hanya soal tempat di kapal
itu saja, Tuan?”
“Untuk sementara.”
“Kalau begitu Tuan memiliki tugas lain.”
patih wirabuana kediri itu tertawa mengancam.
“Kalau begitu bersenang-senanglah Tuan di Panarukan
ini. Dalam beberapa hari ini mungkin akan tiba kapal dari
Timor untuk terus ke jayamahanaya ,” ia menajamkan
kewaspadaan. Bertanya lagi, “Kata orang pajang bintoro terus
mendesak ke timur. Benarkah itu. Tuan?”
“Kira-kira berita itu ada benarnya.”
“Mungkin kediri akan jatuh?”
”Terlalu sulit untuk bisa menjatuhkan kediri . Kalau
kediri mau. pajang bintoro bisa dipukul dalam beberapa minggu.”
“Oh.”
“Jadi Tuan menduga aku datang ke mari sebab
melarikan diri? Suatu dugaan yang jahat.”
“Tak ada aku memiliki dugaan seperti itu.”
Mata tua raden menembusi mata bening tuan rumah
dan mencoba menyusupi otaknya.
“Seperti sinar matahari yang tenggelam sekarang ini, demikian
juga pajang bintoro akan tenggelam di sebelah barat sana. Tuan
Martinique. Boleh jadi kediri dalam pertempuran akan bisa
terdesak sementara belum dapat menemukan bentuk
pertahanan yang tepat, namun sesudah itu kekuatannya akan
jadi berlipat ganda dan tak dapat dibendung lagi.”
“Sekiranya yang sebaliknya yang terjadi?”
“Maksud Tuan kalau betari lanku meleset?”
“Bukan meleset, Tuan raden . Tentu betari lan Tuan pasti
tepat. namun sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru
tidak menanggapi betari lan Tuan? Kalau kediri yang
jatuh?”
“Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya kediri
berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan
kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga
selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa
akan tertutup bagi kanjuruhan ,” raden tertawa menggigit.
“Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya memiliki
pikiran membuka kantor di sini?”
‘Tentu ada,” jawab tuanrumah gelisah, “aku hanya
menjalankan perintah.”
“Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun memiliki tenaga di
kerajaan Blambangan ini. Berdasarkan keterangan dia sudah
aku sarankan ke jayamahanaya , agar pekerjaan di sini tidak
diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan
laut parahyangan , sedang untuk itu cukup di Timor.
Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat membenkan
saran pada jayamahanaya ?”
“Apakah artinya aku ini?”
“Jawablah Tuan, itu menunjukkan Tuan ada
kepentingan pribadi dengan Panarukan.”
“Itu tidak benar.”
“Boleh jadi, namun aku akan bikin penyelidikan yang
teliti. Tuan Martinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya
istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang
mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan
bertenang di sini di luar segala pengawasan.”
“Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali
di sebelah sini.”
“Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang
hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih
sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang
lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan
usulkan pada jayamahanaya ?”
”Tiada sesuatu.”
“Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke
jayamahanaya , juga ke Luboa!”
“Itu terserahlah pada Tuan raden sendiri.”
“Jangan Tuan marah.”
“Pastilah setiap orang kanjuruhan akan marah bila merasa
disinggung kebesaran negerinya.”
“Apalah gunanya marah sebab merasa kebesaran
negerinya tersinggung, sementara itu membiarkan din
dungu dalam mengurus kebesaran itu? Untuk apa marah
kalau hanya hendak mencari jalan membalas dendam?”
“Apalah gunanya kita bertengkaran begini? Aku akan
berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari
dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya
seorang Moro.”
Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan
pejabat-pe-jabat kanjuruhan di perairan selatan, bahwa Moro
yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang
bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan
pejabat, tak ada yang menguntungkan. Sedang jayamahanaya juga
memerlukan dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya
di darat tidak lengah sebab kemakmuran dan kesenangan
sebab dimanjakan oleh raja-raja Pribumi.
“Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih
mengetahui kebusang yang betari durga kanjuruhan . Dia dapat melihat dan
mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya membuat
kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini? Tentu Tuan
pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa
bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda kacangtanah dari Barat!”
“Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku.
Tuan tidak memiliki wewenang untuk memeriksa pribadiku.
Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro.
Terlalu banyak orang kanjuruhan yang pandai, seratus kali
dibandingkan Tuan.”
“Tentu saja. namun apa yang Tuan katakan padaku juga
penting untuk jayamahanaya .”
“Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di
jayamahanaya sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak
suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.”
”Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku
tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara
hanya tentang kepentingan kanjuruhan . Sebagai orang kanjuruhan
tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan kanjuruhan ,
malah orang Moro begini, memiliki pikiran dan usaha untuk
kebaikan kanjuruhan .”
Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang
penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia memang tak
dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro kepercayaan
jayamahanaya ini. Justru sebab dia bukan kanjuruhan , kata-katanya
didengarkan oleh jayamahanaya , keselamatannya dijaga dan
permintaannya dikabulkan, biar pun hanya berupa lima
atau sepuluh ons kopi.
Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya.
Mudah untuk melakukannya. namun orang bisa takkan
melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat
pepohonan lagi. Ia tak dapat melakukan sesuatu kekasaran.
Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di
Panarukan.
Martinique sendiri memang memiliki banyak kelemahan di
hadapan raden sanggabuana bumikerta . Di pojok pulau Jawa
yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang
laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja
Blambangan Giri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara
ia memiliki hubungan baik. Di sini, dapat sedikit
menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan.
Tak ada orang kanjuruhan lain yang lebih tinggi
kedudukannya. Dari Sri Baginda Girindra Wardhana yang
sudah tua itu, ia memperoleh bantuan 400 orang untuk
pekerjaan membakar kapur dan batu bata dan membantu
pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan
dalam nilai uang, dan jayamahanaya harus membayarnya.
Keluarganya di negeri kanjuruhan sana terjamin. Dan benar
sekali kata raden sanggabuana tak ada pengawasan terhadap
dirinya di sini. Dan justru sebab semua itu ia tersinggung.
raden ini pasti akan bersuara di jayamahanaya sana. Ia pasti
akan ditarik dan Panarukan dan kembali memasuki dinas
lama. Mungkin seorang baru akan datang
menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan
sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia membenarkan
cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel,
gelisah, marah dan ingin membunuh si hidung bengkung
ini, namun tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu
terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak
malu-malu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual
jasa terbaik bagi nyi kanjeng blora. Dan jayamahanaya dan Goa memang
mengakui jasa-jasanya dalam membangunkan kekuasaan
atas jalan laut dan dalam membangunkan monopoli
perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan,
persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la
termasuk salah seorang perancangnya.
Martinique sudah mempersiapkan jalan untuk melakukan
pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia
akan kaget! tamunya ini dengan dendamnya. raden takkan
mungkin akan bisa membalas.
Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tamunya dengan
baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke jayamahanaya adalah
suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui
lalulintas kapal-kapal kanjuruhan , dan raden pun terkenal
memiliki kebiasaan menempuh banyak jalan untuk
menghubungi jayamahanaya , surat-surat, utusan atau kunjungan
pribadi. Dan bila ia ke jayamahanaya bukan tidak berarti jalan-
jalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa
kali bila toh hendak memhancur kannya di laut, sebab
suaranya toh akan datang juga ke jayamahanaya .
‘Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi
Saudara Cortez?” pada suatu hari Martinique membuka
perangkapnya. “Ia sudah berhasil membuka rumah
perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut
ditempuh untuk berjalan-jalan.”
patih wirabuana kediri itu sama sekali tidak memiliki
kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas
dunia ini. Perhatian pun ia tak memiliki , la tak menanggapi.
“Barangkali ada juga baiknya,” Martinique menyarani.
“Tuan mengenal baik penywise, bukan?”
Mata raden sanggabuana bumikerta yang besar itu
memancarkan pandang curiga pada tuanrumah.
“Tentu ada baiknya,” Martinique menemukan, “bukan
saja sebab penywise, rumah perawatan itu patut juga
dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman penywise.”
“penywise yang mana?”
“Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu? Tuan justru yang
lebih mengenalnya.”
‘Tidak, aku tak kenal.”
“Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan
sendiri yang menyuruh mpu jahalodang membawanya ke kapal
dalam keadaan terbius dan terikat?” Ia pura-pura tak
melihat tamunya nampak agak gugup dan membetulkan
letak tarbusnya. “Mungkin Tuan bisa memberinya sedikit
keterangan tentang penywise. Ia dipesan oleh adiknya, ibu
si pelarian itu.”
Tamu yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia
menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia
tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique
mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat
tamunya agak ragu-ragu, ia memberanikan: “Tak ada yang
perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blambangan ini
sama aman, mungkin lebih aman dibandingkan Lisboa atau
Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah arca sana.
Malahan di sini tak pernah ada pasukan patroli penjaga , tak ada
hermandad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa
berjalan senang dan aman sampai ke luar kota sana ”
patih wirabuana kediri itu berjalan, tertindih oleh
bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang
jalan, pagar dari suadipati batu karang itu juga yang
kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat.
Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap
tak tahu namanya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia
memerlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap
ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak
tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian
bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok
umpak.
Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di
pedalaman kediri sana. Anak-anak kecil berlarian di jalan-
jalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua
Laki-laki bertelanjang dada dengan gada wesi tersandang pada
pinggang.
Nampaknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya
yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang
bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya
yang berat.
Apa saja yang pernah dilihat orang Blambangan ini
dalam hidupnya, pikirnya.
Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang
pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya.
Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang
kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit.
Dengan pandang sekilas ia dapat membedakan mana
ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang
dada. Antara kesatria raja dengan petani terdapat perbedaan sikap
dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani
betapa perbedaan bisa terjadi hanya sebab kelainan tempat
dilahirkan dan dikandungkan. Perbedaan yang
menggelikan.
Sangat sedikit orang bisa jawadwipa di sini dibandingkan
dengan di kediri . Dan pada umumnya orang tertawa
mendengarkan ia berbahasa Jawa kediri . namun ia tidak
peduli dan meneruskan jalannya.
Rumah perawatan yang dimaksudkan sudah nampak dari
jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu
depan dipasangi dengan cakra besar dari kuningan,
mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan
kepala nya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya
selalu tertutup. Orang luar tak dapat melihat ke dalamnya.
Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah
orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya
seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor
dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha.
Wajahnya kemerah-merahan oleh kelelahan. Ia mundur
beberapa langkah. Dan wanita itu tak mempedulikannya,
lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi
serombongan kecil orang memburunya sambil berseru-seru
dalam bahasa Jawa setempat “Pogoh! Balik! Pulang1
Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!”
Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan
melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para
pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka
sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa
orang di antaranya sudah mulai tak mampu lari lagi. Semua
lebih tua dibandingkan wanita lesbian menggendong yang dipanggil
Pogoh, laki dan wanita lesbian .
la lihat Pogoh masuk ke pelataran rumah perawatan,
langsung menuju ke pintu bercakra kuningan, berteriak-
teriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya.
Pada salah seorang pengejar patih wirabuana itu bertanya
dalam Jawa: “Ada apa ini?”
Seorang Laki-laki menghampiri dan membuang i mukanya:
“Kalian orang nyi kanjeng blora busuk, di mana-mana mengganggu
kami!” tuduhnya.
la berhenti menghadapi raden . Dan raden menyeka
mukanya dengan selembar setangan putih.
“Jangan keliru!” raung raden , dan mengangkat tongkat.
“Aku pendatang baru.”
“Baru atau lama semua nyi kanjeng blora sama saja!” ia membuang
lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri
pada yang lain-lain.
“Keparat!” patih wirabuana memekik, mengamangkan
tongkat dan menyeka mukanya.
Di sana pintu bercakra itu terbuka. Seorang Laki-laki
kanjuruhan berpakaian pelaut memunculkan kepala dari
kiraian pintu, melihat pada Pogoh, lalu melihat pada
para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengembangkan
kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan
para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung
orang kanjuruhan .
Para pengejar tak berani menangkap wanita lesbian itu.
raden sanggabuana mempercepat jalan, dan tak lama
lalu juga sampai di depan pintu bercakra itu.
“Jangan sentuh dia, Pogoh,” kata para pengejar itu di
hadapan orang kanjuruhan itu.
“Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan!” kata
seorang wanita setengah baya.
patih wirabuana berdiri di belakang para pengejar itu,
terengah-engah.
“Lindungi saya , Bapa,” kata Pogoh dari belakang
punggung kanjuruhan berpakaian pelaut itu.
“Masuk cepat ke dalam,” perintah kanjuruhan itu sambil
sedikit menengok padanya.
namun Pogoh tak berani masuk. kanjuruhan itu
mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu.
”Ugh”
“Kembalikan Pogoh kami. Bapa,” wanita setengah baya
itu meratap.
Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu
bercakra itu. Bahkan melalui kanjuruhan yang seorang itu pun
tak berani.
“saya bapaknya, Bapa, saya berwenang
menyelamatkan dia,” Laki-laki yang membuang i raden itu
membela haknya.
“Kau takkan selamatkan dia,” bantah kanjuruhan itu dalam
Jawa setempat. “Kau dan kalian hanya akan aniaya dan
bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku.
Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin
dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian
sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang
bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri
juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.”
“Pogoh, Bapa,” wanita itu mengulangi ratapannya.
“Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam
keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.”
“Anak saya . Bapa,” wanita itu merengek, “juga cucu
saya . Bapa.”
“Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda
mengetahui ini dan menghukum kalian,” ancam kanjuruhan
itu.
Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan
pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat raden berdiri di
situ orang Laki-laki setengah baya itu membuang i lagi ditambah
dengan sumpahan.
patih wirabuana mengayunkan tongkat dan si pepukul tidak
menggubrisnya, malahan membuang inya lagi. Sekali ini ke
tanah. Dan sekali lagi raden terpaksa mengeluarkan
setangan dan menyeka muka.
kanjuruhan berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan
pintu di bawah cakra kuningan waktu patih wirabuana itu datang
padanya dan mengulurkan tangan.
“Selamat pagi, saudara Cortez,” katanya dalam kanjuruhan .
Cortez mengawasi kanjuruhan kehitaman itu sejenak,
mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum
terpaksa berkata: “Selamat pagi. Siapakah yang aku
hadapi?”
“patih wirabuana kediri , Saudara Cortez.”
“O-ya, Tuan patih wirabuana kediri . Sudah beberapa hari ini
aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke jayamahanaya .
Mari masuk.”
Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti
berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai,
sedang anaknya sedang merangkak-rangkak.
“Lindungi saya , Bapa.”
“Apakah semua ini, Saudara?” tanya patih wirabuana dalam
kanjuruhan .
“Hanya kejadian sehari-hari,” lalu dalam Jawa
pada Pogoh: “Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini.
Pogoh namamu, bukan?”
patih wirabuana menebarkan pandang selintas. Ruangan
besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa
orang wanita sedang bekerja membersihkan lantai dan
dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat
wanita dan hanya wanita atau bayi.
“Semua wanita lesbian ,” katanya lalu .
“Bangunlah kau, Pogoh,” kata Cortez dalam kanjuruhan .
Pogoh yang menengadahkan muka itu nampak bermandi
airmata.
“Bangun, kau!” raden sanggabuana bumikerta menjawakan.
“Makhluk celaka di negerimu sendiri ini,” kata Cortez
dalam Jawa pada raden sanggabuana . “Seperti Pogoh ini,” Ia
menuding pada wanita itu. “Lari dari bangsanya sendiri.
Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suami meninggal dan
sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.”
“Bukan saya menolak mengikuti suami saya ,”
Pogoh memprotes.
“Bangsa pemberontak , jahil celaka,” kata patih wirabuana dalam
kanjuruhan .
“Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua,” kata
Cortez dalam Jawa. “sang hyang Widhi Bapa, melindungi.”
“saya tidak bunting, Bapa,” protes Pogoh.
“Bangkit kau berdiri.” perintah Cortez pada Pogoh
dalam kanjuruhan .
Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya
dan menangis minta dada.
Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia
berdiri membungkuk, mengawasi lantai dan memprotes
dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun
patih wirabuana mencangkung untuk dapat menangkap:
“Bukan saya kurang atau tidak berbakti pada suami.
Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada saya .
Cuma saya tak ada keberanian melompat ke dalam api,
meliuk-liuk dan menyeringai, lalu jadi arang dan
debu kelabu tiada bentuk. saya selalu ingat pada anak
saya yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan
merawatnya.”
‘Takkan ada orang akan mengambil kau dari sini tanpa
semaumu sendiri,” Cortez mepercaya kan. Kau berada di
tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan
bekerja dengan mereka.”
“Anak saya , Bapa.”
“Anakmu juga selamat di sini.”
“saya lari dari api sebab anak ini.”
“Beristirahat kau barang dua-tiga hari. Tenang-
tenangkan hatimu.”
“Kau masih akan memiliki anak lagi,” kata patih wirabuana .
Cortez memandangi patih wirabuana untuk mencegahnya
ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan
meneruskan: “Dan seorang lagi, dan seorang lagi….”
“saya orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak
dan beranak saya larikan diri dari suami-dewa saya .”
“Diamlah Tuan,” kata Cortez dalam Jawa pada
patih wirabuana .
“Diamlah kau,” kata raden dalam Jawa pada Pogoh.
Cortez nampak tak bersenang hati melihat campur-
tangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh
menyuruhnya masuk ke dalam. lalu pintu dalam itu
ia tutup.
“Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini,”
patih wirabuana memulai.
“Bukan, Tuan patih wirabuana , kami baru membuka ladang.
Menyebar benih pun belum.”
“Bagaimana rencana Tuan dengan mereka?”
“Ummat Nasrani makin lama makin banyak datang dari
segala pojok dunia untuk melihat Panarukan. Kapal-
kapal kanjuruhan mengarungi semua samudra. Pada suatu kali
barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan
berangkat dengan mereka sebagai domba yang maha pencipta . Anak-
anak yang dibesarkan di sini akan mengembarai bumi
tumpah darahnya membawa terang pada bangsanya….”
Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan
wanita-wanita pekerja itu sudah masuk semua ke dalam.
patih wirabuana membelokkan percakapan pada maksud
kedatangannya.
“Adapun tentang penywise, kemenakan Saudara
Cortez, para bala tentara kediri sudah membunuhnya. Mayatnya
dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku
beritakan dengan dukacita kepada Saudara.”
“Yesus Maria!” sebut Cortez dan membuat cakra dengan
jarinya. “Benarkah Tuan ini?”
‘Tidak ada yang lebih benar dibandingkan itu, Saudara.”
“Tuan mengetahui betul?”
‘sudah aku bikin penyelidikan yang teliti.”
‘Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar.
Tuan. Di blora sana orang mengabarkan bukan para bala tentara
kediri yang membunuhnya, walau pun dia dan temannya
memang dijatuhi hukuman mati. Jelas para bala tentara kediri
memang akan membunuhnya,” ia pandangi patih wirabuana itu
seakan baru saja dilihatnya. “Tuan patih wirabuana kediri ,
bukan?”
“Tidak keliru, Saudara.”
“pakanewon Habibullah Al-Masawa, bukan?”
“Benar, Saudara Cortez, pakanewon Habibullah Al-Masawa.”
“Alias pakanewon adipati Al-Badaiwi, bukan?”
patih wirabuana kediri ragu-ragu. Matanya mengerjap-
ngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya
diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya
mengandung maksud buruk.
“Alias raden sanggabuana bumikerta , bukan?” Cortez
meneruskan. “Ya, itulah kata orang di blora sana, orang-
orang kanjuruhan , maksudku. Mengapa Tuan diam saja?”
Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiap-
siap hendak melakukan sesuatu, ia mebersabda kan wajah dan
tersenyum ikhlas meneruskan: “Melalui nakhoda kapal
Lisboa tentu Tuan masih ingat kapal itu, bukan? melalui
nakhodanya, jayamahanaya sudah menebus pada Tuan untuk harga
kemenakanku dan temannya bernama fredy krueger . Benar
begitu, bukan?”
Nafas raden sanggabuana terengah-engah seperti habis
mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembang-
kempis seperti insang ikan di darat.
“Mengapa Tuan diam saja? Yesus Maria! Beginilah
macamnya seorang pembunuh? Keluar! Mengotori tempat
ini dengan kehadiranmu? Penjahat paling hina yang pernah
ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!”
Dan patih wirabuana itu masih kehilangan kepribadiannya.
Matanya kelap-kelip memandangi penuduhnya yang
kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan
masuk ke dalam melalui pintu dalam.
“Astagafirullah!” sebut raden lalu . Dengan
perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan
dan langsung pulang ke kantor dagang kanjuruhan .
Sampai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran.
Perkara itu nampaknya sudah diketahui oleh orang-orang
nyi kanjeng blora di blora, dan barang tentu di jayamahanaya juga, di Goa
dan tumapel , di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga
kira-kira di panarukan : raden sanggabuana bumikerta sudah
menerima uang tebusan buat dua orang kanjuruhan pelarian,
lalu ia sendiri yang membunuhnya. Memang benar
ada saksi yang menyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi
juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja
mungkin belum begitu. namun berita ia sudah membunuh
mereka? Membunuh orang kanjuruhan Moro membunuh
orang kanjuruhan ? sekaligus dua?
Dan sekarang ia merasa menyesal tidak membantah
Saudara Cortez berdepan-depan.
Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui.
Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku sebab
sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan
jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan
bekas kebakaran.
Ia dengar-dengar suara betari i di depan kamarnya. Tak
salah: suara Martinique. Dan ia merasa lelah untuk keluar.
Kalau semua orang kanjuruhan tahu siapa pembunuh mereka,
negeri kanjuruhan dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat
diinjaknya. Dengan senang hati baik gada nyi kanjeng blora
maupun Ispanya akan berjasang yang betari durga pada tubuh seorang Moro
terbenci.
Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua?
Ia merasa Martinique memang sengaja mondar-mandir
di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke
luar. Ia akan bertahan, Bertahan!
“Aa, Tuan raden sanggabuana !” seru Martinique dengan
suara bernada kemenangan. “Mari duduk-duduk. Hari ini
ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit
macan dari raja Klungkung di Bali sana,” ia menuding ke
arah pulau Bali. “Aku ada rencana untuk jayamahanaya , Tuan.
Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai permadani
bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda
dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa
berpermadani kulit macan. Bayangkan, Tuan.”
“Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana
Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika
dengan kepala utuh sudah dipakai untuk lapik
bercengkebetari , berdeklamasi, berbicara tentang obat-
obatan baru…”
“Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina.”
raden sanggabuana tertawa meremehkan. Martinique
menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan
baru: ‘Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara
Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu
betul tentang nasib penywise dan temannya itu. Siapa pula
namanya? O, ya, fredy krueger . Aneh, orang-orang kanjuruhan
dengan nama blambangan . Ah-ya, mungkin saja.”
“Aku tak tahu tentang itu.”
“Mengapa Tuan terburu-buru ke rumah Saudara Cortez
seperti memperoleh panggilan dari seorang kekasih? Dan
mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu
macan?”
patih wirabuana kediri megap-megap sebentar. Ia raba
dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai
begini lemahnya.
“Baiklah kalau Tuan tak suka membicarakan soal
pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin
mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari
aku yang mengurus pelarian-pelarian itu waktu diserahkan
oleh mpu jahalodang ke kapal.” Tiba-tiba ia mengalihkan
pembicaraan. “Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan
berangkat pada hari itu juga. jayamahanaya akan bersorak-sorai
menyambut Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang
hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang
kanjuruhan !”
“Seorang pengabdi kanjuruhan takkan membunuh
kanjuruhan ,” bantah raden .
“Sia-sia, Tuan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di
dermaga kediri ? Ada seorang saksi ketika kilat memancar
dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu,” ia menuding pada
hulu gading tongkat tamunya, “pada salah seorang di dalam
krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil?”
‘Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi!”
bantah raden .
Martinique tertawa terbahak. Dan raden menjadi pucat
sesudah ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui
tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya
yang sudah jadi begitu lemah.
“jadi betul Tuan ada di dermaga waktu itu. Dan Tuan
mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat? sebab
jayamahanaya sudah menunggu Tuan? Dengan tiang gantungan?”
“Coba Tuan terangkan’ patih wirabuana itu berlunak-lunak,
“bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku membunuh
mereka?”
“Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di jayamahanaya
sana. Pasti Tuan akan merasa puas.”
“Baik!” jawabnya untuk memutuskan persoalan yang tak
menyenangkan itu. “Bersama dengan kulit macan dari Bali
itu.”
namun Martinique belum lagi puas dalam membalaskan
dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya:
“Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di jenggala kediri
yang bernama… ah, siapa pula namanya itu, oh, ya,
mpu jahalodang,… bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarian-
pelarian itu di kapalku dahulu ? Ya-ya, mpu jahalodang namanya.
Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali
melihat warungnya. Dia berdayung memantai dari timur,
sampai di dermaga naik, kilat menyambar, dan melihat
Tuan, tidak lain dari Tuan patih wirabuana kediri bermain
pisau tongkat…. Itulah dia si mpu jahalodang pelarian. Dan tongkat
di tangan Tuan itulah yang Tuan mainkan. Berani bertaruh,
dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,”
“Semua orang tahu, pewarung arak selalu menipu.”
“Dan Tuan selalu bersedia membayar tipuannya, bukan?
Aku juga membeli dari dia seperti Tuan.”
“Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang
itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita
cedera pada pedalaman dirinya. “Siapkan kulit-kulit macan
Tuan, biar aku kawal ke jayamahanaya .”
Ia melangkah ke arah biliknya kembali.
Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah
penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar
aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu
menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke jayamahanaya .”
Dan sebetulnya ia takut juga.
wah
Pada hari yang sudah ditentukan Martinique
mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan
sudah dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang raden
sanggabuana masih menumpuk di dermaga.
patih wirabuana itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya
cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambat-
lambat seakan bongkoknya, menjadi 30 kali lebih
berat.
Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambat-
lambat ia berjalan mendekati bersama Martinique.
Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi
yang bicara lantang pada para pendengarnya: “Pada hari ke
dua, teman-teman. ki glodog ireng dari pasukan kuda
kediri menghalau pajang bintoro dari kediri . Ia tidak rela
pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main ki glodog
ireng . pajang bintoro mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti
air banjir membongkar tanggul ki glodog ireng terdesak ke
timur. namun sebelum sampai ke kota. Kala chucky Patih
kediri Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya
memotong dari selatan. Air banjir pajang bintoro patah di tengah
seperti saluran kejasang yang betari durga sekaten. Pasukan pengawal kediri
menceburkan diri di dalam kancah. lalu pasukan
kaki kediri memukul dari luar kediri . Hampir-hampir
Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki.
Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang
menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat
benar kediri ! ki glodog ireng ! Kala chucky ! Rangkum! dan
Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke kediri hari ini. Hari
ini juga. Siapa ikut boleh turut!”
“Aku ikut!” seru patih wirabuana kediri . “Pindahkan
barang-barang ke dalam perahumu!” perintahnya.
‘Tuan tidak jadi ke jayamahanaya ?” tanya Martinique.
raden sanggabuana bumikerta tak menjawab, dan orang
mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu
layar kediri .
“Bedebah!” maki Martinique.
patih wirabuana kediri buru-buru turun ke perahu kediri .
0odwo0
37. Panjang Jayakarta
Bulan Juli 1527
Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran
melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar
antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan
keduanya mendayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di
daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari
armada suryabuaya -pajang bintoro .
Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau
Sumatra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau
Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar matahari dari sebelah barat.
Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru
dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada
permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara
sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang
dipasangi dengan baling-baling bulu ayam putih
menghasilkan layur.
Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah
pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang
pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau
kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata.
Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya
hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara
hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa
diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh.
Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau
dilewati. “Mengapa kau tak pernah bercerita?”
Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan
tangan, memandanginya sambil tersenyum dan membuang
muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerah-
merahan seperti buah tomat menjelang matang.
“Tentu sebab ingat pada rumah,” desak Pada. “Mereka
sekarang tak ada di rumah lagi, baginda tuanku raja ,” jawabnya dengan
suara dan lagu menyanyi bening itu. “Mereka semua sudah
melarikan diri masuk ke hutan-hutan.”
“Ya, baginda tuanku raja , sebab kita lari. Mereka akan menerima
hukuman dari Sri Baginda. sebab patih lari. Mereka akan
dihukum oleh Sang Patih Narogol.”
“Mereka akan dapat menangkap kasut kami.”
Sabarini mendengus tertawa.
“Betapa besar dosaku pada mereka.”
Sabarini mengayuh cepat-cepat.
“Bagaimana harus kutebus dosa kita?” Pada bertanya.
“Tidak perlu. baginda tuanku raja . Bapak saya sendiri yang bersalah.
Jangan jadi fikiran, baginda tuanku raja . Mereka akan lari ke hutan-hutan,
berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup
tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda.
Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali mereka
akan turun ke Sunda kacangtanah .”
“Nampaknya kau tak berprihatin.”
“Bukankah sudah cukup lama patih berprihatin?”
“Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.”
“Ya baginda tuanku raja ,” Sabarini mulai suka bicara. “Di desa kami
gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat
muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut
kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan
dibawa ke Pakuan. patih sendiri tumbuh jadi gadis tua
sebab ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak
berani melamar patih . Orang memandang patih dengan
belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk
seorang selir.”
Pada mendengarkan suara bening istrinya yang
bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara
sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk memberanikan.
Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih
indah dibandingkan kebenaran yang terkandung di dalamnya:
“Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita,
baginda tuanku raja . Janganlah baginda tuanku raja menjadi risau. Semua akan
bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan
seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia
membantu dan melindungi dan berkorban tahu mereka
bakal mati di ujung tombak. baginda tuanku raja sama sekali tak berdosa
pada mereka.”
“Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak
suka bicara seperti orang-orang lain?”
Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum.
lalu menunduk malu.
“Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di
tengah laut tanpa saksi begini?”
“Ah, baginda tuanku raja , baginda tuanku raja tidak tahu bagaimana perasaan patih .
Bagaimanakah patih harus lewatkan kebahagiaan ini
dengan hanya bicara?”
“Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku baginda tuanku raja .”
Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. “Sekarang
ceritakan tentang kebahagiaanmu.”
Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal
kelahirannya, dan tentang kepala desa dan seluruh
penduduk desa yang tak berani mempersembahkan duduk-
perkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia
menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia
bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang
yang berani membela dan melindunginya, ia akan membela
dan melindungi dirinya sendiri.
“Apabila patih berhasil dalam usaha patih ,” Sabarini
meneruskan, “patih akan mengembara jauh, jauh entah ke
mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. patih lulus,
lalu datang seorang pangeran dari suryabuaya , yang
sekarang memperistri patih . Pangeran itu harus lari dari
kejaran para bala tentara Pajajaran. patih pun akan jadi orang
kejaran. Mengapalah patih takkan lari dengannya?”
Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di
mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus
diambil. Dan keputusan itu juga diambil secara tepat Dan
tidak lain dari Sabarini yang berjasa.
“Begitulah sang hyang Widhi mempertemukan kita. Segala puji-
pujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia
bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu patih .
Terganggu perasaanku mendengar itu. “Aku sama sekali
bukan seorang pangeran”.
Pada memperhatikan perubahan pada airmuka istrinya.
Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran,
dianggapnya wanita lesbian itu tak begitu mendengarkan.
“Aku sama sekali bukan seorang pangeran,” ia
mengulangi.
“Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak?
Seorang pangeran takkan menanggapi istrinya
sebagaimana suamiku menanggapi diriku’
Pada agak kecewa melihat Sabarini tidak terkejut
“Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani
biasa, sebab seorang petani hanya sederhana, tidak
ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu
tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak
bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula
kulihat, tamu agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang
orang biasa dalam pakaian kebesaran.”
“Sabarini!” gumam Pada sesudah mendengar begitu
banyak kata tercurah. “lihat, jenggala Panjang sudah mulai
nampak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi
Sumatra.”
sinar matahari mulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal
muncul dari balik-balik gunung di daratan Sumatra. Angin
kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut
raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah
mengancam. resi h mengaum dari kejauhan dan kilat sam-
bar-menyambar di cakrawala.
Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan
terpancari sisa sinar sinar matahari nampak di kejauhan, di tentang
kaki langit.
“Armada nyi kanjeng blora,” gumam Pada. “ayolah , dayung
cepat.”
Mereka mendayung cepat-cepat memasuki pelabuhan
Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai
mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur
angin seperti langsung dilemparkan dari langit.
Sesudah mencancang perahu pengantin baru itu dengan
membawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke
dalam sebuah bedeng yang sudah penuh dengan tumpukan
kranjang lada.
Seorang penjaga memberi tempat berteduh pada mereka
di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari
angin dan air.
Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada
sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak
kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan
nampak belum lagi lama didirikan.
Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal nyi kanjeng blora
akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di
panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan
jatikerto sesudah lolos dari blokade armada suryabuaya -pajang bintoro .
Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak
jadi jenggala betari i. Saudagar dari Sunda kacangtanah , jatikerto dan
Cimanuk berlomba-lomba memindahkan kegiatannya di
sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan
rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam
kurang dari setahun Panjang akan sudah sangat berubah.
Kemakmuran sudah menarik orang-orang dari pedalaman
untuk bekerja di jenggala sehingga pedalaman kekurangan
tenaga untuk mengurus pertanian dan panen lada. Beras
pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan
minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga
yang tinggi.
Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa
kemakmuran bisa berpindah-pindah dari jenggala yang satu
ke yang lain. Dan bila armada suryabuaya -pajang bintoro terus-menerus
menindas jenggala -jenggala lain dan membuat nya jadi jenggala
tak bebas, Panjang bisa menggantikan jayamahanaya atau blora.
Sesudah berunding dengan istrinya mereka bersepakat
menunda pelayaran ke jayamahanaya untuk melihat-lihat Panjang
lebih lama.
wah
Armada kanjuruhan itu tak mau berkisar dari tujuan
semula, menolak berlindung di jenggala Panjang.
ki ageng argomerta , pemimpin armada, adalah seorang
muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan
bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat
dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurumudi,
wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin
armada.
Menurut perintah yang diterima ia harus memulai
pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda
kacangtanah selama setengah tahun dengan menurunkan para bala tentara
dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke
jayamahanaya membawa lada dari Panjang.
namun ia juga memiliki rencana pribadi. Ia akan selesaikan
pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda kacangtanah . Yang tiga
bulan lagi akan dipakai nya untuk membangun
kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk
kanjuruhan . Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa
jadi pemimpin kanjuruhan di Asia yang berkedudukan di
jayamahanaya .
Ia tak menanggapi kekuatiran anak buahnya
sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun
semakin menggunung. Satu mata taufan sudah menerjang
armada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan
tenggara. Beberapa tiang kapal sudah patah dengan layar
compang-camping. Laut yang ditekan taufan itu
menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulung-
bergulung. Beberapa kapal sudah patah kemudi, dan tanpa
daya diseret terus dalam cengkebetari n gelombang.
Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut,
menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau
dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar muncul dari
balik puncak ombak. Dengan tenggelamnya matahari alam pun
menjadi kelabu hitam. Curah hujan memicu orang tak
bisa lagi melihat ke depan.
Semua layar sudah digulung, namun deras angin
menghalau mereka ke selatan.
Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan
adanya manusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lentera-
lentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari
ki ageng argomerta pada kapal-kapalnya yang tak
terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantam-
hantamkan kaki pada geladak, memaki dan menyumpah.
Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal
curahnya dan kilat sabung-menyabung merajai alam.
Bagi ki ageng argomerta hanya peristiwa yang sekali ini saja
ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila
sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan
runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu
kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di
waktu dekat mendatang.
Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda kacangtanah !
Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi namun
atas nama kanjuruhan : pembalasan dendam atas kediri yang
sudah berani menghina beberapa tahun yang lalu.
Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan
dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho
sudah menyelonong paling depan, kadang berputar dalam
mata taufan, kadang mendorong permukaan laut, lalu
meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas
kemudinya sudah patah dan tak ada satu tiang pun utuh.
Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas,
lalu dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke
dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal
berapungan muncul -tenggelam di puncak-puncak ombak.
Petir menyambar. Sebuah kapal pecah, miring,
lalu tenggelam.
“Jesus Maria!” sebutnya. “Pantang mundur! Maju terus!
Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.”
di kuil rat-di kuil ratnya memerintahkan: Maju terus!
wah
Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat
keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar
kucing kapal itu lalu terangkat ke udara dan terbang
dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia
menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar
ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, lalu
jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan
pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas
kapal menancap pada dasarnya.
Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah
berentakan, Manusia di dalamnya kehabisan daya, adalah
laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami
cedera, itu pun hanya sebab kebetulan.
Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan
lengan patah. Namun ia masih mampu memberikan
perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah:
“Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!”
Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran
melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya
hanya semak-semak rawa.
“Terdampar jauh di darat!” seorang di antaranya berseru.
“Sayang kapal sebagus ini.”
Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan
mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi
mengembalikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke
jurusan tenggara.
“Terdampar jauh di darat!” kata kelasi itu.
Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. sinar matahari
baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan
melemparkannya ke tanah. lalu ia berdiri di atas
batang pohon kacangtanah rebah dengan akar-akarnya jadi
pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon
lain.
‘Terdampar di tengah-tengah rawa!” serunya ke atas.
Juga tak ada sambutan.
Mereka naik lagi ke atas, langsung memperoleh kan Duarte
Coelho yang pingsan tak sadarkan diri.
wah
centeng -centeng pajang bintoro yang bertugas menjaga
perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di
belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan
mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti.
Daerah itu tak pernah dimasuki orang selama ini. Orang
gentar pada demam rawa yang membunuh. Maka ia lari
memperoleh kan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu.
Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawa-
rawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik
di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak
berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila
yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang
lalu masuk berbareng dengan tombak di tangan dan
gada di pinggang. Dan mereka memperoleh kan kapal
kanjuruhan yang sudah compang-camping tanpa tiang tanpa
layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal
sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya
seorang kanjuruhan ia lihat bergerak di dalam kapal itu.
lalu seorang lagi.
Monyet pada memekik-mekik dan burung-burung
bernyanyi seperti lima ratus tahun yang lalu. Tak ada buaya
nampak di sekitar.
Mula-mula para centeng berunding berbisik-bisik,
lalu mendengar-dengar kan lagi. namun di atas kapal itu
sunyi saja. Seorang centeng mengambil batu dan
melembarkan pada kapal Seorang kanjuruhan muncul dan
melihat ke bawah, lalu pergi lagi.
Peratus memerintahkan menyerbu. Mereka turun ke air,
langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik,
semua mendongakkan kepala ke atas.
Barisan centeng di belakang datang membawa batang-
batang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik.
Dua orang kanjuruhan dengan gada di tangan menghantam
setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu.
Dan melihat semakin banyak orang datang membawa
batang, mereka pun memakai musket dan menembaki.
Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang
nyi kanjeng blora itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya
menukik dari atas dan kepala nya menancap pada lumpur
dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air.
Seseorang menghantamkan gada nya, dan tubuh itu
lalu rebah.
Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik
ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah
dengan tombak dan gada terhtumenggung dijoyo . Yang mereka
dapatkan hanya tubuh-tubuh nyi kanjeng blora yang
bergelimpangan tanpa daya.
Tombak dan gada menghabisi mereka tanpa
perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte
Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba memberikan
perlawanan. Pertarungan dengan gada sebentar berlaku.
Baja beradu baja berdentingan sebentar lalu padam
sama sekali. Sebilah tombak sudah melumpuhkan Duarte
Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar.
centeng pajang bintoro bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai
bergelimpangan.
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte
Coelho masih sempat bicara dalam jawadwipa : “Kami datang
untuk bersahabat.”
Ia sudah tak mendengar lagi waktu centeng pajang bintoro
menjawabinya.
Tak antara lama seratus centeng lagi datang. Seluruh
kapal compang-camping itu diperiksa. Semua benda
dikumpulkan di geladak termasuk 9 pucuk gada rujakpolo ,
peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas
tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat
kebaktian, patung dan cakra milik pribadi awak kapal.
Peratus itu memerintahkan menurunkan semua dan
mempersembahkan pada Fathillah. Demikian mereka
mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak
yang baru diretas.
Sebagian dari para centeng memperoleh perintah membuat
jembatan untuk menurunkan gada rujakpolo dan barang-barang
berat lain. Sebagian memperoleh perintah membuat tali. namun
sebagian besar melakukan pengangkutan.
Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini
riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan
melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan
air minum dan makan siang.
Tengah hari Fathillah sendiri memerlukan datang dan
melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai
pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam
renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak
dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan
tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke jenggala .
Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari
penanggulan pesisir jenggala yang menghalangi pasang-surut
air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak memiliki dugaan
sesuatu, mabok memperoleh jarahan.
Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang centeng
tambahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan
melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barang-
barang besar.
Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi
menghadapi tanah lapang.
Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rumah ini.
Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk
melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya.
Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya
menunggu datangnya gada rujakpolo -gada rujakpolo rampasan. namun
barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa
melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran
luruhan dedaunan.
Waktu musket-musket datang ia keluar dari markas dan
memerintahkan membongkarnya dari ikatan.
Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan
membagi-bagikannya pada mereka, lalu sendiri
memberikan petunjuk bagaimana memakai nya. Dua
ratus pucuk sudah dirampas pada hari itu.
Seorang centeng mempersembahkan padanya sebuah
bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki
dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti
pada kaki seorang centeng , tanpa jagang.
centeng , yang menduga bola itu barang sihir, melompat
lelah . Ketakutan memicu wajahnya nampak jadi
ungu.
‘Tendang!” perintah Fathillah.
Bola itu ditendang oleh centeng lain lagi, menggelinding
dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh
ke laut benda itu sudah penyek.
Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh
Fathillah. Ia memeriksanya sebentar lalu
memakai nya untuk meneropong laut lepas. Benda itu
ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya.
Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu
diperiksanya, lalu dipendek-panjangkan. Meneropong
lagi ke laut lepas. lalu melihat dengan mata telanjang
pada ke jauhan dan meneropong lagi.
Ia berpikir sebentar. lalu bertanya pada pengiring
yang berdiri di belakangnya; dalam jawadwipa : “Coba lihat
sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk
ini?”
“Ada patih lihat, baginda tuanku raja , namun tidak jelas,” jawab pengiring
itu, juga dalam jawadwipa .
“Apa yang kau lihat?”
“Beberapa titik putih. baginda tuanku raja .”
“Coba dengan ini.”
Pengiring itu memakai teropong, melepas dan
memakai nya kembali, melepas dan memeriksa kaca-
kaca teropong, lalu meninjau dengan mata telanjang
dan memakai nya lagi.
“Apa kau lihat?”
“Tiga kapal asing, baginda tuanku raja , dengan teropong ini.”
Fathillah mengambil teropong itu dan memakai nya.
lalu dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya
melihat ke kejauhan, sesudah itu disuruhnya dengan
teropong.
“Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, baginda tuanku raja ,
sedang menuju ke Sunda kacangtanah .”
“Pengangkutan gada rujakpolo supaya lebih cepat!” perintahnya
pada yang lain.
Dan gada rujakpolo yang sudah ada ia perintahkan dipasang di
belakang bentengan kayu bakau-bakau.
“Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus
centeng lagi untuk mengangkut!” perintahnya pada seorang
peratus pajang bintoro .
Orang itu lari untuk menjalankan perintah.
Lima pucuk gada rujakpolo sudah terpasang di balik bentengan.
Fathillah sendiri memberi petunjuk cara memakai
sebagaimana pernah didengar-dengamya dari palawa ia dan
Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke
tangan.
Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa
perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat
merampas semua kapal kanjuruhan yang datang dan
merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus
depa.
“Hentikan pengangkutan!” seorang peratus meneruskan
perintah Fathillah. “Siapkan gada dan tombak.”
Moncong-moncong gada rujakpolo rampasan sudah ditujukan
pada sisa armada ki ageng argomerta yang mendatangi. Semua
terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua
orang berbesar hati dengan adanya gada rujakpolo .
Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan
pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki.
Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal
itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya
tumpas.
Panglima-Laksamana-Gubernur meneropong dan
meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu
semakin lama semakin membesar. Juga nyamuk semakin
giat menyerang mereka yang bersiaga dalam keadaan diam.
Betapa lama. Dan memang lama.
Kapal-kapal itu ternyata tidak memasuki muara
Ciliwung. Tiga-tiganya membuang sauh jauh dari darat.
Lama, lama sekali rasanya, baru lalu mereka
menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani gada rujakpolo
tanpa pernah berlatih sudah gatal tangan untuk segera
menembak. Mereka yang memperoleh pembagian musket juga
tanpa pernah berlatih sudah gelisah. Setidak-tidaknya
prajurit kerajaan suryabuaya -pajang bintoro sedang dalam semangat tinggi.
Kapal-kapal mulai menuangkan centeng nya ke semua
sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara
Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang.
Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke
atas, lebih tinggi dari kepala mereka. Dari tempatnya yang
terlindung Fathillah meneropong. “Mereka turun ke sekoci
dengan tangga tali’ ia memperingatkan. “Hati-hati. Mereka
kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. nyi kanjeng blora tetap
nyi kanjeng blora. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi.
Mereka lebih suka tewas dibandingkan bertekuk lutut. Jangan
gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya’
para bala tentara -para bala tentara kanjuruhan itu diturunkan di tepian muara
Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk
meneruskan pendaratan.
“Awasi setiap gerak-geraknya,” Fathillah menekan
kekecewaan sebab yang turun mendarat seluruhnya hanya
berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu
tetap terjaga dari dalam.
Dari teropongnya ia melihat gada rujakpolo -gada rujakpolo kapal
ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya
tembak cetbang.
“Mereka yang mendarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya
lalu ditembaki, tenggelam atau lan tersapu.”
Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak
bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya
dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya
terhias selempang merah Itulah ki ageng argomerta .
para bala tentara -para bala tentara yang sudah turun mulai dibariskan.
ki ageng argomerta berjalan dalam iringan tiga orang.
lalu seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka
menuju ke lapangan jenggala . Dan bansan itu berhenti.
ki ageng argomerta berhenti, meninjau ke segala penjuru.
Nampaknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada
orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu
sama sekali Sunda kacangtanah sudah jatuh dan tangan Pajajaran
pada pajang bintoro , la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke
samping, lalu kembali ke barisan.
Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung,
ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang
tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya
tercancang rapi seperti suadipati ikan. Semua tanpa manusia.
la kembali lagi pada barisan.
Seorang pengiring memberikan pikiran padanya,
mungkin penduduk Sunda kacangtanah masih ketakutan pada
taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa
membantah, sebab bukan adat pelaut lari dari angin.
Mungkin sedang merayakan pesta di pedalaman.
Seorang pengiring lain menyarankan untuk membawa
naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau
kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa memberikan
jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu
dengan Pangeran Sunda kacangtanah , Gubernur jenggala , untuk
segera bisa memulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak
mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan
Sang Gubernur.
Dan di mana pula patih wirabuana ?
Dari pengalaman di kediri ia mengerti, bila seorang
patih wirabuana tak datang menyambut sewaktu kanjuruhan
datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Di mana patih wirabuana ?
Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun
tinggal lengang tak bermanusia.
Tak tahan terkepung oleh kesenyapan ki ageng argomerta
menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor
patih wirabuana dan berteriak kencang; tangan dicorongkan
pada mulut: “patih wirabuana ! patih wirabuana !”
Hanya deburan laut jua yang menjawab.
Ia memberikan perintah agar pasukannya bergerak maju.
Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke
tempat kantor patih wirabuana , lalu membelok ke kanan
menuju ke tempat tugu perjanjian kanjuruhan -Pajajaran.
ki ageng argomerta menjadi murka melihat tugu itu sudah
hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi
empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan
mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan
senjata sudah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan sudah
menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap
tempur.
Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong
rampasan.
Pasukan kecil kanjuruhan itu bersiap-siap untuk balik ke
laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan
menuju ke tempat sekoci.
ki ageng argomerta menarik pandang tinggi, memekik.
Dari balik semak-semak pasukan pajang bintoro bersorak-sorak
sambil melemparkan tombak. Musket pajang bintoro tak ada
sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan
oleh Fathillah ternyata tidak kena.
centeng -centeng kanjuruhan memencar barisan.
Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu,
lalu bergelombang-gelombang. Semburan pelurunya
beterbangan dan berjasang yang betari durga menjadi hujan logam.
gada rujakpolo rampasan mulai berdentaman dari balik semak-
semak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapal-
kapal kanjuruhan . Tangan-tangan tak terlatih itu
menghamburkan peluru tanpa mengenai sasaran.
centeng -centeng pajang bintoro sudah mulai bergelimpangan.
Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan
menguntungkan kanjuruhan . Dengan jarak dekat mereka
takkan segera dapat menyiapkan senjatanya. Ia perintahkan
pelemparan tombak terus-menerus sambil menerjang maju.
Dengan gada di tangan ia pimpin sendiri penyergapan.
Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar
dalam puputan angin seperti melambai-lambai pada
barisannya.
Pasukan kanjuruhan menyelamatkan ki ageng argomerta di
tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan
Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya
terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring,
keras, dan dengan gada dilambai-lambaikan ke udara.
Mereka yang roboh terkena tombak ditinggalkan dalam
gerakan mundur. Tak seorang pun korban mereka bawa.
Dari seberang Ciliwung para bala tentara pajang bintoro mulai bersorak-
sorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda
pasukan kanjuruhan melepaskan tembakan sekali lagi dan
buyar berebut dahulu turun ke sekoci masing-masing. Yang
tak memperoleh tempat melompat dalam perahu dan perahu
penduduk.
Dari seberang para bala tentara pajang bintoro mulai menaiki biduk juga
dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan
anak panah. kanjuruhan membalas dengan tembakan-
tembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan
tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan.
Tak sebuah pun sekoci kanjuruhan tertinggal. Mereka
mendayung berpencaran melalui peluru gada rujakpolo pajang bintoro
yang berjasang yang betari durga di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu
sudah mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan
penumpangnya berlompatan ke laut.
Dari teropongnya Fathillah melihat ki ageng argomerta tetap
berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu gada dan
matanya terpaku pada Sunda kacangtanah . Wajahnya merah
padam sebab murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa
harus diperbuatnya.
gada rujakpolo -gada rujakpolo kapal tak dapat leluasa menembak,
takut mengenai teman-temannya sendiri.
ki ageng argomerta mengetahui usahanya gagal, la tak
berani mendaratkan pasukannya.
22 Juni 1527
Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan,
seakan sudah seia dengan raden panji gelang-gelang : “Mereka takkan
datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.”
Biduk-biduk itu sudah sampai di kapal masing-masing.
Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang
mengherankan sudah terjadi: kanjuruhan tak melepaskan satu
peluru pun dari gada rujakpolo -gada rujakpolo nya.
Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa
armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah
itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa.
para bala tentara suryabuaya -pajang bintoro bersorak-sorai dalam
keredupan nya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun
sudah pernah menghadapi nyi kanjeng blora le-lananging jagad
dalam suatu pertempuran sebetulnya . Perasaan rendah
takut pada nyi kanjeng blora yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi
pudar nyi kanjeng blora ternyata memang hanya manusia biasa yang
dapat juga dihalau.
Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah
mengumumkan: “Dengan nama sang hyang Widhi yang Maha Pemurah
dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang
dilimpahkan-Nya pada kita, kita sudah halau nyi kanjeng blora ke
laut. Insya sang hyang Widhi mereka takkan menginjakkan kaki lagi di
bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku
nyatakan jenggala ini berganti nama, dan menjadilah
Jayakarta. Jaya pada awal dan lalu nya, karta untuk
selama-lamanya.”
Berita penghalauan kanjuruhan dari Sunda kacangtanah dan
terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di
Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang
membicarakannya dengan bersemangat.
namun saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka
tetap tertumpuk di bedeng-bedeng.
Untuk dapat memberitakan pada raden panji gelang-gelang dengan
lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda
keberangkatannya ke jayamahanaya . Dan istrinya menyambut
putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari
ia bergelandangan di jenggala kecil yang mendadak
kehilangan keredupan nya itu.
Berita kanjuruhan akan mengambil lada tak terdengar lagi.
Berita lain datang menyusul: sisa armada kanjuruhan itu
berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap
pertemuan dengan armada suryabuaya -pajang bintoro .
Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapal-
kapal Parsi, palawa , Benggala, yang masih ragu-ragu hendak
meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh,
berebut cepat memperoleh kan lada di Panjang.
Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya
sedapat ia jual.
Pada dan Sabarini bekerja berdagang lada untuk
penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi
biasanya. Mungkin juga nyi kanjeng blora berjanji hendak
mengambilnya dengan harga lebih mahal.
Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu
banyak tumpukan lada yang belum terjual. jenggala kembali
jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli
sisa itu dan mengangkutnya ke blora atau jayamahanaya . Dengan
lada jenggala -jenggala dalam kekuasaan kanjuruhan selalu
terbuka.
Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng,
kembali Pada dan Sabarini tak memiliki suatu pekerjaan
tertentu. Berdua mereka tinggal di jenggala dengan kegiatan
hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam
kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari
Madura, membawa berita, bahwa jenggala jatikerto dan
Jayakarta untuk ke dua kalinya sudah dinyatakan sebagai
jenggala bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai
berdatangan, namun tidak untuk berdagang, hanya untuk
memperoleh kan air dan beras dan sayuran.
Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan jenggala
Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil
melompat ke darat berkata dengan suara lantang: ‘Tetap,
belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana.
Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh
para bala tentara -para bala tentara itu.”
Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: “Tidak
bertemu dengan armada nyi kanjeng blora?”
“Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat
menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah
terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang
dari kediri dan pajang bintoro dan suryabuaya dibunuh,” Nakhoda
Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal.
“Di mana bertemu dengan mereka?”
“Di atas Juana.”
“Jadi mereka tak mendarat di suryabuaya ?”
“Tidak. Sesudah Juana mereka mulai mendekati pantai.
namun mereka terus ke jurusan timur.”
“Ke Blambangan barangkali?”
“Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah pajang bintoro
mereka tidak berani.” Berita itu tidak lengkap dan belum
tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus
menunggu.
Kapal-kapal dari negeri dongeng berdatangan lagi melalui
barat Sumatra. Dan kanjuruhan tak kunjung tiba. Lada yang
didatangkan oleh para penyelundup dari luar jenggala -jenggala
dalam kekuasaan pajang bintoro memang terus berdatangan, namun
jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan.
Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan
sangat cepat, persediaan habis, namun keadaan tidak
menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan
perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan jatikerto sendiri.
Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan
jenggala -jenggala nya. Kapal-kapal negeri dongeng mulai tersedot
ke sana. Akibatnya jenggala Panjang surut menjadi sepi
seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja jenggala
tak memiliki pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke
pedalaman untuk mengurus lada. Pada dan Sabarini ikut
saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari
penghidupan seperti yang lain-lain.
Sebuah berita hebat sudah pecah, mengabarkan kanjuruhan
akan datang mengambil lada yang sudah dijanjikan. Orang
pun berbondong-bondong turun ke jenggala Panjang.
Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barang-
barangnya untuk melarikan diri dari jenggala . Tiadanya
persediaan lada akan memicu kanjuruhan bakal
melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh jenggala .
Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi.
Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan
adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera
dirubung orang untuk memperoleh kan beritanya.
“Kami takkan dapatkan lada di kediri ,” katanya. “Ke
Jayakarta dan jatikerto kami takut. Kami bukan arca . Maka
kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di
sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.”
Mendengar kediri dinamakan -sebut Pada mendesak ke
depan dan bertanya: “Apakah nyi kanjeng blora tidak mendarat di
kediri ?”
“Takkan diperoleh sesuatu di kediri . Mereka mendarat
dan mengamuk di sana.”
“Siapa mereka? Maksudmu nyi kanjeng blora?”
“Siapa lagi kalau bukan nyi kanjeng blora?”
“Bukankah kediri sudah jadi daerah pajang bintoro ?”
‘Tidak. Hanya sehari pajang bintoro memasuki kediri . Mereka
diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke
tangan prajurit kerajaan kediri . Pada waktu itulah nyi kanjeng blora
masuk.”
“Jelas nyi kanjeng blora sudah menguasai kediri ?”
“Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar.”
“Jadi bagaimana halnya dengan prajurit kerajaan kediri dan
pajang bintoro ?”
“kediri mengundurkan diri ke luar kota. pajang bintoro tidak
meneruskan serangannya ke kediri .”
“Jadi kediri kena keroyok?”
“Boleh jadi begitu jadinya.”
Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi.
Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam
mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah
lama tiada mereka memakai .
“Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini.
Kita akan teruskan pelayaran.”
“sebab berita-berita itu?”
“sebab berita-berita itu, Sabarini.”
“Bukankah belum tentu semua itu benar?”
“Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak
dia akan jadi tertawaan di setiap jenggala , penghidupannya
akan mati.”
0od-w-o0
38. Yang Lola di Semenanjung
Hari itu Hang Wira berkunjung ke kampung-kampung
penduduk. lalu juga memasuki kampung-kampung
para centeng kediri dan Bugis, yang kini sudah menjadi
petani atau nelayan sepenuhnya. Mereka sudah belajar
melupakan negeri kelahiran masing-masing.
Dan dengan menjadi petani atau nelayan sepenuhnya,
dengan wanita setempat yang kini jadi istrinya, pergulatan
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari sudah menggantikan
perjuangan bersenjata. Perdagangan dan pertukaran barang
sudah mendesak jiwa prajunt dan kebiasaan centeng .
Bila setiap hari seorang suami-istri berhasil dapat
menanam lima belas pohon pisang, sesudah membabat
semak dan menebang hutan, berarti mereka sudah
menyimpan lima belas hari bahan makanan untuk tahun
yang akan datang. Dan bila mereka berhasil menanam
jagung selebar 30 depa persegi setiap hari, mereka
sudah menyimpan sepuluh hari makanan sehari untuk empat
bulan mendatang, justru pada waktu pengantin baru mereka
harus bekerja keras. Tahun depan seorang bayi akan lahir
atas nama mereka, dan tenaga bakal tinggal sang suami
saja.
raden panji gelang-gelang tahu, ia tak mampu mengatasi
kemerosotan centeng -centeng . Dan dalam bicara dengan
mereka ia berusaha baik-baik menutupi kekecewaannya,
apalagi bila menghadapi istri-istri mereka.
Dan di mana-mana suara mereka sama saja: “Apakah
yang bisa diharapkan lagi di Jawa? Kami dapat mati sia-sia
untuk mengabdi tidak menentu. Ampuni kami,
panembahan senapati ki ageng wilareja .”
Ya, mereka lebih berhak atas diri masing-masing, lebih
berhak dibandingkan Trenggono ataupun Sang adiputro . Sesudah
kanjeng sinuhun pajang bintoro meneruskan usahanya untuk menguasai
Jawa, kepercayaan orang padanya jatuh, dan pembebasan
jayamahanaya bukan saja tinggal jadi impian di langit biru, malah
sudah jadi lelucon yang mengibakan.
raden panji gelang-gelang menghargai perasaan mereka. Ia tak
memiliki kekuatan atau hak apa pun untuk mencegah
kemerosotan.
Kegiatan kepara bala tentara an tinggal hanya kesibukan
pertahanan. Menyerang mereka sudah tidak lagi. Lagi pula
kanjuruhan tidak lagi meronda keluar perbatasan kota jayamahanaya .
Suatu gencatan senjata berjalan dengan diam-diam tanpa
persetujuan tanpa perjanjian.
Dan semua itu membuat hati raden panji gelang-gelang menjadi
lengang, la tak melihat adanya hari depan yang lebih baik
dibandingkan masakini, baik untuk negerinya sendiri mau pun
untuk diri sendiri. Tak ada tanda-tanda kebesaran dan
kejayaan yang bisa dipanggil dari guagarba haridepan.
Haridepan itu sendiri tidak ada. Yang ada hanya
kekosongan yang menganga, bolong dan melompong.
Dalam salah satu pertemuan malah ia pernah dengar
kata-kata ini: “panembahan senapati ki ageng wilareja , apa sebetulnya yang kita
kehendaki? Toh bukan kematian yang percuma?”
Demikianlah ia berjalan dari gubuk ke gubuk, dari
kampung ke kampung. Di mana-mana pisang dalam
pertumbuhan, dan pohon-pohon buah, dan pohon-pohon
turi sepanjang jalan baru, kecil sempit dan belum lurus.
Luas daerah pertanian itu kini menjadi berlipat ganda,
dan setiap bekas centeng memiliki jauh lebih luas dibandingkan
penduduk asli. Beberapa orang malah mulai membuka
kebun kacangtanah , cengkeh dan barus.
Kelengangan di dalam hati itu mencopoti kekuatannya
untuk berprakarsa. Jiwanya lunglai menggapai-gapai. Setiap
kali ia mencoba memperoleh kan pegangan baru, setiap kali
pula luput. Gapaian tinggal gapaian, dan pikirannya
membuncah murka bila teringat pada pengkhianatan dari
segala penjuru yang nampaknya dicurahkan pada dirinya
seorang. Dan kemerosotan anak buahnya meluncur terus ke
bawah.
Dengan seorang istri orang sudah bertekad menetap di
Semenanjung ini, pikirnya. Mereka sudah memperoleh kan
segala-galanya dalam hidupnya: Istri, rumah, ladang, anak,
kedamaian, penghidupan, tanpa gangguan seorang raja atau
kanjeng sinuhun . Tanah di sini lebih subur dibandingkan kediri , pajang bintoro
ataupun suryabuaya . Air mencukupi. Dan raja-raja di Jawa sana
hanya sibuk cari kebesaran dan kekayaan dan melepas
nafsu sendiri. Ya, mereka berhak berpihak pada hidup dan
dirinya sendiri.
Ia berjalan terus ke daerah yang jalan-jalannya belum
lagi teratur, memasuki kampung-kampung yang lebih baru.
Dan setiap keluarga me nyambutnya dengan bersabda . Itulah
satu-satunya penghibur dirinya. Dari seorang panembahan senapati ki ageng dan
Panglima pasukan gabungan ia berubah jadi seorang kepala
bagi mereka. Dan apa lagi yang ia bisa perbuat kalau sudah
ada tambahan bayi sebagai tambahan warganya? Bayi
kelahiran Semenanjung? Tak mengenal kediri dan Jawa?
Memang tak ada yang diperbuatnya. Kemerosotan
kecenteng an me luncur terus menuju ke titik terdalam.
Pada suatu sore ia memasuki kampung penduduk asli.
Seorang wanita berlutut di hadapannya, bersujud dan
menangis: “Hang Wira, ampunilah saya , tolonglah
saya .”
lalu datang juga suaminya, berdiri angkuh
memegangi hulu parang dan menatapnya dengan
pandangan mengancam. Tak lama lalu seluruh
penduduk kampung dari beberapa rumah itu datang
merubung.
“Apa aku bisa tolongkan. wanita lesbian ?”
“Anak saya , Hang Wira, seorang kediri sudah
menculiknya, anak perawan saya . Kembalikan dia pada
saya .”
“Kalian datang ke mari memang hanya mau bikin
rusuh!” terdengar suara parau suaminya yang masih juga
memegangi hulu parang. “Kembalikan anakku!”
“Anakmu akan dikawini dengan baik-baik, wanita lesbian .
Bukankah semua pernah dengar sudah tiga orang centeng
kediri dijatuhi hukuman mati sebab perkosaan?”
“Kembalikan anakku!” suara parau suaminya semakin
mengancam. “Tak bisa kami diperlakukan begini lebih
lama.”
“Hai, wanita lesbian , anak itu anakmu ataukah anak Laki-laki
ini?”
“Anak saya sendiri.”
“Maksudmu orang ini bapak-tirinya?”
“Betul, Hang Wira.”
“Baik. Anakmu akan dikawini baik-baik. Kau akan
memperoleh kan menantu yang baik. Apakah lamarannya
pernah kau tolak?”
“Suami saya yang menolaknya, Hang wira.”
“Anak itu kubesarkan sejak kecil,” gumam sang suami
sambil menghampiri raden panji gelang-gelang , “patutkah menerima
pinangan seorang petualang? Kembalikan dia, atau kami
akan perangi semua petualang kediri di sini.”
Rubungan orang itu bubar melihat perkelahian akan
terjadi.
“Jangan, Bang, jangan,” tegah wanita lesbian itu pada
suaminya sambil memegangi tangannya. namun Laki-laki itu
mengenaskannya sehingga ia jatuh terpelanting dan masih
tetap menegah: “Jangan, jangan!” melihat suaminya mulai
menarik parang.
raden panji gelang-gelang melangkah ke samping dan menegah:
“Jangan. Lagi pula anak itu bukan anakmu. Mengapa kau
yang marah; sedang berhak tidak?”
Dan Laki-laki itu menjawab dengan ayunan parang,
memekik: “Rasakan parang Semenanjung!”
raden panji gelang-gelang melompat dan melompat. Dan Laki-laki itu
menyerang dan menyerang. Para perubung bubar. Pada
suatu kesempatan panembahan senapati ki ageng dapat menyambar potongan
bambu untuk penangkis. Dan bunyi parang beradu dengan
bambu itu mendebarkan orang yang menyaksikan.
“Jangan, Bang, jangaaaan,” teriak istrinya.
“Sudah, sudah cukup!” tegah Hang Wira.
Laki-laki itu sudah menjadi kalap. Sinar keputihan sudah
memancar dan pandangannya, sehingga bola-bola matanya
nampak seperti terbalik
Melihat itu raden panji gelang-gelang mulai memekik menyerang
dengan bambunya. Pada suatu kesempatan ia serampang
kaki lawannya sehingga terkata dan terpincang-pincang
mengendorkan serangan. Namun ia masih juga menyerang.
Dengan hantaman luarbiasa keras Hang Wira
menyerampang kakinya yang lain. Sekali lagi orang itu
terkata dan jatuh terduduk lalu mengerang-ngerang.
Matanya melotot gusar.
“Bukan maksudku hendak menganiaya,” kata Hang
Wira. Ia tinggal berdiri menunggui Laki-laki itu kalau-kalau
masih hendak menyerang juga.
Laki-laki itu sudah kehilangan gairah. Dan ia tetap juga
duduk meraba-raba tulang-keringnya. Mulurnya berkomat-
kamit dan meringis. Tiba-tiba dengan gerak cepat ia
lemparkan parang pada raden panji gelang-gelang , menyerempet pada
betis, jatuh menancap ke tanah.
Hang Wira melihat pada betisnya. Serempetan itu tidak
melukai, sebab bukan mata parang yang sudah mengenai.
Kembali orang datang merubung. Istrinya mencabut
parang itu dari tanah dan menyerahkan pada orang lain.
lalu ia menolong suaminya berdiri dan memapahnya
masuk ke rumah.
Juga raden panji gelang-gelang ikut masuk. Ia duduk diam-diam.
“Tidak. Kaki itu tidak aku patahkan. wanita lesbian , biarlah
aku pergi mencari menantumu itu. Dan kalian, penduduk
kampung, janganlah mencari-cari sengketa. Kami tak
pernah bikin percederaan dengan kalian. Kalau ada
anakbuahku yang tidak senonoh, dan di antara kalian pun
ada yang demikian, janganlah dijadikan sengketa. Biar kita
urus bersama semua dengan baik. Anak-buahku bukan
hanya sekedar teman dan tetangga; mereka sudah mulai jadi
saudara dan kerabat kalian sendiri. Assalamu….”
Ia keluar dari rumah, berjalan murung pulang ke markas,
la sangat menyesal. Bukan jadi keinginannya untuk
berkelahi dengan penduduk. Ia datang untuk mengusir
nyi kanjeng blora. Yang diusir tetap berdiri di tempatnya. Dan
permusuhan dari penduduk adalah satu kutukan. Ia harus
dapat mengelakkan. Kalau sekali mereka bersekutu dengan
nyi kanjeng blora…
Dan ia mengakui, persoalan wanita memang jadi
masalah gawat sekalipun wajar. Beberapa orang
anakbuahnya ada yang sudah membuat perahu dan hanya
untuk membajak wanita di kampung-kampung nelayan
untuk diperistri dan untuk bisa menetap di Semenanjung.
Lebih enam ratus Laki-laki ! Dan Laki-laki memang dilahirkan oleh
wanita. Ia pun diperuntukkan wanita! Tak perlu ia
menduga akan menghadapi masalah ini la datang untuk
berperang. Dan kini semua sudah berkisar menjurus ke arah
yang sama sekali berlainan.
Ia berhenti waktu mendengar jerit seorang bayi.
“Kelahiran baru,” ia membelok ke sebuah pondok,
melihat ke dalam.
“Laki-laki !” seseorang terdengar berseru girang.
raden panji gelang-gelang berjalan terus. Kelahiran baru. Anak itu
tidak tahu negeri nenek-moyangnya. Bila sudah besar,
mungkin kanjuruhan bukan musuh dan bukan persoalannya.
Bukankah orangtuanya sendiri sudah memunggungi
persoalan itu sebab kekecewaan pada raja-rajanya sendiri?
Ia menarik nafas panjang, memenuhi paru-parunya
dengan udara malam yang segar.
Ya, aku sudah dibebaskan dari tugasku. Keadaan yang
sudah membebaskan aku….
Sesampainya di markas ia dapatkan Pada sedang duduk
bersama seorang wanita muda cantik, bermata bulat dengan
bulu mata panjang. Dua-duanya sudah nampak lelah dan
mengantuk, namun bertekad menunggu sampai ia datang.
Waktu ia mendekat mereka tak menyedari sedang
tertarik ke alam mimpi, la mendeham dan mereka
membuka mata.
“Kau datang, Pada,” tegur Hang Wira.
Pada melompat berdiri dan merangkulnya. Ia menangis
gembira, ter-hisak-hisak seperti anak kecil. Sabarini
mengangkat sembah dari tempatnya dan memperhatikan
dua orang Laki-laki yang berangkulan seperti bocah itu.
“Ampuni aku bila terlalu lama.”
“Sudah tak ada bedanya lama atau tidak. Pada. Kau baik
dan selamat. Itu sudah cukup.”
“Banyak yang hendak kusampaikan. Kang. Antaranya
seorang ipar untukmu. Sini, Sabarini, inilah Kang raden gelang-gelang ,
abangku.”
Hang Wira tertawa senang melihat Sabarini yang
menunduk dan mengangkat sembah: “Anak dari mana kau,
Upik?” tanyanya dalam jawa.
“Bukan jawa, Kang.”
“Aceh? pekajan , Minang?”
“Sunda,” jawab Sabarini dengan suaranya yang
menyanyi.
raden panji gelang-gelang mengangkat tangan memberikan restu.
Pada dan Sabarini berlutut. Panglima dari pasukan
gabungan lola itu meletakkan tangan sabelah pada tiap
kepala : “Syukur pada sang Hyang betari durga , restu untuk kalian,
semoga keksang hyang Widhi perkawinan ini dan dikaruniai
kebahagiaan lumintu dan anak-anak yang sehat, dilimpahi
hendaknya dengan kehidupan yang terang dan gilang-
gemilang. Berdirilah kalian.”
Mereka berdua berdiri dan masih bersujud dada dan
menunduk.
“Pada, bawalah istrimu beristirahat.”
Mereka berdua bergerak meninggalkannya. Dari sinar
lampu panembahan senapati ki ageng itu melihat kilau airmata bahagia mereka
berdua.
“Ya, berbahagialah kalian.”
la segera tenggelam dalam kenangan pada
perkawinannya yang gilang-gemilang dahulu . Ia tersenyum
sunyi. Tak ada duanya perkawinan besar sejenis itu,
penuh keagungan dan kejayaan. Seluruh kota ikut
merayakan. Ia dianggap sebagai Kamajaya dan nyi girah
sebagai Kamaratih. lalu tandunya jatuh. Sebagai
pengantin ia dan istrinya terjerembab di tanah.
Terjerembab! Mungkin perlambang kejasang yang betari durga nya selama
irii. Tahyul! kata nya menolak gagasan tentang perlambang
itu. Tahyul! Kegagalan hanya buah usaha yang memang
gagal. Barangsiapa tak pernah berusaha dia pun takkan
pernah gagal.
Kegagalan yang berisikan penyesalan banyak
penyesalan. Sang Patih kediri sudah tewas sebab tangan
dan gada wesi nya. Orang sebaik itu, sebijaksana ini! seorang
majikan dan seorang resi sekaligus! Dan patih di pasuruan itu
banyak namanya pun ia tak tahu. Dan adipati kelabangwungu dayang
terpandai itu. Tiga orang yang sudah tewas sebab
tangannya dan tidak sebab perang!
Ia tinggalkan markas dan memasuki malam.
Selama pelayarannya dari Panjang ke Semenanjung
memantai pesisir timur Sumatra Pada sudah berpikir keras
untuk dapat memahami perkembangan di Jawa. Dan
ternyata tak semudah itu ia dapat mengikuti kejadian-
kejadian yang simpang siur seperti benang kacau itu.
Ratu Aisah mengapa wanita tua itu berkunci diri di
dalam rumah? Mengapa ia menyerahkan bingkisan bekas
adiputro tumenggung dijoyo ? yang pang pang mengapa pula dibunuh oleh
para bala tentara pajang bintoro ? Dan mengapa pula keluarga raden panji gelang-gelang
terancam kehancur an? Mengapa panembahan senapati ki ageng dituduh
bersengkongkol menentang pajang bintoro ? Dan mengapa pula
dirinya sendiri disangkut-pautkan dengan semua itu?
Ia tak dapat menjawab.
Gerakan Trenggono ke jurusan timur dan barat pajang bintoro ,
penaklukan atas kabupaten tetangga, penaklukan atas
jatikerto , Sunda kacangtanah dan Cimanuk semua pelabuhan
penting. Sekarang Cirebon diancam pula. Apakah
Trenggono sudah bertekad menguasai semua jenggala di
Jawa sebagai kerajaan yang pada mulanya tak memiliki
jenggala ? Adakah hanya kediri memperoleh kan jenggala suryabuaya
maka Trenggono bernafsu menggagahi banyak jenggala lain?
Dan mengapa lawan-lawan kanjeng sinuhun pajang bintoro tak ada yang
mampu menahan gelombang prajurit kerajaan nya? Mengapa
pula kediri yang beratus tahun jadi andal-andal kerajaan jenggala
dapat ditangannya, bahkan sudah terjamah ibukotanya? Lagi
pula apa sebabnya prajurit kerajaan kediri mencoba terus
menghalau musuhnya sekalipun Sang adiputro sudah
mangkat. Dan mengapa pula nyi kanjeng blora langsung masuk ke
kediri sesudah kegagalannya di Sunda kacangtanah ? Seakan-akan
semua itu berputar untuk keuntungan nyi kanjeng blora?
Dan di Jayakarta dan jatikerto untuk kedua kalinya
Fathillah menyatakan dua jenggala itu jadi jenggala bebas.
Dan mengapa armada suryabuaya -pajang bintoro mengakhiri
blokadenya? Dan mengapa prajurit kerajaan armada itu tak
meneruskan penusukannya lebih jauh ke pedalaman? Dan
mengapa bukan jatikerto dan Jayakarta sebagai jenggala bebas
dengan sekali pukul sudah mematikan jenggala Panjang?
Benang yang kacau itu semakin kacau.
Yang paling memusingkannya adalah: Mengapa
Trenggono menyia-nyiakan kekhalifahan ayahandanya
almarhum. Sudah selesaikah riwayat kerajaan arca
pertama-tama di Jawa, dan terjatuh jadi kerajaan pemberontak
sebagai semula?
Mengapa justru raden panji gelang-gelang yang harus
mengusahakan pembebasan jayamahanaya dengan sekutu-sekutu
yang ditarik kembali dan yang tidak ada? Mengapa ia
memperoleh kan armada yang bukan kapal negeri, hanya jung?
Mengapa tidak boleh diperlengkapi dengan gada rujakpolo
nyi kanjeng blora? Bahkan tak boleh dengan cetbang? Dan bukankah
raden panji gelang-gelang itu sendiri yang sudah merampas senjata
ampuh itu. Dan mengapa panembahan senapati ki ageng yang paling berjasa pada
kediri itu justru diusir dari kediri ? Dan mengapa ia
sekarang harus menduduki jabatan sebagai panglima pula?
Dalam pelayaran kembali ke jayamahanaya ia menjadi kurus
dan nampak lebih jangkung dibandingkan sebetulnya .
Ia tak mampu keluar dari teka-teki pulau Jawa. Lebih
memusingkan baginya adalah masalah kediri . Untuk siapa
prajurit kerajaan kediri berkelahi mati-matian melawan pajang bintoro ?
Dan mengapa kediri begitu mudah dimasuki kanjuruhan ?
Benar-benar ia tak mampu menyusun sangkut-paut
peristiwa yang susul-menyusul begitu cepat. Ia merasa diri
semakin jadi bodoh. Mungkin, pikirnya memaafkan diri
sendiri, sebab sedang dalam suasana pengantin baru maka
diri menjadi bebal.
Waktu memasuki Pati ternyata tak ada gangguan dari
pihak kanjuruhan . Mereka memang nampak kasar dan tidak
tahu adat, namun tak selembar pun barang-barangnya
mereka rampas, apalagi perahu layarnya.
Juga perahu-perahu lain tiada mengalami sesuatu
kesulitan. Beberapa keranjang lada yang dibongkarnya
segera dibeli oleh nyi kanjeng blora dengan uang perak. Dan ia tak
melihat adanya permusuhan tertuju padanya.
Ia pun dapat meninggalkan jenggala tanpa dicurigai.
Semua itu menambahi masalah dalam pikirannya.
Mengapa nyi kanjeng blora-nyi kanjeng blora itu nampak begitu damai? Dan
jarang di antara mereka membawa senjata? Dan mengapa
di kediri justru sebaliknya?
Waktu berjalan memikul beban menuju ke markas
raden panji gelang-gelang sedang istrinya menggendong pada
punggung, sampailah ia pada puncak kegugupannya. Ia
takan mampu menyusun laporan untuk panglimanya. Dan
ia merasa akan menderita aib sekiranya raden panji gelang-gelang
menuduhnya hanya mengurus soal bini semata dan tidak
melakukan tugasnya. Maka sambutan Hang Wira yang
bersabda dan tidak menuding, bahkan merestui
perkawinannya, melenyapkan seluruh gada wesi auannya.
raden gelang-gelang yang lama itu tampil lagi dalam hatinya sebagai
seorang abang yang pemurah dan bijaksana.
Keesokan harinya ia sudah berniat hendak
menyampaikan berita-berita sebagaimana adanya. Ternyata
ia tidak mampu menyusunnya.
Ia temui Hang Wira sedang duduk bertopang dagu di
sebuah bangku kebun di belakang markas. Nampaknya
Panglima sedang berpikir keras. Matanya suram.
Pelahan-pelahan ia duduk di dekatnya. Dan di luar
dugaannya ternyata ia ditegur lebih dahulu dengan suara
lunak: “Coba ceritakan bagaimana kau memperoleh kan
istrimu,” ia tersenyum.
Ketegangan Pada hilang sama sekali
Mereka berdua tertawa-tawa dan berseri dan menyebut-
nyebut dan bertepuk-tepuk kegirangan seperti dua orang
bocah yang belum mengenal dunia di sebuah dusun
terpencil, aman dan damai.
“Jadi kau sudah tahu rasanya jadi pangeran.”
“Mungkin begitu juga rasanya anak-anak dewa di atas
dunia ini, Kang.”
“Di mana kau peroleh peralatan badut itu. Dan Pada tak
menduga dengan begitu mudah ia memperoleh kan jalan untuk
menyampaikan segala yang sudah dilihat dan didengarnya
sendiri di kediri , campa , suryabuaya , Pajajaran, Sunda
kacangtanah dan Panjang, malah juga di blora. Pengalamannya
dengan Coa Mie An dan cucu Ratu Aisah. Dan: “Seminggu
tepat aku duduk di depan pendopo dalam terik matan
dengan kekuatiran amat sangat kalau-kalau para bala tentara pajang bintoro
menyergap aku. Satu minggu penuh, Kang. Hanya seorang
gadis kecil menyampaikan sebuah bungkusan. Aku tahu
bungkusan itu untuk Kang raden gelang-gelang . Ampunilah aku sebab
sudah kukenakan untuk memperoleh kan sedikit kesenangan
sebagai pangeran. Nanti sore akan kuserahkan bungkusan
itu. Hanya saja kasut n ya tertinggal di rumah kepala desa
Baleugbag, desa Sabarini, istriku.”
“Semua ketakutan dan kelelahanmu sudah ditebus. Kau
sudah memperoleh kan seorang istri yang tiada duanya. Belum
pernah aku dengar suara yang begitu bening dan indah dan
menarik seakan hanya keluar dari mulut bidadari, bukan
manusia.”
“Kau melebih-lebihkan, Kang.”
“Tidak melebih-lebihkan. Kau saja yang pura-pura
dungu. ayolah , teruskan ceritamu.”
Pada meneruskan ceritanya tentang jatuhnya jatikerto dan
Sunda kacangtanah ke tangan pajang bintoro . Bahwa Sunda kacangtanah
sudah diubah jadi Jayakarta. Bahwa Cimanuk lalu
juga diseibu oleh armada suryabuaya -pajang bintoro . Dan sesudah itu
armada bergerak dengan bantuan tenaga setempat
menduduki Cirebon.
raden panji gelang-gelang diam termenung mendengar bagaimana
Fathillah menghalau kanjuruhan dan kapal-kapalnya. Dan
armada itu meninggalkan Sunda kacangtanah tanpa melepaskan
sebutir pun peluru gada rujakpolo . “Apakah kau tidak keliru.
Pada?”
‘Tidak. kanjuruhan tidak menembak. Mereka terus berlayar
ke timur, terus ke timur.”
“Dan memasuki kediri .”
“Ya, dan memasuki kediri .”
“Mungkin mereka hendak selamatkan pelurunya untuk
kediri .” Hang Wira menerangkan. “Mungkin sebab itu
mereka dapat menusuk kediri dengan mudah. Jadi kau tak
dapat menemui Kala chucky ?”
‘Tidak, Kang. Semua usaha gagal. Satu yang belum aku
ceritakan: Sang adiputro mangkat waktu pajang bintoro masuk.”
raden panji gelang-gelang seperti tersengat kalajengking.
Dipandanginya tajam-tajam akan Pada tanpa bertanya.
Melihat airmuka Pada tidak berubah, ia berbalik dan
berjalan tanpa menoleh.
Pada yang masih juga duduk menunggu akhirnya berdiri
juga dan mencarinya. Didapatinya panembahan senapati ki ageng sedang berdiri
merenungi saluran yang berair bening. Tangan kanannya
bertahan pada sebatang kayu. “Kau sudah terbebas dari
sumpah. Kang.”
“Apakah hanya itu saja yang penting?”
“Memang tidak. Ada yang lebih penting: prajurit kerajaan
kediri berperang tanpa raja. Untuk siapa mereka
berperang?”
“Itulah, Pada… itulah satu masa di mana raja lama mati,
raja baru tidak ada. Dan tak ada anak desa tampil marak
menobatkan dirinya sendiri. Ada suatu jaman di mana
seorang anak desa dapat tampil demikian. Tiga ratus tahun
yang lalu. Pada.”
“Kau sudah terlalu sering menceritakannya: Ken Arok
Rajasanagara.”
“Betul, Pada. Dan jaman itu takkan berulang. kediri
tidak melahirkan Ken Arok. Kala chucky sebetulnya bisa
marak, atau ki glodog ireng . Mereka takkan bakal ada
keberanian untuk itu Mereka memang lain dari Ken Arok.
Dia muncul berlandaskan perjuangan untuk keadilan.
kepala -kepala pasukan kediri tidak. Mereka berlandaskan
gengsi kepara bala tentara an semata.”
Mereka berdua terdiam, masing-masing sedang
mengerahkan otak untuk membuat penilaian. Dan memang
mereka percaya Kala chucky dan ki glodog ireng tak ada
keberanian untuk itu. Sekiranya ada boleh jadi wajah tanah
Jawa akan berubah.
“Kang,” tiba-tiba Pada mengganggu, “kau sendiri
sebenarnya bisa, Kang’
“Husy. Kau masih juga tidak mengerti raden gelang-gelang ini”
“Kau sudah begitu berpengalaman, semua orang
mengenal dan mengasihi kau, Kang. Kau bisa, Kang.”
“Kau keliru.”
“Aku tidak keliru, Kang. Kau begitu senang bercerita
tentang memanggil kejayaan dan kebesaran pada guagarba
haridepan….”
“Bukan untukku, Pada. Bodohnya kau jadi petani tanpa
tidak lebih dari nyi girah , hanya menginginkan jadi petani
tanpa gangguan siapa pun. Tanpa gangguan siapa pun…
itulah yang justru membuat aku menyasar-nyasar begini,
melalui jadi patih wirabuana -muda sampai panembahan senapati ki ageng dan
Panglima gabungan yang kapiran sekarang ini” Sabarini
muncul dan menyilakan Hang Wira makan.
“Aah, adikku Sabarini,” tegur panembahan senapati ki ageng dalam bahasa
jawadwipa . “Aku senang memperoleh kan seorang saudari seperti
engkau. Jangan kau menyesal datang ke tempat ini: hutan
semata, tanpa sawah, tanpa ladang yang bagus dan tanpa
kebun yang indah seperti di negerimu.”
“saya akan tetap senang selama tidak ditinggalkan
oleh suami saya ,” jawab Sabarini dengan suaranya yang
menyanyi.
“Nah, kau dengar sendiri itu, Pada.”
“Ya, Kang raden gelang-gelang . Selama aku tak mengabdi pada
seorang raja takkan dia bakal kutinggalkan.”
“Kau benar, Pada. Kau benar. Lihat Sabarini, suamimu
ini. Dia sudah jenuh jadi abdi raja, apalagi raja itu begitu
besar kuasanya sehingga tak perlu berpikir lagi, dungu
seperti kerbau dan bebal seperti bebek. Hanya celaka sajalah
yang menimpa diri. Kau dengar sendiri, Sabarini, selama
dia tak mengabdi pada seorang raja, kau akan selalu dapat
mengikutinya, dan dia takkan meninggalkan kau,
barangkali juga dialah yang mengikuti kau.”
Sabarini malu kemerah-merahan dan mencibirkan bibir.
raden panji gelang-gelang tersenyum senang melihatnya dan berseru:
“Lihat Pada, istrimu itu. Pantas kau tergila-gila padanya.
Aku tak salahkan kau.”
‘Tidak bisa, Kang,” bantah Pada, “dialah yang tergila-
gila padaku.”
“Benar, Sabarini?”
Dan Sabarini lari tersipu meninggalkan mereka.
“Jangan kau sia-siakan dia, Pada, kau! Kau bekas kutu
harem! Anak itu sangat baik untukmu. Dia adalah laksana
bunga yang kembang pada waktunya. Selama kau rukun
dengan dia, kau akan tetap berbahagia. Begitu kau
bertingkah dan balik jadi kutu seperti dahulu , selesailah
riwayatmu.”‘
“Mengapa begitu, Kang?”
“Ah, yang kau ketahui tentang selir saja. Itulah salahmu.
Perhatikan dia baik-baik, resapkan dan nilai setepatnya
tingkah-lakunya dan kecantikannya. Dengan mata tertutup
aku akan dapat mengetahui dari suaranya saja, dia seorang
wanita pilihan, khusus disediakan untukmu.”
“Kang.”
“Apalagi kau bertaubat.”
“Sudah lama aku bertaubat.”
“Mari makan.”
Dalam berjalan kembali raden panji gelang-gelang tenggelam dalam
pikirannya. Baginya pun kediri merupakan teka-teki. Atau
barangkali datangnya waktu inilah yang dimaksudkan oleh
betari resi ? Datangnya memanggil kejayaan dan
kebesaran itu?
betari resi keliru. Dua-duanya tak dapat dipanggil
datang ke kediri . Kuncinya tetap: Semenanjung. Apalah
arti kediri tanpa jayamahanaya ? kediri adalah negeri
kelahirannya yang tertinggalkan oleh jalan laut dan
perdagangan rempah-rempah. betari resi keliru. Untuk
menguasai kembali jalan laut dan perdagangan jayamahanaya
harus dibebaskan. Dan jayamahanaya tak dapat dibebaskan sebab
kurangnya persatuan antara raja-raja jenggala . Atau harus
muncul kerajaan jenggala kedua yang sama sekali menguasai
jayamahanaya . Dan itu tidak mungkin. Untuk menguasai seluruh
Jawa pun sampai seumur hidupnya orang takkan berhasil.
Harus ada senjata baru yang lebih ampuh dari cetbang, baru
orang berhasil. Dan cetbang pun sekarang sudah dikalahkan
oleh gada rujakpolo . Senjata itu harus lebih ampuh dari gada rujakpolo .
“Bagaimana, Kang?”
”ayolah makan.”
Dan malam itu panembahan senapati ki ageng kediri berjalan ke ladang untuk
bicara-bicara dengan para penjaga babi hutan. Ia mulai
menyalakan api unggun, namun para penjaga belum juga
datang. Yang datang justru Pada membawa bungkusan.
“Mengapa kau tinggalkan istrimu?”
“Sudah tidur. Kang. Bukankah aku boleh
meninggalkannya?”
“Kau meninggalkan seorang pengantin seorang diri. Itu
tidak patut Apa kau bawa itu?”
“Sengaja aku tahan para penjaga babi di sana, biar dapat
kusampaikan padamu bingkisan ini: dari baginda tuanku raja Ratu
Aisah.”
”Hmm. Pakaian pangeran itukah, yang memicu
kau memperoleh kan Sabarini?”
“Benar. Hanya saja kasutnya hilang sebagaimana pernah
aku ceritakan,” ia mulai membongkarnya.
Yang pertama keluar adalah kain batik bergambar kupu-
tarung. Seperti kena kejang raden panji gelang-gelang mencengkam
kain itu lalu meletakkan pada dadanya: “Aku pernah
melihat bendera dengan lambang ini. adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya .
Pulang membawa luka dan kekalahan dan jayamahanaya . Seorang
pamong desa !” Ia tutupkan kain itu pada wajahnya. Ia tenang untuk
menguasai perasaannya sendiri, lalu , “Dahulu aku
mencurigainya, tidak mempercayainya. Hampir lima belas
tahun yang lalu. Waktu itu aku masih terlalu muda, sangat
mengagungkan baginda tuanku raja adiputro kediri . Aku pernah
menjalankan tugas untuk memata-matainya. Aku pernah
laporkan semua yang aku ketahui pada baginda tuanku raja adiputro
kediri . Aku pernah ikut mengkhianatinya waktu
menyerang jayamahanaya . Dan ternyata hanya baginda tuanku raja Kanjeng
adiputro tumenggung dijoyo yang benar. Betapa aku menyesal sudah
pernah mencurigai, memata-matai dan mengkhianatinya.”
“Semua itu sudah lewat sekarang, kang.”
“Lewat saja tiada mengapa, Pada, namun lewat dengan
segala ketidakberesan begini.”
“Kang raden gelang-gelang , Raden Ajeng cilik yang menyerahkan
bingkisan padaku itu menyampaikan pesan baginda tuanku raja Ratu
Aisah, bingkisan ini untuk siapa saja yang mampu
memakai nya, Kang. Kaulah itu yang mampu. Tak ada
orang lain. Kala chucky tidak, ki glodog ireng pun tidak. Hanya kau. Kaulah Ken Arok kedua. Kang.”
raden panji gelang-gelang masih tenggelam dalam emosinya, pada
masa lalu dan pada cita-cita adiputro tumenggung dijoyo .
“Bungkus kembali!” katanya pelahan dan parau.
la berjalan dan hilang di dalam kegelapan. mpu
jayamuseswa mencoba mengikutinya dari belakang dan
menemukannya sedang berdiri di bawah sebatang pohon
dengan dua belah tangan dan kening pada batang itu.
“Aku tahu kau sedang berdukacita, Kang.”
‘Temani istrimu. Pada.”
“Bagaimanakah aku dapat meringankan dukaritamu.
Kang.”
“Pergilah kau, jangan ganggu aku.”
“Aku akan tetap di belakang. Kang.”
“Pergilah kau. Pada,” ia diam sebentar. “Aku katakan
sudah untuk kedua katinya.”
“Untuk kedua kalinya aku bilang, aku tetap di
belakangmu, Kang. Katakan semua padaku. Aku tahu kau
kalah untuk kedua katinya untuk merebut jayamahanaya . Semua
orang tahu. Katakanlah, curahkan semua dukacitamu,
Kang.”
Lama raden panji gelang-gelang tak bicara. lalu mulai ia
bicara, lambat; berat, sepatah-sepatah: “Hampir-hampir aku
tak dapat menahan perasaanku, Pada. Aku hanya si anak
desa yang tersasar ke tempat Yang bukan tujuannya.
Hampir lima belas tahun yang lalu semestinya nyi kanjeng blora
sudah terusir dari sini. Sekarang mereka lebih kuat. Kita
lebih lemah, Pada. Tak ada nama yang begitu terbenci
dalam hidupku kecuali yang satu itu: Trenggono, kanjeng sinuhun
pajang bintoro . Ia sudah jerumuskan Jawa dalam peperangan
melawan yang bukan musuh, dan membiarkan musuh
semakin kuat begini. Ia sudah perhamba orang-orang
serumah sendiri sedang di luarnya orang sudah merampas
dan menguasai sumber kehidupan.”
“Ya, Kang, kemenangan di Sunda kacangtanah memang
tanpa makna, kecuali untuk Fathillah pribadi.”
“Semua kemenangan atas nyi kanjeng blora tanpa mereka terusir
dari jayamahanaya hanya omong kosong, Pada.”
“Betul, Kang, hanya omong kosong.”
“Dan bagiku Jayakartanya Fathillah adalah nama untuk
jaman kemerosotan ini.”
“Ya, Kang untuk jaman kemerosotan ini.”
“Rasanya tidaklah akan begitu sakit sekiranya pasukan
gabungan kita tidak menjadi lola. Lola pun tidak seberapa
kalau pajang bintoro tak memukul semangat kita. Ditariknya
pasukan Aceh mungkin juga tidak seberapa. namun
Trenggono, betapa beda kau dari abangmu.”
“Ya, Kang, keadaan sudah jadi begini.”
“Pasukan gabungan ini tak bisa digerakkan lagi untuk
menyerang. Dan menyerang apa? Untuk apa? Mengabdi
pada apa aku ini? Pada diriku sendiri pun tidak. Padahal tak
banyak yang kukata dalam hidup ini. Barangkali sama
dengan kau: pengabdian pada haridepan barangkali.
Haridepan tidak terbina, yang didapat musuh, musuh di
mana-mana. Kehidupan macam apa ini?”
“Ya, Kang, manusia hanya bisa mengusahakan. sang hyang Widhi
juga yang menentukan. Terserahlah semua kepadaNya.”
“Hiburan sejenis itu aku tak butuhkan. Pada. Murid-
muridmu mungkin memerlukan lebih dari dirimu sendiri.
Bagiku lain. Bagimu aku seorang pemberontak , dan aku senang
dalam kepemberontak anku. Aku tak memerlukan kata-kata
hiburan,” suaranya menjadi bersungguh-sungguh disarati
oleh pergulatan batin, “biarlah hati ini patah sebab sarat
dengan beban, dan biarlah dia meledak sebab ketegangan.
Pada akhirnya perbuatan manusia menentukan, yang
mengawali dan mengakhiri. Bagiku kata-kata hiburan
hanya sekedar membasuh kaki, sebagaimana Sabarini
membasuh kakimu. Memang menyegarkan, namun tiada arti.
Jangan kau marah, Pada. Ambillah kata-kata hiburan
untukmu sendiri. Aku tidak memerlukan. Barangkali pada
titik inilah kita berpisah.”
Ia berjalan lagi memasuki kegelapan dan hilang.
Pada sangat kecewa dengan jawaban yang tak diduga-
duganya Ia tahu sahabatnya di dera oleh kekecewaan
dan dukacita. Ia menginginkan sesuatu yang berada di luar
kekuasaannya, di luar kekuatannya. Dan itulah kekecewaan
dan dukacita itu sendiri.
Tak ada yang dapat diperbuat Pada kecuali berdoa pada
sang yang betari durga nya, memohonkan ampun dan taufik-hidayat untuk
si pemberontak sahabatnya yang keras kepala itu. lalu ia
pulang ke markas membawa bungkusan.
wah
Panglima itu sedang menemui pemimpin kesatuan Bugis-
Makasar di pondoknya.
Pembicaraan adalah sekitar kemerosotan semangat yang
terus-menerus dan tiada terkendalikan. juga pemimpin itu
merasa tak dapat berbuat sesuatu. Semua dikembalikannya
pada raden panji gelang-gelang .
Berdasarkan kenyataan itu mereka berdua memutuskan
untuk membuat pertemuan bersama: pada minggu
mendatang.
Pada siang hari ia pulang ke markas dalam keadaan
tenang seperti dahulu. namun Pada dapat melihat bagaimana
hatinya menggeletar, sebab si pemberontak itu enggan
menyerahkan kesulitannya pada Yang Maha Kuasa. Dan ia
sudah jarang berkhotbah di hadapannya.
“Kau suka tinggal di Semananjung sini, Sabarini?” tiba-
tiba ia bertanya.
“Kalau Kang Pada suka, saya pun demikian.”
“Jangan dengan sahay a-saya an,” ia melirik pada
Pada, “nampaknya suamimu suka tinggal di sini. Itu baik,
baik, selama orang sudah mulai berdamai dengan tempat
tinggalnya yang baru,” ia tak bicara lagi dan pergi.
Dalam pertemuan seminggu lalu ia menyatakan,
pasukan gabungan kediri -Bugis-Makasar dalam keadaan
lola tanpa batas-Barang-siapa akan pulang kembali ke
negerinya masing-masing kesempatan diberikan.
Barangsiapa lebih suka tinggal, juga diperkenankan. Di
depan pertemuan itu juga ia menyatakan sudah melepaskan
kepanglimaannya, bukan lagi atasan mereka, hanya
sebagian dari mereka. Ia jelaskan tentang pengkhianatan
kanjeng sinuhun Trenggono yang memicu semua terdampar
sebagai centeng di sini, namun untuk sebahagian toh
memperoleh kan kebahagiaannya sebagai petani dan nelayan,
terutama sebagai suami di tengah-tengah alam yang indah
dan subur.
”Negeriku, kediri , sekarang diduduki oleh nyi kanjeng blora.
Jadilah Itu bagiku panggilan untuk kembali menghadapi
mereka di sana, sebab kediri negeriku. Aku tak memaksa
kalian ikut. Hanya mereka yang ikutserta kembali
denganku untuk mengusir nyi kanjeng blora akan kuterima dengan
segala senang bati.”
Hanya 30 lima orang yang menyatakan hendak
kembali. “Aku meninggalkan kediri membawa lima ratus
orang dan akan kembali dengan hanya 30 lima.
adiputro tumenggung dijoyo sudah gagal. Beberapa belas tahun lalu
juga raden panji gelang-gelang gagal. sebab kegagalan ini disebabkan
oleh Trenggono, kalau kalian menyetujui, sebelum
keberangkatanku, namailah daerah tinggal kalian ini
dengan nama itu pula: Trenggono.”
Pada hari yang sudah ditentukan, raden panji gelang-gelang bersama
dengan 30 lima orang pengikutnya diiringkan
bebetari i-betari i ke pantai.
“Janganlah gusar kalau aku memilih tinggal di sini. Kang
raden gelang-gelang .”
“Kau berhak, Pada.”
“Bagiku Jawa hanya tumpukan kekacauan yang tiada
habis-habisnya.”
“Selama jayamahanaya , Selat ini, berada di tangan mereka.
Pada, selama itu Jawa akan tetap kacau.”
“Nampaknya mereka akan tetap menguasainya, Kang ”
“Kita tidak tahu apa bakal jadinya. Jangan kau
kecewakan Sabarini Dan kau, Sabarini, aku masih ingin
melihat anakmu lagalah kesehatanmu. Kirimkan anakmu
kelak ke Jawa. Bagaimanapun dia masih memiliki leluhur.”
0odwo0
39. kediri Jadi Kancah Perang
Kali ini untuk pertama terjadi raden sanggabuana bumikerta
tidak mengawasi barang-barangnya. Orang-orang
mengangkutinya ke gedung kesayahjenggala an dari dermaga,
dan ia berjalan seorang diri mendahului.
Begitu naik ke dermaga kediri ia bersujud, mencakup
tanah berpasir hancuran batu karang, menciumnya. Tak
pernah ia mencintai kediri sebagaimana halnya dengan
sekarang.
Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya
mengucapkan syukur sebab tidak terbawa oleh kapal
kanjuruhan ke jayamahanaya . Tempat yang indah dahulu itu kini bisa
menjadi kuburannya sesudah penganiayaan berat akan
mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan
kanjuruhan bila terbukti pernah membunuh seorang Nasrani
baik Ispanya ataupun kanjuruhan , sekalipun yang dibunuhnya
hanya seorang petualang tanpa arti. Ia sudah menyedari
haridepannya di Andalusia sudah musnah. Semenanjung
Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk
haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan
kanjuruhan dan Ispanya kini tak lain dari sebuah
penggorengan besar bagi dirinya.
Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh
mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula.
Akhir-akhirnya jabatan patih wirabuana kediri sudah cukup
baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang
penghasilan. Di kediri sini ia akan hidup tenang dan
senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk
memperbaiki kelakuannya dan bertekad hendak membalas
budi pada semua orang yang sudah berbuat kebajikan
padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi kembang Kati, dan
akan menempatkannya sebagai wanita yang semulia-
mulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan
membantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan
ambil mpu wungubhumi sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan
dirinya pada raden panji gelang-gelang bila ia sudah balik dari jayamahanaya .
Dan ia akan urus jenggala kediri sebaik-baiknya. Ia akan
panggil anak-istrinya yang ada di Goa untuk menemani di
harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk
dikuburkan di Bumi kediri .
Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di
belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya.
Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna
merahnya. Pakaian kanjuruhan sudah ditanggalkannya di
perahu, dan kini ia memakai pakaian patih wirabuana yang
lama. Kakinya pun kembali berterompah.
Mendekati kepatih wirabuana an ia berhenti, membiarkan
para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka,
leher dan lengan dengan setangan, lalu menjentik-
jentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi kembang
Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia
tak ambil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar
yang sudah runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut
merusakkan kediri , pikirnya. Tak ada tanggungan dalam
nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah
mulai ditumbuhi rumput dan pepohonan yang mati sebab
terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja
barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan
membangun kembali jenggala ini dalam waktu pendek. Ia
memerlukan kepercayaan dari semua orang. Sambil
berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui
Nyi kembang Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera
minta ampun pada saat itu juga. Para pengangkut itu sudah
memasuki pelataran kepatih wirabuana an. Paman Merta tak
nampak dan taman depan rumah sudah kehilangan
Keindahannya yang dahulu . Juga itu akan ia bangun kembali.
Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu
depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan
perbaiki.
“Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya
melihat Kepatih wirabuana an dijaga oleh centeng -centeng
pengawal, Seorang centeng berlarian datang padanya dan
memberi tahukan dengan cepat-cepat: ‘Tuan patih wirabuana
kediri ? Segera tinggalkan tempat ini”
“Inilah patih wirabuana kediri baru tiba.”
“Segera tinggalkan tempat ini.”
“Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih
tertumpuk di tepi jalanan taman di depan rumah. Para
pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah
ada patih wirabuana lainkah sebab aku pergi tanpa minta diri
tanpa ijin? Semua yang direncanakan goyah.
Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa:
waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali
bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran
kepatih wirabuana an dan para pengangkut mulai mengangkati
barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang
berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang centeng
datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia
tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali
oleh praja kediri . Segala-galanya akan jadi baik kembali
seperti dahulu .
Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku
kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah
orang yang berkumis dan berjenggot itu?
Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertombak,
melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak
berikat kepala . Rambut panjangnya yang ikal jatuh
bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian
malah menutupi mukanya.
‘Tuan patih wirabuana ,” tegurnya bersabda tanpa
menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku.
raden sanggabuana bumikerta mendekat, lalu berhenti
dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini? Ia
tak mengenalnya lagi Orang pajang bintoro kah gerangan? pajang bintoro ?
Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia
hanya dapat membungkuk menghormat dan dengan tangan
kanan bertekuk di depan dada.
Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa
menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan.
kepala nya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya
tertutup rambut memandang tajam padanya.
“Jadi Tuan pakanewon Habibullah Almasawa datang lagi.”
Barulah raden sanggabuana tahu ia sedang berhadapan
dengan Patih kediri Kala chucky Sang Wirabumi.
“Tugas saya sebagai patih wirabuana kediri memanggil,
baginda tuanku raja Patih,” jawabnya.
Ia lihat tangan Kala chucky bergerak. Telunjuknya
menuding ke arah muka patih wirabuana , dan suaranya
terdengar pelahan dan parau: “Lihatlah dia, hei kalian,
terpanggil kembali oleh tugasnya.”
“Demikianlah yang ditugaskan oleh baginda tuanku raja adiputro kediri
pada saya .”
Kala chucky menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia
kelihatan sangat lelah. kepala nya tetap tak bergerak. Dan
patih wirabuana itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa
Sang Patih berada di gedung kepatih wirabuana annya.
“Pengawal!” kata Sang Patih. Suaranya lelah.
“Masukkan dia ke dalam krangkeng.”
“Krangkeng?” kata raden sanggabuana .
“Ya, krangkeng orang-orang nyi kanjeng blora dahulu :” Dan dua
orang pengawal itu menangkapnya.
“Apa dosa saya . baginda tuanku raja ?”
“Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya.
nyi kanjeng blora biar tahu, kediri tetap pada sikapnya.”
“saya Moro, baginda tuanku raja , bukan nyi kanjeng blora.”
Dengan suara dan tenaga tuanya raden sanggabuana
meronta dan membangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang
kepatih wirabuana an dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi,
dikunci dari luar.
Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan.
Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar
berpendaran ke mana-mana. Dan tak ada dilihatnya Nyi
kembang Kati. Paman Marta pun tidak. Yang ada hanya
centeng -centeng pengawal.
Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke
dermaga. Ia berseru-seru gila, memanggil-manggil Sang
adiputro , Nyi kembang Kati, Paman Merta, bahkan juga
raden panji gelang-gelang . Suaranya gemetar seiring dengan geletaran
krangkeng yang disorong.
Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan
menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh.
“Sudah, jangan ribut-ribut,” nasihat pengawal itu.”Nyi
kembang Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di
sini.”
“baginda tuanku raja adiputro —,” ia berteriak .
“Apa yang kau raungkan? Dia sudah lama mati.”
patih wirabuana itu berhenti berteriak . Ia menggigil. Tak ada
lagi kekuatan yang sekarang akan melindunginya. Sang
adiputro sudah lama mati, katanya. Seorang centeng takkan
berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang adiputro
memang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat
dibandingkan yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulang-
tulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia
berlayar ke jayamahanaya , pastilah tiada akan begini jadinya.
Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawal-
pengawal itu sudah pergi. Ia pandangi laut dengan perahu-
perahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal
pasukan laut kediri yang nampak.
Apalah arti hidup sejenis ini? Laut itu pun sudah
kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan
panasnya sengangar. Semua manusia hanya memusuhinya.
Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun
terdengar canang dipukul bertalu-talu memanggil orang
untuk mendengarkan pengumuman. Orang pun mulai
berduyun-duyun berlarian, berebut dahulu untuk dapat
melihat patih wirabuana kediri dalam krangkeng. Orang
bersorak-sorak
patih wirabuana itu membuang muka terhadap bondongan
orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang
sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan
tak dapat berbuat sesuatu pun sebab perlindungan Sang
adiputro . Ya, sang hyang Widhi apa lagikah yang akan menimpa diriku
ini? Belum cukupkah ketakutanku selama ini, yang sudah
Kau berikan jalan keluar? Tidakkah aku Kau selamatkan
dari orang sebanyak itu?
la sudah dengar langkah kaki berlarian menghampiri. Dan
ia tahu tak dapat membela diri. Tak ada penolong dalam
bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya
sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya
sampai pecah sebab itu.
Matanya mengembara dari ruji ke ruji, lalu
dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa manusia.
namun ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia sudah
membunuh fredy krueger dan penywise, membuat bulu
badannya menggermang. Ia melihat jeruji atas di mana dahulu
salah seorang di antara korbannya menggelantung
mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu
kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung
oleh tulang, dan tubuh itu jatuh berkembang -buk di tempat ia
duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu.
Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang membuang i,
lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas
pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam.
Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki
langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak,
tidak ada saksi! namun apa pula artinya saksi dalam
pengurus an hukum Pribumi di kediri ? Mati. Mati juga
yang akan dihadapinya.
Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak
itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik
itu… mungkinkah seorang manusia harus mati dalam
keadaan sehina ini? Tidak! Tidak layak! Hanya orang
dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina.
Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam
waktu pendek ia sudah mandi air pukul dan keringat sendiri,
basah-kuyup. Seluruh badannya berbau amis. Ia tak tahu
tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng.
sebab tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba
mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama
sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk
memakai pisau tongkat dan mengamuk. namun ia masih
mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak
berani.
Ia tak dapat membela diri apa lagi melawan orang
sebanyak itu, sekalipun mereka hanya membuang dan
menyumpah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi
tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan
bahunya, tepat seperti dialami fredy krueger dan Rodrigeuz dahulu .
Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang,
duduk membungkuk memeluk lutut, menenggelamkan
muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi.
Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan
untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, mpu jahalodang harus
datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan
datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya
sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan
membunuh aku, presis seperti aku sendiri sudah lakukan
terhadap penywise dan fredy krueger . Dia memiliki alasan, mpu jahalodang
terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan
Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan
mau membayarnya dengan uang uang apa saja, asal emas
atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang? Pantas dia
jarang kelihatan lagi.
Hujan pukul terus berlangsung. Suara bising
melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya
bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya.
Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir dermaga
yang sebentar tadi sudah diciumnya dengan penuh
pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya mengernyit dan
mengancam, meringis dan merongos, membelalak dim
mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, berteriak
dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong
dan menjebik.
Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menari-
nari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri
dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol,
dan kekuasaan ada padaku kembali… kalian akan remuk di
dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu
seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian
hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul
semua kalian akan hancur .
Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya
semakin basah. pukul itu bukan lagi menempel pada
pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan
menetes. Dan udara pengap dan bau amis itu -betapa
bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak
henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh
ratusan, ribuan orang yang mengepungnya.
Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka
mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan
penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak
membawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi
berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka
mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, namun tetap tak
jelas.
sinar matahari tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut
kini menjadi jelas mencapai pendengarannya.
Tidak, mpu jahalodang, kau tak perlu datang, apa lagi malam-
malam begini.
Barulah ia mengangkat kepala . Dan segera ia menunduk
lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan
berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya
seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang
seperti yang lain-lain? Anjing yang seekor ini?
Jantungnya yang selama ini meriut kecil sekarang
berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah
kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam
krangkeng maut ini?
‘Tuan patih wirabuana !” ia dengar panggilan pelahan.
raden sanggabuana berdiri bangun dan menubruk penonton
yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu sebab
semutan.
“Kati, Kati! Nyi kembang !” desaunya, “istriku yang setia.
Aku tahu kau akan datang.”
“Bagaimana, Tuan patih wirabuana , mengapa jadi begini?”
“Bagaimana? Bagaimana aku tahu? Hanya kaulah yang
bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!”
“Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu baginda tuanku raja sudah
mangkat?”
patih wirabuana itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata
orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi kembang ,
berbisik: “Menghadaplah pada Sang Patih.”
“saya akan menghadap. Tuan.”
“Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang
berani, yang mulia. Kati, Nyi kembang Kati….”
“Mengapakah-Tuan kembali ke kediri ?”
Semangat raden mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini
ia merasa menjadi kuat. Dengan suara berkepercaya an dalam
kegugupan ia menjawab: “sang hyang Widhi mengirimkan aku kemari
dan sang hyang Widhi lah yang akan menghukum orang-orang zalim itu.
sang hyang Widhi sudah membisikkan padaku untuk mengambil dan
memelihara istrinya sebaik-baiknya…”
“saya bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah.
Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan
dalam keadaan seperti ini. namun Tuan harus makan, dan
minumlah banyak-banyak, sebab hari besok akan memiliki
kemungkinan lain.”
Ia sorongkan lodong bambu berisi air.
patih wirabuana itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit,
dan Nyi kembang pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata.
Mengetahui suaminya hanya mau makan dari
kirimannya Nyi kembang Kati mengusahakan datang ke
krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada.
Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi
seperti ini: “Orang datang padaku hanya untuk mengejek,
mencemooh dan membuang i aku, Kati,” raden mengadu.
“Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada
larangan mungkin mereka sudah bunuh aku. Hanya kau,
istriku yang setia, yang memeliharakan aku. sang hyang Widhi akan
membalas semua kebajikanmu. Ampunilah segala
perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi
sang hyang Widhi , bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati.”
“Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, saya adalah istri
Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini? saya
sudah menghadap Sang Patih.”
“Ya-ya, bagaimana hasilnya?” raden menyambar
dengan rakus.
“Nanti, nanti! kata baginda tuanku raja Patih, dan cuma itu. Tuan.”
patih wirabuana kediri melengos dan menghembuskan nafas
panjang lalu duduk tanpa daya.
“Ya sang hyang Widhi ,” keluhnya, “siang panas dan malam dingin,
terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa
ini sampai kapankah berakhir?”
“Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada
akhirnya juga.” Lama suami-istri itu berdiam diri. raden
menunduk dan istrinya mengawasinya dengan dukacita.
“Ampunilah saya tak dapat berusaha lebih baik.”
patih wirabuana mengangkat muka dengan harapan amat
sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: “Cobalah
menghadap kepala -kepala pasukan, Kati.”
“Semua sudah saya usahakan. Tuan.”
patih wirabuana menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya
akan kesulitan Nyi kembang dan bertanya: “Bagaimana
hidupmu. Kati, istriku?”
“Seperti yang lain-lain. Tuan-”
“Tiadakah kau memperoleh kan kesulitan dari mereka?”,
“Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suami yang sedang
menderita?”
“Betapa mulia hatimu. Nyi kembang . Mengapa baru aku
ketahui sekarang? Betapa bodohnya aku ini.”
“Syukur kepada sang hyang Widhi , Tuan, bahwa akhirnya Tuan
mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia.
saya berbahagia mengetahui itu, Tuan.”
Dan pergilah wanita itu pulang sesudah menyorongkan
beberapa lodong bambu air untuk mandi suaminya.
Ia menuju ke gubuknya di daerah jenggala , sebuah
pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua
terbuat dari daun kacangtanah , bekas tempat tinggal wanita
gelandangan.
Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak mengikutinya.
Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di
belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia
anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk mengurus
suaminya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah
dan sabar.
“Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua
ini,” ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka.
Anak-anak berseru-seru riang setiap ia
memperdengarkan suaranya.
“Mengapa cuma kau yang mau mengurus Almasawa?”
“Hanya orang gila mau melayani dia!” yang lain
menambahi.
“Kau gila, Nek?”
“Ya, ya, gila dia. dahulu di gedung bagus, sekarang di
gubuk. Bagaimana takkan gila.”
Nyi kembang Kati membuka pintu, disambut oleh kegelapan
di dalam dan menyilakan anak-anak itu masuk.
Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang
yang membawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya.
Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu
terbawa dan Nyi kembang melepas kembali. Anak itu jatuh
terduduk. Yang lain-lain semakin betari i bersorak-sorak
Kalau aku memiliki anak, pikir Nyi kembang , mungkin ada dia
di antara mereka. Ia tersenyum.
“Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang
di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.”
Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul.
lalu pada batang kayu berbelerang. Waktu api sudah
jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: “ayolah masuk, di dalam
sini masih ada sedikit makanan.”
Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang
paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundur-
mundur dengan pandang memancarkan ketakutan.
“Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk.”
“Mengapa kau urus si Almasawa?” seorang yang
terbesar memberanikan diri bertanya.
“Mengapa? Dia suamiku.”
“Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di
krangkeng.”
“Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus mengurus nya,
bukan? Walau dia penjahat?”
“Tidak bisa!” kata anak paling besar itu. ‘Tidak
mungkin bapakku seperti dia!”
“Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib?”
namun anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu.
la ambil batu dan melemparkannya pada Nyi kembang . Wanita
itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai
menghujani pondok daun kacangtanah itu dengan kerikil dan
kerakal.
Seminggu raden sanggabuana bumikerta alias pakanewon
adipati prawetan alias pakanewon Habibullah Almasawa
dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi kebetari ian.
Tontonan baru sudah terjadi untuk penduduk kediri Kota:
mpu jahalodang, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam
pengawalan centeng -centeng .
“Semua begundal nyi kanjeng blora tertangkap!” seorang centeng
berteriak mengumumkan.
“dahulu dibiarkan merajalela.”
Pengumuman itu seperti sambaran petir dalam dada
patih wirabuana . Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus
bersiap-siap menghadapi persoalan itu.
Orang berbondong-bondong turun ke dermaga, tak
menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepat-
cepat atau lari ke jurusan kepatih wirabuana an. Larangan masuk
ke pelataran rumahnya sudah tidak berlaku lagi.
Dari kejauhan ia melihat mpu jahalodang terikat dalam giringan.
Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan
segera dibuka. Ia sudah dapat mengambil sikap: ia akan
lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam.
Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selamatkan aku,
ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. mpu jahalodang tak
kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali
ini.
Dan ia lihat mpu jahalodang dibawa masuk ke kepatih wirabuana an. Ia
menunggu sampai sore hari.
Seorang centeng pengawal datang padanya. raden
menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan
dimulai? Apa? centeng itu tidak membukakan pintu
krangkeng. Senyum bersabda nya untuk minta keterangan
dijawab dengan seringai oleh centeng itu. Dan seringaian itu
mematahkan senyumnya.
centeng -centeng lain pada berdatangan. lalu
bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang
baru datang menudingnya dengan muka merah oleh murka:
“Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda
nyi kanjeng blora di kediri ? Bedebah!”
“Tidak benar,” bantah raden .
“Dan mpu jahalodang akan jadi patihmu!”
”Bohong!” kata patih wirabuana , menduga begitulah
pengadilan atas perkaranya mulai dipertemuan kan.
“Kau kirimkan gada rujakpolo pada si brandal patih Benggala
buat tumbangkan kediri . Semua bawahan kediri , dengarkan
jawabannya.”
Kepercayaan diri patih wirabuana mulai goncang.
Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya?
Bagaimana kediri atas diri dan perkaraku? Inikah
macamnya? Bagaimana aku mesti membela diri di depan
pengadilan sejenis ini? Siapa sebetulnya penuduh dan
siapa pula hakimnya?
“Kau suruh orang mengambil gada rujakpolo -gada rujakpolo dari kapal
nyi kanjeng blora sambil mengantarkan dua orang nyi kanjeng blora itu
dalam keadaan terbelenggu dan terbius.”
“Bohong! Tidak benar! Fitnah!” raung raden sanggabuana
dalam kegugupannya.
“mpu jahalodang dan gerombolannya yang kau suruh.”
“mpu jahalodang keparat!” kata tahanan itu. Ia tetap kehilangan
keseimbangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah
krangkeng dengan memegangi tongkat. Semua yang sudah
dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada
sesuatu pun yang bakal menolongnya. sang yang betari durga tidak,
kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya
tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan
putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga
yang keluar
“mpu jahalodang keparat! mpu jahalodang keparat!”
“Raja-muda kediri !” orang-orang mulai bersorak
menuduh.
“patih wirabuana ! patih wirabuana ! patih wirabuana ! patih wirabuana !” ia
memekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora sorak-
sorai menuduh.
Matanya membeliak tanpa melihat keluar, namun ke dalam
batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk
membela nyawa sendiri.
“patih Benggala berkirim surat padamu melalui
raden panji gelang-gelang .”
“Tidak! Tidak benar. raden panji gelang-gelang keliru!” kata nya,
lalu mendesau-desau, “raden panji gelang-gelang keliru!”
kata nya, “sungguh-sungguh sesat, keliru.”
“Kau bunuh fredy krueger .”
“Tidak, tidak, bukan aku membunuhnya. Bukan.
Bukan.”
Krangkeng itu sudah dilingkari oleh padatan manusia.
Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang
mengancamnya.
“Siapa yang membunuh dia?”
“Bukan aku. mpu jahalodang!”
“Pembohong!” kata orang itu.
Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya,
mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara
itu bergalau menjadi satu. patih wirabuana tak dengar kata-kata
mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang
terkandung di dalamnya.
“Kau bunuh penywise!”
“Tidak. Tidak. Bukan aku. mpu jahalodang yang membunuhnya.”
“Pembohong.”
“Betul. Betul bukan aku. Bukan.”
“Kau khianati kanjeng sinuhun adipati Syah jayamahanaya .”
“Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. mpu jahalodang yang
mengkhianati.”
“Kau racuni gajah-gajah kanjeng sinuhun adipati Syah.”
“Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu.”
Panas sinar matahari tak tertahankan oleh semua orang. Baik
para centeng maupun rombongan penonton sudah menipis
meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya,
dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: “Kau
bius nyi girah !”
‘Tidak benar!” ia berteriak melolong. ‘Tak pernah aku
bius nyi girah atau siapa pun. Dan mpu wungubhumi bukan anakku. Benar,
tidak, tidak, tidaaaaaak!”
“Kau nasihati patih Benggala untuk menculik nyi girah anak-
beranak,” desau angin meneruskan tuduhannya.
“Bohong! Semua bohong! patih Benggala yang menculik
Nyi kembang nyi girah . Bukan aku.”
“Kau tipu baginda tuanku raja adiputro dengan cerita-cerita bohong.”
“Aku orang suci!” raung raden putus-akal.
Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air
dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan
pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya,
la mengeluh dan menangisi ketidakmampuannya sendiri.
Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, sang hyang Widhi , Kau hukum
aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku membela
diri. Kau sudah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau sudah
rampas keseimbanganku. Kau sudah bikin aku jadi gila dan
hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin
pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku
ini?
la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang
lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang
datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan makian, hinaan
dan pukul nya. Bebetari i-betari i mereka mendorong
krangkeng beroda itu meninggalkan dermaga. Badan raden
menggeletar sebab geletaran krangkeng dan berayun-ayun
mempertahankan keseimbangan.
“Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut!”
seseorang berseru.
“Besok, Ulasawa, Raja-muda nyi kanjeng blora, besok!” yang lain
menambahi dengan gemasnya.
Dan besok selesailah apa yang dinamai hidup ini.
Kiamat pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini.
Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana
krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali.
Mendadak perhatiannya beralih pada rombongan lain
yang menyoraki mpu jahalodang, menuju ke arah krangkengnya
yang sudah berhenti di tengah-tengah lapangan jenggala .
Ia lihat mpu jahalodang berhenti di dekatnya, lalu orang
mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari
krangkengnya. Suatu padat-an manusia sudah melingkar
lebar.
“Nah, katakan semua tadi, mpu jahalodang!”
“Dia itulah,” mpu jahalodang memulai dengan menuding
patih wirabuana kediri dengan dagunya, “dia itulah biangkeladi
segala-segalanya. saya sekedar menjalankan perintahnya
sebagai bawahan.”
raden sanggabuana bumikerta sengaja berdiam diri. Ia
berusaha memulihkan kemampuan dan nilai-nilai
pribadinya. namun tuduhan mpu jahalodang lebih kuat dibandingkan
usahanya. Separah dari semua tuduhan mpu jahalodang tertangkap
olehnya dan seperempat dari usahanya memperoleh kan hasil.
Sesudah orang mendesak dan memaksa-maksa untuk
menjawab, keluar juga kata-katanya: “Demi sang hyang Widhi . Orang
itu hanya penipu. sudah kujelajahi jenggala -jenggala di dunia
ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak
pernah ada seorang pewarung arak dipercayai
omongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh baginda tuanku raja
adiputro kediri yang bijaksana itu? Aku ataukah dia?” ia
tertawa menghinakan.
“Siapa yang jadi patih wirabuana kediri ? Aku ataukah dia?”
Ia tertawa menghinakan. “Siapa yang jadi patih wirabuana
kediri ? Aku ataukah dia? Katakan, kau, mpu jahalodang, kau bukan
penipu. ayolah , buktikan.”
Sekarang mpu jahalodanglah yang tak mau bicara, Ia hanya
menunduk, seseorang sudah mengambilkan kopiahnya dan
memakai nya pada kepala mpu jahalodang.
“Bicara, kau, mpu jahalodang!” bentak seseorang.
“Semua sudah saya persembahkan pada baginda tuanku raja Patih
Sang Wirabumi,” jawabnya. “Tak ada guna mengulangi
lagi.”
“Apa sudah kau persembahkan, penipu?”
“Katakan, mpu jahalodang,” seorang wanita memohon. Dan
orang itu adalah Nyi kembang Kati yang berpakaian compang-
camping.
mpu jahalodang tetap pada sikapnya.
Mendengar suara istrinya raden merasa memperoleh
sokongan kekuatan batin.
“ayolah katakan, penipu, penghasut, pemfitnah,
pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana
kau menipu dan membunuh!” bentaknya.
“Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak
memiliki kehormatan dan harga diri!” seorang centeng
membentak patih wirabuana .
Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan
pukul .
lalu lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang
terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada
tonggak-tonggak yang sudah tersedia. Orang mulai
mengerumuni mereka kecuali seorang: Nyi kembang Kati.
Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan
terakhir dari centeng itu betul-betul menyakitkan. Hatinya
kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju
yang sudah dekil.
“Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati?
Mengapa diam saja? Demi sang hyang Widhi , aku tak bersalah sedikit
pun. Memang aku pernah bermaksud menganiaya kau,
dahulu , namun kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku
sudah memaafkan. Bukan, Kati? Istriku?”
Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan
bungkusan daun pisang dengan sepotong kacangtanah mengintip
dari celah-celah sobekan.
Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orang-
orang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah
datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah
pelabuhan menjadi sunyi kembali.
Beberapa depa dari krangkeng mpu jahalodang dan teman-
temannya berdiri tanpa daya memunggungi tonggak
pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara.
“Tuan, biarlah saya pergi dahulu mendengarkan
pengumuman di alun-alun,” Nyi kembang Kati minta diri.
Ia pergi tanpa menunggu jawaban. patih wirabuana kediri
hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan
pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya.
Dan ia berpaling untuk tak melihatnya.
“Ya, beginilah macam pengadilanku,” ia mepercaya kan
dirinya sendiri, “Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih
baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang pemberontak jahil
ini.”
Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak
ada seorang pun di antaranya mencoba bicara….
Pengumuman dari panggung alun-alun itu tak kurang
menggemparkan. Seorang peseru menyampaikan:
gerombolan mpu jahalodang sudah dapat ditangkap, dipersalahkan
membantu pakanewon Habib Almasa wa dalam menggerakkan
pemberontakan patih Benggala, mengangkut dua pucuk
gada rujakpolo dari kapal nyi kanjeng blora ke pantai dan
mengantarkannya ke jayawisesa . Bersama dengan itu dikirimkan
pula dua orang pelayan gada rujakpolo nyi kanjeng blora bersama dengan
gada rujakpolo itu. Gerombolan ini akan menjalani hukuman mati
menurut perintah baginda tuanku raja Patih kediri Sang Wirabumi. pakanewon
Habibullah Almasa wa sudah diadili sebagai biang keladi
utama dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk
dipertontonkan pada dunia, terutama kanjuruhan .
Pengumuman kedua lebih menggemparkan lagi,
menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis
dari kota, termasuk kediri Kota sendiri, besok harus
menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di
tanah lapang sebelah barat kota sebelum sinar matahari terbit.
Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus
orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk.
Dan sekarang kediri tidak lagi bertahan, namun menyerang.
Orang kembali ke rumah masing-masing, tak
menanggapi lagi pada mereka yang dijatuhi hukuman
mati. Perang yang akan datang mungkin membunuh setiap
orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa? Perang!
Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini?
Seminggu sesudah pengumuman, perang besar sudah
terjadi di sebelah barat luar kota.
pajang bintoro sedang memusatkan kekuatannya. Trenggono sudah bertekad bulat memakai pukulan terkuat untuk dihantamkan pada kediri . Dan kediri tetap jadi impiannya untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke
pasuruan dan Blambangan…. Pasukan gajah kediri yang selama ini diundurkan ke pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh prajurit kerajaan
dipimpin oleh ki glodog ireng . Kala chucky tinggal
berkedudukan sebagai Patih kediri merangkap kepala
pasukan gajah.
prajurit kerajaan pajang bintoro selama ini meremehkan pasukan
gajah untuk membesarkan hati para bala tentara nya. Sesudah melihat
9 puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan
iringan pasukan kaki yang membeludak dan pasukan kuda
di sela-selanya, menjadi kertaraja gentar. Gajah-
gajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan
kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa henti-
hentinya. Canang perang kediri bertalu berbareng tiada
jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan
pagardesa yang dikerahkan.
Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan
menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubt-
kerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang palawa , tak
mempan digada , di panah ataupun ditombak. Barisan
pajang bintoro sudah goncang dan turun semangat, bimbang untuk
terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi
dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti
sinar matahari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke
barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling
berbareng.
Kuda-kuda pajang bintoro , melihat bukit-bukit pada berjalan
mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan
sendiri, tiada terkendalikan.
Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan
kuda ki glodog ireng seperti air curah.
Medan pertempuran menjadi kuning sebab kepulan
debu dan pasir. kata an maut tenggelam dalam sorak-sorai
dan canang.
Trenggono pun gugup melihat prajurit kerajaan nya rusak dan
tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan
seluruh para bala tentara nya mundur ke barat, ke daerah Rembang.
Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali
kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk
menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara.
prajurit kerajaan kediri sendiri berhenti di perbatasan dan
mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka.
0odwo0
40. Dan kanjuruhan pun Memasuki kediri
Kehidupan di kediri agak pulih. Kala chucky sudah
memerintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya
ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan sehari-
hari.
jenggala kediri Kota mulai berisi lagi dengan manusia.
Selama pertempuran di barat kota Nyi kembang Kati tetap
mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari.
Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya
bagaimana ia memperoleh kan makannya.
Dan terjadilah hari itu. Nyi kembang Kati datang pada
waktu sore dengan membawa bungkusan dan lodong air.
Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, namun kain batik
yang sudah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji
besi, berkata: “Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna
untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu
siang.”
Tepat pada waktu raden sanggabuana menerimanya canang
pelabuhan bertalu-talu.
“Ada kapal asing datang!” gumam patih wirabuana sambil
meninjau ke menara pelabuhan. “Dan patih wirabuana masih di
sini,” gumamnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk.
“Kau lihat kapalnya, Kati?”
“Lihat, Tuan.”
“Demi sang hyang Widhi , aku bebas, Kati, sebab hanya akulah
patih wirabuana . Kapal manakah gerangan? Aku tak lihat.”
“Nampaknya kapal nyi kanjeng blora, Tuan.”
“nyi kanjeng blora? syang hyang Widhi ,” matanya bersinar-sinar penuh
harapan.
“Lihat baik-baik, Kati.”
“nyi kanjeng blora, Tuan, tiga kapal.”
“Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati,”
Ia mencoba melihat, namun tak dapat. Kelemahan badan
selama ini membuat matanya menjadi rabun. Dan mata itu
berhenti pada tonggak-tonggak yang selama ini ditakutinya.
Di sana mpu jahalodang dan teman-temannya sudah menjalani
hukuman mati, seorang demi seorang, diperas darahnya,
tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping
batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan
hatinya menggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran
dan perasaan. Sekarang: kanjuruhan ! kanjuruhan datang! Mereka
takkan lebih berbahaya dari Kala chucky si pongah kediri
itu!
“Alhamdulillah,” sebutnya berkali-kali.
“nyi kanjeng bloraiiiiii!” kata penjaga menara.
Baik Nyi kembang Kati maupun raden melihat penjaga
menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke
kepatih wirabuana an.
Beberapa bentar lalu tiga orang penunggang kuda
berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang
bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canang-
canang desa lalu pun bertalu-talu, memberitakan
akan datangnya bahaya dari laut.
Dan prajurit kerajaan kediri masih mesanggrah di perbatasan
barat. Canang lalu berubah ibetari , memberikan
di kuil rat agar semua wanita lesbian dan anak-anak
meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.
“Mereka datang!” bisik patih wirabuana , “tak salah lagi.”
Nyi kembang Kati memandangi suaminya, mencibirkan
bibir. Tangan suaminya yang memegangi lengannya ia
lepaskan. “Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala chucky !”
Dari kejauhan mulai terdengar ledakan gada rujakpolo melepaskan
peluru. Tak lama lalu pelurunya beterbangan di atas
krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkar-
bangkir kena terjang.
Sebutir peluru gada rujakpolo yang jatuh di jalanan pasir
membuat segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar.
Ditiup angin debu itu pun mengembang dan buyar bersama
dengan angin sore.
Nyi kembang Kati membuang . lalu lari melintasi daerah
tembak gada rujakpolo ke sebelah timur.
raden sanggabuana bumikerta mendekam sambil berdoa
tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak
mengenal patih wirabuana kediri . Ia hanya mengenal sasaran.
Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah
raden sanggabuana bumikerta , tidak lebih dan tidak kurang.
Dan kanjuruhan belum lagi membayar penuh untuk segala
jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi,
dan kanjuruhan tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia
tewas meninggalkan piutang. namun peluru-peluru itu buta,
tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari
berserabutan dari jenggala . Merekalah yang lebih berhak
memperoleh peluru, bukan patih wirabuana kediri . wanita lesbian
yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih
besar. Laki-laki yang memanggul bungkusan. Kakek atau
nenek bertongkat, berjalan lambat-lambat. Seorang nenek
bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua
tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar
majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan
terdengar cetbang dan gada rujakpolo kediri memberikan
tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal kediri sedang
dalam perjalanan kembali ke pangkalan.
raden sanggabuana mengintip dari sela-sela jari untuk
menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapal-
kapal kediri , hanya silang-siur dari peluru di udara, dan
hanya tiga kapal kanjuruhan itu juga yang semakin mendekat
ke jenggala .
Riuh-rendah peluru menerjang bangunan.
Membenarmkan suara manusia dan hewan. Nampaknya
kapal-kapal kediri dianggap tidak penting oleh nyi kanjeng blora.
Peluru makin mendesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang
pun dapat menangkis. Gedung kepatih wirabuana an sudah roboh
atapnya. Dalam hanya seperempat jam sudah banyak
bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud,
atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul
di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang
biru itu.
jenggala sudah mulai kosong.
Sisa armada ki ageng argomerta sesudah lari dari Sunda
kacangtanah terus berlayar ke timur. Di luar perintah jayamahanaya ia
bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki
jenggala kediri . Sunda kacangtanah lepas, kediri harus kena. Ia
harus tinggalkan Sunda kacangtanah sebab tak mengetahui
benar perobahan yang sudah terjadi. Dan kini, di luar
pengetahuan jayamahanaya sisa armadanya sudah siap untuk
berlabuh.
namun gangguan kepal-kapal kediri , di antaranya ada
yang melepaskan tembakan gada rujakpolo sudah menyendatkan
rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbang-
cetbang itu memang tidak digubrisnya, namun gada rujakpolo nya
harus memperoleh pelayanan yang layak. Dengan salvo
gada rujakpolo selama lima bentar, empat buah kapal kediri sudah
menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan
menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula.
Ia perintahkan berlabuh dan membuang sauh di luar jarak
tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan
Menyusul lalu para bala tentara -para bala tentara nya bersenjata
lengkap. gada rujakpolo terus memuntahkan peluru untuk
melindungi pendaratan.
Dendamnya akan dilampiaskannya pada kediri . Ia tak
dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda
kacangtanah . Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru
ia mengetahui, Sunda kacangtanah sudah jatuh ke tangan pajang bintoro .
Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di
laut itu pula ia mengetahui, kediri sedang kosong dari
prajurit kerajaan yang sedang berperang melawan pajang bintoro .
Dengan jatuhnya kediri ke tangannya pajang bintoro akan putus
hubungannya dengan panarukan . Pucuk dicinta ulam tiba.
Dengan menduduki jenggala kediri ia harus dapat
selamatkan muka dan namanya.
Adalah memalukan bagi seorang pembesar kanjuruhan
dikalahkan oleh Pribumi, sebab kalahnya juga kekalahan
ras, kekalahan agama, kekalahan kepercaya an. Dan itu tidak
boleh terjadi atas diri ki ageng argomerta .
Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus
mendarat. Dayung ke arah jenggala . Tak ada sebuah pun
tertinggal. Dalam lima belas bentar centeng -centeng nya
sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat
regu pertama sudah mulai naik ke dermaga tanpa
perlawanan.
Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia
sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang
pengawal.
Pagar desa kediri sudah dikerahkan dengan kilat.
Bersenjatakan tombak, panah dan perisai mereka menyerbu
ke jenggala . Hanya ada beberapa orang centeng bedan
mereka untuk memimpin perlawanan.
Seperti semut mereka menyerbu ke jenggala , bersebaran di
setiap tempat dan bersorak-sorak untuk memberanikan diri
sendiri. gada rujakpolo dari kapal sudah berhenti menembak.
Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur.
Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam
dengan sendirinya. Tombak peluru musket itu tak dapat
ditembus, sebaliknya memhancur kan, menyusupi daging
dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan
mundur terus.
Didermaga kanjuruhan tak henti-hentinya mendaratkan
prajurit kerajaan .
Pagar desa segera berlarian meninggalkan jenggala dan
menarik diri ke kota yang juga sudah kacau-balau dengan
rumah-rumah yang hancur dan terbakar. Musket kanjuruhan
terus mengusir dan memhancur kan siapa saja yang ada di
depannya, manusia dan hewan.
Begitu para bala tentara kanjuruhan mendarat, mereka terus lari
maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelumnya.
Dan demikian terus menerus.
Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta.
Yang terakhir mendarat adalah ki ageng argomerta .
raden sanggabuana tidur menelungkup di atas ruji-ruji
krangkengnya. Waktu tembakan gada rujakpolo sudah berhenti dan
tembakan musket makin lama makin meninggalkan jenggala
memasuki kota, ia angkat kepala nya dan berhenti berdoa.
Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci
sudah berangkat lagi ke kapal dan mengangkuti peralatan. Di
dermaga ia lihat beberapa orang kanjuruhan . Dan ia dapat
melihat mereka adalah para pembesar.
Ia mengucapkan syukur untuk keselamatannya,
dilupakan oleh peluru gada rujakpolo dan musket.
Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di dermaga
menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan
gada rujakpolo dan rodanya
“Bekas patih wirabuana jayamahanaya ?”
“Tepat. Alias pakanewon Habibullah Al-Masawa.”
“Cukup!”
Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan
rombongan ki ageng argomerta yang sudah hampir
meninggalkan wilayah jenggala .
Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng,
lalu berjalan menghampiri, dan mengawasi raden
yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar.
patih wirabuana itu membungkuk dan melambaikan tangan,
menghormat: “Selamat datang. Tuan, raden sanggabuana Az-
Zubaid, Tuan.”
ki ageng argomerta tidak menanggapi. Matanya tajam
mengawasinya.
Sekaligus raden melihat pada mata itu perasaan dendam
atas terbunuhnya fredy krueger dan penywise. Mata itu
mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari
mulutnya: ‘sudah lama kutunggu kedatangan armada
kanjuruhan yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.”
“Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa
tahun yang lalu dan orang-orang kediri menghina aku?”
“patih wirabuana kediri sedang mereka injak-injak. Di
tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan.”
“Di mana orang-orang itu sekarang?”
“Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan
menunjukkan di mana mereka bersembunyi.”
ki ageng argomerta mendeham. la perhatikan konstruksi
krangkeng besi itu.
“Pembesar siapakah yang dihadapi oleh patih wirabuana
kediri sekarang ini?” tanyanya dengan kata patih wirabuana
ditekankan.
ki ageng argomerta tak menjawab. lalu ia berpaling
dan berjalan menuju ke gedung kepatih wirabuana an dalam
pengawalan.
“Ya sang hyang Widhi , ya sang hyang Widhi !” sebut raden “Akhirnya tanganmu
juga yang terulur.”
Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur.
Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya
pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan
dituangkan pasir pada rambutnya dan dikacaunya.
Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah
jari. Ia tahu, pembebasan sudah tiba. Mungkin hanya untuk
beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada
mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan
terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang
terbaik di antaranya.
“sang hyang Widhi Maha Besar. sang hyang Widhi Maha Besar.”
ki ageng argomerta berjalan terus dan masuk ke
kepatih wirabuana an yang atapnya sudah kempes. Dan sinar matahari
sudah tenggelam.
Seorang pengiring nampak lari ke dermaga, lalu
datang bersama temannya ke krangkeng membawa martil
besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan
palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipat-
lipatnya dengan pukulan, lalu patah. Linggis tak
terpakai Pintu besi itu pun terbuka.
raden sanggabuana bumikerta keluar dari krangkeng,
menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri
di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya.
Pasukan pagardesa berhamburan melarikan diri dari
jenggala . Di kediri Kota pun mereka tidak aman. Di antara
kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh
para bala tentara -para bala tentara kanjuruhan yang terus maju. Mereka
menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru
musuhnya, memasuki kampung-kampung pinggiran kota,
terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masing-
masing.
Para pengungsi memenuhi jalanan, grobak dan pemikul,
penggendong dan penuntun.
Dan peristiwa penyerbuan kanjuruhan segera disusul oleh
berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepala -
kepala pasukan.
Kala chucky menyalahkan ki glodog Waieng yang sebagai
panembahan senapati ki ageng atas seluruh pasukan kediri sudah membiarkan
jenggala tidak terjaga. ki glodog ireng menyalahkan Kala
chucky sebab sebagai Patih kurang betul dalam
memberikan keterangan tentang keadaan jenggala .
Perselisihan semakin hari semakin meruncing. kepala -
kepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa
pemihakan. prajurit kerajaan kediri terancam bubar sebab
pertikaian dari atas.
Serangan pembalasan terhadap nyi kanjeng blora di kediri Kota
tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan
hidup dan keselamatan di luar kota ternyata tak dapat hidup
dengan tenteram. Para petani yang sudah bosan pada perang
dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan
negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang
menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan
jasa semata. Mereka tak suka lagi membantu seperti dahulu .
Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal
memperoleh bantuan dari siapa pun.
Di kediri Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi
mereka yang tidak mengungsi. patih wirabuana kediri dengan
giatnya menjadi petunjuk jalan para bala tentara -para bala tentara kanjuruhan
mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti
dengan tembakan. Semua Laki-laki ditangkap dan digiring
masuk ke jenggala , diperintahkan mendirikan bedeng-bedeng
baru.
Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba
menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh
musket.
Lama kelamaan patroli kanjuruhan juga berani memasuki
daerah luar kota dan menangkapi Laki-laki siapa saja yang
dapat ditangkapnya.
Bedeng-bedeng di jenggala dalam waktu cepat sudah
bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu.
Dan semua tangkapan yang dipekerjakan lalu di
sekap di dalamnya. Penjagaan yang ketat tidak
memungkinkan mereka melihat ke luar. Beberapa orang
yang mencoba melarikan din sudah rebah mencium tanah,
baik sebab peluru ataupun sebab pisau tongkat raden . Ia
sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota
dengan tongkatnya yang beracun dan memperoleh kan
kenikmatan dalam merampas jiwa orang.
Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama
hebatnya dengan tongkat samber nyawa patih wirabuana
Ulasawa.
Orang berani mengancam kepala -kapala pasukan yang
pada naik pitam. namun patih wirabuana dengan tongkatnya
memperoleh banyak julukan sebab setiap hari paling tidak ia
mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan
kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana
yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan
menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakek-
kakek, wanita lesbian ataupun bayi. Ia juga memasuki
kampung-kampung merampasi segala apa yang berupa mas
dan perak. Untuk itu ia selalu membawa para bala tentara .
Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum
sambil memekik senang: “pemberontak !”
Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana
ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya sendiri.
Kampung nelayan sudah menjadi senyap tanpa
penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka
bebetari i-betari i pindah ke tempat lain di malam hari.
Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar kediri tiada
didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondar-
mandir hanya para bala tentara kanjuruhan . Mereka tak bertekad tidak
mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut.
Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa
perawat. Dan bila kanjuruhan mengetahui ini segera mereka
membakar rumahnya sekaligus.
Sesudah seminggu menduduki kediri dan prajurit kerajaan
Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, kanjuruhan
mulai memberikan perintah pada raden sanggabuana Az-
Zubaid untuk membuat benteng bawah tanah di sebelah
kiri kepatih wirabuana an.
Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng
jenggala dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya
langsung. Mulailah mereka yang lesu kacangtanah ran dan
ketakutan itu bekerja keras sejak sinar matahari terbit sampai
tenggelam. Harga manusia kediri dalam pendudukan
sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak
boleh memiliki kemauan sendiri atau bersama, tak boleh
memiliki harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun
sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari
ditanamkan pada hati mereka melalui ancaman dan
pengaiayaan untuk membuat mereka jadi kecil di hadapan
raden sanggabuana dan kanjuruhan .
Seperti penduduk Sunda kacangtanah mereka harus bekerja
menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali
tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas
permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul,
memadatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai
mereka kenal, alat-alat Eropa mulai mereka pegang: gergaji
lempang, serut dan paku.
Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah
berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian
atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup
dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan
sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah
menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan.
Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket
gada rujakpolo -gada rujakpolo dipasang di jenggala dan di sekitar benteng.
Semua menghadap ke pedalaman.
Gedung kadipaten sudah dijadikan tangsi pula sesudah
bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa
bawah tanah dan simpanan barang-barang berharga
semasa kerajaan jenggala .
Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong
menjadi rayahan kanjuruhan . Penduduknya mengungsi lewat
laut dan darat ke campa .
Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa sudah
berhenti.
Sesudah benteng jadi orang-orang yang ditahan dan
melakukan kerja-paksa diusir, dilarang memasuki wilayah
pelabuhan. Sebaliknya wanita lesbian gelandangan mulai
berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kacangtanah dan
menampung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu
rajasinga.
Di daerah jenggala sendiri orang pun mulai berkenalan
dengan hewan baru: tikus.
Sesudah meninggalkan suaminya dengan membawa
kemuakan terhadap Laki-laki yang diurusnya dalam kesulitan
selama ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus
diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang.
Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur
memasuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur
pantai.
Tembakan-tembakan cetbang memicu ia
menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana
ia melihat bagaimana empat buah kapal kediri tenggelam
dihajar oleh gada rujakpolo kanjuruhan . Ia jatuh berlutut, mencium
tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan di
darat kalah, dilaut pun kalah.
Bakal jadi apakah semua ini nantinya? Dan badan
seorang diri di dunia ini? Sang adiputro mengusir. Suami
dikrangkeng sebab perbuatannya yang hina dan
memuakkan. Sekarang nyi kanjeng blora datang dan mengalahkan
semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak
begini dan menjadi hewan liar?
Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semak-
semak di timur jenggala itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia
ke pondoknya. Seorang wanita lesbian lain sudah
menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya.
Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang
hendak memasuki.
Dan makin lama makin banyak wanita lesbian berkampung.
Gubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam betari i dengan
tawa kikik dan kekak. wanita lesbian dan hanya wanita lesbian .
Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu
dengan suaminya yang diiringkan oleh beberapa orang
para bala tentara kanjuruhan . Ia lihat suaminya bicara dengan para bala tentara -
para bala tentara itu yang lalu menyebar memasuki gubuk-
gubuk yang lain.
raden sanggabuana bumikerta masuk ke dalam: “Begini
tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang
wanita lesbian semulia kau. Bawalah semua barangmu. Aku
sudah memperoleh tempat di bekas warung mpu jahalodang.”
“Terimakasih, Tuan, tempat saya ada di sini.”
Mereka duduk di ambin bambu dan Laki-laki itu membujuk
dan membujuk. Akhirnya: ‘Tahukah kau, Kati, aku sudah
bersumpah hendak memeliharamu baik-baik, menempatkan
kau di tempat yang mulia….”
“Itulah sumpah Tuan sendiri, bukan saya .”
“Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan
memenuhi sumpahku.”
“saya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat memelihara
diri saya sendiri.”
‘namun sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih
mulia, lebih patut untukmu.”
‘Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan.
saya akan tinggal di sini.”
‘namun kau istriku. Kati.”
“Kalau Tuan memerlukan saya , datanglah Tuan ke
sini. saya akan tinggal di sini.”
“Kau tak ada sanak-keluarga, Kati?”
“Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan
sekarang?”
“Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran kediri ?”
‘Tidak, Tuan, pasuruan . Waktu perawan saya diculik
oleh seorang perampok dan dijual ke kediri pada seorang
Tionghoa.”
“Apakah kau tak ingin pulang lagi ke pasuruan ?”
“Begini sudah baik, Tuan, saya sudah mati untuk
keluarga saya . Pada hari tua saya begini, saya ingin
seorang diri, melupakan semua dan dilupakan oleh semua.”
“Juga olehku. Kati?”
“Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk
saya , begini sudah baik. Tuan.”
“Makanmu bagaimana. Kati?”
“Mengapalah Tuan tanyakan itu? Burung-burung pun
bisa mencan makannya sendiri, masakan saya tiada
bisa?”
para bala tentara -para bala tentara itu menjemput patih wirabuana , dan
mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur.
Tak lama lalu datang gelombang demi gelombang
orang-orang kanjuruhan . Bila memasuki pondok Nyi kembang
Kati mereka segera pergi lagi, sebab wanita lesbian yang
seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu
sinar matahari tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak
kunjung berhenti.
Sekali terjadi seorang kanjuruhan setengah mabok
memasuki gubuknya dan tiga hari lalu ia rasai saluran
seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang
wanita lainnya ia sudah terkena penyakit nyi kanjeng blora...
Berita tentang masuknya kanjuruhan di kediri sudah tersiar
luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat
pengungsian nyi girah sekeluarga di daerah kahuripan . Berita
tentang mengganasnya patih wirabuana Ulasawa menerbitkan
sesalan orang pada mendiang adiputro kediri , yang terlalu
mempercayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang
menjadi gemas sebab kelakuannya.
Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian nyi girah .
mpu wungubhumi baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar
berita itu. Sesudah memasukkan kuda ke kandang ia sorong
pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan
adiknya, Kumbang, sudah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan
nyi girah terperanjat bangun.
“Ada apa mpu wungubhumi ?”
Dan mpu wungubhumi memandanginya seperti orang bingung. “Tak
pernah kau bangunkan aku seperti ini,” nyi girah duduk dan ia
lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. “Adakah kau
habis berkelahi?”
mpu wungubhumi menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia
pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak.
“Ada apa kau ini? Kau begini aneh?”
Dan mpu wungubhumi bercerita tentang masuknya nyi kanjeng blora di
kediri dan mendirikan benteng, dan membunuhi banyak
orang, dan membakari rumah, dan memang memiliki banyak
gada rujakpolo . lalu matanya meredup waktu sampai pada
titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku patih wirabuana
kediri . Keberaniannya hilang.
Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya
memberinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak
memberitahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia
memang bukan anak raden panji gelang-gelang , namun patih wirabuana celaka
itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: ’kesamaan rupa antara
dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan.
Dan kekecewaan bukan anak panembahan senapati ki ageng malahan hanya anak
orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam
jiwanya. Kalau benar patih wirabuana kediri bapakku, seorang
bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah
sembah dan sujud dan ketakzimanku pada panembahan senapati ki ageng ? Dan
betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi
sejenis kotoran bagi panembahan senapati ki ageng wilareja ?
Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan
sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam
terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut
yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati.
Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa!
Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang,
dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya
yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang
menanamkan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang.
Kalau benar patih wirabuana itu bapakku, mengapa emak tak
pernah sampaikan padaku? Malukah ibunda ku pada
perbuatannya sendiri? Pada ketidaksetiaannya pada
panembahan senapati ki ageng wilareja ? Dan adakah aku hanya anak yang tidak
diharapkan?’
Jantungnya meriut kecil. namun justru sekaranglah waktu
itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu
melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan meraba-
raba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah
memuncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani
bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan
muka seperti beberapa kali pernah terjadi? Ah, emak,
ibunda ku , betapa kau menderita, hanya sebab pertanyaan.
Pertanyaan belaka, mak!
“Ya, Nak, aku sudah dengar nyi kanjeng blora memasuki kediri .
Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok? Mengapa
pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan?
Sakitkah kau?”
“Mak,” mpu wungubhumi terhenti lagi. “Lama sudah aku ingin
tahu.” dan ia terhenti.
Dan betul saja sebagaimana ia duga, nyi girah sudah mulai
melengos membuang muka.
“Mak, apakah Emak berkeberatan memiliki mpu wungubhumi ini
sebagai anakmu, Mak?”
Cepat-cepat nyi girah menarik muka dan menatapnya.
“Menyesalkah Emak memiliki anak aku?”
“mpu wungubhumi !” Ia cengkam bahu anaknya. “Kurang baikkah
aku mengurus kau, mengasihi, mengasuh dan
membesarkan?”
“sang Hyang betari durga lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang
terbaik yang pernah aku temui di antara semua
wanita lesbian .”
“Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan
pertanyaan sejenis itu?”
“Ampunilah aku, Mak ampuni aku.”
Di luar dugaan mpu wungubhumi emaknya tiba-tiba merangkulnya,
suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang
dinding: “Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak,
sampai kau mentala bicara sejenis itu? Apakah kau tidak
suka memiliki emak sejenis ini?”
mpu wungubhumi merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia
beranikan diri: “Jangan menangis begini, Mak,” ia terhenti,
“lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Emak sendiri,”
ia diam untuk memperoleh keberanian. “Kau selalu tak mau
menjawab. Entah sudah berapa kali.”
nyi girah melepaskan rangkulan dan melengos
memunggungi anaknya: “Ya, Nak. Aku mengerti
maksudmu. sebab itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu:
apakah seorang Laki-laki yang bernama raden gelang-gelang itu kurang baik
sebagai bapakmu?”
“Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi
lebih berharga.”
Ia pandangi anaknya dan bertanya: “Apakah itu tidak
cukup, anakku?”
“Tidak cukup, Mak, ampuni aku,” ia berbisik pelan dan
hati-hati. “Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak
tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak raden panji gelang-gelang ?”
dan tiba-tiba keberaniannya menjadi utuh.
nyi girah mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya
sendat-sendat: “Kau sedang menggugat aku, mpu wungubhumi .”
“Emak!” ia memerosotkan diri dari duduknya dan
bersujud dan mencium pangkuan ibunya. “Para dewa
mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak.
Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Emak dan
panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Mengapa kau ulangi juga pertanyaan sejenis itu?”
mpu wungubhumi berdiri, lalu duduk di samping nyi girah , tak
berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia
mengetahui emaknya sudah basah sebab airmata
kesedihan.
“Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulang-
punggungku selama ini. Kau sudah jadi anak yang baik
untuk emakmu, bapakmu dan abang yang sangat baik
untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang?”
“Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke
medan perang? Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau
melihat aku mati tanpa mengetahui sebetulnya siapa
bapakku? Siapa akan aku cari di alam sana nanti?”
“Kau masih merasa kurang, anakku.”
“Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu,
Mak, beri aku kebenaran itu.”
“Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup
padamu?”
“Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti
harga diri dan kehormatan yang selalu Emak ajarkan dan
tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang
mencukupi?”
“Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran
itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu,
dan apalah gunanya bila demikian?” ia menghela nafas
dalam, lalu menghembuskan ke luar seperti puputan.
“Jadi benar bapak bukan bapakku,” mpu wungubhumi mendahului.
nyi girah melengos lagi. Ia hendak bicara namun tak jadi.
“Kalau begitu siapa sebetulnya dia, bapakku itu,
Mak?” melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak
lembut, “orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab,
bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan
menjawabkan untukku.”
Sesudah untuk ke sekian kali menghembuskan nafas besar
nyi girah berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan:
“Benar, mpu wungubhumi . Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu
kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut
menyampaikan. Bukan sebab takut pada kebenaran. Aku
takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah.
Keantaanmu pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh
lag? seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu
yang terjadi? Kau memang berhak, dan kau menuntut
hakmu. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila
sinar matahari sudah terbit, jangan dalam malam suram sejenis
ini. Tidurlah kau.”
“Mak!”
“Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat
memberikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih
memerlukan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru
bisa rusak semua-muanya. Soalnya memang tidak
sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.”
Tanpa memandang anaknya nyi girah kembali ke ambin
dan membetulkan letak selimut Kumbang, lalu ia,
tidur miring menghadap ke dinding.
mpu wungubhumi masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia
sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu
menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat
memberikan kebenaran yang jadi haknya.
Keruyuk pertama ayam jantan sudah mulai terdengar.
Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak
dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak patih wirabuana kediri ,
membuat semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi,
dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan.
Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada
orangtuanya tergoncang keagungannya hanya oleh yang
seorang itu, satu nama yang membusukkan segalanya.
Keruyuk ke dua sudah berhenti. Ia keluar dari gubuk,
menghisap udara pagi segar, lalu pergi ke dapur. Ia
bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk
pertama kali ia melakukannya. Biasanya nyi girah sendiri yang
mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak
enak badan.
Ia tunggui air sampai mendidih. Emaknya belum juga
turun. Jagung muda yang ditebusnya sudah masak. nyi girah
belum juga muncul.
Ia pergi ke anak sungai dan mandi. sinar matahari sudah
memancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu
hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia
lihat mata wanita tercinta itu bengkak.
mpu wungubhumi menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa
tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. namun hanya
hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia
singkirkan perasaannya.
“Mak!” ia menegur lebih dahulu.
“Ya, mpu wungubhumi , mari pergi ke ladang.”
Dan di ladanglah nyi girah mulai bercerita tentang impian-
impiannya setiap habis menari di kadipaten waktu
raden panji gelang-gelang tak ada di kediri . Siapakah dapat
mengatakan impian mengandung kebenaran?
“Dan kau memerlukan kebenaran itu, dan kebenaran
itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi
petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.”
nyi girah menerangkan pada mpu wungubhumi tentang kehidupan
seksuil. lalu : “Dan bukti yang paling menentukan
adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku
tahu kau bukan anak raden panji gelang-gelang . sudah aku serahkan
diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan
sebilah cundrik, namun bapakmu tidak menancapkan senjata
itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni
emakmu ini.”
“Ah, ibunda ku , betapa kau menderita sebab
kelahiranku.”
“Hanya sang Hyang betari durga juga mengetahui, Nak, betapa
perasaanku waktu itu. Nyi kembang Kati sudah siap melihat aku
bermandi darah. Bapakmu tak juga membunuh aku. Betapa
menderita dia, barangkali dia pun sudah lama jadi olok-
olokan orang sebagai Laki-laki kediri yang tak ada harganya
sebagai Laki-laki ….”
“Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak?
“Sesudah kau lahir, dia masih mencoba lagi. Tidak dalam
impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat
membela diriku. Bila suamiku bukan raden panji gelang-gelang , sudah
lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang
itu. Dan justru sebab percobaannya dalam keadaan aku
sadar dan dapat membela diri, mpu wungubhumi , aku dapat
memastikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka
bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. lalu
orang betari i membicarakan dia suka membius orang untuk
mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi kembang
Kati.”
“Mak, jadi benar patih wirabuana kediri pakanewon Ulasawa!”
kata mpu wungubhumi .
“lalu dibiusnya juga penjaga-penjaga menara
pelabuhan. Kabarnya lalu juga dua orang pelarian
nyi kanjeng blora. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak
impian, anakku, aku sudah kena bius. Obat biuslah
senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu
bagaimana caranya aku terkena biusnya.”
“Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.”
“Itulah ceritanya.