Rabu, 14 Desember 2022
rakyat 1
Desember 14, 2022
rakyat 1
Abad ke 9 Masehi laut Jawa di bawah bulan purnama itu . Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang terputus, menggunung, melandai, menggenangi pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan mutiara semua diterangi oleh cahaya bulan.
Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila. Sebuah kapal patroli penjaga pantai meluncur dengan kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing, muncul -tenggelam di antara ombak-ombak purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan
menggelembung membuat lunas menerjang serong gunung-gunung air itu serong ke baratlaut. Barisan dayung pada dinding kapal berkayuh beribetari seperti kaki-kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan. Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar bendera panjang merah dan putih bendera kadipaten kediri . Di bawahnya lagi, duduk di atas tali-temali, seperti titik kelam, adalah jurutinjau. Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di sampingnya berdiri resi mandala , bertolak pinggang.
“Tetap tak ada yang mengejar, Tuanku!” seru juru tinjau. “Kita akan selamat sampai di tempat,” bisik nakhoda pada resi mandala sambil bersujud dada. “Tak ada yang mengejar kita.”
resi mandala mengangkat kain dan diikatkannya pada pinggang sehingga bagian luar dari sutera itu berkilauan terkena cahaya bulan. gada wesi nya tertutup oleh kainnya suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran.
“Silakan beristirahat . Sebentar lagi kediri akan nampak.”
“Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan
perampok .”
“Tak pernah ada perampok berani mendekati kapal
saya .”
“Lihat yang baik,” gertak resi mandala . Tangannya
membetulkan kain penutup dadanya.
“Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping?”
“Tiada sesuatu. Tuanku,” nakhoda itu meneruskan
laporan jurutinjau sambil bersujud dada. “Sebaiknya
Tuanku beristirahat sebelum mendarat tengah malam ini.”
resi mandala melepas kain lagi sehingga bagian luar sutranya
tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan
mondar-mandir di geladak, lalu pergi ke haluan,
memeriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia melihat ke bawah, memandangi lunas yang menerjang ombak. Juga tak lama. Dengan tinju ia memukul-mukul dinding kapal,
lalu berjalan lagi mondar-mandir tanpa tujuan.
Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari pemandangan.
“Ahoi! Turun!” perintah nakhoda pada jurutinjau.
Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu
menghembuskan nafas besar.
“Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur begini,” sambut nakhoda.
“Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal.”
“Pada putra baginda tuanku raja adiputro tak ada nakhoda berani membantah, biarpun putra ke 400 empat puluh satu!”
“Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku.”
“Lebih mudah menumpas perampok .”
‘Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai.”
“Boleh jadi ada perintah kembali.”
“Dewa Batara!” sebut nakhoda. “Itu berarti akan
terkapar ditelan hiu martil .”
“Ts-te-ts.”
“Coba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat.” “namun saya jurutinjau, Tuanku.”
“Apa lagi yang hendak kau tinjau? Angin?”
Jurutinjau pergi. Nakhoda itu naik ke atas tiang utama, hanya agar tidak berada di dekat resi mandala , putra ke 250 Juga di bawah bulan purnama itu pula, di sebuah botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit.
Lehernya memanjang, lalu menunduk pelan sambil
mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan. Kaki depannya berdiri, kaki belakangnya bersimpuh. kepala itu diangkat lagi. Matanya semakin sayu. Dari mulutnya keluar suara keras, melolong , melolong. kepala nya terangkat-angkat,
kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke kiri dan kanan. Ia memanggil bulan dan yang dipanggilnya tak mau datang. Yang datang justru berpuluh-puluh yang lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu memandang ke atas, memanggil-manggil sang bulan,
berteriak , melolong, melolong .
Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai desa perbatasan kadipaten kediri : hutan larangan . Menusuk lebih dalam ke tengah-tengah desa, memasuki balai-desa.
“Dengar anjing-anjing melolong !” orang tua itu
menuding ke arah atap. Alisnya yang putih terangkat. Badannya tetap tenang duduk di atas tikar menghadapi para pendengarnya.
“Tak pernah anjing hutan melolong seperti itu.”
Sunyi-senyap di ruangan balai-desa. Semua
memanjangkan leher mendengarkan lolong ratusan anjing di tengah hutan. Ratusan sumbu damarsewu yang menyala di sepanjang dan seputar rumah umum itu bergoyang-
goyang terkena angin silir.
“Apakah gerangan yang akan terjadi, betari ?” kepala desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya.
“Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjing-anjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi mereka. Sejak dahulu pun tidak. namun bulan penuh, menua dan hilang. Bulan purnama sekarang, namun bukan purnama
untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam.”
“Kita belum pernah tenggelam, betari ,” protes seorang
gadis di tengah-tengah hadirin.
“Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Kita kita pernah terbit, dan sekarang sedang tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih
berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis. dahulu desa ini dinamai mojosongo …” Tiba-tiba suaranya terangkat naik, melengking. “Kalian biarkan desa ini di hina oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama hutan larangan .” Ia tertawa sengit.
“Bukan begitu betari resi ,” bantah kepala desa kertaraja menebarkan pandang minta sokongan hadirin. “Nama itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap sulitnya kacangtanah di sini. Lama-lama jadi sebutan resmi di kediri . Kami hanya mengikuti, betari .”
“Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahun ini maka sebuah desa bisa kekurangan kacangtanah ?” orang tua itu tak menoleh pada kepala desa. “Apakah di mandala kalian sudah tak pernah diajarkan tentang kacangtanah dan tentang desa, bahwa kesejahteraan desa nampak dari puncak-puncak pohon kacangtanah nya?” Para hadirin berhenti mengunyah sirih mendengar perselisihan sudah dimulai itu. “Dengarkan kata-kata betari resi ini,” orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap tidak bergerak dalam silanya. “Desa yang kekurangan
kacangtanah …. adalah sebab ada apa-apa kecuali kacangtanah di dalam kepala -kepala desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa kecuali kacangtanah .”
“Apakah apa-apa dalam kepala ku. betari resi ?” tanya kepala desa tersiksa.
“Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini
dahulu mencukupi buat semua? Memang lain. Dahulu penduduk desa masih memiliki harga diri. Namanya tetap mojosongo sebagaimana diberikan oleh leluhur para pendiri. Sekarang, bukan sebab kacangtanah itu tidak tumbuh,
cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka kacangtanah pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan nenek-moyang.”
Tak ada yang menyanggah. Dengan lunak ia mulai
bercerita tentang kacangtanah di desa-desa lain yang lebih tandus. Para hadirin, tua dan muda, laki dan wanita lesbian , gadis dan perjaka memperhatikan tubuh pembicara yang pendek-kecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar
putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala
tribuanatunggadewi dalam betari yana.
Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil
mengunyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan
keputihannya. Mereka menghormati orang tua yang terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, berlidah gada dan berpukul api itu.
“Dengar, barangkali anjing-anjing itu akan melolong sepanjang malam.”
Kembali orang mendengarkan lolong yang sayup-sayup dari tengah hutan.
“Nenek-moyang kalian tidak sebebal kalian sekarang,” tiba-tiba orang tua itu menetak kejam.
“Aku dan kami mungkin memang bebal,” seseorang di tengah-tengah hadirin membantah. ‘namun para dewa, betari resi , pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik untuk kacangtanah .”
“Puah!” seru betari resi . “Sewaktu kecilku takkan
ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan sejenis itu. Mandala masih berwibawa dan resi -resi dihormati, maka bocah yang belum terpanggil oleh sang sri ratu kertanegari pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal
pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada seorang pun menghinakan keadaannya, sebab manusia diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada ajaran, hewan takkan mengubah apalagi alamnya? namun manusia tanpa cipta merosot, terus merosot sampai ke telapaknya sendiri, merangkak, melata, sampai jadi hewan
yang tak mengubah sesuatu pun. Untuk memiliki ekor pun manusia demikian tidak berdaya.”
Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. Dagunya tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang ditunggu tiada kunjung datang. Dan ia meneruskan,
mengulangi ajaran sri ratu kertanegari dan betarakalong tentang manusia dan
kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan kemungkinan-kemungkinannya. lalu menutup
dengan nada tinggi meledak: “resi -resi mu takkan lupa menyampaikan: yang buruk datang pada manusia yang salah memakai nalar, sehingga nalar yang buruk memanggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian melewatkan masa kanak-kanak dan remaja di bawah petunjuk
dan ajaran Sang resi . Padaku ada wewenang menamai kalian bebal.”
“Kata-kata itu menyakitkan hati, betari ,” seseorang
nenek memprotes. “Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. namun macam
cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada
kebebalan adalah juga kebebalan. Nah, sekarang coba ikuti kata-kataku: sudah kalian ubah nama ini dari mojosongo jadi hutan larangan , hanya sebab desa ini tak mampu membayar upeti kacangtanah untuk pasukan gajah kediri . Upeti
demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang adiputro ? Siapa di antara anak-anak desa ini memperoleh kesempatan merajai lautan seperti di jaman kerajaan jenggala dahulu ? Menyaksikan dunia besar? Dihormati dan disegani di mana-mana? Di Tumasik, di Benggal, Ngabesi, Malagasi, sampai di Tanjung Selatan Wulungga sana? Tak pernahkah orangtua kalian bercerita sejenis itu maka hatimu jadi sakit sebab kebebalan sendiri?” betari resi berhenti bicara. Kembali lolong beraturan anjing mengisi suasana.
“Tak ada seorang pun di antara Laki-laki petualang ini pernah menginjakkan kaki di bumi negeri dongeng . Di sana pun dahulu kalian akan dengar gamelan kalian sendiri. Orang sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji tengkorak , juga seperti kalian di desa ini. Sang adiputro tidak memberikan kesempatan pada kalian. namun kalian terus juga membayar upeti, barang jadi dan barang gubal. Tak seorang di antara kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha didengarkan orang.” Orangtua itu mulai bercerita tentang negeri-negeri jauh yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesaran-
kebesaran kerajaan jenggala . Para pendengarnya mulai terbuai. Dan ia menyentakkan mereka dengan lidah parangnya:
“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa-la lu. Kalian, orang-orang yang sudah kehilangan harga diri dan tak memiliki cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan
pohon kacangtanah pun kalian tak mampu!”
Malam itu dingin. Semua memakai kain menutup
dada, laki dan wanita lesbian . Namun ada juga wanita lesbian yang membiarkan buah dadanya terbuka, dipermainkan sinar damar sewu dan angin silir yang mengentalkan darah.
“dahulu , waktu Sang adiputro masih muda, jadi pembesar berkuasa di Wilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga sudah dipersembahkannya pada kerajaan jenggala . Di tangannya juga kerajaan jenggala padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuanya, apakah yang bisa diperbuatnya? Untuk desa pinggiran ini pun tidak sesuatu! Kalian ini bawahan Sang adiputro ataukah budaknya yang ditangkap di medan perang?”
“bawahan !” seseorang memberikan jawaban.
“Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian?”
“betari !” seorang lagi berseru tegang,
“betari sudah ….”
“betari !” tegur kepala desa di belakangnya. Matanya
berbeliak menyemburkan api kemarahan. “Itu
pemberontakan!” ia menuduh. “Paling tidak menghasut pembangkangan. Tidak lain dari betari sendiri yang lebih mengerti aturan darmaraja.” Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa.
“Benar, pemberontakan, hasutan,” dua-tiga orang mulai berseru-seru. Para hadirin mulai gelisah, berselisih satu dengan yang lain. Suasana tak terkendali. Orang tua itu sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya.
“Katakan itu di kediri !” seseorang berteriak .
Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua
terdiam. “Kalau aku tidak bicara di kediri , semua tahu sebabnya kecuali hewan dan tumbuh-tumbuhan, semua, juga sang Hyang betari durga , juga para dewa: sekali diucapkan,
kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke mana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras, sebab kebenaran selalu datang dari sang Hyang betari durga sendiri.
Juga kata-kataku akan sampai ke kediri , ke jenggala -jenggala seberang….”
Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus perahu membawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri seluruh pantai suryabuaya , menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor dan pulau Panjang.
100 perahu sudah mendarat di pulau Panjang, membawa gada dan tombak meneliti setiap sudut dan lapangan. Seorang centeng bertombak berteriak : “Semua penduduk nelayan pulau Panjang supaya menghadap!” Di tempat-tempat lain suara itu diteruskan, sambung
menyambut berkait-kaitan. Dan tak ada seorang nelayan pun datang menghadap. Tak ada yang tahu ke mana mereka melarikan diri.
Dalam sebuah rumpun bakau yang lebat orang
menemukan sebuah arca ganesha raksasa yang belum lagi selesai. Empat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada alas kaki arca. Rombongan penduduk pesiar suryabuaya itu
terkesima oleh pemandangan itu. Seorang centeng bergada menghardik: “Mengapa ragu-ragu menangkap?” ia lari menghampiri.
Ia sendiri terkejut melihat arca belum jadi itu.
Seorang centeng lain datang, memekik: “Mengaku sudah arca . Mengapa pada batu takut? ayolah , gulingkan. Ceburkan ke laut.” namun penduduk pesisir suryabuaya dan centeng pertama itu ragu-ragu. centeng ke dua itu mendekati arca itu dan
membuang inya. “Lihat, dia diam saja aku pukuli,” lalu ia menggoyang-goyang kepala gajah yang belum jadi itu, “lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. ayolah , gulingkan!” perintahnya lalu . centeng pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan. Dengan langkah goyah ia mendekati ganesha raksasa belum selesai itu dan dengan takut-takut menyentuh belalainya dengan
tulunjuknya. Dan belalai ganesha raksasa itu tidak hangat, juga tidak membuktikan diri memiliki sakti. “pukuli dia!” perintah centeng kedua.
centeng pertama melengos. Ia tak berani.
“Barangsiapa masih mengaku arca , ayolah bantu aku
gulingkan batu ini!” kata centeng kedua.
Hanya 50 orang maju. Mereka mendorong kepala
arca itu sampai terguling ke tanah. centeng kedua bersorak, pengikutnya juga bersorak.
“Guling-gulingkan sampai ke teluk!”
Makin lama makin banyak orang yang ikutserta . Tak lama lalu terdengar batu itu tercebur ke laut dan hilang dari pandangan bulan dan manusia.
Di kertarejo , di pesisir selatan suryabuaya , penduduk kota yang dikerahkan hanya menemukan sebuah gubuk. Di depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada puncaknya terpahat sebuah arca yang sudah rusak, pecah-pecah kepala nya terkena panas dan hujan. Tak dapat
dikenali lagi arca apa. Di dalam gubuk itu sendiri hanya dapat ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah, terletak di atas para-para. Pada sebuah dinding tergantung papan kayu nangka dengan lukisan seorang wanita cantik
dengan dua jari tangan membelai dagunya sendiri dan dengan tangan kiri memegangi pergelangan tangan kanan. Seorang centeng menghancurkan tempayan itu dengan punggung gada nya sehingga abu itu buyar berhamburan.
Dengan mata gada nya ia hancurkan lukisan itu
berkeping-keping, lalu menyepaknya berantakan.
Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang diperoleh di atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang sudah berjamur itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam,
tidak bergerak lagi. Di suryabuaya sendiri, di muara kali bengawan serombongan pembesar sedang turun dari sebuah kapal kediri yang kena sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya
menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang pembawa payung berlari-lari mendekati dan memayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat bermain-main dengan cahaya bulan. namun orang itu tidak menanggapi . Ia berkata : “Lebih bagus dengan bendera kita.”
“Semua ikut memandangi bendera putih yang berkibar malas dalam angin silir lemah itu. Gambar kupu-tarung di tengah-tengahnya kelihatan hanya sebagai setumpukan garis sambung-putus. Juga bendera itu dari sutera. “Kupu-tarung lebih bagus dibandingkan hitam kuning merah ,” seseorang memberikan tanggapan.
“Seluruh hitam kuning merah kerajaan jenggala itu akan tumpas dari muka bumi.”
‘Tentu.” Dengan sendirinya rombongan itu mengalihkan pandang pada sang bulan. Nampak semakin besar dan semakin kuning….
Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anak-anak, laki dan wanita lesbian , sedang bernyanyi bersama di tanah lapang Wilwatikta, bekas ibukota kerajaan jenggala . Mereka sedang menyampaikan puji-pujian kepada sang bulan sebelum memulai dengan permainan malam. Mereka
bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran. Di tengah-tengahnya berdiri seorang anak yang memimpin permainan.
Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit. Setiap minggu ada saja yang meninggalkan Wilwatikta untuk selama-lamanya, pindah ke pasuruan atau kota-kota jenggala lainnya.
Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di ibukota kerajaan Blambangan ribuan bocah sedang bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan seorang nenek memimpin mereka, namun seorang peserta da Laki-laki setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus me-
lingkari anak anak yang sedang menyampaikan puji-bulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersorak-sorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan damai, seakan tak ada lagi setetes darah memerahi medan perang.
Juga seluruh Dahanapura, ibukota kerajaan
Blambangan, mengelu-elukan bulan yang memerangi langit tanpa noda itu, sebab cuaca seindah itu menjanjikan kemakmuran dan perdamaian. Pasuruan, kedudukan Dahanapura, semakin lama semakin besar sesudah Sri
Baginda Ranawijaya Girindrawardhana, raja Blambangan membariskan pasukannya memasuki kerajaan jenggala yang sudah runtuh, untuk membuktikan pada dunia, bahwa tak ada kekuatan lain berhak menjamah bekas kerajaan kerajaan jenggala dan ibukotanya selama darah Sri Baginda Kretarajasa, yang sekarang masih berdiri di Blambangan. Tiga tahun sesudah menduduki Wilwatikta, 1489 M., pasukannya ditarik mundur
kembali ke Blambangan. untuk mengalihkan perhatian orang dari kerajaan jenggala ke Blambangan. Ia berhasil dan Pasuruan menjadi jenggala besar. Kalau ada yang masih dirusuhkan oleh Sri Baginda Ranawijaya Girindra
wardhana dan Patih Udara, hanya sebab jenggala
kerajaan jenggala , pasuruan , tak dapat dipindahkannya ke Pasuruan. Namun orang tak meneteskan darah di wilayah Blambangan sebab perang. Aman, damai dan kemakmuran melimpah.
Di balai-desa hutan larangan antara betari resi dan
para hadirin ketegangan semakin menjadi-jadi. Hal itu tidak pernah terjadi dengan resi pembicara lain yang pernah datang ke desa ini.
“Betul!” orang memekik di tengah-tengah hadirin, “tidak lain dari betari resi sendiri yang lebih tahu tentang darmaraja. Dari kediri datang pengayoman. Pengayoman itu yang membuat betari tidak tahu, setiap jengkal tanah yang kita pacul adalah milik baginda tuanku raja adiputro , dirampas dengan parang dan tombak dari tangan musuh-musuhnya dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua upeti kita. Pengayoman, betari , sehingga tak ada musuh
datang menyerbu kami. Anak-anak dapat bermain-main damai setiap hari. Hujan jatuh membawa kesuburan. Dan keringat jatuh membawa kesejahteraan.” betari resi tak pernah memotong kata-kata orang. Ia mendengarkan tanpa menggerakkan badan. lalu :
“Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut mencangkul. Petani tidak seperti itu kata-katanya. Putra ke berapa ratus kau dari Sang adiputro ? Coba sini, perlihatkan mukamu.”
Pembicara itu tidak menampakkan mukanya.
“Sayang kau tak berani muncul. Kau, orangmuda, sama halnya dengan wanita lesbian pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di jenggala -jenggala dibandingkan mendampingi seorang suami di sawah dan ladang.
Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia. betari resi berkomat-kamit dan mengocok mata. lalu ia tegakkan dada, nampak menarik nafas panjang, menghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam paru-paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya.
“Dari mana datangnya pengayoman kalau bukan dari upeti?” seseorang bertanya ragu-ragu.
“Dari mana?” betari resi menjawab. “Kalau upeti
tak muncul, bukan pengayoman yang datang, namun prajurit kerajaan kediri akan menumpas dan menghancurkan kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang pun di antara kalian memperoleh pengayoman. prajurit kerajaan kediri tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan
mengayomi dia!” ia tertawa menunggu tantangan.
Di sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis nyi girah menyikut pacarnya, raden gelang-gelang , berbisik: “Jadi, apa maunya?”
“Dengarkan saja,” kata raden gelang-gelang .
Pacarnya mencubit sengit, namun pemuda itu tak peduli. “Dengarkan kalian semua punggawa desa yang hidup dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti. Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa
kalau perang datang. Mangayomi diri sendiri pun tak bisa, apalagi mengayomi rakyatmu. Di waktu damai kalian bersorak-sorai tentang pengayoman demi sang sisa upeti. Kalau kalian sudah seperti itu, bagaimana pula macam rajamu?”
Ketegangan sekaligus berubah jadi ketakutan.
“Apa kalian takuti? Akan datang masanya kalian akan lebih, lebih ketakutan. Bukan sebab kata-kataku. Mari aku ceritai: jaman ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil bermunculan pada berdiri sendiri, sebab rajadiraja tiada.
Kekacauan dan perang akan memburu kalian silih-berganti. Laki-laki akan pada mati di medan perang. wanita lesbian akan dijarah-rayah dan kanak-kanak akan terlantar. Kalian takkan ditumpas sebab kata-kataku. Kemerosotan jaman
dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas kalian selama kalian tak mampu menahan kemerosotan besar ini.” Ia diam.
Para pendengar terdiam. Mereka sudah terbiasa
terpengaruh oleh betari lan orang tua-tua pengembara yang sudah jauh langkah. Kakek-kakek mereka sudah lama mengabarkan akan datangnya perang yang tiada kan habis-
habisnya bila dewa-dewa sudah berganti dan bila berbagai bangsa dengan berbagai warna kulit sudah mulai berdatangan menjamah bumi Jawa.
“betari resi ,” seorang wanita dengan suara mendayu-dayu memohon, “bila kekacauan dan perang akan tiba kami silih berganti, bukankah akan sia-sia semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan?” “Jelas. Apalagi upeti-upeti ke kediri itu. Sama sekali tanpa guna. Sekarang dengarkan: di jaman kerajaan jenggala tak ada perang yang tidak selesai, tak ada kekacauan tak diatasi,” ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak
dan bersabda . “Di masa itu semua orang boleh membuat bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar
mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang. Menempa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali atas perintah. Dahulu wanita lesbian pada menenun sutra. Di mana-mana nampak pakaian gemerlapan bermain
dengan sinar sinar matahari . Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk pengantin. Saluran yang dahulu dibikin di mana-mana sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi
dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungai-sungai dipelihara. Di jaman kerajaan jenggala para punggawa disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk memata-matai
bawahan . Mereka bicara dengan anak anak. Bila anak-anak itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala desa mau pun resi mandala kena teguran. Dengan demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.”
“Berapa umurmu. betari resi , maka tahu banyak
tentang jaman kejayaan kerajaan jenggala ?” seorang gadis bertanya. “400 ?”
betari resi mendeham dan membersihkan
kerongkongan. “Tak ada orang hidup sampai 400 . Lebih beberapa puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan matahari .”
“Mengapa menurut perhitungan matahari ?” seorang lain bertanya.
“Di jenggala -jenggala ada orang yang mulai memakai
perhitungan rembulan orang-orang gila itu. Mereka memiliki dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut. Mereka tak memerlukan gunung. Mereka tak memerlukan matahari . Mereka hanya memerlukan harta dan kekayaan.”
“Mereka penyembah rembulan. betari resi ?”
“Aku belum lagi tahu. Barangkali. Mereka itu yang
membuat para bupati dan adiputro pesisir hanya mengingat pada harta-kekayaan, lupa pada Baginda paduka raja di kerajaan jenggala . Mereka pengaruhi bupati dan adiputro pesisir
supaya tak membuat kapal-kapal lagi. Mereka menyuap dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani…. Mereka petualang-petualang dari negeri dongeng . Di pesisir negeri dongeng sana mereka sama saja tingkahnya. Perhitungan
rembulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri…. Yang paling tidak hormat pada para dewa juga yang paling
mula jadi korban wabah dari negeri dongeng ini. Bahkan tulisan kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya…. boleh jadi…. sudah mulai muncul tulisan yang sama sekali tidak berbunyi…”
“Adakah betari resi pernah lihat tulisan itu?” Orang tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk. “Dengar!” perintahnya.
Semua terdiam. lolong dan salak dan lolong anjing, ratusan di tengah hutan, kembali menggelombang.
‘Tak pernah hewan itu melolong selama itu, selama itu. Boleh jadi akan datang banjir banjir air, banjir bencana, malapetaka yang membuat semua lebih merosot tersedot lumpur.”
Ia menoleh kepada kepala desa. Bertanya: “Darmaraja? Pengayoman? Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang adiputro kediri Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati pesisir mulai membangkang mempersembahkan upeti?
Bukankah Sang adiputro itu rajamu sekarang? Bukankah sebagai Tumenggung Wilwatikta, penguasa tertinggi atas keamanan dan kesejahteraan ibukota kerajaan jenggala ,
Wilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain, membangkang mempersembahkan upeti, malah tetap mengukuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari darmaraja, membentang dari kediri sampai suryabuaya sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah jenggala ?”
‘Tak pernah ada yang menggugat seorang raja!” bantah kepala desa, “sebab hanya dengan karunia sang Hyang betari durga
saja seseorang bisa bertahta! Bukankah betari resi dengan demikian menghujat sang Hyang betari durga ?” “Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama Ken Arok. Ditumbangkannya akuwu dan raja, dan sendiri marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab
suci, memerintahkan dilaksanakannya gaya baru dalam bangunan-bangunan suci.”
“Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumbangkan.” “Ditumbangkan. namun darahnya sudah bangunkan kerajaan kerajaan jenggala yang tiada tara.”
“Dan kerajaan jenggala pun tumbang.”
“Tumbangnya gajah yang meninggalkan gading. Hyang Widhi tidak pernah salah memilih wakilnya di atas bumi. Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul
pilihan sang Hyang betari durga .”
“Negarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu.” “Dan apa katanya tentang adiputro pembangkang yang bersekutu dengan pedagang-pedagang negeri dongeng yang berdewa lain?”
“Waktu itu belum ada Sang adiputro .”
“Maka akulah yang mengatakan, demi sang Hyang betari durga , sebab tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran. Tulikah kau? Tiada kau dengar lolong , lolong dan gonggong
anjing-anjing hutan itu? Tak tahukah kau itu pesta untuk hari depanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat dibandingkan yang kau sangka?”
Untuk menghindari pertengkaran kepala desa terdiam. Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simpati. Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu betari resi sedang menggugat Sang adiputro , manusia pertama
yang berani lakukan itu. Dan ketegangan menarik otot-otot muka mereka sehingga seperti terbuat dibandingkan kayu jati.
Dan keredupan mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh mata sumbu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah tenang dan menggeletarkan semua bayang-bayang. Di luar, di langit, bulan purnama bertahta tanpa tandingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat
ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan hutan.
‘Tak lain dari sang Hyang betari durga juga yang menggulingkan raja-rajanya sendiri yang kaki dan bahunya lemah, tak mampu memikul kebesaran-Nya, tak mampu membangunkan dengan jari-jarinya yang kaku sebab jari-jari itu hanya pandai mengambil untuk dirinya sendiri dan tidak bisa memberikan sesuatu untuk bawahan nya.”
“Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, betari resi ,” seorang di antara hadirin angkat bicara.
“Apa kau akan bilang kalau aku menuliskan pada lontar? Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar yang terpandai di antara kalian menuliskannya.” “Belum perlu, betari resi ,” kepala desa itu menegah. “Memang belum perlu,” pembicara itu meneruskan. “betari , kami nampak memang kurang harga diri, kurang kehormatan, mungkin juga memang bebal. namun kami hidup
dalam kesejahteraan, keamanan dan perdamaian.
Sebaliknya, betari resi , kata-kata betari sendiri yang menempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. betari , tidak lain dari betari !”
betari resi mendengus meremehkan. Suaranya
enteng mengambang di udara malam yang hangat itu. “Untuk mencapai desa ini, prajurit kerajaan kediri paling tidak memerlukan satu-dua hari. Kalian tidak akan ditumpas. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberang perbatasan, memohon perlindungan Sang Bupati kahuripan .
Aku tidak menjerumuskan kalian. Lembah kehancuran itu kalian galang sendiri di atas kedunguan. Masih juga kau tidak mengerti, kepala desa? Penduduk desa ini terus-menerus membayar upeti dan memikulnya sendiri ke kediri
Kota. Masih belum mengerti? Tak ada keadilan mengikat antara sang adiputro dengan bawahan nya di sini. Kalau ikatan keadilan tidak ada, yang ada hanya ikatannya saja, ikatan perbudakan. Kalian semua ini bukan bawahan , namun budak!
Budak kediri , budak Sang adiputro sama dengan musuh-musuhnya yang sudah ditaklukkannya. Ditaklukkan tanpa perang!”
“Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan
perang. Katakan pada kami. betari resi , bagaimana agar kami tidak jadi budak?”
“betari resi yang bijaksana,” seorang lain lagi
menyerondol, “bukankah betari resi lebih dari tahu, setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda?”
“Dia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini.”
“Tidakkah betari resi akan dibawanya ke kediri dan diadili?”
“Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah
mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dapat diadili, sebab dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang Widhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili kebenaran, dia memanggil Sang Hyang Kala, dia akan dilupakan orang kecuali kebodohanya .”
Ia tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Juga Sang adiputro kediri Arya Teja Tumenggung
Wilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha Dewa. Sang sang Hyang betari durga merestui barangsiapa memiliki kebenaran dalam
hatinya. Jangan kuatir. kepala desa! Kurang tepat
jawabanku, kiranya? Ketakutan selalu jadi bagian mereka yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya sumber kebodohan di atas bumi ini…,” dan ia teruskan
ceramahnya tentang kebenaran dan keadilan dan
kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan para dewa.
Kapal patroli penjaga pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat itu menyeberangi malam dan menyeberangi Laut Jawa dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang
tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seiring membelah permukaan memercikkan air dan semburannya menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang ditarik.
Waktu lampu menara jenggala kediri mulai hilang-
muncul di atas kepala ombak terdengar kata an aba-aba. Tak lama lalu menyusul ledakan di belakang layar kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera lenyap.
Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di langit. Api menyebar melontarkan bunga api yang membuat lonjakan ke atas, lalu ke bawah, ke tiadaan. Ledakan itu memicu permukaan laut gemerlapan beberapa detik, lalu kembali jadi manis bermain-main dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas. Kapal itu terus melaju. Layar-layar mulai diturunkan.
Dengan cepat membelok ke kanan, bergerak hanya dengan kekuatan dayung. Juga layar kemudi tidak nampak lagi. Lunas itu menerjang alun dan ombak pada sudut lebih besar dibandingkan semula. Dan semua alun dan ombak terus juga berkejar-kejaran, berebut dahulu untuk menghantam pesisir utara pulau Jawa.. betari resi segera mengambil cawan tanah yang diletakkan oleh anak gadis kepala desa. Ia angkat tinggi, memperlihatkan pada semua hadirin, ia hendak meminumnya. Ia baru habis menceritakan tentang kebesaran kerajaan jenggala dengan angkatan lautnya, dengan ilmu
dan ketrampilan membuat kapal-kapal samudra, dengan wilayah kekuasaannya.
“Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini.
Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan kerajaan jenggala dengan kediri ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya 9 hari diperlukan untuk mengelilingi seluruh wilayah kediri itu pun hasil pengkhianatannya terhadap kerajaan jenggala . Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak
didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar daun dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku:
Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi, dan perang akan pecah di mana-mana. Dari desa dan kota petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.” ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan meneguknya sekali habis. “Dewa Batara!” sebutnya keras, berpaling cepat pada kepala desa, lalu menudingnya: “Lihatlah ini tampang kepala desamu, takut pada kebenaran, pada keadilan, agar dia tetap jadi kepala desa, dia sudah racun aku!” Cepat ia tarik mukanya dan berseru pada para hadirin: “Dia sudah racun aku! Dan kalian kenal siapa aku, hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran
milik Maha Dewa.” Cawan itu dibantingnya pecah di hadapannya. Dengan kedua bolah tangan ia menekan perutnya. Bibirnya ia gigit.
Mukanya pucat. “betari !” seseorang berteriak dan lari ke depan hendak menolongnya.
betari resi bangkit berdiri dengan susah-payah.
kepala desa menolongnya dari belakang, berseru lantang: “Tak ada seorang pun meracun betari . Kami semua menghormati betari .”
“Dengar si mulut palsu ini! Dengarkan, kalian, semua penduduk hutan larangan !”
Ia lepaskan diri dari pegangan kepala desa, melompat keluar dari balai desa.
Setiap resi -pembicara memiliki gaya dan cara sendiri dalam usaha mempengaruhi dan mengetahui sampai di mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap tingkahnya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih
terpaku pada tempatnya bersila. Yang menganggap benar-benar betari resi terkena racun cepat-cepat bangkit dan lari memburu. Tak pernah
terjadi seorang resi -pembicara mengalami penganiayaan di desa mana pun.
Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan
perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia menolak tuntunan orang.
raden gelang-gelang dan nyi girah ikut lari memburu. Tanpa menanggapi protes betari resi mereka berdua menunjangnya pada bahu dan pinggangnya. Diam-diam mereka bertiga berjalan cepat. Di belakang mereka serombongan orang berseru-seru memohon ampunnya sambil berlari-lari kecil. raden gelang-gelang dan nyi girah merasai kedinginan pada tubuh tua itu.
nyi girah melepas kain dada dari bahu dan menyelimutkan pada dada betari sesudah bersujud meminta ampun. Dan betari tidak menolak. Tiba-tiba resi berhenti, membungkuk dan muntah.
“betari ! betari !” bisik raden gelang-gelang .
“Beri aku minyak kacangtanah !” kata betari resi . Ia muntah lagi. “Cepat!” “Memang terkena racun!” di belakang orang memberi komentar.
raden gelang-gelang bersujud nya, cepatnya mengangkatnya dan membawanya ke rumah nyi girah , membaringkannya di atas ambin bambu. nyi girah lari ke dapur, kembali lagi dan menuangkan minyak kacangtanah ke mulut orang tua itu.
resi -pembicara itu meliuk-liuk gelisah pada
pinggangnya. Ruangan sempit rumah nyi girah segera jadi penuh. Orang duduk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin. Dan setiap orang bersujud sambil mengucapkan permohonan ampun. “Diam! Diam semua. betari sedang sakit,” raden gelang-gelang memperingatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar muntah.
“Air kacangtanah muda, kacangtanah hijau,” seru seseorang. Tak ada pohon kacangtanah hijau di seluruh hutan larangan . nyi girah pergi keluar rumah dan datang lagi membawa cawan tanah besar, menguaki punggung orang banyak.
Dalam cawan itu bukan air kacangtanah hijau, namun air kacangtanah biasa. Dituangkan seluruhnya ke mulut sang resi . Mengetahui bukan kacangtanah hijau, betari berkata :
“Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, Dewa Batara.” Matanya terbuka dan disapukan pandangnya pada mereka yang duduk berdesak di atas lantai. “Pulang, pulang kalian semua.”
“Mereka mencintai dan menghormati betari . Ampuni mereka yang jahil,” bisik nyi girah .
“Terlambat, gadis.”
“Mereka masih haus akan kata-katamu.”
“Tak ada guna cinta dan hormat,” betari meliuk-liuk dan meringis kesakitan. “Kalau kata-kataku bisa hidup dalam hati mereka, cukup sudah.” Ia muntah. Air kacangtanah campur minyak keluar dari mulut berjalurkan dengan benang darah hidup.
nyi girah menyeka mulut, leher dan bahunya yang basah dengan selembar kain. “Batara!” sahut nyi girah . “Mengapa jadi begini, betari ?”
raden gelang-gelang menghampiri orang banyak, berkata mengancam: “Kalau tidak suka pada kata-katanya, mengapa tak mengusirnya saja? Atau memberinya kecubung? Mengapa mesti diracun?”
“betari resi juga salah,” seseorang membantah.
“Diam kau!” bentaknya.
“Bagaimana bisa diam? Dia sudah membahayakan kita semua: prajurit kerajaan kediri itu….”
“Siapa kiramu yang meracun?” seseorang bertanya. “Siapa lagi?” “Meracun seorang resi …. hanya orang keparat melakukannya. Gandarwa pun lebih baik.” betari muntah lagi. Warnanya merah seluruhnya. Minyak dan air kacangtanah tidak mempan. Orang berlarian mencari lagi di rumah-rumah. Waktu sudah diperoleh betari resi sudah tergolek pingsan.
“Terlalu, terlalu,” orang menyesali.
Dan pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. lolong anjing dari botakan hutan sudah berkurang, lalu padam sama sekali.
“betari , betari ,” panggil nyi girah , “jangan kutuki kami, jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang Widhi, demi desa betari sendiri, demi kesejahteraan kami semua, ya betari , betari …”
Begitu kapal patroli penjaga pantai itu merapat pada dermaga jenggala kediri kota, bulan sudah mulai menggeser ke titik tertinggi dan kini mulai agak condong. Seorang dengan menuntun kuda menghampiri kapal. resi mandala melompat turun. Penuntun kuda itu bersimpuh lalu bersujud .
“Merdeka ,” katanya sambil menurunkan sembahnya. resi mandala melompat ke punggung kuda, berpacu, menempuh jalanan yang diterangi bulan purnama. Beberapa bentar hanya dan sampai ia di hadapan centeng -centeng pengawal yang menahannya. Ia tak jadi memasuki halaman rumah itu, turun, berseru: “Butakah kalian tak me-
lihat siapa aku?”
“Tuanku resi mandala suryabuaya . Ampuni kami.”
resi mandala melompat lagi ke atas kudanya, memasuki halaman luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang berlarian datang padanya dan bersujud , lalu mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang centeng lain
datang, bersimpuh dan bersujud : “Menunggu perintah , Tuanku.”
“Bangunkan Sang Patih, sekarang juga.”
resi mandala berdiri bertolak pinggang tanpa
mempedulikan centeng yang diperintahnya lari menjauh darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari pemandangan.
Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu pada tengah-tengahnya. Mata-mata sumbu itu menyala berkibar-kibar dalam barisan seperti centeng baris. resi mandala segera menghadap ke pendopo, bersimpuh di atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga
cambang dan jenggot. Jelas benar sudah diminyaki dengan minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki. Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk dalam.
“Anakanda resi mandala !” Sang Patih memasuki
pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan berkerudung kain batik pula pada dadanya.
resi mandala mengangkat sembah. lalu
membetulkan letak gada wesi nya.
Sang Patih berhenti di tengah-tengah pendopo, dekat pada damarsewu, menegur “Dingin-dingin begini anakanda datang. Pasti ada sesuatu yang luarbiasa . Mendekat sini, anakanda.”
Dan resi mandala berjalan mendekat dengan lututnya sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki Sang Patih.
“Ampuni patih , membangunkan Paduka pada malam buta begini Kabar duka, Paduka. prajurit kerajaan pajang bintoro di bawah adiputro Kudu^ memasuki suryabuaya tanpa diduga-duga,
menyalahi aturan perang.”
“sang hyang Widhi Dewa Batara!” sahut Sang Patih. “Itu bukan aturan raja-raja! Itu aturan brandal!”
“prajurit kerajaan kediri tak sempat dikerahkan, Paduka.”
“Bagaimana Bupati suryabuaya ?”
“Tewas enggan menyerah Paduka,” resi mandala
mengangkat sembah. “Sisa prajurit kerajaan kediri mundur ke timur kota. suryabuaya penuh dengan prajurit kerajaan pajang bintoro . Lebih dari 2000 orang.”
“Dari mana pajang bintoro dapat mengumpulkan brandal
sebanyak itu?”
“patih tidak tahu, Paduka.”
“Apa saja kau kerjakan sampai tidak tahu? Bukankah pajang bintoro dukuh tidak berarti selama ini?”
“Inilah patih menyerahkan hidup dan mati patih .”
Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu centeng berlarian datang, bersenjata tombak dan perisai. Minyak kacangtanah direbus dengan laba-laba tanah jenis besar berwarna dan berbulu hitam untuk penghitam rambut.
. Sesudah itu biasa dinamakan ki ageng gribig sesudah meninggal dinamakan Pangeran Sabrang Lor.
“Tahan dia ini, resi mandala , putra Sang adiputro .
Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan matinya.” resi mandala digiring keluar pendopo. Begitu turun ke tanah ia memandangi bulan, memukul dadanya,
berkata : “Apakah masih patut aku membawa mukaku sendiri?”
“Jalan ke kiri, Paduka!” perintah kepala regu, dan
berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan. Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia menggalang pelahan, lalu berbalik dan masuk ke dalam rumah. Paling tidak sudah seribu tahun perahu dan kapal-kapal
berlabuh di jenggala kediri Kota. Dari barat, timur dan utara. Dari timur orang membongkar rempah-rempah dari kepulauan yang belakangan ini mulai dinamakan bernama majapahit (Nama yang diberikan oleh pedagang-pedagang
palawa , lalu berobah jadi panarukan .) dan cendana dari
parahyangan . Dari kediri sendiri orang berdagang beras, minyak kacangtanah , keju susu, gula garam, minyak tanah , cokelat dan minyak-minyak nabati lainnya, kulit hewan hutan. Dari laut jenggala kediri Kota nampak seperti sepotong balok, pepohonan dan taman-taman. Bila lumut hijau hilang dan muncul coklat baru, itulah kampung-kampung
nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah jenggala Pasukan Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah jenggala alam lainnya yang dimiliki negeri kediri . Di atas balok coklat bermulut berdiri barisan perbukitan tebal, kuning, di sana-sini agak hijau. Itulah perbukitan kapur bernama Kendeng. Dan di atas perbukitan adalah langit para dewa. jenggala kediri adalah buatan alam yang pemurah, disempurnakan oleh tangan manusia selama paling tidak seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh, indah, juga buatan alam, sepotong jalur karang yang menjorok ke laut. Pedagang-pedagang negeri dongeng menamai
jenggala ini Permata Bumi Selatan. Dan bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh
entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa puluh langkah dari dermaga. Ia akan mengangkat sembah di hadapannya berdiri Sela Baginda, sebuah tugu batu berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia
meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang dilaluinya, jalanan ekonomi sekaligus militer. Ia akan selalu berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa gegas, sekalipun di bawah sinar matahari terik. Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya mengangkuti barang dari dan ke jenggala , dengan pikulan atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta
sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi grobak beruji. Grobak beroda kayu utuh berasal dari pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah sapi atau kerbau. Seorang pendatang boleh jadi akan
bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda? Dan dengan senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan memakai kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak Kalau pendatang itu bertanya: mengapa terlalu sedikit kereta di sini? Ia akan memperoleh jawaban: memang, tuan
jumlahnya taklah lebih dari 30 semua milik para pembesar negeri dan praja, dan milik para panglima Pasukan Pengawal, Pasukan Kaki, Pasukan Gajah dan Pasukan Laut.
Bila kereta berkuda empat sejenis itu lewat, lalu lintas berhenti, menyibakkan diri untuk memberi penghormatan. Dari jauh sudah terdengar gerincing giring-giringnya dari kuningan berkilat-kilat dan nampak umbul-umbul beraneka
warna, bendera jabatan dan kesatuan. Kuda-kuda penarik itu pun dihias dengan gombak dan limbai aneka warna. Abah-abahnya berkilat-kilat dengan hiasan dari tembaga, kuningan, perunggu dan perak, kadang juga dari mas. Juga orang-orang asing diwajibkan berhenti bila kereta lewat,
penduduk berlutut bersujud . Dan bila kereta Sang
adiputro sendiri yang lewat, juga penduduk asing harus bersujud dengan caranya masing-masing.
Lalu lalang di jenggala beraneka ragam. Orang-orang asing, palawa , Benggala, Parsi, bangsa-bangsa Nusantara, Tionghoa, bergaya dengan pakaian negeri masing-masing. Pribumi sendiri juga beraneka. Laki-laki berambut pendek, bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka yang sudah menanggalkan agama leluhur. Mereka tidak berkain batik, namun berkain tenun genggang atau polos tanpa belahan, tak memakai wiron atau dodot. Laki-laki berambut panjang berdestar batik pertanda masih mengukuhi sri ratu kertanegari atau Shiwa atau raden kertajaya , dan hampir selalu berkain batik atau wulung. Dan bila rambut panjang mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka pedagang pedalaman yang berurusan dengan pedagang-pedagang beragama arca . Orang takkan melihat adanya suami-istri berjalan-jalan bersama di siang hari. Namun wanita nampak di mana-mana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran
rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan jenggala sendiri. Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga dikerjakan oleh Laki-laki . Dan mereka bekerja sambil berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum Laki-laki . 6 tahun yang lalu pertemuan para pedagang arca sudah
menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar para wanita menutup dadanya . Sejak itu semua wanita yang keluar dari rumah diharuskan memakai kemban. Maka sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya
dengan kaum Laki-laki Pribumi. Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore
dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahun yang lalu jarang terjadi yang demikian. Sesudah pertemuan para pedagang arca , pribumi dan asing menghadap Tuanku
Penghulu Negeri agar membatasi penghajaran pemberontak pada kanak-kanak, junjungan mulai ditinggalkan oleh mereka, dan mulai mereka bergentayangan tanpa penggembala.
Ke mana pun mata ditebarkan, keadaan aman, damai, sejahtera. namun semua itu semu belaka.
Sejak jaman-jaman yang tidak dapat diingat lagi kediri terlalu sering di dera bencana perang dan kerusuhan. Namun buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan putrinya, juga darah musuh-musuhnya yang datang menyerbu.
Dua kali negeri ini dilanda perang besar. Pertama oleh prajurit kerajaan Kublai Khan, cicit Jengis Khan yang bertahta di Khan Baliqr Seperti air bah centeng -centeng Tartar mendarat dari laut, menyapu kediri yang sama sekali tak mampu bertahan terhadap senjata api. Negeri ini terinjak-injak prajurit kerajaan yang bersepatu itu, dan meninggalkannya lagi untuk meneruskan penyerbuannya ke Singasari. Orang bilang ini terjadi pada 1292 Masehi. Perang besar kedua dan ternyata kelak bukan yang terakhir terjadi pada awal abad ke XIY Masehi. Bupati yang
memerintah kediri waktu itu adalah adiputro Ranggalawe, salah seorang pendiri kerajaan jenggala . Pertentangannya tentang kebijaksanaan praja dengan Sri Baginda Kartarajasa, raja
pertama kerajaan jenggala , memicu prajurit kerajaan kerajaan jenggala datang menyerbu. Seluruh kota dihancurkan. Tak sebuah rumah tinggal berdiri, rata dengan tanah, termasuk
bangunan-bangunan suci dan galangan kapal. adiputro Ranggalawe sendiri gugur. Dan kota, yang dibangun pada awal abad ketujuh Masehi itu hancur . Sesudah perang besar kedua selesai, yang tertinggal setengah utuh hanya Sela Baginda, didirikan pada awal abad ke XI Masehi.
Baginda Sri Kartarajasa mengangkat seorang bupati baru. 30 tahun lamanya pembangunan kembali kota kediri dilaksanakan. Dan Sri Baginda membebani gubernur baru itu dengan tanggungan pasukan Gajah, yang menjadi inti kekuatan darat prajurit kerajaan kerajaan jenggala . Penataran dan galangan kapal dipulihkan, diperbesar,
sampai menjadi penghasil kapalperang dan niaga terbesar di seluruh Jawa, seluruh Nusantara, seluruh dunia peradaban. Sekarang tidak demikian lagi. Pada awal abad ke XYI sekarang kekuatan pemersatu kerajaan kerajaan jenggala sudah patah. Para gubernur pesisir sudah memunggungi kerajaan jenggala sehingga runtuh dan berdiri
sendiri-sendiri, jadi raja-raja kedi, tanpa ada yang berani mengangkat diri jadi paduka raja . Juga bupati kediri Sang adiputro Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Orang tua-tua hanya dengan berbisik-bisik berani membicarakan dengan sesama tua, tak lain dari Sang adiputro juga yang memprakarsai dan memimpin persekutuan rahasia ini. kerajaan jenggala jatuh.
Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa belayar ke utara , ke negeri dongeng , ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang
baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke kediri . Gubernur kediri , Sang adiputro Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, bertekad mempertahankan kedamaian itu, keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan sekarang
dengan mengembangkan perdagangan antarpulau. Ia menyokong diperbesamya armada dagang ke panarukan . Dagang! Dagang saja. Ia tak berminat meluaskan kekuatan ke laut. Ia tak menghendaki kediri jadi kerajaan benua seperti kerajaan jenggala dengan terlalu banyak urusan. Dalam
usia tua ia hanya ingin bertenang-tenang. Angkatan Laut tidak diperlukannya, sekedar cukup jadi penghalau bajak dan perampok , dan melindungi pantai dari gangguan mereka. Di bawah pemerintahan dan kebijaksanaannya jenggala kediri berkembang mendesak jenggala pasuruan ,
menjadi pusat penumpukan rempah-rempah dari majapahit dan parahyangan . Hampir setiap bulan Sang adiputro datang berkuda ke pelabuhan. Di depannya berderap pasukan pengawal berkuda, bertombak, berperisai, dengan gada tergantung
pada pinggang. Jumbai dan pitamerah menghiasi tombak mereka. Di belakangnya berderap pasukan pengawal lagi. Gemerincing “giring-giring mereka dan kepulan debu memicu orang dari jauh-jauh sudah bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah kepala . jenggala kediri Kota adalah buahhati Sang adiputro . Ia merasa puas dengan pekerjaan patih wirabuana kediri : tumenggung dijoyo .
sebab semakin tua ia semakin mengutamakan
perniagaan oleh para bupati tetangga, ia dianggap sudah kehilangan kekesatriaanya . Padahal, kata salah seorang di antara mereka, kalau dia mau, dengan pasukan gajahnya yang berabad jadi perisai kerajaan jenggala , dengan kekayaannya
yang datang dari laut, sebenarnya ia mampu menaklukkan tetangga-tetangganya dan sendiri marak jadi paduka raja . Dirasani begitu ia hanya tertawa. Sekali waktu Sang adiputro mempersembahkan ada seorang bupati lain yang mengejeknya dengan nama Rangga Demang, Rangga dikerat dari nama Ranggalawe yang
perkasa dan Demang adalah pangkat rendah dalam
kepunggawaan praja, ia menjawab tak peduli: Orang juga boleh menyebut seperti itu.
Maka para bupati tetangga semakin percaya , Sang adiputro memang bukan lagi seorang kesatria raja , sudah merosot jadi sudra. Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap:
perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkembang. jenggala harus makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas Angin, Nusantara dan Tiongkok. Pertahanan negeri kediri sendiri dianggapnya mudah. Dengan Pasukan Gajah kediri
yang masyhur ia percaya akan dapat memukul mundur setiap dan semua penyerbu. Ia sudah letakkan dasar jaringan pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh satuan-satuan berkuda yang terus-menerus bergerak.
Apalah arti Pasukan Gajah, bupati-bupati yang menyalahgunakan kesejahteraan dan kekayaan kediri suka memperbincangkan , hanya jadi beban bawahan . Sekali ada yang menyerbu,
jatuhlah negeri ini jadi jarahan. Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan terhadap Pasukan Gajah. Dan semua orang tahu, seekor
gajah sama ampuhnya dengan 400 centeng kaki yang tangguh. Sedang hewan itu tak kenal lelah apalagi khianat. Ia sudah berhasil menciptakan cara untuk mengikat kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan mpu wungubhumi
Nyi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa sebagai punggawa dengan mpu wungubhumi Raden mas dan menjadi pujaan desa. Dengan demikian Sang adiputro sudah menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri. Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan
dengan tambahan khusus: jatah untuk umpah gajah dan pembuatan dan pemeliharaan jalanan umum. Segala yang berhubungan dengan jenggala dan wilayahnya dibiayai dengan penghasilan jenggala . Dan tumenggung dijoyo yang mengurus
semua itu. Patih kediri bertindak sebagai pengawas tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan. Sang adiputro sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin terjadi suatu perubahan. Semua bawahan memiliki penghidupan yang layak. Semua Laki-laki dapat menghias dirinya dengan gada wesi dengan pamor dan rangka sebagus-
bagusnya. Dan nampaknya semua akan abadi seperti itu sampai ia mati dan juga sesudah ia mati, untuk selama-lamanya. Walau ia membiarkan runtuhnya kerajaan jenggala , malah ikut mengambil prakarsa terjadinya persekutuan untuk itu, tak urung ia juga yang suka menebah dada sebagai pewaris kerajaan benua yang sudah runtuh itu. Ia memakai bendera kerajaan jenggala untuk negeri dan kapal-kapalnya, hitam kuning merah , hanya lebih panjang dibandingkan yang lama. kediri tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi kerajaan jenggala pula hanya di waktu perang seorang adiputro atau menteri ditunjuk memegang jabatan itu. Sesudah kerajaan jenggala
jatuh dan kediri jadi negeri bebas, kebiasaan tak
berpanglima diteruskan. Keamanan kediri Kota dilakukan oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahnya. Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, Gajah dan Kaki. Keamanan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan
oleh pagardesa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan. Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin banyak yang memeluk arca , ia sudah perintahkan berdirinya sebuah tempat ibadah di wilayah pelabuhan. Dalam waktu pendek bangunan itu sudah menjadi suatu perkampungan dari orang-orang jawadwipa , Aceh, Bugis, Gujarat, Parsi dan palawa . Sang adiputro tak pernah memiliki kekuatiran akan muncul nya pertentangan sebab agama. Sejak purbakala penduduk kediri tak memiliki prasangka keagamaan. Orang
berpindah agama sebab kesulitan dalam penghidupan, merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka dicarinya dewa sembahan lain. Sang adiputro juga mengijinkan berdirinya sebuah klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama sudah dianggap terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat pelabuhan.
Keamanan, kedamaian, ketenteraman dan kesejahteraan yang didambakan dan dipertahankan dengan segala macam kebijaksanaan kini mulai terancam dari sebelah barat: pajang bintoro mulai bergerak dan merampas suryabuaya , daerah
kekuasaan kediri …. Tenang dan damai keadaan kediri Kota. Gelisah hati Sang adiputro yang sudah lanjut usia itu. Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana
sudah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada Sang adiputro yang sedang turun dari kuda dengan kaki sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang
pengawal yang menungging. Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu segera berjongkok dan bersujud . patih wirabuana kediri , tumenggung dijoyo , lari menuruni kepatih wirabuana an. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepala nya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang adiputro ia berdiri dan mengangkat sembah kepala . “Mereka bukan saja sudah menduduki suryabuaya … Bagaimana, Kakang Patih?” “Ampun, baginda tuanku raja ,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”
“Brandal-brandal itu bermimpi hendak menguasai laut.” “Ampun, baginda tuanku raja , sesudah adiputro Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat baginda tuanku raja , sekarang
dari ayahandanya dibenarkan memakai mpu wungubhumi adiputro tumenggung dijoyo . Konon kabarnya tumenggung dijoyo adalah nama dewa baru
penguasa lautan.”
“Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” “patih , baginda tuanku raja . baginda tuanku raja tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, pajang bintoro akan terus mendesak ke
timur.” “Dewa lama dan sang hyang Widhi baru tidak bakal membenarkan.” “sang hyang Widhi Dewa Batara, sekali baginda tuanku raja perintah kan, tidak hanya suryabuaya , pajang bintoro sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari baginda tuanku raja . Mereka belum memiliki Pasukan Kuda, tidak memiliki Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa itu, tidak akan mampu menahan prajurit kerajaan kita.” :
“pajang bintoro sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di suryabuaya .” “patih , baginda tuanku raja . kediri pun harus segera mengimbangi.”
“Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimbangi.”
“patih , baginda tuanku raja .”
Sang adiputro masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat pulang.
Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di
kejauhan sana nampak sebuah kapal patroli penjaga pantai yang sedang belayar kearah barat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak menarik perhatian Sang adiputro . Hatinya tetap gelisah. Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.”
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang adiputro , mengangkat sembah: “Keadaan di lautan negeri dongeng sana sudah berubah, baginda tuanku raja ,” lalu dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, baginda tuanku raja .” Sang adiputro mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih membuat wajah tuanya yang penuh berkerut itu nampak semakin pucat.
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman benang sutra kurung.
“Ampun, baginda tuanku raja sesembahan patih . Mereka, baginda tuanku raja , menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-kapal negeri dongeng . Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak
lebih besar dari kapal-kapal kerajaan jenggala , agak lebih besar dari kapal-kapal negeri dongeng dan kediri , namun layarnya jauh lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut,
dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung menepis permukaan laut seperti camar.”
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang
adiputro memberanikan. “Layar-layarnya, baginda tuanku raja , digambari dengan cakra raksasa.”
“cakra?”
“Ampun, baginda tuanku raja , hanya dua buah garis bersilang. Orang bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan
karunia dewa di atas pada kerajaannya.”
“Apa bedanya dengan swastika sri ratu kertanegari ?” “Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, baginda tuanku raja .” Sang Patih membuat cakra di atas pasir. “Sebab itu besar, besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan
Wulungga yang kebetari t itu, Kakang Patih?”
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, baginda tuanku raja sesembahan patih ,” jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat gambar kira-
kira dari kapal-kapal baru itu.
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang adiputro memancing-mancing pendapat.
Tenang dan damai keadaan kediri Kota. Gelisah hati Sang adiputro yang sudah lanjut usia itu.
Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana sudah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada Sang adiputro yang sedang turun dari kuda dengan kaki
sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang pengawal yang menungging.
Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, lalu
segera berjongkok dan bersujud . patih wirabuana kediri , tumenggung dijoyo , lari menuruni
kepatih wirabuana an. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepala nya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot
yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang adiputro ia berdiri dan mengangkat sembah kepala . “Mereka bukan saja sudah menduduki suryabuaya … Bagaimana, Kakang Patih?”
“Ampun, baginda tuanku raja ,” Sang Patih mengangkat sembah, “juga sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar.”
“Brandal-brandal itu bermimpi hendak menguasai laut.” “Ampun, baginda tuanku raja , sesudah adiputro Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat baginda tuanku raja , sekarang
dari ayahandanya dibenarkan memakai mpu wungubhumi adiputro tumenggung dijoyo . Konon kabarnya tumenggung dijoyo adalah nama dewa baru
penguasa lautan.” “Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri.” “patih , baginda tuanku raja . baginda tuanku raja tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, pajang bintoro akan terus mendesak ke timur.”
“Dewa lama dan sang hyang Widhi baru tidak bakal membenarkan.” “sang hyang Widhi Dewa Batara, sekali baginda tuanku raja perintah kan, tidak hanya suryabuaya , pajang bintoro sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari baginda tuanku raja . Mereka belum memiliki Pasukan Kuda, tidak memiliki
Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa itu, tidak akan mampu menahan prajurit kerajaan kita.” : “pajang bintoro sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di suryabuaya .”
“patih , baginda tuanku raja . kediri pun harus segera mengimbangi.” “Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimbangi.”
“patih , baginda tuanku raja .”
Sang adiputro masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat pulang.
Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di
kejauhan sana nampak sebuah kapal patroli penjaga pantai yang sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak menarik perhatian Sang adiputro . Hatinya tetap gelisah. Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar
pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: “Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.”
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang adiputro , mengangkat sembah: “Keadaan di lautan negeri dongeng sana sudah berubah, baginda tuanku raja ,” lalu dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, “kapal-kapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang
mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, baginda tuanku raja .” Sang adiputro mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih membuat wajah tuanya yang penuh berkerut itu nampak semakin pucat.
Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang
hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman
benang sutra kuning.
“Ampun, baginda tuanku raja sesembahan patih . Mereka, baginda tuanku raja ,
menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapal-
kapal negeri dongeng . Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak
lebih besar dari kapal-kapal kerajaan jenggala , agak lebih besar dari
kapal-kapal negeri dongeng dan kediri , namun layarnya jauh
lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut,
dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung
menepis permukaan laut seperti camar.”
“Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih,” Sang
adiputro memberanikan.
“Layar-layarnya, baginda tuanku raja , digambari dengan cakra raksasa.”
“cakra?”
“Ampun, baginda tuanku raja , hanya dua buah garis bersilang. Orang
bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia,
garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan
karunia dewa di atas pada kerajaannya.”
“Apa bedanya dengan swastika sri ratu kertanegari ?”
“Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, baginda tuanku raja .”
Sang Patih membuat cakra di atas pasir. “Sebab itu besar,
besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan
dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih
sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.”
“Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan
Wulungga yang kebetari t itu, Kakang Patih?”
‘Itulah kapal-kapal Peninggi, baginda tuanku raja sesembahan
patih ,”jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk
lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat
gambar kira-kira dari kapal-kapal baru itu.
“Tentu mereka bajak yang menakutkan,” Sang adiputro
memancing-mancing pendapat.
“Kalau hanya sekedar bajak, baginda tuanku raja , mereka bisa
dihindari bahkan bisa dilawan. Mereka tak bisa dihindari.
Bukan saja sebab kelajuannya, sebab layarnya yang
berlapis-lapis, dapat mekar menggelembung seperti melati,
sebesar tiga kali gajah, dapat mengempis seperti kantong
kosong, dapat cepat digulung…, ya baginda tuanku raja ….”
“Maksudmu gada rujakpolo nya?”
“Benar, baginda tuanku raja , gada rujakpolo nya, senjatanya itu, dapat
memuntahkan api dan….”
“Adakah Patih sedang mengulangi dongeng kanak-kanak
itu.”
“Ampun, baginda tuanku raja . Dongengan kanak-kanak itu sekarang
sudah jadi kenyataan.”
“Kenyataan!” Sang adiputro terkata . “Memuntahkan
api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada
bangsa lain di atas bumi ini memiliki cetbang kerajaan jenggala ? Ada
di negeri negeri dongeng sana? Kakang Patih tidak hendak
mendongeng lagi?”
“Ampun, baginda tuanku raja sesembahan patih . Ada bangsa jauh di
negeri dongeng sana memiliki sejenis cetbang kerajaan jenggala . Lebih
dahsyat, baginda tuanku raja .”
“Lebih dahsyat!” Sang adiputro berseru menyepelekan,
tertawa kosong. berkata : “Ada yang lebih dahsyat dari
cetbang kerajaan jenggala ,” ia menuding pada langit tanpa
mengangkat kepala . “Dari mana pula dongengan menarik
itu berasal, kiranya?”
Deburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia
bergerak dalam sepengelihatan penguasa kediri itu. Jauh-
jauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tanah dengan
kepala menunduk ke bumi. Dan di laut kapal dan perahu
yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan
tiang-tiangnya menuding langit.
”Teruskan, Kakang Patih.”
“Ampun, beribu ampun, baginda tuanku raja . Dongengan patih yang
indah ini datang menghadap baginda tuanku raja untuk jadi bahan
periksa, baginda tuanku raja . Kapal-kapal negeri dongeng pada gentar. Orang
bilang banyak di antaranya sudah mereka kirimkan ke dasar
lautan. Semua pedagang bermimpi kan dan memburu
keuntungan, baginda tuanku raja , maka benua dan lautan ditempuh.
Mengetahui, dengan munculnya kapal-kapal nyi kanjeng blora,
bukan keuntungan yang teraih, namun maut belaka, maka
mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan
di rumah masing-masing di jenggala sendiri.”
“Maka makin berkurang kapal-kapal negeri dongeng
datang?”
“Demikian adanya, baginda tuanku raja sesembahan patih .”
Sang adiputro tercenung sebentar. Ia menunduk dan
berpikir. Lambat-lambat kedua belah tangannya tertarik ke
atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan
menebarkan pandang pada laut, lalu pada langit.
Bertanya pelan: “Bagaimana bisa ada senjata lebih dahsyat
dari cetbang?”
“Beribu ampun, baginda tuanku raja , cetbang mereka bukan sekedar
dapat menyemburkan api dan meledak, juga memuntahkan
bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah
kacangtanah ”
“Sebesar buah kacangtanah ! Terkupas atau tidak?”
“baginda tuanku raja adiputro berolok-olok. Apakah bedanya buah
kacangtanah itu terkupas atau tidak? Besi sebesar tinju pun akan
dapat remukkan setiap kapal, baginda tuanku raja .”
adiputro kediri Arya Teja Tumenggung Wilwatikta
terdiam. Juga destarnya yang panjang-panjang itu sebentar
menggelepar tertiup angin. Intan, baiduri dan jamrud yang
menghiasi bagian depan destar gemerlapan bermain-main
dengan sinar matahari . Bertanya seakan tak acuh: “Bangsa apa
kata kakang tadi?”
“nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja . Orang bilang, ada bangsa lain, juga
sama hebatnya, Ispanya namanya, baginda tuanku raja . Kapal-kapal Atas
Angin pada ketakutan, baginda tuanku raja , biarpun hanya melihat dari
kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selamat, berlingsatan
tunggang-langgang cari hidup. Sedang kapal nyi kanjeng blora itu,
baginda tuanku raja , tak pernah belayar sendirian, selalu dalam
rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal
negeri dongeng itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah
dalam rombongan. sebab persaingan satu dengan yang
lain, baik di laut mau pun di darat.”
“Dalam rombongan seperti armada kerajaan jenggala ?”
“Benar, baginda tuanku raja .”
“Apa lagi ceritamu, Kakang Patih?”
“Mereka lain dari orang-orang palawa , Parsi atau
Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datang di
kediri . Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti
kapur, seperti bawang putih….”
“Barangkali sebangsa hantu laut?”
“baginda tuanku raja berolok-olok. Mohon apalah kiranya tidak
berolok-olok, baginda tuanku raja . Keadaan dunia sungguh-sungguh
sudah berubah. baginda tuanku raja . Mereka memiliki negeri dan rajanya
sendiri.” Sang Patih menurunkan nada suaranya dan
meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin…
“Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras.”
“Ampun, baginda tuanku raja . Dari dahulu orang tua-tua sudah
mendongeng tentang bangsa kulit putih, seperti dongeng
tentang peri dan gandarwa, seperti dongengan orang arca
tentang jin, iblis dan setan, seperti dongengan tentang
dedemit para leluhur. Sekarang ternyata bangsa manusia
berkulit putih sebetulnya ada.”
Ia turunkan lagi nada suaranya sehingga hampir
berkata .
“Siapa tahu, baginda tuanku raja ….”
“Lebih keras!”
“Ampun, baginda tuanku raja , siapa tahu, barangkali pada suatu kali
jin dan iblis dan setan orang-orang arca juga memiliki negeri
sendiri kapal dan cetbang.”
Sang adiputro memperbaiki letak gada wesi , lalu
dilambainya patih wirabuana agar mendekat. Yang dilambainya
bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala .
“Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih?”
“Bangsa pemberontak itu, baginda tuanku raja , bangsa berkulit putih, namun
hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, baginda tuanku raja , hitam seperti
jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan sang hyang Widhi Yang
Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang
Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk
sri ratu kertanegari . Mereka penyembah patung, baginda tuanku raja .”
“pemberontak atau tidak apa salahnya? Penyembah patung atau
tidak apa buruknya? Roh, nyawa atau hatinya hitam atau
putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung,
apa peduli? sang hyang Widhi Maha Besar sudah memberikan pada
manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang
membawa kesejahteraan untuk jenggala kediri … siapa saja
baik.”
“Auzubillah min zalik!” seru patih wirabuana .
“Apa persembahanmu, Tuan patih wirabuana ?”
“Diampuni oleh sang hyang Widhi apalah kiranya… Baik nyi kanjeng blora,
baginda tuanku raja , maupun lspanya, memusuhi semua bangsa,
memusuhi semua orang arca , dan Yahudi, dan sri ratu kertanegari ,
dan Hindu, semua bangsa manusia. Mereka mau merajai
segala-galanya. sang yang betari durga akan mengenyahkan mereka dari
muka bumi.”
“Kapan sang yang betari durga mengenyahkan mereka?”
“Semua bangsa, baginda tuanku raja ,” sembah tumenggung dijoyo terus
dalam jawadwipa , “dengan bimbingan sang hyang Widhi . Kalau semua
bangsa tidak mau, merekalah yang bakal menghalau kita
semua….”
“Di mana negerinya? Jauh atau dekat? Maka akan dapat
mengenyahkan semua bangsa dari muka bumi?”
“Jauh, baginda tuanku raja , lebih jauh dari Parsi, palawa ia ataupun
Turki. Negerinya ada di atas negeri dongeng .”
“Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat
dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagah-
berani. Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga yang
tak pernah dilalui oleh nenek-moyang,” puji Sang adiputro
pada bangsa yang belum dikenal itu.
“Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan,
baginda tuanku raja adiputro kediri ,” susul patih wirabuana pada Sang adiputro
tak senang.
Sang adiputro tak memperhatikan. Pandangnya
ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu
nelayan. Angin yang meniupi dadanya membuat bulu dada
yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat
hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras memanggil
kapal-kapal nyi kanjeng blora dan lspanya dalam angan-angan.
“Bangsa-bangsa negeri dongeng takut pada mereka,” tiba-
tiba ia berpaling pada patih wirabuana .
“Tuan patih wirabuana , bagaimana bisa orang-orang arca
takut pada pemberontak ?”
“Senjata dari iblis!” Sang adiputro mengulangi.
“Sihir namanya, baginda tuanku raja .”
“Sihir!” Sang adiputro mengulangi, melecehkan. “Kalau
begitu orang arca pasti memiliki mantra-mantra penangkal.”
patih wirabuana terdiam, menunduk lebih dalam, tak
menemukan kata-kata jawaban. Tubuhnya yang tinggi
jangkung nampak meriut kecil.
“Ampun, baginda tuanku raja sesembahan patih ,” sela Sang Patih
sambil bersujud , “adapun senjata itu sama sekali bukan
sihir, justru cetbang yang lebih ampuh. Kapal-kapal tak bisa
lari dari tudingannya. Senjata itu dapat menenggelamkan
kapal yang sebesar-besarnya dari jarak sepemandangan.”
“Jadi sungguh-sungguh mereka memusuhi semua
kapal?”
“Benar, baginda tuanku raja , dan terutama kapal-kapal berbendera
bulan dan bintang, semua kapal arca , juga kapal-kapal
bukan arca dari Benggala, semua.”
“Apa yang mereka cari, orang-orang… apa pula
namanya tadi?”
“nyi kanjeng blora, baginda tuanku raja ,” sembah Sang Patih. “Semua, baginda tuanku raja ,
semua yang mereka cari, terutama rempah-rempah.”
Tiba-tiba Sang adiputro tertawa senang dan berkata
pada angin mendesau: “Ha! Rempah-rempah! Seperti kapal-
kapal lain, seperti yang selebihnya. Rempah-rempah. Hai!”
“Beribu ampun, baginda tuanku raja ,” Sang Patih meneruskan, “para
nakhoda bilang mereka mulai kelihatan di Malagasi,
memasuki Teluk Parsi dan mengamuk tiada terlawan.
Kapal-kapal armada gabungan dari beberapa negeri dibabat
lenyap ditelan laut… Sekarang mereka bukan hanya sudah
mulai kelihatan di Benggala dan Langka, juga sudah
menduduki Goa. Ya, baginda tuanku raja , bila senjata mereka berdentum,
langit seperti belah dan hati yang mendengarnya jadi ciut.
Burung-burung lumpuh sayap dan berjasang yang betari durga mati. Bola-
bola besi sebesar kacangtanah bersemburan, mendesis di udara.
Tumpaslah kapal yang terkena.”
Sang adiputro tersenyum. Berseru pelahan: “Ya-ya-ya,
pastilah mereka memang bangsa-bangsa unggul. Tuan
patih wirabuana , gada rujakpolo bukan nama senjata itu?”
“Ampun, baginda tuanku raja , dikutuk oleh sang hyang Widhi apalah kiranya
mereka itu. baginda tuanku raja , Mereka namai senjata itu dengan nama
Dewi Ibunda Nabi Isa, Mariam, baginda tuanku raja . Bukan mereka
sendiri yang menamainya, memang. Kata orang sebelum
mereka mendentumkan senjatanya, bebetari i-betari i mereka
memekikkan nama Ibunda Nabi Isa alaihissalaam. Api pun
menyebar dari moncong senjatanya dan bola besi itu
melesit ke udara seperti peluru cetbang, hampir-hampir tak
dapat ditangkap oleh mata. lalu senjata itu dinamai
gada rujakpolo .”
Sang adiputro mulai bosan mendengar keterangan bertele.
Ia bergerak dari tempatnya, melangkah menuju pada
kudanya. Semua centeng pengawal bersujud dan
beringsut menjauhkan diri. centeng pengawal pemegang
kuda itu pun mengangkat sembah, menyerahkan kendali
padanya, bersujud lagi. bersujud ke tanah, lalu
menungging untuk jadi anak tangga.
Tanpa memperhatikan yang lain-lain Sang adiputro naik
ke atas punggung orang dengan sebelah kaki, dan dengan
kaki lain melompat ke atas punggung kuda.
Sang Patih juga naik ke atas kudanya, bergerak
mengiringkan Sang adiputro . patih wirabuana tertinggal di
tempatnya….
wah
Kapal unggul senjata unggul bangsa unggul kulit putih,
rempah-rempah, cakra… semua menjadi masalah ganda
yang berjubal dalam kepala Sang adiputro . Ia memerlukan
waktu untuk memikirkan semua itu.
Bangsa-bangsa menjadi kaya sebab berdagang rempah-
rempah. Mungkin satu bangsa bisa menjadi unggul sebab
mencari rempah-rempah? Uh, pertanyaan lucu. Orang
takkan mati tanpa dia. Bangsa-bangsa mencarinya sebab
memang sudah unggul Mungkinkah suatu bangsa bisa jadi
unggul hanya sebab memiliki senjata unggul? Hhhh,
pertanyaan bodoh. Bangsa unggul saja bisa membuat dan
memakai senjata unggul. Ada suatu lembaga yang
membuat mereka jadi unggul, maka segala yang
ditanganinya juga jadi unggul: kapal dan senjata. Mereka
pergi ke mana-mana untuk mengalahkan dan menaklukkan.
Hanya yang dapat menahan dan mengalahkan mereka lebih
unggul. cakra itukah mungkin lambang lembaganya?
Sekarang ini siapa yang tahu? Barang siapa bisa menjawab,
dialah si pembohong itu. Orang harus mengenal lebih dahulu
bangsa-bangsa dari negeri terjauh ini, bangsa-bangsa dari
atas negeri dongeng , bangsa-bangsa yang sudah menaklukkan
Ujung Selatan Wulungga yang belum pernah ditembus
kapal-kapal kerajaan jenggala . namun mereka memerlukan
rempah-rempah! Mereka bangsa manusia biasa. Mereka
juga bisa dikendalikan melalui kebusang yang betari durga nya. kediri memiliki
rempah-rempah! Mereka akan datang kemari. Dan melalui kebusang yang betari durga nya mereka akan aku kendalikan!
wah
Tanpa mereka semua ketahui, sesuatu sudah berubah di
dunia yang tak dikenal di utara, jauh di baratlaut sana.
Senjata baru, gada rujakpolo itu, sebetulnya sama nenek-
moyangnya dengan cetbang kerajaan jenggala . Tahun tolaknya
dari Tiongkok pun sama: 1292 Masehi. Bersama dengan
prajurit kerajaan Kublai Khan yang melakukan expedisi
penghukuman di Singasari, nenek-moyang cetbang
kerajaan jenggala dibawa dan di samping kuda perang dari
Mongolia dan Korea3. kerajaan jenggala semasa Mahapatih Gajah
Mada sudah mengembangkan senjata api ini jadi cetbang.
Lawan-lawan kerajaan jenggala pada mulanya menamai senjata ini
“sihir api petir”, sebab dari bawah ia memancarkan api
dan di udara atau pada sasaran dia meledak. Dengan
cetbang, dalam hanya 30 tahun kerajaan jenggala Gajah
Mada berhasil dapat mempersatukan Nusantara menjadi
kerajaan Malasya, kerajaan Asia Tenggara. Sesudah itu
cetbang tidak berkembang lagi.
Pada tahun 1292 itu juga prinsip.senjata-api bertolak dari
Tiongkok, dibawa oleh Marco Polo dan diperkenalkan di
Eropa. Orang mengetawakan dan mengejeknya, juga
sesudah matinya. Makin banyaknya orang Eropa berkunjung
ke Tiongkok memicu orang lebih mengerti dan mulai
mencoba-coba membuat sendiri. Perkembangan
selanjutnya melahirkan musket. Dengannya kanjuruhan dan
blambangan mengusir penjajahan palawa di negeri mereka,
semenanjung Iberia. Musket dibikin dalam bentuk raksasa
menjadi gada rujakpolo . Dengannya mereka mempersenjatai
kapal-kapal, mengarungi samudra tanpa gangguan. Seperti
halnya dengan kerajaan jenggala , dengan kapal dan senjatanya
mereka mulai menguasai jalan laut dan musuh-musuhnya,
menaklukkan dan menjajah negeri.
Cetbang dan kapal unggul kerajaan jenggala pada suatu kali
sudah menghancurkan dirinya sendiri dalam Perang
Paregreg. Juga blambangan dan kanjuruhan akan musnah
sebab nya sekiranya resi bimasakti tidak segera turun tangan
meleraikan dua negeri ini dengan mpu wisangeni atau
mpu kalamudro , yang membelah dunia non-zoroasterahuramazda jadi dua
bagian, sebagian untuk kanjuruhan dan yang lain untuk
blambangan . Dan mulailah kapal-kapal mereka tanpa ragu-ragu
menjelajahi dunia dengan cakra sebagai panji-panjinya,
menaklukkan dan menguasai bangsa dan negeri-negeri yang
dianggapnya dalam belah dunia bagiannya….
Dalam perjalanan Sang adiputro memerlukan menengok
ke belakang. Diberinya Sang Patih di kuil rat agar mendekat
Suaranya sayup-sayup di antara gemerincing giring-giring
dan derap kuda, terdengar ragu-ragu: “Kakang Patih,
bukankah sudah Kakang ketahui sendiri bagaimana sudah
kami petaruhkan hari depan pada kejayaan arca ?
Bukankah banyak di antara putra-putra kami sudah
memakai nama arca yang diberikan oleh resi -
resi nya? Kami biarkan putra kami Raden Said mendalami
agama negeri dongeng ini, dan sekarang jadi pemuka arca
yang dihormati, hidup sebagai pandita dan pertapa,
berpakaian seperti orang tidak ber bangsa. Berapa sudah di
antara putra-putra kami, kami sengajakan mengabdi pada
raja arca pajang bintoro , sebab percaya arca lah yang jaya kelak.
Apa sekarang? Kapal-kapal arca takut pada pemberontak -pemberontak
nyi kanjeng blora dan Ispanya….”
“patih , baginda tuanku raja ,” Sang Patih menunduk dan mengangkat
sembah.
“Bagaimana kira-kira jadinya semua ini nanti?”
“sang hyang Widhi Dewa Batara!” sebut Sang Patih tak bisa
menjawab.
“Kakang Patih, bagaimana warta putra mahkota pajang bintoro
sesudah merampas suryabuaya , wilayah kami?”
“Belum banyak yang dapat dipersembahkan. baginda tuanku raja .”
“Kerajaan pedalaman. Tanahnya lebih tandus dari kediri .
Tak memiliki laut. Selmrang memerlukan jenggala sendiri.
Adakah kota Semarang sudah menolak berdagang
barang-barangnya maka ia memberandali wilayah kami?
Apakah pajang bintoro sudah bercekeok dengan Semarang?”
“Rupa-rupanya perlu dikirimkan telik, baginda tuanku raja .”
Sang adiputro tidak menanggapi, meneruskan dengan
suara lebih keras: “Apakah ada dugaanmu putra mahkota
pajang bintoro merampas wilayah kami, suryabuaya , untuk
membangun sebuah Angkatan Laut?”
“Demikian konon wartanya, ya baginda tuanku raja . Sudah sejak lama,
sejak kecil adiputro tumenggung dijoyo , putra mahkota pajang bintoro , ditimang-
timang oleh Ibundanya jadi Laksamana, merajai kepulauan
dan lautan. baginda tuanku raja .”
Sang adiputro tak meneruskan pertanyaannya. Sang Patih
melambatkan kudanya sehingga kembali tercecer di
belakang.
Sesampainya di alun-alun tiba-tiba Sang adiputro
menengok lagi ke belakang, bertanya waktu menghentikan
kudanya: “Apakah putra mahkota pajang bintoro , adiputro tumenggung dijoyo ,
sudah memerintahkan pembuatan kapal perang?”
“Baru pendirian galangan-galangan, baginda tuanku raja ,” sembah
Sang Patih.
“Boleh jadi sudah terjadi perpecahan antara Semarang
dan pajang bintoro , sekiranya tak ada lagi tenaga Cina membantu
di suryabuaya . Kakang Patih, keterangan itu harus diperoleh .”
“patih , baginda tuanku raja .”
“Dan lebih berhati-hati terhadap campa . Setiap ada
sesuatu yang mencurigakan, hancurkan saja jenggala itu.”
“patih baginda tuanku raja . campa nampaknya tetap tenang, tidak
membentuk kekuatan seperti Semarang. Jaraknya pun
sangat dekat dengan kediri . Dalam tiga hari pasukan baginda tuanku raja
adiputro sudah dapat mencapainya melewati pesisir.
Hancurlah dia! Yang agak mencurigakan justru suryabuaya ,
baginda tuanku raja . Konon putra mahkota pajang bintoro , adiputro tumenggung dijoyo , mulai
mendatangkan pandai cor dari Pasuruan.”
“Pandai-pandai itu tentunya Hindu.”
“Tidak bisa lain, baginda tuanku raja .”
“Jadi arca bisa kerjasama dengan Hindu?”
“Nampaknya demikian. Nampaknya pula sedang ada
persiapan membuat cetbang di sana.”
“Kalau itu benar, raja arca itu sedang memiliki persiapan
membuat yang berbahaya. Segera kirimkan telik.”
“patih , baginda tuanku raja sesembahan.”
“Apakah menurut dugaanmu tumenggung dijoyo berani mengeluari
nyi kanjeng blora dan Ispanya?”
“Kuda-kuda itu berhenti. Juga para pengawal di depan
dan belakang.
“Konon kabarnya, baginda tuanku raja , putra mahkota itu sudah
bersumpah akan membentengi arca di belah bumi sini,
bumi selatan.”
Sang adiputro mengangguk-angguk. Kudanya digerakkan
lagi dan berjalan melewati gapura.
“Brandal-brandal itu hendak beramin jadi kesatria raja .”
Para pengawal gerbang pada bersimpuh dan mengangkat
sembah. Tombak dan perisai mereka bergeletakan damai di
atas bumi. Sang adiputro tak memperhatikan, langsung
berkendara menuju ke pendopo.
Seorang pengawal menerima kuda dan seorang lain
menyediakan punggung untuk jadi anak tangga. Ia turun
namun tak langsung masuk ke dalam.
Sang Patih mengerti masih diperlukan. Sesudah turun dari
kuda ia datang menghadap dan langsung memperoleh
teguran: “Banyak nian yang tak Kakang persembahkan
selama ini.”
“Ampun, baginda tuanku raja . patih sudah persembahkan semua, ya
baginda tuanku raja . Nampaknya baginda tuanku raja kurang mengkaruniakan
perhatian. Ampun, baginda tuanku raja , tentulah sebab banyak hal lain
sedang jadi pikiran baginda tuanku raja .”
“Tentu Kakang Patih benar. Apakah menurut dugaan
Kakang, tumenggung dijoyo dapat mengalahkan mereka? Tanpa gada rujakpolo
dan hanya dengan cetbang buatan pandai cor
Blambangan?”
“Ya, baginda tuanku raja , bagaimana patih harus persembahkan?
Waktu patih masih kecil, nenek patih pernah bercerita
tentang kapal-kapal kerajaan jenggala , dan menurut katanya pula
Mahapatih Gajah Mada pernah bersembah pada Sri
Baginda paduka raja Hayam Wuruk: hanya kapal-kapal yang
bisa melalui Ujung Selatan Wulungga terperintah kan untuk
menguasai buana, nyi kanjeng blora dan Ispanya bukan hanya
melalui, mereka sudah datang dari balik Ujung Selatan.”
“Nyata kerajaan jenggala tak pernah berhasil melaluinya.”
“Tidak pernah, baginda tuanku raja . Ujung Selatan selama ini selalu
dianggap jadi batas dunia. Tak ada daratan dan lautan lagi
di sebaliknya, jatuh curam langsung ke neraka.”
“Dan kapal-kapal mereka sudah melewatinya. Datang
langsung dari neraka itu! Kapal-kapal tumenggung dijoyo barangkali
masih dalam angan-angan, jauh dari ujian Ujung Selatan
Wulungga.”
Sang adiputro berbalik meninggalkan Sang Patih dan
masuk ke dalam kadipaten.
Sang Patih, juga semua yang tertinggal, mengangkat
sembah. Ia mengambil kudanya dari tangan seorang centeng
pengawal dan keluar meninggalkan kadipaten. Belum lagi
sampai ke kepatihan, seorang penunggang kuda sudah
menyusulnya. Sang adiputro sedang menunggunya di dalam
kadipaten. Ia berbalik menuju ke kadipaten.
Ia dapati Sang adiputro sedang duduk berfikir dengan
wajah menekuri lantai. Dan duduklah ia di bawah
mengangkat sembah.
“Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga, Kakang
Patih. Tentu mereka sudah kalahkan kapal-kapal Parsi,
Mesir, Turki, palawa ia, Benggali dan Langka. Mereka akan
kalahkan juga kapal-kapal Aceh, dan jawadwipa , Jawa dan
kediri sendiri.”
“baginda tuanku raja .”
“Mengapa musti mengalahkan, Kakang Patih? Bukankah
kapal-kapal asing datang kemari bukan untuk mengalahkan
kita? Tak pernah yang demikian terjadi sejak nenek-
moyang, kecuali orang-orang Tartar yang dihancur kan itu.”
“Nampaknya nyi kanjeng blora dan Ispanya lain dibandingkan yang
lain, baginda tuanku raja . Mereka bukan sekedar mencari dagangan dan
rempah-rempah. Mereka datang ke mana-mana untuk
mencari negeri asal rempah-rempah. Mereka hendak
merampas semua untuk dirinya sendiri.”
“Kerakusan tiada tara. Mengapa tidak mau berbagi?”
“Konon wartanya, baginda tuanku raja , mereka tadinya bangsa miskin.
Sekarang baru keluar dari kemiskinan, baru melihat dunia,
mulai merabai dan merampasi semua barang apa yang baru
dilihatnya, apa saja yang indah, yang mahal, seperti si lapar
melihat sajian, ya baginda tuanku raja .”
Sang adiputro tersenyum.
“Si lapar melihat sajian. Perbandingan yang indah. Ya
barangkali benar begitu. Dan mereka akan datang ke sini
juga akhir-akhir kelaknya. Semoga mereka sudah kenyang
dalam perjalanan.”
“Kerakusan tidak mengenal kenyang, baginda tuanku raja .”
“Kakang Patih benar. Kadang-kadang memang
memusingkan untuk memahami hal-hal baru. Kapal
unggul, kacangtanah ran unggul. Sebaliknya, Kakang Patih,
mereka yang justru memiliki negeri yang menghasilkan
rempah-rempah, sepanjang sejarahnya selalu hidup dalam
kemiskinan dan perbudakan. Mereka yang datang mencari
rempah-rempah yang jaya dan kaya. Bagaimana harus
memahami ini, Kakang?”
”Itulah suratan tangan bangsa-bangsa. baginda tuanku raja , hanya para
pendita bijaksana dapat menerangkan.”
“Sekarang rempah-rempah juga yang memanggil
kerakusan yang tak mau berbagi. Kerakusan yang mau
berkuasa dan memiliki untuk diri sendiri semata,
membunuh dan menenggelamkan. Mereka makin
mendekati kediri . Rasa-rasanya sudah dapat kami dengar
bunyi gada rujakpolo nya, memekakkan dan melumpuhkan burung-
burung di cakrawala.” Suaranya menjadi pelahan
mendekati bisikan: “namun adiputro kediri tidak gentar,
Kakang. Hanya awas-awas pada yang di barat sana:
Semarang, pajang bintoro , suryabuaya , campa .”
Sebentar ia berhenti bicara, tersenyum menimbang-
nimbang, matanya berkilau, wajahnya berseri: “Ya,
padasuatu kali mereka, manusia berkulit putih lucu itu,
seperti bawang, anak bangsa unggul itu, akan datang
kemari. Kapal-kapal mereka akan terikat pada patok
dermaga kediri .” Sekarang ia tertawa, semakin riang,
“untuk kediri , Kakang Patih, mereka tidak akan
mendatangkan kehancuran atau kehancuran….”
“sang hyang Widhi Dewa Batara membimbing baginda tuanku raja adiputro
Sesembahan.” “… mereka akan datang membawa
kekayaan, kemakmuran melimpah, mas, perak, tembaga,
sutra, intan, permata, akan berjasang yang betari durga , berhamburan di
kediri , dari kapal-kapal mereka. Sudah kudengar mereka
bersorak-sorai. Bukan sorak kemenangan, bukan sorak-sorai
minta beli lebih banyak! Rempah-rempah! Rempah-rempah!
Kerahkan semua armada niaga, Kakang Patih. Semua. Ke
Mamuluk. Angkut semua yang ada. Ke kediri . Itu perintah
kami.” 1
Sang adiputro masuk ke peraduan dan memusatkan
seluruh pikirannya untuk memperoleh kan keuntungan dari
perubahan baru tanpa harus mengurangi keuntungan yang
bisa diperoleh dari kapal-kapal arca , Nusantara dan
Tiongkok.
wah
Pada waktu ia tenggelam dalam pikirannya, jauh, jauh
dari kediri , kejadian-kejadian besar sudah datang silih-
berganti, baik di negeri kanjuruhan maupun Ispanya. Pada
1492 Kristoforus Colombo sudah menyeberangi samudra
Atlantik, menemukan benua baru Amerika. Tak lama
lalu Ispanya dan kanjuruhan merajai benua baru itu.
Enam tahun lalu , pada 1498 pelaut kanjuruhan Yasco
da Gama mulai menjelajah dunia Timur, dengan panji-
panji mpu wisangeni yang dikeluarkan oleh Tahta Suci pada
4 Mei 1493. Kapalnya memasuki tumapel dan Goa dan
ikutserta pula kekuasaannya.
Jalan laut kapal-kapal arca mulai terdekat. Pangkalan-
pangkalan diambil-alih dengan gada rujakpolo ….
wah
Turunan kuda Korea di Jawa lalu dinamakan kuda
Kore.
Senjata ini didasarkan atas prinsip roket, yang
dilemparkan dan diarahkan dengan laras dengan tolakan
ledakan.
wah
3. Menjelang Pesta Lomba Seni dan Olahraga
dahulu di Wilwatikta, ibukota kerajaan jenggala , terdapat dua
istana. Sebuah istana paduka raja , yang lain istana Sang
Dharmadhyaksa, penghulu agung ummat sri ratu kertanegari .
Sekarang di kediri Kota terdapat dua gedung utama.
Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri
ummat arca kediri .
Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi
ditinggali oleh Sang Penghulu, kosong. namun beberapa hari
belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan
kayu tinggi. Dari jalanan hanya nampak atapnya yang dari
sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga
depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam.
Penghuninya, Penghulu Negeri berasal dari seberang,
sudah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang adiputro .
Dahulu ia diangkat untuk mengurus soal-soal agama
penduduk dan mengajarkan arca pada anak-anak
pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi resi putra-putra Sang
adiputro . namun ia menyia-nyiakan agama-agama lain yang
masih dipeluk oleh penduduk negeri kediri . Sekarang
gedung utama kedua itu tertinggal kosong.
Sesudah pelataran dipagari tinggi orang justru pada
datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba
dapat mengintip ke balik dinding pagar. Berita sudah pecah
ke seluruh kota: Bidadari hutan larangan , I dayu, juara tari
dua kali berturut, sudah datang ke kediri Kota untuk
menggondol kejuaraan ketiga kalinya.
Desas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datang untuk
takkan balik ke desanya lagi sebagai bunga perbatasan
pasti dia akan diselir oleh Sang adiputro . Sebelum bidadari
itu jadi milik pribadi Sang adiputro orang memerlukan
datang untuk membelainya dengan pandangnya. Beberapa
pemuda sudah bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir
dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi.
namun rombongan seni dan olahraga dari hutan larangan
belum lagi tiba.
Desas-desus sudah datang mendahului, memercik ke
seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. Dan
tak lain dari kepala desa hutan larangan sendiri yang
merencanakan dan menitipkannya. Rombongan yang
belum datang itu tak tahu-menahu. Hanya mereka yang
melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaranya:
Wejangan terakhir betari resi sudah membawa desa
hutan larangan ke tepi kehancur an. Dengan keputusan
sendiri ia sudah meracuni resi -pembicara itu. Dan pada up-
acara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa,
terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang
pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia
mengakui di depan umum, ia sendiri yang sudah
meracunnya untuk menghindari murka Sang adiputro .
Sesudah itu ia datang pada nyi girah dan raden gelang-gelang , membatalkan
rencana perkawinan mereka, menangguhkan sampai
sehabis Lomba Seni dan Olahraga. Mereka berdua sudah
merawat betari resi sampai matinya. Mereka harus
digiring ke kediri Kota, biar Sang adiputro segera dapat
menjatuhkan hukumannya.
Ia tahu pasti segala sesuatu tentang hutan larangan sudah
sampai pada Sang Patih dan Sang adiputro . Dan desas-desus
itu perlu untuk mengingatkan mereka pada hutan larangan ,
pada betari resi , raden gelang-gelang dan nyi girah , dan: tindakannya
yang bijaksana.
Rombongan hutan larangan sudah nampak dari kejauhan.
Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-
umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua
untuk senang menerima kedatangannya.
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan
bersorak-sorai gegap-gempita.
“Merdeka , hutan larangan ! Merdeka nyi girah !”
anak anak pada berlarian menyongsong dengan
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun.
Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun.
Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, wanita lesbian , kakek,
nenek, kanak-kanak. anak anak terbang berlarian untuk
menyatakan keredupan atas kedatangan juara negeri,
kekasih semua dewa. Laki-laki -Laki-laki tak berbaju dengan gada wesi
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung
rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang
pada nyi girah , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan
dadanya .
Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-
bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten,
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan
menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang
menelan tubuh bidadari hutan larangan , merabai tubuhnya
dengan pandang rakus.
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-
sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara:
“Merdeka hutan larangan !”
“Merdeka uuuuuu,” semua, pendatang dan penonton,
meledak serentak.
“Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan
tajam-tajam. Atas perintah Sang Patih, barangsiapa dari
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.”
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, baginda tuanku raja
Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!”
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin
gemuruh.
“Nah, wanita-wanita hutan larangan . Kalian sudah
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!”
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian
dari upacara, sesudah keluarnya larangan. Semua wanita
pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk
merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak
bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh.
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa
mudanya.
“Jangan biarkan Sang matahari malu melihat kalian. Cepat,
sebab seluruh Kota sudah menunggu.”
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian
yang sebetulnya . Gamelan semakin riuh dan tarian
semakin indah.
Rombongan hutan larangan sudah nampak dari kejauhan.
Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbul-
umbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua
untuk senang menerima kedatangannya.
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan
bersorak-sorai gegap-gempita.
“Merdeka , hutan larangan ! Merdeka nyi girah !”
anak anak pada berlarian menyongsong dengan
tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau
setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu
sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun.
Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun.
Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang
pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, wanita lesbian , kakek,
nenek, kanak-kanak. anak anak terbang berlarian untuk
menyatakan keredupan atas kedatangan juara negeri,
kekasih semua dewa. Laki-laki -Laki-laki tak berbaju dengan gada wesi
terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda
menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam
rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi
caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung
rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang
pada nyi girah , mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan
dadanya .
Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyi-
bunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten,
dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang
destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan
menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan
bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang
menelan tubuh bidadari hutan larangan , merabai tubuhnya
dengan pandang rakus.
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa
melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Sorak-
sorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara:
“Merdeka hutan larangan !”
“Merdeka uuuuuu,” semua, pendatang dan penonton,
meledak serentak.
‘Tahukah kalian aturan masuk ke Kota?” tanya
penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.
“Belum! Belum!” jawab rombongan seperti pada tahun
yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun
semua diam mendengarkan: “Buka kuping, dengarkan
tajam-tajam. Atas perintah Sang Patih, barangsiapa dari
pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan
ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus
menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.”
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang
pemuda-pemuda bersorak mengejek: “Ho-ho-ho, baginda tuanku raja
Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!”
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi
menirukan: “Tetap berlaku! Ho-ho-ho!” ejekan semakin
gemuruh.
“Nah, wanita-wanita hutan larangan . Kalian sudah
dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah!”
Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka
pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian
dari upacara, sesudah keluarnya larangan. Semua wanita
pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah
kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk
merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak
bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh.
Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa
mudanya.
“Jangan biarkan Sang matahari malu melihat kalian. Cepat,
sebab seluruh Kota sudah menunggu.”
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan
pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian
yang sebetulnya . Gamelan semakin riuh dan tarian
semakin indah.
Rombongan hutan larangan semakin tebal dan panjang.
Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah
tanpa menuntut simpuh dan sembah. Gerobak pada
melarikan diri sebelum terseret dalam kepadatan manusia.
Sepanjang jalan seruan Merdeka berderai bersambut-
sambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu Negeri
yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti.
Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di
tengah-tengah pintu. Ia berkain. sebab tubuhnya tinggi,
kain itu tak mencapai matakaki. Dadanya telanjang. Ia tak
memakai selendang sutra yang menyelimpangi dada. Di
tangannya ia membawa gada terhtumenggung dijoyo . Di kiri dan
kanannya berdiri pengawal bertombak dan berperisai.
“Dari mana semua ini, maka membuat onar di Kota?”
“Kami,” jawab kepala desa yang melompat ke depan,
“dari desa perbatasan hutan larangan .”
“Apa keperluanmu, pelancang?” gertak penyambut
sambil mengamangkan gada nya.
Dua orang pengawalnya maju, memasang kuda-kuda
dengan tombaknya.
“Datang ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah
pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini,” jawab
kepala desa.
“Ahai! Datang untuk merebut kejuaraan. Tidak semudah
itu orang desa!”
“Berilah kami kesempatan!”
“Baik, masukkan semua rombonganmu, dan pergi nyah
kau dari sini.”
Dan dengan demikian rombongan hutan larangan masuk,
kecuali bukan peserta . Penonton bersorak-sorai, bergalau
memanggil-manggil nyi girah .
Dan pintu pagar tertutup rapat.
wah
Dua hari rombongan peserta hutan larangan sudah
dibalai kan. Laki-laki menempati bangunan sebelah kanan,
wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa sudah datang.
Latihan pun sudah dimulai
Di jenggala saudagar-saudagar, asing dan Pribumi
mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang
adiputro ke balai untuk mengunjungi nyi girah . Datang
berarti bidadari hutan larangan akan terambil jadi selir.
Taruhan itu sampai mencapai seluruh muatan kapal,
malahan kapalnya sendiri. Suasana hangat membubung di
atas bumi dan kepala manusia kediri Kota.
Punggawa-punggawa desa hutan larangan semakin giat
meniup-niupkan desas-desus. Dan hanya tiga orang saja
sekarang tak tahu tentang itu: nyi girah sendiri, raden gelang-gelang dan
Sang adiputro
Penguasa kediri itu masih juga sibuk menata pikiran
menghadapi kemungkinan datangnya kanjuruhan dan
blambangan . Juga nyi girah tak kurang sibuknya: berlatih dan
melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama:
memasak dan membersihkan balai . raden gelang-gelang pun sibuk
melatih otot-ototnya.
Mereka turun ke kota dan memasuki balai dengan hati
berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus
disimpan di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari
punggawa desa itu mendatangi mereka, memaksa dengan
segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka
hendak melangsungkan perkawinan. lalu tak lain
dari kepala desa sendiri yang datang. ‘Desa kita sudah
dicemarkan oleh mendiang betari resi ’, katanya.
‘Kehormatannya harus dipulihkan, dan’, kepala desa itu
menuding raden gelang-gelang , ‘kau bertanggungjawab juga dalam
pencemaran itu!’ raden gelang-gelang membantah dan punggawa itu
tetap menudingnya, mengancam akan menyerahkannya
pada pengawal perbatasan.
Tahulah ia: otot-otot yang perkasa sama sekali tanpa
daya menghadapi kekuasaan kepala desa. Ia menyerah
tanpa rela hatinya. Sebelum pergi kepala desa masih
mengancam: ‘Kau harus menggondol kemenangan itu di
kediri Kota nanti. Kembalikan kehormatan hutan larangan !
Ia hanya bisa mendeham menerima paksaan kepala desa,
dan ia harus menggondol kemenangan.
wah
raden gelang-gelang sedang menimba sumur balai waktu
didengarnya teguran seseorang: Ia menengok. Orang itu
ternyata penantangnya dari desa lain, dikenal bernama
Boris. Nama lengkapnya Borisrawa, seorang pengejek yang
tajam menyayat kata-katanya.
raden gelang-gelang meletakkan timba dan menghampirinya. Dalam
segala ukuran Boris kalah dibandingkan nya, namun
semangatnya untuk menang memancar kemilau pada
matanya.
“Kang raden gelang-gelang ,” katanya lagi. “Kau datang lagi ke kediri
Kota tahun ini.”
“Kau juga, Boris.”
Boris milirik tajam, bibirnya tertarik kejang mengejek:
“Kau datang untuk menang? Atau untuk kehilangan
nyi girah ?”
Darah raden gelang-gelang tersirap. Sekarang jelas padanya arti
sindiran-sindiran selama dalam perjalanan dan memuncak
dalam balai ini.
Dua masalahnya belum lagi terpecahkan: menang dan
lepas dari hukuman Sang adiputro . Sekarang gelombang
sindiran tentang kehilangan nyi girah . Siapa bakal mampu
merampas kekasih dibandingkan nya kalau bukan punggawa? Ia
masih dapat mengingat kebencian betari resi terhadap
para punggawa kebencian yang bukan tanpa alasan. Dan
pesan kepala desa dan anggota-anggota majelisnya untuk
turun lagi ke gelanggang perlombaan. Ia masih dapat
mengingat waktu nyi girah menolak, dan rapat desa diadakan
dengan terburu-buru. Ia pun masih dapat mengingat
penutupan perlombaan tahun lalu: semua gadis perbatasan
diperintahkan menari di pendopo kadipaten. Tak ada
penduduk desa diperkenankan hadir. Dan lalu desas-
desus ini mata Sang adiputro tak lepas-lepas dari gadisnya,
nyi girah .
“nyi girah , Kang rupanya kau sudah relakan dia,”
tetaknya.
raden gelang-gelang mencoba tersenyum. Sumbang. Satu dugaan
sudah mendorongnya ke pojok: bukan salah seorang dari
para punggawa itu, namun Sang adiputro sendiri bakal
merampas kekasihnya.
“Betapa indahnya kehidupan di desa sendiri, ya Kang?”
Boris masih juga mencoba membakar dan menganiaya
hatinya.
“Ya,” jawabnya hambar.
Sebelum kepergian terakhir ke kediri ia selalu merasa
bangga melihat pandang Laki-laki yang memberahikan
kekasihnya, pandang wanita yang mengagumi dan
mencemburui. Seorang pun takkan bakal mampu
merampas kekasihnya selama otot-otot dan kecekatannya
masih dapat diandalkannya. Sekarang ia tersedar. kaum
punggawa, terutama Sang adiputro sendiri bukan sekedar
gumpalan otot perkasa dan kecekatan memakai nya.
Jauh lebih dari itu: kekuasaan atas hidup dan mati.
“Mengapa kau diam saja, kang? Marah barangkali?”
Begitu dilihatnya raden gelang-gelang menjatuhkan pandang ke tanah
basah berbatuan segera ia meneruskan: “Tak ada guna
marah Kang, percuma. Barangkali hanya aku yang berani
menyatakan ini terang-terangan padamu. Sekiranya kau
marah, itu pun beralasan. Aku memang penantangmu.
Hadapi aku nanti di gelanggang. Jangan di sumur sini.”
Di luar dugaan Boris, raden gelang-gelang tersenyum. Giginya
lalu muncul, nampak dan gemerlapan putih.
“Gigimu masih putih, Kang. Apa akan tetap kau biarkan
putih seperti itu?”
“Gigimu pun masih putih, Boris. Kapan kau hitamkan?”
“Bagiku tidak soal.” Tiba-tiba ia menetak lagi: “Aku
tidak mengharapkan perawan atau jandanya nyi girah , Kang.
Kalau dia lepas dari tanganmu, apa gigimu akan tetap putih
juga?”
raden gelang-gelang meninggalkan sumur dengan kesakitan dalam
hatinya. Sekali ini kemarahan memang membuncah. Dan ia
tak ingin terjadi perkelahian. Apa lagi ia tahu Boris sengaja
hendak mengganggunya. Ia tak jadi menimba, masuk ke
dalam balai , hendak berdamai dengan hati sendiri. namun
kembali ancaman kepala desa memasuki ingatannya. Kalau
dia libatkan diriku pada betari resi , tentu juga nyi girah .
Dia dan majelisnya sudah giring kami ke kediri Kota, ke
hadapan Sang adiputro sendiri.
Setiap orang tahu akibat gugatan terhadap punggawa,
terhadap Sang adiputro , terhadap seorang raja. Hukuman.
Mati. Tak ada tawaran lain. namun betari resi tidak
keliru, dia .benar, mereka tak pernah berbuat sesuatu untuk
bawahan ; segala tingkah laku mereka tak boleh disalahkan,
sekalipun hanya dengan kata-kata. Aku dan nyi girah akan
ditindak. Tidak sekarang, pastilah nanti sehabis
perlombaan. Ia pun tahu betul: ada aturan yang
membebaskan setiap peserta perlombaan yang dibalai kan
dari segala tuntutan.
Maka aku dan nyi girah harus menang. Harus!
Kemenangan saja yang barangkali dapat melepaskan kami
berdua dari hukuman. Bebas! Bebas! Mungkin aku bisa
bebas, namun nyi girah ? Mungkinkah dia bisa balik ke hutan
larangan bersama denganku? Betapa bakal sunyi hidup ini
tanpa nyi girah , tanpa dia, tanpa tawa tanpa candanya. Dan
apa pula arti duka-cita seorang anak desa seperti kami bagi
seorang adiputro yang berkuasa atas hidup dan mati….?
wah
nyi girah sedang masak waktu mendengar berita itu:
“raden gelang-gelang bingung! raden gelang-gelang bimbang! Dia akan kalah di
gelanggang nanti. Dia akan kehilangan dua: kejuaraan dan
nyi girah . Kalau dia menang, dia akan kehilangan satu: nyi girah
saja, kau saja. Dia tetap akan kehilangan.”
‘Teka-teki yang buruk,” nyi girah menanggapi dan belum
begitu menyedari duduk-perkara.
“Bukan teka-teki. Kau sendiri lebih tahu dari aku.”
“Apa maksudmu sebetulnya ?” ia tinggalkan periuk
dan mendekati teman masaknya.
“Maksudku, nyi girah . Di desamu sana, semua orang
melihat betapa indah dan bersinar kulitmu, agung kalau
sudah menari, memikat, tinggi semampai seperti puncak
gunung kapur. Di sini orang melihat kau hanya pada
wajahmu. Tidak kurang tertarik.” Teman masak itu
mendekatkan bibir pada kuping nyi girah : “Kau akan tinggal di
keputrian, nyi girah .”
nyi girah membeliak. Centong pada tangannya luruh ke
tanah. Wajah temannya tak nampak olehnya. Sebagai
gantinya muncul kepala desa yang berkumis jarang dan
kata-katanya yang lembut, manis dan membujuk:
‘Kecakapan dan kecantikanmu, nyi girah , akan membantu kau
mencapai segala yang jadi impianmu. Dan semua orang
menilainya sebagai cantik dan tanpa tandingan dalam
menari. Juga semua orang tahu harga kecantikan dalam
percaturan kekuasaan, di desa ataupun kota.
“Ya, nyi girah , pemenang tunggal akhir-akhirnya baginda tuanku raja
adiputro juga. Tidak lain dari kau sendiri yang lebih
mengerti. Sampai sekarang kabarnya hutan larangan belum
juga memperoleh tambahan Raden mas , belum ada lagi
Nyi Ayu….”
nyi girah menarik ke dua-dua lengannya jadi siku-siku,
mengejang jari-jarinya pada pipi, mencengkeram udara
kosong. Matanya berpendaran pada langit-langit dapur,
hitam diselaputi jelaga tipis.
Temannya memungut centong dan mencucinya dalam
jambang air, lalu membetulkan letak kayu bakar.
“Tak ada pilihan lain bagimu, nyi girah ,” katanya lagi sambil
melewatinya.
Dalam mata batin nyi girah kini terpampang dirinya sendiri,
la mengerti betul kata-kata temannya itu. Dan ia diam. Satu
doa kesejahteraan membubung dari dalam hatinya, mencari
para dewa yang masih memiliki persediaan kemurahan….
balai itu sendiri terletak di tentang alun-alun, tak
seberapa jauh dari gedung kadipaten.
Di luar balai orang-orang terus juga menggerombol
dengan harapan pintu pagar sekali-sekali dibuka dan
dapatlah pandang dilemparkan ke dalam.
Hari semakin gelap. Beduk tempat ibadah Kota dan tempat ibadah
pelabuhan sudah bertalu-talu. Di sela desau dan deru ombak
yang mendesak daratan terdengar azan bilal.
Di depan balai orang semakin banyak datang. Hampir
pada setiap kepala mereka hidup satu gambaran: nyi girah
yang sedang menari pada perlombaan tahun yang lalu.
Lebih dari itu: sedang tersenyum pada si pemilik hati
masing-masing, senyum seorang bidadari pujaan. nyi girah !
nyi girah ! Hati mereka berseru-seru, berbisik-bisik,
menggonggong dan melolong seperti anjing di musim
kawin. Dan setiap orang di antaranya memiliki harapan:
seorang dewa pemurah akan mengkaruniakan gadis
perbatasan itu pada dirinya.
Dan malam itu sesudah mengikuti pelajaran tatakbetari
kerajaan bagaimana harus berlaku di hadapan para
punggawa, terutama Sang adiputro sendiri, semua calon
petanding menuju ke bangsal ketiduran masing-masing.
Kelelahan berlatih dan bekerja membuat mereka terlalu
rindu pada bantal.
nyi girah masuk ke bangsal wanita. Damarsewu pendek
menerangi semua pojokan. Tanpa bicara ia rebahkan
tubuhnya di antara kawan-kawannya wanita. Dan ia masih
dapat menangkap sindiran dari sana-sini.
“Siapa seminggu lalu akan memasuki keputrian?”
dan tawa terkikik-kikik menyusul berpantulan dari bibir ke
bibir.
nyi girah diam saja dan hanya dapat berdoa. Ia rasakan
duka-cita yang sedang menerjang kekasihnya. Dan kekasih
yang dempal kuat itu muncul dalam perasaannya seperti
seorang bayi seminggu yang memerlukan perawatannya.
Dan ia tak dapat memberikannya.
Tanpa disadarinya matanya sudah melepas mutiara-
mutiara, berkilauan tertimpa sinar damarsewu. Segala
keindahan masa kemarin serasa akan bubar-buyar dari
angan-angan kekasihnya. Yang tertinggal akan hanya
sampahnya yang berhamburan tak menentu.
Seorang demi seorang sudah mulai tertidur. Akhirnya
tenang. Deburan laut terdengar semakin nyata dan semakin
nyata. Kadang berlomba dengan desah angin yang
merobosi sirap.
Sampai dengan kemarin ia masih terbiasa
membayangkan sebuah pondok bambu beratap ilalang,
berdiri sederhana di pinggir hutan. raden gelang-gelang sendiri yang
mengusulkan pendirian pondok itu. Dan mereka berdua
akan membuka hutan di pinggiran desa itu, dan membuka
huma seluas-luasnya untuk gogo dan palawija. ‘Ayam tak
perlu banyak/ kekasihnya menyarani, ‘kecuali kalau hutan
itu sudah terbuka luas. Tiga ekor induk dan seekor jago
sudah cukup untuk permulaan. Dan sepasang anjing yang
cerdas. Kelak atap ilalang akan kuganti dengan injuk.
Sudah aku ketahui ada daerah enau. Aku sudah temukan
daerah enau, Dayu! Kita akan bikin gula dan tuak
sebanyak-banyaknya!
Ia simpan gambaran itu sebagai suatu yang terlalu mahal
sekarang ini.
lalu Sang adiputro muncul dalam mata batinnya,
bertolak pinggang, semua rambutnya sudah putih, tegap,
gagah, dan raden gelang-gelang dihalau dari hadapannya. Kekasihnya
itu merangkak pergi bersama dengan impian dan kesakitan
sendiri. Dirinya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Sudah
terlalu banyak cerita tentang raja yang menghendaki
perawan cantik dan menikam kekasih perawan dengan
tangan dan gada wesi sendiri. Ah, raden gelang-gelang , Kang raden gelang-gelang ! Bahkan
kekasihnya itu tak berani menengok untuk memandangi
buat terakhir kali.
Tiba-tiba ia tersedan pelan, sangat pelan. Apa pula arti
air mata bagi Sang adiputro ? Sedang nyawa orang pun
miliknya? Ia tahu, di tangan Sang adiputro tak ada orang
boleh menyentuh dirinya, raden gelang-gelang tidak, orangtuanya
sendiri pun tidak. Ia menggeragap bangun. Seorang bocah
Laki-laki , berumur empat belasan, mendadak sudah berdiri di
hadapannya dan menyentuh dirinya. Telunjuknya, yang
bercincin mas, terpasang pada bibir ia memberi di kuil rat
agar tak ada sesuatu bunyi. Ia pandangi anak itu dari balik
selaputan air mata. Masih dilihatnya bocah itu berpakaian
ningrat. Gelang mas menghiasi lengan. Destarnya saja
menyangkal keningratannya, sebab ujung-ujung
pengikatnya terkanji kaku. Ikat pinggangnya dari kulit,
lebar, berkilauan dengan hiasan perak.
Dengan sikap rahasia si bocah menyerahkan secarik
lontar.
Dan sebelum nyi girah sempat bertanya ia sudah keluar dari
bangsal wanita.
Gadis hutan larangan itu melangkah ke sebuah
damarsewu dan membacanya: “nyi girah , kekasih si Kakang.
Jangan kaget sebab datangnya lontar ini. Di luar sana
malam, nyi girah , namun dalam hatiku kekuatiran yang
merajalela. Kalau nanti, nyi girah , kekasih si Kakang, menang
atau kalah dalam pertandingan, tahu-tahu baginda tuanku raja adiputro
menghendaki dirimu…. nyi girah , pujaan si Kakang,
bagaimana akan jadinya?”
Perawan perbatasan itu menghela nafas panjang. Lontar
itu diciumnya, lalu ia gulung kecil, ia tekuk. Ia
lepaskan subang kiri dari kuping dan membuka cepuknya.
Gulungan kecil lontar itu dimasukkan ke dalamnya subang
itu dikenakannya kembali. Ia merangkak ke ambin dan
turun lagi mengambil kantong tipis dari anyaman bambu.
Dari dalamnya ia keluarkan selembar lontar dan sepotong
besi menggurit. Dengan penggurit itu ia mulai menulis.
Sesudah selesai disekanya dengan jelaga pelita dan muncul
tulisannya.
Si bocah menongolkan kepala di pintu. nyi girah
menyerahkan lontar balasan.
Damarsewu tetap menyala. Menurut aturan balai ,
lampu harus tetap menyala dari matahari tenggelam sampai
terbit….
Gerombolan orang di luar balai sudah lama bubar
dengan menyemaikan harapan untuk hari esok.
Dalam bangsal Laki-laki , si bocah Pada menyerahkan lontar
balasan pada raden gelang-gelang . Juara gulat tahun lalu itu tanpa
sabarnya segera membacanya.
“Kakang raden gelang-gelang , kakang si adik. Memang semua orang
sudah bicara. Semua orang sudah tahu, Kang. Apa kau dan
aku bisa perbuat, Kang? baginda tuanku raja adiputro tak dapat kita
hadapi. Semoga yang ini tidak akan terjadi. Kelak kau akan
terpilih jadi kepala desa, Kang, kepala desa hutan larangan .
Aku akan jadi si embok lurah, ya Kang? Jangan pikirkan
yang lain-lain kecuali pertandingan. Jangan malukan aku
dengan kekalahan. sang Hyang betari durga mengabulkan, Kang.”
raden gelang-gelang menyorong lontar itu pada api damarsewu,
terbakar, jadi abu. Ia pandangi Pada yang masih berdiri di
sampingnya. Juara gulat itu mengangguk, dan bocah itu
pergi menghindar, meneruskan kewajibannya meronda ke
sekeliling balai .
Bocah itu lebih suka berada di bangsal wanita. Ke sana
pula ia pergi. Baru dua tiga langkah ia masuk terdengar
canang bertalu tiada hentinya. Ia berhenti dan
mendengarkan. lalu terjadi yang diduganya: keri-
butan terbit di dalam bangsal itu. Cepat-cepat ia masuk ke
ruangan tidur. Para penghuni sudah terbangun semua,
bertanya satu pada yang lain: bunyi canang tak pernah
masuk dalam acara.
Pada berdiri tegak. Mata terarah pada nyi girah yang juga
berdiri bertanya-tanya. Ia angkat lengan, memberi di kuil rat
agar semua tenang kembali. Lengannya yang bergelang mas
diangkatnya semakin tinggi untuk memamerkan
perhiasannya.
“Para nyi girah calon juara!” katanya lantang tanpa
ragu-ragu, seperti pembesar berpengalaman, “jangan kaget
jangan terkejut, jangan gaduh, jangan ribut. Canang itu
memang belum ada pada tahun yang lalu. Apalagi di
malam hari seperti ini. Aturan baru, para nyi girah calon
juara! Artinya, para nyi girah calon juara, pada malam ini
kelihatan datangnya kapal asing akan memasuki
pelabuhan.”
“Mengapa dipukul terus seperti panggilan perang?”
seseorang bertanya.
‘Tidak ada perang. Tidak ada kerusuhan. Pertama-tama
sebagai pemberitahuan pada para pedagang pelabuhan
supaya siap-siap dengan barang dagangannya. Kedua untuk
membangunkan para pekerja pelabuhan. Dan yang
terpenting, para nyi girah calon juara: warta itu tertuju pada
kadipaten, bukan pada balai ini!”
‘Taluan canang itu lebih mirip dengan panggilan
perang.” seseorang membantah.
”Kalau betul ada kapal asing datang, tentulah kapal
pajang bintoro .”
“pajang bintoro ?”
“pajang bintoro menyerbu dari laut?”
“Tidak. Percayalah pada Pada ini. Tidurlah lagi semua
nyi girah calon juara.”
Gadis-gadis itu terlampau mudah dipercaya kan dengan
gerak gelang dan cincin Pada. Mereka kembali merangkak
ke ambinnya masing-masing dan meneruskan tidurnya.
nyi girah justru mendekati Pada.
“Tidur, nyi girah . Kau begitu pucat. Beberapa hari lagi
pertandingan dimulai,” tegur Pada sebagai pejabat.
“Jangan katakan pada siapa pun tentang lontar tadi,”
bisik gadis perbatasan itu tanpa menanggapi teguran.
“Apakah ada nampak olehmu Pada ini tak dapat
dipercaya?” si bocah berbisik kembali.
“Percintaan memang dilarang di sini nyi girah .”
“Bukannya aku tidak percaya. Kalau sampai terdengar
ke sana….” nyi girah menuding ke arah kadipaten, “apa
bakal?”
“Apa bakal jadinya?” ia mencibir,
“nyi girah celaka, Kang raden gelang-gelang celaka. Aku lebih celaka
lagi. Tentang yang sama itu bukankah nyi girah sendiri
yang tinggal pilih? Kang raden gelang-gelang sendiri bisa apa? Memilih
seorang di antara dua tidaklah sulit. Bukankah semua orang
sudah tahu soal nyi girah dan Kang raden gelang-gelang , dan soal
nyi girah dengan yang sana?”
“Kalau bicara semaumu sendiri, Pada. Tak ada terniat
dalam hatimu untuk membantu aku dan Kakang?”
Untuk pertama kali dalam balai gadis itu melihat mata
si bocah, yang beberapa tahun lebih muda dibandingkan nya itu,
menyala-nyala memberahikannya.
‘Tak ada orang bisa membantu,” bisiknya berwibawa.
“Hanya nyi girah sendiri yang bisa menentukan, dan
semua akan selesai. Bukankah nyi girah seorang wanita di
negeri sendiri?”
“Kau benar, Pada,” ia mengalah sesudah mengherani
kebijaksanaannya. “Akhir-akhirnya aku bukan satu-satunya
yang pernah menghadapi soal seperti ini. Si Mira dahulu lebih
suka menyobek perutnya. Si Dama lari ke negeri Atas
Angin dengan Parta. namun memang tidak semudah itu,
Pada. Kau harus membantu.”
“Kalau kau sudah memutuskan, tentu mudah untuk
membantu.”
”Sudah, tidurlah, nyi girah calon juara. Makin banyak
melanggar aturan makin tidak baik,” dan ia pergi. Si
lancang mulut itu ke luar dari ruang tidur.
wah
Pagi itu di ruangan latihan gulat tak ada seorang pun
berlatih. Para calon petanding dan pengawasnya pada
duduk-duduk di atas tikar menghadapi sebuah meja rendah
panjang yang belum lagi berisi sarapan. Mereka sedang
memikirkan sesuatu. Tubuh mereka yang dipenuhi oleh
gumpalan otot kuat sejak leher sampai betis seakan
bongkahan batu-batuan gunung yang terhempas di pinggir
jalan.
“Kongso Dalbi!” seseorang menyebut nama dengan
dihembuskan.
“Kongso seperti nama orang sebelah barat sana.
Barangkali dia memiliki darah Jawa dari sebelah sana.”
raden gelang-gelang diam-diam mendengarkan untuk mengetahui
duduk perkara.
“Dia bukan Jawa. Juga bukan turunan Jawa. Keling pun
tidak. Kata orang kulitnya putih, rambutnya sama hitamnya
dengan kita. Badannya tidak lebih dempal, tidak lebih
tinggi, juga tidak lebih besar dibandingkan kita.”
“Jadi siapa Kongso Dalbi?” akhirnya raden gelang-gelang bertanya
juga.
“Dasar tolol perbatasan, kau, juara tahun lalu. Apa guna
ototmu kalau tak pernah dengar nama Kongso Dalbi? Dasar
tolol perbatasan! Hanya nyi girah saja tahu, itu pun bakal tak
kau ketahui juga. Untuk selama-lamanya.”
“Husy!” pengawas mendiamkan. “Kau, raden gelang-gelang wajib
tahunama itu. Memang tidak patut tidak mengetahuinya.
Kongso Dalbi… orang nyi kanjeng blora. nyi kanjeng blora pun kau tidak
tahu barangkali?”
raden gelang-gelang menggeleng dan Boris mentertawakannya.
“nyi kanjeng blora,” pengawas mengulangi. “ayolah , kalian, siapa
tahu tentang negeri nyi kanjeng blora? ayolah katakan siapa yang
tahu.”
Tak ada yang menjawab. Boris pun tidak “Di mana
negeri nyi kanjeng blora, Pengawas?”
“Aku tak segagah tidak sedempal kalian. Rasanya sudah
sepatutnya kalau aku pun tidak tahu.”
“Jadi apa sedang kita bicarakan ini? Petai hampa? Ya,
Boris? Petai hampa?” raden gelang-gelang bertanya.
“Tidak,” jawab Boris gagah, “ketahuilah, calon bekas
juara, bahwasanya ada negeri di negeri dongeng yang sudah
jatuh di tangan nyi kanjeng blora. Sebuah negeri jenggala . Goa
namanya. jenggala itu sekarang dipakai jadi pangkalan
kapal-kapalnya. Tak ada yang bisa mengalahkan kapai-
kapai mereka. Bagaimana bisa kalau mereka sudah bubar
sebelum mencoba? namun kau jangan coba-coba, Kang
raden gelang-gelang . Di darat mungkin orang-orang nyi kanjeng blora akan jadi
pisang goreng di tanganmu, kau kemah-kemah, kau
banting. Di laut. Kang, kau hanya agar-agar belaka di
tangan mereka.”
“Betul, raden gelang-gelang ,” pengawas membenarkan. “Hanya agar-
agar. Kau tak bakal bisa mendekat. Hanya mendekat!
Tangan mereka terlalu panjang. Mereka bisa lemparkan
bola-bola besi berapi padamu, sebesar sukun! Coba, sebesar
sukun! Dan kau, Boris, perhatikan mulutmu. Anak per-
batasan juga memiliki kehormatan dan harga diri. Jangan suka
mengejek tidak sepatutnya.”
“Biar, pengawas, dibandingkan kalah untuk kedua kalinya di
gelanggang ada baiknya dia diberi kemenangan di luar
gelanggang,” raden gelang-gelang melepaskan anak panahnya. “Biar dia
bebas menggetarkan bibirnya sebelum lehernya patah.”
“Husy,” cegah pengawas. “Kau pun sama saja, raden gelang-gelang ,
uh. Kalian datang kemari untuk jadi petanding atau
pembunuh? PUH! Kalian pulang ke desa masing-masing
untuk membawa keharuman, bukan berita kengerian.
Jangan kalian lupa.”
“Betul, pengawas, betul sekali. Dan Kang raden gelang-gelang ,” kata
Boris, “akan pulang, mungkin juga dengan membawa
keharuman, mungkin juga tidak. Yang jelas dia akan pulang
lenggang-kangkung tak lagi bergandengan dengan seperti
datangnya. Percaya sajalah. Sebagaimana matahari terbit pada
hari ini….”
Tiba-tiba percakapan mereka terputus oleh bunyi canang
bertalu. Tak lama lalu canang kadipaten menyahuti
bertalu pula. Dan apa pun yang sedang terjadi, menurut
peraturan, yang berlatih tak diperkenankan berhenti
sebelum sarapan pagi datang.
Pengawas, yang mengetahui pemuda-pemuda tani dan
pekerja tak memiliki kekuatan sebelum sarapan, mengambil
kebijaksanaan untuk mengobrol sambil menunggu. Dan
justru sebab canang yang betari i bersahut-sahutan
pengawas tak jadi meneruskan ceritanya, bahwa kapal-
kapal nyi kanjeng blora sudah mulai kelihatan berkeliaran melewati
Singhala Dwipa.
Dari luar ruangan terdengar suara Pada berseru-seru
seperti seorang pembesar “Para nyi girah dan Kakang
calon juara sesuai dengan aturan, tahun ini dengarkan
baik-baik. Canang dari pelabuhan berarti: nakhoda dengan
atau tanpa saudagar dari kapal semalam sudah berlabuh.
Sekarang sudah siap menghadap baginda tuanku raja adiputro kediri .
Canang kadipaten yang menyahuti menandakan: baginda tuanku raja
adiputro siap dihadap. Jangan gaduh, jangan gelisah. Tidak
ada apa-apa. Hanya barang siapa ingin mengintip untuk
melihat iring-iringan penghadap kalau bisa mengintip
namun jangan rusakkan pagar jangan lewatkan kesempatan!”
“Barangkali Kongso Dalbi!” Pengawas menyarani.
Mereka berlompatan berebut dahulu meninggalkan
ruangan latihan, lari ke luar gedung. Seperti dengan
sendirinya baik gadis maupun perjaka mengisi pelataran
depan dan bingung mencari lobang pada pagar. Mereka tak
memperoleh kannya. Mereka lari ke sana kemari mencari
tumpukan batu atau kayu. Yang memperoleh kan tangga
berseri-seri dengan keunggulannya dan menebah dada
dengan kemenangannya.
Melewati pagar kayu tinggi itu orang melihat alun-alun
yang lengang seperti biasa pada siang atau pagi hari. Jalan-
jalan raya pun senyap. Sebuah iring-iringan kecil menuju ke
kadipaten. Beberapa orang yang sedang lewat tidak
bersimpuh menghormati iring-iringan, namun berhenti
menonton.
Paling depan dalam iring-iringan itu berjalan patih wirabuana
kediri tumenggung dijoyo , yang lebih biasa dinamakan Rangga
tumenggung . Tubuhnya yang jangkung itu berjubah dan bersorban
putih. Sedikit di belakangnya berjalan seorang nakhoda
berbangsa palawa , berjubah dan bersorban coklat muda. Pada
pergelangannya melingkar akar bahar besar. Ia berterompah
seperti halnya dengan patih wirabuana . Langkahnya tenang
sambil membelai-belai jenggot yang sangat tebal lebat dan
kepala nya selalu menunduk seakan sedang menghitung
setiap batu yang dilewatinya. Di belakangnya menyusul
para pemikul. Barang-barang yang dipikul selalu jadi
pergunjingan. Orang memperoleh kesempatan menaksir-naksir
berapa dan apa macam yang bakal dipersembahkan. Dan
orang bertaruh.
Canang kadipaten bertalu satu-satu, pertanda iring-
iringan melewati gapura kadipaten. Dan para pengintip
meninggalkan tempat masing-masing dan berlarian kembali
ke dalam balai untuk memperoleh kan sarapan.
wah
Pada siang hari berita tentang kedatangan tamu itu
meniup cepat. Benar ia seorang saudagar palawa , bukan
nakhoda dan hanya bisa berbahasa palawa , patih wirabuana yang
jadi penterjemah. Persembahannya berupa permadani
terindah dari Bagdad dan Ashkhabad untuk peraduan baginda tuanku raja
adiputro kediri dan untuk keputrian. lalu : batu-batu
permata dari palawa ia, Birma dan Singhala Dwipa, kain
khasaa dari Benggala, sutra Tiongkok, madu palawa ia yang
tiada tandingan, tembikar, kertas, kasut sulaman putri-putri
Mesir dan Alqur’an. Lebih dari itu orang tak tahu.
Tamu itu agak aneh, kata warta yang datang meniup. Ia
sudah memohon diperkenankan mempersembahkan sesuatu
tanpa dihadiri atau didengar oleh siapa pun. Juga tidak
diperlukan penterjemah.
“Jadi dia bisa jawadwipa !” seseorang memberi komentar.
“Mungkin juga kata r Jawa,” yang lain menambahi.
Persoalan baru itu tidak menarik orang.
Di dalam ruangan latihan raden gelang-gelang berdiri di dekat sebuah
meja rendah panjang yang kini sudah ditaruhi cobek-cobek
tanah berisi telur dan buah-buahan, penganan dan cawan
minuman dan madu lebah. Para calon petanding pada
memperhatikan gelang dan cincin mas Pada: Bocah yang
memiliki gaya pembesar itu cekatan dalam mengatur letak
makanan dan minuman: Hanya raden gelang-gelang memperhatikan
airmukanya.
“Madu dan telor memang cukup, Pada,” tegur juara
gulat dari hutan larangan itu. ‘Tuak tidak. Tuak, Pada.
Barangkali kau sendiri yang menghabiskannya.”
“Ya, tuak! Tuak!” yang lain-lain membenarkan.
“Tuak dilarang di sini!” Pada memekik sengit dan keras,
berdiri tegak menantang mata setiap orang: Ia tahu tak ada
di antara pegulat-pegulat itu berani meletakkan tangan pada
seorang pejabat: Dan ia seorang pejabat terpercaya dari
Sang adiputro . “Semestinya Kakang semua ini sudah senang
dengan pelayananku. Bukankah ada juga tuak kumasukkan
untuk para Kakang? Apa tak juga mencukupi layananku?
Tuak dilarang, kataku.”
“dahulu tak begitu banyak larangan,” raden gelang-gelang memprotes.
“Memang. Kang raden gelang-gelang tidak keliru: dahulu , dahulu
sekarang, sekarang. Daging babi pun sekarang sudah tak
boleh dihidangkan di sini. Di balai sini, juga daging
anjing.”
“Nampaknya di Kota ini hanya larangan saja yang ada,”
raden gelang-gelang mengancam.
“Belum lagi semua aku katakan. Nanti sore akan
diresmikan larangan baru: orang tak boleh lagi memahat
batu. Nanti sore.” Dan suaranya meningkat keras. “Kalau
tidak percaya, dengarkan sendiri nanti di alun-alun. Juga itu
belum semua. Semua batu berukir di dalam kota harus
dikumpulkan di alun-alun besok sampai lusa, sebelum
perlombaan dimulai. Akan dibuang ke laut!”
“Apa salahnya batu-batu itu?
“Salahnya, sebab mereka berukir!” jawab Pada ketus.
“Kata orang, baginda tuanku raja adiputro kediri merasa segan terhadap
putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar arca ,
jadi resi pembicara di mana-mana, jadi Ulama, kata orang.
Dan batu berukir dalam peraturan arca , katanya, barang-
barang jahat.”
Mereka tak menyedari, Boris dengan diam-diam
mendengarkan dan mendekati mereka: Matanya menyala-
nyala berang. Tiba-tiba ditariknya meja rendah panjang itu
dan ditekuk-lipatnya dengan kedua belah tangan sampai
gemertak patah. Cawan-cawan dan cobek bedan isinya
jatuh pecah berhamburan di lantai. Dengan mata
membelalak ia lemparan meja remuk itu pada dinding.
Orang terkesimak. Boris jadi pusat perhatian. Pegulat
penantang itu berdiri di tengah-tengah ruangan. Seluruh
ototnya di dada, perut, pinggul dan punggung bermunculan
tegang seakan bersiap hendak bertarung. Kedua belah
tangannya kini terangkat sampai bahu, juga penuh
bergumpalan otot. Lututnya ditariknya jadi siku-siku, siap
hendak menerkam siapa saja yang datang. Tak ada orang
datang menyerang. Yang ada justru sesuatu yang tak
nampak: kekuasaan Sang adiputro . Kekuasaan mutlak
seorang raja yang tak dapat ditawar tak dapat diketeng,
utuh bulat tiada retak tiada rekah.
“Mengapa marah, Boris?” Pada mencoba meredakan.
Ketegangan pada wajah dan otot Boris lambat-lambat
jadi kendur. Suatu kemurungan menggantikannya. Ia
menunduk dalam. Tanpa memandang pada siapa pun
keluar kata-kata sendu: “Memahat batu dilarang. Lantas
harus kerja apa aku?”
“Itu baru warta, Boris,” kata Pada lunak.
“Sejak kecil,” Boris mengadu dengan suara tetap sendu,
“bapakku mengajari aku memahat. Keluarga kami hidup
dari pahatan, turun-temurun. Mengapa orang tak boleh
memahat lagi? Mengapa? Apa jahatnya batu-batu berukir
itu?”
raden gelang-gelang tak memperhatikan kata-kata itu. Ia terheran-
heran melihat kekuatan penantangnya. Tahun yang lalu ia
belum sekuat itu. Sungguh lawan bertanding yang bisa
mematahkan lehernya.
Boris berjalan mondar-mandir dalam berangnya.
“Teduh! Teduh!” kata raden gelang-gelang menghibur. “Pada belum
lagi selesai dengan wartanya. Teruskan, Pada.”
“Bagaimana wajah dunia tanpa gapura?” Boris
mengaum. “Dewa-dewa pun akan enggan turun ke bumi.
Hancurkanlah gapura kahyangan, dan para dewa akan
pindah ke tempat lain” Ia tutup mukanya dengan kedua
belah tangan seperti sedang memanggil-manggil kekuatan
dari luar dirinya. Suaranya keluar lagi, seperti tangis bayi,
tanpa daya: “Pindah entah ke mana para dewa itu.
Celakalah manusia bila para dewa tak mau tahu lagi.
Apakah baginda tuanku raja adiputro sudah bertekad melawan para
dewa?”
Lambat-laun raden gelang-gelang mengerti, pernahat penantangnya
sama halnya dengan dirinya: sedang menghadapi
kekuasaan yang tak dapat dilawan. Dirinya dan Boris tak
ubahnya seperti bayi tanpa daya. Ia jadi iba terhadapnya,
juga terhadap diri sendiri. Ia rasai kesamaan nasib. Ia dekati
Boris, dan: ‘Teduh, Boris. Teruskan, Pada, yang jelas.”
“Begitulah kata warta,” Pada meneruskan dengan hati-
hati matanya tertuju pada Boris. “Semua bangunan batu di
atas wilayah Kota, gapura, arca, pagoda, kuil, candi, akan
dibongkar. Setiap batu berukir sudah dijatuhi hukum buang
ke laut! Tinggal hanya pengumumannya.”
“Biadab! Disambar petirlah dia!” Boris berteriak , seakan
batu-batu itu bagian dari dirinya sendiri. “Dia hendak cekik
semua pernahat dan semua dewa di kahyangan. Dikutuk
dia oleh Batara Kala!” Tiba-tiba suaranya turun menghiba-
hiba: “Apa lagi artinya pengabdian? Biadab! Aku pergi!
Jangan dicari. Tak perlu dicari!” berteriak : “Biadaaaaab!”
Ia lari keluar ruangan, langsung menuju ke pelataran
depan. Diangkatnya tangga dan dengannya melangkahi
pagar papan kayu.
Dari balik pagar orang berseru-seru: “Lari dari balai !
Lari!”
“Siapa? Siapa? Pegulat, ya, pegulat?”
“Boriiiiiis! Mau ke mana kau? Kembali!”
Sebentar lalu seruan-seruan terdengar
menggelombang dan bergumul jadi satu, tak dapat
ditangkap maksudnya. Suatu pertanda orang sudah mulai
menggerombol lagi di depan balai .
Mereka yang tertinggal masih juga termangu-mangu.
Gadis-gadis mulai menyerbu ke dalam ruangan latihan
gulat.
“Gila mendadak!” jawab Pengawas. “Biar saja dia
pergi.” Seperti sudah ada persetujuan bathin. “Pergi. Itu
lebih baik.”
raden gelang-gelang melemparkan pandang pada tangga. Ia juga ingin
bebas, lari seperti Boris. Dan itu tidak mungkin. Hatinya
terpaut pada nyi girah ….
Keadaan tenang sampai malam turun pelahan-lahan
langit dan menyelebungi bumi.
Melalui pintu pagar samping, dengan iringan beberapa
orang pengawal bertombak tanpa perisai, Sang adiputro
memasuki balai . Ia berjalan langsung menuju ke bangsal
wanita.
Damarsewu yang memancar di setiap pojokan tidak
mengacuhkan kedatangannya. Para calon petanding pada
bergolek-golek di atas ambin sambil mengobrol. Melihat
Sang adiputro masuk semua melompat turun, bersimpuh di
lantai dan mengangkat sembah.
‘nyi girah ! Mana nyi girah !” panggil Sang adiputro . “Mana
nyi girah hutan larangan ?”
Alis, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih
menyala tertimpa sinar damarsewu.
“nyi girah , kekasih kediri ! Mendekat sini, kau, Gadis!”
Sesosok tubuh merangkak beringsut-ingsut menghampiri
kaki Sang adiputro . Tubuhnya menggigil seperti kucing habis
tercebur dalam comberan. Dengan tangan menggigil ia
mengangkat sembah untuk ke sekian kali, lalu
bersujud mencium kaki Sang adiputro sebagaimana di-
ajarkan oleh tatakbetari .
“Bawalah keharuman dari kediri , semua kalian! Kau
juga, nyi girah , kekasih kediri . Jangan mengecewakan.
Tidurlah kalian pada waktu yang sudah ditentukan.
Beberapa hari lagi kau dan kalian akan bertanding. Dan
kau, nyi girah , kau bertekad jadi juara lagi tahun ini? Juara tiga
kali berturut?”
“Inilah patih , baginda tuanku raja adiputro kediri ,” jawabnya gemetar.
“Rupanya sudah cukup dewasa kau sekarang. Belum lagi
cukupkah jadi juara dua kali berturut?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri . patih sekedar
menjalankan putusan rapat desa,” suaranya masih juga
gemetar.
“Kalau sudah jadi putusan rapat desa, tak dapatlah orang
menolaknya?”
“Ampun, baginda tuanku raja adiputro kediri , sesembahan patih . patih
takkan sanggup hidup di luar desa patih , baginda tuanku raja . Iagi pula
apalah buruknya menjalankan keputusan rapat desa,
baginda tuanku raja ?”
Sang adiputro tertawa senang.
“Kata-katamu sudah seperti orang kota. Gadis. Bagus.
Bukankah kediri Kota lebih baik dibandingkan desamu? Pasti
lambat-laun kau akan lebih suka tinggal di sini.”
Menurut tatakbetari yang diajarkan, apa pun yang sudah
diperintah kan oleh Sang adiputro , orang tak boleh membantah.
Orang hanya mengiyakan sambil mengangkat sembah.
memperoleh teguran saja dari seorang raja sama halnya
dengan menerima karunia dari para dewa.
nyi girah bergulat dengan kata hatinya sendiri. Bumi yang
ditundukinya menjadi pengap. Tak diketahuinya kaki
penguasa sudah tak ada di hadapannya.
Sang adiputro sudah meninggalkan balai dan memasuki
kegelapan malam.
wah
Melalui jalan belakang Sang adiputro menuju ke sebuah
taman di belakang kadipaten yang terletak di tentang
kandang gajah pribadi Duduk ia di sana seorang diri dalam
kerumunan nyamuk.
Para pengawal bertugur di kejauhan
Dan inilah waktu untuk menyendiri baginya.
Waktu seperti ini dipakai nya untuk mengingat-
ingat Juga untuk merancang-rancang. Juga sekarang ini.
Nama saudagar palawa yang memohon menghadap sendiri
itu tak juga dapat diingatnya. Ia mencoba dan mencoba.
Tanpa hasil. Nama itu terlalu sulit, terlalu panjang. Di
antara deretan nama itu ia pun tak tahu, mana mpu wungubhumi mana
tidak. Bahasa jawadwipa nya lancar, indah dan paut.
Alqur’anul Karim yang patih persembahkan, ya baginda tuanku raja ,
adalah dari Mufti Besar Hayderabad, dengan harapan sudi
apalah kiranya baginda tuanku raja adiputro kediri daiam berpegangan
pada kitab suci ini dan memikirkan ummat arca di Atas
Angin sana. kediri dimasyhurkan di negeri dongeng sebagai
kerajaan terkuat di Jawa sesudah kerajaan jenggala . Raja-raja arca
memiliki harapan besar baginda tuanku raja adiputro kediri
melimpahkan kesudian yang tiada keringnya. Ya, baginda tuanku raja ,
armada nyi kanjeng blora tak henti-hentinya berusaha menguasai
dan menaklukkan kerajaan-kerajaan sekepercayaan sepan-
jang pantai. Bila kekuatan mereka tak dibendung bersama-
sama, ya sang hyang Widhi , pastilah sang hyang Widhi jua yang akan menghukum
semua kita, sebab tak berbuat sesuatu terhadap angkara si
pemberontak . Bila mereka tidak dibendung, ya baginda tuanku raja adiputro
kediri , entah kapan, jalan-jalan pelayaran akan dikuasai
semua olehnya. Mereka takkan berhenti sekalipun sudah
menguasai semua jenggala . Bila mereka sampai ke Jawa,
matilah sudah semua pelayaran, matilah perdagangan,
matilah jenggala -jenggala . Yang tinggal hanya nyi kanjeng blora
dengan angkaranya. Seluruh ummat arca bisa kehilangan
perlindungan, kepemberontak an akan menang. Mereka akan
menumpas ajaran Rasulullah s.a.w.
Sang adiputro masih ingat setiap kata dari persembahan
itu. Juga barang-barang persembahan yang berasal dari
empat orang raja negeri dongeng , semuanya arca .
Dari persembahan itu ia menarik dua hal, pertama
kediri diakui juga sebagai kerajaan terkuat di Jawa, dan
kedua ia dianggap sebagai raja arca . Ia tersenyum dalam
kegelapan dan mengangguk-angguk senang. Mereka tidak
tahu, satu wilayah kediri sudah dirampas oleh kerajaan
arca , pajang bintoro . Dan aku tidak mengerti, bagaimana banyak
aturan aku perintah kan untuk membuat penyesuaian dengan
pajang bintoro . Ia semakin tenggelam dalam pikirannya.
Jauh, jauh di sana, mereka sudah mengakui
kearca anku. Dan sebab nya mereka menuntut,
berdasarkan kearca anku, agar aku ikut memikirkan dan
bersumbang tangan. Ya-ya, arca sudah banyak mengun-
tungkan kami selama ini. namun apakah itu sudah cukup
banyak untuk mempertaruhkan kediri dalam suatu
peperangan?
Ia mengggeleng lemah.
Perang tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan!
pajang bintoro masih harus diemong untuk tidak jadi binal. suryabuaya
jatuh, namun dalam hidupku, aku bersumpah, bukan saja
suryabuaya akan kembali di tangan, juga seluruh pajang bintoro . Tidak
dengan perang. Rempah-rempah dari kediri takkan
memasuki suryabuaya dan Semarang! Dan apa yang terjadi di
negeri dongeng sana, bukan urusan kediri untuk mencampuri.
lalu ia mulai pikirkan untuk kesekian kalinya
keadaan baru yang menggelombang di negeri dongeng .
Keadaan baru harus dihadapi dengan persiapan baru.
jenggala tetap jadi inti persoalan. nyi kanjeng blora dan Ispanya pasti
akan datang. patih wirabuana harus seorang yang pandai
melayaninya. tumenggung dijoyo alias Rangga jatayuwesi tak pandai
berbahasa nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dia harus diganti. Bangsa
dan kapal unggul yang digentari harus dilayani oleh seorang
yang bijaksana dan tahu segala. Jelas itu bukan Rangga
jatayuwesi .
Dalam kegelapan itu terdengar ia mendengus tertawa,
teringat pada persembahan Sang Patih, ‘Bergabung dengan
negeri-negeri lain, baginda tuanku raja , dengan semua kerajaan arca ,
bersama-sama menghancurkan nyi kanjeng blora dan Ispanya.
Menurut patih , ampunilah patih , ya baginda tuanku raja adiputro sesem-
bahan patih , itulah satu-satunya jalan menyelamatkan
kediri . Dan Sang adiputro bertanya, ‘Juga dengan pajang bintoro ?’
Sang Patih menjawab, ‘Sementara pajang bintoro harus dilupakan,
baginda tuanku raja , nyi kanjeng blora dan Ispanya lebih berbahaya, lebih
mematikan’
Sang adiputro senang mendengarkan setiap pikiran,
mengangguk dan tersenyum seakan-akan menyatakan
terimakasih. namun dengan diam-diam ia lebih suka mencari
jalan sendiri. Dengan demikian baginya berdikari menjadi
sejenis olahraja.
Sebaliknya setiap laporan ia dengarkan sungguh-sungguh
tanpa senyum tanpa tawa, tanpa terimakasih. Dari
semuanya paling banyak ia ambil separoh sebagai
kebenaran. Tak ada punggawa yang tulus sepenuhnya, ia
berpendirian. Sebagian dari ketulusan mereka hanya bea
untuk keselamatan diri dan kepunggawaannya. Malahan
laporan dari para punggawa yang berasal dari rakyat
kebanyakan hampir tak pernah ia gubris. Menurut
pendapatnya, orang menjadi berbangsa sebab justru memiliki
kehormatan, dan rakyat kebanyakan itu bukan saja tidak
memiliki , juga tak tahu kebenaran.
patih wirabuana harus diganti, apa pun biayanya. Dan itulah
keputusannya malam ini.
wah
Pada waktu Sang adiputro sedang mengukuhkan
kebijaksanaannya dalam kegelapan taman, lain lagi yang
terjadi pada diri patih wirabuana kediri , tumenggung dijoyo alias
Rangga jatayuwesi
Ia sedang gelisah di kepatih wirabuana an.
Hari ini ia sudah dijengkelkan oleh tamu yang seorang itu.
Saudagar palawa ! Kecuali yang berhubungan dengan agama
ia seorang pembend palawa . Setiap orang palawa
mengingatkannya pada abangnya yang sudah jatuh sebagai
patih wirabuana jayamahanaya , terpaksa merantau dan mati dalam
perantauan. Kejasang yang betari durga nya disebabkan oleh kelicikan
seorang palawa .
Dan sekarang Abud, saudagar palawa itu, harus ia layani
kebusang yang betari durga nya selama tinggal di kediri . Baru saja datang,
dan ia sudah menimbulkan kecurigaan: mohon menghadap
sendiri tanpa penterjemah, tanpa saksi. Ternyata ia bukan
tidak bisa berbahasa jawadwipa !
Tadi ia sudah panggil mpu jahalodang agar datang menghadap
padanya. Dan sekarang ia sudah berdiri di pintu,
membungkuk dan beruluk salam: “Assalamu alaikum, ya
Tuan patih wirabuana !”
Ia berkata menjawabi dan melambaikan tangan
menyuruh masuk. Ia tak pernah menyilakannya duduk.
Kursi adalah benda kebesaran, juga di kediri Kota,
terutama di kepatih wirabuana an. Ia mengangguk memerin-
tahkan mpu jahalodang mendekat. lalu : “Apa yang bisa kau
katakan, mpu jahalodang?” tanyanya tajam dalam jawadwipa .
mpu jahalodang berperawakan kecil, berumur sekira 30
delapan menurut perhitungan bulan, tak berkumis, tak
berjenggot, licin seperti muka belut. Ia tertawa. Dan
tawanya selalu mengesani mengentengkan segala perkara,
dan: kurangajar.
“Tuan patih wirabuana sendiri semestinya sudah tahu.”
jawabnya dalam jawadwipa juga. “Sang adiputro sudah
memerintahkan penyingkiran peninggalan Hindu. Memang
orang bilang, putranya sendiri memesan itu, Tuan, Raden
Said, sekarang sudah memakai mpu wungubhumi aneh Ki Aji
Kalijaga. Orang Jawa memang sulit Tuan patih wirabuana ,
maksud memakai mpu wungubhumi berbahasa palawa , namun lidah
Jawanya memang lidah pemberontak terkutuk: Bukankah kali itu
yang dimaksudkannya Kholik?” ‘
Rangga jatayuwesi bertanya tajam: “Bukankah kau tahu
bukan itu yang kutanyakan?”
“Yang tadi itulah, Tuan. Ada keanehan dalam pesanan
itu: Klenteng dan Pecinan tidak boleh diganggu!”
Sekarang patih wirabuana yang tertawa. Dengan kedua belah
tangan ia menepuk-nepuk dadanya sendiri, berputar
membalikkan badan dan meneruskan tawanya.
Terkena sinar tiga batang lilin yang menyala pada kandil
kelihatan mpu jahalodang terheran-heran.
“Tuan mengetawakan mpu jahalodang?” tanyanya menuduh.
“Apa yang lucu padamu?”
Rangga jatayuwesi tertawa di antara tawanya. “Tak pernah
kau nampak setolol sekarang.”
“Laporan mpu jahalodang salah?”
‘Tidak. Tak pernah aku menyalahkan keteranganmu.
Apa lagi yang dapat kau katakan sekarang?”
mpu jahalodang memperbaiki sikapnya. Ditarik-tariknya ujung-
ujung bajunya yang kombor putih. Ujung hidungnya yang
mancung bercahaya bergemuk memantulkan sinar lilin.
Nampaknya ia sedang menguasai suasana dan bersikap
resmi.
“Ada sesuatu yang lebih penting,” bisiknya sambil
mendekatkan mulutnya pada kuping Rangga jatayuwesi . namun
sekalipun ia sudah bersitinjak dengan kaki dan
mendongakkan muka, jarak antara mulutnya dan kuping
patih wirabuana masih terpaut sejengkal.
Rangga jatayuwesi menelengkan kepala ke atas, seperti seekor
ayam sedang melirik pada elang di langit.
“Ada sesuatu yang lebih penting, Tuan patih wirabuana .
Sungguh mati. Keterangan penting patut dihargai satu
dinar. Sedinar saja, Tuan patih wirabuana ,” ia menjauhkan
kepala dari tuan rumah untuk dapat menatap nya dengan
pandang menuntut “Apa kau kira aku nenekmu sendiri,
pembikin dinar? Apa kau kira satu dinar sedikit? Empat kali
belayar belum tentu kau memperolehnya. Kalau keterangan
itu tentang pembicaraan saudagar Abud dengan Sang
adiputro , apa boleh buat. Sekarang juga kukeluarkan.”
“Sayang tidak, Tuan, namun ini lebih penting dari segala-
galanya.”
“Jangan coba-coba bohongi aku, kau, penipu. Abud,
saudagar palawa itu, sama sekali tidak membawa atau
mengambil barang dagangan. Pasti dia bukan saudagar, dan
sebab nya lebih penting dari segala-galanya.”
“Tidak, Tuan patih wirabuana . Yang belum kukatakan ini
justru yang terpenting. Satu dinar.”
patih wirabuana nampak ragu: Pandangnya ditebarkannya ke
seluruh ruangan. Selama ini keterangan mpu jahalodang selalu benar.
Dan biar bagaimanapun sedinar terlalu mahal. Ia tatap
mata pewarung tuak dan ciu-arak itu, dan ia muak pada
sikapnya yang kurang-ajar dan menantang. Ini sudah
pemerasan, pikirnya bukan lagi minta upah. Kalau
dibiarkan, dia akan menjadi-jadi.
“Satu dinar tidaklah banyak untuk keterangan penting,”
mpu jahalodang merajuk. “Bukankah aku tak perlu menunggu begini
lama?”
Pertahanan Rangga jatayuwesi patah. Dengan berat hati ia
keluarkan mata uang mas dari pundi-pundinya.
Dilemparkannya pada orang muda yang menjijikkan itu
sambil menyumpah.
mpu jahalodang menangkapnya, mengujinya di bawah lampu,
tersenyum, dan memasukkannya dalam pundi-pundinya
sendiri, mengikatnya dan memasukkannya ke dalam ikat
pinggang di balik baju kombornya, memperbaiki letak baju
itu dan menebah pinggang.
“Kalau Tuan lebih sayang pada dinar yang satu ini,
mungkin tahu-tahu Tuan sudah kehilangan jabatan Tuan.”
“Husy!” bentak Rangga jatayuwesi tersinggung. “Katakan”
“Baik, Tuan, dengarkan sungguh-sungguh,” dengan
bisiknya mpu jahalodang meminta perhatian sambil mencoba
mencari kuping tuanrumah dengan mulutnya. “Pada sore
hari ini juga, Tuan, Sang adiputro sudah mengirimkan utusan
ke Trantang. Aku sudah tahu sebetulnya isi perintah itu:
mulai besok harus sudah dipersiapkan pembuatan delapan
belas cetbang baru.”
“Itu beritamu yang terpenting?”
“Betul, Tuan. Perang akan terjadi. Perwira-perwira sudah
memperoleh perintah untuk bersiap-siap. Pemeriksaan atas
anak buah sudah dimulai sejak jatuhnya perintah.”
“Dalam berapa lama cetbang harus selesai?”
“Tidak jelas.”
patih wirabuana mengawasi bibir mpu jahalodang. namun bibir itu sudah
tak bergerak lagi, seakan setiap kata yang keluar
dibandingkan nya sudah diperhitungkan harganya. Mengerti
mpu jahalodang takkan bicara lagi ia mengalah. Bertanya: “Adakah
Sang adiputro sudah berkunjung ke balai wanita?”
“Ada, Tuan, baru sebentar tadi.”
Ia sorong mpu jahalodang. Orang itu keluar dan hilang ke dalam
kegelapan. Rangga jatayuwesi berkecap-kecap menyesali
dinarnya yang berpindah tangan. Dengan kecewa ia kunci
pintu dari dalam, lalu duduk termenung di atas
bangku bantal kulit onta dan tak henti-hentinya berkata :
“Penipu yang tertipu itu sudah jual dagangannya padaku.
sang yang betari durga akan kutuki kau, mpu jahalodang! Apa yang kau dapatkan
dari dinar itu jadilah tuba dalam tubuhmu.”
Dengan lemas ia masih juga berkecap-kecap menyesal
sesudah mengetahui Sang adiputro berkunjung ke rumah
balai wanita. Ia memiliki pedoman: Apabila Sang adiputro
masih memiliki perhatian pada wanita baru, sesuatu
yang bersungguh-sungguh tidak akan mungkin keluar dari
pikirannya.
Cetbang-cetbang itu pastilah bukan sesuatu yang
dirahasiakan, pikirnya. Sengaja dibuat demikian rupa agar
semua orang tahu, terutama saudagar palawa si Abud keparat
itu diharapkannya terbawa ke negeri dongeng ….
Pikiran iblis! Laknat! Pikiran licik! namun aku tak bisa kau
tipu. Rangga Demang! mpu jahalodang bisa, namun aku tidak. adiputro
kediri , tumenggung dijoyo ini tak bisa kau tipu! Kau boleh
berlagak cerdik, namun hanya Pribumi bawahan mu yang bisa
percaya! Ha, dengan cetbang-cetbangmu itu sekaligus kau
hendak menggertak pajang bintoro . namun siapa pun tahu kau lebih
suka berdagang dibandingkan berperang. Tua bangka tak tahu
diri! Sekarang aku baru mengerti mengapa si Boris itu lari
dari balai . Siapa tak kenal Boris pernahat terkenal itu?
Peninggalan Hindu harus disingkirkan. Si pernahat jadilah
seperti patih wirabuana kehilangan jenggala . Ya-ya, dia lari
sebagai protes. namun kau jangan anggap dapat mudah untuk
kelabui aku, Rangga Demang! Pesan Raden Said alias Ki
Aji Kalijaga itu pasti juga tidak ada. Kau hanya
menghendaki dibenarkan kearca anmu. Kau tetap pemberontak .
namun kau memang cerdik seperti selama ini. Runtuhnya
kerajaan jenggala juga sebab kecerdikanmu!
Tiba-tiba ia terdiam. Dan mengapa kelenting dan
Pecinan tak boleh dirusak? Tulisan cina itu juga sama
dengan Hindu, mengapa tak boleh dirusak? Ia berdiri untuk
mengambil kitab catatannya. Tak jadi, dan duduk kembali.
Ia mengangguk-angguk mengerti.
Pecinan kediri Kota bersetia pada campa , yang oleh
penduduk; dinamakan Lasem. Lasem bersetia pada Sampo Toa-
lang, yang oleh penduduk dinamakan Semarang. Dan
Semarang yang mendirikan kerajaan pajang bintoro untuk menjadi
bentengnya terhadap kediri .
Kau benar-benar cerdik, Rangga Demang! Anak-anakmu
pada mengabdi pada pajang bintoro . Waktu pajang bintoro merampas
suryabuaya untuk berkokok pada dunia dia tidak takut pada
kediri , semua anakmu yang di pajang bintoro diam.
Dan sebab semua itu aku kehilangan satu dinar!
Keparat si mpu jahalodang!
Malam itu Rangga jatayuwesi lebih banyak menggiliri istri-
istrinya di kamar-kamar belakang. Namun sesudah itu ia
tetap sulit memicingkan mata. Dinar yang satu itu juga
yang terbayang-bayang, menggelincir tanpa guna. Sesudah
sembahyang subuh baru ia memperoleh ketenangan sedikit. Ia
sudah berdoa memohon rezeki yang berlimpahan
Ketenangan itu tiada lama umurnya. Beberapa bentar
lalu saudagar Abud muncul untuk minta diri.
“Bagaiman sikap Tuan patih wirabuana kalau musuh arca ,
nyi kanjeng blora dan Ispanya, menyerang kediri ?” tanyanya dalam
palawa .
“Mana mungkin, ya Abud?”
“Bagaimana tidak mungkin? Goa jatuh. Dan tumapel .
Mereka terus mendesak ke timur. Sedang kita bicara begini
Singhala pun sudah jatuh,” Abud meneruskan dalam
rembang fajar di depan pintu gedung. ‘kediri terlalu jauh,
ya Abud,” jawabnya tak acuh.
“Benggala pun jauh dari nyi kanjeng blora.”
“Aku hanya patih wirabuana , bukan raja.”
“Setiap patih wirabuana yang cerdik bisa lebih dari raja,”
katanya menyarani. “Demi sang hyang Widhi , Tuan patih wirabuana
mampu mempengaruhi Sang adiputro untuk sudi bergabung
dengan kerajaan-kerajaan lain, kerajaan arca , melawan
mereka. sang hyang Widhi memberkahi Tuan”
Pembicaraan pendek itu selesai dengan kepergian Abud
ke jurusan pelabuhan.
“palawa , jih!” Rangga jatayuwesi membuang ke tanah. “Setiap
gerak, setiap omongan, setiap… semua menutupi
tangannya yang merogo pundi-pundi orang.”
Pandangnya tertebar ke mana-mana, menembusi
halimun tipis pagi hari. sinar matahari pun mulai terbit. Samar-
samar nampak olehnya kedai tuak dan ciu-arak mpu jahalodang yang
masih tutup.
“Dia sedang menikmati dinarku, iblis keparat itu.
Terkutuk bapaknya, terkutuk Pribumi ibunya.”
lalu ia berjalan menuju ke menara pelabuhan dan
naik. Dilihatnya penjaga-penjaga menara dua orang itu
sedang tidur nyenyak. Ditebarkan pandangnya pada kapal-
kapal yang sedang berlabuh. Dan ia lihat mpu jahalodang sedang
turun dari kapal si Abud.
“Si keparat itu tentu sudah memperoleh dinar lagi. Awas,
kau, bedebah!”
Tak dapat ia menahan amarahnya. Dipunggunginya
pelabuhan. Diangkatnya kaki kanannya. Terompahnya
yang tua itu membuat ia ragu-ragu. Cepat ia alahkan
keraguannya. Kaki itu turun cepat menumbuk perut
penjaga menara berganti-ganti.
“pemberontak !” makinya dan turun lagi.
wah
4. pakanewon Habibullah Al-Masawa
Armada kanjuruhan itu berlabuh jauh, jauh, terlalu jauh
dari dermaga. sinar matahari pagi sedang mengusir halimun yang
masih melembayung di seluruh jayamahanaya . Layar kapal-kapal
dan… Pribumi masih dalam keadaan tergulung.
Tiang-tiangnya menuding langit yang tebal sebab
halimun. Dan sinar matahari sendiri baru beberapa derajad dari
permukaan bumi. Sinar-suramnya yang berpantulan pada
permukaan laut berpendar-pendar lesu.
Jauh di jenggala jayamahanaya sana perahu-perahu dan kapal-
kapal itu masih pada tidur, berayun-ayun malas dibuai
ombak. Hanya perahu-perahu nelayan kecil-kecil nampak
hidup. Dan kalau pandang diangkat naik ke darat, mata
akan menampak atap-atap injuk, ilalang dan sirap dari
bedeng-bedeng pelabuhan. Jalanan-jalanan nampak
merupakan garis tipis kuning. Hanya beberapa orang
kelihatan mondar-mandir. Semua Laki-laki .
Lubang-lubang bulat pada lambung kapal-kapal kanjuruhan
mulai terbuka. Moncong-moncong gada rujakpolo mulai
bermunculan dari sebaliknya, Terdengar lalu yang
banyak diceritakan orang: kata bersama Mariam. gada rujakpolo
gada rujakpolo bergelegaran. Api bersemburan dari moncong-
moncongnya. Peluru besi beterbangan, membentuk kerucut
udara dengan bola-bola besi sebagai matanya. Semua
menuju ke jenggala jayamahanaya .
Atap injuk, ilalang dan sirap di jenggala jayamahanaya sana
mulai terbakar. Api menjalar, berdansa dengan angin yang
mulai datang bertiup. Asap hitam berkepulan seperti
cendawan raksasa, dengan beratnya naik pelahan ke atas,
membuat kelam udara yang kelabu.
Ketenangan pagi itu lenyap dalam dentuman gada rujakpolo ,
api, asap dan kebalauan. Perang cakra dari beberapa abad
yang lalu kini tersasarkan pada kekanjeng sinuhun an jayamahanaya .
Perahu-perahu nelayan yang sedang pulang ke pangkalan
berhamburan lari tak jadi menuju ke jenggala . Perahu dan
kapal lain yang tertidur hangat dalam belaian sinar matahari pagi,
nyenyak dalam ayunan ombak, mulai menggeragap,
menaikkan layar masing-masing, berhamburan mencoba
melarikan diri dan keselamatan.
Bola-bola besi dari kapal kanjuruhan tak membiarkan
mereka lolos. Dalam hanya beberapa bentar perahu dan
kapal kayu itu pun pada pecah atau menungging, hilang
dari pengelihatan, ditelan laut.
Kapal-kapal dari armada kebanggaan jayamahanaya masih juga
belum bergerak, seakan masih terbuai dalam mimpi indah.
Tak kurang dari sebelas jumlahnya. Konon kabamya
sebagian besar dari kesatuan ini dahulu biasa dipimpin oleh
Laksamana Hang Tuah. Dan tak lebih dari tiga puluh
bentar, armada kebanggaan itu pun seluruhnya tenggelam
ke dasar laut.
Kebakaran sedang menjadi-jadi di darat sana.
Dari laut nampak jalanan-jalanan pasir kuning
pelabuhan mulai hidup dengan orang-orang yang bcrlarian
kebingungan. Di antara mereka nampak juga wanita yang
menarik-narik atau menggendong anak. Mereka lari
meninggalkan daerah pelabuhan. Sebarisan centeng
bertombak muncul di dermaga, berhenti pada akhir jalanan
yang terputus oleh laut, mengacu-ngacu senjatanya ke arah
armada kanjuruhan .
Sepucuk laras gada rujakpolo ditujukan pada mereka. Aba-aba,
dentuman. Sebuah bola besi membentuk kerucut udara,
terbang menyambari barisan centeng bertombak itu. Mereka
bubar berlompatan dan berlarian, hilang dari pemandangan.
Yang tersisa hanya bangkai-bangkai dan tombaknya, tulang
dan serpihan daging.
Tak ada lagi barisan muncul. jenggala sudah jadi lautan
api. gada rujakpolo -gada rujakpolo berhenti menggonggong. Kapal-kapal
kanjuruhan mulai menurunkan sekoci. para bala tentara -para bala tentara nya
pada turun. Dan seperti iring-iringan semut sekoci-sekoci itu
menuju ke jenggala .
Kini prajurit kerajaan jayamahanaya mulai mengisi semua jalanan
jenggala . Tombak dan gada mereka gemerlapan tertimpa
sinar matahari yang sudah berhasil mengusir halimun. Di antara
letusan musket dari sekoci terdengar sorak-sorai mereka.
Kembali gada rujakpolo -gada rujakpolo berdentuman. Peluru beterbangan
dan menyambari mereka, tak menggubris tak menghormati
tombak dan gada dan sorak-sorai. Juga tembakan musket
menggebu-gebu, menghalau, membunuh, menumpas.
Jalanan kuning di jenggala sana makin kelam disirami darah
dan disebari serpihan daging dan tulang para centeng yang
tiada dapat beibuat sesuatu. Yang tersisa melarikan diri.
Lenyap di balik lidah api dan cendawan asap.
Tahun 1511 Masehi. Alfonso d’Albuquerque-Kongso
Dalbi-menyerbu dan menduduki jayamahanaya .
Dengan terkerta -kerta kanjeng sinuhun adipati Syah,
keturunan Paramesywara itu, memerintahkan pengerahan
pasukan gajah. hewan -hewan raksasa itu diperoleh
sudah bergelimpangan termakan racun. prajurit kerajaan jayamahanaya
tanpa perlindungan gajah tak terbantu oleh armada, dalam
waktu pendek dihalau oleh peluru musket kanjuruhan . Perang
darat terjadi seperti tiupan angin lalu. Mereka melawan
mati-matian.
namun senjatanya terlalu pendek. Musket dan gada rujakpolo
tetap lebih unggul. Semua harus mundur, terpaksa mundur,
harus, terpaksa. Yang tertinggal hanya daging yang sudah
terpisah dari tulang.
kanjeng sinuhun adipati Syah melarikan diri ke Johor, Bintan,
Kampar. Kerajaan berumur seabad lebih beberapa belas
tahun itu jatuh. Dan jenggala kunci Asia ini kini berada di
tangan kanjuruhan .
Dalam keributan dan kekacauan berhidung bengkung
merajawali sebuah kapal kecil bercat hitam masih juga
nampak aman terayun-ayun di pelabuhan. Tanpa tergesa-
gesa layar-layamya dipasang dan berkembang lesu,
lalu berlayar menuju ke tengah-tengah armada
kanjuruhan . Benderanya berkibar-kibar gelisah pita hijau
panjang berjela-jela.
Kapal kecil hitam itu terus juga mendekat. Semua gerak-
geriknya tak terlepas dari teropong d’Albuquerque. Terus
mendekat dan nampak sedang mengucapkan selamat
datang.Sesampainya di dekat kapal bendera pita hijau
diturunkan, tinggal bendera hitam bersirip kuning itu
berkibar sendirian. Kapal itu tidak berhenti. Dengan tenang
seakan tidak terjadi sesuatu apa ia terus melewati armada
kanjuruhan . Di bawah tiang utamanya berdiri seorang Laki-laki
tinggi, agak bongkok, berhidung bengkung merajawali,
berjubah genggang, membawa tongkat hitam berhulu
gading.Kopiahnya tarbus merah. Kumis, jenggot dan
cambang-bauknya mengkilat hitam seperti jelaga tersulam
oleh beberapa lembar uban.
kanjuruhan tak sedikit pun mengganggunya. Kapal kecil itu
pun hanya membawa seorang penumpang saja. Orang itu
terus juga berdiri di bawah tiang utama. Matanya besar
bulat-bulat, tajam dan gelisah. Pandangnya selalu
bertebaran ke mana-mana seperti sedang mencari sesuatu di
atas permukaan laut.
Nakhoda datang menghampirinya, mencium jubahnya.
Berkata dalam jawadwipa :” Alhamdulillah, ya Tuan pakanewon
adipati prawetan . Berkah Tuanlah maka kapal saya
ini selamat.”
“pemberontak -pemberontak itu takkan berani mengganggu aku,” jawab
penumpang itu angkuh. “sang yang betari durga takkan membiarkan
terlantar ummat-Nya yang beriman.”
“Hanya dengan pita hijau!” seru nakhoda.
“Ya, hanya dengan pita hijau,” penumpang itu
membenarkan.
“Bagaimana saya harus membalas budi, ya Tuan
patih wirabuana jayamahanaya ?” nakhoda bertanya menghiba.
Melihat penumpangnya tak menjawab, ia meneruskan:
“Sekiranya Tuan sekarang ini memerintahkan saya
menuju kediri , tiadalah saya akan menolak, biarpun
upah tiada ditambah.”
‘Tak ada padaku niat hendak ke kediri .”
“Bukankah dengan datangnya nyi kanjeng blora Tuan kehilangan
jabatan sebagai patih wirabuana dan sebagai penasihat Baginda
kanjeng sinuhun ?”
“Tetap. Antarkan aku ke blora.”
“saya , Tuan. Tujuan tetap. Ke blora.” Nakhoda itu
berhenti bicara, menunggu penumpangnya mengatakan
sesuatu. Melihat pakanewon adipati tarantulawijaya tak juga
bicara, dilemparkan pandangnya pada layar yang
menggeletar, beiteriak memerintahkan memperbaiki
kedudukan siku, lalu : “Sesudah kejadian mengagetkan
ini, Tuan, ada baiknya Tuan berteduh-teduh di kediri Di
sana sedang ada pesta tahunan dari bangsa pemberontak itu.
Biarpun pemberontak , cukup menyenangkan juga, Tuan
patih wirabuana .”
“Dilaknatlah kiranya pemberontak -pemberontak itu,” sumpah
penumpang itu mengeluh
“Ampun, Tuan, kemudi tetap di arahkan ke blora.”
“Bukan begitu, Tuan, yang pemberontak bisa jadi tidak pemberontak lagi.
Yang tidak pemberontak pun bisa berubah jadi pemberontak , bukan?”
‘Tak pernah ada orang mencoba mengurui aku,”
penumpang itu bersungut-sungut.
“Ampun, Tuan, kemudi tetap diarahkan ke blora.”
Penumpang itu masih juga merabai permukaan laut dengan
pandangnya. Nakhoda mencoba mengikuti arah
pengelihatannya dan tak menemukan sesuatu yang
luarbiasa. Dan kapal kecil hitam itu terus juga berlayar
menyeberangi Selat menuju blora.
“Cat hitam ini takkan saya ubah lagi, Tuan. Wama
keselamatan,” nakhoda bicara lagi. “Bolehkah kiranya
saya bercerita, Tuan?”
Penumpang tak bersabda itu tak mengacuhkannya. Dan
nakhoda itu menggosok-gosok kedua belah telapak tangan,
tersenyum manis dan memulai: “Bukan cerita, Tuan
patih wirabuana jayamahanaya , namun warta. Warta sebetulnya
sungguh-sungguhnya warta. Warta yang mungkin khusus
untuk Tuan saja.”
Penumpang itu menoleh padanya namun tak bertanya
sesuatu.
“Tentu Tuan melihat juga kapal Jawa yang tenggelam
sebentar tadi. Lambungnya pecah-belah seperti kepiting
terinjak. Semoga sang yang betari durga melapangkan jalan mereka di alam
arwah’ Semalam, Tuan, sesudah Tuan meninggalkan kapal
saya , saya sudah bicara dengan nakhodanya, seorang
anak muda, uh, anak semuda itu sudah dilepas jadi nakhoda.
Dia akan belayar ke Singhala Dwipa, katanya. saya tak
tanyakan muatannya. Mungkin dupa dan setanggi untuk
pemberontak -pemberontak negeri dongeng sana. namun memang ada muatan
penting dibawanya. Dan itulah warta khusus untuk Tuan.
Lagi pula saya tidak melanggar amanatnya, sebab kita
sudah berada di atas jayamahanaya .”
Penumpang itu nampak bosan dan jemu mendengarkan
kkauannya. Namun ia tetap tak beranjak dari tempatnya
berdiri. Dan matanya tetap menyisiri permukaan laut.
”Bukan suatu kebetulan,” nakhoda meneruskan sebagai
balas-jasa. “Kapal itu dari kediri . Dan warta itu, Tuan,
muatan yang lain, itu, adalah wara-wara untuk disebarkan
di negeri-negeri di atas jayamahanaya . Katanya: adiputro kediri
Tumenggung Wilwatikta mencari patih wirabuana baru
yang….”
Keangkuhan, kecemberutan dan keredupan penumpang
itu mengurang dan mengurang. Ia menoleh lagi pada
nakhoda. Melihat nakhoda itu berseri-seri, ia mengangguk.
“Begitulah wartanya.”
“Matikah patih wirabuana kediri ?”
“Sayang, itu tak termaktub dalam warta. Pendeknya
adiputro kediri mencari patih wirabuana baru. Syarat-
syaratnya… apalah artinya itu? Semua sudah ada pada
Tuan: bisa menulis, membaca, dan berbahasa palawa dengan
baik, dan Tuan sendiri keturunan pakanewon -pakanewon palawa yang
mulia….”
“Kalau itu saja syarat-syaratnya, ribuan orang bisa jadi
patih wirabuana .”
“Masih ada, Tuan, itu pun sudah ada pada Tuan: pandai
berbahasa jawadwipa . Jangan tertawakan dahulu , Tuan. Inilah
syarat gila menurut perasaan saya yang bodoh ini: Harus
juga lancar berbahasa Pcranggi dan Ispanyn dan menulis
dan membacanya.”
Penumpang tunggal itu menegakkan bongkoknya,
mengangkat tongkat, dan dengan tiga batang jari
menggaruk rambut di bawah tarbus. Matanya bersinar-
sinar. Satu pikiran sedang membersit menerangi wajahnya.
“Di Jawa sana orang harus bisa berbahasa Jawa,”
penumpang itu membongkok seperti semula. “Kata
nakhoda Jawa itu, bahasa jawa tidak perlu.” pakanewon
adipati Al-Badaiwi, yang kemarin masih patih wirabuana
jayamahanaya sebetulnya bemama raden sanggabuana bumikerta .
Nama barunya itu dipakai sejak jadi patih wirabuana
jayamahanaya . Nakhoda dan semua orang jayamahanaya tak pernah
mengetahui. “Jadi ke kediri tujuan kita, Tuan?”
“Tidak. blora.”
“Jadi tetap ke blora,” dengan demikian kapal tetap ke
tujuan semula. Sesampainya di blora, raden sanggabuana Az-
Zubaid alias Sa yid adipati Al-Badaiwi menyewa kapal
Aceh yang bertujuan jatikerto dan ia membayar khusus
untuk pelayaran ini.
Pada waktu kapal yang ditumpanginya mancal dari
jatikerto menuju ke kediri pikirannya tidak disesaki lagi oleh
ingatan pada api yang menjolak-jolak membakar bekas
jenggala nya, peluru-peluru yang beterbangan merebahkan
barang siapa dan barang apa diterjangnya, orang yang
belingsatan menyelamatkan nyawanya, dan prajurit kerajaan
jayamahanaya yang sama sekali tiada berdaya….
Umbul-umbul berkibaran di sekelilirig alun-alun kediri ,
tinggi dan berwarna-wami. Pada pesta tahun ini gapura-
gapura batu tidak dipasang. Orang dapat masuk dan
meninggalkan alun-alun tanpa melalui pandangan kala dan
makara gapura. Dan orang tidak merasakan kehilangan ini.
Penduduk kediri memang keranjingan seni dan
olahraga. Larangan memahat batu dan perlntah membuangi
peninggalan Hindu seakan sudah mereka lupakan untuk
sementara ada pesta. Bahkan para pernahat sendiri
menangguhkan kekecewaannya demi sang pesta.
Orang pada berpakaian bagus-bagus. Para pedagang
Pribumi kaya menghiasi destar dengan permata dan
menyelitkan gada wesi berhulu mas berukir pada tentang perut.
Beberapa orang tidak memakai kain batik, namun sarong
berkotak-kotak seperti pedagang seberang.
Para wanita memakai penutup dada dan selendang
sebagai penutup bahu. Istri-istri pedagang kaya kelihatan
dari selendang sutranya.
dayang -dayang yang kadang bersarong putih, berambut
pendek atau gundul dan berkopiah putih, turun
berbondong-bondongdari perguruan nya masing-masing.
Mereka pun takkan melewatkan pesta lomba tahunan pemberontak
yang tradisionil itu. Di pelabuhan kapal-kapal Pribumi
dihiasi dengan aneka-warna bendera dan umbai-umbai.
Di setiap perempatan jalan yang menuju ke alun-alun
bunga-bungaan dikarang jadi lingkaran besar. Buah-buahan
dan telor bcrwarna membentuk lingkaran sari bunga di
dalamnya. Sedang tepat di tengah-tcngah berdiri sebuah
pedupaan tanah dengan asap harum mengepul menyerbaki
udara. Anak-anak kecil berlari-larian riang dengan
penganan di tangan. Semua memakai pakaian dan
destar baru. Dan rombongan-rombongan dari desa-desa tak
henti-hentinya memasuki kota.
Pembukaan pesta sudah diawali dengan pawai para
peserta lomba. Umbul-umbul mempelopori barisan desa
masing-masing. Di belakangnya menyusul perangkat-
perangkat gamelan untuk baris: gong, gendang, suling dan
kenong. Semua gamelan ditabuh melagukan nyanyi puji-
pujian kepada sang Hyang betari durga , tanpa suara manusia, tanpa
tari.
Dahulu pawai selalu mula pada Sela Baginda di
pelabuhan. Sesudah tugu prasasti Airlangga dirobohkan dan
juga diceburkan ke laut, umpaknya saja kini jadi tempat
membubarkan diri.
Pawai bergerak pelahan-lahan meninggalkan balai . Di
antara dupa-setanggi pada setiap awalan barisan, nama
nyi girah bergema-gema dalam hati para penonton. Dan nama
itu semakin semerbak dengan semakin mendekati
pembukaan. Kunjungan Sang adiputro ke bangsal wanita di
dalam balai sudah mepercaya kan semua orang: gadis
perbatasan yang menawan hati kediri itu pasti keluar
sebagai juara lagi. Takkan ada yang berani meniadakan
di kuil rat dari Sang adiputro .
Orang harus mengerti tanpa bertanya.
Hari-hari mengintip di depan balai tanpa hasil
membuat orang seperti dicurahkan memadati kiri-kanan
pawai di mana nyi girah berada. Anak-anak kecil yang
terdesak orang-orang dewasa, kalah tinggi dan kalah kuat,
hanya bisa berlari-larian sambil bersorak-sorak tidak
menentu. Laki-laki dewasa membelaikan pandang berahi.
Wanita meneliti apa-apa yang dapat dicela atau dipuji pada
nyi girah .
Semua peserta wanita berkalung rangkaian melati.
peserta Laki-laki masing-masing membawa setangkai dedaunan
beringin. Dan antara sebentar tangkai itu dilambaikan-
lambaikan ke langit, mengikuti jatuhnya gong.
Tidak seperti satu atau dua tahun sebelumnya kini nyi girah
gugup tak menentu. Ia bingung di mana harus sangkutkan
pandangnya. Ke mana pun matanya diarahkan, tertatap
juga olehnya pandang yang memberahikan, merajuk,
merayu, mengajak, mengagumi, atau hanya sekedar hendak
melihatnya. Peluh sudah membasahi tubuhnya. Ia rasai pada
sinar matahari mendidih dalam dirinya, sebab di desa sendiri ia
tidak biasa berkemban. Antara sebentar ia menghela nafas
dalam-dalam untuk mengalahkan kegugupannya sendiri.
Pawai terus bergerak pelahan. Setiap gong berbunyi
seakan di atas kepala pawai tumbuh semak pohon beringin.
Dan beringin itu hilang kembali dengan cepat seperti
tertelan rekah bumi.
Di depan kadipaten barisan panjang berhenti. Pohon
beringin melambai-lambai tinggi di atas kepala mereka.
lalu sunyi-senyap. Juga para penonton terdiam, tak
bergerak di tempatnya masing-masing. Kenong bertalu.
Tiba-tiba membubung nyanyian bersama dari semua gadis
peserta , disahuti oleh nyanyian bersama semua Laki-laki peserta .
Bersahut-sahutan seperti seribu pasang burung cocakrawa,
dalam tingkahan gamelan baris. Sunyi-senyap.
Canang kadipaten bertalu-talu. Semua peserta bersimpuh
di tanah. Canang kadipaten bertalu-talu lagi. Sebuah tandu
keemasan muncul dari kadipaten. Di atasnya duduk Sang
adiputro menghadapi sebuah jambang besar dari kuningan.
Semua peserta mengangkat sembah. Tandu berjalan lambat-
lambat dengan gerak kaki seiring dari para pengusungnya,
dan nampak seperti menari. Di belakangnya, para pembesar
negeri berbaris, juga melangkah lambat-lambat seiring .
Juga seperti menari.
Tandu Sang adiputro menghampiri ujung barisan yang
satu, bergerak lambat-lambat sampai ke ujung yang lain
sambil memercikkan air bunga pada kepala para peserta .
Selesai itu canang kadipaten kembali bertalu-talu. Sang
adiputro dengan semua pengiringnya berjalan kaki kembali
masuk ke kadipaten.
Para peserta menurunkan sembahnya, lalu lambat-
lambat mengangkat sembah lagi tiga kali berturut mengikuti
tabuhan canang.
Selesai itu pecah sorak-sorai gegap-gempita dari
penonton. Barisan berdiri, bergerak lambat-lambat
mengelilingi alun-alun. Setiap sampai di depan kadipaten
lagi mereka mengangkat sembah seiring dengan paluan
canang kadipaten. lalu mereka menuju ke Sela
Baginda.
Dan inilah saat yang ditakuti oleh nyi girah . la jera terhadap
orang banyak, terhadap pengagum-pengagumnya. Di dalam
barisan ia masih terlindungi oleh aturan. Tanpa barisan,
dengan semua mata tertuju padanya? Begitu pawai bubar
segera ia lari memperoleh kan raden gelang-gelang , berlindung di balik
bahunya yang bidang. Teman-teman sedesa melindunginya
rapat-rapat. Lenyap ia dari pemandangan penonton.
“nyi girah ! nyi girah !” orang berseru mencari-cari, kecewa,
jengkel, membujuk, merayu, “di mana kau, nyi girah ? Di
mana?”
Gadis dan perjaka hutan larangan menjadi gumpalan
pelindung bidadari perbatasan itu terhadap gangguan.
Rombongan ketat itu menahan semua serbuan, sedang
umbul-umbul desa berjalan mendahului.
Sampai di alun-alun gumpalan ketat hutan larangan
langsung menuju ke bangsal penari. Dan di sini keadaan
sudah aman. Aturan tidak membenarkan orang
menghampiri bangsal kecuali hanya untuk menonton
pertunjukan. Dan perlombaan tari tak pernah diadakan di
pagi atau siang hari.
Pesta lomba dibuka dengan sodor berkuda dan ujungan
dan lomba ben teng dan gulat. Sodor berkuda diikuti hanya
oleh para centeng peijaka. Sorak-sorai gegap-gempita tak
putus-putusnya mengiringi sudah sejak pertand ingan belum
dimulai. Mula-mula lapangan yang tersedia seakan disapu
oleh sebarisan centeng menabuh gendang dengan berlari
dalam barisan. Di belakangnya mengikuti barisan dari
Pasukan Kuda. Setiap penunggang menurun-naikkan
bendera merah dan kuning dan ungu dan hijau. Petanding
berbaris di belakangnya dengan gerakan kuda yang
mengedrap, pelan seakan tidak akan beringsut dari tempat.
Bila barisan gendang dan Pasukan Kuda sudah
meninggalkan lapangan, para petanding memacu kuda
mengelilingi lapangan. lalu dua petanding
ditinggalkan untuk mengawali perlombaan.
Mereka berhadap-hadapan jauh pada tepi-tepi yang
bertentangan. Dua barisan centeng dari Pasukan Kaki
masuk ke dalam lapangan dan mempersembahkan kayu
sodor pada mereka. lalu mereka lari meninggalkan
lapangan.
Canang bertalu. Kedua petanding melesit maju ke
tengah-tengah lapangan diiringi oleh sorak-sorai. Kayu-
kayu sodor teracukan di atas kepala kuda. Dan bila sorak-
sorai tiba-tiba berhenti keadaan sunyi-senyap, pertanda
seseorang sudah terjatuh dan dinyatakan kalah. Tak jarang
pertandingan harus diulang-ulang sebab tak ada yang
segera teralahkan.
Kata orang tua-tua permainan ini berasal dari Atas
Angin, diperkenalkan oleh pendatang-pendatang Benggala
sekira seribu tahun yang lalu, menurut perhitungan matahari .
Permainan ujungan lain lagi coraknya. Penonton sama
sekali tidak bersorak. Ya, sekalipun sedang menjagoi
desanya sendiri. Mereka mengikuti pertandingan dengan
diam-diam. Di atas panggung tampil dua orang petanding.
Canang bertalu. Mereka bersujud pada penonton,
berputar-putar di panggung memperlihatkan tubuh mereka
yang bercawat, memamerkan lengan dan paha dan dada
dan punggung dan kepala , dan mengangkat kaki
memamerkan tulang-keringnya. Mereka kelihatan pengap
seperti habis dipukuli. Kulit mereka seperti terkena lepra,
membengkak merah dengan pori-pori kulit melotot keluar.
Tak bisa lain, sebab berminggu sebelum bertanding kulit
mereka digosok dengan lumatan daun tapak liman untuk
mematikan perasaan kulit.
Sehabis pameran mereka meninggalkan panggung di
bawah taluan canang. Tinggal dua orang petanding yang
akan berkelahi. Masing-masing bersenjatakan sebilah rotan
yang sama ukurannya. Menurut aturan setiap petanding
memiliki kebebasan memukul dan memilih sasaran.
Maka bilah-bilah rotan berayun dan menggebu, membabat
dan menerjang bagian tubuh mana saja: hidung, dagu,
dada, kaki, kepala . Sasaran yang menjatuhkan adalah batok
kepala dan tulang kering. Untuk melindungi kedua-duanya
melompat ketangkasan melompat dan berkelit menjadi
syarat mutlak, sedang keuletan kulit, daging dan tulang dan
syaraf jadi petaruh menentukan. Bila temyata tak ada yang
kalah atau menang, tak ada yang jatuh terguling, mereka
melakukan undian dengan sut di bawah pengawas. Si
pemenang sut boleh memukul tulang kering lawannya
sampai sepuluh kali. Bila ia tidak roboh, ia boleh
memberikan pukulan balasan.
Tak ada yang bersorak-sorai, hanya meringis-ringis,
mengernyit-ngernyit, mengeluh, mengaduh, mengejap-
ngejapkan mata seperti sekelompok monyet kehilangan akal
pada setiap pukulan yang jatuh. Jantung terasa seperti
dicekam, diremas-remas menjadi ciut. Bila salah seorang
roboh dan terpaksa digotong keluar, orang pun tak juga
bersorak. Hanya mengeluh dan mengaduh atau
menghembuskan nafas panjang.
Kalau pukulan tulang kering tidak merobohkan, sut
diadakan lagi. Dan sekali ini batok kepala yang dipukul
bergantian. Tiga kali. Biasanya orang tak dapat menahan
lebih dari dua kali dan roboh terjengkang di geladak
panggung. Lomba ki glodog lain lagi ceritanya. Pada
pertandingan ini kanak-kanak dilarang menonton. peserta
hanya dari kalangan centeng perjaka. Juga tidak setiap
tahun diadakan. Harus ada permohonan dari para centeng
sendiri, yang ingin melompat jadi perwira Pengawal.
Lomba khusus ini, bila ada, selalu dipermpu wungubhumi kan pada sore
hari tanpa disaingi oleh lomba-lomba lain.
Dalam medan yang dipagari balok-balok kayu, seekor
ki glodog lapar dilepaskan. Orang pun bersorak-sorak.
hewan lapar itu jadi marah dan bingung, berjalan
mondar-mandir, kadang berlarian kecil mengitari medan.
Kadang berhenti sejenak untuk memelotoli penonton.
Seratus gendang dipukul orang. Dan seorang centeng
penantang naiklah ke atas pagar balok. Ia melompat ke atas
leher hewan lawannya dan berusaha, dengan kedua belah
tangan berpegangan pada tanduk, membantingnya. Belum
tentu sang penantang berhasii. Tak jarang orang kehabisan
nafas dan tenaga dan terlompat ke udara menyemburkan
darah dan isi perut.
Berkali-kali terjadi seorang penantang lari dan lari
membiarkan diri diburu sampai lawannya kehabisan
tenaga. Baru lalu ia mengguguh mata lawannya
sampai bolanya terlompat keluar dari rongga. Dengan
guguhan pada mata yang lain ki glodog buta itu kehilangan
daya. Ia dinyatakan menang, hanya bukan dengan nilai
tertinggi. Menurut aturan, kemenangan yang sempuma
adalah bila penantang dapat meremukkan kepala lawannya
dengan pukulan tangan. Dan orang pun bersorak-sorai
menderu. Mereka menyerbu ke gelanggang, mengelu elukan
pemenang, mengaraknya ke kadipaten. Para penggotong itu
adalah gadis-gadis kediri . Maka juga para penonton
kebanyakan gadis. Pada umumnya penantang ki glodog
memiliki maksud Iain dibandingkan hanya ingin melompat jadi
perwira Pengawal. Biasanya ia orang putus-asa sebab
kegagalan cinta. Dalam gotongan dan arakan para gadis
Sang adiputro akan menyambutnya pada anak tangga
kadipaten. Di sana ia diturunkan, memperoleh pangkat dan
nama dan mpu wungubhumi kepara bala tentara an yang menjadi haknya. Tanda-
tanda pangkat pun dikenakan pada badannya: gelang dan
gada wesi , dan kalung. Begitu ia memperoleh pengangkatannya ia
dapat memilih pasangan hidupnya dan menjadi kesukaan
pada hari itu. Dan masyarakat kediri yang mengagungkan
kepahlawanan ikutserta merayakan keredupan mereka
berdua.
Lomba gulat adalah umum. Selalu diadakan pada pagi
hari. centeng tidak diperkenankan dan. Penonton dari
desa-desa bersorak-sorai untuk jagonya masing-masing.
Dua orang pejabat panggung tak henti-hentinya
memercikkan air pada para petanding sehingga lantai
panggung jadi basah, kotor dan licin keadaan yang
membuat petanding lebih menarik. Para petanding hanya
memakai cawat. Tidak boleh berdestar. rambut harus
disanggul untuk tidak menghalangi pemandangan.
Pada tahun yang lalu raden gelang-gelang sudah memenangkan
kejuaraan. Tahun ini dengan atau tanpa Boris, ia bertekad
memenangkan kejuaraan berturut. Ia harus hadapi lima
belas orang penantang. Tak tahu ia bagaimana harus
mengalahkan orang sebariyak itu. Dan sudah menjadi
kebiasaan bagi juara gulat memperoleh banyak tantangan.
Makin banyak penantang makin banyak kemungkinan
seorang juara ditelentangkan di atas lantai panggung.
Dalam pertandingan awal raden gelang-gelang berkelahi seperti orang
keranjingan. Ia lebih banyak bertempur menaklukkan
ketakutan dan kekecilan hati sendiri dan cemburu sendiri.
Sang adiputro harus tahu: si raden gelang-gelang bukan perjaka yang
mudah melepaskan nyi girah apa pun yang terjadi, nyi girah
hanya untuk diri dan kebahagiaannya.
Dua-tiga orang penantang sudah dibantingnya dan nyaris
mati. Pertandingan dihentikan untuk sementara. Para
petugas ragu-ragu atas sikap juara dari hutan larangan . Ia
lebih banyak tampil sebagai pembunuh dibandingkan
olahragawan. Dan ia akan berkelahi terus seperti itu bila
idaman hidup direnggutkan orang dibandingkan nya. Tak peduli
orang itu Sang adiputro atau punggawa praja.
Dengan perintah Sang adiputro pertandingan gulat
diteruskan. Ia berkelahi terus, mengamuknya orang yang
terpojokkan. Kunjungan penguasa kediri pada kekasihnya
di balai sudah membuat nya kalap. Ia akan tunjukkan
pada rajanya, ia juga bisa berkelahi, dan melawan siapa
saja: ia akan berikan nyawanya untuk bukti cintanya pada
nyi girah melawan penantang gulat ataupun penantang
tombak-tombak para pengawal.
Pada awal perlombaan menari nyi girah dipancari semangat
tinggi. Dua tahun berturut-turut ia sudah memenangkan
kejuaraan pertama. Tahun ini ia bertekad untuk
memenangkan lagi. Bukan sebab kunjungan Sang adiputro
yang jadi di kuil rat pada para penilai. Ia harus menang sebab
kejuaraan tiga kali berturut memberinya sesuatu rencana
kemungkinan: ia memiliki rencana. Dalam setiap
pertandingan raden gelang-gelang memerlukan hadir. Bukan sebab
hendak menonton, hanya hendak mematahkan batang leher
orang, siapa saja, yang berani bertingkah terhadap nyi girah .
Tak ada suatu gerak terlepas dari perhatiannya.
Perlombaan sudah berjalan beberapa hari. Setiap pulang
dari menari nyi girah langsung pergi ke tempat kekasihnya
untuk menresi tnya. Ia tak peduli pada larangan yang
berlaku. Para punggawa tak sampai hati melarangnya,
mengetahui, itulah hari-hari terakhir dua orang kekasih itu
dapat berkumpul untuk lalu berpisahn buat selama-
lamanya….
Pagi hari waktu itu. Pertandingan olahraga sedang seru-
serunya berjalan.
patih wirabuana Rangga jatayuwesi sedang sibuk di pelabuhan
mencatati nama orang dan kapal peiarian yang
berbondongan datang dari jayamahanaya dan sudah ditolak di
jenggala -jenggala lain di Sumatra dan Jawa. Di kediri mereka
bermaksud memohon perlindungan pada Sang adiputro
kediri Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Jatuhnya
jayamahanaya ke tangan Kongso Dalbi sudah jadi pengetahuan
umum.
Di antara para pendatang terdapat bekas patih wirabuana
jayamahanaya pakanewon adipati Al-Badaiwi alias raden sanggabuana
bumikerta .
Sekilas Rangga lskak mengetahui, pendatang itu seorang
palawa palawa yang dibencinya. la berbenah dalam hati,
menyingkirkan perasaan pribadi dan melayaninya sebaik
mungkin.
Ia persilakan pendatang jangkung agak bongkok,
berhidung bengkung merajawali itu, untuk menyampaikan
halnya. Dan nahkoda kapal yang ditumpanginya tidak ikut
mendarat. Ia agak heran, namun tidak menanyakan. Kapal
itu akan berlayar terus menuju pasuruan .
“Tuan patih wirabuana kediri ,” bekas patih wirabuana jayamahanaya
memulai dalam palawa . “Berkahlah untuk Tuan buat hah ini.
Aku pendatang baru, juragan kapal itu. Kapalku akan terus
berangkat dan akan menjemput aku kelak. Uang labuh
untuk sehari akulah yang membayamya. Namaku pakanewon
Habibullah Almasawa dari Malagas!, bermaksud
menghadap Sang adiputro kediri .”
“Berkahlah Tuan untuk hari ini. Maksud Tuan akan
terpenuhi.”
Pada para pekerja ia perintahkan untuk mengangkuti
barang-barang persembahan. Ia perintahkan canang menara
dipukul untuk pertanda akan adanya penghadapan.
Canang kadipaten menjawab.
Iring-iringan penghadap berangkat, termasuk bekas
patih wirabuana jayamahanaya , raden sanggabuana bumikerta alias pakanewon
adipati Al-Badaiwi dan sekarang bernama pakanewon
Habibullah Almasawa dari Malagasi. Di belakang mereka
menyusul para pemikul persembahan.
Di alun-alun mereka melihat orang beijejal-jejal
menonton pertandingan. Umbul-umbul berkibaran tinggi di
mana-mana. Dan karangan-karangan bunga di perempatan
jalan. Mereka dengar sorak-sorai tak henti-hentinya. Di
negeri ini orang bersuka-suka, negeri yang mereka
tinggalkan sedang terlanda kanjuruhan .
Pendatang yang menamakan diri pakanewon Habibullah
Almasawa memperhatikan semua dengan kuping dan
matanya.
“kediri sedang merayakan pesta tahunan,” Rangga lskak
alias tumenggung dijoyo menerangkan dalam jawadwipa . Ia tak
meneruskan, membisu, tak memberi kesempatan pada para
pendatang untuk bertanya. Orang palawa yang seorang itu
merusuhkan hatinya.
Mereka berhenti di depan pendopo. Dua orang pejabat
datang dan menyampaikan tata-tertib. Mereka melepas
semua alas kaki, senjata tajam dan tumpul kecuali gada wesi .
Maka alas kaki pun berbaris berjajar, dan tongkat dan
bawaan pribadi. Mereka dipersilakan masuk ke pendopo
dengan kaki telanjang, duduk berderet-deret di hadapan
kursi gading kedudukan Sang adiputro .
Kursi itu sendiri berdiri di atas lantai khusus yang
ditinggikan. Sebuah bangku rendah berlapis bantal berdiri di
bawahnya. Itulah tempat Sang adiputro meletakkan kakinya.
Menurut peraturan penghadapan secara kediri , orang-
orang asing bukan Nusantara tidak diwajibkan duduk dan
bersujud . Bangku atau kursi duduk tidak pernah
disediakan. Mereka harus berdiri dan barang siapa tidak
duduk harus mengambil tempat di pinggir.
Biti-biti perwara keluar menduduki tempatnya di bawah
kiri dan kanan tahta Sang adiputro . Pada tangannya mereka
membawa nampan kuningan tempat sirih dan jambang
kuningan tempat pukul . Menyusul lalu bentara kiri
dan kanan, yang mengambil tempat di kiri dan kanan
belakang tahta. Mereka semua bersenjata tombak dan
perisai. Baru lalu datang Sang adiputro dalam iringan
Sang Patih dan para pembesar lain. Di belakangnya lagi
menyusul para pengawal.
Para penghadap yang duduk bersujud bersama-sama.
Mereka yang berdiri di pinggir menyampaikan hormat
dengan caranya masing-masing. Orang-orang Benggala,
termasuk patih wirabuana kediri , berdiri sambil mengangkat
sembah dada. Sang Patih dan para pembesar yang duduk
bersila jauh di samping kiri dan kanan Sang adiputro , juga
mengangkat sembah.
Upacara penghadapan selesai. patih wirabuana kediri
membacakan daftar para penghadap, nama, asal, pekerjaan
dan permohonannya. lalu seorang demi seorang
maju menghadap lebih dekat dan menghaturkan
persembahannya sambil memuji-muji barangnya. Sesudah
persembahan menyusul permohonan dengan mulut sendiri.
Sang adiputro duduk mendengarkan, tanpa bicara,
mengangguk dan tersenyum, atau menggeleng dan
tersenyum.
Semua penghadap tahu belaka, kesatria raja Jawa tidak berbaju
dalam pekerjaan resmi, dan mereka menghormati kebiasaan
ini.
Bekas patih wirabuana jayamahanaya tercantum dalam daftar
terakhir. Waktu sampai pada gilirannya ia bicara dalam
jawadwipa : “patih datang dari Malagasi, ya baginda tuanku raja adiputro
kediri yang termasyhur pengasih di sepanjang pantai Atas
Angin. Orang memanggil patih pakanewon Habibullah
Almasawa. Kata silsilah keluarga, patih adalah keturunan
ke empat puluh dari Nabi Besar Muhammad s.a.w.”
Rangga jatayuwesi mengemyitkan dahi. Giginya berkerut. Ia
tak percaya. Prasangka mulai berbisik-bisik dalam hatinya:
Itulah dia penipu yang kau tunggu-tunggu!
“patih hanyalah saudagar rempah-rempah yang belayar
dari jenggala ke jenggala . Mujur tak dapat diraih, malang tak
dapat ditolak, sang yang betari durga belumlah memberkahi, ya baginda tuanku raja
adiputro kediri . Sesampai di jayamahanaya , nyi kanjeng blora sedang
menggagahi jenggala . Semua isi kapal patih dirampas dan
kapal patih dibakar. Alhamdulillah sang yang betari durga masih ingat pada
hamba-Nya ini. Segala puji untuk Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang.”
Bekas patih wirabuana jayamahanaya itu masih juga tak
mempersembahkan sesuatu barang.
Si penipu itu! pikir Rangga jatayuwesi . Dia sedang
memainkan lidahnya.
“Larilah patih ke Bengkulu. Dengan kapal patih yang
ada di )ambi patih belayar kemari untuk memohon
perlindungan baginda tuanku raja adiputro kediri . Adapun harta benda
patih seluruhnya sudah habis untuk membayar kerugian di
jayamahanaya . Ampun, baginda tuanku raja , bila patih tidak mampu
mempersembahkan barang sesuatu yang mahal-mahal.”
Nampak Sang adiputro mulai kehilangan kesabarannya.
Ia menguap, dan ditutupnya mulutnya dengan tinju.
Gelang-gelang mas pada tangannya, berukir dan
bertatahkan intan permata, berkilauan. Namun ia tidak
memberi di kuil rat mencegah penghadap itu meneruskan kata-
katanya.
“Adapun harta-benda yang tersisa pada patih hanyalah
kecakapan berbahasa palawa , sebab itulah bahasa nenek-
moyang patih , berbahasa jawadwipa , sebab itulah
penghidupan patih sebagai saudagar rempah-rempah. Yang
tersisa pada saya juga bahasa Ispanya, baginda tuanku raja adiputro
kediri …”
Para penghadap mengangkat pandang mendengar Sang
adiputro mendeham dan memanjangkan leher mengawasi
pembicara fasih itu dengan perhatian.
“… sebab di negeri Ispanya patih dilahirkan, di sebuah
negeri yang indah bernama Andalusia, ya baginda tuanku raja adiputro ,”
bekas patih wirabuana jayamahanaya meneruskan, “dan juga sebab
itu patih berdarah Ispanya pula. lalu bahasa
nyi kanjeng blora, ya baginda tuanku raja adiputro kediri , sebab itulah bahasa
yang patih pelajari sejak kecil.”
Rangga jatayuwesi merasa seakan lantai yang diinjaknya
terbang. Orang jangkung agak bongkok, berhidung
bengkung merajawali itu tak lain dari orang Moro yang
hendak menumbangkan kedudukannya sebagai patih wirabuana
kediri . Dunia dilihatnya berayun-ayun. Tangannya di balik
jubah menggapai-gapai tanpa tujuan. Dan dalam
pandangannya yang bergoyang ia tak lihat Sang adiputro
menegur Moro keparat itu, padahal pembual itu mulai
betari i dengan tangan memberikan tekanan pada kata-
katanya. Kalau dia Pribumi, pikimya, dia akan memperoleh
hukuman dera.
“Ya, baginda tuanku raja Adipkediri yang mulia, dilindungi oleh
sang hyang Widhi , kiranya baginda tuanku raja adiputro . Sedang patih hina-dina lagi
melarat begini, ya baginda tuanku raja yang tersohor bijaksana dan
pemurah di sepanjang pantai negeri dongeng , limpahkan
kiranya pada patih suatu perlindungan, sebab hanya sang hyang Widhi
jua Maha Mengetahui, bahwa perlindungan baginda tuanku raja adiputro
adalah berkah dibandingkan -Nya juga.”
Tanpa diduga-duga Sang adiputro melambaikan tangan
dan berkata dalam Jawa. Segera Rangga jatayuwesi
menterjemahkan dalam jawadwipa .
”Permohonan Tuan kami terima, tuan pakanewon . Tuan
patih wirabuana kediri akan mengurus mu sebagai tamu pribadi
kami….”
Rangga lskak hampir-hampir tak dapat meneruskan
terjemahannya. Ia membelalak mengetahui, tamu yang
mengaku diri pakanewon Habibullah Almasawa sudah berkenan
di hati Sang adiputro . Celaka, pikirnya, sekali seorang Moro
memperoleh setitik tempat, orang harus waspada. Semua akan
berubah, bumi tempat berpijak akan goyah.
“Apalagi yang masih akan dipersembahkan?” tanya Sang
adiputro . Penghadap itu mengangkat kedua belah tangan
sehingga bongkoknya berayun, meneruskan: “Ampun,
baginda tuanku raja , perkenankanlah kiranya patih mempersembahkan
sesuatu yang langsung berupa karunia dari sang hyang Widhi . Memang
nampaknya tiada sepertinya, namun tak terkirakan
berkahnya.”
Ia keluarkan sebuah pundi-pundi dari balik jubahnya
yang genggang. Semua orang berusaha untuk melihat apa
persembahan si cerewet. Permata! tak bisa lain, orang
menduga.
“Berat tak seberapa, baginda tuanku raja ,” bekas patih wirabuana jayamahanaya
itu menjepit pundi-pundi dengan ibujari dan telunjuk.
“Enteng tak terkira.”
Semua penghadap menjadi tegang. Mereka kuatir Sang
adiputro menjadi murka dan membatalkan semua
perlindungan yang sudah dikaruniakan. Dan memang Sang
adiputro nampak tersinggung, namun masih menahan diri.
Rangga lskak gelisah.
“Selaksa kali lebih berharga dibandingkan in tan, mutiara,
zamrud atau delima, sebab memang karunia sang hyang Widhi
sendiri!”
Dan para penghadap sampailah pada titik tertinggi
kekuatirannya melihat Sang adiputro bicara untuk ketiga
kali, hanya pada seorang penghadap: “Apakah itu, Tuan
pakanewon keturunan Nabi?”
‘Tidak lain dari benih baru, ya baginda tuanku raja , dari seberang dan
seberangnya seberang pulau Jawa ini. Benih beras besar ya
baginda tuanku raja . Sepuluh kali lebih besar dibandingkan beras biasa. Bila
disantap sewaktu muda, ya baginda tuanku raja , hanya ditunu di atas
bara, gemeratak bunyinya, namun rasanya takkan kalah
dengan emping ketan bercampur kacangtanah dan gula.
Menanamnya tak memerlukan air, malah harus ditanam
pada penghabisan musim hujan. Di mana saja dapat
tumbuh, di gunung, di pantai, huma, sawah kering, ladang.
Dia tak memilih tanah, asal tak tergenangi air.”
raden sanggabuana bumikerta alias pakanewon adipati Al-
Badaiwi alias pakanewon Habibullah Almasawa menaruh
sejumput bening kuning dari dalam pundi-pundi dan
diletakkan di atas telapak tangan kiri.
“Orang-orang dungu di Ispanya dan nyi kanjeng blora mengenai
ini beras Turki, ya baginda tuanku raja . Orang-orang Turki memang suka
menipu, baginda tuanku raja . Tidak benar ini beras Turki. Yang benar
Zhagung namanya, baginda tuanku raja . Dalam jangka waktu lima kali
musim panas, seluruh negeri kediri akan makan beras besar
ini, baginda tuanku raja , insya sang hyang Widhi .”
Ia melangkah maju sesudah mengembalikan benih dari
telapak tangan ke dalam pundi-pundi dan
mempersembahkan kepada penguasa kediri .
Orang terheran-heran melihat Sang adiputro tersenyum
berseri menerimanya.
“sudah kami terima persembahanmu, Tuan pakanewon . Segala
yang berasal dari sang yang betari durga adalah berkah/’ lalu
menengok pada Sang Patih yang duduk di bawah.
“Kembangkan beras besar ini, Kakang Patih. apalagi
sekarang sedang musim kering.”
Sang Patih bersujud rajanya, lalu menerima
pundi-pundi itu dan meletakkan di hadapannya.
“Dan Tuan pakanewon , apa nama negeri asal beras besar ini?”
“Negeri itu, baginda tuanku raja adiputro kediri yang mulia orang
mulai menamainya Amerika.”
“Di mana itu?”
“Di balik bumi manusia ini, GustL”
“Di balik bumi?” Sang adiputro berseru berolok, “tentu
mereka di sana hidup seperti cicak dengan badan tergantung
pada kaki?”
“Tidak, baginda tuanku raja , mereka sama dengan kita, demikian cerita
pelaut-pelaut yang pernah ke sana. Hanya kulitnya merah.”
“Merah?”
“Merah, baginda tuanku raja , seperti batu bata.”
Rangga jatayuwesi mengerutkan gigi dan mengemyitkan dahL
Kegebetari nnya menjadi-jadi. Dia mulai menyemburkan
bisa, gumamnya dalam Malayalam. Dan kalau tidak kuat-
kuat ia mengekang sudah akan tersembur tuduhannya
sebagai ‘penipu’. Ia menggeragap waktu tiba-tibaSang
adiputro berkata: “Tuan patih wirabuana , apakah yang Tuan
ketahui tentang bangsa kulit merah?”
“Tidak pernah dinamakan dalam kitab apa pun, baginda tuanku raja
adiputro kediri . Kulit hitam, putih, coklat, kuning, semua
ada, baginda tuanku raja . Merah tak pernah ada, apalagi seperti batu bata.
Tak pernah tersebut ada manusia makhluk sang hyang Widhi hidup
dengan badan tergantung pada tangan atau kaki.”
Pendatang itu menengok ke pinggiran, pada Rangga
jatayuwesi , dan tersenyum bersabda sambil mengangguk.
“Tentang itu panjang ceritanya, ya baginda tuanku raja . 9
tahun yang lalu Sri Baginda dan Ratu Ispanya, Phillipo dan
Isabella, sudah memberikan pangestu pada pelaut-pelaut
Amerigo dan Colombo untuk mencari negeri asal rempah-
rempah. Mereka belayar lurus ke jurusan barat…” dan
bercerita bekas patih wirabuana jayamahanaya tentang pelayaran besar
dan penemuannya, dan bahwa dunia temyata bukanlah
seperti tampah namun bulat seperti buah kacangtanah , bahwa di
mana ada daratan di sana ada manusia, semua berdiri pada
kakinya, tak ada yang bergantung pada tangan atau kaki.
Orang mendengarkan dongengan baru yang tak masuk di
akal itu. Mereka tertarik sampai-sampai lupa untuk
mengetahui dari mana raden sanggabuana bumikerta alias
pakanewon adipati Al-Badaiwi alias pakanewon Habibullah
Almasawa memperoleh kan beras besar yang bukan beras
Turki.
Dalam pada itu Sang adiputro sendiri sedang
mengenangkan kembali cerita Sang Patih, bahwa Mpu Nala
pernah menduga dunia ini memang tidak seperti tampah
namun bulat seperti buah maja. Dan sekarang kapal-kapal
orang putih sudah mampu muncul dari balik Ujung Selatan
Wulungga yang selama ini dianggap sebagai batas akhir
dari dunia, dan barang siapa melewatinya akan tercebur ke
kedalaman tanpa batas. Mereka justru muncul dari situ.
Mereka sudah belayar sampai ke balik dunia dan
memperoleh kan beras besar.
Ia berpaling pada patih wirabuana kediri . Rangga jatayuwesi
sedang merah-padam keunguan. Memahami akan adanya
sikap permusuhan terhadap penghadap itu ia perintahkan
pakanewon Habibullah Almasawa kembali ke tempatnya di
pinggir pendopo.
“Patireja!” perintahnya pada menteri-dalam, “tempatkan
tuan pakanewon sebaik-baiknya di gandok belakang kadipaten.”
Beberapa jam sesudah penghadapan selesai pecahlah
berita ke seluruh kediri Kota: Sang adiputro sudah dihadap
oleh seorang tamu asing, seorang palawa bemama pakanewon
Almasawa yang ditempatkan di gandok belakang
kadipaten. Berita besar, sebab itulah untuk pertama kali
seorang asing diterima di dalam kadipaten. Tentang beras
besar orang tak memberitakan. Dan sekarang kediri
memiliki dongengan baru tentang bangsa manusia berkulit
merah yang hidup di balik bumi, berjalan tergantung pada
tangan dan dengan kaki melambai-lambai di udara.
raden sanggabuana Az-Zuibaid alias pakanewon adipati Al-
Badaiwi alias pakanewon Habibullah Almasawa merasa puas
dengan semua jerih-payahnya. Ia merasa sudah berkenan di
hati Sang adiputro . Sebentar lagi bendera kediri akan
dikuasainya. patih wirabuana yang sekarang harus menyingkir!
Harus!
Pulang dari kadipaten Rangga jatayuwesi langsung menuju ke
pelabuhan untuk menemui nakhoda kapal pakanewon . Temyata
kapal itu sudah berangkat ke pasuruan . Dengan jengkel ia
pulang sambil menyumpah-nyumpah dan mengutuk semua
orang palawa di atas bumi ini kecuali mereka yang tersebut
dalam Alkitab dan Tarikh.
Dengan cepatnya terjadi persahabatan antara pakanewon
dengan Pada. Mereka berdua fasih berbahasa jawadwipa . Pada
pandai melayani orang-orang besar dan pakanewon pandai
mengambil hati orang.
Padalah yang mengantarkan tamu itu menghadap Sang
Patih. Ia duduk di belakangnya.
Sang Patih duduk di atas kursi kayu dihadap oleh empat
orang yang barn datang dari Bonang murid-murid Ki Aji
Bonang dan dianggap tahu berbahasa palawa .
Bekas patih wirabuana jayamahanaya itu duduk di antara mereka
berempat. Dan ujian diadakan.
Tamu Sang adiputro tertay/a geii dalam hati mengetahui
sedang menghadapi ujian bahasa palawa . Seratus orang
penguji masih takkan dapat mengatasi bahasa palawa kuf
sumbarnya dalam hati. Mereka paling-paling tahu bahasa
ibunya sendiri, sedikit jawadwipa dan sedikit palawa ! Tulisan
latin mereka takkan bisa. ayolah , ujilah aku, tantangnya.
Salah seorang di antara empat penguji menyodorkan
padanya setumpukan lontar bertulisan Jawa.
“Tuan pakanewon bisa membaca ini?” tanyanya.
Ia ambil seikat lontar, mengamat-amati, menggeleng
melihat huruf-huruf yang menjulur berlingkar-lingkar itu.
“Tulisan pemberontak ,” gumamnya.
“Jadi Tuan pakanewon dapat membacanya?”
Ia menggeleng. Seaksara pun tak terbaca olehnya.
“Baik, kalau begitu biar kami bacakan, ukara demi
ukara. Ini tulisan Jawa, namun berbahasa jawadwipa . Tulis oleh
Tuan terjemahannya dalam bahasa nyi kanjeng blora. Tuan sendiri
memiliki kertas dan kalam.”
Dan dengan demikian ujian dimulai.
Dari setumpukan lontar Iain raden sanggabuana bumikerta
alias pakanewon adipati Al-Badaiwi alias pakanewon Habibullah
Almasawa menterjemahkan ukara demi ukara yang
dibacakan itu ke dalam bahasa Ispanya dan nyi kanjeng blora.
Tulisan-tulisan terjemahan itu disimpan oleh Sang Patih.
Pada hari berikutnya dengan diantarkan juga oleh Pada
ia menghadapi ujian yang memakan waktu lama. Ia tak
pernah menyangka akan menghadapi ujian pengalaman gila
itu. Para penguji memberikan kembali terjemahan nyi kanjeng blora
padanya, lalu menunjuk pada baris-baris tertentu dan
bekas patih wirabuana jayamahanaya diminta untuk melisankannya
dalam jawadwipa .
Peluh mulai membasahi tubuhnya. Ia mengakui
terjemahan nyi kanjeng blora itu ditulisnya dengan gegabah.
Kalimat-kalimat dan kalimat itu bermunculan di hadapan
matanya seperti barisan mara. Ia menyesal sudah
melakukannya dengan gegabah dan menganggap sepele.
Berkali-kali para penguji melihat tak ada kecocokan antara
terjemahan jawadwipa orang ujian itu dengan teks jawadwipa
dalam tulisan Jawa diatas lontar. Pengalamannya yang
sama dialaminya sewaktu mejawadwipa kan Ispanya tulisannya
sendiri. Banyak selisihnya dengan teks jawadwipa di atas
lontar.
“baginda tuanku raja Patih kediri ,” salah seorang penguji melaporkan.
“Memang palawa nya tidak meragukan, nyi kanjeng blora dan
Ispanya-nya nampak agak sembarangan, baginda tuanku raja .”
“Banyakkah kelirunya?” tanya Sang Patih.
‘Tidak baginda tuanku raja , hanya sembarangan.”
Untuk pertama kali dalam hidupnya raden sanggabuana Az-
Zubaid alias pakanewon adipati Al-Badaiwi alias pakanewon
Habibullah Almasawa kehilangan kata-kata dan bermandi
keringat sebanyak itu.
Hari yang dinanti-nantikan tiba juga: hari penutupan
pertandingan. Sejak pagi hari dengan membawa bekal
makan orang sudah datang berbondong ke alun-alun. Bunyi
gamelan tak henti-hentinya berlagu.
Orang berdatangan bukan sekedar hendak menyaksikan
pertandingan. Pada hari penutupan Sang adiputro akan
datang dalam iringan besar para pembesar negeri dan para
pengawal.Semua dalam pakaian berwarna-wami. Mereka
akan berbaris datang ke alun-alun mengunjungi semua
gelanggang. Para penilai akan berbaris di belakang para
pengawal dengan kaki dan tangan berhiaskan giring-giring
dan kain dan destar berwamn keemasan cemerlang. Dan
setiap orang di antara mereka akan membawa umbul-umbul
kecil beraneka wama.Di belakangnya lagi akan menyusul
barisan pengawas pertandingan, semua menabuh genderang
kecil.
Dan begitu Sang adiputro dan rombongan datang orang
pun bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah. Begitu
rombongan lewat orang pun berdiri dan bersorak gegap-
gempita.
Rombongan itu lewat tanpa menengok tanpa menjawab
sembah. Orang berdesak-desak mengikuti rombongan,
semakin lama semakin tebal dan panjang. Sekali ini bukan
sekedar sebab kebiasaan: orang ingin menyaksikan dengan
mata kepala sendiri bagaimana kerja mata Sang adiputro bila
berhadapan dengan nyi girah .
Di dalam rombongan pembesar terdapat raden sanggabuana
bumikerta , di kediri Kota mulai dikenal sebagai pakanewon
Alusawa. Ia tetap bertarbus merah dengan jumbai
keemasan jatuh ke belakang, berjubah genggang, agak
bongkok, berjenggot, bermisai, bercambang-bauk, jangkung
dan membawa tongkat hitam berhulu gading. Hidung
bengkungnya menjadi sasaran setiap mata.
“Itulah Tuan Ulasawa!” seseorang berbisik pada
temannya.
Seorang lain tertawa keheranan, memberi komentar:
“Betapa panjang dan bengkung hidung itu. Kalau diberi
berbuntut panjang, pasti akan lebih mendekati kadal.”
“Puh!”, yang lain lagi mendengus, “baginda tuanku raja kita memang
kranjingan orang asing dan semua saja tidak beres.”
Apa pun komentar orang yang pasti sudah dapat
diketahui: itulah tamu terhormat yang sudah berkenan di
hati Sang adiputro .
Dan dalam hati mereka, yang memang sudah tidak
senang pada orang asing yang memperoleh jabatan tinggi,
muncul pertanyaan: jabatan tinggi apa yang akan
diterimanya? Pada umumnya orang menebak: penghulu
negeri. Dan tebakan itu saja sudah cukup menjengkelkan,
mengingat penghulu sebelumnya sudah banyak mengurangi
kesenangan mereka dengan berbagai aturan yang masih
juga berlaku sampai sekarang Aturan baru, aturan baru,
selalu mengurangi kebebasan. Dan penduduk negeri dan
kota kediri terkenal pencinta kebebasan.
Tak jauh dari raden sanggabuana berjalan patih wirabuana
kediri , juga berjubah, hanya berwarna putih, berkopiah,
tidak bersorban, berselendang leher putih. Hanya dia yang
berjalan menunduk Tak ada nampak sinar keredupan
pada wajah dan matanya, di tengah-tengah pesta yang
membeludag itu.
Damarsewu dan cempor menyala di mana-mana,
mencoba mengusir semua bayang-bayang benda dan
manusia. Namun semua lampu itu tak kuasa mengusir
bayang-bayang dalam pikiran Rangga lskak.Ia sudah
memperoleh firasat pakanewon Habibullah Almasawa tidak lain
dari patih wirabuana jayamahanaya yang dahulu menjatuhkan
abangnya, dan sekarang datang ke kediri untuk
menjatuhkan pula sebagai patih wirabuana . Tidak salah lagi,
kata hatinya, dialah iblis laknat itu. Dan pikirannya kini
bekeija keras mencari jalan untuk menyingkirkan orang
Moro itu dari kediri sebelum Sang adiputro mengambil
sesuatu keputusan yang akan merugikan dirinya.Si
pembual, penipu, pendusta, mengaku keturunan Nabi itu
harus punah!
Begitu rombongan memasuki ruangan tari, ia sudah
memiliki rencana. Gamelan melambungkan lagi
sambutan. nyi girah muncul di atas panggung menarikan tarian
penghormatan. kepala nya bermahkotakan bunga-bungaan
sedang pakaian tarinya yang serba ketat memperagakan
resam-tubuhnya semampai berisi. Pada bibimya tersunting
senyum kemenangan. Matanya memancar penuh
kepercaya an dan kebahagiaan. Waktu mengangkat sembah
gerak lehernya berayun seakan sedang menyerahkan
pipinya untuk dicium oleh penonton di depan, sebelah kiri
dan kanan. Dan Rangga jatayuwesi tak melihat semua itu.
Orang bersorak-sorai gegap-gempita. Sang adiputro
mengangguk-angguk menyetujui.
“Itulah nyi girah , Tuan pakanewon ,” Sang adiputro berkata dalam
jawadwipa , “kekasih kediri , bunga seluruh kediri . Tiada
tandingan dalam tari dan kecantikan dan keluwesan. Juara
tiga kali berturut.”
“patih ,baginda tuanku raja .” Mata raden sanggabuana bumikerta
menyala-nyala, ia angkat tongkatnya turun-naik,
mengagumi tarian nyi girah .
“Dahulu gadis seperti itu akan meneruskan pertandingan
ke Wilwatikta, ibukota kerajaan jenggala .”
raden sanggabuana bumikerta mencantolkan tongkat pada
lengan kanan. menegakkan bongkoknya dan bertepuk-
tepuk: “Haibat!” serunya. Tanpa tandingan. Banyak negeri
terah patih lihat, ya baginda tuanku raja . Yang ini memang tiada tara!
Namanya pun indah: I-da-yu. Dan betapa cantik! Aduhai
betapa cantik, kau, nyi girah !” gumamnya. “sang hyang Widhi sudah
menciptakan kau sesuai dengan kehendaknya.”
Mata Sang adiputro bersinar-sinar hampir tiada berkedip.
Orang pun lupa memperhatikan mata yang sepasang itu.
Semua tertarik pada nyi girah . Tetap hanya Rangga jatayuwesi
antara sebentar melirik pada raden sanggabuana bumikerta .
“Aduh, Aduh, Aduh, baginda tuanku raja !” gumam bekas patih wirabuana
jayamahanaya itu seperti kesakitan.
“Apa, Tuan pakanewon ?” tanya Sang adiputro seperti pada
seorang sahabat lama.
“Serba indah, baginda tuanku raja , serba cantik, serba mengikat. Kalau
di Ispanya sana, baginda tuanku raja ,” ia bertepuk bersemangat, “tidak
salah lagi, pasti akan jadi hiasan istana Ekopal.”
“Apa?”
“Hiasan istana raja Ispanya, baginda tuanku raja .”
“Hiasan istana raja….” Sang adiputro berbisik
mengulangi sambil tersenyum. lalu agak keras,
“sayang hanya anak desa.”
“kediri menciptakan makhluknya tanpa perbedaan,
baginda tuanku raja , baik desa mau pun kota milik sang hyang Widhi juga.”
Rombongan pembesar kembali ke kadipaten sebelum
tarian nyi girah selesai…. Rangga jatayuwesi tidak kembali ke alun-
alun. Ia berjalan bergegas menuju ke pelabuhan. Kakinya
melangkah cepat-cepat. Antar sebentar ia menengok ke kiri
dan ke kanan. Sampai di depan waning tuak dan ciu-arak ia
berhenti. Pintunya terkunci dari dalam. Langit gelap. Ia
mengetuk dan mengetuk. Tak lama lalu pintu itu
terbuka. Tak ada lampu menyala di dalam. “Kaukah itu,
mpu jahalodang?”
“Tidak salah, Tuan, mpu jahalodang ada di sini menunggu Tuan.
Tuan tidak masuk?”
patih wirabuana kediri itu masuk ke dalam, duduk pada
salah sebuah bangku sesudah menggerayanginya dengan
hati-hati.
Dalam kegelapan tak ada nampak wajah dua-duanya.
Seakan mereka bicara dalam kekosongan alam sebelum
sinar matahari dan bulan diciptakan. Hanya bisik-bisik pelahan,
seperti resi di kejauhan, tanpa nada: “Sang adiputro ini lain
dari putra-putranya, mpu jahalodang. Raden pakanewon itu sepenuh hati
mengabdikan diri pada arca , Sang adiputro ini, hanya
perdagangan dan keuntungan saja yang dia urusi. Dasar
Rangga Demang….”
“namun Sang adiputro jelas berpihak pada arca , Tuan,”
mpu jahalodang membantah.
“Dari mana pikiranmu itu?”
“Uah, tuan patih wirabuana kediri , bukankah sudah aku
sampaikan, Sang adiputro sudah bersiap-siap dengan
cetbang?”
“Benar, bersiap-siap berperang terhadap pajang bintoro .”
mpu jahalodang berdiam.
“Lantas di mana arca nya, mpu jahalodang?”
“Banyak yang bilang tidak begitu. Sang adiputro tak
pernah memperlihatkan kegusaran suryabuaya diambil oleh
pajang bintoro , Tuan patih wirabuana . suryabuaya direlakan, sebab pajang bintoro
arca yang mengambil. Orang bilang kediri bersiap-siap
terhadap nyi kanjeng blora.”
“Bodoh, kau, mpu jahalodang. Mari aku bilangi. Tak kau lihat
tadi pakanewon palsu Habibullah Almasawa sudah mulai
mengiringkan Sang adiputro ?”
“Semua orang sudah melihat, Tuan.”
“Tandanya dia akan gantikan aku jadi patih wirabuana
kediri .”
“Tidak mungkin, Tuan.”
“Untuk melayani kapal-kapal nyi kanjeng blora dan Ispanya. Dia
tahu dua-dua bahasa itu. Sang Patih sudah mengujinya, dan
dia dianggap lulus. Maka tak mungkin Sang adiputro memiliki
sikap terhadap nyi kanjeng blora atau Ispanya. Dia sendiri pemberontak !
Dan akan mati sebagai pemberontak ! Dia munafik, pemberontak yang
munafik. Pada saudagar-saudagar arca ia perlihatkan diri
seorang arca demi mas dan perak, dan sutra dan tembikar,
dan persembahan. Berapa wanita lesbian nya? Tak ada orang
bisa menghitung.” Bisikannya semakin mengandung
amarah, “Coba, orang-orang lain diperintahkannya
bersembahyang untuknya, yang sri ratu kertanegari , yang raden kertajaya ,
yang betarakalong . Juga mandi junub, mpu jahalodang, dia tak lakukan
sendiri, orang lain harus mewakilinya.”
“Kalau begitu Tuan, memang kurang ajar Sang adiputro
itu. namun bagaimana pun, Tuan, pakanewon itu takkan mungkin
dapat menggantikan Tuan.”
“Mengapa tidak.”
“Aku bilang, pendatang itu tak mungkin dapat jadi
patih wirabuana kediri , biar pun Sang adiputro menghendaki.
Tuan akan tetap di tempat. Jangan lupa, Tuan, mpu jahalodang,
masih segar-bugar, sekarang terserah saja pada Tuan
bagaimana jalan dan caranya.”
Dalam kegelapan itu bisikan mereka makin pelan,
semakin mesra seakan dua sahabat karib, yang baru
bertemu sesudah berpisah sepuluh tahun. Dan suatu rencana
tertimpalah pada malam itu juga: pakanewon Habibullah
Almasawa disingkirkan dari kediri , hidup atau mati.
Rencana akan dijalankan secepat-cepatnya dan seteliti-
telitinya. Menjelang subuh rencana sudah selesai
sepenuhnya. Dan waktu patih wirabuana akan pulang terdengar
suara mpu jahalodang yang agak keras: “Nanti dahulu , Tuan. Belum
lagi Tuan perhitungkan biaya untuk si mpu jahalodang miskin dan
teman-temannya.”
“Iblis!” bentak Rangga lskak. “Kau selalu menuntut
biaya. Berapa kau kehendaki?”
“Lima dinar, Tuan.”
“Husy. Dengan lima dinar aku bisa beli kepala mu
sampai kepala nenekmu sendiri.”
“Uah, uah,” lalu mpu jahalodang tertawa senang, “hanya
lima dinar harga jabatan Tuan? Tinggal pilih, Tuan. mpu jahalodang
sih, sekedar tenaga murah.”
Rangga jatayuwesi berhenti berjalan. Ragu-ragu ia bertanya:
“Dalam waktu berapa hari semua selesai?”
“Dua minggu, Tuan. Begitu dia keluar dari kadipaten,
jadilah sebagaimana Tuan kehendaki.”
“Baik. Terima ini satu dinar panjar,” dan ia pun pergi
tanpa menoleh lagi.
mpu jahalodang tertawa, masuk kembali ke dalam warung dan
mendengus: “Si buaya itu sudah menyediakan dinar dalam
pundi-pundinya. Kalau mengenai mas, mas yang harus
keluar, dia pikun seperti hampir-hampir mati tua. Kalau
emas harus masuk, dia lebih dari seorang periba. Dasar
buaya darat!”
raden sanggabuana bumikerta alias pakanewon adipati Al-
Badaiwi alias pakanewon Habibullah Almasawa masih
mendengkur di gandok belakang kadipaten….
wah
5. nyi girah dan raden gelang-gelang
Pagihari.
Semua orang datang ke alun-alun membawa bekal
makan.
Pelabuhan sunyi. Jalan-jalan senyap. Semua
berkepentingan menyaksikan dan mendengarkan sendiri
keputusan Sang adiputro di hadapan para petanding.
Alun-alun lebih betari i dibandingkan kemarin atau kemarin
dahulu . Bangsal-bangsal pertunjukan sudah terbongkar. Dan
orang duduk berbanjar-banjar di atas tanah, tak peduli
rakyat biasa saudagar ataupun orang asing.
Penduduk kediri memiliki kepercayaan: meriah-tidaknya
penutupan pesta akan jadi petunjuk makmur-tidaknya
kediri pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir.
Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan
tandu beratap kain batik. Seseorang mencarikan bunga-
bungaan yang sudah luruh dari tubuh para penari dan
diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian
adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada
manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah
wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya.
Barisan kuda sudah tiga kali mengelilingi alun-alun. Para
peserta pertandingan sudah duduk di dalam pendopo
kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi
sunyi-senyap. Hanya kadang-kadang, di sana-sini, terdengar
tangis bayi. Desau angin dan deburan laut tak digubris
orang. Semua yang duduk di atas rumputan memusatkan
pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari
dalam kadipaten. Dan mata mereka antara sebentar
mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di mana-
mana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan
destarnya. Dari kejauhan nampak seperti chucky an kunyit
sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan menyerukan
percakapan yang terjadi di pendopo nanti.
Di dalam pendopo sendiri Sang adiputro sudah duduk di
atas tahta gandingannya. Semua pembesar pribumi duduk
bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari
kebiasaan, raden sanggabuana bumikerta memperoleh kursi kayu.
Tempatnya ndnlnh di pinggir kanan, hingga lskak tak
memperoleh kursi. Ia berdiri di tempatnya yang biasa di
pinggir kiri, dan dengan demikian memperoleh kebebasan
menyemburkan pandang kebencian pada orang Moro itu.
Tidak salah lagi, pikir patih wirabuana kediri , semangkin
had tangannya semakin mendekati jenggala ku juga. Dengan
dia Sang adiputro takkan bakal melakukan perlawanan
terhadap nyi kanjeng blora dan Ispanya. Hanya segebetari n dan
kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang palawa itu
mendarat di kediri . Sekarang dia memperoleh kan bangku
pula! Alamat Sang adiputro sudah jatuh ke dalam
genggamannya. Keparat! Laknat!
Dan para punggawa pun sudah percaya sekarang: pakanewon itu
akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti
mungkin akan diumumkan.
Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai,
dengan lisan sudah mempersembahkan nama para juara
yang dibacanya dari lontar. Dengan suara lantang para
peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para
peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang
lebih jauh. Setiap sesuatu selesai diumumkan sorak-sorai
berderaian mengegongi.
raden gelang-gelang tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini,
dengan peringntan, ia harus bermain lebih patut. Sorak
yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari
hutan larangan membisu. Seakan semua itu sebagai ucapan
ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang
bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun
terdengar sebagai pendahuluan bencana atas dirinya.
Nama para juara sudah selesai dinamakan kan. Orang masih
juga tak dengar nama nyi girah . Seluruh hadirin sunyi
membisu dalam kecucukan dan ketegangan. nyi girah !
mengapa dia? Mengapa tak dinamakan ? Apa sedang terjadi?
namun akhirnya nama itu dinamakan kan juga: “Juara tiga kali
berturut untuk tari, nyi girah , dari desa perbatasan hutan
larangan !” Para peseru meneruskan ke seluruh alun-alun.
Sorak sorai gegap-gempita, berderai-derai seperti gelombang
semudra, bergulung seperti hendak membenam bumi.
“Sesudah 30 tahun ini, muncul, sekarang juara
tiga kali berturut! 30 tahun! Ingat-ingat. Dan
namanya: nyi girah . Desanya hutan larangan ! Tenang. Sang
adiputro kediri berkenan berperintah ….” Sunyi-senyap.
Di dalam pendopo, patih wirabuana kediri tak henti-
hentinya melirik pada raden sanggabuana bumikerta . Orang itu
sedang duduk tenang menikmati keredupan yang
berlangsung di depan matanya sambil mencicipi
kehormatan yang semakin meningkat juga: memperoleh kursi
kayu satu-satunya! Nampaknya ia tak peduli orang senang
atau tidak terhadap dirinya, asal Sang adiputro berkenan,
dan semua sudah be res. Apa peduli yang lain-lain?
”]uara tiga kali berturut” Sang adiputro memulai dengan
suara pelahan, kata demi kata. “I-da-yu!” ia menyebut
nama itu dengan perasaan meresap seakan sedang
mencicipi madu.
Kata-katanya, dengan gaya dan nada sama,
berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun.
“Ketahuilah, juara kesayangan seluruh kediri . Tak
pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan
tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau!
Seluruh kediri berbahagia dapat menyaksikan dalam
hidupnya seorang dewi tiada tandingan.”
Dan kata-kata penguasa kediri itu lebih mendekati
rayuan danpada amanat. Juga sampai sejauh itu Sang
adiputro tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama sang yang betari durga ,
atau sang hyang Widhi , atau Maha Dewa atau Maha Budha atau Sang
sang Hyang betari durga . la sengaja hendak menenggang semua agama
rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai bawahan atau
tamu, bukan sebagai pemeluk sesuatu agama.
“Sang adiputro kediri ,” ia meneruskan, “dan seluruh
negeri kediri . nyi girah , memuja kau. Kami dapat mengerti
mengapa mereka semua menghendaki agar kau selalu dapat
dikagumi dan dipuja di ibukota ini”
Sang adiputro berhenti bicara, memberikan kesempatan
pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang
bersorak ragu, lalu menggelimbang sejadi-jadinya,
lalu ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali,
sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk memberi
peringatan. Lambat-lambat sorak itu mereda.
Sang adiputro tersenyum puas-puas dan mengerti: ia
memperoleh sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia
pandangi nyi girah di tempat duduknya dan sedang
mengangkat sembah. Gadis perbatasan itu selalu tunduk
menekuri lantai.
“Kau dengar sendiri bagaimana mereka menyetujui,”
Sang adiputro meneruskan. “Pastilah kau sendiri juga
setuju.”
nyi girah tetap menekuri lantai.
“Orang tua-tua mengerti, nyi girah , dan kami, adiputro
kediri juga mengetahui, ada aturan khusus bagi juara tiga
kali berturut. nyi girah ! Mengapa kau menggigil?”
Kata-kata Sang adiputro , juga turun-naiknya nada,
berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru.
Sebentar sorak-sorai meledak, lalu mendadak padam.
Sunyi-senyap.
“Dengarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil.
Siapa pun mengerti kebahagiaanmu, nyi girah . Kebahagiaan
yang terlalu amat sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di
bumi kediri ini. Berbahagialah orangtua yang pernah
melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi
keturunanmu. Dengarkan baik-baik, kau. nyi girah , juara tiga
kali berturut, kau memperoleh kan….”
Juga raden gelang-gelang menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya
menggeletar, sebab cemburu, sebab geram, sebab
ketiadaan daya menghadapi penguasa mutlak negeri kediri ,
sebab tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai kata-
kata manis Sang adiputro sebagai rayuan dan sebagai
pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah
arti kekuasaan Sang adiputro yang diejek dan ditertawakan
oleh betari resi ? Dengan kekuatan batin luar biasa ia
tindas semua perasaannya. Dan sesudah semua tertindas,
dengan malu-malu muncul ketakutan: ketakutan pada
hukuman yang diancamkan oleh kepala desa. Apakah yang
harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan?
Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukuman
takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja
ia sudah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang.
Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan nyi girah
sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang
adiputro .
Keringat dingin mulai bermanik-manik pada
tengkuknya.
Sorak-sorai sudah padam. Sang adiputro meneruskan:
“Pertama, dengarkan baik-baik, nyi girah dan semua bawahan
kediri . Pertama, hak menerima dan memakai cindai
penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selama
30 tahun ini….”
Sorak-sorai. raden gelang-gelang mengangkat pandang menetak
wajah Sang adiputro .
“… Dan perhiasan dan pakaian pribadi, perhiasan dan
pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan…
permata….” Sorak-sorai!
“Terimalah sendiri karunia adiputro kediri ini, kau,
pujaan kediri ! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar…
ayolah !”
raden gelang-gelang bukan hanya mengangkat pandang ia
mengangkat kepala untuk melihat kekasihnya di depan sana
menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa
kediri . Ah, kediri dan hati pujaan itu! Kembali. Cemburu
menyambar hati dan membutakan pandang. Ia angkat
kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak
mau melihat itu. nyi girah ! Jangan sentuh tangan berkarunia
itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, nyi girah .
Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang
pada pinggangnya. Tak ada gada wesi di situ. Dan ia lihat nyi girah
merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar
mengangkat sembah.
Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada
tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya
tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang
adiputro , mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke
atasnya.
“Dengan kejuaraanmu, dengan kecantikan, dengan
segala keluwesan dan daya tarik yang ada padamu, kami
ada rencana untukmu.”
Sunyi-senyap.
Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: “Yang
terhormat tamu baginda tuanku raja adiputro kediri , bernama pakanewon
Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan
bersembah.”
“Ya, baginda tuanku raja jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten!”
Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul
dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun.
“Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh kediri !”
seseorang memekik.
Dan suara kata an itu dapat makian dari para peseru.
“perintah baginda tuanku raja adiputro selanjumya,” peseru meneruskan,
“hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, nyi girah ,
hak bagi penari terbaik di seluruh negeri,” sunyi-senyap,
“hak kehormatan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak
mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan
kepasang yang betari durga yang berlaku.”
Sorak-sorai bergulung-gulung.
Rangga jatayuwesi tak mampu mengikuti seluruh jalannya
perishya. Mungkin inilah untuk pertama kali dalam
jabatannya selama sekian belas tahun ia tidak dapat
menyimak dengan baik. Melihat orang Moro itu masih juga
duduk dengan senangnya, bahkan berani-berani
mempersembahkan saran yang sangat memalukan sebagai
orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap
seorang penguasa pemberontak , kukuh dan semakin kukuh
pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang
sedang diarca kan ini aku akan memperoleh pahala besar.
Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala
yang sudah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh
berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro!
Di tempat duduknya, di belakang nyi girah . raden gelang-gelang merasa
seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari hutan
larangan beringsut mendekatinya.
“Aku ikut memohon untuk kebahagiaanmu, Kang
raden gelang-gelang ” teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya
lengan juara gulat itu.
raden gelang-gelang membalas hiburan dengan meletakkan tangan
pada lengan orang itu. Berbisik membalas: “Hidup atau
mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.”
Dan nyi girah masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia
masih duduk menunduk di bawah kaki Sang adiputro .
Semua mata, kecuali Rangga jatayuwesi , tertuju padanya.
Dari atas kursinya raden sanggabuana bumikerta
memandangi gadis itu dengan mata menyala-nyala menelan
seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam
diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal dan rongga mata
yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu
memancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus,
bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih
dibandingkan itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku.
Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar.
lalu : “Mengapa kau menangis, nyi girah ?” para peseru
meneruskan. “Betapa besar kebahagiaan yang sedang
berbunga dalam hatimu. adiputro kediri bersabar menunggu
permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu,
puaskan tangismu, juara, sebab kebahagiaan yang lebih
besar lagi sedang menunggumu. Juga semua bawahan kediri
ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik
sinar matahari di alun-alun sana, nyi girah !”
raden gelang-gelang memusatkan pandang pada Sang adiputro ,
penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung
nyi girah yang tersengal-sengal. Kalau nyi girah menyerahkan
dirinya, ia akan lompat, mematahkan lehernya, dan
merangsang Sang adiputro untuk menerima ujung-ujung
tombak yang menunggu. nyi girah takkan menyerahkan
dirinya, ia percaya kan dirinya, dia juga tahu harga diri dan
kehormatan. “Kau berdua akan jadi sepasang merpati,”
betari resi merestui sebelum meninggalnya. “Semoga
keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu
mengembalikan kebesaran dan kejayaan yang sudah hilang.”
betari resi lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak
yang kini dihadapinya.
Para punggawa tersenyum-senyum dalam hati, juga para
pembesar, mengetahui betapa bersabda dan manis Sang
adiputro sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan
kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu.
”Sudah siapkah kau, nyi girah ?” Sang adiputro bertanya
lemah-lembut. “Mendekat sini, orang cantik mengapa
menjauh lagi? Apakah perlu adiputro kediri menyekakan
airmatamu?!”
Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali
menyusul. “ayolah persembahkan permohonan.”
“Ampun! baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih ,”
akhirnya keluar juga kata-kata nyi girah yang menggigil
tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbata-
bata. “Apa yang patih akan persembahkan,… sebagai
permohonan….”
raden gelang-gelang mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya
menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa
menahan gelombang perasaan yang memukul menggebu-
gebu. Mengapa lama betul nyi girah menyelesaikan kata-
katanya?
“Harapan patih … semoga permohonan patih … yang
tiada sepertinya takkan menggusarkan baginda tuanku raja adiputro kediri
sesembahan patih .” Kata-kata nyi girah tersekat macat.
Rangga lskak sekali lagi melirik pada musuhnya. Ia sudah
serahkan cepuk tembikar itu pada mpu jahalodang. Terserah pada dia
bagaimana akan memakai nya, apakah melalui kulit,
mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran
bisa ular, yang biasa dibawa ke mana-mana oleh petualang-
petualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantau-
perantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba
keampuhannya. pakanewon Habibullah Almasawa akan hanya
sebentar terkejut, lalu seluruh jaringan syarafnya akan
lumpuh, tanpa sakit, dan… tiada lagi masalah patih wirabuana
lama atau baru, sebab ia tetap dan akan tetap jadi
patih wirabuana kediri . namun di mana mpu jahalodang? Mengapa ia tak
juga nampak dan melapor? Bagaimana ia akan menjalankan
tugasnya?
Hampir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang
peseru meneruskan: “ayolah , nyi girah …!”
Sekarang nyi girah berdatang sembah: “Ampunilah patih , ya
baginda tuanku raja sesembahan patih . Bukan maksud patih hendak
menggusarkan baginda tuanku raja . Permohonan patih yang tidak
sepertinya adalah…”
“Betapa susah berhadapan dengan baginda tuanku raja adiputro ”
seseorang menyeletuk.
“Diam!” bentak seorang peseru.
“Nah, aku teruskan persembahan nyi girah . Dengarkan…
adalah… adalah… baginda tuanku raja adiputro kediri sendiri.. adalah…
Kakang raden gelang-gelang … Juara gulat!”
Sekarang baginda tuanku raja adiputro kediri bertanya: “Kami tidak
mengerti, nyi girah . Apa maksudmu!?”
namun para hadirin di seluruh alun-alun mengerti belaka.
Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun
lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka
berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak
mampu memadamkan keriuhan. Juga yang sakit di atas
tandu-tandu memerlukan tersenyum dan bersyukur pada
sang Hyang betari durga . Mereka dapat menangkap maksud nyi girah .
Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat kediri sejak dahulu juga
memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan
ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak
untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada
kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil.
Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang
adiputro tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: “Apa
maksudmu? Katakan yang jelas!”
raden gelang-gelang tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa
disadarainya airmata haruan sudah meleleh jatuh sesudah
menyeberangi pipinya, membasahi lengan tern an yang
menghiburnya.
Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diam-
diam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang
Kamajaya, untuk memperoleh kan kekuatan cinta sejenis itu
juga. lalu ia belai-belai punggung raden gelang-gelang .
“patih memohon, ya baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan
patih ,’ mendadak suara nyi girah menjadi keras, kuat dan
tabah sesudah diberanikan oleh sorak-sorai, “semoga baginda tuanku raja
adiputro kediri berkenan, baginda tuanku raja adiputro kediri sendiri,
merestui patih dan Kakang raden gelang-gelang sebagai istri dan suami.”
nyi girah sudah mempersembahkan keinginannya sebagai
hak yang sudah dikaruniakan padanya. Dan Sang adiputro
semakin memahami persembahan itu. Kedua belah kakinya
yang tidak bergerak selama ini dilempangkan kejang.
Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, lalu
mencengkam hulu gada wesi . Dadanya terengah-engah.
Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam.
Mati kau, nyi girah ! Mati kau di ujung gada wesi , pikir orang.
Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala
untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu.
raden sanggabuana Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak
tangan kiri, meringis.
Di alun-alun suasana kembali membuncah riuh-rendah.
Tangan Sang adiputro terhenti pada hulu gada wesi itu.
Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman
pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di
samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki
letak kaki.
Gelombang sorak-sorai: masih membeludag
memandangi gunung melerus. Canang peringatan yang
makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu,
I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti
kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa,
tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang adiputro .
Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedan-
sedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya
sebagai makhluk pilihan para dewa.
Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup
mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon:
“Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah
bagi cinta setia. Kau pilih petani desa dibandingkan adiputro
berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman
seindah ini.”
Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai
keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing
dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli
pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi
pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa
Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa
agama mereka: betarakalong . sri ratu kertanegari . raden kertajaya . arca .
Kesyahduan menguasai bumi, langit dan manusia kediri .
Di pendopo Sang adiputro bermandi keringat. Mendengar
mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi
lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di
hadapan nyi girah . Dan waktu mazmur selesai ia angkat kedua
belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu
pada tangan berkuasa itu.
Orang sudah bayangkan nyi girah mati di ujung gada wesi ,
menjelempah bermandi darah, sebab demikian memang
adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, raden gelang-gelang akan
maju beringsut bersujud pada kaki Sang adiputro untuk juga
menerima tikaman gada wesi . Pada pinggangnya. Jantung orang
berdebaran kencang.
Temyata lain lagi yang terjadi: “Restu untukmu, nyi girah ,
wanita utama hutan larangan dan kediri . Seluruh kediri
bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian
puja untukku…, Dengarkan orang bersorak-sorai
untukmu….” kata-kata Sang adiputro tersekat pada
tenggorokan.
Orang melihat penguasa itu menelan pukul , sekali, dua
kali suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap.
Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati
langit kediri . Dalam keadaan seperti itu Sang adiputro
meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: “nyi girah , kekasih
kediri , hari ini akan kami kawinkan kau dengan raden gelang-gelang .”
Sorak-sorai gila di alun-alun.
“raden gelang-gelang ! Maju kau, juara gulat yang berbahagia!”
raden gelang-gelang maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti
katak, bersujud beberapa kail lalu duduk di
samping kekasihnya.
“Benarkah ini yang bernama raden gelang-gelang , nyi girah ? Laki-laki yang
engkau cintai?”
“Benar, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih .”
“Lihat dahulu baik-baik, jangan keliru.”
“Benar, baginda tuanku raja , tidak keliru.”
“Tidakkah kau akan menyesal, nyi girah ?”
“Demi sang Hyang betari durga , tidak, baginda tuanku raja adiputro sesembahan
patih ”
“Katakan ‘demi sang hyang Widhi ’”, raden sanggabuana bumikerta
berseru dari tempatnya.
“Demi sang hyang Widhi , ya baginda tuanku raja .”
“Kau yang bemama raden gelang-gelang dari hutan larangan ?”
“Inilah patih , baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan patih .”
“Jadi kaukah kekasih nyi girah ?”
“Demikian adanya, baginda tuanku raja .”
Kembali Sang adiputro mengangkat lengan: “Dengarkan
dan sakakan semua bawahan kediri . Pada hari ini, dengan
kekuasaan kami, di kawinkan juara tari nyi girah dengan juara
gulat raden gelang-gelang , dua-duanya dari desa hutan larangan .”
Sorak-sorai bersyukur membubung ke angkasa.
“Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia
akan menjadi keturunan kalian….”
“Auzubillah!” terlompat kata dari mulut Rangga jatayuwesi .
Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati:
”Dasar pemberontak turunan pemberontak . Masa sejenis itu
mengawinkan orang? Tidak syah! Mengaku arca pula.
Munafik. Kufur.”
‘Tidak syah!” gumam raden sanggabuana bumikerta dalam
bahasa palawa . Sang adiputro hendak bermain-main dengan
hak dan hukum. Ya, ya, memang cerdik dia, nyi girah dengan
begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap
milik semua penduduk kediri . Mungkin kau sendiri yang
akan merampasnya kelak, adiputro . Dan kau juara gulat
yang sebodoh jatikerto g. Hanya badanmu saja yang besar.
Otakmu cuma sebesar biji korma kering.
“Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami.”
Dari bawah kursi, Sang Patih kediri mengangkat
sembah. lalu dengan suara pelahan: “Ampun, baginda tuanku raja
adiputro sesembahan patih , ada pun segala yang sudah baginda tuanku raja
ganjarkan benar belaka adanya. bawahan kediri sangat
memuja cinta yang murni, ya baginda tuanku raja . Dan bukan tanpa
bahaya nyi girah memilih suaminya.”
Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo,
membenarkan Sang Patih. lalu hening.
“Juga bukan tanpa bahaya bagi raden gelang-gelang . Ia pun sudah
menunjukkan kejantanan, baginda tuanku raja adiputro kediri sesembahan
patih . Ia sudah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau
bukan sebab pemurah baginda tuanku raja , bukan kekasih ia dapatkan,
namun ujung gada wesi .”
“Kau benar, Kakang Patih.”
“Ampun, baginda tuanku raja , adapun akan gadis ini, tidak lain dari
penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini
penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah
pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan.
Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan
mereka.”
Sebagian terbesar pengantar sumbangan, Laki-laki dan
wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka
bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah da
pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul lalu
datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan
minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh
tungku.
Di dalam rumah-rumah kediri Kota orang tua-tua
memerlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih-
Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikutserta
menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an
mereka sendiri.
“Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah
wanita utama seperti nyi girah . Untuk cintanya dia berani
hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di
bumi kediri . Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi,
sebab raga sudah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir.
Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri.
Malam itu nyi girah dan raden gelang-gelang memperoleh tempat sendiri-
sendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut
bagi dua orang anak desa perbatasan.
nyi girah dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya
dengan seribu satu nasihat, memandikannya, dalam
jambang air bunga, memotongi bagian-bagian runcing dari
giginya, lalu memaraminya untuk memperoleh kan kulit
yang lunak dan berseri pada keesokan harinya.
Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya.
Ia berbahagia sebab dapat membahagian kekasihnya.
Selesai berparam, seorang nenek menyanyikan unt