Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penistaan agama 2. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

penistaan agama 2




catatan editor dan opini, menolak dengan keras stereotip ini . Terbitan 

Guardian khusus hari Minggu, Observer, mengkritisisi ide “kemarahan 

Muslim” sebagai sesuatu yang “hampir rasis”, yang menurut mingguan 

ini  mendominasi perdebatan mengenai video di atas. Kolom itu 

menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman yang lebih bernuansa dan 

kontekstual mengenai respon kaum Muslim atas penghinaan agama telah 

melanggengkan kesan tentang mereka sebagai komunitas yang kurang 

memakai  akal sehat, dan sebab nya mendorong Barat untuk terus 

berhubungan dengan kaum Muslim “hanya melalui bahasa permusuhan.

Bahkan saat  kita mengualifikasi laporan kita dengan menisbatkan 

tindak kekerasan hanya kepada kelompok-kelompok kecil ekstrem 

dan bukan seluruh “dunia Islam”, hal itu tetap menyesatkan sebab  ia 

menyamakan reaksi ekstremis dengan ledakan yang dipicu, digerakkan, 

atau dinyalakan oleh api provokasi. Laporan-laporan seperti itu telah 

menghapuskan agen – pilihan-pilihan yang sengaja dibuat oleh makelar 

politik yang memakai  kesempatan untuk memprovokasi reaksi 

berlebihan. Dengan gagal mengenali peran-peran menentukan yang 

dimainkan aktor-aktor ini, masyarakat lalu menyalahkan aturan yang ada: 

jika benar kalangan konservatif agama telah diprogram oleh kepercayaan 

mereka untuk menyebabkan kerusakan saat  dihadapkan kepada konten 

provokatif, maka satu-satunya pilihan yang dimiliki masyarakat pecinta-

damai yaitu  berperang melawan kelompok-kelompok ini  atau 

menyensor materi yang membuat mereka tersinggung. Jika, sebaliknya, 

pelintiran kebencian yaitu  sebuah tindak kewirausahaan politik, seperti 

yang ingin saya demonstrasikan, maka kebijakan lain bisa diambil sebagai 

pilihan. Kita tak lagi menghadapi pertempuran sia-sia melawan kekuatan 

transenden, namun hanya berada dalam kontes yang tidak “habis-habisan” 

melawan politisi dan aktivis yang bisa dihadapi dengan kebulatan tekad 

25

yang cukup dan akal sehat.

Mitos ketersinggungan yang otomatis dan spontan telah dipelihara 

tidak hanya oleh agen pemelintir kebencian tapi juga oleh lawan garis keras 

mereka. Keduanya diuntungkan dengan mengesampingkan suara-suara 

masuk akal dan memotret ketersinggungan ekstrem dan intoleran sebagai 

ekspresi otentik dan alami dari opini komunitas religius. Agen pelintiran 

kebencian diuntungkan sebab  dia diperlakukan sebagai jurubicara yang 

tulus dan jujur dari satu komunitas, meskipun kerap kali pandangan 

komunitas ini kurang direpresentasikan. Lawan dalam bayangan-cermin 

mereka juga diuntungkan, sebab  membesar-besarkan pengaruh ekstremis 

membantu mereka menjustifikasi intoleransi garis keras mereka sendiri.

Memutus hubungan saling-tergantung dalam pembuatan mitos 

seperti di atas membutuhkan beberapa upaya. Kontra-bukti yang 

paling kuat yaitu  sifat ketersinggungan yang tidak pernah konsisten, 

terutama distribusinya yang tidak merata secara ruang dan waktu. 

Ketersinggungan jarang melanda semua umat beragama, dan selalu ada 

jeda antara kemunculan kerja menyinggung dan pecahnya kemarahan 

akibat aksi menyinggung ini . Salah satu seniman yang paling 

dihormati di India, almarhum Maqbool Fida Husain, membuat sketsa 

telanjang Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan, pada pertengahan 1970-an. 

Namun baru pada 1996 para chauvinis Hindu menuduh bahwa gambar 

itu menyinggung Hinduisme, yang selanjutnya memicu penyerangan atas 

galeri, serangkaian penyelidikan oleh polisi terhadap Husain, yang diakhiri 

dengan pengasingannya. Pemilihan waktunya lebih tepat dinisbatkan 

kepada meningkatnya kebutuhan nasionalis Hindu akan simbol untuk 

menunjukkan bahaya sekularisme daripada segala yang direpresentasikan 

dalam gambar aslinya, seperti dikatakan Salil Tripathi, seorang penulis 

dan advokat kebebasan berekspresi. Sebelum kemunculan nasionalisme 

Hindu yang baru-baru terjadi ini, penistaan merupakan konsep asing 

bagi agama. Didukung oleh pemahaman individual Hinduisme tentang 

bagaimana penyembah harus berhubungan dengan para dewa, umat 

Hindu menegakkan berbagai candi yang diperelok dengan adegan-adegan 

bukan saja dewi-dewi telanjang namun juga berbagai bentuk persetubuhan, 

termasuk antara manusia dengan hewan. Jika dibandingkan dengan itu 

semua, lukisan Husain tidak ada apa-apanya. “Tidak vulgar dan tak pula 

bersifat mengolok, sketsa Saraswati oleh Husain mengundang kekaguman. 

Namun zaman telah berubah,” tandas Tripathi.54

Peran Makelar

Jika simbol-simbol provokatif tidak selalu dan di mana saja memantik reaksi 

keras, pasti faktor-faktor lain ikut campur tangan menentukan bagaimana 

orang-orang di waktu dan tempat tertentu merespon. Campur tangan 

ini datang dari makelar yang memutuskan apakah menjadi kepentingan 

mereka untuk mengubah provokasi potensial menjadi protes total. Ilmuwan 

politik Paul Brass menunjukkan hal ini dalam studi etnografisnya tentang 

kekerasan kolektif di pedesaan India.55 Pada pandangan pertama, tampak 

bahwa kekerasan Hindu-Muslim yang sering terjadi di India mendukung 

teori tentang keyakinan agama yang secara alamiah tidak kompatibel satu 

sama lain dan saling serang. Namun Brass menemukan bahwa sengketa 

tingkat desa di Uttar Pradesh bisa bereskalasi menjadi kekacauan komunal 

hanya dalam beberapa kasus tertentu dan tidak pada yang lain. Mengubah 

sengketa kecil menjadi insiden besar membutuhkan apa yang dia sebut 

“sistem kerusuhan yang terlembagakan” (institutionalized riot system) pada 

tingkat lokal. Proses ini diarahkan oleh jaringan spesialis yang memiliki, 

baik kapasitas maupun motivasi untuk menafsirkan kejadian ke dalam 

cara-cara yang kondusif bagi kekerasan massal. Mereka memobilisasi 

massa, yang berperan sebagai “pemeran pendukung yang amat banyak,” 

yang percaya bahwa mereka bertindak sesuai kepentingan mereka sendiri 

namun kerap kali menjadi pihak yang akhirnya dirugikan – warga desa 

yang akhirnya sering ditangkap, dipukuli, atau dibunuh polisi. Melalui 

proses-proses ini , pertikaian sehari-hari di antara pencuri yang 

memperebutkan sebuah patung, misalnya, bisa ditransformasi menjadi 

aksi membela agama Hindu melawan importir milenial (Muslim). 

“Kerusuhan, sebab nya, merupakan bentuk-bentuk aksi kolektif yang 

separuh terorganisir dan separuh lainnya spontan, yang didesain untuk 

tampak atau dibuat untuk tampak setelahnya sebagai ekspresi spontan 

perasaan yang populer.”56

Pengamatan para sarjana ini diperkuat oleh orang-orang yang 

berpengalaman mengurusi krisis-krisis seperti ini di lapangan. Salah 

satunya yaitu  mantan anggota kepolisian di negara bagian Gujarat, India, 

bagian, dipimpin Narendra Modi, menolak bertanggungjawab. Pemerintah 

mengklaim bahwa kekerasan merupakan reaksi yang dapat dipahami atas 

kebakaran kereta api yang fatal, yang dituduhkan kepada para pembakar 

Muslim, yang menewaskan belasan peziarah Hindu. Namun kemudian 

Sreekumar berubah menjadi pelapor pelanggaran (whistleblower), 

menyodorkan bukti dalam jumlah besar yang menunjuk arahan-arahan 

politis tingkat tinggi dan keterlibatan polisi dalam kerusuhan di atas. Antara 

lain, Sreekumar mengungkap ketimpangan persebaran geografis tewasnya 

korban. Di tempat-tempat di mana para penegak hukum benar-benar 

bekerja menurut prosedur operasional standar untuk mengatasi gangguan 

komunal, insiden kematian hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak 

terjadi, bahkan di wilayah di mana kekerasan komunal pernah terjadi.58 

Anggota senior lain, Harsh Mander, juga mempertaruhkan jabatannya 

untuk berbicara terbuka. “Ini bukan ledakan kemarahan massal spontan. 

Ini pembunuhan massal terorganisir yang terencana,” tulisnya di sebuah 

blog yang kemudian dipublikasikan oleh media arus utama.59 Katanya, 

pandangan bahwa negara bagian India kurang kapasitas untuk menekan 

kekerasan massal tidak punya pijakan yang kokoh. “Tidak ada kerusuhan 

yang bisa berlangsung lebih dari beberapa jam tanpa keterlibatan negara. 

Ini pembantaian yang disponsori negara.”

Dalam buku ini, saya tidak hanya menaruh perhatian pada kekerasan 

komunal, tapi juga pada serangan keagamaan dalam kategori yang lebih 

umum. Namun demikian, apa yang para ilmuwan dan aktivis temukan 

terkait kerusuhan jelas dapat diterapkan ke dalam jenis-jenis insiden yang 

ditelaah di sini. Ketersinggungan, seperti hasutan kekerasan kolektif, yaitu  

satu strategi politik – seberapa pun meyakinkannya hal itu dibungkus 

dalam apa yang Brass sebut sebagai “wacana kepercayaan dan sentimen 

(keagamaan).” Hal ini menunjukkan tingkat selektivitas dan kecanggihan 

yang sama dengan para aktor politik yang pilihan-pilihannya lebih 

ditentukan oleh kepentingan-kepentingan prosais (duniawi) dibandingkan 

dengan pembelaan terhadap Tuhan. Memang, “sistem kerusuhan yang 

terinstitusionalisasi” bisa jadi sebuah istilah yang kurang cocok, sebab  

ia merujuk kepada mekanisme yang didesain untuk membuat kekerasan 

kolektif yang episodik. Konflik-konflik kekerasan di antara komunitas-

komunitas etnis yaitu  satu-satunya keluaran yang mungkin dalam 

repertoar sistem ini. Tombol yang agen pilih untuk ditekan malah bisa 

mendorong massa untuk menuntut sensor yang lebih ketat, menyerang 

rumah-rumah penerbitan, dan selanjutnya.

Hukum tidak bisa memperlakukan ketersinggungan sebagaimana 

ia memperlakukan ujaran kebencian. Negara harus bertindak melawan 

hasutan, namun hukum yang berlaku melawan penghinaan agama punya 

dampak menumbuhkan hak untuk menyerang orang lain, memaksa 

negara untuk datang menyelamatkan mereka yang lantang menyuarakan 

ketersinggungan yang mereka anggap benar. Sistem semacam ini bisa 

dianggap baik-baik saja jika tidak ada orang yang teriak minta pertolongan 

saat  tak dibutuhkan – jika orang mengeluh hanya saat  percaya bahwa 

ketersinggungan ini merupakan gejala bahaya yang lebih serius. Sistem 

ini juga membutuhkan etika timbal-balik (resiprositas): orang harus 

menghormati perasaan orang lain jika ia mau perasaannya dihormati 

oleh yang lain. Sayangnya, hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan 

mengenai kelompok-kelompok yang memakai  hak untuk tersinggung 

dalam cara-cara yang resiprokal dan terkendali. Sebaliknya, dalam buku ini 

saya menunjukkan bagaimana agen pemelintir kebencian mempolitisasi 

ketersinggungan sebagai taktik untuk meningkatkan kuasa kelompoknya 

atas yang lain. Ini bisa memproduksi budaya ketersinggungan yang 

mengecilkan nilai-nilai toleransi dan mutualitas yang dibutuhkan oleh 

demokrasi. 

Industri yang Berkembang?

Pada November 2013, saya berbicara dalam sebuah panel di Bangkok 

bersama aktivis sosial Pakistan Sabeen Mahmud. Tahun itu yaitu  

tahun yang menyibukkan Mahmud. Dia berbicara mengenai kampanye 

sosial medianya berjudul “Hugs for YouTube”, memprotes larangan yang 

diberlakukan oleh otoritas Pakistan terhadap platform berbagi video setelah 

dirilisnya video Innocence of Muslims.62 Dia juga meluncurkan kampanye 

yang mengolok-olok larangan pemerintah untuk merayakan Hari Valentine 

dan mengembangkan laman yang bersumber dari orang banyak untuk 

menyebut dan mempermalukan mereka yang menulis ujaran kebencian 

secara daring. Tampak ceria dan suka berbagi, dia yaitu  ikon berjalan dan 

murah senyum nilai-nilai kosmopolitan yang ditemukan dalam fragmen 

liberal masyarakat madani Pakistan, yang juga obat mujarab menentang 

pelintiran kebencian.

Pada April 2015, Sabeen Mahmud, berusia 39 tahun, tewas ditembak 

di dalam mobilnya. Pemegang otoritas memunculkan tersangka yang 

menyatakan bahwa pembunuhannya yaitu  sebuah pembalasan dendam 

atas kampanye Hari Valentine, hal ini tampak mendukung pernyataan 

polisi bahwa Mahmud telah menjadi target kaum ekstremis keagamaan.

Tapi Jurnalis Veengas Yasmeen yaitu  satu dari banyak orang Pakistan 

yang tidak percaya pada kisah itu. “Mengapa sekarang? Bukankah protes 

Hari Valentine dilakukan dua tahun sebelumnya?” tandasnya.64 Kalangan 

skeptis lainnya percaya bahwa Mahmud dibunuh sebab  dia, beberapa jam 

sebelumnya, menyelenggarakan sebuah forum tentang hak asasi manusia 

yang membahas penyiksaan di Balochistan, tempat di mana militer 

Pakistan terlibat dalam operasi kontra-pemberontakan yang brutal.65

Meskipun tidak unik, pembunuhan Sabeen Mahmud yaitu  suatu 

kasus keji dan mengerikan dalam hubungan antara intoleransi agama dan 

oportunisme politik. Hampir bersamaan dengan pembunuhan Mahmud, 

blogger “ateis” diretas hingga mati dalam serangan-serangan terpisah di 

Bangladesh.66 Menurut mayoritas pengamat, peristiwa ini tampak sebagai 

kasus lumrah buka-dan-tutup kaum fanatik agama yang dibuat tidak 

senang oleh ekspresi ofensif. Namun, di mata para jurnalis dan pejuang 

penegakan hak asasi manusia, para blogger ini menjadi target bukan semata 

sebab  pandangan religius mereka, namun sebab  pengaruh mereka dalam 

protes publik yang menuntut hukuman mati bagi pemimpin Islam yang 

menjadi tersangka dalam pengadilan kejahatan perang Bangladesh yang 

memecah-belah.Ini merupakan konteks kampanye kotor yang memfitnah 

mereka sebagai anti-Islam, sebuah kampanye di mana panitia bentukan 

pemerintah memainkan peran penting menyusun satu daftar berisi 84 

blogger yang dianggap bersikap ofensif.68 Mereka yaitu  pion, yang hancur 

dan menjadi korban gesekan antara pemerintah partai Liga Awami  dan 

kelompok Islamis yang ingin dibuat senang atau dinetralisasi pemerintah. 

Pembunuhan para blogger tetap berkelabut misteri, namun narasi “sekular 

versus ekstremis” yang dipilih oleh laporan-laporan berita malah makin 

mengaburkan, bukan mengungkapnya.

Kita akan melupakan dinamika-dinamika di bawah permukaan ini 

selama kita puas kepada pernyataan-pernyataan yang dengan gampang 

menganggap intoleransi dan kemarahan sebagai penyebab kekerasan. 

Memang, kecenderungan kita untuk menerima tanpa kritik narasi 

superfisial bisa jadi sebuah alasan mengapa para eksponen pelintiran 

kebencian mampu menumbuhkannya dengan subur. Massa keagamaan 

irasional yang mengamuk menjadi sampul cerita yang menarik bagi aktor-

aktor politik yang ingin menutupi kepentingan egois mereka. Mereka bisa 

bersembunyi di balik ide benturan peradaban, yang membuat manifestasi 

apa saja dari intoleransi keagamaan – sensor, kerusuhan, pembunuhan 

– tampak sebagai ilustrasi lain saja dari nilai-nilai yang bertabrakan. 

Pembingkaian semacam ini juga memungkinkan mereka untuk memanggil 

nama orang, tidak hanya Tuhan. Mereka bisa mengambil keuntungan 

dari naiknya populisme, yang menjadi ganjaran bagi aktor politik yang 

dipandang merepresentasikan kerumunan yang besar dan bersuara keras.70

Alasan kedua mengapa kita harus berharap menjamurnya pelintiran 

kebencian keagamaan pada tahun-tahun mendatang yaitu  kegunaan 

agama dalam kerja-kerja pembingkaian yang selalu dibutuhkan oleh 

aksi-aksi kolektif. “sebab  ia yaitu  sumber emosi yang sangat bisa 

diandalkan, maka agama yaitu  sumber pembingkaian gerakan sosial yang 

terus berguna,” kata sosiolog politik Sidney Tarrow. “Agama menawarkan 

simbol-simbol yang sudah siap pakai, ritual, dan solidaritas yang bisa 

diakses dan dimanfaatkan oleh para pemimpin gerakan.”71 Kaitan-kaitan 

seperti ini bisa menjadi kekuatan yang besar untuk tujuan-tujuan kebaikan. 

Perhatikan, misalnya, penggunaan bingkai Kekristenan oleh Pendeta 

Martin Luther King Jr. dan Uskup Agung Desmond Tutu dalam mendukung 

perkembangan kesetaraan manusia masing-masing di Amerika Serikat 

dan Afrika Selatan. Di tangan para pemimpin gerakan, agama apa pun 

merupakan sumber daya yang bisa ditempa, untuk hal baik maupun buruk. 

Agen pemelintir kebencian bisa memanipulasinya untuk mempromosikan 

intoleransi.

Ketiga, pelintiran kebencian bisa saja tumbuh sebagai reaksi atas 

globalisasi. Globalisasi tak hanya mengembangkan kesempatan bagi orang; 

ia juga mengganggu dalam skala besar dan secara intim.72 Globalisasi 

memaksa orang untuk berhadapan dengan orang-orang asing dan nilai-

nilai mereka, baik dengan tatap muka langsung maupun lewat media. 

Orang yang takut terhadap perubahan yang dibawa globalisasi kerap 

menginginkan ide-ide sederhana yang memberi rasa stabilitas yang 

menenangkan. Pelintiran kebencian memenuhi kebutuhan ini  dengan 

visi sebuah komunitas yang saling berpegang erat dan bersatu melawan 

musuh bersama. Ia mengonversi kegelisahan yang rasional dan defensif 

menjadi mode penyerangan yang paranoid, yang bisa melibatkan ujaran 

kebencian terhadap kelompok minoritas, rekayasa ketersinggungan atas 

simbol ketidakadilan, atau keduanya. “Rasa takut melibatkan tabiat paling 

buruk dalam wilayah keagamaan,” kata Martha Nussbaum.73

Akhirnya, dalam satu era saat  ekonomi dunia tumbuh sangat lambat, 

pemimpin yang sulit menyampaikan janji-janji material bisa merujuk 

kepada politik identitas sebagai alternatif kebal-resesi, yang dengan jalan itu 

dia membangun kondisi-kondisi yang menyuburkan pelintiran kebencian. 

Sifat subyektif dari ketersinggungan membuat pelintiran kebencian sebagai 

alat yang ampuh. Meskipun banyak ilmuwan politik memandang ekonomi 

sebagai faktor utama yang membentuk perilaku politik seseorang, tidak 

selamanya mudah bagi politisi untuk meraih kemenangan hanya dengan 

argumen-argumen ekonomi. Banyak politisi yang kekurangan kapasitas 

untuk melakukannya. Dan, ada batasan tentang seberapa jauh politisi bisa 

membengkokkan kenyataan ekonomi. Klaimnya bahwa sebuah komunitas 

sedang menghadapi persoalan material amat berat, misalnya, tidak bakal 

memberi efek apa pun jika klaim itu tidak cocok dengan kenyataan yang 

terjadi di komunitas ini , atau jika klaim itu dilawan dengan program-

program pemerintah yang tampak nyata berjalan baik. Janji-janji ekonomi 

yang didesain untuk menarik satu segmen pemilih tertentu pada gilirannya 

juga akan berbenturan dengan biaya yang harus digunakan untuk hal-hal 

lain, khususnya dalam kondisi saat  pertumbuhan ekonomi berlangsung 

lambat atau tidak tumbuh sama sekali.

Sebaliknya, ketersinggungan keagamaan yaitu  sumberdaya yang 

sangat elastis yang bisa digunakan dengan sedikit biaya politik. Hal itu bisa 

dibuat secara virtual hanya dari ruang hampa. Kalau audiens yang disasar 

tidak segera melihat ancaman seperti yang diinginkan si politisi, bisa jadi 

ini malah menguntungkannya secara politis. Dia bisa menampilkan diri 

sebagai juru selamat yang tanggap untuk menitik musuh yang menyamar. 

Kata Nussbaum: “Ujung dari gagasan tentang kejahatan tersembunyi 

yaitu  gagasan tentang intuisi yang lebih unggul.”74 Segera setelah 

disulap, ketersinggungan menjadi sulit bagi orang lain untuk dinetralkan. 

Jika mereka mencoba menantang pembenaran sebuah komunitas atas 

kemarahan mereka, bisa jadi hal ini bahkan akan memperdalam perasaan 

terkepung mereka.

Buku ini naik cetak di tengah kekuatiran akan dan ketidakpercayaan atas 

fenomena naiknya Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika 2016. 

Penyebaran rasa takut melalui sentimen ras dan keagamaan merupakan 

keluaran logis, meski tak masuk akal, dari dinamika elektoral yang memberi 

penghargaan bagi aktor politik yang giat dan siap memakai  pelintiran 

kebencian untuk memberinya keunggulan kompetitif. Demokrasi harus 

melawan bentuk politik yang destruktif ini. Sebagian, hal ini bergantung 

pada dimasukkannya ketentuan konstitusional dan hukum, yang menjadi 

subyek bab selanjutnya buku ini.***

Kerangka konstitusional dan legal dapat menjadi faktor pembentuk praktik 

pelintiran kebencian. Hukum yang melindungi kebebasan berekspresi 

memperluas ruang ujaran kebencian, sedang hukum yang melarang 

hasutan berupaya membatasi ruang ini . saat  melarang penistaan 

atau percederaan terhadap rasa keagamaan, negara tengah menciptakan 

celah bagi para agen pelintiran kebencian merekayasa senjata politik berupa 

ketersinggungan.

Regulasi terkait ujaran kebencian yaitu  wilayah dalam hukum publik 

yang sifatnya kompleks dan problematik. Praktiknya perlu melindungi 

dua pilar dasar demokrasi: kebebasan dan kesetaraan, secara bersamaan. 

Hal itu merupakan tantangan serius sebab  hukum yang cacat dapat 

mengancam salah satu, bahkan keduanya sekaligus: dengan membatasi 

kebebasan terlibat dalam wacana publik yang berguna secara sosial dan 

dengan mengompromikan hak-hak kalangan minoritas untuk hidup 

sebagai anggota masyarakat yang setara. Itulah mengapa amat penting 

memastikan hukum yang berlaku tidak berat sebelah. 

Kata-kata dan simbol memang tidak seberbahaya, selayaknya, zat kimia 

beracun atau limbah radioaktif. Kekuatannya untuk melukai bergantung 

pada besarnya faktor kontekstual yang terbuka bagi interpretasi kultural. 

Bahkan, ekspresi publik dari opini yang terlampau fanatik dapat pula 

menyumbang efek positif, dengan membuat masyarakat waspada tentang 

adanya kelompok penebar kebencian, mendorong terciptanya ujaran 

tandingan, atau membiarkan gagasan macam itu dikalahkan melalui debat 

terbuka. Seperti api, ekspresi yang provokatif memiliki potensi kreatif 

dan destruktif. Mau tidak mau, hukum harus menemukan cara untuk 

memfasilitasi yang pertama dan membatasi yang terakhir. 

Prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) menyediakan pedoman yang 

patut diandalkan. Perjanjian internasional terkait HAM mewajibkan 

negara-negara untuk melarang praktik penghasutan diskriminasi atau 

kekerasan – namun pada saat yang bersamaan juga tidak mendukung 

gagasan pelarangan terhadap penghinaan agama. Bagian terakhir dari 

rekomendasi ini  lebih kontroversial daripada yang pertama. Bagi 

sebagian orang yang berkeyakinan, keengganan pemerintah melindungi 

agama dari tindak-tindak pelecehan tampak seperti ketidakadilan tingkat 

tinggi. Namun, harus ditekankan bahwa kita hanya merujuk pada respons 

hukum. Menggolongkan penghinaan agama sebagai sesuatu yang tidak 

dilarang di mata hukum bukan berarti menoleransi perbuatan ini  

secara sosial maupun politik. Laporan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa 

(PBB) menekankan butir ini: Pejabat pemerintah dan pemimpin partai 

politik “harus memiliki keberanian untuk secara sistematis mengecam 

ujaran kebencian di depan umum,” bahkan saat  ujaran ini  

dilindungi oleh undang-undang.1

Pada bab ini saya terlebih dahulu akan mengamati standar-standar 

HAM secara terperinci, lalu saya akan mendiskusikan tradisi Amandemen 

Pertama di Amerika Serikat. Dua kerangka ini , meski berbeda, 

termasuk dalam kategori pendekatan liberal modern untuk regulasi 

ujaran kebencian. Di sisi lain, seperangkat kebijakan yang lebih tradisional 

jauh lebih tidak protektif terhadap kebebasan berbicara, sehingga 

memungkinkan pemerintah leluasa untuk mengatur perihal penghinaan 

dan penistaan. Tantangan paling serius dan berkelanjutan terhadap 

perspektif HAM internasional, yang saya bahas menjelang akhir bab ini, 

yaitu  usaha negara-negara Islam untuk memasukkan gagasan “penistaan 

agama” ke dalam hukum internasional. Perdebatan ini memunculkan 

persoalan lebih besar tentang bagaimana seharusnya sebuah konstitusi 

mengakomodasi alasan-alasan keagamaan dalam perangkat hukum. 

Mendapat wawasan dari sosiologi agama dan ilmu perbandingan politik, 

saya beranggapan bahwa demokrasi yang plural dan toleran bukan berarti 

harus menendang agama keluar dari ruang publik. Namun keseimbangan 

antara otoritas keagamaan dan sekular harus memberi tempat utama 

kepada aturan-aturan hukum. 



Hukum HAM internasional menyediakan kerangka kerja guna 

menyeimbangkan kebebasan berekspresi dan hak-hak yang berpotensi 

dilanggar oleh praktik ujaran kebencian. Kerangka ini sensitif terhadap 

kerugian yang timbul saat  identitas kelompok dicemarkan, namun 

menolak gagasan bahwa undang-undang harus melindungi agama dari 

penghinaan. Pendekatan ini diatur oleh Kovenan Internasional tentang 

Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh sembilan 

dari sepuluh negara anggota PBB.2 Meski begitu, ICCPR masih harus 

bersaing dengan gagasan yang lebih tradisional tentang pengaturan 

ujaran. Bagaimana pun, norma-norma HAM bukanlah satu-satunya 

sistem moralitas paling mapan yang tersedia untuk masyarakat. Jauh 

sebelum norma-norma ini dikembangkan, kebanyakan orang secara 

intuitif mengenali tanggung jawab moralnya untuk membantu sesama, 

dan tentunya menjauhkan diri dari tindak saling mencelakai. Akan tetapi, 

komitmen ini  cenderung terbatas di dalam kelompok mereka sendiri, 

baik yang diikat dengan hubungan keluarga, suku, maupun bangsa. 

Gagasan radikal di balik HAM ialah bahwa kita berutang kewajiban moral 

pada orang asing, begitu pula musuh, atas dasar kemanusiaan bersama.3 

sebab nya, sistem internasional tidak hanya perlu mengakui kedaulatan 

negara-bangsa, tapi juga keluhuran masing-masing individu, lepas dari 

status yang diberikan atau ditiadakan pada pribadi ini  dalam batas-

batas wilayah negaranya.

Prinsip ini diabadikan dalam pembukaan Piagam PBB, yang 

menegaskan keyakinan atas HAM “dalam martabat dan nilai dari tiap 

manusia dan dalam hak yang setara antara laki-laki dan perempuan di 

negara besar maupun kecil.”4 Pada 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi 

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (UDHR), sebuah penegasan 

atas prinsip-prinsip fundamental yang mesti dipatuhi.5 “Setiap manusia 

dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak,” tertulis di Pasal 1. 

UDHR diperkuat oleh ICCPR, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 

1996.6 Terhitung hingga akhir 2015, 168 negara meratifikasi traktat ini , 

secara efektif telah setuju terikat olehnya. Bersama dengan Kovenan 

Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UDHR dan 

ICCPR secara kolektif menyusun apa yang disebut sebagai Undang-Undang 

Internasional HAM. Kelompok regional negara-bangsa di daratan Eropa 

Bab 236

dan Amerika memiliki instrumen HAM mereka sendiri. Empat puluh tujuh 

negara yang terhimpun dalam Dewan Eropa menerapkan Konvensi Eropa 

tentang HAM, sedangkan Organisasi Negara-negara Amerika, yang terdiri 

dari 35 negara di Amerika Utara dan Selatan, memakai  Konvensi 

Amerika untuk HAM. Pendekatan mereka pada kebebasan berpendapat 

begitu selaras dengan perjanjian-perjanjian di PBB.

Jaringan yang tersusun atas lembaga-lembaga pendukung bermunculan 

di sekitar instrumen internasional dan regional itu. Dewan HAM, sebuah 

badan antar-pemerintah yang beranggotakan 47 negara, memperoleh 

kewenangannya dari Piagam PBB. Badan ini menyediakan jalur formal 

guna membicarakan masalah-masalah HAM, melakukan tinjauan 

periodik atas situasi-situasi HAM di berbagai negara anggota, mendengar 

keluhan perseorangan dan kelompok, serta merumuskan rekomendasi. 

Dewan HAM telah mendaulat sebuah jaringan berlabel Pelapor Khusus – 

kumpulan pakar independen yang diberi kendali melapor setiap tahunnya 

kepada Majelis Umum PBB mengenai situasi yang tengah menjadi 

perhatian. Aktivis Guatemala, Frank La Rue, memainkan peran kunci 

mempromosikan sudut pandang HAM dalam menelaah kasus ujaran 

kebencian selama masa jabatannya sebagai Pelapor Khusus untuk Promosi 

dan Perlindungan Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi 

dari 2008 hingga 2014.7 PBB juga memiliki Komite HAM terpisah, di 

mana tiap orang dapat mengajukan keluhan atas dugaan pelanggaran 

di negara-negara yang terikat suatu perjanjian yang relevan. Konvensi 

Dewan Eropa dan institusi pendukungnya selama ini digambarkan sebagai 

“sistem perlindungan HAM yang paling komprehensif dan terdepan 

untuk perlindungan HAM di tingkat supranasional.”8 Pengadilan HAM 

Eropa  telah menghasilkan beberapa terobosan dalam kasus penghinaan 

dan hasutan, beberapa di antaranya saya sebut dalam bab ini. Dewan 

Menteri, sebagai badan yang menetapkan  standar dalam Konvensi Eropa, 

mengeluarkan pendapat terperinci mengenai masalah ini .9 Organisasi 

masyarakat sipil dan pakar akademik telah berkolaborasi dengan para 

pejabat pemerintah dalam mengembangkan norma-norma, yang selaras 

dengan perjanjian HAM internasional, guna menangani ujaran kebencian 

dan intoleransi agama. Diskusi ini telah menghasilkan Prinsip-Prinsip 

Camden, dirancang pada 2009 oleh LSM di London yang menamakan 

dirinya Article 19, dan Rabat Plan of Action. Prinsip ini  disusun di 

bawah naungan Kantor Sekretariat Tinggi PBB untuk Komisaris Tinggi 

Traktat HAM baik internasional maupun regional, beserta lembaga 

pendukungnya, dan dokumen kebijakan yang dihasilkan, menangani 

masyarakat dengan pengalaman-pengalaman historis, tradisi kultural, 

dan sistem politik yang luar biasa beragam. Tidak mengherankan jika 

tingkat implementasi perjanjian ini  sangat bervariasi di seluruh 

dunia. Bahkan yurisdiksi demokrasi liberal sekalipun berbeda di antara 

satu dengan yang lain dalam kaitannya dengan interpretasi mereka soal 

hukum HAM. Pendekatan HAM, bagaimanapun, menyediakan prinsip-

prinsip normatif yang luas dan relevan bagi seluruh masyarakat yang 

terbuka pada pengelolaan kebencian berbasis agama. Ada empat aspek yang 

patut diperjelas. Pertama, pendekatan ini  mencakup komitmen kuat 

terhadap kebebasan berekspresi. Kedua, pendekatan perlu mengutamakan 

hak rakyat untuk bebas dari diskriminasi dan kebencian, memungkinkan 

– atau bahkan mewajibkan – negara membela hak ini , termasuk 

membatasi ekspresi itu sendiri. Ketiga, pendekatan perlu menyediakan 

kerangka guna menyeimbangkan hak-hak ini , menekankan bahwa 

segala pembatasan terhadap kebebasan berpendapat harus memenuhi 

persyaratan yang ketat. Dan keempat, pendekatan perlu menghubungkan 

kebebasan berpendapat dengan kebebasan memeluk agama, memandang 

keduanya sebagai hak yang saling melengkapi. Keduanya seringkali 

diabaikan saat  ujaran disensor atas nama penghormatan terhadap agama.

Kebebasan Berekspresi

ICCPR Pasal 19(2) menjunjung kebebasan berekspresi. Mengacu 

pada UDHR Pasal 19, pasal itu menyatakan, “Setiap orang berhak atas 

kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan 

untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, dan 

berbagi informasi dan ide melalui media apapun, dan tanpa memandang 

batas negara.”11 Konvensi Amerika, diadopsi tiga tahun setelah ICCPR, 

berisi susunan kata yang hampir serupa tertuang dalam Pasal 13-nya.12 

Konvensi Eropa, disusun pada tahun 1950, juga memberikan hak yang 

sama dalam Pasal 10-nya.13

Perjanjian ini  menetapkan kebebasan berekspresi sebagai hak yang 

secara intrinsik amat penting bagi setiap manusia. Kebebasan berekspresi 

diperlukan sebagai “sarana untuk mengklaim dan menikmati hak-hak

lainnya” dan sebagai “fondasi penting demokrasi, yang bergantung pada 

arus bebas beragam sumber informasi dan gagasan.”14 Namun, ia bukanlah 

sesuatu yang mutlak. Meskipun kebebasan berekspresi merupakan hak 

dasar setiap individu, tidaklah mungkin bagi manusia ini  untuk hidup 

di dalam konteks sosial tanpa mengindahkan manusia lainnya. Maka, 

ICCPR dan Konvensi Eropa menyatakan bahwa kebebasan berpendapat 

diiringi dengan “tugas dan kewajiban”. Dengan demikian, negara dapat 

membatasi kebebasan berekspresi. ICCPR Pasal 19(3) menyatakan bahwa 

pembatasan diizinkan: “(a) Guna menghormati hak atau reputasi orang 

lain; (b) Guna melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, 

atau kesehatan dan moral publik.” Pasal 13(2) dari Konvensi Amerika dan 

Konvensi Eropa Pasal 10(2) pun mengandung susunan kata yang serupa. 

Daftar pengecualian ini  dimaksudkan untuk bersifat menyeluruh 

dan tidak dapat diganggu gugat. Perhatikan bahwa pengecualian itu tidak 

menyebut perasaan dari komunitas tertentu atau kepercayaan dalam agama 

tertentu sebagai pertimbangan untuk membatasi ujaran. Sebaliknya, hak 

kebebasan berekspresi melindungi “bentuk-bentuk ekspresi yang sifatnya 

menyinggung, mengganggu, dan mengagetkan.”15 Jika tidak begitu, hak tadi 

menjadi sia-sia, sebab  ekspresi yang tidak mengganggu siapa pun tentu 

tidak bakal menuai penolakan. Suatu pendapat memerlukan perlindungan 

justru sebab  pendapat ini  menjengkelkan bagi sebagian pihak, 

terutama bagi kepentingan yang berkuasa dan nilai-nilai yang dominan. 

Pendapat yang dianggap menjengkelkan tadi bisa memiliki nilai plus, 

sebab  kemajuan dan kreativitas umat manusia menjadi mungkin hanya 

dengan memberikan peluang bagi sesuatu yang baru dan ganjil untuk 

menantang narasi yang kuno dan mapan.

Perlindungan dari Hasutan Kebencian

Regulasi atas ujaran kebencian berangkat dari ide bahwa individu dapat 

diperlakukan tidak adil akibat identitas kelompok mereka. Kelompok-

kelompok tertentu dalam masyarakat mungkin mengalami pengabaian dan 

penindasan sedemikian rupa sehingga, meskipun anggota mereka tengah 

menikmati kesetaraan formal, mereka secara sistemis dibuat menderita 

akibat berbagai prasangka. Bagi orang-orang ini, mencapai kesetaraan yang 

substantif memerlukan semacam tindakan afirmasi. sebab  itu, regulasi 

tentang ujaran kebencian dapat dibayangkan sebagai jenis diskriminasi 

  39

yang positif bagi kelompok yang dikambinghitamkan dalam masyarakat 

tradisional.

Tidak satu pun perjanjian pokok internasional dan regional soal HAM 

yang menyebutkan istilah “ujaran kebencian”. Istilah ini  terlampau 

luas dan sukar digunakan untuk tujuan hukum. Sebagai gantinya, 

hukum HAM internasional memakai  istilah “hasutan” kebencian 

(“incitement” to hatred). ICCPR Pasal 20(2) menyatakan: “Segala tindakan 

yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama 

yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, 

atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.” Perhatikan bahwa pasal ini 

tidak hanya mengizinkan negara untuk melarang ujaran yang menyakiti; 

lebih dari itu, pasal ini juga mewajibkan negara untuk mengambil 

langkah ini . Garis besar Konvensi Amerika mengulangi kata-kata 

dalam ICCPR, kecuali ia menyebutkan bahwa yang perlu ditindak hanya 

hasutan yang “menuju kekerasan tanpa hukum atau tindakan serupa 

lainnya,” bukan hasutan  mendiskriminasi. Konvensi Eropa tidak berisi 

larangan-larangan yang eksplisit terhadap hasutan, tetapi Pengadilan Eropa 

memiliki standar serupa dari pembacaan garis besar perjanjian ini . 

Pengawasan ujaran kebencian sendiri, dalam Pasal 10(20), mengizinkan 

pembatasan ujaran demi terlindunginya hak-hak orang lain. Pasal 14, yang 

mengatur tentang diskriminasi, juga telah digunakan untuk melarang 

ujaran kebencian. Berdasarkan pasal ini, ujaran kebencian tidak berhak 

mendapat perlindungan.

Pengertian tentang beberapa istilah kunci – “hasutan”, “diskriminasi”, 

dan “permusuhan” – amat beragam. Prinsip-prinsip Camden, yang dibuat 

oleh non-pemerintah, mendefinisikan “hasutan” sebagai ajakan bertindak 

“yang mendatangkan risiko tak terhindarkan.”16 Beberapa yurisdiksi 

di Eropa lebih memilih istilah “provokasi” atau “ancaman” daripada 

“hasutan”.17 Istilah “kebencian” dan “permusuhan” mengacu pada “emosi 

kecaman, perseteruan, dan rasa muak yang intens dan irasional ditujukan 

pada kelompok sasaran,” ujar Prinsip-Prinsip Camden.18 Frank La Rue, 

mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat, mengartikan 

“diskriminasi” sebagai “perlakuan berbeda, penyingkiran, atau pembatasan 

... yang memiliki efek atau tujuan mengganggu atau meniadakan 

pengakuan, penikmatan atau pengamalan seluruh HAM dan kebebasan 

fundamental dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan 

macam-macam ranah publik lainnya” berdasar pada sentimen identitas.

Sementara hukum ujaran kebencian berbeda-beda, ada konsensus di 

antara negara-negara demokrasi liberal yang menyatakan bahwa yang perlu 

dilarang ialah ujaran yang benar-benar merugikan individu yang bernyawa 

– bukan wujud ujaran yang menyerang agama atau sistem kepercayaan 

tertentu, sosok nabi, kitab suci, atau ikon, tidak peduli seberapa bernilai 

dan pentingnya hal-hal ini  bagi identitas orang-orang pemeluk 

kepercayaan. Ekspresi yang sekadar mengejek atau menyinggung tidak 

bisa diperlakukan layaknya sesuatu yang berbahaya. “sebab  tidak semua 

jenis ujaran yang memanas-manasi, penuh kebencian, atau menyinggung 

berujung pada hasutan, maka keduanya tidak dapat disamaratakan,” ujar 

La Rue.20

Menyeimbangkan Hak-hak     

Sepintas, ketetapan ICCPR tentang kebebasan berpendapat dan hasutan 

terkesan bertentangan satu sama lain. Dalam Komentar Umum tahun 

2011, Komite HAM PBB berupaya meluruskan kesan ini  dengan 

mengajukan pernyataan definitif, “Pasal 19 dan 20 sifatnya kompatibel 

dan saling melengkapi.”21 Ini menunjukkan bahwa Pasal 19(3) telah lebih 

dahulu mengakui bahwa melindungi hak orang lain yaitu  salah satu 

alasan yang sah bagi negara untuk membatasi kebebasan berpendapat. 

Ujaran kebencian dapat dilarang di bawah ketetapan ini , atau demi 

alasan ketertiban umum dan keamanan nasional.22 Pasal 20 membahas 

serangkaian situasi penting di mana pembatasan sangat diperlukan. Hanya 

dalam satu aspek Pasal 20 melampaui Pasal 19, yakni: Dalam kasus khusus 

hasutan kebencian, negara-negara diwajibkan, bukan hanya dianjurkan, 

untuk memakai  jalur hukum. Pasal 20 harus sesuai dengan Pasal 19, 

menentukan jenis batasan yang dapat dijatuhkan oleh pemerintah. Pasal 

19(3) menyatakan bahwa hak kebebasan berpendapat mungkin “memiliki 

batasan-batasan tertentu, namun harus ditentukan oleh undang-undang 

dan sifatnya perlu” untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti yang tertera di 

atas. 

Berdasarkan pembacaan yang ketat dan hati-hati atas Pasal 19, para 

pakar menyatakan bahwa setiap campur tangan pemerintah harus 

tunduk pada apa yang disebut uji tiga-rangkai: legalitas, legitimasi, dan 

proporsionalitas.23 Pertama, pembatasan dalam bentuk apa pun harus 

secara eksplisit “ditetapkan oleh undang-undang”. Hukumnya sendiri harus 

tepat dan jelas  sehingga masyarakat dapat mengatur perilakunya sendiri 

berdasarkan undang-undang. Undang-undang tidak boleh memberikan 

diskresi yang tak terbatas kepada para pembuatnya (regulator); perlu 

dipastikan secara jelas ekspresi mana saja yang boleh dan tidak boleh 

dilarang oleh para pembuat undang-undang itu. 

Kedua, pembatasan kebebasan berekspresi oleh pemerintah harus 

setidaknya dimaksudkan demi satu kepentingan sosial yang jelas-jelas 

diakui legitimasinya oleh hukum internasional: misalnya, untuk melindungi 

hak-hak dan reputasi orang lain, keamanan nasional dan ketertiban umum, 

atau kesehatan dan moral publik. Walau pemerintah seringkali didapati 

menyalahgunakan alasan-alasan di atas demi kepentingan politiknya 

sendiri, undang-undang yang dirancang dengan baik serta pengadilan 

independen dapat membendung risiko ini 

Ketiga, pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa intervensi yang 

dipilih bersifat paling tidak mengekang. Konvensi Amerika menjabarkan 

prinsip proporsionalitas ini, menyatakan bahwa pembatasan terhadap 

ekspresi tertentu memerlukan “pembebanan tanggung jawab di masa 

mendatang”, tapi tidak “penyensoran di awal”, kecuali untuk satu-

satunya tujuan mengatur akses atas produk-produk hiburan atas nama 

perlindungan anak-anak dan remaja. 

Sebagai prinsip umum, negara-negara yang berupaya mengusahakan 

keseimbangan antara hak dan kepentingan sepatutnya setia pada prinsip-

prinsip menyeluruh yang termaktub dalam konstitusi dan kovenan. 

Sejalan dengan persyaratan ini, UDHR Pasal 29(2) serta Pasal 9(2) dan 

10(2) dari Konvensi Eropa menyatakan bahwa pembatasan atas hak-hak 

dan kebebasan dapat dilakukan apabila memang diperlukan “dalam satu 

masyarakat demokratis”. Seperti Konvensi Eropa Pasal 17, penyisipan 

ini  dapat dimaknai sebagai mekanisme pengaman yang bermaksud 

mencegah interpretasi buruk yang dapat menggerogoti nilai-nilai 

demokrasi. 

Para pembela HAM beranggapan, bahkan dalam kasus-kasus ekstrem 

penghasutan kekerasan sekalipun, nilai-nilai kebebasan berpendapat 

tidak dinegasikan. Menjelang genosida Rwanda misalnya, terbelenggunya 

kebebasan media justru menyebabkan radio pemerintah yang penuh 

kebencian memonopoli ruang media  di banyak bagian negara.

Masyarakat harus mampu membalas ujaran kebencian dengan ujaran 

tandingannya. Ujaran kebencian bakal makin meroket tak terkalahkan 

jika kebebasan mendirikan kanal-kanal media alternatif dihambat, tukar 

pikiran mengenai kebijakan dihalangi, dan pendapat yang dianggap 

melenceng dikecam dan dimusuhi.

Kebebasan Beragama

Pelintiran kebencian yang membidik atau yang dilakukan komunitas-

komunitas agama memiliki implikasi terhadap HAM – yakni dalam 

soal kebebasan beragama. ICCPR Pasal 18 menjunjung tinggi hak atas 

kebebasan berpikir, memakai  hati nurani, dan memilih agama. Ini 

termasuk hak seseorang “untuk memeluk agama atau kepercayaannya 

dalam kegiatan ibadah, menaati, mengamalkan, atau mengajarkannya.” 

Konvensi Eropa dan Amerika memberikan jaminan serupa dalam Pasal 

9 dan Pasal 12. 

sebab  penolakan paling keras atas ekspresi penistaan biasanya berasal 

dari kaum beragama yang taat, maka kebebasan beragama mungkin tampak 

bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Dari perspektif HAM, ini 

merupakan pertentangan yang tidak tepat. “Kebebasan beragama atau 

berkeyakinan serta kebebasan berpendapat dan berekspresi bersifat 

saling bergantung, sama seperti keseluruhan norma HAM,” catat para 

ahli PBB.27 Tanpa kebebasan berpendapat, komunitas agama tidak dapat 

menjalankan kepercayaan mereka dengan bebas, sebab  semua memiliki 

masing-masing dogma dan praktik yang bakal dianggap ofensif oleh pihak 

lainnya. Hampir semua agama dunia saat ini berevolusi dengan menantang 

dan melepaskan diri dari sistem kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. 

Beberapa pemeluk mengorbankan dan melepas kepercayaan awalnya, 

sedang beberapa lainnya memilih untuk terus menganutnya. Oleh sebab  

itu, pegiat HAM terkait kebebasan beragama dan pejuang hak kebebasan 

berpendapat bahu-membahu menentang gagasan “membungkam kritik 

atas agama dengan membuatnya dapat diadili oleh undang-undang” atau 

“mencegah ide-ide mengenai agama untuk diekspresikan .”28

Negara yang tidak melihat kontradiksi antara pembungkaman hak 

berpendapat dan hak beragama biasanya mendiskriminasi pengamalan 

keduanya. Mereka memberi keleluasaan kepada komunitas agama yang 

diistimewakan untuk mengekspresikan keyakinannya, meskipun caranya 

bisa menyinggung perasaan keagamaan orang lain – dan, di sisi lainnya, 

mereka membatasi keleluasaan yang sama bagi individu dari kelompok 

keyakinan berbeda. Pihak yang bersikukuh memakai  hukum untuk 

mengadili penistaan agama cenderung tidak menghormati hak beragama 

dari sekte, golongan, dan kepercayaan lain ini. 

Diskriminasi ini  menyalahi prinsip kesetaraan yang merupakan 

inti dari hukum HAM internasional. Pasal 2 dari UDHR dan ICCPR 

menyatakan bahwa semua orang berhak atas kebebasan sebagaimana 

dinyatakan dalam dokumen-dokumen ini , “tanpa perkecualian 

berdasarkan hal apa pun,” termasuk ras dan agama. Konvensi Eropa Pasal 

14 dan Konvensi Amerika Pasal 1 memberikan jaminan tindakan non-

diskriminasi dalam penghormatan hak-hak dan kebebasan orang lain. 

Begitu kita bersikeras bahwa kebebasan dari diskriminasi semestinya 

disatukan dengan hak dalam beragama dan berkeyakinan, maka menjadi 

jelas mengapa hak-hak ini  tidak dapat terwujud tanpa kebebasan 

berekspresi. Hanya saat  undang-undang mampu melindungi pertukaran 

ide soal doktrin dan praktik keagamaan, serta saling mempertanyakan nilai 

agama satu dengan lainnya – meskipun hal itu dilakukan dalam cara-cara 

yang dapat menyinggung perasaan – maka hak untuk bebas beragama 

dapat dinikmati oleh semua orang. Inilah sebabnya mengapa ketetapan soal 

kebebasan beragama memuat kata-kata “atau kepercayaan”. Hak mereka 

yang tidak percaya kepada tuhan tidak boleh diingkari oleh mereka yang 

beragama, satu prinsip yang kerap tercederai saat  para ateis dipersekusi. 

Dimensi Perbedaan

HAM yaitu  pendekatan yang relatif baru, yang baru direalisasikan dalam 

beberapa dekade lalu. Banyak negara penandatangan ICCPR mengambil 

tindakan yang berlawanan dari prinsip-prinsip perjanjian ini . 

Bahkan, negara-negara demokratis punya interpretasi berbeda-beda soal 

norma dalam perjanjian di atas, didasarkan atas konteks historis tertentu 

dan bagaimana mereka memprioritaskan hak-hak tertentu. Jejak dari 

pendekatan yang lebih tradisional – seperti hukum penistaan agama – 

masih ada hingga sekarang, bahkan di negara-negara demokratis Barat. 

Sebagian besar legislator dan ahli hukum menyadari bahwa standarisasi 

menyeluruh atas hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan nilai jelas 

sama sekali tidak realistis. Sistem Eropa mengakui hal ini dalam prinsip 

utama “margin apresiasi” (margin of appreciation), yang mengacu kepada 

wewenang Pengadilan Eropa untuk mengakui otonomi negara-negara 

anggota dalam memakai  cara terbaik mereka untuk melindungi 

hak-hak individu di dalam batas wilayah mereka sendiri. Wewenang ini 

berlaku terutama pada kebebasan berekspresi, mengingat masing-masing 

negara memiliki konsep moral berbeda. Pengadilan nasional dianggap lebih 

mampu dibanding hakim supranasional dalam menimbang pertanyaan 

moralitas dan juga menjatuhi pembatasan.

Pendekatan tingkat nasional dalam mengatur kebebasan berpendapat 

bervariasi dalam beberapa dimensi: risiko apa yang perlu dibendung 

undang-undang, termasuk apakah akan melarang tindak penghinaan 

agama; kelompok dan kepentingan mana yang ingin dilindungi; pada titik 

mana negara perlu melakukan intervensi secara paksa; dan siapa yang harus 

bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh suatu ujaran. Pada 

masing-masing dimensi ini, beberapa negara mengadopsi pendekatan 

liberal modern yang sesuai dengan norma HAM, sementara negara lain 

mengandalkan solusi yang lebih tradisional. Pendekatan-pendekatan 

ini  akan diulas dalam bab ini, dan perbedaan utama di antaranya 

terangkum dalam tabel 2.1.

Risiko mana yang perlu Dibendung

Hukum yang mengurusi ujaran yang menyinggung atau memfitnah punya 

beragam variasi, tergantung pada risiko apa yang hendak dibendung. 

Penghinaan yaitu  pembenaran klasik bagi aksi penyensoran; saat  

itulah negara terus-terusan mengekang. Banyak negara masih memiliki 

hukum pelarangan buku-buku. Undang-undang semacam itu lazimnya 

diskriminatif, hanya melindungi agama yang diakui negara maupun 

doktrin yang dominan. Contohnya, Gereja Ortodoks di Yunani dan Islam 

Sunni di Malaysia. Korban kerap kali didapati berasal dari sekte, golongan, 

dan keyakinan minoritas lainnya, yang praktik keagamaannya dianggap 

merendahkan pandangan ortodoks. Sebuah penelitian pada tahun 2011 

menemukan bahwa beberapa negara – Bahrain, Iran, Kuwait, Pakistan, 

dan Arab Saudi – menyaring konten situs daring yang dimiliki oleh 

agama atau sekte yang tidak diakui negara. Beberapa lainnya, termasuk 

Bangladesh, Indonesia, Oman, Qatar, Sudan, Tunisia, Uni Emirat Arab, 

dan Yaman, menyaring konten yang dianggap menistakan, menyinggung, 

atau bertentangan dengan Islam.

Sebagaimana telah dibahas di atas, hukum HAM internasional menolak 

digunakannya penghinaan sebagai pembenaran yang sah untuk membatasi 

hak berpendapat. Yurisdiksi liberal menganggap kritik terhadap gagasan 

dan institusi tertentu sebagai ujaran yang perlu dilindungi, bahkan saat  

diutarakan dalam bahasa yang ekstrem dan menyinggung. Norma liberal 

hanya mengakui manusia yang bernyawa sebagai korban kebencian, 

bukannya konsep atau ketuhanan yang abstrak. Di Inggris, penindakan 

aksi penistaan dan hujatan yang menghina telah dihapuskan pada tahun 

2008. Demokrasi liberal yang masih memidanakan penistaan, seperti 

Kanada, belum pernah memakai  undang-undang ini sejak berpuluh-

puluh tahun lamanya. Negara yang menerapkan standar ICCPR memilih 

untuk membatasi praktik hasutan. Ada konsensus yang menyatakan 

bahwa hasutan kekerasan, dan tentu saja genosida, menuntut intervensi 

negara. Namun, kebijakan terhadap hasutan diskriminasi sangat bervariasi. 

Sebagian besar bentuk propaganda rasial dilindungi oleh Konstitusi 

AS, seperti yang bakal dibahas lebih lanjut di bawah ini.31 Sebaliknya, 

komitmen Kanada terhadap multikulturalisme memiliki arti bahwa: 

pemerintah dapat menindak dengan jalur hukum ujaran kebencian yang 

menghambat penerimaan atas kelompok-kelompok tertentu yang menjadi 

sasaran, dan itu berlaku pula pada ujaran yang memantik intoleransi dalam 

masyarakat.

Posisi Pengadilan Eropa dipersulit oleh prinsip margin apresiasi yang 

sudah disinggung di atas, yang ditujukan untuk menyerahkan wewenang 

kepada pengadilan nasional. Pada tahun 2005, prinsip ini  tidak 

berseberangan dengan aturan penjatuhan denda oleh pemerintah Turki 

terhadap penerbit yang terbukti bersalah menerbitkan buku berisi hinaan 

pada Tuhan, Islam, Nabi, dan Al-Quran. Pengadilan Eropa menyatakan 

bahwa meskipun orang-orang beragama perlu menoleransi kritik terhadap 

agama mereka, buku ini  tidak hanya berisi serangan provokatif tapi 

juga penistaan atas Nabi Muhammad, dan “para pemeluk agama dapat 

dengan absah merasa bahwa beberapa bagian dalam buku ini  yaitu  

serangan yang menyinggung dan menyakiti perasaan mereka.”33

Salah satu pembedaan rumit  yang mungkin atau tidak mungkin dibuat 

oleh hukum yaitu  terkait dengan kekerasan yang disebabkan oleh ujaran 

kebencian dan kekerasan yang dipicu oleh ujaran yang menyinggung 

perasaan. Keduanya dapat membahayakan ketertiban umum, dan 

mengganggu pemeliharaan ketertiban umum – yang bisa berbanding 

terbalik dengan pemeliharaan hak-hak kelompok rentan – yaitu  alasan 

utama meregulasi ujaran kebencian di banyak kelompok masyarakat. Di 

Inggris, misalnya, larangan atas ujaran kebencian berevolusi dari Undang-

Undang Ketertiban Umum 1986 dan terus diletakkan dalam kerangka 

tindakan yang mengganggu perdamaian. KUHP Jerman juga melarang 

ujaran yang memicu kebencian dengan pertimbangan bahwa hal itu “dapat 

mengganggu kedamaian publik.”

Masalah yang timbul dari meregulasi ujaran lewat lensa ketertiban 

umum yaitu  bahwa hal itu dapat secara tidak adil menghukum pelaku 

ujaran atas hasil yang sebenarnya tidak dikehendakinya dan yang berada 

di luar kendalinya. Strategi rekayasa ketersinggungan menjadikan hal 

itu sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Tidak sulit bagi agen pelintiran 

kebencian untuk memantik kemarahan masyarakat dari ujaran lawan 

politik, sehingga berbagai pembatasan diberlakukan terhadap si penutur. 

Sebelum menerapkan alasan ketertiban umum, negara justru perlu 

menerapkan “uji tiga-rangkai”. Dalam banyak kasus, penyensoran oleh 

negara dilakukan meski tidak perlu, sebab  negara sudah dibekali 

wewenang penuh untuk memakai  kekuatan koersif untuk menindak 

pihak-pihak yang melanggar hukum sebab  mengungkapkan emosi 

kemarahannya.

Kelompok mana yang perlu Dilindungi

Secara tradisional, negara-negara yang meregulasi ujaran menyinggung 

bermaksud mempertahankan pribadi yang tengah berkuasa dan menjaga 

budaya serta nilai-nilai komunitas mayoritas. Di dunia Barat, undang-

undang penghinaan pertama dibuat untuk menindak hasutan fitnah, 

melarang karya tulisan apa pun yang kiranya dapat memantik kebencian 

atau penghinaan terhadap penguasa.35 Seiring waktu berjalan, bias 

status quo ini telah digantikan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang 

mengizinkan si lemah beradu dengan si kuat lewat jalan damai. Dari 

perspektif HAM modern, komunitas yang kepercayaannya sudah dominan 

tidak lagi memerlukan hukum untuk membela anggotanya melawan 

penghinaan atau serangan ideologis. 

Maka dari itu, yurisdiksi liberal telah mengubah pendekatan tradisional 

180 derajat. Alih-alih mengasingkan elite yang sudah berkuasa atau 

memanjakan ego kelompok mayoritas, undang-undang menciptakan ruang 

bagi perbedaan pendapat, yang diiringi dengan perlindungan terhadap 

kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari serangan si mayoritas. Inggris 

mengilustrasikan kecenderungan ini. Tahun 1960-an silam, orang pertama 

yang dituntut sebab  ujaran kebencian oleh Undang-Undang Hubungan 

Ras tahun 1965 yaitu  seorang pria kulit hitam yang mengutuk aparat 

polisi kulit putih. Pada tahun 1968, pemimpin Gerakan Pembebasan 

Kulit Hitam dijatuhi hukuman satu tahun penjara sebab  sebuah ujaran 

yang menyebut orang-orang kulit putih “jahat dan keji.”36 Namun dalam 

beberapa dekade terakhir, pengadilan di Inggris dan negara-negara 

demokrasi Barat lainnya kemungkinan besar akan mengabaikan ujaran 

menyinggung yang berasal dari kelompok minoritas sebagai hal yang dapat 

dimengerti, mengingat isu rasisme dalam masyarakat yang didominasi 

kulit putih. Di Australia pada tahun 2003, misalnya, pengadilan menolak 

sebuah usulan Undang-Undang tentang Diskriminasi Ras dari petugas 

penjara berkulit putih. Dikatakan bahwa tujuan undang-undang ini  

yaitu  untuk melindungi kelompok minoritas yang rentan, padahal kulit 

putih masih menjadi ras dominan di Australia. Demikian pula, Pengadilan 

Eropa cenderung menggalakkan larangan terhadap ujaran kebencian 

menyerang kaum minoritas, namun akan menegur pemerintah yang 

menghukum minoritas sebab  memakai  ujaran ekstrem dalam konflik 

yang sedang berlangsung, contohnya tindakan keras pemerintah Turki 

terhadap pembangkang Kurdi.37

Yurisdiksi-yurisdiksi demokrasi liberal masih mengakui bahwa 

norma-norma arus utama tidak dapat diabaikan sama sekali dalam 

masalah-masalah penyensoran. Di Amerika Serikat, misalnya, negara 

diizinkan mengatur standar yang berbeda terkait mempertontonkan 

majalah pornografi di muka umum. “Uji Miller” dari pengadilan AS untuk 

tindakan pelanggaran kesusilaan mencakup pertimbangan sudut pandang 

dari “rata-rata orang, standar yang berlaku di masyarakat kontemporer.”

Namun, “Uji Miller” hanya berlaku bagi karya-karya yang tidak memiliki 

nilai kesusastraan, seni, politik, atau ilmiah serius – dengan kata lain, saat  

menuruti standar komunitas tidak mendatangkan kerugian berarti bagi 

pihak yang enggan sepakat.

Kasus ekstrem lain yaitu  saat  masyarakat berpandangan sempit 

mempertahankan bias tradisional untuk kepentingan dominan, terlepas 

dari kerugian yang dialami hak-hak minoritas. Di Pakistan, misalnya, 

undang-undang penistaan diterapkan secara tidak proporsional kepada 

kelompok non-Muslim dan minoritas Muslim Syiah.39 Hukuman menjadi 

lebih parah saat  kaum Muslim menempati posisi sebagai pihak yang 

tersinggung, bukan sebaliknya. Di bawah KUHP Pakistan Bab 295A – yang 

diwarisi dari India – seseorang yang dengan sengaja menyinggung perasaan 

keagamaan dari komunitas mana pun dapat dipenjarakan selama sepuluh 

tahun. Tapi, di bawah ketentuan Bab 295B, hukuman ini  bertambah 

menjadi kurungan seumur hidup akibat penghinaan terhadap Al-Quran. 

Bab 295C memungkinkan putusan hukuman mati bagi siapa saja yang 

“dengan segala tuduhan, sindiran, atau insinuasi, secara langsung maupun 

tidak langsung, menodai nama suci Nabi Muhammad.”

Masyarakat liberal menyadari bahwa, pada prinsipnya, kelompok 

dengan kemalangan yang mengakar perlu dilindungi dari ujaran kebencian. 

Dalam praktiknya, pertanyaan tentang jenis kelompok mana yang harus 

diakui yaitu  perkara perubahan yang berangsur dan pertukaran ide. 

ICCPR Pasal 20 secara eksplisit menyebutkan hanya “kebencian nasional, 

ras atau agama,” sementara undang-undang ujaran kebencian Kanada 

lebih luas mengacu pada “kelompok yang dapat