Tampilkan postingan dengan label homosapien 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label homosapien 4. Tampilkan semua postingan
Jumat, 16 Desember 2022
homosapien 4
Desember 16, 2022
homosapien 4
Eropa, di sisi lain, bangsa Arya mempertahankan kemurnian ras
mereka. Itulah sebabnya bangsa Eropa berhasil menaklukkan
dunia, dan mengapa mereka sanggup untuk menguasainya—
sepanjang mereka mengikuti kehati-hatian untuk tidak bercampur
dengan ras-ras inferior. Teori-teori rasis semacam itu, yang
menonjol dan dihormati selama berpuluh-puluh tahun, menjadi
anathema di kalangan para ilmuwan dan politikus sekaligus.
Orang-orang terus melakukan perjuangan heroik melawan
rasisme tanpa melihat bahwa ajang pertempurannya telah
bergesar, dan bahwa tempat rasisme dalam ideologi imperium
kini digantikan oleh “kulturalisme”. Tak ada kata semacam itu,
memang, tetapi kinilah saatnya untuk menciptakan istilah itu.
Di kalangan para elite masa kini, pendapat tentang keunggulankeunggulan kontras di antara kelompok-kelompok manusia yang
berbeda hampir selalu ditulis dalam konteks perbedaan historis
antarkultur ketimbang perbedaan-perbedaan biologis dan ras.
Kita tidak lagi mengatakan, “Ini ada dalam darah mereka”. Kita
mengatakan, “Ini ada dalam kultur mereka”.
Maka, partai-partai sayap kanan Eropa yang menentang
imigrasi Muslim biasanya peduli untuk menghindari terminologi
rasial. Para penulis pidato Marine le Pen mestinya langsung
diusir kalau benar mereka menyarankan pemimpin Front
Nasional itu berpidato di televisi untuk mendeklarasikan bahwa
“Kami tidak ingin kaum Semit inferior itu mengotori darah
Arya kami dan merusak peradaban Arya kami”. Namun, Front
Nasional Prancis, Partai Kebebasan Belanda, Aliansi untuk Masa
Depan Austria, dan sejenisnya cenderung berpendapat bahwa
kultur Barat, sebagaimana yang berevolusi di Eropa, dicirikan
oleh nilai-nilai demokrasi, toleransi dan kesetaraan gender,
sedangkan kultur Muslim, yang berevolusi di Timur Tengah,
dicirikan oleh politik hierarki, fanatisme, dan kebencian pada
perempuan (misogini). Karena kedua budaya itu begitu berbeda,
dan karena banyak imigran Muslim tak mau (dan mungkin tak
mampu) mengadopsi nilai-nilai Barat, mereka seharusnya tak
dibolehkan masuk, agar mereka tidak membangun konflik internal
dan merusak demokrasi serta liberalisme Eropa. Argumentasiargumentasi kulturalis semacam itu didukung oleh studi-studi
saintifik dalam ilmu-ilmu humaniora dan sosial yang memperjelas
apa yang disebut sebagai benturan peradaban dan perbedaanperbedaan fundamental antara kultur-kultur yang berbeda. Tak
semua sejarawan dan antropolog menerima teori-teori ini atau
mendukung penggunaannya dalam politik. Namun, sementar para
ahli biologi tak kesulitan menolak rasisme, dengan menjelaskan
secara sederhana bahwa perbedaan-perbedaan biologis antara
populasi-populasi manusia masa kini adalah kecil, lebih sulit bagi
para sejarawan dan antropolog untuk menentang kulturalisme.
Lagi pula, kalaupun perbedaan-perbedaan antara kultur-kultur
manusia memang kecil, mengapa harus membayar para sejarawan
dan antropolog untuk mempelajarinya?
Para ilmuwan telah memberikan proyek imperium dengan
pengetahuan praktis, justifikasi ideologis, dan perangkat-perangkat
teknologis. Tanpa kontribusi ini, sangat patut dipertanyakan
apakah bangsa Eropa mampu menaklukkan dunia. Para penakluk
membalas budi itu dengan memberi para ilmuwan informasi
dan perlindungan, mendukung semua jenis proyek yang aneh
dan menarik serta menyebarkan cara berpikir saintifik jauh ke
sudut-sudut Bumi. Tanpa dukungan imperium, patut diragukan
apakah sains modern bisa mencapai kemajuan sejauh ini. Sangat
sedikit disiplin saintifik yang tidak mengawali hidupnya dari
para pembantu untuk menumbuhkan imperium dan yang tidak
berutang besar untuk penemuan-penemuan, koleksi-koleksi, dan
beasiswa-beasiswa mereka pada kemurahan bantuan para perwira
militer, para kapten kapal, dan para gubernur imperium.
Ini tentu saja bukan seluruh cerita yang lengkap. Sains
didukung oleh institusi-institusi lain, tidak hanya oleh imperiumimperium. Dan, imperium-imperium Eropa tumbuh dan
berkembang juga berkat faktor-faktor lain selain sains. Di belakang
munculnya kedua meteor, sains, dan imperium, menggeliat juga
satu kekuatan yang sangat penting: kapitalisme. Kalaupun bukan
karena para pengusaha yang ingin menghasilkan uang, Columbus
tidak akan mencapai Amerika, James Cook tidak akan mencapai
Australia, dan Neil Amstrong tidak akan pernah meninggalkan
jejak kecil kakinya di permukaan Bulan.
Uang sudah menjadi hal penting untuk membangun imperium
maupun memajukan sains. Namun, apakah uang menjadi tujuan
tertinggi dari tindakan-tindakan ini, atau mungkin hanya suatu
kebutuhan yang berbahaya?
Tidak mudah, memang, untuk mengerti peran sejati dari
ekonomi dalam sejarah modern. Seluruh buku yang sudah ditulis
tentang bagaimana uang mendirikan negara dan meruntuhkannya,
membuka horizon-horizon baru dan memperbudak jutaan orang,
menggerakkan roda-roda industri, dan mendorong ratusan spesies
ke dalam kepunahan. Namun, untuk memahami sejarah ekonomi
modern, Anda benar-benar perlu memahami satu kata tunggal.
Kata itu adalah pertumbuhan. Entah yang lebih baik atau lebih
buruk, dalam keadaan sakit atau sehat, ekonomi modern tumbuh
seperti seorang remaja kebanyakan hormon. Ia lahap apa saja yang
dijumpai dan tumbuh lebih cepat dari yang bisa Anda hitung.
Nyaris sepanjang sejarahnya, ekonomi tetap dalam ukuran
yang sama. Ya, produksi global meningkat, tetapi ini terutama
karena ekspansi demografis dan permukiman tanah-tanah baru.
Produksi per kapita tetap statis. Namun, semua itu berubah
dalam abad modern. Pada 1500, produksi global barang dan jasa
sekitar $250 miliar; kini angkanya melonjak sekitar $60 triliun.
Lebih penting lagi, pada 1500, produksi per kapita per tahun
rata-rata $550, sementara kini setiap laki-laki, perempuan, dan
anak-anak menghasilkan rata-rata $8.800 setahun.1
Apa yang
menyebabkan pertumbuhan menakjubkan ini?
Ekonomi adalah masalah yang sangat rumit. Untuk memudahkan pemahaman, mari kita bayangkan satu contoh sederhana.
Samuel Greedy, seorang pemodal cerdik, mendirikan sebuah
bank di El Dorado, California.
A.A. Slyter, seorang kontraktor yang sedang naik pamor di El
Dorado, merampungkan pekerjaan besar pertamanya, menerima
pembayaran tunai sebesar $1 juta.
Dia tabung uang itu di bank Tuan Greedy. Bank kini punya
modal $1 juta.
Sementara itu, Jane McDoughnut, seorang koki berpengalaman
tetapi miskin di El Dorado, merasa melihat sebuah peluang
bisnis—tidak ada toko roti yang benar-benar bagus di sekitar
tempat tinggalnya di kota itu. Namun, dia tidak punya cukup
uang untuk membeli fasilitas yang dibutuhkan lengkap dengan
oven industri, wastafel, pisau-pisau, dan panci-pancinya. Dia
pergi ke bank, mengajukan rencana bisnisnya ke Greedy, dan
membujuknya bahwa ini investasi yang menguntungkan. Greedy
mengeluarkan pinjaman $1 juta kepadanya, dengan menempatkan
dana di rekeningnya di bank sejumlah itu.
McDoughnut kini mempekerjakan Slyter, sang kontraktor,
untuk membangun dan merapikan toko rotinya. Harganya
$1.000.000.
Waktu McDoughnut membayar, dengan cek yang ditarik dari
rekeningnya, Slyter menyimpannya di rekening di bank Greedy.
Jadi, berapa banyak uang Slyter yang ada di rekning bank?
Benar, $2 juta.
Berapa banyak uang tunai, yang sebenarnya ada di laci
bank? Ya, $1 juta.
Tak berhenti di sana. Sebagaimana biasa dilakukan para
kontraktor, ketika waktu pengerjaan memasuki dua bulan, Slyter
memberi tahu McDoughnut bahwa karena masalah-masalah
dan biaya-biaya tak terduga, tagihan untuk konstruksi toko roti
membengkak sampai $2 juta. Nyonya McDoughnut tidak senang,
tetapi dia tak mungkin menghentikan pekerjaan itu di tengah
jalan. Jadi, dia mengunjungi bank lagi, meyakinkan Tuan Greedy
agar memberi tambahan pinjaman, dan dia menempatkan lagi
$1 juta dalam rekeningnya. McDoughnut mentransfer uang itu
ke rekening kontraktor
Berapa banyak uang yang dimiliki Slyter dalam rekeningnya
saat ini? Dia punya $3 juta.
Akan tetapi, berapa banyak uang yang sesungguhnya berdiam
di bank tetap $1 juta. Malah, uang $1 juta yang sama itu selalu
berada di bank tersebut.
Undang-undang perbankan di Amerika Serikat membolehkan
bank mengulang langkah ini tujuh kali. Kontraktor akhirnya
akan memiliki $10 juta dalam rekeningnya, sekalipun bank
itu tetap hanya punya $1 juta di laci penyimpanannya. Bank
dibolehkan meminjamkan $10 untuk setiap dolar yang benarbenar mereka punyai, yang berarti 90 persen dari seluruh uang
dalam rekening bank tidak tertutupi oleh koin atau uang kertas
yang sesungguhnya.2
Jika semua pemegang rekening di Barclay
Bank tiba-tiba meminta uang mereka, Barclay langsung ambruk
(kalau pemerintah tidak datang menolongnya). Hal yang sama
bisa terjadi pada Lloyds, Deutsche Bank, Citibank, dan semua
bank lain di dunia.
Kedengaran seperti skema Ponzi raksasa, bukan? Namun,
kalau itu kecurangan, maka segenap ekonomi modern adalah
kecurangan. Faktanya, itu bukan penipuan, tetapi sebuah
penghargaan pada kemampuan mengagumkan imajinasi manusia.
Apa yang memungkinkan bank-bank—dan segenap ekonomi—
untuk bertahan dan tumbuh adalah kepercayaan kita pada masa
depan. Kepercayaan inilah penopang tunggal sebagian besar
uang di dunia.
Dalam contoh toko roti, diskrepansi antara rekening tertulis
kontraktor dan jumlah riil uang di bank adalah toko roti Nyonya
McDoughnut. Tuan Greedy sudah menempatkan uang banknya
ke dalam aset, memercayai bahwa suatu hari toko roti itu akan
menguntungkan. Toko roti itu belum memanggang seloyang roti
pun, tetapi McDoughnut dan Greedy mengantisipasi itu selama
satu tahun sehingga ia akan bisa menjual ribuan loyang, roti
gulung, kue, dan kue kering setiap hari, dengan keuntungan
yang bagus. Saat itu, Nyonya McDoughnut akan mampu
membayar utangnya, dengan bunganya. Jika di satu titik Tuan
Slyter memutuskan untuk menarik tabungannya, Greedy akan
mampu menghadirkan uang tunainya. Seluruh usaha itu dengan demikian bertumpu pada kepercayaan pada suatu masa depan
imajiner—kepercayaan yang dimiliki pengusaha dan bankir pada
toko roti yang mereka impikan, bersama kepercayaan kontraktor
pada kesanggupan bank di masa depan.
Kita sudah melihat bahwa uang merupakan sesuatu yang
mencengangkan karena ia bisa merepresentasi banyak benda
yang berbeda dan mengubah segalanya menjadi hampir apa
saja. Meskipun demikian, sebelum era modern, kemampuan
ini terbatas. Dalam banyak kasus, uang bisa merepresentasi
dan mengubah hanya hal-hal yang benar-benar ada saat ini. Ini
menyebabkan keterbatasan luar biasa pada pertumbuhan karena
sulit untuk mendanai usaha-usaha baru.
Pikirkan lagi toko roti kita. Bisakah McDoughnut membangun
jika uang hanya bisa merepresentasi benda-benda yang terlihat?
Tidak. Saat ini, dia punya banyak impian, tetapi tidak punya
sumber daya yang terlihat. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan
agar toko rotinya terbangun adalah mencari kontraktor yang
bersedia bekerja hari ini dan menerima pembayaran beberapa
tahun kemudian, hanya kalau dan ketika toko roti mulai
menghasilkan uang. Tanpa toko roti, dia tidak bisa memanggang
kue. Tanpa kue, dia tidak bisa menghasilkan uang. Tanpa uang, dia
tidak bisa menyewa kontraktor. Tanpa kontraktor, dia tak punya
toko roti. Umat manusia terperangkap dalam keadaan sulit ini
selama ribuan tahun. Akibatnya, ekonomi tetap membeku. Jalan
keluar dari perangkap itu baru ada pada era modern, dengan
munculnya sebuah sistem baru yang didasarkan kepercayaan pada
masa depan. Di dalamnya, orang-orang setuju merepresentasi
barang-barang imajiner—benda-benda yang tidak ada saat ini—
dengan suatu jenis uang khusus yang mereka sebut “kredit”.
Kredit memungkinkan kita membangun saat ini atas biaya masa
depan. Ia bertumpu pada asumsi bahwa sumber daya masa
depan kita benar-benar jauh lebih berlimpah ketimbang sumber
daya kita saat ini. Banyak peluang baru dan luar biasa terbuka
jika kita bisa membangun hal-hal saat ini dengan menggunakan
pendapatan masa depan.
Jika kredit memang hal yang begitu luar biasa, mengapa
tak seorang pun memikirkannya lebih awal? Tentu saja mereka
melakukannya. Pengaturan-pengaturan kredit dengan berbagai
jenisnya telah muncul dalam semua kultur manusia yang kita
kenal, sekurang-kurangnya sejak Sumeria kuno. Problem pada
era-era sebelumnya bukanlah tidak ada orang yang punya ide atau
tidak tahu cara menggunakan ide itu. Masalahnya adalah orang
jarang ingin membesarkan kredit karena mereka tidak percaya
masa depan akan lebih baik dari saat ini. Mereka umumnya
percaya bahwa masa lalu lebih baik dari masa mereka sendiri dan
bahwa masa depan akan lebih buruk, atau paling ekstrem sama.
Jika ditempatkan dalam terminologi ekonomi, mereka percaya
bahwa jumlah total kekayaan terbatas, kalau bukan menyusut.
Oleh karena itu, orang-orang menganggap buruk jika berasumsi
bahwa mereka secara pribadi, atau kerajaan mereka, atau seluruh
dunia, akan menghasilkan lebih banyak kekayaan dalam waktu
10 tahun mendatang. Bisnis tampak seperti pertarungan habishabisan (zero-sum game). Tentu saja, keuntungan satu toko roti
tertentu bisa naik, tetapi atas kerugian yang ditanggung toko
roti sebelahnya. Venesia bisa tumbuh, tetapi hanya dengan
memiskinkan Genoa. Raja Inggris bisa memperkaya diri, tetapi
hanya dengan merampok raja Prancis. Anda bisa memotong pai
dengan banyak cara yang berbeda, tetapi painya tidak pernah
menjadi lebih besar.
Itulah kenapa banyak kultur menyimpulkan bahwa menumpuk
uang adalah dosa. Sebagaimana kata Yesus, “Lebih mudah bagi
seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada orang kaya
memasuki kerajaan Tuhan” (Matius 19:24). Jika pai statis, dan
saya punya bagian besar darinya, maka saya pasti mengambil
potongan milik seseorang lainnya. Yang kaya diwajibkan untuk
melakukan penebusan dosa atas perbuatan-perbuatan jahat
mereka dengan memberi sebagian dari kelebihan kekayaan
mereka untuk amal.
Jika ukuran pai global tetap sama, tidak ada margin untuk
kredit. Kredit adalah selisih antara pai hari ini dan pai besok.
Jika pai tetap sama, mengapa memperbesar kredit? Itu akan
menjadi risiko yang tak bisa diterima kalau Anda tidak percaya
bahwa tukang panggang pai atau raja yang meminta uang
Anda bisa mencuri sepotong dari kompetitor. Jadi, sulit untuk
mendapatkan pinjaman dalam dunia pramodern, dan begitu Anda
mendapatkannya, biasanya kecil, jangka pendek, dan dengan
beban bunga tinggi. Para pengusaha pemula dengan demikian
sulit membuka toko roti baru dan raja-raja besar yang ingin
membangun istana atau melancarkan perang tak punya pilihan
selain menggalang dana yang diperlukan melalui pajak dan tarif
tinggi. Hal itu baik-baik saja bagi raja (sepanjang rakyat mereka
tetap patuh), tetapi seorang buruh cuci yang punya ide hebat
membangun toko roti dan ingin memperbaiki kesejahteraannya
di dunia pada umumnya hanya bisa mengimpikan kekayaan
sambil berlutut di lantai-lantai dapur kerajaan.
Yang terjadi adalah kalah-kalah. Karena kredit terbatas, orang
kesulitan mendanai bisnis-bisnis baru. Karena sedikit pebisnis
baru, ekonomi tidak tumbuh. Karena tidak tumbuh, orang
berasumsi ekonomi tidak akan pernah tumbuh, dan mereka yang
memiliki modal was-was untuk mengulurkan kredit. Ekspektasi
kemacetan terbukti dengan sendirinya.
Pai yang Tumbuh
Lalu, datanglah Revolusi Saintifik dan ide kemajuan. Ide
kemajuan dibangun pada pemahaman bahwa jika kita mengakui
ketidaktahuan dan menginvestasikan sumber daya dalam riset,
keadaan akan membaik. Ide itu kemudian diterjemahkan ke dalam
urusan ekonomi. Siapa pun yang percaya ada kemajuan berarti
percaya bahwa penemuan-penemuan geografis, penciptaanpenciptaan teknologi, dan pengembangan-pengembangan
organisasi bisa meningkatkan jumlah total produksi, perdagangan,
dan kekayaan manusia. Rute-rute perdagangan baru di Atlantik
bisa tumbuh tanpa menghancurkan rute-rute lama di Samudra
Hindia. Barang-barang baru bisa diproduksi tanpa mengurangi
produksi barang-barang lama.
Misalnya, seseorang bisa membuka satu toko roti baru
yang spesialis membuat kue-kue cokelat dan croissant tanpa
menyebabkan toko-toko roti yang spesialis roti bangkrut. Setiap
orang akan dengan mudah mengembangkan rasa-rasa baru dan
makan lebih banyak. Saya bisa kaya tanpa membuatmu miskin;
saya bisa gemuk tanpa membuatmu mati kelaparan. Segenap
pai global bisa tumbuh.
Dalam 500 tahun terakhir, ide kemajuan meyakinkan orang
untuk menempatkan lebih banyak kepercayaan pada masa
depan. Kepercayaan ini menciptakan kredit; kredit membawa
pertumbuhan ekonomi riil; dan pertumbuhan memperkuat kepercayaan pada masa depan serta membuka jalan bagi lebih
banyak kredit. Itu tidak terjadi dalam waktu semalam—ekonomi
lebih berperilaku seperti roller coaster ketimbang balon. Namun,
dalam jangka panjang, dengan penyetaraan-penyetaraan, arah
umumnya jelas. Kini, begitu banyak kredit di dunia yang dengan
mudah bisa didapatkan oleh pemerintah, korporasi bisnis, dan
individu-individu privat dalam bentuk pinjaman besar, jangka
panjang, dan berbunga ringan yang jauh melebihi pendapatan
saat ini.
Keyakinan pada tumbuhnya pai global pada akhirnya
terbukti revolusioner. Pada 1776, ekonom Skotlandia Adam
Smith menerbitkan The Wealth of Nations, mungkin manifesto
ekonomi paling penting sepanjang zaman. Pada bab kedelapan
dari volume pertamanya, Smith membuat argumentasi menarik
berikut ini: ketika seorang tuan tanah, seorang penenun, atau
seorang pembuat sepatu memiliki keuntungan yang lebih besar
ketimbang yang dia butuhkan untuk menghidupi keluarganya, dia
menggunakan kelebihan itu untuk mempekerjakan lebih banyak
asisten, untuk meningkatkan lagi keuntungannya. Semakin banyak
keuntungan yang dia dapat, semakin banyak asisten yang bisa
dia pekerjakan. Yang terjadi adalah kenaikan keuntungan usaha pribadi adalah basis untuk kenaikan kekayaan dan kemakmuran
kolektif.
Ini mungkin tidak mengejutkan Anda sebagai sesuatu yang
sangat orisinal karena kita semua hidup dalam sebuah dunia
kapitalis yang menerima argumentasi Smith sebagai kebenaran.
Kita mendengar variasi-variasi pada tema ini setiap hari dalam
berita. Meskipun demikian, klaim Smith bahwa dorongan manusia
yang egois untuk meningkatkan keuntungan pribadi menjadi basis
bagi kekayaan kolektif adalah sebuah ide paling revolusioner yang
pernah ada dalam sejarah manusia—revolusioner tidak hanya dari
perspektif ekonomi, tetapi bahkan lebih dari perspektif moral
dan politis. Apa yang dikatakan Smith sesungguhnya adalah
keserakahan itu bagus, dan bahwa dengan menjadi lebih kaya
saya memberi manfaat bagi setiap orang, tidak hanya diri saya
sendiri. Egoism is altruism.
Smith mengajarkan kepada masyarakat untuk berpikir tentang
ekonomi sebagai “situasi menang-menang”, yang di dalamnya
keuntungan saya adalah juga keuntungan Anda. Bukan hanya kita
bisa menikmati irisan pai yang lebih besar pada saat bersamaan,
melainkan juga bertambahnya bagian Anda bergantung pada
kenaikan bagian saya. Kalau saya miskin, Anda pun akan miskin
karena saya tidak bisa membeli produk-produk atau jasa Anda.
Jika saya kaya, Anda juga akan menjadi kaya karena Anda kini
bisa menjual sesuatu kepada saya. Smith membantah kontradiksi
tradisional antara kekayaan dan moralitas, dan membuka
gerbang surga bagi orang kaya. Menjadi kaya berarti menjadi
bermoral. Dalam cerita Smith, orang menjadi kaya bukan dengan
mengelabui para tetangganya, melainkan dengan meningkatkan
ukuran keseluruhan kue pai. Dan, ketika pai tumbuh, setiap
orang beruntung. Dengan demikian, orang kaya adalah orang
yang paling berguna dan paling penuh kebajikan dalam
masyarakat karena mereka menggerakkan roda pertumbuhan
untuk keuntungan setiap orang.
Akan tetapi, semua ini bergantung pada orang kaya yang
menggunakan keuntungan mereka untuk membuka pabrikpabrik baru dan mempekerjakan pegawai-pegawai baru, bukan
membuang-buangnya pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif. Oleh karena itu, Smith mengulang-ulang seperti mantra pepatah
bahwa “Ketika keuntungan naik, tuan tanah atau penenun
akan mempekerjakan lebih banyak asisten” dan bukan “Ketika
keuntungan naik, si Kikir menimbun uangnya dalam peti dan
mengeluarkannya hanya untuk menghitung koin-koinnya”.
Bagian krusial dari ekonomi kapitalis modern adalah munculnya
sebuah etik baru, yang menggariskan bahwa keuntungan harus
diinvestasikan kembali pada produksi. Ini bisa membawa
keuntungan lebih banyak, yang lagi-lagi diinvestasikan kembali
dalam produksi, yang terus membawa keuntungan lebih besar,
dan seterusnya dan seterusnya. Investasi bisa dilakukan dalam
banyak cara: memperbesar pabrik, melakukan riset saintifik,
mengembangkan produk-produk baru. Meski demikian, semua
investasi ini harus menaikkan produksi dan menjelma menjadi
keuntungan yang lebih besar. Dalam kredo kapitalis baru, ayat
pertama dan paling sakral adalah: “Keuntungan dari produksi
harus diinvestasikan kembali dalam meningkatkan produksi”.
Itulah kenapa kapitalisme disebut “kapitalisme”. Kapitalisme
membedakan “modal” dari “kekayaan” semata-mata. Modal
terdiri dari uang, barang, dan sumber daya yang diinvestasikan
pada produksi. Kekayaan, di sisi lain, dikubur di tanah atau
dihambur-hamburkan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak
produktif. Seorang Fir’aun yang menggelontorkan sumber daya
untuk piramida yang tidak produktif bukan kapitalis. Seorang
pembajak yang menjarah armada harta Spanyol dan mengubur
sepeti penuh koin berkilauan di pantai sebuah Pulau Karibia
bukan kapitalis. Namun, seorang buruh pabrik pekerja keras
yang menginvestasikan kembali bagian dari pendapatannya ke
pasar saham adalah kapitalis.
Ide bahwa “Keuntungan dari produksi harus diinvestasikan
kembali untuk menaikkan produksi” terdengar seperti biasa.
Namun, ini asing bagi sebagian besar sepanjang sejarah. Pada
masa pramodern, orang percaya bahwa produksi kurang lebih
konstan. Jadi, mengapa menginvestasikan kembali keuntunganmu
jika produksi tidak akan naik banyak, terlepas dari apa pun
yang kamu lakukan? Jadi, para bangsawan abad pertengahan
menyokong etika kedermawanan dan konsumsi berlebihan. Mereka menghabiskan pendapatan mereka untuk turnamen,
perjamuan, istana, dan perang, juga untuk amal serta katedralkatedral monumental. Sedikit yang berusaha menginvestasikan
keuntungan kembali untuk meningkatkan hasil puri mereka,
mengembangkan jenis gandum yang lebih baik, atau mencari
pasar-pasar baru.
Pada era modern, kebangsawanan telah diambil alih oleh
elite baru yang anggota-anggotanya adalah penganut sejati
kredo kapitalis. Elite kapitalis baru ini terdiri dari bukan para
pangeran dan marquis, melainkan para ketua dewan komisaris,
para pedagang saham, dan para industrialis. Para hartawan ini
jauh lebih kaya dari kaum bangsawan abad pertengahan, tetapi
mereka jauh kurang berminat pada konsumsi besar-besaran, dan
mereka menghabiskan jauh lebih kecil bagian dari keuntungan
mereka untuk kegiatan-kegiatan non-produktif.
Kaum bangsawan abad pertengahan mengenakan jubahjubah warna-warni yang terbuat dari emas dan sutra, dan
mencurahkan banyak waktu untuk menghadiri jamuan-jamuan,
karnaval, dan turnamen-turnamen glamor. Sedangkan para CEO
modern lebih suka pakaian berwarna gelap yang disebut suit,
yang membuat mereka bisa mendapatkan semua keistimewaan
orang-orang sebangsanya, dan mereka tak punya banyak waktu
untuk perayaan-perayaan. Yang khas dari kapitalis ventura adalah bergegas dari satu pertemuan ke pertemuan lain, berusaha
merumuskan ke mana harus menginvestasikan modalnya dan
mengikuti naik-turunnya saham dan obligasi yang dia miliki.
Benar, pakaian suit-nya mungkin bermerek Versace dan dia
mungkin bepergian dengan jet pribadi, tetapi biaya-biaya ini tak
ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dia investasikan
dalam meningkatkan produksi oleh manusia.
Rakyat biasa dan badan-badan pemerintah berpikir
mengikuti garis yang sama. Berapa banyak percakapan makan
malam dalam perkampungan sederhana cepat atau lambat
akan membentur perdebatan tanpa akhir tentang apakah lebih
baik menginvestasikan tabungan seseorang di pasar saham,
obligasi, atau properti? Pemerintah juga giat menginvestasikan
pendapatan pajaknya dalam usaha-usaha produktif yang akan
menaikkan pendapatan pada masa depan—misalnya, membangun
sebuah pelabuhan baru bisa memudahkan pabrik-pabrik
mengekspor produk-produk mereka, memungkinkan mereka
untuk menghasilkan lebih banyak pendapatan yang bisa dipajaki
sehingga menaikkan pendapatan pemerintah pada masa depan.
Pemerintah lain mungkin lebih menyukai investasi di pendidikan,
dengan dasar bahwa orang-orang terdidik akan menjadi basis
bagi industri-industri high-tech yang menguntungkan, yang dapat
membayar banyak pajak tanpa memerlukan fasilitas-fasilitas
pelabuhan yang mahal.
Kapitalisme dimulai sebagai sebuah teori tentang bagaimana
fungsi-fungsi ekonomi. Ia bersifat deskriptif sekaligus preskriptif—
menawarkan suatu penjelasan tentang bagaimana uang bekerja
dan mendukung ide bahwa reinvestasi keuntungan dalam
produksi membawa pertumbuhan ekonomi yang cepat. Namun,
kapitalisme perlahan-lahan menjadi tak lebih dari sekadar sebuah
doktrin ekonomi. Kini ia mencakup suatu etika—seperangkat
ajaran tentang bagaimana orang harus berperilaku, mengedukasi
anak-anak mereka, dan bahkan berpikir. Ajaran dasarnya adalah
bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kebaikan tertinggi, atau
paling tidak proxy untuk kebaikan tertinggi karena keadilan,
kebebasan, bahkan kebahagiaan semuanya bergantung pada
pertumbuhan ekonomi. Tanyalah seorang kapitalis bagaimana membawa keadilan dan kebebasan politik ke tempat seperti
Zimbabwe atau Afganistan, dan Anda kemungkinan akan dikuliahi
tentang bagaimana kemakmuran ekonomi dan kemakmuran kelas
menengah adalah penting bagi institusi-institusi demokrasi yang
stabil dan karena itu tentang perlunya mengajarkan masyarakat
suku Afganistan nilai-nilai kebebasan berusaha, penghematan,
dan kemandirian.
Agama baru ini sudah memiliki pengaruh menentukan
pada perkembangan sains modern juga. Riset saintifik biasanya
didanai oleh pemerintah atau bisnis swasta. Ketika pemerintahpemerintah atau bisnis-bisnis kapitalis mempertimbangkan
untuk berinvestasi di proyek saintifik tertentu, pertanyaan
pertamanya biasanya adalah, “Apakah proyek ini memungkinkan
kami meningkatkan produksi dan keuntungan? Akankah ini
menghasilkan pertumbuhan ekonomi?” Sebuah proyek yang
tidak bisa menjernihkan persoalan ini kecil peluangnya untuk
mendapatkan sponsor. Tidak ada sejarah sains modern yang bisa
meninggalkan kapitalisme di luar gambar mereka. Sebaliknya,
sejarah kapitalisme tak bisa dimengerti tanpa mempertimbangkan
sains. Keyakinan kapitalisme pada pertumbuhan ekonomi abadi
bertentangan dengan hampir semua hal yang kita tahu tentang
alam semesta. Sebuah masyarakat serigala akan benar-benar
bodoh untuk meyakini bahwa pasokan domba akan terus tumbuh
tak terbatas. Ekonomi manusia bagaimanapun telah berhasil
tumbuh secara mengagumkan dalam era modern, hanya berkat
fakta bahwa para ilmuwan menyodorkan penemuan baru atau
gawai baru setiap beberapa tahun—seperti kontinen Amerika,
mesin dengan pembakaran internal, atau domba-domba rekayasa
genetika. Bank-bank dan pemerintah mencetak uang, tetapi pada
akhirnya, ilmuwanlah yang membayar rekening.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, bank-bank dan
pemerintah-pemerintah gila-gilaan mencetak uang. Setiap
orang takut bahwa krisis ekonomi saat ini bisa menghentikan
pertumbuhan ekonomi. Jadi, mereka menciptakan triliunan
dolar, euro, dan yen dari udara tipis, memompa kredit murah
ke dalam sistem, dan berharap agar para ilmuwan, teknisi, dan
insinyur akan berhasil menyodorkan sesuatu yang benar-benar
besar, sebelum balon-balon meletus. Segalanya bergantung pada
laboratorium-laboratorium. Penemuan-penemuan baru di bidangbidang seperti bioteknologi dan nanoteknologi bisa menciptakan
industri-industri yang sama sekali baru, yang keuntungannya bisa
menopang triliunan uang pura-pura yang diciptakan bank-bank
dan pemerintah-pemerintah sejak 2008. Jika laboratorium tidak
bisa memenuhi ekspektasi-ekspektasi ini sebelum balon-balon
meletus, kita sedang menuju masa yang teramat sulit.
Columbus Mencari Investor
Kapitalisme memainkan peran menentukan tidak hanya
dalam bangkitnya sains modern, tetapi juga pada kemunculan
imperialisme Eropa. Dan, imperialisme Eropa lah yang
menciptakan sistem kredit kapitalis pada kesempatan pertama.
Tentu saja, kredit tidak diciptakan oleh Eropa modern. Ia ada
dalam hampir seluruh masyarakat agrikultur, dan pada periode
modern awal, kemunculan kapitalisme Eropa terkait erat dengan
perkembangan-perkembangan ekonomi di Asia. Ingat juga bahwa
sampai ke pemahaman bahwa bangsa Eropa memiliki modal
yang jauh di bawah China, Muslim, dan India.
Meskipun demikian, dalam sistem sosiopolitik China, India,
dan dunia Islam, kredit hanya memainkan peran sekunder. Para
pedagang dan bankir di pasar-pasar Istanbul, Isfahan, Delhi,
dan Beijing mungkin saja punya pikiran yang sejalan dengan
kaum kapitalis, tetapi raja-raja dan para jenderal di istana-istana
dan benteng-benteng cenderung meremehkan pemikiran para
pedagang dan saudagar. Sebagian besar imperium non-Eropa
pada era modern awal didirikan oleh para penakluk besar seperti
Nurhaci dan Nader Shah, atau oleh elite birokrat dan militer
seperti pada imperium Qing dan Ottoman. Pendanaan perang
melalui pajak dan perampasan (tanpa membuat pembedaan
yang jelas antara keduanya), tak banyak bergantung pada sistem
kredit, dan mereka bahkan kurang peduli terhadap bunga para
bankir dan investor.
Di Eropa, di sisi lain, raja-raja dan para jenderal pelan-pelan
mengadopsi cara berpikir para saudagar, sampai para pedagang
dan bankir menjadi elite kekuasaan. Penaklukan Eropa atas dunia
semakin didanai melalui kredit ketimbang pajak, dan semakin
diarahkan oleh kaum kapitalis yang ambisi utamanya adalah
mendapatkan imbal hasil maksimum dari investasi mereka.
Imperium-imperium yang dibangun oleh para bankir dan saudagar
bermantel dan bertopi tinggi mengalahkan imperium-imperium
yang dibangun oleh raja-raja dan kaum bangsawan berbaju emas
dan persenjataan mengilap. Imperium-imperium saudagar lebih
lihai dalam mendanai penaklukan-penaklukan. Tak ada orang yang
ingin membayar pajak, tetapi setiap orang senang berinvestasi.
Pada 1484, Christopher Columbus mendekati Raja Portugal
dengan proposal agar dia mendanai satu armada yang akan
berlayar ke arah barat untuk mencari rute perdagangan baru
menuju Asia Timur. Eksplorasi-eksplorasi semacam itu adalah
bisnis yang sangat berisiko dan mahal. Banyak uang yang
dibutuhkan untuk membangun kapal, membeli pasokan, dan
membayar para pelaut serta tentara—dan tidak ada jaminan
bahwa investasi itu akan membawa imbal hasil. Raja Portugal
menolak.
Seperti pengusaha startup masa kini, Columbus tidak
menyerah. Dia bawa idenya ke investor potensial di Italia,
Prancis, Inggris, dan Portugal. Dia selalu ditolak. Dia kemudian
mengadu keberuntungannya dengan Ferdinand dan Isabella,
penguasa Spanyol yang baru tersatukan. Dia memanfaatkan
sejumlah pelobi berpengalaman, dan dengan bantuan mereka
dia berhasil meyakinkan Ratu Isabella untuk berinvestasi. Seperti
setiap anak sekolah yang tahu, Isabella menang lotre. Penemuanpenemuan Columbus memungkinkan orang-orang Spanyol
menaklukkan Amerika, tempat mereka mendirikan tambang emas
dan perak, selain perkebunan-perkebunan tebu dan tembakau
yang memperkaya raja-raja, para bankir, dan pedagang-pedagang
Spanyol di luar impian mereka yang paling liar sekalipun.
Seratus tahun kemudian, para pangeran dan bankir bersedia
memperbesar kredit ke para penerus Columbus, dan mereka
mendapatkan modal lebih besar, berkat harta benda yang diboyong dari Amerika. Sama pentingnya, para pangeran dan
bankir memiliki kepercayaan lebih besar pada potensi eksplorasi,
dan lebih bersedia ikut ambil bagian dengan uang mereka. Inilah
lingkaran ajaib kapitalisme imperium: kredit mendanai penemuanpenemuan baru; penemuan-penemuan menghasilkan kolonikoloni; koloni-koloni menyediakan keuntungan; keuntungan
membangun kepercayaan; dan kepercayaan menjelma menjadi
lebih banyak kredit. Nurhaci dan Nader Shah kehabisan bahan
bakar setelah beberapa ribu kilometer. Para pengusaha kapitalis
hanya menaikkan momentum finansial mereka dari penaklukan
ke penaklukan.
Tetap saja, ekspedisi-ekspedisi ini adalah untung-untungan
sehingga pasar kredit bagaimanapun tetap berhati-hati. Banyak
ekspedisi yang kembali ke Eropa dengan tangan hampa, tidak
menemukan apa pun yang bernilai. Inggris, misalnya, membuangbuang banyak modal dalam upaya sia-sia untuk menemukan jalur
barat laut ke Asia melalui Arktik. Banyak ekspedisi lain malah
tidak kembali sama sekali. Kapal-kapal menabrak gunung es,
karam dalam badai tropis, atau menjadi korban pembajak. Dalam
rangka meningkatkan jumlah investor potensial dan mengurangi
risiko yang harus ditanggung, orang-orang Eropa berpaling ke
perusahaan-perusahaan saham bersama liabilitas terbatas. Bukan
dengan satu investor tunggal yang mempertaruhkan seluruh
uangnya untuk sebuah kapal reot, perusahaan saham bersama
mengumpulkan uang dari banyak investor, masing-masing hanya
menanggung porsi kecil risiko modal. Dengan demikian, risikorisiko itu dikurangi, tetapi tidak ada pajak pada penghasilan.
Bahkan, satu investasi kecil di kapal yang tepat bisa membuat
Anda menjadi seorang miliuner.
Dekade demi dekade, Eropa Barat menyaksikan perkembangan
sistem finansial yang canggih yang bisa menggalang kredit dalam
jumlah besar dengan pemberitahuan singkat dan menempatkannya
di tangan pengusaha-pengusaha privat dan pemerintah. Sistem ini
bisa mendanai eksplorasi-eksplorasi serta penaklukan-penaklukan
jauh lebih efisien ketimbang kerajaan atau imperium mana pun.
Kekuatan kredit yang baru ditemukan itu bisa dilihat dalam
pertarungan sengit antara Spanyol dan Belanda. Pada abad ke16, Spanyol adalah negara paling kuat di Eropa, menguasai satu
imperium global yang sangat luas. Ia menguasai banyak bagian
Eropa, bagian-bagian besar Amerika Utara dan Selatan, Kepulauan
Filipina, dan segaris basis sepanjang pesisir Afrika dan Asia.
Setiap tahun, armada-armada yang penuh muatan harta Amerika
dan Asia kembali ke pelabuhan-pelabuhan Seville dan Cadiz.
Belanda, waktu itu, adalah sebuah rawa kecil berangin, tanpa
sumber daya alam, sebuah sudut dari dominion raja Spanyol.
Pada 1568 Belanda, yang kebanyakan Protestan, memberontak
melawan penguasa Katolik Spanyol. Pada mulanya para
pemberontak tampak memainkan peran Don Quixote, yang
dengan berani memerangi musuh imajiner. Namun, dalam 80
tahun, Belanda tidak semata-mata mengamankan kemerdekaan
dari Spanyol, tetapi juga berhasil menggantikan orang-orang
Spanyol dan sekutunya, Portugis, sebagai penguasa lautan, untuk
membangun imperium global Belanda, dan menjadi negara
terkaya di Eropa.
Rahasia sukses Belanda adalah kredit. Para penduduk kota
Belanda, yang kurang berpengalaman dalam urusan perang di
darat, menyewa tentara bayaran untuk memerangi Spanyol.
Orang-orang Belanda sendiri, sementara itu, turun ke laut
dalam armada-armada yang lebih besar. Tentara bayaran dan
armada-armada bermoncong meriam memang sangat mahal,
tetapi Belanda sanggup mendanai ekspedisi-ekspedisi militer
mereka lebih mudah daripada si raksasa Imperium Spanyol
karena mereka mendapatkan kepercayaan dari sistem finansial
Eropa yang sudah tumbuh pada saat raja Spanyol secara ceroboh
justru meruntuhkan kepercayaan sistem itu kepadanya. Para
pemodal menyalurkan kredit cukup besar kepada Belanda
untuk membentuk angkatan perang dan armada, dan kedua
hal itu memberi Belanda kontrol atas jalur-jalur perdagangan
dunia, yang pada gilirannya menghasilkan keuntungan besar.
Keuntungan-keuntungan itu memungkinkan Belanda membayar
kembali utang-utangnya, yang semakin memperkuat kepercayaan
para pemodal. Amsterdam dengan cepat menjadi bukan hanya
salah satu pelabuhan paling penting di Eropa, melainkan juga
Mekkah, finansialnya benua itu.
Bagaimana sesungguhnya Belanda bisa meraih kepercayaan
dari sistem finansial? Pertama-tama, mereka ngotot untuk bisa
membayar utang pada waktunya dan lunas sehingga memperbesar
kredit menjadi kurang berisiko di mata para pemberi pinjaman.
Kedua, sistem yudisial mereka menikmati independensi dan
melindungi hak-hak privat—secara khusus hak-hak properti
privat. Rembesan-rembesan modal menjauh dari negara-negara
diktator yang gagal membela individu-individu privat dan properti
mereka. Jadi, modal mengalir ke negara-negara yang menjunjung
tinggi tertib hukum dan properti privat.
Bayangkan Anda seorang putra dari keluarga pemodal
Jerman yang solid. Ayah Anda melihat sebuah peluang untuk
mengekspansi bisnis dengan membuka cabang-cabang di kota-kota
besar Eropa. Dia mengirim Anda ke Amsterdam dan adik lakilaki Anda ke Madrid, memberi masing-masing 10.00 koin emas
untuk diinvestasikan. Adik Anda meminjamkan modal startupnya dengan bunga kepada raja Spanyol, yang membutuhkannya
untuk membesarkan angkatan perang demi memerangi raja
Prancis. Anda memutuskan untuk meminjamkan modal ke seorang
pedagang Belanda, yang ingin berinvestasi di semak belukar di
ujung selatan sebuah pulau terpencil bernama Manhattan, yakin
bahwa nilai properti itu akan meroket seperti Sungai Hudson
berubah menjadi arteri perdagangan besar. Kedua pinjaman itu
harus dibayar kembali dalam setahun.
Setahun berlalu. Pedagang Belanda menjual pulau yang dia
beli dengan keuntungan besar dan membayar uang Anda dengan
bunganya yang dia janjikan. Ayah Anda senang. Namun, adik
Anda di Madrid cemas. Perang dengan Prancis berakhir baik
untuk raja Spanyol, tetapi dia kini menyibukkan diri dalam konflik
dengan orang-orang Turki. Dia membutuhkan setiap sen untuk
mendanai perang baru itu, dan berpikir ini jauh lebih penting
ketimbang membayar utang-utangnya. Adik Anda mengirim
surat ke istana dan meminta teman yang punya koneksi dengan
istana untuk turun tangan, tetapi tidak berhasil. Bukan hanya
tidak mendapatkan bunga yang dijanjikan, adik Anda bahkan
kehilangan modalnya. Ayah Anda tidak senangKini, urusannya semakin kacau karena raja mengirim
pejabat keuangan ke adik Anda untuk memberitahunya, tanpa
kesepakatan yang jelas, bahwa dia berharap menerima pinjaman
lagi dengan jumlah yang sama, segera. Adik Anda tak punya
uang lagi. Dia menulis ke Ayah Anda, berusaha membujuknya,
bahwa kali ini raja akan beres. Ayah iba pada si bungsu, dan
setuju dengan berat hati. Tambahan 10.000 koin emas lenyap
ke pundi Spanyol, dan tidak pernah kembali lagi. Sementara
itu di Amsterdam, keadaan semakin cerah. Anda memberi
pinjaman semakin banyak dan semakin banyak kepada para
pedagang Belanda, yang membayar utang cepat dan lunas.
Namun, keberuntungan Anda tidak bertahan terus tanpa batas.
Salah satu klien Anda punya firasat bahwa terompah kayu akan
menjadi demam fashion di Paris, dan meminta Anda pinjaman
untuk mendirikan toko besar alas kaki di ibu kota Prancis. Anda
memberinya pinjaman uang, tetapi sayang, terompah tidak cocok
untuk para perempuan Prancis, dan pedagang yang kecewa
itu tak mau melunasi utang. Ayah Anda marah, dan memberi
tahu kalian berdua kinilah saatnya mengirim pengacara. Adik
Anda melayangkan gugatan di Madrid melawan raja Spanyol,
sementara Anda melayangkan gugatan di Amsterdam melawan si
tukang sepatu kayu. Di Spanyol, pengadilan tunduk pada raja—
para hakim melayani kesenangannya dan takut dihukum kalau
mereka tidak menuruti kemauannya. Di Belanda, pengadilan
adalah cabang pemerintahan yang terpisah, tidak bergantung
pada para warga kota dan pangeran negara itu. Pengadilan di
Madrid menepis gugatan adik Anda, sedangkan pengadilan di
Amsterdam mendukung Anda dan memerintahkan pegadaian
aset-aset pedagang terompah untuk memaksanya membayar
utang. Ayah Anda mendapat pelajaran. Lebih baik melakukan
bisnis dengan para pedagang ketimbang dengan raja, dan lebih
baik melakukannya di Belanda ketimbang di Madrid.
Dan, penderitaan adik Anda belum selesai. Raja Spanyol
kepayahan butuh uang tambahan untuk membayar angkatan
perangnya. Dia yakin ayah Anda masih punya uang. Maka, dia
ciptakan tuduhan pengkhianatan terhadap adik Anda. Jadi, kalau
tidak bisa membawa segera 20.000 koin emas, dia dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah dan membusuk di sana sampai mati.
Ayah Anda punya uang cukup. Dia bayar tebusan untuk
putra kesayangannya, tetapi bersumpah tidak akan pernah
lagi berbisnis dengan Spanyol. Dia tutup cabang Madrid dan
merelokasi adik Anda ke Rotterdam. Dua cabang di Belanda
kini tampak benar-benar ide yang bagus. Dia mendengar bahwa
bahkan para kapitalis Spanyol menyelundupkan hasil usahanya
ke luar negeri. Mereka juga menyadari bahwa jika ingin uang
mereka tetap di tangan dan menggunakannya untuk mendapatkan
lebih banyak kekayaan, mereka lebih baik menginvestasikannya
di tempat yang menjaga tertib hukum dan tempat properti privat
dihormati—di Belanda, misalnya.
Dengan cara seperti itulah raja Spanyol mengikis kepercayaan
para investor pada saat yang sama ketika para pedagang
Belanda mendapatkan kepercayaan mereka. Dan, para pedagang
Belanda-lah—bukan negara Belanda—yang membangun
Imperium Belanda. Raja Spanyol tetap berusaha mendanai dan
mempertahankan penaklukan-penaklukan dengan menggalang
pajak tak populer dari penduduk yang sudah jengkel. Para
pedagang Belanda mendanai penaklukan-penaklukan dengan
mendapatkan pinjaman, dan semakin sering juga dengan menjual
saham-saham di perusahaan-perusahaan mereka, yang memberi
hak para pemegangnya untuk menerima porsi keuntungan
perusahaan. Para investor yang hati-hati, yang tidak sudi lagi
memberikan uangnya ke raja Spanyol, dan yang akan berpikir dua
kali untuk menaruk kredit ke pemerintah Belanda, dengan senang
hati menginvestasikan hartanya di perusahaan-perusahaan saham
bersama Belanda, yang menjadi penopang utama imperium baru.
Jika Anda berpikir sebuah perusahaan akan menghasilkan
keuntungan besar tetapi sudah menjual semua sahamnya, Anda
bisa membeli sebagian dari orang-orang yang memilikinya,
mungkin dengan harga lebih tinggi dari harga asalnya. Jika
Anda membeli saham dan pada kemudian hari mendapati bahwa
perusahaan itu sedang mengalami masa sulit, Anda bisa coba
mengurangi saham Anda dengan harga lebih rendah. Perdagangan
yang dihasilkan dari saham-saham perusahaan inilah yang kelak
menjelma menjadi bursa-bursa saham di kota-kota besar Eropa, tempat saham-saham perusahaan diperdagangkan.
Perusahaan saham bersama Belanda yang paling terkenal,
Vereenigde Oostindische Compagnie, atau disingkat VOC,
didirikan pada 1602, tepat saat Belanda menggulingkan kekuasaan
Spanyol dan dentuman artileri Spanyol masih bisa didengar tak
jauh dari benteng Amsterdam. VOC menggunakan uang yang
digalangnya dari penjualan saham untuk membangun kapal-kapal,
mengirimnya ke Asia, dan membawa pulang barang-barang dari
China, India, dan Indonesia. Perusahaan itu juga mendanai aksiaksi militer yang diambil oleh kapal-kapal perusahaan melawan
kompetitor dan pembajak. Akhirnya, uang VOC mendanai
penaklukan Indonesia.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Beriburibu pulaunya diperintah pada awal abad ke-17 oleh ratusan
kerajaan, kepangeranan, kesultanan, dan suku-suku. Ketika para
pedagang VOC pertama tiba di Indonesia pada 1603, tujuan
mereka semata-mata komersial. Namun, untuk mengamankan
kepentingan komersial mereka dan memaksimalkan keuntungan
para pemegang saham, para pedagang VOC mulai memerangi
penguasa-penguasa lokal yang mengenakan tarif tinggi, di samping
memerangi kompetitor-kompetitor Eropa. VOC mempersenjatai
kapal-kapal dagangnya dengan meriam; merekrut tentara bayaran
dari Eropa, Jepang, Italia, dan Indonesia; dan membangun
benteng-benteng serta melakukan pertempuran dan pengepungan
besar-besaran. Usaha ini mungkin kedengaran agak aneh bagi
kita, tetapi pada era modern awal, lazim perusahaan-perusahaan
menyewa tidak hanya tentara, tetapi juga para jenderal dan
laksamana, meriam serta kapal, dan bahkan satu angkatan
perang utuh. Masyarakat internasional menerima hal itu sebagai
kelaziman dan tidak terusik ketika sebuah perusahaan swasta
mendirikan sebuah imperium.
Pulau demi pulau jatuh ke tentara bayaran VOC dan satu
bagian besar Indonesia menjadi koloni VOC. VOC menguasai
Indonesia selama hampir 200 tahun. Baru pada 1800 negara
Belanda menjalankan kontrol atas Indonesia, menjadikannya satu
koloni nasional Belanda selama 150 tahun kemudianKini sebagian orang mengingatkan bahwa korporasi abad ke-
21 mengakumulasi kekuatan yang terlalu besar. Sejarah modern
awal menunjukkan betapa jauh akibatnya jika bisnis dibiarkan
memburu kepentingan mereka tanpa pengawasan.
Ketika VOC beroperasi di Samudra Hindia, perusahaan
Belanda West Indies Company, atau WIC, menjelajahi Atlantik.
Dalam rangka menguasai perdagangan di Sungai Hudson yang
penting itu, WIC membangun sebuah permukiman yang diberi
nama New Amsterdam di sebuah pulau di mulut sungai. Koloni
itu diancam oleh orang-orang Indian dan berkali-kali diserang
oleh Inggris, yang akhirnya dapat merebut koloni itu pada 1664.
Inggris mengubah namanya menjadi New York. Sisa-sisa tembok
yang dibangun WIC untuk mempertahankan koloni dari serangan
Indian dan Inggris kini diratakan menjadi jalan paling terkenal
di dunia—Wall Street.
Menjelang berakhirnya abad ke-17, rasa puas dan perangperang kontinental yang menguras dana menyebabkan Belanda
kehilangan tidak hanya New York, tetapi juga posisi mereka
sebagai mesin finansial dan imperium Eropa. Kekosongan itu
diperebutkan dengan sengit oleh Prancis dan Inggris. Mulamula Prancis tampak jauh lebih kuat. Ia lebih besar daripada
Inggris, lebih kaya, lebih banyak penduduknya, dan memiliki
angkatan perang yang lebih besar serta lebih berpengalaman.
Namun, Inggris berhasil meraih kepercayaan dari sistem finansial
sedangkan Prancis justru menunjukkan dirinya tidak berguna.
Perilaku bangsawan Prancis sangat jahat pada masa yang dikenal
sebagai Mississippi Bubble, krisis finansial terbesar abad ke-18
Eropa. Kisah itu juga dimulai dengan sebuah perusahaan saham
bersama yang membangun imperium.
Pada 1717 Mississippi Company, yang didirikan di Prancis,
bertolak untuk mengolonisasi lembah hilir Mississippi, mendirikan
kota New Orleans dalam proses itu. Untuk mendanai rencana
ambisius itu, perusahaan tersebut, yang memiliki koneksi bagus
di istana Raja Louis XV, menjual saham-sahamnya di bursa
saham Paris. John Law, direktur perusahaan, juga gubernur
bank sentral Prancis. Lebih dari itu, raja sudah menunjuknya
sebagai pengawas umum keuangan, sebuah jabatan yang kurang
lebih setara dengan apa yang dalam era modern disebut menteri
keuangan. Pada 1717 lembah hilir Mississippi menawarkan
beberapa daya tarik di samping rawa dan aligator, tetapi
Mississippi Company menyebarkan cerita-cerita tentang kekayaan
menakjubkan dan peluang-peluang tak terbatas. Kaum aristokrat
Prancis, para pengusaha dan masyarakat urban borjuis terhanyut
oleh fantasi-fantasi ini, dan harga saham Mississippi meroket.
Mula-mula, saham ditawarkan pada harga 500 livre selembar.
Pada 1 Agustus 1719, saham diperdagangkan pada harga 2.750
livre. Pada tanggal 30 Agustus, harganya bernilai 4.100 livre,
dan pada 4 September, harganya mencapai 5.000 livre. Pada
tanggal 2 Desember harga saham Mississippi menembus ambang
10.000 livre. Euforia melanda jalan-jalan Paris. Orang-orang
menjual semua harta bendanya dan mengambil pinjaman besar
dalam rangka membeli saham Mississippi. Setiap orang percaya
mereka bakal menemukan cara mudah untuk kaya.
Beberapa hari kemudian, kepanikan dimulai. Sebagian
spekulan menyadari bahwa harga-harga saham itu benar-benar
tidak realistis dan tidak akan langgeng. Mereka memperkirakan
bahwa sebaiknya segera menjual pada saat harga mencapai
puncak. Saat pasokan saham yang dijual naik, harganya pun
turun. Ketika para investor lain melihat harga turun, mereka
pun ingin keluar dengan cepat. Harga saham anjlok lebih dalam
sehingga terjadilah ‘salju longsor’. Dalam rangka menstabilkan
harga, bank sentral Prancis—atas arahan gubernurnya, John
Law—membeli saham-saham Mississippi, tetapi hal itu tak bisa
dilakukan terus-menerus. Akhirnya bank sentral pun kehabisan
uang. Ketika itu terjadi, sang pengawas umum keuangan, ya si
John Law tadi, mengotorisasi pencetakan banyak uang untuk
membeli lagi saham-saham Mississippi. Ini menempatkan seluruh
sistem keuangan Prancis dalam balon. Dan, bahkan sihir finansial
pun tak mampu menyelamatkannya. Harga saham Mississippi
anjlok dari 10.000 livre kembali ke harga 1.000 livre, dan
kemudian tumpas sama sekali; dan saham kehilangan seluruh
nilainya. Kali ini, bank sentral dan keuangan kerajaan memiliki
saham dalam jumlah besar tetapi tak bernilai dan tak punya
uang. Para spekulan besar bangkit tanpa cedera—mereka sudah menjualnya pada saat yang tepat. Para investor kecil kehilangan
segala-galanya, dan banyak yang melakukan bunuh diri.
Balon Mississippi adalah salah satu prahara finansial paling
spektakuler dalam sejarah. Sistem finansial Kerajaan Prancis tidak
pernah pulih seperti sediakala akibat pukulan itu. Cara Mississippi
Company menggunakan kekuatan politiknya untuk memanipulasi
harga saham dan mendorong kegilaan pembelian menyebabkan
publik kehilangan kepercayaan pada sistem perbankan Prancis
dan pada kebijaksanaan finansial raja Prancis. Louis XV semakin
kesulitan untuk menggalang kredit. Ini menjadi salah satu
penyebab utama Imperium Prancis di luar negeri jatuh ke tangan
Inggris. Sementara Inggris dengan mudah bisa meminjam dan
dengan bunga rendah, Prancis justru kesulitan mencari pinjaman,
dan harus membayar bunga tinggi untuk pinjaman itu. Dalam
rangka mendanai utang-utangnya yang tumbuh, raja Prancis
meminjam lebih banyak uang dengan bunga tinggi. Akhirnya,
pada 1780-an, Louis XVI, yang naik takhta setelah kematian
ayahnya, menyadari bahwa separuh dari anggaran tahunannya
terikat untuk mengatasi bunga pinjamannya, dan bahwa dia
menuju kebangkrutan. Dengan enggan, pada 1789, Louis XVI
membuka sidang Estates General, parlemen Prancis yang belum
pernah bersidang selama 1,5 abad, dalam rangka mencari solusi
atas krisis tersebut. Maka, dimulailah Revolusi Prancis.
Sementara imperium Prancis di luar sedang runtuh, Imperium
Inggris justru berkembang pesat. Seperti Imperium Belanda yang
mendahuluinya, Imperium Inggris didirikan dan digerakkan
terutama oleh perusahaan-perushaan saham bersama yang berbasis
di bursa saham London. Permukiman pertama Inggris di Amerika
Utara didirikan pada awal abad ke-17 oleh perusahaan-perusahaan
saham bersama seperti London Company, Plymouth Company,
Dorchester Company, dan Massachusetts Company.
Anak benua India juga ditaklukkan bukan oleh negara
Inggris, melainkan oleh tentara bayaran British East India
Company. Perusahaan ini bahkan mengungguli VOC. Dari markas
besarnya di Leadenhall Street, London, ia menguasai imperium
raksasa India selama sekitar satu abad, menempatkan kekuatan
militer besar sampai 350.000 tentara, yang jelas di atas jumlah
angkatan perang kerajaan Inggris. Baru pada 1858 Kerajaan
Inggris menasionalisasi India bersamaan dengan angkatan perang
perusahaan swasta itu. Napoleon meledek Inggris, menyebutnya
sebuah negara pemilik toko. Namun, para pemilik toko ini
mengalahkan Napoleon, dan imperium mereka menjadi yang
terbesar yang pernah ada di dunia.
Atas Nama Modal
Nasionalisasi Indonesia oleh Kerajaan Belanda (1800) dan
India oleh Kerajaan Inggris (1858) hampir mustahil mengakhiri
penyatuan kapitalisme dan imperium. Sebaliknya, hubungan
malah semakin kuat pada abad ke-19. Perusahaan-perusahaan saham bersama tidak lagi perlu mendirikan dan mengelola kolonikoloni privat—para manajer dan pemegang saham besarnya
kini menggenggam kekuasaan di London, Amsterdam, dan
Paris, dan mereka bisa mengikutkan negara demi kepentingan
mereka sendiri. Seperti yang digerutukan para pengritik Marxis
dan Sosialis lainnya, pemerintahan-pemerintahan Barat menjadi
sebuah persatuan perdagangan kapitalis.
Contoh paling nyata kejahatan pemerintah dalam percaturan
uang besar adalah Perang Opium Pertama antara Inggris dan
China (1840–1842). Pada separuh pertama abad ke-19, British
East India Company dan beragam kalangan bisnis Inggris
mengadu nasib dengan ekspor obat bius, terutama opium, ke
China. Jutaan orang China kecanduan sehingga melemahkan
China secara ekonomi maupun sosial. Pada akhir 1830-an
pemerintah China mengeluarkan larangan penyelundupan obat
bius, tetapi para pedagang obat bius Inggris mengabaikan begitu
saja undang-undang itu. Pemerintah China mulai menyita dan
menghancurkan kargo-kargo obat bius. Kartel-kartel obat bius
memiliki koneksi dekat di Westminster dan Downing Street—
banyak anggota parlemen dan menteri kabinet bahkan memiliki
saham di perusahaan-perusahaan obat bius—jadi mereka menekan
pemerintah untuk mengambil tindakan.
Pada 1840 Inggris pun mendeklarasikan perang terhadap
China atas nama “perdagangan bebas”. Inggris mencapai
kemenangan mudah. China yang terlalu percaya diri bukanlah
tandingan bagi persenjataan baru Inggris yang hebat—kapal uap,
artileri berat, roket, dan senapan tembak-rapat. Berdasarkan
perjanjian damai yang dicapai sesudahnya, China setuju untuk
tidak menghalangi aktivitas para pedagang obat bius Inggris dan
membayar kompensasi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh
polisi China. Lebih dari itu, Inggris meminta dan diberi kontrol
atas Hong Kong, yang kemudian digunakan sebagai pangkalan
untuk penyelundupan obat bius (Hong Kong tetap di tangan
Inggris sampai 1997). Pada akhir abad ke-19, sekitar 40 juta
orang China, sepersepuluh dari populasi negara itu, kecanduan
opium.3
Mesir juga belajar untuk menghormati tangan kapitalisme Inggris. Pada abad ke-19, para investor Prancis dan Inggris
meminjamkan uang dalam jumlah besar ke para penguasa Mesir,
pertama-tama dalam rangka mendanai proyek Terusan Suez,
kemudian untuk mendanai usaha-usaha yang kurang berhasil.
Utang Mesir membengkak, dan para kreditur Eropa semakin
merasuk ke dalam urusan Mesir. Pada 1881 kalangan nasionalis
Mesir tak tahan lagi dan memberontak. Mereka mendeklarasikan
abrogasi sepihak seluruh utang asing. Ratu Victoria tidak senang.
Setahun kemudian dia mengirim angkatan darat bersana angkatan
laut ke Nil, dan Mesir tetap menjadi protektorat Inggris sampai
setelah Perang Dunia Kedua.
Bukan hanya itu saja perang-perang yang berkecamuk demi
kepentingan para investor. Malah, perang itu sendiri bisa menjadi
sebuah komoditas, seperti opium. Pada 1821 Yunani memberontak
melawan Imperium Ottoman. Pergolakan membangkitkan simpati
besar di kalangan liberal dan romantik di Inggris—Lord Briton,
sang penyair, bahkan pergi ke Yunani untuk ikut berperang
bersama para pemberontak. Namun, para cukong London melihat
sebuah peluang juga. Mereka mengajukan kepada para pemimpin
pemberontak penerbitan Obligasi Pemberontakan Yunani di
bursa saham Inggris. Orang Yunani berjanji membayar obligasi
itu, plus bunganya, jika dan kalau mereka meraih kemerdekaan.
Para investor membeli obligasi-obligasi untuk mendapat
keuntungan, atau dari simpati untuk perjuangan Yunani, atau
keduanya. Nilai Obligasi Pemberontakan Yunani naik-turun di
bursa saham London sesuai dengan sukses atau gagalnya militer
di arena pertempuran Hellas. Orang-orang Turki pelan-pelan
meraih keunggulan. Dengan mendekatnya kekalahan pihak
pemberontak, para pemegang obligasi menghadapi prospek
kerugian investasi. Kepentingan para pemegang obligasi menjadi
kepentingan nasional sehingga Inggris mengorganisasi sebuah
armada internasional yang, pada 1827, menenggelamkan armada
utama Ottoman di Pertempuran Navarino. Setelah berabad-abad
menjadi jajahan, Yunani akhirnya merdeka. Namun, kemerdekaan
datang bersama utang besar yang harus ditanggung oleh negara
baru itu. Ekonomi Yunani digadaikan untuk para kreditur Inggris
selama puluhan tahun kemudian.
Pelukan ala beruang antara modal dan politik membawa
implikasi yang sangat jauh bagi pasar kredit. Jumlah kredit dalam
sebuah ekonomi (negara) ditentukan tidak hanya oleh faktorfaktor yang murni ekonomi, seperti penemuan ladang minyak
baru atau penemuan sebuah mesin baru, tetapi juga oleh peristiwaperistiwa politik, seperti pergantian rezim atau kebijakankebijakan politik yang lebih ambisius. Setelah Pertempuran
Navarino, kaum kapitalis Inggris lebih sudi menginvestasikan
uang mereka dalam transaksi-transaksi berisiko di luar negeri.
Mereka sudah melihat bahwa jika seorang pengutang asing
menolak untuk membayar pinjamannya, angkatan perang Yang
Mulia Tuan Putri akan mengambilkan kembali uang itu.
Inilah mengapa peringkat kredit sebuah negara saat ini jauh
lebih penting bagi kebaikan ekonomi ketimbang sumber daya
alamnya. Peringkat kredit mengindikasikan probabilitas bahwa
sebuah negara akan membayar kembali utang-utangnya. Selain
data-data yang murni ekonomi, mereka mempertimbangkan
faktor-faktor politik, sosial, dan bahkan kultural. Sebuah negara
kaya minyak yang dikutuk dengan sebuah pemerintahan lalim,
peperangan endemik, dan sistem yudisial korup biasanya akan
mendapat peringkat kredit rendah. Akibatnya, sangat mungkin
negara itu akan tetap miskin karena tidak akan mampu
menggalang modal yang diperlukan untuk memperoleh manfaat
terbesar dari karunia minyaknya. Sebuah negara tanpa sumber
daya alam, tetapi menikmati kedamaian, sistem yudisial yang
adil dan pemerintahan yang bebas berkemungkinan mendapat
peringkat kredit tinggi. Yang seperti itu bisa menggalang modal
cukup murah untuk menopang sistem pendidikan yang bagus
dan memperkuat industri berteknologi tinggi yang subur.
Kultus Pasar Bebas
Modal dan politik saling memengaruhi pada tingkat hingga
hubungan mereka diperdebatkan sangat panas oleh para
ekonom, politisi, dan publik umum sekaligus. Kaum kapitalis
yang gandrung cenderung berpandangan bahwa modal harus
bebas memengaruhi politik, tetapi politik tidak boleh dibiarkan
untuk memengaruhi modal. Mereka berpandangan bahwa ketika
pemerintah mengintervensi pasar, kepentingan-kepentingan
politik menyebabkan mereka melakukan investasi-investasi yang
tidak bijak, yang menghasilkan pertumbuhan rendah. Misalnya,
sebuah pemerintah mungkin memberlakukan pajak berat pada
kalangan industrialis dan menggunakan uang itu untuk memberi
manfaat mewah bagi pengangguran, yang populer di mata
pemilih. Dalam pandangan banyak orang bisnis, akan jauh lebih
bagus jika pemerintah menyerahkan uang kepada mereka. Mereka
akan menggunakannya, demikian klaimnya, untuk membuka
pabrik-pabrik baru dan mempekerjakan para pengangguran.
Dalam pandangan ini kebijakan ekonomi yang paling
bijak adalah menjauhkan politik dari ekonomi, mengurangi
pajak dan regulasi pemerintah pada tingkat minimum, dan
membiarkan kekuatan pasar leluasa menempuh jalan mereka.
Investor-investor privat, yang tak terbebani oleh pertimbanganpertimbangan politik, akan menginvestasikan uang mereka ke
tempat yang memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan
terbesar, maka cara untuk memastikan pertumbuhan ekonomi
paling tinggi—yang akan memberi manfaat bagi setiap orang, para industrialis dan para buruh—adalah pemerintah melakukan
sesedikit mungkin hal.
Doktrin pasar bebas ini kini menjadi varian paling umum dan
paling berpengauh dari kredo kapitalis. Para pendukung paling
antusias pasar bebas mengkritisi petualangan-petualangan militer
di luar negeri, mendorong sebanyak mungkin program-program
kesejahteraan di dalam negeri. Mereka menasihati pemerintah
dengan nasihat para guru Zen: pokoknya jangan lakukan apa pun.
Akan tetapi, dalam bentuknya yang ekstrem, keyakinan pada
pasar bebas sama naifnya dengan keyakinan pada Sinterklas.
Tidak ada sama sekali yang namanya pasar bebas dari bias politik.
Sumber daya ekonomi yang paling penting adalah kepercayaan
pada masa depan, dan sumber daya ini terus terancam oleh para
pencuri dan penipu. Pasar sendiri menawarkan proteksi terhadap
kecurangan, pencurian, dan kekerasan. Tugas sistem politiklah
untuk memastikan kepercayaan dengan legislasi sanksi terhadap
kecurangan dan menegakkan dan mendukung kekuatan polisi,
pengadilan, dan penjara yang memperkuat hukum. Ketika raja
tidak mau melakukan tugasnya dan meregulasi pasar dengan
benar, maka yang terjadi adalah kehilangan kepercayaan, susutnya
kredit, dan depresi ekonomi. Itulah pelajaran yang diajarkan oleh
Balon Mississippi pada 1719, dan siapa pun yang melupakannya
akan diingatkan oleh balon perumahan Amerika Serikat pada
2007, dan kepastian situasi genting bagi kredit dan resesi.
Neraka Kapitalis
Ada alasan yang lebih fundamental mengapa berbahaya
memberi pasar jalan yang bebas total. Adam Smith mengajarkan
bahwa pembuat sepatu harus menggunakan surplusnya untuk
mempekerjakan asisten lagi. Ini berimplikasi bahwa keserakahan
egoistis bermanfaat bagi semua karena keuntungan dimanfaatkan
untuk memperbesar produksi dan mempekerjakan lebih banyak
pegawai.
Akan tetapi, apa yang terjadi jika pembuat sepatu yang
rakus menaikkan keuntungannya dengan membayar buruh lebih rendah dan menaikkan jam kerja mereka? Jawaban standarnya
adalah bahwa pasar bebas akan melindungi para pegawainya.
Jika pembuat sepatu kita membayar terlalu kecil dan menuntut
terlalu banyak, para pegawai terbaik secara alamiah akan
meninggalkannya dan pergi untuk bekerja ke kompetitornya.
Pembuat sepatu tiran itu akan ditinggal bersama para buruh
terburuk, atau tanpa buruh sama sekali. Dia akan terpaksa
memperbaiki jalannya atau keluar dari bisnis. Keserakahan akan
memaksanya memperlakukan para buruhnya dengan baik.
Secara teori ini kedengaran antipeluru, tetapi dalam
praktiknya peluru bisa menembus dengan mudah. Dalam sebuah
pasar yang benar-benar bebas, para raja dan pendeta tanpa
supervisi, kaum kapitalis tamak bisa menciptakan monopoli atau
berkolusi melawan para buruh mereka. Jika ada satu korporasi
tunggal yang menguasai semua pabrik sepatu di sebuah negara,
atau jika semua pemilik pabrik berkonspirasi untuk menurunkan
upah secara serempak, maka buruh tidak lagi mampu melindungi
diri dengan pindah kerja.
Bahkan lebih buruk, bos-bos yang tamak bisa membatasi
kebebasan bergerak buruh melalui sistem kerja sewa atau
perbudakan. Pada akhir Abad Pertengahan, perbudakan
hampir tak dikenal di Eropa Kristen. Pada periode modern
awal, kapitalisme Eropa muncul bergandengan tangan dengan
munculnya perdagangan budak Atlantik. Kekuatan pasar tanpa
hambatan, bukan raja-raja tiran atau ideolog-ideolog rasis,
bertanggung jawab atas bencana ini.
Ketika bangsa Eropa menaklukkan Amerika, mereka membuka
tambang-tambang emas dan perak dan mendirikan perkebunan
tebu, tembakau, dan kapas. Tambang dan perkebunan menjadi
tulang punggung produksi dan ekspor Amerika. Perkebunan
tebu terutama yang paling penting. Pada Abad Pertengahan,
gula adalah kemewahan yang langka di Eropa. Gula diimpor
dari Timur Tengah dengan harga selangit dan digunakan secara
hemat sebagai bahan rahasia dalam makanan lezat dan digunakan
oleh tukang obat jalanan. Setelah perkebunan-perkebunan besar
tebu diadakan di Amerika, maka semakin banyak gula sampai
ke Eropa. Harga gula turun dan kegandrungan Eropa pada gula pun berkembang. Para pengusaha memenuhi kebutuhan ini
dengan memproduksi banyak sekali makanan manis: kue, kue
kering, cokelat, permen, dan minuman bergula seperti kakao,
kopi, dan teh. Konsumsi gula rata-rata orang Inggris naik dari
hampir nol pada awal abad ke-17 menjadi 8 kilogram pada
awal abad ke-19.
Akan tetapi, menanam tebu dan mengekstraksi gula adalah
bisnis padat karya. Tak banyak orang yang mau bekerja berjamjam di ladang-ladang tebu yang dipenuhi malaria di bawah
terik Matahari tropis. Buruh-buruh kontrak terlalu mahal untuk
mendorong konsumsi massal. Sensitif pada kekuatan pasar, dan
rakus untuk meraih keuntungan dan pertumbuhan ekonomi, para
pemilik perkebunan Eropa pun beralih ke perbudakan.
Dari abad ke-16 sampai ke-19, sekitar 10 juta budak Afrika
diimpor ke Amerika. Sekitar 70 persen dari mereka bekerja di
perkebunan tebu. Kondisi para buruh paksa itu mengerikan.
Sebagian besar budak hidup singkat dan menderita, dan jutaan
lainnya mati dalam perang yang dilancarkan untuk menangkapi
budak-budak atau saat perjalanan panjang dari pedalaman Afrika
ke pesisir-pesisir Amerika. Dengan semua inilah bangsa Eropa
bisa menikmati teh manis dan permen—dan para baron tebu
bisa menikmati keuntungan besar.
Perdagangan budak tidak dikontrol oleh negara atau
pemerintahan mana pun. Itu semua murni usaha ekonomi,
yang diorganisasi dan didanai oleh pasar bebas menurut hukum
persediaan dan permintaan. Perusahaan-perusahaan perdagangan
budak menjual saham di bursa saham Amsterdam, London,
dan Paris. Kelas menengah Eropa yang mencari investasi bagus
membeli saham-saham ini. Mengandalkan uang ini, perusahaanperusahaan membeli kapal-kapal, menyewa pelaut dan tentara,
membeli budak-budak di Afrika, dan mengangkut mereka ke
Amerika. Di sana mereka menjual budak-budak itu kepada
para pemilik perkebunan, yang menggunakan hasilnya untuk
membeli produk-produk perkebunan seperti tebu, kakao, kopi,
tembakau, kapas, dan arak. Mereka kembali ke Eropa, menjual
gula dan kapas dengan harga tinggi, kemudian berlayar ke
Afrika untuk memulai babak baru. Para pemegang saham sangat
senang dengan pengaturan ini. Dalam abad ke-18, imbal hasil
dari investasi perdagangan budak sekitar 6 persen setahun—luar
biasa menguntungkan, demikian konsultan modern mana pun
pasti akan cepat mengakuinya.
Inilah titik lemah dari olesan kapitalisme pasar bebas. Ia
tidak bisa menjamin keuntungan didapat dengan cara yang adil,
atau terdistribusi dengan cara yang adil. Sebaliknya, nafsu untuk
menaikkan keuntungan dan produksi membutakan orang pada
apa pun yang menghalanginya. Ketika pertumbuhan menjadi
kebaikan tertinggi, tak dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan
etik apa pun, ia bisa dengan mudah menuju bencana. Sebagian
agama, seperti Kristen dan Nazisme, telah membunuh jutaan
orang akibat kebencian yang membara. Kapitalisme telah
membunuh jutaan orang akibat kejamnya ketimpangan yang
bersatu dengan keserakahan. Perdagangan budak Atlantik berakar
dari kebencian rasis terhadap orang Afrika. Individu-individu
yang membeli saham, para pialang yang menjualnya, dan para
manajer perusahaan perdagangan budak jarang berpikir tentang
Afrika. Demikian pula para pemilik perkebunan tebu. Banyak
pemilik yang hidup jauh dari perkebunan mereka, dan satusatunya informasi yang mereka minta hanyalah pembukuan rapi
keuntungan dan kerugian.
Penting untuk diingat bahwa perdagangan budak Atlantik
bukanlah satu-satunya penyimpangan yang tercatat. Kelaparan
Besar Bengal, yang dibahas pada bab terdahulu, disebabkan oleh
dinamika serupa—British East India Company lebih peduli pada
keuntungannya ketimbang pada hidup 10 juta rakyat Bengal.
Kampanye militer VOC d Indonesia didanai oleh warga kota
Belanda yang mencintai anak-anak mereka, memberi sedekah
ke lembaga amal, dan menikmati musik yang bagus dan seni
indah, tetapi tak punya kepedulian pada penderitaan para
penduduk Jawa, Sumatra, dan Malaka. Tak terhitung kejahatan
dan perbuatan pidana yang menyertai pertumbuhan ekonomi
modern di bagian-bagian lain Bumi.
Abad ke-19 tidak membawa perbaikan apa pun dalam hal etika
kapitalisme. Revolusi Industri yang melanda Eropa memperkaya
para bankir dan pemilik modal, tetapi menjerumuskan jutaan
buruh ke dalam kesengsaraan hidup. Di koloni-koloni Eropa
keadaan bahkan lebih buruk. Pada 1876, Raja Leopold II
dari Belgia mendirikan sebuah organisasi kemanusiaan nonpemerintah dengan tujuan yang dinyatakan untuk mengeksplorasi
Afrika Tengah dan memerangi perdagangan budak di sepanjang
Sungai Kongo. Organisasi itu juga ditugasi memperbaiki kondisi
penduduk wilayah tersebut dengan membangun jalan-jalan,
sekolah-sekolah, dan rumah sakit-rumah sakit. Pada 1885,
kekuatan-kekuatan Eropa setuju memberi organisasi ini kontrol
atas wilayah 2,3 juta kilometer di daerah lembah Kongo. Teritori
ini, 70 kali ukuran Belgia, kemudian dikenal sebagai Negara
Bebas Kongo. Tak ada yang meminta opini dari 20 sampai 30
juta penduduk teritori itu.
Dalam waktu singkat organisasi kemanusiaan itu menjadi
usaha bisnis yang tujuan riilnya adalah pertumbuhan dan
keuntungan. Sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit
dilupakan, dan lembah Kongo diisi dengan pertambangan dan
perkebunan, dijalankan sebagian besar oleh para pejabat Belgia
yang dengan sembrono mengeksploitasi penduduk setempat.
Industri karet sangat jahat. Karet dengan cepat menjadi pokok
industri, dan ekspor karet menjadi sumber pendapatan paling
penting Kongo. Desa-desa Afrika yang mengumpulkan karet
diwajibkan menyediakan kuota yang lebih tinggi dan lebih
tinggi. Yang tidak mau menyerahkan kuotanya dihukum secara
brutal karena “kemalasan” mereka. Tangan mereka dipenggal
dan terkadang penduduk satu desa dibantai. Menurut perkiraan
yang paling moderat, antara 1885 sampai 1908, pengejaran
pertumbuhan dan keuntungan menewaskan 6 juta orang
(sekurang-kurangnya 20 persen dari populasi Kongo). Sebagian
estimasi menyebut angka 10 juta kematian.4
Setelah tahun 1908, dan terutama setelah 1945, keserakahan
kapitalis surut, sebagian akibat ketakutan pada Komunisme.
Namun, ketimpangan masih tetap merajalela. Pai ekonomi tahun
2013 jauh lebih besar ketimbang tahun 1500, tetapi painya kini
terdistribusi begitu timpang sehingga banyak petani Afrika dan
buruh-buruh Indonesia pulang ke rumah setelah seharian bekerja
dengan lebih kekurangan makanan dibandingkan dengan para
leluhur mereka 500 tahun sebelumnya. Sangat mirip dengan
Revousi Agrikultur, demikian pula pertumbuhan ekonomi modern
bisa berubah menjadi kecurangan kolosal. Spesies manusia dan
ekonomi global mungkin akan tetap tumbuh, tetapi lebih banyak
individu yang hidup dalam kelaparan dan kemelaratan.
Kapitalisme punya dua jawaban untuk kritik ini. Pertama,
kapitalisme telah menciptakan sebuah dunia yang tak seorang
pun kecuali seorang kapitalis mampu menjalankannya. Satusatunya upaya serius untuk mengelola dunia secara berbeda—
Komunisme—malah jauh lebih buruk dalam hampir setiap hal
yang bisa dilihat sehingga tak seorang pun punya nyali untuk
mencobanya lagi. Pada tahun 8500 SM orang bisa menangis lebih
pedih karena Revolusi Agrikultur, tetapi sudah terlalu terlambat
untuk meninggalkan agrikultur. Demikian pula, kita mungkin
tidak menyukai kapitalisme, tetapi kita tidak bisa hidup tanpanya.
Jawaban kedua adalah bahwa kita hanya butuh lebih sabar—
surga, demikian kaum kapitalis berjanji, sudah sangat dekat.
Benar, kesalahan-kesalahan telah dibuat, seperti perdagangan
budak Atlantik dan eksploitasi kelas pekerja Eropa. Namun,
kita sudah mendapatkan pelajaran, dan jika kita mau menunggu
sedikit lebih lama lagi dan membiarkan kue tumbuh sedikit
lebih besar, setiap orang akan mendapatkan bagian yang lebih
besar. Pembagian kue tidak akan pernah bisa disetarakan, tetapi
akan cukup untuk memuaskan setiap laki-laki, perempuan, dan
anak-anak—bahkan di Kongo.
Memang, ada tanda-tanda positif. Paling tidak ketika kita
menggunakan kriteria-kriteria yang murni material—seperti
angka harapan hidup, mortalitas anak, dan asupan kalori—
standar kehidupan rata-rata manusia pada 2013 secara signifikan
lebih tinggi ketimbang pada 1913, terlepas dari pertumbuhan
eksponensial pada jumlah manusia.
Meskipun demikian, bisakah pai ekonomi tumbuh tak
terbatas? Setiap pai membutuhkan bahan baku dan energi. Para
nabi kiamat memperingatkan bahwa cepat atau lambat Homo
sapiens akan kehabisan bahan baku dan energi planet Bumi.
Dan, apa yang akan terjadi saat itu?
Ekonomi modern tumbuh berkat kepercayaan kita pada masa
depan dan kesediaan kaum kapitalis menginvestasikan kembali
keuntungan mereka pada produksi. Namun, itu tidak cukup.
Pertumbuhan ekonomi juga membutuhkan energi dan bahan
baku, dan semua ini terbatas. Jika dan kalau habis, seluruh
sistem akan runtuh.
Akan tetapi, bukti yang diberikan oleh masa lalu adalah
bahwa keterbatasan bahan baku dan energi itu hanya ada dalam
teori. Secara berlawanan dengan intuisi, sementara pemakaian
energi dan bahan baku oleh manusia merebak dalam beberapa
abad terakhir ini, jumlah yang tersedia untuk eksploitasi
sesungguhnya meningkat. Setiap kali kelangkaan satu di antara
dua itu mengancam akan memperlambat pertumbuhan ekonomi,
investasi mengalir ke riset saintifik dan teknologi. Secara beragam
ini menghasilkan tidak hanya cara-cara yang lebih efisien dalam
mengeksploitasi sumber daya yang ada, tetapi juga jenis energi
dan bahan baku yang sama sekali baru.
Perhatikanlah industri kendaraan. Dalam 300 tahun terakhir
ini, manusia sudah membuat miliaran kendaraan—dari pedati
dan gerobak, sampai kereta api, mobil, jet supersonik sampai
pesawat ulang-alik. Orang mungkin berekspektasi bahwa upaya
luar biasa semacam itu akan menguras habis sumber energi
dan bahan baku yang tersedia untuk produksi kendaraan, dan
bahwa kini kita akan mengais dasar barel. Namun, yang terjadi
justru sebaliknya. Kalau pada tahun 1700 industri kendaraan
global bergantung terutama pada kayu dan besi, kini tersedia
melimpah bahan-bahan yang baru ditemukan seperti plastik,
karet, aluminium, dan titanium, yang tak satu pun dikenal oleh para leluhur kita. Kalau pada 1700 pedati-pedati dibuat
terutama dengan kekuatan otot tukang kayu dan pandai besi,
kini mesin-mesin di pabrikan Toyota dan Boeing digerakkan
dengan mesin pengapian bahan bakar minyak dan pembangkit
listrik tenaga nuklir. Revolusi serupa juga melanda hampir semua
bidang industri. Kita sebut ini Revolusi Industri.
Selama milenium sebelum Revolusi Industri, manusia sudah
tahu bagaimana memanfaatkan banyak ragam sumber energi.
Mereka membakar kayu untuk melebur besi, memanaskan rumah,
dan memanggang kue. Kapal-kapal layar memanfaatkan kekuatan
angin untuk bergerak ke sana ke mari, dan kincir air menangkap
aliran sungai untuk menggiling biji-bijian. Meskipun demikian,
semua ini memiliki batas-batas dan persoalan-persoalan yang
jelas. Pepohonan tidak tersedia di setiap tempat, dan angin tidak
selalu berembus ketika Anda membutuhkannya, dan kekuatan
air hanya berguna kalau Anda tinggal dekat sungai.
Masalah yang lebih besar adalah bahwa orang tidak tahu cara
mengubah satu jenis energi menjadi jenis energi lain. Mereka bisa
memanfaatkan gerakan angin dan air untuk kapal-kapal layar
dan mendorong batu giling, tetapi tidak untuk memanaskan air
dan melebur besi. Sebaliknya, mereka tidak bisa menggunakan
energi panas yang dihasilkan dengan membakar kayu untuk
menggerakkan batu giling. Manusia hanya punya satu mesin
yang bisa melakukan trik-trik pengubahan energi semacam itu:
tubuh. Dalam proses metabolisme alamiah, tubuh manusia dan
binatang lain membakar energi organik yang dikenal sebagai
makanan dan mengubah energi yang dilepas itu menjadi gerak
otot-otot. Laki-laki, perempuan, dan binatang bisa mengonsumsi
biji-bijian dan daging, membakar karbohidrat dan lemak mereka,
dan menggunakan energi untuk mengayun gergaji atau menarik
bajak.
Karena tubuh manusia dan hewan adalah satu-satunya alat
konversi energi yang tersedia, kekuatan otot merupakan kunci bagi
hampir semua aktivitas manusia. Otot-otot manusia membangun
pedati dan rumah, otot-otot sapi membajak ladang, dan otototot kuda mengangkut barang. Energi yang menggerakkan
mesin-mesin otot organik ini pada dasarnya berasal dari satu sumber tunggal—tumbuhan. Tumbuhan sendiri mendapatkan
energinya dari Matahari. Melalui proses fotosintesis, tumbuhan
menangkap energi Matahari dan mengemasnya menjadi zat-zat
organik. Hampir semua hal yang dilakukan orang dalam sejarah
digerakkan oleh energi Matahari yang ditangkap oleh tumbuhan
dan dikonversi menjadi kekuatan otot.
Sebagai akibatnya, sejarah manusia didominasi oleh dua
siklus: siklus pertumbuhan tumbuhan dan perubahan siklus
energi Matahari (siang dan malam, musim panas dan musim
dingin). Ketika sinar Matahari jarang dan ketika ladang-ladang
gandum masih hijau, manusia memiliki hanya sedikit energi.
Lumbung-lumbung kosong, para pengumpul pajak menganggur,
tentara kesulitan bergerak dan bertempur, dan raja-raja cenderung
menjaga kedamaian. Ketika Matahari bersinar terang dan gandum
matang, para petani memanen tanaman dan mengisi lumbunglumbung. Para pengumpul pajak bergegas mengambil bagian
mereka. Para tentara melenturkan otot-otot dan menajamkan
pedang-pedang mereka. Para raja mengumpulkan anggota
dewan dan merencanakan kampanye berikutnya. Setiap orang
digerakkan oleh energi Matahari—yang ditangkap dan dikemas
dalam gandum, beras, dan kentang.
Rahasia di Dalam Dapur
Dalam milenium yang panjang ini, hari demi hari berlalu, orangorang berdiri berhadap-hadapan dengan penemuan paling penting
dalam sejarah produksi energi—dan gagal memperhatikannya.
Energi itu menatap mereka langsung setiap kali seorang istri
atau memantu menaruh cerek untuk merebus air untuk teh atau
menaruh panci penuh kentang di atas tungku. Saat air mendidih,
tutup cerek atau panci melompat. Panas dikonversi menjadi gerak.
Namun, tutup panci yang melompat adalah sebuah gangguan,
terutama jika Anda melupakan panci di atas tungku dan air
mendidih sampai habis. Tak seorang pun melihat potensi riilnya.
Satu terobosan parsial dalam mengonversi panas menjadi gerak
hadir setelah penemuan bubuk mesiu pada abad ke-9 di China.
Mula-mula, ide menggunakan bubuk mesiu untuk mendorong proyektil begitu kurang menarik sehingga selama berabad-abad
bubuk mesiu digunakan terutama untuk menghasilkan bom api.
Namun, akhirnya—mungkin setelah sebagian ahli bom menaruh
bubuk mesiu dalam sebuah mortir dan mendapati alu terlontar
dengan kekuatan—hadirlah senjata. Sekitar 600 tahun berlalu
antara penemuan bubuk mesiu dan pengembangan artileri yang
efektif.
Bahkan saat itu, ide mengonversi panas menjadi gerak tetap
sangat jauh dan asing bagi intuisi sehingga dibutuhkan tiga
abad lagi sebelum orang menemukan mesin berikutnya yang
menggunakan panas untuk menggerakkan benda. Teknologi
baru itu lahir di pertambangan batubara Inggris. Saat populasi
Inggris membengkak, hutan-hutan ditebangi untuk menggerakkan
ekonomi yang tumbuh dan membuka jalan bagi hadirnya rumahrumah dan ladang-ladang. Inggris pun semakin kekurangan kayu
bakar. Batubara mulai dibakar sebagai penggantinya. Banyak
lapisan batubara berada di area berawa, dan banjir menghalangi
para penambang menuju tingkatan tambang yang lebih rendah.
Itu problem yang butuh solusi. Sekitar tahun 1700, sebuah suara
asing mulai bergema di lubang-lubang tambang Inggris. Suara
itu—sang perintis Revolusi Industri—mula-mula subtil, tetapi
menjadi semakin keras dan semakin keras setiap dekade berlalu
hingga membungkus seluruh dunia dalam suatu hiruk pikuk yang
memekakkan telinga. Bunyi itu keluar dari mesin uap.
Ada banyak jenis mesin uap, tetapi semuanya memiliki
kesamaan prinsip. Anda membakar suatu jenis bahan bakar,
seperti batubara, dan menggunakan panas yang dihasilkan untuk
merebus air, menghasilkan uap. Saat uap membesar, ia mendorong
piston. Piston bergerak, dan segala sesuatu yang terhubung
dengan piston itu bergerak bersamanya. Anda mengonversi
panas menjadi gerak! Di pertambangan batubara Inggris abad
ke-18, piston terhubung dengan sebuah pompa yang menarik
air dari dasar sumur tambang. Mesin-mesin paling awal sangat
tidak efisien. Anda perlu membakar batubara dalam jumlah
besar walaupun hanya untuk memompa keluar sangat sedikit
air. Namun, dalam pertambangan, batubara sangat banyak dan
mudah didapat sehingga tak ada orang yang peduli.
Dalam beberapa dekade sesudahnya, para pengusaha Inggris
memperbaiki efisiensi mesin uap, membawanya keluar dari
sumur-sumur tambang, dan menghubungkannya dengan alat
pemintal kapas. Ini merevolusi produksi tekstil, memungkinkan
untuk menghasilkan kuantitas yang lebih besar tekstil murah.
Dalam sekejap mata, Inggris menjadi bengkel dunia. Namun,
yang lebih penting lagi, membawa keluar mesin uap dari
pertambangan memecahkan sebuah hambatan psikologis yang
penting. Jika Anda bisa membakar batubara untuk menggerakkan
alat pemintal, mengapa tidak menggunakan metode yang sama
untuk menggerakkan benda-benda lain, seperti kendaraan?
Pada 1825, seorang insinyur Inggris menghubungkan satu
mesin uap ke satu rangkaian gerbong kereta penuh batubara.
Mesin itu menarik gerbong-gerbong di sepanjang rel besi sekitar
20 kilometer dari pertambangan ke pelabuhan terdekat. Inilah
lokomotof bertenaga uap pertama dalam sejarah. Jelas, jika uap
bisa digunakan untuk mengangkut batubara, mengapa tidak
barang-barang lain? Dan, mengapa bukan orang sekalian? Pada
15 September 1830, jalur kereta api komersial pertama dibuka,
menghubungkan Liverpool dengan Manchester. Kereta-kereta
itu bergerak dengan kekuatan uap yang sama yang sebelumnya
memompa air dan menggerakkan pemintal tekstil. Hanya dalam
kurun waktu 20 tahun kemudian, Inggris memiliki ribuan
kilometer jalur kereta api.1
Oleh karena itu, orang-orang menjadi terobsesi dengan ide
bahwa alat dan mesin bisa digunakan untuk mengonversi satu
jenis energi menjadi energi lain. Setiap jenis energi, di mana
pun di dunia, bisa dimanfaatkan untuk apa pun kebutuhan
yang kita punya, jika kita bisa menemukan peralatan yang tepat.
Misalnya, ketika para ahli fisika menyadari bahwa jumlah besar
energi tersimpan dalam atom, mereka segera mulai berpikir
tentang bagaimana energi ini bisa dikeluarkan dan digunakan
untuk menghasilkan listrik, menggerakkan kapal selam, dan
melenyapkan kota-kota. Enam ratus tahun berlalu antara saat
para ahli kimia China menemukan bubuk mesiu dan saat
meriam Turki meluluhlantakkan dinding-dinding Konstantinopel.
Hanya 40 tahun berlalu antara saat Einstein memastikan bahwa setiap jenis massa bisa dikonversi menjadi energi—itulah yang
dimaksud dengan rumus E = mc2—dan saat bom atom meratakan
Hiroshima dan Nagasaki dan stasiun-stasiun pembangkit listrik
merebak di seluruh dunia.
Penemuan penting lainnya adalah mesin dengan pembakaran
internal, yang butuh waktu lebih dari satu generasi untuk
merevolusi transportasi manusia dan mengubah minyak menjadi
kekuatan politik likuid. Minyak sudah dikenal selama ribuan
tahun, dan digunakan untuk membuat lapisan atap anti air dan
melumasi as. Namun, sampai seabad lalu tak seorang pun berpikir
ia berguna untuk lebih banyak hal dari itu. Ide menumpahkan
darah demi minyak tampak menggelikan. Anda bisa berperang
demi tanah, emas, lada, atau budak, tetapi tidak untuk minyak.
Karier listrik lebih mengejutkan lagi. Dua abad lalu listrik
tak punya peran sama sekali dalam ekonomi, dan digunakan
paling banter untuk eksperimen saintifik rahasia dan trik-trik
sulap murahan. Serangkaian penemuan mengubahnya menjadi
jin universal kita dalam sebuah lampu. Kita jentikkan jari dan
ia bisa mencetak buku, menjahit pakaian, menjaga sayur-sayuran
kita segar, dan es krim tetap membeku, memasak makan malam
kita, dan mengeksekusi penjahat, menyimpan isi pikiran dan
senyum kita, menyemarakkan malam dan menghibur kita dengan
acara-acara televisi yang tak terhitung jumlahnya. Sedikit dari kita
yang memahami betapa listrik melakukan semua hal ini, tetapi
bahkan lebih sedikit yang bisa membayangkan hidup tanpanya.
Sebuah Samudra Energi
Pada intinya, Revolusi Industri adalah sebuah revolusi konversi
energi. Ia menunjukkan lagi dan lagi bahwa tidak ada batas
jumlah energi yang kita miliki. Atau, lebih tepat lagi, bahwa
satu-satunya batas ditentukan oleh ketidaktahuan kita. Setiap
beberapa dekade kita menemukan satu sumber energi baru
sehingga jumlah total energi yang ada pada kita terus bertambah.
Mengapa begitu banyak orang takut kita akan kehabisan
energi? Mengapa mereka memperingatkan bencana jika kita
kehabisan semua minyak fosil yang tersedia? Jelas dunia tidak
kekurangan energi. Yang kurang hanyalah pengetahuan yang
dibutuhkan untuk memanfaatkan dan mengubahnya sesuai dengan
kebutuhan kita. Jumlah energi yang tersimpan dalam semua
minyak fosil di Bumi tak berarti apa-apa dibandingkan jumlah
yang ditebarkan Matahari setiap hari, gratis. Hanya proporsi
mungil dari energi Matahari yang mencapai kita, tetapi jumlahnya
3.766.800 exajoule energi setiap tahun (1 joule adalah satu
satuan energi dalam sistem metrik, sekitar jumlah yang Anda
butuhkan untuk mengangkat sebuah apel setinggi 1 meter; satu
exajoule adalah 1 miliar joule—betapa banyak apel yang bisa
diangkat).2
Seluruh tumbuhan di dunia menangkap hanya sekitar
3.000 dari seluruh exajoule tadi melalui proses fotosintesis.3
Seluruh aktivitas manusia dan industri digabung mengonsumsi
sekitar 500 exajoule setiap tahun, setara dengan jumlah energi
yang diterima Bumi dari Matahari hanya dalam 90 menit.4
Dan,
itu baru energi Matahari. Selain itu, kita dikelilingi oleh sumber
energi besar, seperti energi nuklir dan energi gravitasi, yang
disebut belakangan ini paling nyata dalam kekuatan gelombang
laut yang disebabkan oleh gravitasi Bulan pada Bumi.
Menjelang Revolusi Industri, pasar energi manusia hampir
seluruhnya bergantung pada tumbuhan. Orang hidup bersama
cadangan energi hijau yang membawa 3.000 exajoule setahun, dan
berusaha memompa sebanyak mungkin energinya. Dalam Revolusi
Industri, kita akhirnya menyadari bahwa kita sesungguhnya hidup
bersama satu samudra besar energi, samudra yang membawa
miliaran miliar exajoules energi potensial. Yang kita butuhkan
hanyalah menemukan pompa-pompa yang lebih baik.
Belajar bagaimana memanfaatkan dan mengonversi energi
secara efektif memecahkan masalah lain yang melambatkan
pertumbuhan ekonomi—kelangkaan bahan baku. Ketika manusia
berusaha mencari cara memanfaatkan energi murah dalam
jumlah besar, mereka bisa mulai mengeksploitasi cadangancadangan bahan baku yang sebelumnya tak bisa diakses (misalnya,
penambangan besi di tanah kosong Siberia), atau mengangkut
bahan baku dari lokasi yang lebih jauh (misalnya, memasok
mesin pemintal tekstil Inggris dengan wol Australia). Secara simultan, terobosan-terobosan saintifik memungkinkan manusia
menciptakan bahan baku yang sama sekali baru, seperti plastik,
dan penemuan bahan alami yang sebelumnya tak dikenal, seperti
silikon dan aluminium.
Para ahli kimia baru menemukan aluminium pada 1820-
an, tetapi pemisahan logam dari bijihnya benar-benar sulit dan
mahal. Selama beberapa dekade, aluminium jauh lebih mahal
dari emas. Pada 1860-an, Kaisar Napoleon III dari Prancis
memerintahkan peralatan makan aluminium disediakan untuk
para tamu yang paling istimewa. Sedangkan tamu-tamu yang
kurang penting harus makan dengan pisau-pisau dan garpugarpu emas.5
Namun, pada akhir abad ke-19, para ahli kimia
menemukan cara untuk mengekstrak aluminium murah dalam
jumlah besar, dan produksi global saat ini berada pada angka 30
juta ton per tahun. Napoleon tentu akan terkejut kalau mendengar
para keturunan rakyatnya menggunakan aluminium foil murah
sekali pakai untuk membungkus roti isi dan membuangnya di
tempat-tempat sampah.
Dua ribu tahun lalu, ketika orang-orang di dataran
Mediterania menderita kulit kering, mereka mengoleskan minyak
zaitun pada tangan mereka. Kini, mereka membuka tube krim
tangan. Di bawah ini adalah daftar kandungan sebuah krim
tangan modern sederhana yang saya beli di toko lokal:
air deionisasi, asam stearat, gliserin, kaprilat/kaprat trigliserida,
propilen glikol, isopropil miristat, ekstrak akar ginseng paax, aroma,
setil alkohol, trietanolamin, dimeticone, ekstrak daun arctostaphylos
uva-ursi, magnesium ascorbyl fosfat, imidazolidinyl urea, metil
paraben, kamper, propil paraben, hidroksisohexil 3-sikloheksena
carboxaldehyde, hidroxicitronellal, linalol butifenil metiproponal,
citronenellol, limonene, geraniol.
Hampir semua kandungan ini diciptakan atau ditemukan dalam
dua abad terakhir.
Pada Perang Dunia Pertama, Jerman mengalami blokade dan
menderita kekurangan bahan baku parah, terutama potasium
nitrat, unsur yang penting dalam bubuk mesiu dan bahan-bahan
peledak lain.
Sebagian besar cadangan potasium nitrat ada di Chile dan
India; di Jerman tidak ada sama sekali. Benar, potasium nitrat bisa
digantikan dengan amonia, tetapi itu mahal juga untuk diproduksi.
Untungnya bagi Jerman, salah satu warganya, seorang ahli kimia
Yahudi bernama Fritz Haber, telah menemukan pada 1908 proses
untuk memproduksi amonia yang secara harfiah berarti keluar
udara tipis. Ketika perang pecah, orang Jerman menggunakan
temuan Haber untuk mulai memproduksi bahan peledak dengan
menggunakan udara sebagai bahan baku. Sebagian ahli meyakini
bahwa kalau bukan karena hasil penemuan Haber, Jerman akan
terpaksa menyerah jauh sebelum November 1918.6
Penemuan itu
membuat Haber (yang dalam perang itu memelopori penggunaan
gas beracun dalam perang) meraih Hadiah Nobel pada 1918 di
bidang kimia, bukan perdamaian.
Kehidupan pada Sabuk Pengukur
Revolusi Industri menghasilkan satu kombinasi yang belum
pernah ada sebelumnya, energi murah berlimpah dan bahan
baku murah berlimpah. Hasilnya adalah ledakan produktivitas
manusia. Ledakan itu terasa mula-mula dan paling utama di
pertanian. Biasanya, ketika kita berpikir tentang Revolusi Industri,
kita berpikir tentang sebuah lanskap urban dengan cerobongcerobong asap, atau penderitaan para penambang batubara yang
dieksploitasi, berkeringat di dalam usus-usus Bumi. Namun, yang
paling tepat, Revolusi sejatinya adalah Revolusi Agrikultur Kedua.
Dalam 200 tahun terakhir, metode-metode produksi industri
menjadi penopang utama pertanian. Mesin-mesin seperti traktor
mulai menjalankan tugas yang sebelumnya dilakukan oleh
kekuatan otot atau tidak dilakukan sama sekali. Ladang-ladang
dan binatang-binatang menjadi jauh lebih produktif berkat
pupuk-pupuk buatan, insektisida industri, dan segenap persediaan
hormon dan medikasi. Kulkas, kapal, dan pesawat terbang
memungkinkan untuk menyimpan produk selama berbulan-bulan,
dan mengangkutnya dengan cepat dan murah ke sisi lain dunia.
Bangsa Eropa mulai makan daging sapi segar dari Argentina
dan sushi Jepang.
Bahkan, tumbuhan dan binatang dimekanisasi. Sekitar masa
ketika Homo sapiens terangkat ke status ilahiah oleh agamaagama humanis, binatang-binatang kebun tidak lagi dipandang
sebagai makhluk hidup yang bisa merasakan sakit dan tertekan,
dan diperlakukan sebagai mesin-mesin. Kini binatang-binatang
tersebut sering diproduksi secara massal dalam fasilitas-fasilitas
seperti pabrik, tubuh mereka dibentuk menurut kebutuhankebutuhan industri. Mereka menjalani seluruh kehidupannya
sebagai roda-roda dalam satu mesin produksi raksasa, dan lama
serta kualitas eksistensi mereka ditentukan oleh keuntungan dan
kerugian korporasi bisnis. Sekalipun ketika industri peduli untuk
menjaga mereka tetap hidup, sehat, dan diberi makan secara
layak, ia tak punya kepentingan intrinsik pada kebutuhan sosial
dan psikologis binatang (kecuali ketika ini semua punya dampak
langsung pada produksi).
Ayam petelur, misalnya, memiliki alam perilaku kebutuhan
dan dorongan yang rumit. Mereka punya hasrat kuat untuk
mengelilingi lingkungannya, berkeliaran dan mematuk-matuk ke
mana-mana, menentukan hierarki sosial, membangun sarang, dan
kawin sendiri. Namun, industri telur sering mengunci ayam-ayam
itu dalam kandang-kandang mini, dan tidak jarang empat ayam
berdesak-desakan dalam satu kandang, masing-masing diberi
satu ruang lantai sekitar dua puluh lima kali dua puluh lima
sentimeter. Ayam-ayam itu menerima makanan yang cukup, tetapi
mereka tidak mampu mengklaim teritori, membangun sarang,
atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas alamiah. Malah, kandang
terlalu kecil sehingga ayam-ayam itu sering bahkan tidak bisa
mengepakkan sayap mereka atau berdiri tegak.
Babi adalah termasuk mamalia paling pintar dan paling ingin
tahu, mungkin kedua di bawah kera besar. Namun, peternakan
babi yang sudah diindustrialisasi secara rutin mengurung babibabi betina yang sedang menyusui dalam kerangkeng-kerangkeng
kecil sehingga mereka secara harfiah tidak bisa berbalik (apalagi
berjalan atau berkeliaran). Babi-babi betina itu dikerangkeng
siang-malam selama empat pekan setelah melahirkan. Keturunan
mereka kemudian dijauhkan untuk digemukkan dan babi-babi betina itu dibuat bunting lagi dengan rombongan babi-babi
jantan muda berikutnya.
Banyak sapi perah menjalani seluruh tahun hidup yang sudah
dijatah untuk mereka dalam kurungan kecil; berdiri, duduk,
dan tidur bersama air kencing dan kotoran mereka sendiri.
Mereka menerima asupan makanan, hormon, dan obat-obatan
dari seperangkat mesin. Sapi di tengah diperlakukan tak lebih
dari satu mulut penerima bahan baku dan sebuah kantung
yang memproduksi komoditas. Memperlakukan makhluk hidup
yang memiliki alam emosional kompleks seakan-akan mesin
kemungkinan menyebabkan mereka tidak nyaman bukan hanya
secara fisik, melainkan juga secara sosial dan psikologis menjadi
stres dan frustrasi.Sebagaimana perdagangan budak Atlantik tidak muncul dari
kebencian terhadap bangsa Afrika, begitu pula industri binatang
modern tidak dimotivasi oleh permusuhan. Lagi-lagi, ini didorong
oleh ketidaksetaraan. Sebagian besar orang yang menghasilkan
dan mengonsumsi telur, susu, dan daging jarang berhenti sejenak
untuk memikirkan nasib ayam, sapi, atau babi yang daging dan
emisinya mereka makan. Mereka yang memikirkannya pun sering
berpendapat bahwa binatang-binatang seperti itu benar-benar
tak jauh beda dengan mesin, tak punya sensasi dan emosi, tak
mampu menderita. Ironisnya, disiplin-disiplin saintifik yang
sama yang membentuk mesin-mesin susu, mesin petelur, sudah
menunjukkan keraguan di luar nalar bahwa mamalia dan unggas
memiliki susunan sensori dan emosional yang kompleks. Mereka
tidak hanya merasakan sakit secara fisik, tetapi juga menderita
dari tekanan emosional.
Psikologi evolusi menjelaskan bahwa kebutuhan emosional
dan sosial binatang ternak berevolusi di alam liar, ketika mereka
menjadi penting untuk survival dan reproduksi. Misalnya, seekor
sapi liar harus tahu cara menjalin hubungan dekat dengan sapisapi betina lain dan sapi-sapi jantan, atau kalau tidak, mereka
tidak akan bertahan dan bisa bereproduksi. Dalam rangka
mempelajari keterampilan-keterampilan yang diperlukan itu,
evolusi menanamkan pada anak-anak sapi—sebagaimana pada
binatang muda dari seluruh mamalia sosial lainnya—hasrat kuat
untuk bermain (bermain adalah cara belajar perilaku sosial bagi
mamalia). Dan, hasrat bermain itu ditanamkan pada mereka dan
bahkan dorongan lebih kuat untuk lengket bersama induknya,
yang susu dan perawatannya penting bagi kehidupan mereka.
Apa yang terjadi jika para peternak mengambil anak sapi,
memisahkan dari induknya, menempatkannya di kandang tertutup,
memberinya makanan, air dan obat untuk mencegah penyakit,
dan kemudian, ketika ia sudah cukup tua, menginseminasinya
dengan sperma sapi jantan? Dari perspektif objektif, anak sapi
itu tidak lagi membutuhkan kedekatan material atau teman main
dalam rangka bertahan hidup dan bereproduksi. Namun, dari
perspektif subjektif, anak sapi tetap merasakan dorongan sangat
kuat untuk dekat dengan induknya dan bermain dengan anak-anak sapi lainnya. “Jika dorongan-dorongan itu tak dipenuhi, anak
sapi itu sangat menderita. Inilah pelajaran dasar dari psikologi
evolusi; sebuah kebutuhan yang dibentuk di alam liar terus
dirasakan secara subjektif sekalipun ia tidak lagi benar-benar
perlu untuk survival dan reproduksi. Tragedi agrikultur industrial
adalah ia menaruh kepedulian besar pada kebutuhan-kebutuhan
objektif binatang, tetapi mengabaikan kebutuhan-kebutuhan
objektif mereka.
Kebenaran teori ini sudah diketahui paling tidak sejak
1950-an, ketika psikolog Amerika Harry Harlow mempelajari
perkembangan kera. Harlow memisahkan kera-kera bayi dari
induknya beberapa jam setelah kelahiran. Kera-kera itu diisolasi
dalam kerangkeng-kerangkeng, kemudian dibesarkan oleh indukinduk buatan. Satu induk buatan dibuat dari kawat-kawat logam,
dan dipasangi botol susu, yang dari sana kera bayi bisa menetek.
Induk buatan lain dibuat dari kayu yang dilapisi pakaian, yang
menyerupai induk kera sesungguhnya, tetapi tak disediakan
bahan asupan apa pun. Diasumsikan bahwa bayi-bayi itu akan
bergelayut di induk logam, bukan induk kayu yang berpakaian.
Harlow terkejut, bayi-bayi kera menunjukkan secara jelas
pilihannya pada induk berpakaian, menghabiskan sebagian
besar waktu bersamanya. Ketika kedua induk ditempatkan
berdekatan, bayi-bayi kera berpegangan pada induk berpakaian
bahkan saat mereka menjangkau untuk menetek susu dari
induk logam. Harlow mencurigai bahwa mungkin bayi-bayi
itu berbuat demikian karena mereka kedinginan. Maka, dia
memasang gelombang elektrik di dalam induk logam, yang kini
mengeluarkan panas. Sebagian besar kera, kecuali yang paling
muda, terus memilih induk berpakaian.
Riset lanjutan menunjukkan bahwa kera-kera yatim Harlow
tumbuh menjadi kera yang rapuh secara emosional walaupun
sudah mendapatkan seluruh asupan yang dibutuhkan. Mereka
tidak pernah cocok dalam masyarakat kera, menghadapi kesulitan
berkomunikasi dengan kera-kera lain, dan menderita kecemasan
dan agresi tingkat tinggi. Kesimpulan itu tak terelakkan: kera-kera
itu pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan dan hasrat psikologis
yang melampaui kebutuhan-kebutuhan material mereka, dan jika semua ini tak dipenuhi, mereka akan sangat menderita. Beberapa
dekade kemudian, sejumlah studi menunjukkan kesimpulan itu
tidak hanya berlaku pada kera, tetapi juga pada mamalia dan
unggas. Saat ini, jutaan binatang peternakan mengalami kondisi
yang sama sebagaimana kera-kera Harlow karena para peternak
secara rutin memisahkan anak-anak sapi, anak-anak binatang
lain dari induknya, untuk dibesarkan dalam isolasiSecara keseluruhan, miliaran binatang ternak hidup saat
ini sebagai bagian dari mesin mekanisasi, dan sekitar 10 miliar
dari mereka dibantai setiap tahun. Metode-metode peternakan
industrial ini menyebabkan kenaikan tajam produksi agrikultur
dan cadangan makanan manusia. Berdamai dengan mekanisasi
penanaman tumbuhan, industrial peternakan hewan menjadi
basis bagi seluruh tatanan sosio-ekonomi modern. Sebelum
industrialisasi pertanian, sebagian besar makanan yang diproduksi
di ladang-ladang dan peternakan “dihabiskan”, memberi makan
para petani dan binatang-binatang peternakan. Hanya sebagian
kecil saja yang tersedia untuk dimakan para seniman, guru,
pendeta, dan birokrat. Akibatnya, pada hampir semua masyarakat,
petani merupakan 90 persen populasi. Setelah industrialisasi
pertanian, petani yang jumlahnya menyusut cukup untuk
memberi makan pegawai dan tenaga pabrik yang jumlahnya
terus tumbuh. Kini di Amerika Serikat, hanya dua persen
populasi menggantungkan hidup dari pertanian, tetapi yang dua
persen ini menghasilkan cukup makanan bukan hanya untuk
seluruh populasi Amerika Serikat, melainkan juga mengekspor
surplusnya ke seluruh dunia.9
Tanpa industrialisasi pertanian,
Revolusi Industri urban tidak akan pernah bisa terjadi—tidak
akan ada tenaga dan otak yang cukup untuk mengawaki pabrik
dan kantor-kantor.
Saat pabrik-pabrik dan kantor-kantor itu menyerap
miliaran tenaga dan otak yang dilepas dari ladang, mereka
mulai mengalirkan limpahan produk yang tak pernah terjadi
sebelumnya. Manusia kini memproduksi lebih banyak baja,
membuat lebih banyak pakaian, dan membangun lebih banyak
bangunan ketimbang sebelumnya. Selain itu, mereka menghasilkan
banyak sekali barang-barang yang sebelumnya tak terbayangkan,
seperti bola lampu, ponsel, kamera, dan mesin cuci piring. Untuk
kali pertama dalam sejarah manusia, pasokan mulai melebihi
permintaan. Dan, sebuah problem yang sama sekali baru pun
muncul: siapa yang akan membeli semua barang ini?
Ekonomi kapitalis modern harus secara konstan meningkatkan
produksi jika ingin bertahan hidup, seperti seekor hiu yang
harus berenang atau mati lemas. Namun, berproduksi saja tidak
cukup. Seseorang harus juga membeli produk-produk, kalau tidak
para industrialis dan investor akan bangkrut. Untuk mencegah
bencana ini dan untuk memastikan bahwa orang-orang akan
selalu membeli apa pun barang baru yang dihasilkan industri,
sebuah jenis baru etika muncul: konsumerisme.
Sebagian besar orang sepanjang sejarah hidup di bawah
kondisi kelangkaan. Dengan demikian, penghematan menjadi
semboyan mereka. Etika kesederhanaan dari bangsa Puritan
dan Spartan adalah dua contoh yang terkenal. Orang yang
baik menghindari kemewahan, tidak pernah membuang-buang
makanan, dan mengenakan celana robek, ketimbang membeli
yang baru. Hanya raja dan bangsawan yang dibolehkan mengabaikan nilai-nilai semacam itu secara terbuka dan secara mencolok
memamerkan kekayaan mereka.
Konsumerisme memandang konsumsi lebih banyak produk
dan jasa adalah hal yang positif. Orang didorong untuk
memperlakukan diri, memanjakan diri, dan bahkan membunuh
diri pelan-pelan dengan konsumsi berlebihan. Kesederhanaan
adalah penyakit yang harus diobati. Anda tidak perlu mencari
terlalu jauh untuk melihat etika konsumeris beraksi—cukup baca
saja sisi belakang kotak sereal. Di sini ada kutipan dari sebuah
kardus salah satu sereal sarapan favorit saya, yang diproduksi
oleh sebuah firma Israel, Telma:
Sesekali Anda butuh dilayani. Sesekali Anda butuh sedikit energi
ekstra. Ada waktunya untuk memperhatikan berat badan Anda dan
waktu ketika Anda hanya harus mendapatkan sesuatu ... sekarang
juga! Telma menawarkan beragam sereal lezat hanya untuk Anda—
manjakan diri tanpa penyesalan.
Paket yang sama memampang iklan untuk merek sereal lain
yang dinamakan Health Treats:Health Treats menawarkan banyak biji-bijian, buah-buahan, dan
kacang-kacangan untuk sebuah pengalaman yang menggabungkan
citarasa, kenikmatan, dan kesehatan. Untuk kudapan yang nikmat
pada tengah hari, cocok untuk gaya hidup sehat. Kudapan riil dengan
citarasa luar biasa dari ....[penekanan dalam tulisan asli].
Hampir sepanjang sejarah, orang lebih mungkin menyingkir
ketimbang terpikat pada teks semacam itu. Mereka akan bekerja
sangat keras, dengan bantuan psikologi popular (“Just do it!”)
untuk meyakinkan orang bahwa kesibukan bagus untuk Anda,
sedangkan kesederhanaan adalah penindasan diri.
Iklan tersebut berhasil. Kita semua adalah konsumen yang
bagus. Kita membeli tak terhitung produk yang tidak bener-benar
kita butuhkan, dan bahwa sampai kemarin kita belum tahu itu
ada. Pabrikan dengan sengaja mendesain barang-barang jangka
pendek dan menciptakan model-model baru dan tak perlu dari
produk-produk yang memuaskan secara sempurna, yang harus
kita beli agar tetap “kekinian”. Belanja sudah menjadi favorit
masa lalu, dan barang-barang konsumsi sudah menjadi mediator
esensial dalam hubungan antara anggota-anggota keluarga,
pasangan-pasangan, dan sahabat-sahabat. Hari raya keagamaan
seperti Natal sudah menjadi perayaan belanja. Di Amerika
Serikat, bahkan Hari Berkabung—yang semula hari sendu untuk
mengenang para tentara yang gugur—kini menjadi kesempatan
untuk obral-obral spesial. Sebagian besar orang menandai hari
ini dengan pergi berbelanja, mungkin untuk membuktikan bahwa
para pembela kemerdekaan itu tidak mati sia-sia.
Merebaknya etika konsumerisme termanifestasi paling jelas
di pasar makanan. Masyarakat agrikultur tradisional hidup
dalam bayangan kelaparan yang mengerikan. Dalam dunia
yang berkelimpahan saat ini salah satu problem kesehatan yang
menonjol adalah obesitas, yang menyerang orang miskin (yang
menumpuk dalam tubuh mereka hamburger dan piza) bahkan
lebih parah ketimbang orang kaya (yang makan salad-salad
organik dan sari buah-buahan). Setiap tahun populasi Amerika
Serikat menghabiskan lebih banyak uang untuk produk diet
ketimbang yang dibutuhkan untuk memberi makan seluruh orang
lapar di belahan dunia lainnya. Obesitas adalah kemenangan
ganda bagi konsumerisme. Bukan sedikit makan yang bisa
menyebabkan kontraksi ekonomi, orang makan terlalu banyak
dan kemudian membeli produk-produk diet—melipatgandakan
kotribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Bagaimana kita bisa memadukan etika konsumeristik
dengan etika kapitalistik orang bisnis, yang menurut mereka
keuntungan tidak boleh disia-siakan, dan harus direinvestasi ke
produksi? Sederhana. Sebagaimana pada era-era sebelumnya,
kini ada pembagian tenaga antara elite dan massa. Dalam
Eropa abad pertengahan, kaum aristokrat menghabiskan uang
mereka secara sembrono pada kemewahan-kemewahan luar
biasa, sedangkan kaum petani menghabiskan uang mereka
secara hemat, menghitung setiap sen uangnya. Kini, tabelnya
berbalik. Orang kaya sangat peduli dalam mengelola aset-aset
dan investasi-investasi mereka, sedangkan yang tidak kaya terseret
utang untuk membeli mobil dan televisi yang sesungguhnya tidak
mereka butuhkan.
Etika kapitalis dan konsumeristis adalah dua sisi mata uang,
sebuah penggabungan dari dua firman. Firman tertinggi orang
kaya adalah “Investasikan!” Firman tertinggi golongan yang lain
adalah “Beli!”
Etika kapitalis-konsumeristik adalah revolusioner dalam
pengertian lain. Sebagian besar sistem etik sebelumnya menyodorkan ketentuan yang berat bagi masyarakat. Mereka
menjanjikan surga, tetapi hanya jika mereka menanam semangat
dan toleransi, mengatasi nafsu dan amarah, dan menahan diri
dari keinginan-keinginan egois. Ini terlalu berat bagi kebanyakan
orang. Sejarah etika adalah kisah sedih dari cita-cita luar biasa
yang tak seorang pun mampu menanggungnya. Sebagian besar
orang Kristen tidak meniru Kristus, sebagian besar orang Buddha
gagal mengikuti ajaran Buddha, dan sebagian orang Konfusian
pasti menyebabkan sang Konghucu naik pitam.
Sebaliknya, sebagian besar orang masa kini berhasil
hidup dengan cita-cita kapitalis-konsumeristik. Etika baru ini
menjanjikan surga pada kondisi yang orang kaya tetap rakus
dan menghabiskan waktu mereka untuk menghasilkan uang, dan massa memberi jalan bebas bagi nafsu dan hasrat mereka—dan
membeli lagi dan lagi. Inilah agama pertama dalam sejarah yang
para pengikutnya sesungguhnya melakukan apa yang diminta.
Namun, bagaimana kita bisa tahu bahwa kita benar-benar
mendapatkan surga sebagai imbalannya? Kita sudah melihatnya
di televisi.
Revolusi Industri membuka cara-cara baru untuk mengonversi
energi dan menghasilkan barang, terutama dalam membebaskan
manusia dari ketergantungannya pada ekosistem di sekitarnya.
Manusia menebangi hutan, mengeringkan rawa-rawa, membendung
sungai-sungai, membanjiri dataran, menghamparkan puluhan
ribu kilometer jalur kereta api, dan membangun metropolitan
pencakar langit. Saat dunia dicetak agar sesuai dengan kebutuhan
Homo sapiens, habitat-habitat dirusak dan spesies-spesies pun
punah. Planet kita yang dulu hijau dan biru berubah menjadi
pusat perbelanjaan berisi beton dan plastik.
Kini kontinen-kontinen Bumi dihuni hampir 7 miliar Sapiens.
Jika Anda mengambil semua orang ini dan menempatkannya pada
seperangkat timbangan besar, maka berat gabungan mereka akan
menjadi sekitar 300 juta ton. Jika Anda kemudian mengambil
semua binatang ternak domestikasi—sapi, babi, domba, dan
ayam—dan menempatkan semuanya pada timbangan yang lebih
besar lagi, berat mereka akan menjadi 700 juta ton. Sebaliknya,
berat seluruh binatang liar yang masih hidup—dari landak dan
penguin sampai gajah dan paus—kurang dari 100 juta ton.
Buku-buku anak-anak kita, ikonografi dan layar-layar televisi kita
masih penuh dengan jerapah, rubah, dan simpanse, tetapi di alam
riilnya tinggal tersisa sangat sedikit. Ada sekitar 80.000 jerapah
di dunia, bandingkan dengan 1,5 miliar sapi; hanya 200.000
rubah abu-abu, bandingkan dengan 400 juta anjing domestikasi;
hanya 250.00 simpanse—bandingkan dengan miliaran manusia.
Manusia benar-benar telah menguasai dunia.1
Degradasi ekologis tidak sama dengan kelangkaan sumber
daya. Seperti yang kita lihat pada bab sebelumnya, sumber daya yang tersedia bagi manusia secara konstan bertambah, dan
sangat mungkin terus bertambah. Itulah sebabnya nubuat kiamat
kelangkaan sumber daya mungkin salah alamat. Sebaliknya,
kekhawatiran akan degradasi ekologi memiliki dasar yang sangat
kuat. Pada masa depan Sapiens mungkin akan menguasai banyak
sekali bahan-bahan baku dan sumber-sumber energi baru, sambil
merusak secara serempak apa yang tersisa dari habitat alam dan
memusnahkan sebagian besar spesies lain.
Sungguh, kehancuran ekologis mungkin membahayakan
Homo sapiens sendiri, yang masih bertahan. Pemanasan global,
naiknya permukaan laut, dan polusi yang menyebar luas bisa
membuat Bumi semakin tak bisa dihuni oleh jenis kita, dan pada
masa depan, sebagai akibatnya, akan terjadi adu cepat antara
kekuatan manusia dan bencana-bencana yang diakibatkan oleh
ulah manusia. Saat manusia menggunakan kekuatan mereka
untuk menghadapi kekuatan alam dan menundukkan ekosistem
untuk kebutuhan dan keinginan mereka, maka mereka mungkin
akan menimbulkan semakin banyak efek samping berbahaya
yang tak terantisipasi. Ini semua hanya bisa dikendalikan dengan
manipulasi ekosistem yang lebih drastis, yang akan menghasilkan
kekacauan lebih buruk.
Banyak orang menyebut ini proses “penghancuran alam”.
Namun, ini sesungguhnya bukan penghancuran, ini perubahan.
Alam tidak bisa dihancurkan. Enam puluh lima juta tahun lalu,
sebuah asteroid menyapu dinosaurus, tetapi dengan itu terbuka
jalan bagi munculnya mamalia. Kini, manusia mendorong banyak
spesies menuju kepunahan dan mungkin akan memusnahkan
dirinya. Namun, organisme-organisme lain akan tetap baik-baik
saja. Tikus dan kecoak, misalnya, sedang berada dalam masa
kejayaan mereka. Makhluk-makhluk yang ulet ini mungkin akan
menyeruak dari balik reruntuhan berasap Armageddon nuklir,
siap dan mampu menyebarkan DNA mereka. Mungkin 65 juta
tahun dari sekarang, tikus-tikus pintar akan melihat ke belakang
berterima kasih pada penempaan oleh manusia, seperti kini kita
berterima kasih pada asteroid pembasmi dinosaurus.
Tetap saja, rumor-rumor tentang kepunahan kita adalah
prematur. Sejak Revolusi Industri, populasi manusia dunia sudah mengalami pembengkakan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Pada 1700, dunia dihuni sekitar 700 juta manusia. Pada 1800,
jumlah kita 950 juta. Pada 1900 jumlah kita hampir dua kali
lipat menjadi 1,6 miliar. Dan, pada 2000, jumlah itu berlipat
empat kali menjadi 6 miliar. Kini, ada hampir 7 miliar Sapiens.
Masa Modern
Meskipun seluruh Sapiens ini semakin tahan pada kehendak alam,
mereka justru semakin tunduk pada kemauan-kemauan industri
dan pemerintahan modern. Revolusi Industri membuka jalan
bagi satu garis panjang eksperimen-eksperimen dalam rekayasa
sosial dan bahkan rangkaian yang lebih panjang perubahanperubahan tak terencana dalam kehidupan sehari-hari dan
mentalitas manusia. Satu di antara banyak contohnya adalah
penggantian ritme pertanian tradisional dengan seragam dan
jadwal tepat industri.
Pertanian tradisional bergantung pada siklus waktu alam dan
pertumbuhan organik. Sebagian besar masyarakat tidak mampu
melakukan pengukuran waktu secara persis, juga tidak tertarik
sama sekali untuk melakukannya. Dunia berjalan tanpa jam dan
tanpa jadwal, hanya bergantung pada gerakan Matahari dan siklus
pertumbuhan tanaman. Tidak ada keseragaman dalam hal waktu
bekerja, dan seluruh kegiatan rutin berubah secara drastis dari
musim ke musim. Orang-orang tahu di mana Matahari berada,
dan memperhatikan dengan cemas pertanda-pertanda datang
musim hujan dan masa panen, tetapi mereka tidak tahu jam dan
hampir tidak peduli tentang tahun. Jika seorang pengembara lintas
zaman tersesat di sebuah desa abad pertengahan dan bertanya
kepada seseorang yang berpapasan, “Tahun berapa ini?” maka
orang desa itu akan terheran-heran dengan pertanyaan itu, juga
dengan pakaian orang asing yang aneh.
Berlawanan dengan para petani dan pembuat sepatu abad
pertengahan, industri modern kurang peduli pada Matahari
atau musim. Ia mendewa-dewakan ketepatan dan keseragaman.
Misalnya, dalam sebuah bengkel abad pertengahan setiap pembuat
sepatu membuat satu sepatu utuh, dari lapisan sol sampai ke
pengaitnya. Jika seorang pembuat sepatu terlambat kerja, dia tidak
menghentikan yang lain. Namun, dalam deret pengerjaan sepatu
di pabrik sepatu modern, setiap pekerja mengawaki satu mesin
yang menghasilkan hanya satu bagian kecil dari sebuah sepatu,
yang kemudian diserahkan ke mesin berikutnya. Jika pekerja
yang mengoperasikan mesin nomor 5 tertidur, ia menghentikan
seluruh mesin lainnya. Untuk mencegah kekacuan seperti itu,
setiap orang harus patuh pada jadwal yang tepat. Setiap pekerja
datang di tempat kerja tepat pada waktu yang sama. Setiap orang
makan siang bersama, entah mereka lapar atau tidak. Setiap
orang pulang ketika diteriakkan pengumuman saat berakhirnya
sif—bukan ketika mereka menyelesaikan proyek.
Revolusi Industri mengubah jadwal itu dan deret pengerjaan
menjadi sebuah setelan untuk hampir semua aktivitas manusia.
Tak lama setelah pabrik-pabrik menerapkan kerangka waktu pada
perilaku manusia, sekolah-sekolah juga mengadopsi penjadwalan
yang sama, diikuti oleh rumah sakit, kantor-kantor pemerintah,
dan toko-toko grosir. Bahkan, di tempat-tempat yang deret-deret
mesin pengerjaan pabrik, jadwal adalah raja. Jika sif di pabrik
berakhir pukul 05.00 petang, pub lokal sebaiknya sudah mulai
membuka bisnis pukul 05.02.
Penghubung krusial dalam penyebaran sistem jadwal adalah
transportasi publik. Jika para buruh harus memulai sif pada pukul
08.00, kereta atau bus harus sampai di gerbang pabrik pada pukul
07.55. Kelambatan beberapa menit akan menurunkan produksi
dan mungkin bahkan menyebabkan pemutusan hubungan kerja
bagi para buruh yang terlambat datang itu. Pada 1784, sebuah
layanan angkutan dengan jadwal yang sudah ditetapkan mulai
beroperasi di Inggris. Jadwalnya hanya untuk jam keberangkatan
saja, bukan kedatangan. Saat itu, setiap kota besar dan kecil di
Inggris punya waktu lokalnya masing-masing, yang berbeda dari
waktu London hingga setengah jam. Ketika jam menunjukkan
pukul 12.00 di London, mungkin di Liverpool jam menunjukkan
pukul 12.20 dan 11.50 di Canterbury. Karena tidak ada telepon,
radio, atau televisi, maka tidak ada kereta cepat—siapa yang
tahu, dan siapa peduli?2
Layanan kereta api komersial pertama mulai beroperasi antara
Liverpool dan Manchester pada 1830. Sepuluh tahun kemudian,
jadwal kereta kali pertama dikeluarkan. Kereta-kereta itu jauh
lebih cepat ketimbang kereta-kereta lama, jadi perbedaan aneh
jam-jam lokal pun menjadi kekacauan yang parah. Pada 1847,
perusahaan-perusahaan kereta Inggris berunding dan setuju
bahwa semua jadwal kereta api harus dikalibrasi menurut waktu
Observatorium Greenwich, bukan menurut waktu lokal Liverpool,
Manchester, atau Glasgow. Lalu, bertambah terus institusi yang
mengikuti cara perusahaan-perusahaan kereta. Akhirnya, pada
1880, pemerintah Inggris mengambil langkah pertama melegislasi
bahwa semua jadwal di Inggris harus mengikuti Greenwich.
Untuk kali pertama dalam sejarah, sebuah negara mengadopsi
satu waktu nasional dan mewajibkan seluruh populasinya hidup
menurut jam artifisial, bukan jam lokal atau menurut siklus
terbit-terbenamnya Matahari. Permulaan yang sederhana ini melahirkan jaringan global
jadwal, yang diselaraskan sampai ke bagian terkecil, detik.
Ketika media siaran—pertama radio, kemudian televisi—mulai
bercokol, mereka memasuki sebuah dunia jadwal dan menjadi
pendorong utama dan juru dakwahnya. Di antara hal-hal pertama
yang disiarkan stasiun radio adalah sinyal, yaitu bunyi yang
memungkinkan permukiman-permukiman nun terpencil jauh
dan kapal-kapal di laut bisa menyetel jam. Belakangan, stasiunstasiun radio mengadopsi kebiasaan penyiaran berita setiap jam.
Kini, item pertama setiap siaran berita—bahkan lebih penting
ketimbang meletusnya perang—adalah waktu. Saat Perang Dunia
Kedua, BBC News disiarkan ke Eropa yang diduduki Nazi.
Setiap acara berita dimulai dengan siaran langsung Big Ben yang
mendentangkan jam—suara ajaib kebebasan.
Para ahli fisika mumpuni Jerman menemukan satu cara untuk
memastikan kondisi cuaca di London berdasarkan perbedaan kecil
dalam nada siaran ding-dong. Informasi ini menyumbangkan
bantuan tak ternilai bagi Luftwaffe. Ketika Dinas Rahasia Inggris
mengetahui ini, mereka mengganti siaran langsung dengan
seperangkat rekaman dari jam terkenal itu.
Dalam rangka menjalankan jaringan jadwal, jam-jam portabel
murah tetapi tepat tersedia di mana-mana. Di kota-kota Assyria,
Sassanid, atau Inca mungkin sudah ada jam Matahari. Di kotakota Eropa abad pertengahan, biasanya ada satu jam tunggal—
mesin raksasa yang bercokol di puncak sebuah menara di alunalun kota. Jam-jam menara ini sangat tidak akurat, tetapi karena
tidak ada jam lain di kota itu yang bertentangan dengannya, jadi
tidak ada bedanya. Kini, satu keluarga tunggal yang makmur
biasanya punya lebih banyak jam di rumah ketimbang satu negara
pada era abad pertengahan. Anda bisa menyebutkan jam dengan
melihat jam tangan, melirik Android Anda, menatap jam alarm
di samping tempat tidur, melihat jam dinding dapur, melihat
microwave, dari pesawat TV atau DVD, atau melihat sudut layar
monitor komputer. Malah, Anda mungkin perlu bersusah payah
untuk tidak mau tahu pukul berapa sekarang.
Biasanya orang melihat jam beberapa kali sehari karena
hampir semua hal yang kita lakukan harus dilakukan tepat
waktu. Sebuah jam alarm membangunkan kita pukul 07.00
pagi, kita memanaskan bagel beku tepat 50 detik di microwave,
menyikat gigi selama 3 menit sampai terdengar sikat gigi elektrik
berbunyi, mencegat kereta pukul 07.40 menuju tempat kerja,
berlari di treadmill di klub fitnes sampai alat memberi tahu waktu
0,5 jam sudah selesai, duduk di depan TV pukul 07.00 sore
menonton acara favorit, yang terputus oleh tayangan iklan yang
sudah dirancang dengan harga $1.000 per detik, dan akhirnya
menumpahkan semua unek-unek kepada seorang terapis yang
membatasi ocehan kita dengan standar layanan terapi 50 menit.
Revolusi Industri membawa puluhan kehebohan besar
dalam masyarakat manusia. Beradaptasi dengan waktu industrial
hanyalah salah satu di antaranya. Contoh-contoh lain yang
terkenal adalah urbanisasi, hilangnya kaum tani, bangkitnya
proletariat industri, pemberdayaan orang biasa, demokratisasi,
budaya anak muda, dan disintegrasi patriarki.
Akan tetapi, semua kehebohan ini tak ada apa-apanya
dibandingkan dengan revolusi sosial paling menumental yang
pernah menimpa manusia: runtuhnya keluarga dan komunitas
lokal yang digantikan oleh negara dan pasar. Sepanjang yang bisa
kita ketahui, dari masa-masa paling awal, lebih dari 1 juta tahun
lalu, manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil yang intim,
sebagian besar anggotanya berkerabat. Revolusi Kognitif dan
Revolusi Agrikultur tidak mengubah itu. Keduanya mengeratkan
keluarga dan masyarakat untuk menciptakan suku-suku, kotakota, kerajaan-kerajaan, dan imperium-imperium, tetapi keluarga
dan komunitas tetap menjadi bata bangunan semua masyarakat
manusia. Revolusi Industri, di sisi lain, berhasil dalam waktu
hanya sekitar dua abad untuk meruntuhkan bata-bata bangunan
ini menjadi atom-atom. Sebagian besar fungsi-fungsi tradisional
keluarga dan masyarakat diserahkan pada negara dan pasar.
Runtuhnya Keluarga dan Masyarakat
Menjelang Revolusi Industri, kehidupan sehari-hari sebagian besar
manusia berlangsung dalam tiga kerangka kuno: keluarga nuklir,
keluarga besar, dan komunitas intim lokal*
. Sebagian besar orang
bekerja dalam bisnis keluarga—pertanian keluarga atau bengkel
keluarga, misalnya—atau mereka bekerja dalam bisnis keluarga
tetangga mereka. Keluarga juga menjadi sistem kesejahteraan,
sistem kesehatan, sistem pendidikan, industri konstruksi, serikat
buruh, dana pensiun, perusahaan asuransi, radio, televisi, surat
kabar, bank, dan bahkan kepolisian.
Ketika seseorang sakit, keluarga merawat mereka. Ketika
seseorang menua, keluarga mendukungnya, dan anak-anak mereka
adalah dana pensiun mereka. Ketika seseorang meninggal dunia,
keluarga mengurus para yatim. Jika seseorang ingin membangun
sebuah gubuk, keluarga mengulurkan tangan. Jika seseorang ingin
membuka bisnis, keluarga mengumpulkan uang yang diperlukan.
Jika seseorang ingin menikah, keluarga memilihkan, atau paling
tidak meneliti calon pasangannya. Jika konflik muncul dengan
tetangga, keluarga turut membantu. Jika sakitnya seseorang
terlalu parah untuk diurus keluarga atau sebuah bisnis baru
menuntut investasi terlalu besar, atau pertengkaran tetangga
memanas sampai ke titik kekerasan, komunitas lokal datang
untuk menyelamatkan.
Komunitas menawarkan bantuan atas dasar tradisi lokal dan
ekonomi kemanfaatan, yang sering berbeda sangat jauh dari
hukum persediaan dan permintaan dalam pasar bebas. Dalam
suatu komunitas gaya lama abad pertengahan, ketika tetangga
saya membutuhkan bantuan, saya membantu membangun
gubuknya dan menjaga domba-dombanya, tanpa mengharapkan
pembayaran sebagai imbalan. Ketika saya yang butuh bantuan,
tetangga saya bergantian memberi bantuan. Pada saat yang sama,
penguasa lokal mungkin sudah menyiagakan kami semua sebagai
penduduk untuk membangun istananya tanpa bayaran sepeser pun. Sebagai imbalannya, kami bergantung kepadanya untuk
membela kami melawan kawanan perampok atau gerombolan
barbar. Ada pasar, tentu saja, tetapi perannya sangat terbatas.
Anda bisa membeli bumbu, pakaian, dan peralatan yang langka,
dan menyewa jasa pengacara dan dokter. Namun, kurang dari
10 persen produk-produk dan jasa yang umum digunakan dibeli
di pasar. Sebagian besar kebutuhan manusia ditangani oleh
keluarga dan komunitas.
Ada juga kerajaan-kerajaan dan imperium-imperium yang
menjalankan tugas-tugas penting seperti melancarkan perang,
membangun jalan-jalan, dan membangun istana-istana. Untuk
keperluan-keperluan ini, para raja mengumpulkan pajak dan
kadang-kadang memerintahkan para tentara dan buruh. Namun,
dengan beberapa pengecualian, mereka cenderung berada di
luar urusan keseharian keluarga dan komunitas. Sekalipun
jika mereka ingin mengintervensi, sebagian besar raja hanya
bisa melakukannya dengan susah payah. Ekonomi-ekonomi
agrikultur tradisional tak banyak punya surplus, yang dengan
itulah kalangan pejabat pemerintah, polisi, pekerja sosial, guru,
dan dokter mendapat makan. Akibatnya, sebagian besar penguasa
tidak mengembangkan secara massal sistem kesejahteraan, sistem
kesehatan, atau sistem pendidikan. Mereka menyerahkan urusanurusan semacam itu kepada keluarga dan komunitas. Bahkan,
dalam kasus-kasus yang sangat langka ketika penguasa berusaha
mengintervensi lebih jauh urusan kehidupan sehari-hari petani
(seperti yang terjadi, misalnya, dalam Imperium Qin di China),
mereka melakukannya dengan menjadikan para pemimpin
keluarga dan sesepuh komunitas menjadi agen-agen pemerintah.
Cukup sering, kesulitan-kesulitan transportasi dan komunikasi
begitu menyulitkan untuk mengintervensi urusan komunitaskomunitas terpencil sehingga kerajaan lebih suka menyerahkan
saja, bahkan untuk hak-hak prerogatif kerajaan yang paling
dasar—seperti pajak dan kekerasan—kepada komunitas. Imperium
Ottoman, misalnya, membiarkan dendam-dendam keluarga
dibalaskan ketimbang mendukung suatu kekuatan polisi kerajaan
yang besar. Jika sepupu saya membunuh seseorang, saudara
korban mungkin membunuh saya sebagai pembalasan yang
disepakati. Sultan di Istanbul atau bahkan pasha provinsi tidak
mengintervensi dalam bentrokan seperti itu, sepanjang kekerasan
dalam batas-batas yang bisa diterima.
Dalam Imperium Ming China (1368–1644), penduduk
diorganisasi dalam sistem baojia. Sepuluh keluarga dikelompokkan
untuk membentuk satu jia, dan sepuluh jia menjadi satu bao.
Ketika seorang anggota satu bao melakukan kejahatan, anggota
bao lainnya bisa dihukum karena itu, terutama pada tetua bao.
Pajak juga dibebankan pada bao, dan menjadi tanggung jawab
para tetua bao, bukan pejabat negara, untuk menilai situasi setiap
keluarga dan menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. Dari
perspektif imperium, sistem ini memberi keuntungan besar. Bukan
dengan mengerahkan ribuan pejabat pengumpul pendapatan
pengumpul pajak, yang memonitor pendapatan dan biaya setiap
keluarga, tugas-tugas ini diserahkan kepada para tetua komunitas.
Para tetua tahu berapa nilai setiap penduduk dan mereka biasanya
bisa menerapkan pembayaran pajak tanpa melibatkan pasukan
kerajaan. Banyak kerajaan dan imperium yang sesungguhnya
tak ubahnya raket-raket proteksi besar. Raja adalah capo di
tutti capi yang mengumpulkan uang perlindungan, dan sebagai
imbalannya memastikan sindikat kejahatan dan preman-preman
kecil di sekelilingnya tidak mengganggu mereka yang ada dalam
perlindungannya. Tak banyak lainnya yang dilakukan raja.
Kehidupan di jantung keluarga dan komunitas jauh dari
ideal. Keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas bisa menindas
para anggotanya tak kalah brutal dari negara-negara dan pasar
modern, dan dinamika internal mereka sering penuh ketegangan
dan kekerasan—namun orang-orang tak punya banyak pilihan.
Seseorang yang kehilangan keluarga dan komunitas sekitar
tahun 1750 sama nasibnya dengan orang mati. Dia tak punya
pekerjaan, tak punya pendidikan, dan tak punya dukungan
pada saat sakit dan tertekan. Tak seorang pun mau meminjami
uang atau membela jika dia sedang kesulitan. Tak ada polisi,
tak ada pekerja sosial, dan tak ada pendidikan wajib. Agar bisa
bertahan, orang seperti itu harus cepat menemukan alternatif
keluarga atau komunitas. Anak laki-laki dan perempuan yang
lari dari rumah, paling banter, bisa berharap menjadi pembantu di keluarga baru. Yang paling buruk, ada angkatan perang atau
rumah bordil.
Semua ini berubah secara dramatis dalam dua abad terakhir.
Revolusi Industri memberi pasar kekuatan baru yang sangat
besar, yang diberikan oleh negara dengan sarana komunikasi dan
transportasi baru, dan kepada pemerintahan diserahkan suatu
pasukan pekerja, guru, polisi, dan pekerja sosial. Pada mulanya
pasar dan negara mendapati jalur mereka diadang oleh keluargakeluarga dan komunitas-komunitas tradisional yang kurang
begitu suka dengan intervensi dari luar. Para orangtua dan tetua
komunitas enggan membiarkan generasi muda diindoktrinasi
oleh sistem pendidikan nasionalis, untuk diwajib-militerkan atau
dijadikan kaum proletar urban yang tak punya akar.
Seiring waktu berlalu, negara dan pasar menggunakan
kekuatan mereka yang tumbuh untuk memperlemah ikatanikatan tradisional keluarga dan komunitas. Negara mengirim
polisinya untuk menghentikan dendam-dendam keluarga dan
menggantinya dengan keputusan-keputusan pengadilan. Pasar
mengirim para penjajanya untuk menyapu tradisi-tradisi lokal
yang sudah berlangsung lama dan menggantinya dengan gayagaya komersial yang berubah-ubah. Namun, itu tidak cukup.
Agar benar-benar meruntuhkan kekuatan keluarga dan komunitas,
negara dan pasar membutuhkan bantuan pilar kelima.
Negara dan pasar mendekati orang-orang dengan tawaran
yang tak bisa ditolak. “Menjadi individu-individu,” kata mereka.
“Nikahi siapa pun yang kau inginkan, tanpa minta izin dari kedua
orangtuamu. Ambil pekerjaan apa pun yang cocok denganmu,
sekalipun para tetua komunitas merengut. Hidup dengan
cara apa pun yang kamu inginkan, sekalipun kamu tidak bisa
makan malam bersama keluarga setiap pekan. Kamu tidak lagi
bergantung pada keluargamu atau komunitasmu. Kamilah, negara
dan pasar, yang akan mengurus kamu. Kami akan menyediakan
makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan,
dan pekerjaan. Kami akan menyediakan pensiun, asuransi, dan
perlindungan.”
Sastra romantik sering mengetengahkan individu sebagai
seseorang yang terjebak dalam perjuangan melawan negara dan pasar. Tak ada yang lebih jauh dari kebenaran. Negara dan pasar
adalah ibu dan ayah bagi individu, dan individu bisa bertahan
hidup hanya berkat keduanya. Pasar memberi kita pekerjaan,
asuransi, dan pensiun. Jika kita ingin mempelajari sebuah profesi,
sekolah-sekolah pemerintah siap mengajarimu. Jika kita ingin
membuka bisnis, bank meminjami kita uang. Jika kita ingin
membangun rumah, perusahaan konstruksi membangunnya
dan bank memberi kita surat utang, yang dalam kasus-kasus
tertentu disubsidi atau diasuransi oleh negara. Jika kekerasan
melanda, polisi melindungi kita. Jika kita sakit selama beberapa
hari, jaminan sosial datang membantu. Jika kita membutuhkan
bantuan detik demi detik, kita bisa pergi ke pasar dan menyewa
seorang perawat—biasanya orang asing dari belahan dunia lain
yang mengurusi kita dengan bentuk pengabdian yang tak bisa
kita harapkan dari anak-anak kita. Jika kia punya sarananya, kita
bisa menghabiskan tahun-tahun emas di rumah warga usia lanjut.
Otoritas pajak memperlakukan kita sebagai individu-individu,
dan tidak berharap kita membayar pajak tetangga. Pengadilan
juga melihat kita sebagai individu, dan tidak pernah menghukum
kita atas kejahatan yang dilakukan oleh sepupu kita.
Tidak hanya laki-laki dewasa, tetapi juga perempuan dan
anak-anak, diakui sebagai individu. Hampir sepanjang sejarah,
perempuan sering dipandang sebagai properti keluarga atau
komunitas. Negara-negara modern, di sisi lain, memandang
perempuan sebagai individu, menikmati hak-hak ekonomi dan
hukum yang independen dari keluarga maupun komunitas
mereka. Mereka bisa memiliki rekening bank, memutuskan
dengan siapa menikah, dan bahkan memilih untuk cerai atau
hidup dengan kemampuan sendiri.
Akan tetapi, pembebasan individu tentu ada harganya.
Banyak di antara kita kini meratapi hilangnya keluarga-keluarga
dan komunitas-komunitas yang kuat dan merasa teralienasi
serta terancam oleh kekuasaan negara yang impersonal, dan
pasar mengendalikan hidup kita. Negara dan pasar yang berisi
individu-individu teralienasi bisa mengintervensi kehidupan para
anggotanya jauh lebih mudah ketimbang negara dan pasar yang
berisi keluarga-keluarga serta komunitas-komunitas yang kuat.
Ketika para tetangga dalam sebuah bangunan apartemen tinggi
menjulang tidak bisa menyepakati bahkan soal berapa yang harus
dibayar untuk pesuruh mereka, bagaimana bisa kita berharap
mereka melawan negara?
Kesepakatan antara negara, pasar, dan individu adalah
kesepakatan yang tidak menyenangkan. Negara dan pasar tidak
sepakat tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban alamiah mereka,
dan individu-individu mengeluh bahwa keduanya menuntut
terlalu banyak tetapi memberi terlalu sedikit. Dalam banyak
kasus individu-individu dieksploitasi oleh pasar, dan negara
mempekerjakan tentaranya, pasukan polisinya dan birokrasinya
untuk menuntut individu-individu, bukan membelanya. Namun,
luar biasa bahwa kesepakatan ini bekerja—betapa pun tidak
sempura. Sebab, hal ini telah menerobos pengaturan-pengaturan
sosial manusia yang sudah berjalan dalam generasi-generasi yang
tak terhitung jumlahnya. Jutaan tahun evolusi telah mendesain
kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota-anggota komunitas.
Hanya dalam waktu dua abad kita sudah menjadi individuindividu teralienasi. Tak ada yang memberi kesaksian lebih baik
tentang hebatnya kekuatan kultur.
Keluarga nuklir memang tidak lenyap sama sekali dari
lanskap modern. Ketika negara dan pasar mengambil sebagian
besar peran ekonomi dan politik keluarga, sebagian fungsifungsi emosionalnya yang penting tetap dipertahankan. Keluarga
modern masih diharuskan menyediakan kebutuhan-kebutuhan
intim, yang negara dan pasar (sejauh ini) tidak mampu berikan.
Namun, bahkan dalam hal ini keluarga semakin menjadi sasaran
intervensi. Pasar membentuk pada skala yang lebih besar cara
orang melakukan kehidupan romantik dan seksual mereka.
Secara tradisional keluarga adalah penentu jodoh utama, kini
pasar yang membentuk pilihan-pilihan romantik dan seksual
kita, kemudian mengulurkan tangan dengan imbalan—ongkos
yang sangat mahal. Dulu kedua calon pengantin bertemu dalam
ruang tamu keluarga, dan uang berpindah tangan dari seorang
ayah ke ayah yang lain. Kini pelaminan berada di bar dan kafe,
dan uang berpindah dari tangan pengantin ke para pembantu.
Bahkan, semakin banyak uang yang ditransfer ke rekening bank