Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 7


 ensi kota 

dan aktivitasnya yang selalu bergerak tanpa henti.

Guillaume kerap ditemani Gaultier-Garguille dan Turlupin 

sebagai trio komedian. Ketiganya pernah bekerja di Faubourg Saint-

Laurent sebagai pembuat roti—sebuah keahlian yang secara misterius 

diasosiasikan dengan seniman jalanan (tradisi ini tiba di Paris dari 

Midi). Geng komedi bahkan sempat menikmati perlindungan 

kerajaan, hingga Gros Guillaume membuat marah para hakim akibat 

satu lelucon yang terlalu berlebihan. Ia meninggal dunia, kelaparan 

dan tanpa keriangan, di penjara. Ketiganya dikuburkan di Saint-

Sauveur, gereja pelindung para seniman jalanan Paris.

Para seniman jalanan lainnya menikmati nasib yang lebih baik. 

Mereka termasuk ahli trik tiga kartu yang legendaris, Maître Gonin, 

yang kelihaiannya bermain kartu atau piala membuatnya terkenal, 

dikagumi bahkan oleh keluarga kerajaan, yang mengenali ketangkasan 

manuver serupa pada menteri luar negeri mereka (‘Maître Gonin’ 

belakangan menjadi salah satu julukan yang populer diberikan pada 

Richelieu yang terkenal licin). Dua pesaing terbesar Gros Guillaume 

yaitu  Tabarin si badut dan tuannya Mondor, yang bekerja di Pont-

Neuf selama 10 tahun (antara 1620-1630) seperti Guillaume. Tabarin 

terkenal dalam sketsa di mana ia memerankan seorang kikuk yang 

bodoh atau seorang hipokondria (yakin bahwa dirinya sakit walaupun 


195


sebenarnya tidak—penerj.) (atau keduanya di saat yang sama) yang 

mengganggu Mondor, yang berpakaian seperti dokter atau ilmuwan 

lainnya, yang menjawabnya dengan omong kosong yang sungguh-

sungguh dan menghibur. Pertunjukan lainnya menampilkan Tabarin 

sebagai seorang idiot yang mudah ditipu. Tak satu pun dari hal ini 

yang mencegahnya mempraktikkan profesi lain sebagai pembuat dan 

penjual berbagai jenis obat-obatan, yang ia lakukan secara penuh 

semangat di antara sketsa. Tabarin dianggap sebagai orang pertama 

menciptakan jeda iklan komersial—secara rutin ia akan berhenti 

untuk menjelaskan secara mendetail kelebihan sebuah produk atau 

lainnya—dan juga menginspirasi pertunjukan komedi Les Fourberies 

de Scapin karya Molière (‘Penipu dari Scapin’) pada 1671—yang 

mengisahkan seorang pelayan laki-laki penuh tipu daya serta amoral. 

Aksi Tabarin berakhir saat ia menambahkan sentuhan pornografi 

ringan dalam karyanya, yang segera memicu ditutupnya aksi tersebut 

oleh pemerintah kota (pornografi, kendati pada umumnya dinikmati, 

namun dulu dan juga sekarang dianggap sebagai bentuk hiburan yang 

bersifat pribadi).

Pont-Neuf yaitu  tempat di mana coupe-bourses dan tireurs de 

laine berkeliaran dan berkembang. Kedua sisi jalan dipenuhi oleh para 

penadah, pelacur, penghibur, penjual obat keliling, dan penipu yang 

tujuan utamanya yaitu  mengganggu pejalan kaki yang menuju ke rue 

Dauphine, jalan yang baru saja dibuat yang menuju jantung Tepi Kiri, 

atau ke pasar dan dermaga-dermaga di Tepi Kanan. Tambahan baru 

dan bersemangat pada kehidupan jalanan Paris di bawah kekuasaan 

Louis XIII digambarkan dalam sebuah lagu, ‘Les Filouteries du Pont-

Neuf ’ (‘Penipu dari Pont-Neuf ’), yang segera termasuk dalam memori 

lagu rakyat kota yang sudah cukup kaya.

Kau, tempat pertemuan penjual obat keliling,

Penipu, pelacur,

O Pont-Neuf, teater jalanan!

Penjual salep dan supositoria,

Rumah bagi para pencabut gigi, penjual lap, pedagang 

buku, tukang pamer,

Para penyanyi lagu-lagu baru,

Para germo, penyilet tas,

Orang-orang sok pintar dan para ahli keahlian kotor.5



196

Pont-Neuf juga menjadi kuali bagi aktivitas antipemerintah, 

antikerajaan, dan antiagama. Sebagian besar diekspresikan dalam 

kriminalitas dan pengembaraan, namun semangat kehidupan yang 

sesungguhnya di tingkat jalanan dapat ditemukan dalam satire cerdas 

para penghibur dan kata-kata cepat dari para penjual keliling. Kualitas 

subversif yang alamiah ini akan segera bersekutu pada tujuan politik. 

Pont-Neuf yaitu , sebagai contohnya, tempat Paul de Gondi, yang saat 

itu belum dikenal sebagai Kardinal Rets dan keponakan dari Uskup 

Agung Paris, datang pada 1648 untuk mengumpulkan massa guna 

melawan pemerintahan absolut Louis XIV dan Giulo Mazarin yang 

lihai, penasihat utama raja.

Pemicu amarah Gondi yaitu  penangkapan Pierre Broussel, 

anggota oposisi Mazarin paling vokal di parlemen dan seorang lawan 

kuat bagi kebijakan fiskal pembawa bencana yang dilakukan oleh 

pemerintah untuk mendukung perang tak berguna melawan Jerman 

dan Spanyol. Parisian sewajarnya marah atas pemborosan ini dan 

tidaklah sulit bagi Gondi untuk menemukan pendengar simpatik yang 

di antaranya para pemukim jalanan dan penjahat kelas teri di Pont-

Neuf. Respons pertama warga, yang menjadi marah oleh pidato Gondi, 

yaitu  melancarkan pemberontakan, memasang barikade-barikade di 

rue de l’Arbre-Sec dan kemudian di sepenjuru kota. Dengan segera, 

terjadi sekitar seribu barikade, terbuat dari kayu, baja, dan batu-batu 

trotoar Paris. Atmosfernya amat meriah—kedai-kedai menyediakan 

minuman gratis dan daging kepada para pengunjuk rasa—namun 

dengan cepat dapat berubah menjadi kekerasan yang mengejutkan. 

Keluarga kerajaan berlindung di Palais-Royal dan, sesegera mungkin, 

pergi menuju tempat pengungsian di luar kota di Château de Rueil. 

Sementara itu, pemberontakan berubah menjadi revolusi penuh 

terhadap Kerajaan, saat pangeran de Condé, seorang pangeran muda 

oportunis dengan keahlian militer teruji, berangkat menuju kota.

Para perusuh disebut frondeurs, dari kata fronde, katapel yang 

digunakan anak jalanan Paris untuk menjepret pejalan kaki yang kaya. 

Katapel ini pula yang digunakan para perusuh untuk menghancurkan 

jendela-jendela Mazarin, dan revolusi itu dengan segera dikenal 

dengan nama ‘La Fronde’. Sebenarnya ada  dua pemberontakan 

yang dikenal dengan nama ini. Yang pertama, terjadi pada tahun 


197


1648, yaitu  ‘Fronde des Parlements’ dan utamanya yaitu  reaksi 

terhadap pajak yang dikenakan oleh Mazarin. Kedua, yang sebenarnya 

serangkaian kerusuhan kecil di sepenjuru Prancis yang berlangsung 

dari tahun 1651 hingga 1653, dikenal sebagai ‘Fronde des Princes’ 

dan hanya terpusat pada pertaruhan lawan untuk takhta kerajaan. 

Keduanya diprovokasi oleh kemuakan terhadap kebijakan Raja yang 

tidak bijaksana. Namun tidak terjadi gerakan revolusioner skala 

besar, khususnya sebab  tidaklah mungkin menerapkan keterpaduan 

apa pun terhadap apa yang pada intinya yaitu  sebuah pertunjukan 

amarah tidak tertib alih-alih program revolusioner. Gerakan ‘Fronde’ 

yang pertama dan kedua ditiru di wilayah pedalaman dan di kota-kota 

provinsi namun sama-sama tak memiliki koordinasi. Terlihat pula 

bahwa Gondi, yang kemarahan revolusionernya menghilang dengan 

janji posisi kardinal, lebih mencintai masalah daripada keadilan sosial. 

Esprit frondeur (‘kecerdikan katapel’), yang bermula dari kehidupan 

jalanan di Pont-Neuf yang baru saja dibangun di awal abad ke-17, kini 

telah menjadi bagian cerita rakyat Paris.



198


Pendahuluan:  Otopsi  terh


199


BAGIAN EMPAT

Roma Baru                         

dan Sodom Lama

1670 – 1799

Palermo memiliki Etna;

Paris, la Pensée.

Victor Hugo,

Littérature et philosophie mêlées, 1834

Parisian yang Baik meminum semua,

memakan semua, menelan semua.

Louis-Sébastien Mercier,

Le Tableau de Paris, 1782 – 1788


adap Seorang Pelacur  Tua



200

Pemandangan Paris, seniman tak dikenal, abad ke-17


201


20 

Kemegahan dan Penderitaan

Penggunaan istilah le grand siècle (‘abad hebat’) masih 

diperdebatkan. Ekspresi ini pertama kali digunakan oleh para 

sejarawan Prancis pada abad ke-19 untuk mendeskripsikan periode 

yang dimulai dan diakhiri dengan kekuasaan satu orang yaitu Louis XIV 

yang naik takhta pada 1643 dan memerintah Prancis hingga wafatnya 

pada 1715. Louis mengambil alih kendali tunggal atas pemerintahan 

sesudah  wafatnya Mazarin, penasihat dan menteri utamanya, pada 

1661. Ini yaitu  periode dominasi budaya dan politik Prancis yang 

menghasilkan supremasi Prancis yang hampir tanpa tanding di 

daratan utama Eropa selama dua ratus tahun. Dominasi ini hanya 

berakhir dengan kapitulasi Prancis kepada Jerman di bawah pimpinan 

Bismarck pada 1871. Orang-orang yang tidak setuju berargumentasi 

bahwa istilah ‘abad hebat’ hanya benar-benar bisa diberikan pada abad 

ke-18. Inilah masa berkurangnya kekuasaan kerajaan selain benar-

benar mengubah wajah Prancis dan Eropa. Ini yaitu  periode saat , 

sebagaimana Michelet menyebutnya (saat membaca Rousseau), “hal-

hal mulai benar-benar terjadi,” saat  agama dipaksa untuk mundur 

atas nama Logika dan tatanan lama mulai berantakan.1

Sebaliknya, sebagian besar abad ke-17 yaitu  masa yang mem-

bingungkan dan berantakan, saat  Prancis masih terikat dalam 

konflik-konflik religius lama dan pada umumnya tidak menyadari 

potensi atau takdir politiknya. Bagi banyak sejarawan yang memper-

hatikan pergerakan Kiri abad ke-20, grand siècle paling baik hanyalah 

ilusi kekuatan budaya dan paling buruk yaitu  mitos kebesaran yang 

masih meracuni politik kelembagaan Prancis.

Walaupun demikian, sejak pertengahan abad ke-17 dan seterusnya 

tidak dapat diragukan tentang adanya fakta bahwa Paris secara efektif 




202

merupakan ibukota politik, mode dan seni Eropa. Masyarakat kelas 

atas di Roma dan Wina mengikuti tata krama, pakaian dan bahkan 

cara berbicara Parisian (untuk menjadi Parisian yang baik, dipandang 

elegan untuk sedapat mungkin selalu berhati-hati dan ironis). 

Sepertinya, hanya Inggris yang dingin yang tidak peduli dengan 

mantra yang disebarkan oleh kota ke seluruh benua.

Perpolitikan Paris memang lebih asing bagi orang Inggris daripada 

adibusana Paris. Ini yaitu  masa saat  kebijakan dalam dan luar 

negeri Prancis, yang semuanya menyebar dari Paris, didominasi oleh 

pengejaran atas la glorie—kata yang dalam konteks ini tidak hanya 

berarti ‘kejayaan’ atau ‘keagungan’ tetapi juga takdir yang diberikan 

oleh Tuhan. Hal ini juga tecermin dalam kesusastraan periode ini. 

Kesuksesan militer memang penting, tetapi begitu pula kemegahan 

istana dan negara yang membuat kemenangan ini. Raja, paling sedikit 

untuk sementara waktu, dianggap memiliki kekuatan yang hampir 

seperti manusia super: absolutisme yaitu  bentuk pemerintahan 

paling sempurna. Bagi para warga kota Paris abad ke-17, ‘abad hebat’ 

terutama dicirikan oleh menyatunya pemerintahan dan monarki ke 

dalam satu kesatuan yang hampir tidak bisa dipisahkan. Raja berdiri 

sebagai inkarnasi negara itu sendiri dan perwakilan Tuhan di bumi.

Manifestasi fisik yang paling jelas dari kepercayaan politik ini 

terlihat dalam bentuk gapura-gapura kemenangan berupa bangunan 

lengkung di jantung kota yaitu di Porte Saint-Martin dan Porte Saint-

Denis, gerbang-gerbang tol lama, pada 1670. Gapura ini dibangun 

oleh Louis XIV untuk mengenang kemenangan-kemenangannya 

di luar negeri. Pada saat yang sama, Paris tidak lagi menghadapi 

ancaman pengepungan yang serius. Perbentengan di sekeliling kota 

akhirnya dihilangkan, menjadi jalan-jalan yang akan menjadi bulevar 

pertama di kota (kata boulevard dalam bahasa Prancis berasal dari 

kata ‘perbentengan’ yang berasal dari kata bahasa Jerman ‘bollwerk’). 

Porte Saint-Denis memiliki signifikansi historis khusus sebagai pintu 

gerbang kerajaan menuju Paris (ironisnya, penguasa terakhir yang 

melaluinya yaitu  Ratu Victoria dalam kunjungannya ke ‘pameran 

dunia’ pada 1855).2

Model bagi kota Paris, dalam bentuk dan misi, yaitu  warisan 

Romawi-nya. Para penulis dari periode ini melakukan apa pun yang 


203


sebisa mereka untuk menekankan pada asal-usul kuno Paris dan misi-

misinya sebagai kota klasik yang terlahir kembali. Sesuai dengan takdir 

yang konon berasal dari Tuhan ini maka seni, kesusastraan dan ilmu 

pengetahuan, sebagai representasi kebesaran Prancis, pada akhirnya 

semua berada di bawah kendali negara. Negara juga mengawasi 

tulisan-tulisan subversif atau ‘bersifat skandal’ yang bertentangan 

atau melanggar batas-batas yang telah dibuatnya sebagai bagian dari 

program negara untuk membuat masyarakat yang baru dan lebih 

baik. Namun, meski berada di dalam kontrol negara, pergeseran 

dalam kerangka kerja kekuatan legislatif dan religius juga disamai oleh 

dihasilkannya sejumlah generasi seni dan sastra luar biasa yang datang 

ke atau berasal dari Paris dan di sana menemukan penonton yang siap 

serta berkelas yang mengapresiasi kecerdikan, subversi, melankolis 

dan kecemerlangan mereka.

Model ekspresi paling populer yaitu  teater: Bentuk seni 

yang, bahkan di tangan para mahaguru comédien seperti Molière, 

mengonfirmasi pandangan yang ada bahwa kehidupan budaya Paris 

yaitu  tontonan tanpa banding di Eropa. Para penonton berduyun-

duyun untuk melihat sandiwaranya berdampingan dengan sandiwara-

sandiwara yang dibuat oleh Pierre Corneille dan Jean Racine. Karya-

karya mereka sering kali dibantai dalam jurnal sastra Le Mercure galant 

tetapi Parisian masih datang dalam jumlah ratusan untuk menonton, 

minum, terlibat dalam perkelahian, menjemput lawan jenis atau 

mengolok-olok para aktor, selain menyerap kebudayaan. Comédie 

Française dibentuk secara formal pada 1680, tetapi para pemainnya, 

yang termasuk Molière, sudah lama menjadi favorit keluarga kerajaan 

dan publik. Mereka sering menampilkan sandiwara di Palais-Royal 

dan kemudian di Théâtre Guénégaud di dekat Pont-Neuf. Louis 

XIV berpandangan sopan dan kadang kala melakukan upaya untuk 

melakukan penyensoran, terutama terhadap pertunjukan lawak Italia 

yang menggunakan kata-kata vulgar dan kasar, tetapi upayanya tidak 

efektif dan umumnya diacuhkan. 

Bahkan malam di teater dianggap mengecewakan jika tidak 

mengandung sensasi berbahaya, bahkan erotis, bagi kelas-kelas yang 

lebih kaya. Parterre, atau lubang, di semua teater sangat dikenal akan 

bahaya dan populasinya yang terdiri atas para pelayan dan prajurit 



204

mabuk. Ini yaitu  sumber rangsangan dan hiburan bagi orang 

kaya Paris yang sering kali mengambil tempat duduk di panggung 

untuk menyaksikan para penonton sekaligus pertunjukan. Seorang 

penonton pada 1673 terkenal sebab  mencoba membakar habis 

sebuah teater. Pada 1690-an, teater-teater dipenuhi oleh para prajurit 

yang sedang cuti atau baru saja dibebastugaskan dari medan tempur, 

dan holiganisme mencapai puncak keidiotan serta teror yang baru. 

Pada suatu malam di Comédie Française, penampilan sebuah tragedi 

Racinian yang terlalu suram dihentikan oleh tingkah laku aneh seekor 

anjing Great Dane yang dibawa ke teater oleh seorang marquis. Para 

penonton mendorong sang anjing untuk melolong pada para aktor 

sebelum sandiwara dihentikan. Dua aristokrat ditahan sekitar satu atau 

dua jam sesudah  pertunjukan sebab  memukuli seorang kusir kereta. 

Alasan mereka yaitu  “tidak mendapatkan waktu menyenangkan 

yang cukup di Comédie Française.”3

Kekerasan acak semacam ini juga menjadi pengingat bahwa kota 

Paris sebenarnya masih kotor, terjangkiti penyakit, tempat yang baik 

untuk ditusuk atau diperkosa, atau untuk kelaparan hingga mati. Jika 

Paris yaitu  pusat sejarah Eropa, sedikit sekali Parisian yang merasa 

bahwa mereka menduduki posisi yang istimewa dan unik.

Hobgoblin Kota Bagian Dalam

Mitos dan legenda prestise Paris memang jarang sampai ke lapisan 

terbawah dalam masyarakat. Louis XIV dan rakyatnya selalu men-

jaga jarak dari satu sama lain hingga akhirnya sang raja pindah ke 

Versailles. Sejak saat itu, bagi Parisian biasa, raja tidak lebih dari 

representasi negara secara abstrak. Kehidupan sehari-hari kota yang 

kotor dan berbahaya, jauh lebih menarik serta lebih penting daripada 

kehidupan di istana.

Tanda bahwa warga Paris meremehkan istana di Versailles yaitu  

tidak satu pun raja yang tinggal di sana pernah masuk ke cerita rakyat 

Paris. Sampai saat itu, para raja dipuji atau disatirkan dalam lagu, 

satire atau ungkapan Parisian. Dengan istana di Versailles, Parisian 

menganggap raja menjadi tidak relevan. Status ini sangat berbeda 


205


dengan ambisi Louis pada awalnya, yaitu menjadikan ibukota sebagai 

basis politik dan budayanya, menyatukan raja, negara dan kota. 

Louis XIV naik takhta pada usia lima tahun dengan ibunya, Anne 

dari Austria, sebagai wali raja dan tumbuh besar di bawah arahan 

Mazarin. saat  penasihatnya yang lihai itu meninggal pada 1661, ia 

mengambil kekuasaan penuh pada usia dua puluh tiga tahun. Ia yakin 

bahwa sudah menjadi takdir dari Tuhan baginya untuk memimpin 

Prancis dan Eropa. Ini yaitu  pemuda yang sama yang, sepuluh tahun 

sebelumnya menurut mitos populer, telah menunggang kuda dengan 

cepat sejauh enam mil (sekitar 9,7 km) untuk kembali dari perburuan 

dan menerobos masuk ke Palais de Justice saat  mendengar bahwa 

parlement telah mengadakan pertemuan tanpa izinnya. Tanpa ragu, 

dan diduga sambil memecutkan cambuknya, ia menyatakan: “Aku 

yaitu  Negara!”

Perilaku semacam ini sepenuhnya sesuai dengan kecintaan Louis 

kepada pertunjukan dan tontonan. Ia dijuluki Raja Matahari yang 

sesuai dengan emblem di perisai yang ia kenakan saat  berparade 

keliling kota sebagai bagian dari pawai yang diadakan untuk 

merayakan kelahiran putra pertamanya. Namun, meski sepertinya ia 

populer di kalangan rakyatnya pada tahap ini, Louis sudah mencurigai 

Parisian; sejak kecil ia menghabiskan sesedikit mungkin waktunya di 

kota. Segera sesudah  ia bisa, ia pindah secara permanen ke Versailles, 

tempat dirinya merasa aman dan bisa membangun istana yang men-

cerminkan apa yang ia anggap sebagai takdirnya yang mulia. Ia 

cukup ahli dalam berburu dan melakukannya sesering mungkin. Ia 

merancang istana dan lingkungan sekitarnya sebagai estat yang tertata 

rapi dan sangat rasional, sangat bertolak belakang dengan jalan-jalan 

yang tidak teratur tetapi semarak di ibukota yang tidak jauh letaknya. 

Ia hanya akan kembali ke Paris sebanyak dua puluh lima kali lagi 

sepanjang sekitar empat puluh tahun selanjutnya.

Ketidaksukaan Louis kepada penduduk Paris terutama dipicu 

oleh pemberontakan Fronde. Ia juga didorong oleh rasa statusnya 

sendiri yang jaya dan mewaspadai kontak dengan rakyat atau orang 

terdekat lain yang dapat menyaingi posisinya sendiri yang terkemuka. 

Salah satunya yaitu  Nicolas Fouquet, mantan pengawas keuangan 

yang kurang ajar dan arogan yang menganggap diri sebagai perdana 



206

menteri sesudah  wafatnya Mazarin. Fouguet membuat kesalahan fatal 

dengan mengundang raja menghadiri jamuan makan mewah yang 

dilanjutkan dengan sandiwara terbaru karya Molière dengan diterangi 

oleh obor. Sandiwara ini dipanggungkan langsung oleh sang penulis 

sandiwara hebat tersebut. Rumah besar Fouquet begitu megah dan 

mengalahkan kediaman raja sendiri dalam hal kemewahan dan 

pameran kekayaan. Louis begitu marah sebab  hal itu dan menunggu 

selama tiga minggu sebelum membuat Fouquet ditangkap atas 

tuduhan mengada-ada yaitu penggelapan dan pengkhianatan serta 

menuduhnya sebagai pelaku pornografi (konon Fouquet bersama 

Madame de Maintenon yaitu  penulis L’École des filles, ‘Sekolah Gadis’. 

Ini yaitu  rebusan pedas erotika lesbian yang tampil di semua salon 

terbaik di Paris). Pria ini juga menjadi pahlawan di jalanan Paris, yang 

menjadi alasan tambahan bagi Louis untuk menjauhkannya dari kota 

dengan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup bagi Fouguet 

di Bastille.

Sementara itu Jean-Baptiste Colbert, mantan sekretaris istana dan 

asisten Fouquet sendiri, mengambil alih posisi Mazarin. Ia seorang 

tokoh yang dingin dan penuh perhitungan (dijuluki ‘le Nord’ oleh 

Madame de Sévigné, seorang saksi mata yang bermata tajam dan hampir 

selalu bisa diandalkan tentang kehidupan istana) dan melaksanakan 

berbagai strateginya tanpa ampun. Rencana terbesar Colbert yaitu  

kembali memperluas Paris dan membangunnya lebih baik daripada 

sebelumnya, sehingga akhirnya mengalahkan Roma sebagai ibukota 

kebudayaan Eropa. Ia mencurahkan waktu dan energinya bagi seni, 

mendirikan akademi-akademi, membangun perpustakaannya sendiri 

dan mendorong publikasi ilmiah seperti Journal des savants. Di atas 

semuanya, Colbert sangat memercayai takdir Prancis sebagai bangsa 

besar yang akan memimpin Eropa. Namun, perencanaannya yang 

saksama dirusak oleh perang-perang tak berkesudahan yang dilakukan 

Louis. Perang tersebut secara berkala mengosongkan perbendaharaan 

dan membuat marah warga Paris, yang membayarnya dalam bentuk 

pajak. Seperti Louis sendiri, Colbert semakin terpisah dari Paris dan 

pada akhirnya dibenci oleh penduduknya.

Di kalangan mereka sendiri, Parisian mencatat bahwa seorang 

hobglobin seram, yang disebut ‘Pria Merah kecil’, kembali terlihat 


207


menghantui Tuileries dan Louvre. Penampakan ini diatribusikan 

pada campuran akrab antara takhayul rakyat dan semangat 

pemberontakan—‘Pria Merah kecil’ dianggap menjadi pertanda bagi 

kematian sebuah rezim—dan oleh sebab  itu kemunculannya ditakuti 

oleh orang-orang seperti Catherine de Médicis dan Richelieu. ‘Pria 

Merah kecil’ akan kembali muncul dalam sejarah Paris, menjelang 

terjadinya Revolusi pada 1789 dan pembantaian pada 1793. Legenda 

mengatakan bahwa kemunculan terakhirnya yaitu  di hadapan 

Napoleon sebelum terjadinya bencana di Mesir dan Rusia. saat  

ia muncul pada 1648, untuk memberitahukan tentang munculnya 

masalah Fronde, Parisian menyambutnya dan memercayai bahwa ia 

mewakili jiwa kota sebenarnya.4

Masyarakat yang Spektakuler

Masa klasisisme dan kehebatan juga merupakan masa ironi dan 

ketidakpedulian. Mayat seorang korban pembunuhan di Pont-Neuf 

(pemandangan yang cukup umum di kota) dengan hati-hati dilangkahi 

oleh pria atau wanita terhormat mana pun yang berpikiran waras dan 

modis. Dengan keletihan kosong yang sama, mereka juga mengabaikan 

tangisan seorang bayi kelaparan atau cul-de-jatte (‘pengemis tak 

bertangan’—Pont-Neuf yaitu  markas besar favorit golongan orang 

semacam ini) saat  mereka mungkin sedang memanggil sebuah 

haquet—kereta kuda bentuk baru yang dapat disewa, yang diciptakan 

untuk melewati jalan-jalan berlumpur.

Penampilan yaitu  segalanya. Bahkan di tahun-tahun awal masa 

ini, jauh sebelum kota diperindah dengan benar, sebuah gaya baru 

muncul, yaitu untuk mencium tangan dengan sikap pamer sebesar 

mungkin. Praktik ini, disebut baise-mains (‘mencium tangan’ atau 

‘hubungan badan menggunakan tangan (hand-fucking)’—makna 

ganda bagi baiser (ciuman) di masa itu sama artinya dengan di masa 

kini). Secara mengejutkan, praktik ini paling banyak dilakukan 

di kalangan pria muda yang bersikap kewanita-wanitaan. Mereka 

melakukan ritual tersebut di jalan sesering mungkin. Pria-pria muda 

ini hampir selalu berutang sangat banyak dan secara flamboyan tidak 



208

memedulikan masalah itu: “Mais il n’est pas bon gentilhomme, qui ne 

doit rien à ce jourd’hui (Pria yang tidak bisa memiliki apa pun sekarang 

ini tidak bisa disebut pria terhormat),” tulis Claude d’Esternod dalam 

satire periode ini.5 Esternod sendiri yaitu  seorang pria terhormat 

sekaligus pencuri. Merampok baru saja menjadi olahraga modis 

bagi para pria muda yang bergaya dan berada yang minum-minum 

di kedai-kedai di sekitar Pont-Neuf dan sebagian Marais. Tujuannya 

yaitu  mencuri benda paling mahal—jubah, gaun, topi, dan dompet—

dan kemudian menyembunyikan diri dalam kerumunan. Lampu-

lampu jalan yang baru dan polisi yang kadang kala berpatroli biasanya 

menjadi penggentar bagi Esternod, tetapi ia masih mengagumi tipu 

daya dan keahlian yang dibutuhkan dalam ‘proyek mulia’ ini. Baik pria 

dan wanita sama-sama mengagumi pencuri jalanan paling berseni, 

seperti baron de Veillac dan chevalier d’Odrieu.

Bahaya nyata bagi para wanita di kota yaitu  penculikan, 

pemerkosaan, dan perkawinan paksa. Sungguh hal biasa bagi seorang 

gentilhomme yang tidak memiliki kekayaan untuk menculik seorang 

janda atau wanita muda dari sebuah keluarga kaya dan, di sebuah 

tempat terpencil di luar kota, menikahinya di bawah pengesahan 

seorang pendeta bayaran. Pendahuluan bagi aksi ini sering kali 

yaitu  pemerkosaan, yang menghancurkan sisa kehormatan wanita 

yang tidak beruntung ini. Praktik ini diterima secara luas di kalangan 

aristokrat. Para ayah dari para pengantin wanita yang diculik ini 

biasanya memberikan sejumlah mas kawin. Walaupun pernikahan 

ini pada prinsipnya yaitu  upaya mencari uang, anehnya banyak 

perkawinan yang berkembang dari awal yang tidak menjanjikan ini.

***

Walaupun kehidupan kota bersifat penuh gejolak, Paris berubah 

bentuk untuk mencerminkan pertumbuhan keyakinan publik. Hal 

ini paling terlihat pada dekade pertama abad ke-17 saat  rumah-

rumah terakhir abad pertengahan sudah runtuh atau dihancurkan. 

Untuk pertama kalinya, organisasi kehidupan di kota direncanakan 

menurut logika keuangan dan perdagangan alih-alih kehendak raja 

atau kekacauan acak urbanisme abad pertengahan.


209


Paris memang berkembang dalam banyak cara. Lampu-lampu jalan 

pertama memang baru muncul pada 1667, tetapi pada saat itu jalan-

jalan telah diperlebar dan cahaya sekarang menerangi jalan-jalan kota 

dan jembatan-jembatan tertentu di waktu fajar. Di waktu malam kota 

masih berbahaya, tetapi dalam waktu beberapa tahun kepala polisi, 

Nicolas-Gabriel de La Reynie, telah membuat jalan-jalan lebih aman, 

walaupun belum sepenuhnya bebas dari para bandit dan pencuri. 

Anak buah Reynie memberikan hukuman keras kepada siapa pun 

yang merusak lentera-lentera jalanan atau mengganggu rencananya 

dalam mewujudkan keamanan di kota. Ia melarang pelaksanaan 

duel dan tidak seorang pun, bahkan gentilhomme paling terkemuka, 

diizinkan untuk membawa senjata ke dalam teater.

Poster-poster muncul untuk pertama kalinya, mengiklankan 

pekan-pekan raya publik dan pertemuan-pertemuan politik. Surat 

kabar pertama, La Gazette, mulai diterbitkan pada 1630-an dan 

segera muncul secara berkala dengan berita-berita dari semua ibukota 

Eropa. Parisian berkerumun untuk melihat para pengunjung dari 

tempat-tempat yang jauh, memenuhi jalan untuk sekilas melihat duta 

besar Turki, budak-budak yang ditangkap dari Senegal atau seorang 

Moor bernama Matheo Lopez—seorang Muslim berkulit hitam dari 

Maroko.

Seorang politisi bernama Jean-Jacques Rounuard de Villayer, yang 

merasa lelah mengutus para pelayan untuk mengirim pesan dan uang ke 

seantero kota yang bertambah luas, memunculkan ide layanan pos dan 

kotak-kotak pos mulai bermunculan di kawasan-kawasan kediaman 

orang kaya di kota. Sebelumnya, telah muncul sistem transportasi 

publik yang dijalankan dengan benar untuk pertama kalinya. Ini yaitu  

kereta kuda yang bisa disewa oleh beberapa penduduk kota sekaligus 

dan disebut carrosse. Kereta kuda ini diciptakan oleh seorang tukang 

kayu bermental bisnis bernama Nicolas Sauvage di sekitar tahun 1654. 

Pada 1660-an, lebih dari dua puluh kereta kuda semacam ini secara 

berkala dapat ditemukan berjajar menunggu penyewa di gereja Saint-

Fiacre (sesudah  itu kereta kuda ini dijuluki fiacre). Sekitar satu dekade 

kemudian, mengikuti daftar perjalanan yang disusun oleh filsuf dan 

ahli matematika Blaise Pascal, Parisian bisa bepergian dengan nyaman 

dari Palais de Luxembourg ke Pont-Neuf ke Louvre dan kembali lagi 



210

cukup dengan membayar 5 sous.

Profesi dan kelas sekarang dikelompokkan di berbagai bagian 

distrik kota dan muncul gagasan membuat lingkungan yang terdiri 

atas para individu yang berpikiran sama, bahkan jika gagasan bersikap 

baik terhadap tetangga di saat itu maupun sekarang yaitu  gagasan 

yang asing. Istilah quartier mulai digunakan secara umum untuk 

mendeskripsikan daerah-daerah seperti ini di dalam kota. Cukup 

banyak uang yang diinvestasikan, terutama di Marais dan Île Saint-

Louis (sebelumnya diabaikan dan tidak memiliki jembatan), dan 

para arsitek saling bertarung untuk menciptakan rumah-rumah 

tempat tinggal yang indah dan juga praktis. Mereka mulai meniru 

cita-cita Renaisans yaitu negara kota Italia dengan jalan-jalan yang 

dihiasi oleh deretan tiang penopang atap dan piazza-piazza (alun-

alun) terbuka. Ini yaitu  era batu, dan rumah-rumah juga sering kali 

lebih kokoh daripada rumah Italia yang menjadi contohnya. Terjadi 

pula demokrasi dalam batas tertentu: kaum borjuis Paris bertekad 

untuk tidak tertinggal dari kehidupan kota yang elegan dan memulai 

pembangunan rumah-rumah yang disebut pavillion. Rumah ini hanya 

sedikit kalah megah daripada rumah-rumah besar yang disebut hôtel 

yang menjadi mode di kalangan aristokrasi perkotaan.

Rumah-rumah di daerah pusat kota sekarang juga dibangun secara 

horizontal dan bukan vertikal sementara jalan-jalan dan lapangan-

lapangan dibangun di sekelilingnya. Jalan dan lapangan itu sendiri 

dikitari oleh arkade (gang beratap) dan jalan raya, yang ideal untuk 

berjalan-jalan atau menampilkan mode terbaru. Istilah flanner 

(‘berkelana tanpa tujuan’) tiba di Paris dari Normandia. Ini yaitu  

deskripsi sempurna bagi kemalasan elegan sebagai kegiatan pura-

pura yang dilakukan oleh begitu banyak pemuda sebagai tujuan utama 

mereka di kota. Sebagaimana akan kita lihat, flâneur akan menjadi 

figur umum di abad ke-19 dan ke-20. Kultus kemalasan dalam periode 

ini yaitu  tanggapan semi-aristokrasi terhadap tuntutan manfaat dari 

pekerjaan dan industri. Dengan demikian, ironisnya, flâneur akan 

menjadi elemen kunci dalam mendefinisikan modernitas. Namun 

pada abad ke-17, ia (dan selalu seorang pria) yaitu  tokoh yang akrab 

dalam lanskap Paris, berjalan secara acak dalam mengejar kesenangan 

seksual atau alkohol. saat  kota berkembang dan menjadi semakin 


211


padat sepanjang abad ini, lanskap tersebut sepertinya tumbuh semakin 

kompleks dan beragam dalam hitungan hari.

Seni Kesenangan

Paris selalu menjadi medan peminum minuman keras. Lutetia telah 

terkenal di seantero dunia Romawi sebab  kebun-kebun anggur dan 

kedai-kedai minumnya sementara kota abad pertengahan ‘terkenal’ di 

seluruh dunia Kristen utara sebab  kualitas kedai-kedai ale serta begitu 

banyaknya anggur dan bir yang mereka tawarkan. Pada paruh kedua 

abad ke-17, hampir semua jalan di kota memiliki paling sedikit dua 

atau tiga kedai minum dengan berbagai harga dan kualitas. Walaupun 

di mata istana, Gereja dan polisi, tempat-tempat ini ilegal dan wadah 

potensial bagi kekacauan, namun bagi sebagian besar Parisian tempat-

tempat ini yaitu  kebutuhan pokok bagi kebutuhan bersosialisasi 

sehari-hari. Itulah tempat di mana orang-orang biasa datang untuk 

makan, minum, mencari seks atau perkelahian, pertengkaran, mem-

buat rencana dan berbaur dengan para tetangganya, yang masing-

masing lebih merasa sebagai bagian dari quartier daripada sebagai 

bagian dari Paris. Kedai-kedai minum juga sulit dikontrol dan diawasi 

secara efektif; kebejatan dan kemalasan yang dipromosikannya yaitu  

ancaman yang selalu ada bagi tatanan moral yang oleh para pendeta 

biasanya disebut sebagai ‘kota ini, paling Katolik’.

Dunia peminum yang riuh ini yaitu  ancaman nyata bagi tatanan 

sosial dalam konteks paling praktis: Itulah tempat di mana para 

penentang politik dan agama mendapat dukungan dan, dari saat 

lahirnya kota ini, pihak berwenang berulang kali melakukan intervensi 

untuk mengontrolnya. Pada 1350, raja Jean le Bon menetapkan harga 

anggur merah sebesar 10 denier per pint (sekitar setengah liter), 

anggur putih seharga 8 denier, dan memerintahkan bahwa anggur 

hanya bisa dijual oleh marchands da vin terdaftar. Upaya ini, dan 

upaya-upaya lainnya untuk mengontrol aliran alkohol ke dalam kota, 

nyaris tidak berpengaruh untuk menghentikan pertumbuhan budaya 

minum anarkis yang secara berkala menentang atau melemahkan 

otoritas resmi kota.



212

Kehidupan sehari-hari di kedai-kedai minum dan jalan-jalan 

belakang kota memberikan perbedaan kontras bagi keagungan steril 

Versailles selama pemerintahan Louis XIV. Sebagian dari mayoritas 

tempat minum terkenal saat itu sudah ada selama beberapa abad—lebih 

lama dari dinasti kerajaan mana pun. Sebagian dari tokoh terkemuka 

grand siècle dapat ditemukan sedang minum di tempat-tempat seperti 

Pomme de Pin (‘Cemara’) di sudut rue de la Cité. Tempat ini dahulu 

sering dikunjungi oleh Rabelais dan Villon dan sekarang menjadi 

tempat pertemuan rutin bagi Racine, Molière, Chapelle, dan Boileau. 

Dalam satu kesempatan, Boileau pernah begitu mabuk sehingga 

mengklaim bahwa ia harus mengubah namanya agar tidak dikenali.

Tempat minum terkenal lainnya dari periode ini termasuk La Corne 

(‘Trompet Pemburu’) di ujung Place Maubert, Le Berceau (‘Buaian’) di 

Pont-Saint-Michel, La Fosse aux Lions (‘Parit Singa’) di rue Pas-de-la-

Mule, Le Cormier Fleuri (‘Pohon Sorb sedang Mekar’) di dekat Saint-

Euxtache atau La Croix de Lorraine (‘Salib Lorraine’) di dekat Bastille. 

Nama-nama ini pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan 

panduan tentang atmosfer dan pengunjungnya yang sering kali 

membangkitkan kisah keindahan pedesaan atau signifikansi patriotik 

atau religius semu, atau permainan kata-kata (Au Lion d’Or, ‘[Di] 

Singa Emas’, juga berarti ‘au lit où on dort’, ‘tempat untuk tidur’, dan 

biasanya yaitu  rumah penginapan). Namun, makna dan realitasnya 

sering kali terpisah dengan cepat. Croix de Lorraine yang namanya 

bernuansa patriotis menjadi terkenal sebab  perkelahian antara para 

tawanan yang dibebaskan dari Bastille dengan para Musketeer atau 

pengawal raja yang sedang mabuk yang terkenal sebab  gemar minum 

minuman keras selain sebab  keberaniannya. Minum juga menjadi 

emblem patriotisme lokal: Anggur paling terkenal tidak hanya 

datang dari Burgundy atau Bordeaux, tetapi juga daerah Paris, dari 

Montmartre, Suresnes, atau Argenteuil.

Kafe-kafe pertama—tempat yang dikhususkan untuk menjual 

kopi dan bukan ale atau anggur—dibuka di kota pada 1660-an dan 

awalnya tidak terlalu sukses. Konsep ini dibawa ke Paris oleh dua 

orang Armenia bersaudara, Pascal dan Grégoire Alep, yang memiliki 

ide untuk mengkhususkan tempat minum mereka menjadi tempat 

menjual dan meminum minuman yang baru saja menjadi mode. Kafe 


213


sendiri yaitu  impor dari Timur yang, seperti croissant, tiba di Paris 

pasca-pengepungan Wina, saat  tentara Turki akhirnya dikalahkan 

dan diusir keluar dari Eropa. Parisian pada awalnya sangat mencurigai 

impor Oriental ini dan bahkan sangat berhati-hati (sebaliknya teh 

dari China, yang tiba pada 1636, segera sangat populer sejak pertama 

datang).

Namun, mayoritas Parisian sangat antusias terhadap makanan 

dan minuman dari Italia. Minuman sari lemon, minuman sari jeruk 

dan jus buah dingin sudah lama menjadi minuman yang akrab dalam 

kehidupan jalanan sejak periode Catherine de Médicis dan seterusnya. 

Oleh sebab  itu, tidak mengherankan jika kafe pertama yang benar-

benar berhasil di Paris dikelola oleh seorang Sisilia bernama Francesco 

Procopi. Café Procope menjual anggur, tetapi membanggakan kopi 

yang dijualnya dan menjadi tempat untuk berbicara secara wajar, 

jauh dari para pemabuk, pelacur dan penjudi di kedai-kedai minum 

tradisional. Kafe ini segera saja tersohor sebagai tempat minum-

kopi Pencerahan, menarik perhatian tokoh-tokoh seperti Voltaire, 

Rousseau, dan Jean-François Marmontel. sesudah  beberapa kali 

berubah alamat, kafe ini sekarang berdiri di rue de l‘Ancienne Comédie. 

Kafe ini menjual steak-frites yang harganya terlalu mahal kepada para 

turis dengan mengandalkan warisannya. Pada 1689, saat  pertama 

dibuka, kafe tidak lebih dari mode menarik yang, menurut perkiraan 

seorang pelawak, akan segera berlalu—kopi ketinggalan zaman, 

croissant dan semuanya—ke dalam ingatan seperti “bintang jatuh di 

malam tergelap.”6

Paris masih sangat miskin selama periode ekspansi ini dan Colbert 

kadang kala terpaksa harus mengirim makanan murah dari tempat-

tempat seperti Polandia dan dataran rendah Rhineland. Makanan 

pokok Parisian termiskin yaitu  kacang, roti dan herba. Bagi mereka 

yang tidak mampu membayar kesenangan baru dan eksotis dari 

café dan limonaidier, jalan-jalan masih dipenuhi oleh para bajingan, 

penyair, pelacur, dan pencuri, yang menyediakan parade harian dan 

(sejak dipasangnya lampu jalanan) parade malam. Mereka termasuk 

Vaulesard yang mengaku sebagai ‘ahli matematika’ dengan postur yang 

kurus dan kuyu (“tulang belulang berbalut kain compang-camping,” 

menurut penulis Marc de Maillet, yang juga merupakan orang biasa 



214

yang berbicara omong kosong dan sombong)7 yang terbiasa secara 

tiba-tiba mengucapkan puisi panjang lebar yang sulit dipahami.

Yang paling mengganggu, setidaknya bagi kelas kaya, yaitu  fakta 

bahwa Vaulesard juga dikenal sebagai seorang fanatik politik terkenal 

(atau orang gila potensial). Ia menghabiskan waktu berjam-jam 

melihat ke dalam rôtisserie dan restoran baru di sekitar rue Visconti 

dan rue de Buci untuk memelototi semua orang borjuis dan aristokrat 

yang bisa makan dengan kenyang tepat di hadapan ribuan warga kota 

yang kelaparan.8


215


21 

Bayang-Bayang dan Bau

Walaupun terus tumbuh pada paruh pertama abad ke-18, Paris 

secara fisik masih mirip dengan daerah pedalaman dan bahkan 

hutan belantara. Ladang-ladang barley tumbuh tidak lebih dari lima 

menit berjalan kaki dari barrière Saint-Jacques. Jalan-jalan berbatu 

di Faubourg Saint-Marcel menjadi jalan pedesaan penuh daun 

dalam waktu yang sama. Dalam memoarnya, Des Essarts, seorang 

pengacara Paris yang kaya dan sopan, mencatat betapa senangnya ia 

bisa melarikan diri dari kota dan menemukan dirinya, hanya sesudah  

berjalan kaki selama lima belas menit dari École Militaire, bersandar 

pada pagar sambil bercakap-cakap tentang urusan pedesaan sederhana 

dengan para petani bersahabat yang bagi mereka Paris yaitu  tempat 

sangat jauh yang jarang sekali dikunjungi.1 Jalan kerajaan menuju Paris 

sering sekali menakutkan bagi orang-orang daerah dan pedesaan. 

Anda dapat mendengar gemuruh kota lama sebelum bisa melihatnya. 

Ini yaitu  keajaiban dan teror bagi mereka yang menjalani hidup 

menurut ritme musim dan ladang yang lebih lembut: Paris penuh 

dengan semua suara, kebingungan, ketidakteraturan, dan kekerasan 

jiwa. Mereka yang melakukan perjalanan ke kota juga menghadapi 

risiko dirampok atau lebih buruk oleh para bandit bersenjata dan 

geng-geng bekas tentara yang berkeliaran menghantui rute itu.

Suara paling terkenal dari kota—yang juga dikenal oleh sebagian 

besar orang daerah—yaitu  para ‘pencanang’ Paris. Para pedagang 

kaki lima ini sudah lama menjadi bagian dari cerita rakyat Paris. Sejak 

awal periode abad pertengahan dan seterusnya, Parisian telah dihibur 

oleh berbagai permainan kata, puisi, dan lagu dari para pedagang kaki 

lima.2 Pada awal 1700-an, pengelompokan sosial dari para pedagang 

kaki lima distratifikasikan secara saksama sebagaimana bagian lainnya 




216

dalam masyarakat Paris. Para penjual brendi (mereka menjualnya per 

gelas kepada para tukang yang kedinginan dan lesu dalam perjalanan 

mereka untuk bekerja), dan penjual kopi menikmati prestise khusus 

selama periode ini. Para penjual ikan, yang biasanya wanita, secara 

tradisional memiliki status rendah, walaupun Parisian mencintai 

makanan laut (yang dibawa ke kota lebih cepat dari bahan makanan 

impor lainnya dan biasanya tiba dari pesisir dalam waktu satu atau 

dua hari). Kuli panggul, kusir kereta kuda, pelacur, pemabuk, prajurit, 

dan tukang obat semuanya berkontribusi bagi suara jalanan yang 

tanpa henti.

Di atas semua hiruk-pikuk ini, para pencanang dari Hôtel de Ville 

meneriakkan perintah kota misalnya untuk menghindar dari sungai 

yang beku atau berhati-hati pada pencuri. Semuanya ini diumumkan di 

alun-alun utama atau di dermaga dan selalu diiringi suara genderang. 

Hari diukur menurut bunyi bel, dari gereja-gereja atau menara-

menara jam di Hôtel de Ville, tempat Minerva memegang lambang 

kota di tangannya, atau di stasiun pemompaan La Samaritaine, yang 

terbawa hingga ujung seberang Pont-Neuf. Parisian dari kelas pekerja 

segera menjadi terbiasa, bahkan menyesuaikan diri, dengan teriakan, 

pertengkaran, dengkuran, suara kentut, dan serdawa yang menembus 

dinding tipis bangunan-bangunan baru yang murah. Parisian terkenal 

gemar berteriak atau menjerit jika terprovokasi walaupun sedikit. 

Sudah menjadi kebiasaan aristokrat, dan orang borjuis yang meniru 

mereka, untuk menurunkan suara guna membedakan diri mereka 

dari kelas-kelas bawah. Semua orang di Paris, tanpa memedulikan 

posisinya di masyarakat, terbiasa mencium bau badan, makanan, 

kotoran manusia, kopi, binatang, dan lumpur jalanan dari kota yang 

meluas dengan cepat ini.

Panorama

Dalam pencarian akan ketepatan dan keteraturan di dalam kota 

sendiri, para perencana dan ahli geografi Paris selama periode ini 

berupaya menghasilkan banyak peta kota. Antara akhir abad ke-17 dan 

Revolusi 1789 telah dibuat lebih dari seratus peta. Ini yaitu  jumlah 

yang tidak pernah ada sebelumnya. Namun, meski para pembuat peta 


217


yang paling teliti dan serius telah berupaya sebaik mungkin, semua 

peta tersebut secara konsisten tidak akurat.

Alasan pertamanya yaitu  dalam gambar mereka para pembuat 

peta secara sengaja melebih-lebihkan lebar jalan-jalan kota untuk 

memamerkan tampak muka dari bangunan-bangunan yang ada. 

Faktanya, sebagian besar jalan di Paris pada periode ini tidak lebih 

dari empat setengah meter lebarnya dan sering kali lebih sempit. Jika 

jalan ini dilapisi dengan batu, jalan tersebut miring ke arah selokan air. 

Hak menggunakan jalan oleh kereta-kereta kuda di jalan-jalan seperti 

ini biasanya diselesaikan dengan jalan kekerasan, biasanya dengan 

ujung pedang.

Alasan kedua mengapa pembuatan peta merupakan teknik yang 

sulit dan tidak presisi yaitu  hanya sebab  kota tumbuh dalam laju 

yang begitu cepat, secara berkala meluas ke daerah pedalaman, yang 

tidak mungkin dipetakan.

Di jantung kota, ledakan pembangunan yang mendampingi 

pemerintahan Louis XIV telah membuat jalan-jalan semakin padat dan 

lebih sulit ditembus daripada sebelumnya. Insinyur Edmé Verniquet 

membuat peta kota pertama yang benar-benar akurat antara 1785 dan 

1790. Ia telah bekerja di tengah malam, mengukur dan memetakan 

jalan-jalan dengan mata yang sangat awas. Namun, kehidupan nyata 

di jalanan ini, menurut kesimpulan sang insinyur, pada akhirnya tidak 

dikenal oleh ilmu pengetahuan.3 Bagaimanapun juga, pembuatan peta 

yaitu  seni yang mulia dan bermartabat (sebagaimana ditunjukkan 

dalam Bab 13), yang memetakan tidak hanya masa kini tetapi juga 

meninggalkan tandanya sendiri dalam pembuatan kota masa depan.

Namun, meski Parisian di awal abad ke-17 tidak memiliki visi 

panorama, mereka masih bisa melihat tanda-tanda perubahan dan 

kemungkinan pelapukan. Salah satu simbol paling jelas dari akhir 

‘abad hebat’ bagi banyak orang yaitu  gapura kemenangan yang 

tidak selesai di Place du Trône (sekarang Place de la Nation), yang 

pada akhirnya diruntuhkan pada 1716. Pada awalnya, Louis XIV 

telah memerintahkan pembangunan lima porte semacam ini untuk 

mengelilingi kota; hanya dua yang pernah diselesaikan, di Saint-Denis 

dan Saint-Martin.

Namun demikian, ada  urusan-urusan lain yang lebih penting 



218

di tahun-tahun awal abad ini. Sungai Seine masih menjadi aliran 

darah kehidupan Paris, tetapi secara berkala juga membawa penyakit 

ke dalam kota. Disentri dan tipus biasanya dibawa masuk dari dusun-

dusun lebih kecil di sepanjang sungai Seine, dan masuk ke kota di 

ujung timur. Selain itu, Paris juga rentan terhadap cuaca buruk dan 

musim dingin parah yang pada 1709 telah membuat sungai tidak dapat 

dilayari selama berminggu-minggu. Sedikit sekali gandum yang dapat 

dibawa ke dalam kota. saat  harga roti naik menjadi 2 sous sepotong 

yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan, letnan-jenderal polisi, 

René d’Argenson, terpaksa menugaskan pasukannya untuk menjaga 

toko-toko roti.

Selama periode ini, sungai Seine sering kali mengalami kemacetan. 

Anggur dan gandum diangkut ke dalam kota menggunakan kapal-

kapal kecil yang disebut flette atau, paling umum, dalam konvoi-konvoi 

besar perahu sepanjang 16 hingga 18 meter. Konvoi ini harus ditarik 

oleh dua lusin kuda. Sudah biasa terjadi bahwa konvoi semacam itu 

dirampok atau perjalanannya dihambat oleh para pencuri.

Wafatnya raja pada 1715 tidak dipedulikan oleh Parisian yang 

sejak lama semakin bosan atau lelah melihat kultus yang terbentuk 

di sekelilingnya. Wajar saja jika pemakamannya suram; tetapi di 

sepanjang jalan-jalan tepat di luar kota, para petani dan Parisian 

minum, berdansa dan menyanyikan lagu-lagu cabul. Anak yang akan 

menjadi Louis XV, atas perintah pamannya Philippe, duc d’Orléans 

yaitu sang wali raja, pulang ke Paris dan menetap di Palais-Royal milik 

Richelieu.

“Ditandai oleh Lisensi”

Philippe dalam banyak hal sangat berlawanan dengan Roi Soleil 

yang menjadi tokoh keras dalam tahun-tahun terakhirnya. Ia cerdik 

dan mudah memesona. Ia menyenangi gosip, minuman keras dan 

seks. saat  mulai menjabat sebagai wali raja pada usia empat puluh 

tahun, ia dikatakan terlihat jauh lebih tua. Namun ia tidak populer di 

kalangan hierarki Katolik yang berbisik bahwa ia seorang libertin. Ini 

yaitu  istilah yang pertama kali digunakan untuk menjelaskan para 


219


pemikir bebas periode ini tetapi dengan cepat berubah arti menjadi 

pemangsa seksual yang rakus (lihat Bab 22).

Berkembang pula desas-desus bahwa Philippe telah menyetubuhi 

anak perempuannya sendiri. Sebuah cerita lain juga menyebutkan 

bahwa suatu saat , sesudah  kembali dari pesta di Palais de Luxembourg 

dalam keadaan lebih mabuk daripada biasanya (dua botol champagne 

yaitu  standar sarapan), Philippe berjalan ke arah kapten penjaganya, 

La Fare, dan memintanya untuk memotong tangan kanannya. 

“Dapatkah kau menciumnya?” racau sang wali raja. “‘Tangan ini busuk 

dan baunya tidak bisa kuhilangkan, dan aku tidak tahan lagi.” Sang 

kapten dengan lembut menuntunnya masuk ke kamar tidurnya. Ibu 

Phillipe tidak memercayai satu pun cerita semacam ini yang beredar 

di istana. Namun, ia memang pernah menegur putranya sebab  

meniduri para wanita mabuk jelek yang, menurutnya, bisa jadi yaitu  

lesbian.4 

Orang-orang yang sezaman dengannya juga tidak selalu bersikap 

baik kepada Philippe. Salah seorang yang memusuhinya yaitu  

Voltaire, yang pada titik ini masih mencintai kota dengan kegairahan 

seperti penduduk asli Paris (ia dilahirkan di sana pada 1694 dalam 

keluarga yang aslinya datang dari Poitou). Dalam banyak hal, setidaknya 

dalam tahapan ini dalam kariernya, Paris menampilkan semacam 

penyempurnaan bagi Voltaire sebagai tempat di mana ketegangan 

besar masa tersebut bertemu dalam konflik dan kontradiksi. Di atas 

semuanya, Paris menawarkan philosophe pandangan kursi terdepan 

terhadap pergerakan sejarah kepada Voltaire. Ia tidak terlalu antusias 

terhadap warga Paris, yang ia deskripsikan sebagai “sering kali tidak 

melakukan apa pun, selalu siap terlibat dalam urusan sia-sia, melibatkan 

diri dalam urusan yang sebenarnya bukan urusan mereka.” Nantinya, 

sesudah  diasingkan dari kota, ia memandang Paris dengan campuran 

rasa melankolis, kemarahan, penyesalan dan nostalgia mendalam dari 

Parisian yang diasingkan terhadap “bayang-bayang dan bau di jalan-

jalan.”5 Hal ini ditandai dalam era Philippe, yang dideskripsikan oleh 

Voltaire menggunakan istilah-istilah asam: “Inilah masa Kewalirajaan 

yang santai/Waktu yang bagus yang ditandai oleh lisensi.”6

Pada kenyataannya, Philippe yaitu  seorang yang bertutur kata 

sopan dan gemar membaca. Satu-satunya kelemahan nyata yang 



220

ia miliki saat  mulai menjabat yaitu  ia tidak memiliki banyak 

pengalaman tentang bagaimana memanfaatkan kekuasaan dan me-

mutar roda perpolitikan. Namun demikian, ia cukup cerdas untuk 

melihat bahwa kebijakan ekonomi yang sukses akan menjamin 

kelangsungan hidup monarki dan juga ibukota. Untuk mencapainya, 

ia menyelesaikan perang-perang yang telah dimulai oleh Louis XIV 

yang telah sering membuat negara ini bertekuk lutut. Ia membuka 

penjara-penjara, membebaskan para budak kapal dayung dan mulai 

membongkar banyak struktur semi-feodal yang masih berlaku di 

Paris dan di tempat-tempat lain.

Philippe juga bersikap optimis dan memiliki keyakinan relatif naif 

dalam prosesnya. Inilah penyebab terjadinya kesalahan besar yang 

dibuatnya dengan mengundang seorang Skotlandia bernama John 

Law ke Paris untuk memberinya saran tentang bagaimana mengelola 

Bank Kerajaan Prancis. Law memiliki reputasi sebagai pemikir 

finansial inovatif dan Philippe sangat menyenangi saran pertamanya 

untuk mendirikan sebuah ‘bank umum’ dengan negara sebagai 

pemegang saham utamanya. Kesuksesan awal ini mendorong raja 

dan para penasihatnya untuk memperluas bidang operasi ke tanah-

tanah kosong di Louisiana yang baru saja diperoleh (New Orleans 

diberi nama sesuai nama wali raja). Parisian berbondong-bondong 

memberikan uangnya dalam apa yang sepertinya yaitu  skema mudah 

menjadi-kaya-secepatnya.

Yang tak terhindarkan, gelembung akan meletus lebih cepat 

daripada perkiraan siapa pun. Banyak keluarga hancur serta terjadi 

banyak bunuh diri dan pembunuhan. Kaum borjuis Paris yang 

merasa sangat marah sebab  kehilangan modal mereka dalam skema 

piramida ceroboh ini kemudian membakar uang dan surat-surat 

saham di jalanan untuk memperlihatkan kemarahan mereka. John 

Law yaitu  seorang pengacara cerdik dari Edinburg tetapi sekarang 

Parisian menyebutnya ‘si orang Inggris yang jahat’. Secara diam-diam 

dan secepat mungkin, ia melarikan diri dari Paris. Ia hampir saja 

tertangkap oleh massa pengejarnya yang ingin main hakim sendiri. 

Kewalirajaan sendiri tidak pernah pulih dari kegagalan mahabesar ini. 

saat  Philippe wafat, konon bahwa salah satu binatang favoritnya, 

seekor anjing Great Dane, telah melompat ke atas jenazahnya yang 


221


masih terbaring di tempat tidur dan memakan jantungnya. Di kedai-

kedai minum dan kafe-kafe Paris, kejadian tersebut dianggap sebagai 

akhir yang menghibur dan sesuai bagi seorang wali raja bodoh dan 

amoral yang telah membuat bangkrut kota.7

Popularitas monarki tidak diperbaiki oleh penerus Philippe, Louis 

XV. Sosok yang sederhana ini tidak tertarik pada orang, buku ataupun 

perpolitikan. Namun, ia memiliki selera seksual yang besar. sesudah  

penasihat utamanya yaitu Kardinal Fleury wafat pada 1742, ia lebih 

sering diatur oleh hasrat dan gundiknya. Walaupun Philippe telah 

berusaha sekuat tenaga, monarki masih jauh terpisah dari penduduk 

kota. Jurang pemisah antara raja dengan rakyatnya bahkan akan 

semakin lebar di tahun-tahun berikutnya.

Kota Rahasia

Spekulasi liar di pasar internasional diiringi oleh antusiasme yang 

sama gilanya terhadap perjudian di jalan-jalan belakang Paris. Polisi 

dengan mudah menoleransi jeux de société yang populer di kalangan 

aristokrat dan orang-orang de qualité lainnya. Hal yang lebih tidak bisa 

ditoleransi, dan menjadi ancaman jelas bagi ketertiban sosial, yaitu  

penyebaran meja-meja judi ilegal yang meluas ke pelosok ibukota pada 

tahun-tahun awal abad ke-18. Tempat perjudian ini tetap bertahan 

hingga masa Napoleon. Salah satu tempat judi paling ‘terkenal’ berada 

di gang belakang Marais dan bernama L’Enfer (Neraka). Tempat ini 

terkenal sebab  kekejamannya yang menghancurkan banyak keluarga 

dari berbagai kelas. Laporan polisi dari periode ini juga mencatat 

bahwa sejumlah wanita berusia tertentu (“kemungkinan bekas 

pelacur,” demikian menurut salah satu sersan) “terlalu bersemangat” 

di meja judi ini dengan mengeluarkan uang yang lebih besar daripada 

pria untuk berjudi dan dihabiskan.8

Filsuf-politis Charles de Condat Montesquieu, yang selalu menjadi 

pengamat moralitas publik yang jeli dan bermulut tajam, menunjukkan 

bahwa banyak dari para wanita ini berjudi “untuk secara sengaja 

menghancurkan suami-suami mereka, dan bahwa mereka berasal dari 

berbagai usia, dari sangat muda hingga sudah tua bangka. Saya sering 



222

melihat sembilan atau sepuluh wanita di meja, menunjukkan rasa 

takut, harapan dan kemarahan dan sepertinya tidak pernah bisa merasa 

damai. Seorang suami yang ingin mengontrol istrinya dipandang 

sebagai pengganggu kesenangan publik.” Dalam pandangannya, 

wanita-wanita yang sama tidak segan-segan berhubungan seks 

dengan banyak pria. Salah seorang wanita seperti itu, yang tertangkap 

basah oleh suaminya sedang berdua di tempat tidur bersama pelayan 

putranya, mengeluarkan serangkaian makian kepada suaminya yang 

tertegun. “Apa yang kauharapkan, tuan?” teriaknya untuk membela 

diri. “saat  saya tidak bisa mendapatkan kesatria, saya mengambil 

pelayan ini.” Perjudian jelas sekali telah mendorong wanita menjadi 

gila, kata Montesquieu dengan muram, dan pada akhirnya akan 

mengarah pada pembunuhan.9

Hal lain yang lebih mengancam dan lebih seram, setidaknya di 

mata polisi dan otoritas publik lain, yaitu  pertumbuhan masyarakat-

masyarakat rahasia dan semi-rahasia di Paris. Dipercaya bahwa antara 

1700 dan 1750 lebih dari selusin sekte yang terafiliasi secara longgar 

dengan kultus freemansory didirikan di pusat kota. Para pengikut kultus 

ini, yang pada awalnya berasal dari kelas-kelas tukang dan tingkatan 

terbawah dalam kelas borjuis, percaya bahwa mereka memasuki 

misteri suci yang telah ada sebelum Banjir Nabi Nuh. Okultisme dan 

paganisme bukanlah hal baru di Paris—bahkan keduanya pernah, 

dan akan terus menjadi, vena terdalam dari pengetahuan sejarah di 

Paris—tetapi gerakan-gerakan ini menjadi ancaman sebab  secara 

eksplisit juga politis. Lebih tepatnya, secara diam-diam dan rahasia, 

mereka bertujuan untuk menduduki posisi-posisi kekuasaan nyata 

yang strategis di ibukota dan akhirnya menggantikan monarki itu 

sendiri. Oleh sebab nya, freemansory yang berada di luar kontrol 

pemerintah telah memberikan tanggapan politik langsung terhadap 

kekuasaan absolut.

Kuil Mason terpenting di Paris dibangun di rue Cadet, yang 

pada awal abad ke-18 masih disebut rue de la Voire (‘jalur air’). Ini 

yaitu  tempat yang terkenal sebab  bau yang begitu menyengat dari 

saluran-saluran air kotor yang mengalirkan air ke timur. Philippe, 

duc d’Orléans, membuat daerah ini menjadi lebih bergaya dengan 

membangun rumah pribadi di nomor 24. Jalan ini sekarang menjadi 


223


lokasi sebuah museum yang didedikasikan bagi artefak-artefak dan 

medali-medali yang berkaitan dengan sejarah panjang freemansory di 

Paris.

Walaupun statusnya semi-resmi, freemansory dalam waktu yang 

cukup lama yaitu  gerakan radikal di Paris dan bukan sebagai media 

autentik bagi transmisi spiritual sesuai klaimnya sebelumnya. Para 

Freemason secara tegas mendukung Komune pada 1870 dengan 

mengirimkan sejumlah delegasi untuk mengibarkan bendera-

bendera yang menyatakan ‘Cintailah Satu Sama Lain’ di titik-titik 

panas seperti Porte Maillot dan Porte Bineau. Beberapa Freemason 

lainnya mengangkat senjata dan akhirnya dieksekusi sesudah  Komune 

mengalami kekalahan.

Selama masa Pendudukan Jerman terhadap Paris sejak 1940 dan 

seterusnya, kantor-kantor di rue Cadet berada di bawah kontrol Jean 

Marquès-Rivière. Ia seorang kolaborator Nazi dan mengangkat dirinya 

sendiri sebagai ahli okultisme. Menjadi sinyal tindakan keadilan puitis 

bahwa seorang Freemason bernama Charles Boileau yang merupakan 

perwira dalam Pasukan Prancis Merdeka kemudian membebaskan 

kantor-kantor ini pada 1944. Ia juga merupakan seorang Komunis dan 

juga seorang Yahudi.



224

22 

Manifesto Porno

Selalu ada  tradisi menulis yang cabul atau sepenuhnya 

erotis yang kuat di Paris. Genre ini terutama berkembang sejak abad 

ke-12 dan seterusnya. Sejak saat itu, Parisian dari semua kelas sosial 

menjadi akrab dengan puisi-puisi humor seperti La Damoisele quie 

ne pooit oïr parler de foutre (‘Gadis yang Tidak Mau Mendengar 

Persetubuhan’) atau La Veuve (‘Sang Janda’). Para penulis puisi-

puisi ini sudah dilupakan atau anonim, tetapi kisahnya sendiri telah 

meresap ke dalam cerita rakyat Paris. Banyak dari puisi ini, seperti 

Le Chevalier qui fist parler les cons (‘Kesatria Yang Membuat Vagina 

Berbicara’), begitu dikagumi bukan hanya kandungannya yang cabul 

tetapi juga akan kecerdasannya yang canggih dan kurang ajar.1

Bahkan puisi di masa selanjutnya (yang ditulis oleh seorang 

Parisian bernama Garin pada abad ke-13) yaitu  inspirasi bagi kisah 

Les Bijoux indiscrets (‘Permata yang Tidak Bijaksana’, 1748) oleh Denis 

Diderot. Ini yaitu  kisah seorang raja yang memiliki sebuah cincin 

ajaib yang bisa membuat alat kelamin para wanita di istana dapat 

berbicara. Sebagai seorang manusia logika dan ilmu pengetahuan, 

seorang philosophe dan ateis, Diderot memutuskan bahwa ia memiliki 

kewajiban moral untuk menyerang segala bentuk takhayul, termasuk 

tentang kekuasaan raja. Les Bijoux indiscrets yaitu  alegori (kisah 

kiasan) tajam yang menyindir kehidupan di dalam istana Louis XV di 

Versailles yang penuh kebohongan, kepalsuan, dan sogok-menyogok. 

Tetapi kisah ini juga menjadi contoh baik tentang bagaimana 

popularitas tulisan erotis pada abad ke-18 ada  pada fakta bahwa 

kisah itu sering kali terang-terangan bersifat politis.

Paris sekarang memiliki fasilitas tercanggih untuk memproduksi 

dan mendistribusikan buku dan, yang terpenting, sebuah pasar 



225


pembaca terdidik dan semi-terdidik yang lapar akan pengetahuan, 

pencerahan, serta hiburan. Naiknya tingkat kemampuan membaca 

tidak selalu berarti naiknya kepemilikan buku, tetapi bahkan pelayan 

paling miskin bisa membaca surat kabar atau majalah milik tuannya 

di rumah atau di kafe. Dengan demikian membaca pornografi, baik di 

kafe maupun di rumah, yaitu  aktivitas yang terbuka bagi semua kelas 

masyarakat.

Toko-toko buku Paris yang baru dibuka pada awal abad ke-18 

yaitu  tempat yang berisik dan ramah. Sebagaimana dilaporkan oleh 

seorang komentator, sekelompok pembaca berdiri “seperti terpaku 

di sekitar rak buku; mereka mengganggu jalan penjaga toko, yang 

telah mengeluarkan semua kursinya untuk memaksa mereka berdiri; 

namun hal itu tidak menghentikan para pembaca untuk tinggal selama 

berjam-jam guna membaca buku, sibuk melihat pamflet serta membuat 

penilaian awal tentang nilai dan nasibnya.”2 Toko-toko buku paling 

terkenal bersifat modis dan berisikan seksualitas. Toko-toko paling 

‘terkenal’ yaitu  yang berada di lorong-lorong beratap Palais-Royal, 

yang menyediakan fokus bagi banyak cara berdandan secara intelek 

dan menggoda secara diam-diam di siang hari. Toko-toko tersebut 

termasuk toko seperti Librairie Pierre-Honoré-Antoine Pain. Buku-

buku yang paling laris dijualnya yaitu  buku seperti Le Parnasse des 

poètes satyriques (antologi puisi erotis), Thérèse Philosophe (pengantar 

seksualitas bagi gadis muda) atau Le’Enfant du bordel (‘Bocah dari 

Rumah bordil’) di mana tokoh utama wanitanya “dianugerahi klitoris 

yang akan membuat malu pergelangan kaki paling cantik di Prancis.”3

Banyak dari toko buku ini yang buka hingga larut malam, saat  

Palais-Royal dibanjiri oleh pelacur, orang berpakaian perlente dan 

berbagai macam petualang seksual. Bagi banyak pria dan wanita muda 

era abad ke-18 ini, membaca buku erotis diterangi cahaya lilin di salah 

satu toko buku ini sama dengan hidangan pembuka seksual, stimulan 

yang mempertajam fisik sebelum memasuki jalan-jalan gelap di Paris 

untuk mengejar pemuasan.



226

Dunia Bawah Tanah yang Bisa Membaca

Menyertai pertumbuhan membaca sebagai aktivitas yang modis 

datanglah para bouquiniste. Mereka yaitu  penjual buku yang lebih 

miskin dan lebih putus asa yang muncul pertama kalinya di Paris pada 

abad ke-16. Mereka menjual barang dagangannya di tempat terbuka 

di sepanjang Pont-Neuf. Pada awalnya mereka disebut estaleur 

(‘pedagang jalanan’) dan terkenal sebab  menjual pamflet-pamflet 

Protestan rahasia selama Perang Agama. Pihak berwenang berulang 

kali menangkap mereka sebagai pencuri atau subversif. Pada abad 

ke-18, mereka sudah cukup dihormati. Lapak-lapak mereka terutama 

sering dikunjungi oleh mahasiswa dan dikenal sebagai boekiniste atau 

bouquiniste (dari kata boekin atau ‘buku kecil’ dalam bahasa Flemish). 

Mereka juga menyebar sepanjang sungai Seine, menduduki posisi yang 

kurang-lebih sama seperti di masa kini. Pihak berwenang berulang 

kali membubarkan mereka. Tetapi, setiap gelombang masalah di 

Paris, mulai dari bencana kelaparan hingga kerusuhan Fronde, 

memberikan pasar yang siap berupa para pembaca Paris yang ingin 

membaca pamflet-pamflet rahasia yang mencela raja atau menyerang 

pemerintah yang sedang berkuasa. Pada 1732, kedua tepi sungai Seine 

dipenuhi oleh lebih dari 120 bouguiniste yang memenuhi kebutuhan 

Parisian akan perpolitikan dan pornografi.

Paris memang menjadi rumah bagi kesusastraan bawah tanah yang 

cukup besar selama periode ini. Sebagian besar dari kesusastraan ini 

berasal dari Amsterdam atau Brussels, tetapi cukup banyak juga yang 

berasal dari Paris sendiri dan mengejutkan para pembaca dengan 

catatan yang terperinci dan berpengetahuan luas tentang kehidupan 

di dalam kota. Politik (atau kadang kala tempat) dan erotika sering 

kali bergandengan. Pihak berwenang kota dan kerajaan menemukan 

bahwa mustahil untuk melacak apa yang telah dijual di sana dan 

kepada siapa. Jika buku tidak dijual di Palais-Royal, biasanya buku 

tersebut dapat ditemukan chez les bouquiniste; jika tidak, dapat dibeli 

dari para colporteur, penjual buku keliling dan juru tulis. Mereka tidak 

menetap di satu tempat seperti bouquiniste tetapi menjual barang-

barang mereka di seantero kota, di kafe-kafe, kedai-kedai minum, dan 

salon-salon.


227


Colporteur, seperti bouquiniste, memang merupakan kebutuhan 

pokok bagi kehidupan Parisian sejak abad ke-16. saat  itu, tingkat 

kemampuan membaca mengalami kenaikan dan membaca menjadi 

aktivitas sehari-hari dan bukan penanda elite istimewa. Colporteur 

pada dasarnya yaitu  penjual keliling, pedagang kaki lima yang 

selalu awas akan keberadaan pihak berwenang. Para colporteur dapat 

ditemukan di mayoritas pojok jalanan Paris sedang menjual buku 

menggunakan baki, dengan buku paling membakar atau seksual 

tersembunyi di bawah papier bleu. Sebagaimana diamati oleh seorang 

saksi mata kontemporer:

Para mata-mata polisi berperang melawan para colporteur, ras manusia 

yang menjual buku-buku bagus tersisa yang masih bisa dibaca orang di 

Prancis, yang oleh sebab nya dilarang. Mereka diperlakukan dengan 

sangat buruk; semua polisi memukuli orang-orang malang ini yang tidak 

tahu apa yang mereka jual dan akan menyembunyikan Alkitab di bawah 

jubah jika Letnan Polisi memutuskan untuk melarang Alkitab. Mereka 

dipenjara di Bastille sebab  menjual pamflet-pamflet konyol yang esok hari 

akan dilupakan.4

Parisian melahap segala macam bacaan dari para colporteur: buku-

buku tentang ilmu sihir, almanak, komedi (Les Adieux de Tabarin—

naskah yang disyairkan dari aksi penampil jalanan Tabarin yaitu  

buku terlaris), panduan karikatural ke Paris (le Déjenuner de la rapée—

secara harfiah ‘Makan Siang Parutan’—yaitu  versi skatologikal Paris), 

kamus bahasa slang atau panduan untuk kentut.

Publik juga menyukai fakta yang aneh atau sekadar mengerikan. 

Kejadian-kejadian yang dilaporkan di surat-surat kabar antara 1716 

dan 1717 termasuk, misalnya: pernikahan di gereja Saint-Eustache 

antara pengantin pria berusia seratus lima tahun dengan pengantin 

wanita berusia sembilan puluh lima tahun; terbaliknya sebuah perahu 

dan tenggelamnya para penumpang yang merupakan pencuci baju 

di sungai Seine yang membeku, tangan-tangan mereka menembus 

permukaan sementara badan mereka terperangkap di bawah; tubuh 

seorang gadis yang terikat ke sebuah tiang dan membeku hingga mati 

di dekat Saint-Denis; dan penemuan seorang gadis yang dipanggang 

di atas api di Faubourg Saint-Marceu, “besi pemanggang menembus 



228

kepalanya.”5 Namun, yang paling populer bagi semua kelas pembaca 

yaitu  bacaan-bacaan erotis yang menentang semua moralitas publik 

atas nama kebebasan.

Namun, sebagian besar pornografi awal sepenuhnya bersifat 

fungsional, baik sebagai buku panduan maupun hiburan. Buku-buku 

tersebut menyediakan alamat dan menu layanan di rumah-rumah 

bordil terkenal, seperti Le Gros Millan di rue du Beaujolais atau Le 

Grand Balcon di rue Croix-des-Petits-Champs. Genre ini segera 

menjadi kelas hiburan tersendiri dan cukup banyak menyia-nyiakan 

energi polisi untuk mengejar para pencetak, penerbit, dan pembaca 

karya yang dianggap anti-Kristen dan antisosial tetapi bagi mayoritas 

Parisian dianggap sebagai peningkat kualitas kehidupan seperti 

kesenangan-kesenangan lainnya.

Orang Cabul yang Lembut

Hubungan antara pornografi dengan politik yaitu  salah satu tradisi 

Paris tertua yang masih hidup di kota modern. Telah diperdebatkan 

bahwa penulisan erotis dari awal abad ke-18 yaitu  sumber bagi 

segala bentuk kebebasan politik dan artistik di masa selanjutnya di 

Paris—dari ‘Teror’ tahun 1789 yang seperti karnaval hingga festival 

revolusioner yang gembira pada 1968. Ini yaitu  pandangan direktur 

film dan artis porno ‘Ovidie’ sebagaimana dinyatakan dalam bukunya 

yang berjudul Porno Manifesto, sebuah polemik yang membela porno 

di mana ia mengajukan argumentasi bagi industri porno kontemporer 

dengan alasan bahwa industri tersebut mencerminkan keinginan 

bersifat Utopia.6

Dan inilah mengapa, di suatu pagi bulan September yang dingin, 

saya mengatur pertemuan untuk berbicara dengannya di sebuah kafe di 

dekat Saint-Denis, jantung norak industri seks Paris. Di atas semuanya, 

saya ingin menanyakan apa hubungan yang bisa dibuat antara tradisi-

tradisi kebebasan seksual tertua di Paris dengan pemandangan toko 

porno serba ada dan pertunjukan film porno singkat masa kini yang 

tak berperasaan.

Ovidie bertubuh kecil, ditindik dan mengenakan piama hitam 


229


dengan pandangan tajam seorang Maois junior. Ia mulai menjawab 

pertanyaan saya dengan mengutip para pemikir kontemporer Jean 

Baudrillard, Georges Bataille, dan Guy Debord, yang dalam cara-cara 

berbeda telah mengajukan argumentasi bahwa kebebasan total berarti 

kebebasan seksual total: dengan segala kesulitan yang ada oleh posisi 

ini (“Siapa yang kita setubuhi dan mengapa?” seperti kata Ovidie). 

Ia mengutip popularitas pornografi di Paris pra-Revolusi, sebelum 

menjelaskan gagasannya bahwa hal itu disebabkan oleh kebutuhan 

universal—jika ditempatkan di tangan orang yang tepat—“porno bisa 

membebaskan Anda.”

Ovidie kemudian menceritakan bagaimana ia sendiri menemukan 

pornografi di usia muda bersama saudara perempuannya. Ia 

mengatakan bahwa pornografi datang kepadanya sebagai pencerahan 

di usia yang masih muda. Pencerahan itu yaitu  pemahaman bahwa 

kejadian-kejadian fisik semata bisa menjadi sumber begitu banyak 

kesenangan dan kesedihan. Ia melanjutkan: pornografi tidak lebih 

dari sekadar janji kebahagiaan manusia. Eksploitasi fisik dan ekonomi 

yang tidak diragukan lagi terlibat dalam industri seks, menurut 

pandangannya, yaitu  salah hanya sebab  eksploitasi tersebut 

berkhianat dari kepercayaan asli ini yang relatif polos. Terutama 

eksploitasi wanita, menurutnya, yaitu  pengkhianatan terhadap 

tujuan asli pornografi abad ke-18 yang membebaskan. Filsafat egaliter 

asli inilah yang menurut klaim Ovidie telah ditangkapnya kembali 

dalam karyanya. Hal ini tidak mengecualikan pembayaran: bahkan 

sebaliknya. “Saya bersetubuh sebab  uang,” kata Ovidie kepada saya, 

“dan tentu saja hal itu membutuhkan penghormatan.”

Siapa pun pria atau wanita berpikiran logis dari abad ke-18 yang 

menghormati dirinya sendiri akan segera memahami argumentasi 

ini. Teori pemandu masa itu yaitu  bahwa fakta-fakta matematika 

atau ilmu pengetahuan alam yang bisa dibuktikan memberi bentuk 

pengetahuan yang lebih unggul daripada institusi monarki atau 

agama yang hierarkis. Lebih dari itu, sudah menjadi kewajiban moral 

semua makhluk hidup cerdas untuk bertindak mengikuti prinsip ini 

dan menepiskan semua gagasan serta tata perilaku umum yang ada 

sebelumnya dan berbahaya. Oleh sebab  itu, dimungkinkan, dan 

bahkan kadang kala diperlukan, untuk menjadi seorang moralis yang 



230

bersemangat, sambil menolak segala bentuk moralitas tradisional.

Oleh sebab  itu, tidaklah kebetulan jika masa matematika juga 

merupakan masa pornografi. Hubungan antara kedua bentuk 

pemikiran ini lebih dekat daripada yang terlihat. Dalam satu hal, para 

pelaku pornografi abad ke-18, sebagai manifestasi logika dan ilmu 

pengetahuan yang baik, terobsesi dengan angka-angka dan ketepatan 

geometris hingga jangkauan yang secara tidak sengaja menggelikan. 

Obsesi ini muncul ke permukaan tidak lama kemudian dalam karya-

karya marquis de Sade. Hubungan-hubungan seks fiksi yang dingin 

yang ditulisnya kadang kala disertai perintah-perintah keras untuk 

“ekstra dua atau tiga penis” atau, lebih jelas lagi, “tolong pesankan 

pesta seks ini, dong.”7

Hingga sejauh ini, pornografi juga terhubung secara rumit dengan 

kemunculan kelas pemikir baru, para libertin, yang terang-terangan 

ateis dan merasa skeptis terhadap semua kepercayaan lain yang sudah 

tertanam seperti kekuasaan monarki yang absolut. Konteks awal istilah 

libertin merujuk pada seorang humanis radikal dan pemikir bebas. 

Para ‘libertin’ terkemuka di masa pemerintahan Louis XIV seperti 

M. de Vauban dan Pierre de Boisguillebert, dianggap merupakan 

keturunan spiritual dari Rabelais, Montaigne atau bahkan Boccaccio. 

Namun saat Louis wafat, sebab  mendapatkan serangan tanpa henti 

dari para pemikir religius canggih seperti Pascal dan Bossuet, istilah 

libertin digunakan sebagai penghinaan.

Memang sulit untuk mempertahankan dengan hormat gelar-

gelar seperti The Nun in Her Nightdress (‘Biarawati yang Mengenakan 

Pakaian Tidurnya’) atau John the Fucker, Debauched (‘John si Keparat, 

Amoral’). Jejak buku-buku semacam itu sering kali begitu tepat dalam 

hal bahasa maupun niatnya. Contohnya yaitu  ‘À Anconne, chez la 

veuve Grosse-Motte’ atau ‘At Incunt, at the house of the big-cunted 

widow’ atau ‘Di Incunt, di rumah janda bervagina besar’ merupakan 

alamat fiksi yang paling populer dan terkenal. Namun, libertin (atau 

seben


Related Posts:

  • Paris Perancis 7 ensi kota dan aktivitasnya yang selalu bergerak tanpa henti.Guillaume kerap ditemani Gaultier-Garguille dan Turlupin sebagai trio komedian. Ketiganya pernah bekerja di Faubourg Saint-Laurent sebagai pembuat ro… Read More