catatan editor dan opini, menolak dengan keras stereotip ini . Terbitan
Guardian khusus hari Minggu, Observer, mengkritisisi ide “kemarahan
Muslim” sebagai sesuatu yang “hampir rasis”, yang menurut mingguan
ini mendominasi perdebatan mengenai video di atas. Kolom itu
menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman yang lebih bernuansa dan
kontekstual mengenai respon kaum Muslim atas penghinaan agama telah
melanggengkan kesan tentang mereka sebagai komunitas yang kurang
memakai akal sehat, dan sebab nya mendorong Barat untuk terus
berhubungan dengan kaum Muslim “hanya melalui bahasa permusuhan.
Bahkan saat kita mengualifikasi laporan kita dengan menisbatkan
tindak kekerasan hanya kepada kelompok-kelompok kecil ekstrem
dan bukan seluruh “dunia Islam”, hal itu tetap menyesatkan sebab ia
menyamakan reaksi ekstremis dengan ledakan yang dipicu, digerakkan,
atau dinyalakan oleh api provokasi. Laporan-laporan seperti itu telah
menghapuskan agen – pilihan-pilihan yang sengaja dibuat oleh makelar
politik yang memakai kesempatan untuk memprovokasi reaksi
berlebihan. Dengan gagal mengenali peran-peran menentukan yang
dimainkan aktor-aktor ini, masyarakat lalu menyalahkan aturan yang ada:
jika benar kalangan konservatif agama telah diprogram oleh kepercayaan
mereka untuk menyebabkan kerusakan saat dihadapkan kepada konten
provokatif, maka satu-satunya pilihan yang dimiliki masyarakat pecinta-
damai yaitu berperang melawan kelompok-kelompok ini atau
menyensor materi yang membuat mereka tersinggung. Jika, sebaliknya,
pelintiran kebencian yaitu sebuah tindak kewirausahaan politik, seperti
yang ingin saya demonstrasikan, maka kebijakan lain bisa diambil sebagai
pilihan. Kita tak lagi menghadapi pertempuran sia-sia melawan kekuatan
transenden, namun hanya berada dalam kontes yang tidak “habis-habisan”
melawan politisi dan aktivis yang bisa dihadapi dengan kebulatan tekad
25
yang cukup dan akal sehat.
Mitos ketersinggungan yang otomatis dan spontan telah dipelihara
tidak hanya oleh agen pemelintir kebencian tapi juga oleh lawan garis keras
mereka. Keduanya diuntungkan dengan mengesampingkan suara-suara
masuk akal dan memotret ketersinggungan ekstrem dan intoleran sebagai
ekspresi otentik dan alami dari opini komunitas religius. Agen pelintiran
kebencian diuntungkan sebab dia diperlakukan sebagai jurubicara yang
tulus dan jujur dari satu komunitas, meskipun kerap kali pandangan
komunitas ini kurang direpresentasikan. Lawan dalam bayangan-cermin
mereka juga diuntungkan, sebab membesar-besarkan pengaruh ekstremis
membantu mereka menjustifikasi intoleransi garis keras mereka sendiri.
Memutus hubungan saling-tergantung dalam pembuatan mitos
seperti di atas membutuhkan beberapa upaya. Kontra-bukti yang
paling kuat yaitu sifat ketersinggungan yang tidak pernah konsisten,
terutama distribusinya yang tidak merata secara ruang dan waktu.
Ketersinggungan jarang melanda semua umat beragama, dan selalu ada
jeda antara kemunculan kerja menyinggung dan pecahnya kemarahan
akibat aksi menyinggung ini . Salah satu seniman yang paling
dihormati di India, almarhum Maqbool Fida Husain, membuat sketsa
telanjang Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan, pada pertengahan 1970-an.
Namun baru pada 1996 para chauvinis Hindu menuduh bahwa gambar
itu menyinggung Hinduisme, yang selanjutnya memicu penyerangan atas
galeri, serangkaian penyelidikan oleh polisi terhadap Husain, yang diakhiri
dengan pengasingannya. Pemilihan waktunya lebih tepat dinisbatkan
kepada meningkatnya kebutuhan nasionalis Hindu akan simbol untuk
menunjukkan bahaya sekularisme daripada segala yang direpresentasikan
dalam gambar aslinya, seperti dikatakan Salil Tripathi, seorang penulis
dan advokat kebebasan berekspresi. Sebelum kemunculan nasionalisme
Hindu yang baru-baru terjadi ini, penistaan merupakan konsep asing
bagi agama. Didukung oleh pemahaman individual Hinduisme tentang
bagaimana penyembah harus berhubungan dengan para dewa, umat
Hindu menegakkan berbagai candi yang diperelok dengan adegan-adegan
bukan saja dewi-dewi telanjang namun juga berbagai bentuk persetubuhan,
termasuk antara manusia dengan hewan. Jika dibandingkan dengan itu
semua, lukisan Husain tidak ada apa-apanya. “Tidak vulgar dan tak pula
bersifat mengolok, sketsa Saraswati oleh Husain mengundang kekaguman.
Namun zaman telah berubah,” tandas Tripathi.54
Peran Makelar
Jika simbol-simbol provokatif tidak selalu dan di mana saja memantik reaksi
keras, pasti faktor-faktor lain ikut campur tangan menentukan bagaimana
orang-orang di waktu dan tempat tertentu merespon. Campur tangan
ini datang dari makelar yang memutuskan apakah menjadi kepentingan
mereka untuk mengubah provokasi potensial menjadi protes total. Ilmuwan
politik Paul Brass menunjukkan hal ini dalam studi etnografisnya tentang
kekerasan kolektif di pedesaan India.55 Pada pandangan pertama, tampak
bahwa kekerasan Hindu-Muslim yang sering terjadi di India mendukung
teori tentang keyakinan agama yang secara alamiah tidak kompatibel satu
sama lain dan saling serang. Namun Brass menemukan bahwa sengketa
tingkat desa di Uttar Pradesh bisa bereskalasi menjadi kekacauan komunal
hanya dalam beberapa kasus tertentu dan tidak pada yang lain. Mengubah
sengketa kecil menjadi insiden besar membutuhkan apa yang dia sebut
“sistem kerusuhan yang terlembagakan” (institutionalized riot system) pada
tingkat lokal. Proses ini diarahkan oleh jaringan spesialis yang memiliki,
baik kapasitas maupun motivasi untuk menafsirkan kejadian ke dalam
cara-cara yang kondusif bagi kekerasan massal. Mereka memobilisasi
massa, yang berperan sebagai “pemeran pendukung yang amat banyak,”
yang percaya bahwa mereka bertindak sesuai kepentingan mereka sendiri
namun kerap kali menjadi pihak yang akhirnya dirugikan – warga desa
yang akhirnya sering ditangkap, dipukuli, atau dibunuh polisi. Melalui
proses-proses ini , pertikaian sehari-hari di antara pencuri yang
memperebutkan sebuah patung, misalnya, bisa ditransformasi menjadi
aksi membela agama Hindu melawan importir milenial (Muslim).
“Kerusuhan, sebab nya, merupakan bentuk-bentuk aksi kolektif yang
separuh terorganisir dan separuh lainnya spontan, yang didesain untuk
tampak atau dibuat untuk tampak setelahnya sebagai ekspresi spontan
perasaan yang populer.”56
Pengamatan para sarjana ini diperkuat oleh orang-orang yang
berpengalaman mengurusi krisis-krisis seperti ini di lapangan. Salah
satunya yaitu mantan anggota kepolisian di negara bagian Gujarat, India,
bagian, dipimpin Narendra Modi, menolak bertanggungjawab. Pemerintah
mengklaim bahwa kekerasan merupakan reaksi yang dapat dipahami atas
kebakaran kereta api yang fatal, yang dituduhkan kepada para pembakar
Muslim, yang menewaskan belasan peziarah Hindu. Namun kemudian
Sreekumar berubah menjadi pelapor pelanggaran (whistleblower),
menyodorkan bukti dalam jumlah besar yang menunjuk arahan-arahan
politis tingkat tinggi dan keterlibatan polisi dalam kerusuhan di atas. Antara
lain, Sreekumar mengungkap ketimpangan persebaran geografis tewasnya
korban. Di tempat-tempat di mana para penegak hukum benar-benar
bekerja menurut prosedur operasional standar untuk mengatasi gangguan
komunal, insiden kematian hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak
terjadi, bahkan di wilayah di mana kekerasan komunal pernah terjadi.58
Anggota senior lain, Harsh Mander, juga mempertaruhkan jabatannya
untuk berbicara terbuka. “Ini bukan ledakan kemarahan massal spontan.
Ini pembunuhan massal terorganisir yang terencana,” tulisnya di sebuah
blog yang kemudian dipublikasikan oleh media arus utama.59 Katanya,
pandangan bahwa negara bagian India kurang kapasitas untuk menekan
kekerasan massal tidak punya pijakan yang kokoh. “Tidak ada kerusuhan
yang bisa berlangsung lebih dari beberapa jam tanpa keterlibatan negara.
Ini pembantaian yang disponsori negara.”
Dalam buku ini, saya tidak hanya menaruh perhatian pada kekerasan
komunal, tapi juga pada serangan keagamaan dalam kategori yang lebih
umum. Namun demikian, apa yang para ilmuwan dan aktivis temukan
terkait kerusuhan jelas dapat diterapkan ke dalam jenis-jenis insiden yang
ditelaah di sini. Ketersinggungan, seperti hasutan kekerasan kolektif, yaitu
satu strategi politik – seberapa pun meyakinkannya hal itu dibungkus
dalam apa yang Brass sebut sebagai “wacana kepercayaan dan sentimen
(keagamaan).” Hal ini menunjukkan tingkat selektivitas dan kecanggihan
yang sama dengan para aktor politik yang pilihan-pilihannya lebih
ditentukan oleh kepentingan-kepentingan prosais (duniawi) dibandingkan
dengan pembelaan terhadap Tuhan. Memang, “sistem kerusuhan yang
terinstitusionalisasi” bisa jadi sebuah istilah yang kurang cocok, sebab
ia merujuk kepada mekanisme yang didesain untuk membuat kekerasan
kolektif yang episodik. Konflik-konflik kekerasan di antara komunitas-
komunitas etnis yaitu satu-satunya keluaran yang mungkin dalam
repertoar sistem ini. Tombol yang agen pilih untuk ditekan malah bisa
mendorong massa untuk menuntut sensor yang lebih ketat, menyerang
rumah-rumah penerbitan, dan selanjutnya.
Hukum tidak bisa memperlakukan ketersinggungan sebagaimana
ia memperlakukan ujaran kebencian. Negara harus bertindak melawan
hasutan, namun hukum yang berlaku melawan penghinaan agama punya
dampak menumbuhkan hak untuk menyerang orang lain, memaksa
negara untuk datang menyelamatkan mereka yang lantang menyuarakan
ketersinggungan yang mereka anggap benar. Sistem semacam ini bisa
dianggap baik-baik saja jika tidak ada orang yang teriak minta pertolongan
saat tak dibutuhkan – jika orang mengeluh hanya saat percaya bahwa
ketersinggungan ini merupakan gejala bahaya yang lebih serius. Sistem
ini juga membutuhkan etika timbal-balik (resiprositas): orang harus
menghormati perasaan orang lain jika ia mau perasaannya dihormati
oleh yang lain. Sayangnya, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan
mengenai kelompok-kelompok yang memakai hak untuk tersinggung
dalam cara-cara yang resiprokal dan terkendali. Sebaliknya, dalam buku ini
saya menunjukkan bagaimana agen pemelintir kebencian mempolitisasi
ketersinggungan sebagai taktik untuk meningkatkan kuasa kelompoknya
atas yang lain. Ini bisa memproduksi budaya ketersinggungan yang
mengecilkan nilai-nilai toleransi dan mutualitas yang dibutuhkan oleh
demokrasi.
Industri yang Berkembang?
Pada November 2013, saya berbicara dalam sebuah panel di Bangkok
bersama aktivis sosial Pakistan Sabeen Mahmud. Tahun itu yaitu
tahun yang menyibukkan Mahmud. Dia berbicara mengenai kampanye
sosial medianya berjudul “Hugs for YouTube”, memprotes larangan yang
diberlakukan oleh otoritas Pakistan terhadap platform berbagi video setelah
dirilisnya video Innocence of Muslims.62 Dia juga meluncurkan kampanye
yang mengolok-olok larangan pemerintah untuk merayakan Hari Valentine
dan mengembangkan laman yang bersumber dari orang banyak untuk
menyebut dan mempermalukan mereka yang menulis ujaran kebencian
secara daring. Tampak ceria dan suka berbagi, dia yaitu ikon berjalan dan
murah senyum nilai-nilai kosmopolitan yang ditemukan dalam fragmen
liberal masyarakat madani Pakistan, yang juga obat mujarab menentang
pelintiran kebencian.
Pada April 2015, Sabeen Mahmud, berusia 39 tahun, tewas ditembak
di dalam mobilnya. Pemegang otoritas memunculkan tersangka yang
menyatakan bahwa pembunuhannya yaitu sebuah pembalasan dendam
atas kampanye Hari Valentine, hal ini tampak mendukung pernyataan
polisi bahwa Mahmud telah menjadi target kaum ekstremis keagamaan.
Tapi Jurnalis Veengas Yasmeen yaitu satu dari banyak orang Pakistan
yang tidak percaya pada kisah itu. “Mengapa sekarang? Bukankah protes
Hari Valentine dilakukan dua tahun sebelumnya?” tandasnya.64 Kalangan
skeptis lainnya percaya bahwa Mahmud dibunuh sebab dia, beberapa jam
sebelumnya, menyelenggarakan sebuah forum tentang hak asasi manusia
yang membahas penyiksaan di Balochistan, tempat di mana militer
Pakistan terlibat dalam operasi kontra-pemberontakan yang brutal.65
Meskipun tidak unik, pembunuhan Sabeen Mahmud yaitu suatu
kasus keji dan mengerikan dalam hubungan antara intoleransi agama dan
oportunisme politik. Hampir bersamaan dengan pembunuhan Mahmud,
blogger “ateis” diretas hingga mati dalam serangan-serangan terpisah di
Bangladesh.66 Menurut mayoritas pengamat, peristiwa ini tampak sebagai
kasus lumrah buka-dan-tutup kaum fanatik agama yang dibuat tidak
senang oleh ekspresi ofensif. Namun, di mata para jurnalis dan pejuang
penegakan hak asasi manusia, para blogger ini menjadi target bukan semata
sebab pandangan religius mereka, namun sebab pengaruh mereka dalam
protes publik yang menuntut hukuman mati bagi pemimpin Islam yang
menjadi tersangka dalam pengadilan kejahatan perang Bangladesh yang
memecah-belah.Ini merupakan konteks kampanye kotor yang memfitnah
mereka sebagai anti-Islam, sebuah kampanye di mana panitia bentukan
pemerintah memainkan peran penting menyusun satu daftar berisi 84
blogger yang dianggap bersikap ofensif.68 Mereka yaitu pion, yang hancur
dan menjadi korban gesekan antara pemerintah partai Liga Awami dan
kelompok Islamis yang ingin dibuat senang atau dinetralisasi pemerintah.
Pembunuhan para blogger tetap berkelabut misteri, namun narasi “sekular
versus ekstremis” yang dipilih oleh laporan-laporan berita malah makin
mengaburkan, bukan mengungkapnya.
Kita akan melupakan dinamika-dinamika di bawah permukaan ini
selama kita puas kepada pernyataan-pernyataan yang dengan gampang
menganggap intoleransi dan kemarahan sebagai penyebab kekerasan.
Memang, kecenderungan kita untuk menerima tanpa kritik narasi
superfisial bisa jadi sebuah alasan mengapa para eksponen pelintiran
kebencian mampu menumbuhkannya dengan subur. Massa keagamaan
irasional yang mengamuk menjadi sampul cerita yang menarik bagi aktor-
aktor politik yang ingin menutupi kepentingan egois mereka. Mereka bisa
bersembunyi di balik ide benturan peradaban, yang membuat manifestasi
apa saja dari intoleransi keagamaan – sensor, kerusuhan, pembunuhan
– tampak sebagai ilustrasi lain saja dari nilai-nilai yang bertabrakan.
Pembingkaian semacam ini juga memungkinkan mereka untuk memanggil
nama orang, tidak hanya Tuhan. Mereka bisa mengambil keuntungan
dari naiknya populisme, yang menjadi ganjaran bagi aktor politik yang
dipandang merepresentasikan kerumunan yang besar dan bersuara keras.70
Alasan kedua mengapa kita harus berharap menjamurnya pelintiran
kebencian keagamaan pada tahun-tahun mendatang yaitu kegunaan
agama dalam kerja-kerja pembingkaian yang selalu dibutuhkan oleh
aksi-aksi kolektif. “sebab ia yaitu sumber emosi yang sangat bisa
diandalkan, maka agama yaitu sumber pembingkaian gerakan sosial yang
terus berguna,” kata sosiolog politik Sidney Tarrow. “Agama menawarkan
simbol-simbol yang sudah siap pakai, ritual, dan solidaritas yang bisa
diakses dan dimanfaatkan oleh para pemimpin gerakan.”71 Kaitan-kaitan
seperti ini bisa menjadi kekuatan yang besar untuk tujuan-tujuan kebaikan.
Perhatikan, misalnya, penggunaan bingkai Kekristenan oleh Pendeta
Martin Luther King Jr. dan Uskup Agung Desmond Tutu dalam mendukung
perkembangan kesetaraan manusia masing-masing di Amerika Serikat
dan Afrika Selatan. Di tangan para pemimpin gerakan, agama apa pun
merupakan sumber daya yang bisa ditempa, untuk hal baik maupun buruk.
Agen pemelintir kebencian bisa memanipulasinya untuk mempromosikan
intoleransi.
Ketiga, pelintiran kebencian bisa saja tumbuh sebagai reaksi atas
globalisasi. Globalisasi tak hanya mengembangkan kesempatan bagi orang;
ia juga mengganggu dalam skala besar dan secara intim.72 Globalisasi
memaksa orang untuk berhadapan dengan orang-orang asing dan nilai-
nilai mereka, baik dengan tatap muka langsung maupun lewat media.
Orang yang takut terhadap perubahan yang dibawa globalisasi kerap
menginginkan ide-ide sederhana yang memberi rasa stabilitas yang
menenangkan. Pelintiran kebencian memenuhi kebutuhan ini dengan
visi sebuah komunitas yang saling berpegang erat dan bersatu melawan
musuh bersama. Ia mengonversi kegelisahan yang rasional dan defensif
menjadi mode penyerangan yang paranoid, yang bisa melibatkan ujaran
kebencian terhadap kelompok minoritas, rekayasa ketersinggungan atas
simbol ketidakadilan, atau keduanya. “Rasa takut melibatkan tabiat paling
buruk dalam wilayah keagamaan,” kata Martha Nussbaum.73
Akhirnya, dalam satu era saat ekonomi dunia tumbuh sangat lambat,
pemimpin yang sulit menyampaikan janji-janji material bisa merujuk
kepada politik identitas sebagai alternatif kebal-resesi, yang dengan jalan itu
dia membangun kondisi-kondisi yang menyuburkan pelintiran kebencian.
Sifat subyektif dari ketersinggungan membuat pelintiran kebencian sebagai
alat yang ampuh. Meskipun banyak ilmuwan politik memandang ekonomi
sebagai faktor utama yang membentuk perilaku politik seseorang, tidak
selamanya mudah bagi politisi untuk meraih kemenangan hanya dengan
argumen-argumen ekonomi. Banyak politisi yang kekurangan kapasitas
untuk melakukannya. Dan, ada batasan tentang seberapa jauh politisi bisa
membengkokkan kenyataan ekonomi. Klaimnya bahwa sebuah komunitas
sedang menghadapi persoalan material amat berat, misalnya, tidak bakal
memberi efek apa pun jika klaim itu tidak cocok dengan kenyataan yang
terjadi di komunitas ini , atau jika klaim itu dilawan dengan program-
program pemerintah yang tampak nyata berjalan baik. Janji-janji ekonomi
yang didesain untuk menarik satu segmen pemilih tertentu pada gilirannya
juga akan berbenturan dengan biaya yang harus digunakan untuk hal-hal
lain, khususnya dalam kondisi saat pertumbuhan ekonomi berlangsung
lambat atau tidak tumbuh sama sekali.
Sebaliknya, ketersinggungan keagamaan yaitu sumberdaya yang
sangat elastis yang bisa digunakan dengan sedikit biaya politik. Hal itu bisa
dibuat secara virtual hanya dari ruang hampa. Kalau audiens yang disasar
tidak segera melihat ancaman seperti yang diinginkan si politisi, bisa jadi
ini malah menguntungkannya secara politis. Dia bisa menampilkan diri
sebagai juru selamat yang tanggap untuk menitik musuh yang menyamar.
Kata Nussbaum: “Ujung dari gagasan tentang kejahatan tersembunyi
yaitu gagasan tentang intuisi yang lebih unggul.”74 Segera setelah
disulap, ketersinggungan menjadi sulit bagi orang lain untuk dinetralkan.
Jika mereka mencoba menantang pembenaran sebuah komunitas atas
kemarahan mereka, bisa jadi hal ini bahkan akan memperdalam perasaan
terkepung mereka.
Buku ini naik cetak di tengah kekuatiran akan dan ketidakpercayaan atas
fenomena naiknya Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika 2016.
Penyebaran rasa takut melalui sentimen ras dan keagamaan merupakan
keluaran logis, meski tak masuk akal, dari dinamika elektoral yang memberi
penghargaan bagi aktor politik yang giat dan siap memakai pelintiran
kebencian untuk memberinya keunggulan kompetitif. Demokrasi harus
melawan bentuk politik yang destruktif ini. Sebagian, hal ini bergantung
pada dimasukkannya ketentuan konstitusional dan hukum, yang menjadi
subyek bab selanjutnya buku ini.***
Kerangka konstitusional dan legal dapat menjadi faktor pembentuk praktik
pelintiran kebencian. Hukum yang melindungi kebebasan berekspresi
memperluas ruang ujaran kebencian, sedang hukum yang melarang
hasutan berupaya membatasi ruang ini . saat melarang penistaan
atau percederaan terhadap rasa keagamaan, negara tengah menciptakan
celah bagi para agen pelintiran kebencian merekayasa senjata politik berupa
ketersinggungan.
Regulasi terkait ujaran kebencian yaitu wilayah dalam hukum publik
yang sifatnya kompleks dan problematik. Praktiknya perlu melindungi
dua pilar dasar demokrasi: kebebasan dan kesetaraan, secara bersamaan.
Hal itu merupakan tantangan serius sebab hukum yang cacat dapat
mengancam salah satu, bahkan keduanya sekaligus: dengan membatasi
kebebasan terlibat dalam wacana publik yang berguna secara sosial dan
dengan mengompromikan hak-hak kalangan minoritas untuk hidup
sebagai anggota masyarakat yang setara. Itulah mengapa amat penting
memastikan hukum yang berlaku tidak berat sebelah.
Kata-kata dan simbol memang tidak seberbahaya, selayaknya, zat kimia
beracun atau limbah radioaktif. Kekuatannya untuk melukai bergantung
pada besarnya faktor kontekstual yang terbuka bagi interpretasi kultural.
Bahkan, ekspresi publik dari opini yang terlampau fanatik dapat pula
menyumbang efek positif, dengan membuat masyarakat waspada tentang
adanya kelompok penebar kebencian, mendorong terciptanya ujaran
tandingan, atau membiarkan gagasan macam itu dikalahkan melalui debat
terbuka. Seperti api, ekspresi yang provokatif memiliki potensi kreatif
dan destruktif. Mau tidak mau, hukum harus menemukan cara untuk
memfasilitasi yang pertama dan membatasi yang terakhir.
Prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) menyediakan pedoman yang
patut diandalkan. Perjanjian internasional terkait HAM mewajibkan
negara-negara untuk melarang praktik penghasutan diskriminasi atau
kekerasan – namun pada saat yang bersamaan juga tidak mendukung
gagasan pelarangan terhadap penghinaan agama. Bagian terakhir dari
rekomendasi ini lebih kontroversial daripada yang pertama. Bagi
sebagian orang yang berkeyakinan, keengganan pemerintah melindungi
agama dari tindak-tindak pelecehan tampak seperti ketidakadilan tingkat
tinggi. Namun, harus ditekankan bahwa kita hanya merujuk pada respons
hukum. Menggolongkan penghinaan agama sebagai sesuatu yang tidak
dilarang di mata hukum bukan berarti menoleransi perbuatan ini
secara sosial maupun politik. Laporan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menekankan butir ini: Pejabat pemerintah dan pemimpin partai
politik “harus memiliki keberanian untuk secara sistematis mengecam
ujaran kebencian di depan umum,” bahkan saat ujaran ini
dilindungi oleh undang-undang.1
Pada bab ini saya terlebih dahulu akan mengamati standar-standar
HAM secara terperinci, lalu saya akan mendiskusikan tradisi Amandemen
Pertama di Amerika Serikat. Dua kerangka ini , meski berbeda,
termasuk dalam kategori pendekatan liberal modern untuk regulasi
ujaran kebencian. Di sisi lain, seperangkat kebijakan yang lebih tradisional
jauh lebih tidak protektif terhadap kebebasan berbicara, sehingga
memungkinkan pemerintah leluasa untuk mengatur perihal penghinaan
dan penistaan. Tantangan paling serius dan berkelanjutan terhadap
perspektif HAM internasional, yang saya bahas menjelang akhir bab ini,
yaitu usaha negara-negara Islam untuk memasukkan gagasan “penistaan
agama” ke dalam hukum internasional. Perdebatan ini memunculkan
persoalan lebih besar tentang bagaimana seharusnya sebuah konstitusi
mengakomodasi alasan-alasan keagamaan dalam perangkat hukum.
Mendapat wawasan dari sosiologi agama dan ilmu perbandingan politik,
saya beranggapan bahwa demokrasi yang plural dan toleran bukan berarti
harus menendang agama keluar dari ruang publik. Namun keseimbangan
antara otoritas keagamaan dan sekular harus memberi tempat utama
kepada aturan-aturan hukum.
Hukum HAM internasional menyediakan kerangka kerja guna
menyeimbangkan kebebasan berekspresi dan hak-hak yang berpotensi
dilanggar oleh praktik ujaran kebencian. Kerangka ini sensitif terhadap
kerugian yang timbul saat identitas kelompok dicemarkan, namun
menolak gagasan bahwa undang-undang harus melindungi agama dari
penghinaan. Pendekatan ini diatur oleh Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh sembilan
dari sepuluh negara anggota PBB.2 Meski begitu, ICCPR masih harus
bersaing dengan gagasan yang lebih tradisional tentang pengaturan
ujaran. Bagaimana pun, norma-norma HAM bukanlah satu-satunya
sistem moralitas paling mapan yang tersedia untuk masyarakat. Jauh
sebelum norma-norma ini dikembangkan, kebanyakan orang secara
intuitif mengenali tanggung jawab moralnya untuk membantu sesama,
dan tentunya menjauhkan diri dari tindak saling mencelakai. Akan tetapi,
komitmen ini cenderung terbatas di dalam kelompok mereka sendiri,
baik yang diikat dengan hubungan keluarga, suku, maupun bangsa.
Gagasan radikal di balik HAM ialah bahwa kita berutang kewajiban moral
pada orang asing, begitu pula musuh, atas dasar kemanusiaan bersama.3
sebab nya, sistem internasional tidak hanya perlu mengakui kedaulatan
negara-bangsa, tapi juga keluhuran masing-masing individu, lepas dari
status yang diberikan atau ditiadakan pada pribadi ini dalam batas-
batas wilayah negaranya.
Prinsip ini diabadikan dalam pembukaan Piagam PBB, yang
menegaskan keyakinan atas HAM “dalam martabat dan nilai dari tiap
manusia dan dalam hak yang setara antara laki-laki dan perempuan di
negara besar maupun kecil.”4 Pada 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (UDHR), sebuah penegasan
atas prinsip-prinsip fundamental yang mesti dipatuhi.5 “Setiap manusia
dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak,” tertulis di Pasal 1.
UDHR diperkuat oleh ICCPR, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
1996.6 Terhitung hingga akhir 2015, 168 negara meratifikasi traktat ini ,
secara efektif telah setuju terikat olehnya. Bersama dengan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UDHR dan
ICCPR secara kolektif menyusun apa yang disebut sebagai Undang-Undang
Internasional HAM. Kelompok regional negara-bangsa di daratan Eropa
Bab 236
dan Amerika memiliki instrumen HAM mereka sendiri. Empat puluh tujuh
negara yang terhimpun dalam Dewan Eropa menerapkan Konvensi Eropa
tentang HAM, sedangkan Organisasi Negara-negara Amerika, yang terdiri
dari 35 negara di Amerika Utara dan Selatan, memakai Konvensi
Amerika untuk HAM. Pendekatan mereka pada kebebasan berpendapat
begitu selaras dengan perjanjian-perjanjian di PBB.
Jaringan yang tersusun atas lembaga-lembaga pendukung bermunculan
di sekitar instrumen internasional dan regional itu. Dewan HAM, sebuah
badan antar-pemerintah yang beranggotakan 47 negara, memperoleh
kewenangannya dari Piagam PBB. Badan ini menyediakan jalur formal
guna membicarakan masalah-masalah HAM, melakukan tinjauan
periodik atas situasi-situasi HAM di berbagai negara anggota, mendengar
keluhan perseorangan dan kelompok, serta merumuskan rekomendasi.
Dewan HAM telah mendaulat sebuah jaringan berlabel Pelapor Khusus –
kumpulan pakar independen yang diberi kendali melapor setiap tahunnya
kepada Majelis Umum PBB mengenai situasi yang tengah menjadi
perhatian. Aktivis Guatemala, Frank La Rue, memainkan peran kunci
mempromosikan sudut pandang HAM dalam menelaah kasus ujaran
kebencian selama masa jabatannya sebagai Pelapor Khusus untuk Promosi
dan Perlindungan Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
dari 2008 hingga 2014.7 PBB juga memiliki Komite HAM terpisah, di
mana tiap orang dapat mengajukan keluhan atas dugaan pelanggaran
di negara-negara yang terikat suatu perjanjian yang relevan. Konvensi
Dewan Eropa dan institusi pendukungnya selama ini digambarkan sebagai
“sistem perlindungan HAM yang paling komprehensif dan terdepan
untuk perlindungan HAM di tingkat supranasional.”8 Pengadilan HAM
Eropa telah menghasilkan beberapa terobosan dalam kasus penghinaan
dan hasutan, beberapa di antaranya saya sebut dalam bab ini. Dewan
Menteri, sebagai badan yang menetapkan standar dalam Konvensi Eropa,
mengeluarkan pendapat terperinci mengenai masalah ini .9 Organisasi
masyarakat sipil dan pakar akademik telah berkolaborasi dengan para
pejabat pemerintah dalam mengembangkan norma-norma, yang selaras
dengan perjanjian HAM internasional, guna menangani ujaran kebencian
dan intoleransi agama. Diskusi ini telah menghasilkan Prinsip-Prinsip
Camden, dirancang pada 2009 oleh LSM di London yang menamakan
dirinya Article 19, dan Rabat Plan of Action. Prinsip ini disusun di
bawah naungan Kantor Sekretariat Tinggi PBB untuk Komisaris Tinggi
Traktat HAM baik internasional maupun regional, beserta lembaga
pendukungnya, dan dokumen kebijakan yang dihasilkan, menangani
masyarakat dengan pengalaman-pengalaman historis, tradisi kultural,
dan sistem politik yang luar biasa beragam. Tidak mengherankan jika
tingkat implementasi perjanjian ini sangat bervariasi di seluruh
dunia. Bahkan yurisdiksi demokrasi liberal sekalipun berbeda di antara
satu dengan yang lain dalam kaitannya dengan interpretasi mereka soal
hukum HAM. Pendekatan HAM, bagaimanapun, menyediakan prinsip-
prinsip normatif yang luas dan relevan bagi seluruh masyarakat yang
terbuka pada pengelolaan kebencian berbasis agama. Ada empat aspek yang
patut diperjelas. Pertama, pendekatan ini mencakup komitmen kuat
terhadap kebebasan berekspresi. Kedua, pendekatan perlu mengutamakan
hak rakyat untuk bebas dari diskriminasi dan kebencian, memungkinkan
– atau bahkan mewajibkan – negara membela hak ini , termasuk
membatasi ekspresi itu sendiri. Ketiga, pendekatan perlu menyediakan
kerangka guna menyeimbangkan hak-hak ini , menekankan bahwa
segala pembatasan terhadap kebebasan berpendapat harus memenuhi
persyaratan yang ketat. Dan keempat, pendekatan perlu menghubungkan
kebebasan berpendapat dengan kebebasan memeluk agama, memandang
keduanya sebagai hak yang saling melengkapi. Keduanya seringkali
diabaikan saat ujaran disensor atas nama penghormatan terhadap agama.
Kebebasan Berekspresi
ICCPR Pasal 19(2) menjunjung kebebasan berekspresi. Mengacu
pada UDHR Pasal 19, pasal itu menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan
untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, dan
berbagi informasi dan ide melalui media apapun, dan tanpa memandang
batas negara.”11 Konvensi Amerika, diadopsi tiga tahun setelah ICCPR,
berisi susunan kata yang hampir serupa tertuang dalam Pasal 13-nya.12
Konvensi Eropa, disusun pada tahun 1950, juga memberikan hak yang
sama dalam Pasal 10-nya.13
Perjanjian ini menetapkan kebebasan berekspresi sebagai hak yang
secara intrinsik amat penting bagi setiap manusia. Kebebasan berekspresi
diperlukan sebagai “sarana untuk mengklaim dan menikmati hak-hak
lainnya” dan sebagai “fondasi penting demokrasi, yang bergantung pada
arus bebas beragam sumber informasi dan gagasan.”14 Namun, ia bukanlah
sesuatu yang mutlak. Meskipun kebebasan berekspresi merupakan hak
dasar setiap individu, tidaklah mungkin bagi manusia ini untuk hidup
di dalam konteks sosial tanpa mengindahkan manusia lainnya. Maka,
ICCPR dan Konvensi Eropa menyatakan bahwa kebebasan berpendapat
diiringi dengan “tugas dan kewajiban”. Dengan demikian, negara dapat
membatasi kebebasan berekspresi. ICCPR Pasal 19(3) menyatakan bahwa
pembatasan diizinkan: “(a) Guna menghormati hak atau reputasi orang
lain; (b) Guna melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum,
atau kesehatan dan moral publik.” Pasal 13(2) dari Konvensi Amerika dan
Konvensi Eropa Pasal 10(2) pun mengandung susunan kata yang serupa.
Daftar pengecualian ini dimaksudkan untuk bersifat menyeluruh
dan tidak dapat diganggu gugat. Perhatikan bahwa pengecualian itu tidak
menyebut perasaan dari komunitas tertentu atau kepercayaan dalam agama
tertentu sebagai pertimbangan untuk membatasi ujaran. Sebaliknya, hak
kebebasan berekspresi melindungi “bentuk-bentuk ekspresi yang sifatnya
menyinggung, mengganggu, dan mengagetkan.”15 Jika tidak begitu, hak tadi
menjadi sia-sia, sebab ekspresi yang tidak mengganggu siapa pun tentu
tidak bakal menuai penolakan. Suatu pendapat memerlukan perlindungan
justru sebab pendapat ini menjengkelkan bagi sebagian pihak,
terutama bagi kepentingan yang berkuasa dan nilai-nilai yang dominan.
Pendapat yang dianggap menjengkelkan tadi bisa memiliki nilai plus,
sebab kemajuan dan kreativitas umat manusia menjadi mungkin hanya
dengan memberikan peluang bagi sesuatu yang baru dan ganjil untuk
menantang narasi yang kuno dan mapan.
Perlindungan dari Hasutan Kebencian
Regulasi atas ujaran kebencian berangkat dari ide bahwa individu dapat
diperlakukan tidak adil akibat identitas kelompok mereka. Kelompok-
kelompok tertentu dalam masyarakat mungkin mengalami pengabaian dan
penindasan sedemikian rupa sehingga, meskipun anggota mereka tengah
menikmati kesetaraan formal, mereka secara sistemis dibuat menderita
akibat berbagai prasangka. Bagi orang-orang ini, mencapai kesetaraan yang
substantif memerlukan semacam tindakan afirmasi. sebab itu, regulasi
tentang ujaran kebencian dapat dibayangkan sebagai jenis diskriminasi
39
yang positif bagi kelompok yang dikambinghitamkan dalam masyarakat
tradisional.
Tidak satu pun perjanjian pokok internasional dan regional soal HAM
yang menyebutkan istilah “ujaran kebencian”. Istilah ini terlampau
luas dan sukar digunakan untuk tujuan hukum. Sebagai gantinya,
hukum HAM internasional memakai istilah “hasutan” kebencian
(“incitement” to hatred). ICCPR Pasal 20(2) menyatakan: “Segala tindakan
yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama
yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan,
atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.” Perhatikan bahwa pasal ini
tidak hanya mengizinkan negara untuk melarang ujaran yang menyakiti;
lebih dari itu, pasal ini juga mewajibkan negara untuk mengambil
langkah ini . Garis besar Konvensi Amerika mengulangi kata-kata
dalam ICCPR, kecuali ia menyebutkan bahwa yang perlu ditindak hanya
hasutan yang “menuju kekerasan tanpa hukum atau tindakan serupa
lainnya,” bukan hasutan mendiskriminasi. Konvensi Eropa tidak berisi
larangan-larangan yang eksplisit terhadap hasutan, tetapi Pengadilan Eropa
memiliki standar serupa dari pembacaan garis besar perjanjian ini .
Pengawasan ujaran kebencian sendiri, dalam Pasal 10(20), mengizinkan
pembatasan ujaran demi terlindunginya hak-hak orang lain. Pasal 14, yang
mengatur tentang diskriminasi, juga telah digunakan untuk melarang
ujaran kebencian. Berdasarkan pasal ini, ujaran kebencian tidak berhak
mendapat perlindungan.
Pengertian tentang beberapa istilah kunci – “hasutan”, “diskriminasi”,
dan “permusuhan” – amat beragam. Prinsip-prinsip Camden, yang dibuat
oleh non-pemerintah, mendefinisikan “hasutan” sebagai ajakan bertindak
“yang mendatangkan risiko tak terhindarkan.”16 Beberapa yurisdiksi
di Eropa lebih memilih istilah “provokasi” atau “ancaman” daripada
“hasutan”.17 Istilah “kebencian” dan “permusuhan” mengacu pada “emosi
kecaman, perseteruan, dan rasa muak yang intens dan irasional ditujukan
pada kelompok sasaran,” ujar Prinsip-Prinsip Camden.18 Frank La Rue,
mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat, mengartikan
“diskriminasi” sebagai “perlakuan berbeda, penyingkiran, atau pembatasan
... yang memiliki efek atau tujuan mengganggu atau meniadakan
pengakuan, penikmatan atau pengamalan seluruh HAM dan kebebasan
fundamental dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan
macam-macam ranah publik lainnya” berdasar pada sentimen identitas.
Sementara hukum ujaran kebencian berbeda-beda, ada konsensus di
antara negara-negara demokrasi liberal yang menyatakan bahwa yang perlu
dilarang ialah ujaran yang benar-benar merugikan individu yang bernyawa
– bukan wujud ujaran yang menyerang agama atau sistem kepercayaan
tertentu, sosok nabi, kitab suci, atau ikon, tidak peduli seberapa bernilai
dan pentingnya hal-hal ini bagi identitas orang-orang pemeluk
kepercayaan. Ekspresi yang sekadar mengejek atau menyinggung tidak
bisa diperlakukan layaknya sesuatu yang berbahaya. “sebab tidak semua
jenis ujaran yang memanas-manasi, penuh kebencian, atau menyinggung
berujung pada hasutan, maka keduanya tidak dapat disamaratakan,” ujar
La Rue.20
Menyeimbangkan Hak-hak
Sepintas, ketetapan ICCPR tentang kebebasan berpendapat dan hasutan
terkesan bertentangan satu sama lain. Dalam Komentar Umum tahun
2011, Komite HAM PBB berupaya meluruskan kesan ini dengan
mengajukan pernyataan definitif, “Pasal 19 dan 20 sifatnya kompatibel
dan saling melengkapi.”21 Ini menunjukkan bahwa Pasal 19(3) telah lebih
dahulu mengakui bahwa melindungi hak orang lain yaitu salah satu
alasan yang sah bagi negara untuk membatasi kebebasan berpendapat.
Ujaran kebencian dapat dilarang di bawah ketetapan ini , atau demi
alasan ketertiban umum dan keamanan nasional.22 Pasal 20 membahas
serangkaian situasi penting di mana pembatasan sangat diperlukan. Hanya
dalam satu aspek Pasal 20 melampaui Pasal 19, yakni: Dalam kasus khusus
hasutan kebencian, negara-negara diwajibkan, bukan hanya dianjurkan,
untuk memakai jalur hukum. Pasal 20 harus sesuai dengan Pasal 19,
menentukan jenis batasan yang dapat dijatuhkan oleh pemerintah. Pasal
19(3) menyatakan bahwa hak kebebasan berpendapat mungkin “memiliki
batasan-batasan tertentu, namun harus ditentukan oleh undang-undang
dan sifatnya perlu” untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti yang tertera di
atas.
Berdasarkan pembacaan yang ketat dan hati-hati atas Pasal 19, para
pakar menyatakan bahwa setiap campur tangan pemerintah harus
tunduk pada apa yang disebut uji tiga-rangkai: legalitas, legitimasi, dan
proporsionalitas.23 Pertama, pembatasan dalam bentuk apa pun harus
secara eksplisit “ditetapkan oleh undang-undang”. Hukumnya sendiri harus
tepat dan jelas sehingga masyarakat dapat mengatur perilakunya sendiri
berdasarkan undang-undang. Undang-undang tidak boleh memberikan
diskresi yang tak terbatas kepada para pembuatnya (regulator); perlu
dipastikan secara jelas ekspresi mana saja yang boleh dan tidak boleh
dilarang oleh para pembuat undang-undang itu.
Kedua, pembatasan kebebasan berekspresi oleh pemerintah harus
setidaknya dimaksudkan demi satu kepentingan sosial yang jelas-jelas
diakui legitimasinya oleh hukum internasional: misalnya, untuk melindungi
hak-hak dan reputasi orang lain, keamanan nasional dan ketertiban umum,
atau kesehatan dan moral publik. Walau pemerintah seringkali didapati
menyalahgunakan alasan-alasan di atas demi kepentingan politiknya
sendiri, undang-undang yang dirancang dengan baik serta pengadilan
independen dapat membendung risiko ini
Ketiga, pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa intervensi yang
dipilih bersifat paling tidak mengekang. Konvensi Amerika menjabarkan
prinsip proporsionalitas ini, menyatakan bahwa pembatasan terhadap
ekspresi tertentu memerlukan “pembebanan tanggung jawab di masa
mendatang”, tapi tidak “penyensoran di awal”, kecuali untuk satu-
satunya tujuan mengatur akses atas produk-produk hiburan atas nama
perlindungan anak-anak dan remaja.
Sebagai prinsip umum, negara-negara yang berupaya mengusahakan
keseimbangan antara hak dan kepentingan sepatutnya setia pada prinsip-
prinsip menyeluruh yang termaktub dalam konstitusi dan kovenan.
Sejalan dengan persyaratan ini, UDHR Pasal 29(2) serta Pasal 9(2) dan
10(2) dari Konvensi Eropa menyatakan bahwa pembatasan atas hak-hak
dan kebebasan dapat dilakukan apabila memang diperlukan “dalam satu
masyarakat demokratis”. Seperti Konvensi Eropa Pasal 17, penyisipan
ini dapat dimaknai sebagai mekanisme pengaman yang bermaksud
mencegah interpretasi buruk yang dapat menggerogoti nilai-nilai
demokrasi.
Para pembela HAM beranggapan, bahkan dalam kasus-kasus ekstrem
penghasutan kekerasan sekalipun, nilai-nilai kebebasan berpendapat
tidak dinegasikan. Menjelang genosida Rwanda misalnya, terbelenggunya
kebebasan media justru menyebabkan radio pemerintah yang penuh
kebencian memonopoli ruang media di banyak bagian negara.
Masyarakat harus mampu membalas ujaran kebencian dengan ujaran
tandingannya. Ujaran kebencian bakal makin meroket tak terkalahkan
jika kebebasan mendirikan kanal-kanal media alternatif dihambat, tukar
pikiran mengenai kebijakan dihalangi, dan pendapat yang dianggap
melenceng dikecam dan dimusuhi.
Kebebasan Beragama
Pelintiran kebencian yang membidik atau yang dilakukan komunitas-
komunitas agama memiliki implikasi terhadap HAM – yakni dalam
soal kebebasan beragama. ICCPR Pasal 18 menjunjung tinggi hak atas
kebebasan berpikir, memakai hati nurani, dan memilih agama. Ini
termasuk hak seseorang “untuk memeluk agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, menaati, mengamalkan, atau mengajarkannya.”
Konvensi Eropa dan Amerika memberikan jaminan serupa dalam Pasal
9 dan Pasal 12.
sebab penolakan paling keras atas ekspresi penistaan biasanya berasal
dari kaum beragama yang taat, maka kebebasan beragama mungkin tampak
bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Dari perspektif HAM, ini
merupakan pertentangan yang tidak tepat. “Kebebasan beragama atau
berkeyakinan serta kebebasan berpendapat dan berekspresi bersifat
saling bergantung, sama seperti keseluruhan norma HAM,” catat para
ahli PBB.27 Tanpa kebebasan berpendapat, komunitas agama tidak dapat
menjalankan kepercayaan mereka dengan bebas, sebab semua memiliki
masing-masing dogma dan praktik yang bakal dianggap ofensif oleh pihak
lainnya. Hampir semua agama dunia saat ini berevolusi dengan menantang
dan melepaskan diri dari sistem kepercayaan yang sudah ada sebelumnya.
Beberapa pemeluk mengorbankan dan melepas kepercayaan awalnya,
sedang beberapa lainnya memilih untuk terus menganutnya. Oleh sebab
itu, pegiat HAM terkait kebebasan beragama dan pejuang hak kebebasan
berpendapat bahu-membahu menentang gagasan “membungkam kritik
atas agama dengan membuatnya dapat diadili oleh undang-undang” atau
“mencegah ide-ide mengenai agama untuk diekspresikan .”28
Negara yang tidak melihat kontradiksi antara pembungkaman hak
berpendapat dan hak beragama biasanya mendiskriminasi pengamalan
keduanya. Mereka memberi keleluasaan kepada komunitas agama yang
diistimewakan untuk mengekspresikan keyakinannya, meskipun caranya
bisa menyinggung perasaan keagamaan orang lain – dan, di sisi lainnya,
mereka membatasi keleluasaan yang sama bagi individu dari kelompok
keyakinan berbeda. Pihak yang bersikukuh memakai hukum untuk
mengadili penistaan agama cenderung tidak menghormati hak beragama
dari sekte, golongan, dan kepercayaan lain ini.
Diskriminasi ini menyalahi prinsip kesetaraan yang merupakan
inti dari hukum HAM internasional. Pasal 2 dari UDHR dan ICCPR
menyatakan bahwa semua orang berhak atas kebebasan sebagaimana
dinyatakan dalam dokumen-dokumen ini , “tanpa perkecualian
berdasarkan hal apa pun,” termasuk ras dan agama. Konvensi Eropa Pasal
14 dan Konvensi Amerika Pasal 1 memberikan jaminan tindakan non-
diskriminasi dalam penghormatan hak-hak dan kebebasan orang lain.
Begitu kita bersikeras bahwa kebebasan dari diskriminasi semestinya
disatukan dengan hak dalam beragama dan berkeyakinan, maka menjadi
jelas mengapa hak-hak ini tidak dapat terwujud tanpa kebebasan
berekspresi. Hanya saat undang-undang mampu melindungi pertukaran
ide soal doktrin dan praktik keagamaan, serta saling mempertanyakan nilai
agama satu dengan lainnya – meskipun hal itu dilakukan dalam cara-cara
yang dapat menyinggung perasaan – maka hak untuk bebas beragama
dapat dinikmati oleh semua orang. Inilah sebabnya mengapa ketetapan soal
kebebasan beragama memuat kata-kata “atau kepercayaan”. Hak mereka
yang tidak percaya kepada tuhan tidak boleh diingkari oleh mereka yang
beragama, satu prinsip yang kerap tercederai saat para ateis dipersekusi.
Dimensi Perbedaan
HAM yaitu pendekatan yang relatif baru, yang baru direalisasikan dalam
beberapa dekade lalu. Banyak negara penandatangan ICCPR mengambil
tindakan yang berlawanan dari prinsip-prinsip perjanjian ini .
Bahkan, negara-negara demokratis punya interpretasi berbeda-beda soal
norma dalam perjanjian di atas, didasarkan atas konteks historis tertentu
dan bagaimana mereka memprioritaskan hak-hak tertentu. Jejak dari
pendekatan yang lebih tradisional – seperti hukum penistaan agama –
masih ada hingga sekarang, bahkan di negara-negara demokratis Barat.
Sebagian besar legislator dan ahli hukum menyadari bahwa standarisasi
menyeluruh atas hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan nilai jelas
sama sekali tidak realistis. Sistem Eropa mengakui hal ini dalam prinsip
utama “margin apresiasi” (margin of appreciation), yang mengacu kepada
wewenang Pengadilan Eropa untuk mengakui otonomi negara-negara
anggota dalam memakai cara terbaik mereka untuk melindungi
hak-hak individu di dalam batas wilayah mereka sendiri. Wewenang ini
berlaku terutama pada kebebasan berekspresi, mengingat masing-masing
negara memiliki konsep moral berbeda. Pengadilan nasional dianggap lebih
mampu dibanding hakim supranasional dalam menimbang pertanyaan
moralitas dan juga menjatuhi pembatasan.
Pendekatan tingkat nasional dalam mengatur kebebasan berpendapat
bervariasi dalam beberapa dimensi: risiko apa yang perlu dibendung
undang-undang, termasuk apakah akan melarang tindak penghinaan
agama; kelompok dan kepentingan mana yang ingin dilindungi; pada titik
mana negara perlu melakukan intervensi secara paksa; dan siapa yang harus
bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh suatu ujaran. Pada
masing-masing dimensi ini, beberapa negara mengadopsi pendekatan
liberal modern yang sesuai dengan norma HAM, sementara negara lain
mengandalkan solusi yang lebih tradisional. Pendekatan-pendekatan
ini akan diulas dalam bab ini, dan perbedaan utama di antaranya
terangkum dalam tabel 2.1.
Risiko mana yang perlu Dibendung
Hukum yang mengurusi ujaran yang menyinggung atau memfitnah punya
beragam variasi, tergantung pada risiko apa yang hendak dibendung.
Penghinaan yaitu pembenaran klasik bagi aksi penyensoran; saat
itulah negara terus-terusan mengekang. Banyak negara masih memiliki
hukum pelarangan buku-buku. Undang-undang semacam itu lazimnya
diskriminatif, hanya melindungi agama yang diakui negara maupun
doktrin yang dominan. Contohnya, Gereja Ortodoks di Yunani dan Islam
Sunni di Malaysia. Korban kerap kali didapati berasal dari sekte, golongan,
dan keyakinan minoritas lainnya, yang praktik keagamaannya dianggap
merendahkan pandangan ortodoks. Sebuah penelitian pada tahun 2011
menemukan bahwa beberapa negara – Bahrain, Iran, Kuwait, Pakistan,
dan Arab Saudi – menyaring konten situs daring yang dimiliki oleh
agama atau sekte yang tidak diakui negara. Beberapa lainnya, termasuk
Bangladesh, Indonesia, Oman, Qatar, Sudan, Tunisia, Uni Emirat Arab,
dan Yaman, menyaring konten yang dianggap menistakan, menyinggung,
atau bertentangan dengan Islam.
Sebagaimana telah dibahas di atas, hukum HAM internasional menolak
digunakannya penghinaan sebagai pembenaran yang sah untuk membatasi
hak berpendapat. Yurisdiksi liberal menganggap kritik terhadap gagasan
dan institusi tertentu sebagai ujaran yang perlu dilindungi, bahkan saat
diutarakan dalam bahasa yang ekstrem dan menyinggung. Norma liberal
hanya mengakui manusia yang bernyawa sebagai korban kebencian,
bukannya konsep atau ketuhanan yang abstrak. Di Inggris, penindakan
aksi penistaan dan hujatan yang menghina telah dihapuskan pada tahun
2008. Demokrasi liberal yang masih memidanakan penistaan, seperti
Kanada, belum pernah memakai undang-undang ini sejak berpuluh-
puluh tahun lamanya. Negara yang menerapkan standar ICCPR memilih
untuk membatasi praktik hasutan. Ada konsensus yang menyatakan
bahwa hasutan kekerasan, dan tentu saja genosida, menuntut intervensi
negara. Namun, kebijakan terhadap hasutan diskriminasi sangat bervariasi.
Sebagian besar bentuk propaganda rasial dilindungi oleh Konstitusi
AS, seperti yang bakal dibahas lebih lanjut di bawah ini.31 Sebaliknya,
komitmen Kanada terhadap multikulturalisme memiliki arti bahwa:
pemerintah dapat menindak dengan jalur hukum ujaran kebencian yang
menghambat penerimaan atas kelompok-kelompok tertentu yang menjadi
sasaran, dan itu berlaku pula pada ujaran yang memantik intoleransi dalam
masyarakat.
Posisi Pengadilan Eropa dipersulit oleh prinsip margin apresiasi yang
sudah disinggung di atas, yang ditujukan untuk menyerahkan wewenang
kepada pengadilan nasional. Pada tahun 2005, prinsip ini tidak
berseberangan dengan aturan penjatuhan denda oleh pemerintah Turki
terhadap penerbit yang terbukti bersalah menerbitkan buku berisi hinaan
pada Tuhan, Islam, Nabi, dan Al-Quran. Pengadilan Eropa menyatakan
bahwa meskipun orang-orang beragama perlu menoleransi kritik terhadap
agama mereka, buku ini tidak hanya berisi serangan provokatif tapi
juga penistaan atas Nabi Muhammad, dan “para pemeluk agama dapat
dengan absah merasa bahwa beberapa bagian dalam buku ini yaitu
serangan yang menyinggung dan menyakiti perasaan mereka.”33
Salah satu pembedaan rumit yang mungkin atau tidak mungkin dibuat
oleh hukum yaitu terkait dengan kekerasan yang disebabkan oleh ujaran
kebencian dan kekerasan yang dipicu oleh ujaran yang menyinggung
perasaan. Keduanya dapat membahayakan ketertiban umum, dan
mengganggu pemeliharaan ketertiban umum – yang bisa berbanding
terbalik dengan pemeliharaan hak-hak kelompok rentan – yaitu alasan
utama meregulasi ujaran kebencian di banyak kelompok masyarakat. Di
Inggris, misalnya, larangan atas ujaran kebencian berevolusi dari Undang-
Undang Ketertiban Umum 1986 dan terus diletakkan dalam kerangka
tindakan yang mengganggu perdamaian. KUHP Jerman juga melarang
ujaran yang memicu kebencian dengan pertimbangan bahwa hal itu “dapat
mengganggu kedamaian publik.”
Masalah yang timbul dari meregulasi ujaran lewat lensa ketertiban
umum yaitu bahwa hal itu dapat secara tidak adil menghukum pelaku
ujaran atas hasil yang sebenarnya tidak dikehendakinya dan yang berada
di luar kendalinya. Strategi rekayasa ketersinggungan menjadikan hal
itu sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Tidak sulit bagi agen pelintiran
kebencian untuk memantik kemarahan masyarakat dari ujaran lawan
politik, sehingga berbagai pembatasan diberlakukan terhadap si penutur.
Sebelum menerapkan alasan ketertiban umum, negara justru perlu
menerapkan “uji tiga-rangkai”. Dalam banyak kasus, penyensoran oleh
negara dilakukan meski tidak perlu, sebab negara sudah dibekali
wewenang penuh untuk memakai kekuatan koersif untuk menindak
pihak-pihak yang melanggar hukum sebab mengungkapkan emosi
kemarahannya.
Kelompok mana yang perlu Dilindungi
Secara tradisional, negara-negara yang meregulasi ujaran menyinggung
bermaksud mempertahankan pribadi yang tengah berkuasa dan menjaga
budaya serta nilai-nilai komunitas mayoritas. Di dunia Barat, undang-
undang penghinaan pertama dibuat untuk menindak hasutan fitnah,
melarang karya tulisan apa pun yang kiranya dapat memantik kebencian
atau penghinaan terhadap penguasa.35 Seiring waktu berjalan, bias
status quo ini telah digantikan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang
mengizinkan si lemah beradu dengan si kuat lewat jalan damai. Dari
perspektif HAM modern, komunitas yang kepercayaannya sudah dominan
tidak lagi memerlukan hukum untuk membela anggotanya melawan
penghinaan atau serangan ideologis.
Maka dari itu, yurisdiksi liberal telah mengubah pendekatan tradisional
180 derajat. Alih-alih mengasingkan elite yang sudah berkuasa atau
memanjakan ego kelompok mayoritas, undang-undang menciptakan ruang
bagi perbedaan pendapat, yang diiringi dengan perlindungan terhadap
kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari serangan si mayoritas. Inggris
mengilustrasikan kecenderungan ini. Tahun 1960-an silam, orang pertama
yang dituntut sebab ujaran kebencian oleh Undang-Undang Hubungan
Ras tahun 1965 yaitu seorang pria kulit hitam yang mengutuk aparat
polisi kulit putih. Pada tahun 1968, pemimpin Gerakan Pembebasan
Kulit Hitam dijatuhi hukuman satu tahun penjara sebab sebuah ujaran
yang menyebut orang-orang kulit putih “jahat dan keji.”36 Namun dalam
beberapa dekade terakhir, pengadilan di Inggris dan negara-negara
demokrasi Barat lainnya kemungkinan besar akan mengabaikan ujaran
menyinggung yang berasal dari kelompok minoritas sebagai hal yang dapat
dimengerti, mengingat isu rasisme dalam masyarakat yang didominasi
kulit putih. Di Australia pada tahun 2003, misalnya, pengadilan menolak
sebuah usulan Undang-Undang tentang Diskriminasi Ras dari petugas
penjara berkulit putih. Dikatakan bahwa tujuan undang-undang ini
yaitu untuk melindungi kelompok minoritas yang rentan, padahal kulit
putih masih menjadi ras dominan di Australia. Demikian pula, Pengadilan
Eropa cenderung menggalakkan larangan terhadap ujaran kebencian
menyerang kaum minoritas, namun akan menegur pemerintah yang
menghukum minoritas sebab memakai ujaran ekstrem dalam konflik
yang sedang berlangsung, contohnya tindakan keras pemerintah Turki
terhadap pembangkang Kurdi.37
Yurisdiksi-yurisdiksi demokrasi liberal masih mengakui bahwa
norma-norma arus utama tidak dapat diabaikan sama sekali dalam
masalah-masalah penyensoran. Di Amerika Serikat, misalnya, negara
diizinkan mengatur standar yang berbeda terkait mempertontonkan
majalah pornografi di muka umum. “Uji Miller” dari pengadilan AS untuk
tindakan pelanggaran kesusilaan mencakup pertimbangan sudut pandang
dari “rata-rata orang, standar yang berlaku di masyarakat kontemporer.”
Namun, “Uji Miller” hanya berlaku bagi karya-karya yang tidak memiliki
nilai kesusastraan, seni, politik, atau ilmiah serius – dengan kata lain, saat
menuruti standar komunitas tidak mendatangkan kerugian berarti bagi
pihak yang enggan sepakat.
Kasus ekstrem lain yaitu saat masyarakat berpandangan sempit
mempertahankan bias tradisional untuk kepentingan dominan, terlepas
dari kerugian yang dialami hak-hak minoritas. Di Pakistan, misalnya,
undang-undang penistaan diterapkan secara tidak proporsional kepada
kelompok non-Muslim dan minoritas Muslim Syiah.39 Hukuman menjadi
lebih parah saat kaum Muslim menempati posisi sebagai pihak yang
tersinggung, bukan sebaliknya. Di bawah KUHP Pakistan Bab 295A – yang
diwarisi dari India – seseorang yang dengan sengaja menyinggung perasaan
keagamaan dari komunitas mana pun dapat dipenjarakan selama sepuluh
tahun. Tapi, di bawah ketentuan Bab 295B, hukuman ini bertambah
menjadi kurungan seumur hidup akibat penghinaan terhadap Al-Quran.
Bab 295C memungkinkan putusan hukuman mati bagi siapa saja yang
“dengan segala tuduhan, sindiran, atau insinuasi, secara langsung maupun
tidak langsung, menodai nama suci Nabi Muhammad.”
Masyarakat liberal menyadari bahwa, pada prinsipnya, kelompok
dengan kemalangan yang mengakar perlu dilindungi dari ujaran kebencian.
Dalam praktiknya, pertanyaan tentang jenis kelompok mana yang harus
diakui yaitu perkara perubahan yang berangsur dan pertukaran ide.
ICCPR Pasal 20 secara eksplisit menyebutkan hanya “kebencian nasional,
ras atau agama,” sementara undang-undang ujaran kebencian Kanada
lebih luas mengacu pada “kelompok yang dapat