kan kebebasan berekspresi,
namlrn pada gilirannya, juga akan membahayakan demokrasi
negeri ini," begitu logika EKSPRESI.
Kasus BCG mengulang kembali berbagai kasus pro-kontra
sejenis dalam dunia hiburan dan soal kebebasan berekspresi di Indonesia. Sebelumnya, kasus Inul telah menyita begitLr banyak pikiran
warga masyarakat. Pro-kontra berlangsung hebat. Bahkan seorang
kiai terkemuka yang juga dikenal sebagai seniman dan penyair, KH
Mustofa Bisri, harts merasa ikut membela Inul dengan memamerkan karyanya bempa lukisan berjudul "Zlkir bersama Inul". Dalam
Iukisan itLr Kiai Mustofa melukis sekelompok kiai berpakaian khas
lengkap dengan sarung, jubah putih, dan sorban, duduk berzikir
mengelilingi sesosok wanita bertubuh bahenol yang sedang bergoyang ala penyanyi dangdut kontroversial ihr. Di akhir tahun 2004,
Kiai Mustofa yang didukung oleh tokoh kontroversial lain Abdur-rahman Wahid, batal menjadi salah sahr kandidat kehra tanfidziyah
Nahdlatul Ulama, organisasi ulama terbesar di Indonesia.
Di era globalisasi, dimana proses libaralisasi berlangsung di
berbagai bidang, pro-kontra tentang batas-batas moral akan selalu
terjadi. Kaum sekular-liberal dengan mudahnya berpikir, bahwa
"kebebasan bereskpresi" yaitu "standar moral yang mutlak dan
tidak dapat diganggu-glgat". Jadi, kata mereka, tidak boleh ada
sahr pihak pun yang boleh mengambil alih dan memonopoli
kewenangan dalam melakukan penghuktrman dan pemberangusan,
atas nama apaprm. Baik itu alasan politik, moral, agama, dan adat.
Logika kaum liberal ini berasal dari prinsip "humanisme
sekular", yang menempatkan manusia sebagai Ttrhan. Manusialah
yang menentukan segala hal, dengan kebebasan individunya--asal
tidak merugikan orang lain. Mereka tidak mau ada campur tangan
agama dalam masalah moral. Mereka ingin mengatur diri mereka
sendiri. Mentrrut mereka, Tlrhan tidak berhak campur tangan dalam
urusan kehidupan, karena manusia lebih hebat dari Tirhan. Meskipun agama jelas-jelas melarang, negara, ulama, atau kelompok apa
pun, tidak boleh ikut-ikutan melarang.
Kelompok semacam ini tidak mau bela;'ar dari sejarah dan juga
pengalaman-pengalaman negara lain. Standar moral mereka jtrga
kacau. Pada kasus film BCG, persoalan intinya,--bagi kaum Muslim
--yaitu soal zina, dimana Al-Qur'an sudah menegaskan, agar
jangan sekali-kali mendekati zina. Allah berfirman,
"Dan janganlah kanru mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan tindakan yangburukl'(al-Isra: 32)
Rasulullah saw. bersabda,
Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk
negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiril' IHId.
Thabrani dan Al Hakim)
Beliau saw. juga bersabda,
"Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian,
maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah
Swt., semoga kalian tidak menemui zaman itu. Lima perkara itu ialah: (yang
Pertama) Tidak merajalela praktik perzinaan pada suatu kaunt, santpainrcreka berani berterus-terang tnelaktrkannya, melninkon akan terjangkit
penyakit nrcnular dengan cepat, dan nrcreka akcn ditintpa penyakit-penyakit
yangbelwn pernah nrcnimpa umat-unnt ynng lalu...'.' (HR Ibnu Majah)
Jadi, dalam pandangan Islam, zina yaitu prerbuatan kriminal
kelas berat, dan kejahatan yang sangat serius, sehingga segala hal
yang menjurus ke arah zina, yang mendekati zina, wajib dihrhrp.
Film BCG dengan jelas sekali mengajak masyarakat untuk mendekati zina, yang dalam bahasa Aa' Gym dikatakan, judul film ihr
artinya sama dengan "bnrnan zinahi gue". Kaum sekular-liberal memandang bahwa zina bukanlah kejahatan, karena tidak merugikan
orang lain. Karena ihr, KUHP kita warisan Belanda, juga tidak melihat zina sebagai kejahatan.
Hanya mereka yang telah terikat dengan perkawinan dan kemudian melakukan hubungan seks di luar pernikahan, dapat dikatakan sebagai perzinaan. Itu pun harus ada unsur paksaan atau di
bawah umrlr. Artinya hams ada hrnhrtan dari pihak suami/istri
(pasal284 KUHP).
Karena di mata Islam zina dipandang sebagai kejahatan seritts,
maka segala hal yang menjums kepada zina, sudah semestinya tidak
diizinkan. Termasuk kebebasan berekspresi yang mempromosikan
perbtratan zina. Islam memandang bahwa zina yaitu sumber kehancuran masyarakat, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur'an dan
hadits Rasulullah saw.. Di masyarakat Indonesia, wabah zina dan
pembudayaan perilaku kebebasan seksual di luar nikah sebenarnya
sudah sangat mengkhawatirkan.
Angka aborsi (pengguguran kandungan), misalnya, tampak
fantastis. Thhun 7997,WHO memperkirakan, sekitar 4,2 jrtabayi
digugurkan di Asia Tenggara. Menumt Menteri Pemberdayaan
Perempuan, ketika ihr, Khofifah Indar Parawansa, mengutip data
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dalam tahun
7999-2000, diperkirakan wanita yang melakukan aborsi sebanyak
dua juta orang, diantaranya 750.000 remaja yang belum menikah. Dr.
Biran Affandi SpOG, Kehra Umum Perhimpunan Obstetri Ginekologi Indonesii (POGI), menunjuk angka 2,3 jtta, untuk aborsi di
Indonesia per tahun.
Meruyaknya praktik perzinaan juga sama derasnya dengan
meruyaknya peredaran Narkoba di Indonesia dan berbagai bisniskemaksiatan lainnya. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, pemerintah sendiri punya kepentingan, sehingga tidak serius memberantas
kejahatan jenis ini. Bisnis narkotik per hari mencapai Rp 200 milyar,
bisnis judi Rp 50 milyar, bisnis minuman beralkohol Rp 4 milyar.
Omset bisnis pelacuran sekitar Rp 11 trilyun per tahun. Ketua
Umum Gerakan Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat
memperkirakan, perputaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia mencapai Rp 24 trilyun per bulan, atau Rp 800 milyar per hari.
Dr. Boyke Dian Nugraha mengakui, budaya free sex ada hubungannya dengan penyebaran nilai-nilai Barat yang serba permisif. Filmfilm Barat seperti Dausort's Creek, Beoerly Hills, Melrose Plnce, dan
sejenisnya, sangat digemari penonton TV di Indonesia. Film-film ihr
memberi teladan kebebasan seks di kalangan remaja. Di salah satu
channel TV Malaysia, belum lama ini disiarkan program "The Bachelor" yang mempertontonkan, cara memilih istri bagi seorang profesional kaya. Unhrk sampai ke jenjang perkawinan, diadakannya
iklan bagi para wanita yang berminat menikah dengan dia. Lalu, dia
seleksi satu persahl. Setelah tinggal beberapa orang calon, masingmasing diajaknya berkencan (berzina) secara bergantian, sampai
tinggal dua orang. Terakhir, dua calon terseleksi, dan keduanya
diperkenalkan kepada keluarga si laki-laki, unhrk menilai, mana
dari kedua wanita itu yang layak dikawini.
Apakah kondisi "relativitas nilai" semacam itu yang kita inginkan? Padahal, kondisi semacam itu telah memicu terjadinya lingkaran setan berbagai masalah kesehatan dan sosial, sebagai buah dari
sekularisasi dan liberalisasi moral. Ketika batasan moral diserahkan
kepada akal dan kesepakatan manusia semata, maka akan terjadi
penghancuran batas-batas moral yang pasti. Karena ihr, Islam tidak
mengenal proses "evolusi nilai" secara mutlak. Zina,homoseksual,
perjudian, sejak dulu hingga kini, tetap haram hukumnya. Bukan
nisbi. Promosi nilai-nilai moralitas sekular-Barat yang terlepas dari
agama, menjadikan batas-batas nilai menjadi kabur. Maka, di tengah
masyarakat, bisa muncul persepsi yang timpang. Perzinaan dianggap hal biasa, sedangkan korupsi dipandang sebagai kejahatan
serius. Homoseksual dan pelacuran dipandang bukan dosa, sedangkan poligami dipandang sebagai kejahatan. jika fenomena semacam
ihl sudah muncul, maka nilai moral agama akan hancur dan me-masrlki lingkaran setan kebingtmgan yang tiada ujung. Cara mengatasinya, tenhr saja kembali kepada agama dan tidak mengikuti
langkah-langkah setan yang terkutuk. Wnllnlru a'lam
artikel yang sedang Anda pegang ini sebagian besar
mengungkapkan fakta dan akar historis peradaban Barat
yang bertransformasi dari Clristendom menuju Liberalisme-Sekularisme, serta berbagai persoalan besar yang ditimbulkannya terhadap dunia kita dewasa ini. Dalam pembahasannya, artikel
ini sering menggtlnakan istilah "Barat sekular-liberal". Hal ini,
untuk memrnjukkan bahwa penulis tidak bermaksud memttkul rata
semua yang berasal dari Barat dan bersikap anti kepadanya,
melainkan mengembangkan sikap kritis yang proporsional.
Salah satu tesis penting yang dibahas dalam artikel ini yaitu
"Konfrontasi Permanen" sebagai antitesis terhadap teori "Benturan
Peradaban (the Clash of Civilizations)" dari Bernard Lewis yang
kemudian disebarluaskan oleh Samuel P. Huntington. Kata "konfrontasi" diambil dari tesis Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas
(Bab 11), tidak harus diartikan sebagai "benhlran fisik" atau peperangan militer. Konfrontasi di sini lebih ditekankan pada aspek
intelektual dimana terdapat perbedaan yang mendasar antara Pandangan hidup Islam dengan pandangan hidup Barat, dan bangunan
peradaban yang berdiri di atasnya. Konfrontasi juga tidak berarti
tidak adanya hubungan antara peradaban Islam dan Barat. Dalam
sejarah terbukti, selama konfrontasi fisik berlangsung rahrsan tahun
dalam Perang salib, antara pasukan Muslim dan Kristen, telah terjadi interaksi sosial-budaya yang cukup intensif. Antar peradaban
akan selalu terjadi interaksi, saling memberi dan menerima. Antara
Turki utsmani dengan negara-negara Barat ketika ihr juga terjadi
hubungan diplomatik, disamping terjadi peperangan antarmereka.
Sekarang pun, di saat hubungan antar-negara berlangsung dalam
sihrasi politik internasional yang "utipolnr" di bawah "pax-Antericana", antar negara juga terjadi konfrontasi dan peperangan dalam
berbagai bidang, baik bidang perdagangan, informasi, atau budaya.
Perang dagang selalu terjadi. Perang informasi juga menjadi bagian
dari kehidupan manusia.
Sejak tahun 1970-an, cengkeraman pemikiran sekular sudah
dijejalkan ke murid-murid sMP di Indonesia, misal-nya, melalui
pelajaran sejarah. artikel pelajaran sejarah SMP di masa ihr menggambarkan Musthafa Kemal Atahlrk sebagai pahlawan Ttrrki yang
begitu besar jasanya, seolah-olah tanpa dosa. yaitu artikel-artikel
Btrya Hamka di majalah Pnnji Masynrnknt dalam mbrik Dsri Hnti ke
Hatiyangbanyak membuka mata saya tentang persoalan pergulatan
peradaban Barat, Kristen, Yahudi, dan Islam. Penjelasan mengenai
siapa sesunggt*urya sosok Atahrrk pun saya dapatkan dari buah
pena Buya. Tlrlisan-hrlisan Buya bisa menjadi amunisi untuk
berdebat dengan guru Biologi yang ngotot membela 'keilmiahan,
teori Darwin.
Tulisan pertama saya yang dimuat di media massa tahun 19g9
bercerita tentang trend mode 1990 dan hubungannya dengan hegemoni Barat dalam bidang ekonomi dan kebudayaan. Ketika duduk
di bangku kuliah, di Fakultas Kedoteran Hewan Instihrt pertanian
Bogor, saya menerjemahkan satu makalah bahasa Arab yang menanggapi gagasan "reaktualisasi hukum Islam"-nya Munawir
Syadzali. Sebuah artikel tentang emansipasi wanita dalam Islam yang
ditulis oleh Abdurrahman al-Baghdadi;'uga saya terjemahkan dan
edit. saat berkecimpung dalam dunia jurnalistik, semakin banyak
kesempatan saya unhrk mendalami wacana pemikiran Islam dansekularisme/liberalisme dalam bidang sosial-politik. Menjelang
keberangkatan ke Malaysia untlrk melanjutkan shldi di ISTAC, saya
sempat menulis sahr artikel yang mengkritik gagasan Islam Liberal.
Jadi lebih dari20 tahun, problema pemikiran Islam dan Barat
telah lama menjadi perhatian saya. Kesempatan hadir di ISTAC
tahun 2003 membuka lebar pandangan saya, tentang betapa dalamnya hunjaman pemikiran Barat sekular-liberal ke alam pemikiran
para cendekiawan Muslim. yaitu karya-karya Prof. Naquib alAttas dan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud tentang peradaban Barat
dan peradaban Islam yang banyak menarik perhatian saya. artikel artikel serius dan sangat klasik tentang Barat, Kristen, Yahudi, yang
cukup melimpah di perpustakaan ISTAC memberikan kesempatan
kepada saya unhrk mengkaji masalah ini lebih mendalam. Diskusidiskusi saya dengan Prof. Wan--begitu kami memanggilnya-tentang
berbagai aspek seputar peradaban dan epistemologi Islam dan Barat
cukup banyak membantu memahami masalah Islam dan peradaban
Barat, baik pemikiran al-Attas maupun pemikiran cendekiawan lain,
dengan lebih komprehansif.
Pemikiran dan pribadi Prof. Naquib al-Attas akan cukup
banyak dipaparkan dalam artikel ini. Sedangkan sosok Prof. Wan
Mohd Nor Wan Daud, yang juga memberikan pengantar unhrk
artikel ini, bisa secara ringkas diperkenalkan dalam pengantar ini.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud,lahir di Kelantan,23 Desember
1955. Ia menyelesaikan B.Sc. (Hons) Biology dan M.Sc. Ed (Kurikulum dan Pengajaran) dari Northern Illinois University (NIU), De
Kalb, Illinois, USA. Thhun 1987 menyelesaikan Ph.D. di Chicago
University dengan tesis berjudrtl "Tlrc Concept of Knowledge in Islant
and lts lntplicatiotts for Education in tlrc Malaysian Concept" di bawah
bimbingan Prof. Fazlur Rahman.
Beliau sejak 1988 ikut merintis ISTAC dan membantu Prof. Naquib al-Attas dalam setiap aspek akademis dan pelajar. Tahun L998
menjabat Deputy Director ISTAC. Pernah aktif dalam organisasi
sebagai "Nationnl President of tlrc Malaysia lslanic Study Group of tlrc
Llnited Stntes and Canada" (1981.-1982), dan "President of tlte Mtslint
Students" Associntion of tlrc Llnited Stntes nnd Canndn" (1982-1,983).
|trga sebagai anggota "Mnjlis al-Slura of the Islnmic Society of North
Americn (ISNA)";angota " Adaisory Bonrd of TODA lnstitute for GlobnlPeace and Policy Researclt, Honolulu, Hawaii; dan anggota "lntenmtional Adaisory of Post-graduate program for Islantic Studies, Llniaersity of
Melbourne, Australin" .
artikel -artikel dan makalahya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: Persia, Rusia, Bosnia, Turki, Jepang, dan Indonesia. Di
antara btrkunya: Budnya llmu: Konsep, Prasyarat don Pelnksanann di
Malnysin, The Concept of Knoruledge in lslam and lts lrrtplicntions for
Educntiotr in n Deueloping Cottntry, Penjelasan Budnyn lltrtu, Tlw Beacon
on the Crest of n Hill: A Brief History ond Philosophy of tlrc Internntionnl
Ittstitute of lslnrnic Tlnugltt and Ciailizntion (ISTAC), Konsep llrrru Dalant
Islam, K.onsep Pengetnlnmn dalam lslant, Tlrc Educntional Plilosoplry and
Practice of Syed Mtilmnmrad Nnquib nl-Attns: An Exposition of tlrc
Originnl Cotrcept of lslanizntion (telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Irrdonesia dan Melaytt), Pentbotlgunan Di Malaysin: Ke Arah Satu
Kefahaman Bnru yang Lebilt Sentpurnn. Bukt puisinya mengenai
agama, filsafat, dan masyarakat yang berjudul Mutinro Tnman Adabi
dipuji oleh sastrawan senior Malaysia, Afandi Hasan, sebagai
"berhasil memberikan bara intelektual" dan kualitas sajak-sajaknya
tidak kalah dengan sajak Sutan Takdir Alisyahbana. artikel puisi ke
dnanya, Dalam Terang,juga telah diterbitkan.
Dalam pertjelasannya kepada Majalah ISLAMIA (edisi ke-Z/
2004), Prof. Wan menyatakan:
"Al-Attas mengajar saya unhlk memahami sistem metafisika
Islam dan akhlak tinggi dan menghidupkannya dalam diri dan
perbuatan sebaik dan seikhlas mungkin: Bahwa Allah Tn'nln
bukan sekadar Esa dan Wujud, tetapi senantiasa hadir. Al-Attas
dengan pengajaran dan amalannya menunjukkan jalan unftik
membuat Islam bukan sekadar agama yang agrmg dan tinggi
tetapi sebagai peradaban/tamadun yang hidup, sebagai identitas diri dan sebagai lingkungan Al-attas juga menunjukkan
kesanggupannya menghormati pandangan-pandangan yang
berbeda, yang didiskusikannya dengan kritis dan berani dan
kesediaannya menerim a I u tj j al iln j j ah yang lebih baik. "
Melalui perspektif al-Attas ihllah, bacaan tentang infiltrasi,
invasi, dan pergulatan pemikiran keagamaan di Indonesia dapat
disimak dengan lebih gamblang. Sejak sekitar 20 tahun lalu, duniapemikiran Islam di Indonesia sebenamya mulai memasuki "wajah
barlr" menyusul membaniirnya artts dan pola pemikiran Barat dalam sttrdi keislaman (lslnntic sttrdle.s). Berbagai Perguruan Tinggi, baik
Islam mauprln Kristen, menawarkan Program Religious atau lslamic
Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua
dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi
ke Barat untuk belajar Islam. Mereka kemtrdian kembali dan mempromosikan gagasan dan metodologi Barat dalam studi Islam.
Menurut Prof. Dr. Mashlhu, "Jika diamati secara mendalam, studi
keislaman di IAIN dan di tanah air pada umlrmnya masih banyak
didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis) dan kurang wawasan empiris-historis." (Lihat: Trndisi Baru Penelitian Agnmn Islnnt.
Bandung: Pusjarlit dan Penerbit Nuansa, 1998, hlm. x). Karena itu,
menumt para penyokong metode Barat, mempelajari dan menguasai gagasan-gagasan para pemikir Barat menjadi suahl "keharttsan".
Persoalannya, tenhr bukan sekedar belajar. Bukan transfer
pengetahuan semata, lalu selesai. Tetapi, sejauh mana para sarjana
Muslim mamptl menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran tersebut--temtama yang menyangkut masalah-masalah yang di dalam tradisi dikategorikan sebagai "yang
strdah mapant" (tsawabit-yang oleh Arkoun disebut sebagai "tlrc unthinknble",seperti persoalan-persoalan akidatu otentisitas Al-Qur'an,
kehujjahan hadits Nabi Muhammad saw, dan sebagainya). Suahr ide
atau teori tidaklah munctrl begihr saja, tanpa sejtrmlah asumsi dan
presuposisi. Demikian pula gagasan pemikiran, tidak bisa terlepas
dari konteks peradaban di mana teori ihr dilahirkan. Thnpa menafikan hal-hal yang sifatnya universal dalam setiap pemikiran, tidak dapat dinafikan sama sekali adanya perbedaan-perbedaan prinsipil
yang melandasi dan melatarbelakangi suatu gagasan. Sekularisme
dan liberalisme yang lahir dari rahimperadaban Barat tidak terlepas
dari problema sejarah dan keagamaan Kristen di Barat. Jika ditelaah
lebih cermat, ada perbedaan yang ftindamental antara Islam dan
Kristen, baik tinjauan teologis maupun historisnya. Karena itu, seyogianya kaum Muslim bisa mengambil sesuatu yang bermanfaat
dari Barat, tanpa menghancurkan bangunan Islam. Tidak perlu
mengikuti tradisi kaum pemikir Kristen Barat yang kecewa pada
doktrin-doktrin dan sejarah agama mereka, lalu mengaplikasikanmetodologi sekular-liberal dalam memahami Islam.
Kini, fenomena "hegemoni Barat" dalam lslnmic Studies di
berbagai perguruan tinggi Islam sungguh-sungguh merupakan hal
yang mencengangkan; sesuatu yang kira-kira 10 tahun lalu, tidak
terbayangkan oleh banyak cendekiawan Muslim Indonesia. Sepanjang tahun 2004, ketika saya dengan sejumlah teman-teman INSISTS
(Institute for Tlte Study of lslanic Tlrouglt nnd Ciailiznfion) melakukan
sejumlah acara workshop tentang pemikiran Islam dan Barat di
beberapa perguruan tinggi dan pondok pesantren, paham pluralisme agama/ metode hermeneutika dalam shrdi Al-Qrlr'an, liberalisme moral, dan sebagainya sudah menyebar, laksana virus atau
"penyakit mennlar" yang ganas. Paham-paham dan pemikiran yang
membongkar asas-asas Islam, bahkan yang terang-terangan melecehkan Islam, mendapat sokongan luas di kalangan dosen dan
mahasiswa perguruan tinggi Islam.
Tenhr saja harus diakui, Barat memang memiliki berbagai keunggulan dalam shrdi Islam, karena mereka sudah menyiapkan hal
ini dengan sungguh-sungguh selama rahrsan tahun. Literatur-literatur keislaman juga berhasil mereka himpun dengan baik. Sarjanasarjana dan pakar di berbagai bidang kajian Islam juga sudah mereka
miliki. Dengan keunggulan ekonomi, mereka juga memberikan
fasilitas belajar yang nyaman kepada banyak sarjana Muslim dari
berbagai dunia Islam. Maka, setiap tahun, kita menyaksikan ribuan
sarjana Muslim belajar tentang Islam kepada sarjana-sarjana Yahudi
dan Kristen. Sementara itu, pada saat yang sama, hampir tidak
ditemukan, ada sarjana Kristen-Yahudi yang belajar tentang agama
mereka kepada sarjana Muslim.
Tentu inibahan untr.rk introspeksi diri. Belajar kepada siapa saja
memang tidak salah. Yang penting memahami, mana emas dan
mana besi berkarat, mana slnmpoo dan mana oli. Unhlk memahami
itu tentunya perlrr persiapan yang matang. Sedangkan ironisnya,
fasilitas kajian tentang hal itu di Indonesia masih sangat minim.
Padahal, unhrk kebutuhan saat ini, untuk menjadi Muslim yang
berkualitas, mutlak diperlukan pemahaman terhadap Islam yang
baik, sekaligus memahami peradaban Barat. Sebab, peradaban
Baratlah yang sekarang sedang menguasai dunia dan memaksakan
nilai-nilai dan pandangan hidupnya--disamping produk-produkekonominya--untuk dikonsumsi umat manusia.
Sebagaimana bisa disimak dalam artikel ini, peradaban Barat
sejatinya mempakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno,
Kristen, dan tradisi paganisme Eropa. Meskipun Barat telah menjadi
sekular-liberal, namun sentimen-sentimen keagamaan Kristen tems
mewarnai kehidupan mereka. |ika dalam masa kolonialisme klasik
mereka mengusung jargon "GoId, Gospel, dan Glory", maka di era
modern, dalam beberapa hal, semboyan itu tidak bembah. Jika dianalisis secara mendalam, serbuan AS terhadap Irak tahun 2003 dan
dukungannya yang terus-menems terhadap Israel, juga tidak terlepas dari unsur "Gold, Gospel, dan Glory". Meskipunberbeda dalam
banyak hal, unsur-rlnsur Barat sekular-liberal kadang bisa bertemu
dengan kepentingan "misi Kristen", atau "sentimen Kristen."
Di masa klasik dulu, seorang misonaris legendaris Henry
Martyn, menyatakan, "Saya datang menemui umat Islam, tidak
dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi
dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta." Ia
berpendapat, bahwa Perang Salib telah gagal. Karena ihr, untuk
"menaklukkan" dunia Islam, dia mengajukan resep: gunakan "kata,
logika, dan cinta". Bukan kekuatan senjata atau kekerasan. Misionaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan hal senada, "Kulihat
banyak ksatria pergi ke Thnah Suci di seberang lautan; dan kupikir
mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya
semlra hancur sebelum mereka mendapat apa yang tadinya
ingi. mereka rebut."
Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor di "Church
Missionary Society", tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah
Kristen dibandingkan Raymond LulI. Lull, kata Stock, yaitu
"misionaris pertama bahkan terhebat bagi kaum Mohamtnedans".
Ihrlah resep Lull: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan "darah dan
ait rtrata", tetapi dengan "cinta kasih" dan doa.
Ungkapan Lull dan Martyn ihr diungkap oleh Samuel M.
Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam
btrkunya " Islotn: A Challen ge t o F aith" (terbit pertama tahun 1907). Di
sini, Zwemmer memberikan resep unhlk "menaklukkan" dunia
Islam. Zwemrner menyebutartikel nya sebagai "studies on tlrc Moham'
medan religion and tlrc needs and opportunities of the Molnmmedan WorldFrom tlre standpoirrt of Clfistiott Missiorts".
Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum Muslim
yaitu sahl kehamsan. Jika tidak, maka dunia pun akan diislamkan.
Dalam laporan tentang "Centenary Conference on the Protestant
Missions of the World" di London tahun 1888, tercatat ucapan Dr.
George F. Post, "Kita hams menghadapi Pan-Islamisme dengan PanEvangelisme. Ini pertamngan hidup dan mati." Selanjutnya, dia
berpidato:
"..kita hams masuk ke Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita
harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orangorang ini atau mereka akan berbaris melewati gurun-gumn pasir
mereka, dan mereka akan mereka akan menyapu seperti api yang
melahap kekristenan kita dan menghancurkannya. Ringkasnya,
misionaris ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka
akan mengganyang Kristen! "
Kekuatan "kata" yang dipadu dengan "kasih" seperti yang
diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius. Konon,
" or ang l awa "--sebagaimana humf f awa--akan ma ti jika "dipangku".
fika seseorang dibanhr, dlbiayai, diberi perhatian yang besar (kasih),
maka hatinya akan luluh. Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak
selalu. Simaklah kasus Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid,
bagaimana pemikiran dan keyakinan mereka bembah. Simaklah,
sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini, bagaimana kekuatan ide
"freedom" dan "liberalisme" mampu menggulung sebuah imperitrm besar bernama Thrki Utsmani. Ketika kaum Muslim tidak lagi
memahami Islam denganbaik, tidak meyakini Islam, dan menderita
penyakit mental minder terhadap peradaban Barat, maka yang
terjadi kemudian yaitu upaya imitasi terhadap apa saja yang
dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Mtrda
menyatakan, "Yang ada hanya satu peradaban, dan ihl yaitu
peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat,
baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus."
Sekularisme dan liberalisme di Barat telah memukau banyak
umat mantrsia. Gerakan pembebasan (Liberntion nloaemenf) di berbagai dunia mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaihr
"Revolusi Perancis" dan "kemerdekaan AS" . A Neu Encyclopedia of
Freemasonry (1996), mencatat bahwa George Washington, ThomasJefferson, John Hancock, Benjamin Franklin yaitu para aktivis Free
Mansory. Begihr juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin
Simon Bolivar dan Jose Rigal di Filipina. Ide pokok Freemasonry
yaitu "Llberty, Equality, and Fraternity". Di bawah jargon inilah,
jutaan orang "tertarik" unhlk melakukan apa yang disebut sebagai
"kemerdekaan abadi semua bangsa dari tirani politik dan agama".
Dalam Revolusi Prancis, jargon Freemasonry ihr juga menjadi jargon
resmi.
Dalam konteks Utsmani ketika itu, Sultan Abdulhamid II diposisikan sebagai "kekuatan tiran\". Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, tampakny a, yartg diposisikan sebagai "ecclesiastical tyranny" yaitu "teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah",iuga khazanah-khazanah Islam klasik karya para ulama Islam terkemuka.
Perlu ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan
liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Rene Guenon, gurlr dari Frithjof Schuon, (pelopor Sagasan
pluralisme), misalnya, yaitu aktivis Freemasonry. Adakah misalnya pengaruh aktivitas Afghani di Freemasonry dengan pemikiran
Abduh atau tafsir al-Manamya Rasyid Ridla? Masih perlu diteliti.
Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari "teks", dekonstmksi
tafsir Qur'an (laltr menggantinya dengan metode hermenuetika
yang banyak digunakan dalam tradisi Bible), dan sebagainya, cukup
sering temngkap.
Kekuatan "kata" dan "kasih" terbukti ampuJr dalam sejarah
dalam menggulung kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik, seperti "ortodoks", "beku", dan "berorientasi masa lalu", "emosional". Sejarah
menunjukkan, kolaborasi cendekiawan Ttrrki, Kristen Eropa, dan
Zionis Yahudi berhasil menggulung Thrki utsmani. Ironisnya, dua
dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul
hamid II pada 7909, yaitu non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel
Karasu (tokoh Yahtrdi).
Dalam artikelnya di Harian Republikn, (Jumat, 21 Mei 2004)
yang berjudrl "Mendudukkan Orientnlis", Hamid Fahmy Zarkasyi
menekankan, bahwa kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimana pun ilmiahnya,ia tetap berpijak pada presuPPosisi Barat, dan
terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad yaitu utrlsan Allah, dan Al-Qur'an yaitu firman Allah tidak menjadi asas
bagi kajian mereka. Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai
agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui Al-Qur'an
sebagai firman Allah. Sebab Al-Qur'an memuat banyak kecaman
terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani, seperti:
"Sexmggttlmya telnlt kafirlalt orang-orang yang berkota sexmggulutyn
Allalt inlolt ol-Mnsilt putero Mnrynm"(al-Maidah [5]:17; dan juga ayat
72); " Seswtggrilrnyn knfirlnh orotlg-orang yotlg nrcngotnknn Ltahunsonnyo
Allalt snlalt sntu dnri ynng tign" (al-Maidah [5):73); "Dnn knrenn ucopotl
rrtereka sexurggulutya knni telalt nrcnfuunuh Isa nl-Mnsih, lso putra
Maryant, RnsrLl Allnlt, pndnlml mereka tidnk nrcnfuunuhnyn dnn tidnk
ntenynlibnya, tetapi orang ynng disentpnkan dengnn Isn bngi nrcreka" (alNisa [4]: 157); dan berbagai ayat lainnya.
Kandungan Al-Qur'an yang mengecam ajaran Yahudi dan
Kristen seperti ihr jelas akan menuai reaksi balik sepanjang masa,
selamanya. Seorang Kaisar Byzantium, Leo III (717-741M), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf a1-Tsaqafi, seorang gubermrr
di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah
mengubah Al-Qur'an (Arthur Jeffery: "Ghevond's Text of the
Correspondence between Umar II and Leo III", Harvard Theological
Review, 269-332). Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 rnenyebut Rasulullah saw. sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau
dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam
bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam
mengajarkan anti-Krishrs. John of Damascus berpendapat bahwa
Muhammad yaitu seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh.
Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah
sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya,
Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena
nafsu seksnya tidak tersalurkan. (Daniel J Sahas, John of Damascus
on Islam: "Tlrc Heresy of the lslmnelites", Leiden: E. J. Brill, 1972,hlrn.
67-e5)
Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris
yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat, Muhammad yaitu
seorang mannsia padang pasir yang liar (n wild man of desert). Bede
menggambarkan Muhammad sebagai kasar, cinta perang dan
biadab, buta humf, berstahls sosial rendah, bodoh tentang dogma
Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim dirinya nabi. Sikap menghina Rasulullah saw. berlanjut pada
zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah saw. disebut
sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam
bahasa Prancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang
sinonim dengan setan, berhala. ]adi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, ia mempakan seorang penyembah
berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh. Kata Mahound
inilah yang digunakan pula oleh Salman Rushdie sebagai tokoh
trtama dalam novel Tlrc Sntnnic Verses.
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman
Reformasi (Reformation) Barat, pencitraan bumk terus berlanjut.
Marlowes Thmburlaine menuduh Al-Qur'an sebagai "karya setan".
Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan
mengutuknya sebagai anak setan. Pada zaman Pencerahan Barat,
Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis, dan
pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah saw. beserta AlQtrr'an tems menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan; "Pada
zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang di atas kritik, dan
suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar
bahwa Muhammad tidak pernah ada."
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun
1930 dengan berjudul "Did Muhamrnad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi
tentang kehidupan Muhammad yaitu buatan belaka. Muhammad
yaitu "fiksi yang wajib" karena selalu ada asumsi "setiap agama
hams mepunyai pendiri". Sikap para orientalis seperti ihr tidak bisa
disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis
klasik sekalipun dengan kadar, cara dan strategi yang berbeda.
Intinya sama sa;'a yaihl mengingkari kenabian Muhammad dan
kebenaran Al-Qur'an. Penolakan seperti ihl yaitu loci conurumes
(common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dime-ngerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya
Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah saw. dan Al-Qur'an tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam
sejak D.B. MacDonald, Alfred Gullimaune, Montgomery Watt, atau
sebelumnya hingga Majid Fakhry Henry Corbin, Michael Frank,
Richard J. McCarthy,Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain
mempunyai frnmework yang hampir sama. Di antara asumsi yang
umtlm mereka pegang erat-erat yaitu bahwa filsafat, sains, dan
hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah "carbon copy" dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus filsafat
di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat
metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di
zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidttp Islam yaitu unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta
menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Sebab, asumsi dan
jtrga konsekuensi dari frantework di atas yaitu pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Tiansmisi
ilmtr pengetahuan melalui sumber yang disebut kabar mutnuntir
tidak diakui oleh mereka sebagai valid. Jadi, sekalipun pengetahuan
mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun
kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan
kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang
umurrr dan universal. Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik
seperti tentang sejarah Al-Qur'an, etika dalam Islam, politik dalam
Islam, dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai
suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan
tradisinya sendiri. Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman,
misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-hllisan mereka. Ilmu-ilmu
keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya unturk
beriman kepada Allah swt.. Tidak juga membuat mereka sendiri
yakin dengan kebenaran Islam. Yang jelas mereka tidak bisa disebut
sebagai ulama.
Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam yaitu agama danpandangan hidup yang telah melahirkan Peradaban yang gemilang.
"IJnhlk mempertahankan dan mengembangan peradaban
Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur
peradaban asing. Sebaliknya tmtllk bersikap adil terhadaP peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala
macam unslrr dari peradaban lain tanpa Proses adaptasi."
Demikian paparan Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur INSISTS
(Instihrte for the Shrdy of Islamic Thought anci Civilization). Dua
kalimat terakhir paparan Hamid Fahmy iht perlu digarisbawahi.
Bahwa, sejak kelahirannya, Islam tidak pernah menolak berinteraksi
dengan peradaban lain. Ketika ihr, di masa-masa embrionalnya,
Islam sudah berhadapan dengan dua peradaban besar, Persia dan
Romawi, tetapi Islam tidak minder dan gentar. Secara keilmuan
kemudian terbukti, para cendekiawan Muslim mamPtl menyeraP
berbagai khazanah keilmtran asing, melalui Proses adopsi dan adaptasi, yang sebenarnya mempakan Proses Islamisasi ilmu. Proses
"menolak" (radd) dan "menetapkan" (itsbnt) praktis berlangsung
dengan baik. Peradaban Islam berkembang dengan gemilang dan
bertahan selama rahlsan tahun, dengan proses semacam ihl.
Tentu saja, kini, persoalannya meniadi lain. Di samping hegemoni peradaban Barat yang sangat kuat, tradisi keilmuan di kalangan katrm Muslim juga tidak berkembang dengan baik. Banyak tokoh
Muslim berpikir jalan pintas, bahwa keagungan Islam akan bisa dicapai jika kekuasaan politik mereka pegang. Politik, ekonomi, informasi, yaitu sektor-sektor penting dalam kehidtrpan manusia. Kattm
Muslim tentu saja seyogianya memiliki potensi-potensi itu. Tetapi,
semua ihr hams berbasiskan keilmuan yang tinggi. Tiadisi keilmuanlah yang akan mamPu membangkitkan sahr peradaban. Mongol
bisa mengalahkan Islam di Baghdad dan sekitamya. Tetapi, peradaban yang rendah itu akhirnya iustm terserap oleh peradaban
Islam. Maka, ketika berticara dalam konteks peradaban, tidak bisa
lain, masalah ilmu han s meniadi perhatian utama. Ironisnya, justnt
dalam kaiian keislaman, tradisi keilmuan ini tidak berkembang dengan baik. Hampir tidak ada perhatian serius di kalangan kaum
Muslim-Indonesia, khtrsusnya-untuk melahirkan cendekiawancendekiawan yang unggul, yang menguasai wacana Islam dan Barat
sekaligus. Begihr juga beltrm ada satu pun Perguman Tinggi Islam diIndonesia yang memiliki visi membangun perpustakaan yang
lengkap dan berkualitas tinggi, sejajar dengan yang dimiliki kaum
Kristen dan Yahudi di negara-negara Barat. Pendidikan masih dijalankan dengan pola massal, mengejar target banyaknya mahasiswa dan sarjana yang dihasilkan, tanpa terlalu menekankan pada
aspek kualitas.
Buku ini lahir karena terpacu melihat fenomena memyaknya
"hegemoni Barat" dalam bidang keilmuan dan kajian keislaman di
Indonesia. Pemikiran dan metodologi Barat dijiplak begitu saja tanpa daya kritis yang berarti. Betapa ironinya, selama rahrsan tahun
kita dijaiah Belanda, hampir tidak ada kalangan ulama atau cendekiawan Muslim yang menghujat Al-Qur'an atau menyatakan, bahwa
semlra agama yaitu sama, semllanya jalan yang sah menuju kebe,
naran dan keselamatan. Meruyaknya paham pluralisme agama,
penggunaan metodologi hermeneutika untuk tafsir Al-Qur'ary dan
sebagainya, justru terjadi dan begihr mudah diserap setelah kita
merdeka. Hal-hal yang mendasar dalam Islam dibongkaq, didekonstmksi, tanpa memikirkan dampaknya dengan serius. Yang lebih
merisatrkan, persiapan kaum Muslim unfuk menghadapi "zarnan
barLr" berupa "perang intelektual" itu begihl minim, bahkan banyak
cendekiawan yang menganggap enteng, seolah-olah sedang tidak
terjadi apa-apa.
Buku ini terdiri atas 15 bab, yang mempakan tema-tema pembahasan yang terpisah, tetapi saling terkait satu dengan lainnya. Karena buku ini relatif panjang, maka ada sejumlah data yang sengaja
diulang pada bagian lain, unhlk memudahkan pembaca menemrlkan data dan memahami pemikiran yang tertuang dalam buku ini.
Karakteristik asli peradaban Barat cukup banyak ditampilkan dalam
buku ini.
Mungkin ada yang berpendapat, bahwa saya terlalu menyorot
hal-hal yang negatif dari peradaban Barat. lhr karena menumt
hemat saya, aspek-aspek positif dari peradaban Barat sudah dianggap hal yang mafhum, dan tidak perlu didiskusikan. Dalam
bidang sains dan teknologi, kaum Muslim sudah sangat arif untuk
memanfaatkan dan mengambil keunggulan teknologi dari peradaban mana pun, termasuk yang dari Barat. Tetapi, latar belakang
penulisan buku ini yaitu i.gir, menunjukkan, bahwa peradabanBarat yang begitu menyilaukan mata dan begihr gemerlap, seiatinya
menyimpan potensi ancaman yang begitu dahsyat bagi umat mantlsia, sebagaimana banyak dipaparkan dalam buku ini. Tidaklah
benar kesan bahwa penulis anti-Barat, karena buku ini sendiri, memanfaatkan begihl banyak sumber-sumber Barat unhrk memahami
masalah. Yang ingin penulis imbau yaitu pentingnya kaum
Muslimin memahami peradaban Barat dengan serius dan mendalam, sehingga tidak silau, tidak minder, dan tidak n priori terhadap
Barat. Tidak menolak mentah-mentah atatt menelan begitu saja apa
yang datang dari Barat. Kebetulan, selama kuliah di ISTAC-IIUM,
penulis sempat mengambil beberapa mata kuliah yang berkaitan
dengan peradaban Barat dan hubungannya dengan Islam, seperti
History of Westeru Ciailizntiort, History of Ottonnn Empire, Islam mrd
The West: ConJlict or Dialogue, lnternttiond Relations irt lslnm. Kuliahkuliah itu juga diberikan oleh beberapa orientalis. Bahasa Latin yang
merupakan penyumbang besar dalam kosa kata bahasa Inggris juga
kami pelajari secara intensif.
Memahami Barat dengan baik akan sangat membanhr dalam
memahami problema yang mttncul di kalangan umat Muslim, yang
memang banyak disebabkan oleh invasi peradaban Barat dalam peradaban dan pemikiran Islam. Tenhr saja, penulis sadar, banyak yang
tidak sependapat dengan apa yang dipaparkan dalam buku ini. Perbedaan pendapat terkadang bisa dijembatani, terkadang bisa dipertemukan. Tetapi, terkadang juga tidak bisa, karena masing-masing
meyakini jalan hidup dan jalan pikirannya masing-masing. Jika
begitu, masalahnya kita serahkan kepada Allah swt.. Untuk membuktikan kebobrokan komunisme, orang h.arus mentlnggtl hampir
satu abad. Mungkin, unhrk beberapa masalah, kebenaran bam jelas
terlihat di Akhirat. Perdebatan antara Rasulullah saw. dengan delegasi Kristen Najran hams diakhiri dengan tawaran nufunlmlnlt dati
Rasululah saw dan ditolak oleh delegasi Kristen. Terkadang, melihat besarnya problema pemikiran yang sedang menimpa kaum
Muslim Indonesia, dan minimnya persiapan untuk menghadapinya,
masa depan pemikiran Islam Indonesia memang pahrt dikhawatirkan. Namun, Allah mengingatkan, agar kita tidak perlu merisaukan
orang-orang yang berlomba-lomtra menuju kekufnran (Ali Imran
l3l:776). Thgas kaum Muslim yaitu "memberi peringatan", "mem-beri penjelasan", dan bcrusaha menunjukkan mana yang benar,
mana yang salah, mana yanglnq dan mana yangbntlil. Masing-masing manusia akan bertanggung jawab terhadap amal perbuatannya
sendiri-sendiri di hadapan Allah swt..
Akhirul kalam, semoga buku ini bermanfaat, tentu saja bagi
yang mau mengambil manfaat. Terima kasih kepada berbagai pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya di sini.
Semoga semua bantuan dan dorongan yang memungkinkan terbitnya buku ini menjadi amal ibadah.
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud
dan Adian Husaini
Felo Pelawat Utama (Guru Besar Tamu) Institut Alam dan
Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia.
artikel Adian Husaini ini, seperti artikel -artikel nya yang lain,
dalam pandangan saya, penuh dengan pelbagai fakta yang
menarik. Cuma dalam karya terbesamya hingga saat ini,
fakta-fakta ini dikutip dengan lebih teliti dari pelbagai sumber yang
mencerminkan sejarah pemikiran dan kebudayaan Barat. Kebanyakan sumber-sumber itu didapatnya dari khazanah perpustakaan
ISTAC yang sebahagian terbesarnya dipilih oleh pendiri dan mantan
direktur (pengarah)-nya--Profesor Syed Muhammad Naquib alAttas, dan sebagian terbesar dari sisanya dipilih oleh saya. artikel
terbanr dari cendekiawan muda ini, seperti karya-karyanya yar.g
lain yang sempat saya baca dengan penuh minat, ditulis dengan rasa
keprihatinan atau concern yang amat mendalam tentang pelbagai cabaran (tantangan) yang dihadapi umat Islam, khususnya di negara
Islam terbesar, Indonesia.
Seperti ramai cendekiawan muda muslim yang lain, melalui
buktr ini, Adian ingin menambah bukti tentang sesuattt yang telah
diterima oleh hampir semua umat Islam bahwa pihak berkuasa
dalam kehidupan sosio-politik dan kebudayaan Barat telah lama
merancang dan melaksanakan dasar-dasar menentang agama dan
umat Islam. Mungkin bagi sesetengah pembaca yang telah agak luas
medan kajian mereka, fakta-fakta yang dikutip dalam artikel ini bukanlah memeranjatkan dan tidak pula baharu. Tetapi dalam bahasa
Melayu--baik di Malaysia, Brunei, Singapura dan Indonesia--hampir tidak terdapat karya asli yang menayangkan begihr banyak fakta
dari pelbagai sumber yang serius dan yang popular, seperti yang
diusahakan oleh Adian Husaini.
Pemerhati non-muslim dari selnruh dunia dan tentunya setiap
lapis umat Islam yang berpikiq, pasti senantiasa tertanya-tanya: kenapa agama Islam dan umatnya sering menjadi target kolonialisme
dan kritikan Barat berbanding agama dan umat lain dalam sejarah
manusia? Tidak terdapat kritikan-kritikan Barat yang bertubi-tubi
selama berahls-ratus tahun terhadap Gautama Buddha, Kung Fu Tse
atau Lao Tse berbanding kritikan yang dilempar ke atas pribadi dan
ajaran Muhammad Rasulullah saw. Sebahagian kecil dari tohmahan
(tuduhan) tersebut telah dipaparkan oleh Adian di sini. Begitu
jugalah sebahgian besar daripada mangsa kolonialisme Barat samada di Afrika, Asia termasuklah Kepulauan Melayu, dan Timur
Tengah yaitu umat Islam kecuali di Amerika Latin dan Vietnam,
Laos dan Kampuchea.
Jawaban kepada soalan ini telah dijawab dengan tuntas oleh
Syed Mtrhammad Naquib al-Attas dalam bab keempat Islam and
Secularism (1978) dan telah saya uraikan dalam sebuah esei lslant
dan Tantattgan Kebudayaan Barat, dimuat dalam majalah Deuan
Budayn, edisi Oktober dan November 1993 di Kuala Lumpur. Di sini,
biarlah saya ringkaskan sebab-sebab yang dinyatakan oleh al-Attas,
dengan beberapa tambahan saya sendiri: 1) Kebangkitan Islam di
atas pentas sejarah telah mencabar (menantang) dakwaan agama
Kristian sebagai agama universal unhrk selumh umat manusia. 2)
Sejak dari awah:rya lagi, Al-Qur'an telah menggugat dasar-dasar
akidah agama Kristian dengan menolak bahawa Altah swt. bisa
beranak dan diperanakkan, serta hakikat Nabi Isa serta ibunya
Maryam, 3) Al-Qur'an;'uga telah menceritakan dengan jelas sikap
dan tingkah laku kehra-kehra agama Yahudi dalam menyelewengkan ajaran-ajaran para anbiya dari bani Israel, 4) Islam telah mengubah tubuh dan jiwa orang-orang Barat secara revohlsioner
dalam bidang-bidang linguistik, sosial, kebudayaan, keilmuan dan
ekonomi, 5) Perluasan pengaruh Islam serta tanah taklukannya ke
selumh Timur Tengah termasuk kawasan yang dulunya di miliki
oleh Kerajaan Bizantium, India dan Afrika dalam wakhr yang begihr
cepat, dan selama lima abad menguasai lalu perdagangan laut Mediteranean dan India, 6) Islam mempunyai potensi untuk bangkit
semula berdasarkan konsep tajdidnya dan mampu mencabar hegemoni kebudayaan Barat di masa akan datang.
Sahr sifat peradaban Barat ialah unhrk senantiasa mengekalkan
bentuk dan kaedah pemikirannya yang mendasar. Seorang cendekiawan Barat Profesor F. S. C. Northrop dari Yale yang berguru
dengan banyak pemikir terkenal Barat seperti William Ernest
Hocking dan Alfred North Whitehead, membuktikan, dalam artikel
pentingnya , The Meeting of East and West (1947) bahwa walaupun
kandungan peradaban Barat seperti falsafah, sains dan agama
senantiasa, telah dan akan terus bembah, tetapi benhrk dan kaedah
pemikirannya yang mendasar tidak bembah. Apakah benhrknya
yang kekal ini? Mengikut Northrop, yang menyingkap pemikiran
banyak tokoh Barat yang lain, bentuk dan kaedah asasnya ialah
bahwa ilmu pengetahuan tentang hakikat insan dan alam semesta
diperoleh melalui andaian yang bersifat a-priori dan diisbatkan
melaltri pengalaman dan pengujian a-posteriori. Misalnya, setiap
teori sains menegaskan lebih daripada apa yang diberikan oleh
pengamatan empiris. Begitu jugalah dengan dasar agama dalam
pengalaman Barat: setiap prinsip agama bukan didasarkan pada
fakta historis dan eksternal, tetapi pada prinsip-prinsip internal
yang tidak dapat dilihat. Justem ihr, Northrop mengulas tentang
berlakunya pembahan yang berterusan dalam dasar-dasar sains,
falsafah--malah agama--dalam pengalaman peradaban Barat.
Di kalangan pemikir Muslim, al-Attas dalam The Concept of
Educatiott in Islam (1980) membuktikan pemahaman mendalamnya
tentang semangat yang memancarkan benhrk dan kaedah pemikiran Barat yang mendasar dalam setiap lapangan. Semangat ini telah
disimpulkannya kepada lima sifat yang saling berkait: L) keberganhlngan semata mata kepada akal mantrsia bagi memandu kehidupan di dunia, 2) dualisme dalam memahami pelbagai realiti dankebenaran, 3) penekanan kepada trnsur-unsur pembahan dalam
kewtrjtrdan yang menayangkan pandangan alam (worldaieu) yang
sekulat 4) doktrin humanisme, dan yang paling mendasar ialah 5)
mengangkat drama dan tragedi sebagai elemen-elemen dominan
dalam sifat dan kehidupan manusia.
Sebenarnya, Islam juga mempunyai tanggapan n priori tentang
segala objek ilmu. Yakni ilmu ialah sifat yang dipunyai--dalam hubungan perbincangan ini--oleh manusia. Ilmu bukan sahr perkara
yang wujud bebas daripada akal rohani manusia, walaupun kewujudan dan hakikat objek ilmu tidak bergantr,rng kepada akal manusia. Seperti yang telah disimpulkan al-Attas (hhat The Concept of
Educatiott in Islam, 1980), semLla ilmu manusiawi melibatkan
makna yang tiba ke dalam diri atau makna yang dicapai diri.
Namun demikian, objek ilmu tetap wujud sendiri; baik yang ada di
Itrar manusia seperti nlnm tnbi'i dan sejarah atau dalam diri manusia
seperti jiwa atau yang tidak bertempat seperti Allah swt.. Perbedaan
besar antara sifat ilmu lslam dengan kebudayaan Barat tentang perkara ini ialah gagasan a priori Islam itu bersandarkan sumber yang
terbukti tidak berbeda dari apa yang dilafazkan oleh Rasulullah saw.
yakni al-Qur'an dan hadits Nabi yang sahih. Bukan itu saja, malah
sifatbahasa Arab yang mempunyai sistem akar tidak membenarkan
makna sesuatu perkataan ihr diberikan selain daripada yang tersimpul dalam makna asal perkataan, temtama sekali apabila perkataan itu digunakan oleh Al-Qur'an dan [tasulullah saw. dalam
padang semantik tertentu. Justrt. ihr, makna tentang gagasan a priori
ini yang bertindak sebagai kerangka dan penyaring bagi pengalaman
a posteriori tidak akan berbeda pada dasarnya. Tetapi jika penafsiran
dan autoritas sumber-sumber ajaran Islam seperti Al-Qllr'an, Sunnah
Rasulullah saw. dan ajaran-ajaran para ilmuan agung diporakperandakan dengan kaedah pemikiran dan penyelidikan yang
kononnya lebih ilmiah dan objektif-atau lebih tepat saya gelari neosopltisrn, sufastaiyyah bam--tentu umat tidak akan dapat menimba
manfaat dari sumber-sumber penting ini. Perbincangan lanjut tentang hal ini telah saya hrlis dalam The Educational Philosophy and
Practice of Syed MuhanmadNaquib al-Attas: Art Exposition of the
Original Concept of Islamization (1998), dan diterbitkan dalam
bahasa Indonesia oleh MIZAN (2003).Jelaslah bahwa walatlptln Barat telah banyak berubah dalam
pandangan dan amalan keagamaannya, namun sifat dan kaedah
pemikirannya tidak bembah. Justru ihrlah tradisi dan kebudayaan
Barat akan sentiasa berkonfrantasi dengan Islam seperti yang telah
dimmuskan oleh al-Attas dan yang cuba diuraikan oleh Adian di
sini.
Thpi, umat Islam disaran oleh Adian unhrk menghadapi konfrontasi ini secara intelekhral seperti yang kerap disaran oleh beberapa tokoh Muslim mutakhir temtamanyaBadittzzaman Said Nursi
dan al-Attas sendiri. Dan ini, saya lihat sebagai sahr perkembangan
Adian amat menonjol, di mana keparahan setiap aspek kehidupan
umat Islam khasnya yang dilihat sebagai berstrmberkan dari
pengamh intelekttralisme, kebudayaan dan kepentingan sosiopolitik Barat tidak memaksa Adian untr.rk memilih jalan ekstrem.
Usaha beliau ini baik sekali. Cuma tidak salah iika pembaca
yang agak matang meminta dari penulis analisis yang lebih mendalam akan makna fakta-fakta yang dibuatkan itu dalam hubungannya dengan pemikiran dan kebudayaan Barat pada waktu ihr dan
dengan perkembangan-perkembangan semasa di Barat dan di
negara-negara Islam. Malah saya ingin juga menyarankan agar
cendekiawan dan pimpinan Muslim bukan sahaja melihat perancangan dan tindakan Barat terhadap Islam secara negatif; tetapi
secara positif. Maksud saya, kita hams mengkaji dengan baik bagaimana Barat telah berjaya membina rahrsan instihrsi-institusi pengajian tinggi yang tlnggul dalam bidang-bidang yang tidak berkait
dengan agama, bahasa serta kebudayaan mereka; sedangkan umat
Islam--dalam masa dua abad ini--masih belum bempaya membina
sahrpun instihrci yang setanding dengan yang ada di Barat hatta
dalam bidang-bidang yang berkait rapat dengan agam.a, sejarah dan
kebudayaan mereka sendiri! Jika terdapat sahr atau dua yang
kelihatan berupaya memainkan Peranan penting, ianya tidak akan
kekal kerana dirosakkan oleh sebab-sebab politik atau peribadi
kecil. Tentang ciri-ciri budaya keilmuan ddlam pelabagai tamadun
termastrk Barat telah saya hllis dalam sebuah artikel , Penielasan
Budaya llmu (1997), edisi kedua oleh Pustaka Nasional Singapura
(2003).
Saya juga ingin menyarankan bahwa kita tidak hams terlalukuatir akan cemoohan-cemoohan orang lain ke atas Islam sebab hal
itr-r akan terus terjadi jika kita jahil akan semangat hakiki agama dan
tamadun (peradaban) kita dan agama serta tamadun lain di dunia.
Kita juga tidak harus panik dengan tindakan segelintir individu
muslim yang cuba mencari nama dan mendapat tajaan di kalangan
orang-orang Barat dengan menjadi juru-sorak kepada agendaagenda pemikiran dan kebudayaan mereka. Apa yang harus kita
lebih kuatirkan ialah sifat kita yang meminggirkan tokoh-tokoh
agrmg kita dan institusi unggul--yang berupaya membina gagasan
agtmg dalam bidangnya masing-masing--dan justem itu kita ketandusan unhrk melahirkan tokoh-tokoh dan instihrsi tersebut bagi
menjulang martabat dan menjamin kesinambungan agama, budaya
dan tamadun kita dalam dunia yang semakin mencabar.
Dalam artikel puisi terbam saya, Dalam Terang (2004) saya
menceritakan tentang Gagasan Agung, yang bermula dengan baitbait berikut, yang berkaitan dengan perbincangan kita ini:Cendekiawan dan pemimpin Muslim yang diundang berdialog dengan wakil-wakil kebudayaan Barat hingga kini kebanyakannya masih belum benar-benar melakukan tugas-hrgas berdialog
kerana apa yang mereka bincangkan kebanyakannya hanyalah
mengikrarkan persehrjuan dengan pandangan-pandangan wakilwakil dari kebudayaan Barat melalui pembacaan semula secara
radikal sumber-sumber keagamaan dan kebudayaan Islam dengan
kaedah dan andaian pemikiran yang diguna-pakai oleh Barat. Justm
itu mmusan yang terhasil selalunya selari dengan apa yang telah
ditemui dan yang dikehendaki oleh Barat. Apa yang berlaku
sebenarnya yaitu bukan dialog tetapi monolog--seperti Barat bercakap dengan anak murid mereka sendiri yang kerdil dan tidak
sebenarnya mereka hormati--yang tidak akan membantu Barat
memahami majoriti dari satu billion umat Islam selumh dunia
walaupun boleh memudahkan Barat mencapai tujuan-hrjuan sosiopolitik dan ekonomi jangka pendek. Barat harus berdialog dengan
wakil-wakil agama dan kebudayaan Islam yang bisa menunjukkan
kelemahan-kelemahan mereka di samping mengakui kelemahankelemahan umat Islam sendiri tanpa inferiority cornplexs. Sudah tenhr
dialog juga melibatkan penegasan mengenai beberapa persamaan
yang terdapat dalam pandangan hidup serta dasar-dasar akhlak di
antara Barat dan orang Timur khasnya umat Islam. Kedua-duanya--
sama ada menyatakan dan membenarkan perbezaan dan mengisbatkan persamaan--memerlukan sikap ikhlas, keberanian dan adil
di kalangan yang terlibat. Inilah bentuk kerjasama yang sangat
diperlukan dunia hari ini.
Barat yang kini amat berkuasa dan berpengamh akan terus
memainkan peranannya dalam se1'arah dunia: hanya cendekiawan
Muslim yang perkasa mampu mengangkat cermin menunl'ukkan
pada Barat wajahnya yang sebenar agar dia dapat memperbaiki
dirinya demi kebaikan bersama.
Akhiml kalam, saya fikir artikel Adian Husaini ini penting
unhlk cendekiawan muda Muslim membacanya bukan unhlk membenci Barat dan memusuhinya tetapi unhrk memahami sebahagian
penting dari semangat Barat yang begitu berpengamh, dan unhrk
membanhr mereka dalam dialog dengan wakil-wakil kebudayaan
Barat. Kuasa-kuasa dan kepentingan-kepentingan tertenhr di Barat,
apakah secara ekonomi, politik atau agama akan terus merancang
dan melaksa.nakan apa yang mereka fikirkan baik bagi mereka
dengan pelbagai alasan yang agak tepat (seperti demokrasi, modernisasi, dan pluralisme, contohnya) atau yang tidak munasabah
(seperti membawa tamadun, to ciailise; atau dalam kasus Iraq,
mencari Toeapons of mass destruction!). artikel ini juga penting bagi
orang-orang Barat yang mau berdialog dengan umat Islam, dan
bagi pembuat dasar kebijakan Barat terhadap negara-negara Islam
unhrk mereka memahami perspektif sebahagian besar cendekiawan
dan remaja Muslim yang peka yang suara mereka diwakili oleh
pemuda seperti Adian ini......................