arnya libertine) yaitu orang cabul yang lembut, seorang
ateis yang melawan kesetiaan kepada takhayul dengan merangkul
kesenangan tubuh dan dunia. Pornografi yaitu representasi sastra
dari pertarungan ini dan memang tidak terpisahkan dari perjuangan
lain melawan ketidakrasionalan politik dan filsafat.
231
“Cinta harus Diciptakan Kembali”
Parisian secara individu memihak pada Ovidie. Mereka bahkan
memiliki kebanggaan chauvinistik terhadap horor bagi kesopanan
yang mereka lakukan, dan masih mengeluhkan bagaimana kesenangan
rakyat telah dihancurkan oleh perencanaan kota dalam banyak cara.
Misalnya, apabila kota dibuat semakin ‘modern’ maka kesopanan
publik mengambil alih. Tanda-tanda awal dan paling mencolok
yaitu perubahan nama di jalan-jalan di Les Halles yang dipenuhi
rumah bordil. Pada 1809, rue Tire-Boudin atau ‘Jalan Penarik Sosis
(atau penis)’ menjadi rue Marie-Stuart; rue Trousse-Nonain atau
‘Jalan Biarawati Terjatuh’, yang sudah disamarkan dalam dokumen
resmi sebagai Tasse-Nonian, menjadi rue Beaubourg; rue de la Pute-
y-Muse atau ‘Jalan Pelacur Pemalas’ menjadi Petit-Muse, sementara
kumpulan skatologis dari rue Merdeuse, rue Merdelet, rue Chieur, dan
rue Chiard semuanya menghilang dari peta baru kota rasional dan
higienis buatan Haussmann. Rue du Petit et du Gros-Cul atau ‘Jalan
Vagina Besar dan Kecil’, rue Gratte-Cul atau ‘Jalan Vagina Gatal’ (jalan
ini memiliki sejumlah rumah bordil yang menjadi favorit Casanova
dan rue du Poil-au-Con atau ‘Jalan Vagina Berambut’ juga menghilang
pada saat yang sama. Namun, sebagaimana komentar pahit seorang
pengamat pada masa itu, tempat-tempat yang menginspirasi nama-
nama jalan ini terus menawarkan tradisi demokratis yaitu kebebasan
memilih bagi para konsumennya.
Jejak-jejak terakhir tradisi ini hampir tidak terlihat di Paris
tengah. Salah satunya, menurut Ovidie sendiri—Le Beverly, satu-
satunya bioskop porno yang tersisa di tengah Paris—bersiap untuk
menutup pintunya untuk terakhir kali. Bioskop ini berdiri di ujung
atas distrik lampu merah rue Saint-Denis, hampir tapi tidak berada
di dalam daerah Montorgueil Saint-Denis yang dengan cepat menjadi
kawasan termodernisasi. sesudah melewati pintu akan terlihat sebuah
foto penyair Rimbaud dan baitnya yang terkenal ‘Il faut réinveter
l’amour’ (‘Cinta harus diciptakan kembali’). Sebuah poster yang dibuat
menggunakan alat tulis berujung beledu menawarkan harga khusus
untuk pasangan pada malam Kamis. ada kesedihan lembut di
sini selain eksebisionisme cabul yang tanpa malu.
232
Sebagian besar bioskop porno gaya lama di Paris tersapu pada 1980.
Mereka menjadi korban perdagangan video yang sedang populer dan
kemunculan berkala pornografi vulgar di televisi umum. Le Beverly
entah bagaimana berhasil bertahan selama dekade 1990-an. Terlihat
jelas bahwa sebagian besar konsumennya sekarang yaitu konsumen
fanatik. Sebagian dari mereka terlihat terlalu tua untuk tertarik lagi
terhadap seks—mungkin mereka datang hanya untuk mencari
teman atau sebab kesetiaan. Konsumen lainnya terlihat seram atau
malu-malu. Sejumlah kecil imigran dunia ketiga duduk bersandar di
kursinya sambil merokok.
Le Beverly tidak pernah menjadi tempat terhormat—atmosfer di
dalam salle de spectacle gelap gulita ini sangat tegang dan bergairah,
dengan lebih dari sekadar isyarat adanya bahaya fisik yang nyata.
Namun untuk mengunjungi tempat ini, dalam kejayaannya yang tidak
terhormat, yaitu untuk melakukan perjalanan ke masa yang sudah
berlalu: masa saat mempertunjukkan seks di ruang publik yaitu
pelanggaran hukum yang nyata. Hari-hari ini, cukup dengan berjalan
kaki tidak terlalu jauh dari rue Saint-Denis atau melalui jalan-jalan
belakang di Pigalle, tempat DVD-DVD porno dijual dengan harga
sangat murah, akan terungkap bahwa hal sebaliknya memang benar.
Saya meninggalkan Le Beverly dengan rasa tertarik namun tidak
yakin atas argumentasi Ovidie bahwa menulis tentang seks atau
mempertunjukkan seks di bioskop sebenarnya yaitu pernyataan
niatan erotis yang disengaja dan tanpa penyesalan yang benar-benar
subversif. Mungkin hal ini memang benar pada abad ke-18, atau
bahkan pada dekade 1970-an, tetapi sekarang saya merasa bahwa visi
penulis Michel Houellebecq—yang dalam salah satu puisinya dengan
cemerlang mendeskripsikan dengan presisi sangat tinggi bagaimana
rutinitas mematikan dari masturbasi dan pertunjukan bioskop porno
sesuai dengan jam kerja pusat kota—yang memang merupakan versi
akurat tetapi suram dari Paris abad ke-21.8
“Peradaban kita menderita akibat kelelahan vital,” tulis Houellebecq
di tempat lain:
Pada abad Louis XIV, saat selera untuk hidup begitu besar, kebudayaan
resmi memberi penekanan pada penghilangan kesenangan dan badaniah;
dengan tegas mengulangi bahwa kehidupan duniawi hanya bisa memberi-
233
kan kesenangan tidak sempurna, bahwa satu-satunya sumber kebahagiaan
yaitu Tuhan. Diskursus semacam itu … tidak bisa ditoleransi saat ini. Kita
memerlukan petualangan dan erotisme sebab kita perlu mendengar diri
kita sendiri mengulangi bahwa hidup yaitu menakjubkan dan menarik;
dan sudah sangat jelas bahwa kita cukup meragukannya.9
saat saya berjalan menjauh dari Le Beverly, sepertinya teori ini
menjelaskan bagi saya, meski bukan membenarkan, muka-muka yang
menjemukan dan menghantui yang anehnya terlihat di wajah para
gadis yang saya temui di rue du Caire.
234
23
Pemandangan Malam
Paris semakin luas pada abad ke-18 tetapi belum menjadi ruang
geografis yang terdefinisi dengan baik. Salah satu masalah yang
dihadapi oleh pemerintah dan polisi yaitu tidak seorang pun tahu
dengan pasti di mana kota dimulai dan diakhiri.
Pada awal 1700-an, batas terluar yang ditandai dengan tegas pada
peta 1674 buatan Jouvin de Rochefort sudah ketinggalan zaman.
Namun, ada sejumlah alasan mendesak untuk memastikan bahwa
batasan-batasan kota tetap utuh atau setidaknya dapat dikenali. Alasan
pertama yaitu kebutuhan untuk memastikan bahwa populasi dapat
diberi makan, diukur dan dikendalikan. Hingga saat itu, monarki
dan pemerintah kurang-lebih mengabaikan keberadaan petites gens,
Parisian kebanyakan, dengan memandang mereka hanyalah subjek
dan umpan peluru potensial.
Namun, penambahan populasi yang sangat besar pada abad ke-
17 dan ke-18 berarti bahwa sekalipun jika raja tidak mencintai atau
menyukai rakyatnya, ia tidak bisa mengabaikan kesejahteraan mereka.
ada pula sejumlah kebutuhan darurat lainnya: kebutuhan untuk
membatasi jumlah Parisian yang dikecualikan dari pajak; kekhawatiran
terhadap gerakan pemberontakan potensial seperti Fronde; dan
kebutuhan militer untuk mengamankan dinding-dinding kota.
Bagaimanapun juga, komitmen politik terhadap pembangunan
yang dimiliki monarki, para administrator dan para spekulator telah
membuat kota lebih padat dari masa sebelumnya. Lampu minyak
menggantikan lilin, jalan-jalan diberi nomor, polisi dan mata-mata
memonitor kehidupan sehari-hari, sementara jalan-jalan baru—yang
lurus dan presisi—yang menembus quartier-quartier paling kuno,
mengubah lanskap urban secara radikal menjadi tempat yang lebih
235
baik bagi pertukaran, lalu lintas dan perdagangan. Ekspansi ekonomi
berarti bahwa kota dipenuhi oleh para migran dari pedesaan. Orang-
orang ini secara fisik berbeda dengan Parisian asli. Mereka lebih kurus,
kulitnya terbakar sinar matahari, sering kali mengalami deformasi
bentuk tubuh sebab terus bekerja berat dan biasanya pakaiannya
compang-camping. Sebaliknya, Parisian berkulit pucat dan sering kali
berminyak—mereka menghindari sinar matahari, yang lagi pula sulit
menembus jalan-jalan sempit dan tentu saja tidak masuk ke rumah
bordil atau kedai minum. Mereka memandang remeh para imigran
berkulit gelap ini sebagai orang primitif, bodoh, dan oportunis. Tapi
Parisian juga takut terhadap orang desa. Tidak seperti para pengunjung
eksotis dari Timur atau Dunia Baru, para imigran ini dapat dikenali
sebagai orang Prancis dan oleh sebab itu memiliki tempat dalam
struktur kelas kaku di kota yang telah ditentukan dengan ketat.
Para pendatang baru ke Paris mendapati kota yang memiliki
hierarki yang kompleks dan tersembunyi. Sebagian besar dari
mereka tertegun melihat begitu banyaknya barang konsumsi yang
ditawarkan serta suara dan energi dari pasar dan kedai minum. Hal
yang tidak terlalu penting bagi kehidupan sehari-hari para imigran
dan penduduk asli yang miskin yaitu arsitektur yang mewah—
bangunan-bangunan baru La Monnaie (‘Uang Koin’), Panthéon,
École de Droit (‘Sekolah Hukum’) dan teater-teater baru. Walaupun
demikian, perkembangan yang sangat cepat dan dramatis ini terhadap
lanskap kota mengumumkan visi yang jelas dan kuat bagi tatanan
sosial baru untuk abad mendatang.
Dalam bukunya Le Tableau de Paris, penulis Louis-Sébastien
Mercier mendeskripsikan kota kosmopolitan baru yang bahkan
eksotis sebagai ‘Kuil Harmoni’. Penulis sangat senang sebab inilah
tempat di mana berbagai momen berbeda dalam sejarah bertemu dan
kadang kala bertumpang tindih.
Seorang pria di Paris, yang tahu bagaimana cara berpikir sejenak, tidak
perlu pergi melewati dinding kota untuk mengenal orang-orang dari
iklim-iklim lain; ia bisa sangat mengenal seluruh spesies manusia dengan
mempelajari para individu yang berkerumun di ibukota hebat ini. Anda
dapat menemukan orang Asia yang sepanjang hari duduk di atas bantal
berhias payet, dan orang Lapp yang tinggal di gubuk sempit, orang Jepang
236
yang akan saling menyobek perut saat terjadi perselisihan walaupun
kecil, orang Eskimo yang tidak mengetahui pada era apa mereka hidup,
orang negro yang tidak berkulit hitam, dan orang Quaker yang membawa
pedang. Dapat ditemukan pula adat istiadat, kebiasaan dan karakteristik
orang-orang dari tempat paling jauh; alkimia yang memuja api, orang
Arab pengembara yang berkeliaran di perbentengan kota, sementara orang
Hottentot dan orang India bermalasan di butik, jalan, dan kafe. Inilah
tempat Anda dapat menemukan orang Persia baik hati yang memberikan
obat kepada orang miskin, dan pada lantai yang sama penagih utang
yang kanibal. Para Brahman dan para Fakir tidak lebih sedikit dari orang
Greenland yang tidak memiliki kuil atau altar. Babilonia yang kuno dan
menggairahkan kembali diciptakan di sini setiap malam di sebuah kuil
yang didedikasikan untuk keharmonisan.1
Ketepatan geografis tidak terlalu penting bagi Mercier. Sebagaimana
akan kita lihat, ia memulai kariernya sebagai dramawan dan
deskripsinya terhadap kota terutama dipengaruhi oleh kemampuannya
untuk membuat panggung dan menggerakkan karakter-karakter di
atasnya. Ia juga sangat memercayai reformasi. Sebagian dari niatnya
dalam menulis karya ini yaitu untuk menggerakkan orang-orang
biasa ke panggung utama dan menunjukkan kesenjangan antara
kemiskinan dan kekayaan di kota.
Tetapi, sangat signifikan bagi Mercier bahwa, sebagaimana
ditunjukkan oleh ekstrak di atas, Paris menawarkan panggung bagi
semua pendatang dari semua penjuru dunia—orang Eskimo dan
orang Jepang hanya menambahkan warna dan kehidupan bagi ‘teater’
jalanan. Ia dengan cepat terkesima oleh penjabaran aneh yang bisa
ditemukan para pengelana secara acak di jalan-jalan kota: orang Quaker
yang cinta damai tetapi membawa pedang dan orang kulit hitam tetapi
berkulit pucat dan berwarna terang (kemungkinan albino). Terutama,
ia menyukai kehadiran ‘orang Oriental’, dari Timur Tengah atau Afrika
Utara, di bekas ibukota dunia Kristen yang sekarang menjadi ibukota
Pencerahan dan Logika.
Hubungan Parisian dengan dunia Islam kemudian akan mengalami
banyak tahapan sulit, dari penaklukan Aljazair pada 1830 hingga
gelombang pengeboman yang terinspirasi Islam yang membuat kota
sangat ketakutan pada 1980-an dan 1990-an. Tetapi pada abad ke-18,
237
Parisian menyambut orang Oriental yang datang untuk berbisnis. Peta
Arab tentang Paris (sering kali lebih tepat daripada peta buatan Prancis)
dicetak dalam huruf Arab dan didistribusikan di Baghdad, Damaskus,
dan Kairo setidaknya sejak 1750-an. Penerjemahan Kisah Seribu
Satu Malam oleh Antoine Galland pada 1704 telah menggerakkan
kepopuleran Orientalis yang semakin cepat sepanjang abad tersebut.
Para pelancong Arab ke Paris menemukan diri mereka menjadi objek
keingintahuan dan keramahan. Parisian menyebut para pengunjung
ini sebagai orang Turki, Moor, Berber, Kabyle, dan Maronite. Kata-
kata seperti bicot (‘kambing muda’ atau ‘orang Arab kotor’)—belum
diciptakan. Dalam dunia Islam, Paris menarik para intelektual muda
yang datang ke kotanya Voltaire, Diderot, dan Rousseau. Kehadiran
mereka menunjukkan bahwa Paris tidak hanya mendominasi Eropa
tetapi juga dunia.
“Angin Puyuh yang Cepat dan Berisik”
Namun, perubahan besar yang sedang terjadi di lanskap urban Paris
selama abad ke-18—bangunan-bangunan neo-klasik, jalan-jalan raya,
jembatan-jembatan dan jalan-jalan—bukanlah perkembangan baru.
Sebaliknya, ini yaitu perluasan cita-cita sipil dari abad sebelumnya—
keteraturan dan perdagangan—ke dalam abad baru perkembangan
teknologi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Karya-karya
besar pada periode ini terutama ditujukan untuk mengorganisasi
kota. Lebih sedikit gereja yang dibangun sebab energi dialihkan
ke institusi-institusi sipil dan militer di Tepi Kiri. Pada awal abad
ke-17, masih mungkin untuk melihat sisa-sisa dinding Philippe-
Auguste di selatan Saint-Germain-des-Prés. Dinding ini tidak lama
kemudian dihancurkan saat kota meluas melewati batas-batasnya
di Carrefour de l’Odéon dan rue des Fossés-Saint-Bernard. Parisian
periode ini tidak tertarik pada masa lalu dan para pengunjung ke
kota yang mencari pemandangan atau ‘keunikan’ diarahkan ke
pabrik-pabrik penyamakan kulit yang sangat fungsional di Gobelins
atau Observatoire.2 Di Tepi Kanan, kaum kaya dan berkuasa terus
berinvestasi dalam rumah-rumah besar pribadi di Marais, yang
membuat pembangunan semakin ke arah barat.
238
Kontradiksi dan ketidaksetaraan dari abad sebelumnya semakin
mendalam: Tidak satu pun Parisian kebanyakan yang tak melihatnya
sehari-hari saat monarki terus melakukan tugas mengubah ibukota
menjadi ibukota monumental yang megah sementara, di jalan-jalan
yang jauh dari tempat tinggal raja, kemelaratan terjadi di mana-mana
dan di semua tingkatan sosial.
Fakta inilah yang menjadi alasan mengapa Mercier telah me-
nugaskan dirinya sendiri untuk menangkap kompleksitas Paris dalam
Le Tableau de Paris, sebuah karya panjang yang disusun antara 1782
dan 1788. Mercier memulai kariernya sebagai dramawan dan jurnalis.
Ia menyindir pemerintah yang sedang menjabat dan memberikan
kritikan keras terhadap perang dan kehidupan militer—subjek karya
awalnya yaitu Jeunesse (‘Pemuda’, 1789). Walaupun Mercier menikmati
karier akademis yang relatif baik (ia yaitu profesor retorika di Collège
de Bordeaux dan kemudian menjadi kepala sejarah di École Centrale
di Paris), ia mengidentifikasikan diri sebagai Parisian kebanyakan
melawan kelas penguasa. Ia menyerang cita-cita klasik era tersebut
dan kesusastraan klasik (menyebut Racine dan Boileau sebagai
‘pembawa wabah sastra’).3 sebab selalu berseberangan dengan semua
pemerintah dan pihak berwenang, ia menganggap dirinya sendiri
sebagai nabi revolusi sebenarnya.
Namun ia tidak terlalu dianggap oleh banyak rekan se-zamannya
yang menganggapnya berpikiran dangkal dan sentimentil. Tetapi,
Mercier memiliki mata yang tajam untuk melihat detail dan stamina
untuk menyamai ambisi sastranya. Le Tableau de Paris yaitu karya
yang sangat menarik, topiknya sama beragamnya dengan perpolitikan
Paris pembuat kebijakan tingkat tinggi. Isi karya ini misalnya di mana
tempat membeli pakaian terbaik (dan termurah) untuk pria dan wanita,
tempat untuk menguping percakapan terbaik, pembuangan jenazah,
seni mencopet (dan mengapa para pencopet Paris menunjukkan
keahlian dan tipu daya lebih baik daripada pencopet London), udara
kota yang berbau busuk, kemiskinan Faubourg Saint-Marcel, penjual
air, mata-mata, penjara, pencuri jenazah dan ahli anatomi yang
membiayainya, pedagang kaki lima dan tukang obat, tempat terbaik
untuk berjalan, kembang api, filles publiques, polisi (kejam, malas,
takut dan korup), tembakau, pengemis, rumah sakit, kehidupan erotis
239
massa di opera serta waktu dan tempat terbaik untuk menanam jamur.
Salah satu pemahaman paling terperinci ke dalam kain Paris yang
rumit diberikan oleh penjelasan Mercier terhadap kehidupan sehari-
hari di kota. Ia mendeskripsikan Paris sebagai “angin puyuh yang
sangat cepat dan berisik,” yang dimulai pada pukul tujuh setiap pagi
dengan para kusir kereta, pekebun, dan penjaga toko yang menyiapkan
toko mereka. Pada pukul sembilan, jalanan kota dipenuhi oleh kereta-
kereta kuda yang membawa para pengacara dan pegawai negeri ke
kantor-kantor mereka, para wanita terhormat yang sedang dalam
perjalanan untuk saling mengunjungi, dan semua urusan kehidupan
perniagaan baik tinggi maupun rendah. Pergerakan mereda sekitar
pukul tiga saat kelas pemilik uang mulai menikmati hidangan.
Pukul lima yaitu jam untuk berjalan-jalan di taman-taman kota yang
baru dan indah. Paris kemudian menjadi tenang pada saat matahari
terbenam, yaitu jam paling berbahaya menurut Mercier, saat para
pencuri dan pembegal bersembunyi menunggu di jalan-jalan kecil
yang gelap. Ini yaitu waktu saat semua warga Paris yang baik pergi
tidur, kecuali mereka yang memiliki uang dan waktu untuk mengejar
kenikmatan mereka hingga malam.4
Opera yaitu fokus utama aktivitas ini. Jalan-jalan di sekitar teater
dipenuhi oleh pelacur, yang dikenal sebagai vulvivague (kata ini berarti
vagina keliling), yang mengejar orang-orang yang kemungkinan
bisa menjadi konsumen dengan permohonan dan makian. Mercier
mengomentari bahwa kejadian pemerkosaan sekarang hampir tidak
dikenal di Paris dan menjelaskan bahwa hal ini terjadi sebab relatif
murahnya seks komersial. Mercier berpihak pada orang miskin dan
orang yang terampas haknya, dan mereka termasuk para pelacur. Ia
juga menekankan sisi keramahan kehidupan kota, menulis dengan
rasa kagum tentang para petani yang berjalan dengan susah payah
menuju kota di pagi buta, membawa buah, roti, sayur-mayur, dan
daging dari provinsi-provinsi terjauh bagi penduduk Paris yang
selalu lapar. Ia mengagumi betapa kerasnya mereka bekerja, betapa
banyaknya mereka minum dan ketidaksukaan mereka terhadap
dandanan para pria kota pesolek yang kaya. Di kalangan Parisian,
Mercier menghargai para pekerja biasa dan keluarganya; mereka
yang menjaga kota tetap hidup melalui kerja keras dan semangat. Ia
240
mencatat tipu daya dan daya tarik seksual Parisian asli yang, saat
terangsang oleh suara dan gemerencing kereta-kereta kuda orang kaya
yang meninggalkan teater, membangunkan istrinya untuk bercinta
secara santai dan nikmat, dan—Jika Tuhan mengizinkan!—mungkin
mendapatkan Parisian kecil baru.5
Penonton Nokturnal
Sebagai pembanding bagi kesungguhan Mercier, semangat reformis
ditemukan dalam tulisan-tulisan Restif de la Bretonne yang hidup
sezaman dengan Mercier. Ia yaitu putra seorang petani, seorang
novelis, pencetak, kadang kala menjadi mata-mata dan memiliki nafsu
seksual yang sangat tinggi. Mercier mengungkapkan kekagumannya
terhadap Restif, tetapi berhati-hati untuk menjauhkan dirinya dari
laporan Restif yang tanpa ampun tentang dunia bawah tanah Paris. Ia
mencatat bahwa kehidupan di kota yaitu gerakan antara cahaya dan
gelap dan yaitu salah untuk menempatkan penekanan berlebihan
kepada salah satu kondisi ini.
Restif bekerja tak kenal lelah dan tanpa henti membuat novel dan
drama. Saat ia meninggal dunia pada 1806, ia telah menyelesaikan
dan menerbitkan 250 buku. Ia senang menganggap dirinya sendiri
sebagai seorang moralis dan karya-karyanya yang paling terkenal—Le
Paysan perverti (‘Petani yang menjadi Rusak’, 1775) dan La Paysanne
pervertie (‘Wanita Desa yang menjadi Rusak’, 1776)—yaitu kisah-
kisah suram tentang orang-orang desa yang sehat yang menjadi sakit
sebab tingkah laku Parisian yang jahat. Masalahnya yaitu Restif
sendiri jelas sekali mencintai sisi gelap kota sehingga kisah-kisah
mendidiknya secara menyedihkan gagal meyakinkan pembaca akan
kejahatan kehidupan Paris. Seperti juga kisah-kisah fabel filosofis
karya marquis de Sade (ia sendiri merupakan penggemar berat Restif),
pembaca kisah-kisah Restif biasanya cukup senang saat seluruh
orang desa (yang mengganggu) menjadi mabuk dan kewalahan sebab
aroma mengasyikkan dari seksualitas dan kejahatan. (Restif sendiri,
saat kesempatan muncul, secara hipokrit mencela de Sade—“jika
ia dibaca oleh para prajurit maka ia akan menyebabkan matinya
20.000 wanita”—sambil menyatakan dalam romansanya Monsieur
241
Nicolas bahwa pahlawan Revolusioner Jacobin bernama Danton telah
menggunakan novel Justine karangan marquis sebagai alat bantu
untuk masturbasi).6
Restif mungkin seorang hipokrit tetapi ia juga merupakan peng-
amat kehidupan malam kota yang tajam dan cerdas. Ia menyebut
dirinya sendiri ‘burung hantu’ atau ‘penonton nokturnal’ dan
berangkat mengeksplorasi Paris di malam hari dalam semangat
ilmiah, ketertarikan terhadap seks dan kegembiraan erotis yang
nyaris tak tersembunyi. Untuk semakin menyembunyikan dirinya,
ia mengenakan ‘jubah biru yang sudah tua dan topi beledu lebar’
dan menyombongkan diri bahwa ia tidak harus membeli baju baru
apa pun antara 1773 dan 1796.7 Pakaian gelap yaitu kostum yang
biasanya digunakan oleh kelas bawah. Pakaian semacam itu segera
mengirimkan sinyal bahaya kepada anggota masyarakat pemilik uang,
tetapi memungkinkan Restif untuk pergi ke mana pun yang ia mau
sejak tengah malam hingga fajar di kota yang menjadi gelap.
Ia mendokumentasikan petualangan-petualangannya dalam se-
rangkaian cerita yang diberinya judul Les Nuits de Paris (‘Malam-
Malam Paris’) yang diterbitkan pada 1788. Karya-karya ini berutang
besar pada genre sastra poissard yang sangat populer pada abad ke-18
(poissard yaitu kata abad ke-16 untuk ‘pencuri’ atau ‘pelayan laki-
laki’: novel-novel itu sendiri dipenuhi dengan warna dan bahasa slang
kehidupan kelas bawah). Restif yaitu orang yang melodramatis,
terobsesi pada diri sendiri dan cenderung mengeluarkan pernyataan
yang berlebihan dan berbicara tentang moral. Ia menganggap dirinya
sebagai jagoan rakyat: “Dari semua sastrawan kita, saya mungkin satu-
satunya yang mengenal kelas-kelas rakyat; dengan berbaur bersama
mereka, saya ingin melukis mereka, saya ingin menjadi penjaga
tatanan yang baik. Saya telah berbaur dengan tatanan-tatanan lebih
rendah agar dapat mengamati semua pelecehan.”8 Tentu saja, ini
yaitu pernyataan yang menggelikan: Les Nuits de Paris hampir sama
dibuat-buat dan diaturnya seperti Tableau de Paris karya Mercier.
Namun, jika Restif tidak benar-benar mengklaim untuk berbicara bagi
kelas-kelas bawah, yang merupakan keinginan utamanya, setidaknya
ia yaitu penulis yang menarik walaupun tidak selalu menjadi saksi
yang dapat dipercaya.
242
Kafe-kafe favorit penonton noktural yaitu Café Procope atau
Manoury’s di rue de la Montagne-Sainte-Geneviève, tempat ia pergi
untuk menonton permainan dam, Café Aubrey di rue Saint-Jacques, atau
Régence, tempat ia secara berkala mengamati Jean-Jacques Rousseau
yang asyik bermain catur yang tidak mungkin dengan temannya yang
tukang bernama Ménétra. Ini yaitu tempat-tempat relatif teratur
di mana Restif pergi untuk menguping percakapan, membaca surat
kabar dan umumnya merasakan denyut kehidupan politik dan sastra
kota. Ia kadang kala menemukan mata-mata yang sedang melakukan
hal yang sama seperti dirinya sendiri tetapi mengabaikannya sebab
menurutnya itu yaitu kejahatan yang diperlukan di sebuah kota
tempat kebencian pihak berwenang begitu jelas dan terbukti sedang
bangkit.
Restif terpesona oleh praktik kemalasan baru yang terus bertahan
dan yang menjadi populer di kalangan kelas atas dan sepertinya
dipromosikan oleh kafe-kafe ini. Para pekerja tidak mampu untuk
tetap bermalas-malasan, tetapi hidup dari hari ke hari dan melakukan
kenikmatan seksual, alkohol dan makanan mereka dengan intensitas
tinggi. Puisi karya seorang poissard anonim tahun 1773 yaitu
pembangkitan kesenangan ini, yang mendeskripsikan selera Parisian
miskin terhadap kesenangan sensual yang tidak ada artinya:
Dari setiap quartier kota,
Di hari Minggu dan hari libur, terjadi prosesi
Orang-orang sopan dari segala pekerjaan,
Tukang sepatu, penjahit, pembuat wig,
Wanita penjual ikan dan wanita penambal,
Pengupas sayuran dan wanita pencuci pakaian,
Gadis pelayan, pelayan laki-laki dan penyikat,
Pesolek dari pelabuhan atau portir,
Dan di sana-sini para prajurit
Dan pelacurnya
Yang tidak takut kepada Setan
Meninggalkan khotbah
Dan berlari ke taman-taman rekreasi
Tempat anggur murah diminum.9
243
Restif merasa bingung dan tertarik oleh aktivitas-aktivitas sehari-
hari dan mudah seperti itu. Agar dapat menjelaskannya, ia berlama-
lama di tempat-tempat dalam di kota—kedai minum, kabaret,
rumah judi dan rumah bordil—tempat ia menjadi figur yang akrab,
menguntit tepi-tepi setiap kejadian dalam bayangan, menonton,
mendengarkan. “Aku benci pemabuk dan penjudi,” keluhnya.10 Tapi
hal ini tidak menghentikannya untuk menghabiskan banyak malam
bersama mereka.
Orang-orang meminum minuman keras sepanjang hari. Hari
dimulai—sebagaimana masih dilakukan di sebagian tempat di Paris—
dengan anggur putih yang dingin dan jernih. Sekitar jam sembilan
pagi yaitu waktu bagi para tukang, pedagang dan pembantu mereka
untuk meminum dari botol di kedai minum, sering kali kerang dibawa
oleh penjual kerang keliling ke pintu. Mereka datang bergelombang
sepanjang hari, menyimpan perkakas untuk meminum sebotol
minuman keras sebagai obat bagi rasa lelah sebelum kembali bekerja.
Polisi tidak terlalu mengkhawatirkan mabuk harian dibanding dengan
minum secara sistematis selama seminggu dan mengarah pada
kegilaan, bunuh diri, dan keluarga terabaikan.
Kekerasan tidak pernah jauh dari tempat-tempat ini. Dengan
ketepatan yang dengan mudah mengejutkan, Mercier telah mencatat
bahwa pertengkaran mematikan yang merupakan fitur umum ke-
hidupan kedai minum didahului oleh serangkaian kata penghinaan
ritual: ‘perempuan jalang’, ‘penyodomi’, ‘informan’, ‘pelacur tua’,
dan ‘anjing’ yaitu hal biasa. Pada titik ini, pemilik kedai biasanya
mengintervensi untuk membela kehormatan kedainya. Inilah saat
saat pisau dan belati dicabut dan tempat tersebut berubah menjadi
arena pertarungan bebas.11
Restif melaporkan kesemua ini dengan apa yang diharapnya
yaitu mata dingin seorang ilmuwan. Dorongan pertamanya dalam
menyusun Les Nuits de Paris yaitu Utopia: Seperti Mercier, di bawah
pengaruh nilai-nilai Pencerahan, ia percaya bahwa dunia kota yang
kacau hanya bisa dibuat teratur melalui perencanaan rasional demi
kebaikan publik. Tujuan yang dinyatakannya dalam bukunya yaitu
membuka sisi gelap kota sehingga secara harfiah sisi gelap tersebut
bisa digerakkan ke arah cahaya. Banyak dari rekomendasinya masuk
244
akal. Contoh sarannya yaitu menanam pohon-pohon buah hingga
membatasi lalu lintas dan melarang penjualan anggur jelek.
Pada awalnya, Restif merencanakan bahwa Les Nuits de Paris
akan terdiri atas naskah yang mencakup 366 malam—365 untuk
mencakup satu tahun penuh ditambah satu hari ekstra untuk
menandai dimulainya siklus tahunan yang baru. Kedatangan Revolusi
memaksa Restif untuk menambahkan empat belas bagian lainnya
untuk mendokumentasikan kota pada 1790, namun ketelitian dengan
angka memang penting. Gérard de Nerval, seorang penyair yang
berkeliling kota dalam kelinglungan halusinatif sekitar lima puluh
tahun kemudian, sebab alasan ini mendeskripsikan Restif sebagai
“salah satu Komunis pertama,” bertekad untuk memperbaiki dunia
dengan matematika.12 Namun hiruk-pikuk legislatif Restif juga bersifat
obsesif; kebutuhan kompulsifnya untuk mengklasifikasikan dan
mengodekan pengalamannya tidak sesuai dengan selera rahasianya
akan minuman keras, seks, dan kejahatan. Setiap sore, pada waktu
tertentu, ia mulai berjalan-jalan keliling kota dari ujung timur Île
Saint-Louis, turun ke dalam miasma kehidupan kota yang seperti
neraka dengan mengharapkan datangnya pencerahan.” Inilah cara
saya memulai malam-malam indah di musim panas,” tulisnya, “dalam
meditasi berjalan, dengan visi-visi Paris, menunggu fajar datang.”13
Kota dalam Bayangan
Paris yang sekarang menjadi kekuatan budaya dominan di Eropa
dan juga sumber energi perekonomian—sebagaimana diamati oleh
Mercier dan Restif—yaitu tempat yang dinamis dan bergejolak,
penuh dengan kontradiksi sosial dan finansial dan meluap oleh ide-
ide politik yang dengan cepat berubah menjadi ketidakpuasan politik.
Namun, bencana besar yang akan menghancurkan monarki bukannya
tidak bisa dihindarkan.
Alasan utama bagi argumentasi ini yaitu setidaknya hingga
1780-an, Paris masih merupakan kota yang stabil dan tertata di mana
mereka yang mengajukan petisi paling keras atas perubahan—para
jurnalis, philosophe, penulis, seniman, dan libertin—memiliki gagasan
245
jelas tentang batas-batas tertentu bagi ambisi mereka. Krisis yang
membayangi, yang bagi banyak Parisian datang sebagai kejutan dan
guncangan, sebenarnya yaitu kegagalan pemerintah pada tingkatan
tertinggi. Tanggung jawab terletak pada Louis XV. saat wafat pada
1774, ia telah membuang niat baik apa pun yang ia warisi dari rezim
sebelumnya sebab campuran ketidakmampuan finansial, pemborosan
dan arogansi serta kebijakan luar negeri yang menimbulkan bencana
yang telah berpuncak pada kekalahan-kekalahan tidak berarti dan
memalukan dalam perang.
Penerusnya, Louis XVI, yaitu orang tanpa kemampuan.
Ambisi utamanya yang cukup menyedihkan yaitu , sebagaimana
dikatakannya sendiri, ‘untuk dicintai’. Istrinya si orang Austria yang
bodoh, Marie-Antoinette, terus berbicara dengan kegembiraan tak
berguna saat mereka menaiki takhta. Louis XVI sendiri tidak luput
dari kebodohan. “Kami begitu muda!” katanya kepada sekumpulan
penasihat yang kebingungan saat ia mengukuhkan dirinya sendiri
di istana.14 Memang benar bahwa ia baru berusia dua puluh tahun,
tidak terdidik dengan baik, kecerdasannya rendah dan sedikit sekali
mengetahui tuntutan jabatannya.
Keputusan besar pertama bagi raja baru yaitu apakah akan
menerima atau menolak rencana yang disebut rencana Turgot. Turgot
yang merupakan menteri angkatan laut yaitu pengawas-jenderal
Louis. Sebagai seorang pragmatis yang realistis dan teguh pada
pendirian dengan kepekaan politik yang tajam, dialah satu-satunya
penasihat raja yang memahami bahwa diskursus politik pada dekade
1760-an dan 1770-an sudah bergeser. Misalnya, ia menyarankan raja
agar tidak mengadakan upacara penobatan yang berlebihan dan kuno
pada 1775. Sarannya ini malah membuat marah orang Protestan dan
philosophe, serta mengasingkan dirinya dari Parisian kebanyakan.
Turgot berjanji kepada diri sendiri untuk “tidak bangkrut, tidak ada
peningkatan pajak, tidak ada pinjaman tambahan.” Ia membuat sebuah
rencana untuk menyelamatkan Prancis, menghapuskan kerja paksa
sebagai alternatif pemajakan dan secara bersamaan menghapuskan
keistimewaan serikat-serikat dagang abad pertengahan. Ia meng-
anjurkan peredaran gandum secara bebas, melakukan praktik
akuntansi yang ketat, anggaran dan kontrol ketat terhadap keuangan
246
kerajaan. Namun, rencana Turgot digagalkan oleh istana yang
mengabdikan diri untuk mempertahankan kontrolnya sendiri yang
keras kepala terhadap Prancis dan takdirnya. “Turgot ingin mengelola
Prancis seperti sebuah perkebunan budak,” cibir salah seorang pejabat
kerajaan.15 Raja bersimpati kepada Turgot tetapi akhirnya tunduk
pada para penasihat lainnya.
Louis XVI semakin membuat Parisian marah dengan mendirikan
sebuah penghalang pajak baru pada 1784 yaitu dinding Petani-
Jenderal. Tujuan awal yang dinyatakan yaitu untuk menghentikan
penyelundupan, menambah pemasukan dan memperkuat batas-
batas kota yang telah coba dibatasi oleh Louis XV melalui dekritnya
yang membatasi ukuran Paris pada 1724. Petani-Jenderal yaitu
para pejabat swasta yang memiliki hak untuk menetapkan dan
mengumpulkan pajak-pajak tidak langsung. Dapat dipahami bahwa
Parisian sangat membenci mereka yaitu para anggota organisasi yang
sewenang-wenang dan rakus yang hanya tunduk kepada diri sendiri.
Sekarang, penghalang tersebut memaksa Parisian untuk membayar
pajak di daerah-daerah yang sebelumnya dikecualikan dari pajak.
Lebih buruk lagi, konstruksinya mahal dan dinding itu sendiri
terlalu besar dan kejam. Beredar desas-desus bahwa dinding tersebut
menyebabkan penyakit, melindungi para bandit dan mendorong
kejahatan. Singkatnya, dinding tersebut mewakili semua yang buruk
tentang monarki.
***
Selama dua abad sebelumnya, Paris telah berkembang dengan
kecepatan sangat tinggi. Pada 1750-an, energi dan optimisme yang
membawa populasi dan pemerintah melalui grand sièle telah lama
menghilang menjadi sinisme dan rasa bahwa entah bagaimana
Parisian kebanyakan telah ditipu untuk memberikan dukungan
kepada pemerintah. Inilah argumentasi-argumentasi yang beredar di
kota dalam bentuk pamflet, perdebatan, lelucon, dan anekdot. Banyak
orang yang hidup dengan baik, kemungkinan lebih baik dari siapa
pun yang pernah tinggal di Paris sebelumnya. Populasi Paris sekarang
mencapai 600.000 orang dan sebagian besar dari mereka tinggal di
247
rumah yang nyaman. Orang kaya tinggal di rumah-rumah besar
pribadi yang dirancang oleh para arsitek dalam gaya neo-klasik atau
baroque. Parisian kelas menengah umumnya tinggal di rumah sewa
dalam bangunan-bangunan setinggi enam atau tujuh lantai. Semua
bangunan ini dibuat dari batu dan memiliki perapian. Semua orang
yang bukan pekerja, petani atau gelandangan tidur di atas tempat
tidurnya sendiri.
Meningkatnya kekayaan kota tentu saja hanya memperdalam
jurang antara orang kaya dan orang miskin yang lebih banyak
jumlahnya. Pemandangan di jalanan Paris, saat dinding Petani-
Jenderal dibangun, yaitu raja sedang tertawa di muka kemiskinan
dan kesulitan hidup yang bertambah. Kekecewaan ini sangat terlihat
di kedai minum, kabaret, kelab malam dan rumah makan di dermaga
seperti didokumentasikan oleh Mercier dan Restif. Kelakuan, bahasa
dan gaya tempat-tempat seperti ini, yaitu tempat selebaran dan pamflet
antipemerintah disusun dan disebarkan, sangat berlawanan dengan
Paris Tercerahkan seperti di café dan salon. Tetapi, di dalam kelas
terbawah masyarakat, yang disebut ‘kelas-kelas berbahaya’, kebencian
yang akan menjadi pemberontakan benar-benar menggelegak.
Kemarahan inilah yang akan segera meledak menjadi kekerasan yang
begitu berdarah atas nama keadilan revolusioner.
248
24
Dari Pemberontakan menjadi Revolusi
Pada dekade 1750-an, distrik-distrik bisnis terbesar dan tersibuk
di Paris tidak lagi ditemukan di pusat historisnya di sekitar Île de la
Cité, universitas dan Marais. Distrik-distrik ini dapat ditemukan di
sebelah timur sumbu tengah di kedua sisi sungai, yang membentang
ke pinggiran kota sedikit melewati tempat yang sekarang yaitu Place
de la Nation.
Ini yaitu hasil perkembangan terus-menerus sejak awal 1700-an.
Populasi kota tumbuh di sekitar sumbu industri dan perdagangan.
Daerah terpenting sekarang yaitu Faubourg Saint-Marcel di Tepi
Kiri, yaitu tempat penyamakan kulit yang kotor dan air sungai Bièvre
yang terpolusi, dan Faubourg Saint-Antoine di Tepi Kanan yang
terutama dihuni oleh para tukang kayu, pembuat lemari, tukang batu,
pegawai percetakan, traiteurs-aubergiste, tukang daging, penjagal kuda,
pedagang pasar, dan berbagai macam pekerjaan kecil lainnya. Tempat
ini tidak kaya tetapi juga tidak miskin—walaupun juga memiliki
populasi yang sekarang disebut la canaille, sepasukan mucikari dan
pelacur kelas bawah. Namun, ini yaitu bengkel kerja yang sibuk dan
penuh—sebuah tempat yang jarang sekali didatangi orang kaya.
Tidak mengherankan jika saat Paris terserang wabah penyakit
dan kelaparan, yang masih sering terjadi di abad ke-18, distrik ini
yaitu tempat yang paling merasakan dampaknya. Penduduk distrik
ini selalu menyalahkan orang kaya. Terutama, penduduk di sini
melihat orang kaya bukan hanya sebagai parasit tetapi sebagai orang
dari luar kota, tempat yang memang menjadi milik mereka yang hidup
dan bekerja di dalam batas-batasnya. Jarak antara orang kaya dan
orang miskin bukan hanya jarak fisik tetapi juga kebudayaan. Daniel
Roche mendeskripsikan bagaimana “orang yang cerdas, aristokrat,
249
penggemar seni ruang tamu, gundik di kamar rias wanita … di teater-
teater kecil mereka di Marais dan Palais-Royal menertawakan kelas-
kelas bawah sebagai orang liar yang hampir bukan manusia.1 Oleh
sebab itu, para pria kelas atas di Paris abad pertengahan berupaya
menjauhkan diri sendiri dari kelas bawah dengan mengadopsi tingkah
laku dan pakaian yang membuat mereka hampir seperti wanita. Wig
menjadi populer sejak 1760-an dan seterusnya dan dianggap sebagai
mode oleh kaum borjuis Paris selain aristokrat. Payung kecil juga
dianggap mode dan dijual kepada pria dan wanita di kedua ujung
Pont-Neuf selama bulan-bulan musim panas untuk menjaga mereka
agar tidak terkena sinar matahari dan mempertahankan kepucatan
mereka yang modis.
Terjadi kegilaan yang tidak bisa dijelaskan di kalangan kelas atas
ini, seperti mode yang kembali terjadi pada 1760-an. Pria Paris
yang sadar mode akan membawa wayang golek kecil, pantin, yang
akan dibawa keluar dan digerak-gerakkannya secara tidak acuh di
muka publik sebagai tanda gaya urban dan kehalusan. Komedian
Ramponneau, yang memiliki guingette di Île aux Porcherons yaitu
tokoh yang bergaya dan semua hal yang mengagumkan akan disebut
à la Ramponneau, dan semua yang tidak bergaya akan disebut à la
grecque (Yunani dan segala hal tentang Yunani menurut mode tidak
dapat dimengerti: Fakta ini dilestarikan dalam makanan champignons
à la grecque yang tidak menimbulkan selera, yang masih muncul
di menu-menu restoran). Kesembronoan dan ironi yaitu model
perilaku dan tanggapan yang berlaku di kalangan kelas atas; sementara
sentimen lainnya dikatakan ridicule. Untuk terlihat ridicule tentu saja
yaitu dosa sosial tanpa ampun.
Para pria pesolek yang mengenakan wig ini tidak berani mengatakan
hal seperti itu dengan keras dalam kesempatan-kesempatan yang jarang
terjadi saat mereka masuk ke jantung Faubourg Saint-Antoine.
Kelas bawah Paris memiliki kode moral dan antipahlawannya sendiri,
seperti Louis Dominique Cartouche, seorang pelanggar hukum dan
pembunuh yang bergaya. Eksekusinya pada 1721 ditangisi oleh ribuan
orang. Cartouche terutama dikagumi sebab keriangannya saat
membantai orang kaya. Pengkultusan terhadapnya yaitu firasat bagi
fantasi-fantasi populer yang akan menjadi kenyataan pada 1789.
250
Dalam kesusastraan periode ini, Paris kelas rakyat menginspirasi
kejijikan: lumpur, kotoran, kegelapan selalu ada. Hal yang paling
ditakuti yaitu sans-cullote, kelas terbawah proletar Paris, yang tidak
mengenakan celana ketat (culotte) tetapi celana panjang sebagai tanda
status sosial mereka. Para penjelajah pemberani dari kelas atas yang
mengunjungi daerah-daerah bawah kota melaporkan orang proletar
Paris ini sebagai ‘orang liar’, sama eksotis dan mengancamnya dengan
orang liar mana pun yang ditemukan di koloni-koloni Dunia Baru
yang semakin banyak.
Sebagian besar fantasi ini diprovokasi oleh rasa takut terhadap
kelas bawah, tetapi memang benar pula bahwa Paris kelas pekerja
yaitu daerah perburuan. Misalnya, Faubourg Saint-Antoine
memiliki 38 jalan utama yang saling bersilangan dan 30 jalan kecil
lainnya. Sebagian besar lalu lintas berpusat di rue du Faubourg Saint-
Antoine, rue de Charenton, rue de Reuilly, rue de Picpus, rue de
Monteruil, rue de Charonne dan jalan-jalan arteri menuju Quais de la
Rapée dan de Bercy. Banyak perajin dan tukang telah menetap di sini
untuk memanfaatkan gudang dan pelabuhan yang ada di dekatnya.
Ini yaitu daerah yang sangat padat tempat keluarga hidup di atas
keluarga lainnya di dalam bangunan-bangunan apartemen yang
kurang terawat.
Namun, para pekerja masih bisa hidup cukup layak di hampir
sepanjang waktu. Toko-toko dan pasar-pasar biasanya terisi penuh
barang dagangan dan Marché d’Aligre, yang didirikan pada 1777,
terkenal ke seantero Paris sebab kualitas barang dagangannya.
Walaupun menghadapi kesulitan hidup, orang-orang ini merasa
bangga memiliki rasa humor yang tinggi dan baik hati kepada orang
lain. Mereka membenci polisi, aristokrat, juru tulis, inspektur pajak
dan mata-mata, serta mengeluhkan kenaikan harga dan pemotongan
gaji. Namun di luar semua itu, daerah ini secara umum dikenal sebab
atmosfernya yang ramah walaupun kadang kala tegang. Inilah tempat
di mana, sebagai contoh, Restif datang untuk mengamati tatanan kelas
bawah yang sedang dijalankan dan mengagumi kemampuan mereka
untuk membuat kesenangan polos.
Di tempat ini pulalah, pada April 1789, ditembakkan peluru
pertama yang akan mengubah dunia untuk selamanya.
251
Menyerbu Bastille
Kerusuhan ini dipicu oleh komentar tidak jelas dari seorang pembuat
kertas pelapis dinding di distrik ini yang bernama Réveillon.
Sepertinya, ia berkata di muka publik bahwa akan lebih baik jika semua
upah diturunkan. Komentar ini beredar ke seluruh distrik, diteruskan
dari bar ke kafe, ke tempat kerja dan ke rumah, dari rumah bordil ke
kedai minum, hingga akhirnya menjadi fakta. Komentar ini kemudian
memprovokasi kerusuhan paling berbahaya dan paling ribut yang
pernah terjadi di kota hingga saat itu. Paris pada 1789 merupakan
tempat yang hampir terlihat bergetar oleh emosi marah di kalangan
kelas miskin, yang terlalu sering kelaparan saat mereka sedang tidak
berjuang melawan kekurangan gizi.
Titik awal kekerasan nyata yaitu berondongan peluru yang
ditembakkan oleh pasukan saat mereka berusaha menghentikan
kerusuhan. Mereka berusaha menghentikan serangkaian pertempuran
jalanan kecil di daerah sekitar ujung bawah rue du Faubourg Saint-
Antoine. Pertempuran telah berlangsung sepanjang hari antara para
pekerja, pengangguran, dan pasukan pemerintah yang pada sore hari
sudah kelelahan, kebingungan, dan frustrasi. Dalam hitungan menit
sesudah berondongan peluru, saat emosi meluas ke kerumunan yang
diekspresikan dalam gemuruh kemarahan, sudah jelas bagi semua
pengamat bahwa gangguan ini jauh dari selesai.
Gangguan ini dibuat semakin efektif oleh fakta bahwa para perusuh
di Saint-Antoine telah membuat persekutuan dengan para penyamak
kulit dari Faubourg Saint-Marcel (yang benar-benar termasuk kaum
paling miskin di kota). Mereka datang menyerbu sebagai gerombolan
menyeberangi jembatan-jembatan ke Tepi Kanan untuk memukuli
polisi dan para prajurit raja atas nama keadilan sosial. Gugup dan
kelelahan sebab pertempuran tangan kosong seharian, gardes
française, yang setia kepada raja tetapi tidak dipimpin dengan baik
dan sama sekali tidak punya gagasan tentang cara mengosongkan
jalanan—yang sekarang terisi penuh oleh para pemabuk dan perusuh
yang mabuk—melepaskan tembakan dari sudut rue de Montreuil di
sekitar waktu senja. Ratusan pekerja dan sekutunya terbunuh. Mayat-
mayat mereka bergelimpangan di lumpur jalanan.
252
Raja menyepelekan insiden ini dengan menganggapnya berdarah
tetapi tidak penting (Louis sendiri menyalahkan para penghasut
profesional dalam parlement atas gangguan ini). Signifikansi nyata
dari hal ini yaitu bahwa kejadian tersebut berlangsung dengan latar
belakang Prancis yang bergejolak, yang diguncang oleh pengangguran
dan ketakutan akan bencana kelaparan. Pada 1788, para pekerja
menganggur di kota-kota besar di seluruh Prancis (diperkirakan
bahwa ada 25.000 pekerja sutra tanpa pekerjaan di Lyons saja).
Pedesaan dipenuhi oleh gelandangan dan pengemis yang berjalan dari
desa ke desa untuk mencari makanan paling mendasar. Empat belas
tahun sebelumnya, kerusuhan akibat kelangkaan roti di Brittany—
dikenal sebagai ‘Perang Tepung’—telah memaksa pemerintah untuk
secara berkala menurunkan prajurit di seantero daerah, untuk
menjaga ketertiban. Sekarang, saat dampak kebangkrutan sipil
benar-benar mulai terasa, saat para petani dan pekerja kelaparan
secara berkala menyerang pendeta, bangsawan, dan borjuis di seluruh
pelosok negeri, Prancis berdiri di tepi jurang kehancuran. Tidak
seorang pun yang dekat dengan monarki sepertinya menyadari, atau
jika mereka memang menyadari, mereka telah mengatakannya dan
tidak melakukan apa pun.
***
Kejadian-kejadian yang mengubah pemberontakan menjadi revolusi
politik sepenuhnya dimulai secara resmi pada 17 Juni 1789. saat
itu, para delegasi dari États Ketiga (rakyat biasa) menyatakan bahwa
merekalah satu-satunya pembentuk parlement atau Majelis Nasional
Rakyat Prancis. Ini yaitu tantangan langsung tidak hanya kepada États
Pertama (bangsawan) dan États Kedua (pejabat gereja), yang selalu
mengalahkan veto États Ketiga, tetapi juga kepada Raja. Tanggapan
pertama Louis XVI yaitu mengirimkan senjata api dan pasukan ke
Paris dan Versailles. Jalan-jalan di kedua tempat tersebut dipenuhi
oleh orang-orang yang tidak puas, kelaparan dan pengangguran
yang bersekutu dengan para pekerja yang suaranya selalu diabaikan.
Beberapa minggu kemudian yaitu masa yang sangat panas berupa
penerbitan pamflet, perdebatan publik yang berisik dan, atas perintah
253
para deputi États Ketiga, rekrutmen pasukan rakyat di semua daerah
di kota.
Pemberontakan tiba-tiba mendapatkan momentumnya sendiri
saat pada 12 Juli raja memecat Jacques Necker sebagai kanselirnya
dan menggantikannya dengan baron de Breteuil yang otoriter. Necker
yaitu salah satu dari sedikit anggota pemerintahan yang masih
populer di kalangan rakyat dan pemecatannya dipandang sebagai
penghinaan dan tantangan. Hampir sesaat , rakyat membentuk
milisi-milisi dan mulai mempersenjatai diri dengan senapan dan
tombak panjang untuk pertempuran jalanan. Ribuan orang berjalan
menuju Versailles dan berteriak-teriak meminta dikembalikannya
Necker pada jabatannya hanya untuk diabaikan dengan angkuh oleh
sang raja.
Pencarian senjata oleh rakyat sekarang semakin putus asa. Pada
14 Juli, segerombolan orang menjarah museum di Place Louis XV.
Mereka hanya menemukan senjata kuno dan sudah tidak dapat
digunakan dari masa Henri IV. Namun serbuan ke garnisun Invalides
lebih menghasilkan dan massa berhasil merebut lebih dari 30.000
musket. Massa Paris yang sekarang bersenjata, serta lebih marah dan
berbahaya daripada sebelumnya, kemudian berangkat menuju penjara
Bastille yaitu simbol tirani kerajaan yang dibenci yang berdiri di ujung
bawah distrik. Gubernur penjara, marquis de Launay, pada awalnya
berusaha bernegosiasi agar ia bisa keluar dari masalah ini. Tetapi
saat senja hampir berganti malam, ia memerintahkan anak buahnya
untuk menembaki massa dan menewaskan dua ratus orang. Sebagai
balasannya, massa menerjang ke dalam penjara. Mereka menyeberangi
parit yang mengelilingi penjara dengan menggunakan papan-papan
kayu sebelum seorang penjaga yang bersahabat melemparkan kunci-
kunci jembatan tarik. Kepala de Launay dipotong oleh seorang bocah
pembantu dapur bernama Desnot dengan pisau saku. Kepala itu
kemudian diarak keliling jalan di atas sebuah tombak panjang. saat
ia mendengar semuanya ini, Louis XVI, yang sehari sebelumnya
percaya bahwa semuanya baik-baik saja di Paris, bertanya kepada
para penasihat utamanya apakah ini sekadar pemberontakan lainnya.
“Bukan, yang mulia,” demikian sang penasihat segera menjawab. “Ini
yaitu revolusi.”
254
Membunuh Raja
Faktor krusial yang mengubah insiden-insiden ini dari serangkaian
gerakan pemberontakan menuntut reformasi menjadi revolusi
sebenarnya yaitu keinginan untuk menghapuskan monarki.
Pelanggaran terhadap tabu ini sebelumnya dianggap tidak mungkin
dalam sejarah Prancis. Para raja pernah dibunuh sebelumnya, tetapi
biasanya hal ini merupakan tindakan orang-orang independen atau
para pengkhianat yang bertindak atas nama kelompok marjinal.
Perang Saudara Inggris satu abad sebelumnya, saat Oliver Cromwell
telah berkuasa sebagai patron yang menggantikan monarki, tidak
memberikan preseden nyata sebab di Prancis dan di tempat-tempat
lain di Eropa peristiwa ini dianggap hanyalah perselisihan regional
tanpa signifikansi ideologis. Di Prancis, raja yaitu kekuatan pengikat
utama dan satu-satunya dalam masyarakat. Tanpanya, eksistensi
Prancis sebagai sebuah bangsa terancam bahaya.
Oleh sebab itu, untuk tiba pada keputusan untuk menghapuskan
monarki bukanlah perkara mudah. Pada awalnya, penghapusan
monarki tidak pernah menjadi tujuan États Ketiga bahkan dalam
situasi terpanas. Keputusan untuk membunuh raja dicapai dalam
beberapa tahap, yang setiap tahapnya lebih radikal daripada tahap
sebelumnya, serta dalam serangkaian gerakan yang didorong oleh
kelompok-kelompok yang sebelumnya berada di pinggiran atau
dikecualikan dari proses politik.
Misalnya yaitu para wanita Paris dari kelas pekerja. Sejak awal
dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Prancis, bahkan Eropa,
mereka menjadi kekuatan berpengaruh dan kuat bagi perubahan
radikal. Sejarah-sejarah Revolusi terus-menerus menggambarkan
para wanita ini seperti setan sebagai perempuan jahanam yang brutal,
mengarikaturkan mereka sebagai tricoteuse bermuka masam, yang
secara jahat terhibur oleh tontonan penderitaan dan kematian selama
hari-hari terburuk kekerasan.
Pada kenyataannya, para wanita, yang mengelola anggaran rumah
tangga dan memberi makan anak-anaknya, sering kali lebih tersentuh
oleh konsekuensi suram dari perpolitikan sehari-hari daripada para
pria. Tentu saja, para wanita tidak takut untuk membuat hubungan
255
antara kenyataan ekonomi di jalan dengan keputusan yang dibuat
dalam pemerintahan. Pada Oktober 1789, seorang tukang roti hampir
saja menjadi korban main hakim sendiri di Place de la Grève oleh
sekelompok wanita yang menemukan bahwa ia bersalah sebab telah
menggunakan batu timbangan palsu. Sang tukang roti diselamatkan
oleh sejumlah penjaga, tetapi para wanita yang marah ini menyadari
bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk menghentikan kekuatan
amarah yang telah mereka gerakkan. Massa ini semakin besar dan
pertama-tama mengarahkan caci maki mereka ke Hôtel de Ville.
Selanjutnya para wanita yang telah memulai keributan ini memimpin
massa berjalan melewati Louvre dan Tuileries menuju Versailles.
Di sana, mereka mengepung Majelis dan raja. Mereka menunggu
sepanjang malam sebelum mendobrak masuk ke istana kerajaan
saat fajar tiba.
Kerumunan ini sekarang menjadi massa yang terdiri atas beberapa
ribu wanita, bersenjatakan tombak panjang, pedang, pistol, dan musket.
Raja tidak punya pilihan selain membiarkan dirinya dikawal ke Paris
dengan mengenakan simpul pita Revolusi berwarna merah, putih, dan
biru. Sepanjang jalan ia diberi hormat oleh para wanita yang tertawa,
yang mengangkat roknya untuk memperlihatkan pantat atau alat
kelaminnya. Mereka membuat gerakan tangan mengerikan kepada
ratu. Pasangan kerajaan ini tidak akan pernah lagi melihat Versailles.
Parisian merasa bahwa sekarang mereka bisa melakukan apa pun.
Hanya masalah waktu sebelum semangat republik berubah men-
jadi pembunuhan raja. Louis tidak membantu menyelamatkan
kepentingannya dengan menolak reformasi dan membuat rencana
ambisius dengan kekuatan-kekuatan asing untuk merebut kembali
Paris dengan kekuatan. Ia membuat upaya melarikan diri dari Paris yang
diorganisasi secara buruk pada 20 Juli 1791 untuk bergabung dengan
sekutu-sekutu asing. Namun, ia terlihat oleh seorang revolusioner yang
awas di Varennes dan dikembalikan ke kota. Upaya melarikan diri
ini menghancurkan sisa-sisa kepercayaan Parisian kepada raja. Satu-
satunya pertanyaan nyata yang sekarang diungkapkan di jalan-jalan,
kafe-kafe dan klub-klub revolusioner yaitu apa yang akan dilakukan.
***
256
Permintaan terkuat terhadap raja dilakukan pada 20 Juli 1790. saat
itu, massa sebanyak sekitar 50.000 orang, yang sekali lagi terutama
merupakan pekerja dan penduduk dari Saint-Antoine dan Saint-
Marcel, berbaris di Champ de Mars. Mereka meminta kepala orang
yang sekarang mereka sebut ‘Louis Capet’ (semua raja Prancis sejak
Hugues Capet sekarang dianggap bersalah). Satu resimen penjaga
yang gugup melepaskan tembakan dan menewaskan sekitar lima
puluh orang. Tidak terhindarkan lagi bahwa sentimen antimonarki
hanya kian menyebar.
Posisi raja semakin genting oleh ancaman invasi Prusia dan
kemudian oleh manifesto pasukan sekutu di bawah komando Duke
of Brunswick, yang menyatakan bahwa ia akan menghancurkan
Paris jika raja terluka sedikit pun. Inilah alasan yang dibutuhkan
oleh kelompok ekstremis yang dikenal sebagai kelompok Jacobin,
yang dipimpin oleh Maximilien Ribespierre, untuk menyatakan
bahwa “tanah air sedang dalam bahaya” dan bahwa tanah air hanya
bisa diselamatkan dengan penghapusan monarki. Kelompok Jacobin,
yang juga dikenal sebagai ‘Société des Amis de la Liberté et de l’Égalité,
mendapatkan namanya dari markas besar klub di sebuah bangunan
yang sebelumya merupakan biara Dominikan di rue Saint-Honoré.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ordo Dominikan dijuluki
‘Jacobin’ sebab mereka pernah bermarkas di rue Saint-Jacques.
Jumlah anggota kelompok Jacobin tidak lebih dari 3.000 orang
tetapi segera mengontrol seluruh Paris. Tokoh-tokohnya yang paling
terkemuka yaitu Georges Danton, Camille Desmoulins, Jean Marat,
Antoine Saint-Just dan pemimpin mereka Robespierre. Kelompok ini
mengusung demokrasi total dan mendorong kekerasan revolusioner
dan kediktatoran untuk mempertahankan prinsip ini. Pembunuhan
massal dimulai dengan penuh semangat pada akhir musim panas.
Pada 10 Agustus 1792, Garda Swis pengawal raja dibantai oleh massa
di Tuileries. Pada bulan September, ribuan tawanan yang ditangkap
oleh kaum Revolusioner dibunuh tanpa pengadilan, raja diturunkan
dari takhtanya dan republik Prancis pertama diproklamasikan di atas
tumpukan mayat.
Raja pada akhirnya dipenggal di Place de la Révolution (sebelumnya
Place Louis XV) pada 21 Januari 1793. Kekerasan di Paris pada tahun
257
tersebut mencapai puncak yang tidak pernah bisa disamai. Latar
belakang kekerasan ini disebut ‘revolusi kedua’ yang dipicu oleh
pembantaian pada 10 Agustus.
Pada dasarnya ada tiga kelompok yang bertarung di Paris
dalam tahap ini: kelompok sans-culotte, yang mewakili rakyat;
kelompok Girondin, yang mewakili kaum borjuis; serta kelompok
Jacobin dan kelompok Montagnard (yang disebut demikian sebab
mereka menduduki tempat paling terjal di Majelis) yaitu faksi-
faksi ekstrem Kiri yang menjanjikan ‘rezim kebajikan’. Pada musim
gugur 1792, sesudah periode berdarah perang saudara, intrik dan
pembunuhan, kelompok Jacobin berdiri tanpa penantang sebagai
pemimpin Revolusi.
Pada Maret 1793, kelompok Jacobin membentuk Komite
Keselamatan Rakyat, yang pada awalnya dibentuk untuk mengontrol
pergerakan dan aktivitas orang asing. Komite-komite ini dengan
cepat menjadi tak terkendali, secara acak mengejar orang tidak
bersalah selain konspirator. Rasa haus darah mencapai puncaknya
pada musim gugur saat sekelompok sans-cullote menerobos masuk
ke Konvensi Nasional di Hôtel de Ville. Mereka menuntut roti dan
penumpasan semua musuh internal Revolusi. Ini yaitu pemantik
yang memicu ‘Teror’, yaitu gelombang eksekusi di mana sekitar 20.000
orang dibunuh atas nama kemerdekaan. Jalan-jalan di sekitar tempat
yang kemudian menjadi Place de la Révolution merah oleh darah,
sementara kota dihantui oleh desas-desus, pengaduan dan desas-
desus balasan. “saat Robespierre berkuasa, darah membanjir dan
tidak seorang pun kekurangan roti” yaitu pepatah pada saat itu. Pada
kenyataannya, panen-panen pada 1794 gagal total dan Paris segera
menghadapi kemungkinan bencana kelaparan lainnya. Kentang di-
tanam di kebun-kebun Tuileries dan Luksemburg tetapi bencana
sepertinya tidak jauh lagi.
Pembunuhan terus terjadi dan hanya terhenti saat sebuah
kelompok, yang muak melihat pembantaian ini, melancarkan kontra-
pemberontakan terhadap Robespierre sang inkuisitor agung dan
kepala teroris yang “tidak bisa dikorupsi.” Pembunuh pucat, yang
secara pribadi bertanggung jawab atas 6.000 orang yang terpancung di
Place de la Révolution, kemudian juga digiring menuju panggung dan
258
dipancung pada 28 Juli 1794. Massa memperhatikan bahwa wajahnya
telah berdarah dan terdeformasi, sebagai hasil dari upaya bunuh diri
gagal yang telah dibuatnya sebab panik dan takut di malam sebelum
penangkapannya.
259
25
Jalan Berdarah menuju Utopia
Salah satu ambisi pertama kaum Revolusioner yaitu sepenuhnya
memutuskan hubungan dengan masa lalu untuk mendorong datang-
nya dunia baru. Di jalan-jalan Paris, para sans-cullote secara sistematis
menghancurkan jejak-jejak dan simbol-simbol dari apa yang tidak
lama kemudian mereka sebut Ancien Régime. Salah satu tindakan
pertama mereka yaitu meruntuhkan dinding Petani-Jenderal.
Ini yaitu tindakan yang simbolis dan juga praktis. ada rima
permainan kata yang menyalahkan dinding atas naiknya sentimen
revolusioner—‘Le mur murant Paris rend Paris murmurant’ (‘Dinding
yang mengelilingi Paris telah membuat Paris bergumam’)—tetapi
perasaan umumnya lebih besar daripada ini. Faktanya, ini yaitu
kebencian yang diarahkan kepada semua simbol masa lalu. Peran ini
juga dimainkan oleh Bastille, yang seperti dinding Petani-Jenderal,
dihancurkan hingga berkeping-keping dan digunakan untuk mem-
bangun Pont de la Révolution (sebelumnya Grand-Pont dan sekarang
menjadi Pont de la Concorde).
Agama Kristen sekarang juga dicurigai meski tidak dibenci. Pada
1792, kaum Revolusioner sudah menghapuskan kalender Kristen
dan menggantinya dengan nama-nama bulan yang didasarkan pada
musim, misalnya bulan Mei diganti menjadi ‘Floréal (bunga)’ dan
bulan Juli menjadi ‘Thermidor (panas’). Sekarang yaitu saat untuk
menciptakan kembali kota itu sendiri. Rencana-rencana untuk
melakukannya berkisar dari menyatakan bahwa Notre-Dame yaitu
‘kuil Logika’ (bahkan orang ateis paling tegas dalam kaum Revolusioner
tidak mampu mengeluarkan perintah untuk menghancurkannya)
hingga menyerang gereja-gereja dan kolese-kolese. Patung-patung
yang dipercaya sebagai para raja Prancis di dinding muka Notre-
260
Dame dipenggal. Faktanya ini yaitu kepala para raja Judah dan telah
digantikan. Kepala aslinya ditemukan di sebuah ruang bawah tanah
pada 1795.
Institusi-institusi Universitas Paris yang paling prestisius ditutup,
dijual, diubah namanya atau digunakan untuk kebutuhan lain yang
lebih merendahkan. Sorbonne sendiri pernah diubah menjadi sebuah
pabrik walaupun tidak lama, sementara kolese-kolese lainnya diubah
menjadi penjara atau bengkel kerja. Revolusi juga menyatakan
bahwa semua gereja harus dihancurkan atau diubah menjadi
kegunaan lainnya. Kata ‘saint (santo)’ dihilangkan dari semua nama
jalan. Namun demikian, walaupun semua gereja di Paris menderita
penodaan dalam berbagai bentuk—relik-relik Santa Geneviève
dibakar di Place de la Grève dan Sainte-Chapelle diubah menjadi
pabrik pembuatan tepung—pada kenyataannya hanya empat belas
gereja yang dibakar habis. Alternatif paling umum selain pembakaran
gereja yaitu memberi makna Revolusioner baru kepadanya. Gereja
Sainte-Geneviève disebut Panthéon dan didedikasikan untuk semua
orang besar Prancis. Gereja Saint-Germain-des-Prés menjadi markas
besar berbagai kelompok Revolusioner. Corps de ballet dari Opéra
mementaskan ‘tarian Logika’ di altar tinggi Notre-Dame.1
Kehidupan kota berjalan seperti normal selama Revolusi tetapi
suasana hati publik terlihat lebih muram. Hal ini sudah terjadi
sejak periode menjelang Revolusi, saat bahkan kemabukan dan
penggunaan pelacur terlihat menurun. saat Prancis beranjak
menuju krisis, jarang ada lagu-lagu yang dinyanyikan di kedai-kedai
minum atau di jalan. Kalaupun ada, sifatnya mengolok-olok atau
sinis. Selama Revolusi sendiri, kehidupan sehari-hari didefinisikan
oleh hal-hal ekstrem. Moralitas pribadi dan publik selama Revolusi
dan di kalangan kaum Revolusioner terlalu sering saling bertolak
belakang. Moralitas tersebut berpindah dari satu bentuk serba boleh
secara ekstrem, atas nama revolusi dan subversi, ke kesopanan
publik berlebihan yang mengutuk semua bentuk kesenangan sebagai
pasangan bagi kebejatan Ancien Régime. Pada puncak ‘Teror’, kota
termakan oleh demam seksualitas. Bahkan para pelacur yang bekerja
paling giat sekalipun melaporkan bahwa mereka kelelahan dan tidak
bisa memenuhi permintaan pekerjaan. Pada saat yang sama, kelompok
261
Jacobin mengutuk minuman keras, pelacuran dan bentuk kesenangan
lainnya sebagai, paling baik, kecerobohan kontra-revolusioner atau,
paling buruk, pengkhianatan terhadap Revolusi.
Bagi Parisian kebanyakan, tahun-tahun terburuk belumlah datang.
Ini yaitu periode pasca-Revolusi saat bencana kelaparan dan
penyakit kembali. Namun sementara itu, ketegangan antara kebebasan
dan perilaku bebas masih belum terselesaikan.
“Satu Upaya Lagi…”
Salah satu pahlawan Revolusi yang paling tidak disangka-sangka
yaitu marquis de Sade. Ia hampir saja menjadi salah satu tawanan
yang dibebaskan selama penyerbuan Bastille. De Sade telah dipenjara
sejak 1778, pertama-tama di Vincennes dan kemudian di Bastille.
Pada awalnya ia ditangkap atas tuduhan meracuni dan sodomi
tetapi kemudian diputus tidak bersalah. Sejak itu, ia telah ditahan
tanpa pengadilan, makan dengan rakus, bermasturbasi dan menulis
lembaran Les 120 jours de Sodom (‘120 Hari Sodom’). Ini yaitu
kompendium sangat besar tentang penyimpangan seksual yang
diterbitkan pada 1787 dan akan menjadi adikaryanya. De Sade telah
dipindahkan dari Bastille ke penjara Charenton hanya sepuluh hari
sebelum penyerbuan Bastille yang telah memantik badai api yang
menyapu seluruh Paris. Perpustakaan marquis yang berisikan enam
ratus buku, lukisan-lukisan dan manuskrip-manuskripnya semua
dirobek-robek, dibakar, atau dicuri oleh kaum Revolusioner.2
saat akhirnya dibebaskan pada 1790, marquis meninggalkan
kelasnya sendiri yaitu aristokrat dan menjadi warga negara biasa,
seorang sastrawan dan Revolusioner yang setia. sesudah dirawat sebentar
di sebuah rumah sakit jiwa, de Sade berpaling pada teater (salah satu
dari sedikit seni yang secara resmi didorong di masa Revolusi sebagai
kekuatan subversif secara historis). Karya-karya marquis ‘terkenal’
tetapi hanya oleh segelintir orang yang bisa mendapatkannya.
Berdasarkan reputasi ini, ia umumnya dikagumi sebab serangan-
serangannya terhadap sifat hipokrit aristokrasi dan Gereja. Praktiknya
secara aktual—yang berkisar dari mengorganisasi pesta pora skala
262
kecil hingga percobaan pembunuhan—lebih problematis. Intervensi
de Sade yang paling langsung dalam perdebatan politik saat itu yaitu
khotbah “Satu upaya lagi untuk menjadi seorang Republik,” yang
disisipkan di antara adegan-adegan persetubuhan dua laki-laki dan
memakan feses yang membentuk mayoritas isi buku yang berjudul La
Philosophie dans le boudoir yang ditulis pada 1795.
Tujuan buku ini yaitu mendemonstrasikan sifat ilusi dari semua
moralitas berbasis agama dan mendorong para individu untuk
menghapuskan semua bentuk otoritas supranatural. Hanya saat
manusia mulai bertindak melakukannya, menurut pendapat marquis,
para individu bisa dengan benar mendeskripsikan diri mereka sendiri
sebagai pria dan wanita bebas dan oleh sebab itu merupakan titisan
republik bagi kebebasan. Namun, hal terpenting bagi semua orang se-
zamannya yaitu visi teror kebebasan absolut—kutub berseberangan
dari pemerintahan absolut—yang dibuka oleh buku ini dan buku-
buku lain yang ditulis oleh de Sade. Aspek pemikiran inilah yang
telah menjadikan citranya pada saat itu dan juga sekarang sebagai ahli
teori pelanggaran hukum, tokoh membengkak dalam potret Surealis
terkenal berjudul Man Ray buatan tahun 1938, yang memandang
dengan mata tajam ke masa depan ruang hampa dan tak terbatas yang
kosong.
Tempat melakukan kesenangan melanggar hukum bagi mayoritas
Parisian selama Revolusi masih tetap Palais-Royal. ada desas-
desus bahwa tempat tersebut sekarang menjadi tuan rumah bagi
pertunjukan seks setiap malam, yang diorganisasi oleh para pelacur
yang bekerja dengan gratis dan mengundang para mantan kliennya
untuk berpartisipasi saat mereka melakukan seks kelompok di
muka umum atas nama sekularisme Revolusioner. Kenyataannya
tidak terlalu menarik bagi banyak Parisian dari semua kelas yang
berdatangan ke Palais-Royal untuk mengejar seks. Seorang saksi mata
melaporkan bahwa
di masa puncak Revolusi lebih dari dua ribu gadis dapat ditemukan setiap
saat sepanjang hari sedang berjalan di taman-taman. Sebagian dari mereka
datang dari tempat jauh, lainnya tinggal di bangunan-bangunan yang ada
di sana. Pintu-pintu tempat tinggal mereka dihiasi dengan papan-papan
nama toko yang lebih dari sekadar menjurus. Barang dagangannya sendiri
263
tersedia di balkon. Dan jika orang yang lewat lupa memperhatikan mereka,
para wanita itu menyenangkan diri mereka sendiri dengan mengosongkan
pispot mereka ke luar jendela. Di Palais-Royal, yaitu bijaksana untuk
selalu melihat ke atas.3
Salah satu dari hiburan khusus di rumah-rumah bordil Palais-
Royal yaitu tersedianya sosies de vedette, para pelacur yang mirip
dengan atau berpakaian seperti wanita-wanita yang terkenal pada
masa itu. Para pelacur tersebut kadang kala disebut sebagai sunamite
(istilah yang dipinjam dari nama Pengantin Perempuan dalam Lagu
dari Lagu-Lagu dalam Alkitab). Model-model yang disukai yaitu
para bintang teater atau opera. Aktivitas seksual di sini semakin
intensif pada masa puncak ‘Teror’, saat para gadis mengenakan topi
perempuan berwarna merah, putih, dan biru dan memberikan harga
khusus kepada para anggota tertinggi Majelis.
Walaupun ada suasana karnaval (“benar-benar Sodom baru!”
tulis seorang pengunjung ke Paris dengan senang), kedai-kedai
minum dan rumah-rumah bordil di Palais-Royal diorganisasi secara
ketat.4 Gadis-gadis yang paling mahal dan paling berpengalaman
sering mendatangi Café de Foy (tempat Camille Desmoulins, seorang
pengacara yang menganggur dan ahli propaganda, membuat pidato
berkilauan di hadapan massa pada 12 Juli 1789 yang berpuncak pada
penyerbuan Bastille). Sebagian dari pelacur paling elegan menempati
apartemen-apartemen di lantai dua, tempat mereka menawarkan
hiburan seperti makan malam dan permainan piano. Transaksi lainnya
lebih primitif dan komersial. Almanach des adresses des demoiselles
de Paris de tout genre et de toutes le classes (‘Almanak alamat wanita
Paris yang belum menikah dari setiap jenis dan kelas’) memberikan
deskripsi lengkap tentang siapa dan apa yang sedang ditawarkan;
termasuk ‘Bersi’, seorang mulatto (peranakan kulit hitam dengan kulit
putih) bertubuh bahenol, berwajah selalu tersenyum, ‘permata’ kecil
yang manis, dan semua keluwesan dan keriangan seorang Amerika,
seharga 6 livre (jumlah yang standar). Seorang Italia berambut cokelat
dengan ‘kulit lembut, payudara provokatif, tanpa tabir’ dengan harga
12 livre untuk demi-nuit. Gadis-gadis asing selalu lebih mahal daripada
gadis Paris asli, terutama seperti ‘Georgette’ yang ‘lembut’ saat sadar
tetapi ‘biadab dan tanpa malu’ saat mabuk ‘punch’. ‘Georgette’ hanya
264
membutuhkan biaya 3 livre semalam, jika Anda bisa bertahan dari
minuman dan kemungkinan penganiayaan.5
Para Penyodomi
Revolusi, seperti marquis de Sade, memberikan lisensi bagi hampir
semua kenikmatan dunia material, dari seks hingga minum hingga
makan dengan rakus (namun makanan dan minuman tidak selalu
tersedia secara berkala seperti seks). Salah satu dari sedikit area
pengalaman tabu yaitu homoseksualitas. Marquis de Sade memuji
sodomi sebagai bentuk kejahatan tertinggi dan paling nikmat, tetapi
hal ini hampir selalu antara pria dengan pria dengan wanita atau,
jika dipraktikkan antara pria atau remaja, dalam konteks pesta pora
biseksual. Sodomi yang secara eksklusif homoseksual dianggap
merupakan kejahatan yang murni aristokrat, walaupun ada fakta
bahwa—sebagaimana dikonfirmasikan oleh buku yang ditulis oleh
Sade—banyak dari mereka yang menikmatinya berasal dari kelas
bawah.
Pihak kepolisian Paris sudah lama menganggap sodomi sebagai
malapetaka di kota. Setidaknya sejak 1715, kepala polisi bernama
Simonnet sudah melakukan kampanye untuk membersihkan
homoseksual di Paris. Teknik penjebakan paling populer yaitu
mengirimkan para mata-mata, yang disebut mouche (‘lalat’), untuk
berlama-lama dan saling menggoda dengan para homoseksual
di bagian-bagian kota yang diketahui merupakan tempat mereka
bertemu, misalnya di taman Tuileries atau taman Luksemburg di saat
senja. sesudah 1738, catatan kepolisian mulai merujuk ‘para penyodomi’
sebagai ‘pederast (homo)’. Istilah yang berasal dari bahasa Yunani ini
dianggap lebih ilmiah dan sekuler sebab ‘sodomi’ memiliki konotasi
alkitab dan dikaitkan dengan dosa dan bukan kejahatan; poin teologis
yang rumit bagi polisi. Hal ini tidak menghentikan pertumbuhan
popularitas seks sesama jenis. Tindakan yang paling mengganggu bagi
pihak berwenang yaitu banyak pria yang sudah menikah ditemukan
terlibat dalam masturbasi bersama di ‘kawasan-kawasan homo’ yang
sudah terkenal, walaupun banyak dari mereka mengklaim bukanlah
265
‘penyodomi’ atau ‘homo’, bahwa mereka tidak me