Rabu, 14 Desember 2022
Home »
presiden 1
» presiden 1
presiden 1
Desember 14, 2022
presiden 1
tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera setengah tiang-lain soal Anda patuh atau keberatan-Soeharto yang berpulang Ahad dua
pekan lalu sudah menjadi "pahlawan". Suka atau tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit Pertamina hingga wafat, tiga pekan lalu , ia masih seorang master dengan kuasa
penuh. Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya menelan
berita kematian pedagang "gorengan" Slamet, yang putus asa lalu bunuh diri akibat harga kedelai ekstra tinggi. Semua stasiun televisi-beberapa memang milik anak-anaknya- mengarahkan moncong kamera ke rumah sakit, seraya mengulang-ulang sejarah perjalanannya saat mengemudikan negeri. Tentu saja, untuk menghormati dia yang sakit keras, sengaja dipilih berita-berita bagus saja. Di rumah sakit, keluarga menetapkan "protokoler" ketat: hanya mereka yang mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota lingkaran dekat lolos seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri tidak pernah lupa minta petunjuk sang bos,
entah kenapa tak masuk hitungan. Juga Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut
Soeharto sebagai profesornya itu. Di tengah paduan suara politikus merapal permintaan maaf untuknya, rupanya belum tersedia maaf untuk dua bekas setiawan itu.
saat ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin bersemangat menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah, rating meningkat
mengalahkan sinetron mana pun-artinya iklan pasti datang berduyun-duyun. Usaha
"menggoreng" perasaan rakyat lewat TV harus dikatakan berhasil.
Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi simpati dan
dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung dosa dan salahnya, seakan
keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan dendam. Mungkin Asep Purnama Bahtiar benar.
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan media massa bukan lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang sebuah "dunia" yang diciptakan media massa dan pihak-pihak yang terlibat. Sebentar lagi, sesudah Astana Giribangun, makam keluarga yang megah itu, tidak lagi
menjadi berita, yang tersisa yaitu masalah perdata yayasan Soeharto, dan debat tentang
status hukum ahli waris. Pemerintah jangan sampai habis waktu mengurus soal ahli waris
ini. Semua aturan sudah jelas. Bila anak-anak almarhum tidak meminta penetapan menolak
waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh ke tangan enam anaknya. sesudah apa yang
diberikan Soeharto, mestinya tidak masuk akal bila ada di antara anak-anaknya yang berpikir
untuk menolak waris itu. Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam
perkara perdata.
masalah pidana Soeharto memang otomatis gugur dengan kematiannya, namun para kroni yang masih hidup perlu terus dipersoalkan. Pemerintah tinggal menyatakan kebijakan
zaman Soeharto yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan, melawan hukum, atau
membelokkan kebijakan publik untuk keuntungan diri dan kelompok sendiri. Siapa pun yang
menikmati manfaat dari kebijakan semacam itu bisa langsung ditetapkan sebagai obyek
pengusutan. Dan para penikmat tak bisa menghindar. Selama ini mereka tidak melakukan
usaha apa pun untuk menolak "madu" privilese yang mereka isap dengan riang.
Ada banyak cara kalau pemerintah memang mau dan memiliki niat. Audit semua
kekayaan para kroni hanya salah satu metode itu. Harta yang bersumber dari privilese, atau
yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya, bisa dibawa ke pengadilan. Secara prinsip, menikmati
keuntungan dari kebijakan yang melawan hukum termasuk perbuatan melawan hukum
juga.
Bukti-bukti sudah sedemikian gamblang. Dokumen rahasia dari Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat dan Gedung Putih bisa dipakai sebagai bukti tambahan untuk
mengusut korupsi di zaman Orde Baru itu.
Publik tinggal menunggu, apakah di pengadilan para kroni akan buang badan dengan
menimpakan semua kesalahan kepada Soeharto, tokoh yang kini mereka puja dan sudah
begitu banyak memberikan "gula-gula" kepada mereka. Hanya pengecut tulen yang sanggup
"menusuk" sang tuan yang sudah di alam baka.
Mengusut para kroni merupakan keharusan, kalau pemerintah memang ingin
menegakkan keadilan ekonomi dan melaksanakan pesan konstitusi untuk menjamin
persamaan kesempatan berusaha bagi warga negara. Tanpa tindakan apa-apa, fasilitas
istimewa dan kenikmatan yang selama ini diduga diperoleh secara curang tidak akan pernah
berakhir. Hanya kerajaan boneka yang membiarkan keadaan buruk ini terus berlangsung.
Sebaiknya pemerintah memberi prioritas mengusut para kroni-tindakan yang
diamanatkan MPR itu. Menyelesaikan masalah ini lebih penting ketimbang sibuk
mempertimbangkan gelar pahlawan untuk Soeharto-usul yang dipekikkan lantang Priyo Budi
Santoso, orang Golkar yang pernah tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan
Korupsi itu.
jakarta, 1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin
yang gegap-gempita itu digantikan seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya
ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar.
Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang, sesudah jenazahnya dikebumikan
di Astana Giribangun, Karanganyar, Senin pekan lalu, jenderal pendiam itu terus mengharu
biru bangsa ini. Ya, Soeharto (1921-2008) tak berhenti di situ.
Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya
dahulu , manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil
di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggung-
panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak
toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif saat separatisme
mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua, dan belahan lain di negeri ini.
Bagaimana ia bisa begitu merasuk ke dalam aliran darah bangsa ini?
Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu saja memiliki banyak kesempatan
untuk berbuat baik maupun buruk-ia melakukannya, silih berganti. Namun ada proses yang
seakan terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan yang panjangnya hanya bisa
dikalahkan oleh pemimpin Kuba Fidel Castro itu, yaitu sentralisasi, bahkan lalu
personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai nukleus sentral seluruh negeri.
Tak aneh, para pengamat budaya sering membandingkan pemerintah Orde Baru
dengan kerajaan Jawa Mataram-sistem politik dengan konsep yang menempatkan raja
sebagai pusat kekuasaan yang menghimpun segenap kekuatan kosmis. Raja yaitu sosok
sakti, sangat sakti. Dalam tradisi Jawa, demikian Benedict Anderson dalam bukunya yang
klasik The Idea of Power in Javanese Culture, legitimasi tidak datang dari manusia. Dengan
kesaktiannya sang ratu bisa menaklukkan manusia lain di sekitarnya. Dan Soeharto, sadar
atau tidak, tampaknya yakin dialah titik pusat itu.
Proses sentralisasi mungkin bisa tercium sejak dini. Tepatnya saat ia
menyederhanakan partai-partai-kantong-kantong kekuasaan di luar pemerintah-
peninggalan demokrasi liberal yang dibikin lumpuh Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno.
Pada Pemilu 1971, seperti ditulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia, partai yang jumlahnya puluhan itu menjadi hanya sepuluh partai.
Dan segenap aturan pemilu digiring ke satu tujuan: kemenangan Golkar.
Waktu itu, para demokrat pendukungnya, termasuk para mahasiswa Angkatan 66
yang menurunkan Soekarno sebelumnya, sama sekali tidak menaruh curiga. "Kami tahu dia
tentara yang tidak senang politik," kata Arief Budiman, salah seorang aktivis.
Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan pada
pundaknya. Soeharto membebaskan tahanan politik dan mengizinkan surat kabar yang
dibredel Soekarno terbit kembali. Orde Baru dengan cepat "menjelma" menjadi koreksi
terhadap Orde Lama; dan Soeharto sendiri merupakan koreksi terhadap Soekarno. Ia
terbukti mengucapkan selamat tinggal kepada model pemerintah yang gemar
mengutarakan slogan-slogan, pemerintah yang sibuk berseru ganyang Malaysia dan
membiarkan ekonomi negeri ini tercampak dengan inflasi sampai 600 persen. Sebuah
program pembangunan direntangkan, inflasi dikendalikan, dan Indonesia mulai memasuki
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Modal asing berdatangan.
namun pengikisan kekuasaan di luar nukleus pemerintahan Orde Baru ternyata tidak
berhenti. Sebuah kejadian pada pertengahan 1970-an lantas mengantar pengikisan
selanjutnya: sepuluh partai diringkas menjadi dua partai dan satu golongan. Peristiwa Malari
(1974) menghadang pemerintah yang berencana mewujudkan gagasan Tien Soeharto,
Taman Mini Indonesia Indah, dan mulai diroyan korupsi. Tantangan para mahasiswa kali ini
dihadapi dengan tangan besi. Wajah pemerintah yang dahulu toleran dan terbuka itu pun
digantikan wajah galak dan represif. Beberapa tahun lalu , 1978-1979, tantangan yang
frontal dari mahasiswa dijawab dengan NKK/BKK-larangan berpolitik bagi para mahasiswa di
kampus.
Pada 1980-an, sentralisasi kekuasaan yang berjalan selama satu periode itu pun
mencapai tahap yang cukup mencengangkan: nukleus itu melebar. Putra-putri Presiden
Soeharto yang sudah mulai besar itu menjadi bagian dari inti sel dan terjun ke dunia bisnis
berbekal "hak-hak istimewa" sebagai anak presiden. Sebuah edisi majalah Forbes
memberitakan, sesudah krisis moneter 1997, kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai
US$ 16 miliar.
Dalam memoarnya yang tebal, From Third World to First, mantan Perdana Menteri
Singapura Lee Kuan Yew menyebut, "Saya tidak mengerti mengapa anak-anaknya perlu
menjadi begitu kaya." Dalam buku yang sama, Lee menyayangkan Soeharto sudah
mengabaikan nasihat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny Moerdani pada
akhir 1980-an agar ia mengekang gairah anak-anaknya untuk mendapatkan aneka privilese
bisnis.
Menurut Kuntowijoyo, seperti dikutip Eriyanto dalam buku Kekuasaan Otoriter,
Soeharto yaitu tipe manusia yang mendasarkan diri pada an act of faith-perbuatan
berdasarkan keyakinan-dan bukan tipe jenis an act of reason, perbuatan berdasarkan akal.
sebab itu, banyak ucapan dan tindakan Soeharto yang mengejutkan, namun ia tidak pernah
ragu-ragu dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak perlu pertimbangan rasional saat
membubarkan PKI, namun sebab keyakinannya sendiri. Dalam biografi yang disusun O.G.
Roeder, ditunjukkan betapa yakin Soeharto saat mengisi kekosongan pimpinan Angkatan
Darat. "Saya bertindak atas keyakinan saya sendiri."
Dan agaknya dengan keyakinan yang sama pulalah ia memutuskan untuk
melancarkan operasi "petrus" alias penembakan misterius untuk membasmi preman. Sikap
keras yang sama boleh jadi mendasari keputusan untuk melakukan tindakan drastis yang
melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua, dan beberapa tempat
lain. Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia ini sungguh tak mudah dihapuskan
begitu saja.
Puncak sentralisasi yang sangat nepotistis itu akhirnya tampil dalam bentuk yang
begitu transparan pada 1997: ia terpilih untuk ketujuh kalinya, dan itu berarti hampir
separuh dari usianya dihabiskan sebagai presiden negeri ini. Dalam Kabinet Pembangunan
VII, Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, diangkat menjadi Menteri Sosial. Dan
manakala jangkauan wewenang yang diberikan kepada seorang Menteri Sosial lalu
terlihat begitu luas, orang pun mulai membayangkan sebuah suksesi yang tidak berbeda
dengan peristiwa keluarga: sang putri sulung mengambil alih peran ayahnya.
Gaya Soeharto memang sentralistis, nepotistis, dan kerap kali represif. namun dari cara
itu lahir pula program kesejahteraan yang berhasil-dan ujung-ujungnya menampilkan
citranya yang populis. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images, buku
yang berisi kumpulan tulisan yang membahas periode itu, menyebut keberhasilan Keluarga
Berencana, program yang bermula pada 1970 dan bertumpu pada pertimbangan nilai-nilai
ekonomi semata. Soeharto percaya setiap anak membutuhkan sandang, pangan,
pendidikan; dan segenap kebutuhan itu tak mungkin terpenuhi jika negeri ini mengalami
ledakan pertumbuhan penduduk.
Pelaksanaan program Keluarga Berencana bersifat top-down dan sama sekali tidak
berasal dari aspirasi masyarakat. Dengan Tien Soeharto pada puncak organisasi, dan
didukung istri pemimpin tertinggi di daerah-daerah, mesin birokrasi menggerakkan program
Keluarga Berencana sampai ke desa-desa terpencil. Di dalamnya ada represi yang berbuah
beberapa kisah pedih, walau dunia melihatnya sebagai prestasi.
Kelewat lama berkuasa, Soeharto dan lingkaran kecil sahabat dan keluarga dekat
tumbuh menjadi satu-satunya kalangan yang bertanggung jawab atas aneka gejala sosial
ekonomi di negeri ini: represi, keberhasilan model kesejahteraan, korupsi yang demikian
mengerikan, juga kehancuran ekonomi akibat krisis moneter 1997-1998.
Ahad dua pekan lalu, hidupnya yang panjang berakhir sudah, namun lakon dan
legasinya-baik yang lama maupun yang belum lagi terungkap-terus menghantui negeri ini.
Dari Istana ke Astana
beberapa petinggi negara yang tadinya asyik bersenda-gurau tiba-tiba terdiam.
Suasana senyap. Jenazah Soeharto diusung masuk ke pemakaman Astana Giribangun.
sesudah diletakkan, peti dibuka. Tidak cuma dilapisi kain kafan, jenazah itu juga
diselimuti kain tebal warna putih.
Suwardi, pengurus pemakaman Desa Karang Bangun, cukup kesulitan membuka kain
itu, pada saat jenazah hendak dimasukkan ke liang lahat. Membuka kain itu saja
memerlukan waktu sekitar tiga menit.
Keluarga memutuskan Soeharto dikubur bersama peti yang dikalungi untaian melati.
namun tubuhnya diganjal tanah. Dimiringkan ke arah kiblat. Enam pengurus makam
berpakaian sorjan perlahan memasukkan jenazah diiringi jeritan terompet militer.
sesudah itu, jasad dihujani kembang aneka rupa. Ditutup tanah. Sebiji kelapa yang
sudah dibelah tengkurap di atas kubur. Menghabiskan usia 87 tahun-32 tahun di antaranya
memerintah dengan penuh kontroversi-Soeharto selesai sudah.
Di perhentian terakhir itu, jasadnya dimakamkan di antara sang istri, Siti Hartinah,
yang wafat pada 28 April 1996, dan sang mertua, KRA Soemoharjono. Liang lahat itu sudah
digali beberapa tahun lalu namun selama ini hanya ditimbuni pasir. Dindingnya kukuh. Dilapisi
beton marmer kasar.
Makam Astana Giribangun itu didirikan pada 1974 oleh yayasan Mangadeg yang
dipimpin Siti Hartinah. Cara membangunnya cukup unik. Sebuah bukit setinggi 17 meter
dipotong, lalu di atasnya dibangun kompleks pemakaman setinggi bukit itu.
Arsitek pemakaman itu yaitu Ali Surono, seorang dosen di Universitas Gadjah
Mada. Astana artinya makam. Giri artinya gunung. Jadi, Giribangun, "Artinya gunung yang
dibangun," kata Sukirno, juru kunci pemakaman.
Pada Senin pekan lalu itu, semua mata tertuju ke sana. Jumlah pelayat sekitar 20
ribu orang. Mereka berjubel hingga pertigaan Matesih, empat kilometer dari Astana.
Lima ratus juru warta, dalam dan luar negeri, bersesakan meliput jalannya prosesi
pemakaman. Hampir semua stasiun televisi menyiarkan secara langsung.
Jalan macet total. Banyak pelayat yang lewat jalan tikus. beberapa menteri malah
terjebak di pertigaan Matesih. Mereka terlihat cemas sebab rombongan jenazah sudah
bergerak dari Bandara Adisoemarmo. Takut terlambat, beberapa menteri pun melompat
dari mobil lalu meminta polisi mencarikan ojek.
Seorang tukang ojek bernama Parno mengaku kebagian mengangkut seorang
menteri wanita. Saat itu, katanya, dia cuma mau menonton rombongan jenazah. Tiba-tiba ia
dipanggil polisi untuk mengantar Ibu Menteri.
Parno agak grogi sebab jalan menuju pemakaman sudah dipenuhi polisi dan
tentara. namun si penumpang memberikan jaminan. Kalau dicegat, katanya, "Bilang saja mau
mengantar Ibu Menteri," tutur Parno kepada Tempo.
Begitu turun, Parno diberi ongkos Rp 50 ribu. Dia gembira sebab biasanya sewa ojek
cuma lima ribu perak. namun yang kebagian mengantar orang asing lebih gembira daripada
Parno. "Saya dan teman saya dapat Rp 100 ribu," kata Warto, tukang ojek yang mengangkut
seorang tambun berkulit putih.
Petinggi lain yang memakai jasa ojek yaitu Menteri Dalam Negeri Mardiyanto,
juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Ginandjar Kartasasmita. Banyak pula yang berjalan kaki. Ali Alatas, Menteri Luar Negeri
zaman Soeharto, terlihat berjalan kaki 300 meter. sebab letih, dia dipapah ajudan.
AREAL pelataran makam itu tidak mampu menampung semua pejabat yang datang.
Di sana hanya terlihat keluarga Soeharto, keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Wakil Presiden Jusuf Kalla, orang dekat Cendana, dan petugas pemakaman.
Sedangkan para menteri, mantan pejabat, dan para pengusaha kondang duduk di
luar pelataran. Di sana terlihat pengusaha Prajogo Pangestu dan Tito Sulistyo, Mantan Ketua
Umum Golkar Akbar Tandjung, juga mantan Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita.
Walau terlihat lelah, semuanya takzim mengikuti prosesi pemakaman yang ditayangkan
lewat layar monitor. Mereka baru masuk melihat makam itu sesudah prosesi selesai. Mantan
ajudan Soeharto, Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, malah memilih berdiri di luar
kompleks makam. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan ini memakai pakaian militer.
Entah kenapa jenderal bintang tiga ini tak masuk kawasan makam. Padahal beberapa
jenderal bintang dua hilir-mudik ke sana. Ada Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya
Mayor Jenderal Suryo Prabowo dan Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Darpito
Pudyastungkoro.
Selain pejabat dalam negeri, beberapa pejabat dari luar negeri juga menghadiri acara
pemakaman itu. Ada Presiden Timor Leste Xanana Gusmao, Sultan Hassanal Bolkiah dari
Brunei Darussalam, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, dan perwakilan
beberapa negara. Dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upacara pemakaman
berlangsung khidmat. Mata Yudhoyono terlihat sendu saat jenazah Soeharto dimasukkan ke liang lahat.
Pidato Yudhoyono di pemakaman itu sangat ditunggu orang ramai. Sebab, Soeharto
pergi meninggalkan setumpuk masalah , mulai dari masalah pidana korupsi, perkara tujuh yayasan
yang diduga merugikan negara Rp 1,7 triliun, hingga masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Gerilya pengikut Soeharto guna menutup beberapa perkara itu juga sudah marak
sejak dia terkulai di Rumah Sakit Pusat Pertamina, 4 Januari 2008. Banyak yang mendesak
agar pemerintah Yudhoyono memaafkan penguasa Orde Baru itu. Tuntutan mereka kian
nyaring sesudah Soeharto wafat 24 hari lalu , Minggu dua pekan lalu.
namun yang menuntut agar Soeharto segera diadili juga banyak. beberapa kelompok
berunjuk rasa di Rumah Sakit Pertamina, tempat Soeharto dirawat. Mereka berdoa agar
kakek 87 tahun itu lekas sembuh, "Biar bisa diadili."
Dua pekan lalu, sebuah kelompok anak muda malah menjaring pendapat anak gaul
yang lalu-lalang di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Hasilnya, lebih dari seribu orang
menandatangani spanduk yang menuntut pemerintah, "Segera mengadili Soeharto."
Di Astana Giribangun, Senin pekan lalu itu, Yudhoyono memilih menjauh dari
polemik ini. Soeharto, katanya, "Manusia biasa. Almarhum tidak luput dari kekurangan."
Berpidato sekitar sepuluh menit, dia sama sekali tidak menyinggung soal masalah Soeharto.
pemakaman Soeharto yaitu yang terbesar sepanjang sejarah negeri ini. Presiden
menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Semua kantor pemerintah, badan usaha negara,
dan rumah warga memasang bendera setengah tiang, walau faktanya cuma sebagian yang
patuh.
Prosesi pelepasan jenazah di Jakarta juga diikuti ribuan orang. Pukul enam pagi,
Senin pekan lalu, sekitar 400 tentara dari tiga angkatan sibuk mengadakan gladi resik
upacara pelepasan jenazah di Cendana.
saat hari terang tanah, sebuah pesawat Boeing 737 terbang dari Lapangan Udara
Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur menuju Bandara Adisoemarmo di Solo. Ini pesawat
khusus yang mengangkut rombongan Presiden Yudhoyono.
Jenazah dilepas dari Cendana pukul tujuh pagi. Dihadiri sekitar seribu orang dan
dipimpin Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono.
Sepanjang jalan orang berjubel menonton. Hampir semua stasiun televisi
menyiarkan perjalanan jenazah. Sebuah stasiun televisi bahkan menyewa helikopter untuk
mengambil gambar dari langit.
Sekitar 20 pesawat terbang membawa penumpang yang mengikuti pemakaman itu.
Pemerintah menyiapkan tujuh pesawat dari berbagai jenis. Satu C-130 Hercules VVIP, empat
C Hercules Troopseat, dan dua Fokker 28 VIP.
saat jenazah Soeharto disemayamkan di rumah duka di Jalan Cendana, Minggu
malam dua pekan lalu itu, sebuah pesawat yang membawa logistik pemakaman sudah
terbang lebih awal ke Solo. "Pesawat itu khusus membawa kendaraan khusus," kata Kepala
Dinas Penerangan Angkatan Udara, Marsekal Pertama Daryatma. Keluarga Cendana sendiri
mencarter sembilan pesawat guna mengangkut pelayat ke Solo. Maskapi yang dicarter
antara lain Trans Wisata, Indonesian Air Service, dan Pelita Air.
sebab Bandara Adisoemarmo tidak mampu menampung banyak pesawat, ada juga
yang mendarat di Madiun, Jawa Timur. Keluarga ini juga mencarter sekitar 50 mobil
membawa pelayat dari bandara ke Astana Giribangun.
Berapa total biaya pemakaman itu? Pada Rabu pekan lalu, Menteri Sekretaris Negara
Hatta Rajasa mengaku belum menghitungnya. "Belum kami rekap," katanya. Menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978, biaya perawatan dan pemakaman seorang mantan
presiden memang ditanggung negara.
Pada 2007, contohnya , anggaran untuk kesehatan mantan presiden dan mantan wakil
presiden di pos Sekretariat Negara yaitu Rp 800 juta. Padahal, beberapa sumber
menyebutkan, selama 24 hari Soeharto dirawat, total biaya yang dikeluarkan sudah sekitar
Rp 1,2 miliar. Menteri Sekretaris Negara zaman Soeharto, Moerdiono, memastikan, "Seluruh
biaya rumah sakit ditanggung keluarga."
di ketinggian 666 meter di atas laut, Soeharto sudah mendirikan rumahnya yang
akan datang. Rumahnya itu nanti bernama Astana Giribangun. Inilah sebuah
kompleks makam termuda leluhur dinasti Mataram Imogiri, Yogyakarta.
Astana Giribangun terletak di bawah Astana Mangadeg. Sedangkan Astana
Mangadeg yaitu tempat tertua di Karanganyar disusul Astana Girilayu, Astana Utara,
Astana Giri, Astana Kablokan, Pesarean Mantenan, Pesarean Karangtengah, Pesarean
Rangusongo, Pesarean Temuireng, Pesarean Ngendo Kerten, dan Astana Giribangun.
Di belakang atau sebelah selatan bukit Giribangun mengalir Kali Samin. Di depan
pintu kompleks makam Giribangun yang selalu tertutup, ada dua pohon jambu mawar
yang masing-masing berada di kanan-kiri pintu. "Mbak Mamiek (Siti Hutami Adiningsih, putri
bungsu Soeharto) paling suka. Kalau pas berbuah, biasanya dikirim ke Jakarta," kata Paino,
salah satu petugas makam.
Ini memang sebuah tempat yang teduh dan nyaman. Bahkan fasilitas di kompleks
makam juga lengkap, mulai dari palereman atau bangunan khusus untuk menginap keluarga
Soeharto hingga masjid. Pengurus dan pegawai Astana Giribangun juga secara berdedikasi
memelihara kompleks itu. Kayu jati masih tampak mengkilap; sesekali dipelitur.
Makam rajin dipoles, bunga peziarah selalu dibersihkan setiap pagi, dan karpet pun dicuci
setiap minggu.
Semua siap di makam yang dibangun oleh 700 orang pekerja tanpa memakai
traktor dan alat berat lainnya itu. Makam yang terletak sekitar 35 kilometer dari Solo itu
dapat ditempuh dalam waktu sekitar sejam saja sebab jalan menuju kompleks makam dari
Matesih sangat mulus.
Astana Giribangun dibangun Yayasan Mangadeg, yayasan yang bertujuan
membangun dan memperbaiki makam-makam leluhur, seperti makam Pangeran Samber
Nyowo. Soeharto dan Hartinah masuk sebagai pendiri yayasan yang berdiri pada 28 Oktober
1969 itu. Dan sebetulnya makam di kompleks Giribangun itu dipakai untuk
keluarga Yayasan Mangadeg, tidak terbatas hanya pihak keluarga Mangkunegaran.
Makam yang dibangun di atas bukit Giribangun itu-saat dibangun, bukit dipapras-
diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Acara itu ditandai dengan dipindahkannya
kerangka jenazah ayah dan ibu Hartinah, KRMTH Soemoharjomo dan KRA Soemoharjomo.
Bangunan utama makam terdiri dari bagian yang ditandai dengan trap-trap. Bagian
pelataran bawah disebut Cungkup Argotuwuh. Siapa pun yang masuk ke area ini harus
melepaskan alas kaki. Anggota keluarga Yayasan Mangadeg dapat dimakamkan di area
seluas 700 meter persegi ini. Trap selanjutnya yaitu Argokembang dengan luas 600 meter
persegi. Dan yang paling puncak yaitu Argosari seluas 300 meter persegi.
Di Argosari inilah terletak makam utama keluarga Soeharto, yaitu di ruangan 80
meter persegi yang dikelilingi gebyok ukiran. Karpet empuk cokelat muda menghampar di
ruangan ini. Seluruh bangunan didominasi kayu jati: mulai dari kayu untuk atap hingga tiang
penyangga.
Pada bangunan utama itu, ada empat makam yang sudah lama terisi dan satu
petak yang sengaja dikosongkan. Berurutan dari ujung paling timur ada makam kakak
tertua Hartinah, Siti Hartini Oudang, lalu ayah dan ibu Hartinah. Di ujung paling barat
ada makam Hartinah. Nah, di antaranya itulah makam Soeharto. "Sudah dibuat liangnya
sejak dahulu , namun diisi pasir dan ditutup marmer," kata Paino, salah satu pegawai makam,
kepada Tempo.
Argosari memiliki emperan yang nantinya juga akan menjadi makam untuk anak-
anak dan menantu Soeharto, yang semuanya sudah siap huni. "namun saya tidak tahu
jumlahnya dan untuk siapa," kata Paino. Masih ada bagian dari Argosari yang juga dipakai
untuk makam kerabat Hartinah. Beberapa di antaranya sudah terisi. Di Cungkup
Argokembang tersedia 116 calon makam, sedangkan di Argotuwuh terdiri dari 156 calon
makam.
Doa bagi keluarga Soeharto tak hanya berdengung saat ia sakit. Ini memang sesuatu
yang rutin. namun tentu saja, begitu mendengar Soeharto masuk rumah sakit, Suparmi, warga
Kelurahan Kalitan, Kecamatan Laweyan, Solo, termasuk salah seorang warga desa yang
datang ke Astana Giribangun untuk mendoakan kesembuhan Soeharto. Suparmi hanya
penduduk desa biasa, seperti halnya puluhan warga yang datang ke kompleks pemakaman
keluarga Mangkunegaran di Desa Karangbangun, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah,
Minggu 21 Maret 2006. Dan ternyata tidak sekali atau dua kali saja perempuan 36 tahun itu
secara sukarela ikut berdoa bersama untuk kesehatan Soeharto dan untuk almarhum
istrinya, Siti Hartinah-biasanya setiap malam Senin Pon-baik di Kalitan maupun di
Giribangun.
Sartono, 39 tahun, yaitu warga Kalitan lainnya yang mengaku sering mendoakan
Ibu Tien maupun Soeharto. sebab , menurut dia, pada zaman pemerintahan Soeharto,
harga-harga murah, jalan-jalan jarang rusak, dan cari nafkah gampang. "Kami melakukannya
dengan sukarela sebab menginginkan beliau sehat dan selalu mendapat perlindungan dari
Yang di Atas," kata Sartono, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit.
Warga di sekitar Astana Giribangun, terutama warga Kalitan-tempat tinggal keluarga
Hartinah di Solo-memang rutin mendoakan Soeharto, terutama jika sakit. Di Giribangun
sendiri, doa rutin dikumandangkan setiap usai salat magrib oleh para karyawan piket dan
tiga hari sekali selepas salat isya. Sedangkan pada hari pasaran Kliwon, sesuai dengan weton
Soeharto, mereka juga melakukan doa bersama dengan tahlilan di depan makam Hartinah.
Doa-doa untuk Soeharto memang selalu akan dilantunkan dari Astana Giribangun,
sebab itu yaitu tempat peristirahatan terakhir Soeharto. Di kompleks itu, tempat
untuk jasad Soeharto sudah dipersiapkan sejak makam itu dibangun, pada Rabu Kliwon-
sama dengan weton Soeharto-27 November 1974. Letaknya ada di antara pusara istrinya
dan Raden Ayu Kanjeng Soemoharjomo, ibunda Hartinah. "Semuanya sudah ready, tinggal
tunggu peluit saja," kata Sukirno, pengurus kantor Giribangun.
Giribangun memiliki dua area parkir. Satu yang cukup luas ada di kaki bukit dan
dikitari kios-kios. namun , semenjak Soeharto lengser, Giribangun sepi sehingga para pedagang
pun jarang berjualan. Satu lagi area parkir persis di samping kompleks makam.
Di salah satu sudut Argokembang, sebelah utara, ada ukiran Surat Yassin,
pemberian seseorang dari Jepara. Di sudut lainnya terpampang tulisan berisi petikan Serat
Wedatama, sebuah sastra Jawa klasik karya Mangkunegoro IV. Kutipannya:
Lila lamun kelangan nora gegetun Trimah yen ketaman saserik Sameng dumadi tri
legawa nalangsa srahing bathara. (Ikhlas, jika kehilangan, tak akan menyesal Menerima
dengan lapang jika mendapatkan kebencian dari sesama Berbesar hati dan menyerahkan
segalanya kepada Yang Kuasa)
Petikan Serat Wedatama ini memang menunjukkan bahwa Giribangun yaitu gerbang yang memisahkan Soeharto dari yang fana dengan keabadian.
uang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Senin lalu terasa senyap. Hari
itu, mestinya digelar sidang perdata perkara negara melawan Yayasan Supersemar
dan mantan presiden Soeharto. Diperkirakan, ditambah dua kali sidang lagi, masalah itu
bakal selesai. namun , apa daya, sehari sebelumnya Soeharto meninggal. "Kami minta diurus
ahli waris secepatnya," kata hakim ketua Wahjono kepada tim jaksa pengacara negara dan
para pengacara Soeharto.
Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dua yurisprudensi
Mahkamah Agung, jika tergugat meninggal dunia, posisinya sebagai tergugat dapat digantikan oleh ahli warisnya. Namun, menyeret anak-anak penguasa Orde Baru yang berjumlah enam orang sebagai ahli waris tak gampang. "Pihak keluarga bisa menolak," kata
Juan Felix Tampubolon, salah seorang anggota tim pengacara Soeharto.
Sidang di aula utama pengadilan itu pun ditunda sampai ada ahli waris yang
diajukan. Persidangan tuntutan negara berupa ganti rugi Rp 185 miliar dan US$ 425 juta
dan ganti rugi imateriil Rp 10 triliun itu menjadi tak keruan ujungnya. Bukan tidak mungkin,
peradilan masalah perdata ini gagal diselesaikan seperti dalam masalah pidana Soeharto yang
digelar pada 31 Agustus 2000.
masalah hukum Soeharto memang cenderung menyusut. saat reformasi berputar
pada 1998, semangat mengadili sang jenderal besar begitu berkobar. Dilandasi Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 11 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, pemerintah berniat segera mengadili Soeharto. Kala itu, Jaksa Agung
Andi M. Ghalib yang ditunjuk menjadi Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto menjanjikan
pengusutan penuh harapan.
Ia unjuk gigi dengan mengumumkan indikasi penyimpangan penggunaan dana di
tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto. Yayasan itu meliputi Yayasan Supersemar, Yayasan
Dharma Bhakti Sosial, Dana Abadi Karya Bhakti, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti
Muslim Pancasila, Dana Kemanusiaan Gotong Royong Kemanusiaan Siti Hartinah, dan
Yayasan Bantuan Beasiswa Yatim Piatu Tri Komando Rakyat. Dengan kekayaan mencapai Rp
4 triliun, dana tujuh yayasan itu justru mengucur ke bisnis keluarga Soeharto dan kroni.
Badan Pertanahan Nasional bahkan ikut menyetor daftar tanah Soeharto ke
Kejaksaan Agung. Menurut Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat
itu, Hasan Basri Durin, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum menguasai
204 ribu hektare tanah bersertifikat. Bank Indonesia juga melaporkan rekening atas nama
Soeharto di 72 bank dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, hampir semuanya
disimpan di Bank BCA-saat itu masih milik taipan Liem Swie Liong, kroni terdekat Soeharto.
Namun, harapan itu layu di tengah jalan. Jaksa Agung Andi M. Ghalib mengumumkan
penyimpangan bukan pada Keputusan Presiden Soeharto, melainkan pada pelaksanaannya.
Padahal, Kejaksaan baru dua kali memeriksa Soeharto dalam perkara yang masuk tahap
penyidikan pada 9 Desember 1998 ini. Sejak itu juga Soeharto mulai sakit-sakitan. Perkara
ini makin tak jelas sesudah Jaksa Agung Ismudjoko menerbitkan surat penghentian
penyidikan perkara (SP3) pada 8 Oktober 1999 sesudah mendengar pendapat para pakar.
Saat itulah lalu diusulkan pembentukan Komisi Negara untuk perkara
Soeharto. "Komisi itu diperlukan agar perkara Soeharto tidak terkatung-katung," kata
pengacara senior Adnan Buyung Nasution, salah satu pakar yang dimintai masukan. Namun,
usulan ini tak berlanjut. Malahan, pada April 2000, Jaksa Agung Marzuki Darusman yang
menggantikan Ismudjoko mencabut SP3 yang dikeluarkan pendahulunya.
Soeharto pun mulai diperiksa meskipun tim dokter kepresidenan dan tim dokter
pribadi menyatakan Soeharto menderita kerusakan otak. Kala itu, tim Kejaksaan delapan
kali mendatangi Cendana. Jawaban Soeharto hanya dua: tidak ingat dan tidak tahu. Walau
begitu, tim Kejaksaan tetap melimpahkan masalah ini ke Pengadilan Jakarta Selatan.
Tibalah agenda sidang yang menyedot ribuan warga masyarakat. Soeharto yang
diminta hadir dalam sidang di aula Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, tidak datang
dengan alasan sakit. Ketua majelis hakim Lalu Mariyun memerintahkan terdakwa diobati
sampai sembuh. Berkas perkara Soeharto pun tergeletak di Pengadilan Jakarta Selatan. Pada
Mei 2006, kesehatan Soeharto kritis dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Dimotori Partai Golkar, beberapa tokoh politik menggagas pengampunan bagi
presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyambut gagasan itu dan memerintahkan Kejaksaan Agung memberikan solusi
keadilan dan kepastian hukum. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh-melalui Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan-memilih menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan perkara
(SKP3) pada 12 Mei 2006.
Kejaksaan tak bersedia mengadili Soeharto secara in absentia. "In absentia dilakukan
jika terdakwa mangkir tanpa alasan sah," katanya. Selain itu, SKP3 dipilih sebab beberapa
alasan. Selain menghormati keadaan Soeharto yang sakit, SKP3 bukan usaha pengampunan.
"Perkara bisa dibuka kembali," Abdul Rahman menegaskan. Sampai kapan? "Sampai
ditemukan alasan baru, contohnya dokter menyatakan Soeharto sembuh."
Pemberian SKP3 oleh Kejaksaan disusul gugatan perdata sebagai jalan
mengembalikan kerugian negara. Mengacu kepada Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, gugatan perdata, kalaupun tersangkanya meninggal, perkara bisa dialihkan
ke ahli warisnya. Langkah Jaksa Agung ini mengundang reaksi lembaga swadaya masyarakat
dan para akademisi. Mereka menggugat ke Pengadilan Jakarta Selatan. Hakim Andi Samsan
Nganro menyatakan SKP3 tidak sah, namun hakim pengadilan banding memenangkan Jaksa
Agung. Perkara Soeharto lain yang mencolok mata yaitu masalah pelanggaran hak asasi
manusia. Komisi Nasional HAM periode 2002?2007 menangani lima perkara berat yang
diduga melibatkan Soeharto. masalah itu yaitu Pulau Buru, penembakan misterius, peristiwa
Tanjung Priok, kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua, dan masalah 27 Juli.
"Dalam masalah Pulau Buru, korbannya sangat spesifik, yakni mereka yang dituduh menjadi
anggota Partai Komunis Indonesia," kata M.M. Billah, salah satu anggota Komnas HAM.
Adapun tragedi Tanjung Priok, korbannya yaitu kelompok Islam yang dianggap anti-
Pancasila.
Tragisnya, berbagai dugaan pelanggaran ini bak pohon mati sebelum ditanam.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM 2002?2007, pengusutan
pelanggaran HAM Soeharto menunggu terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
"masalah itu terjadi sebelum Undang-Undang Dasar 45 diamendemen dan keluarnya Undang-
Undang Peradilan HAM," katanya. Pada undang-undang itu diberlakukan asas
larangan penerapan surut suatu undang-undang (retroaktif).
Peluang makin menguap sesudah Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-
Undang 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada Desember 2006. "Selain
bertentangan dengan konstitusi, undang-undang ini tidak memiliki konsistensi hukum
sehingga menimbulkan ketidakpastian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Keputusan itu dianggap melebihi tuntutan (ultra petita) sebab pemohon dari
kalangan LSM dan korban pelanggaran HAM hanya mengajukan pembatalan pasal yang
mengatur pemberian kompensasi dan rehabilitasi korban. Itu pun jika permohonan amnesti
mereka diterima presiden. "Pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu kembali ke titik
nol," kata Asmara Nababan, salah seorang pemohon yang juga anggota Komnas HAM, kesal.
Kini, Soeharto sudah meninggal. Menurut guru besar kriminologi Universitas
Indonesia, Muhammad Mustofa, sesudah ini masalah hukum Soeharto makin pelik.
Penyelesaiannya-ia menunjukkan kuncinya-yaitu melalui pemulihan keadilan (restorative
justice) untuk para korban kebijakan Soeharto. "Intinya ada perdamaian antara pelaku dan
korban," katanya.
Ia menambahkan, itu bukan sekadar permintaan maaf seperti yang diucapkan
Soeharto saat dipaksa meletakkan jabatannya pada 1998. Pemulihan keadilan itu harus pula
diikuti kompensasi atas kerusakan dan kerugian yang diderita korban. Gagasan ini pernah
diajukan saat ada usulan pembentukan Komisi Negara pada 1999 namun tak terwujud. Cara
ini, kata Mustofa, perlu dilakukan sebab hukum formal gagal menyelesaikan perkara Soeharto.
EMO berklasifikasi sangat rahasia dan sensitif itu dipergunjingkan di Internet persis saat
jasad Soeharto dikuburkan di Karanganyar. Isinya yaitu manuskrip perbincangan antara Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, Menteri Luar Negeri Henry
Kissinger, dan Presiden Soeharto di Gedung Putih pada Mei 1970. National Security Archive (NSA), lembaga penelitian di Universitas George
Washington, yang memaparkan kabar itu. Bukan cuma dengan Nixon, disebutkan pula
pertemuan Soeharto dengan beberapa petinggi Amerika seperti Presiden Gerald Ford, Ronald Reagan, sampai George Bush. Di sana juga diungkapkan hubungan Washington
dengan Soeharto dari 1966 hingga 1998.
Pandangan Amerika terhadap Soeharto saat dia mengawali kekuasaannya pada 1966
juga dibeberkan. Begitu pula perebutan Irian Barat 1969, penyerbuan ke Timor Timur 1975,
dan masalah penembakan misterius sepanjang 1983-1984, tercatat secara detail.
Laporan itu dibuka berdasar akta kebebasan informasi (FOIA). Tujuannya yaitu
mengungkap korupsi dan kebijakan represi rezim Soeharto yang "direstui" Amerika. "Tidak
sekali pun para Presiden AS pernah memakai pengaruh maksimumnya atas rezim
(soeharto " kata Brad Simpson kepada AFP.
Brad yaitu pimpinan proyek "Dokumentasi Arsip Indonesia/Timor-Timur" yang
digarap NSA pada 2002. Lembaga ini mengumpulkannya dari National Archive (NARA) dan
perpustakaan kepresidenan AS. Tebalnya sampai puluhan ribu halaman.
Salah satunya tertera dalam memo 26 Mei 1970. Di depan Nixon, Soeharto terang-
terangan mengakui menumpas kekuatan Partai Komunis Indonesia. Puluhan ribu orang yang
diduga anggota PKI diinterogasi dan ditahan. Presiden AS ke-37 itu meresponsnya dengan
pernyataan dukungan.
Menurut NSA melalui situsnya, sesudah dua hari kunjungan Soeharto ke Washington,
Amerika berjanji menambah bantuan US$ 18 juta. Duit itu memungkinkan Indonesia
membeli 15 ribu pucuk senapan M-16 guna mengganti senapan AK-47.
Memo lain mengungkap bagaimana rezim Soeharto memberikan berbagai konsesi
kehutanan. Salah satunya, dalam memo 5 Desember 1972, diungkapkan usaha
Weyerhaeuser mendapat konsesi kayu di Kalimantan. Perusahaan kayu Amerika itu
mengirim surat keluhan ke Gedung Putih.
Di Indonesia, Weyerhaeuser harus membayar berbagai pungutan, baik ke militer
maupun sipil di Indonesia kendati militer sudah mendapatkan bagian 35 persen saham. "Hal
itu mengancam operasional perusahaan," ujar seorang pejabat perusahaan itu.
Memo lain pada 7 September 1973 mengungkap bagaimana Soeharto memberi
konsesi kepada tiga perusahaan boneka milik keluarga dan kroninya. Padahal, pada saat
yang sama perusahaan AS, International Paper Company, sedang merundingkan konsesi.
Namun, berita tak sedap ini ditanggapi dingin oleh Cendana. Koordinator kuasa
hukum Soeharto, Otto Cornelis Kaligis, menganggap data itu tak akan menjadi berkas
perkara hukum kliennya. "Dalam ranah hukum, dokumen itu tidak berlaku," ujarnya.
Jaksa Agung Hendarman Supandji sedang mempelajari data rahasia itu.
Dokumen itu akan menjadi pertimbangan apakah masih bisa dipakai atau tidak dalam
penyidikan. "Harus dilihat kedaluwarsanya. Kalau belum, ya, tentu kami tindaklanjuti," ujar
Jaksa Agung.
Asvi Warman Adam
Ahli Peneliti Utama LIPI
apakah Soeharto terlibat dalam Gerakan 30 September? Yang pasti, Soeharto yaitu
orang yang paling diuntungkan dari kudeta itu (dan Presiden Sukarno yang sangat dirugikan). Pertemuannya dengan Kolonel Latief pada malam 30 September
1965, beberapa jam sebelum operasi militer itu dilaksanakan, memicu sebagian
penulis menganggap Soeharto sudah tahu sebelum peristiwa itu terjadi. Namanya tidak
termasuk dalam daftar perwira tinggi yang diculik. Kenyataan pula bahwa ia tidak
melaporkan hal itu kepada atasannya seperti Jenderal Yani.
Keterlibatan Soeharto dalam kudeta yang terkesan "disengaja untuk gagal"
diperlihatkan Subandrio dengan mengkaji peran para mantan anak buah Soeharto di Kodam
Diponegoro. Ada trio untuk dikorbankan (Soeharto-Untung-Latief) dan ada trio yang dipakai
untuk masa selanjutnya (Soeharto-Yoga Sugama, dan Ali Murtopo). Pandangan ini
merupakan analisis post-factum yang dikeluarkan sesudah peristiwa itu terjadi. Dengan
melihat rangkaian kejadian itu, ditarik kesimpulan. Jadi, bukanlah sesuatu yang
direncanakan secara mendetail dari awal sampai akhir.
Dari pengamatan ini terlihat bahwa proses pengambilan kekuasaan itu dilakukan
secara bertahap, sehingga disebut creeping coup (kudeta merangkak). Yang merupakan
paradoksal, lazimnya kudeta merupakan perebutan kekuasaan secara cepat dan tidak
terduga. Namun, di sini ternyata itu dilakukan secara berangsur-angsur atau bertahap.
Kudeta merangkak yaitu rangkaian kegiatan untuk mengambil kursi kepresidenan
secara bertahap sejak 1 Oktober 1965 sampai 1966 (keluarnya Supersemar) atau 1967
(pejabat presiden) atau 1968 (menjadi presiden). Saskia Wieringa menamakan peristiwa
tahun 1965 sebagai kup pertama dan tahun 1966 sebagai kup kedua. Peter Dale-Scott
melihatnya sebagai kudeta tiga tahap: pertama, Gerakan 30 September yang merupakan
"kudeta gadungan"; kedua, tindakan balasan yaitu pembunuhan terhadap anggota PKI
secara massal; dan ketiga, pengikisan sisa-sisa kekuatan Soekarno.
Menurut Subandrio, kudeta merangkak Soeharto terdiri dari empat tahap. Tahap
pertama, menyingkirkan pesaingnya di Angkatan Darat, seperti Yani dll. Tahap kedua,
membubarkan PKI, yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga,
melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang loyal
terhadap Soekarno, termasuk Subandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari
Presiden Soekarno (tahun 1967 sebagai pejabat presiden, dan tahun 1968 sebagai presiden).
berapa peristiwa dapat ditambahkan dalam tahapan yang disusun oleh Subandrio.
contohnya , pengembalian pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa ke induk pasukan di
daerah asal masing-masing pada akhir Maret 1966 dapat dimasukkan ke dalam tahap ketiga.
Tjakrabirawa, yang terdiri dari 4 batalion dan satu detasemen (jadi sekitar 4.000-5.000
anggota pasukan), merupakan kekuatan pendukung Bung Karno.
Perlu dicatat bahwa usaha pengambilan kekuasaan memang dilakukan Soeharto
secara serius. Supersemar bukan keluar secara mendadak atau bukan pula inisiatif spontan
Jenderal Jusuf, Basuki Rahmad, dan Amir Machmud. Tanggal 9 Maret 1966, Soeharto
melalui Jenderal Alamsyah sudah mengutus dua penguasa yang dekat Bung Karno (Dasaat
dan Hasyim Ning) ke Istana Bogor untuk membujuk beliau menyerahkan pemerintahan.
Tidak dapat dibujuk, maka dilakukan penekanan terhadap Bung Karno, antara lain dengan
demonstrasi besar-besaran mahasiswa tanggal 11 Maret 1966.
Ternyata kudeta merangkak itu bukan saja dilakukan oleh Soeharto dan
kelompoknya, namun dilaksanakan berbarengan dengan apa yang saya sebut "kudeta
merangkak" MPRS. MPRS berperan sangat besar secara yuridis untuk mengalihkan
kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Walaupun ironisnya, sesudah kekuasaan itu
diperoleh, MPRS pun "dimatikan" secara perlahan-lahan.
Uraian tentang kudeta merangkak ini tidak disebut dengan istilah demikian, namun
diberikan secara gamblang oleh Prof Dr Suwoto Mulyosudarmo (alm) dalam didan sinya di
Universitas Airlangga Surabaya tahun 1990 mengenai Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoretis
dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara. Tahap-tahap kudeta merangkak MPRS dilaksanakan
secara berikut:
Pertama, Supersemar, yang dikeluarkan 11 Maret 1996, dikukuhkan menjadi Tap
IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Menjadi pertanyaan, kenapa harus dikukuhkan dengan
ketetapan MPRS? Kalau demikian, apakah segala tindakan yang diambil dengan
memakai Supersemar itu termasuk pembubaran PKI tanggal 12 Maret 1966 tidak sah?
Bukankah Presiden Soekarno sendiri sebetulnya menolak dan memarahi Soeharto mengenai
kebijakan itu?
Kedua, tanggal 5 Juli 1966 dikeluarkan Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966, yang
berisi antara lain: a) Penetapan tidak perlunya jabatan wakil presiden, b) jika presiden
berhalangan, pemegang SP 11 Maret 1966 memegang jabatan presiden.
Ketetapan MPRS ini jelas melanggar UUD 1945 sebab di dalam UUD 1945
ditetapkan jabatan wakil presiden. UUD 1945 ini belum diamandemen. Jadi, ketetapan
itu bersifat inkonstitusional. Kedua, jika presiden berhalangan, maka wakil
presiden yang menggantikannya, bukan pemegang SP 11 Maret. Lagi-lagi pasal ini
melanggar UUD 1945.
ketiga, tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pidato Pelengkap
Nawaksara kepada Pimpinan MPRS. Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan Pimpinan
MPRS No. 13/B/1967 tentang Penolakan Pidato Nawaksara. Keputusan MPRS berbeda
dengan ketetapan MPRS sebab keputusan MPRS itu hanya bersifat internal MPRS. Jadi,
penolakan terhadap pidato Nawaksara itu hanya dilakukan oleh beberapa pimpinan MPRS,
bukan hasil sidang paripurna lembaga itu.
Keempat, tanggal 20 Februari 1967, Presiden Soekarno/Mandataris MPRS
mengeluarkan "Pengumuman tentang Penyerahan Kekuasaan kepada Pengemban Tap
MPRS No. IX/MPRS/1966". Penyerahan kekuasaan semacam ini tidak ada dasarnya dalam
UUD 1945.
Penyerahan kekuasaan berarti mengalihkan kekuasaan dan tanggung jawab, yang
secara teoretis harus dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada pemberi kekuasaan.
Penyerahan kekuasaan itu berbeda dengan pengembalian mandat. Pengembalian mandat
tidak membutuhkan persetujuan pemberi kuasa, sedangkan proses peralihan kekuasaan
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemberi kekuasaan.
Pemberi kekuasaan kepada presiden yaitu MPRS. Jadi, kalau presiden, selaku
mandataris MPRS, mengembalikan mandatnya kepada MPRS, ia tidak perlu meminta
persetujuan dari MPRS. namun , kalau presiden akan menyerahkan kekuasaannya kepada
orang lain, ia harus meminta persetujuan MPRS.
Ini yang tampaknya dicoba dikoreksi dengan Tap No. XXXIII/1967, yang dikeluarkan
20 hari lalu . Waktu 20 hari itu sebetulnya dapat dikategorikan sebagai apa:
kevakuman pemerintahan, atau ada pemerintahan namun tidak sah menurut konstitusi?
Kelima, tanggal 12 Maret 1967 MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No.
XXXIII/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.
Ketetapan ini memiliki beberapa masalah. Pertama, mendiskreditkan Presiden
Soekarno dengan mengaitkannya dengan percobaan kudeta Gerakan 30 September. Kedua,
ayat-ayat dalam ketetapan ini bertentangan. Pasal 6 tap ini menyatakan "penyelesaian
persoalan hukum menyangkut Dr Ir Soekarno akan dilakukan dengan ketentuan hukum, dan
keadilan dan pelaksanaannya diserahkan kepada pejabat presiden". Kalau mau diselesaikan
secara hukum, tentu Soekarno harus diadili (niscaya beliau akan bebas sebab tidak akan
terbukti bersalah), jadi diproses melalui sidang pengadilan. namun pelaksanaannya
diserahkan pejabat presiden: ini yang kontradiktif dengan ketentuan yang pertama.
(Kenyataan, sampai Bung Karno wafat tahun 1970, Presiden Soeharto membuat masalah ini
mengambang tanpa keputusan hukum.)
Keenam, bersamaan dengan pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno, Jenderal
Soeharto selaku pemegang Supersemar diangkat sebagai "pejabat presiden". Lembaga
pejabat presiden yaitu lembaga "ekstra-konstitusional" sebab tidak dikenal dalam UUD 1945.
Ketujuh, tanggal 28 Februari 1968 muncul Pernyataan Pendapat DPRGR No.
12/DPRGR/III/1966-1967, yang isinya mendesak Pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/1966
untuk melakukan penyegaran keanggotaan MPRS dan mendesak agar Jenderal Soeharto
diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia. Anggota MPRS yang loyal kepada Soekarno
dikeluarkan dan diganti dengan pendukung Soeharto.
Kedelapan, tanggal 27 Maret 1968 Soeharto diangkat sebagai presiden sampai
terpilihnya presiden hasil pemilihan umum.
Dalam sidang MPRS tahun 1966 ditetapkan sebetulnya pemilihan umum akan
dilaksanakan pertengahan tahun 1968. Soeharto sesudah terpilih jadi presiden langsung
mengundurnya sampai tahun 1971.
sesudah Soeharto menjadi presiden, yang pertama dilakukannya yaitu pergi ke
Jepang untuk merundingkan utang luar negeri. sesudah itu, MPRS, yang sudah "berjasa"
menjadikannya sebagai presiden, mulai dimatikan secara perlahan-lahan. Lembaga ini
dijadikan sebagai lembaga yang hanya bersidang sekali lima tahun. Kegiatan Badan Pekerja
MPRS diboikot oleh Fraksi Golkar dan ABRI dengan tidak menghadiri sidang-sidangnya.
Jenderal Nasution dan juga Subchan ZE, yang sering berpidato di mana-mana dengan
mengeluarkan pendapat atas nama pimpinan MPRS, dikritik pihak keamanan Orde Baru
bahwa pernyataan itu tidak sah, sebab suara MPRS haruslah dikeluarkan melalui sidang
pleno. sesudah itu, memang MPRS tidak berfungsi lagi sampai terbentuknya MPR hasil
pemilu.
Menjelang akhir tugasnya, Nasution dkk masih sempat menulis Laporan Pimpinan
MPRS Tahun 1966-1972. Buku itu memuat kritik tajam terhadap berbagai kekurangan pada
awal Orde Baru dan hal-hal yang seharusnya dilaksanakan (contohnya otonomi daerah).
Namun, laporan itu tidak boleh beredar dan konon kabarnya ribuan eksemplar dibakar oleh
aparat keamanan. Untunglah ada beberapa eksemplar yang dapat diselamatkan, dan itulah
yang diulas secara khusus oleh majalah Tempo edisi 22-28 Juli 2002.
Nasution sudah berjasa mengantarkan Soeharto ke kursi kepresidenan, namun
sesudah itu ia disingkirkan. Habis manis, sepah dibuang. Tujuan menghalalkan segala cara.
"Kudeta merangkak" MPRS yaitu kisah tragis dan ironis tentang ketatanegaraan di
Indonesia. Hukum dimanfaatkan untuk melegitimasi kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu
sendiri berada di atas hukum.
Cendana, sesudah Keputusan Itu... Di akhir kekuasaannya, ia gamang. Prabowo
dianggap mengkhianati Cendana.
amis, 21 Mei 1998. Raungan sirene itu menghentikan kegiatan belasan orang yang
sejak siang berkumpul di ruang keluarga rumah Jalan Cendana 8, Menteng, Jakarta
Pusat. Beberapa mobil masuk ke halaman dan seperti diberi aba-aba, para penghuni
rumah serentak berdiri. Dari mobil Mercedes Benz hitam itu keluar Soeharto, tokoh yang
dinanti-nanti. Bersafari lengan pendek biru gelap, wajah jenderal besar itu muram dan
pucat. Ia berjalan diiringi putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, dan mantan Menteri
Sekretaris Negara Saadilah Mursjid,
Sampai di ruang tamu, ia mengangkat kedua tangan. "Allahu Akbar. Lepas sudah
beban yang terpikul di pundak saya selama berpuluh tahun," katanya. Ruangan senyap.
Sesekali terdengar isak tangis dua putri Soeharto, Siti Hedijati (Titiek) dan Siti Hutami
Adiningsih (Mamiek).
Satu per satu, anak, menantu, cucu dan kerabat lainnya menyalami, memeluk dan
mencium tangan Soeharto. Di belakang menyusul teman keluarga, ajudan, pengawal, sopir,
dan pembantu. Hari itu rumah dibekap kesedihan. "Sulit melupakan peristiwa itu. Itulah saat
pertama Bapak pulang sebagai warga negara biasa," kata Tutut mengenang. Sejak Kamis
pagi 21 Mei 1998, Soeharto bukan lagi presiden. Di Credentials Room, Istana Merdeka, ia
menyampaikan pidato pengunduran diri sesudah 32 tahun berkuasa. Pidatonya ringkas,
disiarkan secara nasional dan mendapat perhatian seluruh dunia.
Soeharto terlihat rileks. "Ini yaitu sejarah. Saya memutuskan mundur susaha tak
jatuh korban lagi," kata Soeharto membuka percakapan. Menurut dia, jika ia tetap
berkukuh, situasinya kian keruh dan akan jatuh korban. "Jelek-jelek, saya dahulu naik sebab
didukung mahasiswa," katanya. "Sekarang sudah jatuh korban mahasiswa. Saya nggak mau
ada korban lagi."
gelombang demonstrasi mahasiswa berujung tragedi penembakan mahasiswa
Universitas Trisakti. Jakarta menyala. Kerusuhan, pembakaran, penjarahan. Orang-orang
mengheningkan cipta. Ibu Pertiwi hamil tua.
Soeharto bagai duduk di atas bara: ia mempersingkat kunjungannya ke Kairo, Mesir,
untuk menghadiri KTT Nonblok. Dari jauh ia menerima kabar: aparat tak berhasil meredam
kerusuhan. Tutut mengurungkan kepergiannya ke Boston, Amerika Serikat, menghadiri
wisuda putrinya. Ia memantau keadaan. "Bapak terus menerima laporan dari berbagai
pihak," kata Tutut. Satu jam sesudah mendarat di Jakarta, Jumat 15 Mei 1998, Soeharto
disambut cerita putra-putri dan adik tirinya, Probosutedjo, tentang Jakarta yang remuk
redam. Laporan komplet dari Wakil Presiden B.J. Habibie, para menteri bidang polkam,
Panglima ABRI, Kejaksaan Agung, dan Kabakin diterima Soeharto beberapa jam lalu .
saat itu dengan tegas Soeharto membantah kalau dia akan mundur.
Sejak hari itu, penjagaan di Cendana diperketat. Di luar, berbagai kelompok
masyarakat termasuk pimpinan MPR/DPR mendesak Soeharto hengkang dari kursi
kepresidenan. beberapa tokoh seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais, Malik Fadjar
menggodok konsep reformasi. Tekanan politik tak bisa dielakkan saat mahasiswa
menguasai gedung MPR/DPR seraya mendesak pimpinan lembaga itu menggelar Sidang Istimewa.
keluarga Soeharto sebetulnya tak tinggal diam. Menantu Soeharto yang juga Pangkostrad, Prabowo Subianto, menceritakan pembicaraannya dengan Panglima ABRI
Jenderal Wiranto saat bertemu di Cendana, Senin 18 Mei 1998 malam. Wiranto
mengatakan, anak-anak Soeharto ingin melakukan perlawanan, namun Prabowo ragu.
"Bagaimana bisa? " katanya dalam Buku Putih Prabowo, 1999. Hari itu, Amien Rais
mengeluarkan seruan menggelar aksi 20 Mei di Monas. Menurut Prabowo, mencegah
protes akan memicu korban jatuh.
beberapa kawan karib anak Cendana menawarkan agar Tutut dan Bambang
Trihatmodjo, dua anak Soeharto yang menjadi pengurus Golkar, melobi fraksi-fraksi di DPR
dan MPR, namun Tutut skeptis. "Lo percuma. Pimpinannya saja sudah bersikap begitu," kata
Tutut seperti ditirukan salah satu sahabatnya.
sebetulnya usaha pendekatan ke fraksi-fraksi DPR dan MPR juga sudah dilakukan.
Saat pertemuan digelar di Cendana, malam itu Probo meminta bantuan tokoh Golkar, AA
Baramuli. namun Baramuli mengaku tak bisa menolong sebab para politisi itu sudah berubah
sikap.
Malam itu, Soeharto bertemu dengan Nurcholish Madjid di Cendana. Menurut
Nurcholish, ia menyampaikan gagasan reformasi termasuk mendesak Soeharto mundur
dan menggelar pemilu yang dipercepat. Namun, Soeharto minta bertemu beberapa tokoh esok harinya.
tak ingin Jakarta lebih remuk, Soeharto berniat membentuk Komando Operasi
Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (Pangkopkkn), lembaga semacam Kopkamtib.
Rencana itu disampaikannya Sabtu pagi, 16 Mei 1998, kepada Wiranto, Saadilah Mursjid,
dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S. Rencananya, kata Subagyo,
peresmian lembaga ini akan dilakukan Senin 18 Mei. Subagyo ditunjuk sebagai wakil,
Wiranto sebagai panglima. namun semuanya berubah saat Subagyo diminta merapat ke
Cendana, Minggu petang, untuk sebuah pertemuan empat mata.
Kepada mantan pengawalnya itu, Soeharto menanyakan peta situasi pengamanan
pascakerusuhan. "Menurut isu, ada dua kelompok. Kelompok Pak Wiranto dan kelompok
Prabowo. Sedangkan saya di tengah-tengah. keadaan keamanan secara umum membaik,"
kata Subagyo.
Belakangan, Soeharto menawari Subagyo jabatan Pangkopkamtib, namun Subagyo
menolak. " Sejak awal sudah disepakati, posisi Pangkopkamtib dijabat Panglima ABRI,
sedangkan Wakil Pangkopkamtib oleh KSAD," kata Subagyo dalam biografinya, KSAD dari
Piyungan, Jakarta 2004 . Mendengar jawaban itu, Soeharto meminta ajudannya, Kolonel
(Pol.) Sutanto-kini Kepala Polri-mengirimkan pembatalan undangan pelantikan Pangkopkkn
yang rencananya digelar 18 Mei. Perubahan sikap Soeharto itu, menurut salah satu kerabat
Cendana, disebabkan oleh keraguannya atas loyalitas Wiranto dan Prabowo. Lama
terdengar kabar kedua jenderal bersaing pengaruh.
itulah sebuah pernyataan pers yang mengatasnamakan Mabes ABRI yang
menyebutkan ABRI mendukung sikap Nahdlatul Ulama yang meminta Soeharto turun.
Salinan pernyataan itu diantar Prabowo kepada mertuanya. "Ini artinya militer meminta
Bapak turun," katanya. Soeharto tak langsung percaya. Prabowo diminta mengecek soal itu
ke KSAD. Sebaliknya, secara diam-diam, menurut seorang kerabat Cendana, Soeharto juga
mengutus putranya, Bambang Trihatmodjo untuk mengkonfirmasikan soal ini ke Wiranto.
Bambang memang dikenal dekat dengan Wiranto. Prabowo yang malam ini membawa
Subagyo ke Cendana malah mengusulkan agar Wiranto digantikan Subagyo saja. Mendengar
usul itu, Soeharto tersenyum datar.
Minggu subuh, Wiranto menemui Soeharto di Cendana dan mengklarifikasi masalah
ini. Ia meminta Soeharto memecatnya jika tak percaya lagi. Soeharto menggeleng.
"Teruskan saja tugasmu," katanya.
Sebetulnya, desakan tentang penggantian Wiranto juga pernah disampaikan
Prabowo kepada Tutut saat mahasiswa mulai menguasai DPR. Saat itu, Tutut
mempertanyakan, apa yang harus dilakukan mengatasi keadaan? Prabowo menyarankan,
Pak Harto mengganti Wiranto dan membuat dekrit darurat. Namun, Tutut mengatakan,
ayahnya tak mau melakukan saran itu. sebab itu, jalan lain, menurut Prabowo, yaitu
Soeharto mundur. Tutut bertanya, apa yang terjadi kalau ayahnya turun. "Sesuai konstitusi,
Habibie menjadi presiden," jawab Prabowo.
DI Istana Negara, saat bertemu dengan sembilan tokoh reformasi, Soeharto
mengatakan siap mundur. "Hanya, apakah dengan mundur keadaan bisa diatasi?" Dari
pertemuan itu, Soeharto memutuskan membentuk komite reformasi, merombak kabinet,
dan melakukan pemilu secepatnya. Ia menegaskan tak mau dicalonkan sebagai presiden.
"Saya sudah kapok."
Di ruangan lain di Istana, sambil menunggu pertemuan Soeharto dengan sembilan
tokoh, beberapa orang berkumpul. Tampak hadir Prabowo Subianto, Mendagri R. Hartono,
KSAD Subagyo, Panglima ABRI Wiranto, Probosutedjo, dan Tutut. Probo lalu bertanya
kepada Wiranto, kenapa mahasiswa malah digerakkan ke Senayan. "Mereka kan tambah
kuat dan seenaknya. Disuplai makanan lagi, " kata Probo. Wiranto menjawab, kalau tidak
dikumpulkan, mereka bisa melakukan kekerasan di jalanan dan itu membuat situasi tambah
kacau.
Tekanan massa dan mahasiswa tak bisa dibendung lagi. Gedung DPR seperti pasar
malam: orang-orang berteriak, berpidato, memanjat atap gedung. Pimpinan MPR/DPR, yang
biasanya tak bergigi, mendadak berubah haluan: mereka ikut mendesak Soeharto mundur
dan meminta waktu bertemu Presiden. namun Soeharto sibuk menyusun daftar komite
reformasi. Ada 45 orang yang disiapkan: politisi, rektor, agamawan, cendekiawan.
Dalam pertemuan keluarga malam itu, Tutut menanyakan perkembangan terakhir.
Menurut Prabowo, ia sempat melaporkan situasi terakhir. Desakan agar Soeharto mundur
tak tertahankan. Saat itu, Soeharto juga mengatakan akan mundur sesudah kabinet
reformasi dan komite reformasi terbentuk. Pertanyaannya, siapa yang akan
menggantikannya. Sesuai UUD, memang Habibie. "namun Habibie tak akan sanggup
memegang kekuasaan dan akan terjadi chaos. Jika sudah begitu, tentara bisa mengambil
alih," ujar Soeharto.
Seorang kerabat keluarga itu mengatakan, malam itu Soeharto menyampaikan
keraguannya jika wakil presiden bisa mengatasi keadaan. "Pak Harto sebetulnya meragukan
kemampuan Habibie," ujar sumber itu. Soeharto menyadari posisinya di tubir jurang. Rabu
20 Mei menjelang malam ia menyampaikan kepada Habibie rencananya berhenti pada 23
Mei. Namun, sesudah Habibie pulang, Soeharto harus menemui fakta banyak tokoh
menolak bergabung dalam komite yang ditawarkannya.
Yang membuat jenderal besar itu terpukul, 14 menteri dari kabinetnya mengirimkan
surat pengunduran diri. Padahal, mayoritas dari mereka sebetulnya sudah diminta duduk
lagi dalam kabinet reformasi. Soeharto tak memiliki pilihan.
Malam itu, saat konsep pidato pengunduran dirinya disusun, Soeharto
mengumpulkan anak-anak dan kerabat. "Apa pun risikonya, saya akan
pertanggungjawabkan," katanya. Saat itu, Probo menanyakan siapa yang bakal jadi
pengganti. Soeharto menjawab, "Habibie sudah mengatakan bersedia menjadi presiden".
Probo tak percaya. "Yakin dia sanggup, Mas?" Soeharto tersenyum datar. "Ya, sanggup. Mudah-mudahan."
Sesaat ruangan itu senyap. Salah satu kerabat bercerita, saat itu Bambang Tri sempat
bertanya, "Kenapa tidak tanggal 23 Mei saja? Bukankah sudah diputuskan hari itu?"
Soeharto diam saja. Malah Tutut yang menjawab. "Mau lusa atau besok, toh sama saja.
Bapak memang harus mundur." Hening. Sayup-sayup terdengar isak Titiek dan Mamiek.
Seseorang menyentil: situasi ini disebabkan aparat membiarkan mahasiswa menguasai DPR.
Tak berapa lama, Prabowo masuk. Belum lagi ia duduk, Mamiek bangkit seraya
menudingkan telunjuk. "Pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi! Keluar!"
Malam itu, Prabowo mengaku sebetulnya enggan keluar. Ia melihat Titiek, istrinya,
menangis. namun bertahan di ruangan itu dianggapnya tidak menyelesaikan masalah.
sudah lama terdengar hubungan Soeharto dan anak-anaknya dengan Prabowo tak
harmonis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, semua anak Soeharto
dendam kepada Bowo. "Cuma Sigit yang agak netral," kata Sumitro dalam Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, 2000.
Soeharto memendam syak wasangka bahwa Prabowo dan Habibie sedang
menggalang persekongkolan untuk menumbangkannya. Salah satunya yaitu soal
kedekatan Bowo dengan beberapa tokoh yang saat itu menjadi lawan politik Soeharto. Dari
istrinya, Prabowo mengetahui ia dianggap pengkhianat sesudah bertemu Amien Rais, Gus
Dur, dan Habibie.
namun Prabowo memiliki pandangan lain soal mengapa ia dibenci. Menurut dia, selama
ini ia selalu mengatakan keadaan semakin memburuk jika Soeharto bertanya tentang
keadaan keamanan. "Pak Harto mulai tak suka kepada saya. Ia berbicara serius dengan
semuanya, kecuali saya. Saya sama sekali tak dihiraukan," kata Prabowo dalam buku
putihnya, Maret 2000.
Dua hari sebelum Soeharto lengser, Prabowo memang terlibat pertengkaran sengit
dengan Tutut dan Mamiek. Keduanya menggugat Bowo yang tidak optimal membela
Soeharto. "Kamu ke mana saja? Mengapa kamu membiarkan mahasiswa menduduki DPR?"
Prabowo dengan sengit balik membalas." Apakah saya harus menembaki mereka? Ini sama
saja bikin chaos."
upacara serah-terima jabatan itu berlangsung singkat. Selesai berpidato, Soeharto
berdiri menunggu hakim agung mengambil sumpah B.J. Habibie. Begitu selesai, Soeharto
menyalami Habibie, juga para hakim agung yang hadir. Tak sepatah kata pun terucap, ia
langsung balik badan menuju Ruang Jepara tempat menunggu pimpinan MPR/DPR.
Syarwan Hamid, salah satu Wakil Ketua DPR waktu itu, melukiskan Soeharto hanya
bicara semenit. Berdiri setengah membungkuk dengan tangan bersilang di perut, mantan
penguasa itu berpamitan. "Saudara-saudara, saya tak menjadi presiden lagi. Tadi sudah saya
umumkan kepada rakyat. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, Habibie sudah mengucapkan sumpah di
depan MA. Saya harap MPR dan DPR bisa menjaga bangsa ini. Terima kasih," kata Soeharto.
Ketua MPR/DPR Harmoko dan wakilnya, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, Ismail Hassan
Metareum, dan Syarwan Hamid hanya mengangguk.
Soeharto keluar ruangan. Menggamit lengan Tutut, mantan presiden itu menuruni
tangga Istana. Menyunggingkan senyum tipis, ia melambaikan tangan kepada juru foto.
Sesaat lalu , dikawal pengamanan ketat ia melesat kembali ke Cendana.
Itulah pertemuan terakhir Soeharto dengan bekas anak buahnya. sesudah lengser,
meski masih banyak petinggi militer dan para pejabat yang datang menjenguk, Soeharto
memilih menarik diri. Satu-satunya saat ia menerima tamu yaitu saat Lebaran dan
perayaan ulang tahunnya. namun pernah, sehari sesudah lengser, beberapa orang datang dan
meminta Soeharto menengahi konflik di tubuh ABRI, namun Soeharto tak mau. "Lho kalian
yang menginginkan seperti ini. Kenapa harus meminta saya lagi?" kata Soeharto seperti
ditirukan seorang petinggi militer.
Probosoetedjo juga emoh saat Nurcholish Madjid menitipkan pesan padanya. Saat
itu Cak Nur meminta Soeharto mengingatkan Habibie bahwa posisinya sebagai pejabat
presiden hanya sementara. "Jangan sampai dia menganggap dirinya sebagai presiden
definitif," kata Cak Nur seperti ditirukan Probo. Namun, Probo menggeleng. "Nggak ah. Saya
tak mau berhubungan dengan orang itu," kata Probo. Belakangan, keluarga ini memilih
menutup diri. Apalagi rumah mereka belakangan dibanjiri demonstran yang menuding
Soeharto korupsi. "Semua keluarga terganggu," ujar Tutut.
Agaknya, sebab itu pula, Juli 1998, dua bulan sesudah lengser, Soeharto
mengumpulkan keluarganya di Puri Retno, Anyer, Banten. Seusai makan malam di pinggir
pantai, Soeharto minta anak-anak, menantu, dan cucu menerima keadaan pahit ini dan tabah
melaluinya.
Menurut dia, ini yaitu konsekuensi dari keputusannya untuk mundur. Dan begitu
mundur, hujatan bukannya reda, justru malah bertubi-tubi. sebab nya, ia minta anak-
anaknya tak bereaksi. Katanya, "Biarlah sejarah yang mencatat, dengan hati bersih saya
sudah memimpin dan memajukan negeri ini. Kalau masih ada hujatan, mari diterima dengan
ikhlas. Mudah-mudahan, ini mengurangi beban saya di akhirat."
menjelang isya, surat itu tiba di kediaman Presiden Soeharto, Jalan Cendana 10, Jakarta. yaitu ajudan presiden, Kolonel Sumardjono, yang menerimanya dari
utusan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita.
Rabu, 20 Mei 1998, langit Jakarta kusut masai. Ratusan ribu warga dan mahasiswa menyemut di depan gedung DPR, Senayan, menuntut Soeharto turun dari kekuasaannya. Di Cendana, Soeharto memiliki firasat tak enak. Surat dari Ginandjar itu tak langsung dibuka,
melainkan dibawanya masuk kamar. Tak lama lalu , jenderal besar itu keluar dengan raut sekusut kertas diremas.
Pesan dari Ginandjar itu memang tidak biasa. Terdiri dari dua lembar, surat itu
ditandatangani 14 menteri yang diurutkan sesuai dengan abjad: Akbar Tandjung, A.M.
Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto,
Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi
Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga,
Tanri Abeng
Isinya membuat Soeharto terkesiap. Pada alinea pertama, para menteri meminta
Soeharto mundur-meski dengan bahasa yang dihaluskan. "Kami berkesimpulan bahwa situasi ekonomi kita tidak akan mampu bertahan lebih dari satu minggu jika tidak
diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai reformasi di segala bidang,
seperti antara lain yang direkomendasi oleh DPR RI dengan pimpinan fraksi-fraksi pada
Selasa, 19 Mei 1998," begitu petikan surat itu. Sehari sebelum rapat di parlemen,
pemimpin DPR meminta Soeharto mundur "secara arif dan bijaksana".
Keempat belas pembantu Presiden yang baru menjabat dua bulan itu juga menolak
bergabung dalam kabinet baru hasil reshuffle. Saat itu, Soeharto memang berencana
merombak kabinetnya dengan membentuk Kabinet Reformasi.
Menurut Probosutedjo, adik tiri Soeharto, yang saat itu berada di Cendana, sang
kakak terlihat gugup sesudah membaca pesan itu. Ia tak menyangka menerima surat itu, kata
Probo. Sehari sebelumnya, penguasa Orde Baru itu masih berbincang dengan Ginandjar
untuk membahas susunan kabinet baru. Ginandjar bahkan mengusulkan beberapa nama
menteri yang perlu diganti dicopot dan menyebutkan penggantinya. "Pak Harto
memutuskan mundur sesudah membaca surat itu," kata Probo beberapa hari sesudah
Soeharto meletakkan kekuasaannya, 21 Mei 1998.
Bagaimana surat itu disusun? Menurut Theo Sambuaga, surat itu dibuat di ruang
rapat kecil gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di kawasan
Taman Surapati, Menteng, Jakarta Pusat. Di gedung ini pula Ginandjar berkantor sebagai
Ketua Bappenas merangkap menteri koordinator.
Awalnya, Ginandjar mengundang para menteri bidang ekonomi melakukan rapat
koordinasi. Ada 15 menteri yang hadir: Ginandjar, Akbar, Hendropriyono, Giri Suseno,
Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro, Rachmadi, Rahardi, Subiakto, Sanyoto,
Sumahadi, Theo Sambuaga, Tanri Abeng, dan Ary Mardjono. Hadir pula Gubernur Bank
Indonesia Syahril Sabirin.
Tiga menteri absen. Menteri Keuangan Fuad Bawazier tak ada kabar, Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Bob Hassan mengaku tidak bisa datang sebab penjagaan
tentara di Jakarta yang berlapis-lapis. Adapun Menteri Lingkungan Hidup Juwono Sudarsono
sedang sakit.
Dalam rapat, para menteri melaporkan terus memburuknya perekonomian. Menteri
Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto, contohnya , melaporkan berkurangnya
cadangan bahan bakar minyak. "Rapat menyimpulkan perekonomian terus merosot," kata
Theo, yang saat ini Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Tempo.
Ginandjar, menurut Tanri Abeng, lalu meminta para menteri ekonomi memusatkan
perhatian lebih dahulu pada situasi politik. "Juga bagaimana mengontrolnya," ujarnya.
Sesaat sebelum menutup rapat pada setengah tiga siang, Ginandjar meminta para
menteri tak pulang dahulu . Ia mengajak mereka bertemu lagi di ruang rapat kecil, tanpa
dihadiri pejabat di bawahnya. "Kami bicara dari hati ke hati," kata Theo. "Pertemuan hanya
diikuti para menteri sebab itu diskusi informal."
Para menteri itu lalu membahas perkembangan politik. Sesekali, mereka memelototi
layar televisi di ruangan itu yang sedang menayangkan situasi di gedung DPR. Dua hari
sebelum rapat itu digelar, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan
Rakyat, Harmoko, terang-terangan meminta Soeharto mundur. Suasana tegang. Beberapa
menteri berdiri sambil menarik napas panjang. Menjelang sore, semua sepakat posisi
Soeharto seperti di tubir jurang. Menurut Theo, tak ada perdebatan dalam pertemuan itu.
Sebagian besar sepakat Presiden sebaiknya menuruti permintaan rakyat, yakni mundur dari
jabatannya.
Para pembantu itu lalu merumuskan sikap. Semula digagas untuk membuat
pernyataan mundur dari kabinet. Namun, kata Theo, pedan pertemuan menganggap sikap
itu tidak tepat. Menjelang magrib, disepakati bahwa mereka hanya menyatakan menolak
bergabung dalam Kabinet Reformasi yang sedianya akan diumumkan Presiden esok harinya.
sesudah kesepakatan tercapai, rapat diskors. Ginandjar mengaku meminta Akbar
Tandjung membuat konsep surat ke Soeharto. "Konsep surat yang sudah selesai lalu
dibacakan. sesudah disepakati, baru ditandatangani," katanya.
Dari 15 menteri plus Gubernur BI yang hadir, 14 menteri menandatangani kertas itu
sesuai dengan urutan abjad. Syahril menolak meneken sebab menganggap Gubernur BI
yaitu posisi independen. "Siapa pun presidennya, Pak Syahril akan tetap pada jabatannya,"
kata Theo lagi.
Satu lagi yang menolak yaitu Ary Mardjono, orang yang dikenal dekat dengan
keluarga Cendana. Masih menurut Theo, Sekretaris Jenderal Golongan Karya itu merasa
mengkhianati Soeharto bila ikut menolak bergabung dalam kabinet baru. "namun Pak Ary diam
saja selama pertemuan, ia hanya berbisik-bisik dengan saya," kata Theo.
Menurut Tanri Abeng, Ary menolak tanda tangan sebab ingin berkonsultasi dahulu
dengan beberapa partai. Tanri sendiri mengaku ikut tanda tangan sebab Soeharto tak lagi
bisa efektif sebagai presiden. "Dengan demikian, kami juga tak bisa lagi bekerja," katanya.
Suara mencibir datang dari Fuad Bawazier. Katanya, para menteri yang
menandatangani surat itu hanya mencari selamat. "Biar mereka bisa terpilih di kabinet
berikutnya." Tanri sendiri tak menjawab tegas. "Saya bukan politisi. Sampai saat ini saya
tidak mengerti bagaimana semua ini terjadi," kata pria yang kini menjadi Komisaris Utama
PT Telkom itu. Theo juga tak merasa mengkhianati Soeharto. "Kami tak memukul dari
belakang. Pak Ginandjar waktu itu bilang bahwa pertemuan itu hanya diikuti pribadi-
pribadi," kata Theo.
Apa pun, surat itu akhirnya diteken. Semula mereka berencana menyampaikan hasil
pertemuan itu langsung kepada Soeharto. Namun, akhirnya diputuskan untuk
menyampaikannya melalui surat.
Menurut Theo, Ginandjar dan Akbar ditunjuk sebagai wakil. "Mereka berdua menteri
paling senior dalam pertemuan itu," katanya. Namun, kepada Tempo, Akbar mengaku tak
pergi ke Cendana mengantar surat itu. "Saya tak pernah mengantar surat itu ke Cendana,"
kata bekas Ketua Umum Partai Golkar itu. Adapun Ginandjar mengakui mengirim orang
untuk mengantar surat bersejarah itu. Yang jelas, para pedan pertemuan meninggalkan
Bappenas selepas magrib.
Tanri bercerita, sekitar pukul 8 malam ia ditelepon Wakil Presiden B.J. Habibie yang
memintanya datang ke rumah dinas Wakil Presiden di Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Di sana, beberapa menteri yang lain sudah hadir, di antaranya Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan Feisal Tanjung dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Haryono Suyono. Menurut Theo, Habibie lalu menjelaskan hasil pertemuannya dengan
Soeharto, beberapa jam sebelumnya.
Di situ Habibie bercerita bahwa Soeharto sudah memutuskan membentuk Komite
Reformasi dan merombak kabinetnya. Soeharto, kata dia, juga berencana mempercepat
pemilu. Dalam pemilihan itu, Soeharto menyatakan tak akan mencalonkan diri lagi.
Namun, menjelang tengah malam, Habibie menerima telepon dari Saadilah Mursyid.
Menteri Sekretaris Negara itu memberitahukan bahwa Soeharto memutuskan untuk
mundur. Saadilah juga menyampaikan pesan Soeharto agar Habibie bersiap diambil
sumpahnya sebagai presiden.
Theo menuturkan, para menteri yang hadir di Patra Kuningan langsung memberi
selamat kepada mantan Menteri Riset dan Teknologi itu.
Soeharto merasa ditinggalkan oleh para menterinya. Dalam tulisan yang dimuat di
situs Internet Soehartocenter.com, "Deklarasi Surapati" disebut sebagai bagian dari
pengkhianatan beberapa menteri yang dibesarkan Soeharto. Habibie juga dianggap ikut
bertanggung jawab dalam peristiwa itu.
Beberapa mantan menteri mencoba menjalin silaturahmi lagi dengan keluarga
Cendana. Akbar, contohnya , datang ke rumah Soeharto, saat Lebaran. Theo juga selalu datang
saat Lebaran dan saat Soeharto sakit. Tak jelas bagaimana sikap Soeharto terhadap
kunjungan itu. Boleh jadi, di matanya, ke-14 menteri yaitu Brutus yang menikam
pada hari terakhir ia berkuasa.
awal dan akhir kekuasaan Soeharto ditandai dengan dua hal: kecemasan dan darah.
Demonstrasi besar-besaran, penembakan mahasiswa, dan aksi massa yang memakan korban terjadi sesaat sebelum Soeharto mengambil alih kekuasaan dari
Soekarno, 1996.
Hal yang sama terjadi saat ia dipaksa turun dari jabatannya. Di ujung 32 tahun
pemerintahannya, keadaan ekonomi negara juga hancur. Nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika terjerembap sangat cepat.
Terjungkalnya Rupiah
2/1/1998 5985
8/1/1998 10676.8
14/1/1998 7287.2
23/1/1998 14555
28/1/1998 11041.8
3/2/1998 10011.2
10/2/1998 7287.9
16/2/1998 9699.3
19/2/1998 8566.5
23/2/1998 9429.5
27/2/1998 8569.5
10/3/1998 10477.8 SU MPR menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto
periode 1993-1998.
25/3/1998 8290.8
13/4/1998 7375.3 Kerusuhan massal pecah di sekitar kampus Universitas
Trisakti
5/5/1998 8042.4
9/5/1998 12281.4
19/5/1998 12281.4 Soeharto bertemu beberapa ulama dan tokoh masyarakat,
di istana.
26/5/1998 10165.5
29/5/1998 11117.7
Akhir Kekuasaan
Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti dan kerusuhan massal sesudah nya memicu kejatuhan Soeharto. Namun, berbagai rentetan peristiwa sebelumnya juga menunjukkan "tanda-tanda" pudarnya pengaruh sang jenderal besar itu.
1997 Juli
Krisis ekonomi mulai menghantam Indonesia. Ditandai dengan nilai tukar rupiah yang terus merosot.
Aksi demonstrasi besar-besaran mulai muncul di kampus Institut Teknologi Bandung. Mereka menyuarakan reformasi. Aksi ini menjalar ke seluruh Indonesia. Mereka mencoba keluar dari kampus, sesuatu yang dilarang saat itu. Bentrokan mahasiswa dengan aparat
keamanan pun terjadi di mana-mana.
1998 Februari-Maret
beberapa aktivis demokrasi diculik selama berhari-hari. Penculikan ini diyakini
sebagai usaha meredam gerakan mereka. Belakangan diketahui penculikan dilakukan oleh
Komando Pasukan Khusus, yang saat itu dipimpin Komandan Jenderal Mayjen Prabowo
Subianto.
Mereka yang diculik yaitu Nezar Patria, Andi Arif, Desmon J. Mahesa, Pius
Lustrilanang, Haryanto Taslam, Herman Hendrawan, Rahardjo Waluyo Djati, Faisal Riza, dan
Mugianto. Sebagian di antara mereka tak ketahuan nasibnya hingga kini.
10 Maret
Sidang Umum MPR menyatakan menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto
sebagai presiden periode 1993-1998. Pada saat yang sama, para mahasiswa menggelar
"Sidang Umum Tandingan" yang menyatakan menolak pidato pertanggungjawaban
presiden.
11 Maret
MPR memilih kembali Soeharto sebagai presiden. Ini yaitu periode ketujuh
pemerintahannya, dan kali ini ia didampingi Wakil Presiden B.J. Habibie.
14 Maret
Presiden Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Kabinet ini disorot
sebab menyertakan putri Presiden, Siti Hardijanti (Tutut), sebagai Menteri Sosial, dan salah
satu kroninya, Bob Hasan, sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
12 Mei
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas dalam unjuk rasa di kampus itu. Mereka
yaitu Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie.
13 Mei
Kerusuhan massal pecah di sekitar kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.
Presiden Soeharto, yang sedang melawat ke Kairo, Mesir, mengatakan siap mundur secara
konstitusional bila rakyat menghendaki. Ia menyatakan akan "mendekatkan diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa, dan dengan keluarga, anak-anak, dan cucu-cucu".
14 Mei
Kerusuhan meluas di Jakarta. Aksi serupa muncul di Solo, yang ditambah penjarahan. beberapa gedung, pertokoan, dan rumah terbakar, ratusan orang tewas.
15 Mei
Ratusan korban tewas terbakar ditemukan di Toserba Yogya, Klender, Jakarta Timur.
16 Mei
Ratusan lagi korban tewas terbakar di Ciledug Plaza, Ciledug, Tangerang.
17 Mei
Angka resmi menunjukkan 499 korban tewas dan lebih dari 4.000 gedung hancur atau terbakar akibat kerusuhan.
18 Mei
Ribuan mahasiswa di berbagai daerah menggelar demonstrasi besar-besaran menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Di Jakarta, mereka menduduki kompleks
DPR/MPR, Senayan.
Ketua MPR/DPR, Harmoko, menyampaikan hasil rapat pimpinan MPR yang meminta
Soeharto mundur dari jabatannya secara arif dan bijaksana. namun Panglima ABRI Jenderal TNI
Wiranto mengatakan permintaan Harmoko itu tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
19 Mei
Di Istana Merdeka, Presiden Soeharto bertemu beberapa ulama dan tokoh
pertemuan dua generasi itu terjadi September 2005. Disaksikan ratusan pasang
mata, ketiga putri Soeharto menjabat erat tangan Liem Sioe Liong yang gemetar
dimakan usia. Siti Hardijanti Rukmana, Siti Hediati Harijadi, dan Siti Hutami Endang
Adiningsih bergiliran menjura takzim kepada konco lawas ayahnya itu.
Taipan nomor wahid di zaman Orde Baru itu pun membalasnya hangat. Meski sambil
duduk, tak lupa ia mengumbar senyum. Ketiga putri itu tentulah mengingatkannya pada
masa-masa keemasan selama berpuluh tahun yang sudah dirajutnya bersama kekuasaan
Soeharto.
Soeharto, yang saat itu sudah divonis "sakit permanen" oleh tim dokter, memang tak
bisa lagi hadir di hajatan kolega lamanya ini. Padahal, Liem, yang juga beken dengan nama
Soedono Salim, sedang menggelar pesta ulang tahunnya ke-90.
Pesta megah dua malam dengan ongkos Rp 20 miliar itu digelar di Hotel Shangri-La,
Singapura. Sekitar 2.500 tamu menyesaki The Island Ballroom Hotel yang disulap bak istana
kekaisaran Cina di masa dinasti Ming dan Ching. Meski dipenuhi konglomerat dan beberapa
pejabat Orde Baru, kehadiran tiga putri Soeharto tampaknya memiliki tempat tersendiri di hati
Om Liem.
Itu sebabnya, ketiga putri Presiden RI ke-2 ini pun selalu mendapat perhatian
istimewa penyelenggara pesta. Begitu pula saat mereka mengha-diri pesta perkawinan
berlian Liem dengan Lie Shu Zen, gadis asal Lasem, Jawa Tengah, April 2004 lalu, di Singapura juga.
persahabatan Soeharto dengan Liem merupakan bagian dari cerita panjang
sejarah Orde Baru. Bersama Mohamad "Bob" Hasan, ketiganya menjadi pusat pusaran arus
ekonomi-politik negeri ini, hingga Orde Baru runtuh pada 1998 berbarengan dengan
lengsernya Soeharto.
Pertalian ketiganya memang terbukti memiliki "hoki" bagus. Berkat imperium bisnis
mereka yang menjalar ke segala penjuru negeri, majalah Forbes edisi 28 Juli 1997 bahkan
pernah menobatkan ketiganya menjadi bagian dari orang terkaya di muka bumi ini.
Jika dirunut ke belakang, persahabatan Soeharto dengan Liem terbuhul sejak lima
dekade silam. Bermula dari kedatangan Liem muda di Kudus, Jawa Tengah, pada 1938.
saat meninggalkan tanah kelahirannya di Fujian, Cina, usia Liem baru 22 tahun.
Bersama saudara-saudaranya, di Kudus, Liem membuka toko kelontong sembari
membantu perjuangan RI lewat perkumpulan pedagang Cina, Cong Siang Hwee.
Perkenalannya dengan ayah Fatmawati, mertua Bung Karno, kian melempangkan bisnisnya
memasok kebutuhan tentara.
Demikianlah hingga Soeharto menjabat Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah,
pada 1950-an. Atas saran Soeharto, Liem lalu menggabungkan usahanya dengan
kelompok bisnis Djuhar Sutanto alias Liem Oen Kian, yang juga sama-sama kelahiran Fujian.
saat itu, lewat bendera Four Seas, Djuhar menjadi pemasok TNI Angkatan Laut.
Belakangan, Four Seas berganti nama menjadi Five Stars, dengan masuknya Lim Chin Song,
yang membawa dua pegawainya, termasuk Ibrahim Risjad. Singkat cerita, Liem dan Djuhar sepakat mendirikan PT Waringin Kentjana. Inilah
cikal-bakal imperium bisnis Grup Salim. Risjad, yang juga bergabung di perusahaan itu,
mengajak saudara sepupu Soeharto, Sudwikatmono, yang kala itu masih berjualan karung
goni. Empat serangkai inilah yang selanjutnya dijuluki The Gang of Four-empat pilar bisnis Grup Salim.
George J. Aditjondro, yang rajin menelisik harta keluarga Cendana, menyebutkan
awal 1950-an sebagai titik awal dibangunnya kerajaan bisnis keluarga Cendana. saat itu
Soeharto menjabat Pangdam Diponegoro.
Berkat dukungan Soeharto, Liem dan Bob Hasan saat itu banyak memenangi kontrak
pasokan berbagai kebutuhan prajurit Kodam Diponegoro. Mulai dari nasi, pakaian seragam,
hingga obat-obatan.
Hubungan segi tiga itu makin kompak sesudah Soeharto pindah ke Jakarta dan
diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad)
pada awal 1960-an. Ia segera mendirikan Yayasan Dharma Putera Kostrad, satu dari puluhan
yayasan Soeharto yang kerap dijadikan instrumen bisnis keluarga Cendana.
sesudah Soeharto menjadi presiden, ia pun mengajak Liem, sahabat lamanya, ke
puncak kekuasaan. Pada 1971-1972, keduanya sepakat membangun pabrik tepung terigu
raksasa, PT Bogasari Flour Mills-cikal-bakal Indofood-di Jakarta dan Surabaya
Sebagai bentuk proteksi, kata George, pesaingnya dari Singapura hanya diizinkan
beroperasi di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, dan menggarap pasar Indonesia bagian
timur. Pasar utama di Indonesia bagian barat-dengan pangsa 80 persen-khusus digarap
Bogasari. "Inilah tambang uang utama yang pertama mereka bangun," kata George.
Penguasaan Soeharto di perusahaan ini tentu tak langsung. Selain ada
Sudwikatmono di sana, kontrol dilakukan lewat salah satu yayasan yang didirikannya.
Sedikitnya ada 40 yayasan di bawah kendali keluarga Cendana yang memiliki saham di
berbagai perusahaan besar. Selain Bogasari, berbagai sektor bisnis dimasukinya, mulai dari
pabrik semen, pupuk, jalan tol, hingga perkebunan kelapa sawit. Kebanyakan perusahaan itu
terkait dengan Liem dan Bob Hasan.
SOAL Bob Hasan, kedekatannya dengan keluarga Cendana tak bisa dilepaskan dari
bisnisnya dengan anak-anak Soeharto. Bersama Sigit Harjojudanto, ia membangun
Nusantara Ampera Bhakti (Nusamba), salah satu mesin uang Cendana.
Sekitar 80 persen saham perusahaan di bidang pertambangan dan telekomunikasi ini
dimiliki tiga yayasan Soeharto: Supersemar, Dakab, dan Dharmais. Sisanya dibagi di antara
Bob dan Sigit.
Teman main golf dan memancing Soeharto ini juga menggandeng Tommy Soeharto
di Sempati. Sedangkan Bambang Trihatmodjo dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan
Darat dirangkulnya di International Timber Corp. Berkat kepiawaiannya inilah, PT Kiani
Kertas yang dibangun Bob mendapat kucuran dana ratusan miliar rupiah dari yayasan
Soeharto.
Perkenalannya dengan Soeharto bermula dari nasib baik Bob, yang sejak terlahir di
Ngadirejo, Jawa Tengah, pada 24 Februari 1931, dibesarkan oleh Jenderal Gatot Subroto.
Sang Jenderal yaitu sahabat karib ayahnya, Soetedjo, pria Jawa dari keluarga juragan
tembakau yang memperistri perempuan Tionghoa.
berkolaborasi dengan kedua pilar bisnisnya itulah, keluarga Cendana lambat-laun
menancapkan kukunya di jagat bisnis nasional. Lewat keenam anaknya, menurut majalah
Time edisi 24 Mei 1999, imperium bisnisnya menjalar di 18 sektor. Mulai dari
pertambangan, kehutanan, bank, telekomunikasi, jalan tol, transportasi udara, hingga media.
Michael Backman, peneliti bisnis dan perusahaan di Asia, pernah berhitung: jumlah
perusahaan keluarga Cendana lebih dari 1.247. Dalam tulisannya di harian The Asian Wall
Street Journal, 26 Mei 1998, disebutkan perusahaan-perusahaan itu setidaknya tersebar
pada 20 konglomerat.
Padahal itu belum memperhitungkan perusahaan di luar negeri. Belum juga
termasuk perusahaan di luar keluarga inti, seperti Grup Hanurata, yang dibangun
Sudwikatmono bersama Sigit dan Indra Rukmana (suami Siti Hardijanti).
Menurut taksiran majalah Time dan Forbes, total kekayaan Soeharto saat lengser
mencapai US$ 15 miliar, atau sekitar Rp 150 triliun (dengan kurs Rp 10 ribu per dolar).
Angka lebih fantastis pernah diungkap majalah Newsweek (Januari 1998) dan AWSJ (Januari
1999), yang menyebut US$ 40 miliar.
Betapapun digdayanya, kerajaan bisnis Cendana akhirnya koyak-moyak saat badai
krisis ekonomi menerpa Asia pada 1997-1998. Putra-putri Soeharto, yang dahulu tak tersentuh
aparat, pun terjerat utang raksasa ke negara.
Nasib tak berbeda dialami Salim dan Bob Hasan, dua kroni Soeharto. namun , benarkah
imperium bisnis ketiganya sudah ambruk? Sulit mempercayainya. Sebab, bagaimanapun,
ketiga konglomerasi yang menggurita puluhan tahun ini sudah menjadi pilar ekonomi
Indonesia. Jika roboh, bangunan ekonomi nasional pun runtuh sesaat .
jenderal atau menteri, yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk!" Kata-
kata itu meluncur dari mulut Soeharto di atas pesawat kepresidenan, pertengahan
1989. saat itu dia dalam perjalanan pulang dari kunjungan ke Beograd, Yugoslavia.
Soeharto tak menyebut nama namun publik tahu siapa yang dimaksud. Leonardus
Benyamin Moerdani. Di akhir 1980-an sang Presiden memang sedang sengit-sengitnya
kepada Benny. Bawahan yang paling dia percaya itu berani menganjurkan dia untuk tidak
lagi menjadi presiden dan menentang anak-anaknya.
Itulah isu yang berkembang. Mayjen (Pur) Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Kostrad,
malah mengatakan Benny ingin melakukan kudeta. Informasi ini yang menurut Kivlan
dilaporkan Prabowo Subianto kepada mertuanya yang berujung pemecatan Benny dari
jabatan Panglima ABRI seminggu sebelum Sidang Umum MPR 1988.
Benny tegas-tegas membantahnya. "Bagi saya seorang prajurit yang pernah
melawan pemimpin tertingginya berarti sudah cacat seumur hidupnya," katanya kepada
Brigjen (Pur) FX Bachtiar yang menanyakan hal itu.
Kata-kata Benny itu dikutip Bachtiar dalam artikelnya di biografi "LB Moerdani
Pengabdian Tanpa Akhir" yang terbit Desember 2004. Puluhan sahabat dan kenalan yang
ikut menuliskan pengalaman mereka mengatakan Benny seorang loyalis. Ucapan Benny
kepada Letjen (pur) Sofian Effendy menggambarkan hal itu: "Soeharto yaitu guru saya. Dia
yang membesarkan saya."
Membesarkan? Ya. Mereka berkenalan dalam Operasi Mandala untuk merebut Irian
Barat pada 1961. Soeharto, sang Komandan, mengagumi keberanian Kapten Benny yang
saat itu memimpin Pasukan Naga. Mereka kembali bertemu pada 1965 kala Benny
ditempatkan di satuan intelijen Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang
dipimpin Soeharto.
Hubungan mereka kian dekat. sesudah berkuasa, pada 1974 Soeharto mengangkat
Benny menjadi Kepala Perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. namun Benny sering
meninggalkan posnya sebab memiliki tugas "sampingan": mengawal Soeharto dalam berbagai
lawatan ke luar negeri. Lakon pengawal tak resmi ini dia jalankan hingga bertahun-tahun.
Saking percayanya, Pada 1975 Soeharto menunjuk Benny memimpin Operasi Seroja
ke Timor Timur. Dan Benny sukses. Enam tahun lalu , dia ditugaskan memimpin
pasukan Kopasandha membebaskan pesawat GadudaWoyla DC-9 yang dibajak di Bandar
Udara Don Muang, Thailand. Ada yang mengatakan itu rekayasa Soeharto agar bisa
mendongkrak pangkat Benny.
Benar atau tidak, yang pasti sejak itu karir Benny maju pesat. Puncaknya saat
Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-
1988). namun , laporan Prabowo membuat Soeharto marah dan "memensiunkan" anak emasnya itu lebih awal.
Mantan dokter tentara dalam Operasi Mandala Ben Mboi, bercerita, Soeharto sudah
lama jengkel pada Benny. Soalnya, dia berani meminta si Bos "menjauhkan" anak-anaknya
dari kekuasaan. Itu dia sampaikan saat keduanya bermain bilyar, sendirian, di Cendana.
Saat itu Benny sudah menjadi Pangab. "saat saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto
berhenti bermain, masuk kamar tidur dan tinggalkan saya di kamar bilyar," ujar Benny kepada Ben.
Anehnya, Soeharto seperti tak bisa benar-benar membenci Benny. saat menyusun
kabinetnya pada 1988, Benny mendapatkan pos menteri pertahanan dan keamanan.
Keputusan tak terduga itu membuat Benny kalah taruhan dan harus membayar Laksamana
(Pur) Sudomo satu set golf plus 2.000 bola.
Padahal saat bertemu Sudomo beberapa waktu sebelum pengumunan kabinet,
Soeharto masih amat marah pada Benny. Itu sebab Benny mengusulkan penguasa Orde
Baru untuk mundur dari pentas politik sesudah 1993. Benny khawatir, kalau diteruskan nasib
Soeharto akan seperti Presiden Soekarno: diturunkan dengan paksa.
Soeharto akhirnya diturunkan sesudah huru-hara pada 1998. namun itu justru berkah
bagi kedua "sahabat" yang hampir sepuluh tahun marahan. Pada ulang tahun Soeharto
pertama sesudah lengser-8 Juni 1998- Benny datang. Keduanya kembali saling mengunjungi
dan berkirim kartu ucapan hingga Benny berpulang pada 29 Agustus 2004.
beringin yang rimbun, pohon keluarga Pak Harto dipenuhi banyak cabang dan
ranting. Dari enam anak terus berpinak menjadi 13 cucu, masing-masing tiga cucu dari
Siti Hardijanti Hastuti (dengan Indra Rukmana), Sigit Harjojudanto (Ilsje Anneke
Ratnawati), dan Bambang Trihatmodjo (Halimah Augustina). Dua cucu dari Hutomo Mandala
Putra (dengan Tata), dan masing-masing satu cucu dari Siti Hediyati Hariadi (Prabowo
Subianto), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Pratikto Prayitno Singgih).
Namun, jumlah itu masih bisa bertambah, bergantung pada sisi mana melihatnya.
contohnya , apakah anak Bambang dengan penyanyi Mayangsari, yang lahir bulan lalu, mau
dihitung dengan cara yang sama? Atau, anak perempuan Sandy Harun, yang tahun lalu
diklaimnya sebagai benih dari Tommy Soeharto, contohnya , itu bagaimana pula? Yang jelas,
beberapa cucu kesayangan Pak Harto sudah melanjutkan kelanggengan trah mereka dengan
memberikan cicit kepada sang eyang. contohnya seperti kakak-adik Ari dan Eno Sigit.
Beberapa cucu Soeharto baru saja memasuki mahligai pernikahan, seperti Danty Rukmana
ataupun Gendis Trihatmodjo.
saat generasi ketiga keluarga Cendana ini masih kanak-kanak atau bahkan
menginjak remaja, mereka praktis hanya dikenal oleh para kerabat dan segelintir pejabat
Orde Baru. Namun, memasuki 1990-an, seiring dengan bertambahnya usia, beberapa cucu
Pak Harto mulai berbisnis dan memasuki ruang publik sehingga dikenal oleh masyarakat.
Ari Sigit
SAMPAI saat jatuhnya Pak Harto dari tampuk pemerintahan pada 1998, jika
terdengar kata "cucu", yang dimaksud pastilah Haryo Wibowo Sigit Harjojudanto, yang lebih
dikenal sebagai Ari. Bukan hanya sebab ia putra pertama pasangan Sigit-Ilsje, melainkan
sebab Ari juga cucu tertua keluarga Cendana.
Saat para sepumemiliki masih kecil, Ari sudah menggegerkan dunia bisnis nasional
persis satu dekade silam. Waktu itu ia berkongsi dengan Emir Baramuli dan Ichdar Kuneng
Bau Masseppe membentuk PT Arbamass Multi Invesco. Bukan sebab akronim nama
ketiganya membentuk kata "Arbamass" yang membuat heboh, melainkan cara mereka
menjadikan perusahaan itu sebagai pemasok tunggal minuman keras di Bali yang membuat
orang geleng-geleng kepala. Apalagi, Arbamass berniat mengatur penjualan minuman keras
di Pulau Dewata itu lewat penjualan stiker. Kontroversi baru reda sesudah Soeharto
menyatakan tak boleh ada "tata niaga" untuk minuman keras.
Sisi lainnya, gemerlap dunia hiburan. Ia pernah meluncurkan album rekaman di
pertengahan 1990-an dengan bantuan mentornya di bidang musik, penabuh drum Jelly
Tobing. Mantan istri pertamanya, Annisa Tri Banowati, dan istri ketiganya sekarang, Rika
ICallebout, yaitu bintang sinetron. Hanya bekas istri kedua, Gusti Maya Firanti Noor, yang
tak berasal dari dunia hiburan. Meski begitu, gosip terus saja menerpa kehidupan Ari.
Belakangan, Ari dikabarkan mulai aktif mendalami agama. Ia menjadi murid Abah Ijai
(Guru Sekumpul)-nama panggilan KH Zaini Abdul Ghani, ulama karismatis Banjarmasin.
Fakta ini terungkap saat Ari menghadiri pelantikan Rudy Ariffin sebagai Gubernur
Kalimantan Selatan, Agustus 2005. Seolah mengetahui keheranan para anggota Dewan, Ari
menjelaskan kehadirannya itu sebagai teman. "Saya dan Pak Rudy Ariffin sama-sama murid
Abah Ijai," katanya.
Eno Sigit
LAHIR sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Sigit-Ilsje, alumnus sekolah
mode London dengan nama lengkap Retnosari Widowati Harjojudanto ini untuk beberapa
saat menambah panjang daftar perancang busana di Tanah Air. Namun, sekarang ia lebih
menikmati peran sebagai panitia penyelenggara (event organizer) acara anak-anak seperti
Barney dan Holiday On Ice. "Saya sedang menikmati peran sebagai ibu," ujar ibu dua balita
dari pernikahannya dengan Fahmi David ini.
sesudah sembilan tahun tinggal di London (1987?1996), Eno balik ke Jakarta dengan
menyalurkan hobinya yang lain: menyanyi. Ia membuat album rekaman bersama komedian
Harry de Fretes, yang saat itu sedang populer sebagai pimpinan Lenong Rumpi, kelompok
yang menyajikan seni tradisional lenong dengan cita rasa lebih metropolitan. Sama seperti
nasib rekaman abangnya, nama besar sebagai cucu orang nomor satu-waktu itu-di
Indonesia pun tak bisa mendongkrak popularitas dan penjualan album. Selera memang tak
bisa dipaksa.
Di dunia bisnis, Eno dikenal lewat bendera PT Mahardika Bangun Pratama, yang
mengerjakan proyek pengembangan pelabuhan terpadu Tanjung Perak-Gresik di Teluk Kali
Lamong, Gresik. Proyek ini dimulai sejak 1992, dan seharusnya selesai akhir 1998 sebelum
ikut gonjang-ganjing dihantam badai krisis moneter.
Dandy Rukmana
BERBEDA dengan Ari sepumemiliki , pemilik nama lengkap Dandy Nugroho Hendro
Maryanto ini malah nyaris tak pernah dikaitkan dengan dunia hiburan. Padahal, ia justru
pernah mengawaki Televisi Pendidikan Indonesia yang didirikan oleh ibunya. Anak pertama
pasangan Siti Hardijanti Hastuti dengan Indra Rukmana ini lebih dikenal dengan kiprahnya di
dunia olahraga otomotif. Ia banyak mengikuti reli, baik nasional maupun internasional,
antara lain dengan navigator tingkat dunia seperti mendiang Roger Freeman.
Dandy, yang lama di Boston, memiliki pembawaan bisnis yang paling menjanjikan
dari generasi ketiga Cendana. Sebagai contoh, ia dan sang paman, Bambang Trihatmodjo,
bisa sama-sama menjadi komisaris PT Bimantara Citra Tbk. berdasarkan RUPSLB pada 2004,
dengan jabatan direktur utama diduduki oleh Bambang I. Tanoesoedibjo.
Meski begitu, Dandy termasuk irit bicara kepada pers. Tak mengherankan jika akhir
tahun lalu namanya kerap dipertukarkan publik dengan adik bungsunya, Danny Rukmana,
saat pecah berita tentang pernikahan artis Lulu Tobing dengan seorang cucu keluarga
Cendana. Cukup banyak media massa yang awalnya memberitakan hal itu sebagai kabar
pernikahan Dandy, bukan Danny. Akibatnya, seorang tokoh keluarga Cendana terkekeh
mendengar kisah simpang-siur itu. "Mas Dandy kan sudah menikah. Mana mungkin kawin
lagi," katanya saat dimintai konfirmasi akhir tahun lalu.
Danty Rukmana
SELASA 23 Mei 2006, pernikahan Danty Rukmana dengan Adrianto Supoyo genap
berumur empat tahun. Saat upacara pernikahan itu berlangsung di rumah orang tuanya di
Cendana, terjadi sebuah peristiwa yang menggegerkan Indonesia. Bukan sebab itu
pernikahan kedua Danty sesudah pernikahan pertamanya dengan Triyono yang berlangsung
28 Maret 2000 kandas tak sampai dua tahun, melainkan sebab munculnya laporan seorang
wartawan Bali Post, Heru B. Arifin, yang menyaksikan di acara itu bahwa Pak Harto, yang
selalu dikabarkan sakit, ternyata segar bugar dan bisa berjalan tegap tanpa ada yang
menuntun atau memegangi tangannya.
Heru bisa menyelinap masuk sebagai tamu tanpa diketahui petugas keamanan yang
melakukan sensor ketat atas setiap tamu. sesudah kejadian ini, semua pesta pernikahan cucu
keluarga Cendana berlangsung dengan penjagaan superketat, tanpa tamu dari kalangan
wartawan, seperti pada pernikahan Gendis Trihatmodjo bulan lalu.
Romansa Danty dengan Adrianto terbilang menarik sebab dicomblangi secara
khusus oleh sang kakak, Dandy Rukmana. Bibit-bibit cinta itu disemai keduanya di Negeri
Abang Sam, tempat Dandy dan Danty lebih sering menghabiskan waktu. Namun, Danty dan
Adri sebetulnya sudah berkenalan lama sekali saat mereka masih menjadi murid di
sebuah TK dan SD di Menteng.
Dalam bidang bisnis, Danty terkesan lebih low profile, tidak seperti kakaknya atau
sepumemiliki , Eno Sigit.
Gendis & Panji Trihatmodjo
NAMA Gendis Tri Hatmanti dan Panji Adhi Kumoro, anak pertama dan kedua
pasangan Bambang-Halimah, baru santer terdengar sesudah mereka membagikan 2.000
paket sembako (sembilan bahan pokok) kepada masyarakat Pe-tamburan, Oktober 2005.
"Setiap tahun keluarga kami selalu membagikan sembako, namun memang baru sekarang ini
kami yang membagikan," ujar Gendis. Panji menambahkan, "Pemberian sembako ini untuk
memperingati ulang tahun pernikahan orangtua kami ke-24."
23 April 2006, Gendis menikah dengan Arif Putra Wicaksono di Masjid At-Tiin, Taman
Mini Indonesia Indah. Yang unik, dalam resepsi yang digelar keesokan harinya di Ballroom
Hotel Grand Hyatt, para tamu mendapat hadiah sepotong kue tart putih di dalam kotak
plastik transparan. Jika kotak dibuka dan tak terjadi perubahan warna, berarti kue bisa
langsung dimakan. namun jika terjadi perubahan warna, tunggu dahulu , sibak kue dengan hati-
hati, dan hup! temukan sebentuk cincin berlian yang bisa membuat hati para tamu semakin
berbunga.
Berbeda dengan Gendis, tampang kalem Panji semakin dikenal sesudah ia "go public"
sebagai pacar pemain film Laudya Cynthia Bella (Virgin). "Orangnya memang pendiam,
nggak pecicilan. Perhatian dan enak diajak ngobrol," ujar Bella yang memanggil Panji dengan
sebutan mesra: Miu.
namun seberapa seringkah para cucu ini bertemu Pak Harto? Menurut Gendis, sebelum
menikah, hampir setiap malam Minggu mereka berkumpul dengan Eyang. Apakah soal
politik termasuk yang dibicarakan? "Tidak pernah," Gendis menukas cepat. "Biasanya cuma
nonton TV bareng."
Saiful Mujani
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)/Peneliti Freedom Institute
bagaimana mengintegrasikan kelompok-kelompok masyarakat ke dalam sistem besar
yang disebut negara-bangsa seperti Indonesia? Bagaimana keinginan masyarakat
dikomunikasikan kepada elite pemerintah dan sebaliknya kebijakan dari pemerintah
disampaikan kepada masyarakat dalam negara yang kompleks pada zaman modern ini?
Partai politik, walaupun bukan satu-satunya, yaitu jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan besar itu.
Selain berfungsi mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam politik nasional, partai
politik juga berfungsi mengintegrasikan kelompok masyarakat dari Sabang sampai Merauke.
Dengan kata lain, partai politik, dalam studi Bill Liddle tahun 1960-an, memiliki fungsi untuk
integrasi nasional. Individu-individu, kelompok suku, agama, kelas sosial, dan sentimen
kedaerahan yang begitu besar di negeri kita, dimediasi dan dipertemukan dalam unit-unit
lebih besar dalam partai politik. Partai politik juga mendekatkan jarak politik dari pusat
kekuasaan kepada rakyat.
Fungsi integratif dan artikulatif partai politik inilah yang diabaikan sepanjang sejarah
kekuasaan Soeharto. Kebutuhan rezim Orde Baru Soeharto untuk integrasi nasional dan
untuk memperantarai rakyat dengan elite pemerintahan dipenuhi terutama lewat kekuatan
angkatan bersenjata dan oleh Golongan Karya (Golkar)-kelompok fungsional yang diciptakan
elite tentara sendiri.
Sifat dasar partai yaitu refleksi dari pembelahan sosiologis masyarakat-apakah itu
sebab perbedaan ideologis, kelas sosial, ataupun perbedaan primordial (agama, suku, atau
kedaerahan). sebab itu, sejak awal, oleh para pendirinya, Golkar didefinisikan bukan
sebagai partai politik, namun sebagai kelompok fungsional lintas sosiologis. sebab itu Golkar
tidak berideologi, tidak merepresentasikan kelompok primordial atau kelas sosial tertentu.
Ia berpretensi mewakili semuanya. Kalaupun mau disebut berideologi politik, ideologi yang
dimaksud yaitu Pancasila. Ia diciptakan bagi lintas golongan ataupun lintas kelompok
sosial. Golkar seperti negara; negara dalam negara, atau bentuk lain dari negara.
Akar dari gagasan Golongan Karya, sebagai organisasi non-partai, ini dapat ditarik
jauh ke belakang. Setidaknya sampai pada gagasan Soekarno tahun 1920-an yang
menghendaki adanya kelompok nasional yang mencerminkan lintas golongan dan
kelompok, bukan partai politik yang beragam sebagai cerminan dari keragaman golongan
atau kelompok masyarakat.
sesudah merdeka, elite politik lain seperti Mohammad Hatta menolak gagasan
semacam itu. Yang mengisi pentas politik yaitu partai-partai politik dengan ideologi yang berwarna-warni seperti umumnya ditemukan di negara demokrasi. namun sesudah Soekarno
"mengubur partai-partai politik" lewat pidatonya, bersamaan dengan berakhirnya
Demokrasi Parlementer, tahun 1958, gagasan itu direalisasikan. Rekrutmen terhadap
golongan-golongan ini (buruh, tani, pegawai pemerintah, guru agama, kelompok
profesional, dan TNI) dilakukan lewat apa yang oleh Soekarno disebut Front Nasional.
Golongan-golongan ini mendapat kursi di MPR Demokrasi Terpimpin Soekarno. Lewat
wadah inilah TNI secara formal masuk politik. Keinginan Jenderal Nasution agar tentara juga
berperan dalam politik nasional tertampung di sana. Sebelumnya TNI, dan presiden sendiri,
di luar arena politik sebab sistem parlementer yang dianut dalam demokrasi waktu itu tidak
memberikan tempat politik pada presiden sebagai kepala negara dan TNI sebagai pengawal
keamanan negara. Akibatnya, Soekarno dan tentara sama-sama anti-partai politik.
Pada zaman Demokrasi Terpimpin, tentara juga membentuk organisasi-organisasi di
berbagai sektor untuk menyaingi PKI, yang waktu itu sangat berpengaruh. Yang paling
menonjol di antara organisasi ini yaitu Sarekat Pekerja, yang terdiri dari organisasi pekerja
di perusahaan perkebunan pemerintah. Organisasi bikinan tentara inilah lalu yang
menjadi cikal-bakal Golongan Karya.
Secara historis, Golkar lahir sebagai wujud dari sentimen anti-partai. Berkat kerja
tentara atas instruksi Soeharto, organisasi-organisasi yang bernaung di bawah Golkar ini
bertambah dalam waktu singkat: dari 64 pada 1965 menjadi 252 pada 1967. Sekretariat
bersama Golkar yang mengkoordinasi kekuatan-kekuatan golongan ini sepenuhnya di
bawah kendali tentara.
Sentimen anti-partai politik di kalangan petinggi tentara waktu itu mengemuka
dengan jelas dalam seminar yang diselenggarakan di Seskoad Bandung pada 1966. Dalam
seminar itu diusulkan agar sistem pemilu diubah dari proporsional menjadi distrik. Motif di
balik usul ini: mencegah partai yang ada kembali mendominasi dan agar tokoh-tokoh partai
nasional tidak memiliki pengaruh terhadap perolehan suara. Usul tentang perubahan sistem
pemilu oleh Angkatan Darat ini ditolak DPR namun Soeharto mencari jalan tengah: sistem
proporsional dipertahankan namun tentara dikasih jatah kursi lewat pengangkatan. Di samping
itu juga ada kursi di MPR yang mewakili golongan. Yang terakhir ini juga diangkat oleh
presiden.
Sentimen anti-partai pada masa awal kekuasaan Soeharto terlihat contohnya dari
peraturan Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud pada 1969, yang melarang pegawai
pemerintah berafiliasi dengan partai politik namun boleh menjadi anggota Golkar, sebab
Golkar bukan partai politik. Ini lalu menjadi tradisi sepanjang sejarah politik Indonesia
di bawah Soeharto.
Pemilihan umum pertama terselenggara pada 1971. Sebanyak 10 partai politik ikut
dan . Masjumi dan Partai Sosialis yang dibubarkan Soekarno tidak direhabilitasi. namun
Soeharto mempersilakan membentuk partai baru sebagai wadah bagi keluarga besar
Masjumi: Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan catatan pemimpin Masjumi,
Muhammad Natsir, tidak boleh kembali terjun di gelanggang politik.
Hasil pemilihan umum pertama Orde Baru 1971 menunjukkan kemenangan mutlak
kekuatan golongan anti-partai politik, yang diorganisasi di dalam Golkar, dengan perolehan
suara 65 persen. Untuk sukses besar ini, serangkaian rekayasa politik dilakukan. Di
antaranya dengan kebijakan agar partai politik tidak memiliki hubungan langsung dengan
konstituen mereka. Pengurus partai dan kantornya hanya sampai tingkat kabupaten. Tidak
boleh sampai kecamatan apalagi desa-desa. Sedangkan Golkar, sebagai kekuatan bukan
partai politik, dapat memobilisasi massa langsung lewat birokrasi pemerintah hingga tingkat
desa, dan bahkan RW/RT.
Hasil akhir dari politik pemilu ini yaitu tergerusnya kekuatan partai politik.
Penggerusan terhadap partai ini tidak berhenti sampai di situ. Menjelang Pemilihan Umum
1977, Soeharto melakukan penyederhanaan sistem kepartaian, dari sistem dengan sepuluh
menjadi hanya tiga partai. Penyederhanaan dilakukan bukan secara lazim, contohnya dengan
diserahkan pada hasil pemilu dan peningkatan electoral threshold, namun dengan cara
sewenang-wenang.
Partai yang berlatar belakang Islam seperti Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti
disatukan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berlatar belakang nasionalis
seperti PNI, dan non-Islam seperti Partai Kristen Indonesia (Parkindo), disatukan menjadi
Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua kelompok partai ini bersaing menghadapi kekuatan
"negara", yakni Golkar. Mereka selalu kalah selama enam kali pemilu Orde Baru.
Soeharto lalu membuat keputusan baru bahwa semua organisasi politik, seperti
partai politik, harus berasas sama, yakni Pancasila. Jika sebelumnya masih sedikit ada aroma
partai di partai politik itu, dengan keputusan politik baru itu partai-partai itu
menjadi kurang lebih sama dengan Golkar sebagai kekuatan bukan partai politik, melainkan
bentuk lain dari negara.
Deparpolisasi oleh rezim Soeharto ini berlanjut dengan mengontrol partai-partai
yang sudah tidak berbentuk itu dengan mendukung figur-figur yang bisa dipercaya oleh
pemerintah. Biasanya figur yang kurang memiliki akar kuat di masyarakat, atau yang
cenderung independen dari pengaruh pemerintah.
Di PPP, contohnya , pemerintah lebih cenderung pada orang Muslimin Indonesia
sebab dukungan massa terhadap tokoh-tokoh ini umumnya sudah mulai pudar berkat
sukses pemerintah mencegah rehabilitasi Masjumi dan tokoh-tokohnya. Juga berkat sukses
Golkar menggerogoti massa konstituennya.
Kalaupun tokoh dari unsur NU yang didukung, biasanya bukan dari NU Jawa Timur
yang memiliki hubungan sangat kuat dengan massa yang lebih besar. Akibatnya, PB NU yang
didominasi para kiai Jawa Timur, termasuk Gus Dur, menyatakan tidak lagi mendukung PPP.
Bagi Soeharto ini yaitu bentuk pembangkangan, dan kita tahu Gus Dur yaitu tokoh NU
yang dikucilkan Soeharto. Demikian juga untuk kepemimpinan PDI: Megawati tidak
didukung sebab memiliki hubungan langsung dengan Soekarno.
Secara umum retorika yang membenarkan deparpolisasi politik Indonesia pada
zaman Soeharto itu yaitu untuk menciptakan politik nasional lebih stabil dan
terbebas dari konflik dan kekerasan. Meski bertujuan luhur, deparpolisasi ternyata bukan
cara untuk mencapai tujuan itu. Stabilitas politik tidak bisa diciptakan dengan
depluralisasi politik.
Buktinya sangat nyata. Rezim Soeharto yang dibangun di atas sentimen dan program
politik anti-partai ternyata berujung rusuh bahkan tumbang secara tidak hormat. Begitu
Soeharto tumbang, ratusan partai politik muncul. Golkar yang begitu perkasa menciut
menjadi partai yang kurang lebih seimbang dengan partai-partai lain. Setidaknya ia tidak
bisa memerintah sendiri. Munculnya tiga pemilu yang bebas plus ratusan partai pasca-
deparpolisasi Soeharto ternyata tidak menciptakan instabilitas politik dan konflik sosial. Ini
menunjukkan bahwa retorika deparpolisasi Orde Baru Soeharto palsu.
Kepalsuan yang tak boleh terulang. Itu juga pelajaran bagi siapa pun yang kurang
peduli terhadap partai. Tak terbayangkan sebuah negara yang besar dan kompleks, apalagi
kalau harus demokratis, tanpa kehadiran partai politik yang kuat.
jabatan mereka memang bukan jabatan tinggi, glamor, megah, seperti seorang panglima
atau menteri. Mereka yaitu orang yang berada begitu dekat dengan Soeharto selama
menjabat presiden; yang bisa meraba suasana hatinya hingga memahami geraman
suaranya atau senyum bahagianya. Ada ajudan, ada wartawan Istana, ada teman
memancing, dan ada fotografer. Dari mereka, kita lalu mengenal Soeharto sebagai
manusia.
Soerjadi
Ajudan Presiden 1981-1986
Pengalaman pertama Letnan Kolonel Soerjadi bertemu dengan Soeharto sungguh
mendebarkan. Sebelum ia berada satu mobil dengan Presiden, dia sudah mendapat tips dari
para pendahulunya: Soeharto hanya mau mendapat laporan yang baik-baik saja.
Hari itu Soerjadi ingin membuktikan. Duduk di sebelah pengemudi, tepat di depan
Soeharto, dia membuka pembicaraan di sela-sela alunan klenengan (musik Jawa) dari tape
mobil.
"Mohon maaf, Pak," kata Soerjadi.
"Hmm," Soeharto menanggapi dengan suara berat.
"Mohon izin, mungkin suatu saat nanti saya memberi laporan yang kurang berkenan
bagi Bapak," katanya.
Soerjadi menunggu jawaban dengan hati berdebar. Di belakang, Soeharto mengisap
cerutunya dalam-dalam. Tiba-tiba...whuz...! Soeharto menyemburkan asap cerutunya
menghantam tengkuk Soerjadi. Soerjadi kaget dan langsung merinding. "Itu pertama kali
saya mencium bau asap cerutu, dan saya langsung terdiam sepanjang perjalanan," katanya.
Masih di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah Presiden di Jalan Cendana, Jakarta,
Soeharto memecah kebisuan. "Soer, di sini tempatnya belajar," kata Soeharto.
Peristiwa 27 tahun lalu itu tak terlupakan bagi Soerjadi selama lima tahun menjadi
ajudan presiden sejak 1981. Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 61 tahun lalu ini hanyalah
satu dari belasan perwira yang pernah mendampingi Presiden. namun selama Soerjadi
menjadi ajudan-lalu ia juga dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis
Seluruh Indonesia (1993-1997)-Soeharto mengalami beberapa peristiwa penting. Di
antaranya peristiwa berdarah Tanjung Priok dan pembajakan pesawat Garuda.
Soerjadi masih ingat persis suasana Cendana saat peristiwa pembajakan pesawat DC-
9 Woyla milik Garuda di Bandara Don Muang, Thailand, Maret 1981. Dia menjadi
penghubung antara Soeharto dan pasukan di lapangan yang dipimpin Kepala Badan
Koordinasi Intelijen (Bakin) Jenderal Yoga Sugomo dan Asisten Intelijen Hankam Letjen
Benny Moerdani.
Menjelang sore hari, pasukan elite antiteroris sudah siap menyerbu pesawat. Yoga
menghubungi Cendana. "Kita mau nyerang, mohon petunjuk Bapak (Soeharto), jam berapa
baiknya?" pesan Yoga ke Soerjadi agar ditanyakan kepada Soeharto. Soerjadi menemui
Soeharto, yang sedang membaca koran di ruang kerjanya. "Wis, Benny wis ngerti," kata
Soeharto sesudah mendengar laporan Soerjadi. Soerjadi lalu melaporkan kepada Yoga.
"Lapor, Pak," kata Soerjadi.
"Apa dhawuhe?" tanya Yoga.
"Bapak tidak bicara apa-apa. Kata bapak, Benny wis ngerti," kata Soerjadi.
"Opo maksude?" Yoga bertanya lagi.
"Saya juga nggak tahu, Pak," jawab Soerjadi.
Sekitar pukul tiga dini hari, operasi pembebasan berhasil menewaskan lima
pembajak dan membebaskan seluruh penumpang dengan selamat. Hanya Kapten Pilot
Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang dari pasukan antiteroris yang tewas
ditembus peluru pembajak.
Jenderal Yoga melaporkan ke Presiden melalui Soerjadi. Membawa berita baik,
Soerjadi memberanikan diri mengetuk kamar tidur Presiden. Dari dalam kamar, terdengar
Ibu Negara bertanya dengan suara lantang. "Ono opo bengi-bengi bapake kok ditangek-ke
(ada apa malam-malam membangunkan bapak)?" tanya Ibu Tien Soeharto sambil membuka
pintu. "Mau melapor, Bu," jawab Soerjadi. Dari dalam kamar, Soeharto menyusul. "Sudah
selesai, Pak," Soerjadi melanjutkan. Soeharto menjawab singkat, "Yo wis." Dan pintu
kembali ditutup.
Selain urusan kenegaraan, ada tugas plus yang harus dikerjakan Soerjadi. Setiap
Jumat dan Sabtu malam, Soeharto selalu memanggilnya dan bertanya, "Soer, Mas Tommy
neng endi?" Dan Soerjadi harus bisa menjawab saat itu juga, di mana Hutomo Mandala
Putra (Tommy), putra bungsu Soeharto, menghabiskan malam. Melalui para telik sandi,
Soerjadi memang terus memantau pergerakan putra kesayangan Soeharto ini. Bagaimana
dengan anak Soeharto yang lain? "Bapak hampir tidak pernah bertanya," kata Soerjadi.
Husni Wirajaya
Teman Memancing
"Entuk maneh..., entuk maneh... (Dapat lagi.., dapat lagi...)." Soeharto mendendangkan kalimat pendek itu berulang-ulang sambil tangannya mengangkat kenur
yang berat digondol ikan. Nada dendangnya seirama suara klenengan (gamelan Jawa) dari
radio tape kecil di sampingnya. Senyuman tak lepas dari wajah Presiden Soeharto.
Hanya dalam tempo dua jam, delapan orang yang berada di perahu sebesar minibus
itu mengail 224 ikan. Hampir separuhnya hasil pancingan Soeharto.
Dari jarak sekitar 10 meter di atas kapal pengawal sebesar truk peti kemas, Husni
Wirajaya tersenyum lega. "Saat itu saya ikut gembira sekali," kata Husni yang masih ingat
persis peristiwa 22 Maret 1984 itu. Husni bukanlah pengawal. Pengusaha perlengkapan
listrik itu menjadi kawan memancing Soeharto sejak 1980.
Kedekatan Husni berawal dari ajakan almarhum Satiri, nelayan yang biasa melayani
Soeharto saat memancing. Husni, yang memang memiliki kegemaran memancing, dikenal
pandai mencari lokasi berkumpulnya ikan. namun selama tiga tahun pertama, Husni hanya
bisa berada di lingkar ketiga pengamanan. sesudah beberapa kali lokasi yang ditunjukkannya
memuaskan Soeharto, baru dia bisa berada satu perahu dengan Soeharto.
Saat paling sibuk terjadi dua hari menjelang jadwal memancing. "Saya harus
melakukan survei beberapa lokasi dan mencobanya untuk memastikan di sana banyak ikan,"
kata pria yang biasa dipanggil Kwik itu. Tidak jarang, meski sudah diyakini lokasinya bagus,
hasil tangkapan kurang memuaskan. Dia menolak sebuah gosip yang mengatakan ada
sepasukan amfibi yang menyelam dan memasang ikan di kail Soeharto. "Yang penting
lokasinya harus bagus," kata Husni.
Jika hasil pancingan memuaskan Soeharto, esok harinya Husni akan mendapat
telepon dari pengawal presiden, "Pak Harto nggak ngemut permen (cemberut)." Suasana
hati itu membuat para pengawal pun bisa merasa tenang bekerja.
Peristiwa yang tak bisa terlupakan terjadi Jumat, 26 Maret 1996. Pagi hari Husni
bersama wakil komandan pasukan pengawal presiden sudah memastikan lokasi memancing
yang strategis di Kepulauan Seribu. Mereka lalu mencoba dengan melempar umpan.
"Kebetulan kami belum sarapan," kata Husni, yang kini berusia 61 tahun. Berdua mereka
mendapat 20 ikan hanya dalam beberapa menit. "Cukup, jangan kita habiskan!" sang
pengawal mencegah.
Siang hari, Soeharto datang bersama rombongan. Meski sudah memancing hampir
empat jam, mereka hanya memperoleh dua ekor ikan. "Saya merasa bersalah, padahal
arusnya memang tiba-tiba menjadi lebih kuat," kata Husni. Jemu tak mendapat ikan,
Soeharto kembali ke kapal utama tanpa banyak bicara dan langsung mandi. Suasana tegang.
Saat ia masih berlumuran sabun, air tawar yang dipakai mandi habis. Soeharto keluar
dan menanyakan hal itu pada pengawal. Benar saja, air ternyata habis. "Mungkin ada yang
membuka keran dan lupa menutupnya," kata Husni. Meski Soeharto tidak menunjukkan
amarah, suasana makin tegang saja. Sesampai di pelabuhan, Soeharto turun kapal dengan
murung. Husni memburunya. "Maaf, Pak, lain waktu saya akan survei lebih baik lagi,"
katanya memohon. "Ndak apa-apa, sudah baik, kok," Soeharto menghibur. Soeharto
memerintahkan rombongan melanjutkan memancing.
Esok harinya semua anggota rombongan dipanggil menghadap ke rumah Soeharto di
Cendana, sambil membawa hasil pancingan mereka. Mereka bertanya-tanya dan agak
gemetar. "Kami sudah siap dengan keadaan yang terburuk," kata Husni. Ternyata Soeharto
bukannya mau memarahi, melainkan dia lupa memberi uang tips kepada rombongan
kemarin. Hari itu mereka mendapat tips. Namun, ikan hasil tangkapan mereka diminta
Soeharto untuk diserahkan kepada Ibu Negara. "Kami semua lega," kata pria kelahiran Pasar
Minggu, Jakarta ini.
Hanya dua hari sesudah hari memancing yang nahas itu atau sehari usai mereka
menghadap ke Cendana, Ibu Negara Tien Soeharto meninggal.
Toeti Kakiailatu
Wartawan Istana
Lima Oktober 1965. Saat itu, Toeti Kakiailatu ingat. Dia masih bekerja sebagai
wartawan Sankei Shimbun, sebuah harian Jepang. Orang berduyun-duyun menuju Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hari itu yaitu hari ulang tahun ABRI yang ke-
20, bertepatan dengan dimakamkannya lima pahlawan revolusi.
Toeti melihat beberapa perwira tinggi hadir, di antaranya Jenderal Nasution, yang
sudah bertongkat. Tak jauh dari Nasution, ada pria berbaju loreng berkacamata hitam. Di
ketiaknya terapit tongkat komando. "Itu Pak Harto dari Kostrad," bisik seorang istri tentara
kepada Toeti. "Gambaran laki-laki itulah yang membayangi pemikiran saya terhadap
Soeharto," kata Toeti.
Tahun berikutnya, Juni 1966, Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden dalam
Sidang Umum IV MPRS. Soeharto berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat 15, Jakarta
Pusat. Akibatnya, wartawan Istana selalu wira-wiri antara Istana Merdeka dan Medan
Merdeka Barat 15. lalu , muncul kebijakan melarang wartawan me-ngunjungi
Soekarno di Istana Merdeka.
Setiap hari, Soeharto ke kantor mengendarai jip. Dia tetap berbaju loreng dan
berkacamata hitam. Suatu hari pada April 1967, dia mengajak wartawan piknik ke
Kepulauan Seribu. Di sinilah dia pertama kali menanggalkan seragam tempurnya itu,
berganti setelan safari dan peci.
Di tempat piknik, para wartawan bersantap siang bersama Soeharto. Menu
utamanya: ikan bakar dan sambal yang diulek oleh Tien Soeharto. Kendati berakrab-akrab,
Soeharto menolak diwawancarai, apalagi menyangkut masalah politik.
Secara resmi, Soeharto menggantikan Soekarno pada Maret 1968. "Kami masih
bebas berkunjung ke Jalan Cendana (kediaman Soeharto)," kata Tuti. Istrinya, Tien Soeharto,
juga sangat perhatian kepada wartawan. Jika ada wartawan yang tak dilihatnya muncul ke
Cendana, Tien Soeharto pasti akan bertanya.
saat Toeti, yang tak bertugas selama beberapa pekan, muncul, Tien Soeharto
langsung menghampirinya. "Mengapa sudah lama tak tampak?" dia bertanya. "Saya
melahirkan, Bu," jawab Tuti. Sembari tersenyum, Tien berkata: "Tunggu ya, Toeti." Dia
mengambil kain batik dan beberapa baju bayi sebagai hadiah.
Setiap Idul Fitri, banyak wartawan yang berkunjung ke rumah Soeharto, termasuk
Toeti. "Anak saya yang bungsu bebas ke sana kemari, tanpa ada yang melarang," katanya.
Toeti rikuh, mencoba melarang. "Biarkan saja," kata Tien.
saat pamitan pulang, Tien memanggil anak Toeti. Dia dihadiahi apel dan buah
anggur. "Ayo, bilang apa?" kata Ibu Tien. "Terima kasih, Tante," jawabnya. "Eh, jangan bilang
tante. Ini eyang," Tien menyergah. "Terima kasih, Eyang." Soeharto tertawa melihat adegan
ini.
Kendati begitu akrab, menurut Toeti, para wartawan tak pernah bisa bertanya
langsung kepada Presiden. Segala kebijakan pemerintah selalu diterangkan Menteri
Penerangan B.M. Diah. "Pernah suatu hari Pak Harto membuka wawancara langsung
dengan wartawan Istana, yang saya lupa tanggalnya," kata Toeti.
namun apa yang terjadi? Semua pertanyaan wartawan dikumpulkan jadi satu dan
dijawabnya sekaligus. sesudah itu tak ada lagi pertanyaan tahap kedua, dan wawancara
selesai.
Sedangkan dengan Ibu Negara, Toeti bisa mewawancarainya secara khusus suatu kali
untuk Radio Australia. Dalam wawancara, Tien berkata: "Saya hanya bersekolah Ongko Loro.
sebab orang tua saya kurang mampu, saya harus memberi kesempatan bersekolah kepada
adik saya laki-laki. lalu saya les mengetik dan membatik. saat zaman revolusi, saya
dilamar bapak," demikian tutur Tien Soeharto. Mereka menikah tahun 1947. Tien waktu itu
usianya 25 tahun dan Soeharto, yang masih berpangkat letnan kolonel, 26 tahun.
Wawancara kedua untuk majalah Tempo, April 1971. "Semula, saya hanya diberi
waktu dua jam," kata Toeti. saat wawancara, Toeti mengawali pertanyaannya tentang
masa remaja. Saat itu Tien berkata lulus SMA. "Kendati berbeda dengan isi wawancara
pertama, saya tak menyangkal," kata Toeti.
Tien Soeharto menjawab pertanyaan Toeti sambil duduk bersila di atas sofa. Kakinya
terlihat berbalut stocking. Sembari wawancara, Tien melirik tape recorder. Toeti mencoba
menghidupkan alat perekam itu, namun gagal. Hingga Tien bertanya: "Tahu enggak, sih,
kamu dengan tape itu?" Toeti terdiam sebentar. "Maaf Bu, saya kurang paham," jawabnya.
"Ya sudah, ndak usah pakai rekaman. Saya juga ndak tahu tentang alat itu. Ngobrol sajalah,
enakan."
Wawancara yang semula dimulai pukul 10.00, belum berakhir sampai pukul 14.00.
"Kami masih ngobrol terus saat Pak Harto pulang dari Bina Graha. Pak Harto hanya
memberi salam, tertawa, terus naik ke ruang atas," kata Toeti.
Wawancara ketiga, saat Toeti menjadi wartawan majalah Femina. Tak banyak
pertanyaan diajukannya. saat itu Tien menganjurkan bagaimana seharusnya perilaku
seorang istri dan bagaimana membantu karier suami. "Jangan lupa, minumlah jamu," pesan
Tien.
Saidi
Fotografer Istana
"Saya Ini Diajak Ikut, itu kepanjangan nama saya, Saidi," kata Saidi, bergurau. Pria
yang kini berusia 65 tahun ini menjadi juru foto di Sekretariat Negara sejak Soeharto
menjadi pejabat presiden. Perkenalannya dengan Soeharto dimulai sejak sang Jenderal
memimpin Operasi Mandala membebaskan Irian Barat, 1963.
Saidi mengabadikan pertempuran itu sebab tugasnya sebagai staf penerangan di
Angkatan Darat. saat Soeharto menggantikan presiden pertama Soekarno, dia dipanggil
menjadi juru foto Istana. "sesudah itu, ke mana saja Pak Harto ke luar negeri, saya diajak,"
kata bapak empat anak dan kakek sembilan cucu ini.
Selama 32 tahun menjadi juru foto di Istana, dia sudah merekam puluhan ribu bahkan
mungkin seratusan ribu gambar.
Ia mengaku jarang sekali berbicara dengan Presiden. "Saya ini hanya pion, tak
banyak bicara dengan bapak," katanya. Selain mengabadikan berbagai acara kenegaraan,
Saidi juga selalu diminta menjadi juru foto acara keluarga. Kameranya tak pernah
ketinggalan zaman. Sebab, jika bukan kantor yang memperbarui perlengkapannya, anak-
anak Soeharto sering kali membelikannya kamera jenis terbaru.
Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, ini mengaku Soeharto tidak pernah
membatasi mana peristiwa yang boleh difoto dan mana yang haram. Dia sendiri yang harus
tahu batasannya. "Kalau bapak menerima tamu pribadi, saya tahu tidak akan saya foto,"
katanya. Meski dia menolak siapa yang dimaksud sebagai tamu pribadi itu.
Sebuah peristiwa yang membuatnya tidak enak hati yaitu saat mengiringi
Soeharto bertemu Klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) di
Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto berniat meneruskan perjalanan ke Pacitan, Jawa Timur,
memakai helikopter. Heli kecil itu hanya muat empat orang, Soeharto bersama tiga jenderal TNI.
Sebelum heli berangkat, tiba-tiba Soeharto bertanya. "Saidi mana?" Pilot menjawab,
"Helinya tidak cukup, Pak." Soeharto lalu memerintahkan salah seorang mayor
jenderal turun untuk mencari Saidi. Saat Saidi menghadap, Soeharto memerintahkannya
naik. Terpaksa sang mayor jenderal yang memanggil Saidi batal ikut.
namun masa yang paling dikenang Saidi yaitu saat Soeharto lengser. Dialah satu-
satunya fotografer yang mengabadikan Soeharto turun tangga Istana diiringi putri
sulungnya, Siti Hardijanti Indra Rukmana. Saidi bahkan mengiringi Soeharto hingga pulang
ke rumahnya di Jalan Cendana.
Saat itu suasananya murung sekali. Anak-anak dan menantunya sudah menunggu di
rumah. Soeharto tak banyak bicara. Keriangan cucu-cucunya pun tak mampu menghibur.
Pesan terakhir yang diingat Saidi menjelang pulang dari Cendana: "Wis, Di, kamu ikut
Habibie." Itulah saat terakhir pengabdiannya.
M. Sadli
Ekonom, kolom ini ditulis dua tahun sebelum M. Sadli wafat.
selama 30 tahun, Soeharto berhasil membangun ekonomi Indonesia dari keadaan yang
morat-marit pada 1965/6 menjadi salah satu Macan Asia yang pertumbuhannya
menakjubkan. namun Indonesia tetap negara yang paling miskin di antara negara-
negara itu sebab dasar permulaannya juga yang paling rendah. Pada 1996/7 pendapatan
per kapita Indonesia menurut Bank Dunia sudah sedikit melebihi US$ 1.000 setahun, namun
Malaysia sudah tiga kali lebih tinggi dan Thailand 1,6 kali lebih tinggi. Ekspor Indonesia yang
juga tumbuh cepat dan mencapai sekitar US$ 55 miliar setahun, namun masih lebih rendah
daripada Malaysia (sekitar US$ 75 miliar) dan Thailand (sekitar US$ 60 miliar tanpa minyak
bumi) walaupun kedua negara itu penduduknya (jauh) lebih kecil.
Yang membuat Indonesia ketinggalan yaitu , selain angka awal (starting base)-nya
rendah, kualitas sumber daya manusia dan pendidikan jauh terbelakang oleh sebab sejak
kemerdekaan tidak banyak dikucurkan dana dan daya kepada sektor yang sangat strategis
ini. sebab SDM Indonesia kekurangan dasar, maka industrialisasi di Indonesia juga tidak
bisa bersifat "mandiri" (kurang tergantung dari impor) seperti di Taiwan dan Korea Selatan.
Kedua negara itu mewarisi kultur yang lebih pro-pendidikan (dasar) dari penjajah Jepangnya
sebelum Perang Dunia Kedua.
Selama sekitar 30 tahun itu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,7 persen
setahun. Ini berarti bahwa selama 30 tahun itu PDB tumbuh 8?10 kali dan PDB per kapita
sekitar 4 kali, dari US$ 250 menjadi US$ 1.000 per tahun. sebab golongan mayoritas yang
bawah tidak menikmati kenaikan pendapatan empat kali itu, maka golongan "kelas
menengah" di kota-kota, baik di Jakarta maupun di daerah, mengalami kemajuan
pendapatan yang jauh lebih besar. Lepas dari adil atau tidaknya, kemakmuran dan
purchasing power (daya beli) inilah yang pada dirinya menjadi sumber pertumbuhan lebih
lanjut.
Krisis tahun 1997/8 mengguncang sendi-sendi itu dan sampai sekarang tingkat
kehidupan tahun 1996/7 untuk sebagian besar masyarakat belum bisa diraih kembali. Kalau
para ekonom yang "populis" seperti Dr. Mubyarto mengatakan bahwa krisis ekonomi tidak
pernah memukul daerah di luar Jawa dan di luar kota, maka itu sebagian saja benar. Sejak
1997, penduduk tetap tumbuh dan penduduk muda yang keluar sekolah bertambah banyak
pula. namun , dengan krisis dan pertumbuhan ekonomi rendah, kesempatan kerja menjadi
sangat terbatas. Maka, masalah sosial yang sekarang pun mengganggu kehidupan sosial di
daerah-daerah yang lebih rural yaitu kegelisahan di antara penduduk yang muda yang
kurang memiliki harapan akan mendapat pekerjaan dan pendapatan yang sesuai dengan
aspirasi mereka. Masalah inilah yang dialami oleh berbagai proyek pertambangan,
perkebunan, dan lain-lain agribisnis, terutama proyek besar yang PMA, seperti di bidang
migas (contoh Caltex di Riau) dan pertambangan (contoh-contoh: Freeport, Newmont
Mining, Kaltim Prima, PT KEM, PT Inco, dan sebagainya) yang semuanya mengalami
masalah-masalah dengan masyarakat sekitarnya. Perusahaan-perusahaan itu menjadi
tumpuan harapan penduduk setempat untuk mendapat pekerjaan dan status sosial (sebagai
karyawan). Mereka benci tenaga kerja pendatang yang lebih mahir dan sering menang
dalam rekrutmen. Orang-orang asing yang memimpin perusahaan-perusahaan
pertambangan itu di daerah (yang agak terpencil itu) yang mencemaskan kemungkinan
meletusnya pergolakan sosial sebab pemerintah, baik pusat maupun daerah, sekarang
tidak mampu, mungkin tidak berani, menegakkan law and order, ketertiban sosial, dan
perlindungan keamanan kepada perusahaan besar.
Keberuntungan Soeharto pada 1966 yaitu bahwa ia bisa menggaet kelompok
"teknokrat", kebanyakan dosen ekonomi di Universitas Indonesia, sebagai pembantu dan
yang berangsur-angsur menjadi menterinya. Di bidang hukum dan politik juga tersedia
dosen-dosen dari Gadjah Mada dan Padjadjaran, yang semuanya mengejar di Seskoad
(sekolah jenderal di Bandung) sejak 1957. Kolonel (almarhum) Suwarto yang menjadi Wakil
Kepala Seskoad memainkan peran penting meletakkan dasar strategic alliance antara TNI
dan kaum teknokrat ini, sedangkan Pak Harto menjadi siswa/pedan pada 1958. Maka, para
jenderal itu cukup mengenal para dosen dari UI, Gadjah Mada dan Padjadjaran itu. Yang
mendukung keberhasilan di bidang ekonomi yaitu para dosen dari FE UI, dengan Prof.
Widjojo Nitisastro sebagai primus interparis-nya, ketua tim yang berhasil memimpin
kelompoknya lebih dari 30 tahun tanpa adanya keretakan atau persaingan yang keras. Dasar
dari kerja sama yang erat sekali ini diletakkan di University of California, Berkeley, saat
kelompok Widjojo ini bersama-sama mengikuti program S3 dari 1957 sampai 1962. Mereka
ini memakai malam minggu untuk berkumpul dan membicarakan "masalah-masalah
ekonomi dan pembangunan" tanah airnya.
Kaidah-kaidah ekonomi dan politik yang berlaku di zaman Soekarno, 1957?1966,
dijungkirbalikkan oleh Soeharto sebab dianggap gagal menyusun landasan untuk
meningkatkan kemakmuran bangsa. Kaidah pertama zaman Soekarno itu yaitu ekonomi
terpimpin, bahwa kekuatan pasar tidak diizinkan melakukan fungsinya. Maka, di zaman
Orde Baru, pasar dan harga diberi kesempatan jauh lebih banyak untuk melakukan fungsi
alokasinya.
Kedua, pemerintah Orde Lama tidak ramah terhadap dunia Barat dan lebih berpihak
kepada poros antiimperialis. Bantuan ekonomi lebih banyak datang dari Uni Soviet, namun
proyek-proyeknya kurang mampu meningkatkan produksi dan kemakmuran, juga oleh
sebab banyak proyek tidak bisa diselesaikan. Contohnya yaitu pabrik baja Krakatau.
Stadion besar Senayan banyak manfaatnya, akan namun bukan proyek ekonomi.
Orde Baru mengubah orientasi politik luar negeri menjadi "bebas aktif" untuk
menerima bantuan dari Barat dan tidak menolak bantuan dari blok Timur asal diberikan
dengan syarat-syarat yang sama. Kesamaan syarat ini juga diberlakukan pada rescheduling
utang, yang dirundingkan lebih dahulu dengan blok Barat lewat Paris Club.
Ekonomi Orde Baru tidak identik dengan ekonomi liberal ataupun kapitalistis yang
murni. Walaupun Prof. Widjojo dkk menjadi perumus utama banyak kebijakan ekonomi
tahap pertama Orde Baru itu (1966?1973), Orde Baru lebih merupakan rezim TNI dengan
Jenderal Soeharto sebagai panglimanya. Kaum militer tidak terkenal sebagai "demokratis",
"liberal", terbuka, dan sebagainya. Nalurinya lebih banyak otoritarian, sentralistis,
intervensionis, top-down atau mengikuti sistem komando.
Bahwa Soeharto dan para jenderal bisa mengikuti, bahkan mendukung, resep-resep
kebijakan ekonomi yang disarankan oleh kelompok Widjojo, ini memang tidak alamiah, dan
harus bisa dijelaskan. Mungkin sebab di tahun-tahun pertama (1966?1968) mereka tidak
melihat alternatif yang lebih baik. Banyak perwira sudah mendapat didikan di Amerika
Serikat dan menjadi kagum atas keberhasilan sistem ekonomi di situ. Lagi pula, Widjojo cs
juga tidak merupakan ancaman ataupun persaingan bagi mereka. Widjojo dan timnya lebih
memusatkan perhatian kepada penataan makroekonomi, bukan mikroekonomi. Bagi-bagi
rezeki, contohnya HPH kehutanan, penunjukan kontraktor, dan sebagainya ada di bidang
mikroekonomi yang tidak dijamah oleh Widjojo cs. Widjojo dan kawan-kawannya puas
menguasai Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas, Perdagangan dan
Penanaman Modal, yang menjadi benteng-benteng para ekonom teknokrat. Departemen
Industri, Kehutanan, Pekerjaan Umum, Bulog, Pertamina, bukan daerah jajahannya. Lagi
pula, budaya KKN belum terlalu menjamur pada 1966?1973. Putra-putri Soeharto masih
kecil, konglomerat kroni belum besar juga.
Salah suatu kebijakan utama pemerintah yang baru yaitu promosi penanaman
modal asing dan dalam negeri. Motifnya lebih banyak kebutuhan daripada ideologi.
Ekonomi yang berantakan memerlukan modal banyak untuk membangun. Sebagian
diusahakan dari bantuan internasional. Maka, IGGI digalang dan arus tahunan yang
diperoleh semakin besar, dari beberapa ratus juta dolar pada 1967 sampai beberapa miliar
setahun akhir-akhirnya. Sebagian besar dana ini dipakai untuk anggaran belanja
pembangunan, untuk membangun infrastruktur fisik dan sosial, termasuk di bidang
pertanian, pendidikan dan kesehatan, pembangunan jalan, listrik, dan sebagainya.
Maka, untuk sektor industri dan jasa-jasa diharapkan masuknya PMA dan PMDN,
dan dua undang-undang diterbitkan untuk memberikan insentif dan jaminan. Kebijakan ini
berhasil sekali. Modal Amerika dan Barat masuk di bidang migas dan pertambangan umum,
dan modal Jepang masuk antara lain ke bidang industri. PMDN ramai masuk di industri,
kehutanan, real estate.
Tahap 1966?1973 yaitu tahap ekonomi bebas, artinya belum banyak
pembatasannya. Rizal Mallarangeng di bukunya, Mendobrak Sentralisme Ekonomi,
menyebut tahap ini tahap liberalisasi yang pertama. Ekonomi rata-rata tumbuh di atas 7
persen setahun sebab sifatnya rehabilitasi dan sektor pertanian masih bisa tumbuh banyak
sebab tersedianya teknologi baru produksi padi.
namun , pada 1973?1974 timbul reaksi (Malari) dalam bentuk demonstrasi mahasiswa
besar-besaran. Dampak kesenjangan dari ekonomi pasar, yang pada dirinya berhasil
meningkatkan laju pertumbuhan, menampakkan dirinya. Amarah mahasiswa ditujukan
kepada PMA Jepang, dicetuskan oleh kunjungan Perdana Menteri Jepang. namun , gejala
protes mahasiswa ini juga terjadi di Bangkok sehingga merupakan gejala regional. Maka,
dilema ekonomi pembangunan yang klasik muncul: laju pertumbuhan yang pesat lewat
pasar yang bebas juga menimbulkan kesenjangan. Sebagian masyarakat mulai menolak
kapitalisme, pasar bebas, PMA, menguatnya ekonomi nonpribumi.
Maka, sejak 1974 meningkatlah proteksionisme, dirigisme, penjatahan,
pemberdayaan usaha pribumi. Rizal Mallarangeng melihat periode 1973?1983 sebagai
sentralisme yang kembali. Kelompok Widjojo masih berkuasa dan mencari akomodasi
kepada kecenderungan politik ini sambil berusaha agar ekonomi masih berjalan cukup
efisien dan terbuka. Antara lain mereka berhasil menangani krisis Pertamina dengan restu
Soeharto.
Kebetulan periode ini dikurniai rezeki minyak bumi, sehingga jumlah dana yang
tersedia bagi pemerintah lebih dari cukup. Industrialisasi masih bisa berjalan berdasarkan
pasar dalam negeri, yang daya belinya disirami oleh rezeki minyak. Biasanya tahap import
substitution industrialization hanya berlangsung 10 tahun. Di Indonesia bisa berlangsung
sampai 1983, sebab ada semacam tahap kedua, dimungkinkan oleh rezeki minyak. Baru
pada 1983 produksi tekstil dalam negeri mulai menumpuk sebab tidak mampu dijual di luar
negeri. Baru sesudah devaluasi ekspor naik sangat besar.
Sementara itu, harga minyak bumi jatuh di permulaan dasawarsa delapan puluhan.
Masa pancaroba keuangan ini melahirkan kesempatan, dan keharusan, untuk banting setir
dalam kebijakan ekonomi umum. Maka, sejak 1983 ada kesempatan menjalankan
deregulasi di berbagai bidang. Widjojo (yang bukan lagi Menko Perekonomian di tahun itu
namun masih berkantor di Bappenas dan tetap "Pak Lurah" bagi kelompoknya), Ali
Wardhana, Saleh Afiff, Radius, Sumarlin mencanangkan deregulasi (tahap pertama) di
bidang perbankan, perdagangan luar negeri (SGS dari Swiss menggantikan peran Bea-Cukai),
memangkas perizinan di bidang industri dan investasi. Deregulasi ini dijalankan secara
bergelombang, artinya tidak dalam satu kali pukul, dan tuntas sekitar 1989. Sebetulnya,
deregulasi masih berjalan terus, namun tambah lama tambah sukar untuk mendapat
dukungan Presiden Soeharto. Di masa boom, kesediaan Pak Harto meneruskan deregulasi
berkurang sebab memerlukan pengorbanan.
Laju pertumbuhan PDB pada dasawarsa delapan puluhan secara rata-rata hanya
mencapai 6,1 persen setahun. Ini disebabkan sektor pertanian dan pertambangan mulai
jenuh tumbuh (sesudah swasembada beras dicapai pada 1983?1984), namun laju
pertumbuhan di sektor industri manufaktur mencapai rekor 12 persen setahun, tertinggi di
Asia Tenggara. Berkat berbagai deregulasi, maka laju pertumbuhan PDB 1990?1996
mencapai 7,7 persen setahun.
Dua kali terjadi bahwa paket kebijakan yang cocok untuk zamannya dan
menghasilkan laju pertumbuhan tinggi pada dirinya menyimpan benih kegagalannya. Pasar
bebas 1966?1973 sangat berhasil menumbuhkan ekonomi, namun tidak berhasil
memperkecil jurang kesenjangan yang bisa dilihat di Jakarta. Deregulasi 1986?1996
melahirkan boom ekonomi, namun berakhir dengan krisis dahsyat sebab tidak ditambah
landasan institusional dan lembaga dan sistem pengawasan yang kukuh. Maka, di era
Reformasi, institution building dan rebuilding menjadi penting. Pedoman-pedoman yang
baru yaitu transparency, accountability & good governance.
ABAR dari kawasan Bintaro itu cepat mencapai Jalan Yusuf Adiwinata, Menteng,
Jakarta Pusat. Pemilik rumah langsung menggelar rapat keluarga. Ia mengumpulkan
keempat adiknya, kecuali Hutomo Mandala Putra.
Justru Hutomo, alias Tommy, yang jadi pusat keprihatinan. Adik laki-laki bungsu itu
diberitakan tertangkap di Bintaro pada 28 November 2001. Elza Syarief, pengacara Tommy
yang ikut dalam rapat keluarga itu, mencatat peran Siti Hardijanti Rukmana-biasa disebut
Tutut-si pemilik rumah.
sesudah menyimak semua saran, putri sulung Soeharto itu memutuskan agar tim
pengacara Tommy diperkuat. "Tim pengacara Pak Harto jadi ikut membantu kami," kata Elza
kepada Ami Afriatni dari Tempo.
Tommy, yang didakwa membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan
memiliki senjata, lalu diadili. "Sampai berbulan-bulan Mbak Tutut sulit tidur ngurusin masalah
Mas Tommy," kata Elza. Tommy jadi buronan selama setahun dan 22 hari.
Tutut ibarat ganjal bagi keluarga Soeharto. Ia mengurusi mulai dari tuntutan
pengadilan sampai soal kesehatan ayahnya. Ringkas kata, perempuan yang menikah dengan
Indra Rukmana pada 29 Januari 1972 itu selalu tampil di depan membela trah Soeharto.
Orang tuanya memang sudah lama memberikan kepercayaan kepada emak tiga anak
ini. saat ayahnya masih presiden, Tutut mengakui kurangnya waktu Pak Harto dan Ibu Tien
memperhatikan anak-anaknya. "sebab itu, sejak di SMA saya sudah menjadi ibu sekaligus
bapak untuk adik-adik saya," kata Tutut, yang tidak menamatkan kuliah di Fakultas Teknik
Universitas Trisakti, Jakarta, kepada Kompas.
Soeharto selalu mendorong Tutut bergiat di lapangan sosial dan politik. Dalam
Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, orang kuat Orde Baru itu memuji aktivitas
sosial Tutut. "Itu ajaran yang kami berikan kepadanya, agar tidak hidup sendirian, namun
bermasyarakat."
Tutut lahir pada 23 Januari 1949 di Yogyakarta, saat Soeharto sedang menyiapkan
Serangan Umum 1 Maret. Kelahiran Tutut, kata Soeharto dalam otobiografinya, "Ternyata
menambah semangat saya untuk berjuang."
Pada awal 1990-an, Tutut mendirikan Yayasan Tiara Indah, yang menggelar Kirab
Remaja Nasional. Ia juga menjadi orang nomor satu di Himpunan Pekerja Sosial Indonesia,
Perhimpunan Donor Darah Indonesia, Organisasi Federasi Perhimpunan Donor Darah
Internasional, dan Palang Merah Indonesia.
Di dunia bisnis, nama Tutut berkilau pada 1990, saat perusahaannya, PT Citra
Marga Nusaphala Persada, berhasil membangun jalan tol Cawang-Tanjungpriok. Ini
perusahaan swasta pertama yang membangun dan mengoperasikan jalan tol.
lalu dia melenggang ke bisnis media dengan mendirikan Televisi Pendidikan
Indonesia (TPI) dan beberapa stasiun radio. Dunia politik? Jangan tanya. Dalam Musyawarah
Nasional Golkar 1993, dia terpilih menjadi salah satu ketua dewan pimpinan pusat.
Menjelang Pemilihan Umum 1997, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama saat itu,
Abdurrahman Wahid, menggandeng Tutut ke beberapa pesantren. Kepada para kiai dan
santri, Gus Dur menyebut Tutut tokoh masa depan.
Dalam Sidang Umum MPR 1998, Soeharto terpilih lagi menjadi presiden. Tutut
masuk kabinet sebagai Menteri Sosial. Ikut masuk kabinet beberapa orang dekat Tutut di
Golkar: Jenderal (Purn.) Hartono, Theo Sambuaga, Ary Mardjono, dan Muladi.
namun , apa daya, kabinet itu hanya bertahan dua bulan. Soeharto lengser sebab
gelombang unjuk rasa mahasiswa. Redupkah ambisi politik Tutut? Ternyata tidak.
Menjelang Pemilu 2004, ia mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa, yang dipimpin Hartono
dan Ary Mardjono.
Partai itu, yang menggadang-gadangnya sebagai calon RI-1, memang tak digubris
pemilih. namun Tutut tak kekurangan pekerjaan, terutama merawat ayahnya, yang sejak
lengser sering sakit-sakitan-sampai akhirnya menutup mata.
IGIT Harjojudanto sekarang sudah berubah. Putra kedua Soeharto ini gemar menyepi.
Terkadang berminggu-minggu mengurung diri di salah satu hotel di Bali. Bila pulang
ke rumahnya di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat, pria 57 tahun ini lebih senang di
dalam kamar.
Sebelum Soeharto meninggal, ayah tiga anak itu jarang kumpul bersama kerabatnya
di Jalan Cendana. Ia juga renggang dengan istrinya, Elsje Anneke Ratnawati. contohnya , Sigit
tak terlihat dalam pengajian keluarga. Kalaupun ia keluar rumah, ia hanya berjalan kaki di
dekat kediamannya. Lidahnya juga tak asing dengan makanan murahan kaki lima.
Cerita yang disampaikan oleh orang dekat Sigit ini memang bertolak belakang
dengan kehidupannya pada masa ayahnya berkuasa. Menurut seorang partner bisnisnya,
Sigit gemar berjudi. Hobinya itu, konon, pernah membuat Soeharto jengkel sehingga
melarang Sigit ke luar negeri.
Soal uang tak jadi masalah baginya. laki-laki yang cuma mengecap pendidikan di
sekolah lanjutan atas ini memiliki saham di puluhan perusahaan.
Sigit yaitu tipikal putra Soeharto yang pendiam. Dia cenderung menutup diri dari
hiruk-pikuk media massa. Cuma satu kegiatannya yang membuatnya tak menghindar dari
wartawan, yaitu menyangkut aktivitasnya di bidang olahraga. Di sini dia menorehkan "nama
baik".
Sigit mendirikan klub sepak bola Arseto pada 1978. Sigit memang penggemar bola.
"saat di SMP, saya yaitu penyerang," katanya waktu itu. Peran di klub bola inilah yang
lalu mengantar Sigit menjadi Ketua Harian Liga Sepak Bola Utama pada 1980-an.
Dia pula yang merintis PSSI Garuda. Di tangannya, tim PSSI mencatat prestasi yang
bagus, yaitu menempati posisi kedua perebutan Piala Raja di Thailand, 1983. Pada tahun
yang sama, dia ditabalkan menjadi Pembina Olahraga Terbaik 1983.
Di dunia usaha, ia pernah berbisnis dengan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal
Siregar. Sigit yaitu salah seorang pemegang saham di PT Victor Jaya Raya (VJR) yang
berkantor di Medan, Sumatera Utara. Perusahaan pengembang ini membangun hunian
mewah lengkap dengan lapangan golf di Pancur Batu, Sumatera Utara. Berdiri pada 1991,
VJR mengandalkan kucuran kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU).
Mula-mula kredit mengalir ke VJR Rp 18 miliar, hingga 1996 tercatat utang VJR di
BPDSU mencapai Rp 200 miliar. Perusahaan ini gampang memperoleh kredit sebab
pengaruh Sigit dan Raja Inal. Kendati macet, tak ada yang mempersoalkannya kala itu. Raja Inal sendiri tak lagi bisa dimintai konfirmasi. Pada September 2005 ia tewas dalam kecelakaan pesawat Mandala Airlines di Bandar Udara Polonia, Medan. sesudah Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan, masalah Sigit muncul ke permukaan.
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pernah mempersoalkan pada 1998. Hanya, kredit
macetnya tetap tak tersentuh. Dia tak pernah memenuhi panggilan jaksa di Medan itu.
Bukan hanya Sigit, bahkan istrinya, Elsje, juga berurusan dengan penyidik Kepolisian
Daerah Metro Jaya, Maret 2002. Seorang pria bernama Stephanus Setiawan membuat
laporan ke Polda Metro Jaya, isinya: Elsje memiliki Rp 20 miliar. Laporan itu kandas di
tengah jalan. Baik Sigit dan Elsje tak bisa dimintai konfirmasi. namun , kata Juan Felix
Tampubolon, kuasa hukum keluarga Soeharto. "Semua itu hanya omong kosong belaka."
lebih dari 10 tahun namanya tenggelam bak ditelan bumi, pada akhir tahun lalu ia
kembali menjulang. Nama Bambang Trihatmodjo mendadak masuk jajaran superkaya
versi Forbes Asia edisi 13 Desember. Berada di urutan ke-33, ia menjadi satu-satunya
anak Soeharto di deretan orang tajir di Indonesia. Lulusan Polytechnic Institute of Virginia,
Amerika Serikat, 1979 ini memiliki kekayaan US$ 200 juta atau Rp 1,9 triliun. Sebagian besar
berasal dari hampir 13 persen saham Asriland di Global Mediacom-nama baru Bimantara-
konglomerasi yang dirintisnya sejak ia masih berusia 28 tahun.
Sejarah Bimantara memang fenomenal. Awalnya, grup bisnis ini hanya bergerak di
bidang perdagangan, namun dengan cepat mereka menggurita. Asuransi, rumah mewah,
konstruksi, televisi, perhotelan, transportasi, perkebunan, perikanan, otomotif, makanan,
kimia, dan pariwisata dirambah dengan mudah. Di puncak kejayaan, ada 56 perusahaan
yang bernaung di bawah beberapa induk perusahaan dengan Bimantara sebagai bintangnya.
Analis GSH Consulting, Goei Siaw Hong, mengatakan bisnis Bimantara melejit sebab
mendapat banyak perlakuan istimewa. Mereka yang pertama mendapat lisensi jaringan
seluler GSM melalui Satelindo, lalu dijual ke Indosat. Mereka juga yang paling dahulu
mendapat izin mendirikan stasiun televisi swasta di Indonesia, RCTI.
Bambang pernah memonopoli perdagangan jeruk di Kalimantan melalui PT Bima
Citra miliknya. Pada 1993, dia melepasnya sesudah dikritik keras sebab merugikan petani.
"Memang keistimewaannya tak sebanyak yang didapat Tutut dan Tommy," kata Hong.
Mendapat banyak kesempatan, kemudahan, dan pinjaman bank, membuat bisnis
mereka melaju tanpa hambatan. Boleh dikatakan, tak ada saingan berarti. Itu membuat
untung datang berlipat-lipat. Rezekinya terus melimpah bagai menunggu jam pasir. "Ini
sebetulnya tipikal konglomerat di Indonesia, bukan hanya Bambang," kata Hong.
Gerakan melambat saat krisis ekonomi terjadi pada 1997. Turunnya Soeharto
setahun lalu membuat beberapa perusahaan mereka mulai limbung. Bisnis tanpa
fondasi kuat itu satu per satu ambruk. Utang yang menumpuk akibat ekspansi tanpa
perhitungan matang makin membuat jalannya terseret-seret.
Catatan BPPN pada 1999 menunjukkan Bambang Trihatmodjo menjadi peminjam
terbesar Bank Mandiri di antara 50 debitor kakap lainnya. Utangnya di atas Rp 20 triliun.
Tempat kedua diduduki adiknya, Hutomo Mandala Putra, dengan kredit hampir Rp 5 triliun.
Uang itu sebagian besar disalurkan Bambang ke Chandra Asri, yang dirancang dengan
investasi US$ 2,25 miliar. Kredit kedua terbesar dikucurkan ke Apac Centertex sebesar Rp
865,4 miliar.
Contoh keistimewaan lainnya yaitu saat Bank Andromeda miliknya dilikuidasi
pada 1997. Dua minggu lalu , ia mendapat izin membeli 99 persen saham Bank Alfa.
Izin turun sebab dia lolos dari daftar orang tercela Bank Indonesia. Memang, tak semua
pemilik dan direksi bank likuidasi menjadi orang tercela. Bambang beruntung, tak termasuk
salah satu di antaranya.
Suami artis Mayangsari ini juga satu-satunya yang dibolehkan membayar sendiri
deposannya. Bankir lain, yang banknya dilikuidasi bersamaan, tidak mendapat kesempatan
itu. Pembayaran deposan mereka dialihkan ke bank yang ditunjuk pemerintah.
Angin bisnis berbalik arah. Chandra Asri sudah lama dilepas kepada Prajogo
Pangestu, sebagai bagian dari restrukturisasi utang. Peter Gontha mengatakan Bambang
memang menjual saham di sebagian perusahaan. "Kita tidak tahu strategi apa yang ia
jalankan," kata Peter, yang masih sering bertemu sobat lamanya itu. Peter tak mau bicara
soal geliat bisnis di masa lalu.
Lewat Global Mediacom, pria 53 tahun ini, kini masih memiliki belasan perusahaan,
seperti televisi, radio, koran, telekomunikasi hingga Plaza Indonesia. Meski tak sampai habis-
habisan dan masih kaya