lnya hanya
untuk membangun blok-blok apartemen yang cukup berjauhan guna
memungkinkan udara segar mengalir di antara blok-blok tersebut.
Pengembang tidak bermaksud membangun jalan-jalan baru untuk
memasuki kota, tetapi sebaliknya membayangkan sebuah tempat
yang sehat sebagai tempat tinggal dan berjarak relatif cukup jauh dari
jalan-jalan di pusat kota yang pengap. saat akhirnya diselesaikan,
300
daerah yang dideskripsikan sebagai ‘La Nouvelle Athènes’ segera
banyak dicari, menarik tokoh-tokoh terkenal dari dunia politik dan
seni yang beranggapan bahwa daerah tersebut cukup bergaya sebagai
tempat tinggal dengan jarak relatif jauh dari kota. Penulis George Sand
dan Alexandre Dumas serta aktor Talma yaitu salah satu penghuni
pertama daerah ini sebab alasan tersebut.
Para investor dan pengusaha dengan cepat menyadari bahwa
mereka bisa mendapatkan uang dengan mengembangkan daerah
pinggiran Paris. Proyek-proyek pembangunan segera meluas ke
perbatasan utara kota ke tempat-tempat seperti Batignolles dan ke
selatan di Grenelle. Blok-blok apartemen baru, walaupun lebih kecil
dan tidak terlalu banyak dihias dibandingkan sebelumnya, sering
kali menyerupai gaya akhir Renaisans pada abad ke-16 yang kembali
modis. Hal ini tidak berarti bahwa Marais, yang telah lama mengalami
kemunduran, yaitu tempat yang bergaya untuk tinggal. Namun,
sedikit sekali pemilik rumah yang bisa membiayai kemewahan seperti
ini dan sebagian besar investor enggan mengeluarkan uang lebih
banyak daripada yang benar-benar diperlukan dalam hal gaya dan
dekorasi.
Hal yang benar-benar baru bagi Parisian dan para pengunjung ke
kota yaitu penyebaran lorong-lorong beratap di Tepi Kanan yang
menghubungkan jalan-jalan dengan bulevar-bulevar dan membentuk
matriks rute di seluruh kota yang tidak mengikuti jaringan jalur
tradisional di seluruh kota, atau bahkan tidak mengikuti cuaca.
Gagasan lorong-lorong bertutup di lingkungan perkotaan bukanlah
hal baru di Prancis. Di barat daya, sebagian besar kota besar dan
kota kecil telah memiliki pasar tertutup dalam berbagai bentuk yang
berasal dari abad ke-13 dan mungkin dipengaruhi oleh souk besar
kota-kota Arab. Hal yang paling mengagumkan tentang lorong-lorong
baru ini terutama yaitu konstruksi dan rancangannya. Lorong ini
dibangun dari besi tempa dan batu serta mengombinasikan pola
yang ringan, cerah dan sering kali sangat rumit dengan struktur yang
padat dan sangat kuat. Hal ini menampilkan struktur yang sama sekali
berbeda dengan struktur arsitektur klasik atau neo-klasik. Terutama,
lorong-lorong ini sepenuhnya ditujukan untuk aktivitas komersial
dan kesenangan. Passage de Paris yaitu pelopor modernitas yang
301
akan diwujudkan dan didefinisikan oleh kota Paris pada abad ke-19.
Ferdinand von Gall, seorang Jerman yang berada di Paris, mencatat
bahwa orang-orang merokok di lorong pada periode saat saat itu
masih dianggap tidak sopan untuk merokok di jalanan. Lorong yaitu
“lokasi favorit para perokok dan pejalan kaki, daerah operasi bagi
segala macam bisnis kecil. Di setiap arkade ada setidaknya satu
tempat untuk membersihkan diri. Di sebuah salon yang dilengkapi
secara elegan seperti halnya orang-orang yang akan menggunakannya,
para pria terhormat duduk di atas kursi tinggi dan membaca surat
kabar dengan nyaman sambil membaca koran sementara orang lain
menyikat kotoran dari pakaian dan sepatu bot mereka.”6
Lorong pertama yang layak yaitu lorong du Prado, yang dibangun
pada 1785 untuk menghubungkan Faubourg Saint-Denis dengan
bulevar. Pada 1786, dimulai pekerjaan untuk membangun galeries de
bois (‘galeri kayu’) yang menghubungkan Palais-Royal dengan galerie
Valois dan galerie Montpensier. Keduanya segera sukses. Para penjual
buku dan pedagang pakaian modis bergegas untuk mendirikan bisnis
di sana. Lorong du Caire (yang menghubungkan rue Saint-Denis)
dan lorong des Panoramas (yang menghubungkan ke rue Saint-Marc)
mulai beroperasi pada 1800.
Antara 1820 dan 1845, tiga puluh empat lorong dibangun di
seantero Tepi Kanan (para investor menganggap Tepi Kiri tidak terlalu
komersial dan, dengan jalan-jalan abad pertengahan yang masih
setengah ada, lebih sulit dari sudut pandang arsitektur). Pada dekade
1870-an, ada lebih dari 150 lorong, tetapi sudah mulai mengalami
penurunan. Lorong-lorong ini dikalahkan oleh aktivitas bulevar dan
perbaikan transportasi urban yang membuatnya tidak terlalu penting
lagi sebagai perlindungan dari hujan, lumpur, dan kereta kuda yang
berbahaya.
Pada abad ke-20, lorong-lorong ini begitu dimuliakan oleh
kaum Surealis pada dekade 1920-an (lihat Bab 37), yang mengagumi
cara lorong-lorong ini membuat kota memiliki labirin misterius.
Pada dekade 1950-an, lorong-lorong ini juga dimuliakan oleh
para Situasionis, sebuah sekte kecil seniman dan intelektual yang
memimpikan masa depan Paris yang didedikasikan untuk kemalasan,
kesenangan, dan puisi daripada tuntutan uang dan kerja. Kedua
302
kelompok ini mengagumi tulisan Walter Benjamin, seorang imigran
Jerman ke Paris pada 1930-an. Ia seorang intelektual Marxis dan
sejarawan Paris yang penuh semangat. Dalam kajiannya yang tidak
selesai tentang kota Paris pada abad ke-18, Benjamin mencurahkan
ribuan kata bagi lorong, mendeskripsikannya sebagai ‘kuil ibukota
komoditas’.7 sebab bermunculan selama semangat perdagangan dan
spekulasi risiko tinggi pada dekade 1820-an dan 1830-an, lorong-
lorong ini yaitu lambang energi ibukota dan juga kepercayaan semi-
Utopianya terhadap masa depan. Sebagai ruang interior yang nyaman
dan intim di kota, lorong-lorong ini juga terhubung secara rumit
dengan nilai-nilai fantasi masyarakat borjuis Louis-Philippe, yang
menghargai kenyamanan kerja, keluarga, dan lingkungan keluarga
domestik sebagai nilai-nilai tertinggi.
Benjamin juga mengagumi cara di mana kisaran dan kualitas
komoditi yang ditawarkan di tempat-tempat ini merupakan manifestasi
kasatmata dari keinginan masyarakat secara kolektif. Ia menyebutnya
‘rumah-rumah mimpi’ dan berpendapat bahwa, sebab masa lalu dan
masa kini menempati keberlanjutan yang sama, dengan membaca
secara saksama keinginan generasi masa lalu yang paling sulit terlihat,
sebagaimana dimasukkan ke dalam passages de Paris, kita juga dapat
melihat secara sekilas kemungkinan masa depan kita sendiri. Sulit
untuk melihat bagaimana hal ini tetap benar dalam banyak lorong-
lorong di Paris abad ke-21 yang baru saja diperbaiki, seperti Galeries
Vivienne, yang telah diubah bentuknya dan dibangkitkan kembali
sebagai barang museum yang berkelas dan mahal. Namun, di lorong-
lorong yang lebih berdebu dan lebih terabaikan di Tepi Kanan
seperti lorong du Caire tempat bisnis tekstil, perdagangan teks dan
dunia bawah tanah penyelundup manusia serta pedagang narkoba
(kesemuanya yaitu pedagang keliling yang menjual berbagai macam
benda yang diinginkan manusia) saling berbenturan, masih mungkin
untuk melihat apa yang dimaksud oleh Benjamin sebagai “panggung
sejarah … perubahan dialektik antara kesenangan jasmani dan
mayat.”8
303
“Cahaya bulan baru”
Salah seorang pengunjung Paris pada dekade 1830-an yang bermata
tajam yaitu Mrs. Trollope. Ia yaitu ibu seorang penulis Inggris
terkenal dan ia sendiri yaitu penulis buku-buku perjalanan.
Mengikuti jejak para turis lainnya, ia mengunjungi Café Tortoni yang
terkenal di bulevar des Italiens dan membicarakan dengan penuh
semangat barang-barang sangat indah yang ditawarkan serta “cahaya
terang di dalam, kerumunan yang bergumam di luar.”
Ia juga menyadari bahwa di kalangan pemuda Prancis yang bergaya
dari keluarga berada yang berkumpul di sana ada “mata liar dan
berani yang berpaling dari setiap lirikan mata.” Ia telah diberi tahu
oleh seseorang yang mengetahui Paris dengan baik bahwa terjadi
peningkatan bunuh diri yang cukup signifikan di kalangan pemuda
baru-baru ini dan biasanya dihubungkan dengan ‘bacangan ringan’,
yang memuji kematian dan merendahkan nilai-nilai sehari-hari
masyarakat Louis-Philippe untuk pandangan dunia yang lebih luar
biasa. Dengan kesewenang-wenangan Anglo-Saxon yang luar biasa,
Mrs. Trollope menganggap kisah-kisah seperti itu hanyalah kisah
yang ceroboh dan omong kosong yang dilebih-lebihkan, walaupun ia
memang mengakui bahwa ia merasa terganggu sebab menemukan
“para individu yang hidup seperti itu” di Café Tortoni.9
Para pemuda yang telah mengganggu kedamaian Mrs. Trollope
tidak diragukan lagi yaitu para pengagum atau anggota sekte
yang disebut ‘Les Bousingos’. Kelompok ini, yang termasuk penyair
Gérard de Nerval (nama samaran bagi Gérard Labrunie), Philothée
O’Neddy (anagram dari nama sebenarnya: Théophile Dondey) dan
Jehan du Seigneur (nama buatan bergaya abad pertengahan; nama
aslinya hilang dalam sejarah), telah didirikan oleh penyair, novelis,
dan eksentrik profesional Pétrus Borel yang berusia 21 tahun di
kamar sewaannya di sudut boulevard de Rochechouart. Awalnya
mereka menamakan dirinya ‘Le Camp des Tartares’ (nomenklatur
pro-Rusia yang provokatif) dan kemudian, untuk menunjukkan
pandangan mereka yang progresif, ‘Les Jeunes-France’. Kelompok
ini mulai menghina dan menyerang segala aspek masyarakat Louis-
Philippe dengan serangkaian lelucon serius, termasuk berjalan-jalan
304
tanpa pakaian, atau meninggalkan boneka penjahit di jalan dengan
diselimuti oleh kain dan mengklaim bahwa itu yaitu mayat yang baru
saja digali dari permakaman. Mereka dipaksa untuk meninggalkan
markas besarnya di boulevard de Rochechouart sesudah intervensi
polisi. Polisi dipanggil untuk mencegah para tetangga yang marah
agar tidak menghakimi mereka sesudah para tetangga mengira mereka
sedang meneriakkan ‘Vive Charles Dix (X)!’ padahal sebenarnya
mereka sedang menyanyikan ‘Vive Bouchardy!’ yaitu merujuk pada
seorang novelis yang menjadi salah seorang anggotanya. Mereka
memindahkan markasnya, sudah selayaknya, ke rue d’Enfer, tempat
mereka mengadakan pesta inaugurasi. Dalam pesta tersebut, mereka
memakan krim dari tengkorak kosong dan sebagian besar tamu
pingsan sebab punch yang mematikan.10
Mereka menyebut diri mereka sendiri ‘Les Bousingos’ selama
sebuah pesta di kabaret yang bernama Petit-Moulin-Vert. Mereka
menari mengitari sebuah mangkuk alkohol yang telah dinyalakan
dan membuat bait-bait yang berakhiran dengan ‘go’ dan ‘goth’ (untuk
memuji Victor Hugo). Mereka segera menjadi terkenal dalam pers
populer sebab tingkah laku aneh mereka—seperti menghabiskan satu
hari di permakaman atau ruang bedah—direkam dalam karya seperti
Le Figaro. Mereka membuat lagu yang merayakan rokok (“Marilah
kita merokok, merokok! Seperti rokok, segalanya hanya singkat dalam
kehidupan yang tidak berguna”) dan merayakan nilai-nilai kemalasan,
pesta pora, narkoba, bunuh diri, dan pembunuhan.
Namun, ada aspek serius, bahkan politik, dalam perilaku
bersenang-senang ini. Lebih jelasnya, anggota Bousingos tidak me-
nyukai ‘kebodohan’ dan sifat alami dunia yang bodoh seperti sapi
sebagaimana diatur di bawah Louis-Philippe. Mereka yaitu anak-anak
revolusi 1830 yang sangat kecewa melihat masa sesudah revolusi. Pendiri
mereka, Borel (yang kadang kala menganggap dirinya sendiri sebagai
‘serigala jadi-jadian’), telah mendeskripsikan pemberontakan Paris
pada Juli sebagai ‘kawah’ di mana ‘cahaya bulan baru’ mengungkapkan
kengerian pendeta yang membusuk.11 Pemberontakannya yaitu
konsekuensi langsung dari ketidakmampuan masyarakat secara
kolektif untuk bertanggung jawab bagi pelaksanaan revolusi sebenar-
nya.
305
Rasa ketidakpuasan yang sama menyentuh para intelektual dari
semua strata sosial. Bahkan, alasan lainnya mengapa pemerintahan
Louis-Philippe gagal yaitu ketidakmampuannya untuk memahami,
apalagi melawan, barisan ide pada abad ke-18. Ingatan akan ‘Grande
Révolution’ tidak pernah terlalu jauh di kalangan mereka yang disebut
‘kelas berbahaya’ di kota ini. Namun pada akhir dekade 1830-an,
ingatan ini tidak lebih dari nostalgia yang semakin menghilang akan
janji kebebasan yang gagal dipenuhi oleh pemerintah-pemerintah yang
silih berganti. Selama periode ini, saat pemerintahan Louis-Philippe
mengonsolidasikan kekuatan dengan senjata api selain dengan pajak
yang rendah, diklaim bahwa tradisi Revolusi masih benar-benar
dipertahankan secara utuh oleh para intelektual radikal muda yang
menaruh minat dalam kesusastraan dan filsafat selain politik.
Hal ini tidak sepenuhnya benar—klaim tersebut dibuat oleh para
intelektual muda sendiri dan tidak pernah dipercayai oleh kelas
pekerja—tetapi memang benar bahwa di Paris, seperti di tempat-
tempat lain di Eropa, semangat kebebasan baru sedang menyebar
luas di salon-salon dan di benak para intelektual. Istilah romantisme
pertama kali memasuki bahasa Prancis pada 1822, walaupun istilah
romantique telah lama digunakan sebagai kata benda maupun kata
sifat. Sederhananya, kata ini mendeskripsikan suasana hati dalam
pemikiran Eropa yang sejak akhir abad ke-18 telah mengambil
bentuk sebuah pergerakan. Prinsip utama “Romatisisme Prancis, yang
terinspirasi oleh tulisan-tulisan Jean-Jacques Rousseau dan, lebih
baru lagi, Madame de Staël, selain pergolakan politik Revolusi, yaitu
bahwa standar-standar klasik bagi keindahan tidak memadai untuk
merepresentasikan kehidupan sepenuhnya dalam pemikiran atau
seni. Para ahli teori Romantis, yang pada dekade 1830-an termasuk
nama-nama seperti penyair Alphonse de Lamartine, Alfred de Vigny,
dan Victor Hugo, meminta ‘liberté dans l’art’, dan menuntut kebebasan
penuh dalam urusan memilih subjek dan bahasa. Kelompok-kelompok
sempalan, seperti Bousingos, dianggap sebagai hasil ekstremis
pergerakan ini dan bahkan dipuji oleh para tokoh arus utama atas apa
yang disebut ‘Romantisisime mereka yang gila-gilaan’.
Di Paris, suasana hati ini telah dibenarkan sebagai teori pemandu
bagi sebuah hari di bulan Februari 1830 pascaterjadinya peristiwa yang
306
disebut bataille d’Hermani. Ini bukanlah pertempuran sebenarnya
tetapi lebih merupakan benturan budaya di mana kaum tradisionalis
dan kaum Romantis muda berkelahi di Comédie Française sebab
drama Hermani karya seorang pemuda yang akan segera terkenal
bernama Victor Hugo. Walaupun drama tersebut pada dasarnya
tidak bagus, drama ini telah memicu kemarahan sebab subjek yang
dibahasnya yaitu seorang raja yang lemah dan plin-plan. Hal yang
paling signifikan dan secara politik mudah menimbulkan pertengkaran
yaitu penggunaan secara bebas dan terang-terangan bahasa dan
bentuk tragis. Kaum tradisional mencemooh saat mendengar
seorang raja berbicara dalam diksi puitis yang tidak sempurna dan
menggunakan ungkapan sehari-hari. Kaum romantique, yang selama
dua malam pertunjukan drama kontroversial ini menampilkan
para pembuat keributan profesional seperti Borel dan calon penyair
Théophile Gautier, mengejek kaum tradisional dan tidak takut untuk
melayangkan satu atau dua pukulan atas nama ‘seni kebebasan’.12
Parisian biasa tidak memahami atau tidak memedulikan
pertengkaran semacam itu atas nama seni tingkat tinggi. Namun
‘pertempuran’, yang merupakan konflik antar-generasi selain konflik
lainnya, memang menandai titik balik dalam karier Louis-Philippe.
Yang terpenting yaitu konflik ini memberi tanda bahwa nilai-nilai
ini tidak dapat diterima bagi generasi-generasi pemikir dan pembuat
opini masa kini dan masa depan. Penyair Alphonse de Lamartine,
yang merupakan tokoh yang jauh lebih dihormati dan secara politik
lebih berpengaruh daripada Borel telah ditanya mengapa ia tidak
mendukung pemerintahan Charles X. Ia menjawabnya dengan:
“Apakah singa akan memberikan maaf saat lidahnya telah merasakan
darah?”13 Ini yaitu bahasa yang tidak biasanya penuh emosi bagi
seorang penyair yang dikenal sebab kemanusiaan dan sifatnya yang
moderat. Tidak kurang dari Bousingos, Lamartine dan dunia yang
diwakilinya telah dikecewakan oleh jurang yang semakin lebar antara
mitos revolusi dengan kenyataan pascarevolusi.
307
29
Cermin Balzac
Namun, tidak seorang pun bisa membatalkan Revolusi.
Selama tujuh puluh tahun selanjutnya, mitos Paris Revolusioner,
yang dibangkitkan kembali dalam sejumlah peristiwa pada 1830,
akan memainkan peran utama dalam imajinasi semua Parisian,
mendominasi keputusan yang mereka buat dan pada akhirnya meng-
arah pada saat-saat terpenting dari kekerasan yang mengguncang
pada 1848 dan 1871.
Sepertinya tidak terlalu banyak berpengaruh bahwa hingga 1830
penduduk Paris telah menikmati periode pasif dan kelembaman yang
lama. Mereka bahkan berkolaborasi dengan para penguasa yang tidak
efektif dan rezim yang lalim. Perubahan yang benar-benar terjadi
di bawah ‘Monarki Juli’ pada kenyataannya kurang-lebih sejalan
dengan kepercayaan Louis-Philippe terhadap bangsa penjaga toko
dan bukan para kesatria pencari kejayaan. Grand magasin pertama,
pendahulu toko serbaada, telah muncul di Paris pada 1824. Toko
ini yaitu La Belle Jardinière di Quai aux Fleurs di Île de la Cité
yang memperkenalkan konsep revolusioner berupa harga pasti dan
pembayaran di kasir. Pada 1828, pengusaha Stanislas Baudry telah
mendirikan Compagnie des Omnibus, sistem transportasi terintegrasi
pertama untuk daerah Paris dengan 100 kereta kuda berkapasitas
18-25 tempat duduk. Di pertengahan masa pemerintahan Louis-
Philippe, kereta-kereta kuda ini telah mengangkut lebih dari dua juta
pelancong ke seantero kota. Pada 1836, telah muncul dua surat kabar
harian, La Presse dan Le Siècle, yang ditujukan pada pasar borjuis
yang sedang berkembang dan menarik sirkulasi yang sangat banyak.
Surat kabar ini menampilkan dua hal baru kepada Parisian yaitu
layanan berlangganan dan pemberi iklan yang bersedia membayar
308
tinggi. Sebuah sistem penomoran jalanan (yang secara tidak sengaja
memperkenalkan tanda nomor dari besi berwarna biru yang masih
digunakan hingga sekarang) diperkenalkan pada 1847. Paris dengan
cepat menjadi semakin domestik dan modern pada saat yang sama.
Walaupun terjadi peningkatan dalam kualitas kehidupan sehari-
hari, pemerintahan Louis-Philippe tidak pernah menikmati dukungan
rakyat secara nyata. Hal ini membuka jalan bagi para pendukung
kerajaan, pendukung Bonaparte dan kelompok-kelompok Kiri
Revolusioner yang sedang bangkit untuk menggagalkan cita-citanya
akan sebuah negara yang nyaman yang pada prinsipnya tertata di
sekitar kenyamanan dan kesejahteraan kelas-kelas menengahnya.
Bukanlah kecelakaan bahwa selama periode ini, dan terutama saat
kondisi orang miskin di Paris mengalami kemerosotan yang terlihat
sesudah krisis ekonomi 1846 – 1847, bahwa Karl Marx dan Friedrich
Engels mulai menampilkan kota sebagai ibukota semua revolusi yang
akan datang atas nama keadilan sosial. Siapa pun yang pada dekade
1840-an berjalan dari barat ke timur kota, melintasi rue Saint-Denis
atau rue Saint-Martin dengan perasaan takut seperti seseorang
yang akan menyeberangi perbatasan tak kasatmata yang berbahaya,
pasti akan melihat makna nyata dan langsung dari definisi sejarah
menurut Marxis sebagai baku pukul penuh kemarahan antarkelas-
kelas sosial. Paris yaitu kota yang terbagi di mana kedua populasi,
kaya dan miskin, tidak berbicara dalam bahasa yang sama, apalagi
bernapas dengan udara yang sama, memakan makanan yang sama
atau mengenakan pakaian yang sama.
Dengan latar belakang ketidakpuasan yang semakin tinggi inilah
Prancis melancarkan sebuah petualangan seberang lautan yang
akan memiliki konsekuensi jangka panjang dan pada akhirnya
menimbulkan bencana. Petualangan ini yaitu penaklukan Prancis
terhadap Aljazair. Ini yaitu sebuah wilayah yang luas dan belum
dikenal di sisi lain Mediterania. Wilayah ini digosipkan kaya akan
barang rampasan yang bisa dijarah dan kekayaan Oriental. Selain itu,
Aljazair dipandang merupakan mangsa empuk bagi kekuatan militer
dan teknologi tentara Prancis yang lebih unggul.
309
Pertempuran Aljazair Pertama
Prancis memang sudah lama menginginkan Aljazair, yang dianggap
merupakan salah satu penghubung terlemah dalam Kesultanan
Ustmaniyah. Inspirasinya datang dari kesuksesan Napoleon walaupun
hanya sebagian dengan pasukan ekspedisi ke Mesir pada 1798.
Ekspedisi ini memicu popularitas segala hal yang berhubungan
dengan Oriental di Paris mulai dari permadani, karpet, dan furnitur
hingga perhiasan dan ganja. Katalisnya yaitu penghinaan yang
diberikan kepada konsul Prancis bernama Deval pada 1827 oleh
Dey Aljazair atau El-Djezair sebagaimana nama kota itu pada saat
itu. Dey Aljazair telah memukul konsul dengan pemukul lalat saat
sang konsul menuntut bunga yang sangat tinggi atas pinjaman yang
diberikan Prancis kepada bangsa Aljazair.
Tiga tahun kemudian, Prancis membalas dendam. Gagasan ini
diumumkan pertama kalinya oleh Charles X pada Maret 1830 dengan
niatan yang dinyatakan yaitu menagih utang yang belum dibayar dari
para bajak laut dan perompak. Bahkan pada tahap seawal ini, musuh-
musuh Charles melihatnya sebagai rencana yang meragukan untuk
memulihkan kembali popularitas di dalam negeri yang merosot cepat
dengan petualangan luar negeri untuk mengejar la gloire. Sekalipun
demikian, pada 14 Juni 1830, pasukan Prancis mendarat di Sidi
Ferruch yaitu sebuah pantai yang berjarak sekitar 32 km sebelah timur
Aljazair. Tindakan ini dilancarkan sebagai hiburan selain sebagai
perang, dengan Parisian yang bergaya menonton bombardemen
terhadap Aljazair dari kapal-kapal pesiar sewaan. Dey menyerah
sesudah bertempur selama lima minggu. Pada saat itu, Charles X juga
sudah dijatuhkan dan pergi ke pengasingan.
Louis-Philippe mewarisi petualangan ini. Ia mengejarnya dengan
semangat sebanyak yang ia bisa, terutama sebab ia tidak bisa kehilangan
muka di Paris atau dilihat menyerahkan tanah mana pun kepada orang
Inggris yang telah mengamati semua manuver Prancis dengan mata
pemangsa sedari awal. Parisian sendiri umumnya tidak memedulikan
proyek ini. Barulah saat pertempuran bergerak semakin dalam
ke daerah pedalaman dan para prajurit Prancis dibantai dalam
pengadangan atau membeku hingga mati di pegunungan, Parisian
310
mulai memperhatikan apa yang terjadi saat peristiwa-peristiwa
tersebut dilaporkan kepada mereka dalam jurnal-jurnal populer masa
itu. Namun, perang tidak pernah sederhana. Para jenderal Prancis
sangat kecewa saat struktur kesukuan bangsa Aljazair menjadi
terorganisasi di bawah tangan kuat seorang pemimpin perlawanan
berusia 25 tahun bernama Abd-el-Kader (Abdul Kadir). Ia berhasil
meraih sejumlah kemenangan luar biasa melawan kekuatan kolonial.
Pembalasan Prancis, dalam pola yang akan menjadi akrab secara
mengerikan di abad ke-20, bersifat tegas dan tanpa ampun. Louis-
Philippe telah menyatakan bahwa semua cara untuk memenangkan
perang dibenarkan. “Yang terpenting yaitu ,” katanya, “jika ratusan
juta peluru ditembakkan di Afrika, Eropa tidak mendengarnya.”1 Pada
1843, publik Paris sangat terkejut dengan taktik tentara Prancis yang
membunuh hampir lima ratus pria, wanita, dan anak-anak Aljazair
dengan cara menyalakan api di mulut-mulut gua tempat mereka hidup
dan membiarkan mereka mati sesak napas oleh asap.
Parisian semakin tidak bersimpati kepada pemerintah mereka
sendiri saat mengetahui bahwa jenderal yang bertanggung jawab
atas pembantaian seperti itu yaitu Thomas Bugeaud. Ia yaitu
penjagal yang bertanggung jawab atas pembantaian di rue Transnonain
pada 1834. Walaupun demikian, gerakan menuju kolonisasi terus
berlangsung. Pada akhir dekade 1840-an, kelas pekerja Prancis,
terutama dari selatan, ditambah sedikit orang Italia dan Spanyol
mulai tiba di Aljazair. Mereka menetap di tanah-tanah pertanian
dan mendirikan pusat-pusat perdagangan. Orang Aljazair menyebut
mereka roumis, yang didasarkan pada salah satu kata tertua untuk
‘orang Romawi, dan kemudian pieds-noir (atau ‘kaki hitam’ yang
kemungkinan besar sebab mereka selalu menggunakan sepatu hitam
mengilap—walaupun aliran pemikiran lainnya mengatakan bahwa
para pemukim ini mendapatkan nama tersebut dari orang Prancis
metropolitan sebab kaki mereka menjadi hitam oleh sinar matahari).
Bugeaud sendiri merasa skeptis terhadap nilai petualangan ini.
Setidaknya sejak 1837 ia telah memperkirakan bahwa Aljazair akan
terbukti merupakan wilayah jajahan yang terlalu membebani yang
akan sulit dilepaskan oleh bangsa Prancis. saat kekerasan meletus
di jalan-jalan Aljazair dan kemudian Paris pada dekade 1950-an dan
311
1960-an, saat para pied noir bertempur melawan pemerintah Prancis
dan populasi pribumi untuk mempertahankan wilayah mereka, kata-
kata Bugeaud terlihat seperti ramalan.
“Monster yang sangat lezat”
Bukan sebab ketidaksengajaan bahwa kata chauvin dan chauvinisme
memasuki leksikon Parisian pada saat itu. Istilah ini merujuk pada
lagu dan cerita tentang tokoh Nicolas Chauvin yang sempurna. Ia
yaitu seorang mantan prajurit Napolen dan patriot yang tangguh,
musuh semua orang asing dan terutama orang Aljazair. saat Louis-
Philippe menjamu para kepala Eropa di Tuileries pada akhir 1830-an
dan selama 1840-an, kelas pekerja Paris bergetar oleh kebencian yang
semakin memuncak kepada orang luar. Para pria dan wanita Inggris,
yang dianggap sebagai sumber semua masalah Prancis, sering kali
diserang di jalanan. Orang asing lainnya berusaha tidak menampilkan
diri di luar enklave-enklave kosmopolitan di Champs-Élysées dan
Palais-Royal.2
Atmosfer yang panas pada periode ini ditangkap dengan begitu
tepat dalam banyak kisah, novela dan novel karya Honoré de Balzac.
Cerita-cerita ini jarang sekali menyampaikan masa di mana Balzac
dilahirkan, tetapi memberikan rasa sebenarnya dari sebuah masyarakat
yang berdamai dengan kelahiran kapitalisme modern, mesin
urban dan kultus individu: yang kesemuanya merupakan ciri khas
modernitas abad ke-19. Lebih dari itu semua, Balzac yaitu seorang
penulis yang daya tarik universalnya berakar dalam pengetahuan lokal
dan intimnya terhadap kota yang mengadopsinya ini.3
Walaupun ia mendapat reputasi sebagai penulis kronik kehidupan
Paris yang terbaik, Balzac pada kenyataannya yaitu orang
pedalaman. Ia dilahirkan pada 1799 di Tours di sebuah keluarga
sederhana yang berasal dari Provence. Kata ‘de’ yang berkonotasi
aristokrat pada namanya yaitu buatannya sendiri. Ia memulai
karier akademiknya dengan buruk, terutama membuat terkesan
para gurunya sebab kemalasan dan meremehkan pihak berwenang.
Namun, ia yaitu pembaca yang sangat rajin. saat tiba di Paris pada
312
1814 (bisnis ayahnya membawa keluarganya ke kota ini), ia dengan
cepat menunjukkan kecerdasan dan tipu daya yang cukup untuk
mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor pengacara (pengetahuannya
tentang kerumitan dan nuansa hukum yang diperolehnya di sana
akan sangat berguna baginya dalam fiksinya di kemudian hari). Ia
juga mengikuti perkuliahan yang diadakan di Sorbonne, terutama
yang diberikan oleh filsuf idealis Victor Cousin dan kritikus sastra
Abel-François Villeman, seorang ahli tentang Prancis sejak Renaisans
hingga Revolusi. Balzac sudah bertekad untuk juga menjadi seorang
penulis. Ia tinggal sendirian di Paris tempat dirinya menulis puisi-
puisi jelek serta sejarah dan tragedi yang sukar dibaca. Pada 1820-an,
ia bertekad untuk menjadi kaya dengan menerbitkan serangkaian
novel bergaya sensasional dalam gaya saat itu yang ‘gila-gilaan’ serta
membuat rencana-rencana investasi yang sia-sia dan pasti gagal. Pada
usia 29 tahun, ia berutang sangat banyak dan ditertawakan sebagai
penulis serius.
Namun pada usia 30 tahun, Balzac menerbitkan Les Chouans,
sebuah kisah historis yang meniru Sir Walter Scott tentang para
pemberontak Brittany pendukung raja. Para pemberontak ini disebut
‘Chouan’ atau ‘burung hantu’ sebab praktik mereka yang memanggil
satu sama lain di waktu malam menggunakan teriakan seperti suara
burung hantu. Buku ini segera sukses, sebagian sebab subjek yang
dibahasnya, yang diambil dari sumber yang kaya yaitu nostalgia
pendukung kerajaan selama tahun-tahun terakhir pemerintahan
Charles X yang terhuyung-huyung, tetapi terutama sebab buku
ini mengumumkan novel jenis baru di mana karakter-karakternya
bertindak menurut motivasi nyata manusia dan bukan gagasan
abstrak seperti kebebasan, kemerdekaan, atau keadilan. Reputasi
Balzac semakin bertambah oleh kisah-kisah, yang terutama ditujukan
kepada pembaca wanita, yang diterbitkannya sebagai Scènes de la vie
privée (‘Adegan-adegan dari kehidupan pribadi’) dalam jurnal populer
La Presse. Kesuksesan relatif ini diikuti pada 1832 oleh La Peau de
chagrin (‘Kulit Ajaib”), yaitu fabel semi-otobiografi tentang ambisi,
kegagalan dan nafsu yang mengambil tempat di jantung Paris yang tak
berperasaan. Novel ini dibaca dengan rakus oleh generasi Parisian dan
orang pedalaman yang baru tiba di Paris yang mengenali diri mereka
313
sendiri dalam halaman-halamannya. Daya tariknya terletak pada fakta
bahwa ia mendeskripsikan Parisian biasa dalam cara yang membuat
mereka bisa dipercaya dan juga luar biasa.
Dalam satu gerakan, Balzac telah mengumumkan kematian
Romantisisme dan dimulainya novel modern. Ia beruntung dilahirkan
di masa revolusi dan kontra-revolusi, yang baginya merupakan
konfirmasi bagi prinsip gerakan terus-menerus yang mendasari semua
perkembangan manusia. Balzac tumbuh dewasa selama restorasi
Bourbon. Walaupun sebagian besar novelnya ditulis pada masa Louis-
Philippe, karya-karyanya sebagian besar berlatar belakang periode
restorasi, dengan rasa ketidakkekalan dan bencana yang membayangi.
sesudah karier menulisnya berjalan dengan baik, ambisi Balzac
tumbuh semakin masif. Ia peminum kopi yang sangat kuat,
menulis sepanjang malam selama berminggu-minggu pada suatu
saat , menghasilkan karya-karya dengan energi dan vitalitas yang
mencengangkan agar dapat memberi dampak kepada dunia yang
dipandangnya sangat busuk tetapi juga selalu bisa ditingkatkan. Kopi
dan kerja berlebihan ini akhirnya membunuhnya pada usia tiga puluh
lima tahun sebab sakit maag parah dan jantung yang rusak. Balzac
dilemahkan dan diremukkan oleh ambisinya untuk membawa kota
menjadi hidup dalam buku-bukunya. Kegelisahannya, energinya yang
bergerak cepat dan imajinasinya yang melankolis telah membuatnya,
dalam banyak hal, menjadi contoh sempurna bagi Parisian kelas
menengah-bawah pada awal abad ke-19. Ia terperangkap antara
nostalgia stabilitas masa lalu dan kekaguman pada masa depan yang
tidak diketahui.
Antara 1832 dan 1834, ia mulai membuat rencana untuk me-
nyatukan semua tulisannya sebagai satu kesatuan dengan judul kolektif
La Comédie humaine (‘Komedi Manusia’) yang akan merangkum
tujuan tunggalnya. Tujuannya yaitu menampilkan Paris kepada
pembaca sebagai totalitas, memetakan semua kompleksitas, nuansa
dan detailnya. saat wafat pada 1850, ia telah menerbitkan lebih dari
90 novel dan novela yang menampilkan lebih dari 2.000 karakter yang
diambil dari daerah atau jalanan Paris.
Ia yaitu pengagum penulis novel Amerika bernama James
Fenimore Cooper dan berupaya membuat peta Paris dalam cara
314
yang kurang-lebih sama dengan cara Cooper memetakan wilayah-
wilayah Dunia Baru. Paris bagi Balzac, sebab dibentuk oleh dinamika
keras kapitalisme awal, yaitu hutan rimba, hutan dan labirin.
Bagi hampir semua karakter yang dibuat oleh Balzac, Paris yaitu
seluruh dunia, sering kali seluruh dunia yang dikenalnya. Bahkan
jika—seperti Vautrin yaitu dalang kriminal yang suka menghasut—
mereka memimpikan Utopia pedesaan di benua Amerika, terjebak di
Paris dengan monumen-monumennya, istana-istananya, lapangan-
lapangannya yang pengap dan jalanannya yang berlumpur dan tidak
berlapis batu. Kelangsungan hidup di kota tergantung pada kecerdasan,
tipu daya dan kemampuan untuk membaca penanda tidak kasatmata
yang menunjukkan jalan keluar dari kemiskinan menuju kehidupan
mimpi beaux quartier di ujung barat kota. Paris memiliki jalan-jalan
yang ‘mulia’, ‘jujur’ dan ‘terhormat’; sementara bagian lain dari kota
‘kejam’ dan ‘penuh dengan keburukan’. Menjadi tanda kesuksesan
bagi Parisian bahwa ia tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan
pergerakan bayang-bayang dan cahaya yang bergantian.4
Balzac menganggap dirinya sendiri gagal, tetapi bahkan sebelum
kematiannya para kritikus dan pengagum mengakui bahwa ia tidak
hanya melukiskan potret kehidupan Paris yang hidup dan bertahan
lama tetapi memberi banyak kontribusi bagi substansi budaya dan
politiknya. Hal yang paling signifikan yaitu buku La Comédie
humaine disatukan oleh geografi dan genealogi. Hampir semuanya
terjadi di dalam atau di dekat Paris, dan karakter-karakter yang
sama, pada berbagai tahapan dalam karier atau perkembangannya,
mengambil bagian kecil atau besar tergantung pada isu dan perdebatan
dalam buku. Tema besar Balzac, yang mencerminkan etos restorasi
dan Monarki Juli, yaitu uang bisa melakukan segalanya. Namun, hal
ini dipahami dalam konteks paling harfiah. Kejahatan terlalu sering
menjadi makmur di atas orang-orang—seperti Balzac sendiri—
yang tidak memiliki rasa bisnis atau terlalu tamak atau bodoh untuk
memahami bahaya Paris.
Pada kenyataannya, kota Paris karya Balzac pada intinya terbagi
menjadi tiga zona yang berbeda—Faubourg Saint-Marceau, wilayah
miskin dan kumuh di Tepi Kiri, tepat menghadap Faubourg Saint-
Antoine; Faubourg Saint-Honoré, wilayah kaya yang dihuni para
315
pengusaha arriviste dan bankir borjuis yang berlimpah dengan
uang baru; dan Faubourg Saint-Germain, wilayah kekuasaan para
bangsawan lama. Dalam Histoire des Treize (‘Kisah para Tiga Belas’),
sebuah trilogi yang diterbitkan pada tahun 1833 – 1835, ia menyebut
kota Paris sebagai seorang ‘pelacur hebat’, ‘seorang ratu gemuk dengan
hasrat menggebu-gebu yang tak dapat diingkari’. Paris juga dikenal
dengan sejumlah nama ‘monster yang paling lezat’, ‘gunung berapi’,
‘hutan belantara’, ‘wilayah berawa’ dan ‘samudra’. Di semua bukunya,
Balzac menasihati akan dampak kekuatan penghancur dari nafsu yang
berlebihan—tidak hanya nafsu seks dan uang, namun juga ketamakan,
seperti dalam Eugénie Grandet (1833), atau cinta orangtua yang terlalu
berlebihan dalam Le Père Goriot (‘Bapa Goriot’. 1834). Paris sendirilah
yang mewujudkan tindakan melampau batas seperti ini.
Lalu Lintas Membelah Kota
Secara politik, Balzac yaitu seorang reaksioner yang tidak terlalu
tertarik pada apa yang disebutnya ‘teori-teori tidak jelas’ dari kaum
sosialis pencari Utopia yang berkumpul di Paris pada dekade 1840-an,
di saat monarki borjuis merasakan tekanan dan ibukota Revolusi dunia
sedang bersiap menghadapi peralihan keras lainnya. Namun, Balzac
cukup cerdas untuk melihat bahwa restorasi akan gagal sejak awal.
Hal ini bukan sebab adanya kelemahan mendasar apa pun dalam
sistem monarki, tetapi sebab para monarki sendiri yaitu orang-
orang berpikiran sempit yang tidak memahami kepentingan nasional
atau ambisi nyata apa pun. Hal ini menjelaskan kepadanya ‘dekadensi’
yang mencengkeram para intelektual muda Paris yang terbaik sesudah
1830, yang menghentikan dirinya sendiri dalam sikap-sikap ironis
dan karya-karya seni yang berupaya untuk menyenangkan dan bukan
mengajarkan. Balzac sendiri bekerja sekuat tenaga secara berlawanan
dengan apa yang dilihatnya sebagai sikap steril ini.
Pasca 1830, saat Paris biasanya dideskripsikan dalam konteks
paling maskulin sebagai menang dalam pertempuran, Balzac, yang
selalu menjadi penostalgia yang keras kepala, secara luar biasa sangat
setia kepada gambaran lama Paris sebagai wanita (Semua kota Prancis
316
secara tradisional yaitu feminin dan diwakili oleh patung-patung
wanita). Dalam La Peau de chagrin, ia mendeskripsikan langit kelabu
yang “memberikan hawa mengancam kepada Paris, dengan cara yang
sama seperti seorang wanita cantik yang secara tiba-tiba tanpa bisa
dijelaskan berubah antara buruk rupa dan cantik.” Paris menurut
Balzac yaitu tempat yang kejam dan berhantu di mana, lebih dari
tempat lainnya di bumi, energi-energi ini terkonsentrasi dalam
kekotoran dan kebisingan jalanan kota. Kita bertemu dengan karakter-
karakternya seperti secara tidak sengaja, seakan-akan mereka muncul
dari kerumunan hanya untuk menyatu kembali ke dalamnya; karakter
sebenarnya yaitu denyut mesin urban atau ‘monster yang lezat’ itu
sendiri. Aspek inilah yang membuat karya Balzac menjadi paling
modern. Politiknya mungkin memang reaksioner, tetapi cermin
yang diarahkannya ke kota dan zamannya memantulkan, dengan
detail yang sangat jelas, potret sebuah masyarakat yang dibentuk oleh
kejayaan dan bencana secara seimbang.
Balzac meratapi kepergian Charles X dan bersamanya kepergian
semua hukum dan disiplin. Ia membayangkan sebuah kota dan
negara yang disatukan dalam keyakinan dan nilai-nilai tetapi ia sudah
mengetahui bahwa hal itu mustahil terwujud. Ia cukup cerdas untuk
melihat kepergian ini sebagai titik balik dalam sejarah Paris yang tidak
mungkin kembali. Gambaran kesatuan politik dan budaya Paris pada
awal tahun-tahun ‘monarki borjuis’ memang hanyalah ilusi optik.
Pada kenyataannya, kelas pekerja dan kelas borjuis sudah berjalan
dalam arah berlawanan. Fakta ini tidak lama kemudian akan mem-
berikan konsekuensi mengerikan bagi kota.
317
30
Masa Kemuakan
Jauh sebelum pembunuhan dimulai, semua orang di Paris sudah
mengetahui bahwa pemerintahan Louis-Philippe akan berakhir
dengan kekerasan. Tentu saja, sejak awal dekade 1840-an dan
seterusnya pembuat opini yang paling mengatur sekalipun tidak
bisa melihat masa depan dalam pemerintahan yang didasarkan
pada premis yang terbukti palsu yaitu mendamaikan keinginan
kelompok republik dengan nostalgia kelompok pendukung kerajaan.
Ketidakpuasan yang semakin bertambah di jalanan—kemuakan
paling terlihat yang dirasakan rakyat terhadap pemerintah—serta
ketidakmauan dan ketidakmampuan Louis-Philippe bahkan untuk
mulai menyembuhkan pembagian sosial yang tajam di Paris juga
menjadi faktor utama kejatuhannya.
Parisian dari semua kelas melihat pemerintahan Louis-Philippe
melalui mata kartunis Honoré Daumier. Dalam majalah satire dan
politik Charivari, Daumier menggambarkan Louis-Philippe sebagai
tokoh yang kegemukan, bodoh dan malas—orang bodoh bertubuh
seperti telur dengan rambut panjang keriting di atas kepalanya.
Daumier lucu dan kejam dan, tidak kalah dari Balzac, ia merangkum
masa tersebut dalam gambar-gambarnya. Terutama, Parisian me-
nyukai karakter Rober Macaire, seorang bajingan dan pencuri yang
nantinya sangat terkenal dalam adaptasi panggung oleh aktor Frédéric
Lemaître. Dalam Macaire, Daumier menangkap kecintaan yang
menipu dan tidak berprinsip terhadap pengelabuan finansial yang
menurut sebagian besar orang berada tepat di jantung pemerintahan
Louis-Philippe.1
Louis-Philippe memerintah selama delapan belas tahun. Fakta ini
tidak dapat dipercaya dan mengejutkan bagi sebagian besar Parisian
318
pada periode tersebut. Penyebab utamanya kemungkinan sebab
selama masa pemerintahannya, Paris yaitu tempat yang sangat
tegang, ditambah dengan sifat rezim Louis-Phillipe yang sangat rentan
dan tindakan keras yang digunakannya untuk menindas orang-
orang yang tidak puas. Huru-hara dan pemberontakan tidak pernah
menjauh dari permukaan kehidupan sehari-hari. Louis-Philippe
sendiri selalu menjadi sasaran pembunuhan dari salah satu komplotan
yang ada. Parisian sangat membenci cara Louis-Philippe mengelilingi
dirinya dengan orang-orang asing—terutama orang Inggris yang
dibenci—sementara mereka sendiri melakukan apa pun sebisanya
agar bertahan hidup di jalan-jalan berlumpur dan sangat kotor di
ibukota yang kepura-puraannya memiliki kemegahan monumental,
dengan patung-patung dan gapura-gapura Napoleon, yang sulit sekali
disamai oleh kondisi ujung timur kota yang sangat buruk.
Sifat gugup rezim ini diungkapkan secara kejam pada 1840
melalui pemakaman Napoleon. Ini yaitu upacara yang megah dan
mengharukan yang dihadiri oleh sebagian besar Parisian yang, apa
pun pandangan mereka sebenarnya terhadap si orang Korsika, tidak
bisa tidak merasakan sedikit nostalgia akan masa lalu nan jaya yang
sekarang menghilang dengan cepat. Kerentanan rezim Louis-Philippe
digarisbawahi oleh fakta bahwa proyek-proyek yang benar-benar
ambisius yang diselesaikan telah diperintahkan pembangunannya dan
direncanakan oleh Napoleon Bonaparte sebagai bagian dari visi kaisar
terhadap Paris sebagai ibukota Eropa dan, sebagai perluasannya,
ibukota dunia. Arc de Triomphe, gereja Madeleine dan Obelisk, yang
dibangun di Place de la Concorde di masa pemerintahan Louis-
Philippe, yaitu penghormatan terhadap masa sebelumnya yang
lebih ambisius. Tidak satu pun Parisian yang mengaitkannya secara
langsung dengan ‘warga negara-raja’. Bahkan Colonne de Juillet, yang
dibangun Louis-Philippe di Place de la Bastille untuk memperingati
hari-hari Juli 1830 yang telah membawanya ke tampuk kekuasaan,
terlihat sebagai tanda praktis pengabdian kepada rakyat dan bukan
kejayaan kosong monarki.
319
Gagasan Baru di Eropa
Sementara itu, sebuah kata baru dan gagasan baru memasuki kosakata
sehari-hari Parisian pada dekade 1840-an. Kata tersebut yaitu
‘Komunisme’ dan gagasan yang terkait dengannya yaitu penciptaan
sebuah kebudayaan baru yang sempurna tempat semua kelas sosial
dan hierarki dilebur dalam pewujudan kebebasan total dan absolut.
Orang-orang yang mempropagandakannya mengatakan bahwa
bentuk Komunisme ini merupakan mimpi asli Revolusioner sejati
tahun 1789, sebelum Revolusi sendiri dirusak oleh ‘Teror’ dan
dikorupsi oleh kaum liberal borjuis. Mereka berpendapat bahwa
kegagalan rezim Louis-Philippe yang sangat terlihat hanya memberi
bukti tambahan bahwa masyarakat Komunis ideal bisa dijangkau dan
lebih diinginkan daripada sebelumnya. Pengorbanan kejam hanyalah
pendahuluan bagi dunia baru. Di jalanan Paris, tempat kemiskinan
dan kelaparan yaitu pengalaman sehari-hari bagi sebagian besar
penduduk (mayat proletar yang kelaparan sekarang menjadi
pemandangan umum di sudut-sudut bulevar yang paling bergaya),
argumentasi seperti itu tidak hanya memberikan harapan tetapi
juga janji pembalasan terhadap masyarakat yang terlihat jelas ingin
mempertahankan keistimewaan sekelompok kecil elite.
Gagasan Komunis memang menjadi bagian dari cara berpikir
radikal di Paris sejak dekade 1780-an. Teori dan kata ini telah dikenal
oleh para pemikir berbeda seperti Restif de la Bretonne dan François-
Émile Babeuf. Tahun 1840 menjadi saksi banyaknya gagasan ini yang
memasuki penggunaan dan perdebatan sehari-hari dengan penerbitan
Qu’est-ce que la propriété? (‘Apa itu Hak Milik?’) karya Proudhon,
L’Organisation du travail (‘Organisasi Kerja’) karya Louis Blanc, De
l’humanité (‘Tentang Kemanusiaan’) karya Pierre Leroux dan Livre
de compagnonnage (‘Buku tentang Serikat Dagang dan Korporasi’)
karya Agricol Perdiguier. Masing-masing buku ini memperdebatkan
organisasi uang, kerja dan masyarakat yang sedang berlaku. Pada tahun
yang sama, kelas pekerja Paris untuk pertama kalinya menghadiri
‘jamuan Komunis’ yang diadakan di Belleville dan Ménilmontant. Ini
yaitu lingkaran perdebatan di ruang terbuka, yang diorganisasi oleh
para intelektual radikal selain para tukang, pekerja buta huruf dan
320
proletar bergaya modern. Pertemuan ini dilumasi oleh begitu banyak
anggur dan dilaporkan oleh Léon Faucher pada 3 Juli 1840. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah ia mendeskripsikan organisasi yang
kelihatannya spontan tersebut dan menyebutnya ‘Communist Party
(Partai Komunis)’.
Namun, istilah ‘Komunis’ disebarkan dengan benar untuk pertama
kalinya di Paris oleh pengacara dan jurnalis Étienne Cabet. Ia berasal
dari Dijon dan pernah bermigrasi walaupun tidak lama ke Inggris
tempat ia mendapat pengaruh dari seorang industrialis Utopis bernama
Robert Owen. Cabet juga dipengaruhi oleh para filsuf komunalis
Utopis bernama Charles Fourier dan Babeuf. Keduanya berpendapat
bahwa pekerjaan Revolusi belum diwujudkan dalam istilah manusia
praktis. Bagi Fourier bentuknya yaitu membayangkan seluruh
masyarakat manusia yang berjalan mengikuti garis-garis proto-
Komunis, sementara bagi Babeuf yang merupakan manusia pelaku
dan manusia pemikir, telah berkonspirasi untuk membajak Direktorat
guna membawa Revolusi kembali ke arah yang benar.
Dari Owen, Cabet mengambil gagasan bahwa lingkungan
memengaruhi umat manusia dan jika lingkungan sempurna dapat
dibentuk maka masyarakat sempurna akan mengikutinya. saat ia
kembali ke Paris, Cabet pernah bekerja walaupun sebentar sebagai
pengacara yang melayani rezim Louis-Philippe. Tetapi ia menjadi
semakin radikal sesudah pertemuannya secara langsung dengan
kelas pekerja Paris. Ia mendirikan surat kabar bernama Le Populaire
untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Ia juga menulis sejarah
populer Revolusi dan novel ‘Komunis’ berjudul Voyage en Icarie yaitu
sebuah catatan semi-otobiografi tentang Utopia di mana kegembiraan
abadi untuk semua orang yaitu konsekuensi langsung dari semua
penghapusan sistem ekonomi yang berbasis keuntungan. Buku yang
diterbitkan pada 1840 ini menjadi buku terlaris dan kata ‘Komunisme’
menjadi lambang pembangkangan bagi Parisian miskin dan ancaman
yang menggetarkan bulu kuduk bagi kaum borjuis. Cabet berangkat
ke Amerika Serikat pada 1848 untuk mendirikan ‘komunitas Ikarus’-
nya sendiri yang berakhir dalam dendam dan pertengkaran tentang
tagihan-tagihan yang tidak terbayar.
Tetapi pada saat itu di Paris pada awal dekade 1840-an, Cabet
321
sudah melakukan lebih dari cukup untuk menyalakan api yang akan
segera menelan kota. Pada 1848, pemerintahan Louis-Philippe jatuh
saat berhadapan dengan Parisian yang bertempur di jalan-jalan dan
rangkaian revolusi menyebar ke seantero Eropa, dari Paris ke Milan
hingga Wina. saat itu, walaupun hanya sebentar kelihatannya
‘hantu Komunisme’ yang didefinisikan oleh Karl Marx di London
tetapi berasal dari Paris akan segera mengguncang dunia hingga ke
akar-akarnya.
Membaca dan Menulis Sejarah
Saat suara-suara ketidakpuasan dari mereka yang membenci rezim
semakin kencang suaranya maka berbagai macam surat kabar, majalah
dan jurnal berkembang di Paris. Diperkirakan bahwa pembaca pers di
kota meningkat dari 60.000 menjadi lebih dari 200.000 antara 1830
dan 1848. Jumlah ini tidak hanya menunjukkan tingkat kemampuan
membaca yang tinggi tetapi juga rasa haus akan berita dan gagasan.
Terutama, pers mencerminkan dan juga memengaruhi sifat alami
kemarahan Parisian.2
Menyadari begitu besarnya potensi subversi, pemerintah
memperhatikan dengan saksama semua publikasi ini dan, sejauh
mereka bisa, kepada para pembacanya. Ada banyak hal yang perlu
ditakuti pemerintah. Pada 1830, telah menjadi fakta di kalangan
cendekiawan bahwa pers Paris, dari asal-usulnya di abad ke-17
dengan La Gazette dan La Muse historique, Le Mercure galant dan
Le Journal de Paris, telah membuat kontribusi signifikan terhadap
semua guncangan besar di abad sebelumnya, dari Revolusi hingga
‘Teror’, kemudian Direktorat, Bonaparte dan dua restorasi. Di bawah
Monarki Juli, pers telah meraih popularitas dan nilai penting yang
belum pernah dikenalnya sejak hari-hari pertama abad ke-18, saat
colporteur mendistribusikan gagasan, informasi, teori dan lelucon
baru di seantero kota. Popularitas pers hampir tidak tersentuh oleh
undang-undang tahun 1834 dan 1835, yang mengendalikan aktivitas
penjual jalanan yang menjual pamflet dan tulisan lain yang berpotensi
membakar. Bahkan, upaya penindasan yang gugup dan setengah hati
322
ini hanya menambah prestise para editor dan penulis yang mereka
tugaskan.
Publikasi terkemuka, setidaknya dalam konteks penjualan, yaitu
Les Constitutionnel yang didirikan pada 1815 selama operasi militer
Waterloo dan dimaksudkan sebagai surat kabar antipendeta dan
progresif. Surat kabar ini pernah ditutup walaupun tidak lama oleh
Louis-Philippe sebab digosipkan merupakan simpatisan pendukung
Bonaparte, tetapi publik selalu ingin membacanya. Publik menikmati
kolom berkala berupa gosip bidang kesusastraan. Serangan kerasnya
kepada kaum Romantis juga diapresiasi oleh pembaca yang berasal
dari kelas menengah. Surat kabar ini menerbitkan karya-karya sastra
terbesar periode ini, dari George Sand hingga Alexandre Dumas
dan Eugène Sue (nantinya akan menjadi markas besar kritikus dan
komentator kejam Sainte-Beuve). Pesaing terdekat Le Constitutionnel
yaitu La Presse. Surat kabar ini jauh lebih murah terutama sebab
inilah surat kabar pertama yang menerbitkan iklan (para editor lainnya
memberikan komentar pedas dan keras tentang hal ini tetapi tidak
lama kemudian segera mengikutinya). Pada akhir abad, La Presse yang
juga menciptakan gagasan koresponden asing yaitu surat kabar yang
paling banyak dibaca di Paris dan Prancis.3
Pada satu waktu, Paris pernah menyokong 26 surat kabar harian.
Kesusastraan dan politik memiliki kaitan erat. Pada saat yang sama,
penjualan segala bentuk buku yang diterbitkan mencapai puncak
tertingginya. Konsekuensinya yaitu begitu besarnya uang muka
yang diberikan oleh para penjual buku kepada orang-orang seperti
Balzac, Victor Hugo, dan Chateaubriand. Karya Chateaubriand yang
berjudul Mémoires d’outre-tombe (‘Memori Melampaui Makam’) yang
diterbitkan pada 1849 – 1850 yaitu sebuah autobiografi dan elegi
bagi Prancis yang hilang yang sangat disukai semua kelas. Digosipkan
bahwa Chateaubriand yang sangat arogan telah membuat bangkrut
penerbitnya dengan tuntutan-tuntutannya. Buku-buku terlaris seperti
Mystères de Paris karya Eugène Sue atau novel terpopuler karya
Balzac juga menyentuh publik yang tidak bisa membaca dengan cara
dibacakan sebagai hiburan di sudut-sudut jalan atau di dalam kafe dan
kedai minum.4
323
Di atas semuanya, Parisian terpesona oleh Paris. Salah satu buku
terlaris di masa Louis-Philippe yaitu Paris ou le livre des cent-et-un
(‘Paris atau Buku Seratus Satu’). Ini yaitu kumpulan esai dan puisi
lima belas volume tentang kehidupan Parisian yang diterbitkan pada
1831 – 1834. Subjeknya termasuk kehidupan jalanan, legenda dan
sejarah, monumen publik dan rumah pribadi, selain kisah rakyat
Paris. Pada 1835, Jacques-Antoine Dulaure, seorang penduduk asli
Clermont-Ferrand yang telah menghabiskan sebagian besar masa
hidupnya di Paris sebagai seorang insinyur dan pendukung setia
republik, menerbitkan karya monumental delapan volume berupa
sejarah Paris sejak awal pendirian kota. Kisah kota ini diceritakan
secara menghibur dan seperti gosip. Karya ini segera menjadi sumber
bagi begitu banyak sejarah lain tentang Paris Abad Pertengahan,
tradisi pemberontakan Paris, kehidupan sehari-hari, kebiasaan buruk
para raja dan seterusnya. Pada 1844, volume populer lainnya termasuk
sebuah panduan bergambar bagi kota Les Rues de Paris (‘Jalan-Jalan
Paris’) yang diedit oleh Louis Lurine dan Nouveau Tableau de Paris
comique, critique et philosophique (‘Tableau de Paris Baru, Komik,
Kritis dan Filosofis’) yaitu berbagai tulisan populer yang dikumpulkan
oleh novelis komik Paul de Kock (yang secara singkat juga pernah
memiliki pengikut di Inggris yang termasuk orang-orang seperti
Macaulay dan Elizabeth Barrett Browning).5
Parisian sudah sejak lama menganggap diri mereka sebagai
spesies unik. Ledakan penerbitan ini memungkinkan mereka untuk
membaca tentang diri mereka sendiri secara panjang lebar dalam
kesusastraan. Tidak mengherankan jika pada periode ini banyak klise-
klise kehidupan Paris memasuki sirkulasi yang lebih luas, dari gamins
de Paris hingga tokoh seperti parigot. Namun, ada dimensi politik
yang jelas bagi kekaguman terhadap kota dan sejarahnya. Terutama
dalam kisah-kisah Eugène Sue atau sejarah Dulaure dan sejenisnya,
Parisian bisa melihat bahwa mereka bukan hanya penonton pasif
dalam narasi kota tetapi merupakan agen transformasi aktif dengan
takdir historis.
324
Jamuan Kehidupan
Selama paruh pertama abad ke-19 di Paris, perubahan radikal juga
terjadi dalam cara Parisian makan dan minum. sebab perubahan
inilah Paris mulai mendapatkan reputasinya sebagai ibukota tata
boga Eropa. Reputasi masakan kelas atas di Paris telah dibentuk pada
akhir abad ke-18 dengan pendirian restoran-restoran pertamanya
(dan bukan kafe, kedai minum atau sekadar bar). Hingga saat itu,
seni meja makan tingkat tinggi hanya dikhususkan bagi kalangan
aristokrat. Standar terlalu tinggi yang ditetapkan kepada diri sendiri
oleh koki-koki para aristokrat dicontohkan dalam kisah François
Vatel. Ia yaitu koki pangeran de Condé di Chantilly yang telah
menusuk dirinya sendiri sampai mati pada 1671 akibat putus asa
sebab “dua panggangan yang gagal” di suatu jamuan makan malam
dan lambatnya pengiriman makanan laut untuk pesta makan siang.
Dalam memoarnya, Madame de Sévigné menceritakan kembali
dengan keriangan membara yang biasa bagi kelas atas bahwa bencana
tersebut dengan gembira diperbaiki untuk pesta pangeran dan bahwa,
walaupun kehilangan koki, “makan malam luar biasa, begitu pula
dengan makan siang. Mereka makan dan minum, mereka berjalan,
mereka bermain, mereka berburu. Kesemuanya memesona.”6 (Bunuh
diri yang dilakukan Vatel diceritakan kembali oleh pers Prancis
pada 2003, saat koki Bernard Loiseau menembak diri sendiri di
rumahnya di Burgundy sebab kecewa akibat hilangnya bintang
Michelin di restorannya di Saulieau. Diargumentasikan bahwa para
koki yang bunuh diri, tidak kurang dan tidak lebih merupakan bagian
dari sejarah panjang Prancis, yang menuntut komitmen tertinggi.)
Pada kenyataannya hingga abad ke-18 dan jauh hingga abad ke-
19, mayoritas orang Prancis bahkan dari kelas yang cukup berada
hidup dengan memakan roti hitam dan sup berlemak yang dibuat
dari apa yang paling mudah tersedia. Paris yaitu pengecualian.
Para petani dan orang pedalaman mengagumi produk yang mereka
tawarkan—roti putih, daging segar dan produk susu yang tidak
selalu memberimu tuberkulosis. Invensi restoran yaitu bagian dari
dorongan ke arah modernitas dan demokrasi yang menjadi ciri khas
abad ke-18. Restoran paling awal dan paling terkenal dengan menu
325
à la carte yaitu Beauvilliers’s di Galerie de Valois yang dibuka pada
1782. Kesuksesan Beauvilliers’s, yang membanggakan diri sebab
menawarkan makan malam sebagai pertunjukan teater yang ditemani
oleh anggur terbaik Prancis, diikuti oleh sekitar 50 restoran lainnya
pada 1789. Restoran berkembang selama Revolusi dan sesudahnya.
Pada 1820, Paris membanggakan diri telah memiliki 3.000 tempat
yang menawarkan makanan mewah.7
Salah satu alasan bagi tingginya kualitas restoran semacam itu yaitu
sebab restoran tersebut didirikan oleh para koki bagi aristokrat, yang
sekarang kehilangan pekerjaan dalam periode pasca-Revolusi dan
mencari cara baru untuk mendapatkan penghasilan halal. Alasan lain
bagi popularitas mereka yaitu bahwa memakan makanan mahal—
yang sebelumnya dikhususkan bagi para aristokrat—di tempat publik
segera menunjukkan kepada dunia salah satu prinsip demokrasi. Para
anggota Jacobin tidak punya waktu bagi tata cara makan kelas atas
yang rumit tetapi mereka terkenal sebagai pemakan dan peminum
terkenal (dengan pengecualian Robespierre yang hemat).
Restoran dengan cepat menjadi bagian integral dari kehidupan
politik. Hal ini dikonfirmasi sebagai tradisi pada 1793 saat para
pemimpin Revolusi menyusun Konstitusi di sebuah restoran bernama
Chez Méot dengan tuan rumahnya bekas koki pangeran de Condé.
Politik juga berarti mode: Restoran Les Trois Frères Provençaux, yang
terkenal sering dikunjungi oleh Bonaparte pada 1800-an, dikunjungi
oleh para turis selain oleh Parisian sendiri dan pemasukannya bisa
mencapai 15.000 franc sehari. Sebaliknya, di Quartier Latin, tempat
jalan-jalan sepenuhnya diambil alih oleh kafe dan restoran, masih
mungkin untuk makan dengan biaya kurang dari satu franc di Viot’s
atau Flicoteaux’s. Makanan lima-macam ditawarkan di Chez Dufour
di rue Molière dengan harga 1 franc dan 80 centime (tempat terbaik
untuk mencicipi restoran seperti itu di Paris masa kini yaitu bouillon
Chartier di dekat Folies-Bergère—bouillon yaitu chop-house kelas
murah—atau, di ujung timbangan lainnya, Lapérouse di Tepi Kiri).
Pada pertengahan dekade 1840-an, Paris, melebihi kota mana pun
di Eropa, yaitu ibukota kesenangan yang sangat publik. Restoran
dan kafe yaitu tempat berlindung dari kondisi sangat menyedihkan
yang dijalani sebagian besar penduduk dan dapat diakses oleh semua
326
orang kecuali kelas-kelas termiskin. Ini yaitu forum sempurna
bagi penyebaran ide-ide dalam pers dan kesusastraan yang sedang
berkembang pesat pada periode ini, serta panggung ideal untuk
melatih masyarakat masa depan yang akan menyapu habis semua
jejak masa lalu. Kota memang penuh dengan klub-klub warga,
lingkaran-lingkaran revolusioner, masyarakat-masyarakat Utopia dan
segala macam kelompok diskusi, yang semuanya dipanaskan oleh para
jurnalis yang semakin berani dan membakar.
Pada 1847, semua orang di Paris dapat melihat bahwa kertas-
sumbu siap untuk dinyalakan.
“Pembalasan terhadap Louis-Philippe!”
Seperti dikatakan oleh kolumnis gosip Madame de Girardin dalam
La Presse: “Langit semakin gelap. Pesta di gunung api! Semuanya ini
hanya bisa berakhir dalam revolusi, kita berada di 1830-92-89!”8
Panen yang buruk pada 1846 dan 1847 hanya memperparah
ketegangan yang sudah terlihat di Paris. Namun anehnya, saat
kekerasan revolusioner benar-benar terjadi pada 1848, pers hanya
memiliki pengaruh tidak langsung terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi dan tentu saja tidak memicu atau mengontrol seperti yang telah
dilakukannya dalam pemberontakan-pemberontakan sebelumnya.
Katalisnya yaitu jamuan ‘reformasi’ yang rencananya diadakan
di Paris pada 20 Februari. Pesta-pesta luar ruangan ini diatur oleh
kaum radikal kelas menengah dalam semangat ‘jamuan Komunis’
sebelumnya di Belleville dan merupakan tantangan langsung terhadap
upaya pemerintah untuk melarang pertemuan publik. Mereka memberi
kesempatan kepada para penulis berpengaruh, jurnalis, dan deputi
dari Majelis Nasional serta para anggota borjuis yang tidak puas lain
untuk merobek-robek pemerintah yang telah kehilangan segala rasa
tujuan atau arahan. Selama hari-hari menjelang pelaksanaan jamuan
di bulan Februari, ketegangan meningkat di Paris. Pada tanggal 12,
lagu-lagu dari 1789 dinyanyikan oleh massa di sebuah teater Paris.
Gugup menghadapi semakin besarnya kebencian publik terhadap
sistem monarki—kebencian yang diperparah oleh kejadian di Milan
327
di mana kerajaan Austria ditantang secara terbuka oleh rakyatnya—
pemerintah membatalkan jamuan tersebut pada menit-menit terakhir.
Namun, perasaan puas masih berkuasa. Pihak berwenang, yang
mungkin mendapatkan informasi salah dari para informan pendukung
republik, pada awalnya sama sekali tidak memerintahkan turunnya
pasukan ke jalan-jalan, walaupun ketidakpuasan semakin terlihat
dan lantang yang sekarang berubah bentuk menjadi demonstrasi.
Pada 22 Februari di bawah guyuran hujan, para mahasiswa dan
pekerja membanjiri Champs-Élysées dan Place de la Concorde sambil
menyanyikan Marseillaise dan meneriakkan “Turunkan Guizot!”
Barikade dibangun di seluruh kota dan bukan hanya di pusat-pusat
ketidakpuasan tradisional. Pada pagi hari tanggal 23, para pemimpin
dari berbagai klub revolusioner dan masyarakat rahasia menyatakan
bahwa sekarang “waktunya untuk bertindak.” Pada sore hari, para
prajurit ditantang secara terbuka oleh para pemuda dan anak-anak
yang melempar batu. Pertempuran pecah di sore hari di Porte Saint-
Martin.
Rezim Louis-Philippe dibangun di atas kebohongan. Roi-bourgeois
hidup di Tuileries bersama istrinya Marie-Amélie dan kelima anaknya.
Keluarga ini menampilkan perwujudan sejati kedamaian rumah
tangga. Fantasi rezim Louis-Philippe yaitu bahwa kebahagiaan
sejati terletak pada kesenangan sederhana berupa keluarga, rumah,
dan lingkungan keluarga. Fantasi ini secara sengaja dibangun
untuk melawan mitos pendukung Bonaparte yang masih ada dan
merusak, yang menjanjikan kematian dan kemartiran atas nama
kejayaan Prancis. Sebagaimana telah kita lihat, tidak ada monumen
besar yang muncul di Paris selama periode ini. Sedikit gereja yang
dibangun dan gereja yang memang dibangun memiliki ukuran yang
relatif sederhana (Notre-Dame de Lorette di rue de Châteaudun
yaitu contoh bagus bagi kecenderungan tersebut). Kenyataannya
tentu saja yaitu Louis-Philippe bukanlah pria keluarga sederhana,
tetapi seorang raja dengan selera tinggi dan mahal. Semua Parisian
mengetahuinya dan mencemoohnya, bukan sebab seleranya—yang
bagaimanapun juga diinginkan oleh semua orang Prancis yang
waras—tetapi sebab , seperti Pétain satu abad kemudian, ia telah
berbohong tentang hal ini.
328
Tindakan segera Louis-Philippe sesudah munculnya tanda-tanda
pertama revolusi yaitu memecat Guizot. Bagi mayoritas Parisian,
termasuk Balzac yang mendukung monarki (yang berkomentar bahwa
inilah langkah pertama Louis-Philippe ke jalan menuju pengasingan),
melihatnya sebagai langkah pengecut dan sangat bodoh. Langkah ini
mengingatkan mereka akan kekeraskepalaan dan ketidakmampuan
Charles X untuk bertanggung jawab. Peristiwa-peristiwa yang
kemudian terjadi mengikuti logika yang cepat dan tanpa ampun,
dengan munculnya barikade di seantero Paris di kedua tepian sungai.
Pada sekitar pukul 10 malam tersebut, sekelompok orang yang
membawa obor berupaya menerobos ke dalam Kementerian Luar
Negeri di boulevard des Capucines, markas besar Guizot dan fokus
kebencian kepada orang-orang asing di kota. Setidaknya lima puluh
perusuh tertembak mati. Mayat-mayat mereka dinaikkan ke sejumlah
gerobak dan dibawa menembus kota disertai teriakan “Pembalasan
kepada Louis-Philippe!”
Pada saat yang sama, surat kabar paling radikal terjun ke dalam
keributan ini. Para staf Le National dan Le Réforme mencetak poster-
poster yang menuntut kepala Louis-Philippe dan menempelkannya di
seantero kota. sebab putus asa, raja memanggil Marsekal Bugeaud,
si penjagal Aljazair, untuk mengendalikan situasi. Bugeaud berjanji
akan memulihkan ketertiban dengan cara menembak sekitar 10.000
orang sampah kota yang, menurutnya, merupakan penyebab masalah.
Pasukannya tidak terlalu yakin bahwa tindakan tersebut memang
tepat. Banyak dari mereka mulai melakukan desersi dan menyerahkan
senjata kepada teman-temannya di kalangan pemberontak. Sekarang
ada 1.500 barikade di Paris, yang sering kali dijaga oleh wanita,
yang menyebarkan pecahan kaca dan porselen untuk membuat panik
kavaleri. Parisian biasa menyelinap melewati lorong kecil di samping
barikade. Polisi, prajurit, dan tokoh berwenang lainnya dihina atau
dilempari dengan kotoran manusia, lumpur, dan batu bata.9 Dalam
hitungan jam sesudah menyadari bahwa kota membencinya, raja
menghilang dan pergi ke Inggris dengan menyamar sebagai ‘Mr.
William Smith’. Sekelompok massa menerobos ke istana Tuileries
dan, selain menjarah benda-benda lainnya, menjarah takhta yang
kemudian dilempar-lemparkan oleh para pemabuk dan berandalan di
329
lapangan depan istana. Takhta ini akhirnya dibakar di kaki Colonne
de Juillet. Pemerintahan raja terakhir Prancis telah berakhir.
‘Hari-Hari Juni’ dan Bonaparte Lainnya
Untuk semua pertempuran dan pidato heroik, ‘Revolusi Februari’
yaitu kegagalan. Republik Kedua diumumkan di Hôtel de Ville
dengan orang-orang seperti penyair Alphonse de Lamartine sebagai
pemimpinnya. Sebuah program reformasi segera diluncurkan—
termasuk hak suara bagi seluruh pria, penghapusan perbudakan di
wilayah-wilayah Prancis dan jam kerja sepuluh jam sehari. Masalahnya
yaitu kaum radikal Paris garis keras, yang terkonsentrasi di bagian
timur kota, menolak untuk mengakui gerak maju apa pun yang
dibuat oleh pemerintahan yang mereka sebut ‘republik borjuis’. Rezim
memberikan tindakan keras kepada kelompok-kelompok seperti ini
dan secara efektif menumpas mereka selama ‘Hari-Hari Bulan Juni’
1848 saat Paris kembali meletus dalam pertempuran jalanan acak
yang terjadi di barikade-barikade. Kali ini kaum radikal dan proletar
mengalami kekalahan. Lebih dari 1.500 ‘orang Merah’ terbunuh—
jalan-jalan di sekitar rue Blanche berbau tajam akibat mayat-mayat
yang membusuk dan tidak dikubur. Ribuan orang lainnya dijebloskan
ke penjara atau dikirim ke Aljazair.
Rasa takut akan anarki tak terkendali telah mendorong para pemilih
untuk kembali ke pemerintahan konservatif dalam pemilihan umum
April 1848. Pada Desember tahun yang sama, Prancis memilih Louis-
Napoleon Bonaparte, keponakan kaisar pertama dan terbesar, sebagai
presiden. Hal ini dipandang sebagai pembalasan dendam Prancis
pedalaman dan Katolik terhadap Paris. Suara mereka terinspirasi
oleh restorasi agama Katolik yang dilakukan oleh Napoleon pertama
dan kemurahan hatinya terhadap para petani. Elite politik Paris pada
awalnya menolak untuk menanggapi Napoleon ini secara serius.
Lebih buruk lagi, mereka tidak memedulikan sinyal-sinyal bahaya—
postur yang megah dan ambisi yang sombong—yang sekali lagi akan
mengembalikan impian kekaisaran ke Paris.
330
Pendahuluan: Otopsi terh
Pendahuluan: Otopsi terh
331
Bagian Enam: Ratu Dunia
BAGIAN ENAM
Ratu Dunia
1851 – 1899
Tunjukkanlah kebenaran pada orang-orang bodoh
perusak moral ini,
Wahai Republik, dengan membongkar rencana mereka!
Kemudian tunjukkanlah wajah Medusa yang Hebat
milikmu,
Semuanya dikelilingi oleh petir merah!
Pierre Dupont, ‘Chant des ouvriers’, 1851
Ini yaitu buahmu, wahai Komune yang haus darah
Ya, kau ingin memusnahkan Paris!
Les Ruines de Paris,
Brosur yang beredar di Paris, 1871
Saat kakimu, Paris, menari begitu keras dalam
kemarahan!
Saat engkau mendapat banyak tusukan...
Arthur Rimbaud, ‘L’Orgie parisienne’, 1871
adap Seorang Pelacur Tua
adap Seorang Pelacur Tua
332
Pengembangan jalan di Paris antara 1850 dan 1914
333
Bagian Enam: Ratu Dunia
334
31
Kekaisaran Cretin
Bahkan kaum borjuis yang paling teperdaya dapat melihat
bahwa di akhir tahun 1840-an Paris yaitu kota yang berada dalam
krisis parah. Di masa lalu, bencana biasanya selalu dikaitkan dengan
Tuhan atau alam (panen yang buruk pada 1846 memang masih
dilihat dengan cara pandang seperti ini oleh para petani). Krisis
yang kini terjadi di Paris—setidaknya menurut para pemikir bebas
yang mengklaim dapat memahami dinamika baru yang keras dari
kota kapitalis—hanya berasal dari ekonomi; produksi berlebih dan
spekulasi keuangan liar di era Louis-Philippe telah menyebabkan
sebuah kota berperang dengan dirinya sendiri, saat dua kelas, kaum
kaya dan kaum miskin, berpandangan terhadap satu sama lain melalui
barikade di jalan-jalan.
Di Paris sendiri, bangunan yang baru dibangun dan reyot, secara
artifisial dicangkokkan ke suatu infrastruktur urban yang nyaris tak
tersentuh atau diperbaiki sejak akhir abad pertengahan. Sepertiga
populasi kota hidup berdesakan di jalan-jalan sempit di kawasan timur
Tepi Kanan, tinggal di rumah-rumah berlantai lima. Hanya satu dari
lima rumah yang memiliki air mengalir. Sungai Seine, sungai Bièvre
dan sungai kecil Ménilmontant masih digunakan sebagai saluran
pembuangan. Tidak ada jalan yang lurus di Paris, di mana pusatnya,
Île de la Cité, yaitu labirin yang gelap dan berlumpur, penuh dengan
infeksi dan kejahatan.
Realitas yang saling bertentangan di pertengahan abad ke-
19 di Paris bertemu di Cité Cazeaux di lorong Denfer, yang kini
masih bisa ditemukan di dekat Boulevard Raspail di ujung atas 14th
arrondissement. Lorong ini dibentuk oleh dua baris bangunan empat
lantai yang saling berhadapan menyeberangi sebuah jalan berbatu.
335
Bagian Enam: Ratu Dunia
Bangunan-bangunan ini dirancang dan dibangun oleh M. Pigeory
pada 1855 dan, dengan kurangnya hiasan serta daya tarik sederhana,
keduanya mewakili hasrat akan keharmonisan dan ketenangan di
pusat kota yang merupakan ciri khas periode ini. Di luar pintu masuk
bergerbang, kota bergerak cepat dan tiada henti ke segala arah. Namun
sebaliknya, Cité Cazeaux dahulu dan kini yaitu satu titik diam dalam
alam semesta yang berputar cepat dan bergejolak.
Lebih jelasnya yaitu fakta bahwa saat Cité Cazeaux dibangun,
Paris tengah terperangkap dalam dua dunia. Di satu sisi, populasi
kota telah bertumbuh dari 786 ribu pada 1831 menjadi satu juta
lebih pada 1848. Industrinya juga terus maju dalam kecepatan yang
mencengangkan. Hal ini, ditambah dengan peran tradisional kota
sebagai fokus terpusat dari keuangan, perdagangan, kebudayaan, dan
administrasi politik, tampaknya meramalkan hal baik untuk masa
depan. Kota Paris digambarkan oleh Balzac sebagai “aliran sungai
yang deras,”1 aliran ide, perdagangan, dan kebudayaan yang selalu
mengalir, yang juga disiapkan untuk memenuhi gelar lainnya sebagai
‘ratu kota-kota’ atau bahkan ‘ratu dunia’. Sisi sebaliknya dari ketergesa-
gesaan tak terhindarkan menuju kemajuan ini yaitu ketidakpuasan
yang semakin berkembang di kalangan warga yang tersisih dari segala
keuntungannya.
Laju perubahan di Paris selama masa ini juga diukur oleh per-
kembangan jalan raya baru yang lebar di kota, yang memudahkan
aliran lalu lintas kereta kuda dan memberikan pemandangan yang
selalu berubah bagi warga Paris yang diam di tempat. Namun tidaklah
mudah untuk bepergian dari Paris ke kota-kota lain di Eropa. Walter
Benjamin mencatat bahwa setidaknya hingga 1847 layanan kereta
kuda harian meninggalkan Paris menuju Venesia setiap pagi, tiba di
Venesia sekitar 6 minggu kemudian atau lebih.2 Jalur kereta api, yang