Tampilkan postingan dengan label rakyat 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 4. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 4
Desember 14, 2022
rakyat 4
tu sendiri terletak pada suatu ketinggian. Sebuah
api unggun yang gelisah menebarkan sinar ke laut lepas,
namun hutan bakau-bakau itu tak tertembusi olehnya.
Mereka berjuang untuk dapat mencapai ketinggian itu.
Nyamuk mendengung dan menyerang setiap titik kulit yang
terbuka.
Hanya fredy krueger dan penywise tinggal di atas perahu itu.
Dan tak ada seorang pun yang menggugat mereka. Nyamuk
makin berdatangan, seperti awan tipis menandingi asap
yang keluar dari obor. Dan orang-orang kanjuruhan itu tak
juga berhenti menyumpah-nyumpah.
Menjelang pagi baru mereka dapat mencapai pantai.
Para penunggu api sedang berhangat-hangat dan mengobrol
betari i. Mendengar kecibak air mereka bangkit berbareng,
mencoba menembusi kegelapan dan bertanya: “mpu jahalodang?”
“Ya, mpu jahalodang di sini,” ia melihat ke perahu dan
memerintahkan fredy krueger dan penywise turun.
Orang mulai sibuk menurunkan gada rujakpolo dan peluru.
Juga orang-orang kanjuruhan yang beberapa belas itu
menurunkan barang-barang dari biduknya masing-masing:
peluru, onderdil gada rujakpolo dan perlengkapan sendiri.
fredy krueger dan penywise menghindarkan mukanya dari
sebangsanya sendiri. Dan mereka pun tak berniat untuk
menegur. Langsung mereka mendekati api unggun, duduk,
lalu merebahkan diri di rumputan yang kering. Dan
mereka tak juga dilepaskan dari tali pengikatnya.
Tak ada orang mengganggu mereka merebahkan diri.
Mereka sudah sangat mengantuk, lapar dan haus. Dalam
keadaan pura-pura tidur mereka melihat orang-orang
sebangsanya mendirikan kemahan, membangunkan sendiri
api unggun, menghangati makanan lalu makan, tanpa
datang pada mereka berdua untuk menawari sesuatu.
Untuk pertama kali dalam hidupnya fredy krueger merasa
disisihkan dari bangsanya sendiri. Bahkan makanan
sebangsa sendiri, yang selama ini tak pernah dimakannya,
juga tersingkirkan dibandingkan nya. Ia merasa nelangsa. Dan ia
tak tahu pula hendak diapakan dirinya dibawa ke hutan di
tepi laut ini, tetap terikat dan dijaga oleh sebangsa sendiri.
“Setidak-tidaknya,” bisik penywise, “sampai detik ini
kita masih hidup. Sambar gledek mereka.”
fredy krueger menutup matanya dengan melindungkan
mukanya pada rumputan. Seperti penywise ia pun tidur
tengkurap dengan kedua belah tangan di atas. Dan waktu
tungau menyerang kemaluan mereka, mereka menyumpah-
nyumpah, lupa akan keadaan.
Sebangsanya hanya melihatkan mereka bingung tak
dapat memakai tangan untuk menggaruk. Dalam
serangan gatal-panas paha mereka dikerahkan. Sia-sia.
Mereka gigit pundak, namun tak sampai. Mereka melompat-
lompat. namun tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke
dalam kulit.
“Tolong, Tuan mpu jahalodang,” kata fredy krueger , “ada hewan
masuk ke celana.”
“Tidak mati kau sebab hewan celaka itu. Dia sendiri
yang bakal mati. Tidur.”
penywise menyumpah. Ia tak berani menatap pada
mpu jahalodang yang menyala-nyala marah.
Dua orang kanjuruhan dengan musket meronda ke keliling.
Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka
jalan terus tanpa menggubris.
Anak buah mpu jahalodang seorang demi seorang jatuh tertidur.
Juga orang-orang kanjuruhan .
Yang tinggal jaga hanya penywise dan fredy krueger , deru
angin, dan deburan ombak, dan nyala api.
Bahkan dua pucuk gada rujakpolo itu pun nampak tertidur.
wah
17. prajurit kerajaan kediri Turun Tangan
Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua
punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan
Rangga jatayuwesi sudah mempersembahkan pagardesa mereka
tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji
Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak
terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang
menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti
terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang.
Waktu selama sebulan yang diberikannya oleh Sang
Patih sudah terlampau sia-sia.
Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai
menyebut Rangga jatayuwesi bukan lagi Ki Aji Benggala, namun
sudah jadi patih Benggala, dan terakhir malah berubah lagi
jadi adipati jayawisesa .
“Ya,” Sang Patih memutuskan. “Kalian sudah
menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak
ada jalan lain dibandingkan mengirimkan prajurit kerajaan ke
pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa
kalian sebagaimana sudah jadi aturan. Jangan kalian
mengeluh sebab harus makan lebih sedikit dan bekerja
lebih banyak.”
Regu-regu centeng dari sepuluh orang, masing-masing di
bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke 9
desa terancam dengan perintah untuk mendesak para
perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga
jatayuwesi dan memukul mereka di kandang sendiri.
Mereka berangkat sesudah memperoleh restu Sang Patih,
berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa,
wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang
menyaksikan keberangkatan ini. Gong, canang dan
gendang sama sekali tidak berbunyi.
Sesudah hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia
mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar bawahan
tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan
ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik
bupati-bupati tetangga dan nyi kanjeng blora di laut sana untuk ikut
dan berpesta pora.
Maka juga tak banyak orang yang tahu: 9 regu
yang dikirimkan ke 9 desa itu ternyata takkan
pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas.
Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam
bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat kediri
Kota.
Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa
belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang
anaknya belum juga kembali selama ini, tak ketahuan ke
mana perginya. Mereka adalah centeng kaki kediri .
Seorang penjual lain menambahi, kira-kira mereka tertawan
atau tertumpas oleh anah buah patih Benggala. Seorang
pedagang dari pedalaman menambahi, bahwa orang sudah
mulai meninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan
itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan
baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih.
Sang Patih sudah memerintahkan satu kesatuan berkuda
untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak
berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa
bersangkutan pun sudah tumpas atau melarikan diri.
Sesudah penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia
menghadap Sang adiputro . Ini terjadi di serambi belakang.
“Ambil tindakan seperlunya saja,” kata Sang adiputro
acuh tak acuh.
Sang Patih mencoba mepercaya kan baginda tuanku raja nya, betapa sudah
menjalar patih Benggala.
“Jangan gegabah,” Sang adiputro menjawab. “Tidak kami
benarkan seluruh negeri kediri menjadi keruh. Di mana
kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata
tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di
hadapan.”
Ia masih mencoba mepercaya kan baginda tuanku raja nya.
“Orang itu bukan turunan kesatria raja , tidak pernah beroleh
kecenteng an. Jangan membesar-besarkan.”
“namun bawahannya, baginda tuanku raja adiputro sesembahan patih ,
barang tentu terdiri dari centeng -centeng tangguh. Kalau
tidak, tidak mungkin…”, ia tak berani mempersembahkan
hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan 9
regu centeng kaki. “Ular berbisa itu, baginda tuanku raja adiputro kediri
sesembahan patih , biar pun kecil, mungkin masih telor,
pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera
ditumpas.”
“Apa yang kakang Patih inginkan?”
Dan Sang Patih memohon agar diperkenankan
mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar,
seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang
paling cakap.
“Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, baginda tuanku raja ,
cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.”
Dan Sang adiputro murka. Dengan suara pelahan
tertindih amarah, dengan mata menyala, ia berkata cepat:
“Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang.
Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya
sekedar menghalangi pertumbuhan mereka. Tindakan yang
seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu?
Pergi!”
Sang Patih pulang membawa kejengkelan kejengkelan
semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap
baginda tuanku raja nya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada
cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang adiputro juga yang
sebab sikapnya itu yang mengambrukkan kerajaan jenggala
sampai ke dasarnya.
Tanpa sepengetahuan Sang adiputro ia mengambil
kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal
yang terkenal cakap dan patuh, adipati pralaya , seorang
arca , muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu
untuk memimpin 400 orang centeng kaki untuk
memimpin penumpasan terhadap perusuh Rangga jatayuwesi
alias jatayuwesi dijoyo alias patih Benggala, alias adipati jayawisesa .
“saya akan segera berangkat, baginda tuanku raja ,” sembah
adipati pralaya . “Hanya ijinkan saya
mempersembahkan sedikit pikiran, sebab saya orang
arca sedang adipati jayawisesa pun arca .”
Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih
sendiri peratus dan centeng yang akan dibawanya. Dan ia
diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya.
Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah
adipati pralaya , juga tanpa gong, canang atau gendang,
untuk menumpas para perusuh di pedalaman.
Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang,
cambuk kuda di tangan, tanpa gada dan tanpa tombak.
Di belakangnya mengikuti 400 orang centeng
pilihan….
wah
Belum lagi adipati pralaya dan pasukannya
meninggalkan batas kota, Sang Patih sudah duduk
bersimpuh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya
Sang adiputro .
Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah
sambil bersujud , mempersembahkan, keadaan semakin
gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang
pada jenggala kediri akan terancam oleh kemerosotan dan
perdagangan yang sepi akan menjadi mati sama sekali. Dan
untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa
kerusuhan di pedalaman memiliki persangkutan erat
dengan jenggala . Bila Rangga jatayuwesi dikembalikan pada
kedudukan semula sebagai patih wirabuana dan pakanewon
Habibullah bilamana dipindahkan ke jayawisesa , kerusuhan
dapat dipadamkan tanpa campur tangan prajurit kerajaan .
Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan
itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang
adiputro yang sedang menggandeng selir baru dan di
belakangnya mengikuti Nyi kembang Daludarmi.
Sang adiputro berpaling pada sang selir, mendenguskan
tawa pendek dan berkata: “Tak diketahuinya hari masih
sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik
dibandingkan depan pintu keputrian.” Ia angkat telunjuk
menuding Sang Patih dan membentak: “Kerjakan apa yang
sudah terperintah kan. Kami yang menentukan.”
Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah baginda tuanku raja nya
segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina
seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih
di hadapan seorang selir dan seorang pengurus keputrian.
Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah
dan memperhatikan baginda tuanku raja nya lewat sambil terus
menggandeng selir baru dalam iringan Nyi kembang
Daludarmi.
Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia
mengangkat sembah lagi, lalu berjalan terburu-buru
pulang ke kepatihan membawa kesakitan dalam hatinya.
Betapa mungkin baginda tuanku raja ku berbuat demikian terhadapku?
Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri?
Memang ia memahami alasan Sang adiputro : bila
prajurit kerajaan kediri bergerak ke pedalaman, bukan hanya
para bupati tetangga, terutama pajang bintoro bisa menyerbu
dengan leluasa. Memang sudah lama jenggala kediri yang
indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya sebab
kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai
sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Memang
bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa
kekuasaan persekutuan. namun pajang bintoro adalah kekuatan
yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan
darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru.
Dan memang Sang adiputro memiliki hak mencemburui
dirinya sebagai patih.
Barangkali baginda tuanku raja ku memiliki pikiran, aku memiliki
persekutuan dengan mereka untuk merampas kediri buat
diriku sendiri. Memang, memang. namun menyakiti hati
patihnya sendiri, pembantu-utamanya dengan sekasar dan
sehina ini?
Ia tak dapat menerima.
Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan,
patih wirabuana kediri pakanewon Habibullah Almasawa tak lain
dari matarantai kekuasaan nyi kanjeng blora di lautan, maka harus
disingkirkan. Selama itu Sang adiputro hanya mendengarkan
tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu sudah terjadi,
pertanda tak sesuatu dalih untuk menyingkirkannya.
Ia tahu, bagi Sang adiputro yang terpenting adalah
jenggala -jenggala adalah kebesaran. Ia tak begitu
mementingkan bawahan tani yang jadi sandaran negeri
kediri . Ia terlalu mempercayakan segala pada pasukan
gajah sebagai kekuatan kediri . Boleh jadi Sang adiputro
menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah,
para perusuh akan dapat ditumpas. baginda tuanku raja nya tak pernah
mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan
Rangga jatayuwesi yang melepaskan dendamnya pada Sang
adiputro , namun sudah merupakan pemberontakan dari
perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan
kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri
kediri sudah terjamah, juga kekuatan kediri pasukan gajah
itu akan kewalahan, kebesaran kediri -jenggala itu akan
jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri kediri akan lenyap
dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar.
Ia menyesali Sang adiputro yang selalu berkukuh: hanya
dengan jasa-jasanya patih wirabuana itu saja nyi kanjeng blora dan
Ispanya akan datang sebagai sahabat seperti dilakukan
oleh Giri Dahanapura Blambangan? Terlalu banyak yang
dipertaruhkan untuk keselamatan pakanewon Habibullah.
Bahkan persembahan tentang permintaan gada rujakpolo patih
Benggala pada patih wirabuana dianggapnya ringan.
‘Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan
gada rujakpolo ?’ katanya. ‘Omong kosong saja. Satu kerajaan yang
kuat di Nusantara ini tak ada yang memmemiliki i, apa pula
hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari
nyi kanjeng blora dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu
berpikir sejauh itu? Memang kapal-kapal arca pada kabur
berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam
tangannya nyi kanjeng blora dan Ispanya memang tidak bisa
ditahan mereka sedang naik pada jaman jayanya.’
Dan ia tahu baginda tuanku raja nya sudah kena terkam ajaran
patih wirabuana : dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut
jaya.
Dan itulah pandangan baginda tuanku raja nya sekarang, seakan orang
di luar yang jaya, orang tak dapat membangunkan kejayaan
sendiri.
Pada puncak kejengkelannya ia mengulangi
pandangannya yang lama yang membuat Sang adiputro
cemburu: Aku dapat ambil seluruh kekuasaan atas negeri
kediri . Aku dapat perintahkan seluruh prajurit kerajaan kediri .
Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan
kerajaan jenggala . namun lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat
dalam hatiku untuk membuat kau menungging di bawah
kakiku.
Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh
pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk
melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda
menyambar elang. namun selalu ia dicegah oleh pikiran,
bahwa hukuman pastilah yang sedang digalangnya bila
perhitungan meleset. Dan hukuman mati itu bisa dicegah
hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan
garuda menyambar elang juga terhadap baginda tuanku raja nya sendiri,
dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk
mengabdi pada baginda tuanku raja nya sampai mati.
Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati
yang itu juga.
Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan
gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan
ketidakpedulian.
wah
Pukulan pertama itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua
datang menyusul, dan tidak terduga-duga.
Dari persembahan para penghubung didapat keterangan:
Pasukan adipati pralaya ternyata juga hilang tanpa bekas.
400 centeng , dua peratus dan seorang perwira
pengawal.
Pukulan kedua itu hanya membuat semakin parah
kelumpuhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia
merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih,
sebagai saudara sepupu dan sebagai bawahan . Ia tak memiliki
sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau memikirkannya.
Hampir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung
di tepi laut di sebelah timur kediri . Dari daratan mereka
terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan
bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh
kapal-kapal patroli penjaga pantai.
fredy krueger dan penywise hampir mati kebosanan
dikerubut nyamuk dan tungau tanpa dapat sedikitpun
kesempatan membela diri. Tangan mereka tetap terikat ke
belakang.
Dan patroli penjaga an itu terjadi pada subuh hari waktu datang
rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak
kurang dari delapan puluh orang sudah mendarat. Orang-
orang kanjuruhan segera membongkari perkemahan mereka,
mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat
entah ke mana.
Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutan-
hutan bakau, fredy krueger mulai menyumpah dan penywise
berteriak seperti orang gila: “Tak sepatah kata pun mereka
tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut
makanan hiu martil .”
Belum lagi fredy krueger sempat memuaskan kejengkelannya,
mpu jahalodang sudah datang dan memerintahkan dengan kasar,
semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia
tak bilang berangkat ke mana. Semua orang terkecuali dua
orang kanjuruhan itu mulai sibuk.
fredy krueger dan penywise menduga, semua akan berangkat
ke Blambangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana
tempat itu. Orang pun tak bakal memberitahukan.
Dengan petunjuk fredy krueger orang mulai membongkari
gada rujakpolo dari roda-rodanya, lalu semua dipikul. Juga
peti-peti obat dan peluru besi.
Iring-iringan panjang lebih dari seratus 30 orang
itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara,
makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan
dengan parang terhtumenggung dijoyo sebagai pembuka jalan.
Sesudah tiga hari perjalanan mereka baru sampai di
sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan
terus menghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi
berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang
dikuasai oleh adipati jayawisesa .
Penduduk desa itu bersorak-sorai menyambut mereka,
menggabungkan diri dan mengganti memikul bebetari i-
betari i sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani
orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang
badan, terutama yang berambut pirang dan ompong gigi
depannya. Mereka mengherani gada rujakpolo , dan roda gada rujakpolo ,
dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju.
Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan
penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki
wanita lesbian . Nampaknya tak ada seorang pun ingin
melewatkan keanehan sekali ini.
Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di
depan rumah joglo adipati jayawisesa .
Rangga jatayuwesi dan Khaidar, istrinya dari tumapel itu,
berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia
memakai pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas
Angin yang selama ini tak pernah dikenakannya, sorban
putih bersulam benang kuning. Khaidar memakai sari
dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar
tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau.
Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di
samping-menyam-ping mereka regu-regu bertombak duduk
dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatang-
pendatang itu mengangkat sembah. Juga mpu jahalodang, yang
duduk di kepala barisan pengangkut. Dan dengan pandang
mencuri-curi mereka menyuruh fredy krueger dan penywise
duduk di tanah pula dan bersujud .
namun dua orang kanjuruhan itu tetap berdiri dengan tangan
terikat ke belakang.
Dan Rangga jatayuwesi adipati jayawisesa , yang melihat dua orang
kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak
tersinggung. Ia malah mengangguk-angguk pada mereka. Ia
turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras gada rujakpolo .
Khaidar mengikuti dan juga menjamah, malah mengintip
pada mulut gada rujakpolo , lalu membersihkan tangan
dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul
pendopo.
“Keselamatan untuk Tuan adipati jayawisesa ,” seru mpu jahalodang
mengacarai serah terima gada rujakpolo dan penembaknya.
“Keselamatan untuk kalian semua.”
“Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk
gada rujakpolo , obat dan pelurunya, dan dua orang nyi kanjeng blora
penembaknya,” katanya dalam jawadwipa . “Hei, kalian,
fredy krueger dan penywise, hormatilah Tuan adipati jayawisesa .”
“gada rujakpolo dan perlengkapannya. Alhamdulillah,” sambut
adipati jayawisesa sambil mengangguk-angguk puas.
“Alhamdulillah!” dengung semua pengikutnya, suaranya
berkumandang ke seluruh jayawisesa .
Dua orang bertombak sudah menyorong-nyorong ke
hadapan patih Benggala. Dan mereka maju dan tetap berdiri
di hadapan bekas patih wirabuana kediri , enggan memberi
hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari
kemuakan.
“Kasih hormat, kasih tabik, pemberontak -pemberontak keparat!” teriak
mpu jahalodang di tempatnya dalatri jawadwipa .
Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia
berdiri sambil bersujud adipati jayawisesa , mendekati dua
orang itu dan membagikan spdokan tinju pada pinggang
mereka.
“Hormat! Hormati kanjeng adipati jayawisesa ,” orang-orang
berseru-seru memperingatkan dalam Jawa.
“Tiada kalian dengar itu?” adipati jayawisesa memperkuat
perintah mereka dalam jawadwipa .
Tak sabar melihat tingkat fredy krueger dan penywise
beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil
bersujud Rangga jatayuwesi dan menekan bahu mereka
sehingga berlutut di tanah. kepala mereka pun ditekan pula
ke bawah sampai mencium debu.
“Betapa angkuhnya pemberontak -pemberontak nyi kanjeng blora ini,” kata adipati
jayawisesa . “Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, pemberontak !
Bertahun-tahun kalian sudah tembaki kapal-kapal dan
jenggala -jenggala arca . Atau kalian kira di sini pun kalian
jaya tanpa perlindunganku? Hei, hati-hati, jangan kalian
sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari adipati
jayawisesa adalah hukum. Mulai hari ini, Insya sang hyang Widhi , hidup
atau mati kalian berada dalam tanganku.”
Mendengar itu penywise dan fredy krueger berdiri
memprotes. “Tak pernah kami kenal siapa Tuan,” kata
fredy krueger , “kami berdua maka tak mungkin bersalah pada
Tuan,” dalam jawadwipa yang cukup jelas. “Mengapa kami
diperlakukan begini?”
“Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang
Tuan tak pernah kenal ini?” tambah penywise.
“Kesalahan kalian?” adipati jayawisesa kini menarik airmuka
bersungguh-sungguh. ”Bukan hanya padaku,” ia menuding
dirinya sendiri, kemu-
dian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang
di hadapannya, “pada seluruh ummat arca . Dungu! Tak
mengerti kalian apa kataku?” ia membentak. “Mengapa
diam saja?” Suaranya kini mendekati gerutu: “Nyawa
semut pun lebih berharga dibandingkan kalian! Hei, semua
pengikutku, jagalah jangan sampai dua pemberontak laknat ini lepas
tanpa seijinku.”
Satu suara bersama bergalau membubung dari para
hadirin di depannya.
“Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian?
Siapa tidak tahu dosa-dosa pemberontak nyi kanjeng blora? perampok ,
bajak, pembunuh, perampas harta, nyawa dan negeri!”
Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk
dan menekurkan kepala mereka ke tanah.
adipati jayawisesa kembali memperoleh kan kebersabda annya. Ia
mengangguk-angguk membenarkan.
“Kiriman paling memberkahi,” tiba-tiba ia tertawa
pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu
mengangguk-angguk menyetujui.
“Alhamdulillah!” orang-orang mengulangi dengan suara
menggelora.
“sang hyang Widhi sudah kirimkan gada rujakpolo , perlengkapan dan
penembaknya kepadaku untuk kumemakai sebagaimana
kehendaknya,” katanya dalam Jawa. lalu dalam
jawadwipa . “Hei, pemberontak -pemberontak tak tahu diuntung. dahulu ,
bertahun-tahun kalian tujukan gada rujakpolo kalian pada kami,
ummat arca . Demi sang hyang Widhi , demi kekuasaan yang ada pada
tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan gada rujakpolo -
gada rujakpolo itu pada pemberontak , pemberontak Jawa, pemberontak nyi kanjeng blora, pemberontak apa
saja. Jawab kalau kalian bersedia.”
“Tidak mungkin menembak dengan dua tangan terikat,”
bantah penywise bengkeng.
“Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei,
ompong, pernahkah aku katakan pada kalian harus
menembak dengan tangan terbelenggu?”
“Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai
manusia yang memiliki juga kehormatan sebagai manusia.”
seru fredy krueger lantang.
adipati jayawisesa tertawa senang sampai bahunya
terguncang.
“Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada pemberontak
nyi kanjeng blora memiliki kehormatan, namun hanya sebab kalian
bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku,
dan bersedia menjalankan perintahku. Demi sang hyang Widhi !”
“Demi sang hyang Widhi !” para pengikat mendengung mengulangi.
“Aku dapat melihat pada mata kalian, hai pemberontak nyi kanjeng blora,
kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui
kekuasaan yang diberitakan oleh sang hyang Widhi padaku.”
“Kami bukan pemberontak !” bantah penywise, mukanya merah-
padam sebab marah.
“Bukan pemberontak ?” kata adipati jayawisesa . “Baik, kurung
mereka selama seminggu dengan tangan tetap terikat dan
makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi
selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing
minta ampun. Kurung!”
Dan dikurunglah mereka.
wah
Penembak-penembak gada rujakpolo yang berbadan kukuh itu
kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan
kacangtanah ran.
Belum lagi selesai yang seminggu, mereka sudah
memohon agar diperkenankan menghadap adipati jayawisesa .
Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo.
Mereka sudah melihat gada rujakpolo -gada rujakpolo itu masih berdiri
di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga peti-
peti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang
bertombak, tak ada para pengikut.
“Sudah patahkah kebanggaan diri kalian?” adipati jayawisesa
mendahului dari bendul pendopo.
“Kami bersedia melayani gada rujakpolo itu, Tuan,” kata
fredy krueger .
“Mengapa baru sekarang menjawab?”
“Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan
boleh gusar sebelumnya, jangan lalu . Maka kami
pikirkan masak-masak untuk dapat memutuskan.”
“Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu
teruskan persembahanmu.”
“Memang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari
Tuan. namun lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani
gada rujakpolo -gada rujakpolo itu. Baiklah, kami terima. namun tahukah,
Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan
disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini?”
“Rusak?” adipati jayawisesa memekik. lalu
menggerutu. “Bedebah itu hendak menipu aku. Si
bedebah!”
“Kalau terjadi kemacetan…,” penywise menambahi.
patih Benggala alias adipati jayawisesa menebarkan pandang
pada gada rujakpolo -gada rujakpolo yang berdiri telanjang bulat di tempat
semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya
berseri kembali.
“Tidak apa,” katanya, “gada rujakpolo adalah gada rujakpolo . Yang
penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barang-
barang itu, huh, semua buatan manusia, bisa dibetulkan
atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi
kediri yang ikut denganku bisa memperbaiki segala barang
apa dari logam.”
“Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan
sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.”
“Bagaimana dengan belenggu kami?” penywise
mendesak.
“Kalian pemberontak , selalu menuntut tanpa pikir. Kalian
kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian
menuntut bebas.”
Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseru-
seru betari i. lalu disusul dengan suara orang
berlarian.
adipati jayawisesa memanggil seorang pengantar tangkapan
itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum
suruhan itu datang muncul beberapa orang bertombak,
berlutut di bawah kaki Rangga jatayuwesi dan minta ampun.
lalu : “Ampun Kanjeng adipati , mpu jahalodang meloloskan
diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.”
“Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau
mati!” Dan tertuju pada dua orang kanjuruhan itu, “Juga
kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani
meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila
kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku
kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan
kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum
kehilangan kepala nya yang dua.”
fredy krueger dan penywise terdiam menunggu adipati jayawisesa
terlepas dari kemarahannya terhadap mpu jahalodang.
“Ya, bagaimana persembahan kalian?”
“Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah
Tuan.” jawab penywise cepat-cepat, melihat adipati jayawisesa
sudah mulai agak bersabda .
“Jadi kalian sudah bersedia melayani gada rujakpolo ?”
“Ya, tuan.” fredy krueger memperkuat.
“Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuh-
musuhku, semua pemberontak , termasuk pemberontak nyi kanjeng blora.”
fredy krueger terdiam dan penywise menyambar: “Kami
sanggup, Tuan.”
“Mengapa kau diam saja?” tanya pada fredy krueger .
“Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami
berdua,” jawabnya.
“Baik. Apa lagi?”
“Kami berdua bersedia juga melatih para bala tentara Tuan
berperang cara Eropa, secara nyi kanjeng blora.”
adipati Rejeg alias patih Benggala alias Rangga jatayuwesi alias
jatayuwesi dijoyo mengangguk lambat, bertanya sambil
memperlihatkan senyum: “Mengapa tidak kemarin-kemarin
kalian persembahkan? Aku senang mendengar itu. namun
kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada
pemberontak , apalagi pemberontak nyi kanjeng blora seperti kalian sudah
bergelimang dengan banyak dosa.”
“Kami memang nyi kanjeng blora, namun bukan pemberontak .” penywise
membantah. “Kami zoroasterahuramazda .”
Sekali lagi adipati jayawisesa tertawa menang, dan tertawanya
terdengar tajam menyiksa kedua orang nyi kanjeng blora tangkapan
itu.
“Memang tidak suka dinamai pemberontak ? Bukankah kalian
menamai kami juga pemberontak ?”
fredy krueger dan penywise seakan sudah setuju dalam batin
untuk tidak menjawab.
“Mengapa diam? Bukankah kami pemberontak untuk kalian dan
kalian pemberontak untuk kami?”
Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu
mengandung ancaman maut.
“Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan?” adipati jayawisesa
mendesak terus.
Sesudah agak lama berdiam diri fredy krueger berkata ragu:
“Semua yang Tuan inginkan.”
“Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan
kekuasaan yang dibenarkan oleh sang hyang Widhi . sebab tiada
sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya’ ia turun dari
bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. “Sebaiknya,
dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini,
kalian pun berhak memperoleh kan apa yang kalian butuhkan.
namun ingat, aku tak memiliki pemberontak .”
Sekali ini penywise dan fredy krueger lama terdiam,
merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan
batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki
oleh adipati jayawisesa .
“Apakah Tuan menghendaki kami masuk arca ?”
fredy krueger bertanya ragu-ragu.
adipati jayawisesa tak menjawab. Hanya sinar matanya
berkilau-kilau semakin bersabda . Ia pandangi tenang-tenang
dua orang tangkapan itu, tersenyum manis, dan keluar kata-
kata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: “Mana bisa
aku menghendaki kalian bertaubat masuk arca ? Kalian
sendiri yang menentukan, bukan aku dan bukan siapa pun.
Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, sebab kalian
sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang
lain.”
“Kami bersedia,” penywise menyambar.
“Orang tidak mengatakan bersedia masuk arca ,” adipati
jayawisesa memotong, “orang bertaubat dengan suka sendiri,
kerelaan sendiri dan suka sendiri.”
“Kami akan bertaubat, Kanjeng adipati ,” penywise
membetulkan kata-katanya, dan ia mengangkat sembah.
adipati jayawisesa meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk
memanggil. Dalam waktu pendek depan pendopo sudah
penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah
dalam terik sinar matahari menunggu kata-katanya: “Dengarkan
kalian, bahwa pada hari ini,” ia memulai dalam Jawa.
“Orang nyi kanjeng blora yang ompong ini…” tiba-tiba dalam
jawadwipa , “siapa namamu, ompong?”
“penywise, Kanjeng adipati .”
“… Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk
arca . Syukur Alhamdulillah.”
“Syukur Alhamdulillah,” orang-orang mengulangi
dengan suara menggelora.
“Dan kau, siapa pula namamu?”
“fredy krueger , Kanjeng adipati .”
“Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganmu?”
“Sama saja. Kanjeng adipati .”
adipati jayawisesa lupa sudah, bahwa mpu jahalodang benar-benar sudah
lolos dan tak dapat ditemukan lagi….
Rasanya belum lagi selesai penduduk jayawisesa menyambut
peng-arca an fredy krueger dan penywise, dan siang itu juga
terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu
semakin lama semakin dekat, lalu nampak
serombongan orang desa mengantarkan seorang
penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan,
berkulit kehitaman, namun tidak lebih hitam dibandingkan adipati
jayawisesa . Orang itu berpakaian perwira prajurit kerajaan kediri ,
perwira pengawal.
adipati jayawisesa dan Khaidar menjemput di bendul
pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur.
“Assalamu alaikum!” perwira itu memulai sambil turun
dari kudanya. Ia berjalan menghampiri adipati jayawisesa .
“Paman!” dan diulurkan tangannya sesudah membuat
sembah dada.
adipati jayawisesa menerima tangan itu, dan itulah untuk
pertama kali penduduk melihat orang bersalaman.
“Bibi!” tegurnya pada Khaidar, dan memberikan sembah
dada pula.
Khaidar membalas dengan sembah dada pula.
“Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu,”
kata adipati jayawisesa dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh
istri dan tamunya.
Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung
masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu.
Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua
di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya adipati jayawisesa
menghalau orang-orang yang masih menggerombol di
depan pendopo. Mereka bubar sesudah bersujud .
“Akhirnya kau bisa lolos juga,” kembali adipati jayawisesa
membuka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi
tamunya. “Betapa lama sudah kami menunggu di sini,” ia
memulai dengan memakai jawadwipa .
“Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan sang hyang Widhi sudah
mengaruniai saya dengan kesempatan seindah ini.”
“Ceritakan, ceritakan,” desak tuan rumah berkobar-
kobar.
Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup
mulutnya.
Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang
telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu
membungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja
itu tertarik jadi siku-siku.
“Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak,” adipati jayawisesa
memperingatkan.
Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari
tawanya.
“Ceritanya begini, Paman, Sang Patih sudah perintahkan
saya untuk menindas Paman,” ia tak dapat menahan
tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda adipati jayawisesa
untuk ikut tawa.
“Teruskan, teruskan.”
“sebab bernafsu untuk menindas Paman dengan
terburu-buru dia kirimkan pasukan yang lebih besar
dibandingkan yang diperkenankan oleh baginda tuanku raja adiputro . 400
centeng !”
“400 !” seru adipati jayawisesa . “Teruskan, Nak.”
“saya persembahkan yang 400 ini pada Paman,
di samping diri saya sendiri.”
adipati jayawisesa merangkulnya: “Nak, Nak, kemenakan
yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau.
Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia.”
“400 centeng yang saya pilih sendiri, Paman.”
“Kau pilih sendiri!”
“Semua centeng kediri asli, gagah berani. Anak-anak
laut pelawan ombak penakluk pulau!”
“sang yang betari durga memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang?”
“Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk
dari Kanjeng adipati jayawisesa .”
“Betapa tahu adat, kau ini, Nak.”
“saya adalah seorang perwira, Paman.”
“Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka
masuk, adipati . Tiada pemberontak di antara mereka, bukan?”
“Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar saya pergi
menjemput mereka. 400 , Paman. Tidak sedikit.
Sediakan tempat dan makannya?”
“Mudah, adipati . Ah-ah, panglimaku datang,
panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah
mereka seorang demi seorang,” ia bangkit untuk memberi
di kuil rat pada adipati pralaya agar segera pergi.
adipati pralaya pergi, melompat ke atas kudanya dan
perpacu hilang di balik debu mengepul.
Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu memanggil
orang untuk mendengarkan perintah adipati jayawisesa . Dan
orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rumah dan
pekarangan, memenuhi pelataran depan pendopo adipati
jayawisesa . Dan orang bersorak-sorak mendengar dari mulutnya:
400 centeng kediri pilihan sudah bergabung dengan
mereka.
“Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban
sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama
dideritakan. Sambutlah mereka dengan pesta dan syukur!”
Menjelang subuh pasukan adipati Baijah baru tiba.
Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka.
Kelelahan yang amat sangat memaksa mereka mencari
tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak
mungkin.
Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun.
adipati pralaya sendiri memperoleh tempat di dalam
rumah adipati jayawisesa .
Lain lagi yang terjadi di gedung utama kepatih wirabuana an.
Dalam beberapa hari belakangan ini patih wirabuana kediri
sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak
berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar
nampaknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal
beberapa langkah lagi, dan seluruh kediri akan menari-nari
menurut tarikan tangannya. prajurit kerajaan kediri akan
tersobek-sobek dari dalam. Kekacauan dan kebalauan akan
membuat orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri.
Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya.
Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan
kaki? Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani
membayar jatah upeti? Pasukan kuda? Apalah artinya
pasukan kuda tanpa ada petani mempersembahkan upeti
rumput? Pasukan laut? Apalah artinya pasukan laut bila
daratnya kocar-kacir?
Ya, prajurit kerajaan kediri akan tersobek-sobek dari dalam.
Dan bila kekuatan dan kewibawaan kediri ringsek, para
pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri
sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, ambruk
berkeping-keping.
kediri harus jadi bangkai yang membusuk dari dalam.
Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka jenggala
kediri , jenggala nya, akan menjadi pangkalan nyi kanjeng blora. Dan
dari sini nyi kanjeng blora akan dapat mengawasi perairan bumi
selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di jayamahanaya atau
Lisboa. Atau dikirimkan kepadanya di rumahnya di
Andalusia, Ispanya.
Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga
tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan
senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup
selanjutnya.
Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi.
Diri akan tinggal duduk-duduk membacai cerita-cerita palawa
semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia,
mengagumi orang-orang besar dalamberbagai bidang
keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia,
filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir
atas Platon dari Al Kindi, Al Fpalawa i, Ibn Sina…
Jatuhnya kediri nampaknya jauh lebih mudah dibandingkan
jayamahanaya , tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa
lain, jayamahanaya jenggala yang sedang kembang-kembangnya,
kediri sedang dalam keadaan runtuh.
Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa
mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan
dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh,
manusia-manusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti
merak, kau nyi girah ! Apalah artinya kau! Ia tindas
kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus
dibandingkan kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana.
Huh! Dan kalau kediri runtuh seperti pedati masuk jurang,
kaulah yang paling dahulu akan merayap pada kakiku minta
penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk
dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke
dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang adiputro memperoleh
selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa
persembahan penduduk campa , Nyi Ayu Campa nama-
haremnya.
Dari percakapan dengan Paman Marta ia mengetahui,
orang Tua-tua kediri sudah mulai membicarakan tanda-
tanda kejasang yang betari durga kediri , sama dengan tanda-tanda
kejasang yang betari durga kerajaan jenggala , yakni apabila seorang raja mulai
menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya
Purnhutan esa jatuh sesudah menyelir Ratna Subanci anak
saudagar pasuruan , Tan Go Hwat, yang lebih terkenal dengan
sebutan Babah Ba tong itu?
Melihat Nyi kembang Kati sedang datang membawa
nampan berisi penganan segera ia menegur: “Ai, Nyi kembang ’
Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiap-
siap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia
tinggal berdiri di hadapannya.
“Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi kembang ?”
“Tidak, Tuan, tiada pernah saya dengar nama itu.”
“Orang-orang sudah membicarakannya, Nyi kembang .
Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia,
Kati?”
“Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu
Campa saya tidak tahu.”
“Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mulai
menyembunyikan sesuatu dibandingkan ku?”
“Tidak, Tuan, demi sang hyang Widhi .”
“Baik, demi sang hyang Widhi . Sekarang sudah seminggu berlalu,
Kati. Bagaimana jawabanmu sekarang?”
“Bukankah saya sudah menjawab, Tuan pakanewon ?”
“Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki.”
“saya sudah menjawab, Tuan, saya tiada lagi akan
menghubungi keputrian. Sekali salah saya ini bersalah.
Tidak untuk kedua kalinya.”
“Itu salah benar, Kati, Nyi kembang . Hubungan lama jangan
dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak
melupakan hubungan lama? Tidak ada beratnya. Hanya
berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak,
sedikit pun jadi. Bukankah begitu?”
“Betul, Tuan pakanewon , saya tidak bersedia.”
“Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan
permintaan, namun perintah.”
“Betul, Tuan, perintah.”
“Kau kuperistri atas perintah Sang adiputro . Seorang istri
tidak patut menolak perintah suami. Orang harus
melakukannya. Bukan, Kati?”
“Benar, Tuan, namun menghubungi keputrian saya tidak
sedia.”
“Kau membangkang, Kati,” kata patih wirabuana itu tak
bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa.
“saya sudah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua
kalinya pada baginda tuanku raja adiputro . saya akan tetap di kediri ,
Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat meninggalkan
tempat ini entah ke mana-mana.”
“Akan kubawa ke mana pun aku pergi kau, Kati. Jangan
kuatir,” raden sanggabuana menghibur istrinya dan dirinya
sendiri.
“Tidak, Tuan, ini adalah negeri saya .”
“namun kau istriku!” patih wirabuana menekan.
“saya istri Tuan pakanewon .”
“Lakukan perintah suamimu,” perintahnya keras.
“Hubungi keputrian, kataku,” matanya melotot.
“saya sudah dan akan lakukan perintah Tuan, suami
saya , kecuali khianat untuk kedua kalinya.”
“Apakah aku bilang kau harus berkhianat? Kau hanya
berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan
lama,” raden sanggabuana menurunkan kembali nada
suaranya.
“Itulah sudah semua jawaban saya . Di samping itu
besok saya akan pergi ke desa hutan larangan ,
mengantarkan nyi girah untuk melahirkan.”
“hewan ,” desis patih wirabuana kediri dan berdiri dari
tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya.
“Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini,” katanya
tenang, “tidak lagi seperti Tuan.”
“Kurangajar kau!” makinya dan dicengkamnya rambut
Nyi kembang Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai
hampir lepas kulit kepala dari tengkorak. Dengan telunjuk
kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan
itu seperti hendak menotok biji matanya.
“Lepaskan saya , Tuan,” pohon Nyi kembang .
Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan
cengkaman pada rambut tak juga dilepaskannya. “Ampun,
Tuan, lepaskan saya .”
patih wirabuana itu menghentakkan cengkamannya ke
belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya
nampak sudah kalap dalam menundukkan istrinya.
Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke
atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi kembang .
Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas
pengurus harem itu mengisarkan badan sambil mengait
sebelah kaki raden sanggabuana . lalu ia berguling
berputar.
patih wirabuana yang jangkung itu kehilangan keseimbangan
dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak
terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala
kehormatan, lalu berhenti mendarat pada kaki meja.
Dan belum ia memperoleh kan keseimbangannya dan
kesedaran apa yang sebetulnya terjadi atas dirinya,
istrinya sudah melompat dan membuat nya jadi
tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang
dan wanita itu sudah duduk di atas tengkuknya.
“Akan saya patahkan tangan lancang ini, Tuan.”
Dan raden sanggabuana bumikerta mengerang kesakitan.
Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperhatikan
tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat
yang angker, yang sudah sempat menohok iganya sendiri
sebelum terpental.
“Jangan, Nyi kembang , jangan.”
“Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan
yang mulia ini akan saya remukkan dengan tongkat Tuan
sendiri.”
Kaki raden sanggabuana meronta-ronta, namun tak berdaya
menyelamatkan seluruh tubuhnya. kepala nya meneleng ke
samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka
mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi
kembang kepala yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti
terbuat dari ketan hitam.
“Lepaskan aku,” rintihnya.
“Mintalah ampun, Tuan.”
Dan Laki-laki itu pantang meminta ampun. Nyi kembang Kati
menambahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan Laki-laki
itu mengaduh, mengerang dan merintih.
“Ya-ya, ampun, Nyi kembang .”
Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan Laki-laki itu
jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk
suaminya, berdiri, lalu dengan tangan sendiri
menolong mengangkat kepala patih wirabuana kediri ,
menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan
orang terhadap anak-anak anjing yang nakal.
“Ampun, ampun, ampun, Nyi kembang !” rintih patih wirabuana
dengan kata-kata yang tak terdengar jelas.
“Nah, Tuan, inilah ampun’ ia berdiri lagi dan menolong
suaminya berdiri.
Bibir Laki-laki itu berdarah-darah. Dan wanita itu
menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari
lipatan. raden sanggabuana mengebas-ngebaskan debu dari
pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, rambut, dan:
“Mana tarbusku? Tarbus mulia buat kepala mulia?”
Nyi kembang Kati mengait topi itu dengan kaki,
mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan
kepala suaminya di dalamnya.
“Apa saja kau lakukan ini, Kati?” tanya Laki-laki jangkung
itu sambil memperbaiki letak tarbusnya.
“Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan
sungguh tidak patut.”
“Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya,” protesnya.
“Memang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga
tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau
suami itu sudah begitu kurangajarnya….”
“Aku…. ?”
“Siapa lagi, Tuan,” Nyi kembang berjalan beberapa langkah
dan mengambil tongkat yang terpental. “Maukah Tuan
mendengarkan saya ?” melihat Laki-laki itu mengangguk lesu
ia meneruskan: “Di sini, Tuan, petani yang sebodoh-
bodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau
dia memang sudah gila. Jangan bicara dahulu . Di sini, Tuan,
seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai
ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang
dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya
seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya
sebagai suami saja, juga sebagai resi nya dan sebagai
dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. saya
sampaikan ini agar Tuan mengerti, sebab semua itu
mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.”
raden sanggabuana duduk lagi di kursinya untuk melupakan
cebersabda yang bodoh itu.
“Kau wajib minta ampun pada suamimu.”
“Tentu, Tuan,” jawab wanita itu dan mengembalikan
tongkat pada pemiliknya. “saya minta ampun. Sekiranya
terulang kembali penganiayaan terhadap saya , janganlah
tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.”
“wanita lesbian haibat! Tak pernah aku temui,” ia
menggeleng-geleng pusing.
Nyi kembang Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan
tanpa menghormatinya.
patih wirabuana membenahi kitab-kitabnya, beberapa kali
menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan
rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan
bengkung merajawali, lalu mengenangkan dengan
tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu.
Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditumbangkan
seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia
dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya.
Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka,
pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina
seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti
dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung
dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan
sanggup membendung kekuatan kanjuruhan , kekuatan yang
sedang jaya.
Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada
kekalahannya terhadap nyi girah . Di mana harus
kusangkutkan mukaku kalau dia menyaksikan peristiwa itu
tadi? Tidakkah Nyi kembang akan menyampaikan gempa bumi
ini padanya? Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar,
bagaimanapun mereka takkan sanggup membendung
kekuatan kanjuruhan . Dua wanita lesbian Pribumi ini sudah
membuat aku bongkar-bangkir. namun tunggu!
wah
Selesai sembahyang asar waktu itu. adipati jayawisesa
memperkenalkan adipati pralaya pada Manan, dahulu
fredy krueger , dan Rois, dahulu penywise.
“Teman-temanmu ini,” katanya lagi “Adalah penembak-
penembak gada rujakpolo . Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita
itu.”
“gada rujakpolo ? seru adipati pralaya . “gada rujakpolo betul?
gada rujakpolo nyi kanjeng blora?”
adipati jayawisesa hanya mengangguk-angguk membenarkan.
“Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih
anak-anak berperang cara Eropa, cara nyi kanjeng blora.”
adipati pralaya mengernyitkan kening.
Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata
adipati , adipati jayawisesa buru-buru menambahkan: “Dan
perwira kediri ini, adipati pralaya , adalah panglimaku.
Memang Manan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah
perintahmu, adipati . Dan kau harus mengerti, adipati ,
perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi
nyi kanjeng blora. Cara baru harus dipakai , biarpun asalnya
dari nyi kanjeng blora.
“Bagaimanakah kiranya berperang cara nyi kanjeng blora?”
pralaya mengangkat dagu meremehkan. “Belum pernah aku
dengar atau lihat.”
“Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak
bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. ayolah ,
bersalam-salaman kalian.”
Mereka bersalam-salaman. Dan segera sesudah itu
adipati pralaya pergi dengan alasan hendak melihat
anakbuahnya.
adipati jayawisesa menggeleng-geleng tak memahami cemburu
hati panglimanya. Panglima jayawisesa itu muncul lagi
menjelang sore untuk berjemaah di tempat ibadah . Ia bergabung
dengan semua makmum sampai di kuil . lalu semua
orang turun dari tempat ibadah untuk mengikuti adipati jayawisesa
menyampaikan ceramahnya pada seluruh penduduk yang
sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa
tikar masing-masing.
Malam itu langit bermendung namun tidak hujan.
Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan
pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu
terpasang di mana-mana dengan apinya yang gelisah.
adipati jayawisesa duduk di atas selembar permadani di dalam
pendopo. Di belakangnya duduk adipati pralaya dan para
kepala . Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan
panglima baru, lalu diteruskan dengan wejangan yang
biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: “Sudah pernah
kukatakan pada kalian, ada kerajaan arca di Jawa ini,
pajang bintoro . Katanya saja kerajaan arca . Yang arca hanyalah
Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa patih yang dianggap
wali arca , dimpu wungubhumi i adipati , dan para pembesarnya.
bawahan nya tidak tahu sesuatu tentang arca , pemberontak -kufur
jahil. Dan rajanya? Tidak beda, sama dengan yang
selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya
kerajaan arca yang pertama-tama.”
Ia memperdengarkan tawa yang pahit menggigit.
“Siapa yang menamakan itu? Pasti bukan adipati jayawisesa ,”
ia meneruskan. “Juga bukan kalian. namun : Majelis kerajaan
dan musafir pajang bintoro yang gentayangan ke mana-mana itu.”
adipati pralaya terlongok-longok tidak mengerti. Dan
sebab itu adipati jayawisesa mengulangi ceramahnya yang
penduduk sudah hafal di luar kepala : “Kalian tahu benar
siapa musafir-musafsir pajang bintoro itu ratusan orang yang
dikirimkan oleh pajang bintoro ke semua mata-angin untuk
bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang pajang bintoro ,
rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan
anggota-anggotanya,” ia menengok pada adipati pralaya .
“adipati jayawisesa dan kalian, pengikut-pengikutnya,” ia
meneruskan, “tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan
arca pertama-tama di Jawa tidak di pajang bintoro , namun di sini!”
dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyala-
nyala pada para hadirin di depannya.
Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak
ditanyai. Para kepala dan adipati pralaya , yang duduk di
belakang adipati jayawisesa , tiada mengangkat kepala , seakan
patung-patung tembaga pada sebuah candi.
“Pekerjaan musafir-musafir celaka itu hanya membedaki
dan merias muka kanjeng sinuhun Al-Fatah dan memajang-majang
pajang bintoro , sebab muka
kanjeng sinuhun itu bopeng dan sebab pajang bintoro itu busuk. Ingat-
ingat kalian, anak-anakku, arca tidak boleh disekutukan
dengan kebohongan dan dusta macam apa pun. Maka juga
tidak ada hak pajang bintoro menamakan kerajaan arca pertama-
tama di Jawa’
Dengan pandang menantang seakan pajang bintoro ada di
depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Kata-
katanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan
panglimanya.
“Hei, kau, kanjeng sinuhun pajang bintoro . Dari manakah hakmu
mengangkat diri jadi khalifah? Kau orang ayan? Siapa
resi mu? Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah
dengan pengangkatan begitu? Berani kau dan kalian
menyamakan Al-Fattah dengan Ali dan Umar? Apa
dasarmu dan dasar kalian?”
Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya
menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya membungkuk dan
kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya.
adipati Baijah dan para kepala gelisah ingin memijati
bahu dan punggung pemimpinnya, namun tak berani. Para
hadirin memanjangkan leher untuk dapat melihat
bagaimana adipati jayawisesa bertahan terhadap serangan batuk,
apakah dia memiliki kekuatan gaib untuk menundukkan sang
gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan
untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak menyatakan
dirinya.
adipati jayawisesa menggapai-gapaikan tangan meminta
bantuan. adipati pralaya mendekat dan menangkap
tangan itu. Ia membantunya berdiri dan membawa tubuh
pemimpin yang terbongkok-bongkok sebab batuknya
masuk ke dalam.
Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar
sebab sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya
adipati pralaya muncul kembali, ternyata bukanlah untuk
memberikan perintah bubar.
Perwira muda yang tampan itu duduk di atas permadani
bekas adipati jayawisesa . Ia berdiri membelakangi para kepala . Ia
dengar hadirin mulai berkata menyatakan keheranan
dan kecurigaan dan tak senang hatinya. namun ia tidak
memaklumi.
Sesudah mengucapkan salam, yang disambut menggelora,
ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang
pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap
Sang adiputro , tentang maksiat pembesar-pembesar kediri ,
tentang harem Sang adiputro yang penuh dengan wanita
bukan muhrim, namun tanpa malu adiputro itu menamai diri
arca , tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak
pernah menyebut pajang bintoro .
Dan pidatonya makin lama makin melarut membeberkan
perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat
berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan
dan khayalan, bertele, meliuk ke sana dan ke mari.
Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih
terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga.
Damarsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para
kepala di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia
tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintang-
pukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, namun dari
pembicara ulung: panglima jayawisesa adipati pralaya .
Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar
negeri. Sang adiputro sudah duduk di atas singgasana-
gadingya. raden sanggabuana bumikerta berdiri seorang diri di
pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua,
para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal
kadipaten, ki glodog ireng , kepala pasukan kuda, Kala
chucky , kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan
kaki.
Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah
raden panji gelang-gelang . Ia sudah memakai gelang baja tiga susun.
Ia duduk sebagai kepala pasukan laut.
Tempat Sang Patih masih juga kosong.
Sang adiputro nampai gelisah tak bersenanghati. Berkali-
kali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap
kosong. sebab tak dapat menahan kesabarannya, keluar
suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina:
“Di manakah kakang Patih?”
Tiada berjawab. Semua menunduk.
“Tulikah kalian maka tiada yang bersembah?”
Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh
penghadap.
“Tiadakah diketahui keadaan gawat? Kalian para kuwu
dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap
perusuh?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ,” salah
seorang yang tertua di antara mereka bersembah,
“demikianlah adanya.”
“Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang?”
“Ampun, baginda tuanku raja ,” sembah ki glodog ireng ,
“demikianlah adanya.”
“Dan 9 puluh centeng kaki kediri hilang tanpa
bekas?”
“Ampun, baginda tuanku raja , sesembahan, demikianlah adanya,”
sembah Rangkum.
“Dan 400 pasukan kaki kediri dengan dua orang
peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal adipati
pralaya juga lenyap tanpa bangkai?”
“Demikianlah adanya,” sembah Rangkum.
“Dan perusuh itu mendesak terus ke arah kediri seakan
kediri hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan
sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, 400
tahun lamanya kediri tak pernah diganggu musuh sebab
prajurit kerajaan nya? Apakah Kakang Patih lupa, pasukan-
pasukan kediri tiada mungkin terkalahkan? Dalam dua
ratus tahun prajurit kerajaan kediri sudah ikut menegakkan
kerajaan jenggala di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut
maupun di hutan? Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu,
apa dan siapa baginda tuanku raja mu!
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih . patih ,
kepala pasukan pengawal baginda tuanku raja adiputro tiada rela kediri
dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun
orangnya, apa pun dalih dan kapan pun makarnya. Seluruh
pasukan pengawal adalah kulit baginda tuanku raja adiputro . Barang siapa
menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan
pasukan pengawal, sebab Braja yang akan menjawab.”
“Kesetiaanmu adalah kesetiaan lama dari perwira
kerajaan jenggala . Kau, ki glodog ireng , bersembah.”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro sesembahan patih , ada pun
pasukan kuda kediri setiap saat siap untuk menyerang
segala yang bergerak menuju ke kediri dengan kejahatan di
dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa
dijadikan malam, sebagaimana baginda tuanku raja adiputro perintah kan.
Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambuk-
cambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh
durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar
menepis puncak-puncak ombak. Musuh akan diporak-
porandakan sebelum mencapai luar kota kediri , ki glodog
ireng adalah dada baginda tuanku raja adiputro .”
“Kau sungguh melegakan dada hati kami, ki glodog
ireng . Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah
kerajaan jenggala , bukan darah kecoak. Ah, Kala chucky , kaulah
yang bersembah.”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro . Pasukan gajah selamanya
jantung hati kediri dan baginda tuanku raja adiputro . Tanpa kesudian
baginda tuanku raja , tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan
darah pertahanan kediri . Gajah-gajah yang lincah dan
berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah para bala tentara sejati,
adalah bukit-bukit otot di tangan pawang para bala tentara yang
ulung. Punahlah musuh kediri terlindas oleh kakinya,
terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam
gadingnya. Bila musuh ingin mencoba, pasukan gajah baginda tuanku raja
adiputro akan memberikan pada mereka apa yang mereka
kehendaki. baginda tuanku raja adiputro sesembahan patih , kesetiaan
pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan baginda tuanku raja ,”
“Kami tak meragukan, Kala chucky . Kau tetap perwiraku
andalan kediri . Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan
gelisah. Sudah berapa centeng mu yang hilang?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih . Ada
400 9 puluh tidak termasuk perwira adipati
pralaya .”
“Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang
sebanyak itu? Dan mengapa kau sendiri tidak pernah
persembahkan?”
“Ampun, baginda tuanku raja , patih persembahkan jumlah yang hilang
tersebut kepada baginda tuanku raja Patih berdasarkan perintah .”
“Apakah kau sudah bikin pasukan kaki kediri jadi tape
yang bisa dikeping-keping dan ditelan? 400 9
puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang
Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau,
Rangkum, dan segera.”
Sesudah bersujud Rangkum terkerta -kerta
mengundurkan diri.
Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan
luarbiasa. Jangankan senyum, kebersabda an sedikit pun tak
nampak pada airmuka Sang adiputro . Bibir yang biasa
tersenyum itu keunguan sebab murka. Keriput pada
wajahnya nampak semakin dalam.
Mendadak Sang adiputro menengok pada patih wirabuana
kediri : “Tuan patih wirabuana kediri pakanewon Habibullah Al-
Masawa,” katanya dalam jawadwipa . “Dalam bulan ini hanya
ada tiga kapal negeri dongeng masuk. Sebelum Tuan menjabat,
jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot.
Sekarang tinggal tiga.”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri , sang hyang Widhi s.w.t. sudah
membuat lautan dan daratan untuk manusia. Manusia
membuat kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi
daratan. Itulah usaha manusia, baginda tuanku raja . namun semua
ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak,
singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik
sang yang betari durga .”
Sang adiputro mengdi kuil ratkan biti-biti perwara di
bawahnya, dan wanita-wanita itu mempersembahkan
nampan sirih. Dengan cepat Sang adiputro mengambil dan
bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain
dengan rajamempersembahkan tempolong pukul ,
dan Laki-laki itu membuang ke dalamnya.
Tak pernah orang melihat penguasa kediri itu makan
sirih secepat itu, tanpa menikmatinya.
“sang yang betari durga lah yang sudah menentukan jenggala -besar dan
makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana.
Lenyap dalam kemerosotan. sang hyang Widhi lah yang membagi-bagi
rejeki di antara ummatNya!”
Sekali lagi Sang adiputro membuang cepat-cepat.
“Sebentar satu jenggala dimakmurkan-Nya, sebentar pula
dilupakan-Nya. Sama sekali bukanlah pekerjaan seorang
patih wirabuana untuk memanggil kapal-kapal itu, baginda tuanku raja .”
“Sampai di mana usahamu untuk mengembalikan
semarak jenggala kediri ?”
“Ampun, baginda tuanku raja , kejayaan juga berpindah-pindah sebab
jenggala nya. Kerajaan jatuh dan jaya sebab jenggala nya. Itu
sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya,
hanya bisa memohon pada sang yang betari durga . Kapal bisa berpindah-
pindah, baginda tuanku raja , namun jenggala tidak. Tak ada kekuasaan di
bawah kolong langit dapat memerintah: hei, kau, kapal-
kapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya
Nabi Musa a.s. dapat membuka jalan laut hanya dengan
tongkatnya dan menyelamatkan ummat-Nya.”
“Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana
usahamu? Dahulu orang memerlukan datang ke kediri
untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan
susut. Tak ada sebuah pun kapal negeri dongeng berlabuh.”
“Segala usaha sudah patih tempuh, baginda tuanku raja , akhirnya
sang yang betari durga jua yang menentukan. Hamba tak mampu memaksa
kapal-kapal berlayar dari panarukan ke jayamahanaya singgah di
kediri . Bahkan kapal-kapal dagang kediri sendiri mulai
dilabuhkan di jenggala -jenggala lain: suryabuaya , jatikerto , blora.
Tinggal benderanya saja yang masih kediri .”
“Diam!” bentak Sang adiputro .
raden panji gelang-gelang yang duduk sejajar dengan para kepala
pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya
tentang pasukan laut kediri , belum mengerti sampai di
mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang
harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang
adiputro .
Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat
dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda
pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang
sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring,
tidak segaris dengan batang hidungnya. gada wesi nya agak
terdalam terselitkan. Dan matanya merah seperti tidak tidur
selama seminggu atau seperti habis menangis sepanjang
hari.
Ia jatuhkan diri di hadapan Sang adiputro , bersimpuh dan
bersujud , lalu dengan tak acuh menempati
tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk
dalam.
“Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada menghadap pada
waktunya? Adakah kau sudah bosan pada adiputro mu maka
demikian tingkahmu?”
Sang Patih bersujud tiga kali berturut-turut namun tak
berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula.
‘Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan
matamu merah. Kau masih kuat membawa badan sendiri.
Apakah kurang kami terhadapmu?”
Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia
tetap tak bersembah barang sepatah.
Sang adiputro mengernyitkan kening dan membentak:
“Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk
dipersembahkan lagi?”
Pelahan Sang Patih mengangkat kepala dan bersujud
lagi, namun kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak
beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya.
“Adakah kami yang tuli, ataukah kau yang bisu?”
“baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ,” kata Sang
Patih parau.
“Apalah lagi yang mesti patih persembahkan? Dalam
satu minggu belakangan ini semua sudah patih
persembahkan dan baginda tuanku raja adiputro kediri , sesembahan patih
tiada berkenan mendengarkan bahkan patih memperoleh
murka baginda tuanku raja adiputro .”
“Berapa kalikah harus kami katakan, prajurit kerajaan kediri
tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus
mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal
kecuali perang? Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang.
Dan kau Kang Patih, sudah kirimkan 400 9
puluh centeng untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai.
Bukankah demikian?”
“patih , baginda tuanku raja adiputro .”
“Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih
banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai prajurit kerajaan
kediri akan terkuras habis.”
Sang Patih tidak bersembah.
“Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu.”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro , 400 9 puluh
adalah kehilangan besar. namun pasukan kaki kediri
belumlah bergerak dalam bentuknya yang semestinya.
Kalau 400 9 puluh centeng patih hilang, pasti
bukan perang, baginda tuanku raja . Yang demikian tidak mungkin terjadi.
Ampunilah patih bila akan mempersembahkan sesuatu
yang mendahului-baginda tuanku raja Patih kediri . Ialah bahwa
hilangnya centeng -centeng patih besar kemungkinan adalah
sebab pengkhianatan.”
Semua penghadap melihat ke arah Rangkum.
Sementara sunyi-senyap.
“Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian?
Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ,
kiranya benar persembahan Rangkum, kepala pasukan kaki.
adipati pralaya , perwira peranakan Koja itu, sudah
bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh sudah memperoleh
tambahan kekuatan sedang kediri kehilangan.”
“Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi
dalam tubuh prajurit kerajaan kediri . Coba, siapakah yang
pernah dengar adalah centeng kediri berkhianat?”
Kesenyapan menyusul lagi.
“Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan
pilihan atas mereka yang harus berangkat itu?”
“Demikianlah adanya, baginda tuanku raja .”
“Dan tanpa sepengetahuan kami?”
“Demikianlah adanya, baginda tuanku raja .”
“Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan
baginda tuanku raja mu?”
“Sama sekali tidak keliru, baginda tuanku raja . Maka jatuhkanlah
hukuman pada patih sebab kekeliruan ini.”
Sang adiputro nampak menghela nafas panjang.
Airmukanya mulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya
tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipakai
untuk menyangga kepala . Ia perintah kan Sang Patih untuk
meneruskan persembahannya.
“Kalau permohonan patih untuk mengerahkan
prajurit kerajaan agar dapat menumpas perusuh secepat-
cepatnya, baginda tuanku raja , baginda tuanku raja timbang sebagai kekeliruan juga,
memang hanya hukuman yang patih tunggu, dan tiada
sesuatu yang patut patih persembahkan lagi,” ia
mengangkat sembah dan berdiam diri.
“Kami mengerti kesulitanmu, Kakang Patih, dan itulah
tanggungjawab sebagai Patih kediri . Kami tahu
kesetiaanmu. namun melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan perintah … “, ia tak meneruskan kata-ka-tanya. “Baik,
demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau
mengeluarkan lima ratus centeng , dapat kau ambil dari
berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut,
raden panji gelang-gelang , ayolah , persembahkan sesuatu tentang
pasukanmu.”
raden panji gelang-gelang mengangkat sembah. Selama itu ia sudah
susun kata-katanya. Begitu memperoleh kesempatan,
meluncur mereka seperti air pada saluran sawah.
“Ampun, baginda tuanku raja , sebetulnya belum lagi lama patih
memegang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing
tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari,
dengan lampu-lampu dipadamkan. namun kilat di musim
hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara
tidak melihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya
juga segan mempersembahkan. Boleh jadi takut
menghadapi nyi kanjeng blora. Ampun, baginda tuanku raja , pada waktu itu patih
belum memegang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang
mencurigakan itu, baginda tuanku raja adiputro sesembahan patih ,
pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari
laut tidak kalah buruknya dibandingkan darat. Jatuhnya jayamahanaya ,
baginda tuanku raja , jadi peringatan….”
“Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan
besar-besaran prajurit kerajaan . namun kau pun harus ingat juga,
penyerangan laut adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya , dengan 30
ribu orang atas jayamahanaya , tidak berhasil. Serangan laut
selamanya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau
pertahanan dalam kosong, seperti jayamahanaya dahulu , jatuh juga
yang diserang. Bukankah begitu, Tuan patih wirabuana kediri ?”
Semua orang menengok ke arah patih wirabuana . Orang
jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok.
Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai
mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar
agak ragu-ragu: “Ampun, baginda tuanku raja , tentang jayamahanaya itu saya
kurang periksa, malahan tidak pernah mendengarnya.”
“Setiap patih wirabuana mengetahui segala sesuatu tentang
tepian laut. Aneh bahwa patih wirabuana ku, patih wirabuana kediri
bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang jayamahanaya ’
Orang masih juga melihat pada patih wirabuana yang jari-
jarinya bergerak-gerak, namun tak ada kata keluar lagi dari
mulutnya.
Sang adiputro tersenyum dan meneruskan: “Dengarkan
semua penghadap: kediri bukan jayamahanaya . adiputro kediri
Arya Teja Tumenggung Wilwatikta bukan kanjeng sinuhun adipati
Syah. jayamahanaya jatuh sebab usaha manusia untuk memiliki
jenggala itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. Gajah-
gajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal
jayamahanaya . Maka itu, ingat-ingat Kala chucky , akan gajah-
gajahmu.”
“Peringatan baginda tuanku raja adiputro jadilah ajimat untuk patih .
Tak seekor pun gajah kediri dapat didekati orang, siang
dan malam, baginda tuanku raja , kecuali oleh pawang masing-masing,
sejak jatuhnya jayamahanaya .”
raden panji gelang-gelang gelisah di tempatnya sebab
persembahannya belum lagi selesai.
“Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih?”
Patih kediri itu bersujud tiga kali namun tak berkata
sesuatupun.
Sikapnya itu membuat gelisah para penghadap. Dan
raden panji gelang-gelang sendiri merasa jengkel sebab nya.
Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada
semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan
kebijaksanaannya? Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang
adiputro yang terus-menerus memojokkan Sang Patih.
Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain kata-
kata, sedang patih wirabuana tenang-tenang menempa
rencananya? Baik Sang Patih mau pun Sang adiputro tahu
tentang rencananya itu. Dan mengapa tak juga ada sesuatu
tindakan diambil terhadapnya? Dari kenyataan itu ia
menarik kesimpulan Sang adiputro masih tetap
melindunginya.
Ia membenarkan perbuatan Sang Patih. namun pasukan
yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar
harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat
sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran.
centeng sejumlah lima ratus orang yang diperkenankan
memang terlalu kecil. namun mengapa Sang Patih tidak
mempersembahkan pendapatnya? Malah semestinya
mepercaya kan Sang adiputro , bahwa lima ratus orang itu tidak
memiliki sesuatu arti dalam menghadapi adipati
pralaya dan pasukannya? Mengapa dia hanya bersujud
dan membisu?
“Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan
harapkan prajurit kerajaan kami diperintah kan bergerak. Jangan
coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang
hilangnya 400 9 puluh centeng kaki.
memakai lima ratus! raden panji gelang-gelang , bagaimana cetbang-
mu?”
“Dalam keadaan siap dan menunggu perintah , baginda tuanku raja ?”
“Jangan ada cetbang dipakai dalam pertempuran
darat, sebab itulah aturan kerajaan jenggala . Tarik semua yang di
darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.”
Wiranggeleng hampir saja menyangkal perintah yang
dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin
terheran-heran ia mengapa Sang adiputro tak juga ingin
mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu.
“Bila cetbang sudah dimulai dipakai di darat,
kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya.”
“patih laksanakan perintah baginda tuanku raja .”
“Kakang Patih, ada kau dengarkan kami?”
Kembali Sang Patih hanya bersujud namun tak berkata
sesuatu pun.
“Jadi kau tidak membenarkan kami?” suara Sang
adiputro meledak dengan suara parau.
Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan
semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya.
Ketegangan membenam mereka semua dalam kewaspadaan
yang makin lama makin meruncing. Sunyi. Dan di sela-sela
kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan
lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang
berguling-guling seperti resi h yang sedang malas.
Beberapa bentar lalu kewaspadaan itu buyar. Satu
ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang
pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh
gemerasak ke tanah.
Sang adiputro berdiri dan meninjau ke arah alun-alun,
pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk
untuk menoleh ke belakang, namun tak dibenarkan oleh
ketentuan.
Tak ada seorang pun bicara.
Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan
untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar lalu
gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan
bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah.
“gada rujakpolo !” seru patih wirabuana kediri . “syang hyang Widhi ,
gada rujakpolo , baginda tuanku raja , gada rujakpolo !”
“gada rujakpolo !” gumam Sang adiputro .
“gada rujakpolo nyi kanjeng blora!” seru patih wirabuana .
“Diam!” bentak raden panji gelang-gelang pada raden sanggabuana Az-
Zubaid. “Tak ada canang dari menara pelabuhan.”
“Betul, tidak dari pelabuhan, baginda tuanku raja ,” baru Sang Patih
bersembah, “gada rujakpolo nyi kanjeng blora. Perusuh sudah memiliki
gada rujakpolo nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja . Laut dan darat mengancam.”
“Betul. Laut dan darat mengancam,” Sang adiputro
mengulangi. “kediri bukan jayamahanaya . kediri tetap jaya!” ia
berteriak: “kediri tetap jaya. baginda tuanku raja adiputro tetap jaya!”
semua penghadap bersorak menyambut.
Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah
dan pohon beringin kurung yang somplak. Sebutir lagi jatuh
antara gapura roboh dengan pendopo.
Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya.
Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung
mereka masing-masing. Dan orang mulai membayang-
bayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh
para penghadap jadi penyok kejasang yang betari durga . “Persembahkan
sesuatu, Kakang Patih,” kata Sang adiputro dengan masih
tetap berdiri dan matanya tertuju ke luar pendopo.
Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali
lalu membisu lagi.
“Kau raden panji gelang-gelang , pelantang dan pelancang,
persembahkan sesuatu.”
“Menurut dugaan patih , baginda tuanku raja , para perusuh sudah
sangat dekat dengan kota kediri . Perkenankanlah, ya baginda tuanku raja
sesembahan, perkenankan patih memohon agar baginda tuanku raja
menitahkan prajurit kerajaan kediri bergerak… tiada kan lama,
dan perusuh itu…”
“Diam, kau, pelancang!”
Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang
adiputro pada peluru yang mungkin akan segera jatuh lagi.
Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam
kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut
oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh
para penghadap sudah gelisah, namun kepala mereka tetap
pada lehernya, tak ada yang bergerak. lalu terdengar
derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati
gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal
pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan
bertopi putih yang kekecilan di atas kepala nya yang tak
berambut. Pada tangannya ia membawa tombak tebetari ng.
Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang
adiputro yang melihat penunggang itu mendekati.
Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang
kuda dari pasukan kediri yang memburunya.
“Terima ini!” kata penunggang kuda serba putih itu dan
melemparkan tombaknya ke arah pendopo.
Tombak itu melayang dan berhenti menancap pada salah
sebuah tiang pendopo.
centeng -centeng pengawal mulai pada berhamburan
memburu penunggang kuda itu tak menggubris mereka
yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia
melompati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun,
membelok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan.
Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten
dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, lalu
pun hilang ke arah timur.
Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan,
bahwa ada serangan gada rujakpolo dari arah selatan. Sebelum ia
bersujud untuk mengundurkan diri masuk ke dalam
kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang
bersembah: “Seorang perusuh, baginda tuanku raja adiputro kediri
sesembahan patih , dengan berkuda sudah memasuki kediri
Kota, memasuki kadipaten dan melemparkan tombak ke
pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang memburunya.
Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini,” ia
bersujud dan mengundurkan diri.
“Kakang Patih! Bawa centeng yang lima ratus itu. Kau
sendiri yang kami angkat jadi panembahan senapati ki ageng . Dengarkan semua:
hari ini Kakang Patih kami angkat jadi panembahan senapati ki ageng kediri .
Selamatlah kau, sejahteralah kalian. kepala -kepala
pasukan, ikuti panembahan senapati ki ageng mu. Pergi!”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro …,” Sang Patih mencoba
menyela.
Penguasa kediri itu tak dapat lagi mengendalikan
amarah yang sudah dicobanya ditindasnya selama ini.
Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk
menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang centeng
pengawal datang menghadap, bersimpuh dan bersujud ,
lalu dengan terburu-buru mempersembahkan:
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan, sudah patih
cabut tombak perusuh dari tiang pendopo. Padanya
didankan lontar ini, baginda tuanku raja ,” dan dipersembahkannya surat
tertulis dalam basa dan huruf Jawa.
“Baca, biar semua dengar,” perintah Sang adiputro .
centeng itu membawa lontar itu di depan matanya, dan
mulai membacanya dengan suara lantang sehingga
terdengar ke seluruh pendopo: “adiputro kediri pemberontak -kufur
Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta,
“sudah kau dengar sendiri gelegar gada rujakpolo ku yang
menggetarkan kediri Kota dan hatimu,”
“Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau,
itulah suara adipati jayawisesa , aku, yang menguasai negeri
kediri selatan.”
“Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap
jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, sebab tak akan
ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.”
“Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan
bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di
medan perang.”
“adipati jayawisesa tak memerlukan jawaban dari mulut
atau hati si pemberontak -kufur tanpa harga.”
centeng itu bersujud dan mempersembahkan lontar-
lontar yang habis dibacanya. Sang adiputro menentang
lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan centeng itu
pun mengundurkan diri tanpa mengambilnya.
“Berangkat kau, panembahan senapati ki ageng kediri , dengan restu kami.
Dengan jumlah yang sudah kami tentukan untukmu.”
Melihat Sang Patih masih juga akan mempersembahkan
keberatannya Sang adiputro menyambar tempolong
kuningan tempat pukul sirih dari nampan yang dibayang
oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan
melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada
siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan
pendopo dan hilang dari pemandangan.
Semua penghadap menurunkan sembah, lalu
bubar meninggalkan kepala pasukan yang membantunya
membersihkan pukul sirih dari muka, dada dan pakaiannya.
prajurit kerajaan kediri mulai bergerak.
wah
18. Dan Pertempuran Meletus
adipati jayawisesa tak dapat menahan kesabarannya sesudah
menyaksikan sendiri betapa dua pucuk gada rujakpolo itu ternyata
dapat dipakai dengan baik. Ia melihat bagaimana
gada rujakpolo itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan
peluru dengan iringan halilintar. Peluru-peluru
menyeberangi langit di atas padang rumput, lalu di
kejauhan nampak suara gerak pada kehijauan hutan.
Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari
centeng nya untuk melayani gada rujakpolo , dan satu regu khusus
untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan para
pelayannya.
Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara
nyi kanjeng blora, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua
orang mualaf kanjuruhan itu. Dan ia berbesar hati dan percaya ,
kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya.
Panglima jayawisesa , adipati pralaya , belum dapat
menghargai cara perang nyi kanjeng blora, bahkan melihat latihan-
latihan itu pun ia segan. 400 orang yang berada di
bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut menyertai.
Ia membuat latihan-latihan sendiri, adipati jayawisesa tak
mampu mengendalikannya. Akhirnya ia tidak
memaksanya.
Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan
adipati jayawisesa : prajurit kerajaan jayawisesa belum cukup masak untuk
dipakai .Dan adipati jayawisesa sudah melihat sendiri
bagaimana prajurit kerajaan kediri dan kemampuannya,
memastikan, para bala tentara nya jauh lebih unggul dibandingkan kediri .
“Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng
adipati ,” kata fredy krueger . “Lain halnya dengan yang langsung
dipimpin oleh panglima jayawisesa .”
Dengan kepercaya annya adipati jayawisesa tak dapat diajak
bicara lagi.
fredy krueger memperingatkan, dalam setiap orang, kesabaran
diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah
untuk memenangkan tujuan. namun adipati jayawisesa
membantahnya, sekaranglah waktunya yang setepat-
tepatnya untuk memukul kediri : Ia jatuhkan perintah untuk
segera menyerang.
adipati pralaya , yang memperoleh perintah, dengan segala
dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia
melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia
tidak membantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara.
adipati jayawisesa melihat para bala tentara nya belum juga bergerak
tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada
kepala pasukan jawadwipa pelarian dari jayamahanaya itu. Ia turun
sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan.
“Perintah harus dijalankan,” perintahnya.
Bersama Manan dan Rois dan Jabal, kepala pasukan
jawadwipa , dan Panglima jayawisesa , adipati jayawisesa ikutserta
menyaksikan rencana penyerangan.
adipati pralaya menggariskan, penyerangan akan
dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di mana-
mana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke
perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak
dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia melawan dan
memiliki persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga
berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang,
memanaskan hati musuh agar keluar ke medan
pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi
pertarungan penentuan pertama. Sementara itu gada rujakpolo -
gada rujakpolo harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu
mereka turun ke gelanggang.
Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya
kuno itu. Itu bukan perang cara nyi kanjeng blora, katanya, itu
hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang
dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan
adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, kediri mesti
menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang
pengalaman. kediri memiliki balatantara yang kuat, belum
lagi pagardesa, belum lagi bawahan biasa, sedang patih
Benggala adipati jayawisesa hanya memiliki pagardesa dan sedikit
centeng . Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang
jadi centeng . Seorang yang dapat melemparkan tombak
dengan baik, dapat memanah dengan baik, dan dapat
berbaris cara nyi kanjeng blora dengan baik, belum tentu bisa jadi
centeng yang baik.
adipati jayawisesa tak dapat mendengarkan alasan itu.
adipati pralaya diam saja mendengarkan keterangan
Manan alias fredy krueger .
Rangga jatayuwesi merasa tak patut menarik kembali
perintahnya.
“Kalau begitu,” kata fredy krueger alias Manan. “Seluruh
para bala tentara Kanjeng adipati harus dipecah-pecah dalam
beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak
semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar
dengan pimpinan yang baik, dengan centeng yang baik dan
dengan cara nyi kanjeng blora, dengan bantuan gada rujakpolo mungkin
bisa menghancurkan seluruh kekuatan kediri .”
“Bukan dengan bantuan gada rujakpolo ,” bantah adipati jayawisesa ,
“gada rujakpolo yang harus dibantu oleh semuanya.”
“Kalau pasukan gada rujakpolo itu terdiri atas kekuatan dua
ratus pucuk mungkin bisa terjadi,” kata Manan.
adipati pralaya yang tidak memiliki sesuatu
pengalaman dengan gada rujakpolo masih tetap berdiam diri: Dan
dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang
perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara
nyi kanjeng blora itu dapat membuat para centeng jadi jari-jari pada
lengan seorang panglima. Ia sangat setuju. namun dalam
menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus
tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti.
Semua harus menerima garisnya.
Ia membantah Manan, ia pun membantah adipati jayawisesa .
Pertikaian mulai terjadi.
adipati jayawisesa hampir-hampir tak dapat mengendalikan
kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, sebab
dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan
saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi
kediri . Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja
sekarang berani membantahnya. Ia mengalami krisis emosi.
Dan tak ada seorang pun di antara dua orang mualaf dan
panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi.
Mereka hanya melihat adipati jayawisesa terengah-engah,
terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar
selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya,
ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera
dilakukan.
Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan
panglima adipati pralaya . Panglima jayawisesa terus-menerus
terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua
orang nyi kanjeng blora itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka
berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan
darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. adipati pralaya hanya
mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan
itu berarti menerima pemecahan prajurit kerajaan jadi laskar-
laskar.
“Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan
siapa yang memimpin laskar-laskar itu?”
“Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami
hanya mengurus soal gada rujakpolo dan pasukan pengawalnya.”
“Apakah gada rujakpolo juga mendengarkan perintahku?”
“Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus
diselesaikan dahulu .” Pertikaian dengan demikian mereda.
Kesimpulannya : dalam penyerangan pertama tidak
dipakai centara perang Jawa. kediri harus dikejuti
sedemikian rupa sehingga tak memiliki kesempatan untuk
mengerahkan prajurit kerajaan , apalagi pagardesa, harus
dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan
kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan
langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup
persiapan.
“Tak pernah terjadi surat tantangan dikirimkan,” bantah
adipati pralaya , “perang adalah perang.”
Dan untuk ke sekian kalinya Panglima jayawisesa terdesak
dalam pertikaian tentang makna perang.
Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak
dapat lagi dihindari oleh Panglima.
Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi.
Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura
yang roboh untuk mengangkat sembah pada para pembesar
yang sedang meninggalkan kadipaten.
Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan
lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengah-
tengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan
tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka
memperoleh kan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak
tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang somplak,
melotot di atas tanah.
Sang Patih, sekarang panembahan senapati ki ageng kediri , yang berjalan
paling depan, berhenti, mengambil peluru dan
mengamatinya sebentar, lalu menyerahkannya pada
yang lain.
Berjalan pada buntut rombongan adalah patih wirabuana
kediri pakanewon Habibullah Almasawa. Langsung di belakang
Sang Patih adalah kepala -kepala pasukan, termasuk
raden panji gelang-gelang .
Selama berjalan kepala pasukan laut itu mencoba
memahami mengapa Sang Patih kehilangan semua
kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya
sendiri. Sekarang ia hanya memperoleh lima ratus orang
centeng dan musuh memiliki gada rujakpolo .
“Masih ingat?” tanya Sang Patih padanya waktu
memperoleh giliran memegang peluru itu.
raden panji gelang-gelang menyerahkan peluru itu pada Kala chucky
dan menjawab: “Tidak, baginda tuanku raja ,” dan ia lihat kepucatan
sudah agak berkurang pada wajah panembahan senapati ki ageng kediri itu.
“Sama sekali tidak menakutkan sebagaimana
didongengkan orang,” kata Kala chucky memberikan
pendapatnya. “namun bagaimana mereka bisa sudah memiliki
gada rujakpolo ?” tanyanya lalu sambil menyerahkan peluru
itu pada yang lain.
“Jangan terpengaruh oleh sebutir besi,” Patih kediri
merangkap panembahan senapati ki ageng mulai membuka pidatonya di bawah
pohon beringin kurung. lalu kata-katanya keluar
sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui
giginya yang sudah banyak ompong: “Keadaan sungguh
sangat sulit. Sang adiputro tak berkenan berkisar sedikit pun
dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup
kita. Juga Sang adiputro maklum. Dunia kita sudah mulai
berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara
yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya
perubahan ini. Sang adiputro juga maklum. Maka muncul
banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian.
Sang adiputro menghendaki keadaan tetap seperti yang lama
sementara menghadapi yang baru,” ia melangkah pelahan
mengitari beringin kurung. “Sang adiputro menghendaki
dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap
yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak.
Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya
tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan
tambahan dari yang baru, dan itu yang baginda tuanku raja adiputro tidak
bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa kediri
mengirimkan gugusan pasukan laut ke suryabuaya dengan waktu
yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas jayamahanaya
gagal, hancur, kalah. Kita semua memperoleh kan malu. Apa
pun yang sudah diperbuat oleh pajang bintoro terhadap kediri ,
adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya benar. Sang adiputro melepaskan
gugusan kediri untuk memberikan pukulan berlipat atas
pajang bintoro , namun kediri sendiri yang rugi. jayamahanaya tidak jatuh,
nyi kanjeng blora tetap berdiri, dan jenggala kediri seperti jenggala -
jenggala lain di seluruh Jawa.”
Dan raden panji gelang-gelang tak bisa mengerti mengapa Sang
Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia
hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud
menghentikan pidatonya ia menyambar sengit: “Lima ratus
centeng laut kediri sudah diberangkatkan ke jayamahanaya , baginda tuanku raja
Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang
Trantang. Gugusan kediri sudah siap bertempur”.
“Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikutserta . Apa
sudah kau perbuat di jayamahanaya ? Tiada sesuatu, kecuali
melihat apa yang sudah terjadi dari kejauhan. Lima hari
kediri terlambat berangkat, untuk membuktikan keragu-
raguan Sang adiputro dalam menghadapi yang baru ini.”
raden panji gelang-gelang semakin tak mengerti melihat Sang Patih
masih juga berpidato. Ia menelan pukul untuk
menyabarkan diri.
“jayamahanaya hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau
pun laut. Armada nyi kanjeng blora datang. Kalau bukan sebab
keterlambatan kediri , jayamahanaya sudah beberapa hari jatuh.
Dan percaya lah, nyi kanjeng blora takkan mampu tandingi para bala tentara
gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan
tidak pernah selesai. para bala tentara gabungan Aceh-suryabuaya
tertinggal di jayamahanaya . kediri pulang membawa malu dan
sesal. namun baginda tuanku raja adiputro berhasil menyelamatkan lima
kapal dan lima ratus centeng . jayamahanaya tetap dikuasai
nyi kanjeng blora. Semua perhitungan adiputro meleset, sekarang
kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak
mampu menderitakan malu, bersumpah takkan
menginjakkan kaki di bumi kediri .”
“Ampun, baginda tuanku raja Patih dan panembahan senapati ki ageng kediri ,”
raden panji gelang-gelang menyela. “Kaum perusuh sudah dekat,
baginda tuanku raja .”
namun Sang Patih tak peduli dan meneruskan: “Ternyata
baik di suryabuaya maupun di pajang bintoro Raden Kusnan tidak
pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang
adiputro masih juga ragu-ragu, tetap hendak mengikuti yang
lama sambil memperoleh kan keuntungan dari yang baru.
“Lihat itu!” ia menuding pada patih wirabuana kediri yang
berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. “Semua orang
tahu siapa sebetulnya dia: begundal nyi kanjeng blora.”
“Tidak benar, baginda tuanku raja Patih dan panembahan senapati ki ageng kediri ,” bantah
raden sanggabuana bumikerta , “tak pernah baginda tuanku raja adiputro
mendakwa patih seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang
yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka
patih lah yang disalahkan.”
“Tiada kesatria raja enggan berperang, pakanewon . Tuan
menghendaki perang di dalam negeri agar nyi kanjeng blora masuk
dengan berlenggang. Bukan? Mana dua orang nyi kanjeng blora
yang kami minta itu?”
“raden sanggabuana bumikerta mendekati rombongan. Ia
gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara
dengan gerak-gerik tangan berat mata bersinar-sinar dan
senyum terbuka melecehkan: “Ah, baginda tuanku raja Patih dan panembahan senapati ki ageng
kediri , tak pernah leluhur patih membenarkan fitnah,
apalagi sebab hukuman seberat-beratnya dijatuhkan pada
pemfitnah. Demi sang hyang Widhi , bukankah sudah patih
persembahkan mereka sudah lari meninggalkan kediri ?
Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang adiputro .
Mereka sudah larikan badan mereka sendiri, bukan badan
Pribumi bawahan kediri .”
raden panji gelang-gelang meremas-remas tangan. Ia merasa sudah
kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak.
Dan ia tak dapat bertindak.
“Bagus,” Sang Patih meneruskan. “Perlukah diingatkan
padamu, hai, patih wirabuana kediri , tidak lain dari engkau
sendiri yang melarikan mereka ke kapal nyi kanjeng blora?”
“baginda tuanku raja Patih panembahan senapati ki ageng kediri ,” raden panji gelang-gelang menyela.
“Perlukah dinamakan kan saksi-saksi? Hei, patih wirabuana
kediri , sekarang kau masih dilindungi oleh baginda tuanku raja adiputro
kediri . namun akan tiba masanya….”
“Mereka sedang mendesak kediri , baginda tuanku raja panembahan senapati ki ageng ,”
sekali lagi raden panji gelang-gelang mencoba memutuskan
perbantahan dan mengembalikan Sang Patih pada tugasnya
sebagai panembahan senapati ki ageng .
namun Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya
sendiri: “Yang penting sekarang ini sama sekali bukan
perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti.
namun menyadarkan baginda tuanku raja adiputro dari kekeliruannya. Tanpa
itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia.
ayolah , Wira, kau sanggup menyedarkan?”
kepala -kepala pasukan lain nampak juga sudah mulai
kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi raden panji gelang-gelang
yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan
Sang Patih panembahan senapati ki ageng dari keasyikan membela kebijaksanaan
sendiri.
“Perusuh sedang mengancam, baginda tuanku raja panembahan senapati ki ageng ,” sekali
lagi kepala pasukan laut itu memperingatkan.
“Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh.
Dengarkan kalian semua kepala pasukan. Semua kerusuhan
berasal dari kekeliruan baginda tuanku raja adiputro sendiri. Selama Sang
adiputro tak juga menyedari dan berubah pendirian,
perusuh-perusuh lain akan berdatangan.”
“Sekarang ini perusuh sudah menyerang, baginda tuanku raja .”
“Wira!” bentak Sang Patih. “Pernahkah kau merasai
penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus? Apa
yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan
dihina?”
“Apakah baginda tuanku raja Patih lupa sudah diperintah kan jadi
panembahan senapati ki ageng ?”
Sang Patih menatap raden panji gelang-gelang tenang-tenang,
mencibir, lalu mengalihkan tatanannya pada para
kepala pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka
dengan pandangnya membenarkan kepala pasukan laut itu.
Juara gulat itu sudah bertekad untuk memperingatkan
panembahan senapati ki ageng akan kewajibannya.
“Kau, Wira, anak baru kemarin!”
“Adakah baginda tuanku raja Patih panembahan senapati ki ageng ragu-ragu, takut, ataukah
sedang membangkang?”
Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi
Sang Patih panembahan senapati ki ageng untuk melindunginya dan menjauhkan
raden panji gelang-gelang dibandingkan nya. namun yang dijauhkan mendesak
terus untuk mendekat.
“Dengarkan!” Sang Patih meneruskan dari tengah-
tengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. “Apakah
yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang
menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya
sementara membiarkan musuh berjingkrak di atas
kepala nya?”
“Musuh tidak berjingkrak di atas kepala kita, baginda tuanku raja
panembahan senapati ki ageng , dia sedang mendatangi hendak menerkam!”
sambar raden panji gelang-gelang yang menjadi galak.
“Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu? patih
Benggala adipati jayawisesa atau nyi kanjeng blora? Atau kedua-duanya?
Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga
jatayuwesi sudah melepaskan peluru nyi kanjeng blora? Rangga jatayuwesi
adalah nyi kanjeng blora, dan nyi kanjeng blora adalah nyi kanjeng blora. Dan itu
pakanewon Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana
dia si kumis-kumis nyi kanjeng blora itu? Biar aku tunjukkan pada
kalian semua.”
“Percuma, baginda tuanku raja . Yang datang bukan nyi kanjeng blora, namun
Rangga jatayuwesi . Dia datang dari selatan, bukan dari laut.”
“Aduh, kau priyayi baru,” Patih itu tertawa
menghinakan. “Apa artinya itu tumenggung dijoyo tanpa
nyi kanjeng blora? Kalau dengan kekuatan kecil para bala tentara kediri
bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama
sekali, dan nyi kanjeng blora akan datang dari utara dengan penuh
kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si
trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: pakanewon
keparat itu perencananya. nyi kanjeng blora memerlukan
pangkalan di Jawa. kalau tidak kediri , jenggala lain jadilah.
Selama kumis-kumis nyi kanjeng blora ada di sini, kediri lah yang
jadi incaran!”
kepala -kepala pasukan tetap membisu, juga tetap
melindungi mereka.
“baginda tuanku raja benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang,”
bantah raden panji gelang-gelang . “Perintahkan saja apa yang kami
harus perbuat sekarang ini.”
“Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, raden gelang-gelang ,
Gajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. namun biar
Gajah Mada pun tak bakal tahu, bila Rangga jatayuwesi terkutuk
itu bisa menang atas kediri , nyi kanjeng blora takkan memasuki
kediri . Kalau kediri dan patih Benggala adipati jayawisesa terus
berkelahi, nyi kanjeng blora masuk. Kalau kediri menang, kita akan
hadapi nyi kanjeng blora dan adipati -adipati yang lain yang akan
muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.”
Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak
menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah
raden panji gelang-gelang , panembahan senapati ki ageng kediri memang tidak memiliki
niat untuk bertindak. Di samping nyi kanjeng blora dan adipati
jayawisesa , panembahan senapati ki ageng kediri sendiri kini berdiri di hadapannya
sebagai musuh kediri . Ia kebaskan apitan, melompat
menerjang lingkaran, mencabut gada wesi dan menikam Sang
Patih pada pinggangnya.
Orang-orang itu terkata .
Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh gada wesi
dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu
gada wesi itu masih tetap dipegangi oleh kepala pasukan laut
raden panji gelang-gelang .
“Ampuni patih , baginda tuanku raja Patih panembahan senapati ki ageng kediri !” kata
juara gulat itu dengan suara lantang.
“Baik. Aku ampuni kau, raden gelang-gelang . Berangkatlah ke medan
perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan
seluruh prajurit kerajaan . Aku ampuni kau! namun semua akan
percuma selama raja-raja adalah seperti baginda tuanku raja adiputro ,
baginda tuanku raja ku.”
Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya.
Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah.
“Aku ampuni, kau.”
Sang Patih panembahan senapati ki ageng kediri mati di tempat.
Dengan gada wesi berlumuran darah di tangan raden panji gelang-gelang
memindahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat
matanya menatap semua kepala pasukan seorang demi
seorang. Mata itu membeliak siaga “Siapa tidak suka?
Maju!”
Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak
bergerak. “Kalian saksikan, raden panji gelang-gelang sudah bunuh
baginda tuanku raja Patih panembahan senapati ki ageng kediri . Katakan, kalian saksi
pembunuhan ini.”
Beberapa orang menyebut ragu-ragu: “Kami saksi,
raden panji gelang-gelang sudah bunuh Sang Patih panembahan senapati ki ageng kediri .”
“Semua!” bentaknya sambil berkeliling memutari
lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak
keras namun masih tetap ragu-ragu.
“Siapa ragu-ragu? Dia menantang aku. Sebutkan sekali
lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.”
Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang,
mengumandang ke seluruh alun-alun.
“Sebutkan: kediri dan baginda tuanku raja adiputro harus
diselamatkan.” … Dengan suara menggelora kepala -kepala
pasukan mengulangi. “Sekarang Wilangraden gelang-gelang panembahan senapati ki ageng
kediri , panembahan senapati ki ageng kalian. Sebutkan lebih keras.”
“raden panji gelang-gelang panembahan senapati ki ageng kami!”
“raden panji gelang-gelang panembahan senapati ki ageng wilareja !”
raden panji gelang-gelang membetulkan. “raden panji gelang-gelang
panembahan senapati ki ageng wilareja !”
kepala -kepala pasukan mengulangi dan mengulang
dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun
sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya peluru-
peluru nyi kanjeng blora. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari
alun-alun ke pedalamannya, juga masuk ke bilik-bilik dalam
kadipaten.
“kepala -kepala pasukan tinggal di sini,” perintahnya.
“Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera
kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala pasukan!”
Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti
adalah harus bersujud pada panembahan senapati ki ageng baru atau tidak.
“Tak perlu kalian sembah aku,” katanya
memperingatkan. Mereka pergi bercepat-cepat.
“Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju raden panji gelang-gelang
panembahan senapati ki ageng kediri ?” Tak berjawab.
“Tak ada yang tidak setuju?”
“Kami menyetujui,” jawab Kala chucky , kepala pasukan
gajah.
“Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku,
panembahan senapati ki ageng kediri !” perintahnya.
Dan gada wesi berlumuran darah itu masih tetap di
tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu
mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka
bersujud pada mayat itu lalu melolosi tanda-tanda
jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung,
gada wesi , permata pada destar dan ikat pinggang.
Semua itu dikenakan pada diri panembahan senapati ki ageng baru.
“Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang
semua di balik semak-semak di sekitar jenggala . Kalau ada
kapal nyi kanjeng blora datang, atau sebangsanya, jangan biarkan
berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku
bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar
kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak
cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan
mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya
dengan tembakanmu. Hati-hati, sebab semua kapal perang
dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari kediri , ke
suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian
dan tanda kecenteng an. Pelabuhan kuserahkan padamu.”
“baginda tuanku raja !”
“Panggil aku panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“panembahan senapati ki ageng wilareja ,” ulangnya rikuh.
“Jalankan perintah itu dan pergi kau.”
“Adakah kadipaten tidak dikawal, panembahan senapati ki ageng wilareja ?”
“Kosongkan dari pengawalan.”
Braja pergi untuk menjalankan perintah.
“Dan kalian, kepala -kepala pasukan yang lain, ikuti aku.
Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke
medan pertempuran, kalian dan aku.”
“panembahan senapati ki ageng wilareja !” mereka menyahut.
“Tidak ada pembangkangan!” perintahnya.
“panembahan senapati ki ageng wilareja , tidak ada pembangkangan.”
“Berangkat!”
“panembahan senapati ki ageng wilareja , berangkat!”
Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun.
Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di
bawah langit bermendung. Meninggalkan kota kediri yang
sunyi senyap.
Sayup-sayup terdengar resi h, namun tak ada peluru
gada rujakpolo datang menyambar. kediri Kota semakin senyap.
Sesudah melepaskan berturut-turut empat butir peluru
pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar gada rujakpolo -
gada rujakpolo segera ditarik kembali jauh ke pedalaman.
Regu gada rujakpolo itu sedang mendorong-dorong gerobak
obat dan peluru dan gada rujakpolo melalui jalan desa yang lebar
diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda
datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal
gada rujakpolo sudah menyiapkan tombak.
Manan memerintah semua berhenti dan bersiaga.
gada rujakpolo , obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke
pinggir jalan, dan semua yang bersenjata sudah bersiap
untuk berkelahi.
Dari tikungan jalan muncul adipati pralaya tanpa
pengawal. Ia sudah menarik cambuk perang, siap hendak
menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang
berduri-duri baja.”Kalian sudah lari sebelum berperang!”
ejeknya pada Manan dan Rois. Ia membuang ke tanah
menghinakan.
“Tidak ada nyi kanjeng blora lari sebelum berperang!” Jawab
Manan. “Panglima belum lagi berpengalaman perang darat
dengan gada rujakpolo .”
“Kalian sudah tinggalkan gelanggang!”
“gada rujakpolo , Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau
bergabung dengan pasukan yang hanya bergada dan
bertombak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak,
dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh.
Dan kita tak memiliki pasukan kuda.”
Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang
hanya beberapa meter tingginya.
adipati pralaya masih tetap marah, namun cambuk
perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya.
Waktu Manan memerintahkan meneruskan perjalanan,
adipati tak membantah.
Laskar tombak para bala tentara adipati jayawisesa berbaris dalam serba
putih melewati mereka. Tombak yang terpanggul berdiri
pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan
nampak seperti ulat putih berbulu tombak sedang
merangkaki jalanan.
Regu pengawal gada rujakpolo dan regu pelayannya sendiri
diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang
itu bertikai dalam jawadwipa .
Begitu laskar itu lewat adipati dari atas kudanya
menetakkan kata-katanya: “Bukankah sudah disetujui dan
diputuskan, gada rujakpolo -gada rujakpolo harus menembaki musuh
sebelum mereka turun ke gelanggang?”
“Benar sekali, Panglima. namun juga menurut keputusan
para bala tentara kita harus mesanggrah menunggu kedatangan
musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat
mesanggrah dan memerintahkan langsung masuk ke kediri .
Kalau mengikuti Panglima, gada rujakpolo -gada rujakpolo kita bisa jadi
takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita
sendiri di tangan mereka.”
“Aku Panglima.”
“Benar sekali, namun yang mengetahui tentang gada rujakpolo
adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, namun
gada rujakpolo -gada rujakpolo ini takkan berguna.”
adipati pralaya menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa
meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah
datangnya laskar, mencari kesatuannya.
Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan
jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda
sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di
tengah-tengah pertigaan.
Panglima jayawisesa berpacu menghampirinya. Orang itu
turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke
tanah dan menunggu kedatangan adipati pralaya .
“baginda tuanku raja Panglima,” ia memulai. “Adapun pembawa surat
tantangan sudah tewas bersama dengan kudanya di dekat
pasar kediri Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang
yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh
pasukan kuda. Hujan tombak sudah membuat dia terjungkal
bersama kudanya. Mati, baginda tuanku raja Panglima.”
“Surat itu sudah sampai?”
“Sampai dengan pasti.”
“Baik. Bagaimana hasil gada rujakpolo ?”
“Peluru-peluru gada rujakpolo jatuh di alun-alun dan di depan
kadipaten seperti disengaja, baginda tuanku raja . Waktu itu sudah terjadi
perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah
matinya Patih kediri , sedang mayatnya dibiarkan tergeletak
di alun-alun, sampai saya berangkat dan sampai di sini
ini.”
“Siapa panembahan senapati ki ageng kediri ?”
“Tidak berpanembahan senapati ki ageng , baginda tuanku raja Panglima, sejauh saya
dengar. Belum tahu sekarang ini.”
“Tidakkah prajurit kerajaan kediri bergerak?”
“Belum nampak ada tanda-tanda, baginda tuanku raja .”
“Teruskan pada Kanjeng adipati jayawisesa .”
“baginda tuanku raja .”
Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain.
adipati pralaya memacu kudanya. Pada suatu pinggiran
hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia
perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan
panji-panji.
Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat
jalan.
“Lebih cepat!” perintahnya lagi.
Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju
setengah lari.
Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya
memperoleh perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan
hilang di balik kepulan debu. Lima laskar adipati jayawisesa sudah
hampir sampai di perbatasan kediri Kota.
Di mana-mana seakan adipati pralaya ada. Ia di
belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang
mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan di kuil rat ia
perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digeleng-
gelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh
seperti hendak membelah langit. Dan debu pun seakan ikut
bersorak, mengepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara
lalu jatuh menaburi bumi.
Sekarang adipati pralaya mengitari barisannya.
Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar
pada ujungnya. Kaki hewan tunggangannya menari-nari
rampak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah.
Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang
pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah
barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih.
Di belakangnya adalah laskar tombak berperisai. Setiap
orang membawa empat batang tombak yang langsing.
Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata
tombaknya langsing. Laskar terakhir adalah bergada dan
berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain
terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji
dilonjakkan, makin menderu gong dan gendang, dan makin
cepat langkah para centeng .
Sorak-sorai, ancaman, ejekan, raungan, berpadu jadi satu
resi h, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang
menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan
menghiba-hiba.
Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda kediri muncul
di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di
belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin
nyata. para bala tentara adipati jayawisesa bersorak dengan sekuat paru-
paru mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi
mereka dari depan mereka mengejek, memaki, menghina
dengan kata-kata sekotor mungkin.
Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar
panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa,
mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan
ejekan dan cacian.
Dan para bala tentara adipati jayawisesa terus juga maju ke jurusan
kediri Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis.
Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan
melonjak.
Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian
tanah lapang seperti sekawanan elang menyambar barisan
gada sambil bersorak-sorai: “Kambing gembel dari
gunung: Mau cari apa ke kediri ?” dan menggeletarkan
cambuk perang mereka, mengatasi sorak-sorai lawannya.
“Kirik kediri ! Anjing nyi kanjeng blora!” balas lawannya. “ayolah
mendekat, lebih mendekat, biar kubelah kepala kalian!”
Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh ki glodog
ireng , terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledek-
ledek, mendekat dan menjauh pada laskar gada adipati
jayawisesa , menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh
lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan membuang i.
Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu mendengung
sebab caci-maki dan geletar cambuk.
Panglima adipati pralaya berteriak-teriak mengelilingi
para bala tentara nya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi
parau: “Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan
menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!”
Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan sorak-
sorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang.
Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia
hampiri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi
menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar jayawisesa diam dan
terus mempercepat langkahnya untuk dapat memasuki
kediri sebelum sinar matahari tenggelam.
Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan
cacian. ki glodog ireng memerintahkan melemparkan
batu-batu bawaan mereka pada barisan gada . Dan batu-
batu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan gada . Tak
sebuah pun melayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang
yang berbaris rapat itu. kata kesakitan dan marah
menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak sudah jatuh
dan terinjak-injak oleh barisan sendiri.
Barisan ki glodog ireng terus menerus mengganggu
sambil mengintip ke mana-mana untuk mencari tempat
gada rujakpolo . namun yang dicari-cari tidak nampak. Mereka
lepaskan tugas pokoknya dan memperhebat gangguan.
Batu-batuan terus beterbangan. kata kesakitan dan geram
amarah semakin riuh. Gong dan gendang dan sorak
kembali membelah udara.
Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil
memuputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka
yang sedang kejangkitan semangat perang itu
memperhatikan.
adipati pralaya menghentikan lagi sorak-sorai.
Suaranya yang parau terdengar memerintah langsung
masuk ke kediri Kota.
Barisan kuda yang kecil itu mulai menyambar-
nyambarkan cambuk perang pada tubuh para centeng
jayawisesa . Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah
mengucur. Perintah-perintah adipati sudah tidak
didengarkan oleh barisan gada lagi. Dan cambuk itu tak
dapat dilawan dengan perisai dan gada . Juga tak dapat
ditangkap tangan sebab tajamnya gerigi baja. Tangan yang
tercambuk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi
teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah.
Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan
merenggut keluar biji dari rongganya.
Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda
musuhnya, pinggiran barisan gada mulai buyar, tak dapat
membela diri dan mulai menyerang.
“Dengarkan baginda tuanku raja mu, dengar Panglima jayawisesa !” kata
adipati pralaya parau, “jangan tinggalkan barisan!”
Barisan gada semakin banyak meninggalkan
laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu
musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan
gada dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar
gada itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan
lagi.
Melihat bencana sedang mendatangi adipati pralaya
berpacu ke depan, memerintahkan barisan pemanah untuk
memhancur kan barisan kuda yang terlalu sedikit jumlahnya.
Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai
memburu, ki glodog ireng memerintahkan untuk
memencarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian
tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang,
dan lama-kelamaan menjadi lingkaran besar mengepung
barisan yang sudah membubarkan diri.
Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama
lain. Laskar tombak yang masih utuh itu maju terus ke
depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari
tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke
belakang.
“Manan keparat! Rois laknat!” sumpah adipati pralaya .
“Senang-senang dia di belakang dengan gada rujakpolo nya.
Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!”
Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas para bala tentara nya.
Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan memburu
barisan ki glodog ireng , juga laskar tombak dengan
sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang
sangat pendek semua para bala tentara adipati Baijah sudah
bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda
kediri .
Dan itulah justru yang dikehendaki ki glodog ireng . Ia
perintahkan membuat gerakan pengepungan semu,
semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan
tombak mulai beterbangan di udara.
Barisan kuda kediri yang kecil itu semakin melebarkan
dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada
gilirannya juga para bala tentara jayawisesa menjadi semakin melebar
mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas
dataran.
Pada waktu para bala tentara jayawisesa sudah tak dapat dikendalikan
lagi, semakin lama semakin memecah dan memencarkan
diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas
ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik,
memekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap
ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di
bawah pengendalian pawang-pawangnya, hewan -
hewan yang melihat pertempuran itu lari ke depan
dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan
kaki di belakangnya ikut lari mengikuti.
“Tumpas! Tumpas!” mereka bersorak dan bersorak.
Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu
keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tombak. Di situ
terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah
sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala gajah yang
dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti
jubah kebesaran, melambai-lambai, juga tak tertembusi oleh
anak panah dan tombak. Pada setiap langkah kaki belakang
hewan -hewan itu berdencing oleh krenyak atau sirah
baja yang melindungi tumitnya.
“para bala tentara putihhhhhhh!” adipati pralaya memekik.
“Gajah! Awas gajah datang!”
“Gajahhhh!” terdengar seruan dari mana-mana.
Perhatian para bala tentara jayawisesa terpecah-pecah antara kuda dan
gajah dan dari gajah ke kuda.
Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah
dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu
keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar,
melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya.
Gajah-gajah itu terus juga maju memasuki medan
pertempuran.
para bala tentara jayawisesa kacau-berlarian kehilangan posisi.
Keadaan itu tak dibiarkan oleh ki glodog ireng . Ia
perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu.
Dengan suara parau adipati pralaya berseru-seru dari
atas kudanya dengan di tangan melambai-lambaikan
gada : “Goblok! Otak hewan ! Mundur. Munduuuuuur!
Terobos itu kepungan kuda!”
“ayolah , adipati ! Jangan hanya teriak-teriak!” tantang
ki glodog ireng . “Perlihatkan moncongmu yang besar
itu.”
namun adipati tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk
mengundurkan para bala tentara nya, dengan punggung gada ia
hantami centeng nya yang tak mau dengarkan perintah.
Barisan kuda tak membiarkan mereka menerobos.
Seakan terbang kuda-kuda itu menyambari para penerobos,
menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging.
sinar matahari hilang di balik mendung. Hujan lebat pun
mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka
yang sedang berbunuh-bunuhan.
Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan
barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang
bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya
merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh
bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih
mereka dan bumi negerinya sendiri.
“Trobos kuda sambil memekik kencaaaang!” perintah
adipati . Suaranya semakin parau.
Juga di sana-sini centeng kuda kediri menggelimpang
jatuh untuk lalu dihujani dengan tombak dan gada .
Laskar panah jayawisesa tak dapat berbuat sesuatu pun dalam
kegalauan medang perang.
Kepungan semu lalu bobol. Dan tak bisa lain.
Gajah-gajah itu sudah memasuki tengah-tengah medan
pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya
menyambar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap
akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk
lalu jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selama-
lamanya. Dan barang siapa kejasang yang betari durga korban kedua akan
ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa
peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang
pengganda yang menggerincing sebab krenyaknya. Barang
siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari
belakangnya arus anak panah pasukan kaki kediri ,
gelombang demi gelombang, beraturan, melayang seperti
jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas
terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya
dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan
Batara Yamadiputro . Tak ada bisa meluputkan diri.
Seperti air membuyar dari dataran tinggi para bala tentara jayawisesa
menerobosi kepungan semu barisan kuda ki glodog ireng ,
membuyar lari ke segala jurusan.
Dan ki glodog ireng memerintahkan anakbuahnya
untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang
dipimpin oleh Kala chucky . Dengan susah-payah mereka
menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan
raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya sudah
bergelantangan anak panah lawannya.
Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi
sudah menjadi merah sebab darah dan daging menganga.
Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil
bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak
dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar.
para bala tentara jayawisesa terdesak terus dalam keadaan parah dan
kocar-kacir.
Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras,
duduk raden panji gelang-gelang dan Kala chucky . Dengan tanda-tanda
pangkat dan jabatan, tangan kiri panembahan senapati ki ageng kediri diletakkan
di atas pundak Kala chucky . Pada tangan kanannya
tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia
menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang
berlangsung.
Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda
berpakaian serba putih di tengah-tengah para bala tentara putih yang
kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambai-
lambaikan gada dengan tangan kanan. Pada tangan
kirinya ia memegangi cambuk perang. Kendali sama sekali
tak digubrisnya.
“Hanya centeng pengawal kediri bisa begitu,” katanya.
“Itulah adipati pralaya , panembahan senapati ki ageng wilareja , peranakan Koja.”
“Pantas. Perhatikan bagaimana dia berusaha
mengundurkan para bala tentara nya dalam keselamatan.”
Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata betari
resi sebelum meninggal: ‘Darah ningrat Jawa sudah
kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah
habis di dalam keputrian.’
“Pantas,” ia mengulangi; “Peranakan Koja.”
“Apanya yang dikagumi, panembahan senapati ki ageng wilareja ?”
“Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selamatkan
dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa jayamahanaya
dapat jatuh begitu mudah.”
Kala chucky menatap panembahan senapati ki ageng dari samping, tak
mengerti.
“Lihat!” raden panji gelang-gelang berseru, “dia sudah kehilangan
kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap
berusaha. Lihat!”
Kala chucky nampaknya tak senang mendengarkan puji-
pujian untuk musuh dan pengkhianat itu.
“panembahan senapati ki ageng wilareja , digusur ke mana para bala tentara perusuh ini?”
“Sorong terus ke depan sampai sinar matahari tenggelam.”
“Sorong terus sampai sinar matahari tenggelam,” Kala chucky
mengulang. “Mereka akan jadi remah-remah.” Ia angkat
panji-panji dengan menuding ke depan.
ki glodog ireng yang melihat panembahan senapati ki ageng nya menuding ke
arah adipati pralaya menghentakkan kendali. Kudanya
melesit seperti hewan beralih menembusi awan coklat dan
putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima
jayawisesa . gada nya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya
pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya.
Porak-poranda centeng -centeng putih yang sedang kacau itu
terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah
terkena garu, licin dan rata.
“ki glodog ireng !” panembahan senapati ki ageng kediri berteriak dengan
tangan dicorongkan pada mulut. “Kembali! Tarik
pasukanmu!”
Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar.
“Dia akan tangkap adipati , panembahan senapati ki ageng wilareja ,” Kala chucky
mencoba menerangkan. “Musuh sudah kacau dan lelah,
jera dan kehabisan senjata.”
“Tepat! namun dia tak boleh lakukan itu.”
“Dia akan mudah ditangkap,” Kala chucky mencoba
menerangkan untuk ke sekian kalinya.
“Tepat! Siapa pun tahu. namun dia tak boleh lakukan itu.
Kita harus lihat sampai di mana adipati bisa urus
anakbuahnya.” lalu menjerit: “ki glodog ireng !
Kembali!”
Seorang centeng kuda yang terkebelakang meneruskan
teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan
pertempuran….
Dari atas gajah panembahan senapati ki ageng kediri melihat adipati
menyedari akan datangnya pasukan kuda kediri . Ia
kelihatan berteriak-teriak memperingatkan anakbuah di
selingkungannya, dan mereka berbalik menghadapi ki glodog
ireng .
“Kala chucky ! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka!”
“Didekatkan pada mereka, panembahan senapati ki ageng wilareja !”
Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu
sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil
bersuling.
“Biar dia memperoleh kesempatan selamatkan dan
undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan
bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam
perangkap. Lepaskan dia!”
Perkelahian dengan gada sudah terjadi antara pembela-
pembela adipati pralaya dengan centeng -centeng kuda.
Logam beradu logam berdentangan memainkan lagu maut.
centeng -centeng jayawisesa yang membela panglimanya tak
dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak
semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung
oleh anakbuah sendiri adipati dan kudanya tak dapat
bergerak sebagaimana harusnya.
adipati menggeletarkan cambuk perang, namun cambuk
itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu
anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata
gada anakbuah sendiri.
“ki glodog ireng , lepaskan dia!” teriak raden panji gelang-gelang .
Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas
jalanan pasukan kuda. Di atasnya panembahan senapati ki ageng kediri
melambai-lambaikan tangan. namun pasukan kuda tak
mengerti maksud di kuil ratnya dan terus mendesak.
adipati pralaya dengan para pengawalnya sudah berada
dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat.
Pengawal-pengawal Panglima jayawisesa berjasang yang betari durga seorang
demi seorang.
“sinar matahari hampir tenggelam, panembahan senapati ki ageng wilareja !”
sinar matahari sudah lama hilang ditelan mendung.
“Hentikan pengejaran!” perintah panembahan senapati ki ageng .
“Pengejaran dihentikan, panembahan senapati ki ageng wilareja ,” Kala chucky
mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya.
Gajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda sinar matahari di barat.
Hanya mendung, perbukitan dan hutan hitam.
adipati pralaya tertinggal seorang diri dalam kepungan.
Semua gada terarah padanya. Ia menangkis ke segala
penjuru. Waktu akhirnya gada nya patah ia berdiri di atas
punggung kuda.
“Berhenti!” teriak raden panji gelang-gelang dari atas gajahnya.
gada ki glodog ireng melayang menyambar kaki
adipati .
Dari atas gajah panembahan senapati ki ageng melemparkan tombak. Dan
tombak itu melayang cepat di atas kepala orang dan kuda.
Bunyi berdentang menyusul. Mata tombak itu menerjang
mata gada ki glodog ireng , patah dua-duanya. Kaki
adipati tak jadi tertebang tatas.
Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan
mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala
chucky dan panembahan senapati ki ageng melambai-lambaikan tangan menyuruh
semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati
mereka: “Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi
kau, adipati ! Pergi kau dengan damai!”
centeng -centeng kuda menurunkan gada masing-
masing. adipati duduk kembali di atas kudanya. Ia
jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya
dilambaikannya ke atas, berteriak: “Selamat untukmu,
raden panji gelang-gelang , anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa
lagi!”
Kuda diputarnya lambat-lambat, berjalan melangkahi
bangkai yang bertebaran di tanah, lalu memacu tanpa
menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan
yang diselaputi rembang senja.
Dua kekuatan yang bermusuhan sudah dilerai oleh
malam. para bala tentara jayawisesa menarik diri ke arah kedatangan
mereka. para bala tentara kediri berhenti di tempat dan mesanggrah.
panembahan senapati ki ageng kediri berdiri di atas gajah, masih juga
melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah
padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paru-
parunya yang penuh: “Dengarkan semua! Dengarkan,
bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan
untuk membunuh sesama, dia adalah bentrokan dari dua
keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian centeng -
centeng kediri yang perwira dan kesatria raja , hargailah juga
keperwiraan dan kekesatria raja an, sekalipun itu ada pada
musuhmu. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit
adipati pralaya tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak
lari sendirian dan membiarkan anakbuahnya tumpas. Dia
undurkan anakbuahnya pada keselamatan. Dia memiliki
kesetiaan pada anakbuahnya.”
“Dia hanya pengkhianat!” kata ki glodog ireng
membantah tanpa pikir panjang.
“Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap baginda tuanku raja adiputro
dia akan memperoleh hukumannya. Sebagai setiawan
anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian
ke pesanggrahan. sinar matahari sudah tenggelam. Dan hujan akan
turun.”
Seluruh centeng berbalik menuju ke pesanggrahan yang
sudah dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang.
Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar
kota itu memberikan mereka perlindungan dari hujan yang
mulai mengancam.
Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur
nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua
butir peluru besi sudah terbang beriringan menerjang langit
bermendung melewati perbatasan kota.
Gajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kuda-
kuda meringkik lemah.
lalu sunyi senyap.
wah
19. Kesepian di kediri
Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar
seseorang menohok-nohok memperbaiki sesuatu. Pasar
pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu
kedatangan rempah-rempah baru dari panarukan sekarang
melompong dengan pintu semua terbuka.
Rejeki sudah segan datang dari laut. Dari darat pun tiada
sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan
pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada
meninggalkan pondok daun kacangtanah nya, mengungsi entah ke
mana: Perkampungan orang-orang arca di sebelah timur
sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayamnya tidak
dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa
pemilik.
Di pantai barang 30 atau 30 lima perahu
tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya.
Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu
datangnya hujan deras untuk lalu tenggelam.
Warung mpu jahalodang pun sudah lama tutup. Ada terdengar
berita dari seseorang yang sudah bertemu dengannya di
pasuruan , ia sudah membuka warung tuak di sana. Berita lain
menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan.
Berita ketiga mengabarkan ia sudah masuk jadi centeng pada
prajurit kerajaan pajang bintoro . Tak ada berita yang pasti. Yang jelas
warungnya tinggal tutup.
Kapal patroli penjaga pantai kediri tiada lagi nampak sebuah
pun. Semua sudah diungsikan ke pasuruan atas perintah
panembahan senapati ki ageng kediri . Kapal-kapal itu takkan dapat membela diri
terhadap serangan nyi kanjeng blora, percuma mondar-mandir
sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa
membuat gada rujakpolo sendiri maka kapal-kapal itu bisa
berguna kembali.
raden sanggabuana bumikerta tak memiliki kegiatan
harian. Ia kelihatan lebih kurus dibandingkan biasanya. Jarang ia
nampak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam
kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang adiputro . Tak
sering lagi orang melihatnya berjalan memeriksai bagian-
bagian pelabuhan yang memerlukan perbaikan. Dana
untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan
kepatih wirabuana an. Dan setiap berada di dermaga orang dapat
melihat ia sedang gelisah meninjau ke jurusan timur.
Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal
canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi.
Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak.
Kepatih wirabuana an lebih sunyi dibandingkan di mana pun.
Gandok kiri dan kanan tiada berpenghuni. Gedung utama
pun kosong. Gedung batu kedua di seluruh negeri kediri itu
kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang sudah
ditinggalkan oleh pemeluk agamanya. patih wirabuana sendiri
jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis
mpu wungubhumi . Ia dibawa oleh nyi girah ke hutan larangan . Nyi kembang
Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap
hari kelihatan mengurus taman.
Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat
difahami oleh penduduk. Ratusan Laki-laki berjalan kuat dan
tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari
tanpa pekerjaan. sebab tiada gada wesi pada pinggang dan
tiada tombak pada tangan, orang yang tak mengenalnya
menduga mereka centeng -centeng yang sedang melepaskan
diri dari kesatuan. Dan mereka selalu berada di luar daerah
pelabuhan.
Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara
mereka segera tahu, mereka tidak lain dibandingkan anggota-
anggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian
centeng . Gerak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang
tak pernah dapat memperoleh keterangan apa sedang mereka
kerjakan. sebab di balik semak-semak hutan yang
membatasi daerah pelabuhan dengan daerah tak
berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua
diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka
disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya
nyi kanjeng blora atau sebangsanya dari laut, sementara
pertempuran sedang terjadi di pedalaman.
Perkampungan non-Nusantara juga sepi sebab sesudah
terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya sudah
meninggalkan kediri belayar entah ke mana. Hanya
penduduk Pecinan tidak susut, sebab hukum kediri
melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua
centeng dari dua belah para bala tentara yang bermusuhan tidak
diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk
kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk
biasa pun tidak diperkenankan memasuki di waktu perang,
sekalipun untuk menyelamatkan diri. Belum jelas benar dari
mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan
dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak kerajaan jenggala
atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He
dengan adiputro kediri memperkokoh perjanjian itu untuk
ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli
kediri atas sumber rempah-rempah panarukan Pecinan malah
memperoleh hak bertahan dan hak kepolisian demi
keselamatan warganya.
Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat kebetari ian
dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki
di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya,
ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pembunuhan atas
diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, sudah
membuat tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang
tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang
dan menerjang-nerjang pelataran tetangga.
Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari
tempat semula sebab serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut
pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh
penjuru mata-angin. Tak ada orang memeliharanya.
Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan.
Di dalam kadipaten Sang adiputro kelihatan selalu
murung dan gusar. Tak ada seorang pun centeng pengawal
menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus
bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya
kacangtanah ran akan segera mengancam bila keadaan tidak
berubah.
Sang adiputro tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa
pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa sudah
diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal
atas perintah raden panji gelang-gelang .
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti,
tanpa bawahan yang dengan sukarela melayani dan
menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu
pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh
para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata
menghadapi ujian. Dan justru sebab pengetahuan baru itu
ia menjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus
diperbuatnya.
Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan percaya ,
kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia,
untuk mengatur bawahan , untuk mengatur perang dan
damai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal
dari Dia yang membuat hidup. Maka sudah menjadi
patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja,
membangkangnya, adalah juga melanggar dan
membangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang?
Sang Patih jelas sudah membangkang terhadap dirinya.
Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah
sudah sepatutnya sebagai kesatria raja memperoleh tikaman gada wesi
sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang membuat
hidup sudah mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak
mati sebab raden panji gelang-gelang , pasti sebab perintahnya. Dan
itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap
bawahan . sebab itu setiap permohonan untuk memelihara
dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan.
namun raden panji gelang-gelang ! Apakah yang diperbuatnya? Dia
sudah menarik dan mengerahkan semua prajurit kerajaan kediri .
Ia sudah bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia sudah seret
kediri seluruhnya dalam perang, memberi kelonggaran
pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia
membiarkan kediri terbuka terhadap pajang bintoro ! Dia sudah
kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa.
Tanpa bawahan , tanpa prajurit kerajaan , tanpa punggawa, tanpa
saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama
tanpa bawahan yang menghinakan dan merendahkan diri
dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri
seorang raja tidak memiliki sesuatu arti. Dia sama
dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gamelan
tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi
mata dan hati. Makanan hilang rasa: namun jantung terus
juga berdenyut.
Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam.
Ya, kelak bila semua sudah kembali dalam genggaman
tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi
kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua mereka. Ia
akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan
untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia
lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di
dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya
kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya.
Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan
badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh
dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak memiliki sesuatu
arti lagi baginya.
Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah memiliki
waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada
penguasa yang lain sudah membangunkan sikap batin kesatria raja :
hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tidak kurang
dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut
sebab lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah sebab
kehormatan sebagai kesatria raja , di medan perang dan di mana
saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah sebab
hukuman dan tidak dengan gada wesi . Dan seorang kesatria raja hanya
boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap
saat ia bersedia mati baik sebab usia mau pun sebab
kehormatan. Ia tak pernah memiliki keraguan.
Bila ternyata raden panji gelang-gelang kelak melakukan
pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengambil nilai
kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut,
dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia
percaya dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas
penghabisan sebagai kesatria raja dengan kehormatan. Dan apalah
salahnya selama ia tetap kesatria raja ? Putra-putranya akan
mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan
mengerti dan menghormatinya.
Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan
mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat
mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman
itu sendiri akan membunuh-nya bila ia melawannya, sebab
jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan Batara
Kala itu sendiri, tak peduli mereka arca atau Hindu, atau
sri ratu kertanegari atau nyi kanjeng blora sekalipun. Semua sudah memperoleh
tempatnya.
namun yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan.
Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di
selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri
kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa
kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah.
Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang
tak tahu adat. Seorang anak desa sudah membunuh saudara
sepumemiliki , lalu mengangkat diri sendiri menjadi
Patih panembahan senapati ki ageng kediri ! Siapakah dewa sembahannya maka
dia berbuat tanpa perintah ku?
Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak
akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat
hanya demi keselamatan praja. Seseorang raja tidak akan
berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya
demi keselamatan praja. Dan beberapa kalimat lagi se-
bangsanya.
Dan praja sekarang lumpuh.
Dan praja adalah raja.
Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia
kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga:
raden panji gelang-gelang , seorang anak desa tanpa makna yang sudah
berani membunuh seorang dari darah kerajaan jenggala , darah
tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa
lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa
setiap orang yang dialiri darah kerajaan jenggala memiliki hak
untuk menjadi raja.
Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa kerajaan jenggala
bisa berdiri hanya sebab bantuan orang-orang kebanyakan,
dan orang-orang itu lalu diangkat oleh Sri Baginda
Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu
melenyapkan dendamnya pada raden panji gelang-gelang . Ia harus
membunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun
sebagaimana o-rang-orang lain sudah juga dibunuhnya.
Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu
ini: ia dicintai dan dihormati oleh bawahan kediri .
Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai
dan menghormatinya? Tidakkah bawahan kediri akan
melindunginya, dan itu berarti menentangnya? Hukuman
padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada
raja. Dan bagaimana kalau seluruh bawahan sebab nya
ingkar dan membangkang terhadap dirinya?
Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi membenarkan
kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata
dewa-dewa juga berpihak pada manusia….
Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing.
Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya
haremnya.
Sang adiputro mendengar peristiwa di dekat pohon
beringin itu dari persembahan patih wirabuana kediri .
Nampaknya orang lain tak ada yang berani menghadap.
Persembahan yang cukup teliti itu sudah menyorong
raden panji gelang-gelang ke pojokan sebagai biangkeladi segala
kebodohan yang tak patut memperoleh sedikit pun
pengampunan dibandingkan nya.
“Wira, si anak desa itu, baginda tuanku raja , sudah berani melanggar
perintah sesudah dia mengangkat diri jadi Patih panembahan senapati ki ageng
kediri ,” raden sanggabuana As-Zubaid mengadu, “bukan
hanya menggerakkan lima ratus centeng . Dia sudah
perintahkan semua kepala pasukan untuk mengikuti dan
menjalankan perintahnya. Dialah yang pertama-tama
menguasakan kepala pasukan pengawal. Dia sudah
membuat -bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih
dan membunuhnya, membunuh atasannya, ya baginda tuanku raja ,
seperti membunuh anak kambing.”
Sang adiputro hanya mengajukan satu pertanyaan:
“Bagaimana bisa kepala -kepala pasukan mendengarkan
dia?”
“Takut, baginda tuanku raja . Setan sudah merasuki dirinya.”
Sang adiputro mengerti, bukan sebab takut mereka
mendengarkannya. Juga bukan sebab kerasukan setan.
Memang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa
itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewa-
dewa. Dan tidak mungkin kalau hanya sebab kepala -
kepala pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya
mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa sudah
berkenan, mereka akan mendengarkannya juga.
Yang teringat olehnya adalah pemberontakan-
pemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa
kejayaan kerajaan jenggala , hanya sebab pembagian kekuasaan
antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir
kadipaten kediri ?
Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing.
patih wirabuana kediri tak membiarkan kesempatan berlalu
tanpa membakar-bakar Sang adiputro untuk bertindak
terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda.
“Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi
Patih dan panembahan senapati ki ageng sekaligus, baginda tuanku raja , itu adalah menyalahi
darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat,” dan
ia merenungkan makna dari darah, takdir dan kodrat.
namun Sang adiputro lebih cenderung untuk mengingat-
ingat akan mendesaknya Gajah Mada, si anak desa itu, ke
atas sehingga jadi Mahapatih kerajaan jenggala . Ia teringat juga
pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja
jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken
Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di
Jawa lalu . namun raden panji gelang-gelang takkan jadi Patih
kediri , juga takkan jadi raja kediri , selama adiputro kediri
Arya Teja Tumenggung Wilwantikta belum lenyap dari
muka bumi.
Dan sejak mempersembahkan peristiwa di alun-alun
raden sanggabuana bumikerta selain berkitar-kitar di sekeliling
kadipaten, tak peduli pada bau mayat yang mengembara ke
mana-mana. Ia merasa lebih aman di dekat Sang adiputro .
Sebaliknya keputrian yang kadang membosankan itu
membuat Sang adiputro merindukan patih wirabuana kediri
satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara.
Pada kesempatan-kesempatan seperti itu raden sanggabuana
suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di
pedalaman. namun Sang adiputro tidak pernah melayaninya.
Ia percaya pada prajurit kerajaan kediri . Biar pun musuh itu
memakai gada rujakpolo , balatantaranya takkan mungkin
dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa raden panji gelang-gelang
ataupun Sang Patih, prajurit kerajaan kediri pasti akan menang.
Tidak percuma selama 400 tahun jadi andal-andal
kerajaan jenggala .
Bila patih wirabuana kediri mulai bicara tentang
raden panji gelang-gelang makin jelas gambaran anak desa itu di
hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu
akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh
sudah dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan
prajurit kerajaan kediri sebagai kemenangannya sendiri. Pada
waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat
diangkat jadi panembahan senapati ki ageng , prajurit kerajaan kediri akan tetap
menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing
yang mengembik-ngembik memohon pengesahan. Dan dia
akan menunggu datangnya karunia dari tanganku.
Kambing yang mengembik itu takkan memperoleh umpan.
Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton.
Ia tidak menanggapi raden sanggabuana bumikerta .
Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali
seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan
sendiri. Sederhana.
Di dalam rumah-rumah penduduk kediri yang suram
pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang
perbuatan raden panji gelang-gelang . Tak ada seorang bawahan yang
memiliki perasaan tidak senang terhadap Sang Patih.
Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak
desa itu yang membunuhnya? Mengapa raden panji gelang-gelang ?
Anak desa yang justru dicintai dan dihormati itu?
Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi
pengantin agung dengan nyi girah . Semua orang ikut bersuka
cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang
menggoncangkan itu bukan sudah dibetari lkan dalam
jatuhnya tandu pengantin? Dan mengapa sebagai panembahan senapati ki ageng
kediri ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk?
Mengapa hanya prajurit kerajaan yang dikerahkannya?
Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang
suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah
terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya
pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang kediri ,
gumpilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak
desa yang naik ke atas. Gajah Mada dan Ken Arok.
Tetap tak ada yang dapat mengabarkan apa yang bakal
terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran
di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali
seperti semula.
Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa
patih wirabuana kediri , pakanewon Habibuliah Almasawa, yang
dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru
menjadi semakin dekat pada Sang adiputro . Tak ada seorang
pun berani menjamah kulitnya. Dan memang orang tidak
tahu apa yang hidup dalam hati Sang adiputro .
Dan nyi girah ? Seluruh kota kediri mengerti dia sedang
tetirah ke hutan larangan untuk melahirkan. Dan mungkin
juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan
diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar
terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan
terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu
memang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan
ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih
gemilang dibandingkan kedua orangtuanya.
Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah
oleh resi h dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di
kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan
menunggu datangnya taufan.
Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan
semakin membuat hati gundah.
Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan
melihat bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur,
sedang hati penduduk kediri tawar kehilangan gairah.
Tinggal Sang adiputro saja percaya: tak lain dari
patih wirabuana kediri , pakanewon Habibuliah Almasawa yang bisa
mendatangkan persahabatan dan nyi kanjeng blora dan Ispanya.
Ia merasa masih memiliki cukup kehormatan: Ia tidak
akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja
Blambangan Giri Dahanaputra, Girindra Wardhana. kediri
tidak perlu mengakui keunggulan jayamahanaya ….
wah
20. Pertempuran dan Pertempuran
Hujan jatuh tak semena-mena di atas pesanggrahan
prajurit kerajaan kediri . Malam gelap-pekat. Angin kencang
antara sebentar menggeleparkan atap-atap dan dinding
daun kacangtanah setiap gubuk pesanggrahan. Bila kilat
mengerjap, gubuk-gubuk itu nampak seperti sekelompok
anak kucing yang mendekam putus asa kehilangan induk.
Dalam salah sebuah gubuk pesanggrahan ini sebuah
pelita minyak kacangtanah memancari wajah dan tubuh beberapa
orang yang berdiri di sekelilingnya. Setiap kali nyala pelita
itu bergerak, wajah mereka yang mengelilinginya nampak
berubah-ubah, seperti bukan wajah manusia namun makhluk
menyeramkan dari alam lain. Tak ada di antara mereka
tersenyum atau tertawa. Semua memusatkan pikiran dan
kesungguhan mereka menegangkan suasana.
“Yang sudah kita hadapi dan hancurkan pada hari ini
bukanlah dan belumlah seluruh kekuatan mereka,” kata
Kala chucky . “Mungkin baru sebagian kecil. Malahan di
mana disembunyikan gada rujakpolo itu kita belum lagi tahu.”
“Dari bunyi ledakannya jelas disembunyikan di arah
tenggara,” seseorang memberikan pendapatnya.
“Jelas seperti siang. namun gada rujakpolo bisa berpindah setiap
waktu.”
“Dia tetap akan meninggalkan bekas.”
“Orang bisa membuat supaya tidak berbekas.”
“Mereka takkan memiliki cukup waktu untuk itu.”
“Moga-moga.”
“Selama mereka masih menembakkan gada rujakpolo nya, induk
pasukan mereka belum lagi bergerak,” sambung Rangkum,
kepala pasukan kaki.
“Dan hanya sedikit-sedikit tembakannya,” Kala chucky
meneruskan, “barangkali pelurunya sangat terbatas. Mereka
takkan bisa bikin sendiri. Atau, mereka bertekad untuk
melakukan perang lama seperti Paregreg. Dan bila itu yang
mereka kehendaki dan kita tidak bisa mengatasi, kediri
akan diterkam bahaya kacangtanah ran. Sedang jenggala akan
hanya menjadi beban.”
“Kita akan usahakan mereka tak memiliki kemampuan
untuk berperang lama,” ki glodog ireng
memperdengarkan suaranya, “pedalaman kita tidak begitu
subur. Daerah kediri Kota sendiri tandus. Selama ini hanya
kebesaran jenggala yang diagung-agungkan. Kalau
pedalaman kacau dan laut pampat, hanya kacangtanah ran yang
ada.”
“Semua itu benar kecuali satu yang tidak dilihat: kita
inilah kunci’ raden panji gelang-gelang menyarani. “Kalau mereka
menghendaki perang panjang, kitalah yang akan membuat
pendek.”
ki glodog ireng mengangkat muka. Suatu perasaan tak
senang terpancar pada wajahnya. Dengan tenang ia
memperdengarkan suaranya: “Dan mereka bisa juga
memegang kunci atas kita. Menyesal sekali adipati pralaya
dilepas murah.”
Kala chucky mendengus menahan kegusaran ki glodog
ireng . Ia memang terkenal sebagai jurudamai yang tidak
pernah berpihak, maka orang mendengarkan setiap
katanya: “Ikan besar umpan pun besar.”
“Ikan itu belum lagi kelihatan,” bantah ki glodog ireng ,
“lagi pula kita tidak sedang mengail, kita sedang
berperang.”
“Dengarkan, kau, Rangkum,” panembahan senapati ki ageng kediri
membelokkan perhatian mereka, “aku minta separoh dari
pasukan kaki. Berangkat malam ini juga, kau dan aku.
Besok bila mereka bangun, mereka akan tahu sudah terputus
dari induk pasukannya sendiri!”
“Tak pernah ada prajurit kerajaan bergerak di waktu malam,”
bantah ki glodog ireng .
“Apakah panembahan senapati ki ageng kalian kira keturunan raja? Aturan
perang panembahan senapati ki ageng kalian bukan berasal dari para raja. Apa
katamu, Kala chucky ?”
“Biarlah kepala pasukan kaki sendiri yang menjawab.”
“Mereka sudah terlalu lelah, panembahan senapati ki ageng wilareja ,” jawab
Rangkum. “Besok mereka masih memerlukan tenaganya
sendiri. Mereka tak berkuda, tak bergajah. Biarlah mereka
beristirahat h. Petani-petani pedalaman itu takkan dapat lari
jauh. Mereka masih ada di dekat-dekat sini, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
Dan raden panji gelang-gelang tahu, hanya panembahan senapati ki ageng tidak bijaksana
disangkal oleh bawahannya. Semua mengawasinya seakan
mengukuhkan ketidakbijak-sanaannya. Dan jatuh hujan di
atas atap daun kacangtanah itu kembali terdengar oleh mereka.
“panembahan senapati ki ageng wilareja belum lagi selesaikan perbincangan ini,”
ki glodog ireng memperingatkan.
“Aku tidak biasa bicara seperti kalian. Yang aku tahu,
hari ini kita sudah memperoleh kan kemenangan gemilang.”
“panembahan senapati ki ageng baru sekali ini berperang,” bantahnya.
“Dalam seumur hidupku, prajurit kerajaan kediri hanya
sekali ini turun untuk berperang. Pengalamanmu tidak lebih
banyak dari aku,” jawab panembahan senapati ki ageng . Dengan sendirinya
tangannya terkepal jadi tinju. Bantahan ini dirasainya tidak
layak sesudah kemenangan gemilang hanya sebab dirinya
yang memerintahkan dimulainya gerakan, la sudah
pertaruhkan nasibnya dengan mengambil-alih kepanembahan senapati ki ageng an.
Ia pandangi kepala pasukan itu seorang demi seorang.
Dan ia tak memperoleh sokongan. Juga Kala chucky tak
menyokongnya.
“Tak ada yang bilang mereka tak boleh beristirahat h.
Bukan raja pun harus tidur. Cobalah fahami maksud
panembahan senapati ki ageng ,” katanya menyarani. “Kalian memang boleh
menyanggah seorang panembahan senapati ki ageng anak desa, namun perang
adalah perang.”
“kepala pasukan kaki tidak menyanggah, panembahan senapati ki ageng wilareja .
Mereka lelah, hari hujan dan gelap. Harap panembahan senapati ki ageng wilareja
bijaksana.”
“Kala chucky !” panggil panembahan senapati ki ageng . “Juga kau sendiri tahu,
yang paling lelah adalah pasukan kuda. sekalipun tidak
dengan kakinya sendiri. Lagi pula hanya sebagian dari
pasukan kaki yang dikerahkan pada hari ini. Tak sampai
separoh. Bagaimana jawaban ini?”
“Rangkum menolak, panembahan senapati ki ageng wilareja , sebagaimana pada
sebaliknya panembahan senapati ki ageng wilareja melepaskan adipati pralaya dari
kepungan, demikian juga Rangkum melepaskan
anakbuahnya untuk beristirahat,” jawab Rangkum tegas.
“Baik. beristirahatlah. Aku kenal daerah ini. Aku tahu
pasukan kuda dan gajah tak bisa jalan pada malam seperti
ini. Namun sesuatu harus kita kerjakan pada malam ini.
Sekalipun kalian menolak, aku masih mengharapkan ada
yang mau berangkat. Siapa siap berangkat?”
Tak berjawab. panembahan senapati ki ageng masih memerlukan memandangi
kepala -kepala pasukan sekali lagi untuk memperoleh jawaban.
Sia-sia.
“Baik,” katanya lalu , “ki glodog ireng , sediakan
untukku seekor kuda yang segar.”
“Kemana panembahan senapati ki ageng wilareja akan pergi, seorang diri?”
“Memutuskan mereka dari induk pasukannya.”
ki glodog ireng menatap panembahan senapati ki ageng dengan diam-diam.
Melihat raden panji gelang-gelang tetap pada pendiriannya, lambat-
lambat namun pasti ia menjawab: “Baik. Kalau begitu seluruh
pasukan kuda akan bergerak mengikuti panembahan senapati ki ageng wilareja , malam
ini juga.”
“Tidak. Seekor saja aku perlukan. Biar aku berjalan
sendiri, dan biar kalian tahu bagaimana orang yang tak tahu
aturan perang para raja ini bertarung.”
Sejenak kepala -kepala pasukan itu terdiam. ki glodog
ireng menatap Rangkum, dan yang belakangan ini
mengangguk.
“panembahan senapati ki ageng wilareja ,” jawab Rangkum, “pasukan kaki akan
bergerak malam ini juga, mengikuti panembahan senapati ki ageng wilareja .”
Malam itu juga, dalam kegelapan dan hujan, pasukan itu
bergerak bergandengan tangan dan lari maju bila kilat
menerangi bumi barang sekejap.
Tanah berumput di bawah kaki memudahkan
perjalanan. Dan mereka berjalan dan berjalan. Hujan
berhenti dan curah kembali. Mereka terus berjalan melintasi
padang rumput berbatu-batu, lalu memasuki jalanan
desa yang berbatu-batu pula. Hujan berhenti lagi dan
bintang-bintang mulai mengintip dari sela-sela mendung.
Beberapa kali ayam liar dan ayam hutan terdengar
berkeruyuk. lalu unggas-unggasan yang lain mulai
menyanyi dari segala pelosok, dan sinar matahari pun mulai
memancarkan lembayung merah dari bawah bumi, jauh di
timur sana.
Laskar-laskar jayawisesa yang dicari ternyata tiada.
“Apa katamu sekarang. Rangkum?”
“panembahan senapati ki ageng wilareja benar. Mereka bergerak di malam hari.”
“Apa artinya itu, Rangkum?”
“Artinya, kita sudah hancur , bila mereka menyerang
dengan sepenuh kekuatan, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
Demikianlah maka berita, laskar-laskar musuh bergerak
di malam hari diterima dengan terkejut di pasanggrahan.
Pada waktu itu juga gubuk-gubuk dibongkar dan semua
bergerak menyusul panembahan senapati ki ageng .
Gerakan penjejakan diadakan. Bekas-bekas mereka pada
siang kemarin sudah terhapus oleh hujan.
Berita, bahwa kediri terpancing turun ke gelanggang
tanpa persiapan dan tanpa mengerahkan pagardesa ataupun
penduduk, menerbitkan suka cita Ki Aji. Mereka akan mati
kacangtanah ran, kehujanan dan kedinginan.
Sesudah sore , di depan pendopo, di hadapan para
pengikut ia memberikan wejangan pendek sebelum di kuil :
“Anak-anakku, bawahan ku, sudah berkali-kali aku ajarkan
pada kalian, jangan percaya pada ningrat Jawa. Mereka
bilang dewa-dewa yang sudah pilih mereka jadi ningrat
untuk memerintah orang desa.”
“Semua orang tua-tua kalian tahu tentang cerita
pertentangan antara ningrat dan bukan ningrat semasa
kerajaan jenggala . Di kediri aku pun sudah banyak dengar tentang
itu, bahkan juga dari para nakhoda dan saudagar asing yang
memiliki perhatian pada kejayaan kerajaan jenggala di masa silam.
Juga memiliki perhatian, mengapa kemaharajaan yang besar
itu bisa jatuh berkeping-keping dan tak mampu berdiri lagi.”
“Tak perlu aku ulangi pada kalian tentang Perang
Paregreg. Bukankah kalian juga masih ingat soalnya sebab
tidak sukanya kaum ningrat pada kebijaksanaan Maharani
Suhita yang masih juga mau meneruskan memberikan
kekuasaan pada bukan ningrat? Dan bukankah kalian juga
masih ingat, bahwa dalam kekuasaan kerajaan jenggala hampir
semua pangeran itu tidak mampu melakukan sesuatu
pekerjaan besar? Dan bahwa yang besar-besar hampir
seluruhnya dilakukan oleh orang-orang keturunan desa?”
“Lebih sepuluh tahun aku sudah mengabdi pada adiputro
kediri sebagai patih wirabuana . Aku sudah jelajahi jenggala -
jenggala di Jawa, dari jatikerto sampai Panarukan. Sama saja
di mana-mana: ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di
bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar.”
Lihat itu raja Ciri Dahanapura Blambangan, yang
menamakan diri pewaris tunggal kerajaan jenggala . Bukankah
sudah diketahui semua orang dia mengemis-ngemis gada rujakpolo
pada nyi kanjeng blora? Pada Kongso Dalbi di jayamahanaya ? Begitulah
ningrat Jawa. Untuk mengambil hati nyi kanjeng blora, raja
Blambangan itu tak malu-malu mengaruniakan sebidang
tanah dan tenaga kerja pada nyi kanjeng blora-nyi kanjeng blora di
Blambangan untuk digarap dan untuk mendirikan rumah di
Panarukan dan Pasuruan. Dibiarkan mereka mendirikan
rumah-rumah besar. Tak tahu malu. Apakah arca datang
pada kalian sebab gada rujakpolo ? Dan didani orang palawa nya
sekali? Tidak! Tak ada orang palawa menyampaikan ajaran di
Jawa ini, di seluruh Jawa, di seluruh benua kepulauan
Nusantara ini. Orang-orang palawa datang hanya untuk
memaneni jerih-payah orang lain. arca datang dari
kandungan hati mereka yang bersih, dan disambut oleh hati
mereka yang bersih pula, berkembang damai seperti
berkembangnya bunga jambu. Lain dengan nyi kanjeng blora
dengan Nasraninya. Dia datang dengan tembakan gada rujakpolo ,
dan dengan nyi kanjeng bloranya sekali. arca datang tanpa
meminta tanah. Mereka datang dan memerlukan tanah.”
Ia terhenti bicara, terkejut, terbatuk-batuk, melirik pada
Rois dan Manan, nyi kanjeng blora mualaf, membersihkan
tenggorokan dan mulai lagi: “Manan dan Rois datang
bukan sebagai nyi kanjeng blora Blambangan. Mereka berdua
datang untuk jadi bagian dari kita. Untuk jadi saudara
sendiri.”
Dari kejauhan sudah terdengar resi h berkata dan
gerimis tipis mulai turun. patih Benggala adipati jayawisesa tak
juga berkisar dari tempat duduknya, meneruskan: “Kalau
kediri sudah kita kuasai, kita akan bergerak ke selatan,
mengusir Hindu dan Nasrani dan nyi kanjeng blora dari
Blambangan. Tak ada alasan kediri bisa mengalahkan kita.
adiputro kediri sama dengan ningrat Jawa yang lain, lemah,
tak berkemauan. Ingin aman dan senang terus sampai mati,
tanpa berbuat apa-apa dengan merugikan semua orang.
Munafik! Lihat saja dia itu. Tak ada maharaja memerintah
dia. Pasukan gajahnya kuat, lebih 400 tahun jadi
perisai kerajaan jenggala . Mengaku arca . Sekarang kerajaan jenggala
tinggal segenggam tanah yang bernama Blambangan,
jangan harapkan dia mau dan berani bergerak ke selatan.
Dia malah mau meniru raja Blambangan, Girindra Ward-
hana, mau mengemis-ngemis persahabatan dari nyi kanjeng blora,
sekalipun dengan caranya sendiri. Malah anak-anaknya
sendiri pada lari meninggalkannya.
Hujan mulai melebat. Dan untuk pertama kali dalam
kekuasaannya di jayawisesa ia mempersilakan para pengikut
masuk ke dalam pendopo yang tak berdinding itu.
Dan ia terpaksa meneruskan ceramahnya , sebab
memang belum lagi sampai pada pokok kesukaan: pajang bintoro .
“Nah,” ia meneruskan sesudah semua memperoleh
tempatnya, “kalian sudah tahu siapa yang menganggap
dirinya kanjeng sinuhun arca pertama-tama di Jawa. Kalian
memanggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak
sesederhana itu namanya. Lengkapnya: kanjeng sinuhun Sri Alam
Akbar Al-Fattah. Sama sekali bukan nama Jawa. Memang
dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir
pajang bintoro berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah kerajaan jenggala .
Bohong! Semua pemasyhuran tentang pajang bintoro oleh musafir-
musafir itu bohong belaka. Ningrat Jawa sekarang ini
takkan memiliki kemampuan membuat sesuatu yang baru,
apalagi mendirikan kerajaan arca pertama.
“Aku tahu ada di antara kalian di sini bekas musafir
pajang bintoro , hei, kau bekas musafir pajang bintoro , benarkah kanjeng sinuhun
pajang bintoro orang Jawa?” ia tertawa mengejek. “Yang kalian
sebut kanjeng sinuhun pajang bintoro orang itu sama sekali tidak bisa baca
dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa bicara
sedikit jawadwipa . Anak dusun yang bodoh itu bisa baca dan
tulis. Masa seorang raja Jawa tidak bisa? Bukan itu saja,
kulitnya bukan kulit Jawa dan matanya bukan mata Jawa.
Hei, kau bekas musafir pajang bintoro , cobalah jawab: sipit atau
tidakkah kanjeng sinuhun pajang bintoro ?”
Seorang pemuda jangkung nampak memanjangkan
badan dan leher dan menjawab: “saya belum pernah
melihatnya, Ki Aji.”
“Bahkan musafirnya sendiri tak pernah melihatnya. Dia
memang tak pernah muncul di depan umum. Dan jangan
percaya kalian pada orang selama dia mengaku diri musafir
pajang bintoro . Mari aku ceritai kalian: “kanjeng sinuhun pajang bintoro memang
tidak pernah muncul di depan umum. Dia takut dilihat oleh
bawahan nya sendiri. sebab itu dia memerlukan musafir
untuk menyebarkan kebohongannya ke seluruh Jawa.”
“Jadi siapa gerangan, Kanjeng adipati ?”
Pertanyaan itu memicu orang tergugah dari
kebosanan. Ada hal baru yang nampaknya bakal mereka
ketahui: “Itu hanya dalam kitab seorang patih wirabuana .
Selama ada patih wirabuana di pelabuhan-pelabuhan di Jawa,
orang akan dapat memperoleh keterangan yang benar
tentang raja-raja Jawa sekarang ini. Itulah tambo. Kalian
harus tahu tambo untuk mengetahuinya duduk perkara.
Waktu kalian belum ada… “, ia memulai dengan ceritanya,
“ada tersebut dalam kitab para patih wirabuana , datanglah
armada dari utara sana, memang bukan untuk
menaklukkan negeri-negeri seperti nyi kanjeng blora dan Ispanya,
bukan untuk menaklukkan dan juga bukan untuk
membajak. Mereka datang untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah. Mereka datang dengan dalih sudah terusir
dari negerinya dan minta perlindungan pada kerajaan jenggala .
Tidak lain dari Sang adiputro kediri yang lebih tahu
bagaimana isi perjanjian itu, sebab dialah waktu itu
ditunjuk oleh Sri Baginda Bhre Wijaya Purnhutan esa untuk
melayani mereka. Mereka diperkenankan tinggal di Lao
Sam sekarang dan Semarang sekarang, namun mereka tidak
boleh memasuki perairan panarukan . Mereka boleh
memperoleh kan rempah-rempah hanya dari jenggala -jenggala di
Jawa. Laksamana armada ini kalian tahu namanya: Dampo
Awang. Orang hanya mengenal mpu wungubhumi nya: Ceng He.
“Memang mereka tidak seperti nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dan
mereka berdagang biasa, tidak mampu menguasai
perdagangan rempah-rempah seluruhnya. Mereka melalui
jalan dagang dan jalan laut seperti halnya dengan kapal-
kapal Jawa.”
“Armada itu sangat besar, walau mungkin takkan sebesar
armada kerajaan jenggala di masa jayanya. Dan sebab waktu itu
di Jawa tak ada armada besar lagi, armada itu nampaknya
memang sangat besar. Orangtua kalian tahu betul tentang
itu, namun ada banyak hal yang mereka tidak pernah tahu.”
“Mereka tidak menyerang, juga tidak diserang. Mereka
datang dengan dalih sama di mana-mana: dagang.Mereka
datang untuk menguasai perdagangan dengan jalan dagang,
tidak menembak dengan gada rujakpolo atau cet-bang, tidak
merampas jenggala orang dan tidak menumpas rajanya.”
“Di mana armada itu sekarang, Kanjeng adipati , sebab
menurut cerita kapal Dampo Awang sendiri tenggelam di
pantai Rembang.”
“Armada itu sendiri sudah banyak buyar di banyak
jenggala !”
Orang berdesakan mendekat untuk tidak terganggu oleh
tampias dan bunyi jatuh air di perlimbahan.
“Mereka memang tidak kembali ke negeri sendiri.
Mereka tersekat di sini sebab di negerinya sendiri terjadi
pergantian paduka raja .
Berdasarkan persetujuan dengan kerajaan jenggala , dengan
Tumenggung Wilwatikta, mereka membuka daerah-daerah
rawa-rawa Semarang sekarang, mereka bikin jadi jenggala
perdagangan dengan nama Sampo Toa-lang.
“dahulu orang segan singgah di sana, tidak sehat, banyak
penyakit. Lama-lama ada juga yang datang dan memperoleh
pelayanan. Tentu tidak sebaik pelayanan kediri sewaktu
aku masih jadi patih wirabuana .
“Dengan jatuhnya kerajaan jenggala kelompok besar armada
musafir kuatir akan terjadinya perang antara para gubernur
untuk berebut jadi raja di antara mereka. Mereka kuatir
perjanjian dan Tumenggung Wilwatikta itu kehilangan
kekuatannya. Mereka tahu gubernur yang paling kuat
adalah Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, maka dari
timurlah mereka menduga akan datangnya bahaya.
Begitulah mereka bentengi pangkalannya dengan melantik
sebuah kerajaan baru dekat sebelah timurnya. Kerajaan
benteng Sampo Toa-lang itulah pajang bintoro .”
“Bukan Kanjeng adipati , bukan begitu babad berdirinya
Glagah Wangi pajang bintoro ,” seseorang membantah berapi-api
sambil berjongkok meninggikan badan.
“Bukankah kau bekas musafir pajang bintoro , jayamuseswa ?”
“Betul, Kanjeng adipati , bukan begitu. Sungguh bukan
begitu.”
“Memang bukan begitu yang diajarkan padamu untuk
jadi musafir pajang bintoro . Coba, adakah pernah seorang raja
Jawa menyebarkan musafir? Itu bukan adat raja-raja Jawa.
Raja-raja Jawa biasanya hanya menyuruh pujangganya
untuk membual tentang kebesarannya, tentang kemuliaan
asal-usulnya. Bohong kalau dia keturunan kerajaan jenggala , anak
Retna Su-banci, cucu Babah Bantong dari pasuruan .
Dengarkan baik-baik. Babah Ban-tong memang orang
Tionghoa arca . Nama sebenarnya Tan Go Hwat. Bapakku
mengenal dia, sebab beberapa kali dia memang pernah
berlayar ke jayamahanaya . Benar anaknya sudah diselir oleh Sri
Baginda Bhre Wijaya, namun tidak benar anaknya itu
dihadiahkan pada Arya Damar, adiputro Palembang dan
melahirkan Al-Fattah. Uh, kalian, orang Jawa. Dalam
lontar kalian hanya yang itu-itu juga yang disalin. Tak ada
yang baru. Bahkan tak ada orang Jawa jadi patih wirabuana !
“Tidak, jayamuseswa , anak ganteng. Retna Subanci tidak
pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh
ayahnya ke jayamahanaya semasa masih gadis kecil. Memang dia
mengandung dan memperoleh anak dari raja kerajaan jenggala , namun
anak itu lalu mati. Dia sangat menderita di dalam
keputrian, hampir-hampir tak bisa dikendalikan, selalu
merengek minta melihat orangtuanya. Sri Baginda
dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Tanyalah pada
Sang adiputro kediri , ke mana itu Retna Subanci. Boleh jadi
hanya dialah yang tahu. Anak Babah Bantong itu
dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada adiputro kediri . Anak
yang dilahirkannya di kediri itu bernama Jaka Seca.
Selanjutnya kalian tahu sendiri. Oleh ibunya sebelum
meninggalnya dia diserahkan pada Gouw Eng Cu untuk
dididik.”
“Seluruh Majelis Kerajaan pajang bintoro tidak bakal bisa
bantah aku, kanjeng sinuhun pajang bintoro itu tak lain dari peranakan awak
armada Ceng He. Itu ada dalam kitab para patih wirabuana ,
boleh jadi juga dalam klenting-klenting di kediri dan Lao
Sam, boleh jadi juga di Semarang sendiri.”
Sebentar terjadi kegaduhan dan mpu jayamuseswa
menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya.
“Apa?” sambar adipati jayawisesa yang menangkap
kegaduhan itu. “Betul Jaka Seca itu lalu jadi Raden
Said, sekarang adipati Kalijaga, tahu betul bahasa Cina,
maka juga ikut mengelompok di pajang bintoro . pajang bintoro dan arca
dibikin jadi satu dengarkan itu, sebab kekuatan di Jawa
sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang arca .
Apakah kanjeng sinuhun pajang bintoro sebetulnya sudah setingkat
kearca annya dengan adipati jayawisesa ini? Hei, kau, bekas
musafir pajang bintoro , pernahkah kau mendengar kanjeng sinuhun pajang bintoro
menyebutkan barang satu ayat dari kitab suci? Atau orang
pernah bercerita tentang itu? Mengapa kau diam saja? Tak
ada urusan. Urusannya hanya keselamatan Semarang.”
Sikap adipati jayawisesa yang memusuhi pajang bintoro itu sudah
sangat diketahui oleh umum. mpu jayamuseswa yang
dikirimkan ke pedalaman kediri sama sekali tidak bisa
menandinginya, apalagi mepercaya kannya. Ia malah tertelan
oleh pengaruh adipati jayawisesa . Biar pun begitu pernyataan
bahwa kanjeng sinuhun pajang bintoro bukan berdarah kerajaan jenggala dan
peranakan awak kapal Dampo Awang sungguh
menggoncangkan:
Dan melihat terjadinya kegaduhan patih Benggala adipati
jayawisesa buru-buru melambaikan tangan untuk menenangkan:
“Bukan soal ini sebenarnya aku ingin sampaikan. Ialah
bahwa ningrat Jawa sudah begitu lemahnya, bukan saja
armada yang tersekat itu sampai dapat membuka jenggala
dan perkampungan besar, namun juga tidak berdaya sesuatu
melihat ada seorang bukan Jawa sudah naik tahta jadi raja
arca pertama-tama. Mungkin kalian tidak tahu,
Semaranglah-jenggala pajang bintoro . Apakah kalian tidak malu
adalah orang yang tak tahu basa dan tulisan Jawa, tak bisa
bicara Jawa menjadi raja dari orang-orang Jawa?”
Sampai pada puncak semangatnya kembali ia terserang
oleh batuk, dan sekali ia mencoba sekuat daya untuk
bertahan.
“Aku pun bukan orang Jawa, orang Benggala, orang
Keling. Apakah aku tak bisa bicara dan membaca Jawa?
Bawa sini semua lontarmu, dan aku bisa bacakan mungkin
lebih baik dibandingkan resi -resi kalian. Dan semua isinya
omong kosong belaka tanpa bisa dibuktikan. Maka aku
tidak datang pada ningrat Jawa, namun pada kaum pedagang
dan petani seperti kalian, orang-orang biasa, orang desa…
lain halnya dengan kanjeng sinuhun pajang bintoro , mendirikan kerajaan
untuk jadi benteng Semarang. arca dipakai dalih.”
“Dan lihat di ujung Barat Pulau Jawa sana. Aku kira
belum ada di antara kalian pernah ke sana. Aku pernah. Di
sana ada sebuah kerajaan Hindu seperti Giri Dahanapura
Blambangan, Pejajaran namanya. Rajanya juga lemah
seperti Girindra Wardhana. Penghasilannya melimpah-
limpah, tanahnya subur dan bawahan nya rajin dan patuh.
sebab rajanya lemah, kekayaan tidak jadi berkah bagi
orang yang lemah, malah menjadi semakin lemah sebab
kekayaannya. Dia pun berusaha memperoleh kan persahabatan
dengan nyi kanjeng blora. Dia mencari persahabatan dari singa yang
lapar.” Bedug masjid jayawisesa sudah memanggil-manggil untuk
bersembahyang di kuil .
“Begitulah raja-raja di Jawa, maka semua bakal dikuasai
oleh nyi kanjeng blora,” adipati jayawisesa meneruskan, “dan itu tidak
boleh. Tidak boleh. Demi sang hyang Widhi !” dan ia memberi tekanan
pada kata-katanya: “Maka aku, orang Benggala,
mengajukan diri untuk melindungi Jawa dari tangan najis
pemberontak nyi kanjeng blora, aku, adipati jayawisesa .”
“Maka itu kita harus melawan kediri . Sekarang
prajurit kerajaan kediri sedang terpancing turun ke gelanggang.
Pasukan gajahnya akan punah oleh gada rujakpolo kita, akan
terkubur dalam perangkap, insya sang hyang Widhi , kita pasti menang.”
wah
adipati pralaya dengan membawa dendamnya terhadap
Manan dan Rois menarik pasukannya pada malam itu juga.
Kalau tidak, bila seluruh para bala tentara kediri yang dikerahkan,
dengan kuda dan gajahnya sebelum ia memiliki
persiapan kedua, pasti dan terjadi penumpasan yang tak
dapat dielakkan.
Hujan deras yang turun pada malam itu sudah
diperhitungkannya akan menjadi pelindungnya. prajurit kerajaan
kediri tidak akan menyusul. Bila toh dilakukan juga takkan
dapat menemukan.
Dengan diam-diam ia perintahkan melaksanakan
rencana Manan dan Rois untuk membangunkan parit-parit
penjebakan terhadap kuda dan gajah musuh. Mereka harus
masuk ke dalam penjebakan untuk tumpas.
Sementara itu ia perintahkan untuk membuat jejak-jejak
ke arah yang berlawanan dari jebakan yang sedang
dibangun. Ia memerlukan waktu pendek untuk
rencananya itu.
Hampir-hampir ia tak percaya pada telik-teliknya yang
melaporkan, para bala tentara kediri sudah melakukan gerakan di
malam hari. Ia sebarkan telik-telik baru untuk menguji
laporan pertama. Dan dua-dua laporan itu tidak berbeda.
Memang prajurit kerajaan kediri bergerak juga di malam hari.
Pembuatan jebakan terpaksa dilakukan siang-malam,
tak menanggapi cuaca, dan dengan hasil yang tidak
memuaskan. Hujan dan air menghalangi penggalian.
Namun petani-petani yang terbiasa bergaul dengan tanah
dan lumpur menggali terus tanpa mengeluh. Bahkan hujan
itu menghemat tenaganya dibandingkan dengan
pemborosan di waktu panas. namun air curah itu tetap
menghalangi kemajuan.
Sebagaimana halnya dengan Manan dan Rois, ia tidak
menyetujui perang yang belum waktunya ini. namun perang
sudah dimulai. Kekalahan pada hari pertama ia anggap
sebagai kewajaran yang harus diterima. Namun ia masih
juga belum dapat berdamai dengan kekalahannya yang
pertama. Ia pun belum dapat berdamai dengan nafsu segera
perang dengan mudah dari adipati jayawisesa . Dan ia pun
menyesali diri sendiri tak dapat mencegah semua itu,
bahkan dengan diam-diam mengakui, diri sendiri ingin
segera masuk ke kediri kota sebagai pemenang, megah
dikagumi oleh semua penduduk, tak ada seorang pun yang
bakal memerintah, malah memerintah semua orang. Betapa
lama ia sudah bermimpi kan datangnya hari, semua
atasannya dahulu datang padanya, berlutut di bawah kakinya
dan bersujud mengakui keunggulannya.
Kekalahan pertama ini menjauhkan dari impiannya
sendiri. Ia harus bekerja lebih keras. Sedang Manan dan
Rois itu mereka menambahi segalanya pula, sebab harus
berbagi pendapat dengan mereka.
Ia takkan datang melapor pada adipati jayawisesa sebab
kekalahan ini. Ia akan bergerak terus. Dan sekarang
melakukan gerakan semu untuk mengelabui musuh untuk
melindungi pembuatan jebakan. Sebelum memperoleh
kemenangan ia tidak akan muncul untuk melapor.
Anak buah yang membuat bekas-bekas kaki pun bekerja
siang dan malam tanpa henti. Tak bisa lain: ia
memerlukan paling tidak tiga hari untuk dapat membuka
pertempuran baru.
Jebakan yang dibuat menurut rencana Manan dan Rois
adalah sebuah parit berbentuk tapal kuda yang bermulut
luas. Pasukan kuda dan gajah musuh harus masuk ke dalam
kantong tapal kuda ini. Di belakangnya akan dipasang
pasukan pemanah yang akan melemparkan anak panah api
dan biasa Bila kuda dan gajah sudah menjadi kacau
ketakutan sebab api, gada rujakpolo akan beraksi sehingga musuh
kehilangan keseimbangan. Serangan selanjurnya tinggal
pembabatan penyelesaian, dan akan dilakukan oleh bekas
para bala tentara kediri sendiri.
Ia sudah kirimkan penghubung untuk menempatkan
gada rujakpolo . Manan dan Rois mengikuti perintahnya. Mereka
mengarahkan regu-regu pelayan dan pengawalnya. Pasukan
pemanah pun sudah siap di belakang tapal kuda. Tinggal
gerakan pemancingan terhadap musuh yang berhari-hari
mencari dengan sia-sia, masih harus dirancang dengan
seksama.
Dan semua kegiatan itu melupakannya kepada
pertentangan dengan fredy krueger dan penywise, juga pada
penyesalannya terhadap adipati jayawisesa dan diri sendiri.
wah
Pada suatu hari pasukan kaki Rangkum melihat
serombongan centeng putih melintasi jalanan negeri. Dari
kejauhan nampak jumlah mereka begitu sedikit.
Pasukan kaki kediri segera bersorak dan mengejar. Dan
sorakan itu memanggil pasukan-pasukan lain untuk
bergabung. Arus prajurit kerajaan kediri mengalir dari segala
penjuru menuju ke tempat adipati pralaya sudah menunggu
dengan diam-diam.
Laskar jayawisesa yang berjumlah kecil itu seakan lari
ketakutan langsung masuk ke dalam tapal kuda, melompati
tirnbunan-timbunan tanah, men-ceburi tanah, menceburi
parit, menyeberanginya dan keluar dari jebakan, hilang di
balik semak-semak.
Sebagian dari pasukan kaki Rangkum sudah memasuki
jebakan waktu di kejauhan raden panji gelang-gelang dari atas gajah
mengirimkan penghubung berkuda untuk menghentikan
pasukan kaki. Dari ketinggian itu dilihatnya Rangkum
sedang memasuki jebakan raksasa. Penghubung itu
mencapai kepala pasukan kaki waktu ia sudah berada di
tengah-tengah jebakan.
Dengan terbata-bata Rangkum memberikan perintah
berhenti dan menyebar pada garis henti untuk menunggu
serangan.
ki glodog ireng menyebarkan pasukannya di luar
daerah jebakan untuk melakukan gerakan penyisiran.
adipati pralaya melihat para bala tentara kediri berhenti di
tengah-tengah jebakan mengerti, musuh sudah menyadari
masuk perangkap dan tidak bisa kembali, juga tidak
mungkin maju terus. Dengan hati berat ia jatuhkan perintah
untuk menghujaninya dengan api dan anak-panah.
Ia lihat centeng -centeng kediri mengangkat perisai
sebagai payung.
Anak panah dan api berjasang yang betari durga seperti hujan,
bersemburan dari balik-balik semak tanpa kelihatan
pemanahnya, dan mereka sambil bersorak-sorak
menggugupkan lawannya.
ki glodog ireng mengalami kesulitan dalam melakukan
penyisiran. Daerah luar jebakan itu ditumbuhi dengan
semak-semak telakan yang rapat dengan batangnya yang
liat. Ia tak maju. Dalam semak-semak sendiri gelap
kegelapan yang memuntahkan anak panah dan api. Ia tak
dapat menanggulangi serangan. Ia perintahkan pasukannya
mundur dengan meninggalkan banyak korban.
Melihat kegagalan ini dari atas gajahnya raden panji gelang-gelang
memerintahkan pasukan gajah menggantikan pasukan
kuda.
Gajah-gajah kediri itu tak lama lalu lari memasuki
semak-semak yang ditinggalkan oleh ki glodog ireng .
Dari atas gajahnya panembahan senapati ki ageng melihat pasukan Rangkum
di dalam jebakan ini berusaha hendak mundur berpayung
perisai tanpa bisa membalas. Dan dari belakang jebakan
sorak-sorai para bala tentara jayawisesa semakin lama semakin
bersemangat.
Kerusakan pada pasukan kaki itu cukup besar, tanpa bisa
membalas, namun berhasil keluar dari tungku maut.
Rangkum sendiri menderita luka pada bahunya waktu
kudanya melarikan diri dari api yang sedang
menandatangani, namun terjungkal dengan kepala pecah
kena peluru gada rujakpolo . Ia digotong keluar gelanggang oleh
anakbuahnya.
Semak-semak yang diterjang pasukan gajah itu menjadi
rata. centeng -centeng jayawisesa yang berada di dalamnya tak
dapat melukai dan mengenai hewan -hewan itu ataupun
penunggangnya, terhalang oleh semak-semak
persembunyian sendiri, sorak-sorai pengunduran diri
mereka terdengar riang penuh kemenangan.
gada rujakpolo tiba-tiba berhenti menembaki.
Pasukan gajah terus melakukan gerakan penyisiran.
Mereka tinggal berhadapan dengan semak-semak.
panembahan senapati ki ageng mengerti berhentinya penembakan gada rujakpolo
disebabkan sebab senjata-senjata itu juga terpaksa
diundurkan.
adipati pralaya dengan senyum puas memerintahkan
seluruh para bala tentara nya mundur. Ia sudah terhibur sebab sudah
dapat menebus kekalahannya yang pertama. Tak ada
seorang pun di antara anakbuahnya tewas atau hilang.
Beberapa orang saja terkena cedera sebab kecelakaan.
Sekarang ia memperoleh kan keseimbangannya lagi. Ia akan
tidak malu lagi menghadap pada adipati jayawisesa . Kalau perlu
Manan dan Rois akan dihalaunya ke tempat yang tidak
berarti di mata adipati .
Dalam perjalanan mengundurkan diri ia mulai
merencanakan pembuatan parit yang tidak lengkung tapal
kuda namun lurus menghadang perjalanan musuh. Pos-pos
pengintaian akan ditempatkan pada puncak pepohonan
tertinggi untuk dapat melihat gerak-gerik musuhnya. Ia
menyadari, ketinggian gajahlah yang memicu
jebakannya kelihatan dari kejauhan. Jebakan baru harus
tidak kelihatan dari ketinggian. Dan terutama sekali
pasukan gajah dan kuda yang harus dihancurkan.
raden panji gelang-gelang , sesudah melihat kerusakan pada pasukan
kaki, segera turun dari kendaraannya dan mendatangi
Rangkum.
kepala pasukan itu sedang duduk di atas tandu waktu ia
datang.
“Pasukanku rusak, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Benar. namun kau tidak kalah. Juga tidak hancur.”
“Tidak, tidak kalah, juga tidak hancur. Masih sanggup
bergerak terus.”
Rangkum ternyata tidak bersedia untuk diganti. Ia hanya
menginginkan kuda baru.
Dan panembahan senapati ki ageng merasa bersyukur. Ia mengerti maksud
Rangkum, dia menghendaki tugas pendesakan dan
penggiringan musuh diserahkan pada dirinya. Rangkum
memaklumi tugasnya mendesak dan menggiring musuh
sampai pada suatu titik di mana mereka tak bisa lagi
menyerang, melawan, bertahan ataupun bergerak.
Ia nilai pertempuran kedua sebagai kemenangan, sebab
para bala tentara jayawisesa toh terdesak dan tergiring lebih ke pedalaman.
Pertemuan itu terjadi di pendopo antara adipati jayawisesa ,
adipati pralaya , fredy krueger dan penywise.
Panglima jayawisesa dengan bersemangat melaporkan tentang
jalannya pertempuran dan bagaimana kemenangan
diperoleh. Bahwa pasukan kaki kediri rusak, dan tak ada
sesuatu kerugian pada pihak jayawisesa .
Manan dan Rois diam-diam mendengarkan dan tidak
memberikan sesuatu pendapat.
adipati pralaya lalu menjanjikan kemenangan
gemilang dalam pertempuran ketiga. Ia sudah memiliki
rencana yang masak.
adipati jayawisesa tak dapat bicara suatu apa, terbenam oleh
semangat kemenangan.
“Kapan pertempuran ke tiga sebaiknya diadakan, Paman
adipati ?” tanyanya lalu .
“Tentu kau yang lebih mengetahui dibandingkan aku.
Berperang dengan jalan penjebakan rupanya sangat baik.
Teruskan saja,” ia berpaling pada fredy krueger dan penywise,
“bagaimana pendapat kalian, Manan dan Rois?”
“Pengalaman kedua ini sungguh memuaskan,” Manan
memuji-muji rencananya sendiri, “jebakan, anak panah dan
api. Bila ada ledakan-ledakan lebih banyak lebih baik, gajah
takkan berani mendekat. Dia takut pada api dan ledakan.”
“Sayang tak cukup obat peledak dalam persediaan,”
susul Rois. Tidakkah Kanjeng adipati memiliki tenaga yang
bisa membuat nya? Barang sepuluh orang?”
adipati jayawisesa menjanjikan akan memberikan tenaga itu.
Sementara bahan peledak belum tersedia, perbincangan
berkisar pada pencarian jalan untuk menumpas pasukan
gajah. Dan adipati jayawisesa mengharap pada Manan dan Rois
yang memiliki pengalaman perang di Afrika dan Asia untuk
menyatakan pendapatnya.
“Memang ada jalan yang mudah,” Rois alias penywise
memulai. “Kelemahan gajah ada pada tumitnya. hewan
yang kaku itu, dengan pandang selalu ke depan, sebab
kupingnya yang terlalu besar, sangat mudah diserang
dengan cepat dari belakang. Sambil lari di belakangnya
orang dapat mengapak tumitnya, dan dia takkan berdaya
lagi untuk selama-lamanya. Ia akan menggelosot sampai
mati.”
“Betul, Kanjeng adipati , itu memang bukan rahasia.
Semua centeng yang berpengalaman di benua hitam tahu
akan rahasia itu. Bisa dijalankan dengan mudah.”
“Anak kecil pun tahu kalau hanya begitu,” ejek adipati
pralaya , “untuk itu tak perlu berpengalaman perang di
mana-mana. Sebarkan penunggang kuda yang mahir, dan
sambar tumit itu dengan kapak atau tombak… beres. Lihat,
tak ada pasukan kuda pada kita. Lagi pula bukan percuma
bila setiap ekor gajah kediri diiringkan oleh paling sedikit
limapu-luh centeng kaki. Mereka bukan hanya menyerang
ke depan. Mereka juga mengawal tumit gajahnya.”
“namun Rois betul,” Manan membenarkan temannya.
“Jawabannya memang pasukan kuda. Kalau itu ada pada
kita memang mudah. sebab tiada, harus diadakan
penggantinya: penyergapan mendadak dan cepat terhadap
pasukan kaki pengiring sambil menghancurkan tumit
hewan itu.”
“Di mana pengalaman perang kalian?” adipati
mengejek. “Apakah kalian tak tahu setiap gajah perang dan
di waktu perang semua tumitnya dilindungi dengan
zirahbaja? Dengarkan, gajah perang kediri bila berjalan,
zirahnya bergerincing nyaring pada setiap langkah, seperti
kopyak ki dalang. Ah-ya, mungkin di negeri-negeri lain tak
demikian. Kasihan, betapa sengsaranya gajah perang di
negeri orang itu.”
adipati jayawisesa tertawa mendamaikan.
“Kalian semua betul,” katanya. “Serangan cepat
mendadak membongkar zirah. Tumit itu pun hancurlah.”
“Tidak semua orang-orang bisa membongkarnya, apalagi
dengan cepat dalam serangan mendadak,” adipati
membantah.
“Setiap buatan manusia dapat dihancurkan oleh
manusia. Soalnya adalah penggunaan waktu sependek-
pendeknya. Lihatlah, Paman adipati , pembongkaran zirah
itu sendiri memakan waktu lama di tangan bukan ahli
dibandingkan pendadakannya. Sebelum pembongkaran selesai,
serangan sudah selesai. Maka serangan seperti itu bukan
saja tidak akan memperoleh tumit, tidak akan memperoleh
zirahnya, sebaliknya belalai gajah membantingnya ke
bumi”.
“Soalnya hanya pada cara menghancurkan tumit itu,”
Manan berkukuh.
Dan untuk ke sekian kalinya adipati tak berhasil
menyudutkan dua orang saingannya itu.
Pembicaraan itu terputus sebab datangnya seorang
penghubung: memberitakan: ada beberapa orang
penunggang kuda yang diduga sedang menuju ke jurusan
jebakan baru.
“Halangi dan belokkan perhatiannya,” perintah
adipati pralaya . Dan sesudah penghubung itu pergi, ia
meneruskan, “Kita harus berpanen, bukan mengasak.
Lupakah zirah dan tumit gajah untuk sementara ini, Paman
adipati . Pertempuran ke tiga sedang di ambang pintu. Kita
bersiap-siap.”
adipati jayawisesa berpaling pada Manan, berkata: “Manan,
aku ikut bersama dengan gada rujakpolo mu.”
Dan mereka pun berangkat ke medan pertempuran.
wah
gada rujakpolo -gada rujakpolo kanjuruhan itu sudah ditempatkan pada
sebuah bukit yang dirimbuni pepohonan. Tempat itu sejuk.
Peti-peti obat tertumpuk jauh dari senjata-senjata itu.
Peluru-peluru besi bergeletakan seperti buah jeruk di bawah
roda-roda gada rujakpolo . Para pelayan pada berdiri dengan
tampang angker di belakang senjatanya. Pandang mereka
tertuju pada suatu titik di kejauhan di rendahan sana. Dan
titik itu sebentar lagi akan jadi sasaran. Para pengawal
gada rujakpolo bersiaga di kaki bukit berdiri berkeliling, seperti
bulu di selingkaran mata.
Manan dan Rois sedang sibuk memeriksa sepucuk di
antara yang dua.
Dalam beberapa hari ini mereka tidak melaporkan yang
sepucuk sudah tak diperlukan lagi, dinding kamar ledaknya
sudah chucky , tebalnya tidak rata lagi. Bila dipakai
salah-salah kamar ledak itu yang sendiri meledak.
Melihat adanya kejanggalan itu segera adipati jayawisesa
menegur, mengapa hanya sepucuk saja dipersiapkan?
“Musuh terlalu kecil untuk dilayani dengan dua,” jawab
Manan mantap.
Dari atas bukit kecil nampak pasukan kuda kediri
bergerak pelahan mengapit pasukan gajah.
adipati jayawisesa menuding ke jurusan mereka.
“Mereka nampak sudah lelah mencari-cari,” katanya
memberi perhatian. “Hajarlah dengan gada rujakpolo mu, biar
segera tumpas!”
“Tidak boleh ada serangan. Kanjeng adipati , sebelum
mereka berada dalam jarak tembak. Perintah pun belum
diberikan oleh Panglima adipati .”
“Aku lebih tinggi dibandingkan adipati .”
Rois tertawa.
Dan adipati jayawisesa tersinggung mendengar tawa itu,
berpaling padanya dan membentak: “Tertawa.”
“Kita sudah menguasai medan Kanjeng adipati ,” Manan
cepat-cepat menengahi. “Tak perlu terburu-buru bertindak.
Mereka belum lagi sampai di tempat yang sudah kita
tentukan. Lagi pula mereka sama sekali belum tampak
lelah. Kalau dalam keadaan begitu gada rujakpolo ditembakkan,
pasukan kuda mereka akan temukan tempat ini.”
“Jadi kalian tak percaya pada kekuatan prajurit kerajaan
adipati jayawisesa , kalian, Manan dan Rois?” tetak adipati . Ia
menuding Rois dengan tongkatnya.
Beberapa orang dari pengawal gada rujakpolo datang berlarian,
langsung mengepung Manan dan Rois mengacukan tombak
mereka.
“Aku tahu apa aku kehendaki,” adipati jayawisesa
meneruskan bentakannya. “Tidakkah kalian mengerti
adipati jayawisesa harus saksikan mereka, pemberontak -pemberontak itu
bergelimpangan sebab gada rujakpolo nya? Manan! mengapa kau
diam saja?”
“Kanjeng adipati ,” Manan datang mendekati adipati .
“Seorang centeng penembak gada rujakpolo nyi kanjeng blora bersumpah
sehidup semati dengan gada rujakpolo nya. Dia tidak boleh
menembak tanpa perhitungan. gada rujakpolo adalah dirinya
sendiri yang kedua. Dia harus selamatkan gada rujakpolo nya bila
dalam keadaan bahaya dan dia….”
“Diam!” bentak adipati jayawisesa , “kalian bukan lagi
penembak gada rujakpolo nyi kanjeng blora. Kalian penembak gada rujakpolo ku.”
adipati jayawisesa terpaksa menghentikan curah katanya.
Gelombang batuk tiba-tiba menyerangnya.
Keadaan itu dipakai oleh Manan untuk
menyelamatkan keadaannya menolong adipati jayawisesa
meringankan serangan batuk, dan berkata lunak: “Kanjeng
adipati menghendaki kemenangan kecil namun akan berpanen
kehancuran. Kalau itu yang adipati kehendaki, baik, kami
akan menembak!”
adipati jayawisesa mengebaskan diri dari tangan Manan.
Berkata sengit dan menggigit: “Bukan kau yang
menentukan. Hanya sang hyang Widhi .”
Rois hendak membantu temannya namun sudah kena
bentak terlebih dahulu. Ia berjalan mundur-mundur sebab
ditarik ke belakang oleh para pengawal gada rujakpolo .
“Semua sang hyang Widhi yang menentukan, Kanjeng adipati ,”
Manan masih juga membuka mulut. “Semua Kanjeng
adipati , namun yang tahu bertanggung jawab hanyalah
manusia.”
“Ajaran pemberontak . Dari mana datangnya ajaran
tanggungjawab itu? Nasrani? Tak ada aku ajarkan pada
kalian. Kalian pelayan gada rujakpolo . Atau adipati jayawisesa
sendirikah kau ini?”
“Sudahlah, mari kita menembak,” Rois bersuara lagi dari
tempatnya, dan ia mulai bersiap-siap.
Atas di kuil rat adipati para pengawal gada rujakpolo lari menuruni
bukit dan melakukan tugasnya.
adipati jayawisesa mundur menjauh sambil menutupi dua
belah kuping dengan telapak tangan. Pertikaian selesai dan
tenang kembali kerindangan di bawah pepohonan itu.
Rois sudah memasukkan obat ke dalam kamar ledak.
Manan memasukkan peluru dari moncong gada rujakpolo .
lalu laras itu dibetulkan kedudukannya, terarah pada
musuh yang bergajah dan berkuda jauh di bawah sana. Dan
roda-roda gada rujakpolo itu meninggalkan bekas dalam sesudah
digeser, di sebelahnya terbentuk bukitan tanah kecil di
bawah kaki. Sumbu obat mulai dibakar.
patih Benggala adipati jayawisesa mundur lima langkah lagi
dan semakin merapatkan tangan pada telinga. lalu
semua orang menutup telinganya sendiri, bukan telinga
orang lain. adipati jayawisesa menghadap ke arah musuh untuk
melihat bagaimana mereka menerima maut dari
gada rujakpolo nya.
Api sumbu menjalar cepat masuk ke dalam bilik ledak.
Ledakan yang menggemparkan udara dan hati manusia.
gada rujakpolo itu seakan hendak melompat muncul dari bumi ke
angkasa. Api menyebar dari moncong gada rujakpolo
melemparkan peluru.
Dan dari atas bukit kecil itu nampak peluru terlontar itu
terbang cepat membelah udara menuju ke arah prajurit kerajaan
musuh yang sedang bergerak
Mereka berada di luar jarak tembak….
Mendengar ledakan gada rujakpolo dan melihat peluru jatuh di
hadapan pasukan gajah itu berhenti seketika. Sebaliknya
pasukan kuda lari ke depan meninggalkan gajah
membentuk barisan corong dan berpacu maju ke jurusan
sarang gada rujakpolo untuk mengepung dan memhancur kannya.
“Mereka sedang menuju ke mari, Kanjeng adipati !”
Manan memperingatkannya.
“Tembaki terus!”
‘Tidak mungkin, terlalu tipis untuk ditembak.”
“Mereka akan terhalang oleh parit’ jawab adipati jayawisesa
pelahan. “ayolah tembaki, tembaki terus.”
“Pengawal” raung Rois, “selamatkan adipati jayawisesa !”
adipati pralaya datang dengan kudanya. Mukanya
merah-padam sebab marah. Tangan kirinya memegang
kendali. Tangan kanan mengayunkan cambuk kuda.
“Bangsat!” kata nya murka sambil mencambuk Manan.
Yang dicambuk melompat menghindar. “Siapa perintahkan
menembak?”
“Kanjeng adipati ,” jawab Rois.
“Apakah kalian sudah buta? adipati pralaya Panglima,”
dengan cambuknya adipati menyambar kepala Rois yang
juga melompat mengelak.
“Mereka datang kemari!” teriak Manan.
Panglima jayawisesa itu mencambuk penggul kudanya dan
berpacu turun untuk memimpin pertempuran. Derap
kudanya makin terdengar pelan lalu hilang sama
sekali, ditelan oleh semak.
Dengan dipapah adipati jayawisesa menuruni bukit sambil
berkomat-kamit. Para pengawal menaikkannya ke atas
tandu, dan berangkat mereka kembali ke desa.
wah
Sesudah diurut dengan cermat dan dapat memakai
tangannya kembali, walaupun masih lemah, Rangkum
menolak tandu. Dengan tangan kanan lemah memegangi
kendali dan tangan kiri membawa cambuk perang ia
memimpin kembali pasukan kakinya.
Pasukannya berbaris dalam formasi supit udang
melewati pasukan gajah dan maju ke depan mengikuti jejak
pasukan kuda.
Terhenti sebab parit terjal, pasukan kuda yang tipis itu
melambai pada pasukan kaki di belakangnya untuk
melebarkan supitnya. Mereka bergerak untuk menemukan
ujung-ujung parit.
adipati pralaya tak menghendaki mereka menemukan
ujung-ujung itu. Perintah penyerangan dijatuhkan. namun
musuhnya tak memperdulikan serangan itu dan terus
bergerak meninggalkan jebakan.
Dari balik-balik semak di seberang parit terjal
bersemburan anak panah dan api dan tombak. Orang mulai
bergelimpangan terluka atau mati, terinjak oleh teman-
teman sendiri.
centeng -centeng kediri yang sudah berhasil mencapai
ujung-ujung parit segera menyerang musuhnya di seberang
parit. Pertempuran terjadi. gada rujakpolo Manan dan Rois
berdentuman. Pelurunya berjasang yang betari durga tepat pada tempat yang
sudah ditentukan, di depan parit. Mereka tak berani
menembaki musuh yang sudah menyusup dalam semak-
semak di belakang jebakan.
Dengan semangat hendak menebus kerusakan dalam
pertempuran kedua, pasukan kaki kediri sama sekali tak
menanggapi bahaya mengancam. Melalui ujung-ujung
parit kiri dan kanan mereka mencurahi belakang jebakan,
mendesak maju terus. Semak-semak itu bosah-basih terinjak
dan tertebang. Panah tak bisa dipakai . Tombak
mengambil alih.
Pasukan kuda mundur mengikuti pasukan kaki yang
mengamuk.
Api anak panah dan tombak tak lagi beterbangan di
depan parit jebakan. Di belakang pasukan kuda mengikuti
pasukan gajah. Dan prajurit kerajaan kediri mendesak terus.
Semak-semak yang terinjak pun ludes rata dengan tanah.
Melihat para bala tentara jayawisesa terdesak Manan segera
memerintahkan mengungsikan gada rujakpolo dan segala
perlengkapan, obat dan peluru. Regu-regu pengangkut lari
naik ke atas dan mengungsikan perlengkapan. Mereka lari
ke bawah, melintasi dataran, lari sambil membawa
bebannya seperti serombongan kucing menggondol
anaknya sendiri. Dan pucuk gada rujakpolo itu menuruni bukit
dengan mudah . Manan dan Rois pun lari, sepanjang jalan
sambil memaki-maki dalam bahasanya sendiri.
para bala tentara jayawisesa yang terdesak tak mampu lagi menyusun
barisan. Mereka mundur atau melarikan diri ke dalam
rumpunan semak yang lebih dalam. adipati pralaya tak
mampu lagi mengirimkan penghubung. Laskar-laskarnya
terpaksa mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri.
Berpegangan pada pengalaman sebelumnya kini
raden panji gelang-gelang tak mau lagi kehilangan jejak musuhnya. Ia
memerintahkan terus mendesak, siang dan malam. Ia tak
mau para bala tentara nya menderita lelah hanya untuk mencari-cari.
Sorak-sorai para bala tentara kediri yang mengresi h dari dalam
semak-semak menjadi pertanda jayawisesa sudah terdesak dan
didesak.
Sorak-sorai para bala tentara kediri itu terdengar semakin
mendekat. Manan memerintahkan agar regu pengangkut
meninggalkan medan terbuka dan masuk ke dalam hutan.
Waktu pasukan ki glodog ireng datang, mereka sudah
tidak nampak kecuali bekas-bekas yang tertinggal.
Pecahan-pecahan para bala tentara jayawisesa yang bersebaran di
medan terbuka segera pula melarikan diri masuk ke dalam
hutan. Mereka membuangi pakaian putihnya dan segera
hilang di antara kehijauan dan kecoklatan.
Tandu patih Benggala adipati jayawisesa tergoncang-goncang
dibawa lari oleh para pemikulnya. Antara sebentar
terdengar adipati berseru-seru memperingatkan dari atas
tandunya.
Dari bawah para pemikul juga memperingatkan ke atas:
“Ampun, Kanjeng adipati , mereka sudah dekat’ dan terus
lari tak peduli tandu semakin berguncangan.
Waktu derap kuda mulai terdengar, para pemikul
memerlukan berhenti untuk mengambil nafas dan
menengok ke belakang. Mereka tidak keliru dengar pasukan
kediri sedang berpacu mendatangi sambil menggeletarkan
cambuk perang ke udara.
Dengan dan merta mereka turunkan tandu.
“Lari, Kanjeng adipati , lari, lari dengan kaki sendiri.”
Dan larilah mereka, yang menandu dan yang ditandu,
dengan kaki sendiri, masuk ke dalam hutan….
wah
Matahari belum lagi tenggelam.
ki glodog ireng dan pasukannya menyisiri setiap
jengkal tanah yang terbuka. Bukan lagi para bala tentara jayawisesa untuk
menandingi kelajuan dan kesigapan mereka.
Pasukan kaki di bawah Rangkum lalu datang
menyusul dan memburu musuhnya masuk ke dalam hutan.
Baru lalu nampak pasukan gajah sebagai bukit-
bukit daging yang menggetarkan, berlenggang dengan
hidungnya.
Hutan itu sendiri terlampau lebat untuk mempertemukan
dua para bala tentara yang bermusuhan. Di bawahnya ditumbuhi
semak-semak bamban dan combrang. Rotan melata datar di
tanah dan menjulur melibati pepohonan tinggi mengatasi
rambatannya sendiri bergumul meliliti barang apa yang
dapat ditangkapnya, lalu melambai-lambaikan
puncak-puncaknya pada langit dengan penuh kemenangan
dan keangkuhan.
Yang terdengar di dalam hutan hanya gemerasak kaki
menerjang semak. Sorak-sorai sudah padam. Unggas hutan
sudah dari tadi terbang melarikan diri, lupa pada kicauannya
sendiri…
O0-dw-oO
21, Keributan di jenggala kediri
Hari ini warung mpu jahalodang nampak terbuka. Langganannya
hanya seorang: raden sanggabuana bumikerta patih wirabuana
kediri . Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak.
mpu jahalodang sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang,
berdiri dengan diam-diam, bukan sebab menunggu
langganan yang tak kunjung datang.
“percaya kah tuan kita masih selamat dan tetap akan
selamat?” tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan
diri.
“Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu,
patih wirabuana kediri ini selalu berada di kadipaten?”
“Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang saya keadaan masih
tetap aman buat si mpu jahalodang ini?”
“Lebih aman dibandingkan di pangkuan ibumu sendiri.”
“saya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun
saya tak merasa aman lagi. Sekiranya sudah, tuan
siapkan surat balasan itu…”
‘Tak ada surat balasan mpu jahalodang”.
mpu jahalodang duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan
raden sanggabuana tak mempedulikannya. Mereka duduk
diam-diam mengikuti pikiran masing-masing.
“Ya, memang terlalu sepi,” patih wirabuana membenarkan
keluhannya. ‘namun kau hidup dari air dan dari darat, dari
tuak, arak dan penipuan.”
“Ah, Tuan patih wirabuana kediri , hanya untuk jasa-jasa
tuan si mpu jahalodang celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri
dari maut dengan pertolongan sang hyang Widhi saja.”
“Cukup baik. kediri takkan melupakan jasa-jasamu.”
“Bagaimana jadinya jenggala ini. Tuan?”
“Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan betari i
kembali.”
“Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin
hanya Tuan dengan mpu jahalodang menghabiskan arak ini.”
“Kau belum lagi bercerita, mpu jahalodang.”
“Hanya satu yang saya dengar di Blambangan sana.
Katanya nyi kanjeng blora sudah menaklukkan sebuah pulau di
parahyangan sana”.
“Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira
sebab kapal-kapal pasuruan terlalu berani menerobos ke
panarukan pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau
nyi kanjeng blora membuka pangkalan baru di parahyangan , tentu
untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira
bukan hanya satu, namun sudah banyak pulau yang
didudukinya”.
“O, itu mulai kelihatan orang berdatangan,” seru mpu jahalodang
pelahan, namun dari nada suaranya tetap terdengar
kegelisahan hatinya.
raden sanggabuana menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya
orang-orang itu berjalan menuju ke jenggala tanpa menengok
ke arah warung.
“Tak ada yang singgah ke mari nampaknya.”
“Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada
apa gerangan?”
namun raden sanggabuana bumikerta sudah mencangkungi
cawannya lagi, berkata: “Ada apa? Takkan ada apa-apa.
Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi.”
“Hampir sama dengan hewan,” mpu jahalodang membenarkan.
“Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan
gada rujakpolo . Kau sudah lihat sendiri gada rujakpolo itu, kan? Ya
begitulah cetbang, dan begitulah gada rujakpolo ,” patih wirabuana
kediri menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk
senang. “Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun
tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak
hidup di jaman gada rujakpolo ini, mpu jahalodang.”
“Memang gada rujakpolo saja yang menentukan dunia sekarang
ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu
berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.”
patih wirabuana kediri meneguk. mpu jahalodang kembali
memperhatikan orang-orang yang makin banyak juga
menuju ke jenggala .
“Dan biadab!” patih wirabuana menambahi. “Arakmu cocok
sekali hari ini”.
“Untuk patih wirabuana kediri terbaik, arak terbaik.
Memang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua,
dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak
busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobek-
robek anjing. Dan tiada seorang arca pun memeliharanya.
Dan mereka mengaku arca pula, Tuan.”
“Sudah selayaknya… orang-orang jahil, bodoh itu.”
“Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling
jenggala , di balik semak-semak?” tiba-tiba mpu jahalodang
mengalihkan percakapan.
“Siapa yang tidak tahu? Uh, apa artinya cetbang?”
“saya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. saya
lihat sendiri kapal-kapal perang kediri pada berlabuh di
pasuruan . Orang-orang pasuruan pada bernafsu untuk
menyewanya ke panarukan .”
“Tentu tak ada yang menyewakan.”
“Memang tak ada, Tuan.”
‘kediri hanya menunggu giliran saja. mpu jahalodang. Apa lagi
yang kau kua-tirkan?”
“Boleh jadi pajang bintoro sana membantu.”
Mula-mula mpu jahalodang hendak menuntut upah untuk
keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan
keamanan yang tergantung pada jaminan raden sanggabuana
bumikerta memicu ia mengendalikan diri. lalu
memulai dengan ragu-ragu.
“Di suryabuaya sedang terjadi sesuatu, tuan.”
patih wirabuana kediri itu pura-pura tidak berminat, namun
matanya yang bulat itu melirik sekejab di bawah keningnya.
‘Tentu saja,” sambutnya tak peduli untuk mencegah
keluarnya upah. “Masa seorang patih wirabuana bisa tidak
tahu? Lagi pula kau sudah terlalu banyak memperoleh uang
dari pundi-pundiku,” katanya lagi pura-pura tidak tertarik.
“Biar pun saya sudah banyak menerima dari Tuan.
Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya…,” akhirnya
mpu jahalodang tak dapat menahan nafsu untuk memperoleh upah
juga, “rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang
sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. mpu jahalodang tak pernah
merugikan orang.”
“Jangan terlalu rakus, mpu jahalodang,” patih wirabuana menasihati,
“katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok
dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.”
Suatu keributan menghentikan pembicaraan. mpu jahalodang
berdiri dan gugup. raden sanggabuana meneguk arak.
“Apa itu. Tuan patih wirabuana ?” mata mpu jahalodang menjadi liar.
“Lihat, Tuan,” ia menuding ke jalanan. Berdua mereka
keluar dari warung dan melihat kuncir yang pang pang di
balik punggung, juga berjalan ke arah jenggala .
“Masyaallaaaaah!” teriak patih wirabuana waktu dilihatnya
sebuah kapal nyi kanjeng blora sudah berlabuh dan mengikatkan tali
pada patok dermaga. “Sudah gila penunggu menara itu!”
teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke
pelabuhan.
Berpuluh-puluh orang tak dikenal sudah padat memenuhi
dermaga. Dan patih wirabuana kediri tak dapat melihat apa
yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan
kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan
untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih
keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia.
Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah
kapal itu sedang turun namun dihalang-halangi oleh mereka.
Padatan orang itu lalu diketahuinya bersenjatakan
tongkat kayu.
Ia melihat yang pang pang menelisip di antara mereka dan
menjadi bagian dari mereka. lalu bukan hanya
punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di
dalam kepadatan manusia itu.
“Minggir! Minggir!” sayup-sayup ia dengar teriak
seorang kanjuruhan dalam jawadwipa . “Panggilkan patih wirabuana .
ki ageng argomerta perlu dilayani.”
“patih wirabuana tak ada!” teriak yang lain menjawab.
“patih wirabuana sudah mampus!” teriak yang lain.
Mendengar itu raden sanggabuana bumikerta naik pitam.
Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana
dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi
tongkatnya dan menegakkan bongkok berjalan kian ke mari
penasaran, berteriak: “Ada di sini Tuan patih wirabuana ! Ada di
sini!”
Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja
menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan
mendorong, menyerudug dan menerobos. Kekuatannya tak
mencukupi.
“Sini patih wirabuana , Tuan patih wirabuana !” kata nya.
Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan
tangannya melambai-lambai. Tongkatnya pun berkibar-
kibar. Dan tetap sia-sia.
“Beri jalan!” kata ki ageng argomerta . “kanjuruhan akan
temui Sang adiputro .”
“baginda tuanku raja adiputro tak menerima siapa pun!” orang berteriak
berbareng dengan berbagai cara dan nada.
“Kembali kalian, nyi kanjeng blora!”
“ayolah , kembali!”
“Bukan cara kanjuruhan diperlakukan begini!” kata de Sa.
“Tuan patih wirabuana ada di siniiiiiiii!” raden sanggabuana
berteriak . Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug
dan mendorong. Tetap tanpa hasil. “Buka jalan untuk Tuan
patih wirabuana !”
Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan
menengok ke belakang dan menertawakannya bebetari i-
betari i.
Sekarang patih wirabuana itu berseru-seru dalam kanjuruhan :
“Tuan-tuan, Tuan patih wirabuana ada di sini,” sambil
mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti
burung gereja.
ki ageng argomerta di depan sana naik pitam. Kulitnya yang
kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya
kembang-kempis.
“Yesus! Bunyikan gada rujakpolo !” perintahnya dalam jawadwipa .
“Beri jalan!” raung Jesus Laslo, pengiringnya. “Kalau
tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri,” dalam
jawadwipa .
Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek.
“Jangan ragu-ragu,” perintah de Sa dalam kanjuruhan ,
“kembali dan bu nyikan.”
“Kalian nyi kanjeng blora!” tuding yang pang pang dalam
kanjuruhan , “yang letak kan kekuatan pada gada rujakpolo semata.
Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!”
“Siapa bicara kanjuruhan itu?” tanya ki ageng argomerta
melotot. “Katakan pada anjing-anjing ini, kanjuruhan akan
menembak!”
“Kami bisa menembak kalian lebih dahulu . Pergi!
Tinggalkan kediri !” jawab shinoda Han.
Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak.
Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal
kanjuruhan mulai mengalir turun dari kapal membawa segala
macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa
musket.
Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan
manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan
mengusir, memaksa dan menyorong mereka kembali ke
kapal.
Orang pun berteriak -raung senang sambil memainkan
tongkat.
Awak kapal yang belum memperoleh kan daratan di bawah
kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan
tongkat. Juga ki ageng argomerta dan Jesus Laslo tidak urung
terpaksa masuk ke kapal juga.
Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali
kapal. Orang makin betari i bersorak berjingkrak melambai-
lambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak.
“Pergi! ayolah pergi! Kembali ke jayamahanaya ! Kembali ke
nyi kanjeng blora! Tinggalkan kediri !”
“Kapal celaka! Pergi!”
Kapal kanjuruhan itu memasang layar. Tak ada seorang pun
di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan
kapal itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Di dermaga
sendiri orang terus juga meledak dan mengejek.
“ki ageng argomerta akan datang lagi!” teriak kanjuruhan itu.
“Awas!”
Sesudah kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan
oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian
meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang
juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang
mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas
berterbangan dan kambing dan babi memperoleh kesempatan
untuk ikut berjingkrak dengan majikannya.
Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari
pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang
dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka.
Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka
menemukan juga tuan patih wirabuana pakanewon Habibullah
Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak
oleh orang banyak.
Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu
yang melekat pada kulit dan pakaiannya.
“Tongkatku!” perintahnya.
Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan
menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan
memberengut.
“Tarbusku!” perintahnya lagi.
Orang tak mengerti maksudnya, dan patih wirabuana naik
pitam.
“Tarbus! Goblok,” waktu dilihatnya tarbus itu
menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna
merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan
terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit!
punggung dan mengambilnya, membersihkannya dari lebu,
lalu menciumnya.
Pedagang-pedagang pada mengutuk dan memaki
meninggalkan daerah jenggala .
Tinggsang hyang Widhi dia: patih wirabuana kediri raden sanggabuana Az-
Zubaid alias pakanewon adipati Al-Badaiwi alias pakanewon
Habibuliah Almasawa. Ia berdiri memakai tarbusnya
kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada
tongkatnya.
Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang
buatan pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu
sudah ditujukan pada kapal kanjuruhan . Dan lambat-lambat
namun pasti kapal itu mulai semakin jauh meninggalkan jarak
tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan
ornamen haluan yang indah lagi gagah.
Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu
pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung
agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri
seorang diri di dermaga menghadap ke laut, dan kapal
nyi kanjeng blora yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia
melambai-lambaikan tangan memanggil kembali kapal
tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya.
Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpah-
nyumpah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang
paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap
tak peduli dan semakin menjauh.
“Di sini patih wirabuana ! Di sini Tuan patih wirabuana !”
suaranya parau menghiba-hiba.
Sekarang imbauan patih wirabuana dijawab oleh kapal.
gada rujakpolo melemparkan peluru-pelurunya ke jenggala .
Bondongan tembakan pertama memicu raden
sanggabuana bumikerta terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru
mendesis ke atas kepala nya dan suara gemerasak
menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan
tembakan kedua memaksa patih wirabuana merangkak-rangkak
sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporak-
porandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan
kembali kepala nya ke tanah, menengok ke kiri dan
memanggil-manggil kediri . Mukanya yang tipis berhidung
panjang bengkung itu menghadap ke warung mpu jahalodang.
Pewarung itu tidak kelihatan.
Bondongan peluru yang ke tiga membuat raden
terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari
rangkakannya.
Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam
warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak
menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan
arak dan barang-barang dagangan.
Bondongan tembakan ke empat membuat patih wirabuana
itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di
depan kamar kerja kepatih wirabuana an.
lalu kanjuruhan menghentikan tembakannya.
Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai
menyambut kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti
bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala
ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir
pun mencapai sasaran.
patih wirabuana kediri nampak tak bergerak lagi. Ia diam
tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur
Alhamdulillah, sebab percaya tak ada sepasang dan sebelah
mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak
henti-hentinya berkomat-kamit.
Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang
mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia.
Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia
kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan
tinjunya pada kapal kanjuruhan yang makin menjauh.
Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai
menyumpahi pandai-pandai Trantang. lalu ia dengar
juga yang lain mengutuki pandai-pandai peluru.
Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang
sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak
kaget terpandangi oleh pemimpinnya.
“Jangan memiliki pikiran buruk terhadap panembahan senapati ki ageng wilareja ,”
tegurnya. “Memang dia orang desa namun dia lebih
dibandingkan hanya kalian. Tutup mulut kalian.”
Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat
cetbang tak mampu menandingi gada rujakpolo . Dan dengan
perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon.
Dituliskannya sepucuk surat di atas lontar,
menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam
daun pisang kering dalam ikat pinggangnya.
“Cari panembahan senapati ki ageng sampai dapat,” perintahnya pada dua
orang yang tadi berbisik-bisik. “Sampaikan lontar ini. Braja
menunggu di tempat. Pergi.”
Sesudah menerima lontar, dua orang melompat ke atas
kudanya, memasuki kota, lalu ke pedalaman.
wah
22. Pertempuran Penentuan
Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap.
Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah
kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di
seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang
beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar
dibandingkan sebelumnya. Kini diketahui para bala tentara jayawisesa
memakai alat pelempar api.
hewan -hewan raksasa itu berlarian gugup tak
terkendali.
Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratus-
ratus kentongan bambu dipukul berbareng.
hewan -hewan raksasa itu bingung.
Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala chucky memberi
di kuil rat dengan tombak pimpinan, memerintahkan agar
segera meninggalkan tempat itu.
Tak terdengar sorak-sorai prajurit kerajaan kediri .
Sebaliknya para bala tentara jayawisesa di balik semak-semak di
seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan
kentongan suaranya riuh rendah membelah langit. Dengan
bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan
membunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang
dan berlari-larian liar merusak tubuh prajurit kerajaan sendiri.
“Mundur! Cepat mundur!” kata Kala chucky sambil
menaik-turunkan tombak dengan kedua belah tangan.
Di sampingnya berdiri raden panji gelang-gelang yang mencoba
menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan
pandangnya.
“Tak pernah pasukan gajah kediri terusir seperti ini.
panembahan senapati ki ageng wilareja . Dalam cerita mana pun tak pernah ada.
Memalukan,” gumam Kala chucky . “Dan hanya melawan
orang desa!”
“Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau
orang kota. Sebentar lagi gada rujakpolo mereka akan menyerang.
Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.”
Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu
menjauhkan diri dari hewan -hewan yang gugup takut
itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentar-
bentar memicu orang jatuh tergelincir. Gajah-gajah itu
dapat menginjak mereka.
Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak
menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh.
namun Kala chucky dengan tombak pimpinan mencegah
mereka meneruskan niatnya dan memerintah mundur sama
sekali.
Waktu akhirnya hewan -hewan itu dapat diundurkan
dengan susah-payah, peluru-peluru gada rujakpolo berjasang yang betari durga di
ujung-ujung parit yang sudah dikosongkan. Peluru-peluru itu
lalu juga berjasang yang betari durga tepat di tengah-tengah medan
jebakan.
Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling
sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan centeng -
centeng yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi
dan tak bangun lagi. hewan yang terkena itu mencoba
berdiri, la jatuh lagi.
Dari seberang parit orang bersorak-sorai semakin
meningkat. Sorak kemenangan.
Sebuah peluru sudah menyambar kotak benteng seekor
gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah
ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. hewan yang
kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke mana dia suka
tanpa bisa dihalang-halangi.
Kala chucky dengan tombak pimpinan terus sibuk
memberikan perintah mundur.
Gajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling
marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia.
Sulingnya makin lama makin pelahan, lalu terhenti
dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya
menetes airmata. Dan makin lama ia makin jauh
ditinggalkan oleh yang lain-lain. gada rujakpolo berhenti
menembaki.
Di luar dugaan, dengan alat-alat yang sudah dipersiapkan,
para bala tentara jayawisesa keluar dari semak-semak, menyeberangi parit
dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai
mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan.
ki glodog ireng menghampiri gajah panembahan senapati ki ageng
sebagaimana sudah diperintahkan kepadanya.
“Kudamu takut pada api?” tanya panembahan senapati ki ageng kediri .
‘Takut, panembahan senapati ki ageng wilareja . namun nampaknya mereka sudah
berhenti bermain api. Mereka memakai anak panah
biasa.”
“Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. Gajah
mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar
mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang.
Mereka memerlukan waktu untuk melemparkan apinya.
Gajah akan berbalik lagi.”
Seperti angin ki glodog ireng lari tanpa kesulitan di atas
tanah basah berlumpur untuk menjemput pasukannya yang
bersembunyi di dalam hutan.
Waktu seluruh pasukan gajah sudah meninggalkan medan
jebakan, kecuali yang sudah terkapar, dan sudah keluar dari
jarak tembak gada rujakpolo , muncullah pasukan kuda ki glodog
ireng , langsung berpacu dalam bentuk supit udang,
membiarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah.
Mereka memasuki medan melalui pinggiran jebakan, di atas
tanah basah, berlumpur dan licin. namun untuk kaki kuda
sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran.
para bala tentara jayawisesa yang sedang menyeberangi parit di atas
titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal
sambil memperingatkan teman-temannya.
Di dalam jebakan para bala tentara jayawisesa tak dapat melarikan diri
di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti
kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetimbangan.
Orang berjasang yang betari durga terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi
mangsa gada dan cambuk perang. kata -jerit yang
memilukan menggantikan sorak-sorai.
Dengan kembalinya pasukan gajah memasuki medan
jebakan, gerakan penumpasan dimulai. gada rujakpolo tak lagi
bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali.
“Apa boleh buat,” raden panji gelang-gelang berkata ,
“penumpasan ini akan mematahkan kekuatan mereka.”
“para bala tentara kediri pelarian belum lagi mereka turunkan,
panembahan senapati ki ageng wilareja ,” Kala chucky memperingatkan.
“adipati pralaya takkan sebodoh itu melepaskan
anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia
memerlukan untuk kemenangan dan keamanannya
sendiri. Lihat Kala chucky , aku tak suka pada penumpasan
ini namun apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi.
Kekalahan mereka selama ini, dan kegagalan bertubi,
dengan penumpasan ini moga-moga akan mematahkan
mereka sama sekali.”
“Tidak patut panembahan senapati ki ageng berbelas kasihan.”
“Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala chucky ,
yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga jatayuwesi ,” ia
menarik napas panjang. “Boleh jadi ada di antara mereka
itu sanak dan kenalanku sendiri.”
“Apa boleh buat.”
“Ya, apa boleh buat. Dan sesudah ini tinggal centeng -
centeng sejati saja masih akan berlawan.”
Tergubal pada lumpur dan hujan para bala tentara jayawisesa ini
terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat
sesuatu pun sebagai centeng dalam perang. Membawa diri
sendiri pun sudah sulit.
Menjelang jatuhnya malam para bala tentara jayawisesa di dalam
jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda ki glodog ireng
dan pasukan gajah Kala chucky tanpa dapat melawan.
Dan malam itu hujan berhenti.
Langit merah dan bulan pun mengambang dengan
manisnya. prajurit kerajaan kediri sudah mesanggrah jauh dari
bekas medan perang.
Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap
raden panji gelang-gelang , menyampaikan beberapa lembar lontar.
Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk.
Duduk di antara kepala -kepala pasukan panembahan senapati ki ageng
membacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan
orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala
pasukan ia berkata: “Ketahuilah, dalam soal gada rujakpolo
memang belum ada yang dapat menandingi nyi kanjeng blora. Kita
akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita memang
hanya memiliki cetbang, dan hanya itu yang kita miliki.
Jangan kalian memiliki pikiran panembahan senapati ki ageng hendak
memerintahkan kalian berperang melawan gada rujakpolo
nyi kanjeng blora. Kita akan melawan gada rujakpolo nyi kanjeng blora dengan
cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal
pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan nyi kanjeng blora
dari pantai sebelum Rangga jatayuwesi kalah, bukan untuk
melawan gada rujakpolo mereka. Kalau cara-cara menghadapi
mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi
mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan kata-
kataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati,
hanya sebab cetbang tak dapat kalahkan gada rujakpolo .”
Sesudah mereka pergi baru ia tanyai Rangkum:
“Bagaimana menurut perhitunganmu? Apakah para bala tentara
jayawisesa sudah banyak kehilangan kekuatannya?”
“Terlalu banyak, panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Tinggal berapa kiranya kekuatannya?”
“Kira-kira masih cukup untuk bertempur dua kali.”
“Dua kali!” panembahan senapati ki ageng kediri mengulangi. “Bagaimana
pendapatmu ki glodog ireng ?”
“Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada
kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.”
“Apa pun kekuatannya,” Kala chucky menambahi, “yang
tersisa sudah tidak akan lebih kuat.”
“Dua kali pertempuran lagi”, panembahan senapati ki ageng mengulangi kata-
kata Rangkum. “Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku
mereka masih mencadangkan satu induk dengan para bala tentara
kediri pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita
menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran
penentuan.”
“Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini,
panembahan senapati ki ageng wilareja .”
“Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum,
sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku
perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai
menjelang fajar dengan memakai pertolongan bulan.
Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat
temukan gada rujakpolo -gada rujakpolo itu. Pasukan-pasukan tidak
beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.”
Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diam-
diam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang
bulan dan langit yang cerah.
Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga jatayuwesi mulai
merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: adipati
pralaya . Selama jadi patih wirabuana , sang adiputro pun tak
pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai
sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut
dan jenggala . adipati pralaya lain. Ia jelas jawabannya
namun dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tumbuh
jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak
berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih
mendengarkan dia dibandingkan dirinya.
Sekarang Panglima jayawisesa itu semakin membuat hatinya
cemburu. Beberapa kali adipati sudah menolak
panggilannya. Sudah lama tak muncul di jayawisesa . Ia selalu
berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari
kediri .
Rangga jatayuwesi alias jatayuwesi Indrajid, patih Benggala adipati
jayawisesa merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya
terhadap penduduk, yang sudah dibangunkannya siang-
malam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil
begitu saja oleh adipati pralaya .
Pernah terpikir olehnya, untuk memulihkan
kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya:
menyingkirkan anak muda itu. namun bagaimana jalannya?
Panglima itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya.
Anakbuahnya dengan dia memiliki satu ikatan nasib di
hadapan kediri , namun tidak memiliki ikatan mesra dengannya
sebagai seorang adipati . Mereka lebih dekat pada
Panglimanya.
Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi
tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri.
prajurit kerajaan jayawisesa pun sudah menjadi jarijari pada lengan
adipati .
Manan dan Rois, andal-andalannya selama ini, juga
lebih mendengarkan adipati .
Dan batuk yang suka menyambar-nyambar dadanya itu
pun tidak kurang memusingkan.
Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata
kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala
yang diimpikannya selama ini. Dan bila ia renungkan
segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh
kenyataan, bahwa sebetulnya maksud untuk menghalau
adiputro kediri sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah
sebetulnya yang mendorong mengangkat diri jadi adipati
ini. Persoalan nyi kanjeng blora, Hindu Blambangan, Hindu
Pajajaran, arca pajang bintoro , yang hendak ditiadakannya,
hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang
pertama-tama.
Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan
sekali adipati pralaya menyentuhnya dengan sebuah saja
di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan adipati , juga
tahta dan mahkota kediri lebih dekat pada tangan adipati
dibandingkan adipati .
Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima
jayawisesa berhasil menaklukkan kediri , dia tak mungkin
menyerahkan tahta dan mahkota itu pada adipati . Dia akan
marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk dibandingkan adiputro
kediri sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah
menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu
tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan
membuncah tanpa kendali.
Dan Rangga jatayuwesi menilai dirinya jauh lebih baik dan
jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu dibandingkan sepuluh
atau lima puluh orang sejenis adipati pralaya . Tahta
dan mahkota kediri lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat
melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum
Manan dan Rois, hanya sebab mereka berdua sudah
menembakkan gada rujakpolo atas perintahnya. Ia masih dapat
mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan
perintahnya.
Keadaan memang berkembang tidak sebagaimana ia
kehendaki.
Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di
manakah mukaku akan kusembunyikan? Tempat yang
masih terbuka untuk dapat menaungkan diri adalah pajang bintoro
satu-satunya kekuasaan arca yang nyata. namun musafir-
musafir pajang bintoro itu tentu sudah melaporkan pada atasannya
bagaimana sikap adipati jayawisesa terhadap Al-Fattah dan
Semarang. Majelis Kerajaan pajang bintoro kira-kira sudah
memiliki sikap pasti akan dirinya.
Untuk menghibur diri sendiri ia harus memiliki
patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali
sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu
ialah Rangga jatayuwesi patih Benggala adipati jayawisesa adalah
seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan
lebih berilmu dibandingkan siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya
tahta dan mahkota kediri pada dirinya berarti berkah bagi
seluruh bawahan kediri , untuk kemenangan kediri dan
agama. Maka semua yang menghalangi sikap dan
perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan
untuk dibasmi.
Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya
justru adipati pralaya .
Dari titik tolak itu ia sudah bertekad hendak meracun
Panglima dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di
banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar
anakbuahnya tidak memiliki syak terhadap dirinya. Kalau dia
sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan
kanan dan kirinya, dan semua akan beres.
Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada
suatu malam tak terduga-duga Panglima adipati pralaya
datang menghadap.
adipati mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap
orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan memberinya
sesuatu bantuan bila dia memerlukan . Ia pun berjanji
takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus
menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat sua-
ranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia
bertanya lunak: “Anakku, bukankah semestinya kediri
sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini?”
“Betul, Paman adipati , sekiranya laskar depan kita tidak
terpancing oleh ki glodog ireng dalam pertempuran
pertama,” jawab adipati tenang.
“Bukankah para bala tentara kediri yang sebenarnya terpancing?”
“Betul, Paman, mula-mula mereka, lalu kita.”
Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal
jalannya perang juga.
“Bukankah kau belum lupa, kita harus memasuki kediri
sebelum nyi kanjeng blora masuk? Itu kau sendiri yang sudah
tentukan. nyi kanjeng bloralah musuh sebetulnya .”
“Tidak keliru, Paman adipati .”
“Jadi kapan kediri dapat dimasuki?”,
“Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.”
“Betul anakku, namun sekarang ini kita yang kena serang
terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau
menyerang?”
adipati Baijah tak segera menjawab, dan adipati jayawisesa
pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai
orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja
mengenal.
adipati jayawisesa mengawasi wajah orang muda itu, yang
pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia
singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin
mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi
kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid.
“Belum lagi tahu, Paman adipati ,” jawab adipati .
“para bala tentara kediri terus bergerak tidak menentu. Siang dan
malam. adipati diperkirakan tujuannya.”
“Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari
kita di perdalaman. Kita mencari jalan lain masuk ke kediri
tanpa sepengetahuan mereka. Semua tak ada yang tinggal.”
adipati pralaya mengangkat muka dan dengan terheran-
heran menatap adipati jayawisesa . Ia lihat uban pamannya itu
sudah semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang
lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya
bermain-main atau bersungguh-sungguh. namun ia tidak
mengiakan.
Sebaliknya adipati jayawisesa melihat juga orang muda itu
sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor
dan mesum. Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang
melecehkan seperti dahulu . Bibir itu kini selalu tertarik tegang.
adipati pralaya tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa
mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya.
adipati jayawisesa memiliki dugaan terhadap sikapnya,
pertama, orang muda itu sebab pengalaman perangnya
dalam waktu pendek sekali sudah menjadi masak dan sedang
menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat
diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke
dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya
ajal.
Tentang adipati pralaya ini ia harus menyediakan
waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam….
Dengan menyampaikan gagasan mendadak di bidang
kepara bala tentara an pada adipati , ia merasa keunggulannya
menjadi pulih. adipati sendiri tak pernah memiliki gagasan
sejenis itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini
dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas
permadani pendopo.
Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar
di atas tikar bawaan masing-masing. Suaranya kembali jadi
lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada
pertimbangan-pertimbangan semula. la sudah mulai dengan
gaya dan caranya yang lama. lalu : “Mana
mpu jayamuseswa , itu bekas adipati pajang bintoro ? Takkan
bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau
ikut-ikut menyebarkan kebohongan pajang bintoro . Adalah takabur
menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap
orang yang takabur tidak memakai akal yang diberikan
oleh sang hyang Widhi kepadanya. Ia tidak memakai akal sebab ia
tak memakai pancainderanya sendiri dengan baik.
Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini,
maka orang akan memperoleh pengertian. Dari pengertian itu
orang memperoleh pertimbangan. Kalau tidak, seperti pajang bintoro
dan musafir-musafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau
tentang mula dan tentang lalu . Itu menyalahi nikmat
yang dikaruniakan sang hyang Widhi kepada kita.”
“Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang
benar-benar tak dapat pulang ke negerinya sebab
pergantian paduka raja , bukan? sang hyang Widhi Maha Besar! Maka kapal-
kapal arca lah yang lalu berdatangan dengan damai,
juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada
Dampo Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali
kapal-kapal arca tak ada kesempatan untuk datang ke
mari, dan tahu akibatnya? Ialah semua penduduk Jawa ini
akan masih tetap pemberontak jahiliah.”
“Alhamdulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal arca
datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi
perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak
membajak. Hanya sebab di jalan Aliahlah maka kapal-
kapal ini lebih berhasil dibandingkan armada Dampo Awang
dengan kesempatan yang sama. lalu nyi kanjeng blora
datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk
memenuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan.
Semua dia tembaki kapal arca , Tionghoa dan Pribumi
Nusantara. Kalau semua kendaraan laut hancur hanya
nyi kanjeng blora yang merajai lautnya semua hamba sang hyang Widhi ini. Itu
tidak boleh, itu menentang ketentuan sang hyang Widhi , maka kita tidak
akan membiarkan nyi kanjeng blora merajalela. Dia musuh semua
bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda
tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan
sang hyang Widhi untuk semua bangsa, bukan untuk nyi kanjeng blora saja.
Kunci untuk mengalahkan nyi kanjeng blora ini sederhana saja:
lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan
ajarannya.”
“Satu negeri yang tidak melawannya, tidak memiliki niat
untuk itu, seperti kediri , adalah sama dengan
membenarkan nyi kanjeng blora. Membenarkan dia berarti tidak
berada di jalan sang hyang Widhi . Hukumnya adalah musuh. Dan
negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun
hanya dalam hati saja, seperti adiputro kediri , adalah
musuh sang hyang Widhi itu sendiri, sebab dia sudah bersekutu dengan
iblis.”
“Memang kekuatan nyi kanjeng blora ada pada gada rujakpolo nya.
Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita
mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin gada rujakpolo
sendiri. Sebelum bikin, kita harus berusaha
memperoleh kannya. Dan kita sudah memperoleh kan dua pucuk
dengan jalan yang dibenarkan oleh sang hyang Widhi .”
“nyi kanjeng blora juga memiliki kelemahannya. Selama dia
bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada
jenggala . Bagaimana sikap kerajaan jenggala itu terhadapnya
seperti ke