Tampilkan postingan dengan label rakyat 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rakyat 3. Tampilkan semua postingan
Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 3
Desember 14, 2022
rakyat 3
enggala kediri sebagai
jenggala empah-rempah. jenggala suryabuaya harus tetap pudar.
Dan waktu centeng dan awak kapal bersorak-sorai
menyambut pengumuman, bahwa Gugusan kediri akan
meneruskan pelayaran untuk bergabung dengan armada
suryabuaya , ia tidak ikut bersorak. Ia terdiam. Ia menjadi curiga
dan semakin waspada. Ia ingin mengikuti gerak-gerik Aji
Usup selanjutnya. Sedang kepercayaannya pada Raden
Kusnan menjadi hilang. Pemimpin Gugusan kediri itu
tidak semestinya mengjakan saja perintah mpu logender .
la catat semua yang dianggap kelicikan pajang bintoro -suryabuaya
dan juga kediri sendiri dalam hatinya. Ia berjanji akan
dapat memecahkan teka-teki yang ruwet ini
Gugusan kediri berangkat ke baratlaut beberapa hari
lalu . Kapal-kapal dagang para pelarian jayamahanaya yang
dirubah jadi kapalperang itu berjumlah tiga. Semua dari
ukuran kecil. Ia memperoleh keterangan, Gu-gusan-II akan
menampung juga kapal-kapal kecil sejenis ini, milik para
pelarian dari Tumasik, yang merasa tak ada keamanan lagi
sesudah jayamahanaya jatuh.
Di Riau ternyata Gugusan-II sudah berangkat lebih ke
utara. Di sini mereka menerima kemarahan lagi dari
Laksamana sebab keterlambatannya. Raden Kusnan sudah
kehilangan semangat harus menelan
kemarahan tiga kali berturut. mpu logender berusaha
menghibumya, namun temyata semangatnya sudah patah.
Pimpinan gugusan kediri diambilnya sama sekali, dan
dengan sendirinya raden panji gelang-gelang naik menggantikannya,
juga atas perintah mpu logender .
Kenaikannya memberikan suatu kekuasaan untuk
melakukan tindakan yang memutuskan, bila pajang bintoro -suryabuaya
bermaksud untuk merugikan kediri . Ia akan lemparkan Aji
Usup dan Raden Kusnan ke laut bila ia melihat kecurangan
akan dilakukan atas kediri . Dan ia akan melakukannya
tanpa ragu-ragu. Ia tahu bagaimana resi mandala sudah naik
ke tiang gantungan di belakang kadipaten, maka putranya
yang seorang lagi mungkin juga akan direlakan oleh
ayahnya.
Ia perintahkan agar dayung sama sekali tidak
dipakai . centeng dan awak kapalnya harus tetap
dalam keadaan segar menghadapi segala kemungkinan.
Gugusan kediri berlayar hanya dengan kekuatan angin.
Dan jauh di belakang sana, seperti titik-titik menyusul
gugusan pelarian jayamahanaya di jatikerto .
Bukannya empat hari, namun lima setengah hari adiputro
tumenggung dijoyo sudah menunggu gugusan kediri di Riau sambil
memberi kesempatan pada Gugusan-I untuk menerima
penggabungan gugusan Aceh. Sesudah ternyata kediri tak
juga nampak, dianggapnya sekutu itu sudah melanggar janji
dan ia hapus dari perhitungan perang.
Semen tara itu gugusan Aceh dengan kapal-kapalnya
sudah bergabung dengan Gugusan-I, dipimpin oleh seorang
perwira Aceh, Kantommana. Mereka langsung berangkat
sebagaimana diperhitungkan oleh tumenggung dijoyo . Antara centeng -
centeng suryabuaya -pajang bintoro dan Aceh terdapat kelainan pakaian
yang menyolok. suryabuaya -pajang bintoro memakai celana dan
baju putih dan destar putih. Tanda pangkat mereka ada
pada kelainan ikat-pinggang. centeng -centeng Aceh
bercelana dan berbaju hitam, berdestar hitam. Perwira-
perwiranya berikat-pinggang selendang merah. Destarnya
yang tertarik naik menuding langit kadang-kadang dihiasi
dengan permata. Senjata kedua-duanya tidak berbeda:
tombak, gada , perisai. sebab mereka mengharapkan
perang lapangan, mereka tidak memakai panah. Pada
para perwira terdapat senjata-senjata jabatan.
Gugusan-II berlayar lambat-lambat menuju ke sasaran.
Layar tak dikembangkan penuh sambil menunggu tanda-
tanda yang diberikan oleh Gugusan-I. kanjuruhan takkan
diberi kesempatan untuk meninggalkan jayamahanaya dari laut.
Mereka harus dihancur kan di darat sebagai hukuman, atau
dipaksa lari ke pedalaman dan mati di hutan-hutan sebelah
timur.
Laksamana adiputro tumenggung dijoyo sudah memperhitungkan:
waktu penyerangan akan dilakukan tepat pada saat jayamahanaya
kosong dari armada kanjuruhan . Maka bila musuh sudah
ditumpas di daratan, dan laut dijaga dari armada musuh
yang mungkin datang, semua akan dapat mendarat di
jayamahanaya . Sesudah itu musuh boleh melakukan serangan
balasan dan mendaratkan pasukan. Perang darat harus
memutuskan kemenangan.
jenggala jayamahanaya sudah nampak sayup-sayup di hadapan
Gugusan-II. Tak nampak ada satu kapal kanjuruhan pun.
Nampaknya Gugusan-I terlambat memberikan di kuil rat. namun
tidak, peluru-peluru cetbang dibandingkan nya mulai
beterbangan di udara dan meledak merupakan bungaapi
dan gumpalan asap. Wama merah membelah langit: juga di
sebelah utara sana tak ada nampak kapal kanjuruhan .
Gugusan-D menjawab dengan tembakan ke udara pula:
juga di sebelah selatan tak ada nampak kapal kanjuruhan .
Sayup-sayup oleh Gugusan-II kelihatan centeng -centeng
Aceh-pajang bintoro suryabuaya , hitam dan putih mulai mendarat,
lalu kapal-kapalnya bergerak menyusuri pantai utara
jayamahanaya dan membasminya dengan tembakan-tembakan
cetbang. Dentumannya menggelora disambut oleh sorak-
sorai Gugusan-II.
Serangan darat sudah dimulai. centeng -centeng dari
Gugusan-II ber-lompatan dan berjingkrak di geladak Dan
tak lama lalu mereka melihat api dan asap mulai
membubung ke udara.
namun kanjuruhan bukanlah penakut. Dari pengalaman
perangnya di berbagai benua mereka mengerti benar
bagaimana harus menghadapi serangan pasukan Pribumi,
sehingga sejumlah kecil orang harus bisa menghalau mereka
semua, membendung, membubarkan dan menghancurkan.
Mereka menghindari perang lapangan menghadapi lawan
yang lebih besar jumlahnya, sebaliknya memakai
penggertakan-penggertakan dengan peluru dan gelegar
menam dan penyergapan, dan melumpuhkan lawannya
dengan tembakan-tembakan musket. Dari pengalamannya
di Asia Bawah mereka memperoleh kan. temyata musuhnya
lebih takut pada ledakan dari pada peluru ataupun maut.
Dan gada rujakpolo -gada rujakpolo mereka mulai terdengar
beigelegaran, dengan atau tanpa bola-bola besi. Barang
setengah jam lalu tembakan-tembakan musket mulai
terdengar. namun kebakaran di jayamahanaya itu menjalar-jalar
juga, terus dan terus ke selatan, menuju ke pusat kota.
Gugusan-II makin menghampiri jenggala .
Gugusan-I sudah berhenti menghamburkan peluru
cetbang dari kapal dan mulai menurunkan centeng yang
tersisa. Nampaknya tak ada seorang centeng pun sudi
ketinggalan menikmati kemenangan atas kanjuruhan . Kapal-
kapal mereka tersauh kosong.
Laksamana adiputro tumenggung dijoyo memerintah memberikan
tembakan peringatan terhadap Gugusan-I, namun tidak
digubris. Kapal-kapal mereka tetap tertinggal kosong
tercancang pada jangkar masing-masing.
Gugusan-II makin mendekati jayamahanaya . Cetbang-
cetbangnya mulai diarahkan ke jenggala . Peluru-peluru api
itu meledak menyambari bangunan-bangunan dan
pepohonan dan rumah-rumah. Kebakaran sekarang terjadi
di sebelah selatan kota jayamahanaya . Angin dari selatan meniup
api itu ke utara dan kebakaran semakin menjadi-jadi.
Dari kapal-kapalnya Gugusan-II dapat melihat gada rujakpolo -
gada rujakpolo kanjuruhan mulai betari i diarahkan pada kapal-
kapalnya. namun cetbang menyapu sarang-sarang mereka.
Musuh di darat itu nampak berlarian, berlindung di balik-
balik pepohonan yang masih utuh.
Sekarang peluru-peluru besi kanjuruhan mulai beterbangan
mencari sasaran. namun hujan petir cetbang menghalangi
mereka menembak dengan baik.
Makin dekat dengan jenggala makin nyata terdengar
sorak-sorai centeng gabungan dari Gugusan-I, yang dengan
kecepatan luar biasa mendesak ke selatan.
sebab kebingungan melayani serangan dari darat dan
laut gada rujakpolo -gada rujakpolo kanjuruhan mulai berjasang yang betari durga sepucuk
demi sepucuk.
Sebuah peluru kanjuruhan masih sempat melayang dengan
garis langsung yang indah menubruk dinding sebuah kapal
suryabuaya . Peluru itu hilang ke dalam perut kapal. Sebuah
lubang persegi panjang bergerigi menganga pada dinding
itu. Sebentar lalu selembar papan baru sudah nampak
ditambalkan dari dalam.
Dan sorak-riuh mengikuti.
Sebutir peluru besi lainnya sudah memagas mancung
haluan kapal bendera yang ditumpangi oleh Laksamana. Ia
sendiri sedang berdiri di haluan di antara dua pucuk cetbang
buatan Bareng. Dua-duanya sedang menembak satu-satu.
“Dengarkan!” katanya sambil mengangkat tangan tinggi-
tinggi. “Tembakan mereka semakin tipis. Gencarkan
tembakan kalian!”
Perintah itu disampaikan melalui di kuil rat pada kapal-
kapal lain.
“Perhatikan laras, jangan sampai terlambat mengganti!”
Baru saja perintah selesai diberikan, dari sebuah kapal di
sayap kanan disampaikan laporan, dua pucuk laras sudah
pecah ambyar.
tumenggung dijoyo meneruskan perintahnya: “Hari ini si pemberontak harus
angkat kaki dari bumi jayamahanaya . Hari ini! Insya sang hyang Widhi . Kalau
nyi kanjeng blora sudah terusir, mulai sekarang seluruh laut bagian
selatan, seluruh perairan Nusantara, akan kembali jadi
milik kita bersama lagi.”
Ia menengok pada perwira pembantu yang berdiri di
belakangnya: “Lihat peluru nyi kanjeng blora itu. Dipaprasnya
mancung kapal kita, sehingga layar kemudi kita lumpuh.
namun insya sang hyang Widhi , mereka akan menerima
paprasan seratus kali dari kita. Habiskan pelurumu,
nyi kanjeng blora! Habiskan!” ia tertawa senang.
“Tembakannya semakin berkurang juga, baginda tuanku raja .”
“Ya, dan kalau nyi kanjeng blora tidak terusir pada kesempatan
ini, boleh jadi lain lagi yang akan terjadi.”
“Tak ada nampak armada nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja .”
“Alhamdulillah.”
“Betapa indahnya hari ini, baginda tuanku raja .”
“Syukur kepada sang hyang Widhi s.w.t. Kalau mereka tinggal
berkuasa di jayamahanaya , tidak lama lagi, dan pelabuhan-
pelabuhan kita akan jadi perkampungan nelayan belaka.
Laut kita akan jadi rawa. Sawah akan jadi sarang nyamuk
dan ladang kita jadi timbunan batu. Mengerti?”
“patih , baginda tuanku raja .” Seorang perwira yang agak jauh memuji-
muji: “Perhitungan Kanjeng baginda tuanku raja adiputro tepat. jayamahanaya
jatuh dalam sehari,” ia mengunci kata-katanya dengan
sembah.
“Ada kalian dengar? Mereka sudah berhenti menembak.
jayamahanaya sudah jatuh di tangan Gugusan-I. Alhamdulillah. Ya
sang hyang Widhi , ya Robbi, apa yang belum Kau ridloi di utara sana
sudah terjadi di selatan sini: nyi kanjeng blora kalah. Biar begitu,
lepaskan tanda-tanda peringatan kapal-kapal itu tidak
tertinggai kosong.”
Tembakan-tembakan peringatan segera dilepaskan.
namun Gugusan I sudah lupa daratan dengan kemenangan.
“Mendaratkah kita, baginda tuanku raja ?”
“Tidak mungkin! Keteledoran Gugusan-I memicu
kita harus tetap berjaga di sini. Turunkan perahu. Hubungi
Kantommana kapal-kapalnya harus segera diisi, sekarang
juga.”
Sebuah perahu diturunkan dan orang bercepat-cepat
mengayuh ke arah jenggala .
“Sebelum penjagaan laut di utara sana dapat bertugas,
sayap kanan Gugusan-II supaya maju sampai melewati
kapal-kapal Gugusan-I. Waspada ke sebelah utara!”
di kuil rat-di kuil rat dikeluarkan dari kapal bendera dan sayap
kanan Gugusan-II mulai bergerak maju.
“Malam ini kita menjaga laut, lebih waspada, di semua
kapal seyogianya diadakan sembahyang syukur.”
“patih , baginda tuanku raja . Sebentar lagi sore . Besok, insya sang hyang Widhi ,
akan terbit hari baru tanpa ada halangan atau rintangan.”
“Insya sang hyang Widhi , kelambatan dan keteledoran dalam sehari
ini semoga tertebus oleh kegemilangan hari esok:
pendaratan, perkubuan, pemburuan terhadap nyi kanjeng blora….”
Malam pun jatuh.
Langit di atas jayamahanaya merah-hitam oleh api dan asap.
Dari atas kapal-kapal Gugusan-II nampak centeng -
centeng gabungan Aceh-pajang bintoro -suryabuaya mondar-mandir
menjalankan perintah. Antara sebentar sorak-sorai dari
daratan masih terdengar. Dan dalam malam itu juga
tukang-tukang kayu sibuk membetulkan kerusakan pada
tubuh kapal.
perahu utusan tiba dan membawa surat dari perwira
Kantommana, bahwa tugas sudah selesai, dan sedang
menyiapkan untuk pendaratan Sang Laksamana untuk
besok hari. perahu dikirimkan kembali, memerintahkan
agar kapal-kapal Gugusan-II tetap diperlengkapi dengan
kekuatan.
Di atas geladak semua kapal Gugusan-II sembahyang
sore dilanjutkan dengan sembahyang syukur, diimani
dan dikhotibi oleh adiputro tumenggung dijoyo sendiri. lalu
dilanjutkan dengan sembahyang di kuil !
perahu utusan datang kembali, membawa berita bahwa
centeng -centeng yang melakukan pengejaran belum lagi
dapat dihimpun. Mereka masih tersebar di hutan-hutan,
dan bahwa perintah itu akan segera dilaksanakan.
matahari memancar cerah di pagi hari. Langit biru muda
dan bening. Kapal-kapal dari Gugusan-II tetap menjaga
perairan jayamahanaya . Gugusan-I tetap kosong dari penjagaan.
Tembakan kanjuruhan di daratan sudah tak terdengar lagi.
Mereka sudah terbenam dalam arus centeng gabungan.
Pengejaran dilakukan atas sisa-sisa musuh yang terbesar di
mana-mana. Gugusan-II tetap tak dapat mendarat.
Dan bila Gugusan-II mendarat, dan puluh ribu centeng
gabungan akan berpesta di atas kekalahan kanjuruhan , tanpa
gugusan kediri dan jatikerto .
Sebuah perahu layar kecil menghampiri kapal bendera
dan mempersembahkan pada Laksamana tumenggung dijoyo , bahwa
jayamahanaya sudah siap untuk didarati.
tumenggung dijoyo menjadi berang mendengar persembahan itu. Ia
memperoleh kepercaya an, Gugusan-I memang tidak mematuhi
rencana semula. Ia perintahkan perahu itu kembali tanpa
jawaban.
Tepat pada waktu perahu itu sampai ke jenggala , dari
sebelah utara sayap kanan Gugusan-II melepaskan
tembakan peringatan: dari sebelah utara nampak sayup-
sayup iring-iringan armada kanjuruhan . Layar-layarnya yang
tinggi bergambar cakra itu kembung sepenuhnya. Kapal-
kapal itu meluncur cepat ke selatan.
“nyi kanjeng blora!” orang memekik dari atas tiang utama.
Seperti dengan sendirinya cetbang-cetbang Gugusan-II
bergerak laras-larasnya, semua tertuju ke arah datangnya
armada musuh.
Pada sayap kanan Gugusan-II yang sudah ada di sebelah
atas jayamahanaya
tumenggung dijoyo memerintahkan agar berlawan sambil
mengundurkan diri bergabung dengan induk Gugusan.
Pada daratan didi kuil ratkan pada Gugusan-I yang lengah,
bahwa kanjuruhan sedang mendatangi, dan mendesak agar
kapal-kapalnya diisi kembali.
Mengikuti tradisi kerajaan jenggala , cetbang hanya
dipakai di atas laut dan sekali-sekali tidak
diperkenankan di darat. Kapalperang dan cetbang
merupakan kesatuan. Dengan kapal-kapal dari Gugusan-I
yang kosong cetbang-cetbangnya pun menjadi bungkam.
Suasana kemenangan yang riang-gembira berubah jadi
kewaspadaan dan kesiagaan yang tegang. Orang
menduduki tempatnya masing-masing menghadapi perang
laut.
Armada kanjuruhan ternyata lebih maju dibandingkan yang
diperkirakan. Baru saja centeng -centeng dari Gugusan-I
turun ke biduk-biduk untuk menuju kapalnya masing-
masing, resi h gada rujakpolo kanjuruhan sudah mulai kedengaran.
lalu disusul oleh tembakan balasan dari cetbang-
cetbang sayap kanan Gugusan-II yang mengawal Gugusan-
I. Armada kanjuruhan itu maju terus sambil menembak lima
buah kapal, yang dari kejauhan seakan terbuat dari baja
putih. Peluru-peluru besinya beterbangan nampak dari
Gugusan-II. Orang dapat melihat dari setiap kapal kanjuruhan
dapat dilepaskan sepuluh peluru sekaligus dari beberapa
tempat.
Pertempuran laut antara armada kanjuruhan dengan sayap
kanan Gugusan-II nampak dari kejauhan seperti
perkelahian antara dua rombongan ka tak raksasa dengan
lidah-lidah api yang panjang menyambar-nyambar. Dan
kapal-kapal Gugusan-I masih tertidur dalam kedamaian
diayun-ayunkan oleh ombak pagi, seakan tidak peduli pada
kehancuran yang mendatangi.
Orang melihat bagaimana kapal-kapal sayap kanan
Gugusan-II direjam oleh peluru logam dan hanya dapat
membalas dengan ledakan peluru cetbang. Dan kapal-kapal
kanjuruhan maju terus, terlalu percaya pada kekuatan
gada rujakpolo nya, pada kekukuhan kulit kapalnya, pada kelajuan
dan pada keperkasaan layarnya.
Sebuah kapal kanjuruhan nampak terbakar layar-layamya
terkena semburat api ledakan cetbang. Orang juga melihat
sebuah kapal sayap kanan tumbang tiang layarnya dan
dindingnya terbongkar, lalu dengan ragu-ragu
menyelam ke dasar laut. KapaJ-kapal lainnya mengerahkan
dayung menghindari derasnya hujan peluru. namun peluru
logam itu lebih cepat dari kelajuan angin, apalagi kelajuan
kapal. Sukun-sukun besi itu menghunjam buritan, haluan,
lambung, dinding kiri dan kanan. Semua yang terkena
terjang dadal tak dapat bertahan.
Laksamana memerintahkan menghadang musuh dengan
tembok tembakan cetbang. Ia sudah saksikan kehebatan
gada rujakpolo kanjuruhan dengan mata kepala sendiri, dan mengakui
keunggulannya. Ia lihat sendiri juga bagaimana sayap
kanannya tumpas di depan sana tanpa bisa membela diri.
Dan kanjuruhan maju terus seperti tak terjadi apa-apa atas
dirinya.
Sayap kanan Gugusan-II tenggelam sebuah demi sebuah,
hilang ke dasar laut.
kanjuruhan mulai menembaki kapal-kapal Gugusan-I yang
kosong dari centeng , kosong dari pengawalan. perahu -
perahu centeng bubar tak berani meneruskan memasuki
kapalnya. Gelegar gada rujakpolo kanjuruhan dan ledakan cetbang
Gugusan-II sambar-menyambar tak putus-putusnya. Sebuah
demi sebuah dari Gugusan-I menyusul menyelam ke dasar
laut dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri.
Dan armada kanjuruhan terus saja maju. Sebuah kapalnya
yang terbakar layamya tertinggal di belakang.
tumenggung dijoyo memerintahkan semua dayung dipersiapkan.
Keningnya berkerut melihat Gugusan-I tak sempat
melepaskan satu tembakan cetbang pun, biasa tanpa pernah
melawan.
Dan armada kanjuruhan semakin mendekat, semakin jelas
dan semakin besar. Kapal-kapalnya anggun dan agung.
Walau pun kelajuannya tinggi nampak tidak terburu-buru.
Dan kapal-kapal itu ternyata memang tidak lebih besar
dibandingkan kapal bendera pajang bintoro -suryabuaya .
Tak ada terdengar sorak. Hati orang sudah menjadi kecil
melihat tumpasnya sayap kanan Gugusan-II.
Cetbang Gugusan-II mulai menyemburkan tembok api
dan ledakan, tembok penghadang. namun dalam pada itu
setiap kapal datang melaporkan, bahwa semakin banyak
lagi cetbang yang meledak di tempat, melukai dan
membunuh penembak-penembaknya. Sedang kapal-kapal
kanjuruhan tetap tak dapat dicapai oleh cetbang.
Laksamana adiputro tumenggung dijoyo sebentar menunduk, mengerti
ia sudah terkecoh oleh pandai-pandai Hindu dari
Blambangan. Sesal tiada berguna. gada rujakpolo -gada rujakpolo kanjuruhan
tak memberikan padanya kesempatan berpikir lebih lama.
Peluru-pelurunya tak menanggapi tembok api dan
ledakan cetbang.
Gugusan-II kini mulai terkena hajar. Beberapa bagian
dalam sebentar saja, dan setiap gem a gelegar di kejauhan
sana disusul oleh datangnya bola-bola besi lawan yang
menembusi dinding kapal tanpa bisa ditahan.
“Ya sang hyang Widhi , bantulah ummat-Mu ini,” adiputro tumenggung dijoyo
mengangkat tangan ke atas.
Ia berdiri di belakang dua pucuk cetbang yang tak henti-
hentinya menembak. Barangkali ia menyesal juga sudah
menangguhkan pendaratan yang kemarin.
“Perintah baginda tuanku raja Kanjeng adiputro ditunggu,” seorang
perwira menyedarkannya.
Ia menengok ke samping kiri dan kanan. Ia melihat
beberapa buah kapalnya sudah pada mulai miring, hancur
pada lambung, menungging sebab pecah haluan.
Dan cetbang-cetbang tetap tak dapat mencapai
mereka….
“Ya sang hyang Widhi , bencana tak dapat dielakkan. Perintahkan
pada semua kapal untuk meninggalkan perairan jayamahanaya !”
Kapal-kapal mulai bergerak dengan tenaga pendayung.
“Cetbang tak mampu, baginda tuanku raja .”
“Kami sudah lihat sendiri. Mereka memang lebih
unggul. Apa pun yang terjadi, kita sudah menantang
mereka, sudah melawan dan mendatangi.”
Juga kapal bendera mulai berputar dengan tenaga
pendayung.
“Bagaimana rahasia cetbang-cetbang kita kalah terhadap
gada rujakpolo ? Apa obat dan bagaimana ramuannya kiramu?”
“Warta-warta itu ternyata tidak bohong, baginda tuanku raja . Senjata
mereka lebih unggul.”
“Ya, persiapan kita kurang sempurna.”
Pada waktu kapal-kapal dari Gugusan-II memutar
haluan, armada kanjuruhan semakin menggencarkan serangan
sebab memperoleh kan titik tembak lebih besar. Beberapa
kapal lagi sudah buyar dindingnya dan miring lalu
tenggelam pelahan-lahan. Sebuah kapal meledak pada
gudangsendawanya. Api menyebar ke langit dan kapal
itu sendiri ambyar berkeping-keping.
Armada kanjuruhan semakin mendekat juga.
Kapal bendera itu terasa menggetar. Satu di antara tiang-
tiangnya roboh ke samping dengan suara seperti ledakan
petir. Layarnya jatuh ke atas air seperti sayap dayung patah.
Dua orang bermandi darah tertindih di bawahnya, pipih
seperti lontar. Sebuah peluru lagi menyambar siku haluan,
dan mancung yang semalam dibetulkan kini terbongkar
lagi. Sebutir peluru logam lagi menghantam ulang mancung
itu, menembus dan dengan lengkungan masuk ke dalam
laras cetbang, menghantam bilik ledak, meletus, dan
serpihan besi beterbangan.
Laksamana adiputro tumenggung dijoyo menggeletak di geladak
bermandi darah. Serpihan besi sudah menghujani tubuhnya.
Dan dengan demikian armada gabungan Aceh-pekajan -
Riau-pajang bintoro -suryabuaya dengan kekuatan 30 ribu orang
itu hancur dengan kekalahan….
wah
Tumasik sudah di depan mata.
“Semenanjung!” seseorang berteriak dari tiang utama.
mpu logender keluar dari bilik bersama Raden Kusnan. Di
belakangnya mengikuti raden panji gelang-gelang . Semenanjung
nampak semakin nyata.
Dan armada yang dikejar itu belum juga nampak.
Tumasik, bekas pangkalan kerajaan jenggala di masa-masa yang
lalu, sepi. Orang sudah pada mengungsi dari situ.
‘Tidak singgah, langsung ke jayamahanaya .”
Gugusan kediri -jatikerto berlayar dengan semua layar
kembang.
Sesudah setengah hari berlayar nampak oleh gugusan itu
dua buah kapal menuju mereka. Di belakangnya
mengiringkan tiga buah kapal kecil. Semua bergerak
lambat, dan hampir sepenuhnya memakai tenaga
pendayung.
raden panji gelang-gelang naik ke atas tiang utama, menghampiri
juru-tinjau.
“Barangkali kapal bendera suryabuaya ,” kata juru-tinjau.
raden panji gelang-gelang tak menanggapi. Memang kapal bendera
suryabuaya . Ia turun cepat-cepat dan menyampaikannya pada
mpu logender .
“baginda tuanku raja ku! baginda tuanku raja ku!” sebut mpu logender kesakitan. Ia lari ke
haluan, berteriak pada laut, pada angin, pada kaki langit,
dan kapal bendera yang somplak: “baginda tuanku raja ku, baginda tuanku raja ku! Ya
sang hyang Widhi , baginda tuanku raja ku! Hanya kau yang mengerti bagaimana
mempersatukan armada, hanya kau tahu cara mengusir
nyi kanjeng blora. baginda tuanku raja ku! baginda tuanku raja ku!”
Raden Kusnan berlutut di geladak dan bersujud ke
jurusan kapal semplak itu, meratap menghiba-hiba:
“baginda tuanku raja ku! hukumlah patih . patih lah yang bersalah tak dapat
memenuhi janji.”
Kapal bendera yang besar lagi putih dilepas dengan
adonan kapur dan minyak kacangtanah tujuh lapis itu dari jauh
nampak seperti merpati compang-camping dalam
keputihannya. Di beberapa tempat lapisan adonan sudah
gompal dan buyar dengan dinding tubuh menganga.
Bendera suryabuaya , putih dengan gambar kupu-tarung, tidak
nampak sudah terbabat oleh peluru kanjuruhan .
mpu logender memerintahkan agar disiapkan sebuah biduk.
Semua centeng kediri dan jatikerto di atas kapal masing-
masing berlutut dan bersujud kapal bendera. dan
mereka semua menyaksikan mpu logender , Raden Kusnan dan
raden panji gelang-gelang turun ke biduk menuju ke kapal bendera,
naik ke atasnya, dan diiringkan oleh beberapa orang
menghilang ke dalamnya.
Mereka memasuki kamar Laksamana.
Suasana berkabung itu mempengaruhi setiap orang.
Semua kepala menunduk. Juga pendatang yang tiga orang
itu.
Di dalam kamar Laksamana beberapa orang duduk di
atas geladak menghadap pada ambin kayu. Di atas ambin
nampak seonggokan tubuh, seluruhnya dibalut. Dan di
sana-sini balut itu ditembusi darah.
Hanya mata, lubang hidung dan mulutnya saja yang
nampak.
“baginda tuanku raja , baginda tuanku raja !” ratap mpu logender .
Bibir seonggokan tubuh di atas ambin itu bergerak
lambat dan matanya tertuju pada mpu logender : “Masih juga
terlambat kau, mpu logender ?”
“Inilah patih , baginda tuanku raja , hukumlah patih !”
“Terlambat, mpu logender , semua sudah tanpa guna.”
“Raden Kusnan dari gugusan kediri datang menghadap,
baginda tuanku raja ,” sembah Raden Kusnan, “hukumlah patih , bunuhlah
patih , baginda tuanku raja . Tak patut lagi patih mengabdi pada baginda tuanku raja .
baginda tuanku raja ! baginda tuanku raja !”
“Kembali ke kapalmu, Kusnan, Belajarlah menepati
janji.”
“Ampun, baginda tuanku raja Kanjeng,” Kusnan hendak bicara lagi,
namun seseorang sudah mendorongnya keluar.
raden panji gelang-gelang mengantarkan Kusnan kembali ke biduk
mpu logender tinggal di kapal bendera yang somplak. Sepanjang
pengayuhan ke kapal sendiri Raden Kusnan tak henti-
hentinya menangis. Dan juara gulat itu sudah memutuskan
dalam hatinya takkan menyerahkan kembali gugusannya
pada Raden Kusnan. Penyerahan berarti kekuatan kediri
ini jatuh ke tangan pajang bintoro -suryabuaya . Ia akan pertahankan
kepemimpinannya. Dan ia takkan ragu-ragu mengambil
tindakan terhadap bekas pimpinannya itu.
Begitu mereka sampai di kapal sendiri, mereka
mengangkat sembah lagi pada kapal bendera. Raden
Kusnan langsung masuk ke biliknya dan tak keluar lagi.
raden panji gelang-gelang memerintahkan pada seluruh gugusan untuk
mengiringkan Gugusan-II, juga memerintahkan melakukan
upacara berkabung.
“Sampaikan juga pada kapal-kapal jatikerto supaya
kembali!” penntahnya. ‘Tak ada di antara mereka boleh
meneruskan pelayaran.”
Di Riau, kapal-kapal Riau-pekajan yang masih selamat
memisahkan diri dan mengucapkan selamat jalan pada
kapal bendera dengan kibaran bendera-bendera alamat:
selamat jalan pada armada yang pulang membawa
kekalahan. Dan kapal bendera itu tidak singgah Dengan
sangat pelan keberatan tubuh sendiri ia maju membawa
luka-lukanya. Di belakang mengiringkan semua kapal.
Di jatikerto baru iring-iringan itu singgah untuk
berdagang perbekalan, lalu meneruskan pelayaran
ke suryabuaya . Kapal-kapal jatikerto yang kecil itu terus
mengiringkan.
raden panji gelang-gelang sempat melihat bagaimana orang
berduyun-duyun di jenggala jatikerto untuk melihat sisa
armada yang somplak compang-camping itu. Semua
mereka berdiri diam-diam. Barangkali, pikirnya, yang
nampak oleh mereka bukan sisa armada, namun kegagahan
nyi kanjeng blora.
Tidak bisa lain, ia sendiri pun mengagumi kegagahan
nyi kanjeng blora, juga tidak terkalahkan oleh suryabuaya . Ia mencoba
mencari sebab kekalahan ar mada gabungan. Di jenggala
jatikerto ia banyak mendengar percakapan dari perwira-
perwira pajang bintoro -suryabuaya . Ada yang mengutuk pandai-pandai
Blambangan. Ada yang menyalahkan Kantommana yang
tak melaksanakan perintah. Ada yang mengatakan, Aceh
memiliki maksud sendiri hendak menggagahi jayamahanaya buat
dirinya sendiri. Ada yang menyalahkan kediri yang jelas-
jelas sudah mengkhianati janji. Dalam pelayaran menuju
suryabuaya ia kaji semua alasan yang didengarnya dan
membenarkan semua. namun juga membenarkan: adiputro
tumenggung dijoyo satu-satunya orang yang berani berusaha
mempersatukan kekuatan pelawan kanjuruhan , dan berani
melaksanakan penyerangan. Kekalahan yang terjadi bukan
kekalahan perang, namun kegagalan dalam mengatur
kekuatan sendiri. lalu ia menyimpulkan: armada
gabungarf itu semestinya tidak kalah. Ia mengangguk-
angguk mengerti.
jenggala suryabuaya penuh sesak dengan orang-orang yang
datang menyambut. Semua pekerja galangan kapal
berkerumun untuk melihat kesudahan dari kapal-kapal
buatan nya sendiri. Melihat lambung dan haluan kapal
bendera somplak dan tiang-tiangnya yang terpangkas
mereka sendiri, juga kapal bendera itu tidak tahan terhadap
peluru kanjuruhan . Panser dari adonan kapur dan minyak
kacangtanah tidak memiliki makna terhadap sukun besi,
bahkan semakin memberati kapal.
Juga di sini kehebatan kanjuruhan lebih terbayang dibandingkan
kekalahan sendiri.
Ibunda Sang adiputro suryabuaya , Ratu Aisah, permaisuri
kanjeng sinuhun pajang bintoro , juga datang mengelu-elukan.
Raden Kusnan dengan terburu-buru diiringkan oleh
raden panji gelang-gelang turun ke biduk untuk menyertai Laksamana
mendarat.
Dari kapal bendera yang somplak compang-camping
diturunkan sebuah tandu dengan Sang adiputro tumenggung dijoyo terikat
di atasnya. Raden Kusnan dan raden panji gelang-gelang mendekati
tandu untuk memperoleh kesempatan memikulnya sampai ke
darat. namun mereka tersisihkan oleh para pembesar negeri.
Tandu itu diletakkan di tanah di hadapan Ratu Aisah.
Semua orang bersimpuh dan bersujud .
“Pulang, kau, putraku, adiputro tumenggung dijoyo ?” tanya Ratu.
“Inilah putra Ibunda, datang membawa luka dan
kekalahan. Ampuni putra Ibunda ini bersujud dan
mencium kaki Ibunda pun putranda tak mampu.”
Wanita tua itu menghampiri putranya dan
menembuskan pandang pada mata yang tersembul dari
balik balutan.
“Kau terluka, putraku, namun tidak kalah. pemberontak -pemberontak itu
sekarang tahu.
Putraku kesayangan. adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya , sudah pernah
mendatangi mereka, dan akan mendatangi lagi kelak.”
Tanpa diduga-duga oleh siapa pun wanita tua itu
mengangkat tangan dan melambaikan selendang. Semua
mata tertuju padanya. Terdengar suara lantangnya yang
bereampur dengan desau angin dan deburan laut:
“Perhatikan, semua bawahan ! suryabuaya sudah pernah
mendatangi nyi kanjeng blora di jayamahanaya . Kapal-kapal suryabuaya sudah
pernah menyerang mereka, sedang negeri-negeri lain
berjasang yang betari durga satu demi satu tanpa daya. Perhatikan! suryabuaya
sudah mendatangi dan menyerang mereka!”
“Perhatikan semua itu, seluruh bawahan !” adiputro tumenggung dijoyo
memperkuat dengan suara lemah. lalu keluar kata-
katanya yang takkan dilupakan oleh sejarah: “adiputro tumenggung dijoyo
suryabuaya terluka, pulang tidak membawa kemenangan, namun
tidak membawa kekalahan. suryabuaya sudah bertempur
melawan lelananging jagad. Kapal bendera sudah dilukai
oleh gada rujakpolo nyi kanjeng blora. Pasang kapal ini di laut sana,
tambatkan pada sauh jauh dari Pulau Panjang, biar seluruh
dunia tahu: dia sudah pernah berhadapan dengan nyi kanjeng blora
dalam perang laut di perairan jayamahanaya . Sauhkan di sana
sampai umur tua menenggelamkannya sendiri. Lain kali
kita akan datangi jayamahanaya lagi. Lain kali!”
Tandu diangkat lagi. Raden Kusnan dan raden panji gelang-gelang
sudah tak dapat merebut kesempatan untuk memikul.
Mereka berdua berjalan di belakangnya. Iring-iringan
bergerak menuju ke kadipaten. Dan di pelatarannya, di atas
tanah, orang menunduk menyatakan bela sungkawa.
Tiga hari raden panji gelang-gelang tinggal di suryabuaya sebagai
Punggawa kediri . Bekas teman-temannya sekerja dahulu tak
habis-habis mengaguminya. Hanya ki mangkukerta selalu
menghindarinya. Pada suatu kesempatan ia dapat
menangkap bahunya. Orang itu mencoba mengebaskan diri
sambil bersungut-sungut: “pemberontak ! Pengkhianat dari kediri !
pemberontak !”
Ia terpaksa melepaskannya dan membiarkan pergi sambil
membuang jijik ke tanah. Mengertilah ia, umum di suryabuaya
sudah menganggapnya sebagai pengkhianat. Dan ia harus
terima semua itu tanpa bisa membela diri. Ia tanggung
semua pengkhianatan itu sebagai wakil kediri .
Ia mencoba menemui Raden Kusnan untuk minta diri.
Hanya dengan susah-payah ia dapat menemukannya, untuk
memperoleh kan penghinaan baru pula: “Nyahlah semua
tentang kediri dan dari kediri !”
Hatinya terluka.
Pada hari ke empat ia berhasil dapat menghadap Ratu
Aisah. Wanita tua itu menerimanya di taman kadipaten:
“Kau, raden panji gelang-gelang dari kediri , kembali kau pada baginda tuanku raja
adiputro kediri dengan salam kami. Jangan kau patah hati.
Kegagalan di jayamahanaya bukan akhir, hanya suatu permulaan
yang belum selesai. Pulanglah, Nak, dengan damai. sang hyang Widhi
memberkahimu.”
Kata-kata wanita tua itu menghibur hatinya. Dengan
langkah tegap ia turun ke pelabuhan dan hendak segera
memerintahkan mancal.
Jamal Konong, pemimpin gugusan jatikerto ,
menghadangnya di dermaga: “Tuanku raden panji gelang-gelang ,
kepala gugusan kediri ,” katanya sambil bersujud dada,
“raja Pajajaran tidak memberikan ijin pada kami untuk
mendarat di jatikerto untuk selama-lamanya. Kami hendak
menyatakan bergabung dengan suryabuaya , namun tak ada
punggawa yang dapat diajak bicara. Semua sibuk dengan
Tuanku Laksamana. Tuanku, perkenankanlah kami
menggabung pada Tuanku.”
“400 anak buahmu, apakah masih lengkap?”
“Utuh, Tuanku.”
“Baik. Mari mancal.”
wah
Gugusan gabungan kediri -jatikerto meninggalkan suryabuaya
menuju ke kediri .
Sang adiputro menyambut kedatangan pasukan lautnya di
jenggala , la tersenyum dan mengangguk-angguk melihat
semua dalam keadan utuh dan selamat.
Waktu raden panji gelang-gelang mempersembahkan akan kapal-
kapal pelarian jayamahanaya di jatikerto yang menggabung ia
tertawa pelahan. Anggukannya semakin kuat.
Ia sama sekali tak pernah menanyakan Raden Kusnan.
wah
12. muncul nya Kerincuhan
raden panji gelang-gelang mengangkat bocah yang sedang bermain-
main seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat
dan kotor seperti anak anak di desa.
Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata
kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan
ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut
tertawa.
Ia ayunkan mpu wungubhumi ke atas kepala nya, dan anak itu
menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira sebab nya.
“Mana emakmu?” tanyanya walaupun tahu nyi girah
sedang di dapur.
Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya
armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat
itu! Sekiranya nyi kanjeng blora sampai memburu… pasti ia tidak
akan bermain-main dengan mpu wungubhumi , anak istrinya ini.
nyi kanjeng blora tidak memburu. Mereka membelok ke kiri,
menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah
lindungan tembakan gada rujakpolo mereka menghalau dua belas
ribu centeng gabungan Aceh-pajang bintoro -suryabuaya untuk dapat
melakukan pendaratan di jenggala jayamahanaya . Dari kenyataan
itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi
nyi kanjeng blora lebih penting dibandingkan menghancurkan sisa
kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! nyi kanjeng blora
memerlukan pangkalan!
Ia turunkan mpu wungubhumi ke tanah, mengetahui Paman Marta
datang padanya, langsung bersimpuh dan bersujud .
Dengan masih menggandeng tangan mpu wungubhumi ia
mendengus: “Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku
hanya seorang anak desa?”
“saya , paduka Wira.”
“Husy.” namun Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya:
“saya dengar suryabuaya kalah, paduka Wira.”
“Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu.”
Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya
dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang.
“Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya,
suryabuaya kalah. Mau apa lagi?”
“Hebat benarkah nyi kanjeng blora, paduka Wira?”
“Apa itu paduka?”
“Hebat benarkah nyi kanjeng blora, bendara Wira?
“Apa itu bendara? Ya, nyi kanjeng blora memang hebat.”
“Baru saja saya dengar, paduka Wira….”
“Husy. Apa yang kau dengar?”
“Sesudah nyi kanjeng blora mengalahkan adiputro tumenggung dijoyo , rnereka
tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira?” juru gulat itu
mengangguk. “Tadi, baru saja tadi, saya dengar nyi kanjeng blora
sesudah itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya blora
mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian,
Wira?”
Kening raden panji gelang-gelang mengernyit. Tanpa bicara ia
serahkan mpu wungubhumi pada Paman Marta. Ia langsung memasuki
gedung utama untuk mencari patih wirabuana kediri . Yang
dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke
jenggala . Juga di sana patih wirabuana tak diperoleh nya. Justru
pada waktu itu raden sanggabuana bumikerta baru pulang dan
masuk ke dalam gedungnya.
Ia datang Iagi ke patih wirabuana an dan menemui Paman
Marta sedang menggendong mpu wungubhumi yang sedang menangis.
‘Tuan patih wirabuana sudah ada di dalam, Wira,” katanya
sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung.
raden panji gelang-gelang melompat masuk ke dalam.
“Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira,”
sambut patih wirabuana kediri . Ia tetap berdiri di tempat, di
belakang meja tulis.
“Sejahteralah, Tuan. Benarkah blora sudah jatuh ke
tangan nyi kanjeng blora sesudah suryabuaya kalah?”
raden sanggabuana bumikerta menggeleng-geleng dan
berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya:
“Rangmuda! Rangmuda!” sebutnya. “Berapa kali sudah
kukatakan, nyi kanjeng blora juga akhirnya menaklukkan seluruh
dunia. Lupa kau sudah? blora jatuh, Wira. Benar. Selat
sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau
mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita,
rangmuda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh sang hyang Widhi
kepada kita untuk dipakai . Terserah bagaimana
manusia memakai nya dan dapat atau tidak mereka
memakai nya.” Kata-katanya membanjir seakan tak
bakal berhenti. “Sekali orang mengenal karunia ini dan
dapat memakai nya dengan baik, dia akan menciptakan
hukumnya sendiri. Hanya yang dapat memakai
dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.”
raden panji gelang-gelang pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu
masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari
patih wirabuana membakar hatinya. Pada suatu ketika kelak,
tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar
nyi kanjeng blora akan dapat dipatahkan, dan raden panji gelang-gelang akan
ikutserta melakukannya!
patih wirabuana kediri mengikutinya dengan pandangnya
sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan.
Begitu patih wirabuana muda turun ke tanah dan didapatinya
Paman Marta sudah menunggunya membawa mpu wungubhumi yang
meronta-ronta dalam gendongan.
Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya
sendiri.
mpu wungubhumi terdiam. Anak itu sudah lelah menangis dan
meronta. Matanya sayu, lalu jatuh tertidur dengan
kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan
diletakkan si bocah di atas ambin.
Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya
blora, tentang sambutan melecehkan dan cara patih wirabuana
kediri itu menyampaikannya! Ia duduk tepekur. lalu
ia pandangi mpu wungubhumi . Makin lama wajah itu makin
menyerupai pakanewon Habibullah Almasawa: bentuk kepala
yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang
bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung
bengkung! pakanewon Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia
mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu.
Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat
lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali
memasuki kamar ini…
wah
Nyi kembang Kati mengira nyi girah sudah mati di ujung
cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga
sebab kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu
apa lagi, seperti tak sedarkan diri.
Bekas pengurus harem itu masuk sambil melindungi si
bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan
dari raden panji gelang-gelang .
“Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali,
Wira,” katanya.
Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi kembang Kati
mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya.
“Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu? nyi girah sedang
tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk
membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar
aku gendong bayi itu.”
“Jangan!” Nyi kembang menolak kontak dan dari matanya
nampak ia berjaga-jasa. “Jangan bunuh dia, Wira. nyi girah
berpesan, ‘Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang raden gelang-gelang ’.
Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.”
Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap
waspada mendekati nyi girah , yang tergolek di ambin.
Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: “nyi girah ,
pujaan seluruh kediri , Kamaratih kediri , betapa celaka
hidupmu, Nak.”
“Dia tidak celaka, dia berbahagia,” juara gulat
membetulkan.
‘sudah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk
menghadapi hari ini,” ratapan itu diteruskannya, “untuk
menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan
dicintai.”
“Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya,” bantah
raden gelang-gelang .
“Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya,
seorang wanita utama, dikagumi semua orang. nyi girah , ah,
nyi girah !”
“Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur,” tegahnya.
“Kau bukan wanita pertama menderita sejenis ini,
nyi girah . Manakah darahmu, biar kucium sebagai
penghormatan dari semua yang mencintaimu?”
“Tak ada darah keluar dari tubuhnya,” sekali lagi ia
membantah, namun tak dapat mencegah Nyi kembang
meneruskan ratapannya.
Dengan satu tangan Nyi kembang meraba-raba tubuh nyi girah ,
dan ia tak memperoleh kan setetes darah pun. Ia membeliak
padanya, menuduhnya dengan suara keras: “Keji kau,
Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehormatan pada
Kamaratih kediri ! Tak kau antarkan dia dengan ujung
cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi.”
“Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia?”
Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan
pada leher nyi girah . Ia dekatkan matanya pada leher itu dan
baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan
leher itu pun tidak cedera.
“Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira?”
“Mengapa aku mesti bunuh dia? Sediakan air hangat
buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.”
Nyi kembang Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi
dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya.
Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa
banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula
cerita nyi girah tentang impiannya yang temyata kejadian
sebetulnya . Bayi itu bukan anakku. Orang-orang sudah
membicarakannya: nyi girah terkena bius setiap habis pulang
dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka
membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau
percaya? Dan Laki-laki manakah yang bisa membuktikan
seorang bayi itu anaknya atau tidak?
Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya.
Ia pandangi nyi girah yang lelap-nyenyak mendekati pingsan.
Dia tak bersalah. Dia sudah bersedia menerima ujung
cundriknya sendiri. Dia sudah tubrukkan diri pada senjata
itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau
senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia sudah tewas.
Mengapa yang menderita harus menerima hukuman?
Mengapa bukan si penyebab penderitaan?
Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombak-
tombak dan gada . Ia sudah rasai ujung senjata itu
menyintuh jantung patih wirabuana kediri . Sampai di pintu
terdengar olehnya perintah Sang adiputro untuk menjaga
keselamatan patih wirabuana , untuk melindungi jiwanya.
“Terkutuk!” sumpahnya. “Bedebah itu tak boleh aku
punahkan.”
Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang
Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang adiputro harus
membatalkan pelepasan dendam terhadap musuh-
pribadinyua? Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat
menampung perintah para dewa. Dan perintah itu tak datang dan
tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya sudah
mematah-matahkan anggota badan patih wirabuana kediri .
namun lalu melengking suara betari resi yang
mengharapkan dirinya dapat memanggil kebesaran dan
kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang adiputro
yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan
itu terpanggil tanpa restu seorang raja.
namun apakah aku bukan anak kediri mendiamkan saja
pakanewon Habibullah Almasawa? Siapakah yang bisa salahkan
aku kalau aku patahkan batang lehernya? Atau aku
keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang
banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku
mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan
langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, sudah kuremas hati
penghalang jalanan ini!
Kedua belah tangannya menggigil dan keringat
kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan
tangan telanjang menuju ke gedung utama.
Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang
kuda dari kepatihan sudah memanggilnya. Tugas penting
sudah memerlukan tenaganya….
Tidak lebih dari sebulan sesudah kedatangannya dan
jayamahanaya baru diketahuinya: tidak benar nyi kanjeng blora sudah
menaklukkan blora. Benar ada beberapa buah di antara
kapal-kapalnya datang ke sana, namun hanya mencari lada
dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan sudah terjadi
diikuti dengan perkelahian kecil di darat. lalu kapal-
kapal itu balik kembali ke jayamahanaya tanpa hasil.
Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok
bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, sudah
melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua
minggu kanjuruhan menduduki Sabang, lalu pergi lagi
ke jayamahanaya .
Orang memberitahukan juga, kapal-kapal kanjuruhan mulai
kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Selatan, lalu juga di perairan Jawa sendiri.
Seruan kanjeng sinuhun adipati Syah dalam pembuangan untuk
memboikot jenggala jayamahanaya nampak seakan masuk dalam
hati para raja Nusantara. namun pemboikotan
sebetulnya bukan sebab seruan itu. Para raja Nusantara
memang gentar pada kanjuruhan dan takut berlabuh di
jayamahanaya .
kanjeng sinuhun adipati Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang
populer.
Selama kejayaan jayamahanaya sikapnya terhadap para raja
selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan
bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka
memerlukan jayamahanaya , dan jayamahanaya tak membutuhkkan
mereka.
Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya
sudah membuat blora jadi jenggala pengganti jayamahanaya . Maka
jenggala yang sudah kehilangan serinya dalam waktu satu
abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang
pun mulai menduga-duga, jangan-jangan kanjuruhan kelak
akan merampas juga jenggala ini untuk menyelamatkan
jayamahanaya , dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi
kemakmuran dunia. Malahan ada yang sudah berani
mengabarkan : Kalau nyi kanjeng blora belum juga melakukannya
adalah sebab masih disibuki oleh perkara-perkara lain.
Pada waktu itu kanjuruhan memang sedang sibuk
memasuki perairan panarukan dan parahyangan , mencerai-
beraikan armada-armada dagang kediri dan Blambangan,
membunuhi dan memhancur kan pedagang-pedagang
pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini
memegang monopoli atas panarukan .
Pelayaran dan perdagangan antara panarukan dan kediri
merosot. jenggala kediri menjadi lengang. Pasar pelabuhan
sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak
laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri.
Dan di seluruh negeri kediri , tak lain dari Sang adiputro
kediri Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak
habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya
kediri membantu suryabuaya dengan sejujur hati, mungkin
jayamahanaya sudah jatuh dan panarukan tetap dalam monopoli
pemborong dan pedagang kediri dan pasuruan atau
Blambangan. Maka jenggala kediri takkan selengang
sekarang ini.
Sesal tiada guna: jatuhnya jayamahanaya melambangkan
jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh
Nusantara. Nasi sudah menjadi bubur.
Kapal-kapal kediri hampir-hampir tak berani lagi
berlayar ke panarukan . Seperti digebah oleh badai mereka
bertaburan ke jurusan barat mencari lada di jatikerto ,
Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke blora.
Kapal-kapal negeri dongeng seperti ditolak oleh taufan
hampir-hampir tak berani muncul lagi di kediri .
Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di
pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak
perlu menyinggahi jayamahanaya . Tanpa rempah-rempah
perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayu-
kayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat….
Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik
dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada
yang memperhatikan mereka dalam ketenangannya.
Keprihatinan Sang adiputro tak habis sampai di situ saja.
Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan,
penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan
merambat dari jenggala ke kota, dari kota ke pedalaman.
Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja
galangan tak dapat lagi mengharapkan upah.
Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari
Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapal-
kapalnya ke jenggala -jenggala di sebelah barat. Bila mereka
toh menetap di kediri Kota, mereka berpindah kegiatan
dari eksportir menjadi pedagang kebusang yang betari durga pedalaman:
ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam
kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan
atas jayamahanaya mereka mulai mengambil sikap membenci,
memusuhi, dan menentang Sang adiputro kediri .
Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama
mengagumi kekata ran mereka dan dengan diam-diam
menghormati dewa mereka. namun ada juga segolongan
kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka.
Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara
penduduk kediri : yang membenci Sang adiputro dan yang
membenci kejayaan golongan arca . Pertentangan-
pertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang
lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan
mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar-
golongan.
Sang adiputro kediri dapat melihat, keuletan para
pedagang arca akhir-kelaknya yang akan menjamin, arca
juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemeluk-
pemeluknya memiliki kegesitan, memiliki kepercayaan pada
usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, memiliki prakarsa
dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa
perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah,
tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di
antara putra-putranya dari selir, sesudah sekian lama
mengabdi pada pajang bintoro terus bersetia pada raja arca di
barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu:
hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja
mampu jadi penantang dan penggempur nyi kanjeng blora,
sekalipun kalah. namun kelak?
Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru.
Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita
tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewa-
dewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, namun si
manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi
penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan
putra-putranya, dan siapa saja yang bersujud dewa baru
ini.
namun kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya
akan mpalawa ahaya yang lebih keras: kanjuruhan . Belum lagi
raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi kediri , wajah
kediri sudah berubah, dari betari i menjadi lengang,
kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi
sepi.
Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak
lain dari centeng -centeng dari gugusan jatikerto , para pelarian
dari jayamahanaya . Mereka ditampung dalam balai di luar kota.
Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk
melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah
dari panarukan dan tiga-tiganya sudah dirampas oleh kanjuruhan
di Selat jenggala . Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan
dan minum.
Dan pada suatu hari, seluruh balai itu kosong. isinya
hilang-lenyap tanpa bekas.
Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk
melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa
mereka sudah terhasut oleh Rangga jatayuwesi , bekas patih wirabuana
kediri .
Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang
adiputro mengetahui dengan pasti, bekas patih wirabuana itu
sudah memakai kegelisahan umum untuk mencapai
maksudnya sendiri. Orang jawadwipa keturunan Benggala itu
ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia
memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti
kerugian. sudah ia perintahkan agar bekas patih wirabuana itu
meninggalkan kediri Kota dan ditempatkannya di
pedalaman, memperoleh kekuasaan atas lima desa.
Nampaknya ia belum juga puas. Rangga jatayuwesi masih juga
mengajukan banyak permohonan. sudah diijinkannya untuk
mendirikan perguruan untuk mengembangkan agama baru
itu. Masih juga ia memohon tambahan desa.
Dalam dua tahun memegang lima desa itu sudah
memicu desa-desa tersebut memperoleh kemajuan
luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah
dikenal selama itu, yang memicu penduduk desa
bekerja dua kali lipat dibandingkan biasanya. Perumahan
didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga
memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa
batas. Panen yang berlimpahan memicu desa-desa
yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya
menjadi patuh padanya.
Dengan kepasang yang betari durga penduduk padanya bekas patih wirabuana
itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi kediri .
Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa
itu mengibarkan panji-panji arca untuk memusuhinya. Ia
tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orang-
orang arca itu memperoleh perlindungan dari Sri Baginda
Bhre Wijaya Purwhutan esa. Ialah pula yang mempelopori
persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang arca
dari negeri dongeng , mengakibatkan pembangkangan bupati-
bupati pesisir terhadap kerajaan jenggala dan mengakibatkan
kerunsang yang betari durga kerajaan sri ratu kertanegari Tantrayana itu. Ialah pula
yang membenarkan putra-putranya masuk arca dan
berpihak pada arca . Sekarang dengan panji-panji arca
pula seorang bekas punggawa, bekas Syahjenggala mya, sudah
mengambil sikap memusuhinya.
Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru,
kekuasaan baru, pengaruh baru, gada rujakpolo , nyi kanjeng blora… semua
itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju
pada dirinya.
Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh
centeng pelarian jayamahanaya itu menggabungkan diri dengan
Rangga jatayuwesi di desa jayawisesa .
Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di
pajang bintoro untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru
pendamai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun
di antara mereka datang menghadap. Pembangkang arca
hanya bisa diredakan oleh orang arca pula, pikirnya. Dan
sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putra-
putranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah
sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan kediri
terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul.
Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan
raden panji gelang-gelang ke pajang bintoro sebab bagaimana pun putra-putra
itu harus dipercaya kan. Setiap ia ingat, kepentingan nyi girah
juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus
memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa
tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah
permata kediri yang harus dimuliakan. Desas-desus
kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: pakanewon
Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk
memperoleh kan perdamaian dari nyi kanjeng blora dan Espanya.
Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada raden panji gelang-gelang
untuk tidak meletakkan tangan pada patih wirabuana kediri itu,
biar apa pun kata orang tentang dirinya.
Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu:
perang. Juga terhadap Rangga jatayuwesi tak akan dikirimkan
prajurit kerajaan . Setiap terjadi perang dalam negeri di kediri
akan memanggil pajang bintoro untuk menyerang. Boleh jadi
pajang bintoro tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang.
Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan
dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dahulu ,
bahwa orang-orang Tionghoa yang memperoleh perlindungan
di campa , tentu harus ia hancur kan bila Semarang tak bisa
mengendalikan pajang bintoro . namun tanda-tanda itu belum
memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan suryabuaya
suatu permulaan, namun kekalahannya di jayamahanaya juga
menyurutkan kepercayaan orang pada pajang bintoro . Hukuman
itu sudah setimpal dengan kejahatannya.
namun Sang adiputro tak pernah berani mengakui dirinya
sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai
kebencian terhadap perang dan perang merugikan.
Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi
patih wirabuana kediri , pada suatu kali teg’adi ini: Bulan
sedang menerangi alam. Tengah malam.
patih wirabuana , yang diikutinya dari kejauhan, berjalan
seorang diri di jenggala yang sepi itu. Ia berjubah genggang.
Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang
berjalan seorang diri dalam kesepian.
Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar.
Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka sudah
meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi
ini.
raden sanggabuana bumikerta langsung menuju ke dermaga.
Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. lalu
ia berhenti.
Dan raden panji gelang-gelang yang berjalan agak jauh di
belakangnya melompat ke tepi jalan, berlindung di balik
sebatang pohon asam.
Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat.
Hilang- muncul di balik puncak ombak, lalu terayun
naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu
menuju ke jenggala . Dan orang kulit putih mendarat. Dua
orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat.
Beberapa kali patih wirabuana -muda menggosok matanya, takut
salah pengelihatan. namun pemandangan itu tidak menipu
matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang
pendarat itu dibandingkan kulitnya, juga membedakannya dari
kulit patih wirabuana . Dan jauh, jauh di tengah laut sana,
sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal
kanjuruhan dengan layar-layar tergulung.
Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan pakanewon
Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu
lalu turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut
lagi, menuju ke kapal.
raden panji gelang-gelang mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar
taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang
itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini
Mengapa penjaga menara itu lalai? Dan mengapa pendarat-
pendarat itu segera balik lagi? Ada apakah semua ini?
Apakah hubungan patih wirabuana dengan mereka? Dan
adakah pakanewon nanti mempersembahkan peristiwa ini pada
Sang Patih?
Sambil menduga-duga ia tunggu patih wirabuana melewati
tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap
gumamnya, namun tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan,
mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut
itu terlalu keras.
Sesudah orang itu lewat dan menuju ke patih wirabuana an ia
berjalan cepat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik
ke atas.
Didapatinya dua orang penunggu menara sudah tidur
nyenyak. Suatu gelombang kemarahan memicu ia
memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun.
Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya
persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia
perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu.
Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi
dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke
dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja
patih wirabuana .
Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di
hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar
dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya
tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah,
masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia
menginjakkan kaki di bumi kediri .
Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang
bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang.
Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali
ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga
itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai
mereka terjaga. sinar matahari sudah lama terbit. Perahu-perahu
nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang
kapal kanjuruhan sudah tiada. sinar matahari makin meninggi juga.
Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala mereka, mereka
mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan membukakan mata
dengan malas.
Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka
masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak
dengan mata belum sepenuhnya terbuka.
Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari
adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat
pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata
raden panji gelang-gelang yang tajam mengancam dan wajahnya
terbuka.
Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan
memohon ampun.
“Keparat kalian!” sumpah raden panji gelang-gelang berang dan
menyorong kepala mereka dengan kakinya. “Apakah kalian
kira sebab tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai
begini siang?”
“Ampun, Wira. Tiada saya berdua sengaja tertidur
sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang
di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun,
ampun.”
‘Tak ada ampun lagi bagi kalian.”
Mereka mencoba mencium kaki raden panji gelang-gelang , namun
patih wirabuana muda itu menendangnya dengan gerakan kaki
lemah.
“Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur
berbareng seperti ini?”
“Justru sebab keteledoran kalian, tuan patih wirabuana sudah
hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok….”
“Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga
keselamatan tuan patih wirabuana . Hanya di sini…”
Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk
memperoleh pengampunan. Dan patih wirabuana -muda tak juga
memberikan.
“Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian
lalai. Di mana kalian lihat tuan patih wirabuana untuk
penghabisan kali?”
“Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira….”
“Kemarin sore,” desak patih wirabuana -muda.
“Betul. Masih ada di sini, Wira.”
”Apa diperbuatnya di sini?”
“Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira.”
“Bangun kalian! Itu saja ceritanya?”
“Betul, Wira. Tentang wanita lesbian Ispanya, Wira.
Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti
bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira?”
“Siapa yang tahu apa pualam itu? Mengapa tak kalian
tanyakan padanya sendiri?”
“Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya
hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana
mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi wanita lesbian Jawa
dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam,
katanya. Hanya iblis wanita lesbian berhitam-hitam. Buh,
hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang
senang bergigi-hitam.”
“Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan
Ispanya.”
“Diperintahkannya pada kami untuk membayang-
bayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan
patih wirabuana , jangan sampai salah membayangkan. Rambut
mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila
tertimpa sinar sinar matahari . Dan kegenitannya, Wira, katanya,
kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang
seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila
dipuji kecantikannya… tak dapat orang melupakannya
seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira?”
“Tidakkah tuan patih wirabuana menyuruh kalian
melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.”
“Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya,
Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara
celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke
kediri membawa wanita lesbian tiada tandingan itu,
lebih cantik dari bidadari Jawa. ayolah , lihat ke laut lepas
sana!…. Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal
nampak. Tuan patih wirabuana tertawa di belakang kami.”
“Mengapa tertawa?”
“Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia
perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal
itu. Lebih megah dari kapal nyi kanjeng blora, katanya, penuh
dengan wanita lesbian Ispanya yang cantik. Apakah
kalian tak menghendaki barang seorang? tanyanya sambil
terus tertawa di belakang kami.”
“Apa lalu ?”
“Kami kira dia sedang mabok tuak. Sesudah itu dia turun
dan pergi entah ke mana.”
“lalu kalian makan,” raden panji gelang-gelang mendakwa.
‘Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya.”
“lalu kalian minum.”
“Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat.”
“Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu?”
“Tidak, Wira. Hanya minum.”
“Terlalu banyak tuak,” raden panji gelang-gelang mendakwa
lagi.“Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di
sini. Kami hanya minum dari gendi, lalu , entah
bagaimana…”
“Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar.” Melihat dua
orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, “ayolah , makan dahulu
sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih.”
“Ampun, Wira,” mereka mencoba lagi untuk mencium
kakinya.
“Makan, kataku!” perintahnya Dan sesudah mereka
makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi,
“minum segera sebelum kita berangkat, sebab Sang Patih
sedang di luar kota.”
Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada
antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat
seperti hendak bengkak.
“Wira, ampun, Wira, ampun,” mereka berkata berat,
lalu menggelesot tidur di geladak.
Ia mencoba membangunkan mereka. Tak berhasil. Ia
tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia.
Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat
bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia
menghela nafas dan mengucap syukur pada sang Hyang betari durga .
Betapa jadinya kalau nyi girah dahulu kubunuh? Dia sudah
teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi
penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah.
nyi girah ! nyi girah ! Memang patih wirabuana itu patut aku hancur kan.
Kesempatan itu akan tiba jua, pakanewon . Hati-hati, kau!
Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah
ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar cakra
dari sebuah kapal kanjuruhan . Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya
matanya. Benarkah itu nyi kanjeng blora dan bukan kapal Ispanya,
yang patih wirabuana menyuruh penjaga menara itu
membayang-bayangkan?
Layar bercakra itu mengembang pada beberapa bagian
dan sedang menuju ke jenggala . Pasti kapal semalam. Dan
sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul
bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam
tidurnya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah.
Dan benar sebagaimana ia harapkan: patih wirabuana turun
dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian
kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan
menuju ke dermaga.
Ia berhenti memukul melihat patih wirabuana meninjau ke
atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu,
namun lalu berjalan terus.
jenggala yang senyap tiba-tiba menjadi betari i. Wanita-
wanita berlari-larian membawa barang dagangannya
menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk
memperoleh kan tempat terbaik. Menyusul lalu
pedagang-pedagang Laki-laki memikul buah kacangtanah , ayam atau
menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah
dan sayur-mayur.
Waktu canang kadipaten sudah menyambut, ia turun dan
segera mengiringkan patih wirabuana . Matanya terpancang
pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram,
dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan
meronta untuk lalu mati terkapar sekarang juga. Dia
akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan:
hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa
nyi girah lalu pergi? Dia akan tetap jadi anak ibunya.
patih wirabuana dan aku memperoleh maut yang sama, sedang
noda itu tetap tiada kan terhapus.
Ia belum memiliki kesanggupan menyelesaikan
persoalannya.
wah
Untuk pertama kali raden panji gelang-gelang ikut dalam iring-
iringan orang asing menghadap Sang adiputro . Untuk
pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat.
Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol,
langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara
seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana
kepala dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembah-
bersujud . Seluruh badan dari leher sampai muka dari
pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup
dan keringat nampak membasahi punggung mereka.
Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan
sepotong kain, lalu memasukkannya ke dalam saku
baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain
nampaknya tak menanggapi orang selebihnya.
Berjalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di
belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di
belakangnya lagi patih wirabuana kediri . Paling belakang
adalah dirinya.
Biasanya patih wirabuana berjalan di kepala iring-iringan.
Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan
padanya. Biasanya pula patih wirabuana bertindak sebagai tuan
rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring? Dan apakah
yang mereka percakapkan semalam dengan patih wirabuana ?
Apa pula isi surat itu?
Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada
hubungan rahasia antara patih wirabuana dengan nyi kanjeng blora.
Kalau tidak mengapa kapal berlabuh sesudah semalam
mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga? Dan
siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis
hubungan ini?
Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala
makara gapura sudah tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya
sudah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir.
Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir
tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya.
Dia harus pergi meninggalkan kediri Kota. Tak bisa lain.
Mungkinkah sebab kebenciannya pada Sang adiputro ia
menyediakan diri jadi perintis hubungan mereka?
Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan.
Di penghadapan hanya raden panji gelang-gelang duduk di
kejauhan.
Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak
pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. patih wirabuana
kediri melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo.
Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa
ditempati Rangga jatayuwesi . Ia kelihatan lebih bongkok dan
sekali ini nampak kehilangan wibawa.
patih wirabuana -muda merasa tersinggung oleh sikap tamu-
tamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa
sesuatu persembahan.
raden sanggabuana bumikerta mempersembahkan pada
Sang adiputro dalam jawadwipa , bahwa ini adalah untuk
pertama kali nyi kanjeng blora mendarat di kediri , maka mereka
belum mengenal adat-kebiasaan jenggala mya dan adat-
kebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir
menunduk ia memohon ampun dari Sang adiputro untuk
pendatang-pendatang baru itu.
Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu
raden panji gelang-gelang tak dapat melihat perubahan-perubahan pada
wajah baginda tuanku raja nya. Terdengar olehnya orang-orang kanjuruhan
mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung
keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan
raden sanggabuana bumikerta menterjemahkan: “Bukan
maksud kami untuk berlabuh di kediri . Kami sedang
menuju ke Pasuruan atau Panarukan, namun sesat di jalan.
Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami
mengucapkan banyak-banyak terimakasih memperoleh
perlindungan di jenggala baginda tuanku raja adiputro . Berhubung salah
jalan ini, baginda tuanku raja , memicu perhitungan kami juga salah.
Tentang ini akan kami persembahkan nanti…”
“baginda tuanku raja adiputro kediri , kami datang ke mana, ke
Pasuruan atau Panarukan, atau jenggala -jenggala lain di Jawa,
bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini
sudah mengenal nyi kanjeng blora, sebab dunia ada di tangan kami.
Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan
lain….”
“Terjemahkan yang betul!” tegur Sang adiputro gusar.
“Memang tidak sedap untuk didengar, baginda tuanku raja ,” tambah
Sang Patih “juga berlebih-lebihan panjangnya.”
“patih sudah terjemahkan dengan betul, baginda tuanku raja .”
Martinique Lamaya bicara lagi dan patih wirabuana
meneruskan: “Kami datang dan memerlukan beras,
sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang
akan kami bayarkan. Mas nyi kanjeng blora.”
“Tuan patih wirabuana ,” tegur Sang Patih, “bukankah untuk
urusan kapal maka Tuan diangkat jadi patih wirabuana ?
Bagaimana soal begini dipersembahkan pada baginda tuanku raja adiputro
kediri ?”
Sekilas raden panji gelang-gelang dapat melihat wajah Sang adiputro
dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam
sebab tersinggung. Sebentar saja:
patih wirabuana tak meneruskan terjemahannya. Juga
Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap.
Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam
kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan
pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka.
Dan Sang adiputro berkata dalam Jawa pada Sang Patih:
“Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih?”
“Biarlah mereka meneruskan bicaranya, baginda tuanku raja . Memang
mereka belum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya
mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya,”
sembah Sang Patih.
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri ,” patih wirabuana
meneruskan. “Adapun pekerjaan patih memang mengurus
semua yang berhubungan dengan kapal dan jenggala .”
“Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi
kebusang yang betari durga nya.”
adiputro kediri meninggalkan tempat. Dan orang-orang
kanjuruhan kembali ke pelabuhan.
wah
Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya
menginap di gandok kanan kepatih wirabuana an. raden panji gelang-gelang
ditugaskan oleh patih wirabuana untuk melayani.
Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan
orang-orang wanita lesbian berlarian meninggalkan pasar
jenggala sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan.
Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari memperoleh kan mereka.
“Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang
nyi kanjeng blora itu!”
Ia lari ke jenggala . Dilihatnya suatu perkelahian sudah
terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan
awak kapal kanjuruhan . Beberapa orang kanjuruhan lagi sedang
memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam
pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas.
“Wira! patih wirabuana -muda!” dua orang berlarian
menghampiri. “Mereka merampas, mengamuk dan
melukai.”
Dalam jawadwipa raden panji gelang-gelang berseru-seru: “nyi kanjeng blora,
hentikan!”
Begitu selesai berseru-seru ia sudah berada dalam
kepungan beberapa belas orang kanjuruhan .
“patih wirabuana -muda bicara di jenggala nya’ ia berseru
dengan nada memperingatkan. “Hentikan perbuatan kalian.
Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!”
Orang-orang kanjuruhan itu mengejek dan
mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka
memperlihatkan sikap hendak menyerang.
“Kembali kalian ke kapal kalian. patih wirabuana -muda,
raden panji gelang-gelang , sudah bicara. Kembali! Kembali!”
Seorang kanjuruhan sudah melayangkan tangan pada
mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya
perbukuan lengannya. Satu kata kesakitan melengking.
Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang
lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, berteriak
seperti macan terkena tombak. Ia melompat sambil
memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orang-
orang kanjuruhan pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu
berjalan hanya beberapa detik. lalu ia sempat
menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan,
lalu ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas teman-
temannya sendiri.
Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu
nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia
rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya.
Beberapa kali kepala nya menggeleng sebab terkena tetakan
dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan
tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang
dapat ditangkapnya.
Satu sambaran sudah mencengkam lengan seseorang dan
orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada
kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi
kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling
untuk membubarkan kepungan.
Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya,
jauh melayang dan berkembang bug jatuh di pasiran jenggala .
Kawan-kawannya merubungnya.
“Kembali! Kembali ke kapal!” raung raden panji gelang-gelang .
Tangannya menuding pada kapal kanjuruhan yang sedang
berlabuh.
Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu.
Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis
mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya.
Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambat-
lambat mulai lenyap dibawa angin lalu.
Malam belum lagi turun dan kediri sudah mendengar
segala peristiwa yang sudah terjadi di pelabuhan. Bahkan
lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan
tidak puas terhadap Sang adiputro dan Sang Patih yang sudah
begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan teman-
temannya. Mengapa mereka tak diusir saja? Bukankah
bumi ini bumi kediri dan bukan bumi nyi kanjeng blora? Belum lagi
mereka menaklukkan kediri dan tingkahnya sudah tidak
tertahankan. Betapa akan jadinya kalau… kalau….
Kebencian orang pada patih wirabuana pakanewon Habibullah
Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan
orang pun semakin heran mengapa saja? Dan mengapa
Sang adiputro tidak juga mengijinkan dia menyarongkan
gada wesi nya pada tubuh orang terbenci itu?
Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan:
patih wirabuana -mudalah orang pertama-tama yang sudah
mencederai orang-orang nyi kanjeng blora. raden panji gelang-gelang ! Tidak
lain dari raden panji gelang-gelang ! Dan di kediri lah mereka dicederai!
Di kediri !
Lain lagi yang terjadi di kepatih wirabuana an. Pembesar-
pembesar kapal kanjuruhan itu nampaknya tak tahu-menahu
atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di jenggala .
Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak.
Dan pergilah patih wirabuana -muda ke warung mpu jahalodang, yang
sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan
hendak mendengarkan berita yang lebih baru.
Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka.
Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala
sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan:
“Kau benar, Wira, kau benar.”
Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan,
berdiri dan menghampiri. Berkata: “Kalau orang berpikir
semua akan jadi baik lagi seperti dahulu sebab berbaik
dengan nyi kanjeng blora, kita keliru, Wira, kita keliru.
Keterlambatan kediri ke jayamahanaya tak dapat diampuni.
Orang-orang arca benar: tak dapat diampuni. Mereka
mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, rupa-
rupanya semua akan jadi beres.”
Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: “Bukan
adat nyi kanjeng blora menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia
merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia
baru manda, bukan Wira?”
“Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu
warung,” tegur raden panji gelang-gelang .
“Kapal kami pada berkandang di campa , Wira. Tak
ada pekerjaan.”
“Memang baginda tuanku raja Kanjeng adiputro tumenggung dijoyo suryabuaya benar.
jayamahanaya harus direbut. Tanpa pangkalan di jayamahanaya nyi kanjeng blora
akan sudah lemah sampai kemari,” nakhoda pertama itu
meneruskan. Suaranya berkobar-kobar.
“Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali
bebas seperti dahulu , Wira. Sayang baginda tuanku raja Kanjeng adiputro
tumenggung dijoyo kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah,
Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali baginda tuanku raja adiputro kediri ,
barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu
tindakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani
bertaruh, pembikin kerusuhan di jenggala tak bakal ditindak
oleh baginda tuanku raja adiputro .”
‘namun hari ini kau yang menang, Wira.”
“Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah
hancur kan mereka, Wira,” nakhoda itu berkata lagi.”Lihat,
mereka sudah melanggar adat jenggala bebas, sampai
sekarang Sang adiputro tetap belum bertindak. Takut, Wira.
Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari
kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan.”
“Belajar dari saudagar-saudagar arca , Wira, belajar dari
orang-orang arca ,” seseorang menambahi dengan gemas.
“Kalau tidak, celakalah kita semua.”
“Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini,
kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan,
tenggelam dalam kebosanan,” nakhoda itu meneruskan.
“Aku kira orang-orang arca juga sudah berlaku tidak
baik terhadap kita,” seorang nakhoda Pribumi bukan arca
menengahi. “Apakah bukan orang arca yang merampas
suryabuaya ? Apakah bukan orang arca yang sekarang
membuat gaduh di pedalaman?”
raden panji gelang-gelang tahu, kalau percakapan ini diteruskan,
orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang nyi kanjeng blora
datang membawa agama lain pula dan dengan perangainya
sendiri pula. Apakah adiputro kediri lebih baik dari semua
orang dengan agamanya masing-masing? Dia pun tidak
lebih baik. resi mandala dan Pada sudah dijatuhi hukuman
mati tanpa jelas perkaranya.
“Hancurkan kapal nyi kanjeng blora itu,” tiba-tiba seseorang
membakar-bakar gemas.
“Husy,” cegah patih wirabuana -muda. “Itu melanggar
amanagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri
dihancurkan di jenggala asing? Dihancurkan tanpa sebab
perang seperti tingkah nyi kanjeng blora? Kalian sendiri tak suka.
Dan di kediri tidak ada perang.”
“Pembesar-pembesar kapal di kepatih wirabuana an itu patut
digulung.”
“Lebih dari patut.”
“Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang.”
“Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya pura-
pura tidak tahu.”
Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara
jenggala di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang
angkat bicara.
“Husy, husy. Mana tuaknya, mpu jahalodang?”
Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya
sendiri ke jurusan kepatih wirabuana an.
Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya
hiruk-pikuk di jurusan jenggala . Ia berhenti, menyandarkan
lodong-lodong pada pintu gerbang kepatih wirabuana an.
Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga
para pelaut berlarian meninggalkan warung mpu jahalodang menuju
ke sana.
Di jenggala nampak hanya beberapa orang. Tiga orang
kanjuruhan sedang memukuli dua orang yang terbelenggu
tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan
lain adalah dari salah seorang kanjuruhan dalam jawadwipa :
“ayolah , tambahi dengan lima babi!”
Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang
dianiaya itu orang-orang Muslimin.
Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orang-
orang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah.
Darah raden panji gelang-gelang tersirap. Ia tegah mereka. Dan
justru sebab nya pentung mereka berpindah sasaran
padanya.
“Lima babi!” kanjuruhan yang lain ikut berteriak menuntut.
Sebentar terdengar pikulan patih wirabuana -muda
menangkisi pukulan. lalu menggeletar kata annya:
“Ini yang kau kata !” pikulannya berputar menghantam
tengkuk salah seorang kanjuruhan yang paling jangkung.
Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia
melompat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka
tergeletak berkaparan.
“Biar kami habisi!” teriak pelaut-pelaut yang pada
berdatangan.
“Jangan,” cegahnya dan kepada dua orang teraniaya,
“mengapa kalian dipukuli?”
“Kami sudah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor.
Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu
kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit.
Lima. Kami orang arca , tidak berdagang babi.”
“Kalian berdua pedagangnya?”
“Benar, Wira.”
“Dan memang kurus sapi-sapi kalian?”
“Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking,
cacingan hampir mati.”
“Dasar rakus!” patih wirabuana -muda membuang ke tanah.
Tiga orang kanjuruhan itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke
dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus
dirawat di warung mpu jahalodang.
raden panji gelang-gelang kembali ke patih wirabuana an.
wah
Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan
tugasnya.
Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh
upahan: mpu jahalodang dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih
sendiri untuk dapat memperhatikan raden sanggabuana Az-
Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru
ia melihat patih wirabuana itu terlalu begitu merendahkan diri,
hilang sikap besar yang selama ini selalu
dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak
mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka
mulut.
Hampir-hampir patih wirabuana -muda menarik kesimpulan:
ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka
dengan patih wirabuana . namun ia belum berani meneruskan.
Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula nyi girah
dari dapur. Dan mpu wungubhumi sudah tertidur di punggungnya.
“Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini,” juara
gulat itu mengadu pada istrinya. “Orang nyi kanjeng blora pertama-
tama, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun mereka
menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!”
nyi girah tak menanggapi. Ia pindahkan mpu wungubhumi dari
punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata:
“Sudah malam, Kang.”
“Sudah malam? Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan
berkeruyuk,” ia duduk dan mencoba berpikir tanpa bantuan
pendapat orang lain tentang kedatangan kanjuruhan yang
mencurigakan itu.
nyi girah sudah tertidur di samping mpu wungubhumi .
Tak mungkin kapal ini singgah sebab tersasar. Sebelum
berlabuh mereka sudah mengadakan hubungan dengan
pakanewon Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk
menyerang, sebab hanya dengan satu kapal. Lagi pula
Jawa tidak terletak pada jalan jayamahanaya -panarukan . Benarkah
tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan? dua-duanya
pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan arca itu?
namun dari perbekalan yang diperlukan nya, jelas bukan
jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar
mereka akan ke Blambangan. namun untuk apa? Dan untuk
apa pula singgah di kediri ? Ada apa di Panarukan dan
Pasuruan sana?
Ia berpikir dan berpikir.
Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari
gendi dan duduk lagi pada tepian ambin.
Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran
penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip suryabuaya dari
kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan
adiputro tumenggung dijoyo dari jenggala -jenggala terdekat. Dan bila mereka
sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu
pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa
kalah, nyi kanjeng blora akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah
panarukan tanpa saingan. Semua jalan ke panarukan dan jayamahanaya
sudah jadi miliknya.
namun kediri akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka
yang akan da tang ke kediri , kediri lah yang akan datang
pada mereka di jayamahanaya . San adiputro harus mengerti.
Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. adiputro tumenggung dijoyo
temyata benar, walaupun gagal. Sang adiputro yang salah.
Orang-orang arca semakin memperlihatkan permusuhan
terhadap Sang adiputro . Dan kalau Sang adiputro tak cepat-
cepat mengubah sikapnya, boleh jadi kediri akan semakin
merana, mungkin sampai mati.
mpu wungubhumi terbangun menangis minta minum.
wah
13. Meningkatnya Kericuhan
Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan.
Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya
beribetari . Kaki-nya yang pancal hitam berjasang yang betari durga seperti
menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti
serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang
menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk
raden panji gelang-gelang memakai bagian luar panjang dari kaliko.
Bagian atas bagian luar tertutup dengan kain batik yang dipasang
miring dan bersibak pada belahan tengahnya.
Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang
perak di mana terselit sebilah gada wesi bersarong perak berhulu
kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati
tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah.
Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti
baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung
berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon
kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang
biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran kerajaan jenggala .
Seluruh kediri mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya
terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari
Sang adiputro untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk
bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa
yang memiliki hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu
berukir muncul , sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi
kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata
dari ikan perak itu.
Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut
kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah.
Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan
tombak dan perisai. gada tergantung pada pinggang
masing-masing.
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya patih wirabuana -muda
membalas hormat orang lalulalang dengan sembah dada.
“Tuan patih wirabuana -muda!” seseorang memanggilnya
dalam jawadwipa . “Berhenti dahulu , Wira.”
Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya
suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi
sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu
gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan
berbuah baju kain pula.
raden panji gelang-gelang turun dari kudanya. Sudah beberapa kali
ia melihat orang ini, namun tak pernah tahu nama dan tak
tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya
menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya.
Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya
sendiri, tersenyum bersabda . Juga matanya yang sipit ikut
tersenyum.
“Ada pada saya sepucuk surat untuk Tuan
patih wirabuana -muda,” katanya sambil menyerahkan. “Kalau
Wira berkenan barang sebentar di warung mpu jahalodang….”
raden panji gelang-gelang memperhatikan orang yang fasih jawadwipa
itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang
yang sudah lama tinggal di jayamahanaya dan sudah
berpengalaman di jenggala -jenggala Nusantara.
“Ada sesuatu yang saya hendak sampaikan.”
Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata
punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan
matanya. Dengan tangannya ia memberi di kuil rat
mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di
rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta
perhatian khusus.
patih wirabuana -muda menyapukan pandang pada
kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu
dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya.
“Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu.”
“Dari siapa?” tanya raden panji gelang-gelang .
“Dari mpu jayamuseswa .”
“Tak ada aku kenal orang arca bernama begitu.”
“saya hanya sekedar menyampaikan.”
“arca baru atau lama?”
“Tak ada arca lama, Wira, semua baru.”
“Di mana tinggalnya?”
“Tidak menentu, Tuan patih wirabuana -muda. Dia seorang
adipati pajang bintoro , mengembara ke mana-mana.”
“Apa itu adipati pajang bintoro ?”
“sejenis pekerjaan, Wira.”
Dan teringat olehnya akan Anggoro alias ki mangkukerta di
suryabuaya dahulu . Ia mengangguk. Surat itu belum juga
dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya seorang
arca baru dan musafir pajang bintoro . Bertanya: “Di mana kau
bertemu dengannya?”
“dahulu , Wira, di campa . Dia pernah tinggal bersama
saya . Sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Artinya,
sebelum dia masuk arca ,” dan ia tetap tak memperlihatkan
tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia
mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam.
“Apakah balasan diharapkan dengan segera?”
“Tidak, Wira, tidak.” lalu ia berkata dengan nada
lain, “Maafkan, tidak saya antarkan surat ini ke
kepatih wirabuana an. Susah bisa masuk ke sana.”
“Ya,” dan raden panji gelang-gelang mulai membacanya.
Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda,
memperhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu
masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada
wajah raden panji gelang-gelang dan memajukan hewan mereka
beberapa langkah dan menyiapkan tombak.
Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat
lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu dan
pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu
sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang
adiputro . Surat itu sudah diambil oleh penguasa kediri itu
dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir
kesayangan.
Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya,
melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya,
dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan.
“Pengirim ini bernama mpu jayamuseswa ?”
“Benar, Wira.”
“Sebelum masuk arca apakah namanya? Bukankah
Pada?”
“Benar, Tuan patih wirabuana -muda.”
Berdua mereka berjalan ke warung mpu jahalodang. raden panji gelang-gelang
sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara.
Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh
perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang mata orang sudah
melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun
terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit
Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan
arak juara gulat itu mulai membaca lagi:
“Dari mpu jayamuseswa kepada patih wirabuana -muda kediri ,
raden panji gelang-gelang . Ketahuilah, Kang raden gelang-gelang , kakangku sendiri,
dalam keadaan sehat sudah aku tinggalkan campa . Ingin hati
datang bersujud mu, ingin hati menengok nyi girah nyi girah .
Bagaimana mungkin? kediri sudah membunuh aku dan
melemparkan aku ke laut. kediri itu juga yang tetap
menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup.
Pasti engkau mengerti, Kang raden gelang-gelang , kakangku sendiri, betapa
besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong
kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya
seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang
penari rupawan, impian dan pujaan setiap Laki-laki ….”
raden panji gelang-gelang berhenti membaca. Ia merasa seakan
disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya,
kemalangan suami-istri? Atau dia tidak tahu? Ia pandangi
orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga
tersenyum dengan bibir dan matanya.
Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan
membenarkan bacaannya. Dan perbuatan itu
menghilangkan kecurigaan raden gelang-gelang . Ia meneruskan
bacaannya:
“Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya,
kakangnya sendiri, yang sudah berikan hidupnya kembali. Biarpun
adik ini senakal setannya sang yang betari durga sang hyang Widhi , Kang, dan biarpun
kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap
kakangnya yang harus dibalas budinya.
Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam
surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat
membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan.
Semua orang pesisir tahu apa yang diperlukan kediri . Bicaralah
sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama
denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.”
Sementara itu orang Tionghoa itu sudah mengatur cawan-
cawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan
sebuah cawan sambil berbisik: “saya bersedia membantu
Tuan patih wirabuana -muda,” ia masih juga tersenyum. “Liem
Mo Han nama saya ,” suaranya jelas walaupun warung
itu betari i dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum.
mpu jahalodang memperhatikan keduanya dengan selintas.
Menyedari akan pandang mata pewarung itu shinoda
Han mengajaknya minum, untuk lalu keluar
dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya
yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian
kalinya memaksa ia menerima ajakannya.
Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang
mata semua yang tertinggal.
Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana.
Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga
berjalan.
“Memang saya sedia membantu,” yang pang pang
mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam
Jawa halus. “mpu jayamuseswa sudah membicarakan
kemungkinan ini dengan saya , lama dan berkali-kali.
saya percaya , tenaga saya memang Tuan perlukan,
Wira.”
raden panji gelang-gelang masih jua belum mengerti maksudnya dan
diam mendengarkan.
“mpu jayamuseswa dan saya tahu, ada satu
kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa
nyi kanjeng blora. Kalau hanya patih wirabuana kediri pakanewon
Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang
dapat mengawasi pekerjaannya. saya bisa bahasa itu,
Tuan. Tiga tahun lamanya saya bergaul dengan orang-
orang nyi kanjeng blora.”
“Babah dan Pada sungguh tidak keliru.”
“Kalau ada surat-surat nyi kanjeng blora, saya akan bacakan
untuk Wira.”
“Sayang, sekiranya Babah datang lebih dahulu ,”
patih wirabuana -muda itu berkecap-kecap menyesali.
“saya datang sesudah dapat mengalahkan keragu-
raguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus saya
bacakan?”
“Nanti pada waktunya, Babah.”
“Di samping itu, Tuan patih wirabuana -muda, masih ada
satu perkara lagi. saya sedang memburu dua orang
nyi kanjeng blora, fredy krueger dan penywise namanya. Mereka lari
dari campa melalu jalan darat. Mereka lari ke mari.
Entah di mana mereka bersembunyi tadinya saya tidak
tahu. Baru sesudah kapal nyi kanjeng blora itu berangkat, nampak
mereka oleh saya ada di gubuk pelacuran di daerah
pelabuhan.
“Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan
pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.”
“Benar, Tuan patih wirabuana -muda. namun nyi kanjeng blora adalah
nyi kanjeng blora, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan
hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.”
“Bukankah mereka itu yang dahulu dikejar-kejar di
suryabuaya ?”
‘Tidak keliru, Wira, itulah mereka.”
“Mata-mata.”
“saya belum dapat memastikan. Nampaknya memang
demikian.”
“Aku sudah lihat orang-orang itu di jenggala suryabuaya .
Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini?”
“Lama saya memburu mereka. Tahukah, Tuan,
mereka adalah kanonir, penembak gada rujakpolo nyi kanjeng blora?
Penembak gada rujakpolo !”
“Penembak gada rujakpolo !”
“Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah
perlindungan Tuan pakanewon sendiri? Hampir-hampir satu atap
dengan Wira?”
“Ha?” seru raden panji gelang-gelang , ia mencoba menembusi mata
yang pang pang untuk dapat membaca pedalamannya.
“Bukankah Tuan sahabat mpu jayamuseswa ?”
raden panji gelang-gelang mengangguk membenarkan. “mpu
jayamuseswa adalah anak-pungut saya . Patutkah saya
mengatakan yang tidak benar pada Tuan?”
raden panji gelang-gelang meletakkan kedua belah tangannya yang
kukuh itu pada bahu shinoda Han. Dan orang
mepercaya kannya dengan senyum pada bibir dan matanya.
“Mereka tidak melanggar ketentuan, nyi kanjeng blora-nyi kanjeng blora
itu. patih wirabuana kediri pun tidak,” kata Sang Patih. “Tak
ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan?
Ya. Siapa tidak mencurigai nyi kanjeng blora? Awas-awaslah selalu,
tak boleh ada satu kejadian di daerah jenggala yang
menyalahi ketentuan.”
“Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, baginda tuanku raja .”
“Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu,
bukan untuk dapat menangkap orang-orang nyi kanjeng blora itu,
namun untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai
lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama
soalnya Semarang, persangkutannya selamanya pajang bintoro .
Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah pajang bintoro sudah
memboroskan hampir seluruh tenaganya di jayamahanaya .”
“Mereka tinggal di kepatih wirabuana an, baginda tuanku raja ,”
raden panji gelang-gelang memotong.
“Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang
asing di sini. Selidiki dahulu benar-tidaknya.”
“Mereka pelarian dari kapal nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja , penembak-
penembak gada rujakpolo .”
“Penembak gada rujakpolo ! Kalau itu benar justru semakin
menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi gada rujakpolo
mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak
gada rujakpolo pula, baginda tuanku raja adiputro tentu akan menaruh perhatian.
gada rujakpolo , Wira, bukan cetbang. gada rujakpolo adalah gada rujakpolo , dan
kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah
melihatnya di jayamahanaya atau di kapal nyi kanjeng blora kemarin. Aku
belum. gada rujakpolo , Wira! Sesudah kekalahan Pati tumenggung dijoyo di
jayamahanaya , semua tahu: gada rujakpolo saja kunci kemenangan.
kediri akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu
mereka bisa membuat untuk kediri ? Biarkan mereka
tinggal di kepatih wirabuana an. Pergi!”
Sesudah menerima Sang Patih dan sesudah bercengkebetari
di taman kesayangan, Sang adiputro kediri masuk ke dalam
harem.
Pintu-pintu sudah tertutup pada malam berangin itu. Pada
pengurus baru ia berbisik memperingatkan: “Jangan sampai
terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan
kau ulangi perbuatan Nyi kembang Kati. Hukuman yang akan
dijatuhkan lalu akan lebih berat.”
Ia diam mendengar-dengarkan.
Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa
orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik
yang terkunci dari dalam.
“Siapa itu?” bisiknya bertanya.
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro sesembahan patih , tiada lain dari
bawahan baginda tuanku raja Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.”
“Nyi kembang Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu
sebelum waktunya?”
“Tidak, baginda tuanku raja , patih tidak tahu mengapa sekarang
begitu.”
Sang adiputro meninggalkan Daludarmi bersimpuh di
tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk
mendengarkan.
“… siapa tidak tahu tidak kuatir? Sapi-sapi kita bisa
punah. Panen kita bisa musnah,” penguasa kediri itu
mendengar.
“Apa belum juga ada yang mempersembahkan?” suara
yang lain.
“Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana,” suara yang
ketiga.
“Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki
Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke kediri . Bagaimana
desamu?”
“Belum sampai ke perbatasan desa kami,” jawab yang ke
empat.
“namun siapa tahu? Barangkali mereka sudah sampai juga
ke sana sekarang?”
“Kalau baginda tuanku raja adiputro belum menggerakkan prajurit kerajaan ,
tentu belum ada yang mempersembahkan,” suara pertama
menyimpulkan.
Sang adiputro kembali mendekati Nyi kembang Daludarmi
yang masih juga bersimpuh di tanah.
“Berapa umurmu, Daludarmi?” bisiknya bertanya.
“Tiga puluh lima, baginda tuanku raja , menurut perhitungan matahari .”
“Apakah kau arca ?”
“patih , baginda tuanku raja .”
“Mengapa menurut perhitungan bulan?”
“patih tak tahu menghitungnya, baginda tuanku raja .”
“Gila, bulan dipakai sebagai hitungan. Daludarmi!
Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga
jadi selir?”
“Semua baginda tuanku raja adiputro sesembahan patih yang
menentukan, baginda tuanku raja .”
“Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi,” bisik
Sang adiputro . “Dan kau belum pernah beranak.” Sang
adiputro mulai merabai tubuh pengurus harem itu. “Kau
masih lebih kukuh dari si Kati.” Ia sejenak tak bicara.
lalu , “Coba, mana mukamu?” dan ia pandangi
wanita itu dalam kegelapan malam.
Ia tak teruskan dengan membuat cinta.
“Bagaimana Sekar Pinjung sekarang?”
“Ampun, baginda tuanku raja , sepanjang pengetahuan patih , ia jarang
keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat.
patih pohonkan ampun untuknya, baginda tuanku raja , wanita semuda
itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas.”
Sang adiputro berdiri termangu-mangu Ditariknya
Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, lalu
ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan
melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih
sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju
ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke
dalam.
Dua jam lalu ia keluar lagi dan menuju ke bilik
ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, namun
tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab.
Nyi kembang Daludarmi berjalan menghampiri Sang
adiputro , berjongkok di bawah dan bersujud , lalu
memanggil-manggil pelan pada pintu: “Nyi Ayu, Nyi Ayu
Sekar Pinjung! Nyi Ayu!”
“Nyi kembang kah itu?” terdengar suara sayu menjawab dari
dalam.
“Nyi?”
“Bukalah pintu, rang manis,” kata Daludarmi lemah.
Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan
Sang adiputro masuk ke dalam.
Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan
riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya,
tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh
Daludarmi dari luar.
Laki-laki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang
bergolak di dalam hatinya.
Sesudah mendengar pembicaraan para selir dari balik
pintu, ia mengerti, ada kepala -kepala desa yang tak berani
mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya,
maka dipakai selir-selir. Mereka selalu memperoleh
kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk
diteruskan pada Sang adiputro . Demikian mereka dapat
melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus.
Memang perbuatan kepala desa sejenis itu tak dapat
dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun
sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara
itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri.
Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala.
Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun
ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman.
Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu
berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya?
Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah.
kepala desanya sudah mempersembahkan upeti dua kali
lipat. Hampir selama dua tahun ini! namun ia masih juga
belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir
tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar
Pinjung
Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang
mencium kakinya. lalu tangan gading itu memeluk
kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak.
Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat.
Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan
terhadap nyi kanjeng blora. Ditambah lagi dengan pengetahuan,
nyi kanjeng blora hanyalah manusia biasa yang juga memerlukan
makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa
dan adatnya lain.
Hukuman itu sudah lebih dari dua tahun dijalani oleh
Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang kesatria raja tidak
mencabut kembali kata-katanya.
Wanita berkulit gading itu tak menanggapi keadaan
dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu
kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang adiputro lebih
membekukan.
Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil sebab
sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu
hina dan tidak berarti. Hanya seorang kesatria raja bisa
membuat nya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku
sudah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur
mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang
hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan.
Betul. Tempat raja-raja tumbang sebab gosokan. Betul.
Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap
bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu.
Benar wanita lesbian hina ini hanya memperingatkan. Hanya
memperingatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil
terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu
mencabut kata-kata kesatria raja yang keliru?
Sebelum Sang adiputro dapat memutuskan pergolakan di
dalam dirinya sudah keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan
dan berbisik: “sudah dicabut hukuman bagimu, Sekar
Pinjung. Berdiri!”
Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya
luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau.
kepala nya masih juga terangguk-angguk kecil sebab sedu-
sedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun.
Sang adiputro meraih dua belah tangannya. Didekapkan
dia pada dirinya, lalu dipangkunya.
Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis
terampuni. Dan luluhlah sudah amarah Sang adiputro , luluh
pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi.
“Daludarmi!” panggil Sang adiputro dari dalam bilik.
Wanita pengurus harem itu masuk ke dalam, membawa
nampan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju
pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di
hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang adiputro .
Penguasa kediri itu mengambil cawan jamu dan
meminumnya habis
Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar.
“Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan
itu di meja.”
Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan
dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan centeng sudah
meninggalkan kediri Kota menuiu ke berbagai jurusan
negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi
selama ini.
Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan
para bala tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang
selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum.
Beberapa hari sesudah keberangkatan kesatuan-kesatuan
kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan
kepala -kepala desa, para wedana, demang dan kuwu
seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa
di bawah kekuasaan Rangga jatayuwesi . Mereka semua duduk
bersila di atas lantai.
Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: “Betapa
sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada
mempersembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa
kalian. Ketahuilah, baginda tuanku raja adiputro kediri sangat murka
mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan
kalian. baginda tuanku raja adiputro kediri mendengar, bahwa pagardesa
kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab
sekarang juga. Benar-tidak?”
“Ampun, baginda tuanku raja Patih,” seorang kuwu mengangkat
sembah. “Adanya huru-hara itu memang betul, sebab
terjadinya di daerah kekuasaan patih . Ada pun patih belum
juga mempersembahkan adalah sebab patih masih
berusaha, belum lagi putus-asa.”
“Pernahkah kalian menang terhadap mereka?”
“Ampun, baginda tuanku raja , belum pernah, namun kalah pun belum.”
“Jangan persembahkan teka-teki.”
“Begitulah adanya, baginda tuanku raja , kalau mereka datang,
pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari.”
“Apa kalian sedang main petak?”
Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah
menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap
menunduk.
“Mengapa membisu? Hilangkah sudah lidah kalian?”
“Ampun, baginda tuanku raja , di tempat patih agak lain keadaannya.
sudah patih persembahkan ini ke hadapan baginda tuanku raja Patih,
bahwa pagardesa patih selalu masuk ke dalam jebakan dan
satu kali pun tidak pernah menjebak.”
“Apa maksudmu dengan jebak-menjebak?”
“Maksud patih , baginda tuanku raja , rajakaya desa hilang kalau tidak
dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.”
“Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu.”
“Ampun, baginda tuanku raja . Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya
itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu.”
“Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti.”
“Ampun, patih pun tidak mengerti, baginda tuanku raja . Hei, kepala
desa, bersembah kau yang benar dan patut.”
“Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di
dalam desamu sendiri?”
“Kira-kira begitu, baginda tuanku raja , namun patih tidak berani
mempersembahkan dengan pasti.”
“Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri
persembahan bawahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa
kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini!
Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya,” Sang
Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap.
Meneruskan, “Kami beri waktu untuk kalian satu bulan
penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian
sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari
desa-desa lain yang aman. Kalau gagal, tahu kalian
akibatnya?”
“Tahu, baginda tuanku raja .”
“Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau
kalian gagal, prajurit kerajaan kediri akan bergerak mengambil-
alih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya?”
“Mengerti, baginda tuanku raja .”
“Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau
prajurit kerajaan bergerak, menjadilah tanggungan pada desa-
desa yang didatangi bala-para bala tentara nya. Cukup sebulan itu?”
“Lebih dari cukup, baginda tuanku raja ,” mereka menjawab berbareng.
lalu Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan
cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa baginda tuanku raja
adiputro kediri menjabat patih wirabuana kediri Kota. Nama
sebutannya adalah Rangga jatayuwesi . Nama kelahirannya
adalah jatayuwesi dijoyo .
Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama
raksasa dalam betari yana itu, nama yang tidak populer bagi
negeri kediri . Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan
ketegangan lenyap.
Cerita pun diteruskan: jatayuwesi dijoyo adalah cucu dari
patih wirabuana jayamahanaya , seorang Benggala tumapel . Dari
kakeknya Rangga jatayuwesi merasa dirinya orang Benggala,
maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang
berumur pendek, beristrikan seorang tumapel pula. namun
bekas patih wirabuana itu dilahirkan oleh seorang ibu jawadwipa ,
dan dari ibunya ia memperoleh nama dijoyo .
Sekali lagi penghadap gelak tertawa.
Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Rupa-
rupanya ia sudah memperoleh firasat, anak yang dikandungnya
nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring.
sebetulnya , Rangga jatayuwesi memiliki gigi taring yang
agak mencolok.
“namun keadaan sudah berubah,” Sang Patih
meneruskan. “Jabatannya sebagai patih wirabuana tak dapat
dipertahankan. la harus diganti. namun ia tidak rela diganti,
ia merasa jenggala kediri adalah miliknya pribadi. Segala
apa pun yang dikaruniakan baginda tuanku raja adiputro dung gapnya
kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergygi
tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa
jadi seorang bupati namun tidak, dengan desa itu ia semakin
bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari
berperang, dan sekarang dipakai nya jadi modal untuk
melawan….
Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri
kediri sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan
ningrat sudah menamakan diri Ki Aji dan memperoleh kan,
banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan
seorang adiputro , belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak.
Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa,
seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang.
Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru
belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari
beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di
seluruh pulau Jawa.”
Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan
gemas: “Kalian harus ingat, dijoyo alias Ki Aji Benggala
bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah kerajaan jenggala ,
berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun
tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai
berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu
banyak. Hanya dia memiliki satu kebodohan, satu saja: dia
tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan:
tumpaslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu.
Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu
takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih,
sebab dia sebetulnya tidak tahu tentang karunia para
dewa. Nah, pergi kalian.”
Dengan menghadapnya para punggawa orang memperoleh
gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan
pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: prajurit kerajaan
kediri akan bergerak dalam sebulan mendatang.
Di kediri Kota sendiri sudah dirasai adanya perubahan
itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadi-
jadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota
banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah
ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antar-
pulau, beku.
Dan di jenggala sendiri, kecuali pemeliharaan dan
pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi….
wah
raden panji gelang-gelang tak pernah lagi kelihatan seorang diri
dalam menjalankan tugasnya. Ia pun memperoleh tugas baru:
menjaga keamanan jenggala Kota dan Glondong.
Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin
banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi.
Hubungannya dengan yang pang pang membawanya pada
suatu pengetahuan, bahwa benar kanjuruhan dan kapalnya
sudah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan,
Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya,
bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput
Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran.
Dan sesudah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada
barang sepuluh orang kanjuruhan mengantarkan kapal itu
berangkat. Mereka tinggal di Blambangan.
yang pang pang pula yang memberitakan padanya: di
antara sepuluh orang kanjuruhan itu ada yang masuk lebih ke
dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah
rumah. Boleh jadi, kata yang pang pang selanjutnya, dengan
bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang nyi kanjeng blora akan
berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri
kediri dan dengan persekutuan itu akan mengancam kediri
dari laut dan darat.
“Wira, hanya kekuatan arca yang menentang nyi kanjeng blora.
Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa
terus-menerus terdesak oleh arca , mengambil sikap
bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu
nyi kanjeng blora datang mereka segera mengulurkan tangan
penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan
dari musuh seluruh dunia itu.”
Lama ia renungkan kebenaran kata-kata shinoda Han.
Perbandingan ia tak memiliki . dari renungannya ia
mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, arca dan
kanjuruhan . Baik Hindu mau pun arca , dua-duanya menari
sebab adanya kanjuruhan .
“Ya, nyi kanjeng blora tetap pokok,” ia memutuskan.
Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui:
kediri berada di antara Hindu dan arca , tidak memiliki sikap
yang pasti terhadap nyi kanjeng blora.
“kediri harus menentang nyi kanjeng blora, tanpa menjadi arca ,
juga tidak sebab Hindu.”
Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih.
Namun kata-kata yang pang pang tentang tiga kekuatan itu
menjadilah dasar pandangan resmi praja kediri dalam
memahami dunia yang sedang berubah.
namun sahabatnya itu tak pernah bicara tentang
Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang
perdagangannya, tidak tentang musuh-musuhnya, bahkan
tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah
membuka mulut. Dan raden panji gelang-gelang merasa tak ada
kebusang yang betari durga untuk mengetahui.
sudah beberapa kali ia mengundangnya untuk
menghadap Sang Patih. yang pang pang selalu menolak. Dan
dalihnya terakhir adalah: “Hanya kerajaan yang sudah
sepenuhnya arca mau melawan nyi kanjeng blora. Maka yang
setengah arca cuma akan setengah melawan. Biarlah
saya membantu dari jauh saja, Wira.”
Penolakan itu bergema dalam hati patih wirabuana -muda.
Aku belum pernah jadi arca . Aku tak kenal dewa-
dewanya. namun aku pernah melawan nyi kanjeng blora, biar pun
sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap
melawan. Ia merasa tersinggung sebab yang pang pang
menganggap kediri setengah arca . Seperempat pun
belum! namun aku akan melawan nyi kanjeng blora. Hanya
kesempatan saja belum aku peroleh.
yang pang pang tetap tidak mau bicara tentang pribadinya.
Ia selalu bicara tentang praja.
Setiap ia memperoleh kesempatan dan bertemu dengan
sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan
pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak
binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari
betari during, namun tenang-tenang, seakan tidak terjadi
sesuatu, dan masuklah dalam hatinya.
Suatu peristiwa sudah memicu mereka berdua
berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak.
Pagi waktu itu.
Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari
memeriksa seluruh jenggala . Baru saja ia turun dari kuda
sudah terdengar: “Wira! Wira!” raden sanggabuana bumikerta
memanggilnya.
Sudah lama rasanya ia sudah hindari patih wirabuana yang
dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nampaknya merasa
juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi
permainan hindar-menghindar ini.
Ia naik ke gedung utama dan didapatinya patih wirabuana
sedang minum kopi di kamar-kerjanya.
“Selamat untukmu, Wira,” ia berdiri. Wajahnya berseri-
seri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama
sekali.
“Tuan patih wirabuana , inilah saya ,” jawab raden panji gelang-gelang .
Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari
punggung orang Moro itu sudah sering ia perhatikan
pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya.
“Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman?”
tanyanya dan menyilakan duduk. “Nah, semestinya kau
tahu di mana desa jayawisesa ”
Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, jayawisesa adalah
sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji
Benggala.
“Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu?”
“Apa yang mereka percakapkan?” mata raden kelap-
kelip menyelidik.
Dan waktu nampak olehnya raden panji gelang-gelang tersenyum
mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan kata-
katanya. Dengan mengambil nada lain ia berkata :
“Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga jatayuwesi
memberontak? Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima
semua perintah baginda tuanku raja adiputro .” Nada suaranya meningkat lagi,
“Begini, Wira, kau juga tahu Rangga jatayuwesi ada di jayawisesa .
Aku mengetahui dari baginda tuanku raja Patih. Wira, baru saja ketahuan
ada barang kepatih wirabuana an, barang penting, yang terbawa
olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan
itu bisa membuat bahaya terhadap jenggala . Barang itu
harus di kembalikan pada patih wirabuana .”
“Rupanya penting benar barang itu, Tuan patih wirabuana ,”
raden panji gelang-gelang menyembunyikan keheranannya.
“Bagaimana bisa dikatakan tidak penting? Cap tera
untuk mas, perak dan tembaga! patih wirabuana harus
memperoleh kan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya
memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang,
hanya tak ada tulisan palawa tambahan di dalamnya.”
raden panji gelang-gelang sibuk menerka maksud orang Moro ini,
namun belum dapat.
“Kau tak perhatikan aku, Wira.”
“Teruskan Tuan patih wirabuana .”
“Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti
sampaikan padanya dengan lisan: patih wirabuana kediri pakanewon
Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu
saja. Aku senang memiliki pembantu seperti kau. Berani,
pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu
selesaikan pekerjaan ini.”
Terbayang oleh patih wirabuana -muda itu akan adanya
hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan
patih wirabuana ini, dan antara patih wirabuana dengan nyi kanjeng blora.
Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini
pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang
tak patut memperoleh kan perlindungan dari Sang adiputro ,
tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari
bumi kediri .
Sebelum berangkat ke jayawisesa ia sudah temui sahabatnya
yang pang pang dan berpesan agar membuang waktu untuk
terus mengawasi dua orang nyi kanjeng blora yang memperoleh
perlindungan resmi dari patih wirabuana dan perlindungan tidak
resmi dari praja itu.
Dari Sang Patih ia memperoleh empat orang centeng dari
pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan,
dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenar-
benamya tentang desa jayawisesa , kekuasaan dan pengaruh Ki
Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak
sebetulnya desa yang mulai dan sudah berada dalam
pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga jatayuwesi
dengan pakanewon Habibullah Almasawa yang bermusuhan
pada lahimya itu, dan apa saja yang sudah diperbuat dan
direncanakan oleh perusuh.
“Kerjakan tugasmu dengan baik,” pesan Sang Patih.
“nyi kanjeng blora semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak.
Pedagang-pedagang arca meninggalkan kediri Kota,
pindah ke kota-kota jenggala di barat. Sedang pedagang-pedagang arca yang kecil-mengecil masuk ke pedalaman ”
“patih akan kerjakan sebaik-baiknya, baginda tuanku raja .”
“Benar kata patih wirabuana . Nampaknya hanya kau yang
bisa lakukan tugas ini,” katanya lagi seakan mengulangi
pakanewon Habibullah. “Kau tahu apa artinya semua ini.”
“Belum, baginda tuanku raja .”
“Artinya, memang kediri diancam oleh kerusakan dari
luar dan dari dalam. Kau rela kediri , negerimu, baginda tuanku raja mu,
kebesaran kediri . rusak?”
“Dewa Batara! Sama sekali tidak, baginda tuanku raja .”
“Berangkatlah dengan sejahtera.”
Dan ia pun berangkat.
la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap
itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji
Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam
hati. Sedang surat yang sudah dibongkar oleh Sang Patih
lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan palawa . Itu pun
pendek sekali. Jelas hanya di kuil rat belaka. Dia sungguh
cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan
pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih.
Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa
lain, sebab dia pun memiliki kepentingan dengan kematianku
pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan:
menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki
Aji Benggala jelas akan membunuh aku.
Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang
pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan
orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain
pandai. pakanewon Habibullah bumikerta juga menganggap
diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap
matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu
nyi girah . Bukankah Nyi kembang Kati sendiri tak segan-segan
membicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya?
yang pang pang pernah memperingatkan: Tuan
patih wirabuana kediri sungguh-sungguh dibenci oleh setiap
dan semua orang, sampai jauh-jauh di suryabuaya dan campa .
Dia meremehkan para saudagar arca dan Tionghoa,
sebagaimana ia lakukan di jayamahanaya dahulu . Dialah
pengkhianat jayamahanaya . Tak urung ia akan jadi pengkhianat
kediri juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia
sendiri Sang adiputro . Di jayamahanaya dahulu dia bertingkah
sebagai raja muda.
“Sebaliknya, Wira,” ia meneruskan, “Wira dan istri
merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada
satu kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan dicintai dan
dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membuat
orang dapat mencapai segala-galanya. saya harap Wira
mengerti perbandingan ini.”
Dan ia menganggap dirinya mengerti: patih wirabuana
kediri menghalaunya dengan meminjam tangan Rangga
jatayuwesi alias tumenggung dijoyo alias Ki Aji Benggala, lalu ia
akan menghadap Sang adiputro dan memohon agar nyi girah
dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan memiliki
apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat
meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui
nyi girah sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat
mempengaruhi Sang adiputro .
namun mengapa patih wirabuana kediri itu begitu dingin
terhadap mpu wungubhumi , anaknya sendiri? Mengapa? Mungkinkah
ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri? Ah,
mengapa tidak mungkin? bantahnya sendiri. Setiap ningrat
yang memiliki harem adalah juga orang yang tak acuh
terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi,
memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran?
Kasihan kau, mpu wungubhumi . Seperti seekor anak burung… ia
teringat pada kata-kata betari resi tentang burung-
burung.
Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai
petani memasuki pedalaman.
Makin mendekati desa jayawisesa , desa-desa yang dilaluinya
nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar
ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada
mereka dijawab seperlunya tanpa kebersabda an dan tiada di
antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan
menginap.
Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah
dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di
tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga
berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya.
Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dahulu
juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum
juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari
desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para
pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di
situ bersama tiga orang temannya untuk dapat
mendengarkan seorang resi -pembicara dari seberang, yang
mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi,
lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali sang hyang Widhi , dan bahwa
semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara
dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengar-
pendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti
betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: resi itu
membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya
bahasanya juga aneh.
Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di
kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan aman
mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya
suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa
yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong
putih dan berkopiah putih sudah mengepungnya dengan
mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata
mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipakai oleh
para centeng tombak-tombak berburu.
Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang
tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik.
Yang termuda sekira dua belas tahun.
raden panji gelang-gelang melirik untuk dapat melihat rambut
mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul
Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan
dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba
putih seperti bangau.
“Hei, kau!” tegur yang tertua, “tidak berbaju tidak
berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina!
Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke
neraka.”
“Betapa galak,” pikir raden panji gelang-gelang . sebelum kena tegur
lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada
bibir: “Ampun, Bapa, tersasar.”
“Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau!”
“raden gelang-gelang , Bapa.”
Orang itu tertawa melecehkan. dan mata raden panji gelang-gelang
tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga
menghias.
“raden gelang-gelang ? Siapa tidak kenal raden gelang-gelang ? Biar pun kau juara
gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari
kota untuk memata-matai. Kau, pemberontak sialan, pemberontak laknat!”
“Apa yang dimata-matai, Bapa? Nanti dahulu , siapa yang
aku hadapi ini?”
“Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya.
Siapa hendak kau mata-matai?”
“Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji
Benggala. Lain tidak.”
“Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang
berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal
adiputro kediri .”
“Mengapa Sang adiputro , Bapa, nampaknya Bapak
memusuhinya?”
“Puh, adiputro , kesatria raja tidak tahu menepati janji. Apakah
orang kota tidak tahu pengkhianatan kediri terhadap
suryabuaya ? Terhadap Aceh, Riau, pekajan dan jatikerto ? jayamahanaya
tidak jatuh, kemelaratan merajalela di kediri ! Kapal-kapal
tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!”
Mengertilah raden panji gelang-gelang , benar Ki Aji Benggala sudah
memakai kemerosotan kediri untuk menaikkan
dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: “Benar,
Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencari-
cari Ki Aji Benggala tak tahu tempatnya, membawa
surat untuk beliau surat berbasa dan bertulisan palawa .”
“Pembohong! adiputro mu tak perlu tulisan dan basa palawa
munafik itu.”
“Aku tak tahu artinya itu, Bapa. sebetulnya surat itu
bukan dari baginda tuanku raja adiputro dari Tuan patih wirabuana kediri ,
dari pakanewon Habibullah Almasawa, seorang palawa tulen.”
“Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi
dari patih wirabuana keparat itu.”
“Mengapa keparat, Bapa?”
“Mengapa? Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau
bertanya mengapa? Coba, bukankah dia juga yang mengaku
palawa tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus?” ia
membuang ke tanah. “Dia hanya budak pemberontak nyi kanjeng blora.
Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di
sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari
budak pemberontak nyi kanjeng blora? Kau, si rambut panjang?”
raden panji gelang-gelang berusaha terus bicara dengan harapan
pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya.
sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang
seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan
itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya
sendiri.
“Budak dari budak pemberontak nyi kanjeng blora,” ia berkata .
“Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa
salahkan orang yang tidak tahu?”
Sesudah tertawa melecehkan orang itu mengejek:
“Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak
tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak,
apa bedanya? Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa
tempat yang dijanjikan.”
“Aku semakin tidak mengerti, Bapa.”
“Apa tahumu? Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani,
sebetulnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa
sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa
tempat yang dijanjikan.”
“Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa?”
“Nasib pemberontak sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru
nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu
yang patut kau dengar sebelum mati.”
Dan raden panji gelang-gelang harus bicara terus.
“Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak nyi kanjeng blora. Tak
tahukah, Bapa, rangdesa raden gelang-gelang ini pernah menyerang
nyi kanjeng blora di jayamahanaya ?
“Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu.”
“Maka aku yang mengatakan.”
“sebab nya makin jelas kebohonganmu.”
raden panji gelang-gelang kini dapat menjajagi betapa pengaruh
Rangga jatayuwesi sudah mulai mendalam. Ia harus berhati-hati.
“Bagaimana, Paman?” salah seorang di antara tiga bocah
itu bettarn a di belakangnya. “Masih juga dia dibiarkan
begini?”
“Nanti dahulu , jangan keliru,” tegah juara gulat itu sambil
menengok sekilas ke belakang. “Lihat dahulu surat yang aku
bawa ini. Tulisan dan bahasa palawa tulen.”
“Jih!” orang yang tertua membuang i tangan patih wirabuana
muda yang mengulurkan surat. “Semua yang keluar dari
pokal pemberontak hanyalah najis”.
“Hweeee!” terdengar bentakan berbareng di belakang
mereka.
Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke
belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawal-
pengawalnya. Tanpa pengalaman memakai senjata
memicu mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang
tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela
diri.
“Jangan sentuh aku, pemberontak !” kata orang tertua tak
berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan
kebencian, kejijikan dan penyesalan.
anak anak yang juga terikat itu kini berpandang-
pandangan satu sama lain dengan ketakutan.
“Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa
tombak,” gumam patih wirabuana -muda. “Perdamaian yang
sungguh tidak jujur, Bapa.”
“Mata-mata! Telik!” kata orang itu seperti gila.
Suaranya menggaung di tepian rimba. “sang hyang Widhi mengutuk
kau, dunia dan akhirat!”
“Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau sang hyang Widhi ? Ataukah
Bapa sama dengan sang hyang Widhi ?” balas patih wirabuana -muda.
“Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini.
Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu
sempit. Dan kalian,” ia perintahkan pada para
pengawalnya. “bawa sisanya ke dalam rimba, terikat!
Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung,” perintahnya
pada tawanannya yang terkecil, “biar aku lepas tali-
pengikatmu, dan mari aku diantarkan. Jangan
menyasarkan, sebab paman dan saudara-saudaramu bisa
hancur . Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.”
Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan
bersama si buyung. tujuan: desa jayawisesa , pusat kekuatan Ki
Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada
orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat
baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang
mata yang nampak heran memandanginya: seorang
berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit
dengan rambut pemberontak panjang terurai, langkahnya mantap
tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah.
Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja
untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu.
Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan.
Beberapa desa sudah dilewati. lalu sampailah
mereka di jayawisesa .
raden panji gelang-gelang heran melihat wajah-wajah yang sudah
dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah
penduduk kediri Kota yang biasanya belayar atau
berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya
menyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum
dan salamnya pun tidak.
Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan
juga memerlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya
jalan, dan mengawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan
raden panji gelang-gelang menyadari betapa sulit keadaannya.
Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu
berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo
beratap sirap. Tiang-tiang resi terbuat dibandingkan balok-balok
kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya
terbuat dibandingkan tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di
tengah-tengahnya termpu wungubhumi tikar lampit dengan sebuah meja
rendah di atasnya.
Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu.
Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di
pendopo yang kosong melompong itu. Ia heran mengapa
tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia
angkat pandangnya untuk melihat suadipati kasau, nampak
olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar
depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan palawa . Barangkali
itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya.
Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas
tiada tertanami, nampaknya memang sengaja akan dibuat
men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah,
nampak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai umur, terus-
menerus bergoyang gelisah.
“Nuwun… hasalamu halaikoooom!” sebutnya.
Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah.
Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharap-
harapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih
tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan
langkah ragu ia mendekati raden panji gelang-gelang . berhenti di
depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua
belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyala-
nyala gusar: “raden panji gelang-gelang !” raungnya.
“saya , Ki Aji,” ia bersimpuh di tanah dan
bersujud . Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu
mesti berteriak .
“Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk
serahkan nyawa.”
“saya , Ki Aji.”
“patih wirabuana -muda, juara gulat….”
“saya , Ki Aji.”
Dari suara-suara di belakangnya raden panji gelang-gelang tahu,
beberapa orang sudah berdiri dengan tombak untuk
sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya.
“Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji
tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang
sebagai kau?”
“saya , Ki Aji,” dan sekilas dalam tunduknya ia dapat
menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang
menghampiri Rangga jatayuwesi dari belakang. Dialah
penolongku, kata nya dalam hati. “saya menghadap
hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Utusan siapa? Hhh! pemberontak -kufur yang terkantuk-kantuk
menunggu datangnya iblis-iblis nyi kanjeng blora terkutuk pula itu?”
ia diam dan menolak ke belakang.
raden panji gelang-gelang mengangkat pandang dan melihat waktu
itu bersujud pada Rangga jatayuwesi sambil tetap berdiri,
bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia
Iihat Rangga jatayuwesi alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita
itu tajam-tajam, kepala nya menggeleng atau mengangguk.
lalu ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu
pergi. namun yang disuruhnya manda saja.
“Ya,” kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada raden panji gelang-gelang ,
“hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang
kemari,” ia mengangguk-angguk.
“saya datang bukan sebagai utusan baginda tuanku raja adiputro , Ki
Aji, namun Tuan patih wirabuana Habibullah Almasawa.”
“Anjing Ispanya itu! Begundal nyi kanjeng blora! Bekas
patih wirabuana jayamahanaya keparat! Terlalu lambat orang
mengetahuinya.”
Wanita di depannya itu bersujud Ki Aji dari
belakang, lalu menepuk bahunya. Kembali suara Ki
Aji menjadi lunak.
“Munafik keparat!” makinya pelan. “Tak ada ampun lagi
bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada
nyi kanjeng blora. Datang di tumapel , dijualnya tumapel pada
nyi kanjeng blora. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke
jayamahanaya begitu juga. Datang di kediri … apalagi yang
sedang diperbuatnya sekarang? Dan adiputro mu, si goblok
yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan
pangkal keadaan….”
“saya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala.”
Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan
kesempatan itu dipakai nya untuk mengeluarkan surat
dari pakanewon Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk
dilihat oleh Ki Aji. namun orang di depannya itu tak
menggubrisnya.
“Perkenankan saya mempersembahkan surat ini,” ia
terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan ragu-
ragu. Wanita di belakangnya nampak memberikan di kuil rat
dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya.
“.Ya,” gumamnya lalu , “Nabi pun berkirim surat
pada umat pemberontak Romawi dan paduka raja pemberontak yang lain. Betul
juga kau, Khaidar.” Suaranya sekarang meninggi, “Sini
surat itu.”
raden panji gelang-gelang memanjangkan badan dan
menyampaikan.
“Bedebah!” raung Ki Aji. “Ini bukan surat. Ini hanya
alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan memata-
matai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal nyi kanjeng blora
keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan
melemparkannya pada muka utusan itu. “Jangan kalian
kira nyi kanjeng blora bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa
lagi kediri , kediri yang mau untungnya saja dari arca ,
namun tak kerja sesuatu pun untuknya.”
“saya hanya seorang utusan, Ki Aji,” sembah utusan
itu. Dan ia sudah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan
semakin genting.
Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan,
lalu memberikan di kuil rat pada raden panji gelang-gelang agar
menyerahkan kembali surat teremas yang sudah terkapar di
tanah itu. Begitu sudah diterimanya, wanita itu mengambil
dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk
dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata
assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu.
Ki Aji Benggala kembali menatap raden panji gelang-gelang .
“Surat,” katanya menggerutu, “hanya berisi assalamu
alaikum. Lebih tidak,” kekerasan yang hampir meledak lagi
tiba-tiba mereda dari wajahnya. “Wajiblah bagimu,”
katanya lebih pada diri sendiri, “membalasnya. Ya, wajib,
di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.”
la diam dan nampak berpikir. lalu tersenyum dan
memperhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip.
“Baik,” katanya. “Bedebah Moro itu berhasil. Dia sudah
menyampaikan salam damai, begundal nyi kanjeng blora itu.”
“saya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang saya
sedang menunggu balasan untuk saya bawa pulang.”
“Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri
rupanya, raden gelang-gelang . Kau memang pandai, licik.”
“saya hanya seorang utusan, apalah yang saya bisa
perbuat selain menjalankan perintah?”
“Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan
balas surat ini.” ia merengut. “Tunggu kau di situ. Jangan
tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan
sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika
mengenainya.”
Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan
itu namun tiada berkata sesuatu pun.
Dan lama ia harus menunggu.
Terik sinar matahari sudah memeras keringat dari tubuhnya. Di
samping menyampingnya mulai berdatangan anak anak
menontonnya. Ia tetap menekuri tanah.
Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat.
“Hei, kau, raden panji gelang-gelang , sampaikan oleh mulutmu
sendiri pada tuanmu begundal nyi kanjeng blora itu, aku, Ki Aji
Benggala, Rangga jatayuwesi , tumenggung dijoyo , sudah menerima
suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku
perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia
akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak.”
“saya , Ki Aji.”
“Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan.”
“saya , Ki Aji.”
“Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka.”
“saya , Ki Aji.”
“Pergi!” bentaknya keras. “Tinggalkan bumi ini dan
jangan balik kalau tak bosan hidup.”
raden panji gelang-gelang mengangkat sembah. Sesudah Ki Aji pergi
dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan
jalan, dan… pengawal-pengawal berbaju serba putih itu
menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan
membiarkannya pergi.
“Hasalamu alaikoooom!” ia mendahului beruluk salam.
Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata
tombak memenuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga
beruluk salam tanpa jawaban.
Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan.
wah
14. patih wirabuana , nyi girah dan mpu wungubhumi
Ia terkejut. Dilihatnya patih wirabuana tiba-tiba saja sudah
ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan
tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan
semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala
menerkam.
“Selamat bagimu, nyi girah !” katanya lunak, memikat dan
membujuk sekaligus.
Cepat cepat nyi girah menepiskan mpu wungubhumi pada dada, begitu
keras sehingga anak itu terkata terkejut dan pengap.
Melihat nyi girah terkejut, raden sanggabuana tertawa
menghibur dengan gerak tangan betari i. lalu : “Masa
begitu saja terkejut, nyi girah !”
Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan
merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu.
“Mengapa kau begitu aneh, nyi girah ?”
“Apa Tuan kehendaki di sini?” tanyanya megap-megap.
“Biar saya pergi ke dapur, memasak bersama Nyi kembang .”
“Buat apa, Cantik? Guna apa? Nyi kembang masih tidur.”
“Biarlah saya ikut membersihkan taman dengan
Paman Marta.”
“Buat apa, nyi girah ? Bukan pekerjaanmu membersihkan
taman. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus mayat
anaknya.”
“Kalau begitu, jangan masuki rumah saya ini”
“nyi girah , Permata kediri , pujaan setiap Laki-laki . Betapa
murung kau ditinggalkan suami. Tiadakah kau suka
bersenang dalam kesepian yang begini mencekik? nyi girah !” Ia
bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya.
“Ampuni saya , Tuan pakanewon . Jangan dekati saya , dan
jangan masuki rumah saya .”
patih wirabuana itu tertawa senang dan maju selangkah.
“Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata?”
“Suami saya , Tuan pakanewon . Tidak lain dari suami
saya .”
“Apa kau harapkan dari suamimu?”
“Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya.”
“Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan
pada tubuh yang semolek ini….”
“Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun
memadai, Tuan ” jawab nyi girah mulai berani sesudah terbebas
dari kejut.
mpu wungubhumi dalam pelukan meronta minta kembali bebas.
kepala nya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya
bergerak binal.
“Mengapa tak kau lepaskan anak itu? Biar dia bermain-
main sendiri seperti biasanya.”
“Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi
ayahnya.”
“Menghadapi ayahnya? Mengapa mesti dihadapi? Lagi
pula dia belum lagi pulang.”
“Ayah tidak pergi, bukan, mpu wungubhumi ? Ayahmu tidak pergi,
bukan? Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam
ayahmu. Dia sedang merayu ibumu.”
“Ayahmu sedang ke pedalaman, mpu wungubhumi .”
“Ingat-ingat kejadian ini, mpu wungubhumi , selama hidupmu.”
mpu wungubhumi berhenti meronta, memandangi patih wirabuana
dengan mata ter-heran-heran.
“Mak!” serunya lalu .
“Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari
dekat.”
nyi girah memasang mpu wungubhumi demikian rupa sehingga si bocah
itu berhadap-hadapan dengan patih wirabuana . Anak itu sebagai
besi berani menarik mata Laki-laki itu. Dua pasang mata itu
bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya.
“Ya, mpu wungubhumi ,” nyi girah meneruskan, “itu ayahmu sendiri.
Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya….”
Muka raden sanggabuana bumikerta merah-padam.
Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai.
Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada wanita lesbian
berkata begitu. “Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya
maka dia anakku?”
“Kau dengar sendiri suaranya, mpu wungubhumi . Memang tidak
menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang
asli.”
“Jangan bercericau seperti nuri!” sambarnya bengkeng.
“Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu,
mpu wungubhumi . Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya.
Makin hari kau akan makin kenal….”
“Jangan teruskan, nyi girah ,” patih wirabuana sekarang
merajuk.
“… Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik.”
“nyi girah , kau ajari anak itu kurangajar.”
“Dengar, kau, mpu wungubhumi , dia tak mau dikurangajari.”
“nyi girah diam!”
“Dia belum bisa bicara, Tuan pakanewon , biarlah dia
meminjam dahulu kata-kata ibunya’
“Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.”
“Inilah anak Tuan, Tuan pakanewon . Bukankah Tuan tahu
sejarah kelahirannya?”
“Bagaimana sejarah kelahirannya? Aku tak tahu. Jangan
sebut sekali lagi dia anakku. Tuan pakanewon Habibullah
Almasawa tak pernah beranak-kan dia!” matanya
membeliak memperingatkan.
“Tak ada yang dengar, Tuan, hanya saya , Tuan dan
anak Tuan sendiri.”
“Aku tak beranakkan dia!” raden sanggabuana hampir
membentak.
“Itu, itulah ayahmu, mpu wungubhumi , kasihan kau, ayahmu untuk
di dunia dan untuk di lalu hari.”
Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap
patih wirabuana seperti Laki-laki setengah baya itu baru sekali ini
dilihatnya. namun melihat wajah orang itu berubah jadi
galak, ia menjerit ketakutan.
nyi girah kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara
seperti meratap ia meneruskan: “Nasibmu, Nak, memiliki
ayah tiada mengakui. namun kau harus akui dia. Dasar sudah
nasibmu, memiliki ayah sejenis itu kelakuannya….”
“nyi girah !”
“… Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada
gandarwa.”
“Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari
berbaik, nyi girah ,” katanya lagi membujuk. “Dengarkan dahulu
aku, jangan ditentang juga. Kau ini, nyi girah , belum lagi
mengenal dunia.”
“Kau, Nak, anak seorang patih wirabuana yang mengenal
dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak
mau. Nasib.”
“Diamlah, nyi girah . Apa kataku tadi? Kau belum lagi
mengenal dunia.”
“Apalah gunanya dunia saya kenal, kalau hanya
seperti yang Tuan lihat?”
“Haiyaaa.”
Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan
pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan,
masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa
kekerasan.
“Itulah, nyi girah , itulah, justru sebab tak kenal dunia, kau
anggap semua sudah mencukupi.”
“Hidup saya sudah mencukupi, Tuan pakanewon , dengan
kasih-sayang suami saya , si raden gelang-gelang anak desa yang
bodoh itu.”
“Husy. Dengarkan dahulu aku. Kau biarkan suamimu yang
seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi…
jangan sela dahulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri
orang lain.”
“Apalah gunanya?”
raden sanggabuana bumikerta tertawa bersabda . Ia tegakkan
bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas
bahu, lalu bertepuk-tepuk: “Kalau di negeri lain sana,
nyi girah , pastilah kau akan jadi ratu.”
“Huh!” nyi girah berpaling melecehkan.
“… Tidak jadi istri seorang raden gelang-gelang yang selalu pergi,
membiarkan kau merana dalam menunggu.”
“saya wanita lesbian kediri , Tuan pakanewon , yang
berbahagia menunggu suami pulang.”
“Jangan kau jadi bodoh seperti wanita lesbian kediri lain.
Cerdiklah sedikit,” ia maju setengah langkah.
“Dalam menunggu suami pulang saya berbahagia.”
“Mak, turun, Mak,” kata mpu wungubhumi .
“Jangan, Nak, temani dahulu emakmu.”
mpu wungubhumi meronta lagi minta turun dan nyi girah
membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke
pelataran memanggil-manggil Nyi kembang Kati. Ia langsung
menuju ke dapur.
raden sanggabuana berseri-seri dan maju lagi seperempat
langkah: “Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia
sebab menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik
dibandingkan menunggu. Malah, nyi girah , kau tak tahu pula apa
yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang.” Melihat
penari itu mendengarkan ia semakin berani, “Pekerjaannya
berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa
mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi
untuk selama-lamanya….”
“Apalah yang saya herani bila suami mati?”
“Jadi kau mengharapkan dia mati?”
“Apakah hebatnya kematian, Tuan pakanewon ? Tiadakah
pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana
wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti
suami yang mendahului mati? Tidakkah pernah Tuan
dengar? Di kediri Kota memang sudah tidak kejadian lagi.
Pergilah ke pedalaman.”
“Jangan, nyi girah . Semua orang tahu. namun jangan lakukan.
Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan
kemolekan seperti ini punah dimakan api,” larangan sambil
mendekat lagi.
“Jangan lebih dekat, Tuan pakanewon , dan jangan coba-coba
masuki rumahku,” nyi girah memperingatkan. “saya sedang
jaga, tidak mimpi dalam tidur.”
“Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari
kepatih wirabuana an? Dan isinya pun dalam kekuasaanku?”
“saya bilang: jangan.”
“Layani aku, nyi girah , lupakan suamimu.”
patih wirabuana melangkah menerjang hadangan nyi girah
sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar.
nyi girah meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya
mpu wungubhumi memanggil-manggil dari sesuatu jarak.
patih wirabuana berusaha menangkapnya lagi. “Bodoh!”
gumam patih wirabuana .
“Kurang hormat apakah wanita lesbian bodoh ini?” kata
nyi girah cepat-cepat dan terengah-engah. “Tuan pakanewon , keluar
dari sini!” dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu
mengancam. patih wirabuana itu terkejut dan undur keluar dari
kamar. Naluri beladiri memicu dengan sendirinya ia
mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: “Di
mana pun begitu mesti bisa ditundukkan,” ia tertawa
melecehkan, “apa lagi, kau, nyi girah . Sampai di mana
kekuatanmu? Kalau kupukul kau, gada wesi -kecilmu takkan
berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya.
Takkan lagi yang bakal mengagumi kau.
“Pukullah, Tuan.”
namun Laki-laki itu meneruskan gerutunya tanpa
mengharapkan jawaban: “Apa yang kau andalkan?
raden panji gelang-gelang ? Kesetiaannya padamu? Hah! Mungkin dia
sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal
tulang-tulang berantakan termakan anjing.”
“Memang itulah yang Tuan kehendaki.”
“… Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau,
wanita lesbian bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat…
kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. gada wesi nya akan
tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia
minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara.”
“Jadi apa sebetulnya yang Tuan pakanewon harapkan dari
saya ?” nyi girah bertanya bodoh.
“Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran
sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki?”
“Kalau soalnya cuma itu, Tuan pakanewon , betapa sederhana
keinginan Tuan.”
“Masih juga kau bercericau!”
“Mari saya ceritai, Tuan,” nyi girah bermanis-manis.
“Barangkali Tuan mau mendengarkan.”
raden sanggabuana mengendorkan pegangannya pada
tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan
nyi girah yang masih juga mengamangkan senjatanya.
“Apa ceritamu, nyi girah ?”
“Cerita saya , Tuan, betapa sederhana memilih
bagaimana cara berlawan atau mati.”
“Kau tetap melawan aku, nyi girah ?”
“saya sedang melawan, Tuan.”
“gada wesi Wira akan menembusi dadamu!”
“Apalah salahnya. namun sebelum itu dari mulut Tuan
sendiri ingin saya dengar, dengan mata saya sendiri
ingin melihat, Tuan sudi mengakui mpu wungubhumi sebagai anak
Tuan sendiri, sebab memang dia anak Tuan.”
“Tiada aku beranakkan dia!” Laki-laki itu membentak.
“Keluar!” kata nyi girah . “Takkan ada orang datang
menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan.
Keluar! saya tak mengulangi kata-kata saya .”
nyi girah melangkah dan Laki-laki itu dengan sendirinya
bersiaga dengan tongkatnya.
raden sanggabuana tak juga beranjak dari tempatnya.
nyi girah melompat maju sambil menyerang dengan
cundriknya. patih wirabuana melompat ke samping, mengelak.
Wanita itu menikam dari samping. patih wirabuana melompat
lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang
bercundrik. nyi girah menarik tangan dan berputar menikam
punggung. Laki-laki itu melompat ke depan dan lari
meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan
bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan.
Panggilan mpu wungubhumi semakin terdengar mendekat. nyi girah keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari
anaknya. Tak ada dilihatnya Laki-laki bongkok itu. Yang muncul adalah mpu wungubhumi yang masih juga memanggil-manggil.
Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia
selit-kan pada sanggul. lalu ia berjongkok
menyambut anaknya.
Dengan sekali renggut mpu wungubhumi sudah berada dalam
gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali.
“Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada
mengakuimu.”
mpu wungubhumi memeluk leher ibunya.
“Sayang kau pada emak?”
mpu wungubhumi mengencangkan pelukannya.
wah
Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh patih wirabuana
langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke
belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata
patih wirabuana dalam jawadwipa : “… tak ada hak patih untuk
mengusirnya….”
Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: “Siapa bilang
kami mengusir atau memerintahkan mengusir? Patih kediri
mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak
gada rujakpolo . Maka itu kami mengundang mereka.”
raden panji gelang-gelang meneruskan jalannya dan masuk ke dapur
kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu
patih wirabuana pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk
di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat
patih wirabuana -muda datang ia tersenyum senang dan
menyilakannya duduk.
“Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat
perjalananmu.” Dan belum lagi penghadap itu bersembah
ia sudah meneruskan, “Pasti kau lihat tadi patih wirabuana habis
menghadap. dipakai nya segala alasan untuk
menghalangi orang-orang nyi kanjeng blora petualang itu datang
menghadap ke mari. Apa boleh buat. baginda tuanku raja adiputro
berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan
mereka mau mengajar membuat gada rujakpolo . sudah kami
persembahkan petualangan mereka di campa . Sia-sia,
Wira. Jangankan nyi kanjeng blora mau membagi ilmunya, orang
Tionghoa di sini saja segan mengajar membuat kertas.
Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang nyi kanjeng blora
itu. Bagaimana pendapatmu? Ah-ya, nanti dahulu , mereka toh
masih berada di bawah perlindungan patih wirabuana .
Bagaimana kepergianmu?”
Dan raden panji gelang-gelang bersembah.
“Jadi sudah jelas Rangga jatayuwesi memang hendak
bertingkah. Dia sudah bikin bawahan kediri membangkang
dan melawan. Mana surat itu?”
Melihat surat itu bertulisan palawa ia hanya mengangguk.
“Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada
keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau
selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil
menghadap Mashud bersama denganmu.”
Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang
dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud.
wah
“Bapa Mashud,” kata Sang Patih, “kami perintahkan
padamu membaca surat palawa ini baris demi baris dan
terjemahkan baris demi baris pula.”
Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan:
“Selamat bagimu,” sebaris lagi, “Dilimpahkan oleh sang hyang Widhi
kiranya padamu taufik dan hidayatnya,” sebaris lagi,
“Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka,”
selanjutnya, “Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang
diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan
menyampaikan, melindungi mempertahankan dan
mengamalkan,” sebaris lagi, “Maka itu kerjakan apa yang
kami sebutkan di bawah ini….”
Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan
bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti
keranjingan.
“Mengapa, Bapa Mashud?”
Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan pukul
dan meneruskan. namun kata-katanya sudah tak jelas lagi
artinya.
Sang Patih memerintahkannya berhenti dan
menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan
pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada
Sang Patih resi dibandingkan Mashud. Ia seorang Campa yang
sudah lama tinggal di jayamahanaya , bernama Jamhur Tenga,
barangkali seumur hidup selalu memakai jubah coklat
dan sorban coklat pula.
Dengan tenang dan percaya diri ia mulai
menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang
memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruk-
nubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud.
Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi.
Seorang perwira lain menghadapkan seorang jawadwipa
pelarian dari jayamahanaya , sudah kehabisan modal dan
kehilangan kapal. Ia sudah diambil sewaktu sedang bersiap-
siap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak
bersorban, namun berpakaian Pribumi kediri . Ia menghadap
dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama
Kamang Sani.
Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada
kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga.
Sang Patih memerintahkannya pergi.
“Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di
dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga jatayuwesi dengan para
penterjemah pada satu pihak dan Rangga jatayuwesi dengan
patih wirabuana kediri pada lain pihak. Di sebelah sana lagi
ada nyi kanjeng blora. Di sampingnya ada perusuh yang menentang
kediri ”
Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan
yang lain.
“Aneh, Rangga jatayuwesi bermusuhan dengan patih wirabuana ,
juga bermusuhan dengan nyi kanjeng blora, juga bermusuhan
dengan kediri . patih wirabuana bermusuhan dengan Rangga
jatayuwesi dan kami mencurigainya bersahabat dengan
nyi kanjeng blora.”
“Barang tentu surat gawat, baginda tuanku raja .”
“Pergi kau sekarang juga ke pasuruan . Carikan terjemahan
yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.”
Dan dengan demikian mendaratlah raden panji gelang-gelang di
jenggala pasuruan .
jenggala itu tidak seindah kediri , namun masih lebih
berat juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang
lalu peranannya jauh lebih penting dibandingkan kediri , dan
sampai sekarang pun masih jenggala terbesar di Jawa.
Sebelum kanjuruhan menduduki jayamahanaya dan panarukan ,
sebagian terbesar rempah-rempah panarukan datang kemari,
dari sini berpecahan ke seluruh jenggala di Jawa dan dunia.
Tiga ratus tahun sesudah menjadi jenggala tanpa tuan,
mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipakai
oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan
angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke
sebelas Masehi memperoleh prasasti penghargaan dari Sri
Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan kediri dan
bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga
pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, parahyangan ,
panarukan dan Sulawesi. Dari pasuruan ini pula sebagian
angkatan laut kerajaan jenggala muncul untuk mencapai daratan
Asia dan Afrika.
Dan seperti halnya dengan Semarang dan campa , juga
pasuruan pada mulanya dibangun menjadi jenggala oleh
pendatang-pendatang dari Tiongkok. Sesudah jatuhnya
kerajaan jenggala pada 1478 Masehi, pasuruan berada dalam keadaan
tanpa tuan lagi. namun perdagangan berjalan terus seakan-
akan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada memiliki
sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan,
sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh
Darmawangsa.
Satu kekuasaan yang lalu muncul lagi adalah justru
sebab ingin menguasai jenggala dan keuntungannya ini.
Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya
Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain
sampai akhirnya prajurit kerajaan Giri Dahanapura turun dari
Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki
wilayah inti kerajaan jenggala , membungkam kekuatan-kekuatan
kecil yang bertarung memperebutkan pasuruan . Raja
Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak
tahun 1485 menguasai pasuruan sebagai bawahan Giri
Dahanapura atau Blambangan.
pasuruan yang berpindah-pindah tangan itu tetap
berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk
memindahkan pasuruan ke jenggala -jenggala nya sendiri,
Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran
militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali
dengan pasuruan dalam keadaan utuh.
wah
Keadaan memang agak lengang waktu raden panji gelang-gelang
mendarat. Namun jauh lebih sibuk dibandingkan kediri . Orang-
orang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat
dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang memakai baju
juga jauh lebih banyak, menandakan golongan kesatria raja tidak
lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai
oleh kaum pedagang arca . Penduduk sudah banyak
memakai terompah seperti para pendita di pedalaman,
terbuat dibandingkan kulit kayu, pelepah atau kulit kambing
mentah.
Dan raden panji gelang-gelang terheran-heran melihat betapa sedikit
orang yang berkain batik. Orang lebih banyak memakai
pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan
desa. Orang-orang bertombak dan bergada sama sekali
tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan kesatria raja
memang sudah tak memiliki sesuatu kekuasaan.
Sesudah memperoleh ijin masuk segera ia mencari-cari
keterangan. namun pandang mata yang tertuju padanya
seperti memperhatikan seekor hewan aneh yang terlepas
dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa
menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan
destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya
tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang
setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa.
Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar
tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu,
bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik
orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk memperoleh jalan
keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para
dewa dan para leluhur, pada sang Hyang betari durga , dan dimintanya
seorang untuk mencukur rambutnya.
Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk
melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut
panjang seorang pemberontak , sebab ada orang dan tempat tertentu
untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya,
baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena
kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pertapaan .
lalu ia ketahui pertapaan adalah tempat para dayang ,
dan dayang sendiri tidak lain dari ucapan resi agama dari
seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang
terhormat, di sinipun sudah mulai berubah bunyinya jadi
patih oleh resi -resi agama dari seberang itu pula.
Ia pergi ke sebuah pertapaan , yang ternyata adalah
sebuah balai pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia
sudah lakukan satu kekeliruan.
Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang
yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanak-
keluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan
rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh
membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu
masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras
tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih.
Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia
datang ke sebuah pertapaan terdekat pada jenggala pasuruan .
Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak
menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu
mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab
pertanyaan dan permintaannya pun segan.
Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan
yang ada dan menemui orang lain. Laki-laki dewasa berkalung
sarong itu menegurnya: “Hei, rambut panjang, apa
keperluanmu?”
“saya bermaksud mencukurkan rambut,” jawabnya
merendah.
“Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan
mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad? Mana
pula syarat untuk hajad?”
Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta
diterangkan.
“Tiada saya bersaksi, tiada pula bersyarat.”
“Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan
panggilan ini. Mari aku potong rambutmu.”
Dan rambut itu pun dipotong sambil raden panji gelang-gelang
menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si
pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama sebab memang
tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar
memendekkan sejari dari kulit kepala .
“Apa lagi yang kau kehendaki?” tanyanya lagi. “Rambut
itu boleh kau buang ke kali.”
Buru-buru raden panji gelang-gelang mengumpulkan potongan
rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan
menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang
patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur,
para dewa dan sang Hyang betari durga .
“Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi.
Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu?”
“Itung.”
“Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya
arca , memakai sekarang nama arca , Salasa. Bisa
menghafalnya? Salasa, sebab kau datang kemari pada hari
ke tiga.”
“Salasa.”
“Pulanglah dengan selamat.”
“Bolehkah kiranya saya …,” ia tak tahu bagaimana
menyebut orang itu, “diperkenankan belajar agama baru di
sini?”
“Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti
pendidikan.
Tentu saja kau boleh belajar di sini’ orang itu tertawa
bersabda , mengangguk dan memandanginya dengan kasihan.
“Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di
sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka
dan berkelakuan baik.”
“Kalau sudah tidak suka lagi?”
“Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik
sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar? Jadi
dayang ?”
raden panji gelang-gelang mengangguk mengiakan.
“Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu.”
Seperti seekor kambing yang tertuntun patih wirabuana -muda
itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya
disusun ambin-ambin seperti dalam balai di pedalaman.
namun tak ada seorang pun nampak di dalam.
“Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa.”
raden panji gelang-gelang tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia
berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga jatayuwesi dan
berkata: “Surat inilah sebenarnya yang membawa saya
kemari. saya percaya ini ajimat luar biasa, namun saya
tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah
jawakan tulisan ini pada saya .” Orang itu menerima surat
itu dan mengawasinya dengan terheran-heran.
“Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana
kau dapat?”
“Jauh, jauh dari sini.”
“Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan
pada bopo biung.”
Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing
dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah
ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang dinamakan Bapa
patih itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya
terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain
menyertainya.
Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan
bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam jawadwipa :
“sang hyang Widhi memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada
keperluan apa maka kau datang menghadap?”
Pengantar itu menjawakan, dan dalam jawadwipa
menjawabkan raden panji gelang-gelang sambil mengulurkan surat
tulisan palawa .
Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh
memperhatikan wajah bopo biung. Betul juga dugaannya,
kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan bopo biung
nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbata-
bata: “Dari mana kau peroleh surat ajimat ini?” dan
pengantar menjawakan.
“Nun di pinggir jalan di desa saya .”
“Di mana desamu?”
“Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan,
mungkin lebih.”
“Nama, nama desamu.”
“Kuda, bopo biung, Kuda Kondang.”
“Kabupaten mana itu anakku?”
“Bojanegara, bopo biung.”
“Sedang ada apa di desamu?”
“Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen.”
“Atau di dekat-dekat desamu?”
“Juga tak ada apa-apa, Bapa.”
“Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu.”
“Apakah kiranya isi ajimat itu, bopo biung?”
Bapak patih yang nampaknya masih muda itu mengawasi
raden panji gelang-gelang , menaksir-naksir badannya yang besar.
Suaranya berubah mencurigai: “Kau belum patut
mengetahui, Nak,” jawabnya curiga. “Biar aku simpan
surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang
seperti kau.”
“Itu saya memiliki , bopo biung.”
“Bukankah sudah aku katakan? Ini tidak tepat kau
simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.”
Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak
memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat.
Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat
itu. bopo biung memekik. raden panji gelang-gelang menguguh
mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekik-
mekik minta tolong. Dan sekarang giliran raden panji gelang-gelang
untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung
meninggalkan tempat itu. Para dayang lainnya sedang
bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka
yang bertombak atau bergada . Mereka takkan dapat
menghalang-halanginya.
Sesudah jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon
mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan
yang sama. Ia akan mencari pertapaan lain, satu dengan lain
tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering muncul di
antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan
perang kecil.
Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan sesudah
memperoleh kan nafasnya kembali. Dirasainya kepala nya
begitu ringan seakan ikat kepala nya melekat pada
tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya sudah terpotong ia
merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran
menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari
tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti
gerak kesedarannya.
Benarkah aku sekarang sudah arca ? Muslim? Bernama
Salasa?
Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali
kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti
kemarin, hanya kepala ku saja terasa ringan tak berambut.
namun kau sudah ucapkan mantra orang arca itu, satu
pengakuan, satu kesaksian kau sudah arca , Muslim seperti
yang lain.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan
kesamaannya.
Tidak beda. Beda! Tidak. Beda!
Rambutmu sudah pendek dan kau sudah geletarkan
melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri
siapa dewa dan pemimpinmu yang baru.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong
rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas
kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan
sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu
sendiri.
Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari
terjemahan? Gerak lidah itu sudah padam, suara itu sudah
beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia
akan mulai panjang.
Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri
sendiri? Kau sudah arca . Kau harus akui kebenaran ini.
Pusing sebab pertikaian di dalam diri sendiri ia
melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya
makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soal-
soal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pertapaan
baru nanti? Apakah aku harus meninggalkan kebencian
orang terhadap diriku? Teringat ia pada shinoda Han:
Wira, Tuan adalah orang berbahagia, sebab dicintai dan
dihormati orang banyak. Dan di pasuruan sini? Tak ada orang
mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku?
Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa
berbahagia.
Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat
orang di kediri sana, seakan yang pang pang meneruskan
kata-katanya.
lalu betari resi muncul di depan mata
batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak
memerlukan cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku
hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku.
Dia tidak memerlukan nya, seakan yang pang pang
berseru, sebab dia tidak hidup dalam jamannya sendiri
atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara.
Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke
mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah
dalam dirinya.
Pada hari itu juga ia dapatkan pertapaan baru, yang sama
saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui hari-
hari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore
hari dan belajar membaca disore hari.
Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu.
Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia
perhatikan galanya.
Ia dapat mengetahui adanya seorang dayang yang
dianggap terpandai dan sudah lebih sepuluh tahun belajar.
Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya
memperoleh kan terjemahan. Dan ia takkan mendekati patih .
wah
Genap seminggu lalu ia sudah mulai mebersabda i
adipati kelabangwungu, dayang terpandai itu. Juga adipati kelabangwungu yang bercerita
padanya, pasuruan bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati.
Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman kerajaan jenggala , tak
ada punggawa mencampuri pertapaan , ia bercerita. Sri
Baginda Bhre Wijaya Purwhutan esa malah memberikan
tanah pada patih -patih yang tidak dikenakan pajak atau kerja
negeri sama halnya yang didapat oleh junjungan
sri ratu kertanegari .
Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya
Girindra Wardha-na memasuki pasuruan , ceritanya lagi,
dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda,
dan diperintah kannya semua memindahkan harta dan
perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan.
“Lihat, bagaimana hebatnya pasuruan ,” ia meneruskan.
“Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri
Dahanapura, pasuruan akan tetap hidup. Mereka bersembah,
Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke pasuruan , namun
pasuruan tak bisa dipindahkan ke mana pun!”
adipati kelabangwungu adalah seorang patriot pasuruan .
raden panji gelang-gelang tak sempat membuat perbandingan
dengan jenggala kediri . Ia sibuk mencari-cari kesempatan
untuk bisa berdua saja dengan adipati kelabangwungu.
Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga.
Sore itu mereka sudah mandi di saluran air sawah. Enam
belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang
bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu
yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata
baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang
habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung.
Sekali-dua terdengar sayup resi h menggerutu seperti dari
perut bumi.
Ia hampiri adipati kelabangwungu, menawarkan jasanya.
“Biar aku cuci paculmu, Kang adipati kelabangwungu!” dan tanpa
menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran
dan mencucinya dengan setekam rumput.
“Kalau aku sudah tamat nanti,” katanya menambahi
sambil menyerahkan pacul adipati kelabangwungu, “aku akan masuk ke
daerah pemberontak Blambangan, mendirikan pertapaan sendiri.”
“Kau!” adipati kelabangwungu tertawa geli, “belum lagi dua minggu
belajar! Tidak semudah itu,” dan dengan gaya keresi -
resi an meneruskan. “Abangku sudah setahun di
Dahanapura. Apa hasilnya? Buh! Tak ada. Apa kekurangan
dia? Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau
tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa
Tenggara.”
“Di sana dia tentu akan berhasil, Insya sang hyang Widhi .”
“sang yang betari durga akan menunjukkan padanya jalan yang terang.”
“Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang.”
“Di sana kau akan jadi pemberontak lagi. Belajar saja baik-baik.”
“Tentu, Kang adipati kelabangwungu. Aku akan belajar baik-baik.
Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan
sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun
memiliki jenggala dan angkatan laut.”
“Buh!” adipati kelabangwungu melecehkan, “penyebaran agama bukanlah
perang,” ia meneruskan, “majunya tidak seperti para bala tentara
berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, namun
hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau
mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura?”
“Katanya nyi kanjeng blora sudah masuk ke sana. Kang, ada
yang membuka perguruan , kata orang, menyebarkan agama
sendiri. Itu kata orang, Kang.”
“Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku,
beberapa waktu yang lalu,” adipati kelabangwungu mulai berjalan di atas
pematang menuju ke desa dan raden panji gelang-gelang mengikutinya
dari belakang.
“Di mana abangmu sekarang, Kang adipati kelabangwungu?”
“Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di
Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang arca ,
dia lebih suka pada nyi kanjeng blora. Tak pernah dikaruniakan
tanah pada pertapaan , namun orang nyi kanjeng blora dikaru-niainya.
Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan
pada Kongso Dalbi di jayamahanaya …. Tahu siapa Kongso
Dalbi?” ia menengok dan menyaksikan gelengan
raden panji gelang-gelang . “Raja nyi kanjeng blora di jayamahanaya . Utusan itu, kata
abangku, sudah mempersembahkan pada Kongso Dalbi
sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di
Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana
berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan
pengukirnya.”
“Apa yang diukir pada kayu itu, Kang?”
“Satu adegan dari betari yana, Lesmana dan Sinta di
dalam hutan.”
“Pengukirnya, Kang?”
“Pengukir asal kediri , Borisrawa.”
raden panji gelang-gelang mengangguk di belakang adipati kelabangwungu. Dia sudah
di sana, pikirnya. namun yang keluar dari mulutnya:
“Taklukkah Dahanapura pada jayamahanaya , Kang?”
“Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir
utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil
semakin terdesak oleh meluasnya arca . Maka dia surati
Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon
bantuan sepuluh pucuk gada rujakpolo untuk menahan arus
kekuasaan arca ; dengan peluru dan penembaknya.”
“Apa gada rujakpolo itu, Kang?”
“Senjata nyi kanjeng blora. Yang dilemparkan bukan mercon
udara seperti cet-bang, namun besi sebesar kepala n.”
Enam belas dayang lainnya mulai mengikuti keduanya
dari belakang, memanggul pacul masing-masing.
“Apakah nyi kanjeng blora suka memberikan gada rujakpolo ?”
“Pada lawan arca ? Boleh jadi,” jawab adipati kelabangwungu ragu-ragu.
“sebab itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya
bisa besar dan ampuh.”
“Jadi pemberontak Dahanapura Blambangan sudah bersekutu
dengan pemberontak nyi kanjeng blora?”
“Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi,
nyi kanjeng blora sudah ada di sana? Persembahan Patih Udara itu
nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal nyi kanjeng blora sudah
mulai kelihatan juga di pasuruan , menuju ke Pasuruan dan
Panarukan.”
Mereka semua sudah meninggalkan tanggul saluran dan
berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka
bergeletakan di atas lumpuran sawah. sinar matahari di sebelah
barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur
angsa ajaib. Dan dengan segala usaha raden panji gelang-gelang
mencoba menarik adipati kelabangwungu dengan pertanyaan-pertanyaan
agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil
memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. dayang -dayang
lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan kata-
kata adipati kelabangwungu yang menggurui Dan begitu jarak mereka sudah
nampak jauh, raden panji gelang-gelang membuka maksudnya:
“Tolonglah aku, Kang adipati kelabangwungu. Ada padaku sebuah ajimat,
namun aku tak tahu tuah di dalamnya,” ia keluarkan
bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, sesudah
meletakkan pacul di tanah, dan berhenti.
adipati kelabangwungu pun berhenti dan memperhatikannya membuka
bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu.
“Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah.”
Dengan baik hatinya adipati kelabangwungu membuka kertas itu dan
mulai membaca.
“Ini bukan ajimat,” katanya sesudah membaca sebaris-
dua. “Ini surat biasa. syang hyang Widhi ! Dari mana kau dapat
surat ini? Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang gada rujakpolo ,
di sini sudah dinamakan -sebut soal gada rujakpolo . Minta dikirimi
paling tidak dua pucuk gada rujakpolo nyi kanjeng blora, kalau tidak….”
“Kalau tidak, apa Kang?”
“Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini?” tanya adipati kelabangwungu
mendesak dan bersungguh-sungguh.
“Jangan jalan dahulu , Kang, berhenti di sini saja, biar aku
ceritai kau.”
Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa
yang sunyi itu. raden panji gelang-gelang memperhatikan dengan pandang selintas, bahwa dayang terpandai itu masih tetap mengawasinya, sedang dayang -dayang lain sudah hilang di
tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia mengulangi ceritanya di pertapaan pertama, hanya
ditambah lebih banyak. “Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum selesai.”
Dan adipati kelabangwungu sudah melepaskan sikap keresi -resi annya.
Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan. Dengan suara rendah ia berkata: “Kau tidak berhak memegang surat ini. Akan kuserahkan pada bopo biung.
Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali
juga terjemahanku tidak benar.”
“Jangan, Kang, jangan.”
“Siapa sebenarnya kau ini? Kau datang kemari bukan
hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak
bodoh. ayolah , katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar
akan kusampaikan pada bopo biung, lalu pada baginda tuanku raja
Bupati, yang tentu akan memanggil bopo biung lagi.
Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!”
“Jangan, Kang, jangan,” tegah raden panji gelang-gelang dengan
suara ketakutan.
“Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya.”
Tangan raden panji gelang-gelang cepat melayang, menangkap
tengkuk adipati kelabangwungu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan
kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu
patah. Lidah adipati kelabangwungu menyelir keluar sedikit meneteskan air
liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah.
Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia
lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia
lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu
lebih jauh lagi.
“Ampuni aku, Kang adipati kelabangwungu. ampuni aku, ya, Dewa
Batara.”
Ia tak pulang ke desa pertapaan , justru sebaliknya….
Ia tak menempuh jalan laut.
Sesudah dapat menangkap makna isi surat ia langsung
mengambil jalan darat pulang ke kediri . Sepanjang
perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang
dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah
yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini?
Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku?
Aku tak memiliki urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan
pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang
bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani.
Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya sudah jadi
bagian dari kekuasaan Sang adiputro kediri dan
kelangsungan hidup praja kediri .
Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan
masasilam pada guagarba haridepan? Untuk kediri ?
Inikah?
Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun
aku salah.
Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia
simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di
pinggir hutan.
Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak,
jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari.
Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan
kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari.
Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang.
Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta gada rujakpolo
nyi kanjeng blora pada patih wirabuana kediri dengan ancaman, lenyap
kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat
naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati
kediri .
“Ya,” katanya sesudah agak lama berdiam diri, “berikan
surat ini pada yang berhak.”
raden panji gelang-gelang berjalan cepat menuju ke patih wirabuana an.
Sekilas ia lihat nyi girah berjalan dari dapur menuju ke kamar,
dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke
gedung utama dan memperoleh kan patih wirabuana kediri sedang
duduk membaca kitab.
“Hasalamu alaikooom!” serunya.
raden sanggabuana bumikerta melompat terkejut. Melihat
raden panji gelang-gelang mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan
menelan pukul . Awan dengan lambat berarak
meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: “Wa
alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi arca , Wira.
Ah, ya, benar sekali!” ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan
bongkoknya. “Siapa menduga kau sudah berambut pendek
begini. Kau kelihatan lebih hitam, namun lebih berseri dan
lebih bersih dan lebih berbahagia.”
“Alhamdulillah, tuan patih wirabuana .”
“Siapa yang mentaubatkan kau? Rangga jatayuwesi ?”
“Tidak salah, Tuan patih wirabuana .”
“Tak pernah kau nampak begitu periang seperti
sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa
lain. Bukan main. Apa kata Rangga jatayuwesi ?”
“Bukan hanya kata, Tuan patih wirabuana , malahan surat
balasan.”
“Surat balasan! Nanti dahulu , ceritakan bagaimana
perjalananmu.”
Dan raden panji gelang-gelang membuat -bikin cerita sendiri, bahwa
perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu
aral melintang. Dan patih wirabuana kediri menyambutnya
dengan tertawa-tawa senang.
“Mana surat balasan itu?” tanyanya tak acuh. “Mana.
mana?”
patih wirabuana -muda itu memperhatikan dengan saksama
tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara
kepura-puraan dari kesungguhan.
“Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering
saya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.”
patih wirabuana menerima dengan mata melirik tajam
padanya. namun pada bibirnya tetap tertarik senyum
mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi
bersungguh-sungguh.
Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu,
pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu
nampak berubah-ubah. lalu patih wirabuana itu berhenti
membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki
wajahnya.
“Wira’ panggilnya dengan menusukkan pandang pada
matanya: “Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap?”
“Tidak, tuan patih wirabuana .”
“Memang orang keparat,” katanya dan kembali
mempelajari keadaan surat itu.
“Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga
jatayuwesi ?”
“Demi sang hyang Widhi , Tuan.”
“Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah
memegangnya, dan beberapa pasang mata sudah melihat
dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira?”
“Demi sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana .”
patih wirabuana kediri mengawasinya. Pegulat itu merasa
dirinya diragukan.
“Kalau begitu lama pergi,” raden sanggabuana bumikerta
meneruskan penyelidikannya.
“saya memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah
salahnya, Tuan patih wirabuana , sekedar untuk perbekalan
pulang.”
“Siapa saja pernah membaca ini?”
“Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga jatayuwesi yang
bisa menulis dan membaca palawa .”
“Kau bohong!” tuduhnya.
“Demi sang hyang Widhi , kata saya . Memang Ki Aji bilang sudah
kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas.”
raden sanggabuana bumikerta berdiri dan berjalan mondar-
mandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi,
lalu berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung
pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan
tiba-tiba berhenti di hadapan raden panji gelang-gelang .
“Kau begitu lama pergi. Aku tak percaya tak ada orang
membaca surat ini.”
“Tak apalah kalau tuan patih wirabuana tak mempercayai
saya lagi.”
“Orang bilang, pernah melihat kau di kediri antara
keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang.”
“Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintahkan
padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan saya .”
“Nampaknya kau sudah mulai hendak berselisih
denganku.”
“Bukankah saya tak bisa memaksa Tuan patih wirabuana
percaya pada saya ? Terserah saja pada Tuan sendiri
hendak percaya atau tidak. saya pun tidak memerlukan
kepercayaan Tuan. Sungguh.”
raden sanggabuana kembali duduk dan menggerak-gerakkan
tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir
itu selalu membuat orang tertarik pada persambungannya
dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga
tertangkup jadi satu.
Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena,
dengan nada membujuk ia bertanya: “Lamakah sudah surat
ini kau simpan?”
“Segera sesudah saya menerimanya.”
“Aku percaya padamu, Wira,” ia diam lagi.
Dan raden panji gelang-gelang tahu, ia tak percaya.
“Aku senang kau sudah masuk arca , Wira.”
“Salasa nama saya , Tuan.”
“Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira,
tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. namun tiga
artinya sempurna,” ia tertawa dibuat-buat. “Baiklah, lain
kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan,
Salasa?
“Tentu saja, Tuan patih wirabuana .”
“Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang
kau sudah masuk arca . namun istrimu masih pemberontak . Kau
harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang pemberontak yang baik.
Kalau seorang pemberontak itu pembohong, menipu suaminya, itu
sudah selayaknya, sebab dia pemberontak , tak tahu ajaran. Kau
jauh lebih mulia dibandingkan pemberontak mana pion, Salasa, apalagi
dari istrimu, kau pun lebih mulia dari Sang adiputro ataupun
Sang Patih. Mengerti kau?”
“Belum, Tuan patih wirabuana .”
“Di hadapan sang hyang Widhi kau lebih mulia dibandingkan semua
mereka.”
“Di hadapan sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana . Di hadapan
mereka sendiri bagaimana, Tuan?”
“Tentu saja tetap seperti biasa.”
raden panji gelang-gelang menahan tawanya. Ia menunduk dalam.
“Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, sebab kau sudah
bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya.
Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang
pergi….”
Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya.
“Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu
saya tahu.”
“Tentu pengetahuanmu kurang sempurna, Wira?”
“Bagaimana menyempurnakannya, Tuan patih wirabuana ?”
“Menari di pendopo, Wira,… Sang adiputro . Ah,
bagaimana harus aku katakan. Tentu kau mengerti.”
raden panji gelang-gelang menunduk dalam.
“Mengapa kau diam saja?”
“Baik, Tuan patih wirabuana .”
“Syukurlah kalau kau mengerti.”
“Bagaimana biasanya ia perbuat kalau saya pergi
Tuan?”
“Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah
dengar suara orang? Semua sudah bercerita. Wira, betapa
hinanya Laki-laki seperti kau dipunggungi istri sendiri….
Pulanglah, sang yang betari durga memberimu petunjuk dan keselamatan
dan semoga kukuh imanmu. Tak ada pemberontak yang baik di
hadapan sang hyang Widhi .”
Dengan kepala masih menekur juara gulat itu pulang,
melangkah pelan-pelan seakan kepala nya menjadi beban
bagi tubuhnya sendiri.
wah
nyi girah tak menyambutnya di serambi. Ia menunggu
kedatangannya di dalam kamar. mpu wungubhumi tidak nampak. Ia
nampak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah
sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan
matanya sayu seperti belum lagi tidur selama tiga malam.
Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang.
“Mengapa kau diam saja, nyi girah ?”
Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi
suaminya.
“Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu?”
nyi girah menunduk.
“Sakitkah kau?”
Ia menggeleng.
“Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku?”
“Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau
memang nampak sudah berubah dengan rambutmu yang
pendek.”
Laki-laki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu
istrinya.
“Berubahkah aku, Dayu?”
“Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk arca
nampaknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan
perubahanmu, perubahan sikapmu,” suara nyi girah semakin
pelahan dan sayu. “Aku masih juga ragu apakah aku boleh
mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah
tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku….”
“Mengapa kau bicara begitu?” dan duduklah ia di
samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal.
“Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik membawa
cundrik sambil duduk begitu.”
“Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa
yang sudah terjadi?”
“Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan,
banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua:
berjalan banyak melihat, curiga banyak mendengar.”
“Untuk apa cundrik ini ikut menyambut kedatanganku?”
“Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri
di hadapanmu?”
“Baru beberapa minggu, Dayu, kau sudah begini kurus.”
“Untuk memohon pada para dewa buat keselamatanmu.
Kang.”
“Kau masih suka dipanggil menari?”
“Masih, Kang.”
“Dan mimpi lagi seperti dahulu ?”
“Tidak, Kang.”
“Apakah patih wirabuana masih suka mengintip seperti itu?”
nyi girah mengangkat kepala dan melihat sebagian dari
muka patih wirabuana terlindung pada tiang jendela. Ia
mengangguk.
“Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang?”
“Dia majikanku, Dayu, namun kau adalah istriku.”
raden gelang-gelang mempermain-mainkan cundrik kecil.
“Mana sarongnya ini, Dayu?”
“Sarong yang mana?”
raden panji gelang-gelang mengangkat pandang ke arah jendela
gedung utama dan muka patih wirabuana kediri sudah tiada.
“Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan
tinggalkan kau terlalu lama, nyi girah .”
“Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan
ragaku.”
“Ceritai aku tentang baginda tuanku raja adiputro .”
“Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka
menonton kalau aku menari. lalu wanita kadipaten
itu mengantarkan aku pulang dan menemani aku di sini.”
“Ceritai aku tentang Tuan patih wirabuana .”
“Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar
aku ambilkan sarong cundrik itu, Kang,” ia berdiri namun
ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, “Apakah benar
kau memerlukan sarong yang lama? Tidakkah kau
menghendaki yang baru?”
raden panji gelang-gelang berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali
di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. nyi girah
memeluknya dan air-mata membasahi mukanya.
wah
16. Datangnya gada rujakpolo kanjuruhan
Pesta laut itu tidak semeriah biasanya.
Pada sore hari gadis-gadis menari mengelilingi Sela
Baginda yang tinggal umpaknya sebagai pembukaan pesta.
Langit terus menerus bermendung dan sebentar-sebentar
turun gerimis kecil.
Lomba perahu belum lagi selesai. Bila lomba usai dan
bunga-bungaan dan ketupat sudah ditebarkan ke laut orang
pun akan naik ke darat untuk mengikuti pesta api.
namun pesta itu kini sudah ditiadakan. Dahulu dalam
pesta ini tulang-belulang atau mayat-mayat dibakar
bersama-sama di empat penjuru kota, bila memang banyak
yang harus dibakar. Bila abunya sudah diambil, janda-janda
pun menyusul masuk ke dalam api unggun sampai lumat
jadi abu pula.
Pesta api sudah tiada. Orang-orang arca sudah berusaha
melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil
memasyhurkan agamanya. Golongan wanita terutama yang
menyambut perlawanan kaum Muslimin itu. Mula-mula
dengan diam-diam mereka bersimpati pada agama baru itu
dan membenarkan, bahwa adat itu memang kejam dan
mengerikan. Maka juga golongan wanita yang paling mula
dalam pembisuannya menerima arca tanpa sepengetahuan
suaminya. Menerima arca pada tingkat pertama berarti
bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dan sekali
kaum wanita menerimanya, pengaruhnya menentukan di
dalam kehidupan rumahtangga dan anak-anaknya. Dalam
hanya satu generasi pembakaran janda mulai susut keras
dan lalu hilang seperti tertiup angin badai.
Sebagai akibatnya kediri mulai menghadapi masalah
janda hidup dan tinggal hidup. Tak ada yang mau
mengawini mereka. Mereka dianggap wanita pembawa sial
bagi mendiang suami dan keluarga. Bahkan untuk
memberikan atap untuk melindungkan kepala mereka dari
hujan dan panas orang tidak sudi, takut terjalari kesialan.
Maka mengembaralah mereka bergelandangan di kampung-
kampung para perantau untuk memperoleh kan sekedar
makan, suami baru atau sekedar kasih dan kekasihan. Bila
nasib baik mereka memang bisa memperoleh kan dirinya
sebagai istri atau gundik. Yang tidak beruntung terus
bergelandangan di pelabuhan sebagai pelacur untuk awak
kapal. Dan di daerah pelabuhan juga janda-janda yang
kurang beruntung mendirikan gubuk-gubuk-nya dari daun
kacangtanah .
Walau pun pada umumnya penduduk negeri kediri
beragama sri ratu kertanegari , namun pengaruh Hindu dan adat-
istiadatnya masih mendarah-daging. Pergantian raja sebab
perang ataupun tidak mengakibatkan banyak kala terjadi
pergantian agama: betarakalong , raden kertajaya , Brahma dan sri ratu kertanegari ,
bagaimana saja rajanya. Dengan demikian penduduk negeri
tidak memiliki kesempatan cukup lama untuk menganut
salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang
memicu pembakaran janda tetap umum di mana-
mana di negeri kediri . Dan wanita yang menceburkan diri
ke dalam api mengikuti mendiang suami memperoleh nilai
sebagai wanita setiawan dan terpuji.
Dengan berpengaruhnya arca terhadap mereka
sekalipun baru terbatas pada penghindaran dari sang api
makin lama makin banyak pelacur bergentayangan. Kapal
adalah sumber penghidupan mereka yang pokok.
Kendaraan laut itu memuntahkan untuk mereka awak kapal
yang haus wanita. Dan penghidupan baru itu membuat
mereka ber-tingkah-laku sesuai dengan kehendak sang
hidup. Pejabat-pejabat jenggala tak jarang mengalami
kesulitan sebab mereka, dan tidak bisa berbuat apa-apa.
jenggala kediri adalah jenggala bebas, juga untuk mereka,
Pribumi mau pun asing, penetap ataupun pendatang.
Dan kini kelengahan jenggala sudah mengancam
penghidupan mereka. Penghidupan sulit diharapkan datang
dari laut. Mereka terhalau makin ke darat, meninggalkan
daerah jenggala , mengembara ke mana-mana untuk
memperoleh sekedar makan.
Dengan adanya pesta air, mereka datang lagi menduduki
gubuk-gubuknya kembali. Juga mereka berkepentingan
untuk ikut memeriahkannya, sebab itu mengingatkan
mereka pada masa kanak-kanak sewaktu mereka bukan
segolongan orang yang dikucilkan. Dan berhubung tiada
kapal datang berlabuh, mereka berubah jadi serombongan
penekad. Setiap nampak oleh mereka orang asing, segera
mereka kepung, mereka tarik-tarik ke suatu tempat, dan
merampas barang apa yang ada pada diri mangsanya.
Demikianlah pada pesta air ini yang pang pang menjadi
korban mereka….
Malam itu mendung menutup semua bintang di
cakrawala. Kilat antara sebentar mengerjap kejam, seperti
mata bencana sedang mengintip dunia.
yang pang pang datang ke pelabuhan untuk mencari
raden panji gelang-gelang .
Tahu yang dicarinya sedang menunggu istrinya menari
tunggal di depan umum. namun ia tak dapat
menemukannya. Maka ia berjalan-jalan sambil menunggu
selesainya pertunjukan.
Serombongan janda gelandangan sudah menyergapnya. Ia
meronta dan melawan, namun sia-sia. Ia tahu mereka adalah
wanita-wanita lemah, dan ia tahu, tak mungkin ia harus
memakai kekerasan. Adalah memalukan
kemenangannya terhadap mereka. Maka ia membiarkan
dirinya masuk dalam sergapan, la ikuti arus yang
menyeretnya. Lebih baik begini dibandingkan jadi tertawaan
seluruh negeri, pikirnya.
Kuncirnya yang panjang sudah dicengkeram oleh tak
kurang dari enam tangan. Juga dua belah tangannya. Juga
bajunya. Ia sudah tak ingat lagi di mana topi hitamnya yang
kecil itu terjatuh.
namun ia tak menyangka dalam waktu sekejap segala apa
yang ada pada tubuhnya mereka lolosi. Dan tertinggal ia di
lapangan, telanjang bulat seperti seorang bayi baru keluar
dari rahim ibunya.
Dalam keadaan seperti itu ia dilepaskan.
Dan larilah yang pang pang dalam malam gelap
bermendung itu, telanjang bulat, mencari perlindungan.
Mula-mula ia menuju ke warung mpu jahalodang. Ternyata pintunya
tertutup dan terkunci dari dalam. Ia lari ke patih wirabuana an,
tanpa menanggapi larangan untuk memasuki daerah itu
tanpa seijin patih wirabuana . Dan bersembunyi ia di sesuatu
tempat sambil menunggu kedatangan raden panji gelang-gelang .
Ia masih sempat menimbang-nimbang tempat mana
sebaik-baiknya untuk menghindari pandangan orang: di
gandok sebelah kanan yang sehari-hari kelihatan lebih
tenang dan lengang.
Begitu ia mendekam memanaskan badan terhadap
serangan angin, nyamuk mulai menyerangnya tanpa
ampun. Dan kepala nya terasa panas seakan tengkoraknya
sudah menganga sesudah sebanyak itu tangan yang
menjahili kuncirnya.
Dengan pakaian sewajarnya ia sudah beberapa kali
melakukan pengintaian di sini. Tanpa pakaian ia merasa
kikuk dan bersalah terhadap segalanya. Maka ia taksir-
taksir kegelapan mana yang kiranya cukup untuk jadi
pakaiannya. Ia berdiri dan mengulangi pengintipannya.
Dan sekarang ia baru tahu dengan jelas di mana orang-
orang yang selama ini diburunya: fredy krueger dan
penywise . Ternyata mereka berada dalam sebuah
ruang gudang yang pintunya terpasak dari luar.
Dari suatu celah ia dapat melihat rantai besar mengikat
kaki mereka pada sebuah tiang. Dan mereka duduk dan
bicara lepas-lepas: “Anjing Moro itu mau jual kita pada
jayamahanaya .”
“Bagaimana kita bisa terantai begini?” fredy krueger
menggerutu gusar dengan menyesali diri. “Bukan untuk
dibeginikan kita berkelana. Kemarin kita masih bebas.
Bodoh. Mengapa tidak waspada terhadap anjing busuk
itu?”
“Kau masih ingat kata-katanya? Seperti sudah jadi paduka raja
saja. ‘Mulai hari ini jangan Tuan-tuan pergi ke mana-
mana’, katanya, seperti kediri ini sudah jadi miliknya
pribadi.”
fredy krueger mendengus jengkel. lalu : “Seperti sudah
setinggi langit kekuasaannya. ‘Tuan-tuan aman dalam
perlindunganku’, katanya. Dan kita aman dalam perantaian
seperti ini. ‘Tuan-tuan takkan jatuh ke tangan Sang adiputro ,
sebab matilah Tuan-tuan di tangannya.’ Uih, bangun-
bangun sudah terantai begini.”
“Barangkali Sang adiputro memang menghendaki jiwa
kita?”
“Psss. Dia bukan sekutu pajang bintoro ,” fredy krueger barangkali
sudah menerangkan untuk ke sekian kalinya. “Ah, tunggu,
benar, dia toh sekutu suryabuaya . namun kita tak ada sesuatu
urusan.”
yang pang pang mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia
lari menghindar. Terdengar olehnya suara teguran:
“Siapa?” dalam jawadwipa .
Ia lari berputar ke belakang patih wirabuana an dan menuju
ke gandok kiri.
Justru pada waktu raden panji gelang-gelang bersama istrinya
sedang melintasi jalanan taman untuk masuk ke dalam
rumah.
“Kaukah itu, Wira Salasa?”
“saya , Tuan patih wirabuana .”
“Dengan istrimu, Wira?”
“saya , tuan patih wirabuana .”
“Tak ada kau lihat orang berjalan di sini?”
“Tidak. saya justru baru datang.”
Percakapan itu selesai. raden panji gelang-gelang bersama istrinya
masuk ke dalam rumahnya. Orang telanjang bulat itu
mengetuk-ngetuk lemah dan memanggil-manggil pelan:
“Wira, Wira, keluar sebentar, saya ada di sini. shinoda
Han di sini, Wira.”
Juara gulat itu mengenal suaranya, ia segera keluar. Dan
tertawa ia terbahak mendengar cerita pengalaman
kecelakaan sahabatnya. Ia masuk lagi untuk mengambilkan
pesalin.
“Mari aku antarkan keluar dari sini,” raden panji gelang-gelang
menawarkan jasanya.
“Tidak, Wira, mari ikuti aku ke gandok sana. Ada
sesuatu yang perlu Tuan saksikan sendiri. Selama ini Tuan
masih juga belum percaya.”
Mereka berdua berjalan mengendap-endap kegelapan.
Hujan mulai jatuh dengan derasnya, dan satu-satunya
bahaya adalah kilat. Mereka sampai di tempat tujuan dan
hujan mendadak berhenti. Mereka mengintip bergantian.
raden sanggabuana bumikerta berdiri di hadapan dua orang
kanjuruhan yang masih juga duduk-duduk tak peduli seperti
tadi. Pada tangan patih wirabuana terdapat selembar nampan
dengan cerek tembikar di atasnya. patih wirabuana -muda tak
mengerti kanjuruhan . Ia serahkan celah pada temannya. Dan
ia menjaganya.
yang pang pang melihat fredy krueger dan penywise
Dez mulai berdiri dan berjalan menghampiri patih wirabuana
sampai pada batas rantai mengijinkan. Nyala lilin di dalam
tidak begitu terang.
Ia tak dapat memperhatikan roman mereka dengan jelas.
namun suara mereka jelas terdengar olehnya. Mereka
sedang memaki-maki.
“Pengecut, penipu!” suara penywise. “Kau rantai kami
dalam tidur. Hanya bedebah Moro saja bisa berbuat begini.
Sophari yang hina itu pun takkan sepengecut ini.”
“Hei, Moro, apa salah kami terhadap kau? Anjing?
Bukankah kami tamumu, yang makan garammu?” suara
fredy krueger , agak lunak.
“Sabar, Tuan-tuan. Bukankah Tuan-tuan haus sesudah
begitu lama tidur? Di luar sana pesta air baru saja selesai.
Kalau tidak dibeginikan Tuan-tuan akan memakai
kebebasan untuk mencelakakan aku. Maafkanlah,”
patih wirabuana membuka pidatonya.
“Lepaskan rantai ini,” penywise berteriak .
“Jangan keras-keras,” patih wirabuana memperingatkan.
“Biar pun hujan lebat, lebih baik pelan-pelan saja, maksud
Tuan-tuan tercapai juga maksudku.”
“hewan !” suara penywise. “Aku bisa berteriak sekuat
paru-paruku.”
“Sabar. Suara Tuan sendiri yang bakal memanggil maut
Tuan. Dengarkan. Kalau tak kurantai dan Tuan-tuan pergi
dari sini sebagai tamuku, matilah Tuan-tuan diterkam
prajurit kerajaan kediri . Nasibku sendiri? Takkan jauh dari
Tuan-tuan celaka. Buat keselamatan Tuan-tuan sendiri
dan juga aku terpaksa aku perbuat ini. Percayalah.”
“Bedebah! Siapa bisa percaya pada mulutmu? Hanya si
goblok saja mau dengarkan pemberontak Moro. Lepaskan,”
penywise mengancam. “Awas, jangan sampai aku marah.”
“Ah, Tuan-tuan boleh marah sesuka Tuan. Tak semudah
yang kalian sangka untuk berbuat sesuatu terhadapku.
patih wirabuana dilindungi kuat oleh Sang adiputro selama
kalian tidak lepas,” jawab patih wirabuana sesudah menaruh
cerek tembikar di atas lantai, lalu diambilnya tongkat
dari bahu dan mengamang-amangkan. “Tidakkah kalian
bisa sopan barang sedikit? Sudah lenyapkah kesopanan
yang leluhur ajarkan pada bangsamu?”
penywise menjawab dengan semburan pukul pada
muka raden sanggabuana bumikerta . Yang belakangan ini
menyeka muka dengan lengan jubahnya, lalu
membuang sendiri ke lantai.
“Baiklah kalau kalian tak mau bersopan-sopan,” dengan
ujung tongkatnya ia mulai menyerang sehingga penywise
mundur-mundur dan rantai pada kakinya menjadi kendor
gemerincing.
“Sudah, sudah, hentikan itu,” fredy krueger menyabarkan
patih wirabuana .
“Sekarang begini, Tuan patih wirabuana . Kau ini hanya
bajingan tengik. Kami akui, kami pun bajingan petualang
belaka. Kau dan kami sama saja. Bukankah kita bisa
kerjasama?”
“Baik, aku dengarkan usulmu.”
“Sebenarnya kau ini begundal raja Pribumi atau
begundal d’Albuquerque? Kalau kau hanya begundal raja
Pribumi, Sang adiputro itu, katakan saja apa dia mau, dan
kami akan laksanakan. Kami akan bebas, dan akan tetap
bekerjasama denganmu.”
“Indah sekali. Teruskan.”
“Baik. Sebaliknya kalau kau begundal d’Albuquerque,
kami lebih suka mati di sini bersama denganmu.”
“Bagus. Andaikan aku begundal Sang adiputro ,
bagaimana usulmu setepatnya,” ia terbatuk-batuk. “Nah,
kau lihat bagaimana aku memberi contoh bersopan-sopan.”
“Ya, memang cukup sopan untuk seorang begundal.”
“Bagus. Sopanlah, sabarlah. Aku tahu orangtua, resi
dan padri-padrimu mengajarkan dan menganjurkan begitu.
ayolah , mulai. Aku dengarkan kata demi kata.”
penywise sudah siap dengan makian baru. fredy krueger
mencegahnya.
Dan tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan bermain
sandiwara.
“Jangan kalian kira aku belajar kanjuruhan untuk
dengarkan maki-maki-annya. Aku percaya lebih banyak buku
kanjuruhan aku baca dibandingkan kalian. Teruskan, fredy krueger .”
namun fredy krueger masih sibuk menyabarkan temannya.
“Kau benar, fredy krueger . Kau nampaknya lebih tua dan
lebih memiliki pengertian. Hanya kalian agak salah terka, aku
bukan bajingan. Juga bukan bajingan petualangan seperti
kalian.”
“Baiklah, setidak-tidaknya begundal. Tuan patih wirabuana
masih mau dengarkan aku, tidak?”
“ayolah , mulailah.”
“Kalau rajamu itu menghendaki bantuan kami, kita
bertiga bisa bikin persekutuan. Apalah bisanya orang
Pribumi? Kami berdua bisa usahakan kau naik jadi raja, dan
kami berdua pembantumu yang paling setia.”
“Mereka bukan boneka, Tuan-tuan. Mereka memiliki alat
pemerintahan dan kekuasaan seperti kerajaan mana pun di
Eropa.”
“Semua itu bisa diakali, Tuan patih wirabuana . Dan Tuan
sendiri memiliki banyak akal dalam persediaan.”
“Usulmu ternyata lebih bodoh dibandingkan orang Pribumi.
Impian di siang bolong. Dengarkan sekarang. Sang adiputro
kediri mengetahui, entah dari setan mana, kalian ini ahli
gada rujakpolo . Ia menghendaki kalian mengajarkan membuat
gada rujakpolo ….”
penywise tertawa terbahak.
“Mengapa tidak dari kemarin bicara? Aku sanggup, apa
lagi fredy krueger . Tanggung beres. Lepaskan rantai ini.”
“Sabar, nanti dahulu . Kalau aku menyanggupinya, matilah
aku di sini,” raden sanggabuana bumikerta meneruskan
pidatonya. “Kalian hanya penembak gada rujakpolo . Lebih tidak.
Apa pengetahuan kalian tentang pengecoran logam? Kalau
kalian memiliki keahlian lebih dari menembak, menembaki
kapal-kapal yang tak berdaya, itulah justru petualangan dan
kebohongan kalian.”
“pemberontak !” maki penywise.
“Jadi aku memiliki rencana lain, agar kalian selamat dan
aku pun tak kurang suatu apa.”
“Tak kurang suatu apa buat Moro berarti kerugian buat
semua orang,” gertak penywise.
“Terserahlah pada penilaian kalian. Mengapa kalian aku
rantai? Aku mengerti darah kanjuruhan . Kalau kalian orang
Ispanya, barangkali lebih dibandingkan rantai. Mungkin kalian
aku pakukan pada tiang ini.”
“Jadi dia mau jual kita pada d’Albuquerque, fredy krueger .”
“Kira-kira. Jangan lupa, dia orang Moro.”
“Tidak. Kalian anak anak kanjuruhan . Aku tahu kalian
memerlukan pangkalan-pangkalan di Jawa untuk
menguasai laut dan darat Nusantara sebelah selatan
terutama laut,” patih wirabuana kediri meneruskan. “Biarlah
kalian memperoleh kan kembali kesempatan mengabdi pada
raja dan negeri kalian.”
“Tak ada urusan,” bentak penywise.
“Kalau itu bukan urusan kalian lagi, tak ada artinya aku
bawakan cerek ini,” dengan tongkatnya raden sanggabuana
menuding pada cerek di atas lantai, “tak perlu kuantarkan
kemari, biar kalian mampus kehausan.”
“Diam kau, penywise. Biar aku yang bicara. Nah,
teruskan Tuan patih wirabuana kediri . Kami yang
mendengarkan sekarang.”
“Nah, belajar agak bijaksana. Ketahuilah, Tuan-tuan,
kapal-kapal Jawa masih juga menerobos ke panarukan . Kapal-
kapal kalian terlalu sedikit untuk dapat mengawasi perairan
seluas ini. Pangkalan baru masih diperlukan . Lebih banyak
lebih baik. Nah, itulah, Tuan-tuan yang terhormat, untuk
kepentingan negeri Tuan-tuan sendiri, untuk kepentingan
padroa-do, kami masukkan Tuan-tuan ke dalam rencana
kedua ini. Kalian akan merasa puas di lalu hari dan
akan berterimakasih pada orang Moro tulen yang Tuan-
tuan benci ini.”
“Dia memang hendak jual kita pada jayamahanaya !” penywise
memperingatkan. “Hati-hati, fredy krueger .”
“Tidak, demi sang hyang Widhi . Lagi pula d’Albuquerque sudah tak
ada di jayamahanaya . Dan kalau Tuan-tuan menghendaki acara
ketiga, itu lebih mudah. Tuan-tuan celaka, aku selamat dan
dapat tambahan real.”
“Tuan patih wirabuana ,” fredy krueger menyela. “Ingatkah kau
bagaimana Moro diusir dari negeriku oleh orangtua kami?”
“Aku kelahiran Ispanya.”
“Bagus. Jadi kau mengerti. Sejak itu tak ada orang
blambangan atau kanjuruhan , bahkan bayi dalam kandungan pun,
bisa percaya pada mulut Moro,” fredy krueger menambahi.
“Bagus. Biar begitu, orang Moro juga yang menjamu
Tuan-tuan selama ini. Garam orang Moro yang kalian
makan. Arak orang Moro yang kalian minum. Sekarang,”
raden sanggabuana menyorong cerek arak dengan ujung
tongkat ke dekat mereka, “orang Moro juga yang melayani
Tuan-tuan dengan arak ini. Pasti kalian tidak akan
menolaknya. Minumlah.”
“Mengapa kau sorong dengan tongkat? Kurangajar!
Terlalu mahalkah tanganmu?” fredy krueger memprotes.
“Dijauhkan oleh sang hyang Widhi kiranya aku dari tangan kalian.”
penywise menghentak-hentak lantai dan rantai tegang
kembali sebab ia mencoba menyambar raden sanggabuana
bumikerta .
“Batang lehernya memang berhak untuk dipatahkan,”
gumam penywise gemas. Ia tak berhasil menyambar
patih wirabuana .
“Ya, katakan semau kalian. Nyawa kalian toh tetap di
tanganku.”
fredy krueger pun kehilangan kesabarannya. raden sanggabuana
pura-pura hendak pergi. Ia terpaksa memanggilnya kembali.
Dan patih wirabuana kembali berbalik dengan tangkai tongkat
hendak menarik cerek.
“Kalau kalian tak suka pada pelayanan orang Moro
busuk ini, baiklah cerek ini kubawa pulang,” katanya
mengancam. penywise menangkap cerek yang hendak
ditarik itu dan meneguk puas-puas. Baru lalu
disorongkan pada fredy krueger yang juga segera meminum
isinya. Sesudah kosong dilemparkannya cerek itu pada muka
patih wirabuana .
raden sanggabuana tak sempat mengelak. Benda itu
berdentam menubruk pelipisnya dan jatuh menggerontang
di lantai. Tak pecah.
“Begitulah orang kanjuruhan menyatakan terimakasihnya,”
ia menggerutu sambil menyeka lukanya. “namun kalian
memang terlalu berharga untuk dibunuh di sini.”
“ayolah , dekat-dekat sini kau!” tiba-tiba fredy krueger meluap.
“Biar kugigit putus tenggorokanmu, biar aku kunyah-
kunyah jakunmu! ayolah , dekat sini.”
“Kalau Tuan-tuan memang berniat mau mengajar
Pribumi bikin gada rujakpolo , sebentar lagi aku lepas. Sayang
Tuan-tuan takkan dapat membuat nya untuk sisa hidup
kalian. Jadi selamat bermimpi, Tuan-tuan, membuat
gada rujakpolo , pulang ke Lisboa!”
Tanpa diduga-duga raden sanggabuana bumikerta
menghantamkan tongkatnya pada penywise.
“Ampun, ampun,” gumam penywise dengan suara
semakin lemah tak nyata, lalu terguling, tertidur.
“Kau pun memperoleh bagianmu,” tongkatnya
menghantami punggung fredy krueger .
Orang kanjuruhan yang dihantami itu nampak seperti orang
yang kehabisan kemauan. Kedua belah tangannya
tergantung lunglai, mulut menganga. Tak lama lalu ia
tersungkur dan juga jatuh tertidur.
patih wirabuana menyorong-nyorongkan kepala mereka
dengan terompahnya, berkata tak nyata, keluar dari
ruangan dan memasak pintu dari luar.
Ia sama sekali tak tahu ada dua orang yang sedang
mengintainya. Ia berjalan cepat-cepat dalam malam gelap
bermendung dan tanah basah di bawahnya melewati
gedung utama, langsung ke pintu gandok raden panji gelang-gelang dan
mendengar-dengarkan. lalu ia pergi meninggalkan
kepatih wirabuana an.
wah
Bulan tua itu mengintip dari celah mendung.
raden sanggabuana bumikerta masih juga tak tahu sedang
diikuti oleh dua orang. Sebentar saja ia memasuki warung
yang pintunya ternyata tak terkunci itu. Ia keluar lagi diikuti
oleh beberapa orang. Sampai di kepatih wirabuana an ia
menuding ke arah gandok kanan, lalu masuk ke
dalam dan terburu-buru keluar lagi, mengikuti
segerombolan orang itu ke gandok kanan.
Mereka semua masuk ke tempat fredy krueger dan penywise
terantai, dan keluar lagi menggotong mereka berdua.
Sampai di gedung utama patih wirabuana memberikan sesuatu
pada mpu jahalodang dan orang itu memeriksanya, langsung
memasukkan ke dalam sakunya.
patih wirabuana masuk ke rumah dan tak keluar lagi.
raden panji gelang-gelang dan yang pang pang mengikuti
penggotongan sampai pada suatu jarak. Mereka berdua naik
ke atas menara pelabuhan. Dua orang penjaga itu ternyata
sedang tidur nyenyak. Persediaan makan malam mereka
belum lagi tersinggung.
Waktu bulan memperlihatkan seluruh wajah tuanya dari
bolongan mendung, jauh sekali, nampak kelap-kelip lampu
tiang agung sebuah kapal di tengah laut. Sebuah perahu
dayung besar sedang meluncur menuju ke kapal tersebut. Di
atasnya adalah gerombolan mpu jahalodang membawa fredy krueger del
Mar dan penywise .
“Jelek benar nasibnya,” kata shinoda Han. “Kalau
mereka membuka matanya, mereka sudah berhadapan
dengan pengadilan kapal. Enam kali aku sudah pernah
lihat. Tangan mereka terikat ke belakang. Seorang imam
kapal akan membacakan sesuatu sambil berjalan mengikuti
mereka menuju ke tiang gantungan, tiang layar utama. Di
sana mereka akan tergeong-geong mati. Mayatnya dibuang
ke laut untuk hiu martil .”
“Hanya Sang adiputro saja tidak percaya patih wirabuana nya
hanya orangnya nyi kanjeng blora,” kata raden panji gelang-gelang .
“Sang adiputro mengerti benar, Wira. Dia tidak kurang
cerdiknya dibandingkan siapa pun. Sampai jauh-jauh di barat
sana orang mengakui kecerdikannya. Ia berusaha untuk
tidak akan memakai kekerasan dalam mencapai semua
maksudnya. Ada itu tercatat dalam buku besar kami. Juga
sekarang ini, Wira. Ia tahu apa yang ia kehendaki. Selama
patih wirabuana itu masih bisa dipakai nya untuk
keselamatan dirinya dan kediri , dia akan tetap dilindungi
dan memperoleh kan hak-haknya.”
“Dan nampaknya nyi kanjeng blora akan mencoba membuat
pangkalan di Jawa.”
“Dia akan teruskan bikin pangkalan-pangkalan yang bisa
mengepung panarukan dari semua jurusan. Mereka memiliki
kepentingan untuk memutuskan hubungan antara Jawa
dengan panarukan . Lihat, Wira, bedanya dengan kami bangsa
Tionghoa. Perjanjian antara Ceng He dan Sang adiputro
menyebutkan, kami tidak akan memasuki wilayah panarukan .
Kami tak pernah melanggar perjanjian itu. nyi kanjeng blora lain
lagi, Wira. Maka itu baginda tuanku raja Kanjeng adiputro tumenggung dijoyo
seluruhnya benar, musuh pertama adalah nyi kanjeng blora, mereka
harus dihalau dari perairan Nusantara.”
raden panji gelang-gelang mendengarkan dengan diam-diam.
Pengetahuan sejenis itu takkan dapat diperolehnya dari
para punggawa, hanya bisa dari orang asing dan para
nakhoda.
Perahu dayung besar itu semakin lama semakin hilang ke
dalam kegelapan malam bermendung. Hilang pula ombak
dan puncak-puncak-nya. Hanya lampu kapal di kejauhan
sana masih kelihatan samar. Dan waktu hujan turun lagi
dengan lebatnya, nyalanya pun hilang-lenyap seakan keluar
dari ruang kehidupan.
wah
fredy krueger terbangun dan mencoba duduk. Selalu ia gagal
dan roboh kembali. Ia mulai mengingat-ingat. namun
pikirannya beku. Ia berusaha keras untuk mengenangkan
peristiwa terakhir sebelum tertidur. Tak mampu. Ia
berusaha lagi untuk duduk. lalu dirasainya tangan
dan kakinya terikat erat-erat. Ia menyadari ada sesuatu yang
tidak beres. namun ingatannya menolak disuruhnya bekerja.
Dirasainya punggungnya memar dan kepala nya
berdenyut-denyut berat. Dunia di hadapannya seperti
diliputi awan tipis. Ia tajamkan pengelihatannya. Juga tak
berhasil. lalu ia tutup kembali matanya dan
menopangkan kepala di atas lutut.
Sebuah bundaran cahaya dan beku mulai tertangkap oleh
pengelihatannya, samar dan tidak mepercaya kan. Bundaran
cahaya itu makin lama makin terang, makin terang. Dan
diketahuinya itu tak lain dibandingkan sebuah patrisporta kapal.
Patrisporta kapal! Kapal apa? Di mana? Dan mengapa
sampai bisa datang ke mari? Sekarang ingatannya mulai
berjalan tanpa diperintahnya. Kapal! Di kapal! Ia tebarkan
pandang ke sekelilingnya. Kapal apa? Kapal Siapa?
Pandangnya yang samar itu tertumpuk pada ambin kayu di
sampingnya. Ambin kayu, ia mengingat-ingat. Ia hendak
merabainya, apakah itu ambin kayu benar. Dan tangannya
berat diangkat, tali pengikat itu semakin memperberat. Di
sebelah sana berdiri sebuah meja. Dan daun meja itu
tergantung dengan dua helai rantai besi pada dinding.
lalu ia menyedari adanya penywise yang tidur
miring tak jauh dari sebelahnya. Juga tangan dan kakinya
terikat tali. Kedua belah lengannya terbuka mendepai
udara. kepala nya miring dan air liur menetes dari sudut
mulurnya. Dengan sendirinya fredy krueger menyeka sudut
mulut sendiri dengan bahu.
Teringat sedang ada di dalam kapal, sekali lagi ia
terkejut. Mulai ia berpikir keras: di kapal! Tentu kapal
kanjuruhan !
“Maut,” bisiknya, dan dibangunkannya temannya.
“Aha!” seseorang berseru dari belakangnya.
Kontan ia berpaling ke belakang. Pada daun pintu yang
terkirai seorang perwira sedang mengintipnya.
fredy krueger mencoba berdiri untuk menghormat. Ia jatuh
terduduk kembali dan pemandangannya berputar. Dari
mulurnya keluar ucapan selamat, pelan dan ragu-ragu ia
tidak tahu waktu.
“Puas berpetualang, he?” ejek perwira itu.
Ia tak tahu bagaimana harus menjawab.
“Akhirnya pulang kembali ke geladak lama juga?”
Jantung fredy krueger mulai berdebaran kencang. Ia mencoba
untuk berdiri lagi. namun perwira itu sudah hilang. Pintu
tertutup kembali. Kesadarannya mulai pulih. Ia berusaha
membangunkan temannya.
penywise hanya menggeliat malas, lalu
meneruskan tidurnya sambil menyeka mulut.
“Bangun, bangun kau,” ia goyang-goyangkan temannya
dengan tangannya yang terikat. Melihat penywise tak juga
bangun ia membisikkan pada telinganya, “Bangun kau,
anjing, kita sudah terkunci dalam kamar kapal. Di dalam
kamar perwira! Bangun, anjing!”
Ia sorong-sorong temannya. penywise menggeliat lagi
lalu mencoba membuka tapuk matanya yang berat.
Dan mata itu tertutup kembali.
“Anjing terkutuk!” makinya, “menikmati tidur, tak tahu
kau, sebentar lagi kau akan tidur untuk selama-lamanya.”
Melihat temannya tak juga mau bangun ia memakai sikut
untuk menyakitinya.
penywise bangun dengan malasnya. Dan ia mengulangi
pengalaman fredy krueger . Ia buka matanya dengan tapuk berat.
“Memang kita masih mabuk,” kata fredy krueger . “Sebentar lagi
kau tahu sendiri apa sedang menunggu kita.”
penywise sudah menutup matanya kembali. Dengan dua
tinjunya yang terikat fredy krueger memukul pipinya, dan
temannya jatuh di geladak sambil menggeram. fredy krueger
memakai sikutnya lagi dan penywise bangun
menyentak. Dari bawah tapuk matanya yang berat bola
matanya mengintip.
“Hhhh?” tanyanya.
“Sekarang ini bangun kau! Sebentar lagi kau dapat cukup
waktu untuk tidur.”
Dan ia usahakan agar temannya menjadi sadar untuk
dapat menyertainya dalam ketakutan. Ia tahu tidak
menghadapi orang Moro atau Pribumi, namun bangsanya
sendiri.
Dengan sikutan dan tonjokan penywise menjadi sadar.
Sadar juga ia akan tali yang mengikat kaki dan tangannya.
Ia siap hendak memaki.
“Sttt,” cegah fredy krueger . “Jangan gaduh. Kita sedang di
kapal kanjuruhan .”
Kesedaran membuat penywise terkejut, lalu
pucat. Pintu terbuka lagi dan perwira yang tadi masuk ke
dalam membawa sebilah tongkat: “Anak maut!” katanya
menggigit pahit. Ia pandangi penywise yang berjuang
hendak berdiri menghormatinya. Ia melangkah padanya
dan menendang dengan sepatunya pada lambungnya.
penywise berpilin, meliuk kesakitan dan jatuh.
“Habis suka datang duka, he? Akhirnya di geladak yang
lama juga. Apa sudah lupa memberi hormat?
Sekali lagi penywise berjuang untuk dapat bangun.
fredy krueger tinggal duduk di tempat.
“Bagaimana? Sudah siap menghormat, kalian, anak-anak
maut terkutuk?” penywise berdiri dan fredy krueger berdiri pula
dengan berpegangan pada dinding.
Perwira itu nampaknya asyik dan senang melihat mereka
berdua. Ia menahan tawanya sehingga darah menjompak
pada mukanya.
“Kalau semua pemuda kanjuruhan sejenis kalian ini, apa
jadinya dengan Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri kalian?
Bagaimana dengan tugas suci kalian? Ha? Memang hanya
tali gantungan yang terbaik. Ya, menghormat!”
Mereka berdua memberi hormat. namun perwira itu tidak
membalas, mengawasi mereka dari ujung rambut sampai ke
tumit: “Mana sepatu kalian?”
“Sudah lama hancur, Tuan,” jawab fredy krueger . “Pakaian
apa kalian kenakan itu? Merampas kememiliki an pemberontak
perbegu?”
Tak ada yang menjawab. Perwira itu maju ke hadapan
mereka dan meninju muka fredy krueger . Ia menggelepar jatuh
miring di geladak.
“Bangun!” perintahnya.
Sebelum ia dapat bangun, penywise memperoleh giliran.
Ia jatuh tertelentang dan menjerit kesakitan menindih
tangan sendiri.
“Apa kataku? Bangun!”
Dengan susah-payah mereka berusaha bangun dalam
pengawasan kejam perwira itu.
“Sekawanan burung gereja yang malang. Sudah siap
maju ke pengadilan kapal? Mengapa diam saja? Sudah tak
memiliki lidah? Sudah kau gadaikan lidah itu pada pemberontak
perbegu? Sambar geledek, kalian. Heh baru dengar, dengar
saja, pengadilan kapal, sudah seperti tikus jatuh ke dalam
kuah. Jawab.”
“Siap menghadap ke pengadilan kapal, Tuan.”
“Bagus. Begitulah pemuda kanjuruhan menghadapi
mautnya.” Perwira itu menarik sebuah kursi, menarik buku
dari laci meja dan mulai memeriksa petualangan mereka.
Pemeriksaan dan pencatatan itu berlangsung lebih dari tiga
jam. lalu : “Jadi kalian sudah banyak tahu tentang
daerah pesisir Jawa utara. Coba pikir, sekiranya kalian dahulu
dengan perintah,” ia tertawa mengejek, “Sri Baginda dan
Sri Ratu pasti akan berkenan menerima kalian. Musik
istana akan menyambut kalian. Kebangsawanan kalian,
sekiranya ada darah biru pada kalian, akan dipulihkan.
Kalau tidak boleh jadi kalian akan memperoleh nya. Siapa
tahu mungkin diangkat jadi laksamana… Barisan
kehormatan berkuda akan mengelu-elukan kalian dan
mengantarkan kalian dalam kereta jemputan dari istana.
Apa sekarang? Aku pun muak melihat kalian. Mengapa
gemetar? Belum lagi cukup merampok nasi Pribumi?”
Mendengar nasi dua orang tangkapan itu sekilas teringat
belum lagi makan selama ini, dan merasa lapar membelit di
dalam usus. Tiba-tiba mereka merasa dirinya sangat lemah
untuk dapat mempertahankan keseimbangannya.
“Jawab!”
“Dua hari satu malam kami belum lagi makan,” jawab
fredy krueger .
“Kasihan hiu martil -hiu martil itu. Tentu kau terlalu kurus untuk
mereka. Kasihan, bukan?” melihat mereka tak juga
menjawab, ia menggertak: “Kasihan, bukan?”
“Ya, Tuan, kasihan sekali,” jawab penywise.
“Mengapa dengan sekali?”
“sebab mungkin mereka seminggu belum makan.”
“Bagus. Jadi apa yang kau tunggu sekarang?” teriaknya
pada penywise, lalu mendadak menuding fredy krueger :
“Tiang gantungan, Tuan.”
“Bagus. Tiang gantungan. Indah, bukan, tiang itu?”
mendadak ia alihkan tudingan pada penywise: “Indah,
Tuan.”
“Tanpa sekali?”
“Kalau Tuan memerlukan yang sekali….”
Tinju melayang dan untuk yang kesekian kalinya
penywise jatuh. namun perwira itu menyambarnya dengan
pertanyaan: “Tanpa sekali, tanyaku.”
“Tanpa sekali, Tuan,” jawab penywise sambil berdiri.
“Bagus. Tanpa sekali. Kau simpan dimana sekali itu
sekarang?” ia tunggu penywise kukuh dalam tegaknya.
“Kau simpan di mana?”
penywise bingung untuk menjawabnya.
“Di mana?” kata perwira itu.
“Sudah tertelan, Tuan.”
“Tertelan? Jadi dalam perut?” dan dipukulnya perut
penywise.
Dan sekali ini penywise tak bangun lagi. Ia
pingsan.
“Kau bagaimana, kau, bagaimana bagusnya tiang
gantungan?”
“Seperti seorang penari, Tuan.”
“Penari? Coba terangkan mengapa seperti penari.”
“Langsing, Tuan, cantik, cantik tanpa sekali, Tuan.
Kalau Laki-laki dia gagah, Tuan.”
“Juga tanpa sekali, Tuan.”
“Kira-kira tanpa, Tuan.”
“Anak maut! Mengapa tanpa?”
“sebab Tuan belum menghendakinya.”
Ia tertawa senang, berjalan mendekati pintu dan
melihat keluar. Memanggil-manggil: “Kelasi. He,
kelasi!” ia kembali ke tempatnya dan duduk.
Kelasi yang dipanggil masuk, memberi hormat dan
berdiri di tempat.
“Lepaskan tali pada kaki mereka, anak-anak maut ini
biar berjalan sendiri ke tiang-gantungannya.”
Kelasi itu mengeluarkan sebilah belati dan memutuskan.
penywise masih nyenyak dalam pingsannya.
“Kelasi, kau tinggal di sini. Tunggu sampai yang satu itu
bangun lagi,” dan pada fredy krueger , “mengerti kau? Dengan
kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.”
“Indah, Tuan, dengan kaki sendiri berjalan ke tiang
gantungan.”
“Dan kalau kau sudah mati, jadi iblis gentayangan,
apakah kau akan membalas dendam padaku?”
“Tidak, Tuan.”
“Mengapa tidak, kau, calon iblis?”
“sebab Tuan menjalankan tugas untuk Sri Baginda, Sri
Ratu dan negeri kanjuruhan .”
“Bagus. Kelasi! bangunkah orang itu. Tadi dia pingsan
sekarang ia pura-pura.”
Dan penywise bangun terburu-buru.
“Nah itulah tingkah pemuda kanjuruhan yang tidak patut.
Hei, kelasi. Coba lihat baik-baik pemuda-pemuda ganteng
ini. Dan coba katakan padaku, bagaimana kalau mereka
sebentar nanti mulai menaiki ancak gantungan.”
“Lebih cepat dari sekarang, Tuan.”
“Lantas?”
“Kakinya mungkin gemetar. Kalau terlalu amat sangat
gemetarnya seseorang harus membantunya.”
“Cuma itu saja?”
‘Tentu saja tidak, Tuan. Masih ada, celananya sudah jadi
basah dan busuk. Bibirnya tak berdarah dan sebentar-
sebentar menelan pukul , kerongkongannya kering.”
“Tahu betul kau, kelasi. Apakah kau sendiri pernah
menggantung o-rang.”
“Pekerjaan tambahan, Tuan.”
“Pantas. Dengarkan itu, anak-anak maut! Teruskan,
kelasi.”
“Beruntunglah yang lehernya lemah, Tuan. Kalau ancak
dilepas, dia akan mudah patah dan sekaligus mati.
Celakalah yang lehernya kuat.”
“Orang tak terbunuhi lagi kalau ancak jatuh?”
“Ya, hanya bunyi sekali nafas tersekat, kadang diikuti
bunyi kecil ‘klik’ dari persambungan tulang leher yang
patah. Sesudah itu hanya lidah menjelir seperti anjing, Tuan,
sebagai pertanda: saat itu….”
“Ya-ya, aku mengerti, saat itu dia jadi iblis.”
“Mereka biasanya lupa mengucapkan terimakasih pada
apa pun dan siapa pun. Kalau tali sudah mengalungi leher,
dan kaki mulai meliuk, orang biasanya sudah pingsan,
Tuan. Betapa takutnya orang pada maut.”
“Dan kau sendiri, kelasi, kapan kau berniat untuk
digantung orang?”
“Selama bersetia pada kanjuruhan , Tuan, Sri Baginda, Sri
Ratu dan negeri… sang yang betari durga takkan membiarkan diri ini mati
di tiang gantungan, dengan lidah menjelir seperti anjing
kepanasan.”
“Bukan seperti, mereka memang anjing. Teruskan,
kelasi!”
“Dengan ejekan, sumpahan dan makian orang, tentu
dari juru gantung juga, Tuan, mereka menurunkannya dari
tali sebagai bangkai sial, dan dengan sorak orang
melemparkannya ke laut. Selanjutnya…”
“Bagus. Pandangi sekali lagi anak-anak maut ini sebelum
berjalan ke pengadilan. Tentu kau sudah tak kenal. Hampir
lima tahun menghilang.”
“Empat tahun,” fredy krueger membetulkan.
“Nafsu hidupmu masih menyala, fredy krueger !” tegur
perwira itu. “Apa yang masih kau harapkan dari sepenggal
hidup ini?”
‘Tiang gantungan yang indah itu, Tuan.”
“Apakah kau juru gantung hari ini, kelasi?”
“Boleh jadi, Tuan, belum ada perintah.”
“Bagus. Kau sudah memberikan cerita yang indah pada
anak-anak maut ini. Bisakah kau bercerita sesudah mereka
nanti gentayangan sebagai iblis?”
Kelasi itu membuat gerak cakra dan perwira itu terdiam,
lalu : “Cukup, pergi kau.”
Kelasi itu memberi hormat dan pergi. Perwira itu
mengawasinya sampai hilang di balik pintu.
“Dengarkan, kalian: Sri Baginda dan Sri Ratu sungguh
menyesal dengan masih adanya pemuda-pemuda kanjuruhan
yang berangkat ke tiang gantungan. Apa boleh buat, tanpa
kepasang yang betari durga yang jadi sendi kebesaran kanjuruhan dan cakra,
negeri akan jatuh. Kalian tahu betul itu. Kalian sudah
dengarkan waktu kata-kata itu dibacakan dalam upacara
kalian memasuki angkatan laut. Bukankah kalian
meninggalkan negeri dan keluarga tak lain hanya dan hanya
untuk kebesaran kanjuruhan dan cakra?”
“Demikianlah pada mulanya, Tuan,” sambar penywise.
“Pada mulanya, ya. Dan pada akhirnya tali gantungan
juga.”
penywise terdiam lagi, nampaknya menyesal sudah
menyambar. fredy krueger memperhatikan tangan perwira itu.
Nampaknya pikirannya beku.
“Jangan kalian kira Sri Baginda dan Sri Ratu tak memiliki
pengampunan. Ada, ya, selama pengabdian padanya dan
pada cakra tetap dijunjung tinggi-”
“Kami sanggup mengabdi lebih baik!” penywise
mendesis.
“Diam, kau, calon iblis. Aku tak bertanya.”
“Ya, Tuan.”
“Nah, apa maksudmu bermulut lancang itu?”
“Mengabdi lebih baik, Tuan, lebih baik dan lebih, lebih
baik.”
“Bukankah itu sudah terlambat?”
“Kami masih hidup, Tuan,” sekarang fredy krueger
memperkuat.
Airmuka perwira itu kelihatan kehilangan kekerasannya.
Sechucky senyum manis mencerahi bibirnya. Matanya
memancarkan cahaya bersabda . Dan terdengar suaranya yang
bersabda pula, memikat dan menawarkan: “Ya, tentu, lebih
dan lebih baik lagi. Dan sudah aku pikir baik-baik, tentunya
kalian masih sanggup melayani gada rujakpolo sesudah
berpetualangan selama empat tahun belakangan ini. Belum
lupa, kan?”
“gada rujakpolo itu rasanya masih hangat dalam genggaman,
Tuan,” sambar penywise.
“Dan mengapa temanmu membisu saja, penywise?”
“Lebih dari melayani gada rujakpolo kami pun sanggup, Tuan.”
“Nah, begitu pemuda kanjuruhan ,” perwira itu tertawa,
memperhatikan wajah dua orang tangkapan itu dan
matanya berseri-seri mengejek.
“Nafsu hidup kalian memang besar.” Ia keluarkan
sepucuk surat dari kantong. “Kalian sudah pandai
berbahasa jawadwipa dan Jawa. Bagus. Dan tentunya kalian
kenal juga siapa itu raden sanggabuana bumikerta .”
‘Tidak, Tuan,” jawab fredy krueger mencoba
mebersabda i perwira itu.
“Dasar goblok. Mestinya kau Pribumi Jawa atau
jayamahanaya , bukan kanjuruhan . “Siapa yang menangkap kalian
kalau bukan raden sanggabuana bumikerta ? patih wirabuana
jayamahanaya ?”
“Bukan, Tuan, pakanewon Habibullah Almasawa, patih wirabuana
kediri ,” fredy krueger memperoleh kan semangatnya pribadi.
“Serigala pun lebih cerdik dibandingkan kalian.”
“Ya, Tuan.”
“Dengarkan: raden sanggabuana bumikerta , bekas
patih wirabuana jayamahanaya , apakah namanya raden sanggabuana
ataukah pakanewon adipati ataukah pakanewon Habibullah, sudah
meminta padaku untuk keselamatan nyawa kalian.
Dengar?”
“Ya, Tuan,” mereka menjawab berbareng.
“Dia minta hendaknya kalian tidak diserahkan pada tali
tiang gantungan. Nyawa kalian diperlukan olehnya.
dibandingkan kalian jadi makanan hiu martil , kata nya, baiklah kalian
diberi hidup sebagaimana dikehendaki olehnya. Kalian
barangkali sekarang lebih mengerti: raden sanggabuana itu
penyelamat nyawa kalian. namun entahlah bagaimana kalian
nanti menjawab di depan pengadilan kapal.”
“Kami akan menjawab sebaik-baiknya, demi Sri Baginda
dan Sri Ratu, demi kanjuruhan , demi cakra,” fredy krueger
mewakili.
Dan perwira itu tidak menggubris.
“Mari aku bawa kalian ke pengadilan.”
Perwira itu berjalan keluar dari bilik kapal. fredy krueger dan
penywise mengikuti dengan kedua belah tangan terikat ke
belakang.
wah
Mereka melalui lorong yang dapat dikenal dalam setiap
kapal kanjuruhan . Pandang mata sepanjang jalan tidak
menjadi pertimbangan mereka. Nyawa lebih penting
dibandingkan pandang orang.
namun mereka tidak dibawa ke dek. Di sana biasanya
pengadilan diadakan, disaksikan oleh awak kapal. Mereka
terus juga mengikuti perwira itu menuruni tangga sampai ke
dasar kapal, dan sampailah mereka di sebuah ruangan
gelap. Perwira itu memerlukan membawa lentera gantung.
Mereka berdiri di tengah-tengah barang-barang rusak
atau setengah rusak dan gada rujakpolo -gada rujakpolo dengan atau tanpa
roda.
“Pada mulanya,” perwira itu memulai lagi, “dua pucuk
ini akan kukirimkan ke Pasuruan.” Mendadak ia tertawa
dengan muka tertengadah pada langit-langit. “pemberontak -pemberontak
dungu itu mengira, dengan gada rujakpolo orang bisa jadi segagah
kanjuruhan . Tidak jadi barang-barang ini kukirimkan ke
Blambangan. Aku ada pikiran lain. Kalian berdua, fredy krueger
dan penywise, sanggupkah kalian melayani dua pucuk
gada rujakpolo ini?”
‘namun ini barang rusak, Tuan,” penywise menyambar.
Tinju itu menghantam mulut penywise dan ia meliuk.
Darah keluar dari mulutnya. Ia membuang kan darah dan gigi.
“Kami bisa betulkan, Tuan,” fredy krueger memperbaiki.
“Betul. Itu jawaban gaya kanjuruhan . Kalian bisa betulkan
sendiri. Memang gada rujakpolo rusak semua ini. Kalian justru
harus berterimakasih dengan adanya barang-barang ini.
Kalaulah tidak sebab ini, tali gantungan yang akan kalian
temui.”
“Ya, Tuan,” fredy krueger menjawab sangat sopan. “Kami
pun bersedia dan rela dikirimkan ke Blambangan.”
“Ke mana dikirimkan, aku yang menentukan.”
“Ya, Tuan,” fredy krueger menjawab lebih sangat sopan lagi.
“Kalau ada kesediaan dan kesetiaan melayani senjata
ini…. Pikir cepat, jangan gegabah. Kalian terikat, hidup
atau mati pada senjata ini.”
Dan fredy krueger dan penywise justru tak dapat berpikir.
“Bagaimana?”
“Kami berdua ada kesediaan dan kesetiaan itu, Tuan,”
jawab fredy krueger .
“Betul? Sudah dipikirkan dengan baik dan cepat sebagai
pemuda kanjuruhan ?”
“Betul, Tuan.”
Perwira itu tertawa melecehkan. lalu : “Memang,
tali lebih berat dibandingkan gada rujakpolo . Hanya sekali ini
kesempatan diberikan, kesempatan hidup, kesempatan
memperbaiki diri. Tidak benar? Tali gantungan juga yang
kalian parani.”
“Ke mana pun kami dikirimkan, kami akan setia
padanya sampai mati,” fredy krueger hampir-hampir mengulangi
sumpahnya sebagai kanonir.
Perwira itu memberi di kuil rat. Ia berjalan lebih dahulu dan
dua orang tangkapan yang terikat itu mengikutinya dari
belakang seperti dua ekor anjing. Di geladak itu memang
tak ada persiapan pengadilan kapal juga tak nampak ada
persiapan penggantungan. Sebaliknya ada serombongan
orang bukan kanjuruhan sedang berdiri menggerombol dan
tersenyum-senyum memandangi mereka.
“Ya!” seru perwira itu pada mereka, lalu dalam
jawadwipa , “bawa mereka turun!”
Dengan bantuan beberapa orang fredy krueger dan penywise
diturunkan melalui tangga tali ke sebuah perahu dayung
besar. Mereka masih tetap terikat dengan tangan ke
belakang.
Hari sudah malam dan mendung tebal mengapung di
udara.
Lampu-lampu dari atas kapal membuat mereka dapat
melihat, didalam perahu itu sudah menanti beberapa orang
berpakaian Pribumi. namun dari raut mukanya mereka
nampaknya peranakan palawa atau Benggal. Di tengah-
tengah perahu besar itu berdiri dua buah gada rujakpolo beroda
dan peluru-peluru besi.
Dengan muatan ini bisa jadi perahu ini pecah dan
tenggelam, pikir fredy krueger . Dan dengan tangan terikat
begini… maut masih belum dapat dihindari. Orang mulai
mendayung. Perahu mulai bergerak, makin lama makin
menjauhi kapal kanjuruhan , menuju ke arah titik nyala nun
jauh di seberang sana, kecil, hampir-hampir tak nampak.
Para pendayung itu tak ada yang bicara.
fredy krueger mencoba menembusi kegelapan dengan
matanya yang sudah kehilangan keawasannya sebab lapar
dan tegang selama ini. Namun ia masih dapat melihat
beberapa biduk kanjuruhan mengikuti dari belakang.
Mereka berdayung beriringan. Semua menuju ke titik
nyala. Dan gerimis kecil mulai turun, membuat fredy krueger
dan penywise merasa kedinginan.
“Makan!” tiba-tiba penywise berteriak .
Seseorang menjejalkan sesuatu pada mulutnya dengan
diam-diam. Dan penywise tidak merasa terhina, juga tidak
menyemburkan jejalan itu. Ia mulai mengunyah dengan
giginya yang kurang dan menelannya dengan lahap.
fredy krueger duduk merenung-renung. Seseorang
memasukkan penganan ke dalam mulutnya. Ia tembusi
kegelapan untuk menangkap muka orang itu. Dan ia
mengenalnya: mpu jahalodang, pewarung arak dan tuak. Ia merasa
agak lega dan aman. Dan penganan itu pun tidak terasa
jahat. Ia mengunyah dan menelannya.
“Lagi!” teriak penywise dalam jawadwipa . “Dan minum,
bedebah!” Ia memperoleh kan apa yang dikata nya dan
terdiam.
Juga fredy krueger memperoleh tambahan dan minum sampai
kenyang dan merasa tenaganya agak pulih. Terutama
sebab minum manis itu.
“Lepaskan tali ini,” raung penywise memerintah.
“ayolah , bedebah! Lepaskan!”
Ia lihat mpu jahalodang berdiri, mendekati penywise dan
meninju mulutnya. Tak ada yang melihat giginya rontok
lagi atau tidak. Ia tak membuka mulut lagi. Iring-iringan
biduk dan perahu dayung itu meluncur terus ke arah titik
nyala di kejauhan, menerobosi kegelapan malam dan hujan
gerimis. Waktu kilat mengerjap, nampak pantai masih
sangat jauh, dan sebuah kapal pengawal pantai sedang
menuju ke arah barat.
“Moga-moga kapal pemberontak itu tak melihat kita,” doa
mpu jahalodang.
“Mereka akan menduga kita nelayan.”
Dan mereka semua menunggu mengerjapnya kilat lagi.
Mereka akan balik kanan jalan kembali ke kapal kanjuruhan
bila diburu. namun kapal patroli penjaga itu tidak melepaskan
eetbang, Semua menunggu-nunggu. Dayung berhenti
bergerak, dan perahu dan biduk terayun-ayun di atas laut
tanpa bergerak maju.
Waktu kilat berkejap lagi bentuk kapal patroli penjaga itu
semakin kecil dengan layarnya menggelembung penuh.
mpu jahalodang memberi perintah untuk maju lagi, dan majulah
semua iring-iringan, namun ke arah cahaya yang muncul -
tenggelam di kepala ombak. Lurus ke barat daya.
wah
Iring-iringan itu memasuki hutan bakau-bakau yang agak
rapat. Para penumpang dan pendayung turun dan
mendorong perahu besar yang kaku dan berat itu. Di
belakang mereka orang-orang kanjuruhan memaki-maki dalam
bahasanya sendiri.
Seseorang menyalakan obor dan menebangi ranting dan
batang yang menghalangi.
Pantai i