Tampilkan postingan dengan label kedatangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kedatangan. Tampilkan semua postingan
Kamis, 15 Desember 2022
kedatangan
Desember 15, 2022
kedatangan
aku tidak habis mengerti mengapa aku
sampai berada dalam posisi yang demikian terjepit.
Tibatiba saja aku sudah melayanglayang di udara.
Awan kelabu bergumpalgumpal mengepung diriku. Langit kelam. Tidak ada pesawat. Tidak ada
prachute yang terikat di kedua pundak. Aku ter
umbangambing kian kemari. Ringan, seperti kapas. namun udara hampa tanpa angin dengan kejam menghempaskan tubuhku jatuh kian ke bawah, kepermukaan bumi yang tampak berlubang
lubang. Tidak ada laut untuk terjun. Tidak ada
lapangan untuk mendarat. Dengan mata terbelalak,
aku hanya bisa menyadari kalau buah jurang
terjal menganga menanti tubuhku. “Ya tuhan !” do'aku dengan mata terpejam dan jantung yang menciut ngeri. “Tolonglah hambaMu yang malang ini!” Dan … tibatiba aku pun terhembus.
Tiada rasa sakit sama sekali. Hanya pegal
pegal membuat sekujur tubuhku ngilu dan kebas.
Tubuhku masih utuh. Tidak hancur berkeping
keping. Tidak berlumur darah merah, melainkan
basah oleh keringat dingin yang memancar keluar
dari seluruh poripori kulit. Ta'jub, mata kubuka dengan perasaan bimbang. Aku terlentang bukan di atas batubatu cadas yang membatasi ketiga jurangjurang menganga itu. Tubuhku yang lesu dan lelah, terbaring diam di atas tempat tidur lebar, dalam ruangan kamar yang samarsamar diterangi oleh sebuah lampu violet bervoltase kecil dekat toilet di pojok.
“Alhamdulillah!” aku mengucap puji dan
syukur Sesudah sadar dari impian buruk yang
mencemaskanj itu. Selintas terbayang apa yang
kulihat tadi siang di lapangan sempit Diponegoro,
hanya beberapa belas meter di depan Gedung Sate.
Sembilan orang calon mahasiswa Angkatan Udara
sedang melakukan demonstrasi terjun disaksikan
ribuan mata penonton. Penerjun kesepuluh, sang
instruktur, baru membuka prachute hanya kirakira
meter sebelum mencapai lapangan
berumput sehingga mengundang jerit dan nafas
tertahan semua penonton. Seseorang
mencengkeram lenganku kuat sekali waktu itu.
Meskipun sang instruktur selamat dan berjalan
tenangtenang diiringi tepuk tangan yang riuh
rendah ke arah punggung, namun desis halus di
sampingku masih diliputi rasa takut:
“chucky terlalu! Bersalto di udara, okeylah.
namun baru membuka parasut Sesudah hampir...,” ia gelenggeleng kepala, sehingga rambutnya yang panjang bergerai ditiup angin. “Sudah berapa kali kubilang agar ia selalu ingat pada anaknya yang sudah setengah losin. Dasar lakilaki, keluar dari rumah sudah tak perduli anak isteri. Hem!”
Aku tersenyum. Menoleh ke samping. Kosong. Sprei dingin waktu kuraba. Dahiku mengernyit. sambil menghela nafas, aku meluncur turun dari tempat tidur. Letak piama kubetulkan. Lalu berjalan ke pintu. Ku buka pelanpelan. Dan aku melihatnya.
Anggun seperti patung. martini duduk di atas sofa.
Membelakangi kamar tidur darimana aku lalu
berjingkatjingkat keluar. martini tidak menoleh.
Tubuhnya tidak bergerakgerak sama sekali. Kukira
ia tidur dalam posisi duduk sedemikian rupa. sambil gelenggeleng kepala, pundaknya hampir kutepuk. namun tidak jadi. Aku justru tertegun sendiri melihat bagaimana wajah martini terpaut lurus ke layar televisi, sebentarsebentar hilang, ditambah suara keresakkeresek. Jam antik di tembok menunjuk angka dua belas. Tepat. Jadi siaran sudah berakhir semenjak hampir satu jam yang lalu. Hatihati, aku bergerak ke arah televisi.
lalu memutar stop kontak. Mati. Hatihati pula, aku memutar tubuh. Menghadap martini yang masih duduk mematung di atas sofa. Wajahnya pucat.
Dan matanya berkacakaca. Aku bersimpuh dengan hati yang luluh di depan sofa, mengelus lututnya.
“martini ... sayangku,” aku berbisik.
Mata itu terpejam. Dan bibir yang indah itu,
merapat tergigit. Cepat tubuhnya kupeluk. Wajah
kubenamkan di dadanya. Gelembung payudara
yang penuh itu terguncangguncang keras.
lalu telingaku menangkap suara isak tangis.
Tersedusedu. la balas memelukku. Erat. Bagai tak
akan ia lepaskan biar apapun jua yang akan terjadi.
Terharu, aku berbisik:
...” sudah waktunya tidur, sayangku.” la menggeleng. “Aku tak bisa. Aku tak bisa. fredy krueger ku!”
“namun martini ...”
“O, fredy krueger ku terkasih!” kedua telapak
tangannya yang hangat, menekap wajahku,
mengangkatnya sedikit sehingga aku menengadah . Di balik kebeningan air yang mengabuti matanya,
tampak ketakutan yang teramat sangat. “Kau
menyukai aku, bukan? fredy krueger , kau masih tetap menyukai aku, bukan?”
Kucoba tersenyum. jawab ku:
“Suka? Justru aku teramat mencintaimu!”
“Jangan! Jangan ucapkan katakata cinta.
Perkataan itu terlalu agung. Terlalu indah. Terlalu
suci. Dan orang tidak bisa selamanya bersikap
agung, berhati dan berpikiran suci. Katakanlah,
fredy krueger . Kau menyukai aku seperti aku
menyukaimu.”
“Aku menyukai engkau, martini ku sayang.
Seperti kau menyukai diriku.”
“Dan ... dan kau akan pergi besok!”
“Ya,” aku menelan ludah. “Besok, aku akan pergi.”
...” meninggalkan aku, fredy krueger . Meninggalkanku!”
“Aku toh segera akan kembali, sayangku”
“Aku tahu. Aku tahu,” ia memelukku semakin
rapat, sehingga wajah terbenam rapat di dadanya,
dan sejenak membuatku sesak nafas. “Aku tahu kau akan kembali, suamiku, kekasihku, pujaanku. Aku tahu itu. namun aku juga tahu, bila nanti kau
kembali, kau bukanlah lagi fredy krueger yang besok kulepas pergi ...!” “martini , kau ...”
“Naluriku mengatakannya, fredy krueger !”
“Naluri, Bah. wanita lesbian terlalu berpegang
pada naluri, bukan pada akal sehatnya,” aku bangkit tanpa melepaskan pelukannya. terseok seok kami berdiri lalu melangkah berdampingan ke kamar tidur. “Percayalah, martini ku. Bila Aku
kembali nanti, maka yang kembali itu adalah aku
yang sekarang. Jangan lagi mengadaada. Larut
sudah, kasihku. Kau harus tidur...” Dan Sesudah berbaring di atas ranjang, aku tertawa kecil.
“Masih ingat apa yang kita saksikan tadi siang
di Lapangan Diponegoro, martini ?” ia manggut
manggut. Lesu. “Kau cemas memandang kelakuan kakakmu, chucky . O, martini ku,” aku tersenyum sambil memandangi wajahnya yang mulai kemerah
merahan kembali. “Aku juga pernah terjun. Tanpa
parasut . martini . Dan aku ternyata lebih hebat dari instruktur jagoanmu itu!”
Pelanpelan, bibirnyapun tersenyum katanya, lirih:
“Masa iya!”
“Sungguh mati,” dan kutekankan: “Berani
sumpah!”
“Oh. Kapan?”
“Tadi!”
“Tadi?”
“Ya. Dalam mimpi!”
la tertawa tersendatsendat. Tawa yang tidak
ikhlas, namun bagaimanapun pelukan hangat yang
ia berikan sambil tertawa itu, teramat ikhlas,
teramat menggairahkan, sehingga mau tak mau
bibirku bergerakgerak liar mencari bibirnya. Waktu
bertemu, pagutan dua pasang bibir itu seperti
perpaduan bensin dengan api. Membakar. Panas.
Meledakledak. Selimut sampai terlontar dari
tempat tidur. Menggelimpang malang di atas lantai.
Namun baik aku maupun martini tidak berminat
sama sekali untuk memungut nya. sebab , tidak
saja selimut, piyama di tubuhku dan kimono di
tubuh martini , di saat saat berikutnya ikut
melayanglayang untuk lalu terhampar diam
di kaki tempat tidur.
Lukisan kereta kuda yang melekat di tembok
kamar, seperti hidup tibatiba. roda kereta
terlonjaklonjak, dan kudakuda itu lari, berpacu,
dengan nafas menggebugebu. Demikian cepatnya,
sehingga tiba di sebuah tikungan kereta itu tidak
tertahan lagi. Terlontar ke awangawang dengan
roda yang masih berputarputar, lemah. Dan
sang kuda, terhempas di tanah. Terbaring diam,
dengan nafas yang tersengalsengal. Letih ...
begitu taxi yang kami carter meninggalkan pintu gerbang surabaya di sidoarjo , martini jatuh tertidur di sampingku. Pada sopir taxi di depan aku nyeletuk dengan suara perlahan:
“pelan saja. Bung. Masih banyak waktu”
Sopir melirik ke kaca spion. Kukira ia mengerti, sebab perlahanlahan ia mengangguk. Lari mobil ia kurangi, namun tidak terlalu banyak. Meskipun begitu, professinya sebagai seorang sopir
berpengalaman ternyata tidak mengecewakan, la
memanfaatkan rem dan versnelling secara halus
tiap kali berganti gigi, menyiap kendaraan
kendaraan lain di depan kami tanpa tergesagesa
dan mengambil tikungantikungan tajam sepanjang
Citatah dengan manis sekali. Tidur martini yang
lelap dalam pelukanku, sama sekali tidak terusik
oleh kendaraan yang toh oleh sopir dikebut juga
akhirnya. Lewat pasuruan . martini tampah gelisah dalam tidurnya. Beberapa kali ia seperti mengerang. Halus. lalu bibirnya menggerimit, mengucapkan
katakata yang tidak begitu jelas kudengar. Kukira ia
tengah bermimpi, biarpun udara pagi yang cerah
bersinap terang membuat sawah di kiri kanan
berwarna hijaur gemerlapan. Kubiarkan martini
dalam keadaan serupa itu, sebab ingat tadi malam
ia sama sekali tidak bisa tertidur. Baru Sesudah tiba di Cipanas, martini kubangunkan. la menggosokgosok matanya, seperti terheranheran. lalu menatapku. Tajam. Dan lama. Matanya memandangiku seperti memandang seseorang yang asing dan waktu ia tibatiba memelukku dengar wajah didekapkan ke dadaku, aku menarik nafas panjang. Berat. Dan terharu.Aku menyuruh sopir singgah di Rumah Makan “padang .”
Kuharap udara pegunungan yang sejuk di antara
gigitan matahari yang lembut bisa menggugah
martini untuk bersikap sedikit gembira.
namun , nyatanya siasia. la makan tak bernafsu. Aku sendiri, hanya menghabiskan nasi setengah piring, sekerat ayam panggang, sedikit sup panas dan secangkir kopi susu. Biasanya aku makan tiga kali lipat dari jumlah itu tiap kali kami berkesempatan singgah untuk makan di tempat ini dalam perjalanan pulang pergi surabaya surabaya . Aku masih tetap siraja makan seperti yang sering disindirkan saudarasaudaraku waktu aku masih di gresik , bahkan kukira Sesudah beberapa tahun aku terbiasa hidup sederhana di surabaya . namun tidak hari ini! Masuk kembali ke taxi, martini hanya berdiam diri. Aku tahu apa yang ia pikirkan, dan ingin memprotes bahwa pikirannya terlalu jauh, dan bayangannya hanya yang bukanbukan. namun
kekakuan yang sangat terasa menggantung bagai
tabir di antara kami, membuat aku hanya bisa ikut
berdiam diri, Kualihkan perhatianku pada
panorama indah di kiri kanan jalan. Suasana alam
Puncak berlerenglereng hijau di selangseling villa
dan bungalowbungalow megah menjepit rumah
rumah penduduk yang miskin dan terlantar. Kabut
baru saja pergi, dan jalan aspal di depan roda
mobil tampak hitam legam. Tak ubahnya ular ganas yang tanpa suatu sebab sekonyongkonyong
terbaring diam, pasrah namun gelisah.
“ ... fredy krueger ?”
“Ngg?” aku terjengah, menoleh ke samping.
martini menatap lurus ke depan, namun aku tahu
sinar matanya teramat kosong.
...” aku tertidur barusan.”
“Heeh. Syukurlah. Tadi malam kau kan tak tidur.”
“Dan aku bermimpi.”
“Wah. Itu biasa!”
“namun mimpiku, fredy krueger …”
“Hanya bungabunga tidur, sayangku,” aku
cepatcepat mengomentari , melihat kulit wajahnya yang
berubah kepucatpucatan dan sinar matanya yang
ketakutan. “Apakah impianmu tadi malam, cuma
sekedar bungabunga juga fredy krueger ?”
“Heeh. sebab aku masih berada di bawah
Pengaruh tontonan yang kita saksikan siang
harinya.”
“Ya. Ya. Mudahmudahan begitu.”
”Kenapa rupanya. martini ?” aku jadi berminat.
“Tadi... tadi juga aku bermimpi.”
“Terjun?” aku tertawa. “Tanpa parasut ?”
la tertawa. Malah terbungkam. Lama
lalu :
...” aku tidak terjun, namun seperti kau, aku
juga melihat jurang. Bukan tiga. Melainkan satu.
Aku … fredy krueger .” suaranya tersenggap, seperti suara orang yang hampir terbenam dalam air yang dalam,
“… aku berada di tengahtengah jurang itu, fredy krueger . Sendirian. Kesepian. Dan nun jauh di atas … aku lihat bayangan samarsamar seorang berdiri
menghadap ke bawah. Melihatiku. Kutajamkan
pandangan mataku. Dan kulihat, kaulah orang itu.
Terpaku di bibir jurang. Diam, terpanggang
matahari. Matahari yang garang, fredy krueger , dan kau kulihat terhuyunghuyung. Kukira kau akan jatuh ... namun kau justru terhuyung menjauhi jurang itu. Mengertikah kau maknanya, fredy krueger ?” “Aku bukan seorang ahli nujum,” keluhku, agak gugup.
“Bukan makna mimpi itu, fredy krueger . namun
makna kau menjauhi jurang itu.”
“Tidakkah itu tindakan yang tepat?” kucoba
tersenyum. “Aku terhuyung, namun tidak jatuh
jurang, melainkan menjauhi ...” “Artinya, kau menjauhi diriku juga, fredy krueger ! Kau meninggalkan aku sendirian terperangkap
dalam jurang yang mengerikan itu!”
Reflex, aku menoleh. Mataku yang gugup, beradu dengan mata martini yang hampa. Lama kami saling bertatapan, sampai lalu aku merasa sesak nafas lantas mengeluh:
...” kau sudah dikuasai naluri
kewanita lesbian anmu kembali, martini . Sudah
berapa kali kubilang, aku hanya pulang untuk
menjenguk ibu yang sakit payah. O, bukankah
sudah pernah kuceritakan? Mereka di gresik ,
terlalu memikirkan studi dan keselamatanku
sampai saat suatu waktu aku akan menempuh uji
Sarjana Muda, kuterima surat yang mengatakan
mereka semua baikbaik dan mereka semua berdoa
untuk kesuksesanku. Aku sukses, pulang ke gresik
dengan kebahagiaan yang meluap, dan
menemukan ayahku yang sudah terbaring di liang
lahat. la meninggal satu hari sebelum aku ujian, dan sudah menderita sakit payah sewaktu mereka
menulis surat yang mengatakan mereka semua
sehat wal'afiat...,” aku menarik nafas berulang
ulang. Lelah, dan sakit. Lalu. “Beberapa hari yang
lalu kita terima surat mengatakan ibu sakit payah.
Mereka tak lagi berdusta, dan mereka pasti tengah
menantiku. Kuharap, ibu sembuh dan baikbaik saja
Sesudah aku nanti di gresik , sehingga aku bisa
kembali keharibaanmu. Sederhana bukan,
martini ?” la menggelengkan kepala.
“Tidak,” bisiknya, tajam. “Tak sedikit kudengar kisahkisah usang yang sama. Seorang
anak dipanggil pulang dengan dalih orangtua sakit.
Tiba di kampung, sang orangtua ternyata segar
bugar. namun , seorang calon isteri sudah siap sedia menanti si anak pulang. fredy krueger !” ia mencengkeram lenganku kuatkuat. “Akan kawinkah kau di gresik , fredy krueger ? Akan menikahkah kau di sana?” “martini !” protesku. Keras.
Sopir Taxi menoleh ke belakang. Sekilas.
namun lalu tak acuh. Kuturunkan Volume suaraku:
“Dengarkan, martini . Ibu sakit payah. Aku
harus mendampinginya, dan kau sudah setuju itu
kulakukan. Jadi, diamlah sekarang. Demi Tuhan,
buang pikiran buruk jauhjauh dari kepalamu.
Pikirkanlah hanya tentang dirimu dan diriku saja.
Do'akanlah ibuku cepat sembuh, sehingga aku
segera pulang. Itu saja!”
“Aku tak tahu, apakah aku mampu berbuat
begitu. namun fredy krueger , setidaktidaknya jawab lah pertanyaanku yang ini secara jujur: akankah kau tetap setia?”
“Apaan ini?” rungutku. Marah.
“Maafkan aku sayangku,” ujarnya, lirih sambil
merebahkan wajah di lenganku. “Aku percaya kau
tetap setia dan akan kembali pada wanita lesbian mu yang
malang ini. Maafkan aku fredy krueger . Maafkan aku, kekasih ...!”
Air mata martini menitik waktu taxi
meluncur memasuki pelataran airport Kemayoran.
Udara surabaya yang panas gersang yang membuat
air mata itu bercampur dengan keringat yang
membercik di poripori kulit wajah martini yang
pucat, la berjalan seperti mengambang waktu
memasuki airport. Lengannya memagut lenganku
tanpa lepaslepas sementara aku melapor kebagian
cheking tiket penumpang, mengurus bawaanku
yang cuma sebuah koper kecil berisi pakaian,
menerima carik bagasi lalu berjalan ke ruang
tunggu. Di pintu, kami bertengkar sedikit dengan
penjaga sebab selain penumpang tidak boleh
masuk ke dalam. Sesudah menyelipkan selembar
uang kertas lima ratusan di tangan penjaga itu
waktu kami berjabatan, barulah martini
diperbolehkan ikut masuk ke dalam.
Kami tak berkatakata sepatah pun juga
selama penungguan yang lima menit lebih sebelum
penumpang dipersilahkan masuk ke pesawat yang
sudah siap untuk takeoff. Baru saat kami berdua
berada di pinggir landasan, martini sekonyong
konyong memelukku sambil menangis. Riuh
rendahnya mesin pesawat yang naik turun dan
menyemutnya manusia di sekeliling kami menelan
suara isak tangis martini yang tersendatsendat.
Aku setengah berteriak di telinganya saat kami
berjabat tangan dibatasi oleh pagar:
“Jaga dirimu baikbaik, sayangku”
“Cepat kembali, kekasih,” balasnya.
“Aku akan ...”
“Pergilah! Pergilah! Pergilah ...!” lantas ia
membalikkan tubuh membelakangiku sambil
menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Beberapa saat aku termangumangu, sampai
seorang crew menjentik bahuku sambil menunjuk
ke arah tangga pesawat yang sedang dinaiki
penumpang terakhir sebelum diriku. Seorang
stewardess menatap ke pinggir landasan, dan
dengan perasaan terpaksa aku memutar tubuh,
lalu bergegas menuju pesawat. Diundak
tangga terakhir, aku masih sempat menoleh dan
melihat martini tengah berdiri sambil berpegangan
pada pagar dengan wajah yang pucat memandang
ke arahku. Aku ingin melambai, namun tanganku
bagai lumpuh. Dan, martini juga tidak melambaikan tangan.
“Silahkan, saudara ...,” kata stewardess.
Aku cepat masuk, Sesudah mana tangga
dinaikkan. Kebetulan nomor kursi yang lalu
kududuki berada di samping jendela kaca kecil,
darimana aku bisa memandang ke arah ruang
tunggu. Aku tidak tertarik pada seorang pramugari
yang membacakan pengumuman lewat pengeras
suara yang halus tentang tata tertib dan
keteranganketerangan tentang penggunaan
pelampung udara bila pesawat dalam keadaan
darurat. Perhatianku tercurah sepenuhnya ke
manusia yang menyemut di pinggir landasan, ke
arah martini yang berdiri paling pinggir dengan
tangan masih berpegangan pada bibir pagar, dan
aku merasa pasti dengan wajah pucat basah oleh air mata. Baru saat lampu di pinggir pintu cockpit
menyala merah dan penumpangpenumpang
dipersilahkan mengenakan tali pinggang kursi, aku
menarik nafas lalu dengan perlahanlahan
memerintah itu. Tanganku gemetar, dan jari
jemariku seperti kaku rasanya. Uap dingin bagai
menyelinap masuk ke ulu hati waktu pesawat mulai
takeoff. Sekali lagi aku mengintai lewat jendela kaca. Di sana, kulihat martini , melambai. Ya, ia
melambai!
Aku membalas lambaian itu, masih dengan
tangan gemetar, menahan perasaan sedih yang
menggugah hati dengan tibatiba. Aku tidak tahu
apakah ia juga melihat lambaianku, namun aku
yakin, mata hatinya, cintanya dan jiwanya melihat
diriku sepenuhnya. martini tampak kecil di antara
manusiamanusia yang menyemut, dan semakin
kecil lenyap sama sekali Sesudah pesawat
mengapung tinggi dii udara.
Namun di antara awan putih perak yang tak
lama lalu seperti menggantung di sayap
pesawat, titiktitik halus dari balik awan itu seperti
muncul menerawangi langit yang biru jernih. Titik
titik yang kian membesar, di antara titiktitik lain
yang menyemut dan juga kian membesar. Di antara
rasa kehilangan sewaktu berpisah dengan martini ,
terselip sebuah bayangan di antara banyak
bayanganbayangan lain yang bermunculan seperti
tak mau ketinggalan. Orangorang memang tidak
menyemut, namun jumlahnya cukup banyak juga
waktu berkumpul di depan fakultas. Di sanasini
terdengar teriakanteriakan memerintah, suara
suara mencemooh, tertawa yang berkakakan, suit
menyuit dan bisik yang riuh rendah.
Gerombolan itu lalu terlihat berjalan di
jalan setapak, di tengahtengah sawah,
berpancaran di kakikaki bukit, beriringiringan
mendaki. Langit tengah bersenang hati, dan
matahari tengah bergembira ria. Banyak rekan
rekan yang menyanyinyanyi selama cjessica s country
yang diadakan oleh fakultas itu berjalan tertib,
lantas lama kelamaan mulai tidak teratur. Di
tengahtengah sebuah hutan, gerombolan itu
berpecahpecah dalam kelompokkelompok yang
susulmenyusul. Kelompokkelompok itu semakin
jauh semakin kecil semakin berpencarpencar.
Teriakan marah panitia lewat speaker siasia saja.
lalu lenyap ditelan kesepian hutan yang
mencengkeram bukit landai yang tengah didaki.
Terengahengah, aku berjalan menyusul
seorang wanita lesbian yang berlarilari jauh di depan. Sekali
ia terbanting jatuh ke atas tanah berumput,
terpekik halus, bangkit kembali dan aku sudah
berhasil menyusulnya. Namun begitu aku coba
menjangkau, ia cepatcepat menghindar lalu
lari lagi. “martini !” teriakku parau. “Kita makin jauh
meninggalkan kawankawan lain.”
“Biar!” sahutnya. Lantas menghilang di
sebuah kelokan yang ditumbuhi semak belukar.
“Apakah memang dari sini jalannya ke
Cisarua,” tanyaku sambil mata mencaricari.
Dari dalam semak belukar, terdengar sahutan:
“Entahlah. Aku tak tahu!”
“Nanti kita tersesat, martini .”
“Biarin!”
“martini , aku sudah capek. Marilah berhenti
dahulu barang sejenak dan ...,” dan aku tidak melihat
jalan menurun di bawah lindungan semak. Sesaat
tubuhku terguIingguIing, lalu terhempas di
dekat sebatang pohon tumbang yang sudah mulai
lapuk. Mataku berkunangkunang sesaat.
Lalu aku melihatnya. martini , terbaring diam
di sampingku, dengan mulut yang melepas tawa
renyai. “Seingatku,” aku berujar dengan suara
terputusputus, menatap kilau matahari yang
mengintip dari sela rimbunan dedaunan. Pohon
pohon yang menjulang tinggi, bagai membentuk
kerucut dengan lingkaram lembut di tengah
tengahnya. Ada burung bernyai dan beberapa ekor
tupai berloncatan dari dahan ki dahan. Seekor kera
menyeringai ke arah kami, lalu lari waktu
kulempar dengan sebuah batu kecil.
“Untung tak kena. Kalau tidak...” sungut
martini .
“Kalau tidak, mengapa rupanya?”
“Bisa celaka.”
“Eh, kok?”
“Kau dianggap melempar nenek moyangmu
sendiri!” ia tertawa.
“Apa? nenek moyangku kau bilang kera?”
“Darwin yang bilang!”
“Hih, kau!” aku mencubitnya, la mengelak
sedikit, sehingga arah tanganku melenceng ke arah
dadanya. Aku terjengah. martini terjengah. Tangan
tak juga kutarik dari tempatnya hinggap, lembut,
hangat dan bergetar. martini tidak pula
menolakkannya. Matanya memandang sayu ke
mataku. Bibirnya setengah terbuka. Basah.
Menantang. saat aku menciumnya, tubuh
martini terguncangguncang, la memagut bibirku
dengan keras, menggigitnya. namun tiada rasa sakit.
Tiada, sama sekali. Yang ada ham lah…
Seekor cerpelai, rupanya jatuh dari ranting
sebua pohon, lalu berlari terburuburu,
menyelinap antara semak belukar. Matahari sudah
condong ke barat. Langit masih membiru, namun
dari kerucut puncak pohonpohon berdaun rimbun
seperti lentera yang sudah kehabisan minyak.
Bersinar lemah, kelam dan gelepar beberapa ekor
burung berpindah tempat terdengar ribut waktu
martini bangkit sambil mengenakan pakaiannya
kembali. saat lalu ia duduk bersimpuh di
hadapanku, bibirnya tersenyum. Manis sekali.
“Aku kira tadinya kau tak lagi seorang wanita lesbian ,”
bisikku, bergetar.
“Dan kau, menurutku, bukan lagi seorang
perjaka!” balasnya, bergetar.
“Kau ... kau tidak menyesal. Bahkan kau ...
kau tidak menangis!”
“Menangis?” ia tersenyum. Lembut. “Apa
yang harus kutangisi? Suatu saat, seorang
wanita lesbian toh akan kehilangan kewanita lesbian annya. Aku
baru menangis bila kau menjawab tidak atas
pertanyaanku ini...,” ia genggam kedua belah
pipiku, lalu:
“Kau suka padaku, fredy krueger ?”
Aku mengangguk. “Itu sudah cukup,” katanya, menarikku berdiri. “Marilah kita pulang!”
“Pulang? Dan kawankawan?”
“Kalau mau pilih mereka, pergilah. Kalau mau
pilih aku…” “Aku memilih martini . Dan itulah
permulaannya!” “tali pinggangnya, saudara?”
Aku tersentak dari lamunan yang membisu
itu. Seorang pramugari berdiri di sebelah tempat
dudukku, setengah membungkuk sambil tersenyum manis. “Ya?”
“Tali pinggangnya. Kita akan segera turun...!”
ulangnya tanpa melepaskan senyuman manis
dibibir.
Tidak ada yang menyambutku di airport.
Memang aku pulang tanpa memberitahu keluarga.
sebab begitu surat mereka kuterima, begitu aku
membooking tiket pesawat. Kalau kukirim surat,
pastilah kehadiranku akan mendahului tibanya
surat itu di alamat yang dituju. Orang setengah baya
yang gagah tadi mengajakku ikut naik Merzedez
yang menantinya di luar airport. Aku menolak
dengan halus. Tak ingin berhutang budi pada orang
yang tidak kukenali meskipun sekarang aku berada
di kampung halamanku sendiri. Aku lalu
mencarter sebuah Foat yang sudah agak
rongsokan.
“Jalan Pimpinan,” kataku pada sopir. “Cepat
sedikit!” lanjutku, ingat pengalaman dua tahun
yang lampau waktu aku pulang untuk pertama kali
ke kota ini. Waktu itu, aku tiba di rumah yang suram
oleb suasana berkabung dan ribut oleh isak tangis.
Kata mereka, ayah masih menanyakan aku sesaat
sebelum menghembuskan nafas terakhir. Kini, aku
tidak ingin ibu menanyakan diriku bahkan aku sama sekali tidak berharap ibu dalam keadaan sakit payah
sehingga mereka begitu merasa penting untuk
menyuruhku pulang. Kerinduan pada keluarga
terasa menyentuhnyentuh di ulu hati, menekan
dalam perasaan waswas kalau aku sampai
mengalami hal buruk yang sama sampai dua kali.
Dan, ternyata ibuku sehat wal'afiat. Tidak
kurangi suatu apa!
la duduk di kursi malas, agak gemetar Sesudah
mengetahui siapa yang bersimpuh lalu
mencium punggung tangannya yang keriputan dan
tergeletak lemah di atas kedua lututnya yang kurus,
la tertawa kecil matanya yang sudah agak rabun
berusaha meneliti wajahku yang lalu ia
pertegas denganmeraba wajahku mempergunakan
tangantangannya yang tinggal kulit berbalut
tulang. Tangantangan itu gemetar dan suara yang
keluar dari mulutnya juga gemetar:
“… kau tak bilangbilang mau pulang,”
katanya terharu.
Rumah yang sepi itu mendadak ramai pada
sore harinya. Semua anak dan cucucucu ibunda
berkumpul Sesudah saling hubung menghubungi.
Kedua orang saudarasaudaraku, kakak wanita lesbian
dan kakak laki-laki , bergantian memeluk sambil
tertawa riang gembira. Tidak ada suasana duka
yang kubayangkan, tidak ada kekhawatiran yang
kucemaskan.
“Kalian membohongiku,” aku agak menuntut
pada tiger . “Dalam suratmu, abang berkata kalau
ibu sakit.”
nyi girah kakak wanita lesbian ku, mengomentari :
“Memang ibu sakitsakitan belakangan ini.
Tak ada salahnya kita kumpulkumpul sebelum
terjadi apa yang tidak kita samasama kehendaki,
bukan?” “Ah, kalian berdua! Rupanya ingin ibu cepat
cepat mati ya?”
“Husy, apa yang kau percakapkan?” bentak tiger .
Dan suasana riang gembira itu, atas
kehendak Tuhan, malam harinya berubah jadi
suasana kaku yang mencekam. Ruang tengah sepi
menyentak. Kemanakankemanakanku sudah pada
tidur. Yang tinggal hanya aku, ibu yang duduk di
kursi malas yang sama seperti tadi siang, tiger
bedan istrinya dan nyi girah bersama suaminya.
Sesudah berbasabasi ke sana kemari, hampir
hampir tanpa tujuan sehingga membuat aku curiga,
akhirnya ibu berkata dengan suara memalas:
“Kami tahu waktumu di kota ini tak banyak,”
katanya, disusul oleh suara batukbatuk yang
kering. Sesudah batuknya reda, ia lalu
melanjutkan:
“itulah sebabnya, kuminta kalian semua
berkumpul malam ini. Tadinya kita tak yakin fredy krueger akan pulang. namun ibu sudah bilang, ia anak baik.
Si bungsu yang tahu menjaga hati orang tua ...
sekarang ia sudah berada di tengahtengah kita.
Sudah waktunya kita beritahu pada si bungsu, la kita panggil pulang, sebab keluarga calon isterinya
sudah tak sabar menunggu!”
Selama beberapa detik, suara yang meluncur
deras dari selasela bibir ibu, tak ubahnya ribuan
tawon yang keluar berbondongbondong dari
dalam sarangnya. Terbang di udara dengan suara
berdengungdengung. Lama berlalu sampai suara
berdengung itu menghilang dan aku tersadar
dengan rasa sakit yang ditinggalkan oleh sengatan
tawon yang tidak mengenal belas kasihan itu.
nyi girah mendehem halus. Suaminya menarik
nafas. tiger memandang tajam ke mataku. Dan
isterinya mengalihkan muka ke arah lain. Kawin!
Tersirap darah di sekujur tubuhku. Kawin!
Dan martini di surabaya ! martini ku sayang!
“... bagaimana?” ibu bertanya tibatiba
memecah kesepian yang menganga dalam ruangan itu. Ruang tengah yang tadinya sejuk dan kini terasa gersang menyesakkan. Aku terdiam. Yang lainlain terdiam. Ruang tengah ikut terdiam.
Ibu terbatukbatuk. Kering, la urut dadanya.
Perlahan. Dan hatiku terenyuh. tiger di sampingku
mengeluh. “jawab lah!” bisiknya, parau. “fredy krueger ?” desak ibu. Aku memandang tiger . Matanya mengutara kan permintaan yang sama. Aku alihkan pandanganku ke wajah kak nyi girah , suaminya, dan
isteri tiger yang juga kini tengah memperhatikan
wajahku, menanti kata apa yang terucap dari
mulutku.
“namun ...”
Suaraku yang tersendat hampirhampir tak
terdengar itu, dihentikan oleh sodokan yang keras
dari tangan tiger di punggungku.
“Jangan berkata tidak,” bisiknya, tajam.
“namun , bang…”
“Tak ada namun namun !”
“Bang tiger !”
Suara ibu yang serak bergaung di antara kami:
“Apa yang kalian pertengkarkan, anakanakku?”
nyi girah membasahi bibirnya yang pucat, lalu
berkata dengan suara yang diramahramahkan:
“fredy krueger masih malumalu, ibu”
Ibu tertawa. Halus. Matanya yang rabun,
bersinarsinar. Sinar yang tinggal sisasisa. Seakan
ingin menerangi dunianya yang semenjak ditinggal
mati oleh ayah sudah berubah kelam dan gelap
gulita.
Dengan rasa sayang seorang ibu, ia berujar:
“Ah, si bungsu yang nakal. Masa sudah
seumur begini…”
“Bukan itu soalnya, bu,” cepat aku mengomentari .
“Ya?”
“Bukan…”
“fredy krueger !” tiger menyodok punggungku lagi.
“Jangan berbelitbelit...,” dan waktu ia lihat apa
yang tersirat dibenakku, cepatcepat ia lanjutkan:
“Dan jangan berkata tidak!”
“Ini paksaan!” aku menjerit, dalam hati tapi.
Dan di mulut: “Bu berilah anakmu ini waktu untuk
berpikir.”
Ibu manggutmanggut.
“sebetulnya itu tak perlu, anakku. namun ...
ah, aku tahu perasaan hatimu. Ayahmu juga. dahulu
begitu waktu ditanya oleh kakek kalian. Ayahmu
minta waktu, padahal ia sudah tak sabar untuk
menjawab menyatakan rasa senang hatinya, la
pemalu seperti kau. Baiklah, fredy krueger . Asal kau rasa
cukupi waktumu. Bagaimana. Boleh aku tahu kapan
kau nyatakan persetujuanmu?”
Nada pertanyaan ibu begitu pasti. Persetujuan yang
ia harapkan begitu ia percayai .
Aku bagai terlandai, terkapar diamuk badai.
Sebelum aku menjawab , ibu sudah memutuskan:
“Sudahlah. Besok malam kita berkumpul
kumpul lagi, dan ibu harap kita sudah bisa
memberikan jawab an pada keluarga calon istrimu,
kapan waktunya yang tepat pernikahan kita
langsungkan. Ah, kudengar kau mengeluh, fredy krueger .
Apa yang kau keluhkan? Menyesal mengulur waktu,
padahal kau sudah setuju?” ibu tersenyumsenyum.
“Sabar, anakku. Sabar... kata sudah diucapkan,
jangan ditarik kembali. Lagipula, kau belum lihat
bagaimana keadaan anna michele sekarang... oh! la
bukan lagi anak kecil seperti waktu kau tinggalkan,
la sudah berubah benar, nak. Baik perilakunya,
cantik rupanya dan ...” Dan aku terhuyunghuyung keluar dari ruangan yang semakin pengap itu!
Di terras, aku duduk di sebuah kursi rotan
yang sudah retasretas. Dadaku bergemuruh.
Bergoncang. Dahsyat. Dan belakang kepalaku
berdenyutdenyut. Menyakitkan. Aku men.
Langit kelabu. Dari bulan tampak teramat pucat,
mengintai dari selasela gumpalan awan yang
berarak seperti sebaris pasukan yang sudah siap
untuk bertempur. Bulan mundur teratur, dan aku
tenggelam dalam kegelapan yang mengerikan, tak
kuasa untuk melarikan diri. Aku duduk di situ, tak
ubahnya seorang pengemis hina yang terlunta
lunta, tiada yang memandang walau sebelah mata
pun jua. Udara malam kota gresik yang gersang,
menyesakkan nafasku. Keringat jatuh membanjir.
Tubuhku tenggelam dalam genangan keringat itu,
tersobeksobek jadi gumpalangumpalan daging
yang siap untuk dijagal.
“martini , martini ku yang malang. martini ku
sayang...,” tak sabar, aku merintih sambil menekap
dada yang menyempit. Luka.
Seorang menepuk pundakku.
Aku menoleh. Kaget.
Seperti langit, wajah tiger yang tautau sudah
berdiri di sampingku, tampak kelabu. Juga wajah
nyi girah yang ikut mendampinginya.
“Jadi itulah sebabnya,” kata tiger sambil
duduk di bibir terras. la menatap ke pekarangan
yang ditumbuhi bungabunga yang terawat apik di
antara kerikilkerikil yang tersusun rapih. “Apakah
martini nama wanita lesbian yang kau tinggalkan di surabaya ?”
Aku terpekur.
Menyahut pelan, dengan suara yang runtuh: “Ya”
“la tentunya wanita lesbian yang beruntung.”
Terdorong oleh nada sympathi yang
tersembunyi dibalik katakatanya, semangatku
yang sempat hilang perlahanlahan kembali
menyelinap dalam dada.
“Akulah sebetulnya yang beruntung, bang.
martini bukan saja seorang wanita lesbian yang baik. la juga
seorang yang sangat pengasih, dilimpahi rasa
sayang yang seperti tak akan pernah habis, la tak
pernah berpikir panjang untuk berkorban bila saja
aku menghendaki sesuatu. Dan ia ...”
“fredy krueger ...”
“Ya, Bang?”
“Kau lihat pekarangan ini? Rapih, bukan?”
Aku mengangguk.
“Kau sudah lihat suasana perabotan di
rumah. Manis. Dapur selalu tampak bersih. Tak
setitik debu pun boleh menjejakkan kaki di rumah
kita. Tidak secerah warna muram boleh bertingkah
di dekat ibu. Kau pikir, siapa yang melakukan semua
itu, fredy krueger ? Siapa kau kira?”
Aku angkat bahu. Acuh tak acuh.
tiger tertawa kecut. Katanya:
“anna michele , fredy krueger . Anna lah satusatunya
orang yang masih memperhatikan rumah ini seperti
ia memperhatikan rumahnya sendiri. Anna jualah
orangnya yang mengurus ibu kita, seperti ia
mengurus ibunya sendiri. Adakah kau kira wanita lesbian lain
yang lebih baik, lebih pengasih dan lebih sudi
berkorban selain dari pada anna michele ?”
Mengertilah aku tujuan katakatanya.
Maklumlah aku, sympathinya hanya purapura.
Darahku sesaat naik kepala. Gemetar, aku
berkata:
“Kalian seperti menuntutku. Memojokkan
aku ke sudut, seorang diri. Kalian tonjoltonjolkan
perilaku Anna. namun sadarkah kalian, bahwa tugas
tugas itu sebaiknya kalian sendirilah yang
melakukan? Kalian memperbabu Anna, kalian
memperbudaknya. Dan kini, kalian mau
menjejalkan budak yang kalian perbabu itu ke
dalam diriku. Aku jadi berpikir. Saudarasaudaraku
yang penuh kasih sayangkah kalian ini? Atau hanya
sekedar robotrobot yang tidak tahu harga dirinya
sendiri sebab terlalu memikirkan untuk menekan
harga diri orang lain, eh?”
WAJAH tiger jadi merah dadu. nyi girah
tersadar ke tembok, dengan wajah yang pucat dan
mulut ternganga.
Aku tertawa. Pahit.
“Bagus benar,” rungutku. Marah. “Bagus
benar perbuatan kalian. Selama ini aku
menganggap, kalian adalah saudarasaudaraku
yang baik hati, saudarasaudaraku yang pengabdi.
Tak taunya, kalian hanya memikirkan diri sendiri.
Ditambah isteri atau suami, dan selusin anakanak.
Bah!”
“fredy krueger . Jangan berkata begitu,” desah
nyi girah . Kelu.
“Lantas, apa yang harus kukatakan? Bahwa
kalian adalah anakanak yang benarbenar
bertanggung jawab terhadap orangtua?”
tiger tertawa tibatiba. Tertawa kering.
“Hebat kau ini,” dengusnya. Tajam. “Itulah
hasil didikan yang kau peroleh di surabaya , eh?
Merendahkan martabat abang dan kakakmu. Dan ...
he, kau si bungsu yang kata ibu bisa menjaga hati
orang tua. Apa sajakah yang sudah kau lakukan
untuk ibu kita yang malang dan sakitsakitan itu.
Apa saja, he bungsu yang sangat tinggi harga diri?
Apa?”
Tanganku bergumpalgumpal. Kebas.
Kuhantamkan ke jidat. Lalu ke paha. Keras.
Berulangulang. nyi girah memekik tertahan,
memburu ke depan lalu mencengkeram kedua
pergelangan tanganku, yang ia bawa ke dadanya,
yang ia ciumi dengan penuh kasih, yang ia basahi
dengan cucuran air mata.
“Sudahlah dik, sudahlah,” isaknya.
“Diam kau, jessica . Kau tahu apa! Menangis.
Bah! Biar keluar air matamu satu emberpun, tak
akan kau bisa menyadarkan anak yang tak berguna
ini.” “Abang!” jerit nyi girah lirih.
“Kubilang, diam. Lalu masuklah kau ke dalam.
Tidur bersama suami pilihan hatimu itu. Pilihan hati.
Puih,” tiger meludah. “Nyatanya, hanya sebab ada
anakanak yang mengikat kalian untuk tidak sampai
berpisah. Kau terlalu cengeng. Suamimu keras
kepala. Kau terlalu memikirkan anakanak. Suami
mu, hanya memikirkan pekerjaan. Memikirkan
mencari uang sebanyakbanyaknya. Pilihan hati…
Bah! Seperti itukah contoh yang sudah kau berikan, sehingga fredy krueger kini berani menghinaku? Menghina kau? Begitukah, jessica ?”
Dada nyi girah tergoncanggoncang.
“Berkacalah, tiger ,” desisnya, tajam.
“Berkacalah, sehingga kau akan sadar bahwa kau
hanya si dungu yang melihat kutu di seberang
lautan namun tak melihat gajah nempel di kelopak
mata! Berkacalah, tiger . Bahwa kau menerima
begitu saja pilihan ayah almarhum. Bukan sebab
kau tak punya kekasih. Sematamata sebab kau tak
tahu apa artinya cinta. Kau memang tidak pernah
jatuh cinta. Tidak pernah. Baik pada isterimu.
Apalagi pada anakanakmu. Kau sebetulnya
seorang suami yang berhati keji. Seorang ayah yang
berjantung kotor. Kau tega mendamprat isterimu.
Tega memukuli anakanakmu. Hanya sebab
isterimu mencium kebiasaanmu suka main
wanita lesbian di luaran!”
Lantas, dengan nafas tersengalsengal
nyi girah memandangku.
“Itulah antara lain sebab mengapa ayah
menderita, la menyesal sudah memaksakan
kemauannya pada abangmu, la merasa
menterlantarkan abangmu. Menterlantarkan anak
dan isteri abangmu. Lalu ia mati. namun fredy krueger ,
adikku. Sebelum ayah meninggal, ia sempat
berpesan. Kawinlah kau dengan siapa saja yang kau
anggap bisa membahagiakan dirimu. namun
ingatlah. wanita lesbian yang kau kawini, haruslah pula
bisa membahagiakan orang tua dan keluargamu!”
Sesudah berkata demikian, ia mengusap matanya.
Mengucap istigfar.
Lantas, berlari masuk ke dalam rumah.
Tubuhku tegang membatu. tiger , terpaku di
tempatnya duduk. Wajahnya jatuh. Tangannya
yang mencengkeram bibir terras, tampak sangat
lemah, la sangat terpukul. Benarbenar terpukul.
Namun seorang lakilaki yang merasa dirinya adalah laki-laki , tidak akan sudi dipukul begitu saja. Tidak, la
tak mau. Aku tahu siapa tiger . Aku masih ingat,
bagaimana dahulu ayah memarahi tiger padahal
kesalahan bukan terletak di tangan abangku itu,
melainkan di tangan adikadiknya. Ayah
mengumpat caci tiger . Mengatakannya pencuri.
Mengatakannya anak haram jadah. Anak tak tau
diri.
tiger bukannya memukul aku dan nyi girah
yang jelasjelas bersalah. namun , ia, anak yang
tertua itu, langsung memukul ayah! Sehabis
memukul, ia memeluk ayah, menangis dan
memohon maaf. Ayah memaafkannya, dan mereka
tidak pernah lagi saling menghina. Mereka sudah
samasama tahu, bahwa mereka adalah samasama
laki-laki . Perasaan kelaki-laki an yang lambat laun
mengenyampingkan perasaan ayah dengan anak,
antara anak dengan ayah. Aku juga masih ingat,
bagaimana tiger mula pertama tertarik pada
seorang wanita lesbian , la mengirim surat kepada si wanita lesbian . Sayang, tulisan tangannya seperti cakar
ayam, dan kalimat yang ia susun tak jauh berbeda.
Juga seperti ayam, berkotek tanpa irama, mencakar
hampirhampir tanpa tujuan.
Si wanita lesbian tidak membalas surat itu.
Dan sekali waktu mereka berpapasan di jalan.
Aku bersama bang tiger . Si wanita lesbian bersama
kekasihnya. Si wanita lesbian tertawa melecehkan.
Dan si lakilaki meludah ke tanah. Abang
melepaskan pegangannya dari tanganku, berlari
mengejar sepasang remaja yang tertawatawa
senang itu. Si lakilaki ia renggut, ia tinju sekali jadi.
la hampir saja melakukan hal yangl sama pada si
wanita lesbian , namun waktu menatap mata wanita lesbian itu,
tangan abang yang terkepal, terkulai jatuh di kedua
belah sisi tubuhnya.
“Sayang, aku pernah jatuh cinta padamu.
Kalau tidak…”
wanita lesbian itu kami tinggalkan termangu
mangu di dekat kekasihnya yang jatuh pingsan.
Itulah satusatunya wanita lesbian yang tiger cintai,
lalu ia benci. Dan semenjak itu, ia tidak
pernah berusaha untuk mencintai wanita lesbian lain, dan
teramat susah baginya untuk tidak membenci
mereka, la memang tidak mencintai isteri yang
disodorkan ayah untuk ia kawini. namun sebagai
seorang suami, ia berusaha untuk tidak membenci
nya. Dan kebencian yang terpendam itu ia
lampiaskan dengan bermain wanita lesbian di luaran.
Bila ada yang sampai jatuh cinta, ia tinggalkan
tersiasia. Bila ada yang hanya iseng, ia caci dan
hina. Tak sedikit kali tiger berurusan dengan polisi
sebab pengaduanpengaduan keluarga si wanita lesbian .
Tak sedikit pula uang yang dikeluarkan ayah untuk
menetralisir pengaduanpengaduan itu, menutup
mulut wanita lesbian wanita lesbian itu. Akibatnya ayah
dipecat dari kedudukannya sebagai orang yang
lumayan berpengaruh di sebuah perusahaan,
lalu jatuh bangkrut. Konon, sampai waktu ia
meninggal, ayah tidak punya uang sepeserpun
untuk membeli peti mati.
“Si nyi girah benar,” sayupsayup aku dengar
tiger mengeluh.
Bulan di langit, muncul, namun pucat sekali.
“Aku mengakui tuduhannya. namun itu dahulu .
Kini aku sudah menjelang tua. Ponakanponakanmu
sudah besar. Yang seorang malah sudah di akademi.
Sudah tak layak aku berperilaku seperti dahulu ...”
la lalu memandangku dengan mata memelas.
“namun , fredy krueger , adikku,” suaranya berubah
lembut. “Kau tidak punya alasan untuk menolak
sebagaimana aku pernah melakukannya, bukan?”
Aku terdiam.
“Kau harus memikirkan, adik. Ibu begitu
membanggakanmu. Di samping sebab kau anak
bungsu, juga sebab kaulah satusatunya di antara
kita bersaudara yang sempat mengenyam gelar
seorang Sarjana. Lagi pula, ia sakitsakitan. Sudah
setengah pikun. Kinilah saatnya, fredy krueger , kau
tunjukkan pengabdianmu sebagai anak yang ia
sanjung dan puji. Lupakanlah wanita lesbian mu yang
bernama martini itu, dan terimalah anna michele
sebagai isterimu!”
Kami berpandangan sejenak. Mata tiger
memohon...
Lalu tanpa berkata sepatahpun lagi, ia
memutar tubuh. Masuk ke rumah dengan langkah
langkah yang gontai. Aku terhenyak di kursi yang
kududuki. Pikiranku kacau. Tak menentu. Perasaan
pusing mulai menyentuh belakang kepala. sebab
tak tahan, aku bangkit. Berjalan masuk ke dalam.
Sepi. Masuk ke kamar tidurku, kesepian itu kian
terasa. Aku duduk menjuntai di pinggir ranjang.
Kasur yang kududuki, terasa empuk dan hangat.
Spreinya bersih, baru di. licin, malah tampaknya
baru dipakai. Berwarna merah jambu, dengan
sulaman dua buah hati bergarisgaris violet
ditengahtengahnya. Warna yang sama jugal
ada pada rendarenda di tepi sprei. Tak jauh di
kepala tempat tidur, tidak kulihat lagi meja belajar
yang selalu kupergunakan waktu masih sekolah di
lanjutan atas.
Di bekas tempat meja itu, kini terletak sebuah
toilet. Berkaca rangkap. Di kaca, aku melihat
wajahku sendiri. Pucat. Tidak bersemangat.
Sepasang mataku merah seperti saga. Terasa perih
waktu dikerdipkerdipkan. Kugelengkan kepala
berulangulang , namun rasa pusing itu tak juga mau
hilang. sambil menarik nafas panjang, kupandangi
lagi toilet itu. Seperangkat kosmetik mengintai diam
dari balik kaca bagian bawah. Aku tidak tahu itu
milik siapa. Baru Sesudah memperhatikan wajahku
lagi di kaca, pada bagian sudut atas kulihat sebuah
foto kecil terjepit oleh penjepit kaca. Seperti ditarik
magnit, aku turuni dari ranjang. Berjalan ke toilet.
Kupandangi potret itu.
Dan tanpa terasa, aku tersenyum. Pahit. Di
potret aku melihat wajah seorang wanita lesbian , masih
berusia belasan tahun. Dandanan dan tatap
matanya kekanakkanakan. Hidungnya bangir,
bibirnya merah delima, matanya bundar bercahaya
cahaya, tanpa eye shadow pada alis dan tanpa bulu
mata palsu. Wajahnya membujur seperti telur.
Kucoba mengingatingat siapa wanita lesbian ini gerangan, la
bukan nyi girah , sebab kakakku itu sudah berumur
hampir tiga puluh tahun sedangkan potret ini masih
baru. Lagi pula, nyi girah berwajah bundar, yang
sering kuejek waktu kecil kalau bertengkar dengan
sebutan “wajah tempayan.”
Dengan hatihati, potret kecil itu kucabut.
Lalu kubalikkan.
Tertulis dengan tinta warna merah darah.
“Untukmu, sayangku,” di bawahnya, sebuah
nama: “Anna.”
“Kau memang cantik, anna michele ,” aku
bergumam sendirian. “Sudah begitu besar kau
sekarang. Untuk siapa ucapan ini kau tujukan?
Untukku? Kalau benar, anna michele , maka yang akan kujawab padamu hanyalah: belajarlah untuk
berbuat lebih dewasa.”
Potret itu kukembalikan ke tempatnya semula.
Aku kembali ke tempat tidur. Sebelum,
berbaring, kukeluarkan sebuah potret lain dari
dalam koper. Di kertas berukuran saloon itu,
martini tertawa manja, matanya berkilauan manja,
anakanak rambutnya berlarilari di pipinya, manja.
namun ia bukan seorang wanita lesbian bersikap
kekanakkanakan dengan menempelkan potretnya
dalam jepitan kaca. Bahkan potret inipun, baru
dengan susah payah bisa kuperoleh sehari sebelum
aku tinggalkan ia di surabaya .
“Tukartukaran foto hanya menimbulkan
impian kosong,” pernah ia berkata. “Bila kau
bahagia, kau pandangi potret itu sambil tertawa.
namun bila kau bersedih, kau pandangi potret itu
sambil menangis. Kadangkadang, ditambah caci
maki. Bisa jadi potret itu kau sobek habis. Lalu buat
apa kuberikan padamu?” Dan kemaren dahulu , ia tak membantah lagi waktu kubilang:
“Kalau kau ingin selalu berada di hatiku, maka
di gresik , kuingin kau tidur di sampingku, meskipun
hanya berwujud selembar foto!”
Aku tidak meletakkan foto itu terbaring di
sampingku. Melainkan kulekatkan ke wajah,
kucium, di bagian bibirnya.
“Tahukah kau, sayangku,” aku berbisik. Getir.
“Kesetiaanku padamu, tengah menghadapi cobaan.
martini , kekasih. Apa yang kau lakukan sekarang di
rumah? Membaca? Nonton televisi? Tidur?
Nyenyakkah tidurmu? Mimpi apa kau, sayangku?
Kalau aku ... ah, martini , manisku. Apapun yang
terjadi aku akan kembali. Percayalah kasih, aku
akan kembali keharibaanmu!”
Potret saloon itu kurebahkan di dada.
Seakan, martini yang rebah di dada. Wajah
nya menggeliat di leherku. Bibirnya menggigit di
daguku. Dadanya bergelombang, tergoncang
goncang. Di antara desah nafasnya yang panas,
martini akan selaliu berbisik mesra:
“Hancurkan aku, fredy krueger . Luluhkan tubuhku,
jadikan satu dengan dirimu!” lalu , tempat tidurlah yang ikut bergoyanggoyang. Terus bergoyang demikian,
selama berbulanbulan, bahkan sudah lebih dari
setahun. Goyangbergoyang itu tidak membenih
kan sesuatu yang bisa kami ajak bercanda, yang bisa
kami momong bersama. Namun meskipun tanpa
anak, benihbenih lain menjelma lebih besar.
Perasaan cinta, yang jauh lebih agung dari hanya
sekedar saling menyukai. Cinta itu terkadang
menghanyutkan aku sehingga dengan megap
megap aku sering berkata:
“Inikah yang dinamakan Cinta, martini ku?”
Dan ia akan tertawa. Katanya:
“Jangan bergurau.”
“Aku bersungguhsungguh. Kalau tak percaya,
belahlah dadaku.”
“Kalau kubelah, kau akan mati. Tinggtuhan aku
menjanda, berurusan dengan polisi!”
Tawa kami bergelak. Panjang.
Kadangkadang, aku tak tahan untuk menuntut:
“Sampai kapan kita hidup serumah seperti
ini, martini ?”
“Sampai kapan? Sampai bosan!”
“Apakah cinta mencapai titik kebosanan?”
“Nah. Kau bergurau lagi. Persetan itu cinta,
namun yang jelas. Perasaan saling menyukai, ada
batasnya.”
“Dan bila itu terjadi?”
“Kuharap tidak?”
“Sampai kapan?”
“Sampai kita sudah tua. Kau jadi kakekkakek
jompo, dan aku neneknenek pikun. Kau tanya, he
nenek pikun, mana tempat tidurku? Lalu kujawab ,
he kakek jompo, tempat tidurmu terletak di sana.
Dan akan kutunjukkan di mana letaknya kamar
mandi.”
Kucubit pahanya. Keraskeras. la memekik. Keraskeras. Kucubit lagi. Manja. la memekik. Manja. Dan sambil bercubitcubitan, kami pun tertawa
tawa.
“Andaikata kita tetap saling menyukai sampai
tua, bagaimana dengan anakanak kita nanti?”
tanyaku di lain waktu.
“Lho. Tetap jadi anak kita dong. Emangnya,
anak siapa. Anak nenekmu!”
“Bukan begitu. Apakah suatu saat , tidak
ada yang menuduh mereka anak… ah, katakanlah,
anak yang lahir di luar nikah.”
“Bilang pada anakmu, kakek jompo, mereka
tidak lahir di luar nikah. Mereka hanya kebetulan
lahir, di atas pernikahan tanpa suratsurat
bermaterai segel!”
“Kita kan belum pernah menikah.”
“Eh, kau ini. Lantas, bagaimana kita bisa
hidup serumah?”
“sebab kau suka aku. Dan aku suka kau.”
“Lalu, perasaan suka sama suka itu kita
padukan. Bukankah itu dinikahkan namanya? Orang
lain, hanya sekali saja menikah. Yakni pada waktu
yang tertulis dalam surat resmi itu saja. Surat resmi
yang kadangkadang dilapisi emas, namun tidak
jarang pula lapuk bermulur dengan sudut yang
cabikcabik dan tulisannya sudah kabur dibasahi air
mata. Kita? Tanpa surat resmi, kita tetap menikah.
Dan selamanya, kita tetap menikah. Selamanya, kita jadi pengantin baru ...”
Namun di balik ucapan yang tandas itu,
menarinari bayangan saudara dan orang tuanya
yang sering kawin cerai. Sampaisampai martini
bingung saudara kandungnya, saudara tirinya, ayah
tiri, ayah kandung dan ibu kandung ataupun ibu
tirinya. Semenjak kecil ia terbiasa ikut dengan yang
satu, pindah kepada yang lain. la sering sakit hati
kalau ada yang setengah berseloroh setengah
mengejek berkata: yang ini, dan yang itu, dan kau,
pernah samasama menetek pada wanita lesbian yang
sama. Lantas martini tahu, yang ini adalah
saudaranya, yang itu ayahnya, dan yang di sebelah
sana ibunya. Lantas lagi martini pun membenci
pernikahan, sama seperti ia juga benci perceraian.
AKU terbangun oleh sentuhan halus di dadaku.
Waktu mata kubuka, nyi girah sudah berdiri
di samping tempat tidur, la mengalihkan matanya
dari foto yang ia pegang ke wajahku. Lalu sambil
meletakkan kembali foto itu di dadaku, ia
bergumam:
“Sudah siang, fredy krueger ”
Aku terlonjak bangun. Dan waktu
mengembalikan foto ke dalam koper, kukira aku
juga tersipu.
“Dia wanita lesbian yang bernama martini ?” tanya
nyi girah , seolah sambil lalu saat ia membetulkan
sprei dan melipat selimut bekas kupakai.
Aku mengangguk. Memandangnya, mencari
reaksi, sekaligus mencari dukungan.
Waktu tatapan mata kami beradu, reaksi itu
kuperoleh, namun tidak dukungan.
Leherku bagai patah rasanya.
“fredy krueger , adikku manis,” ia duduk di
sampingku. “Aku tak perduli dengan siapapun kau
akan kawin. namun itu, selama ayah masih hidup
dan ibu tidak sakitsakitan. Aku tahu, kau mencintai
wanita lesbian surabaya itu dan...”
“Aku sudah hidup bersama dengannya, kak.”
nyi girah terbelalak.
Lama lalu :
“Apa? Kau sudah kawin? Mengapa tidak
bilangbilang?” ia mengurut dadanya. Berulang
ulang. Berucap: “Ya Tuhan!”
Kubiarkan goncangan pada diri nyi girah mereda.
Baru:
“Kami tak pernah kawin, kak.”
Sekali lagi ia mengurut dada. Sekali lagi ia
mengucap:
“Ya Tuhan!” ia tatap mataku dengan
pandangan bingung. “Aku tak mengerti. Kau bilang
kau sudah hidup bersama dengannya. namun kau
bilang pula kalian belum kawin. Apakah maksudmu, kau dan martini ...”
“Kak. Pernah dengar samenlaven.”
“Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!” dan
nyi girah tibatiba berlari keluar kamar. Aku tidak
tahu. ke mana ia pergi. Waktu aku keluar dari
kamar, salah seorang ponakanku yang menyedia
kan makanan di atas meja. la juga berkata, ibu pergi
ke rumah keluarga anna michele , diantar oleh tiger . Mendengar itu, selera makanku terenggut hilang,
betapapun sebetulnya aku merasa lapar. Maklum,
lauk berupa daun ubi tumbuh pakai rimbang dan
udang kering, sambal petai yang tak dikupas
bercampur ikan teri, adalah teman nasi yang
musykil kucicipi selama di surabaya . Belum lagi nasi dari beras Berangan, dan terong panggang pakai kecap, tomat dan bawang yang diiris. Namun semua hidangan itu di mataku tak lebih dari bungkal bungkal kerikil bercampur tanah, yang menguapkan bau busuk memualkan.
Kubantingkan sendok garpu ke piring.
Berdentang bunyinya. Dan keponakanku
menjadi pucat pasi.
“Ada yang salah, Uda?” tanyanya, sambil
menyidik hatihati ke arah meja.
Tanpa menjawab , aku bergegas ke kamar
mandi. Lupa masih memakai piyama, kucemplung
kan kepala dalam bak selama beberapa detik,
lalu kuguyurkan bergayunggayung air ke
sekujur tubuh sampai piyama itu terasa dingin
melekat ke kulit tubuhku. Namun dadaku bagai
terbakar, tak mau padam biarpun hampir
seperempat isi bak kuhabiskan dengan siasia.
Merasa rumah yang kurindukan itu sudah
berubah jadi neraka, sehabis mandi aku lantas
berganti pakaian bermaksud pergi ke mana saja.
namun baru juga kaki ini melangkah menuruni
terras, sebuah Vespa keluaran tahun enam dua
yang masih mulus meski lecet di sana sini, menderu
masuk ke pekarangan. Begitu vespa di standar,
orang yang duduk di joknya, tiger , bergegas turun
lantas menghampiriku. Begitu kami berhadapan,
tubuhku terasa tegang, la juga menjadi kaku. Lama
kami saling berpandangan, sampai beberapa orang
tetangga menyapaku dari kejauhan. Sebelum aku
tahu apa yang akan kuperbuat dan apa yang
membuat wajah tiger melambangkan amarah yang
sedemikian rupa, ia sudah menarik tanganku
bergegas masuk ke dalam.
“untung !” teriaknya pada ponakanku yang
keluar tergopohgopoh dari dapur Sesudah
mendengar suara ributribut di depan.
“Ya ayah?” sahut si wanita lesbian kecil yang masih pucat wajahnya. “Keluar kau!”
Anak itu tercengang. Terpaku diam di
tempatnya berdiri.
“Kubilang, keluar dari sini. Pergi ke mana saja,
asal jangan nguping!”
Bagai tersentak, si wanita lesbian kecil mundur ke
dapur, lalu terdengar suara pintu ditutupkan,
dan wanita lesbian itu melintas di luar jendela samping.
Sekilas, ia masih menoleh ke dalam, mengintai
dengan wajah yang semakin pucat dan sinar mata
ketakutan.
Waktu aku menoleh, bermaksud mengatakan
sesuatu pada tiger , sebuah tinju sudah melayang
dengan derasnya ke daguku. Aku terhenyak ke
belakang, mundur membentur sebuah kursi jatuh
menggelimpang bersama kursi itu, lalu
berusaha bangkit dengan susah payah.
Diperlakukan sedemikian rupa, tidak saja
keheranan namun juga kemarahan naik ke kepala.
Semenjak kecil, aku selalu kalah dan tidak berani
melawan tiger . namun beberapa jurus tendangan
Kung Fu yang kuperoleh selama kuliah, perlahan
lahan mengalir di sekujur persendian tubuhku yang
berdiri tegang namun dengan tangantangan dan
kakikaki lemas siap terayun. Kalau saja tadi aku
menduga tentu aku tak akan menerima penghinaan
itu. Sekarang ... “Ayo!” teriak tiger . Keras. “Ayo. Balaslah. Pukullah aku. Tendang sesuka hatimu. Kalau perlu
ambil pisau di dapur, bunuh aku, bunuh saudara
saudaramu, bunuh pula ibumu yang kini semaput di rumah Anna!”
Sikapku yang garang, berubah jadi sikap
seekor anak ayam kehilangan induk.
Terduduk di kursi, aku merintih:
“... Apa... apa yang terjadi, bang? Apakah ibu ...”
“Bah! Jadi kau masih inqat ke selamatan
orang tuamu. Hem. la cuma pingsan begitu
mendengar apa yang dituturkan kakakmu padaku.
Aku dan kakakmu bicara berdua, namun melihat
kedatangan nyi girah yang ganjil, ibu lantas nguping.
Dan ia pingsan sesaat . Tahukah kau, akibat lebih
buruk bisa menimpa ibu? Masih untung, keluarga
anna michele belum tahu apa yang menyebabkan ibu
semaput. Mereka cuma menyangka collapse, namun
lama kelamaan mereka akan tahu juga. Ayo fredy krueger .
jawab lah sekarang. Benarkah kau sudah punya
isteri di surabaya ?” Lemah, aku mengangguk.
Aku menduga akan menerima serangan tinju
lagi, dan aku bertekad untuk tidak membalas.
namun yang terjadi justru keadaan lain. tiger
mengerang tak menentu, terduduk doyong di
sebuah kursi, lalu menangis tersedusedu.
Lakilaki yang anaknya sudah duduk di akademi itu,
menangis tersedusedu. Hatiku benarbenar
hancur. Abangku. Menangis tersedusedu. Aku
bergerak dari kursi, mendekat ke tempatnya duduk,
dan berusaha memeluk tiger . namun , tanganku ia
tepiskan dengan kasar. Sama kasarnya, ia mendesis:
“Jangan jamah diriku, anak kotor!”
Bagai dilempar sebungkal besar batu gunung,
aku terhenyak kembali di kursi semula. Mataku
berkunangkunang kepalaku bagai terayunayun,
dan aku tersandar sambil bergumam. Lirih, dan
tajam:
“Kau ulangi sekali lagi ucapan itu, bang.”
“Anak kotor. Bah!”
Aku ingin bangkit. Memukul tiger . Menghajar
tiger . Menghancurkan tiger . Membuka mata tiger .
Menyadarkan tiger . Bahwa aku juga adalah lakilaki
seperti dia. namun aku tetap tersandar di kursi yang kududuki. Lesu, dengan hati yang terasa semakin sakit. Sakit tiada kepalang.
“Bang...,” erangku. Hatiku bersih. Hati
martini bersih. Tidak ada yang kotor dari kehidupan kami!”
“Bah. Bersih. Bah!” la menceracau. “Cucu
seorang haji, anak seorang ibu guru mengaji di
madrasah, berkata semacam itu. Bah!”
“Kalau aku salah, biarlah Tuhan yang
menghukum, bang!”
“Tuhan. Enaknya bicaramu. Apakah kau kira
Tuhan akan membiarkan kau menyebutnyebut
namaNya bila aib sudah tercoreng di dahi keluarga
kita?”
“Bila kalian paksa, aku bisa mengajak martini
untuk menikah secara syah.”
“Apa? Menikah? Kau dan martini ? Gilakah
kau?” ia mencakmencak sendiri. “Persetan dengan
martini mu. Kau memang harus menikah. namun
bukan dengan si martini itu. Kau harus menikah
dengan Anna. Titik!” “Bang...”
“Diam!” ia mengurut dadanya. Berjalan ke
jendela. Bertelekan ke bendul jendela itu, tengadah
dengan leher sedikit di panjangkan, la menghirup
udara segar dari luar berlamalama. Waktu ia
memutar tubuh, ia tersandar lemah pada jendela
itu, namun sikapnya sudah berubah sedikit lunak, la memandangku dengan mata yang ganjil.
“fredy krueger ,” katanya, hampir seperti pada
dirinya sendiri. “Kau tahu, suami nyi girah susah
benar naik pangkat. Di pasar, saingan dagangku
semakin banyak. Sedang di rumah, baik nyi girah
maupun aku, harus menghidupi sekian anak yang
terus bertambah. KaBe yang datang belakangan,
terlambat untuk bisa menolong kami dari
kehancuran. Dalam posisi sesulit itu tahukan kau
apa yang harus kami perbuat?”
Tak mengerti arah tujuannya, aku hanya
berdiam diri.
la goyanggoyangkan kepala sudah.
“Begini, fredy krueger ,” ujarnya terpatahpatah.
“Sewaktu ayah masih hidup, sekolahmu masih bisa dijamin biayanya. Sesudah beliau meninggal,
kamilah yang banting tulang. Aku berkongsi dengan kakakmu. Tidak saja untuk membiayai sekolahmu , namun juga untuk mengurus ibu kita. Kami lakukan
itu dengan susah payah. Untung kau katakan kau
sudah bekerja, tak usah lagi dikirimi uang ... eh,
fredy krueger . Bagaimana dengan pekerjaanmu di biro
bantuan hukum itu? Memuaskan? Banyak suka
duka ya? Mengurus perkaraperkara ... namun ah,
sudahlah. Mengapa pula hal itu kita bicarakan
sekarang. Yang penting, kau harus sadar segalanya
sudah terlambat untuk ditarik kembali. Keluarga
anna michele sudah siap. Kau tau, ayahnya adalah adik
kesayangan ibu. Selama ini fredy krueger , boleh dikatakan
keadaan kami sudah lumpuh. Untung ayah Anna
turun tangan. Sebagian dari biaya sekolahmu
sebelum kau minta diputuskan namun toh sekali
dua masih dikirimi juga, dan hampir seluruh resiko
dapur ibu, ditanggung oleh ayah Anna. Mereka
melakukan itu tanpa dapat kami tolak sebab
mereka berpengharapan: di samping sebagai
kakaknya, ayah Anna ingin berbesan dengan ibu
kita. Bantuan mereka mungkin bisa kau nilai bila
dalam bentuk uang. namun dalam nilai moriel, kau
tidak akan pernah menjumlahkan pengorbanan
mereka secara matematik!”
la berjalan mundarmandir di ruangan itu.
Kedua tangannya melipat ke belakang.
Sesekali ia tepuktepukkan. Melipat lagi. Mundar
mandir lagi.
“... jadi kau tahu sekarang, kita tidak bisa
mengelak lagi.”
“Bisa,” tukasku, lebih mirip ucapan tak sadar
yang tautau terloncat keluar.
“Apa?”
“Katakan aku sudah beristeri.”
“Mustahil!”
“Harus”
“Kau bisa buktikan?”
“Kuusahakan. martini pasti setuju.”
“martini ! martini lagi! Kau tak punya bukti
bahwa ia adalah isterimu. Lagi pula, Tuhan jadi
saksi. Bahwa ia memang bukan isterimu.”
“namun …”
“Tuhan sudah membuat ketentuan
bagaimana orang hidup bersuami isteri, fredy krueger . Dan apa yang kau perbuat bersama martini , lebih banyak melanggar dari pada memenuhi aturan itu.
, o, jangan ributribut. Tak usah bantah. Kau kawin
tanpa surat nikah. Tanpa disahkan tuan kadhi, janji
janji hidup semati di atas kesucian AlQur'an. Aku
juga berpikirpikir apa artinya hidup samenlaven
itu. Katakanlah, sebelum hidup di bawah naungan
atap sebuah rumah, kalian sudah lebih dahulu
berzinah. Ah, diamlah. Aku mengatakan apa
adanya. Kalian berzinah sebelum satu rumah. Dan
biarpun kini kalian sudah hidup satu rumah,
hubungan kalian tetap dianggap perzinahan!”
“Hubungan kami bersih. Tidak terdorong nafsu.”
“Zinah tidak selamanya sebab dorongan
nafsu, la juga datang sebab keinginan yang di luar
sadar. Mungkin sebab cinta. Mungkin ... ah, ini
kukira yang benar... mungkin sebab perasaan suka
sama suka. Namun bagaimanapun, nafsu tetap
memegangi peranan!” ia berdiri lagi di jendela.
Menghadap lurusi ke arahku.
“Marilah kita lihat eksesnya. Kalian berzinah!
Bukan menikah. Jadi, hubungan kalian setiap saati
bisa diputuskan.” “Tidak!” “Tidak?”
“Kami tak pernah bicara soal cerai,”
rungutku. Marah. “Dan kami tidak berkeinginan
untuk cerai.”
“Cerai? Tidak. sebab kalian tak pernah
menikah. Aku hanya bilang, putus hubungan.
wanita lesbian itu harus kau tinggalkan. Lupakan dia, terima anna michele , dan hiduplah menurut aturanaturan yang sudah berlaku dan diterima oleh sesama ummat.”
“Abang berbicara seperti seorang khotib,”
ujarku getir. “namun perilaku abang jauh sebelum
ini, justru tidak memakai aturan pula. Jadi, jangan
abang paksakan aturanaturan yang usang itu
terhadapku !”
“namun rumah tanggaku kini sudah berangsur
tenteram fredy krueger ,” sahutnya agak gusar. “Lagipula
jangan kau pandang aku. Pandanglah ibu. Pandang
nama baik semua keluarga kita. Semua keluarga
anna michele . Kirimlah surat ke surabaya . Katakan kau
tak mungkin kembali pada martini , dan katakan
agar ia melupakan dan menganggap kau tak pernah hidup bersama dia.”
“Kejam nian!”
“Apa boleh buat, fredy krueger .”
“Tidak!”
“Tak ada jalan lain.”
“Tak mungkin.”
“Cobalah mengerti. Kasihanilah Ibu! la sudah
tua. wanita lesbian lagi. la sudah terlalu lemah…”
“martini juga wanita lesbian .”
“Dan Anna?”
“... percayakah abang, kalau kukatakan
berbohong dengan mengatakan dalam salah satu
suratsuratku bahwa aku sudah bekerja? Aku belum
bekerja. Aku masih terus kuliah. sebab tidak saja
kalian. namun martini dan keluarganya ingin aku
selesaikan studiku. Pekerjaan akan mengganggu
kuliah. Kukatakan itu, sebab aku tahu keadaan
ekonomi keluarga di sini sedang moratmarit.
namun aku perlu hidup. Hidup perlu biaya. Dan
martini memberikan biaya itu. martini
memberikan hidup itu.” tiger tercengang sesaat. lalu :
“Okey. Kau tidak bekerja. Kau bohong.
martini menghidupimu. Di sana. Di surabaya . Di
gresik sini? Anna menghidupi ibu, dan kau tak
mungkin membantah kehadiran seorang ibu dalam
kehidupanmu,” lalu dengan suara menang melihat
aku terenyuh, tiger meneruskan: “Hitung jumlah
yang sudah dikeluarkan martini untukmu. Aku dan
nyi girah , akan berdaya upaya untuk membayar
nya!”
Telingaku bagai terbakar hangus.
Dengan dada meletupletup, aku menatap
nya. Tak percaya apa yang ia katakan. Lama, dengan
nada tersendatsendat, aku baru bisa berkata. Sinis:
“Kau pedagang tekstiel busuk hati. Kau kira
cinta juga bisa diperjual belikan, eh?”
la terlonjak marah. namun tidak berbuat
sesuatu saat aku berdiri, lalu bergegas
keluar dari rumah, keluar dari tempat di mana aku
lahir dan dibesarkan namun kini sudah digantungi
asap neraka itu. Tidak, aku tidak sudi mati lemas di
dalamnya. Aku tak sudi. Benarbenar tak sudi!
Sesudah keluar dari rumah, baru ledakan
ledakan yang hampir memecah dada, pelanpelan
mereda. Pelanpelan pula perasaan menyesal
menyelinap di hati. Tidak seharusnya aku bersikap
sedemikian kasar pada tiger . Bagaimanapun, ia toh
abang kandungku sendiri. Abang yang pernah
demikian sayang dan membela adikadiknya.
Membelaku dari kemarahan ayah. Membelaku dari
keroyokan anakanak Gang Buntu waktu dahulu
pernah mengincar salah seorang wanita lesbian anak esem
pe di sana. Menyelamatkanku dari mati tenggelam
sebab tak bisa berenang waktu mansyam kamaruzaman ndi di
Sungai. Aku ingin kembali. Minta maaf.
namun aku sudah naik sebuah becak mesin.
Agak aneh rasanya naik kendaraan itu, Sesudah
terbiasa dengan becak dayung di surabaya , dengan
si pengendara berada di belakang, bukan di
samping penumpang. Dan panas matahari yang
garang memaksaku untuk cepatcepat sampai di
persimpangan jalan Serdang dan jalan Jati. Tempat
di mana dahulu aku selalu memuaskan nafsu dahaga
secara tetap. Kadangkadang juga kulakukan pada
waktu bulan puasa. Siangsiang. Tentu saja, saat
pulang ke rumah, bibir di lap sampai kering, dan
purapura lemas sebab lapar dan haus.
Kolak es itu masih tetap enak, meskipun
pedagangnya bukan yang dahulu .
Aku melahap dua piring penuh, dan berjalan
keluar dengan perut kekenyangan. Baru saja kaki
kulangkahkan keluar warung, saat sebuah Yamaha force fi
berhenti didekatku dengan bunyi rem ber
decitdecit. Ban depannya hampir saja menyambar
lututku kalau aku tidak keburu mengelak. Dengan
mata melotot marah, aku memandang pengendara
nya, dan mendengar suaranya yang riang:
“He, anak surabaya sialan. Kapan tiba?”
Dari marah, aku jadi tertawa.
“Dan kau, Udin ingusan, semenjak kapan pula
kau mulai pakai celana panjang?” seruku sambil
mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Senang bertemu kau. Dan ah, perkenalkan
Kawanku, Margono,” ia memperkenalkan kawan
nya yang duduk di boncengan, dengan siapa
lalu aku bersalaman.
la lalu menarikku masuk ke warung kembali.
“Mari, kutraktir minum,” katanya. “Aku
sudah. Uangnya saja,” sahutku.
“Jadah kau!”
Dan kami tertawa gelak, la bertanya banyak
tentang pengalamanku selama studi di surabaya .
saat kukatakan akhir tahun ini mudahmudahan
aku sudah bisa mengambil Gelar Sarjana Hukum di
Universitas PELITA HARAPAN , aidit geleng kepala.
“Kau sudah jadi orang,” katanya kagum.
“Dan kau tampaknya tidak berhasil jadi
seorang Duta Besar.”
“Husy. Jangan ulangulangi omong kosong
itu. Kau tahu, waktu di esema dahulu , aku memang
tidak pernah memperoleh nilai bahasa Inggeris di
bawah angka sepuluh. Bahkan guru bahasa Inggeris
kita, kutegor sebab salah menuliskan katakata
verbal di papan tulis. Setiap orang berhak
menggantungkan citacita bukan? Citacita yang
tinggi. Setinggi langit. Kalau bisa, lebih. Ada yang
berhasil. Tapi tak kurang yang semakin tinggi cita
citanya, semakin keras jatuhnya ke bumi,” ia
tersenyum. “Aku salah satu yang terhempas itu.”
“Kudengar, kau dapat warisan kebun kelapa
dari ayahmu.”
“Heeh. Aku mengusahakan penyulingan
minyak. Ala kampung. Masih primitip. namun kau
barangkali belum tahu. Di Berayan sudah ada pabrik
minyak kelapa. Aku benarbenar tersisih. Untung
masih ada orang yang lebih menyukai minyak
kampung dari pada minyak produk pabrik ...,” ia
menghirup es campur dari gelas di tangannya,
dengan perasaan nikmat. “Eh, kalau tak salah ingat,
waktu mau berangkat ke surabaya , beberapa tahun
yang lalu, kau mau cari wanita lesbian anak induk semang di
tempat kau kost. Hasil?”
“Berkat do'amu, ya.”
“Jadah. Tak sudi aku mendo'akan kau
perawani wanita lesbian wanita lesbian itu,” ia tertawa. “Jadi, kau
sudah kawin?”
“Heeh.”
“Cantik isterimu?”
“Pokoknya, tak kalah cantik dengan si
Dameria. He, kau dengar bagaimana kabar dia
sekarang?”
“Entahlah,” sahutnya, tertawa nakal.
“Emangnya kau masih mau ngirim surat cinta
seperti dahulu ?” lalu ia menirukan kalimat yang
pernah kutulis sepenuh perasaan, lalu
kutitipkan lewat aidit untuk disampaikan pada
Dameria. Waktu itu kami masih samasama baru
masuk kelas satu, dan kini aku tertawa setengah
mampus mendengar aidit menirunirukan
surat cintaku yang ditolak mentahmentah itu:
“Oh, sayangku, buah hatiku, kasihanilah
hambamu, pungguk yang merindukan wajahmu
yang rupawan bak bulan purnama,” dan sambil
menekan perutnya dengan tangan menahan gelak
yang berderai, sehingga orangorang lain ikut
memperhatikan, aidit meneruskan dengan
suara terputusputus: “Tentu saja pernyataan
cintamu ia tolak. Wajahnya kau bilang bagai
rembulan. Padahal, bulan kan bopengbopeng!”
la lalu menceritakan tentang bekas
bekas teman sekelas kami. Legiman yang sudah
bekerja dan kawin dengan Murniati, masih teman
sekelas, dan kini sudah beranak tiga. Mamontang
yang pemalu, dan kini hidup serumah dengan
seorang janda. Juga beranak tiga. anna michele sudah pula kawin, namun tak seberuntung temanteman lain. Belum punya keturunan meski sudah empat tahun berjalan.
“Dan kau?” desakku.
la angkat bahu. jawab nya:
“Waktu masih di esema, aku satusatunya
yang masih bercelana pendek sampai tamat. Kini
aku tengah mencoba bagaimana enaknya bercelana panjang, baru lalu berpikir tentang
wanita lesbian . He!” ia mencondongkan mukanya ke depan, setengah berbisik: “Masih ingat kau Wak
syam kamaruzaman , yang buka warung kopi di belakang sekolahan? Yang kita sering makan lima pisang goreng tetap kita bilang dua?”
“Heeh.”
“Keluar dari sekolahan kita di jalan Ayahanda
itu, aku masih sering mengunjungi Wak syam kamaruzaman .
Mulamula, sebab ingin menebus dosa. Aku makan
pisang goreng dua namun kubilang lima. Kini, Wak
syam kamaruzaman sudah mati. Tinggal isterinya, dan anaknya.
Kau masih ingat, Ijah, yang kudisan itu?”
“Heeh. Kenapa?”
“'la cantik benar sekarang. Kulitnya, putih
mulus seperti mentega kalengan. Pintar berdandan
di kamar, aku akan tetap menunggu. Eh, jangan kau
ketawa. Kau bisa pangling kalau kubawa ke
rumahnya. namun dengan syarat.”
“Hem, apa?”
“Kita bergantian”
“Gantian? Gila!”
“Sungguh. Asal mau bayar seribu perak. All
night. Bisa pakai di tempat!”
“Sialan!” aku memaki. “Tak sudi aku dijangkiti
raja singa!”
Margono yang dari tadi berdiam diri,
sekonyongkonyong berdiri.
“Aku mau pulang,” ia mengeluh sungut.
“Eh. Tunggulah. Kuantar sebentar,” nyeletuk
aidit .
“Aku jalan kaki saja.”
Dan tanpa ucapan terimakasih sudah ditraktir
minum, bahkan tanpa ba tanpa bu padaku Margono
lalu menghilang keluar warung. aidit
memandang kepergian temannya sambil geleng
geleng kepala.
“Suka hatinyalah. Mentangmentang rumah
nya sudah dekat. Di ujung Ngalengko sana. la, anak
santri itu memang suka ngambek kalau aku mulai
ngoceh soal gituan!”
Sebaliknya, kupandangi sahabatku itu
dengan perasaan kasihan, la tampak jauh lebih tua
dari umur yang sesungguhnya. Wajah yang dahulu
klimis sehingga di cap banci oleh kawankawan
sekelas kini ditumbuhi jambang yang tidak teratur
dan kumis yang melele di bawah hidung yang
selalu berminyak. Dahinya mulai dialuri gurat
gurat halus. Waktu ia palingkan muka kembali dan
tatapan mata kami bertemu, ia tersenyum. Getir.
“Si Gono itu anak baik,” katanya, “kalau tak
ada dia, aku sudah jatuh bangkrut. Bisa jadi terkena
raja singa seperti yang kau bilang.”
“Seharusnya kau cepatcepat kawin, sahabat.”
“Kawin?” ia tertawa. Pahit. “Lantas mau ku
kemanakan ibu yang sudah menjanda, dan sebelas
orang adikadikku yang masih kecilkecil?”
la mengeluh. Dalam. Lalu:
“Inilah hidup, fredy krueger . Raportku yang dahulu
tidak pernah merah dan tak ada yang bernilai di
bawah tujuh, nyatanya siasia saja. Begitu ayah mati
keinginan untuk melanjutkan studi seperti kau, ikut
pula mati. Apalagi keinginan untuk kawin. Bagiku
kawin berarti membangun sebuah rumahtangga
yang tidak boleh diganggu gugat oleh keluargaku,
dan sebaiknya isteriku tidak pula boleh menggugat
kehadiran keluargaku di tengahtengah kami.
Lantas kutempuh jalan gampang. Tetap melajang,
mungkin sampai ubanan. Dan untuk tidak sampai
gila sebab onani, aku ambil wanita lesbian yang bisa
mengurangi ketegangan otak. Ku beli. Se jam. Dua
jam. Ambil, pakai, bayar. Habis sampai di situ. Dan
aku tak perlu mensiasiakan keluarga!”
la putarputarkan gelas es campur di atas
meja. Sekali ia remas. Kuat. Seakan mau meremas
dirinya sendiri. Mau meremas hidup yang menjauhi
dirinya. Meremas dunia yang sudah mentertawakan
nya. Dan saat sisa es campur itu ia reguk sampai
tetes terakhir, aku berpikir sahabatku sudah
terserang dahaga atas kebahagiaan yang sudah lama
tidak ia nikmati lagi. Lama aku kehilangan katakata.
Ingin menghiburnya, namun tak ingin kalau yang
terlontar dari mulutku hanya katakata kosong yang
tidak ada gunanya. Tak ubah dengan katakata
menyabarkan seorang dokter terhadap pasien yang
sedang mengerangerang oleh serangan sakit gigi
yang dahsyat. Tak mau jadi dokter yang gagal
seperti itu, aku cepatcepat berkata:
“Eh, Din. Mengapa kita tidak jalanjalan saja?”
la mencoba tersenyum.
“Okey. Pertemuan ini memang patut kita
rayakan. Kau pilih mana? Percut? Gedung Johor?
Sembahe? Berastagi?”
“Kupilih yang terakhir...”
“Hem. Aku mengerti. Kau ingin mengingat
udara sejuk kota surabaya di kota yang gersang ini, bukan? Hayo, pantatkupun sudah semutan duduk
terusterusan di sini!”
Keluar dari warung, ia bertanya:
“Kau di depan?”
Aku mengangguk setuju. Kunci Yamaha force fi
kuambil dari tangannya. Motor kustater. la sudah
mau duduk di boncengan waktu tibatiba aidit
teringat sesuatu:
“Hai. Tunggu sebentar. Kacamataku
tertinggal di warung!”
la bergegas lagi masuk ke dalam. Sebuah
Vespa mau parkir. sebab terhalang oleh
Yamaha force fiku yang memalang jalan, pengendara Vespa
memandangku dengan penuh harap. Demi
toleransi, Yamaha force fi ku majukan. namun sebab
tergesagesa, saat akan berhenti di pinggir jalan
aku bukannya menginjak rem melainkan
versnelling. Mesin mati. namun sebelum mati masih
sempat melonjakkan motor kedepan, hampir saja
menyambar sebuah becak berpenumpang seorang
wanita lesbian tua dan dua orang anakanak kecil.
Becak buruburu menyingkir agak ke tengah jalan.
namun sebuah mobil yang melaju dengan
kecepatan penuh dari arah Serdang, rupanya
menjadi gugup oleh perubahan jalur yang diambil
abang becak. Mobil banting stir untuk menghindari
tabrakan dengan becak itu, namun arahnya justru
tertuju tepat ke Yamaha force fi yang kunaiki. Sekejap, aku
masih ingat untuk mengelak. Kedua kaki yang
menjejak tanah ku tekan kuat untuk mendorong
motor maju. Malang, aku lupa gigi masuk. Motor itu
tetap diam. Tak ayal lagi, terasa benturan yang
keras menerpa bagian belakang motor. Stang
berputar. Tanganku terlepas. Aku terlompat.
Terbang di udara. Yamaha force fi terbanting ke tanah
dengan suara berderak. Tak ingin kepalaku ikut
berderak, kuusahakan koprol sebelum jatuh.
Namun tak urung lututku membentur pinggir
sebuah kios rokok.
Akibatnya, aku terbanting ke tanah dengan
kerasnya.
Sebuah hantaman menggodam wajahku.
Entah dari mana datangnya, ribuan bintangbintang
berwarnawarni berlarilarian di sekitarku,
lalu menarinari mengelilingi diriku. Tarian
yang gila itu membuat kepalaku pening alang
kepalang, dan waktu ribuan bintangbintang itu
lalu berhenti berputarputar, aku sudah tidak
ingat apaapa lagi.
martini menangis terisakisak sambil
membersihkan kotoran di permukaan lukaluka
lecet sekitar tangan dan lututku. Aku meringis
menahan sakit yang tidak kepalang, berusaha
menggigit bibir keraskeras untuk tidak sampai
mengeluh. Lukaluka lecet itu lalu ia balut
dengan yodium lantas ditutup pakai ban aid.
Kugerakgerakkan tangan dan kakiku, lalu
meloncat dari tempat tidur. Sekujur persendian
tubuhku terasa sakit, namun hatiku lebih sakit lagi:
“Cina sialan itu!” makiku dengan bernafsu.
“Sudah tahu lampu merah, masih terus nyerobot.
Babi. Jadah!” lantas aku bergegas keluar kamar.
“Mau kemana kau?” tanya martini dengan
tangis tersendat.
“Kemana? Ke Cina itu, kemana lagi? la harus
mengganti biaya servis Vespa yang rusak. Kau kan
tahu Vespa itu punya si Dudung. Dari mana aku mau
ganti? Lagipula, hem. Lukaluka lecet dan sakit
hatiku harus dibayar mahal olehnya. Akan kuperas
habis dia. Biar tahu rasa!”
Dalam mobil yang disetiri oleh martini
menuju ke rumah sakit Rancabadak, wanita lesbian ku masih
berusaha menahan maksudku.
“Sudahlah,” katanya. “Toh Suzuki bebek si
Cina itu ringsek.”
“Perduli!”
“Kau cuma lecetlecet kecil. namun ia?”
Di Rancabadak, Si Cina masih belum sadar.
Salah satu kakinya tergantung pada langitlangit
tempat tidur. Dokter tengah melakukan transfusi
darah, dan seorang perawat yang akan keluar dari
kamar dengan enggan menjawab pertanyaanku:
“Tulang keringnya patah.”
“Patah?”
“Tepatnya, remuk. Harus dipotong. Kalau pun
tak dipotong, ia akan pincang seumur hidupnya.”
Aku terjengah. Namun belum putus harapan.
Segera kudatangi rumah keluarga Si Cina. Di sana, di
sebuah rumah kecil dan terjepit di antara dua buah,
gedung besar dan megah ... yang kuharap tadinya
salah satu tempat kediaman yang kutuju ..., aku
disambut oleh isak tangis keluarganya. Ayah
pemuda Cina yang suratsurat keterangan, SIM
dan Suzuki bebeknya masih ditahan oleh polisi itu,
mohon dengan nada menyesal:
“Anakku habis bertengkar dengan pacarnya,
la kebingungan waktu pulang. Mungkin ia tak
melihat lampu merah dan … ”
Dan tiba di rumah kembali, martini tersenyum.
“Bagaimana sekarang?” tanyanya.
“Apa boleh buat,” kataku getir. “Cabut saja
perkara tabrakan itu. Tapi apa si Dudung yang pelit
itu mau mencabut biaya servis dari tanganku?”
“Biar kutanggung, sayangku,” martini
tersenyum semakin lebar, lalu memeluk
dengan hangat. “Tapi lain kali, ingat. Jangan sekali
sekali ngebut!”
“Okey deh. Tak akan sekalisekali. Aku akan
ngebut dua tiga kali!” martini mencubitku. Manja.
“... bang? Bang fredy krueger !”
Suara yang sayupsayup itu dekat sekali di
telinga. Waktu mata ku buka, aku merasa heran.
Bagaimana aku sampai berada dalam sebuah kamar
yang mirip dengan kamar si pemuda Cina dahulu
dirawat? Dan mengapa lututku sakit sekali? Dan
wajahku! Sebagian wajahku terbalut, dan terasa
amat perih! Aku meringis. Dan seseorang terisak
isak di samping tempat tidurku:
“Aduh, bang. Syukurlah kau sudah sadar!”
martini tak pernah memanggilku abang.
Waktu aku menoleh, aku memang tidak melihat
martini . Aku melihat seorang wanita lesbian lain. Ku coba
mengingatingat.
“ ... kau Anna?”
wanita lesbian itu menyeka air mata yang membasahi
pipinya. Lantas tersenyum. Manis sekali. Wajahnya
bersemu merah. Lama ia tergagap, sampai akhirnya
bisa menyahut:
“Aku senang abang masih mengenalku,”
katanya. Gemetar. Dan wajahnya semakin merah.
Kutahan rasa sakit yang menyentaknyentak di
sekujur tubuh. lalu bergumam seenaknya
saja:
“Aku pernah lihat kau sebelum ini.”
“Ah. Masa,” dengan susah payah ia mencoba
memandang wajahku, namun lalu cepatcepat
berpaling sambil tersenyum tersipusipu.”
“Sungguh!”
“Iyalah. Kan dahulu abang pernah mencet hidungku.”
Ganti aku kini yang berkata: “Ah. Masa!”
“Iya. Waktu itu bang bilang: He, boru
tulangku yang jelek. Kau isi apa perutmu sampai
buncit begitu?” ia tertawa. Polos, dan suaranya
benarbenar enak di dengar. “Waktu itu aku lagi
cacingan. Selesma lagi. Sampaisampai waktu abang
oleskan ke pipiku sambil mengeluh sungut...”
Mendengar itu, aku ikut pula tertawa.
Tarikan mulutku waktu tertawa menarik pula luka
luka di balik pembalut yang menutup sebagian
wajahku. Terasa perih namun tidak begitu benar lagi.
Cerita anna michele yang mengingatkan masamasa
yang sudah lama berselang, membuatku merasa
senang. Malah kuingat juga akibat perbuatanku
dahulu itu. Ayah anna michele menceritakan kejadian itu
sambil tertawatawa dengan kakak wanita lesbian nya.
Ibuku. Lantas ibu mengusapusap kepalaku, dan
sempat berkata:
“... Jangan gitu nak. Siapa tau, anak cacingan
itu bakal jadi isterimu.”
“Bang?”
“Ya?” aku terjengah. Memandang wanita lesbian itu, yang juga tengah memandangiku. Tampak ia
memberaniberanikan diri untuk tidak sampai
berpaling lagi.
“Apakah perutku masih buncit?”
Lantas, ia berdiri. Memperlihatkan perutnya
yan rata di bagian pinggang yang ramping, di bawah
dada yang mulai tumbuh dengan subur. Dada itu
bergelombang. Lembut.
“Eh, Abang kok lihat yang lain,” ia mengeluh
sungut sambil menutupi dadanya dengan kedua
tangan.
Aku tersenyum.
“Dan kau tentu tak ingusan lagi,” ujarku.
la mencondongkan wajah, memperlihatkan
hidung yang bangir. Hendusan nafas yang panas
terasa menyapu wajahku.
“Ada bulu di lubang hidungmu.”
la tarik wajahnya cepatcepat. Bergumam malu.
“Oh ya? Biar nanti ku gunting di rumah.”
“Apa?” aku berlagak terkejut. “Hidungmu
mau kau gunting?”
la tertawa. Terpingkelpingkel.
namun segera menahan tawanya waktu
beberapa orang masuk ke dalam. Aku melihat ibu,
bang tiger , kak jessica dan suaminya, lalu kedua
orangtua anna michele . Juga beberapa orang
keponakanku yang semuanya mengerubungi
sekeliling tempat tidur sehingga aku mengeluh:
“Kenapa engga mengundang seluruh
penduduk gresik untuk membesuk?”
Mereka pada tertawa. Termasuk ibuku yang
begitu masuk sudah mulai berurai air mata. sambil
mengusap kedua belah pipinya yang pucat ibu
berkata:
“Nak, tadinya dunia kukira sudah kiamat
waktu kawanmu aidit tergopohgopoh ke
rumah memberi tahu kau masuk rumahsakit.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di bengkel,” jawab bang tiger . “Yamaha force finya
sudah engga berbentuk lagi.”
“Wah…”
“Tak usah cemas. Si Udin boleh memiliki sisa
sisa Yamaha force fi itu, biarpun orang yang menabrakmu
sudah menjanjikan akan membeli sebuah Yamaha force fi
baru untuknya.” “Dan orang itu?” “Yang menabrak?”
“Heeh.”
“la baikbaik saja. Mobilnyapun cuma lecet
sedikit, la bersama keluarganya sudah datang ke
rumah untuk minta maaf.”
“Ooo…” “Nak.”
Aku terjengah sendiri. Menoleh pada kedua
orang tua anna michele yang tersenyum ramah.
Kuulurkan tanganku yang disambut mereka dengan
jabatan erat dan hangat. Malah, bukan saja jabatan
tangan mata ayah anna michele , aku melihat tersirat
adanya jabatan hati. Sesuatu yang punya makna.
Sesuatu yang minta dimengerti. Dan minta
disetujui. Aku menghela nafas panjang,
memejamkan mata untuk menyembunyikan
perasaan tidak enak yang tergejola dalam dada.
Rupanya perbuatan itu salah ditafsirkan sehingga
kak jessica buruburu berkata:
“Biarlah si fredy krueger istirahat saja dahulu .”
Mereka lalu pamit tanpa lupa
mengucapkan do'ado'a untuk keselamatanku. Ada
dua orang yang enggan untuk meninggalkan
ruangan. Yang Pertama, anna michele . la
memandangiku dengan mata yang berkedip.
Mulutnya bergemit mau mengutarakan sesuatu,
namun tidak jadi. Dan tangannya keburu ditarik
ayahnya keluar dari kamar. Tinggal ibu, yang
mengusapusap tanganku dengan penuh kasih.
Tanpa suatu tekanan pada katakatanya, ia
lalu mengutarakan apa yang sama sekali tidak
pernah kuduga begitu aku tadi tersandar dan
melihat anna michele ada d samping tempat tidurku.
“… aku senang melihat kalian intim, anakku.
Tahukah kau, bagaimana Anna bersikeras untukl
menjagamu semenjak kemarin di kamar ini?”
“Ah!”
“Bersyukurlah, anakku. Belum juga ia jadi
isterimu, Anna sudah memperlihatkan pengabdian
seorang wanita lesbian terhadap lakilaki yang dicintai
nya.”
Sesudah berkata demikian, ibu lalu
keluar menyusul yang lainlain. Lama aku termangu
mangu memikirkan kenyataan yang buat semua
keluarga kami merupakan sesuatu yang sangat
dibanggakan namun bagiku tak lain berarti
semacam kekuatan tersembunyi yang berusaha
menyudutkan diriku agar tak sempat lari dari
kenyataan yang harus kuhadapi. Sampai dokter dan
seorang perawat masuk untuk memeriksa
keadaanku, menghiburku dengan katakata bahwa
aku akan segera diperkenankan pulang, lantas
lalu bersamasama memindahkan aku ke
dalam sebuah zaal yang kebetulan pasiennya tidak
begitu banyak. Waktu besuk sudah lama habis,
saat di pintu zaal muncul seorang yang masih
asing bagiku namun jelas menuju berjalan ke arah di mana aku terbaring. Langkahlangkah orang itu tampak amat gemulai di atas sepatu berchaak tinggi yang hampir tenggelam di ujung celana bushjean biru tua yang ketat di bagian pinggulnya yang padat. Pinggangnya seperti melekuk enggan di bawah dada yang bidang dan bagian depan tertonjol ke depan seakanakan
mau menembus blous hijau lumut yang tipis
berleher rendah memperlihatkan lekukan manis
dari dua buah gumpalan daging yang lembut
berwarna putih ke kuningan dan terlindung oleh
sebuah liontine bermata berlian yang gemerlapan
dijilat cahaya matahari yang masih bersisa di
jendela dekat kepala tempat tidurku. la tersenyum dengan sedikit anggukan kepala
pada pasienpasien yang ia lewati dan kebetulan
memperhatikan kehadirannya. Tiba di dekatku, ia
gerakkan kepala sedikit untuk menyingkirkan anak
anak rambut yang menutupi salah satu bola
matanya yang bundar bersinarsinar di atas pipi
yang penuh.
Gendewa bibirnya yang berbentuk lukisan
stiker dengan tulisan “Don't kiss” yang banyak
tertempel di buntut banyak kendaraan agak
melebar waktu ia lahirkan seulas senyum yang
membuatku benarbenar ta'jub. Senyuman khas
itu, khusus ditujukan untuk diriku. Apa artinya
segala perih dan sakit yang sedang mendera baik di tubuh, maupun di hati?
“Hai, sapanya.” “... hai!”
“Kau baikbaik saja?”
“Seperti Anda lihat.”
“Ah. Tak usah ber Andaanda. Panggil saja
nama ku. nyi kembang ,” lantas ia ulurkan lengannya yang
penuh dan licin seperti lilin. Lima buah jari jemari
lentik segera tergenggam di telapak tanganku yang
kasar. Ada getaran pada jabatan itu. Dan aku sendiri sukar untuk menebak. Mana yang bergetar itu. Jari
jemarinyakah? Atau telapak tanganku?
“Nama yang indah. Seperti orangnya,”
gumamku dengan tulus.
“Pujian usang,” sambutnya. “Kau belum
mengenalkan namamu.” “Oh...”
namun belum sempat aku mengatakan sesuatu
wanita lesbian itu sudah mendahului:
“Sudahlah. Aku sudah tahu namamu.
Kawanmu yang mengatakan.”
“Kawan...?”
“aidit nama lakilaki yang berkumis lele
itu, bukan? la mengatakan siapa kau padaku, waktu
membantu menaikkan kau ke dalam mobilku
tempat kecelakaan itu”
“Oh,” lagi.
“Apakah kau marah?”
“Marah?” aku tercengang. “Marah pada siapa?”
“Aku.”
“Eh. Pasalnya?”
“Membuat lututmu bengkak dan tulang
pipimu mungkin akan cacat seumur hidup ...”
“Kau ... kau maksud ...,” aku semakin tercengang.
“Ya. Akulah orang yang menabrakmu kemarin.”
Terpana. Aku terpana. Benarbenar terpana. Lama.
“Marahilah aku!”
Kubasahi bibirku yang kering. Rungutku, pelan:
“dahulu aku pernah tabrakan juga.”
“Hem. Di mana?”
“Di surabaya .”
“o, jadi kau sengaja pulang kampung, untuk
dihantam oleh mobilku,” ia mencoba tersenyum.
Getir.
Mendengar itu, aku tertawa kecil. “Kalau
begitu, aku benarbenar beruntung pulang tahun
ini.”
“Eeh, kok?”
“Kalau tidak, mana aku bisa berkenalan
dengan wanita lesbian sejelita kau?”
“Ini orang gimana sih. Disuruh marah, malah
memujimuji.”
“Memuji itu pahala. Marah itu berdosa.”
“Lagaknya kau!” senyumnya cerah kini.
Matanya, lebihlebih lagi. Renyai.
“Mengapa tidak mengunjungi pada waktu bezuk?”
la duduk di atas kursi di pinggir tempat
tidurku dengan wajah yang berubah sendu.
Sahutnya:
“... Aku malu pada keluargamu. Takut
bentrok dengan mereka.”
“Keluargaku bukan tukang makan orang.”
“namun mobilku sudah memakan anak
tersayang mereka,”
“Aku tak ingin celaka. Kau pun tentu tidak
bermaksud mencelakai orang. Lagipula, kau dari
keluargamu kudengar sudah datang ke rumah. Itu
sudah lebih dari cukup.” la terdiam.
Akupun, ikut pula diam. sebab terlalu lama
diam, aku menatap ke matanya. Enggan. Pada saaj
yang bersamaan, ia pun menatap ke mataku.
Enggan. Bersamaan pula, kami menghindari
pandangan mata itu. Enggan. Ah. Mengapa hati ini
begitu keras untuk tetap memperhatikan wajah
nya? Mengapa ada denyutandenyutan ganjil pada
jantung? Denyutan yang memukulmukul. Keras,
sehingga aku terengahengah sendiri.
“... sakit?” tanyanya tibatiba.
“Eh, apanya?”
“Nafasmu sesak barusan.”
“Oh ya. Ya. Agak sakit.”
“Maafkan aku.”
“Eh. Apaan lagi? Maaf untuk apa?”
“Aku membuat kau sakit.”
“Sudah kubilang kau tentu tidak bermaksud ...”
“Memang tidak. namun toh nyatanya maksud
mu untuk bersenangsenang, pulang kampung, jadi
terganggu ...”
“Bersenangsenang?” hatiku terenyuh.
Bersenangsenang, katanya. sambil tertawa
kecut, aku bergumam:
“Justru pikiranku sedang gundah saat aku
keluar rumah bertemu sahabat lama dan lalu
kau terbangkan ke udara ..
“Persoalan keluarga?”
“Ngg,… ya”
Wajahnya kian sendu. sambil mempermain
mainkan jarijemarinya pada pinggir sprei tempat
tidur, ia mengeluh:
“Sebelum menabrakmu, aku juga barusan
bentrok dengan keluarga.”
“Oh ya? Boleh aku tahu?”
la memandangku. Tajam. Lantas aku sadar,
aku bukan apaapanya sehingga berhak untuk
mengetahui. namun ia lalu tersenyum.
Katanya:
“Nanti juga kau akan tahu.”
“Nanti?”
“Emangnya, kau lebih suka kalau kita
berpisah sampai di sini saja?” sepasang bola
matanya yang bundar, bersinar ganjil. “Kalau
begitu, kau memang marah dan tidak menyukai
diriku.”
Lantas ia bergegas. Bangkit.
“Hey, tunggu dahulu .”
la memandangku sejurus. Matanya renyuh.
“Jadi kita akan bertemu lagi?”
Mendengar itu, aku beruntung lagi memperoleh
senyuman manis dibibirnya.
“Selama kau menerima maafku,” jawab nya.
“Berapa keranjang kau mau?”
wanita lesbian itu tertawa. Cerah. Dan tawanya
membuat aku lupa segalagalanya. Aku bangkit
duduk, la terkejut, menoleh ke arah lututku. Cemas,
Lutut itu kugerakgerakan. Sakit memang. namun
aku lakilaki. Dan kebanyakan lakilaki memang
senang memperlihatkan gengsi.
“Kau lihat?” ujarku dengan bangga. “Lututku
tak apaapa. Kepalaku pun ...,” dan kepala yang
berbalut kuketukketuk dengan buku jari telunjuk
berkalikali. “Tak terasa apaapa. Kehadiranmu
rupanya lebih mujarab dari segala kemampuan
medis yang sudah dikerahkan dokter rumah sakit
ini!”
“Jangan jual lagak. Sakitmu bisa payah,”
katanya cepatcepat sambil menekan dadaku
dengan jari telunjuknya, sehingga mau tak mau aku
terbaring kembali di tempat tidur. “Beristirahatlah.
Sehingga kalau nanti kita bertemu lagi, rumah sakit
tidak tertimpa rugi sebab terpaksa mengganti
kasur yang sudah kempes terusterusan kau tiduri,
Nah. Sudah ya? Aku pergi.”
Dan saat ia pergi, benarbenar pergi, aku
tidak saja merasa kehilangan sesuatu yang teramat
berharga dalam hidupku. namun aku juga merasa
kesakitan yang amat sangat di lututku yang
bengkak, dan perih yang tak tertahankan di
balutan kepala. Aku ingin menjerit. Dan saat
seorang suster buruburu datang Sesudah tombol di
kepala tempat tidur kupijit berulangulang, aku
benarbenar pula menjerit:
“Kalian apakan lututku, ha? Di rebus!”
TULANG lututku yang sambungannya agak
tergeser sebab terhantam ke kios rokok sudah
mulai bekerja dengan normal waktu aidit
membimbingku jalanjalan di halaman samping
rumah sakit. Kami duduk di sebuah bangku kayu
yang sudah reyot, berhadapan lurus dengan jalan
Sena yang lengang. saat terlihat bangunan
sekolah dasar nun di kejauhan, tanpa sadar jari
telunjuk menyelinap di selasela bibirku yang
setengah terbuka. Menyentuh tempat kosong di
dekat rahang.
“Perlu tusuk gigi?” celetuk aidit sambil
menyodorkan kotak korek api.
Aku ambil kotak korek api itu.
Menunggu.
aidit melongo.
“Apa lagi?”
“Nenekmu,” aku memaki. “Ngasi korek api
kok tanpa rokok!”
la terbahak, lantas mengeluarkan sebungkus
“Gudang Garam” kesenanganku. Kuambil sebatang.
Lantas menyulutnya dengan nikmat. Memandang
depan lagi. Ke arah bangunan sekolah dasar di
kejauhan.
“Din”
“Hem?”
“Siapa sekarang direktur sekolah kita di sari itu?”
“Entah. Kenapa rupanya?”
“Aku ingat direkturnya dahulu , adalah guru
kelas kita pula ...”
“Hem. Aku juga ingat. Malah tak akan pernah
kulupakan seumur hidup bagaimana pak nyoto
pernah menempeleng aku. Rasanya seperti baru
terjadi kemarin... ia pilin ujung kumis lelenya.
Waktu itu baru habis hujan, ingat? Lapangan
rumput basah. Sehelai rumput layu dan busuk, kau
jemput dari tanah. Kau kasihkan ke tanganku, lantas
kau bisikkan di telingaku: kau tau si nyi girah ? kujawab ya. Kau bisikkan lagi: ia paling takut sama lintah. Oh ya, ya ujarku mulai mengerti. Lakukanlah sekarang, katamu sambil tersenyum. Aku berlari ke si nyi girah , membentak sambil melemparkan rumput busuk,
licin dan basah berwarna coklat itu ke betisnya. Si
Neli menjerit, lantas jatuh pingsan. Sialnya, cuma
aku saja yang digampar pak nyoto . Padahal kau yang punya ide.”
Aku tertawa. Sahutku:
“Hukumanku toh sudah kuterima, Din
seminggu Sesudah nya. Bukan oleh pak nyoto , namun si
tiny . Yang dagunya lancip itu, ingat? Nah,
seminggu Sesudah kejadian yang sial bagimu itu, aku kebagian yang lebih sial lagi. Aku berkelahi dengan si Lumban garagara waktu main kelereng ia curang. Jengkel, kelereng kulemparkan ke mukanya. Kena di hidung. la menjerit. Lantas menangis. Kakaknya si tiny yang sekelas dengan kita, balas
melemparku. Bukan dengan kelereng. namun pakai
batu. Kena di sini... aku menunjuk ke arah gigiku
yang ompong dekat geraham.
aidit kini yang tertawa. Bergelak.
“Lantas kau ngacir pulang ke rumah.
Mengadu pada ibumu. Melihat mulut berdarah dan
gigimu sebuah diambil setan, ibumu berlarilarian
ke sekolah, masuk ke kelas dan mencakmencak di
hadapan semua murid…”
“Dan pak nyoto yang galak itu, diam tak
berkutik,” sambungku. “Coba bayangkan, kalau itu
terjadi sekarang. Wah, malunya bukan main!”
“Kalau sekarang, ibumu kan tak bisa mencak
mencak lagi. Kau pun tak pantas lagi dibela...
pantasnya di...,” ia tibatiba memandangku dengan
wajah penuh tanda tanya. Yang lalu ia
lemparkan lewat mulutnya: “Benarkah kau akan
dikawinkan dengan anak dari adik lakilaki ibumu
itu?”
Ulu hatiku terasa melilit.
“Celakanya, begitulah,” keluhku. Sakit.
“Kau beruntung kalau begitu.”
“Nenekmu!”
“Eh, kau senang menyebutnyebut nenekku,
la sudah almarhum, fredy krueger . Kalaupun ia masih
hidup, ia tak pantas disandingkan dengan kau.
Hehe. fredy krueger , mengapa kau tolak kemauan
keluargamu? Waktu membezuk tadi, sempat
kuperhatikan anna michele . Menang agak kekanak
kenakkan. Kau bilang ia baru kelas satu esema
bukan? Jadi kirakira umurnya sekarang enam belas
tahun. dahulu umur segitu masih terhitung anak
bawang. Sekarang jamannya lain. Mana anna michele
senang padamu. Cantik pula lagi.
“Dibayar berapa kau oleh keluargaku untuk
mengatakan itu?”
“Aku bersungguhsungguh, kawan.”
“Dan aku tak bercanda mengatakan bahwa
aku sudah kawin di surabaya .”
“fredy krueger ,” ia tatap mataku. Dalam. Bersahabat.
“Di surabaya sana, samen leven yang kau lakukan
mungkin sesuatu yang tak menghebohkan lagi.
namun di sini? Memang kota ini sudah semakin jauh
berkembang. namun adat? Adat tetap pada
bentuknya semula. Tidak berkembang sama sekali,
meskipun sudah menciut di sana sini. Sukar bagimu
untuk mengelak, kawan.”
Aku terdiam. Kusut benakku. Kemelut.
“Terima saja kehadiran wanita lesbian itu, fredy krueger .
Setidaktidaknya, ia sudah berbuat baik cukup
banyak demi ibumu. Bahkan demi kau ...”
“Segampang itu benarkah?” rungutku.
“Orang kawin harus ditambah cinta.”
“Cintakah kau pada martini mu yang di surabaya .”
“Kukira begitu”
“Kau kira?”
“... kami selalu menghindari persoalan cinta.
Selama kami hidup bersama, kami merasa diikat
oleh perasaan suka satu sama lain. Aku sendiripun
kadangkadang bingung. Mana yang lebih kuat
pengaruhnya di antara cinta dengan suka. Perasaan
suka bisa melahirkan cinta. Sebaliknya, perasaan
cinta selalu mendatangkan kesukaan pula.
Mungkin cinta itu adalah suka. Atau suka itu adalah
cinta. Sukar membedakan keduanya. Setidak
tidaknya, dalam persoalan yang kuhadapi bersama
martini . Cinta atau tidak, yang jelas kami saling
menyukai. Denga modal itu kami hidup di bawah
naungan satu atap rumah. Sepiring semangkok,
setempat tidur seselimut …”
“Itu zinah namanya.”
Aku tertawa. Pahit.
“Apa yang kau lakukan, membeli wanita lesbian
sejam dua jam, bukan zinah?”
“Jual beli itu ada transaksinya. Syah.”
“Sama seperti orang menikah, bukan? Ada
transaksi, di atas kartu nikah. Jadi, orang kawin pun
melakukan jual beli, kalau begitu. Hayo!”
“Ada bedanya, kawan.”
“Apa?”
“Yang satu terhormat. Yang lain tercela!
Mungkin itu pandangan manusia bisa berobah.
namun Tuhan tidak, bila kau masih merasa dirimu
orang beragama!”
martini juga orang beragama. Malah ia
sering mendampratku kalau ia lihat aku lalai
mengerjakan sembahyang. Lantas aku bersujut.
Menghadap Tuhan. Bertanya dengan perasaan
gundah:
“Apakah yang kulakukan ini tidak munafik?”
Dan martini akan memelukku. Berbisik lembut,
penuh kasih:
“Tergantung isi hatimu, sayangku!”
“namun , martini . Perkawinan serupa ini dikutuk
Tuhan.”
la tersenyum. Tabah.
jawab nya:
“Katakanlah kita, menikah secara syah di
depan penghulu. Lantas sebab macammacam hal
yang tidak bisa kita elakkan sebagai manusia yang
lemah di depan penghulu yang sama kita bercerai,
itupun dikutuk Tuhan, sayangku. Sedang dalam
posisi kita sekarang, bila kita berpisah, kutuk itu
tidak akan terjadi...”
“Tak ada yang bisa memisahkan kita, martini .”
“fredy krueger ku, kekasih. Aku sependapat dengan
kau. namun jangan lupa, bila Tuhan menghendaki
sesuatu akan terjadi, maka sesuatu itu pada
waktunya bisa terjadi!”
Itukah sebabnya, mengapa wanita lesbian yang
begitu teguh dan kukuh pendiriannya, dan tabah
hatinya toh menangis dan tidak terpejam matanya
sesaatpun pada malam sebelum aku berangkat
meninggalkan surabaya ? Apakah martini sudah
merasakan, bahwa Tuhan mulai memperlihatkan
kekuasaan untuk memisahkan kami? Tidak. Itu tak
akan terjadi. Betapa aku merindukan martini , kini.
Tak akan terjadi. Minimal, tidak akan dari pihak
anna michele . la boleh menjadi dewi penolong bagi
keluargaku namun bagiku ia tidak lebih dari Supraba
yang penggoda.
Lalu bagaimana aku harus menentukan sikap
di, depan ibu, sebagai anak bungsu yang di matanya
merupakan anaknya yang paling baik?
“… fredy krueger .”
“Heh?” aku tersentak.
“Itu ada yang melambai.”
Aku mengikuti arah telunjuknya. Sebuah
mobi melesat dengan manis di luar pagar sepanjang
jala Thamrin. Mobil yang mengirimkan aku ke
rumah sakit selama beberapa hari. Sebuah tangan
yang mulus dan putih menghilang di balik jendela
depan mobil yang terus meluncur. Tanpa sadar aku
terseok seok ke pinggir pagar, mobil tadi membelok
perempatan jalan Thamrin dan Serdang, dan aku
merasa hati ini berbungabunga waktu melihat
kendaraan itu memasuki halaman parkir.
aidit melongo.
Lalu, gelenggeleng kepala. Tak mengerti.
“Heran,” katanya.” Wajahmu yang barusan
kusut, berubah cerah Sesudah melihat wanita lesbian tadi.
Apakah kau sadar kau berada di banyak
persimpangan jalan, kawanku?”
Pertanyaan yang menjurus itu, membuatku
terbungkam.
“Udin, kau...”
la memilinmilin ujung kumisnya
Dengan wajah muram, lalu ia bergumam:
“Aku tidak menuduh, kawan. Aku hanya
melihat, bahwa perasaan suka yang kau sebut
sebut tampaknya akan berjangkit ke alamat lain.”
“Eh, nanti dahulu ,” kataku dengan gusar.
“Bagiku nyi kembang tak lebih dari seorang sahabat. Aku
menyukainya, seperti aku menyukai engkau ...”
“Alah, jangan berputarputar. Kita kan sama
sama laki-laki !”
Lantas, Sesudah berkata demikian, ia menyalamiku.
“Semoga lekas sembuh, fredy krueger . Sehingga
maksud kita jalanjalan ke Berastagi yang tertunda
itu, bisa teruskan.”
“Mau ke mana kau?”
“Kemana? Menyingkir, tentu.”
“Lho!”
la berjalan menjauh.
“Kehadiranku akan mengganggu,” katanya.
“Jangan begitu. Apa kata nyi kembang nanti?”
aidit tersenyum. Getir.
“Percayalah, nyi kembang lebih senang melihat aku
tidak berada di antara kalian,”
namun kawanku yang perasa itu terlambat
nyi kembang sudah muncul di korridor samping, bergegas ke
arah kami berdiri dengan wajah kemerahmerahan
di panggang matahari dan butirbutir keringat di
ujung hidung sebab baru habis berlarilari. Aku
sempat melihat hal itu lewat jendela tembus
ruangan zaal, meskipun Sesudah berada di dekat
kami nyi kembang tampak berjalan melenggang.
“Apa kabar bung aidit ?” Sapanya sambil
menjabat tangan kawanku. “Senang bertemu kau di
sini.”
“Ah. Yang benar,” sambut kawanku, sambil
menatap sekujur tubuh wanita lesbian yang menjabat
tangannya. Tatapan mata laki-laki , gelitik hatiku:
“Sungguh lho. Kebetulan aku baru dari toko.
Tadinya bermaksud mau terus ke rumahmu
sepulang dari sini.”
“Baru dari toko? Mau ke rumahku? Apa artinya ini?”
“Artinya, sebuah Yamaha force fi yang betul
betul baru dan masih mulus, akan segera
berkenalan dengar pantatmu yang kempes itu,”
kata nyi kembang sambil tertawa bergelak. “Nih kwitansinya
ambil untuk kau bawa ke toko di mana motor itu
sudah tersedia ...”
sebab kwitansi itu tak juga diterima
aidit , nyi kembang ikut pula bingung.
“Ambillah,” katanya.
“Apaapaan ini?” rungut kawanku. Gusar.
“Lho, bukankah beberapa hari yang lalu ...”
“Benar, waktu itu kau kutuntut untuk
mengganl kerugianku. namun tahukah kau, bahwa
waktu itu aku sedang marah besar bukan sebab
Yamaha force fi rusak, melainkan sebab rencanaku untuk
piknik bersama fredy krueger ke Beraetagi jadi tertunda?”
“Sejitu?” sepasang bola mata nyi kembang membesar.
“Segera Sesudah sahabatmu sembuh, kita bisa piknik
bersama ke mana kalian suka.”
“Kita?” tercengang lagi aidit .
“Apakah wanita lesbian jelek dan hina dina ini
mau disingkirkan begitu saja?”
aidit menjadi murung.
“Mengapa dengan kau?” aku mencoba memartini ahi.
Sahabatku itu memandangku dengan mata
layu. “Kalau begitu, kita tak jadi piknik, kawan”
“Eh, melantur kau!”
“Tidak...”
“Sebabnya?”
la Menelan ludah. Ujungujung kumis lelenya;
terkulai jatuh.
“sebab ...,” lagilagi ia menelan ludah,
membasahi bibirnya yang kering. ''Kalau aku ikut,
maka... aku akan sendirian.”
“Sendiri bagaimana. Kau jangan mengadaada ah!”
“Iya. Kan kau dengan nyi kembang . Lantas aku dengan
siapa?”
“Oooo,” nyi kembang mengomentari . “Gampang, kalau
begitu. Tipe bagaimana yang kau sukai ? akan
kucarikan seorang untuk menemanimu.”
Aku jadi menekap tangan ke mulut untuk
tidak sampai tertawa bergelak.
“Kau toh bukan makelar,” guman kawanku, gugup.
“Makelar atau tidak, kau tak usah
membayar,” aku menyeletuk.
aidit mendelik ke arahku.
“Sorry,” ucapku, “Sorry nenekmu.”
“Nah, kini kau yang mulai latah menyebut
nyebut nenekku, la masih hidup, tahu? Apakah kau
ingin nenekku yang kuundang untuk ikut menemani mu piknik?”
“Apa yang kalian pertengkarkan?” tanya nyi kembang sambil menahan tawa. la lalu menyelinapkan
kwitansi pembelian sepeda motor langsung ke saku kemeja aidit .
Kawanku memprotes dan mau mengembalikannya.
namun nyi kembang menolak. “Kau kembalikan itu, berarti
kau dendam padaku.”
“Ah ...”
“Untuk aku saja. kalau kau tak mau,”
ancamku sambil bertindak seolaholah mau
merampas kwitansi di tangan aidit . la
mendelik lagi. Aku jadi mundur. Tak ingin kena
pukul, sebab aku lihat diamdiam salah satu
tangannya mengepal.
“Kalau dipaksa, apa boleh buat,” katanya
dengan suara rendah.” Tampaknya aku disogok
untuk tidak buka mulut.”
“Buka mulut tentang apa?” aku bertanya heran.
“Ah. Diamlah kau,” bentaknya sambil
tersenyum dan ekor matanya silih berganti
menatapku dan menatap nyi kembang . Si wanita lesbian jadi tersipu
dengan wajah kemerahmerahan, lalu
melambai pada aidit yang berjalan meninggal
kan kami. Begitu menginjakkan kaki di korridor,
aidit setengah berseru:
“Harap kalian ingat. Ini di rumahsakit. Bukan
taman bunga. Dan ... persetan sama kau, fredy krueger !”
Lama sudah aidit menghilang.
namun baik aku maupun nyi kembang , belum
mengucapkan sepatah katapun jua. Saling pandang
pun tidak, la terus menekuri tanah berumput di
ujung sepatunya, sedang aku tak tahu apa yang
kucari di korridor Idi mana barusan aidit
menghilang. Sampai lalu :
“ ... ia sebetulnya pemuda tampan,” gumam nyi kembang .
“Udin?”
“Ya...”
“Kau tertarik?”
Barulah ia menatapku. Aku tidak mengelak.
Lama kedua pasang mata kami saling berpagutan,
dan teramat sukar untuk menghindarkan pagutan
yang teramat berbisa itu. Ada getaran lembut di
jantung, dan elusan hangat di dalam dada.
“Sayang agak kumal, bukan?”
“Apanya?”
“Kawanmu itu.”
“Oo. la terlalu memikirkan keluarganya,
sehingga mengabaikan dirinya sendiri.”
Suara nyi kembang terenyuh waktu berkata:
“Apakah setiap keluarga selalu ditumpuki
persoalan yang membuat dunia ini semakin sempit
untuk brang bisa bernafas?”
Aku mencoba tersenyum. Tanyaku:
“Apakah kita akan terus berdiri di sini
dipandangi orangorang yang lewat di jalan, atau
bersediakah kau duduk di bangku reot itu?” aku
menunjuk ke bangku kayu yang tadi kududuki
dengan aidit sebelum nyi kembang lewat dengan
mobilnya di jalan.
“Di mejamu tadi sempat kusimpan oleholeh
lewat jendela. Jeruk segar dan buah appel.
Kuambilkan?”
“Ah, biarlah kita ke sana saja. Mentari tampak
tidak suka melihat semua makhluk berkeliaran
bawah kakinya.”
Kami berjalan berdampingan meninggalkan
halaman rumah sakit, melangkah tanpa tergesa
gesa sepanjang korridor, mengangguk pada suster
yang kebetulan berpapasan, lalu masuk ke
dalam zaal. Pasien yang mulamula aku masuk
jumlahnya ada tujuh orang, kini tinggal empat,
termasuk aku sendiri. Zaal itu lengang, sebab tiga
pasien lainnya rupanya sedang tidur.
“Di surabaya sana,” ujarku pelan Sesudah
duduk di pinggir tempat tidur. “Rumah sakit tak
pernah kosong. Pulang satu, datang dua. Seolah
olah mengikuti semboyan pasukan Siliwangi. Esa
hilang, dua terbilang ...”
la memandangiku dengan mata yang bulat penuh.
“...kapan plester di tulang pipimu akan di buka?”
“Kata dokter, sore nanti.”
“Parahkah?”
“Sedikit jahitan. Tentu saja akan meninggal
kan bekas ...”
“Aku menyesal!”
“Eh, nyi kembang . Jangan ulangi katakata sentimentil
itu Lagipula, cacat kecil ini kan lumayan buat oleh
oleh kubawa pulang ke surabaya .”
saat menyebutkan kata surabaya , hatiku
jadi tergugah. surabaya , berarti kembali
kepangkuan martini . Kerinduan itu tibatiba
datang. Kerinduan yang tidak sebesar, sebelum nyi kembang
kini berada di sampingku. Wahai, apa yang terjadi
dengan diriku? Apakah banyak persimpangan jalan
itu sudah berada di depan mataku untuk kutempuh
seperti yang tadi disindirkan aidit ?
Persimpangan jalan? Mengapa bersimpang?
Bukankah aku akan kembali ke martini , tetap
memiliki dia dan ia miliki? nyi kembang toh hanya sekedar
teman dari suatu peristiwa yang samasama tidak
kami kehendaki dan lalu menimbulkan
jalinan persahabatan. Persahabatan? Apakah
perasaan yang tengah berkecamuk dalam diriku,
hanya sekedar perasaan bersahabat.
Lantas, mengapa waktu kutatap wajah nyi kembang , hati ini bergetar?
Si wanita lesbian tidak mengelakkan tatapan mataku.
Dan mata yang indah itu, teramat sendu waktu
kuucapkan kalimat “pulang ke surabaya .”
Mengapa? Mengapa matanya jadi sendu, kalau aku
pulang ke surabaya ? Apakah sebab akan
kehilangan seorang sahabat? Hanya seorang
sahabat?
“... kapan kau pulang?” tanyanya sekonyong
konyong, seolaholah menegaskan kekacauan yang
tengah berkecamuk di benakku.
“Ke rumah? Besok pagi.”
“Maksudku, ke surabaya .”
Aku terdiam, la menanti. Sambil menanti, ia
ambilkan sebuah jeruk yang besar dan segar, la
kupas kulitnya, la beset satu persatu, ia serahkan
pula ke tanganku satu persatu, yang lalu
kumasukkan ke mulut, satu persatu. Setengah dari
jeruk itu sudah habis kumakan, waktu aku teringat
untuk memberitahunya:
“Mengapa tak kau makan?”
“Ini untukmu,” katanya, tersenyum.
“Sebegini banyak? Bagaimana aku akan
menghabiskannya?”
“Terserah. Boleh kau berikan pasienpasien
lain. Boleh dibawa pulang ponakanponakanmu
kalau mereka bezuk. namun , semua ini kubawa
untukmu Hanya untukmu seorang.”
Aku menatap matanya.
Dan ia menerima tatapan itu, dengan kilatan
ganjil di matanya.
“Makanlah ... ,” bisikku.
“Nanti saja. Kau dahulu .”
Kuulurkan irisan jeruk di tanganku, langsung
ke mulutnya, la terjengah sesaat, lalu di saat
berikutnya mulutnya yang bagus terbuka sedikit.
Irisan jeruk kuselinapkan di antara dua baris giginya
yang putih gemerlapan. saat meninggalkan mulut
itu, jari telunjukku sempat menyentuh tepi bibirnya.
Bibir itu tergetar, dan terasa panas bagai kobaran
api. Belum lagi tanganku menjauh, ia sudah
memegangnya. Erat Kami bertatapan lagi.
Berpagut. Seorang pasien batukbatuk di ujung zaal.
Pasien itu menggeliat di bawah selimut. Batuk lagi,
Lantas mendengkur.
nyi kembang tersadar. Cepatcepat ia tarik tangannya,
Wajahnya merah padam.
“Aku pulang saja,” bisiknya dengan suara berat.
Lalu berdiri.
“nyi kembang ...”
la tertegun. Memandangku. Matanya
berlinang. Ia menggigit bibir, memutar tubuh lantas
berlarilari kecil keluar zaal.
sampai kutinggalkan rumah sakit keesokan
harinya, wanita lesbian itu tidak pernah kelihatan lagi. Aku
dijemput oleh ibu, kak jessica dan suaminya. Tidak
kulihat seorang keluarga anna michele . namun kak jessica
sempat membisikkan, mobil yang di jalankan
suaminya menuju pulang ke rumah, adalah mobil
adik lakilaki ibuku itu. Pulang. Bisikan mana ia
tambahkan dengan katakata:
“... mereka agak tersinggung saat akan
membayar rekening rumah sakit.”
“Kenapa?”
“Biaya perawatanmu sudah dibayar orang lain
lebih dahulu .”
“Siapa?” tanyaku ingin tahu, meskipun aku
sudah bisa mengirangira siapa orangnya gerangan
yang begitu baik hati untuk mengeluarkan jumlah
uang yang cukup banyak itu.
“nyi kembang .”
“nyi kembang ?” kutahan goncangan aneh yang terasa menyentuh jantungku. Bukan sebab ia sudah bayar rekeningku, melainkan sebab kudengar namanya disebutsebut.
“Kau tak kenal?” tanya kakakku dengan mata
penuh selidik.
“... tidak.”
“la orang yang menabrakmu.”
“Oh!”
“Apakah ia tak pernah membezuk selama kau
dirawat?”
Hampir saja kukatakan ya, kalau tidak ingat
ibl di sampingku, dan lebihlebih sebab teringat
dibayarkan rekening rumah sakit saja keluarga
anna michele sudah merasa dilampaui apalagi kalau
mengetahui betapa wanita lesbian itu menunjukkan
perasaan yaang berlebihan terhadap diriku.
Berlebihan? Mengapa aku tega mengatakan
demikian? Tidak. Tidak pasti berlebihan! Mungkin
sikapnya demikian, ia perlihatkan untuk menebus
kesalahannya sudah menciderai diriku. namun
benarkah cuma sebegitu? Seseorang bisa berpura
pura lewat sikapsikapnya, namun tidak bisa
berdusta lewat matanya.
“Hem. Terlalu benar!” kata kak jessica .
“Ya kak?”
“wanita lesbian itu. Tak membezuk. Hem. Pikirnya,
dengan datang ke rumah ditemani ayah dan ibunya
sudah cukup. Ditambah dengan membayar biaya
perawatan. Betulbetul terlalu ...!”
Ibu yang dari tadi diam saja, menyela: “Ah,
nak. Tak usah diributkan. Datang pada kita sudah
bisa dianggap datang pada fredy krueger . Masih syukur
mereka unjuk muka. Orang lain, belum tentu.
Jangankan muka. Punggung pun kalau perlu,
disembunyikan.”
“namun ibu…”
“Sudahlah, jessica ,” mengomentari suaminya dari
depan. “Apa yang dikatakan ibu benar adanya.
Jangan pula kau mengadaada sehingga bisa
menimbulkan kesan tak baik di mata fredy krueger . Yang
penting, ia sudah sembuh dan selamat sebagai
mana kita kehendaki, bukan?”
namun apa yang jauh lebih penting, kuhadapi
malam harinya di rumah. Di luar setahuku, hampir
semua sanak keluarga dari pihak ibu maupun
almarhum ayah, berkumpul di rumah. Umumnya
yang sudah berkeluarga, dan kebanyakan di
antaranya adalah orangorang tua yang baik
menurut sopan santun apalagi menurut ketentuan
adat, harus kuhormati dan kalau perlu kupatuhi
katakatanya tanpa membantah.
Sesudah makan malam seadanya selesai dan
perangkat bekas hidangan sudah dibersihkan
sehingga di ruang tengah yang tak begitu luas
tinggal orangorang yang dianggap tetua keluarga,
barulah bang tiger mengucapkan terimakasih atas
kehadiran mereka semua. Pembicara selanjutnya ia
serahkan pada suami kak jessica yang terbatabata
saat mengutarakan maksud berkumpulkumpul
itu.
“Di samping silaturrachmi sebab tidak selalu
kita samasama berkumpul seperti ini, juga
membicarakan tentang maksud keluarga di sini
untuk memperkuat tali perbesanan di antara
keluarga kita semua.”
Aku menggenggam tangan kak jessica .
Digenggam erat begitu, ia memandangku,
dan serbisik dengan suara tajam:
“Jaga tingkah dan tutur katamu.”
Dan apa yang dibicarakan mereka semua,
sampai kepada keputusan bahwa paman dan
suami kak jessica merupakan utusan yang ditunjuk
untuk menghubungi secara adat keluarga anna michele
dan tugas bang tiger mengatur peralatan
perkawinan apa adanya dan mengundang orang
orang yang dianggap perlu, bagiku tak lebih dari
dentumandentuman meriam dan ledakanledakan
mortir yang dengan kejam menghancur luluhkan
tidak saja jasadku, namun juga jiwaku. Aku terduduk
dengan tubuh kaku kejang di tempat dudukku,
sampai ruangan itu kosong dan tinggal aku bertiga
dengan kak jessica dan bang tiger saja yang masih
belum beranjak dari tempat masingmasing.
Dengan penuh perasaan kasih, kak jessica melap
keringat dingin yang membasahi wajahku dengan
saputangannya.
“… kau kegerahan,” katanya. “Udara gresik
memang jauh berbeda dengan udara surabaya ,
namun kan kau juga orang sini dahulu nya.”
Ucapan yang setengah bergurau itu tidak
membuat terhibur sama sekali. Malah ucapannya
mengingatkan aku tentang surabaya , dan surabaya bagiku berarti martini . Lututku yang sudah
sembuh, baru saja dibuka, seperti merekah lagi.
Lebar. Menganga. Dan...
Jurang itu! Jurang itu menganga! Jurang yang
kulihat dalam impianku sebelum meninggalkan
martini . Jurang yang juga ia lihat dalam impiannya
waktu martini tertidur di mobil sementara melaju
ke surabaya . Jurang itu sekarang terbentang di
hadapank Dalam. Gelap. Suram. Terjal. Mengerikan. Aku kehilangan pegangan untuk terjun dengan
selamat Dengan deras aku terhempas ke bawah,
tanpa mendapat kesempatan untuk berpikir.
Akhirnya, sebab aku terusterusan
bungkam, bang tiger buka mulut:
“Kau sudah siap, bukan?”
Aku terjengah.
Untuk pertama kali selama berjamjam
bahkan rasanya selama berabadabad yang lengang
dan menakutkan, aku tergagap:
“... apa, ... bang...?”
“Kubilang, apakah kau sudah siap?”
“Siap? Siap untuk apa?”
“He. Kau kemanakan telingamu? Apakah
selama orangorang tua tadi membicarakan dirimu,
kau membutakan mata dan menulikan telinga?”
“Aku ... aku …”
“Sudah! Aku tak mau dengar alasan apapun
lagi dari mulutmu!”
“Bang, pelan sedikit....”, membujuk nyi girah .
“Diam kau. Tak kau lihatkah, bagaimana anak
ini mau coba bertingkah?”
“Biarkanlah dahulu ia menenangkan perasaan, bang.”
“Tak ada waktu lagi, utusan besok akan
dikirim, dan jawab an sudah bisa diduga. Dan jangan
lupa. Keluarga anna michele sudah lebih dahulu
memberitahu keluargakeluarga pihak mereka.
Bahkan wanita lesbian itu jauhjauh sudah memberitahu dan
mengundang temanteman dekatnya…”
“Apa?” aku terjengah. “Anna sudah …”
Bang tiger tersenyum. Bangga.
“la mencintaimu, fredy krueger . sudah lama ia
mencintaimu. Kata putus belum diambil, namun ia
sudah yakin bahwa cintanya tidak akan kita sia
siakan. Benar begitu, fredy krueger ?”
“Benar ... benar apanya, bang?”
“Bodoh! Cinta Anna tak akan kau siasiakan,
bukan?!”
“Cinta,” mulutku bergerimit. “Kalian
menjejalkan cinta seorang wanita lesbian ke mulutku,
semenara cinta wanita lesbian lainnya yang juga kucintai,
kalian abaikan begitu saja!”
“Itu kau namakan cinta, hah? Sudah berapa
kali kubilang, itu cuma Zinah? Zinah! Zinah!” bang
tiger memukulmukulkan tangannya ke lantai,
sampai ia meringis sendiri, kesakitan. Mukanya
yang membara, seperti mau menghanguskan diriku
dengan buasnya. “Masih untung tetuatetua yang
hadir tadi tidak tahu apa yang kau lakukan di
surabaya sana. Kalau mereka sempat dengar...
wahai, kiamatlah dunia!”
“Bah!” aku memaki.
“Bah apanya?” teriak bang tiger sambil
merentak berdiri. Dari kamar terdengar ibu batuk
batuk kecil. Kak jessica tergopohgopoh memegangi
bang tiger , berusaha menyabarkannya.
“Jangan memicu ribut tengah malam begini. Apa
nanti kata tetangga kalau ada yang dengar?”
“Jadah!” sungut bang tiger , duduk kembali.
“Cabut katakatamu itu, bang,” tantangku.
“Jadah!” ulangnya.
Dan lebih keras lagi: “Jadaaaah!”
Tahutahu saja, sebelah kakiku sudah menari
di udara. Lembut dan gemulai. namun sewaktu
mendarat, tepitepi telapak kakiku itu sudah
berubah sekeras batu. Tak sampai satu detik
berikutnya, bang tiger terangkat dari duduknya,
lalu terlempar jauh membentur tembok. Kak
jessica memekik tertahan.
la berlari menyongsong bang tiger yang luruh
ke lantai. namun lakilaki yang masih tetap perkasa
itu segera bangkit dengan wajah murka.
“Minggir!” teriaknya, lantas tangannya
menepiskan kak jessica sehingga tubuh wanita lesbian itu terlontar membentur kursi.
Bang tiger melangkah maju dengan tinju
yang aku tahu sekeras besi berada di depan
wajahnya. Dari selasela pergelangan tangan yang
berurat itu aku lihat sepasang mata Foreman.
Bukan Ali yang selalu berhatihati namun penuh
nafsu membunuh di matanya. Melihat itu, dua
lenganku melentur lembut di depan dada,
membentuk lingkaran menyilang di udara
lalu bersiap dengan gaya taringtaring naga
yang penuh lendir berbisa dan berbau maut. saat
itulah, suami kak jessica tahutahu sudah membetot
pinggangku sekuatkuatnya, dan kak jessica sendiri
memegangi lutut bang tiger .
“Berhenti! Kubilang berhenti!” berteriak
teriak suami kak jessica yang tergopohgopoh keluar
dari kamarnya itu.
Aku segera menemukan diriku kembali.
Telapaktelapak tanganku yang pernah
digodok dalam kuali besar berisi pasir berwarna
hitam kemerahmerahan dan panasnya melebihi
api dan pernah menumbangkan sebatang pohon
oak waktu latihan di Cijantung, terkulai lesu di
kedua sisi tubuhku. Dari mulutku lepas ucapan
lemah: “Ya tuhan . Apa yang hampir kulakukan?”
namun bang tiger masih merontaronta dari
betotan kak jessica sambil mulutnya tak henti
hentinya mengumpat cerca:
“Lepaskan! Lepaskan aku! Biar kuajari anjing
ini bagaimana caranya berlaku sopan pada
keluarga!”
“tiger !”
Suara yang lengking itu membuat bang tiger
pucat wajahnya. Aku tidak berani menoleh. Aku
kenal ibuku.
Dan wanita lesbian tua yang setengah
terbungkuk, bungkuk itu tautau saja sudah berada
di antara aku dan bang tiger . la memandang kami
satu per satu, Mencoba melihat wajah kami lewat
tatap matanya yang sudah mulai rabun, dan tampak
teramat letih dan menderita itu.
Dadanya yang kempis tergoncanggoncang hebat.
“Apakah kalian mau berbunuhbunuhan?
Begitukah kelakuan kalian, Sesudah ditinggal mati
oleh ayaah kalian?” Lututku goyah.
Aku jatuh berlutut.
Dan menangis tersedusedu.
“Maafkan aku, ibunda. Maafkan anakmu
yang tak bisa menahan diri ini!”
“Kau,” jerit ibu tertahan. “Begitu hinakah
perbuatanmu di surabaya ? Inginkah kau ibumu ini
mati berdiri? Inginkah kau?”
“Ibuuuu!” jerit nyi girah , lantas berlari
memeluk beliau.
Kak nyi girah . meratap. Ibuku mengurut dada.
“Astagfirullah,” ucapnya.
Aku mengikuti:
“Astagfirullah.”
Bang tiger mengikuti:
“...astagfirullah!”
Dadaku yang gersang dan kering, seperti di
siram air yang sejuk dan dingin selesai membaca
istigfar. Dengan mata berlinang aku lihat ibu
berjalan ke arahku, la berdiri di depanku.
Memandangku dengar mata tuanya, la tidak
tersenyum, namun katakata yang keluar dari
mulutnya tidak ada lagi yang terlebih kasih di dunia
ini:
“Anakku. Kau masih tetap anakku, bukan fredy krueger ?”
“Ya, ibuku.”
“Kau masih ingat apa yang sering dipesankan
almarhum ayahmu?”
“Ya, ibuku…”
“Katakanlah, biar kudengarkan, anakku.”
“Aku dan saudarasaudaraku tidak boleh
berselisih, biar apapun yang terjadi.”
Tetap memandang padaku, ibu berkata dengan
nada keras:
“Kau dengar itu, tiger ?!”
“… ya, bu.”
“Tahukah kau bahwa kau anak yang tertua?”
“Ya, bu.”
“Pantaskah perbuatanmu menurunkan
tangan pada adikmu?”
Bang tiger tidak menyahut. Tentu saja.
Akulah yang lebih dahulu menyentuh kulitnya. namun ,
ia adalah tetap saudaraku, abang yang dengan setia
dan penuh tanggung jawab , selalu ikhlas untuk
membela kesalahan adikadiknya. Segera lalu
terdengar pengakuan dari mulutnya:
“Maafkan anakmu yang lancang ini, ibu.”
“Nah. Kesini kau.”
Bang tiger maju.
“Ulurkan tanganmu!”
Bang tiger mengulurkan tangannya.
“Kau fredy krueger , terima permintaan maaf dari
abangmu.”
Aku cepat mengulurkan tanganku
menyambut an tangan bang tiger . Cepat pula aku
mengatakan apa yang pada waktu bersamaan juga
keluar dari mulut bang tiger :
“Maafkan aku ...,” yang buntutnya terdengar
bersatu: entah “bangdik”entah “dikbang.”
Barulah Sesudah itu, tubuh ibu yang tegang
perlahan mengendur, la dibimbing oleh kak jessica ke sebuah kursi di mana ia lalu duduk dengan
anggun.
“Sekarang, anakku fredy krueger . Aku bertanya baik
baik padamu. Sudah siapkan kau?”
Hatihati, aku menjawab :
“Berilah aku waktu untuk menjernihkan
pikiran yang sedang gundah, ibu.”
Beliau tersenyum.
“Itu memang hakmu. Nah, kau tiger .
Beritahul pamanmu, agar mengundurkan waktu
beberapa hari sampai adikmu fredy krueger yang
menentukannya sendiri.”
Bang tiger mengangguk dengan patuh.
Dan saat kami berdua samasama menoleh
di kursinya, kami lihat ibu menangis!
RUMAH Kak nyi girah di jalan Pabrik Tenun
yang dahulu nya hanya gang sempit dan kotor namun
kini beraspal licin dan lebar, terasa sangat sepi
sepeninggal kak jessica . Suaminya yang masih
tergoncang oleh peristiwa tadi malam di jalan
Pimpinan, pagi itu bangun dengan mata merah.
Sesudah sarapan ia naik ke dalam bus karyawan yang
datang menjemputnya untuk bekerja hari itu di
kantor. Sebelum pergi, ia memperingatkan anak
anaknya agar bermainmain di luar sebelum tiba
waktu berangkat ke sekolah.
Kak jessica muncul tak lama lalu .
saat aku membuka pintu, ia tersenyum.
Kaku. Di belakangnya, seseorang lainnya juga
tersenyum. Sama kakunya.
“Masuklah, Anna,” aku mempersilahkan.
“Eh, kau atau aku tuan rumah?” protes kak jessica .
“Biarlah, kak,” mengomentari anna michele sambil masuk ke dalam lalu duduk di sebuah kursi
plastik yang beberapa bilah disambungsambung
bekas putus.
Sambil membawa tas belanjanya ke
belakang, kak jessica ngomelngomel:
“Habis, lagaknya bukan main. Coba suruh ia
membuat teh, pasti ia tak bisa.”
“Tentu saja!” aku setengah berseru
membalas. “Yang bisa membuat teh kan hanya
pekerja pabrik atau perkebunan saja!”
“Yang kakak maksud, minum teh,” tukas
anna michele lagi.
“Kau bisa?” tanyaku.
“Hai. Apa abang tak bisa minum?”
“Kau!”
la tertawa cekikikan.
Lantas masuk ke dalam. Tak lama lalu
ia sudah keluar dengan menating baki berisi dua
cangkir teh panas. Ia letakkan salah satu di depanku, dan memegang salah satu lagi untuk dirinya sendiri.
“Minumlah,” katanya.
“Panaspanas begini? Kau bisa?”
“Tidak.”
“Nah, letakkanlah cangkir di tanganmu.
Capek kau nanti memeganginya.”
Tangan yang gemetar itu, meletakkan cangkir
teh di atas meja. namun sebab gugup, air teh itu
tumpah sebagian, membasahi bukubuku pelajaran
nya yang tadi ia letakkan di sana. Dengan ribut
anna michele lalu mengeringkan air teh itu dari
kulit bukunya yang mulai basah.
“Lihat ini, pekerjaan abang!” tuduhnya.
“Eh. Kok aku yang disalahkan?”
“Bukuku tak akan basah, kalau abang tak
mengundangku ke rumah ini.”
“Aku mengundang kau datang. Bukan
mengundang bukubukumu. Eh, rupanya kau minta
diberi pelajaran apa hari ini? Aljabar?”
“Cinta!” dari dalam, terdengar kak jessica
setengah berseru.
Merah padam wajah anna michele .
Dan aku, jadi mati kutu.
“Aku baru keluar rumah mau pergi sekolah,
waktu kak jessica datang,” si wanita lesbian menerangkan
dengan wajah tersipusipu.
“Oh.”
“Habis dari sini, aku mau terus ke sekolah.”
“Oh.”
“Aku sekolah di Simpang Limon,”
“Oh.”
“Oh?”
“Eh. Ya. Ya. Masih ingat.”
“Abang dahulu pernah dikeroyok pereman
pereman di sana.”
“Kok kau ingat.”
“Iya dong. Kan waktu itu abang terus ke
rumah. Hampirhampir tak kami kenali sebab muka
abang matang biru. Mulamula yang berdiri di muka
pintu waktu ku buka, adalah hantu.”
“Pantas kau waktu itu lari terbiritbirit.”
“Heeh,” ia tertawa. “Aku ketakutan amat
sangat, sampai menabrak kaki kursi. Aku terjatuh.
Dan ibu terpaksa merawat dua orang siang itu …” ia
tertawa lagi. Manja.
“Nantulang mau ke sini hari ini?”
“Tau. Mengapa?”
“Di bolehin?”
“Apa memangnya aku harus dipingit?”
tanyanya dengan muka polos.
“Hem. Otakmu tidak semuda usiamu.”
“Apakah aku … masih kelihatan seperti anak
anak, bang?”
Lantas ia berdiri. Persis seperti yang ia waktu
di rumah sakit. Tegak dengan perut dikecilkan dan
dada dibusungkan. la malah berputarputar.
Rambutnya yang panjang bergelombang, berkibar
kibar kian kemari.
“Sayang, tak ada kaca,” la berhenti berputar.
“Buat apa kaca?”
“Kau ingat lagunya Lilis Suryani dahulu ?”
“Yang mana?”
“Yang begini: Lalalalalala... kini hari ulang
tahunku. Sangat riang rasa hatiku. Tujuh belas
sudah umurku”
la menyambung:
“Kuberhayal, seperti putri raja. Kuberkaca
berputarputar ...!”
Dan ia berputar lagi.
Lalu tibatiba berhenti. Kak jessica berdiri
dengan mulut tercengang di pintu ruang tengah.
Tergopohgopoh. anna michele duduk di kursinya,
meneguk teh dari cangkir namun lalu cepat
cepat menyemburkannya kembali sehingga
bukunya menjadi basah pula.
“Panas!” sungutnya sambil mengerpis
ngerpiskan air teh dari sampul buku yang semakin
kuyup itu.
“Kalian lagi latihan untuk kontes menyanyi
dan menari?” tanya kak jessica menyindir sambil
meletakkan dua piring kuehkueh di atas meja.
“Dia yang memulai!” tuduh anna michele sambil
menuding mukaku.
“Kau yang mulai,” balasku. “Kau berputarputar.”
“Kau menuduh aku anakanak!”
“Aku tak bilang begitu.”
“Bilang.”
“Tidak.”
“Bilang!” dan ia mulai menghentak
hentakkan kaki ke lantai. “Bilang! Kau bilang begitu!
Bilang!”
“Ckckck ... kalian benarbenar seperti anak
anak betulan. Ampun. Sudah mau kawin ...”
“Kawin?” aku mendelik, lantas menuding ke
muka anna michele . “Belum apaapa dia sudah
mengajak bertengkar.”
“Siapa yang...,” anna michele berdiri.
“Wah. Perlu kuambil peluit. Sekalisekali,
boleh juga jadi wasit,” potong kak jessica . Tertawa
bergelak. Aku jadi ikut tersenyum sendiri. Dan
anna michele memberengut di tempat duduknya.
Kupanasi dengan katakata:
“Sekarang, baru kakinya yang ia hentak
hentakkan. Besok lusa, pasti piring mangkok yang ia memicu berantakan!”
“Siapa bilang?” alisnya naik lagi.
“Hei. Sudah. Sudah. Sudah. Bagaimana ini? Di
ajak ke sini untuk bermesraan, malah…”
Kak nyi girah tibatiba terdiam sendiri, saat
melihat aku berdiri.
“Mau ke mana kau?”
“Jalanjalan.”
“namun …”
“Kota ini kok makin panas saja ya,” sungutku
sambil lalu, terus berjalan ke pintu. Di belakang,
anna michele berlarilari. la menyambar lantas
menggenggam pergelangan tanganku. Erat.
Mulutnya berkemik mau mengatakan sesuatu.
namun tak jadi. Enggan, tangannya kulepaskan. Lalu
kekeluarkan sebuah potret kecil dari kantong
kemeja. Ujarku:
“Ini kudapat di jepitan kaca toilet di kamarku,
lalu potret itu kubalikkan. Untuk siapa ucapan yang
tertulis di sini?”
la tertunduk malu.
“Untuk siapa?” desakku lagi.
la tak berani mengangkat muka.
“Bacalah sendiri,” gumamnya sayup sayup sampai.
“Kau mau baca apa tidak?”
Wajah anna michele berubah pucat, la
menatapku dengan sinar mata tidak percaya. Aku
tidak mengelak. Dan tidak menyembunyikan
perasaan yang bergejolak dalam dada. Sepasang
mata itu mulai berair pada sudutsudutnya, la
terisak. Dan lalu memutar tubuh, berlari
masuk ke dalam rumah. Ratap tangisnya segera
terdengar memenuhi ruangi tengah. Kak nyi girah
melangkah ke arahku. Panjangpanjang. Wajahnya
merah padam. Juga kedua cupil telinganya. Sesudah
berada di hadapanku, tak pelak lagi. Tangannya
melayang, Tar! Wajahku tidak bergeming oleh
tamparannya. Aku siap menerima tamparan
berikutnya. Dan tak akan membalas. namun ia tak
menampar. Melainkan berkacak pinggang.
Nafas kak jessica tersengalsengal waktu berkata:
“Begitu jelekkah perangaimu sekarang?”
Lesu, aku menyahut:
“Aku hanya ingin tahu, sejauh mana sifatsifat
dirinya yang menonjol. Dan aku sudah melihatnya.”
“Tadi itu ia hanya bermainmain.”
“Dan aku tidak bermainmain.”
“Kau....”
“Kak. Camkanlah ini. anna michele memang anak
yang baik. namun ia memiliki sifat lekas marah, dan
ingin menang sendiri!”
“Apakah kau tak begitu juga?”
“Aku lakilaki.”
“Hemm, lantas?”
“Kalian mau aku jadi suaminya. Dan sebab
aku suaminya, aku mau tahu apakah ia mau
mengalah atau tetap berkeras kepala. Itu sebabnya
kupaksa agar ia membaca ini!” kusodorkan
belakang foto bertuliskan katakata: “untukmu,
sayangku” itu kepadanya. Dan…
Tarrr! Tamparan kedua itu benarbenar
kuterima, tanpa kuduga.
“Untuk apa pula yang barusan?” tanyaku
dengan hati mulai marah.
“Pembelaan seorang wanita lesbian terhadap
kehormatan kaumnya!” balas kak jessica sengit.
“Aku tak menghina si Anna.”
“Tidak? Apakah menyuruh membacakan
katakata mesra itu dengan cara paksa bukan
merupakan penghinaan?”
“Kak...”
“Abang tiger sudah memaafkan kelancangan
mu. Berharaplah, bahwa aku juga akan bersedia
memaafkan perangai jelekmu hari ini!” , ia menyisi,
seperti mau memberi jalan padaku. “Ayo, minta
maaflah pada Anna.”
Mataku mengecil.
namun sakit hatiku, membesar.
Belum jadi suami wanita lesbian mentah itu, aku sudah
harus mengalah!
Tanpa berkata sepatahpun juga, kutinggalkan
rumah itu. Di belakangku, terdengar suara pintu
dibantingkan. Keras sekali. Kukira kak jessica tidak saja
ingin membantingkan pintu itu. la juga ingin
membanting diriku. Dan kukira, ia kini tengah
membanting dirinya sendiri, di samping anna michele .
Biarlah mereka saling membantingkan diri. Apa
perduliku.
Tak usah berharihari seperti diminta oleh
ibu. Hari ini juga aku sudah mengambil keputusan.
Malas, aku mengamit seorang abang becak yang
sedang terkantukkantuk di kendaraanya. la
terkejut, lantas buruburu meluncur turun.
“Mau ke mana bang?” tanyanya sambil
menggenjot becak dayungnya.
Tadinya aku bermaksud mau ke jalan
Ayahanda! sepulang dari rumah kak jessica . Pingin
tahu bagaimana keadaan esema di mana dahulu aku
dijadikan orang. Ingin bertemu bekasbekas guruku.
Ingin ke tempat wak syam kamaruzaman . Penasaran mau tahu
seperti apa Ijah sekarang.
namun mulutku menyebut alamat lain:
“Kantor Pos!”
Pikiranku yang kusut semakin kusut sewaktu
jalan becak seringkali tersendatsendat oleh lalu
lintas jalan Binjei yang ramai. Abang becak
ngumpatngumpat. Aku mendukungnya dengan
bernafsu. Hampir saja kami bertengkar dengan
seorang pemilik Chevrolet usang yang mobilnya
mogok persis di tengahtengal jalan, kalau tak urung
kami lihat seorang petugas polisi lalu lintas datang
mendekat.
Tiba di kantor pos, aku membeli beberapa
lembar kertas surat dan sebuah amplop pos kilat
khusus.
Beberapa kali kertaskertas surat itu kusobek
dan kusobek lagi sampai akhirnya suratnya jadi.
Sebelum kumasukkan dalam amplop, kubaca isinya
sekali lagi.
martini , kekasihku sayang.
Baru sekarang aku menulis surat,
Sesudah beberapa hari berada di kota ini.
Sudikah memaafkan aku, sayangku? Aku
mengalami kecelakaan. Kecelakaan betul
betulan, bukan bohongbohongan. Nanti
buktinya akan kau lihat pada tulang pipiku.
Oh, tidak. Tidak. Aku tidak begitu parah.
Hanya lukaluka kecil, namun baru sekarang
kuberi tahu, Sesudah aku sembuh dan aku tak
ingin kau cemas memikirkan suamimu.
wanita lesbian ku terkasih.
Pikiranku selalu tertuju kepadamu.
Sehatsehatkah kau? Tidak menangiskah lagi
kau, seperti waktu mau mengantarku pergi?
Apakah bengkak bekas suntikan kotipa di
lenganmu sudah sembuh? Aku baru ingat, di
salah satu kantong belakang celanaku ada
surat yang harus kau antarkan ke fakultas.
Ada baiknya tak kau antarkan. sebab di
surat itu aku minta permisi satu minggu.
Ternyata lebih. Di sini kulampirkan surat
keterangan dokter. Bukan untuk membuat
kau percaya, namun untuk membuat pak
Tobing yang streng itu yakin bahwa aku
bukan bolos sembarangan sehingga
diperkenankan mengikuti ujian semester
tambahan
O, isteriku tercinta.
Ingat kau kereta kuda di tembok kamar
tidur kita? Rasanya aku sudah tak sabar ikut
berpacu seperti kudakuda itu. Tentu saja,
dengan kau. O, tentu bantal guling kita sudah
makin tipis terusterusan kau peluk
pengganti tubuhku bukan? Begitu pula di sini.
Tak saja bantal guling. Kasurpun rasanya
tipis. Dingin. Beku seperti batu. Kering
kerontang. Habis, tak ada kau. Aku
bermaksud beli tiket hari ini.
Supaya kita bisa berpacu dengan kuda
kudaan itu. Salam untuk ayah ibumu. Dan
peluk cium dengan tangan gemetar dan lutut
goyah, khusus untuk dirimu. Ttd. fredy krueger , yang tak sabar!”
Sesudah memposkan surat itu di loket pos
kilat khusus aku berjalan menuju sebuah box dekat
pintu samping. saat pintu box kubuka, seorang
pemuda berwajah klimis meletakkan koran pagi
yang sedang ia baca. la tersenyum waktu bertanya
nomor berapa yang kukehendaki. Sebaliknya aku
bertanya pula dapatkah ia menghubungkan aku
dengan salah satu travel biro yang ia anggap
servisnya cukup baik. Operator itu mengangguk
lantas memutar beberapa nomor. Sementara itu
aku berpikir keras hari apa dan jam berapa
sebaiknya aku kabur dari kota kesayangan di mana
aku lahir dan dibesarkan namun kini seolaholah
sudah tidak menyukai ke hadiranku lagi.
“… silahkan,” kata operator tibatiba.
Gagang telephone kusambut dari tangannya.
“Selamat pagi. Phoenix travel di sini ...,”
terdengar suara dari seberang sana. Lembut dan
halus. Penuh daya pikat. Petugas yang tepat dan
tentunya, berwajah teramat manis, pikirku sambil
menyahut:
“Hallo. Saya mau book ticket Merpati untuk
satu orang.”
“Nama Tuan?”
“fredy krueger .”
“fredy krueger saja?”
“… fredy krueger saja!”
“Nomor telhepone Tuan?”
“Tak punya. Catat alamat rumah saja,”
jawab ku sambil menyebut alamat rumah.
“Tujuan?” “surabaya .”
“Ada tempat untuk sore nanti?” tanyaku,
nekad. Persetan dengan kota ini. Persetan dengan
keluargaku. Persetan dengan heboh yang pasti
timbul akibat aku minggat.
“Wah. Sebentar ya ...,” terdengar suara
keresakkeresek. Agak lama juga, sehingga aku
mulai bimbang. Alasan apa yang akan kukemukakan
nanti di rumah? Apakah ibu tak nanti shock? Cap
apa yang nanti akan kuterima? Anak durhaka? Tak
tau membalas guna? syam kamaruzaman kan setanlah aku
hendaknya?
“Menyesal sekali, Tuan. Merpati sore nanti
sudah penuh, Juga Garruda. Bagaimana kalau besok pagi?”
“Hem. Apa boleh buat.”
“Okey, jadi besok pagi, dengan Merpati.
Dalam satu jam petugas kami akan tiba di alamat
Tuan untuk…”
“Ah, ah ...,” tukasku cepat. Celaka, kalau
keluargaku tahu secepat itu. Mungkin aku bisa
kabur diamdiam. “... Begini saja. Dalam waktu yang
sama, saya akan tiba di Phoenix. Terimakasih untuk bantuan saudari.”
Sesudah membayar biaya telephone pada
operator, aku cepatcepat keluar dari kantor pos.
Secepat itu pula aku melambai sebuah becak mesin
yang kebetulan lewat. Waktu naik, terdengar
klakson mobil berbunyi nyaring. Sebuah mobil
lewat di dekat becak. Mesin becak menderum.
Serak. Di depan sana, mobil tadi berhenti dengan
bunyi rem mendecitdecit! Pintunya terbuka. Dan
seseorang berdiri di samping mobil, melihatiku.
Entah mengapa, darahku berdesir Sesudah
mengenalinya.
Jantung ini berdegup. Dan dadaku berbungabunga
“Berhenti, bang,” kataku pada abang becak
yang segera menghentikan kendaraannya tak jauh
di depan mobil. Ongkos kubayar lantas berjalan ke
depan mobil itu.
“Hai,” sapanya. Lembut. Dengan bola mata
berbinarbinar.
“Hai, nyi kembang . Kebetulan sekali, aku sedang ngejar
waktu. Boleh numpang mobilmu?”
Sesudah berada di dalam, nyi kembang menceritakan
baru saja pulang dari les tata buku di Jl. Patria
Lumumba. la bermaksud mau terus ke rumah
seorang teman “wanita lesbian , tentu,” katanya sambil
mengerdipkan mata — waktu ia lihat aku keluar dari
kantor pos.
“Siapa yang sedang kau buru?” tanyanya
sambil menjalankan mobil dengan kecepatan yang
lumayan.
“Tak ada.”
“Tak ada? Lantas?”
“Aku mau mengambil uang ke rumah.”
“Hem. Untuk?”
“Beli ticket.”
Wajahnya berubah tibatiba. Lari mobil agak
menyimpang sehingga hampir saja naik ke trotoar
kalau ia tidak keburu banting setir. Sesudah
kendaraan laju lagi dengan normal kulihat nyi kembang
menggigit bibirnya keraskeras.
“... mengapa kau?” tanyaku heran.
Lama ia tak menjawab . Gigitan di bibirnya
lepas, berganti dengan helaanhelaan nafas
panjang. Lalu:
“Aku lupa kau akan pulang ke surabaya ,”
katanya, teramat perlahan seolaholah ia berkata
untuk dirinya sendiri. Aku jadi terenyuh, terlebih
lebih Sesudah melihat warna wajahnya yang agak
kepucatpucatan. Ia rupanya mengetahui kalau
kuperhatikan, lantas mengerling serasa tersenyum.
“Kapan kau berangkat?”
“Besok.”
la diam lagi.
Aku juga diam. Bingung. Entah mengapa, aku
menjadi raguragu sendiri. Apakah aku harus
berangkat besok?
“nyi kembang ...”
“Ngg?”
“Aku sudah pesan ticket barusan.”
“Nghhh...”
“Belum kubayar”
“ Lantas?”
“Kupikir ...,” aku menatap wajahnya dari
samping. Matahari yang baru naik membiaskan
silhouet di tepitepi wajah yang semakin lama
kupandangtampak semakin manis dan indah.
“Ya, fredy krueger ?” ia menatapku. Mata kami
beradu. Berpagut malah, la cepat memalingkan
muka dengan wajah yang merona merah, namun
sempat kulihat seberkas harapan yang tersembunyi
di balik sinar matanya.
“Kau pikir, apakah memang sebaiknya besok
saja aku berangkat?”
la menatapku lagi. Cahaya matanya kian
berbinarbinar.
“Mengapa kau tanya itu padaku?”
“sebab aku sendiri sedang bingung.”
“Boleh aku membantu?”
“Itulah yang kuinginkan.”
“Ada sesuatu yang penting di surabaya
sehingga kau berpikir untuk pulang saja cepat
cepat?”
Terdiam aku mendengar pertanyaan nyi kembang .
Apakah lagi yang terlebih penting daripada pulang
keharibaan martini ? Bergelut di bawah lukisan
kereta kuda dan lalu berpacu sepuas hati?
Hanya itu sajakah yang kuperoleh selama ini dari
martini ? Berpacu, dan berpacu. Terus berpacu.
Kami tak ubahnya jokijoki yang menyenangi
pekerjaan itu, hidup dengan pekerjaan itu pula
tanpa pernah memperbincangkan apakah tidak ada
halhal lain yang dapat kami lakukan dan yang
lebih berarti dari hanya sekedar berpacu saja.
Menikah misalnya. Lantas punya anak. Menikah dan
punya anak, berarti tanggung jawab . Dengan
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab ,
orang akan berjuang menempuh apapun dalam
hidup ini. Segalanya. Tidak hanya kesenangan
belaka. Hanya berpacu dan berpacu, yang toh akan
ada akhirnya.
“ ... seorang wanita lesbian ?” bisik nyi kembang tibatiba.
Aku tersentak. Kupandangi wajahnya, la
menggigit bibir, dan aku mengerti. Maka jawab ku
tanpa berpikir panjang lagi:
“Aku harus mengikuti ujian semester.
lalu menyempurnakan thesis yang kerangka
nya sudah kuajukan pada dosendosen penguji.
Mereka sudah setuju. Dan bila ujianujian semester
ku sukses...”
“Kapan?”
“sebetulnya sudah dimulai hari ini. namun
aku punya alasan untuk mengikuti ujian tersendiri.”
“Jadi, cepat ataupun lambat tergantung kau.”
“Ya.”
“Bagaimana dengan kota ini?”
“Semakin sempit. Dan gersang di sana sini.”
“Semuanya?”
“Terutama di lingkungan keluargaku.”
“Kalau boleh aku menebak, apakah persoalan
tentang sebuah pernikahan?”
Aku terjengah. Tak mampu untuk menjawab .
nyi kembang tertawa kecil. Gumamnya:
“Mungkin pertanyaanku tadi bisa kupertegas.
Kau dipaksa kawin oleh keluargamu.”
Luluh, kujawab dengan suara runtuh: “Ya…”
“Dan kau tak cinta pada calon isterimu.”
Aku mengangguk.
Dan mobil tibatiba berhenti tepat di pengkolan
jalan Pimpinan.
“Ada apa?” tanyaku heran.
nyi kembang tidak menyahut. Dengan senyum
memekar di bibirnya yang merah basah, mobil ia
putar lalu larikan kembali menuju ke pusat
kota. Cepat sekali, la salib kendaraan demi
kendaraan, ia ambil pengkolan demi pengkolan
dengan bunyi ban yang menjeritjerit lengking. Baru
Sesudah memasuki jalan Putri Hijau, aku bertanya
hatihati:
“Kemana kita?”
“Kemana lagi?” jawab nya sambil tertawa
manis. “Membuka matamu, tentu. Supaya kau
tahu, bahwa kota ini tidak sempit dan segersang
yang kau lihat dan rasakan.”
Mobil membelok memasuki halaman sebuah
rumah yang semi permanen.
“Rumahmu?” tanyaku saat membuka pintu.
“Kawan yang kukatakan tadi. Ayo, ikut
sajalah. Aku ada rencana yang barusan terpikir
olehku.”
Begitu bel dekat pintu ia pijit, begitu seorang
wanita lesbian bertubuh jangkung dan sedikit kurus berdiri
di hadapan kami. la berseru riang pada nyi kembang :
“Hallo, calon direktris. Kukira kau tak jadi datang.”
Mereka berpelukan. Mesra.
“Kenalkan …” nyi kembang menarik lenganku segera
disambut oleh wanita lesbian itu yang Sesudah kusebutkan
namaku lantas menyebutkan namanya:
“Saha...,” dan tibatiba matanya terbeliak,
justru pada saat yang sama Sesudah kuperhatikan
dirinya betulbetul aku sendiri juga terbeliak.
“Kau!” lanjutnya setengah berseru. Lantas
tertawa lebar. “Pantas tadi ada kupukupu hinggap
di jendela. Rupanya mau mengabarkan ada tamu
agung dari surabaya akan berkunjung!”
nyi kembang tercengang.
“Kalian sudah saling mengenal?” tanyanya.
“Kenal?” gelenggeleng kepala wanita lesbian
yang tampak lebih tua dari umurnya yang
sesungguhnya itu. “Aku kenal fredy krueger luar dalam.
Sampai ke bulubulunya yang paling kecil.”
“anna michele , anna michele ,” aku ikut gelenggeleng
kepala. “Kau masih suka omong sembarangan
seperti waktu kita masih samasama satu sekolah
dahulu . Apa kabarmu, wahai gurun yang tandus?”
Kilat matanya jadi redup sesaat . namun
mulutnya yang tersenyum manis segera melontar
katakata:
“Masuklah. Masuklah. Akan banyak sekali
yang bisa kuceritakan padamu...,” dan sambil
memperhatikan aku melangkah lantas duduk di
sebuah kursi berjok tebal, ia bergumam: “Kau
semakin gagah dan tampan saja. Pantas nyi kembang
selalu menceritakan tentang dirimu, tiap kali ia
punya kesempatan untuk buka mulutnya yang
nyinyir di depanku.”
“Jangan menghina kau!” rungut nyi kembang dengan
wajah tersipusipu.
sambil mengerling nakal, anna michele ngoceh semaunya:
“Ala, engga usahlah pula main kurakura
dalam perahu. Laut kan sudah mulai tenang dan
layarpun sudah pula dikembangkan!”
nyi kembang mencubit paha anna michele keraskeras.
anna michele terpekik. Keras pula. Lantas balas mencubit
lebih keras lagi. nyi kembang yang lalu terpekik. Sama kerasnya.
“Hei. Kalian mau menyuguhkan acara cubit
cubitan saja ya?” rungutku sambil menyeringai.
“Kerongkonganku kering nih!”
anna michele dan nyi kembang tertawa bergelak. “Mengapa tak duduk di kursi panjang?” tanya anna michele menyindir sambil mengerling bergantian dari wajahku ke wajah nyi kembang yang kian memerah dan menjadi gugup. nyi kembang mau mencubit pula, namun anna michele keburu menjauh sambil masuk ke ruangan dalam. nyi kembang lalu mengambil tempat di kursi panjang, Sesudah mana ia memandangiku sambil tersenyum lembut. Matanya mengajak. Bagai ditarik magnit, aku pindah dari tempat dudukku, dan duduk di sebelahnya. Tiada katakata yang terucap. Yang ada, hanya tatapan mata. Dan jutaan katakata di sebaliknya.
anna michele mendecipdecipkan mulut waktu
muncul kembali di ruang depan membawa tiga
gelas berkaki tinggi dan sebuah botol Martini yang
ia tuangkan isinya ke dalam tiga gelas tersebut.
Sambil menyerahkan gelas demi gelas ke tanganku
dan ke tangan nyi kembang dan gelas ketiga untuk dirinya
sendiri, anna michele nyeletuk:
“Pasangan yang harmonis.”
“Eh, apaan kau?” memberengut nyi kembang dengar
mata mendelik ke anna michele .
“Perahu sudah laju, Diam sajalah, jangan
berbisik. Nanti bisa oleng lagi!” balas anna michele dengan puitis.
nyi kembang merunduk. Malu.
“Bawa oleholeh apa dari surabaya ?” tanya
anna michele padaku, sengaja mengalihkan situasi yang
sudah melampaui batas itu.
“Justru sebaliknya,” jawab ku tersenyum.
Kutunjuk tulang pipiku yang kanan. “Waktu datang
di kota ini, bagian yang ini bersih. Kalau aku pulang
lagi ke surabaya , maka cacat ini benarbenar
merupakan oleholeh yang tak akan habis
syam kamaruzaman kan.”
“Cacat yang mujarab,” anna michele mengerling.
“Mulai nakal pula kau!” aku mengeluh
sungut. “Kudengar kau sudah kawin. Mana
suamimu?”
Wajah wanita lesbian itu berubah murung.
Tampak semakin tua. la reguk habis isi gelasnya, mengisinya kembali dan mau mereguknya pula waktu nyi kembang tibatiba berdiri dan berjalan ke pintu. “He, mau ke mana?” tanya anna michele .
“Saling tukar ceritalah kalian. Aku sudah
menghasilkan suprise barusan, dan aku ingin
memberikan, suprise lebih banyak lagi,” jawab nyi kembang
dan tanpa menerangkan apa tujuan katakatanya
tautau ia sudah masuk ke mobil, menghidupkan
mesin, mundur ke jalan lalu lenyap ditelan
lalu lintas yang ramai.
Aku dan anna michele berpandangan. Tak mengerti.
“Mau apa dia?” tanyaku. Bingung.
“Entahlah. nyi kembang kadangkadang memang suka bertingkah aneh,” jawab anna michele , sambil mengangkat gelas di meja. Ia minum, Semula kukira sampai habis seperti tadi. Nyatanya cuma seteguk kecil. Sesudah itu gelas di tangan ia putarputar pelan dengan mata redup menatap ke depan, lewat jendela, lewat pohon pohon cemara, lewat jalan besar, lewat lalu lintas yang ramai, lewat tepian langit. Lewat apapun yang menghalangi pandangannya. Kosong. Dan hampa.
Aku mencoba menebak apa yang membuat
sikapnya berubah ganjil, namun tidak berani untuk
mengutarakan. Takut terjadi akibat yang lebih fatal.
Untuk mengembalikan suasana riang tadi, pelan
pelan aku bertanya:
“Tadi kudengar kau sebut nyi kembang calon direktris. Apa maksudnya?” anna michele meneguk minumannya. Lantas
mencoba tersenyum.
Memandangku dengan manis.
“Aku tidak sekedar meledek.”
“Jadi...”
“Kau belum tahu siapa ayahnya?”
“Jangankan ayah nyi kembang . Rumahnya pun aku
belum pernah tahu.”
“Kok aneh.”
“Habis, namanya juga baru bertemu sekali dua.”
“Tapi nyi kembang , kalau menceritakan kau seakan
akan sudah kenal selama bertahuntahun.”
“Ah?”
“Kau orang beruntung, fredy krueger .”
“Nah, apa ini?”
“Orang bercinta memang suka berpurapura.
Aku tahu siapa dia, dan aku juga tahu siapa kau. Jadi
jangan berlagak di depanku!”
Aku kikuk jadinya.
Kehilangan katakata. Sampai lalu ,
kucoba memperbaiki posisiku yang salah tingkah
itu:
“Emangnya ayah nyi kembang siapa?”
“Direktur CV. Triton.”
“Triton?”
“Oh. Belum ada saat kau tinggalkan kota ini.
dahulu nya ayah nyi kembang pedagang tekstiel biasa. Kau kan
tahu, di negeri yang kaya raya ini perdagangan
dikuasai Cina di manamana. Satusatunya suku
yang bisa mengimbangi mereka, hanya orangorang
padang.”
“Jadi ... nyi kembang seorang wanita lesbian Minang?” aku
ta'jub. Teramat ta'jub.
“Wahai kalian. Aku khawatir, kalian baru
kenal nama saja. Ya, ia wanita lesbian Minang asli. Kelahiran
Payakumbuh. Ibunya dari sana, ayahnya dari
Padang. Datang ke gresik dengan modal dengkul,
jualan kain di pinggir jalan, beberapa tahun
lalu punya kios yang kian bertambah dan
akhirnya mendirikan Triton. Perusahaan impor
export, masih di bidang tekstiel. nyi kembang itu anak
tunggal. Kesayangan. Apa yang syam kamaruzaman ui, semua
terpenuhi. Tinggal tunjuk, maka dapat. Tinggal
sebut, maka ia peroleh, la benarbenar anak
kemanjaan. namun tahu diri. Tidak takabur. Tidak
cengeng…”
“Mengapa ia harus les tata buku, tak
keperguruan tinggi saja? Mengambil fak ekonomi
misalnya.”
“Tak diijinkan orang tua. Tamat esema, ia
ikut les dengan rajin. Kalau tidak sedang les, praktek
dasar di kantor perusahaan ayahnya. Dengan begitu
ia bisa cepat menguasai segala sesuatu tanpa
memerlukan waktu yang terlalu lama. Ayahnya
sudah tua dan tak ingin hasil jerih payahnya jatuh ke
tangan orang lain. Tekun sekali ia membimbing nyi kembang
sebagai calon penggantinya.”
“Hemm…”
“Mengapa wajahmu masam begitu?”
Mengapa? sebab nyi kembang ternyata orang kaya
raya. Dan aku?
Keluhku lalu :
“Tidak. Tidak apaapa.”
“Aku tau. Tak usah cemas, fredy krueger . nyi kembang tak picik
pandangannya dalam soal status sosial seseorang.”
“Oooo...”
“Bagaimana sekolahmu ? Sudah selesai?”
“Hampir.”
“Keluargamu baikbaik saja?”
Aku terjengah. Namun kujawab juga:
“Berkat do'amu,” lantas, tanpa sadar lepas
saja dari mulutku: “Dan kau?”
la tersenyum. Getir. Aku bersyukur, ia tidak
pingsan, meskipun aku belum habis mengerti ia
harus pingsan atau shock seperti tadi. sambil
menekuri meja di hadapan kami, anna michele
mengisahkan tentang hidupnya yang malang.
“Aku mandul,” katanya memulai, Bertahun
tahun Sesudah menikah, suaminya mulai berkurang
cintanya terhadap anna michele . Suaminya dilahirkan dari
keluarga yang juga miskin anak, dan tidak mau
mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya.
Diamdiam ia berhubungan dengan wanita lesbian
lain, diamdiam pula menikah di luar
sepengetahuan anna michele . Rupanya suaminya tidak
ingin menyinggung perasaan anna michele . Di samping itu,
suaminya ingin tahu apakah ia bisa memperoleh
anak dari wanita lesbian lain. saat ia benarbenar
memperolehnya, ia mendatangi anna michele dan berkata
dengan terus terang:
“Bukan aku tak sayang padamu, mam…”
Ia memang selallu memanggil suaminya
“papa” dan sauaminya memanggil dia “mama”
sekedar untuk melipur lara sebab mereka tak
beruntung memperoleh keturunan. Belum habis
ucapan sang suami, anna michele dengan tabah sudah
mengomentari :
“Aku tahu, pap. Aku harus pergi dari rumah
ini bukan?”
Suaminya terkejut.
“Bukan. Bukan itu maksudku.”
“Tujuanmu pasti semacam itu”
Gugup, suaminya mengangguk.
“Akulah yang akan pergi,” katanya. “Aku
sudah...”
“Ya. Ya. Desasdesus itu sudah kudengar.
Naluriku membenarkannya. Tidak mempersalahkan
kau, hakmu. Anakmu lakilaki?”
Suaminya mengangguk dengan wajah pucat.
“Tak perlu gelisah. Sudah kubilang, aku tidak
mempersalahkan kau. Dan akupun tahu, kau
lakukan itu bukan sematamata sebab dorongan
nafsu.” Meskipun suaminya bertahan dengan
pendirian untuk tidak menceraikan anna michele , namun sang istri tidak bersedia syam kamaruzaman du. Bagaimanapun,
kehadiran seorang wanita lesbian lain pelanpelan
akan menyisihkan dirinya juga. Apalagi dari sang
isteri muda si suami sudah memperoleh anak. Tidak
si istri muda, tentu si anak yang akan menyita kasih
sayang suaminya. Mereka lalu bercerai
secara baikbaik. Rumah dan segala isinya diberikan
si suami untuk jandanya. Termasuk biaya bulanan
secara tetap, sampai anna michele memperoleh
pelindung lain. Kalau suaminya yang akan datang
tidak mampu membelanjai rumah tangga mereka,
bekas suami anna michele tetap tidak akan melepaskan
tanggung jawab nya.
“Ia suami yang baik. Benarbenar baik,” keluh
anna michele . Lirih.
Aku menelan ludah.
“Kau sudah kenal anak isterinya?”
“Mereka kadangkala suka berkunjung ke
rumah Ini. Aku tidak. Mungkin aku egois, namun
bagaimana mungkin aku datang ke rumah mereka
untuk melihat syurga di mana orang yang kucintai
hidup dan melupakan neraka yang bergolak selama
ia berada di sampingku?”
“Sudah lama kau hidup sendirian?”
“Hampir satu tahun. Rasanya baru kemaren
terjadi Bobot tubuhku meluncur sangat cepat.
Untung ada nyi kembang yang menghibur. Kalau tidak ...”
“Bagaimana kau bisa mengenal nyi kembang ?”
“la salah seorang keponakan bekas suamiku!''
Kerikil di depan rumah berbunyi dengan
suara berisik. Terdengar derum mobil yang
lalu mati. Lalu suara orang melangkah di
terras. anna michele berdiri.
“nyi kembang sudah kembali,” katanya. Dan tibatiba
ia tercengang. “Lihat. Siapa yang berjalan di
sampingnya itu!”
“aidit !” seruku sambil berlarilari kecil
menyongsong sahabat kentalku itu. la tertawa
lebar, lebihlebih lagi Sesudah mengenali siapa
nyonya rumah yang mempersilahkannya masuk
tanpa lupa berjabat tangan. Erat sekali. Dan melihat
pandangan mata anna michele , kukira jabatan itu tak saja erat. Juga hangat.
“Kau makin jelek sekarang,” cemooh anna michele
pada aidit .
Tanpa tersinggung, sahabatku menyahut:
“Makanya, aku terusterusan jadi bujang lapuk ...”
“Dan bisa bulukan, kalau tak cepatcepat
ditolong!” tambahku.
“Nenekmu!” tawa aidit sambil memukul
bahuku.
nyi kembang ikut sumbang ketawa. Berderaiderai. Suasana
riang itu lenyap sesaat aidit bertanya
seenaknya:
“Dan kau, nyonya besar dari gurun anna michele ,
sudah punya anak belum?”
Aku dan nyi kembang terbungkam.
Ingin kupukul sahabatku, namun anna michele
tertawa kecil. Purapura. Dan letih.
“Tak ada yang perlu disembunyikan,”
katanya. “wanita lesbian wanita lesbian kota ini suka
malu besar kalau memperoleh gelar janda. Toh ini
kenyataan, sebesar apapun kemaluanku!” lanjutnya
sambil menekankan kata yang paling akhir.
aidit yang melongo sesaat, lalu tertawa.
“Omonganmu masih suka jorok seperti dahulu ,
anna michele .”
“Biar awet,” jawab anna michele , tersenyum senang.
“Awet bagaimana. Kerangka hidup begini!”
“Eh, jaga dong omonganmu Din,” kata ku,
memprotes.
Lagilagi anna michele menjernihkan situasi dengan
katakata:
“Ketimbang tubuh seperti goni, Din, kan
kerangka lebih hebat goyangnya. Konon ditambah
pengalaman sebagai jaminan!”
“Idiiihhh!” umpat nyi kembang , menahan tawa. la
masuk ke dalam, ganti jadi tuan rumah. Keranjang
kecil yang tadi ia bawa waktu masuk berisi buah
buahan segar, dan bungkusan plastik berisi roti
keju. Di samping hidangan itu, waktu keluar ke
ruang depan nyi kembang menanting juga baki berisi empat
gelas air jeruk.
“Mengapa tidak masak sekalian?” celetuk
anna michele .
“Memang akan!” jawab nyi kembang dan masuk
kembali ke dalam.
Makan siang yang terhidang di atas meja tak
lama lalu , ludas hanya dalam sekejap mata.
Meskipun masakan Padang sering kucicipi selama di
rantau namun toh masakan hasil tangan nyi kembang
rasanya tidak akan terimbangi masakan Padang
manapun di seluruh dunia ini. Sampaisampai basah
kuyup bajuku oleh teringat sebab terlalu kenyang,
terlalu nikmat dan terlalu pedas. Pujiku dengan
tulus:
“Sejak pulang ke kota ini, baru sekaranglah
aku menghabiskan nasi lebih dari sepiring.”
aidit meningkah:
“Dan sambal ladonya, ampun!” la mendesis
desis kepedasan sedangkan kulit mukanya merah
terbakar. “Di samping cantik, nyi kembang ternyata pintar
juga masak. Ideal bukan, fredy krueger ?”
“Kalau kalian memuji terusterusan, aku akan
usir kalian mentahmentah,” mendahului nyi kembang
sebelum aku sempat menjawab pertanyaan
aidit .
“Iya dah. Aku berani bertaruh, bahwa yang
kau usir hanya aku saja. fredy krueger tidak. Bagaimana,
nyi kembang ?”
wanita lesbian itu merah telinganya.
la membereskan perabotan di atas meja
dengan tangantangan gemetar, tidak berani
memandang ke arahku. Sebaliknya, akupun hanya
berani memandangi aidit sambil menginjak
kakinya keraskeras. Kawanku itu menjerit
tertahan.
nyi kembang yang sudah mau masuk ke pintu dapur,
bertanya heran:
“Ada apa?”
“Ada apa?”
“Celaka. Tikus busuk di bawah meja
menggigit isepatuku,” dan sambil tertawa lebar
aidit berbisik di telingaku, sangat perlahan:
“Dan kau, sobat, memang tikus terbusuk!”
Aku mengerti tujuan katakatanya.
Dan tak bisa menjawab . Sesudah berada di
ruang depan kembali, kukira yang membasahi
badanku bukan saja keringat biasa akan namun
sudah bercampur dengan peluh dingin. Aku meraba
saku mencari rokok dengan tangan gemetar. namun
yang pertama kali tersentuh justru secarik kertas
kecil berwarna putih. Kertas nota terima surat kilat
khusus yang tadi pagi kukirimkan ke alamat martini
di surabaya .
martini , yang begitu percaya bahwa aku akan
setia. martini yang begitu cemas sebab takut ia
tersisihkan. martini yang bermimpi di siang bolong
melihat dirinya terjerumus ke dalam jurang yang
dalam. Dan jauh di atas tebing yang terjal, ia lihat
diriku samarsamar menjauhi, betapapun suaranya
sampai parau memanggilmanggil namaku. martini
yang sempat mencemoohkan impianku terjatuh
dari langit disambut oleh tiga buah jurang
menganga jauh di bawah. Kini aku mengerti, apa
makna impian itu. Aku benarbenar sedang berada
di awangawang. Sedang diuji kemampuan dan
kesetiaanku. Ke jurang manakah aku akan jatuh.
martini . anna michele . Atau nyi kembang !
“Apa yang kau lamunkan, fredy krueger ?” tautau
nyi kembang sudah duduk di sampingku.
Aku terkejut.
Lalu menyahut dengan gugup:
“Ah. Tak apaapa.”
“Bohong.”
“Sungguh, tidak...”
“Sumpah?”
“Aaaa...apa?” aku tergagap.
“Bersumpahlah, memang tak ada yang kau
lamunkan , matanya menatap tajam.
“nyi kembang , kau toh tak bermaksud memaksaku
untuk…”
“Berbohong?” desaknya.
anna michele yang dari tadi diam mendengarkan
perdebatan itu, buruburu memartini ahi:
“Hey, nyi kembang . Sudah hampir jam tiga!”
Tubuh nyi kembang yang tegang, perlahan
mengendur, “Ah, hampir aku lupa,” keluhnya. Lalu
berjalan masuk ke dalam. “Ayolah kita dandan
dahulu .”
“Emangnya, mau ke mana?” tanya aidit .
anna michele menjawab :
“Kami janji tadi pagi, mau nonton sore ini.
Ada Joe Don Baker di Megaria...,” lantas sambil
berdiri untuk mengikuti nyi kembang yang sudah dahulu an
menghilang, ia mengejek: “Kalau merasa kanker
alias kantong kering, silahkan piket di rumah.”
Tentu saja aku dan aidit tak sudi piket di
rumah janda.
“Lain kalau jandanya tinggal menemani,”
berungut aidit , lantas nyeletuk ke telingaku:
“Aku benarbenar lagi tongpes. Kantong Kempes,
fredy krueger . Kau?”
“Tenanglah, sahabatku,” sahutku, tersenyum. Pelan
namun pasti, martini menghilang dari pikiranku.
Filmnya berjudul “Kill Mr. Mitchell!”
Dan nyatanya, anna michele yang dahulu an buka
dompet. Namun tak lupa mengeluh :
“Kamu berdua berhutang padaku!”
Filmnya tidak terlalu jelek. Sebuah film action
yang sayang Joe Don Baker sedikit over acting
dibanding filmfilmnya terdahulu yang sempat
kulihat. Terasa semakin tidak berartinya jorjoran di
layar putih waktu telapak tangan nyi kembang yang duduk di
sebelahku tak lepaslepas dari tanganku semenjak
kami memasuki gedung bioskop. Hangat.
Terkadang gemetar, manakala kuremas dengan
lembut. Dalam remangremang acap kali kami
saling beradu pandang. Malah sekali, tanpa sadar
kudekatkan wajahku ke wajahnya.
namun sebuah dehem halus dari aidit
menggagalkan ciuman curi itu. Aku tersipu sendiri.
Tak berani menoleh ke nomor kursi yang letaknya
agak berjauhan, di antarai oleh kursikursi yang
kosong. Di sana duduk aidit bersama anna michele ,
yang waktu meminta aidit membeli ticket agar
nomornomorku yang ia ambil agak terpisah
letaknya. Sempat aku berpikir apakah tindakan
genit itu dilakukan anna michele untuk memberi
kesempatan padaku dan nyi kembang , ataukah ia sendiri
bermaksud mencari kesempatan yang sama dengan
aidit ?
Mataku terpaut lagi ke layar.
Martin Balsam sedang marah pada Joe Don Baker.
Di sebelahku, nyi kembang menghela nafas. Jelas sekali
kutangkap helaan itu. Malah waktu ekor mataku
melirik, tampak gelembung payudaranya
bergelombang dengan kencang. Jantungku
berdegup. Apalagi waktu tampil Linda Evans di
layar, memerankan seorang tokoh callgirl kelas
jetset tanpa segansegan berbugil lantas lalu
bergelut dengan Joe Dom Baker di atas ranjang.
Helaan nafas di sampingku semakin jelas, disusul
oleh kepala yang rebah dil lenganku. Aku melirik.
Sepasang mata nyi kembang terpejam, Bibirnya setengah
terbuka. Menantang. Aku ingini menciumnya.
namun tidak ingin mendapat dehem aidit yang
mungkin akan berubah jadi batuk batuk yang keras. Dan lebih dari itu, aku takut apakah perbuatan itu
tidak akan menyinggung perasaan nyi kembang .
Keluar dari bioskop, aku mengambil setir
Sesudah berada di dalam mobil kembali. Tak ada di
antara kami yang bersuara selama mobil kujalankan
tanpa tergesagesa. nyi kembang duduk di sampingku. Tidak
terlalu rapat, namun tak pula terlalu renggang.
Matanya menatap jauh ke depan, menembus kaca
depan, ke jalan yang bermandi cahaya senja teram
temaram. Aku menarik nafas untuk melepaskan
ganjalan yang memberati dada, dan secara tidak
sengaja melirik ke kaca spion. Di tempat duduk
belakang, anna michele bergenggaman tangan dengan
aidit . Mereka rupanya tau aku mengintip.
anna michele buruburu menarik tangannya dan
membuang muka keluar jendela. aidit
tersenyum. Malu.
“... kemana kita sekarang?” tanyaku
memecah kesunyian yang ganjil itu.
nyi kembang membuang nafas. Panjang. Di belakang,
anna michele nyeletuk. Suaranya terdengar sumbang:
“Lupakah kau kesenangan kita dahulu ?”
“Lupa?” sahutku. Angkat bahu. “Tidak!”
“Kalau begitu, tunggu apa lagi?”
Mobil lalu kularikan kencangkencang.
Menjelang Magrib, kuparkir mobil itu tak jauh dari
bioskop Riang. dahulu nya masih bernama Rio. Aku
teringat lelucon wak Gabus yang populer pernah
mengeja hurufhuruf itu dengan “ersepuluh.” Saat
berikutnya kami sudah mengisi penuh suatu bangku
panjang dalam sebuah warung penjual kerang
rebus. Seperti disengaja saja. Aku duduk paling
kanan. Di kiriku nyi kembang . Di sebelahnya, aidit . Dan
paling kiri, anna michele . Seperti disengaja pula, saat
pelayan mengantarkan empat gelas teh panas, nyi kembang
menyodorkan salah satu untukku, satu untuknya.
anna michele mengambil satu untuknya sendiri dan
menyodorkan gelas keempat pada aidit .
Seperti waktu dalam mobil, saat melahap
kacang rebus kami berempat juga tidak banya
bicara. Aku minta tambah. nyi kembang tidak. aidit
minta tambah. anna michele tidak. Tak ayal lagi waktu
berjalan kembali ke mobil aku mendekati aidit
dan berbisik di telinganya:
“Tampaknya kau mau ikuti jejak Mamonta.
Dapat janda muda.”
la mendelik.
nyi kembang dan anna michele yang sudah masuk lebih dahulu
dalam mobil tidak mendengar suara kami.
Dan aidit membalas:
“Kau!” bisiknya. “Kau justru akan membuat
seseorang menjanda.”
“Eh, siapa pula itu?”
“Isterimu yang di surabaya !”
Aku gemetar saat memegang setir dan
jalankannya keluar dari tempat parkir. Melihat nyi kembang
mengambil alih kemudi. Mobil ia larikan cang
kencang. sebab heran, aku nyeletuk:
“Apa yang kau kejar?”
“Waktu Asyar,” jawab nya, tersenyum. Mata
berbinarbinar. Bahagia.
Tentu saja terlambat!
Kami berempat samasama menjamaknya
setiba rumah anna michele . aidit yang jadi Imam.
Waktu saatnya berdo'a, kutadahkan wajah.
Tubuhku getar. Hebat. Di balik mataku yang
terpejam, aku diriku bersujut di atas sejadah
lalu menangis sambil bertanya:
“Tidakkah perbuatanku munafik, ya Tuhanku?”
Lalu aku melihat martini .
la mengelus rambutku.
Penuh rasa sayang.
Ia bukan Tuhan. Yang kucari. namun ia memberikan
apa yang kuingin. Lewat katakatanya yang
menghibur:
“Tergantung isi hatimu, sayangku!”
nyi kembang , anna michele dan aidit sudah pergi duduk
duduk di ruang depan Sesudah selesai Magrib. namun
aku masih bersidepa di atas sejadah, dengan sudut
sudut mata yang basah. Bayangan martini tidak
lepas dari balik kelopak mataku. Seolaholah ia
menggantung di sana, rapat dan kuat, tidak mau
dilepaskan. Isak tangisnya seakanakan dekat sekali
di hati, dan jantung ini digugah oleh pertanyaannya
yang setengah ketakutan setengah menghiba:
“Pulanglah, kekasih. Pulanglah, junjunganku.
Pulanglah padaku!”
Air bening di sudutsudut mataku, tak bisa
lagi kutahan. Meleleh hangat, membasahi pipiku
yang dingin.
“fredy krueger ?”
Suara itu sayupsayup sampai. Sayupsayup
sampai...
“fredy krueger !”
Mataku terbuka. Ada sentuhan halus di
pundak. Waktu aku menoleh, aku melihat nyi kembang .
Bibirnya tersenyum, namun matanya sendu,
digantungi seribu Btu pertanyaan yang minta
kujawab .
“... kau menangis,” bisiknya. Lemah.
“Oh ya?” sahutku, terkejut lalu buruburu
menyeka kedua belah pipi dengan sebelah tangan.
Di luar dugaanku, tangan nyi kembang terangkat, la
memegang pergelangan tanganku, menurunkannya
perlahanlahan lantas menggenggamnya kuatkuat.
Bersamaan dengan itu sebelah tangannya yang lain
terangkat pula.
Tampak jari telunjuknya yang lentik gemetar,
dan jemarinya lalu menyeka air mata di
pipiku, dan berhenti lama, waktu menyentuh bekas
luka yang baru sembuh di tulang pipi.
“Apa yang kau tangisi, fredy krueger ?”
Aku menelan ludah. Lama baru bisa menjawab
“...diriku,”
“Ada apa dengan kau?”
“Betapa kerdilnya aku ini,” jawab ku lirih, dan
dalam hati kecil aku berteriak: “Betapa kerdil dan
kotornya jiwaku!”
Kelopak mata nyi kembang terpejam.
Waktu matanya kembali terbuka, tampak basah.
“Bangkitlah, sayangku ...” ucapnya, gemetar
Aku terpana mendengar perkataan “sayangku” itu.
namun nyi kembang seperti tidak sadar sudah mengucapkan
sesuatu yang membuat jantungku bagaikan putus di
rangkaiannya. Dengan suara bergetar, ia
meneruskan “Semakin seseorang merasa dirinya
kerdil, semakin orang itu membutuhkan cinta kasih
untuk membesarkan hatinya.”
Aku tidak kuasa untuk bangkit.
sebab , sebelum aku bangkit, tibatiba nyi kembang
sudah memelukku. Dan menangis di dadaku.
“Tuhan jadi saksi, fredy krueger ...,” isaknya. “Mula
pertama aku melihatmu tergeletak dengan wajah
berlumuran darah di rumah sakit, aku tidak bisa
melepaskan kau dari ingatanku. Dan ... dan saat
kau selipkan seiris jeruk di antara bibirku, aku pun
lalu mengerti... bahwa aku ... aku sudah menemukan
laki-laki yang sudah lama kucaricari. Aku cinta
padamu, fredy krueger !”
SAMPAI tiba waktu pulang, tidak ada
sentuhan bibir pertanda cium cinta pertama di
antara kami berdua. anna michele mengucapkan
terimakasih untuk kencan kami hari itu. aidit
tidak mau di antar pulang sebab katanya masih
banyak yang akan ia perbincangkan dengan anna michele .
Belangnya ketahuan meskipun ia berdalih:
“Maklum, ketemu kawan lama. Banyak yang
menarik untuk diceritakan, bukan?”
Di mobil, aku dan nyi kembang samasama berdiam diri.
la merebahkan wajahnya di bahuku. Matanya
terpejam, rapat Dan dadanya bergerak dengan
teratur. Aku yakin ia tidak tertidur. Senyum bahagia
tidak lepaslepas dari mulutnya.
Pikiranku sendiri sedang kacau.
Di depanku, bermainmain tiga buah jurang
menganga di permukaan jalanan aspal yang licin
dan hitam.
“... fredy krueger ?”
“Nggh?!” aku terkejut.
“Apa yang kau pikirkan?”
Aku gugup oleh pertanyaan itu. Namun
sebagai lakilaki, aku cepat memperoleh jawab :
“Banyak… Kau.”
“Aku?”
“Kau dan aku!”
la memelukku. Hangat. Dadanya menyapu
lenganku. Panas. “Apalagi?”
“Banyak.”
“Antaranya?”
“Kita tidak hanya berdua di dunia ini,” la
terkejut. Menatapku.
Kucoba tersenyum. Yang bermain di benakku
masih jurangjurang menganga itu. Berlarilari
dahulu mendahului. Sekali martini di depan.
Tersusul anna michele . Belum lagi anna michele jauh,
martini sudah melesat lagi ke depan, tak ubahnya
panah yang baru saja lepas dari busurnya. martini
belum sempat tertawa sebab menang, muncul
bayangan yang melejit bagaikan angin. Melejit
terus, meninggalkan martini dan anna michele . Sesudah
jauh, bayangan itu berhenti. Aku melihat nyi kembang
melambai. martini mengumpat. anna michele
mencaci. Mereka lalu mengejar. nyi kembang tertawa, lantas
berlari ...
Berlawanan dengan apa yang tersirat di benak di
mulut aku berkata:
“… aidit misalnya.”
“Ooo.”
“Dan... anna michele !”
nyi kembang tibatiba tertawa kecil.
“Kawanku itu,” katanya. “Sudah berapa kali
Kujodohkan dengan laki-laki . Engga ada yang cocok.
Selalu banyak kekurangannya. Yang ini sudah
kelewat tua. Yang itu masih kekanakkanakkan.
Yang lain, bertampang bandit. Tak sedap
dipandang. Ada yang sedap dipandang, lantas ia
bilang: kok kayak banci. Aku jadi bosan. Eh, tak
tahunya, baru ketemu hari pertama, ia sudah ada
main dengan temanmu yang kucel dan berkumis
lele itu ...”
“Pertama bertemu?” kata ku, tertawa.
“Mereka sudah pernah dijodohkan.”
“Ah, masa iya!”
“Sungguh mati.”
Dahi nyi kembang mengernyit.
“Kok anna michele kawin dengan orang lain. Ada
yang curang?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Jodoh mainmain mereka itu.”
“Mainmain bagaimana? Kok aneh.”
“Waktu di esema, kawankawan sekelas
suka saling jodohmenjodohkan. Tidak sungguhan.
namun ada juga yang jadi benaran. Misalnya si otak
cemerlang Legiman yang menikah dengan si tukang
cerewet Murniati. aidit yang pemalu,
dihubunghubungkan dengan anna michele yang galak.”
Aku gelenggeleng kepala. “Heran, anna michele sudah
berubah jauh. Tidak segalak dahulu lagi. la pernah
menampar Legiman yang mengejeknya sebagai
pacarnya aidit ...”
“Mungkin rumah tangganya yang berantakan
sudah mengubah dirinya,”
“Benar juga. Justru pada saat, aidit
sekarang galak pada wanita lesbian .”
“Suka main pukul?”
“Bukan, la suka bergantiganti wanita lesbian .”
“Wah?! Lakilaki seperti dia?”
“Jangan menghina. Siapa yang tahu apa isi
seseorang?” gumamku sambil dalam hati aku,
mengeluh, Bagaimana kalau anna michele tahu bahwa si
Udin itu suka main ke tempat pelacuran? Ah,
barangkali tidak jadi persoalan betul. Kawan
aidit yang bernama Margono itu sedikit
banyak sudah membantu sahabatku agar tidak
menjadi langganan dokter spesialis. Mudah
mudahan ia masih utuh, sehingga anna michele yang pasti
haus belaian laki-laki itu tidak sampai kecewa
dibuatnya.
“Omongomong, apa Yamaha force fi baru itu jadi ia ambil?”
“Sudah. Malah saat tadi siang aku ke
rumahnya, ia tengah mencobanya sepanjang jalan
Berayan Endreien,” nyi kembang tertawa senang.
“Keluarganya orang baikbaik. Sayang saudara
saudaranya teramat banyak, sehingga tampaknya
temanmu itu selalu tertekan bathin. Komplikasi
dalam dirinya sendiri. namun kelihatannya ia cukup
tahu siapa dirinya dan di mana posisinya. Di
rumahku ada karangan bunga. Pengirimnya,
aidit .”
“... pertanda cinta?” tanyaku, kecut.
“Hmmm. Jangan lekas cemburu, fredy krueger .
Hanya ucapan terimakasih.”
“Syukurlah.”
Tak jauh dari rumah, mobil kuhentikan.
nyi kembang terheranheran.
“Kenapa tak diteruskan?”
“Jangan.”
“Lho!”
Hal. «
“Apa kata mereka kalau tahu seorang
wanita lesbian mengantar seorang laki-laki ke
rumahnya? Malammalam lagi…”
nyi kembang tersenyum. Aku hampir turun, saat ia berbisik:
“Ciumlah aku, kekasih!”
Tertegun aku mendengar permintaan nyi kembang .
Sudah seberani itukah wanita lesbian wanita lesbian gresik
yang terkenal fanatik sampai kutinggalkan hampir
lima tahun yang lalu?
“… fredy krueger ?”
Aku merunduk sedikit. Mencium dahinya. Lembut.
“Mm...bukan di situ.”
Kucium pipi kanannya.
“Kekasih. Kau tega mataku tidak bisa
terpejam malam ini?”
Maka, kucium bibirnya.
nyi kembang mengulumnya. Lama. saat lalu
ciuman yang panas itu berakhir, dengan nafas
tersengalsengal nyi kembang tersenyum.
“Kau akan datang besok bukan?” tanyanya.
Hal. «
“Besok?” aku tak mengerti. “Kemana?”
“Makan siang. Di rumahku.”
“Oh!”
Tangan kirinya meluncur melewati tubuhku.
Membuka pintu. Aku bergerak keluar. Enggan. “Aku
tahu kau akan datang!” katanya.
Pintu tertutup.
Dan mobil itu meiaju. Meninggalkan aku
termangumangu.
*
* *
untung yang membukakan pintu untukku.
Wajah wanita lesbian kecil itu agak pucat dan lesu. Aku
menghela nafas. wanita lesbian seumur dia harus sudah
mendengar dan melihat apa yang suatu saat
mungkin membuatnya takut untuk menentukan
pilihan sebagai wanita lesbian yang sudah dewasa. Kalaulah
tidak kasihan pada neneknya aku yakin untung sudah
jauhjauh hari pulang ke rumah orangtuanya di
Pabrik Tenun.
Hal. «
Sambil menutupkan pintu kembali, aku lantas
teringat pada kak jessica , dan kejadian tadi pagi di
rumahnya. Dapatkah kakak memaafkan perbuatan
ku pagi ini? Tentang anna michele , aku tidak perduli.
Sejak dahulu dahulu juga aku tidak beranganangan
untuk beristerikan anak kaum keluarga. Terlalu
banyak aturanaturan yang harus ditempuh. Dan
bukan pula sedikit resiko yang pasti terjadi bila ada
halhal yang tidak dikehendaki. Soal yang sekecil
kecilnyapun tidak akan lepas dari telinga kaum
keluarga. Dan soal yang teramat kecil itu bisa
menjadi teramat besar dan menentukan. Orang
bersuami isteri sudah berhak untuk menentukan
diri sendiri. namun di kota ini, keluargalah yang
masih harus menentukan.
Ibu sedang mengunyah tembakau di sebuah
kursi malas yang tepitepinya sudah retas.
“Malam benar kau pulang, anakku,” sapanya.
Malam benar. Padahal belum juga lewat jam
sembilan. Apa beliau masih menganggap aku anak
ingusan seperti waktuwaktu yang lampau?
“Ibu belum tidur?” sahutku. Kaku.
Beliau gelenggeleng kepala. Lemah, jawab nya:
Hal. «
“Sudah beberapa hari ini aku kurang tidur, anakku”
Beberapa hari ini. Itu berarti semenjak aku
pulang di kota ini. Dan pasti, semenjak aku
memperlihatkan kartu mati, bahwa calon isteri yang
mureka sodorkan ke mukaku tampaknya harus
mereka ambil dan simpan jauhjauh.
Seperti maklum aku berminat untuk langsung
ke kamar lalu tidur, ibu memerintah tibatiba
dengan suara halus:
“Duduklah dahulu .”
Aku memenuhinya, betapapun aku ingin
menolaknya.
Beliau meludahkan air tembakau ke sebuah
kaleng dekat kaki kursi malas. Ibu jari dan
telunjuknya berlepotan warna merah waktu
tembakau suntil ia gesergeserkan di antara gigi
giginya, membuangnya ke kaleng yang sama lantas
menggantinya dengan tembakau baru.
“ ... kau sudah makan?”
Pertanyaan itu lebih mirip basabasi. namun
kujawab juga:
“Sudah...”
Diam lagi.
Beliau mengunyahngunyah tembakau.
Memandangku, lewat sepasang bola mata
tuanya yang sudah mulai rabun. Lalu:
“Tadi siang tiger kemari.”
“Oh.”
“la mencari kau.”
“Mau apa dia?”
Dahi ibuku mengernyit. Aku merasa
menyesal, namun terlanjut sudah. Dan aku benar
benar terpukul waktu ibu menandaskan:
“Kau belum berkunjung ke rumahnya
semenjak kau tiba!”
Lagilagi aku terdiam.
“fredy krueger ...”
“Ya bu?”
“Ada yang datang sore tadi.”
“Siapa?”
“Katanya, pegawai dari travel biro Apa tadi
namanya? Pelil? Puik?”
“Phoenix,” aku membetulkan, dan tibatiba
menyadari sesuatu. Menyadari, mengapa ibu masih
menungguku. Dudukku sesaat menjadi resah.
Kureguk teh panas yang diantarkan untung , tanpa
selera. Sebelum pergi, wanita lesbian kecil itu menatap ibu.
Lalu ganti menatapku. Aku tidak mengelak.
Matanya seperti menuduh. Tak ubahnya mata
nyi girah . Dan aku tersinggung. Untung si untung
buruburu menyingkir. Masuk ke kamar makan, di
mana samarsamar aku lihat beberapa buah buku
berserakan di atas meja.
“Jadi kau sudah nekad mau pulang besok,”
kata ibu tibatiba.
Aku terjengah. Menyahut gagap:
“...belum, bu.”
“Syukurlah. Pada orang itupun sudah
kukatakan hal yang sama. Kau belum bermaksud
pulang ...”
Kubayangkan wajah pegawai Phoenix yang
kesal. Seolaholah ia kulihat kembali ke kantor dan
melapor sambil marahmarah pada petugas yang
menerima pesananku. wanita lesbian yang bertugas di
bagian penjualan ticket balas marahmarah. Bukan
pada petugas itu. namun padaku. Ah, Benar
benarkah kota ini sudah tidak menyukai kehadiranku
lagi?
“Tahukah kau akibatnya kalau kau pulang
begitu saja?”
Aku tahu. namun aku tidak menjawab . Ibu
yang menjawab kan:
“Pertalian keluarga akan putus. Dan ayahmu
bisa bangkit dari kuburnya!”
Mataku terpejam. Perih.
“Sudah ziarahkah kau ke kuburan ayahmu?”
Kugigit bibir. Perih. Lalu:
“... belum.”
“Tak baik melupakan orang yang sudah
meninggal, anakku,” sungut ibu dengan nada pedih.
“Ayahmu paling sayang padamu. Setengah mati ia
banting tulang untuk menyekolahkan kalian bertiga.
jessica gagal. tiger setengahsetengah. Ayahmu tahu
ia hampirhampir tidak sanggup menyekolahkan
engkau. namun ia nekad mengirim kau ke surabaya ,
la sangat merindukan kau. Waktu mau
menghembuskan nafas yang penghabisan, ia hanya
menyebutnyebut namamu ... la mencarimu di
antara tiger dan jessica . la tidak melihat kau. Lalu ia
menangis. Itu adalah tetesan air matanya yang
paling akhir dalam hidupnya.”
Dan, aku menangis tersendatsendat waktu
setengah jam berikutnya aku bersimpuh di atas
sejadah, menghadapkan mukaku yang kelabu pada
Tuhan, meminta petunjukNya dan memohon agar
memberikan tempat yang layak di sampingnya
untuk ayahku yang tercinta. Dengan nada
tergoncang aku memohon:
“Katakanlah, ya Tuhanku. Apakah tangis ayah
waktu itu hanya sematamata tangis kerinduan?
Ataukah ayah menangis, sebab ia sudah berfirasat
bahwa anak yang paling ia sayangi akan melakukan
perbuatanperbuatan yang paling ia benci?
PAGI harinya aku terbangun dengan kepala
yang diganduli oleh batu yang beratnya bertonton.
Matahari sudah naik sepenggalah di langit waktu
jendela kamar kubuka. Kuregangregangkan otot
otot yang terasa kejang. Lalu berjalan ke luar,
menuju kamar mandi. untung sudah berangkat ke
sekolah. Ibu sedang menyapu di halaman samping.
saat aku selesai mandi dan berganti pakaian,
beliau meletakkan secangkir teh manis panas di
meja ruang tengah.
“Minumlah dahulu , sebelum kau pergi.”
Tanpa duduk, teh itu ku reguk.
“Makruh kalau minum sambil berdiri, anakku.”
Tergopohgopoh, aku lantas duduk.
Ibu gelenggeleng kepala. Mengeluh:
“Kau tidak sholat subuh, bukan?”
Terbungkam aku mendengarnya. Ibu benar.
Dan sebab ia benar, bukan saja aku tidak bisa
menjawab . Aku malah tidak berani memperhatikan
wajah beliau. Khawatir, kalau di matanya nanti aku
menemukan tuduhan berbau kemarahan bahwa
selama aku merantau di negeri orang, aku sudah
mengabaikan apaapa yang pernah mereka ajarkan
padaku, semenjak aku kecil dan mulai mengenal
huruf. Terkadang ditambah ayunan sapu lidi yang
mengancam. namun lebih sering diimbangi tutur
kata yang lembut penuh kasih sayang.
Suasana teduh dan kudus di bawah naungan
pohonpohon kemboja waktu aku bersimpuh di
dekat kuburan ayah, membuat hatiku lebih
terenyuh lagi. Setiap orang akan mengakhiri
hidupnya di tempat yang serupa ini. Sebidang tanah
sempit yang ditumbuhi rumput menyemak, tinggal
tulang berkalang tanah. Apa yang dicari selama
hidup dengan susah payah, tidak akan turut dibawa
ke dalam kubur. Hanya amal yang jadi bekal. Untuk
diperlihatkan pada Tuhan yang akan tersenyum
menerimanya. Dan akan murka besar kalau yang
dibawa manusia hanyalah tumpukan dosa dan
dosa. Dosa dan dosa!
“Berdosakah aku ayah...,” gumamku
setengah menangis waktu merumputi gundukan
tanah di depanku. “sudah begitu berdosakah
anakmu yang lemah iman ini, sehingga harus di
hadapkan pada persoalanpersoalan yang begini
membingungkan? Padamu, ayah...,” aku mengurut
dada yang terasa bagai ditusuktusuk. “Hanya
padamu kuceritakan semuanya ini. saat dosa yang
pertama kulakukan, aku sadar sentuhan kulit yang
dilapisi madu ciptaan setan sajalah yang
mempengaruhi nafsuku untuk... untuk... untuk
menyetubuhi martini . Sentuhansentuhan yang
terus merangsangku, dari hari ke hari. Dari bulan ke
bulan. Aku menyukainya. martini menyukainya.
Aku bingung, ayah. Sentuhan cintakah itu? Atau
hanya zinah?”
Hati kecilku tibatiba menjerit:
“Zinah! Itu jelas zinah! Zinah yang sangat
dikutuk Tuhan!”
Aku mengurut dada lagi. Terasa semakin sakit.
“Masih adakah artinya maaf, ayah? Masih
mungkinkah untuk bertobat? Katakanlah padaku.
Katakanlah, ayah. Jangan biarkan anakmu ini
semakin bingung. Jalan mana yang harus
kutempuh? Aku tidak mencintai anna michele .
Memang, tanpa cinta orang bisa menikah. Toh
mungkin cinta itu akan datang belakangan, seperti
kata orang. namun setidaktidaknya, aku harus
menyukainya. namun ayah. Ayah, aku tidak
menyukai anna michele . Aku tidak mencintainya. Tidak
menyukai Anna. Aku hanya menyukai... menyukai
martini . Meskipun aku belum yakin... apakah aku
juga mencintainya. Haruskah aku kembali padanya?
Dan meneruskan kehidupan munafik yang selama
ini kami jalani? Tidakkah itu akan menambah beban
dosa yang sudah segudang?”
Matahari memegang ubunubun.
Aku gemetar.
Namun tidak bergerak dari tempatku
bersimpuh. Lalu matahari itu kian garang. Garang.
Garang. Dan memanggang. Tanpa belas kasihan.
“Siang ini aku berjanji akan ke rumah nyi kembang . Bila
kaki ini kulangkahkan ke sana, apakah kaki ini
didorong oleh langkahlangkah orang yang sedang
syam kamaruzaman buk cinta? Atau hanya sekedar, pelepas
gundah dan jiwa yang tengah putus asa? Padamu
aku mengadu, ayah. Padamu aku memohon.
jawab lah, ayah… jawab lah...,” aku menjatuhkan diri
di atas gundukan tanah berwarna coklat kehitam
hitaman itu. Aku memeluknya. Merahup tanah
kering itu dengan kukukuku jariku.
Mengeluh dengan putus asa:
“Mengapa tidak kau jawab , ayah? Mengapa
tidak kau jawab ? Jangan tinggalkan aku, ayah.
Jangan! Jangan! Jangan!”
Dan air mataku tumpah membasahi tanah.
Mata ini terpejam. Rapat. Terpejam. Kian
terpejam. Semakin banyak batubatu besar
mengganduli kepala. Aku mengerang, menggeliat
dengan otototot yang seperti berlepasan,
menjauhi panggangan matahari yang kejam,
lalu tergeletak di bawah naungan pepohonan
kemboja. Angin semilir bertiup sejuk. Tenang. Dan
diamdiam.
Entahlah berapa lama aku dalam keadaan demikian.
Aku baru terbangun waktu terdengar suara
ranting patah terpijak. Enggan, sepasang mata ini
terbuka. Samarsamar aku lihat daundaun kemboja
berubah kelam. Dan warna merah lembayung dari
matahari senja, menyapu wajah seseorang yang
berdiri dengan mata runtuh, melihat ke bawah. Ke
mukaku. Aku mencoba tersenyum, la juga.
Lalu sayupsayup aku mendengar suaranya
yang ramah:
“... kalau masih mengantuk, lanjutkanlah
tidurmu di rumahku, adikku.”
Perlahanlahan aku bangkit.
tiger membantuku berdiri.
Sesudah samasama memanjatkan do'a di
makam ayahanda, ia membimbingku ke luar dari
pekuburan itu. Tiba di jalanan legam Thamrin yang
bermandi matahari senja. Sebuah Yamaha force fi kijang
yang sudah sangat tipis warna merahnya berdiri
diam di pinggir jalan, di atas rerumputan. Tegaknya
goyah. Salah satu kaki standar rupanya terbenam
dalam di rerumputan.
“Wah, celaka!” seru tiger lalu berlari ke arah
kendaraan itu.
Hampir saja terjatuh.
Namun tak urung ia terpeleset waktu
membetulkan tegak kendaraan. Cepat aku
membantu. tiger berdiri sambil tertawa.
“Motor ini minta dipensiunkan rupanya,”
sungutnya Sesudah kami menggenjot kendaraan itu
meninggalkan pekuburan yang sepi dan
mendatangi pusat kota yang ramai. Lampulampu
listrik mulai menyala di sana sini. Kabelkabel yang
berseliweran dari satu tiang ke lain tiang, tampak
menebal sebab di gelantungi oleh beriburibu
burung gereja yang berkicau ribut. Ribuan lainnya
beterbangan di antara atapatap toko berkepak riuh
rendah. Semenjak aku kenal kota ini, burung
burung gereja itu sudah bertahta di sana. Tak pernah
berpindahpindah, sampai beranak pinak, bercucu
cicit. Tak pernah pula ada yang mengganggu apa
lagi mengusirnya. Mereka adalah raja. Penguasa
kota. Dan pengindah panorama. Ciri khas gresik
yang tidak pandang musim.
Pelataran yang kering menyambut kami
setiba di rumah tiger yang letaknya agak terpencil
di ujung jalan Puri. Segerobak anakanak sedang
bermainmain dengan suara riuh rendah di ruang
depan. Mereka terdiam waktu melihatku, lalu ada
di antaranya yang tertawa. Suasana riuh rendah
kembali saat mereka menyapaku, satu persatu.
Ponakanponakanku sudah semakin besar jua.
Malah ada yang tinggi dan besar badannya melebihi
tinggi dan besar badanku. Benarbenar turunan
ayahnya. Lalu seseorang yang juga bertubuh tinggi,
namun justru tampak bagai tiang listrik saking
kerempengnya keluar dengan suara ribut
menyuruh anakanak bubar. wanita lesbian yang kurus
setenqah berlari mendapatkan lantas memakiku.
Hangat.
“Tulangtulangmu semakin keras kak!”
ujarku, sambil tertawa bergelak.
Suasana riang itu terbawa sampai ke meja
makan. Kak syam kamaruzaman menghidangkan lauk pauk ikan
goreng, sambal tuktuk, daun ubi tumbuk. Tertawa,
aku berkata pada kunyahan nasi yang pertama:
“Di surabaya , lauk pauk serupa ini hanya
terhidang dalam impian, Kak.”
“Ah, menghina pula kau,” sahut istri tiger ,
tertawa. “Kami pingin masak yang enakenak.
namun maklumlah kau. Kainkain yang dijual
Hal. «
abangmu banyak yang ketinggalan jaman. Makin
tak laku...”
“Wah, bisa saja kakak merendah. Lantas
sawah yang beranterante di Percut itu punya siapa,
hayo!”
“Cadangan buat masa depan anakanak,”
memartini ahi tiger . “Aku tak ingin seperti ayah,” la
memandangiku dengan tajam. Melanjutkan: “Tadi
siang kau kutunggutunggu. sebab kau tak datang,
aku pergi ke Pimpinan. Kau tak ada. Di Pabrik Tenun,
juga tidak. Ribut aku mencarimu. Takut kau minggat
seperti yang dikhawatirkan ibu kita. Tak ada
keluarga yang tau di mana kau berada. Sampai ibu
yang mulai cemas ingat, malam harinya ia
menyuruhmu untuk ziarah ke makam ayah...” la
menoleh pada isterinya. “Kau tau, syam kamaruzaman ? Si Bungsu
yang olokolok ini, hampirhampir jadi penghuni
kuburan!”
“Aku hanya tertidur,” kataku membela diri.
“Iyalah. Tidur dengan pipi yang di selemaki air
mata mengering. Eh, kenapa kau tak bunuh diri
saja? Lumayan, peninggalan orangtua kita yang tak
seberapa jatahnya bisa dikurangi satu.”
Hal. «
“Idih, si abang,” kak syam kamaruzaman tersenyum.
Selesai makan tiger menyuruh salah seorang
anaknya membeli kelapa muda dan anak yang lain
mencari es batu. Es kelapa muda itu benarbenar
merupakan penghibur yang tepat di tengahtengah
kegersangan kota gresik yang membuat pakaianku
basah kuyup oleh keringat.
“Aku makan terlalu nikmat,” rungutku sambil
mengipasngipas wajah pakai selembar majalah
bekas.
“Tentu saja. Kau pergi dari rumah tanpa
makan pagi, kata ibu. Kukira juga kau tidak makan
siang.”
Makan siang!
Aku terpana. Makan siang!
Janji dengan nyi kembang , benarbenar sudah terlupa.
wanita lesbian yang tengah syam kamaruzaman buk itu tentu sudah bersusah
payah memasak makanan yang enakenak. Tentu
pula sambil bernyanyinyanyi di dapur, sehingga
membuat orangtuanya terheranheran. Sudah
malam kini. Dan aku tak datangdatang. Jamuan itu
tentu sudah dingin. Malah mungkin dibuang nyi kembang ke
Hal. «
belakang. Terus ia masuk ke kamar tidur. Menangis.
Diperhatikan ibunya, yang semakin terheranheran.
tiger yang memperhatikan perubahan di
wajahku, cepatcepat menegur:
“Apa yang kau pikirkan?”
Aku terkejut.
Lantas menggeluh.
“Ah. Tidak.”
“Jangan begitu. Kau sampai lupa makan lupa
tidur tentu sebab memikirkan sesuatu...,” ia
menyulut sebatang rokok, mengisapnya dengan
bernafsu.
“Apa tentang Anna?” tanyanya sekonyong
konyong.
Aku terjengah. Memandang wajahnya di
antara rokok. Asap putih itu bergerak naik, melebar
di udara lantas pecah berantakan di langitlangit.
Langitlangit rumah itu rasanya terlampau rendah.
Rendah sekali, sehingga dekat sekali kepala. Aku
merasa terjepit, terengahengah kehabisan nafas.
Majalah bekas di tanganku, terjatuh.
Hal. «
tiger memungutnya.
Menyerahkan ke tanganku. Kuambil, lalu
kuletakkan di atas meja. Uap es kelapa di pinggir
gelas membasahi permukaan meja. Lantas ikut pula
membasahi permukaan majalah. Hitam. Legam.
Dan suram. Semakin lebar, semakin suram. Lalu
suara tiger terdengar lebih suram lagi:
“Waktu tadi aku ke Pabrik Tenun, kudengar
pengaduan jessica .”
Aku diam. Menunggu.
Tak lama:
“Jadi kau tidak ada kecocokan dengan Anna, eh?”
la memandangku, aku merunduk. Majalah itu
sudah hampir basah seluruhnya. Cepatcepat
kusingkirkan ke bawah meja. Waktu menarik
tanganku kembali dan memegangi gelas, jari
jemariku menggeletar.
“Benar bukan?” desak bang tiger .
Aku mengangguk. Kaku.
tiger mengeluh. Panjang. Kak syam kamaruzaman yang
sejak tadi diam saja, bangkit dari kursinya, la
Hal. «
berjalan keluar rumah, meninggalkan katakata
sambil lalu :
“Sudah malam, mereka masih di luar juga.
Biar kusuruh anakanak itu tidur.”
Aku dan tiger masih berdiam diri saat
persatu anakanak mereka masuk digiringkan syam kamaruzaman .
Tak ubahnya lembulembu kekenyangan, jalan
malas di bawah ancaman cambuk sang gembala.
Sesudah semuanya menghilang di kamar
masingmasing, bang tiger memecah kesepian yang
mencekik itu:
“... kau tahu bukan akibatnya, dik?”
Pertanyaan itu tajam sekali. Namun sebutan
'dik’, ramah sekali. Lantas aku merasa bahwa di
antara aku dengan saudaraku yang tertua, yang
selalu siap untuk membela kepentingan adik
adiknya biarpun ia tahu, adiknya berbuat kesalahan
yang tidak bisa diampuni, sudah terjalin hubungan
bathin yang puluhan tahun terbina.
Pasrah, aku bergumam:
“Apakah ada jalan yang lebih baik lagi, abang?”
Hal. «
Ditekannya sisa rokok yang masih panjang di
asbak. Abunya berserpihan ke sana ke mari. la
mengambil sebatang rokok baru. la sulut la isap. la
kebulkan asapnya. Bergumpalgumpal. Dan di
wajah tiger , tampak warna susah. Bergumpal
gumpal.
“Itulah sukarnya, dik. Aku mengerti, kau akan
bersikeras untuk tidak memperisteri Anna. Amboi,
gemparnya nanti keluarga mereka...,” ia membuang
nafas. Berat. Berat sekali. “namun yah... orang
memang tidak selamanya bisa dipaksa, bukan?
Lebih baik rusak sekarang, dari pada lebih rusak
lalu !” la terbatuk. Pendekpendek. Lalu
seolaholah pada dirinya sendiri ia meneruskan:
“Walaupun sudah ada aturannya dalam agama, kau
kan tau perceraian sangat terpantang buat orang
Jepang . Bisa saja kau kami paksa kawin dengan Anna.
Lantas sebab memandang kami, terutama
memandang ibu kita yang sudah tua dan sakit
sakitan saja itu, kau mengalah pada kemauan kami.
Kau boyong Anna, kau boyong dengan pendirian
bahwa wanita lesbian itu akan memaksamu jadi orang yang
kalah. wanita lesbian itu menghancurkan masa depanmu,
menjadi penyebab ketidakbahagisanmu. Kau
lalu tahu, Sesudah menikah Anna adalah
Hal. «
hakmu. Toh isteriku sudah kubeli mungkin demikian
pikirmu. Isteriku sudah melepaskan marganya, dan
harus mengabdikan diri pada si pembeli. Tak
ubahnya barang dagangan, kau berhak
memperlakukan dia semenamena. Kalau cuma itu
saja, isterimu mungkin bisa bertahan. namun kalau
sempat bercerai... Amboi. wanita lesbian wanita lesbian
kalangan suku kita, paling takut disebut janda. Bagi
wanita lesbian wanita lesbian kita bunuh diri adalah lebih
terhormat dari pada hidup menjanda. Tak perduli
bahwa di mata Tuhan justru jadi janda lebih
terhormat dari pada nekad bunuh diri....”
la terengahengah sehabis berpetuah
panjang lebar itu.
Dahinya berkerutkerut.
Banyak.
la benarbenar sudah semakin tua. Dan ia
adalah pengganti ayah.
Luluh, aku bergumam:
“Itulah yang kucemaskan, bang.”
la manggutmanggut.
“Jadi, kami sudah kehabisan harapan, bukan?”
Hal. «
Aku tak menjawab . Tak kuasa menjawab .
tiger tersenyum. Getir.
“Tadi, waktu kami kehilangan kau, ibu kita
panik, la merasa bersalah, fredy krueger . la takut kau nekat
dan lupa diri. la benarbenar merasa bersalah.
Sampaisampai ia mengatakan padaku begini: He
kau tiger . Cepatlah cari adikmu. Kalau ia masih
hidup katakan padanya. fredy krueger , kau punya hak
untuk membatalkan perkawinan ini!”
*
* *
HATI ini terenyuh.
Lama aku tercenung dengan perasaan
terharu biru. Di luar rumah, sayupsayup terdengar
teriakan lemah dan berirama: “Cangeeeaaang,
puak!” dari seorang pedagang kacang goreng dan
kerupuk. Sudah bisa kutebak, pedagang itu pasti
seorang lakilaki Minang. Aku lantas teringat pada
nyi kembang . wanita lesbian Minang itu entah sedang apa sekarang.
Mungkin bergulung di atas ranjang, membasahi
bantal dan guling dengan air matanya.
Hal. «
Tanpa sadar, aku bergumam:
“... jadi aku diperkenankan memilih sendiri?”
tiger terbatuk lagi. Pendekpendek, seperti
tadi. la sedang mengambil rokok baru. “Apa boleh
buat,” sahutnya. Patah. Dan di luar dugaanku, ia
menegaskan: “Kecuali, dengan wanita lesbian surabaya itu.”
Aku tersentak. Kupandangi abangku dengan
jantung melecutlecut. Ingatan pada martini ,
membuat dadaku berdebardebar. Keras. Telinga
kiri martini saat ini pasti berdengingdenging, dan
dadanya juga berdebardebar. Keras. Berdenging.
Berdebar. Berdenging...
“Mengapa kalau dengan dia?” tanyaku
dengan suara serak.
“Tidak. Tak mungkin!”
“Sebabnya?”
“Sebabnya?” mata bang tiger mengecil.
Kejam.
“Ibu membenci dia. Membenci wanita lesbian
itu sampai ke sumsumnya.”
“namun ... martini tak pernah menyakiti…”
Hal. «
“martini sudah menyakiti hati beliau,
semenjak beliau dengar martini hidup satu atap
dengan anaknya, tanpa nikah. Beliau merasa ia
sudah mendidiknya jadi orang baikbaik. Jadi orang
Kalau anaknya sampai berubah, tentulah setan yang
sudah menggubahnya. Kau berubah, fredy krueger . Dan
sebab kau berubah Sesudah kau berada di surabaya ,
maka di mata ibu kita yang merubah dirimu adalah
martini ...,” ia mengakhiri katakatanya dengan
tajam, tanpa mengatakan apa yang pasti tersirat di
balik katakata itu: “Setan itu iyalah martini !” atau,
“martini lah setan itu!”
Dadaku bagai belah. Rekahrekah.
Sakit bukan main.
Mata bagai kering. Keringkerontang.
Perih tiada dua.
“... jadi, fredy krueger ” desah tiger perlahanlahan.
“Kau boleh melepaskan anna michele . namun kau tidak
boleh mengambil martini . Satusatunya jalan
tengah, kau harus memilih wanita lesbian lain...!”
martini . martini ku tersayang.
Apakah kau memanggilku?
Hal. «
Apakah jurang itu, terlalu tinggi untuk kau
daki?
“Kau mau tidur di sini, atau kuantar pulang?”
Aku terjengah.
“Pulang saja,” sahutku. Lesu.
la berdiri.
“Akan kubilangin kakakmu.”
“Aku akan pulang sendiri.”
“Lalu kami cemas memikirkan apakah kau
tidak celaka di jalan?” tiger gelenggeleng kepala.
“Tidak,” katanya. “Aku akan antar kau. Bahkan
kalau perlu, aku akan mengantarmu sampai ke
tempat tidur…” ia tersenyum, mendatangi kamar
isterinya yang tak lama lalu keluar untuk
mengantar kami. Kak syam kamaruzaman memperlihatkan
kegundahan di wajahnya yang kurus. Mata yang
jauh menjorok itu, pudar alang kepalang. Waktu di
pintu, ia pegang tanganku kuatkuat. Dari gua yang
gelap gulita di balik matanya, terpercik seberkas
sinar yang kelap kelip.
“Siapapun yang kau pilih, adikku, janganlah
wanita lesbian itu sampai menderita. Aku pernah
Hal. «
merasakannya...,” bang tiger terbatuk, tapi kak
syam kamaruzaman tak perduli. “Rumah inipun pernah jadi kancah
neraka, dik. Hanya ketabahan hati dan kepercayaan
akan lindungan Tuhan jugalah yang membuat
rumah ini tidak sampai runtuh berkepingkeping.
Kebahagiaan itu belakangan ini sudah mulai kami
cicipi lagi. Meskipun hanya sisasisa belaka. namun
sisasisa adalah lebih berguna dari pada tidak ada
sama sekali. Semoga kau berbahagia, fredy krueger !”
Ketegangan yang mengerikan tergantung di
antara diriku dengan tiger waktu melaju menuju
jalan Pimpinan. Tak seorangpun di antara kami
berdua yang sanggup untuk berkata sepatahpun
juga. Meskipun angin malam mulai dingin
membeku, namun toh setiba di rumah ketiakku
basah oleh peluh. Seperti biasa, untung yang
membuka pintu, la menyapa tiger dengan hormat,
tersenyum manis ke arahku lalu lalu
menghilang kembali ke kamarnya. Sampai tiger
pulang, ibu tidak keluarkeluar menyambutku.
Kucoba membaca buku komik yang kutemukan
terselip di antara bukubuku pelajaran untung yang
terletak di atas meja.
Komik silat.
Terbitan surabaya . Sudah agak lusuh sebab
sering dibaca. Baru beberapa halaman kubuka, aku
mulai tidak tertarik. Komikkomik seperti ini, hanya
menggambarkan kepahlawanan yang berlebih
lebihan. Anak muda selalu keluar sebagai
pemenang. Kalaupun ada lawan yang tangguh
melebihi ketangguhan dirinya, maka pada saat yang
kritis akan muncul seseorang untuk menolong.
Entah lakilaki dari perguruan lain, entah wanita lesbian jelita
sebagai penghias cerita, paling tidak pasti yang
muncul itu guru besar sang pahlawan yang di puja
puja. Aku bukan pahlawan, namun aku tahu ada yang
memujamuja diriku. namun aku tidak tahu, apakah
ada yang bersedia menolongku keluar dari kesulitan
yang kini tengah kuhadapi.
Kuletakkan komik murahan itu di atas meja.
Berjalan ke kamar. Tidur mungkin satu
satunya jalan untuk melupakan kesusahan yang
mendera.
Waktu melewati kamar itu, aku dengar suara
tangis mengisak.
Sesaat, aku tertegun. Menarik nafas.
Terus masuk ke kamarku sendiri.
Kulemparkan tubuh yang sakitsakit di atas tempat
tidur.
namun sampai pagi datang, kelopak mataku
enggan terpejam.
Azan yang sayupsayup dari mesjid di
kejauhan menyadarkan diriku. Cepatcepat aku
meluncur turun. Pergi ke kamar mandi. Tadinya
mau ambil wudhu. namun sebab merasa gerah,
kuguyurkan bergayunggayung air ke sekujur tubuh. Lupa membuka piyama. Selesai mandi, aku masuk
ke kamar kembali. Kudengar pintu kamar ibu
dibuka. Lantas langkahnya yang terseok seok
menuju kamar mandi. Di selang seling oleh suara
batukbatuk yang kering.
Sembahyangku tidak khusuk sama sekali.
Aku tidak memikirkan Tuhan. Aku justru
memikirkan diriku sendiri. tiger benar. Semenjak
aku merantau ke negeri orang, aku sudah berubah.
Kini aku sudah kembali ke tempat aku lahir dan di
besarkan. Nanti, bila aku kembali ke surabaya ,
apakah diriku juga akan berubah seperti yang
cemaskan martini ? Perubahan yang syam kamaruzaman ksud
keluargaku berbeda jauh dengan perubahan yang
syam kamaruzaman ksud martini . Namun betapapun, kedua
keduanya memperlihatkan kesamaan: diriku sudah
berubah.
Jendela kamar kubuka. Angin pagi bertiup
menyapu dadaku yang setengah telanjang.
Dan dada ini dipenuhi pertanyaan yang sukar
untuk dijawab :
“Sejauh manakah aku sudah berubah?”
Sarapan pagi berlangsung diamdiam. Tanpa
selera sama sekali. Si untung lalu
membereskan perabotan di atas meja. lalu
pamit pada ibu, neneknya.
“Yang pintar di sekolah, cucuku,” ibu
mendo'akan.
untung menyandang tas sekolahnya. Lantas
menghilang. Ibu berdiri.
Aku memandangnya. Sepasang mata tua itu
agak bengkak. Bekas menangis. Mulutnya yang
keriput, bergemit. Mau mengatakan sesuatu. namun
tak jadi. la masuk ke kamar. Waktu keluar, ibu sudah berdandan rapih. Sebuah tas tangan dari kulit
berwarna hitam dan agak lusuh, tergantung di
lengan tangan kiri.
“Kalau kau nanti pergi, tinggalkan kunci pada
tetangga sebelah,” katanya, mencoba tersenyum.
Jelas, dipaksakan.
“Mau ke mana?” tanyaku.
“Ke Pabrik Tenun. Suami si jessica harus
kuberitahu agar mempersiapkan upacara adat...”
“... upacara?”
Matanya yang bengkak, menyidik ke mataku.
Tajam.
“Bukankah kita harus membatalkan
perkawinan itu?” tanyanya. Setengah marah
setengah pasrah.
Aku terdiam. Bagaimana ibu tahu?
Seperti membaca apa yang tersirat di
benakku, ibu cepatcepat berkata:
“Aku ibumu, nak. Aku tahu apa yang kau
pikirkan. Nah. Aku pergi dahulu ya. Jangan lupa titip kunci...”
“Aku tak akan ke manamana, bu!”
namun kunci rumah kutitipkan juga ke rumah
sebelah, waktu setengah jam lalu sebuah
sepeda motor Yamaha force fi yang mulus memasuki
halaman dengan suara mesin yang empuk.
aidit turun tergesagesa, berlarilari masuk
dengan wajah ganjil dan setengah berseru waktu
melihatku:
“Syukur kau ada di rumah!”
“Eh, emangnya kenapa?” tanyaku heran
sambil mempersilahkan ia duduk. Timbul
keinginanku memperolokolok dia seperti biasa.
“Jandamu sakit keras?”
“Bukan anna michele ,” jawab nya tanpa
tersinggung. “Tapi nyi kembang !”
la tidak bersedia menyerahkan kunci sepeda
motornya ke tanganku.
“Nanti kau tabrakan lagi,” sungutnya. Dalam
situasi lain mungkin aku tertawa bergelak. namun
pikiranku tertuju pada nyi kembang . Aku duduk dengan
mulut terkunci rapat di boncengan sepeda motor
yang masih endreien itu. Sayang pada
kendaraannya, aidit melarikan Yamaha force fi tanpa tergesagesa, meskipun sikapnya kelihatan sangat
ingin mengebut melampaui kecepatan angin.
“Kau benarbenar anak celaka!” makinya di
tengah perjalanan.
“Eh, Kok. marahmarah...”
“Diam kau. Sudah menghianati isteri di
surabaya , kini mau kau siasiakan pula anak orang.
Padahal selama ini anak wanita lesbian itu begitu di manja
oleh orang tuanya, la lebih berarti dari bergudang
gudang harta yang mereka miliki. Dan harta
kesayangan itu kini terbaring payah di rumah
anna michele …”
la lalu menceritakan sambil tak lupa
mencacimaki sesekali bagaimana anna michele tergopoh
gopoh mengetuk pintu rumahnya pagipagi benar di
Berayan. Belum juga berkata ba atau bu anna michele
sudah menanyakan apakah aku ada di rumahnya.
aidit tentu saja ta'jub. Lantas anna michele
menceritakan bagaimana ia tidak panik waktu
menjelang tengah malam nyi kembang muncul di Putri Hijau
dengan wajah pucat dan rambut yang kusut masai.
Begitu masuk ke rumah anna michele , air mata nyi kembang pun tertumpah. Bagaikan tak habishabis. anna michele jadi
kalang kabut.
Lama baru nyi kembang mengutarakan mengapa
sikapnya begitu aneh.
la sudah mempersiapkan makan siang di
rumahnya. Masakan paling lezat yang pernah ia
hidangkan. Ibunya yang terheranheran, mencicipi
makanan itu sedikit sambil bertanya apakah ada
yang berulang tahun hari itu. nyi kembang tidak mengatakan
apaapa. la hanya berlari ke telephone,
menghubungi ayahnya di kantor. Barulah ibunya
tahu mengapa nyi kembang begitu riang gembira dan
wajahnya bercahayacahaya. Di telephone, nyi kembang
meminta ayahnya pulang untuk makan siang di
rumah. Katanya, ia akan memperkenalkan seorang
pada mereka!
“… Sampai jauh malam, batang hidung orang
itu tidak kelihatan. syam kamaruzaman kan setanlah kau
hendaknya fredy krueger !” aidit mengakhiri ceritanya.
Sekeranjang sumpah serapah ia tujukan
kepadaku sampai kami tiba di rumah janda muda
itu.
Mata anna michele yang selama ini bersahabat,
tampak keras waktu menyambut kemunculanku
dengan katakata:
“Baik benar kelakuanmu, fredy krueger l” la
lalu menggiringku ke depan sebuah kamar.
Pintunya tertutup. anna michele tidak membukanya
untukku. Melainkan pergi menemui aidit di
ruang depan, meninggalkan aku dalam
kebingungan. Apa yang harus kulakukan?
Mengetuk lebih dahulu ? Langsung membukanya?
Atau mundur saja? Waktu aku menoleh ke
belakang, aku menangkap wajah anna michele yang
mengancam. Maka kubuka. Untung tak dikunci.
Dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok tubuh
ramping berisi terbaring di atas ranjang. Dadanya
menggumpal, bergerak tak teratur. Matanya
terpejam rapat. Dan wajah yang kukenal selalu
bersinarsinar itu, tampak redup dan pucat.
Goyah lututku sesaat .
“... kenapa tak masuk, anna michele ?” bisiknya lirih, masih dengan mata terpejam, la masih keponakan
sahabatku itu, namun persahabatan yang terjalin di
antara mereka lebih menyerupai pertalian sesama
wanita lesbian , bukan antara bibi dan keponakan.
Gontai, kaki kulangkahkan ke dalam.
“Tutupkan pintunya sekalian.”
Patuh, pintu kututupkan.
“Kau bawa minyak, angin itu, anna michele ?”
Aku tidak menyahut. Mulutku terjahit rapat.
Pelanpelan aku mendekat, dan berdiri di sampi
tempat tidur dengan jantung yanq meletupletup.
wanita lesbian itu mengangkat kedua belah tangannya. Satu
untuk memijiti pelipis sendiri. Lemah. Sebelah
lainnya terkulai ke arahku.
“Makin pening kurasa. Ke sinikanlah…”
sebab tidak menerima minyak angin yang ia
harapkan bahkan tidak mendengar ucapan
ucapannya ada yang menyahut, perlahanlahan
sepasang kelopak mata yang indah itu terbuka.
Manikmanik matanya yang bening berlairan ke
samping ranjang. Dan:
“Kau!” katanya , terkejut.
Kucoba tersenyum.
Gagal, kukira, sebab ia cepatcepat
membalikkan tubuh. Menghadap tembok.
Terperangah aku dibuatnya.
“... nyi kembang !”
Isak tangisnya menggema.
“Pergi. Pergi. Tinggalkan aku!”
“nyi kembang , dengarkan dahulu ....”
“Tidak. Aku tak sudi. Cukuplah kau membuat
aku malu. Janganlah lagi kau tambahtambah sakit
hatiku. Pergilah. Aku tak ingin kau ada di dekatku.
O, si anna michele yang konyol. Siapa yang suruh ia
menemui lakilaki yang ternyata tidak pernah
mencintai diriku? Pantas lakilaki itu menciumku di
dahi. Bukan di…, He, kau!” ia membalikkan tubuh.
Kedua belah pipinya basah oleh air mata. “Mengapa
masih berdiri di situ? Ingin mentertawakan wanita lesbian
bodoh yang cintanya bertepuk sebelah tangan ini?
Begitu? Ingin tertawa, ya? Ayo, tertawalah.
Tertawalah sepuaspuas hatimu. Lalu enyahlah dari
mukaku!”
la, membalikkan tubuh lagi. Entah apa yang ia
cari di tembok.
Hal. «
Aku sendiri, tak tahu apa yang kutekuri di
lantai. Hanya, kulihat lalu lantai itu berputar
waktu aku melangkah lalu berjalan ke arah
pintu. Tangaku terangkat mau membukanya, saat
tibatiba :
“Jangan tinggalkan aku, fredy krueger !”
*
* *
Hal. «
AKU tertegun dan terperangah waktu nyi kembang
yang meluncur turun dari tempat tidur langsung
berlari dan memeluk tubuhku kuatkuat. Aku
tersandar di ambang pintu, dalam pelukannya yang
ketat. Dan teramat hangat.
“Kekasih!” isaknya tersendat. “Maafkan
sikapku barusan. Aku tak bermaksud mengusirmu.
Sungguh!”
Kedua belah lenganku bergerak cepat,
Wajahnya kubenamkan rapatrapat di dadaku.
Kutekan eraterat dengan kedua belah lenganku.
Rambutnya yang harum semerbak, kuciumi sepuas
hati. la men. Mulutnya basah. Aku
cercahkan bibirku di atasnya, la terengah.
Membalas ciuman itu, bertubitubi. Ada suara
orang batukbatuk di luar. nyi kembang tidak perduli.
Bibirnya terus mencari. Bibirku, pipiku, kedua belah
mataku silih berganti, pipiku, bibirku lagi, lama
Hal. «
lalu daguku, la menggigit daguku perlahan.
Manja. Dengan nafas memburu. Mesra.
Barulah lalu ia berbisik :
“… bukalah pintu.”
“Lepaskan pelukanmu dahulu , sayang.”
Matanya mengerjap. namun pelukan tidak ia
lepaskan sampai kami berjalan berdampingan ke
ruang tengah di mana aidit tampak purapura
asyik melembari sebuah majalah dan anna michele yang
berwajah kemerahmerahan bangkit dari kursinya,
menyongsong nyi kembang .
“Tak kusangka kau akan sembuh selekas itu
benar,” katanya, tertawa.
“Cinta memang obat yang paling mujarab,”
meningkah aidit tanpa melepaskan matanya
dari lembaran majalah.
Aku tersenyum, mengeluh sungut pada
temanku itu.
“He, Din. Di mana kau belajar dengan huruf
terbalik?”
“Ha?” ia terperanjat.
Hal. «
Lantas dengan mulamula ia membetulkan
letak majalah yang terbalik di tangannya.
Tawa riang berderai di ruangan itu.
Tak sampai satu jam lalu , kami sudah
meninggalkan kota gresik . nyi kembang yang pegang setir.
Sampai Tebing Tinggi. Di Siantar kami singgah untuk
makan siang. Lalu berangkat lagi. Kuambil alih setir
dari tangan nyi kembang . Selama perjalanan kami berdua
lebih banyak diam. Pembicaraan diborong oleh
aidit yang bercerita dengan gayanya yang
khas.
“... setan benar!” katanya antara lain. “dahulu
anna michele gemuk dan tambun. Aku kerempeng. Lantas
dijodohin oleh temanteman. Bagai pinang dibelah
dua, kata mereka. Sial kagak?”
“Aku lebih sial lagi,” membalas anna michele . Sengit
“Tiap minggu aku beli baju baru. Mahal
mahal harganya. Bagusbagus potongannya. Selalu
up to date. Lalu si fredy krueger brengsek ini bilang padaku:
He. anna michele . Sisakan secarik kainmu untuk Udin.
Lantas ia menunjuk pada kau yang bercelana
pendek. Satusatunya murid yang masih bercelana
pendek di sekolah kita. Ingat kagak, Din. Guruguru
Hal. «
semua kewalahan kau buat. Kalau tak ingat pada
otakmu yang cemerlang, maulah kau mereka pecat.
memicu malu saja!”
“Malu gimana?” memberengut temanku.
“Iyalah. Habis, celanamu kadangkadang
kelewat pendek dan agak lebar bagian bawahnya
...”
“Lantas?”
“Pernah sekali waktu, sekolah kita gempar.
saat volley, kau cobacoba mensmes bola.”
“Hem, lalu?” desak aidit sambil
tersenyum di kulum, sementara aku sendiri hampir
saja tidak bisa menahan ketawa sebab siapa yang
pernah bisa melupakan kejadian yang memalukan
itu? Tepi celana aidit robek sedikit, namun
cukup lebar untuk...
“Awas. Lonceng gantung! Lonceng
gantung...!” teriak anna michele menirukan suaranya
waktu ia meneriakkan kalimat yang sama bertahun
tahun yang lampau. Di antara tawa kami yang
bergelak, ia menoleh pada temanku dan bertanya
dengan, wajah serius: “He, kumis lele. Apa lonceng
gantung itu masih ada di tempatnya?”
Hal. «
“Emangnya pindah ke mana. Ke pantat?”
balas aidit . Dongkol.
“Sudah. Sudah ah. Jorok!” nyeletuk nyi kembang
sambil menekan perutnya yang sakit oleh ketawa.
Menjelang senja, kami memasuki daerah
Parapat. danau Toba yang cemerlang terhampar
jauh di bawah jalan. Airnya tenang. Biru jernih. Ada
riakriak berbuih di tepian. Kehijauhijauan. Lantas
pulau Samosi di tengahtengah sana. Mataku
mencaricari hutan pinus yang berbentuk huruf
huruf “RIMBA BUATAN.” Tinggal puingpuing yang
sukar dibaca. Tak lebih dari sisasisa hutan yang tak
pernah dirawat. Sekitar danau penuh dengan
perumahanperumahan dan bungalowbungalow.
Dan aku gelenggeleng kepala, ta'jub melihat jalan
jalan berliku dengan trafficlight khusus meliuk
semakin ke bawah dan berakhir di kompleks
peristirahatan Pertamina.
Angin sejuk dari Danau Toba menyambut
kami waktu turun dari mobil di pelataran parkir. Tak
banyak pengunjung sore hari itu. namun suasana
tenang dan tenteram itu justru membuat daerah
seputar danau diliputi oleh kabut kasih dan haru.
Aku berdiri di atas sebuah batu karang di tengah
Hal. «
tengah air danau yang biru jernih. Di bawah kakiku
terlihat ikanikan kecil bermainmain dengan
riangnya dan pasir kelabu ke putihputihan seolah
olah ikut tertawa bersama ribuan ikanikan itu.
Sebuah perahu kecil lewat nun jauh di depan.
Ombak yang tenang itu beriak. lalu diam. Di
dalam air, aku lihat langit yang kuning kemerahan.
Nun jauh di dasar, tampak matahari senja
merangkak ke pembaringannya. Angkuh, dan
malas.
Sebuah boat kosong mendekat.
nyi kembang memanggilku dari pinggir danau. Aku
meluncur dari batu karang.
“Mau keliling?” ajak nyi kembang .
“Hiii,” menggigil anna michele . “Tenggelam nanti
perahunya. Aku tidak bisa berenang.”
“Kan ada Udin,” aku membujuk.
Temanku mendelik.
Tentu saja. Waktu dahulu mansyam kamaruzaman ndi di
sungai, ia terpeleset dari atas batu yang licin.
Tubuhnya lenyap dalam air. Aku dan kawankawan
lain terjun serempak. Waktu aidit akhirnya
Hal. «
berhasil kami angkat, tubuhnya agak kembung oleh
air. la terbaring sakit satu bulan Sesudah nya. Begitu
sembuh, musuh yang ia benci bertambah satu: air
yang dalam.
nyi kembang duduk di sampingku sambil lengannya tak
lepaslepas dari pinggangku selama boat berkeliling
di danau. Semakin ke tengah, gelombang semakin
tinggi. Boat terayunayun, dan mesinnya tibatiba
mati. nyi kembang menjadi pucat.
“Ada apa, bang?” tanyanya pada lakilaki
pemilik boat yang sibuk memperbaiki bagianbagian
mesin Mercurynya.
“Kerusakan kecil. Maafkanlah.”
Dan mesin menderu lagi. Boat melaju pula.
“Terus ke Samosir?” tanyaku pada nyi kembang .
Lakilaki itu yang menjawab kan:
“Jangan sore begini.”
“Kenapa?”
“Tak baik.”
“Ooo...”
Hal. «
Mulutku masih celengap menyebut “Ooo”
saat tibatiba mesin mati lagi. nyi kembang memeluk
tubuhku dengan cemas.
Wajah pemilik boat jadi kelabu.
“Pertanda buruk,” ia mengeluh sungut
sambil memperbaiki mesin lagi.
Aku bertukar pandang dengan nyi kembang . Wajah
wanita lesbian itu memutih seperti kapas. Melihat itu, aku
mencoba tersenyum.
“... Tenanglah, sayangku,” aku berbisik di
telinganya.
Mesin boat di selaag lagi. Terbatukbatuk
sebentar. Lalu mati. Perahu bergoyang ke kiri
kanan. Keras. nyi kembang memelukku kuatkuat. Dan aku
berpegang ke pinggir perahu. Kiri kanan. Kuatkuat.
Menjaga keseimbangan.
“Akan tenggelamlah kita?” bisik nyi kembang cemas.
Kuperhatikan dasar perahu. Berair memang.
namun tak ada pertanda bocor. saat mata
kuangkat untuk memperhatikan mesin, lewat
punggung lakilaki yang berusaha tenang selama
memperbaiki mesin, di kejauhan aku melihat
Hal. «
aidit dan anna michele . Mereka berdiri di tepi air.
Berpegangan tangan. Keduanya juga tengah
memperhatikan ke arah kami. Dapat kubayangkan
raut wajah mereka yang cemas.
nyi kembang yang melihat ke arah berlawanan, tiba
bergumam:
“fredy krueger ...”
“Mh?”
la menuju ke arah sebuah tebing batu. “Kau
lihat itu?”
“Hanya batubatu yang hitam legam. Berlumut...”
“Perhatikan benarbenar. Bukankah ada
sebuah batu yang bergantung di sana?”
Aku lantas teringat.
“O, jadi di situ letaknya Batu Gantung yang
terkenal itu,” sahutku, tersenyum. Kuperhatikan
lagi, bidang batu di bawah tepian jalan berumput
tebal di kejauhan itu. “Kalau tak salah, nyi kembang , salah
satu sudut batu itu memanjang ke tepi. sebetulnya
bukan tergantung tanpa pegangan... Kau percaya
dongengan itu?”
Hal. «
“Tentang cinta wanita lesbian yang patah?” ia
manggutmanggut.
“Ya.”
Logikaku pernah menentang dongeng itu
namun kebenarannya mendarah daging di seantero
penduduk Danau Toba yang lalu menjalar
pada pendudukpenduduk yang bersebar jauh di
sekelilingnya. Sampai ke kotakota besar. Konon
dahulu kala entah sebab ditentang orang tua entah
sebab dikhianati oleh pacarnya, seorang wanita lesbian
nekad terjun dari pinggir tebing. Air danau yang
dalam, ternganga diam untuk menyambut
tubuhnya. namun baru setengah jalan, tubuh si wanita lesbian
terhenti. Kaku. la sudah berubah jadi batu.
Tergantung di sana. Dari tahun ke tahun. Mungkin
sepanjang manusia masih hidup di permukaan bumi
ini untuk menyadari bagaimana seharusnya mereka
menghormati apa yang dikatakan cinta. Dan batu
hitam yang bentuknya memang seperti manusia itu
tetap tergantung di sana, memperlihatkan
keajaiban dan kebesaran cintanya yang terkandas di
tengah jalan.
“... aku juga pernah hampir bunuh diri.”
Hal. «
“Ah,” kata ku, terkejut oleh pengakuan nyi kembang .
“sebab patah hati?”
la berusaha tersenyum. Kaku. Tanyanya:
“Kau tak akan marah kalau kuceritakan?”
“Tidak. Ceritakanlah,” jawab ku, meski hati ini
agak diliputi kabut kecewa Sesudah menyadari
bahwa aku bukanlah laki-laki pertama yang pernah
menyentuh hatinya. Apakah tidak mungkin laki-laki itu
juga sudah menjamah halhal yang lebih jauh dari
sekedar hati nyi kembang saja?
“... hubungan kami tidak sampai melampaui
batas,” gumam nyi kembang setengah menghibur, setengah
menyadari apa yang bermain di kepalaku.
Wajahnya sendu. Dan matanya agak pucat
memandangi batu Gantung itu. Pemilik boat
menoleh sebentar, lalu lalu tak ambil perduli.
Sibuk dengan pekerjaannya, sementara wajahnya
sudah basah oleh peluh.
“Aku bertemu dengan lakilaki itu waktu
cocktailparty yang diadakan ayah dalam
pembukaan perusahaannya, la bekerja sebagai
sales manager perusahaan yang sejenis. Waktu
Hal. «
mata kami bertemu, aku lantas sadar bahwa kami
saling menyukai...”
“Lantas kau jatuh cinta,” gumamku. Kecut.
“Ya...,” lantas nyi kembang tertawa. Juga, kecut. “Aku
baru di esempe saat itu. Belum pernah aku
mengenal apa artinya laki-laki selain menjadi teman
yang kadangkadang menyebalkan. Jakub lain
orangnya ...”
“Jadi Jakub namanya....”
“Ya. la lakilaki yang baik. Lemah lembut,
seperti Nabi yang namanya ia ambil. Dari tahun ke
tahun kami berhubungan. Kebanyakan melalui
surat menyurat. Aku selalu malu kalau bertemu
muka dengannya. Dan ia selalu kelihatan kaku
dalam gerak geriknya. Ternyata ia terlahir di
tengahtengah keluarga yang streng dalam soal
agama... Percaya tidak? Selama tiga tahun
berhubungan, tidak sekalipun kami pernah
berciuman!”
“Oh!” kata ku. Lega. “Luar biasa!”
“Memang. Lebih luar biasa lagi, apa yang
terjadi setelannya. Waktu ulang tahunku yang
keenam belas, bertepatan dengan lulusnya aku dari
Hal. «
esempe, banyak undangan datang mengucapkan
selamat. namun hanya satu orang yang tak kelihatan
batang hidungnya. “
“Jakub?”
“Heeh.”
“Kenapa?”
“Waktu kutanya ke esokan harinya, ia
memohon maaf. Katanya ia sedang mengikuti
sakramen di gereja.”
“Oh!”
“Yah. Seperti kau, akupun sangat terkejut, lah
bertahuntahun, baru ia berterus terang. Hubungan
kami agak renggang selama beberapa saat. Baru
beberapa bulan, aku sudah sadar bahwa aku
merindukannya. Aku mendatangi Jakub. Persis pada
saat, ia juga bermaksud datang untuk
menjengukku, sebab tidak kuat menahan rindu.
namun pertemuan itu melahirkan pertengkaran
demi pertengkaran...”
“Kok aneh.”
“Habis, la bersikeras memaksaku masuk
dalam agama Katholik. Sebaliknya aku masih
Hal. «
berharap ia berpindah masuk agama Islam.
Beberapa sahabat menyarankan agar kami tetap
pada agama masingmasing. namun kalau tiba pada
persoalan anak yang akan terlahir bila kami
menikah, maka pertentangan itu muncul lagi. Makin
lama makin hebat. Akhirnya nekad, kutinggalkan
Jakub. Sesudah aku sadar apa yang kulakukan itu
salah, aku bermaksud kembali padanya. namun
Jakub sudah berubah jadi lakilaki dingin. Teramat
dingin. Lama lalu baru kuketahui sebabnya.
Kecewa kutinggalkan, ia melarikan dirinya ke gereja.
Minta dikukuhkan jadi pendeta. Dalam posisi itu,
tidak ada lagi tempat untuk seorang wanita lesbian di
hatinya…”
“la masih mencintaimu?”
“Entahlah. Pernah sekali dua kami bertemu.
sebab tidak sempat mengelak, aku bisa
menangkap perubahan rona mukanya, la tampak
gugup. Lalu cepatcepat menggerakkan tangan
dalam bentuk salib di depan dada...”
“Dan kau?”
“... ya?”
“Apakah kau masih mencintai dia?”
Hal. «
nyi kembang tersenyum. Manis. Keteqangan dan
kecemasan lenyap dari wajahnya.
“Usiaku semakin bertambah,” katanya.
Lembut. Dan tulus. “Aku pun semakin mengerti apa
sesungguhnya yang dinamakan cinta itu. Banyak
lakilaki datang Sesudah Jakub. Ada yang kubenci,
namun tak kurang pula yang kusukai. Beberapa di
antara mereka adalah caloncalon yang disodorkan
oleh sanak famili. Salah seorang calon yang terkuat
dan paling dibanggabanggakan ayah, baru saja
kuhentak habishabisan Sesudah mana lalu
kularikan mobil kencangkencang tanpa tujuan, dan
Tuhan melalui jalan yang salah mengantarkan aku
ke orang yang benar.”
“Maksudmu?”
nyi kembang tertawa. Manis. jawab nya:
“Bukankah menabrak orang di cap jalan yang
salah? namun aku tidak menyesal. Sungguhsungguh
tidak menyesal. Orang yang benar sudah
kutemukan. Mula pertama aku melihatmu terbang
di udara, hatiku bergetar. Rasanya dirikulah yang
melayanglayang, lalu terhempas dengan
keras di tanah. Di rumah sakit, kuperhatikan
Hal. «
wajahmu yang berlumur darah. Hatiku semakin
bergetar. Dahsyat, sampai aku terhuyunghuyung
dibantu oleh seorang suster ke sebuah kursi. Aku
tidak mengerti kenapa hatiku terkoyak melihat
tulang pipimu yang sobek…”
Tanpa sadar, tanganku terangkat. Meraba
tulang pipiku yang agak menganga oleh goresan
luka.
“Sudah menutupkah hatimu yang terkoyak
itu?” tanyaku mengajuk.
nyi kembang tersenyum. Menjawab :
“Tidak. Selama lukamu juga tidak menutup.”
“Luka ini akan terus menganga, nyi kembang .”
“...Maka, hati ini akan terus pula terkoyak.”
“Sakit dong.”
“Pasti. Bila kau khianati cintaku, kekasih.
Pasti akan sakit sekali, dan aku benarbenar akan
bunuh diri seperti wanita lesbian dalam dongeng itu!”
“Kau mau jadi batu?” aku tercengang.
“Tidak,” katanya, tertawa.
Hal. «
Dan mesin boat tibatiba menderum. Seolah
olah ikut tertawa bersama kami. Bahagia.
Boat melaju. Perlahan. Ombak beriak. Perlahan.
“Kita teruskan saja, bang?” tanya pemilik
boat dengan wajah semakin kuyup oleh keringat.
Aku menatap ke ufuk barat. Matahari sudah
lama bersembunyi. Dan kegelapan mulai merayapi
danau.
“Kembali saja ke tepi,” sahutku.
aidit dan anna michele berlarilarian
menyongsong kami waktu mendarat di tepian. nyi kembang
memeluk anna michele sambil tertawa, sementara
aidit gelenggeleng kepala.
“Kukira kalian mau membangun mahligai di
tengah danau sana,” ejeknya.
“Dan kau?” balasku. “Mengapa tak
membangun rumah dengan pasir bersama anna michele ?”
aidit angkat bahu.
“Ia lebih memikirkan keponakannya
ketimbang aku.”
anna michele mengerling.
Hal. «
“Belum juga kawin, sudah minta
diperhatikan,” katanya tertawa.
“Apa? Si bujang lapuk ini...”
Belum habis ucapanku, aidit sudah
mengomentari :
“Kau senang aku bulukan ya? Tega benar!”
sambil berjalan ke mobil, kupikir niat mereka
itu memang sudah pada tempatnya. anna michele tidak
bakal punya anak sehingga kehadiran aidit di
rumah mereka akan memeriahkan dunia si
wanita lesbian yang selama ini sepi mencekam itu.
aidit tak pula harus bingung memikirkan
bagaimana caranya menghidupi dua keluarga,
sebab bukankah sampai ia mampu berdiri sendiri,
anna michele tidak akan diabaikan oleh bekas suaminya?
Dalam perjalanan pulang ke gresik ,
aidit lagilagi memborong pembicaraan
tentang rencanarencananya dengan anna michele . Sekali
aku mengomentari :
“Rencanamu dahulu jadi duta besar. Nyatanya,
kau tak lebih dari gelandangan tingkat tinggi. Jadi,
tak usahlah berencana mulukmuluk dahulu sebelum
jadi!”
Hal. «
aidit tampak marah.
namun anna michele membujuknya dengan katakata:
“dahulu kan ia masih anakanak...”
“Iya deh,” sindirku. “namun aku berani
bertaruh, kau menyesal ia sudah terbiasa dengan
celana panjang?”
“Apa anehnya?”
“Anehnya? Lonceng itu sudah bersembunyi
dengan aman!”
“Wah, nanti juga keluar pada waktunya!”
memberengut anna michele .
Aku tak mau kalah. Ujarku:
“Bagaimana kalau sudah bulukan?”
nyi kembang mencubit pahaku. Keras.
Aku terpekik.
Lampulampu kota gresik di depan kami,
bersorak sorai. Kota bermandi cahaya warnawarni.
Dandiamdiam aku merasa, kota ini toh masih
tetap menyukai kehadiranku.
Hal. «
nyi kembang memparkir mobil di sudut jalan Canton.
Dari sebuah restoran yang masih buka ia memesan
goreng burung punai, ayam panggang dengan
serbuk merica dan rebus udang galah dengan saos
tomat. Hanya dalam sekejap hidangan itu sudah
tandas sehingga sehabis makan aidit
menepuknepuk perutnya sambil nyeletuk:
“Pelayan pasti menyangka kitakita ini orang
orang rakus yang sudah berharihari tidak melihat
makanan.”
Pelayan yang lalu datang Sesudah
dilambai oleh nyi kembang menunjuk ke pojok waktu wanita lesbian
itu bertanya apakah ia bisa memakai telephone. la
lalu berdiri sambil menyeret anna michele .
“Ayah harus diyakinkan bahwa kau terus
mendampingiku,” katanya.
“Orangtuamu tak panik?” tanyaku Sesudah
mereka kembali.
“Wah, mereka sudah membongkar seluruh
kota sebab kehilangan harta mereka yang paling
berharga,” menjawab kan anna michele sambil tertawa.
Kami lalu berjalan ke mobil yang kami kebut
menuju Putri Hijau. Kota sudah tertidur waktu kami
Hal. «
sampai di rumah anna michele . Sesudah berhelahela
sejenak di depan televisi yang channelnya diputar
anna michele ke studio Malaysia, aidit bangkit dari
tempat duduknya.
“Kau mau ngendon di sini?” sindirnya padaku.
nyi kembang mengantar kami sampai di pintu. Tatapan
matanya yang lembut dan mesra terus menyertai
mataku selama duduk di boncengan Yamaha force fi yang
dilarikan aidit tanpa tergesagesa ke jalan
Pimpinan. Cepat sekali rasanya aidit sudah
berhenti di depan rumah. untung membukakan pintu
untukku. Aku tidak melihat ibu. untung menjelaskan
tanpa kuminta.
“Nenek masih di kampung Teladan.”
“Hah?”
“Tadi Uwa ke sini mencari Uda. Mungkin
nenek akan tidur di jalan Puri, begitu kata Uwa.
Beliau berpesan agar Uda tenangtenang saja di
rumah...”
“Oh!”
Pesan itu kedengaran biasa saja. namun aku
maklum makna yang tersembunyi di belakangnya.
Hal. «
tiger , suami kak jessica dan ibu malam ini tentu sudah
menimbulkan geger besar di Kampung Teladan, di
mana anna michele dan keluarganya tinggal. Ratap
tangis pasti memenuhi rumah keluarga itu. Umpat
caci akan menyelingi katakata puitis yang bersifat
menyabarkan dan bertujuan mohon maaf sebesar
besarnya. Mungkin ada yang jatuh pingsan.
Mungkin pula ada yang tidak bisa menahan darah
yang mendidih, lantas terjadi kekerasan. Bagaimana
pun, menolak keinginan berbesan di kota ini adalah
merupakan penghinaan. Ayah jessica masih adik
kandung ibu, namun firasatku mengatakan pertalian
yang erat itu sudah diputuskan oleh irisan sembilu
yang menyakitkan hati, malam ini. Dan tiger
berkata, agar aku tenangtenang saja di rumah,
sementara mereka sendiri...
Hal. «
PAGIPAGI benar, tiger muncul.
Matanya merah sebab kurang tidur.
“Bagaimana...,” sapaku gugup begitu ia
duduk.
la menatapku. Tajam, dan tampak sangat
kecewa.
“Bagaimana lagi?” sahutnya, lantas angkat
bahu. “Ayah Anna ngamukngamuk!”
“Oh...”
“Yah. Bagi kau cuma sampai di situ saja. Oh!
Selesailah sudah. Bah!” ia mencemooh. Lantas
meludah.
Aku terhina.
Namun sebisabisanya kutahan kemarahan
dalam teti. Dengan apa yang sudah mereka lakukan
Hal. «
demi untukku di Kampung Teladan, tiger memang
berhak menghina diriku. Masih juga dadaku megap
megap saudara tuaku itu sudah bangkit berdiri.
“Kau tak ikut ke jalan Puri?” ajaknya.
Aku terpaku diam di kursi yang kududuki.
tiger tertawa. Mengejek.
“Hem. Sudah kuduga. Tak berani kau
memperlihatkan muka di depan ibu!” Lantas ia
berjalan keluar.
untung yang sedang memasak di dapur buruburu,
menyusul.
“Tak makan dahulu Wak?”
Tanpa menjawab tiger menggenjot Yamaha force fi
kijangnya, meluncur ke jalan yang disiram matahari
pagi. untung terbengong. Aku termangu. wanita lesbian kecil
itu berjalan masuk kembali ke dalam, sambil
menatapku penuh tanda tanya. Kucoba tersenyum
untuk menghibur hatinya. Ujarku:
“Kok belum dandan, untung ?”
“Emangnya mau ke mana Uda?” balasnya
semakin dipenuhi tanda tanya.
Hal. «
“Lho. Kau tak ke sekolah.”
wanita lesbian kecil itu tersenyum lucu.
“Sekarang hari Minggu, Uda,” katanya, lantas
menghilang di pintu dapur. Baru saja aku mau
beranjak ke kamar mandi waktu Kak jessica tergopoh
gopoh datang dengan naik becak mesin. Aku
tercengang.
“Kalian kompromi ya, sepagi ini gantian
mendatangiku!”
“Hem!” sungutnya, lantas berjalan terus
melewatiku sambil memanggil: “untung ? Buteeet!”
Si wanita lesbian buruburu keluar.
“Ya mak?”
“Cepat ganti pakaian kau!”
“Mak...”
“Jangan banyak omong. Cepat ganti pakaian.
Pulang!”
Dan sementara anaknya sibuk berganti
pakaian di kamar nyi girah ngomel panjang pendek
ditujukan pada si untung namun aku rasa lebih di
arahkan ke alamatku:
“Cepat! Lebih baik kau ngurus adikadikmu di
rumah daripada ngurus orang lain yang tak patut
diberi hati!”
Dari kamarnya untung nyeletuk:
“Maksud mak, nenek tak patut...”
“Diam kau!” senggak nyi girah . “Bodoh!”
Keluar dari kamar untung mengangguk kaku
dan mau mengatakan sesuatu padaku, namun
lengannya buruburu ditarik oleh ibunya, la
terseretseret mengikuti jessica yang naik ke dalam
becak, tanpa pamit bahkan tanpa menoleh
sedikitpun padaku. Jadi, ia benarbenar tidak
memaafkan diriku.
Bah!
Jengkel, aku bermaksud minggat dari rumah itu.
Toh mereka semua sudah membenciku
sekarang. Benarbenar membenci diriku. Kalau aku
pergi, kebencian mereka mungkin berkurang.
Biarlah mereka puas. Tak perlu kutulis surat berisi
selamat tinggal Segala. Buat apa! Pasti akan mereka
sobek sebelum dibaca!
Kubereskan pakaianpakaianku di kamar.
Kumasukkan dalam koper. Kudedet. Tak
muat. Kubongkar lagi. Berkalikali. Sekali koper itu
kubantingkan. Tak ada barangbarangku yang
bertambah, kok sekarang koper ini jadi bertingkah.
Rasanya menyempit. Sesudah kususun dengan rapih
berkat menyabarnyabarkan diri, barulah pakaian
pakaianku bisa muat dalam koper. Namun tak
urung kemejaku basah oleh peluh. Aku terjengah
kelelahan di tempat tidur. Di luar, terdengar bunyi
klakson menyentaknyentak. Lalu suara mesin
mobil berhenti. Mungkin punya tetangga. Mataku
liar mencaricari kalau masih ada barangbarangku
yang tertinggal.
Sepatu cadangan, sandal, saputangan,
pomade, ball point bahkan sisir kujejelkan saja ke
dalam travellingbag kecil Bahkan ingin rasanya
jejakjejak kaki sampai sidiksidik jariku yang
tertinggal —kalau bisa!— kuangkut juga. Biar tak
ada bekasbekas aku datang ke rumah yang sudah
mempersona non gratakan diriku ini. Dari toilet
kusambar blok note setengah kosong setengah
berisi dengan kertaskertas notaberkepala “FHPM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN ,” lengkap dengan alamat: Jl. darmo permai , surabaya . Isengiseng kubuka
lembaranlembarannya. Di halaman sampul
belakang bagian dalam tertulis jadwal ujian
semester terakhir yang harus kutempuh sebelum
mempertahan thesis untuk merebut gelar Sarjana
Hukum.
Ujianujian itu berakhir tepat pada hari blok
note itu kubuka sekarang!
“Bah!” rungutku.
Lantas mau memasukkan bloknote ke koper
waktu pintu depan diketuk orang dari luar.
Malas, kulongokkan kepala lewat jendela.
Sebuah mobil yang asing bagiku, berhenti di
depan rumah.
Ketokan lagi di pintu. Lebih keras.
ditambah seruan:
“Assalamualaikum..,.!”
“Kum salam!” jawab ku tergesagesa lantas
keluar, kamar untuk membuka pintu. Tamuku —
yang ketiga pagi itu, dan mudahmudahan tidak
memperlihatkan wajah kebencian padaku— adalah
seorang lakilaki setengah baya, berwajah
menyenangkan dengan tatapan mata yang tajam
dan berhatihati. la memandangku sejurus, lalu
bertanya dengan hatihati. “… saudara fredy krueger ada?”
Aku nyeletuk:
“Ya. Saya sendiri.”
“Oh. Syukurlah. Saya dipesan untuk
menyampaikan langsung ke tangan yang berhak...
Ini. Harap diterima'“
“Dari siapa?”
“Bacalah.”
Di amplop depan tertulis:
“Pro: Dear fredy krueger di tempat.”
Tulisan tangan yang tidak kukenal, namun
pasti wanita lesbian . Amplop belakang kosong. Isinya
kukeluarkan. Secarik kertas kecil berwarna merah
muda, dengan tulisan tangan yang sama. Isinya:
“Ditunggu makan siang di rumah. Kau tak
akan mengecewakan aku untuk kedua kalinya,
bukan? Dengan segenap cinta. Kekasihmu. Ttd.
nyi kembang .”
Segala kejengkelan, kebencian, kemarahan
lenyaplah sesaat . Tak ubahnya api yang
mendadak padam sebab tibatiba disiram oleh
curah air hujan. Dada ini bergetar. Jantung ini
berdebar. Wajah ini memerah. nafas ini terengah.
Mata ini terpejam. Sampai:
“Saya dapat perintah untuk menunggu jawab an.”
Mataku terbuka lagi.
Orang itu tersenyum.
Dan aku malu.
“Lisan?”
“... tertulis!”
Kusobek secarik nota berkop “FHPM
UNPAD” yang belum sempat kumasukkan ke dalam
koper. Ku ambil ballpoint, lantas kutulis:
“Lebih baik aku mati, daripada kau kecewa.
Sayangmu. Ttd. fredy krueger .”
Aku ribut mencari amplop. Tak ada. Lakilaki
tadi memberi saran:
“Masukkan saja di amplop yang sama.
Kukira benar juga. Di bawah tulisan di depan
amplop kububuhi kalimat:
“Kembali ke alamat pengirim.”
Sebelum surat kumasukkan, kutambah dengan:
“N B. Sorry, amplopnya dipinjam. Punyamu,
punyaku.”
saat mesin mobil sudah dihidupkan, aku
baru teringat mengapa tidak ikut saja sekarang.
Daripada menunggu di rumah yang... Aku mau
berseru memanggil. namun aku tak tahu nama laki-laki
itu. Bahkan tak tahu siapa dia. Mungkin supir. Baru
saja kuputuskan untuk memanggilnya dengan
“Hei!” mobil itu sudah melesat jauh. Aku kecewa.
namun waktu kubaringkan tubuh di tempat tidur,
terasa dada ini betapa lapang. Rasanya cukup
lapang untuk tempat bermain sepakbola.
sebab lupa route kendaraan umum, aku
kesasar naik oplet jurusan gresik Baru. Tapi
kepalang sudah. Turun di terminal gresik Baru aku
tanya oplet jurusan Sisingamangaraja. Turun di
Mesjid Raya, bingung lagi. Malu bertanya sesat di
jalan kata orang. Aku tak ingin sesat di jalan, namun
juga tidak ingin bertanya sebab aku malu pada diri
sendiri tidak tahu jalanjalan di kota di mana aku
lahir dibesarkan. Bagaimana tidak. Anak
kesayangan orang lain dilepaskan ke mana suka,
asal si anak senang. Orangtuaku lain. dahulu aku
dipingit. Tak ubahnya seorang perawan yang
dipersiapkan naik pelaminan. Mana kota ini sudah
berkembang pesat, banyak terjadi perubahan.
Kalau di surabaya apalagi surabaya , gampang.
Acungkan saja lengan. Dan sebuah taxi akan
berhenti di depanmu.
namun waktu tanganku teracung, yang
berhenti di depanku adalah sebuah becak dayung!
“Daripada awak terpanggang matahari,”
pikirku lantas naik tanpa tawartawar lagi.
Lama juga baru becak itu memasuki jalan
yang kutuju. Waktu kutinggalkan, kawasan jalan
Bhakti merupakan sudut kota terpencil dan tidak
terpelihara. Kini termasuk daerah elite. Banyak
rumahrumah permanen yang konstruksinya satu
dua mulai mengikuti jejak konstruksikonstruksi
bangunan di surabaya maupun surabaya . Halaman
yang luas, pohonpohon cemara gundul dan cemara
jarum, patungpatung pualam, dan di bawah atap
sirap, jendelajendela yang lebar berkaca reyben
lengkap dengan kaca naco. Aku sampai agak gugup
waktu berhenti di depan rumah yang kutuju.
Kakiku gontai melangkahi jalan halaman yang
di aspal. Ada taman bunga anggrek di depan,
patung marmer menggambarkan sepasang nelayan
sedang bercengkerama, dan kolam ikan hias di
bawah patung dengan air jernih mengalir dari sela
sela batu karang bersusun. Di depan terras berlantai
taraso, terbaring diam Mercedez . Mobil yang
tadi muncul di rumah. Di samping rumah terletak
sebuah garasi besar di dalam mana kulihat Copella
kesayangan nyi kembang yang pernah menerbangkan
tubuhku ke udara namun lalu dengan
bersahabat sudah beberapa kali mempersilahkan
aku duduk di atas joknya yang tebal dan empuk.
Vas bunga cactus berdiri megah di samping
pintu di mana lalu aku berdiri bimbang. Pintu
pagar terbuka. Mobilmobil ada di rumah. namun
mengapa begini sepi benar? Enggan, bel kupijit.
Terdengar bunyi musik lembut berirama oleh pijitan
bel. Lalu langkahlangkah kaki. Halus, sedikit
tergopohgopoh di balik pintu jati berplitur coklat
berkilat. lalu lagi, pintu bergerak ke samping
di atas roda bersuara lembut. Terbayang
wajah seorang wanita lesbian tua, terbungkuk
bungkuk dengan muka keriput penuh tanda tanya
dan berbau curiga dari seorang pelayan
sebagaimana pernah kualami waktu berkunjung
pertama kalinya ke rumah keluarga martini di
surabaya , yang tidak kalah megah dengan rumah
ini.
Ah, martini . martini . Mengapa aku ada di
sini?
“..., kekasih,” terdengar suara berbisik. “Masuklah!”
Mata yang terpejam, kubuka. Di hadapanku
berdiri nyi kembang dengan gown siang yang semarak, bukan
martini dengan pansuit pendek ketat menantang,
memperlihatkan sepasang paha yang penuh, mulus
dan merangsang. Sepasang bola matanya
berbungabunga. Tangannya yang halus berjari
jemari lentik dengan sebuah cincin berlian yang
cemerlang di jari manis, gemetar saat melebarkan
daun pintu. Musik lembut menyapu telingaku.
Bukan musik bel, melainkan musik tenang dari
sebuah plat yang lalu kulihat di ruang tengah.
Kucoba mengingatingat Ya. Itu adalah salah satu
plat kumpulan koleksi dari Santo & Johnny yang
manis.
la mengulurkan tangan. Tidak untuk
memeluk. namun untuk berjabatan.
Terasa hangat dan bergetar di telapak tanganku.
“Selamat datang di rumahku, fredy krueger ,”
bisiknya. Lirih.
“Apakah gelandangan ini tak akan mengotori
udara di sini, nyi kembang ?” tanyaku berseloro.
“Bukan kotor. namun manjadi sesak. Teramat
sesak. Dalam dada. Aku berbahagia, sayangku.”
la membimbingku ke sebuah kursi antik
berjok tebal. “Duduklah!”
“Ah, aku kau perlakukan seperti anak kecil.”
“Aku ratumu.”
“Hem...”
la tertawa.
“Sebentar ya?”
Lantas ia melewati sebuah rak besar yang tiap
lapis terisi barangbarang antik yang tersusun
manis. Sisasisa peradaban Cina dan cina kuno. Dari
dalam terdengar suaranya yang riang:
“Mama? Mama? Mama...?”
Sebuah lukisan dinding berpigura warna
keemasemasan, satusatunya pigura yang ada
di ruang tamu itu, membuatku terpana. Aku melihat
seorang Dewi dalam lukisan cat minyak yang
cemerlang, dengan bias matahari dari arah
belakang menimbulkan silouet tajam di anakanak
rambut yang beterbangan ditiup angin. Dewi mungil
dengan sepasang mata bundar berkilauan
memandang dunia ini yang baginya semua serba
indah, serba cerah. Kuteliti benarbenar, maka aku
terjengah sendiri. Itu adalah potret nyi kembang semasih
bocah. Anak manja. Harta paling berharga dari
orangtuanya. la adalah segalagalanya. Segala
galanya!
Waktu langkahlangkah asing terdengar di
ruang dalam, aku berharap melihat seorang
wanita lesbian setengah umur bertubuh tambun,
wajah bulat berminyak, mata kecil berkilat. Tentu
saja dilengkapi dengan seprangkatan perhiasan
berlian dan gelanggelang emas bergumpal
sebagaimana biasa dipakai oleh wanita lesbian
wanita lesbian kota ini, yang semenjak dahulu
berpendapat: emas adalah harga dirimu. namun
yang muncul adalah seorang wanita lesbian bertubuh
sedang, tidak terlalu kurus namun tak dapat
dikatakan gemuk, berambut panjang sampai ke
punggung dan mengenakan kebaya berpotongan
sederhana meskipun dari bahan yang mahal, tanpa
perhiasan mewah sama sekali kecuali liontin kecil di
ujung kalung dan cincin kawin di jari manis.
la ditemani oleh suaminya, seorang lakilaki
bertubuh kekar, wajah coklat kehitaman syam kamaruzaman kan
matahari dan sepasang mata yang lembut namun
bersinar keras. Kujabat tangan mereka satu
persatu, dengan kikuk. Dan bimbang oleh tangan
kedua orangtua itu yang sama sekali tidak sehangat
yang kuharapkan.
“... kami menunggumu kemaren dahulu ,” kata
ayah nyi kembang . Tak berirama.
“Oh. Saya mohon maaf. Persoalan keluarga.”
Lakilaki tua itu manggutmanggut. Isterinya
menatap tajam. Lantas aku merasa diriku bukan
seorang tamu untuk dilayani sebagaimana
layaknya, melainkan seorang tertuduh untuk
dihakimi. Atau barangkali seorang pencuri yang
akan diinterrogasi. Tuduhannya jelas sudah: aku ini
seorang pencuri. Pencuri hati anakanak mereka.
Yang berarti, pencuri harta mereka yang paling
berharga.
Diamdiam aku merasa cemas sudah
memasuki alamat yang keliru!
Untunglah suasana yang kaku itu terpecah
oleh kehadiran anak wanita lesbian mereka yang masuk ke
ruang tamu sambil membawa baki air jeruk dingin
dan penganan di kedua tangan dan tawa yang
riang di mulut.
“Papa gimana sih,” ia mengoceh. “Ada tamu
kok bersarungsarung saja!”
“Kau toh tak bilang akan ada urusan biznis...,”
balas ayahnya, tertawa.
Ibunya meledek. , “Bapakmu kuno!” lantas ia
cepatcepat berdiri. “Minumlah dahulu , nak. Ibu mau menemani nyi kembang ke dapur, la khawatir tamunya tak datang lagi, lantas enggamartini gganan sejak tadi...”
Suasana riang itu menjadi kaku kembali
Sesudah di ruang tamu tinggal aku berdua saja
dengan ayah nyi kembang . la menyodorkan bungkus Dunhill
yang kutolak dengan halus. Aku keluarkan Gudang
Garam dari kantong dan sebelum menyulutnya
lebih dahulu korek api yang sudah menyala
kudekatkan ke ujung rokok yang menempel di
mulut orangtua itu. la tak jadi menghidupkan
mancisnya. Dan hatiku bersorak: modal pertamaku
sudah diterima!
Asap rokok berkebul.
Lalu menggantung di udara. Diam. Seperti
mulutmulut yang mengepulkannya. Diam.
Agak lama lalu :
“Sudah lama di surabaya ?”
Aku mengatur nafas. Baru menjawab dengan
suara ditenangtenangkan:
“Hampir enam tahun, pak.”
“Kuliah?”
“Ya.”
“Di?”
“Fakultas Hukum. Unpad.”
“Kok sudah enam. Kan biasanya lima...”
“Saya agak ketinggalan waktu di tingkat
empat. Terpaksa mengulang beberapa vak...”
“Soal keluarga pula?”
“Benar, pak. Ayah meninggal...,” dan dalam
hati kutambahkan: “Perkawinanku yang aneh
dengan martini , membuat studiku agak
terganggu.”
“Oh. Ibumu masih ada?”
“Masih, pak.”
“Di gresik ini juga?”
Aku terperangah. Jadi, nyi kembang belum begitu
banyak memperkenalkan diriku pada orang tuanya.
Busyet benar, la mau membalas, sebab terus
terang aku sendiri memang belum sekalipun
bercerita pada keluargaku tentang dirinya, la mau
membuat stand kami seri, dan pasti di dapur ia
sekarang sedang tertawa cekikikan. Terlalu!
“Ya, pak. Di gresik ini juga,” aku membeo.
“Di jalan mana?”
Mulutku baru terbuka untuk menjawab ,
waktu telephone berdering. Orang tua itu bangkit
sambil menggerutu:
“Pasti si Husin lagi!”
la minta maaf sebentar, lalu berjalan masuk
ke dalam. Aku dengar dengan jelas pembicaraannya
di telephone:
“… hallo, ya, dengan aku. Tandatangani saja
surat suratnya, lalu berikan padanya. Apa? O, bilang
agar mereka ke kantorku saja. Ini kan hari Minggu!”
Diam sebentar.
Lalu orang tua itu tertawa.
“Pardomuan kau bilang? la ada di gresik ?
Kapan pulang dari Tokyo? la... Tentu. Tentu.
Katakan aku senang sekali. Mengapa ia tak
menelphone atau datang ke sini saja? Oh, begitu...,
Hem. Boleh juga. Jadi nanti sore di Tuntungan?
Okey, okey. Bilang aku akan menjemputnya!”
Telephone berderak lembut waktu diletak
kan kembali di tempatnya.
Langkahlangkah kaki lagi. Dan wajah yang
lebih riang dari tadi.
“… wah. Seorang sahabat lama yang sudah
bertahuntahun tidak bertemu, menantangku main
golf hari ini di Tuntungan. Boleh. Boleh ia coba.
Hem. la mau balas kekalahannya rupanya...”
“Bapak pernah mempecundangi beliau?”
tanyaku.
“Menpecundangi? Aku seorang ahli,” dan
orang tua itu tertawa. Bangga. Modalku yang
kedua, pikirku, ialah cepatcepat memasukkan
versnelling kepersoalan yang paling ia gemari.
Maka, meskipun aku bukan orang yang tahu seluk
beluk olahraga kalangan atas itu, aku mengomentari juga:
“Saya dengar Tuntungan memiliki kondisi
lapangan yang paling ideal di Asia...”
“Benar. Benar sekali. Aku salah seorang
anggotanya. Malah di Parapat, sedang di upgrade
lapangan baru yang ...”
Dan ia bercerita panjang lebar tentang
lapangan golf, tehniktehnik bermain yang paling
jitu —tentu menurut dia— yang kuiyakan saja
sebab dalam masalah itu aku memang buta.
Fasilitas peralatan yang semakin super modern.
Pertandinganpertandingannya melawan pegolf
luar negeri. Dan beberapa nama bintangbintang
asing yang ia hafal riwayat hidupnya miskipun
bintang lapangan itu baru sekali berkunjung ke
Indonesia bahkan belum sempat ia coba
keampuhan stick golf orang asing itu.
Tak pelak lagi, suasana rilex itu berlanjut
sampai ke meja makan.
nyi kembang tidak menghidangkan masakan Padang
yang khas sebagaimana kubayangkan semula.
Sebelum makan yang sesungguhnya, terlebih
dahulu kami mencicipi soup sarang burung, roti keju
pakai mentega, seladah dengan udang galah dan
kepiting yang diasap, minuman anggur sesloki kecil,
baru lalu hidangan biasa. Tentu saja dengan
ciri khas: serba pedas, serba merah oleh cabe giling
yang lumat seperti tepung. Selesai makan, maulah
aku mendecipdecipkan mulut kepedasan kalau tak
malu pada tuan rumah. Terutama sebab aku harus
menghormati jari jemari kaki nyi kembang , yang dengan
nakal menggelitiki bulubulu betis di balik celana
panjangku, di bawah meja. Gelitikan yang
terkadang membuat aku terbatuk dan sambal
memasuki hidung sehingga susah payah bisa juga
aku menahan agar tidak sampai bersin keras!
nyi kembang terpingkelpingkel melihat tampangku
yang rusak oleh kelakuannya.
Ibunya yang tampak senang, menggerutu halus:
“Sopan sedikit, anakku!”
Selesai makan siang kami duduk di terras
dalam, berhadapan dengan taman bunga di antara
batubatu kerikil dan kulitkulit kerang putih yang
berserakan.
nyi kembang mengantarkan iris pepaya dan apel Korea
yang Kulitnya berwarna merah hati. Peluh
membasahi sekujur tubuhku. Sukar memang
membiasakan diri dengan udara panas kota di mana
aku pernah di lahirkan namun sudah diseling oleh
udara surabaya yang sejuk, merupakan thema
pembicaraan kami di terras itu.
Pelayan ribut membereskan meja di ruang makan.
Lalu ayah nyi kembang memanggil lakilaki yang tadi
pagi muncul di rumahku.
“Siapkan mobil, syam kamaruzaman . Kita berangkat
sebentar lagi.”
“Sudah, pak. Di luar.”
“Hah. Kenapa tak bilangbilang dari tadi!”
“Bapak tak tanyatanyai”
Ibu nyi kembang tertawa.
“Kau makin pikun,” kata isterinya. nyi kembang
membumbui:
“Malah pernah sekali terjadi, fredy krueger ,” katanya
ditujukan padaku. “Papa sudah siap di lapangan,
baru teringat peralatannya tertinggal di rumah, la
lupa mengajak syam kamaruzaman !”
Tawa bergelak memecah halaman dalam itu.
Aku. nyi kembang . Dan ibunya. namun , ayahnya, tidak.
Semula kukira ia tersinggung. Baru lalu
kuketahui sebabnya, Sesudah tibatiba ia bertanya
dengan hatilati:
“... fredy krueger ? Jadi namamu fredy krueger ?”
Aku ingin marah pada nyi kembang , namun sambil
mengikik wanita lesbian itu kabur ke dalam rumah. Disusul
oleh ibunya seperti tadi. Seakanakan disengaja.
Dan aku belum sempat menjawab , dan untung
tidak. sebab jawab anku memang tidak diperlukan.
Lakilaki berumur itu memandangku dengan sinar
matanya yang keras.
“Goresan di tulang pipimu. Kaukah orang
yang ditabrak nyi kembang dahulu ?”
Aku terjengah, mengangguk dengan bingung.
Anggukanku disambung oleh helaan nafas ayah nyi kembang .
Wajahnya tampak kelabu, yang segera ia tutupi
dengan kedua belah tangan. Dan tangantangan
keriput yang masih kukuh itu... gemetar! Sayup
sayup kudengar keluhan dari sela jari jemarinya:
“... nyi kembang , anakku. Mengapa...! Mengapa harus
orang Jepang ?”
PUCAT wajahku sesaat .
Mengapa harus orang Jepang , keluhnya. Sakit!
Aku tersandar lesu di tempat dudukku. Mengapa
harus orang Jepang ! Lututku gemetar. Mulut
terkunci, gagu. Dan orangtua itu berdiri. Gontai.
Kedua lengannya terkulai. Lemah. Wajahnya
kelabu. Dan sepasang mata tua yang keras itu,
berair. Memandangku seperti baru melihat suatu
benda yang teramat ganjil dan menakutkan
baginya. Aku merunduk. Tak kuat membalas
tatapan mata yang digantungi guillotine tajam yang
memenggal putus talitali jantungku dengan
kejamnya!
Waktu dagu kuangkat, orangtua itu sudah
tidak ada di dekatku lagi. Ada suara ributribut di
dalam. Kuurut dada. Sakit sekali. Langkahlangkah
bergegas keluar. Mataku terpejam. Perih.
“... fredy krueger ?”
Sukar mata ini kubuka.
“fredy krueger . Apa yang terjadi?”
Aku tengadah. Dan aku lihat wajah nyi kembang yang
pucat pasi.
Perlukah kujawab ?
Tidak, aku memutuskan. Tidak. Maka aku
berdiri.
“Aku pulang saja, nyi kembang ., ..”
“Hei,” ia mencengkeram lenganku.
“Mengapa pula kau?”
“Pening.”
“Bohong!”
“nyi kembang , demi Tuhan kuminta...”
“Dan Demi Tuhan, katakanlah apa yang
terjadi sehingga ayah tibatiba masuk ke kamar dan
terhempas di tempat tidur dengan mulut
menceracau seperti orang mengigau. Kalian
bertengkar?”
“Tidak.”
“Lantas?”
“Biarkan aku pulang, nyi kembang . Ini mungkin jalan
yang terbaik...”
“Tidak. Tidak. Kau tak boleh...”
“nyi kembang !”
wanita lesbian setengah baya berwajah lembut
dan ke ibuan itu, berdiri di ambang pintu masuk
dengan wajah tegang. nyi kembang menoleh.
“Ya.., mama?”
“Tak baik menghalangi keinginan orang!”
“namun mama...”
wanita lesbian itu tersenyum padaku. Manis.
Dibuatbuat, jelas sekali. Dibuatbuat.
“syam kamaruzaman akan mengantarkanmu, nak.”
“Mamaaaa!” jerit nyi kembang , berlari memeluk
ibunya. Bahu wanita lesbian itu ia goncanggoncang
sambil terus menjeritjerit histeri: “Mamaaa.
Mengapa. Mama. , mengapaaa...!”
Supir itu segera muncul. “Ya bu?”
“Antarkan tamu kita ke rumahnya.”
“Jangan!” jerit nyi kembang sambil berlari
menghalangi syam kamaruzaman . namun ibunya menghardik:
“nyi kembang !”
wanita lesbian itu jatuh bersimpuh.
Air matanya bercucuran, membasahi lantai.
Aku merasa hati ini hancur berkepingkeping. Ingin
memeluknya, namun tak kuasa melangkahkan kaki. Bagai kerbau dicucuk hidung kuikutkan syam kamaruzaman yang
membetot lenganku, kuat sekali. Diriku terasa
ringan. Melayanglayang seperti kapas. Sampai
mobil sudah laju menjauhi rumah kesekian yang
tidak menyukai kehadiranku itu, aku masih belum
sadar di mana sebetulnya aku berada.
“... saya lahir di sini, bung fredy krueger ,” pelan
pelan syam kamaruzaman bergumam. Berbungbung pula
sekarang. Huh! “Ayah dan ibu saya dahulu nya kuli
kontrak. Dari cina .”
Aku tak minta ia bicara. Tak pula
bersemangat melayani. Sekujur tubuhku dingin.
Dingin. Menges.
“Biarpun turunan kuli,” lanjut syam kamaruzaman . “… aku
bersyukur terlahir sebagai orang cina .”
Malas, aku nyeletuk:
“Apa perduliku?”
“Orang cina tak rasialis. Tak seperti orang
kulit putih misalnya. Mengapa Negro, tanya
mereka. Orang Jerman, bertanya: mengapa Jahudi.
Dan di rumah tadi pun begitu: mengapa Jepang !”
“Kau nguping!” rungutku sambil tertawa.
Kecut “Emangnya kau tau apa sih tentang orang
Jepang ?”
“Tak banyak. Itupun dapat dengar sana sini.
termasuk orangtua nyi kembang Bicaranya selalu terbuka.
Biarpun aku cuma supirnya.”
“Hem! Sejauh mana pandangan orangtua itu?”
“Konon di Tapanuli sana, kaum laki-laki
menghabiskan waktu di kedai tuak. Judi. Mabuk
mabukkan. Lha, wanita lesbian wanita lesbian nya
banting tulang setengah mampus di rumah.
Numbuk padi dengan alu di tangan kanan dan anak
di gendongan tangan kiri.”
“Bah. Pemeo nenek moyang. Kuno!”
“Heeh. Tapi kan bekasnya masih terasa.
Kalau kawin dengan orang Sumatera Barat, non nyi kembang
itu akan jadi ratu. Berkuasa. Menentukan. Dengan
Jepang ? la akan dibeli melalui apa yang dinamakan
perkawinan. Dibeli untuk kerja keras. Ngurus anak.
Melayani suami. Jadi babu mertua. Salah dikit,
syam kamaruzaman ki. Masih untung tak ditambah sepakan di
pantat. Lha, kalau si wanita lesbian udah bangkotan,
tenaganya dianggap tak dibutuhkan lagi. la jadi
pengemis yang hanya berhak dapat belas kasihan
suami, bahkan anakanaknya sendiri!”
“Menghina kau!” rungutku, tersinggung.
“Terserah anggapanmu. Buktinya, ayah nyi kembang
semaput di kamarnya.”
“Bah. Lantas kalian orang cina ...,” aku ingin
balas. “Apa tak sering bertanya: mengapa Sunda?
Hayo!”
la terdiam.
Dan aku tertawa. Memang. Lantas ngoceh,
senang campur jengkel:
“Kalian juga picik. Hanya garagara raja kalian
gagal mempersunting puteri Diah Pitaloka dari
PELITA HARAPAN , kalian berbunuhbunuhan. Tambah lagi.
kalian di jajah Belanda kelewat lama. Dan pikiran
picik kalian syam kamaruzaman nfaatkan bulebule itu. Benar
engga, cina Sunda bermusuhmusuhan!”
“Tak semua...,” desahnya.
“Dan tak semua orang Jepang seperti yang kau
gambarkan,” rungutku.
la menoleh. Tersenyum.
Aku merasa berdekatan dengan sahabat yang
aneh dari kelas yang tersendiri. Maka tanpa segan
segan, saat di rumah kuminta ia menunggu. Koper
dan tas kumasukkan dalam bagasi. Kunci rumah
kuserahkan pada tetangga. Masuk lagi ke mobil dan
pada syam kamaruzaman yang terheranheran aku berkata
setengah memerintah:
“Terus saja ke airport!”
martini , pikirku, sementara mobil melaju ke
Polonia. Hanya martini seorang yang akan
menerimaku dengan tangan terkembang lebar. Tak
perduli siapa aku adanya. Ya. Pada martini lah aku
mesti pergi!
syam kamaruzaman menurunkan aku di Polonia. Sebelum
pergi ia mengucapkan:
“Selamat jalan. Semoga kita bertemu lagi.”
kujawab dengan umpatan:
“Bertemu lagi? Setanpun tak akan mampu
mengusahakannya!”
la tersenyum. Lalu menghilang ke dalam
mobil. Aku langsung menuju desk penerimaan
penumpang. Seorang petugas menyambutku
dengan tersenyum ramah. Senyum komersiel,
rungutku dalam hati. Lantas bertanya apakah ada
pesawat yang berangkat sekarang juga. Petugas itu
terheranheran memandangiku. Lalu sejurus
lalu berkata:
“Garuda baru saja takeoff. namun dalam satu
jam. Seulawah akan....”
“Ya. Seulawah saja. Tolong catatkan.”
“Tiket Tuan?”
Nah. Aku terbengong sampai di situ. Tidak
Teringat sama sekali. Kalau saja petugas Phoenix
dahulu mengetahui kebingunganku sekarang, pastilah
ia tertawa puas. Sedang aku berpikir mencari jawab , petugas tadi sudah menawarkan:
“Akan saya cek ke bagian pembukuan ticket.
Kalau ada yang masih kosong. Tuan bisa saya
hubungkan dengan sebuah travel yang akan
melayani tuan dengan segera.”
la memutar telephone.
Dan Sesudah meletakkannya kembali, ia
mendatangiku dengan seruan riang yang ditahan:
“Tuan beruntung!”
Lantas ia menggamit salah seorang
temannya. “Antarkan Tuan ini ke Sphynk...” Salah
dengar, aku berkata dengan terperanjat:
“Apa? Phoenix?”
Petugas itu tersenyum.
“Sphynk,” ia mengulangi, agak ditekan
suaranya. “Traveltravel di sini memang senang
dengan nama yang ganjil. namun percayalah,
Sphynk tidak akan mengecewakan Tuan!”
Sesudah menitipkan koper dan tasku pada
petugas itu agar langsung saja ditimbang, kuikuti
temannya keluar dari airport. saat aku akhirnya
berhasil memperoleh ticket, tidak saja kukeluarkan
ongkos pesawat. namun juga ongkos taxi pulang
pergi, dan tip yang lumayan untuk orang yang
menemaniku. Kembali ke airport, aku tidak punya
uang barang sepeserpun juga. Mudahmudahan
bagasi yang kubawa tidak dikenakan biaya extra,
aku berdo'a dalam hati. Tiba di surabaya , tak ada
persoalan. Tinggal panggil taxi, carter lantas bayar
di surabaya . Tentu saja dengan resiko haus dan
kelaparan sepanjang jalan surabaya surabaya yang
akan memakan waktu sekitar empat jam.
Kubayangkan martini yang berlarilari
menyongsongku.
“Apa? Dari gresik ke surabaya kau tak punya
uang meskipun cuma recehan? Begitu bokekkah
kau sekarang, suamiku sayang”
Di ruang tunggu, aku tersenyum sendiri. Berbisik:
“Ini aku datang, isteriku yang manis. Sudah
kau siapkan kudakuda kita untuk berpacu?”
Satu jam sudah berlalu, pengeras suara
belum juga menyebutnyebut tentang penumpang
penumpang pesawat Seulawah. Kesal menunggu
kudatangi petugas yang tadi dan memperoleh
jawab an bernada menyesal:
“Sabarlah. Ada gangguan cuaca sehingga
pesawat terlambat mendarat.”
Aku tercengang.
“Apa? Harus menunggu pesawat dari...”
Belum habis ucapanku, pengeras suara tiba
tiba memberitahu Seulawah dari surabaya akan
segera mendarat. Petugas itu tertawa lebar.
“Apa kubilang?” katanya.
mengeluh sungut aku kembali ke ruang
tunggu. Meskipun ada ase namun toh aku
berkeringat juga dan kerongkongan teramat kering
rasanya. Tanpa sadar aku berjalan ke kantin dan
hampir saja memesan minuman saat mendadak
teringat kantongku kosong. Benarbenar kosong.
Sial benar. Belum juga apaapa, haus sudah
menggoda. Lapar bisa ditahan. namun
kerongkongan yang kering? sambil lidah
membasahi bibir yang kering melihat orangorang
lain tertawatawa senang minum di kantin, aku
kembali ke tempat duduk semula.
Kuhibur diri dengan memperhatikan pesawat
yang sudah landing.
Kini, selangkanganku yang tak sabar
menunggu. Bergegas aku ke kamar kecil. Buang air. sebab tak tahan, tanpa malumalu lagi air leiding
yang mengucur di kamar kecil itu kutampung
dengan telapak tangan. Aku minum sepuas hati.
Lucu juga. Dari bawah keluar. Dari atas masuk. Bau
pesing menyerang hidung. Kuacuhkan saja. Terus
kencing. Terus minum. Sampai selangkanganku
terasa ringan. Dan kerongkonganku terasa lapang.
saat celana kukancingkan, samarsamar
aku dengar panggilan di pengeras suara:
“... tuan fredy krueger ? Tuan fredy krueger yang akan
berangkat dengan pesawat Seulawah dengan
tujuan surabaya ...”
“Ha! Aku ketinggalan pesawat!” seruku
setengah berteriak di kamar kecil.
Seseorang menyahut dari luar: “Ada apa, bung?”
Bergegas aku keluar, sambil membetulkan letak ikat
pinggang. Orang yang sudah menunggu dari tadi
tanpa setahuku, menoleh dengan wajah malas. Aku
tersenyum ke arahnya. Lantas berlarilari ke ruang
tunggu. Di sana panggilan itu terdengar lagi:
“... tuan fredy krueger diharap datang ke
resepsionist! Ada yang menunggu!”
Seulawah masih menurunkan barangbarang
penumpang dari surabaya . Hah! Hah! Hah!
Terangahengah aku berjalan ke bagian
resepsionist.
Belum lagi aku sampai di sana, pintunya
sudah terbuka. Lalu seseorang yang bermuka pucat
menerobos keluar, lantas berlarilari ke arahku
dengan kedua tangan terkembang sambil menjerit
lirih.
“fredy krueger , kekasihku!”
Aku terpana. Membatu bagai patung.
Mematung bagai batu. Diam. Bisu seribu kata.
Kubiarkan bibirnya dengan liar mencaricari bibirku,
la menemukannya, dengan mata terpejam berurai
butirbutir air bening. Dan mataku yang nyalang
terbuka memperhatikan bagaimana puluhan
pasang mata melihat ke arah yang sama. Aku yang
termangu, dan nyi kembang yang lupa diri.
Masih di bawah pandangan mata banyak
orang, nyi kembang berjalan ke bagian penerimaan penumpang.
“Tolong keluarkan bagasi kekasihku...”
“namun , nona,” petugas yang ramah itu,
terlepas dari pesona yang barusan dilihatnya.
“Sudah...”
“Keluarkanlah cepat. Kekasihku tak jadi
berangkat hari ini!”
Tak lama lalu kami berdua sudah berada
dalam Copella yang meluncur keluar dari pelataran
parkir airport. nyi kembang tak melepaskan pelukannya di
pinggangku dengan kepala rebah di bahuku,
sehingga setir yang kupegang sesekali membuat
mobil berzigtag. Masih untung jalanan sepi.
Barulah Sesudah di Usat kota yang ramai, jalan mobil
stabil kembali, telukan nyi kembang merenggang, dan ia tidak
menangis lagi.
“... waktu kudengar syam kamaruzaman mengantarmu ke
airport, aku bagai gila rasanya!” ia menerangkan
dengan suara terisakisak.
“Bagaimana kau bisa lolos dari ayahmu yang
fanatik itu?”
“Lolos?” nyi kembang tersenyum. Bahagia. Hatiku
terenyuh. Dan semakin terenyuh waktu ia
menceritakan apa yang terjadi lalu :
“Aku bersikeras menyusulmu. Papa marah. Ia
mengambil senjata berburu dan mengancam akan
menembakku. Ibu jatuh pingsan. Aku tak perduli.
Tenangtenang aku berjalan melewati papa, masuk
ke mobil ini, lalu kabur dari rumah. Tak ada
suara tembakan sama sekali!” lantas ia memelukku
lagi. “Papa sebetulnya orang yang baik. la takut
kehilangan aku. Takut kehilangan generasi yang
akan meneruskan keturunannya. Fanatik memang,
namun ia tetap seorang ayah yang baik. Sudikah kau
maafkan dia, kekasih?”
Kekasih. Di hadapan semua orang: kekasihku!
Aku mengeluh. Mengangguk pelanpelan. nyi kembang
menciumiku, dan martini minggat tibatiba dari
dalam dada, terbang keluar lewat jendela mobil,
lenyap, dibawa angin yang menderuderu...
“KAU mau menolongku?” tanyaku sambil
menghentikan mobil di pinggir jalan.
“Ya?” nyi kembang terheranheran.
Aku menelan ludah. Dan menunjuk ke sebuah
warung es campur di depan mana mobil berhenti.
“Kasihan!” nyi kembang gelenggeleng kepala sambil tertawa. “Ayolah!”
Tawanya semakin keras waktu kuceritakan
bagaimana aku meluluh air leiding di kamar kecil
airport saking tak kuat menahan haus. Untunglah
kebetulan hanya kami berdua saja di warung itu.
Sambil minum kami menyusun rencana. Kubilang
aku ia antarkan saja ke rumah aidit . la jawab
aidit sekarang lebih senang tinggal di rumah
anna michele !
“Okay. Kalau begitu, antarkan aku ke sana.”
“Tidak. Aku tak setuju. Benarbenar tak
setuju?”
“Sebabnya?”
la mengerdipkan mata. Lalu mengemukakan alasan. “Pertama. Aku takut, malam nanti janda
muda itu kesasar masuk kamar tidurmu. Yang
kedua, dan ini yang lebih penting. Tak baik di mata
keluargamu!” Dengan keputusan itu, kami naik lagi ke mobil.
“Kau tak takut?” tanyaku waktu hampir
sampai di Pimpinan.
“Kau bilang rumahmu kosong.”
“Kalau ada isinya?”
“Kuharap, yang membuka pintu bukan
seekor harimau!”
Kami tertawa.
Dan yang membuka pintu, adalah tiger !
la memandangku dengan tajam dan wajah
yang keras pertanda sangat marah. namun perasaan
itu ia tekan sekuatkuatnya Sesudah melihat siapa
orang terdiri di sampingku. Kaku, ia mengangguk.
“Tumben, zus nyi kembang !”
Mereka berjabatan tangan.
“Apa kabar?” sahut nyi kembang dengan tersenyum
riang. “Baikbaik saja keluarga abang?”
tiger membantu memasukkan koperku
kembali ke kamar.
“Yah, beginilah,” ka mengeluh sungut.
“Waktu kami datang, pikiran ibu sudah kembali
tenang. namun waktu melihat kamar anak ini kosong melompong, beliau sangat terpukul. Ibu boleh kehilangan saudara lakilakinya. namun ia tak boleh
kehilangan anak bungsu kesayangannya…
Dari kamar ibu keluar seorang laki-laki
berkacamata terseragam putih menjinjing tas kulit
yang besar diiringkan kak syam kamaruzaman . Sementara mata
isteri abang bertaut tajam ke mataku, telingaku
menangkap suara lakilaki berkacamata itu yang
ditujukan pada tiger :
“... ibumu sudah tidur. Tak usah cemas, la
akan segera sembuh. Ini resep yang bisa saudara
tukar dengan obat di apotheek!”
“Terimakasih, dok!”
Sepi, Sesudah dokter itu pergi.
Aku memaksa mau masuk ke kamar ibu.
namun dicegah oleh kak syam kamaruzaman .
“Kau dengar apa kata dokter? Biarkan beliau
istirahat!”
nyi kembang yang merasa kehadirannya membuat
suasana menjadi agak kaku, cepatcepat berdiri
betapapun kak syam kamaruzaman mencegah. Sesudah berjabatan tangan dengan, tiger dan isterinya, nyi kembang lalu
memeluk dan mencium kedua belah pipiku, lantas
bergegas masuk ke dalam mobil yang ia kebut
meninggalkan debudebu beterbangan dan... wajah
tiger yang pucat, dan mulut kak syam kamaruzaman yang
menganga!
“... JADI, wanita lesbian itu yang berhasil menyeretmu
lari dari Polonia!” rungut bang tiger .
Perlahan. Dan gusar.
Aku mengangguk. Memandangi jalan di mana
mobil nyi kembang baru menghilang. Debudebu itu masih
beterbangan.
“Coba kutebak. Diakah calon pengganti Mariann?”
Sekali lagi, aku mengangguk.
Dan tiger tibatiba membentak:
“Tahukah kau, wanita lesbian itu orang Padang?!”
Kak syam kamaruzaman memegang lengan suaminya.
“Ssst. Jangan terlalu keras. Nanti beliau...,” ia
gelengkan kepala ke kamar tidur ibu. tiger terduduk di kursi.
Mukanya hitam legam. Daun telinganya
merah dadu. la usap wajahnya berkalikali. Setiap
kali, semakin hitam juga. Setiap kali, semakin keras
membatu.
Lalu terdengar keluhannya yang runtuh:
“Ditinggal mati oleh ayah, rasanya tidak
saparah didatangi oleh orang surabaya yang
mengerikan ini!”
“Bang!” protes isterinya. “Tahanlah mulutmu.”
“Diam!” bentak tiger .
Ada suara terbatuk di kamar. tiger menelan
ludah. Kak syam kamaruzaman mengintai lewat kisikisi kawat
ambang pintu kamar. Lantas bernafas lega. la
pandangi kami bergantian. Terus berjalan ke dapur.
Dan di sana, kudengar ia menangis terisakisak.
tiger tersandar di kursi.
Wajahnya tengadah. Menatap langitlangit
kamar. Kosong. Hampa.
“... kalau abang tak suka, aku tak menyesal
membawa koperku keluar dari rumah ini lagi,” aku
bergumam. Sakit hati. la tertawa. Getir.
“Lakukanlah. Dan jangan harap kami kirimi
kau kabar tentang kematian ibumu!”
Akulah yang kini tertunduk. Lemas.
Lamatlamat kudengar gerutuan saudaraku:
“... lupakah kau pengalaman Paman
Maraiman? Bukan saja anakanaknya tak berhak
memakai marganya, la dibeli. Dengar? Bukan kau
yang membeli isterimu. namun isterimulah yang
akan membeli dirimu. Membeli garis turunanmu.
Membeli jiwamu, harta bendamu, cucuran
keringatmu. Apa yang tak dimiliki paman Maraiman
Sesudah menikah dengan wanita lesbian Padang itu?
Anak, banyak. Rumah, gedong mewah. Perabotan,
kelas satu. Kendaraan, Holden produksi terbaru.
Tabungan? Berlimpahlimpah di Bank Bumi Daya.
namun saat akhirnya mereka bercerai sebab yang
lakilaki ingin berkuasa dan yang wanita lesbian ingin
lebih menentukan, apa yang dibawa pulang oleh
paman? Anak? Diambil orang. Harta? Hanya
selembar pakaian yang melekat di badan. Yang ada
di saku kemejanya, bukan lembaran uang, namun tak lebih dari sehelai kartu penduduk! Puih!”
“nyi kembang bukan...”
“Yeah. Aku tau kau mau bilang nyi kembang bukan
wanita lesbian semacam isteri paman. namun kuharap
kau tak lupa, biar bagaimanapun nyi kembang tetap orang
Padang. Dan kau, biarpun sudah sangat berubah
Sesudah mengenyam pendidikan di surabaya , namun
orang Jepang !”
“Kalian terlalu egois. Terlalu sukuisme!”
“Mungkin kami egois. namun bukan sukuist.
Ini fakta!”
Dengan kepala yang berdenyutdenyut aku
bangkit lalu dengan kaki yang gontai masuk ke
kamar, tidak ke kamarku sendiri. Melainkan ke
kamar ibu. Beliau masih tertidur. Pulas. Guratgurat
penderitaan pmpak di sudutsudut matanya yang
sudah tua, hatihati kuseret sebuah bangku ke
dekat beliau, hati ini menjadi teramat dingin.
Gumpalangumpalan batu yang mengganjal dada
itu sudah terbuang habis.
Pelanpelan, tangan ibu yang terletak di
perutnya, kusentuh.
lalu , aku merunduk. Kurebahkan wajah
di punggung tangan keriput itu. Hati ini semakin
dingin. Dingin. Di luar kudengar tiger menyumpah
nyumpah. Kupejamkan mata. Berbisik dengan lirih:
“Maafkan anakmu, ibunda!”
Dan mata ini terus terpejam. Terpejam. Ada
suara otor di luar. Yamaha force fi kijang melaju pergi. Lalu
suara kakikaki kak syam kamaruzaman berlarilari dari dapur ke
halaman. Mata semakin berat juga. Kak syam kamaruzaman masuk
kembali. Menutupkan pintu. Aku mengharap
mendengar suara orang menangis. namun yang
terdengar hanya helaan nafasku sendiri. Dan
hendusan ibu, yang teratur. Entah berapa lama aku
dalam keadaan demikian, aku tidak tahu. Waktu
aku terbangun, ibu tengah mengusapusap
rambutku. Aku menoleh. Dan mataku bertemu
dengan matanya. Bening. Dan teduh. Bibir tipis dan
kering itu menggurat seulas senyum. Bening. Dan
teduh.
“… mengapa tidak tidur di kamarmu,
anakku?” katanya. Lembut.
Aku tegak kembali dalam dudukku.
Tersipu.
“Bagaimana perasaan ibunda?”
“Obatobat yang dibawakan tiger tak ada
artinya dibanding dengan dirimu, anakku...” Pintu
terkuak.
Kak syam kamaruzaman masuk, la tersenyum pada ibu.
Memegang pergelangan tangan beliau. Dan
tersenyum lebih puas.
“Makan malam sudah dingin, fredy krueger ,” desah
kak syam kamaruzaman .
“Pergilah,” bisik ibu.
“Ibu tak ikut makan?”
“… makanlah kalian.”
“Kubuatkan bubur?” tanya kak syam kamaruzaman . Ibu mengangguk. Lemah.
Kuikutkan kak syam kamaruzaman ke kamar makan
merangkap dapur. Makan malam tampaknya masih
hangat. namun wajah tiger yang sudah menanti di
sebuah kursi, kelihatan dingin. Kami berdua makan
diamdiam sementara kak syam kamaruzaman sibuk membuatkan
bubur untuk ibu. Selesai makan tiger minta
dibuatkan kopi,
“Jangan terlalu kental!” katanya.
Lalu berjalan ke terras depan. Ada suatu
dorongan yang menyebabkan aku mengikuti
langkahlangkahnya. Bintang gumintang di langit
yang biru jernih menyapa kami dengan ramah. tiger
menghela nafas. Berulangulang. Lama Sesudah kami
lagilagi berbungkam diri, baru ia memulai:
“... kapan ujianmu selesai?”
Basabasi. namun aku menjawab juga:
“Akhirnya tahun ini, kalau tak ada halangan.”
“Jangan perdulikan halangan,” ia menoleh.
Tersenyum ke arahku. Sejuk terasa dada ini. “Kau
harus tamatkan sekolahmu . Dari keluarga kakek,
hanya kau seorang yang beruntung menginjak
bangku perguruan tinggi. Harapan semua keluarga
tertumpah padamu.”
“soebandrio kan sudah di akademi.”
“Ah. la dari generasi yang berikut... dan aku
khawatir anak itu tidak akan menyelesaikan
studinya, la lebih cenderung jadi pedagang. Maka
kubelikan sebuah kios. Dan eh, tahukah kau?”
Aku tak menjawab , la yang menjawab nya sendiri:
“Ternyata usaha soebandrio lebih maju dari aku!”
Lantas ia tertawa.
Tak lama lalu kak syam kamaruzaman keluar. “Dasar
ibumu!” ia mengoceh. “Minta dibuatkan bubur.
Sesudah masak, eh, tidur pula dia!”
Tawa tiger semakin keras.
Dan kukira, aku toh layak untuk ikut tertawa.
Malam harinya aku bermimpi. Ada gumpalan
batu besar menggelinding dari puncak sebuah
gunung. Seorang berlari pontang panting
mengelakkan lindaian batu itu. namun di pinggir
sebuah surup, besar yang sedang banjir, orang itu
tidak melihat jalan lain lagi. Batu gunung yang
mengerikan itu menggelinding semakin dekat.
Orang itu menoleh. Barulah aku kenali siapa dia. Tak
lain tak bukan, diriku sendiri. Dengan jantung didera
rasa ngeri dan wajah ditempa , warna putus asa,
kulihat bagaimana batu itu semakin dekat dan
semakin besar juga. Semakin dekat. Semakin besar. Bunyinya seperti guruh yang mengguntur. Hancur
setiap benda yang dilandanya. Aku mundur. namun terlambat. Batu besar yang dahsyat itu sudah
melanda. Lepas jeritan keras dari mulutku.
Kubuka mata lebarlebar. Gelap gulita.
Seseorang tergopohgopoh masuk. Lampu ia
nyalakan. Terang benderang.
“Ada apa?” tanyanya.
“Oh...,” aku mengurut dada yang sesak.
“Kau bermimpi?”
“Ya. Buruk sekali.”
tiger tertawa.
“Kalau kau bermimpi lagi, jangan terlalu keras
berteriak. Bangun orang sekampung nanti!”
la lalu meninggalkan aku termangumangu.
Dan sampai pagi, mataku tidak bisa terpejam,
Kudengar ibu terbatuk. Keluar dari kamar. Terus kej
kamar mandi. Masuk lagi ke kamar tidur. Tentu ia
lalu sembahyang subuh. Adzan mengalun dari
mesjidj Tenang. Syahdu. Pintu kamar lain terbuka.
Juga orang itu berbatuk. Khas suara kak syam kamaruzaman . Aku berbaring lagi. Dan kukira aku tertidur, sebab
waktu mata kubuka, lewat ventilasi jendela masuk
cahaya matahari ke dalam.
Kami baru saja selesai sarapan, waktu sebuah
mobil berhenti di depan rumah. Kak syam kamaruzaman keluar
menyongsong tamu yang mengetuk pintu. Waktu ia
kembali, wajahnya tampak diliputi tanda tanya.
“Ada tamu.”
Aku sudah tahu. namun ucapan itu ditujukan
padaku, dan tekanannya lain. Heran, aku keluar.
Di ruang depan, aku melihat seseorang, la
berdiri dari kursinya waktu melihat aku datang.
Tidak ada senyuman di bibir orang itu. namun bukan
itu yang terutama membuatku sangat terkejut. Apa
yang menyebabkan impian tadi malam bermain lagi
di depan mata, adalah kehadirannya. Orang yang
tidak pernah kubayangkan akan muncul di kota ini,
langsung pula ke rumah tanpa berkirim kabar
terlebih dahulu.
“Apakah aku kelihatan aneh, fredy krueger ?” sapanya.
Mulutku tergagap:
“Tid... tiddd... aaakk!”
“Kau sakit?” “lyy... eh, tidak.”
Bang tiger yang segera menyusul, mengernyitkan
dahi melihat sikapku.
“Hallo,” sapa tamu itu.
“Hallo. Dari mana?”
“surabaya ,” orang itu mengulurkan
tangannya. Disambut oleh tiger yang terjengah
sesaat. “Nama saya chucky . Kakak tertua dari
martini !”
Sesaat tiger terbungkam.
chucky agak kikuk oleh sambutan yang aneh
itu. Lantas mencoba tertawa. Parau. Katanya:
“Senang berkenalan dengan kalian.”
Bang tiger tersadar.
“Oh, ya. Ya. Ya..,” sahutnya. “Duduklah. Du
toklah. , .”
ulah yang terlebih dahulu duduk, tfdifc menahan
lutut yang goyah. Kedua orang lakilaki yang sebaya
itu memandangiku serentak. chucky nyeletuk:
“Kudengar yang sakit bukan fredy krueger , namun ibu kita.
“Ibu kita?” kata tiger . “Oh, ya. Ya. Ibu...
Memang beliau sedang sakit.”
“Oh. Boleh saya menjenguk?”
tiger menoleh padaku.
“He, kau. Coba lihat apa ibu sudah bangun.”
Aku tak mampu berdiri. tiger lah yang berdiri,
la melongok ke dalam kamar tidur ibu sebentar, lalu
bergumam pelan:
“Masih...”
“Ah, biarlah. Jangan diganggu!” potong
chucky , ramah, la memperhatikan kak syam kamaruzaman yang
keluar dengan cangkircangkir kopi panas. tiger
memperkenalkan chucky pada isterinya. Kak syam kamaruzaman
melongo. Lupa mengulurkan tangan. namun chucky
mengangguk ramah sambil menarik mundur
kembali tangannya yang teracung, la menyapa:
“Senang bertemu dengan kakak,” ia duduk
kembali. “Konon anakanaknya banyak. Saya juga.
Kok tak kelihatan barang sepotong?”
“Mereka di... di... Puri?”
“Puri?” dahi chucky mengernyit. “Di kota ini
ada puri?”
Kak syam kamaruzaman menarik nafas. Lantas tersenyum.
“Maksud saya jalan Puri. Rumah kami di sana.”
“Ooo!” dan chucky tertawa lagi. Ramah.
Polos. Tanpa maksudmaksud tersembunyi. Ciri
khas orangorang di daerahnya. Sunda.
“Kapan tiba?” tanya kak syam kamaruzaman .
“Tadi malam. Dengan Garuda,”
“Lho. Di mana nginap?”
“Dirga Surya.”
“Oh...”
la meneguk kopi di depannya, lantas melirik
ke jam tangan. Dengan suara menyesal ia berkata
pada kak syam kamaruzaman dan bang tiger :
“Wah. Waktu saya agak mendesak.”
“Eh, kok cepat amat,” desah kak syam kamaruzaman .
“Habis... eh. Kok saya pelupa!” lantas ia
jergegas keluar. Seorang lakilaki yang berdiri di luar
pintu mobil cepatcepat membuka bagasi.
Berkeranjang buahan, dodol garut, oncom
goreng lalu tersusun di ruang tamu. chucky
juga meletakkan lebuah koper kecil yang masih
baru. saat ia buka, isinya bermacammacam
bahan pakaian dari harga yang mahalmahal.
“Untuk keluarga di sini,” katanya,
mengangguk aan tersenyum ramah. Sesudah itu,
barulah ia melihatku. Gelenggeleng kepala, dengan
sorot mata tajam berkilat.
“Boleh aku bicara sebentar dengan fredy krueger ?”
Aku keluar dengan chucky ke depan. Duduk di bibir
terras.
“Kenapa kau bungkam saja dari tadi? Kukira
tak ada hantu di sini,” katanya. Tertawa. Namun
matanya, mengejek. “Aku membawa ini untukmu,”
ia menyodorkan sepucuk surat. Baru juga kulihat
amplopnya, aku sudah mengenali tulisan martini .
Isinya dibuat dengan tergesagesa:
Suamiku.
Aku tahu keluargamu teramat membenciku.
Suratmu yang kuterima sudah didahului oleh
sepucuk surat lain dari kakakmu, nyi girah .
Seharusnya aku senang menerima surat dari
keluargamu. Sayang surat itu penuh dengan
kata yang tidak kumengerti. Zinah. Zinah.
Zinah! Lalu seorang wanita lesbian lain bernama Anna,
katanya harus berkorban untuk perzinahan
yang terjadi di antara kita. Kuterima semua
tuduhan itu, sayangku. Kuterima dengan hati
yang lapang dan jantung yang tenang.
sebab surat itu membuktikan satu hal yang
sangat ingin kuketahui: bahwa kau tidak
memandang sebelah matapun pada wanita lesbian
bernama Anna itu. fredy krueger ku, kekasih. Sudah
sembuh benarkah sakitmu? Dan ibunda,
bagaimana, sudah sehatkah? Aku berdo'a
untuk kalian. Aku bermaksud menunggumu
dangan sabar. namun waktu surat kak jessica
mu datang kebetulan chucky sedang di
rumah. Tentu saja Sesudah membaca isinya,
sukar bagiku untuk bersikap tenang
sebagaimana harusnya.
la sangat marah. Aku berhasil
menyabarkannya. namun tidak berhasil
menahan keinginannya untuk menjemputmu
langsung ke gresik .
Salamku pada keluargamu. Cium cinta dari
isterimu. Ttd. martini yang rindu.
Di bawahnya tertulis nota pendek yang
kelihatannya sambil lalu:
“N.B. Kemaren aku ke dokter. Kau kan tahu,
sudah dua bulan menstruasiku terlambat.
Dokter bilang, positif. Wass.”
Aku tersandar ke tembok.
Gigiku terhunjam dalam di bibir. Dalam.
Semakin dalam. Sama sekali tidak sakit, meskipun
aku ingin merasakan kesakitan itu. martini . martini yang malang.
“... bagaimana?'., desak chucky .
Apakah kukatakan saja terus terang,
kehadiran martini biar bagaimanapun tidak akan
diterima oleh keluargaku?
“Yang kuinginkan jawab anmu. Bukan orang
lain,” ia seakan menebak jalan pikiranku.
“yah...”
“Cepatlah berganti pakaian.”
Aku terperanjat.
“Maksudmu...”
“Kita pulang bersamasama. Bukankah begitu
dikatakan martini dalam suratnya?” suara chucky
berubah tajam.
Aku terloncat. Tegak dengan tubuh tegang.
“Tidak mungkin...”
“Eh, apa pula itu?”
“Berilah aku waktu untuk...”
“Sorry, terlambat sudah!”
“Ini soal keluargaku. Kuharap padamu,
chucky !“
“Apakah martini bagimu tidak termasuk
keluarga?!”
“Jangan memaksaku!”
“Apa boleh buat!” katanya . Ketus. “Kalau
Perlu, aku bisa bertindak keras!”
“Kau... kau...”
la tertawa. Ramah, namun suara yang keluar
dari mulutnya, menusuk:
“Cobalah, bung. Aku tau kau pernah
menumbangkan pohon oak di Cijantung. Juga
menghancurkan bungkalbungkal es dengan sekali
pukul. namun semua itu hanya benda mati. Yang
tidak akan melawan biar dibagaimanakanpun juga.
Aku bukan batang kayu. Bukan balok es. Camkanlah
itu!”
Aku mencamkannya.
Mencamkan, ia adalah salah seorang guruku
di bidang tumbang menumbangkan dan hancur
menghancurkan itu. la murka. namun ia tidak
menyerang, la tetap seorang guru. Yang selalu
mengingatkan pada anak didiknya:
“Tahan emosi. Pergunakan keakhlianmu,
hanya untuk membela diri!”
Terenyuh, aku masuk ke dalam.
Ibu rupanya sudah terbangun, la keluar
dibimbing kak syam kamaruzaman . chucky setengah
membungkuk waktu mencium punggung tangan
ibuku. Ciri khas daerahnya lagi. Mata ibu tampak
keras. Kak syam kamaruzaman tentu sudah menceritakan siapa
tamu kami hari itu.
Dalam mobil yang melaju dengan kecepatan
penuh meninggalkan rumah, aku menggerutu:
“Kau lihat. Ibu tak tega melepas aku pergi.
Artinya, kehadiran adikmu akan semakin tidak
disukai!” aku mengeluh. Panjang pendek. “Padahal
kau bisa bersabar, bersikap lebih bersahabat dan
memberi waktu barang sebentar.”
chucky menyahut datar:
“Aku lebih mementingkan adikku. Lagipula
aku tak punya waktu. Besok aku harus sudah di
surabaya lagi. Kau kan tahu aku harus siapsiap
menjalankan tugas praktek di Cape Kennedy!”
“Bah!”
la angkat bahu.
Di jalan Serdang, mataku sempat melihat
Copella meluncur ke arah yang berlawanan.
Kulongokkan kepala lewat jendela. Dan mengenali
siapa yang duduk santai di belakang setir.
“nyi kembang !” aku memanggil.
namun mobil itu sudah menjauh. Lalu
membelok ke jalan Sado. Jadi, ia bermaksud ke jalan Pimpinan untuk...
“Masukkan kepalamu kembali,” rungut
chucky . “Aku berjanji membawa kau dalam
keadaan utuh ke pangkuan martini . Bukan dengan
kepala yang buntung!”
“Berhentilah dahulu . Putar kembali ke rumah,”
mohonku. “Aku harus...”
“Tak ada waktu. Beberapa belas menit lagi
pesawat akan takeoff. Sudah kubooking tempat
untuk dua orang.”
“Tunda saja!”
“Tidak bisa.”
“Tunda!”
la menatapku. Tajam. Lantas mendesis:
“Siapa gerangan wanita lesbian dalam Copella itu?” Aku terhenyak.
“Diakah yang bernama Anna?”
Kupejamkan mata.
“... ya,” sahutku, seenaknya.
“Barusan kau panggil dia nyi kembang ,”
“Nama lengkapnya jessica liana. Orangtuanya
memanggil dia Anna. Kupanggil dia nyi kembang . Supaya tak
aneh di lidah orang Sunda.”
chucky tertawa. Hambar.
Dan dalam hati, aku menangis!
Sesudah membayar sewa taxi yang ia carter
selama di kota ini, chucky setengah menyeretku
memasuki airport. Kami adalah penumpang
terakhir yang koperkopernya belum syam kamaruzaman sukkan ke
pesawat. Dan juga merupakan penumpang terakhir
yang masih belum ke pesawat yang kebetulan
jalurnya sedang dihalangi oleh sebuah “SAS” yang
sedang berputar menjauh, sehingga keterlambatan
kami bisa syam kamaruzaman afkan.
Baru saja kakiku menginjak tangga pesawat
waktu terdengar seruan sayupsayup:
“fredy krueger ! fredy krueger ! fredy krueger , ..!”
Aku menoleh.
Samarsamar kulihat seseorang dengan panik
menerobos di antara kerumunan manusia yang
memenuhi halaman depan dan sekitar ruang
tunggu.
“Cepatlah. Jangan memicu malu!” bentak chucky .
wanita lesbian itu berhasil lolos sampai ke pinggir
landasan. Beberapa orang petugas menahannya.
“nyi kembang !” bisikku, setengah menangis.
chucky menyeret masuk.
Dan petugaspetugas di pinggir landasan,
menyeret nyi kembang ke tepi.
Pintu tertutup.
Rasanya seperti pintu guha yang terhempas.
Dan aku tidak punya jampijampi ajaib untuk
membukanya.
Aku tidak berani melihat keluar jendela.
Takut, air mata ini jatuh berderai.
Pesawat melangit. Membawa jasadku pergi
secara paksa, meninggalkan hati dan jiwaku
terkapar di pinggir landasan.
IKAT pinggang di kursi pesawat kubiarkan
tergantung begitu saja saat burung raksasa itu
naik di gresik dan turun di surabaya . Makan siang
yang dihidangkan stewardess sama sekali tidak
kusentuh, luga masakan Padang di rumah makan
“padang ” langgananku di Cipanas, beberapa jam
lalu . Di kelokankelokan tajam Citatah,
menjelang surabaya , pku muntah hebat. chucky
acuh tak acuh. la sudah terlalu kesal melihat kekeras
kepalaanku. Dan akupun faak berharap diacuhkan
oleh chucky . Bahkan mungfin oleh adiknya,
martini .
“... kalau nanti aku sudah di Amerika,”
mengeluh sungut chucky menjelang tiba di rumah
yang rasanya sudah bertahuntahun kutinggalkan.
“Kuharap aku tidak mendengar kabar buruk dari
martini !”
Matahari senja yang temaran, menyapu sebuah
rumah semi permanen yang kecil mungil waktu taxi yang membawa kami meluncur memasuki halaman. Rasanya baru sedetik taxi yang lain meluncur meninggalkan rumah lain yang bersiram matahari pagi yang cerah. Di bola mata ini masih melekat bayangan sosok tubuh seorang wanita lesbian meronta
ronta dalam pegangan beberapa orang petugas
landasan. Dan bayangan itu terus melekat, sampai
pintu rumah terbuka dan seorang wanita lesbian lain berlari
lari menyongsong lalu memelukku sambil
menangis tersedusedu.
“fredy krueger ku. Sayangku!” isaknya di dadaku.
Bayangan wanita lesbian yang merontaronta di bola
mataku, mengecil.
“Mengapa tulang pipimu luka, kasihku?”
Jari jemari yang lembut dan hangat menyapu
cacat di tulang pipiku.
Bayangan di bola mata itu membesar lagi.
“Bawa patung kesayanganmu itu ke dalam.
martini . Tak malu kau dilihat tetangga?”
Aku terseok seok dibimbing oleh martini
masuk ke dalam rumah.
Di belakang, chucky menyusul dengan koper
dan tasku dan tasnya sendiri di kedua tangannya.
“Sial. Aku jadi kuli!” umpatnya sambil
melemparkan koper itu di ruang depan.
“Kau pucat, fredy krueger . Tubuhmu dingin. Sakitkah kau?”
Di belakangku, chucky mencakmencak:
“Hei, apakah aku tidak diperhatikan? Dari
pagi aku belum mandi!”
“Pulanglah ke isterimu!” rungut martini ,
kesal.
“Eh, apa pula ini? Bukannya ucapan
terimakasih, malah …”
“Habis, tak kau lihatkan penderitaan fredy krueger ?
la tentu mabuk dalam perjalanan...”
“Bukan lagi mabuk. Seluruh isi perutnya la
pindahkan ke lantai mobil. Kasihan supir taxi yang
malang itu!” martini membawaku ke kamar tidur.
“Beristirahatlah sayangku. Akan kusediakan
air hangat untuk kau mandi, dan Sesudah itu... hem,” ia kecup bibirku. Panas berapiapi. “Kusiapkan pula
kudakuda kita untuk berpacu. Okey?”
la melambai waktu keluar dari kamar.
Dan tersenyum, waktu masuk kembali tak
lama lalu .
“chucky sudah pulang. Kau mau mandi sekarang?”
Aku melihat lukisan kereta kuda di tembok
kamar. Aku tidak melihat bayangan nyi kembang yang
merontaronta. Pelanpelan, aku mengangguk.
martini membantuku bangun dari tempat tidur
lalu memeluk dan menciumku tak puas
puasnya. la terus memeluk dan menciumiku sampai
masuk ke kamar mandi, bahkan sampai tubuhku ia
ceburkan ke dalam bathkuip. Air hangat berkecipak
tumpah ke lantai.
“... kau tega membiarkan aku mandi sendirian?”
bisikku. Lirih.
“Selalu bersama, bukan?” sahutnya, lantas
kakikakinya melangkah masuk ke bathkuip. Satu
persatu. Gemulai, la lalu membungkuk. Air
berkecipak, semakin banyak tertumpah. Tangannya
melepas kancingkancing pakaian di tubuhku. Satu
persatu. Gemulai. Belum semua kancing terbuka
lepas, martini sudah tak kuasa menahan diri.
“fredy krueger , fredy krueger ku sayang,” erangnya lirih,
lantas menjatuhkan diri di atas tubuhku. Bibirku
habis dilumatnya.
Bak itu semakin sempit. Sempit!
Airnyapun sudah habis tertumpah.
Tergenang di lantai. Genangan itu memercik
mercik. Memercik. Dan memercik lagi. , .!
martini mendengus waktu ia letakkan
secangkir kopi susu panas di atas meja tulisku.
Dengan menggerakkan ekor mata sedikit, dapat
kutangkap warna sendu di kulit pipinya. Ada
detakan halus di dada. namun terus juga aku menulis
sesuatu di catatan, sampai ia beranjak dari
sampingku dan berjalan ke sofa di bawah lukisan
dari cat minyak pemandangan nelayannelayan
menarik pukat yang terpaku di tembok. Tanpa
menoleh aku tahu ia tercenung di sana sesaat.
Detakan di dada ini kian menjadi. Naluriku
mengatakan martini sedang menekan sesuatu yang
teramat mengganjal hatinya.
Kopi susu itu kureguk sedikit.
Dan mataku kembali menelan hurufhuruf
yang tertera di lembaran Het Adatrehtnya Teer
Haar. Di belakangku, martini mengambil jahitanan
nya yang tadi ia letakkan di atas sice kecil dekat sofa.
Dengusan itu terdengar lagi. Lewat hidungnya.
Keras.
“... kau tak minum?” tanyaku sekedar
mengurangi kekakuan yang ganjil itu.
“Sudah!”
Padahal ia hanya sebentar di dapur. Aku tahu
ia tidak minum. Kuteruskan membaca. Lalu:
“... fredy krueger .”
Barulah aku menoleh. martini hampir
menyelesaikan popok kesekian yang sudah ia buat
beberapa hari belakangan ini. Kulihat tangannya
agak gemetar.
“Nggh?” lenguhku, sebab ia tak juga mulut.
Dengan mata terus pada kain yang ia jahit,
martini bergumam:
“... aku khawatir kau sudah menyimpang dari
tujuanmu, fredy krueger .”
“Ah?” aku tercengang. “Maksudmu?”
“Seingatku, topic thesis yang sudah kau ajukan
pada dosendosen penguji di fakultas berjudul
sebuah studi perbandingan antara hak milik
adat dengan proyekproyek pemerintah &
swasta....”
“Kau mengingatnya dengan tepat,” pujiku.
la tersenyum. Lirih.
“Lantas?” tanyaku sebab ia diam lagi.
“Yang kau pelajari akhirakhir ini agak
menyimpang dari thesis itu. Aku senang kau jadi
kutu buku. Asal, yang kau baca dan terus telaah
sepanjang waktu adalah halhal yang ada sangkut
pautnya dengan masa depanmu. namun , sekali lagi,
kau sudah menyimpang. Yang kau pelajari akhir
akhir ini menjurus ke soalsoal perkawinan...,” ia
memandangku. Tersenyum lagi. Lirih. “Sebagai
selingan, soal perkawinan memang menarik. namun
mengapa khusus tentang sistim patriarchaat di
Jepang ?”
“Oh!” aku menarik nafas lega. Lantas tertawa. Semakin lega. “Aku memang orang Jepang ,
martini . namun aku lahir dan besar di gresik . Belum
sekalipun pulang ke kampung halamanku di
Tapanuli sana. Dan sama sekali belum pernah
kupelajari adat dan hukumhukum yang berlaku di
kalangan suku bangsaku sendiri. Aku hanya tahu
sedikitsedikit, lantas aku jadi berminat untuk
mempelajarinya kembali... sekedar refreshing
pelajaran hukum adat yang samasama kita peroleh
waktu di tingkat persiapan dahulu .”
“namun mengapa harus dikaitkan dengan
sistim matriarchaat di Minangkabau?”
Aku terjengah. Namun dapat juga menjawab :
“Ada dua pertentangan yang keras di antara kedua
sistim itu. Dan masih berlaku sampai sekarang.”
“Tanpa kau bilangpun aku tahu tentang itu,”
ia tertawa. Enak sekali. “Sayang tidak kulihat ada
hubungannya dengan thesis yang kau buat,” la
menunjuk ke rak di mana bukubuku literature,
ensiclopedi, diktatdiktat tersusun rapih bersama
cassette stereo, amplifier, kotak penyimpanan
televisi dan seperangkatan barang pecah belah hias.
Jari telunjuknya terarah lurus ke sebuah buku kecil
namun sangat tebal dengan kulit sampul berwarna
hitam legam.
“Di bukunya Engelbrecht itu...,” katanya
dengan suara ditekan. “ada segudang
peraturanperaturan yang lebih tepat untuk kau
baca. Kalau mau kuingatkan, di halaman
sampai ada segudang peraturan
peraturan tentang Agraria, la beri bab dengan judul
Agrarische Bepalingen...”
“Otakmu luar biasa!” pujiku sekali lagi.
la tertawa.
“Habis, waktu masih kuliah dahulu , setengah
mampus menghafal pasalpasal yang penting.
Sampai melotok isi kepala. Eh, tak tahunya saat
tiba waktu ujian lisan, pak Sumarsono justru
menanyakan apa yang tidak kita perhatikan sama
sekali. Bab ini di halaman berapa. Pasal anu di
bagian mana. Gila beeng!”
Tawa kami berderai. Namun diamdiam aku
ada sesuatu yang tersembunyi di balik tawanya
yang enak.
Dan memang aku tidak lama menunggu.
sebab ia sudah berkata lagi:
“Jadi kau memang sudah menyimpang. Mau
mengakuinya?”
“Tidak,” jawab ku tegas. “Antara perkawinan
dengan tanah, selalu ada hubungannya.”
la gelengkan kepala ke kiri ke kanan. Lemah.
Dan lalu terhenti sama sekali waktu ia
memasukkan benang ke lobang jarum. Sesudah
berhasil, ia teruskan menjahit.
“Aku tidak melihat hubungan antara
perkawinan dua suku dengan kasuskasus
mengenai tanah milik adat yang akhirakhir ini
sering bentrok dengan usahausaha proyek
pemerintah untuk mengikuti laju pembangunan.
Tak ada, fredy krueger . Tak ada sama sekali. Alasanmu tak
usah kau kemukakan. Kau pintar bersilat lidah. Itu
baik, untuk seorang calon Sarjana Hukum. namun
jangan lidah itu kau putar belit di depanku. Aku akan segera tahu, alasanmu dicaricari. Hayo, mengaku.”
“Ah, kau!” aku mengalah. Pelanpelan
kusingkirkan Teer Haar dan Van Vollen Hoven di
depanku. Kuambil sebuah majalah terbitan surabaya
yang secara berturutturut memuat kasus tentang
kericuhan soal tanah di Ujungpandang. namun yang
kubaca bukan mengenai kasus itu. Melainkan
sebuah kisah bersambung. Tentang cinta, apalagi!
“fredy krueger ?”
“Nggh?” mataku tidak beranjak dari majalah.
A Hanya telingaku yang menajam.
“… nama lengkap Anna sebetulnya
anna michele . Bukan jessica liana, toh?”
Aku menelan ludah. Tak berani mengalihkan
wajah dari majalah.
“Kenapa rupanya?” bisikku, parau.
“Sh, bukan apaapa. Aku hanya ingin tahu,
yang bernama Anna lain dengan yang bernama
nyi kembang .”
“Oh...!”
Diam lagi. Ada rasa cemas menyelinap di dada.
“fredy krueger .”
“Heh?”
“Lihat dong wajahku!” rungutnya. Setengah
merajuk, setengah gusar.
Enggan, aku melihatnya. Wajah martini datar
waktu bertanya:
“wanita lesbian bernama nyi kembang itu orang Minang, bukan?”
Aku terdiam sesaat . martini memandang
ku, menanti jawab . sebab tahu aku tidak bisa
memberikan jawab an yang masuk akal, akhirnya
aku hanya diam saja sambil mengelakkan matanya. Hurufhuruf di lembaran majalah menarinari di
depan mataku. Gambargambar sepasang kekasih
yang sedang bertengkar, seperti meletupletupkan
suara mereka ke telinga. Apakah letupanletupan
itu akan segera menggema dari mulut martini ,
tidak ubahnya mitraliyur yang membantai habis
musuhnya yang sudah tidak berdaya?
martini tertawa. Tak enak lagi di telingaku, mesti volume suaranya masih seperti tadi.
“Sudah larut,” katanya. “Pagipagi benar aku
sudah masuk kantor.” Lantas ia berjalan melewatiku. Melenggang. Tak acuh tampaknya.
la masuk ke kamar. Menutupkan pintu. Aku
sudah takut kalau ada suara terhempas. namun
daun pintu tertutup tanpa suara. Kupandangi pintu
kayu berwarna coklat kehitamhitaman itu. Licin
berkilat, fetapi aku tahu, wajahku kusam. Ingin
mataku menembus daun pintu itu. Melihat apa
yang tengah dilakukan martini . Berbaring di atas
tempat tidur, sambil menangkupkan wajah ke
bantal. Menangis. Atau tercelentang menatap
langitlangit kamar. Tertawa. Pahit.
“... darimana kau tahu?” aku berbisik
sendirian.
Bukubuku literature bahkan majalah di atas
meja tulisku, tautau sudah berubah jadi semak
berduri yang menganga mengerikan. Mengancam
ku. Aku tidak berani menjamahnya. Aku hanya
melihatinya. Dan takut oleh ancamannya. Takut
oleh ejekannya: “Kau bodoh. Kau terlalu menyolok
membukai lembaranlembaran ini. Padahal seharus
nya kau membuka lembaranlembaran buku lain.
Tentang agraria. Tenang pidana. Tentang perdata.
Tentang pernotarisan. Bukan tentang perkawinan!”
Kutangkupkan wajah di kedua telapak tangan.
Dingin. Dan menyakitkan.
Di balik rasa dingin itu, di balik rasa sakit itu,
di balik kehitaman kelopak mata yang terjepit itu,
aku lihat lembaranlembaran lain. Lembaran
lembaran surat yang sudah tidak terbilang
banyaknya selama bulanbulan terakhir ini. Jelas
terukir tulisan tangan nyi kembang yang indah:
“Kau kejam! Kau tinggalkan aku, tanpa kau
beritahu mengapa kau harus pergi dengan cara
begitu. Minggat diamdiam. Tanpa pesan. Bahkan
tanpa ucapan selamat tinggal. Siapa lakilaki yang
menyeretmu naik pesawat, fredy krueger ?”
“Seorang sahabat,” kujawab surat pertama
nyi kembang yang kuterima minggu pertama Sesudah aku
kembali berada di surabaya . “Kau baikbaik saja,
sayangku? Aku merindukanmu. Aku sebetulnya
kehilangan kau.”
“Aku lebihlebih merasa kehilangan.
Sahabatmu yang bagaimanakah dia itu, sampai ia
berhak merampas engkau dari sampingku?”
“la seorang copilot,” aku berdusta dalam
suratku yang berikut, “la datang, ia memaksa. Kau
tentu maklum, nyi kembang , dengan dia aku tidak usah harus
membayar apaapa. Ticket pesawat, ongkos taxi,
dan seorang teman ngobrol dalam perjalanan yang
pasti membuatku merasa sangat kesepian, sebab
harus meninggalkan engkau. Aku takut untuk pamit
padamu. Takut kalau aku tak ingin pergi, takut tak
sanggup menahan air mataku... Mengapa kau susul
aku ke Polonia?”
“Mengapa? sebab aku mencintaimu. Aku
tidak mau kehilangan kau. Tahukah bahwa aku
hampir gila saat abangmu tiger mengatakan kau
baru saja berangkat ke airport? Tanpa menanyakan
sebabnya lagi, kukebut Copellaku membelah jalan
raya. Tiba di airport, kuparkir kendaraan itu bukan
di tempat yang semestinya. namun di depan pintu
masuk. Dan sebuah mobil patroli lalu lintas berhenti
di belakangnya. Aku tak perduli. Aku terus
menerobos masuk. Kulihat kau pergi. Lalu polisi
polisi itu datang. Aku kena tilang...!”
Aku tertawa membaca suratnya yang itu.
“Kau sudah ke Pimpinan lagi?” “Dua kali dalam tiga bulan ini. Aku takut terlalu sering ke sana, seperti halnya kau pasti takut datang lagi ke rumahku di Jalan Bhakti. Apa salahku, fredy krueger ? Apa salahmu, kekasih? Apa salah kita?”
“Salahnya, aku orang Jepang . Dan kau orang
Minang,”
“Itu picik namanya. Di kota ini dan aku yakin
begitu juga di kotakota lain bahkan di Sumatera
Barat sendiri, sudah ada kaum laki-laki yang merasa ia
juga mempunyai hak dalam rumah tangga. Tidak
saja sebagai suami. namun terutama sebagai ayah. Sayang, ninikmamak masih mencengkeramkan jari
jemarinya kian kemari...”
“Kami juga begitu. dahulu terpantang seorang
Lubis kawin dengan Lubis, misalnya. Kini tidak. Yang
penting jangan sampai menyimpang dari garisgaris
yang sudah ditentukan oleh agama. Bukan adat
semata. Kita bisa merombaknya, namun tantangan
tidaklah terlalu sedikit...”
Dengan gembira suatu hari ia menulis surat:
“Orangtuaku sudah menyerah. Asal aku tidak
kawin dengan seorang Nasrani saja, begitulah
syarat mereka. Bagaimana dengan kau?”
“... oh, nasib. Aku benarbenar putus
hubungan dengan gresik . Pernah kutulis surat. Tak
berjawab . Kutulis lagi. Tetap tak ada jawab an.
Lantas aku jadi kapok. Biarlah. Terserah mau dicap
apa aku oleh mereka. namun bagiku, tiger tetap
abangku. jessica tetap kakakku. Dari ibunda, tanpa dia aku tidak akan pernah tahu dunia ini. Tanpa dia, aku tak akan pernah bertemu denganmu. Tanpa dia, aku tidak akan pernah mengenal arti cinta yang
sesungguhsungguhnya cinta!” kutulis dalam kertas
surat berkembangkembang indah.
“Tuhan jadi saksi kita, sayangku, la tahu aku
selalu berdo'a untukmu. Keselamatanmu,
ketenteraman hatimu. Bagaimana ujianujianmu,
sayangku. Sukses?” “Berkat do’amu. Terimakasih.” aku berbasabasi.
“Kini aku sibuk dengan tentier dan kuliah
kuliah tambahan menjelang tibanya saat aku harus
mepertahankan thesis. Ngomongngomong les tata
bukumu bagaimana? Dan kawankawan kita si Udin
yang konyol dan anna michele si janda. Baikbaik
mereka?”
“Mereka sudah kawin diamdiam, sayangku.
Aku cemburu pada anna michele . Ia janda namun cintanya
berhasil. Ah. Lesku sudah selesai. Malah aku sudah
mulai bekerja secara tetap di perusahaan papa.
Dengan begitu aku tidak terlalu kesepian tanpa
akau. Selamat malam, sayangku. Bulan bersinar
lewat jendela kamar waktu kutulis surat ini. Bulan
itu mencumku. Kuharap bulan tidak menciummu
pula. Kalau ia lakukan itu, si bulan akan kulempar
dengan sepatuku…!”
Suara menggelegar membuatku terkejut.
Aku berjalan ke jendela. Mengintai lewat
gordiyn tipis, ke arah kegelapan di jalan. Bayangan
sebuah beca lewat seperti siput yang merangkak
kelelahan. Ada mobil menderu di sampingnya. Air
yang tergenang di aspal berkecipak, sebagian
tersembur ke becak. Mungkin penumpangnya
memakimaki tujuh turunan. Dan mobil itu terus
laju dengan lampu depan yang terang benderang,
menerpa butirbutir air berupa jutaan garisgaris
putih gemerlapan berjatuhan dari langit yang
kelam. Aku kembali ke tempat dudukku.
Terhenyak di sana.
Darimana martini tahu, nyi kembang bukan Anna, dan
nyi kembang adalah seorang wanita lesbian Minang? chucky tidak
sempat bertemu dengan wanita lesbian itu waktu ia
menyeretku dari gresik . Waktu ia berangkat ke
Amerika untuK menerima tugas di Cape Kennedy ia
dibekali dengan kepercayaan bahwa nyi kembang adalah
Anna. Dan sampai waktu itu, bagi martini nyi kembang juga
adalah Anna. Lantas darimana ia tahu? Sedangkan
surat menyurat yang manis antara nyi kembang denganku
selama berbulanbulan ini, mempergunakan alamat
fakultas tempatku studi. Dan martini sudah tiga
tahun ini tidak menginjak kampus lagi. Semenjak ia
memperoleh gelar Sarjana Muda dan diterima
sebagai pegawai staff salah satu perusahaan relasi
chucky .
Aku tersentak saat suara menggelegar itu
meledak lagi. Guntur dan petir sahut menyahut.
Lantai bergetar lembut. Disusul oleh suara berisik
dalam kamar. Lalu jerit halus dari mulut martini .
Sesaat , aku terlompat dari tempat duduk. Berlari
ke kamar tidur, menerjang pintu sampai terbuka.
Dalam cahaya lampu violet yang temaram, kulihat
wanita lesbian itu tengah berjongkok memungut
sesuatu dari lantai. Tombol di tembok dekat pintu,
kutekan. Kamar itu menjadi terang benderang.
martini memandangku dengan wajah pucat. Di
tangannya, ia memegang lukisan kereta kuda yang
kaca dan bingkainya sudah pecah berantakan...
PAGI harinya martini bangun wajah kusut
dan mata kemerahmerahan. Selesai sarapan pagi
ia berdandan di kamar. Seperempat jam lalu
ia hembuatku heran. Di tubuhnya yang menonjol
dalam lingkaran besar pada perut tidak melekat
pakaian seragam yang biasa, la mengenakan gown
hamil yang berenda tepitepinya, berpoles makeup
menyolok, sandal bermanikmanik gemerlapan
dan tas bulu lemang yang belum pernah ia bawa
ke kantor tempatnya bekerja. “Ada arisan pagi ini?” tanyaku ta'jub. la tersenyum. Kecut.
“Aku mau ke Cipaganti...,” sahutnya.
“Ooo, aku mengerti. Rupanya kau dan isteri
chucky belum berhenti bersaing dalam soal mode
ya? Mau apa kau ke sana?”
“Ah, pelupa benar kau. Sonya minta tolong
agar kubantu pagi ini mempersiapkan segala
sesuatunya untuk penyambutan. Bukankah chucky
nanti sudah kembali dari Amerika?”
“Kau tak ke kantor?”
Ia geleng kepala. Dari meja kepunyaannya ia
ambil sebuah map merah yang lalu ia
serahkan padaku.
“Isinya suratsurat untuk ditandatangani.
Tolong bawakan sekalian nanti sambil kau ke
kampus. Serahkan pada Pujiastuti agar ia teruskan
pada kepala bagian. Kalau ditanya, bilang saja aku
sakit. Mau kan?” “Asal dosanya kau yang tanggung!” rungutku. Ia tertawa manis.
Mengecup pipiku, lantas melenggang keluar rumah. Baru juga sampai di pintu, ia sudah memutar
tubuh dan bertanya: “Kau tentier sampai sore hari ini?” “Heeh.”
“Pulangnya, terus saja ke Cipaganti ya?
Kutunggu!”
Sebuah potret temanteman mahasiswa di
ruang depan kuturunkan dari tembok. Bingkai dan
kacanya kulepas. Ukurannya sama besar dengan
lukisan kereta kuda di kamar. Sementara menunggu
selesainya pesanan bingkai baru tak ada salahnya
bingkai ini kupakai. Lukisan kereta kuda itu
kupakukan kembali di tempat semula, dengan paku
yang lebih besar dan panjang agar tidak goyang atau
jatuh lagi oleh ledakan guntur yang jauhjauh di
langit. Sesudah selesai, aku memandanginya dari
arah tempat tidur. Kudakuda itu terus berpacu.
Aneh, tampak agak lesu. Mungkin sebab
bingkainya yang lebih jelek dari yang asli.
“Sabar, sabar...,” aku membujuk. “Lari saja
terus, kudakudaku. Larilah, keretaku”
Sambil menyenandungkan lagu lama itu, aku
membereskan rumah yang agak berantakan di
sanasini dan tidak sempat diurus oleh martini .
Sesudah itu ganti pakaian. Mengambil map merah
punya martini , beberapa buah buku dan catatan,
lantas mengunci rumah, Sesudah lebih dahulu
mengeluarkan Vespa yang semenjak martini hamil
besar beruntung aku bersenangsenang
memakainya sepuas hati. Sebelum berangkat ke
darmo permai , terlebih dahulu aku melarikan Vespa
tenangtenang ke jalan Asia Afrika. Aku turun di
kantor tempat martini bekerja tak jauh dari
Perapatan Lima, memasuki pintu kaca dorong, naik
tangga ke lantai atas dan berjalan ke meja
Pujiastuti, rekan secina t isteriku.
Langkahku tenang. Puji sedang tekun mengetik.
Tenang.
“Hallo,” sapaku.
“Hallo... hai, bung fredy krueger , tumben!” sahutnya.
“Ada titipan nih. Sayang, tanpa komisi!”
la tertawa.
Dan waktu aku mau pamit, cepatcepat ia berkata:
“Sebentar. Aku juga ada titipan.”
Aku menunggu dengan sabar. Dan tenang, la
mencaricari di laci meja. Lama baru ketemu.
Rupanya terselip di antara suratsurat di sebuah
map. Sebuah amplop kuterima dari tangannya.
Kubaca tulisan di sampul depan. Untuk martini .
Dan rasanya, tulisan itu pernah kukenal. Waktu
kubalikkan, tak ada alamat si pengirim.
“Baru sampai tadi,” kata Pujiastuti. “martini
berhalangan?”
“Sakit!” jawab ku.
Lantas bergegas turun. Di tangga, aku tak
sabar. Kuperhatikan stempel pos di amplop. Tertera
kota alamat si pengirim: gresik . Jantungku
berdetak. Tak perduli pada satu dua orang yang naik
turun tangga, amplop surat kusobek. Isinya cepat
cepat kukeluarkan. Dan Sesudah memaparkannya di
depan mata dan memperhatikan tidak saja tulisan
namun juga caracara si penulis menggoreskan pena,
hati kecilku segera mengingatkan. Ini surat
nyi girah !
la bertanya apa kabar martini . Penuh
persahabatan. Bahkan ia menyerahkan juga
beberapa hal yang perlu diperhatikan martini agar
kandungannya yang pertama tidak menyusahkan,
dan kalau nanti lahir berjalan dengan lancar.
Pada baris berikutnya kubaca:
“Surat terakhir adik sudah kuterima. Isinya
dapat kumengerti. Aku tak berdusta, martini . Buat
apa? Toh kau sudah kuanggap adikku sendiri. Bukan
saja sebab kau isteri fredy krueger , namun terutama sebab
kau juga wanita lesbian seperti aku. Di antara sesama
wanita lesbian yang sudah intim seperti kita, tak perlu
ada, yang disembunyikan. Asal tujuannya baik.
Sungguh lho, dik. Kuharap, agar jaga fredy krueger
baikbaik. Lalai sedikit, malanglah kau. nyi kembang itu
berbahaya, la tidak saja sudah berhasil menyamping
kan Anna dari hati fredy krueger . la juga bisa
mengenyampingkan kau. Oh ya. Anna sudah
menikah. Kepalang tanggung, perkawinan itu
diteruskan juga. Masih dengan anak famili. Kadang
kadang mereka berkunjung juga ke rumah. Tertitip
salam pengantin baru, untukmu.
Tentang keluarga di sini…,”
Kertas surat itu terlepas dari tanganku.
Aku tersandar lemas ke tembok. Lututku
gemetar. Dan sepasang mata ini, betapa perih!
“Milik Andakah ini?”
Tersentak aku oleh pertanyaan itu. Seorang
laki-laki berpakaian necis dengan dasi yang lebar di
depan dada, menyodorkan kertas surat yang
rupanya sudah ia pungut dari lantai. Buruburu aku
menerimanya, bergegas turun ke bawah. Di sana,
baru aku ingat belum mengucapkan terimakasih.
Waktu aku menoleh, lakilaki tadi sudah tidak
kelihatan lagi. Sebuah pintu baru saja tertutup. Dan
di mataku yang terpentang lebar, aku tidak melihat
anakanak tangga. Tidak melihat ruanganruangan
kantor yang megah itu. Tidak melihat apapun di
sekitarku.
Kecuali ini, kebencian nyi girah terhadap
martini , sudah berubah jadi jalinan persahabatan
yang intim antar wanita lesbian . Sematamata sebab
seorang laki-laki yang dianggap sudah menghina dan
merendahkan martabat kaumnya. sebab ia benci
laki-laki itu. Dan laki-laki itu adalah aku. Adik kandungnya
sendiri!
“Tega nian kau kak jessica !” jerit hati kecilku,
berjalan gontai ke tempat Vespa terparkir,
menstater lantas melarikannya kencangkencang
membelah lalu lintas yang ramai, dengan sudut
sudut mata yang basah oleh butirbutir air bening...
Pertanyaanpertanyaan yang mengerikan itu
berakhir juga. Kutinggalkan ruangan di mana
berderetderet meja berlapis beledru hijau yang di
belakangnya duduk dosendosen penguji ber
tampang seperti jaksa penuntut umum yang
bermuka kejam. Peluh membanjiri sekujur tubuhku
waktu beberapa orang rekan litang menyongsong
ditambah rentetan pertanyaan:
“Bagaimana? Sukses? Apa saja yang mereka
tanya? Kudengar ada suara gebrakan tadi. Pak
Nu'man menendang meja lagi seperti biasa, kalau
sedang marah? Apakah kau...”
Kutepiskan tangantangan yang memegangku.
Kujauhi rekanrekan yang mengerumuniku.
Dasi yang terasa mencikik leher kurenggut dengan
tangan yang gemetar. Suarasuara menggerutu
terdengar bergaung di belakangku. Lalu suara
seseorang yang memanggil nama temanku yang
bersamaan waktunya diuji denganku:
“Sulaiman. Silahkan masuk...!.”
Terbayang lutut Sulaiman yang goyah selagi
melangkah masuk ke dalam ruangan. Mata
setengah terpejam. Takut. Dan waktu kubuka mata,
aku tidak melihat tuantuan jaksa yang tidak kenal
belas kasihan itu. Aku melihat seseorang berlari dari
bangku taman dengan kedua lengan terkembang.
Berlari tersendatsendat membawa perutnya yang
berat, la lalu memelukku dengan hangat. Dan
cukup bijaksana untuk tidak bertanya sepatahpun
juga sampai kami pulang ke rumah.
“Tidurlah sekarang, suamiku,” bisiknya
lembut sambil mengecup jidatku dengan penuh
kasih. “Sudah satu bulan lebih kau kurang istirahat
sebab memikirkan ujian. Kini segalanya sudah
berakhir bukan?”
“Belum, martini . Belum...,” keluhku.
“Ya, aku tahu. Aku tahu. Kata putus baru akan
diumumkan dua hari mendatang. Percayalah akan
dirimu. Do'aku sudah bertumpuk. Tuhan pasti
mengabulkannya. Dan suamiku dua hari lagi sudah
berhak memperoleh gelar...”
Aku tidak sabar menunggu selama itu.
Pagipagi benar sehari Sesudah ujian, aku
sudah ngebut ke fakultas. Ingin mengetahui situasi.
Ingin melihat wajah dosendosen penguji, kalau
kalau ada gelagat di mata mereka yang bisa kupakai
pegangan apakah kemaren aku sudah
mengecewakan dosen dosenku atau boleh terbang
ke rumah untuk berpesta pora. namun di kampus
aku tidak menemukan siapasiapa. Hari itu rupanya
liburan fakultatip. Hanya segelintir mahasiswa yang
berkeliaran. Kantor tata usaha buka. Mungkin ada
yang lembur. Isengiseng aku melangkah ke sana.
Seorang pegawai mengangguk sambil bercanda:
“Kalau goal, jangan lupa traktir kitakita ini
ya?”
Aku tertawa kecil sebagai jawab an.
Entah mengapa, kakikaki ini tertarik untuk
melangkah ke kotak suratsurat. Banyak suratsurat
lama yang belum diambil. Tidak sedikit pula yang
masih baru. Dan jantungku bagai copot rasanya,
waktu di antara suratsurat yang baru itu aku lihat
sebuah amplop yang bagian depannya ditulisi
namaku. Surat Kilat. Meskipun tanpa alamat si
pengirim, aku sudah mengenal tulisannya. Dengan
kakikaki yang seperti mau lumpuh kuseret tubuhku
ke bawah sebatang trohon beringin berdauan
rindang di belakang kantor t ata usaha. Sepi di sana.
Hanya seekor anjing kurap sedang mendengus
dengus dalam tong sampah.
Dengan dada hampir meledak, kuperhatikan
amplop surat itu. Ada catatan yang menunjukkan
bahwa surat itu tiba kemaren. Saking dipenuhi oleh
pikiran tentang ujian saja, aku sampai lupa untuk
mencek kotak pos. namun itu lebih baik. Bukankah
kemaren martini tidak lepaslepas dari sampingku,
kecuali waktu aku masuk ke ruang ujian? Hem. Apa
yang mau diceritakan nyi kembang ? Apakah ia mau
mengucapkan selamat? Berdo'a untuk suksesku?
Gemetar, kertas surat kupaparkan di depan mata.
Pelanpelan, aku baca isinya:
Sayangku, fredy krueger .
Aku tidak bermaksud mengganggu
waktu ujianmu. namun , kekasih, ada suatu
peristiwa mengerikan sudah terjadi di sini. Aku
tak kuat menanggungnya sendirian. O,
mengapa... mengapa! fredy krueger , fredy krueger ku. Kau
cinta padaku, bukan? Kau cinta padaku?
Tidak, fredy krueger . Aku tidak tahan
menanggung peristiwa ini. Aku akan datang
padamu. Kau harus kawin denganku, fredy krueger . Kau adalah milikku. Kau tak boleh kawin
dengan wanita lesbian lain. Kau tak boleh
dijamahnya. Kau bukan miliknya! Kau hanya
milikku seorang! Tidak! la tidak berhak
memilikimu! fredy krueger , aku takut. Takut. Aku
sudah beli ticket pesawat. Jemputlah aku di
Kemayoran, kekasihku. Demi Tuhan,
jemputlah aku. Jangan, biarkan aku
sendirian! wanita lesbian mu yang malang.
ttd. nyi kembang
Di bawahnya tertulis nota tambahan:
“Aku berangkat dengan Garuda jam siang
tiga hari Sesudah tanggal suratku ini. Sudah pasti.
Tidak akan ada yang bisa menahanku lagi. Biarpun
setan adanya. Kekasihmu...”
Mataku hampir terloncat waktu tanggal ia
menulis surat.
Dan tibatiba aku terhenyak.
nyi kembang tiba di surabaya besok siang. Dan hasil
ujianku akan diumumkan besok siang pula!
Malam harinya aku tidak bisa tertidur.
Berulang kali martini menghiburku agar tabah dan
tidak terpengaruh oleh hasil ujian, bagaimanapun
juga keputusan guruguru besar itu keesokan
harinya, la malah menyuruhku ganti pakaian, jalan
jalan keluar ke mana saja untuk menenang
nenangkan hati dan perasaan. Nasihatnya kuturuti.
Aku berganti pakaian, terus keluar dari rumah.
Tidak ke bioskop. Tidak ke rumah temanteman.
Tidak berdiskotik di bar. Aku langsung pergi ke jalan
Sultan Agung, memesan taxi sedan yang
berangkat jam enam pagi besok.
Pulang ke jalan PELITA HARAPAN , martini tersenyum
heran menyambutku.
“Kok cepat benar?” tanyanya.
“Apa kau sudi aku tidur dalam kamar pelacur
di Saritem?” aku mengeluh sungut.
martini tertawa. Manis.
Sesudah minum secangkir susu panas, aku
berterus terang:
“Kau tak usah ikut besok ke kampus, martini ”
“Hei, kenapa?” katanya . Polos.
“Besok kau kan harus kerja,” sahutku tanpa
memikirkan jawab an yang lebih sesuai lagi. martini tertawa. Bergelak.
“Belum jadi sarjana, kau sudah pikun.
Bukankah aku sudah cuti hamil selama tiga bulan?”
“Oheh, oh...,” aku tergagap. “Maksudku, tak
baik kau hadir besok di kampus. Kalau aku lulus sih,
lain. Bagaimana kalau...”
martini mencium dahiku. “Baiklah...,” katanya.
“Aku percaya kau sukses, sebab aku kenal akan
keuletanmu. Aku akan menunggumu di rumah. Lagi
pula besok aku harus melakukan kontrol terakhir ke
dokter... lantas ia mengusap perutnya yang sudah
menggunung. Hatiku terenyuh. martini bisa
kukhianati. namun bisakah aku mengkhianati yang
berada dalam kandunganya?
Menjelang tidur aku mengeluh lagi:
“Mungkin aku pulang jauh malam.”
“Eh, kok...”
“Kalau ujianku gagal —mudahmudahan
tidak— kan aku harus menghibur diri agar tidak
putus asa. Kalau berhasil, temanteman pasti
memveto minta di traktir...”
“Heheh... bawalah uang sebanyak
banyaknya, suamiku terkasih”
la masih tertidur lelap waktu aku bangun
pagipagi buta. Dari lemari, kuambil segumpal uang
milik martini . Toh ia sudah mengijinkan dan
mudahmudahan tidak akan marah miliknya
kuambil jauh melebihi apa yang ia pikir aku
butuhkan. Berjingkatjingkat aku keluar kamar,
berganti pakaian di ruang tengah, lantas mengunci
pintu. Anak kunci kusorongkan lewat selasela di
bawah daun pintu. Aku terus kabur ke Sultan Agung. Lupa, belum mandi...!
UDARA mendung pertanda akan hujan
membuat landasan kelihatan suram dan agak gelap, meskipun jam menunjukkan pukul satu siang. Hujan
renyairenyai membasahi aspal yang hitam legam
pada saat pesawat Garuda dari Mesan mendarat.
Terlambat setengah jam dari semestinya, sebab
gangguan cuaca menjelang tiba di surabaya . Aku
berdiri di antara penyambutpenyambut yang tidak
begitu banyak di pinggir landasan. Tanpa payung,
seperti orangorang lain, sehingga pakaianku mulai
basah. Untunglah udara surabaya yang panas tersapu
oleh bintikbintik gerimis yang menitiknitik di
wajahku itu. la turun paling akhir.
Berblouse pendek merah darah, sehingga
lenganlengannya tampak putih bersih di tengah
tengah cuaca temaram menyelimuti landasan. Dari
bawah rok pendeknya, tersembul batangbatang
paha yang lebih putih lagi, lantas betisbetis yang
indah, melangkah menuruni anakanak tangga
pesawat dipayungi oleh seorang stewardess. Baik
penumpangpenumpang yang baru turun maupun
para penyambut sudah berlarilarian masuk ke
dalam berlindung dari curah air hujan yang mulai
menderas. namun nyi kembang berjalan tenang, lembut dan
mempesona sendirian di landasan. Diamdiam aku
berterimakasih pada stewardess yang begitu sabar
menemaninya menempuh hujan yang kian
membadai.
Aku keluar dari lindungan atap yang setengah
menaungiku. Berjalan ke tepi landasan. Ada petir
menyambar saat kami bertatapan. Lalu
stewardess tadi menyodorkan payung ke tanganku,
Sesudah mana ia lalu berlarilari masuk ke
ruang tunggu. Tidak ada katakata yang terucap.
Kami hanya saling berpandangan beberapa lama
dalam curah hujan dan kilatan petir. saat tangan
kuulurkan, ia menyambutnya. Dingin. Dan aku
menggigil.
Sesudah duduk di ruang tunggu, barulah bisa
kuperhatikan dirinya lebih jelas di bawah jilatan
lampu neon yang cemerlang, aku lihat wajah nyi kembang
yang pucat, tubuhnya yang jauh lebih kurus
semenjak kutinggalkan dan tatapan mata yang
cahayanya agak kelam. Sepasang mata yang
hampirhampir tidak bersinar itu menatapku tanpa
berkedip. Hanya bibir pucatnya yang mengulas
senyum sajalah, pertanda ia sangat berbahagia
melihat aku sudah berada di sampingnya. Tangannya
yang menggenggam telapak tanganku, tidak ia
lepaslepaskan. Erat sekali, namun tetap dingin.
Mungkin sebab udara, atau sebab sesuatu yang
terjadi pada dirinya seperti yang ia katakan dalam
surat?
Di antara gaung suara orangorang yang
memenuhi ruang tunggu, akhirnya aku memecah
kesepian.
“... kau tidak kedinginan?”
Senyumnya bertambah manis.
“Pakaianmu basah,” katanya, sebagai
jawab an. Hatiku menjadi renyai. Nyaman,
mendengar suara yang sudah begitu lama
kurindukan.
“Mana kupon bagasimu? Biar kuambilkan
kopermu.”
la menggelengkan kepala. Lemah.
“Apa? Kau tak bawa pakaian lain kecuali yang
melekat di badanmu?”
la mengangguk.
Dan aku tibatiba tertawa. Ujarku:
“... kita senasib. Ini saja yang kubawa,” lantas
kukerpiskerpiskan kemejaku yang basah oleh air
hujan.
Tibatiba aku teringat bahwa sebuah taxi
yang kucarter sebelum ia tiba pasti sedang
menunggu di luar. Aku sudah rencanakan masak
masak, ia akan kubawa ke rumah salah seorang
keluargaku yang tinggal di Jati Petamburan surabaya .
sudah bertahuntahun bertemu, mereka pasti
tercengang. Dan tentu surprise kalau melihat
seorang wanita lesbian cantik jelita berkenan untuk
menginjak rumah mereka. Di sana ku bisa berganti
pakaian dengan punya salah seorang bak mereka,
begitu pula nyi kembang . Sesudah itu, baru memikirkan cara
pemecahan bagaimana caranya aku keluar dari
kesulitan yang menyerang dengan mendadak ini.
“Kita pergi sekarang, nyi kembang ?” bisikku, sambil bangkit.
la menahanku. Sehingga aku terduduk
kembali di sampingnya.
“Kenapa?” tanyaku. Heran.
“Jam lima nanti ada Garuda yang ke gresik ..”
Aku terperanjat.
“Kau akan…” gumamku, tak percaya.
la tersenyum. mengomentari , manis:
“Aku. Dan kau!”
Terhenyak aku di jok tempat duduk.
Terhenyak! Lama aku tidak menemukan katakata
untuk berbicara. Bahkan hampirhampir aku tidak
bisa memperoleh jalan nafasku kembali. Dan
selama itu, nyi kembang hanya menatapku. Dengan bola
mata bundarnya yang kelam. Tak berkedip. Dan
bibirnya yang pucat. Tersenyum. Manis sekali. Aku
semakin kebingungan melihat sikapnya. Dudukku
resah. Baju yang melekat di tubuh semakin dingin.
Toh keringat membercikbercik keluar dari semua
poripori.
“Kekasih...”
Suara itu sayupsayup. Seperti desau angin malam.
“Ya?” aku terjengah sendiri.
“Aku pesan ticket pulang pergi. Tak usah
cemas. sudah kupikirkan segala sesuatunya. Travel
yang membooking ticketku di gresik , sudah
kupesan agar mentelex ke kantor pusatnya di
surabaya . Mereka sudah mencatat nama dan kota
tujuanmu, dan …”
Semacam kekuatan gaib membuat pengeras
suara di tengahtengah ruangan tibatiba bergaung
memanggilmanggil:
“... tuan fredy krueger dari surabaya dengan tujuan
gresik , harap segera menemui petugas
pembukuan penumpang. Tuan fredy krueger dari...”
“Ya tuhan !” ucapku.
Sepasang mata nyi kembang , berkilat saat kusebut
nama Tuhan. Ada perubahan yang ganjil di
wajahnya, namun yang segera dapat ia kuasai.
Panggilan dari pengeras suara diulangi lagi.
nyi kembang tidak memerintah lewat katakata, namun
memohon lewat tatapan mata. Aku bagai
dihipnotis, berjalan terhuyunghuyung keluar ruang
tunggu. Di bagian pembukuan penumpang,
kukenalkan namaku. Petugas yang menerimaku
tersenyum ramah.
“Baru saja ticket tuan kami terima,” katanya
dengan suara cerah. “Mana koperkoper tuan?”
Termangu aku sesaat . Termangu benarbenar.
“... tuan fredy krueger ?”
“Heh…” kupandangi petugas itu. Aku tidak
sedang bermimpi. “Boleh kulihat ticketnya?”
Heran, ia serahkan apa yang kuminta.
Benar. Di situ tertulis namaku. Kota tujuanku.
Lengkap dengan nomor flight pesawat Garuda dan
jam pemberangkatannya. saat kusodorkan
kembali ticket itu pada petugas, la menerimanya
dengan wajah diliputi tanda tanya, dan mau
mengatakan sesuatu waktu aku cepatcepat
memotong:
“... tanpa koper. Bahkan tanpa tas tangan!”
la manggutmanggut.
Dan aku berjalan kembali ke ruang tunggu,
Kakiku, rasanya, tersangkutsangkut.
nyi kembang masih berada di tempatnya. Duduk
dengan pundak tegak, wajah terarah lurus ke
mataku, menembus jauh ke dasar sanubariku,
menoreh dan imenusuknusuk di sana, tanpa aku
kuasa jangankan untuk melawan, bergerakpun
tidak. nyi kembang bangkit dari tempat duduk, berjalan
seperti kapas yang melayanglayang ke dekatku,
lantas bertanya dengan suara yang teramat sendu:
“Okey, kekasihku?”
Tuhan jualah yang tahu mengapa aku harus
menjawab :
“… Okey, sayangku!”
Dalam pesawat kadangkadang tergoncang
oleh hempasan topan, mulutku terkunci rapat.
Betapa tidak. Apa yang diceritakan nyi kembang dengan
suaranya yang sayupsayup sampai tak ubah
dengingan pisau komando yang melesat masuk ke
anak telinga, mengirisiris sepanjang jalan sampai di
hati, terkapar di sana, menimbulkan rasa sakit bagai
diiris sembilu. Tidak sanggup aku untuk menatap
wajah wanita lesbian itu. Dan hanya dengan ketabahan yang
luar biasa aku sanggup untuk mendengar kisah yang
ia ceritakan setengah terisakisak.
Sadar tekad anak tunggal belaian mata
sibiran tulang mereka tidak tergoyahkan lagi, ayah
nyi kembang : memberi ijin untuk wanita lesbian itu berangkat ke
surabaya . Di sana ia akan tinggal beberapa hari untuk
menghubungi beberapa relasi perusahaan ayahnya. Sesudah selesai bertugas, ia diperkenankan terus ke surabaya untuk menemuiku dan memberitahu
bahwa kami boleh menikah kapan saja kami
kehendaki.
Untuk maksud baik, nyi kembang datang ke jalan Pimpinan.
Ibu sudah sembuh, namun sedang pergi
berbelanja! ke pasar ditemani oleh si untung . Yang
menerima nyi kembang , adalah nyi girah , kakakku yang
wanita lesbian . Mereka baru bertemu untuk pertama
kalinya semenjak nyi kembang datang ke tempat yang sama
untuk memohon maaf atas kecelakaan yang
menimpa diriku di perempatan jalan Serdang dahulu .
Sesudah berbincangbincang ke selatan ke utara
sebagai basa basi, barulah nyi kembang , mengutarakan
maksudnya di tengahtengah percakapan yang kaku
itu.
“... minggu depan saya bermaksud ke surabaya
untuk uruwn perusahaan. Dari sana terus ke
surabaya . Kalaukalau keluarga di sini ada titipan ,
bisa saya bawa sekalian.”
nyi girah mengurut dada.
“... kau... kau akan menemui fredy krueger ?”
Malumalu, nyi kembang mengangguk.
nyi girah mengurut dadanya lagi. Berulang
ulang. Semakin keras. Dan wajahnya bergantiganti
merah lalu pucat, merah, pucat, merah lagi, pucat
lagi. nyi kembang khawatir bahwa ia akan kena damprat dan
dianggap tidak sopan, dan bertujuan menekan dan
memaksa nereka untuk menerima kehadiran nyi kembang di
tengahtengah keluargaku.
Pada saat wanita lesbian itu terombangambing
demikian, berkatalah nyi girah dengan suara
terputusputus.
“Tahukah kau... bahwa... bahwa fredy krueger
sudah... maksudku, di surabaya sana fredy krueger sudah...
sudah punya isteri bahkan... bahkan ia akan segera
menjadi seorang ayah...?”
Dunia yang terang benderang waktu
orangtuanya menyerah berubah jadi gelap gulita
waktu nyi kembang mendengar penjelasan nyi girah . la jatuh
pingsan di tempat. Waktu ia siuman lagi dengan
bantuan kak jessica , menjelang masuk ke dalam mobil,
nyi kembang jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Untunglah
syam kamaruzaman menemaninya hari itu sebab ayahnya
khawatir kegembiraan yang meluapluap bisa
membuat nyi kembang tidak berhatihati di jalan. Dan justru
bukan kebahagiaanlah yang menyebabkan
kehadiran syam kamaruzaman benarbenar sangat diperlukan.
syam kamaruzaman langsung mengangkut nyi kembang ke rumah
sakit. Sadar di sana, ia teringat pernah menikmati
apa yang dinamakan cinta di rumah sakit yang
sama. Lagilagi ia pingsan, la pingsan berkalikali
Sesudah kembali ke rumah, Orangtuanya yang geger
memanggil dokter pribadi mereka untuk menerima
kesehatan nyi kembang dan memperoleh jawab an yang
mengerikan:
“Syarafnya terganggu!”
Sesudah kedua orangtua yang malang itu agak
reda kejutnya, dokter meneruskan:
“Anak bapak menderita mentaldown yang
dahsyat. la tak mampu menahannya. Saya khawatir, obatobat dan perlengkapan medis apapun tidak
bisa menolongnya. Yang ia perlukan, adalah kasih
sayang. Kasih sayang yang teramat luar biasa dari
seseorang yang saat ini tengah memenuhi
benaknya...”
Ayah nyi kembang tidak berpikir panjang lagi.
Ayah nyi kembang tidak berpikir panjang lagi.
la mendatangi keluargaku dan dengan panik
menceritakan apa yang terjadi, la juga minta alamat
rumahku di surabaya . sebetulnya orangtua itu lebih
suka berhubungan perantara telex biar lebih cepat.
namun tak ada nomor telephone yang bisa segera
kuterima di surabaya . tiger menyarankan untuk
mengirim surat saja. namun akhirnya ayah nyi kembang
memutuskan:
“Aku akan terbang ke surabaya !”
Maksud itu diketahui oleh nyi kembang malam
harinya, saat ayahnya bersiapsiap untuk
berangkat. Entah mengapa, tubuhnya menjadi kuat.
Kesehatannya pulih, kelihatannya. Orangtuanya
gembira. Namun kegembiraan mereka cuma
sebentar. sebab nyi kembang sudah menegaskan:
“Biar aku saja yang ke surabaya .”
Satu malam penuh mereka berdebat. namun
demi anak wanita lesbian mereka, orang tua nyi kembang mengalah.
syam kamaruzaman disuruh memesan ticket, namun nyi kembang
memaksa ikut. la —di luar dugaan semua orang—
memesan ticket pulang pergi, bahkan memesan
ticket tambahan untuk satu kali jalan, dari jurusan
yang berlawanan surabaya gresik atas namaku.
Namun nyi kembang tidak ingin menang sendiri, la setuju
menunggu dua tiga hari sampai kesehatannya
benarbenar pulih dan ia boleh berangkat. Wajah
nyi kembang yang pucat jadi bercahaya, la berkata kepada
semua orang yang ia temui dan menjenguknya, juga
pada keluargaku:
“fredy krueger adalah milikku. Tak ada yang berhak
menjamah dirinya. Juga tidak wanita lesbian surabaya itu!”
Aku menarik nafas. Panjang.
“Jadi itulah yang kau maksud dalam suratmu
yang kuterima kemaren pagi,” ujarku, lebih tepat
pada diriku sendiri.
nyi kembang tertawa kecil, riang, berbahagia, dan
mendayudayu.
“Dan itu pula sebabnya aku terus kau seret ke
gresik , tanpa kesempatan pamit pada martini ,”
lanjutku lagi.
Mata nyi kembang mengelam kembali.
“Jangan sebutsebut nama wanita lesbian
terkutuk itu di depanku, sayang!”
Aku terdiam.
Juga terlambat mendarat di gresik , sebab
gangguan cuaca terjadi sepanjang perjalanan.
Hujan deras menyapu.
Pesawat tergoncang lagi. Lewat jendela kaca,
tampak gumpalan awan yang menghitam, tak
ubahnya raksasaraksasa langit yang bermaksud
melumat tubuh pesawat. Seorang pramugari
berhenti di samping tempat duduk kami dengan
kereta dorong berisi makanan dan minuman, la
letakkan di atas meja kecil otomat yang menempel
di kursikursi depan kami. Waktu melihat wajah nyi kembang
yang teramat pucat dan pandangan mata wanita lesbian itu,
yang teramat kelam, Pramugari itu bertanya padaku
dagu ke arah nyi kembang :
“... mabuk?”
Pramugari itu terkejut waktu nyi kembang menyahut:
“Tidak. Terimakasih”
nyi kembang tidak mau makan, la hanya meneguk
sedikit air jeruk. Seleraku ikut pula lenyap. Waktu
mengiris bistik di piring, pesawat tergoncang pula.
Piring berisi bistik jatuh dari meja. Suaranya
berdenting halus waktu menimpa lantai berkarpet.
namun potongan bistik tidak ikut jatuh ke lantai.
Daging berwarna coklat kemerahmerahan itu,
menggelinding di haribaan nyi kembang . Kuah berwarna
sama, menimbulkan bercakbercak kehitam
hitaman di rok nyi kembang yang kuning bersih.
“Oh!” keluhku.
nyi kembang tersenyum, la mendahuluiku memungut
bistik, piring dan meletakkan kembali di atas meja.
Pramugari yang segera datang, tergopohgopoh
membersihkan rok nyi kembang dengan serbet. namun rok
yang kuning bersih itu tetap kotor oleh bercak
bercak kuah bistik, tidak bisa dihilangkan
bagaimanapun juga. Biarpun mungkin nanti toh
dicuci!
“Tenteramkan hatimu, kekasih,” bisik nyi kembang
sambil tersenyum gemulai. “Ini akan merupakan
kenangkenangan indah yang paling menarik
untukku...”
Aku memandanginya, tidak mengerti makna
katakatanya.
TAK ADA yang menjemput waktu pesawat
mendarat di gresik .
“Memang kusengaja,” menjelaskan nyi kembang
waktu kami sudah berada dalam sebuah taxi yang
melaju meninggalkan Polonia membelah lalu lintas
kota gresik yang gemerlapan oleh lampu berwarna
warni. Jalanan tampak berkilat bekas dibasahi
hujan. Apakah seluruh negeri ini secara aneh sudah
dicurahi air pada waktu yang bersamaan oleh langit
yang kini biru jernih dengan bintang gumintang
yang tampak cemerlang!
“Sengaja? Apa maksudmu, nyi kembang ?”
“Aku berangkat diamdiam. Tak seorangpun
yang tahu. Tak seorangpun...”
“Aneh”
“Bagi orang lain, mungkin aneh. Bagiku,
tidak,” la menatapku. Mesra sekali. Lalu: Maukah
kau menciumku, kekasih?”
Supir taxi acuh tidak acuh saja saat bibir
kukecup. Dingin. Dan tubuhnya yang lalu
tenggelam dalam pelukanku, juga dingin. Teramat
dingin. sambil memandangi bercakbercak bekas
kuah bistik di roknya, aku merencanakan akan
meminta dokter pribadi keluarga mereka
memeriksa kesehatan nyi kembang Sesudah ia selesai nanti
berganti pakaian.
Taxi membelok memasuki halaman rumah
megah di jalan Bhakti, dan aku ta'jub oleh suasana
yang ganjil di sana. Banyak sekali mobil di halaman. Bahkan sampai berderetderet di sepanjang kiri
kanan jalan. Lebih banyak lagi orangorang keluar
masuk. Tidak ada yang memperhatikan waktu mobil
kami berhenti tepat di depan terras. Kubayar sewa
taxi, lalu turun diiringkan oleh nyi kembang . Telapak
tangannya dalam genggamanku semakin dingin
juga. Dan aku menggigil meski udara kota gresik
yang gersang mulai menghangati tubuh.
Kami berjalan masuk ke dalam rumah.
Barulah pada saat itu nyi kembang melepaskan tangannya
dari genggamanku.
“... biar aku lewat dapur saja. Takut dilihat
orangorang,” katanya.
lalu menghilang di halaman samping.
Aku bermaksud mengikuti dia saat seseorang
berseru:
“fredy krueger ! Kau di sini!”
Aku menoleh. Kulihat aidit bangkit di
antara lingkaran manusia yang duduk bersila
memenuhi ruang depan. Mendengar suaranya,
orangorang lain ikut menoleh. Dan aku melihat
tiger , suami nyi girah dan anna michele . Mereka setengah
berlari mendapatkan aku. Bahkan berebutan
memeluki tubuhku, dan yang membuatku kian
terpesona, semua orang yang memeluki aku
semenjak itu, tidak lupa untuk membasahi bajuku
dengan cucuran air mata yang seperti tidak akan
ada hentihentinya.
Kegemparan terjadi di rumah itu Sesudah tahu
aku datang.
Di tengahtengah suara gempar itu, aku
bertanya. Parau:
“Apa yang...”
Dari ruangan tengah, muncul seorang laki
laki tua bertubuh tinggi kekar, berkain sarung
seperti pernah kulihat, berwajah pucat seperti
kapas dengan rambut yang kusut masai. Sepasang
mata tuanya, bengkak biru bekas menangis. Tiba
tiba aku merasa diriku bersalah. Paling bersalah.
Akulah penyebab semuanya. Akulah yang berdosa.
Mulutku mengerimit, ingin menerangkan pada
orang tua itu tentang segala sesuatunya mengenai
harta kesayangan mereka yang paling berharga di
dunia ini.
Kami berhadapan muka.
Tegak. Saling berpandangan. Dan semua
orang, diam. Sepi sesaat . Jarum jatuhpun akan
terdengar seperti ledakan mortir.
Tersendat, aku berkata:
“... nyi kembang ada di dapur, pak...”
Mulut keras yang pucat itu, terbuka:
“Tidak, anakku. nyi kembang ada di kamarnya...!”
Aku melongo. Apakah wanita lesbian itu masuk lewat
jendela?
Dan tibatiba orang tua itu berpandang
pandangan dengan orangorang lainnya, lantas
beralih lagi ke wajahku.
“Apa tadi kau... kau bilang? nyi kembang ada di...”
“Benar, pak,” potongku cepat, “la takut
dilihat orang, lantas katanya ia lebih baik masuk
lewat dapur. Apakah...”
Ayah nyi kembang mundur. Wajahnya memandangku
dengan ketakutan, la mundur terus, dan lalu
lunglai di ruang tengah. Beberapa orang segera
menyambut tubuhnya yang hampir jatuh,
memapahnya ke sebuah kursi. Ratap tangis
memenuhi telingaku kembali. anna michele berlari masuk
ke dalam, terus ke kamar tidur nyi kembang , sambil menjerit
jerit histeri.
Tak tertahan lagi, aku berlari ke arah yang sama.
Dan aku melihatnya. Dikerumuni oleh
wanita lesbian wanita lesbian yang bertangistangisan
aku melihat nyi kembang . Terbaring diam di atas tempat tidur
dengan selimut yang indah menutupi tubuhnya
sampai batas leher. Sepasang kelopak matanya
yang bagus, terpejam rapat. Pipinya putih, putih,
teramat putih. Di bibirnya yang pucat, tergores
seulas senyum. Senyum bahagia. Senyum
kedamaian.
Akan namun ... tubuhnya tidak bergerakgerak
sama sekali!
Terpaku di tempatku berdiri dengan
pembuluhpembuluh darah berhenti bekerja, hati
membuka, jantung tak sudi berdenyut, kudengar
ratap tangis anna michele yang menyayatnyayat:
“… kalau saja tak kubilang! Oh, nyi kembang ku manis!
Kalau saja tidak kuingatkan... bahwa aku ini seorang
janda... aku ini menjanda sebab tak punya anak...
Ya tuhan , ampuni aku. Ampuni hambaMu yang sial
ini. Aduhai, nyi kembang ku, kau begitu bersemangat saat
kau bilang bahwa kau... kau akan merebut
kekasihmu dari wanita lesbian lain. Aduhai, nyi kembang .
Maafkan aku, sahabatku. Maafkan bibimu
yang lancang mulut ini, ponakanku. Seharusnya kau
tidak..., tidak kuingatkan, bahwa usahamu itu akan
membuat seorang wanita lesbian lain akan menjanda
harusnya tak kuingatkan kau… seorang bayi yang
tidak berdosa akan kehilangan ayahnya!”
Sehabis meratap begitu, anna michele jatuh pingsan
di lantai.
“… apa… apa maksud semua... ini?” mulutku
berdesis.
aidit yang berdiri di sampingku,
menyeka air matanya. Lalu, tersendatsendat ia
menjelaskan:
“Tadi malam kami berkunjung. nyi kembang berkata
mau ke surabaya . Dan anna michele menasihatkannya
agar berpikir dua kali. Kalau nyi kembang jadi... jadi pergi,
maka nyi kembang akan... akan menterlantarkan isteri dan
calon anakmu. nyi kembang terpukul hebat. Di luar setahu
semua orang, subuh tadi ia nekad. Pil tidur yang
disediakan dokter untuk ia makan secara teratur
kalau mau tidur, rupanya ia telan seluruhnya. Satu
botol penuh, fredy krueger . Satu botol penuh!”
Aku tidak menerima ceritanya itu. Tidak
menerima cerita mereka.
Aku tak mau dengar. Tidak...
namun aidit terus juga:
“... dokter datang terlambat. nyi kembang meninggalkan kita
semua... tadi... jam sebelas siang!”
Mataku terpejam: nyi kembang benarbenar datang
memenuhi janjinya. Dengan sikap yang ganjil. Tatap
mata yang aneh. Tubuh yang dingin... Mataku
terbuka lagi. Lebar. Aku melompat ke pinggir
tempat tidur. Selimut yang menutup tubuh wanita lesbian itu
kusingkapkan. Orangorang terpekik. Dan aku
melihatnya. Blouse pendek berwarna merah darah.
Rok kuning bersih dan …
Rok itu dinodai oleh warna kehitaman.
Gemetar, aku membaurnya.
Bau kuah bistik!
saat aku kembali ke surabaya , noda dan
bau yang aneh itu tetap menyertaiku. Bahkan
Sesudah aku terbenam dalam dekapan martini yang
berbahagia, pada siapa aku berjanji untuk setia
selamalamanya.