ernisasi universitas-universitas dan menciptakan birokrasi
modern untuk mengatur negara. Wanita dilarang memakai kent-
dung. Di reheran dan kota-kota lain, budaya Barat mulai hrmbuh
snbtrr, tidak hany a Coco-Cola dan film-film Barat, tetapi juga diskotek-diskotek, majalah-majalah yang memuat gambar wanita setengah telanjang, dan bar-bar unhlk kaum gay. Hal semacam ihr,
bukanlah Islam yang diinginkan para mullah, sehingga mereka menyebtrt pemerintahan Shah sebagai "pemerintahan setan', (n sntnnic
nile).32
Kini, pergulatan pemikiran ini masih terus berlanjut. ,pemaksaan' terhadap kaum muslim untuk tetap memeluk paham sekular
masih terjadi di mana-mana. Kaum Muslim tidak selayaknya menyalahkan Barat. Namun, kaum Muslim perlu memahami fenomena
sekularisasi dengan baik. sebagai peradaban yang sedang berkuasa,
bisa dipahami Barat berusaha memaksakan ideologinya. Mereka yakin, pandangan dan jalan hidupnya yaitu baik unhrk umat manusia, sehingga mereka menyebarkan bahkan memaksakan kepada
umat manusia. "sekularisasi" memang tidak sepenuhnya buruk. Aspek-aspek "penghilangan tahayul, mistik, khurafat" juga mempakan
bagian dari upaya sekularisasi. Namun, sekularisasi tidak berhenti
sampai di situ. semua hal-hal yang bersifat metafisika dan ajaranajaran agama yang dianggap bertentangan dengan pertimbangan
rasio juga dibuang.
Tanpa perlu menyebut "syahahat" sebagai proses sekularisasi,
kaum Muslim sejak dulu sudah melakukan penolakan terhadap
hrhan-hrhan yang tidak pantas disembah umat manusia. Di zaman
globalisasi saat ini, dimana sekularisasi dan pluralisme menjadi
bagian integrahrya, maka tantangan yang dihadapi kaum Muslim
juga tidak ringan. Apalagi, setiap upaya kaum Muslim unhrk menerapkan ajaran agamanya bisa dianggap sebagai bagian dari upayzr
perongrongan hegemoni peradaban Barat.
Lebih berat lagi, kini sudah begihr banyak cendekiawan dari
kalangan Muslim yang menggunakan berbagai logika dan dalil
agama, tmtuk menyebarkan sekularisasi, dan membenci karrm
Muslim yang ingin menerapkan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Ada yang melakukannya sekadar untuk mencari simpati
dari Barat, ada yang melakukannya karena pertimbangan finansial,tapi ada juga melakukannya atas dasar keyakinan. Thnpa dibayar
pun orang-orang ini sanggup berteriak, "Klta wajib melakukan
sekularisasi". Atahrrk dan Shah Iran telah mencoba menerapkan
sekularisasi di negaranya. Hasilnya, sudah sama-sama bisa dilihat
dunia Islam.
Penganutan paham sekularisme atau sekularisasisme bisa dikatakan sebagai sikap "menyerah" kepada "penyakit menular" yang
memang memiliki daya vimlensi yang hebat. Ihr yang terjadi dalam
Kristen. Mereka menyerah dan kemudian mencarikan legitimasinya
dalam Bible. Padahal, hasil pertemlran misionaris Kristen sedunia di
Jenrsalem tahun 1928, menetapkan sekulerisme sebagai musuh
besar Geraja dan misi Kristen.
Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan
sekularisme. Pertemuan Jemsalem itr.r secara khusus menyorot
sekularisme yang dipandang sebagai rhusuh besar gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.3r
Selama ratusan tahun kaum Muslim dijajah Belanda. Secara politik, ekonomi, budaya, dan militer, Muslim dicengkeram. Tetapi,
dulu, para ulama tidak menyerah dan tidak gampang menyatakan,
bahwa penjajahan Belanda yaitu "sahl kehartlsan" dan "rahmat
bagi sekalian alam". Fisik wakhr ihr kalah, tetapi akal, pikiran, dan
iman, tetap merdeka.
Seperti menyindir umat Islam, Bernard Lewis membuat per-
,"r$;il nyotaan bahwa pada abad ke-20 ini memang ada yang
:ii:;ra*,,,11ii)2'salah pada dunia Islam. Dibandingkan dengan rivalnya,
Dunia Kristen, dunia Islam kini menjadi miskin, lcmah, dan bodoh.
Sejak abad ke-19, dominasi Barat terhadap dunia Islam tampak jelas.
Barat mengiv.tsi kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupan, bukan
hanya pada aspek publik, tetapi--yang lebih menyakitkan--juga dalam aspek-aspek pribadi.l
Ya, Barat kini memarng bukan hanya menghegemoni dunia Islam
dalam aspek politik, ekonomi, militer, sosial danbudaya. Globalisasi
atatr Westemisasi bukan hanya berlangsung dalam aspek 3F (food,
fim, fnsliort), seperti disebutkan ]ohn Naisbitt, tetapi juga 1T (Thought).
Cara berpikir kaum Muslim juga diatur. Bahkan, yang lebilr ironi,
cara kaum Muslim beriman kepada Tuhannya, menyembah Tuhan-
nya, iuga memahami Kitab Sucinya ptm tak luput dari hegemoni. Di
zaman kolonialisme klasik, hal semacam ini tidak pemah terjadi. Secara fisik ketika ihr, penjajah memang mengeksploitasi kekayaan
alam dunia Islam, tetapi mereka tidak berani memasttki wilayahwilayah keagamaan yang sangat personal. Di zaman ihr tidak ada
seorang Muslim--apalagi tokoh atau cendekiawan--yang L.erpikir
trnttrk mengkritik AI-Qur'an. Kini, di zamanglobalisasi , gejala mengkritik Al-Qur'an seperti menjadi kebanggaan, bahkan ihr terjadi di
kalanp;an sarjana Muslim sendiri.2
Fenomena mercbaknva hermeneutika di kalangan akademisi
Islam juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat dalam shrdi
Islam. Hermeneutika, kini, cli berbagai perguman Islam, bagaikan
'wabah'yang menjangkiti banyak sarjana N4uslim. Banyak yang terjangkit, tetapi merasa bangga, karena merasa menemukan sesuahl
yang bam. Karena merasa 'mainan baru'ini akan membawa kemaslahatan nmat, maka 'barang lama'bempa tradisi Islam dikecam dan
mau dicampakkan begihr saja.3
Sebagai hal bam yang masuk dalam tradisi keilmtran Islam,
hermeneutika seyogyanya dikaji secara cermat, sebelum memutuskan, metodologi interpretasi teks Bible ini dapat diaplikasikan unhrk
menggantikan metode tafsir Al-Qur'an. Jika ditelaah, ternyata, her-
meneutika memang berasal dari tradisi Kristen/Yahudi yang kemudian diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modem menjadi
metode interpretasi teks secara umum. Hermeneutika berkembang
dalam tradisi Kristen dan intelekhral Barat, karena memang berangkat teks Bible dan doktrin teologis Kristen yang mengandung
banyak sekali masalah di mata para cendekiawannya sendiri.
Tlrc Neu Encyclopedin Britnnnica menulis, bahwa hermeneutika
yaitu shrdi prinsip-prinsip Lrmum tentang interpretasi Bible (fhe
study of tlte genernl Ttrirtciptle of biblicnl interpretntion). Tujuan dari
hermeneutika yaitu unhlk menemukan kebenaran dan nilai-nilai
dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model
trtama interpretasi Bible, yaihr (1) liternl interpretntiorr, (2) interpretasi
moral (mornl interpretntiort), (3) nllegorical interpretntiort, (4) anngogicnl
interpretotion.
Menurut Interpretasi literal, teks Bible hamslah diinterpretasikan sestrai dengan makna yang jelas (plain meaning), sesuai konstruksi tata bahasa dan konteks sejarahnya. Model ini dilakukan untr-rk
menyesuaikan dengan kemauan penulis Bible. Mereka percaya bahwa kata-kata yang tercanhrm dalam Bible yaitu berasal dari Tirhan.
Namun, pendapat ini banyak mendapat kritik. Sebab, faktanya,
pendapat ini tidak mempertimbangkan banyaknya bukti yang mentrnjtrkkan adanya "ittdiuidunl style" pada masing-masing penulis
Bible. Model ini dianut oleh banyak tokoh dalam sejarah Kristen,
seperti Jerome (pakar Bible pada abad ke-4 M), Thomas Aquinas,
Nicholas of Lyra, John Colet, Martin Luther, dan John Calvin.
Model interpretasi moral mencoba membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari
beberapa bagian dalam Bible. Biasanya juga digunakan teknik alegoris dalam model ini. The Letter of Bamabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam
Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan unhrk memakan
daging hewan tertenhr, tetapi lebih mempakan sifat-sifat bumk
yang secara imajinatif cliasosiasikan dengan hewan-hewan itu.{
Menurut model ketiga, allegorical interpretation, teks-teks Bible
memprmyai makna pada level kedua, di atas seseorang, sesuatlr, atau
pun yang jelas-jelas disebutkan secara gamblang dalam teks. Format
utama model ini yaitu tipologi. Tokoh-tokoh kunci dan peristiwaperistiwa penting dalam Perjanjian Lama (Old Testanlenf) dilihat
sebagai sahr tipe bayangan ke depan untuk tokoh dan peristiwa-peristiwa yang ada di Perjanjian Bam (Neu Testatment). Menurut
mereka, model perahtr Noah, sebagai satlr "tipe" dari gereja Kristen,
sudah dirancang Tlrhan sejak dulu. Philo (50 SM-20 M), seorang filosof Yahudi, yaitu pelopor model interpretasi ini. Philo melakukan
usaha kreatif yang menggabungkan tradisi Yahudi dengan tradisi
Yunani. Ia tidak mengabaikan makna literal, tetapi makna literal
dipandang rendah, primitif, dan perlu diangkat ke tingkat yang
lebih tinggi, yaitu makna alegoris (kiasan). Model ini kemudian diikuti Christian Clement of Alexandria. Berikutnya, Origen melakukan sistematisasi terhadap prinsip-prinsip hermeneutika alegoris
ini. Menumtnya, ada tiga kategori makna dalam teks Bible, yaihr
literal, moral, dan allegorical. Yang terakhir ihrlah yang tertinggi
tingkatannya. Origen mengembangkan teorinya dari filsafat Paulus
dan Ytrnani, bahwa hlbuh manusia terdiri atas "body", "soLtl" dan
"spirit". Sebagaimana teks Bible juga mempunyai pengertian "literal", "rfloral", dan "spiritLlal".
Di abad pertengahan (500-1500 M), teori "tiga tingkat" Origen
ihr dikembangkan lagi menjadi "empat tingkat" dengan menambahkan model yang keempat, yaitu anagogical. Model kempat, orngogical interpretntion, ini dikenal sebagai "ntystical interpretntion". Model
ini dipengamhi oleh tradisi mistik Yahudi (Kabbata) yang diantaranya mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan
huruf-humf Hebrew Contoh dari interpretasi empat tingkat yaitu
kata lerusalem. Pada level literal, Jerusalem yaitu nama kota yang
ada di btrmi. Pada makna alegoris, lentsalenl diartikan sebagai
geraja Kristen". Menurut makna moral, Jerusalem berarti jiwa (soul).
Dan pada level anagogical (escnthological), Jemsalem yaitu ,'kota
T[rhan di masa depan".
Dari empat model itu, dua model menjadi arus utama interpretasi Bible pada awal-awal sejarah kekristenan, yaihr model Alexandria (alegoris) dan model Antioch (literal). Paparan paulns dalam
Galatia 4:24 tentans kisah Abraham, Hagar, dan Sarah menjadi sandaran model alegoris. Alexandria memang menjadi tempat yang
subur bagi tradisi filsafat Yunani, sehingga berpengaruh besar terhadap model interpretasi Bible.
Model alegoris memang bisa menghasilkan pengertian yang
Iiar. Karena itu, kalangan Kristen membatasi model ini dengan "mle
of faith" , bahwa interpretasi haruslah sejalan dengan ajaran gereja.
Kontrol lain yaitu apa yang disebut sebagai "hennenerLticnl circle".
Maksudnya, slratlr teks hams diinterpretasikan sesuai konteks Bible
secara keseluruhan, bnkan hanya konteks lokal teks tersebut. Interpreter Bible pada awal-awal sejarah Kristen, seperti Irenaeus (m.202
M) dan Tertulian (m. sekitar 222M) berargurnen bahwa hanya pasturpashrr yang memiliki garis otoritatif dari para tpostles (rasul--dalam
terminologi Kristen menunl'uk pada pengikut Jesus) saja yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi Bible.
Martin Luther, seorang tokoh reformis pada abad ke-16, menyatakan, bahwa "kata-kata Tlrhan" harus diartikan secara jelas
(sinrylest ntenning) selama masih memungkinkan. Kata-kata Tlrhan
itu, katanya, harus dipahami sesuai arti tata bahasa dan makna
literalnya. Jika metode literal tidak digunakan, menurut Luther,
maka akan memberikan kesempatan kepada mustilr untuk melakukan penghinaan kepada Bible. Para reformis Kristen ini menekankan
model literal dengan hrjuan rmtuk mengalihkan otoritas interpretasi
Bible dari Gereja, konsilikonsili, dan Paus, ke teks Bible itu sendiri.
Para reformis ini memang sangat anti kepada Paus dan Katoiik.
Menurut Luthel, kekuatan anti-Krishls yaitu Paus dan bangsa Turki. Kekuatan jahat memiliki hrbuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan
Anti-Kristus yaitu Paus, daging dan tubt*rnya yaitu Thrki....
Bangsa T[rrki yaitu bangsa yang dimurkai Ttrhan.sKisah pemberontakan Martin Luther terhadap Gercja memang
menarik. Pada pada 31 Oktober 7517, ia mulai melawan kekttasaan
Patrs dengan cara menempelkan 95 poin pemyataan (ninety-fiue
Theses) di pinhr gerejanya, diJerman. Ia temtama menentang praktik
penjtralan "pengampunan dosa" (indulgences) oleh pemuka gereja.
Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keselumhan doktrin
supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya
akibat penyelen engan yang elilakukannya. Tahun 1521, I-uther dikucilkan dari Gercja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapat
perlindungan seorang penguasa di wilayah ]erman dan akhirnya
mengembangkan gerela dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus.6
Agak sedikit berbeda dengan sistematika Tlte Encyclopadin Britntuica tentang hermeneutika dalam tradisi Bible, Werner G. |eanrond
dalam btrkunya "Tlrologicttl Herurenaufics", menguraikan secara sistematis sejarah perkernbangan hermeneutik di kalangan Yunani,
Yahudi, dan Kristen. Di kalangan Yahudi, misalnya, di awal-awal
hrmbuhnya Kristen, memiliki berbagai metode interpretasi terhadap
Thnrat, yainr Literalist interpretatiort, Midraslic lnterptretntiorts, Peslrcr
irierpretations, dan Allegoricnl irtterptretation.
Di masa awal Kristen, Jesus cendemng tidak mengikuti interpretasi secara literal, tetapi lebih mendekati metode Midrashic. Pada
awal abad ke-3 M, berkembang dua aliran hermenutika di kalangan
Kristen, vaitu Alexandria dan Antioch. Alexandria lebih mengambil
bentr"rk nllegoricnl interptretotiorr tehadap Bible. Origen (185-254) mengembangkan metode interpretasi lebih sistematis berdasarkan
teologinya, bahw'a kedatangan Jesus telah memenuhi lsrael's
Ttroptltecies. Di atas basis premikiran inilah, ia mengembangkan metode
alegoris dalam memahami teks Bible. AliranAntioch melihatbahaya
metode alegoris dan lebih cendemng menekankan aspek literal dan
historis dalam memahami Bible. Pemikir hermenutika pada masa
Kristen awal yang sangat terkenal yaitu Augustine of Hippo (354-
430). Ia memrlis buku Dc Doctinn Cln'istinna (On Christian Doctrine),yang mencoba memadukan kedua aliran tersebut.
Pada abad pertengahan, muncul nama Thomas Aquinas (1225-
1274), yang juga mempakan pemikir besar dalam hermeneutika.
Btrktrnya, sunmm Tlrcologica masih menekankan pentingnya interpretasi secara literal. Dia masih menyatakan, "penulis naskah suci
itu ialah r[rhan, yang di dalam kuasanya menambah bobot makna,
tidak dengan kata-kata belaka (sebagaimana manusia bisa melakukannya juga), melainkan dengan hal-hal ihr sendiri.',
Hingga masa reformasi, penempatan teologi sebagai basis
interpretasi hermeneutika masih terus dilakukan. penafsiran Bible
secara rigid dan literal hams berhadapan dengan berbagai perkembangan ilmiah, terutama penemuan-penemuan dalam sains. Jeandrond menulis,
"Para pembela interpretasi Bible yang kaku diserang terutama
ketika berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam, yang
menimbulkan berbagai keraguan tentang kemungkinan pengkajian literalistik yang tidak memadai, misalnya kisah-kisah
penciptaan di dalam kitab Genesis. Kaum Lutheran, maupun
gereja-gereja Katolik termasuk yang telah direformasi selumhnya bersatu padu dalam menolak bangkitnya pandangan hidup
yang ilmiah dan rasional."T
Teori Kosmologi dan Problem Bible
Kasus menarik antara model literal dan alegoris terjadi daram
soal penafsiran terhadap teori kosmologi. R. Hoykaas dalam bukunya, c.l- Rlrctictts Treotise ott Holy scriythtre ond the Motiort of The Enrth,
menjelaskan, bahwa bagi kelompok literal Kristen, penganut metode
literalisme, ayat-ayat Bible tentang alam semesta hamslah diartikan
secara literal, dan lebih dari itu, dasar-dasar kosmologi hams diambil dari Bible. sebagai implikasinya, misalnya, ketika ada konsep
"l.uaters aboae tlrc expanse" (air yaitu di atas tanah atau udara), yang
bertentangan dengan prinsip dasar Aristotelian--bahwa alam telah
menempatkan air di bawah udara, api, dan benda-benda langit--
maka teks Bible hants dimenangkan atas konsep filsafat "kafir"
Aristotle. Tokoh-tokoh gereja Syria yang ingin agar kosmologi bebas
dari pengamh paganisme, menempatkan konsep kosmologi Bible
berhadapan dengan konsep kosmologi Yunani. Abad ke-6 M, penulis
Kosmas Indikopleustes menyusun konsep ekstrim bahwa bumi ihr
datar, sebab Bible (New King ]ames Version) menyatakan, "Tlnt it
nigltt be take hold of tlrc ends of the enrtlt, and tlrc wicked be slnken out of
it." (Job,38:13). Jtga, " After tlrcse thirtgs I sau four angels standing at tlrc
four corner of the enrth, tlnt tlrc ruind sltortld rtot blotu ort tlrc earth, ort tlrc
sen, or on any free." (Revelation, 7:1). Dalam versi Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI), ayat Ayub 38:3 diterjemahkan, "ttntttk memegang
ujung-ujung bumi, sehingga orang-orang fasik dikebaskan daripadanya." Sedangkan ayat Wahyu-wahyu T:1 diteriemahkan, "Kemudian daripada ihr, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat
penjuru bumi dan mereka menahan keeempat angin bumi, suPaya
jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-pohon."
Berdasarkan metode tafsir literalisme, maka fakta sains, bahwa bumi
bulat, harus dikalahkan oleh teks Bible. Jadi, menumt mereka, bumi
memang segi empat, memiliki tepi, sehingga "oranlg jahat" bisa
dibuang dari bumi.s
Sejarah Kristen menunjukkan, otoritas
Gereja pernah menghukum ilmuwan seperti
Galileo Galilei (1564-7642), karena mengekspose teori "lteliocentric", bahwa matahari
yaitu pusat tata surya. Hal itu dilakukan
untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan
Gereja--yang mempunyai doktrin hfnllibility
(tidak pernah salah) karena merupakan wakil
Kristus di muka bumi. Sampai abad ke-17,
Gereja masih tetap berusaha mempertahankan posisi hegemoninya,
sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legiti
masi Gereja, dianggap sebagai "heresy" (kafir) dan dihadapkan ke
Mahkamah Inquisisi. Kasus yang terkenal terjadi pada Galileo Galilei. Pada L9 Januari 16L6, Galileo membuat dua statemen: (L)matahari yaitu pusat galaksi dan (2) bumi bukanlah pusat tata
srrrya. Pada 24 Februari 1616, sekelompok prakar teologi yang dibenhrk oleh Tahta Strci Vatikan (Holy Offke) menyatakan, bahwa
teori Galileo ihr bertentangan dengan Bible. Maka, Paus paul V meminta cardinal Bellarmine untuk memperingatkan Galileo. Tetapi,
pada7632, Galileo kembali mengajarkan teorinya itu. Maka, pada 16
Juni 1633, Galileo diinterogasi karena dipandang melakukan kesalahan dalam Tbologi, dengan menyebarkan teori "lrcliocentric,,.Ia
diundang ke Roma dan dipaksa oleh Mahkamah Inquisisi untuk
mencabut teorinya dan mengikuti doktrin Gereja bahu,a bumi adalah pusat tata surya. Di depan Inquisitor, Galileo akhirnya 'bertobat'
dan berjanji tidak akan menyebarkan lagi teori heliosentrisnya ihr.
Di depan Mahkamah Gereja ihr, Galileo menyatakan akan menghapus semua opini yang salah, bahwa matahari yaitu pusat dari
jagad raya dan tidak bergerak, dan bahwa bumi bukanlah pusat
jagad raya dan bergerak. la berjanji tidak akan mempertahankan
atau mengajarkan doktrin yang salah tersebut, dalam benhrk apa
pun, secara verbal atau melalui hllisan.e
Sebeltrmnya, Nicolaus Copemic trs (7473-7543), seorang Astronom dan ahli matematika sudah mengemukakan teori/rcliocentric itu.
sadar bahwa teorinya akan menimbulkan kontroversi, Copernicus
menolak untuk mempublikasikan teorinya. Thpi, atas desakan temantemann;,a, pada tahun 1543 ia menerbitkan bukunya yang berjudul
on tlrc Reaolutiorts of tlte Henaenly spheres. Teori Copernicus menakutkan penguasa Gereja, karena dianggap bertentangan dengan Bible.
Sebagai contoh, disebutkan dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat l: "yea,
Tlu, uorld is estnblislu,d, it shnll neuer be ntouetl." Tahun 7616, Gereja
menempatkan buku Ort Tlrc Reaolutiort dan buku-buku lain yang
menjelaskan tentang perputaran bumi, ke dalam daftar bukrr-buku
yang terlarangPerlu dicatat, bahwa problema benhrran antara sains dan Bible
ihr terjadi pada abad pertengahan Eropa (500-1500 M). Zaman ini
dikenal sebagai Abad Pertengahan Eropa (Medieanl Europte) atatr
Abad Kegelapan Eropa (Tlrc Dark Ages of Etrope). Tapi, kasus-kasus
serupa masih berlanjut pada pada zanran pencerah an (erilightenrrrcnt).
Orang Eropa menyebut zaman ini sebagai zaman rennissnttce, yang
artinya zaman "kelahiran kembali" (rebirth). Mereka merasa, bahwa
selama ratusan tahun, mereka telah mati, hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja. Karena ittilah, pada zaman penceraltan
mereka melakukan revolttsi besar-besaran terhadap berbagai pemikiran tentang kehidupan, termasuk terhadap konsep keagamaan.
Inti zaman pencerahan ini yaitu zamattmerebaknya paham "sektllarisme, humanisme, dan liberalisme". Penafsiran tentang keagamaan pun disubordinasikan ke dalam paham-paham ini. Termasuk
pemahaman terhadap Bibte. Berkembangnya hermeneutika modern
sebagai perangkat tafsir teks, termasuk teks Kitab Suci, yaitu juga
bagian dari menguatnya hegemoni sekularisme dan liberalisme, disarnping memang ada kebuhrhan internal dalam Kristen, karena
problem teks Bible dan doktrin ketuhanan.
Pada bagian sebelumnya, telah dibahas problema teks Bible,
yang menrlnjukkan bagaimana sulitnya konsep Bible sebagai "the
word of God" diterima. Sebab, faktanya, begitu banyak masalah
yang dihadapi dalam Bible, baik menyangkut otentisitas tekstualnya,
mauprln kandungan makna teks ihr sendiri. Sebutlah kasus Hebreu
Biblt' (katrm Kristen menyebutnya "OId Testatenrcnt"), yang meruPakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji
manusia, tetapi tetap masih mempakan misteri hingga kini. Richard
Elliot Friedman, dalam bukunya, Wln Wrote tlrc Bible, menulis,
bahwa hingga kini siapa yang sebenamya menulis Kitab ini masih
merupakan misteri. Tulisnya, "yaitu suatu fakta yang aneh bahwa
kita tak pemah tahu secara pasti siapa yang telah menulis buku ihr
yang berperan sangat sentral dalam peradaban kita."
Ia mencontohkan, Tlrc Book of Tornh, atatThe Fiae Book of Moses,
didtrga ditulis oleh Moses. Book of Lamentation dihrlis Nabi Jeremiah.
Separoh Mazmur (Psalm) dihrlis King David. Tetapi, kata Friedman,
tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran ihl memang benar.
Tlrc Fiae Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling
hra di dtrnia (lt is one of tlrc oldest ptuzles in the zoorld). Tidak ada satu
ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses yaitu
penulisnya. Sementara di dalamnya dalam teksnya dijumpai banyak
kontradiksi.ll
Problema lain dalam Hebreu Bible alias Perjanjian Lama yaitu
soal makna yang dikandung teks-teksnya. Misalnya, standar moral
para tokoh Bible. David, Sang Raja Israel, digambarkan melakukan
tindakan kefi dengan melakukan perzinaan dengan Batsyeba dan
menjerumuskan suaminya, Uria, ke ujung kematian. Akhimya, ia
mengawini Batsyeba dan melahirkan solomon. Hnrper's Bible Dictionary, rnencatat sosok David sebagai, "Tlrc most pouerfil King of
Biblical lsrael." Namnn, David bukanlah sosok yang pahrt diteladani
dalam berbagai hal. A Dictionary of the Bible rnengungkap sederet
kejanggalan perilaku dan moralitas David, sebagaimana tersebut
dalam Bible. Peperangan-peperangan yang dilakukannya, terkadang
diikuti dengan kekejaman yang ganas. Dan dosa besarnya, yaitu
perzinaannya dengan seorang perempuan cantik bernama Batsyeba,
yang ketika ihr masih menjadi istri sah dari anak buahnya sendiri.12
Kasus perzinaan dan perselingkuhan banyak tersebar dalam
Bible. Judah (Yehuda), tokoh Israel, anak Jacob dari Lea, berzina denEan menantunya sendiri yang bernama Thmar (Kejaeiian 38:1-11
dan 15-18). Juga, Amon bin David diceritakan memperkosa adiknyasendiri. Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2 Samuel 13:1,-22. Padahal, hukuman bagi pezina
menumt Kitab Imamat 20, yaitu hukuman mati. Tidak mudah
menjelaskan, mengapa tokoh-tokoh Bible terbebas dari hukuman
mati akibat zina semacam ihl.
Kajian ilmiah terhadap fakta se;'arah dan sains dalam Bible;'uga
membuktikan banyaknya problema yang dihadapi. Bagi sebagian
kalangan Kristen dan Yahudi, cerita-cerita dalam Bible dipandang
sebagai hal yang benar. Roland de Vaux, seorang sarjana Bible dan
arkeologi, menyatakan, "Jika aspek kesejarahan agama Israel tidak
ditemukan dalam sejarah, maka agama itu menjadi salah dan demikian juga agama kita sekarang." Pakar Bible dan arkeologi Amerika,
William F. Albright juga membuat pernyataan, "Secara keseluruhan,
gambaran dalam Kitab Kejadian yaitu bersifat sejarah, dan tidak
ada alasan unturk meragukan akurasi secara umllm dari detail-detail
biografi."
Namun, klaim-klaim seperti ini dikritik ta;'am oleh sarjana Bible
lainnya. Termasuk cerita tentang Abraham dalam Bible. Salah satu
yang menarik yaitu kritik yang dikemukakan oleh dua pakar
Yahudi, Israel Finkelstein, dan Neil Asher Silberman, melalui bukunya, Tlte Bible Llnenrtlrcd: Arclnelogy's Neu Visiorr of Ancient lsrael and
tlrc Origirt of lts sacred Texts.
Finkelstein dan Silberman mencatat, penjelasan Bible tentang
Abraham diberikan secara kronologis, mulai kepergiannya ke Mesir,
eksodus, pengembaraan di glrrLrn, penaklukan Kanaan, sampai pendirian monarkhi. Bible juga menyediakan kunci unhrk mengkalkulasi waktu terjadinya peristiwa. Pehrnjuk terpenting yaitu Kitab
I Raja-raja 6:1, yang menyatakan, bahwa eksodus terjadi 480 tahun
sebelum pembangunan "Temple" di Jerusalem, pada tahun keempat
zaman kektrasaan Solomon. Lebih jauh lagi, Kitab Keluaran 12:40
memberitakan bahwa bangsa Israel menetap di Mesir selama 430
tahun. Ditambah dengan masa 200 tahun lebih sedikit kehidupan
Abraham di Kanaan, sebelum bangsa Israel meninggalkan Mesir,
maka disimpulkan, Abraham meninggalkan Kanaan sekitar 2100
SM. Hal ini memunculkan problema pada penelusuran periodisasi
sejarah Abraham, Ishaq, jacob. Penelusuran genealogi kehlrunan
|acob menunjukkan hal yang membingungkan dan kontradiktif.Musa dan Harun (Moses and Aaron) dikatak)n sebagai
ketumnan generasi keempat dari anak Jacob yang bernama Levi.
Sedangkan Joshua, yang sezaman dengan Musa dan Hamn, dikatakan sebagai kehlmnan generasi ke-12 dari Yusuf (Joseph), anak
Jacob yang lain. "Ini bukanlah ketidaksesuaian yang (bisa dianggap)
kecil," hrlis Finkelstein dan Silberman. Albright dan koleganya yang
mempercayai tentang kebenaran zaman Abraham pemah mencoba
mencari bukti-bukti seputar kehadiran Abraham dan kawan-kawan
di Kanaan sekitar tahun 2000 SM. Namun. usaha ini akhirnya gagal.
Zaman kehidupan Abraharn berubah-ubah, sesuai penemuan; mulai
pertengahan milenium ke-3 SM menjadi akhir milenium ke-3; lalu
berubah ke awal milenium ke-2; lalu ke pertengahan milenium ke-2,
dan terakhir ke awal Zarnan Besi. Kedua penulis meletakkan pembahasan tentang kesejarahan Abraham dalam subjudul "Tlw Foiled
Senrclr for tlrc Historical Abraltont" .1]
Bukan hanya Perjanjian Lama yang diaduk-aduk, kajian terhadap Teks Perjanjian Baru (I/le Neru Testnntent) iuga telah berkembang
pesat di kalangan teolog Kristen. Profesor Bruce M. Metzger, guru
besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary,
menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Bam. Sahr bukunya
berjudtrl The Text of tlrc Neru Testotnent: lts Trnnsntission, Corntptiort,
nnd Restorntiort (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya
yang lain, yang berjudul A Textunl Conunentnry on tlte Greek Neu
Testarnent, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun
7975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada
dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak
adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan
yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan
lainnya.
Bahasa Yunani (Greek) yaitu bahasa asal Perjanjian Bam. Melalui bukunya ini, Metzger menunjukkar-r, rumitnya problem kanonifikasi Teks Bible dalam bahasa Greek. Banyaknya ragam teks dan
manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindari.
Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasaGreek, yang berbeda sahr dengan lainnya. Cetakan pertama Perjanjian Lama bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh
Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit Perjanjian Baru edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek
yang lengkap, Erasmrls menggunakan berbagai versi Bible untuk
melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Reaelation\ misalnya, ia gunakan versi Latin susunan ]erome, Vulgate. Padahal, teks Latin ihl
sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek.l{
Dalam bukunya yang lain, Tlrc Early Versions of tlrc Neu Testanrcnts, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul,
Litnitatiort of Latin in Representing Greek, "Walaupun bahasa Latin
secara rlmrlm sangat cocok unhlk digunakan dalam penterjemahan
dari Yunani (Greek), tetap saja ada bagian-bagian tertenhr yang tidak
bisa diekspresikan dalam bahasa Latin."15
Thhun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani.
Teks in digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk
menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (L522) dan Inggris (1525).
Thhun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Yunani yang
berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1,633
terbit sekitar 160 versi Bible dalambahasa Yunani. Dalam edisi Yunani ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya.l6 Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, yaitu mungkin unhlk menghadirkan edisi lain dari Perjanjian Bam.17
Hermeneutika dan Liberalisasi
Sebenarnya, hermeneutika modern yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834), juga memunculkan persoalan bagi
kalangan Kristen. Sebab, hermeneutika modern menempatkan semua
jenis teks pada posisi yang sama, tanpa mempedulikan apakah teks
itLr "Divine" (dari Ttrhan) atau tidak, dan tidak lagi mem-pedulikan
adanya otoritas dalam penafsirannya. Semua teks dilihat sebagai
produk pengarangnya. Penggunaan hermeneutika modern untr-rk
Bible bisa dilihat sebagai bagian dari upaya liberalisasi di kalangan
Kristen. Bagi Schleiermacher, faktor kondisi dan motif pengarang
sangatlah penting untuk memahami makna suatu teks, di samping
faktor gramatikal (tata bahasa). 1s
Namun, sebelum Schleiermacher, upaya melakukan "liberalisasi" dalam interpretasi Bible sudah muncul sejak zaman Enlightenment di abad ke-18. The University of Halle memainkan peranan
penting dengan memunculkan teolog liberal terkemuka Johann
Solomo Semler (7725-1791). Para teolog liberal ini memainkan
peranan penting dalam melakukan reapresiasi terhadap "akal manusia" dan tumbuhnya perlawanan terhadap otoritas yang tidak
mastrk akal (tutreasonable autlrority). Semler melakukan pendekatan
radikal terhadap Bible dan sejarah dogma, dengan mengajukan
program hermeneutika dari perspektif "shrdi kritis sejarah". Ia mengajukan gagasan transformasi radikal terhadap dasar-dasar hermeneutika teologis. Interpretasi Bible, kata Semler, harus dihentikan
dari sekadar upaya untuk menverifikasi dogma-dogma tertenhr. Dengan kata lain, interpretasi dogmatis terhadap teks Bible, hams diakhiri, dan perlu dimulai satu metode baru yang ia sebut "tmly critical
reading". HermeneuLika, menumtnya, mencakup banyak hal, seperti
tata bahasa, retorika, logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan, dan
kritik terhadap teks. Tugas utama hermeneutika yaitu untuk memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh para pentrlis teks ihr
sendiri.le
Jika dicermati, apa yang dilakukan Semler, Schleiermacher, dan
para teolog liberal lainnya, masih semangat membebaskan diri dari
kungkungan otoritas Gereja yang berahrs tahun menyalahgunakan
wewenangnya atas nama 'TLrhan'. Mereka ingin mengembalikan pengertian teks Bible kepada konteks historis dan kondisi penulisnya,terlepas dari kungkungan tradisi Gereja Ortodoks (baik Katolik
maupun Protestan). Karena ihr, perkembangan Hermeneutika dalam
tradisi Bible di kalangan Barat modem, tidak dapat dipisahkan dari
sejarah traurna peradaban Barat (Eropa) terhadap Gereja, di tambah
lagi banyaknya problematika teks Bible ihr sendiri. Perkembangan
tradisi kritik teks dan kajian historisitas Bible telah membuka pintLr
lebar-lebar terhadap perkembangan hermeneutika modern. Metode
interpretasi Bible yang umum disubordinasikan ke dalam prinsipprinsip hermeneutika umum. Sebagai sahl teks, Bible memang
memiliki penulis (nutlrcr). Banyak teori yang dikemukakan seputar
penulisan Bible ini. Metode hermeneutika sangat menekankan pada
aspek historisitas dan kondisi penulis teks.
Apakah metode semacam ini bisa diterapkan unhrkAl-Qur'an?
Unhrk menjawabnya, ada dua hal yang perlu ditelaah.
Pertama, perlu dilakukan studi komparasi tantara konsep teks
Al-Qtrr'an dan konsep teks Bible. Dankedua, perlu dilakukan kajian
mendalam perbandingan antara sejarah peradaban Islam dan peradaban Barat (Kristen-Eropa). Kajian terhadap kedua hal ini dengan
serius akan memberikan jawaban, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara konsep teks dan perkembangan peradaban Islam dan
Barat. Seyogyanya ini disadari, sehingga tidak terjadi sikap latah,
seperti buih, mengikuti kemana saja arah angin bertiup.
Prof. Dr, Wan Mohd Nor Wan Daud, dari International Instihlte
of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) menilai, bahwa metode
tafsir Al-Qur'an "benar-benar tidak identik dengan hermeneutika
Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak
juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kulhrr dan agama
lain." Ilmu Thfsir Al-Qur'an merupakan ilmu asas yang diatasnya
dibangun keselumhan stmkhrr, hljuan, pengertian pandangan dan
kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Thbari (wafat
923 M) menganggap ilmu tafsir sebagai yang terpenting dibanding
dengan selumh pengetahuan dan ilmu. Ini yaitu ilmu yang dipergunakan umat Islam unhrk memahami pengertian dan ajaran Kitab
suci Al-Qur'an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Prof.
Wan juga mengkritik dosen pembimbingnya Sendiri di Chicago University, yaihr Prof. Fazlur Rahman, yang mengaplikasikan hermeneutika unhlk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Kata Prof. Wan,"Konsekuansi dari pendekatan hermeneutika ke atas sistem
epistemologi Islam termasuk segi pemndangannya sangatlah
besar dan saya pikir agak berbahaya. Yang paling utama saya
kira ialah penolakannya terhadap penafsiran yang final dalam
sesuahl masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak,
malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini
dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksioiogi antar generasi,
antar agama dan kelompok manusia. Flermeneutika teks-teks
agama Barat bermula dengan masalah besar: 1) ketidakyakinan
tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam
bidang itu sejak dari arval karena tidak adanya bukti materil
teks-teks yang paling au'al, 2) tidak adanya laporan-laporan
tentang tafsiran yang boleh diterima Lrmum, yakni ketiadaan
tradisi truinuntir dan ijnn, dan 3) tidak adanya sekelompok
manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang ihr. Ketiga
masalah ini tidak terjadi dalam sejarah Islam, khususnya dengan Al-Qur'an. Jika kita mengadopsi satu kaidah ilmiah tanpa
mempertimbangkan latar-belakang sejarahnya, maka kita akan
mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan
metode kita sendiri yang telah begihr sukses membantu kita
memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul
dan lama."2o
Aplikasi Hermeneutika: Kasus Nasr Hamid Abu Zayd
Unhrk memperjelas dampak hermeneutika saat diterapkan dalam shrdi Al-Qur'an, yaitu menarik untnk mengkaji pemikiran
Nasr Hamid Abu Zayd, yang dikenal dengan konsep "Al-Qur'an
sebagai produk budaya" Qrttmtnj tsnqnfi). Sebagai hermenet (pe^gaplikasi hermeneutika), maka Abu Zayd perlu melakukan reposisi
dan dekonstmksi terhadap konsep Al-Qur'an sebagai 'Kalam Allah'
yang iafazh dan maknanya dari Allah swt.. Namun, jika dicermati,kajian AbuZaydjuga mengadopsi dan menjiplak konsep dan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, khususnya
tradisi kritik teks Bible.
Dalam tradisi Kristen, shrdi tentang kritik Bible dan kritik teks
Bible memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari
School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahr,rn menekuni
shrdi ini, dan menulis sahr buku berjudul "Studies in Methodology irt
Textunl Criticisnr ott tlrc Nezu Testnternert". Buku-buku karya Prof.
Brnze M. Metzger, gurrl besar Tlrc Ne,:u Testnnrcnt di Princeton Theological Seminaryi menunl'ukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian
kritis terhadap teks Bible. Juga, Werner Georg Kume, dalam bukunyaTlrc Neiu Testnntent: Tlrc History of tlrc lnaestigation of lts Problem,
(Nashville: Abingdon Press, 1.972). Oxford Concise Dictionnry of tlrc
Clristinn Clutrch" (Oxford University Press, 1996) menulis tentang
'critical shrdy of the Bible' yang berkembang pesat abad ke-19,
"Ia muncul dari keyakian bahwa hrlisan kuno hamslah diinterpretasikan sesuai perspektif historisnya dan terkait dengan
berbagai kondisi dari komposisi kalimatnya serta makna dan
hrjuannya bagi si penulis dan para pembaca pertamanya."
Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical lntrodr
ctiort to tlrc Neru Testnntent, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd,
1,979), menulis,
"Itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang dimaksud teks-teks Perjanjian Bam sesuai maksud para penulisnya
ketika pertama kali difulis.. kita harus terlebih dulu memahami
situasi historis pada saat ia ditulis pertama kaIi."
Fenomena dalam tradisi Kristen ihr sangat berbeda dengan apa
yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks
Al-Qrrr'an. Kaum Muslirn yakin, bahwa Al-Qur'an yaitu --lafzlmn
rla nm'nln (baik lafazh maupun maknanya)-dari Ailah swt. AlQur'an telah tercatai dengan baik sejak masa l..labi Muhammad saw..
Catatan Al-Qur'an berbeda dengan al-Hadits. Bahkan, untuk menjaga otentisitas dan kemurnian Al-Qur'an, Nabi Muhammad saw.
pemah menyatakan, "lnngon tulis opa Wm yang bernsal dnriku keumliAl-Qur'nn, dan siapa Wm yang telalt nrcnulis dari ku selnin Al-Qtr-nn,
hendaklalt ia ntenglnpusnya." 2t
Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara problema teks Bible denganAl-Qur'an. Padahal, Bible
(Tlrc Nezo Testanrcnt) ditulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-60
tahun setelah masa Jesus. Karena ihllah, maka masalah otentisitas
teks Bible selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan Kristen.
Begihr juga bangunan teologis di atasnya. Ketika terjadi perdebatan
tentang fllm "Tlte Pnssion of the Clfist" karya Mel Gibson, Paus menyatakan film itu sebagai "lt is ns it zuas", karena ceritanya memang
banyak merujuk pada Perjanjian Bam. Namun, majalah Nezosueek
edisi 16 Februari 2004 menulis, justm Bible itu sendiri yang boleh
jadi mempakan sumber cerita yang problematis.22
Salah satu doktrin pokok dalam teologi Kristen yaitu cerita
tentang penyaliban dan kebangkitan Jesus. Namun, justm di sinilah
terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen. Seorang profesor
Bible, John Dominic Crossan, dalam bukunya, Wlto Killed lexs?,
menulis, cerita tentang kubur Jesus yang kosong yaitu "satll cerita
tentang Kebangkitan danbukan kebangkitan ihr sendiri". Cerita tentarig Jesus, seperti tertera dalam Bible, menumt Crossan, disusun
sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita
seputar penyaliban dan kebangkitan Jesus. Ihrlah yang dibuktikan
oleh Crossan melalui bukunya tersebut.23
Karena itulah, secara prinsip, teks Al-Qur'an tidak mengalami
problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam
btrktrnya, lslnnt nnd Tlte West: Tlrc M&ing of nn lnnge, menegaskan,Al-Quran tidak ada yang sepadan dengannya di luar Islam
(Tlte Qtrnn ltas no pnrallel outside lslant)."2t Di kalangan Kristen, hanya
kelompok fundamentalis saja yang masih mempercayai bahwa Bible
yaitu kata-kata tuhan (dei aerbun).2s
Tampaknya, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen menjadi resah, mengapa kafian kritis tentang Teks Bible itu begihr berkembang, sementara Kitab SuciAl-Qur'an masih tetap diyakini kaum
Muslim sebagai Kalam Allah yang suci. Berdasarkan informasi dari
Al-Qur'an, setiap Muslim yakin bahwa tokoh-tokoh Yahudi dan
Nasrani, telah mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga menjadi
tidak suci lagi. Maka, kemudian, muncul dorongan kuat di kalangan
orientalis-misionaris unhlk menempatkan posisi Al-Qur'an, sama
dengan posisi Bible.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq
dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, menyatakan,
"Sudah tiba saatnya unhrk melakukan kritik teks terhadap A1-
Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi
yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa
Ynnani."26 Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di
Madras, India, sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis
terhadap Al-Qur'an dilakukan dengan menggunakan metodologi
kritik Injil (Biblical Criticisnr). Sell sendiri, dalam karyanya Historical
Deaeloprneri of tlte Qtr'an sudah menggunakan metodoLogi higlrcr
criticisrrt, untuk mengkaji historisitas Al-Qur'an.27
Setelah itu, berbondong-bondonglah orientalis yang melaktr
kan kajian kritis terhadap teks Al-Qur'an, sebagaimana sudah terjadi pada Bible. Menurut mereka, bukankah Al-Qur'an juga sebuah
"teks" yang tidak berbeda dengan "teks Bible". Toby Lester dalam
Tlrc Atlorrtic Mortthly, fanuari 1999, mengutip pendapat Gerd R. Joseph
Puin, seorang orientalis pengkaji AI-Qur'an, yang menyarankan
perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan Al-Qur'an. Katanya,"Begihr banyak umat Islam yang meyakini bahwa semua yang
ada diantara dua sampul Qur'an benar-benar merupakan katakata Ttrhan yang tak ada bandingannya. Mereka (para cendekiawan) suka mengutip karya-karya tekshral yang menunjukkan bahwa Bible punya sejarah dan bukamya jahrh langsung
dari langit, namun sampai sekarang Qur'an masih belum tersentuh diskusi ini. satu-sahrnya cara unhrk mendobrak tembok
ini yaitu dengan membuktikan bahwa eur'an juga punya
sejarah."
Di samping memjuk kepada sederet orientalis, Lester jtrga menyatakan kegernbiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang
telah melakukan usaha "revis7" terhadap paham tentang teks AlQur'an sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama Nasr
Hamid Ab:uZayd, Mohammed Arkoun, dan beberapa lainnya.
Michael Cook, dalam bukunya, Tlrc Kornn: AVery Short htrotluctiort, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Harnid--yang dia tulis sebagai
a Mrrclim seuilnrist--tentang Al-Qur'an sebagai produk budaya,
"Jika teks (Al-Qur'an) merupakan pesan yang dikirim unhrk
bangsa Arab pada abad ketujtilr, maka teks itr.r perlu diformulasikan dengan cara yang tenhr saja hams sesuai dengan aspekaspek bahasa dan budaya yang khas Arab pada masa itu. Maka
Al-Qur'an terbentuk dengan latar belakang manusia. Jadi ia
merrrpakan sebuah produk budnyn--sebuah istilah yang digunakan Abu Zayd-beberapa kali, dan digarisbawahi oleh Mahkamah Kasasi ketika memvonisnya sebagai seorang kafir.,,2S
Menyimak sejumlah buku AbvZayd, dengan mudah dapat clibaca ia begitu menamh perhatian pada aspek "teks" Qtnsh, kltithob).
Ia katakan, misalnya, bahwa peradaban Arab Islam yaitu ,peradaban teks' (lndlnrnlt nltnsli. Maka, ia hrlis buku-buku yang mengupas
persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti Mnflnnn al-Nash Dirnsnlt fi 'Lllrtnt Al-Qur-ott dan Nnqd nl-Kithnlt nl-Dini.Dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur'an, di samping menrjrrk kepada pendapat-pendapat Mu'tazilah, Abu Zayd banyak
menggunakan metode hermeneutika. Sebagai seorang hermenet,
maka tahap terpenting dalam melakukan kajian terhadap makna
teks, aclalah melakukan analisis terhadap corak teks itu sendiri. Ia
hams mendefinisikan apa itll "teks". Dengan ihllah, dapat diketahui
kondisi pengarang teks tersebut. Unhrk Bible, hal ini tidak terlalu
menjadi masalah, sebab semlra Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, bagaimana untuk Al-Qur'an; apakah ada yang
disebut sebagai pengarang Al-Qur'an? Tokoh hermeneutika modem,
Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata
bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang dan kondisi lingkungannya ini
sangat penting unhlk memahami makna suatu teks.
Di sinilah Ab u Zay d kemudian tampil'cerdik', dengan menempatkan Nabi Muhammad saw.--penerima wahyu--pada posisi semacam "pengarang" Al-Qur'an. Ia menulis dalambukunya, MnJlunn
nl-Nnsh,bahwa Al-Qur'an ditr"rmnkan melalui Malaikat ]ibril kepada
seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai
penerima pertama, sekaligus penyampai teks yaitu bagian dari
realitas dan masyarakat. Ia yaitu buah dan produk dari masyarakatnya. Ia hrmbuh dan berkembang di Mekah sebagai anak yatim,
dididik dalam suku Bani Sa'ad sebagaimana anak-anak sebayanya
di perkamprmgan badui. Dengan demikian, kata Abu Zayd, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak
nrembicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan scorang manusia yang dalam dirinya terhadap
harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya,
Muhammad yaitu bagian dari sosial budaya, dan sejarah
masyarakabryo.tt'
Tentang konscp wahyu dan Muhammad versi Abu Zayd dan
sejenisnya ilri, dihrlis dalam buku Nnsr Hnnid Abu Zaid: Kritik Teks
Kengntrmnn {2003:70),Mereka memandang Al-Qur'an--setidaknya sampai pada
tingkatperkataan--bukanlah teks yang hrmn dari langit (surga)
dalam benhrk kata-kata aktual--sebagaimana pernyataan klasik
yang masih dipegang berbagai kalangan--, tetapi mempakan
spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus
diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan
linguistiknya."
Dengan definisi seperti ihr, jelas bahwa Nabi Muhammad saw.
diposisikan Nasr Hamid sebagai semacam "pengarang" Al-Qur'an.
Artinya, redaksi Al-Qur'an yaitu versi Nabi Muhammad saw..
Karena beliau dikatakan hanya menerima wahyu dalam benhrk
inspirasi. Nabi Muhammad saw., sebagai seorang 'tnnniy, dikatakan
bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah redaksi A1-
Qur'an, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang dipengamhi
oleh budayanya. Konsep Abu Zayd yang menyatakan bahwa teks
Al.Qur'an sebagai'spirit wahyu dari T[han'begihr identik dengan
konsep teks Bible, bahwa "Tlrc rulnle Bible is giaen by irtspirntion of
God". Dan pandangan seperti ini, akan bemjung pada apa yang
banyak dilakukan oleh orientalis generasi-generasi awal yang menyebtrt agama Islam sebagai "agarna Muhammad", dan hukum
Islam disebut sebagai "Mohammedan Law", nmat Islam disebut
sebagai "Mohammedan". Penganttt konsep Qur'an versi Abu Zayd
ini biasanya tidak mau menyatakan, "Allah berfirman dalam A1-
Qtlr'an.", sebab mereka menganggap Al-Qur'an yaitu kata-kata
Muhammad. Atau, Al-Qur'an yaitu karya bersama antara Muhammad dengan Ttrhannya.3r
Pendapat Abtt Zayd dan kalangan dekontsmksionis ini memang berusaha menjebol konsep dasar tentang Al-Qur'an yang
selama ini diyakini kaum Muslimin, bahwa Al-Qur'an, baik makna
maupun lafazh-nya yaitu dari Allah. Dalam konsepsi Islam, Nabi
Muhammad saw. hanyalah sekadar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, unhrk kemudian
disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang
dipengamJri oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan
seketika ihl. Posisi beliau saw. dalam menerima dan menyampaikan
al-Wahyu memang pasif, hanya sebagai "penyampai" apa-apa yang
diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi
apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat
Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma'-
shum. Al-Quran menyebutkan,
"Dan dia (Mulnnmnd saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari)
wahyu yang diwahyukan kepadan)zal' (an-Najm: 3)
Muhammad saw. memang seorang manusia biasa, tetapibeliau
berbeda dengan mantsia lainnya, karena beliau menerima al-Wahyu
(Ftrshshilat:6). Bahkan, dalam surah al-Haaqqah ayat 44-46, Allah
memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad saw.,
"Seandairya dia (Muhanunad) mengada-adakan sebagian perkataan
atas (nama) Kanri, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian
benar-benar Kanri potong w'at tali jantungnyal
Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw.
hanyalah sebagai penyampai wahyu. Teks-teks Al-Qur'an memang
dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang
budaya ketika ihr. Tetapi, Al-Qur'an tidak tunduk pada budaya. AlQur'an justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu
pola pemikiran dan peradaban baru. Istilah-istilah yang dibawa AlQur'an, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna bam,
yang berbeda dengan yang dipahami kaum Musyrikin Arab waktu
ihr. Bahkan, Al-Qur'an datang dengan konsep-konsep yang disimbolkan dengan istilah-istilah tertentu yang berbeda maknanya
dengan yang dipahami kaum jahiliyah ketika ihr.
Banyak cerita yang menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh
Musyrikin Arab begitu terpesona dengan keindahan dan keluarbiasaan gaya bahasa Al-Qur'an, sehingga mereka menyatakan, bahwa mereka belum pernah mendengar hal serlrpa sebelumnya.
Karena ihl, mereka kemudian menuduh Mu-hammad saw. sebagai
'penyihir' atau 'penyair'. Banyak hadits Nabi yang menyebutkan,
bahwa setiap tahun, Malaikat Jibril membacakan Al-Qur'an kepada
Nabi Muhammad saw. Menjelang wafat beliau, Malaikat Jibril datang dua kali dalam setahun. Dalzrm hadits-hadits ihr disebutkan
Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw. membaca Al-Qur'an
secara bergantian.32
Dengan menempatkan posisi Muhammad saw. sebagai 'pengarang'Al-Qrlr'an dan menyebut Al-Qur'an sebagai uiltural product,
maka sebenarnya Abl Zayd telah melepaskan Al-Qur'an dari posisinya sebagai kalarrr Allah yang suci, yang maknanya khas dan
Nabi Mrrhammad saw. yaitu yang paling memahami makna ayatayat Al-Qur'an. Makna Al-Qur'an tidak bisa riilepaskan begihr sa.ja
dari pemahaman yang diberikan Nabi lluhamrnad sav,r. Teiapi, Abu
Zayd rnenekankan, bahwa teks, apa pun bentuknya, yaitu produk
budaya.. Teks-teks Al-Qur'an terbenhrk dalam realitas dan budaya
selama kurtm lebih dari 20 tahun. Al-Qur'an jelas menggunakan
bahasa Arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dengan demikian,
tidaklah mungkin berbicara tentang teks Al-Qur'an terlepas dari
realiatas dan budaya masyarakat Arab ketika itu.33
Pendapat Abu Zayd ini berdampak kemudian pada metode
penafsiran Al-Qur'an yang dia aiukan, yang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Padahal, ketika kajian historisitas itr,r
digunakan, maka seseorang iuga akan dipengamhi oleh pandangan,
metode, atau ideologinya. Metode dan pola pikir apa yang digunakan untuk memahami sejarah? Marxiskah? Kapitaliskah? Islamiskah?
Metode historisitas juga sulit rnenghindarkan diri dari subjektivitas.
Sebab ketika seorang mengaplikasikan metode ini, ia akan tarpaksa
memilih sebagian fakta sejarah dan meninggalkan fakta-fakta lainnya. Seorang sejarawan tidak mungkin menampilkan semua fakta
sejarah.
Metode penafsiran AbuZayd yang melepaskan posisi teks AlQur'an sebagai 'Kalam Allah' dapat dilihat dari kritikannya terhadap metode tafsir Ahlus Sunnah, dengan menyimpulkan: (1)
Thfsir yang benar menumt Ahl-,-rs Sururah, clulu dan sekarang, adalah tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu. (2)
Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlus Sunnah, dulu dansekarang, yaitu usah-a mereka mengaitkan "makna teks" dan'dalaln/.-nya' dengan masa kenabian, risalah, dan hlrr.nnya wahyu. Ini,
mentrnrt Abu Zay d, bukan saja kesalahan "pemahaman", tetapi juga
rnerupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas--suahr
sikap yang bersadar pada keterbelakangan, antikemajuan dan antiprogresivitas. Oleh karena itr"r kattm Ahlus Sunnah menytlsun sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur'an pada empat hal: penjelasan
Rasulullah saw., para sahabat, para tabi'in, dan terakhir yaihl tafsir
bahasa.3a
Benarkah Ahhr Sunnah mendukung keterbelakangan dan antikemajnan, seperti klaim AbttZayd? Pendapat AbuZayd seperti ihr
tenhr saja bukan pendapat ilmiah yang didukung oleh data-data
yang kuat. Apakah salah jika kaum Ahlus Sunnah berpikir bahwa
sebagai penerima wahyu, tenhr Rasulullah saw. yaitu yang paling
paham terhadap makna teks Al-Qur'an? Jika bukan Rasul saw. yang
paling tahu, lalu siapa yang paling memahami makna wahyu tersebut? Selama ratusan tahun, kaurn Muslim mengalami zaman keemasan dan mencapai kemajuan di berbagai bidang jtrstn ketika
mereka menganut pola pemahaman Ahlus Sunnah. Upaya tmhrk
memntuhkan konsep Ahlus Sturnah dilakukan Nasr Hamid dengan
menyerang sejumlah tokoh utamanya, seperti Imam Syafi'i, alGhazali, dan Asy'ari.
Htrjatan-hujatan yang jauh dari standar ilmiah dari Nasr Hamid
dapat dilihat dalam serangannya terhadap para ulama Islam ihr.
Misalnya, kritiknya terhadap al-Ghazali, (1) "Dalam konsep ini, tampak ambisi al-Ghazali untr"rk mempertahankan sistem sosial yang
ada (stnttts grro) selama sistem ini mempakan sat.r-sahlnya sistem
yang mampu menjamin keselamatan ahli akhirat." (2) "Cukup dikatakan bahwa konsep-konsep al-Ghazali, seltrnrhnya, meskipun
setelah itu diterima secara luas, bertentangan dengan tr.rjuan-tr"rjuan
dasar wahyu sekaligus syariat.... Di sini kami cukup mengatakan
bahwa salah sahr sebab yang menjadikan masyhur, terletak pada
dualisme sistem pemikiran yang dilontarkan al-Ghazali, pada satu
sisi ia menyuguhkan kepada masyarakat awam sarana keselamatan
melalui suluk menuju akhirat, dan pada sisi lain menyuguhkan ke-
pada kelompok dominan--para penguasa dan raja--ideologi sistem
Asy'arian dengan segala sistem pembenaran dan sinkritisism€flya."3s
]adi, ketika konsep teks Al-Qur'an dibongkar, dan dilepaskan
dari posisinya sebagai 'kalam Allah' maka Al-Qur'an akan diperlakukan sebagai "teks bahasa" dan "produk budaya", sehingga bisa
dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat Al-Qur'an dalam kehidupan mereka.
Dengan pembongkaran konsep Al-Qur'an sebagai 'Kalam Allah'ini,
maka barulah metode hermeneutika liberal mungkin digunakan untuk memahami Al-Qur'an. Metode ini memungkinkan penafsiran
Al-Qur'an menjadi bias dan disesuaikan dengan hrnhrtan nilai-nilai
budaya yang sedang dominan saat ini (Barat).
Sebagian kalangan memuja Nasr Hamid secara berlebihan, dengan menempatkannya pada posisi'mujtahid' atau'mujaddid' bam,
yang seolah-olah telah berhasil menggusur metode Imam al-Asy'ari,
al-Syaff i, al-Ghazali, dan lain-lain. Buku-bukunya diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, tanpa kritik yang memadai. Pendukungnya berjubel dan ironisnya terkadang tetap mengatasnamakan diri
mereka sebagai "Ahlus Sunnah". Padahal, Nasr Hamid sendiri
menghujat habis-habisan metode penafsiran Al-Qur'an versi Ahlus
Sunnah dan lebih menyukai metode Mu'tazilah--meskipun nanti
terbukti, konsep Qur'annya pun sangat jauh menyimpang dari konsep Mu'tazilah.36
Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu, jika ditelaah
lebih jauh, upaya-upaya unhrk merunhrhkan atau membongkar
konsep AI-Qur'an yang dilakukan para orientalis dan para pendukungnya, juga dilatarbelakangi oleh problema yang dihadapi