Jumat, 16 Desember 2022
Home »
wawasan sosial 2
» wawasan sosial 2
wawasan sosial 2
Desember 16, 2022
wawasan sosial 2
gajah sebagai symbol telapak gajah Airwata
(kendaraan Dewa Wisnu.
3. Prasasti Jambu, ditemukan di Bukit Koleangkak
yang berisi sanjungan kepada raja.
4. Prasasti Tugu, ditemukan di Desa Tugu,
Cilincing, Jakarta Utara yang yaitu prasasti
terpanjang dan terpenting. Isinya menjelaskan
tentang penggalian saluran Gomati sepanjang
6112 tumbak atau ± 12 Km pada masa ke-22
tahun pemerintahan Purnawarman dan dapat
diselesaikan dalam waktu 21 hari. Untuk
merayakannya, raja menghadiahkan 1000 ekor
sapi kepada para Brahmana.
5. Prasasti Pasir Lebak, isinya pujian kepada raja,
6. Prasasti Pasir Awi, dan
7. Prasasti Muara Cianteun.
berdasar sumber-sumber ini , baik prasasti
yang ditemukan di Jawa Barat maupun berita-berita
dari Cina, Istilah Sailendrawangsa ditemukan pertama kali di dalam prasasti
Kalasan tahun 700 Saka(778M). 1 lalu istilah itu muncul pula di
dalam prasasti dari desa Kelurak tahun 704 Saka (782 M). 2 di dalam
prasasti Abhayagiriwihara dari bukit Ratu Baka tahun 714 Saka (792 M),
dan di dalam prasasti Kayumwungan tahun 746 Saka (824 M), Yang
amat menarik perhatian ialah bahwa istilah Sailendrawangsa itu muncul
pula di luar Jawa, yaitu di dalam prasasti Ligor B 5
, Nalanda, dan Leiden.
prasasti ini semuanya memakai bahasa
Sanskerta, dan tiga diantaranya – kecuali prasasti Kayumwungan –
memakai huruf siddham, bukan huruf Pallawa atau huruf Jawa Kuno
seperti biasanya prasasti di Jawa. fakta ini
ditambah dengan fakta bahwa ada beberapa nama wangsa di India
dan daratan Asia Tenggara yang sama artinya dengan Sailendra, yaitu
raja gunung, memicu banyak teori tentang asal usul wangsa
Sailendra di Jawa itu. R.C. Majumdar beranggapan bahwa wangsa
Sailendra di Indonesia, baik yang di Jawa maupun yang di Sriwijaya,
berasal dari Kalingga di India Selatan. 6 G. Coedes lebih condong
kepada anggapan bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari Fu-nan atau
Kamboja. Menurut pendapatnya ejaan Fu-nan dalam berita Cina itu
berasal dari kata Khmer kuno vnam atau bnam yang berarti gunung; dalam bahasa Khmer sekarang phnom. Raja – raja Fu-nan Dinamakan
parwatabhupala, yang berarti raja gunung sama dengan kata Sailendra.
sesudah kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, ada anggota
wangsa raja – raja Fu-nan itu yang menyingkir ke Jawa, dan muncul
sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad VIII M, dengan
memakai nama wangsa Sailendra. J. Przyluski menunjukkan bahwa argumentasi Coedes itu didasarkan
atas tafsiran yang meragukan dari data bait di dalam prasasti Kuk Prah
Kot, yang menurut Coedes merupakan petunjuk bahwa raja – raja
Sailendra di Jawa menganggap dirinya keturunan wangsa Sailendra Funan. Menurut Przyluski istilah wangsa Sailendra itu menunjukkan bahwa
raja – raja itu menganggap dirinya berasal dari Sailendra yang berarti raja
gunung, dan merupakan sebutan bagi Siwa = Girisa. Dengan perkataan
lain, raja – raja wangsa Sailendra di Jawa itu tentu menganggap
leluhurnya ada di atas gunung. Hal ini merupakan petunjuk baginya
bahwa istilah Sailendra itu asli Indonesia.
hipotesa ini di atas sudah dibahas oleh Nilakanta
Sastri, dan ia sendiri mengajukan pendapat bahwa wangsa Sailendra di
Jawa itu berasal dari area Pandya di India Selatan. Akhirnya, J.L.
Moens, dalam salah satu karangannya yang menarik perhatian,
mengemukakan pendapat bahwa wangsa Sailendra itu dari India Selatan,
yang semula berkuasa di sekitar Palembang, namun pada tahun 683 M
melarikan diri ke Jawa sebab serangan dari Sriwijaya dari Semenanjung
Tanah Melayu. Di antara hipotesa diatas yang lalu banyak dianut
ialah pendapat G. Coedes, lebih – lebih sesudah J.G. de Carparis dapat
menemukan istilah Waranaradhirajaraja di dalam prasasti candi Plaosan
Lor, juga prasasti Kelurak, dan ia mengidentifikasikan Waranara itu
dengan Narawaranagara atau Na-fu-na di dalam berita – berita Cina, yaitu
pusat kerajaan Fu-nan sesudah berpindah dari Wyadhapura atau T’e-mu
sesudah mendapat serangan dari Chen-la dibawah pimpinan
Bhawawarman dan Citrasena pada pertengahan kedua abad VI M.
Selanjutnya de Casparis mengatakan bahwa sesudah pindah ke Na-fu-na
yang biasa dilokasikan di dekat Angkor Borei ada di antara raja – raja itu
yang pergi ke Jawa dan keturunan – keturunannya.Jadi, menurut de
Casparis, di Jawa mula – mula berkuasa wangsa raja – raja yang
beragama Siwa, namun sesudah kedatangan raja dari Na-fu-na itu yang
berhasil menaklukannya, di Jawa Tengah terdapat dua wangsa raja –
raja, yaitu raja – raja dari wangsa yang beragama Siwa, dan para
pendatang baru itu, yang lalu menamakan dirinya wangsa
Sailendra, yang beragama Buddha. Pendapat de Casparis ini diilhami
oleh F.H. van Naerssen, yang melihat bahwa di dalam prasasti Kalasan
tahun 778 M, yang berbahasa Sanskerta ada dua pihak, yaitu pihak raja
wangsa Sailendra, yang hanya Dinamakan sebagai Permata wangsa
Sailendra tanpa nama, dan Rakai Panangkaran, raja bawahannya dari
wangsa Sanjaya.
Selanjutnya de Casparis mencoba mengadakan rekonstruksi jalannya
sejarah kerajaan Mataram sampai dengan pertengahan abad IX M
dengan landasan anggapan bahwa sejak pertengahan abad VIII M ada
dua wangsa raja – raja yang berkuasa, yaitu wangsa Sailendra yang
berasal dari Fu-nan, dan penganut agama Buddha Mahayana, yang
berhasil menaklukkan raja – raja dari wangsa Sanjaya yang beragama
Siwa. Raja – raja wangsa Sanjaya itu, sejak Rakai Panangkaran hanya
berkuasa sebagai raja bawahan, dan dalam beberapa kesempatan
pembangunan candi – candi membantu raja wangsa Sailendra dengan
memberikan tanah – tanah sebagai sima bagi candi – candi itu.
Pendapat de Casparis ini dikembangkan lagi oleh F.D.K. Bosch, dengan
perubahan – perubahan di sana – sini.
Pendapat bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari luar Indonesia
(India atau Kamboja) ditentang oleh R.Ng. Poerbatjaraka. Ia merasa amat
tersinggung membaca teori – teori ini , seolah – olah bangsa Indonesia ini sejak dahulu kala hanyalah mampu untuk diperintah oleh
bangsa asing.
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan – keturunannya itu ialah
raja – raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut
agama Siwa, namun sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi
penganut agama Buddha Mahayana. Sebagai salah satu alasan ia
menunjuk kepada kitab Carita Parahyangan, yang antara lain memuat
keterangan bahwa Rahyang Sanjaya sudah menganjurkan anaknya
Rahyangta Panaraban, untuk meninggalkan agama yang dianutnya,
sebab ia ditakuti oleh semua orang. nama Rahyangta Panaraban
diidentifikasikannya dengan Rakai Panangkaran.
Penemuan prasasti batu berbahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto,
Kabupaten Pekalongan, dan sebuah prasasti batu berbahasa Sanskerta
yang tidak diketahui dengan jelas asalnya dan kini tersimpan di
Museum Adam Malik, mungkin sekali memperkuat anggapan
Poerbatjaraka. Prasasti dari Sojomerto itu menyebutkan Dapunta
Selendra, nama ayah dan ibunya, yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan
istrinya yang bernama Sampula. Masih ada tokoh lagi yang Dinamakan di
dalam prasasti yang sayang sekali namanya tidak terbaca seluruhnya.
juga istilah yang menunjukkan hubungan antara tokoh ini
dengan Dapunta Selendra tidak terbaca seluruhnya. Tokoh ini diberi
predikat Hyang, jadi mungkin sekali tokoh yang sudah diperdewakan, dan
dianggap sebagai leluhur Dapunta Selendra.
Sebagaimana Isanawangsa berpangkal kepada Pu Sindok yang
bergelar Sri Isanawikramadharmmottunggadewa dan Rajasawangsa
berpangkal kepada Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa tentunya Sailendra wangsa berpangkal kepada seorang leluhur yang gelarnya
mengandung unsur Sailendra. Di dalam prasasti Sojomerto itu ditemukan
nama Dapunta Selendra, yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata
Sanskerta Sailendra. Sesuai dengan asal usul nama – nama wangsa
yang lain itu dapatlah disini disimpulkan bahwa wangsa Sailendra itu
berpangkal kepada Dapunta Selendra. fakta bahwa ia
memakai bahasa Melayu Kuno di dalam prasastinya menunjukkan
bahwa ia seorang Indonesia asli, mungkin sekali berasal dari Sumatra.
sebab di Sumatralah ditemukan lebih banyak prasasti berbahasa Melayu
kuno.
Dari prasasti Sojomerto itu jelas bahwa Dapunta Selendra ialah
penganut agama Siwa. Kapan dan apa sebabnya raja – raja wangsa
Sailendra itu mulai menganut agama Buddha mungkin dapat diketahui
dari prasasti milik Bapak Adam Malik, yang untuk sementara Dinamakan
dengan nama Sangkhara. Prasasti ini berbahasa Sanskerta, namun
sayang yang diketemukan kembali hanya bagian akhirnya. Rupa –
rupanya prasasti ini dituliskan di atas dua batu, namun batu yang pertama
yang memuat permulaan prasasti tidak ada. Dengan demikian, tidak
diketahui kapan prasasti ini dikeluarkan kalaupun ada angka tahunnya.
Melihat bagian belakang prasasti yang tidak rata, dan ada bagian yang
merupakan tonjolan, rupa – rupanya prasasti ini dahulu ditempatkan
dalam suatu bangunan.
Bagian yang tersisa berisi keterangan bahwa pada suatu saat ayah
raja Sangkhara jatuh sakit, dan selama delapan hari ia sangat menderita
sebab panas yang membakar. Akhirnya ia meninggal tanpa dapat
disembuhkan oleh pendeta gurunya. Oleh sebab itu, raja Sangkhara
merasa takut kepada sang guru yang dianggapnya tidak benar, dan ia lalu
meninggalkan kebaktian kepada Sangkhara (Dewa Siwa). Bagian
penutup prasasti memang membayangkan bahwa raja Sangkhara itu lalu menjadi penganut agama Buddha, sebab antara lain dikatakan
bahwa ia sudah memberikam anugerah kepada bhiksusnggha.
Kalau tafsiran itu benar, di sini ditemukan suatu sumber prasasti yang
memberikan keterangan tentang perpindahan agama dari agama Siwa ke
agama Buddha, dan raja yang berpindah agama itu ialah raja Sangkhara
yang hingga kini belum pernah ditemui namanya di dalam sumber –
sumber yang sudah dikenal sebelumnya.
Prasasti ini tidak lengkap hingga tidak diketahui angka tahunnya. Akan
namun , dari segi paleografi dapat diperkirakan bahwa prasasti ini berasal
dari pertengahan abad VIII M. Mungkin sekali ini merupakan bukti
epigrafis dari teori Poerbatjaraka yang didasarkan atas keterangan di
dalam kitab Carita Parahyangan. Dengan perkataan lain, mungkin sekali
pendapat Poerbatjaraka mengenai asal usul wangsa Sailendra benar,
yaitu bahwa mereka itu orang Indonesia asli, dan bahwa hanya ada satu
wangsa, wangsa Sailendra, yang anggota – anggotanya semula
menganut agama Siwa. namun , sejak pemerintahan Rakai
Panangkaran menjadi penganut agama Buddha Mahayana, lalu pindah lagi menjadi penganut agama Siwa sejak pemerintahan
Rakai Pikatan.
. Ho-ling dan Kanjuruhan
Munculnya wangsa Sailendra itu bersamaan dengan perubahan
dalam penyebutan Jawa didalam berita – berita Cina. Kalau sebelumnya,
yaitu dalam abad V M, berita – berita Cina dari zaman dinasti Sung Awal
(420 – 470 M) menyebut Jawa dengan She-p’o, berita – berita Cina dari zaman dinasti Tang (618 – 906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Holing sampai tahun 818 M. untuk lalu berubah lagi menjadi She-p’o
mulai tahun 820 M sampai tahun 856 M. 22 Seperti sudah dikatakan,
prasasti Sojomerto itu mungkin sekali berasal dari pertengahan abad VII
M, dan berita Cina yang pertama menyebut Ho-ling berasal dari tahun 640
M. Berita – berita dari zaman dinasti Tang ada dua versi, yaitu Ch’iu-T’ang
shu dan Hsin T’ang shu (618 – 906 M). Berita tentang Ho-ling antara lain
sebagai berikut : Ho-ling yang juga Dinamakan She-p’o. terletak di laut
selatan. Di sebelah timurnya terletak P’o-li dan di sebelah baratnya
terletak To-p’o-teng. Di sebelah selatannya adalah lautan, sedang di
sebelah utaranya terletak Chen-la, 23 Tembok kota dibuat dari tonggak –
tonggak kayu. Raja tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat,
beratapkan daun palem (?), dan duduk di atas bangku yang terbuat dari
gading. Dipergunakan pula tikar yang terbuat dari kulit bambu. Kalau
makan, orang tidak memakai sendok atau sumpit, namun dengan
tangan saja. Penduduknya mengenal tulisan dan sedikit tentang ilmu
perbintangan.
Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak, dan
gading. Kerajaan ini amat makmur; ada sebuah gua (?) yang selalu
mengeluarkan air garam (bledug, Jw.). Penduduk membuat minuman
keras dari bunga kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya
dapat mencapai tiga kaki, dan besarnya sama dengan tangan orang.
Bunga ini dipotong, dan airnya ditampung dijadikan minuman keras;
rasanya amat manis, namun orang cepat sekali mabuk dibuatnya. Di Holing banyak wanita yang berbisa; bila orang mengadakan
hubungan kelamin dengan wanita – wanita itu, ia akan luka –
luka bernanah dan akan mati, namun mayatnya tidak membusuk.
Di area pegunungan ada sebuah area yang bernama Lang-piya; raja sering pergi kesana untuk menikmati pemandangan ke laut.
bila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon
setinggi 8 kaki, bayangannya akan jatuh ke sebelah selatannya, dan
panjangnya dua kaki empat inci.
Dalam masa Chen-kuan (627 – 649 M), raja Ho-ling, bersama dengan
raja To-ho-lo dan To-p’o-teng, mengirimkan utusan ke Cina menyerahkan
upeti. kaisar memberikan surat jawaban dengan dibubuhi cap kekaisaran,
dan saat utusan dari To-ho-lo meminta kuda – kuda yang baik,
permintaan itu dikabulkan oleh Kaisar. Utusan dari Ho-ling datang lagi
pada tahun – tahun 666, 767, dan 768 M. Utusan yang datang pada tahun
813 M (atau 815 M) mempersembahkan empat budak sheng-chih
(jenggi), burung kakatua yang bermacam – macam warnanya, burung
p’in-chia (?), dan benda – benda yang lain. Kaisar amat berkenan hatinya,
dan memberikan anugerah gelar kehoqrmatan kepada utusan itu. Utusan
itu mohon agar gelar itu diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat
terkesan akan sikap itu, dan memberi anugerah gelar kehormatan kepada
keduanya.
Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang
wanita sebagai ratu yaitu ratu Hsi-mo. Pemerintahannya meskipun
sangat keras namun adil. Barang – barang yang terjatuh di jalan tidak
ada yang berani menyentuhnya. Pada waktu raja orang – orang Ta-shih
mendengar berita semacam itu, ia mengirim pundi – pundi berisi emas
untuk diletakkan di jalan di negeri ratu Hsi-mo. Setiap orang yang
melewatinya menyingkir, sampai tiga tahun pundi – pundi itu tak ada yang
menyentuhnya. Pada suatu hari putra mahkota yang lewat disitu tanpa
sengaja sudah menginjaknya. Ratu sangat marah, dan akan
memerintahkan hukuman mati terhadap putra mahkota. Para menteri
mohon pengampunan baginya. namun , ratu mengatakan bahwa
sebab yang bersalah adalah kakinya, kaki itu harus dipotong. Sekali lagi
para menteri mohon pengampunan; akhirnya ratu memerintahkan agar
jari – jari kaki putra mahkota itu yang dipotong, sebagai peringatan bagi
penduduk seluruh kerajaan. Mendengar hal itu raja Ta-shih takut dan
mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan ratu Hsi-mo.
Raja tinggal di kota She-p’o (She-p’o-tch’eng), namun leluhurnya yang
bernama Ki-yen sudah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota
P’olu-chia-ssu. Di sekeliling She-p’o ada 28 kerajaan kecil, dan tidak ada
diantaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, dan yang terutama diantara mereka ialah ta-tso-kan-hsiung.
Menurut berita
dalam Ying-huan-tschelio perpindahan itu terjadi dalam masa T’ien-pao
(742 – 755 M).
Berdasarkan keterangan mengenai panjangnya bayangan gnomon
ditengah musim panas itu orang harus menetapkan letak Ho-ling ada
pada 6o8’ LU, jadi tidak mungkin ada di Jawa. namun , ada
kemungkinan juga bahwa penulis Hsin-T’ang shu itu sudah membuat dua
kali kekeliruan, yaitu bahwa mestinya waktunya ditengah musim dingin,
dan bahwa bayangan gnomon itu jatuh disebelah utaranya. Kalau
pembetulan ini diterima, Ho-ling terletak pada 6o8’ LS, jadi di pantai
utara Jawa. Pemecahan semacam ini sesuai dengan lokalisasi Lang-piya di Desa Krapyak dekat Gunung Lasem. 27} L-C Damais
mengindentifikasikan Ho-ling dengan Walaing. Identifikasi itu mungkin
secara fonetis memang dapat dipertanggung jawabkan, namun sepanjang
yang dapat disimpulkan dari sumber epigrafi, Walaing yang memang
sering Dinamakan sebagai nama tempat didalam banyak prasasti, tidak
merupakan pusat kerajaan. Dari prasasti –prasasti diketahui bahwa
kerajaan wangsa Sailendra itu Dinamakan Mataram, dan ibu kotanya Dinamakan
Medang, sampai ke zaman pemerintahan Pu Sindok. Letak ibu kota
Medang memang berpindah – pindah, namun tidak pernah ada Medang i
Walaing. Desa Medang memang ditemukan mulai dari area Bagelen di
Jawa Tengah sampai didekat Madiun Jawa Timur, namun yang terbanyak
ialah antara Purwodadi – Grobogan dan Blora. Lokasi di area ini sesuai
pula dengan keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan
air garam, dan memang di Desa Kuwu di area Purwodadi – Grobogan
itulah hingga kini masih ditemukan apa yang dalam bahasa area Dinamakan
bledug, dan orang disitu membuat garam dari bledug itu.
Ratu Hsi-mo atau Sima dalam bahasa Indonesia, mungkin pengganti
atau salah seorang pengganti Dapunta Selendra. Perlu dicatat disini
bahwa pada masa pemerintahan Sima itu Ho-ling sudah ada seorang
pendeta agama Buddha yang termasyur bernama Yoh-na-p’o-to-lo atau
Jnabhadra. ia sudah membantu seorang pendeta Vina, Hwi-ning (664
– 666 M), dalam menerjemahkan kitab suci agama Buddha dari bahasa
Sanskerta ke dalam bahasa Cina. ini berarti bahwa setidak – tidaknya
kedua pendeta itu dapat berdiskusi dalam satu bahasa yang mereka
kuasai bersama, disamping bahasa Sanskerta, bahasa Cina atau bahasa
area , yang didalam berita – berita Cina Dinamakan bahasa K’un-lun.
Yang mereka terjemahkan ialah Nie-p’an (Nirwana) dari Sang
Buddha dan pembakaran jenazahnya. Menurut keterangan I-tsing
ternyata naskah ini berbeda dengan naskah Nirwana dari aliran
Hinayana. Ini juga ternyata dari keterangan I-tsing yang mengatakan
bahwa naskah yang diterjemahkan itu termasuk dalam Ngo-ki-muo
(Agama),yang tergolong dalam kitab – kitab sutra yang pertama dari aliran
Hinayana. Dari keterangan I-tsing diketahui pula bahwa di pulau – pulau
di Laut Selatan, termasuk di Ho-ling, hampir semua penduduknya
menganut agama Buddha Hinayana terutama dari Mulasarwastiwada.
Keterangan I-tsing itu bertentangan dengan fakta bahwa
Dapunta Selendra adalah penganut agama Siwa; dan juga
tentunya pengganti – penggantinya sampai dengan Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya.
namun , mengingat bahwa di Jawa ini tidak selalu rakyat mengikuti
agama yang dianut oleh rajanya, sebagaimana antara lain ternyata dari
banyaknya peninggalan – peninggalan candi kecil yang berlandaskan
agama Siwa disekitar candi Borobudur, masalah agama itu tidak perlu merupakan keberatan terhadap anggapan bahwa sampai pemerintahan
Sanjaya raja – raja wangsa Sailendra adalah penganut Siwa.
Dalam masa pemerintahan ratu Sima itu ada ancaman dari raja T-shih,
Istilah Ta-shih merupakan transkripsi dari tajika, yang biasa dipakai
untuk menyebut orang – orang Arab di India, Timbul pertanyaan apakah
yang dimaksudkan dengan raja Ta-shih yang hendak menyerang Ho-ling
itu. Mungkinkah di kepulauan Indonesia pada abad VII M itu sudah ada
orang – orang Arab (atau yang oleh orang Cina dianggap sebagai orang
Arab) yang menetap dan merupakan suatu kelompok masyarakat
tersendiri?
Prasasti Hampran dan prasasti Sangkhara itu berasal dari suatu masa
yang bersamaan dengan terjadinya perpindahan ibu kota kerajaan Holing dari She-p;o-tch’eng ke P’o-lu-chia-sse, seperti yang tertera dari
berita Cina dari zaman rajakula T’ang. Seperti sudah Dinamakan kan, berita
Cina itu mengatakan bahwa raja Ho-ling tinggal di kota She-p’o, namun
nenek moyangnya yang bernama Ki-yen sudah memindahkan ibu kotanya
ke timur, ke P’o-lu-chia-sse. sebab selanjutnya Dinamakan – sebut ta-tsokan-hiung, yang oleh Boechari ditafsirkan sebagai “Daksa, saudara / raja
/ yang gagah berani, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
disini ialah Rakai Watukura Dyah Balitung, yang memerintah antara tahun
899 – 911 M.
Masalahnya sekarang siapakah Ki-yen itu, dan apa sebabnya ia
memindahkan pusat kerajaannya. Seperti sudah dikatakan pemindahan
pusat kerajaan itu biasanya terjadi bila kota itu sudah diserbu oleh
musuh. namun , antara tahun 742 – 755 M itu tidak ada satu sumberpun yang memberitakan adanya serangan. Apa yang kira – kira terjadi
antara tahun itu adalah pergantian pemerintahan Sanjaya ke Rakai
Panangkaran.
kalau Sangkhara itu dapat diidentifikasikan dengan Rakai Panangkaran –
sehingga nama lengkap raja ini ialah Rakai Panangkaran Dyah
Sangkhara Sri Sanggramadhananjaya – maka pergantian itu disertai pula
dengan perubahan agama yang dianut oleh raja; dan ini mungkin dapat
memicu pergolakan. Mungkin masih ada anggota keluarga raja
yang lain yang masih taat kepada agama leluhurnya, yaitu agama Siwa,
dengan mungkin masih mempertahankan guru mereka. Mungkin juga
Bhanu di dalam prasasti Hampran itu salah seorang anggota wangsa
Sailendra yang diserahi sebagai penguasa area , yang masih tetap
menganut agama Siwa.
Apakah Rakai Panangkaran yang memindahkan pusat kerajaannya
lebih ke timur dari area Kedu, yaitu lembah di lereng gunung Merapi?
Kesulitannya ialah bahwa pertama – tama harus tahu dahulu letak Shep’o-tch’eng (Yawapura), pusat kerajaan Rakai Watukura Dyah Balitung.
Apakah di area Kedu, ataukah di area sekitar Prambanan, ataukah
di area Purwodadi – Grobogan (?), yang terang sudah tidak lagi di
area Pekalongan / Banyumas. Andaikata dapat ditunjukkan bahwa
Rakai Watukura berpusat kerajaan di area Kedu mengingat gelar
rakainya yang menunjukkan bahwa ia mempunyai area lungguh di
area Kedu Selatan, – mungkin sekali Rakai Panangkaran sudah
memindahkan pusat kerajaannya ke sekitar Prambanan, atau di area
Purwodadi – Grobogan. Seperti yang akan dikemukakan dalam uraian
selanjutnya, Rakai Panangkaran sudah membangun banyak candi,
antaranya candi Sewu yang mestinya berfungsi sebagai candi kerajaan,
khusus untuk pemujaan dewa tertinggi, yaitu manjusri, dan candi Kalasan.
Dengan uraian ini seolah – olah Ki-yen sudah diidentifikasikan
dengan Rakai Panangkaran. Seperti sudah ditunjukkan oleh L-C Damais
mungkin sekali Ki-yen itu tidak lengkap, mestinya Lo-ki-li-yen, yang merupakan transkripsi dari gelar Rakarayan, atau lo-ki-yen yang
merupakan transkripsi dari Rakryan.
jadi, Ki-yen bukan nama,
melainkan hanya gelar; maka dapat diidentifikasikan dengan siapa saja
yang bergelar Rakarayan. Mengenai lokasi P’o-li-chia-sse memang
belum dapat didapat penyelesaian yang memuaskan. yang dapat
dikatakan disini barulah bahwa p’o-lu itu dapat merupakan transkripsi dari
waru. Nama tempat Waru atau yang mengandung unsur Waru memang
banyak sekali, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. namun ,
mungkin Waru harus dicari di sekitar Rembang, sebab memenuhi syarat
dekat dengan Krapyak, suatu tempat yang sering dikunjungi raja untuk
menikmati pemandangan laut.
Bagaimana kalau ternyata Rakai Watukura Dyah Balitung bertakhta di
area Prambanan atau Purwodadi – Grobogan (?) Tentulah harus
dibayangkan bahwa nenek moyangnya sudah memindahkan pusat
kerajaan lebih ke timur lagi, mungkin sampai ke Jawa Timur. Dalam
hubungan ini perlu dikemukakan bahwa hingga kini para sarjana
cenderung untuk menghubungkan berita perpindahan pusat kerajaan Holing ke timur itu dengan munculnya prasasti Dinoyo di area Malang
yang berangka tahun 682 Saka (21 Nopember 760 M). 40
Di dalam prasasti Dinoyo itu diperingati pembuatan arca Agastya dari
batu hitam dengan bangunan candinya oleh raja Gajayana, sebagai
pengganti arca Agastya yang sudah dibuat dari kayu cendana oleh nenek
moyangnya.
Gajayana adalah anak raja Dewa singha yang sudah memerintah kerajaan
dibawah naungan api Putikeswara, sesudah Dewasingha mangkat
anaknya yang semula bernama Limwa, menggantikan duduk diatas
takhta kerajaan Kanjuruhan, dengan nama Gajayana. Ia beranak
wanita yang bernama Uttejana, yang kawin dengan Jananiya. Gajayana memang pemuja Agastya, dan sesudah ia melihat arca Sang
Maharesi yang dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu cendana, ia
memerintahkan kepada para pemahat untuk membuat arca batu hitam
yang indah dan bersama para pembesar dan rakyat ia memerintahkan
pembangunan sebuah candi yang indah untuk para pertapa, para
) sthapaka, dan rakyat. Pada kesempatan itu raja menganugerahkan
sebidang tanah, sapi yang gemuk – gemuk dan sejumlah kerbau, serta
budak laki – laki dan wanita sebagai penjaganya. juga raja
menganugerahkan segala sesuatu untuk keperluan para pendeta, seperti
) untuk keperluan pemujaan api dan untuk persembahan caru bagi Sang
Maharesi, dan untuk keperluan penyucian diri dan sebuah bangunan yang
besar dan permai untuk tempat beristirahat para pengunjung, lengkap
dengan persediaan padi jelai, tempat tidur, dan pakaian. Dua bait terakhir
prasasti ini berisi kutukan bagi mereka yang tidak menjunjung tinggi
amanat raja, dan sebaliknya mengharapkan kesejahteraan bagi mereka
yang ikut memperbesar jasa dengan memelihara bangunan suci itu
beserta segenap kelengkapannya.
Isi prasasti ini mungkin berkaitan dengan nama sebuah kerajaan
di Jawa Timur yang bernama Kanjuruhan. Nama ini rupa – rupanya
hingga sekarang masih ada dalam nama sebuah desa tidak jauh dari
Dinoyo, tempat penemuan prasasti, yaitu des Kejuron ditepi Kali Merto.
Disebelah utara Desa Kejuron itu masih ada peninggalan candi yang
memiliki ciri – ciri arsitekturnya termasuk bangunan candi yang tua, yaitu
candi Badut. Apakah memang candi Badut itu yang Dinamakan kan didalam
prasasti ini sebagai candi untuk pemujaan Agastya belumlah dapat
dipastikan, sebab disekitarnya, yaitu didesa Merjosari, Besuki, dan
Ketawang Gede juga ditemukan sisa – sisa bangunan kuno yang
menunjukkan ciri – ciri arsitektur yang sama
Poerbatjaraka mengidentifikasikan Gajayana dengan Ki-yen didalam
berita Cina yang memindahkan kerajaan Ho-ling ke Timur. Fonetis
identifikasi ini kurang dapat diterima. Lagi pula ada keberatan yang
lebih mendasar, yaitu fakta bahwa didalam prasasti ini Dinamakan –
sebut arca Agastya dari kayu cendana yang sudah dibuat oleh nenek
moyang raja Gajayana. Selain itu, dari kata – kata didalam prasasti
terbayang bahwa sebelumnya raja Dewasingha, ayahnya, sudah
memerintah dengan tenang di kerajaan Kanjuruhan. Jadi, tidak
mungkinlah kiranya Gajayana diidentifikasikan dengan Ki-yen. Bahkan
mungkin harus disimpulkan bahwa kerajaan Kanjuruhan itu tidak ada
hubungannya sama sekali dengan kerajaan Ho-ling atau Mataram di
Jawa Tengah. bila yang dimaksud dengan arca Agastya dari kayu
cendana yang sudah dibuat oleh nenek moyang raja Gajayana itu tidak lain
dari sebuah patung pemujaan nenek moyang yang biasa dibuat oleh
kesatuan masyarakat yang belum menganut agama Hindu / Buddha, jadi
semacam mulabera, yang lalu , sesudah kelompok itu menganut
kebudayaan India dan berkembang menjadi suatu kerajaan, ditingkatkan
menjadi semacam patung dewaraja.
Kalau demikian halnya,
Dewasingha dan Gajayana itu ialah keturunan kepala area yang
menguasai Kejuron dan sekitarnya, yang sudah mengangkat dirinya
menjadi raja dalam gaya India, lengkap dengan upacara pentahbisannya.
Kerajaan Kanjuruhan itu tidak lama berkembangnya. Mungkin
lalu kerajaan itu ditaklukkan oleh Mataram, dan penguasa –
penguasanya dianggap sebagai raja bawahan dengan gelar Rakryan
Kanuruhan. Gelar ini mulai muncul didalam prasasti raja Watukura Dyah
Balitung, dan kedudukannya menjadi amat penting dalam zaman
Dharmawangsa Airlangga dan zaman Kadiri. Mungkin sekali memang
Rakai Watukura yang menaklukkan Kanjuruhan itu, sebab dari raja ini didapatkan prasasti Kubu – Kubu tahun 827 Saka (17 Oktober 905 M),
yang menyebut bahwa pada zaman pemerintahannya sudah terjadi
penyerangan ke Banten, dan Banten dapat dikalahkan. Berdasarkan
nama – nama tempat yang lain didalam prasasti ini mungkin Banten itu
harus dicari diarea Jawa Timur.
. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
Sebelum membicarakan masalah perpindahan pusat kerajaan itu
baiklah terlebih dahulu Dinamakan kan disini beberapa sumber prasasti dari
masa sebelum perpindahan itu. Pertama – tama Dinamakan kan disini prasasti
di desa Lebak, Kecamatan Grabag (Magelamg), di lereng Gunung
Merbabu, yang lebih dikenal dengan nama prasasti Tuk Mas. Prasasti
ini dipahatkan pada sebuah batu alam yang besar yang berdiri didekat
suatu mata air. Hurufnya Pallawa yang tergolong muda, dan bahasanya
Sanskerta. Menurut analisis paleografis dari Krom prasasti ini berasal dari
pertengahan abad VII M. 48 Isinya pujian kepada suatu mata air yang
keluar dari gunung, menjadi sebuah sungai yang mengalirkan airnya yang
dingin dan bersih melalui pasir dan batu – batu, bagaikan Sungai Gangga.
Diatas tulisan itu dipahatkan bermacam – macam laksana dan alat –
alat upacara antara lain cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting,
kudi, pisau, tongkat, dan empat bunga padma. laksana – laksana itu jelas
menunjuk kepada agama Siwa. Dapat dibayangkan bahwa mata air itu
dianggap sebagai sumber air yang suci, dan bahwa didekatnya tentu ada
asrama pendeta – pendeta yang mengelola sumber air ini .
Prasasti yang kedua adalah prasasti Canggal, yang berasal dari
halaman percandian diatas Gunung Wukir di Kecamatan Salam,
Magelang. Prasasti ini berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta, dan
berangka tahun 654 Saka (6 Oktober 732 M). Dalam bait pertama dikatakan bahwa raja Sanjaya sudah mendirikan lingga diatas bukit pada
tanggal 6 Oktober tahun 732 M. Lima bait berikutnya berisi puji – pujian
kepada Siwa, Brahma, dan Wisnu, dengan catatan bahwa untuk Siwa
sendiri tersedia tiga bait. Bait ke-7 memuji – muji Pulau Jawa yang subur
dan banyak menghasilkan gandum (atau padi) dan kaya akan tambang
emas. Di Pulau Jawa itu ada sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa
yang amat indah, untuk kesejahteraan dunia, yang dikelilingi oleh sungai
– sungai yang suci, antara lain Sungai Gangga. Bangunan suci itu terletak
diwilayah Kunjarakunja. Dua bait berikutnya ditujukan kepada raja Sanna,
yang memerintah dengan lemah lembut bagaikan seorang ayah yang
mengasuh anaknya sejak kecil dengan penuh kasih sayang, dan dengan
demikian ia menjadi termashur dimana – mana. sesudah ia dapat
menaklukkan musuh – musuhnya, ia memerintah untuk waktu yang lama
dengan menjunjung tinggi keadilan bagaikan Manu. namun , sesudah
ia kembali ke surga untuk menikmati jasa – jasanya yang amat banyak,
dunia ini terpecah dan kebingungan sebab sedih kehilangan
pelindungnya. Tiga bait terakhir ditujukan kepada pengganti Sanna, yaitu
Raja Sanjaya, anak Sannaha, saudara wanita Raja Sanna. Ia
seorang raja yang gagah berani, yang sudah menaklukkan raja – raja
disekelilingnya, bagaikan Raghu ia juga dihormati oleh para pujangga
sebab dipandang sebagai raja yang paham akan isi kitab – kitab suci. Ia
bagaikan Meru yang menjulang tinggi, dan meletakkan kakinya jauh
diatas kepala raja – raja yang lain. Selama ia memerintah dunia ini yang
berikat pinggangkan samudra dan berdada gunung – gunung, rakyatnya
dapat tidur ditepi jalan tanpa merasa takut akan penyamun dan bahaya
yang lain. Dewi Kali hanya dapat menangis – nangis sebab tidak dapat
berbuat apa – apa.
Dari prasasti itu diketahui bahwa pada tahun 732 M Raja Sanjaya yang
jelas beragama Siwa sudah mendirikan sebuah lingga diatas bukit.
Mungkin bangunan lingga itu adalah candi yang hingga kini masih ada
sisa – sisanya diatas Gunung Wukir, mengingat bahwa prasastinya
memang berasal dari halaman percandian itu. Pendirian lingga
mungkin sekali memperingati fakta bahwa ia sudah dapat
membangun kembali kerajaan dan bertakhta dengan aman tenteram
sesudah menaklukkan musuh – musuhnya. Seperti yang dapat
disimpulkan dari kata – kata pada baik ke-9 yang menerangkan
mangkatnya raja Sanna, Sanna itu gugur dalam peperangan sebab
diserang oleh musuh. 53 Mungkin sekali kembalinya Sanjaya diatas
takhta kerajaan itu terjadi pada tahun 717 M, yaitu tahun permulaan tarikh
Sanjaya, yang hanya dipakai oleh Daksa didalam tiga prasastinya.
Sanna, Sannaha, dan Sanjaya mungkin sekali keturunan – keturunan
Dapunta Selendra, sehingga mereka-pun masuk anggota wangsa
Sailendra. Hal ini antara lain dapat disimpulkan dari daftar raja – raja yang
Dinamakan kan didalam prasasti Mantyasih.55
Disitu Sanjaya Dinamakan sebagai raja yang pertama yang bertakhta di
Medang. Ia lalu disusul oleh Rakai Panangkaran, yang jelas
menamakan dirinya Permata wangsa Sailendra. mungkin diantara
Dapunta Selendra dan Sima, atau Sima dan Sanna, masih ada seorang
raja lagi yang hingga kini belum diketemukan didalam sumber sejarah.
Dapat dipahami mengapa raja Sanjaya Dinamakan sebagai raja pertama
yang bertakhta di Medang. Seperti sudah dikatakan pendahulunya, yaitu
raja Sanna, sudah diserang oleh musuh, dan rupa – rupanya gugur dalam
pertempuran, Mungkin sekali ibu kota kerajaan juga sudah diserbu dan
dijarah. Oleh sebab itu, sesudah Sanjaya dinobatkan menjadi raja, perlu
dibangun ibu kota yang baru, dengan istana yang baru disertai dengan
pembangunan candi untuk pemujaan lingga kerajaan. Mungkin ini
berhubungan dengan kepercayaan bahwa istana yang sudah diserbu oleh
musuh itu sudah kehilangan tuahnya. Hal itu dapat dilihat berkali – kali
dalam sejarah Nusantara sampai ke zaman Surakarta. Istana yang
dibangun oleh Sanjaya itu terletak di Poh Pitu. namun , dimana letak
Poh Pitu itu hingga sekarang belum dapat ditemukan.
Yang menarik perhatian adalah keterangan bahwa di Pulau Jawa ada
sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa diarea Kunjarakunja yang
dikelilingi oleh sungai – sungai suci, yang terutama diantaranya adalah
Sungai Gangga. Candi manakah yang dimaksuf itu? Adakah candi itu
sama dengan candi untuk lingga yang dibangun Sanjaya di Gunung
Wukir? Ataukah sebuah candi yang lain yang belum dapat
diidentifikasikan? yang terang bukanlah candi Prambanan, sebab candi
Prambanan itu baru diresmikan tahun 856 M, seperti yang dapat
disimpulkan dari prasasti Siwagerha Tentunya harus dicari adalah
candi Siwa yang dibangun oleh raja sebelum Sanjaya. Mungkinkah yang
dimaksudkan dengan candi Siwa didalam prasasti Canggal itu candi
Banon dekat Mendut, yang hanya tinggal arca – arcanya saja yang besar
dan bercorak “klasik”? Letak candi itu memang disuatu area diantara
Sungai Progo dan Sungai Elo, jadi sesuai dengan pemerian didalam
prasasti, dengan menduga bahwa yang dimaksud dengan Sungai
Gangga itu adalah Kali Progo, sebagai sungai yang terbesar diarea ini.
Mengingat besarnya arca – arcanya memang pantas untuk suatu candi
kerajaan.
Tentang nama Kunjarakunja, Poerbatjaraka pernah mengemukakan
pendapat bahwa yang dimaksudkan adalah area Sleman sekarang
berdasarkan arti Kunjarakunja, yaitu hutan gajah, dan adanya area
wanua ing alas i saliman didalam tiga prasasti pada batu sima.
Pendapat itu sekarang harus diragukan kebenarannya, sebab nama area didalam ketiga prasasti ini – sekarang ditambah dengan tiga
batu lagi yang memuat nama area itu – harus dibaca wanua ing i alas i
salimar.
Lagi pula kata Kunjarakunja dapat juga berarti hutan Ficus
Religiosa atau hutan pohon bodhi dan sejenisnya, sebab kata kunjara
tidak hanya berarti gajah, namun nama beberapa jenis pohon, antara lain
pohon bodhi (Ficusreligiosa).
Bahwa Sanjaya dikatakan sudah menaklukkan raja – raja
disekelilingnya memang dapat dipahami. Peristiwa yang serupa juga
dapat dilihat nanti pada raja Dharmmawangsa Airlangga, yang juga harus
menaklukkan kembali raja – raja bawahan yang sebelumnya mengakui
kemaharajaan Dharmmawangsa Teguh. Tentu juga halnya
dengan raja Sanjaya. sesudah Sanna diserang oleh musuh dan pusat
kerajaannya dihancurkan, tentu ada diantara raja – raja kecil yang semula
mengakui kemaharajaannya yang lalu menganggap dirinya tidak terikat
hubungan sebagai raja bawahan lagi dari maharaja Ho-ling, sebab itu
sesudah Sanjaya berhasil menduduki takhta kerajaan kembali dengan
membangun pusat kerajaan baru, ia harus menaklukkan raja – raja yang
tidak mau lagi mengakui kemaha rajaannya.
Prasasti berikut ialah prasasti Hampran tahun 672 Saka (24 Juli 750
M). 66 Prasasti ini ditulis diatas batu alam yang besar di Desa
Plumpungan dekat Salatiga. Bahasanya Sanskerta, dan hurufnya bukan
lagi huruf Pallawa, namun huruf Jawa Kuno. Jadi, inilah huruf Jawa Kuno
yang tertua didalam prasasti yang berangka tahun. Isinya memperingati
pemberian tanah di Desa Hampra n yang terletak diwilayah Trgramwya, oleh orang yang bernama Bhanu demi kebaktian terhadap Isa, dengan
persetujuan dari sang Siddhadewi.
Menurut de Casparis, Bhanu itu seorang raja dari wangsa Sailendra,
mengingat bahwa didalam prasasti Ligor B ada nama raja Wisnu, dan
didalam prasasti Kelurak ada nama raja Indra. Ia berpendapat bahwa
Bhanu itu tentu penganut agama Buddha, sebab Isa merupakan nama
lain dari sang Buddha. namun , pendapat itu kurang meyakinkan
sebab didalam prasasti Hampran itu Bhanu tidak memakai gelar
kerajaan. Bahwa Isa merupakan nama lain dari Buddha tidak dapat
dibuktikan; istilah itu biasanya dipakai untuk menyebut Siwa.
Ditinjau dari segi palaeografi mungkin prasasti Sangkhara harus
diletakkan antara prasasti Canggal dan prasasti Hampran, atau segera
sesudah prasasti Hampran. Seperti sudah disinggung sebelumnya,
prasasti ini berisi keterangan bahwa raja Sangkhara sudah meninggalkan
kebaktian yang lain – lain, juga terhadap Siwa, sesudah ia merasa takut
kepada gurunya yang tidak benar (anrtagurubhayas) yang rupa – rupanya
dianggap sudah membuat ayahnya sakit dan wafat. Didalam bait
sebelumnya dikatakan bahwa ayahnya itu sudah berjanji untuk
melaksanakan apa yang dikatakan oleh sang guru, sebab ia memang
mau taat kepadanya. Raja Sangkhara lalu membangun sebuah
prasada yang indah, sebab ingat akan janjinya sendiri. Dalam bait
terakhir ada pujian terhadap bhiksusanggha. Pujian inilah yang memberi
bayangan bahwa raja Sangkhara itu lalu menjadi penganut agama
Buddha. Lebih – lebih mengingat keterangan dari seorang kolektor di Solo
yang mengatakan bahwa prasasti itu berasal dari suatu tempat yang masih ada sisa – sisa bangunannya yang berlandaskan agama Buddha,
sekalipun mungkin bangunan itu tidak terlalu besar, dan terbuat dari bata.
Rakai Panangkaran dan pengganti – penggantinya.
Dari uraian diatas dapatlah digambarkan bahwa Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya sudah membangun kembali kerajaan sesudah raja Sanna
gugur dalam pertempuran sebab serangan musuh, dan pusat
kerajaannya dihancurkan. Pada tahun 717 M Sanjaya dinobatkan menjadi
raja di Medang yang mungkin terletak di Poh Pitu. Pada tahun 732 M, ia
mendirikan bangunan suci untuk pemujaan lingga diatas Gunung Wukir,
sebagai lambang sudah ditaklukkannya lagi raja – raja kecil disekitarnya
yang dahulu mengakui kemaharajaan raja Sanna.
namun , pada suatu saat ia jatuh sakit dan meninggal dalam
penderitaan yang amat sangat, selama delapan hari sebab ingin
mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya. Anaknya yang bernama
Sangkhara, atau mungkin lengkapnya Rakai Panangkaran Dyah
Sangkhara Sri Sanggramadhananjaya, sebab takut akan Sang Guru
yang tidak benar lalu meninggalkan agama Siwa, menjadi penganut
agama Buddha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke
timur, mungkin disekitar Sragen disebelah timur Bengawan Solo, atau ke
area Purwodadi – Grobogan. Ia lalu membangun serangkaian candi –
candi kerajaan, antara lain candi Sewu untuk pemujaan Manjusri,
sebagaimana dapat diketahui dari prasasti Kelurak tahun 704 Saka (26
September 782 M), candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan
kerajaan, dan candi Borobudur untuk pemujaan pendiri rajakula
Sailendra Ia juga membangun candi Kalasan pada tahun 700 Saka (778 M) dan mungkin sebuah bangunan lagi di Bukit Ratu Baka, sebab
ada prasasti berbahasa Sanskerta dibukit ini tahun 700 Saka (778 M)
yang memperingati pembangunan Abhayagiriwihara. Masih ada sisa
– sisa bangunan candi Buddha yang besar, seperti arca – arca Buddha
dan Boddhisatwa di Bogem dan di desa Boyolali. Arca – arca Bogem amat
besar, pantas diletakkan dalam candi kerajaan,
prasasti yang Dinamakan kan diatas, yaitu prasasti Kalasan
tahun 778 / 779 M, prasasti Kelurak tahun 782 M, prasasti
Abhayagiriwihara dari Bukit Ratu Baka tahun 792 M, dan prasasti dari
candi Plaosan Lor semuanya memakai huruf siddham dan
berbahasa Sanskerta. Ini pun merupakan suatu hal yang baru.
Sebagaimana diketahui huruf siddham itu banyak dipakai di India Utara
dan Sri Lanka. Kemungkinan besar bahwa Rakai Panangkaran, sesudah
meninggalkan gurunya yang lama, lalu berpindah agama dan mengambil
seorang guru baru yang menganut agama Buddha, dan berasal dari India
Utara atau Sri Lanka. Didalam prasasti Kelurak memang Dinamakan kan
adanya seorang guru di Gaudidwipa yang sudah memimpin upacara
pentahbisan arca Manjusri (di candi Sewu). Gaudi atau Gauda ada di
Benggala. Didalam prasasti Abhayaguruwihara Dinamakan kan adanya
hubungan dengan Sri Lanka. Penggunaan huruf siddham itu hingga
kini diketahui hanya terbatas pada keempat prasasti itu, dan lalu
didapatkan pula meterai – meterai tanah liat yang berisi mantra – mantra
agama Buddha (formula ye-te), baik di Jawa Timur (Banyuwangi), Bali
(Pejeng, Tampaksiring, Buleleng), dan Sumatra (Palembang). Ada
juga prasasti di Bali yang memakai huruf siddham, namun berbahasa
Bali Kuno, yaitu prasasti dari Sanur dari tahun 835 Saka (914 M).
Anehnya bagian prasasti ini yang berbahasa Sanskerta memakai
huruf Kawi atau Jawa Kuno. Di Jawa Timur huruf siddham muncul
dalam abad XIII M pada bagian belakang arca Amoghapasa dari
perunggu yang merupakan replika dari arca Amoghapasa dari Padang
Roco dekat Sungai Langsat, dan pada sandaran arca – arca dari candi
Jago dan candi Singasari.
Didalam prasasti Kelurak itu Sang Permata wangsa Sailendra juga
Dinamakan Sri Warawiramardana, yang berarti pembunuh musuh – musuh
yang gagah perwira. Gelar ini juga ditemukan didalam prasasti Ligor B yang
terdapat dipantai barat Semenanjung Tanah Melayu dipahatkan pada
bagian belakang prasasti raja Sriwijaya yang tidak Dinamakan namanya, yang
biasanya Dinamakan prasasti Ligor A, dan berangka tahun 775 M. Prasasti
Ligor B, sekalipun mulai dengan kata swasti, yang didalam prasasti –
prasasti Jawa Kuno biasanya mengawali angka tahun, ternyata tidak
bertarikh. Prasasti ini ternyata juga hanya berisi 4 baris tulisan yang
merupakan bait prasasti berbahasa Sanskerta, dan setengah baris yang
merupakan permulaan bait kedua. Disini Dinamakan nama raja Wisnu,
pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, dan sebab ia
keturunan wangsa Sailendra, ia bergelar Sri Maharaja. 80 Mungkin bait
kedua dan selanjutnya akan menyebut anak cucunya sampai raja yang
menulis prasasti ini. Juga didalam prasasti Nalanda dari raja
Dewapaladewa, yang berasal dari kira – kira pertengahan abad IX M,
ditemukan nama ini. Didalam prasasti ini ia Dinamakan sebagai kakek raja
Balaputradewa, dengan sebutan Raja Jawa, permata wangsa Sailendra,
Sri Wirawairimathana. Ia mempunyai anak bernama Samaragrawira yang
kawin dengan Tara, anak raja Dharmasetu dari Somawangsa. Dari
perkawinan ini lahirlah raja Balaputradewa, raja Sriwijaya, penganut
agama Buddha, yang sudah mendirikan biara di Nalanda, dan minta
kepada raja Dewa Paladewa untuk memberikan tanah – tanahnya
sebagai sima bagi biara ini .
Tentulah disini dihadapkan dengan satu tokoh yang sama yang
Dinamakan Permata wangsa Sailendra. Pembunuh musuh – musuh yang
sombong, atau pembunuh musuh – musuh yang gagah perwira.
Berdasarkan prasasti Kelurak, tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan
Rakai Panangkaran yang Dinamakan didalam prasasti Kalasan dan Ratu
Baka dengan sebutan Tejahpurnnapanna Panamkarana. Menurut
prasasti Nalanda, Rakai Panangkaran beranak Samaragrawira, yang
dapat kiranya disamakan dengan Samaratungga didalam prasasti
Kayumwungan yang berangka tahun 746 Saka (26 Mei 824 M).
Prasasti Kayumwungan itu ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa
Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno. Bagian yang berbahasa Sanskerta
berisi keterangan tentang raja Samaratungga, Permata wangsa
Sailendra, dan anaknya wanita yang bernama Pramodawarddhani.
Putri ini sudah mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha dengan
nama Srimad Wenuwana dan mentahbiskan arca Sri Ghananatha
didalamnya, pada hari Kamis Legi, paringkelan Tunglai, tanggal 26 Mei
tahun 824 M. Bagian yang berbahasa Jawa Kuno menyebutkan
Rakarayan Patapan pu Palar suami istri, yang pada hari bulan yang sama
memberikan tanah sawah di Waluang, di Babadan, yang masuk wilayah
/.../ 85 di Kisir yang masuk wilayah Kayumwungan, di santwi Karung yang
masuk wilayah Petir, di Kaliru /nga/ n dan Kuling yang masuk Tri Haji,
seluruh sawah yang memerlukan benih sebanyak 16,5 amet padi,
sebagai sima bagi bangunan suci ini . Penetapan sima itu terdapat
di area Parakan – Temanggung.
Menurut J.G. de Casparis prasasti ini memperingati pembangunan
candi Borobudur, Pawon, dan Mendut oleh Samaratungga dan Pramodawarddhani. 86 namun , pendapat ini kurang meyakinkan,
dan memang berdasarkan suatu salah pengertian. Menurut de Casparis
Wenuwana ialah tempat Sang Buddha pertama kali memberikan
ajarannya, dan ia melihat adegan ajaran pertama itu dipahatkan dibawah
arca induk candi Mendut berupa dharmmacakra yang diapit oleh dua ekor
kijang. Dari lukisan ini saja semestinya ia ingat bahwa tempat Sang
Buddha pertama kali membeberkan ajarannya itu ialah Mrgadawa atau
Taman Kijang, dan bukan Wenuwana. Poerbatjaraka, dalam kesempatan
menyanggah disertasi de Casparis itu, mengemukakan pendapat bahwa
Wenuwana itu harus diidentifikasikan dengan candi Ngawen,
berdasarkan alasan bahwa kata ngawen itu berasal dari kata ka-awian,
yang berarti tempat bambu, atau tempat yang banyak bambunya, yang
lebih sesuai dengan pengertian Wenuwana. Memang candi ini cukup
jauh letaknya dari Parakan – Temanggung, namun pada prinsipnya tidak
perlu keberatan, sebab tanah sima dapat saja jauh letaknya dari
candinya; sima yang demikian itu biasa Dinamakan angsa. namun , kalau
prasasti Kayumwungan itu dibaca dengan seksama, Srimad Wenuwana
itu harus dicari diarea Parakan – Temanggung juga, sebab disitu
dikatakan bahwa candi itu dibangun didesa ini (iha grame). Sayang
hingga sekarang tidak ditemukan sisa – sisa bangunan agama Buddha
yang pantas diidentifikasikan dengan candi dalam prasasti itu diarea ini
Yang menarik perhatian ialah bahwa prasasti ini terdiri atas dua bagian
dan ditulis dalam dua bahasa. Bagaimana hubungan antara
Samaratungga dengan Rakarayan Patapan pu Palar? Mungkinkah
Rakarayan Patapan pu Palar itu seorang anggota wangsa Sailendra yang
tetap menganut agama Siwa, dan berfungsi sebagai kepala area
dengan memperoleh area Patapan sebagai lungguhnya? pada waktu
kerabatnya yang berkuasa sebagai maharaja membangun candi Buddha
diarea nya, ia menyumbangkan tanah – tanah untuk dijadikan sima bagi
bangunan suci itu. Inilah kiranya jawaban yang paling dapat diterima atas
pertanyaan ini .
Rakai Patapan sendiri ada juga membangun bangunan suci diwilayah
kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari prasasti Sang Hyang Wintang
(Gondosuli I), yang berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini ditulis diatas
batu alam yang besar, terdapat di Desa Gondosuli, didekat sisa – sisa
bangunan candi beragama Siwa. Sayang sekali tidak ada angka
tahunnya. Didalam prasasti itu diperingati pembangunan candi yang
Dinamakan dengan istilah sang hyang haji disebelah utara prasada yang
bernama Sang Hyang Wintang. Memang sekitar dua kilometer dari desa
Gondosuli itu ada sisa – sisa bangunan lagi dari batu yang berlandaskan
agama Siwa.
Pentahbisan bangunan suci itu dipimpin oleh seorang Sthapaka yang
putus dalam ilmunya, bernama Dang Karayan Siwarjita. Untuk bangunan
itu disediakan pula tanah – tanah sima-nya, yaitu di Tanah Bunga, di
Pragaluh, di Pamandyan, di Tiru Ayun, di Wunut, di Pawijahhan, di Kayu
Ara Mandir, di Wangun Waharu, di Mundu, di Kakalyan, dan di Tarukan,
seluruhnya memerlukan benih sebanyak 41 lattir(?)
Yang menarik perhatian disini adalah bahwa prasasti ini mulai dengan
menyebut ibu dari Rakrayan Partapan dan istrinya, saudara –
saudaranya, dan yang teramat menarik adalah nama paman Dang
Karatan Partapan, yaitu Wisnurata. Mungkinkah Wisnu ini sama dengan
Wisnu dalam prasasti Ligor B, permata wangsa Sailendra yang juga
Dinamakan pembunuh musuh – musuh yang sombong tiada bersisa, alias
Rakai Panangkaran? Kalau tambahan rata ditafsirkan sebagai kata
Sanskerta, mungkin sekali ia kependekan dari kata uparata yang dapat
berari sudah meninggal. Dengan perkataan lain, pada waktu Rakai
Patapan pu Palar mengeluarkan prasasti Gondosuli itu pamannya, Wisnu
atau Rakai Panangkaran – dalam hal ini mungkin ibunya adalah adik
Rakai Panangkaran – yang masih setia kepada agama Siwa. Jadi, ia
saudara sepupu Samaratungga.
Ada lagi seorang Rakai Patapan dengan nama Pu Manuku, yaitu
didalam prasasti Munduan tahun 728 Saka (21 Januari 807 M) dan
didalam prasasti Tulang Air tahun Saka (15 Juni 850 M). Didalam prasasti
Munduan itu Rakai Patapan pu Manuku membatasi tanah – tanah di
Munduan dan Haji Huma, untuk dianugerahkan kepada hambanya yang
bernama Sang Patoran, dengan diberi kewajiban untuk menggembalakan
kambing bernama sang Madmak. Ia lalu membuat perumahan ditempat
ketinggian di tanah – tanah ini . Oleh sebab itu, perumahan itu
dinamakan Walawindu. Selanjutnya area itu dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak jual beli, dan semua denda – denda atas semua
pelanggaran hukum diarea itu tidak perlu dibayarkan kepada Rakai
Parapan. Ketentuan itu berlaku bagi Sang Patoran dan mereka yang
tinggal di Walawindu (sebagai gembala kambing). Penetapan sima itu
disaksikan oleh semua patih diwilayah Patapan, yaitu dari Kayumwungan
dan Mantyasih, dan pejabat – pejabat dari Air Warungan, Petir,
Pandakyan, dan pejabat Desa Munduan dan Haji Huma.
Prasasti Tulang air yang didapatkan kembali sebanyak dua prasasti
diatas batu yang cukup besar, berasal dari dekat candi perot, diarea
Temanggung. Kedua batu berisi naskah yang sama; sayang sekali yang
satu keadaannya cukup parah sebab aus. Prasasti kedua cukup baik,
hanya ada bagian – bagian yang aus ditengah bawahnya. 91 Isinya
keterangan tentang penetapan Sima didesa Tulang Air oleh Rakai
Patapan pu Manuku pada hari Minggu Pahing, paringkelan Tunglai, hari
bulan 15 Juni 850 M. Pada waktu itu yang menjadi raja adalah Rakai
Pikatan. Disusul lalu dengan daftar para pejabat tinggi kerajaan,
para pembantu mereka yang hadir pada penetapan sima, para pejabat
area dan pejabat desa yang bertindak sebagai saksi. Struktur prasasti
semacam itu ditemukan pada prasasti Wanua Tengah tahun 785 Saka (10
Juni 863 M), yang menetapkan sima ialah Rakai Pikatan pu Manuku,
sedang yang menjadi raja ialah Rakarayan Kayuwangi pu Lokapala.
Mengingat persamaan struktur itu, dan fakta bahwa didalam daftar
raja = raja Mataram yang terdapat didalam prasasti Mantyasih, Rakai
Kayuwangi Dinamakan sesudah Rakai Pikatan, dan Rakai Pikatan sesudah
Rakai Garung, de Casparis mengidentifikasikan Rakai Patapan pu Palar
dengan Rakai Garung.
Identifikasi ini memang sulit dibuktikan secara meyakinkan, kecuali
kalau pada suatu saat ditemukan nama Rakai Garung pu Palar sezaman
dengan Rakai Patapan pu Palar. Bahwa nama Rakai Patapan itu berubah
lebih mudah menerangkannya. De Casparis mengemukakan pendapat
bahwa nama Pu Manuku itu dipakai oleh orang – orang yang sudah
mengundurkan diri dari pemerintahan, seperti Rakai Patapan dan Rakai
Pikatan. Masih dapat ditambah lagi dengan Rakarayan Kalangbungkal
Dyah Manuku didalam prasasti Kasugihan tahun 829 Saka (8 Nopember
907 M), yang mungkin dapat diidentifikasikan dengan Rakai
Watuhumalang yang sudah mengundurkan diri dari pemerintahan.
namun , dengan munculnya Rakai Patapan pu Manuku didalam
prasasti Munduan tahun 807 M, keterangan itu menjadi kurang
meyakinkan.
Rakarayan i Garung sendiri pernah juga mengeluarkan prasasti, yaitu
prasasti Garung tahun 741 Saka (21 Maret 819 M). Didalam prasasti ini
ia tidak memakai gelar sri maharaja. namun , disitu dikatakan bahwa
perintahnya diturunkan kepada Sang Pamgat Amrati pu Mananggungi,
agar area Mamrati dibebaskan dari beberapa jenis pungutan. Jadi,
kalaupun dia bukan seorang raja, sekurang – kurangnya ia seorang
penguasa area yang otonom. Dengan dimuatnya nama Rakai Garung
dalam deretan nama raja – raja yang pernah memerintah di Mataram,
dapatlah disimpulkan bahwa ia adalah anggota wangsa Sailendra yang
tetap menganut agama Siwa, dan menjabat penguasa area dengan
kekuasaan swatantra, pada waktu Samaratungga berkuasa.
Tinggal sekarang masalah Rakai Panunggalan dan Rakai Warak.
Mengenai dua tokoh ini tidak ada sumber lain yang dapat memberi
keterangan, kecuali dari prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III yang
berangka tahun 830 Saka (908 M). 96 Prasasti Wanua Tengah yang juga
dikeluarkan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung seperti halnya prasasti
Mantyasih memuat daftar nama – nama raja Mataram Kuno. Nama –
nama raja yang Dinamakan kan dalam kedua prasasti tidak sama. Jika dalam
prasasti Mantyasih, daftar ini hanya menyebutkan urutan nama –
nama raja yang memerintah di Medang (rahyang ta rumuhun ri mdang ri
poh pitu) dan gelar mereka saja, dalam prasasti Wanua Tengah III selain
nama – nama mereka juga memuat kapan raja – raja ini naik takhta.
Selain itu, nama – nama raja yang Dinamakan lebih banyak jumlahnya dari
yang Dinamakan dalam prasasti Mantyasih, juga ada nama raja yang berbeda
seperti Rakai Panunggalan yang Dinamakan dalam prasasti Mantyasih
sesudah Rakai Panangkaran dan sebelum Rakai Warak, dalam prasasti
Wanua Tengah III nama itu tidak ada dan sebagai gantinya ada tokoh
yang Dinamakan Rake Panaraban (784 – 803 M). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa Rakai Panunggalan sama dengan Rakai Panaraban.
Sri Maharaja Watuhumalang dalam prasasti Mantyasih Dinamakan sebagai
Rake Wungkalhumalang dyah jbang dalam prasasti Wanua Tengah III.
Mengingat kata watu sinonim dengan wungkal, dipastikan bahwa Rake
Wungkalhumalang dyah Jbang adalah Watuhumalang (894 – 898 M).
Sementara itu, Sri Maharaja Rakai Warak dalam prasasti Mantyasih,
dalam prasasti Wanua Tengah III Dinamakan Rake Warak Dyah Manara.
sesudah meninggal ia dipusarakan di Kelasa (san lumah i kelasa).
Ada empat raja yang tidak Dinamakan kan dalam prasasti Mantyasih, yaitu
Dyah Gula (5 Agustus 827 – 24 Januari 828 M), Dyah Tagwas (5 Pebruari
– 27 September 885 M), Rake Panumwangan Dyah Dawendra (27
September 885 – 27 Januari 887 M), dan Rakai Gurunwangi Dyah Badra
yang hanya menjadi raja selama 28 hari sebelum melarikan diri dari
keratonnya. Menurut Kusen perbedaan daftar nama – nama raja dalam
prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah III disebabkan oleh perbedaan
latar belakang dikeluarkannya prasasti. Prasasti Mantyasih diterbitkan
dalam rangka melegitimasikan dirinya sebagai pewaris takhta yang sah,
sehingga yang Dinamakan kan hanya raja – raja yang berdaulat penuh atas
seluruh wilayah kerajaan. Dyah Gula, Dyah Tagwas, Dyah Dewandra,
dan Dyah Badra tidak dimasukkan dalam daftar sebab mereka tidak
pernah berdaulat penuh diwilayah kerajaan Mataram Kuno. Hal ini terlihat
dari singkatnya masa pemerintahan mereka sebab digulingkan dari
takhta. Prasasti Wanua Tengah III dikeluarkan sehubungan dengan
perubahan – perubahan status sawah sebagai sima di Wanua Tengah,
sehingga semua penguasa yang mempunyai sangkut paut dengan
perubahan status sawah Dinamakan kan. Nama Sanjaya sebagai cikal bakal
kerajaan Mataram Kuno pun tidak Dinamakan kan sebab status sawah di
Wanua Tengah III sebagai sima baru dimulai pada masa pemerintahan
Rake Panangkaran.
Kembali kepada prasasti Mantyasih, mungkin gelar sri maharaja yang
diberikan kepada Rakai Panunggalan dan Rakai Warak itu agak
berlebihan; sebab dalam fakta nya yang mengeluarkan prasasti
dengan gelar maharaja adalah anggota wangsa Sailendra yang
beragama Buddha. Dapatlah diperkirakan bahwa sejak Rakai
Panangkaran berpindah agama ke agama Buddha Mahayana dengan
mendatangkan guru dari India atau Sri Lanka, ia berkuasa sebagai
maharaja dengan mendirikan bangunan – bangunan suci kerajaan,
seperti candi Plaosan, Sewu, dan Borobudur. Sementara itu, anggota
wangsa Sailendra yang lain yang tetap menganut agama Siwa berkuasa
sebagai kepala – kepala area atau raja – raja kecil dengan area
kekuasaan masing – masing secara otonom. Seperti dalam prasasti Sang
Hyang Wintang, Rakai Patapan pu Palar menyebut area kekuasaannya
dengan yang rajya diraksa iya sabanakna yang desa itas tatah purwwa
daksina pascima uttara itas tatah, namun nama – nama desa didalam
prasasti itu dan didalam prasasti Kayumwungan, wilayah kekuasaan
Rakai Patapan itu memang terbatas. juga halnya dengan Rakai
Panunggalan dan Rakai Warak. 98 Jadi, dalam sejarah kerajaan Mataram tidak pernah ada dua wangsa, yang satu asli Indonesia beragama Siwa,
yang selama ini Dinamakan Sanjayawangsa, yang lain berasal dari luar
Indonesia dan beragama Buddha, yang selama ini Dinamakan
Sailendrawangsa, melainkan hanya satu wangsa, yaitu wangsa
Sailendra, yang anggota – anggotanya ada yang beragama Siwa dan ada
yang beragama Buddha Mahayana. Dapunta Selendra, pendiri wangsa
ini, sampai kepada raja Sankhara menganut agama Siwa, lalu Rakai
Panangkaran berpindah ke agama Buddha Mahayana sebab takut akan
guru ayahnya yang dianggapnya tidak benar (anrta). Disinilah lalu timbul
dua cabang dari wangsa ini. Sebagian masih tetap menganut agama
Siwa, seperti Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung, dan
mungkin dalam deretan anggota wangsa Sailendra yang tetap menganut
agama Siwa ini dapat dimasukkan Bhanu dan Rakai Patapan.
Rakai Panangkaran yang berpindah agama ke Buddha Mahayana
memerintah sebagai Maharaja cukup lama, sekurang – kurangnya sejak
kira – kira tahun 750 sampai sekitar tahun 792 M. Ia digantikan oleh
Samaratungga, yang mempunyai anak sekurang – kurangnya dua orang.
Yang kedua, mungkin dari permaisuri, ialah Balaputradewa. Mungkin
Rakai Patapan pu Palar, sekalipun ia membantu memberikan tanah –
tanah sebagai sima bagi pembangunan candi oleh Samaratungga dan
anaknya, berambisi untuk menjadi maharaja. Dalam hal ini rupa –
rupanya lalu diadakan perkawinan antar keluarga, yaitu
Pramodawarddhani, putri mahkota, dikawinkan dengan Rakai Pikatan,
anak Rakai Patapan pu Palar, yang tetap menganut agama Siwa.
sesudah Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari
pemerintahan, Rakai Pikatan menggantikannya sebagai maharaja di
Medang. sebab ia menganut agama Siwa, ia memerintahkan
membangun candi kerajaan yang lain yang berlandaskan agama Siwa,
yaitu Loro Jonggrang di Prambanan. Ini diketahui dari prasasti Siwagerha
tahun 778 Saka (12 Nopember 856 M). 99 lalu untuk menunjukkan bahwa ia tidak ingin sama sekali mengabaikan candi kerajaan yang
dibangun oleh Rakai Panangkaran, yaitu candi Plaosan Lor, dan mungkin
juga untuk menjaga perasaan permaisurinya, yaitu Pramodawarddhani
yang beragama Buddha, ia menambahkan sekurang – kurangnya dua
candi perwara berupa bangunan stupa dikanan kiri jalan masuk ke candi
induk sebelah utara, yang bertulisan astupa sri maharaja rakai pikatan,
dan anumoda rakai gunungwangi dyah saladu. 100 Bahwa bangunan atau
tulisan diatas bangunan stupa itu merupakan tambahan pada waktu
lalu dari waktu pembangunan percandian itu dapat dilihat dari
perbedaan tulisannya dengan tulisan pada candi perwara yang lain.
fakta ini tidak dibicarakan oleh J.G. de Casparis.
Sebelum membicarakan prasasti Siwagerha lebih mendalam, lebih
baik menyebutkan sumber – sumber prasasti yang lain dari masa
sebelumnya. Pertama – tama adalah prasasti berbahasa Melayu Kuno
dari Gondosuli yang berangka tahun 749 Saka (17 Mei 827 M).
dapatlah diperoleh gambaran mengenai
kehidupan warga kerajaan Tarumanegara
pada masa itu. Mata pencaharian penduduknya
yaitu berpetani dan berdagang. Barang apa yang
diperdagangkan, menurut berita yang ditulis Fa-
Hien yaitu perdagangan cula badak, kulit penyu
dan perak. Fa-Hien juga menjelaskan penganut
agama Hindu jauh lebih banyak dibandingkan yang
menganut agama Budha.
c. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya yaitu salah satu kerajaan
terbesar yang pernah berjaya di Indonesia. Kerajaan
ini mampu mengembangkan diri sebagai negara
maritim dengan menguasai lalu lintas pelayaran dan
perdagangan internasional. Jalur pelayaran dan
perdagangan di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut
Jawa dikuasai. maka , setiap pelayaran
dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur
atau sebaliknya harus melewati area Kerajaan
Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatera, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini menjadi sumber pendapatan kerajaan Sriwijaya dengan diberlakukannya bea cukai bagi
kapal-kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan
milik Sriwijaya. Selain dari bea cukai, penghasilan lain terutama diperoleh dari komoditas ekspor. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian.
Menurut para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya
ada di Palembang, Sumatera Selatan. Kerajaan ini
diperkirakan berdiri pada abad ke-7 M. Seperti halnya kerajaan Tarumanegara, sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berwujud prasasti dan berita Cina. Sumber prasasti ini ada yang berasal dari dalam negeri dan ada juga yang berasal dari luar negeri. Sumber yang berwujud prasasti dalam negeri antara lain:
1. Prasasti Kedukan Bukit (683M) di temukan di
area Kedukan Bukit, di tepi Sungai Tatang
dekat Palembang. Isinya menerangkan tentang
perlajanan suci (sidha-yartha) Dapunta Hyang
dengan perahu didan i 2.000 orang prajuritnya.
Dalam perjalanannya pada tanggal 11 Waisaka
604 (23 April 682), ia berhasil menaklukan be-
berapa area .
2. Prasasti Talang Tuwo (684 M) ditemukan di
sebelah barat Kota Palembang sekarang. Isinya
menyatakan pembuatan taman bernama Srikerta
untuk kemakmuran makhluk.
3. Prasasti Telaga Batu (683) ditemukan di dekat
Palembang. Berisi kutukan bagi rakyat yang
melakukan kejahatan dan tidak taat kepada raja.
4. Prasasti Karang Berahi (686 M) ditemukan di
area Jambi. Isinya berwujud permintaan dewa
supaya menjaga kerajaan Sriwijaya dan meng-
hukum orang yang berbuat jahat.
5. Prasasti Kota Kapur (686 M), yang menyatakan
usaha kerajaan Sriwijaya untuk menaklukan
Jawa yang menolak kekuasaan Sriwijaya. Para
ahli menerangkan bahwa kerajaan di Jawa yang
ditaklukan itu yaitu Tarumanegara.
Informasi lain yang dapat diperoleh tentang
kerajaan Sriwijaya didapat dari berita Cina. Berita itu datang dari seorang pendeta yang bernama I-tsing. Ia pada tahun 671 pernah berdiam di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sansekerta sebagai persiapan kunjungannya ke India. I-tsing menyebutkan bahwa di negeri Sriwijaya ada seribu orang pendeta yang belajar agama Budha. Seperi halnya I-tsing, para pendeta Cina lainnya yang akan belajar agama Budha ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. dinamakan juga bahwa para pendeta yang belajar agama Budha
itu dibimbing oleh seorang guru yang bernama
Sakyakirti. berdasar berita I-tsing ini, dapatlah
disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad
ke -7 M sudah menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Budha di Asia Tenggara.
Puncak Kejayaan Sriwijaya terjadi pada masa
pemerintahan Raja Balaputradewa. Ia berjasa dalam mengirimkan para pendeta dari nusantara ke India untuk memperdalam ajaran agama Budha. Menurut isi prasasti Nalanda di India, Balaputradewa mendirikan asrama khusus di Nalanda. Hubungan dengan India tidak bertahan lama, sebab pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala (India) melakukan penyerbuan besar-besaran ke area Sriwijaya, antara lain Kedah, Aceh, Nikobar, Binanga, Melayu, dan Palembang. Berita penyerangan ini ada dalam prasasti Tanjore di India Selatan. namun , penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur atas bantuan Raja
Airlangga dari Jawa Timur. Atas jasanya ini, Airlangga dinikahkan dengan Sanggramawijayatunggadewi, putri raja Sriwijaya.
Kekuatan Sriwijaya mulai menurun sesudah
berhasil memukul mundur pasukan Colamandala.
Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari
ketidakmampuannya untuk mengawasi dan memberi perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan juga oleh kerajaan-kerajaan vasal (bawahan) untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti
yang dilakukan oleh kerajaan Malayu (Jambi).
d. Kerajaan Mataram Lama (berpusat di
Jawa Tengah)
Di area Jawa Tengah pernah berkuasa dua
kerajaan Mataram, yaitu kerajaan Mataram Lama
yang bercorak Hindu-Budha dan kerajaan Mataram
Islam yang yaitu cikal bakal Kesultanan
Yogyakarta dan Surakarta. Kedua kerajaan itu tumbuh berkembang dalam waktu yang berbeda.
Kerajaan Mataram Lama yang bercorak Hindu-
Budha itu dikenal sebagai kerajaan yang toleran
dalam hal beragama. Hal ini dibuktikan dengan
diperintahnya kerajaan ini pleh dua dinasti, yaitu
Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan Dinasti
Sailendra yang beragama Budha. berdasar
interpretasi terhadap prasasti-prasasti, kedua dinasti itu saling mengisi pemerintahan dan kadang-kadang memerintah bersama-sama. Kerajaan Mataram Lama yang diperintah oleh dua dinasti secara bersamaan, yaitu saat Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya menikah dengan Sri Pramodhawardhani dari dinasti Syailendra. Pada masa kekuasaan mereka pembangunan candi-candi yang bercorak Hindu- Budha banyak didirikan.
Prasasti-prasasti yang berhubungan dengan
kerajaan Mataram ini dapat diketahui dari prasasti
Canggal (732 M). berdasar prasasti Canggal
yang terletak di Kecamatan Salam Magelang, dapat
diketahui bahwa raja pertama dari Dinasti Sanjaya
yaitu Sanjaya yang memerintah di ibukota bernama Medang. Selain prasasti Canggal, ada juga prasasti Kalasan (778M) yang ada di sebelah timur Yogyakarta. Dalam prasasti itu dinamakan Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran.
Untuk lebih mengetahui raja-raja yang memerintah
di Mataram, prasasti Kedu atau dikenal juga dengan nama prasasti Mantyasih (907 M) mencantumkan silsilah Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu ini dibuat pada masa Raja Rakai Dyah Balitung. Adapun silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Mataram yaitu sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri Maharaja Rakai Warak
5. Sri Maharaja Rakai Garung
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung.
Menurut prasasti Kedu dapat diketahui bahwa Raja
Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran. kemudian salah seorang keturunan raja Dinasti Sailendra yang bernama Sri Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Panangkaran pada tahun 778 M. Sejak saat itu Kerajaan Mataram dikuasai sepenuhnya oleh Dinasti Sailendra.
Tahun 778 sampai dengan tahun 856 sering dinamakan sebagai pemerintahan selingan, sebab antara Dinasti Sailendra dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa di Mataram. Dinasti Sailendra yang beragama Budha mengembangkan kerajaan Mataram Lama yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedang Dinasti Sanjaya yang bergama Hindu mengembangkan kerajaan
yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara.
Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya terjadi pada
masa pemerintahan Raja Balitung yang menguasai
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia mendirikan candi
Prambanan dan Loro Jonggrang. Masa pemerintahan raja-raja Mataram sesudah Dyah Balitung tidak terlalu banyak sumber yang menceritakannya. namun dapat diketahui nama-nama raja yang memerintah, yaitu Daksa (913-919), Wawa (919-924), Tulodhong (924-
929), dan Mpu Sindok (929-948). Pada tahun 929 M ia memindahkan ibukota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur).
e. Kerajaan Mataram Lama (berpusat di
Jawa Timur) Mpu Sindok memindahkan ibukota kerajaan Mataram dari Medang (Jawa Tengah) ke Daha (Jawa Timur). kemudian Mpu Sindok ini mendirikan dinasti baru yang bernama Isanawangsa dan menjadikan Walunggaluh
sebagai pusat Kerajaan. Mpu Sindok ini memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M. Mpu Sindok lalu digantikan oleh Sri Isana Tunggawijaya yang memerintah sebagai Ratu. Ia menikah dengan Raja Sri Lokapala dan dikaruniai seorang putra yang bernama Sri Makutawang Swardhana berdasar Prasasti Pucangan yang berangka tahun 1019, berikut ini silsilah raja yang memerintah di Mataram Jawa Timur.
Pada akhir abad ke-10 M, Mataram selajutnya
diperintah oleh Sri Dharmawangsa yang memerintah sampai tahun 1016 M. Ia yaitu salah seorang keturunan Mpu Sindok. berdasar berita dari Cina, dinamakan bahwa Dharmawangsa pada tahun 990 M mengadakan serangan ke Sriwijaya sebagai usaha mematahkan monopoli perdagangan Sriwijaya. Serangan ini gagal, malahan Sriwijaya berhasil menghasut Raja Wurawari (sekitar Banyumas) untuk
menyerang istana Dharmawangsa pada tahun 1016. Mpu Sindok (929-947)
Sri Isanatunggawijaya Sri Lokapala
Sri Makutawangsawardhana
Sri Dharmawangsa Gunapriadharmptani Udayana (raja Bali)
Airlangga Marakata Anak Wungsu
Dari sini mulai terjadi kehancuran Dharmawangsa,
sesudah Wurawari melakukan penyerangan ke istana. Peristiwa ini menewaskan seluruh keluarga raja termasuk Dharmawangsa sendiri, dan hanya Airlangga yang berhasil menyelamatkan diri. Airlangga berhasil menyelamatkan diri bersama Purnarotama dengan bersembunyi di Wonogiri (hutan gunung). Di sana ia hidup sebagai seorang pertapa. Pada tahun 1019, Air langga (menantu
Dharmawangsa) d inobatkan menjadi ra ja
menggantikan Dhamawangsa oleh para pendeta
Budha. Ia segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya. Airlangga membantu Sriwijaya saat diserang Raja Colamandala dari India Selatan. kemudian tahun 1037, Airlangga berhasil mempersatukan kembali area yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa. Airlangga juga memindahkan ibukota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan. Pada tahun 1042, Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya yang bernama Sangrama Wijaya Tunggadewi. Namun, putrinya itu menolak dan
memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri. kemudian Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan yaitu sebagai berikut.
1. kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan
kepada putra sulungnya Garasakan (Jayengrana)
dengan ibukota di Kahuripan (Jiwana) meliputi
area sekitar Surabaya sampai Pasuruan
2. Kerajaan Panjalu (Kediri) di sebelah barat
diberikan kepada putra bungsunya yang bernama
Samarawijaya (Jayawarsa), dengan ibukota di
Kediri (Daha), meliputi area sekitar Kediri
dan Madiun. Perkembangan kemudian yang
memerintah di Kediri antara lain raja Jayawarsa,
Jayabaya, Sarwewara, Gandara, Kameswara,dan
Kertajaya. Kerajaan Kediri pada masa Kertajaya
ini akhirnya dikalahkan oleh dari Tumapel
(area kekuasaan Kediri) pada tahun 1222
dalam pertempuran di Ganter. maka ,
berakhirlah kekuasaan Kerajaan Panjalu
(Kediri)
f. Kerajaan Singhasari
Dalam kitab Pararaton dinamakan bahwa
atas perintah Berihiang menyerang Kediri pada
tahun 1222, dan berhasil mengalahkan Kertajaya.
kemudian mendirikan kerajaan di seluruh area
bekas kerajaan kediri. Di atas kekuasaannya ini,
menyatakan diri sebagai raja baru dengan gelar
Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.
Nama Tumapel diganti menjadi Singhasari. dengan
pusat pemerintahannya di sekitar Kota Malang (Jawa Timur). Ia berkuasa dari tahun 1222-1227.
Dalam kitab Pararaton dikisahkan bahwa
yaitu anak Dewa Brahma. Atas bantuan pendeta
Lohgawe, bekerja pada akuwu (kepala desa) Tumapel ( Malang) yang bernama Tunggul Ametung. saat bekerja di sana, menjalin hubungan asmara dengan istri muda Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. lalu membunuh Tunggul Ametung, lalu menikahi Ken Dedes yang sedang hamil, dan sekaligus menjadi Akuwu Tumapel yang baru. Silsilah dan keluarganya sampai Raden Wijaya dapat
digambarkan sebagai berikut: Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, mempunyai empat orang anak yaitu: Mahisa Wongate-leng, Panji Saprang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimba. lalu dari perkawinannya dengan istri yang lain, yaitu Ken Umang, memiliki anak bernama Panji Tohjaya.
Pada tahun 1227 M, dibunuh oleh seseorang atas
perintah Anusapati. Anusapati ternyata anak Ken
Dedes dari Tunggul Ametung atau anak tiri . Sesudah membunuh , Anusapati menjadi raja Singhasari (1227-1248). Sepak terjang Anusapati ini didukung oleh Mahisa Wonga Teleng, anak Ken Dedes dari . Dengan meninggalnya , Tohjaya sebagai anak dari Ken Umang ingin membalas kematian ayahnya.
Untuk itu, pada tahun 1248, Anusapati dibunuh
oleh Tohjaya. Dengan terbunuhnya Anusapati,
Panji Tohjaya naik tahta menjadi Raja Singhasari.
Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan
yang dilakukan oleh Ranggawuni dan Mahisa
Campaka (anak Mahisa Wonga Teleng). Panji
Tohjaya berhasil melarikan diri, namun ia meninggal di Katang Lumbang. Jatuhnya Tohjaya, Ranggawuni memerintah di Singhasari (1248-1268). Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh Mahisa Campaka (yang membantu Ranggawuni memberontak pada Panji Tohjaya) yang
berkedudukan sebagai perdana menteri dengan gelar Narasingamurti. Pada tahun 1268 M, Raja Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana meninggal dunia.
Tampuk pemerintahan kemudian dipegang oleh
putranya yang bernama Kertanegara. Pada tahun
1275, Kertanegara mengirimkan tentaranya ke
Melayu (Ekspedisi Pamalayu) untuk memperluas
area kekuasaanya di luar Jawa. Ekspedisi ini
juga dilaksanakan dalam rangka menahan serbuan
tentara Mongol di bawah pimpinan Kaisar Kubilai
Khan yang sedang melakukan perluasan area di
Asia Tenggara. saat datang utusan dari Mongol
untuk menyampaikan keinginan Kubilai Khan agar
Raja Singhasari tunduk pada Mongol ditolak oleh
Kertanegara. Kubilai Khan marah, tentara Mongol
lalu menyerang Singhasari untuk menghukum
Kertanegara. namun peperangan tidak terjadi sebab saat mereka datang, kertanegara sudah meninggal pada tahun 1292 M. Meninggalnya Kertanegara ini akibat serangan dari Jayakatwang (keturunan Raja Kediri). Dengan meninggalnya Raja Kertanegara ini berakhirlah kerajaan Singhasari.
g. Kerajaan Majapahit
Sesudah kerajaan Singhasari runtuh akibat
serangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu
Kertanegara) yang berhasil meloloskan diri dan pergi ke Madura dilindungi oleh Arya Wiraraja (Bupati Sumenep dari Madura). Atas jasa Arya Wiraraja ini, Raden Wijaya memperoleh pengampunan dari Jayakatwang. Selain memperoleh pengampunan, Raden Wijaya diberi tanah oleh Jayakatwang di sebuah hutan
tarik dekat Mojokerto yang lalu area itu
dinamakan dengan area Majapahit. Di Majapahit, Raden Wijaya menyusun kekuatan untuk menyerang balik Jayakatwang. saat tentara
Mongol datang untuk menyerang Singhasari, Raden Wijaya dengan strategi diplomasinya memanfaatkan pasukan itu untuk menyerang Jayakatwang. Pasukan Jayakatwang berhasil ditaklukkan oleh pasukan gabungan. Jayakatwang sendiri akhirnya ditangkap dan dibunuh pasukan Mongol. saat tentara Mongol lengah, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol yang sedang merayakan pesta kemenangan.
Banyak tentara Mongol tewas di tangan pasukan
Raden Wijaya, sementara tentara yang tidak terbunuh,
kembali ke negerinya.
K e m e n a n g a n R a d e n W i j a y a i t u t e l a h menghantarkan pendirian kerajaan Majapahit
menggantikan kerajaan Singhasari. Berikut ini
raja –raja yang pernah memerintah di Majapahit
antara lain Raden Wijaya yang masih keturunan
dari Ken Dedes, Jayanegara yang menggantikan
posisi ayahnya sebagai Raja Majapahit yang kedua
pada tahun 1309. sebab Jayanegara tidak punya
keturunan, maka tampuk pemerintahan dipegang oleh Tribuanatunggadewi (adik perempuan Jayanegara lain ibu atau anak Gayatri salah seorang istri Raden Wijaya). Tribuanatunggadewi hanya memerintah beberapa waktu dan kemudian mengangkat anaknya Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit. Lebih jelasnya perhatikan daftar silsilah Dinasti Rajasa berikut.
Wawasan Sosial 1 untuk Kelas VII168
h. Kerajaan Sunda
Berita tentang kerajaan Hindu di Jawa Barat
sesudah kerajaan Tarumanagara ada dalam
naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Dalam Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanjaya yaitu anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya dinamakan sebagai menantu raja Sunda yang bernama
Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda.
Mendengar nama Sanjaya dan Sena tentu
masih ingat bahwa kedua nama itu tercantum juga
dalam prasati Canggal (732 M), yang menceritakan
asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di
Kerajaan Mataram Lama. Bila kita bandingkan isi
Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, ada
kemungkinan Sanjaya di sana yaitu orang yang
sama. sedang Sannaha dalam prasasti Canggal,
kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan.
maka , di Jawa Barat pada masa itu ada
kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya
Sanjaya.Sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat yaitu prasasti Sahyang Tapak (1030). Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dengan memakai bahasa Jawa Kuno, huruf Kawi. Dalam prasasti ini dinamakan tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Padjajaran.
Dia beragama Hindu. Sesudah raja Jayabhupati wafat ibukota kerajaan dipindahkan lagi dari Pakuan Padjajaran ke Kawali (Ciamis) oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana (raja pengganti Jayabhupati). Di Kawali ini Wastu Kencana mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya.
Rahyang Niskala Wastu Kencana kemudian
digantikan Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kancana). Dewa Niskala sendiri nantinya digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Raja ini meninggal sesudah btujuh tahun memerintah di Galuh. Ia tewas dalam peristiwa Bubat (1357) sesudah Sri Baduga menolak memberi Dyah Pitaloka sebagai upeti untuk Hayam Wuruk (Raja Majapahit). Kerajaan Sunda kemudian diperintah oleh Hyang Bunisora (1357-1371), Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1374), Tohaan (1475-1482), dan Ratu Jayadewata (1482-1521).
Menurut prasasti Batutulis pemerintahan Ratu
Jayadewata ada di ibukota lama Pakuan Padjajaran.
Kerajaan Sunda ini kemudian mulai terancam oleh
perkembangan Banten dan Cirebon yang sudah
menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang-orang Islam. Merasa khawatir dengan perkembangan baru
di pesisir utara, Sang Ratu Jayadewata mengutus
Ratu Samiam (Prabu Surawisesa) ke Malaka untuk
meminta bantuan pasukan Portugis memerangi
orang-orang Islam. Menurut berita Portugis, utusan
yang dipimpin Ratu Samiam itu datang pada tahun
1512 dan 1521. Ratu Samiam atau Prabu Surawisesa menurut carita Parahyiangan menjadi raja Sunda pada tahun 1521-1535.
Tindakan yang dilakukan oleh kerajaan Sunda
itu tidak disukai oleh kerajaan Demak. Di bawah
kepemimpinan Sultan Trenggono, ia berusaha
bertindak untuk menghentikan pengaruh Portugis
di Jawa. Dikirimlah menantunya yang bernama
Fatahillah untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa dan menguasai pelabuhan ini . Keadaan ini
secara politis menekan kerajaan Sunda. kemudian
pada masa Raja Nuisya Mulya, kerajaan Sunda
runtuh pada tahun 1579 akibat adanya serangan dari Kesultanan Banten di bawah pemerintahan Maulana Yusuf.
i. Kerajaan Bali
Mendengar nama Bali tentu di antara sudah
tidak asing lagi. warganya sampai sekarang kuat mempertahankan tradisi Hindu. Namun demikian, agama Hindu yang mereka anut sudah tercampur dengan budaya warga asli Bali sebelum Hindu. Melalui proses sinkretisme ini, lahirlah agama Hindu Bali yang bernama Hindu Dharma.Pada abad ke-7, nama Bali dalam berita Cina dinamakan dengan rnama Dwa-pa-tan, yang terletak di sebelah timur kerajaan Holing (Jawa). Menurut para ahli nama Dwa-pa-tan ini sama dengan Bali.
Pengaruh Hindu di Bali berasal dari Jawa Timur,
saat Bali berada di bawah kekuasaan Majapahit.
saat Majapahit runtuh, ada sebagian penduduk
yang melarikan diri ke Bali, sehingga banyak
penduduk Bali sekarang yang menganggap dirinya
keturunan dari Majapahit.
Prasasti yang menceritakan raja yang berkuasa
di Bali ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur.
Prasasti ini berangka tahun 914. Dalam prasasti ini
dinamakan Raja yang bernama Khesari Warmadewa, istananya terletak di Sanghadwala. Prasasti ini ditulis dengan huruf nagari (India) dan sebagian lagi berhuruf Bali Kuno, namun berbahasa Sansakerta. Raja kemudian yang berkuasa yaitu yaitu Ugrasena pada tahun 915. Ugrasena digantikan oleh
Tabanendra Warmadewa (955-967). Tabanendra
lalu digantikan oleh Jayasingha Warmadewa
yang membangun dua buah pemandian suci di
Desa Manukraya. Jayasingha lalu digantikan
oleh Jayasadhu Warmadewa yang memerintah dari
tahun 975-983. Jayasadhu digantikan oleh adiknya
Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia lalu
digantikan oleh Dharmodayana yang terkenal
dengan nama Udayana yang naik tahta pada tahun
989. Udayana memerintah sampai tahun 1011. Salah seorang anaknya yaitu Airlangga menikah dengan putri Dharmawangsa (raja Jawa Timur) sehingga Ia menjadi raja di Jawa Timur, sementara Marakata adiknya memerintah di Bali (1011-1022). Marakata yaitu raja yang sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya, sehingga ia dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Untuk kepentingan peribadatan, ia membangun prasada atau bangunan suci di Gunung Kawi area Tampak Siring. kemudian Marakata digantikan oleh adiknya yang bernama Anak Wungsu, yang memerintah dari tahun 1049-1077. Pada
masa pemerintahannya, keadaan negeri Bali sangat
aman dan tentram. Rakyat hidup dengan bercocok
tanam. Selain itu, rakyat juga memelihara binatang
seperti kerbau, kambing, lembu, babi, bebek, kuda,
ayam, dan anjing. Anak Wungsu tidak memiliki anak dari permaisurinya. Ia meninggal pada tahun 1077 M dan didharmakan di Gunung Kawi dekat Tampak Siring.Pengganti Anak Wungsu yaitu Sri Maharaja Sri Walaprahu. Sesudah pemerintahan Sri Walaprahu, muncul seorang ratu bernama Paduka Sri maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmiddhara Wijayatunggadewi. Masa pemerintahannya tidak banyak diketahui. Ia digantikan oleh Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun 1115-1119 M dan digantikan oleh Sri Jayasakti. Pada masa pemerintahan
Sri Jayasakti, dia sangat memperhatikan rakyatnya
tindakan yang dilakukan anatara lain meringankan
beban pajak rakyatnya. Sri Jayasakti memerintah
hingga tahun 1150 dan digantikan oleh Ragajaya.
Sesudah masa pemerintahan Ragajaya, di Bali
terjadi kekosongan pemerintahan. Baru pada tahun 1170 muncul nama seorang raja yang bernama Jayapangus. Pada masa pemerintahan Jayapangus, kitab hukum yang dipakai yaitu kitab hukum Manawakamandaka.
Sesudah Jayapangus masih banyak lagi raja lain-
nya yang memerintah di Bali. saat Bali diperintah
oleh Bhatara Sri Asta-asura-ratna Bumi Banten, Bali tahun 1430 ditaklukan oleh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit. Raja Bali ini menjadi raja terakhir yang memerintah di Bali. Sejak tahun itu Bali diperintah oleh raja-raja keturunan Jawa yang menganggap dirinya sebagai “wong Majapahit” artinya keturunan Majapahit. Walaupun demikian, di Bali masih terdapat kerajaan-kerajaan lain seperti Gianyar, Tabanan, Karangassem, dan Buleleng.
Masuknya kebudayaan India ke Indonesia
sudah membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sebelumnya memiliki kebudayaan asli tidak begitu saja menerima budaya-budaya baru ini . Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses penyesuaian dengan kebudayaan asli Indonesia. Terjadilah proses
akulturasi kebudayaan. Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia ini dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarah
dalam berbagai bidang, antara lain:
1. bidang agama, dibuktikan dengan berkembangnya agama Hindu dan Budha di Indonesia. Pada awalnya, warga Indonesia banyak menganut animisme dan dinamisme. Animisme yaitu kepercayaan terhadap arwah nenek moyang sedang dinamisme yaitu kepercayaan ,
kepada kekuatan benda-benda pusaka
tertentu dan kepercayaan pada kekuatan-
kekuatan alam. Sesudah masuknya pengaruh
India, kepercayaan asli bangsa Indonesia ini
lalu berakulturasi dengan agama Hindu-
Budha. Akibat dari akulturasi antara animisme-
dinamisme dan Hindu-Buddha, beberapa upacara
keagamaan Hindu-Budha yang berkembang di
Indonesia tidak selalu sama dengan ajaran Hindu-
Buddha India. Akulturasi kebudayaan ini
menghasilkan sinkretisme antara kebudayaan
agama Hindu-Budha dengan kebudayaan asli
bangsa Indonesia.
2. bidang politik dan pemerintahan. Lahirnya
berbagai kerajaan yang bercorak Hindu-Budha
di Indonesia yaitu salah satu bukti adanya
pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia. Pada
awalnya, warga Indonesia belum mengenal
corak pemerintahan dengan sistem kerajaan.
Sistem pemerintahan yang berlangsung di
Indonesia masih berwujud pemerintahan kesukuan
yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Dengan
demikian, masuknya pengaruh India membawa
pengaruh pada terbentuknya kerajaan-kerajaan
yang bercorak Hindu-Budha di Indonesia.
3. bidang Pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan
semacam asarama yaitu salah satu bukti
pengaruh dari kebudayaan Hindu-Buddha
di Indonesia. Lembaga pendidikan ini
mempelajari satu bidang saja, yaitu keagamaan.
4. bidang sastra dan bahasa. Pengruh Hindu-Budha
pada bahasa yaitu dikenal dan dipakai nya
bahasa Sansakerta dan huruf Pallawa oleh
warga Indonesia. Pada masa kerajaan
Hindu-Budha di Indonesia seni sastra sangat
berkembang terutama pada zaman kejayaan
kerajaan Kediri. Karya sastra itu antara lain:
a. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang disu-
sun pada masa pemerintahan Airlangga.
b. Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh disusun pada zaman kerajaan
Kediri.
c. Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh disusun
pada zaman kerajaan Kediri.
d. Arjuna Wijaya dan Sutasoma, karya Mpu
Tantular yang disusun pada zaman kerajaan
Majapahit.
e. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca disu-
sun pada zaman kerajaan Majapahit.
f. Wretta Sancaya dan Lubdhaka, karya Mpu
Tanakung yang disusun pada zaman kera-
jaan Majapahit.
5. bidang seni tari. Relief-relief yang ada pada
candi-candi terutama candi Borobudur dan
Prambanan menunjukan adanya bentuk tari-
tarian yang berkembang pada masa itu. Tarian
perang, tuwung, bungkuk, ganding, matapukan
(tari topeng) yaitu jenis tarian yang terlihat
di relief candi ini . Alat gamelan nampaknya
dipakai untuk mengiringi tarian ini . Alat-
alat gamelan ini , antara lain gendang, gong,
kecer, gambang, saron, dan kenong.
6. hiasan pada candi atau sering dinamakan dengan
relief yang ada pada candi-candi di
Indonesia didasarkan pada cerita-cerita epik yang
berkembang dalam kesusastraan yang bercorak
Hindu ataupun Budha. Epik yang tertera dalam
relief candi Prambanan Contoh mengambil dari
cerita Ramayana dan relief pada candi Penataran
mengambil epik kisah Mahabharata.
7. Wujud akulturasi pemujaan arwah leluhur den-
gan ajaran Hindu-Budha dapat dilihat dari bentuk
arca dan patung yang ditempatkan di candi. Seni
arca yang berkembang di Indonesia memper-
lihatkan unsur kepribadian dan budaya lokal
dan tidak meniru dari India. Contoh raja yang
diarcakan yaitu raja Rajasa yang didewakan
sebagai Siwa di candi makam Kagenengan, raja
Anusapati sebagai Siwa di candi makam Kidal,
raja Wisnuwardhana sebagai Budha di candi
makam Tumpang, raja Kertanegara sebagai Wai-
rocana Locana di candi makam Segala dan raja
Kertarajasa Jayawardhana sebagai Harihara di
candi makam Simping. Patung-patung dewa
dalam agama Hindu yang yaitu pening-
galan sejarah di Indonesia, antara lain:
a. arca Tribhuwanattunggadewi,
b. arca batu Wisnu,
c. arca Siwa Mahadewa,
d. arca Lorojongrang,
e. arca Ganesha, dan
f. arca Brahma.
8. Pengaruh Hindu-Budha ada juga pada
seni pertunjukan terutama seni wayang. Seni
wayang sampai sekarang masih populer di
kalangan warga Indonesia. Seni wayang
beragam bentuknya seperti wayang kulit, wayang
golek dan wayang orang. Pada masa Hindu-
Budha, kebudayaan pertunjukkan wayang ini
yang mengambil epik cerita Ramayana dan
Mahabharata. Meskipun demikian, cerita yang
dikembangkan yaitu perpaduan antara
cerita Hindu-Budha dan unsur-unsur budaya
asli. Adanya unsur budaya asli dapat terlihat dari
dimasukkannya tokoh-tokoh “baru” yang kita
kenal dengan sebutan Punakawan. Tokoh-tokoh
punakawan seperti Bagong, Petruk dan Gareng
(dalam seni wayang golek dinamakan Astrajingga/
Cepot, Dewala dan Gareng).
9. bidang seni bangunan. Bidang seni bangunan
yaitu salah satu peninggalan budaya Hindu-
Budha di Indonesia yang sangat menonjol antara
lain berwujud candi dan stupa. Berikut ini candi-
candi yang ditemukan di Indonesia.
a Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta, antara
lain: Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi
Pawon, Candi Prambanan, Kelompok Candi
Dieng, Candi Sukuh , Candi Sarjiwan Candi
Lumbung Candi Sewu, dan Candi Sari atau
Candi Bendah
b Candi-candi di Jawa Timur, antara lain: Candi
Badut, Candi Jago (Candi Jajaghu), Candi
Kidal, Candi Panataran, Candi Jajawa (Candi
Jawi), Candi Singhasari, Candi Rimbi, Candi
Bajang Ratu dan Candi Sumber Awan
c Candi di Jawa Barat, antara lain: candi Cang-
kuang
d Candi-candi di luar Jawa, antara lain: di Su-
matera ada beberapa candi seperti candi
Muara Jambi, Candi Muara Takus, Candi
Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai, dan
Candi Gunung Tua. Di Bali ada Candi
Padas atau Candi Gunung Kawi yang terletak
di Desa Tampak Siring Kabupaten Gianyar.
Hipotesis Waisya = suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan
agama Hindu Budha di Indonesia golongan pedagang.
Hipotesis Ksatria = suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan
agama Hindu Budha di Indonesia golongan bangsawan atau para
raja.Hipótesis Brahmana = suatu pandangan yang menyatakan bahwa yang menyebarkan
agama Hindu Budha di Indonesia yaitu golongan pendeta atau brahmana.
Teori Arus Balik = suatu teori yang menjelaskan bahwa bangsa Indonsia saat menerima pengaruh Hindu Budha tidak bersikap pasif, namun
bersikap aktif yaitu banyak bangsa Indonesia yang pergi ke India untuk belajar agama Hindu Budha lalu mereka kembali ke Indonesia dan menyebarkan ilmu yang mereka peroleh dari
India.
Ekspedisi Pamalayu = Ekspedisi yang dilakukan oleh Kertanegara dengan mengirimkan
tentaranya ke Melayu dalam rangka memperluas area kekuasaan Singgosari di luar Jawa.
Glosarium
Ada beberapa pendapat mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, yaitu hipotesis Waisya, Hipotesis
Ksatria, Hipotesis Brahmana, dan Teori Arus Balik.
Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di Indonesia antara lain:
Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Kediri, Kerajaan Janggala,
Kerajaan Majapahit,Kerajaan Sunda, dan Kerajaan Bali.
Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu-Budha itu kita dapat ketahui dari sumber dalam negeri dan luar negeri. Sumber dalam negeri antara lain prasasti, naskah, dan candi. Sementara sumber dari luar berwujud naskah, prasasti dan berita yang dibawa oleh para petualang atau pendeta yang pernah sinmggah di Indonesia
Masuknya kebudayaan India ke Indonesia sudah membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Namun demikian
kebudayaan asli Indonesia tidak begitu luntu dengan masuknya budaya-budaya baru ini . Kebudayaan yang datang dari India mengalami
proses penyesuaian dengan kebudayaan asli Indonesia. Terjadilah proses akulturasi kebudayaan.
Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia ini dapat dilihat dari
peninggalan-peninggalan sejarah dalam berbagai bidang, antara lain berkembangnya agama Hindu-Budha, berkembangnya sastra dan bahasa, seni tari, seni rupa, seni patung, seni wayang, dan seni bangunan (candi atau pura),
Proses Islamisasi di setiap area di Indonesia
dilakukan secara bertahap. area yang pertama
memperoleh pengaruh Islam yaitu area Indonesia
bagian Barat. area ini yaitu jalur perdagangan
internasional sehingga pengaruh dapat dengan
cepat tumbuh di sana. area pesisir itu nantinya
menumbuhkan pusat-pusat kerajaan Islam seperti
Samudera Pasai, Pidie, Aceh, Banten, Demak,
Banjarmasin, Goa Makasar, Gresik, Tuban, Cirebon,
Ternate dan Tidore sebagai pusat kerajaan Islam yang berada disekitar pesisir. Kota-kota pelabuhan seperti Jepara, Tuban, Gresik, Sedayu yaitu kota-kota Islam di Pulau Jawa. Di Jawa Barat sudah tumbuh kota-kota Islam seperti Cirebon, Jayakarta, dan Banten.
Ada beberapa pendapat mengenai proses
Islamisasi di Indonesia. Menurut Ricklefs, proses
Islamisasi dilakukan dengan dua proses. Pertama,
penduduk pribumi berhubungan dengan agama
Islam dan lalu menganutnya. Kedua, orang-
orang asing (Arab, India, Persia, , ) yang
sudah memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu area Indonesia, melakukan perkawinan campuran dan mengikuti gaya hidup lokal sehingga ajaran Islam dengan mudah masuk dalam kehidupan pribumi (orang Indonesia). Perkembangan
A. Penyebaran Islam
di Indonesia
berikutnya penyebaran Islam dilakukan melalui
pertunjukan kesenian, diplomasi politik dengan
penguasa setempat, membuka lembaga-lembaga
pendidikan seperti pesantren, dan tasawuf.
Berikut ini pendapat mengenai proses
islamisasi di Indonesia.
1. Proses Awal Kedatangan Islam
Ada beberapa pendapat mengenai kapan awal
Islamisasi berlangsung di Indonesia. Para sejarawan Indonesia berpendapat bahwa proses Islamisasi di Indonesia sudah dimulai pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Pendapat ini berdasar bukti bahwa pada abad ke-7 di pusat kerajaan Sriwijaya
sudah ditemukan perkampungan-perkampungan
pedagang Arab. Pendapat lain dikemukan oleh
Mouquette (Ilmuwan Belanda) yang menyatakan
bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-
13-14 Masehi. Penentuan waktu itu berdasar
tulisan pada batu nisan yang ditemukan di Pasai.
Batu nisan itu berangka tahun 17 Djulhijah 831 atau 21 September 1428 M dan identik dengan batu nisan yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (822 H atau 1419 M) di Gresik, Jawa Timur. Begitu juga dengan ditemukannya batu nisan Malik al-Saleh ( raja Samudera Pasai) yang berangka tahun 698 H atau 1297 M. Selain sumber batu nisan, sumber lainnya didapat dari tulisan Marcopolo (pedagang Venesia) yang singgah di Sumatera dalam perjalanan pulangnya
dari Cina pada tahun 1292. Di sana dinamakan bahwa Perlak yaitu kota Islam.
2. Tempat asal para pembawa
Islam
a. Menurut Snouck Hurgronje para penyebar
Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (India).
Hubungan ini sudah berlangsung pada abad
ke-13. Pendapat ini diperkuat oleh Mouquette
yang melihat kesamaan batu nisan Malik al-Saleh
dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat.
Kedua tempat itu sama-sama menganut mazhab
Syafi’i. Pijnappel juga berpendapat bahwa para
pembawa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat
dan Malabar. Morrison dan Arnold mengatakan
bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh orang-
orang Coromandel dan Malabar
b. Fattini berpendapat bahwa berdasar model
batu nisan Malik al-Saleh yang lebih mirip
dengan batu nisan yang ada di Benggala, Fattini
menyimpulkan bahwa tempat asal para penyebar
Islam di Indonesia yaitu dari Benggala yang kini
lebih dikenal dengan sebutan Banglades.
c. Crawford berpendapat lain. Ia mengatakan Islam
berasal langsung dari Mekah (Arab). Pendapat
Crawford itu didukung oleh sejarawan Indonesia,
seperti Hamka yang berpendapat bahwa Islam yang masuk ke Indonesia itu langsung dari Arab.
d. Husein Djajadiningrat lebih berpendapat bahwa
Islam di Indonesia berasal dari Parsi atau
Persia. Ia lebih menitikberatkan pada kesamaan
kebudayaan dan tradisi yang berkembang antara
warga Persia dan Indonesia, seperti tradisi
perayaan 10 Muharram dan pengaruh bahasa
yang banyak dipakai di Indonesia. berdasar penemuan bukti-bukti awal proses Islamisasi di Indonesia itu, maka dapatlah ditarik kesimpulan yaitu :
1) Islam pertama kali masuk ke Indonesia abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 dan ke-8 M, dibawa oleh para pedagang Arab yang sudah me-
miliki hubungan dagang dengan pedagang-pedagang di pesisir pantai Sumatera.
2) Islam mengalami perkembangan pada abad ke-13/14 M, sesudah para pedagang Gujarat secara intensif melakukan proses penyebaran Islam seiring dengan kegiatan perdagangan mereka.Islam datang ke Indonesia ada yang dari Arab langsung dan ada yang melalui Gujarat India
3. Tokoh penyebar Islam
Para penyebar Islam di Indonesia ada beberapa
kelompok, antara lain para pedagang, para ustadz,
sultan, dan para wali (mubaligh). Di Pulau Jawa proses Islamisasi dilakukan oleh sekelompok mubaligh Islam dinamakan walisongo. Wali yaitu
orang yang dekat dengan Allah, sedang songo
menunjukkan jumlah yaitu sembilan. Jadi walisongo artinya sembilan orang wali. Walisongo diartikan pula dengan sembilan orang-orang yang disucikan. Berikut
ini nama-nama walisongo ini .
a. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim,
dinamakan Maulana Maghribi yaitu orang
pertama yang menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa. Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.
Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa beliau
berasal dari Turki, Arab, dan Gujarat. namun pendapat yang lebih kuat ia berasal dari Maroko.
Pada tahun 1329 M, ia hijrah ke Pulau Jawa.
Sebelumnya ia singgah di Campa, Kamboja. area
pertama yang dituju yaitu Desa Sembalo, area
yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit. Selain mengajarkan tentang ajaran keislaman, Maulana Malik Ibrahim juga memperkenalkan budi pekerti Islam dengan tutur kata yang sopan dan lemah lembut sehingga banyak penduduk Jawa yang tertarik
memeluk agama Islam. Maulana Malik Ibrahim ini
wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 Hijriah atau
9 April 1419 M dan dimakamkam di Gresik.
b. Sunan Ampel
Sunan Ampel memiliki nama aslinya Raden
Rakhmat. Ia seorang kemenakan dari raja Majapahit yang bernama Kertawijaya. Menurut cerita rakyat, Raden Rakhmat ini berasal dari Campa. dinamakan ia yaitu anak dari Raja Campa Ibrahim Asmarakandi atau Maulana Malik Ibrahim yang di utus ke Majapahit (Jawa) bersama adiknya yang bernama Sayid Ali Murtadha pada tahun 1443. Sesudah beberapa lama tinggal di Jawa, pada tahun 1450 Raden Rahmat ini menikah dengan Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban yang sudah memeluk agama Islam. kemudian Raden Rakhmat tinggal di area Ampeldenta, area pemberian dari raja Majapahit. Di Ampeldenta Raden Rahmat mendirikan mesjid dan membuka pondok pesantren. Sesuai dengan tempat kegiatan dakwahnya, Raden Rakhmat ini dikenal dengan Sunan Ampel. Sunan Ampel terkenal dengan ajaran Mo Limo yang berarti tidak melakukan lima perkara yang terlarang, yaitu:
1) emoh main (tidak mau judi);
2) emoh ngumbih (tidak mau minum-minuman yang memabukan);
3) emoh madat (tidak mau minum/menghisap
candu/ganja);
4) emoh maling (tidak mau mencuri);
5) emoh madon (tidak mau berzina).
Hasil dari pendidikan pesantren Ampeldenta
ini muncul tokoh wali lainnya, yaitu Sunan Giri dan
Sunan Kalijaga. Begitu juga dengan putranya yang
bernama Sunan Derajat dan Sunan Bonang sudah
mengikuti jejak ayahnya sebagai wali. Keberhasilan
yang lain dari Sunan Ampel, ia menjadi perencana
kerajaan Demak. Dialah yang melantik Raden Patah
sebagai Sultan Demak yang pertama tahun 1481. Pada tahun 900 Hijriyah (1494 M), Sunan Ampel wafat. Jenazahnya dimakamkan di Ampeldenta, Surabaya.
c. Sunan Bonang
Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim yaitu
putra Sunan Ampel dari istrinya yang bernama Nyi
Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban. Ia
belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampeldenta. Sesudah cukup ilmu ia berkelana dan menetap di Bonang (area Tuban, Jawa Tengah). Di Bonang itulah pusat dakwah Islamnya. Di sana ia mendirikan pesantren dinamakan Watu Layar.
Sunan Bonang memakai kesenian bonang
sebagai media untuk berdakwah. Ia menabuh
bonang diiringi dengan lagu-lagu berwujud pantun
yang bernafaskan keislaman. Sunan Bonang berhasil menggubah lagu gending sekaten dan tembang mocopat yang sampai sekarang tembang itu populer di kalangan warga Jawa. Pada tahun 1525 M, Sunan Bonang wafat. Ia dimakamkan di area Tuban, Jawa Tengah
d. Sunan Derajat
Saudara dari Sunan Bonang yaitu Masih Munat.
Masih Munat nantinya terkenal dengan nama Sunan Derajat. Pusat kegiatannya di area Sedayu, Jawa Timur. Seperti halnya ayah dan saudaranya, Sunan Derajat dalam berdakwah memakai alat gamelan. Jika Sunan Bonang berhasil mengubah lagu gending sekaten, maka Sunan Derajat berhasil menciptakan lagu gending pangkur yang sampai sekarang lagu itu masih banyak digemari oleh warga Jawa. Sunan Derajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori penyantunan anak-anak
yatim dan orang sakit.
e. Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku yaitu putra dari
Maulana Ishak dari Blambangan, sahabat Sunan
Ampel. Raden Paku ini bersahabat dengan Sunan
Bonang. Keduanya lalu disuruh pergi haji ke
Mekah sambil menuntut ilmu oleh Sunan Ampel.
Sunan Giri mendirikan pesantren di area Giri. Pada perkembangan kemudian , pesantren itu
menjadi pesantren yang terkenal ke seluruh nusantara. Santri yang belajar di pesantren Sunan Giri banyak berasal dari luar Jawa, seperti Madura, Kalimantan, Makasar, dan Lombok. Selain menerima santri dari berbagai area , Sunan Giri ternyata mengirimkan banyak mubalignya ke Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Sesudah wafat, Sunan Giri dimakamkan di Bukit Giri dekat Gresik.
f. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga yaitu putera seorang Adipati
Tuban. Nama asli Sunan Kalijaga yaitu Raden Jaka
Said. Sejak kecil ia sudah menampakan ketaatan
kepada agama Islam dan berbakti kepada orang tua. Sunan Kalijaga yaitu mubalig keliling dan tidak
memiliki pusat dakwah yang tetap.
Sunan Kalijaga memakai kesenian wayang
kulit sebagai media dakwahnya. Sunan Kalijaga
memadukan kisah yang dilakonkan dengan ajaran
Islam sehingga Islam mudah dipahami. Pada masa itu, warga sangat menggemari kesenian wayang. Peninggalan lainnya dari Sunan Kalijaga yang sekarang masih dipakai dalam kehidupan warga Indonesia, antara lain: perancang pertama baju taqwa, penciptakan lagu Dandang Gula dan Semarangan, mencipakan seni ukir bermotif dedaunan, menciptakan bedug di mesjid, menciptakan Gong Sekaten, dan
memprakarsai Gerebeg Maulud. Sunan Kalijaga di
makamkan di area Kadilangu dekat Demak.
g. Sunan Kudus
Sunan Kudus atau Jafar Sadiq. Ia yaitu salah seorang panglima tentara Demak. Sepulangnya dari Mekah ia mendirikan pusat dakwah dengan nama Kudus, diambil dari nama al-quds (Palestina). Mesjid yang terkenal dibangun yaitu Mesjid Kudus yang terkenal dengan menara mesjidnya. Semasa hidupnya, ia mengajarkan agama Islam
di sekitar pesisir utara Jawa Tengah di area Kudus Dari sinilah ia lebih dikenal sebagai Sunan Kudus.
Sunan Kudus ini seorang yang ahli dalam bidang
tauhid, hadist, fiqih, dan lainnya. Ia juga terkenal
sebagai pujangga yang mengarang cerita pendek yang bernafaskan keislaman. Dalam bidang kesenian ia dikenal sebagai pencipta Gending Asmarandana.
h. Sunan Muria
Sunan Muria atau Raden Prawoto atau Raden
Umar Said, yaitu putra Sunan Kalijaga. sebab
ibunya yaitu adik Sunan Giri maka Sunan Muria
ini keponakan Sunan Giri. Pusat kegiatan dakwah
Sunan Muria terletak di lereng Gunung Muria (Jawa
Tengah) Ia banyak bergaul dengan rakyat jelata.
Sambil bercocok tanam, berladang, dan berdagang,
ia mengajarkan ajaran Islam. Cara lainnya dalam
berdakwah dengan memakai alat kesenian
rakyat berwujud gamelan. Ia menciptakan gending
sinom dan kinanti. Sunan Muria wafat pada tahun
1560 M dan dimakamkan di atas Gunung Muria.
i. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati nama aslinya Falatehan atau
Fatahilah, ada juga yang menyebut Syarif Hidayattullah berasal dari Pasai (Aceh). Sunan Gunung Jati ini yaitu wali satu-satunya wali yang banyak berjasa dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Pusat kegiatan dakwahnya di area Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat sehingga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
Pada tahun 1570 M, Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat.
No. Nama Ulama area Penyebaran
1. Syekh Bentong Gunung Lawu
2. Sunan Bayat Jawa
3. Sunan Bayat Klaten
4. Syekh Majagung Jawa
5. Sunan Sendang Jawa
6. Datuk Ri Bandang Makasar
7. Datuk Sulaeman Sulawesi
8. Tuan Tunggang Parangang Kalimantan
9. Penghulu Demak Kalimantan
Para Ulama Penyebar Islam di Indonesia
Sesudah walisongo, proses penyebaran Islam
dilanjutkan oleh para ulama. Para ulama itu tersebar di berbagai area di Indonesia, antara lain
No. Nama Pemikir Hasil Karyanya
1. Hamzah Fansuri Syarab al-Asyiqin (Syair Perahu) dan Asrar
al-Arifin
2. Nuruddin ar-Raniri Bustan as-Salatin
3. Syekh Abdurrauf al-Fansuri Tarjuman al-Mustafid
4. Sultan Agung Sastra Gending
5. Syekh Yusuf Safinat an-Najat dan Tuhfat ar-Rabbaniyah
Pemikir-pemikir Islam di Indonesia
Pengaruh Islam di Indonesia tidak hanya
ditunjukan dengan adanya perkembangan agama dan budaya Islam, namun juga dapat dilihat dari adanya perkembangan pemerintahan kerajaan yang bercorak Islam. Pemerintahan kerajaan Islam ini banyak menggantikan kerajaan-kerajaan yang bercorak.
Selain para ulama, ada juga pemikir-pemikir
Islam lainnya. Nama-nama pemikir Islam berikut
dengan hasil karyanya antara lain sebagai berikut.
Adapun ciri-ciri khusus dari kerajaan
Islam ini, antara lain:
1. pemerintahan berasaskan hukum Islam (Hukum
Syara’);
2. rajanya bergelar Sultan;
3. raja berfungsi sebagai pemimpin agama di
samping sebagai kepala pemerintahan;
4. agama Islam dijadikan sebagai agama kerajaan.
Kerajaan-kerajaan ini antara lain kerajaan
Samudera Pasai, Malaka, Aceh, Demak, Pajang,
Mataram, Banten, Cirebon, Makasar, Banjar, dan
Ternate dan Tidore.
a. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah
utara Perlak di area Lhok Seumawe (sekarang
pantai timur Aceh), berbatasan langsung dengan
Selat Malaka. Kerajaan ini menjadi pusat penyebaran agama Islam di sekitar Sumatera dan Malaka. Kerajaan Samudera Pasai yang memperoleh julukan
“area Serambi Mekkah“ini yaitu kerajaan
Islam pertama di Indonesia. Pendiri sekaligus raja
pertama kerajaan ini yaitu Sultan Malik Al-Saleh
(1290-1297). Sesudah Sultan Malik Al-Saleh wafat tahun 1297 M, kerajaan Samudera Pasai dipegang oleh putranya yang bernama Sultan Malik al-Tahir (1297-1326). kemudian sesudah Sultan Malik al-Tahir wafat, Sultan Malik al Zahir menjadi raja yang menggantikan. Menurut Ibnu Batutah (pengembara dari Maroko) yang pernah singgah di Samudera Pasai tahun 1345 dan 1346, Sultan Malik a-
Zahir ini yaitu seorang sultan yang taat kepada agama dan menganut mazhab Syafi’i.
saat tahta kerajaan dipegang oleh Zainal
Abidin tahun 1348, Majapahit berhasil menguasai
Samudera Pasai. maka , Samudera Pasai
berada di bawah kekuasaan Majapahit. Sesudah
Majapahit mengalami kehancuran, Samudera Pasai
tegak kembali. namun sesudah Zainal Abidin, kerajaan ini tidak terdengar lagi sebab sudah tergeser oleh Kerajaan Malaka. Seperti halnya kerajaan Sriwijaya, perekonomian warga Samudera Pasai banyak menggantungkan
pada perdagangan. Posisinya yang berada di jalur
perdagangan internasional dimanfaatkan oleh kerajaan ini untuk kemajuan ekonomi rakyatnya. Banyak pedagang dari berbagai negara berlabuh di Pelabuhan Pasai. Untuk itu kerajaan ini berusaha menyiapkan bandar-bandar yang dapat dipakai untuk menambah bahan perbekalan, mengurus perkapalan, mengumpulkan dan menyimpan barang dagangan yang akan dikirim ke
dalam dan luar negeri.
b. Kerajaan Malaka
Seperti halnya kerajaan Samudera Pasai,
pertumbuhan Kerajaan Malaka dipengaruhi
oleh ramainya perdagangan internasional yang
menghubungkan Asia Barat, Asia Selatan, dan
Asia Timur. Pelabuhan Malaka menjadi tempat
persinggahan para pedagang dari berbagai bangsa
terutama para pedagang Islam.
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh
Parameswara (seorang pangeran dari Palembang yang lari ke Malaka saat terjadi serangan Majapahit). Ia mendirikan kerajaan Malaka ini sekitar tahun 1400. Sesudah memeluk Islam, ia mengganti namanya dengan nama Muhammad Syah. Muhammad Syah memerintah di kerajaan Samudera Pasai dari tahun 1400-1414. Sesudah wafat, ia lalu digantikan oleh
Sultan Iskandar Syah (1414-1424). kemudian raja-
raja yang berkuasa di Malaka yaitu sebagai berikut,
Sultan Muzaffar Syah (1424-1444), Sultan Mansur syah (1444-1477), Sultan Mahmud Syah (1477-1511). Kerajaan Malaka pada masa Mahmud Syah mengalami keruntuhan sesudah pada tahun 1511 Malaka dikuasai oleh Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque.
c. Kerajaan Aceh
Sesudah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, para pedagang Islam tidak mengakui kekuasaan Portugis di Malaka. Mereka segera memindahkan jalur perniagaan ke bandar-bandar lainnya di seluruh Nusantara. Peran Malaka sebagai pusat perdagangan internasional
digantikan oleh Aceh selama beberapa abad.
Kerajaan Aceh ini didirikan oleh Sultan Ali
Mughayat Syah pada 1513. Ia berkuasa dari tahun 1513 sampai 1528. Pengganti Ali Mughayat Syah yaitu Sultan Alaudin Riayat Syah yang mengadakan tiga kali penyerangan kepada Portugis di Malaka pada tahun 1528, 1560, dan 1568. Namun, penyerangan- penyerangan ini mengalami kegagalan. Sultan Aceh yang pernah membawa Aceh pada puncak kejayaan yaitu Sultan Iskandar Muda yang memerintah pada tahun (1607-1636). Berikut ini beberapa tindakan yang dilakukan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan Aceh.
1. Memperluas area kekuasaan ke Semenanjung
Malaka dengan dikuasainya kerajaan Kedah,
Perak, Johor, dan Pahang. area pantai barat
dan timur Sumatera dikuasainya sampai ke
Pariaman yang yaitu jalur masuk Islam ke
Minaangkabau.
2. Untuk memperlemah kekuasaan Portugis, Iskan-
dar Muda membuka kerja sama dengan Belanda
dan Inggris dengan mengijinkan kongsi dagang
mereka, yaitu VOC dan EIC untuk membuka
kantor cabangnya di Aceh.
3. Menyerang Portugis di Malaka dan sempat
mengalahkan Portugis di Pulau Bintan pada
tahun 1614.
4. Mendirikan Masjid Baiturrahman di pusat ibu-
kota kerajaan Aceh.
Pengganti Iskandar Muda yaitu Iskandar
Thani (1636-1641). Pada masa pemerintahannya ia
lebih memperhatikan penataan dalam negeri, seperti
penegakan syari’at Islam dalam warga dan
menjalin hubungan dengan area taklukan secara
liberal bukan lagi tekanan politik dan militer. Pada
masa itu pun hadir beberapa orang ulama terkenal
seperti Hamzah Fansuri. Ulama Islam terkenal lainnya
yaitu Syekh Nuruddin Ar-Ranairi yang berasal dari
Singkil atau dinamakan pula Kuala sehingga Ar-Ranairi
di sebuat juga Syiah Kuala. Beliaulah yang pertama
kali diangkat sebagai imam besar Mesjid Raya
Baiturrahman. Untuk mengabadikan namanya, di
Aceh didirikan sebuah perguruan tinggi negeri yang
berna Syiah Kuala, yaitu Universitas Syiah Kuala.
Sepeninggal Iskandar Thani kerajaan Aceh mengalami
kemunduran sebab beberapa area taklukannya
berwujud ya memisahkan diri dari pemerintahan
pusat dan tak mampu lagi berperan sebagai pusat
perdagangan.
d. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak yang terletak di Jawa Tengah
yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Kerajaan Demak ini berdiri pada sekitar abad 15
M oleh Raden Patah (putra Raja Majapahit yang
bernama Kertawijaya). saat kerajaan Majapahit
mengalami kehancuran akibat perang saudara
tahun 1478, Demak bangkit menjadi kerajaan Islam. kemudian kerajaan Demak berkembang menjadi
kerajaan besar, di bawah kepemimpinan Raden Patah (1481-1518). Negeri-negeri di pantai utara Jawa yang sudah menganut Islam mengakui kedaulatan Demak. Bahkan Kekuasaan Demak meluas ke Sukadana (Kalimantan Selatan), Palembang, dan Jambi.
Demak di bawah pimpinan Adipati Yunus (putra
Raden Fatah) pada tahun 1512 dan 1513 melakukan penyerangan ke Malaka untuk menggempur kekuasaan Portugis di sana. sebab pernah menyerang ke Malaka itu, Adipati Yunus diberi gelar Pangeran Sabrang Lor
(Pangeran yang pernah menyebrang ke utara).
Pada masa Sultan Trenggana kerajaan Demak
mencapai puncak kejayaannya. Beberapa tindakan
penting yang dilakukannya, antara lain:
1. menjadikan Demak sebagai salah satu pusat
penyebaran agama Islam di Nusantara.
2. melakukan penguasaan terhadap area
pantai utara Jawa seperti Banten dan Cirebon yang
dipimpin oleh Fatahillah, hal ini dimaksudkan
supaya Demak menjadi pusat kekuasaan di
Jawa.
3. melakukan penyebaran Islam ke Kalimantan Selatan dan membantu mendirikan Kerajaan Banjar. Sepeninggal Pangeran Trenggana terjadi konflik dalam keluarga, hal ini memicu kekacauan dan banyak area taklukannya yang memerdekakan diri. Ketegangan ini dapat diredakan sesudah Jaka Tingkir yang menjabat Adipati Pajang sekaligus menantu Sultan
Trenggono meredam pemberontakan Aria Panangsang yang menginginkan tahta kerajaan. Jaka Tingkir lalu memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang yang sekaligus awal berdiri kerajaan Pajang.
e. Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang didirikan Jaka tingkir yang
sesudah menjadi sultan memperoleh kan gelar Adiwijaya. Masa pemerintahan kerajaan Pajang tidak lama, sebab sesudah wafatnya Adiwijaya terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Pangiri (menantu Adiwijaya)
dan Pangeran Benawa (putera Adiwijaya). Tahta
Pajang direbut Aria Pangiri, Pangeran Benowo
Wawasan Sosial 1 untuk Kelas VII196
tidak terima. Ia lalu meminta bantuan kepada
Sutawijaya, Adipati Mataram, untuk merebut tahta
kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke
Banten, sementara Pangeran Banowo menyerahkan
tahta kerajaan kepada Sutawijaya. Berakhirlah
kerajaan Pajang dan berdirilah Kerajaan Mataram.
f. Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram menjadi pusat pemerintahan
di Jawa pada tahun 1575 sesudah pusaka kerajaan
dipindahkan dari Pajang ke Mataram oleh Sutawijaya. Sesudah menjadi Sultan di Mataram, Sutawijaya memperoleh gelar Panembahan Senopati, ia bercita-cita menguasai seluruh pulau Jawa. area yang tidak mengakui kedaulatan Matarm ditundukannya seperti Demak, kediri, Madiun, Surabaya, Kedu dan Pasuruan. Sesudah Sutawijaya wafat, cita-cita perjuangan
dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Mas
Jolang. Pada masa pemerintahannya banyak terjadi pemberontakan yang dilakukan para bupati pesisir yang memicu nya ia gugur di Desa Krapyak sehingga ia dikenal dengan nama Panembahan Seda Krapyak.
Sesudah Mas Jolang meninggal, tahta kerajaan
dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Raden
Rangsang yang terkenal dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Dialah raja Mataram terbesar dalam sejarah. Seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura mengakui kedaulatan Mataram. Surabaya yang sukar dikalahkan, pada masa Sultan Agung berhasil ditaklukan tahun 1625. Di Jawa Barat, kekuasaan Mataram tertanam di Cirebon,
Sumedang, dan Ukur (Bandung sekarang). Banten
sebagai area strategis tidak berhasil dikuasai.
Bersamaan dengan usaha perluasaan kekuasaan yang dilakukan Mataram sudah muncul kekuatan baru di Jayakarta (Batavia) yang yaitu jalur Mataram ke Banten. Kekuatan baru itu yaitu VOC suatu kongsi dagang milik kerajaan Belanda. kemudian
Sultan Agung mengadakan penyerangan ke VOC di
Batavia. Serangan pertama dilakkukan pada tahun
1628 dan yang kedua pada tahun 1629, namun kedua penyerangan ini gagal.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai
kejayaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan
Agung, antara lain dalam bidang perekonomian,
kehidupan warganya yang agraris berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berwujud beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat kalender Jawa yang yaitu perpaduan tahun saka dengan tahun hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra gending yang berwujud kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah sahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat lalu
kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat I
(putranya). Berbeda dengan para leluhurnya, ia
melakukan kerja sama dengan pihak VOC yang
mengijinkannya untuk mendirikan benteng di
Mataram dan ikut campur dalam pemerintahan istana.
Kebijaksanaan yang dilakukannya memicu
pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo
sebab VOC melakukan kesewenang-wenangan,
namun pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh
VOC. Amangkurat I wafat sebab terluka saat terjadi
pemberontakan dan digantikan oleh Amangkurat II.
Pada masa Amangkurat II ini terjadi pemindahan
pusat pemerintahan dari Mataram ke Kertasura (Solo). Satu demi satu area kekuasaan Mataram dikuasai oleh VOC dan dengan campur tangan VOC. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua area kerajaan, yaitu:
1. Kasunanan Surakarta, di perintah oleh Susuhunan Pakubuwono III.
2. Kesultanan Yogyakarta atau Ngayogyakarta
Hadiningrat diperintah oleh Mangkubumi
dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Selain itu, pada tahun 1757 Belanda kembali ikut
campur dalam pembagian kerajaan Mataram. Melalui Perjanjian Salatiga, kerajaan Mataram pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kerajaan Paku Alam, dan kerajaan Mangkunegara.
g. Kerajaan Cirebon
Pada awalnya, Cirebon yaitu sebuah area kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Menurut cerita di Banten, peletak dasar pemerintahan di Cirebon yaitu Falatehan atau Fatahillah yang tidak lain yaitu Sunan Gunung Jati. namun menurut
sumber-sumber sejarah di Cirebon, Sunan Gunung
Jati dan Falatehan atau Fatahillah yaitu dua orang
yang berbeda. Menurut sumber ini Falatehan
yaitu menantu Sunan Gunung Jati yang menikahi
anaknya Nyai Ratu Ayu. Falatehan lalu menjadi
Raja Cirebon sesudah mertuanya wafat tahun 1570. Di masa pemerintahan Fatahillah, Kesultanan Cirebon berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Untuk memperluas pengaruhnya, Sunan Gunung
Jati mengembangkan Islam ke area lain di
Jawa Barat seperti ke Kawali, Kuningan, Majalengka, Sunda Kelapa dan Banten. saat menduduki
Banten ia sempat tinggal beberapa waktu dan
meletakan dasar-dasar bagi pengembangan agama
Islam dan perdagangan di sana. Perkembangan
Banten kemudian dilanjutkan oleh anaknya
Sultan Hasanuddin yang dilalu hari banyak
menurunkan raja-raja Banten. Sesudah Sunan Gunung Jati wafat, kerajaan dipimpin oleh Panembahan Ratu dan yang terakhir dilanjutkan oleh Panembahan Giri Laya. Ia yaitu penguasa Kesultanan Cirebon yang terakhir sampai tahun 1705 sesudah Cirebon mengakui kekuasaan Mataram dan akhirnya diserahkan kepada
VOC oleh susuhunan. Perkembangan berikutnya
Kesultanan Cirebon terbagi menjadi dua, yaitu
Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman.
f. Kerajaan Makasar (Goa dan Tallo)
Makasar tumbuh menjadi pusat perdagangan
di Indonesia bagian Timur. Hal ini dipicu
letak Makasar yang strategis yang menghubungkan
jalur Malaka, Jawa, dan Maluku. Kerajaan Makasar
mengembangkan kebudayaan yang didasarkan
atas nilai-nilai Islam. Islam masuk ke Makasar lewat pengaruh Kesultanan Ternate yang giat memperkenal Islam di sana. Raja Gowa (Makasar) yang bernama Karaeng Tunigallo menerima dakwah dari Dato Ri Bandang. kemudian ia masuk Islam dengan memakai gelar Sultan Alaudin Awwalul-Islam (1605-1638).
Kerajaan Makasar mencapai puncak kejayaannya
pada masa Sultan Hasanuddin (1654-1660). Ia
berhasil membangun Makasar menjadi kerajaan yang menguasai jalur perdagangan di area Indonesia Bagian Timur. Hasanuddin berani melawan Belanda yang menghalang-halangi pelaut Makasar membeli rempah-rempah dari Maluku dan mencoba ingin memonopoli perdagangan. Keberaniannya melawan
Belanda, ia dijuluki “Ayam Jantan dari Timur”
oleh orang-orang Belanda sendiri. Dalam perang
ini, Hasanuddin tidak berhasil mematahkan ambisi
Belanda untuk menguasai Makasar. Makasar terpaksa menandatangi Perjanjian Bongaya (1667) yang isinya sesuai dengan keinginan Belanda. Dengan perjanjian ini ,
1. Belanda memperoleh monopoli dagang rempah-
rempah di Makasar;
2. Belanda mendirikan benteng pertahanan di
Makasar;
3. Makasar harus melepaskan area kekuasaannya
berwujud area di luar Makasar;
4. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
g. Kerajaan Banjar
kerajaan Demak berhasil membantu mengembalikan Pangeran Tumenggung Samudra sebagai Raja Banjar. Oleh sebab itulah, Raja Banjar ini masuk Islam dan memperoleh gelar Sultan Suryanullah. Perkembangan agama Islam meluas hampir ke seluruh Kalimantan sesudah Raja Banjar masuk Islam.
Pengislaman di Kalimantan ini tidak lepas dari
peranan Sultan Suryanullah dan para mubalig lainnya, seperti Datok Ri Bandang, Tuan Tunggang Parangan, dan Aji di Langgar berhasil mengembangkan Islam di Kalimantan Timur. Mubalig dari Jawa juga berperan dalam proses perkembangan Islam di area Sukadana, Kalimantan Barat. Selain mubalig dari
Makasar dan Jawa, para pedagang Arab juga berperan dalam perkembangan Islam di Kalimantan.
h. Kerajaan Ternate dan Tidore
Islam masuk ke Maluku berkaitan erat kdengan
kegiatan perdagangan. Para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam ke sana pada abad ke-15. lalu , muncul empat kerajaan Islam di Maluku yang dinamakan Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate (dipimpin Sultan Zainal Abidin,1486-1500), Kesultanan Tidore (dipimpin oleh Sultan Mansur), Kesultanan Jailolo (dipimpin oleh Sultan Sarajati), dan Kesultanan Bacan (dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko). Berkat dakwah dari empat kerajaan ini , warga muslimin di Maluku sudah menyebar sampai ke Banda, Hitu,
Haruku, Makyan, dan Halmahera.
Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di
sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) yaitu dua
kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam menghadapi kekuatan asing yang mencoba
menguasai Maluku. Dalam perkembangan kemudian kedua kerajaan ini bersaing memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku. area Maluku bagian timur dan pantai-pantai Irian, dikuasai oleh Kesultanan Tidore. Sementara itu, area Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi sampai ke Flores
dan Mindanao, dikuasai oleh Kesultanan Ternate.
Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Baabullah. sedang kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Nuku.
Persaingan di antara kerajaan Ternate dan Tidore
memicu dua persekutuan dagang, yaitu :
1. Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin
oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan
Ambon. Pada masa Sultan Baabulah, kerajan
C. warga Pada Masa Islam
Ternate mencapai jaman keemasan dan dinamakan area kekuasaan meluas ke Filipina.
2. Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dip-
impin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo
sampai ke Papua. Kerajaan Tidore mencapai jaman
keemasan di bawah pemerintah Sultan Nuku.
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan
Islam, warga Indonesia mengalami pertumbuhan
yang lebih cepat, khususnya di area pesisir. area
pesisir berkembang menjadi suatu perkotaan. Hal
itu terjadi sebab area pesisir didukung dengan
pertumbuhan perdagangan. Perdagangan di pesisir
dapat tumbuh sebab area pesisir yaitu
area titik temu lalu lintas perdagangan. warga
di area pesisir menjadi area pertama yang
menganut Islam
Bila kita telusuri, struktur warga yang ter-
bentuk pada masa penyebaran Islam meliputi:
a. Golongan Sultan dan keluarganya
Sultan atau raja dan keluarganya memperoleh kan
posisi yang terhormat di warga. Mereka ter-
golong kelas warga tertinggi dibanding golon-
gan yang lain. Sultan atau raja bedan kelurganya
tinggal di kompleks keraton. Keluarga raja termasuk dalam kelompok bangsawan. Keluarga sultan memiliki nama-nama khusus, priyayi Contoh sebutan untuk keluarga kerajaan di Mataram, dan ”kadanghaji” untuk sebutan keluarga raja di Kalimantan. Di ibu kota, sultan mengendalikan kekuasaan atau pemerintahan.Keistimewaan keluarga raja dapat pula dipicu oleh pendidikan yang mereka peroleh. Pendidikan yang dilakukan raja terhadap keluarganya, yaitu dengan memanggil guru khusus ke keraton untuk mendidik anaknya atau pendidikan
dilakukan dengan mengirim puteranya ke tempat
pendidikan agama. Pangeran Arya, putera Raja
Banten dididik oleh Ratu Kalinyamat di Jepara.
b. Golongan elite
Golongan yang memiliki kedudukan tinggi
sesudah sultan dan keluarganya yaitu golongan
elite. Kelompok warga yang termasuk ke dalam
golongan elite, yaitu bangsawan, tentara, kaum
kegamaan, dan pedagang. Golongan elite di kerajaan Mataram dinamakan kaum priyayi. Para bangsawan biasanya yaitu pejabat pemerintahan.
Pengangkatan pejabat pemerintahan dilakukan
oleh raja. Jabatan pemerintahan bisa berasal dari
kalangan keluarga raja sendiri atau orang luar
bahkan ada yang diangkat dari bangsa asing.
Dalam warga Islam, para pedagang memiliki
kedudukan penting. Peran padagang ini sangat
penting sebab mereka sangat menentukan terhadap aktifitas perdagangan kerajaan.
c. Golongan Kyai dan Santri
warga Islam sangat menghormati orang
yang menguasai ilmu agama. Mereka yaitu para
ulama atau kyai. Biasanya para ulama mendirikan
pesantren sebagai pusat pendidikan Islam. Di sana,
mereka mendidik ribuan santri dari berbagai penjuru negeri. Para santri ini hidup dan bergaul sehari-hari dengan para kyai. Mereka membantu gurunya dalam mengurus pesantren maupun ladang atau sawah yang dimiliki oleh kyainya. Para ulama dan kyai memperoleh kedudukan yang terhormat di mata santri-santrinya. Selain itu, sultan pada masa Islam sering menjadikan para ulama atau kyai sebagai penasehatnya dalam pengurusan masalah kewargaan, pemerintahan maupun perang. contoh , pada masa kerajaan Demak, ulama
ada yang dijadikan sebagai panglima perang.
d. Golongan non elite
Golongan non-elite yaitu golongan rendah,
yaitu golongan rakyat banyak. Pada warga
Jawa, golongan ini dinamakan dengan sebutan wong cilik. Petani, nelayan, dan para tukang yaitu
bagian dari golongan non-elite. Kehidupan mereka
biasanya sangat bergantung kepada golongan elite.
Golongan ini yaitu golongan yang jumlahnya
paling banyak.
e. Golongan hamba sahaya atau
budak Hamba sahaya yaitu golongan paling
rendah dalam warga Islam. Kehidupan mereka
sangat bergantung pada orang lain, kehidupannya
tidak bebas dan merdeka.
bidang-bidang peninggalan Islam di
berbagai bidang yaitu:
a. Seni sastra dan Seni tari
Dalam bidang seni sastra, saat Sultan Iskandar
Muda bertahta di Aceh (1607-1636), penyair Hamzah Fansuri menulis syair-syair yang berisi ajaran tasawuf, yaitu Syarab al-Asyiqin yang lebih dikenal dengan Syair Perahu, dan Asrar al-Arifin. Meskipun judulnya bebahasa Arab, isi naskahnya berbahasa Melayu. Pada zaman pemerintahan Iskandar Tsani (1636-1641), Nuruddin ar-Raniri menulis buku Bustan as-Salatin sebanyak tujuh jilid yang berisikan riwayat para nabi,
para khalifah, dan ulama Islam, dan raja-raja di
Nusantara bagian barat. lalu pada masa Ratu
Tajul Alam (1641-1675), ulama besar Syekh Abdurrauf al-Fansuri menerjemahkan Alqulan dengan judul Tarjuman al-Mustafid, dan yaitu tafsir Alquran tertua dalam bahasa Melayu.
Di Jawa, Sultan Agung dari Mataram menulis
naskah Sastra Gending yang isinya menerangkan
hubungan manusia dengan Allah sebagai Sang
Pencipta. lalu di Makasar, Syekh Yusuf juga
menulis buku-buku tasawuf antara lain Safinat
an-Najat (Bahtera Keselamatan) dan Tuhfat ar-
Rabbaniyah (Kehormatan Tuhan). Di Palembang,
ada pemikir bernama Syekh Abdussamad, dari
Banten Syekh Nawawi, dan Sykeh Arsyad dari
Banjar (Kalimantan). Karya-karya mereka menambah perbendaharaan Islam di Indonesia.
sedang dalam bidang seni tari, Contoh dari
Aceh ada tari seudati (artinya orang-orang besar)
atau tari saman (artinya delapan), sebab permainan itu asalnya dilakukan oleh delapan nyanyian yang sebetulnya yaitu selawat atau pujian kepada nabi. Di Banten ada permainan debus dan di area Cirebon ada upacara sekaten.
D. Hasil-Hasil kebudayaan Islam
b. Seni Bangunan
Dalam seni bangunan, ada beberapa peninggalan
sejarah yang bercorak Islam seperti:
1. Mesjid yang yaitu tempat beribadah atau
rumah tempat bersembahyang orang-orang Islam.
Contoh Mesjid Aceh, Mesjid Demak, Mesjid
Agung Surakarta, Mesjid Agung Yogyakarta,
Mesjid Kudus, Mesjid Ampel Surabaya, Mesjid
Sunan Giri, Mesjid Sunan Bonang, dan Mesjid
Banten. biasanya mesjid-mesjid pada awal
penyebaran Islam di Indonesia memiliki ciri-ciri
khusus antara lain atap bertingkat dan berbentuk
bujursangkar, ada bangunan serambi, di depan
atau disamping ada kolam parit berair,
memiliki menara, dan biasanya terletak
di kota menghadap alun-alun.
2. Istana atau keraton, kebanyakan dari istana
raja-raja itu sudah tidak ada atau tinggal bekas-
bekasnya saja. Ada juga beberapa istana yang
masih utuh, bahkan sudah dipugar. Adapun
istana–istana itu antara lain; Istana Kesultanan
Banten, Keraton Solo atau Keraton Surakarta,
Keraton Yogyakarta, Paku Alam, Keraton
Kasepuhan dan Keraton Kanoman di Cirebon,
Istana Sultan Deli, Istana Pagaruyung di Sumatera
Barat, Istana Raja Gowa dan Istana Raja Bone
di Sulawesi Selatan, Istana Kutai, Istana Sultan
Ternate.
3. Makam atau nisan raja-raja Islam banyak kita
jumpai sebagai peninggalan sejarah. Makam-
makam sultan itu sangat indah bentuknya dan
terbuat dari bahan-bahan yang mahal bahkan
ada yang terbuat dari batu pualam. Adapun
makam atau nisan para raja itu antara lain;
makam Malik al saleh di Samudera Pasai, makam
Maulana Malik Ibrahim di Gresik, makam Sultan
Hasanudin di Banten, makam Sultan Agung di
Imogiri, makam Sultan Hasanudin di Sulawesi
Selatan, makam Sunan Gunung Jati di Cerebon ,
c. Kaligrafi
Kaligrafi yaitu seni menulis indah dengan
merangkaikan huruf-huruf Arab, baik berwujud
ayat-ayat suci Al-Quran ataupun kata-kata
mutiara. Kaligrafi ini hiasan yang biasa kita
jumpai di dalam sebuah mesjid dan batu nisan.Ilmu fiqih = Ilmu yang mempelajari tata cara hukum melaksanakan
ibadah.
Ilmu Ushuludin = ilmu yang mempelajari tentang ketauhidan Allah.
Islamisasi = proses penyebaran Islam.
Mazhab Syafi’i = salah satu aliran atau mazhab fiqih Islam yang dilahirkan
oleh Imam Syafii.
Maluku Kie Raha = sebutan untuk empat kerajaan Islam di Maluku yang (Maluku
Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore,
Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan.
Mo Limo = Ajaran Sunan Ampel yang terkenal yaitu falsafah Mo
artinya oragelem (tidak mau) dan Limo artinya perkara lima,
jadi ada lima hal yang dilarang yaitu dilarang berjudi, mabuk,
menghisap madat, mencuri, dan berzina.
Tasawuf = suatu aliran atau ajaran dalam Islam yang lebih menekankan
pada prilaku hati dengan mencari kecintaan kepada Allah.
Wali Sanga = nama sekelompok penyebar Islam di Jawa yang berjumlah
sembilan orang.
Uli-Lima = persekutuan lima dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan,
Seram, Obi dan Ambon.
Uli-Siwa = persekutuan sembilan dipimpin oleh Tidore meliputi
Halmahera, Jailalo sampai ke Papua.
Proses kolonialisme dan imperialisme yang terjadi
di Asia, khususnya di Indonesia dipelopori oleh oleh Portugis dan Spanyol, disusul oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Negara-negara ini mengirimkan para penjelajahnya untuk mengarungi samudera dan mencari jalan menuju ke Dunia Timur yang terkenal itu. Dalam penjelajahan ini Portugis mengirimkan
1. Bartholomeu Dias (1487-1488) yang berhasil
sampai ke ujung selatan Afrika yang dinamakan
Tanjung Pengharapan (Cape of Good Hope),
2. Vasco da Gama (1497-1498) yang bertolak dari
Lisabon menuju Kepulauan Tanjung Varde dan
akhirnya tiba di Tanjung Pengharapan tahun
1497, dan tahun 1498 mendarat di di Kalikut,
pantai Malabar India,
3. Alfonso d’Albuquerque (1510-1515) yang berhasil menaklukan Goa di pantai barat India pada 1510 dan Malaka (1511). Dari Malaka ia meneruskan penguasaan atas Myanmar (Burma). Dari Myanmar inilah ia menjalin hubungan dagang
dengan Maluku.
Spanyol sesuai dengan Perjanjian Tordesillas
melakukan penjelajahan samudera ke Dunia Timur.
Berikut ini para penjelajah Spanyol. Ini yaitu peta pelayaran samudera ke Asia yang dipakai pertama kali oleh para penjelajah Portugis
tahun 1486.
1. Ferdinand Magelhaens (1480-1521) yang dibantu oleh Kapten Juan Sebastian del Cano dan
Pigafetta mulai berlayar ke arah Barat-daya
dengan mengikuti rute Christopher Columbus.
Magelhaens tiba di Kepulauan Filipina pada
tahun 1521 sesudah melintasi Samudera Atlantik
terus ke ujung selatan Amerika. Magelhaens
tewas di Filipina sebab dibunuh oleh Suku
Mactan,
2. Juan Sebastian del Cano yang mendampingi
Magelhaens melanjutkan perjalanan dari Filipina
ke Indonesia. Pada tahun 1522 ia sampai di
Maluku. Kedatangan rombongan Spanyol ini
memicu pertentangan dengan Portugis
yang dianggap sudah melanggar Perjanjian
Tordesillas. Pertentangan di antara mereka
berakhir sesudah dibuat Perjanjian Saragosa (1534) yang memutuskan kesepakatan batas area
kekuasan. Portugis tetap di Maluku, dan Spanyol
di Filipina.
Dilihat dari awal kedatangan sampai penguasaan
bangsa Eropa di Indonesia yang begitu panjang
(abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20), secara langsung atau tidak langsung Kolonial Eropa sudah mempengaruhi perkembangan kehidupan warga Indonesia. Perkembangan warga itu antara lain sebagai berikut.
1. Penggolongan warga
Indonesia warga Indonesia pada masa Kolonial Eropa dibedakan dalam beberapa golongan atau garis warna. Garis warna atau perbedaan warna kulit pada tanah jajahan sangat ketat diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Pemerintah Kolonial Belanda umpamanya membagi golongan sosial di Indonesia berdasar kepada
hukum dan keturunan atau status sosial.
1. Pembagian warga menurut hukum Belanda,
terdiri atas:
a. golongan Eropa;
b. golongan Indo;
c. golongan Timur Asing;
d. golongan Bumiputera.
2. Pembagian warga menurut keturunan atau
status sosial, terdiri atas:
a. golongan bangsawan (aristokrat);
b. pemimpin adat;
c. pemimpin agama;
d. rakyat biasa.
berdasar golongan sosial ini , orang-orang Eropa dianggap sebagai ras tertinggi, kedua orang-orang Indo (turunan pribumi dan Eropa),
ketiga orang-orang keturunan Timur Asing (Cina),
dan terakhir orang-orang pribumi (Indonesia).
Posisi Indonesia yang berada pada urutan paling
bawah masih juga dibedakan. Kedudukan seseorang pribumi ini dalam perkembangannya dibedakan pada aspek keturunan, pekerjaan, dan pendidikan. Pembagian kelas ini sebetulnya untuk menunjukan pada kaum pribumi bahwa bangsa kulit putih kedudukannya jauh lebih tinggi dari kulit berwarna.
Golongan bangsawan (aristokrat) yaitu
golongan tertinggi dari stratifikasi sosial yang
diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Aristokrat ialah
golongan dari orang ningrat. Adapun orang yang
termasuk orang ningrat ini ialah Raja/Sultan dan
keturunannya, para pejabat kerajaan, dan pejabat
pribumi dalam pemerintahan kolonial.
Sebelum Kolonial Eropa masuk ke Indonesia,
Raja/Sultan ialah orang tertinggi dalam golongan
sosial warga. Nama raja dari masing-masing
kerajaan di setiap area di Indonesia berbeda-
beda. Ada yang bergelar Pangeran, Sultan, Adipati,
Senopati, Panembahan, Sunan, Susuhunan, Karaeng, Batara, Arong, Kelano, dan masih banyak lagi gelar lainnya. Raja tinggal di Istana atau keraton. Di tempat ini tinggal juga keluarga raja/sultan. Mereka itu bisa benar-benar keturunan raja atau orang-orang yang sudah diangkat sebagai keluarga raja sebab sudah berjasa pada kerajaan. Raja yang berkuasa biasanya
turun-temurun, dari ayah kepada anak atau cucu.
Namun ada juga yang menjadi raja di luar keluarga
kerajaan. Hal ini umpamanya dipicu oleh
adanya perebutan kekuasaan atau pengambilalihan
kekuasaan. Sesudah Kolonial Eropa masuk ke Indonesia, banyak raja atau sultan ditundukan oleh mereka. Kedudukan raja berada di bawah Kolonial Eropa. Simbol kerajaan/kesultanan ada yang tetap
dipertahankan dan ada juga yang dihapuskan. Raja
yang berkuasa nantinya diangkat sebagai pegawai
negeri, misal menjadi Bupati yang mengabdi pada
pemerintah kolonial.
Golongan aristokrat lainnya yaitu golongan
elite. Golongan elite yaitu golongan terbaik
atau pilihan dalam kelompok warga. Mereka
dipandang status sosial yang tinggi sesuai dengan
kedudukan atau pekerjaannya. Orang-orang yang
termasuk golongan elite ini ialah para pejabat yang
membantu pemerintahan kerajaan/kesultanan,
misal mangkubumi, patih, perdana menteri, dan
hulubalang. Pejabat-pejabat ini sebetulnya kawula
(abdi) negara atau raja sehingga mereka bekerja untuk kepentingan raja. Mereka juga menjadi penghubung antara raja dan rakyatnya.
Para pejabat itu dikenal juga sebagai golongan
priyayi. Pada masa kolonial, para priyayi yang
bergelar Raden atau Raden Mas ini menjadi pejabat
administrasi pemerintah kolonial Belanda. Mereka
menjadi penghubung antara pemerintah kolonial dan rakyat yang dijajah. maka , kedudukan para
priyayi ini dimanfaatkan demi kepentingan kolonial.
Memasuki awal abad ke-20, golongan elite ini
tidak hanya didapat secara turun-temurun. Rakyat
biasa yang sudah memperoleh kan tingakat pendidikan tertentu dapat menjadi golongan elite. Mereka nantinya sangat membantu dalam memperjuangkan bangsanya. Mereka ini dikenal dengan golongan eliter terdidik.
Selain golongan aristokrat, golongan elite atau
priyayi, dalam warga biasa pada masa kolonial
dinamakan dengan golongan wong cilik. Golongan ini sangat besar jumlahnya, antara lain petani, pedagang biasa, dan nelayan. Kehidupan mereka tidak seperti para priyayi yang hidup dalam kemewahan. Mereka hidup sederhana dan banyak yang hidup miskin sehingga dinamakan dengan wong cilik.Sebagian besar pendapatan kerajaan atau kesultanan diperoleh dari wong cilik. Untuk itu saat Kolonial Eropa berkuasa di Indonesia, wong cilik ini yang menjadi korban penindasan yang paling besar. Selain diambil tenaganya, harta mereka juga banyak yang dirampas. Tidak mengherankan jika kehidupan wong cilik sangat menderita pada masa kolonial.
Di bawah wong cilik masih ada satu golongan
lagi yang hidup paling menderita. Mereka itu ialah
golongan budak. Golongan budak ini ada antara lain dipicu mereka tidak mampu membayar hutang. Untuk menebus atau membayar hutang-hutang, dirinya dan keluarganya dijadikan budak. Mereka ini dipekerjakan di dalam istana atau di rumah para golongan aristokrat.Sebelum kolonial masuk ke Indonesia, semua orang termasuk budak benar-benar mengabdi kepada raja. Apapun yang dilakukan oleh raja mereka terima dengan senang hati. namun sesudah Kolonial Eropa
berkuasa, para budak ini benar-benar dipekerjakan
sebagai budak kolonial. Di antara mereka ada yang
dijadikan pekerja bangunan gedung, jalan raya, jalan kereta api, dan pekerjaan berat lainnya. Ada juga yang dijadikan kuli-kuli atau buruh yang tanpa dibayar di perkebunan dan perusahaan-perusahaan asing. Pada tahun 1881, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Koeli Ordonantie. Undang-undang ini yaitu undang- undang yang mengatur para kuli/buruh di Indonesia. Melalui Undang-Undang ini, kuli-kuli yang bekerja di perkebunan atau perusahaan-perusahaan harus melalui prosedur kontrak kerja. berdasar dari kontrak kerja ini sebetulnya mereka diberi upah atau gaji sesuai dengan jasa tenaga dan waktu yang sudah dikeluarkan. Dalam kenyataannya, para pekera ini diperlakukan secara tidak adil. Mereka dituntut bekerja tidak kenal waktu dengan beban pekerjaan
yang sangat berat. Sementara itu, mereka menerima upah yang kecil atau bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali. Keadaan itu sudah membuat para kuli untuk keluar dari pekerjaannya dan kembali ke kampung halamannya. namun sebab mereka sudah teken kontrak kerja, mereka dilarang meninggalkan pekerjaannya sebelum kontrak selesai. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini banyak di antara kuli
yang berusaha untuk melarikan diri. Mereka berusaha keluar dari pekerjaan. namun sebab ketatnya penjagaan, usaha mereka banyak yang sia-sia atau tidak berhasil. Bila mereka ketahuan melanggar dan mencoba melarikan diri, mereka akan dijatuhi hukuman sesuai dengan hukum Poenale Sanctie. Hukuman itu dapat berwujud hukuman cambuk, penjara, buang, atau pancung, tergantung berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh para kuli/buruh.
2. Kedudukan Kaum Perempuan
Indonesia
Mengenai kedudukan sosial kaum perempuan
Indonesia pada masa kolonial, ternyata sangat
memprihatinkan. Mereka dianggap sebagi kaum yang lemah. Tidak mengherankan jika dalam status sosial warga feodal, kedudukan perempuan berada ndi bawah kaum laki-laki. Rendahnya status sosial perempuan ini diperburuk oleh adat, khususnya yang menyangkut budaya pingitan yang menutup ruang gerak mereka. Perlakuan lainnya yaitu poligami yang dapat menyudutkan kedudukan kaum perempuan. Apalagi kalau poligami itu dipaksakan (kawin paksa)
untuk dijadikan selir dan perkawinan muda. Poligami pada waktu itu tidak hanya dijadikan istri ke-2,3, atau 4, melainkan lebih dari itu. Ada informasi yang menyebutkan seorang pembesar pribumi ada yang memiliki istri lebih dari 100 orang.saat Indonesia memasuki masa penjajahan,
kedudukan perempuan Indonesia sampai akhir
abad ke-19 belum membawa perubahan berarti.
Bahkan, kebijakan kolonial juga seolah membedakan antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Lihat dalam soal pendidikan. Perempuan cukup di rumah dengan mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus suami atau mengerjakan keterampilan praktis kerumahtanggaan.
berdasar keadaan ini , ada beberapa
tokoh perempuan yang berusaha mendobrak kearah kemajuan. Keharusan perempuan untuk keluar dari rumah mulai diperjuangkan, perlunya pendidikan, penentangan poligami juga mulai diperjuangkan. Usaha terobosan terhadap perjuangan kaum perempuan ternyata datangnya dari kaum perempuan juga. Mereka menginginkan persamaan hak dan kedudukan yang setara dengan pria. Tokoh yang menjadi pelopor atau emansipasi kaum perempuan yaitu R.A. Kartini (1879-1904) yang cita-citanya termuat dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Pada bidang ekonomi, kekayaan Indonesia
dikuras habis-habisan, sementara penduduk pribumi tidak dapat mengambil barang secara bebas. Keadaan ini membuat hidupnya cenderung konsumtif. Khususnya di Jawa, faktor-faktor produksi pertanian, baik yang menyangkut tanah maupun tenaga kerja diatur menurut sistem kolonial. Para petani dibebani tugas mengolah sebagian dari tanahnya untuk
ditanami dengan tanaman-tanaman eksport dan
diharuskan kerja secara paksa. Di area lain yang
mengandalkan perdagangan laut sebagai sumber
utama, diganggu oleh sistem monopoli Belanda.
Mereka menjadi tidak leluasa bergerak, jumlah
barang yang dibatasi, penjualan dan pembelian yang diatur, penentuan harga juga diatur. Keadaan itu tidak menjadi hambatan besar bagi perkembangan kehidupan warga Indonesia.
Adanya kolonialisme Eropa, banyak penduduk
yang diperkerjaan di perkebunan atau perusahaan
asing/Eropa. Mereka menjadi buruh dan diberi upah. Berkembanglah sistem mata uang dalam kehidupan warga Indonesia. namun tidak semua pekerja itu dibayar, banyak penduduk dikerjakan secara rodi tanpa batas waktu. Tenaga rakyat diperas secara paksa oleh para pengusaha swasta. Mereka diikat dengan kontrak sehingga tidak dapat melepaskan pekerjaanya. Jika melarikan diri mereka akan memperoleh hukuman.
Disewanya lahan pertanian yang subur oleh
bangsa Eropa sudah menyulitkan penduduk dalam
menggarap tanah yang kurang subur. Akibatnya
penduduk kekurangan makanan sehingga di beberapa area seperti Demak, Grobogan, Cirebon, dan Jawa Tengah terjadi bencana kelaparan dan mewabahnya berbagai macam penyakit.
C. Perkembangan Kebudayaan
Bangsa-bangsa Eropa yang pernah datang dan
berkuasa di Indonesia sedikit banyak memberi
pengaruh pada perkembangan kebudayaan Indonesia. Kebudayaan asli Indonesia kemudian ada yang dipengaruhi, baik melalui difusi, asimilasi, dan akulturasi. Kebudayaan itu kemudian berkembang dalam kehidupan warga Indonesia. Berikut ini bentuk-bentuk peninggalan Kolonial yang berkembang dalam kehidupan warga Indonesia.
1. Penyebaran Agama Nasrani
Salah satu tujuan kedatangan bangsa Eropa ke
Indonesia yaitu untuk menyebarkan agama Nasrani di setiap area yang didatangi. Tidak mengherankan jika dalam setiap pelayarannya selalu membawa para pendeta atau penyebar agama Nasrani. Penyebar agama Katolik dibawa oleh misi Zending Portugis sedang Nasrani Protestan di bawa oleh misionaris Belanda. Adapun area yang dipengaruhi Portugis, antara lain Ambon, Ternate, dan Halmahera
juga di Sulawesi Selatan. Agama Khatolik menyebar ke Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan kepulauan Sangihe-Talaud.
Sejak Portugis terusir dari kota Ambon dan
menetap di Timor Timur. Pengaruh agama Katolik
berkembang juga di Flores bagian timur, Pulau Solor, dan pulau-pulau kecil lainnya di Nusa Tenggara Timur. area misionaris Belanda di antaranya meliputi: Maluku, Kalimantan, Minahasa, Tana toraja, Sangihe-Talaud, Tanah Batak, Nusa tenggara Timur,
dan Papua. Sedang agama katolik meliputi area
Minahasa, Kalimantan Barat, Timor, Flores, Maluku
Selatan, Malang, Muntilan, Salatiga, dan Batavia.
Sekarang penyebaran agama Nasrani sudah masuk hampir ke seluruh pelosok Indonesia.
2. Pendidikan.
Dengan semakin meluasnya kekuasaan kolonial
di Indonesia, Pemerintah Kolonial Eropa perlu
memanfaatkan potensi warga Indonesia. Hal
ini dilakukan untuk mempertahankan dan
menjalankan struktur dan tugasnya yang semakin luas dan banyak. Kebutuhan akan tenaga kerja manusia yang profesional, setidaknya tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis semakin banya diperlukan. Perkembangan pendidikan semakin diperkuat keberadaannya sesudah ada tuntutan perbaikan nasib bangsa terjajah oleh golongan humanis dari negeri Belanda. Atas dorongan dan desakan mereka, Pemerintah Kolonial membuka pendidikan bagi kaum pribumi.
3. Monetisasi
Masuknya pengusaha asing yang menanamkan
modalnya pada perkebunan Indonesia
dipandang sebagai zaman liberal. Pada zaman inilah terjadi penetrasi yang memberi dampak positif dan negatif bagi kelangsungan hidup warga
Indonesia. Penetrasi pada bidang ekonomi yaitu
terjadinya pengenalan nilai mata uang (monetisasi). Penetrasi berwujud pengenalan nilai mata uang pada warga Indonesia ini memang bukan suatu hal
yang baru, namun pada zaman liberal ini mengalami perkembangannya yang pesat. Hal itu dapat dilihat dari proses transaksi dalam bentuk penyewaan tanah milik penduduk yang akan dijadikan perkebunan besar dibayar dengan uang. Selain itu, petani di Jawa yang bekerja sebagai buruh harian atau
buruh musiman pada perkebunan besar dibayar pula dengan uang.
4. Komersialisasi Ekonomi
Masuknya sistem ekonomi terbuka sudah
memaksa komersialisasi ekonomi, monetisasi, dan
industrialisasi dalam kehidupan warga, baik
di pedesaan maupun di perkotaan. Komersialisasi
ekonomi terutama terjadi seiring dengan semakin
melimpahnya hasil-hasil perkebunan besar, seperti
kopi, teh, gula, kopi, kapas, dan kina.
Hasil-hasil perkebunan ini dari waktu ke
waktu semakin menguntungkan sebab semakin
ramai diperdagangkan pada pasar internasional.
Kondisi demikian semakin mendorong semangat
para pengusaha dan penanam modal dari berbagai
negara, baik Belanda maupun Eropa lainnya untuk
membuka berbagai lahan bisnisnya di Indonesia.
Penanaman modal semakin dikembangkan, tidak
hanya terbatas pada sektor perkebunan, namun
meningkat pada industri-industri atau perusahaan-
perusahaan yang bergerak dalam pengolahan bahan hasil-hasil perkebunan, seperti industri gula, kina, dan tekstil. Pada perkembangan kemudian , arus barang yang keluar dan masuk ke Indonesia semakin ramai dan beraneka ragam. maka , zaman liberal sudah membawa kehidupan ekonomi Indonesia yang tradisional ke arah komersialisasi ekonomi.
5. Pembangunan Gedung-Gedung
Kolonial Eropa banyak meninggalkan sisa-sisa
peninggalan bangunan. Bangunan itu ada yang masih utuh atau sudah rusak dan ada juga yang sampai sekarang masih dipakai oleh warga dan
Pemerintah Indonesia. Gedung-gedung itu memiliki gaya arsitektur yang khas dan memiliki nilai sejarah. Gedung-gedung itu antara lain, gedung sekolah, gedung pemerintahan, rumah sakit, museum, dan lain-lain. Contoh di Bandung ada gedung SMAN 3 yang memiliki ciri khas kolonial dan ternyata gedung itu dulunya bernama Hogere Burger School (HBS), Institut Teknologi Bandung (ITB) dulunya bernama Technische Hoogeschool, Di Serang ada gedung Osvia
(School Tot Opleiding Van Indische Artsen), di Jakarta ada ”Gymnasium Willem III” sekolah lanjutan pertama untuk golongan Eropa, Di Menado ada De Scholen der Tweede Klasse (sekolah kelas dua), di Tondano ada
Hoofdenschool (Sekolah Raja pertama untuk anak dari golongan bangsawan). Selain gedung-gedung ini , masih banyak lagi sisa-sisa gedung peninggalan kolonal yang tersebar di berbagai pelosok tanah air yang sekarang dipakai untuk gedung pemerintahan, rumah sakit, olah raga, , .
6. Kesenian
Dalam bidang kesenian, pengaruh kolonial yang
masuk dan berkembang yaitu lagu keroncong. Jenis lagu ni ternyata dibawa oleh orang-orang Portugis. Sekarang jenis lagu ini banyak diminati kaum muda maupun tua.
Banyak perubahan yang terjadi di warga
Indonesia sesudah kedatangan bangsa Eropa. Pada bidang politik terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan kerajaan. Sebelum kedatangan bangsa Eropa di Indonesia, sistem pemerintahan, struktur birokrasi, dan sistem hukum yang berlaku yaitu sistem “pemerintahan tradisional” yang berbentuk kesultanan atau kerajaan. Struktur birokrasi teratas dipegang oleh sultan atau raja, lalu dibantu oleh orang-orang
terdekat (keluarga sultan/raja), penasehat kerajaan,
patih, menteri, dan panglima. Mereka itu kebanyakan berasal dari golongan ningrat atau kerajaan. Sistem ini yaitu bentuk birokrasi yang menuntut ketaatan penuh dari rakyat kepada pemimpinnya (raja/sultan dan para pembantunya).
Sejak Kolonial menanamkan kekuasaannya di
Indonesia, kekuasaan pribumi tradisional yang berada dibawah seorang raja atau sultan sedikit demi sedikit mulai dihapus dan akhirnya hilang sama sekali. Kekuasaan mulai berganti kepada tangan Kolonial. Raja-raja diangkat dan diberhentikan berdasar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kolonial. Setiap penguasa lokal yang diangkat dan diberhentikan oleh Kolonial pada dasarnya sudah
terikat oleh kontrak politik yang menyatakan bahwa
area yang mereka kuasai harus diakui sebagai
bagian dari kekuasaan Kolonial Belanda.
Begitu pula dengan para Bupati dan Lurah,
mereka dijadikan sebagai pegawai negeri yang
memperoleh gaji dan harus taat terhadap setiap
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan
Kolonial. Dalam kondisi yang demikianlah, wibawa
seorang raja, sultan, bupati, dan juga lurah menjadi
merosot di mata rakyat. Mereka dipandang lemah
dan tidak memiliki kekuatan sehingga mereka
menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan pemerintah Kolonial. Menurut bangsa Eropa, para penguasa pribumi tidak bisa memerintah yang pantas memerintah itu yaitu bangsa Eropa Struktur warga berubah sesudah sistem baru diterapkan oleh kolonialis Eropa ini . Pada kerajaan, posisinya sebagai lembaga yang paling tinggi harus tunduk pada pemerintahan kolonial yang sedang berkuasa. maka , kedudukan dan kewibawaan raja digeser oleh penguasa baru, yaitu bangsa Eropa.
Abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20,
Indonesia sudah dikuasai pemerintahan kolonial
Belanda. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan yang dijalankan yaitu sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kekuasaan tertinggi dipegang dan diatur oleh pemerintahan Kerajaan Belanda. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu Pemerintah Hindia Belanda banyak memakai jasa pihak pribumi. Dalam pelaksanaan struktur pemerintahan dari atas ke bawah, Belanda membentuk bentuk pemerintah,
yaitu:
1. Pemerintahan zelfbestuur, yaitu kerajaan yang
berada di luar struktur pemerintahan kolonial.
2. Pemerintahan yang dipegang oleh orang-
orang Belanda di dalam negara jajahan dinamakan
dengan Binenland Bestuur (BB), antara lain
Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, dan
Controleur
3. Pemerintahan yang dipegang oleh kaum pribumi
yang dinamakan dengan Pangreh Praja (PP).
Pejabat yang duduk dalam PP yaitu Bupati,
Patih, Wedana, dan Asisten Wedana
Struktur Birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda
Gubernur Jenderal
Residen
Bupati Asisten Residen
Patih
Wedana Controleur
Asisten Wedana Asisten Controleur
berdasar struktur birokrasi di atas, bupati
diangkat oleh gubernur jenderal atas rekomendasi
dari residen dan asisten residen. Sebelum kolonialis
berkuasa, para bupati itu awalnya yaitu raja yang
dipilih dan diangkat berdasar keturunan, terutama
diambil dari anak laki-laki pertama dalam keluarga,
namun lalu sesuai dengan perkembangan
kekuasaan pemerintahan kolonial, pengangkatan
bupati dilengkapi dengan beberapa persyaratan,
terutama persyaratan pendidikan.
perkembangan pemerintahan
Kolonial Eropa di Indonesia pada abad ke-16 sampai
pertengahan abad ke-20.
1. Pemerintahan Portugis
Bangsa Portugis yang datang ke Indonesia dipimpin oleh Alfonso d’ Albuquerque. Ia pada tahun 1511 berhasil menguasai Kerajaan Malaka. Kekuasaan Portugis mengalami perkembangan yang pesat sesudah menguasai Malaka. Mereka kemudian memperluas kekuasaan ke area lainnya di Indonesia. Selain itu orang Portugis biasanya mampu berbaur dengan warga setempat seperti menikahi perempuan pribumi. saat terjadi perselisihan di Maluku antara
Hitu dan Seram, Portugis memihak Hitu sehingga
Portugis diterima di sana. Cara yang dilakukan Portugis di Hitu juga diterapkan saat datang ke Ternate, mereka diterima baik oleh kerajaan Ternate untuk menghadapi Tidore. saat berhasil mengalahkan Tidore yang dibantu pihak Spanyol, Portugis meminta imbalan untuk memonopoli perdagangan cengkeh Keadaan itu
memicu rakyat Ternate tidak menyukai orang-
orang Portugis. Mereka berusaha untuk membebaskan diri dari kekuasaan Portugis.
Pada tahun 1512, tibalah orang-orang Spanyol
di Maluku. Tujuan kedatangan mereka sama halnya
dengan orang-orang Portugis, yaitu memonopoli dan menguasai area sebagai tanah jajahan, dan untuk menyebarkan agama Nasrani (Nasrani Katolik). Di Maluku, mereka singgah di Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Di tempat itu mereka disambut baik oleh penduduk
setempat. Kedatangan orang-orang Spanyol di Maluku ternyata memicu persaingan dengan orang-orang Portugis. Untuk mengakhiri persaingan, ditandatanganilah Perjanjian Saragosa pada tahun 1535. Dalam perjanjian itu
diputuskan bahwa area kekuasaan Portugis tetap di Maluku, sedang area kekuasan Spanyol di Filipina, sehingga orang-orang Portugis bebas mengembangkan kekuasaannya di Maluku.
Sesudah menguasai Maluku, Portugis kemudian
ingin menguasai area lain di kepulauan
Indonesia, seperti:
a. Sumatra
Di Sumatra orang-orang Portugis tidak
memperoleh hak monopoli perdagangan lada,
sebab ditentang oleh Kerajaan Aceh. Bahkan
mereka tidak diberi kesempatan berdagang.
Di Jawa, orang-orang Portugis hanya bisa
berdagang di Pasuruan dan Blambangan sebab
sebagian area lain di Jawa sudah dikuasai oleh
kerajaan Demak yang menjadi saingan berat
Portugis. Bagi Demak dan kerajaan Islam lainnya
di Indonesia, jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
pada tahun 1511 yaitu ancaman langsung
bagi perkembangan perdagangan Islam dan
peyebaran agama itu sendiri sebab Portugis
membawa misi gospel (penyebaran Katolik).
Di area lainnya di Indonesia, kedudukan
Portugis di tempat-tempat yang sudah dikuasainya nmulai melemah. Hal ini dipicu oleh
adanya perlawanan rakyat setempat, antara
lain perlawanan rakyat Ternate pada tahun
1533, perlawanan rakyat Hitu di Ambon, dan
perlawanan rakyat Tidore. maka , usaha Portugis untuk menguasai kerajaan-kerajaan di perairan Indonesia mengalami kegagalan. Portugis hanya dapat menetap di Timor Timur sampai tahun 1976. Tahun 1976 Timor-Timur masuk area Indonesia.
2. Pemerintahan Belanda (VOC)
Tujuan awal kedatangan bangsa Belanda ke
Indonesia yaitu untuk berdagang dan mencari
keuntungan dari berdagang rempah-rempah. Sejak
Lisabon dikuasai oleh Spanyol, Belanda tidak dapat lagi membeli dan menyalurkan rempah-rempah ke negerinya ataupun ke negara Eropa lainnya. Hal itu dipicu Belanda bermusuhan dengan Spanyol yang sudah berhasil menguasai Portugis sehingga Belanda tidak dapat lagi mengambil rempah-rempah di Lisabon. Oleh sebab itu, para pedagang Belanda berusaha mencari sendiri area penghasil rempah-rempah ke timur.
Penjelajahan Belanda pertama dimulai pada
tahun 1595 sesudah empat buah kapal Belanda di
bawah pimpinan Cornelis de Houtman berangkat
dari Amsterdam. Mereka sampai di pelabuhan Banten pada tanggal 22 Juni 1596. kemudian pelayaran yang kedua dipimpin oleh Jacob van Neck, yang tiba di pelabuhan Banten pada tahun 1598. Sikap bangsa Belanda tidak lagi kasar dan sombong sehingga mereka diterima dengan baik oleh kerajaan Banten. Lagi pula,
Kerajaan Banten sedang berselisih dengan orang-
orang Portugis. Di Banten mereka memperoleh kan lada. Perjalanan dilanjutkan kembali menuju Tuban dan Maluku. Di tempat itu pun mereka diterima dengan baik oleh raja dan warga setempat.
Keberhasilan mereka membawa rempah-rempah
dari kepulauan Indonesia mendorong kapal-kapal
dagang Belanda lainnya datang ke Indonesia.
Terjadilah persaingan dagang antara pedagang
Belanda dan pedagang Eropa lainnya di Indonesia.
kemudian untuk menguasai perdagangan dan
memenangkan persaingan dengan orang-orang
Eropa, para pedagang Belanda mendirikan serikat
dagang yang dinamakan VOC pada tahun 1602. VOC singkatan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur. lalu , diangkatlah seorang pimpinan berpangkat gubernur jenderal untuk memperlancar kegiatannya. Gubernur jenderal pertama yaitu Pieter Both. Beberapa hak istimewa dinamakan hak octrooi yang diberikan Pemerintah Belanda kepada VOC, antara lain:
1. hak monopoli perdagangan;
2. hak memiliki tentara sendiri;
3. hak menguasai dan mengikat perjanjian dengan
kerajaan-kerajaan di area yang dikuasai;
4. hak untuk mencetak dan mengeluarkan uang
sendiri;
5. hak mengumumkan perang dengan negara lain
6. hak memungut pajak;
7. hak mengadakan pemerintahan sendiri.
Usaha pertama VOC untuk menguasai kerajaan-
kerajaan di Indonesia yaitu dengan menguasai
salah satu pelabuhan penting yang akan dijadikan
Pada tahun 1619, VOC berhasil merebut kota Jayakarta, dan mengubah namanya menjadi Batavia. Dari Batavia, VOC dapat mengawasi area lainnya. Selain itu, untuk menguasai kerajaan-kerajaan lain, VOC menjalankan politik devide et impera (memecah belah) dan menguasai
antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya. VOC
juga ikut campur dalam urusan pemerintahan
kerajaan di Indonesia.Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC memaksakan hak monopolinya. VOC juga melaksanakan Pelayaran Hongi, yaitu
melakukan patroli dengan perahu kora-kora yang
dilengkapi senjata untuk mengawasi pelayaran dan
perdagangan di Maluku. Para petani yang melanggar peraturan monopoli diberi hukuman ekstirpasi, yaitu pemusnahan tanaman rempah-rempah. Akibatnya banyak kerajaan di Indonesia mengalami kehancuran dan kehidupan rakyat menderita.Jika kita perhatikan hak - hak istimewanya, VOC dengan mudah menguasai Indonesia. Dari berbagai usaha yang sudah dilakukan VOC ini , sebetulnya sudah membuktikan bahwa Belanda melaksanakan
sistem penjajahan, yaitu imperialisme perdagangan. Dengan imperialisme perdagangan mereka mudah
merampas dan menguasai perdagangan secara
paksaan dan monopoli.
Sesudah berkuasa selama kurang dari dua abad
(1602-1799), akhirnya VOC mengalami kehancuran. Hal ini dipicu :
1. banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi;
2. area kekuasaan VOC yang semakin meluas
sehingga memerlukan biaya pengelolaan yang
lebih tinggi, dan;
3. VOC banyak mengeluarkan biaya perang yang
besar dalam menghadapi perlawanan rakyat
Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan ini , VOC
berwujud ya lebih memeras rakyat Indonesia dengan menerapkan beberapa peraturan baru, seperti Verplichte Leveranties dan Contingenten. Verplichte Leveranties ialah peraturan yang mewajibkan rakyat menjual hasil pertanian kepada VOC dengan standar harga ditentukan oleh VOC yang nilainya amat rendah. Adapun Contingenten yaitu penyerahan hasil pertanian dan perkebunan kepada VOC dari area -area yang tanahnya berada dalam kekuasaan VOC
secara langsung. Dengan kedua peraturan ini ,
mereka dengan mudah dapat memperoleh lada, beras, kapas, kayu dan barang lainnya seperti gula, ternak dan ikan.
Peraturan lainnya yang diberlakukan VOC yaitu
aturan preanger stelsel (sistem wajib tanam kopi di
area Priangan), yang bertujuan memperoleh kan
kopi sebanyak-banyaknya dengan harga semurah-
murahnya. Namun usaha -usaha ini tidak dapat
memperbaiki kondisi ekonomi VOC. Sementara itu di negeri Belanda pada tahun 1795
terjadi revolusi yang dikendalikan oleh Perancis yang memicu terjadinya perubahan pemerintahan.
Dalam revolusi ini , raja Belanda berhasil
digulingkan. Belanda berubah menjadi republik
dengan nama Republik Bataaf yang berada di bawah
kemudian Pemerintah Republik Bataaf
membubarkan VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Semua tanah jajahan dan utang-utang VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Republik Bataaf belum sempat menata keadaan Indonesia sebab pada tahun 1806 terjadi lagi perubahan pemerintahan di Belanda, yaitu dibubarkannya Republik Bataaf. Belanda kembali menjadi kerajaan namun tetap di bawah
kekuasaan Perancis. Kaisar Napoleon yang menjadi Raja Perancis menunjuk adiknya, Louis Napoleon, menjadi Raja Belanda. maka secara tidak langsung, indonesia sebagai area jajahan Belanda beralih ke tangan Perancis.
3. Pemerintahan Perancis
Louis Napoleon, adik Kaisar Napoleon dari Perancis
yang sudah diangkat sebagai Raja Belanda, pada tahun 1808 mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Tugas utama Daendels yaitu mempertahankan Indonesia, khususnya pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris. Untuk keperluan ini , Daendels membangun jalan raya dari Anyar sampai Panarukan yang panjangnya lebih-kurang 1.100 km, dan membangun pangkalan armada
di Ujungkulon. Agar pembangunan berjalan cepat dan murah, Daendels menerapkan rodi atau sistem kerja paksa. Rakyat dipaksa bekerja keras tanpa istirahat dan makanan yang cukup, dan tanpa upah. Daendels juga tidak memperhatikan kesehatan pekerja sehingga banyak pekerja yang meninggal dunia, akibat kelaparan dan kesehatan yang buruk.
Untuk membiayai pertahanan menghadapi
Inggris, Daendels kembali memaksa rakyat Priangan menanam kopi yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, Belanda menjual tanah rakyat yang oleh mereka dianggap milik negara kepada perusahaan swasta asing.
Dalam menjalankan pemerintahannya Daendels
berlaku keras dan disiplin, dan cenderung bertangan besi. Sikapnya ini memicu rasa tidak senang di kalangan pejabat Belanda lainnya.Akibatnya para pejabat melaporkan kekurangan-kekurangan Daendels kepada Raja Louis, terutama mengenai kebijaksanaannya menjual tanah negara kepada pihak swasta asing. Pada tahun 1811, Daendels dipanggil pulang dan kedudukannya digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens. Ia kurang cakap dan lemah, sehingga
langsung menyerah saat Hindia Belanda diserang
Inggris. Janssens menandatangani perjanjian yang
menyatakan penyerahan kekuasaan Belanda atas
Indonesia kepada Inggris. Perjanjian itu dilakukan
di Tuntang dekat Salatiga sehingga dikenal dengan
nama “Perjanjian Tuntang”.
4. Pemerintahan Inggris
Perhatian Inggris atas Indonesia sebetulnya
sudah dimulai saat pada tahun 1579 penjelajah
Francis Drake singgah di Ternate, Maluku. Untuk
mengadakan hubungan dagang dengan kepulauan
rempah-rempah di Asia, Inggris membentuk EIC (East Indies Company). Pada tahun 1602 armadanya sampai di Banten dan mendirikan loji di sana. Pada tahun 1604, dibuka perdagangan dengan Ambon dan Banda. Pada 1609, Inggria mendirikan pos di Sukadana (Kalimantan). Pada 1613, Inggris berdagang dengan Makasar, dan pada tahun 1614, Inggris mendirikan
loji di Batavia. Dalam usaha perdagangan itu Inggris memperoleh perlawanan kuat dari Belanda. Belanda tidak segan-segan memakai kekerasan untuk mengusir Inggris dari Indonesia. Sesudah terjadi peristiwa Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari Indonesia. namun di area Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Burunei, Inggris memperoleh kesuksesan. Namun sesudah diadakan Persetujuan Tuntang pada tahun 1811, Indonesia berada di bawah kekuasaan Inggris. Ia memegang pemerintahan selama lima tahun (1811-1816).
Sebagai kepala pemerintahan di Indonesia,
Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal. Pemerintahan Raffles ini sekaligus untuk mewakili Lord Minto, Gubernur EIC di India. Pada masa pemerintahannya, Raffles menjalankan kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
. Jenis penyerahan wajib pajak dan rodi harus
dihapuskan kecuali di Priangan (Prianger Stelsel)
dan Jawa Tengah
. Rakyat diberi kebebasan untuk menentukan jenis
tanaman tanpa unsur paksaan.
. Bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan,
dan penggantinya diangkat menjadi pegawai
pemerintah.
. Pemerintah kolonial yaitu pemilik tanah dan
petani sebagai penggarap (penyewa) milik
pemerintah.
Pemerintahan Raffles beranggapan bahwa semua
tanah yaitu milik negara sehingga petani dianggap
sebagai penyewa tanah negara. Mereka harus
membayar pajak kepada Pemerintah Inggris sebagai
ganti uang sewa. Sistem yang diterapkan Raffles ini
dikenal dengan sistem Landrente atau pajak bumi.
Pada tahun 1813 terjadi perang Leipzig. Inggris
dan sekutunya melawan Perancis, dan dimenangkan oleh Inggris. Kekuasaasn Kaisar Napoleon di Perancis jatuh pada tahun 1814.
maka , berakhir pemerintahan Louis
Napoleon di Negeri Belanda. sebab Belanda sudah
bebas dari kekuasaan Perancis, Inggris mengadakan perdamaian dengan Belanda di Kota London.
Perundingan damai itu menghasilkan persetujuan
yang dinamakan Konvensi London atau perjanjian London (1814). Isi perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa semua area di Indonesia yang pernah dikuasai oleh Belanda harus dikembalikan lagi oleh Inggris kepada Belanda, kecuali area Bangka, Belitung, dan Bengkulu. Penyerahan area kekuasaan
di antara kedua negeri itu dilaksanakan pada tahun
1816. Akhirnya mulai tahun 1816, Pemerintah Hindia Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
5. Pemerintahan Kolonial Belanda
pada Awal Abad ke-19 sampai Pertengahan Abad ke-20 Pada abad ke-19 ini, tepatnya sesudah Belanda kembali menduduki Indonesia sesuai dengan Perjanjian London (1814), Pemerintah Kolonial Belanda
menerapkan dua kebijakan yang berpengaruh pada
kehidupan warga Indonesia. Kedua kebijakan itu
yaitu Sistem Tanam Paksa dan UU Agraria 1870.
a. Sistem Tanam Paksa
Selama periode antara tahun 1816-1830,
Pemerintah Hindia Belanda mengalami kesulitan
keuangan. Di bawah Gubernur Jenderal Van de Bosch, Pemerintah Hindia Belanda berusaha menutupi kesulitan keuangan itu dengan memberlakukan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa).
Adapun peraturan Tanam Paksa ini yaitu
sebagai berikut:
a. setiap desa diharuskan menanam 1/5 dari
tanahnya dengan tanaman seperti kopi, gula,
tembakau, dan nila.
b. hasil tanaman itu harus dijual pada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah ditentukan.
c. tanah garapan untuk tanaman ekspor dibebaskan dari pajak bumi.
d. kegagalan panen akan menjadi tanggung jawab
pemerintah.
e. mereka yang tidak memiliki tanah, wajib bekerja selama 66 hari/tahun di perkebunan milik pemerintah. Dengan ketentuan ini , sistem tanam paksa banyak mendatangkan keuntungan bagi Belanda. Hal itu terlihat dari saldo keuntungan antara tahun 1832–1867 diperkirakan mencapai angka 967 juta Gulden. Sehingga
kas negara segera terisi kembali, bahkan utang luar negeri Belanda dapat dilunasi dan sisanya dapat dipakai untuk modal usaha-usaha industri di Belanda. Akibat tanam paksa, timbullah reaksi rakyat Indonesia menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Pada tahun
1833, terjadilah huru-hara di perkebunan tebu di area pasuruan. Pada tahun 1848 terjadi pembakaran kebun tembakau seluas tujuh hektar di Jawa Tengah. Reaksi lain terhadap pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa juga muncul di negeri Belanda. Reaksi
itu datang dari golongan humanis, yaitu orang-
orang yang menjunjung tinggi asas-asas etika dan
perikemanusiaan, seperti Douwes Dekker (Multatuli) dalam bukunya Max Havelaar, secara terang-terangan mengecam penyimpangan tanam paksa dan penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh pegawai Belanda dan penguasa setempat. Baron van Houvel sebagai pendeta melaporkan penderitaan rakyat Indonesia dalam sidang perkebunan di Negeri Belanda. Sejak saat itu banyak orang Belanda yang menentang tanam paksa, terutama anggota parlemen dari golongan liberal. Atas desakan parlemen, pemerintah Belanda menghapuskan sistem tanam paksa,
dan sebagai gantinya dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870.
b. Undang-Undang Agraria Tahun 1870
Mulai tahun 1870 Pemerintah Kolonial Belanda
menerapkan politik liberal dinamakan
politik pintu terbuka. Dengan politik pintu terbuka ini pihak swasta asing terutama pengusaha Eropa, memperoleh kesempatan membuka usaha di Indonesia. Bidang usaha yang dikelola oleh pihak swasta antara lain; perkebunan
kopi, tembakau, teh, kina, dan gula.
Untuk membuka perkebunan itu
diperlukan lahan yang luas maka perlulah disusun
undang-undang yang mengatur sewa-menyewa tanah, lalu Pemerintah Belanda mengeluaran Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Ketentuan UU Agraria 1870, antara lain menyebutkan:
. pengusaha dapat menyewa tanah dari pemerintah untuk masa 75 tahun;
. penduduk pribumi dijamin hak-hak miliknya atas
tanah menurut hukum adat;
. gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjual
sawah. Dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870,
muncullah perkebunan swasta asing di Indonesia, seperti perkebunan kina dan teh di Jawa Barat, perkebunan tebu di Jawa Timur, dan perkebunan tembakau dan karet di Sumatera Timur. Pemilik
perkebunan swasta itu tidak hanya milik
orang-orang Belanda, namun ada milik bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Inggris, Prancis dan Belgia. Pada pelaksanaannya, undang-undang ini
tidak mengubah taraf hidup rakyat Indonesia namun memicu berbagai akibat seperti industri kerajinan rakyat kalah bersaing dengan hasil produksi swasta. Tenaga rakyat (buruh) diperas secara paksa oleh para pengusaha swasta, mereka diikat dengan kontrak sehingga tidak dapat melepaskan pekerjaanya. Jika mereka melarikan diri akan memperoleh hukuman. Selain
membawa dampak negatif, UU Agraria ini membawa dampak positif, terutama warga Indonesia mulai mengenal arti uang. Ada di antara buruh perkebunan yang memperoleh kan upah (uang) sebagai bayarannya.bMelihat realisasi UU Agraria 1870 yang tidak mampu memperbaiki nasib rakyat dari keadaan sebelumnya, beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker, dan van Deventer. mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda agar
memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
Dalam pandangan mereka, bangsa Belanda tidak
ada keinginan untuk memperbaiki rakyat Indonesia,
padahal bangsa ini banyak jasanya bagi pembangunan negeri Belanda. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya Pemerintah Hindia Belanda untuk memperhatikan nasib dan kesejahteran bangsa Indonesia. Akhirnya, melalui
usulan dan kritikan ini muncullah Etische Politik
atau Politik Etis yang diprakarsai oleh van Deventer. Pada tahun 1899 muncul tulisan CT Van Deventer yang terkenal, "Een ereschuld" (Utang Budi). Tulisan ini menghimbau pemerintah Belanda membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang miskin sebagai kompensasi atas
keuntungan yang sudah dikeruk dari Jawa melalui Sistem Tanam Paksa, yang pada tahun 1900 jumlahnya sekitar 200 juta dollar.
Cultuur Stelsel = Sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh Gubernur Van den
Bosch
EIC = kongsi perdagangan Inggris dengan pusat di India
Feodalisme = sistem penguasaan tanah oleh raja atau bangsawan (kaum
feudal)
Grote Postweg = jalan raya yang dibangun oleh Daendels dari Anyer sampai
Panarukan yang panjangnya 1.100 km.
Hak Octrooi = hak-hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada
VOC
Imperialisme = paham yang menguasai Negara lain dalam memperoleh kan sumber
bahan baku dan area pemasaran
Kapitalisme = suatu sistem perekonomian yang didasarkan pada hak milik atas
tanah, pabrik-pabrik, dan alat-alat produksi lainnya oleh individu/
swasta
Max Havelaar = buku yang ditulis oleh Douwes Dekker atau Multatuli yang berisi
kecaman terhadap Pemerintah Hindia Belanda atas penderitaan
yang dialami oleh penduduk di Jawa akibat pelaksnaan Sistem
Tanam Paksa.
Merkantilisme = kebijaksanaan politik ekonomi dari negara-negara imperialis yang
tumbuh pada abad ke-16-17 yang bertujuan untuk mengumpulkan
sebanyak-banyaknya kekayaan berwujud logam mulia.
Monopoli = penguasaan barang-barang secara sepihak
Proses kedatangan bangsa Eropa di berbagai area di Indonesia tidak
terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terjadi
di Eropa. Keadaan itu antara lain terputusnya hubungan dagang antara
Eropa dan Asia sesudah Kota Konstantinopel dikuasai oleh Turki Usmani
pada tahun 1453. Keadaan lain berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, keinginan untuk mengadakan petualangan, dan keinginan un-
tuk menyebarkan agama Nasrani. sedang kebutuhan vitalnya yaitu
mencari rempah-rempah langsung ke sumbernya.
Para penjelajah bangsa Eropa yang datang ke Indonesia dipelopori oleh
Portugis dan Spanyol, lalu diikuti bangsa-bangsa Eropa lainya
seperti Belanda dan Inggris.