Tampilkan postingan dengan label kudeta 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kudeta 6. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
kudeta 6
Desember 14, 2022
kudeta 6
yes yang menggambarkan betapa lembaga tertinggi perwakilan rakyat‘ itu berisi dengan orang orang yang hanya bisa mengatakan yes kepada Soekarno. Soekarno yang marah, bersama
soebandrio , melontarkan tuduhan bahwa aksi aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh Nekolim.
namun berbeda dengan masa pra G30S, pada saat itu tudingan seperti itu sudah hilang
keampuhannya dan tidak lagi memicu gentar mereka yang dianggap . Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras kepala dan bukannya membersihkan kabinetnya dari unsur unsur Kom, malah dalam reshuffle kabinet 24 Pebruari ia memasukkan beberapa tokoh yang dianggap sebagai simpatisan PKI seperti Oei Tjoe Tat SH dari Baperki. Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24 Pebruari, mahasiswa di Jakarta turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu lintas. Mobil mobil dikempeskan bannya sehingga menteri menteri yang akan dilantik terhambat ke istana. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa. Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan memicu gugurnya Arief Rahman Hakim dan memicu luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu lalu dan jenazahnya
dikirim kepada orangtuanya di Bandung. Dalam insiden sehari sebelumnya, sudah juga jatuh
korban 9 mahasiswa yang menderita luka berat sebab peluru pasukan Cakrabirawa “Tanggal 10 Maret, wakil wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai partai ini untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku
opportunistik mereka di depan Soekarno, lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan
pernyataan yang tidak membenarkan tindakan tindakan yang dilakukan para mahasiswa
dan para pelajar dan pemuda”. ”Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan „apa‟pun yang
diinginkannya. Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk
ke dalam tahap kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya”. sesudah insiden berdarah yang merenggut nyawa Arief Rahman Hakim, keesokan harinya, 25 Februari, Laksamana Muda Udara Sri Mujono Herlambang justru mengumumkan Keputusan Kogam mengenai pembubaran KAMI. Selain itu, di Jakarta juga diberlakukan jam tengah malam , yang berlaku sejak 21.00 hingga 06.00 pagi dan larangan berkumpul lebih dari lima orang. Pembubaran KAMI dengan segera ditolak oleh mahasiswa Bandung. Hanya beberapa jam
sesudah pembubaran diumumkan, pada mahasiswa Bandung ini, yaitu jam 24.00 tanggal 25 Februari, mahasiswa Bandung sudah mengeluarkan penegasan penolakan ini . Penolakan ini memberikan dampak moril bagi para mahasiswa di berbagai kota untuk juga ikut menolak keputusan pembubaran KAMI ini . yaitu juga tengah tengah malam menjelang tanggal 25
Pebruari itu, mahasiswa mahasiswa Bandung yang menilai bahwa rekan rekannya di Jakarta
sedang mengalami tekanan berat dari penguasa memutuskan mengirimkan tenaga bantuan ke
Jakarta, jumlahnya ratusan namun dikirim bergelombang dan dilakukan secara diam diam.
Mahasiswa Bandung, sudah berpengalaman saat long march mereka ke Jakarta 17 Januari 1966
sebagai suatu pergerakan terbuka dihambat oleh aparat keamanan, maupun sebab terjadinya
pendudukan kampus ITB oleh Barisan Soekarno Siswono Judohusodo dan kawan kawan dari
GMNI. Rombongan pertama mahasiswa Bandung yang berangkat ke Jakarta belakangan akan dikenal sebagai Kontingen Bandung terdiri dari empat puluh orang dengan memakai dua bus
umum. Selama perjalanan, 40 mahasiswa yang seluruhnya dari mahasiswa yang dinamakan kelompok Bangbayang, dipimpin oleh Riswanto Ramelan mahasiswa Seni Rupa ITB, berpura pura untuk tidak saling kenal. Rombongan kedua yang dipimpin oleh mahasiswa Elektro ITB Bernard Mangunsong, memakai kereta api pukul enam pagi dan turun di Stasiun Jakarta Kota. Sedang rombongan ketiga yang juga memakai kereta api pukul 10 pagi, turun di Kramat Sentiong. Rombongan berkereta api ini biasanya anggota
Batalion I Resimen Mahawarman. sedang rombongan terbesar dan terakhir, yang terdiri dari
kurang lebih 150 mahasiswa memakai kereta api pukul tiga sore, dipimpin oleh Arifin Panigoro mahasiswa Elektro ITB. Mereka menempuh jarak Bandung Jakarta Kota dalam tempo empat setengah jam. Selain mahasiswa yang datang berombongan ini, ada juga beberapa mahasiswa yang datang dengan berbagai cara secara berangsur angsur selama beberapa hari, belum lagi yang sudah berada di Jakarta sejak beberapa hari sebelumnya, termasuk mahasiswa mahasiswa penggerak seperti Zaenal Arifin dan kawan kawan dari kelompok Bangbayang. Sehingga secara keseluruhan kontingen ini berkekuatan 400 an mahasiswa, berasal dari berbagai kampus perguruan tinggi di Bandung, namun terbanyak dari ITB. Jumlah ini sebetulnya tidak terlalu besar di tengah ribuan massa mahasiswa Jakarta, namun militansi dan keunikan Kontingen Bandung ini memicu nya berperanserta . Pada tengah malam kedua kehadiran mereka di kampus Fakultas
Kedokteran, datang perintah dari Kodam Jaya untuk mengosongkan kampus artinya tak ada
mahasiswa yang boleh menginap dengan alasan ada kemungkinan serangan dari pasukan
pasukan yang pro Soekarno. Terutama sesudah terjadinya serangan bersenjata terhadap satu mobil Pasukan Tjakrabirawa. Hanya satu tengah malam Kontingen Bandung meninggalkan Fakultas Kedokteran di Salemba, sebab
keesokan harinya berangsur angsur mereka kembali ke sana. Mereka bertahan seterusnya di
sana, sementara beberapa tokoh mahasiswa Jakarta yang tertekan sebab teror dan ancaman,
menginap di Kopur (Komando Tempur) Kostrad untuk keselamatan mereka. Kontingen
Mahasiswa Bandung akan terus bertahan di Fakultas Kedokteran UI ini sampai PKI dibubarkan
atau Soekarno dilumpuhkan , kata Muslimin Nasution, salah seorang pimpinan kontingen
bersama dengan antara lain Rudianto Ramelan dan Fred Hehuwat. Kedatangan Kontingen
Bandung itu sendiri, justru pada saat mahasiswa Jakarta sedang ditekan, memiliki arti
tersendiri untuk menaikkan spirit rekan rekannya mahasiswa Jakarta. Anggota anggota
Kontingen ini juga berinisiatif melakukan pergerakan pergerakan mengejutkan ke sasaran sasaran
strategis. Meskipun bisa saja dianggap keterlaluan, mahasiswa mahasiswa seni rupa ITB
Riswanto Ramelan, T. Soetanto dan kawan kawan yang ada di Kontingen itu menciptakan
kreasi kreasi seperti patung besar soebandrio dengan kepala yang besar bertuliskan Dorna
Peking. Patung ini ikut dibawa saat Kontingen Bandung bersama mahasiswa KAMI Jakarta
dan pelajar KAPPI menyerbu, merusak dan mengobrak abrik ruang kerja soebandrio di
Departemen Luar Negeri. Patung ini lalu dicari cari untuk disita oleh aparat Kodam Jaya, dan
akhirnya dengan terpaksa ‘ dibakar sendiri oleh para mahasiswa dan pelajar sesudah diarak, dalam suatu
acara simbolik di kampus Salemba.
Pada hari hari berikutnya, tak henti hentinya terjadi konflik fisik antara mahasiswa KAMI
dengan anggota anggota Front Marhaenis Ali Surachman. Ini yaitu buah dari pengerahan yang
diciptakan oleh para pemimpin partai dan para pendukung Soekarno, terutama dengan
pembentukan Barisan Soekarno yang diperhadapkan dengan mahasiswa KAMI dan para pelajar
dari KAPPI. Selain menyerbu Departemen Luar Negeri pada tanggal 8 Maret, para mahasiswa
juga melakukan penyerbuan ke Kantor Berita RRT Hsin Hua, namun gagal. Tanggal 10 Maret,
wakil wakil partai politik dipanggil Presiden Soekarno ke Istana, dan di sana partai partai
ini untuk kesekian kalinya menampilkan perilaku opportunistik mereka di depan Soekarno,
lalu mengikuti perintah Soekarno mengeluarkan pernyataan yang tidak membenarkan tindakan
tindakan yang dilakukan para mahasiswa dan para pelajar dan pemuda.
Pada 11 Maret berlangsung sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak pagi pagi,
mahasiswa dan pelajar turun ke jalan dan sekali lagi melakukan aksi pengempesan ban mobil
untuk memacetkan jalan. Sengaja atau tidak, peningkatan tekanan yang terjadi akibat
demonstrasi besar besaran mahasiswa ini memperkuat bargaining position Mayjen Soeharto
terhadap Soekarno. Ditambah dengan efek kejut yang dimuncul kan oleh kemunculan pasukan
tanpa pengenal lengkap yang sebetulnya digerakkan oleh Brigjen Kemal Idris yang diisukan
sebagai pasukan tak dikenal yang akan mengepung istana, maka Soekarno tiba pada suatu posisi
psikologis dan mencapai titik nadir dalam semangat dan keberaniannya. Soekarno dengan
tergesa gesa meninggalkan istana memakai helikopter menuju Istana Bogor.
mengenai peristiwa seputar sidang kabinet 11 Maret 1966, Dr soebandrio memiliki versi
sendiri. Ia menulis di beberapa buku disebutkan bahwa sesudah Presiden Soekarno membuka
sidang, lalu pengawal presiden, Brigjen Saboer, menyodorkan secarik kertas
ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan tak dikenal. lalu
presiden keluar meninggalkan ruang sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya
lalu menyusul keluar. Banyak ditulis, saat saya keluar sepatu saya copot sebab terburu buru.
Memang benar. dahulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot sepatu, mungkin
sebab kegerahan duduk lama menunggu, namun sepatu yang dicopot itu tidak kelihatan oleh
Anggota sidang sebab tertutup meja. Saya juga biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting
sehingga presiden meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu buru
sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu .
Lebih jauh, soebandrio menulis, bahwa begitu keluar ruang sidang, yang tidak pernah dituliskan
siapa pun, ia merasa bingung, akan ke mana, Saya memperoleh informasi , pasukan tak dikenal itu
sebetulnya mengincar keselamatan saya. Padahal begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung
Karno yang keluar ruangan lebih dahulu . Dalam kondisi bingung saya lihat sebuah sepeda, entah
milik siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil saya, dan mobil
semua menteri, sudah digembosi oleh para demonstran. Dalam kondisi hiruk pikuk di sekitar
istana saya keluar naik sepeda. Ternyata tidak ada yang mengetahui bahwa saya yaitu soebandrio yang
sedang diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan tentara yang
meneriakkan yel yel Tritura dan segala macam kecaman terhadap sukarno . Memang, saat
menggenjot sepeda saya selalu menunduk, namun jika ada yang teliti pasti saya ketahuan .
soebandrio mengaku seAnggota ya meluncur terus ke selatan sampai bundaran Bank Indonesia .
namun ia melihat begitu banyak tentara dan mahasiswa sampai jalan Thamrin. Ia ragu apakah
bisa lolos. Maka ia kembali mengayuh sepeda kembali ke istana dan hebatnya dia sampai di
istana tanpa diketahui para demonstran.
Begitu tiba kembali di istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak mengetahui apakah sejak tadi heli
itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin sebab saya panik, saya tidak melihat heli yang
ada di sana sejak tadi. Namun yang melegakan yaitu bahwa lalu saya
melihat sukarno didampingi para ajudan berjalan menuju heli. sebab itu sepeda saya
geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah, saat berlari menuju heli tanpa
sepatu, saya dilihat banyak orang sehingga ditulis di koran koran: Dr soebandrio berlari
menyusul sukarno menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan
terbang bersama sukarno menuju Istana Bogor .
Apapun yang terjadi dengan soebandrio dan Soekarno pada siang hari 11 Maret itu, tengah malam nya
lahir Surat Perintah 11 Maret, yang dibuat bersama‘ tiga jenderal yang sebetulnya dekat dengan
Soeharto, yaitu Mayjen Basoeki Rachmat, Brigjen Muhamad Jusuf dan Brigjen Amirmahmud.
Dan atas dasar Surat Perintah itu, Soeharto lalu membubarkan PKI pada 12 Maret 1966.
Beberapa hari lalu , 18 Maret, Soeharto melakukan tindakan untuk mengamankan‘ 15
Menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Sejak saat itu, Soeharto bisa melakukan
apa‘pun yang diinginkannya.
Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Soeharto melangkah masuk ke dalam tahap
kekuasaan sepenuhnya bagi dirinya.
(Dari:Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966 Mitos dan Dilema, Mahasiswa
Dalam Proses Perubahan Politik 1959 1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006).
“Kenapa menghadap Soeharto lebih dahulu dan bukan Soekarno , “Saya pertama
yaitu seorang anggota TNI. sebab Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai
perwira paling senior tentu yaitu Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation
procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. namun terlepas dari itu, Jusuf memang
dinamakan seorang dengan „intuisi‟ tajam. Dan tentunya, juga memiliki kemampuan
yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan sebab nya memiliki kemampuan
melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang sudah dibuktikannya dalam berbagai
pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat”.
TIGA JENDERAL yang berperanserta dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret
1966 Super Semar muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang
khas dan dengan cara yang khas juga . Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu
wilayah yang abu abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter
yang berbeda juga . Jenderal yang pertama yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi
Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Brigadir
Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi
Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Perindustrian
Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan saat
itu menjadi Panglima Kodam Jaya.
Mereka semua memiliki posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan sering kali digolongkan
sebagai de beste zonen van Soekarno, sebab kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan
itu. Dan yaitu sebab kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno
di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal
angkatan darat, mereka pun bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin
hubungan yang lebih baik segera sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, melebihi
hubungan di masa lampau.
Ketiga jenderal ini memiliki persamaan, yaitu bergerak di suatu wilayah abu abu dalam
proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu. Persamaan lain, yaitu
bahwa ketiganya tidak memiliki jalinan kedekatan dan memang tampaknya tidak menganggapnya
sebagai suatu keperluan dengan mahasiswa pergerakan 1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan
Basuki Rachmat ketidakdekatan itu yaitu sebab memang tidak dekat saja, maka bagi
Amirmahmud ketidakdekatan itu kadang kadang bernuansa ketidaksenangan sebagaimana yang
terlihat dari beberapa sikap dan tindakannya di masa lampau dan kelak di hari berikutnya .
Namun, dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga
jenderal, sama sama menjalankan peranserta signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun
1966 itu, melalui dua saat saat penting. Mahasiswa berperanserta dalam pendobrakan awal dalam
nuansa, motivasi dan tujuan tujuan yang idealistik, sedang tiga jenderal berperanserta dalam titik
awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Hanya ditambah ya, kelompok mahasiswa
pergerakan 1966 bekerja dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan
Soeharto, sedang tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu abu terhadap
kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun 1966 yang bergolak‘ itu. namun pada masa masa
menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga persentuhan dengan
beberapa eksponen mahasiswa pergerakan 1966, terutama kelompok kelompok asal Sulawesi
Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan
jalur ekstra parlementer dan memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik
di MPRS. Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun
hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat. sebetulnya , saat
menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf beberapa kali melakukan juga komunikasi dengan
para mahasiswa Universitas Hasanuddin, khususnya bila ada insiden yang melibatkan
mahasiswa. Biasanya ia memarahi mahasiswa dengan bahasa campuran negara kita Belanda,
Jullie semua sudah dewasa….. .
Kisah Tiga Jenderal
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan bulan terakhir menjelang Peristiwa 30
September 1965, sebetulnya berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden Soekarno.
Pada bulan Juni tahun 1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan diminta menjadi Menteri
Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan Departemen Perindustrian menjadi
Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai Menteri Koordinator yaitu Dr Azis Saleh.
sebetulnya tak ada alasan objektif bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal perang
seperti Jusuf untuk menjadi Menteri Perindustrian jika didasarkan kepada kompetensi
keahlian teknis. namun memang saat menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf
menunjukkan perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya. Meskipun
demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf yaitu lebih sebab kebutuhan‘ Soekarno
untuk menarik para jenderal potensial ke dalam barisan pendukungnya.
Dalam Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 28 Maret 1966), ada setidaknya sembilan
orang menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution dan Brigjen Muhammad
Jusuf. Dalam deretan itu ada nama nama Mayjen KKO Ali Sadikin, Mayjen Dr Soemarno,
Mayjen Prof Dr Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen Hidajat dan Laksamana Udara Iskandar.
Selain itu ada empat Panglima Angkatan yang diletakkan dalam posisi menteri. Beberapa
menteri yang lain, diangkat juga sebagai perwira tinggi tituler, setingkat jenderal.
Merasa terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu saat Soekarno bahkan pernah menyatakan di
depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian Ringan itu menjadi Wakil
Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai tambahan atas tiga Waperdam yang sudah ada.
Dengan beberapa pertimbangan yang cukup masuk akal, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal
Ahmad Yani menyatakan penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan Soekarno
mengurungkan niatnya, namun menjelang akhir September 1965, saat ia bermaksud
menggeser‘ Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi
Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat pembuangan ke atas‘ bagi Ahmad Yani.
Belakangan sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang demonstrasi
mahasiswa, Februari 1966, jabatan Waperdam IV itu akhirnya terwujud juga, yang diduduki oleh
tokoh NU KH Idham Chalid.
saat Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat
Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf yaitu Panglima Kodam
Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah negara kita
Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama sama berkedudukan di Makassar,
Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai
Panglima Mandala, konsentrasi Soeharto yaitu pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian
Barat, sementara sebagai Panglima Hasanuddin, Jusuf dimisi kan untuk menumpas DI TII
pimpinan Kahar Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI TII itu mengganggu misi
misi Komando Mandala. sebab sekota, Soeharto dan Jusuf bagaimanapun kenal baik satu sama
lain. Namun, secara pribadi, yang lebih terjalin yaitu kedekatan Brigjen Jusuf dengan Mayjen
Ahmad Yani yang tak lama lalu diangkat menjadi Menteri Panglima AD dengan pangkat
Letnan Jenderal.
saat masih berpangkat Kolonel dan menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi
Selatan dan Tenggara (KDMSST), Jusuf juga sempat amat bersimpati kepada atasannya, KSAD
Mayor Jenderal AH Nasution, dan memiliki sikap anti komunis yang sama. namun dalam
Peristiwa Tiga Selatan, yaitu pembekuan PKI di tiga propinsi selatan, yaitu Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, Kolonel Jusuf merasa kecewa terhadap Nasution.
saat Jusuf dipanggil Soekarno, bersama dua panglima selatan lainnya, dan didamprat habis
habisan, Nasution tidak melakukan pembelaan di depan Soekarno. Kekecewaan itu ternyata
berlangsung berkepanjangan. Jusuf tak bisa melupakan insiden itu dan kekecewaannya
terhadap Nasution….. Ini juga menjelaskan lalu , mengapa Jusuf lebih senang berhubungan
dengan Ahmad Yani, lebih lebih sesudah Yani menggantikan kedudukan Nasution pada tahun
1962 sebagai KSAD.
Persentuhan yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari sesudah Peristiwa 30
September, sepulang nya Jusuf dari Peking (Beijing). Jusuf pada akhir September 1965 termasuk
dalam delegasi besar negara kita yang menghadiri perayaan 1 Oktober di Peking. Dan saat
terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota rombongan
termasuk Waperdam III Chairul Saleh yang melihat nformasi versi pemerintah Peking,
Brigjen Jusuf memperoleh juga versi kedua. Ini memicu dirinya memutuskan untuk segera
kembali ke Jakarta dan bersama seorang anggota delegasi ia menempuh jalan panjang pulang ke
tanah air. Mula mula naik kereta api dari Peking, sambung menyambung 2000 kilometer jauhnya
hingga Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu tengah malam . Lalu melintasi perbatasan
menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris. Atas bantuan Konsul Jenderal RI di
Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan dengan Garuda ke Jakarta route
Tokyo Hongkong Jakarta yang memakai turbo propeller jet Lockheed Electra yang
berbaling baling empat. Setibanya di Kemayoran, Jusuf langsung menuju Markas Kostrad untuk
bertemu Mayjen Soeharto, seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M. Jusuf,
Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta, Jakarta 2006).
Kenapa menghadap Soeharto lebih dahulu dan bukan Soekarno , Saya pertama yaitu
seorang anggota TNI. sebab Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling
senior tentu yaitu Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu , demikian
alasan Jenderal M. Jusuf. namun terlepas dari itu, Jusuf memang dinamakan seorang dengan
intuisi‘ tajam. Dan tentunya, juga memiliki kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan
situasi, dan sebab nya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana
yang sudah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat.
Dalam pertemuan dengan Soeharto ini Jusuf menyatakan dukungan terhadap tindakan tindakan
yang sudah diambil Panglima Kostrad itu. Dan sejak saat itu, hingga beberapa waktu lamanya, ia
bolak balik ke Kostrad, sebab ia sudah menjadi tim politik‘ Soeharto. Barulah pada 6 Oktober
saat berlangsungnya suatu sidang kabinet di Istana Bogor, de beste zonen van Soekarno ini
melapor kepada Soekarno mengenai kepulanganya dari ibukota RRT, Peking.
Mayor Jenderal Basuki Rachmat, yaitu yang paling senior dari trio jenderal 11 Maret ini. Saat
peristiwa terjadi ia yaitu Panglima Divisi Brawidjaja. Hanya beberapa jam sebelum para
jenderal diculik dinihari 1 Oktober, Basuki Rachmat bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad
Yani di rumah Jalan Lembang. Ia yaitu perwira tertinggi pangkatnya yang terakhir bertemu
Yani dalam kondisi hidup. Basuki Rachmat memiliki kedekatan dengan Yani, namun ia pun
memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno untuk beberapa lama, sehingga ia pun sempat
termasuk de beste zonen van Soekarno. Ia memiliki akses untuk melapor langsung dan memang
sering kali dipanggil oleh Soekarno untuk itu. Namun pada beberapa bulan terakhir sebelum
Peristiwa 30 September, Soekarno berdasar keterangan saksi beberapa jenderal berkali kali menyatakan sedikit
ketidaksenangannya terhadap beberapa tindakan Basuki Rachmat sebagai Panglima di Jawa
Timur. Saya tidak pernah ditegur langsung oleh Presiden Soekarno, namun saya pernah dengar
dari pak Yani dan beberapa jenderal , demikian Rachmat menjelaskan hubungannya dengan
Soekarno di tahun 1965 (Wawancara Rum Aly dengan Basuki Rachmat untuk Mingguan
Mahasiswa Indonesia , Purwakarta Juli 1968).
Selain itu, fakta bahwa ia berkali kali bertemu Nasution pada bulan bulan terakhir itu,
menambah ketidaksenangan Soekarno atas dirinya. Secara pribadi, ia tak tercatat sebagai perwira
yang condong kepada golongan kiri, namun sebaliknya ia tak ada di barisan depan deretan
perwira yang terkenal sebagai perwira anti komunis, seperti contohnya Mayjen Ibrahim Adjie dan
Brigjen Jusuf. namun , sebagai panglima di Jawa Timur, ia tak memiliki kemampuan prima
membendung pengaruh PKI di kalangan perwira bawahannya, sehingga banyak batalion Divisi
Brawidjaja dipimpin oleh komandan yang sudah masuk kawasan pengaruh PKI. Salah satu
batalion, yaitu Batalion 530 bahkan turut dan dalam pergerakan 30 September. Tegasnya, ia
berada di lingkungan yang abu abu. mengenai Batalion 530, suatu kali di tahun 1968, Basuki
hanya mengatakan, yang sudah lewat, sudahlah .
“Saat berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah
„pasukan tak dikenal‟ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan
itu memicu demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka.
namun sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan,
mengatakan kehadiran pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk
menekan Soekarno dan mungkin saja berniat membantu demonstran masuk menerobos
istana”.
ada beberapa Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno
sebagai Pangti ABRI suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara
yang lainnya, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, bila dibawa menghadap oleh Menteri
Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa diantaranya, yang meskipun memiliki akses langsung dengan
Soekarno, tetap menjalankan tatakrama untuk melapor kepada Yani, sebelum atau sesudahnya.
namun ada juga yang sama sekali melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh beberapa
jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan bulan terakhir sampai September
1965 selalu tembak langsung‘ menghadap Soekarno yaitu Brigjen Sjafiuddin dari Kodam
Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di
antara dua kategori itu. Ia juga termasuk jenderal yang memiliki akses terhadap Soekarno, dan
bahkan dimasukkan dalam kategori de beste zonen van Soekarno. Sesekali ia melapor kepada
Yani, dan banyak kali juga tidak.
Dalam peristiwa yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuasaan Soekarno sesudah
Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar
Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu reputasi yang diciptakan
Amirmahmud yaitu bahwa ia termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang
semua kegiatan PKI dan ormas ormasnya pada bulan Oktober tahun 1965, tanggal 19, namun
masih lebih lambat dibandingkan beberapa Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya
dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada 1
Oktober, saat Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan
pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi
satu satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir pula . berdasar keterangan saksi informasi Munadi kepada
Jenderal Nasution lalu , ketidakhadir pula an itu disambungkan sang panglima didatangi oleh Ketua
PKI Kalimantan Selatan, A. Hanafiah, yang memberitahukan bahwa Panglima Kodam itu
ditunjuk sebagai anggota Dewan Revolusi Kalimantan Selatan.
saat Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya memicu
tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit prajurit Kodam Jaya sering bertindak keras dan
kasar kepada mahasiswa. Perwira perwira bawahan Amirmahmud pun umumnya tidak
menunjukkan simpati terhadap pergerakan pergerakan mahasiswa, untuk tidak menyebutnya bersikap
memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung
cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tercatat nama Kepala Staf Kodam
Kolonel AJ Witono dan Letnan Kolonel Urip Widodo.
Sebagai seorang Soekarnois, berkali kali juga Amirmahmud menampilkan lakon kesetiaan
kepada Soekarno, diantaranya terkait dengan Barisan Soekarno. namun , agaknya ini justru
menjadi hikmah juga baginya, sebab sedikitnya ia makin memperoleh tempat di hati Soekarno,
yang lalu memudahkannya berperanserta dalam kelahiran Surat Perintah 11 Maret. Dan yaitu
sebab peran nya pada tanggal 11 Maret, ia lalu memperoleh tempat yang lebih layak di sisi
Soeharto dalam kekuasaan, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri
sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan lalu menjadi Ketua
MPR/DPR sebagai penutup karirnya yang secara menyeluruh tergolong terang benderang‘.
Hal lain yang memicu Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto yaitu bahwa ia tidak
termasuk di antara para jenderal yang fasih‘ berbahasa Belanda dan memakai bahasa
campuran Belanda negara kita dalam percakapan sehari hari satu sama lain. Soeharto yaitu
orang yang tak terlalu suka kepada kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang
umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran Jepang. Namun dari Soekarno,
setidaknya dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto memperoleh gelar‘
dalam bahasa Belanda dari Soekarno, yaitu sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa
nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para jenderal berbahasa Belanda
ini, seperti contohnya HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan kawan. Ketidaknyamanan yang sama
dirasakannya saat ia masih bekerja di Divisi Siliwangi sebelum bekerja di luar Jawa. Divisi
Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang
pendidikan baik, melebihi divisi yang lain biasanya . Percakapan sehari hari di antara
kalangan perwira menengah sampai perwira tingginya sangat umum memakai bahasa
Belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya Koneksi nya sesama
perwira Siliwangi, tidak memakai bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari
Divisi Siliwangi, Letjen Ahmad Yani dan para perwira terasnya di Mabes AD yaitu para
jenderal yang juga berbahasa Belanda.
Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira
intelektual dalam Angkatan Bersenjata negara kita . Meski demikian, sebagai pengecualian,
Amirmahmud bisa juga memicu dirinya betah‘ bila hadir pula dalam pertemuan dengan Bung
Karno, kendati sang Presiden banyak memakai kata kata Belanda yang tak semua
dipahaminya. namun yaitu menarik bahwa Soekarno sendiri nyaris tak pernah memakai
istilah istilah bahasa Belanda bila berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain
yang diketahui nya tidak terbiasa dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan
Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh
dari kebiasaan memakai bahasa Belanda.
Sejak pagi hari 11 Maret sebetulnya Presiden Soekarno ada dalam suatu kondisi cemas dan
tertekan. berdasar keterangan saksi rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun ia was was akan faktor
keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya
Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan
di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi apa apa.
Beberapa jam lalu , saat sidang itu akan dimulai, sekali lagi Soekarno bertanya kepada
Amirmahmud dan memperoleh jawaban Jamin pak, aman . Soekarno meminta Amirmahmud
untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun saat sidang baru berlangsung sekitar sepuluh
menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang ulang menyampaikan memo kepada
Amirmahmud. Isinya memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di
sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak,
namun Panglima Kodam ini berulang ulang menjawab dengan gerak telapak tangan dengan
ayunan kiri kanan seakan isyarat takkan ada apa apa. namun bisa juga sekedar tanda bahwa ia
tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa
suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.
Tak memperoleh tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen
Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. sesudah membaca,
tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang
ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang kepada Leimena dan
meninggalkan ruang sidang dengan tergesa gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia
bertanya, Mir, bapak ini mau dibawa ke mana, . Digambarkan bahwa Amirmahmud, yang
tadinya menjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak menjawab dan hanya
menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan soebandrio menuju
Istana Bogor.
sebetulnya , Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia mampu
menjamin keamanan sidang kabinet ini , saat itu tak mengetahui mengenai kehadiran
pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak atas inisiatif Pangkostrad Kemal
Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda satuannya dan bergerak ke sekitar
istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan kemudian bahwa pasukan ini
sebetulnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, sebab dalam peristiwa
sebelumnya para mahasiswa itu berkali kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa,
dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.
Pada 11 Maret pagi hingga petang, sebetulnya terjadi beberapa benturan di berbagai penjuru
Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar dibukukan dengan judul ‘Angkatan 66’, Penerbit Sinar
Harapan, Jakarta 1981 yaitu salah satu sumber yang tepat untuk dikutip guna menggambarkan
situasi hari itu. Pagi pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu
serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam hitam. Gerombolan
berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka
menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, sebab kena tusuk. Laskar S. Parman dan
Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. perang batu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya
gerombolan liar ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan
Pramuka ikut menghadang mereka. kondisi kacau balau, sebab perkelahian pada front luas
terbuka . namun tiba tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang bersenjata lengkap datang menyerbu.
Mereka melepaskan tembakan hampir horizontal, peluru mendesing rendah di atas kepala pelajar
dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa
dengan nyaring mengucapkan Seratus mahasiswa tidak sanggup melawan seorang anggota
Tjakrabirawa . namun Tjakrabirawa yang sudah berhasil memicu takut para mahasiswa, akhirnya
berlalu dengan membawa bawa empat orang mahasiswa sebagai tawanan. Namun beberapa jam
lalu , para mahasiswa itu dilepaskan.
Biasanya pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, namun hari itu mereka
merambah ke mana mana. Seterusnya, Yosar mencatat bahwa Di Jalan Salemba terjadi perang
pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi Pernyataan Kebulatan Tekad Partai
partai Politik‘. sedang pelajar membagikan stensilan reaksi pemuda pelajar mahasiswa atas
sikap partai politik‘… . Peristiwa lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan
truk di Pasar Minggu melepaskan tembakan saat diteriaki dan diejek oleh para pelajar.
Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang bermarkas‘ dekat tempat
kejadian, keluar ke jalan dan melepaskan tembakan balasan‘. Anggota Para Armed (Artileri
Medan) dari arah lain, juga melepaskan tembakan.
Pada sore tanggal yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe
Tat SH dan melakukan perusakan. Hari ini, situasi sampai psedang caknya. Demonstrasi kontra
demonstrasi. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik . Saat
berlangsungnya sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itulah pasukan tak
dikenal‘ itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu memicu
demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan kehadiran mereka. namun sebaliknya,
seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, mengatakan kehadiran
pasukan tanpa tanda pengenal itu memang dimaksudkan untuk menekan Soekarno dan mungkin
saja berniat membantu demonstran masuk menerobos istana. Dan ini semua dikaitkan dengan
Soeharto yang selaku Menteri Panglima AD sengaja‘ tak hadir pula dalam sidang kabinet hari itu
dengan alasan sakit
“Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, sebab ketiga Jenderal Super
Semar sudah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam
kondisi „tak mau‟ dan „tak bisa‟ diklarifikasi, yaitu apakah peristiwa lahirnya Surat
Perintah 11 Maret itu yaitu by accident terjadi sebab situasi mendadak di tanggal 11
Maret itu, ataukah ada seperti setting sebelumnya, ”. “Terlepas dari kontroversi yang
ada, bagi Drs Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebetulnya yang merupakan
persoalan lebih penting yaitu bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan
penggunaan Surat Perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal hal lainnya
sebagaimana yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun
terakhir”.
Istana Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan berkendaraan
sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Menteri
Perindustrian Ringan. Dua lainnya yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan
Demobilisasi, dan Brigadir Jenderal Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan
berangkat ke Bogor menemui Soekarno diambil sesudah Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar
detail persoalan mengenai kenapa Soekarno tergesa gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter.
Meskipun hadir pula dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak mengetahui persis mengenai adanya pasukan
tak kenal mendekati istana dan tak terlalu mengetahui ketegangan yang tercipta oleh Brigjen
Saboer dan Brigjen Amirmahmud.
Sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini menemui Jenderal Soeharto di rumah Jalan
Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu digambarkan sedang
demam. Soeharto menyetujui keberangkatan mereka bertiga ke Bogor, dan berdasar keterangan saksi Jusuf,
Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas berbeda dengan beberapa versi lain yang
diperhalus yaitu bahwa Soeharto bersedia memikul tanggungjawab jika kewenangan untuk
itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan
Tritura .
Soekarno yang pada pagi harinya sempat panik di Jakarta dan tergesa gesa berangkat ke Bogor,
sempat meneruskan istirahat siangnya dan membiarkan tiga jenderal itu menunggu sampai pukul
14.30 sebelum menerima mereka. Soekarno bisa tampil cukup tenang‘ saat pesan Jenderal
Soeharto disampaikan padanya, namun berdasar keterangan saksi gambaran Muhammad Jusuf terjadi dialog
yang begitu berat dan kadang kadang tegang . Tidak seperti pada masa masa sebelumnya,
dimana dalam setiap pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani
berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan, yaitu Soekarno
merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno akhirnya menyetujui suatu pemberian
kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan konsepnya memakan waktu cukup lama dan berkali
kali mengalami perubahan. berdasar keterangan saksi para jenderal itu lalu , perubahan atas konsep juga
termasuk oleh tiga Waperdam yang datang lalu , lalu mendampingi Soekarno dalam
pembicaraan.
Dalam ingatan Jusuf, coretan coretan perubahan dari soebandrio dan Chairul Saleh, mengecilkan
kewenangan yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan Jenderal Nasution, butir yang
berasal dari soebandrio yaitu mengenai keharusan Menteri Panglima AD untuk berkoordinasi
dengan para panglima angkatan lainnya dalam pelaksanaan perintah. Sementara itu, berdasar keterangan saksi
soebandrio sendiri, saat dirinya bersama dua waperdam lainnya bergabung, pertemuan
sudah menghasilkan suatu konsep. soebandrio menuturkan, Saya masuk ruang pertemuan,
sukarno sedang membaca surat . Basuki Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf
duduk di depan Soekarno. lalu saya disodori surat yang dibaca sukarno , sedang
Chairul Saleh duduk di samping saya. Isi persisnya saya sudah lupa. namun intinya ada empat
hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan
wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden atas
semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden dan
seluruh keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran sukarno . Soal
urutannya, mungkin terbalik balik, namun intinya berisi seperti itu .
Lebih jauh, soebandrio menuturkan dalam naskah ‘Kesaksianku mengenai G30S’ bahwa
Soekarno bertanya kepadanya, Bagaimana, Ban, Kau setuju, . Beberapa saat soebandrio diam.
Saya pikir, sukarno hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya
tidak setuju . soebandrio yang agaknya terkejut oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya,
masih belum pulih semangatnya, meskipun ia tak mengakui dirinya takut, termasuk saat ia
berkali kali merasa dipelototi oleh para jenderal itu. Saya merasa sukarno sudah ditekan.
Terbukti ada kalimat Mengamankan pribadi presiden dan keluarganya‘. Artinya keselamatan
presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat ini dikeluarkan . Lama terdiam,
akhirnya soebandrio ditanyai lagi oleh Soekarno, Bagaimana, Ban, Setuju, . soebandrio
menjawab, Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya, sukarno sudah berunding tanpa kami ,
yang dipotong Soekarno, namun , kau setuju, . soebandrio menjawab lagi, jika bisa perintah
lisan saja . soebandrio melirik, tiga jenderal itu melotot ke arah saya. namun saya tidak takut.
Mereka pasti geram mendengar kalimat saya terakhir . lalu Amirmahmud menyela, Bapak
Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak . soebandrio menduga Soekarno sudah ditekan
oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu ragu, namun seperti
mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga
menyatakan setuju. sukarno lalu teken .
Seingat Hartini Soekarno, sebelum menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno
sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda, Tak ada keterangan , saya
serahkan sepenuhnya kepada anda . Sedang dari Chairul Saleh ada anjuran untuk berdoa dahulu
memohon petunjukNya. Terakhir dari soebandrio ada keterangan , juga dalam bahasa Belanda,
jika anda menandatanganinya, sama saja masuk perang kap . Pukul 20.30 para jenderal itu
kembali ke Jakarta dengan membawa bawa Surat Perintah 11 Maret yang sudah ditandatangani
Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri
menyimpan tembusan lainnya, yang kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno.
Belakangan, terutama sesudah lengsernya Soeharto dari kekuasaannya, terjadi kesimpangsiuran
mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Terutama sebab manuscript asli yang ditandatangani
Soekarno dinyatakan hilang. Dikabarkan bahwa naskah manuscript asli ada di tangan Jenderal
Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin manuscript asli itu bisa ada di tangan Jusuf,
sebab manuscript itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga jenderal itu ke tangan Jenderal
Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan Haji Agus Salim. Jusuf sendiri, hanya memegang
tembusan karbon surat perintah itu yang tanpa tanda tangan Soekarno. Hilangnya‘ manuscript asli
itu memicu tuduhan bahwa ada manipulasi atas Surat Perintah 11 Maret, yaitu dengan
memotong‘ bagian batas waktu berlaku Surat Perintah ini , lalu dicopy lalu aslinya
disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas perintah‘ Soeharto.
berdasar keterangan saksi Sudharmono SH yang pernah menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto,
dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku ‘Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun
1965’) mengatakan hilangnya manuscript itu yaitu sebab terselip dan sepenuhnya kealpaan
manusiawi dari Soeharto sendiri. namun sepanjang pokok pokok Surat Perintah 11 Maret
sebagaimana yang diingat soebandrio tampaknya tak ada perbedaan esensial dari yang ada
dalam versi Sekretariat Negara dan versi Jenderal Jusuf. Versi yang ada dalam buku memoar‘
Jenderal Jusuf yang disusun oleh Atmadji Sumarkidjo, Jenderal M. Jusuf, Panglima Para
Prajurit’ (2006, Penerbit Kata Hasta) yaitu sebagai berikut ini. Untuk dan atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat (1) Mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan dan kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, dan menjamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi
untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia , dan melaksanakan dengan pasti segala
ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima panglima angkatan lain dengan sebaik baiknya; (3) agar melaporkan segala sesuatu
yang bersangkut paut dalam misi dan tanggungjawabnya seperti ini di atas. Sampai
meninggal dunia 7 September 2004, Jenderal Jusuf tak pernah memberikan penegasan mengenai
isu mengenai keberadaan manuscript asli Surat Perintah 11 Maret maupun mengenai tembusan
karbon yang ada di tangannya.
Dalam memoar Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun 2006 itu, soal manuscript asli itu maupun
soal manipulasi isi surat perintah ini bahwa surat perintah itu memiliki jangka waktu masa
berlaku tak dapat ditemukan pemaparannya. jika ada soal, kenapa Jenderal Jusuf tetap
menyimpannya rapat rapat , Seakan akan masalah itu tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang
akan menyebarkan malapetaka‘ dan kejahatan‘ bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik
Harry Tjan Silalahi yang dekat dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa ia sempat melihat
sendiri asli Surat Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi bahwa sepanjang
yang ia ketahui tak pernah ada manipulasi . Bahwa manuscript asli surat itu hilang, ia menunjuk
pada fakta buruknya kebiasaan dalam administrasi pengarsipan di negara kita , sebab naskah
asli Pembukaan UUD 1945 pun hilang tak diketahui sampai sekarang (Wawancara, Rum Aly).
Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, sebab ketiga Jenderal Super Semar
sudah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini hingga akhir hayatnya berada dalam kondisi tak mau‘
dan tak bisa‘ diklarifikasi, yaitu apakah peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret itu yaitu
by accident terjadi sebab situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada seperti
setting sebelumnya, Pertanyaan ini muncul, sebab berdasar keterangan saksi Soeripto SH, yang kala itu
berkecimpung di lingkungan intelijen dan berkomunikasi intensif dengan Yoga Sugama,
Asisten I di Kostrad pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 tengah malam mendengar dari seorang Letnan
Kolonel Angkatan Darat bahwa esok hari Soekarno akan menyerahkan kekuasaan kepada Mayor
Jenderal Soeharto. Artinya fakta kehadiran dari apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di
depan istana, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, bagi Drs
Achadi, mantan menteri era Soekarno, sebetulnya yang merupakan persoalan lebih penting
yaitu bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat Perintah 11
Maret itu secara faktual, bukan hal hal lainnya sebagaimana yang banyak menjadi bahan
kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir.
“namun di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras menunjukkan usaha
menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap mengeluarkan
pernyataan pernyataan keras. muncul spekulasi bahwa ia sebetulnya sudah mengalah pada
Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan mulutnya
sendiri melakukan pembubaran itu. Dan yaitu Soeharto yang melakukan hal itu 12
Maret sesudah melalui suatu lekuk liku proses kekuasaan yang khas Jawa bagaikan dalam
dunia pewayangan antara dirinya dengan Soekarno”.
Pintu menuju kekuasaan baru
BUTIR BUTIR yang terkandung dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Soekarno kepada
Jenderal Soeharto, untuk sebagian yaitu butir butir karet‘ yang bisa serba tafsir, baik bagi
Soekarno maupun bagi Soeharto. Akhirnya, siapa yang lebih memiliki kekuatan akan menang
dalam penafsiran. Bilamana Soekarno masih memiliki kekuatan lebih, maka Jenderal Soeharto
sebagai pemegang Surat Perintah ini , akan menjadi alat keamanan belaka bagi Soekarno.
Dan pada waktunya, pasti akan dicabut. namun faktanya, saat itu kekuatan Soekarno sedang
mengalami erosi, meski belum longsor sama sekali. PKI yang menjadi pendukung dan sekutu
taktisnya untuk seberapa lama, sedang mengalami proses pembasmian serentak di seluruh
penjuru negara kita , sesudah teropinikan sebagai pelaku makar dan pelaku kekejaman membunuh
enam jenderal dan seorang perwira pertama di Jakarta ditambah dua perwira menengah di
Yogyakarta melalui pergerakan 30 September. Sedang Soekarno sendiri tampaknya bersikeras
untuk tidak membubarkan PKI, dan memilih menentang arus utama opini kala itu.
Sementara itu, PNI yang semestinya menjadi sumber dukungan strategis bagi Soekarno, sesudah
peristiwa ikut mengalami imbas sebab dalam opini masa lampau tergambarkan sebagai partner
PKI dalam struktur Nasakom. Apalagi, Sekertaris Jenderal PNI Ir Surachman diindikasikan
sebagai berideologi kiri. Selain itu, secara faktual, sejak lama internal PNI juga tidak utuh, dan
segera sesudah Peristiwa 30 September, sayap ini melepaskan‘ diri sebagai PNI Osa Usep.
Pemisahan diri ini memicu pembelahan kekuatan PNI secara nasional, termasuk di tingkat
organisasi sayap.
Meskipun sebagian pengikut PNI Osa Usep masih mendukung Soekarno, namun tak kurang juga
yang berangsur angsur berubah menjadi penentang Soekarno. Tokoh GMNI Jawa Barat, Sjukri
Suaidi contohnya , yang tergabung dalam kesatuan aksi bahkan sampai kepada pernyataan
meragukan kepantasan Soekarno untuk tetap dianggap sebagai Bapak Marhaen. Sementara itu
tokoh GMNI yang lain, mahasiswa ITB Siswono Judohusodo yang pertengahan Januari ikut
dalam Barisan Soekarno, tersudut ke dalam suatu posisi dilematis. Kendati ia yaitu pemuja
Soekarno, pada dasarnya sebagai mahasiswa yang rasional ia juga bisa membenarkan pendapat
rekan rekannya sesama mahasiswa ITB bahwa Soekarno yang sudah terlalu lama berkuasa dan
pada masa masa terakhir kekuasaannya kala itu sudah tergelincir melakukan beberapa kekeliruan
politik, sudah saatnya untuk diakhiri kekuasaannya.
berdasar keterangan saksi Siswono, mengenai Soekarno ada tiga kelompok sikap. Yang pertama, apapun,
pokoknya sukarno tak boleh diapa apakan. Yang kedua, yaitu sebaliknya, Soekarno
memang harus memperoleh pelajaran dan harus diganti dan tidak perlu dengan cara terhormat.
Yang ketiga, memang sudah saatnya Soekarno diganti, namun hendaknya dengan cara yang
terhormat, tanpa merendahkannya. Siswono masuk ke dalam kelompok ketiga ini. Ia tidak setuju
dengan yang pertama, sebagaimana ia menolak sikap kelompok kedua yang sudah merendahkan
Soekarno. Apakah orang yang berjasa seperti itu dianggap sebagai maling yang bisa ditendang
begitu saja, . sebab mayoritas mahasiswa Bandung secara dini merupakan barisan anti
Soekarno, maka Siswono dianggap berada di seberang‘, meskipun ia pernah dalam kebersamaan
pada Peristiwa 10 Mei 1963. Apalagi lalu ia bergabung dengan barisan Soekarno, dan
melakukan pendudukan kampus ITB di bulan Pebruari saat mahasiswa ITB baru saja
memulai suatu long march ke Jakarta. Ia mengaku menduduki kampus agar long march batal.
sebab , long march itu akan berdampak terjadinya benturan luar biasa . Ia kuatir mahasiswa
mahasiswa itu akan berhadapan dengan pendukung pendukung Soekarno yang tidak ingin
Soekarno diturunkan, apalagi dengan cara tidak terhormat. Keterlibatannya dalam pendudukan
kampus ITB, memicu Siswono ditangkap oleh Siliwangi pada bulan Maret dan ditahan sampai
April. mengenai Barisan Soekarno yang terlibat dalam tindak kekerasan dalam Peristiwa 19
Agustus 1966, ia memberi penjelasan, itu tidak dilakukan oleh Barisan Soekarno yang saya
pimpin . Ia mengaku, saya sendiri tidak mengetahui dari mana orang yang banyak itu .
Sementara itu yaitu ironis juga bahwa saat di berbagai daerah PNI menjadi tumbal yang
berpasangan dengan PKI dan di daerah lainnya lagi bahkan menjadi tumbal pengganti bagi PKI,
justru di daerah basisnya di Jawa Tengah dan juga Jawa Timur dan Bali, PNI mengalami
benturan dengan massa PKI dalam pola pilihan lebih dahulu membantai atau dibunuh ‘. Dengan
aneka ragam sikap dalam tubuh PNI, dan aneka masalah yang dihadapi lapisan massa PNI,
sebagai resultante tercipta PNI yang tidak siap menjadi pendukung handal bagi Soekarno untuk
saat itu, dalam artian hanya cukup untuk keperluan defensif.
Situasi terberat yang dihadapi Soekarno kala itu yaitu bahwa ia sebetulnya mulai tersisih‘
setidaknya berkemungkinan untuk itu dari arus utama opini dan pengharapan rakyat yang sudah
melangkah ke tahap memikirkan suatu perubahan, dan tinggal memiliki sisa sisa penghormatan
berdasar paternalisme dari sebagian rakyat. Kaum elite Jakarta yang pada hakekatnya banyak
menyerap referensi pemikiran dan gaya kehidupan barat yang modern contohnya , di bawah
permukaan sejak lama sudah merasa terganggu kebebasannya oleh Soekarno yang melakukan
serba pembatasan. Mulai dari pelarangan film film barat, dansa barat jenis baru sampai kepada
permusuhan terhadap musik yang disebutnya sebagai ngak ngik ngok terutama The Beatles dari
Inggeris dan Koes Bersaudara padahal musik musik dinamis itu memikat hati kaum muda
terutama dari kalangan elite yang sebetulnya lebih nyaman dan terbiasa dengan hal hal yang
berbau barat. Soekarno juga merampas kebebasan pilihan cara berpakaian dan bersikap, dengan
intervensi untuk mengatur soal pakaian dan cara bersikap lainnya yang harus sesuai dengan
kepribadian nasional .
Sementara itu, perlahan namun pasti, kalangan rakyat di lapisan akar rumput, mulai jenuh akan
kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan dan mengalami pengikisan rasa percaya kepada
pemerintahan Soekarno kendati masih mendua sebab masih ada nya sisa rasa pemujaan‘
mereka terhadap Soekarno. Selain Soekarno, tentu saja PKI dengan segala provokasi anti barat
dan anti kebebasan perorangan, menjadi sasaran kebencian terpendam dan atau sasaran pantul
dari mereka yang masih mendua terhadap Soekarno, seperti contohnya yang banyak terjadi di kalangan elite pengikut PNI. namun dalam banyak masalah , PNI sendiri justru juga mengalami bias
kebencian itu. Ini menjelaskan, kenapa seruan Soekarno untuk membentuk Barisan Soekarno
dalam realitanya hanya mampu memicu riak riak kecil perlawanan untuk pembelaan
Soekarno, namun tak pernah mencapai tingkat yang signifikan untuk membalikkan posisi
Soekarno yang melemah.
Dengan Surat Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan
PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Sejak gerak cepatnya berhasil
membersihkan Jakarta dari pergerakan 30 September, Soeharto sudah tampil di mata mahasiswa,
pelajar, pemuda dan rakyat biasanya sebagai pahlawan penyelamat. Dan dalam tempo
yang cukup cepat dan sistimatis mematahkan mitos kekuasaan Soekarno. Kini dengan
pelimpahan surat perintah tanggal 11 Maret itu dari Soekarno, ia melangkah setapak lagi lebih ke
depan ke dalam kekuasaan negara, dan memulai kelahiran mitos baru sebagai pahlawan yang
dengan kesaktian Pancasila sudah menyelamatkan bangsa dan negara dari malapetaka bahaya
komunis. Dengan posisi dan situasi baru di atas angin, penafsirannya terhadap butir butir Surat
Perintah 11 Maret itu, lebih unggul. Meskipun dalam setiap kesempatan formal Soekarno masih
selalu menolak pembubaran PKI, Soeharto toh melakukannya melalui suatu surat keputusan
selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Konsep surat keputusan pembubaran itu,
disusun oleh Kolonel Sudharmono SH dan Letnan Drs Moerdiono berdasarkan perintah Soeharto
melalui Ketua G 5 KOTI Brigjen Soetjipto.
cukup menarik bahwa Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang
mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti sesudah beberapa
menteri dalam kabinetnya, terutama soebandrio , mempersoalkannya, barulah ia menunjukkan
complain. Suatu kemarahan yang mungkin saja artifisial, lalu ditunjukkan oleh Soekarno.
berdasar keterangan saksi ucapan Sajidiman Surjohadiprodjo yang waktu itu yaitu perwira staf di Markas
Besar Angkatan Darat dengan pangkat Kolonel, Soekarno menganggap Soeharto sudah
melampaui wewenang. Itu dinyatakannya kepada Amirmahmud, salah seorang perwira tinggi
yang menjemput Surat Perintah 11 Maret di Istana Bogor dua hari sebelumnya. Panglima Kodam
Jaya ini menjawab bahwa sesuai surat perintah itu, Soeharto memang berhak bertindak untuk dan
atas nama Presiden Soekarno, sepanjang hal itu perlu menjamin keamanan dan menjaga
kewibawaan presiden. Namun, tulis Sajidiman, Presiden Soekarno tidak dapat menerima
argumentasi itu dan memanggil panglima angkatan lainnya .
Digambarkan adanya peran soebandrio untuk memicu kegusaran Soekarno, dengan
menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI AD bermaksud akan menyerang
Istana Presiden. sebab informasi itu, angkatan angkatan lainnya mengadakan konsinyering
pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, sebab setiap saat dapat terjadi pertempuran
antara TNI AD dengan tiga angkatan lainnya. Untunglah, lalu Jenderal AH Nasution
berhasil memanggil ketiga panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak
memiliki legalitas untuk melakukan hal itu, namun wibawanya masih cukup besar untuk
memicu ketiga panglima bersedia hadir pula . Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili oleh
Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat dijernihkan bahwa
samasekali tidak ada rencana TNI AD untuk menyerang Istana Presiden dan Pangkalan Halim.
Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan sebab melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya.
sesudah semua pihak menyadari kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan
ditarik dari posisi yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar . Soeharto
sendiri mengakui bahwa sekitar waktu itu, sudah ada yang berbisik bisik pada saya, untuk
merebut kekuasaan dengan kekerasan. namun tidak pernah terlintas satu kalipun di benak saya
untuk melakukannya . namun di balik itu ada kesan bahwa Soekarno tak terlalu bersikeras
menunjukkan usaha menganulir keputusan pembubaran PKI itu, meskipun sesekali tetap
mengeluarkan pernyataan pernyataan keras. muncul spekulasi bahwa ia sebetulnya sudah
mengalah pada Soeharto mengenai soal PKI ini, hanya saja ia tak mau memakai tangan dan
mulutnya sendiri melakukan pembubaran itu. Dan yaitu Soeharto yang melakukan hal itu 12
Maret sesudah melalui suatu lekuk liku proses kekuasaan yang khas Jawa bagaikan dalam dunia
pewayangan antara dirinya dengan Soekarno
“Semar memiliki tiga putera yaitu Bagong, Petruk dan Gareng. Di antara ketiga putera
ini, yaitu Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol kelemahan insan di dunia.
saat sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan kekuasaannya dalam
kondisi „benar benar mabok‟. Ungkapan „Petruk Dadi Raja‟, secara empiris berkali kali
terbukti sebagai cerminan perilaku manusia negara kita saat berkesempatan menjadi
penguasa”.
sesudah RRI melalui warta berita 06.00 pagi Sabtu 12 Maret 1966 mengumumkan bahwa
Letnan Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret membubarkan PKI dan
ormas ormasnya, sejenak Jakarta mendadak diliputi suatu suasana pesta kemenangan‘. Ini
contohnya tergambarkan dalam catatan Yosar Anwar, bahwa dengan pembubaran PKI itu maka
kemenangan tercapai, hal yang diinginkan dan diperjuangkan generasi muda selama beberapa
bulan ini .
Suasana pesta kemenangan itu, dalam pemaparan Yosar yang hiperbolis, tak kalah dengan saat
rakyat London merayakan kemenangan atas kekejaman Nazi Hitler, sama dengan kegembiraan
rakyat Paris menyambut pahlawannya Jenderal de Gaulle kembali ke tanah air. Begitulah
suasana di Jakarta hari ini. Betapa generasi muda berjingkrak jingkrak menyambut kemenangan
dari suatu perjuangan lama dan melelahkan. Semua wajah cerah. Rakyat mengelu elukan
pahlawan dan pejuang Ampera seperti RPKAD, Kostrad, Kujang Siliwangi, KAMI dan KAPPI.
Gembira, tertawa dalam menyambut lahirnya Orde Baru. Suatu kehidupan baru. Hilang
kelelahan rapat terus menerus selama ini, atau aksi yang berkepanjangan . Hari itu memang ada
parade yang diikuti oleh pasukan pasukan RPKAD, Kostrad dan Kujang Siliwangi, massa
mahasiswa, pelajar dan berbagai kalangan masyarakat.
Beberapa nama aktivis dicatat dalam memori‘ Yosar yang romantis‘. Terbayang kawan
kawan seiring, kawan berdiskusi, kawan dalam rapat, kawan dalam aksi. Beberapa nama muncul
selama saya berhubungan dalam aksi ini. KAMI Pusat Zamroni, Cosmas, Elyas, Mar‘ie,
Sukirnanto, Djoni Sunarja, Farid, Hakim Simamora, Abdul Gafur, Savrinus, Han Sing Hwie,
Ismid Hadad, Nono Makarim. KAMI Jaya Firdaus Wajdi, Liem Bian Koen, Marsilam
Simanjuntak, Sjahrir. Laskar Ampera Fahmi Idris, Louis Wangge, Albert Hasibuan. KAMI
Bandung Muslimin Nasution, Dedi Krishna, Awan Karmawan Burhan, Soegeng Sarjadi, Adi
Sasono, Freddy Hehuwat, Aldi Anwar, Odjak Siagian, Bonar, Robby Sutrisno, Sjarif Tando,
Pande Lubis, Anhar, Aburizal Bakrie, Rahman Tolleng. Koneksi IMADA Rukmini Chehab,
Zulkarnaen, Boy Bawits, Alex Pangkerego, Asril Aminullah, Sofjan, Piping dan banyak lagi.
Juga tempat kami sering berdiskusi, baik sipil maupun militer, seperti Subchan, Harry Tjan,
Liem Bian Kie, Lukman Harun, Buyung Nasution, Maruli Silitonga, Soeripto, Anto,
Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Harsono. Juga dengan dosen saya Prof Sarbini, Prof Widjojo, Dr
Emil Salim, atau orang militer seperti Kemal Idris, Sarwo Edhie, Ali Murtopo, sedang di
Bandung dengan Ibrahim Adjie, HR Dharsono, Hasan Slamet, Suwarto .
Tentu saja, masih ada begitu banyak nama aktivis di Jakarta, Bandung dan kota kota lain yang
luput dari catatan Yosar, sebab pergerakan di tahun 1966 itu melibatkan massa generasi muda
dalam jumlah kolosal dan melahirkan begitu banyak nama tokoh pergerakan . sesudah menuliskan
daftar nama nostalgia perjuangan itu, Yosar juga mengajukan pertanyaan, namun , apakah dengan
kemenangan yang tercapai berarti perjuangan sudah selesai , Apakah perjuangan Tritura tamat
riwayatnya , .
sebetulnya , cukup banyak mahasiswa Jakarta yang sejenak sempat menganggap perjuangan‘
mereka selesai, dan kemenangan sudah tercapai, saat Soeharto dan tentara tampak makin
berperan dalam kekuasaan negara mendampingi‘ Soekarno. Kala itu tak jarang ada
kenaifan dalam memandang kekuasaan. Bagi beberapa orang, cita cita tertinggi dalam kekuasaan
yaitu bagaimana bisa turut dan bersama Soekarno selaku bagian dari kekuasaan.
Menggantikan Soekarno yang sudah diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup, hanyalah
seperti hasrat dan cinta terpendam‘, tak berani diutarakan dan ditunjukkan, dan hanya
dikhayalkan seraya menunggu kematian datang menjemput sang pemimpin. saat pada 18
Maret tak kurang dari 16 menteri Kabinet Dwikora yang disempurnakan ditangkap dengan
memakai istilah diamankan atas perintah Letnan Jenderal Soeharto berdasarkan
kewenangan selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, itu dianggap hanya sebagai bagian dari
pembersihan kekuasaan dari sisa sisa bahaya pengaruh kiri. Tak kurang dari Soeharto sendiri
selalu menyebutkan bahwa tindakan tindakan yang diambilnya berdasarkan SP 11 Maret yaitu
untuk menyelamatkan integritas Presiden yang berada dalam bahaya.
Pembubaran PKI dan penangkapan para menteri itu, seakan sudah memenuhi dua tuntutan dalam
Tritura, yaitu pembubaran PKI dan rituling Kabinet Dwikora. sedang perbaikan ekonomi,
diharapkan membaik dengan perubahan susunan kekuasaan, dan untuk jangka pendek Soeharto
mengeluarkan himbauan agar para pengusaha membantu ketenangan ekonomi nasional. Namun
apakah segala sesuatunya bisa semudah itu, Sebelum tanggal 18 Maret, saat mulai terdengar
adanya keinginan Soeharto merubah kabinet, Soekarno bereaksi dengan keras. Suatu pernyataan
tertulisnya, 16 Maret tengah malam dibacakan oleh Chairul Saleh disiarkan RRI dan TVRI yang
isinya menegaskan bahwa dirinya hanya bertanggungjawab kepada MPRS yang sudah
mengangkatnya sebagai Presiden Seumur Hidup, seraya mengingatkan hak prerogatifnya dalam
mengangkat dan memberhentikan menteri.
Jenderal Soeharto menjawabnya dengan penangkapan 16 menteri dengan tuduhan terlibat
Peristiwa 30 September dan atau PKI. Sebagian besar penangkapan dilakukan oleh Pasukan
RPKAD. Bersamaan dengan itu, diumumkan pembentukan suatu Presidium Kabinet, yang terdiri
dari enam orang, yaitu Letnan Jenderal Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam
Malik, KH Idham Chalid, Johannes Leimena dan Roeslan Abdulgani. Dalam praktek sehari hari
lalu , tiga nama yang disebutkan lebih dahulu , menjadi penentu kebijakan sebetulnya dari
Presidium Kabinet ini. Dari 18 menteri yang ditangkap, hanya 5 yang diadili, yaitu Dr
soebandrio , Drs Jusuf Muda Dalam, Mayjen Achmadi, Drs Mohammad Achadi dan Oei Tjoe
Tat SH. Sisanya, ditahan tanpa pernah diadili, mereka yaitu Dr Chairul Saleh, Ir Setiadi
Reksoprodjo, Astrawinata SH, Armunanto, Sudibjo, Drs Soemardjo, Letkol M. Imam Sjafei,
Soetomo Martopradoto, JK Tumakaka, Koerwet Kartaadiredja dan Mayjen Soemarno
Sosroatmodjo.
Penangkapan 16 orang menteri memicu kekosongan yang harus segera diisi. Untuk
sementara kekosongan itu diisi oleh Soeharto dengan mengeluarkan sebuah Keputusan
Presiden‘ atas nama Soekarno, mengenai penunjukan menteri ad interim. Ternyata lalu ,
dalam proses selanjutnya, Soeharto tidak mendesak‘ Soekarno terlalu jauh untuk mengganti
menteri menteri yang tersisa, kecuali pengisian posisi yang kosong. Meskipun posisi Soekarno
sudah jauh melemah dibandingkan dengan sebelum Peristiwa 30 September terjadi, pada
pertengahan Maret 1966 itu bagaimanapun Soekarno masih cukup kuat jika hanya untuk
sekedar bertahan.
Chairul Saleh yang terjepit dalam perubahan pertengahan Maret 1966 itu oleh para mahasiswa
Bandung digolongkan ke dalam kelompok kaum vested interest, yaitu yang memiliki
kepentingan tertanam pada suatu kondisi . Ia dinamakan orang yang anti komunis, namun
sesudah Peristiwa 30 September, ia mengikuti sikap Soekarno yang cenderung membela PKI.
Dalam masa kekuasaan Soekarno yang sering disebut masa Orde Lama waktu itu, Chairul sudah
merasa terjamin kepentingan kepentingan politis maupun kepentingan ekonomisnya, sehingga ia
mendukung statusquo. Padahal, bila ia memiliki keberanian memisahkan keterikatan
kepentingan pribadinya terhadap Soekarno, saat saat peristiwa September 1965 justru bisa
dipakai nya untuk tampil di muka rakyat sebagai pemimpin pejuang yang berkarakter seperti
pernah ditunjukkan di masa lampau pada masa mudanya.
Tanggal 16 Pebruari, Chairul Saleh malah muncul membacakan pengumuman presiden yang
mengecilkan arti Surat Perintah 11 Maret. sebab sikap politiknya yang terkesan sejajar
Soekarno itu ia akhirnya ikut diamankan‘ bersama 15 menteri lain pada 18 Maret 1966. namun
alasan penangkapan dan penahanannya, seperti dikatakan Soeharto selaku Panglima Kopkamtib,
tidak terkait keterlibatan dalam pergerakan 30 September, melainkan sebab beberapa tuduhan
pidana menyangkut penggunaan uang negara. Ia meninggal 8 Pebruari 1967 dalam usia 50 tahun
dalam tahanan, suatu kondisi yang tragis sebetulnya . Patut disayangkan bahwa Chairul Saleh
meninggal dalam tahanan, sesudah hampir setahun meringkuk, mengingat kejadian seperti ini bisa
mengesankan tidak adanya kepastian hukum dan hak hak azasi di negeri ini, seperti pernah
dipraktekkan rezim Soekarno di zaman Orde Lama , tulis Mingguan Mahasiswa Indonesia , 12
Pebruari 1967, saat memberitakan kematiannya.
Sejak soebandrio dan Chairul Saleh ditangkap, praktis Soekarno kehilangan pendamping politik
senior yang tangguh dan hanya tersisa dr Leimena. namun Leimena ini sejak 1 Oktober 1965
memperlihatkan kecenderungan memilih posisi tengah. Dia lah yang menyarankan Soekarno ke
Istana Bogor sesudah Soeharto mengultimatum sang Presiden untuk meninggalkan Halim
Perdanakusumah, yang pesannya disampaikan Soeharto melalui Kolonel KKO Bambang
Widjanarko. Sikap tengah‘ kembali ditunjukkan Leimena saat mendampingi Soekarno
menghadapi tiga jenderal Super Semar‘, pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Soeharto
cukup mengapresiasi peran peran tengah Leimena, namun di hari berikutnya , ia tak terbawa
dan ke dalam pemerintahan baru di bawah Soeharto.
Meski Soekarno kehilangan beberapa menteri setianya sebab penangkapan yang dilakukan
Soeharto, 18 Maret, waktu itu tetap dipercaya bahwa bila terhadap Soekarno pribadi dilakukan
tindakan yang berlebih lebihan‘, pendukungnya di Jawa Tengah dan juga di Jawa Timur akan
bangkit melakukan perlawanan. Fakta dan anggapan seperti ini memicu Soeharto memilih
untuk bersikap hati hati dalam menjalankan keinginan keinginannya terhadap Soekarno.
Penyusunan kembali kabinet yang dilakukan 27 Maret, dan diumumkan oleh Soekarno, yaitu
kabinet statusquo yang tidak memuaskan mereka yang menghendaki perombakan total, namun
sudah memasukkan juga orang yang diinginkan Soeharto.
Pada waktu itu, kendati PNI sudah jauh melemah dan terbelah menjadi dua kubu, toh dalam setiap
kubu masih ada tokoh kuat yang tak mungkin meninggalkan Soekarno begitu saja.
Belakangan, menjelang SU IV MPRS sampai Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, tokoh
PNI yang bukan kelompok Ali Surachman (sering diringkas Asu) menjadi lebih dekat dengan
Soekarno dan malah lebih Asu dari PNI Asu seperti dikatakan seorang aktivis 1966. Di tubuh
Angkatan Darat sendiri pun bahkan masih ada jenderal jenderal pemegang komando
teritoral yang meskipun anti komunis, namun yaitu pendukung setia Soekarno. Contoh paling
menonjol yaitu dua Panglima Kodam di wilayah yang amat dekat dengan pusat pemerintahan,
yaitu Brigjen Amirmahmud yang merangkap sebagai Pepelrada untuk Jakarta dan sekitarnya,
dan Mayjen Ibrahim Adjie yang memegang komando di wilayah hinterland Jakarta, yaitu
Kodam Siliwangi di Jawa Barat.
Di luar Angkatan Darat, Soekarno tetap memiliki dukungan kuat. Seperti contohnya , Panglima
KKO AL Mayor Jenderal Hartono. Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Muljadi, 7
Oktober 1966, memberikan penghargaan Hiu Kencana kepada Soekarno, yang bisa menunjukkan
betapa masih cukup kuatnya pengaruh Soekarno di tubuh Angkatan Laut setidaknya sepanjang
tahun 1966. Di tubuh kepolisian, ada Anton Soedjarwo Komandan Resimen Pelopor yang gigih
mendukung Soekarno dan siap membasmi semua kekuatan yang mencoba menjatuhkan
Soekarno.
Proses penyusunan Kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi itu, diakui Soeharto sendiri,
suasananya masih dalam jalur gagasan Presiden Soekarno. Dengan beberapa perhitungan,
Soeharto memilih untuk kompromistis terhadap Soekarno. Atas keinginan Soekarno, Jenderal
Abdul Harris Nasution, tak lagi diikutdan kan dalam kabinet. Dan Soeharto tidak merasa perlu
terlalu mati matian mempertahankan seniornya itu dalam pemerintahan, walau berdasar keterangan saksi Nasution
untuk kegagalan‘ itu Soeharto sengaja datang ke rumah menyatakan penyesalan. Namun, dalam
suatu proses yang berlangsung dengan dukungan kuat dari bawah, dari kelompok kelompok
yang makin terkristal sebagai kekuatan anti Soekarno, Nasution memperoleh posisi baru sebagai
Ketua MPRS dalam Sidang Umum IV MPRS Juni 1966.
lalu hari, Soeharto ternyata menikmati‘ juga kehadiran Nasution di MPRS, yang dimulai
dengan pengukuhan mandat bagi Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret, yang
umum diringkas sebagai Super Semar, yang mengacu kepada nama tokoh pewayangan Semar,
punakawan kaum Pandawa, yang titisan dewa. Semar memiliki tiga putera yaitu Bagong, Petruk
dan Gareng. Di antara ketiga putera ini, yaitu Petruk yang paling terkemuka sebagai simbol
kelemahan insan di dunia. saat sempat sejenak menjadi raja, sebagai ujian, ia menjalankan
kekuasaannya dalam kondisi benar benar mabok‘. Ungkapan Petruk Dadi Raja‘, secara
empiris berkali kali terbukti sebagai cerminan perilaku manusia negara kita saat berkesempatan
menjadi penguasa.
“Apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan dengan
apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini
dengan sadar „melakukan‟ pembagian misi untuk pencapaian pencapaian posisi politik
sekaligus pencapaian posisi keberhasilan „fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan
apa yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti
Sjahrir dan kawan kawan, dan Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang
(setidaknya sampai 1974) ada dalam posisi „melawan‟ terus menerus, sebelum akhirnya
sempat turut masuk ke dalam kekuasaan sesudah Soeharto atau dunia kepartaian…”.
SIKAP Soeharto lalu berubah menjadi sangat taktis dan kompromistis terhadap Soekarno,
justru sesudah ia menjadi pengemban Surat Perintah 11 Maret dan meningkat dengan pengukuhan
suatu Tap MPRS. Ini mengecewakan beberapa aktifis generasi muda yang sejak Januari 1966
bahkan sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966 sebetulnya menjadi ujung tombak pergerakan
yang sengaja atau tidak sudah menciptakan begitu banyak kesempatan kekuasaan bagi Soeharto.
Namun ada situasi mendua, tepatnya pembelahan, di dalam tubuh aktivis pergerakan generasi
muda sesudah 11 Maret 1966. Sebagian mulai terlibat ancang ancang masuk dalam barisan
Soeharto terutama melalui beberapa jenderal atau jenderal politisi maupun politisi sipil di
lingkungan Soeharto untuk turut dan dalam kekuasaan praktis, baik itu masih berupa sharing
dengan Soekarno maupun lalu pada waktunya sepenuhnya tanpa Soekarno lagi. Mungkin
dalam kelompok ini dapat dimasukkan aktivis aktivis seperti dua bersaudara Liem Bian Koen
dan Liem Bian Kie yang memiliki kedekatan khusus dengan Ali Moertopo dan kawan kawan yang
sejak awal berada di lingkaran Soeharto. Belakangan akan bergabung nama nama seperti
Cosmas Batubara tokoh KAMI yang paling legendaris di tahun 1966 dan Abdul Gafur. Ini
semua bisa dikaitkan dengan fakta bahwa saat Soeharto memilih untuk bersikap lebih
taktis, secara diam diam seperti yang digambarkan John Maxwell (2001), Soeharto mengambil
langkah langkah di balik layar untuk melakukan misi yang sulit, yaitu merehabilitasi
perekonomian negara kita yang sekarat dan mengganti kebijaksanaan luar negeri Soekarno yang
penuh petualangan dengan mengakhiri kampanye konfrontasi.
Untuk tujuan yang lebih pragmatis, pada saat yang sama, Soeharto segera bergerak menggalang
dukungan politik di dalam dan di luar tubuh militer . Pembersihan dilakukan di dalam tubuh
angkatan bersenjata, khususnya di tubuh Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan
Kepolisian yang paling kuat mendukung Soekarno. Proses yang sama dilakukan di semua tingkat
birokrasi pemerintahan di bawah pengawasan aparat sosial politik tentara. Dalam rangka
konsolidasi di tubuh angkatan bersenjata, ada yang dirangkul ada yang diringkus, atau dirangkul
dahulu lalu diringkus. Brigjen Soedirgo, Komandan Korps Polisi Militer, yaitu salah satu contoh
dari pola dirangkul lalu diringkus‘. Soedirgo yang sebelum peristiwa tanggal 30 September
1965, pernah memperoleh perintah Soekarno untuk menindaki jenderal jenderal yang tidak loyal,
sempat diberi posisi puncak di pos intelijen selama beberapa lama, sebelum akhirnya dijebloskan
ke dalam tahanan di tahun 1968.
Kelompok yang paling cepat meluncur kepada tahap mengakhiri kekuasaan Soekarno dengan
segera yaitu terutama kelompok mahasiswa di Bandung biasanya , yang sejak awal
terjadinya Peristiwa 30 September, menunjukkan sikap anti Soekarno, bukan sekedar anti
komunis, yang makin menguat hanya dalam tempo enam bulan hingga Maret 1966. Secara
historis, sikap anti Soekarno ini bahkan sudah ada bibitnya masih pada zaman Nasakom.
Kekuatan mahasiswa Bandung terutama ada pada organisasi organisasi intra kampus, dengan
tiga kampus utama sebagai basis, yaitu ITB dan Universitas Padjadjaran lalu Universitas
Parahyangan. Dan satu lagi, yang berbeda dengan kampus utama lainnya, yaitu IKIP, yang
secara tradisional student government nya tanpa jedah didominasi oleh HMI. Sementara itu di luar kampus, ada kelompok kelompok mahasiswa yang memiliki peran dalam pergerakan mahasiswa. namun yang khas yaitu bahwa mereka, meskipun sering bergerak di luar pagar kampus, tetap memiliki aspirasi yang sama dan bahkan memperkuat aspirasi intra kampus. Banyak dari mereka, selain bergerak di luar malahan juga yaitu aktivis intra kampus, namun tidak membawa bawa bawa nama kelompoknya di luar dalam kegiatannya di kampus sehingga tidak menghadapi resistensi di kampus. Salah satu kelompok yang terkenal yaitu kelompok Bangbayang. Lainnya yaitu kelompok Kasbah dan kelompok Masjid Salman ITB. Di luar itu, ada Rahman Tolleng dan kawan kawan yang lalu sesudah terbitnya Mingguan Mahasiswa Indonesia (mulanya sebagai edisi Jawa Barat) 19 Juni 1966 menjelma menjadi satu kelompok politik tangguh dan dinamakan Kelompok Tamblong Dalam sesuai nama jalan tempat kantor mingguan itu berada. Pada kelompok Tamblong ini bergabung beberapa tokoh mahasiswa intra kampus maupun ekstra kampus, mulai dari organisasi organisasi yang tergabung dalam Somal, Damas (Daya Mahasiswa Sunda), Mapantjas, PMKRI sampai GMNI Osa Usep, dan aktivis mahasiswa independen lainnya. Aktivis dari HMI dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiah) hanya satu dua yang terselip di sini. Dalam kelompok Bangbayang ada campuran‘ aktivis dengan catatan sepak terjang yang beraneka ragam dengan keterlibatan dalam beberapa peristiwa politik penting. Ada tokoh
seperti Dedi Krishna, Tari Pradeksa, Muslimin Nasution, Qoyum Tjandranegara, yang terlibat
Peristiwa 10 Mei 1963 dan berbagai peristiwa di ITB dan sebagainya. Nama lain dalam
kelompok ini yang umumnya yaitu mahasiswa ITB yaitu Roedianto Ramelan, Anhar Tusin,
Fred Hehuwat, Riswanto Ramelan, Santoso Ramelan, Zainal Arifin, Indra Abidin, Bernard
Mangunsong, Irwan Rizal, Utaryo Suwanto, Andi Sjahrandi dan lain lain. Yang dari Universitas
Padjadjaran yaitu Parwito Pradotokusumo dan beberapa nama lain. Sampai bertahun tahun
lalu kelompok Bangbayang ini masih ada dengan nama Persaudaraan Bangbayang dengan
ratusan anggota‘ yang masih sering berkomunikasi satu sama lain.
Kelompok ini, melalui beberapa anggota‘nya, memiliki persinggungan dengan berbagai
kelompok politik, seperti kelompok PSI (Jalan Tanjung), kelompok perwira militer idealis yang
berperanserta pada masa peralihan Orde Lama Orde Baru, juga dengan intelijens AD, dan kelompok
politik Islam dari Masjumi. Namun dengan segala persentuhan itu, Bangbayang tetap termasuk
dalam kelompok mahasiswa independen. Melalui Muslimin Nasution, Bangbayang memiliki
titik singgung dengan kelompok (Islam) Masjid Salman (dan HMI). Dan sebab kebersamaan
dalam Peristiwa 10 Mei 1963, memiliki titik singgung dengan mahasiswa GMNI Ali
Surachman, Siswono Judohusodo (Barisan Soekarno Bandung, 1966). Secara geografis‘
Bangbayang bertetangga dengan kelompok mahasiswa Islam Kasbah‘. Anggota kelompok
Kasbah ini, umumnya yaitu mahasiswa berketurunan Arab seperti Ridho, mahasiswa
Universitas Padjadjaran dan sebab itu memperoleh nama Kasbah, suatu wilayah tersohor di ibukota Marokko. Kebanyakan dari mereka yaitu anggota HMI dari aliran garis keras ‘, berbeda dengan aktivis Salman ITB yang yaitu Islam independen‘ atau anggota HMI beraliran
moderat. Sebagai barisan mahasiswa pergerakan 1966, Bangbayang memiliki berbagai akses kemudahan. Di situ ada Aburizal Bakrie putera Achmad Bakrie (pengusaha yang banyak berkontribusi kepada pergerakan mahasiswa 1966), ada keponakan tokoh militer konseptor AD (Seminar AD I/II) Mayjen Soewarto, ada putera Mayjen Kemal Idris, ada kedekatan dengan Soedarpo dan sebagainya. Hal yang menarik dari kelompok Bangbayang ini yaitu ada nya seperti
pembagian misi tidak resmi secara internal, yaitu kelompok pemikir yang terdiri dari tokoh
tokoh pergerakan mahasiswa senior dan kelompok pelaksana lapangan yang bisa bergerak
bagaikan pasukan tempur yang umumnya terdiri dari kalangan mahasiswa yang lebih junior.
Selain itu ada juga istilah baduy dalam‘ dan baduy luar‘, seperti yang dituturkan Utaryo
Suwanto. Baduy dalam yaitu untuk mereka yang tinggal bersama dalam satu rumah di Jalan
Bangbayang yang kepemilikannya ada hubungannya dengan orangtua Roedianto Ramelan. Sedang istilah baduy luar dikenakan terhadap mereka yang sehari hari dalam kegiatan bergabung dengan kelompok ini , namun bermukim di luar rumah bersama‘ di Bangbayang. sesudah Soekarno, pada masa awal Orde Baru, Bangbayang berbeda sikap dengan kelompok
mahasiswa (independen) Bandung lainnya (Tamblong Dalam) mengenai masuknya wakil
mahasiswa ke parlemen (yang ingin melakukan struggle from within’). Kelompok Bangbayang
ini setidaknya yang terlihat pada permukaan memilih untuk lebih cepat meninggalkan kancah
politik praktis sesudah 1966 dan masuk ke dunia profesional. Mereka antara lain mengintrodusir
proyek padi unggul Sukasono di Garut. Cepat mendorong anggota‘nya back to campus untuk
menyelesaikan kuliah, dan segera terjun ke bidang profesional seperti dunia bisnis dan
pemerintahan. Muslimin Nasution masuk Bulog dan Departemen Koperasi, beberapa lainnya
masuk ke berbagai departemen bidang profesional seperti Pertambangan, Perindustrian,
Perbankan dan beberapa BUMN atau perusahaan perusahaan swasta dan kelak menduduki
posisi posisi cukup penting dan mencapai sukses di tempat tempat ini . Kelompok Tamblong sementara itu, memilih untuk lebih dalam menerjunkan diri ke medan politik praktis,
baik di DPR maupun organisasi politik seperti Golkar. Sedikit perkecualian dari Bangbayang
yaitu Rudianto Ramelan yang banyak bersinergi dengan kelompok Tamblong dan untuk
beberapa waktu melakukan struggle from within’.
mungkin apa yang terjadi pada kelompok independen dari Bandung ini bisa dibandingkan
dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok HMI. Kelompok yang disebut terakhir ini
dengan sadar melakukan‘ pembagian misi untuk pencapaian pencapaian posisi politik sekaligus pencapaian posisi keberhasilan fund forces’. Perlu juga pembandingan dengan apa
yang dilakukan beberapa kelompok independen atau non HMI di Jakarta, seperti Sjahrir dan
kawan kawan, dan Marsillam Simanjuntak yang untuk jangka panjang (setidaknya sampai
1974) ada dalam posisi melawan‘ terus menerus, sebelum akhirnya sempat turut masuk ke
dalam kekuasaan sesudah Soeharto atau dunia kepartaian seperti yang dilakukan Sjahrir.
Sikap yang serupa mengenai Soekarno sesudah 11 Maret 1966 dengan kelompok kelompok
mahasiswa Bandung itu, di kalangan mahasiswa dan aktivis Jakarta, selain oleh Marsilam
Simanjuntak dan kawan kawan, juga ditunjukkan contohnya oleh orang seperti Soe Hokgie,
Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution. Dalam skala politis yang lebih terkait dengan
aspek kepartaian, sikap kritis terhadap Soekarno itu sejak dini juga sudah terlihat pada tokoh
tokoh seperti Harry Tjan dari Partai Katolik dan Subchan Zaenuri Erfan dari Partai Nahdatul
Ulama. Kontingen Mahasiswa Bandung yang sudah berada di Jakarta sejak 25 Pebruari, mengakhiri keberadaannya di Jakarta dan kembali ke Bandung 23 Maret 1966. namun antara 12 Maret hingga saat kepulanganya ke Bandung, mahasiswa mahasiswa Bandung sempat ikut dan
dalam beberapa aksi bersama mahasiswa Jakarta yang waktu itu terfokus kepada pembersihan
lanjutan terhadap Kabinet Dwikora yang disempurnakan, sesudah penangkapan 16 Menteri. Meski tak selalu menyebutkan nama Soekarno secara langsung banyak serangan‘ yang dilakukan mereka tertuju kepada berbagai tindakan politik Soekarno. Salah satu kegiatan
Kontingen Bandung ini yang menonjol yaitu membangun Radio Ampera, yang dilaksanakan
oleh Anhar Tusin, Santoso Ramelan dan kawan kawan yang berasal dari group Bangbayang.
Lokasi pemancar ini semula di kampus UI Salemba tempat Kontingen Bandung berada selama di Jakarta. Namun saat ada isu kampus UI akan diserbu 25 Pebruari, pemancar itu di bawa ke rumah Ir Omar Tusin kakak Anhar selama dua hari untuk lalu dipindahkan ke rumah
Mashuri SH yang letaknya tak jauh dari rumah Soeharto di Jalan H. Agus Salim. keikutsertaan Soe Hokgie dan kakaknya Soe Hokdjin belakangan dikenal dengan nama barunya, Arief Budiman menyajikan naskah bagi Radio Ampera yang sasarannya tajam tertuju kepada Soekarno, sudah memberi warna tersendiri dalam pergerakan mahasiswa di Jakarta. Kegiatan Radio Ampera ini, sejak pertengahan Maret berangsur angsur dipindahkan ke Jawa
Tengah (Magelang dan sekitarnya), sebab menganggap daerah itu perlu memperoleh penjelasan penjelasan mengenai kesalahan kesalahan yang sudah dilakukan pemerintahan Soekarno sehingga diperlukan koreksi koreksi. Belakangan, suatu pemancar radio serupa yang lebih kecil disimpan di Surabaya yang dititipkan pengelolaannya ke beberapa aktivis KAMI Surabaya, Buchori Nasution dan kawan kawan. Pemancar yang ditempatkan di Jawa Tengah disumbangkan oleh RPKAD, berkekuatan 400 watt yang bisa menjangkau ke barat ke arah Sumatera dan ke timur hingga pulau Bali. beberapa aktivis eks Kontingen Bandung bergantian menyelenggarakan siaran di Magelang hingga 31 Desember 1966, seperti Thojib Iskandar, Arifin Panigoro, Bernard Mangunsong dan kawan kawan. Penjaga‘ tetap pemancar di Magelang ini yaitu Tari Pradeksa. Sementara itu di Bandung ada beberapa pemancar radio yang didirikan dan dikelola oleh para mahasiswa. Ada Radio ITB yang dikelola para mahasiswa ITB. Ada juga Radio Mara yang amat terkenal pada masa masa pergerakan mahasiswa di tahun 1966 dan berfungsi sebagai penghibur sekaligus pemberi spirit bagi pergerakan mahasiswa. Radio Mara didirikan dan diasuh oleh kelompok mahasiswa seperti Mohammad S. Hidajat, Bawono, Atang Juarsa, Harkat Somantri dan kawan kawan. Beberapa perwira Siliwangi, termasuk Mayjen HR Dharsono, sering kali ikut melakukan siaran dengan memakai nama samaran Bang Kalong. Radio itu sampai sekarang masih eksis.
“Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat rapat keinginannya mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga mengetahui bahwa Soeharto memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu
saat saat demi saat saat sudah membuka peluang peluang untuk itu bagi dirinya.
sering kali Soeharto berbasa basi menyatakan bahwa ia tak memiliki ambisi, namun melalui
kata kata bersayap tak jarang juga ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia yaitu seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan
hanya bertindak sesudah percaya mengenai apa yang akan dicapainya”.
mahasiswa Bandung sesudah Surat Perintah 11 Maret, bukannya tanpa masalah. Hasjroel
Moechtar, dalam bukunya ‘Mereka dari Bandung’ (1998), menggambarkan adanya perubahan
iklim dan situasi. KAMI tanpa terasa sudah tumbuh sebagai suatu kekuatan atau lembaga
kemahasiswaan yang formal . Keberadaannya sebagai suatu organisasi mulai tampil menyerupai
sebagai suatu instansi resmi. Sifat sifat dan watak perjuangannya yang semula tampak spontan, tidak resmi resmian, agaknya mulai mengalami perubahan. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret, lalu dibubarkannya PKI, menempatkan KAMI dan dengan sendirinya juga mahasiswa sebagai pemenang. Ada prosedur, ada protokol, ada upacara, ada hirarki, pokoknya ada birokrasi‘
organisasi . Dengan anggapan diri sebagai pemenang, setiap organisasi mahasiswa yang tergabung di dalamnya, mulai mengambil ancang ancang untuk memperjelas posisi dan peran nya dalam KAMI Bandung. Mulai muncul gejala tuntutan pembagian peran . Mulai juga kelihatan munculnya pengelompokan di antara ormas ormas mahasiswa dalam versi baru . Dengan nada tajam penuh kecaman, Hasjroel mengatakan tanpa disadari KAMI sudah muncul sebagai kekuatan masyarakat yang ikut berkuasa‘ atau setidak tidaknya memiliki pengaruh sebagaimana alat alat kekuasaan yang lainnya. kondisi atau gejala itu sangat jauh berbeda dari situasi yang dihadapi pada tanggal 5 Oktober 1965 saat mahasiswa Bandung yang anti komunis melancarkan aksi pertama kalinya. Waktu itu, setiap pimpinan mahasiswa saling menunjuk rekannya yang lain untuk tampil memimpin aksi mengganyang PKI. Bahkan banyak dari mereka dengan berbagai alasan takut takut dan menunda atau bahkan tidak mau menandatangani pernyataan yang menolak Dewan Revolusi tanggal 1 Oktober 1965 saat Letnan Kolonel Untung mengumumkannya melalui siaran Radio Republik Indonesia . Kembalinya Kontingen Bandung dari Jakarta, sesudah Peristiwa 11 Maret 1966, seakan mengikuti
naluri‘ saja, sebab memang tampaknya pergerakan berdasarkan idealisme semata pun sudah berakhir. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Erna Walinono bahwa pada dasarnya kebanyakan mahasiswa Bandung bergerak berlandaskan kepercaya an sebagai pergerakan moral dan bukan pergerakan politik. Lalu, sebagian besar mahasiswa dengan cepat beralih kepada pergerakan pergerakan kemasyarakatan seperti pergerakan anti korupsi. Bahwa mahasiswa mahasiswa Bandung
dengan ciri pergerakan moral ini seterusnya terlibat juga dalam pergerakan menjatuhkan‘ Soekarno hingga setahun ke depan, agaknya tak bisa dilepaskan dari sikap perlawanan terhadap
ketidakadilan, sikap a demokratis dan otoriter dari kekuasaan Soekarno. Tidak dalam konotasi
politik untuk memperjuangkan tegaknya kekuasaan Soeharto. namun berdasar keterangan saksi Erna, hingga sejauh itu, mahasiswa memang masih menaruh kepercayaan kepada tentara terutama yang direpresentasikan oleh tokoh seperti HR Dharsono, Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo. Agaknya kala itu mayoritas mahasiswa belum melihat adanya detail‘ yang berbeda dalam tubuh tentara, bahwa tidak seluruh perwira tentara seperti ketiga tokoh yang mereka
kagumi saat itu. Merupakan juga fakta lalu pada sisi yang lain, sesudah lahirnya Surat Perintah 11
Maret, tahap idealisme memang sudah bergeser memasuki tahap yang lebih pragmatis
menyangkut posisi kekuasaan. Secara umum sesudah itu memang praktis pergerakan pergerakan fisik yang bermakna idealisme mulai menyurut untuk pada saatnya nanti akan berakhir, yang sekaligus menandai surut dan berakhirnya KAMI. pergerakan pergerakan yang terjadi lalu ,
jika pun melibatkan mahasiswa atau generasi muda, sudah dalam konotasi berbeda, yaitu lebih
cenderung kepada kepentingan politik praktis, terutama ekstra universiter yang mengikuti
ideologi organisasi induknya. Atau setidaknya, sudah terbalut dengan kepentingan politik praktis
dalam rangka penentuan akhir posisi dalam kekuasaan negara. Bahkan di lingkungan HMI yang semestinya lebih independen, terlihat kecenderungan mencari‘ induk politik, yang nampaknya waktu itu akan terpenuhi dengan mulai munculnya kabar mengenai adanya keinginan menghidupkan kembali Masjumi yang dibubarkan Soekarno pada era Nasakom.
Kala itu, kekuasaan di negara kita seolah olah memiliki matahari kembar yang menciptakan
dualisme. Di satu pihak ada Soekarno yang oleh para pendukungnya ingin tetap dipertahankan
untuk lalu dikembalikan ke posisi semula. Para pendukung ini tidak memiliki bayangan
apapun mengenai kekuasaan tanpa Soekarno. Soekarno tanpa kekuasaan mutlak menjadi
pengalaman baru yang menakutkan mereka. PNI yang terbelah pun seakan kembali mulai
menyatu dalam kepentingan bersama mempertahankan Soekarno, dengan PNI Osa Usep sebagai pembawa bendera sebab diterima oleh mahasiswa anti Soekarno dan partai partai bukan kiri. Pada pihak lain beberapa kaum intelektual di Jakarta, terlepas dari suka atau tidak suka secara pribadi kepada Soeharto, melihat kehadiran Soeharto sebagai suatu peluang untuk suatu perubahan, tepatnya pembaharuan tata kekuasaan negara. Soeharto yang dianggap muncul sebagai fenomena dari historical by accident yaitu realitas objektif dan alternatif satu satunya untuk saat itu bila berbicara mengenai perubahan kekuasaan. Memang masih ada figur Jenderal AH Nasution, namun saat saat demi saat saat yang lepas sejak 1 Oktober 1965 hingga Maret 1966, menjauhkannya dari peluang. Apalagi, pada waktu bersamaan, di sekeliling Soeharto sudah muncul dengan cepat suatu lingkaran kuat yang semakin mengental dengan tujuan akhir
menjadi Soeharto sebagai pemimpin nasional berikutnya sesudah Soekarno, cepat atau lambat.
Posisi Soeharto dalam kaitan keinginan kaum intelektual yang ingin menginginkan pembaharuan
kekuasaan, maupun dalam kaitan keinginan lingkaran politik di sekitar Soeharto, yaitu sebagai
objek atau alat. namun sebaliknya Soeharto juga memperalat mereka yang menginginkan
perubahan itu, untuk mewujudkan keinginannya sendiri yang sudah tumbuh, baik dari hasrat
pribadinya secara manusiawi, maupun sebab penciptaan situasi dan kondisi yang cukup cerdik
dari lingkaran politik sekelilingnya.
Terlihat bahwa beberapa kelompok mahasiswa yang tadinya merupakan satu kesatuan besar
lintas asal ideologis maupun sebagai campuran pergerakan intra kampus dan ekstra kampus
berangsur angsur kembali ke sarangnya masing masing. Organisasi ekstra kembali ke partai
induk ideologisnya, sementara mahasiswa intra kembali ke dalam kehidupan yang lebih
memperhatikan dan terkait dengan kampusnya. Sementara itu, di antara kutub kutub arus balik
itu ada beberapa kelompok mahasiswa non ideologis, dan beberapa cendekiawan yang
lebih senior, yang untuk sebagian disebut kelompok independen yang berasal dari berbagai
sumber, terjun ke suatu pergulatan baru untuk merombak dan memperbaharui struktur politik
lama. Dalam satu garis logika dan konsistensi, pertama dengan sendirinya berarti
mengakhiri kekuasaan Soekarno sebagai representan utama struktur politik lama. Tahap
berikutnya, tentu saja menyangkut pembaharuan kehidupan kepartaian. Justru dilemanya, yaitu
bahwa dalam rangka kepentingan mengakhiri kekuasaan Soekarno, sebagian kekuatan partai itu
diperlukan sebagai faktor, terutama dari sudut kepentingan Soeharto. namun suatu toleransi
untuk memberi peran kepada partai partai ideologis dari struktur lama itu, pada akhirnya
hanya akan menghasilkan sekedar penggantian pemegang peran di panggung politik dan tidak
menciptakan suatu sistim dan praktek politik baru yang rasional. Sekedar mengganti pelaku di
atas panggung untuk permainan buruk yang sama.
Sadar atau tidak sadar, tak bisa dihindari bahwa gagasan pembaharuan politik dengan konotasi
pertama mengganti Soekarno, dalam banyak hal berimpit dalam suatu wilayah abu abu
antara idealisme gagasan kaum intelektual dengan strategi penyusunan kekuasaan dari kelompok
politik Soeharto yang terdiri dari campuran tentara dan cendekiawan sipil. namun kelompok non
ideologis yang independen pada akhirnya lebih banyak berjalan sejajar dengan beberapa perwira
militer anti komunis yang digolongkan sebagai kelompok perwira idealis atau kelompok perwira
intelektual. Termasuk paling menonjol dari barisan perwira idealis ini yaitu Mayor Jenderal
Hartono Rekso Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat dari Kepala Staf
menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi. Perwira idealis lainnya yaitu
Mayjen Kemal Idris dan Mayjen Sarwo Edhie Wibowo. Tak ada jenderal lain yang begitu dekat
dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka,
sehingga kadangkala kepopuleran Sarwo Edhie dan HR Dharsono contohnya melebihi kepopuleran
Soeharto saat itu, apalagi saat Soeharto lalu terlalu berhati hati dan taktis menghadapi
Soekarno sehingga di mata mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Kepopuleran tiga jenderal
ini lalu juga menjadi seperti bumerang bagi karir mereka selanjutnya. Melalui suatu
proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari posisi posisi strategis dalam
kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama sekali. Bagi para mahasiswa yang sangat dinamis dan menghendaki perubahan cepat, sikap alon alon
waton klakon dan mikul dhuwur mendhem jero Soeharto seringkali tak bisa dipahami. Dalam
banyak hal perwira perwira intelektual ini berbeda gaya dengan Soeharto dalam menghadapi
Soekarno. Kelompok idealis ini lebih to the point dalam menyatakan ketidakpuasan mereka
terhadap Soekarno dan tidak menyembunyikan keinginan mereka untuk mengganti Soekarno
secepatnya. Terminologi yang mereka gunakan lebih lugas, jarang mengangkat istilah istilah dari
perbendaharaan tradisional, khususnya dari khasanah kultur Jawa. Mereka memakai kata
kata yang tegas dan dinamis seperti pendobrakan, pengikisan, diikuti terminologi yang
mencerminkan keinginan akan perubahan seperti perombakan atau restrukturisasi dan
pembaharuan total, terhadap sistem dan struktur politik contohnya . Pernyataan pernyataan yang
memperlihatkan keinginan mengganti Soekarno bukan hal yang tabu untuk diucapkan.
Sebaliknya, Soeharto dengan gaya khas Jawa menyembunyikan rapat rapat keinginannya
mengganti posisi Soekarno. Namun dari bahasa tubuh, semua pihak juga mengetahui bahwa Soeharto memendam keinginan menjadi Presiden berikut menggantikan Soekarno, apalagi saat itu
saat saat demi saat saat sudah membuka peluang peluang untuk itu bagi dirinya. sering kali
Soeharto berbasa basi menyatakan bahwa ia tak memiliki ambisi, namun melalui kata kata bersayap tak jarang juga ia menggambarkan kepatuhannya terhadap kehendak rakyat dan tuntutan situasi. Ia yaitu seorang dengan kesabaran yang luar biasa, dan hanya bertindak sesudah percaya mengenai apa yang akan dicapainya. Tak mudah ia tergoda menerkam setiap peluang yang muncul. (Sumber: Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2006) “Peristiwa 30 September 1965 memang yaitu sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa negara kita ”. Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan
ketegangan dan pergesekan kronis”. lumuran darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara ini, tak terkecuali pada masa negara kita merdeka dalam sejarah negara kita modern. Tepat pada tahun keduapuluh negara kita merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh pergerakan 30 September, yang terutama terkait dengan beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa sisa kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini. Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar dari masa sebelum negara kita merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan politik sipil ideologis dan kekuatan politik‘ angkatan bersenjata. Melibatkan demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing masing yang tak lain bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung petarung dalam perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dahulu , namun pada saat sang pemenang surut sebab waktu, maupun kalah dalam pertarungan kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh
saat saat untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.
Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin akan lebih bermakna, sepanjang mereka
berkesempatan memperoleh dan menggali informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam sebab pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak
terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal sebab pertalian darah dan
pertalian kepentingan yang diwariskan.
Terlepas dari apapun pemicunya dan siapa pelakunya, peristiwa berdarah yang terjadi lebih
dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah negara kita merdeka. Melihat kualitas peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan kekuasaan yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua perwira menengah di Jawa Tengah bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai lembaran paling hitam sejarah negara kita hingga sejauh ini. Apalagi, sesudah pembunuhan keji itu terjadi, menyusul juga rentetan pembunuhan massal siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun terhadap beberapa orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih. Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu, ada apa dengan bangsa ini sebetulnya , Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda di Bandung hanya tiga tahun sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mewakili jalan pikiran beberapa intelektual muda kala itu, media itu mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini, Peristiwa 30 September 1965 memang yaitu sebuah peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa negara kita . Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis . Sebuah peristiwa yang merupakan
resultante dari kontradiksi kontradiksi yang ada secara objektif dalam masyarakat kala itu,
yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke masa masa berikutnya, hingga kini. fakta menunjukkan bahwa dalam rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran ini , kontradiksi kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat negara kita , yang berakar dari beberapa faktor disintegrasi yang belum juga tersembuhkan. sesudah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira menengah dalam Peristiwa 30 September
1965, terjadi gelombang pembalasan. Di mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan
pembakaran Universitas Res Publica (belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti),
sepanjang Oktober hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap kantor kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, namun juga menjalar ke kota kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota kota besar itu umumnya, hanya menyangkut asset, terutama
kantor kantor milik organisasi kiri, dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia.
jika pun ada tindakan terhadap anggota anggota organisasi kiri, yaitu sebatas meringkus‘
untuk selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat. saat para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi aksi penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. berdasar keterangan saksi Soeripto SH, aktivis mahasiswa tahun 1960 an, sepengetahuan saya, Soeharto waktu itu memberi perintah, semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh . Kebetulan politbiro PKI saat itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah juga sebabnya banyak tokoh PKI yang merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah menegur.
tahap berdarah babak kedua
RPKAD yang sudah merampungkan misi di Jakarta, memperoleh misi lanjutan untuk melakukan
penyisiran untuk menangkap tokoh PKI dan organisasi onderbouwnya terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, lalu lalu di Bali. namun bersamaan dengan itu terjadi juga satu
gelombang pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan
organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam rangkaian
kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah darah. Berlangsung secara horizontal,
terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh beberapa organisasi massa dalam
kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah
seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan dan secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa
Barat. Bila yang terjadi di kota kota besar yaitu tindakan fisik terhadap kantor kantor
organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan
mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di daerah
daerah yaitu malapetaka sosiologis.
Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka sosiologis yang terjadi, gelombang
pembalasan yang paling parah di pulau Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Di Jawa Tengah, dan juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi
organisasi massa yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI
merupakan partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok
komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama yaitu Pemuda Marhaenis,
dan memperoleh bantuan dari pemuda pemuda Islam seperti dari Barisan Ansor Serbaguna.
Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis versus kelompok non komunis,
kekuatan utama non komunis yaitu massa NU, terutama dari Banser, yang di beberapa tempat
seperti Banyuwangi didukung oleh Pemuda Marhaenis.
Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang terjadi terutama antara PKI dan PNI,
mulai dari posisi posisi di badan badan perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan.
berdasar keterangan saksi tokoh GMNI Siswono Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani
menghadapi aksi aksi keras PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan
kalangan dunia usaha di Jawa Tengah biasanya yaitu pendukung pendukung PNI,
sementara para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang lebih
miskin, biasanya yaitu pengikut pengikut PKI. saat BTI melakukan aksi aksi sepihak
dalam rangka UUPA terhadap tanah tanah yang dianggap milik para tuan tanah dan para petani
kaya, yang terkena biasanya yaitu pengikut pengikut PNI. Dan saat SOBSI tak
henti hentinya menjalankan aksi aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok
majikan‘ yang umumnya yaitu warga PNI.
tokoh PNI, seperti contohnya Hardi SH pernah mengadu langsung mengenai sikap provokatif
dan agresif massa PKI terhadap PNI dan kepentingan kepentingannya di Jawa Tengah, namun
Soekarno selalu balik mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam
Nasakom. PKI Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan sudah melakukan serangan
serangan politik kepada PNI. PKI juga berkali kali melakukan serangan serangan politik yang
menggoyang para bupati yang kebetulan yaitu dari kalangan simpatisan PNI. Sikap tanpa
tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun sudah mengakumulasi
kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput hingga ke elit PNI di daerah
ini . Hal lain yang menjadi fenomena menarik di Jawa Tengah ini yaitu bahwa di beberapa
daerah, banyak kalangan tentara dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama
dan dalam banyak peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya
menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi organisasi mantelnya seperti
BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, beberapa perwira berhaluan komunis
pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih kendali komando Kodam untuk seberapa
lama.
Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964, sebagaimana dilaporkan oleh sebuah
tim peneliti dari Universitas Gajah Mada, seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan
Pertahanan Rakyat) terlibat melakukan misi pengawalan saat BTI membantu seorang petani
menggarap kembali sawahnya yang pernah dijualnya dan bahkan sudah dikalahkan di
pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan kata kata
Teruslah kalian mengerjakan sawah. jika ada orang PNI datang biar saya tembak mereka .
Banyak Puterpra, terutama di kabupaten kabupaten yang Komandan Kodim nya yaitu perwira
berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora melakukan pelatihan
pelatihan kemiliteran secara intensif di desa desa yang didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda
Rakyat. Bahkan ada beberapa desa yang sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis
sehingga tak mungkin ada yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan . Beberapa
desa memiliki persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah
menjalani latihan militer
“keikutsertaan sebagai pembantai bahkan sering kali dianggap seperti misi suci oleh
beberapa anak muda belasan tahun . „Seorang teman sekolah saya di SMA, sering
bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada tengah malam sebelumnya‟, kata Sjahrul.
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur
angsur menjadi tidak wajar”.
sesudah Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober dinihari, setengah jam sebelum Halim
Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD, Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi kekuasaan
oleh Soekarno, berangkar ke Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut
dalam percaturan 1 Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di wilayah
Jawa Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI. Bertepatan dengan kehadiran Aidit di
Jawa Tengah, 2 Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan
Kolonel Sugijono diculik lalu dibunuh. Adanya penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan
bahwa selain Jakarta, situasi Jawa Tengah dan Yogyakarta juga cukup krusial. Faktanya
memang, bahwa di Jawa Tengah ini PKI lebih bersikap agresif, sebab memang cukup kuat. PKI
di wilayah itu yang dominan‘ dalam opini dan kegiatan politik yang aktif selama periode
Nasakom dan hanya diimbangi oleh PNI sesudah Peristiwa 30 September merasa dihadapkan
kepada suatu situasi dengan pilihan lebih dahulu membantai atau dibunuh . Dan sebab itu, pada sisi
sebaliknya pada kelompok non komunis juga berlaku pilihan serupa.
Dalam laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen, terlihat bahwa sejak awal
Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk mendahului bertindak. Mereka melakukan
pembantaian besar besaran dalam skala ratusan korban, yang memicu juga ratusan tokoh
PNI dan NU dan massa mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri. Dapat
dikatakan suasana dibunuh atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai
Nopember, dengan korban cukup banyak pada kedua belah pihak. berdasar keterangan saksi laporan penelitian
itu, massa PKI juga sempat melakukan gerakan gerakan ‘ atas camat Manisrenggo dan merebut senjata yang
ada di kantor kecamatan.
Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, saat orang PKI menculik dan menawan banyak
tokoh PNI dan anggota organisasi non komunis lainnya, maka terjadi juga usaha
membebaskan dengan menyerbu desa desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. sebab
adanya suasana balas membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi
bahwa di tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa,
sering kali terjadi salah bantai, dan tak kurang juga ekses berupa pemanfaatan situasi balas
dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang sama sekali tak ada kaitannya
dengan masalah ideologi dan politik.
Tercatat juga keterlibatan anggota anggota KKO AL (Korps Komando Angkatan Laut) sebagai
perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah
dituturkan seorang perwira KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe yang pernah menjadi Pjs Panglima
Pasukan Komando Armada I di Surabaya, yaitu sebab faktor emosional semata akibat
jatuhnya anggota keluarga mereka sebagai korban dalam gelombang mass murder yang terjadi.
Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibunuh secara membabi buta itu yaitu dengan
tuduhan terlibat PKI meskipun sebetulnya terselip juga kejadian sebaliknya, menjadi korban
pembunuhan oleh orang PKI maka keterlibatan anggota anggota KKO ini sempat
menjelma menjadi suatu isu nasional. Sementara itu, anggota anggota KKO yang keluarganya
belum menjadi korban, namun terancam oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam usaha usaha
membela dan melindungi keluarga mereka itu dan sering kali dengan bantuan teman teman satu
korps sebagai tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebetulnya . Saat melakukan
usaha perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan satuan satuan
Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bekerja melakukan penyisiran
terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebetulnya terjadi juga di Jawa Timur.
Dan dalam suatu koinsidensi pada masa berikutnya, Panglima KKO Mayor Jenderal (lalu
Letnan Jenderal) Hartono kebetulan‘ juga banyak tampil dengan pernyataan pernyataan yang
dianggap sebagai pembelaan terhadap Soekarno, sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh
lagi dengan konotasi bertentangan dengan Angkatan Darat sesudah 30 September. Letnan Jenderal
Hartono dikenal juga sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat yang dianggapnya
terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai Angkatan Darat, yaitu sikap
pembangkangan‘ dan politik politikan beberapa jenderal terhadap Presiden Soekarno. dahulu
saya memang tidak setuju Soekarno diturunkan jika tidak melalui cara hukum dan konstitusi.
Kita yaitu tentara, dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela .
Sikap yang mencela terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat ini, termasuk dalam
menghadapi Soekarno, berdasar keterangan saksi Laksamana Laut Mursalin Daeng Mamangung, cukup merata di
kalangan perwira tinggi Angkatan Laut, bukan hanya Letjen Hartono. Nasib Letnan Jenderal
Hartono sendiri, menjadi tragis di hari berikutnya . sesudah Soeharto menjadi Presiden, untuk
beberapa bulan Hartono tetap dibiarkan‘menjadi Panglima KKO. sesudah itu, ia diangkat
menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara. Suatu waktu saat sedang berada di Jakarta,
ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan turunnya hujan deras. Tamu itu diterimanya di
salah satu ruangan. Tak ada sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota keluarganya yang
ada di rumah dalam suasana hujan yang deras. lalu ia ditemukan tewas
sebab luka tembakan dengan sebuah pistol di dekatnya. Hartono lalu disimpulkan secara
resmi tewas sebab bunuh diri.
Laksamana Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai perwira tinggi AL waktu itu
sempat datang menengok ke rumah Hartono dan bertemu dengan beberapa anggota keluarga.
berdasar keterangan saksi Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan
tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke
leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan
sengaja. Dan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun tahun
sebelumnya kepada Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi, masalah kematian
Letnan Jenderal Soeharto, masuk dalam daftar X masalah masalah yang tak terungkapkan‘.
saat gelombang pembalasan dari kelompok non komunis makin meningkat dan makin banyak
juga campur tangan tentara, maka pada akhirnya jumlah korban yang jatuh di kalangan
kelompok komunis juga semakin lebih banyak, dan memasuki skala mass murder. Angka
moderat korban yang jatuh di Jawa Tengah yaitu dalam skala puluhan ribu, namun mengingat
panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa korban mencapai angka dua ratus ribuan
khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta saja.
kondisi yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur. Kecuali di beberapa daerah di mana
massa PKI mendahului bersikap agresif dan melakukan pembantaian, biasanya mereka lah
yang lebih banyak mengalami pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan
penculikan dan pembunuhan, namun sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi
sasaran. Terjadi juga suatu kondisi khusus di suatu daerah yang pendukung PKI nya lebih
dominan. beberapa anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa menjadi tameng
luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda Rakyat. Suatu saat , ada
serangan pembalasan atas desa ini , dan dua orang anggota Banser tertawan, lalu diadili‘.
Seorang anggota Banser dari pihak yang menawan, dengan sikap darah dingin‘ menebas leher
salah satu dari tawanan itu. Temannya yang lain dengan menangis nangis memberitahukan
bahwa mereka sebetulnya yaitu anggota Banser yang dijadikan tameng. sesudah dilakukan
pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu yaitu anggota Banser, namun bagaimana pun
juga kepala yang sudah terpancung itu tak dapat direkatkan lagi.
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bekerja di Malang, Sjahrul yang
lalu menjadi aktivis mahasiswa dari ITB di Bandung sejak tahun 1967 mengisahkan
betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian
tergantung di pagar kantor ayahandanya. keikutsertaan sebagai pembantai bahkan sering kali
dianggap seperti misi suci oleh beberapa anak muda belasan tahun . Seorang teman sekolah
saya di SMA, sering bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada tengah malam sebelumnya .
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian tampak berangsur angsur
menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia
itu dilakukan sebab diperintah, oleh tentara contohnya , namun berdasar keterangan saksi Sjahrul cukup banyak yang
melakukannya semata mata sebab terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa
disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, memicu ekstase. Apalagi bila para korban tak
berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk lebih menikmati
keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam di sana,
pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan dipercaya sebagai bagian misi
membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali
Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang sudah diberantas. Kasat mata dan berdasar keterangan saksi
perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban
peristiwa peristiwa di Jawa Tengah.
Kisah „pembantaian‟ di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti halnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, di Bali orang PKI juga mengakumulasi‘kan beberapa tindakan yang
memicu keirihatian dan dendam sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi
Pedesaan Universitas Gadjah Mada, mencatat terjadi beberapa aksi kekerasan yang dilakukan
anggota anggota PKI di pedesaan pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat
beberapa aksi sepihak, seperti contohnya yang dilakukan Wayan Wanci dan dari
BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu saat sewa menyewa itu dihentikan. 250
massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu, pada 8 Januari 1965, ditambah aksi penghancuran
rumah Pan Tablen. Aksi sepihak lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang
anggota BTI dengan mertuanya. saat mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang
menantu dan dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas
tanah ini , lalu menduduki dan menggarap sawah itu.
Aksi aksi sepihak yang serupa terjadi berkali kali, dan biasanya BTI berhadapan dengan para
pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965,
beberapa anggota PKI menyerang beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam
lainnya. namun suatu serangan pembalasan tidak segera terjadi sesudah Peristiwa 30 September,
kendati arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah masuk beritanya ke
Bali. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa apa di Bali. namun pada bulan
berikutnya mulai muncul hasutan‘, terutama dari tokoh PNI yang memiliki dendam,
seperti dituturkan Soe Hok gie dalam tulisannya, ‘Pembantaian di Bali’.
Tekanan utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada soal soal ideologis, meskipun
perbedaan ideologis yaitu satu faktor, melainkan kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan
manusiawi yang sudah laten antara pengikut pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka
Mahendra. PNI secara turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka
masyarakat umumnya yaitu pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki
massa pengikut yang besar jumlahnya di Bali. namun PKI di Bali sementara itu berhasil
memasuki celah celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama dalam mendekati rakyat
pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan tanah yang kecil atau samasekali tidak
memiliki tanah. sebetulnya selama puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik
tanah dengan para petani, melalui seperti sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali ada
perselisihan, mekanisme adat dan peran kaum agamawan senantiasa berhasil menjadi media
penyelesaian. namun kehadiran yang lebih menonjol dan perubahan perilaku politik PKI
pada tahun tahun terakhir menjelang Peristiwa 30 September, sudah menghadirkan beberapa
perubahan. Beberapa petani menunjukkan sikap yang lebih agresif “Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok gie dalam tulisannya, yaitu Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini yaitu adik laki laki Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR
GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti lalu bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”. Faktor lain yang memicu PKI menonjol di Bali yaitu bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja seorang yang dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan memiliki kedekatan dengan PKI sesuai perintah‘ Soekarno, PKI memperoleh keleluasaan berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI. Dalam suasana Nasakomisasi itu, banyak tindakan tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel sebagai Ketua CDB, seperti aksi aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama juga terjadi sesudah Brigjen Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD,
digantikan sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang
sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan yaitu menarik, meskipun secara horizontal di
lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI, dalam banyak hal para elite
PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh PKI. Bahkan terjadi beberapa
jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan, termasuk secara ekonomis. Ada beberapa
pengusaha yang kebetulan keturunan Cina, selain dekat dengan tokoh PKI juga memiliki
jalinan dengan tokoh PNI, sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun,
sebaliknya dalam beberapa masalah lainnya terjadi juga persaingan kepentingan ekonomi dan
politik yang tajam di antara tokoh PNI tertentu dengan tokoh PKI di Bali. PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi isteri Sjafiuddin memiliki kedekatan khusus
dengan Gerwani dan menunjukkan sikap mendukung PKI. Namun, sesudah Peristiwa 30
September terjadi, pada pertengahan Oktober saat arah angin dan situasi menjadi lebih jelas,
dengan gesit Brigjen Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang
dianggap terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. namun , sejauh yang dapat dicatat,
tidaklah terlalu jelas kategori‘ sebetulnya dari mereka yang ditangkap, sebab sebaliknya
banyak yang berdasar keterangan saksi perkiraan umum akan ditangkap ternyata lolos‘ atau diloloskan. Belum lagi, beberapa masalah salah tangkap. berdasar keterangan saksi Soe Hok gie, pemicu kekerasan yang lalu terjadi di Bali yaitu hasutan hasutan beberapa tokoh. Seorang tokoh PNI menghasut orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang PKI, dan
bahwa hukum tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan
bahwa mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. Kelompok kelompok
yang berjaga jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan Anggota g, pisau,
pentungan dan bahkan senjata api. Rumah rumah penduduk yang diduga sebagai anggota PKI
dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi dilancarkannya tindakan tindakan yang lebih
kejam . lalu pembantaian pun mulai terjadi di mana mana. Selama tiga bulan berikutnya,
Bali menjadi sebuah mimpi buruk pembantaian . Dengan perkiraan yang paling konservatif,
berdasar keterangan saksi Soe Hok gie, paling tidak 80.000 orang terbunuh , dari berbagai tingkat usia, laki-laki dan wanita. Soe Hok gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit istilah bahasa Belanda untuk spontanitas melainkan terutama sebab hasutan tokoh PNI.
Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama pembasmian PKI di Bali.
Pertama, sebab memang adanya faktor dendam akibat akumulasi perlakuan massa PKI
sebelumnya kepada orang PNI di pedesaan pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru
muncul sesudah beberapa tokoh PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan
November 1965. Hal kedua, ada beberapa tokoh PNI yang sebab ingin menutupi kolaborasi ‘nya dengan PKI di masa lampau, lalu memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi gila sebab tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan bisnisnya yang
bernama Lie Lie Tjien yang justru yaitu pengusaha yang menjadi donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh sebab ia bersekutu dengan Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali. Selain pembunuhan pembunuhan dan pembakaran rumah rumah, terjadi juga tindakan tindakan pemerkosaan terhadap beberapa besar wanita yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok gie dalam tulisannya, yaitu Widagda seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini yaitu adik laki laki
Wedasastra Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR GR di Jakarta. Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait kaitkan dengan PKI, meskipun terbukti lalu bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar. Tiga di antara wanita korbannya mengajukan masalah nya ke pengadilan, dan Widagda akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yaitu 3 tahun penjara. Pelaku pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya, pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar akar rumput PKI, dan justru banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta. Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera Utara juga termasuk menonjol meskipun tidak terlalu massive seperti di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. namun penggambaran bahwa pada masa masa di bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah deskripsi yang terlalu berlebih lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah ini. Dalam periode Nasakom, PKI
unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta api. PKI juga memiliki suratkabar yaitu Harian
Harapan. Gubernur Ulung Sitepu dinamakan tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat
nasional berasal dari daerah ini. Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah ini yaitu Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI sesudah Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal, sebab organisasi kepemudaan ini melihat nformasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi sebetulnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu kemarahan‘ mereka, sebab Jenderal Nasution yaitu tokoh yang mendirikan IPKI. Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini, khususnya di perkebunan perkebunan yaitu Soksi. Organisasi sayap Soksi di dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak anggotanya akhirnya juga cukup berperanserta dalam pergerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara. Salah satu tokohnya di Sumatera Utara yaitu Bomer Pasaribu yang cukup berperanserta dalam kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional. PKI, PNI dan peranserta para bangsawan di Sulawesi Selatan. Suatu kondisi yang agak terbalik
dari Jawa Tengah terjadi di Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi
Selatan amat menonjol. Dan inilah yang lalu menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi
Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh PKI di wilayah ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan moderat‘. Aksi aksi sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui pernyataan pernyataan. jika pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi di Tanah Toraja. Anggota anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat tak pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah darah seperti yang dilakukan contohnya di Bandar Betsi Sumatera Utara, dan tidak melakukan pergerakan perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI TII di wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama sebab kehadiran DI TII di wilayah wilayah luar perkotaan itu. maka , PKI Sulawesi Selatan sebetulnya terhindar dari melakukan tindakan tindakan mengakumulasi dendam seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka yaitu menarik bahwa bila lalu terjadi tindakan balas dendam‘ yang cukup kejam di daerah ini, seperti contohnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran Jenderal Muhammad Jusuf.
Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang menarik perhatian. Begitu juga
contohnya tokoh organisasi mantelnya, seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI
contohnya , tak banyak tokohnya yang menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan
cenderung tak dikenal. Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti contohnya
Mochtar dan Nurul Muhlisa. namun salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa,
yaitu Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin,
sebab selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering berbicara dalam berbagai kesempatan
mengenai komunisme. Ia selalu memuji muji PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner,
termasuk dalam memberikan kuliah. Maka, saat kondisi berbalik sesudah patahnya pergerakan 30
September 1965, dan nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non
komunis. Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan kawan, menyeret paksa sang professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu
digiring ke tempat lain. berdasar keterangan saksi seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer). sesudah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana. namun seorang aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya yaitu biasa saja,
tidak sebab suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng yang
sehari harinya sebetulnya tidak bersikap ganas‘ sebagai anggota HSI yang partainya sedang
naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi, sebagaimana yang banyak
beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi kesempatan‘ untuk meninggalkan Makassar.
Putera puterinya hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah yang masih berstatus
pelajar dan mahasiswa ikut memperoleh getahnya, padahal sehari harinya mereka tak pernah
tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus juga meninggalkan‘
kota Makassar entah ke mana ”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang orang PKI. Pencincangan yaitu mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan
bagian bagian tubuh sehingga „terpisah‟ dalam potongan potongan”. Bernasib lebih buruk yaitu beberapa tokoh pengurus daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing masing, dibawa ke suatu tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari hari itu menjadi sangat agresif sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai pergerakan mereka sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa dan cerita dari mulut ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan, mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan dieksekusi entah di mana. Keberanian massa melakukan pengganyangan‘ PKI masih sejak hari hari pertama sesudah gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP, menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora. Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, sesudah apel dalam rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi pergerakan pergerakan massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. tokoh PNI yang menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu, sebab dianggap partainya sukarno , menjadi sasaran pengganyangan‘. Rumah tokoh PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS mereka
bertiga yaitu pengelola Harian Marhaen di Makassar diserbu dan diporakporandakan oleh
massa yang terutama dari ormas ormas onderbouw partai partai Islam dan HMI dan PII.
sebetulnya PNI sendiri waktu itu sudah terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu Ali
Sastroamidjojo Surachman dengan kubu yang lalu hari akan dinamakan kelompok
Osa Usep. namun dalam masalah penyerbuan massa, hampir hampir saja kedua kubu itu tak lagi
dibedakan. Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali Surachman, yang ikut
apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah jambu ikut dikejar kejar
massa. Untung saja sebab mereka yaitu kaum ibu, maka banyak anggota masyarakat yang
turun tangan mencegah terjadinya perlakuan fatal.
Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat Tjina) juga diserbu, namun massa hanya
bisa menjebol pintu pekarangan dan tak bisa memasuki gedung konsulat sebab dihalau oleh
tentara yang memakai tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun seAnggota ya
dan menonton dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan yang
putus sebab tembakan tugas . Yang sama malangnya, yaitu etnis Cina. Dalam rangkaian
pergerakan massa yang terjadi lalu , mereka justru menjadi korban. Rumah mereka diserbu,
harta benda mereka banyak yang ditumpas habis, tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.
Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih jauh lebih semarak tampilannya, dan
menunjukkan keunggulan, termasuk dalam posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua
suratkabar terkemuka, dan salah satunya yaitu Harian Marhaen, milik‘ PNI. kehadiran media
cetak ini memicu PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi salah
satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak dilihat‘orang. Sementara itu,
PKI tidak memiliki media pers, sehingga tidak menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak
mengenai sepak terjang PKI di pulau Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama
tercipta dari citra PKI di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh
lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak
melebihi kepopuleran GMNI kendati anggota HMI sebetulnya sangat jauh lebih banyak dari
GMNI. Begitu besarnya sebetulnya jumlah anggota HMI di Makassar, sehingga salah seorang
tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‘di perguruan perguruan tinggi Makassar
hampir tidak ada yang bukan HMI .
Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada
pawai pawai di kota Makassar, barisan GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju baju dan
jaket mereka yang mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu
sedang krisis sandang. Kain kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota masyarakat
dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui RW RW, sedang yang
dijual di toko toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal dan tak terjangkau kebanyakan
orang. Bahwa anak anak GMNI tetap bisa tampil wah, bisa dimaklumi sebab mereka umumnya
berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan
GMNI waktu itu yaitu bahwa pada deretan deretan depan ditampilkan mahasiswi dan
mahasiswa yang rupawan. Salah satu primadonanya yaitu seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang dokter terkemuka di Makassar. Bisa dibandingkan dengan anggota anggota HMI dan lain lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana pergolakan sebab adanya DI TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. namun , pemimpin HMI Sulawesi Selatan yang lalu menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf
Kalla, yaitu anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di Sulawesi Selatan,
Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik toko kecil di Watampone,
Kabupaten Bone. Merupakan kelebihan‘ Jusuf Kalla, wajah dan penampilannya secara alamiah,
meskipun anak orang kaya bagaimanapun juga selalu memicu kesan sederhana dan tidak
wah. Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses pemiskinan‘ pada masa itu,
sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah saat itu, pengurus pengurus dan anggota
anggota Partai Komunis Indonesia , termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah
miskinnya. Bahkan mungkin termiskin, sebab kaum urban yang datang dari pedesaan oleh
faktor kekacauan daerah, bagaimanapun masih memiliki tanah di kampung asalnya. Seorang
mahasiswa yang ikut pergerakan penyerbuan ke rumah rumah para tokoh PKI, sempat tertegun
melihat gubuk yang menjadi rumah Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat
mengibakan hati. Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa apa di sana. Saya hanya bisa melihat
dari kejauhan , ia menuturkan lalu . Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu lalu , berupa penyerbuan rumah tahanan (penjara) tempat beberapa anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi pencincangan tubuh atas orang PKI. Pencincangan yaitu mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian bagian tubuh sehingga terpisah‘ dalam potongan potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam pemaparan pemaparan berikut ini.
PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak memperoleh dukungan kaum
bangsawan di daerah itu. Inilah yang memicu untuk sekian tahun lamanya hingga menjelang
kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda
dengan di pulau Jawa di mana kaum bangsawan memiliki kekuasaan‘ yang jelas dengan
memiliki Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya bangsawan Sulawesi Selatan memiliki
posisi dan peran yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan mengundang
kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik sebab kepemilikan warisan turun temurun terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni maupun sebab penempatan diri mereka dalam posisi posisi pemerintahan. Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya sebab bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya berupa perilaku perilaku yang sangat tercela yang sering kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat. Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira perwira berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat pangkat puncak. Para
bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur kepemerintahan feodal di
masa pengawasan kolonial Belanda, memperoleh prioritas untuk menyekolahkan anak anaknya.
Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan baik, sebab pandangan tradisional tertentu,
terutama untuk anak anak wanita yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi tinggi. Mereka
yang pada dasarnya anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu
bagi anak anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa di
antara kaum bangsawan menjalankan peranserta besar, dan kelak tercatat dalam sejarah sebagai
pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya menjalankan peranserta sebaliknya
dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik
dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami
pencincangan tubuhnya dengan cara yang amat mengerikan. Dalam pergolakan sesudah penyerahan kedaulatan, kaum bangsawan tercatat sebagai pemegang peranserta dalam berbagai peristiwa besar, di antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun tahun pergolakan daerah, tercatat juga Peristiwa Andi Selle, yang psedang cak peristiwanya hampir merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebetulnya seorang bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi suatu gelar Pangeran namun lalu menanggalkan gelarnya ini . Nama lengkapnya semula yaitu Andi Muhammad Jusuf Amir. sesudah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa kalangan bangsawan menjadi ragu-ragu ‘ dan ‘risih‘ dengan gelar kebangsawanannya, terutama di kalangan militer. Keragu-ragu an itu tercermin dari tidak dicantumkannya lagi gelar gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan menanggalkan gelar itu, dan sehari hari tetap menerima perlakuan perlakuan hormat dari lingkungannya.
Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah perseteruan besar dalam catatan sejarah,
yaitu antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Untuk suatu jangka waktu yang panjang dalam
negara kita merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang penamaan sebagai pengkhianat sebab membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan
representasi etnis Bugis sedang Kerajaan Gowa yaitu representasi etnis Makassar, yang dahulu
kala terlibat dalam seperti perseteruan antar etnis yang cukup tajam. Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa masa terakhir ini mengalami seperti koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang sudah meninggalkan perspektif hitam putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun memiliki motif pribadi yang kuat berdasar keterangan saksi sistim nilai masyarakat Bugis, dalam membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka mengalami
perlakuan kejam dicincang dalam lesung penumbuk padi sehingga tewas. Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan beberapa kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah, perkawinan perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan mampu menghapuskan dendam dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat sebagai anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar, sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. namun segala perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya, sesudah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat peperang an melawan Belanda. yaitu sebab kepopuleran PNI dan organisasi organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan, maka sesudah terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih memperoleh perhatian‘. Dan sebab kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan sesudah Peristiwa 30 September
1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini, sebab selama beberapa tahun sebelum
Peristiwa 30 September, peran PNI begitu dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang
terjadi saat itu menjadi saat saat bagi partai partai dan kekuatan politik dan kekuatan kepentingan lainnya untuk mengeliminasi PNI “Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru „hilang‟ sebab bersih dari pemalsuan sejarah, Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial ini , yang sebetulnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, beberapa orang juga menjadi tahanan politik bertahun tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh negara kita dan lalu di pulau Buru”. SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara cukup menonjol, di antaranya di
kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di
Bali, maka peran pembasmian‘ terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh
massa PNI dan organisasi organisasi mantelnya, dan massa NU yang memiliki dendam antara
lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang menjadi sasaran aksi
aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan kebencian dan sikap anti
komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta, kebencian itu tidak sampai memicu
adanya kekerasan berlebih lebihan terhadap anggota PKI sesudah Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, sebab PKI
hanya sebatas melakukan provokasi dengan ucapan ucapan bernada ancaman kepada para
pemilik tanah yang luas luas, bahwa saat waktu massa akan menduduki tanah mereka. Jadi
memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan bagi suatu gelombang
pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, sebab beberapa tokoh pemerintahan atau eks
pejabat yang diketahui memiliki sejarah melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang
Mongondow, justru diduduki dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya
dengan keterlibatan pada PKI.
Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI yang dibunuh, namun jumlahnya
terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja dalam masalah masalah seperti ini. biasanya ,
massa yang bergerak hanyalah melakukan pengrebegan terhadap anggota anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI, lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak anak mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya kena cat dengan kotak hitam, ditambah tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di Sulawesi Utara ini yaitu masalah 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo yang di Sulawesi Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono lalu dibawa ke pulau Jawa dengan memakai sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah tiba di pulau Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara. Mungkin ditenggelamkan
di tengah laut , kata Lukman Mokoginta mengutip anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya
sendiri terjadi tahun 1967, sudah cukup jauh dari akhir 1965. Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin yaitu yang terjadi di Jawa Barat. saat praktis seluruh pulau Jawa ada dalam arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. pergerakan pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota kota, terutama di kota Bandung, dan relatif tidak berdarah sebab lebih ditujukan pada pengambilalihan kantor kantor
milik PKI dan organisasi organisasi sayapnya. Lagijuga penyerbuan penyerbuan ke kantor
kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa dan pelajar yang tidak memiliki niat dan
kemampuan melakukan kekerasan berdarah. Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut
pengikut PKI terjadi secara sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara,
dilakukan oleh organisasi organisasi massa.
Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh hingga limabelas tahun sebelumnya.
orang komunis di Jawa Barat, sudah lebih dahulu mengalami pembasmian sampai ke akar
akarnya, sejak tahun 1950 hingga menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di priangan
Timur. Sejak sebelum tahun 1950, khususnya 1945 1948, pembelahan yang nyata terlihat di
antara kaum santri yang umumnya dari NU dengan kaum kakak an, persis seperti dalam teori
sosiologi berdasar keterangan saksi Clifford Geertz. kehadiran DI TII merubah perimbangan. Sejak 1950 1951 terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut pengikut komunis seperti anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan pedesaan priangan Timur. Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut pengikut komunis yang menghuni desa desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh pasukan pasukan DI TII. Garut saat itu berada dalam wilayah
kekuasaan‘ salah satu panglima perang DI TII yang terkenal di priangan Timur, bernama Zainal Abidin. namun selain oleh DI TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri yang membenci
orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa mereka manusia tidak bertuhan
dan merupakan musuh Islam. Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai skala yang cukup massal secara akumulatif, juga terutama sebab berlangsung dalam jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis angka korban puluhan dalam setiap peristiwa yaitu umum . Pembasmian serupa, tak hanya terjadi di wilayah Garut, namun merata di priangan Timur. Hal serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi juga di daerah daerah di mana pengaruh DI TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit sebab tercampur dengan korban korban DI TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur juga dengan data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI TII dan pasukan Siliwangi. Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, memicu terjadinya arus pengungsian‘ pengikut komunis ini ke kota kota, terutama ke Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961 1965. Sementara itu, sebab akar akarnya sudah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan saat pecah Peristiwa 30 September 1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa Barat. sebab penangguhan „political solution‟ yang dijanjikan Soekarno, Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis sesudah Peristiwa 30 September 1965, Perkiraan yang moderat menyebutkan angka 1.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 100 sampai 1000. namun , Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, sesudah peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu saat menyebut angka 1000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah
meralat angka yang disebutkannya itu. sebetulnya , Sarwo Edhie memiliki catatan catatan mengenai pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis ini . Mungkin ada angka angka signifikan dalam catatan ini . Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu hilang‘ di tangan orang yang dititipi dalam rangka usaha menerbitkannya oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu sesudah sang jenderal meninggal.
Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal hal yang
amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru
hilang‘ sebab bersih dari pemalsuan sejarah, Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial
ini , yang sebetulnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, beberapa orang juga
menjadi tahanan politik bertahun tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh
negara kita dan lalu di pulau Buru. Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 100
tahanan politik. Suatu angka yang sebetulnya lebih rendah dibandingkan fakta yang ada, apalagi
penangkapan terus berlangsung sampai bertahun tahun sesudah peristiwa, tak terkecuali korban
salah tangkap. Pada tahun tahun 1966 1967 bahkan hingga beberapa tahun berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers negara kita cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah darah atas PKI ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti contohnya Soe Hok gie melalui tulisan tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia , edisi pusat
maupun edisi Jawa Barat. yaitu sebab tulisan tulisannya, Soe Hokgie berkali kali menjadi
sasaran teror. Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia ,
cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dinamakan MT Zen pernah
menyentuh substansi masalah ini . MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan
rakyat negara kita terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang
lalu terbukti‘ di Lubang Buaya. Dalam suasana itu, sebagai akibat selalu