Rabu, 14 Desember 2022
Home »
presiden 2
» presiden 2
presiden 2
Desember 14, 2022
presiden 2
kehilangan mayoritas saham Bimantara, cikal-bakal bisnisnya
yang sudah berusia setengah abad itu, mengundang tanda tanya. Apa yang tengah
dipikirkan pecandu olahraga menembak ini?
sepoi-sepoi, nama Siti Hediati Harijadi berembus lagi di kancah bisnis nasional. Anak
keempat mantan presiden Soeharto ini sejak Juli 2005 diangkat menjadi anggota
Dewan Komisaris PT Surya Citra Media Tbk.
Pengangkatan Titiek-nama panggilan perempuan 49 tahun itu-tak lepas dari
kepemilikan sahamnya di perusahaan induk pengelola stasiun televisi SCTV itu. Bahkan,
kabarnya, janda bekas Panglima Kostrad Letjen (Purn.) TNI Prabowo Subianto ini pun diam-
diam terus menambah pundi-pundi sahamnya di sana.
Di dunia bisnis, Titiek memang tak seheboh saudara-saudaranya. Meski begitu,
jangan bilang jumlah perusahaan dan kekayaannya "sekuku" doang. Menurut laporan
majalah Time edisi 24 Mei 1999, kekayaannya diperkirakan US$ 75 juta atau kini setara
dengan Rp 700 miliar. Jumlah itu memang jauh lebih kecil dibanding kekayaan saudara-
saudaranya.
Masih menurut Time, kekayaan Siti Hardijanti Rukmana mencapai US$ 700 juta, Sigit
Harjojudanto US$ 800 juta, Bambang Trihatmodjo US$ 3 miliar, dan Tommy Soeharto US$
800 juta. Namun nilai kekayaan Titiek masih di atas Siti Hutami Endang Adiningsih alias
Mamiek yang ditaksir "cuma" US$ 30 juta.
Pada masa kekuasaan ayahnya, Titiek berkibar lewat bendera Grup Daya Tata Matra
(Datam) dan Grup Maharani. Di bawah dua perusahaan induk itu, sekitar sembilan sektor
bisnis pernah dirambahnya.
Salah satu tulang punggung bisnisnya, antara lain, bergerak di sektor perdagangan.
Sedikitnya lima perusahaan tercatat memiliki kaitan dengan dirinya, yaitu PT Aditya Nusa
Bakti, PT Agung Concern, PT Dasa Mitra usaha , PT Redjo Sari Bumi, dan PT Wahana Datam
Tiara.
Sektor lain yang juga menjadi tumpuan kerajaan bisnis Titiek ialah sektor jasa
keuangan dan investasi. Di sini bernaung delapan perusahaan, termasuk PT Aditya Matra
Leasing, PT Maharani Intifinance, dan tiga di antaranya bergerak di bisnis perbankan: PT
Bank Industri, PT Bank Putra Sukapura, dan PT Bank Universal.
Di sektor keuangan ini pula, Titiek dahulu pernah "mesra" berkongsi bisnis dengan dua
sejawatnya, yaitu Tito Sulistyo dan Hary Tanoesoedibjo-kini menjabat Presiden Direktur PT
Bimantara Citra. Bersama Tito yang kini juga bergabung di Bimantara, Titiek mendirikan PT
Pentasena Arthasentosa, yang bergerak di bidang jasa keuangan dan investasi.
Dengan Hary, Titiek pernah bersinggungan saat menjadi pemegang saham PT
Bhakti Investama pada 1997, yang saat itu menjadi satu-satunya kendaraan bisnis keluarga
Tanoesoedibjo. Yang menarik, Hary kini justru berseteru dengan Siti Hardijanti Rukmana,
alias Tutut, dalam urusan kepemilikan saham stasiun televisi TPI.
Di luar sektor perdagangan dan jasa keuangan, enam sektor lain yang dirambah
Titiek yaitu sektor perkebunan, kehutanan, kimia dan semen, konstruksi, properti-
perkantoran-perbelanjaan, transportasi, dan media.
Salah satu proyek bisnisnya yang hingga kini masih berjalan yaitu Mal Taman
Anggrek. Pusat belanja di kawasan Slipi, Jakarta Barat, ini dibangunnya bersama Grup Mulia.
Proyek lainnya yang hingga kini juga masih menghasilkan duit yaitu Plaza Senayan, hasil
kongsinya dengan Hashim Djojohadikusumo.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Titiek banyak berkecimpung dalam urusan
seni lukis bersama Susrinah Sanyoto Sastrowardoyo, Ketua Umum Yayasan Seni Rupa
Indonesia. saat yayasan ini menyelenggarakan bursa seni lukis Indonesia pada 1997, Titiek
bahkan menjadi ketua pelaksananya.
Kecintaannya pada dunia seni lukis membuat pemilik rumah di Grosvenor Square,
London, ini rajin mengoleksi lukisan yang, menurut Time, nilainya sekitar US$ 5 juta. Titiek
juga dikenal pemuja bintang-bintang film tersohor. Tak mengherankan bila dalam salah satu
pesta keluarga Soeharto di Bali pada 1994, ia asyik berdansa menghabiskan malam dengan
bintang laga Hollywood Steven Seagal.
dari enam anak Soeharto, garis hidup Hutomo Mandala Putra alias Tommy boleh dibilang paling berliku. Keluar-masuk ruang pengadilan, diburu polisi ke mana-
mana, mendekam di penjara Nusakambangan, dan kini masih terus "berkelahi" dengan pemerintah dalam beberapa masalah di pengadilan.
Tommy ditangkap pada November 2001 dengan tuduhan menjadi otak pembunuhan
Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita. Sang hakim menyambut ajal di ujung peluru, Juli 2001.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu memvonis Tommy 15 tahun penjara. Dia terbukti
melakukan empat tindak pidana: kepemilikan senjata api, kepemilikan amunisi, pembunuhan Syafiudin, dan melarikan diri. Putra kesayangan Soeharto itu dihukum kurung di Cipinang, Jakarta Timur. Berbeda
dengan narapidana pembunuhan lain, Tommy memiliki ruang pribadi berfasilitas komplet. Ada
kamar mandi dalam dan mesin pengatur suhu. Hampir setiap hari istri, anak, kawan, dan kerabat datang membesuk ke penjara. Dari Cipinang dia dipindahkan ke Nusakambangan, 16 Agustus 2002. Di sana dia
menghuni salah satu sel Admisi dan Orientasi bersama "Paman Bob" alias Mohammad Hasan, kawan bapaknya. Di ruang itu ada televisi dan koran baru setiap pagi.
Setumpuk buku, dari soal wirid dan tahlil hingga agroindustri melengkapi isi kamar. Perkakas
untuk aneka keperluan juga tersedia. Saat berada di Nusakambangan, Tommy beberapa kali ke Jakarta menjenguk sang
ayah yang saat itu sedang sakit maupun untuk berobat. Narapidana lain belum tentu beroleh izin bahkan bila ada kerabat yang meninggal. Pada Juni 2005, Mahkamah Agung mengkorting hukumannya dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Tommy datang lagi ke Jakarta menjelang ulang tahunnya yang ke-43, Juli 2005. Kali
ini untuk mengobati kepalanya yang sakit. namun beberapa media memberitakan Tommy
terlihat di sebuah vila di Puncak. Seorang kerabat dekat keluarga Cendana membisikkan
kepada Tempo: "Ulang tahun Mas Tommy dirayakan di Puncak. Bapak sepuh dan seluruh
keluarga, kecuali Mas Bambang Tri, turut hadir."
Sementara itu, menurut dokter, Tommy menderita vertigo. Di belakang mata kirinya
ada benjolan tumor. sebab itu, ia memerlukan perawatan rutin. "Pemeriksaan sebulan
sekali. Bila ada masalah mendadak, kami langsung diberi tahu," kata Robert Hutauruk,
koordinator pemeriksa kesehatan Tommy di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot
Soebroto, saat itu.
Pria yang gemar balap mobil ini tetap mampu mengendalikan bisnis dari penjara saat
menjalani hukuman bui. saat Tempo mengunjunginya di Nusakambangan pada
pertengahan 2005, serombongan pengusaha dipandu bekas Sekretaris Jenderal Badan
Penyangga dan Pemasaran Cengkeh-lembaga yang dahulu dipimpin Tommy-Yance Woworican,
antre di luar selnya menunggu giliran sowan. "Semua masih saya pantau dan arahkan," kata
Tommy kepada Tempo saat itu.
Salah satu sisi kehidupan mantan pembalap ini yaitu dia seolah tak pernah jauh
dari perempuan. Sewaktu buron, dia ditemani perempuan muda asal Aceh bernama Lany
Banjaranti. Seorang bocah laki-laki lahir dari hubungan mereka. Lalu mantan model Sandy
Harun yang mengaku di beberapa media bahwa dia sering bertandang ke sana. Sandy juga
mengatakan memiliki anak perempuan dari Tommy.
Pada Oktober 2006, Tommy dihadiahi remisi 31 bulan. Remisi besar itu diprotes
beberapa kalangan namun Tommy tetap melenggang ke dunia bebas. Dia kembali bertempur
dengan pemerintah dalam beberapa masalah , di antaranya perebutan duit Rp 650 miliar di
Bank Paribas Cabang Guernsey, Inggris. Dana jumbo itu dibekukan atas perintah dinas intelijen ekonomi Inggris. Lembaga itu menduga uang itu "terkait dengan Soeharto"
dan hasil money laundering. Tommy lalu menggugat Paribas ke Pengadilan Guernsey, namun bank itu
meminta pemerintah Indonesia ikut dan dalam masalah ini. Pemerintah mengklaim berhak
atas dana itu sebab "diduga diperoleh dari bisnis tidak halal di Indonesia". Otto Cornelis Kaligis, kuasa hukum Tommy, membantah keras. Uang itu, katanya,
"Hasil bisnis Pak Tommy di luar negeri." Selain kekayaan di Guernsey, Tommy dan
pemerintah kini tengah memperebutkan duit Rp 1,3 triliun di Bank Mandiri. Hingga ayahnya
berpulang dua pekan lalu, perseteruan Tommy dengan pemerintah di pengadilan belum
juga usai.
keenam anak Soeharto, si bungsu Siti Hutami Endang Adiningsih-lah yang paling
jarang disorot media. Berwajah Jawa, dengan rambut ikal, Mamiek-begitu ia biasa
disapa-44 tahun, biasanya hanya tersenyum di belakang kakak-kakaknya saat
mereka diwawancarai wartawan. Baru belakangan ia mulai disorot saat mulai terjun
dalam bisnis saat memperkenalkan Taman Buah Mekarsari yang dikelola perusahaannya, PT
Unggul Mekar Sari.
namun seandainya Pak Harto tidak lengser pada 21 Mei 1998, akankah Mamiek tetap
memelihara sikap low profile itu, terutama dalam bisnis?
Pertanyaan hipotesis yang mungkin tak pernah tebersit di benak banyak orang ini
dijawab George Junus Aditjondro. "Seandainya ayahnya tidak dipaksa turun takhta,
perusahaan milik Mamiek rencananya akan mengimpor pesawat terbang Sukhoi 30K dan
helikopter Mi-17 dari Rusia untuk keperluan Angkatan Udara," tulis Aditjondro dalam
artikelnya "Suharto Has Gone, but the Regime Has Not Changed: Presidential Corruption in
the Orde Baru".
Nilainya, berdasar penelusuran Tempo, bukan picisan. Sebanyak 12 pesawat Sukhoi
itu bernilai US$ 33 juta per pesawat. Sedangkan helikopter Mi-17 berharga US$ 4,5 juta.
Saat itu bahkan negosiasi pembelian satu batalion rudal jarak sedang BUK M-1 dari Rusia
sudah dimulai. Tim negosiasi dipimpin mantan Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita.
Rusia tak mau turunkan harga dari US$ 150 juta. Total pembayaran US$ 600 juta. Menurut
majalah Panji Masyarakat, peran Mamiek lebih sebagai agen penjualan Rusia di sini. namun
rencana jual-beli rudal ini rontok sesudah badai krisis ekonomi bertiup mulai Juli 1997.
Rudal dan Mamiek? Bagi banyak orang, pasangan itu sungguh tak cocok. Publikasi
yang tersiar, ibu satu putra dari perkawinannya dengan Pratikto Prayitno Singgih itu hanya
berbisnis sesuai dengan latar belakang pendidikannya sebagai alumni Institut Pertanian
Bogor. Saat bapaknya masih berkuasa, televisi kerap menyiarkan gambar Ibu Tien ditambah
para cucu diantar oleh Mamiek memetik buah di Taman Buah Mekar Sari, sebuah lokasi
pengembangan riset botani sekaligus tempat rekreasi keluarga seluas 264 hektare di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat.
Tak banyak yang tahu bahwa perusahaan pengelola taman buah itu, PT Unggul Mekar Sari, hanyalah salah satu anak perusahaan dalam kelompok Manggala Krida Yudha,
induk perusahaan Mamiek. Bisnis Manggala bukan buah, melainkan mengimpor suku
cadang pesawat pengangkut militer C-130 Hercules dengan nilai US$ 15 juta. Masih belum
percaya? Dengan bendera PT Dwipangga Sakti Prima, Mamiek juga mengimpor stimulator
pesawat yang sama senilai US$ 30 juta. Harap diingat, semua bisnis ini terjadi sebelum 1998
saat rupiah belum loyo seperti sekarang.
Si ragil Mamiek lahir pada 23 Agustus 1964 saat ayahnya menjadi Panglima
Komando Strategis Angkatan Darat. Ia lahir dalam keadaan sungsang. Pada umur 13 bulan,
saat sedang belajar berjalan, Mamiek kecil tertatih-tatih mengejar kakaknya, Tommy, saat
itu 4 tahun, yang berlari mencari perlindungan pada ibunya di dapur. Kaget oleh kedatangan
Tommy yang tiba-tiba, sepanci sup daging rusa yang masih panas di tangan Ibu Tien tumpah
mengguyur Tommy. Insiden yang terjadi empat hari sebelum meletusnya G30S/PKI itu
membuat Tommy dirawat di RSPAD.
sesudah Soeharto lengser dari jabatan pada 1998, Mamiek berurusan dengan
pengadilan. Pada 18 Desember 2000, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
diketuai Asep Iwan Irawan memutuskan Mamiek bersalah sebab tidak melaporkan
hilangnya pistol merek NAA kaliber 22 milimeter yang dimilikinya. Anak bungsu itu dijatuhi
hukuman kurungan badan 10 hari dengan masa percobaan 30 hari. Ia diwajibkan membayar
biaya perkara Rp 1.000. namun , sebab selama 30 hari itu Mamiek tak melakukan tindak
pidana apa pun, ia urung masuk hotel prodeo.
Juan Felix Tompubolon, pengacara keluarga Soeharto, mengatakan tak benar
Manggala Krida Yudha terlibat bisnis peralatan militer. "Data yang diungkap itu keliru,"
ujarnya. Mengenai pistol, menurut Juan, memang saat itu ada pemeriksaan, Mamiek lupa
menaruh pistolnya. sesudah minta waktu untuk mencari, senjata api itu ditemukan berikut surat-suratnya. "Bentuk pistolnya kecil. Ketelingsut sebab waktu itu beliau sedang pindah rumah."
anak sulung Nyoto, Svetlana, mengaku ingin melihat Soeharto dituntut atas tragedi
1965. namun putri Wakil Ketua II CC PKI itu tak pernah ikut dalam kelompok-kelompok
keluarga korban G30S yang menggugat pemerintah. "Saya tahu tuntutan-tuntutan
itu penting, namun saya pesimistis ada gunanya," katanya dua tahun lalu.
Menurut Svet, ibunya, Sutarni, juga memiliki keinginan sama. namun Nyonya Nyoto, yang
kini berusia 79 tahun, itu tidak menyimpan amarah terhadap Soeharto. Padahal, katanya,
"Ada teman Ibu yang marah hingga sakit jika mendengar Soeharto bebas dari tuntutan hukum."
Keluarga Nyoto yaitu contoh korban G30S yang menjalani hidup tanpa luka dan trauma. Sutarni bisa menceritakan pengalamannya memboyong anak-anaknya, berpindah
dari satu rumah tahanan ke rumah tahanan lain, dengan ringan, bahkan tanpa kehilangan
rasa humor. Mereka tak tahu kapan dan di mana sang suami dan ayah dibunuh, apalagi tahu kuburnya.
Tentu tak semua korban G30S bersikap seperti keluarga Nyoto. Sebab, tragedi 43
tahun silam itu melibatkan jumlah manusia yang tidak sedikit. Sekitar tiga juta orang meninggal, belasan ribu dikirim ke Pulau Buru, dan jutaan lainnya menerima perlakuan diskriminatif. Orde Baru, yang dipimpin Soeharto, menciptakan perangkat hukum yang
melegitimasi berbagai tindakan aniaya terhadap masyarakat dengan cap komunis pada
waktu itu.
Pengiriman ribuan orang ke Pulau Buru, contohnya , sebetulnya demi mengamankan
rezim yang baru lahir agar menang dalam pemilihan umum pertama di era Orde Baru, pada
1971. Seharusnya pemerintah sementara pengganti Soekarno menggelar pemilu pada 1968.
namun , sebab Soeharto-yang saat itu menjadi penanggung jawab keamanan-belum siap,
hajatan nasional itu ditunda.
Mem-Buru-kan ribuan orang itu, dengan klasifikasi Golongan "B", disahkan dengan
surat Panglima Komandan Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) No. KEP
009/KOPKAM/2/1969, yang ditandatangani Maraden Panggabean atas nama Soeharto.
Jaksa Agung yang bertanggung jawab kepada Pangkopkamtib melengkapi aturan hukum lain
untuk "melegalkan" penahanan di Pulau Buru, 1969-1979.
Adapun Golongan "C", atau yang dianggap terpengaruh ideologi kiri, sesudah ditahan
mendapat "hukuman" dalam bermasyarakat, seperti dilarang menjadi pegawai negeri,
menjadi anggota parlemen, bahkan ikut pemilihan umum. Pemerintah membakukan
beberapa peraturan pembenaran diskriminasi itu, seperti Instruksi Menteri Dalam Negeri
No. 32/1981, yang melarang orang yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan
G30S menjadi pegawai negeri, tentara, pendeta, guru.
Pertanyaan itu memang tetap menggantung: bersalahkah Soeharto dalam tragedi
1965? Memang, terutama sesudah reformasi, para korban "gempa politik" itu melakukan
beberapa usaha hukum menuntut pemerintah-bukan Soeharto langsung-agar bertanggung
jawab, dengan cara merehabilitasi nama dan memberikan ganti rugi. namun semua tuntutan
itu kandas.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun membentuk tim untuk
menyelidiki pengiriman paksa ribuan orang ke Pulau Buru, sebagai pelanggaran berat hak
asasi manusia. Anggota Komnas HAM, M.M. Billah, membentuk tim dan membuat proposal.
namun , ternyata, metodologi penyelidikan yang ditawarkan Billah tidak disetujui Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada pertengahan 2004.
Menurut Billah, gugatan terhadap Soeharto untuk masalah pelanggaran hak asasi
manusia di Pulau Buru ini bisa dihidupkan kembali jika tujuh dari 20 anggota Komnas HAM
menyetujuinya. "namun , itu juga belum jaminan penyelidikan itu akan berlanjut, sebab harus
kembali minta persetujuan DPR," kata Billah. Dia mengakui, berat sekali mengangkat masalah
pelanggaran berat hak asasi Pulau Buru hingga ke pengadilan. "Masing-masing kepala memiliki
kepentingan," ia menambahkan, seperti bertamsil. Mungkin jawaban seperti itulah yang
membuat orang seperti Svetlana cenderung pesimistis.
l ima belas Januari 1974. Mahasiswa turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi menentang kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Jepang. Tanaka dianggap
sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari
Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan:
pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan
pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan.
namun aksi ini lalu berujung pada kerusuhan.
Menurut Hariman, aksi mahasiswa usai pukul 14.30. "Sedangkan kerusuhan terjadi
satu jam lalu ," katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar
Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan dan membakar mobil
buatan Jepang dan toko-toko.
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro
sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berusaha membelokkan
gerakan massa yang mengarah ke Istana Presiden. "Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke
Kebayoran!" teriaknya. "Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, susaha
jangan sampai ke arah Monas...."
Massa tak beranjak. Kepada Tempo beberapa tahun silam, Soemitro mengaku sudah
menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Tanaka sudah bersedia, namun
DM-UI menjawab bahwa "dialog diganti dengan dialog jalanan...."
namun Jakarta sudah telanjur menjadi karang abang. Hari itu belasan orang tewas,
ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, dan ratusan
bangunan rusak. Ini masih ditambah 160 kilogram emas yang hilang dari beberapa toko
perhiasan. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka menumpang helikopter ke
Bandara Halim sebelum bertolak kembali ke negerinya.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, diseret ke
pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. sesudah empat bulan sidang,
vonis enam tahun penjara mesti ia tanggung.
"Saya dianggap merongrong kewibawaan negara," kata Hariman saat ditemui,
Maret 2006. Harga yang harus ia bayar pun kelewat mahal. Saat menghuni hotel prodeo
itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal.
Peristiwa yang dikenal sebagai Malari itu mengubah perjalanan Indonesia. Sebab,
menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya, sesudah itu Soeharto
melakukan represi secara sistematis. Sjahrir, yang ikut ditahan sesudah peristiwa itu,
menilai Malari yaitu bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.
Total aparat menggaruk 750 orang-50 di antaranya pemimpin mahasiswa dan
cendekiawan, seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman
Tolleng, dan Aini Chalid. "Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto,
tanggal 17 gue ditangkap," Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang
menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud
meredam aksi mahasiswa.
Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dari mereka
dibebaskan setahun sesudah meringkuk di penjara, sebab terbukti tak terlibat. Pengadilan
berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman.
Sampai detik ini, persoalan kerusuhan itu tak pernah terungkap. Sjahrir
mengungkapkan pengadilan tak mampu membuktikan mahasiswa ada di balik aksi
pembakaran mobil dan perampokan itu. Tak mengherankan jika muncul dugaan bahwa
petaka Malari yaitu bara yang memercik akibat rivalitas antara Jenderal Soemitro dan Ali
Moertopo (asisten pribadi Presiden dan Kepala Operasi Khusus waktu itu). Soemitro
dituding memiliki ambisi kekuasaan seperti disebut dalam Dokumen Ramadi. Menurut Asvi
Warman, Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Ali Moertopo.
Almarhum Soemitro pernah mengaku menanyai Ali Moertopo soal isu rivalitas-jauh
sebelum Malari meletus. "Li, suara di luar mengatakan kamu rival saya. Itu tidak bisa, saya
ini masih militer, tak memiliki tujuan politik. Kamu bintang dua, saya bintang empat. Kamu
Deputi Bakin, saya Pangkopkamtib dan Wapangab. Jarak kita terlalu jauh untuk jadi rival.
namun , kalau kamu mau jadi presiden, itu hakmu." Saat itu Ali Moertopo langsung
membantah. "O, tidak. Tidak ada pikiran seperti itu," kata Soemitro mengutip jawaban Ali.
Peristiwa Malari membuat kedua jenderal itu akhirnya kehilangan jabatan. Soeharto
mencopot Soemitro dari kursi Panglima Kopkamtib/Wapangab. Sementara dia juga
membubarkan lembaga Aspri. Namun beberapa tahun lalu Soeharto masih memakai
Ali Moertopo untuk berbagai jabatan di birokrasi.
Kini, lebih dari tiga dekade sudah lewat, misteri masih menyelimuti peristiwa itu.
Dalam biografinya, Soeharto tak menyinggung periode kelam itu. Hariman sekarang
hanya bisa berharap agar pemerintah segera muatu malam, 26 Juli 1983, nun di Lubuk Pakam, 40 kilometer dari Medan. Dari
remang-remang, Suwito, pemilik dua warung di desa itu, melihat lima orang yang
menghampirinya. Mereka meminta Suwito mengikuti mereka sebab butuh
keterangan.
Tanpa curiga, Suwito naik ke mobil Landrover putih penjemput. Di dalam mobil,
mereka bertanya soal Usman Bais, pemimpin perampok terkenal dari Medan saat itu yang
pernah makan di warungnya. Suwito membantah memiliki hubungan dengan sang perampok,
apalagi saat mereka menuduh Usman Bais sebagai orang yang memberi modal untuk
warungnya.
Menurut cerita Suwito, ia dibawa berputar-putar di pinggiran Medan selama dua
jam. Ia sempat difoto dua kali. Di Desa Hamparan Perak yang sepi, Suwito dipaksa turun.
Seorang penjemputnya ikut turun. "Orangnya sedang-sedang, tegak, namun agak pincang,"
kata Suwito.
Begitu turun, laki-laki pincang mencabut pistolnya. "Tiga kali dor, saya jatuh. Saya
masih bisa mendengar salah seorang penjemput menyuruh susaha kepala saya ditembak.
namun orang yang diperintah bilang saya sudah mati, sesudah meraba perut saya," kata Suwito.
Ia memang menahan napas berpura-pura mati. Suwito lalu dilempar ke parit di pinggir jalan.
Pada 1983, adegan seperti itu terjadi di mana-mana di segenap penjuru Indonesia
yang kelak dikenal sebagai peristiwa Petrus (Penembak Misterius). Kala itu, warga Jakarta
dan kota-kota besar lain di Indonesia menjadi terbiasa dengan mayat-mayat bertebaran.
Namun, mereka sama sekali tak mengetahui siapa pembunuhnya.
Pemerintah pada awalnya enggan menjelaskan penemuan mayat-mayat itu. Aparat
keamanan pun menepis keterlibatan mereka. Panglima ABRI saat itu, Jenderal L.B.
Moerdani, contohnya , hanya menyatakan bahwa pembunuhan terjadi akibat perkelahian
antargeng. Pembunuhan yang bertubi-tubi itu, menurut Benny, bukan keputusan
pemerintah. Memang, katanya, "Ada yang mati ditembak petugas, namun itu akibat mereka
melawan petugas."
Namun, dalam buku biografi Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, Soeharto justru
"mengesahkan" adanya petrus itu. Ia menyatakan, penembakan misterius itu sengaja
dilakukan sebagai terapi kejut untuk meredam kejahatan.
"Kejadian itu misterius juga tidak. Masalah yang sebetulnya yaitu bahwa kejadian
itu didahului ketakutan oleh rakyat," kata Soeharto, yang tertulis pada Bab 69 biografinya.
Orang-orang jahat itu, kata dia, sudah bertindak melebihi batas-batas perikemanusiaan.
"Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas," tuturnya.
"Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. namun kekerasan itu bukan lantas
dengan tembakan, dor-dor, begitu saja. Bukan! namun yang melawan, ya, mau tidak mau
harus ditembak. sebab melawan, maka ditembak," demikian penuturan Soeharto melalui
biografinya.
Tak ada angka resmi jumlah korban petrus itu. Hingga Juli 1983, menurut Benny
Moerdani, tercatat ada 300 korban di seluruh Indonesia. Jumlah sebetulnya bisa dipastikan
lebih dari itu sebab banyak bandit yang mayatnya tanpa bekas.
Mulyana W. Kusumah, pakar kriminologi yang melakukan riset soal Petrus,
menyebutkan bahwa yang menjadi korban mencapai angka 2.000 orang. Menteri Luar
Negeri Belanda kala itu, Hans van den Broek, pada 1984 meminta pemerintah Indonesia
menghormati hak asasi manusia, bahkan menyebutkan korban Petrus mencapai 3.000
orang.
Bertahun-tahun lalu , keterlibatan pemerintah dalam pembunuhan misterius
itu mulai terkuak. Menurut penelitian Mulyana, Petrus merupakan lanjutan dari Operasi
Pemberantasan Kejahatan di beberapa kota besar.
Mula-mula, operasi ini dicanangkan oleh Komandan Garnisun Yogyakarta Letnan
Kolonel M. Hasbi pada Maret 1983. Lalu diikuti daerah-daerah lain, termasuk Jakarta.
Ribuan gali-ini sebutan bagi preman-ditembak, sebagian di antaranya buru-buru menyerah,
kabur ke hutan, atau segera berubah menjadi orang baik-baik.
Bagi pemerintah, keputusan untuk "menyelenggarakan" Petrus dianggap positif.
Angka kejahatan disebutkan menurun waktu itu. Di Yogyakarta, jumlah kejahatan dengan
kekerasan menurun dari 57 menjadi 20 sejak Januari hingga Juni 1983. Pada periode yang
sama, angka kejahatan di Semarang turun dari 78 menjadi 50 kali.
Namun, cara mengatasi kejahatan dengan Petrus tentu saja menuai kecaman.
Mulyana pada kesimpulan penelitiannya menyebut aksi penembakan misterius ini
"ekstralegal" yang bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan. Lembaga Bantuan
Hukum, yang kala itu dipimpin Adnan Buyung Nasution, menganggap aksi Petrus sebagai
"pembunuhan terencana".
gerimis merinjis Talangsari, pagi 19 tahun silam itu. Harinya Senin, 7 Februari 1989.
Umat Islam baru saja membenahi salat subuh. Tiba-tiba terdengar tembakan,
gencar menyiram bangsal pengikut Warsidi di dukuh yang masuk bilangan Way
Jepara, Lampung Tengah itu. Pekik tangis pecah ke angkasa, bersama desing peluru.
Empat peleton pasukan Brigade Mobil dari Komando Resor Militer Garuda Hitam,
Lampung Tengah, mara bagai dirasuk dendam. Mereka dipimpin Kolonel A.M.
Hendropriyono. Sehari-hari, jamaah Warsidi dikenal sebagai kelompok pengajian. namun
militer menuduh mereka mempersiapkan negara Islam.
Sebelumnya, beberapa kali polisi berselisih dengan anggota kelompok ini. Komandan
Rayon Militer (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, pernah memanggil Anwar, tokoh
kelompok itu. Anwar menolak, malah meminta Soetiman datang ke rumahnya. Camat Way
Jepara, Zulkifli, lalu mengirim surat panggilan. Anwar tetap menolak.
Ditemani beberapa serdadu, Soetiman dan Zulkifli lalu meluncur ke rumah
Anwar. Menurut versi tentara, rombongan ini dihujani anak panah dan batu katapel.
Soetiman tewas. Menyusullah lalu subuh bersimbah darah itu.
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara, korban tewas 27 orang. namun
beberapa lembaga swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas. Pemerintah
memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta dan Jawa Tengah. Beberapa pengikut tertangkap,
dijebloskan ke bui.
Seperti tragedi kemanusiaan lainnya, suara korban Talangsari baru didengar sesudah
Soeharto jatuh, 21 Mei 1998. Korban dan aktivis kemanusiaan menuntut pemerintah segera
mengadili pelaku penembakan.
Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim
ad hoc untuk menyelidiki masalah ini. Hasilnya tak jelas. Belakangan, Komnas membentuk tim
penyelidikan. Tim ini terjun ke lapangan mewawancarai korban, keluarga korban, dan
beberapa pelaku. Penyelidikan itu selesai pada pertengahan Mei 2006.
Penyelesaian masalah ini berkelok. Hasil kerja tim masih harus memasuki tahap analisis
hukum. Pada tahap ini akan ditilik apakah tragedi Talangsari masuk kategori pelanggaran
berat atau ringan. Hasil analisis itu pun harus dirapatkan lagi di pleno Komnas HAM.
Jika pleno menilai tidak ada pelanggaran berat hak asasi manusia, masalah ini
cukup diselesaikan lewat peradilan umum. namun , jika ada pelanggaran berat hak asasi,
penyelesaiannya bisa lewat dua pintu: Undang-Undang No. 26/2000 tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia, atau justru cukup lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Jalan berliku itu diprotes beberapa aktivis hak asasi manusia dan korban Talangsari.
Ahmad Fauzi Isnan, yang divonis 20 tahun penjara, berharap Komnas HAM bisa
menyelesaikan masalah ini. Tentara yang terlibat, katanya, kini sudah jadi petinggi, malah
berambisi menjadi penguasa. "Dengan segala cara, mereka akan berusaha agar tidak
disebut penjahat perang," katanya.
beberapa korban lain berharap pemerintah segera menuntaskan masalah ini. "Kami
mendesak pemerintah segera membawa masalah ini ke pengadilan. Jangan berlama-lama,"
kata Azwir Kaili, ketua keluarga korban Talangsari.
Hendropriyono sendiri lebih memilih jalur damai. Pada Februari 2000, saat
menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ia mengundang 80 korban dan keluarga
korban ke rumahnya di Jakarta, membahas jalur islah. Jalur damai ini ditentang beberapa
korban. Belakangan, beberapa korban yang ikut islah malah menarik diri. Kini masalah ini
masih di tahap analisis hukum di Komnas HAM.
huru-hara ini bermula dari sebuah poster. Berjudul "Agar Wanita Memakai Pakaian
Jilbab", poster itu menempel di Musala As-Sa'adah, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Sebuah anjuran yang biasa-biasa saja, namun pada 14 September 1984 poster itu bisa
menciptakan malapetaka.
Situasi politik saat itu memang melaju ke titik didih. Pemerintah Soeharto getol
berkampanye soal asas tunggal Pancasila, yang ditentang keras beberapa kalangan muslim.
Syahdan, suatu pagi 7 September 1984, Sersan Satu Hermanu, anggota Babinsa Koja
Selatan, Jakarta Utara, meminta warga mencopot poster di musala itu. Warga menolak.
Esoknya, Hermanu datang lagi menghapus poster itu dengan koran yang dicelup ke air got.
Lalu, mengalirlah desas-desus Hermanu masuk musala tanpa melepas sepatu.
Musala itu pun kotor. Warga yang marah hendak menghajar sang Babinsa. Ia selamat
sebab dilindungi seorang tokoh masyarakat. Gagal menghajar Hermanu, warga membakar
sepeda motornya.
Tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Tanjung Priok segera menyatroni
kawasan itu. Empat pemuda yang diduga membakar sepeda motor diangkut ke Kodim.
Warga meminta Amir Biki, seorang tokoh masyarakat Tanjung Priok, membebaskan
keempat pemuda. Gagal.
Warga yang protes lalu memenuhi Jalan Sindang Raya, Tanjung Priok. Di situ
beberapa tokoh unjuk bicara, termasuk Amir Biki. Selain mengecam kebijakan asas tunggal,
mereka menuntut pembebasan empat pemuda itu, paling lambat pukul 11 malam.
Jika tidak, aksi massa jalan terus. Kodim menolak.
Massa lalu bergerak ke kantor Kodim. Di tengah jalan, di depan kantor Polisi
Resor Jakarta Utara, massa dihadang polisi. Tembakan meletus. Huru-hara pun meledak dan
meluas. beberapa toko milik keturunan Tionghoa dijarah.
Versi resmi pemerintah, korban mati cuma 28 orang, namun keluarga korban
menghitung sekitar 700 warga tewas dalam tragedi itu. Amir Biki sendiri tewas diterjang
peluru. beberapa tokoh, seperti Qodir Djaelani, Tony Ardi, Mawardi Noor, dan Oesmany, ditangkap.
Selama pemerintahan Soeharto, masalah ini tak pernah diproses. Tuntutan penyelidikan terhadap masalah ini baru ramai sesudah Soeharto lengser. Korban dan keluarga korban mendesak pemerintah agar Soeharto dan beberapa tentara yang terlibat diseret ke
pengadilan. masalah ini diadili pengadilan ad hoc hak asasi manusia. Belasan pelaku diseret ke
muka hukum. Di antaranya Mayor Jenderal Sriyanto Muntasram, yang saat diadili menjabat
Komandan Kopassus. Sriyanto, yang saat kejadian menjabat Kepala Seksi Operasi II Kodim
0502, Jakarta Utara, dituduh terlibat peristiwa ini. Agustus 2004, pengadilan ad hoc pertama
memutus bebas Sriyanto. Putusan itu diperkuat Mahkamah Agung, September 2005.
Mayor Jenderal (Purn.) Pranowo, yang saat kejadian menjabat Kepala Polisi Militer
Kodam Jaya, juga diajukan ke meja hijau. Ia dituduh membiarkan anak buahnya menyiksa
pedan unjuk rasa yang ditangkap aparat saat itu. Hakim tidak menemukan keterlibatan
Pranowo dalam penyiksaan itu. Ia pun bebas.
Ada yang divonis bersalah di pengadilan pertama, namun bebas di pengadilan tinggi.
Mayor Jenderal (Purn.) Rudolf Adolf Butar-Butar, yang saat kejadian menjabat Komandan
Kodim 0502 Jakarta Utara, divonis sepuluh tahun penjara di tingkat pertama. Juni 2005,
Pengadilan Tinggi Daerah Jakarta membebaskan Butar-Butar. Belasan pelaku lapangan
divonis bervariasi di pengadilan pertama, dari dua hingga tiga tahun.
Putusan itu dikecam korban dan keluarga korban Tanjung Priok. "Tidak
memperhatikan rasa keadilan keluarga korban," kata Benny Biki, adik kandung Amir Biki. Ia
menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Keluarga korban mendesak pemerintah juga mengadili petinggi militer saat itu,
seperti Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, bekas wakil presiden yang saat kejadian menjabat
Panglima Kodam Jaya, Benny Moerdani (mantan Panglima ABRI, kini sudah almarhum), dan
Soeharto selaku presiden.
saat Kejaksaan Agung menghentikan proses hukum atas Soeharto sebab alasan
sakit, korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok mengajukan protes keras. "Kami
sangat terpukul dengan penghentian proses itu," kata Ratono, Ketua Ikatan Korban
Tanjung Priok. Soeharto, katanya, sudah memicu mereka kehilangan keluarga dan
harta benda. Harta benda mungkin bisa tergantikan. Kehilangan keluarga?
sabtu, 27 Juli 1996, pukul enam pagi. Kantor pusat PDI Jalan Diponegoro. Suasana
hening pecah oleh sebuah penggempuran. Kantor itu diserang 200 orang tak dikenal.
"Datanglah orang-orang kekar yang turun dari delapan truk pasir. Mereka biadab
sekali. Anak-anak kecil juga perempuan yang berada di trotoar mereka sikat dengan rotan
sepanjang 60 sentimeter," kata saksi, Albert Birhan, simpatisan PDI. Dengan brutal, aparat
keamanan bercampur dengan preman dan anggota organisasi pemuda pro-rezim Orde Baru
memukuli orang-orang yang berada di tempat itu.
Apakah yang sebetulnya terjadi?
Bukalah halaman sejarah Orde Baru. Kongres PDI di Medan tahun 1993 memilih
Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum. Menurut bekas Wakil Bendahara PDI
Soerjadi, Alex Widya Siregar, sejak Musyawarah Nasional 1994 di Jakarta yang memilih
Megawati sebagai Ketua Umum PDI, Presiden Soeharto merasa semakin gerah. "Pak Harto
tampaknya juga khawatir kalau Mega terus melaju," katanya kepada Tempo tiga tahun
sesudah peristiwa itu.
Pada 2 Juni 1996, Alex Widya Siregar diminta Kepala BIA Syamsir Siregar untuk
mempertemukan ABRI dengan tokoh-tokoh PDI. Hasilnya, Kepala Staf Sosial Politik ABRI
Syarwan Hamid bertemu Soetardjo Soerjogoeritno dan Panangian Siregar.
Empat hari lalu , pertemuan itu dilanjutkan di kantor BIA. Saat itu diputuskan,
figur yang paling tepat menandingi Megawati yaitu Soerjadi. Syarwan Hamid dan Direktur
A BIA, Zacky Anwar Makarim, menurut Alex, langsung menghubungi Soerjadi. "Saat itu
Soerjadi minta syarat, mau menjadi ketua umum hanya jika diterima oleh Pak Harto," ujar
Alex.
Pada 16 Juli tahun yang sama, rapat PDI Soerjadi memutuskan Alex memimpin tim
yang bertugas mengambil alih kantor PDI di Jalan Diponegoro. Menurut kesaksian Letnan
Jenderal (Purn) Suyono, bekas Kepala Staf Umum ABRI, penyerbuan itu mulai dimatangkan
sesudah diadakan pertemuan di rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana pada 19 Juli. Saat
itu Presiden Soeharto, di hadapan beberapa petinggi militer dan Polri, mengungkapkan
keresahannya terhadap Megawati dan pengikut-pengikutnya.
Rencana penyerbuan pada 23 Juli yang dipimpin Alex ternyata gagal, sebab preman
yang disewa Alex dianggap berkhianat dan membocorkan rencana itu. "Akhirnya saya
batalkan," kata Alex. Tiga hari lalu massa dikumpulkan di lantai 5 Gedung Artha
Graha. Alex juga sowan ke Pangdam Sutiyoso, tentang rencana penyerbuan pada 27 Juli
1996. "Sutisoyo berkata, selaku Pangdam, ia wajib berada di lokasi kerusuhan untuk tahu
permasalahan," ujar Alex.
Pada Kamis 25 Juli, Presiden Soeharto menerima Ketua Umum DPP PDI Soerjadi dan
10 fungsionaris partai di Bina Graha, Jakarta. Pertemuan inilah yang mengakhiri spekulasi
politik seakan DPP PDI Soerjadi belum diakui pemerintah. Dalam pertemuan selama 70
menit itu, lebih lama 40 menit dari yang dijadwalkan, lahirlah istilah baru "setan gundul".
"Beliau (Soeharto-Red) menyebut orang-orang yang menunggangi masalah di PDI
sehingga berlarut-larut sebagai setan gundul. Beliau menyebutnya sambil guyon, kami tidak
tahu siapa yang dimaksudkan oleh beliau," ujar Soerjadi saat dihubungi Tempo sesudah
hampir 10 tahun peristiwa itu terjadi.
Pernyataan Presiden Soeharto itulah yang lalu menjadi alasan pembenaran
oleh aparat keamanan untuk menyerbu kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat,
pada Sabtu pagi, 27 Juli. Menurut Soerjadi, pihaknya tidak diberi tahu akan ada "acara ambil
paksa" kantor pusat PDI dari tangan pendukung PDI Megawati Soekarnoputri. "Saya sama
sekali tidak tahu, bahkan sampai saat saya ditahan, saya tak tahu kenyataan yang
sebetulnya terjadi pada 27 Juli 1996 itu," katanya.
Para pendukung Megawati menduga ada ratusan orang tewas akibat serbuan itu.
Ketua PDI Perjuangan Jakarta Selatan Audy Tambunan menyebutkan, korban dimakamkan
secara massal di pekuburan Pondok Rangon, Jakarta Timur. Menurut laporan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, dari peristiwa itu cuma lima orang yang tewas, 149 luka-luka,
dan 23 orang hilang. Laporan lembaga yang dipimpin oleh bekas Menteri Agama Munawir
Sjadzali itu mencurigai "keterlibatan langsung pemerintah". Jika didengar dari para saksi,
diduga lebih dari 30 orang tewas.
Pemerintah menahan 124 orang pengikut Megawati yang berada di tempat saat
penyerangan. Sedangkan "setan gundul" yang dimaksudkan Presiden Soeharto dicokok dan
ditahan. Budiman Sudjatmiko dan anggota Partai Rakyat Demokratik, yang dideklarasikan
empat hari menjelang kerusuhan 27 Juli, menjadi "kambing hitam" dan "setan gundul"
yang hendak "dibersihkan" Soeharto. Budiman dan kawan-kawan diberi ampunan Presiden
B.J. Habibie sesudah Soeharto tak lagi berkuasa dua tahun sesudah peristiwa 27 Juli 1996.
laki-laki itu selalu melontarkan tanya yang sama. Ke mana perginya laki-laki yang ia cintai.
Ke mana perginya dua tangan lembut itu? Beribu-ribu pertanyaan menerjang benak
Zarkani (nama disamarkan). "Sudah matikah ayahku? Bila sudah, di mana kuburnya?"
Zarkani terus bertanya kepada siapa saja yang ia temui. Hingga sebelum dua tahun lalu,
tanya itu masih nyaring terdengar. Kini, Zarkani entah ke mana.
Kewarasan laki-laki tinggi kelahiran 1969 ini melayang sejak ia berusia 20 tahun. Kisah
pilu Zarkani bermula saat ayahnya dipanggil ke markas TNI (saat itu masih ABRI) di Krueng
Pase, Aceh Utara. Pemerintah rezim Soeharto saat itu sudah menetapkan Aceh sebagai
daerah operasi militer (DOM). Sejak itulah ayah Zarkani tak pernah kembali. Dan laki-laki itu
terus menanti dan bertanya.
Suatu kali Zarkani menggelepar di kubangan darah hewan kurban yang disembelih di
halaman masjid sambil berteriak, "Ini darah ayahku." Di lain waktu, dia membuat gundukan
di halaman rumah dan berkata, "Ini makam ayahku."
Di bumi Seulawah ribuan anak terhimpit kesedihan seperti Zarkani. Mereka menanti
ayah pulang. Hari, minggu, bulan, musim, tahun berlalu, sang ayah tetap saja tak ada kabar.
Operasi militer yang berlangsung pada 1989?1998. Pada masa itu sekitar 300
personel Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dilatih di Libya kembali ke Aceh.
Berbekal keyakinan dan senapan seadanya, tentara GAM menyerang pos-pos TNI dan Polri.
Perang gerilya tak terbendung.
Itulah yang terjadi di Syantalura. Saat itu kawasan kilang minyak dan gas Arung, Aceh
Utara itu masih menikmati pagi. Polisi-polisi penjaga sedang mengecap udara segar. Tiba-
tiba, segerombolan orang menggeruduk dan melepaskan rentetan tembakan ke pos polisi.
"Sebuah peluru menyambar seorang polisi berpangkat kopral satu," kata Ramli Ridwan,
mantan Bupati Aceh Utara.
Ramli menuturkan, aksi saling bunuh antara TNI dan GAM meletus sejak Teungku
Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976. ABRI
menggempur mereka. Namun, Tiro dan pemimpin GAM lainnya kabur ke Swedia sesudah
tujuh tahun buron di Tanah Rencong. Gerakan ini lalu diteruskan oleh tentara-tentara
muda didikan Libya.
keadaan gawat itu membuat Gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengumpulkan bupati,
tokoh masyarakat juga komandan tentara di Komando Resor Militer (Korem)
011/Lilawangsa di Lhokseumawe. Mereka lalu sepakat membawa masalah ini ke Jakarta.
Di Jakarta, Presiden Soeharto dengan cekatan segera memerintahkan 6.000
Kopassus ditambah di Aceh. Sampai Mei 1990, jumlah pasukan di sana menjadi 12 ribu
orang. Operasi ini dikenal sebagai Operasi Jaring Merah. Sjafrie Sjamsoeddin, Prabowo
Subianto, dan Syarwan Hamid pernah memimpin operasi itu.
Operasi militer yaitu cara khas Soeharto dalam menyelesaikan konflik daerah. Cara
itu pula yang dipakai meredam gejolak di Papua. Saat itu, sebagian warga di sana kecewa
atas hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1 Desember 1969 yang berisi keputusan
menyerahkan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia. Padahal, menurut versi mereka,
pemerintah Hindia Belanda sudah berjanji bakal memberikan kemerdekaan kepada bangsa
Papua Barat, 1 Desember 1971.
Jauh sebelum Pepera, beberapa tokoh politik di sana seperti Ferry Awom
memproklamasikan Papua merdeka di Manokwari, 28 Juli 1965. Mereka juga merekrut
pemuda-pemuda Biak untuk perang gerilya. Salah satu kelompok gerilya Operasi Papua
Merdeka (OPM) yang memiliki gigi yaitu kelompok Mandacan.
"Bisul" di Indonesia bagian timur itu "diobati" Soeharto dengan terus menambah
pasukan. Mantan Kepala Staf Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayjen (Purn.)
Samsuddin mengisahkan, "Menjelang Pemilu 1977 Papua mencekam. Pasukan
mengamankan keadaan selama pemilu," kata laki-laki yang bertugas di sana sejak 1975 itu.
Sejarah lalu mencatat, senapan, meriam, dan darah ternyata tidak sepenuhnya
memulihkan Papua dan juga Aceh. Di Aceh, ribuan anak dan wanita terhimpit kepedihan
perang. Tim Pencari Fakta Komisi Nasional HAM melaporkan, selama DOM sekitar 3.000
wanita jadi janda dan 20 ribu anak menjadi yatim. Sebagian dari jumlah itu akhirnya
kehilangan kewarasan seperti Zarkani, sebagian lagi malah diperkosa.
Di Papua sama saja. Aktivis penolak Pepera, Arnold Clemens A.P., ditembak mati.
Sebanyak 10 ribu warga Papua sampai mengungsi ke Papua Nugini. Dalam diam, Papua
terus bergejolak.
Sejarah sudah mencatat jejak kelam sepatu lars di dua daerah itu.
Orang Hilang Dibawa Sampai Mati
adili Soeharto..., gantung Soeharto.... Adili." Yel-yel seperti itu diteriakkan ibu-ibu dan
puluhan aktivis dari Ikatan Orang Hilang Indonesia (Ikohi), sambil menyeret patung
mantan presiden Soeharto dalam kerangkeng besi. Mereka berjalan dua kilometer
dari Tugu Proklamasi sampai kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di kawasan
Menteng, Jakarta Pusat. Prosesi serupa kerap dilakukan para aktivis hingga kini.
Walaupun sudah sepuluh tahun Soeharto tak berkuasa, para keluarga korban
penculikan masih menuntut pengadilan terhadap penguasa Orde Baru itu. Mereka yaitu
orang tua dan keluarga korban penculikan yang tak pernah kembali dan tak ketahuan di
mana kuburnya. Menurut Ketua Ikohi, Mugiyanto, mereka yakin Soeharto terlibat dalam
masalah penghilangan paksa para aktivis itu.
"Dalam sebuah wawancara di majalah Panjimas, bekas Pangkostrad Prabowo
Subianto mengaku diberi 28 nama aktivis yang harus diawasi. Daftar nama itu juga diberikan
Soeharto kepada perwira militer lainnya, dan mereka itu yang termasuk hilang sampai kini,"
ujar Mugiyanto.
Menurut Mugi, ada tiga periode penting penghilangan paksa menjelang masa akhir
Soeharto berkuasa. Periode pertama yaitu "periode pengamanan" Pemilihan Umum 1997.
Saat itu, koalisi PDI dan PPP, yang menyebut dirinya "Mega Bintang", tengah menguat. Pada
periode ini aktivis yang hilang yaitu mereka yang dikenal dekat dengan kedua partai
musuh Golkar, kendaraan politik Soeharto waktu itu. Para korban yaitu Yani Afri dan Soni,
aktivis dari PDI, dari PPP, Dedi Hamdun dan Noval Al-Katiri. Periode kedua, menjelang Sidang Umum MPR. Pius Lustrilanang, Desmond Junaidi
Mahesa, Haryanto Taslam, dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) seperti Nezar Patria,
Rahardjo Waluyo Jati, Andi Arif, Feisol Reza, Wiji Tukul, termasuk Mugiyanto, merasakan
penghilangan "paksa" itu (baca Kuil Penyiksaan Orde Baru).
Tak lama lalu sembilan orang dikembalikan, sesudah diteror dan disiksa. "Saya
disekap tiga hari, disetrum, disiksa, lalu diantar ke Polda dan ditahan selama tiga bulan,"
ujar Mugiyanto, 35 tahun. Saat itu Mugi yaitu mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rahardjo Waluyo Jati merasakan hal yang sama. "Selama tiga hari pertama sejak
diculik, tangan saya diborgol, kaki diikat, disetrum, dipukuli. Bahkan saya ditelanjangi dan
ditidurkan di atas balok es," ujarnya saat memberikan kesaksianya di Komnas HAM. Jati
disekap mulai 12 Maret sampai 28 April 1998.
sesudah tiga hari, Jati dipindahkan ke ruang bawah tanah. Di tempat itu ia bertemu
aktivis asal Bandung, Pius Lustrilanang. Menurut Pius, kamar nomor lima pernah dihuni Soni
dan Yani Afri, pendukung PDI pro-Megawati, Dedi Hamdun dan Lukas, dosen asal Timor
Timur. Selama dalam penjara bawah tanah, Jati pernah dikunjungi dua orang. "Mungkin
atasan penculik, dari baunya ia memakai parfum mahal. Dua orang itu diantar lima orang
lainnya. Semua orang itu memakai topeng," katanya.
Periode ketiga, mereka yang hilang pada saat kerusuhan Mei 1998. "Yang hilang
yaitu para saksi yang melihat langsung sekelompok orang terkoordinasi membakar pasar
atau mal saat penjarah masih banyak di dalamnya," ujar Mugi. Para korban yang hilang itu
tak semuanya terdiri dari aktivis. Ada korban yang bekerja sebagai pengamen atau
karyawan, di antaranya bernama Ucok Munandar, Yadi, Abdul Nasser. "Sampai kini mereka
tak ketahuan kabarnya, namun ada yang melihat mereka diambil paksa," katanya.
Menurut Mugi, lembaga Ikohi sudah mengajukan permintaan agar tim ad hoc
Komnas HAM menyelidiki peran bekas presiden Soeharto untuk mengungkap masalah
penghilangan paksa 1997-1998. Tim ini bisa bergerak dengan memanggil paksa pihak TNI
dan Polri yang diduga terlibat. "dahulu janji Komnas HAM begitu. Kami juga menyerukan
kepada segenap rakyat Indonesia yang mencintai keadilan agar bersama-sama menolak
memaafkan Soeharto sebelum ada pengadilan yang jujur dan adil," ujar Mugi.
peristiwa itu terjadi sepuluh tahun lalu, namun semuanya masih tetap basah dalam
ingatan. Kami berempat: Aan Rusdianto, Mugiyanto, Petrus Bima Anugerah, dan saya
yaitu anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Baru
sepuluh hari kami bertempat tinggal di rumah susun Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur itu.
Tak seorang tetangga pun tahu bahwa kami anggota gerakan antikediktatoran.
Saat itu, Maret 1998, politik Indonesia sedang panas. Di tengah aksi protes
mahasiswa, Sidang Umum MPR kembali mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI. Di
kampus, gerakan menentang rezim Orde Baru kian marak. Setiap hari, kemarahan membara
di sekujur negeri. Kota-kota dibungkus selebaran, spanduk, dan poster. Indonesia pun
terbelah: pro atau anti-Soeharto.
Sejak dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (namun tak pernah terbukti di
pengadilan), SMID dan semua organisasi yang berafiliasi ke Partai Rakyat Demokratik (PRD)
dinyatakan oleh pemerinah sebagai organisasi terlarang. Sejak itu, hidup kami terpaksa
berubah. Kami diburu aparat keamanan Orde Baru. Maka, tak ada jalan lain kecuali bergerak
gaya bawah tanah. Nama asli berganti alias. Setiap kali berpindah rumah, harus menyaru
sebagai pedagang buku atau lainnya.
namun petualangan bawah tanah itu berhenti pada 13 Maret 1998. Malam itu, sekitar
pukul tujuh, saya baru saja pulang dari Universitas Indonesia, Depok. Ada rapat mahasiswa
sore itu di sana. Aan, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang sudah berada di rumah.
sesudah mandi, saya menjerang air. Mugiyanto berjanji pulang satu jam lagi, dan dia akan
membeli makan malam. Sementara, Bima Petrus berpesan pulang agak larut.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Begitu Aan membuka pintu, empat laki-laki kekar
merangsek masuk. Mereka menyergap dan memiting tangan Aan. Saya kaget. Sekelebat
saya melongok ke arah jendela. Kami berada di lantai dua, dan di bawah sana beberapa
"tamu tak diundang" sudah menunggu. Mereka memakai seibo (penutup wajah dari wol),
namun digulung sebatas tempurung kepala. Wajah mereka masih terlihat jelas. "Mau mencari
siapa?" tanya saya. "Tak usah tanya, ikut saja," bentak seorang laki-laki . sesudah
mencengkeram Aan, dua lainnya mengapit saya. Kami digiring menuruni tangga. Saya agak
meronta, namun dengan cepat seseorang mencabut pistol. Sekejap, kesadaran saya bicara:
saya diculik! Dan dua mobil Kijang sudah menunggu di bawah.
Di dalam mobil, mata saya ditutup kain hitam. Lalu mereka menyelubungi kepala
saya dengan seibo itu. Saya juga merasa mereka melakukan hal yang sama pada Aan.
Dompet saya diperiksa. Sial, mereka mendapat KTP saya dengan nama asli. "Wah, benar, dia
Nezar, Sekjen SMID!" teriak salah satu dari mereka.
Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar
berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam lalu . Tak
jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, "Merpati, merpati." Agaknya
itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka.
Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara
terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya
didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. sesudah itu, menyusul
bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu
patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur.
sesudah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel.
Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. sebab tak puas dengan jawaban,
alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. "Kalian
bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?"
tanya suara itu dengan garang.
Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. namun belum
pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk.
Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun
menyengat dari paha sampai dada.
"Allahu akbar!" saya berteriak. namun mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu
setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak
sadar, namun masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar
jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap.
entah pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga.
Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati,
tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat
listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan
Mugiyanto. Rupanya, dia "dijemput" sejam sesudah kami ditangkap. Hati saya berdebar
mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat
konspirasi rencana penggulingan Soeharto.
Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung
dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental.
Pernah, sesudah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin
itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, sebab mata tertutup, dan orientasi waktu hilang.
Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah
bertugas di Aceh dan Papua segala.
klik. Suara pistol yang dikokang yang ditempekan ke pelipis saya.
"Sudah siap mati?" bisik si penculik. Saat itu mungkin matahari sudah terbenam.
Saya diam.
"Sana, berdoa!"
Kerongkongan saya tercekat. Ajal terasa begitu dekat. Tak seorang keluarga pun tahu
bahwa hidup saya berakhir di sini. Saya pasrah. Saya berdoa agar jalan kematian ini tak
begitu menyakitkan. namun "eksekusi" itu batal. Hanya ada ancaman bahwa mereka akan
memantau kami di mana saja.
Akhirnya kami dibawa ke suatu tempat. Terjadi serah-terima antara si penculik dan
lembaga lain. Belakangan, diketahui lembaga itu Polda Metro Jaya. Di sana kami bertiga
dimasukkan ke sel isolasi. Satu sel untuk tiap orang dengan lampu lima belas watt, tanpa
matahari dan senam pagi.
Hari pertama di sel, trauma itu begitu membekas. Saya takut melihat pintu angin di
sel itu. Saya cemas, kalau si penculik masih berada di luar, dan bisa menembak dari lubang
angin itu. Ternyata semua kawan merasakan hal sama. Sepekan lalu , Andi Arief (kini
Komisaris PT Pos Indonesia) diculik di Lampung. sesudah disekap di tempat "X", dia
terdampar juga di Polda Metro Jaya.
Sampai hari ini, peritiwa itu menjadi mimpi buruk bagi kami, terutama mengenang
beberapa kawan yang hilang dan tak pernah pulang. Mereka yaitu Herman Hendrawan,
Bima Petrus, Suyat, dan Wiji Thukul.
sesudah reformasi pada 1998, satu regu Kopassus yang disebut Tim Mawar sudah
dihukum untuk kejahatan penculikan ini. Adapun Dewan Kehormatan Perwira
memberhentikan bekas Danjen Kopassus Letnan Jenderal Prabowo sebagai perwira tinggi
TNI. Prabowo mengaku hanya mengambil sembilan orang. Semuanya hidup, dan sudah
dibebaskan.
Pada 1999, majalah ini mewawancarai Sumitro Djojohadikusumo, ekonom dan ayah
kandung Prabowo. Dia mengatakan penculikan dilakukan Prabowo atas perintah para
atasannya. Siapa? "Ada tiga: Hartono, Feisal Tanjung, dan Pak Harto," ujar Sumitro. Lalu kini
apakah kami, rakyat Indonesia, harus memaafkan Soeharto?
Doa saya untuk kawan-kawan yang belum (atau tidak) kembali.
kedungombo, 19 tahun silam. Usai meresmikan penggunaan waduk di Jawa Tengah
itu, seperti biasanya, Presiden Soeharto menggelar temu wicara. Puluhan warga desa
duduk ketakzim-takziman, mendengarkan petuah Soeharto. sesudah menjelaskan
panjang-lebar ihwal pentingnya waduk itu, Soeharto melemparkan kecamannya kepada
penduduk yang tak mau pindah dari lokasi waduk. Ia menyebut mereka mbeguguk ngutho
waton (berkepala batu), seraya mengimbau jangan sampai menjadi kelompok mbalelo.
Waduk Kedungombo menyimpan cerita duka bagi ribuan penduduk yang
sebelumnya berdiam di sana. saat waduk yang mampu menampung 723 juta meter kubik
air itu diresmikan, masih ada 600 kepala keluarga yang bertahan di daerah genangan.
Mereka tak mau pindah sebab ganti rugi yang diberikan pemerintah terlalu kecil dan
diputuskan tanpa musyawarah.
Pembangunan Kedungombo dimulai pada 1985. saat itu, selain untuk menciptakan
pembangkit listrik berkekuatan 22,5 megawatt, air waduk ini juga diniatkan memenuhi
kebutuhan sekitar 70 hektare lahan pertanian. Untuk membangun bendungan ini
pemerintah mendapat kucuran dana US$ 156 juta dari Bank Dunia, dan US$ 25,2 juta dari
Bank Exim Jepang-antara lain.
Untuk mewujudkan waduk seluas 6.000 hektare itu, pemerintah harus
memindahkan sekitar 5.000 kepala keluarga yang tersebar di 37 desa di tiga kabupaten-
Boyolali, Grobogan, dan Sragen. Selain menelan lahan puluhan desa yang terserak di tiga
kecamatan, waduk itu juga "memakan" 304 hektare tanah negara dan 1.500 hektare lahan
Perhutani.
Pada 1983, Gubernur Jawa Tengah, Ismail, mengeluarkan surat keputusan ganti rugi
pembangunan Kedungombo. Ganti rugi tanah tertinggi ditetapkan Rp 700 per meter
persegi. Ada warga yang menerima, ada yang menampik. Mereka yang menerima ganti rugi
diberi pilihan pindah ke tempat yang disediakan pemerintah: Kayen (Purwodadi),
Kedungmulyo, Kedungrejo (Boyolali), atau bertransmigrasi ke luar Jawa.
Yang tak menerima memilih bertahan. Pemerintah pun berang. saat itulah
kekerasan, teror, dan intimidasi dilancarkan. Tak hanya dipaksa memberi cap jempol sebagai
tanda setuju ganti rugi, penduduk yang tak mau pindah juga diberi stempel "PKI". Penduduk
lalu mengadukan teror dan intimidasi ini ke DPRD Jawa Tengah, Lembaga Bantuan
Hukum, hingga Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam. Teror dan kekerasan memang
mereda. namun perundingan penggantian lahan tetap buntu.
Pada 14 Januari 1989, kendati masih ada sekitar 1.000 kepala keluarga yang belum
pindah, Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar meresmikan Waduk Kedungombo. Sejak
itu, setiap hari permukaan air naik setinggi 20 hingga 50 sentimeter. Air yang terus meninggi ini membuat sebagian warga menyerah, pindah dari kampung halaman mereka. beberapa warga terus melawan.
Pada 1990, 34 warga yang tak mau beranjak dari lokasi waduk, lewat Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menggugat Gubernur Jawa Tengah. Mereka menilai ganti rugi
yang ditetapkan gubernur menyalahi ketentuan. Walau di tingkat pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi kalah, Mahkamah Agung pada 1994 memenangkan gugatan ini.
Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi Rp 50 ribu per meter persegi untuk tanah dan
bangunan, dan Rp 30 ribu per meter persegi untuk tanaman. Harga ini lebih tinggi dibanding
permintaan warga yang Rp 10 ribu per meter persegi.
Gubernur Ismail mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan ini -dan menang.
Mahkamah menyatakan gugatan warga tidak dapat diterima, dan majelis hakim kasasi keliru
sebab membuat putusan melebihi yang dituntut penggugat. Sejak itu, jalur hukum yang
ditempuh warga buntet. Menurut Ketua Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM
Indonesia (PBHI), Hendardi, pembangunan Waduk Kedungombo memang sarat dengan
pelanggaran hak asasi manusia. "Ini merupakan catatan hitam dalam sejarah republik ini," katanya.
Halaman parkir Universitas Trisakti padat oleh khalayak pada pukul 11 pagi. Ada guru
besar, dosen, mahasiswa, kar- yawan, alumni. Mereka meriung sembari menantikan orasi
mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution.
Beranjak siang, aliran manusia kian deras. Hawa mulai menghangat saat 5.000-an
mahasiswa bergantian memekikkan yel-yel. "Turunkan harga sembako! Reformasi politik!
Mundurlah Soeharto!"
Abdul Haris, jenderal tua itu, batal datang. namun anak-anak muda yang
menantikannya tidak membatalkan pergelaran akbar mereka: berjalan kaki ke gedung
DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat-sepuluh kilometer lebih dari kampus Trisakti di Grogol,
Jakarta Barat.
Saat itu tengah hari, sekitar pukul 12.00 WIB. Baru 100-an meter keluar dari kampus,
pasukan Pengendali Massa Polres Jakarta Barat, Korps Brimob Polda Metro Jaya, dan
Pasukan Anti-Huru-Hara Resimen Induk Kodam Jaya menghadang barisan mahasiswa
Trisakti.
Wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim
Jakarta Barat, Letkol (Inf.) Amril Amin, berunding. Hasilnya? Aksi damai hanya sampai di
depan kantor lama Wali Kota Jakarta Barat. Kurang-lebih 300 meter dari kampus.
Adi menemui mahasiswa seusai berembuk. "Saya minta kalian berjanji tidak ada aksi
kekerasan di tempat ini," ujarnya, disambut tepuk tangan mahasiswa. Aksi berjalan tertib.
Sesekali mahasiswa bercanda dengan aparat keamanan, membagikan minuman kemasan,
permen, dan bunga mawar
Sekitar pukul 16.30 WIB, aparat meminta aksi dibubarkan dan mahasiswa diminta
mundur ke kampus. Sempat terjadi ketegangan. Menurut saksi dari mahasiswa, saat
mereka bergerak ke kampus, ada yang melontarkan kata-kata kotor dan makian.
"Sepertinya polisi sengaja memancing kemarahan mahasiswa," kata seorang saksi.
Tiba-tiba dentuman senapan mengoyak udara petang hari. Mahasiswa kocar-kacir,
apalagi belum semuanya masuk ke kampus. Walau lalu terbukti kampus bukan lagi
"inner sanctum" alias "wilayah suci"-yang bebas dari senjata dan kekerasan.
Berondongan senjata tak berkeputusan ke arah kampus berlangsung hampir tiga
jam. Ratusan orang terluka. Empat mahasiswa gugur: Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan,
Heri Hartanto, Hendriawan Sie.
Oditur militer lalu mendakwa Komandan Unit II Patroli Motor Gegana Brimob,
Iptu Erick Kadir Sully. Dia bersama 10 anggota Brimob ditugasi ke Polres Jakarta Barat pada
hari itu. Sekitar pukul 13.30 WIB-seperti yang tercantum dalam dakwaan oditur-datang
panggilan dari Wakil Kepala Polres Jakarta Barat, Mayor Herman Hamid, meminta mereka
segera ke depan kantor wali kota untuk menghadang mahasiswa yang bergerak ke
DPR/MPR.
Saat itulah Erick, lagi-lagi menurut dakwaan oditur, memerintahkan anak buahnya
yang bersenjata Styer kaliber 5,56 menembak ke arah massa.
Jenis peluru itulah yang bersarang di tubuh empat mahasiswa yang tewas-sesudah
diperiksa melalui uji balistik di Montreal, Kanada, dan Belfast, Irlandia Utara.
Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Trisakti, Semanggi I, dan
Semanggi II memiliki catatan sendiri soal tragedi ini. Menurut Komisi, pasukan gabungan sudah
menyerang, memukul, menendang, dan menembak dengan peluru dan gas air mata ke
para mahasiswa Trisakti yang berlindung di kantor lama Wali Kota Jakarta Barat maupun
yang sudah kembali ke kampus.
Peristiwa Trisakti lalu memicu kerusuhan di berbagai tempat di Jakarta. Demo
mahasiswa marak di mana-mana, dan berujung pada pendudukan gedung DPR/MPR,
Jakarta, oleh mahasiswa selama empat hari sampai Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Kita tahu, proses hukum masalah ini hanya berhenti pada beberapa pelaku lapangan.
Inilah rinciannya:
12 Mei 1998
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak.
12 Agustus 1998
Dua anggota Brimob dihukum 34 bulan penjara.
31 Maret 1999
Empat anggota Brimob lainnya diganjar vonis serupa.
Lantas, ke mana jenderal-jenderal yang menjadi atasan para serdadu terpidana itu?
Mereka masih bebas merdeka, tak tersentuh sampai kini.
Rencananya, mereka akan diadili di pengadilan hak asasi manusia pada tahap
berikutnya.
Faktanya, mereka hanya "dikenang" dalam ritual tahunan 12 Mei, saat mahasiswa
menagih utang keadilan bagi nyawa empat anak muda yang mati terlalu dini.
Arief Budiman Pengamat politik
ada 1965, kedatangan Soeharto sebetulnya diharapkan untuk memulihkan
demokrasi dan membebaskan masyarakat madani atau civil society dari
cengkeraman negara. Pada zaman Soekarno, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
Tahun 1959, masyarakat madani praktis dibungkam. Maka, saat Jenderal Soeharto muncul
dan mengambil alih kekuasaan pada 1965, banyak orang berharap masyarakat madani akan
kembali hidup.
Memang ada beberapa orang yang menyatakan pada waktu itu, betapa tidak
realistis mengharapkan demokrasi bisa pulih di bawah pimpinan seorang anggota militer.
namun suara ini tenggelam di antara harapan terhadap demokrasi yang semarak.
sesudah mendapatkan Surat Perintah 11 Maret Tahun 1966, Soeharto membubarkan
Partai Komunis Indonesia dan menangkapi lawan politiknya. Oleh banyak orang, tindakan ini
tidak dianggap sebagai hal yang tidak demokratis, sebab Partai Komunis Indonesia
dianggap sebagai partai yang anti-demokrasi. Begitu juga dengan tindakan pemerintah yang
menangkap para pemimpin politik.
Para pendukung gerakan demokrasi mulai terkejut saat pada akhir tahun 1960-an
pemerintah menolak permintaan rehabilitasi dua partai yang dahulu dilarang, Masyumi dan
PSI.
Untunglah, para anggota partai itu masih dipersilakan membentuk partai baru.
namun lalu pemerintah juga menolak mantan pimpinan Masyumi dan Partai Sosialis
Indonesia untuk duduk di partai-partai baru yang didirikan. Muncul pertanyaan, apa makna
dari tindakan-tindakan ini.
Soeharto memberikan jawaban dengan memperkenalkan konsep Trilogi
Pembangunan. Konsep ini menyatakan ada tiga tugas pemerintah: pertumbuhan ekonomi,
stabilitas politik, dan pemerataan pendapatan. Soeharto menugaskan militer untuk
menciptakan stabilitas politik, tugas melaksanakan pertumbuhan ekonomi diberikan kepada
para teknokrat ekonomi. sesudah itu, pemerataan pendapatan dapat diselenggarakan.
Biarlah Soeharto memusatkan perhatian kepada tugas-tugas ini dahulu , tidak direpotkan oleh
konflik-konflik masa lalu, begitu kira-kira yang mau dikatakan. Biarlah Soeharto diberi
kesempatan dahulu untuk bekerja.
Jawaban ini tampaknya diterima oleh masyarakat waktu itu, termasuk oleh para
mahasiswa dan kaum cendekiawan. Yang paling penting pada waktu itu yaitu memulihkan
kehidupan ekonomi. Bukankah dalam keadaan ekonomi yang terpuruk, masyarakat madani
juga tidak akan bisa berfungsi?
namun ada sedikit yang mengganggu. Korupsi mulai muncul, meski saat itu masih kecil-
kecilan. Korupsi yang saat itu mulai merebak yaitu Pertamina. Sementara itu, para wakil
mahasiswa yang menjadi anggota parlemen mulai ikut-ikutan membeli mobil Holden
fasilitas pemerintah dengan harga murah. Ini dianggap korupsi sebab pada waktu rakyat
masih miskin, para tokoh mahasiswa ini sudah mau memasuki hidup yang mewah. Para
asisten pribadi Presiden juga mulai terlibat bisnis, dan Ibu Tien Soeharto menggusur tanah
rakyat untuk mendirikan Taman Miniatur Indonesia Indah atau TMII.
Kaum cendekiawan dan para mahasiswa, yang merupakan corong bagi masyarakat
madani, mulai bereaksi terhadap gejala ini. Protes oleh para cendekiawan dan demonstrasi
oleh para mahasiswa mulai bermunculan. Tahun 1970 sampai 1972 merupakan tahun-tahun
yang marak dengan protes dan demonstrasi. namun protes-protes ini pada umumnya berkisar
pada masalah korupsi, bukan masalah demokrasi. Protes dan demonstrasi terhadap
larangan dihidupkannya kembali Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, dan larangan para
pemimpin kedua partai itu untuk aktif dalam partai-partai yang ada, relatif sangat sedikit.
Korupsi tampaknya masih dianggap sebagai masalah yang lebih serius pada waktu itu.
Kepercayaan bahwa Soeharto masih memiliki komitmen terhadap demokrasi masih besar.
sebab itulah, dari empat demonstrasi besar yang terjadi pada waktu itu, tiga
mempersoalkan korupsi, dan hanya satu yang mempersoalkan demokrasi.
Demonstrasi Mahasiswa Menggugat (1970), Komite Anti-Korupsi (1970), dan
gerakan anti-TMII yaitu gerakan anti-korupsi. Hanya demonstrasi Golongan Putih (1971),
yang menentang UU Pemilu yang baru, yang berkaitan dengan kehidupan demokrasi.
Pada mulanya Soeharto melayani protes-protes ini dengan baik. Demonstrasi
Mahasiswa Menggugat ditanggapi dengan memerintahkan para menteri kabinet untuk
menerima para mahasiswa dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Sedangkan demonstrasi Komite Anti-Korupsi dilayani langsung oleh dirinya, dengan
menerima sendiri empat wakil mahasiswa untuk berdialog di rumahnya di Jalan Cendana.
Memang demonstrasi Golongan Putih dihadapi dengan penangkapan mahasiswa untuk
diinterogasi, namun hanya untuk beberapa jam. Tidak ada penahanan. Ini memperkuat
anggapan bahwa Soeharto tidak melihat mereka sebagai lawan politiknya. Saat itu,
masyarakat menganggap komitmen Soeharto terhadap demokrasi masih ada.
lalu , dalam demonstrasi TMII, Soeharto bertindak lebih keras. Dia
memerintahkan penahanan terhadap empat orang pimpinan demonstrasi dan menahannya
sampai sekitar satu bulan. namun hal ini masih dimaklumi, sebab demonstrasi itu
menyinggung pribadi Ibu Tien, dan ini membuat Soeharto marah. Soeharto memang dikenal
sensitif bila keluarganya diusik.
namun , memang benar juga, para cendekiawan/mahasiswa mulai merasa bimbang.
Kalaupun Soeharto masih memiliki komitmen terhadap demokrasi, dia tampaknya lemah
dalam tindakannya terhadap korupsi. Apalagi kalau korupsi ini menyangkut anggota
keluarganya. Masihkah Soeharto perlu didukung?
Jawaban terhadap pertanyaan itu segera muncul. Pada saat kerusuhan-yang
lalu dikenal sebagai-Peristiwa Malari (1974), saat para mahasiswa memprotes
dominasi Jepang atas perekonomian Indonesia, dan menuduh beberapa asisten pribadi
Presiden sebagai "antek" para pengusaha Jepang, Soeharto mengambil tindakan tegas
dengan menangkapi mahasiswa dan cendekiawan yang dianggap memiliki kaitan dengan
demonstrasi ini. Mereka lalu dipenjarakan sampai beberapa tahun. Beberapa media
besar dicabut izin terbitnya, sebab dianggap memanaskan suasana dan mengganggu
stabilitas.
Dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), Soeharto tampaknya
mengambil sikap tegas: "Go to hell with civil society." Dia sepertinya mengingatkan para
cendekiawan/mahasiswa "who is the boss". Pada titik ini tampaknya "perkawinan" antara
Soeharto dan masyarakat madani bubar jalan.
sesudah "perceraian" ini, apa yang terjadi bisa diramalkan. Protes dan demonstrasi,
yang tadinya merupakan gerakan koreksi, sekarang menjadi gerakan konfrontasi.
Demonstrasi berikutnya, pada 1978, yang dilakukan oleh para mahasiswa ITB di Bandung,
tidak lagi menuntut susaha Soeharto mau memberantas korupsi, namun menuntut Soeharto
tidak mencalonkan diri lagi sebagai presiden. Ini bahasa halus dari teriakan: "Minggir!"
Soeharto pun menjawab dengan tegas pula: Kampus ITB diserbu dan diduduki militer, para
pimpinan mahasiswanya dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun.
Tindakan-tindakan Soeharto selanjutnya sesudah tahun 1974 merupakan seruan:
"Masyarakat madani minggir, pemerintah mau lewat". Partai-partai disederhanakan
menjadi tiga, para pemimpin partai dikenai penelitian khusus (litsus) militer untuk
membuktikan kesetiaannya kepada negara. Media massa semakin ketat diawasi.
Sejak saat ini, meskipun masyarakat madani memang tidak mati total, dia hanya
hidup di bawah tanah, bergerilya. Kekuatan politiknya praktis nol. Masyarakat madani hidup
dalam dunia bisik-bisik dan humor-humor politik yang menyindir pemerintah, dalam diskusi-
diskusi terbatas para mahasiswa dan cendekiawan, dalam pembacaan puisi-puisi kritis
Rendra, atau dalam drama sindiran yang dipentaskan Teater Koma dan monolog Butet
Kertaredjasa. Salah satu humor politik yang menjadi favorit saya yaitu yang menyatakan
bahwa orang-orang Indonesia pada zaman Soeharto memiliki tiga sifat dasar: pintar, jujur, dan
pro-pemerintah. namun tiap orang Indonesia hanya bisa memiliki dua saja. Kalau dia pintar
dan pro-pemerintah, dia tidak jujur; kalau dia jujur dan pro-pemerintah, dia tidak pintar;
dan kalau dia pintar dan jujur, dia pasti anti-pemerintah.
Harold Crouch
Pengamat Politik Indonesia
sebelum menjadi presiden, Soeharto yaitu seorang jenderal yang tidak biasa
memberikan perhatian banyak terhadap masalah politik luar negeri. Sebagai presiden, politik luar negerinya tidak dijiwai oleh visi hebat tentang peran Indonesia dalam
politik dunia. Dibandingkan dengan Presiden Soekarno yang melaksanakan "politik
mercusuar" dan bercita-cita menjadi seorang "Pemimpin Besar" di panggung dunia,
pendekatan Soeharto hanya bertujuan memperoleh manfaat konkret bagi negaranya.
Politik luar negeri Indonesia pada zaman Soeharto sangat berkait dengan
kepentingan dalam negeri. Pendekatan ini sangat jelas pada awal pemerintahannya. Pada
akhir zaman Orde Lama ekonomi Indonesia sudah rusak sama sekali. Presiden Soekarno
lebih suka berkonfrontasi dengan negara-negara Barat yang disebut "nekolim", sedangkan
masalah ekonomi dalam negeri dibiarkan saja. Sebaliknya Soeharto mendekati negara-
negara Barat dan Jepang untuk mencari bantuan ekonomi dan menarik penanam modal
asing.
Dengan demikian politik luar negeri memberikan sumbangan yang sangat besar
kepada proses pembangunan ekonomi yang membawa manfaat yang mendalam bagi
bangsa Indonesia-walaupun bukan semua golongan dalam masyarakat dapat menikmatinya.
Pembangunan ekonomi juga menopang stabilitas politik, sehingga Orde Baru dapat
bertahan selama 30 tahun lebih. Soeharto, sebagai presiden, juga memanfaatkan
pembangunan ekonomi untuk "membeli" dukungan para elite politik. Sudah tentu yang
mendapat keuntungan yang paling besar yaitu anggota keluarganya, para kroninya dan
perwira-perwira militer yang dekat dengannya.
Walaupun Indonesia tetap menjunjung tinggi "politik bebas aktif" yang dicanangkan
oleh Wakil Presiden Hatta pada zaman revolusi, pada prakteknya negara ini tidak lagi berdiri
di tengah antara kubu Barat dan kubu Timur, namun sangat condong ke arah Barat.
Hubungan erat dengan negara kapitalis Barat dan Jepang paling jelas dapat dilihat dalam
bidang ekonomi di mana konsorsium negara IGGI menjadi sumber bantuan ekonomi dan
perusahaan asing menguasai sektor modern.
namun hubungan erat dengan negara Barat tidak terbatas pada bidang ekonomi saja.
Sebagai "sekutu tidak resmi", Indonesia juga mendapat bantuan militer dari Amerika Serikat
dan negara Barat yang lain. Peralatan militer banyak yang berasal dari negara Barat dan para
perwira ABRI (nama TNI pada waktu itu) mendapat pendidikan dan latihan di negara-negara itu.
Pada awal Orde Baru, musuh bersama negara Barat dan Indonesia yaitu negara
komunis. Indonesia di bawah Soeharto dianggap sebagai benteng anti-komunisme di Asia
Tenggara. Pada waktu itu pemerintah AS dan negara Barat lain kurang memperhatikan
pelanggaran hak asasi manusia, asalkan pelanggaran itu dilakukan oleh pemerintah anti-
komunis. Walaupun setengah juta rakyat komunis atau pro-komunis dihabisi pada 1965 dan
ratusan ribu lagi ditahan, tidak ada protes apa-apa dari pemerintah negara-negara Barat.
Meskipun demikian, Soeharto tetap menjaga jarak dari AS dan negara-negara Barat.
contohnya Indonesia tidak ikut negara Asia lain yang mengirim pasukan untuk membantu AS
di Vietnam pada tahun 1970-an. Sesuai dengan konsep bebas-aktif, Presiden Soeharto tidak
mau bergabung dalam persekutuan pertahanan dengan negara lain. Sebaliknya Indonesia
lebih suka meningkatkan kerja sama non-militer dalam ASEAN, yang dibentuk pada 1967.
Pengaruh Soeharto dalam ASEAN menjadi semakin besar sebab pemimpin negara-negara
lain (kecuali Singapura) sering diganti namun beliau tetap berkuasa hingga 1998. Sulit sekali
bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia.
Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam Gerakan Non-Blok, yang terdiri dari negara-
negara yang tidak mau bersekutu dengan AS ataupun blok komunis. Semula, anggota
gerakan itu menganggap Indonesia terlalu dekat dengan negara Barat, namun akhirnya
Presiden Soeharto terpilih sebagai ketua gerakan itu di Konferensi Non-Blok yang digelar di
Jakarta pada 1992. Ironisnya, Soeharto baru terpilih sebagai pemimpin gerakan itu justru
pada waktu Perang Dingin sudah berhenti dan gerakan itu tidak banyak diperhatikan lagi.
Sebagai adikuasa regional, Indonesia sering mengambil prakarsa untuk
menyelesaikan konflik di wilayah Asia Tenggara. contohnya Indonesia berperan sebagai
mediator untuk menyelesaikan perang saudara di Kamboja; Indonesia menyediakan
bantuannya kepada Filipina dalam usahanya untuk menyelesaikan pemberontakan bangsa
Moro; dan Indonesia menyediakan fasilitas untuk mengadakan serangkaian diskusi di antara
negara yang memiliki klaim-klaim yang bertumpang tindih di Laut Cina Selatan.
Usaha Indonesia untuk mendukung perdamaian tidak terbatas pada wilayah Asia
Tenggara saja. Indonesia merupakan salah satu negara yang sering bersedia menyumbang
pasukan kepada misi-misi pemelihara perdamaian PBB. Tentara Indonesia mendapat nama
baik dari kegiatan ini.
Walaupun Soeharto tetap menentang komunisme, beliau juga bersikap pragmatis
dalam melangsungkan hubungan dengan negara-negara komunis. Hubungan diplomatis
tidak pernah diputuskan dengan Uni Soviet dan Vietnam, sedangkan pada 1967, atas nasihat
Menteri Luar Negeri Adam Malik, hubungan diplomatik dengan RRC tidak "diputuskan"
namun hanya "dibekukan". Ini memudahkan pembukaan kembali hubungan diplomatik
dengan RRC pada tahun 1980-an sesuai dengan kepentingan Indonesia pada waktu itu.
Soeharto selalu mementingkan perhitungan pragmatis di atas ideologi.
Dapat dikatakan prestasi politik luar negeri Indonesia di bawah pimpinan Soeharto
cukup baik namun sayangnya tidak begitu dihargai oleh dunia internasional. Mengapa tidak?
Ganjalannya yaitu Timor Timur.
Pada 1975, saat Menteri Luar Negeri Adam Malik sedang berusaha meyakinkan
pemimpin Timor Timur bahwa Indonesia tidak bermaksud merebut daerah itu, ada jenderal-
jenderal yang mempersiapkan intervensi militer. Konon, Soeharto sendiri belum yakin
bahwa invasi merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan proses dekolonisasi namun
akhirnya jalan itu diambil. Soeharto barangkali berharap bahwa masalah itu akan cepat
selesai-seperti invasi India terhadap koloni Portugis di Goa pada 1962.
Selama hampir seperempat abad tentara Indonesia menghadapi perlawanan yang
terus-menerus. Indonesia memang membangun banyak sekolah, rumah sakit, dan jalan raya
di Timor Timur, namun banyak sekali rakyat yang menjadi korban dan pelanggaran hak asasi
menjadi perkara biasa. Bagi rakyat Timor Timur, seribu sekolah atau rumah sakit atau jalan
raya tidak dapat mengganti seorang ayah atau kakak atau anak yang dibunuh oleh tentara
Indonesia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyebut masalah Timor Timur sebagai "kerikil
tajam", namun kerikil itu ternyata berbisa dan memicu luka yang tidak dapat
disembuhkan selagi Soeharto menjadi presiden.
Salah satu tujuan politik luar negeri yaitu untuk mempertahankan negara itu dari
ancaman luar dengan memakai cara-cara non-militer. Dalam hal itu, pada umumnya
politik luar negeri Presiden Soeharto cukup berhasil. namun akhirnya politik luar negeri
ternyata tidak mampu menangkis sebuah ancaman yang tidak dijangka dan berwujud dalam
bentuk baru. Pada Juli 1997 keguncangan dalam nilai baht di Thailand menjadi sumber
keguncangan yang melanda bukan saja Indonesia namun hampir semua negara Asia. Di
antara korban krisis moneter itu yaitu negara Indonesia dan Presiden Soeharto sendiri.
Pada zaman globalisasi ini, ancaman luar tidak lagi terbatas pada ancaman militer
atau politik dari negara-negara tertentu. Pengalaman Presiden Soeharto menunjukkan
bahwa proses globalisasi memiliki dinamika sendiri yang kadang-kadang membawa
manfaat yang sangat penting namun juga dapat merupakan ancaman yang paling dahsyat.
Agaknya, Presiden Soeharto tidak mengerti bagaimana ancaman itu dapat dihadapi.
Kadang-kadang ekspresi ini muncul lagi dalam bentuk protes dan demonstrasi,
seperti saat demonstrasi untuk membela para petani Kedung Ombo yang digusur (1988).
Demonstrasi ini diprakrasai oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, para mahasiswa,
dan Romo Mangun. namun gerakan ini segera ditumpas secara militer.
Semua "perlawanan" ini terus bermunculan sampai jatuhnya Soeharto pada 21 Mei
1998. sesudah militer dan partainya sendiri, Golkar, menarik dukungannya, Soeharto, dengan
hati pahit namun dengan wajah tenang, membacakan surat pengunduran dirinya sebagai
Presiden RI, sesudah lebih dari 30 tahun berkuasa.
Masyarakat madani pun tiba-tiba muncul dan bangkit kembali. namun yang kita
dapatkan yaitu masyarakat madani yang sakit, yang tidak tahu batas-batas kebebasannya,
yang memakai kebebasannya untuk keuntungan dirinya sendiri. Ibarat orang sakit yang
tadinya dilarang makan, maka saat "sembuh" dia segera melahap apa saja yang ada di
sekitarnya, sambil menyikut teman-temannya yang ada di kiri dan kanannya. Korupsi pun
tiba-tiba muncul kembali, bahkan mungkin lebih dahsyat dari keadaan sebelumnya.
Memang, masyarakat madani sudah bisa hidup kembali. namun kita masih belum
menyadari bahwa masyarakat madani ini masih perlu belajar berjalan lagi, sebab sesudah
lebih dari 30 tahun dipasung, kesanggupan dasar ini sudah lama terlupakan.
pohon beringin, pohon pamrih, pohon sambi. Dinaungi tiga pohon itu, sendang di
pebukitan kapur itu tampak teduh. Air sendang sangat jernih hingga endapan lumpur
di dasar terlihat dengan jelas.
Kalangan kebatinan Jawa mengenal mata air dalam cekungan batu kapur itu dahulu
yaitu tempat almarhum Rama Martapangarsa, seorang spiritualis Yogyakarta, menempa
diri. Syahdan, pada 1940-an, Martapangarsa mendapat wisik agar menyusuri Gunung
Sempu. Dia menemukan sebuah mata air yang dirasanya cocok untuk tempat berendam,
mengasah kepekaan. Ia menamakannya Sendang Titis, artinya kolam untuk berlatih
menajamkan hati. Dibangunnya sebuah padepokan alit, lalu ia tinggal di situ, meninggalkan
rumahnya di bilangan Nataprajan, Yogya.
Untuk menuju sendang yang terletak di Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo,
Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, itu kini tidak terlalu sulit. Ada jalan aspal, meski
agak sempit, yang membelah pebukitan kapur itu. Sampai di sana, di pendapa bercat
kuning yang lusuh, kita masih dapat melihat lukisan wajah almarhum Martapangarsa
tergantung di dinding balai. Lukisan itu diapit potret dua almarhum guru lain: Rama Dijat
dan Rama Budi Utomo.
Kalangan kebatinan Jawa tahu, sendang itu pernah melintas dalam kehidupan
kebatinan Soeharto. Di situlah, pada 1957, lama sebelum Soeharto menjadi presiden, ia oleh
Rama Marta dibaptis menjalani "ikatan persaudaraan mistikal" dengan Soedjono
Hoemardhani. Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia yang menjadi
sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani pada 1983?1986, pernah mendengar kisah ini
langsung dari Soedjono.
"Pak Djono bercerita di Sendang Titis itulah Rama Marta membaptis Pak Harto
menjadi Rama, Pak Djono menjadi Lesmana, Bu Tien menjadi Sinta, Bu Jono menjadi Kunti."
Yang datang pertama kali ke sendang, menurut cerita Soedjono itu, yaitu Soedjono
dan istrinya. Rama Marta sudah menunggu. Baru lalu datang Soeharto dan Tien. Begitu
Soeharto datang, Rama Marta seperti seolah membaca tanda-tanda, lalu berkata:
"Lha iki jago wirig kuningku (lha ini jago aduanku datang)." Wirig kuning dalam budaya Jawa
yaitu ayam jago yang kaki dan paruhnya berwarna kuning dan dikenal tangguh dalam
bertarung.
Pertemuan pertama Soeharto dengan Soedjono terjadi pada Juni 1956 saat bertugas
di Semarang. Letnan kolonel Soeharto menjadi kepala staf dan lalu Panglima Divisi
Diponegoro. Pada waktu itu Soedjono yaitu kapten. Soedjono dikenal menyukai dunia
kebatinan Jawa. Keduanya menemukan kecocokan.
akhir 1957, Soedjono memainkan peran penting membentuk beberapa perusahaan
swasta atas nama Divisi Diponegoro. Saat menjadi presiden, "utang budi" Soeharto kepada
Soedjono terus meningkat. Soedjono pada awal Orde Baru ditunjuk Soeharto menjadi staf
pribadi (spri) dan lalu asisten pribadi di bidang ekonomi pada 1966?1974. sesudah
kerusuhan anti-Jepang (Malari), Soeharto membubarkan posisi aspri.
Soedjono tidak memiliki jabatan penting. namun banyak yang menyebut justru pada
saat itulah Soedjono aktif mendukung Soeharto secara spiritual. Soedjono melakukan ritual-
ritual. Saat itu kesibukan Soeharto meningkat sehingga tak sempat melakukannya. Soedjono
juga memantau terus perkembangan sosial-politik secara gaib. Menurut Budyapradipta, itu
dilakukan melalui bantuan guru-guru laku Jawa yang dikenalnya selama bergaul dengan
Soeharto.
sesudah kembali ke Jakarta, sejak menjadi Panglima Diponegoro, Soeharto, contohnya ,
sering berdiskusi dengan Mesran Hadi Prayitno, seorang perwira menengah Angkatan Darat
yang sama-sama menyukai spiritualitas Jawa. Kepada Soeharto, Mesran menyarankan, jika
benar-benar ingin memperdalam spiritualitas Jawa, Soeharto harus bertemu dengan
seorang guru bernama Raden Panji Soedijat Prawirokoesoemo atau yang lebih dikenal
sebagai Rama Dijat.
Pada 1963, Mesran dan Soeharto bertemu Rama Dijat di rumah orang tua Romo
Dijat yang bernama Prawiro Dinomo di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten.
Soeharto kaget, ternyata Rama Dijat yaitu laki-laki misterius yang pernah ditemuinya pada
1961 saat ia melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di situs Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur.
Waktu itu Soeharto melihat seorang laki-laki yang tengah melakukan meditasi dan
berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Usai meditasi, laki-laki itu
meninggalkan Trowulan. Soeharto terkesan, kagum dan penasaran terhadap laki-laki itu. Ia
ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki itu, namun laki-laki itu sudah menghilang. Dan kini
ternyata sosok penuh teka-teki itu ada di hadapannya.
Pada pertemuan Klaten itu, Soeharto langsung menyatakan diri menjadi murid Rama
Dijat. Rama Dijat sendiri saat itu tinggal di Semarang. Soeharto lalu hampir tidak
pernah absen mengikuti sarasehan antara Rama Dijat dan murid-muridnya setiap selapan
(35 hari) pada Selasa Pahing malam yang dilakukan di rumah Rama Dijat, Jalan Sriwijaya 70
Semarang. Tak hanya acara selapan, setiap membutuhkan konsultasi, Soeharto datang ke
Semarang. Saat menjadi presiden, di luar jadwal kepresidenan, Soeharto masih
menyempatkan diri ke Semarang. Tak jarang Rama Dijat via Soedjono diundang ke istana
atau diutus mencari sesuatu.
"Pak Djono pernah bercerita bagaimana ia bersama Romo Dijat mencari pohon
wijayakusuma di dekat Nusakambangan yang lautnya ganas," tutur Budyapradipta. Bunga
wijayakusuma dalam kisah pewayangan yaitu senjata Kresna. Di Jawa, banyak tumbuh
bunga wijayakusuma. Bunga ini mengeluarkan bau harum pada waktu dini hari.
Namun, ternyata Rama Dijat bukan hanya mencari bunga ini.
Bunga wijayakusuma yang diinginkan, menurut mereka, hanya tumbuh di sebuah
pulau kecil dekat Nusakambangan. Dengan bentuk kecil-kecil, bunga Wijayakusuma
dipercaya memberi tanda negara bakal baik. sesudah Soedjono dan Rama Dijat
mendapatkannya, pohon ini ditanam di Cendana, Keraton Solo, dan rumah Soedjono.
Rama Marta, Rama Budi Utama, Rama Dijat, dan Rama Mesran boleh dianggap
sebagai "ring satu" dunia kebatinan Soeharto pada masa lalu. Mereka dianggap memiliki
daya linuwih, terutama sebab kemampuan berdialog dengan roh leluhur melalui teknik
meditasi yang dalam bahasa Jawa disebut njarwa.
Kebudayaan Jawa memiliki cara tua yang sudah teruji ratusan tahun untuk mampu
berkomunikasi dengan leluhur. Leluhur ini dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan
sebagai manusia. Leluhur ini akan memberikan pesan-pesan (dhawuh). saat masuk dalam
diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah (kerongkongan) medium,
hingga leluhur itu bisa diajak berdialog secara sadar.
Hal ini berbeda dengan trance, sebab roh yang hadir dalam trance menempel di
ujung lidah. Dalam trance medium yang bersangkutan tidak sadar sehingga tidak bisa
berdialog. Ucapan yang keluar dari mulutnya hanya disampaikan satu arah. Maka dari itu,
seseorang yang dapat melakukan njarwa bukan disebut kesurupan, melainkan kalenggahan
(dari kata lenggah, duduk).
Soedjono sangat percaya pada dhawuh-dhawuh yang disampaikan Rama Marta,
Rama Budi Utomo, Rama Dijat, dan Rama Mesran. Dhawuh-dhawuh itu dianggapnya
lebih akurat ketimbang prediksi dan analisis para doktor atau pakar mana pun. "Intelektual
nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya," begitu Soedjono suatu kali
mengatakan kepada Budyapradipta. Soedjono aktif mengundang para pinisepuh di atas
untuk melakukan njarwa demi mengetahui situasi politik mutakhir. Informasi dari "dunia
atas" itu secara rutin dilaporkan kepada Soeharto.
Selama menjadi sekretaris, Budyapradipta selalu mendampingi dan mencatat
dhawuh-dhawuh yang keluar dari para guru di atas.
Para rama itu, menurut dia, memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Rama Dijat diminta
untuk menjarwa soal-soal kenegaraan. Romo Marta untuk soal kemasyarakatan dan
kerumahtanggaan. Rama Budi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Bila roh datang, karakter
suara yang muncul antara rama satu dan rama lain berbeda intonasinya. Bila Romo Marta
kalenggahan, contohnya , didahului ketawa ngakak.
namun menurut Budya, secara umum, ada tanda-tanda yang sama. "Waktu roh datang,
para guru itu seperti keselek (tersedak)," katanya. "Lalu ada suara masuk yang lebih berat,
meninggi, dan berbahasa ngoko, menandakan posisinya lebih tinggi dari orang yang diajak
bicara." Menurut Budya, ciri-ciri kalimat leluhur itu rapi. Sebagai ahli bahasa Jawa kuno
sendiri, ia takjub mendengar kosakata yang keluar sangat kaya. Menurut dia, banyak
ungkapan-ungkapan metafor yang bahkan tidak ada dalam kamus Jawa susunan Zoetmulder
maupun Ki Padmo. "contohnya ada ungkapan lobok ora coplok, sesak ora nggebok...."
Banyak kebijakan politik Soeharto, sebelum dikeluarkan, dikomunikasikan dahulu
dengan para leluhur. "Menurut Pak Djono, saat GBHN dibuat dan saat Indonesia mau
merebut Timor Timur, Soeharto terus-menerus meminta pertimbangan dhawuh ini."
Soeharto merasa kebijakannya akan lebih sah, mantap, bila leluhur mendukungnya.
Ada sebuah kejadian menarik. Pada waktu Soeharto hendak melakukan kunjungan
ke Filipina dan Australia, Rama Dijat diundang Soedjono ke rumahnya. Roh yang masuk
dalam diri Rama Dijat mengatakan bahwa yang harus diawasi benar yaitu perjalanan
Soeharto ke Australia. "Pesan" itu disampaikan Soedjono kepada Yoga Soegama sebagai
pemimpin Bakin saat itu. namun Yoga mengatakan bahwa analisis intelijennya menganggap
mereka harus waspada dengan keamanan di Filipina lantaran Marcos baru saja digulingkan.
Kenyataannya, saat Presiden Soeharto ke Filipina, keadaan aman saja. Sementara di
Australia, Soeharto disambut demonstran dengan lemparan tomat dan telur busuk yang
mengenai dahinya. saat pulang ke Jakarta, Yoga Soegama langsung didamprat oleh
Soedjono. "Yoga, mangkane ojo nyepeleake intel spiritualku (Yoga, maka dari itu jangan
menyepelekan intel spiritualku)."
Saat peristiwa Tanjung Priok, Budya juga ingat, pada pukul 11 malam, Soedjono
memanggil Rama Mesran ke rumahnya untuk meminta dhawuh leluhur bagaimana cara
memadamkan kerusuhan itu. Esoknya, Soedjono menelepon Benny Moerdani. Menurut
Budya, "Saya melihat sendiri Benny datang, lalu Pak Djono memberikan tongkat dari pohon
bodhi kepada Benny; tongkat itu sudah dijopa-japu." Tongkat itu, menurut Soedjono, akan
memberikan rasa wibawa pada diri Benny hingga kerusuhan itu bisa diatasi.
Syahdan, pada 1985, terjadi demonstrasi dari Himpunan Mahasiswa Islam. Peristiwa
ini membangkitkan kegusaran Soeharto. Soedjono berinisiatif memanggil Romo Mesran.
Roh yang masuk ke dalam diri Romo Mesran menyuruh: golek penthil pelem ijo neng
Mojokerto (carilah mangga muda di Mojokerto). Sore itu juga, Soedjono mengutus
Budyapradipta ke Mojokerto. "Saya naik pesawat Garuda ke Surabaya, terus naik mobil ke
Mojokerto," kata Budya.
Begitu mendapat mangga muda-padahal, kala itu sedang tidak musim mangga-Budya
langsung terbang lagi ke Jakarta menuju kediaman Soedjono. Menjelang dini hari, Budya lalu
mendampingi Soedjono dan Rama Mesran membawa mangga muda itu menuju istana.
Di istana, bak cerita sinetron, Paswalpres mencegat mobil mereka. Begitu Soedjono
melongok dari kaca jendela, mobil dibiarkan masuk. "Kami mengendarai VW Combi ke
istana," kenang Budya. Romo Mesran lalu menitahkan agar mangga muda itu
dipendam di bawah tiang bendera. "Malam-malam saya menggali tanah istana dan
menanam mangga," kata Budya.
Berkat mangga muda itu, menurut Soedjono, esoknya demonstrasi itu mereda.
Kegiatan rutin batiniah untuk Soeharto?
Setiap malam Jumat, Soedjono secara rutin menggelar kegiatan njarwa di rumahnya,
Jalan Diponegoro. Mereka yang hadir berjumlah sekitar 40 sampai 100 orang. Budya ingat,
bila leluhur "masuk" ke dalam tubuh Romo Misran, kalimat awalnya yaitu "Iyo Ngger...(ya
Nak)." Langsung semua yang hadir secara koor sembari sungkem mengatakan: "Sugeng
rawuh... (selamat datang), Eyang." sesudah dhawuh itu didengar, biasanya lalu "geng" itu
mendiskusikannya dengan situasi politik mutakhir.
Setiap Suro (tahun baru Jawa), menurut Budyapradipta, Soedjono Hoemardhani
bersama Romo Dijat juga pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ini
yaitu padepokan yang lokasinya ditemukan Romo Dijat dan lalu dibangun oleh
Soedjono. Antara kawasan Gunung Srandhil dan Gunung Selok di Cilacap memang terkenal
banyak bertebaran petilasan.
Soeharto tak asing dengan petilasan-petilasan di Cilacap. Adi Suwarto, seorang juru
kunci di sana, pernah mengantarkan Soeharto berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo
atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo yang letaknya di sisi selatan Bukit Srandil.
"Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan. Soeharto datang malam
hari hanya sekitar dua jam," kata Adi Suwarto.
Menurut Romo Dijat, dibanding petilasan-petilasan lain, letak geografis Jambe
memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh yang
berperan besar dalam hidup. Petilasan Jambe Pitu yang letaknya di Desa Karangbenda,
Kecamatan Adipala, sekitar 20 kilometer dari pusat kota Cilacap itu tempatnya memang asri.
Tempo menyaksikan bagaimana lokasi petilasan diteduhi pohon-pohon akasia.
Puluhan kera masih dapat kita lihat bergelantungan. Debur ombak Pantai Selatan dari
bawah kaki bukit terdengar lembut. Dari puncak pebukitan memandang ke bawah dapat
terlihat tepi laut. Pintu gerbang petilasan Jambe Pitu dibangun dari batu hitam candi. Untuk
mencapai bangunan petilasan, pengunjung harus melewati jalan berlantai batu hitam
sepanjang kira-kira 300 meter. Kompleksnya megah, luasnya sekitar 50 x 30 meter. Tembok
setinggi dua meter mengeliling kompleks bangunan.
Bangunan utama berupa rumah kecil. Di atas pintu masuk kita bisa melihat foto
Raden Panji Soedijat Prawirokoesoema alias Romo Dijat. Di sebelahnya ada bangunan
seperti balai-balai berlantai keramik putih. Inilah tempat Romo Dijat memberi petuah-
petuah bagi para murid. "Setiap Suro, Rama Dijat akan mencandra tahun yang akan datang,"
kata Toto Raharjo. Ia yaitu cucu Mbah Tomo, juru kunci yang meninggal pada 1997.
Bangunan lainnya berbentuk rumah dengan empat kamar besar berlantai keramik
warna hijau tua. Ini yaitu kamar-kamar bagi Soedjono dan lingkarannya. dahulu , kenang
Budya, Soedjono dan teman-temannya sering berdialog dengan dhawuh dan berdiskusi
sampai pagi. Semua dhawuh direkam dan dicatat, bahkan diterbitkan sebagai buku
kumpulan dhawuh yang diedarkan di kalangan terbatas. Budya masih menyimpannya
sampai sekarang.
Soedjono Hoemardani meninggal dunia pada 1986. Soeharto menghadiri
pemakamannya. "Saya melihat mata Pak Harto mbrebes mili (berkaca-kaca)," kata
Budyapradipta. Ia jarang melihat Soeharto menangis di depan umum. Itu tandanya ia sangat
kehilangan sahabat seperguruannya itu. Apalagi, sebelumnya para rama, guru-guru
utamanya, juga meninggal.
Banyak kalangan dari dunia kebatinan Jawa melihat, sesudah kematian Soedjono
Hoemardani, Soeharto seperti kehilangan arah. "The Smiling General" itu seperti jalan
sendiri tanpa sahabat dekat. Dari kejawen ia lalu tiba-tiba terlihat mendekati Islam. Bagi
sebagian orang Jawa, tindakan Soeharto itu seperti keluar dari rel yang sudah digariskan.
Budi Kusumo Putro, putra Rama Dijat, berkisah, sebelum Soeharto berniat menjabat
presiden untuk periode ketiga, pada 1982, Rama Dijat sudah mengingatkan agar Soeharto
mengurungkan ambisinya. Namun, Soeharto ngotot agar diizinkan menjadi presiden dan
memohon agar Romo Dijat memintakan "restu" kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atas permintaan itu, akhirnya Romo Dijat melakukan laku (tirakat) melakukan
perjalanan ke segenap penjuru Nusantara selama kurang lebih satu tahun. Di berbagai
tempat ia melakukan meditasi. "Ayah mendapat wisik, Soeharto bisa menjadi presiden,
namun hanya untuk satu periode lagi," tuturnya. Hasilnya itu disampaikan kepada Soeharto.
Tempat yang dipilih untuk menyatakan persoalan penting itu yaitu di rumah ayah Romo
Dijat di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. Sebuah pilihan simbolis, sebab
itulah tempat untuk pertama kali Soeharto bersedia menjadi murid Rama Dijat.
Pada 1984, Romo Dijat meninggal. Toto Iriyanto, putranya yang lain, menceritakan,
pada pertengahan 1987 saat proses pemilihan umum berlangsung, saat melaksanakan
tahajud, dia merasa mendapat wisik dari almarhum ayahnya. "Tulung kandanono kadangmu
Soeharto (tolong kasih tahu saudaramu Soeharto)."
Inti wisik itu memperingatkan agar Soeharto lengser. Toto diperintahkan agar menemui Soeharto dengan membawa jantung pisang raja, jeruk Bali, dan kelapa gading
(kelapa kuning). Jantung pisang raja yaitu simbol kekuasaan, jeruk bali simbol agar
kekuasaan itu dikembalikan, kelapa gading yaitu simbol masa keemasan. "Intinya,
Soeharto harus menanggalkan kekuasaannya di saat masa keemasannya," tutur Toto.
Toto mulanya ragu menyampaikan pesan itu, namun akhirnya Toto berkeyakinan
harus datang ke istana. Selang beberapa hari, berangkatlah Toto menemui Soeharto di
istana seorang diri. Toto hampir tak lolos dari pemeriksaan Pasukan Pengaman Presiden.
Beruntung saat itu Soeharto sedang keluar dari pintu utama istana hendak masuk ke dalam
mobil. Sambil mengisap cerutu, Soeharto langsung melambaikan tangannya kepada Toto.
Rupanya Soeharto masih mengenali wajah putra gurunya.
Keduanya terlibat dalam percakapan singkat dalam bahasa Jawa. Toto langsung
menceritakan dirinya mendapat wangsit agar menyerahkan tiga simbol itu kepada
Soeharto. Soeharto pun menerima baki berisi jantung pisang raja, jeruk bali, dan kelapa
gading. "Wis tak tampa (saya terima)," kata Soeharto. Toto segera pamit pulang tanpa
masuk istana. Soeharto pun bergegas melaju dengan mobil.
Ternyata Soeharto tidak mengindahkan "pesan" itu. Ia terus menginginkan
tampuk kekuasaan. Kita tidak tahu sejauh mana relevansi kebenaran wisik itu. namun tahun-
tahun itu sepak terjang bisnis putra-putrinya mendapat sorotan yang kian tajam. Soeharto
seperti lupa daratan. Sampai terjadilah krisis moneter dan pada 1998 ia lengser. namun itu
sudah terlambat. Banyak yang menganggap, jika ia menaati pesan para gurunya itu, di
saat tahun-tahun terakhir hidupnya Soeharto akan lebih selamat.
soeharto nama yang sangat akrab bagi penduduk kawasan Pegunungan Dieng,
Wonosobo, Jawa Tengah. Soeharto pernah bersemadi di Gua Semar-salah satu gua
yang terletak di Dieng-sebelum menjadi presiden. Di gua itulah ia memperoleh
wangsit menjadi pemimpin.
Gua Semar atau Gua Mandala Sari, yaitu istana Begawan Sampoerna Djati (Semar),
berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Letaknya di antara
kawasan pariwisata. Gampang dijangkau-satu jam perjalanan dari alun-alun Wonosobo-namun
tak mudah memasukinya. Dengan kata lain, harus menempuh rantai izin yang panjang.
Pertama-tama, Tempo minta izin ke sang juru kunci. Sang guru kunci itu harus minta izin ke
beberapa sesepuh sakti di perkampungan itu. sesudah semua terpenuhi, barulah keluar
cerita dari mulut Rusmanto, juru kunci Gua Semar.
Sebelum sampai ke Gua Semar, tutur Rusmanto, Soeharto sudah melakukan
serangkaian pertapaan: di Gua Jambe Lima dan Gua Jambe Pitu, lalu Gua Suci Rahayu di
kawasan Gunung Selok, Cilacap, Jawa Tengah. "Di Suci Rahayu itulah Soeharto melakukan
penyucian awal," kata Rusmanto.
Langkah selanjutnya, bertapa ke Gunung Srandil, masih di Cilacap. Gunung di tepi
pantai itu dikenal sebagai tempat khusus untuk ziarah. Di sanalah dimakamkan para leluhur
tanah Jawa: Eyang Agung Heru Cokro, Eyang Sukmo Sejati, Eyang Kaki Tunggul Sabdo Jaati
Doyo Amongrogo, Nini Dewi Tanjung Sekar Sari, dan Eyang Lalangbuono atau yang lebih
terkenal disebut Ismoyo Ratu.
Dari sana, Soeharto melanjutkan tapa di Gunung Lawu, tempat menghilangnya raga
Raja Brawijaya. Empat tahap pertapaan, di Argo Dalam, Argo Tumila, Argo Piruso, dan Argo
Tiling. sesudah itu, ia bertapa lagi di sebuah gunung kecil di Kecamatan Bobotsari,
Purbalingga, Jawa Tengah. Selain bertapa, di gunung itu juga ada acara nyekar di
makam Syekh Jamu Karang. "Barulah sesudah itu, lokasi terakhir pertapaan dilakukan di
kawasan Dieng," ucap Rusmanto.
saat Soeharto datang, keadaan Dieng belum sebagus sekarang. Jalannya berbatu-
batu, menanjak dan berlubang. Menurut Rusmanto, Gua Semar istana terakhir Mandala Sari
alias Semar. Di gua itulah Semar bersemadi abadi sesudah pertapaan di berbagai tempat.
Menurut kepercayaan, urut-urutan pertapaan di tanah Jawa selalu berakhir di kawasan
Dieng.
Rusmanto tak langsung mengantar Soeharto bertapa. Ia mendapat cerita yang
lengkap-tentang perjalanan tapa Soeharto-dari pamannya, Darmaji, yang saat itu menjadi
juru kunci. saat bertapa, Soeharto hanya ditemani oleh juru kunci Darmaji. Para
pengawalnya menunggu pada jarak yang agak jauh. Sebelum bertapa, Soeharto harus
melakukan bimolukar, atau mandi lulur untuk menghilangkan nafsu angkara murka.
Dari Gua Semar, Soeharto mandi di Telaga Warna, telaga yang melambangkan empat
nafsu yang harus dikendalikan: lawamah, amarah, sufiyah, dan mutmainah. Dan
pengendalian nafsu itu dilakukan di Gua Jaran, gua yang terletak di sebelah utara Gua
Semar. Disebut jaran (kuda) sebab gua itu, menurut cerita leluhur di Dieng, awalnya yaitu
jaran milik Resi Kendali Seto yang bertujuan mengendalikan nafsu manusia yang ada di
aliran hitam dan putih.
Gua selanjutnya yaitu Gua Sumur. Sedikit lebih lebar dari Gua Semar, dan memiliki
sumber air yang tingginya stabil. Musim hujan atau kemarau, volume airnya tetap. Sumber
air di gua itu juga disebut air kehidupan. Dari penghuni Gua Sumur Soeharto
mendapat petunjuk: jangan ragu untuk pasrah kepada Sang Kuwasa (Yang Kuasa), agar
selalu dilindungi atau disembuhkan dari berbagai penyakit.
Soeharto menutup perjalanan tapanya di Kawah Si Kijang, simbol hewan yang bisa
dijadikan contoh bagi manusia atas kepintaran dan rasa rendah hatinya. Dilanjutkan ke
Kawah Sileri, kawah yang mengajarkan agar orang hidup untuk tidak melanggar empat
wewaler (aturan), yakni aturan keluarga, masyarakat, negara, dan Tuhan. Dan dua tahap
selanjutnya yaitu menuju Sumur Jolotundo dan Kawah Condrodimuko.
30 April 1997. Dengan rasa tak percaya, KRH Soehadi Darmodipuro
menyaksikan tayangan langsung di televisi. Hari itu semua stasiun meliput acara
pernikahan Hutomo "Tommy" Mandala Putra dengan Ardhia Pramesti Regita "Tata"
Cahyani. Hanya sejenak, budayawan Keraton Surakarta, Jawa Tengah, itu buru-buru
mematikan televisi.
Soehadi, 60 tahun, rupanya gamang menyaksikan keris yang dikenakan Tommy pada
upacara pernikahan itu. Dia menganggap ganjil keris yang terselip di bagian punggung putra
Soeharto itu. Itulah keris gayaman-khusus untuk perkabungan. "Saya nggak percaya," kata
Mbah Hadi, begitu Soehadi biasa disapa. "Ini bisa berakibat celaka."
Menurut Mbah Hadi, Tommy seharusnya memakai keris ladrangan-khusus untuk
upacara pernikahan. Ia percaya, salah pakai, salah tempat, dan salah waktu ageman bisa
membawa petaka. Tommy, kita tahu, lalu memang masuk bui. Dan inilah yang
dianggap Mbah Hadi sebagai "celaka".
Toh, Mbah Hadi mencoba tak percaya. Dibukanya kitab primbon Jawa, mereka-reka
hitungan pawukon. Tommy lahir Ahad Pahing, 15 Juli 1962, dan Tata Rebo Legi, 2 April 1975.
Di situ tertulis, pasangan ini tidak jodoh. Keduanya bisa melahirkan satria wiring-sesuatu
yang harus dihindari dengan menjalani ruwatan, atawa tolak bala.
Perkara itung-itungan Jawa, Cendana juga tentu memiliki . Menurut Mas'ud Thoyib,
Ketua Penghayat Kepercayaan, jika ketemu hitungan kurang baik, harus dibuatkan
penangkalnya. "Dalam pernikahan Mas Tommy, penangkal itu dimasukkan dalam urut-
urutan ritual adat," kata Mas'ud, yang terlibat persiapan pernikahan.
Ada satu permintaan Soeharto dalam menolak bala Tommy. Pemimpin Orde Baru itu
minta digelar Bedaya Sanga-yang dibawakan sembilan anak dara. Maksudnya: agar rumah
tangga Tommy dan Tata langgeng sejahtera. Masih banyak tetek-bengek tolak bala lain,
seperti pemasangan bleketepe (sesaji buah-buahan di pintu), siraman, sampai midodareni.
Mas'ud melihat Soeharto mengistimewakan Tommy. Ingatlah pada September 1965,
saat Tommy kecil tersiram sup panas dan sang ayah menungguinya di RSPAD Gatot
Subroto. "Dari garis wajahnya juga Mas Tommy paling mirip Pak Harto," kata Mas'ud.
Menyongsong pernikahan Tommy-Tata, Mas'ud yakin Soeharto menjalani ritual khusus
nglakoni, antara lain meditasi dan puasa.
Olah kebatinan memang hobi Soeharto. Mas'ud tahu betul, Soeharto sering nglakoni
bareng paranormal Soedjono Hoemardhani, Mesran, Romo Marto, dan Romo Lukman-
keempatnya sudah mendahului ke alam baka. Mereka ini generasi pertama lingkaran
kebatinan Soeharto.
Putra Mesran, Pungky, membenarkan ayahnya sering menemani Soeharto nglakoni.
Suatu saat , contohnya , Soeharto menapak tilas jejak spiritual Panembahan Senopati.
Sebelum meditasi, Soeharto juga menjalani tirakat 40 hari.
Sejak para sesepuh itu meninggal, Soeharto nglakoni sendiri. Ia, konon, sudah
mencapai ilmu tertinggi, Gondelan Kayon-pasrah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Soeharto
nglakoni suaraning asepi-bisikan terhening-untuk mendapat dhawuh atau petunjuk. "Pak
Harto memiliki ruangan meditasi di rumah Cendana," kata Mas'ud, yang mengaku pernah
melihat ruangan itu.
Paranormal Buanergis Muryono, yang juga terlibat dalam persiapan spiritual
pernikahan Tommy, lain pula komentarnya. Sebelum pernikahan, katanya, Cendana sudah
tahu pasangan Tommy dan Tata tidak cocok. "Berdasarkan perhitungan nama dalam aksara
Jawa, bukan penanggalan," kata Muryono, yang berambut gondrong dan berpakaian serba
hitam.
Dua nama tadi bakal dipenuhi malapetaka: pegatan (cerai), apes (susah), bahkan
mati. Penolak bala apa pun tak bisa menyatukan mereka.
"Saya ini benar-benar kelahiran Desa Kemusuk dan memang anak petani dari Desa
Kemusuk...."
suara bariton Soeharto menguasai ruang kerja kepresidenan di Bina Graha, Jakarta,
Senin siang pada pengujung Oktober 1974. Di dalam gedung di samping Istana Negara
itu, Soeharto mengundang sekitar seratus wartawan dalam dan luar negeri. Acaranya,
Soeharto menceritakan tentang silsilah riwayat hidupnya.
Pertemuan yang juga dihadiri beberapa pejabat teras saat itu memang langka. Boleh
dibilang, hampir tak pernah terjadi Kepala Negara, yang pada dasarnya pendiam itu,
membentangkan satu bagian dari sejarah hidupnya secara khusus kepada publik selama
sekitar dua jam. Mengapa?
Semua bermula dari artikel majalah POP yang terbit di Jakarta. Dalam edisi No. 17,
Oktober 1974, POP-singkatan Peragaan, Olahraga, Perfilman-terbit dengan tulisan bertajuk
Teka-teki Sekitar Garis Keturunan Soeharto. "Tulisan itu tidak saja merugikan saya pribadi,
namun juga keluarga dan leluhur saya," kata Soeharto di hadapan wartawan waktu itu.
Tulisan lima halaman itu bercerita tentang silsilah riwayat hidup Soeharto. Kisahnya
berbeda dengan silsilah yang ditulis dalam buku The Smiling General karya O.G. Roeder
terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1969. Menurut artikel itu, Soeharto sebetulnya anak
seorang priayi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Priayi itu bernama R.L.
Prawirowiyono, yang bergelar R. Rio Padmodipuro.
Suatu hari, Rio terpaksa menitipkan istri dan anaknya kepada orang desa yang
bernama Kertorejo, sebab ia harus menikah lagi dengan putri seorang wedana yang
berpengaruh. Kala itu si anak, katanya bernama R. Soeharto, sudah berusia 6-7 tahun. Ini
sebuah tragedi yang sungguh menyedihkan, kata majalah itu mengutip ucapan seseorang.
Sejak itu ayah, ibu, dan anak tak pernah mencoba saling berhubungan lagi. Hingga
sang ayah meninggal pada 1962, ia tak sempat melihat wajah putranya yang sudah
dibuangnya, yang tak lain-menurut majalah POP dengan nada pasti-yaitu Soeharto,
Presiden RI kedua dan penguasa Orde Baru.
sebetulnya , sekitar dua tahun sebelum artikel POP itu terbit, bisik-bisik tentang
"silsilah" itu mulai santer di Yogyakarta. Dan hasilnya tampaknya sudah dikirimkan
kepada Soeharto langsung. Seperti diungkapkan Soeharto di depan wartawan di Bina Graha
pada 28 Oktober 1974, soal silsilah itu sudah lama didengarnya. "Bahkan ada yang tulis surat
kepada saya dalam bentuk cerita," katanya.
Menurut Soeharto, isi ceritanya tentang seseorang yang kehilangan anaknya sejak
kecil dan selalu dicari, sekarang ini bisa diketemukan. Bahkan anak itu sudah memperoleh
kedudukan tertinggi, menjadi presiden. Si orang tua yang mencari kini mengharapkan
kedatangan anak itu untuk menerima warisan.
Saat itu, Soeharto segera mafhum apa yang dimaksud. sebab ia tahu siapa yang
menulis surat itu (Soeharto tak menyebut nama), maka dijawabnya: gambaran bahwa dia si
anak yang dicari dan lalu ditemukan itu tak benar. "Saya yaitu anak yang dilahirkan
di Desa Kemusuk," katanya menegaskan.
Soeharto lalu menceritakan kisah hidupnya. Katanya, ia dilahirkan pada 8 Juni 1921
di Desa Kemusuk, sebuah desa terpencil di wilayah Argomulyo, Godean, sebelah barat Kota
Yogyakarta. Ibunya bernama Sukirah. Sedangkan ayahnya, Kertosudiro, yaitu ulu-ulu atau
petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama
memikul tugasnya itu. "Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya."
Kertosudiro, menurut keterangan Soeharto, seorang duda beranak dua. Jadi, ia anak
ketiga dari Kertosudiro dengan ibu Sukirah. Hanya, hubungan Kertosudiro-Sukirah ternyata
kurang serasi sehingga, begitu Soeharto lahir, orang tuanya bercerai. Soeharto lalu
diasuh Mbah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang melahirkan, termasuk
menolong kelahiran Soeharto. "Nama panggilannya yaitu Mbah Kromo, adik kakek saya,
Mbah Kertoirono," kata Soeharto.
Beberapa tahun lalu Ibu Sukirah menikah lagi dengan seseorang bernama
Atmopawiro. Pernikahannya itu melahirkan tujuh orang anak: Sukiyem, Sucipto, Nyonya
Haryowiyatmo, Probosutejo, Suminah, Suwito, dan Nyonya Suharjo. Sedangkan ayah
Soeharto juga menikah lagi. Dan dari pernikahan yang ketiganya itu ia mendapat empat
anak lagi: Nyonya Harsono, Santoso, Nyonya Juhron, dan Nyonya Tubagus Sulaeman.
Begitulah Soeharto mengisahkan sejarah hidupnya. Waktu itu, silsilah versi resmi
Soeharto itu dibagi-bagikan kepada para wartawan. Yang jelas, dalam pandangan Soeharto,
tuduhan yang dimuat POP itu bisa menimbulkan perdebatan dan perbedaan serius dalam
masyarakat. Sebab, tuduhan itu memberikan kesempatan yang baik untuk subversi,
mengganggu stabilitas nasional, dan akan mempermalukan bangsa. "Juga akan menciptakan
ketidakpercayaan kepada pemimpinnya," Soeharto menandaskan.
namun , benarkah artikel dalam majalah POP itu gosip belaka? Dalam persidangan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal Januari 1975, Rey Hanityo, Pemimpin Redaksi dan
Penanggung Jawab POP, menyodorkan pembelaan. Katanya, artikel tentang silsilah riwayat
hidup Soeharto itu merupakan hasil penelitian wartawan POP dari sumber berita yang dapat
dipercaya. Dan tulisan itu sedikit pun tak bermaksud menghina presiden. Itu sekadar
menyumbangkan tulisan untuk bahan perbandingan antara versi majalah POP dan buku The
Smiling General karya O.G. Roeder. Harapannya, "Pak Harto sudi menerimanya untuk jadi
bahan baru," ujar Rey kepada Tempo saat itu.
namun Soeharto malah berang. Ia membantah semua yang ditulis POP. Dan majalah itu
pun dibredel: Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dicabut. Rey Hanityo-yang asal Tegal,
Jawa Tengah-dijebloskan ke penjara. Tamatlah riwayat majalah dwi-mingguan itu. Padahal,
tulisan itu seharusnya bersambung pada edisi berikutnya.
Tempo mencoba menyibak misteri di sekitar silsilah Kemusuk itu. Romo
Satroatmojo, abdi dalem juru serat keraton, sekaligus ipar R. Rio Padmodipuro,
mengungkapkan bahwa ia menyaksikan langsung kelahiran Soeharto. Menurut dia,
Soeharto merupakan anak bekel (abdi dalem) Prawirowiyono, yang lalu bergelar R.
Rio Padmodipuro, dari istri pertamanya: Sukirah.
Pada usia 0-7 tahun, Soeharto tinggal di belakang Jayeng Prakosan di Suronatan,
Yogyakarta. sesudah itu, Soeharto kecil lalu diboyong ke Desa Kemusuk. namun sayang,
ayahnya melupakannya dan tak pernah mengirimkan nafkah sebab takut kepada
mertuanya, Jayeng Prakosa, yang saat itu memiliki kekuasaan besar dan memiliki
kedekatan dengan Sultan Hamengku Buwono VII, sebagai raja saat itu.
sesudah Soeharto diungsikan ke Kemusuk, beberapa kali kakak Rio, RA Martopuro,
menengoknya. Bahkan ia ingin memboyong Soeharto ke rumahnya, di Ndalem Notoprajan,
namun ditentang adiknya, Jayeng Turangga. usaha RA Martopuro itu sebetulnya juga
atas keinginan Rio, agar ayah-anak itu tak kehilangan jejak. "Rio, yang pendiam dan takut
pada istri kedua dan mertuanya, akhirnya mengalah diam," ujar Romo Sas, panggilan
akrabnya, kepada Tempo yang menemuinya dua tahun sebelum ia meninggal pada 2004.
Kisah serupa dituturkan Romo Gayeng. Menurut dia, ayahnya, Raden Mas
Purbowaseso (dahulu juga dipanggil Romo Gayeng), pernah menceritakan riwayat Soeharto.
"Kesaksian itu dimuat majalah POP edisi Oktober 1974," katanya saat ditemui di rumahnya
di Kampung Jambu, Yogyakarta, Agustus 2001 lalu.
Ayah Romo Gayeng, RM Purbowaseso, yaitu kakak kandung R. Rio Padmodipuro.
saat Soeharto lahir, R. Rio Padmodipuro masih berpangkat bekel (abdi dalem) dan
bernama R.B. Prawirowiyono. sesudah menikah, ia tinggal di Kampung Suronatan sampai
lahirnya Soeharto.
Kelahiran Soeharto ternyata tak membawa kebahagiaan bagi Sukirah, sebab
Prawirowiyono diambil menantu oleh Mas Wedono Jayeng Prakosa, seorang wedana
keraton yang dekat dan disayang Sri Sultan Hamengku Buwono VII. "Pengaruh Jayeng
Prakosa yang sangat kuat membuat Prawirowiyono tak berani menolak."
Takut akan mempengaruhi kedudukannya, ia mengungsikan istri dan anaknya
(Soeharto) yang masih kecil ke sebuah rumah di belakang Jayeng Prakosan. Walau sudah disembunyikan, akhirnya tetap tercium oleh istri keduanya. sebab bingung, ia
mengungsikan istri pertama dan anaknya ke luar kota, di rumah seorang kenalannya yang
memiliki jabatan ulu-ulu di Desa Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, bernama Kertorejo.
"Pada waktu itu umur Soeharto baru sekitar 6-7 tahun," ia menjelaskan.
Begitulah. Mungkin yang cukup menarik yaitu pernyataan Sumitro
Djojohadikusumo dalam otobiografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Menurut
Sumitro, dalam acara lamaran Prabowo-Titiek, Soeharto pernah berkisah tentang masa
kecilnya. Katanya, sewaktu berusia sepuluh tahun, "Soeharto menjadi rebutan antara orang
tua angkatnya dan ayah kandungnya yang berasal dari lingkungan keraton."
Bila pernyataan Sumitro itu benar, jelaslah bahwa Soeharto memang pernah
keceplosan bicara tentang dirinya yang memang keturunan seorang priayi keraton. Jadi, ia
bukan anak petani dari Kemusuk seperti selama ini dikemukakannya. Soalnya: mengapa ia
keberatan mengaku sebagai keturunan keraton dan memilih menyebut diri anak petani?
Adakah hubungannya dengan jabatannya sebagai presiden, yang tentu lebih "dramatis" jika
presiden datang dari rakyat kebanyakan?
dalem Kalitan tiba-tiba berubah jadi beku. Rumah joglo kuno yang terletak hanya
sekitar 100 meter dari jalan protokol Slamet Riyadi yang membelah Solo itu seperti
tercekat. Beberapa orang menangis. Tak terkecuali Soeharto, Presiden Indonesia
kala itu. laki-laki yang dijuluki sebagai orang terkuat di Asia menurut versi majalah Asiaweek
itu tampak kuyu. Berulang kali pria berbaju hitam-hitam itu mengusap air mata yang
membasahi pipi. Apalagi, saat peti mati dari kayu jati berpelitur cokelat itu mulai berangkat
menuju pemakaman, Pak Harto makin terpekur.
"Selamat jalan, Ibu. Kami selalu bersamamu dalam doa," ucap Siti Hardijanti
Rukmana, putri sulung Soeharto, setengah berbisik, sembari terisak.
Senin, 29 April 1996, yaitu Senin kelabu buat keluarga Soeharto. Raden Ajeng Siti
Hartinah, istri Soeharto, dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, di kaki Gunung
Lawu, sekitar 30 kilometer dari Ndalem Kalitan. Ibu Tien-begitu ia biasa dipanggil-meninggal
sehari sebelumnya pukul 05.10 pagi di Rumah Sakit Pusat Pertamina-rumah sakit yang
menjadi proyek mercusuar di masanya. Penyebabnya? Pernyataan resmi Istana
menyebutkan, wanita berlesung pipit itu meninggal sesudah terkena serangan jantung pada
subuh di Hari Raya Idul Adha itu.
Kepergian Hartinah yaitu pukulan godam terberat bagi Soeharto. Banyak intrik,
juga musuh-musuh politik yang sudah dihadapi laki-laki ini. namun , saat itu, tiada cobaan seberat
meninggalnya Hartinah. Pernikahan mereka sudah berumur 49 tahun. Di antara laki-laki dan
perempuan tua selalu ada sesuatu yang tersambung, saling menguatkan.
Wafatnya Ibu Tien, menurut R.E. Nelson dalam bukunya, Suharto, Sebuah Biografi
Politik, tidak hanya membuat Soeharto kehilangan pendamping hidup. Ia juga kehilangan
sang "penjalin jaringan, penyusun strategi, pengawas Soeharto sekaligus pendisiplin anak-
anaknya."
Hartinah bukanlah first lady yang cuma sibuk gunting pita atau berpidato sana-sini.
Banyak ide besar yang lahir dari Hartinah yang mengukuhkan posisi Soeharto. Pertemuan
Soeharto dengan para konglomerat di Istana Bogor di penghujung Maret 1996 yaitu salah
satu buktinya. Hartinahlah penggagasnya. Waktu itu langit Bogor biru cerah. Ratusan
pengusaha papan atas memadati Istana Bogor yang putih bersih. sesudah gamelan Sunda
dan pertunjukan tari Jaipongan dari Siti Hardijanti Rukmana menghibur orang-orang terkaya
di Nusantara itu, Hartinah mengajak para pengusaha top menyumbang. Hasilnya, hanya
dalam hitungan jam, Ibu Negara itu berhasil menjala dana Rp 9,7 miliar dari 246 pengusaha.
Dana itu akan disalurkan Panitia Dana Gotong Royong Kemanusiaan, yang jabatan ketuanya
dipegang oleh dirinya, sementara Soeharto yaitu pelindungnya, untuk korban banjir di Bandung Selatan.
Jauh sebelum itu, wanita berdarah ningrat-ayahnya yaitu buyut dari Mangkunegara
III, bangsawan Keraton Solo-itu juga menggagas pendirian Rumah Sakit Jantung Harapan
Kita, menciptakan senam kesegaran jasmani yang diwajibkan di sekolah dan kantor
pemerintah, mendesakkan larangan berpoligami untuk pegawai negeri bersama para
nyonya pejabat tinggi, sampai munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983,
dan melahirkan Taman Mini Indonesia Indah yang kontroversial.
Taman Mini salah satu proyek kontroversial yang lahir dari gagasan Hartinah. Pada
akhir Desember 1971 itu penduduk Ceger, Jakarta Timur, bergolak. Mereka protes sebab
100 hektare tanah penduduk yang tergusur untuk proyek mercusuar itu hanya dihargai Rp
60 sampai Rp 100. Padahal, saat itu harga tanah di kawasan itu Rp 350.
Mahasiswa juga meradang sebab proyek itu bertentangan dengan Gerakan
Penghematan yang dicanangkan sendiri oleh Soeharto. "Biayanya Rp 10,5 miliar sama
dengan pembangunan tujuh kampus universitas sebesar Universitas Gadjah Mada," kata
Todung Mulya Lubis, yang waktu itu masih menjadi mahasiswa tingkat II Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Namun, Hartinah santai saja menanggapi protes itu. Ia tak datang memenuhi
panggilan DPR dengan alasan "capek baru datang dari luar negeri". Ia hanya berujar,
"Mumpung saya masih hidup." Ibu ini mendapat ide itu sesudah mengunjungi
Disneyland (Amerika Serikat) dan Timland (taman mini di Thailand). Soal biaya dia juga tak
pusing. Rumah-rumah adat di Taman Mini itu dibangun atas "sumbangan" pemerintah
daerah. Besarnya Rp 100 sampai 200 juta per anjungan. Namun, banyak provinsi yang
mengeluh tak memiliki bujet.
Protes-protes itu diserang balik oleh Soeharto. Pada saat berpidato tanpa teks saat
meresmikan Rumah Sakit Pertamina, ia menuduh para pengkritik itu mengganggu stabilitas
nasional. "Saya akan menghantam siapa saja yang melanggar konstitusi," katanya. sesudah
itu, beberapa tokoh seperti Arief Budiman, redaktur Sinar Harapan Aristides Katoppo, dan
Haji Johanes Princen masuk bui.
Soal antipoligami juga bukan rahasia. Dari pejabat tingkat tinggi sampai rendahan
semua tak berani beristri dua (secara resmi) sebab peraturan keras dari istri presiden ini.
Tak mengherankan bahkan Soeharto sendiri dalam biografinya menyatakan, "Hanya ada
satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan
yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto."
Campur tangan Hartinah pada urusan Soeharto bukan semata-mata urusan proyek
mercusuar. Ia juga mengurusi menteri-menteri. Mantan Menteri Riset dan Teknologi B.J.
Habibie pernah bercerita pada Tempo. Katanya, Nyonya Tien Soeharto pernah mengkritik
kantornya. "Habibie itu tak benar, masak kamarnya kayak gudang. Mbok diatur dengan
baik," ujar Hartinah. Untung, Soeharto tak terlalu menanggapi soal itu. "Ah, nggak usah,
yang penting Habibie kerasan duduk di situ, dan terus mendapat ilham. Jadi, jangan
diganggu," kata Soeharto, seperti diungkapkan Habibie.
Hartinah dan Soeharto yaitu sejoli yang kompak walaupun mereka pernah
bertengkar beberapa kali, salah satunya sebab urusan anggrek dan bayi. Bagi perempuan
yang lahir 23 Agustus 1923 di Jaten, dusun di pinggir jalan Solo-Tawamangu, Jawa Tengah,
itu Soeharto yaitu pria impian. Itu terjadi sejak 1947. Sebelum dia dilamar, Hartinah tak
pernah kenal Soeharto. Namun, dalam mimpi ia pernah bertemu sesosok pemuda ganteng
memakai jaket tentara. Dalam mimpinya itu, pemuda itu merangkul mesra dan memakaikan
jaketnya ke badan Hartinah. "Aneh namun benar, wajah tentara yang gagah itu mirip dengan
foto kecil yang diperlihatkan Ibu (sebelum lamaran)," tulis Abdul Gafur dalam bukunya, Siti
Hartinah Soeharto-Ibu Utama Indonesia, mengutip pernyataan wanita yang dahulu harus
berjualan batik sebab kecilnya gaji Soeharto itu.
Sejak itulah anak pasangan Raden Mas Soemoharjomo dan Raden Ajeng Hatmanti
itu selalu menemani Soeharto. "Siti Hartinah Soeharto yaitu sahabat Presiden (Pak Harto)
yang paling sangat dipercaya," kata Dr. O.G. Roeder dalam buku Presiden Soeharto Anak
Desa keluaran 1969. Hampir semua penampilan Presiden Soeharto di depan umum selalu
didampingi wanita yang bercita-cita menjadi dokter itu.
Kegiatan Hartinah makin hari makin bertumpuk. beberapa jabatan ketua di berbagai
yayasan, dari yang mengurusi jantung, pariwisata, sampai yang mengurusi buah-buahan dan
empon-empon, disandangnya. Hingga, akhirnya, pada April 1996 dia mengeluh capek. Istri
yang sering mengkritik Soeharto ini, menurut Nelson dalam buku Soeharto, Sebuah Biografi
Politik, sebetulnya sudah ingin pensiun sejak 1980-an dan tak senang Soeharto
mencalonkan diri lagi.
"Wah sudahlah, sekarang ini saya sudah tua, sudah mau menikmati sisa-sisa hidup
saja," kata wanita yang saat itu berusia 73 tahun saat ia diminta menjadi penasihat sebuah
yayasan, dua pekan sebelum ia meninggal.
Rupanya, itu harapan yang tak sampai. Pada 28 April 1996, Hartinah, wanita
multiperan-Ibu Negara, istri, ibu, nenek, buyut, dan pengelola aneka yayasan-itu
mengembuskan napas terakhir. Tim dokter kepresidenan menemukan gumpalan darah di
pembuluh kakinya, yang kemungkinan juga sudah menyumbat jantungnya.
Ia akhirnya kembali ke rumah tetirahnya, Ndalem Kalitan yang bisu, sebelum
akhirnya dimakamkan di kaki Gunung Lawu. Sang Tukang Kritik sudah pergi. "Kematian Ibu
Tien itu membawa dampak musnahnya pengawasan atas kecenderungan abadi Soeharto
untuk menjagokan kepentingan bisnis anak-anaknya," kata Nelson. Sejak kejadian itu, "Tidak
banyak yang ingin ia perjuangkan selain mempertahankan cengkeraman kekuasaannya."
R. William Liddle
Profesor ilmu politik, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
residen Soeharto yaitu seorang diktator yang tanpa sengaja namun dalam banyak
hal memuluskan proses demokratisasi di negerinya. Saya tidak tahu bagaimana
kenyataan ini akan dinilai kelak oleh para sejarawan, yang biasanya lebih
mementingkan intention (maksud) ketimbang outcome (hasil). namun sebagai pengamat
lama yang dahulu tidak pernah percaya bahwa pemerintahan Orde Baru yang otoriter akan
disusul langsung oleh pemerintahan yang demokratis dan stabil, saya merasa perlu
menguraikan peran Soeharto dalam proses ini.
Pertama dan mungkin terutama, para pemimpin TNI sudah dikebiri selaku aktor
politik sejak Benny Moerdani dipecat sebagai Panglima ABRI pada 1987. sesudah itu
Soeharto tidak pernah membiarkan satu perwira tinggi menjadi terlalu kuat. Soeharto
menyeleksi langsung perwira muda untuk menjadi ajudannya, lalu ia menjamin kesetiaan
mereka dengan kebijakan promosi dan kenaikan pangkat yang cepat. Lagi pula, Soeharto
mempertentangkan para perwira tinggi, seperti menantunya Prabowo Subianto dan bekas
ajudannya Wiranto, agar salah satu tidak bisa bertindak sendiri atas nama ABRI.
Hasilnya yaitu sebuah tentara yang tidak berdwifungsi lagi, yang tidak bisa
bergerak sebagai kekuatan utuh di bawah kepemimpinan tepercaya. Maka, ramalan saya
dahulu bahwa Soeharto akan disusul oleh orang kuat lain, seperti Park Chung Hee di Korea
disusul oleh Chun Doo Hwan, tak terwujud. Vakum politik yang diwariskan oleh kebijakan
militer Soeharto justru diisi dengan orang sipil yang lemah namun prodemokrasi: B.J. Habibie
(yang langsung menawarkan pemilu demokratis sebagai taktik politik untuk menyelamatkan
jabatannya), Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri.
Kedua, seraya mencari pengabsahan bagi kekuasaannya, Soeharto menciptakan
sebuah dunia fantasi yang kini menjadi realitas. Dunia itu terdiri dari lembaga-lembaga sok
demokratis, asli namun palsu, yang saat beliau lengser keprabon bisa bertiwikrama menjadi
lembaga demokratis sejati. Mulai 1971 sampai dengan 1997 pemilihan umum diadakan
setiap lima tahun di tiga tingkat pemerintahan (bandingkan dengan periode Demokrasi
Terpimpin, saat tak ada pemilu sama sekali).
Dua partai politik, masing-masing dengan akar sosio-budaya (Islam dan
nasionalisme) yang kuat, diperbolehkan bersaing dengan Golkar, partai negara yang
diciptakan Soeharto. Di antara masa-masa pemilu, wakil rakyat bersidang secara teratur di
MPR, DPR, dan DPRD-DPRD. Tentu saja, di belakang layar, Soeharto atau agennya
menyelewengkan semua lembaga ini. sesudah Soeharto turun, dalam suasana politik yang
serba kacau dan menakutkan (mengingat apa yang terjadi pada 1965?1966) lembaga-
lembaga itu dimanfaatkan kaum reformis sebagai jembatan yang mampu membawa
mereka ke dunia yang dicita-citakan. Pemilu 1999 yaitu pemilu demokratis pertama sejak
1955, namun secara teknis tidak banyak berbeda dengan pemilu-pemilu Orde Baru yang
sama sekali tidak demokratis.
Ketiga, sistem pemerintahan Soeharto yaitu sistem otoriter, bukan totaliter seperti
di Uni Soviet. Hal itu berarti bahwa masih ada ruang untuk bergerak, meskipun sering
dibatasi, buat organisasi masyarakat madani dan juga pers swasta, dua jenis lembaga sosial
yang melatari setiap negara demokratis modern. Organisasi agama, contohnya Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah, betul-betul memanfaatkan kesempatan itu dan bertambah
besar, terorganisir, berakar, dan berpengaruh selama Orde Baru. Organisasi yang sering
menantang pemerintah, seperti LBH atau Walhi merupakan sekolah perjuangan yang
berharga bagi anggotanya saat posisi Soeharto digoyang krisis moneter 1997?1998. Pers
swasta, terutama Tempo dan Kompas, merupakan alat pendidikan yang tak ternilai
harganya tentang segala segi kehidupan modern, termasuk demokrasi, selama puluhan
tahun.
Warisan terakhir yaitu tawaran rekonsiliasi yang disampaikan Soeharto kepada
beberapa kelompok masyarakat yang pernah dikucilkan. Masyarakat Indonesia yaitu
masyarakat majemuk (seperti India atau Amerika), yang berarti bahwa setiap kelompok
besar perlu diberi tempat yang layak. Pada pertengahan 1980-an Soeharto merangkul kaum
Islam tradisional di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Kaum modernis menyusul
beberapa tahun lalu , saat kelahiran ICMI dibidani oleh Habibie, salah satu menteri
favorit Soeharto waktu itu.
Namun, rekonsiliasi tidak pernah ditawarkan kepada pendukung Partai Komunis
Indonesia, yang dizalimi terus oleh Soeharto. Pada masa jayanya, pemimpin PKI berusaha
mengusung aspirasi rakyat kecil. Mereka berhasil: PKI menjadi partai terbesar keempat
dalam pemilu 1955. Setengah abad lalu , komunisme sudah mampus namun
tuntutannya demi terciptanya kehidupan sosial yang lebih merata masih bergema. Dalam
hal ini warisan Soeharto yang terpenting bagi rakyat kecil (ironinya saya akui) yaitu
keyakinannya pada kekuatan pasar selaku pencipta utama lapangan kerja. Sayangnya,
banyak politisi masih terpukau oleh teori populisme, warisan zaman Pergerakan yang tak
mungkin memecahkan masalah ekonomi dan politik masa kini.
Kesetiaan Ismail Saleh pada Soeharto ditunjukkannya tanpa tedeng aling-aling.
Dialah yang susah-payah berusaha menemui Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh saat
Soeharto tergolek di RS Pertamina pada Mei 2006. Misi mantan Jaksa Agung ini hanya satu:
meminta yuniornya itu mencabut pencekalan atas Soeharto.
Dia juga ingin mempertanyakan alasan hukum kejaksaan menghidupkan kembali
perkara korupsi penguasa Orde Baru itu. Dia gagal bertemu Abdul Rahman Saleh, namun
misinya tak sepenuhnya gagal. Pencekalan Soeharto dicabut, dan penuntutan perkaranya
dihentikan.
Mas Is-demikian ia akrab disapa-menjadi orang kepercayaan Soeharto di bidang
penegakan hukum selama berkuasa. Ismail pernah menjabat Jaksa Agung dan Menteri
Kehakiman. Namun, namanya sudah mulai dikenal sejak bertugas di Sekretariat Negara
pada tahun-tahun awal Orde Baru.
Bukan sekali saja pria kelahiran Pati, 7 September 1926, ini menunjukkan
pembelaannya kepada sang bos. saat badai hujatan menghantam Soeharto, Ismail
"pasang badan". Ia aktif menulis di berbagai media melakukan pembelaan. Kesetiaan itu
juga ditunjukaan Ismail dengan sakit persis saat Soeharto jatuh sakit tahun 2006. Ceritanya,
sepulang dari Kejaksaan Agung itu dia langsung menuju RSPP, menengok Soeharto. namun ,
sebab tergesa-gesa, ia tersandung dan jatuh. Akibatnya, kaki kirinya patah dan ia mesti
dirawat di sana.
saat Soeharto kritis dua pekan lalu, Ismail memohon kepada Presiden Yudhoyono
mengembalikan nama baik Soeharto dan mengubur dalam-dalam kesalahan yang pernah ia
lakukan ter- hadap rakyat. "Mikul dhuwur men dhem jero," katanya.
Haryono Suyono
Tak Menghindar
Bagi Haryono Suyono, tak pernah ada keraguan sedikit pun untuk tetap menjaga
hubungan dengan Soeharto sesudah lengser dari kekuasaannya.
"Saya tak menghindar dari Pak Harto. Saya merasa tak pernah melakukan kesalahan
selama menjadi menteri. Saat itu saya bekerja untuk rakyat," ujar pria kelahiran Pacitan, 6
Mei 1938, itu kepada Tempo.
Maka, ia selalu rajin datang ke pengajian yang digelar di Cendana, kediaman pribadi
Soeharto. Ia juga datang untuk kepentingan lain. Salah satunya yaitu melaporkan
perkembangan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), yang ia dirikan bersama
Soeharto, Sudono Salim, dan Sudwikatmono.
Menurut Haryono, kedekatannya dengan penguasa Orde Baru itu merupakan
keniscayaan belaka. "Selama 13 tahun menjabat Kepala BKKBN, di antaranya merangkap
sebagai menteri, bagaimana mungkin saya tidak dekat dengan Pak Harto?" kata dia.
Kedekatan itu memang memiliki kisah panjang. Sepuluh tahun menjabat Deputi
BKKBN, ia lalu diangkat menjadi Kepala BKKBN pada 1983. Hingga 13 tahun lalu
Haryono berada di pos itu, ditambah dengan dua kali merangkap sebagai menteri.
Pada 1997, saat ia tengah berkampanye di Malang, mendadak ajudan Presiden
menghubunginya minta ia segera menghadap Soeharto. Dengan perasaan kebat-kebit ia
segera terbang ke Jakarta. "Saya sengaja memanggilmu untuk menemani aku ngobrol
sambil makan singkong goreng ini," kata bosnya sembari tersenyum begitu bertemu.
Mereka pun mengobrol ngalor-ngidul.
Belakangan, Haryono merasa obrolan santai itu yaitu bagian dari cara Soeharto
mengujinya. Pada kabinet berikutnya, Haryono memang diangkat menjadi Menteri
Koordinator Kesra Taskin. Ia kian menjadi andalan Soeharto saat sukses memperjuangkan
agar Indonesia memperoleh penghargaan kependudukan PBB pada 1988.
Untuk semua itulah Haryono merasa layak tetap menjaga hubungan dengan
Soeharto.
Bustanil Arifin
Menangisi tugas
Bagi Bustanil Arifin, Soeharto memang tokoh yang mengesankan. Mantan Menteri
Muda Urusan Koperasi/Kepala Bulog ini tak pernah lupa pada pertemuan mereka pada awal
1950. "Kesan saya, Pak Harto yaitu perwira yang baik dan rendah hati," tulis Bustanil
dalam buku Di Antara Para Sahabat, Pak Harto 70 Tahun. Kesan itulah yang ia kenang
sampai kini.
Hubungannya kian dekat saat Indonesia mengalami krisis beras pada 1965. Sebagai
Pangkostrad, Soeharto memerintahkannya meyakinkan pemerintah Thailand agar
memberikan pinjaman 20 ribu ton beras. Misinya sukses. Lalu Bustanil dipercaya menjadi
deputi di Badan Urusan Logistik (Bulog) pada 1969.
saat diangkat sebagai Kepala Bulog pada 1973, pria kelahiran Padangpanjang,
Sumatera Barat, 10 Oktober 1925, ini sempat menangis di hadapan Soeharto. Terbayang di
matanya krisis beras yang belum juga usai. namun sejak itu pulalah berbagai tugas yang lebih
berat ia emban, yakni sebagai Menteri Muda Urusan Koperasi selama tiga periode.
saat rezim Orde Baru makzul, Bustanil tak kehilangan kesetiaan pada Soeharto.
Sekurangnya, ia selalu hadir dalam setiap acara halal-bihalal di Cendana.
Bustanil bersama Haryono termasuk orang-orang dekat yang berada di Lantai V
Rumah Sakit Pusat Pertamina saat Soeharto menghembuskan nafas terakhirnya, Minggu
(27/1) lalu.
Sudharmono
(1927-2006) Tak Menonjolkan Diri
Kedekatan almarhum Sudharmono SH dengan Soeharto sudah teruji oleh waktu. Tak
banyak yang tahu bahwa Pak Dhar-demikian ia biasa disapa-mengambil peran cukup
penting dalam menutup lembar kejayaan Orde Lama.
Pada 12 Maret 1966, sehari sesudah keluarnya Supersemar, yaitu Sudharmono yang
memerintahkan pengetikan sebuah naskah bersejarah. Itulah surat yang menyatakan PKI
sebagai partai terlarang. saat itu Pak Dhar mengetuai Tim Operasionil Pusat Gabungan-V
Komando Operasi Tertinggi (Koti).
Lalu, empat dekade lalu dia menjadi salah satu pilar kejayaan Orde Baru. Di
pemerintahan, ia menjabat Sekretaris Negara hingga tiga periode. Karier birokratnya
mencapai puncak saat menjabat wakil presiden (1988-1993). Sudharmono juga pernah
menjadi Ketua Umum Golkar, mesin politik Orde Baru. Semua itu menunjukkan kepercayaan
besar Soeharto pada pria kelahiran Gresik 12 Maret 1927 itu.
Dengan serenceng jabatan penting itu, sebetulnya Pak Dhar berpeluang tampil lebih
ke depan. Namun, ia mampu menahan diri. ''Seorang yang bekerja dalam staf tidak boleh
menonjolkan diri,'' ujarnya.
saat Orde Baru tutup buku pada 1998, letnan jenderal purnawirawan ini tak lari ke
mana-mana. Dia tetap bekerja bersama dengan mantan bosnya. Ia dipercaya
mengkoordinasikan tujuh yayasan yang didirikan Soeharto, yakni Dharmais, Supersemar,
Dakap, Damandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Gotong Royong, dan Trikora.
Pada 23 Januari 2006, Dharmono meninggal sesudah dirawat di rumah sakit selama
10 hari. Soeharto sempat membesuknya.
Saadillah Mursyid
(1937-2005) Setia sampai Akhir
Mudah-mudahan saya terhindar dari orang-orang yang semasa Pak Harto memegang
jabatan presiden selalu mendekat-dekat, menjilat, dan mencari muka. Pada waktu Pak Harto
tidak lagi menjadi presiden, orang-orang itu pula yang bersuara lantang menghujat,
mencaci, melempar segala kesalahan kepada Pak Harto."
Pernyataan itu diucapkan (alm) Sa-adillah Mursyid saat hari-hari Soeharto dipenuhi
hujatan dan cacian para musuhnya. Pria kelahiran Kalimantan Selatan, 7 September 1937,
ini memang dikenal loyal dalam berteman. Maka, ia tak meninggalkan Soeharto, meski
kekuasaan tak lagi dalam genggaman pendiri Orde Baru itu. Ia tetap setia berkunjung ke
Cendana.
namun Saadillah tak memiliki waktu lebih banyak menunjukkan kesetiaannya.
Mantan Menteri Sekretaris Negara ini meninggal dunia pada 28 Juli 2005 akibat stroke. Pada
saat itu Soeharto menyempatkan diri melayat ke rumah duka. Dia merasa wajib memberi
penghormatan terakhir pada mantan anak buahnya yang setia itu.
Meniti karier di jaringan birokrasi sebagai kurir kantor Sekretariat Negara di awal
pemerintahan Orde Baru, Saadillah akhirnya mengisi pos terpenting di sana. Selanjutnya ia
seperti ditakdirkan berada di samping Soeharto pada masa-masa sulitnya.
Saadillah yang menulis konsep pengunduran diri Soeharto. Ia juga yang terus
melaporkan detik-detik perkembangan genting pada Mei 1998 itu. saat Soeharto sakit
keras pada 1999, ia setia membesuknya.
Pada 1973, Presiden Soeharto mengirim surat ke Pramoedya Ananta Toer yang
tengah diasingkan di Pulau Buru. Soeharto menyatakan kekhilafan yaitu wajar. Maka
kewajaran itu mesti dilanjutkan dengan kewajaran berikutnya, yakni kejujuran, keberanian,
dan kemampuan menemukan jalan yang benar.
Pram mesti menjalani pembuangan sesudah Orde Baru muncul sebagai pemenang
dalam prahara politik 1965. Sebagai anggota Lekra yang berafiliasi ke PKI-pihak yang kalah-
Pram akhirnya disurukkan ke penjara selama 14 tahun. namun kesalahannya tak pernah
dibuktikan di pengadilan.
Begitu keluar pada 1979, tak berarti Pram leluasa melakukan aktivitas. Untuk
beberapa lama ia menjadi tahanan rumah. Kediamannya juga diawasi intel. Dan, yang
mengenaskan, buku-bukunya diberangus.
Pada 30 April 2006, Pram meninggal dunia. Sampai akhir hayatnya Pram teguh pada
sikapnya. Hal itu sesuai dengan surat balasan yang ia kirim kepada Soeharto, November
1973. Pram menegaskan, "Orang tua mendidik saya untuk mencintai kebenaran, keadilan
dan keindahan, ilmu pengetahuan, dan nusa bangsa...."
Amien Rais
Situasi matang yang memicu Soeharto makzul dari kekuasaan pada 1998, salah
satunya, berkat sepak terjang Amien Rais. Situasi sosial-ekonomi yang terus memburuk
selama setahun terakhir menjelang Mei 1998 membuat Amien menegaskan sikap. "Saya
siap memimpin people power jika dibutuhkan, dengan syarat tanpa pertumpahan darah,"
katanya pada Mei 1998.
Sosok Amien tidak begitu saja mencuat ke panggung politik. Sejak diangkat sebagai
Ketua PP Muhammadiyah (1995), ia banyak melancarkan kritik tajam. Amien termasuk figur
yang pertama kali menggulirkan isu suksesi-wacana sensitif saat itu (1993). "Saya didikte
hati nurani saya," kata dia menanggapi keberaniannya.
sesudah itu kritiknya mengalir kencang, termasuk dalam masalah Busang. Pada 1996
Amien ikut menelurkan wacana perlunya reformasi di Tanah Air. Semua sepak terjangnya itu
berujung pada lengsernya Amien dari Dewan Pakar ICMI (1997).
saat Indonesia diempas krisis ekonomi pada 1997, Amien bersama eksponen anak
bangsa lain kian gencar menggulirkan isu reformasi. Bersama 50 tokoh nasional Amien
membentuk Majelis Amanat Rakyat (MAR). Dalam jupa pers pada 14 Mei 1998, MAR
menyerukan Presiden Soeharto segera mengundurkan diri.
Perubahan lalu terjadi dengan cepat. Republik hamil tua. Dan pada 21 Mei Soeharto
terjungkal sebab kekuatan massa. Amien lalu mendapat gelar Tokoh Reformasi.
Budiman Sudjatmiko
Perlawanan terbesar Budiman Sudjatmiko terhadap Orde Baru dan Soeharto yaitu
mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Berdiri pada Juli 1996, partai ini mengusung
asas sosialis demokratik. Budiman menjadi ketuanya. Sepekan sesudah PRD lahir, bentrokan
berdarah pecah di kantor PDI, Jalan Diponegoro. Bentrokan ini memicu kerusuhan di
beberapa sudut Ibu Kota. Akibatnya, seperti dicatat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 5
orang tewas dan 23 orang hilang.
Pemerintah menuding PRD ada di balik kerusuhan itu. Maka aktivis PRD diburu,
sehingga Budiman dan teman-temanya ditangkap. Budiman divonis pengadilan 13 tahun
penjara sebab dianggap bertindak subversif. Dari balik jeruji, Budiman terus melawan. Aksi
mogok makan hingga menolak grasi ia lakukan. Dari penjara jugalah ia menjalankan partai.
saat Soeharto terjungkal dan penguasa baru lahir, Budiman tidak pernah melihat
pemerintah serius mengadili kejahatan penguasa Orde Baru itu. Dan saat Jaksa Agung
mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) atas masalah hukum Soeharto,
dia meradang. "Pertimbangan kesehatan atau alasan kemanusiaan terhadap Soeharto itu
tidak bermoral," ujar Budiman, yang kini menjabat Sekjen Relawan Perjuangan Demokrasi-
organisasi sayap PDI Perjuangan.
Sjahrir
Sebuah hari, tahun 1970. Sekelompok mahasiswa menemui Presiden Soeharto untuk
mendesakkan tuntutan pemberantasan korupsi. Sjahrir dan Akbar Tandjung, mahasiswa
Universitas Indonesia, ada di antara beberapa mahasiswa itu. Di sela dialog, Akbar rupanya
haus dan meraih gelas minuman yang dihidangkan. Cepat Sjahrir mencegah Akbar. Soeharto
melihat adegan itu. Ia marah. "Ya sudah kalau tidak mau minum," hardiknya.
Sjahrir merasa adegan itulah asal muasal ketidaksukaan Soeharto padanya. Yang
pasti juga tidak disukai Soeharto, Sjahrir bersama yang lain membentuk komite anti-korupsi.
saat pecah Peristiwa Malari 1974, Sjahrir termasuk satu dari banyak mahasiswa dan
akademisi yang dikirim ke penjara.
Di dalam hotel prodeo, Sjahrir tetap bersikap kritis. Ia menulis artikel-artikel yang
dimuat di penerbitan kondang seperti Prisma. Tentu saja ia tak memakai namanya sendiri.
"Tulisan saya dimuat dengan nama Daniel Dakhidae atau Aini Chalid," ujar dia.
Keluar dari penjara, Sjahrir melanjutkan studi S3 di Harvard. Sekembali dari sana,
kiprah Sjahrir tak surut. Ia merintis berdirinya Sekolah Ilmu Sosial (SIS), yang hanya bertahan
tiga tahun, sebelum dilarang pemerintah. Ia lalu mendirikan Yayasan Padi Kapas dan
menulis artikel-artikel tajam di media. Temanya jelas, yakni penentangan praktek monopoli
dan oligopoli pemerintah sepanjang 1980-an. "Tidak seharusnya kebijakan pemerintah
dipakai untuk memperkaya keluarga Presiden," ia menandaskan.
Benny Biki, 46 tahun, memiliki satu doa buat mantan presiden Soeharto saat dirawat
di RSP Pertamina, pada Mei 2006. "Mudah-mudahan Pak Harto cepat sembuh, sehingga
proses hukum bisa berjalan dan dia segera diadili," tuturnya kepada Tempo.
Benny memiliki alasan berdoa demikian. Kakak kandungnya, Amir Biki, tewas saat
terjadi bentrok antara massa dan pasukan Yon Arhanudse VI di Tanjung Priok, 22 tahun
silam.
Tragedi Tanjung Priok itu yaitu puncak penentangan Biki bersaudara terhadap
rezim Orde Baru. Hari-hari sebelumnya, keduanya sudah menggerakkan massa untuk
berunjuk rasa menentang undang-undang keormasan, yang menetapkan Pancasila sebagai
asas tunggal. Mereka menilai undang-undang itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Sejak tragedi yang menewaskan puluhan orang itu, Benny Biki memimpin keluarga
korban menuntut keadilan.
Ali Sadikin tak akan pernah lupa saat anaknya gagal memperoleh kredit bank pada
1980-an. saat ia tanyakan kepada Rahmat Saleh, Gubernur BI saat itu, ia memperoleh
jawaban memang ada larangan dari pemerintah. "Larangan itu sebetulnya untuk Pak Ali,"
jawab Rahmat Saleh.
Hambatan ekonomi hanyalah satu tekanan yang dilancarkan penguasa Orde Baru
terhadap Ali Sadikin. Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga dibatasi pergaulan
sosialnya, dicegah ke luar negeri, dan suaranya diberangus. Itu semua sebab aktivitasnya
dalam "gerakan" Petisi 50.
Petisi 50, yakni surat keprihatinan yang diteken 50 tokoh masyarakat, dikeluarkan
pada 5 Mei 1980. Surat itu merupakan reaksi atas pidato tanpa teks Presiden Soeharto di
depan pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980, dan dalam acara HUT Kopassandha di Cijantung,
Jakarta.
Dalam kedua pidato itu Presiden mengingatkan adanya kelompok yang ingin
mengganti Pancasila. Soeharto mengatakan, kalau terpaksa lebih baik menculik seorang dari
dua pertiga anggota MPR yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak
tercapai. Inilah yang ditanggapi kritis Ali Sadikin dan kawan-kawan. Sejak itu pula kelompok
Petisi 50 kerap mengeluarkan pandangan kritis.
Ali menegaskan, Petisi 50 lahir untuk mengajarkan demokrasi dan memperbaiki
nasib bangsa. "Jadi bukan untuk mencari kekuasaan," kata dia.
Soebandrio (1914-2004)
Mendiang Soebandrio pernah melepaskan harapan bakal menghirup udara
kebebasan sesudah hampir 30 tahun mendekam dalam tahanan Orde Baru. Wakil Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri era Orde Lama ini masuk penjara sebab dituding membiarkan
tergulingnya pemerintah yang sah. namun pada 15 Agustus 1995 ia dibebaskan sesudah grasi
keduanya diterima.
sesudah itu ia berada dalam kebimbangan untuk mengungkap kebenaran sejarah
menurut versinya. Ada keikhlasan untuk melupakan masa lalu, namun di sisi lain banyak
harapan agar ia menuliskan apa yang ia ketahui. Akhirnya, sebelum ia meninggal dunia pada
3 Juli 2004 akibat stroke, sebuah buku berjudul Kesaksianku Tentang G30S sudah ia
tuntaskan.
Buku itu menyebutkan sejarah versi Soeharto yaitu dusta. Menurut Soebandrio,
Soeharto terlibat dalam aksi berdarah G30S. "Soeharto secara matang merencanakan dan
melakukan kudeta merangkak," tulisnya. Soebandrio menegaskan, bukunya itu tidak
dimaksudkan sebagai bentuk balas dendam.
Dewi Soekarno
Pada Juni 1970, Ratna Sari Dewi yang hendak menuju Indonesia dari bandara
Singapura dihadang seorang pria. "Anda tidak boleh masuk ke Indonesia," ujar laki-laki itu
sambil memperkenalkan diri sebagai staf atase militer Indonesia.
Dewi tak menyurutkan langkah. Ia mesti menemui suaminya, Soekarno, yang tengah
tergeletak sakit di Tanah Air. Maka, dengan segala cara akhirnya ia berhasil masuk
Indonesia. sesudah Soekarno dijatuhkan, Dewi memang terbuang ke Prancis bersama anak
semata wayangnya, Karina. saat berhasil menemui suaminya yang tengah sekarat, keadaan
Soekarno saat itu mengerikan. Tubuhnya menggelepar sambil mengeluarkan suara ngorok
yang keras. Esoknya, Soekarno mangkat.
Dewi mencium keganjilan. Ia mengontak beberapa dokter kenalannya di luar negeri.
Kesimpulannya, keadaan meninggal seperti itu yaitu akibat konsumsi obat tidur berlebihan.
"Padahal Bung Karno tak biasa memakai obat tidur," katanya. Lantaran inilah Dewi
ditangkal masuk Indonesia hingga sepuluh tahun (1970-1980) lalu . Di pengasingannya
Dewi kerap berkampanye mempersoalkan keterlibatan Soeharto dalam Gerakan 30
September.
saat mendengar Soeharto meninggal, ia masih tidak bisa memaafkannya. "Ia
yaitu Pol Pot-nya Indonesia," kata Dewi kepada kantor berita AFP merujuk pada tewasnya
500 ribu orang, yang dituduh komunis seusai Peristiwa G30S.
Pustaka sesudah Lengser
iba-tiba saja semua menjadi ahli Soeharto. Dan tiba-tiba saja semua menjadi penulis
dahsyat. Mereka mencurahkan segala pengalaman dan pengetahuan tentang
Soeharto melalui buku-buku yang terlihat di toko-toko buku sejak Soeharto turun
takhta. Mereka yaitu sejarawan, wartawan, dan politisi, orang asing atau orang Indonesia.
Ada yang menulis berdasarkan persentuhan pribadi. Ada pula yang menulis dengan penuh
gugatan dan kesumat.
George Junus Aditjondro melempar buku Dari Soeharto ke Habibie, Guru Kencing
Berdiri, Murid Kencing Berlari, lima bulan sesudah Soeharto melepaskan jabatannya. Buku ini
membeberkan bukti-bukti kekayaan Soeharto, keluarga, dan kroninya dari hasil korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
saat baru diluncurkan, buku ini segera menjadi best-seller dan most-wanted.
Bahkan PIJAR Indonesia dan Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan-penerbit buku ini-
kala itu sampai kewalahan melayani permintaan yang terus mengalir. Buku itu bisa
sedemikian laris lantaran selama ini informasi yang ditulis dosen sosiologi korupsi Newcastle
University of Australia ini hanya bisa dinikmati secara gerilya atau melalui Internet.
sesudah Aditjondro, tak terhitung buku-buku yang mengobrak-abrik dosa politik
Soeharto. Baik yang berdasarkan data maupun yang "asal njeplak" memanfaatkan
kebebasan di orde reformasi ini. Penerbitnya ada yang bermutu, ada pula yang asal-asalan.
Bahkan sekadar fotokopian pun bisa laris manis dibeli orang.
Beberapa judul yang bertebaran yang mengusung tema anti-Soeharto antara lain
Pengusutan Harta Soeharto & Trik Pencucian Uang Haram karangan Indara Ismawan (Media
Pressindo, 1998). Ada pula Mendobrak Penjara Rezim Soeharto karangan Adam Soepardjan,
yang diluncurkan Penerbit Ombak pada 2001. Adili Soeharto. Jerat dengan masalah
Pembunuhan Massal karya Mike Wangge, yang diterbitkan Permata Media Komunika pada
1999. Masih banyak buku yang menuangkan gerundelan, kebencian, hingga tuntutan
terhadap sang mantan presiden, yang tak mungkin terjadi di masa kekuasaannya dahulu .
Meski begitu, yang memuja Soeharto tentu tak kurang pula. "Saya begitu terpukul
menyaksikan pengunduran diri Bapak melalui layar kaca. Saya sempat menangis, saya
mengerti perasaan Bapak. namun saya percaya, Pak, rakyat Indonesia masih mencintai,
menghormati, dan mengenang jasa Bapak selama menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia yang kita cintai."
Itulah satu kutipan surat yang dimuat dalam buku Anton Tabah, Empati di Tengah
Badai. Buku yang memuat kumpulan surat kepada Soeharto pada 21 Mei hingga 31
Desember 1998 ini dilanjutkan dengan Simpati dan Doa untuk Pak Harto yang berisi surat-
surat periode 1 Januari sampai 30 Juni 1999. Dari awal sampai akhir, buku ini menggemakan
kecintaan, kebanggaan, dan ketidakrelaan Soeharto mundur dari kursi presiden.
Pembelaan soal keterlibatan jenderal bintang lima ini dalam Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia dibeberkan dalam Dua Jenderal Bicara tentang Gestapu/PKI. Buku
terbitan CV Sahabat Klaten pada 2001 ini disunting oleh Anton Tabah dengan kata
pengantar oleh sejarawan Taufik Abdullah.
Buku ini mengutip pernyataan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution: "Kepada
generasi muda perlu diingatkan, bahwa pemutarbalikan fakta di masa sekarang, tujuan
utamanya yaitu untuk memorak-porandakan posisi TNI di mata rakyat. lalu tujuan
akhirnya yaitu menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara sistematis yang
gejalanya semakin nyata dimulai dari ujung barat Indonesia (Aceh) dan ujung timur (Irian
Jaya)."
Tak sedikit buku pembelaan yang ditulis para pendukung Soeharto berkaitan dengan
masalah hukum yang menimpanya. Salah satunya Perkara H.M. Soeharto Politisasi Hukum:
Dalam Kajian Perspektif
Hukum (Acara) Pidana buatan anggota tim pengacaranya,
Indriyanto Seno Adji dan Juan Felix Tampubolon. Buku yang diluncurkan pada 2001 ini
memuat tinjauan hukum atas masalah Soeharto yang tentu saja ujung-ujungnya menyatakan
penguasa Orde Baru ini tak layak diadili.
Dalam nada yang serupa, Ismail Saleh, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung
di era Orde Baru, menerbitkan buku Proses Peradilan Soeharto, Penegakan Hukum atau
Komoditi Politik. Diterbitkan oleh Yayasan Dharmais-salah satu yayasan Soeharto-pada Juni
2001, buku ini antara lain memuat sambutan Sudharmono dan Saadilah Mursjid. Dua
pendukung setia Soeharto ini justru sudah lebih dahulu berpulang mendahului junjungan
mereka.
Dari begitu banyak buku benci dan cinta itu, syukurlah, masih banyak buku yang
diangkat berdasarkan riset ilmiah, yang membeberkan fakta berdasarkan data.
Dari dalam negeri, ada Zaim Saidi yang meluncurkan buku Soeharto Menjaring
Matahari pada 2001. Dilengkapi data yang aktual, buku terbitan Mizan Pustaka ini awalnya
yaitu tesis S-2 Zaim di bidang kebijakan publik, Universitas Sydney, Australia. Buku ini
menjelaskan tarik-ulur kebijakan reformasi ekonomi selama 15 tahun terakhir masa
kekuasaan Soeharto. Dengan membeberkan beberapa data, Zaim menelanjangi beberapa
paket kebijakan dan deregulasi di berbagai bidang ekonomi yang diluncurkan mantan
presiden itu. Dengan berimbang ia menganalisis, benarkah semua itu semata-mata "ulah"
Soeharto ataukah ada faktor-faktor ekonomi dunia yang mempengaruhi.
Sejarawan Asvi Warman Adam juga meluncurkan Soeharto dan Sisi Gelap Sejarah
Indonesia pada Maret 2004. Tulisan-tulisannya diliputi tema besar pembengkokan sejarah
selama rezim Soeharto berjaya, termasuk usaha penyeragaman versi sejarah peristiwa
Gerakan 30 September dan berbagai gerakan dan kebijakan Soeharto. Asvi juga
menekankan beberapa alasan mengapa Soeharto mesti diadili.
Retnowati Abdulgani-Knapp, putri Roeslan Abdulgani, menulis buku dalam bahasa
Inggris yang diterbitkan di Singapura: The Life And Legacy of Indonesia's Second President.
Ia menulis plus-minus Indonesia saat dipimpin Soeharto dan membandingkannya dengan
Soekarno. Ia juga menceritakan tujuh yayasan yang didirikan Soeharto dan menulis
keseharian sahabat ayahnya itu sesudah lengser.
Ada pula buku yang disusun dengan serius dengan serangkaian foto yang diseleksi
secara saksama dengan judul Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images
(The Lontar Foundation, 2005). Buku setebal 493 halaman ini dengan desain coffee-table
book ini disunting antara lain oleh John H. McGlynn, Oscar Motuloh, Suzanne Charle, dan
Bambang Bujono. Diberi tiga buah kata pengantar oleh Jimmy Carter, Goenawan Mohamad,
dan Taufik Abdullah dan puluhan esai dari para penulis terkemuka, buku ini mungkin
sebuah karya yang digarap dengan sikap yang berjarak, dingin, dan penuh perhitungan. "Its
approach is episodic; it is against the epic," demikian tulis Goenawan Mohamad dalam
pengantarnya. Mungkin ini satu dari sedikit buku yang layak dimiliki sebagai koleksi.
Penulis-penulis asing negeri tak kalah bersemangat meluncurkan hasil penelitian
mereka tentang Soeharto. Beberapa buku terkenal, antara lain Geoff Forrester, Post-
Soeharto Indonesia Renewal or Chaos? terbitan ISEAS & KITLV Press pada 1999. Ada pula
Suharto, a Political Biography, yang ditulis oleh R.E. Nelson dan diluncurkan oleh Cambridge
University Press, Inggris, pada 2001. Lalu, Reformasi: The Struggle for Power in Post-
Soeharto Indonesia karya Kevin O'Rourke terbitan Allen & Unwin pada 2003.
Meriahnya penulis asing yang menerbitkan buku-buku bertema Soeharto
sebetulnya bukan sebuah kecenderungan yang terjadi pascareformasi saja. Sejak masa-
masa awal kepemimpinannya, sudah banyak buku beredar seputar dirinya. Yang paling
terkenal tentulah The Smiling General dan Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto terbitan
Gunung Agung, Jakarta, 1976. Keduanya tulisan O.G. Roeder yang isinya tentang silsilah,
biografi, dan aneka kejayaan Soeharto di masa itu.
Pada tahun-tahun akhir kepresidenan Soeharto, mulai bertaburan beberapa buku
yang menggugat kepemimpinannya. Satu yang mencuat yaitu A Nation in Waiting:
Soeharto's Indonesia in the 1990s karangan Adam Schwartz yang diterbitkan Westview
Press Inc., Amerika Serikat, pada 1994. Seperti "tradisi" terhadap buku-buku yang
menentang Soeharto pada masa itu, Kejaksaan Agung waktu itu buru-buru mengeluarkan
keputusan pelarangan buku wartawan Far Eastern Economic Review ini. Bahkan beberapa
kiai di Nahdlatul Ulama "menegur" Gus Dur mengenai ucapannya tentang Presiden Soeharto
yang dimuat buku itu yang dianggap menghina Soeharto.
Ada pula buku-buku yang mengail tema Soeharto dengan tema yang "ringan",
contohnya Pandangan Perempuan tentang Soeharto oleh La Rose dan Upi Tuti Sundari, yang
diluncurkan Penerbit La Rose pada 1999. Atau, Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Buku
produksi Bentang Budaya pada 2001 ini merupakan kumpulan cerpen Indonesia yang
berpijak pada tokoh Soeharto selama Orde Baru. Y.B. Mangunwijaya yaitu salah satu
penulisnya.
Di luar semua buku pro dan kontra tadi, kita tak boleh melupakan beberapa buku
yang terbit dengan sepengetahuan atau boleh jadi "pesanan" sang patriark sendiri pada
masa kekuasaannya. Di urutan pertama, tentu saja otobiografi Soeharto: Ucapan, Pikiran,
dan Tindakan yang ditulis Ramadhan K.H. dan diterbitkan pada 1988.
Buku itu ditulis dalam bentuk "as told to": menuliskan kembali apa yang
dikemukakan Soeharto dalam bahasa yang lebih enak dibaca. "Isi yaitu tanggung jawab
yang bercerita (Soeharto)," kata Ramadhan dua tahun sebelum ia wafat pada 2006. Itu
sebabnya buku ini disebut otobiografi, bukan biografi. Baginya, pekerjaan selesai begitu ia
mendapat imbalan dari si pemesan.
sesudah Soeharto mangkat, sudah pasti berbagai buku akan lahir lagi. Yang
mengenang dan yang mengecam. Yang memuja dan yang menggugat.
IA hidup dalam sebuah kancah yang keras: perang, operasi militer, pemberontakan,
penaklukan lawan politik. Ia tahu medan yang keras selalu memberi kesempatan.
"Pemberontakan" 1965 yang ditumpasnya membuatnya menjadi orang nomor satu
di sebuah negeri selama lebih dari tiga dasawarsa. Soekarno yang selama bertahun-tahun
menjadi Pemimpin Besar Revolusi, pasca-1965 "dikuncinya" hingga akhirnya wafat pada
1970. Di usia senja ia dianugerahi gelar Jenderal Besar. Ia meraih semuanya: kekuasaan,
pengaruh, kesenangan, tawa lebar.
Ia mangkat pekan lalu dan kenangan itu masih rapi tersimpan. Saat ia panen ikan
bersama para "punggawa". saat ia betelekan tongkat kayu berbincang dengan para
petani.
Ia hidup dalam sebuah kancah yang keras. Ia tahu itu bisa memberinya banyak
kesempatan....
gelar upacara militer lengkap sudah mengantar Soeharto ke tempat peristirahatan
terakhirnya, Senin pekan lalu. Bendera Merah Putih yang dipegang empat perwira
memayungi jenazah saat diturunkan ke liang lahat. Tembakan salvo menggelegar
memberikan penghormatan dan semua pucuk pimpinan angkatan bersenjata, bahkan
panglima tertinggi TNI, hadir dengan pakaian kebesaran masing-masing. Lagu Gugur Bunga
pun mengalun dari barisan musik militer.
Semua kegiatan itu, dilihat dari sudut protokol kemiliteran, yaitu hal yang wajar
saja bahkan sebuah keharusan. Terlepas dari berbagai kontroversi yang beredar di
masyarakat, bagi kalangan tentara upacara ini sebuah keniscayaan: yang dimakamkan
yaitu seorang jenderal berbintang lima, seorang jenderal besar.
Di Indonesia, pangkat kehormatan militer tertinggi ini hanya disandang oleh empat
orang dan kini semuanya sudah berstatus almarhum: Jenderal Besar Sudirman, Soekarno,
Abdul Haris Nasution, dan Soeharto. Tak jelas benar apakah secara resmi TNI masih
mengakui keabsahan bintang lima yang disandang Presiden Soekarno saat mengangkat
dirinya menjadi panglima besar. Yang pasti, status resmi jenderal besar yang lain diberikan
secara bersamaan pada 1 Oktober 1997, sewaktu Presiden Soeharto berada di akhir masa
kekuasaannya.
Melalui PP No. 32 Tahun 1997, dinyatakan bahwa tiga tokoh TNI layak mendapat
anugerah jenderal besar sebab jasa-jasa mereka. Peraturan pemerintah ini tak menyebut
secara terperinci alasan pemberian itu, sehingga sempat memicu berbagai interpretasi.
Utamanya, di negeri lain bintang lima umumnya diberikan kepada seorang perwira tinggi
yang berhasil menang dalam sebuah perang besar. contohnya Jenderal Mc Arthur untuk
kemenangan dalam Perang Pasifik, Marsekal G.K. Zukov yang mengalahkan Jepang di
Manchuria dan Jerman di Leningrad, Jenderal B.L. Montgomery yang menekuk pasukan
Jerman di Afrika, dan Jenderal Vo Nguyen Giap yang mengalahkan Prancis dalam
pertempuran Dien Bien Phu.
Dilihat dari konvensi ini, kendati Jenderal Sudirman memang memiliki reputasi sebagai
panglima yang berhasil menang dalam pertempuran Ambarawa, sulit untuk
mengkategorikan konflik bersenjata itu sebagai sebuah perang besar. Jenderal Nasution
bahkan tak dikenal sebagai komandan pemenang pertempuran, namun lebih sebagai pemikir
strategi perang, terutama sesudah menerbitkan buku Pokok-Pokok Gerilya. Sedangkan
kancah pertempuran Jenderal Soeharto yaitu sebagai komandan Serangan Umum 1 Maret
1948 di Yogyakarta dan operasi Mandala dalam pembebasan Irian Jaya pada 1962. Kedua
operasi militer ini tak berbuah kemenangan militer namun menunjang tercapainya
kemenangan politis dan diplomatis.
Dengan mempertimbangkan argumen itu, agaknya pandangan Salim Said
tentang latar belakang anugerah jenderal besar oleh TNI sebelas tahun silam itu lebih
realistis. Pakar militer yang dekat dengan para petinggi TNI ini lebih melihat peran Jenderal
Sudirman, Nasution, dan Soeharto dalam perkembangan peran politik militer di Indonesia.
Ia melihat Jenderal Sudirman sebagai peletak dasar pemikiran bahwa militer yaitu alat
negara, bukan alat pemerintah. Ini dibuktikannya dengan tetap meneruskan perlawanan
bersenjata kendati para pucuk pimpinan pemerintah sudah ditangkap Belanda dan pusat
pemerintahan sudah diduduki musuh.
Jenderal Nasution dianggap berjasa mengembangkan doktrin dwifungsi sebagai
konsep peran politik TNI. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Jenderal Nasution saat
berpidato di depan Akademi Militer di Magelang, 11 November 1958. Dalam pidato tanpa
teks itu Jenderal Nasution mengatakan bahwa TNI bukanlah sekadar alat pemerintah seperti
di negara Barat dan juga bukan pemegang monopoli kekuasaan seperti di negara-negara
Amerika Latin. TNI, menurut Nasution, memilih jalan tengah dan para perwira militer berhak
untuk turut dan -bersama unsur masyarakat yang lain-mengambil peran nonmiliter dalam
membangun negara.
Jenderal Soeharto, menurut Salim Said, dianggap pihak militer berjasa dalam
menerapkan konsep dwifungsi itu. Hal ini dilakukan sesudah berhasil memberantas
kelompok komunis, yang dikenal sebagai lawan politik utama militer di era Orde Lama pada
1965. Ia lalu mengkonsolidasi peran politik TNI dengan cara melemahkan partai-partai
politik melalui usaha depolitisasi, yaitu dengan menggulirkan gagasan "massa
mengambang". Belakangan konsolidasi ini semakin kukuh melalui kebijakan
penyederhanaan partai dan penerapan asas tunggal dan pemihakan TNI pada Golkar.
Penerapan dwifungsi TNI versi Jenderal Soeharto itu tak selalu didukung penuh oleh
kalangan militer. Pada akhir 1970-an, sesudah terjadi kerusuhan dalam pemilihan umum
1977, sekelompok perwira senior Angkatan Darat meluncurkan "Makalah Seskoad", yang
pada intinya berpendapat bahwa peran politik militer terlalu berlebihan. Kelompok yang
lalu disebut Fosko itu menyerukan agar TNI kembali ke jalan yang murni dengan
menjadikan dirinya di atas semua golongan.
Kelompok ini lebih memilih TNI berperan seperti militer Turki, yang tak terlibat
kegiatan politik sehari-hari dan hanya bergerak bila konstitusi sekuler progresif peninggalan
Kemal Ataturk dianggap terancam. Penglima ABRI saat itu, Jenderal Yusuf, bahkan sudah
menyiapkan rencana menarik sekitar 16 ribu personel TNI yang mendapat tugas kekaryaan
di berbagai institusi sipil kembali ke tugas militer. Namun pandangan yang lalu
didukung Jenderal Widodo, Kepala Staf TNI-AD saat itu, ditepis oleh Jenderal Soeharto.
Tepisan itu dilakukan amat nyaring saat Presiden Soeharto berpidato di Pekanbaru
pada Maret 1980. Jenderal Widodo diganti dan para jenderal purnawirawan yang
memprotes pidato di Pekanbaru dengan menandatangani Petisi 50 pun dicekal, termasuk
Jenderal Nasution. Para pendukung Jenderal Soeharto, yang oleh pakar wartawan Australia
David Jenkins disebut kelompok pragmatis, lalu membuat konsep tandingan yang
dikenal sebagai "Makalah Hankam".
Sejarah mencatat, konsep kelompok pragmatis ini yang lalu dijalankan
Presiden Soeharto. Bagi kalangan yang sinis, pelaksanaan konsep ini di lapangan sebetulnya
amat mirip dengan konsep pendudukan militer. Tentara menjadi alat pemerintahan
Soeharto. Mitra sipil peran politik TNI yaitu Golkar, yang oleh salah seorang tokohnya,
Rahman Tolleng, disebut bukan partai yang berkuasa (ruling party) namun partainya penguasa
(ruler's party). Dengan dukungan kuat TNI melalui jaringan teritorial, temasuk kekaryaan,
Golkar pun terus-menerus menang dalam pemilihan umum yang berlangsung setiap lima
tahun.
Jenderal Soeharto semakin ringan tangan dalam memanfaatkan militer untuk
menjalankan tugas nonmiliter. Operasi pembersihan para preman yang dianggap
mengganggu ketenteraman diberikan kepada tentara. Ribuan preman bertato pun tewas
ditembak secara misterius.
Kesibukan aparat militer di berbagai bidang nonmiliter ini pada akhirnya bermuara
pada menurunnya kemampuan profesional militer TNI. Kecenderungan ini semakin buruk
sesudah pengaruh keluarga dan kroni Cendana mulai merasuk ke sistem promosi di jajaran
militer. Jenderal L.B. Moerdani, seorang pendukung setia dari kelompok pragmatis yang
mencoba mengingatkan Jenderal Soeharto tentang bahaya pengaruh nepotisme, malah
terpental dari posisinya sebagai Panglima ABRI.
Militer pun seolah menjadi lembaga kebal hukum dan ringan tangan dalam
memakai kekerasan. Peningkatan keterlibatan aparat militer dalam berbagai kegiatan
bisnis dan politik memicu maraknya antipati masyarakat terhadap tentara. Perangkat
perang TNI memang makin modern dan canggih namun pertautan hati dengan rakyat justru
merenggang.
Kerenggangan ini amat dirasakan oleh para perwira muda, terutama yang terlibat
dalam berbagai operasi militer di Timor Timur, Aceh, dan Papua. Posisi mereka seolah
terbalik dengan generasi 45. Para senior pendiri TNI melakukan perang gerilya bersama
rakyat melawan musuh dari luar yang lebih profesional secara militer. Para perwira muda
penerus justru memiliki perangkat militer yang lengkap dan dilatih secara profesional dan
harus berhadapan dengan pemberontakan bersenjata yang setidaknya didukung oleh
sebagian rakyat setempat. Di lapangan mereka mulai paham bahwa pemberontakan-
pemberontakan itu terjadi sebab penyelesaian politik tak berjalan, bukan sebab kegiatan
musuh dari luar. Politik tak jalan sebab dominasi militer terlalu kuat.
Pandangan ini setidaknya diutarakan almarhum Jenderal Agus Wirahadikumah, yang
mengatakan "ABRI mampu menjalankan apa pun kecuali di bidangnya sendiri". Alumni
Akabri angkatan 1973 ini tak sendirian. Itu sebabnya berbagai diskusi dilakukan para perwira
muda yang risau, bahkan angkatan 1973 pun akhirnya memutuskan menerbitkan pendapat
mereka dalam sebuah buku. Salah satu anggotanya, Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono,
bahkan lalu berperan aktif menyiapkan konsep paradigma baru TNI yang membawa
militer aktif keluar dari kancah politik praktis.
Pemberian gelar jenderal besar kepada Soeharto boleh jadi merupakan cara canggih
para perwira muda ini menyampaikan pesan mereka. Pangkat kehormatan tertinggi TNI ini
diberikan sekaligus kepada Jenderal Sudirman dan Jenderal Nasution, peletak dasar dan
penggagas konsep peran militer yang, menurut mereka, sudah dilanggar oleh Soeharto.
Dan Jenderal Besar Soeharto kelihatannya menangkap pesan itu. Terbukti, dalam
acara hari ulang tahun TNI pada 1997, saat Soeharto pertama kali memakai bintang
lima di acara publik, ia mengatakan perlunya TNI bersikap "tut wuri handayani" alias
mengurangi dominasinya di masyarakat.
usaha ini ternyata terlambat. Krisis ekonomi menerpa dan gelombang tsunami
reformasi pun datang. Kali ini para pimpinan TNI membujuknya turun agar pihak militer tak
harus berhadapan dengan rakyat dan tenggelam bersama rezim Orde Baru. Soeharto
akhirnya sepakat sesudah panglima TNI berjanji melindungi keamanan dan harkatnya.
Janji itu terbukti dipegang TNI. Sampai sang Jenderal Besar diturunkan ke liang lahat,
Senin pekan lalu.