Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 8

 


arnya libertine) yaitu  orang cabul yang lembut, seorang 

ateis yang melawan kesetiaan kepada takhayul dengan merangkul 

kesenangan tubuh dan dunia. Pornografi yaitu  representasi sastra 

dari pertarungan ini dan memang tidak terpisahkan dari perjuangan 

lain melawan ketidakrasionalan politik dan filsafat.


231


“Cinta harus Diciptakan Kembali”

Parisian secara individu memihak pada Ovidie. Mereka bahkan 

memiliki kebanggaan chauvinistik terhadap horor bagi kesopanan 

yang mereka lakukan, dan masih mengeluhkan bagaimana kesenangan 

rakyat telah dihancurkan oleh perencanaan kota dalam banyak cara.

Misalnya, apabila kota dibuat semakin ‘modern’ maka kesopanan 

publik mengambil alih. Tanda-tanda awal dan paling mencolok 

yaitu  perubahan nama di jalan-jalan di Les Halles yang dipenuhi 

rumah bordil. Pada 1809, rue Tire-Boudin atau ‘Jalan Penarik Sosis 

(atau penis)’ menjadi rue Marie-Stuart; rue Trousse-Nonain atau 

‘Jalan Biarawati Terjatuh’, yang sudah disamarkan dalam dokumen 

resmi sebagai Tasse-Nonian, menjadi rue Beaubourg; rue de la Pute-

y-Muse atau ‘Jalan Pelacur Pemalas’ menjadi Petit-Muse, sementara 

kumpulan skatologis dari rue Merdeuse, rue Merdelet, rue Chieur, dan 

rue Chiard semuanya menghilang dari peta baru kota rasional dan 

higienis buatan Haussmann. Rue du Petit et du Gros-Cul atau ‘Jalan 

Vagina Besar dan Kecil’, rue Gratte-Cul atau ‘Jalan Vagina Gatal’ (jalan 

ini memiliki sejumlah rumah bordil yang menjadi favorit Casanova 

dan rue du Poil-au-Con atau ‘Jalan Vagina Berambut’ juga menghilang 

pada saat yang sama. Namun, sebagaimana komentar pahit seorang 

pengamat pada masa itu, tempat-tempat yang menginspirasi nama-

nama jalan ini terus menawarkan tradisi demokratis yaitu kebebasan 

memilih bagi para konsumennya.

Jejak-jejak terakhir tradisi ini hampir tidak terlihat di Paris 

tengah. Salah satunya, menurut Ovidie sendiri—Le Beverly, satu-

satunya bioskop porno yang tersisa di tengah Paris—bersiap untuk 

menutup pintunya untuk terakhir kali. Bioskop ini berdiri di ujung 

atas distrik lampu merah rue Saint-Denis, hampir tapi tidak berada 

di dalam daerah Montorgueil Saint-Denis yang dengan cepat menjadi 

kawasan termodernisasi. sesudah  melewati pintu akan terlihat sebuah 

foto penyair Rimbaud dan baitnya yang terkenal ‘Il faut réinveter 

l’amour’ (‘Cinta harus diciptakan kembali’). Sebuah poster yang dibuat 

menggunakan alat tulis berujung beledu menawarkan harga khusus 

untuk pasangan pada malam Kamis. ada  kesedihan lembut di 

sini selain eksebisionisme cabul yang tanpa malu.



232

Sebagian besar bioskop porno gaya lama di Paris tersapu pada 1980. 

Mereka menjadi korban perdagangan video yang sedang populer dan 

kemunculan berkala pornografi vulgar di televisi umum. Le Beverly 

entah bagaimana berhasil bertahan selama dekade 1990-an. Terlihat 

jelas bahwa sebagian besar konsumennya sekarang yaitu  konsumen 

fanatik. Sebagian dari mereka terlihat terlalu tua untuk tertarik lagi 

terhadap seks—mungkin mereka datang hanya untuk mencari 

teman atau sebab  kesetiaan. Konsumen lainnya terlihat seram atau 

malu-malu. Sejumlah kecil imigran dunia ketiga duduk bersandar di 

kursinya sambil merokok.

Le Beverly tidak pernah menjadi tempat terhormat—atmosfer di 

dalam salle de spectacle gelap gulita ini sangat tegang dan bergairah, 

dengan lebih dari sekadar isyarat adanya bahaya fisik yang nyata. 

Namun untuk mengunjungi tempat ini, dalam kejayaannya yang tidak 

terhormat, yaitu  untuk melakukan perjalanan ke masa yang sudah 

berlalu: masa saat  mempertunjukkan seks di ruang publik yaitu  

pelanggaran hukum yang nyata. Hari-hari ini, cukup dengan berjalan 

kaki tidak terlalu jauh dari rue Saint-Denis atau melalui jalan-jalan 

belakang di Pigalle, tempat DVD-DVD porno dijual dengan harga 

sangat murah, akan terungkap bahwa hal sebaliknya memang benar. 

Saya meninggalkan Le Beverly dengan rasa tertarik namun tidak 

yakin atas argumentasi Ovidie bahwa menulis tentang seks atau 

mempertunjukkan seks di bioskop sebenarnya yaitu  pernyataan 

niatan erotis yang disengaja dan tanpa penyesalan yang benar-benar 

subversif. Mungkin hal ini memang benar pada abad ke-18, atau 

bahkan pada dekade 1970-an, tetapi sekarang saya merasa bahwa visi 

penulis Michel Houellebecq—yang dalam salah satu puisinya dengan 

cemerlang mendeskripsikan dengan presisi sangat tinggi bagaimana 

rutinitas mematikan dari masturbasi dan pertunjukan bioskop porno 

sesuai dengan jam kerja pusat kota—yang memang merupakan versi 

akurat tetapi suram dari Paris abad ke-21.8

“Peradaban kita menderita akibat kelelahan vital,” tulis Houellebecq 

di tempat lain:

Pada abad Louis XIV, saat  selera untuk hidup begitu besar, kebudayaan 

resmi memberi penekanan pada penghilangan kesenangan dan badaniah; 

dengan tegas mengulangi bahwa kehidupan duniawi hanya bisa memberi-


233


kan kesenangan tidak sempurna, bahwa satu-satunya sumber kebahagiaan 

yaitu  Tuhan. Diskursus semacam itu … tidak bisa ditoleransi saat ini. Kita 

memerlukan petualangan dan erotisme sebab  kita perlu mendengar diri 

kita sendiri mengulangi bahwa hidup yaitu  menakjubkan dan menarik; 

dan sudah sangat jelas bahwa kita cukup meragukannya.9

saat  saya berjalan menjauh dari Le Beverly, sepertinya teori ini 

menjelaskan bagi saya, meski bukan membenarkan, muka-muka yang 

menjemukan dan menghantui yang anehnya terlihat di wajah para 

gadis yang saya temui di rue du Caire.



234

23

Pemandangan Malam

Paris semakin luas pada abad ke-18 tetapi belum menjadi ruang 

geografis yang terdefinisi dengan baik. Salah satu masalah yang 

dihadapi oleh pemerintah dan polisi yaitu  tidak seorang pun tahu 

dengan pasti di mana kota dimulai dan diakhiri.

Pada awal 1700-an, batas terluar yang ditandai dengan tegas pada 

peta 1674 buatan Jouvin de Rochefort sudah ketinggalan zaman. 

Namun, ada  sejumlah alasan mendesak untuk memastikan bahwa 

batasan-batasan kota tetap utuh atau setidaknya dapat dikenali. Alasan 

pertama yaitu  kebutuhan untuk memastikan bahwa populasi dapat 

diberi makan, diukur dan dikendalikan. Hingga saat itu, monarki 

dan pemerintah kurang-lebih mengabaikan keberadaan petites gens, 

Parisian kebanyakan, dengan memandang mereka hanyalah subjek 

dan umpan peluru potensial.

Namun, penambahan populasi yang sangat besar pada abad ke-

17 dan ke-18 berarti bahwa sekalipun jika raja tidak mencintai atau 

menyukai rakyatnya, ia tidak bisa mengabaikan kesejahteraan mereka. 

ada  pula sejumlah kebutuhan darurat lainnya: kebutuhan untuk 

membatasi jumlah Parisian yang dikecualikan dari pajak; kekhawatiran 

terhadap gerakan pemberontakan potensial seperti Fronde; dan 

kebutuhan militer untuk mengamankan dinding-dinding kota.

Bagaimanapun juga, komitmen politik terhadap pembangunan 

yang dimiliki monarki, para administrator dan para spekulator telah 

membuat kota lebih padat dari masa sebelumnya. Lampu minyak 

menggantikan lilin, jalan-jalan diberi nomor, polisi dan mata-mata 

memonitor kehidupan sehari-hari, sementara jalan-jalan baru—yang 

lurus dan presisi—yang menembus quartier-quartier paling kuno, 

mengubah lanskap urban secara radikal menjadi tempat yang lebih 



235


baik bagi pertukaran, lalu lintas dan perdagangan. Ekspansi ekonomi 

berarti bahwa kota dipenuhi oleh para migran dari pedesaan. Orang-

orang ini secara fisik berbeda dengan Parisian asli. Mereka lebih kurus, 

kulitnya terbakar sinar matahari, sering kali mengalami deformasi 

bentuk tubuh sebab  terus bekerja berat dan biasanya pakaiannya 

compang-camping. Sebaliknya, Parisian berkulit pucat dan sering kali 

berminyak—mereka menghindari sinar matahari, yang lagi pula sulit 

menembus jalan-jalan sempit dan tentu saja tidak masuk ke rumah 

bordil atau kedai minum. Mereka memandang remeh para imigran 

berkulit gelap ini sebagai orang primitif, bodoh, dan oportunis. Tapi 

Parisian juga takut terhadap orang desa. Tidak seperti para pengunjung 

eksotis dari Timur atau Dunia Baru, para imigran ini dapat dikenali 

sebagai orang Prancis dan oleh sebab  itu memiliki tempat dalam 

struktur kelas kaku di kota yang telah ditentukan dengan ketat.

Para pendatang baru ke Paris mendapati kota yang memiliki 

hierarki yang kompleks dan tersembunyi. Sebagian besar dari 

mereka tertegun melihat begitu banyaknya barang konsumsi yang 

ditawarkan serta suara dan energi dari pasar dan kedai minum. Hal 

yang tidak terlalu penting bagi kehidupan sehari-hari para imigran 

dan penduduk asli yang miskin yaitu  arsitektur yang mewah—

bangunan-bangunan baru La Monnaie (‘Uang Koin’), Panthéon, 

École de Droit (‘Sekolah Hukum’) dan teater-teater baru. Walaupun 

demikian, perkembangan yang sangat cepat dan dramatis ini terhadap 

lanskap kota mengumumkan visi yang jelas dan kuat bagi tatanan 

sosial baru untuk abad mendatang.

Dalam bukunya Le Tableau de Paris, penulis Louis-Sébastien 

Mercier mendeskripsikan kota kosmopolitan baru yang bahkan 

eksotis sebagai ‘Kuil Harmoni’. Penulis sangat senang sebab  inilah 

tempat di mana berbagai momen berbeda dalam sejarah bertemu dan 

kadang kala bertumpang tindih.

Seorang pria di Paris, yang tahu bagaimana cara berpikir sejenak, tidak 

perlu pergi melewati dinding kota untuk mengenal orang-orang dari 

iklim-iklim lain; ia bisa sangat mengenal seluruh spesies manusia dengan 

mempelajari para individu yang berkerumun di ibukota hebat ini. Anda 

dapat menemukan orang Asia yang sepanjang hari duduk di atas bantal 

berhias payet, dan orang Lapp yang tinggal di gubuk sempit, orang Jepang 



236

yang akan saling menyobek perut saat  terjadi perselisihan walaupun 

kecil, orang Eskimo yang tidak mengetahui pada era apa mereka hidup, 

orang negro yang tidak berkulit hitam, dan orang Quaker yang membawa 

pedang. Dapat ditemukan pula adat istiadat, kebiasaan dan karakteristik 

orang-orang dari tempat paling jauh; alkimia yang memuja api, orang 

Arab pengembara yang berkeliaran di perbentengan kota, sementara orang 

Hottentot dan orang India bermalasan di butik, jalan, dan kafe. Inilah 

tempat Anda dapat menemukan orang Persia baik hati yang memberikan 

obat kepada orang miskin, dan pada lantai yang sama penagih utang 

yang kanibal. Para Brahman dan para Fakir tidak lebih sedikit dari orang 

Greenland yang tidak memiliki kuil atau altar. Babilonia yang kuno dan 

menggairahkan kembali diciptakan di sini setiap malam di sebuah kuil 

yang didedikasikan untuk keharmonisan.1

Ketepatan geografis tidak terlalu penting bagi Mercier. Sebagaimana 

akan kita lihat, ia memulai kariernya sebagai dramawan dan 

deskripsinya terhadap kota terutama dipengaruhi oleh kemampuannya 

untuk membuat panggung dan menggerakkan karakter-karakter di 

atasnya. Ia juga sangat memercayai reformasi. Sebagian dari niatnya 

dalam menulis karya ini yaitu  untuk menggerakkan orang-orang 

biasa ke panggung utama dan menunjukkan kesenjangan antara 

kemiskinan dan kekayaan di kota.

Tetapi, sangat signifikan bagi Mercier bahwa, sebagaimana 

ditunjukkan oleh ekstrak di atas, Paris menawarkan panggung bagi 

semua pendatang dari semua penjuru dunia—orang Eskimo dan 

orang Jepang hanya menambahkan warna dan kehidupan bagi ‘teater’ 

jalanan. Ia dengan cepat terkesima oleh penjabaran aneh yang bisa 

ditemukan para pengelana secara acak di jalan-jalan kota: orang Quaker 

yang cinta damai tetapi membawa pedang dan orang kulit hitam tetapi 

berkulit pucat dan berwarna terang (kemungkinan albino). Terutama, 

ia menyukai kehadiran ‘orang Oriental’, dari Timur Tengah atau Afrika 

Utara, di bekas ibukota dunia Kristen yang sekarang menjadi ibukota 

Pencerahan dan Logika.

Hubungan Parisian dengan dunia Islam kemudian akan mengalami 

banyak tahapan sulit, dari penaklukan Aljazair pada 1830 hingga 

gelombang pengeboman yang terinspirasi Islam yang membuat kota 

sangat ketakutan pada 1980-an dan 1990-an. Tetapi pada abad ke-18, 


237


Parisian menyambut orang Oriental yang datang untuk berbisnis. Peta 

Arab tentang Paris (sering kali lebih tepat daripada peta buatan Prancis) 

dicetak dalam huruf Arab dan didistribusikan di Baghdad, Damaskus, 

dan Kairo setidaknya sejak 1750-an. Penerjemahan Kisah Seribu 

Satu Malam oleh Antoine Galland pada 1704 telah menggerakkan 

kepopuleran Orientalis yang semakin cepat sepanjang abad tersebut. 

Para pelancong Arab ke Paris menemukan diri mereka menjadi objek 

keingintahuan dan keramahan. Parisian menyebut para pengunjung 

ini sebagai orang Turki, Moor, Berber, Kabyle, dan Maronite. Kata-

kata seperti bicot (‘kambing muda’ atau ‘orang Arab kotor’)—belum 

diciptakan. Dalam dunia Islam, Paris menarik para intelektual muda 

yang datang ke kotanya Voltaire, Diderot, dan Rousseau. Kehadiran 

mereka menunjukkan bahwa Paris tidak hanya mendominasi Eropa 

tetapi juga dunia.

“Angin Puyuh yang Cepat dan Berisik”

Namun, perubahan besar yang sedang terjadi di lanskap urban Paris 

selama abad ke-18—bangunan-bangunan neo-klasik, jalan-jalan raya, 

jembatan-jembatan dan jalan-jalan—bukanlah perkembangan baru. 

Sebaliknya, ini yaitu  perluasan cita-cita sipil dari abad sebelumnya—

keteraturan dan perdagangan—ke dalam abad baru perkembangan 

teknologi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Karya-karya 

besar pada periode ini terutama ditujukan untuk mengorganisasi 

kota. Lebih sedikit gereja yang dibangun sebab  energi dialihkan 

ke institusi-institusi sipil dan militer di Tepi Kiri. Pada awal abad 

ke-17, masih mungkin untuk melihat sisa-sisa dinding Philippe-

Auguste di selatan Saint-Germain-des-Prés. Dinding ini tidak lama 

kemudian dihancurkan saat  kota meluas melewati batas-batasnya 

di Carrefour de l’Odéon dan rue des Fossés-Saint-Bernard. Parisian 

periode ini tidak tertarik pada masa lalu dan para pengunjung ke 

kota yang mencari pemandangan atau ‘keunikan’ diarahkan ke 

pabrik-pabrik penyamakan kulit yang sangat fungsional di Gobelins 

atau Observatoire.2 Di Tepi Kanan, kaum kaya dan berkuasa terus 

berinvestasi dalam rumah-rumah besar pribadi di Marais, yang 

membuat pembangunan semakin ke arah barat.



238

Kontradiksi dan ketidaksetaraan dari abad sebelumnya semakin 

mendalam: Tidak satu pun Parisian kebanyakan yang tak melihatnya 

sehari-hari saat  monarki terus melakukan tugas mengubah ibukota 

menjadi ibukota monumental yang megah sementara, di jalan-jalan 

yang jauh dari tempat tinggal raja, kemelaratan terjadi di mana-mana 

dan di semua tingkatan sosial.

Fakta inilah yang menjadi alasan mengapa Mercier telah me-

nugaskan dirinya sendiri untuk menangkap kompleksitas Paris dalam 

Le Tableau de Paris, sebuah karya panjang yang disusun antara 1782 

dan 1788. Mercier memulai kariernya sebagai dramawan dan jurnalis. 

Ia menyindir pemerintah yang sedang menjabat dan memberikan 

kritikan keras terhadap perang dan kehidupan militer—subjek karya 

awalnya yaitu Jeunesse (‘Pemuda’, 1789). Walaupun Mercier menikmati 

karier akademis yang relatif baik (ia yaitu  profesor retorika di Collège 

de Bordeaux dan kemudian menjadi kepala sejarah di École Centrale 

di Paris), ia mengidentifikasikan diri sebagai Parisian kebanyakan 

melawan kelas penguasa. Ia menyerang cita-cita klasik era tersebut 

dan kesusastraan klasik (menyebut Racine dan Boileau sebagai 

‘pembawa wabah sastra’).3 sebab  selalu berseberangan dengan semua 

pemerintah dan pihak berwenang, ia menganggap dirinya sendiri 

sebagai nabi revolusi sebenarnya.

Namun ia tidak terlalu dianggap oleh banyak rekan se-zamannya 

yang menganggapnya berpikiran dangkal dan sentimentil. Tetapi, 

Mercier memiliki mata yang tajam untuk melihat detail dan stamina 

untuk menyamai ambisi sastranya. Le Tableau de Paris yaitu  karya 

yang sangat menarik, topiknya sama beragamnya dengan perpolitikan 

Paris pembuat kebijakan tingkat tinggi. Isi karya ini misalnya di mana 

tempat membeli pakaian terbaik (dan termurah) untuk pria dan wanita, 

tempat untuk menguping percakapan terbaik, pembuangan jenazah, 

seni mencopet (dan mengapa para pencopet Paris menunjukkan 

keahlian dan tipu daya lebih baik daripada pencopet London), udara 

kota yang berbau busuk, kemiskinan Faubourg Saint-Marcel, penjual 

air, mata-mata, penjara, pencuri jenazah dan ahli anatomi yang 

membiayainya, pedagang kaki lima dan tukang obat, tempat terbaik 

untuk berjalan, kembang api, filles publiques, polisi (kejam, malas, 

takut dan korup), tembakau, pengemis, rumah sakit, kehidupan erotis 


239


massa di opera serta waktu dan tempat terbaik untuk menanam jamur.

Salah satu pemahaman paling terperinci ke dalam kain Paris yang 

rumit diberikan oleh penjelasan Mercier terhadap kehidupan sehari-

hari di kota. Ia mendeskripsikan Paris sebagai “angin puyuh yang 

sangat cepat dan berisik,” yang dimulai pada pukul tujuh setiap pagi 

dengan para kusir kereta, pekebun, dan penjaga toko yang menyiapkan 

toko mereka. Pada pukul sembilan, jalanan kota dipenuhi oleh kereta-

kereta kuda yang membawa para pengacara dan pegawai negeri ke 

kantor-kantor mereka, para wanita terhormat yang sedang dalam 

perjalanan untuk saling mengunjungi, dan semua urusan kehidupan 

perniagaan baik tinggi maupun rendah. Pergerakan mereda sekitar 

pukul tiga saat  kelas pemilik uang mulai menikmati hidangan. 

Pukul lima yaitu  jam untuk berjalan-jalan di taman-taman kota yang 

baru dan indah. Paris kemudian menjadi tenang pada saat matahari 

terbenam, yaitu jam paling berbahaya menurut Mercier, saat  para 

pencuri dan pembegal bersembunyi menunggu di jalan-jalan kecil 

yang gelap. Ini yaitu  waktu saat  semua warga Paris yang baik pergi 

tidur, kecuali mereka yang memiliki uang dan waktu untuk mengejar 

kenikmatan mereka hingga malam.4

Opera yaitu  fokus utama aktivitas ini. Jalan-jalan di sekitar teater 

dipenuhi oleh pelacur, yang dikenal sebagai vulvivague (kata ini berarti 

vagina keliling), yang mengejar orang-orang yang kemungkinan 

bisa menjadi konsumen dengan permohonan dan makian. Mercier 

mengomentari bahwa kejadian pemerkosaan sekarang hampir tidak 

dikenal di Paris dan menjelaskan bahwa hal ini terjadi sebab  relatif 

murahnya seks komersial. Mercier berpihak pada orang miskin dan 

orang yang terampas haknya, dan mereka termasuk para pelacur. Ia 

juga menekankan sisi keramahan kehidupan kota, menulis dengan 

rasa kagum tentang para petani yang berjalan dengan susah payah 

menuju kota di pagi buta, membawa buah, roti, sayur-mayur, dan 

daging dari provinsi-provinsi terjauh bagi penduduk Paris yang 

selalu lapar. Ia mengagumi betapa kerasnya mereka bekerja, betapa 

banyaknya mereka minum dan ketidaksukaan mereka terhadap 

dandanan para pria kota pesolek yang kaya. Di kalangan Parisian, 

Mercier menghargai para pekerja biasa dan keluarganya; mereka 

yang menjaga kota tetap hidup melalui kerja keras dan semangat. Ia 



240

mencatat tipu daya dan daya tarik seksual Parisian asli yang, saat  

terangsang oleh suara dan gemerencing kereta-kereta kuda orang kaya 

yang meninggalkan teater, membangunkan istrinya untuk bercinta 

secara santai dan nikmat, dan—Jika Tuhan mengizinkan!—mungkin 

mendapatkan Parisian kecil baru.5

Penonton Nokturnal

Sebagai pembanding bagi kesungguhan Mercier, semangat reformis 

ditemukan dalam tulisan-tulisan Restif de la Bretonne yang hidup 

sezaman dengan Mercier. Ia yaitu  putra seorang petani, seorang 

novelis, pencetak, kadang kala menjadi mata-mata dan memiliki nafsu 

seksual yang sangat tinggi. Mercier mengungkapkan kekagumannya 

terhadap Restif, tetapi berhati-hati untuk menjauhkan dirinya dari 

laporan Restif yang tanpa ampun tentang dunia bawah tanah Paris. Ia 

mencatat bahwa kehidupan di kota yaitu  gerakan antara cahaya dan 

gelap dan yaitu  salah untuk menempatkan penekanan berlebihan 

kepada salah satu kondisi ini.

Restif bekerja tak kenal lelah dan tanpa henti membuat novel dan 

drama. Saat ia meninggal dunia pada 1806, ia telah menyelesaikan 

dan menerbitkan 250 buku. Ia senang menganggap dirinya sendiri 

sebagai seorang moralis dan karya-karyanya yang paling terkenal—Le 

Paysan perverti (‘Petani yang menjadi Rusak’, 1775) dan La Paysanne 

pervertie (‘Wanita Desa yang menjadi Rusak’, 1776)—yaitu  kisah-

kisah suram tentang orang-orang desa yang sehat yang menjadi sakit 

sebab  tingkah laku Parisian yang jahat. Masalahnya yaitu  Restif 

sendiri jelas sekali mencintai sisi gelap kota sehingga kisah-kisah 

mendidiknya secara menyedihkan gagal meyakinkan pembaca akan 

kejahatan kehidupan Paris. Seperti juga kisah-kisah fabel filosofis 

karya marquis de Sade (ia sendiri merupakan penggemar berat Restif), 

pembaca kisah-kisah Restif biasanya cukup senang saat  seluruh 

orang desa (yang mengganggu) menjadi mabuk dan kewalahan sebab  

aroma mengasyikkan dari seksualitas dan kejahatan. (Restif sendiri, 

saat  kesempatan muncul, secara hipokrit mencela de Sade—“jika 

ia dibaca oleh para prajurit maka ia akan menyebabkan matinya 

20.000 wanita”—sambil menyatakan dalam romansanya Monsieur 


241


Nicolas bahwa pahlawan Revolusioner Jacobin bernama Danton telah 

menggunakan novel Justine karangan marquis sebagai alat bantu 

untuk masturbasi).6

Restif mungkin seorang hipokrit tetapi ia juga merupakan peng-

amat kehidupan malam kota yang tajam dan cerdas. Ia menyebut 

dirinya sendiri ‘burung hantu’ atau ‘penonton nokturnal’ dan 

berangkat mengeksplorasi Paris di malam hari dalam semangat 

ilmiah, ketertarikan terhadap seks dan kegembiraan erotis yang 

nyaris tak tersembunyi. Untuk semakin menyembunyikan dirinya, 

ia mengenakan ‘jubah biru yang sudah tua dan topi beledu lebar’ 

dan menyombongkan diri bahwa ia tidak harus membeli baju baru 

apa pun antara 1773 dan 1796.7 Pakaian gelap yaitu  kostum yang 

biasanya digunakan oleh kelas bawah. Pakaian semacam itu segera 

mengirimkan sinyal bahaya kepada anggota masyarakat pemilik uang, 

tetapi memungkinkan Restif untuk pergi ke mana pun yang ia mau 

sejak tengah malam hingga fajar di kota yang menjadi gelap.

Ia mendokumentasikan petualangan-petualangannya dalam se-

rangkaian cerita yang diberinya judul Les Nuits de Paris (‘Malam-

Malam Paris’) yang diterbitkan pada 1788. Karya-karya ini berutang 

besar pada genre sastra poissard yang sangat populer pada abad ke-18 

(poissard yaitu  kata abad ke-16 untuk ‘pencuri’ atau ‘pelayan laki-

laki’: novel-novel itu sendiri dipenuhi dengan warna dan bahasa slang 

kehidupan kelas bawah). Restif yaitu  orang yang melodramatis, 

terobsesi pada diri sendiri dan cenderung mengeluarkan pernyataan 

yang berlebihan dan berbicara tentang moral. Ia menganggap dirinya 

sebagai jagoan rakyat: “Dari semua sastrawan kita, saya mungkin satu-

satunya yang mengenal kelas-kelas rakyat; dengan berbaur bersama 

mereka, saya ingin melukis mereka, saya ingin menjadi penjaga 

tatanan yang baik. Saya telah berbaur dengan tatanan-tatanan lebih 

rendah agar dapat mengamati semua pelecehan.”8 Tentu saja, ini 

yaitu  pernyataan yang menggelikan: Les Nuits de Paris hampir sama 

dibuat-buat dan diaturnya seperti Tableau de Paris karya Mercier. 

Namun, jika Restif tidak benar-benar mengklaim untuk berbicara bagi 

kelas-kelas bawah, yang merupakan keinginan utamanya, setidaknya 

ia yaitu  penulis yang menarik walaupun tidak selalu menjadi saksi 

yang dapat dipercaya.



242

Kafe-kafe favorit penonton noktural yaitu  Café Procope atau 

Manoury’s di rue de la Montagne-Sainte-Geneviève, tempat ia pergi 

untuk menonton permainan dam, Café Aubrey di rue Saint-Jacques, atau 

Régence, tempat ia secara berkala mengamati Jean-Jacques Rousseau 

yang asyik bermain catur yang tidak mungkin dengan temannya yang 

tukang bernama Ménétra. Ini yaitu  tempat-tempat relatif teratur 

di mana Restif pergi untuk menguping percakapan, membaca surat 

kabar dan umumnya merasakan denyut kehidupan politik dan sastra 

kota. Ia kadang kala menemukan mata-mata yang sedang melakukan 

hal yang sama seperti dirinya sendiri tetapi mengabaikannya sebab  

menurutnya itu yaitu  kejahatan yang diperlukan di sebuah kota 

tempat kebencian pihak berwenang begitu jelas dan terbukti sedang 

bangkit.

Restif terpesona oleh praktik kemalasan baru yang terus bertahan 

dan yang menjadi populer di kalangan kelas atas dan sepertinya 

dipromosikan oleh kafe-kafe ini. Para pekerja tidak mampu untuk 

tetap bermalas-malasan, tetapi hidup dari hari ke hari dan melakukan 

kenikmatan seksual, alkohol dan makanan mereka dengan intensitas 

tinggi. Puisi karya seorang poissard anonim tahun 1773 yaitu  

pembangkitan kesenangan ini, yang mendeskripsikan selera Parisian 

miskin terhadap kesenangan sensual yang tidak ada artinya:

Dari setiap quartier kota,

Di hari Minggu dan hari libur, terjadi prosesi

Orang-orang sopan dari segala pekerjaan,

Tukang sepatu, penjahit, pembuat wig,

Wanita penjual ikan dan wanita penambal,

Pengupas sayuran dan wanita pencuci pakaian,

Gadis pelayan, pelayan laki-laki dan penyikat,

Pesolek dari pelabuhan atau portir,

Dan di sana-sini para prajurit

Dan pelacurnya

Yang tidak takut kepada Setan

Meninggalkan khotbah

Dan berlari ke taman-taman rekreasi

Tempat anggur murah diminum.9


243


Restif merasa bingung dan tertarik oleh aktivitas-aktivitas sehari-

hari dan mudah seperti itu. Agar dapat menjelaskannya, ia berlama-

lama di tempat-tempat dalam di kota—kedai minum, kabaret, 

rumah judi dan rumah bordil—tempat ia menjadi figur yang akrab, 

menguntit tepi-tepi setiap kejadian dalam bayangan, menonton, 

mendengarkan. “Aku benci pemabuk dan penjudi,” keluhnya.10 Tapi 

hal ini tidak menghentikannya untuk menghabiskan banyak malam 

bersama mereka.

Orang-orang meminum minuman keras sepanjang hari. Hari 

dimulai—sebagaimana masih dilakukan di sebagian tempat di Paris—

dengan anggur putih yang dingin dan jernih. Sekitar jam sembilan 

pagi yaitu  waktu bagi para tukang, pedagang dan pembantu mereka 

untuk meminum dari botol di kedai minum, sering kali kerang dibawa 

oleh penjual kerang keliling ke pintu. Mereka datang bergelombang 

sepanjang hari, menyimpan perkakas untuk meminum sebotol 

minuman keras sebagai obat bagi rasa lelah sebelum kembali bekerja. 

Polisi tidak terlalu mengkhawatirkan mabuk harian dibanding dengan 

minum secara sistematis selama seminggu dan mengarah pada 

kegilaan, bunuh diri, dan keluarga terabaikan.

Kekerasan tidak pernah jauh dari tempat-tempat ini. Dengan 

ketepatan yang dengan mudah mengejutkan, Mercier telah mencatat 

bahwa pertengkaran mematikan yang merupakan fitur umum ke-

hidupan kedai minum didahului oleh serangkaian kata penghinaan 

ritual: ‘perempuan jalang’, ‘penyodomi’, ‘informan’, ‘pelacur tua’, 

dan ‘anjing’ yaitu  hal biasa. Pada titik ini, pemilik kedai biasanya 

mengintervensi untuk membela kehormatan kedainya. Inilah saat 

saat  pisau dan belati dicabut dan tempat tersebut berubah menjadi 

arena pertarungan bebas.11

Restif melaporkan kesemua ini dengan apa yang diharapnya 

yaitu  mata dingin seorang ilmuwan. Dorongan pertamanya dalam 

menyusun Les Nuits de Paris yaitu  Utopia: Seperti Mercier, di bawah 

pengaruh nilai-nilai Pencerahan, ia percaya bahwa dunia kota yang 

kacau hanya bisa dibuat teratur melalui perencanaan rasional demi 

kebaikan publik. Tujuan yang dinyatakannya dalam bukunya yaitu  

membuka sisi gelap kota sehingga secara harfiah sisi gelap tersebut 

bisa digerakkan ke arah cahaya. Banyak dari rekomendasinya masuk 



244

akal. Contoh sarannya yaitu  menanam pohon-pohon buah hingga 

membatasi lalu lintas dan melarang penjualan anggur jelek.

Pada awalnya, Restif merencanakan bahwa Les Nuits de Paris 

akan terdiri atas naskah yang mencakup 366 malam—365 untuk 

mencakup satu tahun penuh ditambah satu hari ekstra untuk 

menandai dimulainya siklus tahunan yang baru. Kedatangan Revolusi 

memaksa Restif untuk menambahkan empat belas bagian lainnya 

untuk mendokumentasikan kota pada 1790, namun ketelitian dengan 

angka memang penting. Gérard de Nerval, seorang penyair yang 

berkeliling kota dalam kelinglungan halusinatif sekitar lima puluh 

tahun kemudian, sebab  alasan ini mendeskripsikan Restif sebagai 

“salah satu Komunis pertama,” bertekad untuk memperbaiki dunia 

dengan matematika.12 Namun hiruk-pikuk legislatif Restif juga bersifat 

obsesif; kebutuhan kompulsifnya untuk mengklasifikasikan dan 

mengodekan pengalamannya tidak sesuai dengan selera rahasianya 

akan minuman keras, seks, dan kejahatan. Setiap sore, pada waktu 

tertentu, ia mulai berjalan-jalan keliling kota dari ujung timur Île 

Saint-Louis, turun ke dalam miasma kehidupan kota yang seperti 

neraka dengan mengharapkan datangnya pencerahan.” Inilah cara 

saya memulai malam-malam indah di musim panas,” tulisnya, “dalam 

meditasi berjalan, dengan visi-visi Paris, menunggu fajar datang.”13

Kota dalam Bayangan

Paris yang sekarang menjadi kekuatan budaya dominan di Eropa 

dan juga sumber energi perekonomian—sebagaimana diamati oleh 

Mercier dan Restif—yaitu  tempat yang dinamis dan bergejolak, 

penuh dengan kontradiksi sosial dan finansial dan meluap oleh ide-

ide politik yang dengan cepat berubah menjadi ketidakpuasan politik. 

Namun, bencana besar yang akan menghancurkan monarki bukannya 

tidak bisa dihindarkan.

Alasan utama bagi argumentasi ini yaitu  setidaknya hingga 

1780-an, Paris masih merupakan kota yang stabil dan tertata di mana 

mereka yang mengajukan petisi paling keras atas perubahan—para 

jurnalis, philosophe, penulis, seniman, dan libertin—memiliki gagasan 


245


jelas tentang batas-batas tertentu bagi ambisi mereka. Krisis yang 

membayangi, yang bagi banyak Parisian datang sebagai kejutan dan 

guncangan, sebenarnya yaitu  kegagalan pemerintah pada tingkatan 

tertinggi. Tanggung jawab terletak pada Louis XV. saat  wafat pada 

1774, ia telah membuang niat baik apa pun yang ia warisi dari rezim 

sebelumnya sebab  campuran ketidakmampuan finansial, pemborosan 

dan arogansi serta kebijakan luar negeri yang menimbulkan bencana 

yang telah berpuncak pada kekalahan-kekalahan tidak berarti dan 

memalukan dalam perang.

Penerusnya, Louis XVI, yaitu  orang tanpa kemampuan. 

Ambisi utamanya yang cukup menyedihkan yaitu , sebagaimana 

dikatakannya sendiri, ‘untuk dicintai’. Istrinya si orang Austria yang 

bodoh, Marie-Antoinette, terus berbicara dengan kegembiraan tak 

berguna saat  mereka menaiki takhta. Louis XVI sendiri tidak luput 

dari kebodohan. “Kami begitu muda!” katanya kepada sekumpulan 

penasihat yang kebingungan saat  ia mengukuhkan dirinya sendiri 

di istana.14 Memang benar bahwa ia baru berusia dua puluh tahun, 

tidak terdidik dengan baik, kecerdasannya rendah dan sedikit sekali 

mengetahui tuntutan jabatannya.

Keputusan besar pertama bagi raja baru yaitu  apakah akan 

menerima atau menolak rencana yang disebut rencana Turgot. Turgot 

yang merupakan menteri angkatan laut yaitu  pengawas-jenderal 

Louis. Sebagai seorang pragmatis yang realistis dan teguh pada 

pendirian dengan kepekaan politik yang tajam, dialah satu-satunya 

penasihat raja yang memahami bahwa diskursus politik pada dekade 

1760-an dan 1770-an sudah bergeser. Misalnya, ia menyarankan raja 

agar tidak mengadakan upacara penobatan yang berlebihan dan kuno 

pada 1775. Sarannya ini malah membuat marah orang Protestan dan 

philosophe, serta mengasingkan dirinya dari Parisian kebanyakan. 

Turgot berjanji kepada diri sendiri untuk “tidak bangkrut, tidak ada 

peningkatan pajak, tidak ada pinjaman tambahan.” Ia membuat sebuah 

rencana untuk menyelamatkan Prancis, menghapuskan kerja paksa 

sebagai alternatif pemajakan dan secara bersamaan menghapuskan 

keistimewaan serikat-serikat dagang abad pertengahan. Ia meng-

anjurkan peredaran gandum secara bebas, melakukan praktik 

akuntansi yang ketat, anggaran dan kontrol ketat terhadap keuangan 



246

kerajaan. Namun, rencana Turgot digagalkan oleh istana yang 

mengabdikan diri untuk mempertahankan kontrolnya sendiri yang 

keras kepala terhadap Prancis dan takdirnya. “Turgot ingin mengelola 

Prancis seperti sebuah perkebunan budak,” cibir salah seorang pejabat 

kerajaan.15 Raja bersimpati kepada Turgot tetapi akhirnya tunduk 

pada para penasihat lainnya.

Louis XVI semakin membuat Parisian marah dengan mendirikan 

sebuah penghalang pajak baru pada 1784 yaitu dinding Petani-

Jenderal. Tujuan awal yang dinyatakan yaitu  untuk menghentikan 

penyelundupan, menambah pemasukan dan memperkuat batas-

batas kota yang telah coba dibatasi oleh Louis XV melalui dekritnya 

yang membatasi ukuran Paris pada 1724. Petani-Jenderal yaitu  

para pejabat swasta yang memiliki hak untuk menetapkan dan 

mengumpulkan pajak-pajak tidak langsung. Dapat dipahami bahwa 

Parisian sangat membenci mereka yaitu para anggota organisasi yang 

sewenang-wenang dan rakus yang hanya tunduk kepada diri sendiri. 

Sekarang, penghalang tersebut memaksa Parisian untuk membayar 

pajak di daerah-daerah yang sebelumnya dikecualikan dari pajak. 

Lebih buruk lagi, konstruksinya mahal dan dinding itu sendiri 

terlalu besar dan kejam. Beredar desas-desus bahwa dinding tersebut 

menyebabkan penyakit, melindungi para bandit dan mendorong 

kejahatan. Singkatnya, dinding tersebut mewakili semua yang buruk 

tentang monarki.

***

Selama dua abad sebelumnya, Paris telah berkembang dengan 

kecepatan sangat tinggi. Pada 1750-an, energi dan optimisme yang 

membawa populasi dan pemerintah melalui grand sièle telah lama 

menghilang menjadi sinisme dan rasa bahwa entah bagaimana 

Parisian kebanyakan telah ditipu untuk memberikan dukungan 

kepada pemerintah. Inilah argumentasi-argumentasi yang beredar di 

kota dalam bentuk pamflet, perdebatan, lelucon, dan anekdot. Banyak 

orang yang hidup dengan baik, kemungkinan lebih baik dari siapa 

pun yang pernah tinggal di Paris sebelumnya. Populasi Paris sekarang 

mencapai 600.000 orang dan sebagian besar dari mereka tinggal di 


247


rumah yang nyaman. Orang kaya tinggal di rumah-rumah besar 

pribadi yang dirancang oleh para arsitek dalam gaya neo-klasik atau 

baroque. Parisian kelas menengah umumnya tinggal di rumah sewa 

dalam bangunan-bangunan setinggi enam atau tujuh lantai. Semua 

bangunan ini dibuat dari batu dan memiliki perapian. Semua orang 

yang bukan pekerja, petani atau gelandangan tidur di atas tempat 

tidurnya sendiri.

Meningkatnya kekayaan kota tentu saja hanya memperdalam 

jurang antara orang kaya dan orang miskin yang lebih banyak 

jumlahnya. Pemandangan di jalanan Paris, saat  dinding Petani-

Jenderal dibangun, yaitu  raja sedang tertawa di muka kemiskinan 

dan kesulitan hidup yang bertambah. Kekecewaan ini sangat terlihat 

di kedai minum, kabaret, kelab malam dan rumah makan di dermaga 

seperti didokumentasikan oleh Mercier dan Restif. Kelakuan, bahasa 

dan gaya tempat-tempat seperti ini, yaitu tempat selebaran dan pamflet 

antipemerintah disusun dan disebarkan, sangat berlawanan dengan 

Paris Tercerahkan seperti di café dan salon. Tetapi, di dalam kelas 

terbawah masyarakat, yang disebut ‘kelas-kelas berbahaya’, kebencian 

yang akan menjadi pemberontakan benar-benar menggelegak. 

Kemarahan inilah yang akan segera meledak menjadi kekerasan yang 

begitu berdarah atas nama keadilan revolusioner.



248

24 

Dari Pemberontakan menjadi Revolusi

Pada dekade 1750-an, distrik-distrik bisnis terbesar dan tersibuk 

di Paris tidak lagi ditemukan di pusat historisnya di sekitar Île de la 

Cité, universitas dan Marais. Distrik-distrik ini dapat ditemukan di 

sebelah timur sumbu tengah di kedua sisi sungai, yang membentang 

ke pinggiran kota sedikit melewati tempat yang sekarang yaitu  Place 

de la Nation.

Ini yaitu  hasil perkembangan terus-menerus sejak awal 1700-an. 

Populasi kota tumbuh di sekitar sumbu industri dan perdagangan. 

Daerah terpenting sekarang yaitu  Faubourg Saint-Marcel di Tepi 

Kiri, yaitu tempat penyamakan kulit yang kotor dan air sungai Bièvre 

yang terpolusi, dan Faubourg Saint-Antoine di Tepi Kanan yang 

terutama dihuni oleh para tukang kayu, pembuat lemari, tukang batu, 

pegawai percetakan, traiteurs-aubergiste, tukang daging, penjagal kuda, 

pedagang pasar, dan berbagai macam pekerjaan kecil lainnya. Tempat 

ini tidak kaya tetapi juga tidak miskin—walaupun juga memiliki 

populasi yang sekarang disebut la canaille, sepasukan mucikari dan 

pelacur kelas bawah. Namun, ini yaitu  bengkel kerja yang sibuk dan 

penuh—sebuah tempat yang jarang sekali didatangi orang kaya.

Tidak mengherankan jika saat  Paris terserang wabah penyakit 

dan kelaparan, yang masih sering terjadi di abad ke-18, distrik ini 

yaitu  tempat yang paling merasakan dampaknya. Penduduk distrik 

ini selalu menyalahkan orang kaya. Terutama, penduduk di sini 

melihat orang kaya bukan hanya sebagai parasit tetapi sebagai orang 

dari luar kota, tempat yang memang menjadi milik mereka yang hidup 

dan bekerja di dalam batas-batasnya. Jarak antara orang kaya dan 

orang miskin bukan hanya jarak fisik tetapi juga kebudayaan. Daniel 

Roche mendeskripsikan bagaimana “orang yang cerdas, aristokrat, 



249


penggemar seni ruang tamu, gundik di kamar rias wanita …  di teater-

teater kecil mereka di Marais dan Palais-Royal menertawakan kelas-

kelas bawah sebagai orang liar yang hampir bukan manusia.1 Oleh 

sebab  itu, para pria kelas atas di Paris abad pertengahan berupaya 

menjauhkan diri sendiri dari kelas bawah dengan mengadopsi tingkah 

laku dan pakaian yang membuat mereka hampir seperti wanita. Wig 

menjadi populer sejak 1760-an dan seterusnya dan dianggap sebagai 

mode oleh kaum borjuis Paris selain aristokrat. Payung kecil juga 

dianggap mode dan dijual kepada pria dan wanita di kedua ujung 

Pont-Neuf selama bulan-bulan musim panas untuk menjaga mereka 

agar tidak terkena sinar matahari dan mempertahankan kepucatan 

mereka yang modis.

Terjadi kegilaan yang tidak bisa dijelaskan di kalangan kelas atas 

ini, seperti mode yang kembali terjadi pada 1760-an. Pria Paris 

yang sadar mode akan membawa wayang golek kecil, pantin, yang 

akan dibawa keluar dan digerak-gerakkannya secara tidak acuh di 

muka publik sebagai tanda gaya urban dan kehalusan. Komedian 

Ramponneau, yang memiliki guingette di Île aux Porcherons yaitu  

tokoh yang bergaya dan semua hal yang mengagumkan akan disebut 

à la Ramponneau, dan semua yang tidak bergaya akan disebut à la 

grecque (Yunani dan segala hal tentang Yunani menurut mode tidak 

dapat dimengerti: Fakta ini dilestarikan dalam makanan champignons 

à la grecque yang tidak menimbulkan selera, yang masih muncul 

di menu-menu restoran). Kesembronoan dan ironi yaitu  model 

perilaku dan tanggapan yang berlaku di kalangan kelas atas; sementara 

sentimen lainnya dikatakan ridicule. Untuk terlihat ridicule tentu saja 

yaitu  dosa sosial tanpa ampun.

Para pria pesolek yang mengenakan wig ini tidak berani mengatakan 

hal seperti itu dengan keras dalam kesempatan-kesempatan yang jarang 

terjadi saat  mereka masuk ke jantung Faubourg Saint-Antoine. 

Kelas bawah Paris memiliki kode moral dan antipahlawannya sendiri, 

seperti Louis Dominique Cartouche, seorang pelanggar hukum dan 

pembunuh yang bergaya. Eksekusinya pada 1721 ditangisi oleh ribuan 

orang. Cartouche terutama dikagumi sebab  keriangannya saat  

membantai orang kaya. Pengkultusan terhadapnya yaitu  firasat bagi 

fantasi-fantasi populer yang akan menjadi kenyataan pada 1789.



250

Dalam kesusastraan periode ini, Paris kelas rakyat menginspirasi 

kejijikan: lumpur, kotoran, kegelapan selalu ada. Hal yang paling 

ditakuti yaitu  sans-cullote, kelas terbawah proletar Paris, yang tidak 

mengenakan celana ketat (culotte) tetapi celana panjang sebagai tanda 

status sosial mereka. Para penjelajah pemberani dari kelas atas yang 

mengunjungi daerah-daerah bawah kota melaporkan orang proletar 

Paris ini sebagai ‘orang liar’, sama eksotis dan mengancamnya dengan 

orang liar mana pun yang ditemukan di koloni-koloni Dunia Baru 

yang semakin banyak.

Sebagian besar fantasi ini diprovokasi oleh rasa takut terhadap 

kelas bawah, tetapi memang benar pula bahwa Paris kelas pekerja 

yaitu  daerah perburuan. Misalnya, Faubourg Saint-Antoine 

memiliki 38 jalan utama yang saling bersilangan dan 30 jalan kecil 

lainnya. Sebagian besar lalu lintas berpusat di rue du Faubourg Saint-

Antoine, rue de Charenton, rue de Reuilly, rue de Picpus, rue de 

Monteruil, rue de Charonne dan jalan-jalan arteri menuju Quais de la 

Rapée dan de Bercy. Banyak perajin dan tukang telah menetap di sini 

untuk memanfaatkan gudang dan pelabuhan yang ada di dekatnya. 

Ini yaitu  daerah yang sangat padat tempat keluarga hidup di atas 

keluarga lainnya di dalam bangunan-bangunan apartemen yang 

kurang terawat.

Namun, para pekerja masih bisa hidup cukup layak di hampir 

sepanjang waktu. Toko-toko dan pasar-pasar biasanya terisi penuh 

barang dagangan dan Marché d’Aligre, yang didirikan pada 1777, 

terkenal ke seantero Paris sebab  kualitas barang dagangannya. 

Walaupun menghadapi kesulitan hidup, orang-orang ini merasa 

bangga memiliki rasa humor yang tinggi dan baik hati kepada orang 

lain. Mereka membenci polisi, aristokrat, juru tulis, inspektur pajak 

dan mata-mata, serta mengeluhkan kenaikan harga dan pemotongan 

gaji. Namun di luar semua itu, daerah ini secara umum dikenal sebab  

atmosfernya yang ramah walaupun kadang kala tegang. Inilah tempat 

di mana, sebagai contoh, Restif datang untuk mengamati tatanan kelas 

bawah yang sedang dijalankan dan mengagumi kemampuan mereka 

untuk membuat kesenangan polos.

Di tempat ini pulalah, pada April 1789, ditembakkan peluru 

pertama yang akan mengubah dunia untuk selamanya.


251


Menyerbu Bastille

Kerusuhan ini dipicu oleh komentar tidak jelas dari seorang pembuat 

kertas pelapis dinding di distrik ini yang bernama Réveillon. 

Sepertinya, ia berkata di muka publik bahwa akan lebih baik jika semua 

upah diturunkan. Komentar ini beredar ke seluruh distrik, diteruskan 

dari bar ke kafe, ke tempat kerja dan ke rumah, dari rumah bordil ke 

kedai minum, hingga akhirnya menjadi fakta. Komentar ini kemudian 

memprovokasi kerusuhan paling berbahaya dan paling ribut yang 

pernah terjadi di kota hingga saat itu. Paris pada 1789 merupakan 

tempat yang hampir terlihat bergetar oleh emosi marah di kalangan 

kelas miskin, yang terlalu sering kelaparan saat  mereka sedang tidak 

berjuang melawan kekurangan gizi.

Titik awal kekerasan nyata yaitu  berondongan peluru yang 

ditembakkan oleh pasukan saat  mereka berusaha menghentikan 

kerusuhan. Mereka berusaha menghentikan serangkaian pertempuran 

jalanan kecil di daerah sekitar ujung bawah rue du Faubourg Saint-

Antoine. Pertempuran telah berlangsung sepanjang hari antara para 

pekerja, pengangguran, dan pasukan pemerintah yang pada sore hari 

sudah kelelahan, kebingungan, dan frustrasi. Dalam hitungan menit 

sesudah  berondongan peluru, saat  emosi meluas ke kerumunan yang 

diekspresikan dalam gemuruh kemarahan, sudah jelas bagi semua 

pengamat bahwa gangguan ini jauh dari selesai.

Gangguan ini dibuat semakin efektif oleh fakta bahwa para perusuh 

di Saint-Antoine telah membuat persekutuan dengan para penyamak 

kulit dari Faubourg Saint-Marcel (yang benar-benar termasuk kaum 

paling miskin di kota). Mereka datang menyerbu sebagai gerombolan 

menyeberangi jembatan-jembatan ke Tepi Kanan untuk memukuli 

polisi dan para prajurit raja atas nama keadilan sosial. Gugup dan 

kelelahan sebab  pertempuran tangan kosong seharian, gardes 

française, yang setia kepada raja tetapi tidak dipimpin dengan baik 

dan sama sekali tidak punya gagasan tentang cara mengosongkan 

jalanan—yang sekarang terisi penuh oleh para pemabuk dan perusuh 

yang mabuk—melepaskan tembakan dari sudut rue de Montreuil di 

sekitar waktu senja. Ratusan pekerja dan sekutunya terbunuh. Mayat-

mayat mereka bergelimpangan di lumpur jalanan.



252

Raja menyepelekan insiden ini dengan menganggapnya berdarah 

tetapi tidak penting (Louis sendiri menyalahkan para penghasut 

profesional dalam parlement atas gangguan ini). Signifikansi nyata 

dari hal ini yaitu  bahwa kejadian tersebut berlangsung dengan latar 

belakang Prancis yang bergejolak, yang diguncang oleh pengangguran 

dan ketakutan akan bencana kelaparan. Pada 1788, para pekerja 

menganggur di kota-kota besar di seluruh Prancis (diperkirakan 

bahwa ada  25.000 pekerja sutra tanpa pekerjaan di Lyons saja). 

Pedesaan dipenuhi oleh gelandangan dan pengemis yang berjalan dari 

desa ke desa untuk mencari makanan paling mendasar. Empat belas 

tahun sebelumnya, kerusuhan akibat kelangkaan roti di Brittany—

dikenal sebagai ‘Perang Tepung’—telah memaksa pemerintah untuk 

secara berkala menurunkan prajurit di seantero daerah, untuk 

menjaga ketertiban. Sekarang, saat  dampak kebangkrutan sipil 

benar-benar mulai terasa, saat  para petani dan pekerja kelaparan 

secara berkala menyerang pendeta, bangsawan, dan borjuis di seluruh 

pelosok negeri, Prancis berdiri di tepi jurang kehancuran. Tidak 

seorang pun yang dekat dengan monarki sepertinya menyadari, atau 

jika mereka memang menyadari, mereka telah mengatakannya dan 

tidak melakukan apa pun.

***

Kejadian-kejadian yang mengubah pemberontakan menjadi revolusi 

politik sepenuhnya dimulai secara resmi pada 17 Juni 1789. saat  

itu, para delegasi dari États Ketiga (rakyat biasa) menyatakan bahwa 

merekalah satu-satunya pembentuk parlement atau Majelis Nasional 

Rakyat Prancis. Ini yaitu  tantangan langsung tidak hanya kepada États 

Pertama (bangsawan) dan États Kedua (pejabat gereja), yang selalu 

mengalahkan veto États Ketiga, tetapi juga kepada Raja. Tanggapan 

pertama Louis XVI yaitu  mengirimkan senjata api dan pasukan ke 

Paris dan Versailles. Jalan-jalan di kedua tempat tersebut dipenuhi 

oleh orang-orang yang tidak puas, kelaparan dan pengangguran 

yang bersekutu dengan para pekerja yang suaranya selalu diabaikan. 

Beberapa minggu kemudian yaitu  masa yang sangat panas berupa 

penerbitan pamflet, perdebatan publik yang berisik dan, atas perintah 


253


para deputi États Ketiga, rekrutmen pasukan rakyat di semua daerah 

di kota.

Pemberontakan tiba-tiba mendapatkan momentumnya sendiri 

saat  pada 12 Juli raja memecat Jacques Necker sebagai kanselirnya 

dan menggantikannya dengan baron de Breteuil yang otoriter. Necker 

yaitu  salah satu dari sedikit anggota pemerintahan yang masih 

populer di kalangan rakyat dan pemecatannya dipandang sebagai 

penghinaan dan tantangan. Hampir sesaat , rakyat membentuk 

milisi-milisi dan mulai mempersenjatai diri dengan senapan dan 

tombak panjang untuk pertempuran jalanan. Ribuan orang berjalan 

menuju Versailles dan berteriak-teriak meminta dikembalikannya 

Necker pada jabatannya hanya untuk diabaikan dengan angkuh oleh 

sang raja.

Pencarian senjata oleh rakyat sekarang semakin putus asa. Pada 

14 Juli, segerombolan orang menjarah museum di Place Louis XV. 

Mereka hanya menemukan senjata kuno dan sudah tidak dapat 

digunakan dari masa Henri IV. Namun serbuan ke garnisun Invalides 

lebih menghasilkan dan massa berhasil merebut lebih dari 30.000 

musket. Massa Paris yang sekarang bersenjata, serta lebih marah dan 

berbahaya daripada sebelumnya, kemudian berangkat menuju penjara 

Bastille yaitu simbol tirani kerajaan yang dibenci yang berdiri di ujung 

bawah distrik. Gubernur penjara, marquis de Launay, pada awalnya 

berusaha bernegosiasi agar ia bisa keluar dari masalah ini. Tetapi 

saat  senja hampir berganti malam, ia memerintahkan anak buahnya 

untuk menembaki massa dan menewaskan dua ratus orang. Sebagai 

balasannya, massa menerjang ke dalam penjara. Mereka menyeberangi 

parit yang mengelilingi penjara dengan menggunakan papan-papan 

kayu sebelum seorang penjaga yang bersahabat melemparkan kunci-

kunci jembatan tarik. Kepala de Launay dipotong oleh seorang bocah 

pembantu dapur bernama Desnot dengan pisau saku. Kepala itu 

kemudian diarak keliling jalan di atas sebuah tombak panjang. saat  

ia mendengar semuanya ini, Louis XVI, yang sehari sebelumnya 

percaya bahwa semuanya baik-baik saja di Paris, bertanya kepada 

para penasihat utamanya apakah ini sekadar pemberontakan lainnya. 

“Bukan, yang mulia,” demikian sang penasihat segera menjawab. “Ini 

yaitu  revolusi.”



254

Membunuh Raja

Faktor krusial yang mengubah insiden-insiden ini dari serangkaian 

gerakan pemberontakan menuntut reformasi menjadi revolusi 

sebenarnya yaitu  keinginan untuk menghapuskan monarki. 

Pelanggaran terhadap tabu ini sebelumnya dianggap tidak mungkin 

dalam sejarah Prancis. Para raja pernah dibunuh sebelumnya, tetapi 

biasanya hal ini merupakan tindakan orang-orang independen atau 

para pengkhianat yang bertindak atas nama kelompok marjinal. 

Perang Saudara Inggris satu abad sebelumnya, saat  Oliver Cromwell 

telah berkuasa sebagai patron yang menggantikan monarki, tidak 

memberikan preseden nyata sebab  di Prancis dan di tempat-tempat 

lain di Eropa peristiwa ini dianggap hanyalah perselisihan regional 

tanpa signifikansi ideologis. Di Prancis, raja yaitu  kekuatan pengikat 

utama dan satu-satunya dalam masyarakat. Tanpanya, eksistensi 

Prancis sebagai sebuah bangsa terancam bahaya.

Oleh sebab  itu, untuk tiba pada keputusan untuk menghapuskan 

monarki bukanlah perkara mudah. Pada awalnya, penghapusan 

monarki tidak pernah menjadi tujuan États Ketiga bahkan dalam 

situasi terpanas. Keputusan untuk membunuh raja dicapai dalam 

beberapa tahap, yang setiap tahapnya lebih radikal daripada tahap 

sebelumnya, serta dalam serangkaian gerakan yang didorong oleh 

kelompok-kelompok yang sebelumnya berada di pinggiran atau 

dikecualikan dari proses politik.

Misalnya yaitu  para wanita Paris dari kelas pekerja. Sejak awal 

dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Prancis, bahkan Eropa, 

mereka menjadi kekuatan berpengaruh dan kuat bagi perubahan 

radikal. Sejarah-sejarah Revolusi terus-menerus menggambarkan 

para wanita ini seperti setan sebagai perempuan jahanam yang brutal, 

mengarikaturkan mereka sebagai tricoteuse bermuka masam, yang 

secara jahat terhibur oleh tontonan penderitaan dan kematian selama 

hari-hari terburuk kekerasan.

Pada kenyataannya, para wanita, yang mengelola anggaran rumah 

tangga dan memberi makan anak-anaknya, sering kali lebih tersentuh 

oleh konsekuensi suram dari perpolitikan sehari-hari daripada para 

pria. Tentu saja, para wanita tidak takut untuk membuat hubungan 


255


antara kenyataan ekonomi di jalan dengan keputusan yang dibuat 

dalam pemerintahan. Pada Oktober 1789, seorang tukang roti hampir 

saja menjadi korban main hakim sendiri di Place de la Grève oleh 

sekelompok wanita yang menemukan bahwa ia bersalah sebab  telah 

menggunakan batu timbangan palsu. Sang tukang roti diselamatkan 

oleh sejumlah penjaga, tetapi para wanita yang marah ini menyadari 

bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk menghentikan kekuatan 

amarah yang telah mereka gerakkan. Massa ini semakin besar dan 

pertama-tama mengarahkan caci maki mereka ke Hôtel de Ville. 

Selanjutnya para wanita yang telah memulai keributan ini memimpin 

massa berjalan melewati Louvre dan Tuileries menuju Versailles. 

Di sana, mereka mengepung Majelis dan raja. Mereka menunggu 

sepanjang malam sebelum mendobrak masuk ke istana kerajaan 

saat  fajar tiba.

Kerumunan ini sekarang menjadi massa yang terdiri atas beberapa 

ribu wanita, bersenjatakan tombak panjang, pedang, pistol, dan musket. 

Raja tidak punya pilihan selain membiarkan dirinya dikawal ke Paris 

dengan mengenakan simpul pita Revolusi berwarna merah, putih, dan 

biru. Sepanjang jalan ia diberi hormat oleh para wanita yang tertawa, 

yang mengangkat roknya untuk memperlihatkan pantat atau alat 

kelaminnya. Mereka membuat gerakan tangan mengerikan kepada 

ratu. Pasangan kerajaan ini tidak akan pernah lagi melihat Versailles. 

Parisian merasa bahwa sekarang mereka bisa melakukan apa pun.

Hanya masalah waktu sebelum semangat republik berubah men-

jadi pembunuhan raja. Louis tidak membantu menyelamatkan 

kepentingannya dengan menolak reformasi dan membuat rencana 

ambisius dengan kekuatan-kekuatan asing untuk merebut kembali 

Paris dengan kekuatan. Ia membuat upaya melarikan diri dari Paris yang 

diorganisasi secara buruk pada 20 Juli 1791 untuk bergabung dengan 

sekutu-sekutu asing. Namun, ia terlihat oleh seorang revolusioner yang 

awas di Varennes dan dikembalikan ke kota. Upaya melarikan diri 

ini menghancurkan sisa-sisa kepercayaan Parisian kepada raja. Satu-

satunya pertanyaan nyata yang sekarang diungkapkan di jalan-jalan, 

kafe-kafe dan klub-klub revolusioner yaitu  apa yang akan dilakukan.

***



256

Permintaan terkuat terhadap raja dilakukan pada 20 Juli 1790. saat  

itu, massa sebanyak sekitar 50.000 orang, yang sekali lagi terutama 

merupakan pekerja dan penduduk dari Saint-Antoine dan Saint-

Marcel, berbaris di Champ de Mars. Mereka meminta kepala orang 

yang sekarang mereka sebut ‘Louis Capet’ (semua raja Prancis sejak 

Hugues Capet sekarang dianggap bersalah). Satu resimen penjaga 

yang gugup melepaskan tembakan dan menewaskan sekitar lima 

puluh orang. Tidak terhindarkan lagi bahwa sentimen antimonarki 

hanya kian menyebar.

Posisi raja semakin genting oleh ancaman invasi Prusia dan 

kemudian oleh manifesto pasukan sekutu di bawah komando Duke 

of Brunswick, yang menyatakan bahwa ia akan menghancurkan 

Paris jika raja terluka sedikit pun. Inilah alasan yang dibutuhkan 

oleh kelompok ekstremis yang dikenal sebagai kelompok Jacobin, 

yang dipimpin oleh Maximilien Ribespierre, untuk menyatakan 

bahwa “tanah air sedang dalam bahaya” dan bahwa tanah air hanya 

bisa diselamatkan dengan penghapusan monarki. Kelompok Jacobin, 

yang juga dikenal sebagai ‘Société des Amis de la Liberté et de l’Égalité, 

mendapatkan namanya dari markas besar klub di sebuah bangunan 

yang sebelumya merupakan biara Dominikan di rue Saint-Honoré. 

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ordo Dominikan dijuluki 

‘Jacobin’ sebab  mereka pernah bermarkas di rue Saint-Jacques. 

Jumlah anggota kelompok Jacobin tidak lebih dari 3.000 orang 

tetapi segera mengontrol seluruh Paris. Tokoh-tokohnya yang paling 

terkemuka yaitu  Georges Danton, Camille Desmoulins, Jean Marat, 

Antoine Saint-Just dan pemimpin mereka Robespierre. Kelompok ini 

mengusung demokrasi total dan mendorong kekerasan revolusioner 

dan kediktatoran untuk mempertahankan prinsip ini. Pembunuhan 

massal dimulai dengan penuh semangat pada akhir musim panas. 

Pada 10 Agustus 1792, Garda Swis pengawal raja dibantai oleh massa 

di Tuileries. Pada bulan September, ribuan tawanan yang ditangkap 

oleh kaum Revolusioner dibunuh tanpa pengadilan, raja diturunkan 

dari takhtanya dan republik Prancis pertama diproklamasikan di atas 

tumpukan mayat.

Raja pada akhirnya dipenggal di Place de la Révolution (sebelumnya 

Place Louis XV) pada 21 Januari 1793. Kekerasan di Paris pada tahun 


257


tersebut mencapai puncak yang tidak pernah bisa disamai. Latar 

belakang kekerasan ini disebut ‘revolusi kedua’ yang dipicu oleh 

pembantaian pada 10 Agustus.

Pada dasarnya ada  tiga kelompok yang bertarung di Paris 

dalam tahap ini: kelompok sans-culotte, yang mewakili rakyat; 

kelompok Girondin, yang mewakili kaum borjuis; serta kelompok 

Jacobin dan kelompok Montagnard (yang disebut demikian sebab  

mereka menduduki tempat paling terjal di Majelis) yaitu faksi-

faksi ekstrem Kiri yang menjanjikan ‘rezim kebajikan’. Pada musim 

gugur 1792, sesudah  periode berdarah perang saudara, intrik dan 

pembunuhan, kelompok Jacobin berdiri tanpa penantang sebagai 

pemimpin Revolusi.

Pada Maret 1793, kelompok Jacobin membentuk Komite 

Keselamatan Rakyat, yang pada awalnya dibentuk untuk mengontrol 

pergerakan dan aktivitas orang asing. Komite-komite ini dengan 

cepat menjadi tak terkendali, secara acak mengejar orang tidak 

bersalah selain konspirator. Rasa haus darah mencapai puncaknya 

pada musim gugur saat  sekelompok sans-cullote menerobos masuk 

ke Konvensi Nasional di Hôtel de Ville. Mereka menuntut roti dan 

penumpasan semua musuh internal Revolusi. Ini yaitu  pemantik 

yang memicu ‘Teror’, yaitu gelombang eksekusi di mana sekitar 20.000 

orang dibunuh atas nama kemerdekaan. Jalan-jalan di sekitar tempat 

yang kemudian menjadi Place de la Révolution merah oleh darah, 

sementara kota dihantui oleh desas-desus, pengaduan dan desas-

desus balasan. “saat  Robespierre berkuasa, darah membanjir dan 

tidak seorang pun kekurangan roti” yaitu  pepatah pada saat itu. Pada 

kenyataannya, panen-panen pada 1794 gagal total dan Paris segera 

menghadapi kemungkinan bencana kelaparan lainnya. Kentang di-

tanam di kebun-kebun Tuileries dan Luksemburg tetapi bencana 

sepertinya tidak jauh lagi.

Pembunuhan terus terjadi dan hanya terhenti saat  sebuah 

kelompok, yang muak melihat pembantaian ini, melancarkan kontra-

pemberontakan terhadap Robespierre sang inkuisitor agung dan 

kepala teroris yang “tidak bisa dikorupsi.” Pembunuh pucat, yang 

secara pribadi bertanggung jawab atas 6.000 orang yang terpancung di 

Place de la Révolution, kemudian juga digiring menuju panggung dan 



258

dipancung pada 28 Juli 1794. Massa memperhatikan bahwa wajahnya 

telah berdarah dan terdeformasi, sebagai hasil dari upaya bunuh diri 

gagal yang telah dibuatnya sebab  panik dan takut di malam sebelum 

penangkapannya.


259


25 

Jalan Berdarah menuju Utopia

Salah satu ambisi pertama kaum Revolusioner yaitu  sepenuhnya 

memutuskan hubungan dengan masa lalu untuk mendorong datang-

nya dunia baru. Di jalan-jalan Paris, para sans-cullote secara sistematis 

menghancurkan jejak-jejak dan simbol-simbol dari apa yang tidak 

lama kemudian mereka sebut Ancien Régime. Salah satu tindakan 

pertama mereka yaitu  meruntuhkan dinding Petani-Jenderal. 

Ini yaitu  tindakan yang simbolis dan juga praktis. ada  rima 

permainan kata yang menyalahkan dinding atas naiknya sentimen 

revolusioner—‘Le mur murant Paris rend Paris murmurant’ (‘Dinding 

yang mengelilingi Paris telah membuat Paris bergumam’)—tetapi 

perasaan umumnya lebih besar daripada ini. Faktanya, ini yaitu  

kebencian yang diarahkan kepada semua simbol masa lalu. Peran ini 

juga dimainkan oleh Bastille, yang seperti dinding Petani-Jenderal, 

dihancurkan hingga berkeping-keping dan digunakan untuk mem-

bangun Pont de la Révolution (sebelumnya Grand-Pont dan sekarang 

menjadi Pont de la Concorde).

Agama Kristen sekarang juga dicurigai meski tidak dibenci. Pada 

1792, kaum Revolusioner sudah menghapuskan kalender Kristen 

dan menggantinya dengan nama-nama bulan yang didasarkan pada 

musim, misalnya bulan Mei diganti menjadi ‘Floréal (bunga)’ dan 

bulan Juli menjadi ‘Thermidor (panas’). Sekarang yaitu  saat untuk 

menciptakan kembali kota itu sendiri. Rencana-rencana untuk 

melakukannya berkisar dari menyatakan bahwa Notre-Dame yaitu  

‘kuil Logika’ (bahkan orang ateis paling tegas dalam kaum Revolusioner 

tidak mampu mengeluarkan perintah untuk menghancurkannya) 

hingga menyerang gereja-gereja dan kolese-kolese. Patung-patung 

yang dipercaya sebagai para raja Prancis di dinding muka Notre-




260

Dame dipenggal. Faktanya ini yaitu  kepala para raja Judah dan telah 

digantikan. Kepala aslinya ditemukan di sebuah ruang bawah tanah 

pada 1795.

Institusi-institusi Universitas Paris yang paling prestisius ditutup, 

dijual, diubah namanya atau digunakan untuk kebutuhan lain yang 

lebih merendahkan. Sorbonne sendiri pernah diubah menjadi sebuah 

pabrik walaupun tidak lama, sementara kolese-kolese lainnya diubah 

menjadi penjara atau bengkel kerja. Revolusi juga menyatakan 

bahwa semua gereja harus dihancurkan atau diubah menjadi 

kegunaan lainnya. Kata ‘saint (santo)’ dihilangkan dari semua nama 

jalan. Namun demikian, walaupun semua gereja di Paris menderita 

penodaan dalam berbagai bentuk—relik-relik Santa Geneviève 

dibakar di Place de la Grève dan Sainte-Chapelle diubah menjadi 

pabrik pembuatan tepung—pada kenyataannya hanya empat belas 

gereja yang dibakar habis. Alternatif paling umum selain pembakaran 

gereja yaitu  memberi makna Revolusioner baru kepadanya. Gereja 

Sainte-Geneviève disebut Panthéon dan didedikasikan untuk semua 

orang besar Prancis. Gereja Saint-Germain-des-Prés menjadi markas 

besar berbagai kelompok Revolusioner. Corps de ballet dari Opéra 

mementaskan ‘tarian Logika’ di altar tinggi Notre-Dame.1

Kehidupan kota berjalan seperti normal selama Revolusi tetapi 

suasana hati publik terlihat lebih muram. Hal ini sudah terjadi 

sejak periode menjelang Revolusi, saat  bahkan kemabukan dan 

penggunaan pelacur terlihat menurun. saat  Prancis beranjak 

menuju krisis, jarang ada lagu-lagu yang dinyanyikan di kedai-kedai 

minum atau di jalan. Kalaupun ada, sifatnya mengolok-olok atau 

sinis. Selama Revolusi sendiri, kehidupan sehari-hari didefinisikan 

oleh hal-hal ekstrem. Moralitas pribadi dan publik selama Revolusi 

dan di kalangan kaum Revolusioner terlalu sering saling bertolak 

belakang. Moralitas tersebut berpindah dari satu bentuk serba boleh 

secara ekstrem, atas nama revolusi dan subversi, ke kesopanan 

publik berlebihan yang mengutuk semua bentuk kesenangan sebagai 

pasangan bagi kebejatan Ancien Régime. Pada puncak ‘Teror’, kota 

termakan oleh demam seksualitas. Bahkan para pelacur yang bekerja 

paling giat sekalipun melaporkan bahwa mereka kelelahan dan tidak 

bisa memenuhi permintaan pekerjaan. Pada saat yang sama, kelompok 


261


Jacobin mengutuk minuman keras, pelacuran dan bentuk kesenangan 

lainnya sebagai, paling baik, kecerobohan kontra-revolusioner atau, 

paling buruk, pengkhianatan terhadap Revolusi.

Bagi Parisian kebanyakan, tahun-tahun terburuk belumlah datang. 

Ini yaitu  periode pasca-Revolusi saat  bencana kelaparan dan 

penyakit kembali. Namun sementara itu, ketegangan antara kebebasan 

dan perilaku bebas masih belum terselesaikan.

“Satu Upaya Lagi…”

Salah satu pahlawan Revolusi yang paling tidak disangka-sangka 

yaitu  marquis de Sade. Ia hampir saja menjadi salah satu tawanan 

yang dibebaskan selama penyerbuan Bastille. De Sade telah dipenjara 

sejak 1778, pertama-tama di Vincennes dan kemudian di Bastille. 

Pada awalnya ia ditangkap atas tuduhan meracuni dan sodomi 

tetapi kemudian diputus tidak bersalah. Sejak itu, ia telah ditahan 

tanpa pengadilan, makan dengan rakus, bermasturbasi dan menulis 

lembaran Les 120 jours de Sodom (‘120 Hari Sodom’). Ini yaitu  

kompendium sangat besar tentang penyimpangan seksual yang 

diterbitkan pada 1787 dan akan menjadi adikaryanya. De Sade telah 

dipindahkan dari Bastille ke penjara Charenton hanya sepuluh hari 

sebelum penyerbuan Bastille yang telah memantik badai api yang 

menyapu seluruh Paris. Perpustakaan marquis yang berisikan enam 

ratus buku, lukisan-lukisan dan manuskrip-manuskripnya semua 

dirobek-robek, dibakar, atau dicuri oleh kaum Revolusioner.2

saat  akhirnya dibebaskan pada 1790, marquis meninggalkan 

kelasnya sendiri yaitu aristokrat dan menjadi warga negara biasa, 

seorang sastrawan dan Revolusioner yang setia. sesudah  dirawat sebentar 

di sebuah rumah sakit jiwa, de Sade berpaling pada teater (salah satu 

dari sedikit seni yang secara resmi didorong di masa Revolusi sebagai 

kekuatan subversif secara historis). Karya-karya marquis ‘terkenal’ 

tetapi hanya oleh segelintir orang yang bisa mendapatkannya. 

Berdasarkan reputasi ini, ia umumnya dikagumi sebab  serangan-

serangannya terhadap sifat hipokrit aristokrasi dan Gereja. Praktiknya 

secara aktual—yang berkisar dari mengorganisasi pesta pora skala 



262

kecil hingga percobaan pembunuhan—lebih problematis. Intervensi 

de Sade yang paling langsung dalam perdebatan politik saat itu yaitu  

khotbah “Satu upaya lagi untuk menjadi seorang Republik,” yang 

disisipkan di antara adegan-adegan persetubuhan dua laki-laki dan 

memakan feses yang membentuk mayoritas isi buku yang berjudul La 

Philosophie dans le boudoir yang ditulis pada 1795.

Tujuan buku ini yaitu  mendemonstrasikan sifat ilusi dari semua 

moralitas berbasis agama dan mendorong para individu untuk 

menghapuskan semua bentuk otoritas supranatural. Hanya saat  

manusia mulai bertindak melakukannya, menurut pendapat marquis, 

para individu bisa dengan benar mendeskripsikan diri mereka sendiri 

sebagai pria dan wanita bebas dan oleh sebab  itu merupakan titisan 

republik bagi kebebasan. Namun, hal terpenting bagi semua orang se-

zamannya yaitu  visi teror kebebasan absolut—kutub berseberangan 

dari pemerintahan absolut—yang dibuka oleh buku ini dan buku-

buku lain yang ditulis oleh de Sade. Aspek pemikiran inilah yang 

telah menjadikan citranya pada saat itu dan juga sekarang sebagai ahli 

teori pelanggaran hukum, tokoh membengkak dalam potret Surealis 

terkenal berjudul Man Ray buatan tahun 1938, yang memandang 

dengan mata tajam ke masa depan ruang hampa dan tak terbatas yang 

kosong.

Tempat melakukan kesenangan melanggar hukum bagi mayoritas 

Parisian selama Revolusi masih tetap Palais-Royal. ada  desas-

desus bahwa tempat tersebut sekarang menjadi tuan rumah bagi 

pertunjukan seks setiap malam, yang diorganisasi oleh para pelacur 

yang bekerja dengan gratis dan mengundang para mantan kliennya 

untuk berpartisipasi saat  mereka melakukan seks kelompok di 

muka umum atas nama sekularisme Revolusioner. Kenyataannya 

tidak terlalu menarik bagi banyak Parisian dari semua kelas yang 

berdatangan ke Palais-Royal untuk mengejar seks. Seorang saksi mata 

melaporkan bahwa

di masa puncak Revolusi lebih dari dua ribu gadis dapat ditemukan setiap 

saat sepanjang hari sedang berjalan di taman-taman. Sebagian dari mereka 

datang dari tempat jauh, lainnya tinggal di bangunan-bangunan yang ada 

di sana. Pintu-pintu tempat tinggal mereka dihiasi dengan papan-papan 

nama toko yang lebih dari sekadar menjurus. Barang dagangannya sendiri 


263


tersedia di balkon. Dan jika orang yang lewat lupa memperhatikan mereka, 

para wanita itu menyenangkan diri mereka sendiri dengan mengosongkan 

pispot mereka ke luar jendela. Di Palais-Royal, yaitu  bijaksana untuk 

selalu melihat ke atas.3

Salah satu dari hiburan khusus di rumah-rumah bordil Palais-

Royal yaitu  tersedianya sosies de vedette, para pelacur yang mirip 

dengan atau berpakaian seperti wanita-wanita yang terkenal pada 

masa itu. Para pelacur tersebut kadang kala disebut sebagai sunamite 

(istilah yang dipinjam dari nama Pengantin Perempuan dalam Lagu 

dari Lagu-Lagu dalam Alkitab). Model-model yang disukai yaitu  

para bintang teater atau opera. Aktivitas seksual di sini semakin 

intensif pada masa puncak ‘Teror’, saat  para gadis mengenakan topi 

perempuan berwarna merah, putih, dan biru dan memberikan harga 

khusus kepada para anggota tertinggi Majelis.

Walaupun ada  suasana karnaval (“benar-benar Sodom baru!” 

tulis seorang pengunjung ke Paris dengan senang), kedai-kedai 

minum dan rumah-rumah bordil di Palais-Royal diorganisasi secara 

ketat.4 Gadis-gadis yang paling mahal dan paling berpengalaman 

sering mendatangi Café de Foy (tempat Camille Desmoulins, seorang 

pengacara yang menganggur dan ahli propaganda, membuat pidato 

berkilauan di hadapan massa pada 12 Juli 1789 yang berpuncak pada 

penyerbuan Bastille). Sebagian dari pelacur paling elegan menempati 

apartemen-apartemen di lantai dua, tempat mereka menawarkan 

hiburan seperti makan malam dan permainan piano. Transaksi lainnya 

lebih primitif dan komersial. Almanach des adresses des demoiselles 

de Paris de tout genre et de toutes le classes (‘Almanak alamat wanita 

Paris yang belum menikah dari setiap jenis dan kelas’) memberikan 

deskripsi lengkap tentang siapa dan apa yang sedang ditawarkan; 

termasuk ‘Bersi’, seorang mulatto (peranakan kulit hitam dengan kulit 

putih) bertubuh bahenol, berwajah selalu tersenyum, ‘permata’ kecil 

yang manis, dan semua keluwesan dan keriangan seorang Amerika, 

seharga 6 livre (jumlah yang standar). Seorang Italia berambut cokelat 

dengan ‘kulit lembut, payudara provokatif, tanpa tabir’ dengan harga 

12 livre untuk demi-nuit. Gadis-gadis asing selalu lebih mahal daripada 

gadis Paris asli, terutama seperti ‘Georgette’ yang ‘lembut’ saat  sadar 

tetapi ‘biadab dan tanpa malu’ saat  mabuk ‘punch’. ‘Georgette’ hanya 



264

membutuhkan biaya 3 livre semalam, jika Anda bisa bertahan dari 

minuman dan kemungkinan penganiayaan.5

Para Penyodomi

Revolusi, seperti marquis de Sade, memberikan lisensi bagi hampir 

semua kenikmatan dunia material, dari seks hingga minum hingga 

makan dengan rakus (namun makanan dan minuman tidak selalu 

tersedia secara berkala seperti seks). Salah satu dari sedikit area 

pengalaman tabu yaitu  homoseksualitas. Marquis de Sade memuji 

sodomi sebagai bentuk kejahatan tertinggi dan paling nikmat, tetapi 

hal ini hampir selalu antara pria dengan pria dengan wanita atau, 

jika dipraktikkan antara pria atau remaja, dalam konteks pesta pora 

biseksual. Sodomi yang secara eksklusif homoseksual dianggap 

merupakan kejahatan yang murni aristokrat, walaupun ada  fakta 

bahwa—sebagaimana dikonfirmasikan oleh buku yang ditulis oleh 

Sade—banyak dari mereka yang menikmatinya berasal dari kelas 

bawah.

Pihak kepolisian Paris sudah lama menganggap sodomi sebagai 

malapetaka di kota. Setidaknya sejak 1715, kepala polisi bernama 

Simonnet sudah melakukan kampanye untuk membersihkan 

homoseksual di Paris. Teknik penjebakan paling populer yaitu  

mengirimkan para mata-mata, yang disebut mouche (‘lalat’), untuk 

berlama-lama dan saling menggoda dengan para homoseksual 

di bagian-bagian kota yang diketahui merupakan tempat mereka 

bertemu, misalnya di taman Tuileries atau taman Luksemburg di saat 

senja. sesudah  1738, catatan kepolisian mulai merujuk ‘para penyodomi’ 

sebagai ‘pederast (homo)’. Istilah yang berasal dari bahasa Yunani ini 

dianggap lebih ilmiah dan sekuler sebab  ‘sodomi’ memiliki konotasi 

alkitab dan dikaitkan dengan dosa dan bukan kejahatan; poin teologis 

yang rumit bagi polisi. Hal ini tidak menghentikan pertumbuhan 

popularitas seks sesama jenis. Tindakan yang paling mengganggu bagi 

pihak berwenang yaitu  banyak pria yang sudah menikah ditemukan 

terlibat dalam masturbasi bersama di ‘kawasan-kawasan homo’ yang 

sudah terkenal, walaupun banyak dari mereka mengklaim bukanlah 


265


‘penyodomi’ atau ‘homo’, bahwa mereka tidak me


Related Posts:

  • Paris Perancis 8 arnya libertine) yaitu  orang cabul yang lembut, seorang ateis yang melawan kesetiaan kepada takhayul dengan merangkul kesenangan tubuh dan dunia. Pornografi yaitu  representasi sastra dari pert… Read More