Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 9


 nyukai seks anal 

atau seks oral dan hanya menghemat uang yang mungkin mereka 

habiskan untuk pelacur. Sebagian darinya juga dipersalahkan pada 

minum-minum di tempat seperti Cabaret du Chaudron di rue Saint-

Antoine, yang menjadi tuan rumah bagi sebuah klub privat di mana 

“pria menggunakan nama wanita dan saling menikah.”6

Aktivitas semacam ini tidak mungkin dapat diawasi dengan benar, 

terutama sebab  aktivitas ini murah dan sangat populer. Sepanjang 

abad ke-18, ratusan ‘penyodomi’ ditangkap tetapi hukumannya 

biasanya tidak keras—hukuman penjara yang tidak lama atau denda 

kecuali, seperti marquis de Sade, penahanan dapat ditahan tanpa 

pengadilan sebab  alasan lainnya. Sedikit pelaku homoseksual yang 

dieksekusi selama periode ini dan sebagian besar dari mereka yang 

dieksekusi biasanya juga melakukan kejahatan lain.

Homoseksualitas membuat pihak berwenang khawatir sebab  

sangat sulit untuk diawasi. Praktik-praktik ini begitu menyebar dan 

berkaitan dengan bagian-bagian tersembunyi dari masyarakat yang 

menampilkan front moral yang sangat terlihat. Menjelang terjadinya 

Revolusi, sebuah catatan polisi mencatat bahwa 40.000 orang di 

kota Paris sedang diawasi sebab  ‘tidak bermoral’. Ini yaitu  jumlah 

yang luar biasa sebab  populasi Paris pada saat itu hanya sekitar 

400.000 orang. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa kekhawatiran 

terbesar pemerintah bukanlah bagaimana memenuhi fungsi-fungsi 

pemerintahannya tetapi siapa yang sebenarnya memerintah. Undang-

undang antisodomi akhirnya dihapuskan pada 1791 sebagai bagian 

dari penolakan Revolusi terhadap agama Kristen. Moralitas seksual 

warga negara tidak lagi menjadi isu dalam abad de Sade dan di kota 

Danton dan Robespierre.

Mengubah Dunia

Kronologi kejadian dan kepribadian tokoh-tokoh utama dalam 

Revolusi Prancis tahun 1789 sudah lama masuk ke ingatan kolektif 

dunia. Kejadian-kejadian seperti eksekusi Louis XVI dan Marie-

Antoinette, pembunuhan terhadap Marat oleh seorang gadis petani 

bernama Charlotte Corday, pembantaian dan ‘Teror’, dan kemudian 



266

tokoh-tokoh seperti Robespierre, Saint-Just, Danton dan Mirabeu, 

yaitu  bahan legenda daripada sejarah.

Namun, interpretasi Revolusi memprovokasi argumentasi dan 

mengandung pesan bermuatan politik. Bagi orang Prancis sendiri, 

Revolusi telah menyediakan mitos dan identitas nasional bagi bangsa 

mereka sebagai negara pendiri zaman modern. Ini yaitu  versi 

Revolusi yang, misalnya, dirayakan begitu meriah di jalan-jalan 

Paris dalam peringatan dua ratus tahun pada 1989 (kebetulan saya 

sedang berada di Paris untuk melihat peristiwa ini dan mengingat 

rasa skeptis sebagian besar Parisian terhadap perayaan resmi). 

Walaupun demikian, Revolusi telah memberikan peran historis dunia 

kepada setiap generasi Parisian sejak 1789 sebagai kaum radikal dan 

pemberontak dan, mungkin merupakan ramalan yang dipenuhi 

sendiri, setiap pemberontakan atau huru-hara sejak 1789 sebagian 

telah dikompori oleh kewajiban untuk memainkan peran ini.

Mitos Revolusi berulang kali juga telah ditantang. Tantangan ini 

paling baru dan paling efektif dilakukan oleh sejarawan François 

Furet dan tim peneliti dalam karyanya Penser la Révolution française 

yang diterbitkan pada 1978. Dalam buku itu ia menolak pandangan 

Marxis ortodoks bahwa Revolusi yaitu  tentang pertarungan kelas. 

Yang paling penting dan paling berani yaitu  pendapat Furet bahwa 

Revolusi memiliki masanya sendiri dan pengaruhnya sekarang akhir-

nya sudah hilang.

Pernyataan ini bisa saja benar atau bisa saja tidak benar—ini 

pada dasarnya yaitu  pernyataan filosofi dan bukan pernyataan 

fakta historis empiris—tetapi tetap saja para sejarawan masih 

memperdebatkan dengan sengit asal mula, dampak dan konsekuensi 

Revolusi. Perdebatan ini berkisar dari pengaruh philosophe dalam 

merusak keinginan politik pemerintah, sejauh mana Revolusi yaitu  

produk dari kemarahan terhadap sikap berfoya-foya yang ditunjukkan 

oleh Gereja, bangsawan dan istana; keluhan terhadap ketidakadilan 

pemerintah absolut; atau menyediakan koreksi yang diperlukan bagi 

‘penderitaan rakyat’ seperti pandangan Jules Michelet.7

Konflik utamanya, yang masih belum terpecahkan walaupun telah 

muncul karya Furet, yaitu  antara pandangan sejarawan Sosialis 

besar Revolusi, Georges Lefebvre yang memandang Revolusi sebagai 


267


kemenangan kaum sans-cullote, budak terhadap tuannya, dan oleh 

sebab  itu sebagai lambang perubahan sosial di masa depan, dengan 

pandangan Alfred Cobban dari Inggris yang lebih melihat fakta 

daripada teori dan menyimpulkan bahwa Revolusi yaitu  kemenangan 

kepentingan borjuis.8

Revolusi membuat Paris sendiri menjadi tempat mitos. Nama-

nama tempat seperti Bastille, Place de la Grève, Sain-Antoine, Place de 

Louis XV (yang berubah menjadi Place de la Révolution dan kemudian 

Place de la Concorde dan rumah bagi guillotine) menjadi terkenal 

ke seluruh Eropa. Bahkan mereka yang memusuhi Revolusi, seperti 

Thomas Carlyle dari Inggris, yang menyambutnya sebagai ‘Merenungi 

Takdir’,9 dengan enggan mengakui bahwa kejadian-kejadian historis 

tersebut telah memberikan keunggulan dan signifikansi simbolis 

penting di dunia yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Ini bukanlah waktu untuk membangun—tidak ada uang, material 

dan rencana—dan Revolusi sedikit sekali mengubah bentuk fisik Paris. 

Kejadian-kejadian dalam Revolusi, yang membentang selama beberapa 

tahun yang singkat, memang mengubah status Paris untuk selamanya. 

Paris bukan lagi hanya realitas material tetapi juga mewakili gagasan 

baru tentang seperti apa manusia dapat menjadi. “Kebahagiaan yaitu  

Gagasan Baru di Eropa,” kata Saint-Just, juara rakyat yang berdedikasi 

dan ‘teroris’ yang kejam.10 Di seluruh dunia, pendapatnya terbagi-bagi 

apakah ini berarti mulai mengejar kebebasan tanpa peduli biayanya, 

titik puncak dari proyek Pencerahan, atau pembantaian sia-sia 

terhadap orang-orang tidak bersalah atas nama abstraksi yang tidak 

dapat tercapai.

Istilah ‘revolusi’ sendiri dibuat dan didefinisikan dalam Pencerahan. 

Kata ini bahkan biasanya digunakan dalam bahasa Prancis dan 

bahasa-bahasa Eropa lainnya sejak Renaisans awal sebagai bagian 

dari leksikon ilmu pengetahuan yang sedang tumbuh (paling sering 

digunakan untuk mendeskripsikan pergerakan bintang-bintang atau, 

dalam geometri, putaran penuh sebuah silinder pada porosnya). Baru 

pada akhir abad ke-16, saat  struktur politik Abad Pertengahan 

runtuh berantakan untuk selamanya, istilah ini digunakan oleh para 

sejarawan dan penulis kronik secara metafora untuk mendeskripsikan 

perubahan-perubahan dalam masyarakat atau perubahan tiba-tiba 



268

dalam persepsi terhadap dunia, atau kedua pengalaman tersebut 

pada saat yang sama. Namun, saat  gagasan revolusi akhirnya 

menjadi kenyataan pada 1789, para individu dan aksi-aksi mereka, 

dan bukan teori-teori filsafat sebagai pemandu yang akhirnya akan 

mendefinisikan makna bagi Parisian.

Furet memang benar tentang satu hal: Pada kenyataannya, kejadian-

kejadian dalam Revolusi didorong oleh faktor-faktor psikologis selain 

faktor-faktor politik yaitu melalui emosi yang ditemui dan dialami 

di jalan-jalan kota. Misalnya, hal ini menjelaskan jenis kemarahan 

mendalam yang pada 14 Juli telah mendorong massa sebanyak ratusan 

dan kemudian ribuan ‘rakyat’ untuk berbaris menuju Bastille dan 

menghancurkannya. Motivasi primer yang paling kuat bagi kejadian 

seismik ini yaitu  kemarahan Parisian kebanyakan saat  mereka 

telah dibohongi dan dianggap sebagai orang bodoh.

saat  abad tersebut akan berakhir, saat  tentara mengumpulkan 

kekuatannya dan kembang api Revolusi menghilang ke dalam 

ingatan, Paris dipenuhi dengan desas-desus, kontra desas-desus dan 

propaganda terang-terangan. Panggung telah disiapkan untuk drama 

yang dalam rentang waktu hanya beberapa tahun akan membawa 

bangsa yang baru dilahirkan kembali lagi ini untuk bertekuk lutut.


269


BAGIAN LIMA

Rumah Mimpi,              

Kota Mimpi

1800 – 1850 M

27 Juli 1830. Di luar sekolah, orang-orang berkemeja 

sudah mulai menggelindingkan tong; lainnya membawa 

batu-batu trotoar dan pasir menggunakan gerobak 

dorong; barikade telah dimulai.

G. Pinet, Histoire de l’École Polytechnique, 1888

Setiap epos memimpikan orang yang akan 

mengikutinya.

Jules Michelet, Avenir! Avenir!, 1847





270

Pe

m

an

da

ng

an

 P

ar

is 

da

ri 

ba

lo

di

 at

as

 Îl

e S

ai

nt

-L

ou

is,

 1

84

6


271


26 

Kekaisaran

Tahun 1800 dalam konteks resmi apa pun bukanlah tanggal 

yang berarti bagi Parisian. Tahun ini tidak, misalnya, menandai 

dimulainya abad baru seperti di tempat-tempat lain di Eropa, sebab  

Parisian masih menggunakan kalender Revolusi, yaitu tahun VIII. 

Tidak ada perasaan apa pun juga bahwa Revolusi telah selesai atau 

bahkan memasuki babak baru. 18 Brumaire tahun VII (10 Oktober 

1799), saat  Napoleon Bonaparte muda merebut kekuasaan untuk 

pertama kalinya, sepertinya juga tidak memiliki signifikansi khusus. 

Sebagian besar Parisian melihatnya hanya sebagai salah satu dari 

barisan panjang guncangan politik yang telah terjadi secara berkala 

sejak 9 Thermidor Tahun II (17 Juli 1794) saat  kelompok moderat 

berupaya maju di antara kelompok pendukung kerajaan di Kanan 

dan kelompok Jacobin di Kiri. Bonaparte menjanjikan stabilitas dan 

keamanan tetapi janji-janji ini telah berulang kali didengar dalam 

tahun-tahun sebelumnya. Tidak seorang pun benar-benar yakin 

bahwa ia dapat mewujudkannya. Lebih sedikit lagi orang yang 

membayangkan bahwa dalam waktu lima belas tahun kemudian 

Paris, di bawah kendali petualang muda dan berwajah pucat ini, akan 

menjadi episentrum drama politik dan militer yang akan menelan 

seluruh Eropa dan mengubah dunia untuk selamanya.

Ini yaitu  awal abad di mana Paris tidak diragukan lagi akan 

menjadi kota terindah dan terpenting di dunia. Gagasan, gaya, dan 

tata krama Parisian—dalam revolusi politik, kesusastraan, seni, seks, 

mode, dan tata boga—akan memiliki pengaruh yang tidak terukur 

di seluruh Eropa, Dunia Baru, dan koloni-koloninya. Statusnya akan 

digarisbawahi dan diperkuat oleh proyek-proyek ambisius untuk 

perencanaan perkotaan dan arsitektur dan menciptakan kembali cita-




272

cita keharmonisan dan ketepatan klasik serta mencetak kembali kota 

sebagai paradigma keteraturan dan keindahan. Begitu banyak gagasan 

kita tentang sifat fisik Paris pada saat ini—arkade, lorong tersembunyi, 

bulevar mahalebar, dinding muka bangunan apartemen yang berwarna 

abu-abu dan datar, alun-alun yang elegan, perlengkapan jalanan 

yang penuh hiasan dan halus berupa air mancur, batu pelapis jalan 

dan lampu jalan, jembatan serta kadang kala taman yang aneh dan 

rahasia—berasal dari seratus tahun kemudian sehingga umumnya 

dirasakan bahwa seakan-akan abad ke-19 pastilah telah bergerak maju 

dengan halus dan begitu lancar menuju modernitas.

Namun realitasnya yaitu  dalam abad selanjutnya Paris akan 

menemui kehancuran dan kematian dalam skala yang sepenuhnya 

belum pernah terjadi dalam sejarah kota. Sejarawan Jules Michelet, 

salah satu pemikir yang turut bertanggung jawab atas versi sejarah 

Paris yang termitologi ini, mengingat kembali bahwa di masa 

kanak-kanaknya pada 1800-an jalan-jalan Paris berbau mayat dan 

daging busuk, dan jika Anda menginjak batu pelapis jalan cukup 

keras, darah membeku akan naik ke permukaan.1 Selama seratus 

tahun kemudian, jalan-jalan kota akan kembali dibanjiri oleh darah, 

terutama darah orang-orang biasa yang akan terlibat dalam siklus 

pemberontakan dan kontra-pemberontakan yang mematikan, dalam 

mengejar kebebasan yang diklaim melalui Revolusi tetapi terlalu 

sering dikaburkan atau diabaikan oleh para politisi korup, aristokrat 

pendendam atau orang gadungan ambisius yang ingin tampil. Ini 

yaitu  zaman kemajuan teknologi yang sangat besar, tetapi juga zaman 

kebencian dan pencelaan hebat terhadap cara di mana komoditas 

dan modal membentuk kehidupan sehari-hari di luar kendali orang 

biasa. Ledakan yang begitu besar pada masa itu bukan hanya luapan 

kekerasan atas nama definisi teoretis maupun abstrak atas kebebasan, 

kesetaraan, dan persaudaraan, tetapi merupakan letusan vulkanis dari 

kekuatan-kekuatan yang didorong ke bawah tanah oleh para politisi 

dan pialang kekuasaan yang sudah tidak lagi bisa dibendung. 

Abad ke-19 di Paris telah menarik lebih banyak sejarawan, kritikus, 

dan penulis historiografi daripada periode lainnya dalam sejarah 

kota. Sebagian dari mereka, seperti Karl Marx, menemukan bentuk 

paling langsung dari kekuatan-kekuatan tesis dan antitesis yang 


273


berkontradiksi di dalam Paris, antara kemajuan dan kebebasan, yang 

menjelaskan, bahkan walaupun tidak bisa membenarkan, makna 

sejarah itu sendiri. “Dan demikianlah—ke Paris, ke universitas tua 

filsafat dan ibukota baru dunia baru,” tulis Marx yang berusia 25 tahun 

kepada seorang rekan di Jerman selama pengasingan pertamanya 

di Paris. “[Inilah] pusat saraf sejarah Eropa, mengirimkan trauma 

dengan interval berkala yang mengguncang dunia.”2

Walter Benjamin yaitu  seorang Jerman dan juga diasingkan ke 

Paris. Ia pengikut Marx yang setia. saat  menulis pada dekade 1930-

an, ia mendedikasikan ratusan halaman catatan untuk membuka 

kode rahasia kota abad ke-19. Gagasan utamanya yaitu  hal ini dapat 

ditemukan dengan cara melacak pergerakan dan makna tempat dan 

objek di kota dibandingkan latar belakang kehidupan sehari-hari di 

Paris yang sedang berlangsung. Benjamin menyatakan bahwa di dalam 

hubungan saling memengaruhi antara orang biasa dengan kota yang 

diciptakan di sekeliling mereka akan dapat terlihat keberlanjutan masa 

lalu, masa kini, dan masa depan kota. Ia berpendapat bahwa sesudah  

sebagian besar dari hal ini dapat dipahami, atau dialami, maka abad 

ke-19 di Paris akan terungkap sebagai abad yang paling dinamis dan 

meledak dalam sejarah manusia.3

Para sejarawan Paris abad ke-19 juga sering kali dikejutkan oleh 

sifat kekerasan yang begitu ekstrem atas nama keadilan yang, sejak 

hari-hari revolusi tahun 1830 hingga 1848 hingga Komune pada 1870, 

telah membawa api, tembakan peluru dan lebih banyak mayat ke 

jalan-jalan kota. Ini yaitu  zaman para pembuat konspirasi, pembuat 

pamflet, serta Utopis fanatik dan kejam. Dalam konteks ini, kekerasan 

politik Paris hanyalah saudara setan dari energi kapitalis liar dan 

tidak dapat dihentikan yang berjalan melalui kota itu sendiri, melalui 

bank, bisnis, teater, rumah bordil, dan kabaret. Benturan antara kedua 

kekuatan inilah yang mendorong masuk zaman paling mematikan 

dan jaya bagi kota tersebut.

Mimpi Kekaisaran

Pada 1800, mayoritas Parisian sudah kelelahan akibat perang, revolusi, 

dan politik. Apa yang diinginkan oleh mayoritas Parisian biasa yaitu  



274

makanan, pekerjaan, stabilitas politik, dan keamanan dalam negeri. 

Kesemua ini sangat sulit diperoleh pada hari-hari pertama abad baru. 

Sejak awal dekade 1790-an, Republik Prancis telah menghadapi musuh-

musuh baru di semua front, dari pemberontakan di Brittany, kekuatan-

kekuatan kontra-revolusi di seantero pedesaan dan serangkaian koalisi 

bangsa Eropa yang memusuhi gagasan dan praktik Revolusioner. 

Hasil dari pertarungan-pertarungan ini yaitu  kehancuran ekonomi, 

pasokan makanan yang tidak teratur dan berkeliarannya para partisan 

kejam di pedesaan. Di kota-kota, dan terutama di Paris, terjadi 

konspirasi dan kontra-konspirasi, pengaduan dan pembunuhan. 

‘Teror’ telah berkurang tapi di belakangnya kehidupan terasa lebih 

keras daripada sebelumnya. Eksistensi republik sendiri terlalu sering 

dalam bahaya, tetapi orang biasa segera mulai menuntut kehidupan 

tanpa kekurangan dan tanpa ancaman kekerasan acak.

Namun, jika perang yaitu  beban yang tak terhindarkan, situasi 

terburuk yaitu  kembali ke keadaan hampir kelaparan. Revolusi 

telah menghancurkan aristokrasi dan mengalahkan Gereja tetapi juga 

membuat Parisian mengalami penderitaan harian yang tidak pernah 

mereka kenal selama seratus tahun. Terjadi kerusuhan sebab  makanan 

dan serangan kepada para penimbun makanan dan spekulator, 

terutama dari kelas borjuis. Pada 1795, otoritas Revolusioner 

digantikan oleh Direktorat, sebuah komite eksekutif beranggotakan 

lima warga negara yang memulihkan sebagian kekuasaan otoriter di 

Paris. Kota tidak lagi memiliki pemerintahan pusatnya sendiri dan 

dibagi menjadi distrik-distrik terpisah di bawah kontrol Direktorat. 

Masalah utama dengan Direktorat yaitu  mereka tidak memiliki 

gagasan sama sekali tentang gerak maju sesudah  Revolusi. Lebih 

jelasnya, Direktorat tidak menawarkan mekanisme politik atau 

pemerintahan untuk menyelesaikan perselisihan antara pembuat 

undang-undang dan pembuat kebijakan, yang bagaimanapun juga 

perannya berubah-ubah dengan cepat antara pengadil dan penghasut 

rakyat. Paris terjebak dalam jalan buntu politik. Sementara itu, inflasi 

semakin tidak terkontrol dan lajunya semakin cepat dalam tingkat 

yang benar-benar memusingkan. Direktorat membuat upaya lemah 

untuk mengarahkan ekonomi, tetapi menyadari bahwa lebih mudah 

untuk mereformasi institusi. Salah satunya yaitu  Institut de France 


275


(para cendekiawan dari institut ini mendampingi Bonaparte dalam 

petualangannya ke Mesir yang menjadi dasar pendirian Egiptologi 

dan, secara tidak langsung, meletakkan fondasi bagi apa yang disebut 

Edward Said sebagai ‘Orientalisme’—suatu metode salah sasaran 

dan Eropa-sentris untuk mempelajari dan mewakili kebudayaan-

kebudayaan non-Eropa).4 Pemisahan finansial di Paris tumbuh 

semakin tajam. Masa Direktorat terbukti menjadi tahun-tahun yang 

menyedihkan dan menekan bagi Parisian.

Tidak mengherankan bahwa dengan latar belakang seperti ini 

tokoh Napoleon Bonaparte membuat dampak yang populer dan positif 

terhadap imajinasi publik. Bonaparte berbicara dalam bahasa Prancis 

dengan aksen yang sangat terlihat dan sering kali cukup mengalami 

kesulitan (bahasa ibunya yaitu  dialek Genoa). Ia juga merupakan 

orang luar dalam intrik-intrik politik di Paris. Namun sejak awal 

1790-an, ia telah menyapu musuh di wilayah-wilayah asing atas nama 

Prancis. Kehidupan di dalam negeri memang menyedihkan tetapi, 

saat  tentara massa wajib militer di bawah pimpinan Napoleon, yang 

akan segera dikenal ke seantero Eropa sebagai ‘La Grande Armée’, 

bertempur melawan dan mengalahkan kekuatan militer dari negara-

negara termaju di Eropa, Parisian masih bisa percaya bahwa mereka 

memiliki takdir yang unik.

Si Orang Korsika

Nama asli Napoleon yaitu  Nabulione Buonaparte dan ia dilahirkan 

di Ajaccio pada 1769, setahun sesudah  Louis XV membeli pulau ini 

dari pemerintah Genoa. Ia dikirim ke Prancis untuk menempuh 

pendidikan militer tetapi tidak pernah kehilangan perasaan sebagai 

orang asing. Napoleon sedang berada di Paris pada 1792, sebagai 

seorang mayor artileri muda. Ia melihat dengan pandangan tidak 

memihak penyerbuan yang kacau ke taman-taman Tuileries, saat  

massa melancarkan pemberontakan melawan Majelis, mendorong 

pemerintah Revolusioner semakin ke Kiri. Bonaparte juga hanya 

berjanji kosong kepada cta-cita Revolusi—dan bahkan secara 

pribadi ia tidak menghargai sifat-sifat sosial atau kedudukan yang 



276

diwariskan—tetapi juga selalu mewaspadai kekuatan massa Paris. 

saat  raja dipaksa mengenakan topi perempuan berwarna merah 

oleh massa yang bergembira, ia membalikkan badan dan menolak 

untuk merayakan. Bahkan pada tahap awal ini, perhatiannya yang 

sebenarnya yaitu  untuk menegakkan keteraturan dan disiplin.

Ia mulai tampil ke muka umum pada 1794 di Toulon, pelabuhan 

selatan yang telah diduduki oleh pasukan Inggris yang kontra-revolusi. 

Bonaparte mengusir pasukan Inggris ke Mediterania dengan kombinasi 

tipu muslihat, keberanian dan keahlian taktis yang mengagumkan. 

Pada saat itu, ia sudah bersahabat dengan Ropesbierre yang kemudian 

mempromosikannya menjadi brigadir-jenderal. Ropesbierre juga 

menjadikan Napoleon sebagai pahlawan kelas Revolusioner Paris (ia 

juga dibujuk oleh Robespierre untuk tidak mengajukan permohonan 

menjadi perwira kepada Sultan Kesultanan Ustmaniyah).

Pada 1795, Paris kembali bergolak. Katalis bagi kekacauan yang 

menyebar luas ini yaitu  inflasi dan terutama harga roti yang naik 

sangat tinggi. Pada bulan Mei tahun tersebut, para pemberontak 

Jacobin merebut aula Konvensi Nasional sebagai protes tetapi diusir 

keluar dengan todongan bayonet oleh Garda Nasional. Pembela kelas 

pekerja sekarang menjadi sekutu kelompok borjuis. saat  kekuatan 

politik sekali lagi bergeser ke arah kelompok borjuis, Napoleon yang 

saat itu berada di Paris sebagai rekan Robespierre menjadi sasaran 

kecurigaan sebagai tersangka ‘teroris’.

Pihak berwenang perlu menghancurkan pemberontak Jacobin. 

Namun, mereka juga merasa takut terhadap kekuatan kontra-

revolusi yang telah berkumpul di Paris, menunggu kesempatan 

untuk membalikkan kemenangan-kemenangan pada 1789. Pada 

bulan Oktober, kelompok pendukung kerajaan mengambil risiko 

dan mengepung Konvensi dengan tujuan untuk menjatuhkan 

pemerintahan Revolusioner. Tentara dipanggil memasuki kota dan 

Jenderal Barras memadamkan pemberontakan dengan efisiensi yang 

kejam. Bonaparte sebagai wakil komandan bagi Jenderal Barras 

bergeming saat  memerintahkan pasukannya untuk menembak 

warga sipil Paris di Tuileries. Momen ini memasuki sejarah sebagai 

‘kepulan grapeshot’ (peluru berukuran kecil yang ditembakkan 

sekaligus dalam jumlah besar—penerj.) terkenal yang mengakhiri 


277


pemberontakan. Faktanya, lebih dari dua ratus orang terbunuh.

Pada 1797, Bonaparte kembali ke Paris dari operasi militer yang 

berhasil di Italia. Ternyata ia disambut oleh para anggota Direktorat 

yang mengenakan pakaian kebesaran lengkap bergaya Romawi untuk 

menyambut sang jenderal sebagai pahlawan penakluk. Jelas sekali 

bahwa hal ini sebagian merupakan pengalihan perhatian Parisian agar 

menjauh dari penderitaan yang terlihat jelas di jalan-jalan. Namun, 

sambutan ini juga memberikan inspirasi politik kepada Napoleon. 

Pada 1799, tanggal 18 Brumaire, ia melangkah untuk mengambil 

kontrol atas Direktorat, Paris dan Prancis, sebagai salah satu dari tiga 

konsul (gagasan lain yang diambil dari praktik orang Romawi). Dalam 

waktu beberapa bulan saja, sesudah  kemenangan lainnya di Italia, 

Napoleon, menurut sambutan rakyat dan ambisinya sendiri, secara 

efektif mengambil kendali terhadap kota dan Prancis sebagai Konsul 

Pertama dan diktator secara nyata.

Bonaparte mungkin bukan orang yang mudah disukai tetapi ia 

berkarisma. Terutama, ia menawarkan keamanan internal kepada 

Parisian tanpa kembali ke monarki. Di hari-hari menjelang ia me-

rebut kekuasaan, poster-poster bermunculan di seluruh Paris dan 

menyatakan “Warga Negara, Bonaparte harus berada di Paris jika kita 

mau mendapatkan perdamaian!” Perdamaian memang dibawa ke Paris 

tetapi hal ini dibayar dengan serangkaian perang yang dilakukan di 

seluruh Eropa atas nama Revolusi. Selama periode inilah istilah gloire, 

yang telah menjadi terkenal pada abad ke-17 dan berarti kombinasi 

militerisme dan patriotisme, kembali menyebar.

Perang-perang Bonaparte bukan hanya pengalihan dari penderitaan 

dalam negeri di Prancis, tetapi juga menyediakan pembenaran bagi 

kebijakannya yang paling ambisius yaitu penaklukan wilayah dan 

dominasi politik. Antara 1800 dan 1814, Prancis akan terlibat dalam 

40 pertempuran yang dipimpin oleh Bonaparte. Dinyatakan bahwa 

semua pertempuran ini dilakukan atas nama ‘membela Revolusi’ dan 

‘bela diri’ tetapi pada kenyataannya bertujuan untuk memperkuat 

cengkeramannya terhadap negara dan wilayah-wilayah lain di Eropa 

yang berada di bawah kontrol tentara massa wajib militer yang 

dipimpinnya.



278

“Sang Kaisar—sang Jiwa-Dunia itu”

Sementara itu, cita-cita Revolusi secara bertahap tererosi satu per 

satu. Pada 1801, Bonaparte mencapai kesepakatan dengan Paus—

‘Concordat’—yang memulihkan dan merelegitimasi agama Katolik 

di Prancis. Kesepakatan ini dirayakan oleh Te Deum Paskah, yang 

diadakan di hadapan Paus di Notre-Dame, yang selama Revolusi telah 

digunakan sebagai gudang anggur.

Bonaparte juga berupaya memodernisasi dan membuat kota 

lebih stabil dan efektif sebagai ibukota. Ia mendirikan Bank Prancis 

dan mendorong usaha swasta. Dalam waktu hanya beberapa tahun, 

ekonomi mulai pulih dan kota menemukan kembali seleranya 

terhadap kemewahan yang tidak pernah terlihat sejak hari-hari 

terakhir Ancien Régime. Napoleon sendiri tidak menaruh minat 

kepada aristokrasi, kecuali aristokrasi sesuai dengan tujuan 

politiknya. Namun, ia tidak memberikan hambatan apa pun kepada 

para emigran yang kembali ke Paris yang membawa serta sejumlah 

tata krama dan kehalusan tatanan lama (selain sikap meremehkan 

sebab  kesombongan kepada seorang Korsika dari daerah yang 

mengizinkan mereka untuk kembali).

Pergeseran ke arah kendali otoriter di Paris berlangsung sangat 

cepat dan tak terhindarkan. Bagi banyak orang, sepertinya pergeseran 

ini telah direncanakan sebagai niat awal Bonaparte yang sebenarnya. 

Pada 2 Desember 1804 (mayoritas orang sekarang sudah tidak 

menggunakan Kalender Revolusi), Bonaparte mengangkat dirinya 

sendiri sebagai Kaisar Prancis di katedral Notre-Dame. Penobatan ini 

dilakukan di hadapan Paus Pius VII (yang telah menikahkan Napoleon 

dengan gundiknya Josephine dalam sebuah upacara keagamaan 

rahasia di kapel Tuileries sehari sebelum penobatannya—Josephine 

sudah pernah menikah dengan Napoleon dalam sebuah upacara sipil 

pada 1795). Kejadian yang paling terkenal yaitu  Napoleon, dan 

bukan Paus, yang meletakkan mahkota di kepalanya sendiri dan yang 

memahkotai Josephine. Hal ini memberi sinyal kepada dunia yang 

menyaksikan bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangannya.

Reaksi masyarakat Paris pada awalnya antusias walaupun para 

jurnalis dan intelektual merasa sangsi. Contohnya yaitu  Pierre 


279


Simon, François-René de Chateaubriand (yang pada awalnya disukai 

oleh Bonaparte sebab  menulis Le Génie du christianisme (‘Kegeniusan 

Agama Kristen’) pada 1802, yaitu karya propaganda Katolik yang 

sesuai dengan tujuan Bonaparte di tahun-tahun rekonsiliasi dengan 

Gereja) dan Madame de Staël. Semua penulis ini segera akan menjadi 

musuh besar bagi seluruh sistem pemerintahan Napoleon.

Pengkultusan Bonaparte bersifat misterius dan memabukkan. 

Penggunaan istilah ‘konsul’ dan ‘kaisar’ tidak dimulai oleh Bonaparte 

tetapi hanyalah bagian dari kosakata klasik yang saat itu sedang 

mode sebagai cara menciptakan kembali struktur pemerintahan dan 

administrasi pada Pencerahan, dan oleh sebab  itu biasanya yaitu  

mengikuti model Romawi. Namun segera, istilah-istilah ini mulai 

memiliki makna dan prestisenya sendiri saat  aparatur pemerintahan 

dibentuk mengikuti jalur klasik. sesudah  menobatkan diri sebagai 

‘kaisar’, Bonaparte sesudah  itu hanya dikenal sebagai ‘Napoleon’. 

Pergeseran ini saja menunjukkan betapa banyak takdir Paris, Prancis 

dan Eropa sekarang berada di satu nama dan hanya di satu orang.

Pada suatu malam tanggal 12 Oktober 1806, saat  pasukan 

Bonaparte akan memasuki Jena di Jerman selatan, filsuf G. W. F. 

Hegel menulis kepada temannya F. I. Niethammer. Ia menulis dalam 

rasa kekaguman sesama jenis bahwa ia telah melihat “sang Kaisar—

sang Jiwa Dunia—berkuda keluar untuk melakukan pengawasan 

keliling kota; benar-benar merupakan sensasi menyenangkan untuk 

melihat individu seperti itu, terkonsentrasi di sini pada sebuah 

jiwa, menunggangi seekor kuda, namun menjangkau seluruh dunia 

dan menguasainya.”5 Hegel menulis catatan-catatan ini sesudah  

menyelesaikan bagian pertama dari tulisannya yang berjudul 

Phänomenologie des Geistes (‘Fenomenologi Pikiran’). Ini yaitu  

karya yang padat dan sangat penting yang diterbitkan pada 1807. Di 

dalamnya, ia menjelaskan visinya terhadap sejarah sebagai narasi yang 

hanya bisa mendapatkan makna dari para individu berkuasa yang 

mewujudkan rasa tujuan yang hebat. Bagi Hegel, seperti juga bagi 

Parisian yang mengelu-elukan Napoleon pada hari penobatannya di 

Notre-Dame, Napoleon yaitu  perwujudan dari makhluk visioner 

ini.



280

Kota dalam Sejarah

Bentuk fisik Paris mulai berubah untuk mencerminkan mimpi dan 

ambisi era baru dalam sejarah ini. Bonaparte sendiri telah menyatakan 

bahwa ia ingin membuat Paris lebih indah dari kota-kota lain yang 

pernah ada. Untuk melakukannya, ia menugaskan arsitek Fontaine 

dan Percier untuk menciptakan lanskap-lanskap baru. Bonaparte 

menghancurkan rumah-rumah besar tua yang berdiri di antara 

Tuileries dan Louvre, untuk memperlihatkan Champs-Élysées sebagai 

jalan paling lebar dan paling mengagumkan di Eropa yaitu simbol 

takdir bangsa dan jalur militer menuju kejayaan.

Di atas semuanya, kaisar menginginkan sebuah kota yang 

menyamai cita-citanya sendiri tentang Prancis dan dirinya sendiri. 

Paris harus menjadi kota yang monumental, sekali lagi mengikuti 

model Roma, dengan gapura, patung dan arsitektur politik hebat yang 

merayakan kebesaran Kekaisaran Prancis. Walaupun kemegahannya 

menggelikan, pembentukan ulang lanskap kota yang dilakukan 

Napoleon juga sangat praktis: ia membuat kota bekerja lebih baik 

dan lebih efisien daripada selama hampir seratus tahun sebelumnya. 

Lima jembatan baru dibangun untuk mempermudah pergerakan di 

sekitar Paris. Lima rumah pemotongan hewan baru dibangun untuk 

memberi makan kota. Rumah potong hewan terpenting berada di 

Ménilmontant, antara rue Saint-Ambroise dan rue Saint-Maur, di 

Montmartre, di Place d’Anvers dan di Villejuif antara rue Pinel dan 

rue Stéphen-Pichon. Dibangun juga delapan pasar tertutup, termasuk 

pasar bunga di Île de la Cité (satu-satunya pasar lain yang tersisa dari 

periode ini berada di sepanjang dinding luar Marché Saint-Germain, 

yang telah menjadi pasar sejak 1176).

Salah satu proyeknya yang paling besar dan paling bertahan lama 

yaitu  pembangunan Canal d’Ourcq yang membawa perdagangan 

dan kehidupan baru ke dalam jantung Paris. Hubungan antara 

Parisian dengan sungai Seine masih sangat ambigu. Pada 1801 – 1802 

serangkaian banjir telah memakan korban jiwa dan membanjiri kota 

dari Champs-Élysées hingga Les Invalides dan dari Place de l’Hôtel 

de Ville hingga Saint-Antoine. Sebaliknya, selama periode Revolusi 

dan selanjutnya, sungai juga merupakan salah satu dari sedikit lokasi 


281


rekreasi untuk menjauh dari jalan-jalan kota yang bersimbah darah. 

Para riverain juga melakukan perdagangan dengan daerah-daerah dan 

kota. Mereka terkenal sebab  ketidakpeduliannya terhadap kejadian-

kejadian mengguncang dunia yang terjadi di sekeliling mereka. 

Bagi banyak Parisian, individualisme subversif ini memberi sumber 

kenyamanan dan kesenangan. Sungai Seine menjadi magnet bagi para 

perenang, penggoda, dan kadang kala juga untuk bunuh diri.

Pembangunan Canal d’Ourcq yaitu  cara Napoleon untuk mem-

perlihatkan kepada Parisian bahwa ia memahami pentingnya air 

dalam kehidupan kota. Ia juga membangun 56 air mancur penghias 

di seluruh kota yang mendapatkan airnya dari kanal. Sebagian dari 

air mancur ini seperti Fontaine de Mars di rue Saint-Dominique atau 

Fontaine du Palmier di Place du Châtelet masih menjadi pemandangan 

yang mengagumkan. Kedua pembangunan ini yaitu  tindakan yang 

praktis dan puitis. 

Tanda tangan Napoleon hingga saat ini masih bisa ditemukan 

di seluruh Paris, diukirkan secara harfiah ke proyek-proyek besar 

yang ia perintahkan pembangunannya secara langsung. Contohnya 

yaitu  jembatan Austerliz atau jembatan Iéna, yang dinamakan sesuai 

kemenangan-kemenangan besar di medan pertempuran. Tanda tangan 

ini juga diukirkannya ke bentuk kota itu sendiri, dalam bentuk jalan-

jalan besar seperti rue de Rivoli. Peninggalannya yang paling dramatis 

yaitu  perspektif Arc du Carrousel yang begitu luas antara Louvre dan 

Tuileries serta Arc de Triomphe yang begitu besar (pembangunannya 

dimulai pada 1806 dan diselesaikan pada 1835). Walaupun dikaitkan 

dengan tirani dan despotisme, bangunan-bangunan yang dibangun 

dengan sudut yang tepat untuk mencerminkan dan meninggikan 

rasa kekaguman pengunjung di kota masih tetap menjadi simbol 

patriotisme Prancis (jika bukan hanya bagi Parisian) yang paling 

mendalam.

Namun dalam tahun-tahun tepat sesudah  Revolusi, Paris yaitu  

tempat yang kumuh dan bobrok. Upaya-upaya pada awal abad ke-18 

untuk meluruskan jalan-jalan, melebarkan jembatan-jembatan dan 

jalan-jalan raya, serta mengarahkan pergerakan melalui kota secara 

bebas dan teratur telah sejak lama terhenti. Populasi sebenarnya 

menurun menjadi 500.000 orang saat  Parisian meninggalkan kota 



282

yang rusak ini untuk mencari makanan dan keamanan di tempat lain.

Pemulihan dimulai secara benar pada 1802 dan 1803. Di kedua 

tahun ini panen berhasil dengan baik. Kota mulai melihat ke depan. 

Pada 1803, sesudah  terjadi perdamaian sementara dengan Inggris, Paris 

secara singkat menjadi tujuan yang sedang mode bagi para pengunjung 

Inggris. Mereka menemukan (sering kali dengan kesenangan yang 

tidak disembunyikan) kota yang jauh lebih terbelakang dalam segala 

hal daripada London. Jalan-jalan masih belum dilapisi batu dan 

kadang kala tidak lebih dari jalan berlumpur yang dipenuhi oleh kereta 

kuda, orang dan binatang. Namun para turis ini tetap saja terkesan 

saat  menyadari bahwa mereka berada di sebuah kota yang selama 

dua puluh tahun terakhir telah disetankan sebagai pangkalan semua 

kejahatan di dunia modern. Tidak sulit untuk mencari kesenangan-

kesenangan terlarang, dari para wanita bertelanjang dada yang elegan 

di teater, filles de joie di Palais-Royal, hingga perdagangan kedua jenis 

kelamin yang lebih kasar yang sangat terlihat di berbagai pekan raya 

dan pasar dadakan di pinggiran-pinggiran kota.

Para pengunjung juga bersemangat mengunjungi Place Louis XV. 

Konon bahwa bau darah di sana masih begitu kuat sehingga sapi dan 

kuda menolak untuk menyeberanginya. Bonaparte sendiri yaitu  

atraksi yang menjadi objek daya tarik.

Parisian sering kali menjadi bingung atau gelisah sebab  pengunjung 

Anglo-Saxon ini yang penampilan dan tingkah lakunya sepertinya 

disengaja untuk menghina. Orang Inggris yang berkeringat diejek 

di opera sebab  menonton pertunjukan hanya mengenakan kemeja. 

Karikatur lain di sekitar periode ini secara konsisten menampilkan 

orang Inggris sebagai orang kampungan bermuka merah, biasanya 

sedang mabuk, yang siap untuk berkelahi atau bersikap janggal 

dengan kekaguman penuh berahi terhadap para pelacur yang 

sedang berjajar. Sering kali—sebagaimana masih terjadi dalam kasus 

kelompok-kelompok pemuda Inggris yang memenuhi Paris masa kini 

dan ibukota-ibukota Eropa lainnya di akhir pekan—ketiga aktivitas 

ini dikombinasikan menjadi satu kerusakan moral tingkat rendah. 

Sebaliknya, para pengunjung Inggris merasa skeptis tentang kota 

baru yang sedang dibangun di sekelilingnya. Mereka mencatat bahwa 

banyak dari kemegahan itu yaitu  hasil jarahan, apakah dalam bentuk 


283


adikarya Renaisans (selain buku, manuskrip, patung) yang dijarah 

dari Italia utara, yang sekarang membuat Louvre menjadi museum 

seni paling penting di dunia, atau patung-patung kuda perunggu 

yang berdiri tegak di Arc du Carrousel. Mereka berspekulasi bahwa 

kekaisaran baru ini tidak akan bertahan lama sebab  dibangun di atas 

pencurian di luar negeri dan tirani di dalam negeri.6

Ternyata mereka memang benar. Sebenarnya, akhir kekaisaran ini 

dimulai pada 1810 saat  kekalahan di Spanyol dan krisis finansial di 

Paris membuat pemerintahan tumbang. Dalam hitungan bulan, 270 

bank ditutup. Pengangguran dan kemudian kekurangan makanan 

mengikutinya. Hanya diperlukan panen yang buruk pada 1811 bagi 

Parisian untuk merasa bahwa takdir mereka mungkin tidak sejaya 

yang dijanjikan Napoleon.

***

Tanda pertama yang diakui secara universal terhadap bencana yang 

akan datang yaitu  mundurnya Napoleon dari Moskow pada 1812. 

Perasaan suram dan panik bertambah sesudah  kekalahannya di Leipzig 

pada Oktober 1813 dalam ‘Pertempuran Bangsa-Bangsa’, saat  

pasukan Rusia, Prusia, dan Austria mengalahkan ‘Grande Armée’. 

Parisian sekarang merasa takut bahwa mereka akan membayar harga 

bagi keangkuhan si orang Korsika. Di atas semuanya itu, mereka 

sangat takut terhadap orang Rusia, yang dianggap sebagai kejam, 

haus darah dan, terinspirasi oleh pembakaran ibukota mereka 

sendiri (pembakaran Moskow sebenarnya telah diperintahkan oleh 

pemerintah Rusia sendiri), yang hanya mengetahui dua kata bahasa 

Prancis: “Brûler Paris!” (‘Bakar Paris!’).7

sesudah  kekalahan di Leipzig, Paris menjadi mangsa desas-desus 

mengerikan. Buletin-buletin dari garis depan datang dalam bentuk 

tidak utuh dan terdistorsi dari markas besar kaisar saat  pasukannya 

yang compang-camping bergerak mundur secara zigzag melintasi 

dataran Polandia dan Prusia timur. Sejak Januari 1814 dan seterusnya, 

kota penuh oleh para pengungsi dan desertir dari Grande Armée yang 

mengemis di jalanan, merampok orang yang lewat saat  memiliki 

kekuatan atau kesempatan atau, jika mereka terluka parah, terbaring 



284

sekarat dan berdarah di selokan-selokan.

Yang paling menakutkan bagi Parisian yaitu  mereka juga 

membawa serta desas-desus mengerikan dan menyeramkan tentang 

kekerasan yang akan datang. Paris nyaris histeris. Pada bulan 

Maret, jalanan penuh sesak oleh gerobak para petani yang mencari 

perlindungan di Paris dari pertempuran yang akan terjadi di Prancis 

timur. Rumah sakit jiwa dan rumah sakit dikosongkan dari pasiennya 

untuk memberi tempat bagi prajurit yang terluka. Orang-orang gila 

dan orang sakit parah berkeliaran di jalanan, meringkik, minum 

alkohol, berteriak dan secara umum menambahkan gelombang hiruk-

pikuk yang semakin tinggi yang dengan cepat menelan kota saat  

Paris menunggu untuk dihancurkan. Kamar mayat dikosongkan dan 

ratusan jenazah dilemparkan ke dalam sungai Seine. Pihak berwenang 

berjanji kepada Parisian bahwa jenazah segar ini tidak terkontaminasi 

dan tidak akan menimbulkan penyakit.8

Pemandangan lusinan dan kemudian ratusan mayat yang mem-

bengkak dan berwarna ungu yang terdampar di tepian sungai Seine 

di hari-hari yang hangat di akhir Mei 1814 tidak bisa meyakinkan 

Parisian tentang kesehatan mereka selanjutnya atau nasib mereka di 

masa depan.


285


27 

Pendudukan dan Restorasi

Tentara yang akhirnya tiba di pintu gerbang Paris pada akhir 

Maret berkekuatan lebih dari 100.000 orang. Mereka merupakan koalisi 

dari pasukan Prusia, Austria, dan Rusia yang dipimpin oleh marsekal 

Austria Pangeran Schwarzenberg, si pemenang di Leipzig. Pasukan 

tersebut dihadapi oleh Garda Nasional Paris yang berkekuatan tidak 

lebih dari 12.000 orang. Mereka berdisiplin tinggi dan terutama setia 

kepada Parisian meski bukan kepada pemerintah kota. saat  berita 

tentang kekalahan-kekalahan Napoleon sampai ke kota, pemerintah 

ini telah disusupi oleh para pendukung kerajaan yang berharap 

akhirnya bisa menghancurkan kelas pekerja dalam kebakaran besar 

yang menjadi akibat runtuhnya pemerintahan kaisar yang otoriter dan 

ketat.

Kelompok pendukung kerajaan disemangati dan juga dibuat 

khawatir oleh kebencian kelas pada masa Revolusi yang sedang 

mendidih. Kebencian yang tidak pernah terlalu jauh pada titik mana 

pun dalam sejarah Paris hingga saat itu, sekarang kembali naik ke 

permukaan. Salah satu penyebab utama bagi kekalahan Napoleon yang 

memalukan, sebagaimana diperdebatkan di kafe dan kedai minum 

kelas pekerja Paris, yaitu  bahwa, sebab  rasa takut dan menghina, 

ia telah menolak untuk mempersenjatai para pekerja di Faubourg 

Saint-Antoine, yang mungkin akan atau tidak akan membantunya. 

Seorang Parisian yang menjadi saksi mata, sejarawan dan jurnalis 

Juan-Antoine Rodriguez, menjelaskan bagaimana Parisian dari kelas 

menengah gemetar ketakutan saat  “individu-individu tanpa agama, 

tanpa moral dan menjalani kehidupan yang hina dan terdegradasi” 

menunjuk ke rumah-rumah yang akan mereka rampok dan individu-

individu yang akan mereka bantai saat  orang-orang Cossack datang.1




286

Pada malam 30 Maret, beberapa jam sebelum pertempuran, 

Parisian menaiki bukit Montmartre (yang selama periode ini pernah 

diganti namanya menjadi Montnapoléon walaupun tidak lama: 

di puncak bukit, di antara kincir-kincir angin dan kebun-kebun 

anggur, ada  mesin telegraf terkenal yang digunakan Napoleon 

untuk mengirimkan berita dan perintah ke kota). Dengan campuran 

kekaguman dan ketakutan, Parisian melihat pergerakan pasukan asing 

ini saat  mereka duduk sambil makan dan bercakap-cakap di depan 

api unggun di luar dinding kota, mendengarkan suara eksotis musik 

Rusia dan mempersiapkan untuk banjir darah yang akan datang.

Pertempuran dimulai pada waktu fajar. Bagian terburuknya 

berlangsung selama lima jam. Selama periode tersebut, asap dari 

tembakan artileri mengubur dataran tinggi kota bagian utara dalam 

asap tebal. Sebagian Parisian melihat pertempuran tersebut seperti 

sedang menonton pertandingan olahraga dari atap rumah atau melalui 

teleskop dari kamar mereka, sementara sebagian besar populasi 

mencari keselamatan ke tengah kota. Di bulevar-bulevar, atmosfernya 

relatif tenang. Parisian kelas atas meminum kopi atau es di Café Tortoni 

dan terrasse bergaya lainnya dengan ketidakpedulian pura-pura yang 

bisa mereka tampilkan menghadapi suara tembakan bertubi-tubi dan 

para prajurit terluka yang kembali dari garis depan.2 Namun, kelas 

pekerja lebih gelisah. Bahkan saat  gencatan senjata diberlakukan 

dan kemenangan sekutu diumumkan pada pukul setengah empat 

sore, gelombang kepanikan menyapu melewati jalan-jalan berlumpur 

dan apartemen sewa di Paris Tua. Beritanya yaitu  orang Rusia yang 

ditakuti telah merebut Montmartre dan bersiap untuk menghukum 

kota sebab  kesalahan Napoleon di negara mereka sendiri. Prefect 

sungai Seine, comte de Chabrol, yang kembali dari menegosiasikan 

penyelesaian damai melaporkan bahwa ia telah melihat pasukan Rusia 

melemparkan abu api unggun ke udara dengan niat mengancam yang 

sangat jelas, yang diteriakkan dengan gembira, “‘Paris! Paris!”

Tsar Rusia, Alexander I, datang ke Paris untuk mengawasi operasi 

militer secara langsung dan bertekad untuk bersikap murah hati dalam 

kemenangan. Ia menyatakan bahwa satu-satunya musuhnya yaitu  

Napoleon dan ia memerintahkan para prajurit untuk menempelkan 

sebuah perintah di dinding-dinding kota yang menyatakan bahwa Paris 


287


sekarang berada di bawah “perlindungan khusus darinya.” Pada pukul 

sebelas pagi tanggal 31 Maret, tsar memasuki kota melalui Barrière 

de Pantin, didampingi oleh para prajurit Cossack-nya serta para 

jenderalnya dari Prusia dan Austria. Merasa lega bahwa tidak akan ada 

pembantaian, Parisian sekarang berbondong-bondong datang untuk 

menemui tentara yang masuk ini dan berteriak, “Turunkan kaisar! 

Matilah si orang Korsika! Hidup perdamaian! Hidup pembebas kita!” 

Teriakan ini semakin kencang dan semakin intensif saat  parade 

kemenangan memasuki boulevard des Italiens dan bagian ujung barat 

kota yang kaya. Para wanita sepertinya senang melihat orang Rusia 

dan mengatakan kepada seorang pengamat Inggris bahwa “Napoleon 

telah membunuh semua kekasih kami.”3

Tentara pendudukan terus bergerak membelah kota dan akhirnya 

berkemah di Champs-Élysées, yang saat itu terutama masih berupa 

taman luas dengan pepohonan, dan di Bois de Boulogne. Kota dibagi 

menjadi tiga zona militer berbeda di bawah komando Rusia, Prusia, 

dan Austria. Parisian menarik napas lega dan meneruskan kehidupan 

sehari-hari dengan vitalitas yang terbarui. Sambil merasakan 

kemarahan besar dalam gerak mundurnya di Fontainebleau, tempat 

ia telah mundur bersama pendukungnya yang tersisa, Napoleon 

merujuk kepada Paris secara menghina sebagai ‘la Grande Cosaquie’ 

dan Parisian pengkhianat sebagai ‘monstres cosaques’ (para monster 

Cossack’).4

Orang Cossack memang disambut oleh Parisian dari semua kelas. 

Pada awalnya mereka menimbulkan rasa takut—kisah-kisah tentang 

bagaimana mereka menikmati pemerkosaan dan permainan kejam 

seperti mencambuki orang yang berdiri telanjang di udara sedingin es 

telah berjalan bersama mereka. Para pria Paris menghormati disiplin 

dan pembawaan militer penakluk mereka; para wanita dengan 

mudah digoda oleh tata krama dan penampilan eksotis mereka. 

Orang Cossack sendiri meremehkan kemewahan Paris, tetapi sangat 

menikmati kesenangan duniawinya. Istilah bistro—kata bahasa Rusia 

untuk ‘dengan cepat’—konon telah digunakan mulai saat itu untuk 

mendeskripsikan restoran tanpa basa basi yang disukai oleh orang 

Cossack. Rumah bordil juga melaporkan bisnis yang ramai dan 

meningkat.



288

Walaupun demikian, pendudukan Paris pada 1814 merupakan 

kejutan besar bagi penduduknya. Bahkan Parisian yang masih 

mencemooh agama dan takhayul mau tak mau melihat bencana baru 

ini sebagai hukuman unik yang kejam bagi Revolusi yang dikirimkan 

oleh Sang Maha Pencipta siapa pun yang menguasai takdir kota yang 

tragis.

sebab  alasan ini, Parisian merangkul para penguasa mereka 

yang hanya sementara ini dengan antusiasme sementara dan bukan 

cinta. Perasaan umumnya yaitu  bahwa Napoleon telah membawa 

mereka ke tepi jurang bencana. Sebaliknya, tsar dengan cepat menjadi 

pahlawan di mata Parisian yang mengagumi cara tsar menyelamatkan 

kota serta menegakkan keteraturan dan stabilitas dengan biaya 

minimum. Parisian berkumpul untuk melihatnya dengan campuran 

rasa takut dan kagum saat  tsar berjalan untuk berdoa di pagi hari 

dan sore hari di kapel Ortodoks Rusia di Place Louis XV (tidak 

lama kemudian diubah namanya menjadi Place de la Concorde). 

Namun, tidak dibutuhkan waktu lama sebelum pendudukan mulai 

memunculkan rasa melankolis di hati Parisian—nostalgia akan 

momentum revolusioner dan otonomi yang telah hilang dari mereka, 

dan bukan sekadar kegembiraan sebab  dihindarkan dari seorang 

tiran.

Menguburkan yang Mati

Salah satu penyebab utama kesuraman Parisian selama periode ini 

yaitu  buruknya keadaan kota pada saat Napoleon meninggalkannya. 

Kaisar telah berupaya menjadikan kota sebagai monumen bagi 

takdirnya yang berjaya. Ia telah membersihkan sumbu tengah dan 

sumbu barat Paris untuk membentuk lanskap urban menjadi versi 

kekaisaran Romawi kontemporer, dengan gapura-gapura kemenangan 

yang besar, jalan-jalan raya untuk parade militer dan jalan-jalan 

yang dipotong menjadi garis lurus dengan ketepatan militer. Gang-

gang dan lorong-lorong abad pertengahan di jantung lama kota, 

yang membentang dari Les Halles ke timur dan selatan, relatif tidak 

tersentuh oleh pembangunan ini, walaupun mereka yang tinggal di 


289


sana menggerutu panjang lebar tentang saluran air yang busuk dan 

biaya pembangunan ibukota mimpi Napoleon.

Bau Paris tengah sangat menyengat. Alasannya yaitu  bahwa pada 

awal abad ke-19, permakaman-permakaman di Paris, yang sebagian 

besar berasal dari masa sebelum Romawi, sudah terlalu padat. 

Permakaman paling buruk reputasinya yaitu  di Saints-Innocents di 

jantung kota. Tempat ini sudah lama terkenal, setidaknya di malam 

hari, sebagai tempat berkeliarannya para ahli ilmu gaib, pelacur, 

pemabuk, pencuri, dan, selama abad ke-18, para pencuri jenazah 

yang menjual mayat-mayat paling segar kepada para mahasiswa dan 

profesor di École de Médicine di seberang sungai. Permakaman Saints-

Innocents, sebagaimana telah kita lihat, yaitu  bagian dari cerita 

rakyat Paris tetapi menjadi tempat yang dihindari sedapat mungkin. 

Tempat ini telah mencapai titik puncaknya yang mengerikan selama 

‘Teror’ Revolusi saat  keranjang-keranjang berisikan kepala yang 

terputus dan mayat-mayat tanpa kepala secara berkala dan tanpa 

upacara dibuang di pinggirannya. Bau tempat ini—yang penuh aroma, 

mematikan dan sangat tajam—yaitu  pengingat paling bau bagi masa 

lalu mematikan yang baru terjadi.

Pada 1776, permakaman umum, yang ke dalamnya orang miskin 

Paris telah dilemparkan seperti sampah selama berabad-abad, mulai 

kewalahan. Mayat-mayat mulai bermunculan dalam tumpukan 

membusuk, menembus dinding ruang bawah tanah di rumah-rumah 

di dekatnya berdampingan dengan tikus-tikus pemakan daging. 

Banyak dari rumah ini sudah hampir rubuh dan penghuninya menjadi 

sesak dalam udara yang busuk dan bersulfur. Pada 1780, beberapa 

orang meninggal dunia di rue de la Lingerie sebab  infeksi berbahaya 

yang disebabkan oleh ‘udara kotor’.

Baru pada awal 1800-an diambil keputusan untuk menghancurkan 

Saints-Innocent, bersama dengan seluruh permakaman lokal lebih 

kecil lainnya di Paris. Diputuskan pula untuk membuka tiga tempat 

yang luas untuk memakamkan jenazah. Permakaman terbesar ada 

di Père-Lachaise yaitu di pinggiran kota. Tulang-tulang dari Saints-

Innocents dipindahkan ke Denfert-Rochereau yaitu sebuah tambang 

tua yang telah menyediakan batu bagi kota baru. Tahun-tahun awal 

abad ke-19 yang disebut ‘abad cahaya’, ditandai dengan manuver 



290

malam hari para pembawa jenazah. Mereka memindahkan tulang-

tulang orang mati dari satu ujung kota ke ujung lainnya yang diikuti 

oleh serombongan pendeta yang mengucapkan doa bagi yang sudah 

mati. Seorang jurnalis yang memprotes bahwa ini yaitu  penodaan 

terhadap penghuni kota yang sudah mati langsung dimasukkan ke 

penjara. Itu menunjukkan bahwa ada  pula aspek politik khusus 

dalam aktivitas tersebut.

Lebih jelasnya, tambang-tambang tua dan terowongan-terowongan 

bawah tanah yang ditemukan pada akhir abad ke-18 dikabarkan 

telah menjadi tempat perlindungan bagi kaum revolusioner dan 

pemberontak. Ini yaitu  kekuatan bawah tanah secara harfiah yang 

bisa bangkit kapan saja dan merebut kota. Lebih baik menutup celah-

celah ini menggunakan orang-orang mati yang tidak berguna.

Restorasi

Parisian dari semua kelas merasa lega saat  pendudukan tidak 

berlangsung lama. Pada 4 Mei 1814, monarki Bourbon direstorasi 

dalam bentuk Louis XVIII, saudara laki-laki raja yang dipenggal 

pada 1793. Namun, hal ini tidak berarti segera kembali ke tatanan 

pra-Revolusi yang sekarang tidak mungkin terjadi dan juga tidak 

diinginkan. Restorasi ini yaitu  tanggapan sementara bagi masalah 

yang belum terselesaikan dalam bentuk perpolitikan kehidupan 

Parisian. Para sekutu Rusia meninggalkan kota segera sesudah  

penandatanganan Perjanjian tanggal 30 Mei yang membuat kota 

berada di tangan Louis. Patung Henry IV yang telah dihancurkan 

selama Revolusi diperbaiki dengan plester dan sekali lagi didirikan di 

Pont-Neuf. Monumen dengan tambalan ini terbukti menjadi metafora 

berguna bagi pemerintahan Louis yang tidak pernah benar-benar 

menguasai kota. Pemerintahannya tidak memiliki fokus dan arahan, 

selain kerinduan yang tidak jelas terhadap masa lalu.

Selama bulan-bulan awal restorasi, Paris yaitu  kuali ketidakpuasan 

politik. Pascaruntuhnya kedisiplinan kekaisaran, kota menjadi rumah 

bagi pendapat-pendapat politik yang beragam, dari pendukung 

monarki Katolik, sans-cullotte yang egaliter, liberal dan Jacobin hingga 


291


pendukung Bonaparte yang melankolis. Kelas pekerja merasa marah 

atas kembalinya raja dan serangkaian janji kosong yang dibuatnya. 

Para prajurit yang menganggur, termasuk 12.000 mantan perwira 

Grande Armée, berkumpul di jalan-jalan dan kafe-kafe, meratapi 

impian kejayaan kekaisaran yang hilang dan mengeluh dengan pahit 

tentang kecilnya pensiun yang mereka terima.

Suasana hati ini diprediksi pada 1813 dalam sebuah pamflet 

prediksi berjudul De l’esprit de conquéte et de l’usurpation (‘Semangat 

penaklukan dan perebutan kekuasaan’) karya Henri-Benjamin 

Constant de Rebecque. Penulis novel dan jurnalis Swiss yang di Paris 

dikenal sebagai Benjamin Constant ini yaitu  musuh besar mistisme 

kekuasaan otoriter Napoleon. Pamfletnya diterbitkan di Hannover 

tetapi disebarkan secara luas di Paris, terutama di hari-hari menjelang 

kejatuhan kaisar untuk pertama kalinya pada 1814. Di atas semuanya, 

Constant menyerang pemujaan patriotisme dan kekuasaan sebagai 

abstraksi politik, menolaknya dengan nilai-nilai logis kehidupan 

sehari-hari. “Walaupun patriotisme hanya ada melalui pelekatan jelas 

kepada kepentingan, cara hidup, kebiasaan setempat,” tulisnya, “orang-

orang yang kita sebut patriot telah menyatakan perang kepada semua 

ini. Mereka telah mengeringkan sumber daya alami patriotisme ini dan 

telah berupaya menggantikannya dengan gairah fiksi sebagai makhluk 

abstrak, ide umum yang kehilangan semua hal yang bisa tersambung 

dengan imajinasi dan berbicara kepada ingatan.” Bagi para pembaca 

Constant di masa depan, deskripsi atas psikologi mendasar terhadap 

keinginan Napoleon untuk berkuasa akan membuat pernyataan yang 

kuat dan prediktif tentang sifat alami sejati dari totalitarianisme abad 

ke-21.5

Constant, seperti banyak intelektual periode ini, merasa sangat 

marah dan tidak terkejut saat  Napoleon kembali ke Paris dan 

berkuasa pada musim semi 1815. Dengan kesederhanaan yang berani, 

saat  berita kekacauan politik di Prancis sampai ke telinganya, kaisar 

memutuskan untuk meninggalkan pengasingannya di Elba pada 

Maret, mendarat di Prancis selatan dan berjalan menuju Paris sambil 

mengumpulkan pendukung di sepanjang jalan. saat  Napoleon 

akhirnya tiba di ibukota, pemerintahan Louis XVIII menguap seperti 

tidak pernah ada. Raja tua yang gemuk ini tidak menunggu kedatangan 



292

Napoleon tetapi melarikan diri di waktu malam menuju Ghent lama 

sebelum pasukan kaisar terlihat untuk pertama kalinya.

saat  kembali memasuki kota, Napoleon disambut meriah di 

Tuileries tetapi distrik-distrik kelas pekerja tetap tenang dan berhati-

hati. Tidak seorang pun benar-benar percaya bahwa akan ada hal baru 

yang baik dari menghidupkan kembali masa lalu ini. Napoleon sendiri 

sepertinya menyadari suasana hati ini dan memanggil Constant, si 

orang Swiss Protestan yang skeptis (yang telah bersembunyi saat  

mendengar kembalinya kaisar), untuk menemuinya dan memberi 

saran tentang bagaimana menjadi penguasa liberal yang dilahirkan 

kembali. Constant setuju untuk membantu menyusun perundang-

undangan bagi pemerintahan konstitusional tetapi sama sekali tidak 

percaya bahwa Napoleon dapat berubah.

Orang-orang lain pun tidak percaya, terutama semua Parisian 

yang hidup melewati janji kejayaan serta trauma pengepungan dan 

pendudukan. Kemenangan Wellington atas Napoleon di Waterloo, 

yang akhirnya menghancurkan impian negara pan-Eropa yang 

membentang dari Spanyol hingga Jerman dan Mesir, disambut oleh 

sebagian besar Parisian dengan campuran kesedihan dan kelegaan. 

Demikian pula, sebagian besar orang merasa senang melihat kaisar 

pergi untuk terakhir kalinya pada 21 Juni saat  ia mengucapkan 

selamat tinggal kepada kota dalam perjalanannya menuju pengasingan 

akhirnya di St. Helena.

Namun, tidak mudah untuk menghapus jejak-jejak kejayaan dan 

bencana yang menandai tahun-tahun awal 1800-an. Abad yang telah 

dimulai dengan hiruk-pikuk pendukung perang yang patriotik di 

kalangan orang Prancis pada umumnya, dan Parisian pada khususnya, 

segera hancur menjadi kekalahan memalukan dan akhir dari impian 

kekaisaran.

Kekalahan terakhir Napoleon juga memiliki dampak meng-

hancurkan bagi kota. Perjanjian yang ditandatangani oleh pihak 

berwenang Prancis pada November 1815 jauh lebih keras daripada 

perjanjian yang dipaksakan kepada kota oleh pasukan sekutu 

setahun sebelumnya. Lebih buruk lagi yaitu  arogansi dan keinginan 

membalas dendam yang sangat terlihat yang sekarang menjadi ciri 

otoritas sekutu saat  mereka mulai datang untuk berkuasa di Paris.


293


Louis XVIII kembali dari pengasingan pada 8 Juli didampingi oleh 

300.000 prajurit yang mendirikan perkemahan di jantung ibukota. Para 

prajurit ini tidak disukai oleh Parisian tetapi mereka akan menetap 

selama dua tahun dan berfungsi nyaris sebagai pasukan polisi pribadi 

raja. Mereka menangkapi orang-orang yang dicurigai sebagai ‘kaum 

Merah’ (Jacobin dan juga pendukung Bonaparte) dan melaksanakan 

keadilan raja yang cepat. Memang ada  sebuah pemerintahan 

konstitusional tetapi sering kali diabaikan. Louis berpikir bahwa ia 

telah dikhianati oleh Parisian dan melakukan apa pun yang ia bisa 

untuk membalas dendam. Ia sangat senang saat  bisa menyinggung 

kelas menengah Paris, bahkan bagian yang paling lunak dari kelas 

ini, dengan menegaskan keinginannya untuk memulihkan ketokohan 

para pejabat gereja ke dalam masyarakat dan pemerintahan seperti 

pada masa pra-Revolusi. Sedikit sekali yang berkabung saat  ia wafat 

pada 1824, walaupun penerusnya, Charles X seorang bekas libertine 

yang menjadi pemeluk Katolik fanatik, berjanji untuk menjadi lebih 

malas dan lebih pendendam.

Charles memang melakukan kesalahan besar dengan mencoba 

memulihkan monarki ke posisinya seperti pra-Revolusi. Ia juga keras 

kepala. Pada 1827, elektorat Paris (yang telah dikurangi oleh Charles 

menjadi kelas-kelas pemilik properti) memilih liberal sebagai protes 

atas pemerintahannya yang ultra-konservatif. Jalan-jalan dibarikade 

dan gerombolan-gerombolan kelas pekerja dari bagian timur 

kota berpatroli di jalan-jalan besar Paris tengah dan meneriakkan 

“Matilah pemerintah!” “Matilah Jesuit!” dan “Matilah orang fanatik!” 

Pemberontakan ini dipadamkan. Tetapi, tanpa menghiraukan hawa 

musim panas yang gerah pada Juli 1830 Parisian kembali ke barikade.

Kali ini, provokasi datang secara langsung dari Charles, yang pada 

Juni telah mengeluarkan empat undang-undang inkonstitusional, 

yang termasuk menghapuskan Kamar Deputi (yang menolak untuk 

bekerja sama dengan Charles) dan mengontrol kebebasan pers. 

Kenangan akan tindakan keras pemerintah di bawah Napoleon belum 

lama berlalu. Ketidakpuasan terus membesar sepanjang Juli yang 

berpuncak pada demonstrasi terhadap raja di luar Palais-Royal pada 

26 Juli. Kegelisahan ini diperparah oleh fakta bahwa Charles telah 

meminta Marsekal Marmont, bekas komandan resimen Napoleon 



294

yang tidak populer, untuk mengatur kerumunan massa. Barikade-

barikade didirikan di Paris timur pada tanggal 27. Tembakan-

tembakan dilepaskan. Seorang wanita muda terbunuh dan jenazahnya 

ditempatkan secara simbolis di Place des Victoires sebagai rangsangan 

untuk membalas dendam.

Kemudian terjadilah pertempuran jalanan selama tiga hari—

disebut sebagai les trois glorieuses dalam cerita rakyat revolusi—dengan 

pemberontakan kelas pekerja sekali lagi memimpin dari quartier-

quartier timur Saint-Antoine. Konflik ini berbentuk pertempuran 

berpindah-pindah dengan tentara (banyak dari mereka tidak lama 

kemudian bersimpati dan bersahabat dengan para pekerja) di jalan-

jalan sempit Paris Tua. Jalan-jalan ini sangat sulit dilewati; para tentara 

itu berada pada posisi sangat tidak menguntungkan dan dengan cepat 

kalah dalam konflik.

Di hari selanjutnya, pertempuran menyebar ke arah barat. Tidak 

lama kemudian, para perusuh menyadari mereka telah menguasai 

Paris. Mereka meminum anggur-anggur mahal hingga mabuk berat 

di Tuileries yang baru saja direbut dan menghancurkan istana Uskup 

Agung Paris. Di antara kepanikan dan kebingungan di kalangan 

otoritas kota,6 Charles membuat sebuah upaya keras kepala terakhir 

untuk menyelamatkan dinasti Bourbon dengan mengusulkan cucu-

nya, duc de Bordeaux, sebagai Henri V.

Namun, Paris sedang tidak ingin berkompromi dan membawa 

Charles X menuju pengasingan. Kelas-kelas bawah Paris memberi 

selamat kepada diri sendiri sebab  telah menghabisi monarki yang 

diwariskan untuk selamanya dan oleh sebab  itu menyelesaikan 

proyek Revolusi. Namun, peristiwa-peristiwa selama lima puluh tahun 

berikutnya akan menunjukkan dalam konteks paling kejam bahwa 

kesimpulan ini sepenuhnya tidak benar.


295


28 

Dunia Borjuis Louis-Philippe

Walaupun kerusuhan yang terjadi selama kejadian-kejadian 

trois glorieuses begitu kejam, korban yang jatuh relatif sedikit jika 

dibanding dengan konflik-konflik sebelumnya di kota. Jumlah 

korban jiwa mencapai sekitar 600 orang perusuh dan 150 prajurit. 

Lebih penting lagi, pemberontakan ini tidak mengarah, sebagaimana 

diperkirakan oleh sejumlah komentator, pada restorasi pendukung 

Bonaparte atau republik sepenuhnya. Sebaliknya, ditemukan jalan 

tengah yaitu mengangkat seorang monarki baru yang berasal dari 

keluarga Orléans dan bukan dari keluarga Bourbon yang sekarang 

benar-benar tidak dipercaya lagi (persaingan antara kedua keluarga 

yang bersaing memperebutkan takhta belum benar-benar menghilang 

walaupun terjadi Revolusi).

Charles X kemudian digantikan oleh seorang raja baru, Louis-

Philippe, yang merupakan raja terakhir Prancis dan berasal dari 

keluarga Orléans. Walaupun pada kenyataannya ia telah dinominasikan 

oleh Charles untuk menduduki jabatan tersebut, dalam manuver 

untuk menyelamatkan monarki jika bukan menyelamatkan takhtanya 

sendiri, Louis-Philippe melakukan semua yang bisa ia lakukan selama 

delapan belas tahun berikutnya saat  berkuasa untuk menjauhkan 

dirinya sendiri dari ekses-ekses ultra-konservatif dari pendahulunya. 

Ini yaitu  monarki konstitusional tanpa pakaian kebesaran mistisme 

absolutisme, yang telah ditolak oleh kelompok liberal dan juga 

kelompok ekstremis selama kekuasaan Charles. Untuk melakukannya, 

Louis-Philippe memupuk citra pengusaha kelas-menengah biasa yang 

jujur. Oleh sebab  itu, pemerintahan Louis-Philippe mengumumkan 

era baru yang menyatakan bahwa nilai-nilai individualisme borjuis 

dipandang sebagai bentuk moralitas publik tertinggi.




296

Louis-Philippe memang berprofesi sebagai bankir dan bahkan 

sebagai raja ia sering terlihat berjalan-jalan di taman-taman Tuileries 

mengenakan frock coat dan payung hijau seperti pria terhormat borjuis 

lainnya pada saat itu. Ia pernah bertugas dengan sangat baik dalam 

tentara republik pada dekade 1790-an dan ingin menjauhkan diri dari 

memasangkan Takhta dan pejabat gereja yang telah menjadi ciri khas 

restorasi Bourbon terakhir. Filosofi pemerintahannya didefinisikan 

dalam kata-kata menteri pertama dan kepala penasihatnya, François 

Guizot, seorang Anglophile (pengagum negara, orang, dan ke-

budayaan Inggris—penerj.) dan pelaku politik yang cerdas. Ia 

mengatakan “‘Enrichissez-vous (buatlah dirimu sendiri kaya) dan 

serahkan perpolitikan kepadaku.” Walaupun penampilannya tidak 

acuh, Louis-Philippe tidak memercayai orang-orang yang mengklaim 

mendukungnya dan oleh sebab  itu mempertahankan kekuasaan 

dengan genggaman yang kuat. Otoritas polisi ditambah dan ia 

mengawasi gerakan politik dan suasana hati pers.

Walaupun Louis-Philippe berupaya menjaga ketertiban publik, 

Paris pada masa itu masih merupakan tempat yang kejam. Epidemi 

kolera pada 1832, yang memakan korban jiwa sebanyak beberapa 

ribu jiw, menyediakan penghentian sementara dalam pertempuran 

panjang antara kekuatan ketertiban dengan orang-orang yang disebut 

sebagai ‘kelas-kelas berbahaya’ Paris. Mereka tidak hanya termasuk 

para pekerja yang dibayar terlalu rendah atau menganggur tetapi juga 

pedagang keliling, pemabuk, pengemis, pencuri, dan pelacur: semua 

orang yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan negara borjuis 

ideal menurut Louis-Philippe. Kerusuhan dan pemberontakan tidak 

pernah menjauh serta terlalu sering berpuncak dalam pembantaian 

orang yang kebetulan lewat yang tidak bersalah. Contohnya yang 

terjadi pada 1834 di rue Transnonain saat  dua belas orang pria, 

wanita, dan anak-anak terbunuh dalam sebuah penggerebekan 

terhadap sebuah bangunan yang dicurigai menjadi tempat seorang 

penembak jitu. Insiden ini terkenal dan diabadikan dalam fiksi 

kontemporer karya Flaubert dalam L’Éducation sentimentale di mana 

karakter-karakternya mengingat kembali pemandangan berdarah dan 

bayonet, yang direkam oleh Stendhal dalam Lucine Leuwen dan Victor 

Hugo dalam Les Misérables.


297


Paris juga kotor, penuh sesak dan tak terawat. Lampu penerangan 

jalan sederhana atau tak ada sama sekali. Jalanan quartier Paris di 

malam hari yaitu  tempat yang baik untuk dirampok dan dibunuh. 

Novelis ternama Eugène Sue, penulis terlaris masa itu, menciptakan 

karya-karya sastra murahan melodramatis yang berlatar belakang 

kehidupan kelas bawah Parisian. Karya-karya ini memicu getaran 

bersifat pornografi akan ketakutan dan kesenangan di kalangan 

pembaca borjuisnya. Salah satu karyanya yang paling terkenal yaitu  

Les Mystères de Paris (‘Misteri-misteri kota Paris’), serangkaian kisah 

dari permukiman kumuh yang diterbitkan pada 1842 – 1843. Banyak 

tokoh ciptaan Sue, seperti ‘Rodolphe’, pangeran enigmatis yang kerap 

mengunjungi dunia bawah tanah Paris sambil menyamar, atau La 

Mère Pipelet, pengawas yang menjadi musuh utama di rue du Temple, 

kini telah menjadi kisah rakyat. Buku-buku ini kerap kali dianggap 

remeh oleh para kritikus Kiri sebagai kisah-kisah para kelas pekerja 

yang disensasionalisasikan di mana kaum borjuis pemberani mencari 

kesenangan yang seolah dijalaninya sendiri.

Namun, ada  bukti bahwa substansi catatan Sue tentang Paris 

memang benar, bahkan jika kisah-kisahnya sering kali terlalu banyak 

hiasan dan dilebih-lebihkan. Seorang komentator abad ke-19, Charles 

Louandre, mencatat bahwa “di lingkungan-lingkungan tertentu di 

ibukota, tidak seorang pun meragukan eksistensi” semua karakter 

utama.1 Tentu saja, tidak ada cinta di antara kelas-kelas sosial di Paris. 

Kadang kala, konflik antara orang miskin dengan kekuatan ketertiban 

membuat Parisian merasa bahwa mereka terlibat dalam perang saudara 

tanpa akhir. Alasan untuk melakukan kerusuhan tidak selamanya 

ekonomi. Pada 1813, gereja Saint-Germain-de-l’Auxerrois dikepung 

oleh massa yang marah. Mereka mencoba untuk mengganggu sebuah 

Misa yang dinyatakan untuk duc de Berry dan yang menurut desas-

desus untuk menghormati ‘orang Bourbon Jesuit’. Massa yang sama 

bergerak menuju istana Uskup Agung Paris dan membakarnya hingga 

habis. Bentrokan antara kelompok Republik dan kelompok pendukung 

Bonaparte di jalanan pinggiran kota bagian timur memakan korban 

jiwa sebanyak 800 orang pada 1832.

Menjadi salah satu paradoks dari masa tersebut yaitu  walaupun 

terus terjadi pergolakan politik dan sosial di sana, Paris mampu 



298

menghasilkan para penulis, seniman, dan pemikir yang banyak 

sekali selama periode ini. Hal ini tidak terjadi selama Revolusi saat  

kehidupan sehari-hari bahkan bagi Parisian yang paling terkemuka 

dan termasyhur didominasi oleh tuntutan kelaparan dan ketakutan 

yang selalu ada. Demikian pula, atmosfer Paris di masa Napoleon sama 

sekali tidak kondusif bagi ekspresi dan pemikiran bebas (walaupun 

orang seperti penyair dan penyatir Pierre-Jean de Béranger dari Paris 

menikmati dukungan besar dari rakyat; kebebasannya yang relatif 

ini tidak diragukan lagi sebab  fakta bahwa ia tanpa malu-malu juga 

menjadi ahli propaganda bagi Napoleon).

Dinamika historis baru ini juga terinkarnasi dalam barikade yang 

dibuat Parisian, bahkan substansi dari jalan-jalan itu sendiri. Konon 

pada 1830, ada  4.054 barikade di seluruh kota, yang dibuat 

dari lebih dari 800.000 pavé atau batu trotoar—senjata yang bagus 

untuk dilemparkan kepada tentara atau polisi. Pavé, bersama dengan 

barikade, sekarang akan memasuki sejarah sebagai bagian integral 

dari mitos revolusi di kota yang bertahan lama (baru benar-benar 

dihilangkan sesudah  terjadinya peristiwa Mei 1968 saat  batu-batu 

trotoar di Quartier Latin ditutupi dengan aspal).2 

Victor Hugo terkenal mendeskripsikan pavé sebagai “simbol paling 

sempurna bagi rakyat … engkau dapat menginjaknya hingga ia jatuh 

ke atas kepalamu.” Ini yaitu  rujukan langsung kepada Revolusi Juli. 

Selama revolusi tersebut, seorang pengamat Jerman bernama Friedrich 

von Raumer mencatat, “Lebih sedikit yang jatuh sebab  peluru 

daripada proyektil lainnya. Batu-batu granit besar persegi empat yang 

menutupi jalanan Paris dibawa naik ke lantai-lantai atas rumah dan 

dijatuhkan ke atas kepala para prajurit.”3 Hugo juga memuji kota yang 

memberontak dan menggelegak yang telah menimbulkan rasa takut 

kepada para raja dan tempat ‘lava kejadian-kejadian’ membentuk 

takdir manusia seperti ‘Vesuvius manusia’.4 Dipuji oleh para penyair 

dan ditakuti oleh pemerintah di seluruh dunia, pada 1830, Paris 

sekarang benar-benar terkenal sebagai ibukota revolusi dunia. Parisian 

sendiri mulai memercayai mitos tentang kota. saat  mengenang 

kembali, mereka melihat tradisi kerusuhan dan pemberontakan, sejak 

jacquerie di abad pertengahan hingga masalah Fronde. Kata parisien 

sendiri dalam bahasa Prancis telah lama disamakan dengan ‘pembuat 


299


masalah’, sementara ‘barikade’ berasal dari kata ‘barrique’ yaitu tong-

tong berisi tanah yang digunakan sebagai dinding pertahanan di masa 

Liga pada abad ke-16.5

Jalur Keinginan

Bentuk Paris relatif stabil selama period ini. Pada 1817, populasinya 

telah membengkak menjadi 700.000 jiwa dan akan mencapai satu 

juta jiwa pada 1844. Namun, perencanaan perkotaan begitu ambigu, 

mencerminkan suasana hati pasar dan spekulan dalam iklim politik 

yang bergejolak. Bangunan-bangunan utama baru yang muncul di 

Paris bersifat religius, seperti Caphelle Expiatorie yang dibangun tepat 

di atas lokasi dibunuhnya Louis XVI dan istrinya dan dimaksudkan 

sebagai penebusan dosa bagi pembunuhan terhadap mereka (kelas 

pekerja Paris langsung membencinya sebab  alasan ini), atau memiliki 

fungsi yang sepenuhnya komersial (Bourse, atau ‘Bursa saham’, yang 

telah dimulai pada era Napoleon tetapi juga diselesaikan selama 

periode ini). Namun pada periode ini tidak ada jalan besar, bangunan 

atau bulevar monumental baru yang megah untuk merayakan 

kejayaan orang besar atau takdir Prancis. Oleh sebab nya, sebagian 

besar Parisian yang saat itu sudah begitu lelah dan bangkrut merasa 

lega sebab  tidak ada pembangunan yang mengambil pajak dari 

orang-orang biasa.

Sebaliknya, terjadi hiruk-pikuk spekulasi swasta, yang dimulai 

pada 1820-an untuk mengembangkan lokasi-lokasi yang sebelumnya 

merupakan bagian kota yang diabaikan atau tidak dikenal. Pada 1819, 

sebuah perusahaan induk swasta yang dipimpin oleh La Peyrière 

berniat untuk mengembangkan daerah antara rue La Rochefoucauld, 

rue de la Tour-des-Dames dan rue Saint-Lazare. Niat awa


Related Posts:

  • Paris Perancis 9 nyukai seks anal atau seks oral dan hanya menghemat uang yang mungkin mereka habiskan untuk pelacur. Sebagian darinya juga dipersalahkan pada minum-minum di tempat seperti Cabaret du Chaudron di rue Saint… Read More