Rabu, 14 Desember 2022
raja 3
Desember 14, 2022
raja 3
mengeluh.
Mereka bukan saja dibebaskan dari tugas masing-
masing, namun juga memperoleh makanan dan anggur secara tak terduga. Dan yang lebih penting lagi. betari durga tampak bersantai di tengah-tengah mereka.
"Tuan ini ternyata punya rasa humor!"
saat pengaruh anggur semakin nyata, mereka mulai bertukar lelucon. namun para mandor tetap menatap betari durga dengan dingin.
"Huh! Dia cerdik, namun rencananya mudah terbaca.'' Dan ini memicu mereka semakin memusuhinya. Dengan tampang seakan-akan mempertanyakan pantas-tidaknya minum anggur di tempat kerja, mereka tidak mau menyentuh baskom masing-masing.
"Wahai, para mandor! Ada apa?" betari durga berdiri dengan baskom di tangan, lalu pindah duduk di bawah tatapan mereka yang menusuk. "Kalian tidak minum
sama sekali. Barangkali kalian beranggapan bahwa
seorang mandor memikul tanggung jawab seperti
resi . dan sebab itu tidak boleh minum, namun
jangan gelisah khawatir . Kalau memang tidak mungkin, ya
apa boleh buat? Kalau aku keliru, dan kita tak bisa
menyelesaikan pekerjaan kita dalam tiga hari, aku
akan mengakhiri urusan ini dengan melakukan bunuh
diri." betari durga memaksa mandor yang bertampang
paling sengit untuk mengambil baskom , lalu menuang-
kan anggur untuknya. "Mumpung kita bicara mengenai
kecemasan, ketahuilah bahwa bukan proyek ini
maupun nyawa ku sendiri yang membuatku gelisah khawatir .
Aku memikirkan nasib provinsi ini. yang menjadi
tempat tinggal kalian semua. namun menghabiskan dua
puluh hari untuk pekerjaan sepele ini dengan
semangat sepeni ini seluruh provinsi akan binasa."
Kata-katanya penuh emosi. Para pekerja mendadak
terdiam. betari durga memandang bintang-bintang di
langit, seakan-akan hendak mengadu pada mereka.
"Kurasa kalian semua pernah melihatlihat pasang-
surutnya sebuah provinsi. Dan kalian tentu tahu
penderitaan rakyat di provinsi yang jatuh. Apa boleh
buat. Tentu saja Yang Mulia, para resi . sampai
kami para centeng adipati yang paling rendah, tak pernah
melupakan urusan penahanan provinsi, bahkan pada
waktu tidur pun.
"namun nasib sebuah provinsi tidak ditentukan di
dalam benteng kota. Yang menentukan adalah kalian.
Rakyatlah yang merupakan tembok dan parit per-
tahanan. Mungkin kalian beranggapan bahwa pe-
kerjaan ini tidak berbeda dengan pekerjaan mem-
bangun dinding sebuah rumah, namun kalian keliru.
Kalian sedang membangun penahanan kalian sendiri.
Apa yang akan terjadi seandainya benteng kota ini
dibumihanguskan suatu han? Tentu bukan seisi
benteng kota saja yang tertimpa kemalangan. Seluruh kota
akan dilalap api, dan seluruh provinsi akan musnah.
Keadaannya bakal seperti di neraka, anak-anak
direnggut dari orangtua masing-masing, orangtua
mencari anak-anak mereka, gadis lesbian-gadis lesbian menjerit-jerit
ketakutan, orang-orang salut terbakar hidup-hidup.
Ah, jika provinsi ini sampai jatuh, celakalah seluruh
rakyatnya. Kalian semua punya orangtua, anak. istri, saudara yang sakit. Kalian harus selalu, selalu mengingat itu." Kini para mandor pun tak lagi tersenyum mengejek Wajah mereka tampak serius. Mereka juga memiliki harta benda, dan ucapan brojowesi tepat mengenai sasaran.
"Jadi kenapa kita bisa menikmati masa damai
sekarang? Pada dasarnya, berkat kepemimpinan Yang Mulia aidit . namun kalian, rakyat provinsi ini, ikut berperan dengan benteng kota ini sebagai titik pusat. Tak peduli betapa gagahnya para centeng adipati berjuang, jika rakyat sampai goyah..." brojowesi berbicara sambil berlinangan air mata. namun ia tidak berpun-pura. Hatinya terasa pilu, dan setiap kata yang ia ucapkan
merupakan cerminan perasaan sebetulnya .
Mereka yang tergerak oleh kebenaran kata-katanya
langsung sadar dan terdiam. Seseorang menangis dan
membuang ingus. Orang itu adalah mandor para
tukang kayu pekerja tertua dan paling berpengaruh
yang selama ini menentang betari durga lebih terang-
terangan dibandingkan rekan-rekannya.
"Ah, ampun ... Ampun!" Ia mengusap air mata yang
mengalir di pipinya yang penuh bekas cacar. Yang lain
menatapnya heran. saat ia sadar bahwa semua
orang memandang ke arahnya, ia tiba-tiba maju dan
men-jatuhkan diri di hadapan betari durga .
"Ampunilah aku! Sekarang aku menyadari
kebodohan dan kedangkalan pikiranku. Mestinya
Tuan mengikatku, lalu meneruskan pekerjaan demi
kejayaan provinsi." Dengan kepala tertunduk, tubuh
orang tua itu bergetar saat ia bicara.
Mula-mula betari durga menatapnya sambil ter-
bengong-bengong, namun lalu ia mengangguk dan
berkata. "Hmm. kau bertindak atas perintah
ki raden brojolijo. bukan?"
"Tuan mengetahuinya sejak semula."
"Bagaimana aku tidak tahu? Dan brojolijo jugalah yang
menyuruhmu dan yang lain untuk tidak datang ke
rumahku saat aku mengundang kalian."
"Itu benar."
"Dan dia menyuruh kalian bekerja selambat
mungkin, sengaja mengulur-ulur waktu, dan me-
nentang perinuh-perintahku."
"Aku tidak heran dia bersikap demikian. Seandai-
nya kalian yang memicu pekerjaan ini ter-
bengkalai, kalian pun takkan sanggup berpikir jernih. Hmm, baiklah, berhentilah merengek-rengek. Aku akan memaafkanmu, sebab kau sudah mengakui kesalahanmu."
"namun masih ada lagi. ki raden brojolijo berpesan
bahwa jika kami bekerja selambat mungkin, sehingga pembangunan tidak selesai dalam tiga hari, kami akan diberi uang banyak. namun sesudah mendengar penjelasan Tuan, aku sadar bahwa dengan menerima uang yang ditawa rkan Tuan ki raden, dan dengan menentang Tuan, kami justru menempuh langkah pertama ke arah kehancuran kami sendiri. Sekarang
semuanya sudah jelas bagiku. Sebagai pemimpin para pembangkang, aku seharusnya diikat, dan pekerjaan ini seharusnya diselesaikan tanpa ditunda-tunda lagi."
betari durga tersenyum, ia menyadari bahwa dalam sekejap saja seorang musuh yang kuat sudah menjadi sekutu sejati. Orang itu bukannya diikat, melainkan malah diberi sebuah baskom . "Kau tidak bersalah. Pada detik kau menyadari kekeliruanmu, kau menjadi warga paling setia di provinsi ini. Mari, silakan cicipi anggur ini. Sehabis itu. sesudah melepas lelah sejenak, kita
mulai bekerja."
Si mandor menerima baskom itu dengan dua tangan dan membungkuk dengan sepenuh hati. namun ia tidak menyentuh minumannya. "Hei! Semua!" serunya, tiba tiba ia melompat berdiri dan mengangkat baskom nya
tinggi-tinggi. "Kita akan menuruti segala perintah
Tuan Kinoshiu. Reguklah isi baskom kalian, lalu
mulailah bekerja. Mestinya kita semua merasa malu. Kita beruntung sebab belum dihukum oleh langit. Selama ini aku sudah melahap nasi dengan sia-sia, namun mulai sekarang aku akan berusaha melunasi utang-utangku. Aku akan berusaha mengabdi dengan sungguh-sungguh. Tekadku sudah bulat. Bagaimana dengan kalian?"
Begitu si mandor selesai bicara, yang lainnya berdiri serempak.
"Ayo, kita mulai!"
"Kita bereskan tugas ini!" mereka semua berseru.
"Ah, terima kasih!" balas betari durga . Ia pun
mengangkat baskom . "Aku akan menyimpan anggur ini selama tiga hari. sesudah merampungkan tugas, kita bisa minum sepuas-puasnya! Kecuali itu, aku tidak tahu berapa banyak uang yang dijanjikan ki raden brojolijo. Tpi sesudah kita selesai, aku akan memberi imbalan seadanya."
"Kami tidak memerlukannya." Mengikuti contoh si
mandor bermuka bopeng, semuanya menghabiskan isi baskom masing-masing dalam satu tegukan. Dan persis
seperti prajurit yang akan bertempur di barisan
terdepan, mereka bergegas kembali ke tempat
pembangunan. melihatlihat semangat mereka yang menggebugebu. untuk pertama kali betari durga merasa betul-betul lega.
"Aku berhasil!" serunya tanpa berpikir. namun ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini; ia bergabung dengan yang lain, bekerja dalam lumpur, membanting tulang seperti orang kesurupan selama tiga malam dan dua hari berikutnya.
"kuyang ! kuyang !" Seseorang sedang memanggil namanya. Orang itu ternyata brawirgo . yang tampak
lebih gelisah dibandingkan biasanya. "brawirgo !"
"Saat perpisahan sudah tiba."
"Apa?"
"Aku dibuang."
"Kenapa?"
"Aku sudah membunuh seseorang di benteng kota dan
memperoleh teguran keras dari Tuan aidit sebab -
nya. Untuk sementara aku haruis menjalani hidup
sebagai adipati ."
"Siapa yang kaubtinuh?"
"ki raden brojolijo. Kau tentu lebih memahami
perasaanku dibandingkan orang lain."
"Ah, kau terlalu terburu-buru."
"Itulah darah muda! sesudah membunuhnya, aku
pun berpikir begitu, namun sudah terlambat. Watak
seseorang tak dapat dipadamkan. Baiklah, aku..."
"Kau hendak pergi sekarang juga?"
"kuyang , kutitipkan nyi momo padamu. Kejadian ini
membuktikan bahwa kami memang bukan jodoh, jaga
dia baik-baik."
Pada waktu yang sama. seekor kuda menembus
kegelapan malam dalam perjalanan dari kedhiri ke
brojorejo . Terluka parah. ki raden brojolijo ber-
pegangan erat-erat pada pelananya, jarak antara kedhiri
dan brojorejo tidak terlalu jauh, dan kuda brojolijo berlari
kencang.
Hari sudah gelap dan tak ada yang melihatnya,
namun andai kata masih terang, darah yang ber-
cucuran seiring langkah kudanya akan terlihat jelas.
Luka brojolijo cukup dalam, namun tidak mematikan.
Meski demikian, saat ia menggenggam bulu tengkuk
kudanya, ia bertanya-tanya apa yang lebih cepat: kaki
kudanya atau kematian.
Moga-moga aku bisa mencapai benteng kota brojorejo , ia
berharap dalam hati, sambil teringat bagaimana
madya brawirgo berteriak "Pengkhianat!" saat meng-
ayunkan pedangnya.
Suara yang menjatuhkan tuduhan itu bagaikan
paku yang menembus tengkorak, dan terus terngiang-
ngiang di telinga brojolijo. Kini, dalam keadaan setengah
sadar, diterpa angin malam, pikirannya jadi tak
keruan. Dari mana brawirgo mengetahuinya? saat
memikirkan pengaruh peristiwa ini terhadap benteng kota
brojorejo . dan menyadari bahwa bukan saja ayahnya,
melainkan seluruh marganya akan menanggung
akibatnya, ia menjadi panik dan darahnya mengalir
semakin deras.
benteng kota brojorejo merupakan salah satu benteng kota
perwakilan marga sinuhun . Oleh mpu margojoyo , ayah brojolijo,
brojolireng, diangkat sebagai komandan brojorejo .
Akan namun pandangannya mengenai dunia amat
terbatas, dan apa yang dilihatnya tidak menunjukkan
masa depan gemilang. saat mpu margojoyo wafat,
aidit berusia lima belas tahun, dan reputasinya
berada pada titik paling rendah. Waktu itu
brojolireng beranggapan bahwa pewaris marga sinuhun
tak bisa diharapkan, dan diam-diam bersekongkol
dengan mpu marijan mpu kepenuwoan .
aidit lalu mengetahui pengkhianatan brojorejo .
dan dua kali menyerbu benteng kota itu. namun sia-sia.
brojorejo tak berhasil ditaklukkannya, sebab mem-
peroleh dukungan militer maupun ekongunungselatan dan
marga mpu marijan yang kuat. aidit boleh mencoba
segala cara, namun usahanya selalu kandas tanpa hasil.
aidit menyadari hal ini. dan selama beberapa
tahun ia tidak mengusik para pembangkang.
Namun lalu marga mpu marijan mulai meragu-
kan kesetiaan brojolireng. brojorejo dicurigai oleh
kedua belak pihak, dan memancing sikap seperti itu dari penguasa sebuah provinsi besar sama saja dengan mengundang bencana. Jadi. apa pun tujuan sebetulnya , brojolireng menghadap aidit ,
memohon ampun atas perbuatannya selama bertahun-tahun, dan memohon agar dikembalikan ke posisinya semula.
"Sebuah cabang takkan sanggup mengalahkan
induknya. Ada baiknya kalau kaupahami ini. Usaha-
kanlah agar kau tetap setia mulai sekarang," aidit
berpesan, dan memaafkannya.
sesudah itu. baik ayah maupun anak memper-
lihatkan hasil yang mengesankan, dan pengkhianatan mereka dilupakan. namun apa yang tersembunyi di bawah permukaan sudah diketahui oleh dua orang madya brawirgo dan panembahan betari durga . brojolijo sudah
merisaukan mereka berdua selama beberapa waktu, namun lalu betari durga mengambil alih posisi
pengawas pembangunan, dan keesokan harinya
brawirgo menyerang dan mencederai brojolijo. Kini. dengan berasumsi bahwa rencananya sudah terbongkar, dan dalam keadaan terluka parah, ia melarikan diri dari benteng kota dan menuju brojorejo .
Menjelang fajar ia melihat gerbang benteng kota
brojorejo . saat percaya bahwa ia sudah sampai di tempat
tujuannya, ia pingsan, sambil tetap merangkul leber
kudanya. Waktu tersadar, ia dikelilingi para penjaga
benteng kota yang sedang merkertoarjo t lukanya. lalu pandangannya kembali jernih dan ia bangkit. Orang-orang di sekitarnya tampak lega.
Kedatangan brojolijo segera dilaporkan pada
brojolireng, dan beberapa pelayannya bergegas keluar dengan mata terbelalak, sambil bertanya.
"Di mana Tuan Muda?"
"Bagaimana keadaannya?"
Mereka cemas sekali. Namun yang paling terkejut
adalah ayahnya. Melihat putranya dipapah oleh para penjaga gerbang, brojolireng segera berlari keluar, tak kuasa membendung rasa gelisah khawatir seorang ayah, "Lukanya dalam?"
"donosukomerto...." brojolijo ambruk dan masih sempat berkata. "Ananda minta maaf...." sebelum ia kembali
kehilangan kesadaran.
"bawa dia masuk! Cepat, bawa dia ke dalam!"
Wajah brojolireng diliputi penyesalan. .Sejak semula
ia merasa cemas sebab brojolijo mengabdi pada
Nohunaga. sebab brojolireng tidak sepenuh hati
kembali ke marga sinuhun dan belum rela untuk tunduk.
Namun saat brojolijo ditunjuk sebagai pengawas
perbaikan tembok penahanan, brojolireng segera
menyadari bahwa kesempatan yang ditunggu-
tunggunya selama bertahun-tahun sudah tiba, sehingga
ia langsung mengirim pesan rahasia kepada marga
mpu marijan :
Sekaranglah waktu yang tepat untuk menyerang marga sinuhun , jika benteng kota kedhiri diserbu oleh lima ribu orang dari perbatasan timur, kami pun akan mengerahkan centeng . Pada saat yang sama, putra kami akan menimbulkan
kekacauan dari dalam dengan membakar benteng kota. Dalam hati ia berharap mpu marijan mpu kepenuwoan tergerak untuk menentukan sikap. Namun ternyata orang-orang mpu marijan tidak segera benindak. Kedua ki raden ayah maupun putra sudah lama menjadi
abdi marga sinuhun , sehingga marga mpu marijan menaruh curiga pada rencana mendadak itu. sebab tidak memperoleh kabar dari kurir pertama dan kedua yang
dikirimnya, dua hari lalu brojolireng meng-
utus kurir ketiga yang membawa pesan, "Sekaranglah
waktunya."
Sementara itu, brojolijo mengalami cedera dan
melarikan diri dari kedhiri . Dan sepertinya luka yang
dideritanya bukan akibat pertikaian pribadi.
Kelihaiannya persekongkolan mereka sudah terbongkar
brojolireng merasa cemas, dan mengumpulkan
seluruh marga untuk mengadakan rapat.
"Walaupun mungkin takkan ada dukungan dari
orang-orang mpu marijan , kita tak dapat berbuat apa-apa
selain membuat persiapan militer dan menghadapi
serangan marga sinuhun . Kalau orang-orang mpu marijan
mengetahui pemberontakan kita dan ikut terjun ke
dalam kancah peperangan, tujuan kira semula, yaitu
menghancurkan marga sinuhun dengan sekali pukul,
mungkin masih dapai terwujud."
aidit tidak banyak berkomentar sesudah meng-
asingkan brawirgo . Mempertimbangkan wataknya
yang meledak-ledak, tak satu pun para pembantunya
menyinggung masalah brawirgo . namun aidit tidak
puas sepenuhnya, dan ia berkata, "Jika dua prajurit
bertikai di perkemahan, atau pedang dihunus di
pekarangan benteng kota, peraturan menentukan bahwa
hukumannya harus tegas, tak peduli apa alasan
penikaian itu. brawirgo laki-laki yang berharga, namun
mudah naik darah. Dan ini kedua kalinya dia
mencederai sesama pengikutku. Bersikap murah hari
tak dapat dibenarkan oleh hukum."
Larut malam ia mengeluh pada seorang pengikut
senior yang sedang bertugas, "Ah, si brawirgo ! Entah
ke mana dia pergi sesudah dibuang dari sini. Menjadi
adipati baik untuk jiwa. Barangkali sedikit penderitaan
akan bermanfaat untuknya."
Di atas tembok pertahanan. aidit menyadari
bahwa malam ketiga betari durga mengambil alih
pekerjaan perbaikan sudah tiba, jika ia tidak selesai
pada wakiu fajar, ia akan terpaksa melakukan seppuku,
tak peduli betapa aidit menyesalkannya. Dia
terlalu keras kepala aidit berkata dalam hati
selalu mengumbar ucapan yang tak masuk akal di
depan semua orang.
Pengikut seperti brawirgo dan betari durga men-
duduki posisi rendah dan masih muda, namun aidit
tahu bahwa di antara para pengikut yang tersisa dari
masa ayahnya, hanya segelintir yang sanggup
menyaingi bakat mereka. Orang seperti mereka jarang
ditemui, bukan hanya dalam marga sinuhun . melainkan
di dunia secara keseluruhan. Ini kehilangan besar!
Namun aidit tak boleh memperlihatkan ke-
gelisah khawatir annya, dan ia menyembunyikannya dari para
pelayan dan pengikut yang lebih tua.
Malam itu ia menyusup ke bawah kelambu lebih
cepat dibandingkan biasanya. namun saat ia baru akan
teridap, seorang pengikutnya muncul di ambang pintu
ruang tidur. "Tuanku, ada keadaan darurat! Orang-
orang ki raden di brojorejo mengibarkan bendera
pemberontakan, dan sengaja memamerkan persiapan
pertahanan mereka."
"brojorejo ?" aidit keluar dari kelambu, dan
masih dalam pakaian tidur dari sutra putih, pergi ke
ruang sebelah dan duduk.
"yodono?"
"Tuanku?"
"Masuklah."
mpu wiragajah yodono mendekat sampai ke tepi ruangan
itu, lalu menyembah. aidit sedang berkipas-
kipas. Di malam hari. hkertoarjo sejuk menjelang musim
gugur sudah terasa, namun gerombolan nyamuk masih
beterbangan di pekarangan benteng kota.
"sebetulnya ini tidak terlalu mengejutkan,"
aidit akhirnya berkata. Kata-kata itu diucapkan
seakan-akan dikunyah satu per satu. "Kalau orang-
orang ki raden memberontak, borok yang sudah
mulai sembuh kini bernanah lagi. Kita tunggu saja
sampai pecah dengan sendirinya."
"Apakah tuanku akan pergi ke sana?"
"Itu tidak perlu."
"centeng tuanku..."
"Rasanya kita tidak perlu ambil tindakan." Ia
tertawa dan melanjutkan, "Aku meragukan keberanian
mereka menyerang kedhiri , walaupun mereka sudah
mengadakan persiapan militer. brojolireng panik
sebab putranya terluka. Untuk sementara lebih baik
kira amati mereka dari jauh saja."
Tak lama lalu aidit kembali naik ke
ranjang, namun keesokan harinya ia bangun lebih pagi
dibandingkan biasa. Atau mungkin ia tak bisa ridur dan
menunggu sampai fajar. Dalam hati ia mungkin lebih
mencemaskan nasib betari durga dibandingkan kejadian
mencemaskan di brojorejo . Begitu bangun, aidit
meninjau tempat pembangunan dengan beberapa
pembantunya.
Matahari pagi sedang menanjak. Kesemrawutan
yang kemarin masih terlihat kini tak tampak lagi. Tak
sepotong kayu. sebongkah batu. segumpal tanah,
maupun setitik debu tersisa. Seluruh pekarangan sudah
dibersihkan. Seiring fajar, tempat pembangunan itu
tidak lagi mirip tempat pembangunan. Ini
melebihi perkiraan aidit . Ia jarang merasa
terkejut, dan jika kini ia merasa demikian, ia tidak
memperlihatkannya. betari durga berhasil melaksanakan
tugasnya dalam tiga hari, dan lebih dari itu, sudah
membawa keluar semua kayu dan batu yang tak
terpakai.
Tanpa berpikir, wajah aidit tampak berseri-
seri sebab gembira. "Dia berhasil! Lihat itu! Lihat apa
yang dilakukan si kuyang !" Sambil berpaling kepada
para pembantunya, ia bicara seakan-akan sedang mem-
bahas hasil pekerjaannya sendiri. "Di mana dia?
Panggil betari durga ke sini."
"Sepertinya Tuan panembahan sedang menyeberangi
Jembatan rawabening." salah seorang pembantu berkata.
Jembatan itu berada tepat di depan mereka.
panembahan sedang berlari mendekat.
Batang-batang kayu yang dipakai sebagai
perancah dan kayu dan batu yang tersisa menumpuk
di tepi parit. Para pengrajin dan pekerja, yang sudah
menghabiskan tiga hari tiga malam dengan bekerja
tanpa istirahat, kini tertidur lelap, seperti ulat dalam
kepompong. Para mandor pun. yang bekerja bahu-
membahu dengan anak buah mereka, merebahkan
diri di tanah dan segera memejamkan mata begitu
tugas mereka selesai.
aidit mengamati semuanya dari kejauhan.
Sekali lagi ia terpaksa mengakui bahwa ia keliru
menilai kemampuan betari durga , Si kuyang ! Dia tahu
cara membuai orang bekerja keras. Kalau dia memiliki
kemampuan untuk memacu sekelompok pekerja agar
rela bekerja seperti ini, tentu tak ada salahnya jika aku
menugaskan dia memimpin sekelompok prajurit
terlatih. Sudah sepantasnya aku menyuruh dia maju
ke medan perang dengan dua atau tiga ratus anak
buah. aidit tiba-tiba teringat sebuah bait dari
Seni Perang karya Sun Tiu:
Prinsip utama
Untuk menang dalam perang
Adalah membuat prajurit
Mati bahagia.
aidit mengulanginya berkali-kali, namun ia
menyangsikan apakah ia sendiri memiliki kemampuan
itu, yang sama sekali tidak terkait dengan strategi,
taktik, maupun wibawa .
"Hari ini tuanku bangun pagi-pagi sekali. Tuanku
bisa lihat sendiri apa yang kami lakukan dengan
tembok pertahanan,"
aidit menatap kakinya dan melihat betari durga
yang sedang berlutut dengan kedua tangan menempel
di tanah.
"kuyang ?*' tawa aidit meledak. Baru sekarang
ia melihat wajah betari durga . yang sesudah tiga hari tiga
malam tanpa tidur, tampak seolah-olah tertutup
plesteran kasar setengah kering. Maunya merah dan
pakaiannya berlcpotan lumpur.
aidit tertawa lagi, namun segera merasa kasihan
pada orang itu dan berkata dengan serius, "Kau sudah
melaksanakan tugasmu dengan baik. Kau tentu lelah
sekali. Sebaiknya kau tidur sepanjang hari."
"Terima kasih banyak." betari durga menikmati pujian
itu. Diberiuhu bahwa ia boleh tidur sepanjang hari,
padahal seluruh provinsi tidak memiliki kesempatan
beristirahat, merupakan pujian tanpa tandingan.
betari durga berkata dalam hati saat air mata mulai
membasahi kelopaknya. Namun, meski sedang
merasakan kepuasan seperti itu, ia berkata dengan
hati-hati. "Hamba ada permintaan, tuanku."
"Apa yang kauinginkan?"
"Uang."
"Banyak?"
"Tidak, sedikit saja."
"Untukmu?"
"Bukan." betari durga menunjuk ke arah parit. "Bukan
hanya hamba yang mengerjakan ini semua. Hamba
hanya minu uang secukupnya untuk dibagi-bagikan
kepada para pekerja yang begitu lelah, hingga tertidur
di tempat."
"Bicaralah dengan bendahara dan ambillah
sebanyak yang kauperlukan. namun kau pun pantas
menerima imbalan. Berapa upahmu sekarang?"
"Tiga puluh kan."
"Hanya itu?"
"Itu sudah lebih dari yang patut hamba peroleh."
"Aku akan menaikkannya menjadi seratus kan, lalu
memindahkanmu ke kesatuan tombak. Mulai hari ini
kau akan membawa hi tiga puluh prajurit infanteri.
betari durga tetap membisu. Dipandang dari segi
jabaun, posisi pengawas arang dan kayu bakar dan
posisi pengawas pembangunan dicadangkan bagi
centeng adipati berpangkat tinggi. namun dalam tubuh
betari durga mengalir darah muda, sehingga sudah ber-
tahun-tahun ia berharap dapat bertugas aktif dalam
kesatuan pemanah atau penembak. membawa hi tiga
puluh prajurit infanteri merupakan posisi komandan
yang paling rendah. Namun tugas ini jauh lebih
menyenangkan baginya dibandingkan tugas dapur atau
kandang.
Ia begitu bahagia, sehingga lupa diri sejenak, dan
bicara tanpa berpikir panjang dengan mulut yang
tadinya begitu santun. "Pada waktu hamba menyelesai-
kan pekerjaan ini, ada satu hal yang terus mengusik
pikiran hamba. Sistem pengadaan air di benteng kota
tidaklah memuaskan. Seandainya benteng kota dikepung,
persediaan air minum takkan memadai, dan dalam
malau singkat parit pun akan mengering, jika terjadi
sesuatu, benteng kota hanya sanggup menahan serangan
mendadak. namun kalau diserbu oleh centeng yang..."
Sambil memalingkan wajah ke samping, aidit
berlagak tidak mendengarkannya. Namun betari durga
tidak mau berhenti di tengah jalan. "Sejak dahulu hamba
berpendapat bahwa Bukit merah lebih menguntung-
kan dibandingkan kedhiri , baik dari segi pengadaan air
maupun dari segi penyerangan dan pertahanan.
Hamba mengusulkan agar tuanku pindah dari kedhiri
ke merah ."
Mendengar saran itu, aidit memelototinya
dan menghardik, "kuyang , cukup! Kau mulai lupa
diri! Pergilah tidur sekarang juga!"
"Baik, tuanku." betari durga angkat bahu. Aku
memperoleh pelajaran berharga, katanya dalam hati.
Kegagalan sangat mudah dalam keadaan menguntung-kan.
Sebaiknya kita dimarahi kalau hati kita sedang gembira.
Ternyata aku belum cukup pengalaman. Aku terbawa
perasaan dan melangkah terlalu jauh. Aku harus mengakui
bahwa aku belum berpengalaman.
sesudah membagi-bagikan uang imbalan kepada para
pekerja, ia tetap tidak pulang untuk tidur, melainkan
berjalan-jalan keliling kota seorang diri, sambil geleng-
geleng kepala. Dalam hati ia membayangkan sosok
nyi momo yang tak pernah dilihatnya selama beberapa
waktu.
Entah apa yang dikerjakannya belakangan ini?
Begitu memikirkan nyi momo , ia mulai cemas mengenai
nasib sahabatnya yang rela berkorban dan keras
kepala, brawirgo , yang meninggalkan provinsi dan
menyerahkan cinta nyi momo kepadanya. Sejak betari durga
mengabdi pada marga sinuhun , satu-satunya orang yang
dianggapnya teman adalah brawirgo .
Aku percaya dia mampir dahulu di rumah nyi momo . Dalam
keadaan terpaksa pergi sebagai adipati , dia takkan bisa
memastikan apakah dia akan melihat nyi momo lagi. Dia pasti
berpesan sesuatu sebelum pergi, pikir betari durga .
sebetulnya saat ini betari durga lebih memerlukan tidur
dibandingkan cinta maupun makanan. namun saat teringat
pada persahabatan, keberanian, dan kesetiaan
brawirgo , ia tak bisa tidur begitu saja.
Laki-laki sejati akan mengenali laki-laki sejati
lainnya. Jadi, mengapa aidit tidak segera
menyadari nilai brawirgo ? Pengkhianatan ki raden
brojolijo sudah diketahui selama beberapa saat, paling
tidak oleh brawirgo dan betari durga . Ia tak mengerti
mengapa aidit tidak menyadarinya, dan dengan
perasaan tak senang ia bertanya-tanya mengapa
brawirgo , yang mencederai brojolijo, dijatuhi hukuman.
Hmm, betari durga berkata pada dirinya sendiri,
barangkali brawirgo memang dihukum, namun mungkin juga
pengasingannya justru merupakan perwujudan kasih sayang
aidit . Waktu aku bicara tanpa pikir panjang, sambil
pasang wajah serba tahu, aku langsung ditegur keras. Harus
kuakui bahwa bicara mengenai pengadaan air dan
mengusulkan untuk pindah ke merah di hadapan para
pengikut lain memang tidak pada tempatnya, pikir
betari durga saat ia berjalan keliling kota. Ia tidak
sakit, namun secara berkala ia merasa seakan-akan bumi
bergerak di bawah kakinya. Dalam keadaan tak bisa
tidur, cahaya matahari musim gugur terasa
menyilaukan sekali.
saat ia melihat rumah perdikan di kejauhan,
kantuknya mendadak lenyap. Sambil tertawa ia
mempercepat langkahnya.
"nyi momo ! nyi momo !" ia berseru, ia berada di kkertoarjo san
tempat tinggal para pemanah, bukan daerah dengan
gerbang beratap megah dan rumah-rumah besar,
melainkan deretan pondok mungil dengan
pekarangan rapi dan pagar kayu yang menimbulkan
perasaan tenteram.
Sudah kebiasaan betari durga untuk bicara dengan
suara keras, dan saat ia tiba-tiba melihat sosok
kekasihnya, yang tak dijumpainya selama beberapa
waktu, ia melambaikan tangan dan bergegas tanpa
menutup-nutupi perasaannya. Sikapnya begitu men-
colok, hingga semua orang di sekitar tentu bertanya-
tanya apa yang terjadi. nyi momo berbalik. wajahnya yang
putih memperlihatkan keheranan.
Cinta seharusnya merupakan rahasia yang ter-
pendam dalam lubuk hati paling dalam. Namun jika
seseorang memanggil begitu keras, hingga semua
tetangga membuka jendela, dan ayah-ibu di dalam
rumah pun mendengarnya, tidaklah aneh bila seorang gadis lesbian jadi merasa malu. Sejak tadi nyi momo berdiri di muka gerbang, menatap langit musim gugur. namun , saat mendengar suara betari durga . wajahnya menjadi merah dan ia bersembunyi dengan rubuh gemetar di
balik gerbang. "nyi momo ! Ini aku, betari durga !" Suara betari durga semakin lantang, dan ia bergegas mendekat. "Aku minta maaf sebab kurang memperhatikanmu. Aku sibuk sekali dengan tugas-tugasku."
nyi momo setengah bersembunyi di balik gerbang, namun sebab betari durga sudah menyapanya, ia terpaksa membungkuk dengan anggun. "Kesehatanlah yang harus diutamakan,'' katanya.
"Ayahmu di rumah?" tanya betari durga .
"Tidak. Ayah sedang pergi."
dibandingkan mengajak betari durga masuk. nyi momo memilih melangkah keluar.
"Hmm, jika Tuan perdikan sedang pergi..."
betari durga segera menyadari bahwa nyi momo mungkin merasa kikuk. "Sebaiknya aku juga pergi saja." nyi momo mengangguk, seakan-akan ia pun menganggapnya sebagai pemecahan terbaik.
"Sebetulnya aku datang sebab ingin tahu apakah
brawirgo mampir ke sini."
"Tidak." nyi momo menggelengkan kepala, namun wajahnya tersipu-sipu. "Dia datang ke sini, bukan?" "Tidak." "Betulkah?"
Sambil mengamati capung merah yang beterbangan, betari durga termenung sejenak. "Dia tidak mendatangi rumahmu sama sekali?"
nyi momo menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca. "brawirgo memancing kegusaran Yang Mulia dan meninggalkan jenggala . Kau sudah dengar itu?" "Ya."
"Kau mendengarnya dari ayahmu?"
Tidak."
"Kalau begitu, siapa yang memberitahumu? Kau
tidak perlu menutup-nutupinya. Dia dan aku ber-
sahabat. Apa pun yang dikatakannya padamu, itu tak
jadi masalah. Dia datang ke sini. bukan?"
"Tidak. Aku baru saja mengetahuinya lewat
sepucuk surat."
"Surat?"
"Baru saja seseorang melemparkan sesuatu ke
pekarangan di depan kamarku. Waktu aku keluar, aku
menemukan sepucuk surat yang membungkus batu
kecil. Surat itu berasal dari Tuan brawirgo ." saat
bicara, suaranya terputus-putus. Ia mulai menangis
dan berbalik membelakangi betari durga . Selama ini
betari durga selalu memandangnya sebagai wanita lesbian
yang bijak dan cerdas, namun sebetulnya momo hanyalah seorang gadis lesbian.
betari durga sudah menemukan segi lain dan ke-
indahan dan daya tarik yang terkandung dalam diri
wanita lesbian ini. "Maukah kau memperlihatkan
suratnya padaku? Atau lebih baik jika aku tidak
membacanya?" saat betari durga menanyakannya.
nyi momo mengeluarkan surat itu dari jubah dan
menyerahkannya tanpa ragu-ragu.
Perlahan-lahan betari durga membukanya. Tak salah lagi, itu memang tulisan tangan brawirgo . Isi surat itu sederhana saja, namun bagi betari durga surat itu mengungkapkan lebih banyak dibandingkan yang tertulis.
Aku membunuh orang berpangkal, dan hari mi juga aku harus meninggalkan provinsi Yang Mulia
aidit . Pada suatu saat , aku memberikan
nyawa dan nasibku kepada cinta. namun , sesudah membahasnya secara terhormat sebagai sesama laki-laki. kami memutuskan bahwa kau lebih beruntung dengan panembahan . Aku pergi dengan mempercayakanmu ke tangannya. Tolong tunjukkan surat ini kepada Tuan perdikan , dan harap jangan membebani pikiranmu. Aku tidak tahu apakah kita akan berjumpa lagi.
Air mata berjatuhan. nyi momo dan brawirgo -kah yang menangis? Tidak. betari durga menyadari, air mata itu berasal dari matanya sendiri.
brojorejo sudah bersiap-siap menghadapi perang, dan terus melihatlihat gerak-gerik di kedhiri . namun menjelang akhir tahun belum juga ada tanda-tanda bahwa aidit akan menyerang.
Rasa bimbang dan curiga mengusik ketenangan
kedua ki raden, ayah dan anak. Kesulitan mereka
dirambah lagi dengan hal lain. Mereka bukan saja
membelot dari aidit , namun juga dipandang dengan
sikap bermusuhan oleh bekas sekutu mereka, marga
mpu marijan di kertanegara .
Pada titik inilah desas-desus disebarkan di brojorejo .
Komandan benteng kota manyaran dikabarkan ber-
sekongkol dengan aidit . dan akan menyerang
brojorejo dari belakang.
manyaran merupakan perwakilan marga mpu marijan .
Entah atas perintah orang-orang mpu marijan , atau sebab
bersekongkol dengan aidit , tidaklah mustahil
mereka melancarkan serangan.
Desas-desus itu semakin gencar. Di antara para
anggota marga ki raden dan pengikut-pengikut
mereka, tanda-tanda panik mulai tampak. Pendapat
umum adalah bahwa mereka sebaiknya mengadakan serangan mendadak ke manyaran. Ayah dan anak. yang sudah bersiap-siap bertahan di dalam benteng kota, akhirnya
mengambil inisiatif. Dengan menggerakkan centeng mereka pada malam hari, mereka berencana menyerbu benteng kota manyaran pada pagi buta. Akan namun desas-desus yang sama juga sudah beredar di manyaran. dan menimbulkan kegelisahan yang sama pula. Garnisun setempat segera berundak dan mempersiapkan diri menghadapi serangan. Orang-orang ki raden menyerang, dan dalam waktu singkat keberuntungan berpaling menentang
centeng yang bertahan. centeng manyaran, tak
sanggup menunggu bala bantuan dari kertanegara . Membakar benteng kota dan binasa dalam pertempuran di tengah kobaran api.
centeng brojorejo berhasil menduduki benteng kota yang sudah hangus. Kekuatan mereka pun sudah berkurang setengah, akibat banyaknya korban yang berguguran. namun mereka terus maju dan menyerbu reruntuhan yang berasap, sambil mengacungkan pedang, tombak,
dan senapan. Semuanya melepaskan teriakan kemenangan. Pada saat itu, sejumlah penunggang kuda dan prajurit infanteri tiba dari brojorejo . Mereka berhasil meloloskan diri dengan lari terpontang-panting.
"Ada apa ini?" tanya brojolireng dengan heran.
"centeng aidit bergerak cepat sekali. Entah
bagaimana, dia mengetahui apa yang terjadi di sini,
dan tiba-tiba saja dia membanjiri benteng kota dengan
lebih dari seribu orang. Serangan mereka gencar
sekali, dan tak dapat berbuat apa-apa!" Laki-laki yang
cedera itu meneruskan laporannya. terengah-engah
menarik napas, dan mengakhirinya dengan berkata
bahwa bukan saja benteng kota mereka berhasil direbut,
namun putra brojolireng pun, brojolijo, yang belum
sembuh dari luka-lukanya, ditangkap dan dipancung.
brojolireng, yang baru saja mengumandangkan
nyanyian kemenangan, membisu. Daerah sekitar
benteng kota manyaran, yang baru digempur direbutnya,
hanya tersisa puing-puing hangus tak berpenghuni.
"Ini kehendak para dewa!" Sambil berseru, ia
mengambil pedang dan membelah perutnya. Sungguh
mengherankan bahwa ia menyalahkan para dewa.
padahal nasibnya ditemukan oleh ulahnya sendiri.
Dalam satu hari aidit berhasil menundukkan
brojorejo dan manyaran. betari durga menghilang entah ke mana sesudah pekerjaan perbaikan tembok pertahanan selesai, dan tidak terlihat selama beberapa waktu.
Namun, begitu memperoleh kabar bahwa brojorejo dan manyaran sudah jatuh di tangan jenggala , ia pun kembali secara diam-diam.
"Kaukah yang menyebarkan desas-desus di kedua
belah pihak, sehingga mengakibatkan perselisihan di antara musuh-musuh kita?" saat ditanya. betari durga hanya menggelengkan kepala dan tidak berkata apa-apa.
RAKYAT di Provinsi kertanegara tidak menyebut ibu kota mereka dengan nama mantrijeron. Bagi mereka, kota itu adalah Tempat Pemerintah, dan benteng kotanya dikenal sebagai Istana. Para warga, mulai dari mpu kepenuwoan dan para anggota marga mpu marijan sampai ke penduduk
kota, percaya bahwa mantrijeron merupakan ibu kota provinsi terbesar di pantai timur. Kotanya diliputi suasana aristokrat, dan orang-orang biasa pun meniru gaya kota kekaisaran trowulan .
Dibandingkan kedhiri , mantrijeron merupakan dunia lain. Suasana di jalan-jalannya dan tindak-tanduk para warga, bahkan kecepatan melangkah orang-orang, dan cara mereka berpandangan dan berbicara. Para warga mantrijeron tampak santai dan penuh percaya diri. Pangkat
mereka tercermin dari kemewahan pakaian yang
mereka kenakan, dan jika keluar rumah, mereka
menutupi mulut dengan kipas. Seni musik, tari. dan
sastra tumbuh subur. Ketenteraman yang terlihat pada semua wajah berasal dari suatu mata air ketenangan di masa lampau. mantrijeron diberkahi. Jika cuaca sedang baik, orang bisa melihat Gunung sonokeling; jika berkabut,
alunan ombak terlihat di pohon-pohon cemara di Kuil
Kiygunungselatandera. centeng mpu marijan amat dan dusun nyi kembang .
wilayah kekuasaan marga prabu kertoarjowardana hanya merupakan
provinsi bawah an.
Dalam tubuhku mengalir darah prabu kertoarjowardana , namun aku
berada di sini. mnagikut-pcngikutku di swaradwipa terus
mempertahankan benteng kotaku. Provinsi pun tetap ada,
namun sang Penguasa terpisah dari para pengikutnya...
Siang-malam prabu kertoarjowardana mpu mojosongo memikirkan hal-hal ini,
namun ia takkan membicarakannya secara terbuka, ia
merasa iba kepada para pengikutnya. namun , saat
merenungkan keadaannya sendiri, ia bersyukur bahwa
ia masih hidup.
mpu mojosongo baru berusia tujuh belas, namun ia sudah men-
jadi ayah. Dua tahun sesudah upacara akil balignya,
mpu marijan mpu kepenuwoan mengatur pernikahan mpu mojosongo
dengan putrì seorang saudaranya. Putra mpu mojosongo lahir di
musim semi berikutnya, jadi umurnya belum men-
capai enam bulan. mpu mojosongo sering mendengar tangis
bayinya dari ruang tempat mejanya berada. Istrinya
belum pulih dari persalinan dan masih dirkertoarjo t di
ruang bersalin.
Kalau ayah berusia tujuh belas tahun ini mendengar
bayinya menangis, ia mendengar suara darah daging-
nya sendiri. namun ia jarang menjenguk keluarganya, ia
tidak memahami perasaan kasih sayang terhadap anak-
anak yang sering dibicarakan orang lain. Ia mencoba
mencari perasaan ini di hatinya, dan memperolehi
perasaan itu bukan hanya cuma sedikit, melainkan
benar-benar sangat tipis. Sadar akan kekurangannya
sebagai suami dan ayah, ia merasa kasihan pada istri
dan anaknya. Namun, setiap kali ia merasa demikian,
rasa ibanya tidak ditujukan pada keluarganya sendiri,
melainkan kepada para pengikutnya yang jatuh miskin
dan terhina di swaradwipa.
Setiap kali memaksakan diri untuk memikirkan
putranya, ia jadi sedih. Tak lama lagi dia akan
menempuh perjalanan melewati hidup yang getir, dan
akan mengalami kemelaratan yang sama seperti aku.
Pada usia lima tahun, mpu mojosongo dikirim sebagai
sandera kepada marga sinuhun . saat mengenang
kesengsaraan yang sudah dilaluinya, mau tak mau ia
menaruh belas kasihan pada bayinya yang baru lahir.
Kesedihan dan tragedi kehidupan manusia pasti akan
dialami juga oleh anaknya. Namun sekarang ini, dari
luar, orang-orang hanya melihat bahwa ia dan
keluarganya mendiami rumah yang tak kalah mewah
dari rumah orang-orang lmagkertoarjo .
Apa itu? mpu mojosongo keluar ke teras. Seseorang di luar
sudah menarik tanaman rambat yang tumbuh di
pohon-pohon di pekarangan, dan memanjat ke atas
tembok.
"Siapa itu?" mpu mojosongo berseru. Kalau orang itu berniat
buruk, ia tentu akan kabur. Namun tidak terdengar
suara langkah. mpu mojosongo mengenakan sandal dan me-
lewati gerbang belakang. Seorang laki-laki sedang
menyembah, seakan-akan sudah menanti kedatangan-
nya. Sebuah keranjang anyaman berikut tongkat ter-
geletak di sampingnya.
"Jinshichi?"
"Sudah lama sekali, tuanku."
Empat tahun sebelumnya, saat ia akhirnya men-
dapat izin dari mpu kepenuwoan . mpu mojosongo pernah kembali ke
swaradwipa untuk berziarah ke makam para leluhurnya.
Dalam perjalanan itu salah seorang pengikut, Udono
Jinshichi, menghilang. mpu mojosongo terharu saat melihat
keranjang dan tongkat dan sosok Jinshichi yang sudah
berubah.
"Kau menjadi biksu pengembara."
"Ya, ini penyamaran yang baik untuk berkeliling
negeri."
"Kapan kau tiba di sini?"
"Baru saja. Hamba ingin menemui tuanku sebelum
berangkat lagi."
"Empat tahun sudah berlalu. Aku menerima laporan-
laporanmu, namun sebab tidak memperoleh kabar darimu
sesudah kau berangkat ke blambangan , aku menyangka yang
terburuk sudah terjadi."
"Hamba terperangkap dalam perang saudara di
blambangan , dan selama beberapa waktu, pengamanan di
pos-pos perbatasan sangat ketat."
"Kau mengunjungi blambangan ? Waktunya tepat sekali."
"Hamba tinggal di Banyuwangi selama satu tahun.
Seperti tuanku ketahui, benteng kota pangeran minakjinggo di-
hancurkan, dan kini ronggolawe yang menjadi
penguasa blambangan . sesudah keadaan mulai tenang, hamba
pindah ke trowulan dan radenkanjeng , melewati provinsi-
provinsi utara dan melanjutkan perjalanan ke jenggala ."
"Kau pergi ke kedhiri ?"
"Ya, hamba berada di sana selama beberapa saat."
"Berceritalah. Walaupun aku berada di mantrijeron, aku
bisa menduga apa pmg akan terjadi di blambangan , namun
situasi marga sinuhun tidak semudah itu memperkirakan."
"Apakah hamba perlu menulis laporan dan
menyerahkannya nanti malam?"
"Jangan, jangan secara tertulis." mpu mojosongo berpaling ke
gerbang belakang, namun rupanya ia masih memikirkan
sesuatu.
Jinshichi merupakan mata dan telinga yang meng-
hubungkannya dengan luar. Sejak berusia lima tahun,
mpu mojosongo tinggal bersama marga sinuhun , dengan orang-
orang mpu marijan , berpindah-pindah dalam pengasingan
di provinsi musuh. Sebagai sandera, ia tak pernah
mengenal kebebasan, sampai sekarang pun keadaan-
nya belum berubah. Mata, telinga, dan jiwa seorang
sandera tertutup, dan jika ia tidak berusaha sendiri,
tak ada yang menegur maupun memberi semangat
padanya. Walaupun demikian, justru sebab ter-
kungkung sejak masa kanak-kanak, mpu mojosongo menjadi
ambisius.
Empat tahun yang lalu, ia mengutus Jinshichi ke
provinsi-provinsi lain agar ia dapat mengetahui apa
saja yang terjadi di dunia suatu tanda awal ambisi
mpu mojosongo yang semakin berkembang. "Kita akan terlihat
di sini, dan kalau kita masuk ke rumah, para
pengikutku akan curiga. Kita ke sana saja." Dengan
langkah panjang mpu mojosongo berjalan menjauhi rumahnya.
Tempat kediaman mpu mojosongo berada di salah satu daerah
paling sepi di mantrijeron. Jika berjalan menjauhi tembok
luar, dalam waktu singkat orang sudah sampai ke tepi
Sungai Abe. Waktu mpu mojosongo masih kanak-kanak yang
terus digendong oleh para pengikutnya, ia selalu
dibawa ke Sungai Abe kalau ia mengatakan ingin
bermain di luar. Aliran sungai itu tak pernah berhenti,
dan tepiannya seakan-akan tak pernah berubah.
Pemandangan ini membawa banyak kenangan bagi
mpu mojosongo .
"Jinshichi, lepaskan tali perahu," ujar mpu mojosongo sambil
melangkah ke sebuah perahu kecil. Pada waktu
Jinshichi menyusulnya dan mendorong galah, perahu
itu mengambang menjauhi tepi sungai, seperti daun
bambu terbawa arus. Junjungan dan pengikut ber-
bicara dengan bebas, sadar bahwa untuk pertama kali
mereka terlindung dari pandangan orang. Dalam
tempo satu jam, mpu mojosongo menyerap seluruh informasi
yang dikumpulkan Jinshichi dalam pengembaraannya
selama empat tahun. Namun, selain apa yang
dipelajari Jinshichi, masih ada sesuatu yang samar-
samar tersembunyi dalam hati mpu mojosongo .
"Kalau orang-orang sinuhun jarang menyerang provinsi
lain dalam beberapa tahun terakhir berbeda dengan
di masa kekuasaan mpu margojoyo itu berarti mereka
sedang berbenah diri," ujar mpu mojosongo .
"Tak peduli apakah orang-orang yang menentangnya
merupakan kerabat atau pengikut. aidit men-
curahkan perhatiannya secara penuh pada tugas itu.
Dia menjatuhkan mereka yang harus dijatuhkan, dan
mengusir mereka yang harus diusir. Dia hampir
berhasil membersihkan kedhiri dari orang-orang itu."
"aidit sempat menjadi bahan tertawa an orang-
orang mpu marijan . dan menurut kabar burung dia hanya
anak manja yang bodoh."
"Dia sama sekali bukan orang pandir seperti yang
dikabarkan orang," kata Jinshichi.
"Sudah lama aku menduga bahwa cerita itu hanya
desas-desus jahat. namun kalau mpu kepenuwoan membicara-
kan aidit , dia mempercayai segala omong kosong
itu, dan dia tidak menanggapinya sebagai ancaman."
"Semangat tempur orang-orang jenggala berbeda sama
sekali dibandingkan dengan beberapa tahun yang
lalu."
"Siapa saja pengikut andalannya?" tanya mpu mojosongo .
"varnajaya mpu wilihan sudah mati, namun dia masih
memiliki sejumlah orang seperti nyoto dijoyo ,
sekarmajimarijan kartosuwirjo, dasna patih pitaloka , mpu wiragajah ki ageng grani, dan
patih ki abang . Baru-baru ini seorang laki-laki luar
biasa bernama panembahan betari durga bergabung dengan-
nya. Orang itu berpangkat rendah, namun entah
kenapa namanya sering menjadi buah bibir para
penduduk kota."
"Bagaimana pandangan orang-orang mengenai
aidit ?"
"Inilah yang paling mengherankan. Pada umumnya
seorang penguasa provinsi mencurahkan perhatiannya
untuk memerintah rakyatnya. Dan rakyat selalu
tunduk pada junjungannya. namun di jenggala keadaannya
berbeda."
"Dari segi apa?"
Jinshichi berpikir sejenak. "Entah bagaimana cara
mengatakannya? Dia tidak melakukan hal-hal yang
luar biasa, namun selama ada aidit , rakyat jenggala
merasa tenang menghadapi masa depan dan walau-
pun mereka sadar bahwa jenggala sebuah provinsi kecil
dan miskin dengan penguasa tak berharta, inilah
anehnya, seperti penduduk sebuah provinsi kuat,
mereka tidak takut perang maupun cemas mengenai
masa depan mereka."
"Hmm. Kira-kira apa sebabnya?"
"Barangkali sebab aidit sendiri. Dia mem-
beritahu mereka apa saja yang terjadi hari ini dan apa
yang akan terjadi besok, dan dia menentukan tujuan
yang hendak mereka capai bersama-sama."
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, tanpa
bermaksud berbuat demikian, Jinshichi membanding-
kan aidit yang berusia dua puluh lima tahun
dengan mpu mojosongo yang 9 tahun lebih muda. Dalam
beberapa hal, mpu mojosongo jauh lebih matang dibandingkan
aidit tak ada sifat kekanak-kanakan tersisa
dalam dirinya. Keduanya menjadi dewasa dalam
keadaan sulit, namun sebetulnya mereka tak dapat
dibandingkan. Pada umur lima tahun mpu mojosongo sudah
diserahkan kepada musuh, dan kekejaman dunia sudah
memicu hatinya menjadi dingin.
Perahu kecil itu membawa Jinshichi dan mpu mojosongo ke
tengah sungai, dan waktu terus berjalan selama pem-
bicaraan rahasia mereka. sesudah selesai, Jinshichi
membawa mereka kembali ke tepi.
Jinshichi cepat-cepat memikul keranjang dan
meraih tongkatnya, ia mohon diri dan berkata.
"Hamba akan menyampaikan pesan tuanku kepada
para pengikut. Masih ada lagi, tuanku?"
mpu mojosongo berdiri di tepi sungai, langsung cemas kalau-
kalau mereka akan terlihat. "Tak ada. Pergilah cepat."
Sambil menganggukkan kepala untuk menyuruh
Jinshichi berangkai, ia tiba-tiba berkata, "Beritahu
mereka bahwa aku sehat-sehat saja tak sekali pun aku
jatuh sakit." lalu ia berjalan ke rumahnya
seorang diri.
Para pelayan istrinya sudah mencarinya ke mana-
mana, dan saat mereka melihatnya kembali dari
sungai, salah seorang berkata. "Tuan Putri sedang
menunggu, berkali-kali kami disuruh mencari tuanku.
Tuan Putri sangat mencemaskan tuanku."
"Ah, begitukah?" ujar mpu mojosongo . "Tenangkan dia dan
katakan padanya bahwa aku segera datang." sesudah itu
ia pergi ke kamarnya sendiri. saat duduk, ia
menemukan pengikut lain, Sakakibara Heishichi,
sudah menantinya.
"Tuanku habis berjalan-jalan ke tepi sungai?"
"Ya... untuk mengisi waktu. Ada apa?"
"Seorang kurir datang."
"Dari mana?"
Tanpa menjawab , Heishichi menimbang sepucuk
surat yang dikirim oleh patih wungu. Sebelum membuka
sampulnya, dengan penuh hormat mpu mojosongo menempel-
kannya ke kening. patih wungu adalah biksu aliran Zen yang
bertindak sebagai instruktur militer untuk marga
mpu marijan . Bagi mpu mojosongo , ia merupakan guru, baik dalam
hal mempelajari kitab-kitab maupun ilmu bela diri.
Suratnya ringkas:
Ceramah rutin untuk Yang Mulia dan tamu-tamunya
akan diberikan malam ini. Tuan akan ditunggu di
gierbang Barat Laut Istana.
Hanya itu. namun kata "rutin" merupakan kata sandi
yang sangat dikenal mpu mojosongo . Kata itu menunjuk-kan
bahwa mpu kepenuwoan dan para resi nya bertemu untuk
membahas rencana menuju ibu kota.
"Mana kurirnya?"
"Ia sudah pergi. Apakah tuanku akan pergi ke
Istana?"
"Ya." jawab mpu mojosongo , sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Hamba menduga tak lama lagi rencana menuju ibu
kota akan diumumkan." Beberapa kali Heishichi
sempat mendengarkan rapat penting dewan perang
yang membahas masalah itu. Ia mengamati wajah
mpu mojosongo . mpu mojosongo menggumamkan sesuatu, seakan-akan
tidak tertarik.
Penilaian orang-orang mpu marijan perihal kekuatan
jenggala dan mengenai aidit sangat berbeda dari
apa yang baru saja dilaporkan Jinshichi. mpu kepenuwoan
merencanakan memimpin centeng besar, yang me-
rupakan gabungan kekuatan Provinsi kertanegara , wirogeni.
dan dusun nyi kembang ke ibu kota, dan mereka menduga akan
memperoleh perlawan an di jenggala .
"Kalau kita maju dengan centeng besar, aidit
akan menyerah tanpa penumpahan darah."
Pandangan dangkal ini dikemukakan oleh beberapa
anggota dewan perang, namun meski mpu kepenuwoan dan
para penasihatnya, termasuk patih wungu tidak menganggap
aidit demikian rendah, tak seorang pun dari
mereka memandang jenggala seserius mpu mojosongo . Ia pernah
mengutarakan pendapatnya, namun disambut dengan
tawa mengejek. Bagaimanapun, mpu mojosongo hanyalah
seorang sandera yang masih muda, dan oleh para
panglima ia tidak dipandang sebelah mata.
Perlukah aku menyinggung hal ini nanti? Biarpun
masalah ini kutekankan...
mpu mojosongo sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri,
dengan surat dari patih wungu di hadapannya, saat seorang
dayang tua menyapanya dengan pandangan cemas.
Istrinya sedang gundah, kata wanita lesbian tua itu, dan
mpu mojosongo diminta menjenguknya sejenak saja.
Istri mpu mojosongo wanita lesbian yang hanya memikirkan diri
sendiri. Ia sama sekali tak peduli pada masalah negara
dan situasi suaminya. Tak ada yang mengusik pikiran-
nya selain urusan sehari-hari dan perhatian suaminya.
Dayang tua tadi memahami ini, dan saat ia melihat
mpu mojosongo masih berbicara dengan seorang pengikutnya, ia
menunggu dengan gelisah sambil membisu, sampai
pelayan wanita lesbian lain menyusul dan berbisik ke
telinganya. Si dayang tak punya pilihan. Sekali lagi ia
memotong pembicaraan dan berkata, "Ampun,
tuanku... Maafkan hamba atas kelancangan ini, namun
Tuan Putri sangat rewel." Sambil membungkuk ke
arah mpu mojosongo , ia mendesaknya dengan takut-takut agar
segera menemui istrinya.
mpu mojosongo sadar bahwa tak ada yang lebih disulitkan
oleh situasi ini dibandingkan para pelayan istrinya,
sedangkan ia sendiri laki-laki sabar. "Ah, baiklah." kata-
nya sambil menoleh. Lalu ia berkata pada Heishichi,
"Hmm... lakukan persiapan yang diperlukan, dan
beritahu aku kalau sudah waktunya." Ia berdiri. Kedua
wanita lesbian di hadapannya berlari dengan langkah
kecil-kecil, ekspresi wajah mereka seperti orang yang
baru saja terselamatkan dari bencana.
Bagian dalam rumahnya berjarak cukup jauh, jadi
bukan tanpa alasan jika istrinya sering rindu untuk
bertemu dengannya. sesudah melewati banyak belokan
di selasar tengah yang beratap, akhirnya ia sampai di
ruang pribadi istrinya.
Pada hari pernikahan mereka, pakaian si pengantin
pria miskin dari dusun nyi kembang tak dapat mengimbangi
kemewahan dan kegemerlapan baju Putri Tsukiyama.
putri angkat mpu marijan mpu kepenuwoan . "Laki-laki dari
dusun nyi kembang " menyandang sebutan itu, mpu mojosongo menjadi
sasaran celaan marga mpu marijan . Dan dari tempat
tinggalnya yang terpisah, istri mpu mojosongo memandang hina
para pengikut dari dusun nyi kembang , namun membanjiri suaminya
dengan curahan cinta yang buta dan berpangkal pada
diri sendiri, ia juga lebih tua dibandingkan mpu mojosongo . Dalam
batas-batas kehidupan suami-istri yang hambar, Putri
Tsukiyama menganggap mpu mojosongo tak lebih dari seorang
pemuda penurut yang berutang nyawa pada orang-
orang mpu marijan .
sesudah melahirkan di musim semi sesudah per-
nikahan mereka, ia semakin mementingkan diri
sendiri. Setiap hari ia memperlihatkan kekerasan hati-
nya.
"Oh, kau sudah bangun. Keadaanmu sudah lebih
baik?" mpu mojosongo menatap istrinya, dan sambil bicara,
hendak membuka pintu geser. Pikirnya, jika istrinya
melihat keindahan warna-warni dan langit musim
gugur, suasana batinnya akan lebih cerah.
Putri Tsukiyama duduk di ruang tamu dengan
ekspresi dingin pada wajahnya yang pucat kelabu, ia
mengerutkan alis sambil berkata, "Biarkan tertutup!"
Ia tidak seberapa cantik, namun , seperti umumnya para
wanita lesbian yang dibesarkan di lingkungan keluarga
kaya, kulitnya berkilau lembut. Disamping itu, baik
wajahnya maupun ujung-ujung jarinya begitu putih,
hingga hampir tembus cahaya, mungkin sebab ia
baru pertama kali melahirkan. Kedua tangannya ter-
lipat rapi di pangkuan.
"Silakan duduk, tuanku. Ada sesuatu yang ingin
kutanyakan." Mata dan nada suaranya sedingin abu.
namun sikap mpu mojosongo sama sekali bukan seperti yang
diharapkan dari seorang suami muda perlakuan
lemah lembut terhadap ini lebih panras bagi laki-laki
yang sudah matang. Atau mungkin ia memiliki
pandangan tertentu mengenai wanita lesbian , sehingga
orang yang seharusnya paling disayangi justru dinilai-
nya secara objektif.
"Ada apa?" ia bertanya sambil duduk di hadapan
istrinya, seperti yang diminta. Namun, semakin patuh
mpu mojosongo , semakin tak masuk akal sikap yang diperlihat-
kan istrinya.
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Apakah
tuanku pergi ke luar beberapa saat yang lalu? Seorang
diri, tanpa pelayan?" Matanya mulai berkaca-kaca.
Darah mulai naik ke wajahnya yang masih kurus
akibat persalinan. mpu mojosongo mengetahui keadaan
kesehatannya maupun wataknya, dan ia tersenyum,
seolah-olah hendak menghibur bayi.
"Beberapa saat yang lalu? Aku bosan membaca, jadi
aku berjalan-jalan menyusuri tepi sungai. Kapan-kapan
kau juga harus ke sana. Warna-warni musim gugur
diiringi bunyi serangga suasana di tepi sungai sangat
menyenangkan pada musim ini."
Putri Tsukiyama tidak mendengarkan. Ia menatap
lurus ke arah suaminya, menegurnya tanpa kata,
sebab lelah berbohong. Ia duduk tegak dengan sikap
tak peduli, namun tanpa sikap sibuk sendiri seperti
biasanya. "Aneh. Kalau kau pergi untuk mendengar-
kan suara serangga dan mengagumi warna-warni
musim gugur, mengapa kau harus naik perahu ke
tengah sungai dan bersembunyi begitu lama?"
"Aha... ternyata kau mengetahuinya."
"Mungkin aku memang terkungkung di sini, namun
aku tahu segala sesuatu yang kaulakukan."
"Begitukah?" mpu mojosongo memaksakan senyum, namun tidak
menyinggung pertemuannya dengan Jinshichi.
Walaupun wanita lesbian ini sudah menikah dengan-
nya, mpu mojosongo tak sanggup mepercayakan diri bahwa ia
betul-betul istrinya. Jika pengikut atau kerabat ayah
angkatnya berkunjung, Putri Tsukiyama akan men-
ceritakan segala sesuatu yang diketahuinya, dan ia pun
terlibat surat-menyurat dengan rumah tangga
mpu kepenuwoan . mpu mojosongo harus lebih berhati-hati terhadap
kecerobohan istrinya dibandingkan terhadap mata-mata
mpu kepenuwoan .
"sebetulnya aku menaiki perahu di tepi sungai
tanpa pikir panjang. Kusangka aku sanggup
mengemudikan perahu, namun waktu perahunya terbawa
arus, aku tak dapat berbuat apa-apa." Ia tertawa . "Persis
seperti anak kecil. Di mana kau waktu melihatku?"
"Kau bohong. Kau tidak sendirian, bukan?"
"Hmm, beberapa saat lalu seorang pelayan
menyusulku."
"Tidak, tidak. Tak ada alasan untuk mengadakan
pertemuan rahasia di dalam perahu dengan seseorang
yang kelihatan seperti pelayan."
"Siapa yang menyampaikan omong kosong ini pada-
mu?"
"Walaupun aku terkurung di sini, masih ada orang
setia yang memikirkanku. Kau punya gundik, bukan?
Atau kalau bukan itu, barangkah kau sudah bosan
denganku, dan berencana melarikan diri ke dusun nyi kembang .
Menurut desas-desus yang beredar, kau sudah mem-
peristri wanita lesbian lain di swaradwipa. Kenapa kau
menyembunyikannya dariku? Aku tahu kau menikahi-
ku hanya sebab takut terhadap marga mpu marijan ."
Tepat pada waktu tangisnya meledak, Sakakibara
Heishichi muncul di ambang pintu. "Tuanku, kuda
tuanku sudah siap. Sudah hampir waktunya.
"Kau mau pergi?" Sebelum mpu mojosongo sempat menjawab .
Putri Tsukiyama mendahuluinya. "Belakangan ini kau
semakin sering keluar pada malam hari, jadi ke mana
lagi kau hendak pergi sekarang?"
"Ke Istana." Tanpa mengacuhkan istrinya, mpu mojosongo
mulai berdiri.
namun Putri Tsukiyama tidak puas dengan jawaban pasti
singkatnya. Kenapa suaminya harus ke Istana malam-
malam begini? Dan apakah ia akan pergi sampai
tengah malam, seperti biasanya? Siapa yang akan
menyertainya? Ia mengajukan pertanyaan demi per-
tanyaan.
Sakakibara Heishichi menunggu majikannya di luar
pintu, dan walaupun ia hanya seorang pengikut, ia
mulai tak sabar. mpu mojosongo , sebaliknya, menenangkan
istrinya dengan riang, dan akhirnya berangkat. Putri
Tsukiyama mengabaikan peringatan mpu mojosongo bahwa ia
akan sakit lagi, dan mengantar suaminya sampai ke
pintu.
"Pulanglah secepatnya," ia memohon, seluruh cinta
dan kesetiaannya tercurah dalam kata-kata itu.
Sambil membisu, mpu mojosongo berjalan ke gerbang utama.
Namun, saat ia berangkat, disaksikan bintang-
bintang di langit dan diterpa angin sejuk, ia
mengusap-usap bulu tengkuk kudanya dan suasana
hatinya berubah sama sekali suatu bukti bahwa darah
muda mengalir dalam tubuhnya. "Heishichi. Seperti-
nya kita akan terlambat, bukan?" mpu mojosongo serunya.
"Tidak. Dalam surat itu tidak tercantum jam ter-
tentu, jadi bagaimana kira bisa terlambat?"
"Bukan itu masalahnya. Meski patih wungu sudah tua, dia
tak pernah terlambat. Aku akan merasa pedih jika
aku, sebagai anak muda dan seorang sandera,
terlambat muncul pada suatu pertemuan sementara
para pengikut senior dan patih wungu sudah hadir. Cepat-
lah," ia berkata, dan memacu kudanya.
Selain seorang tukang kuda dan tiga pelayan.
Heishichi-lah satu-satunya pengikut yang menyertai
mpu mojosongo . saat Heishichi berupaya mengimbangi kuda
majikannya, ia menitikkan air mata bagi mpu mojosongo yang
sudah memperlihatkan kesabaran pada istrinya dan
kepatuhan pada Istana artinya, pada mpu marijan
mpu kepenuwoan padahal sikap itu tentu sangat menyakit-
kan baginya.
Sebagai pengikut, ia sudah bersumpah untuk
melepaskan junjungannya dari segala belenggu, ia
harus membebaskan mpu mojosongo dari posisinya sebagai
bawah an dan mengembalikannya ke kedudukan
sebagai penguasa dusun nyi kembang . Dan bagi Heishichi, setiap
hari yang berlalu tanpa mencapai tujuan merupakan
satu hari penuh ketidaksetiaan.
Ia terus berlari, menggigit-gigit bibir sambil berikrar,
dengan mata berkaca-kaca.
Selokan pertahanan mulai terlihat. sesudah mereka
menyeberangi jembatan, k ada lagi toko-toko dan
rumah rakyat jelata. Diapit oleh pohon-pohon
dinding-dinding putih dan gerbang-gerbang megah
kediaman atau kerja orang-orang mpu marijan tampak
berderet-deret. "Bukankah itu si Penguasa dusun nyi kembang ?
Tuanku mpu mojosongo !" patih wungu berseru dari bayang-bayang
pepohonan.
Hutan pinus yang mengelilingi benteng kota merupakan
lapangan militer di saat perang, namun di masa damai
jalan-jalan setapaknya yang panjang dan lebar diguna-
kan sebagai tempat berkuda.
mpu mojosongo segera turun dari kuda, dan membungkuk
penuh hormat ke arah patih wungu.
"Terima kasih atas kesediaan memenuhi undangan
kami, Yang Mulia."
"Pesan-pesan ini selalu datang secara mendadak.
Tuan tentu direpotkan sekali."
"Sama sekali tidak." patih wungu seorang diri. Kakinya
terbungkus sandal tua berukuran sebanding dengan
tubuhnya, mpu mojosongo mulai berjalan bersamanya, dan
sebagai penghormatan pada gurunya, satu langkah di
belakangnya, menyerahkan tali kekang pada
Heishichi.
saat mendengarkan gurunya, mpu mojosongo tiba-tiba
dilanda rasa terima kasih yang tak dapai diungkapkan
dengan kata-kata. Takkan ada yang menyangkal bahwa
penahanan sebagai sandera oleh provinsi lain
merupakan nasib buruk, namun saat merenungkannya,
mpu mojosongo menyadari bahwa kesempatan untuk belajar
dari patih wungu justru merupakan suatu keberuntungan.
Sukar sekali menemukan guru yang baik.
Seandainya ia tetap di dusun nyi kembang , ia takkan pernah
memperoleh kesempatan berguru pada patih wungu. Jadi. ia
takkan pernah menerima pendidikan klasik dan
militer yang dimilikinya sekarang ataupun latihan
Zen yang dianggapnya pelajaran paling berharga yang
ia peroleh dari patih wungu.
Mengapa patih wungu, seorang biksu aliran Zen, mengabdi
pada penguasa marga mpu marijan dan bersedia menjadi
penasihat militernya, menjadi tanda tanya bagi
provinsi-provinsi lain, dan mereka menganggapnya
agak ganjil. sebab itu ada orang yang menjuluki
patih wungu "biksu militer" atau "biksu duniawi", namun
seandainya garis keturunannya diteliti, mereka akan
menemukan bahwa ia masih tergolong kerabat
mpu kepenuwoan . Meski demikian, mpu kepenuwoan hanya
mengujawa kertanegara . wirogeni, dan dusun nyi kembang , sedangkan
kemasyhuran patih wungu tidak mengenal batas; ia milik
seluruh jagat raya.
namun patih wungu sudah memakai bakatnya untuk
kepentingan orang-orang mpu marijan . Begitu melihat
tanda-tanda bahwa orang-orang mpu marijan akan kalah
perang melawan marga Hojo, biksu itu membantu
kertanegara merundingkan perjanjian damai yang tidak
merugikan mpu kepenuwoan . Dan saat ia mengatur
pernikahan Hojo Ujimasa dengan salah seorang putri
mpu ireng mpu betarakatong , sang penguasa Kai, provinsi kuat di
perbatasan utara, dan pernikahan putri mpu kepenuwoan
dengan putra mpu betarakatong , ia memperlihatkan kemampu-
an politik tinggi dengan mengikat ketiga provinsi itu
sebagai sekutu.
Ia bukan biksu yang menyendiri berbekal tongkat
dan topi lusuh, ia bukan biksu Zen "murni". Bisa
dikatakan bahwa ia biksu politik, biksu militer, atau
bahkan biksu bukan biksu. Apa pun julukan yang
diberikan padanya, keharuman namanya tak terusik.
patih wungu selalu berbicara seperlunya, namun satu hal yang
dikatakannya pada mpu mojosongo di pelataran Kuil Rinzai
terus melekat di kepala mpu mojosongo . "Bersembunyi di gua.
mengembara seorang diri seperti awan dan air
mengalir bukan itu saja yang membentuk seorang
biksu besar. Tujuan seorang biksu selalu berubah-
ubah. Di dunia sekarang, hanya memikirkan pen-
cerahanku sendiri dan menjalani kehidupan seperti
orang yang 'mencuri ketenteraman gunung dan
padang', dan bersikap seakan-akan aku membenci
dunia, merupakan penerapan ajaran Zen yang terlalu
terfokus pada diri sendiri."
Mereka menyeberangi Jembatan kedhiri dan melewati
Gerbang Barat Laut. Sukar dipercaya bahwa mereka
berada di balik tembok sebuah benteng kota. Rasanya
seperti istana sang pandita dipindahkan ke sini. Ke
arah Atago dan Kiygunungselatanzu, puncak Gunung sonokeling yang
agung tampak samar di keremangan senja. Lampu-
lampu di relung-relung selasar yang membentang
sejauh mata memandang sudah dinyalakan.
wanita lesbian -wanita lesbian yang cantik bagaikan putri
istana berlalu, membawa kolo atau botol-botol anggur .
"Siapa itu di pekarangan?" mpu marijan mpu kepenuwoan
menutupi wajahnya yang agak memerah dengan kipas
berbentuk daun ginkgo. Ia baru saja melewati jembatan
bulan sabit. Pelayan-pelayan yang meng-ikutinya pun
mengenakan pakaian mewah dan menyandang
pedang.
Salah seorang pelayan kembali menyusuri selasar
dan bergegas ke pelarangan. Seseorang menjerit. Bagi
telinga mpu kepenuwoan , kedengarannya seperti suara
wanita, jadi sebab menganggapnya ganjil, ia berhenti.
"Ke mana pelayan tadi?" mpu kepenuwoan bertanya sesudah
beberapa menit. "Dia belum kembali. Iyo, coba
kaulihat."
Iyo melangkah ke pekarangan. Walaupun dinamakan
pekarangan, kkertoarjo san mi demikian luas hingga seakan-
akan membentang sampai ke kaki Gunung sonokeling.
Bersandar pada sebuah pilar, mpu kepenuwoan mengetuk-
ngetuk kipasnya dan bersenandung seorang diri.
Ia cukup pucat untuk disangka wanita, sebab
memakai dandanan muka berwarna terang.
Usianya empat puluh tahun, dan ia sedang di puncak
kejayaannya sebagai laki-laki. mpu kepenuwoan menikmati
dunia dan kemakmurannya. Rambutnya ditata dengan
gaya bawahan , giginya dihitamkan, dan di bawah
hidungnya membentang kumis. Dalam dua tahun
terakhir, berat badannya bertambah , dan sebab
dilahirkan dengan badan panjang dan kaki pendek, ia
kini tampak sedikit cacat. namun pedangnya rang ber-
lapis emas dan pakaiannya yang mewah
menyelubunginya dengan pancaran penuh martabat.
Akhirnya seseorang kembali, dan mpu kepenuwoan berhenti
bersenandung.
"Kaukah itu, lyo?"
"Bukan, ini Ananda, patih baruna."
patih baruna adalah putra dan pewaris mpu kepenuwoan . dan
penampilannya menunjukkan bahwa ia tak pernah
mengenal susah.
"Mengapa kau berada di pekarangan menjelang
senja?"
"Ananda sedang memukul Chizu, dan waktu
Ananda mencabut pedang, dia langsung kabur."
"Chizu? Siapa Chizu?"
"Dia gadis lesbian yang mengurus burung-burung Ananda."
"Seorang pelayan?"
"Ya."
"Apa yang dilakukannya hingga kau terpaksa
menghukumnya dengan tanganmu sendiri?"
"Dia menjengkelkan. Dia bertugas memberi makan
seekor burung langka yang dikirimkan pada Ananda
dari trowulan , dan dia membiarkannya lepas." patih baruna
berkata dengan sungguh-sungguh. Ia sangat
menyayangi burung hias. Sudah menjadi rahasia
umum di kalangan bawahan bahwa jika seseorang
menemukan seekor burung langka dan mengirim-
kannya pada patih baruna. patih baruna akan bahagia sekali.
Jadi, tanpa perlu mengangkat jari, ia sudah menjadi
pemilik koleksi burung dan kandang yang luar biasa.
Menurut kabar angin, ia lebih mementingkan burung
dibandingkan nyawa manusia. patih baruna begitu murka,
seakan-akan urusannya merupakan masalah negara
yang sangat penting.
Sebagai ayah yang sabar, mpu kepenuwoan hanya meng-
gerutu kecewa saat menghadapi amarah konyol yang
diperlihatkan putranya. Meski patih baruna pewarisnya,
sesudah menunjukkan ketololan seperti ini, para
pengikut takkan memandangnya sebelah mata.
"Bodoh!" seru mpu kepenuwoan , berniat mengungkapkan
kasih sayangnya yang mendalam. "patih baruna. berapa
usiamu? Upacara akil baligmu sudah lama berlalu.
Kau pewaris marga mpu marijan . namun kau tidak berbuat
apa-apa selain menghibur diri dengan memelihara
burung. Kenapa kau tidak melakukan meditasi Zen,
atau mempelajari perjanjian-perjanjian militer?"
Dibentak begitu oleh seorang ayah yang hampir tak
pernah memarahinya. patih baruna menjadi pucat dan
terdiam. Pada dasarnya, ia menganggap ayahnya
mudah ditangani, namun pada usianya sekarang ia
juga sudah dapat mengamati tindak-tanduk ayahnya
secara kritis. Kini, dibandingkan berdebat, ia memilih
merengut dan mendongkol. Ini pun dipandang
sebagai kelemahan oleh mpu kepenuwoan . Ia sangat
menyayangi putranya yang tolol, dan ia sadar bahwa ia
tak pernah memberi contoh baik bagi patih baruna.
"Cukup. Mulai sekarang kau harus lebih mengekang
diri. Bagaimana, patih baruna?"
"Ya."
"Kenapa kau kelihatan kecewa?"
"Ananda tidak kecewa."
"Hmm, kalau begitu, pergilah! Ini bukan waktunya
memelihara burung."
"Baiklah, namun ..."
"Apa yang ingin kaukatakan?"
"Apakah sekarang waktunya untuk minum anggur
bersama wanita lesbian -wanita lesbian dari trowulan , dan
menari dan memukul gendang sepanjang sore?"
"Jaga mulutmu!"
"namun , donosukomerto
..."
"Diam!" mpu kepenuwoan berkata sambil melemparkan
kipasnya ke arah patih baruna.
"Mestinya kau lebih tahu diri. Bagaimana aku bisa
mengangkatmu sebagai pewarisku, kalau kau tidak
memperlihatkan minat pada masalah militer dan tidak
mau mempelajari seluk-beluk pemerintahan dan
ekongunungselatan? Ayahmu mendalami Zen saat masih
muda, melalui segala macam kesulitan, dan
mengambil bagian dalam pertempuran yang tak ter-
hitung jumlahnya. Kini aku penguasa provinsi kecil
ini, namun suatu hari nanti aku akan memerintah
seturuh negeri. Kenapa aku diberin putra yang begitu
kecil hati dan bercita-cita kerdil? Tak ada yang patut
kukeluhkan selain kekecewaanku terhadapmu."
Para pengikut mpu kepenuwoan gemetar ketakutan di
selasar. Mereka masing-masing menatap lantai sambil
membisu. Bahkan patih baruna pun menundukkan kepala
dan memandang kipas ayahnya yang tergeletak di
kakinya.
Pada saat itu seorang centeng adipati masuk dan
mengumumkan. "Yang terhormat Tuan patih wungu, Tuan
mpu mojosongo , dan para pengikut senior menanti tuanku di
Paviliun Jeruk Mandarin."
Paviliun Jeruk Mandarin didirikan di lereng bukit
yang ditumbuhi pohon jeruk mandarin, dan ke
sanalah mpu kepenuwoan mengundang patih wungu dan para
penasihat lainnya, dengan alasan mengadakan upacara
teh pada malam hari.
"Ah! Begitukah? Semuanya sudah datang? Sebagai
tuan rumah, tidak sepatutnya aku terlambat."
mpu kepenuwoan berkata seakan-akan terselamatkan dari
konfrontasi dengan putranya, lalu menyusuri selasar
ke arah berlawan an.
Sejak semula upacara minum teh itu hanya tipu
muslihat belaka. Namun bayangan menari-nari yang
dimuncul kan oleh cahaya lentera menyelubungi tempat
itu dengan suasana anggun, cocok untuk upacara
minum teh pada malam hari. namun begitu mpu kepenuwoan
masuk dan pintu-pintu ditutup, para pengawal
menerapkan pengawasan yang begitu ketat, sehingga
air pun tak dapat menyusup tanpa diketahui.
"Yang Dipertuan Agung." Seorang pengikut
mengumumkan kedatangan junjungannya, seakan-
akan mengumumkan kedatangan seorang raja. Di
dalam ruangan besar itu, sama seperti di kuil-kuil.
sebuah lentera redup berkelip-kelip. patih wungu dan para
pengikut senior duduk membentuk barisan, dengan
prabu kertoarjowardana mpu mojosongo di ujungnya. Barisan orang itu mem-
bungkuk ke arah junjungan mereka.
Pakaian sutra mpu kepenuwoan terdengar berdesir dalam
keheningan. Ia mengambil tempat duduk, tanpa di-
dan i pelayan maupun pembantu. Kedua pem-
bantunya menjaga jarak dua atau tiga meter di
belakangnya.
"Maafkan keterlambatanku," mpu kepenuwoan menang-
gapi salam para pengikutnya. lalu , secara
khusus ia berkata pada patih wungu. "Ini tentu merupakan
beban bagi Yang Terhormat." Belakangan ini
mpu kepenuwoan selalu menanyakan kesehatan patih wungu pada
waktu mereka bertemu. Sudah sejak lima atau enam
tahun ini patih wungu sering sakit-sakitan, dan dalam bulan-
bulan terakhir terlihat jelas bahwa ia bertambah tua.
patih wungu sudah membimbing, melindungi, dan
mengilhami mpu kepenuwoan sejak masa kanak-kanaknya.
mpu kepenuwoan menyadari bahwa ia mencapai kejayaannya
berkat keahlian patih wungu sebagai negarawan , dan
kemampuannya menyusun rencana. Jadi, mula-mula
mpu kepenuwoan merasakan pertambah an usia patih wungu seperti
pertambah an usianya sendiri, namun saat mengetahui
bahwa kekuatan marga mpu marijan tidak berkurang
sebab tidak mengandalkan patih wungu, dan bahwa
kekuatannya justru semakin berkembang, ia mulai
percaya bahwa keberhasilannya merupakan akibat dari
kemampuannya sendiri.
"sebab aku kini sudah dewasa.'' mpu kepenuwoan pernah
berkata pada patih wungu. "jangan risaukan urusan
pemerintahan provinsi atau urusan militer. Nikmati-
lah sisa waktumu, dan pusatkanlah pikiranmu pada
penyebaran Jalan zoroaster ." Jelaslah bahwa ia mulai
mengambil jarak terhadap patih wungu.
Namun dari sudut pandang patih wungu, mpu kepenuwoan
mirip anak kecil yang terseok-seok, dan ia
merasakan keprihatinan yang sama. patih wungu
memandang mpu kepenuwoan persis seperti mpu kepenuwoan memandang putranya, patih baruna. patih wungu menganggap mpu kepenuwoan tak dapat diandalkan. Ia tahu bahwa mpu kepenuwoan merasa kikuk dengan kehadirannya dan
sudah berupaya menjauhkannya, namun ia terus berusaha membantu, baik dalam urusan pemerintahan maupun militer. Sejak awal musim semi tahun itu, tak satu pun dari kesepuluh pertemuan di Paviliun Jeruk Mandarin
yang tidak diikutinya.
Apakah mereka akan bergerak sekarang, atau
menunggu sedikit lebih lama? Pertemuan ini akan
menentukannya, dan masa depan seluruh marga
mpu marijan tergantung pada keputusan yang akan diambil. Diiringi suara jangkrik, pertemuan yang akan mengubah peta kekuasaan seluruh negeri berlangsung di bawah pengamanan ketat. saat nyanyian serangga tiba-tiba terhenti, para pengawal langsung mondar-mandir menyusuri semak-semak di luar paviliun.
"Sudahkah kau menyelidiki apa yang kita bicarakan pada penemuan terakhir?" mpu kepenuwoan bertanya pada salah seorang resi nya. resi itu merentangkan beberapa dokumen di
lantai dan membuka penemuan dengan memberi
penjelasan secara garis besar. Ia sudah menyusun
laporan mengenai kekuatan militer dan ekongunungselatan
marga sinuhun . "Mereka dikabarkan sebagai marga kecil, namun belakangan ini terlihat tanda-tanda bahwa ekongunungselatan mereka berkembang pesat." Sambil bicara, ia memperlihatkan beberapa diagram pada mpu kepenuwoan .
"jenggala dipandang sebagai satu kesatuan, namun di bagian timur dan selatan ada beberapa tempat, seperti benteng kota iwakkuro, yang sudah bersumpah setia pada
tuanku. Disamping itu, ada sejumlah orang yang
walaupun pengikut sinuhun , diketahui merasa bimbang mengenai kesetiaan mereka. Jadi, dalam keadaan sekarang, kurang dari setengah, mungkin hanya dua per lima, dari seluruh jenggala yang berada di bawah kekuasaan marga sinuhun ."
"Begitu," ujar mpu kepenuwoan . "Sepertinya mereka hanya marga kecil, persis seperti yang kita dengar. Hmm, berapa banyak prajurit yang sanggup mereka kerahkan?"
"Mengingat mereka hanya mengujawa dua per lima dari jenggala , wilayah mereka mampu menghasilkan sekitar seratus enam puluh ribu sampai tujuh puluh ribu gantang padi. Dengan perhitungan bahwa sepuluh ribuu gantang padi cukup untuk sekitar dua ratus lima puluh orang, walaupun seluruh centeng sinuhun dikerahkan, jumlah mereka takkan melebihi empat ribu orang. Dan jika dikurangi dengan jumlah
pengawal di benteng kota-benteng kota, hamba meragukan kemampuan mereka untuk mengumpulkan lebih dari sekitar 50000 orang."
Tiba-tiba mpu kepenuwoan tertawa . Kalau tertawa , sudah menjadi kebiasaannya untuk mencondongkan badannya sedikit dan menutupi giginya yang hitam dengan kipas. "Tiga atau empat ribu, katamu? Hah, itu nyaris
tak cukup antuk mendirikan provinsi. patih wungu berpendapat bahwa musuh yang harus diperhatikan saat kita bergerak menuju ibu kota adalah orang-orang sinuhun , dan kalian semua pun berulang kali menyinggung marga itu. sebab itulah aku minta agar laporan-laporan ini disusun. namun apa yang akan dilakukan tiga atau empat ribu orang di hadapan centeng ku? Apa sulitnya menjadikan mereka bulan-bulanan, lalu menghancurkan mereka dengan sekali
pukul?" patih wungu tidak mengatakan apa-apa; yang lain pun tetap membisu. Mereka tahu bahwa mpu kepenuwoan takkan berubah pikiran. Rencana itu sudah tersusun sejak bertahun-tahun, dan tujuan segala persiapan militer dan administrasi wilayah marga mpu marijan adalah
gerakan mpu kepenuwoan ke ibu kota dan penguasaan seluruh negeri. Waktunya sudah tiba dan mpu kepenuwoan tak sanggup menahan diri lebih lama lagi. Meski demikian, jika beberapa pertemuan sudah diadakan sejak musim mi dengan maksud mengambil keputusan, sedangkan tujuan belum juga tercapai, itu berarti dalam kelompok penentu ini ada seseorang yang berpendapat bahwa waktunya belum
tepat. Suara sumbang ini milik patih wungu. Ia bukan hanya berpendapat bahwa waktunya belum tiba, melainkan
juga memberikan saran agar pembenahan administrasi
internal diutamakan dahulu . Ia tidak mengkritik ambisi
mpu kepenuwoan untuk menyatukan seluruh negeri, namun ia
juga tidak memberikan persetujuannya.
"Marga mpu marijan merupakan marga termasyhur pada
masa ini." ia sempat berkala pada mpu kepenuwoan . "Jika
suatu saat tak ada yang mewarisi kekuasaan sang
pandita , anggota marga mpu marijan -lah yang harus tampil
ke depan. Kau harus memelihara cita-cita besar ini,
dan mulai sekarang kau melatih diri agar mampu
memerintah seluruh negeri." patih wungu sendirilah yang
mengajari mpu kepenuwoan untuk berpandangan luas.
dibandingkan menjadi penguasa sebuah benteng kota, jadilah
penguasa seluruh provinsi. dibandingkan jadi pemimpin
satu provinsi, jadilah pemimpin seluruh distrik.
dibandingkan memerintah seluruh distrik, lebih baik
memerintah seluruh negeri.
Semua orang memberi nasihat seperti ini. Dan
semua anak centeng adipati menghadapi dunia yang kacau
dengan ajaran ini terpatri di kepala. Ini pula yang
menjadi fokus latihan yang diberikan patih wungu pada
mpu kepenuwoan . Jadi, sejak patih wungu bergabung dengan dewan
pimpinan mpu kepenuwoan , centeng marga mpu marijan
berkembang pesat. Dengan langkah pasti mpu kepenuwoan
meniti tangga menuju kekuasaan tertinggi. Namun
belakangan ini patih wungu merasakan pertentangan antara
ajaran yang diberikannya pada mpu kepenuwoan dan
perannya sebagai penasihat ada sesuatu yang mem-
buatnya bimbang mengenai penyatuan seluruh negeri
yang direncanakan mpu kepenuwoan dengan rasa percaya
diri yang semakin kuat.
Dia tidak memiliki kemampuan untuk itu, pikir patih wungu. Seiring peningkatan rasa percaya diri madyamargowinoyo, terutama pada tahun-tahun belakangan ini, pemikiran patih wungu jadi semakin konservatif. Inilah puncaknya.
Kemampuan mpu kepenuwoan sebagai penguasa takkan ber-
kembang lagi. Aku harus berusaha agar dia mau
membatalkan niatnya. Inilah sumber kesedihan patih wungu.
namun harapan bahwa mpu kepenuwoan , yang begitu bangga
akan kemajuan duniawinya, tiba-tiba bersedia membatalkan niat untuk meraih kekuasaan tertinggi amatlah kecil. Keberatan patih wungu disambut dengan tawa dan dipandang sebagai tanda bahwa ia mulai uzur,
dan sebab itu tidak memperoleh tanggapan. mpu kepenuwoan
menganggap seluruh negeri sudah berada dalam
genggamannya.
Ini harus diakhiri secepatnya. patih wungu tidak lagi
mengingatkannya. Malah sebaliknya, dalam setiap
pertemuan ia bersikap teramat hati-hati.
"Kesulitan apa yang mungkin menghadangku jika
aku bergerak menuju trowulan dengan seluruh
kekuatanku dan centeng gabungan kertanegara , wirogeni.
dan dusun nyi kembang ?" mpu kepenuwoan kembali bertanya. Ia
merencanakan untuk menempuh perjalanan ke ibu
kota tanpa penumpahan darah, mempelajari kondisi
di semua provinsi yang akan dilaluinya, dan
menyiapkan kebijakan diplomasi sejak jauh hari.
untuk sedapat mungkin menghindari pertempuran.
Namun pertempuran pertama dalam perjalanan
menuju trowulan bukanlah melawan provinsi-provinsi
kuat seperti blambangan atau gunungselatan. Pertempurannya akan
berlangsung melawan marga sinuhun dari jenggala . Mereka
tak berarti. namun mereka tidak bisa diajak berdamai
melalui diplomasi, atau disuap dengan uang.
Mereka memang musuh yang merepotkan. Dan
bukan hanya sekarang atau kemarin. Selama empat
puluh tahun terakhir, marga sinuhun dan marga mpu marijan
berperang, iika sebuah benteng kota direbut, benteng kota lain
akan jatuh ke tangan lawan , dan jika sebuah kota
dibakar, sepuluh desa akan musnah dilahap api.
Bahkan dari zaman ayah aidit dan kakek
mpu kepenuwoan pun kedua marga itu seakan-akan berikrar
bahwa mereka akan terus saling menggempur di
perbatasan kedua provinsi.
saat desas-desus mengenai rencana mpu kepenuwoan
sampai ke telinga marga sinuhun , mereka segera
memutuskan untuk menentukan nasib dalam satu
pertempuran besar. Bagi mpu kepenuwoan , orang-orang sinuhun
merupakan korban ideal untuk centeng nya yang
hendak maju ke ibu kota, dan ia terus mematangkan rencana untuk melawan mereka.
Inilah pertemuan terakhir dewan perang. patih wungu, mpu mojosongo ,. dan para pembantunya meninggalkan istana. Mereka menempuh perjalanan pulang dalam keadaan gelap gulita, tak satu lentera pun menyala di mantrijeron.
"Tak ada yang dapat kita lakukan sdain berdoa agar
keberuntungan berada di pihak kita." gumam patih wungu. Semakin tua seseorang, bahkan jiwa yang paling gemilang pun kembali kekanak-kanakan. "Dingin sekali rasanya." Padahal malam itu bukanlah malam yang patut dinamakan dingin.
Belakangan, saat orang-orang mengingat keiadian
ini, jelas bahwa itulah awal memburuknya kesehatan si biksu. Itulah malam terakhir kaki patih wungu menapak di bumi. Dalam kesunyian musim gugur. patih wungu
meninggal dengan tenang, tanpa diketahui.
Di tengah-tengah musim dingin tahun itu.
pertempuran-pertempuran kecil di sepanjang per-
batasan mendadak berkurang. Namun sebetulnya
ini merupakan masa penggalangan kekuatan untuk
menjalankan rencana yang lebih besar. Tahun
berikutnya gandum di ladang-ladang subur di provinsi-provinsi pesisir tumbuh tinggi. Bunga-bunga ceri berguguran, dan wangi daun-daun muda naik ke langit. awal musim panas. Dari mantrijeron. mpu kepenuwoan memberi perintah kepada centeng nya untuk bergerak menuju ibu kota. Kemegahan centeng mpu marijan
membuat dunia terbelalak kagum. Dan pengumumannya memicu provinsi-provinsi kecil gemetar ketakutan. Pesannya singkat dan jelas:
Mereka yang menghalangi centeng ku akan di-
hancurkan. Mereka yang menerimanya dengan penuh kesopanan akan diperlakukan dengan baik.
Seusai Perayaan Anak-Anak Laki-Laki, mantrijeron
diserahkan ke tangan pewaris mpu kepenuwoan , patih baruna,
dan pada hari kedua belas di bulan kelima, centeng
utama mulai bergerak, diiringi sorak-sorai rakyat. Para
prajurit gagah, dengan pancaran cemerlang menyaingi
matahari, berangkat menuju ibu kota. centeng itu
mungkin terdiri atas dua puluh lima ribu atau dua
puluh enam ribu orang, namun sengaja dikabarkan
sebagai centeng berkekuatan empat puluh ribu orang.
Pada hari kelima belas, barisan terdepan memasuki
kota jetislor. dan mendekati brojorejo pada hari
ketujuh belas, mereka membakar desa di bagian
jenggala itu. Cuaca terus baik dan hangat. Alur-alur di
ladang gandum dan tanah yang sedang berbunga
tampak memutih. Di sana-sini di langit biru terlihat
kepulan asap hitam yang berasal dari yang dibakar.
Namun tak satu letusan senapan pun datang dan
marga sinuhun . Para petani sudah diperintahkan untuk mengungsi, dan meninggalkan apa pun bagi centeng mpu marijan yang terus mendesak.
"Kalau begini, bisa-bisa benteng kota di kedhiri juga dalam keadaan kosong!"
Para perwira dan prajurit mpu marijan merasakan baju tempur mereka menjadi beban di tengah kejemuan di jalan-jalan yang datar dan tenteram.
Di benteng kota kedhiri , lentera-lentera menyala seperti biasa. Namun lentera-lentera itu seakan-akan dinyalakan untuk menghadapi hantaman badai dahsyat yang akan datang. Pohon-pohon yang berdiri tak bergerak
di pekarangan benteng kota mengingatkan akan
ketenangan di pusat badai. Dan sampai sekarang
belum juga ada petunjuk dari benteng kota kepada rakyat. Tak ada perintah untuk mengungsi atau mempersiapkan penahanan, bahkan tak ada pengumuman untuk membangkitkan semangat. Para pedagang membuka toko seperti biasa. Para pengrajin bekerja seperti biasa. Para petani pun pergi ke ladang seperti biasa. namun lalu
lintas di jalan-jalan sudah terhenti selama beberapa hari. Kota agak lebih sepi dan desas-desus merajalela. "Kudengar mpu marijan mpu kepenuwoan menuju ke barat dengan centeng berkekuatan empat puluh ribu orang."
Setiap kali para warga yang gelisah bertemu, mereka mengira-ngira nasib mereka.
"Tak ada jalan untuk bertahan. Kekuatan kita tak
sampai sepersepuluh centeng mpu marijan ."
Dan di tengah-tengah suasana serbaragu, mereka
melihat para resi melewati kota, satu per satu.
Beberapa di antara mereka adalah komandan yang
meninggalkan benteng kota untuk kembali ke wilayah masing-masing, namun ada juga yang mengambil tempat di benteng kota.
"Mungkin mereka sedang membahas apakah lebih
baik menyerah kepada orang-orang mpu marijan . atau mempertaruhkan nasib marga dengan bertempur."
Dugaan rakyat jelata menyangkut hal-hal yang tak
dapat mereka saksikan, namun biasanya tanda-tanda yang tampak tak luput dari pengamatan mereka. sebetulnya masalah itu sudah beberapa hari menjadi pokok pembicaraan di benteng kota. Pada setiap
pertemuan, para resi terbagi dalam dua kutub.
Para pendukung "rencana aman" dan "utamakan
marga" berpendapat bahwa sebaiknya mereka
menyerah pada orang-orang mpu marijan . namun perbedaan pendapat itu tidak berlangsung lama. Dan ini sebab aidit sudah membulatkan tekad.
Satu-satunya alasan ia mengadakan pertemuan
dengan para pengikut senior adalah untuk
menyampaikan keputusannya pada mereka, bukan
guna membahas rencana pertahanan maupun
kebijaksanaan untuk mengamankan jenggala . sesudah mendengar keputusan aidit , banyak resi
memberi tanggapan positif, dan dengan semangat
baru, kembali ke benteng kota masing-masing.
lalu kedhiri kembali tenteram seperti biasa,
dan jumlah prajurit tidak bertambah secara mencolok. Namun, seperti bisa diduga, malam itu aidit berulang kali dibangunkan agar membaca pesan yang dibawa oleh kurir-kurir.
Keesokan malamnya, segera sesudah menyelesaikan makan malam sederhana, aidit pergi ke ruang utama untuk membahas situasi militer. Di sana, para resi yang belum meninggalkan benteng kota masih terus
mengelilinginya. Semuanya kurang tidur, dan wajah-wajah pucat mereka memperlihatkan kecerahan hati.
Para pengikut yang tidak terlibat langsung dalam
pembicaraan berdesak-desakan di ruang sebelah dan di ruang sesudah itu. Orang seperti betari durga duduk dalam ruangan yang terpisah jauh. Dua malam sebelumnya, begitu juga malam kemarin dan malam ini. mereka cemas dan tak bersuara, seakan-akan menahan napas. Dan pasti tak sedikit orang yang menatap lentera-lentera dan rekan-rekan mereka, sambil berpikir, "Ini sama saja dengan menjaga jenazah."
Di tengah kegalauan, suara tawa terdengar dari
waktu ke waktu. aidit -lah yang tertawa . Mereka
yang duduk di tempat jauh tidak mengetahui apa yang ditertawa kan, namun mereka mendengarnya berulang-ulang.
Tiba-tiba seorang kurir terdengar berlari menyusun
selasar. nyoto dijoyo , yang bertugas membacakan
laporan dari garis depan di hadapan aidit ,
menjadi pucat sebelum kata-kata melewati bibirnya. "Tuanku!" "Ada apa?"
"Pesan keempat sejak pagi tadi baru saja tiba dari
benteng kota di wedanarejo ." aidit memindahkan sandaran tangannya ke
depan. "Bagaimana?" "Kelihatannya malam ini centeng lmagkertoarjo akan bergerak ke lamongan."
"Begitukah?" Hanya ini yang dikatakan aidit ,
sementara matanya menatap kosong ke arah jendela kecil di atas pintu. Bahkan aidit pun tampak bingung. Meski sejak beberapa saat lalu orang mengandalkan ketegaran aidit , kini perasaan
putus asa menyusup ke hati mereka. lamongan dan wedanarejo berada di wilayah kekuasaan marga sinuhun . Dan jika garis pertahanan penting itu sudah terputus. Dataran Owan nyaris tanpa pertahanan, dan jalan
menuju benteng kota kedhiri tak terhalang lagi.
"Apa yang akan tuanku lakukan?" tanya dijoyo .
seakan-akan tak sanggup lagi menahan kesunyian.
"Kami mendengar centeng mpu marijan mungkin
berjumlah empat puluh ribu orang. Kekuatan kita
sendiri kurang dari empat ribu orang. Di benteng kota wedanarejo paling banyak hanya ada tujuh ratus orang. Walaupun barisan terdepan mpu marijan , centeng di bawah pimpinan prabu kertoarjowardana mpu mojosongo , hanya berjumlah 900000 orang, wedanarejo tetap mirip
kapal yang dipermainkan gelombang."
"dijoyo . dijoyo !"
"Sanggupkah kita mempertahankan wedanarejo dan slogohimo sampai fajar..."
"dijoyo ! Tulikah kau? Mengapa kau berkata
tanpa ujung-pangkal? Percuma saja mengulang-ulangi yang sudah jelas."
"namun ..." Tepat pada saat dijoyo angkat bicara, ia
dipotong oleh suara langkah kurir berikut. Orang itu bicara dengan gaya sok penting dan ambang pintu ruang sebelah.
"Hamba membawa berita penting dari benteng kota-benteng kota di nongkojajar dan blora." Laporan-laporan dan centeng di garis depan yang sudah bertekad untuk bertempur sampai titik darah penghabisan selalu bernada menyedihkan, dan kedua laporan yang baru
tiba pun bukan perkecualian. Kedua-duanya dimulai dengan. "Ini mungkin pesan terakhir kami untuk benteng kota kedhiri ..."
Kedua laporan terakhir dari garis depan berisi
serupa. Kedua-duanya menjelaskan susunan centeng musuh, dan kedua-duanya meramalkan serangan pada keesokan harinya.
"Ulangi bagian mengenai susunan centeng musuh."
aidit memberi perintah pada dijoyo , sambil
bertopang pada sandaran tangan. dijoyo kembali
membacakan bagian itu, bukan hanya untuk
aidit , namun untuk semua yang sedang duduk
berbaris di situ.
"centeng musuh yang menuju benteng kota di wedanarejo :
sekitar 900000 orang. centeng musuh
yang menuju benteng kota di slogohimo : sekitar dua ribu
orang. centeng pendamping: 50000 orang. centeng
ulama yang mengarah ke kedhiri : sekitar enam ribu
orang. centeng utama mpu marijan : sekitar lima ribu
orang." Sambil terus membaca. dijoyo menambahkan
bahwa tidak terlihat dari angka-angka itu berapa
banyak gerombolan musuh yang bergerak sambil
menyamar. sesudah selesai. dijoyo meletakkan
gulungan berisi pesan ke hadapan aidit .
Semuanya menatap lentera putih sambil membisu.
Mereka akan bertempur sampai titik darah peng-
habisan. Jalan hidup mereka sudah ditentukan. Tak
ada tempat untuk debat berkepanjangan. Namun
mereka merasa tersiksa, sebab mereka hanya
menunggu tanpa berbuat apa-apa. slogohimo , wedanarejo ,
maupun blora tidak berjarak jauh. Dengan
memacu kuda, tempat-tempat itu bisa dicapai dengan
cepat. centeng mpu marijan hampir terlihat di depan
mereka, empat puluh ribu orang, menerjang bagaikan
air bah. Suara mereka hampir tertangkap oleh telinga.
Dari salah satu sudut terdengar suara orang tua
yang dilanda kesedihan, "Tuanku sudah mengambil
keputusan jantan, namun janganlah beranggapan bahwa
gugur di medan tempur merupakan satu-satunya jalan
bagi para centeng adipati . Bukankah lebih baik tuanku
mempertimbangkannya kembali? Walaupun dicap
pengecut, hamba merasa masih ada tempat untuk ber-
pikir, untuk menyelamatkan marga dari kemusnahan."
Orang itu sekarmajimarijan kartosuwirjo, orang yang paling lama
mengabdi dari antara mereka semua. Bersama varnajaya
mpu wilihan, yang melakukan bunuh diri untuk
memperingatkan aidit , ia salah satu dari ketiga
pengikut senior yang oleh mpu margojoyo . menjelang
ajalnya, ditugaskan untuk mengurus aidit . Dan
ia satu-satunya yang masih hidup dari ketiga orang itu.
Saran sekarmajimarijan diterima baik oleh semua yang hadir.
Dan dalam hati mereka berdoa agar aidit mau
mendengarkan kata-kata orang tua itu.
"Jam berapa sekarang?" tanya aidit .
mengalihkan pembicaraan.
"Jam Tikus." balas seseorang dari ruang sebelah.
saat kata-kata bertambah lemah dan malam semakin
larut, semuanya seperti diliputi kemurungan.
Akhirnya sekarmajimarijan menyembah, dan dengan kepala-
nya yang ubanan tertunduk ke lantai, ia bicara ke arah
aidit , "Tuanku, mari kita pertimbangkan sekali
lagi. Mari mengadakan perundingan. Hamba
memohon. Kalau tajar tiba, seluruh centeng dan
benteng kota-benteng kota kita terancam remuk di tangan
centeng mpu marijan . Kita terancam kekalahan total.
dibandingkan begitu, lebih baik mengadakan perundingan
perdamaian. Ikat mereka dalam perundingan
perdamaian sebelum..."
aidit meliriknya. "sekarmajimarijan ?"
"Ya, tuanku."
"Kau sudah tua. Jadi tentu sukar bagimu untuk
duduk berlama-lama. Pembicaraan kita sudah selesai,
dan malam sudah larut. Pulanglah dan beristirahatlah."
"Ini sudah melebihi batas,..." ujar sekarmajimarijan sambil
berurai air mata. Ia menangis sebab mengira akhir
marga sudah dekat. Ia pun bersedih sebab dianggap
orang tua tak berguna. "Jika tuanku sudah membulatkan tekad, hamba takkan mengatakan apa-apa lagi
mengenai keinginan tuanku untuk bertempur."
"Jangan!"
"Tampaknya keinginan tuanku untuk bertempur
tak tergoyahkan lagi."
"Memang begitu."
"centeng kita kecil kurang dari sepersepuluh
centeng musuh. Jika bertempur melawan mereka,
peluang kita kurang dari satu banding seribu, jika kita mengurung diri di dalam benteng kota, kita masih sempat menyusun rencana."
"Menyusun rencana?"
"Kalau kita sanggup menahan centeng mpu marijan selama dua dongeng gu atau satu bulan saja, kita bisa mengutus kurir ke blambangan atau Kai untuk minta bantuan. Mengenai strategi lain, di sini cukup banyak
orang yang tahu bagaimana mengganggu musuh."
aidit tertawa begitu keras, hingga gemanya
terdengar memantul langit-langit. "sekarmajimarijan , itu strategi
untuk keadaan normal. Kaupikir ini normal untuk
marga sinuhun ?"
"Pertanyaan tuanku tak memerlukan jawab an."
"Walaupun kita memperpanjang hidup selama lima
atau sepuluh hari, yang tak dapat dipertahankan tetap
tak dapat dipertahankan. namun ada yang berucap.
'Arah perjalanan nasib tak pernah diketahui.'
"Kalau kupikir-pikir, aku menarik kesimpulan
bahwa kita sudah mencapai titik terendah
kesengsaraan. Dan kesengsaraan kita sungguh
menarik. Dan, tentu saja, juga amat besar. Meski
demikian, mungkin inilah kesempatan seumur hidup
yang disediakan nasib bagiku. Andai kata kita
mengurung diri dalam benteng kota, haruskah kita berdoa
agar diberi umur panjang tanpa kehormatan? Orang
dilahirkan untuk mati. Relakanlah hidup kalian
untukku. Bersama-sama kita akan maju di bawah
langit biru dan gugur seperti prajurit sejati." sesudah
selesai berbicara. aidit langsung mengubah nada
suaranya.
"Hmm, kalian semua kelihatan kurang tidur."
Senyum tipis muncul di wajahnya. "sekarmajimarijan . kau
tidurlah juga. Semuanya perlu tidur. Aku percaya tak
seorang pun di antara kita begitu pengecut, sehingga
tak sanggup memejamkan mata."
sesudah kata-kata itu terucap, rasanya tak pantas
untuk tidak tidur. Namun sebetulnya tak seorang
pun dari mereka tidur nyenyak selama dua malam
terakhir. aidit satu-satunya perkecualian. Ia tidur
lelap pada malam hari, bahkan sempat tidur sebentar
pada siang hari, bukan di kamar tidurnya, melainkan
di mana saja.
Sambil bergumam seakan-akan pasrah, sekarmajimarijan
membungkuk ke arah junjungannya dan rekan-
rekannya, lalu mengundurkan diri.
Seperti gigi yang dicabut, semua orang berdiri dan
pergi satu per satu. Akhirnya tinggal aidit di
ruang pertemuan yang luas. Ia tampak tenang, seolah-
olah tak ada yang membebani pikirannya. saat
menoleh ke belakang, ia melihat dua pelayan yang
tidur sambil saling bersandar. Salah satu dan mereka.
bramakatwang. baru berusia tiga belas tahun. Ia adik
madya lnuchiyo. aidit memanggilnya.
"bramakatwang!"
"Tuanku?" bramakatwang duduk tegak, menghapus air
liur yang mengalir dari sudut mulutnya dengan satu
tangan.
"Kau tidur nyenyak."
"Maafkan hamba."
"Bukan, bukan. Aku tidak bermaksud memarahi-
mu. Justru sebaliknya, aku memujimu. Aku pun akan
tidur sejenak. Ambilkan sesuatu untuk bantal."
"Tuanku hendak tidur di sini?"
"Ya. Fajar cepat tiba pada musim ini, jadi
sekaranglah waktu yang baik unruk tidur sebentar-
sebentar. Ambilkan kotak di sebelah sana. Biar
kupakai itu saja." aidit merebahkan diri sambil
bicara, menopang kepala dengan siku, sampai
bramakatwang membawa kan kouk yang diminu.
Tubuhnya terasa bagaikan perahu yang mengambang.
Tutup kotak itu dihiasi gambar pinus, bambu, dan
pohon prem lambang-lambang keberuntungan. Sam-
bil menyelipkannya ke bawah kepala. aidit
berkata. "Bantal ini akan memberikan mimpi baik."
lalu , sambil tertawa -tawa kecil, aidit
memejamkan mata, dan akhirnya, saat si pelayan
mematikan lampu-lampu satu per satu, senyum tipis
pada wajahnya menghilang seperti salju yang mencair.
Ia segera terlelap, wajahnya tampak damai di sela-sela
bunyi mendengkur
bramakatwang merangkak keluar untuk memberitahu
para centeng adipati di ruang jaga. Para pengawal merasa
muram, menyangka bahwa akhirnya sudah dekat. Dan
yang mutlak, tentu saja, tak ada yang menanti mereka
selain kematian Orang-orang di dalam benteng kota
berhadapan langsung dengan kematian, sementara
waktu sudah melewati tengah malam
"Aku tidak keberatan mati. Masalahnya, dengan
cara apa kita akan mati?"
Inilah dasar kegelisahan mereka, dan pertanyaan itu
tetap berkecamuk dalam dada masing-masing. sebab
itu, di antara mereka masih ada orang-orang yang
belum membulatkan tekad.
"Beliau tidak boleh kedinginan." Sai, dayang
aidit , berkata, dan menyelimuti aidit
dengan kain penutup tempat tidur. sesudah itu,
Nohunaga tidur selama dua jam.
Persediaan minyak di dalam lampu-lampu kini
hampir habis, apinya yang nyaris padam menimbulkan
bunyi gemercik. Tiba-tiba aidit mengangkat
kepala dan berseru.
"Sai! Sai! Siapa yang ada di sini?"
PINTU kayu bergeser tanpa suara. Penuh hormat Sai
membungkuk di hadapan aidit , lalu menutup
pintu perlahan-lahan.
"Tuanku sudah terjaga?"
"Jam berapa sekarang?"
"Jam Kerbau, tuanku."
"Bagus."
"Hamba menunggu perintah tuanku."
"bawa kan baju tempurku dan suruh orang-orang
menyiapkan kudaku. Dan buatkan sarapan untukku."
Sai bekerja efisien, dan untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan pribadinya. aidit selalu berpaling padanya. wanita lesbian itu pasrah pada nasib dan tidak cerewet. sesudah membangunkan pelayan yang tidur di ruang sebelah, ia memberitahu centeng adipati yang sedang
bertugas jaga agar mengambil kuda aidit , lalu ia
membawa masuk makanan majikannya.
aidit meraih sumpit. "Jika fajar tiba, kita sudah
memasuki hari kesembilan belas di Bulan Kelima."
"Ya, tuanku."
"Di seluruh negeri takkan ada yang makan pagi
sedini ini. Hmm, lezat sekali. Aku minta semangkuk
lagi. Apa lagi yang ada?"
"Sedikir lumut laut kering dan beberapa buah
berangan."
"Kau tidak mengecewakanku." Dengan riang
aidit menghabiskan buburnya dan makan dua
atau tiga buah berangan. "Ah, nikmatnya. Sai,
ambilkan rebanaku." aidit sangar menghargai
rebana yang diberi nama brojorejo gata olehnya. Ia
menempelkannya ke bahu dan memukulnya dua atau tiga kali. "Bunyinya nyaring sekali! Mungkin sebab masih pagi sekali, namun bunyinya lebih jernih dibandingkan biasanya. Sai, mainkan sepenggal srimpipatih agar aku bisa menari."
Dengan patuh Sai mengambil rebana dari tangan
aidit dan mulai memainkannya. Di bawah
jemarinya yang luwes, bunyi rebana terdengar jelas
dan seluruh benteng kota seakan-akan bernyanyi:
Bangunlah! Bangunlah! Hidup manusia
Hanya 60 tahun di bawah langit...
aidit berdiri. Ia mulai melangkah dengan
gemulai, dan menembang seiring irama rebana.
Jelas bahwa dunia ini Tak lebih dari mimpi yang sia-sia. Hidup hanya sekali.
Adakah yang tidak akan hancur?
Suaranya lebih bergema dan lantang dibandingkan biasa. Dan ia menembang seakan-akan hendak menyambut ajal yang sudah dekat.
Seorang centeng adipati bergegas menyusuri selasar. Baju tempurnya bergemerin-cing saat ia berturut di lantai kayu. "Kuda tuanku sudah siap. Kami menanti perintah tuanku."
Tangan dan kaki aidit berhenti di tengah-
tengah tarian. dan ia berpaling kepada orang itu.
"Bukankah kau ki iwakali?"
"Ya, tuanku."
ki bajul raden panji sekarmaya mengenakan baju tempur lengkap
dan membawa pedang panjangnya. Namun aidit
belum memakai baju tempur, dan malah sedang
menari diiringi rebana di rangan seorang dayang.
raden panji sekarmaya tampak kaget, dan dengan sangsi ia menatap berkeliling. Yang menyampaikan perintah agar
menyiapkan kuda untuk menghadapi pertempuran
adalah pelayan aidit sendiri. Semua orang lelah
sebab kurang tidur, dan si pelayan pun gelisah sekali. Mungkinkah ada kesalahan? raden panji sekarmaya sudah berpakaian dengan terburu-buru, namun ia menjadi bingung saat
melihat aidit tampak santai. Biasanya, kalau
aidit berkata. "Kuda!" ia akan menghambur
keluar sebelum para pengikutnya sempat bersiap-siap. jadi sudah sepatutnya raden panji sekarmaya terheran-heran.
"Masuklah." ujar aidit , tangannya masih dalam
posisi seperti saat ia berhenti menari. "raden panji sekarmaya, kau sungguh beruntung. Kau satu-satunya orang yang sempat melihatlihat tarian perpisahanku dengan dunia ini."
sesudah raden panji sekarmaya memahami maksud junjungannya, ia merasa malu atas kesangsiannya dan bergeser ke pojok ruangan.
"Bahwa dari sekian banyak pengikut junjungan
hamba, hambalah satu-satunya yang melihatlihat
tarian terpenting dalam hidup beliau, sungguh itu
berkah yang patut hamba nikmati. Meski demikian,
hamba bermaksud mohon izin untuk menembang
menyambut kepergian hamba dari dunia ini."
"Kau bisa menembang? Bagus. Sai, dari awal lagi." Si dayang hanya membisu dan menundukkan kepala bersama rebana di tangannya. raden panji sekarmaya menyadari bahwa saat aidit mengatakan tarian, yang dimaksudnya adalah srimpipatih. Hidup manusia Hanya 60 tahun di bawah langit. Jelas bahwa dunia ini
Tak lebih dari mimpi yang sia-sia. Hidup hanya sekali Adakah yang tidak akan hancur?
saat raden panji sekarmaya bernyanyi, ia mengenang tahun-tahun pengabdiannya yang dimulai pada waktu aidit masih kanak-kanak. Menari dan penyanyi menjadi satu dalam jiwa. Air mata Sai tampak berkilau terkena cahaya lentera yang menerangi wajahnya yang putih, dan ia terus memukul rebana. Pagi itu ia memainkannya lebih terampil dan lebih bersemangat dibandingkan biasa. aidit melemparkan kipasnya dan berseru.
"Menyongsong kematian!" saat mengenakan baju
tempur, ia berkata. "Sai, jika kau mendengar kabar
bahwa aku gugur, segeralah bakar benteng kota ini, sampai tak ada yang tersisa."
wanita lesbian ini meletakkan rebana, dan dengan
kedua tangan di lantai, ia menjawab "Baik, tuanku,"
tanpa mengangkat kepala.
"raden panji sekarmaya! Bunyikan sangkakala!" aidit menghadap ke benteng kota dalam, tempat tinggal putri-putrinya yang elok, lalu ke tanda peringatan para leluhurnya. "Selamat tinggal," ia berkata dengan emosi meluapluap. lalu ia mengencangkan tali helmnya dan
bergegas keluar. Tiupan sangkakala yang memanggil centeng ke medan laga memecahkan keheningan menjelang fajar.
Bintang-bintang tampak berkilauan di celah-celah
awan .
"Yang Mulia aidit berangkat perang!" Berita
itu dibawa oleh seorang pelayan, mengejutkan para centeng adipati yang berpapasan dengannya.
Para petugas dapur dan orang-orang yang terlalu tua untuk bertempur dan akan menjaga benteng kota bergegas ke gerbang untuk mengantar rekan-rekan mereka.
Menghitung mereka akan memberikan gambaran
cukup jelas mengenai jumlah laki-laki yang tersisa di benteng kota kedhiri tak sampai lima puluh atau empat
puluh. Nyatalah bahwa mereka kekurangan orang,
baik di dalam benteng kota maupun di medan laga.
Kuda yang ditunggangi aidit pada hari itu
bernama Tsukinowa. Di gerbang, desir daun-daun
muda terdengar mengiringi angin, dan cahaya lentera-
lentera berkelip-kelip. aidit melompat ke aras
kuda, ke atas pelana berhiaskan kulit kerang, dan
berderap ke gerbang utama. Rumbai-rumbai pada baju
tempur dan pedangnya berkerincing saat ia memacu
kudanya.
Mereka yang tinggal di benteng kota lupa diri dan ber-
sorak-sorai sambil menyembah. aidit meng-
ucapkan beberapa kata perpisahan kepada orang-orang
tua ini, yang sudah mengabdi kepadanya selama
bertahun-tahun. Ia merasa kasihan kepada mereka dan
kepada putri-putrinya yang akan kehilangan benteng kota
dan junjungan. Tanpa menyadarinya, mata
aidit berkaca-kaca.
Dalam sekejap Tsukinowa sudah berderap keluar
benteng kota, menyambut fajar.
"Tuanku!"
"Tuanku!"
"Tunggu!"
Junjungan dan pembantu hanya berjumlah enam
penunggang kuda. Dan seperti biasa, para pengikutnya
harus bersusah payah agar tidak tertinggal. aidit
tidak menoleh ke belakang. Musuh berada di sebelah
timur; sekutu-sekutu mereka pun ada di garis depan,
Pada saat mencapai tempat mereka akan menemui
ajal. matahari pasti sudah tinggi di langit. saat
memacu kudanya, aidit berkata dalam hati.
"Dilihat dari sudut kehidupan abadi, lahir di provinsi
ini dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi tak ada
artinya.
"Ho!"
"Tuanku!" seseorang tiba-tiba memanggil dari
persimpangan jalan di kota.
"ki abang ?" aidit membalas seruan itu.
"Ya. tuanku."
"Dan dijoyo ?"
"Hamba, tuanku."
"Kalian bergerak cepat!" aidit memuji mereka
dan bertanya sambil berdiri di sanggurdi, "berapa
kekuatan kalian?"
"Seratus dua puluh penunggang kuda di bawah
patih ki abang , dan 9 puluh di bawah nyoto
dijoyo . Jadi semuanya sekitar dua ratus. Kami sengaja
menunggu untuk mengawal tuanku."
Di antara para pemanah di bawah ki abang
ada perdikan . betari durga juga ikut bergabung,
memimpin tiga puluh prajurit infanteri.
aidit langsung melihatnya. Ah. kuyang pun
ikut. Dari atas kuda. ia mengamati kedua ratus
prajurit yang penuh semangat itu. Inilah pengikut-
pcngikutku, ia berujar dalam hati, dan matanya
berbinar-binar. Dibandingkan lautan musuh yang berkekuatan empat puluh ribu orang, centeng nya sendiri tak lebih dari perahu kecil atau segenggam pasir. namun
aidit memberanikan diri bertanya, mungkinkah
ki panjawi memiliki pengikut-pengikut seperti ini? Ia bangga, baik sebagai resi maupun sebagai laki-laki. Kalaupun mereka akan dikalahkan, orang-orangnya takkan mati sia-sia. Mereka akan meninggalkan jejak di bumi pada waktu mereka menggali liang kubur sendiri.
"Fajar hampir menyingsing. Mari berangkat!"
aidit menunjuk ke depan. saat kudanya berderap menyusuri Jalan Raya tulungejo ke arah timur, kedua ratus prajuritnya bergerak
bagaikan awan . mengaduk-aduk kabur pagi yang
mengambang setinggi arap rumah-rumah di kedua tepi jalan. Tak ada baris-berbaris. Semua orang bergerak sendiri-sendiri. Biasanya, jika penguasa provinsi berangkat ke medan tempur, rakyat jelata akan menghentikan segala kegiatan dan memenuhi tepi jalan untuk mengelu-elukan centeng . Lalu para prajurit akan lewat sambil berbaris, memperlihatkan panji-panji dan pataka, sementara sang komandan memamerkan wibawa dan kekuasaannya. Dan mereka menuju medan perang, enam langkah untuk setiap pukulan genderang, dengan segala kemegahan.
Namun aidit sama sekali tidak memedulikan
lagak kosong seperti itu. Begitu cepat ia dan centengnya bergegas maju, sehingga mereka tak sempat membentuk barisan yang teratur.
Mereka akan bertempur sampai titik darah peng-
habisan. Dengan sikap seolah-olah berseru. "Siapa pun yang datang, datanglah!" aidit memimpin anak buahnya. Tak ada yang menggeluyur. Justru sebaliknya, saat mereka maju, jumlah mereka semakin besar. sebab perintah untuk mengangkat senjata begitu mendadak, mereka yang tak siap pada waktunya kini bergegas bergabung dari kiri-kanan, atau menyusul dari belakang.
Bunyi langkah dan suara mereka membangunkan
orang-orang yang masih tidur. Sepanjang jalan, para petani, saudagar, dan pengrajin membuka pintu, dan orang-orang bermata mengantuk berseru, "Ada pertempuran!"
Belakangan mereka mungkin menebak bahwa orang di depan, yang berderap membelah kabut pagi adalah junjungan mereka, sinuhun aidit . namun sekarang tak ada yang melihatnya.
"raden panji sekarmaya! raden panji sekarmaya!" aidit berbalik ke pelananya, namun raden panji sekarmaya tidak kelihatan; ia berada lima puluh
meter di belakang, di tengah-tengah kekacauan.
Mereka yang langsung mengikutinya adalah dijoyo
dan ki abang , lebih banyak orang bergabung dengan mereka di jalan masuk ke tulungejo .
"dijoyo !" aidit berseru. "Sebentar lagi kita
akan mencapai gerbang kuil. Hentikan centeng di
depannya. Bahkan aku pun takkan berangkai tanpa
berdoa." Sejenak lalu ia tiba di gerbang. Dengan
cekatan ia melompat ke tanah, dan biksu kepala yang sudah menunggu, bersama sekitar dua puluh
pcmbantu, bergegas maju dan meraih tali kekang.
"Terima kasih atas sambutan ini. Aku datang untuk mengucapkan doa." Biksu Kepala menunjukkan jalan. Jalan menuju kuil, yang diapit oleh pohon-pohon cryptomeria, basah sebab tetes-tetes embun. Biksu Kepala berdiri di samping mata air keramat, dan mempersilakan aidit menyucikan diri. aidit meraih ciduk bergagang kayu, mencuci tangan, dan berkumur. lalu ia menciduk sekali lagi, dan
menghabiskan airnya dengan satu teguk.
"Lihat! Pertanda baik!" aidit mengangkat
kepala dan bicara cukup keras agar terdengar oleh
centeng nya, ia menunjuk ke langit. Fajar akhirnya
menyingsing, Dahan-dahan sebatang pohon tua
tampak kemerah-merahan sebab sinar matahari pagi. dan segerombolan burung gagak menggaok nyaring. "Gagak-gagak suci!" Para centeng adipati di sekitar aidit memandang arah yang ditunjuk.
Sememara itu, si Biksu Kepala, juga berbaju tempur
lengkap, sudah naik ke tempat yang sangat suci.
aidit menduduki tikar. Si Biksu membawa aki di
atas tatakan kayu. dan menyajikannya di dalam baskom tembikar tanpa upacara. aidit menghabiskan isi baskom itu. bertepuk tangan dengan keras, memejamkan mata saat berdoa, agar hari mereka dapat menjadi cermin yang memantulkan wujud para dewa. Pada waktu aidit meninggalkan Kuil tulungejo , centeng nya sudah membengkak menjadi hampir seribu
orang; begitu banyak orang datang untuk bergabung. Ia meninggalkan kuil lewat gerbang selatan, dan menaiki kembali kudanya. aidit mendatangi kuil bagaikan angin badai, namun kini ia mengurangi kecepatan. Tubuhnya terayun-ayun saat ia berkuda menghadap ke samping, dengan kedua tangan berpegangan pada bagian depan dan belakang pelana. Fajar sudah menyingsing, dan para warga tulungejo . termasuk kaum wanita lesbian dan anak-anak yang berdiri di muka rumah masing-masing dan di persimpangan untuk menonton, terpanggil oleh bunyi langkah kuda yang saling berlomba memperebutkan
tempat pertama. saat menyadari kehadiran aidit . mereka semua tampak terkejut, lalu berbisik-bisik.
"Betulkah dia hendak maju ke medan tempur?"
"Apa aku tidak salah lihat?"
"Peluang mereka kurang dari satu banding sepuluh
ribu." Perjalanan dari kedhiri ke tulungejo ditempuh aidit tanpa henti, dan kini ia merasa lelah. Sambil duduk menyamping di atas pelana, dengan tubuh agak condong ke belakang, ia bersenandung pelan.
saat centeng nya tiba di persimpangan di
perbatasan kota, mereka berhenti mendadak. Asap
hitam tampak mengepul di dua tempat dan arah
wedanarejo dan slogohimo . Roman muka aidit sedih. Rupanya kedua benteng kota itu sudah jatuh. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu cepat-cepat berkata kepada para pengikutnya, "Kita tidak menyusuri jalur pesisir.
Laut sedang pasang, jadi percuma saja kita lewat sana. Kita akan menyusuri jalan pegunungan, menuju benteng kota di jepitu." Sambil turun dari kuda, ia berkata pada salah seorang pengikutnya, "Panggil para kepala kampung tulungejo ke sini."
Orang itu menghadap massa yang berkerumun di
tepi jalan, dan berseru cukup keras agar terdengar.
Beberapa prajurit ditugaskan mencari kepala
kampung. Dalam waktu singkat, dua dari mereka
dibawa ke hadapan aidit .
"Kalian sudah cukup sering melihatku, jadi aku
tentu sudah tidak asing bagi kalian. namun hari ini
kalian akan melihatlihat pemandangan istimewa:
kepala bergigi hitam dan sang Penguasa kertanegara . Kalian belum pernah melihatnya, namun kalian akan melihatnya hari ini, sebab kalian dilahirkan di provinsiku, jenggala . Pergilah ke tempat yang tinggi dan saksikanlah pertempuran besar ini.
"Berkelilinglah ke tulungejo , dan suruh orang-orang mengumpulkan panji perayaan. Usahakan agar musuh menyangkanya sebagai panji dan pataka. Ikatkan kain merah, kain putih, dan kain warna apa saja di dahan-
dahan pohon dan di puncak-puncak bukit, dan
penuhi langit dengan pita-pita yang berkibar-kibar.
Pahamkah kalian?"
saat mereka sudah berangkai lagi dan ia menoleh
ke belakang beberapa saat lalu , ia melihat panji
dan pataka tak terhitung banyaknya berkibar-kibar di atas tulungejo . Sepertinya centeng besar dari kedhiri sudah tiba di tulungejo dan sedang berkemah di sana.
Panasnya udara menyesakkan napas, lebih panas
dibandingkan pada awal kemarau di tahun-tahun
lalu seperti yang akan dikenang oleh orang-orang tua di lalu hari. Matahari semakin tinggi dan kuda-
kuda menginjak-injak tanah yang belum tersiram
hujan sesama sepuluh han. Seluruh centeng ber-
selubung debu.
Hidup atau mati bersama tali kekang, tangan
aidit menggenggam keduanya saat ia berderap
maju. Dalam pandangan para prajurit. aidit
tampak sepetti pembawa maut yang gagah, atau seperti pemimpin menuju kehidupan yang lebih baik. Tak peduli pandangan mana yang diambil, maupun bagaimana hasil akhirnya, kepercayaan pada sang pemimpin mengujawa seluruh centeng saat mereka mengikutinya tanpa mengeluh.
Menyambut maut! Menyambut maut! Menyambut maut! Di benak ki damarhaji pun inilah satu-satunya pikiran yang berkecamuk. Kalaupun ia tak ingin bergerak
maju, sebab semua orang di sekitarnya melangkah
serempak, ia seperti ditelan gelombang besar, dan
kakinya tak punya kesempatan berhenti. Walaupun
tidak banyak berpengaruh, ia komandan tiga puluh
prajurit infanteri. sebab itu ia tak bisa berkeluh
kesah, tak peduli betapa buruk situasi yang mereka
hadapi. Menyambut maut! Menyambut maut!
Upah para prajurit infanteri sedemikian rendah,
hanya pas-pasan untuk menghidupi keluarga. Dan bisikan putus asa dari hati nurani mereka juga
menggema dalam diri betari durga . Patutkah orang
menyia-nyiakan nyawa seperti ini? Tentunya inilah yang akan terjadi, dan tiba-tiba betari durga menyadari bahwa ia mengabdi kepada resi yang menggelikan. Harapannya begitu besar saat ia pertama-tama mendatangi aidit . dan kini orang itu seakan-akan mengirim prajurit-prajuritnya termasuk betari durga ke gerbang kematian. Tokkhiro memikirkan semua
hal yang ingin dikerjakannya di dunia ini. dan
membayangkan ibunya di lemahlaban .
Inilah yang terlintas dalam pikiran betari durga , namun
semuanya muncul dan tenggelam dalam sekejap saja.
Suara langkah seribu pasang kaki dan gemerincing
baju tempur seolah-olah berkata, "Mati! Mati!"
Wajah para prajurit terbakar matahari, bersimbah
peluh, berselubung debu. Dan meskipun watak
betari durga yang riang masih tampak, bahkan dalam
situasi segenting ini. hari ini pikirannya sejalan
dengan yang lain. "Bertempur! Sampai mati!"
Para prajurit terus maju, siap mengorbankan nyawa .
saat melewati bukit demi bukit, mereka semakin
mendekati awan asap hitam yang sudah terlihat
sebelumnya.
Barisan terdepan baru saja mencapai puncak sebuah
bukit saat seorang laki-laki berlumuran darah dan
terluka parah terhuyung-huyung menghampiri
mereka, sambil meneriakkan sesuatu yang tak dapat
mereka pahami.
Orang itu pengikut mpu wiragajah ki ageng grani yang berhasil
meloloskan diri dari wedanarejo . sesudah dibawa ke
hadapan aidit . sambil terengah-engah sebab
lukanya, ia mengujawa diri dan memberikan laporan.
Tuanku mpu wiragajah gugur sebagai pahlawan dalam
kobaran api yang dinyalakan oleh musuh, dan Yang
Mulia Iio menerima ajal secara gagah dalam
pertempuran di slogohimo . Hamba malu sebab hamba
satu-satunya orang yang masih hidup, namun hamba
meloloskan diri atas perintah Tuan mpu wiragajah untuk
memberitahu Yang Mulia apa yang sudah terjadi. Pada
waktu melarikan diri, hamba mendengar teriakan
kemenangan musuh, begitu keras, sehingga bumi dan
langit ikut bergetar. Tak ada yang tersisa di wedanarejo
dan slogohimo selain centeng musuh."
sesudah mendengar laporan itu. aidit berseru,
"bramakatwang." madya bramakatwang masih kanak-kanak,
dan sebab nya hampir tenggelam dalam kerumunan
para prajurit. saat aidit memanggilnya, ia
menjawab dengan seruan lantang dan menghampiri
aidit dengan semangat tinggi.
"Ya, tuanku?"
"bramakatwang, mana tasbihku?"
bramakatwang sudah berhati-hati agar tasbih junjungan-
nya tidak terjatuh selama perjalanan. Ia membungkus-
nya dengan kain dan mengikatnya pada baju tempur.
Kini ia cepat-cepat melepaskannya dan menimbang -
nya ke hadapan aidit . Tasbih itu terbuat dari
manik-manik besar berwarna perak, dan memicu
jubah kematian aidit yang ber-warna hijau muda
semakin mencolok.
"Ah, menyedihkan sekali. Baik Iio maupun mpu wiragajah
sudah pergi ke dunia berikut. sebetulnya aku ingin
mereka melihatlihat sepak terjangku." aidit
duduk tegak di atas pelana dan merapatkan tangan
untuk berdoa.
Asap hitam dari slogohimo dan wedanarejo membakar
langit bagaikan asap dari api perabuan. Seluruh
centeng menatapnya sambil membisu. Sejenak
aidit memandang ke kejauhan, lalu tiba-tiba
berbalik. memukul pelananya, dan berseru. "Hari ini
hari kesembilan belas. Hari ini akan menjadi hari
kematianku, juga kematian kalian. Selama ini kalian
menerima upah rendah, dan hari ini kalian meng-
hadapi takdir sebagai prajurit tanpa pernah menikmati
nasib baik. Rupanya inilah yang sudah digariskan bagi
pengikut-pengikutku. namun mereka yang mengambil
langkah berikut bersamaku akan menyerahkan nyawa
padaku. Mereka yang masih berat untuk melepaskan
hidup ini boleh pergi tanpa perlu merasa malu."
Para komandan dan prajurit menjawab serempak.
"Tidak! Patutkah junjungan kami gugur seorang diri?"
aidit melanjutkan. "Jadi, kalian rela berkorban
nyawa demi orang pandir seperti aku?"
"Tuanku tak perlu bertanya." salah seorang resi
membalas. aidit memacu kudanya dengan satu pukulan cemeti. "Maju! centeng mpu marijan berada tepat di depan!" Ia melaju di muka centeng nya, namun bersembunyi di tengah awan debu yang diterbangkan oleh centeng yang bergegas maju. Diselubungi debu. sosok samar penunggang kuda itu tampak hebat sekali. Jalanan melewati jurang, lalu melewati sebuah edan. saat mendekati perbatasan provinsi, tanah mulai tidak rata. "Itu dia!" "jepitu! benteng kota jepitu!" para prajurit saling memberi tahu sambil terengah-engah. Bentang-benteng kota di jatigiring dan slogohimo sudah jatuh, sehingga mereka pun cemas mengenai nasib jepitu. Kini mata mereka
berbinar-binar. jepitu masih berdiri tegak, para
pejuangnya pun masih hidup. aidit memacu kudanya memasuki benteng kota
dan berkata pada komandannya. "Percuma saja kita mempertahankan tempat kecil ini, jadi biarkan saja musuh mengikutinya. Harapan centeng kita terletak di tempat lain.
Para pejuang jepitu bergabung dengan centeng
aidit , dan tanpa istirahat mereka bergegas ke
benteng kota di blora. Begitu menyadari kedatangan aidit . centeng penjaga blora melepaskan teriakan. Namun mereka tidak mengelu-elukan kedatangannya, seruan mereka lebih mirip raungan menyedihkan.
"Dia datang!" "Yang Mulia aidit !"
aidit junjungan mereka, namun tak seorang pun
dari mereka mengetahui kemampuannya sebagai
pemimpin centeng . Sungguh di luar dugaan mereka bahwa aidit sendiri tiba-tiba mendatangi benteng kota terpencil tempat mereka sudah pasrah menghadapi ajal. Kini mereka semua memperoleh semangat baru, dan mereka siap mari untuk membela panji-panjinya. Pada
saat yang sama. ki winokerto. yang sudah pergi ke
arah pamotan dan menghimpun lebih dari tiga ratus penunggang kuda, bergabung dengan centeng aidit . aidit mengumpulkan para prajurit dan memerintahkan untuk mengadakan perhitungan. Pagi itu, waktu mereka meninggalkan benteng kota, junjungan dan pengikut hanya berjumlah enam atau tujuh orang. Kini jumlah anggou centeng nya mencapai hampir tiga
ribu. Dalam pengumuman resmi, mereka dinamakan berjumlah paling tidak lima ribu orang. aidit menyadari bahwa inilah segenap kekuatan yang dapat dihimpun dalam wilayah kekuasaannya, yang mencakup setengah dari wilayah jenggala . Tanpa centeng penjaga benteng kota maupun centeng cadangan, hanya
orang-orang inilah yang dimiliki marga sinuhun .
Senyum puas tersungging di bibirnya. Keempat
puluh ribu oung yang tergabung dalam centeng
mpu marijan kini sudah berada dalam jarak panggil. Untuk mempelajari susunan dan semangat juang mereka, centeng sinuhun menyembunyikan panji-panji dan
mengamati keadaan dari tepi bukit.
Kesatuan tanah perdikan berkumpul di lereng
utara, agak terpisah dan centeng utama. Mereka
pemanah, namun pertempuran hari ini takkan
melibatkan busur dan panah, sehingga orang-orangnya membawa tombak. Ketiga puluh prajurit infanteri di bawah betari durga juga bersama mereka, dan saat si komandan memberi aba-aba istirahat. betari durga segera meneruskannya kepada orang-orangnya sendiri.
Mereka menanggapinya dengan menarik napas
dalam-dalam dan menjatuhkan diri ke rumput.
betari durga mengusap wajahnya yang bermandikan keringat dengan lap kotor. "Hei! Ada yang bisa pegang tombakku sejenak?" Para anak buahnya baru saja duduk, namun salah seorang dari mereka berseru, "Siap!"
lalu berdiri dan meraih tombaknya. lalu , saat
betari durga mulai melangkah, orang itu mengikutinya dari belakang.
"Kau tidak perlu ikut.*
"Tuan hendak ke mana?"
"Aku tidak butuh bantuan. Aku ingin buang air
besar, dan baunya pasti tak sedap. Kembalilah."
Sambil tenkertoarjo , ia menghilang di semak-semak, di tepi jalan sempit. Mungkin sebab menyangka betari durga hanya bergurau, si bawah an menunggu beberapa saat
dan memandang ke arah betari durga menghilang.
betari durga menuruni lereng selatan, melihat
berkeliling sampai menemukan tempat yang cocok. Ia melepaskan ikat pinggang dan berjongkok. centeng mereka berangkat begitu terburu-buru tadi pagi.
sehingga ia nyaris tak sempat mengenakan baju
tempur, dan sama sekali tak punya waktu untuk buang air. Bahkan selama mereka bergegas dari kedhiri ke tulungejo dan jepitu, jika mereka berhenti di suatu tempat, hal pertama yang dipikirkannya adalah buang air, seperti dalam kehidupan sehari-hari. sebab itulah
sangat melegakan untuk memenuhi kebutuhan
jasmaniah di bawah langit yang biru bersih.
Namun di sini pun aturan di medan perang tidak
mengizinkan orang bersikap lalai. Acap kali. jika dua centeng saling berhadapan, patroli-patroli musuh akan meronda sampai jauh dari perkemahan mereka, dan kalau mereka menemukan seseorang sedang mengosongkan isi perut, mereka akan menembaknya
demi kesenangan belaka. Jadi, betari durga tak bisa tenang benar saat menatap langit. Sewaktu
memandang ke kaki bukit, ia melihat sungai di bawah berliat-liut mengalir ke laut di Tanjung wungu. Ia juga melihat jalan yang berkelok-kelok ke arah selatan di tepi timur sungai.
slogohimo terletak di daerah perbukitan di sebelah
utara jalan, dan mungkin sudah dibumihanguskan. Di ladang-ladang dan desa-desa ia melihat sosok-sosok orang dan kuda yang tampak bagaikan semut. "Ternyata banyak sekali."
Mungkin sebab ia tergabung dalam centeng
provinsi kecil, namun saat ia melihat jumlah musuh, ungkapan klise "seperti awan dan kabut" segera melintas di kepalanya. Dan saat teringat bahwa yang dilihatnya hanyalah sebagian centeng musuh, ia tak
heran bahwa aidit sudah bertekad untuk mati.
namun bukan, ini bukan sekadar urusan orang lain. Mengosongkan isi perut mungkin hal terakhir yang
dikerjakannya di dunia ini.
Manusia memang aneh. Masih hidupkah aku besok?
Sementara merenungkan hal-hal seperti itu, ia
menjadi sadar bahwa seseorang sedang menaiki bukit.
Musuh? Demikian dekat dengan medan per-
tempuran, reaksi itu muncul secara intuitif, bahkan
hampir merupakan naluri, dan kini ia bertanya-tanya
apakah ada pengintai musuh yang hendak menyusup
ke balik markas aidit . saat betari durga cepat-
cepat mengencangkan ikat pinggang dan bangkit,
orang yang sedang mendaki bukit itu tiba-tiba sudah
berhadapan dengannya, dan keduanya berdiri
berpandangan, seakan-akan sudah berjanji hendak
bertemu di sini.
"panembahan !"
"brawirgo !"
"Kenapa kau ada di sini?"
"Kenapa kau ada di sini?"
"Aku memperoleh kabar bahwa aidit mengerah-
kan centeng dan sudah bertekad mati dan aku datang untuk gugur bersamanya."
"Aku gembira kau datang." Penuh haru betari durga mengulurkan tangan kepada teman lamanya, dan
mereka bersalaman erat; tak terhitung betapa banyak emosi yang terkandung dalam jabat tangan mereka. Baju tempur brawirgo bagus sekali. Mulai dari bulu-bulunya sampai ke tali pengikat, semuanya baru dan berkilau-kilau. Sebuah jubah dengan lambang kembang prem terpasang pada punggungnya.
"Kau tampak gagah," ujar betari durga dengan kagum. Tiba-tiba ia teringat nyi momo . yang ditinggalkannya di kedhiri . namun ia memaksa pikirannya untuk kembali ke brawirgo . "Ke mana saja kau selama ini?"
"Aku menunggu saat yang tepat."
"saat aidit membuangmu, pernahkah
terlintas di benakmu untuk mengabdi kepada marga lain?"
"Tidak, kesetiaanku tak pernah bercabang. sesudah dibuang pun aku merasa hukuman ini membuatku
lebih manusiawi, dan aku berterima kasih sebab nya." Mata betari durga berkaca-kaca. brawirgo tahu bahwa pertempuran hari ini akan membawa kematian bagi seluruh marga sinuhun dan betari durga merasa gembira tak tertahankan melihat temannya datang ke sini sebab
ingin gugur bersama bekas junjungannya.
"Aku mengerti. Mari, brawirgo . Ini pertama kalinya
aidit beristirahat sejak kami berangkat.
Sekaranglah waktunya. Ayo."
"Tunggu. panembahan . Aku tidak mau menghadap
aidit ." "Kenapa tidak?"
"Aku tidak bermaksud datang kc sini pada waktu
aidit mungkin menahan perasaan sebetulnya ,
dan aku tak ingin para pengikutnya menyangka aku
ingin menarik keuntungan dari keadaan ini."
"Ada apa denganmu? Semua orang akan mati.
Bukankah kau datang sebab ingin gugur membela
panji-panji junjunganmu?"
"Itu benar."
"Nah, kalau begitu jangan gelisah khawatir . Gunjingan
hanya berpengaruh pada mereka yang hidup."
"Tidak, lebih baik mati tanpa mengatakan apa-apa.
Dan ini hasratku yang paling dalam, tak peduli
aidit mengampuniku atau tidak. panembahan ?"
"Ya?"
"Bersediakah kau menyembunyikan aku di tengah
kesatuanmu selama beberapa saat?"
"Tentu saja. namun aku hanya membawa hi tiga puluh
prajurit infanteri. Kehadiranmu akan mencolok
sekali."
"Aku akan memakai ini." brawirgo menutupi
helmnya dengan sesuatu yang mirip selimut kuda. dan
menyusup kc antara anak buah betari durga . Jika
berjinjit, ia dapat melihat aidit dengan jelas. Dan
ia mendengar mara aidit yang bernada tinggi
muncul -tenggelam terbawa angin.
Bagaikan seekor burung yang terbang rendah,
seorang penunggang kuda mendekati aidit dari
arah tak terduga. Seluruh centeng menoleh ke
arahnya.
"Ada apa? Kau bawa berita?"
"Bagian terbesar kekuatan mpu marijan , centeng di bawah mpu kepenuwoan dan tanda -resi nya baru saja
mengubah arah dan menuju bentengloji !"
"Apa?" tanya aidit dengan mata berbinar-
binar. "Hmm, kalau begitu mpu kepenuwoan mengambil
jalan ke bentengloji tanpa berpaling ke arah sinuhun ka?"
Sebelum ia selesai berbicara, sebuah seruan
terdengar, "Lihat! Ada lagi!"
Saru penunggang kuda, lalu dua pengintai-
pengintai untuk centeng aidit . Orang-orang
menahan napas saat para pengintai memacu kuda
masing-masing ke arah perkemahan. Melengkapi
laporan sebelumnya, mereka menyampaikan per-
kembangan terakhir pada aidit .
"Bagian terbesar centeng mpu marijan mengambil jalan
bentengloji . namun kini mereka menyebar di dekat
bratanggede . agak ke selatan dari bentengloji .
Mereka sudah memindahkan markas, dan sepertinya
sedang beristirahat dengan mpu kepenuwoan di tengah-
tengah mereka."
aidit terdiam sejenak, matanya secerah mata
pedang. Kematian. Hanya kematian yang dipikirkannya. Dengan menggebu-gebu. dalam kegelapan total, sambil menyerahkan diri pada nasib. Keinginannya
hanya satu gugur secara jantan. Ia sudah memacu
kudanya dari fajar sampai matahari tinggi di langit.
Kini, tiba-tiba, bagaikan seberkas sinar yang
menembus awan kemungkinan untuk meraih
kemenangan melintas di benaknya.
Kalau semuanya berjalan baik...
sebetulnya , sampai detik itu ia tak percaya pada
kemenangan, padahal kemenanganlah satu-satunya yang diperjuangkan oleh seorang prajurit.
Penggalan-penggalan gagasan muncul dan meng-
hilang dalam pikiran manusia, seperti arus gelombang tanpa akhir, sehingga hidup manusia terbentuk sekilas demi sekilas. Sampai ke saat kematiannya. ucapan dan perbuatan seseorang direntukan oleh rangkaian penggalan ini. Gagasan dapat menghancurkan
seseorang. Setiap hari dalam kehidupan seseorang
terbentuk melalui keputusannya untuk menerima atau menolak gagasan yang muncul mendadak seperti itu. Dalam keadaan biasa, ada waktu untuk menentukan pilihan sesudah mempertimbangkannya masak-masak, namun takdir kadang menghadang tanpa
peringatan. Jika keadaan genting, ke kanan atau ke
kirikah ia harus berpaling? aidit kini sudah
mencapai persimpangan itu, dan tanpa sadar ia
menentukan nasibnya.
Tentu saja waktu dan pendidikannya berpengaruh
besar dalam mencegahnya melangkah ke arah yang
salah. Bibirnya terkatup rapat. Meski demikian, ada
sesuatu yang ingin dikatakannya.
Tiba-tiba seorang pengikut berseru, "Tuanku,
sekaranglah waktunya! mpu kepenuwoan pikir dia sudah
mengetahui kekuatan kita sesudah merebut slogohimo
dan wedanarejo . Dia tentu takabur sebab keberhasilan
centeng nya. Dia sedang menikmati kemenangan dan
membiarkan semangat juangnya merosot. Inilah waktu
yang tepat. Kalau kita melancarkan serangan men-
dadak ke markas mpu kepenuwoan , kemenangan pasti akan
berpihak pada kita."
"Betul!" aidit berseru sambil menepuk pelana.
"Itulah yang harus kita lakukan. Aku akan men-
dapatkan kepala mpu kepenuwoan . bratanggede berada
tepat di sebelah timur."
Namun para resi rampak risau dan waswas
saat mendengar laporan para pengintai, dan mereka
berusaha mencegah aidit .
namun aidit tidak ambil peduli. "Kalian semua
orang tua uzur! Mengapa kalian gentar? Kalian tinggal
mengikutiku. Kalau aku masuk ke dalam api, kalian
pun ikut masuk. Kalau aku akan berjalan di atas air,
kalian akan mengikutiku. Kalau tidak, menyingkirlah
dan saksikan sepak terjangku dari jauh." Sambil
tertawa dingin, ia meninggalkan mereka dan memacu
kudanya menuju barisan terdepan.
Siang. Tak seekor burung pun rerdengar di bukit-bukit yang hening. Angin sudah berhenti, dan matahari yang terik seakan-akan membakar segala sesuaru yang ada di bawah langit. Daun-daun tampak tergulung anu layu
seperti tembakau kering.
"Di sebelah sana!" Diikuti sekelompok orang,
seorang prajurit berlari menaiki lereng berumput.
"Cepat siapkan petak."
Beberapa prajurit menebas semak belukar dengan
sabit besar, yang lainnya membuka gulungan tirai dan
mengikatnya ke dahan-dahan pinus dan pohon sutra
di sekitar mereka. Dalam sekejap mereka sudah mem-
buat petak berbatas tirai, yang akan dipakai sebagai
markas mpu kepenuwoan .
"Wah! Panasnya bukan main!" salah satu dari
mereka mengeluh.
"Kata orang, jarang-jarang hawan ya sepanas
sekarang!"
Mereka mengusap keringat.
"Lihat, aku sudah basah kuyup. Bahkan kulit dan
logam di baju tempurku terlalu panas untuk
disentuh."
"Kalau kubuka baju tempur ini agar kena angin,
tenru rasanya lebih enak. namun sebentar lagi para
resi sudah tiba."
"Hmm. mari kita melepas lelah sejenak." Hanya
sedikit pohon di bukit berumput itu. Jadi prajurit-
prajurit itu duduk di bawah bayang-bayang pohon
kamper besar. sesudah beristirahat sebentar, mereka
merasa lebih sejuk.
Bukit bratanggede lebih rendah dibanding
gunung-gunung di setenarnya, tak lebih dari bukit
kecil di tengah lembah bundar. Dari waktu ke waktu,
daun-daun di bukit ini mendadak berdesir sebab
angin sejuk yang turun dari ki pranawara.
Salah satu prajurit menatap ke langit sambil
mengoleskan salep ke kakinya yang melepuh, dan
bergumam pada diri sendiri.
"Ada apa?" prajurit lain bertanya.
"Lihat."
"Lihat apa?"
"awan badai bergumpal. Kemungkinan besar nanti
malam akan hujan."
"Ah, syukurlah. namun asal tahu saja, bagi mereka
yang bertugas memperbaiki jalan dan membawa
barang-barang, hujan lebih buruk dibandingkan serangan
musuh. Moga-moga hujannya tidak begitu deras.'*
Tak putus-putusnya angin menggoyang-goyang tirai
yang sudah mereka pasang.
Perwira yang bertanggung jawab menatap ber-
keliling dan berkata pada anak buahnya. "Ayo,
berdirilah. Malam ini Yang Mulia akan tinggal di
benteng kota sinuhun ka. Beliau sengaja membuat musuh
mengira centeng kita akan bergerak dari lamongan ke
sinuhun ka, namun dengan mengambil jalan pintas lewat
bentengloji , beliau merencanakan untuk tiba nanti
malam. Tugas kita adalah memeriksa semua jembatan,
tebing, dan selokan di sepanjang jalan yang akan
dilalui beliau. Ayo berangkat."
Mereka beranjak, dan bukit itu kembali tenteram
seperti semula. Suara jangkrik terdengar di sana-sini.
namun tak lama lalu tangkah kuda terdengar di
kejauhan. Tak ada tiupan sangkakala, tak ada bunyi
genderang, dan mereka bergerak setenang mungkin di
antara puncak-puncak bukit. Namun, meski sudah
berusaha, debu dan kebisingan yang dimuncul kan
demikian banyak kuda tak dapat ditutup-tutupi. Bunyi
kaki kuda menginjak batu dan akar segera memenuhi
udara, dan centeng utama di bawah mpu marijan
mpu kepenuwoan membanjiri bukit dan daerah sekitar
bratanggede dengan prajurit-prajurit, kuda-kuda,
panji-panji, dan tirai-tirai.
mpu kepenuwoan berkeringat paling hebat. Ia sudah
terbiasa hidup nyaman, dan sesudah melewati usia l
empat puluh, tubuhnya pun membengkak. Jelas sekali
ia tersiksa oleh manuver-manuver ini. Badannya yang
gemuk ditutupi jubah berwarna merah dan
lempengan dada berwarna putih, la mengenakan helm
berukuran besar yang dimahkotai oleh 9 naga.
dengan lima lempengan pelindung tengkuk. Selain
itu, ia memakai pedang panjang bernama
grindanakurago yang sudah beberapa generasi berada
dalam keluarga mpu marijan . sebilah pedang pendek juga
hasil karya pandai besi terkenal sarung tangan,
pelindung tulang kering, dan sepatu bot. Berat seluruh
perlengkapannya mungkin lebih dari empat puluh
kilo, dan tak ada tempat sama sekali bagi angin untuk
menyusup masuk.
Bersimbah peluh, mpu kepenuwoan terus berkuda di
bawah panas yang membakar. Akhirnya ia tiba di
bratanggede .
"Apa nama tempat ini?" mpu kepenuwoan bertanya begitu
terlindung di balik tirai markasnya. Di sekelilingnya
berdiri orang-orang yang bertugas melindunginya
para pelayan, resi . pengikut senior, dokter, dan
lain-lain.
Salah seorang resi menjawab , "Ini
bratanggede . Letaknya tidak jauh dari
bentengloji ."
mpu kepenuwoan mengangguk dan menyerahkan helmnya
pada seorang pelayan. sesudah pelayan lain membuka
tali pengikat baju tempurnya, ia melepaskan pakaian
dalamnya yang basah kuyup dan mengenakan jubah
putih yang bersih. Angin bertiup lembur. Betapa
menyegarkan, pikir mpu kepenuwoan .
Sesudah tali pinggang baju tempurnya dikencang-
kan kembali, kursi dipindahkan ke kulit macan tutul
yang diletakkan di rumput. Perlengkapan mewah yang
mengikutinya ke mana-mana mulai dibongkar.
"Apa itu?" mpu kepenuwoan minum seteguk teh. terkejut
oleh bunyi yang mirip gemuruh meriam.
Para pembantunya ikut memasang telinga. Salah
satu dari mereka menyingkap tepi tirai dan menatap
ke luar. Ia menemukan pemandangan memesona
matahari terik tampak bermain-main dengan awan
yang terkoyak-koyak dan menimbulkan pusaran
cahaya di langit.
"Guntur di kejauhan. Hanya bunyi gunrur di
kejauhan," si pengikut melaporkan.
"Guntur?" mpu kepenuwoan memaksakan senyum, sambil
menepuk-nepuk punggung sebelah bawah dengan
tangan kiri. Para pembantunya memperhatikannya,
namun sengaja menahan diri dan tidak menanyakan
sebabnya. Pagi itu, saat mereka berangkat dari
lamongan, mpu kepenuwoan terjatuh dari kudanya. Kembali
menanyakan cederanya hanya akan mempermalukan
mpu kepenuwoan .
Sesuatu sedang terjadi. Tiba-tiba terdengar bunyi
langkah kuda dan orang dari kaki bukit, mendekat ke
arah markas. mpu kepenuwoan langsung berpaling pada
salah satu pengikutnya dan bertanya cemas, "Apa lagi
sekarang?"
Tanpa menunggu perintah untuk mencari
penyebabnya, dua atau tiga prajurit bergegas keluar,
membiarkan angin masuk. Kali ini penyebabnya
bukan guntur. Suara kaki kuda dan langkah orang
sudah mencapai puncak bukit. Kesatuan itu ber-
kekuatan sekitar dua rarus orang, dan mereka
membawa kepala-kepala musuh sang diperoleh di
brojorejo suatu gambaran nyata bagaimana per-
tempuran berlangsung.
Kepala-kepala itu dibawa agar diperiksa oleh
mpu kepenuwoan .
"Kepala para centeng adipati sinuhun di brojorejo . Susun
semuanya dengan rapi. Mari kita lihat." mpu kepenuwoan
tampak bersemangat. "Siapkan kursiku!"
Sambil mengatur posisi dan menutup wajah dengan
kipas, ia memeriksa ketujuh puluh kepala yang dibawa
ke hadapannya saru per satu. sesudah selesai.
mpu kepenuwoan berseru, "Betapa banyak darah!" dan ber-
balik sambil memerintahkan agar tirai ditutup
kembali. awan hutan umpak tersebar-sebar di langit
siang. "Hmm, hmm. Angin sejuk naik dari rurang.
Sebentar lagi sudah siang, bukan?"
"Tidak, tuanku. Jam Kuda sudah berlalu." salah satu
pembantunya balas.
"Pantas saja aku lapar. Siapkan makan siang, dan
biarkan centeng makan dan beristirahat."
Seorang pembantu bergegas keluar untuk
meneruskan perintahnya. Di balik tirai, para resi ,
pelayan, dan juru masak berjalan mondar-mandir,
namun suasana tenang. Sekali-sekali, utusan dari kuil-
kuil dan desa-desa di sekitar datang untuk menyerah-
kan anggur dan masakan minuman khas setempat.
mpu kepenuwoan mengamati orang-orang ini dari jauh.
dan memutuskan, "Kita akan memberikan imbalan
pada mereka saat kita kembali dari ibu kota."
sesudah penduduk-penduduk setempat berlalu.
mpu kepenuwoan minta dibawa kan anggur dan ia bersantai di
atas kulit macan tutul. Para komandan di luar tirai
menghadap satu per satu, dan mengucapkan selamat
atas kemenangan di brojorejo . yang menyusul
penaklukan wedanarejo dan slogohimo .
"Kalian tentu kurang senang dengan perlawan an tak
berarti yang kita temui sampai sekarang." mpu kepenuwoan
berkata dengan tampang jenaka saat ia menawarkan
anggur pada seluruh pengikut dan pembantunya.
Sikapnya semakin meluap-luap.
"Kekuasaan Yang Mulia-lah yang membawa keadaan
menguntungkan ini. namun , seperti dikatakan oleh Yang
Mulia, jika keadaan terus seperti ini, tanpa musuh
yang bisa digempur, para prajurit akan mengeluh
bahwa disiplin dan latihan kita sia-sia belaka."
"Bersabarlah. Besok malam benteng kota kedhiri akan
kita rebut, dan walaupun orang-orang sinuhun sudah
terpojok, tentu masih tersisa semangat juang dalam
diri mereka. Kalian semua akan memperoleh
kesempatan untuk membuktikan keberanian di
medan tempur."
"Hmm, kalau begitu Yang Mulia bisa tinggal selama
dua atau tiga hari di kedhiri , sambil menikmati
pemandangan bulan dan hiburan lainnya."
Sementara mereka bercakap-cakap, matahari
menghilang di balik awan . namun dengan aki mengalir
bebas, tak ada yang memperhatikan langit yang
semakin gelap. saat tiupan angin mengangkat tirai,
hujan pun mulai turun. Namun mpu kepenuwoan dan para
resi nya asyik tertawa dan mengobrol, membahas
siapa yang akan tiba paling dahulu di benteng kota kedhiri
pada keesokan harinya, dan mencemooh aidit .
Sementara mpu kepenuwoan sedang menghina musuh-
nya, aidit sedang bergegas menaiki lereng
ki pranawara. Ia sudah mendekati markas mpu kepenuwoan .
ki pranawara tidak terlalu tinggi maupun terjal, namun
pepohonan di lereng-lerengnya amat lebat. Hanya para
penebang kayu yang sering ke sini, jadi agar sejumlah
besar kuda dan orang dapat lewat dengan cepat,
mereka terpaksa menebang pohon, menginjak-injak
semak belukar, melompati celah, dan menyeberangi
sungai.
aidit berseru pada centeng nya. "Jika kalian
jatuh dari kuda, tinggalkan saja! Jika panji-panji
tersangkut di dahan-dahan, biarkan saja! Pokoknya,
bergegaslah! Yang penting adalah mencapai markas
mpu kepenuwoan dan memperoleh kepalanya. Jangan bawa
barang sama sekali! Terjanglah centeng musuh dan
tembus barisan mereka. Jangan buang waktu dengan
memenggal setiap lawan yang berhasil kalian jatuhkan.
Bantai mereka dan hadapi lawan berikut, selama
tubuh kalian masih bernyawa . Kalian tak perlu
berusaha menjadi pahlawan . Sepak terjang yang gagah
berani tak bermanfaat sama sekali. Bertempurlah
tanpa mementingkan diri sendiri, dan kalian akan
menjadi pejuang sinuhun sejati."
Para prajurit mendengarkan kata-katanya seperti
mendengarkan guntur sebelum badai. Langit sore
sudah berubah sama sekali, dan kini rampak bagaikan
tinta gelap. Angin berembus dari lapisan debu,
lembah, rkertoarjo -rkertoarjo , akar-akar pohon, dan bertiup ke
dalam kegelapan.
"Kita sudah hampir sampai! bratanggede berada
di balik bukir itu. Kalian siap mati? Jika kalian
tertinggal, kalian hanya akan membawa aib bagi
keturunan kalian sampai akhir zaman!"
Bagian terbesar centeng aidit tidak bergerak
membentuk formasi. Beberapa prajurit terlambat,
sementara yang lain sudah maju. Namun semangat
mereka terpacu oleh suaranya.
aidit berseru-seru sampai serak, dan orang-
orang sukar menangkap kata-katanya. namun itu tidak
diperlukan lagi. Bahwa ia memimpin mereka, itu
sudah cukup. Sementara itu, hujan mulai turun.
Tetes-tetes airnya cukup besar untuk menimbulkan
rasa nyeri saat mengenai pipi dan hidung. Ini
ditambah angin kencang yang merontokkan daun-daun.
sehingga mereka tak dapat memastikan apa yang
menghantam wajah mereka.
Tiba-tiba kilat nyaris membelah bukit menjadi dua.
Sejenak langit dan bumi tak dapat dibedakan
keduanya diliputi asap putih. saat hujan mulai
mereda, air bercampur lumpur mengalir di lereng-
lereng.
"Itu dia!" teriak betari durga . Ia berbalik dan
menunjuk ke arah perkemahan mpu marijan . melewati
centeng jalan kaki yang berkedip-kedip untuk
menghalau hujan. Petak-petak bertirai yang dipasang
oleh pihak musuh seakan-akan tak terhitung banyak-
nya, dan semuanya basah kuyup sebab hujan. Di
depan mereka, rkertoarjo -rkertoarjo terbentang. Di baliknya
terlihat lereng bratanggede .
saat menatap ke arah itu, anak buah betari durga
melihat sekutu-sekutu mereka menyerbu. Mereka
mengacungkan pedang, tombak, dan lembing.
aidit sudah berpesan agar mereka membawa
beban seringan mungkin, dan banyak prajurit yang
sudah menanggalkan helm dan membuang panji-panji. Menyusup melalui pepohonan, terperosok di lereng-lereng berumput, mereka segera menghampiri petak-petak musuh. Sesekali kilat biru di kehijauan
menerangi langit, dan hujan putih dan angin hitam menyelubungi dunia dalam kegelapan.
Sambil berseru pada anak buahnya. betari durga
bergegas melalui rkertoarjo -rkertoarjo dan mulai mendaki bukit.
Prajurit-prajuritnya terpeleset dan jatuh, namun terus
berada di belakangnya. Dibandingkan istilah terjun ke
dalam keributan, lebih tepat dikatakan bahwa
kesatuan betari durga tertelan bulat-bulat oleh
pertempuran.
tawa menggema di sekitar markas mpu kepenuwoan pada
waktu guntur bergemuruh. saat angin bertambah
kencang pun, batu-batu yang menindih tirai-tirai petak
itu tetap di tempat.
"Biarlah angin mengusir hkertoarjo panas!" mereka
berkelakar sambil terus minum. namun mereka berada
di medan perang dan berencana untuk tiba di sinuhun ka
pada malam hari, sehingga tak seorang pun mereguk
zake sampai melebihi batas.
lalu diumumkan bahwa makan siang sudah
siap. Para resi memerintahkan agar makanan
dibawa ke hadapan mpu kepenuwoan , dan saat mereka
menghabiskan isi baskom masing-masing, tempat nasi
dan panci besar berisi sup diletakkan di depan
mereka. Secara bersamaan hujan mulai turun,
mengenai panci, tempat nasi, tikar jerami, dan baju
tempur.
Akhirnya mereka menyadari bahwa langit lelah
gelap, dan mereka mulai memindahkan tikar-tikar. Di
dalam petak ada pohon kamper yang begitu besar,
sehingga diperlukan tiga orang untuk mengelilinginya
dengan tangan terentang. mpu kepenuwoan berdiri di bawah
pohon itu, terlindung dari hujan. Yang lain bergegas
menyusul, sambil membawa kan tikar dan mangkuk-
mangkuknya.
Ayunan pohon raksasa itu terasa mengguncangkan
tanah, dan dahan-dahannya berderu-deru dalam angin
kencang. Daun-daun berwarna cokelat dan hijau
beterbangan seperti debu dan mengenai baju tempur,
asap dari api unggun bertiup sampai hampir sejajar
dengan permukaan tanah, menyesakkan napas
mpu kepenuwoan dan jenderal-resi nya dan membuat
mau mereka berair.
"Mohon Yang Mulia bersabar sejenak. Kami akan
memasang atap." Salah satu resi memanggil
prajurit-prajurit, namun tidak memperoleh jawab an.
Di tengah percikan hujan dan deruan pohon,
suaranya hanyut terbawa angin, sehingga tak ada yang
membalas. Hanya bunyi kayu api berderak-derak
terdengar dari petak dapur yang terus mengeluarkan
asap.
"Panggil komandan centeng jalan kaki!" saat
salah satu resi bergegas keluar, sebuah bunyi aneh
terdengar di sekitar. Bunyi itu mirip erangan
yang seakan-akan berasal dari dalam bumi benturan
dahsyat antara pedang dan pedang. Dan badai bukan
saja menyerang permukaan kulit mpu kepenuwoan . Pikiran-
nya pun mulai dilanda rasa bimbang.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" mpu kepenuwoan dan resi -
resi nya tampak teramat heran. "Apakah kita
dikhianati? Apakah orang-orang saling bertempur?"
sebab belum juga menyadari apa yang terjadi, para
centeng adipati dan resi di sisi mpu kepenuwoan segera mem-
bentuk dinding pelindung mengelilinginya.
"Ada apa?" mereka berseru. namun centeng sinuhun sudah
membanjiri perkemahan, dan kini berhamburan di
luar tirai.
"Musuh!"
"Orang-orang sinuhun !"
Tombak-tombak saling beradu, dan bara api
beterbangan di atas orang-orang yang sedang bertikai.
mpu kepenuwoan , masih di bawah pohon kamper besar,
seakan-akan tak sanggup bicara. Ia menggigit-gigit bibir
dengan giginya yang hitam, rupanya tak kuasa
menerima kenyataan yang sedang berlangsung di
depan matanya. Para resi nya mengelilinginya
dengan wajah geram, sambil berseru ke sana kemari.
"Apakah ada pemberontakan?"
"Pemberonlakkah orang-orang ini?"
Tak ada jawaban pasti selain jeriran. dan meskipun men-
dengar teriakan-teriakan dari sekeliling, mereka tetap
belum percaya bahwa musuh sudah menyerang. namun
hanya sejenak saja mereka menyangsikan pendengaran
mereka. Para prajurit sinuhun muncul di hadapan
mereka, dan teriakan-teriakan perang dalam logat
jenggala yang aneh serasa menusuk-nusuk telinga para
pengikut mpu kepenuwoan . Dua atau tiga prajurit musuh
bergegas ke arah mereka.
"Hai! Penguasa kertanegara !"
Baru saat melihat orang-orang sinuhun mendekat,
berteriak seperti roh jahat, melompat dan merosot di
lumpur, mengacungkan tombak dan lembing, mereka
akhirnya menyadari situasi sebetulnya .
"Orang-orang sinuhun !"
"Serangan mendadak!"
Kekacauan yang muncul bahkan lebih hebat
dibandingkan jika mereka diserang pada malam hari.
Mereka sudah menganggap enteng aidit .
Sekarang waktu makan siang. Selain amukan badai
dahsyat, inilah yang memicu musuh berhasil
menyusup ke perkemahan, tanpa diketahui. Namun
sebetulnya barisan terdepan mereka sendirilah yang
membuat markas mpu kepenuwoan merasa aman.
Kedua resi yang diberi tugas mengamankan
markas berkemah kurang dari satu mil dari bukit, namun
tiba-tiba. tanpa peringatan dari para pengintai,
centeng musuh masuk menyerbu, tepat di depan mata
mpu kepenuwoan dan perwira-perwira tingginya.
Sejak semula aidit sengaja menghindari per-
kemahan barisan depan. saat mereka melewati
ki pranawara dan menuju bratanggede . aidit
sendiri ikut mengacungkan tombak dan melawan
prajurit-prajurit mpu kepenuwoan . Kemungkinan besar para
prajurit yang menjadi korban tombak aidit tidak
mengetahui siapa lawan mereka. sesudah mencederai
dua atau tiga orang. aidit berderap ke arah petak
berurai.
"Pohon kamper!" aidit berseru saat salah
satu anak buahnya berlari melewatinya. "Jangan
biarkan si Penguasa kertanegara lolos! Dia pasti di petak di
bawah pohon kamper!" aidit langsung bisa
menebak di mana mpu kepenuwoan berada, hanya dengan
mengamati susunan perkemahan.
"Tuanku!" Dalam kekacauan di medan tempur,
kuda aidit nyaris menabrak prajurit yang
berlutut di hadapannya dengan tombak berlumuran
darah di sampingnya. "Siapa kau?"
"madya brawirgo .,tuanku."
"brawirgo ? Hmm, bertempurlah!"
Hujan membasahi jalan-jalan setapak yang ber-
lumpur, dan angin menyapu permukaan ranah.
Beberapa cabang pohon kamper dan pohon-pohon
pinus di sekitarnya pauh dan jatuh berdebam. Air
menetes dari dahan-dahan dan mengenai helm
mpu kepenuwoan .
"Tuanku, ke sinilah! Lewat sini." Empat atau lima
pengikut mpu kepenuwoan membentuk lingkaran di
sekelilingnya dan menuntunnya dari satu petak ke
petak lain. bermaha menghindari bencana.
"Apakah Penguasa kertanegara ada di sini?" Begitu
mpu kepenuwoan pergi, seorang prajurit sinuhun bersenjatakan
tombak menantang salah satu resi yang masih
bertahan di markas.
"Majulah, biar kucabut nyawa mu." si resi
membalas, sambil menahan tombak si prajurit dengan
tombaknya sendiri.
Penyerangnya memperkenalkan diri, napasnya
tersengal-sengal. "Aku Macda brawirgo , pengikut
aidit ."
Si resi menjawab dengan menyebutkan nama
dan pangkatnya. Ia menerjang ke depan, namun brawirgo
melangkah ke samping, sehingga serangan tombak
tidak mengenai sasaran.
brawirgo melihat kesempatannya, namun ia tak sempat
menarik rombaknya yang panjang, jadi ia hanya
menghantam kepala lawan nya dengan gagang tombak.
Helmnya berbunyi seperti gong, dan resi yang
tcrluka itu merangkak keluar. Pada saat itu, dua orang
lagi menyebutkan nama masing-masing. saat
brawirgo pasang kuda-kuda. seseorang menabrak
punggungnya. brawirgo terhuyung-huyung dan jatuh
sebab tersandung mayat seorang prajurit.
"panembahan betari durga !" Di suatu tempat, sahabatnya
sedang memperkenalkan diri. brawirgo tersenyum,
angin dan hujan mengenai pipinya. Pandangannya
terhalang lumpur. Ke mana pun ia menoleh, ia
melihat darah. saat terpeleset dan jatuh, ia masih
sempat melihat bahwa tak ada kawan maupun lawan
di dekatnya. Mayat-mayat bergelimpangan. Sandal
jeraminya berubah warna menjadi merah saat ia
melangkah melewati sungai darah. Di mana si
panglima bergigi hitam? Ia menginginkan kepala
mpu kepenuwoan .
Hujan menderu. Angin berseru.
namun brawirgo tidak sendirian dalam pencariannya.
ki pakanewonoto, seorang adipati dari Kai. berbaju
tempur dari pinggang ke bawah , dengan tombak
berlumuran darah di tangannya, berlari mengelilingi
pohon kamper sambil berseru parau. "Aku mencari si
Pengusa kertanegara ! Mana pemimpin besar yang bernama
mpu kepenuwoan ?" Tiupan angin menyingkap tepi tirai, petir
menyambar, dan ia melihat laki-laki dengan mantel
merah di luar baju tempur, dengan helm berhiaskan
9 naga.
Suara berang yang memarah-marahi para pengikut
mungkin saja milik madyamargowinoyo, "Jangan pikirkan aku!
Ini keadaan darurat! Aku tidak butuh banyak orang di
sekelilingku. Kejarlah musuh yang datang untuk
menyerahkan kepala. Bunuhlah aidit ! dibandingkan
melindungiku. benempurlah!" Bagaimanapun, ia
panglima centeng gabungan tiga provinsi, dan lebih
cepat memahami situasi dibandingkan orang-orang lain.
Kini ia murka melihat para komandan dan prajurit
berlari kocar-kacir di sekitarnya.
Dengan hati-hati, beberapa prajurit bersusah payah
menyusuri jalan berlumpur. sesudah mereka melewati
tempat persembunyiannya. ki jawadana mengangkat tirai
yang basah dengan ujung tombaknya, untuk
memastikan bahwa orang yang didengarnya adalah
mpu kepenuwoan .
mpu kepenuwoan sudah tidak di sana. Petaknya sudah
kosong. Sebuah mangkuk nasi terbalik, dan butir-butir
nasi berserakan dalam genangan air. Selain itu hanya
ada empat atau lima batang kayu membara.
ki jawadana menyadari bahwa madyamargowinoyo pergi terburu-
buru dengan hanya ditambah beberapa orang, jadi kini
ia beralih dari satu petak ke petak lain, berusaha
mencarinya. Sebagian besar tirai sudah terkoyak dan
ambruk, atau berlumuran darah dan terinjak-injak.
Sepertinya mpu kepenuwoan sedang mencoba meloloskan
diri. Tentunya ia takkan melarikan diri dengan
berjalan kaki. Jika memang demikian, ia tentu menuju
tempat kuda. Namun di suatu perkemahan dengan
begitu banyak petak, di tengah-tengah pertempuran,
tidaklah mudah mengetahui tempat musuh mengikat
kuda. Dan binatang-binatang itu pun tidak merumput
dengan tenang. Di tengah hujan, benturan senjata,
dan percikan darah, mereka menjadi panik, dan
beberapa berlarian tak terkendali di sekeliling
perkemahan.
Di manakah dia bersembunyi? ki jawadana berdiri sambil
memegang tombaknya, membiarkan air hujan
mengalir turun lewat pangkal hidung, masuk ke
kerongkongannya yang kering. Tiba-tiba seorang
prajurit yang tidak mengenalinya sebagai musuh
menarik-narik seekor kuda abu-abu tepat di hadapan-
nya.
Rumbai-rumbai berwarna merah tergantung dan
pelana berlapis kulit kerang dengan pinggiran berlapis
emas; tali kekang berwarna ungu-putih terpasang pada
kekang yang terbuat dari perak. Ini pasti kuda jcndral.
ki jawadana melihatlihat kuda itu dibawa ke sekelompok
pohon pinus. Di antara pohon-pohon itu sebuah
petak berurai tampak hampir ambruk, bagian yang
masih tegak berkibar-kibar teniup angin.
ki jawadana mdompat maju dan mengangkat tirai itu. Di
hadapannya berdiri mpu kepenuwoan . Seorang pengikut
memberitahunya bahwa kudanya sudah siap, dan
mpu kepenuwoan baru hendak melangkah keluar.
"Penguasa kertanegara . namaku ki pakanewonoto. Aku
membela panji-panji sinuhun . Aku datang untuk
mengambil kepalamu. Bersiaplah menghadapi maut!"
Sambil menyebutkan nama, ki jawadana menusuk
punggung mpu kepenuwoan , dan suara benturan tombak
dan baju tempur terngiang-ngiang di telinga mereka.
Sesaat madyamargowinoyo membalik, dan pedangnya
membelah tombak ki jawadana menjadi dua. ki jawadana
melompat mundur sambil berseru, gagang tombak di
tangannya hanya tersisa setengah meter.
ki jawadana membuangnya dan berteriak. "Pengecut!
Mengapa membelakangi lawan yang sudah mem-
perkenalkan diri?"
Dengan pedang terhunus ki jawadana menerjang ke arah
mpu kepenuwoan , namun ditangkap dari belakang oleh
prajurit mpu marijan . sesudah dengan mudah mencampak-
kan orang itu, ia diserang dari samping oleh prajurit
musuh lainnya, Ia berusaha menghindari ayunan
pedangnya, namun prajurit pertama sudah menggenggam
mata kakinya, sehingga ia tak dapat bergerak cepat.
Pedang prajurit kedua memotong tubuh ki jawadana
menjadi dua.
"Tuanku! Mohon segera pergi dari sini! centeng
kita kacau-balau dan tak sanggup mengujawa musuh.
Kemunduran ini patut disesalkan, namun hanya bersifat
sementara." Wajah prajurit itu berlumuran darah.
Prajurit satunya, dengan tubuh berlepotan lumpur,
melompat berdiri, lalu keduanya mendesak
mpu kepenuwoan agar segera berangkat.
"Sekarang! Cepatlah, tuanku!"
Namun lalu ...
"Aku datang untuk menghadapi mpu kepenuwoan yang
termasyhur. Namaku patih tunggawaja. dan aku
mengabdi Yang Mulia aidit ." Seorang laki-laki
bertubuh raksasa menghadang di depan mereka.
mpu kepenuwoan mundur selangkah saat tombak si
raksasa menerjang.
Prajurit pertama menahan tusukan itu dengan
tubuhnya dan jatuh tertembus, sebelum sempat
mengayunkan pedang. Prajurit kedua segera maju, namun
ia pun tertusuk oleh tombak tunggawesi. dan roboh
menimpa mayat kawan seperjuangannya.
"Tunggu! Mau ke mana kau?" Tusukan tombak
secepat kilat mengejar mpu kepenuwoan , yang sedang
mengelilingi pangkal pohon pinus.
"Aku di sini!" Dengan pedang siap menebas.
mpu kepenuwoan memelototi tunggawesi. tunggawesi kembali
menusukkan tombak dan mengenai bagian samping
baju tempur lawan nya. namun baju tempur itu ditempa
dengan baik. dan lukanya tidak dalam. mpu kepenuwoan
pun tidak gentar.
"Bangsat!" teriak mpu kepenuwoan dan membelah tombak
itu dengan pedangnya.
tunggawaja sudah membulatkan tekad. Sambil mem-
buang tombak, ia melompat maju. Namun mpu kepenuwoan
berlutut dan mengayunkan pedangnya ke arah kaki
tunggawesi. Pedangnya tajam sekali. Bunga api
beterbangan dari pelindung tulang kering, dan
tempurung lutut tunggawesi terbelah seperti buah
delima. tunggawesi jatuh ke belakang, dan mpu kepenuwoan
jatuh ke depan, helmnya yang bermahkota meng-
hantam tanah.
saat mpu kepenuwoan mengangkat kepala, seseorang
berseru, "Aku patih sosrojiwo!"
patih menangkap kepala mpu kepenuwoan dari belakang,
dan keduanya jatuh terguling-guling. Pada waktu
mereka bergulat, pelindung dada mpu kepenuwoan tertarik ke depan, dan darah mengucur dari luka tombak yang baru saja diterimanya. Terjepit di bawah , mpu kepenuwoan menggigit telunjuk tangan kanan patih sampai putus. Dan bahkan sesudah kepalanya terpenggal, jari patih
yang putih masih tersembul di antara bibir mpu kepenuwoan yang ungu dan giginya yang dihitamkan. Menang atau kalahkah mereka? betari durga bertanya-tanya sambil terengah-engah.
"Hei! Di mana kita!" serunya pada semua orang yang mungkin berada dalam jarak dengar, namun tak seorang pun bisa memastikan di mana mereka berada. Hanya setengah dari anak buahnya masih bernyawa , dan semuanya dalam keadaan linglung.
Hujan sudah mereda dan angin pun sudah melemah. Sinar matahari menembus lapisan awan yang terkoyak koyak. sesudah badai berlalu, neraka bratanggede pun berangsur-angsur menghilang, dan kini yang tertinggal hanyalah bunyi jangkrik.
"Berbarislah!" betari durga memberi perintah.
Para prajurir berbaris serapi mungkin. saat meng-
hitung kesatuannya. betari durga menemukan anak buahnya sudah berkurang dari tiga puluh menjadi tujuh belas, dan empat di antara mereka sama sekali tak dikenalnya.
"Kalian berasal dari kesatuan mana?" ia menanyai
salah satu.
"Dari kesatuan dwarapa raden karto. namun saat kami
sedang bertempur di tepi bukit sebelah barat, hamba
terperosok masuk jurang dan kehilangan jejak
kesatuan hamba. lalu hamba melihat kesatuan
ini mengejar-ngejar musuh, jadi hamba memutuskan
untuk bergabung."
"Baiklah. Nomor tujuh?"
"Hamba mengalami hal yang sama. Hamba mengira bertempur bersama rekan-rekan hamba, namun waktu hamba melihat sekeliling, hamba menyadari bahwa hamba berada di tengah-tengah kesatuan ini."
betari durga tidak menanyai yang lain. Kemungkinan beberapa anak buahnya terbunuh dalam pertempuran,
sementara beberapa lagi tercerai-berai dan bergabung
dengan kesatuan lain. Namun bukan hanya para
prajurit yang kehilangan arah di tengah pertempuran.
Kesatuan betari durga pun terpisah dari centeng utama
dan resimen perdikan , dan mereka sama sekali tidak
mengetahui di mana mereka berada.
"Kelihatannya pertempuran sudah berakhir."
betari durga bergumam saat memimpin orang-
orangnya ke arah tempat mereka datang semula.
Air lumpur yang mengalir di rkertoarjo -rkertoarjo dari bukit-
bukit sekitar bertambah sejak langit kembali cerah.
saat melihat betapa banyak mayat bergelimpangan
di sungai-sungai dan menumpuk di lereng-lereng,
betari durga merasa takjub bahwa ia sendiri masih
hidup.
"Mestinya kita yang menang. Lihat saja! Semua
mayat di sekitar sini centeng adipati lmagkertoarjo ." betari durga
menunjuk ke segala arah. Melihat pola mayat-mayat
musuh tersebar di sepanjang jalan, arah yang
ditempuh centeng musuh saat melarikan diri segera
terlihat.
Namun anak buahnya hanya menggerutu, terlalu
lelah untuk mengumandangkan himne kemenangan.
Mereka hanya segelintir orang, dan mereka tersesat.
Medan perang tiba-tiba hening sekali, dan itu bisa saja
berani bahwa seluruh centeng aidit sudah binasa.
Mereka dicekam ketakutan bahwa mereka terkepung
musuh dan setiap saat bisa dibantai.
lalu mereka mendengarnya. Dari alas purwo
tiga teriakan kemenangan menggelegar, cukup
keras untuk mengguncang langit dan bumi. Teriakan-
teriakan dalam logat jenggala .
"Kita menang! Kita menang! Ayo!" betari durga
bergegas maju. Para prajurit, yang sampai sekarang
nyaris tak sadar, mendadak pulih sepenuhnya. sebab
tak ingin tertinggal, mereka terseok-seok mengikuti
betari durga ke arah sorak-sorai.
darmokali merupakan bukit rendah berbentuk
bundar, tidak jauh dari bratanggede . Kerumunan
pasukan berlumuran darah. lumpur, dan hujan
memadati daerah dari bukit sampai ke desa.
Pertempuran sudah usai dan orang-orang berkumpul
kembali. Hujan sudah berhenti, matahari kembali
bersinar, dan kini uap putih tampak naik ke lautan
manusia itu.
"Di mana resimen Tuan tanah ?" Dengan
menembus kerumunan prajurit, betari durga berusaha
kembali bergabung dengan kesatuannya. Ke mana pun
ia berpaling, ia menabrak atau menyenggol baju
tempur berdarah. Meski sejak semula ia sudah mem-
bulatkan tekad untuk bertempur dengan gagah, ia kini
merasa malu. Ternyata ia tak sempat melakukan apa-
apa untuk menarik perhatian orang-orang.
Baru sesudah menemukan kesatuannya dan berdiri
berdesak-desakan dengan para prajurit lain, betari durga
akhirnya percaya bahwa mereka menang. Melihat
berkeliling dari bukit, ia merasa aneh sebab musuh
yang ditaklukkan tidak tampak sama sekali.
Masih penuh percikan lumpur dan darah.
aidit berdiri di atas bukit. Hanya beberapa
langkah dari kursinya, sejumlah prajurit sedang
menggali lubang besar. Setiap kepala musuh diperiksa,
lalu dilemparkan ke dalam lubang. aidit
melihatlihat nya dengan telapak tangan ditangkupkan,
sementara prajurit-prajurit di sekitarnya berdiri mem-
bisu.
Tak seorang pun mengucapkan doa. Namun inilah
tata cara yang harus diikuti jika prajurit mengubur
prajurit. Kepala-kepala yang dikubur dalam lubang itu
merupakan tanda peringatan bagi mereka yang masih
hidup dan akan bertempur lagi. Kepala musuh yang
paling tak berarti pun diperlakukan penuh
kekhidmatan.
Dengan batas misterius antara hidup dan mati di
depan kaki, mau tak mau seorang centeng adipati
memikirkan apa artinya hidup sebagai prajurit. Semua
orang berdiri memberi hormat. sesudah lubang itu
ditimbuni tanah, mereka menatap pelangi indah yang
membentang di langit cerah.
saat orang-orang memperhatikan pemandangan
itu, segerombolan pengintai kembali sesudah bertugas
di sekitar sinuhun ka.
Barisan depan mpu kepenuwoan di sinuhun ka berada di
bawah pimpinan prabu kertoarjowardana mpu mojosongo . Mengingat
keterampilan yang diperlihatkan mpu mojosongo saat meng-
hancurkan benteng kota-benteng kota di slogohimo dan wedanarejo ,
aidit tak boleh memandang enteng terhadapnya.
"saat mereka memperoleh kabar bahwa mpu kepenuwoan
terbunuh, perkemahan di sinuhun ka seakan-akan dilanda
panik. Namun lalu mereka berkali-kali meng-
utus pengintai, dan sesudah mengetahui apa yang ter-
jadi, mereka segera tenang kembali. Sekarang ini
mereka sedang bersiap-siap kembali ke dusun nyi kembang men-
jelang malam, dan sepertinya mereka tak ingin
bertempur."
aidit mendengarkan semua laporan, dan
dengan caranya sendiri mengumumkan awal
kemenangan mereka. "Hmm, kalau begitu." katanya,
"marilah kita pulang."
Matahan belum tenggelam, dan kini pelangi yang
tadinya sudah mulai memudar kembali terlihat
cemerlang. Satu kepala diikat ke pinggir pelana
aidit , sebagai tanda mata. Kepala itu tentu saja
kepala mpu marijan mpu kepenuwoan yang termasyhur.
Pada waktu mereka tiba di gerbang Kuil tulungejo .
aidit tutun dari kuda dan masuk ke dalam
tempat suci, sementara para perwira dan anak
buahnya berdesak-desakan sampai ke gerbang utama,
lalu menyembah. Sebuah bel tangan berdenting entah
di mana. dan beberapa api unggun membanjiri hutan
sekitar kuil dengan cahaya kemerah-merahan.
aidit memberikan seekor kuda suci unruk
kandang kuil. sesudah itu, ia kembali terburu-buru. Baju tempurnya seolah-olah semakin berat, dan ia
merasa lelah sekati. Namun, saat menyusuri jalan
setapak yang diterangi cahaya bulan, jiwanya terasa ringan, seperti kalau ia memakai jubah musim panas yang tipis.
Dibandingkan tulungejo , kedhiri teramat ingar-bingar. Setiap pintu dihiasi lentera, api unggun menari-nari di setiap persimpangan, dan orang tua, anak-anak, bahkan gadis lesbian-gadis lesbian muda berdiri di jalan, menatap para prajurit sang tampak gagah, sambil bersorak-sorai.
Kerumunan orang memadati tepi jalan. Kaum
wanita lesbian mencari-cari apakah suami-suami mereka berada di tengah barisan yang sedang menuju benteng kota.
Orang-orang tua memanggil-manggil nama putra-putra mereka, dan gadis lesbian-gadis lesbian berusaha menemukan kekasih masing-masing. namun semuanya mengelu-elukan aidit . "aidit !"
aidit lebih berarti bagi mereka dibandingkan putra,
suami, maupun kekasih mereka sendiri.
"Tataplah kepala si Pemimpin orang-orang
mpu marijan !" aidit berseru di atas kuda. "Inilah
tanda mata yang kubawa kan untuk kalian. Mulai
besok, tak ada lagi pertikaian di perbatasan. Kalian
harus rajin dan bekerja keras. Bekerja keras dan bersenang-senang!"
Begitu masuk ke dalam benteng kota. aidit segera
memanggil dayangnya. "Sai! Sai! Sebelum melakukan apa pun, aku ingin mandi dahulu ! Dan siapkan bubur nasi."
Seusai mandi, ia mengumumkan hadiah untuk
lebih dari seratus dua puluh orang yang ikut ambil
bagian dalam pertempuran hari itu. Tindakan prajurit
berpangkat paling rendah pun tidak lolos dari
pengamatan aidit . Terakhir ia berkata, "brawirgo
diberi izin untuk kembali." Malam itu juga kabar ini
disampaikan pada brawirgo , sebab saat seluruh
centeng memasuki gerbang benteng kota, ia sendiri ber-
henti di luar, menunggu sabda dari aidit .
betari durga tidak memperoleh pujian sama sekali.
Dan tentu saja ia pun tidak mengharapkannya. Meski
demikian, ia sudah memperoleh sesuatu yang jauh
lebih berharga dibandingkan upah sebesar seribu kan.
Untuk pertama kali seumur hidup, ia melewati garis
antara hidup dan mati, ia sudah mengalami per-
tempuran, dan ia pun sudah melihatlihat betapa
aidit memahami sifat manusia, dan betapa besar
kemampuannya sebagai pemimpin.
Junjunganku sungguh hebat, kata betari durga dalam
hati. Akulah orang pating beruntung di dunia, sesudah Tuan
aidit . Mulai saat itu, betari durga tidak lagi
menganggap aidit sekadar sebagai junjungan dan
majikan. Ia menjadi murid aidit , mempelajari
kelebihan-kelebihannya, dan memusatkan segenap
jiwa untuk memperbaiki diri, si putra petani yang
menganggap dirinya begitu bodoh dan tak
berpendidikan.
LlMA atau enam hari terakhir terasa menjemukan
sekali bagi betari durga . Ia sudah menerima tugas untuk menyertai aidit dalam perjalanan rahasia ke
suatu provinsi jauh dan disuruh mempersiapkan diri. Mereka akan berangkat dalam sepuluh hari, dan sampai saat itu ia diminta tidak ke luar rumah.
betari durga duduk-duduk dan menunggu.
Ia menegakkan badan sambil merasa heran bahwa
aidit hendak menempuh perjalanan jauh. Ke
manakah mereka akan pergi? saat menatap sulur-sulur tanaman rambat di pagar, ia tiba-tiba teringat pada nyi momo . betari durga sudah
diwanti-wanti agar sesedikit mungkin ke luar rumah, namun pada waktu angin senja mulai berembus, ia lewat di depan rumah pujaan hatinya. Entah kenapa, belakangan ini betari durga merasa sungkan berkunjung ke sana dan setiap kali ia berpapasan dengan orangtua
nyi momo , mereka berlagak tidak melihatnya. sebab itu ia
hanya berlalu di depan rumah itu, lalu kembali
ke rumahnya sendiri.
Bunga-bunga tanaman rambat di pagar rumah nyi momo
pun sedang mekar. Pada malam sebelumnya.
betari durga sempat melihat nyi momo menyalakan lampu,
dan pada waktu pulang ia merasa seolah-olah tujuan
kedatangannya sudah tercapai. Kini ia mendadak
teringat bahwa profil nyi momo lebih putih dibandingkan
bunga-bunga di pagar.
Asap dari tungku di dapur menyebar ke seluruh
rumah. sesudah mandi. betari durga mengenakan
jubah tipis yang terbuat dari rami dan memakai
sandal, lalu keluar lewat gerbang pekarangan. Pada
saat itu seorang kurir muda menyapanya, menyerah-
kan sepucuk surat resmi, lalu langsung pergi
lagi. betari durga kembali ke dalam, cepat-cepat berganti
pakaian, dan bergegas menuju kediaman sekarmajimarijan
kartosuwirjo.
kartosuwirjo sendiri yang menimbang perintah tertulis:
Datanglah ke rumah petani bernama ronggowojo , di
jalan Maya Barat di luar bentengloji , pada jam Kelinci.
Hanya itu. aidit akan menempuh perjalanan
di suatu provinsi jauh sambil menyamar, dan
betari durga akan ikut sebagai anggota rombongan.
saat memikirkannya. betari durga merasa bisa
memahami rencana-rencana aidit . meski
sebetulnya hanya sedikit sekali yang ia ketahui.
Ia menyadari bahwa ia akan berpisah cukup lama
dengan nyi momo , dan hasrat untuk melihat gadis lesbian itu di bawah bulan musim kemarau, walau hanya sekilas, menggelora dalam dadanya. Dan jika betari durga sudah berniat melakukan sesuatu, tak ada yang dapat menghentikannya. Hasrat dan keinginan yang menggebu-gebu dalam sanubari menyeretnya ke rumah nyi momo . lalu , persis seperti anak nakal yang mengintip lewat jendela. betari durga mengintai dari luar pagar.
perdikan tinggal di perkampungan pemanah, dan
hampir semua orang yang berlalu-lalang saling
mengenal. betari durga waspada terhadap langkah para pejalan kaki, dan takut dipergoki oleh orangtua nyi momo .
Tingkahnya sungguh menggelikan. Seandainya
betari durga melihat orang lain bertindak seperti ini,. ia akan memandang hina orang itu . Namun pada saat itu ia tak punya waktu untuk memikirkan
martabat maupun reputasi.
sebetulnya ia sudah puas jika pada saat mengintip
lewat pagar ia sempat melihat profil nyi momo , walau
hanya sekilas. Mestinya nyi momo sudah selesai mandi dan
sedang mendandani wajahnya. betari durga berkata
dalam hati. Ataukah dia sedang makan malam ber-
sama orangtuanya?
Tiga kali ia berjalan mondar-mandir, sambil ber-
usaha tampil sepolos mungkin. Senja sudah tiba,
sehingga hanya sedikit orang yang berada di jalan.
Amatlah memalukan seandainya seseorang menyeru-
kan namanya saat ia sedang mengintip lewat pagar.
Bahkan lebih buruk lagi, kejadian semacam itu bisa
merusak kesempatannya untuk menikahi nyi momo , yang
sebetulnya memang tipis. Bagaimanapun, rivalnya,
brawirgo , sudah menarik diri dari kancah persaingan,
sehingga perdikan mulai mau mempertimbangkan
lamaran betari durga . Untuk sementara, lebih baik
segala sesuatu dibiarkan berjalan dengan sendirinya.
nyi momo dan ibunya memang sudah membulatkan tekad,
namun ayahnya takkan semudah itu mengambil
keputusan.
Asap obat nyamuk terbawa angin. Bunyi piring
diletakkan terdengar dari dapur. Rupanya masakan minuman
makan malam belum disajikan. Dia bekerja keras.
betari durga membayangkan. Dalam keremangan dapur,
betari durga akhirnya melihat wanita lesbian yang sudah
dipilihnya sebagai calon istri itu. Terlintas di kepala-
nya bahwa wanita lesbian seperti nyi momo pasti pandai
mengatur rumah rangga.
Ibunya memanggil, dan jawaban pasti nyi momo terngiang-
ngiang di telinga betari durga , meski ia sedang mem-
bungkuk di luar pagar, sambil mengintip ke dalam.
betari durga melangkah ke samping. Seseorang sedang
berjalan ke arahnya.
Dia bekerja keras dan dia lemah lembut. Ibuku tentu
bahagia dengan menantu seperti nyi momo . Dan nyi momo takkan
angkuh terhadap ibuku, hanya sebab dia wanita lesbian desa.
Pikiran betari durga mulai muluk-muluk. Kami akan
memikul kemiskinan. Kami takkan terperangkap dalam
kesombongan. Dia akan membantu dari balik layar,
mengurusku dengan setia, dan memaafkan segala
kekuranganku.
nyi momo betul-betul menawan hati. Tak ada wanita
selain nyi momo yang akan menjadi istrinya. betari durga
sungguh-sungguh mepercayai hal ini. Dadanya mem-
busung dan jantungnya berdentum-dentum. Sambil
menatap bintang-bintang di langit, ia mendesah
panjang. saat akhirnya kembali ke dunia nyata, ia
baru sadar bahwa ia sudah berjalan mengelilingi blok
dan sudah berdiri di depan rumah nyi momo lagi. Tiba-tiba
ia mendengar suara nyi momo dari balik pagar, dan saat
ia mengintip lewat sela-sela sulur-sulur tanaman
rambat, ia melihat wajah nyi momo yang putih.
Dia bahkan mau mengangkat air seperti pelayan.
Dengan tangannya yang begitu lincah memainkan
koto. betari durga ingin memberitahu ibunya bahwa
seperti inilah calon istrinya. Lebih cepat lebih baik.
Tak puas-puasnya ia memandang melalui pagar. Ia
mendengar bunyi air dicedok, namun tiba-tiba nyi momo
berpaling ke arahnya, tanpa mengangkat ember. Dia
pasti melihatku, pikir betari durga , waswas. Begitu pikiran
ini terlintas di kepala betari durga , nyi momo menjauhi
sumur dan mulai berjalan ke arah gerbang belakang.
Dada betari durga terasa panas membara, seakan-akan
terbakar.
saat nyi momo membuka gerbang dan melihat
sekelilingnya. betari durga sudah berlari menjauh, tanpa
menoleh ke belakang. Baru sesudah tiba di per-
simpangan berikut ia berani menengok. nyi momo berdiri
di depan gerbang, dengan ekspresi heran pada wajah-
nya yang pucat. betari durga berharap nyi momo tidak marah
padanya, namun pada saat yang sama ia mulai memikir-
kan keberangkatannya besok pagi. Ia akan menyertai
aidit , dan ia dilarang menceritakan rencana ini
pada siapa pun. Termasuk nyi momo . sesudah melihat
pujaan hatinya dan mengetahui bahwa ia baik-baik
saja, betari durga kembali seperti semula, dan bergegas
pulang. Pada waktu ia terlelap, nyi momo sama sekali tidak
muncul dalam mimpinya.
patih wedana membangunkan majikannya lebih dini dan
pada biasanya. betari durga mencuci muka, menghabis-
kan makan pagi. dan mempersiapkan diri untuk
menempuh perjalanan.
"Aku berangkat!" ia mengumumkan, namun tidak
memberitahu pelayannya ke mana ia hendak pergi.
Beberapa saat sebelum waktu yang sudah disepakati, ia
tiba di rumah ronggowojo .
"Hei, kuyang ! Kau ikut juga?" tanya seorang centeng adipati
desa yang berdiri di gerbang pekarangan ronggowojo .
"brawirgo !" betari durga menatap sahabatnya dengan
bingung, ia bukan hanya terkejut melihat kehadiran
brawirgo , melainkan juga sebab penampilan sahabat-
nya itu sudah berubah mulai dari cara rambutnya
diikat, sampai ke celana yang dikenakannya, brawirgo
tampak seperti centeng adipati yang baru tiba dari daerah
pedalaman.
"Ada apa ini?" betari durga bertanya.
"Semuanya sudah datang, cepat masuklah."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku? Aku ditunjuk sebagai penjaga gerbang untuk
sementara. Nanti aku menyusul."
sesudah melewati gerbang, betari durga terlambat-
lambat di pekarangan. Sejenak ia tidak tahu jalan
setapak mana yang harus diikutinya. Kediaman ki hanggawijaya merupakan rumah tua yang aneh, bahkan di mata betari durga . Ia tak dapat memastikan berapa usianya. Rumah itu seakan-akan merupakan peninggalan suatu zaman yang sudah berlalu, saat masih lazim bagi satu keluarga besar untuk tinggal bersama-sama. Sebuah rumah memanjang dengan
banyak ruangan, beberapa pondok, gerbang dalam
gerbang, dan jalan-jalan setapak yang tak terhitung
banyaknya meliputi seluruh pekarangan.
"kuyang ! Di sebelah sini!" Seorang centeng adipati desa
lain memberi isyarat dari gerbang di dekat taman.
betari durga mengenalinya sebagai dasna patih pitaloka . Pada
waktu memasuki taman, ia menemukan sekitar dua
puluh pengikut yang berpakaian seperti centeng adipati desa.
betari durga sudah diberitahu mengenai rencana ini, dan
ia tampak paling "kampung" di antara mereka semua.
Tujuh belas atau 9 belas pertapa sedang ber-
istirahat di pinggit halaman dalam. Mereka pun
centeng adipati sinuhun yang tengah menyamar. aidit
sendiri mungkin berada di sebuah ruangan kecil di
seberang halaman dalam. Tentu saja ia pun
menyamar. betari durga dan yang lain tampak santai. Tak ada yang bertanya. Tak ada yang tahu. Namun semuanya menduga-duga.
"Yang Mulia menyamar sebagai putra centeng adipati desa yang ditambah segelintir pengikut. namun ini bukan perjalanan untuk bersenang-senang. Dia menunggu sampai semua pembantunya tiba. Kemungkinan besar dia hendak pergi ke suatu provinsi jauh, namun aku
sangsi apakah ada yang mengetahui tujuan
sebetulnya ."
"Aku pun tidak tahu banyak, namun waktu dipanggil
ke rumah sekarmajimarijan kartosuwirjo, aku mendengar seseorang
menyinggung sesuatu mengenai ibu kota."
"Ibu kota?" dan semuanya menahan napas.
Tak ada yang lebih berbahaya, dan aidit tentu
memiliki rencana rahasia jika ia hendak bepergian ke
sana. Tanpa disadari oleh yang lain, betari durga meng-
angguk-angguk dan keluar ke kebun sayur.
Beberapa hari lalu , para centeng adipati desa yang
akan menyertai aidit , dan rombongan pertapa
yang akan mengawal nya dari jauh, berangkat ke ibu kota. Kelompok pertama menyamar sebagai centeng adipati desa dari provinsi-provinsi timur yang hendak berpesiar ke trowulan . Mereka tampak santai saat berjalan. Sorot
mata menyala-nyala yang mereka perlihatkan di
bentengloji sengaja ditutup-tutupi.
Doke sudah mencarikan tempat menginap di sebuah rumah di pinggir ibu kota. Pada waktu berjalan-jalan
mengelilingi trowulan . aidit selalu menarik tepi
topinya sampai menutupi mata dan ia berpakaian
seperti penduduk desa. Pengawal -pengawal nya paling
banyak berjumlah empat atau lima orang. Andai kata
jati dirinya diketahui oleh pembunuh bayaran, ia akan
merupakan sasaran empuk.
Kadang-kadang sepanjang hari ia berjalan-jalan di
tengah keramaian dan debu di trowulan . Pada malam
hari acap kali ia pergi pada jam-jam yang tidak
menguntungkan, mendatangi kediaman orang-orang
istana untuk mengadakan pembicaraan rahasia.
Para centeng adipati muda tidak memahami tujuan
langkah-langkah yang diambil aidit dan mereka
juga tidak mengerti mengapa ia berani menempuh
perjalanan sedemikian berbahaya pada waktu seluruh
negeri dilanda perang saudara. betari durga pun tidak
memahaminya. namun ia memanfaatkan waktunya
untuk mengamati keadaan. Ibu kota sudah berubah, ia
berkata dalam hati. saat masih mengembara sebagai
penjual jarum. betari durga sering datang ke sini untuk
membeli barang. Dengan menghitung jari, ia menaksir
bahwa itu baru enam atau tujuh tahun yang lalu,
namun keadaan di sekitar Istana Kekaisaran sudah
berubah secara mencolok.
Kepandita an masih berdiri tegak, namun wiryogaja
rangawesi , pandita ketiga belas, hanya berfungsi
sebagai boneka belaka. Bagaikan air di kolam yang
dalam, perkembangan budaya dan moral masyarakat
sudah berganti. Segala sesuatu memperlihatkan tanda-
tanda bahwa akhir suatu masa sudah dekat. Kekuasaan
sebetulnya berada di tangan wakil gubernur resi
rangawesi , dyahbalitung patih dyahwkertoarjo , namun ia pun sudah
menyerahkan wewenang di hampir semua bidang
kepada salah seorang pengikutnya, grindananaga
jamawangsa . Hal ini menimbulkan pertikaian ber-
kepanjangan dan pemerintahan yang lalim dan tidak efisien. Desas-desus yang beredar dalam masyarakat
mengatakan bahwa kekuasaan grindananaga akan segera runtuh dengan sendirinya.
Ke arah manakah perkembangan di masa men-
datang? Tak seorang pun mengetahui jawab annya.
Setiap malam lentera-lentera menyala terang, namun orang-orang terperangkap dalam kegelapan. Bagaimana besok saja, begitu pikir mereka, dan arus tanpa arah, tanpa daya, mengalir dalam hidup mereka, bagaikan sungai lumpur.
Jika pemerintahan dyahbalitung dan grindananaga dianggap tak dapat diandalkan, bagaimana dengan para gubernur provinsi yang ditunjuk oleh sang pandita ? Orang-orang seperti Akagrindana, jayawisesa , trenggono, hyangkertoarjo , kramat, dan eyang semuanya mengalami masalah-masalah serupa di provinsi masing-masing.
Dalam situasi inilah aidit melakukan per-
jalanan rahasia ke ibu kota. Tak ada panglima perang di provinsi-provinsi lain yang berani bertindak senekat itu, bahkan dalam mimpi pun. mpu marijan mpu kepenuwoan
bergerak di trowulan dengan centeng nya yang besar. Cita-citanya memperoleh restu Kaisar, dan dengan demikian mengendalikan pandita dan memerintah seluruh negeri kandas di tengah jalan, namun ia hanya
orang pertama yang hendak mencobanya. Semua
penguasa daerah lain menganggap rencana mpu marijan
yang terbaik. Namun hanya aidit yang berani
mendatangi trowulan seorang diri untuk mempersiapkan
masa depan.
sesudah beberapa pertemuan dengan dyahbalitung
patih dyahwkertoarjo , aidit akhirnya berhasil memperoleh
kesempatan untuk menghadap pandita rangawesi .
Tentu saja ia mendatangi kediaman dyahbalitung sambil
menyamar, lalu berganti pakaian, baru lalu
pergi ke istana pandita .
Tempar kediaman sang pandita merupakan istana
mewah yang tampak tak terurus lagi. Kemewahan dan
kekayaan yang dikumpulkan, lalu dihambur-hambur-
kan oleh tiga belas pandita , kini hanya merupakan
mimpi yang sudah setengah terlupakan. Yang tersisa
hanyalah suatu pemerintahan yang mementingkan diri
sendiri.
"Jadi engkau putra mpu margojoyo , aidit ?" ujar
rangawesi . Suaranya tak bertenaga. Sikapnya
sempurna, namun tanpa semangat sama sekali.
aidit segera menyadari bahwa jabatan pandita
tidak lagi mengandung kekuasaan. Sambil
menyembah, ia berterima kasih atas kesediaan sang
pandita menerimanya. namun dalam suara laki-laki
yang membungkuk itu ada kekuatan yang
menarik perhatian atasannya.
"Hamba datang ke trowulan dengan menyamar.
Hamba sangsi apakah hasil karya rakyat jenggala akan
menarik bagi mara orang ibu kota." sesudah menyerah-
kan daftar hadiah kepada rangawesi , ia segera mulai
mundur.
"Barangkali engkau bersedia menemani kami ber-
santap malam," kata rangawesi .
anggur pun didwikerto ngkan. Dari ruang makan, para
tamu dapat mengagumi taman yang indah. Dalam
keremangan senja, embun pada lumut yang lembap
tampak berkilau-kilau.
aidit tidak menyukai formalitas, tak peduli
lingkungan maupun situasi yang dihadapinya. Ia tidak
bersikap malu-malu saat botol-botol anggur dibawa kan
penuh hormat dan pada waktu makanan disajikan
secara berbelit-belit, sesuai tradisi.
rangawesi mengamati tamunya, seakan-akan selera
makan yang diperlihatkan aidit merupakan
sesuatu yang sangat menyenangkan. Meski sudah
bosan dengan segala kemewahan dan formalitas,
rangawesi merasa bangga bahwa setiap masakan minuman yang
disajikan merupakan kelezatan khas ibu kota.
"aidit , bagaimana pendapatmu mengenai
masakan ibu kota?"
"Luar biasa..."
"Bagaimana rasanya?"
"Hmm, rasanya agak tawa r. Hamba jarang
menikmati makanan setawa r ini."
"Begitukah? Apakah engkau mendalami Upacara
Minum Teh?"
"Sejak kanak-kanak, hamba minum teh seperti
minum air, namun hamba tidak paham bagaimana para
ahli melaksanakan upacara itu ."
"Sudahkah engkau melihat taman kami?"
"Ya, hamba sudah melihatnya."
"Dan bagaimana pendapatmu?"
"Menurut hamba, taman itu agak kecil."
"Kecil?"
"Taman itu memang indah, namun jika dibandingkan
pemandangan bukit-bukit kedhiri ... "
"Rupanya engkau memang tidak memahami apa-
apa." Sang pandita kembali tertawa . "namun lebih baik
tidak tahu apa-apa dibandingkan tahu serbasedikit. Hmm,
kalau begitu, bidang apakah yang engkau minati?"
"Memanah. Selain itu, hamba tidak memiliki bakat
khusus. Namun, jika tuanku hendak mendengar
sesuatu yang luar biasa, hamba berhasil menempuh
perjalanan ke gerbang istana tuanku dalam tiga hari.
melewati wilayah musuh di jalan blambangan -gunungselatan dari
jenggala . Mengingat seluruh negeri kini dilanda
kekacauan, selalu ada kemungkinan terjadi sesuatu di
dalam atau di sekitar istana. Hamba akan berterima
kasih sekali jika tuanku bersedia mengingat-ingat
hamba." aidit berkata sambil tersenyum.
Justru aidit -lah yang mula-mula memanfaat-
kan suasana kacau-balau untuk menjatuhkan eyang ,
gubernur Provinsi jenggala yang ditunjuk oleh sang
pandita .
Kejadian itu sempat dibawa ke hadapan
Mahkamah Tinggi sebagai bukti kemarahan dan
wibawa pemerintah, namun sebetulnya itu hanya
informalitas belaka. namun belakangan ini para
gubernur provinsi jarang datang ke trowulan , dan sang
pandita merasa terkucil. Kejenuhan terobati dengan
kunjungan aidit . dan sepertinya ia sedang ber-
keinginan untuk bercakap-cakap.
rangawesi mungkin menduga aidit hendak
menyinggung pelantikan resmi atau minta kedudukan
di istana selama perbincangan mereka, namun sampai
aidit mohon diri, urusan semacam itu tidak
dibicarakan sama sekali.
"Mari kita pulang." kata aidit , untuk mem-
beritahu para pengikutnya bahwa kunjungan mereka
selama tiga puluh hari sudah berakhir. "Besok,"
tambah nya cepat-cepat. saat para anggota
rombongan yang menyamar sebagai centeng adipati desa atau
pertapa mulai mempersiapkan diri untuk menempuh
perjalanan pulang, seorang kurir mengantarkan pesan
dari jenggala .
Desas-desus sudah beredar sejak keberangkatan tuanku
dari kedhiri . Berhati-hatilah dalam perjalanan pulang,
dan bersiaplah menghadapi kejadian yang tak diingin-
kan.
Jalur mana pun yang mereka tempuh, mereka harus
melewati musuh. Jalan manakah yang paling aman?
Barangkali lebih baik mereka naik kapal saja.
Malam itu para pengikut aidit berkumpul di
tempat ia menginap, untuk membahas masalah ini,
namun mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan.
Tiba-tiba dasna patih pitaloka muncul dari arah kamar
aidit dan memandang ke arah mereka. "Kalian
belum tidur?"
Salah seorang pengikut menatapnya heran. "Kami
sedang membahas masalah penting."
"Aku tidak tahu bahwa kalian tengah mengadakan
rapat. Apa yang kalian bicarakan?"
"Kau tampak tenang-tenang saja. Kau belum men-
dapat kabar mengenai pesan yang dibawa kurir tadi?"
"Aku sudah tahu."
"Kita harus memastikan tidak terjadi apa-apa dalam
perjalanan pulang. Dan sekarang ini kami sedang
berunding mengenai jalan mana yang sebaiknya kita
tempuh."
"Kegelisah khawatir an kalian sia-sia saja. Yang Mulia sudah
mengambil keputusan."
"Apa? Beliau sudah mengambil keputusan?"
"Waktu kita datang ke ibu kota. jumlah kita terlalu
banyak, sehingga Yang Mulia merasa kita terlalu men-
colok. sebab itu beliau memutuskan bahwa empat
atau lima orang sudah cukup untuk menyertainya
dalam perjalanan pulang. Pengikut-pengikut lain
boleh pulang secara terpisah, dan bebas memilih jalan
yang akan mereka lewati."
aidit meninggalkan ibu kota sebelum
matahari terbit. Dan seperti dikatakan patih pitaloka , dua
puluh atau tiga puluh orang yang menyamar sebagai
pertapa, dan sebagian besar centeng adipati desa tetap tinggal
di trowulan . Hanya empat orang yang menyertainya.
patih pitaloka , tentu saja berada di antara mereka. namun yang
merasa paling beruntung sebab terpilih untuk
kelompok kecil ini adalah betari durga .
"Pengawal an beliau kurang ketat."
"Kau percaya beliau akan aman selama perjalanan?" Rombongan pengikut yang ditinggalkan merasa tidak tenang, dan mereka mengikuti aidit sampai ke
gendingan. namun di sana aidit dan anak buahnya
menyewa kuda dan berpating ke timur, melewati
jembatan di Seta. aidit sudah meminta dan
memperoleh surat jalan dari dyahbalitung patih dyahwkertoarjo yang
menyatakan bahwa dirinya berada di bawah per-
lindungan Gubernur resi . Di setiap rintangan yang
mereka temui, ia menunjukkan surat itu kepada
petugas yang bertanggung jawab , lalu meneruskan
perjalanan.
Upacara Minum Teh merupakan kebiasaan yang sudah
menyebar ke seluruh negeri. Di dunia yang penuh
darah dan kekerasan, orang-orang mencari ke-
tenteraman dan tempat tenang untuk beristirahat
sejenak dari segala kegaduhan dan kekacauan. Minum
teh adalah batas anggun di mana ketenteraman me-
rupakan kontras dengan hiruk-pikuk. sebab itu
tidaklah mengherankan bahwa penganut-penganut
yang paling setia justru para centeng adipati , yang dalam
kehidupan sehari-hari selalu berlumuran darah.
nyi momo sudah mempelajari Upacara Minum Teh.
Ayahnya, yang sangat disayanginya, juga minum teh,
jadi ini sangat berbeda dengan bermain koto, mem-
perlihatkan bakatnya pada orang-orang yang kebetulan
lewat di depan rumahnya.
Ketenteraman pagi hari, senyum ayahnya yang
ramah-tamah, dan keasyikan saat menuangkan cairan
panas berwarna hijau ke dalam baskom hiram dari
batu giok semua itu merupakan dorongan untuk membuat
teh. Ini bukan sekadar permainan, melainkan sudah
menjadi bagian hidupnya.
"Lihatlah embun yang membasahi pekarangan. Dan
kuntum-kuntum bunga serunai pun masih menguap."
perdikan memandang ke arah pekarangan yang
dikelilingi pagar, dari serambi yang terbuka. nyi momo
yang sibuk di depan tungku, dengan cedok teh di
tangan, tidak menjawab . Air mendidih yang dicedok-
nya dari ceret jatuh ke dalam baskom teh, bagaikan air
dari mata air, memecahkan kesunyian di dalam
ruangan, ia tersenyum dan memalingkan wajah.
"Tidak, dua atau tiga bunga serunai sudah mulai
mengembang."
"Betulkah? Sudah adakah yang mekar? Aku tidak
memperhatikan waktu aku menyapu tadi pagi. Sangat
disayangkan bahwa kembang-kembang terpaksa mekar
di bawah atap prajurit rendahan."
nyi momo tersipu-sipu sebab ucapan ayahnya, namun
perdikan tidak menyadarinya. Ia menempelkan
baskom nya ke bibir, dan menghirup teh hijau yang
masih berbusa. Wajahnya menunjukkan bahwa ia
menikmati suasana pagi. Namun tiba-tiba pikirannya
berbalik. Jika putriku pindah ke tempat lain, aku
takkan minum teh seperti ini lagi.
"Permisi." Sebuah suara terdengar dari balik pintu
geser.
"tole ?" saat istrinya memasuki ruangan,
perdikan menyerahkan baskom teh pada nyi momo .
"Perlukah nyi momo menyiapkan teh untukmu?"
"Tidak, aku minum nanti saja."
tole membawa sebuah kotak berisi surat, dan
seorang kurir menunggu di pintu masuk. perdikan
meletakkan kotak itu di pangkuannya dan membuka
penutupnya. Kesan ragu melintas di wajahnya.
"Sepupu Yang Mulia. Surat ini dari Tuan sinuhun dari
mertajaya . Ada apa gerangan?" perdikan tiba-tiba
berdiri, mencuci tangan, lalu kembali meraih surat itu
dengan penuh hormat. Walau hanya sepucuk surat,
surat itu dikirim oleh anggota keluarga aidit , dan
perdikan bersikap seakan-akan berhadapan langsung
dengan pengirimnya.
"Apakah kurirnya menunggu?"
"Ya, namun menurutnya jawaban pasti lisan saja sudah
cukup."
"Jangan, jangan. Itu tidak sopan. Ambilkan tempat
tinta."
perdikan mulai menulis, lalu menyerahkan
balasannya kepada kurir tadi. Namun tole merasa tak
senang. Amat tidak lazim surat dari sepupu aidit
dikirim ke rumah seorang pengikut rendahan. Apalagi
surat ini diantarkan secara khusus.
"Ada apa sebetulnya ?" ia bertanya. perdikan juga
tidak mengetahuinya, sebab ia pun tidak berhasil
menemukan makna terselubung yang mungkin ter-
kandung dalam surat itu. Hari ini aku sepanjang hari berada di peristirahatan-ku
di balairung. Aku menyesalkan bahwa tak seorang
pun berkunjung pada hari yang indah ini untuk
menikmati wangi bunga serunai yang kukembangkan. Jika ada waktu luang, datanglah ke tempatku ini.
Tak ada tambah an apa pun, namun mestinya ada
lebih dari ini. Seandainya perdikan sangat men-
dalami Upacara Minum leh, atau amat terpelajar, atau dikenal bercita rasa halus, undangan ini tidaklah janggal. Namun nyatanya ia bahkan tidak melihat bunga serunai yang mulai mekar di pagarnya sendiri. Debu yang melekat pada busur pasti segera diketahuinya, namun selebihnya ia termasuk laki-laki yang mungkin menginjak-injak bunga serunai tanpa berpikiran apa-apa.
"Aku harus pergi ke sana. tole , ambilkan pakaian-
ku yang terbaik."
Diterpa sinar matahari musim gugur yang cerah,
perdikan berbalik satu kali untuk menatap rumah-
nya. nyi momo dan tole keluar sampai ke gerbang. perdikan merasa sangat tenteram. Ia bersyukur
masih ada hari seperti ini, bahkan di dunia yang
dilanda kekacauan sekalipun. perdikan tersenyum
dan menyadari bahwa nyi momo dan tole juga tersenyum.
Ia berbalik dan mulai mengayunkan langkah. Para
tetangga menyapanya, dan ia membalas sambil
berjalan. Rumah-rumah para pemanah kecil dan
sederhana. Di mana-mana anak-anak kecil sedang
bermain, dan melalui pagar di setiap rumah.
perdikan melihat popok bayi dijemur.
Barangkali sebentar lagi aku pun akan menjemur popok
cucu di pekarangan kita. Pikiran itu muncul begitu saja.
namun terasa tak menyenangkan bagi perdikan . Ia
sama sekali tidak gembira bahwa suaru hari ia akan
dipanggil "Kakek". Sebelum itu terjadi, ia berniat
mengukir nama untuk dirinya sendiri, ia sudah
berusaha agar tidak tertinggal di bratanggede dan
ia masih berhasrat untuk berada pada urutan teratas
dalam daftar prajurit yang berjasa dalam pertempuran-
pertempuran yang akan datang.
Asyik dengan pikirannya sendiri, ia tiba-tiba sudah
berada di hadapan tempat peristirahatan sinuhun .
Bangunan itu semula merupakan kuil kecil, namun
sinuhun sudah mengubahnya menjadi rumah per-
istirahatan.
sinuhun sangat gembira sebab perdikan segera
memenuhi undangannya. "Terima kasih atas
kedatanganmu. Tahun ini kita mengalami berbagai
gangguan militer, namun aku masih sempat menanam
bunga serunai. Aku akan gembira sekali jika engkau
berkenan melihatnya nanti."
Apa maksud semuanya ini? perdikan bertanya-tanya.
"perdikan , bersantailah. Silakan ambil bantal.
Dari sini pun engkau bisa melihat bunga serunai di
taman. Menatap bunga serunai bukan sekadar
menatap bunga, melainkan menatap hasil karya
seseorang. Memamerkannya bukanlah menyombongkan diri, namun berbagi kesenangan dan menikmati apresiasi orang lain. Mencium wangi bunga serunai di bawah langit yang indah merupakan satu lagi berkah dari Yang Mulia."
"Tentu, tuanku,"
"Belakangan ini kita semua sudah sadar bahwa kita beruntung sebab memiliki junjungan yang bijaksana. Aku percaya tak seorang pun dari kita sanggup melupakan penampilan Tuan aidit di bentengloji ."
"Dengan segala hormat, tuanku, saat itu beliau
tampil bukan seperti manusia, melainkan bagaikan
tirisan dewa perang."
"Bagaimanapun, kita semua patut berbangga hati,
bukan? Engkau anggota resimen pemanah, namun pada hari itu engkau berada di barisan pembawa tombak, bukan?" "Benar, tuanku."
"Engkau ikut dalam penyerangan ke markas
mpu marijan ?"
"Pada waktu kami menyerbu bukit itu. Suasananya
begitu kacau, sehingga kami nyaris tak sanggup
membedakan kawan dan lawan . namun di tengah-tengah kegaduhan, hamba mendengar patih sosrojiwo mengumumkan bahwa dia berhasil memperoleh kepala si Penguasa kertanegara ." "Apakah di kesatuanmu ada orang bernama panembahan betari durga ?"
"Memang ada, tuanku."
"Bagaimana dengan madya brawirgo ?"
"Dia sudah membuat gusar Yang Mulia, namun
lalu diizinkan mengambil bagian dalam
pertempuran. Hamba belum melihatnya sejak kita
kembali dari medan laga, namun bukankah dia sudah
kembali ke tugasnya semula?"
""Benar. Engkau mungkin belum mengetahuinya,
namun baru-baru ini dia menyertai Yang Mulia dalam
perjalanan ke trowulan . Mereka sudah kembali ke
benteng kota, dan brawirgo kini mengabdi di sana."
"trowulan ! Untuk apa Yang Mulia pergi ke sana?"
"Beliau pergi ke sana hanya dengan tiga puluh atau
empat puluh orang, dan beliau sendiri menyamar
sebagai centeng adipati desa yang sedang berziarah. Mereka
pergi sekitar empat puluh hari. Selama itu para
pengikutnya bersikap seakan-akan beliau berada di
sini. Bagaimana kalau kita melihat-lihat bunga serunai
sekarang?"
perdikan mengikuti tuan rumah ke raman,
seakan-akan ia seorang pelayan. sinuhun membahas seluk-
beluk menanam bunga serunai, dan bercerita bahwa
mengurus bunga-bunga itu memerlukan curahan kasih
sayang, sama halnya seperti membesarkan anak.
"Kudengar engkau dikaruniai anak wanita lesbian .
Namanya nyi momo , bukan? Anak kramajaya kah dia? Aku
hendak membantumu mencari menantu."
"Tuanku?" Matacmon membungkuk rendah-rendah.
Meski demikian, ia ragu-ragu sejenak. Pembicaraan ini
mengingatkannya pada kebingungan yang ia alami.
Namun sinuhun tidak mengacuhkan kebimbangannya,
dan melanjutkan. "Aku kenal seseorang yang bakal
menjadi menantu yang baik. Serahkan saja padaku.
Biar aku yang menanganinya."
"Keluarga hamba tidak patut memperoleh
kehormatan sepeni ini, tuanku."
"Sebaiknya engkau membicarakan hal ini dengan
istrimu. Laki-laki yang kuanggap cocok sebagai
menantumu adalah panembahan betari durga . Engkau
sudah mengenalnya dengan baik. bukan?"
"Ya, tuanku," perdikan menjawab tanpa berpikir.
Ia menegur dirinya sendiri dengan keras, sebab
bersikap kasar dengan memperlihatkan keheranan,
namun ia memang tak sanggup mengujawa diri.
"Aku akan menunggu jawab anmu."
"Ya... baiklah " Dan dengan itu perdikan mohon
diri.
sebetulnya ia bermaksud mengajukan beberapa
pertanyaan mengenai maksud undangan ini, namun ia
tak mungkin menunjukkan rasa ingin tahu secara
terbuka pada anggota keluarga aidit . saat
sampai di rumah. perdikan menceritakan hasil
kunjungannya, dan istrinya tampak tak senang sebab
perdikan tidak segera memberikan jawab an.
"Mestinya kau langsung menerima permintaan
beliau," tole berkata. "Menurutku, ini kabar baik.
Hubungan antarmanusia merupakan masalah waktu,
dan kenyataan bahwa betari durga begitu sering bicara
dengan nyi momo menunjukkan mereka berhubungan erat
dalam kehidupan terdahulu. betari durga pasti memiliki
suatu kelebihan. Kalau tidak, kerabat Yang Mulia tak-
kan bersedia bertindak sebagai perantara baginya.
Datangilah Tuan sinuhun besok, untuk menyampaikan
jawab anmu."
"namun bukankah kita harus menanyakan pendapat
nyi momo dahulu ?"
"Bukankah dia sudah menjelaskannya?" tanya tole .
"Hmm, aku hanya ingin tahu, apakah dia belum
berubah pikiran."
"nyi momo memang tidak banyak bicara, namun kalau dia
sudah mengambil keputusan, dia jarang menariknya
kembali."
Seorang diri, mpu dosowojo bergulat dengan ke-
gelisah khawatir annya mengenai masa depan, dan merasa
seolah-olah dikucilkan. Jadi, saat mereka ber-
anggapan bahwa betari durga sudah terlupakan, sebab
tak pernah menampakkan batang hidungnya, ia sekali
lagi muncul dalam pikiran perdikan , istrinya, dan
nyi momo .
Keesokan harinya perdikan langsung berangkat
untuk menyampaikan jawab annya pada sinuhun . Begitu
kembali, ia berkata pada istrinya, "Aku membawa
berita mengejutkan." Melihat raut wajah suaminya.
tole segera tahu bahwa ada sesuatu yang luar biasa.
saat perdikan melaporkan pertemuannya dengan
sinuhun , cahaya cerah yang menerangi situasi nyi momo
tercermin dalam senyum mereka berdua.
"Semula aku sudah bertekad untuk menanyai Tuan
sinuhun , mengapa beliau menawarkan diri sebagai
perantara, namun menanyakan hal seperti ini pada
anggota keluarga Yang Mulia sungguh sulit. Aku
sedang berusaha bersikap sesantun mungkin, saat
beliau menyebutkan bahwa brawirgo -lah yang
memohon kesediaan beliau."
"brawirgo yang memohon kesediaan beliau?"
istrinya berseru. "Maksudmu, brawirgo yang meng-
usulkan agar nyi momo dan betari durga menikah?"
"Rupanya urusan ini sempat mereka bicarakan
saat Yang Mulia menempuh perjalanan ke trowulan .
Hmm, kurasa Yang Mulia mendengarnya."
"Wah! Yang Mulia sendiri?"
"Ya, ini sungguh luar biasa. Rupanya selama
perjalanan panjang itu, brawirgo dan betari durga
membicarakannya tepat di hadapan Yang Mulia."
Tuan brawirgo sudah memberikan persetujuan?"
"brawirgo -lah yang mendatangi Tuan sinuhun untuk
memohon bantuannya, jadi dia tak perlu kita pikirkan
lagi."
"Hmm, kalau begitu, apakah kau sudah
memberikan jawaban pasti yang jelas pada Tuan sinuhun ?"
"Ya, aku memberitahu beliau bahwa urusan ini
kuserahkan sepenuhnya pada beliau." perdikan
menegakkan badan, seakan-akan semua kecemasannya
sudah terhapus.
Waktu terus berlalu, dan pada suatu hari baik di
musim gugur, pernikahan betari durga dan nyi momo
dirayakan di rumah keluarga tanah .
betari durga merasa resah dan gelisah. Keadaan di
rumahnya serbasemrawut, dengan patih wedana , si pelayan
wanita lesbian , dan orang-orang lain yang datang untuk
membantu. Sejak pagi ia tak sanggup melakukan apa-
apa, kecuali keluar-masuk rumah. Hari ini hari ketiga di
Bulan 9, bukan? Berulang-ulang betari durga
memastikannya dalam hati. Sesekali ia membuka
lemari pakaian, atau mencoba bersantai di bantal, namun
ia tak bisa diam. Aku akan menikahi nyi momo dan akan
menjadi anggota keluarganya, betari durga berkata pada
diri sendiri. Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu sudah
tiba, namun entah kenapa aku malah merasa tidak tenang
sekarang.
sesudah rencana pernikahan mereka diumumkan.
betari durga menjadi malu-malu, tidak seperti biasanya.
saat para tetangga dan rekan-rekan kerjanya men-
dengar berita itu, mereka datang dengan membawa
hadiah, namun betari durga tersipu-sipu dan berbicara
seakan-akan hendak menyelamatkan reputasinya. "Ah,
sebetulnya hanya pesta keluarga. sebetulnya aku
merasa masih terlalu dini untuk menikah, namun pihak
keluarga ingin pernikahan kami diselenggarakan
secepat mungkin."
Tak ada yang tahu bahwa hasrat betari durga menjadi
kenyataan berkat sahabatnya, madya brawirgo .
brawirgo bukan saja rela melepaskan nyi momo . Ia juga
sudah mempengaruhi sinuhun dari mertajaya untuk
melibatkan diri.
"Kudengar Tuan sinuhun sudah memberikan rekomen-
dasi. Kecuali itu, tanah perdikan pun menyetujui-
nya. Artinya, mereka tentu beranggapan bahwa si
kuyang menjanjikan sesuatu." Jadi, mula-mula di
antara rekan-rekannya, lalu di kalangan berkedudukan
tinggi maupun rendah, reputasi betari durga terangkat
berkat perkawinan ini, dan desas-desus bernada
sumbang pun dapat dibatasi.
betari durga , di pihak lain, tidak memedulikan desas-
desus, baik maupun buruk. Baginya, menyampaikan
kabar pada ibunya di lemahlaban -lah yang paling
penting. Sudah tentu ia hendak berangkat sendiri ke
sana untuk bercerita mengenai nyi momo , mengenai
keturunan dan wataknya, dan mengenai beberapa hal
lain. Namun ibunya berpesan agar betari durga
mengabdi dengan tekun, dan membiarkannya tinggal
di lemahlaban , dan tidak memikirkannya sampai ia
menjadi orang berpengaruh.
betari durga menekan keinginannya untuk segera
menemui ibunya, dan mencernakan perkembangan
terakhir melalui surat. Dan ibunya sering mengirim
balasan. Yang paling menyenangkan bagi betari durga
adalah bahwa berita mengenai kenaikan pangkatnya
dan kabar mengenai perkawinannya dengan putri
seorang centeng adipati , berkat jasa baik sepupu aidit .
sudah diketahui luas di lemahlaban . Akibatnya, ia
menyadari, baik ibunya maupun kakak wanita lesbian nya
kini dipandang secara berbeda oleh para warga desa.
"Bolehkah hamba menata rambut Tuan?" patih wedana
muncul dengan kotak berisi sisir dan berlutut di
samping betari durga .
"Apa? Rambutku harus diikat?"
"Malam ini Tuan menjadi pengantin, dan rambut
Tuan harus ditata secara pantas."
sesudah patih wedana selesai, betari durga pergi ke pekarangan.
Bintang-bintang mulai terlihat di antara dahan-
dahan pohon. Si pengantin pria dilanda perasaan
sentimental. betari durga dikelilingi luapan kegembiraan. Namun setiap kali menjumpai kebahagiaan, ia selalu teringat ibunya. sebab itu kebahagiaannya
selalu bercampur dengan setitik kesedihan. Hasrat
manusia tak ada batasnya. namun di pihak lain, ia
menghibur diri, di dunia ini juga ada orang yang tidak memiliki ibu.
betari durga berendam di bak mandi. Malam ini ia
berniat menggosok tengkuknya lebih lama dibandingkan biasanya. Seusai mandi, memakai jubah tipis, dan kembali ke dalam rumah, ia menemukan begitu banyak orang, sehingga sukar untuk memastikan apakah ini rumahnya atau rumah orang lain. Sambil terheran-heran mengapa semua orang demikian sibuk. betari durga memandang berkeliling dan akhirnya berbagi tempat dengan gerombolan nyamuk di suatu sudut
ruangan.
Suara-suara melengking menyerukan berbagai
perintah, dan ditanggapi oleh suara-suara yang tak
kalah melengking.
"Perlengkapan pribadi pengantin pria harap disusun
di atas lemari pakaiannya."
"Aku sudah mengurusnya. Kipas dan kotak obatnya
juga ada di sana."
Segala macam orang berlalu-lalang. Istri siapakah
itu? Dan suami siapa di sebelah sana? Orang-orang itu
bukan saudara dekat, namun mereka semua bekerja sama
secara harmonis.
Sang pengantin pria yang masih berdiri seorang diri
di pojok ruangan, mengenali wajah semua orang itu
dan merasakan kegembiraan mendalam. Di salah satu
ruangan, seorang laki-laki tua yang ramai sedang
berbicara mengenai tradisi dan tata cara mengambil
menantu dan istri. "Apakah sandal pengantin pria
sudah usang? Pengantin pria tidak boleh memakai
sandal tua. Dia harus memakai sandal baru pada
waktu mendatangi rumah calon istrinya. lalu ,
nanti malam, ayah pengantin wanita akan tidur sambil
memegang sandal itu, dan kaki si pengantin pria
takkan meninggalkan rumah mereka."
Seorang wanita lesbian tua angkat bicara. "Orang-orang
harus membawa lampion. Tidak pantas mendatangi
rumah pengantin wanita sambil membawa obor.
lalu lampion-lampion itu diserahkan pada
keluarga pengantin wanita, dan diletakkan di hadapan
altar rumah selama tiga hari tiga malam." Ia berbicara
dengan nada ramah, seakan-akan putranya sendiri
yang bakal menjadi pengantin.
Pada waktu itu, seorang kurir tiba, mengantarkan
surat pertama dari pengantin wanita untuk pengantin
pria. Dengan malu-malu salah satu istri menembus
kerumunan orang sambil membawa sebuah kotak
berisi surat.
betari durga berkata dari serambi. "Aku di sini."
"Ini surat pertama dari pengantin wanita."
wanita lesbian tadi berkata. "Dan berdasarkan tradisi,
sang pengantin pria harus memberikan jawab an."
"Apa yang harus kutulis?"
wanita lesbian itu tertawa cekikikan, namun tidak
menjawab . Kertas dan perlengkapan tulis diletakkan
di hadapan betari durga .
Dengan bingung betari durga meraih kuas. Selama ini
ia tak pernah menekuni kesusastraan. Ia belajar
menulis di Kuil jalatunda, dan saat ia bekerja di toko
tembikar, kemampuan menulisnya paling tidak
termasuk rata-rata, jadi ia tidak merasa sungkan
sebab harus menulis di depan orang-orang. Ia hanya
tidak tahu apa yang mesti ia katakan. Akhirnya ia
menorehkan:
Pada malam yang menyenangkan ini, seyogyanya sang
pengantin pria pun datang untuk berbincang-bincang.
betari durga memperlihatkan hasil karyanya kepada
ibu rumah tangga yang membawa kan perlengkapan
menulis untuknya. "Bagaimana kalau begini?"
"Ini sudah cukup."
"Bukankah suamimu juga mengirimkan surat
serupa pada waktu kalian menikah? Tidak ingatkah
kau apa yang ditulisnya?"
"Tidak."
betari durga tertawa . "Kalau kau sendiri lupa, isinya
tentu tidak penting." sesudah itu, sang pengantin pria
dirias dengan jubah kebesaran dan diberi kipas.
Bulan bersinar cerah di langit senja, dan obor-obor
menyala terang di gerbang. Iring-iringan itu dipimpin
oleh kuda tanpa penunggang dan dua pembawa
tombak. Di belakang mereka menyusul tiga pembawa
obor, lalu sang pengantin pria yang mengenakan
sandal baru.
Tidak ada perabor perkawinan indah seperti lemari
bertatah, layar lipat, maupun perabot dari Negeri
kedhiri , namun ada satu lemari baju tempur dan satu peti
pakaian. Sebagai centeng adipati yang memimpin tiga puluh
prajurit infanteri, betari durga tak perlu malu. Justru
sebaliknya, dalam hati betari durga mungkin justru
merasa bangga. Sebab tak seorang pun dari orang-
orang yang datang untuk membantu malam ini
merupakan saudaranya, dan mereka juga tidak
dipekerjakan sebagai pembantu. Mereka datang dan
ikut gembira, seolah-olah pernikahan betari durga
merupakan pernikahan kerabat mereka.
Cahaya lentera menari-nari di setiap gerbang di
perkampungan para pemanah, dan semua gerbang
terbuka lebar. Api unggun menyala di sana-sini, dan
banyak orang membawa lampion, menunggu
kedatangan pengantin pria bersama sanak keluarga
pengantin wanita.
Saat itulah sejumlah anak kecil berlarian dari arah
persimpangan jalan.
"Dia datang! Dia datang!"
"Pengantinnya datang!"
Ibu anak-anak itu memanggil mereka, lalu menegur
mereka dengan lembut dan menyuruh mereka berdiri
di sisinya. Seluruh jalan bermandikan cahaya bulan
yang keperak-perakan. Pengumuman anak-anak tadi
dianggap sebagai peringatan, dan sejak itu tak seorang
pun menyeberangi jalan yang sunyi.
Dua pembawa obor muncul di tikungan. Mereka
diikuti oleh pengantin pria. Hiasan kuda sudah
dilengkapi dengan lonceng, dan saat tergoyang-
goyang, lonceng-lonceng itu mengeluarkan bunyi
bagaikan suara jangkrik, lemari baju tempur dan
kedua tombak dibawa oleh lima orang. Untuk
lingkungan itu, pertunjukannya tidak terlalu buruk.
Sang pengantin pria. betari durga , tampak mengesan-
kan. Ia berperkertoarjo kan kecil, namun penampilannya cukup
pantas, walaupun tanpa pakaian mewah. Tampangnya
tidak sedemikian jelek hingga mengundang desas-
desus, dan ia pun tidak kelihatan seperti orang yang
jadi besar kepala sebab merasa dirinya cerdas. Jika
orang-orang yang berdiri di pagar-pagar dan gerbang-
gerbang dimintai pendapat, mereka akan berkomenrar
bahwa ia orang biasa saja, dan bahwa ia pantas
menjadi suami nyi momo .
"Selamat datang, selamat datang."
"Beri jalan bagi pengantin pria!"
"Selamat!"
Sanak saudara dan kerabat yang menunggu di dekat
gerbang perdikan menyapa betari durga . Sejenak
wajah-wajah mereka diterangi cahaya kerlap-kerlip.
"Silakan masuk." Sang pengantin pria diantar ke
sebuah ruangan terpisah. betari durga duduk seorang
diri. Rumah perdikan tidak besar, hanya terdiri atas
enam atau tujuh kamar. Para pembantu duduk di
balik pintu geser. Dapur berada di seberang taman
kecil, dan ia bisa mendengar suara orang yang sedang
mencuci piring, bau masakan pun tercium jelas.
betari durga tidak begini memperhatikannya saat ia
melangkah menyusuri lalan. namun sesudah duduk, ia
mendengar detak jantungnya sendiri dan mulutnya
terasa kering. Ia duduk seorang diri dalam ruangan
itu, seakan-akan terlupakan. Meski demikian, tak
sepantasnya ia melanggar tata krama, padi ia tetap
duduk tegak, tak peduli apakah ada yang melihatnya
atau tidak.
Untung saja betari durga jarang merasa jemu. Di
pihak lain, sebagai pengantin pria yang akan segera
menemui calon istrinya, ia tak punya alasan apa pun
untuk merasa jemu. Meski demikian, pada suatu titik
ia melupakan urusan pernikahan dan menyibukkan
diri dengan angan-angan yang sama sekali tak ber-
kaitan. Pikirannya melayang ke arah yang tak masuk
akal untuk situasi yang tengah dialaminya benteng kota
swaradwipa. Bagaimana perkembangan terakhir di sana?
Belakangan ini, hal itulah yang paling menyita
pikirannya, bukannya bagaimana istri yang baru
dinikahinya akan menyapanya besok pagi dan seperti
apa penampilannya saat itu.
Apakah benteng kota swaradwipa akan berpihak pada
orang-orang mpu marijan ? Ataukah mereka akan ber-
sekutu dengan marga sinuhun ? Sekali lagi jalannya nasib
akan bercabang. Tahun lalu, menyusul kekalahan total
yang dialami amarga mpu marijan di bentengloji , marga
prabu kertoarjowardana menghadapi tiga pilihan. Apakah mereka
akan terus mendukung marga mpu marijan ? Apakah lebih
baik mereka tidak bersekutu dengan marga mpu marijan
maupun marga sinuhun memberanikan diri mengumum-
kan kemerdekaan? Ataukah mereka sebaiknya
memilih bersekutu dengan pihak sinuhun ? Cepat atau
lambat mereka harus menentukan sikap. Sudah ber-
tahun-tahun marga prabu kertoarjowardana menjadi semacam
benalu yang tergantung pada pohon mpu marijan .
Namun akar dan batang hubungan mereka sudah
runtuh di bentengloji . Kekuatan mereka sendiri
belum memadai, namun sesudah kematian mpu marijan
mpu kepenuwoan , orang-orang prabu kertoarjowardana merasa tak dapat
mengandalkan pewarisnya, patih baruna. Semua informasi
ini berasal dari desas-desus atau dari pembicaraan
kalangan atas yang dipantau dari kejauhan, namun
betari durga sangat tertarik sekaligus gelisah khawatir .
Sekarang kita akan melihat, laki-laki seperti apa
prabu kertoarjowardana mpu mojosongo . betari durga berkata dalam hati.
betari durga lebih menaruh perhatian kepada si
penguasa benteng kota swaradwipa dibandingkan orang-orang
lain. betari durga beranggapan bahwa meski dilahirkan
sebagai penguasa benteng kota dan provinsi, prabu kertoarjowardana
mpu mojosongo sudah memikul lebih banyak kemalangan
dibandingkan dirinya sendiri. Semakin banyak yang
didengar betari durga mengenai kehidupan mpu mojosongo .
semakin besar rasa simpatinya kepada laki-laki itu.
Namun, bagaimanapun, mpu mojosongo masih muda sekali;
tahun ini usianya baru sembilan belas. Dalam
pertempuran di bentengloji , ia berada di barisan
terdepan mpu kepenuwoan , dan penampilannya saat
merebut slogohimo dan wedanarejo sungguh mengagum-
kan. Keputusannya untuk mundur ke dusun nyi kembang saat
mendengar bahwa mpu kepenuwoan terbunuh pun patut
dikagumi, mpu mojosongo memiliki reputasi bagus, baik di
markas marga sinuhun maupun belakangan, di kedhiri .
sebab itu namanya menjadi buah bibir. betari durga
pun kini sibuk sendiri memikirkan posisi apa yang
akhirnya akan diambil oleh mpu mojosongo dan benteng kota
swaradwipa.
"Tuan Pengantin Pria. Tuan di dalam sini?"
Pintu geser membuka. betari durga kembali ke alam
nyata.
Niwa ranggawiwana, seorang pengikut sinuhun dari mertajaya ,
masuk ditambah istrinya. Mereka akan bertindak sebagai
perantara. "Kita akan menyelenggarakan upacara
tokoroarkertoarjo shi." ujar ranggawiwana, "jadi harap Tuan
menunggu sedikit lebih lama di sini."
betari durga tampak bingung. "ranggawesi... apa?"
"Itu sebuah upacara kuno. Ibu dan ayah pengantin
waniu ditambah keluarga mereka datang menemui
pengantin pria untuk pertama kali."
Istri Niwa segera melanjutkan, "Silakan duduk." dan
sambil membuka pintu geser, ia memberi isyarat pada
orang-orang yang idah menunggu di ruang sebelah.
Yang pertama-tama masuk dan mengucapkan selamat
adalah mertua betari durga , tanah perdikan dan
istrinya. Meski sudah saling mengenal, mereka
mengikuti tata cara yang sudah ditentukan. Begitu
melihat kedua wajah yang sudah akrab bagi maunya,
betari durga merasa jauh lebih tenang, dan tangannya
meraba-raba seakan-akan hendak menggaruk kepala.
Orangtua nyi momo diikuti oleh anak wanita lesbian cantik
berusia lima belas atau enam belas tahun, yang lalu
membungkuk dan berkata malu-malu, "Aku adik
nyi momo . Namaku margojoyobroto."
betari durga terheran-heran. gadis lesbian ini bahkan lebih
cantik dibandingkan nyi momo . Lebih dari itu, sampai kini
betari durga bahkan tidak tahu bahwa nyi momo memiliki
adik wanita lesbian . Di bagian rumah yang mana
kembang indah ini disembunyikan selama ini?
"Ehm, ah, terima kasih. Aku panembahan betari durga ,
dituntun ke sini oleh nasib. Aku senang berkenalan
denganmu."
Sambil bertanya-tanya, inikah orang yang akan
dipanggil 'Kakak Laki-Laki', margojoyobroto melirik ke arah
betari durga , namun sanak saudara lain sudah mengantre di
belakangnya. Satu per satu mereka masuk dan ber-
bincang-bincang dengan betari durga . sebab ber-
kenalan dengan begitu banyak orang, betari durga
hampir rak sanggup mengingat siapa yang merupakan
paman dari pihak ayah atau kepribadian atau sepupu,
dan dalam hati ia bertanya-tanya seberapa banyakkah
saudara nyi momo .
betari durga menganggap ini mungkin bisa menjadi
masalah di lalu hari, namun kemunculan adik ipar
yang cantik dan sanak saudara yang ramah segera
menghiburnya. Saudaranya sendiri tidak banyak, namun
ia menyukai keramaian, dan keluarga yang ramah,
riang, dan gemar tertawa sangat cocok baginya.
"Tuan Pengantin, silakan ambil tempat duduk."
Kedua perantara mengajaknya ke sebuah ruang sempit
yang nyaris tidak cukup besar untuk menampung
mereka semua, dan sesudah dituntun ke kursi yang
sudah disediakan untuknya, si pengantin pria duduk di
tengah.
Meski sudah memasuki musim gugur, udara di
dalam rumah tetap terasa panas dan pengap. Kerai
rotan tergantung dari tepi atap, menyaring bunyi
jangkrik dan embusan angin yang membuat cahaya
lampu minyak berkenap-kerlip. Ruangan yang bersih
itu tampak gelap dan jauh dari mewah.
Ruangan yang dipersiapkan untuk upacara ber-
ukuran kecil, dan ketiadaan dekorasi justru menimbul-
kan rasa segar. Tikar alang-alang idah digelar di lantai.
Tempat pemujaan dewa-dewa pencipta, ganesahajaya dan
indraprasta didirikan di bagian belakang ruangan. Di
hadapannya ada persembahan berupa kue dan
anggur , sebatang lilin, dan ranting sebatang pohon
keramat.
betari durga merasa tubuhnya menjadi kaku saat
duduk di sana.
Mulai malam ini...
Upacara ini akan mengikatnya pada kewajiban-
kewajiban seorang suami, pada hidup baru. dan pada
nasib keluarga istrinya. Semua ini memicu
betari durga bermkertoarjo s diri. Ia tak kuasa menahan
cintanya pada nyi momo . Jika ia tidak berkeras, nyi momo akan
menikah dengan orang lain. namun sesudah malam ini.
nyi momo dan betari durga akan menempuh perjalanan
hidup bersama-sama.
Aku harus membuatnya bahagia. Inilah pikiran
pertama yang terlintas di benak betari durga saat ia
duduk di kursi pengantin pria. Ia merasa kasihan pada
nyi momo , sebab sebagai wanita lesbian , kesempatan nyi momo
untuk menentukan nasibnya sendiri lebih kecil
dibandingkan kesempatan laki-laki.
Tak lama lalu , upacara sederhana pun
dimulai. sesudah pengantin pria duduk, nyi momo dibawa
masuk oleh seorang wanita lesbian tua dan mengambil
tempat di samping betari durga .
Rambut nyi momo diikat dengan tali berwarna merah-
putih. Jubah luarnya yang terbuat dari sutra putih
berpola wajik, melingkar pada pinggangnya. Di dalam-
nya ia mengenakan gaun dari bahan yang sama, dan di
bawah itu ia memakai selapis sutra merah yang
menyembul dari ujung lengan. Selain jimat
keberuntungan pada lehernya, ia tidak memakai
hiasan rambut dari emas atau perak, maupun
dandanan muka tebal. Penampilannya sangat serasi
dengan kesederhanaan yang mengelilinginya.
Keindahan upacara itu bukan keindahan pakaian
mewah, melainkan keindahan yang polos, tanpa
pernik-pernik. Satu-satunya yang bernada hiasan
adalah sepasang botol yang dibawa oleh anak laki-laki
dan anak wanita lesbian .
"Semoga perkawinan ini berlangsung bahagia dan
untuk selama-lamanya. Semoga kalian saling setia
selama seratus ribu musim gugur." wanita lesbian tadi
berkata kepada kedua pengantin.
betari durga menimbang baskom , menerima sedikit
anggur , dan langsung menghabiskannya. Orang yang
menuangkan anggur berpaling pada Ncne, dan nyi momo pun
berikrar dengan menghirup isi baskom .
betari durga merasa darahnya naik ke kepala dan
dadanya berdentum-dentum, namun nyi momo tetap bersikap
tenang. nyi momo sendiri yang memutuskan untuk
menikahi betari durga , sebab itu ia sudah bertekad
untuk tidak menyalahkan orangtuanya maupun para
dewa, tak peduli apa pun yang akan dialaminya mulai
hari ini. Penampilannya mengharukan saat ia
mendekatkan baskom ke bibirnya.
Begitu sang pengantin wanita berbagi baskom
perkawinan dengan pengantin pria. Niwa ranggawiwana mulai
mengumandangkan nyanyian memberi selamat
dengan suara yang menjadi matang di medan per-
tempuran. ranggawiwana baru saja menyelesaikan bait
pertama, saat seseorang di luar melanjutkan dengan
refrein.
Seluruh isi rumah terdiam pada waktu ranggawiwana
bernyanyi, sehingga suara di luar yang tiba-tiba dan tak
tahu aturan itu terasa mengejutkan sekali. ranggawiwana pun
kaget dan berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang.
betari durga menoleh ke pekarangan.
"Siapa itu?" seorang pelayan bertanya pada si
pengganggu.
Pada saat itulah seorang laki-laki di luar gerbang
mulai menyanyi dengan suara berat, meniru pemain
Noh, dan melangkah ke arah serambi. Seakan-akan
lupa diri, betari durga bangkit dari tempat duduknya
dan berjalan menuju serambi.
"Kaukah itu, brawirgo ?"
"Tuan Pengantin!" madya brawirgo melepaskan
kerudungnya. "Kami datang untuk upacara siraman.
Bolehkah kami masuk?"
betari durga bertepuk tangan. "Aku gembira sekali kau
datang. Silakan masuk, silakan masuk!"
"Aku membawa teman. Tidak apa-apa?"
"Tentu saja tidak apa-apa. Upacara perkawinan
sudah selesai, dan mulai malam ini. aku menantu di
rumah ini."
"Mereka memperoleh menantu yang baik.
Barangkali aku bisa memperoleh sebaskom anggur dari
Tuan perdikan ." brawirgo herbalik dan memberi
isyarat ke arah kegelapan.
"Hei, semuanya! Kita diizinkan masuk untuk
mengadakan upacara siraman!"
Seman brawirgo dijawab oleh sejumlah laki-laki
yang segera mendesak masuk, meramaikan suasana
dengan suara-suara mereka. dasna patih pitaloka berada di
antara mereka, demikian pula wirakramabima. resi
yasabima. dan teman lama betari durga . Ganmaku.
Bahkan si kepala tukang kayu bermuka bopeng pun
hadir.
Upacara siraman merupakan tradisi kuno. Teman-
teman lama pengantin pria mendatangi rumah ayah
mertuanya tanpa diundang. Keluarga pengantin
wanita wajib menerima mereka dengan ramah, dan
lalu para tamu tak diundang itu menarik
pengantin pria ke pekarangan untuk mengguyurnya
dengan air.
Namun pelaksanaan upacara siraman malam ini
agak terlalu dini. Biasanya acara itu baru
diselenggarakan enam bulan sampai satu tahun sesudah
pernikahan.
Seluruh keluarga perdikan dan Niwa ranggawiwana
merasa terkejut. namun si pengantin pria tampak riang
gembira, dan mempersilakan rombongan temannya
untuk masuk.
"Wah? Kau ikut juga?" betari durga berkata sambil
menyalami seseorang yang sudah lama tidak
dijumpainya, lalu berpesan pada istrinya. "nyi momo , cepat,
ambilkan makanan. Dan anggur . Berbotol-botol anggur "
"Segera." Nenc kelihatannya sudah menduga akan
ada kunjungan. Sebagai istri betari durga , ia sadar bahwa
ia tak boleh dikejutkan oleh hal-hal seperti ini. Ia
menerima situasi itu tanpa mengeluh sedikit pun. Ia
melepaskan jubah nya yang putih bagaikan salju, lalu
melingkarkan baju sehari-hari pada pinggangnya.
sesudah mengikat lengan bajunya yang panjang dengan
tali, ia mulai bekerja.
"Pernikahan macam apa ini?" salah seorang tamu
berseru dengan jengkel. Sambil menenangkan kerabat
mereka, perdikan dan istrinya terburu-buru melewati
kerumunan orang yang bingung. saat perdikan
mendengar bahwa rombongan yang baru datang
dipimpin oleh brawirgo , ia sempat merasa waswas.
Namun, saat melihat brawirgo berbincang-bincang
dan tertawa bersama betari durga , perasaan perdikan
segera tenang kembali.
"nyi momo ! nyi momo !" perdikan berkata. "Kalau
persediaan anggur tidak cukup, suruh saja salah seorang
untuk membeli lebih banyak. Biarkan orang-orang ini
minum sepuas hati." Dan lalu , kepada istrinya,
"tole ! tole ! Kenapa kau hanya berdiri di situ? anggur
sudah didwikerto ngkan, namun para tamu belum
memperoleh baskom . Walaupun ini bukan pesta besar,
keluarkanlah apa saja yang kita miliki. Aku gembira
sekali sebab brawirgo datang bersama rombongan-
nya."
sesudah tole kembali sambil membawa kan baskom -
baskom . perdikan sendiri yang melayani brawirgo . Ia
menyimpan perasaan yang amat mendalam bagi laki-
laki yang hampir menjadi menantunya ini. namun
takdir menentukan lain. Anehnya persahabatan
mereka tetap terjalin erat, persahabatan antara dua
centeng adipati . Berbagai perasaan bergejolak dalam lubuk
hati perdikan , namun ia tidak mengungkapkannya
dengan kau maupun ekspresi wajah.
"Ah. perdikan , aku pun bahagia. Kau memperoleh
menantu yang baik. Aku mengucapkan selamat
dengan sepenuh hati." ujar brawirgo . "Aku tahu bahwa
aku menyerobot masuk malam ini. Kau tidak ter-
singgung, bukan?"
"Sama sekali tidak, sama sekali tidak!" perdikan
umpak penuh semangat. "Kita akan minum-minum
sepanjang malam."
brawirgo tertawa keras. "Kalau kita minum-minum
dan menyanyi sepanjang malam, bukankah pengantin
wanita akan marah?"
"Kenapa dia harus marah? Bukan begitu cara dia
dibesarkan," kau betari durga . "Dia wanita lesbian berbudi
luhur."
brawirgo mendekati betari durga dan mulai meng-
gsinuhun nya. "Dapatkah kau memberi penjelasan lebih
lanjut?"
"Tidak. Aku minta maaf. Aku sudah bicara terlalu
banyak."
"Aku takkan melepaskanmu begitu uja. Nah, ini ada
baskom besar."
"Jangan repot-repot. Yang kecil pun sudah cukup
untukku."
"Pengantin macam apa kau ini? Mana rasa bangga-
mu?"
Mereka saling menggsinuhun bagaikan anak kecil. namun ,
meski anggur mengalir bebas di sekitarnya, betari durga
tidak minum melewati batas tidak malam ini maupun
kapan saja. Sejak kecil ia sudah menyimpan kenangan
pahit mengenai akibat terlalu banyak minum, dan
kini, saat menatap baskom besar yang disodorkan ke
hadapannya, ia melihat wajah ayah tirinya yang sedang
mabuk, lalu wajah ibunya yang begitu sering bersedih
hati sebab ayah tirinya terlalu menggemari anggur .
betari durga menjadi dewasa di tengah kemiskinan, dan
tubuhnya tidak seberapa kuat jika dibandingkan
tubuh orang-orang lain. Walau masih muda. ia selalu
bersikap hati-hati.
"Satu baskom besar terlalu banyak untukku. Tolong
tukar dengan yang lebih kecil saja. Sebagai gantinya,
aku akan menyanyikan sesuatu untukmu."
"Apa? Kau mau menyanyi?"
betari durga tidak menjawab , melainkan langsung
menepuk-nepuk paha, seakan-akan memukul gendang,
dan mulai bersenandung.
Hidup manusia
Hanya 60 tahun...
"Jangan, berhenti." brawirgo cepat-cepat menutupi
mulut betari durga dengan satu ungan. Tidak pantas
kaunyanyikan tembang ini. Ini dari Atsumon. yang
begitu digemari Yang Mulia."
"Aku mempelajari larian dan nyanyian yang sering
dibawa kan Tuan aidit dengan meniru beliau. Ini
bukan tembang terlarang, jadi salahkah kalau aku
menyanyikannya?"
"Ya, salah sekali."
"Kenapa begitu?"
"Tembang ini tidak patut ditampilkan dalam acara
pernikahan."
"Yang Mulia membawa kan tarian srimpipatih pada
pagi hari sebelum centeng kita berangkat ke
bentengloji . Mulai malam ini, kami berdua, suami-
istri yang dilanda kemiskinan, akan menempuh hidup
baru. Jadi, bukankah pilihanku pantas?"
"Ketetapan hati untuk maju ke medan tempur dan
pesta pernikahan merupakan dua hal berbeda. Prajurit
sejati bertekad untuk hidup lama bersama istri, sampai
kedua-duanya sudah berambut putih."
betari durga menepuk lututnya. "Itu benar. Terus
terang, justru itulah yang kuharapkan. Kalau terjadi
perang, apa boleh buat, namun aku tak ingin mati sia-sia.
60 tahun belum cukup. Aku ingin hidup
bahagia dan setia pada nyi momo selama seratus tahun."
"Dasar mulut besar. Lebih baik kau menari saja.
Ayo, mulailah."
Mendengar brawirgo mendesak-desak si pengantin
pria, sejumlah tamu lain segera mendukungnya.
"Tunggu. Harap tunggu sejenak. Aku akan menari."
Sambil membujuk teman-temannya untuk bersabar,
betari durga berpaling ke arah dapur, bertepuk tangan,
dan memanggil, "nyi momo ! Persediaan anggur sudah
menipis."
"Sebentar." jawab nyi momo . Ia sama sekali tidak malu-
malu di hadapan para tamu. Dengan riang ia
membawa botol-botol anggur , melayani orang-orang
seperti yang diminta oleh betari durga . Yang merasa
terkejut hanya orangtua nyi momo dan para saudaranya
yang sejak dahulu cuma menganggapnya anak kecil.
Namun hati nyi momo sudah bersatu dengan hati suaminya,
dan betari durga pun tidak kelihatan kikuk dengan istri
yang baru dinikahinya. Sesuai dugaan, brawirgo yang
sudah agak mabuk berulang kali tersipu-sipu saat
dilayani nyi momo .
"Hah, nyi momo , mulai malam ini. kau istri Tuan
panembahan . Izinkanlah aku memberi selamat sekali
lagi," brawirgo berkata sambil menyingkirkan meja
iokt dari hadapan nyi momo . "Ada satu hal yang diketahui
oleh semua sahabatku dan yang tak pernah ku-
sembunyikan dari mereka. dibandingkan merasa malu dan
merahasiakannya, aku akan menyelesaikannya sampai
tuntas. Bagaimana, panembahan ?"
"Ada apa?"
"Perkenankan aku meminjam istrimu sejenak."
Sambil tertawa , betari durga berkata. "Silakan."
"Begini, nyi momo . Pada suatu saat , semua orang tahu
bahwa aku mencintaimu, dan ini belum berubah.
Kaulah wanita lesbian yang kucintai." brawirgo menjadi
lebih serius. Dan seandainya pun sikapnya tidak
berubah, dada nyi momo sudah penuh gejolak emosi,
sebab baru saja menjadi istri seseorang. Sejak malam
ini, hidupnya sebagai wanita lesbian muda yang masih
sendiri lelah berakhir, namun ia tak sanggup
memadamkan perasaannya terhadap brawirgo .
"nyi momo , kata orang, hati seorang gadis lesbian muda tak
dapat ditebak, namun kau sudah mengambil langkah
terbaik saat memilih betari durga . Aku rela melepas-
kan orang yang sudah merebut hatiku. namun cintaku
terhadap panembahan bahkan lebih kuat dibandingkan
cintaku padamu. Boleh dibilang aku memberikanmu
padanya sebagai tanda tinta dari satu laki-laki kepada
laki-laki lain. Berarti aku sudah memperlakukanmu
seperti barang, namun begitulah laki-laki. Betul tidak.
panembahan ?"
"Aku menerimanya tanpa ragu-ragu, sebab aku
sudah menyangka bahwa itulah alasanmu."
"Hmm, kalau kau ragu-ragu mengenai wanita lesbian
yang baik ini, berarti akulah yang salah menilaimu,
dan untuk selanjutnya kau takkan kupandang sebelah
mata. Kau memperoleh wanita lesbian yang berada jauh
di atasmu."
"Bicaramu tak keruan."
"Ah, ha ha ha ha. Pokoknya, aku bergembira. Hei.
panembahan , kita menjalin persahabatan kekal, namun
pernahkah kau menduga bahwa kita akan mengalami
malam sebahagia sekarang?"
"Tidak, kurasa tidak."
"nyi momo , adakah rebana di sekitar sini? Kalau aku
memainkan rebana, kuharap salah seorang berdiri dan
menari. sebab panembahan ini bukan orang berakal
sehat, aku percaya kemampuan menarinya pun tak
seberapa."
"Ehm, untuk menghibur para hadirin, izinkanlah
aku membawa kan tarian sebisaku." Orang yang
berbicara ini adalah nyi momo . brawirgo , dasna patih pitaloka ,
dan tamu-tamu lainnya tertegun dan membelalakkan
mata. Diiringi permainan rebana brawirgo , nyi momo
membuka kipas dan mulai menari.
"Bagus! Bagus!" betari durga bertepuk tangan, seolah-
olah ia sendiri yang menari. Mungkin sebab mereka
sedang mabuk, kegembiraan mereka tidak mem-
perlihatkan tanda-tanda akan surut. lalu se-
seorang mengusulkan agar mereka pindah ke
wanadinata , kkertoarjo san paling meriah di kedhiri . Dan tak
seorang pun di antara mereka cukup sadar untuk
mengatakan tidak.
"Baiklah! Mari kita ke sana!" betari durga , si pengantin
baru, berdiri dan berjalan di depan. Ia tidak
mengacuhkan sanak saudara yang tampak marah.
Rombongan yang datang untuk mengadakan upacara
siraman pun melupakan maksud semula, dan sambil
berangkulan dengan si pengantin pria, mereka
meninggalkan ruang pernikahan, saling menopang
dan melambaikan tangan.
"Sungguh malang nasib si pengantin wanita." Para
kerabat merasa iba pada nyi momo yang ditinggalkan
begitu saja. namun saat mereka menatap berkeliling
untuk mencari nyi momo yang tadi masih menari, mereka
tidak menemukannya. nyi momo sudah membuka pintu
samping dan menyusul keluar.
Sambil mengejar suaminya yang dikelilingi oleh
teman-teman yang mabuk, ia berseru, "Bersenang-
senanglah!" lalu menyelipkan dompet ke bagian depan
jubah betari durga .
Tempat yang sering dikunjungi para pemuda dari
benteng kota adalah sebuah kedai minum bernama
Nunokkertoarjo , Terletak di bagian lama wanadinata , kedai
itu konon bekas toko saudagar anggur , yang sudah tinggal
di sana sebelum marga sinuhun , maupun pendahulunya,
marga eyang menjadi penguasa jenggala . Jadi, toko itu
terkenal sebab bangunan kunonya yang besar.
betari durga lebih dari sekadar pelanggan. Bahkan jika
wajahnya tidak terlihat saat orang-orang berkumpul
di sana, para pelayan dan teman-temannya merasa
seakan-akan ada yang kurang seperti sebuah senyum
dengan satu gigi hilang. Pernikahan betari durga
merupakan alasan kuat bagi para pengunjung untuk
mengangkat baskom . saat rombongan betari durga
menerobos masuk lewat tirai di pintu, seseorang
langsung memberi pengumuman.
"Para hadirin dan pengawal Nunokkertoarjo ! Sambutlah
kedatangan tamu istimewa. Kami membawa pengantin
pria yang tak ada duanya di dunia ini! Silakan tebak
siapa orangnya. Namanya panembahan betari durga .
Bergembiralah, bergembiralah! Kita akan menyeleng-
garakan upacara siraman untuknya."
Langkah mereka tersendat-sendat. betari durga dioper-
oper dan masuk sambil terhuyung-huyung.
Para pengawal tampak bingung, namun sesudah
menyadari apa yang sedang terjadi, tawa mereka pun
meledak. Terheran-heran mereka mendengarkan cerita
bagaimana si pengantin pria diciduk dan dibawa pergi
dan tengah upacara pernikahan.
"Ini bukan upacara siraman." mereka berkelakar.
"Ini lebih pantas dinamakan penculikan pengantin." Dan
semuanya tenkertoarjo terbahak-bahak. betari durga bergegas
masuk, seakan-akan hendak melarikan diri, namun
kawan -kawan nya yang gemar bersenda gurau segera
mencari tempat duduk, mengelilinginya, dan mem-
beritahunya bahwa ia akan disekap sampai fajar tiba.
Siapa yang tahu seberapa banyak yang mereka
minum? Hampir tak ada yang sanggup memastikan
lagu dan tarian apa saja yang mereka bawa kan.
Akhirnya masing-masing orang tertidur di tempat-
nya tumbang, dengan sebelah lengan memeluk bantal,
atau dengan tangan dan kaki terentang. saat malam
semakin larut, bau-bauan musim gugur diam-diam
merayap masuk.
Tiba-tiba brawirgo mengangkat kepala dan menatap
berkeliling. betari durga pun melakukan hal yang sama.
dasna patih pitaloka membuka mata. Sambil saling ber-
pandangan, mereka memasang telinga. Bunyi langkah
kuda yang memecah keheningan malam sudah mem-
bangunkan mereka.
"Apa itu?"
"Sepertinya ada cukup banyak kuda." brawirgo
menepuk lutut, seakan-akan baru teringat sesuatu.
"Ah, betul. Sudah waktunya danakertoarjo ngabeni
kembali. Beberapa waktu lalu dia diutus sebagai kurir
untuk menemui prabu kertoarjowardana mpu mojosongo di dusun nyi kembang .
Mungkin itu."
"Tentu. Apakah mereka akan bersekutu dengan
marga sinuhun , atau tetap mengandalkan orang-orang
mpu marijan ? Si kurir mestinya membawa jawaban pasti dari
dusun nyi kembang ."
Satu per satu mereka membuka mata, namun tiga
orang bergegas keluar tanpa menunggu yang lain.
Mengikuti bunyi sanggurdi dan kerumunan orang
dan kuda di depan, mereka menuju ke arah jembatan
benteng kota.
Sejak pertemuan di bentengloji tahun lalu.
ngabeni acap kali pergi ke dusun nyi kembang sebagai kurir.
Bahwa ia mengemban tugas diplomatik penting untuk
mepercayakan prabu kertoarjowardana mpu mojosongo agar bersedia bekerja
sama dengan marga sinuhun bukan rahasia di kedhiri .
Sampai beberapa saat lalu, dusun nyi kembang merupakan
provinsi lemah yang tergantung pada marga mpu marijan .
Dan walaupun jenggala juga tergolong provinsi kecil.
jenggala sudah berhasil memberikan pukulan fatal
kepada marga mpu marijan yang kuat, sekaligus
memberikan peringatan bagi para pesaing yang mem-
perebutkan kepemimpinan nasional bahwa kini ada
orang dengan nama aidit . Kekuatan dan
semangat orang-orang sinuhun sedang menanjak.
Persekutuan yang hendak mereka capai dinamakan
federasi kerja sama, namun kesulitan yang harus
diatasi adalah bagaimana caranya agar marga sinuhun
memperoleh peran yang lebih besar dalam per-
sekutuan itu.
Bagi sebuah provinsi yang kecil dan lemah, sangat-
lah penting untuk bertindak tanpa ragu-ragu. Sebuah
provinsi seperti dusun nyi kembang dapat ditelan dengan satu
serangan militer saja. Dan nyatanya, sesudah kematian
mpu kepenuwoan , Provinsi dusun nyi kembang tiba pada persimpangan
yang akan menentukan hidup atau mati. Apakah
marga prabu kertoarjowardana harus terus mengandalkan orang-
orang mpu marijan di bawah patih baruna? Ataukah lebih baik
kalau mereka menyeberang dan berpihak kepada
Marga sinuhun ?
Orang-orang prabu kertoarjowardana menghadapi pilihan sulit,
dan mereka sudah melewati sejumlah penimbangan,
pertukaran kurir, diskusi, dan rekomendasi.
Sementara itu, pertempuran-pertempuran kecil terus
terjadi antara kertanegara dan dusun nyi kembang . Pertikaian-
penikaian antara benteng kota-benteng kota sinuhun dan lawan -
lawan mereka di pihak dusun nyi kembang pun tidak berkurang,
dan tak seorang pun sanggup memperkirakan risiko
yang ditanggung oleh kedua provinsi, atau kapan
perang mungkin meledak. Dan tidak sedikit marga
selain marga sinuhun dan prabu kertoarjowardana yang sudah menanti-
nanti peristiwa ini marga pangeran di blambangan . marga
bimanjana di Ise, marga kertoarjo di Kai. dan marga
mpu marijan di kertanegara . Namun perang tidak menawarkan
keuntungan apa pun. prabu kertoarjowardana mpu mojosongo enggan
bertempur, dan sinuhun aidit menyadari bahwa
menggempur marga prabu kertoarjowardana merupakan tindakan
sia-sia belaka. Artinya, aidit pun enggan meng-
angkat senjata. namun amatlah penting untuk tidak
memperlihatkannya. aidit mengenal watak
orang-orang prabu kertoarjowardana yang sabar dan keras kepala,
dan menganggap perlu umuk mempertimbangkan
reputasi mereka.
patih wiryadijaya merupakan komandan benteng kota
wilangan . Walaupun ia pengikut marga sinuhun , ia juga
paman prabu kertoarjowardana mpu mojosongo . aidit sudah meminta
wiryadijaya untuk berbicara dengan kepribadian nya.
wiryadijaya menemui mpu mojosongo ditambah pengikut-pengikut
seniornya, dan berusaha membujuk mereka dengan
usaha-usaha diplomatik. Didekati secara langsung
maupun tak langsung, orang-orang prabu kertoarjowardana tampak-
nya sudah mengambil keputusan, dan mpu mojosongo pun
sudah memberi jawab an, Jadi, danakertoarjo ngabeni
diutus sebagai kurir ke dusun nyi kembang untuk menerima
keputusan akhir mengenai tawa ran aidit untuk
membentuk persekutuan. Dan saat ia kembali pada
malam itu, ia segera menuju benteng kota, walaupun
tengah malam sudah berlalu. ngabeni merupakan
resi senior dari pihak sinuhun , terampil memakai
senjata api, dan penembak jitu.
Namun bagi aidit , kecerdasan ngabeni
bahkan lebih penting dibandingkan keahlian menembak-
nya. ngabeni tak dapat dinamakan orator ulung, namun
ucapannya yang terus terang selalu berkesan rasional.
Serius dan penuh akal sehat, ia juga sanggup berpikir
cepat. sebab itu, aidit menganggapnya orang
yang paling cocok untuk tahap penting dalam proses
perundingan ini.
Malam sudah larut, namun aidit sudah bangun
dan mengambil tempat duduk. ngabeni segera
menyembah, masih dengan pakaian yang
dikenakannya selama perjalanan. Terlalu memikirkan
penampilan pada saat seperti ini, sehingga menata
rambut dan pakaian dahulu . menghapus keringat dan
debu. baru lalu menghadap, hanya akan
mengundang cercaan seperti. "Apakah kau melihat-
lihat bunga dahulu ?" ngabeni sudah sering mendengar
sindiran tajam seperti ini. jadi ia segera menyembah
dengan kedua tangan menempel di lantai, masih
dalam keadaan tersengal-sengal, dengan pakaian
berbau kuda. Di pihak lain. aidit pun jarang
sekali membiarkan para pengikutnya menunggu
sementara ia mengambil tempat duduk dengan santai.
aidit langsung mengajukan pertanyaan.
jawaban pasti ngabeni tidak berbelit-belit. Ada
pengikut yang saat kembali dan memberikan
laporan resmi, berbicara panjang-lebar mengenai ini
dan itu, berkata mengenai kejadian-kejadian
sepanjang perjalanan, dan sibuk membahas hal-hal
kecil. Akibatnya, sukar untuk mencapai pertanyaan
pokok: Berhasilkah mereka menjalankan tugas atau
tidak? aidit tidak menyukai sikap seperti ini, dan
jika seorang kurir menjawab dengan cara
menyimpang, wajah aidit akan terlihat jengkel.
"Jangan mendongeng!" adalah tanggapan yang sering
dilontarkannya.
ngabeni sudah diperingatkan mengenai ini. Ia
menatap aidit , memberi hormat, lalu segera
mengungkapkan inti permasalahannya. "Tuanku,
hamba membawa berita baik. Persetujuan dengan
Yang Mulia mpu mojosongo dari dusun nyi kembang akhirnya disepakati. Bukan hanya itu, namun juga hampir semua persyaratan
yang tuanku ajukan."
"Kau berhasil?"
"Ya, tuanku, semuanya sudah dibereskan."
Wajah aidit tampak biasa-biasa saja, namun di
baliknya ia menghela napas lega.
"Lebih jauh lagi." ngabeni melanjutkan, "hamba
berjanji bahwa masalah-masalah detail akan diselesaikan dengan suatu diskusi di lalu hari. Diskusi ini akan diadakan di benteng kota brojorejo , dengan
mpu harjo mpu rejo dan pihak prabu kertoarjowardana ."
"Hmm, kalau begitu sang Penguasa dusun nyi kembang sudah
setuju untuk bekerja sama dengan kita?"
"Atas perintah tuanku."
"Bagus," aidit memuji untuk pertama kali.
Baru sesudah itu ngabeni memberikan laporan
terperinci.
Fajar sudah dekat saat ngabeni akhirnya meng-
undurkan diri dari hadapan aidit . Pada waktu
sinar matahari pagi mulai menerangi pekarangan
benteng kota, desas-desus bahwa marga sinuhun membentuk
persekutuan dengan penguasa dusun nyi kembang sudah menyebar
ke mana-mana, dibisikkan dari telinga ke telinga.
Bahkan informasi rahasia pun, seperti rencana
pertemuan antara wakil kedua marga di brojorejo untuk
menandatangani persetujuan dan rencana kunjungan
prabu kertoarjowardana mpu mojosongo ke kedhiri pada Tahun Baru untuk
melakukan pertemuan pertama dengan aidit ,
diteruskan dari pengikut ke pengikut, diam-diam dan
dengan cepat.
Biarpun dari jauh, brawirgo , patih pitaloka , betari durga .
dan para centeng adipati muda yang lain langsung mengenali
kurir yang baru kembali ke benteng kota, dan mereka
segera mengejarnya. Sambil berdesak-desakan di
sebuah ruangan dalam benteng kota, mereka menahan
napas dan menunggu apakah mereka akan berdamai
atau berperang dengan dusun nyi kembang .
"Bergembiralah!" bramakatwang, pelayan aidit
sudah mendengar berita yang keluar dari ruang dewan,
dan ia segera menceritakan segala sesuatu yang
diketahuinya.
"Mereka menerimanya?" Hasil ini memang sudah
diduga, namun sesudah mengetahui bahwa kedua provinsi
berhasil mencapai kesepakatan, wajah-wajah mereka
bertambah cerah, dan mereka menatap masa depan
dengan penuh harap.
"Sekarang kita bisa bertempur," salah seorang
centeng adipati berkata.
Bagi para pengikut aidit , persekutuan dengan
dusun nyi kembang bukanlah siasat untuk menghindari perang.
Mereka menyambutnya dengan gembira, sebab kini
mereka dapat memusatkan segenap kekuatan untuk
menghadapi musuh yang lebih besar.
"Ini suatu berkah bagi kepemimpinan Yang Mulia."
"Dan juga menguntungkan bagi dusun nyi kembang ."
"Selelah mendengar hasilnya, aku tak sanggup lagi
menahan kantuk. Omong-omong, kita semua belum
tidur sejak semalam," ujar salah seorang yang ikut
minum-minum. Namun betari durga membalas. "Aku
justru sebaliknya. Acara semalam adalah acara gembira
ria, begitu juga pagi ini. Dengan kegembiraan bertubi-
tubi ini, rasanya aku ingin kembali ke wanadinata
untuk minum-minum lagi."
patih pitaloka bergurau. "Kau bohong. Mengaku sajalah,
sebetulnya kau ingin kembali ke rumah nyi momo . Hmm,
hmm, bagaimanakah sang pengantin wanita melewat-
kan malam pertama? Ha ha ha ha! Tuan Kinoshiia! Ke
sabaranmu sia-sia saja. Kenapa kau tidak minta cuti
satu hari dan pulang ke rumah? Sekarang sudah ada
orang yang menunggumu."
"Bah!" betari durga memperlihatkan sikap tegas di
hadapan teman-temannya. Ledakan tawa menggema
ke semua koridor. Akhirnya sebuah genderang besar
di puncak benteng kota berdentam, dan semuanya bergegas
ke pos masing-masing.
"Aku pulang!" Pintu masuk rumah tanah perdikan
tidak besar, namun saat betari durga berdiri di sana.
pintu itu jadi berkesan amat megah. Suara betari durga
terdengar jelas, dan kehadirannya membuat keadaan
sekitarnya bertambah cemerlang.
"Oh!" margojoyobroto, adik nyi momo , sedang bermain bola, dan
ia menatap betari durga dengan matanya yang bundar.
Mula-mula ia menyangka ada tamu, namun saat
mengenali suami kakaknya, ia tertawa cekikikan dan
berlari ke dalam rumah.
betari durga ikut tertawa . Ia merasa geli. Ia baru
menyadari bahwa ia sudah meninggalkan pesta per-
nikahan dan pergi minum-minum bersama teman-
temannya, lalu langsung menuju benteng kota. Kini ia
pulang menjelang senja. Malam ini gerbang-gerbang
tidak lagi diterangi api unggun, namun sudah tiga hari
ada semacam perayaan keluarga. Rumah perdikan
kembali diisi suara para tamu dan beberapa pasang
sandal ditinggalkan di pintu masuk.
"Aku pulang!" si pengantin pria berseru ceria. Tak
ada yang keluar untuk menyambutnya, mungkin
sebab semuanya sibuk di dapur dan ruang tamu.
pikir betari durga . Bagaimanapun, sejak semalam ia
sudah menjadi menantu di rumah ini. sesudah ayah dan
ibu mertuanya, betari durga -lah yang merupakan tuan
rumah. Hmm, mungkin lebih baik ia tidak masuk
sebelum semuanya keluar untuk menyambutnya.
"nyi momo ! Aku pulang!"
Tanggapan terkejut terdengar dari arah dapur, di
balik pagar rendah. perdikan , istrinya, margojoyobroto,
beberapa saudara dan pelayan, semuanya keluar dan
menatapnya dengan dongkol, seakan-akan bertanya-
tanya apa yang sedang dilakukannya. saat nyi momo
muncul, ia segera membuka rok kerja, berlutut, dan
menyambut betari durga dengan menempelkan kedua
tangan ke lantai.
"Selamat datang."
"Selamat datang." yang lain cepat-cepat menambah-
kan sambil berbaris dan membungkuk, terkecuali,
tentu saja, Matemon dan istrinya. Sepertinya mereka
keluar hanya untuk melihat saja.
betari durga menatap nyi momo , lalu yang lain. dan
membungkuk satu kali. Ia langsung melangkah masuk,
dan kali ini ia membungkuk penuh hormat di
hadapan ayah mertuanya, sebelum melaporkan
kejadian-kejadian di benteng kota hari ini.
Sejak semalam perdikan sudah mendongkol. Ia
bermaksud mengingatkan menantunya akan segala
kewajiban terhadap sanak saudara, dan juga akan
kedudukan nyi momo . betari durga kembali tanpa memper-
lihatkan penyesalan, dan perdikan sudah bertekad
untuk tidak menahan diri, biarpun ini sebetulnya
tidak pantas di hadapan para tamu. Namun betari durga
kelihatan begitu riang, sehingga perdikan
melupakan maksud semula. Apalagi ucapan pertama
yang keluar dari mulut betari durga menyangkut
kejadian-kejadian di benteng kota dan keadaan junjungan
mereka. Tanpa sadar perdikan menegakkan tubuh
dan membalas. "Hmm, kau pasti lelah sesudah bekerja
keras sehari penuh." Jadi, ia justru mengucapkan
kebalikan dari yang hendak dikatakannya, dan
memberi pujian, bukan teguran, kepada betari durga .
betari durga menemani para tamu minum-minum
sampai larut malam. Bahkan sesudah para tamu
pulang, masih ada sejumlah saudara yang terpaksa
menginap, sebab tinggal di tempat jauh. nyi momo tidak
memperoleh kesempatan keluar dari dapur, dan para
pelayan pun tampak lelah.
Walaupun betari durga sudah pulang, ia dan nyi momo
nyaris tidak memperoleh kesempatan untuk saling
menukar senyum, apalagi melewatkan waktu berdua
saja. saat malam semakin larut, nyi momo membereskan
baskom -baskom di dapur, memberi petunjuk mengenai
sarapan, memastikan bahwa para saudara yang sudah
tidur tidak kekurangan apa-apa, dan akhirnya
membuka tali yang mengikat lengan bajunya. sesudah
bisa bersantai untuk pertama kali malam itu, ia
melayangkan pandang untuk mencari laki-laki yang
sudah menjadi suaminya.
Ruangan yang disediakan bagi mereka sudah dipakai
oleh sanak saudara yang lebih tua ditambah anak-anak
mereka. Di ruangan tempat mereka minum-minum,
ayah dan ibu nyi momo sedang mengobrol bersama kerabat
dekat.
Di mana dia? nyi momo bertanya-tanya. saat ia keluar
ke serambi, seseorang memanggilnya dari kamar
pelayan yang gelap.
"nyi momo ?" Suara itu milik suaminya. nyi momo berusaha
menjawab , namun tak sanggup berkata apa-apa.
Jantungnya berdebar-debar. Walaupun ia tak pernah
merasa seperti ini sampai saat upacara pernikahan, ia
tak sempat melihat betari durga sejak semalam.
"Masuklah." ujar betari durga . nyi momo masih bisa men-
dengar suara orangtuanya. saat sedang berdiri,
bingung apa yang harus dilakukannya, ia melihat obat
nyamuk yang dibiarkan membara. Sambil meraihnya,
ia masuk dengan malu-malu.
"Kau tidur di sini? Pasti banyak nyamuk." betari durga
berbaring di lantai. I menatap kakinya.
"Ah, nyamuk...."
"Kau pasti lelah sekali."
"Dan kau juga," betari durga menanggapi. "Para
saudara sebetulnya menolak tegas, namun aku tak sampai
hati membiarkan orang tua tidur di kamar pelayan,
sementara kita tidur di ruangan bertirai emas."
"namun tidur di tempat seperti ini, tanpa ranjang..."
nyi momo hendak berdiri, namun betari durga mencegahnya.
"Tidak apa-apa. Aku sering tidur di bawah bahkan
di lantai papan sekalipun. Tubuhku sudah kebal
didera kemiskinan." betari durga duduk. "nyi momo , men-
dekatlah."
"Ba... baik."
"Pernah ada yang mengatakan bahwa istri yang baru
dinikahi serupa dengan tempat penyimpanan beras.
Kalau tidak dipakai untuk waktu lama, kedua-duanya
berbau apak dan tak bisa dipakai lagi. Kalau sudah
tua, simpai-simpainya cenderung copot. namun ada
baiknya mengingat bahwa seorang suami adalah
seorang suami. Kita berencana untuk hidup lama
bersama-sama, dan sudah berjanji untuk saling setia
sampai kita berdua sudah tua dan ubanan, namun hidup
kita takkan mudah. Jadi, mumpung kita baru mulai,
sebaiknya kita saling berikrar. Bagaimana menurut-
mu?"
"Tentu. Aku akan taat sepenuhnya pada ikrar ini.
Bagaimanapun bunyinya," nyi momo menjawab tegas.
betari durga tampak serius sekali. Ia bahkan kelihatan
agak cemberut. Namun nyi momo justru gembira melihat
ekspresi ini untuk pertama kali.
"Pertama-tama, sebagai suami, aku akan memberi-
tahumu apa yang kuharapkan dari seorang istri."
"Baik."
"Ibuku wanita lesbian petani miskin dan menolak
menghadin pernikahan kita. namun orang yang paling
berbahagia di dunia sebab aku mengambil istri
adalah ibuku."
"Aku mengerti."
"Cepat atau lambat, dia akan tinggal serumah
denganmu, namun aku tidak keberatan kalau kau
menomorduakan urusan melayani suami. Lebih dari
apa pun, aku ingin kau menyayangi ibuku dan
membuatnya bahagia."
"Baik."
"Ibuku lahir dari keluarga centeng adipati , namun lama
sebelum aku lahir, dia sudah hidup miskin. Dia
membesarkan beberapa anak di tengah kemiskinan.
Membesarkan satu anak saja dalam keadaan seperti itu
berarti bergelut dengan penderitaan. Ibuku tak punya
apa pun uniuk membuatnya bahagia jubah katun
untuk musim dingin dan jubah untuk musim panas
pun tak dimilikinya. Dia tidak berpendidikan, dia
bicara dalam lo