Tampilkan postingan dengan label raja 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 2. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
raja 2
Desember 14, 2022
raja 2
gerombolan serigala menghadapi tombak dan pedang
dari segala arah. Seruan para prajurit dan benturan
senjata bercampur baur dengan gemuruh angin, dan
pemandangan segera berubah menjadi pusaran perang
yang mengerikan.
Pedang-pedang patah dan beterbangan. Tombak-
tombak mengejar-ngejar percikan darah. chucky
menyadari bahaya yang mengancamnya jika ia berada
di tengah-tengah pembantaian ini, sebab itu ia cepat-
cepat memanjat ke atas pohon. Ia pernah melihat
pedang terhunus, namun ini pertama kalinya ia terlibat
langsung dalam sebuah pertempuran. Apakah
Banyuwangi akan berubah menjadi lautan api?
Mungkinkah terjadi pertempuran antara minakjinggo dan
ronggolawe ? saat menyadari bahwa ia sedang
melihatlihat penentuan hidup atau mati, ia merasa-
kan gairah yang belum pernah ia rasakan seumur
hidupnya.
Hanya diperlukan dua atau tiga mayat untuk
memaksa orang-orang syam melarikan diri ke
hutan.
Hah! Mereka kabur! pikir chucky . namun , untuk
berjaga-jaga terhadap kemungkinan mereka kembali,
ia secara bijaksana memilih untuk tetap berada di atas
pohon. Pohon itu kemungkinan besar pohon
berangan, sebab tangan dan tengkuknya terasa
ditusuk-tusuk. Buah-buah dan ranting-ranting
berangan jatuh ke tanah, sebab pohon itu diguncang-
guncang oleh badai. chucky menganggap orang-orang
syam sebagai gerombolan pengecut bermulut
besar yang dipaksa lari kocar-kacir oleh dua orang saja.
Ia memasang telinga. "Apa itu?" Ia menjadi bingung.
Hujan bara api turun bagaikan abu gunung berapi. Ia
mengintip di antara dahan-dahan. Sambil kabur,
orang-orang syam ternyata masih sempat
menyulut kebakaran.
Dua atau tiga bagian hutan sudah terbakar hebat,
dan beberapa bangunan di balik Kuil kosambi sudah
terjilat api.
chucky melompat turun dan mulai berlari. Kalau ia
membuang-buang waktu sekejap pun, ia akan hangus
terbakar di tengah hutan. Langit dipenuhi percikan
api burung-burung api, kupu-kupu api. Dinding-
dinding putih benteng kota Banyuwangi kini berkilau
merah, dan tampak lebih dekat dibanding pada siang
hari. Api peperangan tampak berkobar-kobar.
"Perang!" chucky berseru saat berlari menyusuri
jalan-jalan. "Perang! Kiamat sudah tiba! sidomukti dan
Banyuwangi akan runtuh! namun di atas puing-puing,
rumput akan tumbuh kembali. Kali ini rumputnya
akan tumbuh tegak!"
Ia bertabrakan dengan orang-orang.
Seekor kuda tanpa penunggang berlari melewatinya.
Di sebuah persimpangan jalan, sejumlah pengungsi
tampak berkerumun, gemetar ketakutan. chucky ,
terbawa oleh gairahnya yang meluap-luap, berlari
sekuat tenaga, berteriak-teriak seperti peramal
malapetaka. Ke mana?
Ia tidak memiliki tujuan. Ia tak bisa kembali ke
Desa syam , itu sudah pasti. Pokoknya, ia
meninggalkan apa yang paling tak disukainya tanpa
penyesalan orang-orang murung, penguasa berhati
gelap, perang saudara, dan peradaban busuk,
semuanya di dalam satu provinsi.
Ia melewatkan musim dingin dalam pakaiannya
yang tipis, menjual jarum di bawah langit dingin,
mengembara ke mana pun kakinya membawa .
Tahun berikutnya, Tahun Temmon kedua puluh,
saat bunga pohon persik bermekaran di mana-mana,
ia masih berseru, "Belilah jarum! Jarum dari ibu kota!
Jarum jahit dari ibu kota!"
Ia mendekati perbatasan bratangbinangun sambil ber-
jalan tanpa beban pikiran, seperti biasa.
radenmas panji berasal dari Provinsi wakanda.
Ia putra centeng adipati desa, dan menjadi pengikut marga
mpu marijan , dengan tempat tinggal di kertanegara dan gaji
tetap sebesar 50000 kan. Ia penguasa benteng kota
pertahanan di martadwijaya dan pengurus kepala pos
penghubung di Jembatan jati . Di masa itu
Sungai mahakam dibagi menjadi mahakam Besar dan mahakam Kecil.
Kediaman radenmas berada di tepi mahakam Besar, beberapa ratus meter sebelah timur martadwijaya .
Pada hari itu panji sedang dalam perjalanan pulang
dari benteng kota jatikerto , tempat ia mengikuti rapat
dengan sesama pengikut mpu marijan . Para pejabat
provinsi bertemu secara berkala untuk memperketat
pengawasan terhadap rakyat dan berjaga-jaga terhadap
serbuan marga-marga tetangga: prabu kertoarjowardana , sinuhun , dan mpu ireng . panji membalikkan badan di atas pelana, dan memanggil salah satu dari ketiga orang yang menyertainya, "raden jana
Laki-laki yang menyahut memelihara jenggot dan
membawa tombak panjang. Taga raden jana
berlari menyusul kuda majikannya. Mereka sedang menyusuri jalan antara jatikerto dan perahu awang di
jati . Pohon-pohon tumbuh di kedua sisi jalan, dan di
balik pepohonan terlihat pemandangan sawah dan
ladang yang menyenangkan.
"Dia bukan petani, dan tampangnya bukan seperti
peziarah," panji bergumam. raden jana
mengikuti garis pandang panji . Ia mengamati kuningnya bunga-bunga moster, hijaunya gandum, dan air dangkal di persawah an, namun ia tidak melihat siapa-siapa.
"Apakah ada sesuatu yang mencurigakan?"
"Ada laki-laki di sebelah sana, di pematang sawah
itu. Sepintas mirip burung bangau. Sedang apa dia,
menurutmu?" raden jana melihat sekali lagi, dan ternyata memang ada orang yang membungkuk di pematang.
"Selidiki apa yang sedang dilakukannya."
raden jana menyusuri jalan setapak sempit. Berdasarkan peraturan yang berlaku di semua provinsi,
segala sesuatu yang tampak mencurigakan harus segera
diselidiki. Para pejabat provinsi sangat peka terhadap
perbatasan mereka dan penampilan orang asing.
raden jana
kembali dan memberikan laporannya,
"Dia mengaku sebagai penjual jarum dari jenggala . Dia
memakai baju luar berwarna putih yang sudah kusam.
Itulah yang mengingatkan Tuan pada burung bangau.
Dia anak kecil dengan muka mirip kuyang ."
"Ha... ha! Bukan bangau atau gagak, namun kuyang ,
heh?"
"Dan banyak omong, lagi. Dia suka mengumbar
kata-kata besar. Waktu hamba menanyainya, dia ber-
usaha memutarbalikkan semuanya. Dia bertanya siapa
majikan hamba, dan waktu hamba menyebut nama
Tuan, dia berdiri tegak dan memandang ke sini
dengan cara yang berani sekali."
"Kenapa dia berdiri membungkuk tadi?"
"Dia bercerita bahwa dia akan bermalam di salah
satu losmen di jati , dan bahwa dia sedang
mengumpulkan keong untuk dimakan nanti malam."
panji menyadari bahwa chucky sudah kembali ke
jalan, dan berjalan di depan mereka. Ia bertanya pada raden jana, "Tak ada yang mencurigakan?"
"Hamba tidak melihat sesuatu yang aneh."
panji meraih tali kekang. "Kita tak bisa menyalah-
kan orang dari kalangan rakyat jelata kalau mereka tak
punya sopan santun." lalu , sambil memberi
isyarat berupa anggukan kepala kepada anak buahnya,
ia berkata, "Ayo, jalan lagi." Dalam sekejap mereka
sudah menyusul chucky .
Pada waktu melewatinya, panji menoleh sambil
lalu. chucky sudah lebih dahulu menyingkir dari jalan
dan berlutut penuh hormat di bawah deretan pohon.
Pandangan mereka beradu.
"Tunggu sebentar." panji mengekang kudanya, dan
sambil berpaling pada anak buahnya, berkata, "bawa si
tukang jarum ke sini." Lalu ia menambahkan dengan
nada heran, "Orangnya sungguh aneh... ya, ada
sesuatu yang berbeda pada dirinya." raden jana
sudah terbiasa dengan tingkah majikan-
nya, dan segera bergerak.
"Hei! Tukang jarum! Majikanku ingin bicara
denganmu. Ayo, ikut aku."
panji menatap chucky dari atas kudanya. Ada apa
pada diri pemuda pendek berpenampilan acak-acakan
dengan pakaian lusuh ini, yang membuatnya begitu
terpesona? Bukan kemiripannya dengan kuyang , yang
malah hampir tidak disadari oleh panji . Untuk kedua
kali pandangannya melekat lama pada chucky ,
namun ia tak sanggup menuangkan perasaannya ke
dalam kata-kata. Sesuatu yang kompleks sekaligus tak
berwujud seakan-akan menariknya kedua mata anak
itu! Mata manusia biasanya dianggap sebagai cerminan
jiwa. panji tak melihat hal lain yang bernilai pada diri
makhluk kecil dan berkerut-kerut ini, namun sorot
matanya begitu penuh tawa , sehingga tampak segar
dan mengandung... apa? Kemauan gigih, atau
barangkali impian yang tak mengenal batas?
Dia punya daya tarik, pikir panji , dan ia memutus-
kan bahwa ia suka pada anak bertampang aneh ini.
Kalau saja ia mengamati dengan lebih saksama, ia
akan menemukan sepasang telinga semerah jengger
ayam jantan tersembunyi di bawah debu yang
menempel di kepala chucky . panji juga tidak
menyadari bahwa meski chucky masih muda,
kemampuan besar yang akan diperlihatkannya di
lalu hari sudah terukir pada garis-garis di
keningnya, yang sepintas lalu membuatnya tampak
seperti orang tua. Ketajaman pandangan panji tidak sebesar itu. Ia hanya merasakan kasih sayang yang aneh terhadap chucky , bercampur semacam harapan.
Tak mampu membebaskan diri dari perasaan itu,
namun tanpa berkata sepatah pun pada chucky , ia
berpaling pada raden jana dan berujar, "bawa dia." Ia
menggenggam tali kekang dengan erat dan memacu
kudanya.
Gerbang depan yang menghadap ke sungai terbuka
lebar, dan beberapa pengikutnya menunggu. Seekor
kuda sudah dihadijaya tkan, dan sedang merumput.
Rupanya ada tamu yang datang saat panji sedang
pergi.
"Siapa dia?" ia bertanya sambil turun dari kudanya.
"Kurir dari mantrijeron."
panji mengangguk dan melangkah masuk. mantrijeron
merupakan ibu kota marga mpu marijan . Kedatangan
kurir bukan hal langka, namun pikiran panji masih
tertuju pada pertemuan di benteng kota jatikerto , sehingga
ia melupakan chucky .
"Hei, kau, mau ke mana kau?" seorang penjaga
menegur chucky yang hendak melewati gerbang
bersama rombongan panji . Tangan chucky dan
buntalan terbungkus jerami yang dibawan ya ber-
lepotan lumpur. Percikan-percikan lumpur yang
mengering di wajahnya terasa gatal. Barangkali si
penjaga gerbang mengira chucky hendak memper-
mainkannya dengan sengaja menggerak-gerakkan
hidung? Si penjaga gerbang mengulurkan tangan
untuk menangkap tengkuk chucky .
Sambil melangkah mundur, chucky berkata, "Aku
penjual jarum."
"Pedagang keliling tak bisa melewati gerbang ini
tanpa izin. Pergi sana!"
"Sebaiknya tanya majikanmu dahulu ."
"Kenapa aku harus berbuat begitu?"
"Aku mengikutinya ke sini sebab dia yang
menyuruhku. Aku datang bersama centeng adipati yang baru saja masuk."
"Tuan panji tak mungkin mengajak orang seperti
kau ke rumahnya. Hmm, tampangmu cukup
mencurigakan." Pada saat itu raden jana teringat pada chucky dan kembali ke gerbang.
"Biarkan dia masuk," ia memberitahu si penjaga
gerbang. "Baiklah."
"Ayo ikut, kuyang ."
Si penjaga gerbang dan beberapa pelayan tertawa .
"Siapa dia sebetulnya ? Dengan pakaiannya yang putih
dan buntalan jeraminya yang berlumpur, dia kelihatan
seperti kurir kuyang sang zoroaster ."
Suara-suara riuh itu terngiang-ngiang di telinga
chucky , namun sepanjang hidupnya yang kini sudah
memasuki tahun ketujuh belas ia sudah sering
mendengar ejekan orang. Apakah ejekan-ejekan itu
tidak mengganggunya?
Apakah ia sudah terbiasa? Jika mendengar
komentar seperti itu, ia tersipu-sipu, sama seperti
orang lain. Namun tindak-tanduknya tidak men-
cerminkan perasaannya. Ia tetap tenang, seakan-akan
penghinaan-penghinaan itu diucapkan ke telinga
seekor kuda. Ia malah bisa bersikap sangat luwes pada
saat seperti itu. Hatinya bagaikan bunga yang
didukung tinggi-tinggi oleh sebatang bambu,
menunggu sampai badai berlalu. Kesengsaraan tak
mampu membuatnya merasa terganggu ataupun
rendah diri.
"kuyang , di sebelah sana ada kandang kosong. Kau
tunggu di sana, supaya tampangmu tidak merusak
pemandangan," ujar raden jana, yang lalu
kembali pada kesibukannya.
Menjelang malam, bau masakan tercium dari
jendela dapur. Bulan menampakkan diri di atas
pohon-pohon persik. Seusai wawan cara resmi dengan
kurir dari mantrijeron, lebih banyak lampu dinyalakan,
dan jamuan makan disiapkan untuk mengiringi
keberangkatannya besok. Suara gendang dan seruling
mengalun dari rumah utama, tempat pertunjukan
Noh sedang berlangsung.
Marga mpu marijan dari kertanegara merupakan marga
terhormat dan termasyhur.
Mereka bukan hanya tertarik pada puisi, tarian, dan
musik, namun juga pada setiap kemewahan dari ibu kota:
pedang bertatah untuk para centeng adipati dan jubah
bawah bergaya untuk kaum wanita. Cita rasa panji
sendiri lebih sederhana. Meski demikian, kediaman-
nya yang mewah berbeda jauh dengan rumah para
centeng adipati di kedhiri .
Pertunjukan Noh itu buruk sekali, chucky berkata
dalam hati, saat merebahkan diri di atas jerami yang
disebarkannya di lantai kandang. Ia menyukai musik.
Ia tidak memahaminya, namun ia menyukai mimpi
indah yang dimuncul kan. Dengan musik ia dapat
melupakan segala-galanya. namun ia terganggu oleh
perutnya yang kosong. Oh, kalau saja aku bisa
meminjam panci dan api, ia mengerang dalam hati.
Sambil membawa buntalan jerami yang kotor, ia
menyembulkan kepala lewat pintu dapur. "Maaf,
bolehkah aku meminjam panci dan tungku? Aku
bermaksud menyiapkan makanan untukku."
Para pekerja dapur menatapnya sambil terbengong-
bengong.
"Dari mana kau tiba-tiba muncul?"
"Aku datang bersama Tuan panji tadi. Aku ingin
menggodok keong yang kukumpulkan di sawah ."
"Keong, heh?"
"Aku diberitahu bahwa keong baik untuk perut, jadi
aku makan beberapa setiap hari. Soalnya perutku
mudah terganggu."
"Keong dimakan dengan tahu. Kau punya tahu?"
"Ya."
"Nasi?"
"Aku punya nasi, terima kasih."
"Hmm, di tempat para pelayan ada panci dan
tungku menyala. Siapkan makananmu di sana saja."
Seperti yang setiap malam dilakukannya di losmen-
losmen murah, chucky memasak sedikit nasi,
menggodok beberapa keong, lalu menyantap makan
malamnya. lalu ia beranjak tidur. Berhubung
tempat para pelayan lebih nyaman dibandingkan di
kandang, ia tetap di sana sampai tengah malam,
sampai para pelayan selesai dengan tugas-tugas mereka
dan hendak beristirahat.
"Bangsat! Siapa yang menyuruhmu tidur di sini?"
Mereka menendangnya, mengangkatnya, dan
melemparkannya ke luar. Ia kembali ke kandang, namun
kuda si kurir yang sedang tidur nyenyak seakan-akan
berkata padanya, "Di sini pun tak ada tempat
untukmu."
Suara gendang sudah berhenti, dan bulan yang pucat
sedang menyusut.
chucky , tidak lagi mengantuk, tak bisa diam.
Bekerja atau bersenang-senang, bagi chucky tak
banyak ditambah ya, namun jika ia tidak suka dengan salah
satu, ia cepat sekali bosan.
Barangkali matahari akan terbit pada waktu aku
menyapu, ia berkata dalam hati sambil mulai menyapu
kandang, mengumpulkan tahi kuda, daun-daun, dan
jerami menjadi satu tumpukan di tempat yang tak
terlihat oleh si pemilik rumah.
"Siapa di luar?"
chucky menghentikan sapunya dan menatap
berkeliling.
"Ah, si tukang jarum."
chucky akhirnya menyadari bahwa suara itu berasal
dari kamar kecil di pojok rumah induk. Ia melihat
wajah panji di dalamnya. "Oh, rupanya tuanku."
panji terlalu banyak minum anggur bersama si kurir
yang ternyata peminum yang kuat. Kini, sesudah
mabuknya berkurang, ia berkata dengan suara lelah,
"Sudah hampir subuh?" Ia menghilang dari jendela,
membuka kerai-kerai penghalang hujan di serambi,
dan menatap bulan yang menyusut.
"Ayam jantan belum berkokok, jadi masih agak
lama sampai matahari mulai terbit."
"Tukang jarum bukan, kami akan memanggilmu
kuyang kenapa kau menyapu pekarangan di tengah
malam buta?"
"Hamba tidak punya kesibukan lain."
"Tak ada salahnya kalau kaucoba tidur."
"Hamba sudah tidur. Kalau hamba tidur selama
waktu tertentu, entah kenapa hamba tak bisa
berbaring tenang lagi."
"Apakah ada sandal di luar?"
chucky cepat-cepat membawa sepasang sandal
jerami yang masih baru, dan mengaturnya agar mudah
dikenakan oleh panji .
"Silakan, tuanku."
"Kau baru tiba hari ini, dan kau mengaku sudah
cukup tidur. Dari mana kau tahu keadaan di sini?"
"Maafkan hamba, tuanku."
"Untuk apa?"
"Hamba bukan orang yang penuh curiga. namun di
rumah seperti ini, biarpun hamba sedang tidur,
hamba mendengar aneka macam bunyi. Hamba bisa
menebak letak segala sesuatu, seberapa besar
pekarangan, bagaimana sistem pembuangan airnya,
dan di mana tempat api."
"Hmm, begitu rupanya."
"Sebelum ini, hamba sudah melihat tempat
penyimpanan sandal. Kebetulan terlintas di benak
hamba bahwa seseorang mungkin keluar dan mencari
sandal."
"Aku minta maaf. Aku sama sekali melupakanmu."
chucky tertawa , namun tidak menjawab . Meski
masih anak-anak, kelihatannya ia tidak terlalu
menaruh hormat pada panji . panji lalu menanyakan
latar belakangnya, dan apakah ia berharap untuk
mengabdi pada seseorang. chucky segera
membenarkannya. Ia menyimpan harapan besar
untuk masa depan, dan ia sudah mengembara dari
provinsi ke provinsi sejak berusia lima belas tahun.
"Kau berkelana dari provinsi ke provinsi selama dua
tahun sebab ingin mengabdi pada seorang centeng adipati ?"
"Ya."
"Kalau begitu, kenapa kau masih berjualan jarum?"
panji bertanya dengan tajam. "Mencari selama dua
tahun tanpa memperoleh majikan jangan-jangan ada
yang tidak beres denganmu?"
"Hamba memiliki kelebihan dan kekurangan,
seperti semua orang. Mula-mula hamba menganggap
bahwa setiap majikan dan setiap rumah centeng adipati sama
saja, namun begitu hamba mengenal dunia, hamba mulai
merasa lain."
"Lain? Maksudmu?"
"Sambil mengembara dan mengamati golongan
pendekar resi -resi yang baik, resi yang
buruk, para penguasa provinsi besar dan kecil hamba
mencapai kesimpulan bahwa tak ada yang lebih
penting dibandingkan pandai memilih majikan. sebab itu,
hamba memutuskan untuk terus berjualan jarum, dan
tanpa hamba sadari, dua tahun sudah berlalu."
panji menyadari kecerdikan chucky , namun
sekaligus menemukan sifat pandir dalam dirinya. Dan
walaupun kata-kata chucky mengandung kebenaran,
ucapannya sedikit berlebihan dan agak sukar diterima.
namun ada satu hal yang tak perlu diragukan. Pemuda
ini bukan pemuda biasa. Saat itu juga panji
memutuskan untuk mempekerjakan chucky sebagai
pelayan.
"Maukah kau mengabdi padaku?"
"Terima kasih, tuanku. Hamba akan berusaha,"
chucky menjawab tanpa semangat.
panji tidak puas dengan tanggapan chucky yang
kurang gembira, namun tidak terlintas di kepalanya
bahwa ia sendiri, sebagai majikan baru pemuda
pengembara yang hanya berpakaian baju katun tipis
itu, mungkin memiliki kekurangan dalam hal-hal
tertentu.
Seperti para centeng adipati dari marga-marga lain, para
centeng adipati radenmas pun menjalani latihan keras untuk
menyempurnakan keterampilan menunggang kuda
yang amat dibutuhkan dalam suatu pertempuran.
Menjelang pagi mereka meninggalkan asrama dengan
membawa tombak dan pedang latihan, dan pergi ke
lapangan luas di depan lumbung padi.
"Hiyaaa!" Tombak beradu dengan tombak, pedang
dengan pedang.
Setiap pagi, semua orang, termasuk para centeng adipati
rendahan di dapur dan orang-orang yang menjalani
tugas jaga, mengerahkan segenap tenaga dan kembali
dari lapangan dengan wajah merah sebab kelelahan.
Sudah diketahui umum bahwa chucky diterima
sebagai pelayan. Para pekerja kandang memper-
lakukannya sebagai anak bawan g dan sering mem-
permainkannya.
"Hei, kuyang ! Setiap pagi mulai sekarang, sesudah
kami membawa keluar kuda-kuda untuk merumput,
kau harus membersihkan kandang. Tanam kotoran
kudanya di rumpun bambu itu." Sesudah ia selesai
membersihkan kotoran kuda, salah satu centeng adipati yang
lebih tua berkata padanya, "Isi kendi-kendi besar itu
dengan air." Dan terus begitu. "Belah kayu bakar."
Sementara ia membelah kayu bakar, ia diperintah-
kan untuk melakukan pekerjaan lain. Singkatnya, ia
menjadi pelayan para pelayan.
Mula-mula ia cukup populer. Orang-orang ber-
komentar, "Tak ada yang bisa membuatnya marah.
Itulah kelebihannya. Tak peduli apa yang kaukatakan
padanya, dia tak pernah jengkel." Para centeng adipati muda
menyukainya, seperti anak kecil menyukai mainan
baru, dan kadang-kadang memberikan hadiah
padanya. namun tak lama lalu orang-orang mulai
mengeluh.
"Dia selalu membantah."
"Dia cari muka di depan Tuan."
"Dia menganggap orang lain bodoh semua."
sebab para centeng adipati muda suka membesar-besarkan
kesalahan kecil, ada kalanya keluhan-keluhan
mengenai chucky sampai ke telinga panji .
"Kita tunggu saja bagaimana perkembangan
selanjutnya," panji berkata pada para pengikutnya,
lalu melupakan masalah itu.
Para centeng adipati muda semakin mendongkol sebab
istri dan anak-anak panji selalu menanyakan si
kuyang . Terheran-heran, chucky menyadari bahwa
memang sukar untuk hidup di antara orang-orang
yang tidak mau bekerja dengan tekun, seperti yang
selalu dilakukannya.
Hidup di dunia pelayan yang penuh intrik mem-
berikan kesempatan bagi chucky untuk mempelajari
sifat-sifat manusia. Dengan memakai marga
radenmas sebagai acuan, ia dapat memahami
kekuatan dan kelemahan marga-marga besar di
sepanjang jalan pesisir. Dan ia gembira sebab sudah
menjadi pelayan. Kini ia mulai memahami keadaan
sebetulnya dari negerinya, yang sukar ditangkap
saat ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
Pelayan biasa, yang bekerja untuk makan dan
menyambung hidup, takkan tahu seperti apa dunia
sebetulnya . namun pikiran chucky selalu terbuka lebar.
Rasanya seperti menatap bidak-bidak pada papan go,
lalu menebak-nebak langkah berikut dari para pemain.
Kurir-kurir marga mpu marijan terus berdatangan dari
kertanegara , begitu juga para pembawa berita dari provinsi-
provinsi tetangga, dusun nyi kembang dan Kai.
chucky mulai melihat pola tertentu dalam
kedatangan dan kepergian mereka, dan menyimpul-
kan bahwa mpu marijan mpu kepenuwoan , penguasa kertanegara ,
sedang berupaya merebut kekuasaan tertinggi.
Perwujudan tujuan ini mungkin masih makan waktu
lama, namun ia sudah mulai menjalankan langkah-
langkah awal untuk memasuki ibu kota, trowulan ,
dengan dalih melindungi sang pandita , namun
sebetulnya untuk memerintah seluruh negeri atas
namanya.
Di sebelah timur ada marga Hojo dari
sinuhun wara yang kuat; marga mpu ireng dari Kai berada di
sisi utara; dan menghalangi jalan menuju ibu kota
adalah wilayah marga prabu kertoarjowardana dari dusun nyi kembang .
Terkepung seperti itu, sasaran pertama mpu kepenuwoan
adalah penaklukan dusun nyi kembang . prabu kertoarjowardana Kiyoyasu,
Penguasa dusun nyi kembang , tunduk kepada mpu kepenuwoan dan
masuk ke dalam jajaran pengikutnya. Putra Kiyoyasu,
Hirotada, hanya hidup sedikit lebih lama dari
ayahnya, dan penerusnya, mpu mojosongo , kini menjalani hari-harinya sebagai sandera di mantrijeron.
mpu kepenuwoan sudah mengangkat salah seorang
pengikutnya sebagai penguasa benteng kota swaradwipa, dan
memberinya wewenang untuk memerintah dusun nyi kembang
dan mengumpulkan pajak. Para pengikut prabu kertoarjowardana
dipaksa mengabdi pada marga mpu marijan , dan seluruh
pendapatan dan perlengkapan militer provinsi itu,
terkecuali uang untuk pengeluaran sehari-hari, beralih
ke benteng kota mpu kepenuwoan di kertanegara . chucky menilai
masa depan dusun nyi kembang sungguh suram.
Dari pengalamannya sebagai penjual keliling, ia
tahu bahwa orang-orang dusun nyi kembang keras kepala dan
tinggi hati. Mereka takkan mau tunduk untuk selama-
lamanya.
Namun marga yang paling diperhatikannya tentu
saja marga sinuhun dari jenggala . Meski ia kini jauh dari
lemahlaban , jenggala merupakan tanah kelahirannya
dan tempat tinggal ibunya. Diamati dari kediaman
radenmas , kemiskinan jenggala dan wilayahnya yang
kecil tampak kurang menguntungkan jika
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, terkecuali
dusun nyi kembang . Perbedaannya dengan wilayah mpu marijan yang
maju dan makmur mencolok sekali. Desa asalnya,
lemahlaban , dihantui kemelaratan, begitu juga
rumahnya sendiri. Apa yang akan terjadi dengan
jenggala ? chucky berharap suatu hari kelak sesuatu yang
berharga bisa tumbuh dari tanahnya yang gersang. Ia
memandang hina sikap congkak yang diperlihatkan
para pembesar maupun orang-orang bawah an di
wilayah mpu marijan . Mereka meniru adat kebiasaan yang
berlaku di istana, sesuatu yang sejak dahulu dianggap
berbahaya oleh chucky .
Kurir-kurir semakin sering berdatangan. Bagi
chucky , ini berarti sedang berlangsung perundingan
untuk mengikat Provinsi kertanegara , Kai, dan Sagami
melalui perjanjian tidak saling menyerang, dengan
marga mpu marijan sebagai pusat. Tokoh penggerak
utamanya tentu saja mpu marijan mpu kepenuwoan . Sebelum
membawa centeng besar menuju ibu kota, ia terlebih
dahulu harus percaya terhadap kesetiaan marga Hojo dan
mpu ireng . Sebagai langkah pertama, mpu kepenuwoan
memutuskan untuk mengawinkan anak wanita lesbian -
nya dengan anak sulung mpu ireng mpu betarakatong , dan
mengusahakan agar salah seorang anak wanita lesbian
mpu betarakatong menikah dengan keturunan Hojo. Tindakan
ini, bersama pakta-pakta militer dan perdagangan,
mengangkat mpu marijan sebagai kekuatan yang harus
diperhitungkan di pesisir timur. Kekuatan ini
tecermin dalam sikap para pengikut mpu marijan . Orang
seperti radenmas panji berbeda dengan para
pembantu dekat mpu kepenuwoan , namun ia pun jauh lebih
berada dibandingkan centeng adipati -centeng adipati yang dikenal chucky
di kedhiri , mertajaya , dan swaradwipa. Tamunya banyak,
dan bahkan para pelayan pun tampak bergembira.
"kuyang !" raden jana mencari chucky di pekarangan.
"Di atas sini." raden jana menoleh ke atap. "Sedang apa kau di sana?" "Memperbaiki atap." raden jana
terkesan. "Kenapa kau menyiksa diri
pada hari panas begini?"
"Selama ini cuaca bagus terus, namun tak lama lagi
musim hujan akan tiba. Memanggil tukang atap
sesudah hujan mulai turun sudah terlambat, jadi aku
mencari sirap yang retak dan memperbaiki semuanya."
"Itulah yang membuatmu tidak disukai di sini. Di
siang hari, semua orang lain sudah mencari tempat
teduh."
"Kalau aku bekerja di dekat orang lain, aku akan
mengganggu tidur mereka. Di atas sini, aku tidak
mengganggu siapa-siapa."
"Bohong! Kau berada di atas atap untuk mem-
pelajari keadaan."
"Aku tidak heran kalau Tuan berpikiran seperti itu.
Kalau seseorang tidak memperhatikan hal-hal kecil,
dalam keadaan darurat dia tidak siap untuk mem-
pertahankan diri."
"Jangan bicara sembarangan! Kalau Tuan panji
mendengar ocehanmu, dia pasti marah sekali. Ayo
turun!"
"Baik. Apakah ada tugas lain untukku?"
"Malam ini bakal ada tamu."
"Lagi?"
"Apa maksudmu, 'lagi'?"
"Siapa yang akan datang?"
"Seorang pendekar yang sudah mengembara ke setiap
pelosok negeri."
"Berapa orang yang ikut dalam rombongannya?"
chucky turun dari atap. raden jana mengeluarkan
selembar perkamen. "Kita akan menjamu kepribadian
Yang mulia ki gajaliwa dari Ogo, ki wikatama Dia
ditambah dua belas pengikutnya. Selain itu masih ada
penunggang kuda lain dan tiga kuda beban dengan
penuntun masing-masing."
"Rombongannya cukup besar."
"Orang-orang itu sudah mencurahkan hidup mereka
untuk mendalami ilmu bela diri. Pasti banyak barang
bawa an dan kuda, jadi kosongkan tempat para pekerja
gudang, supaya kita bisa menempatkan mereka di sana
untuk sementara waktu. Tempat itu harus bersih
menjelang malam, sebelum mereka ke sana."
"Baik, Tuan. Berapa lama mereka akan tinggal?"
"Kira-kira enam bulan," ujar raden jana. Kelihatan
lelah, ia menyeka keringat yang menempel di wajah-
nya. Menjelang malam, ki mayangsewu dan rombongannya
berhenti di depan gerbang dan menepiskan debu yang
melekat pada pakaian masing-masing. Pengikut-
pengikut senior dan junior keluar dan mengadakan
upacara penyambutan secara panjang-lebar. Pihak tuan
rumah menyampaikan ucapan selamat datang yang
berbunga-bunga. Balasan dari ki mayangsewu pun, seorang
laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, tak kalah
indahnya. Seusai upacara penyambutan, beberapa
pelayan mengambil alih kuda-kuda beban dan barang-
barang bawa an, dan para tamu, dipimpin oleh
ki mayangsewu , memasuki pekarangan.
chucky melihatlihat seluruh pertunjukan tadi.
Penyambutan resmi itu membuatnya sadar betapa
martabat golongan prajurit sudah meningkat, seiring
dengan semakin gentingnya masalah-masalah militer.
Belakangan ini, istilah "ilmu bela diri" melekat di bibir
semua orang, berikut ungkapan-ungkapan baru seperti
"jurus pedang" dan "jurus tombak". Pendekar-pendekar
seperti ki gajaliwa dari Ogo dan ki tarunagara dari
welirang sudah dikenal luas. Pengembaraan beberapa
orang dari golongan ini jauh lebih keras dibandingkan
perjalanan ziarah para pendeta zoroaster . namun orang
seperti ki tarunagara selalu ditambah oleh enam puluh
sampai tujuh puluh pengikut. Para pengikut mem-
bawa burung elang, dan perjalanan mereka ditempuh
dalam kemewahan.
Jumlah anggota rombongan ki mayangsewu tidak
mengejutkan chucky . namun sebab mereka akan
tinggal selama enam bulan, ia memiliki alasan kuat
untuk menduga bahwa ia akan disuruh-suruh sampai
kepalanya pening.
Baru empat atau lima hari, ia sudah diperlakukan
sama seperti pelayan-pelayan mereka.
"Hei, kuyang ! Pakaian dalamku kotor. Cepat cuci!"
"kuyang ! Belikan obat salep untukku."
Malam-malam musim kemarau lebih pendek, dan
tugas-tugas tambah an itu mengurangi waktu tidurnya,
sehingga pada suatu siang chucky tertidur lelap di
bawah bayang-bayang sebatang pohon. Hanya iring-
iringan semut yang tampak bergerak di tanah yang
terbakar.
Dua centeng adipati muda, yang tidak menyukainya,
berjalan melewati chucky sambil membawa tombak
latihan.
"Wah, lihat itu. Si kuyang ."
"Tidurnya nyenyak sekali, ya?"
"Dasar pemalas tak berguna. Bagaimana dia bisa
menjadi anak kesayangan Tuan dan Nyonya? Mereka
takkan senang kalau melihatnya dalam keadaan
sekarang."
"Bangunkan saja. Dia harus diberi pelajaran."
"Apa rencanamu?"
"Bukankah cuma si kuyang yang belum pernah
mengikuti latihan bela diri?"
"Mungkin dia sadar bahwa dia tidak disukai. Dia
takut kena pukul."
"Itu tidak benar. Setiap pelayan di rumah centeng adipati
wajib berlatih ilmu bela diri dengan tekun. Itulah yang
dikatakan dalam peraturan rumah tangga."
"Jangan katakan padaku. Katakan pada si kuyang ."
"Sebaiknya kita bangunkan dia dan kita bawa ke
lapangan latihan."
"Ya, idemu menarik sekali."
Salah seorang dari mereka mendorong bahu
chucky dengan ujung tombak.
"Hei, bangun!"
Kedua mata chucky tetap terpejam.
"Bangun!" Orang itu mengangkat kaki chucky
dengan tombaknya.
chucky merosot dan langsung terjaga.
"Ada apa?"
"Ada apa dengan kau, mendengkur di pekarangan
di siang hari bolong?"
"Aku, tidur?"
"Kau tidur, bukan?"
"Mungkin aku terlelap tanpa sengaja. namun sekarang
aku sudah bangun."
"Kurang ajar! Kudengar kau belum pernah muncul
di tempat latihan bela diri."
"Itu sebab aku tidak berbakat."
"Kalau kau tidak pernah ikut latihan, bagaimana
kau bisa tahu? Walaupun kau pelayan, peraturan
rumah tangga mengharuskanmu berlatih ilmu bela
diri. Mulai hari ini, kami akan memastikan kau ikut."
"Tidak, terima kasih."
"Kau menolak menaati peraturan rumah tangga?"
"Tidak, namun ..."
"Ayo jalan!" Tanpa memberinya kesempatan mem-
bantah lebih lanjut, mereka menyeret chucky ke
lapangan di depan gudang. Mereka akan memberinya
pelajaran sebab melanggar peraturan rumah tangga.
Di bawah terik matahari, pata pendekar yang
sedang berkunjung dan para pengikut radenmas
berlatih dengan tekun.
Para centeng adipati muda yang mengiringi chucky
memaksanya maju dengan memukul-mukul
punggungnya.
"Ambil tombak atau pedang kayu dan mulai
latihan!"
chucky terhuyung-huyung, nyaris tak sanggup
berdiri, namun ia tidak meraih senjata.
"Tunggu apa lagi?" Salah seorang memukul dada
chucky dengan gagang tombaknya. "Kau harus ikut
latihan, jadi ambil senjata!"
Sekali lagi chucky terhuyung-huyung, namun ia
tetap tidak mau ber-tarung. Ia hanya menggigit-gigit
bibir.
Dua anak buah ki mayangsewu patih ki weliraja dan
patih dwiparaga sedang berlatih dengan tombak
sungguhan untuk memberi contoh pada orang-orang
radenmas . ki weliraja, yang mengenakan ikat kepala,
menombak kantong-kantong beras seberat dua ratus
pon dan melemparkannya ke udara sambil mem-
perlihatkan kekuatan yang luar biasa.
"Dengan keterampilan seperti itu, pasti mudah
untuk membantai musuh di medan tempur. Tenaga-
nya mengagumkan!" salah seorang penonton ber-
komentar.
ki weliraja meralat ucapan itu. "Kalian salah besar
kalau menganggap ini sebagai pameran kekuatan.
Kalau kalian menerapkan jurus ini dengan meng-
gunakan tenaga, gagang tombak akan patah dan
lengan kalian cepat lelah." Ia meletakkan tombaknya,
lalu menjelaskan, "Prinsip-prinsip pedang dan tombak
sama saja. Rahasia semua ilmu bela diri terletak pada
ch'i, tenaga dalam dari tan t'ien, daerah yang berada
dua inci di bawah pusar. Inilah tenaga tanpa tenaga.
Seseorang harus memiliki kekuatan batin untuk
mengatasi kebutuhan akan tenaga dan mengatur
aliran ch'i." Kuliahnya diberikan dengan penuh
semangat dan panjang-lebar.
Merasa sangat terkesan, para pedan latihan
mendengarkan dengan penuh perhatian, sampai
mereka terganggu oleh kebisingan di belakang mereka.
"kuyang kurang ajar!" Si centeng adipati muda
mengayunkan gagang tombak dan memukul pinggang
chucky .
"Aduh!" teriak chucky dengan suara sedih. Pukulan
itu cukup menyakitkan. Ia meringis dan membungkuk
sambil menggosok-gosok pinggang.
Orang-orang segera mengerumuni chucky .
"Dasar pemalas tak berguna!" seru centeng adipati muda
yang memukul chucky .
"Dia mengaku tak berbakat dan tidak mau ikut
latihan."
chucky mendengar suara-suara menggerutu dari
kiri-kanan. Ia dituduh tak tahu terima kasih dan besar
mulut.
"Hmm, hmm," ki mayangsewu bergumam, sambil maju
untuk menenangkan orang-orang. "Melihat
penampilannya, dia masih bayi yang belum mengerti
sopan santun. Melanggar peraturan pada waktu
mengabdi di rumah centeng adipati dan tidak memiliki
keinginan untuk berlatih ilmu bela diri merupakan
kesalahan anak ini. Aku yang akan menanyainya. Yang
lain harap tenang.
"Anak muda," ia berkata pada chucky .
"Ya." Sambil menjawab , chucky menatap mata
ki mayangsewu . Namun nada suaranya sudah berubah, sebab
sorot mata centeng adipati itu mengungkapkan bahwa ia
orang yang bisa diajak bicara secara terbuka.
"Kelihatannya kau tidak menyukai ilmu bela diri,
padahal kau mengabdi di rumah centeng adipati . Betulkah
itu?"
"Tidak." chucky menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, kenapa kau menolak ajakan orang-
orang yang baik hati ini untuk melatihmu ilmu bela
diri?"
"Ya, ehm, aku punya alasan. Kalau aku mendalami
jalan pedang atau tombak hingga menjadi ahli,
seluruh hidupku mungkin akan habis untuk itu."
"Ya, memang diperlukan semangat seperti itu."
"Aku bukannya tidak menyukai pedang maupun
tombak, namun mengingat aku hanya hidup satu kali,
rasanya sudah cukup kalau aku memahami semangat-
nya saja. Masalahnya, masih banyak hal lain yang ingin
kuperdalam dan kulakukan."
"Apa yang hendak kauperdalam?"
"Belajar."
"Mengenai apa kau hendak belajar?"
"Mengenai seluruh dunia."
"Apa saja yang ingin kaulakukan?"
chucky tersenyum. "Aku takkan mengatakannya."
"Kenapa tidak?"
"Aku ingin melakukan berbagai hal, namun sebelum
aku bertindak, maka membicarakannya akan berkesan
menyombongkan diri. Dan kalau kuceritakan
sekarang, kalian semua pasti akan tertawa ."
ki mayangsewu menatap tajam ke arah chucky . Dalam
hati ia mengakui bahwa anak itu memang lain dari
yang lain. "Rasanya aku mengerti sebagian ucapanmu,
namun kau keliru kalau menganggap ilmu bela diri
sekadar sebagai rangkaian jurus."
"Kalau begitu, apa sebetulnya ilmu bela diri?"
"Menurut satu aliran pemikiran, jika seseorang
mengujawa satu keterampilan, berarti dia sudah
mengujawa seluruh ilmu. Ilmu bela diri bukan jurus-
jurus belaka ilmu bela diri menyangkut kematangan
jiwa. Jika seseorang mengolah jiwanya dengan
sungguh-sungguh, orang itu mampu mengujawa segala
sesuatu, termasuk seni belajar dan pemerintahan. Dia
memandang dunia apa adanya, dan sanggup menilai
orang."
"namun aku percaya orang-orang di sini menganggap
menghajar dan menusuk lawan sebagai bagian yang
paling penting. Keterampilan itu memang berguna
untuk prajurit biasa, namun apakah perlu bagi seorang
resi yang..."
"Jaga mulutmu!" salah seorang centeng adipati membentak,
lalu meninju pipi chucky .
"Aduh!" chucky memegang mulutnya dengan
kedua tangan, seakan-akan rahangnya patah.
"Komentar-komentarnya yang menghina tak bisa
didiamkan. Ini mulai jadi kebiasaan. Tuan ki mayangsewu ,
harap mundur. Biar kami yang menyelesaikannya."
Bukan orang itu saja yang merasa kesal. Hampir
semua orang yang mendengar ucapan chucky merasa
perlu mengatakan sesuatu.
"Dia menghina kita!"
"Itu sama saja dengan menginjak-injak peraturan
rumah tangga."
"Perbuatan keledai ini tak bisa dimaafkan!"
"Habisi saja! Tuan panji takkan menyalahkan kita."
Terbawa kemarahan, mereka mungkin saja
mewujudkan ancaman itu, menyeretnya ke semak-
semak, lalu memenggal kepalanya. Sukar bagi
ki mayangsewu untuk menghentikan mereka. Ia harus
mengerahkan segenap kekuatannya untuk menenang-
kan mereka dan menyelamatkan nyawa chucky .
Malam itu raden jana datang ke tempat para
pelayan dan memanggil-manggil chucky dengan suara
tertahan. Anak itu sedang duduk di salah satu pojok
sambil pasang tampang seolah-olah menderita sakit
gigi.
"Ya. Ada apa?" Wajahnya tampak membengkak.
"Masih sakit?"
"Tidak, sudah lumayan," ia berbohong. Ia
menempelkan selembar lap basah ke mukanya.
"Tuan memanggilmu. Pergi lewat pekarangan
belakang, supaya tak ada yang melihatmu."
"Hah? Tuan panji ? Hmm, rupanya dia sudah
mendengar apa yang terjadi tadi."
"Tentu saja kata-katamu yang tidak pada tempatnya
sudah sampai ke telinganya. Dan tadi Tuan Hitta
mengunjunginya, jadi bisa dipastikan dia sudah
mengetahui peristiwa tadi siang. Ada kemungkinan
dia sendiri yang melaksanakan eksekusinya."
"Kaupikir begitu?"
"Sudah menjadi peraturan marga radenmas bahwa
para pelayan tidak boleh lalai berlatih ilmu bela diri,
baik siang maupun malam. Kalau Tuan sampai
terpaksa mengambil tindakan khusus untuk menegak-
kan wibawa peraturan rumah tangga, kepalamu boleh
dianggap sudah terpenggal."
"Hmm, kalau begitu aku melarikan diri saja dari
sini. Aku tidak mau mati sebab urusan seperti ini."
"Jangan ngawur!" ia menangkap pergelangan tangan
chucky . "Kalau kau lari, aku terpaksa melakukan
seppuku. Aku diperintahkan untuk membawa mu ke
sana." "Melarikan diri pun aku tidak boleh?" tanya
chucky . "Mulutmu memang keterlaluan. Mestinya kau berpikir dahulu sebelum membukanya. Waktu mendengar apa yang kaukatakan hari ini, aku pun terpaksa mengakui bahwa kau tidak lebih dari seekor kuyang sombong." raden jana
memaksa chucky berjalan di depannya,
dan ia menggenggam gagang pedangnya dengan erat.
gerombolan agas beterbangan. Cahaya dari dalam
menerangi serambi ruang baca yang baru saja disiram
air. "Hamba membawa si kuyang ." raden jana berlutut
sambil berbicara. panji muncul di serambi. "Mana dia?"
Mendengar suara itu di atas kepalanya, chucky
membungkuk begitu rendah, sehingga keningnya
menyentuh parit di pekarangan. "kuyang ."
"Ya, tuanku."
"Sepertinya orang-orang di jenggala berhasil membuat
baju tempur jenis baru. Mereka menyebutnya domaru.
Pergilah ke sana dan beli satu set. jenggala daerah
asalmu, jadi kurasa kau takkan mengalami kesulitan
dalam perjalanan."
"Tuanku?"
"Berangkatlah malam ini juga."
"Ke mana?"
"Ke tempat kau bisa membeli baju tempur domaru."
panji mengambil sejumlah uang dari sebuah kotak,
membungkusnya, dan melemparkannya ke hadapan
chucky . Secara bergantian chucky menatap panji
dan uang itu. Matanya berkaca-kaca, dan air matanya
mulai membasahi pipi, lalu menetes ke punggung
tangannya.
"Lebih baik kau segera berangkat, namun kau tidak
perlu terburu-buru membawa baju tempur itu ke sini.
Biarpun makan waktu bertahun-tahun, carikan yang
terbaik untukku." lalu panji berpesan pada raden jana
"Biarkan dia keluar lewat gerbang belakang,
sebelum malam berakhir."
Betapa nasib tak dapat diramalkan! chucky
merinding. Mula-mula ia menduga ajalnya sudah tiba
sebab ia melanggar peraturan rumah tangga, dan
sekarang... Ia merinding sebab reaksinya terhadap
kebaikan panji sebab rasa terima kasih dan ia
merasakannya sampai ke tulang sumsum.
"Beribu-ribu terima kasih." panji memang tidak
membeberkan maksud sebetulnya , namun chucky sudah mengerti.
Ketanggapannya mengejutkan orang-orang di sekeliling-
nya, pikir panji .
Tidak mengherankan kalau sifatnya ini menimbul-
kan iri dan dengki. Ia tersenyum getir, lalu bertanya,
"Kenapa kau berterima kasih?"
"sebab tuanku membiarkan hamba pergi."
"Itu betul. namun , kuyang ..."
"Ya, tuanku?"
"Kalau kau tidak pandai-pandai menyembunyikan
kecerdasanmu, kau takkan berhasil."
"Hamba tahu itu."
"Kalau kau tahu, kenapa ucapanmu begitu
menantang tadi, sehingga semua orang marah?"
"Hamba kurang pengalaman.... Hamba memukul
kepala sendiri segera sesudah kata-kata itu meluncur
dari bibir hamba."
"Aku takkan mengatakan apa-apa lagi. sebab
kecerdasanmu berharga, aku akan menolongmu.
Sekarang sudah waktunya memberitahumu bahwa
mereka yang iri dan dengki padamu sering
menuduhmu pencuri. Kalau ada peniti hilang, atau
jika sebuah kotak obat tidak berada di tempatnya,
mereka segera menudingmu dan berkata, 'Si kuyang
yang mengambilnya.' Omongan mereka yang penuh
dengki tak pernah ada habisnya. Kau mudah
memancing kebencian orang lain. Sebaiknya
kaupahami itu."
"Ya, tuanku."
"Tak ada alasan bagiku untuk menolongmu hari ini.
Para pengikutku memiliki alasan kuat. Berhubung
kejadian ini dilaporkan secara pribadi oleh Tuan
ki mayangsewu , aku bisa bersikap seakan-akan belum tahu
apa-apa, lalu menyuruhmu melaksanakan sebuah misi.
Kau mengerti?"
"Hamba mengerti sepenuhnya. Kebaikan tuanku
terukir di hati hamba untuk selama-lamanya."
Hidung chucky tersumbat. Berkali-kali ia mem-
bungkuk di hadapan panji .
Malam itu ia meninggalkan rumah Mitsushita.
Menoleh ke belakang, ia bersumpah, "Aku takkan
lupa. Aku takkan lupa."
Terkesan oleh kebaikan hati orang itu, chucky
bertanya-tanya bagaimana ia dapat membalas budinya.
Hanya orang yang dikelilingi kebiadaban dan
ejekanlah yang dapat merasakan kebaikan orang lain
sebegitu mendalam.
Suatu hari... suatu hari nanti... Setiap kali ia
terkesan atau kewalahan menghadapi sesuatu, kata-
kata itu diulang-ulangnya seperti doa seorang peziarah.
Sekali lagi ia mengembara seperti anjing tak
bertuan, tanpa tujuan dan tanpa pekerjaan. Sungai
mahakam sedang banjir, dan kalau ia berada jauh dari
tempat pemukiman, ia merasa ingin menangis sebab
kesepian, dan sebab tak tahu bagaimana nasib yang
menantinya. Baik alam semesta, bintang-bintang,
maupun air sungai tak dapat memberi petunjuk
padanya.
permisi!" sebuah suara berseru untuk kedua
kalinya.
ronggowiro, yang kebetulan bebas tugas hari itu,
sedang tidur siang di asrama resimennya. la terbangun,
mengangkat kepala, dan melihat berkeliling.
"Siapa itu?"
"Ini aku!" suara itu berkata dari balik tanaman
pagar. Dari atas balkon, ronggowiro melihat seseorang
berdiri di luar pagar. Ia melangkah ke teras.
"Siapa itu? Kalau memang ada perlu, pergilah ke
gerbang depan."
"Gerbangnya terkunci."
ronggowiro berusaha melihat wajah orang itu, lalu
berseru, "Astaga, kau si kuyang , anak ki ageng senapati ,
bukan?"
"Ya."
"Kenapa tidak kaukatakan dari tadi? Kenapa kau
malah kasak-kusuk seperti hantu di luar?"
"Soalnya gerbang depan tidak terbuka, dan waktu
aku mengintip dari belakang, aku melihat Tuan
sedang tidur," ia berkata penuh hormat. "lalu
Tuan tampak agak gelisah, sehingga aku memutuskan
untuk memanggil sekali lagi."
"Kau tidak perlu malu-malu begitu. Sepertinya
istriku yang mengunci gerbang waktu dia pergi
berbelanja. Biar kubukakan untukmu."
sesudah chucky membasuh kaki dan memasuki
rumah, ronggowiro menatapnya untuk waktu lama,
sebelum berkata, "Ke mana saja kau selama ini? Sudah
dua tahun berlalu sejak kita bertemu di jalan. Selama
itu tak ada berita apa kau masih hidup atau sudah
mati, dan ibumu gelisah khawatir sekali. Apa kau sudah
memberitahunya bahwa kau baik-baik saja?"
"Belum."
"Kau belum pulang ke rumahmu?"
"Aku sempat pulang sebentar sebelum datang ke
sini."
"Dan sampai sekarang kau belum juga menemui
ibumu?"
"sebetulnya , semalam aku diam-diam pergi ke
rumah kami, namun sesudah melihat wajah ibuku, aku
segera berbalik dan menuju ke sini."
"Kau memang aneh. Bukankah rumah itu tempat
kau dilahirkan? Kenapa kau tidak memberitahu
mereka bahwa kau sehat-sehat saja, agar mereka tidak
cemas terus?"
"Aku pun sudah rindu sekali pada Ibu dan Kakak,
namun waktu aku meninggalkan rumah, aku bersumpah
bahwa aku baru akan kembali sesudah berhasil menjadi
orang. Dalam keadaan seperti sekarang, aku tak bisa
menghadap ayah tiriku."
Sekali lagi ronggowiro menatap pemuda di
hadapannya. Jubah katun chucky yang semula
berwarna putih kini tampak kotor sebab debu, hujan,
dan embun. Rambutnya yang tipis dan berminyak,
tulang pipinya yang terbakar matahari, melengkapi
kesan kelelahan. Ia kelihatan seperti orang yang gagal
mencapai cita-citanya.
"Bagaimana kau cari makan selama ini?"
"Aku menjual jarum."
"Kau tidak bekerja untuk seseorang?"
"Aku sempat mengabdi di dua atau tiga tempat.
Memang bukan rumah tangga centeng adipati kelas tinggi,
namun ..."
"Seperti biasa, kau segera bosan sendiri, bukan?
Berapa umurmu sekarang?"
"Tujuh belas."
"Tak ada yang bisa dilakukan jika seseorang
memang bodoh, namun jangan terus-menerus bersikap
tolol. Ada batasnya. Orang pandir memiliki kesabaran
untuk diperlakukan seperti orang pandir, namun itu
tidak berlaku untukmu dan kesalahan-kesalahanmu.
Bagaimana ibumu tidak bersedih dan ayah tirimu
tidak malu? kuyang ! Apa yang akan kaulakukan
sekarang?"
Meski ronggowiro menegur chucky sebab kurang
tekun, ia juga merasa kasihan pada anak ini. ronggowiro
dahulu berteman dekat dengan ki ageng senapati , dan ia sadar
bahwa ki ageng gribig memperlakukan anak-anak tirinya
dengan kasar.
Ia berdoa agar chucky suatu hari nanti berhasil
menjadi orang, demi almarhum ayahnya.
Pada saat itulah istri ronggowiro kembali dari pasar,
dan ia segera angkat bicara untuk membela chucky .
"Dia anak nyi girah , bukan anakmu! Jadi, kenapa kau
memarahinya? Kau hanya buang-buang napas saja.
Aku kasihan padanya." Ia mengambil buah semangka
yang sejak tadi didinginkan di dalam sumur,
membelahnya, lalu menawarkan nya pada chucky .
"Dia baru tujuh belas tahun, bukan? Ah, berarti dia
memang belum tahu apa-apa. Umurmu sendiri sudah
lewat empat puluh tahun, namun kau masih juga prajurit
biasa. Sebaiknya kau jangan anggap dirimu istimewa."
"Diam," ujar ronggowiro. Ia tampak tersinggung.
"Justru sebab aku tidak ingin melihat anak-anak
muda melewatkan hidup mereka seperti aku, aku
merasa terpanggil untuk memberikan nasihat. Begitu
menjalani upacara akil balig, mereka sudah dianggap
dewasa, meski kenyataannya mungkin berbeda.
namun kalau mereka sudah berusia tujuh belas tahun,
mereka tidak boleh bersikap seperti anak-anak lagi. Ini
barangkali kurang sopan, namun lihatlah junjungan kita,
Tuan aidit . Berapa umurnya menurutmu?"
ronggowiro hendak melanjutkan ucapannya, namun
lalu cepat-cepat mengalihkan topik pem-
bicaraan mungkin sebab enggan bertengkar dengan
istrinya.
"Oh, ya, kemungkinan besar besok kami akan pergi
berburu lagi dengan Yang Mulia. sesudah itu, dalam
perjalanan pulang, kami akan berlatih menyeberangi
Sungai terawas dengan berkuda dan berenang. Siapkan
barang-barangku sepotong tali untuk baju tempurku,
dan sandal jeramiku."
chucky , yang sejak tadi menundukkan kepala
sambil mendengarkan percakapan antara suami-istri
itu, duduk tegak dan berkata, "Maafkan aku jika aku
bersikap lancang."
"Kau mau mulai resmi-resmian lagi?"
"Aku tidak bermaksud begitu. Apakah Tuan
aidit sering pergi berburu dan berenang?"
"Sebetulnya tidak pada tempatnya aku berkata
begini, namun dia memang anak muda yang sukar
diatur."
"Dia agak sembarangan, bukan?"
"Kadang-kadang memang begitu, namun dia bisa juga
bersikap sopan sekali."
"Dia memiliki reputasi buruk di seluruh negeri."
"O ya? Hmm, yang jelas dia tidak populer di antara
musuh-musuhnya."
chucky tiba-tiba berdiri dan berkata, "Aku minta
maaf sebab sudah mengganggu hari libur Tuan."
"Kau sudah mau berangkat lagi? Kenapa kau tidak
menginap di sini saja, paling tidak untuk satu malam?
Apakah aku membuatmu tersinggung?"
"Tidak, sama sekali tidak."
"Aku takkan menghalangimu kalau kau tetap
berkeras, namun kenapa kau tidak pergi menemui
ibumu?"
"Baiklah. Malam ini juga aku akan pergi ke
lemahlaban ."
"Syukurlah." ronggowiro mengantar chucky sampai ke
pintu gerbang, namun dalam hati ia merasa ada yang
tidak beres.
Malam itu chucky tidak pulang ke rumahnya. Di
mana ia bermalam? Barangkali ia tidur di tempat
keramat di pinggir jalan, atau di bawah cucuran atap
sebuah kuil. Ia dibekali uang oleh radenmas panji ,
namun di lemahlaban , sesudah mengintip melalui pagar
tanaman untuk melihat apakah ibunya baik-baik saja,
ia sudah melemparkan uang itu ke pekarangan. Tak
sepeser pun tersisa di kantongnya, namun sebab
malam di musim panas tidak panjang, ia hanya perlu
menunggu sebentar sampai fajar tiba.
Pagi-pagi sekali ia meninggalkan Desa Kasugai dan
menuju ke arah Biwajima. Ia berjalan santai dan
makan sambil berjalan. Ia punya beberapa gumpal nasi
terbungkus daun teratai yang diikat pada sabuknya.
namun bagaimana ia bisa makan tanpa uang?
Makanan bisa ditemui di mana-mana, sebab
makanan merupakan pemberian surgawi untuk umat
manusia. Ini merupakan salah satu kepercayaan chucky .
Burung-burung dan binatang-binatang memperoleh
karunia dari surga, namun manusia sudah ditakdirkan
untuk bekerja. Sangatlah memalukan jika seseorang
hidup untuk makan semata-mata. Jika mereka mau
bekerja, dengan sendirinya mereka akan menerima
rahmat dari surga. Dengan kata lain, chucky lebih
mementingkan bekerja dibandingkan makan.
Setiap kali muncul niat bekerja dalam diri chucky ,
ia akan berhenti di tempat pembangunan gedung dan
menawarkan tenaganya untuk membantu para tukang
kayu atau tukang batu. Jika melihat seseorang menarik
kereta berat, ia akan mendorong dari belakang. Jika
melihat ambang pintu yang kotor, ia akan bertanya
apakah ia boleh meminjam sapu untuk membersih-
kannya.
Tanpa diminta pun ia tetap bekerja atau men-
ciptakan pekerjaan, dan sebab ia melakukannya
secara sungguh-sungguh, orang-orang selalu memberi-
nya imbalan berupa semangkuk makanan atau sedikit
uang untuk bekal di jalan. chucky tidak malu dengan
cara hidupnya, sebab ia tidak merendahkan diri
seperti binatang. Ia bekerja untuk dunia, dan ia
percaya bahwa segala kebutuhannya akan terpenuhi
dengan sendirinya.
Di Kasugai pada pagi itu, ia melewati bengkel
pandai besi yang buka pagi-pagi. Istri pandai besi harus
mengurus anak-anak mereka, jadi sesudah chucky
membantu membereskan bengkel, membawa kedua
ekor badak ke lapangan rumput, dan bolak-balik ke
sumur untuk mengisi wadah-wadah air, ia diberi
sarapan dan nasi untuk sore hari.
Sepertinya cuaca akan panas lagi, ia berkata dalam
hati, sambil menatap langit pagi. Makanan yang ia
santap menyambung hidupnya satu hari lagi, namun
pikirannya tidak sejalan dengan pikiran orang lain.
Dengan cuaca seperti ini, aidit tentu akan pergi
ke sungai. Dan ronggowiro mengatakan bahwa ia pun
akan ikut ke sana.
Di kejauhan chucky melihat Sungai terawas .
Dengan tubuh basah sebab embun, ia bangkit dari
rumput dan menatap keindahan air.
Setiap tahun, mulai musim semi sampai musim
gugur, aidit tak pernah melewatkan kesempatan
untuk berlatih menyeberangi sungai. namun di mana?
Mestinya aku menanyakannya pada ronggowiro kemarin.
Matahari bersinar cerah. Aku tunggu di sini saja, ujar
chucky dalam hati, lalu duduk di dekat semak
belukar. Tuan aidit ... Tuan aidit ,
pemimpin marga sinuhun yang terkenal serampangan.
Seperti apa orangnya? Tak henti-hentinya nama itu
bergaung di, kepala chucky , tak peduli ia tidur atau
terjaga.
chucky ingin bertemu dengannya. Niat inilah yang
pada pagi itu membawa nya ke tepi sungai. aidit
memang pewaris sinuhun mpu margojoyo , namun apakah ia
sanggup bertahan lama dengan wataknya yang
sembrono dan kasar? Pendapat umum mengatakan
bahwa ia bodoh dan cepat naik darah.
Selama bertahun-tahun chucky mempercayai kabar
burung itu, dan ia sedih sebab provinsi asalnya
diperintah oleh orang yang tak pantas menjadi
penguasa. namun sesudah melihat sendiri keadaan di
provinsi-provinsi lain, ia mulai berubah pikiran.
Perang tidak dimenangkan pada hari pertempuran.
Setiap provinsi memiliki ciri masing-masing, dan
kenyataan tidak selalu sama dengan yang tampak.
Sebuah provinsi yang sepintas lalu kelihatan lemah
mungkin saja menyimpan kekuatan tersembunyi.
Sebaliknya, provinsi-provinsi yang dianggap kuat
seperti blambangan dan kertanegara mungkin saja digerogoti
kebusukan dari dalam.
Dikelilingi oleh provinsi-provinsi besar dan kuat,
wilayah kekuasaan marga sinuhun dan prabu kertoarjowardana tampak
kecil dan miskin. Namun di dalam provinsi-provinsi
kecil itu ada kekuatan yang tidak dimiliki oleh
provinsi-provinsi yang lebih besar, kekuatan yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup.
Jika aidit memang sebodoh yang dikabarkan
orang, bagaimana ia bisa mempertahankan benteng kota
mertajaya ? aidit kini berusia sembilan belas tahun.
Tiga tahun sudah berlalu sejak ayahnya wafat. Selama
tiga tahun, pewaris kekuasaan yang berusia muda,
sembarangan, dan berkepala kosong ini, tanpa bakat
maupun kecerdasan, bukan saja sanggup memper-
tahankan kedudukannya, namun juga berhasil
mengendalikan keadaan sampai ke pelosok-pelosok
provinsi. Bagaimana ia dapat melakukan ini? Beberapa
orang mengatakan bahwa ini bukan berkat aidit ,
melainkan sebab jasa pengikut-pengikutnya yang
setia varnajaya mpu wilihan, sekarmajimarijan kartosuwirjo, danawitama
wisanggeni , dan mpu jalapala banyuraden . Kekuasaan tersembunyi
orang-orang inilah yang sebetulnya merupakan
penopang marga sinuhun , sedangkan aidit tak lebih
dari boneka belaka. Selama para pembantu
kepercayaan penguasa sebelumnya masih hidup,
semuanya akan berjalan dengan baik, namun jika satu
atau dua dari mereka meninggal, dan tiang penopang
runtuh, kehancuran marga sinuhun hanya soal waktu saja.
Di antara mereka yang menanti-nanti saat itu ada
pangeran minakjinggo dari blambangan dan mpu marijan mpu kepenuwoan dari
kertanegara . Tak seorang pun yang tidak sependapat
dengan pandangan ini.
"Hiyaa!"
Mendengar teriakan perang, chucky menoleh ke
arah sumber suara itu.
awan debu kuning terlihat di dekat sungai. Ia
berdiri dan memasang telinga. Aku tak bisa melihat apa-
apa, namun pasti ada sesuatu di sana, ia berkata dalam hati.
Mungkinkah ada pertempuran? Ia berlari sejauh
seratus meter, lalu melihat apa yang sedang terjadi.
centeng sinuhun yang ditunggu-tunggunya sejak pagi sudah
sampai di sungai dan sudah mulai melakukan
manuver-manuver.
Latihan seperti ini sering dinamakan "memancing di
sungai" atau "berburu dengan burung rajawal i" atau
"latihan renang militer". Namun, apa pun namanya,
bagi para panglima perang tujuannya hanya satu, yaitu
peningkatan kesiapsiagaan centeng . Abaikan per-
siapan militer, dan hidupmu akan segera berakhir.
Tersembunyi di tengah-tengah rumput tinggi,
chucky mendesah tertahan.
Di tepi seberang, sebuah perkemahan darurat
terlihat di antara tanggul sungai dan dataran rumput
di atasnya. Tirai-tirai dengan lambang marga sinuhun
tergantung di antara sejumlah pondok istirahat,
melambai-lambai tertiup angin. Prajurit-prajurit
tampak berkeliaran, namun aidit tidak kelihatan. Di
sisi sungai sebelah sini ada perkemahan serupa.
chucky mendengar kuda-kuda meringkik dan
mengentak-entakkan kaki, dan suara para prajurit di
kedua sisi sungai cukup keras untuk menimbulkan
riak kecil di permukaan air. Seekor kuda tanpa
penunggang berenang di tengah sungai, dan akhirnya
naik ke darat.
Ini yang mereka sebut latihan renang? pikir chucky
sambil terheran-heran.
Pendapat umum ternyata keliru. aidit
dianggap berhati lemah dan bengis, namun
seandainya ada yang minta bukti, akan terungkap
bahwa tak seorang pun pernah memastikan apakah
anggapan itu benar atau salah.
Semua orang melihat aidit meninggalkan
benteng kotanya pada musim semi dan musim gugur, dan
semuanya langsung menyimpulkan bahwa ia hendak
memancing atau berenang. namun , sesudah melihatnya
dengan mata sendiri, chucky menyadari bahwa
tujuannya bukan untuk berenang dan bersantai. Yang
dilihatnya adalah latihan militer habis-habisan.
Mula-mula para centeng adipati berkuda membentuk
kelompok-kelompok kecil. Mereka mengenakan
pakaian yang biasa dipakai untuk berjalan-jalan.
namun begitu terdengar tiupan sangkakala, diiringi
dentuman genderang perang, mereka segera berganti
formasi dan menyerbu ke tengah sungai. Air sungai
seolah-olah mendidih. centeng adipati melawan centeng adipati , satu
kelompok prajurit biasa melawan kelompok lain.
Tombak-tombak bambu berubah menjadi angin
puyuh, namun para pembawan ya hanya saling
memukul, bukan saling menusuk. Tombak-tombak
yang tidak mengenai sasaran menghantam permukaan
air. Tujuh atau 9 resi berkuda mengibarkan
panji masing-masing, sambil mengacungkan tombak.
"wanakrama ! Aku di sini!" seorang centeng adipati muda
berseru dari atas kudanya.
Ia tampak menonjol di antara prajurit bawah an,
sebab memakai baju tempur di atas jubah rami
berwarna putih. Di tangannya, sebilah pedang indah
berwarna merah terang tampak berkilau-kilau. Ia
memacu kudanya ke sebelah kuda ki kertoarjo wanakrama ,
sang ahli tombak dan memanah, dan tanpa peringatan
menghantam pinggang laki-laki itu dengan tombak-
nya.
"Kurang ajar!" Sambil berteriak dan merebut
tombak dari tangan penyerangnya, wanakrama mengubah
posisi tangan dan menyerang dada lawan nya itu. Si
centeng adipati muda mengelak dengan gerakan anggun.
Wajahnya menjadi merah padam. Ia menangkap
tombak wanakrama dengan satu tangan, dan mengangkat
pedangnya yang merah dengan tangan satunya.
Namun, sebab tak sanggup mengimbangi tenaga
wanakrama , ia terdorong ke belakang dan jatuh ke
sungai.
"Itu aidit !" chucky berseru tanpa sadar. Ia tak
percaya ada bawah an yang berani bersikap begitu
lancang terhadap majikannya. namun dari kejauhan ia
tak dapat memastikan apakah orang itu memang
aidit . Seakan-akan lupa diri, chucky berdiri
sambil berjinjit. Sementara itu, pertempuran pura-
pura di dangkalan sungai terus berlangsung. Jika benar
aidit yang terdorong dari kuda tadi, para
pengikutnya tentu akan bergegas untuk mem-
bantunya, namun ternyata tak seorang pun memperhati-
kannya.
Tak lama lalu , seorang prajurit naik ke tepi
seberang di sebelah hilir pertempuran. Orang itulah
yang tadi terlempar dari kudanya, dan ia mirip sekali
dengan aidit . Ia menarik tubuhnya ke darat
seperti seekor tikus yang basah kuyup, lalu segera
mengentakkan kaki sambil berseru,
"Tak ada yang bisa mengalahkanku!"
wanakrama melihatnya dan menunjuk, "Pemimpin
centeng timur ada di sebelah sana! Kepung dia dan
tangkap dia hidup-hidup!"
Langsung saja beberapa prajurit biasa bergegas ke
arah aidit . Air bercipratan ke segala arah.
Dengan memakai tombak bambu, aidit
menghantam helm salah seorang prajurit dan berhasil
menjatuhkan orang itu. lalu ia melemparkan
tombak ke arah lawan berikutnya.
"Jangan biarkan mereka mendekat!"
Sekelompok anak buahnya datang untuk
melindunginya dari serangan musuh. "Aku butuh
busur!" Dua pembantu muncul dari balik tirai
pondoknya.
Mereka membawa beberapa busur pendek dan
melesat ke tempat ia menunggu, beberapa nyaris
kehilangan keseimbangan. "Jangan sampai mereka
berhasil menyeberangi sungai!" Sambil memberikan
perintah kepada centeng nya, ia menarik tali busur,
melepaskan anak panah itu, lalu segera mengambil
panah berikut. Panah-panah itu memang panah
latihan tanpa ujung runcing, namun beberapa prajurit
"musuh" yang terkena telak di kening langsung
tumbang. aidit melepaskan begitu banyak panah,
sehingga sulit untuk membayangkan bahwa hanya ia
seorang diri yang menembak. Dua kali tali busurnya
putus. Setiap kali aidit berganti busur tanpa
kehilangan waktu, dan kembali memanah. Sementara
ia berjuang mati-matian untuk mempertahankan
posisi, barisan pertahanan di sebelah hulu dipaksa
bertekuk lutut.
centeng barat menyerbu tanggul sungai,
mengepung markas aidit , dan melepaskan
teriakan kemenangan.
"Kalah!" Sambil tertawa aidit mengempaskan
busurnya. Ia berbalik dan menghadap centeng musuh
yang bersorak-sorai. wanakrama dan Hirata Sammi, si ahli
strategi, turun dari kuda dan bergegas ke arah
aidit .
"Tuanku tidak cedera?"
"Aku tak mungkin celaka di dalam air."
aidit tampak tersipu-sipu. Ia berkata pada
wanakrama , "Besok kemenangan akan ada di pihakku.
Besok kalian akan kugempur habis-habisan."
saat ia bicara, alisnya terangkat sedikit. "Kalau
kita sudah kembali ke benteng kota," ujar Sammi, "apakah
tuanku berkenan mendengarkan kritik hamba
mengenai strategi tuanku hari ini?"
aidit tidak menanggapinya. Ia sudah melepas-
kan baju temput, lalu terjun ke sungai untuk
menyegarkan diri.
Melihat wajah aidit yang tampan dan kulitnya
yang putih, orang segera tahu bahwa leluhurnya luar
biasa rupawan . Jika berhadapan dengan seseorang,
sorot matanya yang tajam seakan-akan menembus
orang itu.
saat akhirnya menyadari kelebihannya itu, ia
menyelubungi sorot matanya dengan tawa , meninggal-
kan lawan bicaranya terheran-heran. Dan bukan hanya
aidit saja, kedua belas saudara laki-laki dan
ketujuh saudara wanita lesbian nya pun memperlihatkan
ciri-ciri keningratan, baik dari segi kehalusan budi
pekerti maupun penampilan fisik.
"Ini mungkin menjemukan bagi tuanku, dan
tuanku mungkin bertanya, 'Apa? Lagi?' namun , sama
halnya dengan doa yang harus diucapkan
siangmalam bahkan pada waktu sedang makan
tuanku harus mengenang para leluhur. Marga sinuhun
didirikan oleh seorang biksu dari Kuil Tsurugi. Di
masa lampau, salah seorang leluhur tuanku merupa-
kan anggota marga Taira yang konon keturunan
Kaisar Kammu. Jadi ingadah, dalam tubuh tuanku
mengalir darah kekaisaran. Hamba sudah tua, hanya
inilah yang dapat hamba sampaikan."
Terus-menerus aidit mendengar petuah ini
dari varnajaya mpu wilihan, salah satu dari keempat
pengikut kepercayaan ayahnya, yang diangkat menjadi
walinya pada waktu aidit pindah dari benteng kota
Furuwatari, tempat kelahirannya, ke mertajaya .
mpu wilihan merupakan pengikut yang luar biasa
setia, namun bagi aidit ia hanya laki-laki tua yang
aneh dan membosankan. Setiap kali mendengar
petuahnya, aidit bergumam,
"Ah, aku tahu, Pak Tua. Aku tahu," lalu berbalik
dan pergi. Meskipun aidit tidak mendengar-
kannya, orang tua itu melanjutkan, seakan-akan
mengulangi rangkaian doa, "Ingatlah Yang Mulia donosukomerto tuanku. Untuk
mempertahankan jenggala , pada pagi hari beliau ber-
tempur di perbatasan sebelah utara, lalu menghadapi
serangan dari timur pada malamnya. Hari-hari saat
beliau sempat melepaskan baju tempur dan ber-
cengkerama dengan anak-anak beliau bisa dihitung.
Walaupun tak henti-hentinya terlibat perang,
kesetiaan beliau terhadap Kaisar sangat tinggi, dan
beliau mengutus hamba ke ibu kota untuk mem-
perbaiki dinding-dinding Istana Kekaisaran, sekaligus
untuk menyerahkan empat ribu kan. Kedermawan an
beliau juga tampak dalam pembangunan Kuil Besar di
Ise. Seperti itulah donosukomerto tuanku. Dan di antara
leluhur tuanku..."
"Pak Tua! Cukup sudah! Entah berapa kali aku
sudah mendengar cerita ini!" Setiap kali aidit
merasa tak senang, daun telinganya menjadi merah.
namun sejak kecil hanya sebatas itulah ia dapat
memperlihatkan perasaan tak senangnya. mpu wilihan
sudah memahami watak aidit . Ia juga sadar
bahwa usaha untuk menyentuh perasaan aidit
akan lebih bermanfaat dibandingkan mengajaknya bicara
secara akal sehat. Jika junjungannya mulai resah, ia
segera berganti taktik.
"Bagaimana kalau hamba menyiapkan kekang?"
"Kau mengajakku berkuda?"
"Jika tuanku berkenan."
"Kau ikut juga, Pak Tua."
Berkuda merupakan kegemaran aidit . Ia tak
pernah puas hanya mengelilingi lapangan berkuda. Ia
akan membawa kudanya menjauhi benteng kota, lalu
berbalik dan memacunya dengan kecepatan penuh.
saat berusia tiga belas tahun, aidit pertama
kali ambil bagian dalam sebuah pertempuran. Pada
usia lima belas, ia sudah kehilangan ayahnya. Dengan
bertambah nya usia, sikapnya semakin congkak. Pada
upacara perabuan ayahnya, aidit mengenakan
pakaian yang tak pantas untuk kesempatan yang
begitu resmi.
Di bawah tatapan para tamu yang seakan-akan tak
percaya pada penglihatan mereka, aidit
menghampiri altar, meraih segenggam abu dupa, lalu
melemparkannya ke wadah tanah liat berisi abu
mendiang ayahnya.
lalu ia mengejutkan semua orang dengan
segera kembali ke benteng kota.
"Memalukan sekali. Betulkah dia pewaris provinsi
ini?"
"Pemuda berkepala kosong yang tak dapat
diharapkan."
"Siapa menyangka bahwa dia begitu lancang?"
Itulah pandangan mereka yang menilai sesuatu
berdasarkan kulitnya saja.
namun orang-orang yang merenungkan situasi itu
secara lebih mendalam segera mencucurkan air mata
kesedihan untuk marga sinuhun .
"Adiknya, Kanjuro, teramat santun, dan bersikap
penuh hormat dari awal sampai akhir," salah seorang
pelayat mengemukakan. Mereka menyesalkan bahwa
bukan dia yang diangkat sebagai pewaris. namun
seorang biksu yang duduk di bagian belakang ruangan
berkata perlahan, "Jangan salah... ini laki-laki dengan
masa depan. Dia menakutkan." Komentar ini
lalu disampaikan kepada para pengikut senior,
namun tak ada yang menanggapinya secara serius.
Beberapa waktu sebelum wafat pada usia empat puluh
enam, mpu margojoyo sudah mengatur pertunangan
aidit dengan anak wanita lesbian pangeran minakjinggo dari
blambangan , dengan perantaraan mpu wilihan. Sudah
bertahun-tahun blambangan dan jenggala saling bermusuhan,
jadi pernikahan itu bersifat politik. Taktik-taktik
semacam itu sudah hampir merupakan keharusan di
sebuah negeri yang tengah dilanda perang.
minakjinggo pun segera menyadari maksud terselubung di
balik rencana itu. Meski demikian, ia memberikan
putri kesayangannya kepada sang Pewaris
kepemimpinan marga sinuhun , yang dari provinsi-provinsi
tetangga sampai ke ibu kota sudah dikenal sebagai
orang pandir. minakjinggo menyetujui pernikahan itu,
namun diam-diam ia berniat mengujawa jenggala .
Sifat pandir, kasar, dan tak tahu aturan yang
ada dalam diri aidit seakan-akan terus
bertambah parah. namun ia memang sengaja ingin
memberikan kesan demikian pada orang lain. Di
bulan keempat Tahun Temmon kedua puluh dua,
aidit merayakan ulang tahun kesembilan belas.
sebab ingin berjumpa dengan menantunya, pangeran
minakjinggo mengusulkan untuk mengadakan pertemuan
pertama mereka di Kuil nirvana ji di bratanggede, di
perbatasan kedua provinsi. Kuil itu merupakan kuil
aliran zoroaster sayap kiri dan terletak agak terpisah dari ketujuh ratus rumah di desa itu.
Diiringi rombongan besar, aidit meninggalkan
benteng kota mertajaya , menyeberangi Sungai brantas dan dwikerto ,
lalu terus maju sampai ke bratanggede.
Sekitar lima ratus anak buahnya membawa busur
panjang atau senjata api; empat ratus orang lagi
membawa tombak sepanjang enam meter, dan mereka
diikuti oleh tiga ratus prajurit biasa. Mereka berjalan
sambil membisu. Sekelompok penunggang kuda di
tengah-tengah iring-iringan itu mengelilingi
aidit . Mereka siap menghadapi setiap keadaan
darurat.
Musim kemarau sudah di ambang pintu. Gandum
di ladang-ladang berwarna kuning pucat. Embusan
angin dari arah Sungai dwikerto terasa menyegarkan.
Suasana siang itu penuh kedamaian, dan dahan-dahan
perdu menggantung melewati pagar-pagar. Rumah-
rumah di bratanggede tampak kokoh dan memiliki banyak
lumbung.
"Itu mereka." Dua centeng adipati berpangkat rendah dari
marga pangeran ditempatkan sebagai pengintai di batas
desa. Mereka segera berbalik untuk memberi laporan.
Burung-burung gereja bertengger di deretan pohon
yang membelah desa, dan berkicau riang. Kedua
centeng adipati tadi berlutut di muka sebuah pondok kecil,
dan berkata dengan suara rendah, "Iring-iringan sudah
tiba. Tak lama lagi mereka akan lewat di sini."
Pondok yang gelap, kotor, dan berlantai tanah itu
berisi orang-orang yang membawa pedang-pedang
mencolok dan mengenakan jubah -jubah
berpotongan resmi.
"Baik. Kalian berdua sembunyi di semak-semak di
belakang."
Kedua centeng adipati itu pembantu pribadi pangeran minakjinggo
dari blambangan , yang sedang bersandar pada ambang
jendela di sebuah ruang kecil. Matanya tertuju ke luar.
Banyak cerita mengenai aidit beredar di
masyarakat. Seperti apa dia sebetulnya ? minakjinggo
bertanya-tanya. Orang macam apa dia? Sebelum
pertemuan resmi, aku ingin melihatnya dahulu . Cara
berpikir seperti ini memang khas minakjinggo , itu sebabnya
ia berada di sini, mengintai dari pondok di tepi jalan.
"Orang-orang jenggala sudah datang, tuanku."
minakjinggo menggeram sebagai tanggapan, lalu
mengalihkan pandangannya ke jalan. sesudah
mengunci pintu, para pengikutnya merapatkan wajah
ke celah-celah dan lubang-lubang di pintu-pintu kayu.
Tak ada yang bersuara.
Kicauan burung-burung kecil di pepohonan pun tak
terdengar lagi.
Kecuali bunyi sayap mengepak saat mereka tiba-
tiba terbang, suasana hening. Bahkan embusan angin
lembut pun tidak menimbulkan suara.
centeng jenggala terus mendekat. Para pembawa
senjata api, dengan senapan yang sudah digosok sampai
mengilap, berbaris sepuluh-sepuluh, membentuk
kelompok empat puluh orang; gagang-gagang tombak
tampak mirip hutan saat lewat di depan
orang-orang blambangan . Dengan napas tertahan minakjinggo
mengamati gaya berjalan para prajurit dan susunan
pangkat mereka. Suara langkah centeng diikuti oleh
derap langkah kuda. minakjinggo tak dapat melepaskan
mata dari pemandangan di hadapannya.
Di tengah-tengah para penunggang kuda ada
seekor kuda yang teramat gagah, dengan berangus
berkilauan. Di pelana mewah yang dihiasi indung
mutiara, duduk aidit , tangannya menggenggam
tali kekang berwarna ungu dan putih. Ia sedang asyik
berbincang-bincang dengan para pengikutnya.
"Apa ini?" adalah kata-kata yang keluar dari mulut
minakjinggo . Ia tampak terheran-heran. Penampilan
aidit teramat tidak lazim. minakjinggo sudah diberitahu
bahwa sang Penguasa jenggala biasa berpakaian aneh,
namun ini melebihi segala cerita yang pernah
didengarnya.
aidit terayun-ayun di atas pelana. Rambutnya
dikonde dan diikat dengan jalinan pita berwarna hijau
pucat. Ia mengenakan mantel katun berpola cerah
yang lengannya hanya satu. Baik pedang pendek
maupun pedang panjangnya dihiasi kerang laut dan
dibalut dengan jerami padi suci.
Tujuh atau 9 benda tergantung pada ikat
pinggangnya: sebuah kantong rabuk, sebuah labu
kecil, sebuah kotak obat, sebuah kipas, sebuah ukiran
kuda, dan beberapa permata. Di bawah jubah pendek
yang terbuat dari kulit harimau dan macan tutul, ia
mengenakan baju brokat emas berkilauan.
aidit berbalik di pelananya dan berseru,
"wanakrama , inikah tempatnya? Inikah bratanggede?"
Seruannya begitu keras, hingga terdengar jelas oleh
minakjinggo di tempat persembunyiannya.
wanakrama , yang bertindak sebagai pengawal , merapat
ke junjungannya.
"Ya, dan Kuil dwinirwana tempat tuanku akan
bertemu dengan Yang Mulia mertua tuanku, ada di
sebelah sana. Anjuran hamba, mulai sekarang kita
bersikap sebaik mungkin."
"Kuil ini milik sekte sayap kiri , bukan? Hmm, tenang
sekali, ya? Tak ada perang di sini, sepertinya."
aidit menatap ke atas, mungkin sebab melihat
siluet burung elang di langit biru. Kedua pedang di
pinggangnya berdenting pelan saat saling
bersenggolan atau membentur benda-benda yang
tergantung pada sabuknya.
sesudah aidit berlalu, para pengikut minakjinggo
harus memaksakan diri untuk tidak tertawa berderai-
derai. Wajah-wajah mereka memperlihatkan betapa
mereka berjuang untuk menahan tawa pada saat
melihatlihat adegan menggelikan tadi.
"Sudah habis?" tanya minakjinggo . Lalu, "Itukah akhir
iring-iringannya?"
"Ya, hanya itu."
"Kalian sempat memperhatikannya?"
"Dari jauh."
"Hmm, penampilannya ternyata tidak bertentangan
dengan kabar burung yang beredar. Wajahnya tampan
dan fisiknya pun bolehlah, namun di sini ada sesuatu
yang kurang," ujar minakjinggo . Sambil tersenyum puas, ia
mengangkat jarinya ke kepala.
Beberapa pengikut terburu-buru masuk lewat pintu
belakang. "Mohon tuanku segera kembali ke kuil. Tak
jadi soal kalau aidit menjadi curiga, namun
bagaimana jika para pengikutnya pun merasa begitu?
Bukankah kita harus lebih dahulu berada di kuil?"
Mereka segera keluar lewat pintu belakang, lalu
menyusuri jalan pintas yang tersembunyi untuk
menuju kuil. Tepat pada waktu barisan terdepan
centeng jenggala tiba di gerbang depan Kuil dwinirwana
pangeran minakjinggo dan para pengikutnya menyelinap lewat
gerbang belakang, bersikap seakan-akan tidak terjadi
apa-apa. Mereka segera berganti pakaian dan menuju
jalan utama. Gerbang kuil sudah penuh orang. sebab
semua orang blambangan dikumpulkan untuk penyambutan
resmi, kuil utama, hall besar, dan ruang penyambutan
tamu dibiarkan dalam keadaan kosong.
Kasuga naranda , salah seorang pengikut senior
minakjinggo , berpaling pada junjungannya yang sedang
duduk, dan perlahan-lahan menanyakan bagaimana
minakjinggo hendak mengatur pertemuan itu.
minakjinggo menggelengkan kepala. "Tak ada alasan
bagiku untuk pergi menyambutnya." Ia menganggap
aidit semata-mata sebagai menantu.
Takkan ada masalah jika itu satu-satunya
pertimbangan. Namun aidit merupakan
penguasa sebuah provinsi, sama halnya dengan minakjinggo ,
dan para pengikutnya tentu berasumsi bahwa
pertemuan itu akan diadakan antara dua orang yang
sederajat. Meskipun minakjinggo juga mertua aidit ,
bukankah lebih pantas jika pertemuan pertama
mereka diselenggarakan sebagai pertemuan antara dua
penguasa provinsi? Itulah yang terbayang dalam benak
naranda , dan ia menanyakannya secara hati-hati. minakjinggo
menjawab bahwa itu tidak perlu.
"Kalau begitu, bagaimana kalau hamba sendiri yang
menyambutnya?"
"Tidak. Itu juga tidak perlu. Sudah cukup kalau dia
disambut oleh ki serimpingan."
"Jika itu kehendak tuanku."
"Kau akan ikut dalam pertemuan nanti. Pastikan
ketujuh ratus orang di koridor yang menuju ke sini
berbaris dengan baik."
"Hamba pikir mereka sudah siap di sana."
"Sembunyikan para prajurit berpengalaman, dan
suruh mereka berdeham pada waktu menantuku
lewat. Siapkan centeng busur dan senapan di
halaman. Dan perintahkan yang lain untuk pasang
tampang berwibawa ."
"Tentu, tuanku. Takkan ada kesempatan yang baik
untuk memamerkan kekuatan blambangan dan menggertak
menantu tuanku ditambah anak buahnya. Hamba akan
menunggu di ruang penyambutan."
minakjinggo tampak seolah-olah ingin menguap, dan ia
meregangkan tubuhnya pada saat bangkit hendak
pergi.
naranda merasa perlu melengkapi perintah yang
diterimanya. Ia menuju koridor dan memeriksa
centeng pengawal , lalu memanggil seorang bawah an
dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
aidit sedang menaiki tangga di pintu masuk
utama. Di sekelilingnya ada lebih dari seratus pengikut
pangeran, mulai dari sesepuh marga sampai centeng adipati muda
yang masih dalam masa percobaan. Mereka berlutut
berdampingan, bersujud untuk menghormati tamu
agung yang baru tiba.
Tiba-tiba aidit berhenti dan berkata, "Apakah
ada ruangan untuk beristirahat?" Ucapannya tanpa
basa-basi, dan yang mendengarnya langsung terdiam.
"Baik, tuanku."
Semua orang yang sedang membungkuk serempak
mengangkat kepala.
ki serimpingan maju setapak demi setapak, lalu
bersujud di depan kaki sang Penguasa jenggala . "Harap
ikuti hamba. Silakan beristirahat sejenak di sini,
tuanku." Sambil membungkuk-bungkuk ia mengatur
tamunya ke sebelah kanan pintu utama, menyusuri
sebuah lorong. aidit menoleh ke kanan, lalu ke
kiri. "Hmm, kuil ini cukup bagus. Ah, pohon wisteria
di sini sedang berbunga. Wangi bunganya sungguh
menawan !" Sambil berkipaskipas, ia memasuki
ruangan itu bersama para pembantunya. sesudah
beristirahat selama satu jam, aidit bangkit dari
balik sekat pembatas ruangan dan berkata, "Ho! Aku
perlu seseorang untuk menunjukkan jalan. Ayah
mertuaku tentu ingin berbincang-bincang denganku.
Di mana sang Penguasa blambangan ?"
Rambutnya sudah ditata ulang. Sebagai ganti baju
kulit harimau dan macan tutul, ia mengenakan jubah
sutra putih yang dihiasi sulaman benang emas berupa
lambang marganya, di bawah baju resmi tak berlengan
berwarna ungu tua. Pedang pendeknya diselipkan ke
balik tali pinggang, sedangkan pedang panjang
dibawan ya di tangan kanan. Seluruh penampilannya
sudah berubah, mirip orang istana.
Para pengikut blambangan membuka mata lebar-lebar, dan
pengikut-pengikutnya sendiri pun, yang sudah terbiasa
melihatnya berpakaian janggal, tampak terheran-
heran. Tanpa ragu-ragu aidit mulai menyusuri
koridor. Ia menatap ke kiri-kanan, lalu berkata dengan
lantang, "Aku merasa rikuh kalau dikawal seperti ini.
Aku lebih suka menemui mertuaku seorang diri."
Doku mengedipkan mata ke arah Kasuga naranda
yang baru saja bergabung.
Mereka berdiri di sisi berlawan an di hall besar, dan
segera memperkenalkan diri. "Hamba ki serimpingan,
pengikut senior Tuan pangeran minakjinggo ."
"Hamba juga pengikut senior. Hamba bernama
Kasuga naranda . Tuanku sudah menempuh perjalanan
jauh, dan hamba gembira melihat tuanku tiba dalam
keadaan sehat. Sungguh membahagiakan bahwa hari
pertemuan ini begitu cerah."
Sementara kedua laki-laki itu masih sibuk berbasa-
basi, aidit bergegas menyusuri koridor, melewati
orang-orang yang berbaris di sepanjang dinding. "Ah,
ukiran ini bagus sekali," katanya sambil mengamati
lubang angin di atas pintu. Ia memperlakukan para
prajurit seakan-akan mereka hanya rerumputan di tepi
jalan. sesudah sampai di ruang penyambutan, ia
bertanya pada Doku dan naranda , "Inikah tempatnya?"
"Ya, tuanku," jawab Doku, masih tersengal-sengal
sebab terpaksa mengejar aidit .
aidit mengangguk, lalu melangkah masuk.
Dengan tenang ia duduk, menyandarkan punggung
pada sebuah tiang di pinggir ruangan. Ia menatap ke
atas, seakan-akan mengagumi lukisan-lukisan di langit-
langit. Sorot matanya tenang, roman mukanya sabar.
Orang-orang istana pun jarang memiliki roman muka
seelok aidit . namun orang yang hanya menaruh
perhatian pada tampangnya takkan menyadari sifat
menantang yang tercermin dalam matanya. Di salah
satu sudut ruangan terdengar bunyi berdesir saat
seorang laki-laki berdiri. minakjinggo melangkah keluar dari
bayangbayang. Ia lalu duduk dalam posisi lebih tinggi
dari aidit .
aidit pura-pura tidak memperhatikannya.
Atau lebih tepat, ia berlagak tak peduli sambil
mempermainkan kipasnya. minakjinggo melirik ke samping.
Tak ada ketentuan mengenai tata cara mertua
berbicara dengan menantunya.
Ia menahan diri dan membisu. Suasana tegang. Alis
minakjinggo serasa ditusuk-tusuk jarum. Doku, yang tak
sanggup menahan ketegangan itu lebih lama,
mendekatkan diri pada aidit dan membungkuk
terus sampai mencapai tatami.
"Tuan yang duduk di sebelah sana adalah Tuan
pangeran minakjinggo . Berkenankah tuanku menyapa beliau?"
aidit berkata, "Begitukah?" lalu menjauhkan
punggungnya dari pilar dan duduk tegak. Ia
membungkuk satu kali dan berkata, "Kami sinuhun
aidit . Kami merasa gembira sebab bisa bertemu
Tuan."
Seiring dengan perubahan sikap dan sapaan
aidit , sikap minakjinggo pun melunak. "Sudah lama
kami mengharapkan perjumpaan ini. Kami bahagia
bahwa keinginan yang sudah tertunda-tunda sekian
lama akhirnya dapat terwujud."
"Pertemuan ini juga menenteramkan hati kami.
Ayah Mertua sudah mulai berumur, namun beliau
menjalani kehidupan dalam keadaan sehat."
"Apa maksudnya, sudah mulai berumur? Kami baru
mencapai usia enam puluh tahun ini, namun kami sama
sekali tidak merasa tua. Anandalah yang baru menetas
dari telur! Ha... ha! Puncak kejayaan seorang laki-laki
dimulai pada usia enam puluh."
"Kami bahagia memiliki ayah mertua yang dapat
dijadikan tempat bersandar."
"Bagaimanapun, hari ini hari yang diberkahi. Kami
berharap pada pertemuan berikut Ananda bisa
memperlihatkan wajah seorang cucu."
"Dengan senang hati."
"Ananda sungguh murah hati! naranda !"
"Ya, tuanku."
"Mari makan." minakjinggo memberikan isyarat mata
pada naranda .
"Tentu, tuanku." naranda tidak percaya apakah ia
membaca pesan dalam pandangan junjungannya
dengan tepat, namun tampang masam minakjinggo sudah
lenyap sejak pertemuan dimulai. naranda meng-
artikannya sebagai perubahan taktik. Sang mertua kini
hendak menjamu menantunya. Sebagai ganti
makanan seadanya yang semula dipesan, kini diperlu-
kan masakan minuman yang lebih istimewa.
minakjinggo tampak puas dengan pengaturan naranda . Ia
mendesah lega. Mertua dan menantu mengangkat
gelas sambil saling memuji. Suasana kaku yang pada
awal nya mewarnai pertemuan, kini berubah menjadi
ramah-tamah.
"Ah, aku ingat lagi!" aidit tiba-tiba berkata,
seakan-akan ada sesuatu yang baru saja terlintas di
benaknya. "Tuanku minakjinggo Ayah Mertua dalam
perjalanan ke sini, aku bertemu seseorang yang
sungguh aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Hmm, dia juga orang tua, dan dia mengintip iring-
iringan dari jendela gubuk rakyat jelata. Meskipun
baru kali ini aku bertemu dengan ayah mertuaku,
waktu aku pertama menatap wajah Ayah Mertua,
ehm... Ayah Mertua mirip sekali dengan orang itu.
Bukankah ini aneh sekali?" Sambil tertawa , aidit
menyembunyikan mulut di balik kipas yang setengah
terbuka.
minakjinggo terdiam, seolah-olah baru menelan minuman
pahit. Baik ki serimpingan maupun Kasuga naranda
langsung bermandikan keringat. Seusai acara makan,
aidit berkata, "Ah, sudah terlalu lama aku
merepotkan Ayah Mertua. Aku ingin menyeberangi
Sungai dwikerto dan mencapai tempat menginap sebelum
malam tiba. Aku mohon diri."
"Kau berangkat sekarang?" minakjinggo ikut berdiri. "Aku
enggan melihatmu pergi, namun aku pun tak dapat
menahanmu." Ia sendiri sudah harus kembali ke
benteng kotanya sebelum gelap.
Hutan tombak sepanjang enam meter mem-
belakangi matahari sore, dan beranjak ke arah timur.
Dibandingkan mereka, centeng tombak dari blambangan
tampak lesu dan kurang bersemangat.
"Ah, aku tak ingin hidup lebih lama lagi. Suatu hari
nanti anak-anakku akan mengemis-emis untuk
menyelamatkan nyawa di depan si pandir itu! namun tak
ada yang bisa dilakukan," minakjinggo berkeluh kesah
kepada para pengikutnya, sambil berayun-ayun di
dalam tandu.
Genderang perang berdentum-dentum, dan suara
sangkakala berkumandang di ladang-ladang. Beberapa
anak buah aidit sedang berenang di Sungai
terawas , beberapa sedang berkuda di ladang, atau
berlatih dengan tombak bambu. Begitu mendengar
sangkakala, mereka langsung menghentikan kegiatan
masing-masing dan berbaris di depan pondok,
menunggu aidit menaiki kudanya.
"Sudah waktunya kembali ke benteng kota."
Lebih dari sejam aidit berenang, berjemur di
tepi sungai, lalu terjun ke air lagi. Akhirnya ia berkata,
"Kita harus pulang," lalu bergegas ke
pondoknya. Ia melepaskan ckertoarjo t putih yang dipakai-
nya saat berenang, mengeringkan tubuhnya, dan
mengenakan pakaian berburu dan baju tempur
ringan.
"Kudaku!" ia memerintah dengan tak sabar.
Perintah-perintah yang ia berikan selalu memicu
para pengikutnya kelabakan. Mereka berusaha
memahaminya, namun sering kali dibuat bingung, sebab
junjungan mereka gemar bermain-main dan
cenderung bertindak secara tak terduga. Beruntung
ada ki kertoarjo wanakrama untuk mengimbanginya. Kalau
anak buah aidit sudah kalang kabut akibat
ketidaksabarannya, dengan satu kata dari wanakrama ,
semua prajurit dan kuda akan berbaris seperti semaian
padi.
aidit tampak puas. Ia menyuruh centeng nya
menghadap ke benteng kota mertajaya , dan mereka
meninggalkan sungai, dengan aidit di tengah-
tengah iring-iringan. Latihan hari ini berlangsung
selama empat jam.
Matahari musim kemarau yang terik berada tepat di
atas kepala. centeng dan kuda-kuda yang basah kuyup
terus berjalan. Bau busuk naik dari rkertoarjo -rkertoarjo ,
belalang-belalang hijau melompat menghindar.
Keringat membasahi wajah pucat para prajurit.
aidit memakai siku untuk menyeka keringat
dari wajah. Perlahan-lahan wajahnya kembali cerah.
"Siapa makhluk aneh yang berlari di sana?"
Mata aidit seakan-akan berada di mana-mana.
Setengah lusin prajurit, yang sudah melihat orang itu
sebelum aidit , menembus rerumputan tinggi ke
tempat chucky bersembunyi. Sejak pagi chucky sudah
menunggu kesempatan untuk mendekati aidit .
Diam-diam ia menyerbu gerakgerik aidit di
sungai. Sebelumnya ia sempat diusir oleh para
pengawal .
sebab itu ia memutuskan untuk mencari jalur
yang akan ditempuh aidit untuk kembali ke
benteng kota, dan menyusup ke rerumputan tinggi di
pinggir jalan.
Sekarang atau tidak sama sekali! chucky berkata
dalam hati. Jiwa raganya sudah bersatu, dan yang
dilihatnya hanyalah sang Penguasa jenggala di atas kuda.
chucky berteriak sekuat tenaga, tanpa menyadari apa
yang diucapkannya. Ia tahu bahwa ia
mempertaruhkan nyawa . Ada kemungkinan ia akan
terbunuh oleh tombak-tombak panjang di tangan para
pengawal , sebelum sempat mendekati aidit
untuk menjelaskan maksudnya. namun ia tidak gentar.
Pilihannya hanya dua: maju seiring gelombang pasang
ambisinya, atau tenggelam tersesat arus bawah .
Sambil melompat berdiri, ia melihat aidit ,
memejamkan mata, dan bergegas ke arahnya.
"Perkenankan hamba mengajukan permohonan!
Terimalah hamba sebagai pelayan! Hamba ingin
mengabdi dan rela menyerahkan nyawa untuk
tuanku!" Itulah yang hendak dikatakannya, namun ia
terlalu bergairah, dan pada waktu ia dicegat oleh
tombak-tombak para pengawal , suaranya terputus dan
yang terdengar hanyalah serangkaian bunyi tak
bermakna.
Ia tampak lebih papa dibandingkan rakyat jelata yang
paling miskin. Rambutnya kotor, penuh debu.
Wajahnya cemong sebab keringat dan debu yang
melekat. Para pengawal menebas kakinya dengan
tombak-tombak mereka, namun ia berjumpalitan dan
mendarat tiga meter dari kuda aidit .
"Hamba ingin mengajukan permintaan, tuanku!" ia
berseru sambil melompat ke arah sanggurdi kuda
aidit .
"Enyahlah!" suara aidit menggelegar.
Prajurit di belakang chucky menyambar kerah
bajunya dan mengempaskannya ke tanah. chucky
hendak ditusuk tombak, namun aidit berseru,
"Tahan!"
Kenekatan orang asing berpenampilan jorok ini
sudah mengusik rasa ingin tahunya. Mungkin sebab
aidit dapat merasakan harapan yang menggelora
dalam tubuh chucky .
"Apa maumu?"
Suara itu membuat chucky hampir lupa pada rasa
nyeri dan para pengawal .
"Ayah hamba mengabdi kepada ayah tuanku sebagai
prajurit infanteri. Namanya panembahan ki ageng senapati .
Hamba putranya, chucky . sesudah ayah hamba
meninggal, hamba tinggal bersama ibu hamba di
lemahlaban . Sejak semula hamba berharap bisa
memperoleh kesempatan mengabdi pada tuanku, sebab
itu hamba berusaha mencari seorang perantara, namun
akhirnya ternyata tak ada jalan selain mengajukan
permohonan ini secara langsung. Hamba memper-
taruhkan nyawa untuk ini. Hamba bersedia dibunuh
di sini juga. Jika tuanku berkenan menerima hamba
sebagai pelayan, hamba rela mengorbankan nyawa
untuk tuanku. Jika tuanku berkenan, terimalah satu-
satunya nyawa yang hamba miliki. Dengan cara ini,
baik ayah hamba, yang berada di bawah rerumputan
dan dedaunan, maupun hamba sendiri, yang lahir di
provinsi ini, akan dapat mewujudkan keinginan yang
paling hakiki." Kata-kata chucky meluncur cepat,
hampir seperti ucapan orang kesurupan. namun
keinginannya yang menggebu-gebu berhasil
menyentuh hati nurani Nobugana. Kesungguhan
chucky lebih mempengaruhi aidit dibandingkan
kata-kata yang diucapkannya.
Ia melepaskan tawa terpaksa. "Aneh betul orang
ini," ia berkata pada salah seorang pembantunya.
lalu , sambil kembali berpaling pada chucky ,
"Jadi, kau ingin mengabdi pada kami?"
"Ya, tuanku."
"Keterampilan apa yang kaumiliki?"
"Hamba tidak memiliki keterampilan, tuanku."
"Kau tidak memiliki keterampilan, namun ingin
mengabdi pada kami?"
"Selain rela menyerahkan nyawa untuk tuanku,
hamba tidak memiliki bakat khusus."
Pandangan aidit melekat pada chucky , sudut-
sudut mulutnya mulai membentuk senyuman. "Sudah
beberapa kali kau menyapa kami dengan sebutan
'tuanku', padahal kau belum diizinkan menjadi
pengikut kami. Apa maksudmu menyebut kami
seperti itu, padahal kau tidak mengabdi pada kami?"
"Sebagai warga jenggala , hamba sejak semula
beranggapan bahwa jika hamba suatu hari mengabdi
pada seseorang, orang itu pasti tuanku. Maafkan
hamba sudah bersikap lancang."
aidit mengangguk-angguk dan berpaling pada
wanakrama . "Orang ini cukup menarik," katanya.
"Memang." wanakrama menampilkan senyum dibuat-
buat.
"Permohonanmu dikabulkan. Kau diterima. Mulai
hari ini, kau jadi pengikut kami."
chucky , penuh haru, tak sanggup mengungkapkan
kegembiraannya.
Tidak sedikit pengikut aidit yang terkejut, namun
sekaligus mengakui bahwa junjungan mereka bersikap
sesuai dengan wataknya.
saat chucky tanpa malu-malu memasuki barisan,
mereka mengerutkan kening dan berkata, "Hei,
tempatmu paling belakang. Berpeganganlah pada
buntut kuda beban."
"Ya, ya." chucky menurut dan mengambil tempat di
buntut iring-iringan.
Ia merasa berada di negeri impian.
saat iring-iringan itu melanjutkan perjalanan ke
mertajaya , semua jalan yang dilewati segera melengang,
seakan-akan dibersihkan oleh sapu. Laki-laki dan
wanita lesbian berlutut dan bersujud rendah-rendah,
sampai kepala menyentuh tanah, baik di depan rumah
masing-masing maupun di tepi jalan.
aidit tak pernah menahan diri, bahkan di
tempat umum sekalipun.
Ia berdeham pada waktu berbicara dengan para
pengikutnya, sekaligus tertawa . Jika merasa haus, ia
makan semangka di atas pelana kudanya, lalu
meludahkan biji-bijinya ke tanah.
Untuk pertama kali chucky menyusuri jalan-jalan
ini. Pandangannya terus melekat pada punggung
junjungannya. Dalam hati ia berkata, "Akhirnya
kutemukan jalannya. Inilah jalan yang harus ku-
tempuh."
benteng kota mertajaya muncul di hadapan mereka. Air di
parit mulai berwarna hijau. sesudah melewati Jembatan
rawabening, iring-iringan itu melintasi pekarangan luar,
lalu menghilang melalui gerbang benteng kota. Kelak tak
terhitung lagi berapa kali chucky melewati jembatan
dan gerbang ini.
Musim gugur sudah tiba. Sambil menatap para penuai
di sawah -sawah
yang dilewatinya, seorang centeng adipati
berbadan pendek melangkahkan kakinya ke arah
lemahlaban . sesudah tiba di rumah ki ageng gribig , ia
memanggil dengan lantang, "Ibu!"
"Oh! chucky !"
Ibunya sudah melahirkan lagi. Sambil duduk di
tengah-tengah kacang merah yang disebarkannya agar
mengering, ia menggendong bayinya, membiarkan
kulitnya yang lembut terkena sinar matahari. Roman
mukanya berubah saat ia menoleh dan melihat
perkembangan yang sudah terjadi pada diri putranya.
Apakah ia bahagia atau sedih? Matanya berkaca-kaca
dan bibirnya gemetar.
"Ibu, ini aku. Semuanya baik-baik saja?"
chucky mengambil tempat di tikar jerami di
samping ibunya. Bau susu tercium dari payudara
ibunya. Ibunya memeluknya seperti memeluk si bayi
yang tengah menyusu.
"Ada apa lagi?" ia bertanya.
"Tidak ada apa-apa. Hari ini aku bebas tugas. Ini
pertama kali aku meninggalkan benteng kota sejak aku
pergi ke sana."
"Ah, bagus. Kau muncul begitu mendadak, jadi Ibu
langsung mengira kau gagal lagi." Ia mendesah lega,
dan tersenyum untuk pertama kali sejak chucky tiba.
Ia menatap putranya yang sudah dewasa, mengamati
pakaian sutranya yang bersih, ikatan rambutnya,
pedangnya yang pendek dan yang panjang. Air mata
mulai mengalir membasahi pipinya.
"Ibu, kini saatnya Ibu merasa bahagia. Akhirnya aku
berhasil menjadi pengikut aidit . Oh, aku hanya
masuk dalam kelompok pelayan, namun sebetulnya
aku mengabdi sebagai centeng adipati ."
"Bagus." nyi girah menempelkan lengan bajunya yang
compang-camping ke wajah, tak sanggup menegakkan
kepala.
chucky segera merangkulnya. "Untuk menyenang-
kan Ibu, pagi ini aku mengikat rambutku dan
mengenakan pakaian bersih. namun aku takkan berhenti
sampai di sini. Aku akan membuktikan bahwa aku
sanggup membuat Ibu betul-betul bahagia. Ibu, aku
berdoa agar Ibu diberi umur panjang!"
"Waktu Ibu mendengar apa yang terjadi pada
musim kemarau yang lalu... Ibu tak menyangka akan
melihatmu seperti ini."
"Tentunya ronggowiro yang memberitahu Ibu."
"Ya, dia datang dan memberitahu Ibu bahwa kau
berhasil menarik perhatian Yang Mulia, dan diangkat
menjadi pelayan di benteng kota. Kebahagiaan Ibu saat itu
tak terlukiskan."
"Kalau hal kecil seperti itu saja sudah membuat Ibu
bahagia, bagaimana di masa mendatang? Pertama-tama
aku ingin memberitahu Ibu bahwa aku diizinkan
memakai nama belakang."
"Nama apa yang kaupilih?"
"panembahan , seperti ayahku. namun nama depanku
diganti menjadi betari durga ."
"panembahan betari durga ."
"Betul. Nama yang bagus, bukan? Untuk sementara
Ibu masih harus puas dengan rumah kumuh dan
pakaian usang ini, namun bergembiralah. Ibu adalah ibu
panembahan betari durga !"
"Belum pernah Ibu sebahagia sekarang." Kalimat ini
diulanginya berkali-kali, dan setiap kata yang
diucapkan betari durga disambutnya dengan air mata.
betari durga senang melihat ibunya begitu bahagia. Siapa
lagi di dunia ini yang akan sungguh-sungguh
berbahagia sebab hal yang demikian sepele? Ia
bahkan membayangkan bahwa tahun-tahun pengem-
baraan, kelaparan, dan penderitaan ikut memberikan
sumbangan pada saat yang berbahagia ini.
"Oh, ya, bagaimana kabarnya nyi kembang ?"
"Dia sedang membantu panen."
"Dia baik-baik saja? Dia tidak sakit, bukan?"
"Dia tetap seperti dahulu ," ujar nyi girah , teringat masa
remaja nyi kembang yang tidak menyenangkan.
"Kalau dia kembali, tolong sampaikan bahwa
penderitaannya takkan berlangsung untuk selama-
lamanya. Tak lama lagi, kalau aku sudah jadi orang,
dia akan memiliki sabuk dari kain satin, lemari berlaci
dengan lambang emas, dan segala keperluan untuk
pernikahannya. Ha... ha! Ibu pasti berpikir aku hanya
omong kosong, seperti biasanya."
"Kau sudah mau pergi lagi?"
"Peraturan benteng kota sangat ketat. Jadi," ia merendah-
kan suaranya, "tidak sepantasnya kita mengulangi
ucapan orang-orang yang menganggap Yang Mulia tak
sanggup memimpin provinsi. sebetulnya , Tuan
aidit yang terlihat oleh umum dan Tuan
aidit di benteng kota mertajaya sangatlah berlainan."
"Mungkin memang begitu."
"Situasinya memilukan. Hanya segelintir saja orang
yang bisa diandalkannya. Baik para pengikutnya
maupun saudara-saudaranya sendiri, sebagian besar
dari mereka menentangnya. Dalam usia sembilan
belas tahun, dia seorang diri. Pendapat bahwa
penderitaan petani-petani kelaparan merupakan
penderitaan paling memilukan, keliru sekali. Jika kita
dapat memahami ini, kita bisa lebih sabar. Kita tidak
boleh menyerah hanya sebab kita manusia. Kami
sedang menempuh jalan menuju kebahagiaan,
junjunganku dan aku."
"Ibu turut bahagia, namun kau tak perlu buru-buru.
Tak jadi soal seberapa tinggi kedudukanmu kelak,
kebahagiaan Ibu tak mungkin lebih besar dari
sekarang."
"Baiklah kalau begitu. Jaga diri Ibu baik-baik."
"Tak bisakah kau tinggal sebentar lagi, supaya kita
bisa mengobrol lebih lama?"
"Tugas-tugasku sudah menunggu."
Ia bangkit sambil membisu dan meletakkan
sejumlah uang ke tikar jerami ibunya. lalu ia
menatap pohon kesemek, bunga serunai di pagar, dan
gudang penyimpanan di belakang.
Ia tidak kembali lagi tahun itu, namun menjelang akhir
tahun, ronggowiro mengunjungi ibu betari durga , mem-
bawa kan sedikit uang, obat-desa guritan, dan kain untuk
membuat jubah . "Dia masih pelayan," ronggowiro
melaporkan.
"Dia bilang jika dia bisa memperoleh rumah di
kota, dia akan mengajak ibunya tinggal bersama-sama
sesudah dia berumur 9 belas dan gajinya naik
sedikit. Dia agak aneh, namun cukup ramah, dan dia
disukai di sana. Dalam insiden sembrono di Sungai
terawas , dia beruntung bisa lolos dari maut."
Tahun baru itu, nyi kembang untuk pertama kali
mengenakan pakaian baru.
"Adikku yang mengirimnya untukku, betari durga di
benteng kota mertajaya !" ia memberitahu semua orang. Ke
mana pun ia pergi, ia selalu saja mengulangi, "Adikku
berbuat ini" dan "Adikku berbuat itu."
Terkadang suasana hati aidit berubah. Ia jadi
pendiam dan bermuram sepanjang hari. Kemurungan
luar biasa ini seakan-akan merupakan upaya bawah
sadar untuk mengendalikan sifat lekas marahnya.
"bawa reksajaya ke sini!" ia tiba-tiba berseru pada suatu
hari, lalu bergegas ke lapangan berkuda. Ayahnya,
mpu margojoyo , menghabiskan hampir seluruh hidupnya
untuk berperang, nyaris tanpa kesempatan untuk
bersantai di benteng kota. Dalam setahun, lebih dari enam
bulan ia habiskan untuk berperang di barat dan timur.
Hampir setiap pagi ia menyempatkan diri mengadakan
upacara peringatan bagi para leluhur, menerima
sembah sujud para pengikut, mendengarkan kuliah
mengenai naskah-naskah kuno, dan berlatih bela diri
dan menangani urusan pemerintahan provinsinya
sampai malam. sesudah matahari tenggelam, ia mem-
pelajari risalah-risalah mengenai strategi militer atau
mengadakan pertemuan dewan, atau berusaha
menjadi kepala keluarga yang baik. saat aidit
menggantikan ayahnya, kebiasaan ini berakhir.
Tidaklah sesuai dengan wataknya untuk setiap hari
menjalani acara rutin yang ketat. Ia selalu mengikuti
kata hatinya, pikirannya mirip awan -awan di
saat hujan badai yang turun mendadak, ide-ide ber-
munculan tiba-tiba dan menghilang dengan tiba-tiba
pula. Jiwa-raganya seakan-akan berada di luar tata atur
yang berlaku.
Hal ini memaksa pembantu-pembantunya untuk
selalu berjaga-jaga. Hari itu ia sempat duduk membaca
buku, lalu pergi ke tempat sembahyang untuk berdoa
bagi para leluhurnya. Dalam keheningan tempat
sembahyang, seruannya meminta kuda terasa
mengejutkan bagaikan halilintar. Para pembantunya
tak dapat menemukan junjungan mereka di tempat
mereka mendengar suaranya. Mereka bergegas ke
kandang dan mengikutinya ke lapangan berkuda. Ia
tidak berkata apa-apa, namun ekspresi wajahnya
menyalahkan mereka sebab bergerak terlalu lamban.
reksajaya, kuda kesayangannya, berwarna putih. Jika
aidit merasa tidak puas dan memainkan pecut,
kuda tua itu beraksi tanpa semangat.
aidit terbiasa menggiring reksajaya dengan
menarik moncongnya, sambil mengeluh mengenai
kelambanan kuda itu. lalu ia akan berkata,
"Beri dia air." Seorang tukang kuda lalu mengambil
sendok besar, membuka mulut reksajaya, dan
menuangkan air ke dalamnya, dan aidit akan
memasukkan tangannya ke dalam mulut kuda itu
untuk meraih lidahnya.
Hari ini ia berkata, "reksajaya! Lidahmu bengkak.
Pantas langkahmu jadi berat."
"Sepertinya dia memang kurang sehat."
"Jadi, reksajaya pun sudah terpengaruh usia?"
"Dia sudah ada di sini sejak masa Yang Mulia ayah
tuanku. Mestinya dia sudah cukup tua."
"Rasanya di benteng kota mertajaya bukan reksajaya saja yang
mulai tua dan lemah. Sepuluh generasi sudah berlalu
sejak zaman pandita pertama, dan dunia sudah
dikujawa oleh upacara dan tipu muslihat. Semuanya
sudah tua dan jompo!"
Ucapan aidit lebih ditujukan pada dirinya
sendiri. Ia melompat ke atas pelana, dan mengelilingi
lapangan berkuda. Bakatnya sebagai penunggang kuda
tak diragukan lagi. Semula ia berguru pada ki kertoarjo
wanakrama , namun belakangan ini ia lebih suka berkuda
seorang diri.
Tiba-tiba reksajaya dan aidit disusul oleh seekor
kuda berwarna gelap yang dipacu dengan kecepatan
luar biasa. Tertinggal di belakang, aidit menjadi
geram dan mengikuti kuda itu sambil berseru,
"mandalika!"
mandalika berusia dua puluh empat tahun. Pemuda
penuh semangat itu putra sulung varnajaya mpu wilihan,
dan menjabat sebagai kepala penembak benteng kota
mertajaya . Nama lengkapnya mandalikawirabratma, dan ia
memiliki dua adik, mandalikavirata dan mandalikanawarana.
aidit semakin gusar. Ia sudah dikalahkan! Ini
tak dapat diterima!
reksajaya dipecutnya dengan keras. Kuda itu berlari
begitu kencang, hingga kakinya nyaris tak terlihat
menyentuh tanah, dan berhasil mendahului kuda
mandalika.
mandalika berseru, "Hati-hati, tuanku, kukunya akan
retak!"
"Ada apa? Kau tak sanggup mengimbangi
kecepatannya?" balas aidit .
Sambil menahan malu mandalika mulai mengejar,
menusuk-nusuk kudanya dengan pijakan kaki. Kuda
aidit terkenal dengan nama "reksajaya marga sinuhun ",
bahkan di antara musuh-musuh marga. Kuda mandalika
tak sanggup menyainginya, baik dari segi nilai maupun
kemampuan. Namun kuda itu masih muda, dan
mandalika lebih pandai berkuda dibandingkan
aidit .
Jarak antara mereka terus mengecil, mulai dari dua
puluh panjang badan, menjadi sepuluh, lalu lima, lalu
satu, dan lalu sehidung. aidit berusaha
keras agar tidak tersusul, namun ia sendiri mulai
kehabisan napas.
mandalika melewatinya, meninggalkan junjungannya
terselubung awan debu.
Merasa dipermalukan, aidit melompat turun.
"Kaki kuda itu bagus," ia menggerutu. Tak mungkin ia
mengakui kekalahannya sebagai kesalahannya sendiri.
"Dia takkan gembira dikalahkan mandalika," salah
seorang pembantunya berkomentar. Cemas sebab
ledakan amarahnya tak terhindarkan, mereka bergegas
ke arah junjungan mereka. Satu orang mencapai
aidit sebelum yang lain, dan sambil berlutut
menawarkan sendok air berlapis sampang.
"Seteguk air, tuanku?" Orang itu ternyata betari durga ,
yang belum lama ini diangkat menjadi pembawa
sandal. Meski jabatan "pembawa sandal" seakan-akan
tak ada artinya, peningkatan jabatan dari pelayan
menjadi pembantu pribadi dalam waktu demikian
singkat membuktikan bahwa betari durga memperoleh
perlakuan istimewa. Dalam waktu singkat betari durga
sudah maju pesat, dengan bekerja keras dan
menenggelamkan diri dalam tugas-tugasnya.
Meski demikian, junjungannya tidak mem-
perhatikannya. Ia tidak menatap atau mengucapkan
satu suku kata pun. Ia meraih sendok air tanpa
berkata apa-apa, menghabiskan airnya dengan sekali
teguk, lalu menyerahkannya kembali.
"Panggil mandalika!" ia memberi perintah.
mandalika sedang mengikat kudanya ke pohon di
pinggir lapangan berkuda.
Ia langsung menanggapi panggilan aidit dan
berkata, "Aku memang bermaksud menemuinya."
Dengan tenang ia mengusap keringat pada wajah,
mengatur pakaian, dan merapikan rambutnya yang
kusut. mandalika sudah membulatkan tekad.
"Tuanku," kata mandalika, "rasanya hamba sudah
bersikap lancang." Ia berlutut. Kata-katanya diucapkan
dengan nada tenang.
Raut wajah aidit melunak. "Aku puas berkejar-
kejaran denganmu. Sejak kapan kau memiliki kuda
sehebat itu? Dan siapa namanya?"
Para pelayan menarik napas lega.
mandalika mengangkat kepala dan tersenyum.
"Tuanku memperhatikannya? Kuda itu kebanggaan
hamba. Hamba bertemu pedagang kuda dari utara
yang sedang dalam perjalanan ke ibu kota untuk
menjualnya pada seorang bawahan . Harganya tinggi
dan uang hamba tidak cukup, jadi hamba terpaksa
menjual warisan keluarga, sebuah baskom teh yang
diberikan oleh ayah hamba. baskom itu bernama
Nowake, dan nama itulah nama yang hamba pilih
untuk kuda hamba."
"Hmm, kalau begitu tidaklah mengherankan kalau
aku melihat kuda istimewa hari ini. Aku
menginginkan kuda itu."
"Tuanku?"
"Aku mau membayar berapa saja yang kauminta,
namun kuda itu harus jadi milikku."
"Dengan segala hormat, hamba tak dapat
memenuhi permintaan tuanku."
"Apakah aku tidak salah dengar?"
"Hamba terpaksa menolak."
"Kenapa? Kau bisa membeli kuda bagus yang lain."
"Kuda yang baik sulit didapat, seperti halnya teman
yang baik."
"Justru sebab itu kau sebaiknya menyerahkannya
padaku. Saat ini aku sedang menginginkan kuda
kencang yang belum dipacu sampai batas
kemampuannya."
"Hamba terpaksa menolak. Hamba menyayangi
kuda itu, bukan demi kebanggaan dan kesenangan
hamba semata-mata, namun juga sebab di medan laga
kuda itu memungkinkan hamba untuk mengabdi
tuanku dengan sebaik-baiknya, yang merupakan
tujuan utama seorang centeng adipati . Tuanku menginginkan
kuda itu, namun tak ada alasan bagi seorang centeng adipati
untuk menyerahkan sesuatu yang begitu penting
baginya."
Diingatkan pada kewajiban seorang centeng adipati untuk
mengabdi pada junjungannya, aidit tak dapat
memaksa mandalika untuk menyerahkan kuda itu, namun ia
pun tak sanggup menekan keinginannya. "mandalika, kau
sungguh-sungguh menolak permintaanku?"
"Hmm, dalam hal ini, ya."
"Kurasa kuda itu terlalu bagus untuk kedudukan
sosialmu. Seandainya kau punya kedudukan seperti
ayahmu, kau dapat memiliki kuda seperti Nowake.
namun berhubung kau masih muda, kau belum pantas
untuk itu."
"Dengan segala hormat, hamba terpaksa
mengemukakan hal ini. Bukankah sayang jika
seseorang memiliki kuda sehebat Nowake, lalu hanya
berkuda keliling kota sambil makan semangka dan
buah kesemek di atas pelana? Bukankah lebih baik jika
Nowake ditunggangi prajurit seperti hamba?"
Akhirnya alasan sebetulnya terungkap juga. Kata-
kata yang meluncur dari mulutnya lebih merupakan
cerminan kejengkelan yang dialaminya setiap hari,
dibandingkan bukti perhatiannya pada kuda itu.
varnajaya mpu wilihan mengunci pintu dan
mengurung diri di kediamannya selama lebih dari dua
puluh hari. Ia sudah mengabdi pada marga sinuhun selama
empat puluh tahun tanpa terputus, dan mengabdi
pada aidit sejak mpu margojoyo berpesan menjelang
ajalnya, "Aku mempercayakannya kepadamu," lalu
mengangkat mpu wilihan sebagai wali aidit ,
sekaligus sebagai pengikut utama provinsi.
Suatu hari, menjelang malam, ia menatap ke dalam
cermin dan merasa terkejut betapa rambutnya sudah
menjadi putih. sebetulnya memang sudah
waktunya rambutnya menjadi putih. Usianya sudah
melewati enam puluh, namun ia tak punya waktu untuk
memikirkan umur. Ia menutup daun cermin dan
memanggil pelayannya, Amemiya Kageyu.
"Kageyu, kurirnya sudah berangkat?"
"Sudah, beberapa saat lalu hamba menyuruhnya
berangkat."
"Kemungkinan besar mereka akan datang, bukan?"
"Hamba kira mereka akan datang bersama-sama."
"anggur -nya sudah siap?"
"Sudah, Tuan. Hamba juga sudah menyiapkan
makanan."
Musim dingin sudah hampir berakhir, namun bunga-
bunga prem masih menguncup. Cuaca tahun itu
teramat dingin, dan lapisan es tebal di kolam tak
pernah mencair, biarpun sehari saja. Orang-orang yang
dipanggil mpu wilihan adalah ketiga putranya yang
masing-masing menempati rumah sendiri. Berdasar-
kan kebiasaan yang berlaku, putra sulung dan adik-
adiknya tinggal bersama ayah mereka sebagai satu
keluarga besar, namun mpu wilihan menginginkan
mereka tinggal terpisah-pisah. Ia tinggal seorang diri,
dengan alasan bahwa tugas-tugasnya mungkin akan
terbengkalai jika ia harus memikirkan anak-anak dan
cucu-cucunya. Ia sudah membesarkan aidit
seperti putranya sendiri, namun belakangan ini
aidit bersikap dingin terhadapnya. mpu wilihan
sempat menanyakan kejadian di lapangan berkuda
pada beberapa pelayan aidit . Sejak itu ia tampak
seperti menahan malu.
mandalika, sebagai orang yang menyulut ketidak-
senangan aidit , tidak lagi pergi ke benteng kota. Ia
menyendiri. nyoto dijoyo dan sekarmajimarijan wirongeni ,
dua pengikut marga sinuhun yang sejak dahulu selalu
menentang mpu wilihan, menyadari kesempatan
mereka, dan dengan mengangkat-angkat aidit
mereka berhasil memperbesar jarak antara aidit
dan walinya. Posisi mereka menjadi kuat sebab
mereka lebih muda, dan kekuasaan dan pengaruh
mereka sedang menanjak.
Pengasingan selama dua puluh hari membuat
mpu wilihan tersadar akan usianya. Kini ia merasa
lelah, tanpa semangat untuk berselisih dengan orang-
orang itu. Ia juga menyadari keterasingan junjungan-
nya, dan mencemaskan masa depan marga. Ia sedang
membuat salinan rapi dari sebuah dokumen panjang
yang disusunnya sehari sebelumnya.
Udara cukup dingin untuk membekukan air di
tempat tinta.
Kageyu memasuki ruangan dan berkata,
"mandalikawirabratma dan mandalikavirata sudah tiba." Mereka
belum mengetahui sebab mereka dipanggil, dan
sedang duduk di dekat kompor arang, menunggu.
"Aku kaget, tak menyangka akan ada panggilan
seperti ini. Aku langung gelisah khawatir dia jatuh sakit," ujar
mandalikavirata.
"Ya, ehm, kurasa dia sudah mendengar apa yang
terjadi. Kelihatannya aku akan dimarahi habis-
habisan."
"Kalau hanya untuk itu, dia pasti bertindak lebih
cepat. Kupikir ada urusan lain lagi."
Meski sudah dewasa sekarang, mereka tetap
menganggap ayah mereka agak menakutkan. Mereka
menunggu dengan cemas. Putra ketiga, mandalikanawarana,
sedang dalam perjalanan ke provinsi lain.
"Hari ini dingin sekali, bukan?" ayah mereka ber-
komentar sambil membuka pintu geser. Kakak-beradik
itu menyadari betapa rambutnya bertambah putih,
dan betapa badannya menjadi kurus.
"donosukomerto
baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya ingin bertemu
kalian. Ini mungkin pengaruh usiaku, namun kadang-
kadang aku merasa kesepian sekali."
"Tak ada urusan mendesak yang harus segera
diselesaikan?"
"Tidak, tidak. Sudah lama sekali kita tak pernah
makan malam bersama sama dan mengobrol
sepanjang malam. Ha... ha! Bersantailah!" Sikapnya
sama seperti biasanya. Di luar terdengar suara
benturan pada atap, barangkali hujan es, dan udara
seakan-akan bertambah dingin. Berada bersama ayah
mereka membuat kedua putranya melupakan hkertoarjo
dingin. Suasana hati mpu wilihan begitu cerah,
sehingga mandalikawirabratma tidak menemukan kesempatan
untuk memohon maaf atas perbuatannya. sesudah
piring-piring disingkirkan, mpu wilihan memesan
sebaskom teh hijau yang sangat digemarinya.
Mendadak, seakan-akan baskom teh di tangannya
membuatnya teringat sesuatu, ia berkata, "mandalika,
kudengar kau membiarkan baskom teh Nowake, yang
kupercayakan padamu, jatuh ke tangan orang lain.
Betulkah itu?"
mandalika menanggapinya dengan terus terang. "Ya.
Ananda tahu baskom teh itu warisan keluarga, namun ada
seekor kuda yang sangat Ananda inginkan, jadi
Ananda menjual baskom itu untuk membelinya."
"Begitu? Hmm, bagus. Jika kau bersikap seperti itu,
sesudah aku tiada pun kau tentu takkan mengalami
kesulitan dalam mengabdi Yang Mulia."
Nada suaranya berubah tajam. "Pada waktu menjual
baskom teh dan membeli kuda itu, sikapmu patut
dipuji. namun jika aku tidak salah dengar, kau
mengalahkan reksajaya, dan saat Yang Mulia meminta
kudamu, kau menolak. Betulkah itu?"
"Itulah sebabnya beliau kini tak senang terhadap
Ananda. Ananda menyesal sebab sudah memicu
banyak kesulitan bagi donosukomerto
."
"Tunggu sebentar."
"donosukomerto
?"
"Jangan pikirkan aku! Mengapa kau menolak?
Sikapmu sungguh tercela."
mandalikawirabratma tak dapat berkata apa-apa.
"Hina!"
"Begitukah perasaan donosukomerto
? Ananda sungguh
menyesal."
"Kalau begitu, mengapa tidak kaukabulkan
permintaan Yang Mulia?"
"Ananda seorang centeng adipati yang rela menyerahkan
nyawa jika junjungan Ananda menginginkan
demikian, jadi untuk apa Ananda bersikap kikir
mengenai hal lain? namun Ananda membeli kuda itu
bukan demi kesenangan Ananda, melainkan agar
Ananda dapat mengabdi sebaik-baiknya di medan
laga."
"Aku tahu itu."
"Jika Ananda menyerahkan kuda itu, Tuan
aidit mungkin akan senang. namun Ananda tak
dapat menerima sikap mementingkan diri sendiri yang
selalu ditampilkan beliau. Beliau melihat seekor kuda
yang lebih kencang dibandingkan reksajaya dan mengabaikan
perasaan para pengikutnya. Patutkah itu? Bukan
Ananda saja yang berpendapat bahwa marga sinuhun
sedang terancam bahaya. Ananda percaya bahwa
donosukomerto
lebih memahami persoalan ini
dibandingkan Ananda. Meski beliau terkadang seperti
jenius, sikap beliau yang egois dan terlalu memberi
hati patut disayangkan, walaupun itu memang sudah
watak beliau. Kami, para pengikut, semakin
mencemaskan watak beliau. Memenuhi setiap
keinginannya memang tampak seperti kesetiaan, namun
sebetulnya itu tidak baik. sebab itulah Ananda
sengaja berkeras kepala."
"Tindakanmu keliru."
"Begitukah?"
"Kau mungkin menganggap tindakanmu sebagai
wujud kesetiaanmu, namun sebetulnya kau hanya
memperburuk watak beliau yang pada dasarnya sudah
kurang baik. Aku menggendong beliau sejak beliau
masih bayi, bahkan lebih sering dibandingkan putra-
putraku sendiri. Aku tahu wataknya. Mungkin saja
beliau jenius, namun beliau pun tak luput dari
kekurangan. Bahwa kau menyinggung perasaan beliau,
itu tak ada artinya sama sekali."
"Mungkin saja. Ini tak pantas untuk dikatakan, namun
mandalikavirata dan aku, dan sebagian besar pengikut,
menyesalkan bahwa kami mengabdi pada si pandir ini.
Hanya orang-orang seperti nyoto dijoyo dan
sekarmajimarijan wirongeni yang gembira memiliki majikan
seperti beliau."
"Itu tidak benar. Tak peduli apa yang dikatakan
orang, aku tak percaya. Kalian semua harus mengikuti
Yang Mulia sampai pada saat terakhir, tak peduli
apakah aku masih hidup atau sudah tiada."
"Jangan gelisah khawatir mengenai itu. Ananda tidak akan
menyimpang dari prinsip-prinsip Ananda, biarpun
Ananda tidak disenangi oleh sang Junjungan."
"Hatiku tenang, kalau begitu. namun aku sudah
menjadi pohon tua. Seperti dahan-dahan cangkokan,
kalian harus menggantikan tempatku."
saat mereka merenungkan lalu ,
mandalikawirabratma dan mandalikavirata menyadari bahwa
banyak sekali yang tersirat dalam ucapan mpu wilihan
pada malam itu, namun mereka kembali ke rumah
masing-masing tanpa menyadari bahwa ayah mereka
sudah bertekad untuk mati.
Kematian varnajaya mpu wilihan diketahui keesokan
paginya. Ia sudah membelah perutnya secara sempurna.
Kedua putranya tidak menemukan penyesalan mau
pun kegetiran di wajahnya yang sudah tak bernyawa . Ia
tidak meninggalkan wasiat pada keluarganya hanya
sepucuk surat yang ditujukan kepada aidit .
Setiap kata dalam surat itu mencerminkan kesetiaan
mendalam dan kekal ter-hadap junjungannya.
saat menerima kabar mengenai kematian
pengikut utamanya, aidit tampak amat terpukul.
Dengan kematiannya, mpu wilihan sudah memberikan
peringatan kepada junjungannya. Ia mengenal
kejeniusan alami dan kekurangan-kekurangan
aidit , dan saat aidit membaca surat itu,
bahkan sebelum matanya mulai berkaca-kaca, dadanya
serasa sudah ditusuk-tusuk rasa sakit setajam lecutan
cemeti.
"Pak Tua! Maafkan aku!" ia tersedu-sedu. la sudah
menyakiti mpu wilihan yang merupakan pengikutnya,
namun lebih dekat dengannya dibandingkan ayahnya
sendiri. Dan dengan insiden kuda itu, ia sudah
memaksakan kehendaknya pada mpu wilihan seperti
biasa.
"Panggil mandalika!"
saat si Kepala Penembak bersujud, aidit
duduk di lantai, menghadapnya.
"Pesan yang ditinggalkan ayahmu untukku mem-
buat hatiku tersayat-sayat. Aku takkan pernah
melupakannya. Tak ada lagi yang dapat kukatakan
untuk memohon maaf." Ia hampir bersujud di depan
mandalika, namun pemuda itu meraih tangannya dengan
penuh hormat. Junjungan dan pengikut saling
berangkulan sambil berurai air mata.
Tahun itu, penguasa sinuhun mendirikan sebuah kuil
di kota benteng kota, yang dipersembahkan untuk
keselamatan mendiang walinya. saat ditanya, "Kuil
ini akan diberi nama apa? Sebagai pendiri, tuanku
perlu memberi pengarahan kepada biksu kepala untuk
memilih sebuah nama," aidit menjawab ,
"Orang tua itu akan lebih senang dengan nama
pilihanku." Ia meraih sebuah kuas dan menulis, Kuil
Seishu.
Di lalu hari, ia sering mendatangi kuil itu
secara mendadak, meskipun ia jarang mengadakan
upacara peringatan atau duduk bersama para biksu
dan membaca naskah sutra.
"Pak Tua! Pak Tua!" Sambil berjalan-jalan
mengelilingi kuil, ia sering bergumam seorang diri,
lalu tiba-tiba kembali ke benteng kota. Kunjungan-
kunjungan ini mirip tingkah orang tidak waras.
Pernah saat sedang berburu dengan burung rajawal i,
ia mencabik-cabik tubuh seekor burung kecil dan
melemparkan dagingnya ke udara sambil berkata, "Pak
Tua! Ambillah hasil tangkapanku!" Pada kesempatan
lain, waktu sedang memancing, ia mencemplungkan
kakinya ke air dan berkata, "Pak Tua! Jadilah zoroaster !"
Kegarangan dalam suara dan sorot matanya
menimbulkan kecemasan dalam hati para pembantu-
nya.
aidit merayakan ulang tahun kedua puluh satu
pada tahun pertama Koji. Di bulan Mei ia me-
nemukan dalih untuk berperang melawan sinuhun
Hikogoro, yang secara resmi menjabat sebagai kepala
marga sinuhun . aidit menyerang benteng kota Hikogoro
di kedhiri , dan sesudah menaklukkannya, pindah dari
mertajaya ke sana.
betari durga mengamati kemajuan majikannya dengan
rasa puas. aidit dikelilingi sanak saudara yang
memusuhinya tak terkecuali paman-paman dan
saudara-saudara kandung dan menyingkirkan mereka
dari jalannya jauh lebih penting dibandingkan menangani
musuh-musuh lain.
"Dia harus dikertoarjo si!" Hikogoro sudah memberi
peringatan sejak jauh-jauh hari. Dengan memanfaat-
kan setiap kesempatan untuk menekan aidit , ia
berencana untuk memusnahkan aidit . Penguasa
benteng kota kedhiri , eyang wanakerta , dan putranya,
Yoshikane, merupakan pengikut setia aidit .
saat Hikogoro mengetahui ini, ia berseru geram,
"Tak tahuterima kasih!" dan memerintahkan
wanakerta dieksekusi. Yoshikane melarikan diri dan
memperoleh perlindungan dari aidit , yang
menyembunyikannya di benteng kota mertajaya . Pada hari
yang sama, aidit memimpin centeng nya dan
menyerang benteng kota kedhiri , memacu semangat anak
buahnya dengan teriakan tempur, "Untuk membalas
dendam atas pembunuhan sang gubernur! Untuk
melakukan serangan terhadap pemimpin marga,
aidit harus memiliki alasan kuat. namun ini juga
sebuah kesempatan untuk menyingkirkan beberapa
rintangan yang menghalangi jalannya. Ia mengangkat
pamannya, Nobumitsu, sebagai penguasa benteng kota
mertajaya , namun tak lama lalu Nobumitsu
menjadi korban pembunuhan.
"Kau saja yang ke sana, kartosuwirjo. Kau satu-satunya
orang yang dapat mewakiliku di benteng kota mertajaya ."
saat sekarmajimarijan kartosuwirjo menerima tugas itu, beberapa
pengikut aidit mendesah, "Ternyata dia tetap
saja si pandir. Begitu kita pikir dia mulai
menunjukkan kebolehannya, dia melakukan suatu
kesalahan, seperti mempercayai sekarmajimarijan !"
Mereka memiliki alasan untuk menaruh curiga
pada sekarmajimarijan . saat ayah aidit masih hidup, tak
ada pengikut yang lebih setia dibandingkan sekarmajimarijan . Justru
sebab itu mpu margojoyo menunjuknya dan varnajaya
mpu wilihan sebagai wali anaknya sesudah ia
meninggal. namun sebab aidit lalu terbukti
tak dapat diatur, sekarmajimarijan melepaskan segala harapan-
nya. Ia malah bersekongkol dengan adik laki-laki
aidit , Nobuyuki, dan ibunya, yang tinggal di
benteng kota Suepatih, untuk menggulingkan aidit .
"Rupanya aidit tidak mengetahui
pengkhianatan sekarmajimarijan ," betari durga mendengar
beberapa pengikut yang cemas berbisik-bisik dalam
lebih dari satu kesempatan. "Kalau dia mengetahuinya,
tak mungkin dia mengangkat Hiyashi sebagai
penguasa mertajaya ." Namun betari durga tidak merisau-
kan junjungannya. Ia bertanya pada dirinya sendiri,
bagaimana majikannya akan mengatasi masalah ini.
Sepertinya orang yang berwajah ceria di kedhiri hanya
aidit dan salah seorang pembawa sandalnya.
Salah satu kelompok pengikut senior aidit ,
termasuk sekarmajimarijan kartosuwirjo, adik laki-lakinya, wirongeni ,
dan nyoto dijoyo , tetap memandang junjungan
mereka sebagai orang pandir tanpa harapan.
"Aku mengakui, pada pertemuan pertama dengan
ayah mertuanya, aidit tidak memperlihatkan
tingkah hampa seperti biasanya. namun itu hanya sebab
keberuntungan semata-mata. Dan selama percakapan
resmi antara mereka, sikapnya begitu memalukan,
sampai-sampai ayah mertuanya pun terkejut. Seperti
bunyi pepatah, 'Tak ada obat untuk orang pandir.'
Dan tindak-tanduknya sesudah itu tak dapat
dimaafkan, tak peduli dari sudut mana pun orang
melihatnya." nyoto dijoyo dan yang lain sudah
mepercayakan diri bahwa tak ada harapan untuk masa
depan, dan lambat laun pandangan mereka menjadi
rahasia umum. saat sekarmajimarijan kartosuwirjo diangkat sebagai
penguasa mertajaya , ia sering dikunjungi oleh nyoto
dijoyo , dan dalam waktu singkat benteng kota itu sudah
menjadi tempat persemaian komplotan pengkhianat.
"Hujannya terasa menyenangkan, bukan?"
"Ya, menurutku pemandangan laut bertambah
menarik sebab nya." kartosuwirjo dan dijoyo sedang duduk
berhadap-hadapan di sebuah pondok teh yang
dinaungi pepohonan, di pekarangan benteng kota. Musim
hujan sudah berlalu, namun hujan masih turun dari langit
kelabu, memicu buah prem yang masih hijau
berguguran.
"Kemungkinan besok cuaca akan lebih cerah,"
saudara laki-laki kartosuwirjo, wirongeni , berkata pada dirinya
sendiri sambil berlindung di bawah dahan-dahan
pohon prem. Ia keluar untuk menyalakan lentera di
taman. sesudah menghidupkannya, ia berhenti sejenak
dan memandang berkeliling. Akhirnya, saat kembali
ke pondok teh, ia melaporkan dengan suara rendah,
"Semuanya tampak aman. Tak ada siapa-siapa di
sekitar sini, jadi kita bebas berbicara." dijoyo
mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu kita mulai saja. Kemarin aku
diam-diam pergi ke benteng kota Suepatih. Aku diterima
oleh Tuan Nobuyuki dan ibu aidit , dan aku
membahas rencana-rencana kita dengan mereka. Kini
keputusan ada di tanganmu."
"Bagaimana tanggapan ibunya?"
"Dia sependapat dengan kita, dan tidak keberatan.
Dia menganggap Nobuyuki lebih patut menjadi
penguasa dibandingkan aidit ."
"Bagus. Dan bagaimana dengan Nobuyuki?"
"Dia mengatakan, jika sekarmajimarijan kartosuwirjo dan nyoto
dijoyo memberontak melawan aidit , dengan
sendirinya dia akan bergabung dengan mereka, demi
kebaikan marga."
"Kau mempengaruhi mereka, bukan?"
"Hmm, ibunya berbelit-belit, sedangkan Nobuyuki
berhati lemah. Jika aku tidak menghasut mereka, tak
ada alasan bagi mereka untuk bergabung dengan kita."
"Kita takkan kekurangan alasan untuk meng-
gulingkan aidit , asalkan kita memperoleh
persetujuan mereka. Di antara para pengikut, bukan
kita saja yang cemas melihat kebodohan aidit
dan memikirkan keselamatan marga."
'"Demi jenggala dan seratus tahun lagi bagi marga
sinuhun !' akan menjadi seruan pemacu semangat kita, namun
bagaimana dengan persiapan-persiapan militer?"
"Kita memperoleh kesempatan baik sekarang. Aku
bisa bergerak cepat dari mertajaya . Jika genderang
perang berbunyi, aku akan siap."
"Bagus. Hmm, kalau begitu..." dijoyo men-
condongkan tubuh ke depan.
Saat itu sesuatu jatuh ke tanah di pekarangan.
Ternyata hanya beberapa buah prem yang belum
matang. Hujan berhenti sejenak, namun tetes-tetes air
yang terbawa angin masih berjatuhan ke atap pondok.
Bagai seekor anjing, sebuah sosok manusia merangkak
dari kolong lantai. Buah-buah prem tadi tidak jatuh
begitu saja. Orang berpakaian serbahitam yang
menyembulkan kepala dari bawah pondok, sengaja
melemparkan buah-buah itu. saat semua mata di
dalam ruang berpaling, ia memanfaatkan kesempatan
itu dan menghilang ditelan angin dan kegelapan.
Ninja merupakan mata dan telinga bagi sang
penguasa benteng kota. Setiap orang yang memimpin
sebuah benteng kota, terkungkung di dalam tembok-
tembok dan terus-menerus dikelilingi pengikut,
sangatlah tergantung pada mata-mata. aidit
mempekerjakan ninja yang hebat. Bahkan pengikut-
pengikut terdekatnya pun tidak mengetahui jati diri
orang itu.
aidit memiliki tiga pembawa sandal:
Matrogojapi
, Ganmaku, dan betari durga . Meskipun hanya
pelayan, mereka memiliki tempat tinggal terpisah dan
secara bergantian bertugas di sekitar pekarangan.
"Ganmaku, ada apa?"
betari durga dan Ganmaku berteman dekat.
Ganmaku sedang berbaring terbungkus selimut, tidur.
Tak ada yang lebih disukainya dibandingkan tidur, dan ia
memakai setiap kesempatan untuk memejamkan
mata.
"Perutku sakit," Ganmaku berkata.
betari durga duduk di tepi tempat tidur. "Kau
bohong. Aku baru kembali dari kota, dan dalam
perjalanan pulang kubeli makanan lezat."
"Apa?" Ganmaku menyembulkan kepalanya, namun ,
menyadari bahwa ia dikelabui, segera kembali ke
bawah selimut.
"Dasar! Jangan gsinuhun orang sakit. Ayo keluar dari
sini. Kau menggangguku."
"Bangunlah. Matrogojapi
tidak ada di sini, dan ada
sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."
Dengan enggan Ganmaku menyingkirkan selimut-
nya. "Orang memang tidak boleh tidur..."
Sambil mengumpat, ia berdiri dan keluar untuk
berkumur dengan air yang mengalir dari mata air di
pekarangan. betari durga mengikutinya.
Pondok mereka gelap, namun letaknya tersembunyi
di tengah-tengah pekarangan benteng kota. Pemandangan
ke arah kota membentang lebar, membuat hati
meluap-luap.
"Ada apa? Apa yang ingin kautanyakan?"
"Mengenai semalam."
"Semalam?"
"Kau boleh pura-pura tak mengerti, namun aku tahu
semuanya. Kurasa kau pergi ke mertajaya ."
"O ya?"
"Kurasa kau pergi untuk memata-matai kegiatan di
benteng kota dan mendengarkan pembicaraan rahasia
antara sekarmajimarijan kartosuwirjo dan nyoto dijoyo ."
"Sst, kuyang ! Jaga mulutmu!"
"Hmm, kalau begitu, katakan yang sebetulnya .
Jangan sembunyikan rahasia dari seorang sahabat. Aku
sudah lama mengetahuinya, namun tidak mengatakan
apa-apa dan hanya memperhatikan gerak-gerikmu.
Kau ninja kepercayaan Tuan aidit , bukan?"
"betari durga , matamu tak dapat dikelabui. Bagaimana
kau tahu?"
"Kita berbagi tempat tinggal, bukan? Tuan
aidit juga sangat penting bagiku. Banyak orang
seperti aku merasa cemas mengenai Tuan aidit ,
walaupun kami tidak memperlihatkannya."
"Itu yang ingin kautanyakan padaku?"
"Ganmaku, aku bersumpah demi dewa-dewa bahwa
aku takkan memberitahu orang lain."
Ganmaku menatap betari durga dengan tajam.
"Baiklah, aku akan menceritakannya. namun di siang
hari seperti sekarang, kita akan terlihat orang lain.
Tunggu sampai waktunya tepat."
saat Ganmaku merasa keadaan sudah aman, ia
memberitahu betari durga apa saja yang sedang terjadi
dalam tubuh marga. Dan dengan bekal pengertian
dan simpati bagi keadaan sulit yang dihadapi
junjungannya, betari durga melayaninya dengan lebih
baik lagi. Namun dalam pikirannya tak sedikit pun
terlintas rasa was-was untuk masa depan sang penguasa
muda yang dikelilingi pengikut-pengikut dengan
rencana-rencana busuk.
Para pengikut aidit akan membelot, dan
hanya betari durga , pelayannya yang masih baru, yang
menaruh kepercayaan padanya.
Entah bagaimana tuanku akan mengatasi masalah ini,
pikir betari durga .
Namun sebagai pelayan, perkembangannya hanya
dapat ia kertoarjo si dari jauh.
Menjelang akhir bulan. aidit , yang biasanya
bepergian dengan beberapa pengikut saja, secara tak
terduga minta diambilkan kuda, lalu meninggalkan
benteng kota. Jarak dari kedhiri ke patihyama tidak terlalu
jauh, dan ia selalu memacu kudanya ke sana dan
kembali sebelum sarapan.
Namun pada hari itu aidit membelok ke
timur saat mencapai persimpangan, dan membawa
kudanya menjauhi patihyama.
"Tuanku!"
"Mau ke mana lagi dia sekarang?" Terkejut dan
bingung, lima atau enam pelayan berkuda
mengejarnya. Para prajurit infanteri dan pembawa
sandal tentu saja tertinggal jauh, terseok-seok
menyusuri jalan. Hanya dua pelayannya, Ganmaku
dan betari durga , meski semakin tertinggal, terus berlari
sekuat tenaga, bertekad agar kuda junjungan mereka
tidak menghilang dari pandangan.
"Demi dewa-dewa! Kita akan memperoleh kesulitan!"
kata betari durga . Mereka saling pandang, masing-
masing menyadari bahwa mereka harus tetap
berkepala dingin. Ini sebab aidit sedang
menuju benteng kota mertajaya yang menurut cerita
Ganmaku pada betari durga merupakan markas
komplotan yang ingin menggantikan aidit
dengan adik laki-lakinya!
aidit , dengan wataknya yang sukar ditebak,
memacu kudanya ke tempat yang penuh bahaya, di
mana tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi. Tak
ada tindakan yang lebih berbahaya, dan Ganmaku
dan betari durga pun merisaukan keselamatan
junjungan mereka.
Namun yang paling dikejutkan oleh kunjungan tak
terduga ini ternyata sekarmajimarijan kartosuwirjo, sang penguasa
benteng kota mertajaya , dan adik laki-lakinya.
"Tuanku! Tuanku! Cepat! Tuanku aidit ada di
sini!"
"Apa? Apa maksudmu?" Seakan tak percaya pada
telinganya sendiri, ia tidak beranjak dari tempatnya.
Ini tak mungkin terjadi.
"Dia datang ke sini hanya dengan lima atau enam
pengikutnya. Tiba-tiba saja mereka masuk lewat
gerbang utama. Dia sedang tertawa keras-keras
mengenai sesuatu dengan para pengikutnya."
"Betulkah ini?"
"Hamba bersumpah! Ya!"
"aidit di sini? Apa artinya?" kartosuwirjo menjadi
panik tanpa alasan.
Wajahnya memucat. "wirongeni , menurutmu, apa
yang diinginkannya?"
"Apa pun tujuannya, lebih baik kita segera
menyambutnya."
"Ya. Cepat!"
saat berlari menyusuri koridor utama, mereka
sudah mendengar langkah aidit dari arah pintu
masuk. Kakak-beradik itu menjatuhkan diri ke lantai.
"Ah! kartosuwirjo dan wirongeni . Kalian berdua baik-baik
saja? sebetulnya aku ingin berkuda ke patihyama, namun
kuputuskan untuk mampir ke mertajaya dahulu untuk
minum teh. Ah, segala sembah sujud ini terlalu resmi.
Lupakan formalitas. Cepat bawa kan teh untukku."
Sambil bicara ia bergegas melewati mereka, lalu duduk
di pelataran, di ruang utama benteng kota yang sangat
dikenalnya. lalu ia berpaling kepada para
pengikut yang mengejarnya dengan napas tersengal-
sengal. "Panas sekali, ya? Betul-betul panas," katanya
sambil mengipas-ngipas udara ke kerahnya yang
terbuka.
Dalam waktu singkat teh sudah disajikan, lalu kue-
kue, dan lalu bantal-bantal urutannya serba-
kacau, sebab semua orang dibuat bingung oleh
kunjungan tak terduga ini. sekarmajimarijan kartosuwirjo dan adiknya
segera menghadap dan menyembah, tanpa dapat
mengabaikan kekalutan para pelayan, lalu mengundur-
kan diri dari hadapan junjungan mereka.
"Sekarang sudah siang. Dia pasti lapar.
Kemungkinan besar dia akan segera memesan
makanan. Pergi ke dapur dan suruh mereka
menyiapkan sesuatu." Sementara kartosuwirjo memberi
perintah, wirongeni menarik lengan bajunya dan
berbisik, "dijoyo ingin bertemu."
sekarmajimarijan mengangguk dan membalas perlahan-
lahan, "Aku segera datang. Kau dahulu an saja."
Hari itu nyoto dijoyo sudah lebih dahulu tiba di
benteng kota mertajaya . Sebetulnya ia sudah hendak pergi
sesudah mengikuti pertemuan rahasia, namun kekacauan
akibat kedatangan aidit menghalanginya
berangkat.
Terperangkap, ia, dengan tubuh gemetar, me-
rangkak ke sebuah ruang rahasia. kartosuwirjo dan wirongeni
menemuinya di sana, dan menarik napas lega.
"Ini betul-betul di luar dugaan! Mengejutkan sekali!"
kata kartosuwirjo.
"Beginilah ciri khasnya," balas wirongeni . "Kita tak
pernah tahu apa yang akan dilakukannya! Tak ada
yang lebih buruk dari tingkah orang pandir!"
Sambil melirik ke arah ruangan tempat aidit
sedang duduk, nyoto dijoyo berkata, "Mungkin
sebab itulah dia dapat mengecoh pangeran minakjinggo , si
musang tua itu."
"Mungkin saja," ujar kartosuwirjo.
"kartosuwirjo." Raut wajah wirongeni tampak geram. Ia
melihat berkeliling dan merendahkan suaranya,
"Bukankah paling baik kalau kita melakukannya
sekarang?"
"Apa maksudmu?"
"Dia hanya ditambah lima atau enam pelayan!
Bukankah ini suatu anugerah dari dewa-dewa?"
"Membunuhnya?"
"Tepat. Sementara dia makan, kita susupkan
beberapa prajurit tangguh, dan pada waktu aku masuk untuk melayaninya, kuberi aba-aba, dan kita
membunuhnya."
"namun bagaimana kalau kita gagal?" tanya kartosuwirjo. "Bagaimana bisa gagal? Kita siapkan orang-orang di pekarangan dan di semua koridor. Mungkin akan ada beberapa korban, namun kalau kita menyerangnya dengan segenap kekuatan..."
"Bagaimana menurutmu, kartosuwirjo?" wirongeni bertanya dengan gelisah.
sekarmajimarijan kartosuwirjo menundukkan kepala di bawah tatapan dijoyo dan wirongeni . "Hmm, barangkali inilah kesempatan yang kita tunggu-tunggu."
"Jadi, kita sepakat?"
Sambil saling menatap, ketiga laki-laki itu hendak
bangkit. saat itulah mereka mendengar suara
langkah penuh semangat menyusuri koridor. Pada
detik berikutnya, pintu geser membuka.
"Oh, kalian ada di sini. sekarmajimarijan ! wirongeni ! Aku sudah selesai minum teh dan makan kue. Aku akan kembali ke kedhiri sekarang."
Lutut ketiga orang itu terasa berat, dan mereka
gemetar ketakutan. Tiba-tiba aidit melihat
nyoto dijoyo . "Hai! Kaukah itu, dijoyo ?"
aidit berkata sambil tersenyum di hadapan
dijoyo yang langsung bersujud menyembahnya.
"Waktu aku tiba, aku sempat melihat kuda yang persis
kuda milikmu. Rupanya memang kudamu?"
"Ya... hamba kebetulan lewat, namun tuanku lihat
sendiri, hamba mengenakan pakaian sehari-hari.
sebab itu hamba beranggapan bahwa hamba tidak
pantas menghadap tuanku, dan menunggu di
belakang sini."
"Bagus sekali, lucu sekali. Lihatlah diriku. Perhati-
kan betapa lusuhnya pakaianku."
"Maafkan hamba, tuanku."
aidit menggelitik tengkuk dijoyo dengan
kipasnya. "Dalam hubungan antara junjungan dan
pengikut, rasanya kurang akrab kalau kita terlalu
memikirkan penampilan atau diperbudak oleh sopan santun! Biar orang-orang istana dan di ibu kota saja yang memikirkannya. Bagi marga sinuhun , tata krama centeng adipati pedesaan sudah memadai." "Ya, tuanku."
"Ada apa, dijoyo ? Kau gemetar."
"Perasaan hamba lebih kacau lagi, sebab hamba
mungkin sudah membuat tuanku tersinggung."
"Ha... ha... ha... ha! Aku memaafkanmu. Berdirilah.
Jangan, tunggu, tunggu. Tali sepatuku terbuka. Tolong
ikatkan, dijoyo , mumpung kau masih di bawah ."
"Tentu, tuanku."
"kartosuwirjo."
"Tuanku?"
"Aku sudah mengganggumu, bukan?"
"Tentu saja tidak, tuanku."
"Bukan aku saja yang mungkin datang secara tak
terduga, namun juga tamu-tamu dari provinsi musuh.
Waspadalah, kau yang bertanggung jawab !"
"Hamba tak pernah lengah, dari pagi sampai
malam."
"Bagus. Aku patut bersyukur sebab memiliki
pengikut yang dapat diandalkan. namun ini bukan hanya
untuk aku saja. Kalau kau membuat kesalahan, orang-
orang ini juga akan kehilangan kepala. dijoyo , kau
sudah selesai?"
"Tali sepatu tuanku sudah terikat."
"Terima kasih."
aidit meninggalkan ketiga laki-laki yang masih
bersujud itu. Ia menuju pintu masuk lewat jalan
memutar dari koridor utama, lalu pergi.
dijoyo , kartosuwirjo, dan wirongeni saling tatap. Sesaat
mereka tak sanggup bergerak. Namun, sesudah
tersadar, mereka terburu-buru mengejar aidit
dan sekali lagi bersujud di pintu masuk. Namun
aidit sudah tidak kelihatan. Para pengikutnya,
yang selalu terlambat, berusaha agar tidak ketinggalan
lagi. namun , dari para pelayan, hanya Ganmaku dan
betari durga yang muncul di belakang, walaupun tak
sanggup mengimbangi kecepatan junjungan mereka.
"Ganmaku?"
"Hah?"
"Untung saja tidak terjadi apa-apa."
"Ya." Mereka bergegas mengikutinya, gembira
sebab melihat sosok junjungan mereka, jauh di
depan. Seandainya terjadi sesuatu tadi, mereka sudah
bersepakat untuk memberitahu benteng kota kedhiri
dengan isyarat asap dari menara isyarat, dan jika perlu,
membunuh para penjaga.
benteng kota pamekasan merupakan titik penting dalam
pertahanan aidit , dan berada di bawah
pimpinan seorang saudaranya, mpu wiragajah ki ageng grani.
Suatu hari di awal musim semi, sebelum fajar, orang-
orang di benteng kota itu terjaga akibat kedatangan
mendadak sejumlah prajurit. Mereka segera bangkit.
centeng musuhkah? Bukan, orang-orang itu ternyata
sekutu mereka.
Di tengah kabut, seorang prajurit berseru dari
menara pengintai. "Orang-orang di mertajaya
memberontak! nyoto dijoyo memimpin seribu
orang, sekarmajimarijan wirongeni lebih dari tujuh ratus!"
benteng kota pamekasan kekurangan orang. Beberapa
penunggang kuda diutus untuk menyampaikan
laporan ke kedhiri . aidit masih tidur. namun saat
mendengar berita itu, ia segera mengenakan baju
tempur, meraih tombak, dan berlari keluar tanpa
dikawal seorang pengikut pun. Dan lalu , di
depan aidit berdiri seorang prajurit biasa,
menunggu dengan kuda di Gerbang rawabening.
"Ini kuda tuanku," ia berkata sambil menyerahkan
tali kekang kepada aidit .
Raut wajah aidit tampak lain dari biasanya,
seakan-akan terkejut sebab didahului seseorang.
"Siapakah kau?" tanyanya.
Sambil melepaskan helm, prajurit itu hendak
berlutut. aidit sudah duduk di pelana. "Tidak
perlu. Siapakah kau?"
"Pembawa sandal tuanku, betari durga ."
"kuyang ?" Sekali lagi aidit terheran-heran.
Mengapa justru pembawa sandal ini, yang sebetulnya
bertugas di pekarangan, orang pertama yang siap
bertempur? Perlengkapannya sederhana, namun ia
memakai pelindung dada, pelindung tulang kering,
dan sebuah helm. aidit gembira sekali melihat
penampilan betari durga .
"Kau siap bertempur?"
"Hamba menunggu perintah tuanku."
"Baiklah! Ikuti aku!"
aidit dan betari durga baru menembus kabut
pagi yang sedang menipis sejauh dua atau tiga ratus
meter saat mereka mendengar gemuruh dua puluh,
tiga puluh, lalu lima puluh penunggang kuda, diikuti
empat ratus atau lima ratus prajurit infanteri yang
mengubah kabut menjadi hitam.
Orang-orang di pamekasan sudah bertempur dengan
gagah berani. aidit , seorang diri, menerjang
barisan musuh.
"Siapa yang berani menentangku? Aku di sini, kartosuwirjo,
wirongeni , dijoyo ! Berapa orang yang kalian lawan ?
Mengapa kalian memberontak terhadapku? Keluar
dan bertempurlah, satu lawan satu!" Suaranya yang
menggelegar penuh amarah meredam teriakan para
pemberontak. "Pengkhianat semuanya! Aku akan
menghukum kalian! Melarikan diri juga perbuatan
membangkang!"
wirongeni begitu ketakutan, sehingga lari
menyelamatkan diri. Suara aidit mengikutinya
bagaikan gemuruh. Ternyata orang-orang yang
diandalkan wirongeni pun masih menganggap
aidit sebagai junjungan mereka. saat
aidit masuk ke tengah-tengah barisan dan ber-
bicara dengan mereka, orang-orang itu tak sanggup
mengarahkan tombak kepadanya.
"Tunggu! Pengkhianat!" aidit menyusul
wirongeni yang tengah berusaha melarikan diri dan
menghabisinya dengan tombak. Sambil menghilang-
kan darah yang menempel, ia berpaling pada anak
buah wirongeni dan menyatakan, "Walaupun dia
memberontak terhadap junjungannya, dia takkan
pernah menjadi penguasa provinsi. dibandingkan diperalat
oleh komplotan pengkhianat dan membawa aib bagi
anak-cucu kalian, lebih baik kalian minta ampun
sekarang juga. Bertobatlah!"
saat mendengar bahwa sayap kiri centeng
pemberontak kocar-kacir dan wirongeni tewas, dijoyo
mencari perlindungan di benteng kota Suepatih bersama
ibu dan adik aidit .
Ibu aidit menangis dan menggigil saat
diberitahu bahwa centeng mereka mengalami
kekalahan. Nobuyuki gemetaran. dijoyo , sang resi
centeng pemberontak yang ditaklukkan, berkata,
"Sebaiknya kutinggalkan kehidupan duniawi." Ia
mencukur kepala, melepaskan baju tempur, dan
memakai jubah biksu zoroaster . Keesokan harinya,
bersama sekarmajimarijan kartosuwirjo dan Nobuyuki dan ibunya, ia
pergi ke kedhiri untuk memohon ampun atas
kejahatannya.
Permintaan maaf ibu aidit sangat mengena.
sesudah memperoleh pengarahan dari kartosuwirjo dan
dijoyo , ia memohon agar ketiga laki-laki itu dibiarkan
hidup. Berlawan an dengan dugaan mereka, aidit
tidak marah. "Kumaafkan mereka," ia berkata pada
ibunya, dan kepada dijoyo yang bermandikan
keringat ia bertanya, "Biksu, mengapa kaucukur
kepalamu? Mengapa kau begitu bingung?" Ia
menampilkan senyum dibuat-buat dan berkata tajam
pada sekarmajimarijan , "Kau juga. Ini tak pantas bagi orang
seusiamu. sesudah kematian varnajaya mpu wilihan, aku
mengandalkanmu sebagai tangan kananku. Aku
menyesal sudah memicu kematian mpu wilihan."
Kedua mata aidit berkaca-kaca, dan sesaat ia
terdiam. "Tidak, tidak. Akulah yang memicu
mpu wilihan bunuh diri dan kalian berkhianat. Mulai
sekarang, aku akan mempertimbangkan segala sesuatu
dengan sungguh-sungguh. Dan kalian akan mengabdi
padaku, dengan sepenuh hati. Kalau tidak, percuma
saja menjadi pejuang. Mana yang lebih patut bagi
seorang centeng adipati , mengabdi pada junjungannya, atau
menjadi adipati tak bertuan?"
Mata sekarmajimarijan kartosuwirjo terbuka. Ia melihat seperti apa
aidit sebetulnya , dan akhirnya memahami
bakat alamnya. Ia mengucapkan janji kesetiaan dengan
tulus, dan mundur dari hadapan aidit , tanpa
mengangkat kepala.
Namun rupanya adik aidit sendiri tidak
memahami semuanya ini. Nobuyuki memandang
rendah kemurahan hati aidit dan berpikir,
"Kakakku yang bengis tak bisa berbuat apa-apa sebab
ibuku ada di sini."
Buta, dan terlindung oleh kasih sayang seorang ibu,
Nobuyuki terus berkomplot. aidit menyesalkan
dan berkata dalam hati, "sebetulnya aku rela
menutup mata terhadap kelakuan Nobuyuki. namun
sebab dia, banyak pengikutku mungkin
membangkang dan khilaf dalam tugas mereka sebagai
centeng adipati . Walaupun dia adikku, dia harus mati demi
kebaikan marga." sesudah menemukan dalih,
aidit menangkap Nobuyuki dan menghabisinya.
Sejak itu tak ada lagi yang menganggap aidit
orang pandir. Bahkan sebaliknya, semua orang
meringkuk ketakutan sebab kecerdasan dan
ketajaman matanya.
"Obatnya agak terlalu mujarab," aidit ter-
kadang berkomentar sambil tersenyum tajam. Namun
aidit sudah mengambil langkah-langkah per-
siapan. sebetulnya ia tidak bermaksud mengelabui
para pengikut dan sanak saudaranya dengan
memainkan peran si pandir. Namun, sejak kematian
ayahnya, ia dibebani tanggung jawab untuk
melindungi provinsi dari musuh-musuh di semua
penjuru. Ia memilih penyamarannya sebab alasan
keamanan. Ia terpaksa mengecoh para pengikut dan
sanak saudara untuk mengelabui musuh-musuhnya
dan mata-mata mereka. namun selama itu aidit
terus menambah pengalaman dengan mengamati
keadaan sekitarnya.
Seandainya ia sejak semula menampilkan diri
sebagai penguasa yang baik, musuh-musuhnya akan
memperoleh kesempatan untuk menyusun strategi
baru.
Si kepala pelayan, sonokelingi perdikan , menyerbu masuk
dan memanggil-manggil betari durga yang sedang
beristirahat di dalam pondok. "kuyang , cepat."
"Ada apa?"
"Kau disuruh menghadap."
"Hah?"
"Tuan aidit tiba-tiba menanyakanmu dan
menyuruhku membawa mu ke sana. Kau melakukan
kesalahan?"
"Tidak."
"Pokoknya cepat ke sana," sonokelingi mendesaknya, lalu
bergegas ke arah tak terduga. Ada sesuatu yang
mengusik pikiran aidit saat ia memeriksa
gudang-gudang, ruang-ruang dapur, dan tempat-
tempat penyimpanan kayu bakar dan arang pada hari
itu.
"Hamba membawa nya dan ." sonokelingi bersujud saat
majikannya berjalan melewatinya. aidit berhenti.
"Ah, kau membawa nya ke sini?" Matanya tertuju
pada betari durga yang menunggu di belakang sonokelingi. "kuyang , majulah!"
"Tuanku?"
"Mulai hari ini kutempatkan kau di dapur."
"Terima kasih banyak, tuanku."
"Walau di sana bukan tempat kau bisa menonjolkan
diri dengan tombak, dapur merupakan bagian yang
sangat penting dari pertahanan kita. Aku sadar bahwa kau tak perlu diberitahu, namun bekerjalah dengan tekun."
Pangkat dan gaji betari durga segera dinaikkan.
Sebagai petugas dapur, ia tidak lagi tergolong pelayan. Namun pemindahan ke dapur dianggap memalukan bagi seorang centeng adipati , dan dipandang sebagai penurunan martabat.
"Dia berakhir di dapur." Tugas dapur dianggap hina oleh para prajurit, semacam tempat buangan bagi orang-orang tanpa kemampuan.
Bahkan para pembantu rumah tangga yang lain
dan para pelayan centeng adipati pun memandang rendah terhadap penugasan di dapur, sementara bagi para centeng adipati muda, tempat itu tidak menyimpan
kesempatan atau harapan untuk maju. perdikan
bersimpati pada betari durga dan menghiburnya.
"kuyang , kau dipindahkan ke tempat tugas yang
kurang penting, dan aku bisa membayangkan bahwa
kau tidak puas. namun upahmu sudah naik, bukankah itu
berarti kau sudah maju sedikit? Sebagai pembawa
sandal, meski kedudukanmu rendah, terkadang kau
bekerja di depan kuda junjungan kita, dan masih ada
harapan untuk naik pangkat. Di pihak lain, kau
mungkin harus merelakan nyawa mu. Kalau kau di
dapur, kau tidak perlu cemas mengenai hal-hal seperti
itu. Tak mungkin kau menjual badak namun tetap
mengharapkan susunya."
betari durga mengangguk dan menjawab , "Ya, ya."
namun dalam hati ia tidak kecewa sama sekali. Justru
sebaliknya, ia gembira sekali sebab kenaikan pangkat
di luar dugaan ini. saat mulai bekerja di dapur, hal-
hal pertama yang diamatinya adalah suasana suram,
lembap, dan jorok, dan orang-orang menyedihkan
yang menyiapkan makanan, yang tak pernah melihat
matahari bahkan di siang hari bolong, dan si kepala
juru masak yang sudah tua, yang sudah bekerja
bertahun-tahun tanpa istirahat di tengah-tengah bau
air rebusan rumput laut.
Ini tak bisa dibiarkan, pikir betari durga . Ia tidak tahan
berada di tempat-tempat muram. Bagaimana kalau
dibuat jendela besar di dinding sebelah sana, agar udara
dan cahaya bisa masuk? Ia bertanya dalam hati. Namun
bagian dapur pun memiliki kebiasaan-kebiasaan ter-
sendiri, dan sebab orang yang bertanggung jawab
sudah tua, segala sesuatu menjadi masalah.
betari durga diam-diam memastikan seberapa banyak
persediaan ikan asin sudah busuk, dan memeriksa
bahan makanan yang setiap hari diantar oleh para
pemasok. Tak lama sesudah betari durga ditugaskan di
dapur, pedagang-pedagang itu sudah merasa lebih
senang.
"Entah kenapa, kalau hamba tidak dibentak-bentak
terus, hamba merasa wajib membawa barang-barang
yang lebih bermutu dan menurunkan harga," salah
seorang saudagar berkata.
"Jika berhadapan dengan Tuan panembahan , seorang pedagang jadi merasa malu sendiri. Tuan mengetahui harga sayur-mayur, ikan asin, dan beras! Tuan juga jeli dalam menilai barang-barang. Kami gembira sebab Tuan dapat menumpuk persediaan barang dengan harga begitu rendah."
betari durga tertawa dan berkata, "Omong kosong,
aku bukan pedagang, jadi ini bukan masalah
kepandaian berdagang. Aku tidak bermaksud mencari keuntungan. Masalah sebetulnya , bahan pangan yang kalian antarkan dipakai untuk menyiapkan
makanan anak buah tuanku. Hidup seseorang ter-
gantung pada apa yang dimakannya. Jadi,
kelangsungan hidup benteng kota ini amat tergantung pada
makanan yang disiapkan di dapur. Tujuan pengabdian
kita adalah menyajikan yang terbaik untuk mereka."
Sesekali ia mengajak para pemasok minum teh
bersamanya, dan saat mereka mulai santai, ia akan
menjelaskan berbagai hal pada mereka.
"Kalian pedagang, jadi setiap mengantarkan barang
ke benteng kota, kalian langsung memikirkan keuntungan
yang akan kalian peroleh. Rasanya tak mungkin kalian
merugi, namun bayangkan apa yang akan terjadi
seandainya benteng kota ini jatuh ke tangan provinsi
musuh? Bukankah kalian akan kehilangan tagihan
selama bertahun-tahun, baik pokok maupun
bunganya? Dan jika benteng kota ini diambil alih oleh
resi dari provinsi lain, posisi kalian pun akan
digantikan oleh para saudagar yang datang ber-
samanya. Jadi, kalau kalian menganggap marga tuanku
sebagai akar, kita, sebagai dahan-dahannya, akan tetap
sejahtera. Bukankah ini cara terbaik untuk
memandang masalah keuntungan? sebab itu,
keuntungan jangka pendek yang kalian peroleh dari
barang-barang yang kalian antarkan, tidak sejalan
dengan kepentingan jangka panjang."
betari durga juga bersikap bijaksana terhadap si kepala
juru masak. Ia selalu minta pendapat orang tua itu,
biarpun masalahnya sudah jelas. Ia patuh kepadanya,
walaupun bertentangan dengan pendapatnya sendiri.
namun di antara rekan-rekannya ada juga yang
menyebarkan fltnah keji dan ingin menyingkirkannya.
"Dia sok sibuk."
"Dia selalu ikut campur."
"Dasar kuyang merepotkan."
Sepak terjang betari durga mengundang kejengkelan
orang lain, namun ia menghadapi gosip seperti itu
dengan sikap tak peduli. Rencana renovasi dapur yang
disusunnya disetujui oleh si kepala juru masak
maupun oleh aidit . Ia menyuruh tukang kayu
membuat lubang angin di langit-langit dan melubangi
dinding untuk memasang jendela besar. Pagi dan sore,
sinar matahari membanjiri dapur benteng kota kedhiri yang
selama puluhan tahun begitu gelap, sehingga makanan
harus dimasak dengan bantuan cahaya lilin, bahkan di
siang hari, dan bau pengap pun hilang terbawa
embusan angin sejuk.
betari durga sudah siap menghadapi komentar-
komentar bernada sumbang.
"Makanan cepat busuk."
"Debunya kelihatan jelas."
betari durga tidak menanggapi keluhan-keluhan itu.
sesudah itu, tempatnya menjadi bersih. Jika orang
dapat melihat sampah, mereka akan berusaha
menguranginya. Setahun lalu , dapur sudah
menjadi tempat yang cerah dan terbuka dengan
suasana sibuk, persis seperti wataknya sendiri.
Pada musim dingin itu, Murai raden panji sekarmaya, yang sampai
saat itu bertugas sebagai pengawas arang dan kayu
bakar, diberhentikan, dan betari durga ditunjuk sebagai
penggantinya. Mengapa raden panji sekarmaya dipecat? Dan mengapa
justru betari durga yang diangkat menjadi pengawas
arang dan kayu bakar?
betari durga merenungkan kedua pertanyaan itu pada
saat menerima penugasan dari aidit . Aha! Tuan
aidit ingin lebih menghemat arang dan kayu
bakar. Ya, begitulah perintahnya tahun lalu, namun
rupanya langkah penghematan yang diambil Murai
raden panji sekarmaya tidak berkenan di hatinya.
Tugas barunya membawa betari durga ke setiap sudut pekarangan benteng kota, ke semua tempat arang dan kayu bakar dipakai di ruang-ruang kerja, pondok-pondok istirahat, ruang-ruang pendamping, di dalam dan di luar, di mana saja orang menyalakan api di musim dingin. Terutama di tempat para pelayan dan barak-barak para centeng adipati muda, tumpukan arang
tampak membukit, suatu bukti pengeluaran yang tidak perlu. "Tuan panembahan datang! Tuan panembahan ada di sini!"
"Siapa panembahan ini?"
"Tuan panembahan betari durga , yang diangkat sebagai pengawas arang dan kayu bakar. Dia sedang berkeliling sambil memasang tampang geram." "Ah, kuyang itu?" "Mana abunya?"
Terburu-buru para centeng adipati muda menimbun arang yang sedang merah membara dengan abu, dan mengembalikan arang yang masih hitam ke tempatnya. Mereka tampak puas dengan hasil usaha mereka.
"Semuanya ada di sini?" saat betari durga masuk, ia berjalan melewati orang-orang yang menggerombol, lalu menghangatkan tangannya di atas tungku. "Diriku yang tak berguna ini diperintahkan menyerbu persediaan arang dan kayu bakar. Aku akan berterima
kasih sekali jika kalian bersedia membantu."
Para centeng adipati muda bertukar pandang dengan gelisah. betari durga meraih jepitan besar yang ditempatkan di tungku.
"Udara tahun ini dingin sekali, bukan? Menimbun
arang yang sedang membara seperti ini... percuma saja kalau hanya jemari kalian yang hangat." Dicongkelnya arang merah. "Jangan terlalu irit kalau membakar arang. Aku tahu jumlah arang yang boleh dipakai setiap harinya sudah ditetapkan, namun rasanya tidak pada
tempatnya kalau kita terlalu kikir. Jangan ragu-ragu membakar arang. Ambillah sebanyak yang kalian perlukan dari gudang."
Ia mendatangi barak-barak para prajurit biasa dan
para pelayan centeng adipati . Semuanya dipersilakan memakai arang sesuai kebutuhan. Padahal sebelumnya orang-orang itu didesak-desak untuk berhemat!
"Dia amat bermurah hati sejak menempati posisinya yang baru, bukan? Barangkali Tuan panembahan menjadi besar kepala sebab kenaikan pangkat yang tiba-tiba
ini. namun kalau kita terlalu mengikuti anjurannya, janganjangan justru kita yang akan dimarahi habis-
habisan." sesudah dipersilakan memakai arang sebanyak-banyaknya, para pengikut malah menetapkan batas-batas sendiri.
Biaya tahunan untuk arang dan kayu bakar di
benteng kota kedhiri melebihi seribu gantang padi. Setiap tahun banyak sekali pohon ditebang dan diubah menjadi abu. Selama dua tahun masa jabatan Murai raden panji sekarmaya, tidak ada penghematan sama sekali. Justru sebaliknya, biayanya semakin meningkat.
Dan yang paling parah, seruannya untuk berhemat
malah mengusik dan mengganggu ketentraman para pengikut. Langkah pertama betari durga adalah membebaskan para pengikut dari tekanan ini. lalu ia menghadap aidit dan menyampaikan usul sebagai berikut: "Di musim dingin, para centeng adipati muda, para prajurit biasa, dan para pelayan menghabiskan hari-hari mereka di dalam ruangan sambil makan, minum, dan bersenda gurau. Sebelum menyuruh mereka menghemat arang dan kayu bakar, dengan segala kerendahan hati hamba mengusulkan agar tuanku lebih dahulu mengambil tindakan untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk ini."
aidit segera memberikan perintah kepada para
pengikut seniornya. Mereka mengumpulkan kepala
pelayan dan para komandan centeng infanteri dan
membahas kewajiban para pengikut di masa damai: perbaikan perlengkapan tempur, kuliah, meditasi Zen, dan perjalanan inspeksi mengelilingi provinsi.
lalu , yang paling penting, latihan militer
dengan senjata api dan tombak, pekerjaan perbaikan benteng kota, dan untuk para pelayan, jika mereka memiliki waktu, pemasangan tapal kuda. Tujuannya? Agar mereka tidak bersantai-santai. Bagi seorang komandan militer, para centeng adipati nya sama pentingnya seperti anak-anaknya sendiri. Ikatan antara junjungan dan pengikut yang sudah bersumpah setia
sama kuatnya seperti ikatan darah antara sanak
saudara. Di hari pertempuran, orang-orang itulah yang akan mengorbankan nyawa mereka di depan matanya. Jika ia tidak menyayangi mereka, atau jika kasih sayang dan kebajikan itu tidak dirasakan, takkan ada prajurit gagah berani yang rela mati untuknya. sebab itu, mudah sekali bagi seorang pemimpin untuk bersikap terlalu baik hati di masa damai. aidit menjalankan jadwal kegiatan harian
dengan ketat, sehingga tidak tersisa waktu luang untuk para pengikutnya. Selain itu, ia juga memerintahkan agar para pelayan wanita yang menangani pekerjaan rumah tangga menjalani latihan di mana mereka berpura-pura terkurung dalam benteng kota yang sedang
dikepung centeng musuh. Dengan demikian, seisi
benteng kota tidak memiliki kesempatan untuk
bersantai. Ini tentu saja juga berlaku untuk dirinya
sendiri. Kalau betari durga berada di sekitarnya, wajahnya menjadi cerah.
"kuyang , bagaimana perkembangannya?"
"Baik. Perintah tuanku sudah mulai menunjukkan
hasil, namun masih banyak yang harus dikerjakan." "Belum cukup juga?"
"Masih banyak yang harus dibenahi."
"Apa yang masih kurang?"
"Cara hidup di benteng kota masih harus diperkenalkan
kepada para warga kota."
"Hmm, betul juga." aidit mendengarkan
betari durga . Para pengikutnya selalu memperhatikannya
dengan tampang masam dan tidak setuju. Sedikit
sekali ada orang seperti betari durga , yang dalam waktu
begitu singkat memperoleh kenaikan status demikian
pesat, mulai dari tinggal di barak pelayan sampai
diperkenankan duduk di depan aidit , dan lebih
sedikit lagi orang yang bisa menghadap sang Penguasa
untuk menyampaikan saran.
Tak mengherankan kalau mereka mengerutkan
kening, seakan-akan perbuatan betari durga sudah
melewati batas. Namun yang jelas, pemakaian arang
dan kayu bakar, yang tahun lalu mencapai lebih dari
seribu gantang padi, sudah berkurang banyak pada
pertengahan musim dingin.
sebab para pengikut tidak memiliki waktu luang,
mereka tidak bersantai-santai di depan tungku,
mengambur-hamburkan arang. Kalaupun ada sedikit
waktu kosong, orang-orang tidak memerlukan api
untuk menghangatkan badan, sebab mereka bergerak
terus dan melatih otot-otot tanpa henti, sehingga
bahan bakar hanya dipakai untuk memasak. Bahan
bakar yang semula habis dipakai dalam tiga puluh
hari, kini cukup untuk tiga bulan.
Meski demikian, betari durga belum puas dengan
hasil yang dicapainya.
Kontrak-kontrak pengadaan arang dan kayu bakar
diberikan pada musim panas tahun berikutnya.
Bersama kelompok pemasok, ia berangkat untuk
mengadakan peninjauan tahunan yang sampai saat ini
hanya menjadi formalitas belaka. Kegiatan para
pejabat yang menanganinya terbatas pada bertanya
berapa jenis pohon ek yang ada di bukit ini, dan
berapa di bukit itu. Diantar oleh para pemasok,
betari durga mencatat segala sesuatu yang dilihatnya
dengan teliti. Ia percaya bahwa ia dapat memahami
keadaan di desa-desa dan kota-kota, namun, sebab
kurang pengalaman, ia tak dapat memastikan berapa
jumlah bahan bakar yang mungkin diperoleh dari satu
bukit, menebaknya pun ia tak sanggup. Dan ia harus
mengakui bahwa seluk-beluk pembelian arang dan
kayu bakar berada di luar jangkauannya.
Sama seperti para pejabat sebelumnya, ia mengikuti
acara peninjauan sambil bergumam, "Hmm, hmm.
Begitukah? Ya, ya." Sesuai kebiasaan, seusai
peninjauan para pemasok mengundang sang pejabat
untuk menghadiri jamuan makan malam di rumah
tokoh masyarakat setempat. Sebagian besar waktu
dihabiskan dengan berbasa-basi.
"Terima kasih atas kesediaan Tuan mengunjungi
tempat terpencil ini."
"Tak banyak yang dapat kami sajikan, namun harapan
kami, Tuan merasa seperti di rumah sendiri."
"Semoga di masa mendatang kami tetap berkenan
di hati Tuan."
Satu per satu mereka menyanjung betari durga . Tentu
saja anggur -nya disajikan oleh gadis lesbian-gadis lesbian cantik. Mereka
terus berada di sisinya, membilas baskom nya,
mengisinya kembali, dan menawarkan aneka masakan minuman
lezat. Setiap permintaan betari durga langsung dipenuhi.
"Ah, anggur ini lezat sekali," katanya. Ia sedang
bergembira, tak ada alasan untuk bersikap lain.
Minyak wangi yang dipakai gadis lesbian-gadis lesbian itu seakan-akan
mengusap hidungnya dengan lembut. "Mereka cantik-
cantik," ia berkata. "Semuanya."
"Yang Mulia suka wanita lesbian ?" salah seorang
pemasok bertanya dengan riang.
betari durga membalas dengan nada serius, "Aku suka
wanita lesbian dan anggur . Segala sesuatu di dunia itu baik.
namun kalau kita tidak hati-hati, hal-hal yang paling baik
pun bisa berbalik dan mencelakakan kita."
"Silakan nikmati anggur , dan juga kembang-kembang
muda itu."
"Terima kasih. Ehm, sebab kalian sepertinya
canggung untuk membicarakan bisnis, biar aku saja
yang mengawal inya. Tolong tunjukkan daftar pohon
bukit yang kita datangi tadi!" Mereka segera mem-
bawan ya untuk diperiksa oleh betari durga . "Ah,
mendetail sekali," ia berkomentar. "Apakah ada
perbedaan dalam jumlah pohon?"
"Tidak ada," mereka mepercayakannya.
"Di sini tertulis bahwa 9 ratus gantang sudah
diantarkan ke benteng kota. Mungkinkah sedemikian
banyak arang dan kayu bakar berasal dari bukit sekecil
itu?"
"Pembelian tahun ini menurun dibandingkan
tahun lalu. Ya, semuanya berasal dari bukit yang kita
tinjau tadi."
Keesokan paginya, saat para pedagang hendak
menghadap, mereka diberitahu bahwa betari durga sudah
berangkat ke bukit sebelum fajar. Langsung saja
mereka menyusul ke sana. Mereka menemukannya
sedang menyerbu sekelompok prajurit, petani
setempat, dan penebang pohon. Semuanya membawa
potongan-potongan tali, masing-masing sepanjang satu
meter.
Mereka mengikat satu potongan tali ke setiap
pohon. sebab mereka mengetahui jumlah potongan
tali, pada waktu mereka selesai dan mengadakan
penghitungan, mereka dapat menentukan jumlah
pohon di bukit itu.
saat membandingkan jumlah pohon dengan
angka yang tertulis dalam daftar, betari durga men-
dapatkan perbedaan mencolok.
Ia duduk di sebuah tunggul pohon. "Panggil para
pemasok ke sini," ia berkata pada salah seorang anak
buahnya.
Para pedagang bahan bakar bersujud di hadapan-
nya. Jantung mereka berdebar-debar sebab
membayangkan apa yang akan terjadi. Tak peduli
berapa kali diadakan peninjauan, jumlah pohon di
atas bukit bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat
ditentukan oleh seorang amatir, dan sampai saat ini,
para pengawas persediaan bahan bakar selalu mem-
percayai angka yang tertera dalam daftar. Kini para
pemasok berhadapan dengan seorang pejabat yang tak
dapat dikelabui.
"Bukankah angka di daftar ini berbeda sekali
dengan jumlah pohon sebetulnya ?"
Mereka menjawab ya, namun dengan ragu-ragu dan
penuh ketakutan.
"Apa maksud kalian, 'ya'? Kenapa bisa begitu? Kalian
lupa betapa lama Yang Mulia sudah menjadi pelanggan
kalian? Kalian penuh kepalsuan dan tidak menunjuk-
kan rasa terima kasih. Hanya keuntungan semata-mata
yang kalian pikirkan. Kebohongan kalian jelas-jelas
tertulis di sini."
"Rasanya tuduhan Yang Mulia agak berlebihan,
bukan?"
"Angka-angkanya berbeda. Aku ingin tahu kenapa.
Berdasarkan daftar ini, hanya enam puluh atau tujuh
puluh gantang dari setiap seratus yang dipesan
artinya, hanya enam ratus atau tujuh ratus dari setiap
seribu yang betul-betul diantarkan ke gudang."
"Tidak, ehm, yah, kalau dilihat begitu..."
"Diam! Tak ada alasan bagi orang-orang yang
memasok bahan bakar dari bukit ini untuk melakukan penipuan besar seperti ini selama bertahun-tahun. Jika dugaanku betul, kalian sudah menipu para pejabat dan menggelapkan uang provinsi."
"Kami... kami tidak tahu harus berkata apa."
"Seharusnya kalian diadili sebab perbuatan kalian,
dan seluruh harta kalian disita. Namun para pejabat
terdahulu pun ikut bersalah. sebab itu, untuk kali ini kalian takkan dituntut... namun dengan syarat sebagai berikut: kalian harus mencantumkan jumlah pohon yang sebetulnya . Dan kertoarjo s saja kalau angka yang kalian ajukan secara tertulis menyimpang dari kenyataan. Jelas?"
"Ya, Yang Mulia."
"Ada satu syarat lagi."
"Yang Mulia?"
"Ada pepatah lama: 'Jika satu pohon kautebang,
tanamlah sepuluh.' Berdasarkan yang sejak kemarin kulihat di bukit-bukit ini, pohon-pohon ditebang setiap tahun, namun hampir tak ada yang ditanam. Kalau ini berlanjut terus, akan terjadi banjir, dan sawah -sawah dan ladang-ladang di kaki bukit-bukit ini akan hancur. Seluruh provinsi akan menjadi lemah, dan jika itu sampai terjadi, kalianlah yang akan menderita akibatnya. Kalau kalian benar-benar ingin memperoleh-
kan keuntungan, kalau kalian mengharapkan
kemakmuran sejati bagi keluarga kalian dan meng-
inginkan kebahagiaan bagi anak-cucu kalian,
bukankah hal pertama yang harus kalian pikirkan
adalah bagaimana membuat provinsi lebih kuat?"
"Ya," mereka sependapat.
"Sebagai denda dan hukuman atas keserakahan
kalian, mulai sekarang kalian harus menanam lima
ribu bibit untuk setiap seribu pohon yang kalian
tebang. Camkan perintah ini! Kalian setuju?"
"Kami berutang budi pada Yang Mulia. Kami
bersumpah untuk menanam bibit pohon sebanyak
itu."
"Kalau begitu, aku akan menaikkan pembayaran
untuk kalian sebanyak lima persen."
Beberapa saat lalu , ia memberitahu para
petani yang membantunya bahwa ia sudah
memerintahkan para pemasok bahan bakar untuk
mengadakan penghijauan. Upah yang akan diterima
para petani untuk menanam seratus bibit masih harus
ditentukan, namun kemungkinan besar biayanya akan
ditanggung oleh benteng kota. sesudah menjelaskan hal itu,
ia berkata, "Mari kita kembali."
Para pemasok merasa lega sebab sikap yang
diambil betari durga . saat menuruni bukit, mereka
saling berbisik, "Ini betul-betul di luar dugaan. Kalau
berurusan dengan orang itu, sedetik pun kita tak
boleh lengah."
"Dia sangat cerdik."
"Walaupun kita takkan mendulang uang seperti
dahulu , kita juga tidak akan rugi."
Begitu sampai di kaki bukit, para pemasok ingin
segera kembali ke rumah masing-masing, namun
betari durga hendak membalas jamuan mereka semalam.
"Urusan kita sudah tuntas. Sekarang kita bisa
bersantai bersama-sama," ia berkeras.
Ia menjamu mereka di sebuah kedai minum
setempat, dan minum anggur sampai kepalanya terasa ringan.
betari durga bahagia. Seorang diri, namun bahagia.
"kuyang !" ujar aidit kadang-kadang ia masih
memanggil dengan julukan itu "Sejak kau ditempatkan di dapur, kau sudah menghemat banyak. namun kemampuanmu akan tersia-sia di tempat seperti itu. Aku akan memindahkanmu ke kandang." Dalam kedudukannya yang baru, betari durga berhak atas upah sebesar tiga puluh kan. Ia pun memperoleh rumah di bagian kota yang khusus disediakan untuk
para centeng adipati . Anugerah ini membawa senyum ke
wajah betari durga . Salah satu yang pertama-tama
dilakukannya adalah mengunjungi bekas rekan
kerjanya, Ganmaku.
"Kau ada waktu sekarang?" ia bertanya.
"Kenapa?"
"Aku ingin pergi ke kota dan mentraktirmu minum
anggur ?"
"Ehm, entahlah."
"Ada apa?"
"Kau sudah diangkat menjadi pengurus dapur. Aku
tetap saja pembawa sandal. Tidak sepantasnya aku
pergi minum-minum bersamamu."
"Jangan macam-macam. Jika aku berpandangan
seperti itu, aku takkan datang ke sini untuk
mengajakmu. Jabatan pengurus dapur terlalu tinggi
untukku, namun sekarang aku dipindahkan ke kandang,
dengan upah tiga puluh kan."
"Wah!"
"Aku datang ke sini sebab kau pengikut setia Yang
Mulia, walaupun kau hanya pembawa sandal. Aku
ingin kau ikut merasakan kebahagiaanku."
"Ini memang kesempatan yang pantas dirayakan.
namun , betari durga , kau lebih jujur dibandingkan aku."
"Hah?"
"Sikapmu sangat terbuka padaku, tanpa
menyembunyikan apa-apa, sementara aku merahasia-
kan banyak hal darimu. sebetulnya aku sering
menjalankan tugas khusus, seperti yang waktu itu
kautanyakan. Untuk setiap tugas, aku menerima
bonus besar langsung dari tangan Yang Mulia.
Uangku selalu dikirim ke rumahku."
"Kau punya rumah?"
"Jika kau pergi ke wiadeg di gunungselatan, kau akan
menemukan bahwa aku memiliki keluarga dan sekitar
dua puluh pelayan."
"Ah, begitu?"
"Jadi, tidak sepantasnya aku membiarkanmu men-
jamuku. namun , kalau kita berdua terus menanjak,
bersama-sama, kita berdua akan menjamu dan
dijamu."
"Aku tidak menyadarinya."
"Nasib kita berada di masa depan begitulah
pandanganku."
"Kau benar, nasib kita berada di masa depan."
"Lebih baik kita memikirkan masa yang akan
datang."
betari durga semakin bahagia. Dunia tampak cerah.
Di matanya tak ada yang terselubung kegelapan
maupun bayang-bayang.
Dalam posisinya yang baru, betari durga hanya
memperoleh tiga puluh kan, namun ia merasa gembira
sebab jumlah yang tak seberapa itu merupakan
penghargaan untuk pengabdiannya selama dua tahun.
Pengeluaran tahunan untuk bahan bakar sudah
berkurang lebih dari setengah, namun bukan
imbalannya saja yang membuatnya senang. Ia juga
memperoleh pujian:
"Kau sudah bekerja dengan baik. Orang seperti kau
di tempat seperti itu adalah sia-sia." Dipuji seperti ini
oleh aidit merupakan kebahagiaan yang takkan
pernah dilupakannya. aidit seorang pemimpin,
dan ia tahu bagaimana harus berbicara dengan anak
buahnya. Kegirangan betari durga seakan-akan tanpa
batas. Orang lain mungkin menganggapnya kurang
waras saat ia, seorang diri dan sambil tersenyum-
senyum, sesekali memperlihatkan lesung pipi,
meninggalkan benteng kota dan berjalan-jalan keliling
kedhiri .
Pada hari ia berganti tugas, ia diberi cuti lima hari.
Ia akan mengurus perlengkapan rumah tangga,
mencari seorang pengurus rumah, dan mungkin
seorang pelayan, meski ia menduga bahwa rumah yang
diterimanya berada di sebuah jalan belakang, memiliki
pintu gerbang yang tidak mencolok, dikelilingi pagar
tanaman dan bukannya tembok, dan hanya terdiri atas
lima kamar. Ini pertama kalinya ia menjadi tuan di
rumahnya sendiri. Ia berganti arah untuk
mengamatinya. Lingkungan sekitarnya hanya dihuni
oleh orang-orang yang bekerja di kandang. Ia
menemukan rumah si pemimpin kelompok, dan
melakukan kunjungan kehormatan. Namun orang itu
sedang keluar, jadi ia berbicara dengan istrinya.
"Tuan belum menikah?" wanita itu bertanya.
betari durga membenarkannya.
"Hmm, ini agak merepotkan Tuan. Di sini ada
beberapa pelayan dan sejumlah perabot tak terpakai.
Bagaimana kalau Tuan mengambil apa saja yang Tuan
butuhkan?"
Dia murah hati, pikir betari durga saat keluar lewat
pintu gerbang.
Wanita itu ikut keluar dan memanggil dua
pelayannya.
"Ini Tuan panembahan betari durga yang baru saja
ditugaskan di kandang. Sebentar lagi dia akan pindah
ke rumah kosong dengan tanaman paulownia. Antar
dia ke sana, dan kalau kalian ada waktu, bersihkan
rumahnya sekalian."
Diantar oleh kedua pelayan itu, betari durga pergi
melihat rumah dinasnya.
Rumahnya ternyata lebih besar dari yang dibayang-
kannya. saat berdiri di muka gerbang depan, ia
bergumam, "Hmm, ini rumah bagus."
sesudah mencari keterangan, ia diberitahu bahwa
penghuni sebelumnya bernama Kopatih Shikibu.
Rumahnya sudah agak lama kosong, dan banyak yang
perlu diperbaiki, namun di mata betari durga rumah itu
lebih mirip tempat kediaman yang mewah.
"Kebetulan sekali ada tanaman paulownia di sini,
sebab kembang itu sudah merupakan lambang
keluarga panembahan sejak zaman para leluhur kami,"
betari durga berkata kepada yang menyertainya. Ia tidak
percaya apakah itu benar, namun kedengarannya cocok. Ia
merasa pernah melihat lambang seperti itu pada
pelindung dada ayahnya.
Jika suasana hatinya sedang riang seperti sekarang,
ia selalu bersikap hangat terhadap orang-orang di
sekitarnya, dan jika tak ada urusan mendesak, tak ada
keharusan untuk berkepala dingin, ia sering terbawa
perasaan dan cenderung banyak omong. Akan namun ,
sesudah ucapan-ucapannya meluncur dari mulut, ia
menegur diri sendiri sebab sudah bersikap kurang
bijaksana, bukan sebab kata-katanya bersumber dari
niat buruk, melainkan sebab urusan seperti itu tidak
dianggap penting olehnya. Kecuali itu, ia hendak
menghindari kritik bahwa si kuyang besar mulut. Ia
sendiri mungkin mengakuinya dalam hati, "Memang,
aku agak besar mulut." Namun, bagaimanapun, orang-
orang cerewet dan berjiwa picik, yang sebab
kegemarannya banyak omong, memiliki prasangka
buruk terhadapnya, tak pernah menjadi sekutunya
selama kariernya yang gemilang."
Beberapa saat lalu ia terlihat di pusat kota
kedhiri yang ramai, tempat ia membeli perabotan.
sesudah itu, di sebuah toko pakaian bekas, ia melihat
sepotong mantel yang biasanya dipakai di atas baju
tempur, dengan lambang berupa kembang paulownia
berwarna putih. betari durga langsung masuk untuk
menanyakan harganya. Ternyata murah. Ia segera
membayar dan cepat-cepat mencobanya. Mantel itu
agak longgar untuknya, namun tetap pantas, sehingga
ia terus memakainya saat melanjutkan perjalanan.
Kain katunnya yang tipis dan berwarna biru
berdesir seiring tiap langkahnya, dan bahan yang
berkesan mewah, seperti brokat emas, disetik hanya di
bagian kerah. Ia bertanya-tanya siapa pemakai
sebelumnya, orang yang menambahkan lambang
berwarna putih pada punggung mantel itu.
Andai Ibu bisa melihatku sekarang! pikirnya riang.
Di bagian kota yang makmur itu ia diserang oleh
perasaan yang nyaris tak tertahankan, yang
membawa nya kembali ke toko tembikar di telukkeramat .
Ia teringat betapa menyedihkan penampilannya
saat itu, telanjang kaki, mendorong kereta
bermuatan barang-barang tembikar melewati orang-
orang yang menatapnya dengan pandangan aneh, para
penghuni kota yang gagah-gagah.
Ia berhenti di depan sebuah toko tekstil yang
menjual kain tenun bermutu tinggi dari trowulan .
"Jangan lupa untuk mengantarkannya," ia berpesan
sambil menyerahkan uang untuk barang-barang yang
dibelinya.
saat melangkah keluar, ia menyadari bahwa ia
selalu mengalami hal yang sama: sesudah bersantai
selama setengah hari, dompetnya selalu kosong.
"Roti Kukus" terbaca pada sebuah papan dengan
huruf-huruf terbuat dari kulit kerang. Papan itu
tergantung dari atap di sebuah pojok jalan.
Roti kukus seperti ini merupakan makanan khas
kedhiri , dan di dalam toko-toko yang penuh sesak,
para pendatang bercampur baur dengan penduduk
setempat.
"Selamat datang," ujar seorang gadis lesbian pelayan
bercelemek merah. "Silakan masuk. Tuan ingin makan
di sini, atau membeli roti untuk dibawa pulang?"
betari durga duduk di salah satu kursi dan berkata,
"Kedua-duanya. Aku ingin makan sepotong di sini.
sesudah itu, tolong antarkan satu kotak satu kotak
besar ke rumahku di lemahlaban . Tanyakan pada sais
kereta barang, kapan dia akan menuju ke arah sana.
Aku akan tinggalkan uang untuk membayar
ongkosnya."
Seorang laki-laki yang membelakangi betari durga
sedang sibuk bekerja, namun rupanya ia sang pemilik
toko. "Terima kasih banyak atas kunjungan Tuan."
"Usahamu tampak maju. Aku baru berpesan agar
beberapa potong roti diantar ke rumahku."
"Dengan senang hati, Tuan."
"Tidak perlu cepat-cepat, namun tolong masukkan
surat ini ke dalam kotaknya." Ia menyerahkan sepucuk
surat pada si pemilik toko. Pada sampulnya tertulis,
Untuk Ibunda. betari durga .
Si pemilik toko mengambilnya dan menanyakan
apakah kiriman itu perlu segera diantar.
"Tidak. Kapan-kapan saja. Sudah sejak dahulu roti
kukus di kedhiri merupakan kegemaran ibuku."
Sambil bicara, ia menggigit roti di tangannya.
Rasanya yang lezat membangkitkan sejuta kenangan,
dan dalam sekejap saja membuat matanya berkaca-
kaca. Ia teringat masa mudanya, saat ia melewati
toko ini sambil berharap agar ia sanggup membelikan
beberapa potong roti untuk ibunya, dan sepotong
untuk dirinya sendiri. namun waktu itu ia terpaksa
terus mendorong keretanya sambil memaksakan diri
untuk bersabar.
Seorang centeng adipati , yang sejak tadi memandang ke
arah betari durga , menghabiskan rotinya, berdiri, lalu
memanggil, "Tuan panembahan !" Ia didampingi seorang
gadis lesbian muda.
betari durga membungkuk rendah dan penuh
hormat. Orang itu tanah perdikan , seorang
pemanah. Sejak betari durga masih berstatus pelayan,
perdikan sudah bersikap ramah terhadapnya. sebab
toko roti cukup jauh dari benteng kota, perdikan tampak
santai dan riang gembira.
"Tuan seorang diri?" ia bertanya.
"Ya."
"Kenapa tidak bergabung dengan kami? Aku
bersama putriku."
"Oh, putri Tuanku?" betari durga menatap ke arah
gadis lesbian berusia enam belas atau tujuh belas tahun yang
sedang mengatur posisi duduk agar membelakanginya,
sehingga hanya tengkuknya yang putih yang terlihat di
sela-sela kerumunan orang. gadis lesbian itu sungguh
menawan . Bukan hanya betari durga , yang memiliki
mata tajam untuk keindahan, yang berpendapat
demikian. Semua orang pasti sependapat. gadis lesbian itu
cantik sekali, seorang wanita yang jauh di atas rata-
rata.
sesudah dipersilakan oleh perdikan , betari durga
duduk di hadapan pemilik sepasang mata cerah itu.
"nyi momo ," ujar perdikan . Nama itu indah, sangat
cocok dengan penampilan si gadis lesbian. Kedua matanya
tampak bersinar-sinar di tengah raut wajahnya yang
halus. "Ini panembahan betari durga . Baru-baru ini dia
memperoleh kenaikan pangkat, dari pengurus dapur
menjadi petugas kandang. Kau harus berkenalan
dengannya."
"Ya, ehm..." nyi momo tersipu-sipu. "Aku sudah
mengenal Tuan panembahan ."
"Hah? Apa maksudmu, sudah mengenal? Kapan dan
di mana kalian bertemu?"
"Sudah beberapa kali Tuan panembahan mengirimkan
surat dan hadiah untukku."
perdikan tercengang. "Ini sungguh mengejutkan.
Apakah kau membalas surat-suratnya?"
"Aku tidak pernah mengirimkan balasan."
"Bagus, namun tidak memperlihatkan surat dan
hadiahnya padaku, ayahmu sendiri, itu tak dapat
dimaafkan."
"Aku selalu memberitahu Ibu, dan setiap kali dia
mengembalikan hadiah-hadiah itu, kecuali hadiah-
hadiah untuk kesempatan khusus."
perdikan menatap putrinya, lalu betari durga .
"Sebagai ayah, aku selalu gelisah khawatir , namun kali ini aku
kurang waspada. Aku sama sekali tidak tahu. Aku
memang mendengar bahwa si kuyang lihai, namun aku
tak pernah membayangkan bahwa dia akan tertarik
pada putriku!"
betari durga menggaruk-garuk kepala. Ia malu sekali,
wajahnya menjadi merah padam. saat perdikan
mulai tertawa , ia agak lega, namun tetap tersipu-sipu. Meskipun ia tidak tahu bagaimana perasaan nyi momo terhadapnya, ia sudah jatuh cinta pada gadis lesbian itu.
"tole !" panggil perdikan begitu sampai di
rumahnya. Istrinya bergegas menyambut. "Siapkan
anggur . Aku bawa tamu," perdikan berkata dengan kasar. "Hmm, siapa?"
"Teman putri kita."
betari durga muncul di belakangnya.
"Tuan panembahan ?"
"tole , sampai hari ini kau tidak menceritakan apa-
apa padaku. Sikap ini sungguh tak patut bagi istri
centeng adipati . Rupanya Tuan panembahan dan nyi momo sudah agak lama saling mengenal. Kau pun mengetahuinya, jadi kenapa kau tidak memberitahu aku?"
"Aku pantas dimarahi. Aku menyesal sekali."
"Baiklah, namun sekarang betari durga pasti bertanya-tanya ayah macam apa aku ini?"
"nyi momo menerima banyak surat, namun dia tak pernah menyembunyikan surat-surat itu dariku."
"Memang sudah seharusnya begitu."
"Lagi pula, nyi momo anak pintar. Sebagai ibunya, aku percaya dia tidak pernah berbuat salah. sebab itu aku merasa tidak sepatutnya kau diganggu setiap kali nyi momo menerima surat dari para laki-laki di kota ini."
"Di situlah letak kekeliruanmu. Aku sungguh-
sungguh tidak mengerti anak muda zaman sekarang laki-laki maupun wanita lesbian !" Ia berpaling pada betari durga yang sedang menggaruk-garuk kepala sambil tersipu-sipu sebab jalannya terhalang, sehingga tak
bisa masuk, dan tawa nya meledak.
betari durga bahagia sekali sebab ayah gadis lesbian yang dicintainya mengundangnya ke rumah mereka, dan jantungnya berdebar-debar.
"Ayo, jangan seperti patung!" perdikan meng-
ajaknya ke ruang tamu, yang, walaupun merupakan
ruangan terbaik di rumah itu, berukuran kecil.
Rumah-rumah petak para pemanah tidak lebih
nyaman dibandingkan dengan rumah betari durga .
Semua pengikut sinuhun , tak peduli apa pun pangkatnya, hidup sederhana. Di rumah ini pun, satu-satunya hal yang mencolok adalah seperangkat baju tempur. "Ke mana nyi momo ?"
"Dia di kamarnya." Istrinya menawarkan air pada betari durga .
"Kenapa dia tidak keluar dan menyalami tamu kita?
Kalau aku di rumah, dia selalu kabur dan ber-
sembunyi." "Mungkin dia sedang berganti pakaian dan merapikan rambut."
"Itu tidak perlu. Suruh dia ke sini untuk meng-
dwikerto ngkan anggur . Tidak apa-apa kalau kita menyajikan makanan seadanya pada betari durga ." "Astaga! Jangan berkata seperti itu."
betari durga semakin kikuk. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Terhadap para pengikut yang tidak ramah di benteng kota ia bersikap berani dan lancang, namun di sini ia tak lebih dari pemuda pemalu. Akhirnya nyi momo keluar untuk menyambutnya secara resmi. Wajahnya didandani tipis-tipis. "Tak banyak yang dapat kami sajikan, namun semoga Tuan merasa
seperti di rumah sendiri." lalu ia membawa kan
nampan berisi makanan dan sebotol anggur .
betari durga menjawab semua pertanyaan perdikan
seakan-akan hanya setengah sadar, sambil terus-
menerus mengagumi sosok dan gerak-gerik nyi momo . Profilnya elok sekali, katanya dalam hati. Yang paling membuatnya terkesan adalah keanggunan nyi momo yang tidak dibuat-buat, sesederhana kain katun. gadis lesbian itu tidak genit seperti wanita lesbian -wanita lesbian lain yang pura-pura malu atau banyak lagak. Orang bisa saja berpendapat bahwa ia agak kurus, namun dari tubuhnya tercium wangi bunga hutan di malam bulan purnama. betari durga mabuk kepayang.
"Mau tambah lagi?" perdikan menawarkan .
"Terima kasih."
"Katamu kau menyukai anggur ."
"Betul."
"Kau tidak apa-apa? Kau tidak terlalu banyak
minum, bukan?"
"Aku minum sedikit demi sedikit saja, terima kasih."
Sambil duduk di ujung kursi, dengan botol anggur di
hadapannya, betari durga menatap wajah nyi momo yang
dalam kerlap-kerlip cahaya lentera tampak begitu
putih. saat mata nyi momo tiba-tiba beralih ke arahnya,
betari durga cepat-cepat mengusap wajah dengan satu
tangan, dan berkata bingung, "Ah, pengaruh anggur
sudah mulai terasa." Ia tersipu-sipu saat mengetahui
bahwa ia sendiri lebih sadar akan sikapnya dibandingkan
nyi momo .
Sekali lagi terlintas di benaknya bahwa jika
waktunya sudah tiba, ia pun harus menikah. Dan jika
ia harus mengambil istri, wanita lesbian yang dipilihnya
haruslah cantik. Ia bertanya-tanya, sanggupkah nyi momo
menanggung kemiskinan dan penderitaan, dan
melahirkan anak-anak yang sehat untuknya? Dalam
keadaannya sekarang, betari durga pasti mengalami
masalah keuangan jika mulai berumah tangga. Dan ia
sadar bahwa di masa depan ia takkan puas dengan
kekayaan semata-mata, dan bahwa segunung kesulitan
sudah menunggunya.
Kalau memandang wanita lesbian dari segi kecocokan
sebagai calon istri, tentu ada pertimbangan seperti
budi pekerti dan penampilan. Namun lebih penting
lagi untuk menemukan wanita lesbian yang dapat
menyayangi ibunya, seorang petani yang boleh
dibilang buta huruf, dan sanggup mendukung
pekerjaan suaminya dari balik layar. Disamping harus
memiliki kedua sifat itu, ia pun harus merupakan
wanita berhati teguh yang mampu memikul
kemiskinan mereka. Kalau saja nyi momo seperti itu... pikir
betari durga berulang-ulang.
Bukan baru malam itu betari durga mulai tertarik
pada nyi momo . Jauh sebelumnya, ia sudah menganggap
putri perdikan sebagai wanita lesbian yang cocok
untuknya. Ia memperhatikan nyi momo tanpa mengetahui
siapa nyi momo sebetulnya , dan diam-diam mengirimkan
surat dan hadiah. namun malam itu, untuk pertama kali
ia merasa percaya.
"nyi momo , ada yang perlu kubicarakan dengan
betari durga , jadi tolong tinggalkan kami sejenak."
saat perdikan mengatakan ini, betari durga sudah
membayangkan dirinya sebagai menantu perdikan ,
dan ia kembali tersipu-sipu.
nyi momo meninggalkan ruangan, dan perdikan
duduk agak lebih tegak.
"panembahan , aku ingin bicara dari hati ke hati. Aku
tahu kau orang yang selalu berterus terang."
"Silakan utarakan apa saja." betari durga gembira
sebab ayah nyi momo bersikap begitu akrab, meski belum
tentu pembicaraan mereka akan berjalan seperti yang
diharapkannya. Ia pun duduk lebih tegak, siap
membantu, apa pun yang akan ditanyakan perdikan .
"Yang ingin kukatakan... ehm, nyi momo sudah cukup
umur untuk berumah tangga."
"Memang." Kerongkongan betari durga terasa kering
dan seolah-olah tersumbat.
Walaupun anggukan kepala sebetulnya sudah
cukup, ia merasa perlu memberi komentar. Ia sering
mengatakan sesuatu saat tak perlu.
"Masalahnya, aku sudah menerima sejumlah lamaran
untuk nyi momo dari orang-orang yang kedudukannya
lebih tinggi dibandingkan kami," perdikan melanjutkan.
"Dan sebagai ayahnya, aku tidak tahu mana yang harus
kupilih."
"Itu bukan tugas ringan."
"Di pihak lain..."
"Ya?"
"Laki-laki yang dianggap cocok oleh seorang ayah
mungkin saja tidak berkenan di hati anak
wanita lesbian nya."
"Aku mengerti. Seorang wanita lesbian hanya hidup
satu kali, dan kebahagiaannya tergantung pada laki-
laki yang dinikahinya."
"Ada seorang pengikut yang selalu mendampingi
junjungan kita. Namanya madya brawirgo . Kau tentu
mengenalnya."
"Tuan madya?" betari durga mengedip-ngedipkan
mata. Pembicaraan mereka sudah berbelok ke arah
yang tak disangka.
"Betul. Tuan madya berasal dari keluarga baik-baik,
dan sudah berulang kali dia menyatakan keinginannya
untuk mempersunting nyi momo ."
Tanggapan betari durga lebih mirip desahan
dibandingkan jawab an. Tiba-tiba saja sudah muncul saingan
berat. Wajah tampan brawirgo , suaranya yang jernih,
dan sopan santun yang dipelajarinya sebagai pelayan
aidit , semuanya itu membuat betari durga , yang
tak memiliki kepercayaan akan tampangnya sendiri,
merasa iri. Bagaimanapun, ia tak sanggup mencegah
orang-orang memanggilnya kuyang . sebab itu, tak
ada yang lebih dibencinya dibandingkan mendengar
seseorang dinamakan "laki-laki tampan". Dan tak ada yang
meragukan bahwa brawirgo menyandang sebutan itu.
"Apakah Tuan akan memberikan nyi momo padanya?"
Tanpa disengaja, mereka sudah melewati batas omong-
omong belaka.
"Apa? Tidak," ujar perdikan sambil meng-
gelengkan kepala. Ia mengangkat baskom ke bibir,
seakan-akan terbangun dari lamunan. "Sebagai ayah,
aku tentu gembira jika memperoleh laki-laki sopan
seperti brawirgo sebagai menantu, dan aku sudah
menerima baik lamarannya. namun belakangan ini
putriku tidak mau tunduk begitu saja pada kemauan
orangtuanya, biarpun dalam urusan seperti ini."
"Maksud Tuan, dia tidak berkenan dengan rencana
pernikahan ini?"
"Dia tidak menolak, namun juga tidak menyetujuinya.
namun aku menduga dia kurang suka."
"Hmm, begitu."
"Wah, urusan pernikahan memang merepotkan."
Sambil bicara, roman muka perdikan menjadi
gelisah khawatir .
Pada dasarnya, ini masalah kehormatan. perdikan
mengagumi brawirgo . Ia menganggap brawirgo sebagai
pemuda dengan masa depan cerah. Dan saat
brawirgo meminta nyi momo sebagai istri, perdikan
langsung setuju, dan ia keburu bersukacita sebelum
menanyai putrinya. Namun saat ia dengan bangga
memberitahukan, "Rasanya dia akan menjadi suami
tanpa tandingan," nyi momo sama sekali tidak tampak gembira. Ia justru kelihatan kaget. Meskipun mereka ayah dan anak, perdikan kini menyadari bahwa
antara mereka ada perbedaan pendapat yang
besar dalam hal memilih pendamping hidup.
Akibatnya perdikan tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Baik sebagai ayah maupun sebagai
centeng adipati , ia merasa malu terhadap brawirgo . brawirgo , sebaliknya, mengejar tujuannya secara
terang-terangan. Ia memberitahu teman-temannya
bahwa ia akan mempersunting putri Tuan tanah , dan
minta mereka menjadi perantara baginya.
perdikan menjelaskan kesulitannya pada
betari durga . Hari pernikahan semakin dekat. Sampai
sekarang ia berhasil menunda-nundanya dengan
alasan seperti, "Belakangan ini kesehatan ibunya agak
terganggu," atau, "Menurut istriku, tahun ini tidak
baik." namun ia mulai kehabisan alasan dan tidak tahu
apa yang mesti ia perbuat selanjutnya.
"Kata orang, kau sangat cerdas. Barangkali kau bisa
mengusulkan sesuatu?"
perdikan mereguk minumannya, lalu meletakkan
baskom . Seandainya betari durga mabuk, hal itu tidak terlihat dari wajahnya. Sampai saat itu ia asyik menikmati angan-angannya sendiri, namun saat mendengar persoalan perdikan , ia tiba-tiba menjadi serius sekali. Sainganku sangat berat, ia berkata dalam hati.
brawirgo "laki-laki tampan" yang begitu tidak disukai oleh betari durga , namun pemuda itu tak bisa dinamakan laki-laki teladan. Dibesarkan di sebuah negeri yang dilanda perang, ia teramat berani, namun cenderung keras
kepala dan menganggap penting dirinya sendiri.
Pada saat berusia tiga belas tahun, brawirgo untuk
pertama kali ikut berperang dalam centeng
aidit , dan kegagahannya terbukti saat ia
kembali sambil menenteng kepala musuh. Baru-baru ini, sewaktu pengikut saudara laki-laki aidit
memberontak, ia bertempur dengan ganas di barisan depan junjungannya. saat prajurit musuh memanah mata brawirgo , brawirgo melompat turun dari kudanya, memenggal kepala orang itu, lalu memberikannya pada aidit . Semuanya tanpa
mencopot anak panah itu dari matanya.
Ia laki-laki berani dan tampan, meskipun mata
kanannya kini tertutup hampir rapat; sekilas
kelihatannya seakan-akan ada jarum di kulitnya yang putih bersih.
"Jadi, bagaimana dengan brawirgo ? Tindakan apa
yang harus kuambil?" tanya perdikan .
Mereka duduk bersama-sama, seperti dua orang
yang sudah hilang harapan. betari durga pun, yang biasanya tak pernah kekurangan akal, tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Akhirnya ia berujar, "Hmm, jangan gelisah khawatir . Kita pasti menemukan jalan keluarnya."
betari durga kembali ke benteng kota. Kepentingannya sendiri tidak dikejarnya lagi; ia hanya memikirkan persoalan perdikan . Ia menganggap suatu kehormatan bahwa ayah gadis lesbian yang dicintainya mempercayakan rahasia keluarga padanya, bahkan minta saran, walaupun masalah itu menjadi beban bagi dirinya.
betari durga menyadari betapa dalam cintanya kepada nyi momo .
Inikah yang dinamakan cinta? Ia bertanya-tanya,
sambil berusaha raemahami gejolak misterius di
hatinya. Mengucapkan kata "cinta" menimbulkan
perasaan tak enak dalam dirinya. Ia tidak menyukai
kata yang seakan-akan melekat pada bibir semua orang
itu. Bukankah sejak kecil ia sudah dijauhi oleh cinta?
Baik tampang maupun sikapnya senjata-senjata yang
dipakainya untuk menghadapi dunia menjadi bahan
ejekan wanita lesbian -wanita lesbian cantik yang ditemui-
nya. Namun ia pun tergerak oleh keindahan dan
cinta.
Dan ia memiliki kesabaran yang tak terbayangkan
oleh orang-orang yang mencemoohnya.
Walaupun terus dihina dan dicela, ia bukan orang
yang mudah menyerah.
Kelak akan kutunjukkan siapa aku, ia bersumpah
dalam hati. wanita lesbian -wanita lesbian berhati lapang akan
berebut untuk menarik perhatian laki-laki jelek dan kecil ini.
Pikiran inilah yang memacunya. Dan perasaan ini pula
yang sudah membentuk pandangannya mengenai
wanita lesbian dan cinta, bahkan sebelum ia
menyadarinya. betari durga memandang rendah laki-laki
yang mengagung-agungkan kecantikan wanita lesbian . Ia
menganggap hina mereka yang menjadikan cinta
sebagai khayalan dan misteri, yang menempatkannya
sebagai kebahagiaan tertinggi dalam kehidupan
manusia, dan merasa nikmat dalam kesedihan sendiri.
namun , ia berkata dalam hati, dalam kasus nyi momo aku
tidak keberatan mengakui bahwa aku sudah jatuh cinta.
Perasaan cinta dan benci sepenuhnya tergantung pada
orang yang mengalaminya, dan sesudah bisa menerima
sudut pandang itu , ia pun jadi bisa
berkomprgunungselatan. Sebelum terlelap, ia memejamkan mata
dan membayangkan profil wajah nyi momo .
Keesokan harinya pun betari durga masih bebas tugas.
Rumah barunya, yang ia kunjungi pada hari
sebelumnya, perlu diperbaiki, dan ia juga harus
mencari perabotan. Namun betari durga tetap di
benteng kota, sebab ingin menemui brawirgo yang terus
mendampingi aidit . Dari pelataran kayu tempat
mereka duduk, brawirgo memandang para pengikut
aidit dengan tatapan lebih congkak dibanding-
kan tatapan majikannya. Jika orang seperti betari durga
menghadap aidit , brawirgo mendengarkan
mereka sambil tersenyum melecehkan.
Lagi-lagi si kuyang ? brawirgo bahkan tak perlu
mengucapkannya. Entah bagaimana, matanya yang
tinggal sebelah seakan-akan sanggup menembus
seseorang. betari durga menganggapnya angkuh, dan
jarang bergaul dengannya.
Pada waktu betari durga sedang berbincang-bincang
dengan penjaga di gerbang utama, seseorang
melewatinya dan berkata, "Tuan betari durga , Tuan
bebas tugas hari ini?"
betari durga menoleh. Ternyata brawirgo -lah yang
menyapanya. betari durga segera mengejarnya dan
berkata, "Tuan brawirgo , ada persoalan pelik yang
ingin kubicarakan."
Seperti biasa, brawirgo memandangnya dengan
tatapan angkuh. "Persoalan tugas atau urusan pribadi?"
"Urusan pribadi."
"Kalau begitu, sekarang bukan waktu yang tepat.
Aku baru menyelesaikan suatu urusan untuk Yang
Mulia, dan aku tak punya waktu untuk mengobrol.
Nanti saja." sesudah menolak mentah-mentah, ia
langsung pergi.
Orangnya tidak menyenangkan, namun bukannya
tanpa kelebihan, betari durga terpaksa mengakui.
Ditinggal begitu saja, betari durga menatap sosok
brawirgo dengan pandangan kosong. lalu ia
pun berlalu, berjalan dengan langkah-langkah panjang.
Ia menuju kota. Setibanya di rumahnya yang baru, ia
melihat seorang laki-laki sedang mencuci gerbang dan
laki-laki lain membawa barang-barang ke dalam.
Jangan-jangan aku salah alamat? pikir betari durga .
Pada waktu ia menatap berkeliling, suara seorang
laki-laki terdengar dari dapur, "Hai! Tuan panembahan ."
"Oh, ternyata kau."
"Apa ini, 'Oh, ternyata kau'? Tuan ke mana saja?
Membiarkan orang lain membawa perabot dan
membersihkan rumah!" Orang itu bekas rekan
kerjanya di dapur. "Hmm, hmm. Dalam waktu
demikian singkat Tuan sudah maju jauh."
betari durga masuk seakan-akan bertamu di rumahnya
sendiri. Di dalam ia menemukan sebuah lemari berlaci
yang masih baru dan sebuah rak.
Semuanya hadiah dari teman-teman yang memperoleh
kabar mengenai kenaikan pangkatnya, lalu, saat
mengetahui bahwa si pemilik rumah yang tak kenal
susah sedang pergi, mereka membersihkan seluruh
rumah, memasukkan perabot, dan akhirnya masih
sempat mencuci gerbang.
"Terima kasih. Kalian sungguh murah hati." Sambil
menahan malu, betari durga segera bersiap-siap
membantu. Namun rupanya pekerjaan yang belum
rampung tinggal mengisi botol-botol anggur .
"Tuan panembahan ," ujar salah seorang pemasok
benteng kota, yang merasa berutang budi sejak betari durga
masih bekerja sebagai pengawas arang dan kayu bakar.
saat mengintip ke dapur, betari durga melihat pelayan
wanita lesbian berbadan gemuk sedang mencuci dan
menggosok. "Dia dari desa kami. Sekarang ini Tuan
tentu sibuk. Mengapa Tuan tidak mempekerjakan dia
untuk sementara waktu?"
betari durga memanfaatkan kesempatan itu dan
berkata, "Aku juga memerlukan jongos dan seorang
tukang, jadi jika kau mengenai seseorang, aku
berterima kasih sekali."
lalu mereka duduk membentuk lingkaran
dan merayakan rumah baru betari durga .
Untung saja aku datang ke sini. Bayangkan kalau aku,
sebagai tuan rumah, tidak muncul. betari durga merasa
malu. Ia tidak menganggap dirinya orang yang
gampang bergaul, namun kini ia menyadari bahwa ia
memiliki kecenderungan untuk bersikap demikian.
saat mereka sedang minum-minum, para istri
rekan-rekan kerjanya yang baru mampir untuk
mengucapkan selamat kepada betari durga .
"Hai, Tuan betari durga !" salah satu tamunya berseru.
"Ada apa?"
"Ada apa?! Apakah Tuan sudah mengunjungi
rumah-rumah di sekitar sini untuk memperkenalkan
diri?"
"Oh, belum!"
"Apa? Belum? Apakah Tuan termasuk jenis orang
yang menari dan menyanyi, sambil mengharapkan
orang lain untuk datang dan memperkenalkan diri?
Wah, lebih baik Tuan segera berganti pakaian dan
berkeliling. Tuan bisa menyelesaikan dua urusan
sekaligus dengan membungkuk di depan setiap
rumah, dan memberitahu mereka bahwa Tuan
ditugaskan di kandang."
Beberapa hari lalu ia sudah memperoleh
pelayan baru. Seorang laki-laki yang sedesa dengan si
pelayan wanita lesbian datang melamar pekerjaan. Selain
orang itu, betari durga mempekerjakan satu orang lagi.
Tiba-tiba saja ia sudah memiliki tempat tinggal dan
sejumlah pelayan, dan menjadi tuan rumah di
rumahnya sendiri, biarpun upahnya tidak seberapa.
Kini, setiap kali betari durga berangkat dari rumah
tentu saja dengan mengenakan mantel bekas berwarna
biru, dengan lambang kembang paulownia berwarna
putih ia diantar sampai ke gerbang oleh para
pelayannya.
Pagi itu, sambil berangan-angan bahwa hidupnya
akan sempurna seandainya nyi momo bersedia menjadi
istrinya, ia berjalan menyusuri parit di luar benteng kota.
betari durga begitu sibuk dengan pikirannya sendiri,
sehingga tidak melihat laki-laki yang datang dari arah
berlawan an. Orang lain mungkin saja beranggapan
bahwa ia masih asyik membayangkan nyi momo , namun
sebetulnya ia memikirkan masalah pertahanan
benteng kota. Parit itu begitu dangkal, sehingga kalau
hujan tak kunjung turun selama sepuluh hari saja,
dasarnya sudah kelihatan. Dalam keadaan perang, jika
centeng musuh melemparkan seribu kantong pasir ke
dalamnya, mereka bisa membuka alur penyerangan.
Disamping itu, air minum di benteng kota juga tidak
mencukupi.
Artinya, titik lemah benteng kota ini adalah persediaan
air. Jumlahnya takkan memadai jika benteng kota dikepung
musuh... saat ia bergumam-gumam, seorang laki-laki
tinggi-besar menghampiri dan menepuk pundaknya.
"Tuan kuyang . Apakah Tuan sedang bertugas
sekarang?"
betari durga menatap wajah orang itu, dan sesaat
memperoleh pemecahan untuk masalah yang
dihadapinya.
"Tidak, ini waktu yang cocok," ia menjawab
sejujurnya.
Ia berhadapan dengan madya brawirgo . Sejak
pertemuan singkat di gerbang utama, belum ada
kesempatan lagi untuk berbicara. Bahwa mereka
secara kebetulan berpapasan di luar benteng kota
dianggapnya pertanda baik.
Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa,
brawirgo sudah mendahuluinya.
"Tuan kuyang , tempo hari Tuan menyinggung soal
pelik yang ingin Tuan bicarakan denganku. Aku
sedang bebas tugas, jadi aku ada waktu untuk
mendengarkan Tuan."
"Ehm, yang ingin kukatakan..." betari durga
memandang berkeliling dan menyingkirkan debu dari
sebongkah batu di tepi parit. "Urusan semacam ini tak
bisa dibahas sambil berdiri. Silakan duduk dahulu ."
"Ada apa sebetulnya ?"
betari durga berbicara terus terang, dan hasrat yang ia
rasakan tecermin di wajahnya. "Tuan brawirgo , Tuan
mencintai nyi momo ?"
"nyi momo ?"
"Putri Tuan tanah ."
"Ah, dia."
"Tuan tentu mencintainya."
"Apa urusan Tuan?"
"Sebab, kalau memang begitu, aku ingin
memperingatkan Tuan. Kelihatannya, berhubung
Tuan tidak memahami situasi sebetulnya , Tuan
sudah minta bantuan seorang perantara demi mem-
peroleh persetujuan ayah gadis lesbian itu untuk menikahi
putrinya."
"Apakah itu salah?"
"Ya."
"Di mana letak kesalahannya?"
"Hmm, sebetulnya nyi momo dan aku sudah bertahun-
tahun saling mencintai."
Pandangan brawirgo melekat pada wajah betari durga ,
dan tiba-tiba seluruh tubuhnya terguncang-guncang
oleh gelak tawa . Dengan mengamati roman muka
lawan bicaranya, betari durga segera tahu bahwa ia
takkan dianggap serius, sehingga ia pasang tampang
lebih serius lagi.
"Ini bukan urusan yang patut ditertawa kan. nyi momo
bukan wanita lesbian yang mau mengkhianatiku dan
menyerahkan dirinya pada laki-laki lain, apa pun
alasannya."
"Begitukah?"
"Kami sudah saling mengikat janji."
"Hmm, kalau itu persoalannya, aku tidak
keberatan."
"namun ada satu orang yang menganggapnya masalah
besar, yaitu ayah nyi momo . Jika Tuan tidak menarik
lamaran Tuan, Tuan perdikan bagaikan menghadapi
buah simalakama, dan terpaksa melakukan bunuh diri
ritual."
"Seppuku?"
"Rupanya Tuan perdikan tidak mengetahui
kesepakatan antara nyi momo dan aku, sehingga menerima
baik lamaran Tuan. namun sebab situasi yang baru saja
kujelaskan, nyi momo menolak rencana itu."
"Hmm, kalau begitu, siapa yang akan mem-
persuntingnya?"
Ditantang seperti itu, betari durga menunjuk dadanya
dan berkata, "Aku."
brawirgo kembali tertawa , namun tidak sekeras tadi.
"Tuan kuyang , janganlah berkelakar melebihi batas.
Pernahkah Tuan menatap ke dalam cermin?"
"Tuan menuduh aku berbohong?"
"Untuk apa nyi momo mengikat diri dengan seseorang
seperti Tuan?"
"Seandainya benar, apa yang akan Tuan lakukan?"
"Kalau memang begitu, aku akan mengucapkan
selamat."
"Maksud Tuan, Tuan takkan keberatan kalau nyi momo
dan aku menikah?"
"Tuan kuyang ..."
"Ya?"
"Orang-orang akan tertawa ."
"Tak ada yang sanggup mengubah hubungan yang
didasarkan atas cinta, biarpun kami ditertawa kan."
"Rupanya Tuan memang bersungguh-sungguh?"
"Ya. Jika seorang wanita lesbian tidak menyukai laki-
laki yang hendak meminangnya, dia akan mengelak
dengan cerdik, seperti dahan yang mengikuti tiupan
angin. Kalau begitu, si laki-laki tidak boleh merasa
dipermainkan. Disamping itu, kuharap Tuan jangan
menaruh dendam terhadap Tuan perdikan jika
nyi momo menikah denganku. Itu hanya akan
mengundang cercaan orang."
"Inikah yang ingin Tuan bicarakan denganku?"
"Ya, dan aku berterima kasih sekali atas tanggapan
Tuan. Kumohon agar Tuan tidak melupakan janji
yang baru saja Tuan ucapkan." betari durga
membungkuk, namun saat ia mengangkat kepala,
brawirgo sudah menghilang.
Beberapa waktu lalu , betari durga berkunjung
ke rumah perdikan .
"Mengenai hal yang kita bicarakan tempo hari,"
betari durga berkata dengan nada resmi, "aku sudah
menemui Tuan brawirgo dan menjelaskan kesulitan
Tuan kepadanya. Dia mengatakan, jika putri Tuan
tidak berkenan menjadi istrinya, dan jika memang
sudah ada ikatan di antara kami berdua, tak ada yang
dapat dilakukan. Tampaknya dia bisa menerima
kenyataan."
saat panembahan menyampaikan ceritanya tanpa
berbelit-belit, wajah perdikan memperlihatkan
bahwa ia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
betari durga melanjutkan, "Perlu diketahui bahwa
Tuan brawirgo merasa menyesal, jadi dia akan
keberatan seandainya putri Tuan dipersunting oleh
orang lain selain aku. Kalau nyi momo dan aku sudah
saling berjanji menjadi suami-istri, Tuan brawirgo ,
meski dengan berat hati, akan menarik kembali
lamarannya. Dia akan menerimanya secara jantan dan
akan mengucapkan selamat padaku. Namun dia akan
sangat tidak senang seandainya Tuan memberikan
nyi momo kepada orang lain."
"Tunggu dahulu , panembahan . Kalau aku tidak salah
dengar, Tuan brawirgo tidak keberatan kalau nyi momo
menikah denganmu, namun tidak dengan orang lain?"
"Itu benar."
"Astaga! Siapa yang mengatakan bahwa kau boleh
menikahi nyi momo ? Dan kapan?"
"Terus terang, tak seorang pun."
"Apa-apaan ini? Kaupikir aku menyuruhmu
berbohong pada Tuan brawirgo ?"
"Ehm..."
"Omong kosong macam apa yag kauceritakan pada
Tuan brawirgo ? Mengaku bahwa kau dan nyi momo
bertunangan, itu sungguh menggelikan. Keterlaluan!"
perdikan , yang biasanya sabar, mulai naik darah.
"sebab kau yang mengarang cerita itu, orang-orang
mungkin menganggapnya lelucon belaka. Namun
sebagai lelucon pun ini teramat memalukan bagi
seorang gadis lesbian yang belum menikah. Kaupikir ini lucu?"
"Tentu saja tidak." betari durga menundukkan kepala.
"Akulah yang membuat kesalahan ini. Aku tidak
bermaksud melangkah demikian jauh. Aku menyesal."
perdikan tampak muak. "Aku tidak butuh
penyesalanmu. Akulah yang membuat kesalahan,
membeberkan rahasia keluarga pada orang yang
kukira lebih berakal sehat."
"Sungguh, aku..."
"Ah, pulanglah. Apa lagi yang kautunggu?
Kehadiranmu di sini tidak diharapkan lagi."
"Baiklah, aku akan menutup mulut, sampai rencana
pernikahan kami diumumkan."
"Dasar!" Kesabaran perdikan akhirnya habis juga.
Ia menghardik betari durga , "Kaupikir aku akan
memberikan nyi momo pada orang seperti kau? Dia takkan
bersedia, biarpun aku memerintahkannya."
"Hmm, justru itu masalahnya, bukan?"
"Apa maksudmu?"
"Tak ada yang lebih misterius dibandingkan cinta. nyi momo
mungkin tidak mau berterus terang, namun dalam hati
dia tidak menginginkan siapa pun sebagai suami selain
aku. Sebetulnya tak patut aku mengatakannya, namun
lamaranku tidak kusampaikan pada Tuan, melainkan
kepada putri Tuan. nyi momo -lah yang berharap agar aku
meminta dia menjadi istriku."
perdikan melongo. Inilah orang paling tak tahu
diri yang pernah ditemuinya! Mudah-mudahan
betari durga akan pulang jika ia pasang tampang masam
dan berdiam diri. namun betari durga terus duduk, tanpa
memperlihatkan tanda-tanda akan pergi.
betari durga malah berkata dengan tenang, "Aku tidak
bohong. Silakan tanyakan pada nyi momo , apa
sebetulnya yang tersimpan di dalam hatinya."
Habis sudah kesabaran perdikan . Sambil mem-
balikkan badan, seakan-akan tak tahan lagi, ia berseru
pada istrinya di ruang sebelah, "tole ! tole !"
Dengan cemas tole menatap suaminya lewat pintu
yang terbuka.
"Kenapa tidak kaupanggil nyi momo ke sini?" perdikan
bertanya.
"namun ..."
Istrinya berusaha menenangkan suasana, namun
perdikan langsung memanggil, "nyi momo ! nyi momo !"
nyi momo , takut kalau-kalau terjadi sesuatu, datang dan
berlutut di samping ibunya.
"Sini!" perdikan berkata dengan ketus. "Tentunya
kau tidak memberikan janji apa pun pada Tuan
panembahan ini tanpa persetujuan orangtuamu, bukan?"
Pertanyaan ini amat mengejutkan gadis lesbian itu. Dengan
mata terbelalak, ia menatap ayahnya dan betari durga
yang duduk sambil menundukkan kepala.
"Bagaimana, nyi momo ? Ini menyangkut kehormatan
keluarga kita, juga kehormatanmu sendiri. Sebaiknya
kau berterus terang. Tentunya hal semacam ini tidak
terjadi."
nyi momo terdiam sejenak, namun akhirnya ia berkata
dengan tegas, "Tidak ada janji apa pun."
"Tidak ada, bukan?" Dengan senyum kemenangan,
diiringi desahan lega, perdikan membusungkan
dada.
"namun , Ayah..."
"Apa?"
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan, mumpung Ibu
juga hadir."
"Silakan."
"Aku punya permintaan. Jika Tuan panembahan
menginginkan seseorang yang tak pantas seperti aku
sebagai istrinya, harap Ayah menyetujuinya."
"A... apa?" perdikan tergagap-gagap.
"Ya."
"Sudah hilangkah akal sehatmu?"
"Urusan sepenting ini tak boleh dianggap enteng.
Aku malu membicarakan hal ini, bahkan dengan
orangtuaku sendiri, namun demi kebaikan kita semua,
aku terpaksa membicarakannya secara terbuka."
perdikan mengerang dan menatap putrinya
dengan tercengang.
Luar biasa! Dalam hati betari durga memuji-muji sikap
nyi momo , dan ia merasa gembira sekali. namun lebih dari
itu, ia tak mengerti mengapa gadis lesbian sepolos nyi momo
bersedia menaruh kepercayaan penuh kepadanya.
Hari sudah malam. betari durga berjalan pulang sambil
termenung-menung.
Jika orangtuanya mengizinkan, ia ingin menjadi istri
Tuan panembahan , itu yang dikatakan nyi momo tadi.
Walaupun kedua kakinya terus melangkah,
kegembiraan betari durga begitu meluap-luap, sehingga
ia nyaris tidak sadar. Ucapan nyi momo terkesan sungguh-
sungguh, namun tetap saja ada rasa ragu di hatinya.
Betulkah dia mencintaiku? Kalau dia memang
mencintaiku, kenapa dia tak pernah mengatakannya
padaku? betari durga bertanya-tanya. betari durga sudah
sering mengirim surat dan hadiah secara diam-diam,
namun sampai sekarang nyi momo tak sekali pun memberikan
jawaban pasti yang membesarkan hati.
sebab itu, betari durga berkesimpulan bahwa nyi momo
tidak menyukainya. Dan bagaimana dengan cara ia
menangani brawirgo dan perdikan ? Ia hanya
bertindak sesuai wataknya yang ambisius. Ia hanya
berpegang pada harapannya sendiri, tanpa memikir-
kan bagaimana perasaan nyi momo sebetulnya . Ia ingin
menikah dengan nyi momo . Ia harus menikah dengan
gadis lesbian itu.
Namun keterusterangan nyi momo di depan ayah dan
ibunya mengenai keinginannya untuk menikahi
betari durga apalagi pada saat betari durga juga hadir
memerlukan keberanian yang tidak sedikit. Pengakuan
nyi momo lebih mengherankan betari durga dibandingkan
mengejutkan ayahnya.
Sampai betari durga mohon diri, perdikan duduk
dengan wajah masam dan kecewa, tanpa menyetujui
permintaan putrinya. Ia hanya duduk sambil
mendesah perlahan, bingung; mengasihani dan
meremehkan akal sehat nyi momo . Dengan sedih ia
bergumam, "Selera orang memang tak bisa ditebak."
betari durga pun merasa rikuh. "Besok-besok aku akan
kembali untuk melanjutkan pembicaraan ini," katanya
sambil bersiap-siap pergi.
perdikan membalas, "Aku akan memikirkannya.
Aku akan memikirkannya."
Ucapannya merupakan penolakan tak langsung.
namun betari durga memperoleh harapan baru dari kata-
kata ini. Sampai saat itu, ia sama sekali tidak
mengetahui perasaan nyi momo . namun kalau nyi momo sudah
membulatkan tekad, ia percaya bahwa ia akan sanggup
mengubah pendirian perdikan . "Aku akan
memikirkannya," bukanlah penolakan tegas. Jadi,
betari durga merasa ia sudah berhasil memperistri nyi momo .
betari durga masih sibuk dengan pikirannya sendiri
saat memasuki rumahnya dan duduk di ruang
utama. Ia memikirkan rasa percaya dirinya, perasaan
nyi momo , dan waktu yang tepat untuk pernikahan
mereka.
"Ada surat dari lemahlaban untuk Tuan."
Begitu betari durga duduk, seorang pelayan meletak-
kan sepucuk surat dan bungkusan berisi tepung padi
di hadapannya. Perasaan rindu yang tiba-tiba
menyerangnya memberitahu betari durga bahwa surat
itu dari ibunya.
Tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan rasa
terima kasih kami atas hadiah-hadiah yang selalu
kaukirimkan: kue-kue dan pakaian untuk nyi kembang . Hanya
air mata kami yang dapat membalas kebaikanmu.
Sudah beberapa kali betari durga mengirim surat pada
ibunya. Ia sudah bercerita mengenai rumahnya yang
baru dan mengajak ibunya pindah dan tinggal
bersama. Meski upahnya yang sebesar tiga puluh kan
tidak memungkinkan untuk memenuhi seluruh
kewajiban sebagai putra pertama, ibunya takkan
kekurangan pangan maupun sandang. betari durga juga
memiliki beberapa pelayan, sehingga tangan
ibunya, yang sudah menjadi kasar sebab bekerja keras,
tak perlu lagi menggosok dan mencuci. Ia juga akan
mencarikan suami untuk nyi kembang . Dan ia akan
membelikan anggur lezat untuk ayah tirinya. Ia sendiri
suka minum, dan tak ada yang lebih menggembirakan
baginya dibandingkan jika seluruh keluarga tinggal bersama
dan membicarakan masa lalu mereka yang penuh
penderitaan, sambil menikmati makan malam.
Surat dari nyi girah berlanjut:
Meski kami akan bahagia jika tinggal bersamamu, aku
percaya tugastugasmu akan terganggu sebab nya. Tentu saja
ibumu menyadari bahwa tugas seorang centeng adipati adalah siap
mati setiap saat. Sekarang belum waktunya memikirkan
kebahagiaan Ibu. Kalau Ibu teringat zaman dahulu , lalu
memikirkan kedudukanmu sekarang, Ibu berterima kasih
kepada para dewa, para zoroaster , dan Yang Mulia
aidit atas kebaikan mereka. Jangan pikirkan ibumu.
Lebih baik kau bekerja lebih keras lagi. Tak ada yang bisa
membuat ibumu lebih bahagia. Ibu belum lupa ucapanmu
di gerbang pada malam dingin itu, dan Ibu sering
memikirkannya.
betari durga berurai air mata. Berulang-ulang ia mem-
baca surat itu. Tak sepantasnya seorang majikan
menangis di depan para pelayannya. Lebih dari itu,
seorang centeng adipati tak pantas memperlihatkan air mata
di hadapan siapa pun. namun betari durga tidak seperti
itu. Dan air matanya mengalir begitu deras, sehingga
para pelayan merasa kikuk dan gelisah.
"Ah, aku memang keliru. Nasihatnya benar sekali.
Ibuku begitu cerdas. Kini belum waktunya memikir-
kan diriku dan keluargaku," ia berkata keras-keras
pada dirinya sambil melipat surat itu. Air matanya tak
mau berhenti, dan ia mengusap matanya dengan
lengan baju, seperti anak kecil.
Memang benar! ia menyadari. Sudah beberapa lama
tidak ada perang, namun tak seorang pun bisa memasti-
kan kapan perang akan meletus di sebuah kota
benteng kota. Orang-orang yang tinggal di lemahlaban justru
aman.
Bukan, ibuku hendak memberitahukan bahwa jalan
pikiranku keliru. Pengabdian pada junjunganlah yang harus
diutamakan. Penuh hormat betari durga menempelkan
surat ibunya ke kening, lalu berkata seakan-akan
ibunya berada dalam satu ruangan, "Aku memahami
nasihat Ibu, dan aku akan mematuhinya. Kalau
kedudukanku sudah aman, dan kalau aku sudah
memperoleh kepercayaan dari tuanku dan yang
lainnya, aku akan mengunjungi Ibu lagi. Moga-moga
pada saat itu Ibu bersedia tinggal di rumahku."
lalu ia meraih bungkusan tepung dan
menyerahkannya pada si pelayan. "bawa ini ke dapur.
Kenapa kau terbengong-bengong? Salahkah jika
seseorang menangis pada kesempatan yang tepat?
Tepung ini digiling malam-malam oleh ibuku dengan
tangannya sendiri. Serahkan pada pelayan dapur. Dan
peringatkan dia untuk tidak membuang-buangnya.
Tepung ini hanya boleh dipakai untuk membuat kue
bola untukku. Sejak kecil aku suka kue itu. Kurasa
ibuku masih mengingatnya."
betari durga sama sekali melupakan nyi momo . Sepanjang
makan malam ia hanya memikirkan ibunya. Apa yang
disantap oleh ibunya? Biarpun aku mengirimkan uang
untuk Ibu, dia akan memakainya untuk membeli gula-gula
untuk anaknya, atau anggur untuk suaminya. Dia sendiri
tetap hanya akan makan sayur tanpa bumbu. Jika ibuku
tidak berumur panjang, aku tak tahu bagaimana aku bisa
hidup.
Sampai naik ke ranjang pun kepalanya masih
dipenuhi berbagai pikiran.
Bagaimana mungkin aku menikah sebelum Ibu tinggal
bersamaku? Sekarang masih terlalu pagi. Lebih baik
pernikahanku dengan nyi momo ditunda dahulu .
setiap tahun, pada musim gugur, seluruh negeri
dilanda badai-badai dahsyat. namun angin yang bahkan
lebih buruk lagi bertiup di sekitar jenggala . Di sebelah
barat, dari marga kremi dan blambangan ; di sebelah selatan, dari marga prabu kertoarjowardana di dusun nyi kembang : dan di sebelah timur, dari mpu marijan mpu kepenuwoan di kertanegara semua tanda memperlihatkan bahwa jenggala semakin ter-
kucilkan.
Amukan badai tahun itu merusak tembok per-
tahanan luar benteng kota kedhiri sepanjang lebih dari dua
ratus meter. Banyak tukang kayu. tukang plester, kuli,
dan tukang batu datang dari benteng kota untuk ikut ambil
bagian dalam pekerjaan perbaikan. Kayu dan batu-
batu dibawa masuk melalui Gerbang rawabening, dan
tumpukan bahan bangunan berserakan di mana-mana,
menghalangi jalan-jalan di benteng kota sekitar parit.
Orang-orang yang setiap hari harus berlalu-lalang
terang-terangan mengeluh mengenai keadaan ini:
"Lewat mana kita harus berjalan?"
"Kalau mereka tidak segera selesai, tembok-tembok
terancam roboh saat badai berikut datang."
namun lalu sebuah papan pengumuman di-
pasang di tempat pembangunan yang dibatasi
kayu : Pekerjaan perbaikan. Dilarang masuk tanpa
tzin.
Pekerjaannya dilaksanakan bagai operasi militer di
bawah pimpinan ki raden brojolijo, yang menjabat
sebagai pengawas pembangunan, sehingga tanpa
disuruh pun orang-orang yang melewati daerah itu
berbaris satu-satu.
Pekerjaan perbaikan sudah berlangsung selama
hampir dua puluh hari, namun tanda-tanda kemajuan
belum terlihat juga. Tumpukan-tumpukan bahan
bangunan mengganggu kelancaran para pejalan kaki,
namun tak ada yang mengeluh. Semua orang
menyadari bahwa perbaikan tembok pertahanan
sepanjang dua ratus meter akan memakan waktu tidak
sedikit.
"Siapa orang di sebelah sana itu?" brojolijo bertanya
pada salah satu bawah annya, yang lalu berbalik
dan melihat ke arah yang ditunjuk.
"Kalau tidak salah, itu Tuan panembahan yang ber-
tugas di kandang."
"Apa? panembahan ? Ah, ya. Bukankah dia yang
dipanggil kuyang oleh semua orang? Kalau dia lewat
lagi, suruh dia kemari." perintah brojolijo.
Si bawah an tahu bahwa majikannya kesal, sebab
setiap hari. pada waktu berangkat kerja. panembahan
melewati tempat pembangunan tanpa pernah mem-
beri hormat. Bukan itu saja, ia juga menginjak-injak
tumpukan-tumpukan kayu. Tentu saja tak ada pilihan
lain jika tumpukan itu berada di tengah jalan, namun
kayu itu akan dipakai untuk memperbaiki benteng kota,
dan jika seseorang pertu menginjaknya, ia seharusnya
minta izin dahulu pada orang-orang yang berwenang.
"Dia tidak tahu sopan santun," si bawah an ber-
komentar. "Dia diangkat dari pelayan menjadi
centeng adipati , dan belum lama ini dia diberi tempat tinggal
di kota. Dia orang baru, jadi maklum saja."
"Memang tak ada yang lebih menjengkelkan
dibandingkan kesombongan orang yang baru mulai
menanjak. Mereka semua cenderung congkak. Ada
baiknya kalau hidungnya kena tonjok satu kali."
bawah an brojolijo terus menunggu betari durga . Ia baru
muncul menjelang malam, saat semua orang pulang
kerja. Ia mengenakan mantel birunya, seperti biasa
sepanjang tahun. sebab hampir semua pekerjaan
para petugas kandang dilaksanakan di luar, mantel itu
sesuai dengan kebutuhannya, namun sebetulnya ia
menempati posisi yang memungkinkan ia berpakaian
lebih pantas jika ia menginginkannya. Namun nyata-
nya betari durga seakan-akan tak pernah punya uang
untuk keperluan pribadi.
"Dia datang!" Anak buah brojolijo saling mengedipkan
mata. betari durga lewat perlahan-lahan.
"Tunggu! Tuan panembahan ! Tunggu!"
"Siapa, aku?" betari durga membalik. "Ada yang bisa
kubantu?"
Si bawah an memintanya menunggu sejenak, lalu
menghampiri brojolijo. Para pekerja dan kuli sudah
mulai meninggalkan tempat itu. brojolijo sedang mem-
bicarakan pekerjaan untuk besok dengan para mandor
tukang kayu dan tukang plester. namun saat men-
dengar bawah annya, ia segera berdiri. "Si kuyang ?
Sudah kausuruh tunggu? bawa dia ke sini. Kalau tidak
ditegur sekarang, tingkahnya akan semakin menjadi-
jadi."
betari durga mendatanginya tanpa mengucapkan
salam, tanpa membungkuk. Dan kini ia seakan-akan
berkata dengan angkuh. "Kau menghentikanku. Ada
apa?"
Ini membuat brojolijo bertambah gusar. Dilihat dari
segi status, mereka sama sekali tak dapat dibanding-
kan. brojolijo putra ki raden brojolireng, penguasa
benteng kota brojorejo , dan dengan demikian putra
pengikut senior marga sinuhun . Kedudukannya jauh lebih
tinggi dibandingkan laki-laki bermantel biru di
hadapannya.
"Dasar pongah!" Wajah brojolijo tampak merah
padam.
"kuyang . Hei! kuyang !" panggilnya, namun betari durga
tidak menanggapi. Ini tidak biasa. betari durga dipanggil
kuyang oleh semua orang, mulai dari aidit
sampai ke teman-temannya, dan ia tidak terganggu
dengan julukan itu. namun hari ini berbeda.
"Kau tuli. kuyang ?"
"Ada-ada saja."
"Apa?"
"Memanggil orang, lalu berbicara tak keruan.
kuyang , kuyang ."
"Semua orang memanggilmu dengan julukan itu.
jadi aku pun begitu. Aku sering berada di benteng kota
brojorejo , jadi aku tidak ingat namamu. Dilarangkah
aku memanggilmu seperti yang lainnya?"
"Ya. Ada orang yang boleh memakai julukan
itu dan ada yang tidak."
"Kalau begitu, aku termasuk golongan kedua?"
"Begitulah."
"Jaga mulutmu! Tingkah lakumu yang harus di-
perbaiki. Kenapa kau selalu menginjak-injak
tumpukan kayu pada waktu berangkat kerja? Dan
kenapa kau tidak pernah menyapa kami dengan
semestinya?"
"Apakah itu suatu kejahatan?"
"Rupanya kau tidak punya sopan santun sama
sekali, ya? Aku mengatakan ini sebab suatu hari kau
mungkin akan menjadi centeng adipati . Sopan santun sangat
penting bagi seorang prajurit. Setiap kali lewat di sini,
kau pasang tampang melecehkan dan mengomel
pelan-pelan. Tak tahukah kau bahwa di tempat ini
berlaku disiplin yang sama seperti di medan perang?
Dasar pongah! Kalau kau tetap bersikap seperti itu.
aku terpaksa mengambil tindakan tegas. Inilah akibat-
nya kalau seorang pembawa sandal diangkat menjadi
centeng adipati ." brojolijo tertawa dan menoleh ke arah mandor
dan anak buahnya. lalu , untuk memperlihatkan
kedudukannya yang lebih tinggi, ia tertawa lagi dan
membelakangi betari durga ,
Para mandor, yang menyangka urusannya sudah
selesai, kembali mengerumuni brojolijo dan meneruskan
pembicaraan mengenai rencana kerja selanjutnya.
namun betari durga terus memelototi punggung brojolijo.
Salah satu anak buah brojolijo berkata, "Kau tidak
diperlukan lagi, panembahan ."
"Kau sudah memperoleh peringatan. Camkanlah baik-
baik." orang lain menambahkan.
"Ayo, pulang sajalah," kata orang ketiga.
Mereka seakan-akan ingin menenangkannya dan
menyuruhnya pergi, namun betari durga tidak memeduli-
kan mereka. Pandangannya terus melekat pada
punggung brojolijo. Darah mudanya mulai mendidih,
dan tiba-tiba tawa nya meledak tak terkendali.
Para mandor maupun brojolijo terkejut. brojolijo
menoleh dan berseru. "Apa yang kautenkertoarjo kan?"
tawa betari durga semakin keras. "Aku menertawa kan
kekonyolan kalian semua."
"Kurang ajar!" brojolijo menjadi marah sekali dan
langsung berdiri dari kursinya. "Sudah dimaalkan.
malah besar kepala. Keterlaluan! Peraturan militer ber-
laku di medan tempur maupun di tempat kerja.
Orang celaka! Cepat ke sini! Biar kuhabisi kau!"
Tangannya menggenggam gagang pedangnya yang
panjang. Namun lawan nya berdiri seperti patung.
brojolijo semakin gusar. "Tangkap dia! Aku akan
menghukumnya! Pegang dia, supaya dia tidak bisa
melarikan diri!"
Para pengikut brojolijo segera mengepung betari durga .
namun betari durga diam saja, dan menatap orang-orang
yang mengelilinginya dengan pandangan meremeh-
kan. Sejak semula mereka sudah menganggapnya
aneh, namun ini sudah hampir menakutkan, dan meski
mereka mengerumuni betari durga , tak ada yang berani
menyentuhnya.
"Tuan brojolijo, kau memang pandai mengumbar kata-
kata besar, namun kurang pandai dalam hal-hal lain."
"Apa? Apa kaubilang?"
"Menurutmu, mengapa pekerjaan perbaikan
benteng kota berada di bawah peraturan perang? Kau
sendiri yang mengatakannya, namun aku percaya kau tidak
memahami arti ucapanmu itu. Kau tidak pantas men-
jadi pengawas namun kau malah menuduhku bersalah
sebab menertawa kanmu."
"Kata-katamu yang kasar tak bisa dimaafkan! Berani-
beraninya kau berkata begitu pada orang dengan
kedudukan seperti aku...."
"Dengar!" betari durga membusungkan dada, dan
sambil menatap wajah-wajah di sekitarnya, ia berkata,
"Apakah ini masa damai atau masa perang? Hanya
orang bodoh yang tidak memahami ini. benteng kota
kedhiri dikelilingi musuh: mpu marijan mpu kepenuwoan dan
mpu ireng mpu betarakatong di timur. mpu djiwo Yoshikage dan
pangeran ronggolawe di utara, marga harjo dan jawa di
barat, dan marga prabu kertoarjowardana dari dusun nyi kembang di selatan."
Orang-orang terkesima. Suaranya penuh percaya diri,
dan sebab ia tidak sekadar mengutarakan perasaan-
nya sendiri, semuanya mendengarkan dengan
sungguh-sungguh, terpesona oleh suaranya. "Para
pengikut menyangka tembok-tembok ini tak dapat
ditaklukkan, namun seandainya badai kembali
mengamuk, semuanya akan roboh. Sungguh
keterlaluan bahwa pekerjaan kecil ini sudah meng-
habiskan lebih dari dua puluh hari, dan belum selesai
juga. Apa jadinya jika musuh memanfaatkan titik
lemah ini dan menyerbu benteng kota suatu malam?
"Ada tiga peraturan dasar dalam pembangunan
benteng kota. Yang pertama adalah bekerja cepat dan diam-
diam. Yang kedua adalah membangun dengan meng-
utamakan kekuatan. Artinya, ornamen dan keindahan
memang baik, namun hanya di masa damai. Yang ketiga
adalah kesiagaan, berarti siap menghadapi serangan
musuh, walaupun pembangunan masih berlangsung.
Seluruh provinsi bisa jatuh jika centeng musuh
berhasil menerobos tembok penahanan."
Selama betari durga berceramah. brojolijo dua atau tiga
kali hendak angkat bicara, namun kefasihan lidah
betari durga membuatnya tak berdaya. Para mandor pun
terkagum-kagum oleh pidato betari durga . Mendengar
kebenaran yang terkandung dalam ucapannya, tak
seorang pun berusaha menghentikannya, baik dengan
kata-kata kasar maupun dengan kekerasan. Kini tak
jelas siapa pengawas sebetulnya . sesudah percaya per-
kataannya sudah meresap. betari durga melanjutkan.
"Jadi, walaupun tak sepatutnya aku bertanya,
sebetulnya bagaimanakah Tuan brojolijo menangani
pekerjaan ini? Di mana kecepatannya, kerahasiaannya?
Di mana kesiagaannya? sesudah hampir dua puluh
hari, adakah bagian tembok yang sudah dibangun
kembali, biarpun cuma satu meter saja? Memang
betul, perlu waktu untuk memindahkan reruntuhan
tembok lama. namun menyatakan bahwa pembangunan
benteng kota berada di bawah peraturan militer yang sama
seperti medan laga itu tak lebih dari omong kosong
seseorang yang tak mengerti di mana tempat sebenar-
nya. Andai kata aku mata-mata provinsi musuh, aku
akan segera tahu bahwa serangan bisa dilancarkan di
bagian tembok yang paling lemah. Hanya orang tolol
yang beranggapan bahwa hal itu takkan terjadi, dan
hanya orang tolol yang akan Melaksanakan pem-
bangunan bagaikan orang pensiunan yang sedang
mendirikan pondok minum teh!
"Semua ini sangat merepotkan bagi kami yang
bekerja di benteng kota. dibandingkan menyalahkan orang-
orang yang berlalu-lalang. mengapa tidak membahas
masalahnya dan mempercepat konstruksi? Pahamkah
kalian? Bukan hanya si pengawas namun kalian juga,
para bawah an dan para mandor."
sesudah selesai, ia tertawa riang. "Nah, maafkan aku.
Aku sudah bersikap kasar dengan mengungkapkan isi
hatiku tanpa tedeng aling-aling, namun kita semua
menganggap penting urusan ini, siang dan malam.
Baiklah, hari sudah gelap. Aku mohon diri dahulu ."
Sementara brojolijo dan anak buahnya masih ter-
nganga. betari durga cepat-cepat meninggalkan
pekarangan benteng kota.
Keesokan harinya betari durga berada di kandang. Di
tempat kerjanya yang baru, ia memperlihatkan
ketekunan tanpa tandingan.
"Tak seorang pun menyayangi kuda seperti dia."
rekan-rekannya berkomentar. Dengan penuh ke-
sungguhan ia menenggelamkan diri dalam urusan
perkertoarjo tan kuda, dan seluruh waktunya tersita untuk
hewan-hewan itu.
Si kepala kandang datang dan memanggilnya.
"panembahan , kau disuruh menghadap."
betari durga mengintip dari bawah perut kuda
kesayangan aidit , Sangetsu, dan bertanya.
"Menghadap siapa?" Ia sedang mencuci luka bernanah
di kaki Sangetsu dengan air panas.
"Kalau kau disuruh menghadap, itu berarti
menghadap Yang Mulia aidit . Cepat!" Si kepala
kandang berbalik dan berseru ke arah ruang para
centeng adipati . "Hei! Salah seorang gantikan panembahan dan
bawa Sangetsu ke kandang."
"Jangan, jangan. Biar aku saja." betari durga tetap
berlutut, sampai ia selesai mencuci kaki Sangetsu. Ia
mengoleskan salep dan membalut lukanya, mengelus-
elus leher kuda itu, lalu menuntunnya kembali ke
kandang.
"Di mana Tuan aidit ?"
"Di pekarangan. Kalau kau tidak cepat-cepat, Yang
Mulia pasti murka."
betari durga pergi ke ruang kerja dan mengenakan
mantel birunya. Bersama aidit ada empat atau
lima pengikut di pekarangan, termasuk nyoto
dijoyo dan madya brawirgo .
betari durga bergegas mendekat, lalu berhenti lebih
dari dua puluh meter dari aidit dan
menyembah.
"kuyang , sini kau!" perintah aidit . brawirgo
langsung menyiapkan kursi untuknya. "Mendekatlah."
"Baik, tuanku."
"kuyang . Kudengar kau mengumbar kata-kata besar
di tempat pembangunan di tembok pertahanan luar
semalam."
"Berita itu sudah sampai ke telinga tuanku?"
aidit memaksakan senyum, ia tak menyangka
bahwa betari durga , yang kini membungkuk sambil
tersipu-sipu, bisa membual seperti itu.
"Mulai sekarang jagalah omonganmu," aidit
memperingatkannya. Tadi pagi ki raden brojolijo
datang menghadap dan mengeluh mengenai sikapmu
yang tak sopan. Aku menenangkannya, sebab menurut
orang-orang ucapanmu banyak mengandung ke-
benaran."
"Hamba menyesal sekali."
"Pergilah ke tempat pembangunan dan minta maaf
pada brojolijo."
"Hamba, tuanku?"
"Tentu saja."
"Kalau ini kehendak tuanku, hamba akan pergi dan
minta maaf."
"Kau keberatan?"
"Mohon ampun atas kelancangan hamba, namun
bukankah sifat buruknya justru semakin menjadi-jadi
jika hamba minta maaf padanya? Hamba hanya bicara
apa adanya semalam, dan pekerjaan brojolijo, ditilik dari
segi pengabdian kepada tuanku, sukar dinamakan ber-
sungguh-sungguh. Pekerjaan sepele seperti itu saja
sudah menghabiskan hampir lebih dari dua puluh
hari. dan..."
"kuyang , di hadapanku pun kau berani mengumbar
kata-kata besar? Aku sudah memperoleh laporan
mengenai ceramahmu."
"Hamba bicara sesuai kenyataan, bukan sekadar
omong kosong."
"Kalau begitu, dalam berapa hari pekerjaan itu
seharusnya rampung?"
"Ehm..." betari durga bersikap sedikit lebih hati-hati.
namun ia segera menjawab . "Hmm, berhubung pekerjaan-
nya sudah dimulai, hamba pikir hamba sanggup
menyelesaikannya dalam tiga hari."
"Tiga hari!" seruan tak sengaja meluncur dari bibir
aidit .
nyoto dijoyo rampak jengkel dan menertawa kan
kepercayaan aidit terhadap betari durga . namun
brawirgo sama sekali tidak meragukan bahwa
betari durga sanggup memenuhi janji.
Saat itu juga aidit mengangkat betari durga
menjadi pengawas pembangunan. Ia akan meng-
gantikan ki raden brojolijo, dan dituntut untuk
menyelesaikan perbaikan tembok penahanan se-
panjang dua ratus meter dalam liga hari saja.
betari durga menerima tugas itu dan hendak
mengundurkan diri. namun aidit bertanya sekali
lagi, "Tunggu. Kau percaya kau sanggup?" Nada suara
aidit jelas menunjukkan bahwa ia tak ingin
betari durga terpaksa melakukan seppuku seandainya
gagal. betari durga duduk agak lebih tegak dan berkata
dengan tegas, "Hamba takkan mengecewakan tuanku."
Meski demikian, aidit tetap minta agar ia
memikirkannya lebih matang. "kuyang , mulut adalah
sumber banyak bencana. Jangan keras kepala sebab
urusan sepele seperti ini."
"Dalam tiga hari tembok penahanan akan siap
ditinjau oleh tuanku." betari durga mengulangi, lalu
mengundurkan diri.
Hari itu ia pulang lebih cepat dibandingkan biasanya,
"patih wedana ! patih wedana !" serunya. saat pelayan itu meng-
intip ke pekarangan belakang, ia melihat betari durga
duduk telanjang sambil bersilang kaki.
"Tuan ada tugas untuk hamba?"
"Ya," betari durga menjawab penuh semangat. "Kau
masih pegang uang, bukan?"
"Uang?"
"Betul, uang."
"Ehm..."
"Bagaimana dengan uang untuk keperluan rumah
tangga yang kuberikan beberapa waktu lalu?"
"Itu sudah lama habis."
"Bagaimana dengan uang untuk keperluan dapur?"
"Sudah lama hamba tidak menerima uang untuk
dapur. saat hamba memberitahukannya pada
Tuan rasanya sudah beberapa bulan lalu Tuan hanya
berpesan bahwa kami harus berusaha memanfaatkan
uang yang ada dengan sebaik-baiknya."
"Jadi, tidak ada uang?"
"Begitulah."
"Hmm, kalau begitu, apa yang harus kulakukan?"
"Tuan memerlukan sesuatu?"
"Nanti malam aku ingin mengundang beberapa
orang."
"Kalau sekadar anggur dan makanan, hamba bisa pergi
ke toko-toko dan berutang dahulu ."
betari durga menepuk pahanya. "patih wedana , kaulah
andalanku untuk urusan ini." Ia meraih sebuah kipas.
Angin musim gugur sedang bertiup, dan daun-daun
pohon pauloumia berguguran: selain itu banyak
nyamuk.
"Siapa tamu-tamu yang hendak Tuan undang?"
"Para mandor di tempat kerjaku yang baru.
Kemungkinan mereka akan datang bersama-sama."
betari durga mandi berendam di pekarangan. Pada
saat itu, seseorang terdengar memanggil-manggil dari
gerbang depan.
"Siapa itu?" si pelayan wanita lesbian bertanya.
Tamu itu melepaskan topinya dan memperkenalkan
diri. "madya brawirgo ."
Sang tuan rumah segera keluar dari bak mandi,
mengenakan jubah tipis di teras, dan memandang
ke gerbang depan.
"Ah, Tuan brawirgo . Kusangka siapa. Silakan masuk
dan duduk." betari durga berseru dengan santai, sambil
menata beberapa bantal. brawirgo segera duduk.
"Kedatanganku mungkin di luar dugaan Tuan."
"Ada masalah penting?"
"Tidak, ini bukan mengenai aku. Ini mengenai
Tuan."
"Oh?"
"Tuan bersikap seakan-akan tanpa beban, namun Tuan
sudah menenma tugas yang tak mungkin dikerjakan,
dan mau tak mau aku jadi cemas memikirkan nasib
Tuan. Tuanlah yang mengambil keputusan itu, jadi
Tuan tentu percaya akan berhasil."
"Ah, tembok pertahanan, maksud Tuan."
"Tentu! Tuan berbicara tanpa berpikir panjang.
Tuan aidit pun kelihatannya enggan melihat
Tuan melakukan seppuku sebab urusan ini."
"Aku minta waktu tiga hari. bukan?"
"Jadi. menurut Tuan ada kemungkinan berhasil?"
"Sama sekali tidak."
"Sama sekali tidak?"
"Tentu saja tidak. Aku tidak tahu apa-apa mengenai
pekerjaan pembangunan."
"Kalau begitu, apa rencana Tuan?"
"Jika aku bisa membujuk para pekerja agar mau
memeras keringat, kurasa aku sanggup menyelesaikan
pekerjaan itu pada waktunya."
brawirgo merendahkan suara. "Hmm, justru itu
masalahnya."
Hubungan mereka memang ganjil. Meski jatuh hati
pada gadis lesbian yang sama, mereka pun berteman. Mereka
tidak memperlihatkannya dalam ucapan maupun
perbuatan, melainkan melalui hubungan yang
serbakikuk; mereka saling mengenal dan saling
menghormati. Kunjungan brawirgo hari ini, misalnya,
semata-mata didasarkan atas keprihatinan terhadap
nasib betari durga .
"Tuan sudah memperhitungkan perasaan
ki raden brojolijo?" brawirgo bertanya.
"Kemungkinan besar dia mendendam padaku."
"Hmm, Tuan tahu apa yang dipikirkan dan
dikerjakan oleh brojolijo?"
"Ya."
"Begitukah?" brawirgo berkata singkat. "Ah, kalau
begitu hatiku bisa tenang."
betari durga menatap brawirgo dengan sungguh-
sungguh. lalu ia mengangguk-anggukkan
kepala, dan sikapnya berubah. "Kau memang luar
biasa, brawirgo . Kalau kau menginginkan sesuatu, kau
takkan berhenti sebelum memperoleh nya, bukan?"
"Justru kaulah yang patut ditiru. Kau segera
menyadari ancaman dari ki raden brojolijo, kecuali
itu kau..."
"Jangan, jangan lanjutkan perkataanmu." saat
betari durga berlagak menutup mulut dengan satu
tangan. brawirgo bertepuk tangan dengan riang dan
tertawa .
"Kau benar, urusan itu sebaiknya jangan
dibicarakan lagi." sebetulnya brawirgo hendak
menyinggung soal nyi momo .
patih wedana kembali, dan tak lama lalu pesuruh
toko datang mengantarkan anggur dan makanan.
brawirgo bersiap-siap pulang, namun betari durga
menahannya.
"anggur -nya baru datang. Minumlah dahulu sebelum
pergi."
"Baiklah, jika kau memaksa." brawirgo minum
sepuas-puasnya. namun tak seorang pun dari tamu-tamu
yang diundang menampakkan diri.
"Hmm, kelihatannya tak ada yang datang,"
betari durga akhirnya berkata. "patih wedana , menurutmu apa
sebabnya?"
saat betari durga berpaling pada patih wedana , brawirgo
bertanya, "panembahan . kau mengundang para mandor
ke sini?"
"Betul. Ada pekerjaan persiapan yang harus kami
lakukan. Agar pembangunan bisa rampung dalam tiga
hari, semangat para pekerja harus ditingkatkan dahulu ."
"Ternyata aku menilaimu terlalu tinggi."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Semula kusangka kau dua kali lebih cerdik dari-
pada kebanyakan orang, namun ternyata hanya kau yang
tidak sadar bahwa inilah yang akan terjadi."
betari durga menatap brawirgo yang sedang tertawa .
"Kalau kaupikirkan baik-baik. kau pun akan
melihatnya." ujar brawirgo . "lawan mu laki-laki ber-
watak rendah. Kemampuan ki raden brojolijo amat
terbatas. Tak ada alasan baginya untuk mendoakan
keberhasilanmu."
"Tentu, namun ... "
"Jadi, apakah dia akan diam saja sambil menggigit
jari? Kurasa tidak."
"Hmm, begitu."
"Tentu saja dia akan berupaya untuk menggagalkan
usahamu. Jadi, sudah sepantasnya kita menyimpulkan
bahwa para mandor takkan memenuhi undanganmu.
Baik mereka maupun para pekerja beranggapan bahwa
ki raden brojolijo lebih penting dibandingkan kau."
"Betul. Aku mengerti." betari durga menundukkan
kepala. "Kalau begitu, anggur ini kita habiskan berdua
saja. Urusan lain kita serahkan pada dewa-dewa saja."
"Boleh saja. namun ingatlah bahwa janjimu untuk
menyelesaikan pembangunan dalam tiga hari berlaku
mulai besok."
"Kubilang mari minum, terserahlah apa yang akan
terjadi."
"Kalau tekadmu sudah bulat, mari kita duduk dan
minum."
Mereka tidak minum banyak, melainkan berbicara
panjang-lebar. brawirgo pandai bercakap-cakap, dan
entah bagaimana betari durga menemukan dirinya
sebagai pendengar. Berbeda dengan brawirgo .
betari durga tak pernah mengenyam pendidikan formal.
Semasa kanak-kanak, tak sehari pun dihabiskannya
dengan menekuni buku dan mempelajari tata krama,
seperti anak-anak para centeng adipati . Kenyataan ini tak
disesalinya, namun ia menyadari bahwa usahanya untuk
terus maju akan terhambat sebab nya. Dan kalau ia
memikirkan mereka yang lebih berpendidikan
dibandingkan dirinya, atau duduk mengobrol dengan
mereka, ia bertekad untuk menjadikan pengetahuan
mereka miliknya sendiri. sebab itu ia mendengarkan
ucapan orang lain dengan sungguh-sungguh.
"Ah, aku mulai mabuk, panembahan . Lebih baik kita
tidur saja. Kau harus bangun pagi-pagi. dan aku
percaya penuh padamu." lalu brawirgo
menyingkirkan baskom , berdiri, dan pulang. sesudah
tamunya pergi. betari durga merebahkan diri. Meletak-
kan siku ke bawah kepala, dan segera tertidur, ia tidak
menyadari kedatangan pelayan wanita lesbian yang
menyelipkan bantal ke bawah kepalanya.
Ia tak pernah mengalami kesulitan tidur. Pada saat
ia terlelap, tak ada perbedaan antara langit dan bumi
dan dirinya sendiri. Namun, saat ia terjaga keesokan
paginya, ia langsung sadar penuh.
"patih wedana ! patih wedana !"
"Ya. ya. Tuan sudah bangun?"
"Ambilkan kuda untukku."
"Tuan?"
"Seekor kuda!"
"Seekor kuda, Tuan?"
"Ya. Hari ini aku harus berangkat pagi-pagi. Aku
takkan pulang nanti malam maupun malam sesudah-
nya."
"Sayangnya kita belum memiliki kuda maupun
kandang."
"Goblok! Pinjam saja dari tetangga kita. Aku
bukannya mau bersenang-senang. Aku memerlukan-
nya untuk tugas resmi, jangan ragu-ragu, pergilah dan
carikan kuda untukku."
"Sekarang memang sudah pagi, namun di luar masih
gelap."
"Kalau mereka tidur, gedorlah gerbangnya. Kau
boleh ragu-ragu seandainya ini untuk urusan pribadi-
ku. namun ini untuk tugas resmi, jadi tindakanmu bisa
dibenarkan."
Gopnzo mengenakan mantel dan bergegas keluar, ia
kembali sambil menuntun seekor kuda. sebab sudah
tak sabar ingin berangkai, betari durga segera memacu
kuda itu, tanpa menanyakan dari mana tunggangan-
nya berasal. Ia mendatangi enam atau tujuh mandor
di rumah masing-masing. Mereka menerima upah dari
marga, dan termasuk barisan pengrajin. Rumah-rumah
mereka cukup mewah, apalagi dibandingkan rumah
betari durga , dan mereka memiliki pelayan dan gundik.
"Hadiri pertemuan! Hadiri pertemuan! Semua yang
bertugas memperbaiki tembok, datanglah ke tempat
pembangunan pada jam harimau . Siapa yang ter-
lambat, langsung dipecat. Ini perintah Yang Mulia
aidit !"
Di setiap rumah yang didatanginya ia menyenikan
pesan ini. Uap putih mengepul dari moncong
kudanya. Pada waktu ia tiba di parit penahanan,
matahari sudah mulai memperlihatkan sinarnya di
uruk umur. Ia mengikat kudanya di luar gerbang,
menarik napas panjang, lalu berdiri menghadang di
Gerbang rawabening. Tangannya menggenggam pedang
panjang dan matanya berbinar-binar.
Para mandor yang dibangunkan saat hari masih
gelap bertanya-tanya apa yang terjadi, dan mereka
muncul satu per satu sambil membawa anak buah
masing-masing.
"Tunggu!" perintah betari durga . menghentikan
mereka di muka gerbang. Baru sesudah mereka
menyebutkan nama. tempat kerja, dan jumlah
pekerja dan kuli masing-masing, ia mengizinkan
mereka lewat. lalu ia menyuruh mereka
menunggu di pos masing-masing. Sepertinya hampir
semuanya hadir. Para pekerja berkerumun dengan
tertib namun sambil berbisik-bisik gelisah.
betari durga berdiri di hadapan mereka. Tangannya
masih menggenggam pedang. "Diam!" Ia berbicara
seakan-akan memberi perintah dengan ujung pedang-
nya. "Berkumpul dalam barisan!"
Para pekerja menurut, namun sambil tersenyum
mengejek. Sorot mata mereka jelas menunjukkan
bahwa mereka menganggapnya anak bawan g, dan
diam-diam mereka menertawa kan caranya berdiri
sambil membusungkan dada. Bagi mereka, lambaian
pedangnya tak lebih dari lagak kosong yang hanya
pantas dicemooh.
"Perintah ini berlaku untuk kalian semua."
betari durga berkata lantang, dengan sikap tak peduli.
"Atas perintah Yang Mulia aidit , mulai sekarang
aku, betapapun tak pantasnya aku membawa hi
pekerjaan pembangunan. Sampai kemarin kalian
berada di bawah ki raden brojolijo, namun mulai hari ini
aku menggantikan tempatnya." Sambil bicara, ia
menatap barisan para pekerja dari kanan ke kiri.
"Beberapa saat lalu, aku masih menempati posisi
pelayan yang paling rendah. Namun berkat kebaikan
Yang Mulia, aku dipindahkan ke dapur dan sesudah itu
ke kandang. Aku belum lama bekerja di sini, dan aku
tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan konstruksi,
namun aku merencanakan untuk tidak tersaingi dalam
hal mengabdi pada junjungan kita. Sebagai pengawas
yang baru, aku ingin tahu apakah kalian bersedia
bekerja sebagai bawah anku. Aku bisa membayangkan
bahwa di kalangan pengrajin ada watak pengrajin.
Jadi, jika ada yang keberatan bekerja dengan per-
syaratan seperti itu, silakan kemukakan sejujurnya,
dan aku akan segera membebastugaskan yang ber-
sangkutan." Semuanya membisu. Para mandor pun tetap tutup mulut.
"Tidak ada? Tak ada yang tidak puas denganku
sebagai pengawas?" ia bertanya sekali lagi. "Kalau
begitu, kita segera mulai bekerja. Seperti sudah
kukatakan sebelumnya, membiarkan pekerjaan ini
berlarut-larut selama dua puluh hari tak dapat
dimaafkan dalam masa perang. Aku bermaksud
merampungkannya dalam tiga hari saja, terhitung
mulai sekarang. Aku ingin hal ini jelas, agar kalian
mengerti dan bekerja keras."
Para mandor saling tatap. Tidak mengherankan jika ucapan semacam itu memancing senyum meremehkan dan orang-orang yang rambutnya sudah mulai menipis, dan yang sudah menekuni pekerjaan masing-masing sejak masa kanak-kanak. betari durga menyadari reaksi mereka, namun memutuskan untuk tidak memberi
tanggapan.
"Mandor batu! Kepala tukang kayu dan tukang
plester! Majulah!" Mereka melangkah ke depan, namun sambil pasang wajah mengejek. Tiba-tiba betari durga memukul si kepala tukang plester dengan bagian pipih pedangnya.
"Kurang ajar! Pantaskah kau berdiri di hadapan
seorang pengawas sambil bersilang tangan? Keluar!" sebab menduga bahwa ia menderita cedera, laki-laki itu menjatuhkan diri sambil menjerit. Yang lain-nya mendadak pucat pasi, lutut mereka gemetar.
Dengan keras betari durga melanjutkan, "Aku akan
memberikan tugas untuk kalian masing-masing.
Dengarkan baik-baik." Sikap mereka langsung ber-
ubah. Tak ada lagi yang tidak memperhatikannya
dengan sungguh-sungguh. Mereka terdiam, meski
belum tunduk sepenuhnya. Dan walaupun mereka
tidak betul-betul ingin bekerja sama, mereka tampak ketakutan.
"Aku sudah membagi tembok sepanjang dua ratus
meter menjadi lima puluh bagian, dan masing-masing kelompok bertanggung jawab atas empat meter. Setiap grup akan terdiri atas sepuluh orang: tiga tukang kayu.
dua tukang plester, dan lima tukang batu.
Pembagiannya kuserahkan kepada para mandor.
Masing-masing mandor akan membawa hi empat
sampai lima kelompok, jadi pastikan tidak ada yang
menganggur, dan atur pembagian orang dengan
sebaik-baiknya. Kalau di antara kalian ada yang
kelebihan orang, segera pindahkan orang itu ke pos
yang kekurangan tenaga. Tak boleh ada waktu untuk
bersantai-santai."
Mereka mengangguk, namun kelihatan gelisah.
Mereka mendongkol sebab dikuliahi seperti ini. dan
tidak setuju dengan pembagian kerja yang ditetapkan
betari durga .
"Ah, aku hampir lupa," betari durga kembali berkata
dengan lantang. "Selain kelompok sepuluh orang
untuk setiap empat meter, aku menginginkan
kelompok cadangan yang terdiri atas 9 kuli dan
dua pekerja untuk masing-masing grup. Kalau kuamati
pekerjaan yang sudah dilakukan sampai sekarang,
terlihat bahwa para pekerja dan tukang kayu sering
meninggalkan perancah untuk mengerjakan sesuatu
yang bukan tugas mereka, misalnya mengangkut kayu.
sebetulnya , seorang pekerja di tempat kerjanya sama
saja dengan seorang prajurit di medan perang. Dia
dilarang meninggalkan posnya. Dan dia tidak boleh
membiarkan alat-alatnya berserakan. Itu sama saja
dengan seorang prajurit yang membuang pedang atau
tombaknya ke medan laga."
Ia membagi-bagi tugas, lalu berseru cukup keras,
seperti hendak memulai pertempuran, "Mari bekerja!"
betari durga juga memperoleh tugas untuk para
bawah an barunya. Salah seorang dari mereka disuruh-
nya memukul gendang. saat ia memberi perintah
untuk mulai bekerja, si penabuh gendang mengiringi
mereka, seakan-akan mereka sedang menuju per-
tempuran, satu pukulan untuk setiap enam langkah.
Dua pukulan pada gendang merupakan tanda
istirahat.
"Berhenti!" betari durga menyerukan perintahnya dari
atas sebongkah batu besar. Jika ada yang mem-
bangkang, orang itu segera kena bentak.
Kelambanan yang semula mendgunungselatannasi suasana
segera lenyap, digantikan oleh kesibukan yang lebih
mirip kesibukan di medan perang, dan oleh
cucuran keringat. namun betari durga mengamati
perubahan itu tanpa berkomentar. Wajahnya tidak
memperlihatkan rasa puas. Belum waktunya. Bukan
seperti ini, katanya dalam hati.
Dengan pengalaman bertahun-tahun, para pekerja
tahu bagaimana mengatur gerak-gerik agar mereka ter-
lihat sibuk, namun sebetulnya mereka tidak memeras
keringat secara sungguh-sungguh. Mereka mengadakan
perlawan an dengan berlagak patuh, namun tidak betul-
betul bekerja keras. Seluruh hidup betari durga ditandai
oleh cucuran keringat, jadi ia tahu makna dan
keindahan yang terkandung dalam keringat, tidaklah
benar bahwa kerja merupakan urusan jasmaniah. Jika
kerja tidak diiringi semangat, keringat manusia tak
berbeda dari keringat badak dan kuda. Orang-orang ini
bekerja untuk mencari makan. Atau mereka bekerja
sebab harus memberi makan orangtua. istri, maupun
anak. Mereka bekerja untuk makanan atau
kesenangan, tak lebih dari itu. Pekerjaan mereka
rendah dan hina. Keinginan-keinginan dalam diri
mereka begitu terbatas, sehingga betari durga merasa iba.
dan dalam hati ia mengakui, aku pun seperti mereka,
dahulu . Masuk akalkah untuk mengharapkan pekeriaan
besar dari orang-orang berjiwa kerdil? Jika ia tak bisa
membangkitkan vemangat mereka, tak ada alasan bagi
mereka untuk bekerja secara lebih efisien.
Bagi betari durga , yang berdiri membisu di tempat
pembangunan, selengah hari berlalu dengan cepat.
Setengah hari merupakan seperenam waktu yang
diberikan padanya, namun saat mengamati sekitarnya,
ia tidak melihat tanda-tanda bahwa mereka sudah
mencapai kemajuan sejak pagi tadi. Baik di atas
maupun di bawah perancah orang-orang tampak
bekerja dengan giat, namun itu semua hanya pura-pura. Sebaliknya, mereka malah menanti-nanti kekalahan total yang bakal dialami betari durga dalam tempo tiga hari. "Sudah siang. Pukul gendang," betari durga memberi perintah. Segala kebisingan di tempat pembangunan segera terhenti. saat betari durga melihat bahwa para
pekerja sudah mengeluarkan makan siang masing-
masing, ia memasukkan pedang ke dalam sarung dan pergi.
Sore harinya berakhir dalam suasana sama, kecuali bahwa disiplinnya sudah melemah dan kelambanan mulai terlihat lagi. Keadaannya tak berbeda dengan kemarin, saat ki raden brojolijo masih bertugas. Keadaannya justru bertambah buruk. Para pekerja dan kuli sudah diberitahu bahwa mulai malam ini mereka
harus bekerja tanpa istirahat maupun kesempatan
tidur, dan mereka tahu bahwa mereka takkan
meninggalkan pekarangan benteng kota selama tiga hari. Akibatnya mereka semakin memperlambat lugas masing-masing, dan hanya sibuk memikirkan cara untuk curang selama bekerja.
"Berhenti! Berhenti! Cuci tangan kalian, lalu temui
aku di lapangan!" Hari masih terang, namun si petugas tiba-tiba berkeliling sambil membunyikan gendangnya.
"Ada apa?" para pekerja saling bertanya dengan
curiga. saat mereka menanyakan kepada para
mandor, para mandor pun hanya bisa angkat bahu.
Mereka pergi ke lapangan tempat menyimpan kayu,
untuk mencari tahu apa yang terjadi. Di sana mereka menemukan anggur dan tumpukan makanan setinggi gunung. Mereka dipersilakan duduk, lalu mencari tempat di atas tikar jerami, batu-batu, dan potongan-potongan kayu. betari durga sendiri duduk di tengah-tengah para pekerja dan mengangkat baskom ,
"Ini memang tidak banyak, namun kita menghadapi
tiga hari penuh kerja keras. Satu hari sudah berlalu,
namun kuminta kalian terus bekerja dan berusaha untuk melakukan sesuatu yang mustahil. Jadi. khusus untuk malam ini, silakan minum dan beristirahat sepuas-puasnya."
Sikapnya berbeda seratus 9 puluh derajat dari
tindak-tanduk pagi tadi, dan ia memberi contoh
dengan menghabiskan isi baskom nya. "Mari," ia berseru,
"silakan minum. Bagi mereka yang tidak suka anggur sudah disediakan makanan dan masakan minuman pencuci mulut."
Para pekerja tampak heran. Tiba-tiba mereka mulai
cemas, apakah mereka sanggup merampungkan
seluruh pekerjaan dalam tiga hari. namun kepala betari durga -lah yang pertama-tama mulai
terasa ringan.
"Hei! Persediaan anggur lebih dari cukup untuk kita semua. Dan kuambil dari persediaan benteng kota, jadi tak berpengaruh seberapa banyak kita minum, di gudang
masih banyak lagi. Kalau kita minum, kita bisa
menari, bernyanyi, atau sekadar melepas lelah sampai gendang berbunyi.''
Dalam sekejap para pekerja berhenti m