ensi kota
dan aktivitasnya yang selalu bergerak tanpa henti.
Guillaume kerap ditemani Gaultier-Garguille dan Turlupin
sebagai trio komedian. Ketiganya pernah bekerja di Faubourg Saint-
Laurent sebagai pembuat roti—sebuah keahlian yang secara misterius
diasosiasikan dengan seniman jalanan (tradisi ini tiba di Paris dari
Midi). Geng komedi bahkan sempat menikmati perlindungan
kerajaan, hingga Gros Guillaume membuat marah para hakim akibat
satu lelucon yang terlalu berlebihan. Ia meninggal dunia, kelaparan
dan tanpa keriangan, di penjara. Ketiganya dikuburkan di Saint-
Sauveur, gereja pelindung para seniman jalanan Paris.
Para seniman jalanan lainnya menikmati nasib yang lebih baik.
Mereka termasuk ahli trik tiga kartu yang legendaris, Maître Gonin,
yang kelihaiannya bermain kartu atau piala membuatnya terkenal,
dikagumi bahkan oleh keluarga kerajaan, yang mengenali ketangkasan
manuver serupa pada menteri luar negeri mereka (‘Maître Gonin’
belakangan menjadi salah satu julukan yang populer diberikan pada
Richelieu yang terkenal licin). Dua pesaing terbesar Gros Guillaume
yaitu Tabarin si badut dan tuannya Mondor, yang bekerja di Pont-
Neuf selama 10 tahun (antara 1620-1630) seperti Guillaume. Tabarin
terkenal dalam sketsa di mana ia memerankan seorang kikuk yang
bodoh atau seorang hipokondria (yakin bahwa dirinya sakit walaupun
195
sebenarnya tidak—penerj.) (atau keduanya di saat yang sama) yang
mengganggu Mondor, yang berpakaian seperti dokter atau ilmuwan
lainnya, yang menjawabnya dengan omong kosong yang sungguh-
sungguh dan menghibur. Pertunjukan lainnya menampilkan Tabarin
sebagai seorang idiot yang mudah ditipu. Tak satu pun dari hal ini
yang mencegahnya mempraktikkan profesi lain sebagai pembuat dan
penjual berbagai jenis obat-obatan, yang ia lakukan secara penuh
semangat di antara sketsa. Tabarin dianggap sebagai orang pertama
menciptakan jeda iklan komersial—secara rutin ia akan berhenti
untuk menjelaskan secara mendetail kelebihan sebuah produk atau
lainnya—dan juga menginspirasi pertunjukan komedi Les Fourberies
de Scapin karya Molière (‘Penipu dari Scapin’) pada 1671—yang
mengisahkan seorang pelayan laki-laki penuh tipu daya serta amoral.
Aksi Tabarin berakhir saat ia menambahkan sentuhan pornografi
ringan dalam karyanya, yang segera memicu ditutupnya aksi tersebut
oleh pemerintah kota (pornografi, kendati pada umumnya dinikmati,
namun dulu dan juga sekarang dianggap sebagai bentuk hiburan yang
bersifat pribadi).
Pont-Neuf yaitu tempat di mana coupe-bourses dan tireurs de
laine berkeliaran dan berkembang. Kedua sisi jalan dipenuhi oleh para
penadah, pelacur, penghibur, penjual obat keliling, dan penipu yang
tujuan utamanya yaitu mengganggu pejalan kaki yang menuju ke rue
Dauphine, jalan yang baru saja dibuat yang menuju jantung Tepi Kiri,
atau ke pasar dan dermaga-dermaga di Tepi Kanan. Tambahan baru
dan bersemangat pada kehidupan jalanan Paris di bawah kekuasaan
Louis XIII digambarkan dalam sebuah lagu, ‘Les Filouteries du Pont-
Neuf ’ (‘Penipu dari Pont-Neuf ’), yang segera termasuk dalam memori
lagu rakyat kota yang sudah cukup kaya.
Kau, tempat pertemuan penjual obat keliling,
Penipu, pelacur,
O Pont-Neuf, teater jalanan!
Penjual salep dan supositoria,
Rumah bagi para pencabut gigi, penjual lap, pedagang
buku, tukang pamer,
Para penyanyi lagu-lagu baru,
Para germo, penyilet tas,
Orang-orang sok pintar dan para ahli keahlian kotor.5
196
Pont-Neuf juga menjadi kuali bagi aktivitas antipemerintah,
antikerajaan, dan antiagama. Sebagian besar diekspresikan dalam
kriminalitas dan pengembaraan, namun semangat kehidupan yang
sesungguhnya di tingkat jalanan dapat ditemukan dalam satire cerdas
para penghibur dan kata-kata cepat dari para penjual keliling. Kualitas
subversif yang alamiah ini akan segera bersekutu pada tujuan politik.
Pont-Neuf yaitu , sebagai contohnya, tempat Paul de Gondi, yang saat
itu belum dikenal sebagai Kardinal Rets dan keponakan dari Uskup
Agung Paris, datang pada 1648 untuk mengumpulkan massa guna
melawan pemerintahan absolut Louis XIV dan Giulo Mazarin yang
lihai, penasihat utama raja.
Pemicu amarah Gondi yaitu penangkapan Pierre Broussel,
anggota oposisi Mazarin paling vokal di parlemen dan seorang lawan
kuat bagi kebijakan fiskal pembawa bencana yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mendukung perang tak berguna melawan Jerman
dan Spanyol. Parisian sewajarnya marah atas pemborosan ini dan
tidaklah sulit bagi Gondi untuk menemukan pendengar simpatik yang
di antaranya para pemukim jalanan dan penjahat kelas teri di Pont-
Neuf. Respons pertama warga, yang menjadi marah oleh pidato Gondi,
yaitu melancarkan pemberontakan, memasang barikade-barikade di
rue de l’Arbre-Sec dan kemudian di sepenjuru kota. Dengan segera,
terjadi sekitar seribu barikade, terbuat dari kayu, baja, dan batu-batu
trotoar Paris. Atmosfernya amat meriah—kedai-kedai menyediakan
minuman gratis dan daging kepada para pengunjuk rasa—namun
dengan cepat dapat berubah menjadi kekerasan yang mengejutkan.
Keluarga kerajaan berlindung di Palais-Royal dan, sesegera mungkin,
pergi menuju tempat pengungsian di luar kota di Château de Rueil.
Sementara itu, pemberontakan berubah menjadi revolusi penuh
terhadap Kerajaan, saat pangeran de Condé, seorang pangeran muda
oportunis dengan keahlian militer teruji, berangkat menuju kota.
Para perusuh disebut frondeurs, dari kata fronde, katapel yang
digunakan anak jalanan Paris untuk menjepret pejalan kaki yang kaya.
Katapel ini pula yang digunakan para perusuh untuk menghancurkan
jendela-jendela Mazarin, dan revolusi itu dengan segera dikenal
dengan nama ‘La Fronde’. Sebenarnya ada dua pemberontakan
yang dikenal dengan nama ini. Yang pertama, terjadi pada tahun
197
1648, yaitu ‘Fronde des Parlements’ dan utamanya yaitu reaksi
terhadap pajak yang dikenakan oleh Mazarin. Kedua, yang sebenarnya
serangkaian kerusuhan kecil di sepenjuru Prancis yang berlangsung
dari tahun 1651 hingga 1653, dikenal sebagai ‘Fronde des Princes’
dan hanya terpusat pada pertaruhan lawan untuk takhta kerajaan.
Keduanya diprovokasi oleh kemuakan terhadap kebijakan Raja yang
tidak bijaksana. Namun tidak terjadi gerakan revolusioner skala
besar, khususnya sebab tidaklah mungkin menerapkan keterpaduan
apa pun terhadap apa yang pada intinya yaitu sebuah pertunjukan
amarah tidak tertib alih-alih program revolusioner. Gerakan ‘Fronde’
yang pertama dan kedua ditiru di wilayah pedalaman dan di kota-kota
provinsi namun sama-sama tak memiliki koordinasi. Terlihat pula
bahwa Gondi, yang kemarahan revolusionernya menghilang dengan
janji posisi kardinal, lebih mencintai masalah daripada keadilan sosial.
Esprit frondeur (‘kecerdikan katapel’), yang bermula dari kehidupan
jalanan di Pont-Neuf yang baru saja dibangun di awal abad ke-17, kini
telah menjadi bagian cerita rakyat Paris.
198
Pendahuluan: Otopsi terh
199
BAGIAN EMPAT
Roma Baru
dan Sodom Lama
1670 – 1799
Palermo memiliki Etna;
Paris, la Pensée.
Victor Hugo,
Littérature et philosophie mêlées, 1834
Parisian yang Baik meminum semua,
memakan semua, menelan semua.
Louis-Sébastien Mercier,
Le Tableau de Paris, 1782 – 1788
adap Seorang Pelacur Tua
200
Pemandangan Paris, seniman tak dikenal, abad ke-17
201
20
Kemegahan dan Penderitaan
Penggunaan istilah le grand siècle (‘abad hebat’) masih
diperdebatkan. Ekspresi ini pertama kali digunakan oleh para
sejarawan Prancis pada abad ke-19 untuk mendeskripsikan periode
yang dimulai dan diakhiri dengan kekuasaan satu orang yaitu Louis XIV
yang naik takhta pada 1643 dan memerintah Prancis hingga wafatnya
pada 1715. Louis mengambil alih kendali tunggal atas pemerintahan
sesudah wafatnya Mazarin, penasihat dan menteri utamanya, pada
1661. Ini yaitu periode dominasi budaya dan politik Prancis yang
menghasilkan supremasi Prancis yang hampir tanpa tanding di
daratan utama Eropa selama dua ratus tahun. Dominasi ini hanya
berakhir dengan kapitulasi Prancis kepada Jerman di bawah pimpinan
Bismarck pada 1871. Orang-orang yang tidak setuju berargumentasi
bahwa istilah ‘abad hebat’ hanya benar-benar bisa diberikan pada abad
ke-18. Inilah masa berkurangnya kekuasaan kerajaan selain benar-
benar mengubah wajah Prancis dan Eropa. Ini yaitu periode saat ,
sebagaimana Michelet menyebutnya (saat membaca Rousseau), “hal-
hal mulai benar-benar terjadi,” saat agama dipaksa untuk mundur
atas nama Logika dan tatanan lama mulai berantakan.1
Sebaliknya, sebagian besar abad ke-17 yaitu masa yang mem-
bingungkan dan berantakan, saat Prancis masih terikat dalam
konflik-konflik religius lama dan pada umumnya tidak menyadari
potensi atau takdir politiknya. Bagi banyak sejarawan yang memper-
hatikan pergerakan Kiri abad ke-20, grand siècle paling baik hanyalah
ilusi kekuatan budaya dan paling buruk yaitu mitos kebesaran yang
masih meracuni politik kelembagaan Prancis.
Walaupun demikian, sejak pertengahan abad ke-17 dan seterusnya
tidak dapat diragukan tentang adanya fakta bahwa Paris secara efektif
202
merupakan ibukota politik, mode dan seni Eropa. Masyarakat kelas
atas di Roma dan Wina mengikuti tata krama, pakaian dan bahkan
cara berbicara Parisian (untuk menjadi Parisian yang baik, dipandang
elegan untuk sedapat mungkin selalu berhati-hati dan ironis).
Sepertinya, hanya Inggris yang dingin yang tidak peduli dengan
mantra yang disebarkan oleh kota ke seluruh benua.
Perpolitikan Paris memang lebih asing bagi orang Inggris daripada
adibusana Paris. Ini yaitu masa saat kebijakan dalam dan luar
negeri Prancis, yang semuanya menyebar dari Paris, didominasi oleh
pengejaran atas la glorie—kata yang dalam konteks ini tidak hanya
berarti ‘kejayaan’ atau ‘keagungan’ tetapi juga takdir yang diberikan
oleh Tuhan. Hal ini juga tecermin dalam kesusastraan periode ini.
Kesuksesan militer memang penting, tetapi begitu pula kemegahan
istana dan negara yang membuat kemenangan ini. Raja, paling sedikit
untuk sementara waktu, dianggap memiliki kekuatan yang hampir
seperti manusia super: absolutisme yaitu bentuk pemerintahan
paling sempurna. Bagi para warga kota Paris abad ke-17, ‘abad hebat’
terutama dicirikan oleh menyatunya pemerintahan dan monarki ke
dalam satu kesatuan yang hampir tidak bisa dipisahkan. Raja berdiri
sebagai inkarnasi negara itu sendiri dan perwakilan Tuhan di bumi.
Manifestasi fisik yang paling jelas dari kepercayaan politik ini
terlihat dalam bentuk gapura-gapura kemenangan berupa bangunan
lengkung di jantung kota yaitu di Porte Saint-Martin dan Porte Saint-
Denis, gerbang-gerbang tol lama, pada 1670. Gapura ini dibangun
oleh Louis XIV untuk mengenang kemenangan-kemenangannya
di luar negeri. Pada saat yang sama, Paris tidak lagi menghadapi
ancaman pengepungan yang serius. Perbentengan di sekeliling kota
akhirnya dihilangkan, menjadi jalan-jalan yang akan menjadi bulevar
pertama di kota (kata boulevard dalam bahasa Prancis berasal dari
kata ‘perbentengan’ yang berasal dari kata bahasa Jerman ‘bollwerk’).
Porte Saint-Denis memiliki signifikansi historis khusus sebagai pintu
gerbang kerajaan menuju Paris (ironisnya, penguasa terakhir yang
melaluinya yaitu Ratu Victoria dalam kunjungannya ke ‘pameran
dunia’ pada 1855).2
Model bagi kota Paris, dalam bentuk dan misi, yaitu warisan
Romawi-nya. Para penulis dari periode ini melakukan apa pun yang
203
sebisa mereka untuk menekankan pada asal-usul kuno Paris dan misi-
misinya sebagai kota klasik yang terlahir kembali. Sesuai dengan takdir
yang konon berasal dari Tuhan ini maka seni, kesusastraan dan ilmu
pengetahuan, sebagai representasi kebesaran Prancis, pada akhirnya
semua berada di bawah kendali negara. Negara juga mengawasi
tulisan-tulisan subversif atau ‘bersifat skandal’ yang bertentangan
atau melanggar batas-batas yang telah dibuatnya sebagai bagian dari
program negara untuk membuat masyarakat yang baru dan lebih
baik. Namun, meski berada di dalam kontrol negara, pergeseran
dalam kerangka kerja kekuatan legislatif dan religius juga disamai oleh
dihasilkannya sejumlah generasi seni dan sastra luar biasa yang datang
ke atau berasal dari Paris dan di sana menemukan penonton yang siap
serta berkelas yang mengapresiasi kecerdikan, subversi, melankolis
dan kecemerlangan mereka.
Model ekspresi paling populer yaitu teater: Bentuk seni
yang, bahkan di tangan para mahaguru comédien seperti Molière,
mengonfirmasi pandangan yang ada bahwa kehidupan budaya Paris
yaitu tontonan tanpa banding di Eropa. Para penonton berduyun-
duyun untuk melihat sandiwaranya berdampingan dengan sandiwara-
sandiwara yang dibuat oleh Pierre Corneille dan Jean Racine. Karya-
karya mereka sering kali dibantai dalam jurnal sastra Le Mercure galant
tetapi Parisian masih datang dalam jumlah ratusan untuk menonton,
minum, terlibat dalam perkelahian, menjemput lawan jenis atau
mengolok-olok para aktor, selain menyerap kebudayaan. Comédie
Française dibentuk secara formal pada 1680, tetapi para pemainnya,
yang termasuk Molière, sudah lama menjadi favorit keluarga kerajaan
dan publik. Mereka sering menampilkan sandiwara di Palais-Royal
dan kemudian di Théâtre Guénégaud di dekat Pont-Neuf. Louis
XIV berpandangan sopan dan kadang kala melakukan upaya untuk
melakukan penyensoran, terutama terhadap pertunjukan lawak Italia
yang menggunakan kata-kata vulgar dan kasar, tetapi upayanya tidak
efektif dan umumnya diacuhkan.
Bahkan malam di teater dianggap mengecewakan jika tidak
mengandung sensasi berbahaya, bahkan erotis, bagi kelas-kelas yang
lebih kaya. Parterre, atau lubang, di semua teater sangat dikenal akan
bahaya dan populasinya yang terdiri atas para pelayan dan prajurit
204
mabuk. Ini yaitu sumber rangsangan dan hiburan bagi orang
kaya Paris yang sering kali mengambil tempat duduk di panggung
untuk menyaksikan para penonton sekaligus pertunjukan. Seorang
penonton pada 1673 terkenal sebab mencoba membakar habis
sebuah teater. Pada 1690-an, teater-teater dipenuhi oleh para prajurit
yang sedang cuti atau baru saja dibebastugaskan dari medan tempur,
dan holiganisme mencapai puncak keidiotan serta teror yang baru.
Pada suatu malam di Comédie Française, penampilan sebuah tragedi
Racinian yang terlalu suram dihentikan oleh tingkah laku aneh seekor
anjing Great Dane yang dibawa ke teater oleh seorang marquis. Para
penonton mendorong sang anjing untuk melolong pada para aktor
sebelum sandiwara dihentikan. Dua aristokrat ditahan sekitar satu atau
dua jam sesudah pertunjukan sebab memukuli seorang kusir kereta.
Alasan mereka yaitu “tidak mendapatkan waktu menyenangkan
yang cukup di Comédie Française.”3
Kekerasan acak semacam ini juga menjadi pengingat bahwa kota
Paris sebenarnya masih kotor, terjangkiti penyakit, tempat yang baik
untuk ditusuk atau diperkosa, atau untuk kelaparan hingga mati. Jika
Paris yaitu pusat sejarah Eropa, sedikit sekali Parisian yang merasa
bahwa mereka menduduki posisi yang istimewa dan unik.
Hobgoblin Kota Bagian Dalam
Mitos dan legenda prestise Paris memang jarang sampai ke lapisan
terbawah dalam masyarakat. Louis XIV dan rakyatnya selalu men-
jaga jarak dari satu sama lain hingga akhirnya sang raja pindah ke
Versailles. Sejak saat itu, bagi Parisian biasa, raja tidak lebih dari
representasi negara secara abstrak. Kehidupan sehari-hari kota yang
kotor dan berbahaya, jauh lebih menarik serta lebih penting daripada
kehidupan di istana.
Tanda bahwa warga Paris meremehkan istana di Versailles yaitu
tidak satu pun raja yang tinggal di sana pernah masuk ke cerita rakyat
Paris. Sampai saat itu, para raja dipuji atau disatirkan dalam lagu,
satire atau ungkapan Parisian. Dengan istana di Versailles, Parisian
menganggap raja menjadi tidak relevan. Status ini sangat berbeda
205
dengan ambisi Louis pada awalnya, yaitu menjadikan ibukota sebagai
basis politik dan budayanya, menyatukan raja, negara dan kota.
Louis XIV naik takhta pada usia lima tahun dengan ibunya, Anne
dari Austria, sebagai wali raja dan tumbuh besar di bawah arahan
Mazarin. saat penasihatnya yang lihai itu meninggal pada 1661, ia
mengambil kekuasaan penuh pada usia dua puluh tiga tahun. Ia yakin
bahwa sudah menjadi takdir dari Tuhan baginya untuk memimpin
Prancis dan Eropa. Ini yaitu pemuda yang sama yang, sepuluh tahun
sebelumnya menurut mitos populer, telah menunggang kuda dengan
cepat sejauh enam mil (sekitar 9,7 km) untuk kembali dari perburuan
dan menerobos masuk ke Palais de Justice saat mendengar bahwa
parlement telah mengadakan pertemuan tanpa izinnya. Tanpa ragu,
dan diduga sambil memecutkan cambuknya, ia menyatakan: “Aku
yaitu Negara!”
Perilaku semacam ini sepenuhnya sesuai dengan kecintaan Louis
kepada pertunjukan dan tontonan. Ia dijuluki Raja Matahari yang
sesuai dengan emblem di perisai yang ia kenakan saat berparade
keliling kota sebagai bagian dari pawai yang diadakan untuk
merayakan kelahiran putra pertamanya. Namun, meski sepertinya ia
populer di kalangan rakyatnya pada tahap ini, Louis sudah mencurigai
Parisian; sejak kecil ia menghabiskan sesedikit mungkin waktunya di
kota. Segera sesudah ia bisa, ia pindah secara permanen ke Versailles,
tempat dirinya merasa aman dan bisa membangun istana yang men-
cerminkan apa yang ia anggap sebagai takdirnya yang mulia. Ia
cukup ahli dalam berburu dan melakukannya sesering mungkin. Ia
merancang istana dan lingkungan sekitarnya sebagai estat yang tertata
rapi dan sangat rasional, sangat bertolak belakang dengan jalan-jalan
yang tidak teratur tetapi semarak di ibukota yang tidak jauh letaknya.
Ia hanya akan kembali ke Paris sebanyak dua puluh lima kali lagi
sepanjang sekitar empat puluh tahun selanjutnya.
Ketidaksukaan Louis kepada penduduk Paris terutama dipicu
oleh pemberontakan Fronde. Ia juga didorong oleh rasa statusnya
sendiri yang jaya dan mewaspadai kontak dengan rakyat atau orang
terdekat lain yang dapat menyaingi posisinya sendiri yang terkemuka.
Salah satunya yaitu Nicolas Fouquet, mantan pengawas keuangan
yang kurang ajar dan arogan yang menganggap diri sebagai perdana
206
menteri sesudah wafatnya Mazarin. Fouguet membuat kesalahan fatal
dengan mengundang raja menghadiri jamuan makan mewah yang
dilanjutkan dengan sandiwara terbaru karya Molière dengan diterangi
oleh obor. Sandiwara ini dipanggungkan langsung oleh sang penulis
sandiwara hebat tersebut. Rumah besar Fouquet begitu megah dan
mengalahkan kediaman raja sendiri dalam hal kemewahan dan
pameran kekayaan. Louis begitu marah sebab hal itu dan menunggu
selama tiga minggu sebelum membuat Fouquet ditangkap atas
tuduhan mengada-ada yaitu penggelapan dan pengkhianatan serta
menuduhnya sebagai pelaku pornografi (konon Fouquet bersama
Madame de Maintenon yaitu penulis L’École des filles, ‘Sekolah Gadis’.
Ini yaitu rebusan pedas erotika lesbian yang tampil di semua salon
terbaik di Paris). Pria ini juga menjadi pahlawan di jalanan Paris, yang
menjadi alasan tambahan bagi Louis untuk menjauhkannya dari kota
dengan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi Fouguet
di Bastille.
Sementara itu Jean-Baptiste Colbert, mantan sekretaris istana dan
asisten Fouquet sendiri, mengambil alih posisi Mazarin. Ia seorang
tokoh yang dingin dan penuh perhitungan (dijuluki ‘le Nord’ oleh
Madame de Sévigné, seorang saksi mata yang bermata tajam dan hampir
selalu bisa diandalkan tentang kehidupan istana) dan melaksanakan
berbagai strateginya tanpa ampun. Rencana terbesar Colbert yaitu
kembali memperluas Paris dan membangunnya lebih baik daripada
sebelumnya, sehingga akhirnya mengalahkan Roma sebagai ibukota
kebudayaan Eropa. Ia mencurahkan waktu dan energinya bagi seni,
mendirikan akademi-akademi, membangun perpustakaannya sendiri
dan mendorong publikasi ilmiah seperti Journal des savants. Di atas
semuanya, Colbert sangat memercayai takdir Prancis sebagai bangsa
besar yang akan memimpin Eropa. Namun, perencanaannya yang
saksama dirusak oleh perang-perang tak berkesudahan yang dilakukan
Louis. Perang tersebut secara berkala mengosongkan perbendaharaan
dan membuat marah warga Paris, yang membayarnya dalam bentuk
pajak. Seperti Louis sendiri, Colbert semakin terpisah dari Paris dan
pada akhirnya dibenci oleh penduduknya.
Di kalangan mereka sendiri, Parisian mencatat bahwa seorang
hobglobin seram, yang disebut ‘Pria Merah kecil’, kembali terlihat
207
menghantui Tuileries dan Louvre. Penampakan ini diatribusikan
pada campuran akrab antara takhayul rakyat dan semangat
pemberontakan—‘Pria Merah kecil’ dianggap menjadi pertanda bagi
kematian sebuah rezim—dan oleh sebab itu kemunculannya ditakuti
oleh orang-orang seperti Catherine de Médicis dan Richelieu. ‘Pria
Merah kecil’ akan kembali muncul dalam sejarah Paris, menjelang
terjadinya Revolusi pada 1789 dan pembantaian pada 1793. Legenda
mengatakan bahwa kemunculan terakhirnya yaitu di hadapan
Napoleon sebelum terjadinya bencana di Mesir dan Rusia. saat
ia muncul pada 1648, untuk memberitahukan tentang munculnya
masalah Fronde, Parisian menyambutnya dan memercayai bahwa ia
mewakili jiwa kota sebenarnya.4
Masyarakat yang Spektakuler
Masa klasisisme dan kehebatan juga merupakan masa ironi dan
ketidakpedulian. Mayat seorang korban pembunuhan di Pont-Neuf
(pemandangan yang cukup umum di kota) dengan hati-hati dilangkahi
oleh pria atau wanita terhormat mana pun yang berpikiran waras dan
modis. Dengan keletihan kosong yang sama, mereka juga mengabaikan
tangisan seorang bayi kelaparan atau cul-de-jatte (‘pengemis tak
bertangan’—Pont-Neuf yaitu markas besar favorit golongan orang
semacam ini) saat mereka mungkin sedang memanggil sebuah
haquet—kereta kuda bentuk baru yang dapat disewa, yang diciptakan
untuk melewati jalan-jalan berlumpur.
Penampilan yaitu segalanya. Bahkan di tahun-tahun awal masa
ini, jauh sebelum kota diperindah dengan benar, sebuah gaya baru
muncul, yaitu untuk mencium tangan dengan sikap pamer sebesar
mungkin. Praktik ini, disebut baise-mains (‘mencium tangan’ atau
‘hubungan badan menggunakan tangan (hand-fucking)’—makna
ganda bagi baiser (ciuman) di masa itu sama artinya dengan di masa
kini). Secara mengejutkan, praktik ini paling banyak dilakukan
di kalangan pria muda yang bersikap kewanita-wanitaan. Mereka
melakukan ritual tersebut di jalan sesering mungkin. Pria-pria muda
ini hampir selalu berutang sangat banyak dan secara flamboyan tidak
208
memedulikan masalah itu: “Mais il n’est pas bon gentilhomme, qui ne
doit rien à ce jourd’hui (Pria yang tidak bisa memiliki apa pun sekarang
ini tidak bisa disebut pria terhormat),” tulis Claude d’Esternod dalam
satire periode ini.5 Esternod sendiri yaitu seorang pria terhormat
sekaligus pencuri. Merampok baru saja menjadi olahraga modis
bagi para pria muda yang bergaya dan berada yang minum-minum
di kedai-kedai di sekitar Pont-Neuf dan sebagian Marais. Tujuannya
yaitu mencuri benda paling mahal—jubah, gaun, topi, dan dompet—
dan kemudian menyembunyikan diri dalam kerumunan. Lampu-
lampu jalan yang baru dan polisi yang kadang kala berpatroli biasanya
menjadi penggentar bagi Esternod, tetapi ia masih mengagumi tipu
daya dan keahlian yang dibutuhkan dalam ‘proyek mulia’ ini. Baik pria
dan wanita sama-sama mengagumi pencuri jalanan paling berseni,
seperti baron de Veillac dan chevalier d’Odrieu.
Bahaya nyata bagi para wanita di kota yaitu penculikan,
pemerkosaan, dan perkawinan paksa. Sungguh hal biasa bagi seorang
gentilhomme yang tidak memiliki kekayaan untuk menculik seorang
janda atau wanita muda dari sebuah keluarga kaya dan, di sebuah
tempat terpencil di luar kota, menikahinya di bawah pengesahan
seorang pendeta bayaran. Pendahuluan bagi aksi ini sering kali
yaitu pemerkosaan, yang menghancurkan sisa kehormatan wanita
yang tidak beruntung ini. Praktik ini diterima secara luas di kalangan
aristokrat. Para ayah dari para pengantin wanita yang diculik ini
biasanya memberikan sejumlah mas kawin. Walaupun pernikahan
ini pada prinsipnya yaitu upaya mencari uang, anehnya banyak
perkawinan yang berkembang dari awal yang tidak menjanjikan ini.
***
Walaupun kehidupan kota bersifat penuh gejolak, Paris berubah
bentuk untuk mencerminkan pertumbuhan keyakinan publik. Hal
ini paling terlihat pada dekade pertama abad ke-17 saat rumah-
rumah terakhir abad pertengahan sudah runtuh atau dihancurkan.
Untuk pertama kalinya, organisasi kehidupan di kota direncanakan
menurut logika keuangan dan perdagangan alih-alih kehendak raja
atau kekacauan acak urbanisme abad pertengahan.
209
Paris memang berkembang dalam banyak cara. Lampu-lampu jalan
pertama memang baru muncul pada 1667, tetapi pada saat itu jalan-
jalan telah diperlebar dan cahaya sekarang menerangi jalan-jalan kota
dan jembatan-jembatan tertentu di waktu fajar. Di waktu malam kota
masih berbahaya, tetapi dalam waktu beberapa tahun kepala polisi,
Nicolas-Gabriel de La Reynie, telah membuat jalan-jalan lebih aman,
walaupun belum sepenuhnya bebas dari para bandit dan pencuri.
Anak buah Reynie memberikan hukuman keras kepada siapa pun
yang merusak lentera-lentera jalanan atau mengganggu rencananya
dalam mewujudkan keamanan di kota. Ia melarang pelaksanaan
duel dan tidak seorang pun, bahkan gentilhomme paling terkemuka,
diizinkan untuk membawa senjata ke dalam teater.
Poster-poster muncul untuk pertama kalinya, mengiklankan
pekan-pekan raya publik dan pertemuan-pertemuan politik. Surat
kabar pertama, La Gazette, mulai diterbitkan pada 1630-an dan
segera muncul secara berkala dengan berita-berita dari semua ibukota
Eropa. Parisian berkerumun untuk melihat para pengunjung dari
tempat-tempat yang jauh, memenuhi jalan untuk sekilas melihat duta
besar Turki, budak-budak yang ditangkap dari Senegal atau seorang
Moor bernama Matheo Lopez—seorang Muslim berkulit hitam dari
Maroko.
Seorang politisi bernama Jean-Jacques Rounuard de Villayer, yang
merasa lelah mengutus para pelayan untuk mengirim pesan dan uang ke
seantero kota yang bertambah luas, memunculkan ide layanan pos dan
kotak-kotak pos mulai bermunculan di kawasan-kawasan kediaman
orang kaya di kota. Sebelumnya, telah muncul sistem transportasi
publik yang dijalankan dengan benar untuk pertama kalinya. Ini yaitu
kereta kuda yang bisa disewa oleh beberapa penduduk kota sekaligus
dan disebut carrosse. Kereta kuda ini diciptakan oleh seorang tukang
kayu bermental bisnis bernama Nicolas Sauvage di sekitar tahun 1654.
Pada 1660-an, lebih dari dua puluh kereta kuda semacam ini secara
berkala dapat ditemukan berjajar menunggu penyewa di gereja Saint-
Fiacre (sesudah itu kereta kuda ini dijuluki fiacre). Sekitar satu dekade
kemudian, mengikuti daftar perjalanan yang disusun oleh filsuf dan
ahli matematika Blaise Pascal, Parisian bisa bepergian dengan nyaman
dari Palais de Luxembourg ke Pont-Neuf ke Louvre dan kembali lagi
210
cukup dengan membayar 5 sous.
Profesi dan kelas sekarang dikelompokkan di berbagai bagian
distrik kota dan muncul gagasan membuat lingkungan yang terdiri
atas para individu yang berpikiran sama, bahkan jika gagasan bersikap
baik terhadap tetangga di saat itu maupun sekarang yaitu gagasan
yang asing. Istilah quartier mulai digunakan secara umum untuk
mendeskripsikan daerah-daerah seperti ini di dalam kota. Cukup
banyak uang yang diinvestasikan, terutama di Marais dan Île Saint-
Louis (sebelumnya diabaikan dan tidak memiliki jembatan), dan
para arsitek saling bertarung untuk menciptakan rumah-rumah
tempat tinggal yang indah dan juga praktis. Mereka mulai meniru
cita-cita Renaisans yaitu negara kota Italia dengan jalan-jalan yang
dihiasi oleh deretan tiang penopang atap dan piazza-piazza (alun-
alun) terbuka. Ini yaitu era batu, dan rumah-rumah juga sering kali
lebih kokoh daripada rumah Italia yang menjadi contohnya. Terjadi
pula demokrasi dalam batas tertentu: kaum borjuis Paris bertekad
untuk tidak tertinggal dari kehidupan kota yang elegan dan memulai
pembangunan rumah-rumah yang disebut pavillion. Rumah ini hanya
sedikit kalah megah daripada rumah-rumah besar yang disebut hôtel
yang menjadi mode di kalangan aristokrasi perkotaan.
Rumah-rumah di daerah pusat kota sekarang juga dibangun secara
horizontal dan bukan vertikal sementara jalan-jalan dan lapangan-
lapangan dibangun di sekelilingnya. Jalan dan lapangan itu sendiri
dikitari oleh arkade (gang beratap) dan jalan raya, yang ideal untuk
berjalan-jalan atau menampilkan mode terbaru. Istilah flanner
(‘berkelana tanpa tujuan’) tiba di Paris dari Normandia. Ini yaitu
deskripsi sempurna bagi kemalasan elegan sebagai kegiatan pura-
pura yang dilakukan oleh begitu banyak pemuda sebagai tujuan utama
mereka di kota. Sebagaimana akan kita lihat, flâneur akan menjadi
figur umum di abad ke-19 dan ke-20. Kultus kemalasan dalam periode
ini yaitu tanggapan semi-aristokrasi terhadap tuntutan manfaat dari
pekerjaan dan industri. Dengan demikian, ironisnya, flâneur akan
menjadi elemen kunci dalam mendefinisikan modernitas. Namun
pada abad ke-17, ia (dan selalu seorang pria) yaitu tokoh yang akrab
dalam lanskap Paris, berjalan secara acak dalam mengejar kesenangan
seksual atau alkohol. saat kota berkembang dan menjadi semakin
211
padat sepanjang abad ini, lanskap tersebut sepertinya tumbuh semakin
kompleks dan beragam dalam hitungan hari.
Seni Kesenangan
Paris selalu menjadi medan peminum minuman keras. Lutetia telah
terkenal di seantero dunia Romawi sebab kebun-kebun anggur dan
kedai-kedai minumnya sementara kota abad pertengahan ‘terkenal’ di
seluruh dunia Kristen utara sebab kualitas kedai-kedai ale serta begitu
banyaknya anggur dan bir yang mereka tawarkan. Pada paruh kedua
abad ke-17, hampir semua jalan di kota memiliki paling sedikit dua
atau tiga kedai minum dengan berbagai harga dan kualitas. Walaupun
di mata istana, Gereja dan polisi, tempat-tempat ini ilegal dan wadah
potensial bagi kekacauan, namun bagi sebagian besar Parisian tempat-
tempat ini yaitu kebutuhan pokok bagi kebutuhan bersosialisasi
sehari-hari. Itulah tempat di mana orang-orang biasa datang untuk
makan, minum, mencari seks atau perkelahian, pertengkaran, mem-
buat rencana dan berbaur dengan para tetangganya, yang masing-
masing lebih merasa sebagai bagian dari quartier daripada sebagai
bagian dari Paris. Kedai-kedai minum juga sulit dikontrol dan diawasi
secara efektif; kebejatan dan kemalasan yang dipromosikannya yaitu
ancaman yang selalu ada bagi tatanan moral yang oleh para pendeta
biasanya disebut sebagai ‘kota ini, paling Katolik’.
Dunia peminum yang riuh ini yaitu ancaman nyata bagi tatanan
sosial dalam konteks paling praktis: Itulah tempat di mana para
penentang politik dan agama mendapat dukungan dan, dari saat
lahirnya kota ini, pihak berwenang berulang kali melakukan intervensi
untuk mengontrolnya. Pada 1350, raja Jean le Bon menetapkan harga
anggur merah sebesar 10 denier per pint (sekitar setengah liter),
anggur putih seharga 8 denier, dan memerintahkan bahwa anggur
hanya bisa dijual oleh marchands da vin terdaftar. Upaya ini, dan
upaya-upaya lainnya untuk mengontrol aliran alkohol ke dalam kota,
nyaris tidak berpengaruh untuk menghentikan pertumbuhan budaya
minum anarkis yang secara berkala menentang atau melemahkan
otoritas resmi kota.
212
Kehidupan sehari-hari di kedai-kedai minum dan jalan-jalan
belakang kota memberikan perbedaan kontras bagi keagungan steril
Versailles selama pemerintahan Louis XIV. Sebagian dari mayoritas
tempat minum terkenal saat itu sudah ada selama beberapa abad—lebih
lama dari dinasti kerajaan mana pun. Sebagian dari tokoh terkemuka
grand siècle dapat ditemukan sedang minum di tempat-tempat seperti
Pomme de Pin (‘Cemara’) di sudut rue de la Cité. Tempat ini dahulu
sering dikunjungi oleh Rabelais dan Villon dan sekarang menjadi
tempat pertemuan rutin bagi Racine, Molière, Chapelle, dan Boileau.
Dalam satu kesempatan, Boileau pernah begitu mabuk sehingga
mengklaim bahwa ia harus mengubah namanya agar tidak dikenali.
Tempat minum terkenal lainnya dari periode ini termasuk La Corne
(‘Trompet Pemburu’) di ujung Place Maubert, Le Berceau (‘Buaian’) di
Pont-Saint-Michel, La Fosse aux Lions (‘Parit Singa’) di rue Pas-de-la-
Mule, Le Cormier Fleuri (‘Pohon Sorb sedang Mekar’) di dekat Saint-
Euxtache atau La Croix de Lorraine (‘Salib Lorraine’) di dekat Bastille.
Nama-nama ini pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan
panduan tentang atmosfer dan pengunjungnya yang sering kali
membangkitkan kisah keindahan pedesaan atau signifikansi patriotik
atau religius semu, atau permainan kata-kata (Au Lion d’Or, ‘[Di]
Singa Emas’, juga berarti ‘au lit où on dort’, ‘tempat untuk tidur’, dan
biasanya yaitu rumah penginapan). Namun, makna dan realitasnya
sering kali terpisah dengan cepat. Croix de Lorraine yang namanya
bernuansa patriotis menjadi terkenal sebab perkelahian antara para
tawanan yang dibebaskan dari Bastille dengan para Musketeer atau
pengawal raja yang sedang mabuk yang terkenal sebab gemar minum
minuman keras selain sebab keberaniannya. Minum juga menjadi
emblem patriotisme lokal: Anggur paling terkenal tidak hanya
datang dari Burgundy atau Bordeaux, tetapi juga daerah Paris, dari
Montmartre, Suresnes, atau Argenteuil.
Kafe-kafe pertama—tempat yang dikhususkan untuk menjual
kopi dan bukan ale atau anggur—dibuka di kota pada 1660-an dan
awalnya tidak terlalu sukses. Konsep ini dibawa ke Paris oleh dua
orang Armenia bersaudara, Pascal dan Grégoire Alep, yang memiliki
ide untuk mengkhususkan tempat minum mereka menjadi tempat
menjual dan meminum minuman yang baru saja menjadi mode. Kafe
213
sendiri yaitu impor dari Timur yang, seperti croissant, tiba di Paris
pasca-pengepungan Wina, saat tentara Turki akhirnya dikalahkan
dan diusir keluar dari Eropa. Parisian pada awalnya sangat mencurigai
impor Oriental ini dan bahkan sangat berhati-hati (sebaliknya teh
dari China, yang tiba pada 1636, segera sangat populer sejak pertama
datang).
Namun, mayoritas Parisian sangat antusias terhadap makanan
dan minuman dari Italia. Minuman sari lemon, minuman sari jeruk
dan jus buah dingin sudah lama menjadi minuman yang akrab dalam
kehidupan jalanan sejak periode Catherine de Médicis dan seterusnya.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kafe pertama yang benar-
benar berhasil di Paris dikelola oleh seorang Sisilia bernama Francesco
Procopi. Café Procope menjual anggur, tetapi membanggakan kopi
yang dijualnya dan menjadi tempat untuk berbicara secara wajar,
jauh dari para pemabuk, pelacur dan penjudi di kedai-kedai minum
tradisional. Kafe ini segera saja tersohor sebagai tempat minum-
kopi Pencerahan, menarik perhatian tokoh-tokoh seperti Voltaire,
Rousseau, dan Jean-François Marmontel. sesudah beberapa kali
berubah alamat, kafe ini sekarang berdiri di rue de l‘Ancienne Comédie.
Kafe ini menjual steak-frites yang harganya terlalu mahal kepada para
turis dengan mengandalkan warisannya. Pada 1689, saat pertama
dibuka, kafe tidak lebih dari mode menarik yang, menurut perkiraan
seorang pelawak, akan segera berlalu—kopi ketinggalan zaman,
croissant dan semuanya—ke dalam ingatan seperti “bintang jatuh di
malam tergelap.”6
Paris masih sangat miskin selama periode ekspansi ini dan Colbert
kadang kala terpaksa harus mengirim makanan murah dari tempat-
tempat seperti Polandia dan dataran rendah Rhineland. Makanan
pokok Parisian termiskin yaitu kacang, roti dan herba. Bagi mereka
yang tidak mampu membayar kesenangan baru dan eksotis dari
café dan limonaidier, jalan-jalan masih dipenuhi oleh para bajingan,
penyair, pelacur, dan pencuri, yang menyediakan parade harian dan
(sejak dipasangnya lampu jalanan) parade malam. Mereka termasuk
Vaulesard yang mengaku sebagai ‘ahli matematika’ dengan postur yang
kurus dan kuyu (“tulang belulang berbalut kain compang-camping,”
menurut penulis Marc de Maillet, yang juga merupakan orang biasa
214
yang berbicara omong kosong dan sombong)7 yang terbiasa secara
tiba-tiba mengucapkan puisi panjang lebar yang sulit dipahami.
Yang paling mengganggu, setidaknya bagi kelas kaya, yaitu fakta
bahwa Vaulesard juga dikenal sebagai seorang fanatik politik terkenal
(atau orang gila potensial). Ia menghabiskan waktu berjam-jam
melihat ke dalam rôtisserie dan restoran baru di sekitar rue Visconti
dan rue de Buci untuk memelototi semua orang borjuis dan aristokrat
yang bisa makan dengan kenyang tepat di hadapan ribuan warga kota
yang kelaparan.8
215
21
Bayang-Bayang dan Bau
Walaupun terus tumbuh pada paruh pertama abad ke-18, Paris
secara fisik masih mirip dengan daerah pedalaman dan bahkan
hutan belantara. Ladang-ladang barley tumbuh tidak lebih dari lima
menit berjalan kaki dari barrière Saint-Jacques. Jalan-jalan berbatu
di Faubourg Saint-Marcel menjadi jalan pedesaan penuh daun
dalam waktu yang sama. Dalam memoarnya, Des Essarts, seorang
pengacara Paris yang kaya dan sopan, mencatat betapa senangnya ia
bisa melarikan diri dari kota dan menemukan dirinya, hanya sesudah
berjalan kaki selama lima belas menit dari École Militaire, bersandar
pada pagar sambil bercakap-cakap tentang urusan pedesaan sederhana
dengan para petani bersahabat yang bagi mereka Paris yaitu tempat
sangat jauh yang jarang sekali dikunjungi.1 Jalan kerajaan menuju Paris
sering sekali menakutkan bagi orang-orang daerah dan pedesaan.
Anda dapat mendengar gemuruh kota lama sebelum bisa melihatnya.
Ini yaitu keajaiban dan teror bagi mereka yang menjalani hidup
menurut ritme musim dan ladang yang lebih lembut: Paris penuh
dengan semua suara, kebingungan, ketidakteraturan, dan kekerasan
jiwa. Mereka yang melakukan perjalanan ke kota juga menghadapi
risiko dirampok atau lebih buruk oleh para bandit bersenjata dan
geng-geng bekas tentara yang berkeliaran menghantui rute itu.
Suara paling terkenal dari kota—yang juga dikenal oleh sebagian
besar orang daerah—yaitu para ‘pencanang’ Paris. Para pedagang
kaki lima ini sudah lama menjadi bagian dari cerita rakyat Paris. Sejak
awal periode abad pertengahan dan seterusnya, Parisian telah dihibur
oleh berbagai permainan kata, puisi, dan lagu dari para pedagang kaki
lima.2 Pada awal 1700-an, pengelompokan sosial dari para pedagang
kaki lima distratifikasikan secara saksama sebagaimana bagian lainnya
216
dalam masyarakat Paris. Para penjual brendi (mereka menjualnya per
gelas kepada para tukang yang kedinginan dan lesu dalam perjalanan
mereka untuk bekerja), dan penjual kopi menikmati prestise khusus
selama periode ini. Para penjual ikan, yang biasanya wanita, secara
tradisional memiliki status rendah, walaupun Parisian mencintai
makanan laut (yang dibawa ke kota lebih cepat dari bahan makanan
impor lainnya dan biasanya tiba dari pesisir dalam waktu satu atau
dua hari). Kuli panggul, kusir kereta kuda, pelacur, pemabuk, prajurit,
dan tukang obat semuanya berkontribusi bagi suara jalanan yang
tanpa henti.
Di atas semua hiruk-pikuk ini, para pencanang dari Hôtel de Ville
meneriakkan perintah kota misalnya untuk menghindar dari sungai
yang beku atau berhati-hati pada pencuri. Semuanya ini diumumkan di
alun-alun utama atau di dermaga dan selalu diiringi suara genderang.
Hari diukur menurut bunyi bel, dari gereja-gereja atau menara-
menara jam di Hôtel de Ville, tempat Minerva memegang lambang
kota di tangannya, atau di stasiun pemompaan La Samaritaine, yang
terbawa hingga ujung seberang Pont-Neuf. Parisian dari kelas pekerja
segera menjadi terbiasa, bahkan menyesuaikan diri, dengan teriakan,
pertengkaran, dengkuran, suara kentut, dan serdawa yang menembus
dinding tipis bangunan-bangunan baru yang murah. Parisian terkenal
gemar berteriak atau menjerit jika terprovokasi walaupun sedikit.
Sudah menjadi kebiasaan aristokrat, dan orang borjuis yang meniru
mereka, untuk menurunkan suara guna membedakan diri mereka
dari kelas-kelas bawah. Semua orang di Paris, tanpa memedulikan
posisinya di masyarakat, terbiasa mencium bau badan, makanan,
kotoran manusia, kopi, binatang, dan lumpur jalanan dari kota yang
meluas dengan cepat ini.
Panorama
Dalam pencarian akan ketepatan dan keteraturan di dalam kota
sendiri, para perencana dan ahli geografi Paris selama periode ini
berupaya menghasilkan banyak peta kota. Antara akhir abad ke-17 dan
Revolusi 1789 telah dibuat lebih dari seratus peta. Ini yaitu jumlah
yang tidak pernah ada sebelumnya. Namun, meski para pembuat peta
217
yang paling teliti dan serius telah berupaya sebaik mungkin, semua
peta tersebut secara konsisten tidak akurat.
Alasan pertamanya yaitu dalam gambar mereka para pembuat
peta secara sengaja melebih-lebihkan lebar jalan-jalan kota untuk
memamerkan tampak muka dari bangunan-bangunan yang ada.
Faktanya, sebagian besar jalan di Paris pada periode ini tidak lebih
dari empat setengah meter lebarnya dan sering kali lebih sempit. Jika
jalan ini dilapisi dengan batu, jalan tersebut miring ke arah selokan air.
Hak menggunakan jalan oleh kereta-kereta kuda di jalan-jalan seperti
ini biasanya diselesaikan dengan jalan kekerasan, biasanya dengan
ujung pedang.
Alasan kedua mengapa pembuatan peta merupakan teknik yang
sulit dan tidak presisi yaitu hanya sebab kota tumbuh dalam laju
yang begitu cepat, secara berkala meluas ke daerah pedalaman, yang
tidak mungkin dipetakan.
Di jantung kota, ledakan pembangunan yang mendampingi
pemerintahan Louis XIV telah membuat jalan-jalan semakin padat dan
lebih sulit ditembus daripada sebelumnya. Insinyur Edmé Verniquet
membuat peta kota pertama yang benar-benar akurat antara 1785 dan
1790. Ia telah bekerja di tengah malam, mengukur dan memetakan
jalan-jalan dengan mata yang sangat awas. Namun, kehidupan nyata
di jalanan ini, menurut kesimpulan sang insinyur, pada akhirnya tidak
dikenal oleh ilmu pengetahuan.3 Bagaimanapun juga, pembuatan peta
yaitu seni yang mulia dan bermartabat (sebagaimana ditunjukkan
dalam Bab 13), yang memetakan tidak hanya masa kini tetapi juga
meninggalkan tandanya sendiri dalam pembuatan kota masa depan.
Namun, meski Parisian di awal abad ke-17 tidak memiliki visi
panorama, mereka masih bisa melihat tanda-tanda perubahan dan
kemungkinan pelapukan. Salah satu simbol paling jelas dari akhir
‘abad hebat’ bagi banyak orang yaitu gapura kemenangan yang
tidak selesai di Place du Trône (sekarang Place de la Nation), yang
pada akhirnya diruntuhkan pada 1716. Pada awalnya, Louis XIV
telah memerintahkan pembangunan lima porte semacam ini untuk
mengelilingi kota; hanya dua yang pernah diselesaikan, di Saint-Denis
dan Saint-Martin.
Namun demikian, ada urusan-urusan lain yang lebih penting
218
di tahun-tahun awal abad ini. Sungai Seine masih menjadi aliran
darah kehidupan Paris, tetapi secara berkala juga membawa penyakit
ke dalam kota. Disentri dan tipus biasanya dibawa masuk dari dusun-
dusun lebih kecil di sepanjang sungai Seine, dan masuk ke kota di
ujung timur. Selain itu, Paris juga rentan terhadap cuaca buruk dan
musim dingin parah yang pada 1709 telah membuat sungai tidak dapat
dilayari selama berminggu-minggu. Sedikit sekali gandum yang dapat
dibawa ke dalam kota. saat harga roti naik menjadi 2 sous sepotong
yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan, letnan-jenderal polisi,
René d’Argenson, terpaksa menugaskan pasukannya untuk menjaga
toko-toko roti.
Selama periode ini, sungai Seine sering kali mengalami kemacetan.
Anggur dan gandum diangkut ke dalam kota menggunakan kapal-
kapal kecil yang disebut flette atau, paling umum, dalam konvoi-konvoi
besar perahu sepanjang 16 hingga 18 meter. Konvoi ini harus ditarik
oleh dua lusin kuda. Sudah biasa terjadi bahwa konvoi semacam itu
dirampok atau perjalanannya dihambat oleh para pencuri.
Wafatnya raja pada 1715 tidak dipedulikan oleh Parisian yang
sejak lama semakin bosan atau lelah melihat kultus yang terbentuk
di sekelilingnya. Wajar saja jika pemakamannya suram; tetapi di
sepanjang jalan-jalan tepat di luar kota, para petani dan Parisian
minum, berdansa dan menyanyikan lagu-lagu cabul. Anak yang akan
menjadi Louis XV, atas perintah pamannya Philippe, duc d’Orléans
yaitu sang wali raja, pulang ke Paris dan menetap di Palais-Royal milik
Richelieu.
“Ditandai oleh Lisensi”
Philippe dalam banyak hal sangat berlawanan dengan Roi Soleil
yang menjadi tokoh keras dalam tahun-tahun terakhirnya. Ia cerdik
dan mudah memesona. Ia menyenangi gosip, minuman keras dan
seks. saat mulai menjabat sebagai wali raja pada usia empat puluh
tahun, ia dikatakan terlihat jauh lebih tua. Namun ia tidak populer di
kalangan hierarki Katolik yang berbisik bahwa ia seorang libertin. Ini
yaitu istilah yang pertama kali digunakan untuk menjelaskan para
219
pemikir bebas periode ini tetapi dengan cepat berubah arti menjadi
pemangsa seksual yang rakus (lihat Bab 22).
Berkembang pula desas-desus bahwa Philippe telah menyetubuhi
anak perempuannya sendiri. Sebuah cerita lain juga menyebutkan
bahwa suatu saat , sesudah kembali dari pesta di Palais de Luxembourg
dalam keadaan lebih mabuk daripada biasanya (dua botol champagne
yaitu standar sarapan), Philippe berjalan ke arah kapten penjaganya,
La Fare, dan memintanya untuk memotong tangan kanannya.
“Dapatkah kau menciumnya?” racau sang wali raja. “‘Tangan ini busuk
dan baunya tidak bisa kuhilangkan, dan aku tidak tahan lagi.” Sang
kapten dengan lembut menuntunnya masuk ke kamar tidurnya. Ibu
Phillipe tidak memercayai satu pun cerita semacam ini yang beredar
di istana. Namun, ia memang pernah menegur putranya sebab
meniduri para wanita mabuk jelek yang, menurutnya, bisa jadi yaitu
lesbian.4
Orang-orang yang sezaman dengannya juga tidak selalu bersikap
baik kepada Philippe. Salah seorang yang memusuhinya yaitu
Voltaire, yang pada titik ini masih mencintai kota dengan kegairahan
seperti penduduk asli Paris (ia dilahirkan di sana pada 1694 dalam
keluarga yang aslinya datang dari Poitou). Dalam banyak hal, setidaknya
dalam tahapan ini dalam kariernya, Paris menampilkan semacam
penyempurnaan bagi Voltaire sebagai tempat di mana ketegangan
besar masa tersebut bertemu dalam konflik dan kontradiksi. Di atas
semuanya, Paris menawarkan philosophe pandangan kursi terdepan
terhadap pergerakan sejarah kepada Voltaire. Ia tidak terlalu antusias
terhadap warga Paris, yang ia deskripsikan sebagai “sering kali tidak
melakukan apa pun, selalu siap terlibat dalam urusan sia-sia, melibatkan
diri dalam urusan yang sebenarnya bukan urusan mereka.” Nantinya,
sesudah diasingkan dari kota, ia memandang Paris dengan campuran
rasa melankolis, kemarahan, penyesalan dan nostalgia mendalam dari
Parisian yang diasingkan terhadap “bayang-bayang dan bau di jalan-
jalan.”5 Hal ini ditandai dalam era Philippe, yang dideskripsikan oleh
Voltaire menggunakan istilah-istilah asam: “Inilah masa Kewalirajaan
yang santai/Waktu yang bagus yang ditandai oleh lisensi.”6
Pada kenyataannya, Philippe yaitu seorang yang bertutur kata
sopan dan gemar membaca. Satu-satunya kelemahan nyata yang
220
ia miliki saat mulai menjabat yaitu ia tidak memiliki banyak
pengalaman tentang bagaimana memanfaatkan kekuasaan dan me-
mutar roda perpolitikan. Namun demikian, ia cukup cerdas untuk
melihat bahwa kebijakan ekonomi yang sukses akan menjamin
kelangsungan hidup monarki dan juga ibukota. Untuk mencapainya,
ia menyelesaikan perang-perang yang telah dimulai oleh Louis XIV
yang telah sering membuat negara ini bertekuk lutut. Ia membuka
penjara-penjara, membebaskan para budak kapal dayung dan mulai
membongkar banyak struktur semi-feodal yang masih berlaku di
Paris dan di tempat-tempat lain.
Philippe juga bersikap optimis dan memiliki keyakinan relatif naif
dalam prosesnya. Inilah penyebab terjadinya kesalahan besar yang
dibuatnya dengan mengundang seorang Skotlandia bernama John
Law ke Paris untuk memberinya saran tentang bagaimana mengelola
Bank Kerajaan Prancis. Law memiliki reputasi sebagai pemikir
finansial inovatif dan Philippe sangat menyenangi saran pertamanya
untuk mendirikan sebuah ‘bank umum’ dengan negara sebagai
pemegang saham utamanya. Kesuksesan awal ini mendorong raja
dan para penasihatnya untuk memperluas bidang operasi ke tanah-
tanah kosong di Louisiana yang baru saja diperoleh (New Orleans
diberi nama sesuai nama wali raja). Parisian berbondong-bondong
memberikan uangnya dalam apa yang sepertinya yaitu skema mudah
menjadi-kaya-secepatnya.
Yang tak terhindarkan, gelembung akan meletus lebih cepat
daripada perkiraan siapa pun. Banyak keluarga hancur serta terjadi
banyak bunuh diri dan pembunuhan. Kaum borjuis Paris yang
merasa sangat marah sebab kehilangan modal mereka dalam skema
piramida ceroboh ini kemudian membakar uang dan surat-surat
saham di jalanan untuk memperlihatkan kemarahan mereka. John
Law yaitu seorang pengacara cerdik dari Edinburg tetapi sekarang
Parisian menyebutnya ‘si orang Inggris yang jahat’. Secara diam-diam
dan secepat mungkin, ia melarikan diri dari Paris. Ia hampir saja
tertangkap oleh massa pengejarnya yang ingin main hakim sendiri.
Kewalirajaan sendiri tidak pernah pulih dari kegagalan mahabesar ini.
saat Philippe wafat, konon bahwa salah satu binatang favoritnya,
seekor anjing Great Dane, telah melompat ke atas jenazahnya yang
221
masih terbaring di tempat tidur dan memakan jantungnya. Di kedai-
kedai minum dan kafe-kafe Paris, kejadian tersebut dianggap sebagai
akhir yang menghibur dan sesuai bagi seorang wali raja bodoh dan
amoral yang telah membuat bangkrut kota.7
Popularitas monarki tidak diperbaiki oleh penerus Philippe, Louis
XV. Sosok yang sederhana ini tidak tertarik pada orang, buku ataupun
perpolitikan. Namun, ia memiliki selera seksual yang besar. sesudah
penasihat utamanya yaitu Kardinal Fleury wafat pada 1742, ia lebih
sering diatur oleh hasrat dan gundiknya. Walaupun Philippe telah
berusaha sekuat tenaga, monarki masih jauh terpisah dari penduduk
kota. Jurang pemisah antara raja dengan rakyatnya bahkan akan
semakin lebar di tahun-tahun berikutnya.
Kota Rahasia
Spekulasi liar di pasar internasional diiringi oleh antusiasme yang
sama gilanya terhadap perjudian di jalan-jalan belakang Paris. Polisi
dengan mudah menoleransi jeux de société yang populer di kalangan
aristokrat dan orang-orang de qualité lainnya. Hal yang lebih tidak bisa
ditoleransi, dan menjadi ancaman jelas bagi ketertiban sosial, yaitu
penyebaran meja-meja judi ilegal yang meluas ke pelosok ibukota pada
tahun-tahun awal abad ke-18. Tempat perjudian ini tetap bertahan
hingga masa Napoleon. Salah satu tempat judi paling ‘terkenal’ berada
di gang belakang Marais dan bernama L’Enfer (Neraka). Tempat ini
terkenal sebab kekejamannya yang menghancurkan banyak keluarga
dari berbagai kelas. Laporan polisi dari periode ini juga mencatat
bahwa sejumlah wanita berusia tertentu (“kemungkinan bekas
pelacur,” demikian menurut salah satu sersan) “terlalu bersemangat”
di meja judi ini dengan mengeluarkan uang yang lebih besar daripada
pria untuk berjudi dan dihabiskan.8
Filsuf-politis Charles de Condat Montesquieu, yang selalu menjadi
pengamat moralitas publik yang jeli dan bermulut tajam, menunjukkan
bahwa banyak dari para wanita ini berjudi “untuk secara sengaja
menghancurkan suami-suami mereka, dan bahwa mereka berasal dari
berbagai usia, dari sangat muda hingga sudah tua bangka. Saya sering
222
melihat sembilan atau sepuluh wanita di meja, menunjukkan rasa
takut, harapan dan kemarahan dan sepertinya tidak pernah bisa merasa
damai. Seorang suami yang ingin mengontrol istrinya dipandang
sebagai pengganggu kesenangan publik.” Dalam pandangannya,
wanita-wanita yang sama tidak segan-segan berhubungan seks
dengan banyak pria. Salah seorang wanita seperti itu, yang tertangkap
basah oleh suaminya sedang berdua di tempat tidur bersama pelayan
putranya, mengeluarkan serangkaian makian kepada suaminya yang
tertegun. “Apa yang kauharapkan, tuan?” teriaknya untuk membela
diri. “saat saya tidak bisa mendapatkan kesatria, saya mengambil
pelayan ini.” Perjudian jelas sekali telah mendorong wanita menjadi
gila, kata Montesquieu dengan muram, dan pada akhirnya akan
mengarah pada pembunuhan.9
Hal lain yang lebih mengancam dan lebih seram, setidaknya di
mata polisi dan otoritas publik lain, yaitu pertumbuhan masyarakat-
masyarakat rahasia dan semi-rahasia di Paris. Dipercaya bahwa antara
1700 dan 1750 lebih dari selusin sekte yang terafiliasi secara longgar
dengan kultus freemansory didirikan di pusat kota. Para pengikut kultus
ini, yang pada awalnya berasal dari kelas-kelas tukang dan tingkatan
terbawah dalam kelas borjuis, percaya bahwa mereka memasuki
misteri suci yang telah ada sebelum Banjir Nabi Nuh. Okultisme dan
paganisme bukanlah hal baru di Paris—bahkan keduanya pernah,
dan akan terus menjadi, vena terdalam dari pengetahuan sejarah di
Paris—tetapi gerakan-gerakan ini menjadi ancaman sebab secara
eksplisit juga politis. Lebih tepatnya, secara diam-diam dan rahasia,
mereka bertujuan untuk menduduki posisi-posisi kekuasaan nyata
yang strategis di ibukota dan akhirnya menggantikan monarki itu
sendiri. Oleh sebab nya, freemansory yang berada di luar kontrol
pemerintah telah memberikan tanggapan politik langsung terhadap
kekuasaan absolut.
Kuil Mason terpenting di Paris dibangun di rue Cadet, yang
pada awal abad ke-18 masih disebut rue de la Voire (‘jalur air’). Ini
yaitu tempat yang terkenal sebab bau yang begitu menyengat dari
saluran-saluran air kotor yang mengalirkan air ke timur. Philippe,
duc d’Orléans, membuat daerah ini menjadi lebih bergaya dengan
membangun rumah pribadi di nomor 24. Jalan ini sekarang menjadi
223
lokasi sebuah museum yang didedikasikan bagi artefak-artefak dan
medali-medali yang berkaitan dengan sejarah panjang freemansory di
Paris.
Walaupun statusnya semi-resmi, freemansory dalam waktu yang
cukup lama yaitu gerakan radikal di Paris dan bukan sebagai media
autentik bagi transmisi spiritual sesuai klaimnya sebelumnya. Para
Freemason secara tegas mendukung Komune pada 1870 dengan
mengirimkan sejumlah delegasi untuk mengibarkan bendera-
bendera yang menyatakan ‘Cintailah Satu Sama Lain’ di titik-titik
panas seperti Porte Maillot dan Porte Bineau. Beberapa Freemason
lainnya mengangkat senjata dan akhirnya dieksekusi sesudah Komune
mengalami kekalahan.
Selama masa Pendudukan Jerman terhadap Paris sejak 1940 dan
seterusnya, kantor-kantor di rue Cadet berada di bawah kontrol Jean
Marquès-Rivière. Ia seorang kolaborator Nazi dan mengangkat dirinya
sendiri sebagai ahli okultisme. Menjadi sinyal tindakan keadilan puitis
bahwa seorang Freemason bernama Charles Boileau yang merupakan
perwira dalam Pasukan Prancis Merdeka kemudian membebaskan
kantor-kantor ini pada 1944. Ia juga merupakan seorang Komunis dan
juga seorang Yahudi.
224
22
Manifesto Porno
Selalu ada tradisi menulis yang cabul atau sepenuhnya
erotis yang kuat di Paris. Genre ini terutama berkembang sejak abad
ke-12 dan seterusnya. Sejak saat itu, Parisian dari semua kelas sosial
menjadi akrab dengan puisi-puisi humor seperti La Damoisele quie
ne pooit oïr parler de foutre (‘Gadis yang Tidak Mau Mendengar
Persetubuhan’) atau La Veuve (‘Sang Janda’). Para penulis puisi-
puisi ini sudah dilupakan atau anonim, tetapi kisahnya sendiri telah
meresap ke dalam cerita rakyat Paris. Banyak dari puisi ini, seperti
Le Chevalier qui fist parler les cons (‘Kesatria Yang Membuat Vagina
Berbicara’), begitu dikagumi bukan hanya kandungannya yang cabul
tetapi juga akan kecerdasannya yang canggih dan kurang ajar.1
Bahkan puisi di masa selanjutnya (yang ditulis oleh seorang
Parisian bernama Garin pada abad ke-13) yaitu inspirasi bagi kisah
Les Bijoux indiscrets (‘Permata yang Tidak Bijaksana’, 1748) oleh Denis
Diderot. Ini yaitu kisah seorang raja yang memiliki sebuah cincin
ajaib yang bisa membuat alat kelamin para wanita di istana dapat
berbicara. Sebagai seorang manusia logika dan ilmu pengetahuan,
seorang philosophe dan ateis, Diderot memutuskan bahwa ia memiliki
kewajiban moral untuk menyerang segala bentuk takhayul, termasuk
tentang kekuasaan raja. Les Bijoux indiscrets yaitu alegori (kisah
kiasan) tajam yang menyindir kehidupan di dalam istana Louis XV di
Versailles yang penuh kebohongan, kepalsuan, dan sogok-menyogok.
Tetapi kisah ini juga menjadi contoh baik tentang bagaimana
popularitas tulisan erotis pada abad ke-18 ada pada fakta bahwa
kisah itu sering kali terang-terangan bersifat politis.
Paris sekarang memiliki fasilitas tercanggih untuk memproduksi
dan mendistribusikan buku dan, yang terpenting, sebuah pasar
225
pembaca terdidik dan semi-terdidik yang lapar akan pengetahuan,
pencerahan, serta hiburan. Naiknya tingkat kemampuan membaca
tidak selalu berarti naiknya kepemilikan buku, tetapi bahkan pelayan
paling miskin bisa membaca surat kabar atau majalah milik tuannya
di rumah atau di kafe. Dengan demikian membaca pornografi, baik di
kafe maupun di rumah, yaitu aktivitas yang terbuka bagi semua kelas
masyarakat.
Toko-toko buku Paris yang baru dibuka pada awal abad ke-18
yaitu tempat yang berisik dan ramah. Sebagaimana dilaporkan oleh
seorang komentator, sekelompok pembaca berdiri “seperti terpaku
di sekitar rak buku; mereka mengganggu jalan penjaga toko, yang
telah mengeluarkan semua kursinya untuk memaksa mereka berdiri;
namun hal itu tidak menghentikan para pembaca untuk tinggal selama
berjam-jam guna membaca buku, sibuk melihat pamflet serta membuat
penilaian awal tentang nilai dan nasibnya.”2 Toko-toko buku paling
terkenal bersifat modis dan berisikan seksualitas. Toko-toko paling
‘terkenal’ yaitu yang berada di lorong-lorong beratap Palais-Royal,
yang menyediakan fokus bagi banyak cara berdandan secara intelek
dan menggoda secara diam-diam di siang hari. Toko-toko tersebut
termasuk toko seperti Librairie Pierre-Honoré-Antoine Pain. Buku-
buku yang paling laris dijualnya yaitu buku seperti Le Parnasse des
poètes satyriques (antologi puisi erotis), Thérèse Philosophe (pengantar
seksualitas bagi gadis muda) atau Le’Enfant du bordel (‘Bocah dari
Rumah bordil’) di mana tokoh utama wanitanya “dianugerahi klitoris
yang akan membuat malu pergelangan kaki paling cantik di Prancis.”3
Banyak dari toko buku ini yang buka hingga larut malam, saat
Palais-Royal dibanjiri oleh pelacur, orang berpakaian perlente dan
berbagai macam petualang seksual. Bagi banyak pria dan wanita muda
era abad ke-18 ini, membaca buku erotis diterangi cahaya lilin di salah
satu toko buku ini sama dengan hidangan pembuka seksual, stimulan
yang mempertajam fisik sebelum memasuki jalan-jalan gelap di Paris
untuk mengejar pemuasan.
226
Dunia Bawah Tanah yang Bisa Membaca
Menyertai pertumbuhan membaca sebagai aktivitas yang modis
datanglah para bouquiniste. Mereka yaitu penjual buku yang lebih
miskin dan lebih putus asa yang muncul pertama kalinya di Paris pada
abad ke-16. Mereka menjual barang dagangannya di tempat terbuka
di sepanjang Pont-Neuf. Pada awalnya mereka disebut estaleur
(‘pedagang jalanan’) dan terkenal sebab menjual pamflet-pamflet
Protestan rahasia selama Perang Agama. Pihak berwenang berulang
kali menangkap mereka sebagai pencuri atau subversif. Pada abad
ke-18, mereka sudah cukup dihormati. Lapak-lapak mereka terutama
sering dikunjungi oleh mahasiswa dan dikenal sebagai boekiniste atau
bouquiniste (dari kata boekin atau ‘buku kecil’ dalam bahasa Flemish).
Mereka juga menyebar sepanjang sungai Seine, menduduki posisi yang
kurang-lebih sama seperti di masa kini. Pihak berwenang berulang
kali membubarkan mereka. Tetapi, setiap gelombang masalah di
Paris, mulai dari bencana kelaparan hingga kerusuhan Fronde,
memberikan pasar yang siap berupa para pembaca Paris yang ingin
membaca pamflet-pamflet rahasia yang mencela raja atau menyerang
pemerintah yang sedang berkuasa. Pada 1732, kedua tepi sungai Seine
dipenuhi oleh lebih dari 120 bouguiniste yang memenuhi kebutuhan
Parisian akan perpolitikan dan pornografi.
Paris memang menjadi rumah bagi kesusastraan bawah tanah yang
cukup besar selama periode ini. Sebagian besar dari kesusastraan ini
berasal dari Amsterdam atau Brussels, tetapi cukup banyak juga yang
berasal dari Paris sendiri dan mengejutkan para pembaca dengan
catatan yang terperinci dan berpengetahuan luas tentang kehidupan
di dalam kota. Politik (atau kadang kala tempat) dan erotika sering
kali bergandengan. Pihak berwenang kota dan kerajaan menemukan
bahwa mustahil untuk melacak apa yang telah dijual di sana dan
kepada siapa. Jika buku tidak dijual di Palais-Royal, biasanya buku
tersebut dapat ditemukan chez les bouquiniste; jika tidak, dapat dibeli
dari para colporteur, penjual buku keliling dan juru tulis. Mereka tidak
menetap di satu tempat seperti bouquiniste tetapi menjual barang-
barang mereka di seantero kota, di kafe-kafe, kedai-kedai minum, dan
salon-salon.
227
Colporteur, seperti bouquiniste, memang merupakan kebutuhan
pokok bagi kehidupan Parisian sejak abad ke-16. saat itu, tingkat
kemampuan membaca mengalami kenaikan dan membaca menjadi
aktivitas sehari-hari dan bukan penanda elite istimewa. Colporteur
pada dasarnya yaitu penjual keliling, pedagang kaki lima yang
selalu awas akan keberadaan pihak berwenang. Para colporteur dapat
ditemukan di mayoritas pojok jalanan Paris sedang menjual buku
menggunakan baki, dengan buku paling membakar atau seksual
tersembunyi di bawah papier bleu. Sebagaimana diamati oleh seorang
saksi mata kontemporer:
Para mata-mata polisi berperang melawan para colporteur, ras manusia
yang menjual buku-buku bagus tersisa yang masih bisa dibaca orang di
Prancis, yang oleh sebab nya dilarang. Mereka diperlakukan dengan
sangat buruk; semua polisi memukuli orang-orang malang ini yang tidak
tahu apa yang mereka jual dan akan menyembunyikan Alkitab di bawah
jubah jika Letnan Polisi memutuskan untuk melarang Alkitab. Mereka
dipenjara di Bastille sebab menjual pamflet-pamflet konyol yang esok hari
akan dilupakan.4
Parisian melahap segala macam bacaan dari para colporteur: buku-
buku tentang ilmu sihir, almanak, komedi (Les Adieux de Tabarin—
naskah yang disyairkan dari aksi penampil jalanan Tabarin yaitu
buku terlaris), panduan karikatural ke Paris (le Déjenuner de la rapée—
secara harfiah ‘Makan Siang Parutan’—yaitu versi skatologikal Paris),
kamus bahasa slang atau panduan untuk kentut.
Publik juga menyukai fakta yang aneh atau sekadar mengerikan.
Kejadian-kejadian yang dilaporkan di surat-surat kabar antara 1716
dan 1717 termasuk, misalnya: pernikahan di gereja Saint-Eustache
antara pengantin pria berusia seratus lima tahun dengan pengantin
wanita berusia sembilan puluh lima tahun; terbaliknya sebuah perahu
dan tenggelamnya para penumpang yang merupakan pencuci baju
di sungai Seine yang membeku, tangan-tangan mereka menembus
permukaan sementara badan mereka terperangkap di bawah; tubuh
seorang gadis yang terikat ke sebuah tiang dan membeku hingga mati
di dekat Saint-Denis; dan penemuan seorang gadis yang dipanggang
di atas api di Faubourg Saint-Marceu, “besi pemanggang menembus
228
kepalanya.”5 Namun, yang paling populer bagi semua kelas pembaca
yaitu bacaan-bacaan erotis yang menentang semua moralitas publik
atas nama kebebasan.
Namun, sebagian besar pornografi awal sepenuhnya bersifat
fungsional, baik sebagai buku panduan maupun hiburan. Buku-buku
tersebut menyediakan alamat dan menu layanan di rumah-rumah
bordil terkenal, seperti Le Gros Millan di rue du Beaujolais atau Le
Grand Balcon di rue Croix-des-Petits-Champs. Genre ini segera
menjadi kelas hiburan tersendiri dan cukup banyak menyia-nyiakan
energi polisi untuk mengejar para pencetak, penerbit, dan pembaca
karya yang dianggap anti-Kristen dan antisosial tetapi bagi mayoritas
Parisian dianggap sebagai peningkat kualitas kehidupan seperti
kesenangan-kesenangan lainnya.
Orang Cabul yang Lembut
Hubungan antara pornografi dengan politik yaitu salah satu tradisi
Paris tertua yang masih hidup di kota modern. Telah diperdebatkan
bahwa penulisan erotis dari awal abad ke-18 yaitu sumber bagi
segala bentuk kebebasan politik dan artistik di masa selanjutnya di
Paris—dari ‘Teror’ tahun 1789 yang seperti karnaval hingga festival
revolusioner yang gembira pada 1968. Ini yaitu pandangan direktur
film dan artis porno ‘Ovidie’ sebagaimana dinyatakan dalam bukunya
yang berjudul Porno Manifesto, sebuah polemik yang membela porno
di mana ia mengajukan argumentasi bagi industri porno kontemporer
dengan alasan bahwa industri tersebut mencerminkan keinginan
bersifat Utopia.6
Dan inilah mengapa, di suatu pagi bulan September yang dingin,
saya mengatur pertemuan untuk berbicara dengannya di sebuah kafe di
dekat Saint-Denis, jantung norak industri seks Paris. Di atas semuanya,
saya ingin menanyakan apa hubungan yang bisa dibuat antara tradisi-
tradisi kebebasan seksual tertua di Paris dengan pemandangan toko
porno serba ada dan pertunjukan film porno singkat masa kini yang
tak berperasaan.
Ovidie bertubuh kecil, ditindik dan mengenakan piama hitam
229
dengan pandangan tajam seorang Maois junior. Ia mulai menjawab
pertanyaan saya dengan mengutip para pemikir kontemporer Jean
Baudrillard, Georges Bataille, dan Guy Debord, yang dalam cara-cara
berbeda telah mengajukan argumentasi bahwa kebebasan total berarti
kebebasan seksual total: dengan segala kesulitan yang ada oleh posisi
ini (“Siapa yang kita setubuhi dan mengapa?” seperti kata Ovidie).
Ia mengutip popularitas pornografi di Paris pra-Revolusi, sebelum
menjelaskan gagasannya bahwa hal itu disebabkan oleh kebutuhan
universal—jika ditempatkan di tangan orang yang tepat—“porno bisa
membebaskan Anda.”
Ovidie kemudian menceritakan bagaimana ia sendiri menemukan
pornografi di usia muda bersama saudara perempuannya. Ia
mengatakan bahwa pornografi datang kepadanya sebagai pencerahan
di usia yang masih muda. Pencerahan itu yaitu pemahaman bahwa
kejadian-kejadian fisik semata bisa menjadi sumber begitu banyak
kesenangan dan kesedihan. Ia melanjutkan: pornografi tidak lebih
dari sekadar janji kebahagiaan manusia. Eksploitasi fisik dan ekonomi
yang tidak diragukan lagi terlibat dalam industri seks, menurut
pandangannya, yaitu salah hanya sebab eksploitasi tersebut
berkhianat dari kepercayaan asli ini yang relatif polos. Terutama
eksploitasi wanita, menurutnya, yaitu pengkhianatan terhadap
tujuan asli pornografi abad ke-18 yang membebaskan. Filsafat egaliter
asli inilah yang menurut klaim Ovidie telah ditangkapnya kembali
dalam karyanya. Hal ini tidak mengecualikan pembayaran: bahkan
sebaliknya. “Saya bersetubuh sebab uang,” kata Ovidie kepada saya,
“dan tentu saja hal itu membutuhkan penghormatan.”
Siapa pun pria atau wanita berpikiran logis dari abad ke-18 yang
menghormati dirinya sendiri akan segera memahami argumentasi
ini. Teori pemandu masa itu yaitu bahwa fakta-fakta matematika
atau ilmu pengetahuan alam yang bisa dibuktikan memberi bentuk
pengetahuan yang lebih unggul daripada institusi monarki atau
agama yang hierarkis. Lebih dari itu, sudah menjadi kewajiban moral
semua makhluk hidup cerdas untuk bertindak mengikuti prinsip ini
dan menepiskan semua gagasan serta tata perilaku umum yang ada
sebelumnya dan berbahaya. Oleh sebab itu, dimungkinkan, dan
bahkan kadang kala diperlukan, untuk menjadi seorang moralis yang
230
bersemangat, sambil menolak segala bentuk moralitas tradisional.
Oleh sebab itu, tidaklah kebetulan jika masa matematika juga
merupakan masa pornografi. Hubungan antara kedua bentuk
pemikiran ini lebih dekat daripada yang terlihat. Dalam satu hal, para
pelaku pornografi abad ke-18, sebagai manifestasi logika dan ilmu
pengetahuan yang baik, terobsesi dengan angka-angka dan ketepatan
geometris hingga jangkauan yang secara tidak sengaja menggelikan.
Obsesi ini muncul ke permukaan tidak lama kemudian dalam karya-
karya marquis de Sade. Hubungan-hubungan seks fiksi yang dingin
yang ditulisnya kadang kala disertai perintah-perintah keras untuk
“ekstra dua atau tiga penis” atau, lebih jelas lagi, “tolong pesankan
pesta seks ini, dong.”7
Hingga sejauh ini, pornografi juga terhubung secara rumit dengan
kemunculan kelas pemikir baru, para libertin, yang terang-terangan
ateis dan merasa skeptis terhadap semua kepercayaan lain yang sudah
tertanam seperti kekuasaan monarki yang absolut. Konteks awal istilah
libertin merujuk pada seorang humanis radikal dan pemikir bebas.
Para ‘libertin’ terkemuka di masa pemerintahan Louis XIV seperti
M. de Vauban dan Pierre de Boisguillebert, dianggap merupakan
keturunan spiritual dari Rabelais, Montaigne atau bahkan Boccaccio.
Namun saat Louis wafat, sebab mendapatkan serangan tanpa henti
dari para pemikir religius canggih seperti Pascal dan Bossuet, istilah
libertin digunakan sebagai penghinaan.
Memang sulit untuk mempertahankan dengan hormat gelar-
gelar seperti The Nun in Her Nightdress (‘Biarawati yang Mengenakan
Pakaian Tidurnya’) atau John the Fucker, Debauched (‘John si Keparat,
Amoral’). Jejak buku-buku semacam itu sering kali begitu tepat dalam
hal bahasa maupun niatnya. Contohnya yaitu ‘À Anconne, chez la
veuve Grosse-Motte’ atau ‘At Incunt, at the house of the big-cunted
widow’ atau ‘Di Incunt, di rumah janda bervagina besar’ merupakan
alamat fiksi yang paling populer dan terkenal. Namun, libertin (atau
seben