Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 10

 


lnya hanya 

untuk membangun blok-blok apartemen yang cukup berjauhan guna 

memungkinkan udara segar mengalir di antara blok-blok tersebut. 

Pengembang tidak bermaksud membangun jalan-jalan baru untuk 

memasuki kota, tetapi sebaliknya membayangkan sebuah tempat 

yang sehat sebagai tempat tinggal dan berjarak relatif cukup jauh dari 

jalan-jalan di pusat kota yang pengap. saat  akhirnya diselesaikan, 



300

daerah yang dideskripsikan sebagai ‘La Nouvelle Athènes’ segera 

banyak dicari, menarik tokoh-tokoh terkenal dari dunia politik dan 

seni yang beranggapan bahwa daerah tersebut cukup bergaya sebagai 

tempat tinggal dengan jarak relatif jauh dari kota. Penulis George Sand 

dan Alexandre Dumas serta aktor Talma yaitu  salah satu penghuni 

pertama daerah ini sebab  alasan tersebut.

Para investor dan pengusaha dengan cepat menyadari bahwa 

mereka bisa mendapatkan uang dengan mengembangkan daerah 

pinggiran Paris. Proyek-proyek pembangunan segera meluas ke 

perbatasan utara kota ke tempat-tempat seperti Batignolles dan ke 

selatan di Grenelle. Blok-blok apartemen baru, walaupun lebih kecil 

dan tidak terlalu banyak dihias dibandingkan sebelumnya, sering 

kali menyerupai gaya akhir Renaisans pada abad ke-16 yang kembali 

modis. Hal ini tidak berarti bahwa Marais, yang telah lama mengalami 

kemunduran, yaitu  tempat yang bergaya untuk tinggal. Namun, 

sedikit sekali pemilik rumah yang bisa membiayai kemewahan seperti 

ini dan sebagian besar investor enggan mengeluarkan uang lebih 

banyak daripada yang benar-benar diperlukan dalam hal gaya dan 

dekorasi.

Hal yang benar-benar baru bagi Parisian dan para pengunjung ke 

kota yaitu  penyebaran lorong-lorong beratap di Tepi Kanan yang 

menghubungkan jalan-jalan dengan bulevar-bulevar dan membentuk 

matriks rute di seluruh kota yang tidak mengikuti jaringan jalur 

tradisional di seluruh kota, atau bahkan tidak mengikuti cuaca. 

Gagasan lorong-lorong bertutup di lingkungan perkotaan bukanlah 

hal baru di Prancis. Di barat daya, sebagian besar kota besar dan 

kota kecil telah memiliki pasar tertutup dalam berbagai bentuk yang 

berasal dari abad ke-13 dan mungkin dipengaruhi oleh souk besar 

kota-kota Arab. Hal yang paling mengagumkan tentang lorong-lorong 

baru ini terutama yaitu  konstruksi dan rancangannya. Lorong ini 

dibangun dari besi tempa dan batu serta mengombinasikan pola 

yang ringan, cerah dan sering kali sangat rumit dengan struktur yang 

padat dan sangat kuat. Hal ini menampilkan struktur yang sama sekali 

berbeda dengan struktur arsitektur klasik atau neo-klasik. Terutama, 

lorong-lorong ini sepenuhnya ditujukan untuk aktivitas komersial 

dan kesenangan. Passage de Paris yaitu  pelopor modernitas yang 


301


akan diwujudkan dan didefinisikan oleh kota Paris pada abad ke-19. 

Ferdinand von Gall, seorang Jerman yang berada di Paris, mencatat 

bahwa orang-orang merokok di lorong pada periode saat  saat itu 

masih dianggap tidak sopan untuk merokok di jalanan. Lorong yaitu  

“lokasi favorit para perokok dan pejalan kaki, daerah operasi bagi 

segala macam bisnis kecil. Di setiap arkade ada  setidaknya satu 

tempat untuk membersihkan diri. Di sebuah salon yang dilengkapi 

secara elegan seperti halnya orang-orang yang akan menggunakannya, 

para pria terhormat duduk di atas kursi tinggi dan membaca surat 

kabar dengan nyaman sambil membaca koran sementara orang lain 

menyikat kotoran dari pakaian dan sepatu bot mereka.”6

Lorong pertama yang layak yaitu  lorong du Prado, yang dibangun 

pada 1785 untuk menghubungkan Faubourg Saint-Denis dengan 

bulevar. Pada 1786, dimulai pekerjaan untuk membangun galeries de 

bois (‘galeri kayu’) yang menghubungkan Palais-Royal dengan galerie 

Valois dan galerie Montpensier. Keduanya segera sukses. Para penjual 

buku dan pedagang pakaian modis bergegas untuk mendirikan bisnis 

di sana. Lorong du Caire (yang menghubungkan rue Saint-Denis) 

dan lorong des Panoramas (yang menghubungkan ke rue Saint-Marc) 

mulai beroperasi pada 1800.

Antara 1820 dan 1845, tiga puluh empat lorong dibangun di 

seantero Tepi Kanan (para investor menganggap Tepi Kiri tidak terlalu 

komersial dan, dengan jalan-jalan abad pertengahan yang masih 

setengah ada, lebih sulit dari sudut pandang arsitektur). Pada dekade 

1870-an, ada  lebih dari 150 lorong, tetapi sudah mulai mengalami 

penurunan. Lorong-lorong ini dikalahkan oleh aktivitas bulevar dan 

perbaikan transportasi urban yang membuatnya tidak terlalu penting 

lagi sebagai perlindungan dari hujan, lumpur, dan kereta kuda yang 

berbahaya.

Pada abad ke-20, lorong-lorong ini begitu dimuliakan oleh 

kaum Surealis pada dekade 1920-an (lihat Bab 37), yang mengagumi 

cara lorong-lorong ini membuat kota memiliki labirin misterius. 

Pada dekade 1950-an, lorong-lorong ini juga dimuliakan oleh 

para Situasionis, sebuah sekte kecil seniman dan intelektual yang 

memimpikan masa depan Paris yang didedikasikan untuk kemalasan, 

kesenangan, dan puisi daripada tuntutan uang dan kerja. Kedua 



302

kelompok ini mengagumi tulisan Walter Benjamin, seorang imigran 

Jerman ke Paris pada 1930-an. Ia seorang intelektual Marxis dan 

sejarawan Paris yang penuh semangat. Dalam kajiannya yang tidak 

selesai tentang kota Paris pada abad ke-18, Benjamin mencurahkan 

ribuan kata bagi lorong, mendeskripsikannya sebagai ‘kuil ibukota 

komoditas’.7 sebab  bermunculan selama semangat perdagangan dan 

spekulasi risiko tinggi pada dekade 1820-an dan 1830-an, lorong-

lorong ini yaitu  lambang energi ibukota dan juga kepercayaan semi-

Utopianya terhadap masa depan. Sebagai ruang interior yang nyaman 

dan intim di kota, lorong-lorong ini juga terhubung secara rumit 

dengan nilai-nilai fantasi masyarakat borjuis Louis-Philippe, yang 

menghargai kenyamanan kerja, keluarga, dan lingkungan keluarga 

domestik sebagai nilai-nilai tertinggi.

Benjamin juga mengagumi cara di mana kisaran dan kualitas 

komoditi yang ditawarkan di tempat-tempat ini merupakan manifestasi 

kasatmata dari keinginan masyarakat secara kolektif. Ia menyebutnya 

‘rumah-rumah mimpi’ dan berpendapat bahwa, sebab  masa lalu dan 

masa kini menempati keberlanjutan yang sama, dengan membaca 

secara saksama keinginan generasi masa lalu yang paling sulit terlihat, 

sebagaimana dimasukkan ke dalam passages de Paris, kita juga dapat 

melihat secara sekilas kemungkinan masa depan kita sendiri. Sulit 

untuk melihat bagaimana hal ini tetap benar dalam banyak lorong-

lorong di Paris abad ke-21 yang baru saja diperbaiki, seperti Galeries 

Vivienne, yang telah diubah bentuknya dan dibangkitkan kembali 

sebagai barang museum yang berkelas dan mahal. Namun, di lorong-

lorong yang lebih berdebu dan lebih terabaikan di Tepi Kanan 

seperti lorong du Caire tempat bisnis tekstil, perdagangan teks dan 

dunia bawah tanah penyelundup manusia serta pedagang narkoba 

(kesemuanya yaitu  pedagang keliling yang menjual berbagai macam 

benda yang diinginkan manusia) saling berbenturan, masih mungkin 

untuk melihat apa yang dimaksud oleh Benjamin sebagai “panggung 

sejarah … perubahan dialektik antara kesenangan jasmani dan 

mayat.”8


303


“Cahaya bulan baru”

Salah seorang pengunjung Paris pada dekade 1830-an yang bermata 

tajam yaitu  Mrs. Trollope. Ia yaitu  ibu seorang penulis Inggris 

terkenal dan ia sendiri yaitu  penulis buku-buku perjalanan. 

Mengikuti jejak para turis lainnya, ia mengunjungi Café Tortoni yang 

terkenal di bulevar des Italiens dan membicarakan dengan penuh 

semangat barang-barang sangat indah yang ditawarkan serta “cahaya 

terang di dalam, kerumunan yang bergumam di luar.”

Ia juga menyadari bahwa di kalangan pemuda Prancis yang bergaya 

dari keluarga berada yang berkumpul di sana ada  “mata liar dan 

berani yang berpaling dari setiap lirikan mata.” Ia telah diberi tahu 

oleh seseorang yang mengetahui Paris dengan baik bahwa terjadi 

peningkatan bunuh diri yang cukup signifikan di kalangan pemuda 

baru-baru ini dan biasanya dihubungkan dengan ‘bacangan ringan’, 

yang memuji kematian dan merendahkan nilai-nilai sehari-hari 

masyarakat Louis-Philippe untuk pandangan dunia yang lebih luar 

biasa. Dengan kesewenang-wenangan Anglo-Saxon yang luar biasa, 

Mrs. Trollope menganggap kisah-kisah seperti itu hanyalah kisah 

yang ceroboh dan omong kosong yang dilebih-lebihkan, walaupun ia 

memang mengakui bahwa ia merasa terganggu sebab  menemukan 

“para individu yang hidup seperti itu” di Café Tortoni.9

Para pemuda yang telah mengganggu kedamaian Mrs. Trollope 

tidak diragukan lagi yaitu  para pengagum atau anggota sekte 

yang disebut ‘Les Bousingos’. Kelompok ini, yang termasuk penyair 

Gérard de Nerval (nama samaran bagi Gérard Labrunie), Philothée 

O’Neddy (anagram dari nama sebenarnya: Théophile Dondey) dan 

Jehan du Seigneur (nama buatan bergaya abad pertengahan; nama 

aslinya hilang dalam sejarah), telah didirikan oleh penyair, novelis, 

dan eksentrik profesional Pétrus Borel yang berusia 21 tahun di 

kamar sewaannya di sudut boulevard de Rochechouart. Awalnya 

mereka menamakan dirinya ‘Le Camp des Tartares’ (nomenklatur 

pro-Rusia yang provokatif) dan kemudian, untuk menunjukkan 

pandangan mereka yang progresif, ‘Les Jeunes-France’. Kelompok 

ini mulai menghina dan menyerang segala aspek masyarakat Louis-

Philippe dengan serangkaian lelucon serius, termasuk berjalan-jalan 



304

tanpa pakaian, atau meninggalkan boneka penjahit di jalan dengan 

diselimuti oleh kain dan mengklaim bahwa itu yaitu  mayat yang baru 

saja digali dari permakaman. Mereka dipaksa untuk meninggalkan 

markas besarnya di boulevard de Rochechouart sesudah  intervensi 

polisi. Polisi dipanggil untuk mencegah para tetangga yang marah 

agar tidak menghakimi mereka sesudah  para tetangga mengira mereka 

sedang meneriakkan ‘Vive Charles Dix (X)!’ padahal sebenarnya 

mereka sedang menyanyikan ‘Vive Bouchardy!’ yaitu merujuk pada 

seorang novelis yang menjadi salah seorang anggotanya. Mereka 

memindahkan markasnya, sudah selayaknya, ke rue d’Enfer, tempat 

mereka mengadakan pesta inaugurasi. Dalam pesta tersebut, mereka 

memakan krim dari tengkorak kosong dan sebagian besar tamu 

pingsan sebab  punch yang mematikan.10

Mereka menyebut diri mereka sendiri ‘Les Bousingos’ selama 

sebuah pesta di kabaret yang bernama Petit-Moulin-Vert. Mereka 

menari mengitari sebuah mangkuk alkohol yang telah dinyalakan 

dan membuat bait-bait yang berakhiran dengan ‘go’ dan ‘goth’ (untuk 

memuji Victor Hugo). Mereka segera menjadi terkenal dalam pers 

populer sebab  tingkah laku aneh mereka—seperti menghabiskan satu 

hari di permakaman atau ruang bedah—direkam dalam karya seperti 

Le Figaro. Mereka membuat lagu yang merayakan rokok (“Marilah 

kita merokok, merokok! Seperti rokok, segalanya hanya singkat dalam 

kehidupan yang tidak berguna”) dan merayakan nilai-nilai kemalasan, 

pesta pora, narkoba, bunuh diri, dan pembunuhan.

Namun, ada  aspek serius, bahkan politik, dalam perilaku 

bersenang-senang ini. Lebih jelasnya, anggota Bousingos tidak me-

nyukai ‘kebodohan’ dan sifat alami dunia yang bodoh seperti sapi 

sebagaimana diatur di bawah Louis-Philippe. Mereka yaitu  anak-anak 

revolusi 1830 yang sangat kecewa melihat masa sesudah  revolusi. Pendiri 

mereka, Borel (yang kadang kala menganggap dirinya sendiri sebagai 

‘serigala jadi-jadian’), telah mendeskripsikan pemberontakan Paris 

pada Juli sebagai ‘kawah’ di mana ‘cahaya bulan baru’ mengungkapkan 

kengerian pendeta yang membusuk.11 Pemberontakannya yaitu  

konsekuensi langsung dari ketidakmampuan masyarakat secara 

kolektif untuk bertanggung jawab bagi pelaksanaan revolusi sebenar-

nya.


305


Rasa ketidakpuasan yang sama menyentuh para intelektual dari 

semua strata sosial. Bahkan, alasan lainnya mengapa pemerintahan 

Louis-Philippe gagal yaitu  ketidakmampuannya untuk memahami, 

apalagi melawan, barisan ide pada abad ke-18. Ingatan akan ‘Grande 

Révolution’ tidak pernah terlalu jauh di kalangan mereka yang disebut 

‘kelas berbahaya’ di kota ini. Namun pada akhir dekade 1830-an, 

ingatan ini tidak lebih dari nostalgia yang semakin menghilang akan 

janji kebebasan yang gagal dipenuhi oleh pemerintah-pemerintah yang 

silih berganti. Selama periode ini, saat  pemerintahan Louis-Philippe 

mengonsolidasikan kekuatan dengan senjata api selain dengan pajak 

yang rendah, diklaim bahwa tradisi Revolusi masih benar-benar 

dipertahankan secara utuh oleh para intelektual radikal muda yang 

menaruh minat dalam kesusastraan dan filsafat selain politik.

Hal ini tidak sepenuhnya benar—klaim tersebut dibuat oleh para 

intelektual muda sendiri dan tidak pernah dipercayai oleh kelas 

pekerja—tetapi memang benar bahwa di Paris, seperti di tempat-

tempat lain di Eropa, semangat kebebasan baru sedang menyebar 

luas di salon-salon dan di benak para intelektual. Istilah romantisme 

pertama kali memasuki bahasa Prancis pada 1822, walaupun istilah 

romantique telah lama digunakan sebagai kata benda maupun kata 

sifat. Sederhananya, kata ini mendeskripsikan suasana hati dalam 

pemikiran Eropa yang sejak akhir abad ke-18 telah mengambil 

bentuk sebuah pergerakan. Prinsip utama “Romatisisme Prancis, yang 

terinspirasi oleh tulisan-tulisan Jean-Jacques Rousseau dan, lebih 

baru lagi, Madame de Staël, selain pergolakan politik Revolusi, yaitu  

bahwa standar-standar klasik bagi keindahan tidak memadai untuk 

merepresentasikan kehidupan sepenuhnya dalam pemikiran atau 

seni. Para ahli teori Romantis, yang pada dekade 1830-an termasuk 

nama-nama seperti penyair Alphonse de Lamartine, Alfred de Vigny, 

dan Victor Hugo, meminta ‘liberté dans l’art’, dan menuntut kebebasan 

penuh dalam urusan memilih subjek dan bahasa. Kelompok-kelompok 

sempalan, seperti Bousingos, dianggap sebagai hasil ekstremis 

pergerakan ini dan bahkan dipuji oleh para tokoh arus utama atas apa 

yang disebut ‘Romantisisime mereka yang gila-gilaan’.

Di Paris, suasana hati ini telah dibenarkan sebagai teori pemandu 

bagi sebuah hari di bulan Februari 1830 pascaterjadinya peristiwa yang 



306

disebut bataille d’Hermani. Ini bukanlah pertempuran sebenarnya 

tetapi lebih merupakan benturan budaya di mana kaum tradisionalis 

dan kaum Romantis muda berkelahi di Comédie Française sebab  

drama Hermani karya seorang pemuda yang akan segera terkenal 

bernama Victor Hugo. Walaupun drama tersebut pada dasarnya 

tidak bagus, drama ini telah memicu kemarahan sebab  subjek yang 

dibahasnya yaitu seorang raja yang lemah dan plin-plan. Hal yang 

paling signifikan dan secara politik mudah menimbulkan pertengkaran 

yaitu  penggunaan secara bebas dan terang-terangan bahasa dan 

bentuk tragis. Kaum tradisional mencemooh saat  mendengar 

seorang raja berbicara dalam diksi puitis yang tidak sempurna dan 

menggunakan ungkapan sehari-hari. Kaum romantique, yang selama 

dua malam pertunjukan drama kontroversial ini menampilkan 

para pembuat keributan profesional seperti Borel dan calon penyair 

Théophile Gautier, mengejek kaum tradisional dan tidak takut untuk 

melayangkan satu atau dua pukulan atas nama ‘seni kebebasan’.12

Parisian biasa tidak memahami atau tidak memedulikan 

pertengkaran semacam itu atas nama seni tingkat tinggi. Namun 

‘pertempuran’, yang merupakan konflik antar-generasi selain konflik 

lainnya, memang menandai titik balik dalam karier Louis-Philippe. 

Yang terpenting yaitu  konflik ini memberi tanda bahwa nilai-nilai 

ini tidak dapat diterima bagi generasi-generasi pemikir dan pembuat 

opini masa kini dan masa depan. Penyair Alphonse de Lamartine, 

yang merupakan tokoh yang jauh lebih dihormati dan secara politik 

lebih berpengaruh daripada Borel telah ditanya mengapa ia tidak 

mendukung pemerintahan Charles X. Ia menjawabnya dengan: 

“Apakah singa akan memberikan maaf saat  lidahnya telah merasakan 

darah?”13 Ini yaitu  bahasa yang tidak biasanya penuh emosi bagi 

seorang penyair yang dikenal sebab  kemanusiaan dan sifatnya yang 

moderat. Tidak kurang dari Bousingos, Lamartine dan dunia yang 

diwakilinya telah dikecewakan oleh jurang yang semakin lebar antara 

mitos revolusi dengan kenyataan pascarevolusi.


307


29 

Cermin Balzac

Namun, tidak seorang pun bisa membatalkan Revolusi. 

Selama tujuh puluh tahun selanjutnya, mitos Paris Revolusioner, 

yang dibangkitkan kembali dalam sejumlah peristiwa pada 1830, 

akan memainkan peran utama dalam imajinasi semua Parisian, 

mendominasi keputusan yang mereka buat dan pada akhirnya meng-

arah pada saat-saat terpenting dari kekerasan yang mengguncang 

pada 1848 dan 1871.

Sepertinya tidak terlalu banyak berpengaruh bahwa hingga 1830 

penduduk Paris telah menikmati periode pasif dan kelembaman yang 

lama. Mereka bahkan berkolaborasi dengan para penguasa yang tidak 

efektif dan rezim yang lalim. Perubahan yang benar-benar terjadi 

di bawah ‘Monarki Juli’ pada kenyataannya kurang-lebih sejalan 

dengan kepercayaan Louis-Philippe terhadap bangsa penjaga toko 

dan bukan para kesatria pencari kejayaan. Grand magasin pertama, 

pendahulu toko serbaada, telah muncul di Paris pada 1824. Toko 

ini yaitu  La Belle Jardinière di Quai aux Fleurs di Île de la Cité 

yang memperkenalkan konsep revolusioner berupa harga pasti dan 

pembayaran di kasir. Pada 1828, pengusaha Stanislas Baudry telah 

mendirikan Compagnie des Omnibus, sistem transportasi terintegrasi 

pertama untuk daerah Paris dengan 100 kereta kuda berkapasitas 

18-25 tempat duduk. Di pertengahan masa pemerintahan Louis-

Philippe, kereta-kereta kuda ini telah mengangkut lebih dari dua juta 

pelancong ke seantero kota. Pada 1836, telah muncul dua surat kabar 

harian, La Presse dan Le Siècle, yang ditujukan pada pasar borjuis 

yang sedang berkembang dan menarik sirkulasi yang sangat banyak. 

Surat kabar ini menampilkan dua hal baru kepada Parisian yaitu 

layanan berlangganan dan pemberi iklan yang bersedia membayar 




308

tinggi. Sebuah sistem penomoran jalanan (yang secara tidak sengaja 

memperkenalkan tanda nomor dari besi berwarna biru yang masih 

digunakan hingga sekarang) diperkenalkan pada 1847. Paris dengan 

cepat menjadi semakin domestik dan modern pada saat yang sama.

Walaupun terjadi peningkatan dalam kualitas kehidupan sehari-

hari, pemerintahan Louis-Philippe tidak pernah menikmati dukungan 

rakyat secara nyata. Hal ini membuka jalan bagi para pendukung 

kerajaan, pendukung Bonaparte dan kelompok-kelompok Kiri 

Revolusioner yang sedang bangkit untuk menggagalkan cita-citanya 

akan sebuah negara yang nyaman yang pada prinsipnya tertata di 

sekitar kenyamanan dan kesejahteraan kelas-kelas menengahnya. 

Bukanlah kecelakaan bahwa selama periode ini, dan terutama saat  

kondisi orang miskin di Paris mengalami kemerosotan yang terlihat 

sesudah  krisis ekonomi 1846 – 1847, bahwa Karl Marx dan Friedrich 

Engels mulai menampilkan kota sebagai ibukota semua revolusi yang 

akan datang atas nama keadilan sosial. Siapa pun yang pada dekade 

1840-an berjalan dari barat ke timur kota, melintasi rue Saint-Denis 

atau rue Saint-Martin dengan perasaan takut seperti seseorang 

yang akan menyeberangi perbatasan tak kasatmata yang berbahaya, 

pasti akan melihat makna nyata dan langsung dari definisi sejarah 

menurut Marxis sebagai baku pukul penuh kemarahan antarkelas-

kelas sosial. Paris yaitu  kota yang terbagi di mana kedua populasi, 

kaya dan miskin, tidak berbicara dalam bahasa yang sama, apalagi 

bernapas dengan udara yang sama, memakan makanan yang sama 

atau mengenakan pakaian yang sama.

Dengan latar belakang ketidakpuasan yang semakin tinggi inilah 

Prancis melancarkan sebuah petualangan seberang lautan yang 

akan memiliki konsekuensi jangka panjang dan pada akhirnya 

menimbulkan bencana. Petualangan ini yaitu  penaklukan Prancis 

terhadap Aljazair. Ini yaitu  sebuah wilayah yang luas dan belum 

dikenal di sisi lain Mediterania. Wilayah ini digosipkan kaya akan 

barang rampasan yang bisa dijarah dan kekayaan Oriental. Selain itu, 

Aljazair dipandang merupakan mangsa empuk bagi kekuatan militer 

dan teknologi tentara Prancis yang lebih unggul.


309


Pertempuran Aljazair Pertama

Prancis memang sudah lama menginginkan Aljazair, yang dianggap 

merupakan salah satu penghubung terlemah dalam Kesultanan 

Ustmaniyah. Inspirasinya datang dari kesuksesan Napoleon walaupun 

hanya sebagian dengan pasukan ekspedisi ke Mesir pada 1798. 

Ekspedisi ini memicu popularitas segala hal yang berhubungan 

dengan Oriental di Paris mulai dari permadani, karpet, dan furnitur 

hingga perhiasan dan ganja. Katalisnya yaitu  penghinaan yang 

diberikan kepada konsul Prancis bernama Deval pada 1827 oleh 

Dey Aljazair atau El-Djezair sebagaimana nama kota itu pada saat 

itu. Dey Aljazair telah memukul konsul dengan pemukul lalat saat  

sang konsul menuntut bunga yang sangat tinggi atas pinjaman yang 

diberikan Prancis kepada bangsa Aljazair.

Tiga tahun kemudian, Prancis membalas dendam. Gagasan ini 

diumumkan pertama kalinya oleh Charles X pada Maret 1830 dengan 

niatan yang dinyatakan yaitu menagih utang yang belum dibayar dari 

para bajak laut dan perompak. Bahkan pada tahap seawal ini, musuh-

musuh Charles melihatnya sebagai rencana yang meragukan untuk 

memulihkan kembali popularitas di dalam negeri yang merosot cepat 

dengan petualangan luar negeri untuk mengejar la gloire. Sekalipun 

demikian, pada 14 Juni 1830, pasukan Prancis mendarat di Sidi 

Ferruch yaitu sebuah pantai yang berjarak sekitar 32 km sebelah timur 

Aljazair. Tindakan ini dilancarkan sebagai hiburan selain sebagai 

perang, dengan Parisian yang bergaya menonton bombardemen 

terhadap Aljazair dari kapal-kapal pesiar sewaan. Dey menyerah 

sesudah  bertempur selama lima minggu. Pada saat itu, Charles X juga 

sudah dijatuhkan dan pergi ke pengasingan.

Louis-Philippe mewarisi petualangan ini. Ia mengejarnya dengan 

semangat sebanyak yang ia bisa, terutama sebab  ia tidak bisa kehilangan 

muka di Paris atau dilihat menyerahkan tanah mana pun kepada orang 

Inggris yang telah mengamati semua manuver Prancis dengan mata 

pemangsa sedari awal. Parisian sendiri umumnya tidak memedulikan 

proyek ini. Barulah saat  pertempuran bergerak semakin dalam 

ke daerah pedalaman dan para prajurit Prancis dibantai dalam 

pengadangan atau membeku hingga mati di pegunungan, Parisian 



310

mulai memperhatikan apa yang terjadi saat  peristiwa-peristiwa 

tersebut dilaporkan kepada mereka dalam jurnal-jurnal populer masa 

itu. Namun, perang tidak pernah sederhana. Para jenderal Prancis 

sangat kecewa saat  struktur kesukuan bangsa Aljazair menjadi 

terorganisasi di bawah tangan kuat seorang pemimpin perlawanan 

berusia 25 tahun bernama Abd-el-Kader (Abdul Kadir). Ia berhasil 

meraih sejumlah kemenangan luar biasa melawan kekuatan kolonial. 

Pembalasan Prancis, dalam pola yang akan menjadi akrab secara 

mengerikan di abad ke-20, bersifat tegas dan tanpa ampun. Louis-

Philippe telah menyatakan bahwa semua cara untuk memenangkan 

perang dibenarkan. “Yang terpenting yaitu ,” katanya, “jika ratusan 

juta peluru ditembakkan di Afrika, Eropa tidak mendengarnya.”1 Pada 

1843, publik Paris sangat terkejut dengan taktik tentara Prancis yang 

membunuh hampir lima ratus pria, wanita, dan anak-anak Aljazair 

dengan cara menyalakan api di mulut-mulut gua tempat mereka hidup 

dan membiarkan mereka mati sesak napas oleh asap.

Parisian semakin tidak bersimpati kepada pemerintah mereka 

sendiri saat  mengetahui bahwa jenderal yang bertanggung jawab 

atas pembantaian seperti itu yaitu  Thomas Bugeaud. Ia yaitu  

penjagal yang bertanggung jawab atas pembantaian di rue Transnonain 

pada 1834. Walaupun demikian, gerakan menuju kolonisasi terus 

berlangsung. Pada akhir dekade 1840-an, kelas pekerja Prancis, 

terutama dari selatan, ditambah sedikit orang Italia dan Spanyol 

mulai tiba di Aljazair. Mereka menetap di tanah-tanah pertanian 

dan mendirikan pusat-pusat perdagangan. Orang Aljazair menyebut 

mereka roumis, yang didasarkan pada salah satu kata tertua untuk 

‘orang Romawi, dan kemudian pieds-noir (atau ‘kaki hitam’ yang 

kemungkinan besar sebab  mereka selalu menggunakan sepatu hitam 

mengilap—walaupun aliran pemikiran lainnya mengatakan bahwa 

para pemukim ini mendapatkan nama tersebut dari orang Prancis 

metropolitan sebab  kaki mereka menjadi hitam oleh sinar matahari). 

Bugeaud sendiri merasa skeptis terhadap nilai petualangan ini. 

Setidaknya sejak 1837 ia telah memperkirakan bahwa Aljazair akan 

terbukti merupakan wilayah jajahan yang terlalu membebani yang 

akan sulit dilepaskan oleh bangsa Prancis. saat  kekerasan meletus 

di jalan-jalan Aljazair dan kemudian Paris pada dekade 1950-an dan 


311


1960-an, saat  para pied noir bertempur melawan pemerintah Prancis 

dan populasi pribumi untuk mempertahankan wilayah mereka, kata-

kata Bugeaud terlihat seperti ramalan.

“Monster yang sangat lezat”

Bukan sebab  ketidaksengajaan bahwa kata chauvin dan chauvinisme 

memasuki leksikon Parisian pada saat itu. Istilah ini merujuk pada 

lagu dan cerita tentang tokoh Nicolas Chauvin yang sempurna. Ia 

yaitu  seorang mantan prajurit Napolen dan patriot yang tangguh, 

musuh semua orang asing dan terutama orang Aljazair. saat  Louis-

Philippe menjamu para kepala Eropa di Tuileries pada akhir 1830-an 

dan selama 1840-an, kelas pekerja Paris bergetar oleh kebencian yang 

semakin memuncak kepada orang luar. Para pria dan wanita Inggris, 

yang dianggap sebagai sumber semua masalah Prancis, sering kali 

diserang di jalanan. Orang asing lainnya berusaha tidak menampilkan 

diri di luar enklave-enklave kosmopolitan di Champs-Élysées dan 

Palais-Royal.2

Atmosfer yang panas pada periode ini ditangkap dengan begitu 

tepat dalam banyak kisah, novela dan novel karya Honoré de Balzac. 

Cerita-cerita ini jarang sekali menyampaikan masa di mana Balzac 

dilahirkan, tetapi memberikan rasa sebenarnya dari sebuah masyarakat 

yang berdamai dengan kelahiran kapitalisme modern, mesin 

urban dan kultus individu: yang kesemuanya merupakan ciri khas 

modernitas abad ke-19. Lebih dari itu semua, Balzac yaitu  seorang 

penulis yang daya tarik universalnya berakar dalam pengetahuan lokal 

dan intimnya terhadap kota yang mengadopsinya ini.3

Walaupun ia mendapat reputasi sebagai penulis kronik kehidupan 

Paris yang terbaik, Balzac pada kenyataannya yaitu  orang 

pedalaman. Ia dilahirkan pada 1799 di Tours di sebuah keluarga 

sederhana yang berasal dari Provence. Kata ‘de’ yang berkonotasi 

aristokrat pada namanya yaitu  buatannya sendiri. Ia memulai 

karier akademiknya dengan buruk, terutama membuat terkesan 

para gurunya sebab  kemalasan dan meremehkan pihak berwenang. 

Namun, ia yaitu  pembaca yang sangat rajin. saat  tiba di Paris pada 



312

1814 (bisnis ayahnya membawa keluarganya ke kota ini), ia dengan 

cepat menunjukkan kecerdasan dan tipu daya yang cukup untuk 

mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor pengacara (pengetahuannya 

tentang kerumitan dan nuansa hukum yang diperolehnya di sana 

akan sangat berguna baginya dalam fiksinya di kemudian hari). Ia 

juga mengikuti perkuliahan yang diadakan di Sorbonne, terutama 

yang diberikan oleh filsuf idealis Victor Cousin dan kritikus sastra 

Abel-François Villeman, seorang ahli tentang Prancis sejak Renaisans 

hingga Revolusi. Balzac sudah bertekad untuk juga menjadi seorang 

penulis. Ia tinggal sendirian di Paris tempat dirinya menulis puisi-

puisi jelek serta sejarah dan tragedi yang sukar dibaca. Pada 1820-an, 

ia bertekad untuk menjadi kaya dengan menerbitkan serangkaian 

novel bergaya sensasional dalam gaya saat itu yang ‘gila-gilaan’ serta 

membuat rencana-rencana investasi yang sia-sia dan pasti gagal. Pada 

usia 29 tahun, ia berutang sangat banyak dan ditertawakan sebagai 

penulis serius.

Namun pada usia 30 tahun, Balzac menerbitkan Les Chouans, 

sebuah kisah historis yang meniru Sir Walter Scott tentang para 

pemberontak Brittany pendukung raja. Para pemberontak ini disebut 

‘Chouan’ atau ‘burung hantu’ sebab  praktik mereka yang memanggil 

satu sama lain di waktu malam menggunakan teriakan seperti suara 

burung hantu. Buku ini segera sukses, sebagian sebab  subjek yang 

dibahasnya, yang diambil dari sumber yang kaya yaitu nostalgia 

pendukung kerajaan selama tahun-tahun terakhir pemerintahan 

Charles X yang terhuyung-huyung, tetapi terutama sebab  buku 

ini mengumumkan novel jenis baru di mana karakter-karakternya 

bertindak menurut motivasi nyata manusia dan bukan gagasan 

abstrak seperti kebebasan, kemerdekaan, atau keadilan. Reputasi 

Balzac semakin bertambah oleh kisah-kisah, yang terutama ditujukan 

kepada pembaca wanita, yang diterbitkannya sebagai Scènes de la vie 

privée (‘Adegan-adegan dari kehidupan pribadi’) dalam jurnal populer 

La Presse. Kesuksesan relatif ini diikuti pada 1832 oleh La Peau de 

chagrin (‘Kulit Ajaib”), yaitu fabel semi-otobiografi tentang ambisi, 

kegagalan dan nafsu yang mengambil tempat di jantung Paris yang tak 

berperasaan. Novel ini dibaca dengan rakus oleh generasi Parisian dan 

orang pedalaman yang baru tiba di Paris yang mengenali diri mereka 


313


sendiri dalam halaman-halamannya. Daya tariknya terletak pada fakta 

bahwa ia mendeskripsikan Parisian biasa dalam cara yang membuat 

mereka bisa dipercaya dan juga luar biasa.

Dalam satu gerakan, Balzac telah mengumumkan kematian 

Romantisisme dan dimulainya novel modern. Ia beruntung dilahirkan 

di masa revolusi dan kontra-revolusi, yang baginya merupakan 

konfirmasi bagi prinsip gerakan terus-menerus yang mendasari semua 

perkembangan manusia. Balzac tumbuh dewasa selama restorasi 

Bourbon. Walaupun sebagian besar novelnya ditulis pada masa Louis-

Philippe, karya-karyanya sebagian besar berlatar belakang periode 

restorasi, dengan rasa ketidakkekalan dan bencana yang membayangi.

sesudah  karier menulisnya berjalan dengan baik, ambisi Balzac 

tumbuh semakin masif. Ia peminum kopi yang sangat kuat, 

menulis sepanjang malam selama berminggu-minggu pada suatu 

saat , menghasilkan karya-karya dengan energi dan vitalitas yang 

mencengangkan agar dapat memberi dampak kepada dunia yang 

dipandangnya sangat busuk tetapi juga selalu bisa ditingkatkan. Kopi 

dan kerja berlebihan ini akhirnya membunuhnya pada usia tiga puluh 

lima tahun sebab  sakit maag parah dan jantung yang rusak. Balzac 

dilemahkan dan diremukkan oleh ambisinya untuk membawa kota 

menjadi hidup dalam buku-bukunya. Kegelisahannya, energinya yang 

bergerak cepat dan imajinasinya yang melankolis telah membuatnya, 

dalam banyak hal, menjadi contoh sempurna bagi Parisian kelas 

menengah-bawah pada awal abad ke-19. Ia terperangkap antara 

nostalgia stabilitas masa lalu dan kekaguman pada masa depan yang 

tidak diketahui.

Antara 1832 dan 1834, ia mulai membuat rencana untuk me-

nyatukan semua tulisannya sebagai satu kesatuan dengan judul kolektif 

La Comédie humaine (‘Komedi Manusia’) yang akan merangkum 

tujuan tunggalnya. Tujuannya yaitu  menampilkan Paris kepada 

pembaca sebagai totalitas, memetakan semua kompleksitas, nuansa 

dan detailnya. saat  wafat pada 1850, ia telah menerbitkan lebih dari 

90 novel dan novela yang menampilkan lebih dari 2.000 karakter yang 

diambil dari daerah atau jalanan Paris.

Ia yaitu  pengagum penulis novel Amerika bernama James 

Fenimore Cooper dan berupaya membuat peta Paris dalam cara 



314

yang kurang-lebih sama dengan cara Cooper memetakan wilayah-

wilayah Dunia Baru. Paris bagi Balzac, sebab  dibentuk oleh dinamika 

keras kapitalisme awal, yaitu  hutan rimba, hutan dan labirin. 

Bagi hampir semua karakter yang dibuat oleh Balzac, Paris yaitu  

seluruh dunia, sering kali seluruh dunia yang dikenalnya. Bahkan 

jika—seperti Vautrin yaitu dalang kriminal yang suka menghasut—

mereka memimpikan Utopia pedesaan di benua Amerika, terjebak di 

Paris dengan monumen-monumennya, istana-istananya, lapangan-

lapangannya yang pengap dan jalanannya yang berlumpur dan tidak 

berlapis batu. Kelangsungan hidup di kota tergantung pada kecerdasan, 

tipu daya dan kemampuan untuk membaca penanda tidak kasatmata 

yang menunjukkan jalan keluar dari kemiskinan menuju kehidupan 

mimpi beaux quartier di ujung barat kota. Paris memiliki jalan-jalan 

yang ‘mulia’, ‘jujur’ dan ‘terhormat’; sementara bagian lain dari kota 

‘kejam’ dan ‘penuh dengan keburukan’. Menjadi tanda kesuksesan 

bagi Parisian bahwa ia tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan 

pergerakan bayang-bayang dan cahaya yang bergantian.4

Balzac menganggap dirinya sendiri gagal, tetapi bahkan sebelum 

kematiannya para kritikus dan pengagum mengakui bahwa ia tidak 

hanya melukiskan potret kehidupan Paris yang hidup dan bertahan 

lama tetapi memberi banyak kontribusi bagi substansi budaya dan 

politiknya. Hal yang paling signifikan yaitu  buku La Comédie 

humaine disatukan oleh geografi dan genealogi. Hampir semuanya 

terjadi di dalam atau di dekat Paris, dan karakter-karakter yang 

sama, pada berbagai tahapan dalam karier atau perkembangannya, 

mengambil bagian kecil atau besar tergantung pada isu dan perdebatan 

dalam buku. Tema besar Balzac, yang mencerminkan etos restorasi 

dan Monarki Juli, yaitu  uang bisa melakukan segalanya. Namun, hal 

ini dipahami dalam konteks paling harfiah. Kejahatan terlalu sering 

menjadi makmur di atas orang-orang—seperti Balzac sendiri—

yang tidak memiliki rasa bisnis atau terlalu tamak atau bodoh untuk 

memahami bahaya Paris.

Pada kenyataannya, kota Paris karya Balzac pada intinya terbagi 

menjadi tiga zona yang berbeda—Faubourg Saint-Marceau, wilayah 

miskin dan kumuh di Tepi Kiri, tepat menghadap Faubourg Saint-

Antoine; Faubourg Saint-Honoré, wilayah kaya yang dihuni para 


315


pengusaha arriviste dan bankir borjuis yang berlimpah dengan 

uang baru; dan Faubourg Saint-Germain, wilayah kekuasaan para 

bangsawan lama. Dalam Histoire des Treize (‘Kisah para Tiga Belas’), 

sebuah trilogi yang diterbitkan pada tahun 1833 – 1835, ia menyebut 

kota Paris sebagai seorang ‘pelacur hebat’, ‘seorang ratu gemuk dengan 

hasrat menggebu-gebu yang tak dapat diingkari’. Paris juga dikenal 

dengan sejumlah nama ‘monster yang paling lezat’, ‘gunung berapi’, 

‘hutan belantara’, ‘wilayah berawa’ dan ‘samudra’. Di semua bukunya, 

Balzac menasihati akan dampak kekuatan penghancur dari nafsu yang 

berlebihan—tidak hanya nafsu seks dan uang, namun juga ketamakan, 

seperti dalam Eugénie Grandet (1833), atau cinta orangtua yang terlalu 

berlebihan dalam Le Père Goriot (‘Bapa Goriot’. 1834). Paris sendirilah 

yang mewujudkan tindakan melampau batas seperti ini.

 

Lalu Lintas Membelah Kota

Secara politik, Balzac yaitu  seorang reaksioner yang tidak terlalu 

tertarik pada apa yang disebutnya ‘teori-teori tidak jelas’ dari kaum 

sosialis pencari Utopia yang berkumpul di Paris pada dekade 1840-an, 

di saat monarki borjuis merasakan tekanan dan ibukota Revolusi dunia 

sedang bersiap menghadapi peralihan keras lainnya. Namun, Balzac 

cukup cerdas untuk melihat bahwa restorasi akan gagal sejak awal. 

Hal ini bukan sebab  adanya kelemahan mendasar apa pun dalam 

sistem monarki, tetapi sebab  para monarki sendiri yaitu  orang-

orang berpikiran sempit yang tidak memahami kepentingan nasional 

atau ambisi nyata apa pun. Hal ini menjelaskan kepadanya ‘dekadensi’ 

yang mencengkeram para intelektual muda Paris yang terbaik sesudah  

1830, yang menghentikan dirinya sendiri dalam sikap-sikap ironis 

dan karya-karya seni yang berupaya untuk menyenangkan dan bukan 

mengajarkan. Balzac sendiri bekerja sekuat tenaga secara berlawanan 

dengan apa yang dilihatnya sebagai sikap steril ini.

Pasca 1830, saat  Paris biasanya dideskripsikan dalam konteks 

paling maskulin sebagai menang dalam pertempuran, Balzac, yang 

selalu menjadi penostalgia yang keras kepala, secara luar biasa sangat 

setia kepada gambaran lama Paris sebagai wanita (Semua kota Prancis 



316

secara tradisional yaitu  feminin dan diwakili oleh patung-patung 

wanita). Dalam La Peau de chagrin, ia mendeskripsikan langit kelabu 

yang “memberikan hawa mengancam kepada Paris, dengan cara yang 

sama seperti seorang wanita cantik yang secara tiba-tiba tanpa bisa 

dijelaskan berubah antara buruk rupa dan cantik.” Paris menurut 

Balzac yaitu  tempat yang kejam dan berhantu di mana, lebih dari 

tempat lainnya di bumi, energi-energi ini terkonsentrasi dalam 

kekotoran dan kebisingan jalanan kota. Kita bertemu dengan karakter-

karakternya seperti secara tidak sengaja, seakan-akan mereka muncul 

dari kerumunan hanya untuk menyatu kembali ke dalamnya; karakter 

sebenarnya yaitu  denyut mesin urban atau ‘monster yang lezat’ itu 

sendiri. Aspek inilah yang membuat karya Balzac menjadi paling 

modern. Politiknya mungkin memang reaksioner, tetapi cermin 

yang diarahkannya ke kota dan zamannya memantulkan, dengan 

detail yang sangat jelas, potret sebuah masyarakat yang dibentuk oleh 

kejayaan dan bencana secara seimbang.

Balzac meratapi kepergian Charles X dan bersamanya kepergian 

semua hukum dan disiplin. Ia membayangkan sebuah kota dan 

negara yang disatukan dalam keyakinan dan nilai-nilai tetapi ia sudah 

mengetahui bahwa hal itu mustahil terwujud. Ia cukup cerdas untuk 

melihat kepergian ini sebagai titik balik dalam sejarah Paris yang tidak 

mungkin kembali. Gambaran kesatuan politik dan budaya Paris pada 

awal tahun-tahun ‘monarki borjuis’ memang hanyalah ilusi optik.

Pada kenyataannya, kelas pekerja dan kelas borjuis sudah berjalan 

dalam arah berlawanan. Fakta ini tidak lama kemudian akan mem-

berikan konsekuensi mengerikan bagi kota.


317


30 

Masa Kemuakan

Jauh sebelum pembunuhan dimulai, semua orang di Paris sudah 

mengetahui bahwa pemerintahan Louis-Philippe akan berakhir 

dengan kekerasan. Tentu saja, sejak awal dekade 1840-an dan 

seterusnya pembuat opini yang paling mengatur sekalipun tidak 

bisa melihat masa depan dalam pemerintahan yang didasarkan 

pada premis yang terbukti palsu yaitu mendamaikan keinginan 

kelompok republik dengan nostalgia kelompok pendukung kerajaan. 

Ketidakpuasan yang semakin bertambah di jalanan—kemuakan 

paling terlihat yang dirasakan rakyat terhadap pemerintah—serta 

ketidakmauan dan ketidakmampuan Louis-Philippe bahkan untuk 

mulai menyembuhkan pembagian sosial yang tajam di Paris juga 

menjadi faktor utama kejatuhannya.

Parisian dari semua kelas melihat pemerintahan Louis-Philippe 

melalui mata kartunis Honoré Daumier. Dalam majalah satire dan 

politik Charivari, Daumier menggambarkan Louis-Philippe sebagai 

tokoh yang kegemukan, bodoh dan malas—orang bodoh bertubuh 

seperti telur dengan rambut panjang keriting di atas kepalanya. 

Daumier lucu dan kejam dan, tidak kalah dari Balzac, ia merangkum 

masa tersebut dalam gambar-gambarnya. Terutama, Parisian me-

nyukai karakter Rober Macaire, seorang bajingan dan pencuri yang 

nantinya sangat terkenal dalam adaptasi panggung oleh aktor Frédéric 

Lemaître. Dalam Macaire, Daumier menangkap kecintaan yang 

menipu dan tidak berprinsip terhadap pengelabuan finansial yang 

menurut sebagian besar orang berada tepat di jantung pemerintahan 

Louis-Philippe.1

Louis-Philippe memerintah selama delapan belas tahun. Fakta ini 

tidak dapat dipercaya dan mengejutkan bagi sebagian besar Parisian 




318

pada periode tersebut. Penyebab utamanya kemungkinan sebab  

selama masa pemerintahannya, Paris yaitu  tempat yang sangat 

tegang, ditambah dengan sifat rezim Louis-Phillipe yang sangat rentan 

dan tindakan keras yang digunakannya untuk menindas orang-

orang yang tidak puas. Huru-hara dan pemberontakan tidak pernah 

menjauh dari permukaan kehidupan sehari-hari. Louis-Philippe 

sendiri selalu menjadi sasaran pembunuhan dari salah satu komplotan 

yang ada. Parisian sangat membenci cara Louis-Philippe mengelilingi 

dirinya dengan orang-orang asing—terutama orang Inggris yang 

dibenci—sementara mereka sendiri melakukan apa pun sebisanya 

agar bertahan hidup di jalan-jalan berlumpur dan sangat kotor di 

ibukota yang kepura-puraannya memiliki kemegahan monumental, 

dengan patung-patung dan gapura-gapura Napoleon, yang sulit sekali 

disamai oleh kondisi ujung timur kota yang sangat buruk.

Sifat gugup rezim ini diungkapkan secara kejam pada 1840 

melalui pemakaman Napoleon. Ini yaitu  upacara yang megah dan 

mengharukan yang dihadiri oleh sebagian besar Parisian yang, apa 

pun pandangan mereka sebenarnya terhadap si orang Korsika, tidak 

bisa tidak merasakan sedikit nostalgia akan masa lalu nan jaya yang 

sekarang menghilang dengan cepat. Kerentanan rezim Louis-Philippe 

digarisbawahi oleh fakta bahwa proyek-proyek yang benar-benar 

ambisius yang diselesaikan telah diperintahkan pembangunannya dan 

direncanakan oleh Napoleon Bonaparte sebagai bagian dari visi kaisar 

terhadap Paris sebagai ibukota Eropa dan, sebagai perluasannya, 

ibukota dunia. Arc de Triomphe, gereja Madeleine dan Obelisk, yang 

dibangun di Place de la Concorde di masa pemerintahan Louis-

Philippe, yaitu  penghormatan terhadap masa sebelumnya yang 

lebih ambisius. Tidak satu pun Parisian yang mengaitkannya secara 

langsung dengan ‘warga negara-raja’. Bahkan Colonne de Juillet, yang 

dibangun Louis-Philippe di Place de la Bastille untuk memperingati 

hari-hari Juli 1830 yang telah membawanya ke tampuk kekuasaan, 

terlihat sebagai tanda praktis pengabdian kepada rakyat dan bukan 

kejayaan kosong monarki.


319


Gagasan Baru di Eropa

Sementara itu, sebuah kata baru dan gagasan baru memasuki kosakata 

sehari-hari Parisian pada dekade 1840-an. Kata tersebut yaitu  

‘Komunisme’ dan gagasan yang terkait dengannya yaitu  penciptaan 

sebuah kebudayaan baru yang sempurna tempat semua kelas sosial 

dan hierarki dilebur dalam pewujudan kebebasan total dan absolut.

Orang-orang yang mempropagandakannya mengatakan bahwa 

bentuk Komunisme ini merupakan mimpi asli Revolusioner sejati 

tahun 1789, sebelum Revolusi sendiri dirusak oleh ‘Teror’ dan 

dikorupsi oleh kaum liberal borjuis. Mereka berpendapat bahwa 

kegagalan rezim Louis-Philippe yang sangat terlihat hanya memberi 

bukti tambahan bahwa masyarakat Komunis ideal bisa dijangkau dan 

lebih diinginkan daripada sebelumnya. Pengorbanan kejam hanyalah 

pendahuluan bagi dunia baru. Di jalanan Paris, tempat kemiskinan 

dan kelaparan yaitu  pengalaman sehari-hari bagi sebagian besar 

penduduk (mayat proletar yang kelaparan sekarang menjadi 

pemandangan umum di sudut-sudut bulevar yang paling bergaya), 

argumentasi seperti itu tidak hanya memberikan harapan tetapi 

juga janji pembalasan terhadap masyarakat yang terlihat jelas ingin 

mempertahankan keistimewaan sekelompok kecil elite.

Gagasan Komunis memang menjadi bagian dari cara berpikir 

radikal di Paris sejak dekade 1780-an. Teori dan kata ini telah dikenal 

oleh para pemikir berbeda seperti Restif de la Bretonne dan François-

Émile Babeuf. Tahun 1840 menjadi saksi banyaknya gagasan ini yang 

memasuki penggunaan dan perdebatan sehari-hari dengan penerbitan 

Qu’est-ce que la propriété? (‘Apa itu Hak Milik?’) karya Proudhon, 

L’Organisation du travail (‘Organisasi Kerja’) karya Louis Blanc, De 

l’humanité (‘Tentang Kemanusiaan’) karya Pierre Leroux dan Livre 

de compagnonnage (‘Buku tentang Serikat Dagang dan Korporasi’) 

karya Agricol Perdiguier. Masing-masing buku ini memperdebatkan 

organisasi uang, kerja dan masyarakat yang sedang berlaku. Pada tahun 

yang sama, kelas pekerja Paris untuk pertama kalinya menghadiri 

‘jamuan Komunis’ yang diadakan di Belleville dan Ménilmontant. Ini 

yaitu  lingkaran perdebatan di ruang terbuka, yang diorganisasi oleh 

para intelektual radikal selain para tukang, pekerja buta huruf dan 



320

proletar bergaya modern. Pertemuan ini dilumasi oleh begitu banyak 

anggur dan dilaporkan oleh Léon Faucher pada 3 Juli 1840. Untuk 

pertama kalinya dalam sejarah ia mendeskripsikan organisasi yang 

kelihatannya spontan tersebut dan menyebutnya ‘Communist Party 

(Partai Komunis)’.

Namun, istilah ‘Komunis’ disebarkan dengan benar untuk pertama 

kalinya di Paris oleh pengacara dan jurnalis Étienne Cabet. Ia berasal 

dari Dijon dan pernah bermigrasi walaupun tidak lama ke Inggris 

tempat ia mendapat pengaruh dari seorang industrialis Utopis bernama 

Robert Owen. Cabet juga dipengaruhi oleh para filsuf komunalis 

Utopis bernama Charles Fourier dan Babeuf. Keduanya berpendapat 

bahwa pekerjaan Revolusi belum diwujudkan dalam istilah manusia 

praktis. Bagi Fourier bentuknya yaitu  membayangkan seluruh 

masyarakat manusia yang berjalan mengikuti garis-garis proto-

Komunis, sementara bagi Babeuf yang merupakan manusia pelaku 

dan manusia pemikir, telah berkonspirasi untuk membajak Direktorat 

guna membawa Revolusi kembali ke arah yang benar.

Dari Owen, Cabet mengambil gagasan bahwa lingkungan 

memengaruhi umat manusia dan jika lingkungan sempurna dapat 

dibentuk maka masyarakat sempurna akan mengikutinya. saat  ia 

kembali ke Paris, Cabet pernah bekerja walaupun sebentar sebagai 

pengacara yang melayani rezim Louis-Philippe. Tetapi ia menjadi 

semakin radikal sesudah  pertemuannya secara langsung dengan 

kelas pekerja Paris. Ia mendirikan surat kabar bernama Le Populaire 

untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Ia juga menulis sejarah 

populer Revolusi dan novel ‘Komunis’ berjudul Voyage en Icarie yaitu 

sebuah catatan semi-otobiografi tentang Utopia di mana kegembiraan 

abadi untuk semua orang yaitu  konsekuensi langsung dari semua 

penghapusan sistem ekonomi yang berbasis keuntungan. Buku yang 

diterbitkan pada 1840 ini menjadi buku terlaris dan kata ‘Komunisme’ 

menjadi lambang pembangkangan bagi Parisian miskin dan ancaman 

yang menggetarkan bulu kuduk bagi kaum borjuis. Cabet berangkat 

ke Amerika Serikat pada 1848 untuk mendirikan ‘komunitas Ikarus’-

nya sendiri yang berakhir dalam dendam dan pertengkaran tentang 

tagihan-tagihan yang tidak terbayar.

Tetapi pada saat itu di Paris pada awal dekade 1840-an, Cabet 


321


sudah melakukan lebih dari cukup untuk menyalakan api yang akan 

segera menelan kota. Pada 1848, pemerintahan Louis-Philippe jatuh 

saat berhadapan dengan Parisian yang bertempur di jalan-jalan dan 

rangkaian revolusi menyebar ke seantero Eropa, dari Paris ke Milan 

hingga Wina. saat  itu, walaupun hanya sebentar kelihatannya 

‘hantu Komunisme’ yang didefinisikan oleh Karl Marx di London 

tetapi berasal dari Paris akan segera mengguncang dunia hingga ke 

akar-akarnya.

Membaca dan Menulis Sejarah

Saat suara-suara ketidakpuasan dari mereka yang membenci rezim 

semakin kencang suaranya maka berbagai macam surat kabar, majalah 

dan jurnal berkembang di Paris. Diperkirakan bahwa pembaca pers di 

kota meningkat dari 60.000 menjadi lebih dari 200.000 antara 1830 

dan 1848. Jumlah ini tidak hanya menunjukkan tingkat kemampuan 

membaca yang tinggi tetapi juga rasa haus akan berita dan gagasan. 

Terutama, pers mencerminkan dan juga memengaruhi sifat alami 

kemarahan Parisian.2

Menyadari begitu besarnya potensi subversi, pemerintah 

memperhatikan dengan saksama semua publikasi ini dan, sejauh 

mereka bisa, kepada para pembacanya. Ada banyak hal yang perlu 

ditakuti pemerintah. Pada 1830, telah menjadi fakta di kalangan 

cendekiawan bahwa pers Paris, dari asal-usulnya di abad ke-17 

dengan La Gazette dan La Muse historique, Le Mercure galant dan 

Le Journal de Paris, telah membuat kontribusi signifikan terhadap 

semua guncangan besar di abad sebelumnya, dari Revolusi hingga 

‘Teror’, kemudian Direktorat, Bonaparte dan dua restorasi. Di bawah 

Monarki Juli, pers telah meraih popularitas dan nilai penting yang 

belum pernah dikenalnya sejak hari-hari pertama abad ke-18, saat  

colporteur mendistribusikan gagasan, informasi, teori dan lelucon 

baru di seantero kota. Popularitas pers hampir tidak tersentuh oleh 

undang-undang tahun 1834 dan 1835, yang mengendalikan aktivitas 

penjual jalanan yang menjual pamflet dan tulisan lain yang berpotensi 

membakar. Bahkan, upaya penindasan yang gugup dan setengah hati 



322

ini hanya menambah prestise para editor dan penulis yang mereka 

tugaskan.

Publikasi terkemuka, setidaknya dalam konteks penjualan, yaitu  

Les Constitutionnel yang didirikan pada 1815 selama operasi militer 

Waterloo dan dimaksudkan sebagai surat kabar antipendeta dan 

progresif. Surat kabar ini pernah ditutup walaupun tidak lama oleh 

Louis-Philippe sebab  digosipkan merupakan simpatisan pendukung 

Bonaparte, tetapi publik selalu ingin membacanya. Publik menikmati 

kolom berkala berupa gosip bidang kesusastraan. Serangan kerasnya 

kepada kaum Romantis juga diapresiasi oleh pembaca yang berasal 

dari kelas menengah. Surat kabar ini menerbitkan karya-karya sastra 

terbesar periode ini, dari George Sand hingga Alexandre Dumas 

dan Eugène Sue (nantinya akan menjadi markas besar kritikus dan 

komentator kejam Sainte-Beuve). Pesaing terdekat Le Constitutionnel 

yaitu  La Presse. Surat kabar ini jauh lebih murah terutama sebab  

inilah surat kabar pertama yang menerbitkan iklan (para editor lainnya 

memberikan komentar pedas dan keras tentang hal ini tetapi tidak 

lama kemudian segera mengikutinya). Pada akhir abad, La Presse yang 

juga menciptakan gagasan koresponden asing yaitu  surat kabar yang 

paling banyak dibaca di Paris dan Prancis.3

Pada satu waktu, Paris pernah menyokong 26 surat kabar harian. 

Kesusastraan dan politik memiliki kaitan erat. Pada saat yang sama, 

penjualan segala bentuk buku yang diterbitkan mencapai puncak 

tertingginya. Konsekuensinya yaitu  begitu besarnya uang muka 

yang diberikan oleh para penjual buku kepada orang-orang seperti 

Balzac, Victor Hugo, dan Chateaubriand. Karya Chateaubriand yang 

berjudul Mémoires d’outre-tombe (‘Memori Melampaui Makam’) yang 

diterbitkan pada 1849 – 1850 yaitu  sebuah autobiografi dan elegi 

bagi Prancis yang hilang yang sangat disukai semua kelas. Digosipkan 

bahwa Chateaubriand yang sangat arogan telah membuat bangkrut 

penerbitnya dengan tuntutan-tuntutannya. Buku-buku terlaris seperti 

Mystères de Paris karya Eugène Sue atau novel terpopuler karya 

Balzac juga menyentuh publik yang tidak bisa membaca dengan cara 

dibacakan sebagai hiburan di sudut-sudut jalan atau di dalam kafe dan 

kedai minum.4


323


Di atas semuanya, Parisian terpesona oleh Paris. Salah satu buku 

terlaris di masa Louis-Philippe yaitu  Paris ou le livre des cent-et-un 

(‘Paris atau Buku Seratus Satu’). Ini yaitu  kumpulan esai dan puisi 

lima belas volume tentang kehidupan Parisian yang diterbitkan pada 

1831 – 1834. Subjeknya termasuk kehidupan jalanan, legenda dan 

sejarah, monumen publik dan rumah pribadi, selain kisah rakyat 

Paris. Pada 1835, Jacques-Antoine Dulaure, seorang penduduk asli 

Clermont-Ferrand yang telah menghabiskan sebagian besar masa 

hidupnya di Paris sebagai seorang insinyur dan pendukung setia 

republik, menerbitkan karya monumental delapan volume berupa 

sejarah Paris sejak awal pendirian kota. Kisah kota ini diceritakan 

secara menghibur dan seperti gosip. Karya ini segera menjadi sumber 

bagi begitu banyak sejarah lain tentang Paris Abad Pertengahan, 

tradisi pemberontakan Paris, kehidupan sehari-hari, kebiasaan buruk 

para raja dan seterusnya. Pada 1844, volume populer lainnya termasuk 

sebuah panduan bergambar bagi kota Les Rues de Paris (‘Jalan-Jalan 

Paris’) yang diedit oleh Louis Lurine dan Nouveau Tableau de Paris 

comique, critique et philosophique (‘Tableau de Paris Baru, Komik, 

Kritis dan Filosofis’) yaitu berbagai tulisan populer yang dikumpulkan 

oleh novelis komik Paul de Kock (yang secara singkat juga pernah 

memiliki pengikut di Inggris yang termasuk orang-orang seperti 

Macaulay dan Elizabeth Barrett Browning).5

Parisian sudah sejak lama menganggap diri mereka sebagai 

spesies unik. Ledakan penerbitan ini memungkinkan mereka untuk 

membaca tentang diri mereka sendiri secara panjang lebar dalam 

kesusastraan. Tidak mengherankan jika pada periode ini banyak klise-

klise kehidupan Paris memasuki sirkulasi yang lebih luas, dari gamins 

de Paris hingga tokoh seperti parigot. Namun, ada  dimensi politik 

yang jelas bagi kekaguman terhadap kota dan sejarahnya. Terutama 

dalam kisah-kisah Eugène Sue atau sejarah Dulaure dan sejenisnya, 

Parisian bisa melihat bahwa mereka bukan hanya penonton pasif 

dalam narasi kota tetapi merupakan agen transformasi aktif dengan 

takdir historis.



324

Jamuan Kehidupan

Selama paruh pertama abad ke-19 di Paris, perubahan radikal juga 

terjadi dalam cara Parisian makan dan minum. sebab  perubahan 

inilah Paris mulai mendapatkan reputasinya sebagai ibukota tata 

boga Eropa. Reputasi masakan kelas atas di Paris telah dibentuk pada 

akhir abad ke-18 dengan pendirian restoran-restoran pertamanya 

(dan bukan kafe, kedai minum atau sekadar bar). Hingga saat itu, 

seni meja makan tingkat tinggi hanya dikhususkan bagi kalangan 

aristokrat. Standar terlalu tinggi yang ditetapkan kepada diri sendiri 

oleh koki-koki para aristokrat dicontohkan dalam kisah François 

Vatel. Ia yaitu  koki pangeran de Condé di Chantilly yang telah 

menusuk dirinya sendiri sampai mati pada 1671 akibat putus asa 

sebab  “dua panggangan yang gagal” di suatu jamuan makan malam 

dan lambatnya pengiriman makanan laut untuk pesta makan siang. 

Dalam memoarnya, Madame de Sévigné menceritakan kembali 

dengan keriangan membara yang biasa bagi kelas atas bahwa bencana 

tersebut dengan gembira diperbaiki untuk pesta pangeran dan bahwa, 

walaupun kehilangan koki, “makan malam luar biasa, begitu pula 

dengan makan siang. Mereka makan dan minum, mereka berjalan, 

mereka bermain, mereka berburu. Kesemuanya memesona.”6 (Bunuh 

diri yang dilakukan Vatel diceritakan kembali oleh pers Prancis 

pada 2003, saat  koki Bernard Loiseau menembak diri sendiri di 

rumahnya di Burgundy sebab  kecewa akibat hilangnya bintang 

Michelin di restorannya di Saulieau. Diargumentasikan bahwa para 

koki yang bunuh diri, tidak kurang dan tidak lebih merupakan bagian 

dari sejarah panjang Prancis, yang menuntut komitmen tertinggi.)

Pada kenyataannya hingga abad ke-18 dan jauh hingga abad ke-

19, mayoritas orang Prancis bahkan dari kelas yang cukup berada 

hidup dengan memakan roti hitam dan sup berlemak yang dibuat 

dari apa yang paling mudah tersedia. Paris yaitu  pengecualian. 

Para petani dan orang pedalaman mengagumi produk yang mereka 

tawarkan—roti putih, daging segar dan produk susu yang tidak 

selalu memberimu tuberkulosis. Invensi restoran yaitu  bagian dari 

dorongan ke arah modernitas dan demokrasi yang menjadi ciri khas 

abad ke-18. Restoran paling awal dan paling terkenal dengan menu 


325


à la carte yaitu  Beauvilliers’s di Galerie de Valois yang dibuka pada 

1782. Kesuksesan Beauvilliers’s, yang membanggakan diri sebab  

menawarkan makan malam sebagai pertunjukan teater yang ditemani 

oleh anggur terbaik Prancis, diikuti oleh sekitar 50 restoran lainnya 

pada 1789. Restoran berkembang selama Revolusi dan sesudahnya. 

Pada 1820, Paris membanggakan diri telah memiliki 3.000 tempat 

yang menawarkan makanan mewah.7

Salah satu alasan bagi tingginya kualitas restoran semacam itu yaitu  

sebab  restoran tersebut didirikan oleh para koki bagi aristokrat, yang 

sekarang kehilangan pekerjaan dalam periode pasca-Revolusi dan 

mencari cara baru untuk mendapatkan penghasilan halal. Alasan lain 

bagi popularitas mereka yaitu  bahwa memakan makanan mahal—

yang sebelumnya dikhususkan bagi para aristokrat—di tempat publik 

segera menunjukkan kepada dunia salah satu prinsip demokrasi. Para 

anggota Jacobin tidak punya waktu bagi tata cara makan kelas atas 

yang rumit tetapi mereka terkenal sebagai pemakan dan peminum 

terkenal (dengan pengecualian Robespierre yang hemat).

Restoran dengan cepat menjadi bagian integral dari kehidupan 

politik. Hal ini dikonfirmasi sebagai tradisi pada 1793 saat  para 

pemimpin Revolusi menyusun Konstitusi di sebuah restoran bernama 

Chez Méot dengan tuan rumahnya bekas koki pangeran de Condé. 

Politik juga berarti mode: Restoran Les Trois Frères Provençaux, yang 

terkenal sering dikunjungi oleh Bonaparte pada 1800-an, dikunjungi 

oleh para turis selain oleh Parisian sendiri dan pemasukannya bisa 

mencapai 15.000 franc sehari. Sebaliknya, di Quartier Latin, tempat 

jalan-jalan sepenuhnya diambil alih oleh kafe dan restoran, masih 

mungkin untuk makan dengan biaya kurang dari satu franc di Viot’s 

atau Flicoteaux’s. Makanan lima-macam ditawarkan di Chez Dufour 

di rue Molière dengan harga 1 franc dan 80 centime (tempat terbaik 

untuk mencicipi restoran seperti itu di Paris masa kini yaitu  bouillon 

Chartier di dekat Folies-Bergère—bouillon yaitu  chop-house kelas 

murah—atau, di ujung timbangan lainnya, Lapérouse di Tepi Kiri).

Pada pertengahan dekade 1840-an, Paris, melebihi kota mana pun 

di Eropa, yaitu  ibukota kesenangan yang sangat publik. Restoran 

dan kafe yaitu  tempat berlindung dari kondisi sangat menyedihkan 

yang dijalani sebagian besar penduduk dan dapat diakses oleh semua 



326

orang kecuali kelas-kelas termiskin. Ini yaitu  forum sempurna 

bagi penyebaran ide-ide dalam pers dan kesusastraan yang sedang 

berkembang pesat pada periode ini, serta panggung ideal untuk 

melatih masyarakat masa depan yang akan menyapu habis semua 

jejak masa lalu. Kota memang penuh dengan klub-klub warga, 

lingkaran-lingkaran revolusioner, masyarakat-masyarakat Utopia dan 

segala macam kelompok diskusi, yang semuanya dipanaskan oleh para 

jurnalis yang semakin berani dan membakar.

Pada 1847, semua orang di Paris dapat melihat bahwa kertas-

sumbu siap untuk dinyalakan.

“Pembalasan terhadap Louis-Philippe!”

Seperti dikatakan oleh kolumnis gosip Madame de Girardin dalam 

La Presse: “Langit semakin gelap. Pesta di gunung api! Semuanya ini 

hanya bisa berakhir dalam revolusi, kita berada di 1830-92-89!”8

Panen yang buruk pada 1846 dan 1847 hanya memperparah 

ketegangan yang sudah terlihat di Paris. Namun anehnya, saat  

kekerasan revolusioner benar-benar terjadi pada 1848, pers hanya 

memiliki pengaruh tidak langsung terhadap peristiwa-peristiwa yang 

terjadi dan tentu saja tidak memicu atau mengontrol seperti yang telah 

dilakukannya dalam pemberontakan-pemberontakan sebelumnya.

Katalisnya yaitu  jamuan ‘reformasi’ yang rencananya diadakan 

di Paris pada 20 Februari. Pesta-pesta luar ruangan ini diatur oleh 

kaum radikal kelas menengah dalam semangat ‘jamuan Komunis’ 

sebelumnya di Belleville dan merupakan tantangan langsung terhadap 

upaya pemerintah untuk melarang pertemuan publik. Mereka memberi 

kesempatan kepada para penulis berpengaruh, jurnalis, dan deputi 

dari Majelis Nasional serta para anggota borjuis yang tidak puas lain 

untuk merobek-robek pemerintah yang telah kehilangan segala rasa 

tujuan atau arahan. Selama hari-hari menjelang pelaksanaan jamuan 

di bulan Februari, ketegangan meningkat di Paris. Pada tanggal 12, 

lagu-lagu dari 1789 dinyanyikan oleh massa di sebuah teater Paris. 

Gugup menghadapi semakin besarnya kebencian publik terhadap 

sistem monarki—kebencian yang diperparah oleh kejadian di Milan 


327


di mana kerajaan Austria ditantang secara terbuka oleh rakyatnya—

pemerintah membatalkan jamuan tersebut pada menit-menit terakhir.

Namun, perasaan puas masih berkuasa. Pihak berwenang, yang 

mungkin mendapatkan informasi salah dari para informan pendukung 

republik, pada awalnya sama sekali tidak memerintahkan turunnya 

pasukan ke jalan-jalan, walaupun ketidakpuasan semakin terlihat 

dan lantang yang sekarang berubah bentuk menjadi demonstrasi. 

Pada 22 Februari di bawah guyuran hujan, para mahasiswa dan 

pekerja membanjiri Champs-Élysées dan Place de la Concorde sambil 

menyanyikan Marseillaise dan meneriakkan “Turunkan Guizot!” 

Barikade dibangun di seluruh kota dan bukan hanya di pusat-pusat 

ketidakpuasan tradisional. Pada pagi hari tanggal 23, para pemimpin 

dari berbagai klub revolusioner dan masyarakat rahasia menyatakan 

bahwa sekarang “waktunya untuk bertindak.” Pada sore hari, para 

prajurit ditantang secara terbuka oleh para pemuda dan anak-anak 

yang melempar batu. Pertempuran pecah di sore hari di Porte Saint-

Martin.

Rezim Louis-Philippe dibangun di atas kebohongan. Roi-bourgeois 

hidup di Tuileries bersama istrinya Marie-Amélie dan kelima anaknya. 

Keluarga ini menampilkan perwujudan sejati kedamaian rumah 

tangga. Fantasi rezim Louis-Philippe yaitu  bahwa kebahagiaan 

sejati terletak pada kesenangan sederhana berupa keluarga, rumah, 

dan lingkungan keluarga. Fantasi ini secara sengaja dibangun 

untuk melawan mitos pendukung Bonaparte yang masih ada dan 

merusak, yang menjanjikan kematian dan kemartiran atas nama 

kejayaan Prancis. Sebagaimana telah kita lihat, tidak ada monumen 

besar yang muncul di Paris selama periode ini. Sedikit gereja yang 

dibangun dan gereja yang memang dibangun memiliki ukuran yang 

relatif sederhana (Notre-Dame de Lorette di rue de Châteaudun 

yaitu  contoh bagus bagi kecenderungan tersebut). Kenyataannya 

tentu saja yaitu  Louis-Philippe bukanlah pria keluarga sederhana, 

tetapi seorang raja dengan selera tinggi dan mahal. Semua Parisian 

mengetahuinya dan mencemoohnya, bukan sebab  seleranya—yang 

bagaimanapun juga diinginkan oleh semua orang Prancis yang 

waras—tetapi sebab , seperti Pétain satu abad kemudian, ia telah 

berbohong tentang hal ini.



328

Tindakan segera Louis-Philippe sesudah  munculnya tanda-tanda 

pertama revolusi yaitu  memecat Guizot. Bagi mayoritas Parisian, 

termasuk Balzac yang mendukung monarki (yang berkomentar bahwa 

inilah langkah pertama Louis-Philippe ke jalan menuju pengasingan), 

melihatnya sebagai langkah pengecut dan sangat bodoh. Langkah ini 

mengingatkan mereka akan kekeraskepalaan dan ketidakmampuan 

Charles X untuk bertanggung jawab. Peristiwa-peristiwa yang 

kemudian terjadi mengikuti logika yang cepat dan tanpa ampun, 

dengan munculnya barikade di seantero Paris di kedua tepian sungai. 

Pada sekitar pukul 10 malam tersebut, sekelompok orang yang 

membawa obor berupaya menerobos ke dalam Kementerian Luar 

Negeri di boulevard des Capucines, markas besar Guizot dan fokus 

kebencian kepada orang-orang asing di kota. Setidaknya lima puluh 

perusuh tertembak mati. Mayat-mayat mereka dinaikkan ke sejumlah 

gerobak dan dibawa menembus kota disertai teriakan “Pembalasan 

kepada Louis-Philippe!”

Pada saat yang sama, surat kabar paling radikal terjun ke dalam 

keributan ini. Para staf Le National dan Le Réforme mencetak poster-

poster yang menuntut kepala Louis-Philippe dan menempelkannya di 

seantero kota. sebab  putus asa, raja memanggil Marsekal Bugeaud, 

si penjagal Aljazair, untuk mengendalikan situasi. Bugeaud berjanji 

akan memulihkan ketertiban dengan cara menembak sekitar 10.000 

orang sampah kota yang, menurutnya, merupakan penyebab masalah. 

Pasukannya tidak terlalu yakin bahwa tindakan tersebut memang 

tepat. Banyak dari mereka mulai melakukan desersi dan menyerahkan 

senjata kepada teman-temannya di kalangan pemberontak. Sekarang 

ada  1.500 barikade di Paris, yang sering kali dijaga oleh wanita, 

yang menyebarkan pecahan kaca dan porselen untuk membuat panik 

kavaleri. Parisian biasa menyelinap melewati lorong kecil di samping 

barikade. Polisi, prajurit, dan tokoh berwenang lainnya dihina atau 

dilempari dengan kotoran manusia, lumpur, dan batu bata.9 Dalam 

hitungan jam sesudah  menyadari bahwa kota membencinya, raja 

menghilang dan pergi ke Inggris dengan menyamar sebagai ‘Mr. 

William Smith’. Sekelompok massa menerobos ke istana Tuileries 

dan, selain menjarah benda-benda lainnya, menjarah takhta yang 

kemudian dilempar-lemparkan oleh para pemabuk dan berandalan di 


329


lapangan depan istana. Takhta ini akhirnya dibakar di kaki Colonne 

de Juillet. Pemerintahan raja terakhir Prancis telah berakhir.

‘Hari-Hari Juni’ dan Bonaparte Lainnya

Untuk semua pertempuran dan pidato heroik, ‘Revolusi Februari’ 

yaitu  kegagalan. Republik Kedua diumumkan di Hôtel de Ville 

dengan orang-orang seperti penyair Alphonse de Lamartine sebagai 

pemimpinnya. Sebuah program reformasi segera diluncurkan—

termasuk hak suara bagi seluruh pria, penghapusan perbudakan di 

wilayah-wilayah Prancis dan jam kerja sepuluh jam sehari. Masalahnya 

yaitu  kaum radikal Paris garis keras, yang terkonsentrasi di bagian 

timur kota, menolak untuk mengakui gerak maju apa pun yang 

dibuat oleh pemerintahan yang mereka sebut ‘republik borjuis’. Rezim 

memberikan tindakan keras kepada kelompok-kelompok seperti ini 

dan secara efektif menumpas mereka selama ‘Hari-Hari Bulan Juni’ 

1848 saat  Paris kembali meletus dalam pertempuran jalanan acak 

yang terjadi di barikade-barikade. Kali ini kaum radikal dan proletar 

mengalami kekalahan. Lebih dari 1.500 ‘orang Merah’ terbunuh—

jalan-jalan di sekitar rue Blanche berbau tajam akibat mayat-mayat 

yang membusuk dan tidak dikubur. Ribuan orang lainnya dijebloskan 

ke penjara atau dikirim ke Aljazair.

Rasa takut akan anarki tak terkendali telah mendorong para pemilih 

untuk kembali ke pemerintahan konservatif dalam pemilihan umum 

April 1848. Pada Desember tahun yang sama, Prancis memilih Louis-

Napoleon Bonaparte, keponakan kaisar pertama dan terbesar, sebagai 

presiden. Hal ini dipandang sebagai pembalasan dendam Prancis 

pedalaman dan Katolik terhadap Paris. Suara mereka terinspirasi 

oleh restorasi agama Katolik yang dilakukan oleh Napoleon pertama 

dan kemurahan hatinya terhadap para petani. Elite politik Paris pada 

awalnya menolak untuk menanggapi Napoleon ini secara serius. 

Lebih buruk lagi, mereka tidak memedulikan sinyal-sinyal bahaya—

postur yang megah dan ambisi yang sombong—yang sekali lagi akan 

mengembalikan impian kekaisaran ke Paris.



330

Pendahuluan:  Otopsi  terh

Pendahuluan:  Otopsi  terh


331

Bagian Enam: Ratu Dunia

BAGIAN ENAM

Ratu Dunia

1851 – 1899

Tunjukkanlah kebenaran pada orang-orang bodoh 

perusak moral ini,

Wahai Republik, dengan membongkar rencana mereka!

Kemudian tunjukkanlah wajah Medusa yang Hebat 

milikmu,

Semuanya dikelilingi oleh petir merah!

Pierre Dupont, ‘Chant des ouvriers’, 1851

Ini yaitu  buahmu, wahai Komune yang haus darah

Ya, kau ingin memusnahkan Paris!

Les Ruines de Paris,

Brosur yang beredar di Paris, 1871

Saat kakimu, Paris, menari begitu keras dalam 

kemarahan!

Saat engkau mendapat banyak tusukan...

Arthur Rimbaud, ‘L’Orgie parisienne’, 1871

adap Seorang Pelacur  Tua

adap Seorang Pelacur  Tua



332

Pengembangan jalan di Paris antara 1850 dan 1914


333

Bagian Enam: Ratu Dunia



334

31 

Kekaisaran Cretin

Bahkan kaum borjuis yang paling teperdaya dapat melihat 

bahwa di akhir tahun 1840-an Paris yaitu  kota yang berada dalam 

krisis parah. Di masa lalu, bencana biasanya selalu dikaitkan dengan 

Tuhan atau alam (panen yang buruk pada 1846 memang masih 

dilihat dengan cara pandang seperti ini oleh para petani). Krisis 

yang kini terjadi di Paris—setidaknya menurut para pemikir bebas 

yang mengklaim dapat memahami dinamika baru yang keras dari 

kota kapitalis—hanya berasal dari ekonomi; produksi berlebih dan 

spekulasi keuangan liar di era Louis-Philippe telah menyebabkan 

sebuah kota berperang dengan dirinya sendiri, saat  dua kelas, kaum 

kaya dan kaum miskin, berpandangan terhadap satu sama lain melalui 

barikade di jalan-jalan.

Di Paris sendiri, bangunan yang baru dibangun dan reyot, secara 

artifisial dicangkokkan ke suatu infrastruktur urban yang nyaris tak 

tersentuh atau diperbaiki sejak akhir abad pertengahan. Sepertiga 

populasi kota hidup berdesakan di jalan-jalan sempit di kawasan timur 

Tepi Kanan, tinggal di rumah-rumah berlantai lima. Hanya satu dari 

lima rumah yang memiliki air mengalir. Sungai Seine, sungai Bièvre 

dan sungai kecil Ménilmontant masih digunakan sebagai saluran 

pembuangan. Tidak ada jalan yang lurus di Paris, di mana pusatnya, 

Île de la Cité, yaitu  labirin yang gelap dan berlumpur, penuh dengan 

infeksi dan kejahatan.

Realitas yang saling bertentangan di pertengahan abad ke-

19 di Paris bertemu di Cité Cazeaux di lorong Denfer, yang kini 

masih bisa ditemukan di dekat Boulevard Raspail di ujung atas 14th 

arrondissement. Lorong ini dibentuk oleh dua baris bangunan empat 

lantai yang saling berhadapan menyeberangi sebuah jalan berbatu. 



335

Bagian Enam: Ratu Dunia

Bangunan-bangunan ini dirancang dan dibangun oleh M. Pigeory 

pada 1855 dan, dengan kurangnya hiasan serta daya tarik sederhana, 

keduanya mewakili hasrat akan keharmonisan dan ketenangan di 

pusat kota yang merupakan ciri khas periode ini. Di luar pintu masuk 

bergerbang, kota bergerak cepat dan tiada henti ke segala arah. Namun 

sebaliknya, Cité Cazeaux dahulu dan kini yaitu  satu titik diam dalam 

alam semesta yang berputar cepat dan bergejolak. 

Lebih jelasnya yaitu  fakta bahwa saat Cité Cazeaux dibangun, 

Paris tengah terperangkap dalam dua dunia. Di satu sisi, populasi 

kota telah bertumbuh dari 786 ribu pada 1831 menjadi satu juta 

lebih pada 1848. Industrinya juga terus maju dalam kecepatan yang 

mencengangkan. Hal ini, ditambah dengan peran tradisional kota 

sebagai fokus terpusat dari keuangan, perdagangan, kebudayaan, dan 

administrasi politik, tampaknya meramalkan hal baik untuk masa 

depan. Kota Paris digambarkan oleh Balzac sebagai “aliran sungai 

yang deras,”1 aliran ide, perdagangan, dan kebudayaan yang selalu 

mengalir, yang juga disiapkan untuk memenuhi gelar lainnya sebagai 

‘ratu kota-kota’ atau bahkan ‘ratu dunia’. Sisi sebaliknya dari ketergesa-

gesaan tak terhindarkan menuju kemajuan ini yaitu  ketidakpuasan 

yang semakin berkembang di kalangan warga yang tersisih dari segala 

keuntungannya.

Laju perubahan di Paris selama masa ini juga diukur oleh per-

kembangan jalan raya baru yang lebar di kota, yang memudahkan 

aliran lalu lintas kereta kuda dan memberikan pemandangan yang 

selalu berubah bagi warga Paris yang diam di tempat. Namun tidaklah 

mudah untuk bepergian dari Paris ke kota-kota lain di Eropa. Walter 

Benjamin mencatat bahwa setidaknya hingga 1847 layanan kereta 

kuda harian meninggalkan Paris menuju Venesia setiap pagi, tiba di 

Venesia sekitar 6 minggu kemudian atau lebih.2 Jalur kereta api, yang 


Related Posts:

  • Paris Perancis 10 lnya hanya untuk membangun blok-blok apartemen yang cukup berjauhan guna memungkinkan udara segar mengalir di antara blok-blok tersebut. Pengembang tidak bermaksud membangun jalan-jalan baru untuk me… Read More