Afghanistan dan Irak. Proyek besar-besaran AS untr.rk menjadikan agenda /perang melawan terorisme'sebagai agenda
utama dalam politik intemasional, terbukti kemudian lebih diarahkan unhlk mengejar apa yang mereka sebut sebagai "teroris Islam"
yang mereka nilai membahayakan kepentingan Barat, dan AS khususnya. Perkembangan politik internasional kemudian seperti bergerak menuju 'tesis'benturan peradaban yang dipopulerkan Huntington. Dunia diseret unhrk terbelah menjadi dua kutub utama: Barat dan Islam. Barat dicitrakan sebagai pembum teroris, sedangkan
Islam yaitu teroris atau yang proteroris (minimal dianggap tidak
bersikap tegas-tegas memustrhi teroris). Mengapa bisa demikian?
Seperti ditekankan Huntington, saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada musim semi tahun 2003, bahwa militan Islam
yaitu ancaman terhadap Barat. Kata Huntington, hams dibedakan
antara Islam militan dengan Islam secara Llmrlm. Islam militan adalah ancaman nyata terhadap Barat. Ia mengatakan, "...tetapi Islam
militan mempakan ancaman nyata bagi Barat melalui para teroris
dan negara-negara bajingan (rouge states) yang sedang bemsaha
mengembangkan persenjataan nuklir, serta cara-cara lairurya." Wacana benhlran peradaban antara Islam dengan Barat, pasca kagedi
WTC, 11 September 2001, semakin menghangat. Huntington mengklaim, bahwa peristiwa ihr menunjukkan kebenaran dari apa yang
selama ini dipopulerkannya tentang konflik peradaban.
Dalam hrlisannya di Majalah Newszoeek Special Daaos Edition
(200L) yang berjud:ul "Tlrc Age of Muslim WArs", Huntington mencatat: "Terjadinya kemungkinan 'benhlran peradaban' kini telah
hadir'. Ia juga menegaskan, "politik global masa kini yaitu zarrtatl
perang terhadap Muslim." Sebuah kesimpulan yang sebenarnya sangat terburu-buru, karena hanya didukung data-data kuantitatif yang
sederhana. Huntington misalnya, menunjuk fakta bahwa frekuensipeperangan kaum Muslim yang berperang satll sama lain atau perang melawan non-Muslim, jauh lebih banyak dibandingkan masyarakat dalam peradaban lain. "Peristiwa-peristiwa kekerasan Muslim
ihr dapat mengkristal menjadi suatu konflik peradaban utama antara Islam dengan Barat atau selain Barat," hllis Huntington.
T[rlisan Huntington di Nezuszot'ek ittt menegu-hkan kembali tesis
lamanya (clash of ciuilizations), dimana ia menekankan, bahwa konflik antara Islam dan Kristen-baik Kristen Ortodoks mauPun Kristen
Barat--yaitu konflik yang sebenamya.
Sedangkan konflik antara Kapitalis dan Marxis, hanyalah konflik yang sesaat dan bersifat dangkal.l
Data kuantitatif yang dipaparkan Huntington, tentang banyaknya konflik yang melibatkan, memang sebuah fakta. Tetapi, Huntington tidak menyebut, mengapa kaum Muslim ittr terlibat konflik,
dan darah siapakah yang banyak tertumpah? Darah kaum Muslimkah atau justrt kaum Muslim yang banyak menjadi korban pembantaian di mana-mana? Analisis model Huntington semacam ini
yang tidak menonjolkan peran Barat sebagai akar dan sebab dari
berbagai konflik di dunia intemasional mtrncul karena posisi Huntington sebagai penasihat politik luar negeri AS dan menuiukan
analisisnya sebagai bahan pengambilan kebijakan politik luar negeri
negara adidaya ihr. Dalam dialog dengan Anthony Giddens tersebut, Hrrntington menyebut data dari MajalahTlrc Economist,yang
memaparkan, bahwa dari 32 konflik besar yang terjadi pada tahun
2000, lebih dari dua pertiganya yaitu konflik antara Muslim dengan
non-Muslims. Karena itu, kata Huntington, Eropa danAmerika perlu
menerapkan strategi bersama untuk menghadapi ancaman-ancaman
terhadap masyarakat dan keamanan mereka dari militan Islam. Ia
menekankan perltrnya dilakukan preemptiae-strike (serangan dini)
terhadap ancaman dari kaum militan Islam itu. Kata Huntington,
"Saya perlu menambahkan bahwa sahr strategi yang memungkinkan dilakukannya serangan dini terhadap ancaman serius dan mendesak yaitu sangat penting bagi AS dan kekttatan-kekuatan Barat
pada saat ini. Musuh kita yang utama yaitu Islam militan."
Nasihat Huntington itu terbukti efektit dan telah diaplikasikan oleh
pemerintah AS. Pada awal Juni 2002, doktrin preentptiae strike
(serangan dini) dan defensiae interoentiorz (intervensi defensif) secara
resmi diumumkan. Harian Kontpns, (14]uni 2002),menulis tajuk rencana berjudul "AS Kembangkan Doktrin Ofensif,Implikasinya Luas".
Melalui doktrin ofensifnya yangbaru.. ini, AS telah mengubah secara
radikal pola "peperangan" melawan "muslltr". Sebelumnya, di masa
Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola
contointmenf (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh bam-yang diberi nama teroris--AS menggunakan
pola preentptiae strike dan de,fensiae interaention, dengancara membabat dulu semrla negara yang dianggap berpotensi membela dan
melindungi teroris, urusan hukum intemasional belakangan.
"Meski metode containtmerzf dan deterrence tidak akan dihapus,
strategi preentptiae attnck dan defensiue interaertion pertama-tama
akan digunakan untr.rk menghadapi kaum teroris atau negara-negara musuh, yang memiliki senjata kimia, biologis, dan nuklir. Dengan
doktrin keamanan yang baru itu, AS akan merasa leluasa menyerang orang atau organisasi yang dipersepsikan sebagai teroris, atau
negara yang dipersepsikan sebagai musuh yang memiliki senjata berbahaya seperti senjata kimia, biologis, atau nuklir," demikian tulis
Kontpas. Dalam bahasa yang lebih lugas, doktrin 'serangan dini' ini
ibarat "membunuh tikus di lobangnya".Jadi, tidak membiarkan dan
memberi kesempatan tikus unhrk berkembang dan menyerang.
Dari kasus doktrin 'preentptiae strike'ini tampak bagaimana pola pikir'bahaya Islam' yang dikembangkan ilmuwan--dan sekaligus
penasihat politik Barat--seperti Huntington, berjalan cukup efektif.
Dengan doktrin ihl, AS dapat melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, yang dikehendaki, meskipun tanpa melalui persetujuan atau mandat PBB. Pola pikir Huntington, bahwa 'Islam' lebih
berbahaya dari 'komunis' juga tampak mewarnai kebil'akan politik
dan militer AS tersebut. Padahal, jika dipikirkan dengan serius, manakah yang lebih hebat kekuatannya, apakah Osama bin Laden atau
Uni Soviet? Mengapa untuk menghadapi negara adikuasa yang memiliki kekuatan persenjataan hebat setanding dengan AS, hanya digtrnakan kebijakan' containtment' dan' deterrence', sedangkan unfuk
menghadapi--istilah Huntington--'militan Islam' hams digunakanstrategi 'preett4)tioe strike'? Bahkan, saat melawan Uni Soviet dan
sekuhr-sekutunya yang memiliki persenjataan dan tentara sebanding dengan AS dan sekuhr-seklrtunya, hanya digunakan istilah
"Perang Dingin" (Cold War). Sedangkan unhrk menghadapi 'Islam
militan' yang tidak memiliki persenjataan dan negara seperti Uni
Soviet dan kawan-kawan, digunakan istilah "Perang" (War) tanpa
embel-embel "Dingin".
Di sini tampak, bahwa 'ancaman Islam'secara fisik-bukan dari
segi pemikiran dan budaya--telah dimitoskan oleh para ilmuwan
garis keras seperti Huntington, sehingga gejala paranoid terhadap
Islam dan kaum Muslimin, tampak dalam berbagai kebijakan negaranegara Barat. Sikap Islamofobia merebak dengan mudah di kalangan masyarakat Barat. Pasca peristiwa 11 September 2001., gejala ini
makin menjadi-jadi. Masalahnya bukanlah terletak pada aspek kajian ilmiah yang jujur dan adil, tetapi kajian dan analisis yang memunctrlkan "Islam militan sebagai musuh utama Barat", dimanfaatkan untuk memberikan legitimasi berbagai kebijakan politik dan
militer AS dan negara-negara Barat lainnya, yang ujungnya yaitu
mengejar kepentingan-kepentin gan (interesfs) politik, bisnis, ekonomi, dengan menggunakan jargon-jargon demokrasi, liberalisasi, dan
Hak Asasi Manusia.
Memang, dalam buku The Clash of Ciailizntiorzs Huntington sudah memaparkan dengan cukup gamblang bagaimana sejarah, perjalanan, dan masa depan hubungan Islam dan Barat. Islam dan Barat
yaitu dua peradaban yang memang berbeda secara ftindamental.
Disamping, tentu saja, banyak persamaan antara keduanya. Huntington menekankan bahwa Barat yaitu peradaban yang unik, yang berbeda dengan peradaban lain, yang memiliki unsur-Lrnsur yang unik
pula, seperti Kristen, pluralisme, dan individualisme. Ia menulis,
"Barat berbeda dengan peradaban lain tidak dalam caranya berkembang melainkan dalam karakternya unik yang dimiliki oleh
nilai-nilai dan instihrsi-instihrsi yang dimilikinya. Hal mana
mencakup temtama kekristenannya, pluralismenya, individualisme, dan ahlran hukumnya, yang memungkinkan Barat
menemukan modernitas, meluas ke selumh dunia, dan membuat iri masyarakat lainnya.Karena ihr, Huntington mengkritik orang-orang Barat yang
menganggap antara Islam dan Barat tidak memiliki persoalan, kecuali dengan kelompok Islam ekstrim. Memrrut Huntington, "Seribu empat ratus tahun mentrnjukkan yang sebaliknya. Hubtmgan antara Islam dan Kristen, baik Ortodoks maupun Barat, sering diselimuti badai. Mengutip guru besarnya, Bemard Lewis, Huntington juga mencatat, "Selama hampir seribu tahun, sejak pendaratan bangsa
Moor di Spanyol sampai penyerbuan bangsa Tirrki ke Wina tahun
1,529, Eropa tems-menerus berada dalam ancaman Islam." Islam
yaitu sahr-sahrnya peradaban yang telah menempatkan keselamatan Barat dalam keraguan, setidaknya dua kali dalam sejarah.3
Anehnya, berbagai tulisan Huntington tentang Islam secara umrlm
sebagai ancaman terhadap Barat sangatlah berbeda dengan yang dikatakannya sendiri saat berdebat dengan Anthony Giddens. Ketika
ihl Huntington bemsaha hanya menyebut "Islam militan" sebagai
ancaman.
Dalam bukunya Tlrc Closlt of Ciailizatioru Huntington menguraikan beberapa faktor yang telah dan akan meningkatkan panasnya
konflik antara Islam dan Barat. Diantaranya ialah: Pertama, perhlmbuhan penduduk Muslim yang cepat telah memunculkan pengangguran dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di
kalangan kaum muda Muslim. Kedua, Kebangkitan Islam (lslanic
Resurgerrce) telah memberikan keyakinan bam kepada kaum Muslim
akan keistimewaan dan ketinggian nilai dan peradaban Islam, dibanding nilai dan peradaban Barat. Ketiga, secara bersamaan, Barat
bemsaha mengglobalkan nilai dan institr.rsinya, unhrk menjaga superioritas militer dan ekonominya, dan hrmt campur dalam konflik
di dunia Muslim. Hal ini telah memicu kemarahan diantara kaum
Mtrslim. Keempat, mntuhnya komunisme telah menggeser musuh
bersama diantara Islam dan Barat dan masing-masing merasa sebagai ancaman utama bagi yang lain. Kelima, meningkatnya interaksi
antara Muslim dan Barat telah mendorong perasaan bam pada masing-masing pihak akan identitas mereka sendiri, danbahwa mereka
berbeda dengan yang lain. Bahkan, papar Huntington, dalam kedua
masyarakat--Islam dan Barat--sikap toleran terhadap yang lain telahmerosot tajam pada dekade 1980-an dan 1990-an.a
"Langgengnya" konflik antara Islam dan Barat, lanjrrt Huntington, disebabkan adanya perbedaan hakikat dari Islam dan Barat serta
peradaban yang dibangrm atas dasar keduanya. Pada sahl sisi, konflik antara Islam dan Barat, mempakan produk dari perbedaan, terutama konsep Muslim yang memandang Islam sebagai uay of life
yang menyahrkan agama dan politik. Konsep ini bertentangan dengan konsep Kristen tentang pemisahan kekuasaan Ttrhan dan
kekuasaan Raja (sekularisme). Pada sisi lain, konflik itu juga mempakan produk dari persamaan. Keduanya merasa sebagai agama
yang benar; keduanya sama-sama agama misionaris yang mewajibkan pengikutnya unhrk mengajak "orang kafir" agar mengikuti ajaran yang dianutnya; Islam disebarkan dengan penaklukan-penaklukan wilavah dan Kristen ptln juga demikian; keduanya juga mempunyai konsep "jihad" dan "crusade" sebagai perang suci.s
Sikap Muslim terhadap Barat, lanjut Huntington, juga cendemng melihat Barat sebagai ancaman. Mohammed Sid-Ahmed, seorang wartawan terkemuka Mesif, mencatat, "Tidak diragukan lagi,
kini sedang terjadi benhrran (claslt) yang semakin membesar antara
Etik Judeo-Kristen Barat dengan gerakan kebangkitan Islam, yang
kini membentang dari Samudera Atlantik di sisi Barat sampai Cina
di sisi Timnr." Tahun L992, seorang tokoh Islam India menyatakan,
"Dapat dipastikan, konfrontasi terhadap Barat akan datang dari dunia Islam. Dan ihr yaitu perjalanan dunia Islam, dari Maroko sampai Pakistan, bahrn a perjuangan mentrju pembentukan Thta Dunia
Bart akan dimulai." Sid-Ahmed juga mengutip seorang pengacara
Tirnisia terkemuka yang tak disebut namanya bahwa perjuangan sedang berlangsrmg. "Kolonialisme mencoba memntuhkan seluruh
tradisi kulhrral Islam. Saya bukan seorang Islamis. Saya tidak berpikir apa yang terjadi yaitu konflik antaragama, tetapi yang terjadi yaitu konflik antarperadaban," ujarnya seperti dikutip juga oleh
Huntington. Di mata Muslim, yang moderat sekali pun, Barat bukanlah hal yang hams dicontoh. Di masa lalu, kata Huntington,
hampir tidak ada pemimpin Muslim yang menyatakan, "Kita hams
menjadi Barat (we nust uestenize)." Ia mencontohkan buku /s/arz
nnd Democrncy karya seorang feminis Maroko Fatima Mernissi yang
oleh Barat dipuji sebagai karya modem dan liberal. Di berbagai bagian bnku itu, Barat tetap digambarkan sebagai "militeristik',,,,irnperialistik", dan menimbulkan trauma bagi negara lain melalui ,,teror
kolonial". Individualisme, yang menjadi simbol utama budaya Barat,
yaitu sumber dari selumh persoalan.6
Dengan cara pandang Huntington seperti ihr, bisa dipahami,
bagaimana sensitifnya Barat dalam melihat perkembangan dunia
Islam, dalam berbagai bidang. Sikap Barat yang begitu sengit terhadap program nuklir dan senjata-senjata berat di dunia Islam, dibandingkan dengan isu nuklir di negara Yahudi atau komunis, menunjukkan, sensitivitas yang sangat tinggi terhadap dunia Islam.
Maka, logis, jika seorang Huntington jauh-jauh hari mengingatkan
Barat agar mewaspadai Dunia Islam, termasuk perkembangan ekonominya, khususnya yang berpotensi menggoyang dominasi Barat.
Huntington tentang Indonesia dan Malaysia
Tahtrn 7996, Htrntington mengingatkan Barat, "Jika Malaysia
dan Indonesia melanjutkan perkembangan ekonominya, keduanya
akan menyajikan "model Islam" sebagai tandingan terhadap model
Barat dan Asia." Huntington meramalkan, pada dekade-dekade
mendatang, perhlmbuhan ekonomi Asia akan memberikan efek
yang besar terhadap tatanan internasional yang didominasi Barat,
dengan perhrmbuhan Cina. Jika proses ini berlanjut, maka akan
terjadi pergeseran besar dalam soal power di antara peradabanperadaban. Sementara itu, perhrmbuhan penduduk Muslim akan
merupakan kekuatan destabilisasi, baik bagi masyarakat Muslim
maupun tetangga-tetangga mereka. Jumlah besar generasi muda Islam yang berpendidikan menengah, akan memperkuat kebangkitan
Islam dan mempromosikan militansi lslam, militerisme, dan imigrasi. Sebagai hasilnya, maka pada awal abad ke-21, tampaknya dunia akan menyaksikan kebangkitan kekuatan non-Barat dan benhrran (clnslt) antara peradaban non-Barat dengan peradaban Barat, atau
antar peradaban non-Barat.Apa yang menarik dari berbagai ungkapan Huntington tersebut, bukanlah pada soal nilai ilmiah atau tidaknya pernyataan ihr.
Tetapi bagaimanana aplikasi dan fakta yang terjadi di lapangan, menyusul berbagai prediksi dan analisis ihr. Huntington menjadikan
bukunya memang lebih sebagai panduan untuk para pengambil
kebijakan, ketimbang sebagai sebuah karya ilmiah. Secara ilmiah,
banyak yang bisa dikritik dari pernyataan tersebut. Misahrya, apa
hubungan antara perhrmbuhan penduduk Muslim dengan militansi? Dalambanyak kasus, justn terbukti,banyaknya penduduk Muslim yang tidak terdidik dan tidak mendapat pekerjaan yang layak,
justm menjadi ajang pemsakan moral dan penjauhan mereka dari
nilai-nilai Islam. Jika pernyataan ini dilihat sebagai sahr proposal--
unhrk mencegah militansi Islam di kalangan generasi muda Muslim
--bisa dipertanyakan, apakah ada htrbttngan antara penyebaran berbagai jenis budaya Barat, narkotika, pornografi, terhadap gerenasi
muda Muslim di selumh dunia? Biasanya, kajian tentang penyebaran budaya Barat di kalangan kaum Muslim dikaitkan dengan masalah penyebaran produk ekonomi Barat.s
Tetapi, disamping wacana politik-ekonomi, Huntington juga
membuat wacana bam yang mengingatkan Barat, bahwa jika generasi muda Muslim tidak 'diperhatikan' maka mereka akan menjadi
militan, dan memperkuat kebangkitan Islam, yang akan mengancarn
Barat. Dengan logika tambahan dari Huntington, bisa dipahami jika
kemudian ada program besar-besaran dari pemerintah Barat terten-
ttr untrrk melakukan Westerrisnsi, sekrilnrisasi, dan libernlisnsi di dunia
Islam. Itu bisa dilihat, misalnya, dari anhrsiasme AS dalam mendukung gerakan-gerakan Liberal Islam di berbagai negara Muslim.
Program westernisasi dilakukan untuk menekan muncul dan hlmbuhnya orang-orang atau kelompok yang dianggap berpotensi
menentang Barat. Dengan sifatnya yang sangat pragmatis-sekularistik, terlepas dari nilai-nilai moral agama, maka standar yang digunakan Barat akan bersifat sangat fleksibel dan situasional. Di masa Perang Dingin, misalnya, semua kelompok yang menentang komunisme dan mendukung kepentingan Barat/AS didukung, meskipun
berasal dari kalangan Islam, seperti kelompok Osama bin Laden.
Bahkan, di masa Pasca Perang Dingin pun, AS tetap memberikan
dukungan terhadap rezim Arab Saudi, meskipun sering disebutkan
bahwa Wahabisme yang diterapkan AS yaitu mempakan sumber
terorisme.e
Tidak jelas benaq, bagaimana pengamh paparan Huntington
tentang perhrmbuhan ekonomi Islam dan Asia terhadap kebijakanBarat atau AS di lapangan. Yang Pasti, pertengahan tahun 1997, setahtrn setelah buku The Clash of Ciailization diluncurkan, ekonomi
Thailand, Malaysia, dan Indonesia dilanda krisis ekonomi yang hebat, dimulai dari aniloknya nilai mata uang. Konon, unhrk menShancurkan perekonomian sahr negara, mulailah dari menghancurkan nilai mata uangnya dulu. Perdana Menteri Malaysia Mahathir
Muhammad menuduh George soros, seorang Yahudi pemain valas,
sebagai aktor utama krisis ekonomi Asia. Paul Krugman, ekonom
terkenal dari MIT (Massachussets Institute of Technology), menyebutkan bahwa dalam krisis Asia, konspirasi dilakukan oleh pemerintah AS dan sekuhrnya dengan George Soros, pemilik Quantum
Frmd.As dan sekutunya yang khawatir akan pertumbuhan ekonomi
Asia menguhrs Soros yang Punya kompetensi untuk mengSoyang
pertumbuhan itu. Indonesia yang meniadi sasaran Soros terbukti tidak berdaya menghadapi pengurasan devisa akibat keiahrhan nilai
tlrkar mpiah terhadap dolar AS.10
Siapa Htrntington? Ilmuwan politik dari Harvard University ini menulis dalam pengantar btrkunya Tlrc Clnsh of Ciailizations",
"Buku ini tidak dimaksttdkan sebagai karya
ilmiah sosial. Ia dimaksttdkan sebagai penafsiran atas evolusi potitik global sesudah
Perang Dingin. Ia dipersembahkan unhrk
memberikan bingkai kerja, paradigma dalam memandang politik global yang akan
bermanfaat bagi para pakar juga para pembuat kebi;'akan.,, penulisan btrktr itu dibiayai oleh lorut M. olin Fotmdation dan smitlr
Richnrdson F oundation Meskipun jabatan-jabatan prestisius di bidang
akademis pernah disandangnya, Huntington juga aktif terlibat dalam
perumusan kebijakan luar negeri AS. Ia pernah menjabat Ketua Haranrd Acsderny of International nnd Area sttdies, direktur Tlrc Center for International Affnirs, dan Ketua Depnrtment of Gooernment. Tahtur
1986-1.987 ia menjadi President of the American political science Associntion. Pada kurun tahun 1977 dan L97g ia bekerja di Gedung putih
sebagai Coordinator of seatrity plarutingfor tlrc National secttrity Cotmcil. sejtrmlah buku yang telah dihrlisnya antara lain: The soldier snd
tlrc state: Tlrc Tlrcory nnd politics of Ciuil-Military Relations (195z), The
comnton Defense: strategic progrnnts in Nntional politics (7967), politic,l
order in Changing societies (1968), American politics: The promise of
Dislmrntony (L98L), Tlrc Third wnue: Democratization in tlrc Late Tuentietlt Century (1991),The clnsh of Ciuilizntions and tlrc Renmking of world
order (1996), and who Are we? The Clnllenges to Americn's National
Identity (2004).
Buktr terakhir Huntingtonwlrc Are we?: Tlrc Clnllenges to Anterica's National ldentity (New york: simon & schust er,2o04),memberikan gambaran yang lebih tegas tentang pemikirannya tentang Islam
dan Barat. Jika di dalam Tlrc Clash of Ciailizntions iamasih tidak terlalu tegas menyebut "rslam" sebagai alternatif musuh bam bagi Barat, maka dalam bukunya, who Are we? ia menggunakan bahasa
yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca perang Dingin
yaitu Islam--yang ia tambah dengan predikat "militan". Namun,
dari berbagai penjelasannya, definisi "Islam militan" melebar ke
mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga
definisi ihr menjadi kabur dan menggiring pembaca untuk mengambil sikap praktis terhadap umat Islam secara keselumhan.
Dalam wln Are we? Huntington menempatkan satu sub-bab
berjudtrl "Militant lslam os Anterica", yang menekankan bahwa saat
ini, Islam militan telah menggantikan posisi uni soviet sebagai musuh ntama AS.11 Dalam buku ini Httntington menyebut, Islam militan bukan hanya Osama bin Laden atau kelompok al-Qaeda. Tetapi,
banyak kelompok lain yang bersifat negatif terhadap AS. Kata Huntington, sebagaimana dilakukan oleh Komunis Intemasional dulu,
kelompok-kelompok Islam militan melakukan protes dan demonstrasi damai, dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Mereka juga melakukan kerja-kerja amal sosial.l2
Dengan definisi dan penggambaran seperti itu, banyak kelompok Islam yang dimasukkan ke dalam kategori militan, dan layak
diserang secara dini. Tanpa menampilkan sebab-sebab dan fakta
yang komprehansif, misahrya, Huntington menulis, bahwa selama
beberapa dekade terakhir, kaum Muslim memerangi kaum Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Yahudi, Budha atau Cina.13
Ia tidak menjelaskan, apakah dalam kasus-kasus ihr kaum
Muslim diperangi dan dizhalimi, atau Muslim yang memerangi. Dalam menyinggung kasus Bosnia, misahrya, dia sama sekali tidak memaparkan bagaimana kaum Muslimin menjadi korban kebiadaban
yang tiada tara yang dilakukan bangsa Kristen Serbia. Tidak pula
diungkapkannya, bahwa ketika ihr, AS dan sekuhlnya menjadi penonton yang baik pembasmian umat Muslim. Samantha Power, dalam btrktrnya "A Problent from Hell: Americn and Tlrc Age of Genocide"
(London: Flamingo, 2OO3), membongkar habis-habisan sikap tidak
peduli As terhadap praktik pembasmian umat manusia di berbagai
tempat, termasuk di Bosnia. Buku ini memenangkan hadiah jurnalistik Pulitzer tahun 2003. Dalam kasus Bosnia, ttrlis Samantha, AS
bukan hanya tidakbemsaha menghentikan pembasmian etnis Muslim, tetapi malah memberi jalan lapang kepada Serbia untuk melaksanakan kebiadaban mereka. Unhrk Bosnia, Samantha yang men;'adi
saksi berbagai kebiadaban Serbia di Bosnia, menulis judul "Bosnia:
No More than Witnesses nt a Funeral".sebagaimana ilmuwan "neo-orientalis" lainnya, seperti Bernard
Lewis, Huntington juga tidak mau melakukan kritik intemal terhadap kebijakan AS yang imperialistik. Berbeda secara kontras denga.
ilmuwan-ilmuwan Amerika semacam Noam Chomsky, paul Findley, dan Edward said. Ia tidak mengakui bahwa kebijakan AS yang
membabi buta mendukung keke;'aman dan penjajahan Israel yaitu
kelim dan menjadi satu sebab penting hrmbuhnya ketidak-pllasan
dan kemarahan kaum Muslim dan umat manusia. Ia hanya ma* menunjukkan bahwa Islam yaitu potensi rnusuh besar dan bahaya
bagi Barat dan AS khususnya. Ia menamp lrkan polling-polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan, sebagian besar kaum Muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Misal, sebuah pollirtg di
sembilan negara Islam, antara Desember 2001-Janua ri zoo2,menampilkan realitas opini di kalangan Muslim, bahwa AS yaitu ,,kejam,
agresif, sombong, arogan, mudah terprovokasi dan bias dalam politik luar negerinya."ls
Huntington sama sekali tidak menampilkan fakta bahwa kebencian masyarakat Barat (Eropa dan rakyat AS sendiri) terhadap
kebijakan-kebijakan politik AS juga sangat besar. Bahkan, jauh lebih
besar dari apa yang terjadi di katangan Muslim. Di dunia Islam, tidak ada demonstrasi besar-besaran diikuti ratusan ribu sampai jutaan orang dalam menentang AS seperti yang terjadi cri berbagai
negara Eropa dan di dalam As sendiri. Banyak ilmuwan dan tokoh
AS, seperti Chomsky, william Brum, yang tanpa ragu-ragrl memberi
jtrlukan AS sebagai 'negara teroris terkemuka', ata, n rogrrc state.
Huntington dengan lums bersikap sangat tidak ilmiah dan berteori,
"Retorika perang ideologi Amerika terhadap komunisme militan telah beralih menjadi perang agama dan kebudayaan terhadap Islam
militan."16
Skenario Neo-konservatif
Huntington, Bernard Lewis, dan kawan-kawannya dari kalangan ilmuwan neo-konservatif, tenrs berkampanye agar negara-negara
Barat lain juga mengikuti jejak AS dalam memperlakukan Islamsebagai alternatif musuh utama Barat, setelah komunis. John vinocrrr, dalam artikeinya beritrdul "Trying to ptrt lslnm on Europe's figenda" ,
(Internatiorttl Hernld Tribune,2l Septemb er 2004), mencatat, ""'Tetapi
Huntington mendesak sihrasi berhadap-hadapan antara Eropa dan
Islam menjadi lebih parah." skenario inilah yang dirancang kelompok "Neo-konservatif" di AS, yang berang8otakan Yahudi-Zionis,
Kristen ftindamentalis, dan ilmuwan neo-orientalis.
Tentang peran kelompok neokonservarif dalam perumusan
kebijakan luar negeri AS dapat dilihat buku Tlrc High Priests of war
karya Michel Colin Piper (washington DC: American Free Press,
2OO4). Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah As terjadi
dominasi politik yang begihr besar dan mencolok oleh'tokoh-tokoh
pro-Israel' seperti di masa Presiden George w. Bush. sebagian besar
anggota neo-kon yaitu Yahudi. salah satu prestasi besar kelompok
ini yaitu memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun sebagian
elit militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya. Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis di As
dengan menguraikan sahr persahr latar belakang dan tokoh-tokoh
yang terlibat dalam konspirasi neokonservatif ini, seperti Richard
perle, william Kristol, Donald Rumsfeld, Pattl wolfowitz, Rttpert
Murdoch, juga ilmuwan dan kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammet dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis
seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye. Cengkeraman
atau pembajakan kelompokneo-kon terhadap politik AS sebenarnya
meresahkan banyak umat manusia. Mereka benrsaha memaksa peradaban dunia ke sebtrah "Perang Global" melawan Islam'
Irak yaitu kasus penting. Pada 24 Oktober 20O2-beberapa
bulan sebelum serbuan AS ke Irak-Michael Kinsley, seorang penulis
Yahudi Liberal mengibaratkan besarnya pengamh Israel dalam rencana serangan AS terhadap lrak, sebagai "gaiah dalam ruangan"'
"setiap orang melihatnya (pengamh Israel), tetapi tidak seorang pun
rnenyebutkantrrya."TT Kinsley tidaklah berlebihan. Para penulis terkenal seperti Paul Findley, Noam Chomsky, sudah berulangkali
mengingatkan bahaya dominannya lobi Yahudi bagi masa depan
AS. Hendrick Smith, pemenang Hadiah pulitzer, dalam bukunya
Tlrc Power Games: How washingtort works,juga mengungkap sederet
fakta tentang peranAIPAC (American-Israeli public Affairs Committee), dalam perumusan kebijakan AS terhadap Israel.
Kini, sosok "gajah dalam rLrangan,, ihr diperjelas lagi oleh
Michel Colin Piper, dalam bukunya, Tlrc High priests of war. piper
menulis, Perang terhadap Irak secara sistematis dirancang sekelompok kecil orang kuat dan memiliki jaringan dengan elemen-elemen
Zionis sayap kanan. "di tingkat atas pemerintahan Bush, didampinEi dan didukung secara terampil oleh orang-orang beqpikiran
sama di organisasi-organisasi kebijakan publik, kelompok pemikir,
penerbitan serta lembaga lainnya, yar.g sahl sama lain saling berh,bungan kuat, dan sebaliknya juga terkait dengan kekuatan-kekuatan "likudnik" (partai Likud pimpinan Ariel sharon) garis keras
di Israel."18
Buku Piper ini menarik karena ditulis dengan paparan faktual
yang ringkas dan lugas, disertai foto-foto para tokoh neo-kon. Menurut Philip Golub, seorang wartawan dan dosen di University of
Paris vIII, kelompok ini telah berhasil menjadikan presiden Bush sebagai kendaraan untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada
unilaternlistn, pertnanent mobilisation, d.an preaentiae utar.Te
Apa yang ditulis oleh piper kemudian seperti menjadi kenyataan. Itu bisa dilihat dengan apa yang kemudian dilakukan oleh AS
terhadap suriah,Iran, dan sebagainya. sebelumnya, tahun r9g4,piper strdah menggegerkan AS dengan bukunya, Finnl Jttdgentent,
yang membongkar peran agen rahasia Israel, Mossad., dalam pem_
bunuhan John F. Kennedy. piper berkeriling ke berbagai negara
untuk menjelaskan isi buku yang di AS tak dapat dijual di toko-toko
buku utama. Pada Maret2oo3, piper diundang berceramah di Znyed
Center for Coordination and Follow-lJp, AbtDhabi. Ceramahnya mendapat liputan luas di media-media Arab. Ketika ihr, menjelang serangan AS atas Irak, Piper sudah mengingatkan, bahwa serangan
atas Irak dilakukan atas pengamh lobi Israel, dalam kerangka mewujudkan impian kaum Zionis unfuk membenhrk "Israel Raya,,(Greater lsrael/Eretz Yisrael). "Presiden Bush nampaknya dikendalikan oleh fundamentalisme Kristen dan pengaruh kuat lobi Yahudi,"
kata Piper.2o
SeranganAS atas Irak mempakan tahap awal dari Perang Besar
yang sejak jauh hari dirancang oleh kelompok neo-kon ini. Ari Shavit, menulis di koran Ha'aretz (9 April 2003),bahwa perang atas Irak
disusun oleh 25 intelektual--sebagian besar Yahudi--yang mendorong
Presiden Bush unhrk mengubah wacana seiarah. Tulisan Shavit menyiratkan sahr fenomena ironis dalam tradisi politik AS. Betapa mayoritas rakyat di negara adikuasa yang begitu hebat kekuatan militemya, ternyata tidak berdaya menghadapi cengkeraman kelompok
minoritas neo-kon yang didominasi Yahudi.21
Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian kelompok neo-kon untuk menciptakan sebuah "imperium
Amerika" sebenarnya ditentang oleh sebagian besar elit perumus
kebijakan luar negeri AS dan mayoritas rakyat AS. Lind jttga menyebut, bahwa koalisi Bush-Sharon iuga berkaitan dengan keyakinan,
bukan karena faktor kebiiakan. Ihr bisa dilihat dari latar belakang
Bush yang berasal dari keluarga Kristen fundamentalis. Kata Lind,
"Hanya ada sedikit keraguan bahwa ikatan antara George W. Bush
dan Ariel Sharon lebih didasari keyakinan, bukan kepentingan. Sebagaimana Partai Republik yang berbasis Kristen Zionis, George W.
Brrsh yaitu juga seorang fundamentalis Selatan yang taat-"22
Kelompok Kristen fundamentalis menggunakan legitimasi ayatayat Bible dalam mendukung Israel. Kalangan Kristen ini membenarkan hak historis Israel atas Palestina dengan menggunakan
dalil Bible, Kitab Kejadian L2:3.
"Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau,
dan mengutr,rk orang-orang yang menguhlk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."
Abdulhay Y. Zalloum dalam buku Painting Islam as The New
Enenty, (Kuala Lumpur: Crescent News: 2003) memaparkan datadata penting, bahwa Huntington sesungguhnya mentpakan bagian
dari jaringan neokonservatif, yang dikenal dengan istilah "shndoru
Power structure". Doktrin "the clash of civilizations" secara resmi diterima sebagai kebijakan politik pada Konvensi platform partai Republik George w. Bush di Philadelphia, 3 Agushrs 2002. Banyak
agenda penting disepakati dalam konvensi tersebut. Diantaranya,
trnilateralisme AS dan statusnya sebagai tlrc only super poTuer hams
tetap dipertahankan; ditetapkannya the rogue states (negara-negara
bajingan) sebagai musuh baru--tanpa memberikan definisi apa yang
dimaksudkan dengan rogue state. Definisinya diserahkan kepada
imajinasi dan ketentuanTlrc slmdow power;juga dipuhrskan bahwa
rezim saddam Hussein harus diganti.23 Tidak semlra agenda kelompok neo-kon ini telah tercapai. MisaLrya, rencana mereka unturk
memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jemsalem.
Getah berbagai kepuhrsan dalam konvensi yang segera dilancarkan dengan kecepatan tinggi sejak kepresiden pertama Bush
tahun 2000 telah banyak memakan korban konyol. Bahkan tokohtokoh Muslim yang selama ini dianggap "moderat,, dan sering dipuji-puji media Barat sendiri pun telah jadi korban. Dr. Thariq
Ramadhan, ilmuan studi Islam yang berkedudukan di swiss dan
Yusuf Islam, penyanyi dan da'i terkenal di London, dicegah unhrk
memasuki Amerika serikat pada tahun 2004. Begitu juga ribuan
warga Muslim yang menerima perlakuan tidak manusiawi. Dalam
sub-bab berjudul "Tlrc Senrclt for nn F-*tenty" dari buku Wlrc Are We?
Huntington mencatat, bahwa pasca Perang Dingin, AS memang melakukan pencarian musuh bam, yang kemudian menemukan musuh
baru bernama "Islam militan", setelah peristiwa WTC. Huntington
menulis,
"Sebagian bangsa Amerika kemudian memand.ang kelompokkelompok fundamentalis Islam, atau lebih luas lagi Islam politik, sebagai musuh, yang terwakili di Irak, Irary Sudan, Llbya,
Afghanistan di bawah Thliban, dan pada kadar yang lebih sedi
kit di negara-negara Muslim lainnya, sebagaimana juga kelompok-kelompok teroris Islam seperti Hamas, Hizbullah, Jihad
Islam, dan jaringanAl-Qaeda.... Jurang pemisah kulhlral antaraIslam dan Kristen Amerika serta Anglo-Protestanisme memaksa kedudukan Islam sebagai musuh. Dan pada 11 September
2001, osama bin Laden telah mengakhiri pencarian Amerika.
Serangan-serangan terhadap New York dan Washington diiktrti
dengan perang terhadap Afghanistan dan Irak serta perluasannya bempa "Perang melawan terorisme" menjadikan Islam militan sebagai musuh utama abadke-21."2a
Di sini, tampak, bahwa tentu sangatlah sulit dunia Islam menerima sepenuhnya standar As dalam soal Islam militan dan juga
terorisme. Dunia Islam, misalnya, tetap menolak memasukkan Hamas atau Jihad Islam di Palestina, sebagai kelompok teroris, sebab
mereka melakukan perjuangan membebaskan negeri mereka dari
penjajahan Israel.
Btrku Who Are We? memang masih mempakan kelanjutan garis
berpikir Huntington dalam soal lslam dari buku The Clash of Cittilizations. Berbagai tesis Huntington sudah mencamPuradukkan fakta,
data ilmiah, dan skenario politik demi memelihara kedudtrkan "Kekaisaran Amerika" di muka bumi- Dalambanyak kajian serius, buku
Huntington--meskipun sangat populer-tidak dijadikan rujukan ilmiah tentang peradaban. Hal yang sepenuhnya disadari oleh Huntington sendiri. Yang penting baginya, "terpilihnya" kembali George
W. Bush untuk periode kedua, pada pemilu Nopember 2004, telah
memastikan bahwa karya-karya tidak ilmiah penasihat politik Gedung Putih ihr masih akan membimbing bangsa Amerika ke dalam
kebtrtaan mgnuju Thta Dunia Baru (The New World Order)-
Sebelum Huntington, ilmuwan Barat yang dikenal mempo_
pulerkan wacana clash of ciailizstions antara peradaban
Islam dan Barat, pasca Perang Dingin, yaitu Bernard
Lewis, guru besar ketumnan yahudi di princeton University. seperti
halnya Moshe Gill, s.D. Goitein, stanford f. shaw, dan sebagainya,
Bernard Lewis dikenal sebagai penulis yang sangat produktif dan
orientalis kawakan dalam bidang sejarah Islam dan yahudi. Lewislah yang mula-mula mempopulerkan wacana clash of ciailizntions,
melalui artikehrya berjudul "Tlrc Roots of Muslim
Rage" di jumal Atlantic Monthly, September 1990.
Artikel Lewis ini mempakan persiapan untuk
menenfukan siapa "musuh baru,, Barat pasca
Perang Dingin.
Banyak cendekiawan merumuskan, bahwa
trnsur pokok suatu peradaban (ciailizntion) yaitu
agama. Agama, kata mereka, yaitu faktor ter_
penting yang menenhrkan karakteristik suahr
peradaban. Sebab ihr, Bernard Lewis menyebut peradaban Barat dengan sebutan "Cltristian Ciailizatiot't", dengan tlnsur utama agama
Kristen. Huntington juga menttlis, "Agama mempakan karakteristik sentral yang menenhrkan peradaban." Menttrttt Christopher
Dawson, " Agama-agama besar merupakan pondasi dari peradabanperadaban besar sebagai kelanjutannya." Di antara empat peradaban besar yang masih eksis--Islam, Barat,India, dan Cina, mentrn.t
Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristian, Hindu, dan
Konghucu.l
Konflik Islam-Barat (Kristen) menurut Lewis, memang sudah
berjalan ratusan tahun dan cendemng meningkat. Lewis membuka
btrkunya, lslam nnd the West, dengan ungkapan, bahwa lebih dari
1.400 tahtrn Islam dan Dunia Kristen (the Christendont) telah hidup
saling berdampingan, sebagai tetangga, sering sebagai rival, dan
kadang-kadang sebagai musuh antar sesama.2 Dalam bukunya yang
lain,The Muslim Discoaery of Europe, Lewis memulai dengan bab berjtrdtrl 'Contnct ond lmpnct'. Ia mencatat, sejak awal mula perkembangannya, Islam telah melakukan kontak fisik dengan dunia Kristen.
Ketika Nabi Muhammad saw. memulai misinya pada awal abad ke-
7, selunrh kawasan wilayah Laut Tengah (Mediterrania) yaitu bagian dari wilayah Kristen (Cfuistendom), yang kemudian berganti
menjadi wilayah Islam. Sejak awal perkembangannya, Islam telah
mengancam eksistensi Clristendom, sebagaimana diungkapkan Lewis: "Bangsa Arab telah mengambil Suriah, Palestina, Mesir, dan selumh Afrika Utara dari tangan Dunia Romawi, yang kemudian
menjadikannya jembatan guna menginvasi Spanyol serta kepulauan
Mediterania,tenttama Sisilia. Setelah mengalahkan Byzantium dan
tentara barbar, mereka mampu menyatukan negeri-negeri ini dalam
sebuah imperium Islam bant serta mengancam Christendom dari
kedua ujung bentangan ittt."3
Namun, pasca Perang Dingin, meskipun dikenal sebagai se-
orang ilmuwan kondang, kedekatannya dengan penguasa Gedung
Putih menyebabkan pandangan-pandangan Lewis kemudian memiliki nuansa politis yang tinggi dan diluncurkan sebagai bahan
panduan praktis bagi pemerintah AS dalam menentttkan corak politik luar negerinya. Ini menyebabkan ilmuwan ini tampak kehilangan sisi objektifnya sebagai ilmuwan dalam meneropong faktafakta seputar hubturgan Islarn-Barat. Itu terlihat jelas dalam buku
yang ditulis Lewis berjudul Tlrc Crisis of Islnm: Holy War and Llnlnly
Terror (2004).
Buku ini begihr jelas merupakan semacam apologia Barat dalam menerapkan politik luar negerinya terhadap dunia intemasional, khususnya dunia Islam. Kataapology, dalam istilah Inggris biasanya diartikan dengan "sebuah pemyataan yang menunjukkan penyesalan atas sebuah kesalahan atau serangan" atalr "sebuah pembenaran formal atau pembelaan diri". Istilah ini diambil dari bahasa
Yunani apologin yang berarti "berbicara membela diri". Dalam
bahasa Latin, ada istilah apalogrts yang identik dengan makna
nnrrntiae atatt fable. Bahasa Latin menggunakan kata "excrhsti6"
untuk kata " npology" dalam bahasa Inggris, yang artinya identik dengan perrnintaan maaf atau penyesalan.
Istilah "apologia" dalam Yunani tampaknya lebih pas menggambarkan isi buku Bemard Lewis ini. Orientalis kawakan yang
dikenal berpengaruh besar terhadap politik luar negeri AS ini memang menggllnakan kata "We" untuk menggambarkan posisinya
sebagai wakil "Tlrc West" dan kata "T\rc11" unhlk merepresentasikan
"Islam". Bagi pembaca yang biasa melahap buku-buku tentang Islam dan Barat karya Edward Said, Noam Chomsky, atau Karen
Armstrong, misalnya, akan menemukan aspek dan gaya lain dalam
memberikan penjelasan tentang konflik-konflik y,ang terjadi di berbagai bagian dunia yang melibatkan Islam dan Barat.
Shireen T. Hunter, dalam satu tuIisannya berjtrd:ul The Rise of
Islamist Moaements and The Western Response: Clnsh of Cioilizations or
Clash of Interests? ", menyebut, ilmuwan seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran "neo-Orientalist". Aliran ini melihat muncuhrya
kecenderungan anti-Barat pada kalangan 'lslantists' sebagai konsektrensi dari'clash of ciuilizatiorzs'. Lewis menganggap, bahwa paham
anti-Barat (anti-Westernism), khususnya anti-Amerika (anti-Anwi-canisfit), merupakan derivasi dari gabttngan antara tlnslrr-ttnsttr
'penghinaan','kecembtlrllan'/ dan'ketakutan'. Aliran Lewis ini berbeda dengan aliran neo-Third-world, yang memandang munculnya
semangat anti-Barat sebagai dampak dari kebifakan politik Barat.
Misalnya, dukungan Barat terhadap rezirn-rezim represif otoriter di
dunia Islam dan juga dukungan sepihak terhadap Israel.a
Pola pikir "neo-oriertallsf" itulah yang mewarnai isi buku Tfte
Crisis of lslnm ini. lvlaka, tidaklah mengherankan, buku ini nyaris tidak memberikan kritik apa pun terhadap berbagai kebijakan Barat
terhadap dunia Islam. Sebaliknya, berbagai justifikasi dan legitimasi
politik Barat dan As khususnya bisa dinikmati dalam buku ini. sebuah pertanyaan yang poprller di Barat pasca Perang Dingin, misalnya, dilontarkan Lewis, "Apakah Islam, fundamentalis atau lainnya,
sebuah ancaman bagi Barat?" Jawabannya, Lewis membantah anggnpan bahwa pasca Perang Dingin, Barat memang membutuhkan
musuh. Islam ihr sendiri, tulisnya, btrkan musuh Barat. Banyak kalangan Muslim, baik di dunia Islam, mauPun di Barat, yang ingin
menjalin hubungan lebih dekat dan bersahabat dengan Barat serta
mengembangkan demokrasi di negara mereka. Tetapi, Muslim--dalam jumlah yang signifikan, baik yaug ftindamentalis maupun tidak
--yaitu iahat dan berbahaya; bukan karena Barat membuhrhkan
musuh, tetapi karena mereka memang seperti ihl-5
untuk memudahkan Barat dalam membuat kebiiakan politik,
Lewis membagi Muslim dalam tiga kelompok (1) Yang melihat Barat secara tlmrlln dan AS, khususnya, sebagai musuh Islam yang
abadi; penghalang utama menerapkan keimanan dan hukum Tuhan.
Maka, cara satu-satLmya dalam menghadapi Barat yaitu perang.
(2) kalangan Muslim yang tetap berpegang kepada kepercayaan dan
budayanya, tetapi maubergabung dengan Barat untuk menciptakan
dunia yang lebih bebas dan lebih baik. (3) Muslim yang melihat Barat sebagai musuh utama. Tapi, karena sadar terhadap kekuatan Barat, mereka melakukan akomodasi sesaat, untuk mempersiapkan'perjtrangan akhir' \final struggle). Lewis mengingatkan, agar Barat tidaksalah dalam mengidentifikasi kelompok ke-2 dan ke-3. Dalambahasa Lewis: "We zuottld be zuise not to confrse tlrc secottd nnd tlte tlird."6
Dengan tegas, sebagaimana Huntington, Lewis menyebttt MusIim ftrndamentalis sebagai musuh Barat. Ia menyebut sejumlah ciri
Muslim fundamentalis: (1) menganggap masalah yang dihadapi
Muslim sebagai dampak dari modernisasi yang berlebihan dan
mengkhianati nilai-nilai Islam yang mumi; (2) menganggap obat
dari'penyakit'ihl yaitu kembali kepada Islam sejati dan sekaligus
menghapuskan semua hukum dan aspek sosial yang dipinjam dari
Barat, serta menggantikannya dengan syariat; (3) dan, menganSSap
bahwa perjuangan tertinggi yaitu melawan pengkhianat di dunia
Islam yang melakukan Westernisasi. Konsep ini disusun Lewis hanya dengan cara mengutip sebagian ungkapan Abd al-Salam Faraj,
pentrlis Mesir.T
Menempatkan dirinya sebagai penasihat Barat, maka tidaklah
aneh jika Lewis melakukan berbagai legitimasi terhadap kebijakankebijakan politik Barat dan AS. Dalam soal Israel-Palestina, misalnya,
Lewis lebih banyak mengkritik sikap Muslim ketimbang kebijakan
AS. Kritik-kritiknya menarik dicermati. Ia mengritik, mengapa pihak
Arab dan Palestina pada L930-an justm bersekutu dengan Jerman
yang banyak mengirim orang Yahudi ke Palestina, dibanding Inggris, yang justru ingin mengeluarkan oranS-orang Yahudi. Ia pun
mempertanyakan, mengapa Arab lebih banyak memusuhi AS ketimbang Soviet, padahal Soviet memainkan Peranan penting dalam
pendirian negara Israel.
Kritik Lewis jelas tidak fair.Seiumlah fakta penting tentang pe-
,:anan Inggris dan AS dalam pendirian negara Israel tidak diungkapnya. Ia tidak menyebut Deklarasi Balfour yang merupakan sattr diantara tiga pijakan berdirinya negara Israel. Benat Soviet banyak
membantu senjata kepada Israel dalam perang tahun'i,948-1949-Tapi, AS yaitu arsitek keluarnya Resolusi 18L Maielis Umum PBB,
1947, yang membagi Palestina men;'adi tiga bagian, dan memberi
Yahudi hak penguasaan atas 50 persen wilayah Palestina. Sungguhpun, pada tahun 1947 lttt, Yahudi baru menguasai 6,5 persen tanah
Palestina. Resolusi 18L ditetapkan pada 29 November 1947. Resolusi
ihr keluar atas tekanan pemerintahan Presiden Harry J. Truman terhadap sejumlah negara anggota PBB. Pemungutan suara di MU-PBB
menghasilkan 33 suara setuju lawan L3 suara menolak, dan 10 suara
abstein serta 1 absen. Diantara negara yang funduk pada tekanan
Amerika Serikat yaitu Prancis, Ethiopia, Haiti, Liberia, Luksembtrrg, Paragtray, dan Filipina. Uni Soviet juga mendukung resolusi
ini. Tetapi Inggris yang ketika itu masih memegang mandat PBB atas
Palestina tidak mendukung pemisahan Palestina, disebabkan tekanan dari negara-negara Arab. Lewis tidak menyebut soal ini. Pun,
Lewis membuang fakta AS yaitu pelindung dan pembantu setia
Israel sejak berdirinya negara ini. Truman sendiri, seperti diceritakan Ian |. Bickerton dan M.N. Pearson dalam bukunya The Arab
lsraeli Conflict: AHistory, mengakui dan menyebut dirinya sebagai
"bidan kelahiran negara Israel" (rnidwife of modern lsrnel). Tiuman
yaitu Presiden yang sangat kontroversial. Ialah yang mengakhiri
Perang Dunia dengan menjahrhkan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki. Ia juga yang memulai Perang Dingin; dan dia juga yang
mengirimkan pasukan AS unhlk berperang di Korea. Dukungannya
terhadap pendirian Israel disebabkan banyak faktor. Disamping,
faktor kuatnya tekanan lobi Zionis Israel di AS, juga faktor kepentingan kaum ftindamentalis Kristen yang memberikan dukungan
terhadap kaum Zionis-Yahudi untuk menduduki ]erusalem. Hingga
kini, peran lobi-lobi Yahudi sayap kanan masih sangat kuat di AS.
Hendrick Smith, pemenang Pulitzer, menulis dalam bukunya Tfte
Power Games: How Washington Works, sederet fakta soal ini. Berkat
peran AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee), banhlan
AS kepada Israel melonjak dari2,l milyar USD (1980) ke 3,8 milyar
USD pada 1986. Buku-buku yang mengulas tentang "hubungan spesial" (special ally) antara Israel-AS ini begitu banyak bertebaran.
Namun, Lewis sama sekali tidak menghiraukannya. Malah, ia menulis, bahwa hubungan strategis antara AS dan Israel yaitu akibat
dari penetrasi Soviet, dan bukan merLlpakan sebab.Padahal, hubungan istimewa atau hubungan kolusi antara AS
dan Israel yaitu sebuah fakta. Dalam sebuah konferensi pers di bulan Mei 1977,Presiden Amerika Serikat limmy Carter menyatakan,
"Kita memiliki hubungan khusus dengan Israel. Mempakan
hal yang sungguh krusial bahwa tak seorang pun di negeri kita
atau di selumh dunia yang akan meragukan bahwa komitmen
nomor sahr kita di Timur Tengah yaitu melindungi hak Israel
unhlk eksis, untuk eksis secara perrnanen, dan unhlk eksis dalam damai. Ini sebuah hubungan khusns."
Pada bulan Febmari 1993, Menteri Luar Negeri AS Warren
Christopher menegaskan bahwa, "F{ubungan antara Amerika Serikat dan Israel mempakan hubungan khusus karena alasan-alasan
khusus. Ia didasari atas kepentingan-kepentingan yang sama, nilainilai yang sama, dan komitmen yang sama pada demokrasi, pluralisme dan penghormatan atas individual."
Di musim semi tahun l99|,Presiden Bill Clinton juga membuat
pemyataan, "Dalam mengupayakan perdamaian di Timur Tengah,
pilar pertamanya yaitu keamanan Israel." Clinton menyatakan, bahwa Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin sedang bekerja-dan mengambil resiko--unhrk perdamaian. AS selayaknya memenuhi "komitmen yang kokoh" (ironclad commitnrcnf) unhrk menjamin bahwa
risiko-risiko perdamaian ihr tidak akan membahayakan keamanan
Israel. e
Dengan stahls istimewa tersebut, Israel mendapat dukungan
politik, ekonomi, dan militer, yang luar biasa dari AS. Israel yaitu
"anak emas" yang hampir selalu dibela dan dilindungi, saat menghadapi bahaya. Menyimak pernyataan Carter, Christopher, dan
Clinton, bisa ditarik garis dasar kebijakan AS dalam soal Timur
Tengah, khususnya menyangkut hubungan Israel dengan negaranegara tetangganya, termasuk dengan Palestina. Israel, misalnya,
telah mengabaikan lebih dari 20 resolusi Dewan Keamanan PBB.
Tetapi, tidak ada akibat dan sanksi apa pun terhadap negara Yahudi
ini. Tentu saja hal ihr sangat berbeda dengan apa yang dialami
berbagai negara lainnya. Sebab, bagi AS, Israel yaitu "the chosen
country". Sebagai contoh, Resolusi Dewan Keamanan PBB No 425,
Maret 1978, yang memerintahkan Israel mundur segera dan tanpa
syarat dari wilayah Lebanon. Tetapi, Resolusi itu tidak dipatuhi dan
ketika Iraq digempur habis-habisan pada tahun 1991, karena melanggar satu Resolusi Dewan Keamanan PBB,Israel masih tetap bercokol di Lebanon. Sejak 1978 sampail9S2,Israel melakukan serbuan
besar-besaran terhadap Lebanon. Sekitar 20.000 orang mati; 80 persen merLrpakan penduduk sipil. AS mengecam serangan Israel itu.
Tetapi, dalam beberapa hari kemudian, AS menveto draf Resolusi
Dewan Keamanan PBB yang meminta pengunduran diri Israel dari
Lebanon. Dalam pandangan Prof. Noam Chomsky, pakar linguistik
dari MIT, Israel bukanlah negara kecil. Israel yaitu "appendage"
(terkait) dengan negara adikuasa (lt is appendage to the world superpower), sehingga ia melakukan sesuatu yang memang diizinkan oleh
AS. Dalam bahasa Noam Chomsky, "Amerika Serikat mengatakannya, 'Anda tidak harus mentaati resolusi-resolusi ini, karenanya ihl
semua bukan apa-apa (ruilI and ooid)-persi-s ketika setiap kali AS
mendapat kecaman."'10
Dalam soal politik AS terhadap Israel, tampak Lewis sama saia
dengan Huntington dan kalangan neo-konservatif yang memiliki
hubungan erat dengan kepentingan Zionis Israel. Lewis secara jujur
menyatakan, perhatian utama semua pemerintah AS yaitu untuk
menjamin kepentingan-kepentingan AS. Pasca Perang Dingin, kebijakan utama AS di Timur Tengah, ditujukan untuk mencegah munculnya hegemoni tunggal di wilayah itu, yang akan memonopoli
minyak. Untuk itu, ia tidak menyoal, mengapa Barat dan AS mendu-
ktrng rezim-rezim otoriter di Timur Tengah yang melakukan "berbagai tindak kejahatan kemanusiaan". Sebab, ihr dilakukan unhrk mengejar kepentingan. Maka, hrlis Lewis, sikap Eropa dan AS terhadap
rezim-rezim semacam ini yaitu , "Kami tidak peduli apa yang Anda
lakukan terhadap rakyatAnda di mmahAnda sendiri, selama Anda
bisa bekerja sama dalam mencapai kebutuhan dan melindtrngi berbagai kepentingan kami."ll
Dengan perspektif Machiavellian semacam ihr, perilaku politik
Barat yang dilegitimasi oleh Bernard Lewis menjadi lebih dipahami.
Di akhir bukunya, Tlrc Crisis of lslam, Lewis memberikan solusi praktis bagi Barat untuk menghadapi sejumlah masalah di dunia Islam.
Sebagai misal, di Iraq (sebelum diserang bulan April2003) dan Iran
Lewis menasihati, bahwa "Kita" dapat membanhl kekuatan-kekuatan oposisi demokratis unhrk mengambil alih dan membenhrk pemerintahan bam. Begihr juga seyogyanya AS dan Barat pada umumnya, diimbaunya membanhl atau tidak menjauhi kalangan Muslim
yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Namun, kata-
nya, iika al-Qaeda mamptl mempengamhi dunia Islam, maka Perjuangan yang panjang dan pahit akan dihadapi. Bukan hanya bagi
AS. Thpi, juga bagi Eropa Barat, yang kini menjadi tempat tumbuh
dan berkembang pesatnya komunitas Muslim. Banyak orang Eropa,
kata Lewis, melihat hal itu sebagai problem, bahkan ancaman.l2
Banyak hal yang bisa dikritik dari isi buku Lewis ini. Thpi, faktanya, cara pandang seperti Lewis inilah yang banyak mempengaruhi kebijakan luar negeri AS. Buku ini seolah-olah memberi dukungan pemikiran bagi serangan ke Iraq dan berbagai benhrk "preentptiae
nttack". Bagi Muslim, buku yang dihrlis dalam bahasa populer dan
Iugas ini, juga memberikan sejumlah kritik terhadap mereka. Melalui buku ini, Lewis menunjukkan, berbagai kelemahan dan kenaifan
kaum Muslimin. Seakan-akan, Lewis ingin berkata: Hai Muslim,
berkacalahl Jika kamu lemah dan diinjak-injak, ihr karena kondisi
dan ulahmu sendiri. Jangan hanya menttding-nuding Barat! Pesan
tersirat Lewis ini perlu dicermati kaum Muslimin. Kritik Lewis tentang sikap dunia Islam terhadap pembantaian kaum Muslimin oleh
penguasa Muslim sendiri, misalnya, perlu dicatat dan digarisbawahi. Lewis menyebut contoh, kasus pembantaian kaum Muslimin oleh
pemerintah Suriah di kota Hama tahun 1982. Untuk memburu aktivis Ikhwanul Muslimin, tentara Suriah menyerang kota dengan pesawat tempul, tank, dan buldoser, yang mengakibatkan jttmlah korban--menumt Amnesty Intemasional--sekitar 10.000-25.000 orang.
Aksi pembunuhan yang dikomandani langsung oleh PresidenHafez
Al-Asad itu mendapat perhatian kecil dari dunia Islam. Lewis menunjuk betapa bedanya respons kaum Muslim beberapa bulan kemudian dalam kasus pembantaian di kamp Shabra-Shatila, yang
menumt Lewis 'hanya' mengakibatkan korban sekitar 800 orang.
Jumlah yang disebut Lewis irri tentu sangat kecil dibandingkan
laporan berbagai pihak yang menyebut angka sekitar 2000-3000
orang. Kritik Lewis terhadap kaum Muslimin ini tentu penting untuk ditelaah dan sepahltnya kaum Muslimin melaktrkan instropeksi,
meskipun nada pernyataan Lewis ihl memberikan pembelaan terhadap kebijakan Barat terhaCap dunia Islam.
Michel Colin Piper dalam bukunya The High Priests of War (Wa-
shington DC: American Free Press, 2004)juga memasukkan Lewis ke
dalam kelompok intelektual 'neo-konservatif', seperti Samuel P.
Huntington yang merumuskan rancangan tata politik internasional
berbasis pada teori "clash of ciailizations". Lewis, yang anaknya aktif
dalam kelompok lobi Yahudi di AS (AIPAC)--telah banyak menulis
btrktr tentang Islam dan Barat, seperti buku "Tlrc Arabs in History"
(1950), "Tlrc Emergence of Modern Turkey" (1961), "semites and AntiSenites" (1986), "Tlrc leus of lslnm" (1984), "Islatn nnd The West"
(1993). Btrku Lewis "Wlnt Went Wrong" (2003), dikritik oleh Michel
Co1in Piper sebagai buku yang secara keji menyerang sejarah Arab
dan katrm Muslim. Bukunya "Tlrc Crisis of Islant" (2004) juga mempakan buku yang memberikan begihr banyak justifikasi terhadap
kebil'akan Barat dan Israel terhadap dunia dan kaum Muslim. Gagasan Lewis ini kemudian dipopulerkan oleh Huntington melalui buktrnya "Tlrc Clash of Cioilization and tlrc Rennking of World Order"
(1996). Menurut Colin Piper, " Itllis is oery much a muclr-hernlded aoice
--ltoueaer b iased:for neo-conserantiae nnaetnent." Anis Shivani, seperti
dikutip Piper memberi catatan tentang pandangan hidup Lewis yang
benci terhadap Arab dan Muslim. Lewis, kata Shivani, yaitu yang
pertama menggrmakan istilah kotor "clnsh of ciuilizatiorzs", melalui
artikelnya berjudul "Tlrc Roots of Muslim Rnge". Melalui artikel ihl,
Lewis menolak semua argumentasi dan penjelasan yang gamblang--
misalnya tentang kegagalan politik Amerika--dan mencari sesuatu
yang lebih dalam lagi, yakni konflik peradaban. Ia juga menafikan
faktor imperialisme sebagai penjelasan munculnya kemarahan (kaum
Muslim). Menumt Colin Piper, Lewis yaitu sosok penenhr dibalik
serangan terhadap lraq. Pada 5 April 2003, The Neu York Times memaparkanbahwa buku Lewis, Wlnt Went Wrong,memberi pengamh
besar terhadap pemerintahan Bush, khususnya terhadap Wakil Presiden Dick Cheney. Karena ifu, ia mencatat, bahwa Lewis, seorang
kakekgenf le yangdipromosikan melalui TV diAS, sejatinya merupakan salah seorang penggerak utama gelombang rasisme dan kebencian agama.Terlepas dari nada peyoratif pada beberapa bagiannya, buku
Wlnt Went Wrong masih memuat banyak data menarik tentang keagungan sejarah Islam. Lewis mengakui hal itu. Ia misahrya mencatat, bahwa selama beberapa abad Islam merupakan kekuatan militer dan ekonomi terbesar di muka bumi. "Angkatan bersenjata Islam,
pada saat yang sama, telah menginvasi Eropa dan Afrika, India dan
Cina. Ia wakhr itu mempakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia