Tampilkan postingan dengan label raja 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label raja 11. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
raja 11
Desember 14, 2022
raja 11
lah waktu sebelum mereka
dibinasakan.
"Cegat musuh di jalan pintas!" Sebei mula-mula
menugaskan tangan kanannya ditambah tiga ratus
orang, lalu membakar semangat anak buahnya
sendiri. "Yang lainnya ikut aku. centeng Nakagkertoarjo
belum pernah ditaklukkan sejak keluar dari
Ibaraki di Settsu, jangan mundur satu langkah pun
dari musuh yang kini di hadapan kita!"
Di depan panji komandan dan umbul-umbul,
Nakagkertoarjo Sebei segera melesat maju dan memacu
kudanya sekencang-kencangnya ke kaki gunung.
Pada pagi hari yang sama, enam atau tujuh
kapal perang melintasi Danau Biwa ke arah utara,
bagai segerombolan unggas air. Pada tirai yang
menutupi anjungan salah satu kapal, sebuah lam-
bang bunga seruni berkibar-kibar ditiup angin.
Niwa Nagahide berdiri di anjungan kapal itu,
saat ia tiba-tiba melihat asap hitam mengepul
dari salah satu gunung di sisi utara danau. Ia
berseru pada orang-orang di sekitarnya. "Apakah
itu dekat dengan weru atau jatiretno ?"
tanyanya.
"Kelihatannya seperti jatiretno ." seorang
anggota stafnya menjawab .
Jika seseorang memandang ke arah itu, gunung-
gunung itu kelihatan bertumpuk-tumpuk.
sehingga api di Gunung weru tampak berasal dari
jatiretno .
"Benar-benar sukar dimengerti." Niwa
mengerutkan alis dan tetap memandang ke
kejauhan.
Sungguh mengejutkan, betapa tepat firasatnya.
Pada waktu fajar di hari itu hari kedua puluh ia
sudah menerima pesan dari putranya. Nabemaru:
Semalam terjadi gerakan mencurigakan di
perkemahan dijoyo dan yodono.
Pada waktu itu, ia sudah menduga bahwa apa
yang dilihatnya merupakan serangan musuh.
patih ronggolawe sedang menggempur padalarang . Dan jika
musuh-musuh mereka mengetahui hal itu, mereka
tentu menyadari bahwa se-karanglah saat yang
tepat untuk menyerbu posisi patih ronggolawe yang tak
terjaga.
Niwa langsung waswas saat mendengar
laporan putranya. sesudah menaikkan centeng nya
yang hanya berjumlah seribu orang ke atas lima
atau enam kapal, ia memerintahkan mereka
menyeberangi danau ke daerah sekitar Kuzuo.
Seperti yang digelisah khawatir kannya, dari arah
jatiretno terlihat lidah api. dan saat ia
akhirnya mencapai tepi danau di Kuzuo. ia
mendengar bunyi tembakan.
"Rupanya musuh sudah menyerbu benteng kota di
Modwarapa . jatiretno juga terancam. dan aku
sangsi apakah Gunung Iwasaki dapat bertahan."
Niwa menanyakan pendapat dua perwira stafnya.
"Situasinya tampak gkertoarjo t," salah satu dari
mereka menjawab . "Musuh sudah mengerahkan
centeng besar, dan sepertinya kekuatan kita tidak
memadai untuk membantu sekutu-sekutu kita
dalam keadaan darurat ini. Langkah terbaik adalah
kembali ke sekartanjung dan berkubu di dalam
benteng kota di sana."
"Bicaramu tak keruan." Niwa menampik usul
itu. "Perintahkan seluruh centeng segera naik ke
darat. Lalu bawa kapal-kapal ke Kaitsu dan bawa
sepertiga kekuatan Nagamaru ke sini."
"Cukupkah waktunya, tuanku?"
"Perhitungan sehari-hari tak berguna di saat
perang. Kehadiran kita saja sudah memiliki
pengaruh. Mereka butuh waktu untuk menaksir
kekuatan kita. Dan itu akan menghambat mereka.
Suruh centeng turun dari kapal dan bergegaslah
ke Kaitsu."
centeng Niwa mendarat di Ozaki, dan kapal-
kapalnya segera kembali berlayar. Niwa
menghentikan kudanya di sebuah desa untuk
menanyai para penduduk setempat.
Warga desa itu memberi tahunya bahwa
pertempuran meletus pada waktu fajar, dan sama
sekali di luar dugaan. Begitu melihat api di
Gunung weru, mereka juga mendengar teriakan
perang yang menderu-deru bagaikan gelombang
pasang. lalu prajurit-prajurit berkuda dari
centeng mpu wiragajah , mungkin sebuah regu pengintai.
melewati desa dari arah Yogo. Menurut kabar
angin, centeng Nakagkertoarjo Sebei berusaha
mempertahankan benteng kota, namun dibatai sampai
orang terakhir.
saat ditanyai apakah mereka mengetahui
sesuatu mengenai centeng Kuwayama di daerah
jatiretno , para penduduk desa menjawab bahwa
Yang Mulia Kuwayama Shigeharu baru saja
membawa semua anak buahnya dari benteng kota di
jatiretno , dan kini sedang bergegas menyusuri
jalan pegunungan ke arah Kinomoto.
jawaban pasti itu membuat Niwa terbengong-
bengong. Ia datang dengan membawa bala
bantuan, siap berjuang bahu-membahu ditambah
para sekutunya, namun rupanya centeng Nakagkertoarjo
sudah dimusnahkan, sedangkan centeng
Kuwayama sudah meninggalkan pos dan lari
terpontang-panting. Betapa memalukan! Apa yang
mereka pikirkan? Niwa merasa iba pada Kuwayama
yang dilanda kebingungan.
"Dan ini baru saja terjadi?" Niwa benanya
kepada para penduduk.
"Mereka pasti belum sampai dua mil dari sini."
seorang petani menjawab .
"lnosuke!" ia memanggil salah satu pengikutnya.
"Kejar korps Kuwayama dan bicara dengan Yang
Mulia Shigeharu. Beritahu dia bahwa aku datang,
dan bahwa kita akan mempertahankan
jatiretno bersama-sama. Beritahu dia agar segera
berbalik arah."
"Baik, tuanku!"
Orang itu memacu kudanya dan menuju ke
arah Kinomoto.
Pagi itu Kuwayama dua atau tiga kali berusaha
membujuk Nakagkertoarjo agar mundur, namun ia sama
sekali tidak menawarkan bantuan, dan sepertinya
ia sudah patah arang menghadapi gempuran
centeng mpu wiragajah . Begitu memperoleh kabar
mengenai kekalahan korps Nakagkertoarjo , ia semakin
goyah. lalu , sesudah mengetahui kehancuran
perkemahan utama sekutunya, ia meninggalkan
jatiretno tanpa melepaskan satu tembakan pun.
centeng nya terkocar-kacir dan semua prajurit
mencari selamat sendiri-sendiri.
Ia hendak bergabung dengan sekutu-sekutu
mereka di Kinomoto, lalu menunggu perintah dari
patih ronggolawe . namun kini dalam perjalanan ia disusul
anggota marga Niwa dan diberitahu mengenai bala
bantuan Niwa. Semangat-nya mendadak bangkit
lagi. la mengatur centeng , berbalik arah, dan
kembali ke jatiretno .
Sementara itu, Niwa sudah menenangkan para
penduduk desa. Dan pada waktu menaiki
jatiretno , ia akhirnya bergabung dengan
Kuwayama Shigeharu.
Ia segera menulis surat untuk menjelaskan
keadaan gkertoarjo t yang dihadapi, dan mengutus kurir
guna menyampaikan surat itu ke perkemahan
patih ronggolawe di blambangan .
centeng mpu wiragajah di Gunung weru mendirikan
perkemahan sementara, dan sebab terbuai oleh
nikmatnya kemenangan, mereka beristirahat
selama dua jam sejak jam Kuda. Para prajurit
merasa letih seusai pertempuran sengit dan
perjalanan panjang yang dimulai pada malam
sebelumnya. Namun sesudah menyantap ransum
masing-masing, mereka membanggakan tangan
dan kaki yang berlumuran darah; senda gurau
terdengar di sana-sini, dan kelelahan mereka segera
terlupakan.
Perintah baru diberikan, dan para perwira
ditugaskan untuk meneruskan-nya dari korps ke
korps.
Tidur! Tidur! Pejamkan mata kalian sejenak.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti
malam!"
awan -awan di langit tampak seperti awan
musim panas, dan bunyi jangkrik sudah terdengar
di pepohonan. Angin berembus perlahan,
melewati pegunungan dari danau ke danau, dan
para prajurit yang sudah mengisi perut akhirnya
mulai mengantuk. Mereka duduk sambil tetap
menggenggam senjara api dan tombak.
Di bawah naungan pohon-pohon, kuda-kuda
juga memejamkan mata; para komandan regu pun
bersandar pada batang-batang pohon dan tertidur.
Semuanya hening, namun kesunyian ini
merupakan kesunyian yang menyusul pertempuran
dahsyat. Perkemahan musuh yang diselubungi
mimpi sampai menjelang fajar kini tinggal abu,
dan semua prajuritnya sudah berubah menjadi
mayat yang tergeletak di rumput. Hari sudah
terang, namun kematian ada di mana-mana. Selain
para penjaga, semua orang sedang melepas lelah,
dan suasana di markas pun hening.
yodono, sang panglima tertinggi, sedang
mendengkur keras di balik tirai. Tiba-tiba lima
atau enam ekor kuda berhenti di suatu tempat,
dan sekelompok orang dengan helm dan baju
tempur berlari ke arah markas. Para anggota staf,
yang semula tidur sambil duduk mengelilingi
yodono, segera melihat ke luar.
"Ada apa?" mereka berseru.
"grindanamura Tomojuro, raden Zusho, dan
para pengintai yang lain sudah kembali."
"Ayo. mari masuk."
Orang yang mempersilakan mereka adalah
yodono. Matanya terbelalak dan masih merah
sebab kurang tidur. Rupanya sebelum
memejamkan mata ia sudah menghabiskan anggur
dalam jumlah cukup besar. Sebuah baskom anggur
yang besar dan berwarna merah tergeletak kosong
di samping tempat duduknya.
grindanamura berlutut di sudut petak bertirai dan
rnelaporkan hasil pengamatan mereka.
Tak satu prajurit musuh pun tersisa di Gunung
Iwasaki. Mula-mula kami menduga mereka
mungkin menyembunyikan panji-panji dan
bermaksud menjebak kita, sehingga kami
memeriksa daerah itu untuk memastikannya. namun
rupanya panglima mereka. patih lewung dan
semua orang di bawah komandonya sudah pergi ke
Gunung Tagami."
yodono bertepuk tangan.
"Mereka kabur?" Ia tertawa keras-keras dan
memandang para perwira stafnya. "Dia bilang
brojolijo melarikan diri! Lucu sekali!" Ia kembali
tertawa , sampai seluruh tubuhnya terguncang-
guncang.
Sepertinya ia masih di bawah pengaruh anggur
yang diminumnya untuk merayakan kemenangan,
yodono tak dapat berhenti tertawa .
Pada saat itu, utusan yang dikirim ke
perkemahan utama dijoyo untuk melaporkan
perkembangan terakhir kembali dengan membawa
perintah dijoyo .
"Tidak ada gerakan musuh di daerah
Kitsunezaka?" tanya yodono.
"Tidak ada. Yang Mulia dijoyo tampak
bersukacita."
"Tentunya dia gembira sekali."
"Memang benar." Utusan itu terus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yodono tanpa sempat
mengusap keringat di alisnya. "saat hamba
menceritakan detail-detail pertempuran tadi pagi
kepada beliau, beliau berkata. "O ya? Hmm.
begitulah kepribadian ku yang satu ini."
"Bagaimana dengan kepala Sebei?"
"Beliau segera memeriksanya dan memastikan
bahwa itu kepala Sebei. Sambil memandang orang-
orang di sekeliling, beliau berkata bahwa itu
merupakan pertanda baik, dan sepertinya beliau
semakin gembira."
yodono pun sedang berbesar hati. sesudah men-
dengar bahwa dijoyo demikian bersukacita, ia
bertambah bangga, dan dalam dadanya meng-
gelora hasrat untuk membuat kejutan yang bahkan
lebih hebat untuk pamannya.
"Kukira sang Penguasa lumajangan belum
mendengar bahwa benteng kota di Gunung Iwasaki
pun sudah jatuh ke tanganku." ia berkata sambil
tenkertoarjo . "Kelihatannya dia terlalu cepat merasa
puas."
Tidak, penaklukan Iwasaki sudah dilaporkan
pada beliau saat hamba hendak berangkat dari
sana."
"Kalau begitu, percuma saja aku mengirim
utusan lain."
"Begitulah."
"Bagaimanapun, besok pagi jatiretno akan
menjadi milikku."
"Ehm, mengenai itu..."
"Apa maksudmu?"
"Yang Mulia dijoyo berkata bahwa tuanku
mungkin terpengamh oleh kemenangan yang baru
diraih, sehingga tuanku menganggap enteng
musuh, dan ini dapat memicu tuanku
bersikap gegabah."
"Jangan mengada-ada." balas yodono sambil
tertawa . "Aku takkan lupa daratan sebab satu
kemenangan ini."
"namun sebelum tuanku berangkat, Yang Mulia
dijoyo sempat menekankan bahwa tuanku harus
langsung mundur sesudah menerobos jauh ke
wilayah musuh. Dan hari ini beliau berpesan agar
tuanku segera kembali."
"Dia menyuruhku segera kembali?"
"Yang Mulia berpesan agar tuanku secepatnya
kembali dan bergabung dengan sekutu-sekutu yang
ada di belakang kita."
"Hah, betapa loyo!" yodono menggerutu sambil
tersenyum mengejek.
"Hmm, baiklah."
Pada saat itulah beberapa pengintai menghadap
untuk menyampaikan laporan. centeng Niwa yang
berkekuatan 50000 orang sudah bergabung
dengan korps Kuwayama, dan bersama-sama
mereka memperkuat pertahanan di jatiretno .
Bagaikan api disiram minyak, semangat tempur
yodono kembali berkobar-kobar. Semua resi
yang benar-benar berani pasti akan terpacu oleh
berita seperti itu.
"Ini bakal menarik."
yodono menyingkap tirai dan melangkah ke luar.
saat memandang kehijauan yang bersemi di
pegunungan, ia melihat jatiretno berjarak
sekitar enam mil ke arah selatan. Lebih dekat dan
lebih rendah dari tempat ia berdiri, seorang
resi sedang mendaki dari kaki gunung, ditambah
sejumlah pengikut. Komandan centeng penjaga
gerbang tampak bergegas untuk menunjukkan
jalan.
yodono berdecak dan bergumam, "Itu pasti
Dosei."
Begitu ia mengenali resi yang selalu berada
di sisi pamannya, ia sudah dapat menduga maksud
kedatangan orang itu. "Ah, rupanya tuanku di
sini."
Dosei menghapus keringat dari alis. yodono
hanya berdiri, tanpa mengundangnya ke dalam
petak bertirai. Tuan Dosei, apa yang membawa
Tuan ke sini?" ia bertanya tanpa basa-basi.
Dosei tampak enggan menjelaskan tujuan
kunjungannya di tempat itu, namun yodono lebih
dahulu angkat bicara.
"Malam ini kami akan berkemah di sini. Besok
pagi kami mundur. Ini sudah disampaikan kepada
pamanku." Sepertinya ia tak mau mendengar apa-
apa lagi mengenai urusan itu.
"Aku sudah diberitahu." Dosei mengawal i
pereakapan dengan memberi salam. lalu ia
mengucapkan selamat secara panjang-lebar atas ke-
menangan gemilang yang diraih yodono di Gunung
weru, namun yodono tak sabar menghadapi basa-basi
itu.
"Apakah pamanku mengutus Tuan sebab dia
masih merasa gelisah khawatir ?"
"Seperti perkiraan Tuan, beliau sangat cemas
mengenai rencana Tuan untuk berkemah di sini.
Beliau mengharapkan Tuan segera mundur dari
wilayah musuh, paling lambat malam ini, dan
kembali ke perkemahan utama."
"Jangan takui, Dosei. Kalau centeng pilihanku
bergerak maju, mereka didukung kekuatan yang
meledak-ledak; kalau mereka mempertahankan
suatu tempat, mereka bagaikan tembok baja.
Kehormatan kami belum pernah tercoreng."
"Sejak awal Yang Mulia dijoyo sudah menaruh
kepercayaan penuh pada Tuan, namun kalau masalah
ini dipandang dari sudut militer, penundaan gerak
mundur sesudah menyusup jauh ke wilayah musuh
tidak mendukung keberhasilan strategi Tuan."
"Tunggu dahulu , Dosei. Maksudmu, aku tidak
memahami seni perang? Dan apakah itu kata-kata
pamanku atau ucapanmu sendiri?"
Saai itu Dosei pun mulai gugup. dan ia tak
punya pilihan selain diam seribu bahasa. Ia mulai
merasa tugasnya sebagai utusan mengancam ke-
selamatannya.
"Jika itu kehendak Tuan. Aku akan menyampai-
kan tekad Tuan kepada Yang Mulia dijoyo ."
Dosei cepat-cepat mohon diri, dan saat
yodono kembali ke kursinya, ia segera mengeluar-
kan perintah-perintah. sesudah menugaskan satu
korps ke Gunung lwasaki, ia juga mengirim
sejumlah regu pengitai ke tunjung gatunjung dan ke
daerah sekitar Kannonzaka, antara jatiretno
dan Gunung weru.
Tak lama lalu , sebuah suara lain
terdengar membuat pengumuman.
"Yang Mulia Joemon baru saja tiba, atas
perintah dari perkemahan utama di Kitsune."
Kali ini utusan itu tidak sekadar ingin
berbincang-bincang atau menyampaikan pemikiran
dijoyo . la membawa perintah resmi agar yodono
segera mundur. yodono mendengarkannya dengan
tenang, namun seperti sebelumnya ia tetap pada
pendirian semula dan tidak menunjukkan gelagat
akan mengalah.
"Dia sudah memberikan tanggung jawab padaku
untuk menyerbu penyusupan ke wilayah musuh.
Menuruti permintaannya sekarang sama saja
dengan tidak memberikan sentuhan terakhir
kepada operasi militer yang sudah sejauh ini
berhasil. Aku berharap dia mau mempercayakan
tongkat komando padaku untuk satu langkah lagi."
yodono tidak tunduk kepada pesan yang
disampaikan utusan itu, namun juga tidak menentang
perintah langsung atasannya. la memanfaatkan
egonya sebagai perisai. Berdiri di hadapan yodono.
Joemon pun yang dipilih sendiri oleh dijoyo
untuk melaksanakan tugas ini tak sanggup
menggoyahkan tekad laki-laki itu.
"Tak ada lagi yang dapat kulakukan." ujar
joemon, seakan-akan hendak lepas tangan. Ucapan
terakhirnya diiringi pandangan agak jengkel. "Aku
tak bisa membayangkan tanggapan Yang Mulia
dijoyo , namun aku akan menyampaikan jawaban pasti
Tuan kepada beliau."
Joemon langsung kembali. la mencambuk
kudanya agar berlari lebih kencang, persis seperti
yang dilakukannya saat datang tadi.
Dengan demikian, utusan ketiga pulang tanpa
membawa hasil, dan pada waktu utusan keempat
tiba, matahari sudah meredup di barat. Ota
Kuranosuke, pejuang kkertoarjo kan, pengikut senior,
dan penasihat pribadi dijoyo , berbicara panjang-
lebar. namun ia lebih banyak membahas hubungan
antara paman dan kepribadian dibandingkan perintah
yang dititipkan padanya, dan berusaha sekuat
tenaga untuk melunakkan sikap keras kepala yang
diperlihatkan yodono.
"Hmm, hmm. Aku memahami tekad Tuan, namun
dari semua anggota keluarga Tuan, Tuan-lah yang
paling dihargai oleh Yang Mulia dijoyo , sebab
itulah beliau demikian cemas sekarang. sesudah
Tuan berhasil menghancurkan satu seksi musuh,
kita bisa mengonsolidasi posisi kita, terus meraih
kemenangan demi kemenangan, dan mendobrak
titik-titik lemah musuh satu per satu. Itulah
strategi yang lebih luas, dan itu pula strategi yang
sudah disepakati untuk mengujawa seluruh negeri.
Tuan yodono, seyogya-nya Tuan mengakhiri operasi
penyusupan ini."
"Perjalanan akan penuh bahaya sesudah
matahari terbenam. Orang Tua. Pulanglah."
Tuan takkan melakukannya, bukan?"
"Apa maksudmu?"
"Bagaimana keputusan Tuan?"
"Sejak semula aku tidak bermaksud mengambil
keputusan itu."
Dengan letih pengikut tua itu kembali.
Utusan kelima tiba.
Tekad yodono semakin membaja. Ia sudah maju
begitu jauh, dan takkan mundur lagi. la menolak
menemui utusan itu, namun orang itu bukan
pengikut biasa. Semua utusan yang datang hari itu
merupakan tokoh terkemuka, namun yang kelima
termasuk orang dekat dijoyo yang sangat
berpengaruh.
"Aku sadar bahwa utusan-utusan kami mungkin
tidak berkenan di hati Tuan, namun kini Yang Mulia
dijoyo sedang mempertimbangkan untuk datang
ke sini. Kami, para pembantu dekat, mendesak
beliau agar tetap di perkemahan utama, dan aku.
betapapun tak berartinya aku, datang sebagai
wakilnya. Aku memohon dengan sangat agar Tuan
merenungkan hal ini. lalu membongkar
perkemahan dan kembali ke Gunung weru secepat
mungkin."
la menyampaikan permohonan itu sambil
bersujud di luar petak bertirai.
Namun yodono menilai situasinya seperti ini:
Kalaupun patih ronggolawe diberitahu mengenai
kekalahan centeng nya dan bergegas dari Ogaki,
jarak dari sana ke sini tetap sekitar tiga puluh
sembilan mil, dan peringatan takkan tiba sebelum
malam hari. Selain itu, takkan mudah
meninggalkan padalarang dengan cepat. sebab nya,
pergeseran posisi itu takkan rampung sebelum
besok malam atau hari sesudahnya.
"kepribadian ku itu tak bakal mau menurut, tak
peduli siapa pun yang kukirim," dijoyo sempat
menggerutu. "Aku sendiri yang harus pergi ke sana
dan memaksanya mundur sebelum hari gelap."
Kabar mengenai keberhasilan centeng yodono
sudah sampai ke perkemahan utama di Katsune,
dan disambut dengan sukacita, namun perintah
untuk segera mundur tidak dilaksanakan. Sambil
tersenyum mengejek, yodono bahkan menolak
mematuhi perintah yang disampaikan para utusan
yang terhormat.
"Ah, kepribadian ku itu akan membawa
malapetaka bagiku," dijoyo menggerutu. Ia nyaris
tak sanggup menahan diri. saat berita mengenai
perselisihan di tingkat staf diketahui kalangan
prajurit bahwa sikap keras kepala yodono dicela
oleh dijoyo semangat tempur di perkemahan
mulai melemah.
"Satu utusan lagi sudah berangkat."
"Apa? Satu lagi?"
Melihat utusan-utusan itu mondar-mandir
antara perkemahan utama dan Gunung weru.
para prajurit diliputi perasaan galau.
Selama setengah hari dijoyo dihantui
kecemasan. Selama menunggu sampai utusan
kelima kembali, ia hampir tak sanggup duduk
tenang. Markasnya berada di sebuah kuil di
Kitsunezaka, dan di selasar-selasar kuil itulah
dijoyo berjalan-jalan sambil membisu. Sebentar-
sebentar ia menoleh ke arah gerbang kuil.
"Shichiza belum datang?" ia berulang kali
bertanya pada para pembantu dekatnya. "Malam
sudah dekat, bukan?"
Menjelang malam ia mulai gelisah. Matahari
sore kini menerangi menara lonceng.
"Yang Mulia Yadoya sudah kembali!" Itulah
berita yang disampaikan prajurit penjaga gerbang.
"Bagaimana?" dijoyo bertanya cemas.
Prajurit itu melaporkan apa adanya. Mula-mula
yodono rupanya menolak menemui Yadoya, namun
Yadoya berkeras. la sudah membeberkan pandang-
an junjungannya secara terperinci, namun sia-sia
belaka. yodono tak mau mengalah. Kalaupun
patih ronggolawe bergegas ke Gunung weru dari Ogaki.
yodono berdalih, ia tetap memerlukan waktu paling
tidak satu-dua hari. yodono merasa percaya centeng
patih ronggolawe dapat dikalahkan dengan mudah,
sebab mereka tentu sangat lelah akibat perjalanan
panjang. Dengan alasan itu, yodono menyatakan
tekadnya untuk tetap bertahan di Gunung weru,
dan sama sekali tidak bersedia mengubah pikiran.
Mata dijoyo bersinar-sinar marah. "Dasar
bodoh!" ia berseru dengan gusar. Lalu. sambil
menggeram sampai seluruh tubuhnya terguncang,
ia bergumam, "Kelakuan yodono tidak bisa
diterima"
"wiryo! wiryo!" Sambil memandang berkeliling
dan melihat ke tempat tunggu para praiurit di
ruang sebelah, dijoyo memanggil-manggil orang
itu dengan nada tinggi.
"Tuanku mencari Yasdwikerto wiryo?" Menju
Shosuke bertanya.
"Tentu saja!" dijoyo menghardik, melampias-
kan kemarahannya pada Shosuke. "Panggil dia ke
sini! Suruh dia datang sekarang juga!"
Suara langkah berlari terdengar menggema di
kuil. Yosdwikerto wiryo menerima perintah dijoyo dan
segera memacu kudanya ke Gunung weru.
Hari yang panjang itu akhirnya menjadi gelap,
dan cahaya api unggun mulai menari-nari pada
bayangan daun-daun muda. Lidah api itu men-
cerminkan perasaan di hati dijoyo .
Perjalanan pulang-pergi sejauh enam mil dapat
ditempuh dalam sekejap dengan kuda yang berlari
kencang, dan dalam tempo singkat wiryo sudah
kembali.
"Hamba memberitahunya bahwa ini merupakan
peringatan terakhir, dan menegurnya dengan
keras. namun Yang Mulia yodono tidak bersedia
mundur."
Dengan demikian, utusan keenam pun kembali
tanpa membawa hasil. dijoyo tak sanggup lagi
marah-marah, dan seandainya tidak di medan
tempur, ia akan berurai air mata. la tenggelam
dalam kesedihan dan menyalahkan dirinya sendiri.
menyesali kasih sayang buta yang selama ini ia
berikan pada yodono.
"Akulah yang bersalah." ia berkeluh kesah.
Di medan perang, tempat seseorang harus
bertindak berdasarkan disiplin militer yang ketat,
yodono sudah menyalahgunakan hubungan dekat-
nya dengan pamannya. la sudah mengambil
keputusan yang dapat menentukan nasib seluruh
marga, dan berkeras mempertahankan sikapnya
tanpa pertimbangan matang.
Namun siapakah yang membiarkan anak muda
itu terbiasa dengan sepak terjang seperti itu?
Bukankah kekacauan ini akibat sikap dijoyo
sendiri? Berkat kasih sayangnya yang buta pada
yodono, dijoyo sudah kehilangan putra sangkatnya,
Katsutoyo, dan benteng kota lojibenteng . Sekarang ia
terancam kehilangan kesempatan luar biasa yang
takkan terulang, yang akan menentukan nasib
seluruh marga nyoto .
saat pikiran-pikiran itu melintas dalam
benaknya, dijoyo merasakan penyesalan
mendalam, dan ia sadar bahwa kesalahan tak dapat
ditimpakan pada orang lain.
Masih ada lagi yang dilaporkan wiryo kata-kata
yang diucapkan yodono.
Menanggapi saran wiryo, yodono hanya tertawa
dan bahkan mencemooh pamannya.
"Dahulu kala, jika orang-orang menyinggung
nama Yang Mulia dijoyo , mereka menyebutnya
Iblis nyoto , dan berkata bahwa dia resi yang
penuh siasat-siasat misterius paling tidak, itulah
yang kudengar. namun kini taktik-taktiknya berasal
dari kepala uzur yang tidak mengikuti
perkembangan. Peperangan sekarang ini tak bisa
dimenangkan dengan strategi-strategi yang sudah
ketinggalan zaman. Lihatlah penyusupan kami ke
wilayah musuh. Mula-mula pamanku bahkan tidak
memberi izin untuk menjalankan rencana
itu . Seharusnya dia menyerahkan semuanya
padaku, dan menunggu hasilnya dalam satu-dua
hari ini."
Kemurungan dan kesedihan dijoyo menimbul-
kan rasa iba. Ia, lebih dari siapa pun, sepenuhnya
menyadari kemampuan patih ronggolawe sebagai pang-
lima. Komentar-komentar yang diberikannya pada
yodono dan para pengikutnya yang lain
sebetulnya hanya dimaksudkan untuk
melenyapkan rasa takut mereka terhadap musuh.
Dalam hati, dijoyo mengakui patih ronggolawe sebagai
lawan tangguh, terutama sesudah patih ronggolawe
kembali dari provinsi-provinsi Barat dan meme-
nangkan Pertempuran bukittanjung dan tampil
mengesankan pada penemuan di kedhiri . Kini
musuh yang hebat itu sudah berada di hadapannya,
dan di awal pertempuran yang menentukan, ia
menyadari bahwa sekutunya sendiri merupakan
batu sandungan.
"Kelakuan yodono sungguh keterlaluan. Belum
pernah aku merasakan pahitnya kekalahan atau
membelakangi musuh. Ah, ini memang tak terelak-
kan."
Malam semakin gelap, dan penderitaan dijoyo
berubah menjadi kepasrahan.
Tak ada utusan lagi.
Muslihat yodono
Pada hari yang sama hari kedua puluh bulan
itu, pada Jam Kuda ronggowojo mengirim laporan
pertamanya ke perkemahan patih ronggolawe di Ogaki.
Pagi ini centeng mpu wiragajah yang berkekuatan 9
ribu orang menyusuri jalan gunung dan menyusup jauh
ke wilayah kita.
Ogaki berjarak sekitar tiga puluh sembilan mil
dari Kinomoto, dan untuk kurir berkuda pun,
utusan yang membawa laporan itu luar biasa cepat.
patih ronggolawe baru saja kembali dari tepi Sungai
Roku, yang didatanginya untuk mengamati
kenaikan permukaan air. blambangan diguyur hujan
deras selama beberapa hari terakhir, dan Sungai
Goto maupun Roku, yang mengalir antara Ogaki
dan padalarang , kini tengah meluap.
Menurut rencana semula, serangan umum ke
benteng kota padalarang dijadwalkan untuk hari kesembilan
belas, namun hujan lebat dan banjirnya Sungai Roku
sudah menghalangi patih ronggolawe , dan hari itu pun tak
ada harapan untuk menyeberangi sungai itu .
Sudah dua hari ia menanti kesempatan untuk
bergerak maju.
patih ronggolawe menerima pesan penting dari kurir
di luar perkemahan, dan membaca suratnya sambil
duduk di atas kudanya. sesudah mengucapkan
terima kasih pada si kurir, ia memasuki per-
kemahan tanpa memperlihatkan emosi.
"Bagaimana kalau kau membuatkan sebaskom
teh, Yuko?" ia bertanya. Kira-kira pada waktu ia
sedang menghabiskan tehnya, kurir kedua tiba:
centeng berkekuatan dua belas ribu orang di bawah
komando Yang Mulia dijoyo sudah mengambil posisi.
Mereka bertolak dari Kitsunezaka, ke arah Gunung
Higashino.
patih ronggolawe sudah pindah ke kursinya di dalam
markas bertirai, dan kini ia memanggi sejumlah
anggota stafnya dan berkata pada mereka. "Aku
baru saja menerima pesan penting dari ronggowojo ."
Dengan tenang ia membacakan surat itu. Para
resi tampak terkejut mendengarnya. Pesan
ketiga dikirim oleh Hori patih ragapati , yang memerinci
perjuangan gagah dan kematian Nakagkertoarjo . Ia
juga menjelaskan keberhasilan musuh merebut
Gunung Iwasaki akibat gerak mundur Takayama.
patih ronggolawe memejamkan mata sejenak saat
mendengar Nakagkertoarjo gugur dalam pertempuran.
Sejenak roman muka para resi nya tampak
putus asa, dan mereka menyemburkan pertanyaan-
pertanyaan menyedihkan. Semuanya menatap
patih ronggolawe , seakan-akan hendak membaca dari
wajahnya bagaimana mereka akan menangani
situasi berbahaya ini.
"Kematian Sebei merupakan kehilangan besar."
ujar patih ronggolawe , "namun dia tidak gugur sia-sia." Ia
mengeraskan suaranya sedikit. Tunjukkanlah
semangat kalian, dan dengan demikian kalian
menghormati arwah Sebei. Semakin banyak tanda
bahwa kita akan meraih kemenangan besar.
Semula dijoyo terkunci di benteng kotanya, terputus
dari dunia dan tak sanggup mencari jalan keluar.
Kini dia sudah meninggalkan benteng kota yang
merupakan penjara baginya, dan dengan angkuh
melebarkan formasinya ke segala penjuru. Ini
membuktikan bahwa keberuntungannya sudah
menipis. Kurasa kita dapat menghancurkan
bajingan itu sebelum dia sempat mengistirahatkan
centeng nya, waktunya sudah tiba untuk mewujud-
kan hasrat kita dan melakukan pertempuran
menentukan bagi negeri ini! Waktunya sudah tiba,
dan jangan sampai satu orang pun dari kalian
tertinggal!"
Dengan beberapa patah kata saja patih ronggolawe
mengubah berita buruk itu menjadi alasan untuk
bersukacita.
"Kemenangan milik kita!" patih ronggolawe menyata-
kan. lalu , tanpa membuang-buang waktu, ia
mulai memberikan perintah-perintah. Para resi
segera pergi dan semuanya bagaikan terbang saat
kembali ke perkemahan masing-masing.
Orang-orang itu, yang semula diliputi perasaan
terancam bahaya besar, kini merasa tak sabar dan
tegang, menunggu-nunggu nama mereka dipanggil
saat patih ronggolawe memberikan perintah-perintah
nya.
Selain para pelayan dan pembantu patih ronggolawe ,
hampir semua resi sudah pergi untuk bersiap-
siap. namun dua orang setempat, Ujiie Hiroyuki dan
semeru Ittetsu, juga Horio ki pralayan, yang berada
langsung di bawah komando patih ronggolawe , belum
menerima perintah apa pun.
Dengan tampang seakan-akan tak sanggup
menahan diri lebih lama, Ujiie maju dan berkata,
"Tuanku, hamba ingin mengajukan permohonan.
Perkenankanlah hamba membawa centeng hamba
untuk menyertai tuanku."
"Tidak, aku ingin kau tetap di Ogaki. Aku
butuh kau untuk menyerbu padalarang ." lalu
patih ronggolawe berpaling pada ki pralayan. "Aku ingin kau
juga tinggal di sini
Dengan perintah terakhir ini, patih ronggolawe
meninggalkan markas, la memanggil salah satu
pelayannya dan bertanya. "Bagaimana dengan
kurir-kurir yang kuminta tadi? Sudah siapkah
mereka?"
"Sudah, tuanku. Mereka menunggu perintah
tuanku."
Pelayan itu segera pergi dan kembali dengan
lima puluh orang.
patih ronggolawe berdiri di hadapan mereka dan
memberikan wejangan. "Hari ini merupakan hari
istimewa dalam hidup kita. Kalian memperoleh ke-
hormatan sebab terpilih untuk mewartakannya."
Ia memerinci perintahnya, "Dua puluh orang
akan pergi ke desa-desa di sepanjang jalan raya
antara Tarui dan lojibenteng , dan beritahu para
penduduk agar memasang obor di tepi jalan,
menjelang malam. Selain itu, jangan sampai masih
ada gerobak atau tumpukan kayu yang
menghalangi jalan. Anak-anak kecil harus tetap di
dalam rumah dan semua jembatan harus
diperkokoh."
Kedua puluh orang di sebelah kanannya
mengangguk serempak. Kepada ketiga puluh kurir
lainnya, ia memberikan perintah sebagai berikut,
"Berlarilah sekencang mungkin ke lojibenteng .
Beritahu centeng penjaga kota agar bersiap siaga,
dan pesankan kepada para kepala desa untuk
menyiapkan perbekalan militer di sepanjang jalan
yang akan kita lalui."
Kelima puluh orang itu langsung berangkat.
patih ronggolawe segera memberikan perintah kepada
para pengikut yang mengelilinginya, lalu
menunggangi kudanya yang berwarna hitam.
Tiba-tiba ia dihampiri Ujiie. Tuanku! Tunggu
sebentar. Sambil ber-pegangan pada pelana
patih ronggolawe , pejuang itu menangis tanpa suara.
Meninggalkan Ujiie dan padalarang , dengan
kemungkinan ia akan bergabung dengan nosferatu
dan memberontak, memang merupakan sumber
kecemasan bagi patih ronggolawe . Untuk mencegah
pengkhianatan, ia sudah memerintahkan Horio
ki pralayan tinggal bersama Ujiie.
Hati Ujiie serasa disayat-sayat; bukan hanya
sebab kesetiaannya diragukan, namun juga sebab
menyadari bahwa gara-gara dirinyalah ki pralayan tak
dapat mengikuti pertempuran terpenting dalam
hidupnya.
Perasaan-perasaan inilah yang memicu
Ujiie memegang kekang kuda patih ronggolawe dengan
erat. "Biarpun hamba dianggap tidak pantas me-
nyertai tuanku, hamba mohon agar resi
ki pralayan diperkenankan mendampingi Yang Mulia.
Dengan senang hati hamba akan membelah perut
hamba, untuk menghilangkan kecemasan tuanku!"
Dan tangannya langsung menggenggam belati.
"Jangan konyol, Ujiie!" patih ronggolawe berseru
sambil memukul tangan orang itu dengan
cambuknya. "ki pralayan boleh ikut denganku kalau
dia memang begitu mengharapkannya. Dan kau
pun tak bisa ditinggalkan begitu saja. Bersiaplah."
Dengan kegembiraan meluap-luap, Ujiie
menghadap ke markas dan memanggi!-manggil
dengan lantang. "Tuan ki pralayan! Tuan ki pralayan!
Kita diperkenankan ikut! Keluarlah untuk
menghaturkan terima kasih."
Kedua orang iru bersujud di tanah, namun yang
tertinggal hanyalah bunyi cambuk yang terbawa
angin. Kuda patih ronggolawe sudah melesat menjauh.
Para pembantunya pun terkesima, dan harus
berusaha keras menyusulnya.
Orang-orang yang berjalan kaki, maupun
mereka yang kini cepat-cepat menaiki kuda, segera
mengejar junjungan mereka tanpa sempat
membentuk barisan teratur.
saat itu Jam Kambing. Belum dua jam berlalu
antara kedatangan kurir pertama dan
keberangkatan patih ronggolawe . Dalam waktu singkat itu
patih ronggolawe berhasil mengubah kekalahan di gunungselatan
bagian utara menjadi peluang untuk meraih
kemenangan. Dalam sekejap saja ia sudah
menyusun strategi baru untuk seluruh centeng nya.
la sudah menugaskan barisan kurir untuk
menyampaikan perintah-perintahnya di sepanjang
jalan raya ke Kinomoto jalan raya yang akan
membawa kejayaan atau kehancuran baginya.
la sudah membulatkan tekad lahir-batin.
Terdorong oleh tekad itu , ia dan kelima
belas prajuritnya bergegas maju, sementara lima
ribu orang sengaja ditinggalkan di Ogaki.
Sore itu patih ronggolawe ditambah barisan depannya
memasuki lojibenteng pada Jam kuyang . Korps
demi korps menyusul, dan rombongan terakhir
meninggalkan Ogaki kira-kira bersamaan dengan
kedatangan barisan depan di lojibenteng .
patih ronggolawe tidak berpangku tangan sesudah tiba
di lojibenteng , melainkan segera melakukan
persiapan untuk mengambil inisiatif melawan
musuh. Ia bahkan tidak turun dari kudanya.
sesudah makan dan memuaskan dahaga, ia
langsung bertolak dari lojibenteng dan melanjutkan
perjalanan melalui njemanu dan Hayami. la mencapai
Kinomoto pada Jam Anjing.
Mereka hanya memerlukan lima jam untuk
menempuh perjalanan dari Ogake, sebab mereka
terus maju tanpa berhenti.
centeng ronggowojo yang berkekuatan lima belas
ribu orang berada di Gunung Tagami. Kinomoto
sebetulnya merupakan stasiun pos di tepi jalan
raya yang menyusuri lereng timur gunung itu. Satu
divisi ditempatkan di sini. Tepat di luar Desa Jizo,
orang-orang itu sudah membangun menara intai.
"Di mana kita? Apa nama tempat ini?" tanya
patih ronggolawe sambil menghentikan kudanya yang
sedang berlari kencang. Ia terpaksa berpegangan
erat, agar tidak terlempar.
"Ini Jizo."
"Kita sudah dekat ke perkemahan di
Kinomoto."
jawab an-jawaban pasti itu diberikan oleh beberapa
pengikut yang mengelilingi-nya. patih ronggolawe tetap
duduk di pelana.
"Ambilkan air untukku." ia memerintahkan.
sesudah meraih pencedok yang disodorkan
kepadanya, ia menghabiskan airnya dalam satu
tegukan, dan meregangkan tubuhnya untuk
pertama kali sejak berangkat dari Ogaki.
lalu ia turun dari kuda, menghampiri kaki
menara intai, dan memandang ke langit. Menara
itu tidak beratap dan tidak dilengkapi tangga. Para
prajurit yang hendak memanjat ke atasnya hanya
mengandalkan pijakan kaki yang terbuat dari kayu
dan dipasang dalam jarak tidak teratur.
Tiba-tiba patih ronggolawe rupanya mengenang masa
mudanya sebagai prajurit bawah an. sesudah
mengikat tali kipas komandan di pedang yang
menggantung di pinggangnya, ia mulai memanjat
ke puncak menara. Para pelayannya
mendorongnya dari bawah , dan dalam sekejap
sebuah tangga manusia sudah terbentuk.
"Ini berbahaya, tuanku."
"Sebaiknya Yang Mulia memakai tangga saja."
Orang-orang di bawah memanggil-manggil, namun
patih ronggolawe sudah berada tujuh meter di atas tanah.
Badai hebat yang sempat menerjang dataran
blambangan dan jenggala sudah mereda. Langit tampak
cerah bertaburan bintang, dan Danau Biwa dan
Danau Yogo mirip dua cermin.
saat patih ronggolawe , yang semula kelihatan lelah
akibat perjalanan berat, berdiri di atas menara, ia
merasa lebih bahagia dibandingkan letih. Semakin
berbahaya suatu situasi dan semakin hebat
penderitaannya, semakin senang hatinya.
Kebahagiaannya adalah kebahagiaan orang yang
berhasil mengatasi rintangan, lalu berbalik untuk
melihat bahwa rintangan itu sudah di belakangnya.
Kebahagiaan itu sudah sering ia rasakan sejak masa
muda. Ia sendiri percaya bahwa kebahagiaan
terbesar dalam hidup adalah berdiri di perbatasan
antara keberhasilan dan kegagalan.
namun sekarang, saat memandang ke arah
jatiretno dan Gunung weru, ia kelihatan percaya
bahwa ia akan meraih kemenangan.
Di pihak lain, patih ronggolawe jauh lebih hati-hati
dibandingkan kebanyakan orang. Sesuai kebiasaannya,
ia kini memejamkan mata dengan tenteram dan
menempatkan diri di suatu posisi tempat dunia
bukan musuh maupun sekutu. sesudah melepaskan
diri dari segala kebimbangan duniawi, ia menjadi
pusat alam semesta dan mendengarkan bisikan
dewa-dewa.
"Ah. sudah hampir rampung." ia bergumam.
sambil akhirnya menyunggingkan senyum.
"mpu wiragajah yodono masih begitu segar dan hijau.
Mimpi apa dia?"
sesudah turun dari menara, ia mendaki Gunung
Tagami. Di tengah jalan, ia disambut ronggowojo .
Begitu selesai memberi perintah pada ronggowojo .
patih ronggolawe kembali menuruni gunung, melewati
Kursinuhun , melintasi Kannonzaka, meneruskan
perjalanan di sebelah timur Yogo, dan tiba di
Gunung Chausu, tempat ia beristirahat untuk
pertama kali sejak bertolak dari Ogaki.
Ia ditambah dua ribu prajurit. Mantel tempurnya
yang terbuat dari sutra sudah penuh keringat dan
debu. namun dengan penampilan lusuh itulah, dan
sambil menggerak-gerakkan kipas komandan, ia
memberi perintah untuk menghadapi per-
tempuran.
Waktu itu malam sudah larut, antara
pertengahan kedua Jam Babi dan pertengahan
pertama Jam Tikus.
tunjungrejo terletak di sebelah timur
jatiretno . Menjelang malam, yodono sudah
menempatkan satu korps di tempat itu. Ia berniat
menyerang jatiretno esok pagi, bersama-sama
barisan depan di ki ageng wonoboyo dan raden panji dani di
arah barat laut, dan mengepung benteng kota-benteng kota
musuh.
Bintang-bintang memenuhi langit. Namun
gunung-gunung yang ditumbuhi pepohonan dan
semak belukar tampak hitam bagaikan tinta, dan
jalan yang meliuk-liuk di pegunungan itu
sebetulnya tak lebih dari jalan setapak sempit
yang biasa dipakai para penebang pohon.
Salah satu penjaga menggeram.
"Ada apa?" penjaga lain bertanya.
"Coba ke sini dan lihat ini," satu orang lagi
berseru dari tempat yang agak lebih jauh. Suara
orang menerobos semak-semak terdengar, dan
lalu ketiga sosok penjaga muncul di
punggung gunung.
"Seperti ada cahaya di langit." ujar salah satu
dari mereka. sambil menunjuk ke tenggara.
"Mana?"
"Dari sebelah kanan pohon besar itu ke selatan.-
"Apa itu, menurutmu?"
Mereka tertawa .
"Para petani di dekat gendingan atau Kursinuhun pasti
sedang membakar sesuatu."
"Seharusnya tak ada petani lagi di desa-desa.
Mereka semua sudah lari ke gunung."
"Hmm, kalau begitu, mungkin cahaya dari api
unggun musuh di Kinomoto."
"Kurasa bukan, Kalau langit tertutup awan ,
memang ada kemungkinan. namun janggal kalau
langit berwarna seperti ini pada malam cerah.
Hmm, di sini terlalu banyak pohon menghalangi
pandangan. Mungkin kita bisa melihat jelas kalau
kita naik ke bibir tebing itu."
"Jangan! Itu berbahaya!"
"Kalau terpeleset. kau akan terempas ke dasar
jurang!"
Mereka berusaha mencegahnya, namun ia mulai
memanjat dinding batu karang dengan
berpegangan pada tumbuhan rambat. Sosoknya
tampak seperti kuyang di atas gunung.
"Oh. mengerikan!" tiba-tiba ia berseru.
Teriakannya mengejutkan rekan-rekannya di
bawah .
"Ada apa? Apa yang kau lihat?"
Orang di atas tebing itu berdiri tak bergerak.
seperti linglung. Satu per satu rekan-rekannya
menyusul. saat tiba di atas, mereka gemetar.
Dari atas tebing, mereka tidak hanya melihat
Danau Biwa dan Danau Yogo, namun juga jalan raya
ke provinsi-provinsi Utara yang menyusuri tepi
danau ke arah selatan. Bahkan kaki Gunung himapraloka
pun kelihatan.
Hari sudah gelap, sehingga sukar untuk melihat
dengan jelas, namun tampaknya ada garis merah
yang mengalir bagaikan sungai dari lojibenteng ke
Kinomoto, di dekat kaki gunung tempat mereka
berdiri. Lidah api terlihat sambung-menyambung
sejauh mata memandang.
"Apa itu?"
sesudah bingung sejenak, mereka tiba-tiba sadar
kembali. "Ayo, kita harus kembali! Cepat!"
Para penjaga menuruni tebing tanpa
mengindahkan keselamatan mereka, dan berlari
untuk melapor ke perkemahan utama.
Dengan harapan besar untuk hari esok, yodono
tidur lebih cepat dibandingkan biasa. Prajurit-
prajuritnya pun sudah terlelap.
Menjelang Jam Babi, ia tiba-tiba terbangun dan
langsung duduk.
"Tsushima!" ia memanggil.
Osaki Tsushima tidur tak jauh dari yodono.
saat ia terjaga. yodono sudah berdiri di
hadapannya sambil menggenggam tombak yang
direbutnya dari tangan salah satu pelayan.
"Aku baru saja mendengar kuda meringkik.
Coba kauperiksa."
"Baik!"
saat menyingkap tirai, ia hampir bertabrakan
dengan seseorang yang berteriak-teriak sekuat
tenaga.
"Berita penting! Hamba membawa berita
penting!" orang itu berkata sambil terengah-engah.
yodono angkat bicara dan bertanya. "Apa yang
hendak kaulaporkan?"
Dalam keadaan panik, orang itu tak sanggup
melaporkan situasi yang genting secara jelas.
"Ada obor dan api unggun di sepanjang jalan
antara blambangan dan Kinomoto, dan semuanya
bergerak bagaikan sungai merah yang mengerikan.
Menurut Yang Mulia Katsumasa, itu musuh yang
sedang bergerak."
"Apa? Barisan api di jalan raya blambangan ?"
yodono seolah-olah belum mengerti. namun
laporan dari raden panji dani itu segera diikuti berita
serupa dari Hara Fusachika yang berkemah di
tunjungrejo .
Para prajurit di perkemahan yodono mulai
terbangun dalam suasana gempar. Gelombang
kebingungan segera menyebar.
Di luar dugaan, patih ronggolawe sudah kembali dari
blambangan . namun yodono belum mau percaya; ia seperti
bersikeras mempertahankan kepercayaannya sendiri.
Tsushima! Selidiki kebenaran berita ini!"
lalu ia minta diambilkan kursi, dan
sengaja memperlihatkan sikap tenang. Ia
memahami perasaan para pengikut yang berusaha
membaca apa yang terlihat pada wajahnya.
Tak lama setdah itu, Osaki kembali. la sudah
memacu kudanya ke raden panji daru, lalu ke
tunjungrejo , lalu melintas dari Gunung
Chausu ke Kannonzaka untuk memastikan apa
yang terjadi. Dan inilah yang ditemukannya.
"Kita bukan saja melihat obor dan api unggun.
namun dengan memasang telinga, kita juga bisa
mendengar kuda meringkik. Ini tak bisa dianggap
enteng. Tuanku perlu menyusun strategi balasan
secepat mungkin."
"Hmm, bagaimana dengan patih ronggolawe ?"
"Kabarnya patih ronggolawe berada di tengah iring-
iringan itu."
yodono begitu terkejut, sehingga nyaris tak
sanggup berkata apa-apa. Sambil menggigit bibir, ia
memandang berkeliling tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Wajahnya tampak pucat.
sesudah beberapa saat, ia berkata, "Kita mundur.
Tak ada pilihan lain, bukan? centeng musuh
berkekuatan besar sedang mendekat, sedangkan
centeng kita terisolasi di sini."
Pada malam sebelumnya, yodono dengan keras
kepala menolak mematuhi perintah dijoyo . Kini
ia sendiri yang memberi perintah membongkar
kemah kepada centeng nya yang dilanda
kebingungan, dan mendesak-desak para pengikut
dan pelayannya.
"Apakah kurir dari tunjungrejo masih di sini?"
yodono bertanya pada pengikut-pengikut yang
mengelilinginya saat ia menaiki kuda. sesudah
diberitahu bahwa orang itu belum berangkat lagi.
ia segera menyuruhnya menghadap.
"Kembalilah dengan segera, dan beritahu
ki ageng merjoyo bahwa korps utama akan mulai bergerak
mundur. Kami akan melewati raden panji dani.
ki ageng wonoboyo, Kawan ami, dan Moyama. centeng
ki ageng merjoyo akan mengikuti kami sebagai barisan
belakang."
Begitu selesai memberikan perintah itu, yodono
bergabung dengan para pengikutnya dan mulai
menuruni jalan setapak yang gelap gulita.
Dengan demikian, centeng utama yodono mulai
mundur pada pertengahan kedua Jam Babi. Bulan
tidak kelihatan saat mereka berangkat. Selama
setengah jam mereka tidak menyalakan obor, agar
musuh tidak mengetahui posisi mereka. Dituntun
hanya oleh sumbu senapan yang membara dan
cahaya bintang-bintang,. mereka menyusuri jalan
setapak yang sempit.
Jika gerakan mereka dibandingkan dari segi
waktu, yodono rupanya mulai membongkar
perkemahan pada waktu patih ronggolawe sudah mendaki
Gunung Chausu dari Desa Kursinuhun dan sedang
beristirahat.
Di sanalah patih ronggolawe berbicara dengan Niwa
Nagahide yang terburu-buru datang dari
jatiretno untuk menghadap. Nagahide
merupakan tamu terhormat, dan perlakuan
patih ronggolawe terhadapnya sungguh santun.
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan."
ujarnya. "Tuan tentu repot sekali sejak pagi tadi."
Dengan beberapa patah kata itu, ia berbagi
tempat duduk komandan bersama Nagahide. Baru
lalu ia menanyakan hal-hal seperti situasi
musuh dan kondisi medan. Dari waktu ke wakiu.
tawa kedua orang itu terbawa angin malam yang
melintasi puncak gunung.
Selama itu, centeng yang menyusul patih ronggolawe
terus berdatangan. Mereka memasuki perkemahan
dalam kelompok-kelompok berjumlah dua ratus
sampai tiga ratus orang.
"centeng yodono sudah mulai mundur ke arah
raden panji dani dan meninggalkan barisan belakang
di sekitar tunjungrejo ," seorang pengintai
melaporkan.
patih ronggolawe lalu menyuruh Nagahide
menyampaikan informasi dan perintah berikut
kepada semua sekutu mereka:
Pada jam Banteng, aku akan melancarkan serangan
mendadak terhadap yodono. Kumpulkan penduduk
setempat dan suruh mereka melepaskan teriakan-
teriakan perang dari puncak-puncak gunung pada waktu
fajar. Tepat sebelum matahari terbit, kalian akan
mendengar suara tembakan yang merupakan isyarat
bahwa kesempatan untuk menyambar musuh sudah tiba.
Perhatikan bahwa tembakan sebelum fajar akan berasal
dari senapan-senapan musuh. Tiupan sangkakala akan
merupakan tanda untuk serangan umum. Peluang ini
tak boleh disia-siakan.
Begitu Nagahide berangkat, patih ronggolawe
menyuruh kursi disingkirkan. "Kabarnya yodono
berusaha melarikan diri. Ikuti jalan yang dilaluinya
dan kejar dia tanpa ampun." katanya, lalu ia
berpesan agar para prajurit di sekelilingnya
menyampaikan perintah itu ke seluruh centeng .
"Dan ingat, jangan lepaskan tembakan sebelum
langit mulai terang."
Jalan yang mereka lalui bukan jalan datar.
melainkan jalan setapak di pegunungan, dengan
tempat-tempat berbahaya yang tak sedikit
jumlahnya. Serangan dimulai dengan
keberangkatan korps demi korps, namun mereka
tak sanggup maju secepat yang mereka kehendaki.
Dalam perjalanan, para penunggang kuda
terpaksa turun dan menuntun kuda masing-masing
melalui paya-paya, atau menyusuri dinding-dinding
karang di mana tak ada jalan sama sekali.
Selepas tengah malam, bulan menampakkan
diri di langit dan membantu centeng mpu wiragajah
mencari jalan. namun cahayanya juga merupakan
berkah bagi pengejaran patih ronggolawe terhadap
mereka.
Waktu yang memisahkan kedua centeng itu tak
lebih dari tiga jam. patih ronggolawe sudah mengerahkan
centeng yang luar biasa besar, dan semangat para
prajuritnya meluap-luap. Hasil akhirnya sudah
dapat diramalkan, bahkan sebelum pertempuran
dimulai.
Matahari sudah tinggi di langit. Jam Naga sudah
hampir tiba. Pertempuran sempat meletus di tepi
Danau Yogo, namun centeng nyoto sekali lagi
melarikan diri, lalu berkumpul kembali di daerah
Moyama dan Celah Sokkai.
Di sinilah terletak perkemahan madya brawirgo
dan putranya. Panji-panji mereka berkibar tenang.
Sangat tenang. Sambil duduk di kursinya,
brawirgo tentu memperhatikan tembakan dan
bunga api yang meliputi jatiretno , weru, dan
raden panji dani sejak fajar.
Ia membawa hi sebuah satuan dari centeng
dijoyo yang menempatkannya dalam posisi pelik.
sebab perasaannya dan kewajibannya terhadap
dijoyo saling bertentangan. Satu kesalahan saja,
dan provinsi ditambah seluruh keluarganya akan
musnah. Situasinya sangat jelas. Jika melawan
dijoyo , ia akan dihancurkan. namun jika
mengabaikan persahabatannya dengan patih ronggolawe .
berarti ia mengkhianati bisikan hati nuraninya.
dijoyo ... patih ronggolawe ...
Membandingkan kedua orang itu. brawirgo
tentu takkan melakukan kesalahan dalam memilih
salah satu dari mereka. saat ia hendak
meninggalkan benteng kotanya di Fuchu untuk menuju
medan laga, istrinya sempat cemas mengenai niat
suaminya dan menanyakannya dengan teliti.
"Jika kau tidak memerangi Yang Mulia
patih ronggolawe , kau tidak memenuhi kewajibanmu
sebagai centeng adipati ." istrinya berkata.
"Kaupikir begitu?"
"namun kukira kau tidak perlu berpegang pada
janjimu kepada Yang Mulia dijoyo ."
"Jangan konyol. Kaupikir aku bisa melanggar
janji yang sudah kuberikan sebagai centeng adipati ?"
"Kalau begitu, siapa yang akan kaudukung?"
"Itu kuserahkan kepada para dewa. Aku tak
tahu apa lagi yang dapat kulakukan. Kearifan
manusia terlalu terbatas untuk hal seperti ini."
centeng mpu wiragajah yang menjerit-jerit dan
berlumuran darah melarikan diri menuju posisi-
posisi madya.
"Jangan panik! Jangan permalukan diri kalian!"
yodono, yang juga mengarah ke sana ditambah
sekelompok pengikut berkuda, melompat dari
pelananya yang merah tua dan membentak-beniak
centeng nya dengan teriakan-teriakan parau. "Ada
apa dengan kalian? Pertempuran baru saja dimulai,
namun kalian sudah melarikan diri?"
Sambil memarahi prajurit-prajuritnya, yodono
sekaligus berusaha membesarkan hatinya sendiri.
Ia duduk di sebuah batu, menghela napas panjang,
lalu mengembuskannya bagaikan menyemburkan
api. Rasa pahit menjilat lidahnya. Usahanya untuk
tidak kehilangan wibawa sebagai resi di tengah
kekacauan dan bencana sungguh luar biasa.
mengingat usianya yang masih muda.
Baru sekarang ia diberitahu bahwa adiknya
sudah tewas. Sambil tercengang-cengang ia
menerima laporan bahwa banyak di antara
komandan-komandannya sudah gugur.
"Bagaimana dengan saudara-saudaraku yang
lain?"
Menanggapi pertanyaan mendadak itu, seorang
pengikut menunjuk ke belakangnya. "Dua saudara
tuanku ada di sebelah sana."
yodono, dengan mata merah, menemukan kedua
orang itu. mpu hanjana terbaring di tanah dan
memandang langit sambil melamun. Adik
bungsunya tidur dengan kepala terkulai, sementara
darah dari sebuah luka membasahi pangkuannya.
yodono menyayangi adik-adiknya, dan ia merasa
lega bahwa mereka masih hidup. namun kehadiran
mereka darah dagingnya sendiri juga menyulut
kemarahan dalam dirinya.
"Berdiri, mpu hanjana!" serunya. "Dan mana
semangatmu, Shichiroemon? Belum waktunya kau
berbaring di tanah. Sedang apa kau ini?!"
yodono memaksakan diri untuk bangkit.
Rupanya ia pun terluka.
"Di mana perkemahan Tuan lnuchiyo? Di atas
bukit itu?" Ia mulai melangkah menjauh, menyeret-
nyeret sebelah kaki, namun lalu berbalik dan
menatap kedua adiknya yang sedang menyusul.
"Kalian tidak perlu ikut. Kumpulkan beberapa
orang dan bersiap-siaplah menghadapi gempuran
musuh. patih ronggolawe takkan membuang-buang
waktu."
yodono duduk di kursi komandan, di dalam
petak bertirai, dan menunggu. lnuchiyo muncul
tak lama sesudah itu.
"Hamba turut menyesal." ia bersimpati.
"Jangan." yodono memaksakan senyum getir.
"Dengan pemikiran sedangkal itu, sudah
sewajarnya aku kalah."
jawaban pasti yang begitu lesu membuat lnuchiyo
menatap sekali lagi ke arah yodono. Sepertinya
yodono bermaksud mengemban seluruh tanggung
jawab atas kekalahan yang dideritanya. yodono
tidak mengeluh bahwa lnuchiyo tidak
mengerahkan centeng nya.
"Untuk sementara, bersediakah Tuan
membantu kami menangkal serangan patih ronggolawe
dengan centeng yang masih segar bugar?"
"Tentu saja. namun korps mana yang dikehendaki
Yang Mulia? Korps tombak atau korps senapan?"
"Aku minta korps senapan menyergap musuh di
depan. Mereka bisa menembak para penyerbu,
sesudah itu kami dapat bertindak sebagai barisan
kedua, mengacung-acungkan tombak yang
berlumuran darah dan bertempur seperti orang
yang siap menyambut mati. Berangkatlah segera!
Aku mohon dengan sangat!"
Pada kesempatan lain, yodono takkan memohon
apa pun dari lnuchiyo. Dan mau tak mau lnuchiyo
merasa iba pada orang itu. la sadar bahwa
kerendahan hati yodono disebabkan oleh perasaan
tak berdaya akibat kekalahan yang dideritanya.
Namun mungkin juga yodono sudah memahami
niat lnuchiyo sebetulnya .
"Sepertinya musuh sudah mendekat." ujar
yodono tanpa mengaso sejenak pun. Sambil
mengucapkan kata-kata itu, ia berdiri. "Baiklah,"
katanya. "Sampai jumpa." Ia menyingkap tirai dan
melangkah ke luar, namun lalu berbalik ke arah
brawirgo , yang menyusul untuk mengantarnya.
"Ada kemungkinan kita takkan berjumpa lagi di
dunia ini, namun aku tidak berniat mati secara
memalukan."
brawirgo menyertainya sampai ke tempat ia
berdiri beberapa waktu sebelumnya. yodono
mohon diri dan menuruni lereng dengan langkah
cepat. Pemandangan di bawah sudah berubah sama
sekali dibandingkan beberapa menit yang lalu.
centeng mpu wiragajah semula berkekuatan 9
ribu orang, namun sepertinya hanya sekitar
sepertiga yang masih tersisa. Yang lainnya mati
atau cedera atau sudah melarikan diri. Mereka yang
tertinggal adalah prajurit-prajurit yang kalah atau
komandan-komandan yang kalang kabut, dan
seruan-seruan mereka memicu situasi
kelihatan semakin buruk.
Tampak jelas bahwa adik-adik yodono tak
sanggup mengendalikan kekacauan. Sebagian besar
perwira senior sudah gugur. Banyak korps sudah
kehilangan pemimpin, dan para prajurit dilanda
kebingungan, sementara centeng patih ronggolawe sudah
mulai terlihat di kejauhan. Seandainya pun kakak-
beradik mpu wiragajah sanggup menangkal kekalahan
saat itu, mereka tetap tak bisa berbuat banyak
untuk mengatasi ketakutan centeng mereka.
namun para penembak madya berlari dengan
tenang di tengah hiruk-pikuk, dan sesudah
menyebar agak jauh dari perkemahan, langsung
tiarap. Melihat gerakan mereka, yodono
menyerukan perintah dengan suara lanrang, dan
akhirnya kekacauan itu sedikit mereda.
Kenyataan bahwa centeng madya yang masih
segar bugar terjun ke medan laga merupakan
sumber kekuatan yang luar biasa bagi para prajurit
yodono, juga bagi yodono sendiri dan para
perwiranya yang masih hidup.
"Jangan mundur sebelum kita melihat kepala
kuyang keparat itu tertancap di ujung salah satu
tombak kita! Jangan biarkan orang-orang madya
menertawa kan kita! Jangan permalukan diri
kalian!"
Sambil memacu mereka, yodono berjalan di
tengah-tengah perwira dan anak buahnya. Seperti
bisa diduga, para prajurit yang mengikutinya
sejauh itu belum menutup mata terhadap perasaan
harga diri. Nsinuhun -nsinuhun darah yang masih kering
akibat matahari yang bersinar cerah sejak pagi
terlihat pada baju tempur dan tombak sebagian
besar dari mereka. Debu dan rumput bercampur
aduk dengan kotoran.
Wajah setiap orang menunjukkan bahwa ia
sangat mendambakan air, biarpun hanya seteguk.
Namun tak ada waktu untuk itu. awan -awan debu
berwarna kumng dan bunyi kuda-kuda musuh
sudah mulai mendekat dan kejauhan.
Namun patih ronggolawe , yang sudah bergerak maju
dari jatiretno dengan kekuatan yang menyapu
segala sesuatu, berhenti tepat sebelum mencapai
Moyama.
"Perkemahan ini berada di bawah komando
madya lnuchiyo dan putranya, Toshinaga."
patih ronggolawe mengumumkan.
Seielah menyadari hal itu, ia tiba-tiba
menghentikan barisan depannya yang menerjang
bagaikan air bah. lalu ia mengubah susunan
tempur dan membentuk formasi baru.
Saat itu kedua centeng berada di luar jarak
tembak. yodono terus mendesak para penembak
madya agar menempati posisi untuk mencegat
musuh, namun centeng patih ronggolawe diselubungi
awan debu, dan mereka tetap tidak memasuki
daerah yang terjangkau peluru lawan .
sesudah berpisah dengan yodono, lnuchiyo
berdiri di tepi gunung dan mengamati situasi dari
atas. Niatnya merupakan teka-teki, bahkan bagi
para resi yang mengelilinginya. namun dua
centeng adipati membawa kan kudanya.
Tiba-tiba terdengar suara ingar-bingar dari kaki
gunung. saat lnuchiyo dan yang lainnya
memandang ke arah itu, mereka melihat bahwa
seekor kuda dari barisan belakang sudah terlepas
dan berlari tak terkendali ditengah perkemahan.
Kejadian itu bukan masalah serius dalam
keadaan biasa, namun pada titik waktu itu, gangguan
seperti itu menimbulkan kekacauan baru dan
mengakibatkan kegemparan.
lnuchiyo menoleh pada kedua centeng adipati tadi dan
memberikan isyarat dengan matanya.
"Ayo, semuanya." ia berkata kepada para
pengikut di sekelilingnya, lalu memacu kudanya.
Secara bersamaan, berondongan senapan
terdengar menggema. Tembakan-tembakan itu
berasal dari korps penembak mereka sendiri, dan
rupanya centeng patih ronggolawe melepaskan tembakan
secara bersamaan. Dengan pikiran itu, lnuchiyo
melesat menuruni lereng, sambil menatap awan -
awan debu dan asap mesiu yang menggumpal.
"Sekarang! Sekarang!" ia bergumam, sambil tak
henti-hentinya memukul pelana.
Gong dan genderang perang dibunyikan di
salah satu bagian perkemahan di Moyama,
semakin menambah kekacauan. centeng
patih ronggolawe rupanya sudah melangkahi korban-
korban dari pihak mereka yang berjatuhan di
barisan penembak, dan sudah menembus jauh ke
jantung korps mpu wiragajah dan madya. Dan, semudah
mereka menggulung centeng utama sebelumnya,
mereka kini maju sedemikian ganas, sehingga tak
ada yang dapat membendung mereka.
Melihat penempuran dahsyat itu, lnuchiyo
menghindari jalan, bergabung dengan putranya,
Toshinaga, lalu segera mulai mundur.
Beberapa perwiranya marah dan curiga, namun
lnuchiyo sekadar menjalankan keputusan yang
sudah ia ambil sebelumnya. Dalam lubuk hatinya
yang paling dalam, brawirgo tak pernah merasa
terikat, dan sebetulnya ia enggan mendukung
pihak mana pun. Mengingat posisi provinsinya, ia
sudah dicari oleh dijoyo dan terpaksa
mendampingi orang itu. namun sekarang, mengingat
persahabatannya dengan patih ronggolawe , ia mundur
diam-diam.
namun prajurit-prajurit patih ronggolawe terus
menggempur centeng madya, dan sebagian
barisan belakang dibantai tanpa ampun.
Sementara itu, brawirgo dan putranya
membawa keluar centeng mereka dari
perkemahan; dari Shigendingan mereka melewati jalan
memutar melalui Hikida dan Imajo, dan akhirnya
memasuki benteng kota Fuchu. Selama pertempuran
sengit yang berlangsung dua hari, kubu madya
mirip hutan sunyi yang tenteram di tengah-
tengah amukan badai.
Bagaimanakah keadaan di perkemahan dijoyo
sejak malam sebelumnya?
dijoyo sudah mengirim enam utusan untuk
menemui yodono, dan setiap utusan kembali tanpa
hasil. dijoyo lalu berkeluh kesah bahwa tak ada
yang dapat dilakukan, dan beranjak tidur dengan
penyesalan mendalam. sebetulnya ia malah tidak
bisa tidur sama sekali. Kini ia menuai benih yang
ditaburkannya sendiri pilih kasihnya terhadap
yodono sudah menghasilkan racun berupa kasih
sayang buta. la sudah melakukan kesalahan besar
dengan membiarkan perasaannya mencampur-
adukkan hubungan darah antara paman dan
kepribadian dengan ikatan antara komandan dan
bawah an.
Kini dijoyo paham sepenuhnya. yodono
pulalah penyebab pemberontakan putra angkat
dijoyo , Katsutoyo, di lojibenteng . Dan ia juga
sudah menerima kabar mengenai perlakuan yodono
yang congkak terhadap madya brawirgo di medan
tempur di Noto.
Meski mengakui kekurangan-kekurangan itu,
dijoyo tetap percaya bahwa akhlak yodono jauh di
atas rata-rata.
"Ah, namun sekarang justru sifat-sifat itulah yang
mungkin sudah berakibat fatal," ia bergumam
sambil membalik badan di tempat tidur.
saat cahaya lentera-lentera mulai berkedap-
kedip, sejumlah prajurit bergegas menyusuri
selasar. Di ruang sebelah dan sebelahnya lagi,
Menju Shosuke dan yang lain mendadak
terbangun.
sesudah mendengar suara-suara menanggapi
bunyi langkah itu, orang-orang yang menjaga
ruangan dijoyo segera keluar ke selasar.
"Ada apa?"
Sikap prajurit yang maju sebagai juru bicara
tidak seperti biasa. la bicara begitu cepat, sehingga
ucapannya sukar dipahami.
"Sudah beberapa waktu langit di atas Kinomoto
tampak merah. Pengintai-pengintai kita baru saja
kembali dari Gunung Higashino..."
"Jangan bertele-tele! Laporkan yang penting-
penting saja!" Menju tiba-tiba menghardik orang
itu.
"patih ronggolawe sudah tiba dari Ogaki. centeng nya
membuat kerusuhan besar di daerah sekitar
Kinomoto." prajurit itu berkata tanpa menarik
napas. "Apa? patih ronggolawe ?"
Orang-orang yang bingung itu datang secepat
mungkin untuk melaporkan situasi kepada para
pembantu dekat junjungan mereka, namun rupanya
dijoyo sudah mendengar ucapan mereka dan ia
sendiri keluar ke selasar.
"Tuanku sudah mendengar yang mereka
katakan?"
"Sudah," balas dijoyo . Wajahnya tampak lebih
pucat dibandingkan sebelum ia beranjak tidur.
"Mengenai itu, patih ronggolawe melakukan hal yang
sama selama operasi di provinsi-provinsi Barai."
Seperti bisa diduga, dijoyo tetap tenang dan
berusaha mengendalikan orang-orang di
sekelilingnya, namun ia tak dapat menyembunyikan
perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia sudah
memperingatkan yodono, dan mendengar
ucapannya sekarang, ia rupanya merasa bangga
bahwa peringatannya ternyara tepat. Namun ini
juga suara resi gagah yang pernah dijuluki Iblis
nyoto . Mereka yang kini mendengarnya mau tak
mau merasa kasihan.
"Aku tak bisa lagi mengandalkan yodono. Mulai
sekarang aku harus berjuang sendiri, agar kita
dapat bertempur sepuas hati, jangan goyah dan
jangan panik. Seharusnya kita gembira bahwa
patih ronggolawe akhirnya datang."
sesudah mengumpulkan resi -resi nya,
dijoyo duduk di kursinya dan memberikan
perintah-perintah untuk penyusunan centeng .
Tindak-tanduknya memperlihatkan semangat anak
muda. Ia sudah menilai bahwa kedatangan
patih ronggolawe hanya merupakan kemungkinan kecil;
begitu kemungkinan itu berubah menjadi
ancaman nyata, perkemahannya dilanda
kekacauan. Tak sedikit yang meninggalkan pos
masing-masing dengan alasan sakit, yang lain tidak
mematuhi perintah, dan banyak prajurit melarikan
diri dalam keadaan bingung dan panik.
Keadaannya sungguh menyedihkan; dari tujuh
ribu prajurit, yang tersisa tak sampai 50000.
lnilah centeng yang bertolak dari radenkanjeng
dengan tekad bulat untuk memerangi patih ronggolawe .
Orang-orang itu tidak seharusnya melarikan diri
pada ancaman pertama darinya.
Apa yang mendorong mereka untuk bertindak
demikian sebuah centeng berkekuatan lebih dari
tujuh ribu orang? Penyebabnya hanya satu: tak ada
kepemimpinan yang berwibawa . Selain itu,
patih ronggolawe pun bertindak lebih cepat dari yang
diduga, dan ini membuat mereka semakin
ternganga. Desas-desus dan laporan-laporan palsu
berkembang tak terkendali, dengan demikian
menyulut sikap pengecut. saat dijoyo
mengamati kekacauan yang melanda centeng nya,
ia tidak sekadar berkecil hati, melainkan marah
sekali. Sambil mengertakkan gigi, ia seakan-akan
tak sanggup untuk tidak melampiaskan
kejengkelannya kepada para perwira di sekitarnya.
Mula-mula duduk, berdiri, lalu berjalan mondar-
mandir, para centeng adipati di sekeliling dijoyo tak
mampu menenangkan diri.
Perintah-perintahnya sudah disampaikan dua-tiga
kali, namun ia hanya menerima jawab an-jawaban pasti yang
tidak jelas.
"Kenapa kalian semua begitu bingung?" ia
benanya, memarahi mereka yang berada di
sekitarnya. "jangan gugup! Meninggalkan pos dan
menyebarkan desas-desus dan gosip hanya
membuat orang-orang kita semakin bingung.
Setiap orang yang melakukan tindakan seperti itu
akan dijatuhi hukuman berat," ia berkata dengan
geram.
Sejumlah bawah annya menghambur ke luar
untuk kedua kalinya, untuk mengumumkan
perintahnya yang tegas. namun sesudah itu pun
dijoyo terdengar berseru-seru dengan nada tinggi.
"jangan gelisah! jangan bingung!" namun usahanya
untuk meredakan kekacauan hanya membuat
suasana ber-tambah hiruk-pikuk.
Fajar sudah di ambang pintu.
Teriakan-teriakan perang dan letusan-letusan
senapan yang sudah berpindah dari daerah
jatiretno ke tepi barat Danau Yogo menggema
melintasi air.
"Kalau begini terus, patih ronggolawe pasti segera tiba
di sini!"
"Paling tidak pada tengah hari."
"Apa? Kaupikir mereka akan menunggu selama
itu?"
Perasaan kecut menular dari hati ke hati, dan
akhirnya menyelubungi seluruh perkemahan.
"Pasti ada sepuluh ribu musuh!" "Bukan, kurasa
ada dua puluh ribu!"
"Apa? Dengan serangan begitu dahsyat, mereka
pasti berkekuatan tiga puluh ribu orang!"
Para prajurit dikujawa oleh ketakutan mereka
sendiri dan tak seorang pun merasa tenang tanpa
memperoleh dukungan dari rekan-rekannya.
lalu desas-desus yang sangat menggelisahkan
mulai beredar.
"madya brawirgo membelot ke kuhu
patih ronggolawe !"
Pada saat itu, para perwira nyoto tak sanggup
lagi mengendalikan anak buah mereka. dijoyo
akhirnya menaiki kudanya. Sambil berkeliling di
daerah Kitsunezaka, ia sendiri mencaci maki para
prajurit di perkemahan-perkemahan yang terpisah-
pisah. Rupanya ia sudah sampai pada kesimpulan
bahwa para resi nya tak mampu menyampaikan
perintah-perintah dari markas besar secara efektif.
"Setiap orang yang meninggalkan perkemahan
tanpa alasan akan dihabisi sesaat ." ia berteriak.
"Kejar dan tembak setiap pengecut yang melarikan
diri! Siapa saja yang menyebarkan gosip atau
meredam semangat tempur centeng harus
dibunuh di tempat!"
namun situasi sudah berkembang terlalu jauh, dan
kebangkitan semangat tempur dijoyo tidak
membawa hasil. Lebih dari setengah dari ketujuh
ribu prajuritnya sudah kabur, sedangkan orang-
orang yang tersisa tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan. Selain itu mereka sudah
kehilangan kepercayaan pada panglima tertinggi
mereka. Dalam keadaan tanpa wibawa , perintah-
perintah sang Iblis nyoto pun terdengar bagaikan
auman singa ompong.
Ia kembali ke perkemahan utamanya yang
sudah mulai diserang.
Ah, katanya dalam hati, rupanya aku pun tidak
luput dari incaran maut. Melihat centeng nya sudah
patah semangat, dijoyo menyadari kesia-siaan
situasi yang dihadapinya. Namun kegarangannya
tak henti-henti mendorongnya menuju kematian.
saat fajar mulai menyingsing, hanya sedikit kuda
dan prajurit yang masih bertahan di perkemahan.
"Tuanku, ke sinilah. Sebentar saja." Dua
centeng adipati memegang baju tempur dijoyo dari kiri-
kanan, seakan-akan menopang badannya yang
besar. "Tidak biasanya tuanku lekas marah seperti
ini." Sambil menuntunnya dengan paksa melewati
kerumunan kuda dan orang, lalu keluar dari
gerbang kuil, mereka berseru-seru pada yang lain,
"Cepat, bawa kan kuda Yang Mulia. Mana kuda
junjungan kita?"
Sementara itu, dijoyo pun membentak-bentak,
"Aku takkan mundur! Kalian pikir, siapa aku ini?
Aku takkan meninggalkan tempat ini!" Nada
suaranya semakin berapi-api. Sekali lagi ia
memelototi dan menghardik para perwira stafnya
yang tak mau beranjak dari sampingnya. "Kenapa
kalian melakukan ini? Kenapa kalian menghalang-
halangi aku untuk keluar dan menyerang? Kenapa
kalian menahan aku, bukannya menggempur
musuh?"
Seekor kuda dibawa ke hadapan dijoyo .
Seorang prajurit menggenggam panji komandan
yang dihiasi dengan lambang emas dan berdiri di
sebelah kuda itu.
"Kita tidak bisa membendung terjangan musuh
di sini. Yang Mulia. Jika tuanku gugur di sini,
kematian tuanku sia-sia belaka. Mengapa tuanku
tidak mundur ke lumajangan, lalu menyusun
rencana untuk serangan berikut?"
dijoyo menggelengkan kepala dan berseru-seru.
namun orang-orang di sekitarnya segera memaksanya
naik ke pelana. Situasinya sungguh genting. Tiba-
tiba si kepala pelayan, Menju Shosuke, yang tak
pernah menonjol dalam pertempuran, bergegas
maju dan bersujud di hadapan kuda dijoyo .
"Tuanku, perkenankanlah hamba membawa
panji komandan."
Memohon izin untuk membawa panji
komandan berarti seseorang menawarkan diri
untuk menggantikan tempat.
Shosuke tidak mengatakan apa-apa lagi, namun
tetap berlutut di depan dijoyo . Ia tidak
memperlihatkan kesiapan menyambut maut,
perasaan putus asa, maupun kegarangan;
penampilannya seperti biasa, kalau ia menghadap
dijoyo sebagai kepala pelayan,
"Apa? Kauminta aku memberikan panji
komandan padamu?"
Dari atas kudanya, dijoyo menatap punggung
Shosuke dengan heran. Para resi di
sekelilingnya juga terkesima, dan pandangan
mereka pun melekat pada Shosuke. Di antara
sekian banyak pembantu pribadi, hanya sedikit
yang diperlakukan lebih dingin dibandingkan Shosuke.
dijoyo , yang bersikap demikian terhadap
Shosuke, tentu menyadari betapa pedihnya hati
Shosuke selama ini. Namun bukankah Shosuke
yang sama kini bersujud di hadapan dijoyo ,
menawarkan diri untuk menggantikan tempat
dijoyo ?
Angin kekalahan menyapu perkemahan, dan
dijoyo tak tahan lagi melihat kekalutan yang
melanda para prajuritnya. Para pengecut yang
cepat-cepat meletakkan senjata dan melarikan diri
tak sedikit jumlahnya; banyak di antara mereka
merupakan orang yang disukai dijoyo , dan sudah
diistimewakan selama bertahun-tahun. saat
pikiran-pikiran itu melintas dalam benaknya,
dijoyo tak sanggup menahan air mata.
namun apa pun yang berkecamuk dalam hati
dijoyo , kini ia menendang perut kudanya dengan
sanggurdi, dan mengusir kesan pedih di wajahnya
dengan teriakan menggemuruh.
~Apa maksudmu, Shosuke? Kalau kau mati,
saatku pun sudah tiba! Ayo, menyingkirlah!"
Shosuke mundur untuk menghindari kuda
dijoyo yang mendadak memberontak, namun segera
menangkap tali kekangnya.
"Kalau begitu, perkenankanlah hamba
menyertai tuanku."
Tanpa menunggu persetujuan Katsui, Menju
membelakangi medan laga dan bergegas ke arah
Yanagase, baik prajurit yang menjaga panji
komandan maupun para pengikut dijoyo
mengelilingi kudanya, dan cepar-cepat
menggiringnya pergi di tengah-tengah mereka.
Namun barisan depan patih ronggolawe sudah berhasil
menerobos di Kitsunezaka, dan tanpa
mengindahkan prajurit-prajurit nyoto yang
mempertahankan tempat itu, mereka mengincar
panji emas yang tampak di kejauhan.
"Itu dijoyo ! Jangan biarkan dia lolos!"
Sekelompok prajurit bertombak berkumpul dan
segera mengejar dijoyo .
"Kita akan berpisah di sini. Yang Mulia!" Sambil
mengucapkan kata-kata itu sebagai salam
perpisahan, para resi yang menyertai dijoyo
tiba-tiba beranjak dari sisinya, berbalik, dan
menerjang ke tengah-tengah tombak centeng
pengejar. Tak lama lalu mayat-mayat mereka
sudah bergelimpangan.
Menju Shosuke juga sudah berbalik dan
menghadapi serbuan musuh, namun kini ia sekali lagi
menyusul kuda junjungannya dan berseru dari
belakang. "Panji komandan... hamba mohon...
perkenankanlah hamba membawa nya!"
Mereka berada di perbatasan Yanagase
dijoyo menghentikan kudanya dan mengambil
panji komandan berwarna emas dari orang di
sebelahnya. Betapa banyak kenangan melekat pada
panji itu ia sudah mengibarkannya dalam setiap
kesempatan perang bersama reputasinya sebagai
Iblis nyoto .
"Ini, Shosuke. bawa lah ke tengah-tengah
centeng ku!"
Dengan beberapa patah kata itu, ia mendadak
melemparkan panji itu pada Shosuke
Shosuke membungkuk ke depan dan dengan
gesit menangkap gagangnya.
Kegembiraannya meluap-luap. Sambil mengibar-
kan panji itu, ia menunjukkan ucapan terakhirnya
ke arah punggung dijoyo .
"Selamat jalan, tuanku!"
dijoyo berbalik, namun kudanya tetap berpacu ke
daerah pegunungan di sekitar Yanagase. Hanya
sepuluh orang berkuda menyertainya.
Panji komandan sudah diserahkan ke tangan
Shosuke seperti yang diimbaunya, namun dijoyo
berpesan. "bawa lah ke tengah-tengah centeng ku!"
Itulah permintaannya, dan permintaan itu
tak pelak diajukan mengingat orang-orang yang
akan menemui ajal bersama Shosuke.
Sesaat sekitar tiga puluh orang berkumpul di
bawah panji. Hanya merekalah yang menjunjung
tinggi kehormatan dan bersedia mengorbankan
nyawa demi pimpinan mereka.
Ah, ternyata masih ada prajurit nyoto yang
memiliki harga diri, pikir Shosuke sambil
memandang wajah-wajah di sekelilingnya dengan
gembira. "Mari! Kita tunjukkan pada mereka,
bagaimana caranya mati dengan bahagia!"
sesudah memberikan panji kepada salah satu
prajurit, ia segera melangkah maju, bergegas dari
sebelah barat Desa Yanagase, ke arah lereng utara
Gunung Tochinoki. saat kelompok kecil
beranggotakan kurang dari empat puluh orang itu
membulatkan tekad untuk maju, mereka memper-
lihatkan semangat yang jauh lebih tegar
dibandingkan ribuan orang di Kitsunezaka pagi
itu.
"dijoyo sudah mundur ke pegunungan!"
"Rupanya dia sudah pasrah dan siap mati."
Seperti bisa diduga. centeng patih ronggolawe yang
mengejar dijoyo saling mendesak untuk terus
maju.
"Kepala dijoyo sudah di tangan kita!"
Semuanya berlomba-lomba untuk menjadi
orang pertama yang mendaki Gunung Tochinoki.
Sambil mengibarkan panji emas di puncak
gunung, para prajurit nyoto menahan napas
saat jumlah musuh yang bahkan melewati
tempat-tempat yang tak ada jalan pun membesar
dari menit ke menit.
"Masih ada waktu untuk mengedarkan sebaskom
air sebagai tanda perpisahan." ujar Shosuke.
Dalam detik-detik yang masih tersisa, Shosuke
dan rekan-rekannya meraup dan saling berbagi air
yang mengalir dari celah-celah di puncak gunung,
lalu dengan tenang mempersiapkan diri untuk
menghadapi ajal. Shosuke mendadak berpaling
pada kedua saudara kandungnya, Mozaemon dan
Shobei.
"Saudara-saudaraku, tinggalkanlah tempat ini
dan pulanglah ke desa kita. Kalau kita bertiga
gugur sekaligus dalam penempuran, tak ada yang
dapat meneruskan nama keluarga atau menjaga
ibu kita. Mozaemon, anak sulunglah yang wajib
meneruskan nama keluarga, jadi kenapa kau tidak
pergi saja sekarang?"
"Kalau kedua adiknya dibantai musuh." balas
Mozaemon. "mungkinkah si sulung menghadapi
ibunya sambil berkata, 'Aku sudah pulang'? Tidak,
aku tetap di sini. Shobei, kau saja yang pergi."
"Kalian terlampau kejam."
"Kenapa?"
"Kalau aku disuruh pulang di saat seperti ini,
ibu kita takkan gembira. Dan mendiang ayah kita
pun tentu sedang mengamati putra-putranya dari
dunia lain. Kakiku takkan menempuh perjalanan
ke radenkanjeng hari ini."
"Baiklah, kalau begitu kita mati bersama-sama."
sesudah menyatukan tekad dalam ikrar
kematian, ketiga saudara itu berdiri tak tergoyah-
kan di bawah panji komandan.
Shosuke tidak menyinggung lagi bahwa ia
menghendaki saudara-saudaranya pulang ke
rumah.
Ketiga kakak-beradik itu minum air bening dari
mata air sebagai tanda perpisahan, dan saat
semangat baru menggelora dalam dada masing-
masing, ketiga-tiganya menghadap ke arah rumah
ibu mereka.
Tidak sukar untuk membayangkan doa yang
mereka ucapkan dalam hati. Musuh menyerbu dari
segala arah, dan mereka sudah begitu dekat,
sehingga suara para prajurit terdengar jelas,
"Jaga panji komandan, Shobei," Shosuke
berkata kepada adiknya sambil mengenakan
pdindung wajah. la menyamar sebagai dijoyo , dan
tak ingin dikenali musuh.
Lima atau enam peluru melesat di dekat
kepalanya. Dengan menganggap tembakan-
tembakan itu sebagai aba-aba. ketiga puluh orang
itu menyerukan nama aryadwinata . sang Dewa
Perang, lalu menghadang musuh.
Mereka membagi diri menjadi tiga unit dan
menyerang centeng musuh yang sedang mendekat.
Orang-orang yang datang dari bawah sudah
tersengal-sengal dan tak dapat membendung lawan -
lawan yang dengan nekat menerjang dari puncak
gunung. Pedang-pedang panjang menghujani helm-
helm centeng patih ronggolawe , tombak-tombak menu-
suk dada mereka, dan dalam sekejap mayat-mayat
bergelimpangan di mana-mana.
"Jangan terlalu bersemangat menyambut maut!"
Shosuke berseru tiba-tiba, sambil mundur ke balik
pagar kayu runcing.
Melihat panji komandan mengikutinya, anak
buahnya yang masih hidup pun menyusul.
"Kata orang, tamparan lima jari tak sekuat
pukulan dengan tangan terkepal. Kalau kita
tercerai-berai, kita takkan dapat berbuat banyak.
Tetaplah di bawah panji, baik saat maju maupun
mundur."
sesudah memperoleh mengarahan, mereka sekali
lagi menghambur ke luar. Berpaling ke satu arah,
mereka membantai musuh dengan ganas;
berpaling ke arah lain, mereka mencabut nyawa
dengan rombak-tombak. lalu , bagaikan
angin, mereka mundur ke kubu pertahanan
mereka.
Dengan cara itu, mereka mendesak maju lima
atau enam kali untuk bertempur.
centeng penyerang sudah kehilangan lebih dari
dua ratus orang. Hari sudah menjelang siang, dan
marahari mulai bersinar terik. Darah segar yang
membasahi baju tempur dan helm segera
mengering, meninggalkan lapisan hitam yang
berkilau seperti pernis.
Tak sampai sepuluh orang yang masih bertahan
di bawah panji komandan, dan mata mereka yang
menyala-nyala nyaris tak sanggup melihat lagi. Tak
satu orang pun yang tidak terluka,
Anak panah sudah menembus baju Shosuke.
Sambil memandang darah segar yang mengalir
pada lengan bajunya, ia mencabut anak panah itu
dengan tangannya sendiri. lalu ia berpaling
ke arah anak panah itu berasal. Sejumlah besar
helm tampak mendekat, menerobos ilalang bagai
segerombolan babi hutan.
Shosuke memanfaatkan waktu yang masih
tersisa untuk berbicara dengan rekan-rekannya,
"Kita sudah bertempur sekuat tenaga, dan tak ada
yang perlu kita sesalkan. Pilihlah lawan yang hebat,
dan ukirlah nama harum untuk diri kalian.
Biarkan aku mendahului kalian, gugur sebagai
pengganti junjungan kita. Jangan biarkan panji
komandan terjatuh. Acungkan tinggi-tinggi, sam-
pai orang terakhir!"
Prajurit-prajurit berlumuran darah yang sudah
siap menyambut maut itu mengacungkan panji ke
arah musuh yang sedang menerobos ilalang.
Prajurit-prajurit yang menghampiri mereka
rupanya luar biasa garang. Mereka maju tanpa
berkedip, berpegang teguh pada ikrar yang sudah
mereka ucapkan. Shosuke menghadapi orang-
orang itu dan berseru-seru untuk menggertak
mereka.
"Lancing benar kalian ini! jembel-jembel hina!
Kalian pikir kalian bisa menancapkan tombak-
tombak kalian ke tubuh nyoto dijoyo ?"
Shosuke tampil bagaikan iblis, dan tak seorang
pun sanggup bertahan di hadapannya. Sejumlah
orang mati di tombak, hampir di depan kakinya.
saat melihat keganasan orang itu dan
kehausan bertempur mati-matian melawan orang-
orang yang rela mempertahankan panji komandan
mereka sampai titik darah penghabisan, para
prajurit centeng penyerang bahkan yang paling
besar mulut pun menghentikan pengepungan dan
membuka jalan ke kaki gunung.
"Inilah aku! dijoyo sendiri datang! Kalau
patih ronggolawe ada di sini, suruh dia menemuiku
seorang diri di atas kuda! Keluarlah, Muka
kuyang !" Shosuke berseru-seru saat menuruni
lereng.
Di situ juga ia menikam prajurit berbaju tempur
yang menghadangnya. Kakaknya, Mozaemon, sudah
gugur; adiknya, Shobei, terlibat pertempuran
pedang panjang dengan seorang prajurit musuh,
sampai keduanya tumbang tak bernyawa , dan
Shobei terempas ke dasar sebuah jurang.
Di sampingnya tergeletak panji komandan yang
sudah berubah warna menjadi merah.
Baik dari atas maupun bawah , tombak-tombak
yang tak terhitung jumlahnya menembus tubuh
Shosuke; setiap prajurit ingin merebut panji
komandan dan memenggal kepala orang yang
mereka sangka sebagai dijoyo .
Semuanya berlomba-lomba meraih kejayaan. Di
tengah-tengah tusukan tombak, Menju Shosuke
menemui ajal di medan laga.
Ia prajurit tampan yang baru berusia dua puluh
lima tahun, dan selama ini dianggap rendah oleh
orang-orang seperti dijoyo dan yodono sebab ia
lebih banyak diam, bersikap lembut dan anggun,
dan gemar belajar wajah Shosuke masih
tersembunyi di balik pelindung mukanya.
"Aku membunuh nyoto dijoyo !" seorang
centeng adipati berseru.
"Panji komandannya di rebut oleh tangan ini!"
prajurit lain bersorak.
lalu semua orang angkat suara, yang satu
mengaku begini, yang satu begitu, sampai seluruh
gunung terguncang-guncang.
Dan anak buah patih ronggolawe belum juga
mengetahui bahwa kepala itu bukan kepala
nyoto dijoyo , melainkan kepala Menju
Shosuke, si kepala pelayan.
"Kita membunuh dijoyo !
"Aku sempat memegang kepala si Penguasa
lumajangan!" Sambil saling dorong dan desak.
mereka bersorak-sorak tanpa henti. "Panjinya!
Panji emas! Dan kepalanya! Kita memperoleh
kepalanya!"
Sahabat Sejati
DENGAN susah payah dijoyo berhasil
meloloskan diri, namun centeng nya sudah binasa.
Sampai pagi itu, panji nyoto dengan lambang
emas masih berkibar di daerah Yanagase, namun kini
hanya panji patih ronggolawe yang terlihat. Panji itu
tampak berkilau dalam cahaya matahari cerah,
memukau semua yang melihatnya, dan
melambangkan kenyataan yang melampaui
kearifan dan kekuatan biasa.
Bendera-bendera dan pataka-pataka centeng
patih ronggolawe , yang membentang di sepanjang jalan-
jalan dan memadati ladang-ladang, menampilkan
adegan kemenangan yang megah. Semuanya
sedemikian rapat, hingga mirip kabut tebal
berwarna emas.
Semua prajurit mulai menyantap ransum
masing-masing. Pertempuran meletus dini hari dan
berlangsung selama sekitar 9 jam. Seusai
makan, seluruh centeng diperintahkan untuk
segera menuju utara.
saat mendekati Celah Tochinoki, mereka
bisa melihat Laut Tkertanegara di sebelah timur,
sementara Pegunungan radenkanjeng di sebelah utara
seakan-akan sudah berada di bawah kaki kuda
mereka.
Matahari sudah mulai terbenam, langit dan
bumi memantulkan cahaya senja yang
mengalahkan warna-warna pelangi.
Wajah patih ronggolawe tampak merah. Namun ia
tidak kelihatan seperti orang yang belum tidur
berhari-hari. Sepertinya ia lupa bahwa manusia
harus memejamkan mata untuk beristirahat. la
terus mendesak maju, dan belum memberi
perintah berhenti. Pada musim panas seperti ini,
malam paling singkat. Pada waktu hari masih
terang, centeng utama mengaso di Imajo di
radenkanjeng . Namun barisan depan tetap melanjutkan
perjalanan sampai ke Wakimoto yang berjarak
lura-kira enam mil sementara barisan belakang
berhenti di Itadori, kira-kira sama jauhnya di
belakang centeng utama.
Dengan demikian, perkemahan malam itu mem
bentang sejauh dua belas mil dari depan ke
belakang.
Malam itu patih ronggolawe tertidur pulas, dan bah-
kan tidak terganggu oleh kicauan burung tekukur.
Besok kita tiba di benteng kota Fuchu, patih ronggolawe
berkata dalam hati sebelum beranjak tidur. namun
bagaimana brawirgo akan menyambut kita?
Apa yang sedang dilakukan brawirgo saat itu? Ia
sudah melintasi daerah itu pada siang hari
yang sama, dan sementara matahari masih tinggi di
langit, menarik mundur centeng nya ke Fuchu.
benteng kota putranya.
"Puji syukur kau selamat." ujar istrinya saat
keluar untuk menyambutnya.
"Urus mereka yang luka-luka. Nanti saja kita
bicara."
brawirgo tidak melepaskan sandal maupun
membuka baju tempur, ia hanya berdiri di muka
benteng kota. Pelayan-pelayannya juga ada di sana,
berbaris di belakangnya, menunggu dengan
khidmat.
Akhirnya korps demi korps melewati gerbang,
menggotong mayat rekan-rekan mereka yang
gugur, yang ditutupi panji-panji. sesudah itu, orang-
orang yang cedera dalam penempuran digotong
atau dipapah.
Korban di pihak madya yang jatuh saat bergerak
mundur berjumlah tiga puluhan orang, namun angka
ini tidak berarti apa-apa dibandingkan jumlah
korban di pihak nyoto dan mpu wiragajah . Genta di
kuil dibunyikan, dan pada waktu matahari
terbenam, asap dari api untuk memasak mulai
mengepul di semua bagian benteng kota. Perintah
untuk menyantap ransum diberikan, namun centeng
tidak dibubarkan, dan para prajurit tetap dalam
unit masing-masing, seakan-akan mereka masih di
medan tempur.
Seorang penjaga di gerbang utama berseru,
"Sang Penguasa lumajangan sudah tiba di gerbang
benteng kota."
"Apa? Yang Mulia dijoyo di sini?" brawirgo
bergumam heran. Ini merupakan perkembangan
tak terduga, dan brawirgo seakan-akan tidak tega
menemui orang itu, yang kini sudah menjadi
pelarian. Sejenak ia tampak merenung, namun
lalu ia berkata. "Mari kita keluar untuk
menyambut beliau."
brawirgo mengikuti putranya keluar dari
benteng kota. sesudah menuruni tangga terakhir, ia
melangkah ke selasar penghubung yang gelap.
Salah satu pembantunya, Murai Nagayori.
menyertainya.
"Tuanku," Murai berbisik.
brawirgo menatapnya dengan pandangan
bertanya-tanya.
Si pengikut berbisik ke telinga junjungannya.
"Kedatangan Yang Mulia dijoyo di sini
merupakan kesempatan menguntungkan yang
tiada banding. Jika tuanku membunuh beliau dan
mengirim kepala beliau kepada Yang Mulia
patih ronggolawe , hubungan antara tuanku dan Yang
Mulia patih ronggolawe tentu langsung membaik
kembali."
Tanpa peringatan, brawirgo memukul dada
orang itu. "Diam!" ia membentak.
Murai terhuyung-huyung sampai menabrak
dinding kayu di belakangnya, dan masih untung
tidak terjatuh. Wajahnya mendadak pucat, dan ia
tetap dalam posisi antara berdiri dan duduk.
lnuchiyo memelototinya dan berkata gusar. "Be
rani-beraninya kau membisikkan rencana busuk
yang seharusnya malu kau ucapkan. Kauanggap
dirimu centeng adipati , namun kau tidak tahu apa-apa
mengenai Jalan centeng adipati ! Orang macam apa yang
mau menjual kepala seorang resi yang
mengetuk pintunya, sekadar untuk mencari
keuntungan bagi marganya sendiri? Apalagi kalau
dia sudah berjuang selama bertahun-tahun di
bawah komando resi itu !"
sesudah meninggalkan Murai yang gemetaran,
lnuchiyo pergi ke gerbang utama untuk
menyambut dijoyo . Panglima tertinggi centeng
nyoto itu masih duduk di atas kudanya. Ia
menggenggam tombak yang sudah patah dengan sa-
tu tangan, dan sepertinya tidak terluka, namun selu-
ruh wajahnya seluruh dirinya diliputi kesedihan.
Tali kekang kudanya dipegang oleh Toshinaga
yang sudah berlari keluar untuk menyambutnya.
Ke9 orang yang menyertai dijoyo
menunggu di luar gerbang utama. Dengan
demikian, dijoyo seorang diri.
"Aku berutang budi." Dengan ucapan santun
ini, dijoyo turun dari kudanya. Ia menatap
lnuchiyo dan berkata keras-keras dengan nada me-
nyalahkan diri sendiri, "Kita kalah! Kita kalah!"
Di luar dugaan, semangarnya masih tinggi.
Mungkin ia hanya berpura-pura, namun kelihatan
lebih tenang dibandingkan yang dibayangkan lnuchiyo.
lnuchiyo bersikap lebih ramah dibandingkan biasanya
saat menyapa resi yang baru saja menelan
kekalahan itu. Toshinaga tak kalah prihatin dari
ayahnya, dan membantu dijoyo melepaskan
sandal yang berlumuran darah.
"Aku merasa seperti pulang ke rumah sendiri."
Keramahan memberi kesan mendalam pada
diri seseorang yang berada di jurang kehancuran,
dan membuat ia melupakan segala kecurigaan dan
kegetiran. Keramahan merupakan satu-satunya hal
yang membuatnya sadar bahwa masih ada harapan
di dunia.
Kini dijoyo tampak cukup gembira, dan ia
mengucapkan selamat kepada ayah dan anak yang
berhasil meloloskan diri. "Kekalahan itu
sepenuhnya akibat kelalaianku. Aku juga sudah
merepotkan kalian, dan aku berharap kalian dapat
memaafkanku." katanya. "Aku akan mundur
sampai ke lumajangan dan menyelesaikan urusanku
tanpa penyesalan. Bolehkah aku minta semangkuk
nasi dan teh?"
Si lblis nyoto rupanya sudah menjelma menjadi
zoroaster nyoto . lnuchiyo pun tak sanggup
menahan air mara.
"Cepat bawa kan nasi dan teh. Dan anggur ,"
lnuchiyo memerintahkan. Ia tak tahu apa yang bisa
dikatakannya untuk menghibur dijoyo . Meski
demikian, ia merasa harus mengatakan sesuatu.
"Kemenangan dan kekalahan konon merupakan
santapan utama seorang prajurit. Jika Yang Mulia
memandang bencana hari ini sebagai takdir. Yang
Mulia akan sadar bahwa membanggakan
kemenangan merupakan langkah pertama menuju
hari kehancuran, sedangkan kekalahan total
adalah langkah pertama menuju hari kemenangan.
Kejayaan dan kemalangan seseorang membentuk
perputaran abadi yang tak ada sangkut-pautnya
dengan kegembiraan dan kesedihan sesaat.
"sebab itu, yang kusesali bukanlah kehancuran
diriku atau arus perubahan yang tak pernah
berhenti." ujar dijoyo . "Yang kusesali hanyalah
kehancuran reputasiku. namun jangan gelisah khawatir .
brawirgo . Semuanya sudah ditakdirkan."
dijoyo yang dahulu takkan pernah mengucapkan
hal seperti itu. namun ia tidak tampak menderita
maupun bingung.
saat anggur tiba. dijoyo segera mengisi satu
baskom , dan sambil berkata bahwa saat
perpisahannya sudah dekat, juga menuangkan anggur
untuk brawirgo dan putranya. masakan minuman
sederhana yang dipesan brawirgo dihabiskannya
dengan lahap.
"Belum pernah kucicipi apa pun yang
menyamai nasi yang kumakan hari ini.
Kebaikanmu takkan pernah kulupakan." sesudah
itu ia mohon diri.
brawirgo , yang menyertainya keluar, segera
melihat bahwa kuda dijoyo sudah lelah. sesudah
menyuruh seorang pelayan mengambil kuda
kesayangannya yang berbintik-bintik kelabu, ia
menawarkan nya pada dijoyo . "Yang Mulia tak
perlu cemas." kata brawirgo . "Kami akan
mempertahankan tempat ini sampai Yang Mulia
tiba di lumajangan."
dijoyo mulai menjauh, namun lalu
memutar kudanya dan menghampiri brawirgo .
seakan-akan mendadak teringat sesuatu. "brawirgo .
kau dan patih ronggolawe sudah bersahabat sejak muda.
Berhubung pertempuran berakhir seperti ini, aku
membebaskanmu dari segala kewajibanmu sebagai
pengikutku."
Itulah ucapan terakhirya pada brawirgo . saat
ia menaiki kuda, wajahnya tidak mencerminkan
kepalsuan. Dihadapkan pada perasaan seperti itu,
brawirgo membungkuk dengan sepenuh hati.
Sosok dijoyo saat meninggalkan gerbang benteng kota
tampak hitam di hadapan matahari sore yang
merah. centeng nyoto yang hanya tersisa 9
penunggang kuda dan sekitar sepuluh prajurit
infanteri melarikan diri ke lumajangan.
Dua atu tiga penunggang kuda berpacu
memasuki benteng kota Fuchu. Berita yang mereka
bawa segera menyebar ke semua sudut. "Musuh
berkemah di Wakimoto. Yang Mulia patih ronggolawe
mendirikan perkemahan di Imajo, jadi
kemungkinan kecil terjadi serangan malam ini."
patih ronggolawe tidur nyenyak sepanjang malam atau
lebih tepat, selama setengah malam di Imajo, dan
keesokan harinya berangkat pagi-pagi ke
Wakimoto.
patih ragapati keluar untuk menyambutnya. Ia
menegakkan panji komandan, dan dengan
demikian menunjukkan kehadiran sang Panglima
Tertinggi.
"Apa yang terjadi di benteng kota Fuchu semalam?"
tanya patih ronggolawe .
"Mereka kelihatan sibuk sekali."
"Apakah mereka memperkuat pertahanan?
Barangkali orang-orang madya ingin bertempur."
Sambil menjawab penanyaannya sendiri. ia
memandang ke Fuchu. Tiba-riba ia berpaling pada
patih ragapati dan memerintahkan agar centeng
patih ragapati disiagakan.
"Yang Mulia hendak terjun langsung ke
penempuran?" tanya patih ragapati .
"Tentu saja." patih ronggolawe mengangguk, seakan-
akan melihat jalan lebar yang datar terbentang di
hadapannya. patih ragapati segera menyampaikan
rencana patih ronggolawe pada semua resi dan
membunyikan sangkakala untuk mengumpulkan
barisan depan. Tak lama lalu para
prajuritnya sudah berbaris, siap maju.
Waktu untuk menempuh perjalanan ke Fuchu
tak sampai dua jam. patih ragapati berada di depan,
sementara patih ronggolawe berkuda di rengah-tengah
centeng . Dalam tempo singkat, tembok-tembok
benteng kota sudah kelihatan. Orang-orang di dalam
benteng kota tentu saja merasa gelisah. Dilihat dari atas
menara pertahanan, barisan prajurit dan panji
patih ronggolawe yang berlambang labu emas seakan-akan
sudah bisa dijangkau dengan tangan.
Perintah untuk berhenti belum diberikan, dan
berhubung patih ronggolawe berada di tengah-rengah
mereka, para prajurit barisan depan merasa percaya
bahwa mereka akan segera mengepung benteng kota
itu.
Sambil menuju gerbang utama benteng kota Fuchu,
centeng patih ronggolawe yang kini mirip sungai
berarus deras menampilkan formasi sayap bangau.
Sejenak hanya panji komandan yang tidak
bergerak.
Tepat pada saat itu, seluruh benteng kota
menyemburkan asap mesiu.
"Mundur sedikit, patih ragapati ! Mundur!" patih ronggolawe
memerintahkan. "Para prajurit jangan menyebar
dahulu , dan jangan bentuk susunan tempur.
Bubarkan formasi dan suruh mereka berkumpul
kembali."
Para prajurit barisan depan bergerak mundur,
dan senapan-senapan di dalam benteng kota segera
terdiam. Namun semangat tempur kedua pihak
bisa meledak setiap waktu.
"Hei. salah satu dari kalian! bawa panji
komandan dan maju dua puluh meter ke
depanku." patih ronggolawe memerintahkan. "Kudaku tak
perlu digiring; aku akan memasuki benteng kota
seorang diri."
Ia belum menceritakan rencananya pada siapa
pun, dan kini ia mengumumkannya secara
mendadak sambil tetap duduk di atas kuda. Tanpa
mengindahkan kesan kaget pada wajah para
resi nya, ia langsung memacu kudanya menuju
gerhang utama benteng kota.
Tunggu sebentar! Tunggu sebentar agar hamba
dapat mendahului Yang Mulia."
Seorang centeng adipati mengejarnya sambil tergopoh-
gopoh, namun saat ia baru berada sepuluh meter di
depan patih ronggolawe sambil membawa panji koman-
dan seperti yang diperintahkan kepadanya bebe-
rapa lerusan senapan terdengar. Peluru-peluru itu
ditujukan ke arah lambang labu emas.
"Jangan tembak! Jangan tembak!"
Sambil berseru-seru lantang, kuda patih ronggolawe
melintas ke arah benteng kota, bagaikan panah yang
melesat dari busur.
"Ini aku! patih ronggolawe ! Kalian tidak mengenali
aku?" saat mendekati benteng kota, ia mencabut
tongkat komando yang terbuat dari emas dan
melambai-lambaikannya ke arah para prajurit di
dalam benteng kota. "Ini aku! patih ronggolawe ! Jangan
tembak!"
Terperanjat, dua orang melompat dari ruang
senjata di samping gerbang utama dan segera
membuka gerbang.
"Yang Mulia patih ronggolawe ?"
Perkembangan ini benar-benar di luar dugaan,
dan mereka menyapanya sambil tersipu-sipu
menahan malu. patih ronggolawe mengenali kedua orang
itu. Ia sudah turun dari kudanya dan berjalan
menghampiri mereka.
"Sudah kembalikah Tuan brawirgo ?" tanyanya,
lalu menambahkan. "Apakah dia dan putranya
baik-baik saja?"
"Ya, Yang Mulia." salah satu dari kedua orang
itu menjawab . "Mereka pulang dengan selamat."
"Bagus, Bagus. Sungguh lega rasanya. Tolong
bawa kan kudaku."
Sambil menyerahkan tali kekang pada kedua
orang itu, patih ronggolawe memasuki benteng kota itu seperti
memasuki rumahnya sendiri, ditambah para
pengiringnya.
Para prajurit yang memadati benteng kota tampak
tercengang, bahkan hampir bingung, melihat sikap
patih ronggolawe . Pada saat itulah brawirgo dan putranya
bergegas ke arah patih ronggolawe . saat saling
mendekat, keduanya angkat bicara bersamaan,
seperti layaknya dua sahabat lama.
"Wah. wah!"
"brawirgo ! Ada apa ini?" tanya patih ronggolawe .
"Tidak ada apa-apa," brawirgo membalas sambil
tenkertoarjo . "Mari masuk dan duduklah."
ditambah putranya, brawirgo mengajak
patih ronggolawe ke benteng kota dalam. Sengaja menghindari
pintu masuk resmi, mereka membuka gerbang ke
pekarangan dan membawa tamu mereka langsung
ke daerah hunian, dan hanya berhenti sejenak
untuk mengagumi bunga-bunga yang sedang
mekar di kebun.
patih ronggolawe disambut seperti anggota keluarga
dekat, dan brawirgo bersikap seperti dahulu , saat
ia dan patih ronggolawe tinggal di dua rumah yang
dipisahkan oleh pagar tanaman.
Akhirnya brawirgo mempersilahkan patih ronggolawe
masuk.
Namun patih ronggolawe malah memandang
berkeliling, tanpa tanda-tanda akan melepas sandal
jeraminya. "Bangunan sebelah sana dapurkah itu?"
tanyanya. saat brawirgo membenarkannya,
patih ronggolawe mulai melangkah ke sana. "Aku ingin
bertemu istrimu. Apakah dia di sini?"
brawirgo benar-benar terkejut. Ia baru hendak
mengatakan bahwa ia akan memanggil istrinya jika
patih ronggolawe ingin menemuinya, namun tak sempat lagi.
Terburu-buru ia memberi tahu Toshinaga agar
mengantar tamu mereka ke dapur.
sesudah menyuruh putranya mengejar
patih ronggolawe , ia sendiri bergegas menyusuri selasar
untuk memperingatkan istrinya.
Yang paling kaget adalah para juru masak dan
pelayan. Tiba-tiba saja seorang centeng adipati bertubuh
pendek jelas-jelas seorang resi muncul di
dapur dan memanggil-manggil, seakan-akan ia
merupakan anggota keluarga junjungan mereka.
"Hei! Putri madya ada di sini? Di mana dia?"
Tak seorang pun tahu di mana istri lnuchiyo.
Semuanya tampak bingung, namun sesudah melihat
tongkat komando yang terbuat dari emas dan
pedang kebesaran, mereka segera berlutut dan
membungkuk. Ia pasti resi berkedudukan
tinggi, namun tak seorang pun pernah melihatnya di
antara orang-orang madya sebelum ini.
"Hei. Putri madya, di mana Tuan Putri? Ini aku,
patih ronggolawe . Keluarlah, aku ingin bertemu!"
Istri lnuchiyo sedang menyiapkan makanan
bersama beberapa pelayan saat ia mendengar
hiruk-pikuk itu. Ia muncul sambil mengenakan
celemek, dengan lengan baju tergulung. Sejenak ia
hanya berdiri memandang patih ronggolawe . "Aku pasti
bermimpi," gumamnya.
saat patih ronggolawe melangkah maju, istri
lnuchiyo segera menyadarkan diri, dan sesudah
melepas ikatan lengan bajunya, cepat-cepat
menyembah di pelataran kayu.
patih ronggolawe langsung duduk. "Yang pertama-tama
ingin kuberitahukan pada Tuan Putri adalah
bahwa anak-anak wanita lesbian Tuan Putri tampak
kerasan di mendutrejo. Tuan Putri tak perlu gelisah khawatir
mengenai ini. Selain itu, meskipun suami Tuan
Putri menghadapi saat-saat penuh cobaan dalam
operasi militer terakhir, dia tidak memperlihatkan
kebimbangan apakah harus maju atau mundur,
dan bisa dibilang bahwa pihak madya
meninggalkan medan laga tanpa terkalahkan."
Istri lnuchiyo meletakkan kedua telapak tangan
di bawah kepalanya yang membungkuk.
Saat itulah lnuchiyo masuk untuk mencari
istrinya, dan melihat patih ronggolawe .
Tempat ini tak pantas untuk menerima Tuan.
Paling tidak, lepaskanlah sandal Tuan dan
beranjaklah dari lantai tanah."
Pasangan suami-istri itu melakukan segala upaya
untuk membujuk patih ronggolawe agar pindah ke
pelataran kayu, namun patih ronggolawe menolak, dan tetap
bicara dengan nada akrab seperti sebelumnya.
"Aku ingin cepat-cepat sampai di lumajangan dan
tak bisa meluangkan waktu banyak sekarang. namun
kalau tidak merepotkan, bolehkah aku minta
semangkuk nasi?"
"Permintaan Tuan mudah dipenuhi. namun
mengapa Tuan tidak masuk dahulu , biarpun hanya
sejenak?"
patih ronggolawe tidak menunjukkan tanda-randa
akan melepas sandal jeraminya dan bersantai.
"Lain kali saja. Hari ini aku harus bergerak cepat."
Suami-istri itu sudah mengetahui kelebihan dan
kekurangan pada watak patih ronggolawe . Persahabatan
mereka tak pernah mementingkan kewajiban dan
kepura-puraan. Istri brawirgo kembali menggulung
lengan bajunya. Lalu menuju meja racik di dapur.
Dapur itu melayani seluruh benteng kota, dan
banyak pelayan, juru masak, bahkan pejabat
bekerja di tempat itu. namun Putri madya bukan
wanita lesbian yang tidak tahu cara menyiapkan
masakan minuman lezat dalam waktu singkat.
Baik pada hari itu maupun hari sebelumnya, ia
ikut mengurus orang-orang yang terluka dan
membantu menyiapkan makanan mereka. namun
pada hari-hari tanpa banyak kesibukan pun ia biasa
masuk dapur untuk menyiapkan sesuatu bagi
suaminya. Kini marga madya sudah memimpin
sebuah provinsi besar. namun di masa susah di
kedhiri dahulu , saat keadaan tetangga mereka yang
bernama betari durga tak lebih baik dari mereka,
kedua keluarga itu sering saling mendatangi untuk
meminjam setakar beras, segenggam garam, atau
minyak lentera untuk satu malam. Kala itu mereka
bisa menilai kesejahteraan tetangga mereka
berdasarkan cahaya lentera yang memancar dari
jendela pada malam hari.
wanita lesbian ini tak kalah baiknya sebagai istri
dibandingkan nyi momo -ku, pikir patih ronggolawe . Dalam
kesempatan merenung yang singkat itu, istri
brawirgo tdah selesai menyiapkan dua atau tiga
masakan minuman . Sambil membawa baki, ia mengajak
tamu mereka keluar dari dapur.
Di daerah berbukit-bukit yang membentang ke
arah benteng kota sebelah barat, sebuah pondok kecil
berdiri di tengah rumpun pohon cemara. Para
pengiring segera menggelar tikar di samping
bangunan itu dan meletakkan dua baki berisi
makanan dan beberapa botol anggur .
"Biarpun Tuan sedang terburu-buru,
perkenankanlah aku menyajikan sesuatu yang
lebih baik." kata istri brawirgo .
"Jangan, jangan. namun bagaimana kalau suami
dan putra tuan Putri menemuiku?"
brawirgo duduk berhadapan dengan patih ronggolawe .
dan Toshinaga memegang botol anggur . Di tempat
itu ada bangunan, namun sang tamu dan para tuan
rumah tidak memakai nya. Angin bertiup di
antara pohon-pohon cemara, namun mereka hampir
tidak mendengar suaranya.
patih ronggolawe hanya minum sebaskom anggur , namun
segera menghabiskan kedua mangkuk nasi yang
disiapkan istri brawirgo untuknya.
"Ah, aku kenyang. Maaf kalau aku tidak tahu
diri, namun bolehkah aku minta sebaskom teh?"
Berbagai persiapan sudah dilakukan di dalam
pondok. Istri brawirgo langsung masuk dan
mengambil sebaskom teh untuk patih ronggolawe .
"Hmm, Tuan Putri," ujar patih ronggolawe sambil
minum. Lalu memandang istri brawirgo , seakan-
akan hendak minta nasihatnya. "Aku tahu bahwa
kedatanganku merepotkan, namun sekarang aku juga
ingin meminjam suami Tuan Putri sejenak."
Isrri lnuchiyo tertawa riang. "Meminjam
suamiku? Sudah lama Tuan tidak memakai
ungkapan itu."
patih ronggolawe dan lnuchiyo ikut tertawa , dan
patih ronggolawe berkata, "Dengar itu, lnuchiyo. Rupanya
kaum wanita lesbian tidak mudah melupakan
kedongkolan di masa silam, Sampai hari ini pun
istrimu masih ingat bahwa kau sering 'kupinjam'
untuk minum-minum bersama." Sambil
mengembalikan baskom teh, ia tertawa sekali lagi.
namun hari ini sedikit berbeda dari masa lalu, dan
jika Tuan Putri tidak keberatan, aku percaya suami
Tuan Putri juga demikian. Aku berharap dia bisa
menemaniku ke lumajangan. Kurasa Toshinaga
sanggup menjaga Tuan Putri di sini."
Menyadari bahwa persoalannya sudah
terpecahkan sambil bersenda gurau. patih ronggolawe
sendiri yang langsung mengambil keputusan. "Aku
berharap Toshinaga tinggal di sini, dan suami
Tuan Putri menyertaiku. Tak ada yang bisa
menandingi lnuchiyo di medan tempur, Nanti,
sesudah kami kembali, aku ingin mampir lagi dan
menginap beberapa hari. Kami berangkat besok
pagi. Dan sekarang aku mohon diri dahulu ."
Seluruh keluarga mengantarnya sampai ke pintu
dapur. saat menuju ke sana, istri lnuchiyo
berkata, Tuan patih ronggolawe , Tuan menginginkan
Toshinaga tinggal di sini untuk menjaga ibunya,
namun kurasa aku belum sebegitu tua atau kesepian.
Masih banyak centeng adipati yang akan menjaga benteng kota,
dan tak seorang pun perlu mencemaskan
pertahanannya."
lnuchiyo pun sependapat. saat mereka
bergegas ke pintu, patih ronggolawe dan keluarga madya
memastikan jam keberangkatan untuk hari
berikutnya dan memutuskan hal-hal kecil lainnya.
"Kunjungan Tuan yang berikut akan ku tunggu-
tunggu," istri lnuchiyo berkata saat mereka
berpisah di pintu dapur; suami dan putranya me-
nemani patih ronggolawe sampai ke gerbang benteng kota.
Pada malam patih ronggolawe mohon diri pada
keluarga madya dan kembali ke perkemahannya,
dua anggota terkemuka marga nyoto digiring
sebagai tawa nan. Yang pertama mpu wiragajah yodono.
Yang satu lagi putra angkat dijoyo , Katsutoshi.
Kedua-duanya tertangkap saat melarikan diri
melintasi pegunungan di lumajangan. yodono
terluka. Akibat panasnya musim kemarau, lukanya
terkena infeksi dan segera mulai bernanah.
Pengdesa guritan darurat yang sering dipakai oleh
kaum prajurit adalah pengdesa guritan dengan moxa,
dan yodono mampir di rumah seorang petani di
pegunungan, minta sedikit moxa, lalu meng-
oleskannya di sekeliling luka.
Sementara yodono sibuk mengobati lukanya,
para petani diam-diam berunding dan sampai pada
kesimpulan bahwa mereka akan memperoleh
hadiah jika mereka menyerahkan Katsutoshi dan
yodono pada patih ronggolawe . Malamnya para petani
mengepung pondok tempat keduanya tidur,
mengikat mereka seperti babi, lalu menggotong
mereka ke perkemahan patih ronggolawe .
Keiika patih ronggolawe menerima kabar mengenai
kejadian ini, ia tampak tak senang. Berlawan an
dengan harapan para petani, mereka malah
dihukum berat.
Keesokan harinya patih ronggolawe ditambah lnuchiyo
dan putranya memacu kuda masing-masing ke
benteng kota dijoyo di lumajangan. Dan sebelum
malam tiba, ibu kota radenkanjeng sudah dipadati
centeng patih ronggolawe .
saat ia dalam perjalanan, marga Tokuyama
dan betari jawi sudah membaca gelagat, dan banyak dari
mereka menyerahkan diri di gerbang perkemahan
patih ronggolawe .
patih ronggolawe berkemah di Gunung Aeyang , dan ia
memerintahkan agar benteng kota di lumajangan
dikepung sedemikian ketat, sehingga setetes air
pun takkan bisa lolos. sesudah itu korps patih ragapati
ditugaskan membobol sebagian pagar pertahanan,
lalu yodono dan Katsutoshi dibawa ke dekat
tembok benteng kota.
Sambil menabuh genderang perang, para
prajurit berseru-seru pada dijoyo yang berada di
dalam benteng kota. "Jika ada ucapan terakhir untuk
putra angkatmu dan yodono, sebaiknya kau keluar
dan mengatakannya sekarang!"
Pesan itu disampaikan dua atau tiga kali, namun
tak ada jawaban pasti dari benteng kota. dijoyo tidak
menampakkan diri, mungkin sebab tidak tega
melihat kedua orang itu. Selain itu, sudah jelas
bahwa strategi patih ronggolawe adalah menghancurkan
semangat orang-orang di dalam benteng kota.
Sepanjang malam anggota centeng Kaisuie yang
tercecer masih terus berdatangan, dan kini ben-
tengnya menampung sekirar 50000 orang,
termasuk warga sipil.
Kecuali itu, yodono dan Katsutoshi ditangkap
hidup-hidup oleh musuh, dan mau tak mau
dijoyo pun merasa bahwa akhir hayatnya sudah
dekat. Genderang perang musuh bertalu-talu. Pada
waktu malam tiba, pagar-pagar pertahanan di
sekeliling benteng kota sudah dapat diterobos, dan
sampai sejarak sembilan meter arau dua belas
meter dari benteng kota, seluruh daerah dipenuhi
centeng patih ronggolawe .
Meski demikian, suasana di dalam benteng kota
tetap tenteram. sesudah beberapa saat, genderang
musuh pun bungkam; malam sudah dekat, dan
resi -resi yang tampak seperti utusan terlihat
mondar-mandir dari benteng kota ke luar. Barangkali
ada upaya untuk menyelamatkan nyawa dijoyo ,
atau mungkin juga sebab diutus untuk memohon
damai. Desas-desus seperti itu menyebar dengan
cepat, namun suasana di dalam benteng kota seperti nya
tidak mendukung teori-teori itu .
sesudah hari berganti malam, benteng kota dalam
yang semula gelap gulita mulai diterangi cahaya
lentera-lentera. benteng kota di sebelah utara dan timur
juga diterangi. Di donjon pun lentera-lentera
tampak menyala berselang-seling, dan para prajurit
berjaga-jaga, menanti saat pertempuran.
centeng penyerang sempat terheran-heran, namun
teka-teki itu segera terjawab . Tak lama lalu
mereka mendengar suara genderang dan alunan
sending. Lagu-lagu rakyat dengan logat Utara yang
kental terbawa angin ke arah mereka.
"Orang-orang di dalam benteng kota rupanya sadar
bahwa ini malam terakhir mereka, dan sepertinya
mereka mengadakan jamuan perpisahan. Betapa
menyedihkan.
centeng penyerang di luar benteng kota bersimpati
kepada lawan -lawan mereka. Baik orang-orang di
dalam benteng kota maupun mereka yang berada di
luar pernah mengabdi sebagai prajurit di bawah
komando sinuhun , dan tak satu pun dari mereka tidak
mengetahui masa lalu dijoyo . Oleh sebab itu,
situasinya sarat dengan berbagai emosi.
Jamuan terakhir sedang diadakan di dalam
benteng kota di lumajangan, dan dihadiri oleh lebih dari
9 puluh orang segenap marga dan para
pengikut senior. Istri dan anak-anak dijoyo duduk
di bawah lentera-lentera terang di tengah-tengah,
sementara centeng musuh menunggu di luar,
berjarak hanya selemparan baru.
"Kita bahkan tak sempat berkumpul seperti ini
untuk merayakan hari pertama di Tahun Baru!"
seseorang berkata, dan seluruh keluarga tertawa .
"Dengan datangnya fajar, hari pertama kehidupan
kita di dunia berikut akan dimulai. Malam ini
malam Tahun Baru kita di alam fana."
Dengan lentera-lentera dan suara tawa ,
pertemuan itu sepertinya tak berbeda dari jamuan
biasa. namun kehadiran prajurit-prajurit berbaju
tempur menimbulkan awan mendung di dalam
bangsal.
Rias wajah dan pakaian radenmas dan ketiga
puirinya memberi sentuhan segar, bahkan
anggun, pada acara itu. Anak bungsunya baru
berusia sepuluh tahun, dan saat mereka melihat
anak itu bergembira ria di antara baki-baki penuh
makanan dan orang-orang yang gaduh, para
prajurit tua yang tak terusik oleh maut yang sudah
menanti pun terpaksa mengalihkan pandang ke
arah lain.
dijoyo sudah terlalu banyak minum. Beberapa
kali, pada waktu menawarkan baskom pada
seseorang, ia tak sanggup menyembunyikan kesepi-
annya, dan berkata. "Kalau saja yodono ada di sini."
Setiap kali mendengar seseorang menyesalkan
kegagalan yodono, ia langsung mencela. "Jangan
salahkan yodono. Bencana ini muncul akibat
kelalaianku sendiri. Kalau aku mendengar kalian
menyalahkan yodono, hatiku lebih pedih dibandingkan
kalau aku yang diserang."
la memastikan bahwa semua orang di sekitarnya
menikmati minuman, dan membagi-bagikan anggur
terbaik dari gudang kepada para prajurit di
menara-menara. Kiriman anggur diiringi oleh pesan
nya.
"Rayakanlah perpisahan ini sepuas hati. Tak ada
salah nya kalau kalian membacakan sajak-sajak."
Tembang-tembang terdengar dari menara-
menara, suara tawa memenuhi bangsal jamuan.
Gendang-gendang ditabuh, bahkan di hadapan
dijoyo , dan kipas emas para penari menorehkan
garis-garis anggun di udara.
"Dahulu kala Yang Mulia aidit meman-
faatkan setiap kesempatan untuk menari dan
sering mendesak agar aku mengikuti contohnya,
namun aku selalu malu sebab ketidakmampuanku,"
dijoyo mengenang. "Betapa sayang-nya! Paling
tidak, aku seharusnya mempelajari satu tarian saja
untuk malam ini."
Dalam hati ia tentu sangat kehilangan bekas
junjungannya. Dan masih ada hal lain. Meskipun
kesulitan yang dihadapinya sekarang yang tak
menyisakan harapan sedikit pun diakibatkan oleh
satu prajurit bermuka kuyang , tak perlu diragukan
bahwa ia diam-diam mengharapkan kematian
gemilang.
Usianya baru lima puluh tiga tahun. Sebagai
resi , masa depannya seharusnya masih terben-
tang di hadapannya, namun kini ia hanya bisa ber-
harap agar ia mati secara terhormat.
anggur terus dituangkan. baskom demi baskom
direguk, dan banyak gentong dikuras habis malam
itu. Ada nyanyian yang diiringi tabuhan gendang,
tarian dengan kipas-kipas perak, dan seruan-seruan
riang diselingi suara tawa , namun semua itu tak
sanggup menghapus suasana suram hingga tuntas.
Sesekali bangsal jamuan diliputi keheningan.
dan asap hitam yang dimuntahkan oleh lentera-
lentera yang berkedap-kedip mengungkapkan rona
pucat pada ke9 puluh wajah, kepucatan
yang tak berhubungan dengan anggur yang mereka
minum. Tengah malam sudah tiba, namun jamuan
masih terus berlanjut. Ketiga putri radenmas bersandar
pada pangkuannya dan mulai tertidur. Bagi
mereka, jamuan ini rupanya terlalu membosankan.
Tak lama lalu si bungsu sudah tertidur
pulas dengan memakai pangkuan ibunya
sebagai bantal. saat radenmas menyentuh rambut
putrinya, ia harus berjuang untuk menahan air
mata. Anak keduanya pun akhirnya terlelap.
Hanya si sulung, subanda, tampak mengerti
perasaan ibunya. la menyadari makna jamuan
malam itu, namun ia tetap kelihatan tenang.
Ketiga putri itu sangat menawan , dan semuanya
mirip ibu mereka. namun subanda, khususnya,
dikaruniai pembawa an aristokrat yang mengalir
dalam darah marga sinuhun . Kecantikannya dan
usianya yang masih muda mau tak mau
menimbulkan kesedihan dalam hati setiap orang
yang memandangnya.
"Dia begitu lugu," dijoyo tiba-tiba berkata,
saat menatap wajah si bungsu yang sedang tidur.
Ia lalu berbicara dengan Putri radenmas
mengenai nasib ketiga anak itu, "Kau adik
kandung Yang Mulia aidit , dan belum
setahun berlalu sejak kau menjadi istriku. Lebih
baik kau membawa anak-anak dan meninggalkan
benteng kota sebelum fajar. Aku akan menyuruh
Tgunungselatannaga mengantarmu ke perkemahan
patih ronggolawe ."
radenmas menjawab dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak!" katanya sambil menahan air mata. "Jika
seorang wanita lesbian menikah dan menjadi anggota
keluarga pejuang, dia sudah bertekad untuk
menerima karmanya. Menyuruhku meninggalkan
benteng kota sekarang sungguh keji, dan tak terbayang-
kan olehku bahwa aku akan mengemis-ngemis di
gerbang perkemahan patih ronggolawe , sekadar untuk
menyelamatkan nyawa .'
Ia menatap dijoyo sambil menggelengkan
kepala di balik lengan baju. namun dijoyo mencoba
sekali lagi. "Aku bahagia melihatmu begitu setia
padaku, sementara hubungan kita sedemikian
dangkal, namun ketiga putrimu adalah anak-anak
Yang Mulia jawa . Selain itu, patih ronggolawe tentu
takkan bersikap kejam terhadap adik Yang Mulia
aidit atau terhadap anak-anaknya. Jadi,
jangan ragu-ragu. Pergilah, dan pergilah cepat-
cepat."
sesudah memanggil salah satu pengikutnya,
dijoyo memberi perintah pada orang itu, lalu
menyuruh mereka bersiap-siap. namun radenmas hanya
menggelengkan kepala dan tidak beranjak dari
tempat.
"Biarpun Tuan Putri sudah bertekad bulat,
perkenankanlah anak-anak yang tak berdosa ini
meninggalkan benteng kota, sesuai keinginan junjung-
an hamba."
radenmas tampaknya hendak menyetujui per-
mohonan itu. la membangunkan putri bungsunya
yang tidur di pangkuannya, dan memberitahu
ketiga anak itu bahwa mereka akan dikirim ke luar
benteng kota.
subanda merangkul ibunya dengan erat. "Aku
tidak mau pergi. Aku tidak mau pergi. Aku ingin
bersama Ibu di sini!"
dijoyo berbicara dengannya dan ibunya
berusaha membujuknya, namun mereka tak mampu
menghentikan air matanya yang meleleh. Akhirnya
subanda digiring dan dipaksa meninggalkan
benteng kota. Isak tangis ketiga anak wanita lesbian itu
terdengar menyayat hati saat mereka dibawa
pergi. Giliran jaga keempat sudah hampir tiba, dan
jamuan tanpa kegembiraan itu pun usai. Para
centeng adipati segera mengencangkan kembali tali
pengikat baju tempur, lalu menuju pos masing-
masing, tempat mereka akan menyambut maut.
dijoyo , istrinya, dan beberapa anggota marga
berkumpul di benteng kota dalam.
radenmas minta diambilkan meja kecil dan mulai
menggerus tinta untuk sajak kematiannya. dijoyo
melakukan hal yang sama.
Meskipun di mana-mana sama saja, malam hari
tidak sama bagi semua orang. Fajar terasa berbeda
bagi mereka yang kalah dan mereka yang menang.
"Pastikan tembok-iembok luar sudah jatuh ke
tangan kita pada waktu langit terang," patih ronggolawe
memerintahkan, lalu dengan tenang menunggu
datangnya fajar.
Kota benteng kota pun relatif tenteram. Kebakaran
muncul di dua atau tiga tempat. Api disulut bukan
oleh prajurit-pnjurit patih ronggolawe , namun kemungkinan
besar disebabkan oleh para warga kota yang
dilanda kebingungan. sebab dapat dipakai
sebagai api unggun yang akan menerangi serangan
mendadak centeng di dalam benteng kota, kebakaran-
kebakaran itu dibiarkan menyala sepanjang
malam,
Sejumlah resi keluar-masuk perkemahan
patih ronggolawe mulai senja sampai tengah malam. Itu
menimbulkan dugaan bahwa ada upaya untuk
menyelamatkan nyawa dijoyo , atau bahkan
benteng kotanya akan segera menyerah. Meski
demikian, selewat tengah malam pun tak ada
perubahan dalam strategi tempur semula.
Bertambah nya kesibukan di setiap perkemahan
menunjukkan bahwa fajar sudah dekat. Tak lama
lalu sangkakala pun dibunyikan. Tabuhan
genderang mulai membelah kabut. Suaranya yang
berdentum-dentum mengguncang seluruh
perkemahan.
Sesuai rencana, serbuan dimulai tepat pada jam
Macan. Serangan dibuka saat centeng yang
menghadapi tembok benteng kota melepaskan
berondongan tembakan.
Letusan senapan terdengar menggema, namun tiba-
tiba semua tembakan dan teriakan barisan depan
terhenti.
Pada saat itulah seorang penunggang kuda
muncul di tengah kabut, memacu kudanya dari
posisi patih ragapati ke tempat patih ronggolawe duduk. Di
belakangnya. seorang centeng adipati dan tiga anak
wanita lesbian tampak berlari.
Tahan! jangan menemhak!" penunggang kuda
itu berseru.
Ketiga pelarian itu, tentu saja, kepribadian -
kepribadian aidit . Tanpa mengenali mereka,
para prajurit memandang ketiga sosok yang berlalu
di tengah kabut itu. Si sulung bergandengan
dengan adiknya, yang berpegangan tangan dengan
si bungsu. Sambil berjingkat-jingkat mereka
menyusuri jalan yang berbatu-baru. Sudah menjadi
kebiasaan bagi para pelarian untuk mengenakan
sesedikit mungkin pelindung kaki, dan ketiga putri
itu bukan perkecualian. Kaki mereka hanya
tertutup kaus sutra tebal.
Si bungsu mendadak berhenti dan berkata
bahwa ia ingin kembali ke benteng kota. centeng adipati yang
menyertai mereka menenangkan gadis lesbian cilik itu
dengan menggendongnya.
"Kita mau ke mana?" anak kecil itu bertanya
sambil gemetaran.
"Kita akan mengunjungi tempat seseorang yang
baik hati." jawab Shinroku.
Tidak! Aku tidak mau pergi!"
Kedua kakaknya berusaha sekuat tenaga
menenangkannya.
"Ibu akan menyusul nanti. Bukan begitu,
Shinroku?"
"Ya, tentu saja."
Mereka berjalan dengan cepat, dan akhirnya
tiba di rumpun pohon cemara tempat patih ronggolawe
mendirikan kemahnya.
patih ronggolawe keluar dari balik tirai dan berdiri di
bawah pohon cemara, memperhatikan mereka
mendekat. lalu ia menyambut ketiga gadis lesbian
itu.
"Mereka semua memperlihatkan ciri khas
keluarga." ia berkomentar sesudah berhadapan
dengan mereka.
Bayangan sosok aidit atau sosok radenmas -kah
yang muncul dalam dadanya? Yang jelas, ia
terpesona dan hanya dapat bergumam bahwa
mereka anak-anak yang baik. Sejuntai rumbai
tergantung dari baju subanda yang berwarna seperti
buah prem. Pada baju adiknya, yang berhiaskan
sulaman bermotif besar, tersampir sehelai se-
lendang merah. Pakaian si bungsu tak kalah
anggun dari pakaian kedua kakaknya. Masing-
masing membawa kantong kecil yang menyebarkan
wangi kayu gaharu, dan sebuah lonceng mungil
dari emas.
"Berapa usia kalian?" tanya patih ronggolawe . namun tak
satu pun dari mereka mau menjawab . Justru
sebaliknya, bibir mereka jadi begitu pucat,
sehingga muncul kesan bahwa ketiga gadis lesbian itu akan
berurai air mata jika ada yang menyentuh mereka.
patih ronggolawe tertawa ringan dan menyunggingkan
senyum. "Kalian tak perlu takut. Mulai sekarang,
kalian bisa bermain denganku." Dan ia menunjuk
hidungnya sendiri.
Putri Tengah tertawa tertahan, mungkin sebab
hanya ia yang teringat pada seekor kuyang .
namun tiba-tiba letusan senapan dan teriakan-
teriakan perang kembali menggemuruh, bahkan
lebih hebat dibandingkan sebelumnya, menyapu
seluruh daerah di sekeliling benteng kota. Di ufuk
timur, langit pagi mulai kelihatan.
Ketiga anak wanita lesbian itu melihat asap
mengepul dari tembok-tembok benteng kota dan mulai
menjerit-jerit dan menangis sebab bingung.
patih ronggolawe menitipkan mereka pada salah satu
pengikutnya. Dengan berapi-api ia lalu minta
dibawa kan kuda, dan berpacu ke arah benteng kota.
Kedua selokan pertahanan di sepanjang tembok
luar yang mengambil air dari Sungai Kuzuryu
menyulitkan gerakan centeng penyerang.
Namun saat mereka akhirnya berhasil
melindungi selokan pertama, para prajurit di
dalam benteng kota sudah membakar jembatan di
gerbang depan. Api menjilat menara di atas
gerbang dan menyebar ke daerah barak.
Perlawan an centeng bertahan yang begitu gigih
melampaui dugaan para penyerang.
Menjelang siang hari, benteng kota luar berhasil
ditaklukkan. Para penyerang berhamburan
memasuki benteng kota utama dari semua gerbang.
dijoyo dan pengikut-pengikut seniornya
mengurung diri di dalam donjon untuk
memberikan perlawan an terakhir. Donjon megah
itu berupa bangunan sembilan lantai dengan
pintu-pintu besi dan pilar-pilar batu.
sesudah menggempur donjon selama dua jam,
centeng penyerang kehilangan lebih banyak
prajurit dibandingkan sepanjang pagi. Pekarangan
dalam dan menara sudah menjadi lautan api.
patih ronggolawe memerintahkan gerak mundur
sementara. Mungkin sebab menyadari bahwa
mereka tidak mencapai kemajuan, ia menarik
semua korps.
la lalu memilih beberapa ratus prajurit yang
gagah berani. Mereka diperintahkan untuk tidak
membawa senjata api; hanya tombak dan pedang.
"Sekarang aku akan melihat hasilnya! Bukalah
jalan ke menara dengan paksa!" ia memerintahkan.
Korps tombak pilihan itu segera merubungi
benteng kota bagai segerombolan lebah, dan dalam waktu
singkat sudah berhasil menerobos ke dalam.
Asap hitam tampak bergulung-gulung dari
lantai tiga, lantai empat, lalu lantai lima.
"Bagus!" patih ronggolawe berseru saat semburan api
menyelubungi atap menara yang bertingkat-tingkat
itu dari segala arah.
Kilatan itulah yang menandai ajal dijoyo .
dijoyo dan ke9 puluh kerabatnya sudah
menghalau para penyerang di Lantai tiga dan
lantai empat, dan berjuang dengan gigih sampai
saat terakhir. Berulang kali mereka terpeleset
akibat genangan darah yang membasahi lantai.
namun kini tiga anggota keluarganya berseru
padanya!
"Bersiap-siaplah dengan segera, tuanku!"
dijoyo berlari ke lantai lima, bergabung
dengan Putri radenmas . sesudah melihatlihat
kematian istrinya. nyoto dijoyo mengakhiri
hidupnya dengan membelah perut.
Itu terjadi pada Jam kuyang . Sepanjang malam
donjon dilahap api. Bangunan-bangunan megah
yang berdiri di tepi Sungai Kuzuryu sejak zaman
aidit menyala, seakan-akan hendak mem-
bakar seribu arwah dan impian masa lalu yang tak
terhitung jumlahnya. Namun dalam tumpukan
abu yang tersisa tak ada apa pun yang mirip
dijoyo .
Konon ia sudah menumpuk rumput kering
secara cermat di dalam menara, agar tubuhnya
terbakar habis. sebab itu kepala dijoyo tak dapat
dipamerkan sebagai bukti nyata bahwa ia sudah
tewas. Selama beberapa waktu ada saja yang
berkata bahwa dijoyo berhasil meloloskan diri.
namun patih ronggolawe bersikap acuh tak acuh terhadap
desas-desus itu . Esoknya ia sudah berpaling ke
arah Kaga.
Sampai hari sebelumnya, benteng kota Oyama di
Kaga masih merupakan markas besar mpu wiragajah
yodono. saat mendengar berita mengenai
kekalahan lumajangan, orang-orang di daerah itu
langsung membaca gelagat dan menyerah pada
patih ronggolawe . Ia memasuki benteng kota Oyama tanpa
pertempuran. Namun semakin banyak kemenang-
an diraih centeng nya, semakin tegas ia meng-
ingatkan mereka akan gentingnya situasi, dan
mewanti-wanti agar mereka tidak mengendurkan
disiplin. Ia hendak menundukkan para prajurit
nyoto dan sekutu-sekuru mereka untuk selama-
lamanya.
ki winokerto di benteng kota dwarapa termasuk
golongan itu. Ia salah satu pendukung utama
marga nyoto dan memandang rendah pada
patih ronggolawe . Dari segi pangkat, Sassa berada jauh di
atas patih ronggolawe . Ia wakil dijoyo selama operasi di
wilayah Utara, dan selama peperangan melawan
patih ronggolawe , ia diminta tinggal di benteng kotanya,
bukan saja untuk menyerbu marga kramat, namun
juga untuk menjalankan rsinuhun pemerintahan di
wilayah Utara.
Sassa ada di sini. Inilah sikap yang
diperlihatkannya saat memandang ke luar dari
benteng kotanya. Ia berdiri dengan kokoh sebagai
pdindung wilayah Utara. Meskipun dijoyo sudah
gugur dan lumajangan jatuh ke tangan musuh,
masih ada kemungkinan bahwa Sassa, berkat
kegarangan dan kebenciannya terhadap patih ronggolawe ,
akan berupaya meneruskan rencana dijoyo dan
memperpanjang perang. Dan memang itulah yang
hendak dilakukannya dengan menggabungkan
centeng nya sendiri dengan sisa-sisa laskar nyoto .
patih ronggolawe sengaja tidak menghadapi orang itu
secara terbuka. Jumlah centeng patih ronggolawe sudah
membuktikan kekuatannya, dan ia memutuskan
untuk membiarkan kehadiran mereka membujuk
Sassa merenungkan kembali posisinya. Sementara
itu, ia mendekati marga kramat dengan undangan
untuk membentuk persekutuan. kramat Kagekaesu
mengutus seorang pengikut untuk menyampaikan
ucapan selamat atas kemenangan yang diraih
patih ronggolawe , dan tawa ran patih ronggolawe pun disambut
baik.
Menimbang hubungan baik yang tampaknya
terjalin antara patih ronggolawe dan marga kramat, Sassa
Narimasa tidak melihat kemungkinan untuk
mengadakan perlawan an. sebab itu ia menutup-
nutupi niat sebetulnya dan akhirnya
menyatakan tunduk pada patih ronggolawe . la lalu
menikahkan putrinya dengan putra kedua
lnuchiyo, Toshimasa, dan dengan lega kembali ke
provinsinya sendiri. Dengan demikian, wilayah di
utara lumajangan berhasil didamaikan berkat
momentum semata-mata, nyaris tanpa per-
tempuran.
sesudah mengamankan wilayah Utara, centeng
patih ronggolawe kembali ke benteng kota lojibenteng
bertepatan dengan Perayaan Anak-Anak Laki-Laki.
hari kelima Bulan Kelima.
Di lojibenteng , patih ronggolawe mendengarkan
laporan mengenai situasi di padalarang Sesudah
lumajangan, terutama benteng kota padalarang -lah yang
meneruskan serangan terhadap patih ronggolawe , namun
sesudah kekalahan besar yang diderita marga
nyoto , semangat juang nosferatu dan para
prajuritnya langsung mengerut. Selain itu di
benteng kota lojibenteng ada sejumlah pengikut
dari padalarang yang sudah meninggalkan nosferatu dan
bergabung dengan patih ronggolawe . Pada akhirnya
situasi jadi sedemikian buruk sehingga tinggal dua
puluh tujuh orang yang tetap setia pada nosferatu .
Berhubung nosferatu selama ini amat
mengandalkan pihak nyoto , kehancuran mereka
membuatnya bagai tanaman kehilangan akar.
Selain pembantu-pembantu terdekatnya, semua
anak buahnya sudah membelot. mpu nala
mengerahkan centeng nya dan mengepung
benteng kota nosferatu . Ia mengirim pesan yang
menganjurkan agar saudaranya pergi ke jenggala .
nosferatu meninggalkan benteng kota padalarang , menaiki
perahu, dan mendarat di Utsumi di jenggala . Salah
satu pembantu mpu nala mendatangi nosferatu
dengan membawa perintah untuk melakukan
seppuku dan sebab merasa waktunya sudah tiba,
nosferatu dengan tenang menuliskan kata-kata
perpisahan, lalu bunuh diri. Tak perlu dijelaskan
bahwa patih ronggolawe enggan memakai
centeng nya sendiri untuk menyerang nosferatu
yang memiliki hubungan darah begitu dekat
dengan aidit dan sebab itu memanfaatkan
mpu nala .
Bagaimanapun, tak perlu diragukan bahwa
mpu nala dan nosferatu sama-sama bukan orang
yang menonjol. Kalau saja mereka mau bersatu
sebagai saudara, atau seandainya salah satu dari
mereka memiliki keberanian dan dikaruniai
pandangan tajam yang dapat melihat pasang-
surutnya zaman, mereka tak perlu mengalami
nasib seperti itu. Dibandingkan mpu nala , yang
memperlihatkan kebodohan yang polos, nosferatu
sedikit lebih berani. namun sebetulnya ia pun tak
lebih dari tukang gertak yang tidak memiliki
kemampuan.
Pada hari ketujuh. patih ronggolawe bertolak ke
madukara . Ia menyempatkan diri mampir di benteng kota
sekartanjung pada hari kesebelas. Di Ise. danakertoarjo
ngabeni juga menyerah. patih ronggolawe memberinya
sebuah provinsi di gunungselatan senilai lima ribu gantang.
Kejahatan ngabeni di masa lampau tidak
diungkit-ungkit lagi.
dalam waktu satu tahun saja, nama patih ronggolawe sedemikian cepat terkenal, sehingga ia sendiri pun terkejut. la sudah menundukkan marga tribuana dan marga nyoto : danakertoarjo dan Sassa berlutut di
hadapannya; Niwa memandangnya sebagai orang
kepercayaan; dan brawirgo sudah memperlihatkan
kesetiaannya terhadap persahabatan mereka.
patih ronggolawe kini mengujawa hampir semua
provinsi yang pernah ditaklukkan aidit .
Hubungannya dengan provinsi-provinsi di luar
lingkup pengaruh aidit pun sudah berubah
sama sekali. Marga patih, yang selama bertahun-
cahun menghalangi rencana aidit untuk
meraih kekuasaan tertinggi, sudah menandatangani
perjanjian bersekutu dan mengirim sejumlah
sandera.
Namun masih ada satu orang yang tetap
merupakan tanda tanya prabu kertoarjowardana jayabandra . Sudah
beberapa lama tidak ada komunikasi antara
mereka berdua. Mereka sama-sama diam, seperti
dua pemain catur yang menunggu sampai lawan
melakukan langkah bagus.
mpu mojosongo -lah yang melangkah lebih dahulu . tak lama
sesudah patih ronggolawe kembali ke trowulan pada hari
kedua puluh satu Bulan Kelima. mpu harjo
mpu rejo, resi jayabandra yang paling senior,
mengunjungi patih ronggolawe di benteng kota bukitmerah . Aku datang untuk menyampaikan ucapan selamat dari Tuanku jayabandra . Kemenangan besar yang diraih Yang Mulia sudah membawa perdamaian di negeri ini." Dan dengan khidmat mpu rejo menyerahkan hadiah berupa wadah teh antik bernama hinayana pada patih ronggolawe . patih ronggolawe sudah menjadi penggemar upacara minum teh, dan ia senang sekali menerima hadiah yang amat berharga itu. namun kelihatan jelas bahwa ia memperoleh kepuasan yang bahkan lebih besar
lagi sebab mpu mojosongo yang lebih dahulu mengirim cinderamata. mpu rejo sebetulnya hendak kembali ke bratangbinangun hari itu juga, namun patih ronggolawe menahannya.
Tuan tidak perlu terburu-buru." kata patih ronggolawe . Tinggallah selama dua atau tiga hari. Aku akan memberitahu Yang Mulia mpu mojosongo bahwa aku yang memaksa Tuan. Apalagi kami akan mengadakan perayaan kecil untuk lingkungan keluarga besok. Yang dinamakan "perayaan kecil untuk lingkungan keluarga'' oleh patih ronggolawe adalah jamuan makan
yang diselenggarakan dalam rangka
penganugerahan gelar baru, yang merupakan bukti
bahwa pihak kekaisaran pun merestui sepak
terjang patih ronggolawe , dan mengakui keberhasilan-keberhasilan yang diraihnya di medan perang. Jamuan itu berlangsung selama tiga hari. Barisan pengunjung yang mendatangi benteng kota seakan-akan tanpa ujung, jalan-jalan sempit di kota dipadati tandu-tandu para bawahan ditambah
pembantu-pembantu dan kuda-kuda mereka.
mpu rejo terpaksa mengakui bahwa kebesaran
aidit kini sudah beralih pada patih ronggolawe .
Sampai hari itu ia percaya sepenuhnya bahwa
junjungannya sendiri, mpu mojosongo , akan menjadi
penerus aidit . namun waktu yang
dihabiskannya bersama patih ronggolawe memicu ia
berubah pikiran. saat membandingkan provinsi-
provinsi patih ronggolawe dan mpu mojosongo dan merenungkan
perbedaan di antara centeng mereka, dengan
sedih ia sampai pada kesimpulan bahwa wilayah
kekuasaan prabu kertoarjowardana tetap hanya merupakan
daerah pinggiran di bagian timur majapahit .
Beberapa hari lalu , mpu rejo meng-
umumkan bahwa ia hendak pulang, dan patih ronggolawe
menyertainya sampai ke trowulan . saat mereka
sedang menempuh perjalanan, patih ronggolawe
menengok dari atas pelana dan menatap ke
belakang. Ia memberi isyarat pada mpu rejo, yang
sengaja menjaga jarak, untuk bergabung dengan-
nya. Sebagai pengikui marga lain, mpu rejo
diperlakukan dengan keramah-ramahan yang layak
bagi seorang tamu. namun tentu saja ia tahu
menempatkan diri.
patih ronggolawe berkata dengan akrab, "Kita sudah
memutuskan untuk menempuh perjalanan
bersama-sama. dan itu tidak berarti berkuda
sendiri-sendiri. Jalan ke trowulan ini cukup
menjemukan. jadi kenapa kita tidak berbincang-
bincang saja?"
mpu rejo ragu-ragu sejenak, namun lalu ia
menyejajarkan kudanya dengan kuda patih ronggolawe .
"Mondar-mandir ke trowulan sungguh merepot-
kan." patih ronggolawe melanjutkan. "Jadi dalam tahun
ini aku akan pindah ke kahuripan , yang dekat ke ibu
kota." lalu ia menjabarkan rencananya
untuk membangun sebuah benteng kota.
"Yang Mulia memilih lokasi yang baik di
kahuripan ." mpu rejo berkomentar. "Konon Yang
Mulia aidit pun selama bertahun-tahun
mengincar kahuripan ."
"Ya, hanya saja waktu itu para biksu-prajurit
ronggodwijoyo berkubu di kuil-benteng kota mereka di sana,
sehingga beliau harus puas dengan madukara ."
Tak lama lalu mereka memasuki kota
trowulan , namun saat mpu rejo hendak mohon diri,
patih ronggolawe sekali lagi mencegahnya dan berkata,
"Dalam cuaca sepanas ini, Tuan jangan menem-
puh perjalanan lewat darat. Sebaiknya Tuan naik
perahu menyeberangi danau dari gendingana. Mari kita
makan siang bersama madya Geni sementara
perahunya disiapkan."
Yang dimaksudnya adalah orang yang baru-baru
ini diangkat sebagai gubernur trowulan . Tanpa
memberi kesempaian menolak pada mpu rejo,
patih ronggolawe membawa nya ke kediaman Gubernur.
Pekarangan dalam sudah disapu bersih, seakan-akan
kedatangan sang tamu sudah diketahui sebelumnya.
dan sambutan Geni terhadap mpu rejo sangat
ramah.
patih ronggolawe terus mendesak mpu rejo agar
bersantai, dan selama makan siang tak ada yang
mereka bicarakan selain benteng kota yang akan
dibangunnya.
Geni membawa selembar kertas besar dan
menggelarnya di lantai. Rencana untuk sebuah
benteng kota ditunjukkan pada utusan provinsi lain,
dan orang yang memperlihatkannya maupun
orang yang mengamatinya bertanya-tanya, meng-
apa patih ronggolawe bersikap sedemikian terbuka: ia
seakan-akan lupa bahwa mpu rejo adalah prajurit
marga prabu kertoarjowardana , dan sepertinya ia pun tidak
mengingat huhungannya sendiri dengan marga
itu .
"Kabarnya Tuan termasuk ahli dalam hal
benteng kota." patih ronggolawe berkata pada mpu rejo. "Jadi,
kalau Tuan punya usul, kuharap Tuan jangan
segan-segan."
Seperti dikatakan patih ronggolawe , mpu rejo cukup
mengujawa pembangunan benteng kota. Biasanya
rencana-rencana seperti itu bersirat amat rahasia
sudah barang tentu bukan sesuatu yang
diperlihatkan kepada pengikut provinsi saingan
namun mpu rejo menyingkirkan segala keragu-
raguannya mengenai niat patih ronggolawe dan mem-
pelajari rencana-rencana itu .
mpu rejo tahu bahwa patih ronggolawe tidak tertarik
pada hal-hal kecil, namun saat menyadari skala
proyek yang direncanakan, ia pun terkagum-
kagum. Pada waktu kahuripan masih merupakan
markas besar para biksu-prajurit ronggodwijoyo ,
benteng kota mereka menempati lahan seluas seribu
meter persegi. Dalam rencana patih ronggolawe , itu
menjadi fondasi bagi benteng kota utama. Topografi
daerah ini termasuk semua sungai dan pesisir
laut sudah dipenimbangkan; segala kelebihan dan
kekurangan sudah dipikirkan masak-masak, dan
kesulitan-kesulitan dalam menyerang dan bertahan
dan masalah-masalah logistik lainnya sudah
dipecahkan. benteng kota utama, dan yang kedua dan
ketiga, dikelilingi tembok tanah. Panjang tembok-
tembok luar lebih besar 9 belas mil.
Bangunan tertinggi di sebelah dalam tembok
adalah donjon bertingkat lima yang dilengkapi
bukaan-bukaan untuk memanah. Genting-genting
pada atapnya akan dilapisi emas.
mpu rejo hanya bisa terbengong-bengong
sebab takjub. namun apa yang dilihatnya baru satu
bagian dari proyek patih ronggolawe . Selokan yang
mengelilingi benteng kota berisi air dari Sungai watangsewu .
sebab letaknya yang berdekatan dengan mpu ,
kota niaga yang makmur, kahuripan berhubungan
dengan berbagai jalur perdagangan ke kedhiri , blambangan ,
dan Asia Tenggara. Barisan pegunungan mojolaban
dan Kkertoarjo chi membentuk benteng kota pertahanan
alam. Jalan raya Sanin dan Sanyo menghubungkan
kahuripan dengan jalur laut dan darat ke Shikoku dan
Kyushu, dan menjadikannya gerbang ke kkertoarjo san-
kkertoarjo san terpencil. Sebagai lokasi benteng kota paling
penting di selutuh negeri dan sebagai tempat
untuk memerintah seluruh bangsa, kahuripan jauh
lebih unggul dibandingkan madukara -nya aidit .
mpu rejo tidak menemukan kekurangan sama
sekali.
"Bagaimana pendapat Tuan?" tanya patih ronggolawe .
"Sempurna. Proyek ini sungguh megah," balas
mpu rejo. Tak ada lagi yang dapat dikatakannya
secara jujur. "Memadai, bukan?"
"sesudah rampung nanti, kota ini akan menjadi
kota benteng kota terbesar di seluruh negeri," kata
mpu rejo.
"Itulah tujuanku."
"Kapan pembangunannya selesai?"
"Aku ingin pindah sebetum akhir tahun ini."
mpu rejo berkedip-kedip, seakan-akan tak
percaya. "Apa? Akhir tahun ini?"
"Hmm, sekitar itulah."
"Proyek sebesar itu bisa makan waktu sepuluh
tahun."
"Dalam sepuluh tahun, dunia sudah berubah,
dan aku sudah menjadi orang tua." kata patih ronggolawe
sambil tertawa . "Aku sudah memerintahkan para
mandor untuk merampungkan bagian dalam
benteng kota, termasuk dekorasinya, dalam waktu tiga
tahun."
"Aku tak bisa membayangkan bahwa para
pengrajin dan tukang bisa dipacu bekerja secepat
itu. Batu dan kayu yang akan Tuan butuhkan
tentu luar biasa jumlahnya."
"Aku mengambil kayu dari dua puluh 9
provinsi."
"Dan berapa banyak tukang yang akan Tuan
kerahkan?"
"Aku belum tahu persis. Rasanya lebih dari
seratus ribu. Petugas-petugasku menaksir bahwa
untuk menggali selokan sebelah luar dan sebelah
dalam saja, kami memerlukan enam puluh ribu
orang yang bekerja setiap hari selama tiga bulan."
mpu rejo terdiam. Ia merasa sedih saat
membayangkan perbedaan besar antara proyek ini
dan benteng kota-benteng kota di swaradwipa dan bratangbinangun
di provinsinya sendiri. namun benar-benar
sanggupkah patih ronggolawe membawa batu-batu besar
yang dibutuhkannya ke kahuripan , suatu daerah yang
sama sekali tidak memiliki kayu batu? Dan
di masa sukar ini, dari mana ia berharap
memperoleh dana guna membiayai proyek
itu ? Sempat terlintas dalam benaknya bahwa
rencana-rencana besar patih ronggolawe sebetulnya
hanya omong kosong.
Saat itu patih ronggolawe seakan-akan teringat sesuatu
yang penting. Ia me-manggil juru tulisnya dan
mulai mendiktekan sepucuk surat. Tanpa meng-
indahkan kehadiran mpu rejo, ia memeriksa apa
yang ditulis, mengangguk, lalu mendiktekan surat
berikut. Seandainya pun mpu rejo tak ingin men-
dengarkan ucapan patih ronggolawe , ia berada tepat di
hadapannya dan mau tak mau mendengar segala
sesuatu yang dikatakan. Rupanya patih ronggolawe
sedang mendiktekan surat yang sangat penting
untuk marga patih.
Sekali lagi mpu rejo merasa kikuk dan salah
tingkah. Ia berkata, "Urusan Tuan tampaknya
cukup mendesak. Bagaimana kalau tempat ini
kutinggalkan dahulu ?"
"Jangan, jangan, tidak perlu. Sebentar lagi aku
sudah selesai."
patih ronggolawe kembali mendiktekan surat. la sudah
menerima surat ucapan selamat dari pihak patih
atas kemenangannya melawan marga nyoto .
Kini, dengan berlagak menjelaskan jalannya
pertempuran di Yanagase, ia menuntut agar
pengirim surat itu menegaskan sikapnya mengenai
masa depan marganya sendiri. Sural itu bersifat
pribadi dan sangat penting.
mpu rejo duduk di samping patih ronggolawe . Sambil
membisu ia memandang rumpun-rumpun bambu
sementara patih ronggolawe mendiktekan surat.
"Andai kata dijoyo sempat memperoleh peluang
untuk menarik napas, dia takkan bisa dikalahkan
secepat ini. namun nasib majapahit dipertaruhkan,
sehingga aku terpaksa merelakan prajurit-
prajuritku. Aku menyerang benteng kota utama dijoyo
pada penengahan kedua jam Macan, dan pada jam
Kuda aku berhasil merebut benteng kota dalam."
saat mengucapkan kata-kata "nasib majapahit ",
sorot matanya tampak menyala-nyala seperti saat
ia menaklukkan benteng kota itu. lalu ia
mendiktekan kata-kata yang pasti akan menarik
perhatian marga patih.
"Kurasa tak ada gunanya kita menyiagakan
centeng masing-masing, namun kalau perlu aku akan
mengunjungi provinsi Tuan untuk membahas
masalah perbatasan. sebab itu, pihak Tuan harus
bersikap arif dan menghindari provokasi.
mpu rejo diam-diam melirik ke arah patih ronggolawe ,
Keberanian orang itu membuatnya tercengang.
Dengan tenang patih ronggolawe mendiktekan kata-kata
yang sangat terus terang. seakan-akan sedang
duduk bersila sambil mengobrol santai.
Congkakkah ia, atau sekadar naif?
"Baik marga Hojo di Timur maupun marga
kramat di Utara tdah mempercayakan pemecahan
masalah ini padaku, jika pihak patih pun bersedia
membiarkanku bertindak bebas. pemerintahan
majapahit akan memasuki masa jaya yang belum
pernah dialami. Pertimbangkanlah ini masak-
masak, jika ada keberatan, harap beritahu aku
sebelum Bulan Ketujuh. Dan harap diperhatikan
bahwa urusan ini sebaiknya dilaporkan secara
terperinci kepada Yang Mulia patih Terumoto."
Mata mpu rejo memperhatikan permainan
angin di sela-sela bambu, namun telinganya
terpesona oleh ucapan patih ronggolawe . Hatinya gemetar
seperti daun-daun bambu yang dibelai angin. Bagi
patih ronggolawe , tugas raksasa untuk membangun
benteng kota kahuripan pun merupakan sesuatu yang
kelihatannya dilakukan dalam wakiu senggang.
Dan ia menegaskan. bahkan kepada marga patih
pun, bahwa jika mereka merasa keberatan, mereka
harus memberirahunya sebelum Bulan Ketujuh
sebelum ia mulai berperang lagi.
Perasaan mpu rejo sukar dijelaskan dengan
kata-kata; ia merasa letih.
Saat itulah seorang pembantu mengumumkan
bahwa perahu mpu rejo sudah siap berlayar.
patih ronggolawe mengambil sebilah pedang yang
tergantung di pinggang dan menyerahkannya pada
mpu rejo. "Biarpun sudah agak tua, orang-orang
menganggapnya pedang yang baik. Terimalah
pedang ini sebagai tanda penghargaan dariku."
mpu rejo mengambil pedang itu , dan
dengan hormat mengangkatnya ke kening.
saat mereka melangkah ke luar, para
pengawal pribadi patih ronggolawe sudah menunggu
untuk mengantar mpu rejo ke pelabuhan gendingan.
Segunung persoalan sudah menanti patih ronggolawe ,
baik di dalam maupun di luar kota trowulan . sesudah
Yanagase, pertempuran berakhir, namun walaupun
danakertoarjo sudah tunduk pada patih ronggolawe , masih ada
sejumlah pemberontak yang dengan keras kepala
menolak menyerah. Sisa-sisa centeng Ise berkubu
di bukit tengkorak dan Kobe, dan sinuhun mpu nala bertugas
membersihkan kantong-kantong perlawan an
terakhir.
saat mendengar bahwa patih ronggolawe sudah
kembali dari radenkanjeng . mpu nala segera bertolak ke
trowulan dan menemui patih ronggolawe pada hari itu juga.
"sesudah Ise bertekuk lutut, silakan ambil
benteng kota bukit tengkorak ," kata patih ronggolawe kepadanya.
Dan dengan hati berbunga-bunga pangeran itu
meninggalkan trowulan .
Saat untuk menyalakan lentera sudah tiba. Para
warga istana yang datang berkunjung sudah kembali
dan semua tamu lain pun sudah pulang; patih ronggolawe
mandi, dan saat ia bergabung dengan Hidekatsu
dan madya Geni untuk makan malam, seorang
pembantu memberitahunya bahwa banaspati
baru saja tiba.
Angin menggoyang-goyangkan kerai-kerai rotan
dan membawa suara tawa wanita lesbian -wanita lesbian
muda. banaspati tidak segera masuk, melainkan
berkumur dan merapikan rambutnya dahulu .
Perialanan pulang dari Uji ditempuhnya dengan
menunggang kuda, dan debu masih menempel di
seluruh badannya.
la diberi tugas menemui mpu wiragajah yodono yang
ditawa n di Uji. Tugas itu tampaknya mudah,
namun sebetulnya cukup sukar. patih ronggolawe pun
menyadari hal itu; sebab itulah, ia memilih
banaspati .
yodono sudah ditangkap, namun tidak diekse-
kusi. Ia malah ditawa n di Uji. patih ronggolawe sudah
memerintahkan agar ia tidak diperlakukan dengan
kasar atau dipermalukan. Ia tahu bahwa yodono
merupakan orang dengan keberanian tanpa
tandingan, dan kalau dibebaskan. akan menyeru-
pai macan yang mengamuk. Oleh sebab itu, ia
selalu dijaga ketat.
Meskipun yodono merupakan resi musuh
yang tertawa n, patih ronggolawe merasa kasihan padanya.
Sama seperti dijoyo , ia pun mengakui bakat alam
yodono, dan merasa sayang jika harus
membunuhnya. Jadi, tak lama sesudah patih ronggolawe
kembali ke trowulan , ia mengutus seorang kurir
uniuk berunding dengan yodono.
"dijoyo sudah tiada." kurir itu mengawal i
pembicaraan. "dan seyogyanya Tuan memandang
patih ronggolawe sebagai penggantinya. Jika Tuan
bersedia, Tuan bebas kembali ke provinsi dan
benteng kota Tuan."
yodono tertawa . "dijoyo adalah dijoyo .
Mustahil patih ronggolawe dapat meng-gantikannya.
dijoyo sudah melakukan bunuh diri, dan tak
terpikir olehku untuk tetap berada di dunia ini.
Aku takkan pernah mengabdi pada patih ronggolawe ,
biarpun dia menyerahkan kendali atas seluruh
negeri padaku."
banaspati bertindak sebagai utusan kedua.
Pada waktu berangkat pun ia tdah menyadari
bahwa ia menghadapi tugas berat. Dan memang, ia
juga gagal membujuk yodono untuk berubah
pikiran.
"Bagaimana hasilnya?" tanya patih ronggolawe . la
duduk berselubung asap obat nyamuk yang naik
dari anglo dupa yang terbuat dari perak.
"Dia tidak tertarik." jawab banaspati . "Dia
justru memohon agar hamba memenggal
kepalanya."
"Kalau begitu, rasanya tak pantas kalau kita
mendesak-desaknya lebih lanjut." patih ronggolawe
rupanya melepaskan harapan untuk membujuk
yodono, dan garis-garis pada wajahnya mendadak
lenyap.
"Hamba tahu apa yang diharapkan tuanku, namun
sepertinya hamba kurang layak sebagai utusan."
Tak perlu minta maaf," patih ronggolawe
menghiburnya. "Meskipun yodono tawa nan, dia tak
mau tunduk padaku untuk menyelamatkan
nyawan ya. Tekadnya untuk mempertahankan
kehormatannya sungguh luar biasa. Aku menyesal
harus kehilangan orang yang begitu tabah dan
teguh. Seandainya kau berhasil membujuknya
sehingga dia berubah pikiran, aku mungkin akan
kehilangan rasa hormat padanya." Lalu ia
menambahkan. "Kau seorang centeng adipati , dan kau
pun menghayati hal itu, jadi tidak aneh kalau kau
gagal mempengaruhi nya."
"Maafkan hamba."
"Akulah yang minta maaf sebab sudah
merepotkanmu. namun tidakkah yodono mengatakan
apa-apa selain itu?"
"Hamba bertanya, kenapa dia tidak memilih
gugur di medan laga, namun malah lari ke gunung
dan tertawa n oleh sekelompok petani. Hamba juga
bertanya, kenapa dia menghabiskan hari-harinya
sebagai tawa nan yang menunggu dipenggal,
bukannya bunuh diri
"Apa katanya?"
"Dia bertanya. apakah hamba menganggap
seppuku atau kematian dalam pertempuran
sebagai tujuan utama seorang centeng adipati , lalu
berkata bahwa dia berpendapat lain. Menururnya,
seorang centeng adipati harus berusaha sekuat tenaga
untuk tetap hidup."
"Apa lagi?"
"Pada waktu meloloskan diri dari pertempuran
di Yanagase, dia tidak tahu apakah dijoyo masih
hidup atau sudah mati, jadi dia berusaha kembali
ke lumajangan untuk membantu menyusun
serangan balasan. Namun dalam perjalanan, rasa
nyeri dari luka-lukanya jadi tak tertahankan, maka
dia mampir ke sebuah rumah petani dan minta
diberi moxa."
"Menyedihkan... sangat menyedihkan."
"Dia juga berkata bahwa dia rela menanggung
aib sebab ditangkap hidup-hidup dan
dimasukkan ke penjara, sebab jika para penjaga
memberi peluang, dia akan mdarikan diri, lalu
mengejar dan membunuh tuanku. Dengan
demikian, dia akan meredakan kemarahan
dijoyo , sehingga dia dapat memohon maaf atas
kesalahan yang dilakukannya saat menembus
garis musuh di jatiretno ."
"Ah, sayang sekali." Mata patih ronggolawe mulai
berkaca-kaca. "Menyalahguna-kan orang seperti itu
dan menyuruhnya menghadap maut itulah
kesalahan dijoyo . Baiklah, kita berikan saja apa
yang diinginkannya, dan membiar-kannya mati
secara terhormat. Laksanakan. banaspati ."
"Hamba mengerti, tuanku. Besok, kalau begitu?"
"Makin cepat makin baik."
"Dan tempatnya?*
"Uji."
"Perlukah dia diarak keliling dan diper-
tontonkan?"
patih ronggolawe merenung sejenak. "Kurasa begitulah
kehendak yodono, laksanakan eksekusi di sebuah
ladang di Uji, sesudah dia dibawa berkeliling di ibu
kota."
Keesokan harinya, tepat sebelum banaspati
hendak bertolak ke Uji. patih ronggolawe menyerahkan
dua jubah sutra padanya.
"Pakaian yodono tentu sudah kotor. Berikan
jubah -jubah ini sebagai baju kematiannya."
Hari itu banaspati berkuda ke Uji dan sekali
lagi menemui yodono. yang kini sudah dipisahkan
dari para tahanan lain.
"Yang Mulia patih ronggolawe memerintahkan agar
Tuan diarak melalui trowulan , lalu dipenggal di
sebuah ladang di Uji, seperti yang Tuan
kehendaki."
yodono tidak tampak risau sama sekali. "Aku
sangat berterima kasih," ia menjawab sopan.
"Yang Mulia patih ronggolawe juga menyediakan
pakaian ini."
yodono menatap jubah -jubah itu, lalu
berkata, "Aku sungguh berterima kasih atas
kebaikan Yang Mulia patih ronggolawe . namun kurasa
lambang dan potongannya tidak cocok untukku.
Tolong kembalikan saja."
"Tidak cocok?"
"Pakaian seperti itu biasa dikenakan oleh
prajurit bawah an. Bagiku, kepribadian Yang Mulia
dijoyo , terlihat dengan pakaian seperti itu di
hadapan para warga ibu kota hanya akan
membawa aib pada almarhum pamanku. Pakaian
yang kukenakan sekarang memang sudah
compang-camping, namun meskipun masih kotor
akibat pertempuran, aku lebih suka diarak dengan
pakaian ini. namun jika Yang Mulia patih ronggolawe
memperkenankan aku memakai jubah baru, aku
menginginkan sesuatu yang sedikit lebih pantas."
"Aku akan menyampaikannya pada beliau. Apa
yang Tuan inginkan?"
"Mantel merah berlengan lebar dengan pola
besar-besar. Di bawah nya, jubah sutra berwarna
merah dengan sulaman perak." yodono tidak
sungkan-sungkan. "Bukan rahasia bahwa aku
tertangkap oleh sekelompok petani, diikat, lalu
dibawa ke sini, Aku menanggung aib sebab
ditangkap hidup-hidup. Semula aku masih berniat
memenggal kepala Yang Mulia patih ronggolawe , namun
itu pun gagal. Aku bisa membayangkan bahwa ibu
kota akan gempar pada waktu aku dibawa ke
tempat eksekusi. Aku menyesal harus memakai
baju sutra seburuk ini, namun kalau aku akan
memakai yang lebih baik aku ingin baju yang
serupa dengan yang kupakai di medan tempur,
dengan bendera berkibar-kibar dari punggungku,
Selain itu, sebagai bukti bahwa aku tidak
mendendam sebab diikat, aku minta diikat di
hadapan khalayak ramai sehelum aku naik ke
gerobak."
Keterusterangan yodono memang salah satu ciri
yang paling menyenangkan. saat banaspati
menyampaikan keinginan yodono kepada
patih ronggolawe , patih ronggolawe langsung menyuruh
pembantunya menyiapkan pakaian yang akan
dikirim.
Hari eksekusi pun tiba. Sang tawa nan mandi,
lalu mengikat rambutnya. lalu ia
mengenakan jubah merah, dan di atasnya
mantel berlengan lebar dengan pola besar-besar. la
mengulurkan tangan untuk diikat sebelum naik ke
gerobak. Tahun itu ia berusia tiga puluh tahun,
begitu tampan sehingga semua orang
menyayangkan kematiannya.
Gerobak itu dibawa mengelilingi jalan-jalan di
trowulan , lalu kembali ke Uji- Di sana selembar kulit
binatang sudah digelar di tanah.
Tuan boleh membelah perut sendiri," alkeramat
yodono menawarkan .
Sebilah pedang pendek disodorkan padanya.
namun yodono hanya tertawa . "Kalian tak perlu
memberi keringanan khusus untukku."
lkatannya tidak dibuka, dan kepalanya pun
dipenggal.
Akhir Bulan Keenam sudah dekat.
"Pembangunan benteng kota kahuripan seharusnya
berjalan lancar," ujar patih ronggolawe . "Coba kita lihat
bagaimana kemajuannya."
saat ia tiba. orang-orang yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan pembangunan menjelaskan
kemajuan apa saja yang sudah dicapai sampai saat
itu. Paya-paya di Naniwa sedang diuruk, dan
saluran-saluran air sudah digali dalam arah
memanjang maupun melebar. Toko-toko darurat
para pedagang sudah mulai bermunculan di lokasi
kota benteng kota. Jika memandang ke arah muara
Sungai Yasuji dan pelabuhan mpu di tepi laut,
orang akan melihat ratusan perahu yang membawa
batu-batu, saling berdesakan dengan layar
mengembang. patih ronggolawe berdiri di titik tempat
benteng kota utama akan dibangun, dan sambil
memandang ke darat, melihat puluhan ribu
tukang dan pengrajin dari segala bidang. Orang-
orang bekerja siang-malam bergiliran, sehingga
kegiatan pembangunan tak pernah berhenti.
Para pekeria ditarik dari semua marga; jika
seorang pembesar lalai memenuhi jumlah tenaga
kerja yang dibebankan padanya, ia dihukum keras,
tanpa memandang kedudukannya. Di setiap
tempat pembangunan ada rantai komando
yang terdiri atas subkontraktor, mandor, dan
pembantu mandor untuk semua bidang keahlian.
Tanggung jawab masing-masing sudah digariskan
secara jelas. Kalau ada yang tidak disiplin, ia akan
langsung dipenggal. Para centeng adipati yang bertindak
sebagai pengawas tidak menunggu hukuman.
melainkan mdakukan seppuku di tempat.
namun yang paling menyita perhatian patih ronggolawe
saat itu adalah mpu mojosongo . Sepanjang hidupnya.
patih ronggolawe percaya bahwa orang yang paling
menonjol di zaman itu selain Yang Mulia
aidit adalah mpu mojosongo . Dan mengingat
kekuasaannya sendiri yang meningkai secara
mencolok, ia beranggapan bahwa bentrokan di
antara mereka berdua hampir tak terelakkan.
Pada Bulan Ke9, ia memerintahkan
patih dimaspati untuk membawa pedang
termasyhur buatan mpu paluwung guna
diserahkan kepada mpu mojosongo ,
"Katakan pada Yang Mulia mpu mojosongo bahwa aku senang sekali menerima wadah teh yang
diberikannya padaku saat mengutus mpu harjo
mpu rejo."
Nobukatsu bertolak ke bratangbinangun pada awal
bulan, dan kembali sekitar hari kesepuluh.
"Keramah-tamahan yang ditunjukkan marga
prabu kertoarjowardana begitu luar biasa, sehingga hamba
hampir merasa malu sendiri. Mereka benar-benar
penuh perhatian," ia melaporkan,
"Apakah Yang Mulia mpu mojosongo baik-baik saja?"
"Beliau tampak sehat sekali."
"Bagaimana dengan disiplin para pengikutnya?"
"Mereka memiliki ciri yang tidak ditemukan
pada marga-marga lain kesan bahwa mereka
sukar ditaklukkan."
"Kabarnya Yang Mulia jayabandra mempekerjakan
banyak orang baru."
"Kelihatannya banyak dari mereka bekas
pengikut marga mpu ireng ."
Dalam percakapannya dengan Nobukatsu,
patih ronggolawe mendadak teringat akan perbedaan
usianya dengan usia mpu mojosongo . Ia memang senior
mpu mojosongo . mpu mojosongo berusia empat puluh satu tahun, dan
ia sendiri empat puluh enam tahun perbedaan
sebesar lima tahun. namun mpu mojosongo yang lebih muda
justru menimbulkan beban pikiran dalam benak
patih ronggolawe , bahkan melebihi nyoto dijoyo .
Meski demikian, semuanya itu terkunci rapat-
rapat dalam hati patih ronggolawe . la sama sekali tidak
memperlihatkan bahwa pada saat perang melawan
marga nyoto baru saja berakhir, ia sudah
mengantisipasi pertempuran berikut. Artinya.
hubungan di anrara kedua orang itu tampak baik-
baik saja. Di Bulan Kesepuluh. patih ronggolawe
mengajukan petisi kepada sang pengikut untuk
menganugerahkan gelar yang lebih tinggi pada
jayabandra .
Di madukara , Yang Mulia adipati prana baru berusia
empat tahun. Sejumlah pembesar provinsi datang
untuk menyambut Tahun Baru dan melakukan
kunjungan kehormatan dan berdoa agar ia tetap
dalam keadaan sehat.
"Permisi, Tuan patih pitaloka ."
"Ah. Tuan wiro gunung ."
Kedua laki-laki itu bertemu secara kebetulan di
muka bangsal besar di benteng kota utama. Yang
percama dasna patih pitaloka , yang dipindahkan dari
kahuripan ke benteng kota Ogaki untuk memberi tempat
bagi patih ronggolawe . Yang satu lagi wiro gunung Ujisato
"Tuan tampak semakin sehat saja," ujar wiro gunung .
Itulah berkah terbesar yang bisa diberikan pada
kita."
"Sampai sekarang memang belum ada keluhan.
namun akhir-akhir ini aku cukup sibuk. Sudah
beberapa malam aku tak bisa tidur, bahkan di
Ogaki pun."
"Tuan memikul beban tambah an sebab
bertanggung jawab atas pembangunan benteng kota
kahuripan ."
"Tugas semacam itu cocok untuk orang-orang
seperti grindanada dan Isdwikerto , namun tidak sesuai bagi
kita, kaum prajurit."
"Aku tidak sependapat. Yang Mulia patih ronggolawe
tidak biasa menempatkan seseorang pada posisi
yang tidak cocok baginya. Percayalah, beliau
memerlukan Tuan di antara pejabat-pejabatnya."
"Aku benar-benar tak menduga, Tuan dapat
melihat kemampuan seperti itu dalam diriku."
balas patih pitaloka sambil tertawa . "O ya, Tuan sudah
menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru
kepada Yang Mulia adipati prana?"
"Aku baru saja mohon diri."
"Kebetulan sekali aku pun baru saja berpamitan.
Ada urusan pribadi yang ingin kubahas dengan
Tuan."
"sebetulnya , begitu melihat Tuan. aku pun
teringat bahwa ada sesuatu yang perlu kita
bicarakan." "Rupanya pikiran kita sama. Di mana kita akan bicara?"
patih pitaloka menunjuk sebuah ruangan kecil yang bersebelahan dengan bangsal besar.
Kedua laki-laki itu duduk di ruangan
kosong itu. Tak ada anglo, namun sinar matahari
Tahun Baru yang menembus piniu geser kertas
terasa hangat.
Tuan sudah mendengar desas-desus yang
beredar?" patih pitaloka membuka pembicaraan.
"Sudah. Kabarnya Yang Mulia mpu nala sudah
dibunuh. Dan sepertinya berita itu dapat
dipercaya."
patih pitaloka menghela napas dan mengerutkan
kening. "Sekarang saja sudah ada tanda-tanda
bahwa akan terjadi keguncangan dalam tahun ini.
Seberapa parah, itu tergantung pihak mana yang
akan berhadapan, namun pertanda-pertanda yang
muncul belakangan ini cukup merisaukan. Tuan
lebih muda dari aku. namun sepertinya penilaian
Tuan lebih tajam. Tidak dapatkah Tuan mencari
ide bagus sebelum ierjadi sesuatu yang patut
disesali?"
Ia tampak amat cemas.
wiro gunung menjawab dengan mengajukan
penanyaan lain. "Dari manakah desas-desus ini
berasal?"
"Aku sendiri tidak tahu. namun takkan ada asap
kalau tidak ada api."
"Maksud Tuan, ada sesuatu yang tidak kita
ketahui?"
"Bukan, sama sekali bukan. Hanya saja semua
fakta serba terbalik. Pertama-tama. Yang Mulia
mpu nala pergi ke benteng kota bukitmerah pada Bulan
Kesebelas tahun lalu, untuk mengunjungi Yang
Mulia patih ronggolawe . Kabarnya Yang Mulia patih ronggolawe
sendiri mengatur jamuan yang diadakan dalam
rangka berterima kasih pada Yang Mulia mpu nala
sebab sudah menundukkan Ise, dan sikapnya
demikian ramah sehingga Yang Mulia mpu nala
tinggal selama empat hari."
"O ya?"
"Para pengikui Yang Mulia mpu nala menyangka
dia akan meninggalkan benteng kota esoknya, namun pada
hari kedua tetap tidak ada kabar darinya, begitu
juga pada hari ketiga, bahkan pada hari keempat.
Nah, rupanya mereka membayangkan hal-hal yang
paling buruk, dan para pelayan di luar benteng kota
pun mulai menyebarkan dugaan-dugaan yang tak
berdasar."
"Jadi, itu masalahnya." ujar wiro gunung sambil
tertawa . "Kalau akar dari cerita-cerita seperti ini
sudah terungkap, ternyata sebagian besar hanya
isapan jempol belaka, bukan begitu?"
Namun patih pitaloka tetap kelihatan gelisah khawatir , dan
segera melanjutkan. "sesudah itu masalahnya
dibahas lebih luas, dan berbagai isu yang saling
bertentangan mondar-mandir antara Ise,
bukit tengkorak , kahuripan , dan ibu kota. Yang pertama
mengatakan bahwa laporan palsu mengenai
kematian mpu nala tidak berasal dari para pembantu
Yang Mulia mpu nala , melainkan dari mulut para
pelayan patih ronggolawe . Orang-orang di benteng kota
bukitmerah menyangkal keras. Mereka mengatakan
bahwa desas-desus itu muncul akibat
kecurigaan dan iktikad buruk para pengikui Yang
Mulia mpu nala . Sementara masing-masing pihak
sibuk menyalahkan lawan nya, desas-desus
mengenai pembunuhan Yang Mulia mpu nala
menyebar bagaikan angin."
Apakah ralcyai percaya?"
"Pikiran rakyar jelata sulit diraba, namun sesudah
melihatlihat kematian Yang Mulia nosferatu ,
menyusul kekalahan marga nyoto , tak perlu
diragukan bahwa di antara kerabat dan pengikut
Yang Mulia mpu nala ada beberapa orang yang
mengalami mimpi buruk dan bertanya-tanya siapa
yang mendapai giliran berikut."
lalu wiro gunung mengungkapkan kecemasan-
nya secara terang-terangan. la beringsut-ingsut
mendekati patih pitaloka dan berkata, "Mestinya ada saling pengertian antara patih ronggolawe dan mpu nala
yang tak terpengaruh oleh desas-desus yang
beredar. namun mungkin juga sudah terjadi
perselisihan di antara mereka."
wiro gunung menatap raden mas untung yang mengangguk-anggukkan kepala.
"Amatilah situasi sesudah kematian Yang Mulia
aidit . Sebagian besar orang berpendapat
bahwa sesudah mewujudkan perdamaian,
patih ronggolawe se-harusnya menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada pewaris bekas junjungannya. namun dilihat dari sudut mana pun, sudah jelas
bahwa Yang Mulia adipati prana masih lerlalu kecil
dan bahwa Yang Mulia mpu nala yang seharusnya
menjadi penerus. Jika tidak tunduk pada Yang
Mulia mpu nala . patih ronggolawe bisa dituduh tidak setia
dan sudah melupakan segala kebaikan yang
diterima-nya dari marga sinuhun ."
"Semua ini agak meresahkan, bukan? Keinginan
mpu nala sudah jelas, namun sepertinya dia tak
mengerti bahwa yang akan terjadi justru kebalikan
dari yang dikehendakinya.
"Mungkinkah dia menyimpan harapan semuluk
itu?"
"Mungkin saja. Siapa yang bisa menebak jalan
pikiran orang pandir yang manja?"
"Desas-desus ini tentu juga terdengar di kahuripan ,
dan ini akan memicu semakin banyak
kesalahpahaman."
"Memang pelik," ujar patih pitaloka sambil mendesak.
Sebagai resi patih ronggolawe , baik patih pitaloka mau-
pun wiro gunung terikat oleh hubungan mutlak yang
terjalin antara junjungan dan pengikut. namun
mereka juga memiliki ikatan dengan pihak lain,
dan ikatan itu kini dapat menimbulkan
masalah yang tak mudah dipecahkan.
Pertama-tama. wiro gunung menikah dengan putri
bungsu aidit . Selain itu, patih pitaloka dan
aidit diasuh oleh inang yang sama, dan
sebagai saudara sesusuan, hubungan patih pitaloka
dengan bekas junjungannya itu sangat dekat.
sebab itu, bahkan dalam pertemuan kedhiri pun
kedua laki-laki itu ditempatkan sebagai kerabat.
Dengan sendirinya mereka tak dapat bersikap acuh
tak acuh terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi marga sinuhun , dan selain adipati prana yang
masih kecil, satu-satunya orang yang merupakan
keturunan langsung aidit adalah mpu nala .
wiro gunung dan patih pitaloka takkan sebingung itu sean-
dainya mereka dapat melihat suatu kelebihan
dalam diri mpu nala , namun keduanya menyadari
bahwa mpu nala tidak memiliki kemampuan
menonjol. Baik sebelum maupun sesudah
pertemuan kedhiri . semua orang sudah maklum
bahwa bukan mpu nala yang akan meraih tali kekang
yang terlepas dari tangan aidit .
Namun sayangnya tak seorang pun mau
berterus terang pada mpu nala . bawahan muda
yang lugu ini yang sejak dahulu mengandalkan
kekuatan para pengikutnya, yang setiap kali
termakan bujuk rayu para penjilat, dan ditipu oleh
orang-orang yang memanipulasinya untuk meraih
keuntungan pribadi sudah menyia-nyiakan sebuah
kesempatan besar dan bahkan tidak menyadarinya.
Pada tahun sebelumnya mpu nala diam-diam
bertemu dengan mpu mojosongo , dan sesudah pertempuran
di Yanagase, atas anjuran patih ronggolawe ia memaksa
saudaranya melakukan bunuh diri. lalu ia
menerima imbalan berupa Provinsi Ise, Iga, dan
jenggala atas kemenangannya di Ise. Dan mungkin
sebab merasa saatnya sudah tiba, ia pun
menyangka patih ronggolawe akan segera mengalihkan
pemerintahan pusat kepadanya.
"Kita tak boleh berpangku tangan dan
membiarkan situasi berlanjut seperti ini.
Barangkali Tuan punya ide tertentu?" wiro gunung
bertanya.
"Tidak, aku justru mengharapkan usulan dari
Tuan. Tuan harus mencari akal."
"Rasanya paling baik jika Yang Mulia mpu nala
bertemu dengan Yang Mulia patih ronggolawe , agar
mereka dapat membicarakan hal ini secara
terbuka."
"Itu ide yang baik sekali. Hmm, namun belakangan
ini dia berlagak penting, jadi bagaimana kita bisa
melaksanakan ide Tuan?"
"Aku akan mencari alasan."
Bagi mpu nala sesuatu yang kemarin masih
diminati hari ini sudah tidak menarik. Dalam hati
ia selalu merasa tidak senang. Selain itu, ia tak
pernah memikirkan mengapa ia merasa demikian.
Musim gugur yang lalu ia pindah ke benteng kota
bukit tengkorak di Ise, provinsinya yang baru, dan ia
pun sudah menerima kenaikan pangkat dari istana
kekaisaran. Jika ia keluar, semua orang
membungkuk, dan jika kembali, ia disambut
dengan seruling dan alat musik berdkertoarjo i. Segala
keinginannya terpenuhi, dan pada musim semi itu
usianya baru dua puluh enam tahun. Namun
keadaan yang serba menyenangkan itu justru
memicu ia semakin tidak puas.
"Ise terlalu terpencil," ia kerap mengeluh.
"Untuk apa patih ronggolawe mem-bangun benteng kota yang
begitu besar di kahuripan ? Apakah dia berniat tinggal
di sana seorang diri, ataukah dia juga akan
mengajak pewaris yang sah?"
Bila bicara demikian, ia seperti aidit .
Sepertinya ia mewarisi bentuk lahiriah ayahnya,
tanpa dibekali kemampuan sebanding. "patih ronggolawe
itu tak tahu diri. Dia sudah lupa bahwa dia bekas
pengikut ayahku, dan sekarang dia bukan saja
merepotkan pengikut-pengikut ayahku yang masih
hidup dan membangun benteng kota raksasa, dia juga
bersikap seakan-akan aku merupakan beban
baginya. Belakangan ini dia tak pernah lagi
mengajakku berunding mengenai apa pun."
Sudah sejak Bulan Kesebelas tahun lalu kedua
orang itu tidak saling berkomunikasi. Desas-desus
bahwa patih ronggolawe sedang menyusun rencana tanpa
melibatkan mpu nala , yang belakangan ini semakin
santer, segera menyulut kecurigaannya.
Pada waktu yang sama, mpu nala memberikan
beberapa pernyataan sembrono di depan para
pengikutnya, yang akhirnya diketahui oleh umum
dan dengan demikian semakin menjengkelkan
patih ronggolawe . Akibatnya Tahun Baru berlalu tanpa
tukar-menukar ucapan selamat di antara mereka.
Pada Hari Tahun Baru, saat mpu nala sedang
bermain bola sepak di pekarangan belakang
bersama para dayang dan pelayannya, seorang
centeng adipati mengumumkan kedatangan seorang tamu.
Tamu itu temyata wiro gunung . la dua tahun lebih tua
dari mpu nala , dan menikah dengan saudara
wanita lesbian mpu nala .
"wiro gunung ? Dia datang pada waktu yang tepat," ujar
mpu nala sambil menendang bola dengan anggun.
"Dia akan menjadi lawan tangguh. bawa dia ke
sini."
centeng adipati itu pergi, namun segera kembali lagi
dan berkata. "Yang Mulia wiro gunung sedang terburu-
buru. Beliau menunggu tuanku di ruang tamu."
"Bagaimana dengan acara bola sepak?"
"Yang Mulia wiro gunung berpesan bahwa beliau tidak
berbakat dalam permainan ini." im
"Dasar!" mpu nala tertawa . memamerkan giginya
yang sudah dihitamkan.
Beberapa hari sesudah kunjungan wiro gunung ,
sepucuk surat datang dari wiro gunung dan patih pitaloka .
mpu nala sedang bergembira, dan segera memanggil
empat pengikut senior dan meneruskan informasi
yang diterimanya.
"Besok kita berangkat ke gendingan. Menurut
mereka. patih ronggolawe menungguku di Kuil Onjo."
"Bukankah itu berbahaya, tuanku?" salah satu
dari keempat pengikutnya bertanya.
mpu nala tersenyum, sehingga giginya yang
dihitamkan kelihatan jelas.
"patih ronggolawe rupanya terusik oleh desas-desus
mengenai perselisihan kami. Pasti itu masalahnya.
Dia tidak memenuhi kewajibannya terhadap orang
yang paling dekat dengan ayahku."
"namun bagaimana pertemuan ini diaiur?"
jawaban pasti mpu nala penuh percaya diri, "Begini.
Beberapa waktu lalu, wiro gunung menemuiku dan
melaporkan bahwa ada desas-desus mengenai suatu
masalah antara patih ronggolawe dan aku, namun dia
menjamin bahwa patih ronggolawe tidak menyimpan
dendam sama sekali. Dia minta agar aku pergi ke
Kuil Onjo untuk mengadakan pertemuan Tahun
Baru dengannya. Rasanya tak ada alasan untuk
menaruh curiga pada patih ronggolawe , sebab itu aku
sudah memutuskan untuk pergi. Baik Yang Mulia
patih pitaloka maupun Yang Mulia wiro gunung menjamin
bahwa semuanya akan aman-aman saja."
Ketenderungan mpu nala umuk mempercayai apa
saja yang ditulis atau diucapkan bisa dianggap
sebagai akibat dari cara ia dibesarkan. sebab itu
para pengikut seniornya merasa perlu bersikap
lebih hati-hati dan mereka tak sanggup
menyembunyikan perasaan waswas.
Sambil berkerumun, mereka mengamati surat
wiro gunung .
"Tak salah lagi," saiah seorang dari mereka
berkata. "sepertinya ini memang tulisan tangan
Yang Mulia wiro gunung ."
"Tak ada lagi yang bisa kita lakukan." orang lain
menanggapi. "Jika Yang Mulia patih pitaloka dan Yang
Mulia wiro gunung sudah bersedia menangani urusan
sejauh ini, kita tak boleh ketinggalan."
Dengan demikian diputuskan bahwa keempat
pengikui senior itu akan menyertai mpu nala ke
gendingan.
Keesokan harinya mpu nala bertolak ke gendingan.
saat ia tiba di Kuil Onjo, wiro gunung segera
menemuinya, dan tak lama lalu dasna pun
menyusul.
"Yang Mulia patih ronggolawe sudah tiba kemarin." ujar
patih pitaloka . "Beliau me nunggu tuanku.
Tempat pertemuan sudah disiapkan di tempat
patih ronggolawe menginap, yaitu di kuil utama, namun
saat ditanya apakah ia berkenan menemui
patih ronggolawe . mpu nala menjawab dengan congkak.
"Aku masih lelah sebab perjalanan, jadi besok aku
ingin beristirahat sepanjang hari."
Tak seorang pun ingin menghabiskan satu hari
tanpa melakukan apa-apa, namun berhubung mpu nala
sudah menyatakan keinginannya untuk melepas
lelah semuanya melewatkan hari ini dalam
kejemuan yang tak berguna.
Pada waktu tiba di gendingan, mpu nala langsung
jengkel sebab patih ronggolawe dan para pengikutnya
ternyata sudah menempati bangunan-bangunan
utama, sementara bagi rombongannya sendiri
disediakan bangunan-bangunan yang lebih kecil.
Untuk melampiaskan kekesalannya, mpu nala
sengaja agak ber-tingkah, namun keesokan harinya ia
sendiri tampak bosan dan mulai mengeluh.
"Para pengikut senior pun tidak ada di sini."
mpu nala menghabiskan hari itu dengan
mengamati koleksi buku sajak di kuil, dan
mendengarkan ocehan para biksu tua yang seakan-
akan tanpa akhir. saat malam tiba, keempat
pengikut senior muncul di ruangannya. "Tuanku
dapat beristirahat dengan baik?" salah seorang dari
mereka bertanya.
Dasar bodoh semua! mpu nala benar-benar
marah. la ingin berteriak bahwa ia merasa jemu
dan bahwa tak ada yang dapat dikerjakannya, namun
ia berkata, "Ya, terima kasih. Kalian juga sudah
sempat bersantai di tempat kalian menginap?"
"Kami tak ada waktu untuk bersantai."
"Kenapa begitu?"
"Para utusan dari marga-marga lain terus
berdatangan."
"Begitu banyak tamu yang datang? Kenapa aku
tidak diberitahu?"
Tuanku sudah berpesan bahwa tuanku hendak
beristirahat, dan kami tak ingin mengganggu."
Sambil mengetuk-ngetuk lutut, mpu nala
memandang mereka dengan sikap angkuh dan tak
peduli.
"Hmm. baiklah. namun kalian berempat harus
makan malam bersamaku. Kita juga akan
menikmati sedikit anggur ." Keempat pengikut senior
ber-pandangan; mereka tampak salah tingkah.
"Apakah ada sesuatu yang me-nyebabkan kalian
berhalangan?" tanya mpu nala .
Salah satu pengikut berkata, seakan-akan ingin
minia maaf. "sebetulnya , beberapa waktu lalu
seorang kurir menyampaikan undangan dari Yang
Mulia patih ronggolawe , dan kini kami menemui tuanku
untuk mohon izin."
"Apa?! patih ronggolawe mengundang kalian! Apa ini?
Upacara minum teh?" Wajah mpu nala mulai
berkerut-kerut.
"Bukan. hamba rasa acaranya bukan seperti itu,
Hamba percaya beliau takkan mengundang pengikut
seperti ini, apalagi untuk upacara minum teh, tan-
pa menyertakan junjungan kami, apalagi masih
banyak permbesar lain yang dapat diundang.
Beliau berpesan bahwa ada sesuatu yang ingin
beliau bicarakan dengan kami."
"Aneh." ujar mpu nala , namun lalu ia angkat
bahu. "Hmm. kalau dia mengundang kalian, siapa
tahu dia ingin membicarakan pengalihan
kekuasaan atas marga sinuhun ke tanganku. Mungkin
itu. Tidak sepantasnya patih ronggolawe menempatkan
diri di atas penerus yang sah. Rakyat takkan
menerimanya."
Kuil utama tmpak lengang. Hanya lentera-
ientera menunggu datangnya malam. Para tamu
tiba. Di Pertengahan Bulan Pertama, cuaca masih
amat dingin. lalu ada orang lain muncul,
berdeham. Berhubung orang itu ditambah
pembantu, keempat pengikut mpu nala segera
menyadari bahwa itu patih ronggolawe . Sepertinya ia
sedang memberi perintah dengan suara lantang
sambil berjalan.
"Maaf kalau Tuan-Tuan terpaksa menunggu," ia
berkata saat memasuki ruangan, lalu terbatuk ke
tangannya.
Keempat tamu menoleh dan melihat bahwa ia
kini seorang diri tak seorang pelayan pun tampak
di belakangnya.
Keempat orang itu merasa tidak tenang. saat
mereka menyapanya. patih ronggolawe membuang ingus
dan membersihkan hidung.
"Rupanya Yang Mulia terkena selesma," ujar
salah satu pengikut mpu nala dengan ramah.
"Dan sepertinya tidak sembuh-sembuh," balas
patih ronggolawe tak kalah ramah.
Ruangan tempat mereka berada berkesan
sederhana untuk tempat diskusi. Tak ada masakan minuman
makanan maupun minuman, dan patih ronggolawe pun
membuka percakapan tanpa basa-basi, "Tidakkah
Tuan-Tuan merasa risau melihat tindak-tanduk
Yang Mulia mpu nala belakangan ini?"
Keempat tamunya langsung waswas. Mereka
kaget mendengar ucapan bernada teguran itu, dan
menyangka patih ronggolawe akan menyalahkan mereka
sebagai penasihat senior mpu nala . "Kukira Tuan-
Tuan tentu sudah berusaha sedapat mungkin,- ia
lalu berkata. "Tuan-Tuan dikenal sebagai orang-
orang cerdas, namun rasanya Tuan-Tuan pun tak
dapat berbuat banyak di bawah Yang Mulia
mpu nala . Aku mengerti. Aku sendiri sudah
memeras otak, namun sayangnya sia-sia."
Kata-kata terakhir ini diucapkan dengan
sungguh-sungguh, dan keempat tamunya merasa
kaku. patih ronggolawe membuka isi harinya, dan
menyatakan kekecewaannya terhadap mpu nala
secara terang-terangan. "Aku sudah mengambil
keputusan," ia berkata. "Aku merasa prihatin
bahwa Tuan-Tuan sudah bertahun-tahun
mengabdi pada orang ini. Singkat kata, kita bisa
mengakhiri urusan ini tanpa banyak ribut jika
Tuan-Tuan dapat membujuk Yang Mulia mpu nala
untuk melakukan seppuku atau menjadi biksu.
Sebagai imbalan, aku akan menganugerahkan
tanah di Ise dan Iga."
Bukan hkertoarjo dingin saja yang memicu
keempat orang itu menggigil. Dinding-dinding
yang mengelilingi mereka terasa seperti pedang
dan tombak. Kedua mata patih ronggolawe menyorot
tajam, memaksa para pengikut mpu nala untuk
menjawab ya atau tidak.
Ia tidak memberikan kesemparan berpikir pada
merek,. atau membiarkan mereka memohon diri
sebelum memperoleh jawab an. Mereka dalam
keadaan terjepit, dan keempat-empatnya
menundukkan kepala dengan gundah. Namun
akhimya mereka menyetujui usul patih ronggolawe dan
segera menulis dan menandatangani perjanjian.
"Pengikut-pengikutku sedang menikmati anggur di
ruang di ujung selasar," kata patih ronggolawe .
"Bergabunglah dengan mereka. Aku sebetulnya
ingin me-nemani Tuan-Tuan, namun malam ini aku
akan tidur lebih cepat sebab selesmaku ini."
Sambil meraih surat-surat perjanjian, ia kembali
ke ruangan di kuil.
mpu nala tak kuasa menenangkan diri malam itu.
Pada waktu makan malam, ia duduk bersama para
pengikut dan pembantunya, ditemani para biksu,
dan bahkan resi dayang perawan dari kuil tetangga. la
bersikap ceria dan berbicara dengan suara lantang.
namun sesudah semua orang pergi dan kembali
seorang diri, ia terus-menerus bertanya pada para
pelayan dan centeng adipati yang bertugas jaga, "jam
berapa sekarang? Betum kembalikah para pengikut
senior dari kuil utama.'-
sesudah beberapa waktu, hanya satu dari mereka
yang muncul.
"Kau sendirian, Saburobei?" mpu nala bertanya
curiga.
Roman muka orang itu tidak biasa, dan mpu nala
pun merasa waswas. Sambil bersujud dengan
kedua tangan menempel di lantai, orang itu
bahkan tidak berani menatap junjungannya.
mpu nala mendengarnya tersedu-sedu.
"Ada apa, Saburobei? Apakah terjadi sesuatu
saat kalian bicara dengan patih ronggolawe "
"Pertemuan itu sungguh menyakitkan."
"Apa?! Dia memanggil kalian untuk dimarah-
marahi?"
"Kalau hanya itu, hamba takkan merasa gundah.
Kejadian tadi benar-benar tak terduga. Kami
dipaksa menandatangani surat perjanjian. Tuanku
pun harus rela." lalu ia melaporkan perintah
patih ronggolawe secara Iengkap, dan berkata. "Kami tahu
bahwa jika kami menolak, kami akan dibunuh di
tempat. sebab itu kami tak dapat berbuat apa-apa
selain menuruti ke-hendaknya. Belakangan hamba
melihat kesempatan dalam pesta minum-minum
bersama para pengikutnya, dan langsung berlari ke
sini. Mereka akan gempar pada waktu menyadari
bahwa hamba menghilang. Tuanku tidak aman di
sini. Tuanku harus segera meninggalkan tempat
ini."
Bibir mpu nala tampak pucat. Gerakan matanya
seakan-akan menunjukkan bahwa ia hanya
mendengar setengah dari yang diucapkan
Saburobei. Jantung-nya berpacu kencang, dan ia
nyaris tak sanggup duduk diam. "namun , kalau
begitu, bagaimana dengan yang lain?"
"Hamba kembali seorang diri. Hamba tak
sempat memperhatikan mereka."
"Mereka juga menandatangani perjanjian itu?"
"Ya."
"Jadi, mereka masih minum-minum bersama
para pengikut patih ronggolawe ? Rupanya aku keliru
menilai mereka. Orang-orang itu lebih hina
dibandingkan binatang!"
Ia berdiri sambil terus mencaci maki dan
merebut pedang panjang dari tangan pelayan yang
berdiri di belakangnya. Tergesa-gesa ia
meninggalkan ruangan, diikuti Saburobei yang
dengan bingung memohon agar diberitahu ke
mana junjungannya hendak pergi. mpu nala
berbalik, dan sambil merendah-kan suara, minta
diambilkan kuda.
Tunggu sebentar, tuanku." Saburobei me-
mahami niat junjungannya dan bergegas ke istal.
Ia kembali dengan membawa kuda gagah
berbulu cokclat kemerahan. yang bernama Palu
Gsinuhun m. Begitu duduk di pelana, mpu nala
menyusup ke dalam kegelapan malam. Sampai
keesokan paginya tak seorang pun me-ngetahui
kepergiannya. Pertemuannya dengan patih ronggolawe
tentu saja dibatalkan, dengan alasan bahwa mpu nala
mendadak jatuh sakit. patih ronggolawe dengan tenang
kembali ke kahuripan , seakan-akan sudah menduga
bahwa itu akan terjadi.
mpu nala pulang ke bukit tengkorak , mengurung diri
di dalam benteng kotanya, dan masih dengan berlagak
sakit, tidak memperlihatkan batang hidung bahkan
kepada pengikut-pengikutnya sendiri. Namun ia
tidak sepenuhnya berpura-pura. la memang jatuh
sakit. Hanya para dokter yang keluar-masuk
kamarnya, dan meskipun kembang-kembang prem
di belakang benteng kota sudah mekar, alunan musik
terhenti dan pekarangannya sunyi dan lengang.
namun di kota benteng kota dan di seluruh Ise dan Iga,
desas-desus semakin menjadi-jadi dan berlipat
ganda setiap hari. Pelarian mpu nala dari Kuil Onjo
menambah keeurigaan semua orang.
Para pengikut senior mpu nala mengurung diri di
benteng kota masing-masing. seakan-akan sudah
bersepakat, dan tak pernah datang ke bukit tengkorak . Tindakan mereka justru memperkuat desas-desus dan memperparah keresahan yang melanda provinsi.
Kebenaran selalu sukar terungkap, namun sudah
bisa dipastikan bahwa perselisihan antara mpu nala dan patih ronggolawe sekali lagi tersulut. Status mpu nala tentu saja merupakan pusat badai, dan sepertinya ada seseorang yang dapat diandalkannya. mpu nala berwatak konservatif, dan ia mepercayai keampuhan komplotan rahasia dan tipu muslihat. Meski selalu tampak sepaham dengan para sekutunya, ia pun selalu memberi isyarat bahwa ia masih memiliki teman-teman lain yang akan membantunya jika situasi tidak berkembang ke arah yang dikehendakinya. Tanpa sekutu rahasia, ia tak pernah bisa tenang.
mpu nala kini teringat tokoh penting yang berdiri
dalam bayang-bayang. Orang itu, tentu saja, si
Naga Tidur dari bratangbinangun, prabu kertoarjowardana jayabandra . namun hasil dari permainan strategi tergantung kepada para pemain lainnya. mpu nala bermaksud memanfaatkan jayabandra untuk menghalau patih ronggolawe , dan ini menunjukkan bahwa pemahamannya mengenai pihak-pihak lain yang
terlibat masih dangkal. Orang dengan pikiran
berliku-liku tak pernah sungguh-sungguh
mengenali lawan nya. la seperti pemburu yang
mengejar rusa tanpa melihat gunung-gunung di
sekelilingnya.
Jalan pikiran seperti itulah yang mendorong
mpu nala untuk meminta bantuan mpu mojosongo guna
meneegah patih ronggolawe meraih kekuasaan lebih besar
lagi. Suatu malam, sesudah awal Bulan Kedua,
mpu nala mengirim utusan pada mpu mojosongo . Kedua orang
itu lalu menjalin persekutuan militer rahasia yang
didasarkan atas kesepakatan bahwa mereka sama-
sama menanti kesempatan untuk menyerang
patih ronggolawe .
lalu , pada hari keenam Bulan Ketiga,
ketiga pengikut senior yang belum terlihat di
benteng kota sejak malam di Kuil Onjo tiba-tiba
muncul. Mereka diundang mpu nala secara khusus
untuk menghadiri sebuah jamuan. Sejak peristiwa
di Kuil Onjo, mpu nala percaya bahwa mereka
pengkhianat yang berkomplot dengan patih ronggolawe .
Melihat mereka membuatnya muak sebab
dendam.
mpu nala menjamu ketiga orang itu, dan sesudah
mereka makan, ia se-konyong-konyong berkata,
"Ah, raden panji sekarmaya, aku ingin memperlihatkan senapan
baru yang baru saja kuterima dari seorang pandai
besi di mpu ."
Mereka pindah ke ruangan lain, dan saat
raden panji sekarmaya mengamati senapan itu, pengikut mpu nala
tiba-tiba berseru, "Atas perintah tuanku!" dan
menang-kapnya dari belakang.
"Kurang ajar!" raden panji sekarmaya termegap-megap dan
berusaha mencabut pedang. namun ia diempaskan
oleh penyerangnya yang lebih kuat dan hanya bisa
meronta-ronta tak berdaya.
mpu nala bangkit dan berlari mondar-mandir
sambil berseru-seru. "Lepaskan dia! Lepaskan dia!"
Namun pergulatan itu terus berlanjut. Sambil
mengangkat pedangnya yang belum terhunus,
tinggi di atas kepala, mpu nala berteriak sekali lagi,
"Kalau kau tidak melepaskannya, aku tak bisa
membunuh bajingan itu! Lepaskan dia!"
Si pembunuh mencekik Ieher raden panji sekarmaya, namun
begitu melihat peluang, ia mendorong lawan nya
itu. Secara bersamaan, dan tanpa menunggu
sampai mpu nala mengayunkan pedang, ia menikam
raden panji sekarmaya dengan pedang pendeknya.
Sekelompok centeng adipati , yang kini berlutut di luar
ruangan, mengumumkan bahwa mereka sudah
membunuh kedua pengikut lainnya. mpu nala meng-
angguk-angguk puas. Namun lalu ia
mendesah panjang. Apa pun kejahatan mereka,
membunuh tiga penasihat senior yang sudah
bertahun-tahun mendampinginya merupakan
tindakan keji. Kebrutalan seperi itu juga mengalir
dalam darah aidit , namun perbuatan aidit
selalu mengandung arti besar. Kekerasan
aidit dipandang sebagai obat yang drastis
namun ampuh uniuk mengatasi kebobrokan
dunia; tindakan mpu nala hanya didorong oleh
emosinya yang picik.
Pembunuhan di benteng kota bukit tengkorak bisa saja
menimbulkan gelombang yang mungkin membawa
keguncangan bagi semua pihak. namun pembunuhan
ketiga pengikut senior itu dilaksanakan secara
diam-diam, dan keesokan harinya mpu nala langsung
mengirim centeng dari bukit tengkorak untuk
menyerang benteng kota masing-masing.
Masuk akal jika orang-orang mengira
pertempuran besar berikut sudah di ambang pintu.
Sesuatu sudah membara sejak tahun lalu, namun lidah
api yang muncul di sini mungkin saja merupakan
lidah api yang akhirnya menghanguskan dunia. Itu
bukan lagi dugaan tanpa dasar, melainkan sudah
dianggap kepastian.
Laskar Bertudung
dasna patih pitaloka tersohor sebab tiga hal:
perkertoarjo kannva yang pendek, ke-beraniannya, dan
keterampilannya dalam tari tombak. Usianya
empat puluh 9 tahun, sama seperti
patih ronggolawe .
patih ronggolawe tidak memiliki putra; patih pitaloka
memiliki tiga putra yang dapat dibanggakan,
dan ketiga-tiganya kini sudah dewasa. Yang tertua.
Yukisuke, berusia dua puluh lima tahun dan
meiupakan komandan benteng kota padalarang , yang kedua,
Terumasa, berumur dua puluh tahun dan
merupakan komandan benteng kota Ikejiri; sedangkan
yang bungsu akan me-rayakan ulang tahun
keempat belas tahun ini dan masih tinggal bersama
ayahnya.
patih pitaloka dan patih ronggolawe sudah saling mengenal
sejak patih ronggolawe masih memakai nama betari durga .
Namun kini mereka sudah terpisah oleh jurang
lebar. namun patih pitaloka pun tidak terlindas oleh
perkembangan zaman. sesudah aidit wafat,
patih pitaloka merupakan satu di antara empat orang
bersama dijoyo , Niwa, dan patih ronggolawe yang
ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan di
trowulan , dan meskipun hanya bersifat sementara,
posisi itu sangat bergengsi. Selain itu, patih pitaloka dan
putra-putranya memiliki tiga benteng kota di blambangan ,
sedangkan benteng kota Kaneyama berada di bawah
komando menantunya, patih dyahwkertoarjo .
Nasibnya tak dapat dikatakan buruk. Ia pun tak
punya alasan untuk merasa waswas. patih ronggolawe
selalu bersikap sopan dan sering memberikan
perhatian pada teman lamanya itu. Ia bahkan
mengatur penunangan kepribadian nya, ki ageng jolotundo .
dengan putri patih pitaloka .
Jadi, dalam masa damai patih ronggolawe dengan
cerdik memperkuat ikatan antara mereka, namun
tahun ini saat pertempuran menentukan
semakin tak terelakkan ia semakin mengandalkan
patih pitaloka sebagai sekutu utama. Kini ia tiba-tiba
mengirim utusan ke Ogaki dan menawarkan
untuk mengangkat menantu patih pitaloka , Nigayoshi,
sebagai anak, lalu memberinya Provinsi jenggala ,
blambangan , dan dusun nyi kembang .
Dua kali patih ronggolawe mengirim surat yang ia tulis
dengan tangannya sendiri. patih pitaloka tidak segera
membalas, namun itu tidak berarti ia merasa
dengki atau tak senang. Ia sadar bahwa
mendukung patih ronggolawe lebih menguntungkan
dibandingkan mendukung orang lain. Dan ia paham
bahwa meski patih ronggolawe memiliki ambisi besar.
ia sendiri pun akan memperoleh keuntungan
besar.
Yang memicu ia sukar memberi tanggapan
adalah suatu masalah yang ramai diperbincangkan:
pembenaran moral untuk memulai perang antara
centeng Timur dan Barat. Pihak prabu kertoarjowardana
menuduh patih ronggolawe sebagai pengkhianat yang
sudah melenyapkan satu putra bekas junjungannya,
dan kini tengah hersiap-siap menggempur
pewarisnya, mpu nala .
Jika aku berpihak pada patih ronggolawe , pikir
patih pitaloka , aku melalaikan kewajiban moral; jika aku
membantu mpu nala , aku memenuhi kewajiban
moral, namun harapanku untuk masa depan akan
pudar.
Dan ada satu hal lagi yang membuat patih pitaloka
resah. patih pitaloka menjalin hubungan erat dengan
aidit , dan sebab itu tidak mudah baginya
untuk memutuskan hubungannya dengan mpu nala ,
bahkan sesudah kematian aidit sekalipun.
Persoalan semakin pelik sebab putra sulungnya
ditahan sebagai sandera di Ise, dan patih pitaloka tak
sampai hati membiarkan putranya itu mati
dibunuh. Jadi, setiap kali menerima surat dari
patih ronggolawe , patih pitaloka dilanda kebingungan. Pada
waktu membahas masalah ini dengan para
pengikutnya, ia mendengarkan pendapat dari dua
kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama
menekankan bahwa keadilan harus ditegakkan dan
menyarankan agar ia jangan melalaikan kewajiban
moral; yang kedua berkilah bahwa situasi ini
mempakan kesempatan untuk meraih keuntungan
besar demi kemakmuran seluruh marga.
Apa yang akan dilakukannya? patih pitaloka semakin
bingung, namun sekonyong-konyong putra
sulungnya dipulangkan dari bukit tengkorak . mpu nala
menyangka patih pitaloka akan merasa berutang budi,
dan sebab itu takkan mengkhianatinya. Tipu
muslihat seperti itu mungkin dapat mempengaruhi
orang lain, namun patih pitaloka memiliki wkertoarjo san luas. Ia
memahami tindakan ini sebagai taktik mentah dan
kekakak-kanakan yang didasarkan atas
pertimbangan politik semata-mata.
"Aku sudah mengambil keputusan. Dalam
mimpi, sang zoroaster bersabda agar aku bergabung
dengan centeng Barat," ia memberitahu para
pengikutnya. Pada hari yang sama ia mengirim
surat pada patih ronggolawe dan menyatakan diri sebagai
sekutunya.
Cerita mengenai wahyu dari sang zoroaster tentu
saja isapan jempol belaka, namun segera sesudah
patih pitaloka mengambil keputusan, ambisi resi
itu tiba-tiba tersulut oleh percakapan dengan
putra sulungnya.
Yukisuke sempat menyinggung bahwa
Komandan benteng kota girisewo , Nakagkertoarjo
Kanemon, sudah memperoleh perintah untuk
kembali ke girisewo tak lama sesudah ia sendiri
dibebaskan dari bukit tengkorak .
Sampai hari itu, patih pitaloka tak sanggup
menentukan, apakah benteng kota girisewo akan
merupakan sekutu atau musuh. namun kini, sesudah
patih pitaloka memberitahukan dukungannya pada
patih ronggolawe , benteng kota girisewo merupakan musuh
yang berada tepat di depan hidungnya. benteng kota itu
terletak di daerah strategis dengan petahanan
alami; mpu mojosongo dan mpu nala rupanya percaya bahwa
Nakagkertoarjo Kanemon mampu mengemban
tanggung jawab atas garis pertahanan pertama
provinsi-provinsi mereka. Kalau memang
demikian, tak pelak itulah tujuan ia tiba-tiba
ditarik dari centeng Ise dan diperintahkan
kembali ke benteng kotanya.
"Panggil Pemimpin Bangau Biru," patih pitaloka
menyuruh seorang pembantunya.
Di sebuah lembah di dekat gerbang belakang
ada sekelompok pondok yang dihuni oleh anak
buah patih pitaloka yang bukan anggota marga. Mereka
dijuluki Korps Bangau Biru. Dari perkampungan
itu, pembantu patih pitaloka memanggil seorang pemuda
pendek-kekar berusia sekitar dua puluh lima
tahun. la Sanzo, pemimpin Bangau Biru. sesudah
menerima instruksi dari pembantu itu, ia masuk
lewat gerbang belakang dan pergi ke pekarangan
dalam.
patih pitaloka berdiri dalam hayang-bayang pohon,
dan dengan gerakan dagu ia menyuruh Sanzo
mendekat. lalu , saat Sanzo bersujud di
depan kaki junjungannya, patih pitaloka sendiri yang
memberikan perintah.
Nama Korps Bangau Biru diambil dari seragam
katun mereka yang berwarna biru. Setiap kali
terjadi insiden, mereka bertolak ke tujuan yang
tidak diketahui, bagai segerombolan bangau biru yang
mulai terbang.
Tiga hari setetah itu, Sanzo kembali dari suatu
tempat yang dirahasiakan. Cepat-cepat ia masuk
lewat gerbang belakang dan seperti sebelumnya,
bersujud di hadapan patih pitaloka di pekarangan dalam.
patih pitaloka lalu menerima sebilah pedang berlumuran
darah yang dibungkus kertas minyak, dan
mengamatinya dengan saksama.
"Tampaknya kau berhasil." ujar patih pitaloka sambil
mengangguk-angguk, lalu menambahkan, "kau
sudah melaksanakan tugasmu dengan baik." la
memberikan beberapa keping emas pada Sanzo
sebagai imbalan.
Tak perlu diragukan bahwa pedang itu
merupakan pedang yang dikenakan Nakagkertoarjo
Kanemon, komandan benteng kota girisewo . Lam
bang keluarganya tampak pada sarung pedang itu.
"Terima kasih atas kemurahan hati tuanku,"
kata Sanzo. la mulai mundur. namun patih pitaloka
menyuruhnya menunggu. sesudah sekali lagi
memanggil seorang pembantu, ia memerintahkan
orang itu untuk menaruh uang sedemikian banyak
di hadapan Sanzo, sehingga harus diangkut dengan
kuda. Seorang pejabat dan pembantu pribadi tadi
membungkus keping-keping itu dengan tikar-tikar
jerami, sementara Sanzo berdiri sambil ter-
bengong'bengong.
"Ada satu tugas lagi untukmu, Sanzo."
"Baik, tuanku."
Perinciannya sudah kuberikan pada tiga orang
kepercayaanku. Kuminta kau menyamar sebagai
tukang kuda beban, naikkan uang ini ke atas kuda.
lalu ikuti ketiga orang itu."
"Dan apa tempat tujuan kami?"
"Jangan bertanya."
"Baik, tuanku."
"Jika semuanya berjalan lancar, kau akan
kuangkat sebagai centeng adipati ."
"Terima kasih. tuanku."
Sanzo laki-laki pemberani yang tak kenal takut,
namun ia lebih terkesima oleh tumpukan uang itu
dibandingkan oleh genangan darah. Sekali lagi ia
menyembah, menempelkan keningnya ke tanah.
Pada waktu menegakkan badan, ia melihat seorang
laki-laki tua yang kelihatan seperti centeng adipati desa,
dan dua pemuda kekar yang sedang menaikkan
bungkusan-bungkusan uang ke pelana seekor
kuda.
patih pitaloka dan Yukisuke minum teh di ruang teh.
Sepintas lalu mereka tampak seperti ayah dan anak
yang sesudah lama terpisah kini menikmati sarapan
bersama, namun sebetulnya mereka sedang
terlibat pembicaraan rahasia.
"Aku akan segera bertolak ke padalarang ." Yukisuke
akhirnya berkata.
saat meninggalkan ruang teh, Yukisuke
langsung memerintahkan para pengikutnya untuk
menyiapkan kuda. Semula ia hendak segera pulang
ke benteng kotanya di padalarang . namun kini rencana itu
ditunda selama dua-tiga hari.
"Jangan buat kesalahan besok malam." patih pitaloka
mewanti-wanti sambil setengah berbisik.
Yukisuke mengangguk dengan pasti, namun di
mata ayahnya, pemuda yang penuh semangat itu
masih terlihat seperti anak kecil.
Namun menjelang malam keesokan harinya
hari ketiga belas di bulan itu pikiran patih pitaloka dan
alasan ia mengirim Yukisuke ke padalarang kemarin
sudah diketahui oleh semua orang di dalam
benteng kota Ogaki.
Tiba-tiba saja keluar perintah untuk
menyiagakan centeng . Perintah itu sangat
mengejutkan. bahkan bagi para pengikut patih pitaloka
sekalipun.
Di tengah-tengah kebingungan, seorang
komandan memasuki barak, tempat sejumlah
centeng adipati muda sedang ribut-ribut. sesudah mengikat
tali kulit pada sarung tangannya, ia menatap
mereka dengan wajah kelabu dan berkata, "Kita
akan merebut benteng kota girisewo sebelum (ajar
menyingsing."
Seperti bisa diduga, satu-satunya tempat tenang
di tengah segala hiruk-pikuk adalah ruang pribadi
sang panglima, patih pitaloka .
Bersama putra keduanya, Terumasa. di sisinya,
ia saling bersulang sambil memegang baskom anggur .
Ayah dan anak itu duduk di kursi lipat masing-
masing dan menunggu jam keberangkatan.
Biasanya, pada saat keberangkatan centeng
diumumkan, sangkakala dibunyikan, genderang
dan panji-panji dihias, dan seluruh centeng
berbaris dengan gagah melewari kota benteng kota.
namun dalam kesempatan ini. para penunggang kuda
mengelompok dua-dua atau tiga-tiga; para prajurit
intanteri ditempatkan di depan dan di belakang:
panji-panji digulung, dan semua senapan
disembunyikan. Pada malam berkabut di Bulan
Ketiga itu, para warga kota mungkin menoleh
sambil bertanya-tanya, namun tak seorang pun
menduga bahwa itulah keberangkatan centeng
menuju garis depan.
Hanya sembilan mil dari Ogaki. saat mereka
berkumpul sekali lagi. patih pitaloka berpidato, "Mari
kira tuntaskan pertempuran ini sebelum fajar, lalu
kembali ke rumah sebelum hari berakhir. bawa lah
perlengkapan sesedikit mungkin."
Kota girisewo berikut benteng kotanya terletak tepat
di tepi seberang. Sungai yang mengalir di hadapan
mereka adalah hulu Sungai brantas . Gemercik air
terdengar bergema, namun terselubung kabut tebal,
bulan, gunung, dan air seolah-olah terbungkus
mika. "Turun."
patih pitaloka pun turun dari kudanya dan memasang
kursinya di tepi sungai. "Yang Mulia Yukisuke
tepat waktu. Itu centeng nya di sebelah sana." salah
satu pengikut patih pitaloka melaporkan.
patih pitaloka bangkit dan menatap ke arah hulu.
"Pengintai! Pengintai!" ia langsung berseru.
Salah satu pengintai menghampirinya untuk
membenarkan laporan itu. Tak lama lalu
centeng berkekuatan empat ratus sampai lima
ratus orang bergabung dengan centeng
berkekuatan hampir enam ratus orang di bawah
komando lkeda patih pitaloka , dan sosok-sosok seribu
orang tampak bergerak bagai gerombolan ikan yang
bercampur baur.
Sanzo akhirnya menyusul sesudah anak buah
Yukisuke. Para penjaga di belakang mengepungnya
dengan tombak dan membawa nya ke hadapan
patih pitaloka .
patih pitaloka tidak memberikan kesempatan pada
Sanzo untuk menceritakan hal-hal yang tak perlu
diketahui orang lain saat menanyakan pokok-
pokok tugasnya.
Pada waktu itu sejumlah perahu nelayan
berdasar rata yang semula tersebar-sebar di
sepanjang tepi sungai mulai melintasi air. Lusinan
prajurit berbaju tempur ringan mengambil ancang-
ancang dan melompat ke luar, satu per satu, ke
tepi seberang. lalu perahu-perahu itu segera
kembali untuk menjemput rombongan berikut.
Dalam sekejap saja, Sanzo-lah satu-satunya
orang yang tertinggal. Akhirnya teriakan-teriakan
para prajurit mengguncangkan langit malam yang
lembap, dari seberang sungai sampai ke daerah di
bawah benteng kota. Secara bersamaan bagian langit itu
berubah merah, bunga api tampak menari-nari dan
berkilau-kilau di atas kota benteng kota.
Rencana patih pitaloka berjalan sempurna. benteng kota
girisewo bertekuk lutut dalam waktu satu jam.
Rasa kaget yang dialami para prajuritnya akibat
serangan tak terduga itu masih ditambah dengan
pengkhianatan di dalam benteng kota dan di kota.
Pengkhianatan memang salah satu alasan mengapa
benteng kota dengan penahanan alami sebaik ini takluk
dalam waktu sedemikian singkat. Namun masih
ada alasan lain. patih pitaloka pemah menjadi komandan
benteng kota girisewo , dan para warga kota, para
kepala kampung dari desa-desa sekitar, dan bahkan
para petani pun masih ingat pada bekas majikan
mereka itu. Meskipun patih pitaloka sempat menugaskan
beberapa pengikut untuk menyuap orang-orang
itu dengan uang sebelum ia melancarkan
serangan, keberhasilan rencananya lebih banyak
disebabkan oleh posisi yang pernah didudukinya.
Orang yang termasuk keluarga terpandang yang
sedang mengalami masa surut cenderung menarik
berbagai macam orang. Mereka yang
berpandangan jauh, mereka yang picik, orang-
orang yang menyesalkan keadaan namun tak sanggup
mengambil sikap maupun memberikan saran
dengan setia semua-nya itu segera menghilang.
Dan pada suatu saat , mereka yang memahami
arah perubahan namun tak punya kekuatan
maupun kemampuan untuk mencegahnya pun
akan berpaling.
Orang-orang yang tetap tinggal dapat dibagi
menjadi dua kelompok: mereka yang tidak
memiliki kemampuan menonjol yang dapat
menopang kehidupan mereka di tempat lain
seandainya mereka pergi, dan orang-orang yang
sungguh-sungguh setia sampai akhir, dalam
kemiskinan dan kekurangan, hidup dan mati, suka
maupun duka.
namun siapakah yang patut dinamakan centeng adipati sejati?
Mereka yang hidup secara berguna atau mereka
yang tinggal semata-mata sebab hendak mencari
kesempatan? Ini tak mudah dimengerti, sebab
setiap orang mengerahkan segala daya agar
junjungannya menilai kemampuannya secara
berlebih.
Meski ia pun merupakan oportunis, mpu mojosongo
berada dalam kelas yang berbeda dengan mpu nala
yang kekanak-kanakan, yang sama sekali tidak tahu
apa-apa mengenai dunia. mpu nala sepenuhnya
berada di tangan mpu mojosongo , seperti bidak catur yang
sewaktu-waktu siap digerakkan.
"Wah, kedatanganku tentu merepotkan sekali,
Tuan mpu nala ," ujar mpu mojosongo . "Sungguh, aku hanya
menambah sedikit nasi saja. Aku dibesarkan di
lingkungan bersahaja, jadi baik lidah maupun
perutku kewalahan menghadapi masakan minuman mewah
yang Tuan sajikan malam ini."
Malam itu malam pada hari ketiga belas. saat
mpu mojosongo tiba di kedhiri sore itu, mpu nala mengajaknya
ke sebuah kuil. Di sana keduanya mengadakan
pembicaraan rahasia selama beberapa jam, dan
pada malam hari ia me-nyelenggarakan jamuan
makan di ruang tamu di benteng kota.
mpu mojosongo tidak terpancing untuk bertindak,
bahkan saat insiden Kuil purwojati berlangsung.
Namun sekarang ia mempenaruhkan seluruh
kekuatan marga prabu kertoarjowardana kekuatan yang
dibangunnya selama bertahun-rahun dan
berkunjung ke kedhiri . mpu nala menganggap mpu mojosongo
sebagai juru selamat-nya. Ia berusaha keras
menjamu mpu mojosongo , dan kini ia menyajikan berbagai
masakan minuman lezat.
namun di mata mpu mojosongo keramah-tamahan mpu nala
tak lebih dari permainan kanak-kanak, dan ia
hanya bisa merasa kasihan pada orang itu. Di masa
lampau, mpu mojosongo pernah berpesta dan menjamu
aidit selama tujuh hari saat aidit
kembali dari Kai. saat mengenang kemegahan
acara itu, mpu mojosongo mau tak mau merasa iba melihat
usaha mpu nala .
Situasi itu menimbulkan belas kasihan
dalam hati semua orang, jayabandra tak terkecuali. namun
ia menyadari bahwa hakikat alam semesta adalah
perubahan. Jadi, meskipun merasa kasihan dan
simpati di tengah jamuan, ia tidak dihantui
perasaan bersalah sebab maksud terselubungnya,
yaitu memanfaatkan pesolek lembek itu sebagai
boneka. Alasannya sudah jelas tak seorang pun
lebih mungkin menimbulkan bencana selain
penerus sebuah keluarga terpandang yang mewarisi
peninggalan dan reputasi. Dan semakin mudah
orang itu dimantaatkan, semakin besar bahaya
yang dimuncul -kannya.
Jalan pikiran patih ronggolawe kemungkinan besar
sama dengan mpu mojosongo . namun sementara patih ronggolawe
memandang mpu nala sebagai hambatan untuk
mencapai tujuan dan mencari jalan untuk
menyingkirkannya, mpu mojosongo memperoleh cara-cara
untuk memanfaatkan orang itu. Sudut pandang
yang berbeda ini berpangkal pada satu tujuan
mendasar yang sama-sama hendak dicapai oleh
patih ronggolawe dan mpu mojosongo . Dan tak pengaruh siapa di
antara mereka yang keluar sebagai pemenang,
nasib mpu nala takkan berubah, semata-mata sebab
ia tak mampu melepaskan kepercayaannya bahwa ia
penerus aidit .
"Apa maksud Tuan?" ujar mpu nala . "Pesta
sebetulnya baru akan dimulai. Cuaca malam
hari di musim semi ini sangat menyenangkan,
sayang kalau hanya dipakai untuk tidur."
mpu nala berusaha keras menghibur tamunya,
namun sebetulnya ada pekerjaan yang harus
diselesaikan mpu mojosongo .
"Jangan, Yang Mulia mpu nala . Sebaiknya Yang
Mulia mpu mojosongo jangan tambah anggur lagi. Paling tidak
kalau melihat rona wajah Yang Mulia. Serahkan
baskom pada kami saja."
namun mpu nala tidak menyadari kejemuan yang
melanda tamu kehormaran-nya. Usahanya kini
dituntun oleh kekeliruannya dalam mengartikan
sorot mengantuk dalam mata tamunya. Ia berbisik
kepada para pengikutnya, dan pintu-pintu geser di
ujung ruangan segera terbuka, memperlihatkan se-
kelompok pemain musik dan beberapa penari.
Bagi mpu mojosongo ini merupakan hal biasa, namun dengan
sabar ia sesekali menunjukkan minat, tertawa dari
waktu ke waktu, dan bertepuk tangan sesudah
pertunjukan berakhir.
Para pengikutnya memanfaatkan kesempatan
itu untuk menarik lengan bajunya dan memberi
isyarat bahwa sudah waktunya beranjak tidur, namun
secara bersamaan seorang pelkertoarjo k muncul sambil
membawa sejumlah alat musik.
"Bagi tamu kehormatan malam ini, kini kami
tampilkan pertunjukan Kabuki dari ibu kota.,.."
Orang itu bukan main cerewetnya. la lalu
menyanyikan pengantar untuk sandiwara itu .
sesudah itu aktor lain menembangkan satu bait
dari sebuah refrein dan beberapa lagu dari misa
ilmu tenagadalam yang belakangan mulai digemari oleh para
pembesar provinsi-provinsi Barat. Ia memainkan
alat musik mirip biola yang dipakai
dalam upacara gereja, dan pakaian-nya dihiasi
sulaman bergaya Barat dan renda-renda yang
diserasikan dengan jubah tradisional majapahit .
Para penonton tampak terkesan dan terpukau.
Kelihaian jelas bahwa apa yang menyenangkan
bagi rakyat jelata juga menyenangkan bagi para
petinggi dan centeng adipati .
"Yang Mulia mpu nala , Yang Mulia jayabandra
berpesan bahwa beliau mulai mengantuk,"
Okudaira berkata pada mpu nala yang terpesona oleh
penunjukan itu.
mpu nala segera bangkit dan mengantar mpu mojosongo ke
ruangannya. Pertunjukan Kabuki belum selesai,
suara biola, seruling, dan gendang masih
terdengar.
Keesokan paginya mpu nala bangun pada jam
yang termasuk dini untuknya dan pergi ke kamar
mpu mojosongo . Ia menemukan mpu mojosongo duduk dengan wajah
segar, tengah membahas sesuatu dengan para
pengikutnya.
"Bagaimana dengan sarapan Yang Mulia
mpu mojosongo ?" mpu nala bertanya.
saat diberitahu oleh seorang pengikut bahwa
sarapan sudah didwikerto ngkan, mpu nala tampak agak
salah tingkah.
Tiba-tiba seorang centeng adipati yang berjaga di
pekarangan dan seorang prajurit di atas menara
pengintai mulai sahut-menyahut mengenai sesuatu
yang terjadi di kejauhan. Seruan-seruan mereka
segera menarik perhatian mpu mojosongo dan mpu nala , dan
tak lama lalu keduanya dihampiri centeng adipati
yang ingin memberi laporan.
"Asap hitam terlihat di langit barat laut sejak
beberapa waktu lalu. Mula-mula kami menyangka
ada kebakaran hutan, namun lalu asap itu
perlahan-lahan berpindah tempat, dan muncul di
beberapa lokasi sekaligus."
mpu nala angkat bahu. Seandainya asap terlihat di
tenggara, ia mungkin berpikir mengenai medan
tempur di Ise atau tempat-tempat lain, namun
roman mukanya memperlihatkan bahwa ia tidak
tahu apa yang terjadi.
mpu mojosongo , yang sudah memperoleh laporan mengenai
kematian Nakagkertoarjo dua hari sebelumnya, berkata.
"Bukankah itu kearah girisewo ?" Tanpa menunggu
jawab an, ia memberi perintah pada orang-orang di
sekitarnya. "Okudaira. coba kauperiksa."
Okudaira berlari menyusuri selasar bersama
para pengikut mpu nala dan memanjat ke puncak
menara.
Suara langkah orang-orang yang dengan
terburu-buru menuruni menara jelas-jelas meng-
isyaratkan bahwa sudah terjadi bencana.
"Kelihatannya seperti Haguro, girisoka , atau
girisewo , namun yang pasti sekitar daerah itulah,"
Okudaira melaporkan.
Suasana di dalam benteng kota menjadi kalang
kabut. Bunyi sangkakala terdengar di luar, namun
sebagian besar prajurit yang wara-wiri untuk
mengambil senjata masing-masing tidak menyadari
bahwa mpu mojosongo sudah ada di sana.
saat memperoleh kepastian bahwa asap
berasal dari arah girisewo , mpu mojosongo berseru. "Kita
kecolongan!" lalu pergi dengan sikap terburu-buru
yang tidak lazim baginya.
Ia memacu kudanya dengan kencang. menuju
arah asap di barat laut. Para pengikutnya berkuda
di kiri-kanannya, tak ingin ketinggalan. Jarak dari
kedhiri ke merah , atau dari merah ke girisoka ,
tidak jauh. Jarak dari girisoka ke Haguro sekitar
tiga mi, dan dari Haguro ke girisewo tiga mil lagi.
Pada waktu mereka tiba di merah . mereka sudah
mengetahui semuanya. Benieng di girisewo sudah
ditaklukkan dini hari tadi. mpu mojosongo menarik tali
kekang dan memandang asap yang mengepul-
ngepul di beberapa tempat antara Haguro dan
daerah sekitar girisewo .
"Aku terlambat, ia bergumam dengan getir.
"Tidak seharusnya aku melakukan kesalahan
seperti ini."
Di mata mpu mojosongo , wajah patih pitaloka seakan-akan
terbayang-bayang dalam asap hitam itu. saat
mendengar kabar angin bahwa mpu nala sudah
memulangkan putra patih pitaloka , ia langsung merasa
waswas mengenai akibat yang akan dimuncul kan
oleh tindakan mpu nala itu. Meski demikian, ia tak
menyangka patih pitaloka menyembunyikan sikap
sebetulnya dan melaksanakan rencana licik
dengan begitu cepat.
Aku bukannya tidak tahu bahwa patih pitaloka
merupakan musang tua yang lihai, pikir mpu mojosongo .
Nilai strategis yang dimiliki benteng kota di girisewo
tak perlu dipertanyakan lagi. sebab letaknya yang
berdekatan dengan kedhiri , perannya dalam perang
melawan patih ronggolawe pasti akan membesar. girisewo
mengujawa bagian hulu Sungai brantas , perbatasan
antara blambangan dan jenggala , dan tempat
penyeberangan ke panarukan yang sangat penting.
Posisi itu sepadan dengan seratus kubu, namun kini
sudah jatuh ke tangan musuh.
"Kita pulang saja." ujar mpu mojosongo . "Kalau melihat
api sudah berkobar-kobar seperti itu, patih pitaloka dan
putranya tentu sudah mundur ke padalarang ."
Sekonyong-konyong mpu mojosongo memutar kudanya,
dan pada saat itu ekspresi wajahnya kembali
normal. Kesan yang ia berikan kepada para
pengikut di sekelilingnya adalah kesan percaya diri;
ia percaya bahwa ia sanggup menebus kehilangan ini.
Dengan berapi-api para pengikutnya membahas
tindakan patih pitaloka yang tak tahu berterima kasih,
dan mencela serangan mendadak yang ia lancarkan
sebagai perbuatan pengecut, namun mpu mojosongo seakan-
akan tidak mendengar mereka. Sambil tersenyum
ia memutar kudanya kembali ke kedhiri .
Dalam perjalanan mereka berpapasan dengan
mpu nala yang meninggalkan kedhiri beberapa waktu
lalu di muka centeng nya. mpu nala menatap
mpu mojosongo , seolah-olah tak menyangka akan bertemu
di tengah jalan.
"Apakah girisewo aman-aman saja?" tanyanya.
Sebelum mpu mojosongo sempat menjawab , suara tawa
terdengar di antara para pengikut di belakangnya.
Keiika menjelaskan situasinya pada mpu nala , mpu mojosongo
benar-benar ramah dan sopan. mpu nala tampak
patah semangat. mpu mojosongo menyejajarkan kudanya di
samping kuda mpu nala dan berusaha
menghiburnya,
"Jangan khkertoarjo iir. Kita memang kalah di sini,
namun patih ronggolawe akan menelan kekalahan lebih
besar lagi. Lihat di sebelah sana."
Dengan matanya ia memberi isyarat ke bukit di
merah .
Jauh sebelumnya, patih ronggolawe sudah pernah
menyarankan agar aidit pindah dari kedhiri
ke merah . Meski tidak seberapa tinggi, hanya
sekitar sembilan puluh lima meter, bukit itu
mengujawa dataran di sekelilingnya dan dengan
mudah dapat dijadikan titik totak untuk
melancarkan serangan ke segala arah. Dalam
pertempuran di dataran jenggala -blambangan , jika merah
dijadikan kubu pertahanan, gerak maju centeng
Barat akan terhalang, dan dengan demikian
merah merupakan lokasi yang sangat baik untuk
men-jalankan strategi menyerang maupun
bertahan.
Tak ada waktu untuk menjelaskan semuanya itu
pada mpu nala . mpu mojosongo menoleh dan menunjuk. Kali
ini ia bicara dengan para pengikutnya sendiri.
"Mulai dirikan kubu pertahanan di Bukit merah ,
sekarang juga."
sesudah memberikan perintah itu, ia kembali
menemani mpu nala , dan keduanya berbincang-
bincang dengan santai dalam perjalanan pulang ke
kedhiri ,
Saat itu semua orang menyangka patih ronggolawe
berada di benteng kota kahuripan , namun sebetulnya ia
berada di benteng kota sekartanjung sejak hari ketiga belas
Bulan Ketiga, saat mpu mojosongo berbicara dengan
mpu nala di kedhiri . Kelambanan seperti ini tidak
lazim baginya.
jayabandra sudah mulai mengambil tindakan,
merampungkan rencana-rencana-nya dan semakin
siap untuk bergerak dari bratangbinangun ke swaradwipa,
lalu ke kedhiri : namun patih ronggolawe , yang acap kali
mengejutkan dunia dengan kecepatan-nya yang
luar biasa, kali ini agak terlambat. Paling tidak,
itulah kesan yang tampak.
"Hei. ke mana semuanya? Mana pelayan-
pelayanku?"
Suara sang majikan. Dan seperti biasa, suaranya
keras.
Para pelayan muda, yang sengaja pergi ke ruang
pelayan yang jauh, terburu-buru menyimpan
permainan suguroku yang diam-diam mereka
main-kan, dan salah satu dari mereka, Nabemaru,
yang berusia tiga belas tahun, berlari sekencang
mungkin ke ruangan tempat junjungannya
bertepuk tangan berulang-ulang.
patih ronggolawe sudah melangkah ke serambi. Melalui
gerbang depan benteng kota ia melihat sosok Sakichi
tergopoh-gopoh menaiki lereng dari kota benteng kota.
dan tanpa menoleh ke arah suara langkah di
belakangnya, ia menyerukan perintah untuk
membiarkannya masuk.
Sakichi mendekat dan berlutut di hadapan
patih ronggolawe .
sesudah mendengarkan laporan Sakichi
mengenai situasi di benteng kota kahuripan . patih ronggolawe
bertanya, "Dan subanda? Apakah subanda dan adik-
adiknya juga baik-baik saja?"
Sejenak Sakichi memasang wajah yang
mengisyaratkan ia tidak ingat. menjawab seakan-
akan sudah menunggu pertanyaan itu hanya akan
membuat patih ronggolawe curiga (rupanya Sakichi sudah
tahu), dan tentu akan membuatnya merasa kikuk
sesudah itu. Buktinya, segera sesudah menanyakan
subanda, kesan berwibawa lenyap dari wajah
patih ronggolawe dan ia tampak tersipu-sipu. la kelihatan
salah tingkah.
Sakichi segera memahami sebabnya, dan mau
tak mau merasa geli.
sesudah penaklukan lumajangan, patih ronggolawe sudah
mengurus ketiga anak wanita lesbian radenmas seperti
mengurus anak sendiri. saat mendirikan
benteng kota kahuripan , ia juga membangun tempat yang
mungil dan cerah khusus untuk mereka. Dari
waktu ke waktu ia berkunjung dan bermain-main
dengan anak-anak itu. seakan-akan mereka burung
langka dalam sangkar emas.
"Kenapa kau terikertoarjo . Sakichi?" patih ronggolawe
mendesak. namun ia sendiri pun merasa agak geli.
Rupanya rahasianya memang sudah diketahui oleh
Sakichi.
"Tidak ada apa-apa. Hamba terlalu sibuk dengan
tugas-tugas yang lain dan kembali tanpa mampir di
tempat tinggal ketiga putri."
"Begitukah? Hmm. baiklah." Dan lalu
patih ronggolawe segera mengalihkan pembicaraan,
"Desas-desus apa saja yang kaudengar di sekitar
Sungai watangsewu dan trowulan selama perjalanan mur"
patih ronggolawe selalu mengajukan pertanyaan seperti
itu jika ia mengutus kurir ke suatu tempat jauh.
"Ke mana pun hamba pergi. satu-satunya topik
yang dibicarakan adalah perang."
saat menanyai Sakichi lebih lanjut mengenai
keadaan di trowulan dan kahuripan , ia menemukan
bahwa semua orang berpendapat bahwa
pertempuran akibat hasutan mpu nala takkan ierjadi
antara patih ronggolawe dan penerus marga sinuhun itu,
melainkan antara patih ronggolawe dan mpu mojosongo . sesudah
kematian aidit , orang beranggapan bahwa
perdamaian akhirnya akan diwujudkan oleh
patih ronggolawe , namun kini seluruh negeri sekali lagi
terpecah belah, dan rakyat dihantui kecemasan
akibat momok pertentangan besar yang sangat
mungkin akan merambah ke semua provinsi.
Sakichi mohon diri. saat ia pergi, dua resi
Niwa Nagahide muncul, yakni Kanapatih Kingo
dan Hachiya Yoritaka. patih ronggolawe sudah berusaha
keras menarik Niwa menjadi sekuiunya, sehab ia
sadar bahwa ia akan menderiia kerugian besar jika
Niwa sampai menyeberang ke pihak musuh. Selain
kerugian dari segi kekuatan militer, pembelotan
Niwa akan mepercayakan dunia bahwa mpu nala dan
mpu mojosongo berada di pihak yang benar. Di antara para
pengikut aidit , kedudukan Niwa hanya kalah
dari dijoyo , dan ia dihormati sebagai tokoh
berbudi dan tulus.
Tak perlu diragukan bahwa mpu mojosongo dan mpu nala
pun berusaha dengan segala cara membujuk Niwa
agar bergabung dengan mereka. Namun sebab
akhirnya tergerak oleh semangat patih ronggolawe , Niwa
mengutus Kanapatih dan Hachiya sebagai bala
bantuan pertama dari Utara. patih ronggolawe merasa
gembira, namun belum sepenuhnya tenang.
Sebelum malam tiba, ia tiga kali menerima kurir
yang menyampaikan laporan tentang situasi di Ise.
patih ronggolawe membaca laporan-laporan yang dibawa
oleh ketiga orang itu dan menanyai mereka secara
langsung. lalu ia memberikan jawaban pasti
secara lisan dan menyuruh juru tulisnya membuat
surat balasan sementara ia makan malam.
Sebuah penyekat yang dapat dilipat berdiri di
pojok ruangan. Kedua panilnya menampilkan peta
majapahit yang dibuat dengan helaian emas yang
sangat halus. patih ronggolawe menatap peta itu dan
bertanya, "Belum adakah berita dari radenkanjeng ?
Bagaimana dengan kurir yang kukirim kepada
marga kramat?"
Sementara para pengikutnya beralasan dengan
menyinggung jarak yang harus ditempuh,
patih ronggolawe menghitung jari. Ia sudah mengirim
pesan kepada marga brantas dan Satake. Jaringan
diplomasinya yang disusun dengan hati-hati
mdiputi seluruh negeri yang tampak pada
penyekat. Pada dasarnya. patih ronggolawe menganggap
perang sebagai langkah terakhir. Ia percaya bahwa
diplomasi pun merupakan pertempuran tersendiri.
Namun patih ronggolawe tidak menjalankan diplomasi
semata-mata demi diplomasi itu sendiri. usahanya
itu juga tidak lahir dari kelemahan militer.
Diplomasinya sdalu didukung oleh kekuatan
militer, dan baru dijalankan sesudah ia menegakkan
wibawa militer dan menyiapkan centeng . namun
dengan mpu mojosongo , diplomasi ternyara tidak membawa
hasil. patih ronggolawe tak pemah menceritakan pada
siapa pun bahwa jauh sebelum situasinya mencapai
tahap ini. ia sudah mengutus seseorang ke
bratangbinangun dengan pesan sebagai berikut:
Jika Tuan mempertimbangkan petisi mengenai
promosi Tuan yang tahun lalu kuajukan kepada sang
pengikut . Tuan akan memahami simpati yang kurasakan
terhadap Tuan. Adakah alasan mengapa kita harus
bertempur? Hampir semua orang di negeri ini
sependapat bahwa Yang Mulia mpu nala lemah hati.
Biarpun Tuan mengibarkan bendera kewajiban moral
dan merangkul sisa-sisa marga sinuhun , dunia takkan
mengagumi tindakan Tuan tebagai usaha orang besar
yang memimpin centeng pembela kebenaran.
Pada akhirnya, percuma saja kita bertempur. Tuan
orang yang cerdas, dan jika kita dapat mencapai kata
sepakat, aku akan menambahkan Provinsi jenggala dan
blambangan kepada wilayah kekuasaan Tuan.
Namun hasil dari usulan semacam itu
tergantung pada tanggapan pihak lawan , dan
jawaban pasti yang diberikan pada patih ronggolawe jelas-jelas
negatif. namun sesudah memutuskan hubungan
dengan mpu nala pun, patih ronggolawe tetap berusaha
membujuk mpu mojosongo dengan mengirim utusan
ditambah tawa ran yang bahkan lebih menarik
dibandingkan sebelumnya. Namun utusan-utusan itu
hanya menimbulkan kemarahan mpu mojosongo , dan
terpaksa pulang dengan tangan kosong.
"Yang Mulia mpu mojosongo menjawab bahwa Yang
Mulia patih ronggolawe -lah yang tidak memahami beliau,"
para utusan melaporkan.
patih ronggolawe memaksakan senyum dan berkata.
"mpu mojosongo pun tidak memahami perasaanku yang
sebetulnya ."
Apa pun yang dilakukan, waktu yang ia
lewatkan di sekartanjung sepenuhnya diisi dengan
bekerja. sekartanjung merupakan markas militernya
untuk Ise dan jenggala bagian selatan, sekaligus
pusat jaringan diplomatik dan intelijen yang
membentang dari Utara sampai ke provinsi-
provinsi Barat. Sebagai pusat untuk operasi-operasi
rahasia. sekartanjung jauh lebih menguntungkan di-
bandingkan kahuripan . Selain itu, kurir-kurir bisa
datang dan pergi tanpa menarik perhatian yang
tidak perlu.
Sepintas lalu, kedua lingkup pengaruh
tampaknya dibatasi secara jelas: mpu mojosongo dari timur
ke timur laut, dan patih ronggolawe dari ibu kota ke
barat. namun di kubu utama patih ronggolawe di kahuripan pun
tak terhitung banyaknya orang yang berkomplot
dengan pihak prabu kertoarjowardana . Juga tak bisa dikatakan
bahwa di kalangan istana tak ada orang yang
mendukung mpu mojosongo dan menunggu sampai
patih ronggolawe tersandung.
Bahkan di antara marga-marga centeng adipati ada ayah
dan ibu yang mengabdi pada pembesar-pembesar
provinsi di kahuripan dan trowulan yang memiliki
anak-anak yang merupakan pengikut para resi
centeng Timur. Saudara-saudara kandung saling
berhadapan sebagai musuh. Perselisihan berdarah
antar saudara sudah membayang.
patih ronggolawe mengenal penderitaan yang ditim-
bulkan oleh perang. Dunia tengah dilanda perang
saat ia masih kanak-kanak, tinggal di rumah
ibunya yang bobrok di lemahlaban . Dan hal yang
sama dialaminya dalam masa pengembaraan
selama bertahun-tahun. saat aidit muncul.
penderitaan masyarakat semakin menjadi-jadi
untuk sementara waktu, namun penderitaan itu
ditambah kecerahan dan kegembiraan dalam
kehidupan rakyat jelata. Orang-orang percaya
bahwa aidit akan membawa perdamaian
abadi. namun ia terbunuh sebelum merampungkan
tugasnya.
patih ronggolawe tdah bersumpah bahwa ia akan
mengatasi kemunduran yang muncul akibat
kematian aidit , dan dengan segala upaya
yang sudah dikerahkannya nyaris tanpa tidur atau
istirahat tinggal satu langkah sebelum tujuannya
tercapai. Langkah terakhir yang harus diambilnya
untuk meraih cita-cita kini sudah dekat. Ibaratnya
ia sudah menempuh sembilan ratus mil dari
perjalanan sejauh seribu mil. namun seratus mil
terakhir itulah yang paling berat. Ia sudah
memperkirakan bahwa pada suatu saat , mau tak
mau ia akan menghadapi satu rintangan terakhir
mpu mojosongo dan rintangan itu harus disingkirkan dari
jalannya atau dihancurkan. namun saat men-
dekatinya, ia mulai menyadari bahwa rintangan itu
lebih tangguh dari pada yang ia duga.
patih ronggolawe berada di sekartanjung selama sepuluh
hari, dan dalam waktu itu mpu mojosongo memindahkan
centeng nya sampai ke kedhiri . Sudah jelas bahwa
mpu mojosongo berniat memicu perang di lga, Ise, dan
Kishu, maju ke barat. memasuki trowulan dan
menyerang kahuripan dengan sekali pukul, seperti
angin badai yang menerjang.
namun mpu mojosongo tahu bahwa jalannya takkan mudah.
Sama seperti patih ronggolawe , ia meramalkan satu
pertempuran besar dalam gerak majunya ke kahuripan .
namun di manakah tempatnya? Satu-satunya tempat
yang cukup luas bagi pertempuran menentukan
antara Timur dan Barat ini adalah Dataran Nobi
yang berbatasan dengan Sungai brantas .
Orang yang berinisiatif dapat meraih
keuntungan dengan membangun kubu pertahanan
dan mengujawa tempat-tempat yang lebih tinggi.
Sementara mpu mojosongo sudah melakukan semuanya itu
dan sudah siap sepenuhnya, patih ronggolawe dapat
dikatakan memulai agak terlambat. Pada malam
hari ketiga belas di bulan itu pun ia tetap belum
beranjak dari sekartanjung .
Namun sikapnya yang berkesan lamban ini
bukan akibat kelalaian. patih ronggolawe sadar bahwa
mpu mojosongo tak dapat dibandingkan dengan tunggadewa
maupun dijoyo . Ia harus mengulur waktu untuk
merampungkan segala persiapannya. Ia menunggu
untuk menarik Niwa Nagahide ke pihaknya: ia
menunggu untuk memastikan bahwa marga patih
tak dapat berbuat apa-apa di Barat; ia menunggu
untuk menghancurkan sisa-sisa para biksu-prajurit
yang berbahaya di Shikoku dan Kishu; dan
akhirnya ia menunggu untuk memecah belah
perlawan an para resi di blambangan dan jenggala .
Utusan-utusan yang hendak menemuinya
seakan-akan tak pernah berakhir, dan patih ronggolawe
menerima mereka sambil makan. la baru saja
selesai bersantap dan meletakkan .sumpit saat
sebuah pesan tiba. Ia meraih kotak surat.
Surat itu sudah ia tunggu-tunggu jawaban pasti dari
Bito Jinemon, yang ia kirim sebagai kurir kedua ke
benteng kota dasna patih pitaloka di Ogaki. Berita baik atau
burukkah yang menantinya? Tak ada berita sama
sekali dari para utusan yang dikirimnya untuk
mencari dukungan dan benteng kota-benteng kota lain.
patih ronggolawe membuka surat patih pitaloka dan
membacanya.
"Bagus." hanya itu yang dikatakannya.
Lama sesudah ia beranjak tidur malam itu, ia
mendadak terbangun seakan-akan baru teringat
sesuatu. lalu memanggil centeng adipati yang bertugas
"Apakah kurir Bito akan kembali besok pagi?"
"Tidak." jawab si pengawal . "Dia terdesak waktu,
dan sesudah beristirahat sejenak, dia kembali ke
blambangan ." Sambil duduk di tempat tidurnya.
patih ronggolawe meraih kuas dan menulis surat kepada
Bito
Berkat usahamu yang gigih, patih pitaloka dan putranya
sudah menyatakan mendukung aku, dan tak ada yang
lebih menggembirakan bagiku. namun ada satu hal yang
perlu kukemukakan dalam kesempatan ini. Jika mpu nala
dan mpu mojosongo tahu bahwa patih pitaloka mendukungku, mereka
pasti akan mengancam dengan segala cara. Jangan
tanggapi mereka. Jangan bertindak gegabah. Sejak dahulu
dasna patih pitaloka dan patih patih dyahwkertoarjo dikenal sebagai
orang berani dan sombong yang memandang rendah
pada musuh.
Begitu meletakkan kuas, ia mengirim pesan itu
ke Ogaki.
Namun dua hari lalu , menjelang malam
hari kelima belas, pesan berikut tiba dari Ogaki.
benteng kota girisewo sudah dipaksa bertekuk lutut.
Segera sesudah patih pitaloka dan putranya mengambil
keputusan, mereka menaklukkan kubu pertahanan
paling strategis di sepanjang Sungai brantas , dan
menghadiahkannya pada patih ronggolawe sebagai tanda
dukungan mereka. Sungguh berita baik.
patih ronggolawe merasa gembira. namun sekaligus
dihantui perasaan gelisah khawatir .
Keesokan harinya patih ronggolawe berada di benteng kota
kahuripan . Selama beberapa hari berikut, pertanda
kegagalan semakin banyak bermunculan. sesudah
kemenangan di girisewo . patih ronggolawe memperoleh
kabar bahwa menantu patih pitaloka , patih dyahwkertoarjo , yang
hendak mengukir nama besar di medan laga, sudah
merencanakan serangan mendadak ke kubu
pertahanan prabu kertoarjowardana di Bukit merah .
centeng nya ternyata diccgat musuh di dekat
Haguro, dan kabarnya ia gugur bersama sebagian
besar prajurttnya.
"Kita kehilangan orang ini sebab semangat
tempurnya. Kebodohan seperti itu tak dapat
dimaafkan!" Keluh kesah patih ronggolawe ditujukan
pada dirinya sendiri.
Pada waktu patih ronggolawe sudah siap meninggalkan
kahuripan pada hari kesembilan belas, berita buruk
lainnya datang dari Kishu. Hatakeyama Sadamasa
rupanya memberontak dan menyerang kahuripan dari
laut dan darat. Tindakan ini kemungkinan besar
didalangi oleh mpu nala dan mpu mojosongo . Kalaupun bukan
mereka, stsa-sisa biksu-prajurit ronggodwijoyo selalu
menunggu kesempatan untuk menyerang.
patih ronggolawe terpaksa menunda hari
keberangkatannya agar dapat merampungkan
pertahanan kahuripan .
Pagi-pagi sekali pada hari kedua puluh satu
Bulan Ketiga. Burung-burung berkicau di tengah
alang-alang di kahuripan . Kembang-kembang ceri
berguguran. dan di jalan-jalan, bunga-bunga yang
sudah jatuh itu berputar-putar di antara iring-
iringan prajurit dan kuda. seakan-akan alam pun
hendak melepaskan mereka ke medan laga. Para
warga kota yang datang untuk menonton
membentuk pagar panjang di kedua sisi jalan
centeng yang mengikuti patih ronggolawe hari itu
berkekuatan lebih dari tiga puluh ribu orang.
Semua orang berusaha melihat patih ronggolawe di
tengah-tengah mereka, namun ia begitu kecil dan
penampilannya pun begitu biasa, sehingga ia, yang
dikelilingi para resi berkuda, mudah luput dari
perhatian.
namun patih ronggolawe memandang kerumunan
penduduk dan diam-diam tersenyum dengan
percaya. kahuripan akan menjadi makmur, katanya
dalam hati. Sekarang saja kotanya sudah
berkembang pesat, dan ini merupakan pertanda
terbaik. Para penduduk mengenakan pakaian
berwarna cerah, dan tak ada tanda-tanda
kekurangan. Apakah itu disebabkan oleh
kepercayaan mereka terhadap benteng kota baru di
tengah kota?
Kita akan menang. Kali ini kita bisa menang.
Begitulah patih ronggolawe meramalkan masa depan.
Malam itu centeng nya berkemah di Hirakata,
dan keesokan paginya, centeng berkekuatan tiga
puluh ribu orang itu kembali bergerak ke timur,
menyusuri jalan setapak yang meliuk-liuk di
sepanjang tepi Sungai watangsewu .
saat mereka tiba di Fushimi, sekitar empat
ratus orang menemui mereka di tempat
penyeberangan.
"Panji siapakah itu?" unya patih ronggolawe .
Para resi menyipitkan mata dengan curiga.
Tak seorang pun mengenali pataka-pataka
berukuran besar dengan aksara-aksara kedhiri
berwarna hitam di atas dasar merah itu. Selain itu
masih ada lima gantungan emas dan sebuah panji
komandan yang menampilkan 9 lingkaran
kecil yang mengelilingi lingkaran besar di atas
kipas emas. Di bawah bendera-bendera itu ada
tiga puluh prajurit berkuda, tiga puluh prajurit
bertombak. tiga puluh prajurit bersenapan, dua
puluh prajurit bersenjatakan panah dan busur, dan
satu korps prajurit infanteri. Semuanya menunggu
dalam formasi lengkap, baju tempur mereka
berdesir dalam angin sungai.
"Cari tahu siapa mereka." patih ronggolawe
memerintahkan salah seorang pengikutnya.
Orang itu segera kembali dan melaporkan, "Itu
Isdwikerto Sakichi."
patih ronggolawe menepuk pelananya.
"Sakichi? Wah, wah, pantas." ia berkata dengan
nada gembira. seakan-akan baru teringat sesuatu.
Sambil menghampiri kuda patih ronggolawe , Isdwikerto
Sakichi menyapa junjungannya. "Hamba pernah
berjanji pada tuanku, dan hari ini hamba
membawa centeng yang hamba persiapkan dengan
uang hasil pembersihan lahan yang untuk
dipakai di sini."
"Mari, Sakichi. Bergabunglah dengan rom-
bongan perbekalan di belakang."
Prajurit dan kuda itu bernilai lebih dari sepuluh
ribu gantang patih ronggolawe terkesan oleh kelihaian
Sakichi.
Hari itu sebagian besar centeng melewati trowulan
dan mengambil jalan Raya gunungselatan. Bagi patih ronggolawe ,
setiap pohon dan setiap helai daun mengandung
kenangan akan kemalangan masa mudanya.
"Itu Gunung penanggungan " patih ronggolawe bergumam.
saat memandang gunung itu, ia teringat
penguasanya, raden mas ngabehi . si pertapa
Gunung kuburan . saat merenungkannya
sekarang, ia bersyukur bahwa ia tak menyia-
nyiakan satu hari pun dalam musim semi
kehidupan yang singkat itu. Kemalangan dan
perjuangan di masa mudanya sudah membawa nya
ke posisi yang kini ia duduki, dan ia merasa
memperoleh berkah dari kegelapan dunia saat itu.
ngabehi , yang memandang patih ronggolawe sebagai
junjungannya, merupakan sahabat sejati yang tak
mungkin dilupakan. Bahkan sesudah kematian
ngabehi pun, setiap kali patih ronggolawe mengalami
kesulitan, ia berkata dalam hati, "Kalau saja
ngabehi ada di sisiku." Meski demikian, ia sudah
membiarkan orang itu mati tanpa penghargaan
apa pun. Tiba-tiba pelupuk patih ronggolawe terasa
hangat oleh air mata kesedihan yang menghalangi
pandangannya ke puncak Gunung penanggungan
Dan ia pun teringat adik ngabehi . Oyu...
Tiba-tiba ia melihat tudung putih seorang
resi dayang dalam bayang-bayang pohon pinus di tepi
jalan. Sejenak mata resi dayang itu beradu dengan
mata patih ronggolawe . Ia menarik tali kekang kudanya
dan hendak memberikan perintah, namun wanita di
bawah pohon tadi sudah menghilang.
Di perkemahan malam itu, patih ronggolawe
menerima kiriman berupa sepiring kue. Orang
yang mengantarkannya berkata bahwa kiriman itu
dibawa oleh seorang resi dayang yang tidak
menyebutkan namanya.
"Kue-kue ini lezat sekali," ujar patih ronggolawe sesudah
mencicipi beberapa potong, meskipun sudah
makan malam. Dan saat ia berkomeniar
demikian, matanya berkaca-kaca.
Belakangan, si pelayan yang bermata jeli
melaporkan sikap patih ronggolawe yang janggal kepada
para resi yang mendampinginya. Semuanya
tampak terkejut dan seakan-akan tak dapat
menebak alasan di balik sikap junjungan mereka.
Mereka cemas mengenai kesedihannya, namun begitu
kepalanya me-nyentuh bantal, patih ronggolawe segera
mendengkur seperti biasa. Selama beberapa jam ia
tidur pulas. Dini hari, saat langit masih gelap. ia
bangun dan berangkat. Hari itu detasemen
pertama dan kedua tiba di padalarang . patih ronggolawe
disambut oleh patih pitaloka dan putranya, dan tak lama
lalu benteng kota sudah dipadati oleh centeng
besar, baik di dalam maupun di luar.
Obor dan api unggun menerangi langit malam
di atas Sungai nagari . Di kejauhan, unit ketiga
dan keempat terlihat bergerak ke timur sepanjang
malam.
"Sudah lama kita tak berjumpa!" patih ronggolawe dan
patih pitaloka berkata serempak. "Aku sungguh gembira
bahwa dasna patih pitaloka dan putranya bergabung
denganku pada saat seperti ini. Dan aku tak dapat
menemukan kata-kata yang tepat untuk
menggambarkan betapa besar arti benteng kota
girisewo yang Tuan hadiahkan kepadaku. Aku
pun terkesan oleh kecepatan dan kesigapan Tuan
dalam memanfaatkan peluang itu."
patih ronggolawe menghujani patih pitaloka dengan pujian,
namun tidak menyinggung kekalahan yang diderita
menantunya seusai kemenangan di girisewo .
Meskipun patih ronggolawe tidak berkata apa-apa
mengenai hal itu, patih pitaloka tetap merasa bahwa ia
memikul aib di pundaknya. Ia malu sekali bahwa
kemenangannya di girisewo tak dapat menebus
kekalahan dan kerugian yang dimuncul kan oleh
patih dyahwkertoarjo . Surat patih ronggolawe yang diantarkan Bito
Jinemon secara khusus mewanti-wanti agar mereka
tidak terpancing oleh mpu mojosongo , namun sayangnya
surat itu terlambat sampai di tangan patih pitaloka .
patih pitaloka kini menyinggung kejadian itu. "Aku
tidak tahu bagaimana aku harus minta maaf atas
kekalahan akibat kebodohan menantuku."
Tuan terlalu merisaukan hal itu," ujar
patih ronggolawe sambil tertawa . "Ini tidak seperti dasna
patih pitaloka yang kukenal"
Perlukah kutegur patih pitaloka , ataukah lebih baik
kubiarkan saja? patih ronggolawe bertanya-tanya saat
terbangun keesokan paginya. Namun kenyataan
bahwa benteng kota girisewo berada di tangannya
sebelum pertempuran besar yang akan datang
merupakan keuntungan luar biasa. Berulang kali
patih ronggolawe memuji patih pitaloka atas keberhasilannya
yang gemilang, dan bukan sekadar untuk
menghiburnya.
Pada hari kedua puluh lima. patih ronggolawe
beristirahat dan mengumpulkan centeng nya yang
berkekuatan lebih dari 9 puluh ribu orang,
Pagi berikutnya ia bertolak dari padalarang , mencapai
panarukan pada siang hari. dan segera
memerintahkan pembangunan jembatan apung
melintasi Sungai brantas . lalu centeng nya
mendirikan kemah. Pada pagi kedua puluh tujuh
ia membongkar kemah dan menuju girisewo .
Tepat tengah hari patih ronggolawe memasuki benteng kota
girisewo .
"Ambilkan kuda yang berkaki kuat." ia
memerintahkan, dan sesudah selesai makan siang,
ia langsung melesat keluar dari gerbang benteng kota,
ditambah beberapa penunggang kuda dengan baju
tempur ringan.
"Ke mana tujuan tuanku?" tanya salah satu
resi yang memacu kudanya agar tidak tertinggal
di belakang patih ronggolawe .
"Jangan terlalu banyak yang ikut denganku,"
balas patih ronggolawe . "Kalau kita terlalu ramai, musuh
akan melihat kita."
sesudah bergegas melewati Desa Haguro, tempat
patih dyahwkertoarjo dilaporkan gugur, mereka mendekati
Gunung Ningunungselatanya. Dari sana patih ronggolawe dapat
melihat perkemahan utama musuh di Bukit
merah .
Kabarnya centeng gabungan mpu nala dan mpu mojosongo
berkekuatan sekitar enam puluh satu ribu orang.
patih ronggolawe menyipitkan mata dan memandang ke
kejauhan. Matahari bersinar terik. Sambil
mdindungi mata dengan satu tangan, ia
mengamati Bukit merah yang dipadati centeng
musuh.
Pada hari itu mpu mojosongo masih berada di kedhiri . Ia
sempat datang ke Bukit merah . memberi
instruksi mengenai susunan tempur, lalu segera
kembali. la seperti ahli go yang menggerakkan satu
bidak dengan sangat hati-hati.
Pada malam hari kedua puluh enam, mpu mojosongo
menerima laporan bahwa patih ronggolawe berada di
padalarang . mpu mojosongo , Sakakibara, mpu panjalu , dan beberapa
pengikut lain sedang duduk di suatu ruangan.
Mereka baru saja diberitahu bahwa pembangunan
kubu-kubu pertahanan di Bukit merah sudah
rampung.
"Jadi, patih ronggolawe sudah datang?" gumam jayabandra .
saat ia dan orang-orang yang lain saling
pandang, ia iersenyum: kulit di bawah matanya
tampak berkerut-kerut seperti kulit kura-kura.
Segala sesuatu berjalan seperti yang
diperkirakannya.
Sejak dahulu patih ronggolawe selalu benindak cepar,
namun kali ini ia tidak memperlihatkan kesigapan
yang lazim baginya, dan ini menimbulkan tanda
tanya dalam diri mpu mojosongo . Apakah patih ronggolawe akan
bertahan di Ise, atau datang ke Timur ke Dataran
Nobi? Mengingat patih ronggolawe masih berada di padalarang ,
kedua kemungkinan itu masih terbuka lebar.
mpu mojosongo menantikan laporan berikut. Kabarnya
patih ronggolawe sudah membangun jembatan melintasi
Sungai brantas dan berada di benteng kota girisewo .
mpu mojosongo menerima informasi ini menjelang
malam hari kedua puluh tujuh bulan itu, dan
ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa waktunya
sudah tiba. Pada hari kedua puluh 9,
centeng mpu mojosongo bergerak menuju Bukit merah .
diiringi gemuruh genderang dan kibaran bendera.
mpu nala sudah kembali ke bukit tengkorak . namun sesudah
memperoleh laporan mengenai perkembangan
terakhir. ia bergegas ke Bukit merah . Di sana ia
bergabung dengan mpu mojosongo .
"Kudengar centeng patih ronggolawe sendiri
berkekuatan lebih dari 9 puluh ribu orang,
dan jumlah seluruh prajurit di bawah komandonya
mencapai lebih dari seratus lima puluh ribu
orang." ujar mpu nala . seakan-akan tak pernah
terpikir olehnya bahwa dirinyalah penyebab
pertempuran besar ini. Sorot matanya yang
gemetar mengungkapkan apa yang tak sanggup ia
sembunyikan dalam dada.
patih pitaloka menyeringai di tengah asap api dapur
saat ia keluar lewat gerbang benteng kota di atas
kudanya.
Para laskar dasna yang melihat wajahnya
langsung merasa waswas. Mereka semua tahu
bahwa patih pitaloka sedang uring-uringan akibat
kekalahan patih dyahwkertoarjo . sebab kekeliruan patih pitaloka ,
para sekutunya terpaksa menerima pukulan telak
pada awal perang. bahkan sebelum patih ronggolawe .
sang panglima tertinggi, tiba di medan tempur.
dasna patih pitaloka merasa percaya bahwa tak seorang
pun pernah menudingnya dengan geram, dan bagi
orang yang sudah menjalani kehidupan sebagai
pejuang selama empat puluh 9 tahun. aib
seperti itu tentu tak disangka-sangka.
"Yukisuke, kemarilah, Terumasa, kau juga. Dan
kuminta para pengikut senior juga mendekat."
Sambil duduk bersila di bangsal benteng kota utama,
ia memanggil kedua putranya ditambah para
pengikut senior.
"Aku ingin mendengar pendapat kalian.
Sekarang, coba lihat ini." ia berkata sambil
mengeluarkan sebuah peta dari jubah nya.
saat peta itu diedarkan, mereka menyadari
apa yang hendak diusulkan patih pitaloka .
Sebuah garis yang dibuat dengan tinta merah
terlihat pada peta itu. mulai dari girisewo .
melewati pegunungan. melintasi sungai-sungai,
sampai ke swaradwipa di dusun nyi kembang . sesudah
mempelajari peta, semuanya duduk membisu dan
menunggu apa yang akan dikatakan patih pitaloka .
"jika kita mengabaikan merah dan kedhiri dan
menggerakkan centeng kita menyusuri satu jalan
ke benteng kota utama marga prabu kertoarjowardana di swaradwipa.
mpu mojosongo tentu akan kalang kabut. Satu-satunya
masalah yang perlu dipikirkan adalah bagaimana
caranya agar centeng kita tidak terlihat oleh
musuh di Bukit merah ."
Mula-mula tak seorang pun angkat bicara.
Rencana itu tidak lazim. Satu kesalahan saja dapat
mengakibatkan bencana yang mungkin fatal bagi
semua sekutu mereka.
"Aku bermaksud mengajukan rencana ini pada
Yang Mulia patih ronggolawe . Jika berhasil, baik mpu mojosongo
maupun mpu nala tak dapat melakukan apa-apa saat
kita menangkap mereka."
patih pitaloka ingin mengambil langkah gemilang
untuk menebus kekalahan menantunya. Ia
menatap orang-orang yang kini menjelek-jelekkan
dirinya dengan kepala tegak. Meski para
pengikutnya memahami niatnya, tak seorang pun
bersedia mengkritik rencana itu . Tak seorang
pun mau berkata, Tidak, rencana lihai jarang
membawa hasil yang diharapkan. Ini berbahaya."
Pada akhir rapat, rencananya diterima dengan
suara bulat. Semua komandan memohon
ditempatkan di barisan depan yang akan
menerobos jauh ke wilayah musuh dan akan
menghancurkan mpu mojosongo di jantung provinsinya
sendiri.
Rencana serupa pernah dicoba di jatiretno
oleh kepribadian nyoto dijoyo , yodono. Meski
demikian, patih pitaloka tetap ingin mengajukan rencana
itu kepada patih ronggolawe , dan ia berkata, "Besok kita
akan pergi ke perkemahan utama di girisoka ."
Sepanjang malam ia memikirkan idenya itu.
namun saat fajar menyingsing, seorang kurir tiba
dari girisoka dan memberitahunya. "Yang Mulia
patih ronggolawe mungkin akan mampir ke benteng kota
girisewo pada waktu melakukan inspeksi keliling
siang nanti."
saat patih ronggolawe merasakan angin di awal
Bulan Keempat berembus lembut, ia bertolak dari
girisoka dan sesudah mengamati perkemahan
mpu mojosongo di Bukit merah dan kubu-kubu
pertahanan di daerah itu, ia menyusuri jalan ke
girisewo dengan ditambah sepuluh pelayan dan
sejumlah pembantu dekat.
Setiap kali patih ronggolawe bertemu patih pitaloka , ia
memperlakukan patih pitaloka seperti kawan lama.
saat mereka masih centeng adipati muda di kedhiri ,
Shony,. patih ronggolawe , dan brawirgo sering pergi
minum-minum bersama-sama.
"O ya, bagaimana kabar patih dyahwkertoarjo ?" ia bertanya.
Mula-mula patih dyahwkertoarjo dikabarkan gugur di
medan tempur, namun rupanya ia hanya
mengalami luka parah.
"Sifatnya yang lekas naik darah sudah
mengacaukan semuanya, namun tampaknya dia akan
pulih dengan cepat. Satu-satunya keinginannya
adalah segera dikirim ke garis depan, agar dia
dapat membersihkan namanya."
patih ronggolawe berpaling ke salah satu pengikutnya
dan berkata. "Ichigrindana, dari semua kubu
pertahanan musuh yang kita lihat di Bukit merah
tadi, manakah yang tampak paling kuat?"
Pertanyaan seperti itulah yang kerap
diajukannya. memanggil orang-orang di sekitamya,
lalu mendengarkan pendapat terus terang para
prajurit muda.
Dalam kesempatan seperti itu, kerumunan
pengikut muda yang mengelilinginya tak pernah
segan-segan. Kalau mereka mulai panas. patih ronggolawe
juga ikut panas, dan suasana seperti itu
memicu orang luar sukar menilai apakah
orang-orang yang berdebat itu merupakan
junjungan dan pengikut atau sekadar teman biasa.
Namun jika patih ronggolawe mulai bersikap lebih serius.
semuanya segera menegakkan badan.
patih pitaloka duduk berdampingan dengan
patih ronggolawe , dan akhirnya memotong pembicaraan.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan
Tuan."
patih ronggolawe menoleh kepadanya dan
mengangguk. lalu ia memerintahkan agar
yang lain meninggalkan mereka.
Semua orang, kecuali patih pitaloka dan patih ronggolawe ,
keluar dari ruangan. Mereka berada di bangsal
benteng kota utama, dan sebab tak ada yang
menghalangi pandangan, ia tak perlu berjaga-jaga.
"Ada apa. patih pitaloka ?"
Tuan sudah melakukan inspeksi, dan aku
percaya Tuan sudah mengambil beberapa
keputusan. Bukankah Tuan sependapat bahwa
persiapan mpu mojosongo di Bukit merah patut dinamakan
sempurna?"
"Hmm, persiapannya memang baik sekali. Aku
sangsi ada orang selain mpu mojosongo yang dapat
mendirikan kubu-kubu pertahanan seperti itu
dalam waktu sedemikian singkat.-
"Aku pun sudah beberapa kali memantau
keadaan. dan kelihatannya tidak ada jalan untuk
melancarkan serangan," kata patih pitaloka .
Tampaknya kita hanya akan saling berhadapan,"
balas patih ronggolawe .
"mpu mojosongo sadar bahwa lawan nya merupakan lawan
tangguh," patih pitaloka melanjutkan, "sehingga dia
bersikap hati-hati. Sebaliknya, sekutu-sekutu kita
tahu bahwa ini pertama kali kita menghadapi
laskar-laskar prabu kertoarjowardana yang tersohor dalam
pertempuran menentukan. Jadi, sudah sewajarnya
kalau hasilnya seperti ini."
"Memang menarik. Bahkan letusan senapan
pun tidak terdengar selama beberapa hari. Ini
perang dmgin tanpa pertempuran."
"Dengan seizin Tuan...," patih pitaloka maju
beringsut-ingsut, menggelar sebuah peta, dan
menjelaskan rencananya dengan berapi-api.
patih ronggolawe mendengarkan dengan sungguh-
sungguh, dan mengangguk beberapa kali. Namun
roman mukanya menunjukkan bahwa ia takkan
terpancing untuk dan -merta memberi kata setuju.
"Jika Tuan mengizinkan, aku akan
mengerahkan seluruh marga dan menyerang
swaradwipa. Kalau kami sudah menyerbu provinsi asal
prabu kertoarjowardana di swaradwipa, dan mpu mojosongo mendengar
bahwa tanah tumpah darahnya diinjak-injak oleh
kaki kuda-kuda kami, segala persiapannya di Bukit
merah takkan ada artinya. dan kejeniusannya
dalam bidang militer pun takkan membantu. Dia
akan hancur dari dalam, tanpa perlu diserbu."
"Aku akan memikirkannya," ujar patih ronggolawe .
menghindari jawaban pasti terburu-buru. namun kuharap
kau pun memikirkan sekali lagi bukan sebagai
buah pikiranmu sendiri, melainkan secara objektif.
Rencanamu sungguh lihai dan menuntut
keberanian, namun justru ini yang membuatnya
berbahaya."
Strategi patih pitaloka memang merupakan ide unik.
patih ronggolawe pun, yang selalu bersikap hati-hati, jelas-
jelas terkesan, namun jalan pikirannya berbeda.
Pada dasarnya. patih ronggolawe tidak menyukai
strategi lihai maupun serangan mendadak.
Dibandingkan strategi militer, ia cenderung
memilih jalan diplomasi: dibandingkan kemenangan
mudah yang bersifat jangka pendek, ia lebih suka
mengujawa keadaan secara menyeluruh. meskipun
makan waktu lebih lama.
"Sebaiknya kita jangan gegabah," katanya.
lalu ia mengendurkan sikapnya. "Besok aku
akan memberi jawaban pasti pasti. Datanglah ke
perkemahan utama besok pagi."
Selama pembicaraan dengan patih pitaloka , para
pengikut pribadi patih ronggolawe menunggu di selasar,
dan kini mereka hendak kembali
mendampinginya. saat sampai di pintu masuk
benteng kota utama, mereka melihat centeng adipati berbaju
aneh meringkuk di dekat tempat kuda-kuda diikat.
Kepala dan satu tangannya dibalut, dan baju luar
yang menutupi baju tempurnya terbuat dari brokat
emas di atas dasar purih.
"Siapa itu?"
Orang itu mengangkat kepalanya sedikit. "Duli
tuanku. hamba patih dyahwkertoarjo ."
"Oh, patih dyahwkertoarjo ? Kudengar kau masih harus
berbaring di tempat tidur. Bagaimana luka-
lukamu?"
"Hamba sudah bertekad untuk bangun hari ini."
"Jangan terlalu memaksakan diri. Beri waktu
pada tubuhmu agar pulih sepenuhnya, dan kau
akan dapat menghapus aibmu kapan saja."
Mendengar kata "aib", patih dyahwkertoarjo mulai
menitikkan air mata.
sesudah mengeluarkan sepucuk surat dan
menyerahkannya dengan hormat kepada
patih ronggolawe , ia kembali bersujud.
'Hamba mohon tuanku berkenan membaca
ini."
patih ronggolawe mengangguk, mungkin sebab
kasihan melihat penderitaan orang itu.
sesudah merampungkan inspeksi medan tempur
hari itu, menjelang malam patih ronggolawe kembali ke
girisoka . Perkemahannya tidak terletak di tempat
tinggi seperti perkemahan musuh di Bukit
merah , namun patih ronggolawe sudah memanfaatkan
hutan-hutan, ladang-ladang, dan sungai-sungai di
sekitar secara maksimal, dan posisi centeng nya
dikelilingi oleh jaringan selokan dan pagar
pertahanan yang luas.
Sebagai langkah pengamanan tambah an, tempat
persembahan desa sengaja disamarkan sebagai
tempat tinggal patih ronggolawe .
Dari sudut pandang mpu mojosongo , keberadaan
patih ronggolawe tak dapat ditentukan dengan pasti. Bisa
saja ia berada di girisoka atau di benteng kota
girisewo . Pengamanan di garis depan sedemikian
ketat, sehingga setetes air pun takkan dapat
merembes, jadi pengawasan oleh pihak yang satu
ierhadap pihak yang lain benar-benar tak mungkin.
"Aku belum sempat mandi sejak bertolak dari
kahuripan . Hari ini aku ingin menghilangkan keringat
yang menempel di badanku."
Sesaat para pengikut mulai menyiapkan
tempat mandi bagi patih ronggolawe . sesudah menggali
lubang di tanah, mereka melapisinya dengan
lembaran-lembaran kertas minyak berukuran
besar. lalu mereka memanaskan sepotong
besi dan melemparkannya ke lubang yang sudah
diisi air. Mereka juga mendirikan sejumlah papan
di sekelilingnya dan memasang tirai penghalang.
"Ah, betapa nikmat rasanya." Di tempat mandi
yang sederhana itu, patih ronggolawe berendam dalam air
panas dan memandang langit malam yang bertabur
bintang. Inilah kemewahan terbesar di dunia.
katanya dalam hati saat menggosok-gosok badan.
Sejak tahun lalu ia sudah membersihkan tanah
di sekitar kahuripan dan memulai pembangunan
benteng kota dengan kemegahan yang tak tertandingi.
Namun kesenangan yang paling besar
dirasakannya di tempat-tempat seperti ini, bukan
di ruang-ruang berlapis emas dan menara-menara
berhiaskan batu mulia di dalam benteng kota. Tiba-tiba
ia merasa rindu pada rumahnya di lemahlaban ,
tempat ibunya menggosok-gosok punggungnya
saat ia masih kecil.
Sudah lama patih ronggolawe tak pernah merasa
setenteram sekarang, dan dalam keadaan inilah ia
masuk ke kemahnya.
"Ah. rupanya kalian sudah datang!" seru
patih ronggolawe saat melihat para resi yang
dipanggilnya sudah menunggu.
"Coba lihat ini." ia berkata, lalu mengeluarkan
peta dan sepucuk surat dari jubah dan
menyerahkan keduanya kepada para resi . Surat
itu merupakan petisi yang ditulis dengan darah
oleh patih dyahwkertoarjo , sedangkan petanya milik patih pitaloka .
"Bagaimana pendapat kalian tentang rencana
ini?" tanya patih ronggolawe . "Kuminta kalian berterus
terang."
Sesaat tak seorang pun angkat bicara. Semuanya
tampak termenung-menung.
Akhirnya salah satu resi berkata, "Hamba
pikir rencana ini baik sekali."
Setengah dari orang-orang itu mendukung
rencana patih pitaloka , namun setengah-nya lagi
menolaknya dengan berkata, "Rencana lihai selalu
mengandung risiko besar."
Rapat menemui jalan buntu.
patih ronggolawe hanya mendengarkan sambil
tersenyum. Pokok bahasannya begitu penting,
sehingga tidak mudah bagi dewan untuk mencapai
kata sepakat.
"Kami terpaksa menyerahkan masalah ini untuk
diputuskan oleh Yang Mulia."
Pada waktu malam tiba, semua resi kembali
ke kemah masing-masing.
sebetulnya , dalam perjalanan pulang dari
girisewo , patih ronggolawe sudah membulatkan tekad.
Tujuannya mengadakan rapat bukan sebab ia tak
sanggup menentukan langkah berikut. la
mengundang para resi nya untuk menghadiri
rapat singkat justru sebab ia sudah mengambil
keputusan. Itu merupakan salah satu kiat
psikologis yang dijalankannya sebagai pemimpin.
Para resi nya kembali ke kemah masing-masing
dengan kesan bahwa ia takkan melaksanakan
rencana itu .
Namun dalam hati patih ronggolawe sudah
memutuskan untuk bertindak. Jika ia tidak
menerima us