Rabu, 29 Januari 2025

peradaban barat 5

 



ernisasi universitas-universitas dan menciptakan birokrasi

modern untuk mengatur negara. Wanita dilarang memakai kent-

dung. Di reheran dan kota-kota lain, budaya Barat mulai hrmbuh

snbtrr, tidak hany a Coco-Cola dan film-film Barat, tetapi juga diskotek-diskotek, majalah-majalah yang memuat gambar wanita setengah telanjang, dan bar-bar unhlk kaum gay. Hal semacam ihr,

bukanlah Islam yang diinginkan para mullah, sehingga mereka menyebtrt pemerintahan Shah sebagai "pemerintahan setan', (n sntnnic

nile).32

Kini, pergulatan pemikiran ini masih terus berlanjut. ,pemaksaan' terhadap kaum muslim untuk tetap memeluk paham sekular

masih terjadi di mana-mana. Kaum Muslim tidak selayaknya menyalahkan Barat. Namun, kaum Muslim perlu memahami fenomena

sekularisasi dengan baik. sebagai peradaban yang sedang berkuasa,

bisa dipahami Barat berusaha memaksakan ideologinya. Mereka yakin, pandangan dan jalan hidupnya yaitu  baik unhrk umat manusia, sehingga mereka menyebarkan bahkan memaksakan kepada

umat manusia. "sekularisasi" memang tidak sepenuhnya buruk. Aspek-aspek "penghilangan tahayul, mistik, khurafat" juga mempakan

bagian dari upaya sekularisasi. Namun, sekularisasi tidak berhenti

sampai di situ. semua hal-hal yang bersifat metafisika dan ajaranajaran agama yang dianggap bertentangan dengan pertimbangan

rasio juga dibuang.

Tanpa perlu menyebut "syahahat" sebagai proses sekularisasi,

kaum Muslim sejak dulu sudah melakukan penolakan terhadap

hrhan-hrhan yang tidak pantas disembah umat manusia. Di zaman

globalisasi saat ini, dimana sekularisasi dan pluralisme menjadi

bagian integrahrya, maka tantangan yang dihadapi kaum Muslim

juga tidak ringan. Apalagi, setiap upaya kaum Muslim unhrk menerapkan ajaran agamanya bisa dianggap sebagai bagian dari upayzr

perongrongan hegemoni peradaban Barat.

Lebih berat lagi, kini sudah begihr banyak cendekiawan dari

kalangan Muslim yang menggunakan berbagai logika dan dalil

agama, tmtuk menyebarkan sekularisasi, dan membenci karrm

Muslim yang ingin menerapkan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. Ada yang melakukannya sekadar untuk mencari simpati

dari Barat, ada yang melakukannya karena pertimbangan finansial,tapi ada juga melakukannya atas dasar keyakinan. Thnpa dibayar

pun orang-orang ini sanggup berteriak, "Klta wajib melakukan

sekularisasi". Atahrrk dan Shah Iran telah mencoba menerapkan

sekularisasi di negaranya. Hasilnya, sudah sama-sama bisa dilihat

dunia Islam.

Penganutan paham sekularisme atau sekularisasisme bisa dikatakan sebagai sikap "menyerah" kepada "penyakit menular" yang

memang memiliki daya vimlensi yang hebat. Ihr yang terjadi dalam

Kristen. Mereka menyerah dan kemudian mencarikan legitimasinya

dalam Bible. Padahal, hasil pertemlran misionaris Kristen sedunia di

Jenrsalem tahun 1928, menetapkan sekulerisme sebagai musuh

besar Geraja dan misi Kristen.

Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan

sekularisme. Pertemuan Jemsalem itr.r secara khusus menyorot

sekularisme yang dipandang sebagai rhusuh besar gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.3r

Selama ratusan tahun kaum Muslim dijajah Belanda. Secara politik, ekonomi, budaya, dan militer, Muslim dicengkeram. Tetapi,

dulu, para ulama tidak menyerah dan tidak gampang menyatakan,

bahwa penjajahan Belanda yaitu  "sahl kehartlsan" dan "rahmat

bagi sekalian alam". Fisik wakhr ihr kalah, tetapi akal, pikiran, dan

iman, tetap merdeka.


Seperti menyindir umat Islam, Bernard Lewis membuat per-

,"r$;il nyotaan bahwa pada abad ke-20 ini memang ada yang

:ii:;ra*,,,11ii)2'salah pada dunia Islam. Dibandingkan dengan rivalnya,

Dunia Kristen, dunia Islam kini menjadi miskin, lcmah, dan bodoh.

Sejak abad ke-19, dominasi Barat terhadap dunia Islam tampak jelas.

Barat mengiv.tsi kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupan, bukan

hanya pada aspek publik, tetapi--yang lebih menyakitkan--juga dalam aspek-aspek pribadi.l

Ya, Barat kini memarng bukan hanya menghegemoni dunia Islam

dalam aspek politik, ekonomi, militer, sosial danbudaya. Globalisasi

atatr Westemisasi bukan hanya berlangsung dalam aspek 3F (food,

fim, fnsliort), seperti disebutkan ]ohn Naisbitt, tetapi juga 1T (Thought).

Cara berpikir kaum Muslim juga diatur. Bahkan, yang lebilr ironi,

cara kaum Muslim beriman kepada Tuhannya, menyembah Tuhan-

nya, iuga memahami Kitab Sucinya ptm tak luput dari hegemoni. Di

zaman kolonialisme klasik, hal semacam ini tidak pemah terjadi. Secara fisik ketika ihr, penjajah memang mengeksploitasi kekayaan

alam dunia Islam, tetapi mereka tidak berani memasttki wilayahwilayah keagamaan yang sangat personal. Di zaman ihr tidak ada

seorang Muslim--apalagi tokoh atau cendekiawan--yang L.erpikir

trnttrk mengkritik AI-Qur'an. Kini, di zamanglobalisasi , gejala mengkritik Al-Qur'an seperti menjadi kebanggaan, bahkan ihr terjadi di

kalanp;an sarjana Muslim sendiri.2

Fenomena mercbaknva hermeneutika di kalangan akademisi

Islam juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat dalam shrdi

Islam. Hermeneutika, kini, cli berbagai perguman Islam, bagaikan

'wabah'yang menjangkiti banyak sarjana N4uslim. Banyak yang terjangkit, tetapi merasa bangga, karena merasa menemukan sesuahl

yang bam. Karena merasa 'mainan baru'ini akan membawa kemaslahatan nmat, maka 'barang lama'bempa tradisi Islam dikecam dan

mau dicampakkan begihr saja.3

Sebagai hal bam yang masuk dalam tradisi keilmtran Islam,

hermeneutika seyogyanya dikaji secara cermat, sebelum memutuskan, metodologi interpretasi teks Bible ini dapat diaplikasikan unhrk

menggantikan metode tafsir Al-Qur'an. Jika ditelaah, ternyata, her-

meneutika memang berasal dari tradisi Kristen/Yahudi yang kemudian diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modem menjadi

metode interpretasi teks secara umum. Hermeneutika berkembang

dalam tradisi Kristen dan intelekhral Barat, karena memang berangkat teks Bible dan doktrin teologis Kristen yang mengandung

banyak sekali masalah di mata para cendekiawannya sendiri.

Tlrc Neu Encyclopedin Britnnnica menulis, bahwa hermeneutika

yaitu  shrdi prinsip-prinsip Lrmum tentang interpretasi Bible (fhe

study of tlte genernl Ttrirtciptle of biblicnl interpretntion). Tujuan dari

hermeneutika yaitu  unhlk menemukan kebenaran dan nilai-nilai

dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model

trtama interpretasi Bible, yaihr (1) liternl interpretntiorr, (2) interpretasi

moral (mornl interpretntiort), (3) nllegorical interpretntiort, (4) anngogicnl

interpretotion.

Menurut Interpretasi literal, teks Bible hamslah diinterpretasikan sestrai dengan makna yang jelas (plain meaning), sesuai konstruksi tata bahasa dan konteks sejarahnya. Model ini dilakukan untr-rk

menyesuaikan dengan kemauan penulis Bible. Mereka percaya bahwa kata-kata yang tercanhrm dalam Bible yaitu  berasal dari Tirhan.

Namun, pendapat ini banyak mendapat kritik. Sebab, faktanya,

pendapat ini tidak mempertimbangkan banyaknya bukti yang mentrnjtrkkan adanya "ittdiuidunl style" pada masing-masing penulis

Bible. Model ini dianut oleh banyak tokoh dalam sejarah Kristen,

seperti Jerome (pakar Bible pada abad ke-4 M), Thomas Aquinas,

Nicholas of Lyra, John Colet, Martin Luther, dan John Calvin.

Model interpretasi moral mencoba membangun prinsip-prinsip penafsiran yang memungkinkan nilai-nilai etik diambil dari

beberapa bagian dalam Bible. Biasanya juga digunakan teknik alegoris dalam model ini. The Letter of Bamabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam

Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan unhrk memakan

daging hewan tertenhr, tetapi lebih mempakan sifat-sifat bumk

yang secara imajinatif cliasosiasikan dengan hewan-hewan itu.{

Menurut model ketiga, allegorical interpretation, teks-teks Bible

memprmyai makna pada level kedua, di atas seseorang, sesuatlr, atau

pun yang jelas-jelas disebutkan secara gamblang dalam teks. Format

utama model ini yaitu  tipologi. Tokoh-tokoh kunci dan peristiwaperistiwa penting dalam Perjanjian Lama (Old Testanlenf) dilihat

sebagai sahr tipe bayangan ke depan untuk tokoh dan peristiwa-peristiwa yang ada di Perjanjian Bam (Neu Testatment). Menurut

mereka, model perahtr Noah, sebagai satlr "tipe" dari gereja Kristen,

sudah dirancang Tlrhan sejak dulu. Philo (50 SM-20 M), seorang filosof Yahudi, yaitu  pelopor model interpretasi ini. Philo melakukan

usaha kreatif yang menggabungkan tradisi Yahudi dengan tradisi

Yunani. Ia tidak mengabaikan makna literal, tetapi makna literal

dipandang rendah, primitif, dan perlu diangkat ke tingkat yang

lebih tinggi, yaitu makna alegoris (kiasan). Model ini kemudian diikuti Christian Clement of Alexandria. Berikutnya, Origen melakukan sistematisasi terhadap prinsip-prinsip hermeneutika alegoris

ini. Menumtnya, ada tiga kategori makna dalam teks Bible, yaihr

literal, moral, dan allegorical. Yang terakhir ihrlah yang tertinggi

tingkatannya. Origen mengembangkan teorinya dari filsafat Paulus

dan Ytrnani, bahwa hlbuh manusia terdiri atas "body", "soLtl" dan

"spirit". Sebagaimana teks Bible juga mempunyai pengertian "literal", "rfloral", dan "spiritLlal".

Di abad pertengahan (500-1500 M), teori "tiga tingkat" Origen

ihr dikembangkan lagi menjadi "empat tingkat" dengan menambahkan model yang keempat, yaitu anagogical. Model kempat, orngogical interpretntion, ini dikenal sebagai "ntystical interpretntion". Model

ini dipengamhi oleh tradisi mistik Yahudi (Kabbata) yang diantaranya mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan

huruf-humf Hebrew Contoh dari interpretasi empat tingkat yaitu 

kata lerusalem. Pada level literal, Jerusalem yaitu  nama kota yang

ada di btrmi. Pada makna alegoris, lentsalenl diartikan sebagai

geraja Kristen". Menurut makna moral, Jerusalem berarti jiwa (soul).

Dan pada level anagogical (escnthological), Jemsalem yaitu  ,'kota

T[rhan di masa depan".

Dari empat model itu, dua model menjadi arus utama interpretasi Bible pada awal-awal sejarah kekristenan, yaihr model Alexandria (alegoris) dan model Antioch (literal). Paparan paulns dalam

Galatia 4:24 tentans kisah Abraham, Hagar, dan Sarah menjadi sandaran model alegoris. Alexandria memang menjadi tempat yang

subur bagi tradisi filsafat Yunani, sehingga berpengaruh besar terhadap model interpretasi Bible.

Model alegoris memang bisa menghasilkan pengertian yang

Iiar. Karena itu, kalangan Kristen membatasi model ini dengan "mle

of faith" , bahwa interpretasi haruslah sejalan dengan ajaran gereja.

Kontrol lain yaitu  apa yang disebut sebagai "hennenerLticnl circle".

Maksudnya, slratlr teks hams diinterpretasikan sesuai konteks Bible

secara keseluruhan, bnkan hanya konteks lokal teks tersebut. Interpreter Bible pada awal-awal sejarah Kristen, seperti Irenaeus (m.202

M) dan Tertulian (m. sekitar 222M) berargurnen bahwa hanya pasturpashrr yang memiliki garis otoritatif dari para tpostles (rasul--dalam

terminologi Kristen menunl'uk pada pengikut Jesus) saja yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi Bible.

Martin Luther, seorang tokoh reformis pada abad ke-16, menyatakan, bahwa "kata-kata Tlrhan" harus diartikan secara jelas

(sinrylest ntenning) selama masih memungkinkan. Kata-kata Tlrhan

itu, katanya, harus dipahami sesuai arti tata bahasa dan makna

literalnya. Jika metode literal tidak digunakan, menurut Luther,

maka akan memberikan kesempatan kepada mustilr untuk melakukan penghinaan kepada Bible. Para reformis Kristen ini menekankan

model literal dengan hrjuan rmtuk mengalihkan otoritas interpretasi

Bible dari Gereja, konsilikonsili, dan Paus, ke teks Bible itu sendiri.

Para reformis ini memang sangat anti kepada Paus dan Katoiik.

Menurut Luthel, kekuatan anti-Krishls yaitu  Paus dan bangsa Turki. Kekuatan jahat memiliki hrbuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan

Anti-Kristus yaitu  Paus, daging dan tubt*rnya yaitu  Thrki....

Bangsa T[rrki yaitu  bangsa yang dimurkai Ttrhan.sKisah pemberontakan Martin Luther terhadap Gercja memang

menarik. Pada pada 31 Oktober 7517, ia mulai melawan kekttasaan

Patrs dengan cara menempelkan 95 poin pemyataan (ninety-fiue

Theses) di pinhr gerejanya, diJerman. Ia temtama menentang praktik

penjtralan "pengampunan dosa" (indulgences) oleh pemuka gereja.

Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keselumhan doktrin

supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya

akibat penyelen engan yang elilakukannya. Tahun 1521, I-uther dikucilkan dari Gercja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapat 

perlindungan seorang penguasa di wilayah ]erman dan akhirnya

mengembangkan gerela dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus.6

Agak sedikit berbeda dengan sistematika Tlte Encyclopadin Britntuica tentang hermeneutika dalam tradisi Bible, Werner G. |eanrond

dalam btrkunya "Tlrologicttl Herurenaufics", menguraikan secara sistematis sejarah perkernbangan hermeneutik di kalangan Yunani,

Yahudi, dan Kristen. Di kalangan Yahudi, misalnya, di awal-awal

hrmbuhnya Kristen, memiliki berbagai metode interpretasi terhadap

Thnrat, yainr Literalist interpretatiort, Midraslic lnterptretntiorts, Peslrcr

irierpretations, dan Allegoricnl irtterptretation.

Di masa awal Kristen, Jesus cendemng tidak mengikuti interpretasi secara literal, tetapi lebih mendekati metode Midrashic. Pada

awal abad ke-3 M, berkembang dua aliran hermenutika di kalangan

Kristen, vaitu Alexandria dan Antioch. Alexandria lebih mengambil

bentr"rk nllegoricnl interptretotiorr tehadap Bible. Origen (185-254) mengembangkan metode interpretasi lebih sistematis berdasarkan

teologinya, bahw'a kedatangan Jesus telah memenuhi lsrael's

Ttroptltecies. Di atas basis premikiran inilah, ia mengembangkan metode

alegoris dalam memahami teks Bible. AliranAntioch melihatbahaya

metode alegoris dan lebih cendemng menekankan aspek literal dan

historis dalam memahami Bible. Pemikir hermenutika pada masa

Kristen awal yang sangat terkenal yaitu  Augustine of Hippo (354-

430). Ia memrlis buku Dc Doctinn Cln'istinna (On Christian Doctrine),yang mencoba memadukan kedua aliran tersebut.

Pada abad pertengahan, muncul nama Thomas Aquinas (1225-

1274), yang juga mempakan pemikir besar dalam hermeneutika.

Btrktrnya, sunmm Tlrcologica masih menekankan pentingnya interpretasi secara literal. Dia masih menyatakan, "penulis naskah suci

itu ialah r[rhan, yang di dalam kuasanya menambah bobot makna,

tidak dengan kata-kata belaka (sebagaimana manusia bisa melakukannya juga), melainkan dengan hal-hal ihr sendiri.',

Hingga masa reformasi, penempatan teologi sebagai basis

interpretasi hermeneutika masih terus dilakukan. penafsiran Bible

secara rigid dan literal hams berhadapan dengan berbagai perkembangan ilmiah, terutama penemuan-penemuan dalam sains. Jeandrond menulis,

"Para pembela interpretasi Bible yang kaku diserang terutama

ketika berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam, yang

menimbulkan berbagai keraguan tentang kemungkinan pengkajian literalistik yang tidak memadai, misalnya kisah-kisah

penciptaan di dalam kitab Genesis. Kaum Lutheran, maupun

gereja-gereja Katolik termasuk yang telah direformasi selumhnya bersatu padu dalam menolak bangkitnya pandangan hidup

yang ilmiah dan rasional."T

Teori Kosmologi dan Problem Bible

Kasus menarik antara model literal dan alegoris terjadi daram

soal penafsiran terhadap teori kosmologi. R. Hoykaas dalam bukunya, c.l- Rlrctictts Treotise ott Holy scriythtre ond the Motiort of The Enrth,

menjelaskan, bahwa bagi kelompok literal Kristen, penganut metode

literalisme, ayat-ayat Bible tentang alam semesta hamslah diartikan

secara literal, dan lebih dari itu, dasar-dasar kosmologi hams diambil dari Bible. sebagai implikasinya, misalnya, ketika ada konsep

"l.uaters aboae tlrc expanse" (air yaitu  di atas tanah atau udara), yang

bertentangan dengan prinsip dasar Aristotelian--bahwa alam telah

menempatkan air di bawah udara, api, dan benda-benda langit--

maka teks Bible hants dimenangkan atas konsep filsafat "kafir"

Aristotle. Tokoh-tokoh gereja Syria yang ingin agar kosmologi bebas

dari pengamh paganisme, menempatkan konsep kosmologi Bible

berhadapan dengan konsep kosmologi Yunani. Abad ke-6 M, penulis

Kosmas Indikopleustes menyusun konsep ekstrim bahwa bumi ihr

datar, sebab Bible (New King ]ames Version) menyatakan, "Tlnt it

nigltt be take hold of tlrc ends of the enrtlt, and tlrc wicked be slnken out of

it." (Job,38:13). Jtga, " After tlrcse thirtgs I sau four angels standing at tlrc

four corner of the enrth, tlnt tlrc ruind sltortld rtot blotu ort tlrc earth, ort tlrc

sen, or on any free." (Revelation, 7:1). Dalam versi Lembaga Alkitab

Indonesia (LAI), ayat Ayub 38:3 diterjemahkan, "ttntttk memegang

ujung-ujung bumi, sehingga orang-orang fasik dikebaskan daripadanya." Sedangkan ayat Wahyu-wahyu T:1 diteriemahkan, "Kemudian daripada ihr, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat

penjuru bumi dan mereka menahan keeempat angin bumi, suPaya

jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-pohon."

Berdasarkan metode tafsir literalisme, maka fakta sains, bahwa bumi

bulat, harus dikalahkan oleh teks Bible. Jadi, menumt mereka, bumi

memang segi empat, memiliki tepi, sehingga "oranlg jahat" bisa

dibuang dari bumi.s

Sejarah Kristen menunjukkan, otoritas

Gereja pernah menghukum ilmuwan seperti

Galileo Galilei (1564-7642), karena mengekspose teori "lteliocentric", bahwa matahari

yaitu  pusat tata surya. Hal itu dilakukan

untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan

Gereja--yang mempunyai doktrin hfnllibility

(tidak pernah salah) karena merupakan wakil

Kristus di muka bumi. Sampai abad ke-17,

Gereja masih tetap berusaha mempertahankan posisi hegemoninya,

sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legiti

masi Gereja, dianggap sebagai "heresy" (kafir) dan dihadapkan ke

Mahkamah Inquisisi. Kasus yang terkenal terjadi pada Galileo Galilei. Pada L9 Januari 16L6, Galileo membuat dua statemen: (L)matahari yaitu  pusat galaksi dan (2) bumi bukanlah pusat tata

srrrya. Pada 24 Februari 1616, sekelompok prakar teologi yang dibenhrk oleh Tahta Strci Vatikan (Holy Offke) menyatakan, bahwa

teori Galileo ihr bertentangan dengan Bible. Maka, Paus paul V meminta cardinal Bellarmine untuk memperingatkan Galileo. Tetapi,

pada7632, Galileo kembali mengajarkan teorinya itu. Maka, pada 16

Juni 1633, Galileo diinterogasi karena dipandang melakukan kesalahan dalam Tbologi, dengan menyebarkan teori "lrcliocentric,,.Ia

diundang ke Roma dan dipaksa oleh Mahkamah Inquisisi untuk

mencabut teorinya dan mengikuti doktrin Gereja bahu,a bumi adalah pusat tata surya. Di depan Inquisitor, Galileo akhirnya 'bertobat'

dan berjanji tidak akan menyebarkan lagi teori heliosentrisnya ihr.

Di depan Mahkamah Gereja ihr, Galileo menyatakan akan menghapus semua opini yang salah, bahwa matahari yaitu  pusat dari

jagad raya dan tidak bergerak, dan bahwa bumi bukanlah pusat

jagad raya dan bergerak. la berjanji tidak akan mempertahankan

atau mengajarkan doktrin yang salah tersebut, dalam benhrk apa

pun, secara verbal atau melalui hllisan.e

Sebeltrmnya, Nicolaus Copemic trs (7473-7543), seorang Astronom dan ahli matematika sudah mengemukakan teori/rcliocentric itu.

sadar bahwa teorinya akan menimbulkan kontroversi, Copernicus

menolak untuk mempublikasikan teorinya. Thpi, atas desakan temantemann;,a, pada tahun 1543 ia menerbitkan bukunya yang berjudul

on tlrc Reaolutiorts of tlte Henaenly spheres. Teori Copernicus menakutkan penguasa Gereja, karena dianggap bertentangan dengan Bible.

Sebagai contoh, disebutkan dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat l: "yea,

Tlu, uorld is estnblislu,d, it shnll neuer be ntouetl." Tahun 7616, Gereja

menempatkan buku Ort Tlrc Reaolutiort dan buku-buku lain yang

menjelaskan tentang perputaran bumi, ke dalam daftar bukrr-buku

yang terlarangPerlu dicatat, bahwa problema benhrran antara sains dan Bible

ihr terjadi pada abad pertengahan Eropa (500-1500 M). Zaman ini

dikenal sebagai Abad Pertengahan Eropa (Medieanl Europte) atatr

Abad Kegelapan Eropa (Tlrc Dark Ages of Etrope). Tapi, kasus-kasus

serupa masih berlanjut pada pada zanran pencerah an (erilightenrrrcnt).

Orang Eropa menyebut zaman ini sebagai zaman rennissnttce, yang

artinya zaman "kelahiran kembali" (rebirth). Mereka merasa, bahwa

selama ratusan tahun, mereka telah mati, hidup di bawah cengkeraman kekuasaan Gereja. Karena ittilah, pada zaman penceraltan

mereka melakukan revolttsi besar-besaran terhadap berbagai pemikiran tentang kehidupan, termasuk terhadap konsep keagamaan.

Inti zaman pencerahan ini yaitu  zamattmerebaknya paham "sektllarisme, humanisme, dan liberalisme". Penafsiran tentang keagamaan pun disubordinasikan ke dalam paham-paham ini. Termasuk

pemahaman terhadap Bibte. Berkembangnya hermeneutika modern

sebagai perangkat tafsir teks, termasuk teks Kitab Suci, yaitu  juga

bagian dari menguatnya hegemoni sekularisme dan liberalisme, disarnping memang ada kebuhrhan internal dalam Kristen, karena

problem teks Bible dan doktrin ketuhanan.

Pada bagian sebelumnya, telah dibahas problema teks Bible,

yang menrlnjukkan bagaimana sulitnya konsep Bible sebagai "the

word of God" diterima. Sebab, faktanya, begitu banyak masalah

yang dihadapi dalam Bible, baik menyangkut otentisitas tekstualnya,

mauprln kandungan makna teks ihr sendiri. Sebutlah kasus Hebreu

Biblt' (katrm Kristen menyebutnya "OId Testatenrcnt"), yang meruPakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji

manusia, tetapi tetap masih mempakan misteri hingga kini. Richard

Elliot Friedman, dalam bukunya, Wln Wrote tlrc Bible, menulis,

bahwa hingga kini siapa yang sebenamya menulis Kitab ini masih

merupakan misteri. Tulisnya, "yaitu  suatu fakta yang aneh bahwa

kita tak pemah tahu secara pasti siapa yang telah menulis buku ihr

yang berperan sangat sentral dalam peradaban kita."

Ia mencontohkan, Tlrc Book of Tornh, atatThe Fiae Book of Moses,

didtrga ditulis oleh Moses. Book of Lamentation dihrlis Nabi Jeremiah.

Separoh Mazmur (Psalm) dihrlis King David. Tetapi, kata Friedman,

tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran ihl memang benar.

Tlrc Fiae Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling

hra di dtrnia (lt is one of tlrc oldest ptuzles in the zoorld). Tidak ada satu

ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses yaitu 

penulisnya. Sementara di dalamnya dalam teksnya dijumpai banyak

kontradiksi.ll

Problema lain dalam Hebreu Bible alias Perjanjian Lama yaitu 

soal makna yang dikandung teks-teksnya. Misalnya, standar moral

para tokoh Bible. David, Sang Raja Israel, digambarkan melakukan

tindakan kefi dengan melakukan perzinaan dengan Batsyeba dan

menjerumuskan suaminya, Uria, ke ujung kematian. Akhimya, ia

mengawini Batsyeba dan melahirkan solomon. Hnrper's Bible Dictionary, rnencatat sosok David sebagai, "Tlrc most pouerfil King of

Biblical lsrael." Namnn, David bukanlah sosok yang pahrt diteladani

dalam berbagai hal. A Dictionary of the Bible rnengungkap sederet

kejanggalan perilaku dan moralitas David, sebagaimana tersebut

dalam Bible. Peperangan-peperangan yang dilakukannya, terkadang

diikuti dengan kekejaman yang ganas. Dan dosa besarnya, yaitu 

perzinaannya dengan seorang perempuan cantik bernama Batsyeba,

yang ketika ihr masih menjadi istri sah dari anak buahnya sendiri.12

Kasus perzinaan dan perselingkuhan banyak tersebar dalam

Bible. Judah (Yehuda), tokoh Israel, anak Jacob dari Lea, berzina denEan menantunya sendiri yang bernama Thmar (Kejaeiian 38:1-11

dan 15-18). Juga, Amon bin David diceritakan memperkosa adiknyasendiri. Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2 Samuel 13:1,-22. Padahal, hukuman bagi pezina

menumt Kitab Imamat 20, yaitu  hukuman mati. Tidak mudah

menjelaskan, mengapa tokoh-tokoh Bible terbebas dari hukuman

mati akibat zina semacam ihl.

Kajian ilmiah terhadap fakta se;'arah dan sains dalam Bible;'uga

membuktikan banyaknya problema yang dihadapi. Bagi sebagian

kalangan Kristen dan Yahudi, cerita-cerita dalam Bible dipandang

sebagai hal yang benar. Roland de Vaux, seorang sarjana Bible dan

arkeologi, menyatakan, "Jika aspek kesejarahan agama Israel tidak

ditemukan dalam sejarah, maka agama itu menjadi salah dan demikian juga agama kita sekarang." Pakar Bible dan arkeologi Amerika,

William F. Albright juga membuat pernyataan, "Secara keseluruhan,

gambaran dalam Kitab Kejadian yaitu  bersifat sejarah, dan tidak

ada alasan unturk meragukan akurasi secara umllm dari detail-detail

biografi."

Namun, klaim-klaim seperti ini dikritik ta;'am oleh sarjana Bible

lainnya. Termasuk cerita tentang Abraham dalam Bible. Salah satu

yang menarik yaitu  kritik yang dikemukakan oleh dua pakar

Yahudi, Israel Finkelstein, dan Neil Asher Silberman, melalui bukunya, Tlte Bible Llnenrtlrcd: Arclnelogy's Neu Visiorr of Ancient lsrael and

tlrc Origirt of lts sacred Texts.

Finkelstein dan Silberman mencatat, penjelasan Bible tentang

Abraham diberikan secara kronologis, mulai kepergiannya ke Mesir,

eksodus, pengembaraan di glrrLrn, penaklukan Kanaan, sampai pendirian monarkhi. Bible juga menyediakan kunci unhrk mengkalkulasi waktu terjadinya peristiwa. Pehrnjuk terpenting yaitu  Kitab

I Raja-raja 6:1, yang menyatakan, bahwa eksodus terjadi 480 tahun

sebelum pembangunan "Temple" di Jerusalem, pada tahun keempat

zaman kektrasaan Solomon. Lebih jauh lagi, Kitab Keluaran 12:40

memberitakan bahwa bangsa Israel menetap di Mesir selama 430

tahun. Ditambah dengan masa 200 tahun lebih sedikit kehidupan

Abraham di Kanaan, sebelum bangsa Israel meninggalkan Mesir,

maka disimpulkan, Abraham meninggalkan Kanaan sekitar 2100

SM. Hal ini memunculkan problema pada penelusuran periodisasi

sejarah Abraham, Ishaq, jacob. Penelusuran genealogi kehlrunan

|acob menunjukkan hal yang membingungkan dan kontradiktif.Musa dan Harun (Moses and Aaron) dikatak)n sebagai

ketumnan generasi keempat dari anak Jacob yang bernama Levi.

Sedangkan Joshua, yang sezaman dengan Musa dan Hamn, dikatakan sebagai kehlmnan generasi ke-12 dari Yusuf (Joseph), anak

Jacob yang lain. "Ini bukanlah ketidaksesuaian yang (bisa dianggap)

kecil," hrlis Finkelstein dan Silberman. Albright dan koleganya yang

mempercayai tentang kebenaran zaman Abraham pemah mencoba

mencari bukti-bukti seputar kehadiran Abraham dan kawan-kawan

di Kanaan sekitar tahun 2000 SM. Namun. usaha ini akhirnya gagal.

Zaman kehidupan Abraharn berubah-ubah, sesuai penemuan; mulai

pertengahan milenium ke-3 SM menjadi akhir milenium ke-3; lalu

berubah ke awal milenium ke-2; lalu ke pertengahan milenium ke-2,

dan terakhir ke awal Zarnan Besi. Kedua penulis meletakkan pembahasan tentang kesejarahan Abraham dalam subjudul "Tlw Foiled

Senrclr for tlrc Historical Abraltont" .1]

Bukan hanya Perjanjian Lama yang diaduk-aduk, kajian terhadap Teks Perjanjian Baru (I/le Neru Testnntent) iuga telah berkembang

pesat di kalangan teolog Kristen. Profesor Bruce M. Metzger, guru

besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary,

menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Bam. Sahr bukunya

berjudtrl The Text of tlrc Neru Testotnent: lts Trnnsntission, Corntptiort,

nnd Restorntiort (Oxford University Press, 1985). Dalam bukunya

yang lain, yang berjudul A Textunl Conunentnry on tlte Greek Neu

Testarnent, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun

7975), Metzger menulis di pembukaan bukunya, ia menjelaskan ada

dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak

adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan

yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan

lainnya.

Bahasa Yunani (Greek) yaitu  bahasa asal Perjanjian Bam. Melalui bukunya ini, Metzger menunjukkar-r, rumitnya problem kanonifikasi Teks Bible dalam bahasa Greek. Banyaknya ragam teks dan

manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindari.

Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasaGreek, yang berbeda sahr dengan lainnya. Cetakan pertama Perjanjian Lama bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh

Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit Perjanjian Baru edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek

yang lengkap, Erasmrls menggunakan berbagai versi Bible untuk

melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Reaelation\ misalnya, ia gunakan versi Latin susunan ]erome, Vulgate. Padahal, teks Latin ihl

sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek.l{

Dalam bukunya yang lain, Tlrc Early Versions of tlrc Neu Testanrcnts, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul,

Litnitatiort of Latin in Representing Greek, "Walaupun bahasa Latin

secara rlmrlm sangat cocok unhlk digunakan dalam penterjemahan

dari Yunani (Greek), tetap saja ada bagian-bagian tertenhr yang tidak

bisa diekspresikan dalam bahasa Latin."15

Thhun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani.

Teks in digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk

menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (L522) dan Inggris (1525).

Thhun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Yunani yang

berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1,633

terbit sekitar 160 versi Bible dalambahasa Yunani. Dalam edisi Yunani ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya.l6 Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, yaitu  mungkin unhlk menghadirkan edisi lain dari Perjanjian Bam.17

Hermeneutika dan Liberalisasi

Sebenarnya, hermeneutika modern yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834), juga memunculkan persoalan bagi

kalangan Kristen. Sebab, hermeneutika modern menempatkan semua

jenis teks pada posisi yang sama, tanpa mempedulikan apakah teks

itLr "Divine" (dari Ttrhan) atau tidak, dan tidak lagi mem-pedulikan

adanya otoritas dalam penafsirannya. Semua teks dilihat sebagai

produk pengarangnya. Penggunaan hermeneutika modern untr-rk

Bible bisa dilihat sebagai bagian dari upaya liberalisasi di kalangan

Kristen. Bagi Schleiermacher, faktor kondisi dan motif pengarang

sangatlah penting untuk memahami makna suatu teks, di samping

faktor gramatikal (tata bahasa). 1s

Namun, sebelum Schleiermacher, upaya melakukan "liberalisasi" dalam interpretasi Bible sudah muncul sejak zaman Enlightenment di abad ke-18. The University of Halle memainkan peranan

penting dengan memunculkan teolog liberal terkemuka Johann

Solomo Semler (7725-1791). Para teolog liberal ini memainkan

peranan penting dalam melakukan reapresiasi terhadap "akal manusia" dan tumbuhnya perlawanan terhadap otoritas yang tidak

mastrk akal (tutreasonable autlrority). Semler melakukan pendekatan

radikal terhadap Bible dan sejarah dogma, dengan mengajukan

program hermeneutika dari perspektif "shrdi kritis sejarah". Ia mengajukan gagasan transformasi radikal terhadap dasar-dasar hermeneutika teologis. Interpretasi Bible, kata Semler, harus dihentikan

dari sekadar upaya untuk menverifikasi dogma-dogma tertenhr. Dengan kata lain, interpretasi dogmatis terhadap teks Bible, hams diakhiri, dan perlu dimulai satu metode baru yang ia sebut "tmly critical

reading". HermeneuLika, menumtnya, mencakup banyak hal, seperti

tata bahasa, retorika, logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan, dan

kritik terhadap teks. Tugas utama hermeneutika yaitu  untuk memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh para pentrlis teks ihr

sendiri.le

Jika dicermati, apa yang dilakukan Semler, Schleiermacher, dan

para teolog liberal lainnya, masih semangat membebaskan diri dari

kungkungan otoritas Gereja yang berahrs tahun menyalahgunakan

wewenangnya atas nama 'TLrhan'. Mereka ingin mengembalikan pengertian teks Bible kepada konteks historis dan kondisi penulisnya,terlepas dari kungkungan tradisi Gereja Ortodoks (baik Katolik

maupun Protestan). Karena ihr, perkembangan Hermeneutika dalam

tradisi Bible di kalangan Barat modem, tidak dapat dipisahkan dari

sejarah traurna peradaban Barat (Eropa) terhadap Gereja, di tambah

lagi banyaknya problematika teks Bible ihr sendiri. Perkembangan

tradisi kritik teks dan kajian historisitas Bible telah membuka pintLr

lebar-lebar terhadap perkembangan hermeneutika modern. Metode

interpretasi Bible yang umum disubordinasikan ke dalam prinsipprinsip hermeneutika umum. Sebagai sahl teks, Bible memang

memiliki penulis (nutlrcr). Banyak teori yang dikemukakan seputar

penulisan Bible ini. Metode hermeneutika sangat menekankan pada

aspek historisitas dan kondisi penulis teks.

Apakah metode semacam ini bisa diterapkan unhrkAl-Qur'an?

Unhrk menjawabnya, ada dua hal yang perlu ditelaah.

Pertama, perlu dilakukan studi komparasi tantara konsep teks

Al-Qtrr'an dan konsep teks Bible. Dankedua, perlu dilakukan kajian

mendalam perbandingan antara sejarah peradaban Islam dan peradaban Barat (Kristen-Eropa). Kajian terhadap kedua hal ini dengan

serius akan memberikan jawaban, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara konsep teks dan perkembangan peradaban Islam dan

Barat. Seyogyanya ini disadari, sehingga tidak terjadi sikap latah,

seperti buih, mengikuti kemana saja arah angin bertiup.

Prof. Dr, Wan Mohd Nor Wan Daud, dari International Instihlte

of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) menilai, bahwa metode

tafsir Al-Qur'an "benar-benar tidak identik dengan hermeneutika

Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak

juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kulhrr dan agama

lain." Ilmu Thfsir Al-Qur'an merupakan ilmu asas yang diatasnya

dibangun keselumhan stmkhrr, hljuan, pengertian pandangan dan

kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa al-Thbari (wafat

923 M) menganggap ilmu tafsir sebagai yang terpenting dibanding

dengan selumh pengetahuan dan ilmu. Ini yaitu  ilmu yang dipergunakan umat Islam unhrk memahami pengertian dan ajaran Kitab

suci Al-Qur'an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Prof.

Wan juga mengkritik dosen pembimbingnya Sendiri di Chicago University, yaihr Prof. Fazlur Rahman, yang mengaplikasikan hermeneutika unhlk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Kata Prof. Wan,"Konsekuansi dari pendekatan hermeneutika ke atas sistem

epistemologi Islam termasuk segi pemndangannya sangatlah

besar dan saya pikir agak berbahaya. Yang paling utama saya

kira ialah penolakannya terhadap penafsiran yang final dalam

sesuahl masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak,

malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini

dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksioiogi antar generasi,

antar agama dan kelompok manusia. Flermeneutika teks-teks

agama Barat bermula dengan masalah besar: 1) ketidakyakinan

tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam

bidang itu sejak dari arval karena tidak adanya bukti materil

teks-teks yang paling au'al, 2) tidak adanya laporan-laporan

tentang tafsiran yang boleh diterima Lrmum, yakni ketiadaan

tradisi truinuntir dan ijnn, dan 3) tidak adanya sekelompok

manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang ihr. Ketiga

masalah ini tidak terjadi dalam sejarah Islam, khususnya dengan Al-Qur'an. Jika kita mengadopsi satu kaidah ilmiah tanpa

mempertimbangkan latar-belakang sejarahnya, maka kita akan

mengalami kerugian besar. Sebab kita akan meninggalkan

metode kita sendiri yang telah begihr sukses membantu kita

memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan peradaban internasional yang unggul

dan lama."2o

Aplikasi Hermeneutika: Kasus Nasr Hamid Abu Zayd

Unhrk memperjelas dampak hermeneutika saat diterapkan dalam shrdi Al-Qur'an, yaitu  menarik untnk mengkaji pemikiran

Nasr Hamid Abu Zayd, yang dikenal dengan konsep "Al-Qur'an

sebagai produk budaya" Qrttmtnj tsnqnfi). Sebagai hermenet (pe^gaplikasi hermeneutika), maka Abu Zayd perlu melakukan reposisi

dan dekonstmksi terhadap konsep Al-Qur'an sebagai 'Kalam Allah'

yang iafazh dan maknanya dari Allah swt.. Namun, jika dicermati,kajian AbuZaydjuga mengadopsi dan menjiplak konsep dan metodologi yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, khususnya

tradisi kritik teks Bible.

Dalam tradisi Kristen, shrdi tentang kritik Bible dan kritik teks

Bible memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari

School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahr,rn menekuni

shrdi ini, dan menulis sahr buku berjudul "Studies in Methodology irt

Textunl Criticisnr ott tlrc Nezu Testnternert". Buku-buku karya Prof.

Brnze M. Metzger, gurrl besar Tlrc Ne,:u Testnnrcnt di Princeton Theological Seminaryi menunl'ukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian

kritis terhadap teks Bible. Juga, Werner Georg Kume, dalam bukunyaTlrc Neiu Testnntent: Tlrc History of tlrc lnaestigation of lts Problem,

(Nashville: Abingdon Press, 1.972). Oxford Concise Dictionnry of tlrc

Clristinn Clutrch" (Oxford University Press, 1996) menulis tentang

'critical shrdy of the Bible' yang berkembang pesat abad ke-19,

"Ia muncul dari keyakian bahwa hrlisan kuno hamslah diinterpretasikan sesuai perspektif historisnya dan terkait dengan

berbagai kondisi dari komposisi kalimatnya serta makna dan

hrjuannya bagi si penulis dan para pembaca pertamanya."

Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical lntrodr

ctiort to tlrc Neru Testnntent, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd,

1,979), menulis,

"Itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang dimaksud teks-teks Perjanjian Bam sesuai maksud para penulisnya

ketika pertama kali difulis.. kita harus terlebih dulu memahami

situasi historis pada saat ia ditulis pertama kaIi."

Fenomena dalam tradisi Kristen ihr sangat berbeda dengan apa

yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks

Al-Qrrr'an. Kaum Muslirn yakin, bahwa Al-Qur'an yaitu --lafzlmn

rla nm'nln (baik lafazh maupun maknanya)-dari Ailah swt. AlQur'an telah tercatai dengan baik sejak masa l..labi Muhammad saw..

Catatan Al-Qur'an berbeda dengan al-Hadits. Bahkan, untuk menjaga otentisitas dan kemurnian Al-Qur'an, Nabi Muhammad saw.

pemah menyatakan, "lnngon tulis opa Wm yang bernsal dnriku keumliAl-Qur'nn, dan siapa Wm yang telalt nrcnulis dari ku selnin Al-Qtr-nn,

hendaklalt ia ntenglnpusnya." 2t

Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara problema teks Bible denganAl-Qur'an. Padahal, Bible

(Tlrc Nezo Testanrcnt) ditulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-60

tahun setelah masa Jesus. Karena ihllah, maka masalah otentisitas

teks Bible selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan Kristen.

Begihr juga bangunan teologis di atasnya. Ketika terjadi perdebatan

tentang fllm "Tlte Pnssion of the Clfist" karya Mel Gibson, Paus menyatakan film itu sebagai "lt is ns it zuas", karena ceritanya memang

banyak merujuk pada Perjanjian Bam. Namun, majalah Nezosueek

edisi 16 Februari 2004 menulis, justm Bible itu sendiri yang boleh

jadi mempakan sumber cerita yang problematis.22

Salah satu doktrin pokok dalam teologi Kristen yaitu  cerita

tentang penyaliban dan kebangkitan Jesus. Namun, justm di sinilah

terjadi perdebatan seru di kalangan teolog Kristen. Seorang profesor

Bible, John Dominic Crossan, dalam bukunya, Wlto Killed lexs?,

menulis, cerita tentang kubur Jesus yang kosong yaitu  "satll cerita

tentang Kebangkitan danbukan kebangkitan ihr sendiri". Cerita tentarig Jesus, seperti tertera dalam Bible, menumt Crossan, disusun

sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita

seputar penyaliban dan kebangkitan Jesus. Ihrlah yang dibuktikan

oleh Crossan melalui bukunya tersebut.23

Karena itulah, secara prinsip, teks Al-Qur'an tidak mengalami

problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam

btrktrnya, lslnnt nnd Tlte West: Tlrc M&ing of nn lnnge, menegaskan,Al-Quran tidak ada yang sepadan dengannya di luar Islam

(Tlte Qtrnn ltas no pnrallel outside lslant)."2t Di kalangan Kristen, hanya

kelompok fundamentalis saja yang masih mempercayai bahwa Bible

yaitu  kata-kata tuhan (dei aerbun).2s

Tampaknya, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen menjadi resah, mengapa kafian kritis tentang Teks Bible itu begihr berkembang, sementara Kitab SuciAl-Qur'an masih tetap diyakini kaum

Muslim sebagai Kalam Allah yang suci. Berdasarkan informasi dari

Al-Qur'an, setiap Muslim yakin bahwa tokoh-tokoh Yahudi dan

Nasrani, telah mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga menjadi

tidak suci lagi. Maka, kemudian, muncul dorongan kuat di kalangan

orientalis-misionaris unhlk menempatkan posisi Al-Qur'an, sama

dengan posisi Bible.

Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq

dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, menyatakan,

"Sudah tiba saatnya unhrk melakukan kritik teks terhadap A1-

Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi

yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa

Ynnani."26 Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di

Madras, India, sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis

terhadap Al-Qur'an dilakukan dengan menggunakan metodologi

kritik Injil (Biblical Criticisnr). Sell sendiri, dalam karyanya Historical

Deaeloprneri of tlte Qtr'an sudah menggunakan metodoLogi higlrcr

criticisrrt, untuk mengkaji historisitas Al-Qur'an.27

Setelah itu, berbondong-bondonglah orientalis yang melaktr

kan kajian kritis terhadap teks Al-Qur'an, sebagaimana sudah terjadi pada Bible. Menurut mereka, bukankah Al-Qur'an juga sebuah

"teks" yang tidak berbeda dengan "teks Bible". Toby Lester dalam

Tlrc Atlorrtic Mortthly, fanuari 1999, mengutip pendapat Gerd R. Joseph

Puin, seorang orientalis pengkaji AI-Qur'an, yang menyarankan

perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan Al-Qur'an. Katanya,"Begihr banyak umat Islam yang meyakini bahwa semua yang

ada diantara dua sampul Qur'an benar-benar merupakan katakata Ttrhan yang tak ada bandingannya. Mereka (para cendekiawan) suka mengutip karya-karya tekshral yang menunjukkan bahwa Bible punya sejarah dan bukamya jahrh langsung

dari langit, namun sampai sekarang Qur'an masih belum tersentuh diskusi ini. satu-sahrnya cara unhrk mendobrak tembok

ini yaitu  dengan membuktikan bahwa eur'an juga punya

sejarah."

Di samping memjuk kepada sederet orientalis, Lester jtrga menyatakan kegernbiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang

telah melakukan usaha "revis7" terhadap paham tentang teks AlQur'an sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama Nasr

Hamid Ab:uZayd, Mohammed Arkoun, dan beberapa lainnya.

Michael Cook, dalam bukunya, Tlrc Kornn: AVery Short htrotluctiort, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Harnid--yang dia tulis sebagai

a Mrrclim seuilnrist--tentang Al-Qur'an sebagai produk budaya,

"Jika teks (Al-Qur'an) merupakan pesan yang dikirim unhrk

bangsa Arab pada abad ketujtilr, maka teks itr.r perlu diformulasikan dengan cara yang tenhr saja hams sesuai dengan aspekaspek bahasa dan budaya yang khas Arab pada masa itu. Maka

Al-Qur'an terbentuk dengan latar belakang manusia. Jadi ia

merrrpakan sebuah produk budnyn--sebuah istilah yang digunakan Abu Zayd-beberapa kali, dan digarisbawahi oleh Mahkamah Kasasi ketika memvonisnya sebagai seorang kafir.,,2S

Menyimak sejumlah buku AbvZayd, dengan mudah dapat clibaca ia begitu menamh perhatian pada aspek "teks" Qtnsh, kltithob).

Ia katakan, misalnya, bahwa peradaban Arab Islam yaitu  ,peradaban teks' (lndlnrnlt nltnsli. Maka, ia hrlis buku-buku yang mengupas

persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti Mnflnnn al-Nash Dirnsnlt fi 'Lllrtnt Al-Qur-ott dan Nnqd nl-Kithnlt nl-Dini.Dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur'an, di samping menrjrrk kepada pendapat-pendapat Mu'tazilah, Abu Zayd banyak

menggunakan metode hermeneutika. Sebagai seorang hermenet,

maka tahap terpenting dalam melakukan kajian terhadap makna

teks, aclalah melakukan analisis terhadap corak teks itu sendiri. Ia

hams mendefinisikan apa itll "teks". Dengan ihllah, dapat diketahui

kondisi pengarang teks tersebut. Unhrk Bible, hal ini tidak terlalu

menjadi masalah, sebab semlra Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, bagaimana untuk Al-Qur'an; apakah ada yang

disebut sebagai pengarang Al-Qur'an? Tokoh hermeneutika modem,

Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata

bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang dan kondisi lingkungannya ini

sangat penting unhlk memahami makna suatu teks.

Di sinilah Ab u Zay d kemudian tampil'cerdik', dengan menempatkan Nabi Muhammad saw.--penerima wahyu--pada posisi semacam "pengarang" Al-Qur'an. Ia menulis dalambukunya, MnJlunn

nl-Nnsh,bahwa Al-Qur'an ditr"rmnkan melalui Malaikat ]ibril kepada

seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai

penerima pertama, sekaligus penyampai teks yaitu  bagian dari

realitas dan masyarakat. Ia yaitu  buah dan produk dari masyarakatnya. Ia hrmbuh dan berkembang di Mekah sebagai anak yatim,

dididik dalam suku Bani Sa'ad sebagaimana anak-anak sebayanya

di perkamprmgan badui. Dengan demikian, kata Abu Zayd, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak

nrembicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan scorang manusia yang dalam dirinya terhadap

harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya,

Muhammad yaitu  bagian dari sosial budaya, dan sejarah

masyarakabryo.tt'

Tentang konscp wahyu dan Muhammad versi Abu Zayd dan

sejenisnya ilri, dihrlis dalam buku Nnsr Hnnid Abu Zaid: Kritik Teks

Kengntrmnn {2003:70),Mereka memandang Al-Qur'an--setidaknya sampai pada

tingkatperkataan--bukanlah teks yang hrmn dari langit (surga)

dalam benhrk kata-kata aktual--sebagaimana pernyataan klasik

yang masih dipegang berbagai kalangan--, tetapi mempakan

spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus

diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan

linguistiknya."

Dengan definisi seperti ihr, jelas bahwa Nabi Muhammad saw.

diposisikan Nasr Hamid sebagai semacam "pengarang" Al-Qur'an.

Artinya, redaksi Al-Qur'an yaitu  versi Nabi Muhammad saw..

Karena beliau dikatakan hanya menerima wahyu dalam benhrk

inspirasi. Nabi Muhammad saw., sebagai seorang 'tnnniy, dikatakan

bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah redaksi A1-

Qur'an, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang dipengamhi

oleh budayanya. Konsep Abu Zayd yang menyatakan bahwa teks

Al.Qur'an sebagai'spirit wahyu dari T[han'begihr identik dengan

konsep teks Bible, bahwa "Tlrc rulnle Bible is giaen by irtspirntion of

God". Dan pandangan seperti ini, akan bemjung pada apa yang

banyak dilakukan oleh orientalis generasi-generasi awal yang menyebtrt agama Islam sebagai "agarna Muhammad", dan hukum

Islam disebut sebagai "Mohammedan Law", nmat Islam disebut

sebagai "Mohammedan". Penganttt konsep Qur'an versi Abu Zayd

ini biasanya tidak mau menyatakan, "Allah berfirman dalam A1-

Qtlr'an.", sebab mereka menganggap Al-Qur'an yaitu  kata-kata

Muhammad. Atau, Al-Qur'an yaitu  karya bersama antara Muhammad dengan Ttrhannya.3r

Pendapat Abtt Zayd dan kalangan dekontsmksionis ini memang berusaha menjebol konsep dasar tentang Al-Qur'an yang

selama ini diyakini kaum Muslimin, bahwa Al-Qur'an, baik makna

maupun lafazh-nya yaitu  dari Allah. Dalam konsepsi Islam, Nabi

Muhammad saw. hanyalah sekadar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, unhrk kemudian

disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang

dipengamJri oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan

seketika ihl. Posisi beliau saw. dalam menerima dan menyampaikan

al-Wahyu memang pasif, hanya sebagai "penyampai" apa-apa yang

diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi

apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat

Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma'-

shum. Al-Quran menyebutkan,

"Dan dia (Mulnnmnd saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari)

wahyu yang diwahyukan kepadan)zal' (an-Najm: 3)

Muhammad saw. memang seorang manusia biasa, tetapibeliau

berbeda dengan mantsia lainnya, karena beliau menerima al-Wahyu

(Ftrshshilat:6). Bahkan, dalam surah al-Haaqqah ayat 44-46, Allah

memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad saw.,

"Seandairya dia (Muhanunad) mengada-adakan sebagian perkataan

atas (nama) Kanri, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian

benar-benar Kanri potong w'at tali jantungnyal

Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw.

hanyalah sebagai penyampai wahyu. Teks-teks Al-Qur'an memang

dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang

budaya ketika ihr. Tetapi, Al-Qur'an tidak tunduk pada budaya. AlQur'an justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu

pola pemikiran dan peradaban baru. Istilah-istilah yang dibawa AlQur'an, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna bam,

yang berbeda dengan yang dipahami kaum Musyrikin Arab waktu

ihr. Bahkan, Al-Qur'an datang dengan konsep-konsep yang disimbolkan dengan istilah-istilah tertentu yang berbeda maknanya

dengan yang dipahami kaum jahiliyah ketika ihr.

Banyak cerita yang menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh

Musyrikin Arab begitu terpesona dengan keindahan dan keluarbiasaan gaya bahasa Al-Qur'an, sehingga mereka menyatakan, bahwa mereka belum pernah mendengar hal serlrpa sebelumnya.

Karena ihl, mereka kemudian menuduh Mu-hammad saw. sebagai

'penyihir' atau 'penyair'. Banyak hadits Nabi yang menyebutkan,

bahwa setiap tahun, Malaikat Jibril membacakan Al-Qur'an kepada

Nabi Muhammad saw. Menjelang wafat beliau, Malaikat Jibril datang dua kali dalam setahun. Dalzrm hadits-hadits ihr disebutkan

Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad saw. membaca Al-Qur'an

secara bergantian.32

Dengan menempatkan posisi Muhammad saw. sebagai 'pengarang'Al-Qrlr'an dan menyebut Al-Qur'an sebagai uiltural product,

maka sebenarnya Abl Zayd telah melepaskan Al-Qur'an dari posisinya sebagai kalarrr Allah yang suci, yang maknanya khas dan

Nabi Mrrhammad saw. yaitu  yang paling memahami makna ayatayat Al-Qur'an. Makna Al-Qur'an tidak bisa riilepaskan begihr sa.ja

dari pemahaman yang diberikan Nabi lluhamrnad sav,r. Teiapi, Abu

Zayd rnenekankan, bahwa teks, apa pun bentuknya, yaitu  produk

budaya.. Teks-teks Al-Qur'an terbenhrk dalam realitas dan budaya

selama kurtm lebih dari 20 tahun. Al-Qur'an jelas menggunakan

bahasa Arab, dan tidaklah mungkin berbicara tentang bahasa terlepas dari realitas masyarakat dan budayanya. Dengan demikian,

tidaklah mungkin berbicara tentang teks Al-Qur'an terlepas dari

realiatas dan budaya masyarakat Arab ketika itu.33

Pendapat Abu Zayd ini berdampak kemudian pada metode

penafsiran Al-Qur'an yang dia aiukan, yang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Padahal, ketika kajian historisitas itr,r

digunakan, maka seseorang iuga akan dipengamhi oleh pandangan,

metode, atau ideologinya. Metode dan pola pikir apa yang digunakan untuk memahami sejarah? Marxiskah? Kapitaliskah? Islamiskah?

Metode historisitas juga sulit rnenghindarkan diri dari subjektivitas.

Sebab ketika seorang mengaplikasikan metode ini, ia akan tarpaksa

memilih sebagian fakta sejarah dan meninggalkan fakta-fakta lainnya. Seorang sejarawan tidak mungkin menampilkan semua fakta

sejarah.

Metode penafsiran AbuZayd yang melepaskan posisi teks AlQur'an sebagai 'Kalam Allah' dapat dilihat dari kritikannya terhadap metode tafsir Ahlus Sunnah, dengan menyimpulkan: (1)

Thfsir yang benar menumt Ahl-,-rs Sururah, clulu dan sekarang, adalah tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu. (2)

Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlus Sunnah, dulu dansekarang, yaitu  usah-a mereka mengaitkan "makna teks" dan'dalaln/.-nya' dengan masa kenabian, risalah, dan hlrr.nnya wahyu. Ini,

mentrnrt Abu Zay d, bukan saja kesalahan "pemahaman", tetapi juga

rnerupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas--suahr

sikap yang bersadar pada keterbelakangan, antikemajuan dan antiprogresivitas. Oleh karena itr"r kattm Ahlus Sunnah menytlsun sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur'an pada empat hal: penjelasan

Rasulullah saw., para sahabat, para tabi'in, dan terakhir yaihl tafsir

bahasa.3a

Benarkah Ahhr Sunnah mendukung keterbelakangan dan antikemajnan, seperti klaim AbttZayd? Pendapat AbuZayd seperti ihr

tenhr saja bukan pendapat ilmiah yang didukung oleh data-data

yang kuat. Apakah salah jika kaum Ahlus Sunnah berpikir bahwa

sebagai penerima wahyu, tenhr Rasulullah saw. yaitu  yang paling

paham terhadap makna teks Al-Qur'an? Jika bukan Rasul saw. yang

paling tahu, lalu siapa yang paling memahami makna wahyu tersebut? Selama ratusan tahun, kaurn Muslim mengalami zaman keemasan dan mencapai kemajuan di berbagai bidang jtrstn ketika

mereka menganut pola pemahaman Ahlus Sunnah. Upaya tmhrk

memntuhkan konsep Ahlus Sturnah dilakukan Nasr Hamid dengan

menyerang sejumlah tokoh utamanya, seperti Imam Syafi'i, alGhazali, dan Asy'ari.

Htrjatan-hujatan yang jauh dari standar ilmiah dari Nasr Hamid

dapat dilihat dalam serangannya terhadap para ulama Islam ihr.

Misalnya, kritiknya terhadap al-Ghazali, (1) "Dalam konsep ini, tampak ambisi al-Ghazali untr"rk mempertahankan sistem sosial yang

ada (stnttts grro) selama sistem ini mempakan sat.r-sahlnya sistem

yang mampu menjamin keselamatan ahli akhirat." (2) "Cukup dikatakan bahwa konsep-konsep al-Ghazali, seltrnrhnya, meskipun

setelah itu diterima secara luas, bertentangan dengan tr.rjuan-tr"rjuan

dasar wahyu sekaligus syariat.... Di sini kami cukup mengatakan

bahwa salah sahr sebab yang menjadikan masyhur, terletak pada

dualisme sistem pemikiran yang dilontarkan al-Ghazali, pada satu

sisi ia menyuguhkan kepada masyarakat awam sarana keselamatan

melalui suluk menuju akhirat, dan pada sisi lain menyuguhkan ke-

pada kelompok dominan--para penguasa dan raja--ideologi sistem

Asy'arian dengan segala sistem pembenaran dan sinkritisism€flya."3s

]adi, ketika konsep teks Al-Qur'an dibongkar, dan dilepaskan

dari posisinya sebagai 'kalam Allah' maka Al-Qur'an akan diperlakukan sebagai "teks bahasa" dan "produk budaya", sehingga bisa

dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul Allah dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat Al-Qur'an dalam kehidupan mereka.

Dengan pembongkaran konsep Al-Qur'an sebagai 'Kalam Allah'ini,

maka barulah metode hermeneutika liberal mungkin digunakan untuk memahami Al-Qur'an. Metode ini memungkinkan penafsiran

Al-Qur'an menjadi bias dan disesuaikan dengan hrnhrtan nilai-nilai

budaya yang sedang dominan saat ini (Barat).

Sebagian kalangan memuja Nasr Hamid secara berlebihan, dengan menempatkannya pada posisi'mujtahid' atau'mujaddid' bam,

yang seolah-olah telah berhasil menggusur metode Imam al-Asy'ari,

al-Syaff i, al-Ghazali, dan lain-lain. Buku-bukunya diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia, tanpa kritik yang memadai. Pendukungnya berjubel dan ironisnya terkadang tetap mengatasnamakan diri

mereka sebagai "Ahlus Sunnah". Padahal, Nasr Hamid sendiri

menghujat habis-habisan metode penafsiran Al-Qur'an versi Ahlus

Sunnah dan lebih menyukai metode Mu'tazilah--meskipun nanti

terbukti, konsep Qur'annya pun sangat jauh menyimpang dari konsep Mu'tazilah.36

Sebagaimana disinggung pada bagian terdahulu, jika ditelaah

lebih jauh, upaya-upaya unhrk merunhrhkan atau membongkar

konsep AI-Qur'an yang dilakukan para orientalis dan para pendukungnya, juga dilatarbelakangi oleh problema yang dihadapi