juga lebih kejam
daripada yang berani dilakukan organisasi-organisasi sektarian
sebelumnya, dan secara aktif memprovokasi pemberontakan serta
peperangan di kalangan kelas yang lebih rendah. Liga ini berfungsi
sebagai kekuatan pengawas paramiliter, memprovokasi unjuk rasa
dan memimpin kerusuhan mematikan terhadap penganut Protestan.
Liga ini beranggotakan beberapa ribu orang namun, yang terpenting,
liga ini nyaris memperoleh dukungan penuh dari Parisian. Dalam
sebuah momen intervensi politik yang langka pada Mei 1588, Henri
161
berupaya membatasi popularitas Guise yang terus meningkat dengan
menempatkan para prajurit di jembatan-jembatan kota dan di beberapa
lokasi di Quartier Latin yang mungkin menjadi tempat munculnya
pemberontakan pro-Liga. Marah atas pembatasan kebebasan mereka,
warga Paris bangkit melakukan revolusi dan mendirikan barikade-
barikade di sekitar kota. Henri diam-diam menarik pasukannya dan
membiarkan badai mereda dengan sendirinya.
Di saat yang sama, lisensi duniawi di Paris melampaui batasan
semua agama, sosial, dan gender. Henri lebih menyukai seks
daripada politik dan membuat dirinya dikelilingi oleh pria-pria muda
yang kewanita-wanitaan—les mignons, atau ‘orang-orang manis
cilik’—yang memujanya, bersorak saat ia muncul di istana dengan
berpakaian sebagai seorang wanita, dan menjulukinya ‘Raja Sodom.’
Para mignons sendiri dikenal di seluruh Eropa atas gaya berpakaian
mereka yang berlebihan dan tingkah lakunya yang menggelikan.
Edmund White menggambarkan mereka sebagai “cukup biseksual
untuk berduel memperebutkan wanita” dan “cukup pemberani untuk
mempertahankan monarki saat ia diserang dalam pertempuran
agama.”1 Namun para mignons juga dibenci oleh orang biasa sebagai
perwakilan dari sistem politik yang mengalami kemunduran di mana
seks dan uang dapat membeli keistimewaan serta kekuasaan …
Henri III yaitu orang yang tak bisa diduga lagi kejam. Pelawaknya,
Foellet, misalnya dicambuk dan dikirim ke Bastille hanya sebab
mengatakan bahwa Paris berisikan orang miskin dan juga orang kaya.
Kebenaran yang sangat jelas dalam pernyataan ini dipandang sebagai
ancaman langsung terhadap raja. Sementara itu, seiring dengan
berjalannya abad dan kota menjadi semakin terasosiasi dengan
fanatisme serta pembunuhan, kata ‘Parisian’ itu sendiri telah menjadi
istilah penganiayaan di luar istana. Di daerah-daerah, bahkan ‘Parisian’
terkejam kerap kali diusir dari pintu-pintu gerbang kota sebagai orang
gila religius dan pembunuh potensial.
Kebudayaan yang Berlawanan
Pertanda yang paling terlihat dari kejompoan moral di kota yaitu
jumlah pelacur dan pengemis yang menyambut para pengunjung.
162
Bagi siapa pun yang tiba dari kota-kota yang lebih tertib yaitu Angers,
Rouen atau Dijon—masing-masing dengan populasi kelas-kelas
kriminalnya sendiri—gerombolan calo, pencuri, pengemis cacat,
pelacur anak, pemabuk, pelacur tak tahu malu dan bandit tentulah
tampak sangat mengejutkan. Guillebert de Metz mencatat bahwa
di pertengahan abad ke-15, ibukota memiliki 80.000 pengemis dari
populasi sebesar 250.000 jiwa. Data tersebut mungkin saja terlalu
dilebih-lebihkan, namun ada banyak insiden yang menandakan
bahwa pada pertengahan abad ke-16 dunia bawah tanah jauh lebih
besar dan lebih berbahaya daripada abad-abad sebelumnya dalam
sejarah kota.
Sebagian besar penadah dan pengembara yang berkumpul di
Paris pada dekade-dekade pertama abad itu merupakan prajurit
pengangguran, sering kali datang dari daerah pedalaman, yang
mendapati diri mereka terdampar di Paris tanpa keahlian dan terputus
dari latar belakang keluarga masing-masing. Seperti yang terjadi di
masa kekuasaan Villon, kejahatan yaitu satu-satunya pilihan untuk
bertahan hidup bagi pria-pria ini. Demikian pula, walaupun prostitusi
merupakan profesi yang semi-dihargai, pemerkosaan, hubungan
seks sedarah dan kehamilan di luar nikah amatlah tabu dan biasanya
menjadi alasan mengapa para wanita dan gadis-gadis berada di jalan,
menghidupi diri mereka sendiri dalam kelas bawah yang keras dan
didominasi oleh kaum pria.
Hal yang paling mengejutkan warga Paris yaitu kerap terjadinya
bentrokan publik antara anggota kelas bawah dengan para prajurit
bergaji yang menghabiskan uang dalam jumlah besar di kedai-kedai
minum atau kabaret-kabaret. Para prajurit reguler memihak rekan-
rekan mereka yang jatuh miskin pada 1536, saat banyak veteran
operasi militer ke Italia kembali ke Paris untuk menemukan bahwa
Kerajaan lupa membayar mereka. Sempat terjadi kerusuhan dengan
kekerasan dan Parisian terhormat berusaha menghindari bepergian
ke luar pada malam hari, atau berkeliaran di jembatan atau gang kecil
di siang hari sebab takut dirampok atau dibunuh.
Pada 1536, populasi penjahat telah membengkak yang menjadi-
kannya tak hanya gangguan tapi juga ancaman nyata bagi pemerintah
kota. Pada 1518, sekelompok kriminal menyerang penjara di Les
163
Halles dan membunuh petugas pengeksekusi; pada 1525, Port au Sel di
sungai Seine rusak dalam kerusuhan; pada 1534, sebuah geng jalanan
masuk secara paksa ke Louvre dan mencuri Bendera Raja.
Pemerintah ragu-ragu saat mengatasi masalah ini sebagai suatu
kejahatan sosial (pada 1554, Kantor Besar untuk Orang Miskin
dibentuk di Hôtel de Ville untuk membagikan makanan kepada
orang-orang yang kelaparan) atau kejahatan biasa (secara teknis tak
mungkin membedakan antara kemiskinan dan kejahatan: orang-
orang yang disangka memiliki kecenderungan kriminal dipenjara
di sebuah rumah sakit jiwa di Saint-Germain yang dijuluki sebagai
‘Rumah Kecil (Little House)’ oleh Parisian).
Pada saat inilah legenda atau berbagai legenda dari Cours des
Miracles (‘Lapangan Keajaiban’) muncul di Paris. Legenda ini
melibatkan tempat-tempat rahasia di kota di mana para pengemis,
penadah dan pencuri akan kembali pada malam hari ‘secara ajaib’
untuk melepaskan kesengsaraan mereka—kebutaan pura-pura,
amputasi, atau penyakit parah lainnya. Kemudian mereka akan
bergaduh dengan minum minuman keras, pelacur dan rekan-rekan
dalam kejahatan, semua ini di bawah pengawasan ‘Sang Raja Pencuri’.
Sang ‘raja’ ini pada masa François I disebut ‘Le Ragot’ (bentuk yang
diubah dari nama ini berasal dari istilah argot atau ‘slang’) atau
kemudian pada ‘Grand Coësre’ (‘Ketua Besar’). Peraturannya yaitu
untuk membayar persentase pendapatan harian kepada ‘raja’ (ini
disebut cracher dans le bassin, ‘meludah di baskom’); sisanya harus
dihabiskan saat matahari terbit dengan minum minuman keras atau
dengan pelacur. ‘Raja’ mengenakan sebuah topi wanita, sehelai seprai
robek dan membawa semacam tongkat kebesaran. Ini benar-benar
dunia yang telah dijungkirbalikkan.2
ada setidaknya belasan sekolah untuk perampokan dan
prostitusi yang tersebar di sepenjuru Paris. Menurut Henri Sauval,
sekolah semacam ini dapat ditemukan di sepanjang rue du Bac, rue
de Reuilly, rue de la Mortellerie, the Marché Saint Honoré, rue de
Tournelles, rue du Marsis, Faubourg Saint-Marcel, dan Butte Saint-
Roch. Sekolah yang paling ‘terkenal’ berada di sebelah apa yang kini
dikenal dengan nama Place du Caire, dekat rue de Damiette. Cour
yang didirikan pada abad ke-13 ini, dan dengan halaman yang bau,
164
hanya dapat dimasuki dari gang yang berliku-liku, merupakan model
dari Cour des Miracles yang terkenal dalam kisah Notre-Dame de Paris
karya Victor Hugo. Henri Sauval, yang telah membaca dan mendengar
cukup banyak tentang tempat ini untuk memunculkan rasa penasaran
yang tanpa pikir panjang, mengunjunginya bersama seorang
pemandu—dan boleh dibilang, Sauval menyerahkan nyawanya ke
tangan orang itu.
Halaman ini terletak di sebuah lapangan yang berukuran cukup besar dan
di dalam sebuah cul-de-sac yang bau. Untuk mencapainya Anda harus
menemukan jalannya melalui jalan-jalan kecil dan jorok, yang berputar-
putar ke segala arah; untuk mencapai lapangan itu, Anda harus menuruni
sebuah lereng yang cukup panjang dan tidak rata, saya melihat sebuah rumah
dari lumpur yang setengah terkubur, sangat tua dan busuk, berukuran tak
kurang dari 50 meter persegi, namun menampung lima puluh wanita yang
bertugas menjaga banyak sekali anak kecil, telanjang ataupun setengah
berpakaian. Saya diberi tahu bahwa lima ratus keluarga, bertumpuk satu
di atas yang lain, hidup di halaman itu. Dahulu ukurannya lebih besar: kini,
dipelihara oleh kemalasan, bertambah gemuk akibat perbanditan, dalam
keserakahan dan berbagai macam kejahatan dan perbuatan jahat. Di sana,
tanpa memiliki pikiran akan masa depan, masing-masing menikmati masa
kini dan memakan setiap malam dengan kesenangan yang telah diperoleh
dengan merepotkan orang lain dan bahkan kekerasan di siang hari; sebab
mereka yang tinggal di sana memperoleh pendapatan dengan merampok;
dan ini yaitu satu dari hukum paling mendasar dari cour des miracles
bahwa tak ada apa pun yang boleh disimpan untuk esok hari. Setiap orang
hidup dengan lisensi besar; yang bukan merupakan kepercayaan atau
hukum. Orang-orang yang tinggal di sana tak pernah mendengar soal
baptisme, pernikahan, dan sakramen...3
Cours des Miracles tak hanya beroperasi di bawah pimpinan mereka
sendiri, namun juga memiliki bahasa dan aturan main tersendiri,
membuat struktur kegiatan kriminal dalam suatu hierarki yang ketat.
Hal ini meliputi: Courtauds de Boutange, pengemis paruh waktu yang
hanya diperbolehkan bekerja di jalanan saat musim dingin; Capons,
yang bekerja di kabaret sebagai pencopet yang membawa pisau,
atau dengan beberapa rekan menarik perhatian pejalan kaki dengan
berpura-pura menjadi korban perampokan; Francs-mitoux, yang
165
memalsukan penyakit hingga mampu menipu dokter-dokter terbaik;
Hubains, yang memiliki sertifikat palsu yang menyatakan bahwa
mereka telah disembuhkan dari rabies oleh Saint Hubert dan kini harus
melakukan ziarah untuk berterima kasih atas bantuannya ini; Rifodés,
yang, dengan didampingi istri dan anak-anaknya, menyerahkan
sebuah sertifikat kepada Parisian tak waspada yang menyatakan bahwa
rumah mereka telah hangus terbakar; dan Sabouteux, yang menakut-
nakuti orang dengan serangan epilepsi palsu, atau kesurupan Setan,
berguling-guling di tanah, dengan mulut berbusa yang sebenarnya
hanya sabun.
Terjadi perdebatan sengit tentang apakah Cours des Miracles murni
rekaan kesusastraan. Menurut sejarawan André Rigaud, Henri Sauval
hampir dipastikan meminjam kisahnya dari seorang penulis bernama
Olivier Chéreau. Chéreau kemungkinan besar mengambilnya dari
seseorang bernama Péchon de Ruby, yang pertama kali menulis tentang
Cours des Miracles dalam karya berjudul La Vie généreuse des merceots,
gueux et bohémiens (‘Kehidupan Serba Berlebihan dari Para Penipu,
Bajingan dan Bohemia’), diterbitkan di Lyons pada 1596. Péchon de
Ruby mengklaim telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di jalan
mempelajari dan mendokumentasikan kehidupan karakter-karakter
ini, bahasa mereka, para santo pelindung dan hierarki terbalik dari
kehidupan profesional serta sosial mereka. Secara alamiah, gambaran
yang ia berikan bersifat simpatik dan memberikan pandangan yang
tajam ke dalam masyarakat mikro yang mencemooh semua bentuk
otoritas serta meremehkan uang sebagai perangkap hina. ‘Kehidupan
yang pemurah’ yaitu kebebasan yang ditemukan dengan cara
menghindari bekerja atau keterikatan pada lahan atau wilayah; dengan
cara ini, kaum Bohemia yaitu nenek moyang kasar dari kelompok-
kelompok anarkis yang akan muncul di kawasan yang sama di Paris
pada abad kesembilan belas, yang mengumumkan perang terhadap
pekerjaan, keluarga, dan agama.
Dengan cara yang sama, ruas jalan yang paling ‘terkenal’ pada
periode ini tetap bertahan selama berabad-abad. Sejak abad ke-15,
rue de la Grande Truanderie dan hubungannya dengan jalan yang
lebih kecil namun tak kalah buruk, rue de la Petite Truanderie, telah
dikenal sebagai coupe-gorges, gang penggorok leher di mana truants
166
(‘penjahat’) dari berbagai jenis mengklaim wilayah itu sebagai milik
mereka sendiri dan berada di luar hukum. Hanya ada sedikit perubahan
di bagian ini di pusat kota Paris: Pada suatu sore di akhir musim panas
di awal abad ke-21, saya menyaksikan, di tengah kerumunan Parisian
terhormat yang terlalu ketakutan untuk mengintervensi, saat dua
mucikari berwajah keras menyayat wajah seorang korban di salah satu
ruas jalan tersebut.
Bertatap Muka dengan Setan
Kehidupan Parisian di abad ke-16 memiliki mitos-mitosnya sendiri.
Salah satunya (seperti yang kita lihat di Bab 12) yaitu bahwa tanah
dari permakaman Saints-Innocents, sebuah lokasi yang cukup kecil di
pusat Tepi Kanan dan tidak lebih besar daripada lahan publik di kota,
memiliki kekuatan besar.
Bahkan jika ini benar adanya, pada akhir abad ke-16 permakaman
itu, yang sudah ada sejak sebelum masa Romawi, amatlah penuh.
Jasad manusia selalu digali kembali dan ditumpuk di rumah jenazah
jorok yang membatasi permakaman untuk memberi tempat pada
mereka yang baru saja wafat; pada ruas jalan di sekitar tempat itu,
yang seluruhnya merupakan pusat komersial dan permukiman tua,
sudah terbiasa dengan bau busuk kuat yang tidak dapat hilang bahkan
di musim dingin; di musim panas, orang dapat terjangkit penyakit
hanya dengan berjalan-jalan di sekitar rue Saint-Denis.
Tak kalah menakutkan yaitu desas-desus tentang praktik
satanisme yang dilakukan di gua-gua bawah tanah, rasa takut yang
sering dimanfaatkan banyak Parisian demi kepentingan sendiri.
Salah satunya yaitu César, yang tewas di penjara bawah tanah pada
1615 (diduga dicekik oleh Setan sendiri), dan yang memiliki profesi
menampakkan Setan pada sérapiens muda (slang terbalik pada
periode itu untuk parisiens), yang membayar uang cukup besar untuk
ditakuti-takuti.
“Aku menemukan sebuah tambang dalam yang berjarak sekitar
seperempat liga dari Paris, saat menuju Gentilly,” tulis César dalam
bukunya Confession pada 1615. “Apabila ada yang ingin melihat Setan,
167
aku akan membawanya ke sana, namun sebelum memasukinya ia
harus membayar kepadaku setidaknya 45 atau 50 pistol, kemudian
ia harus bersumpah agar tidak membicarakannya di kemudian hari,
tidak merasa takut, dan tidak berdoa kepada Dewa-dewa atau semi-
Ilahiah yang mungkin dapat mengganggu Setan.”
César memiliki enam orang rekan, yang berdandan sebagai orang
Liar. Mereka akan bersorak dan berteriak, menyalakan obor saat César
meracau, seolah-olah berkomat-kamit bahasa setan. Klimaksnya
yaitu kemunculan seekor kambing yang tak beruntung, sebagai
Setan itu sendiri, yang telah dicat warna merah tua dan dijamin
dapat membawa mimpi buruk bagi sang wisatawan di neraka seumur
hidupnya.4
168
17
Hari-Hari Buruk
Desas-desus dan legenda penampakan Setan di Paris tersebar
ke sepenjuru Prancis dan banyak orang pedalaman menghindari
Paris sebisa mereka. Desas-desus tentang Paris sebagai tempat tinggal
Setan kembali muncul pada abad ke-19, saat penulis-penulis seperti
Baudelaire, Pétrus Borel atau J.K. Huysmans merangkul penyebab
buruk Setan dengan nama pemberontakan bawah tanah dan revolusi
estetika. Namun teror yang diinspirasi oleh Setan pada abad ke-16
bersifat lebih mendalam dan tentunya telah dijustifikasi.
Ketakutan akan ilmu tenung, ilmu sihir, dan satanisme telah
menyebar ke penjuru Eropa selama periode ini, yang berpuncak
pada histeria pembakaran penyihir di abad ke-17. Ketakutan tersebut
merupakan hal umum bagi penganut Katolik maupun Protestan.
Di awal abad ke-16, Gereja telah menjadikan satanisme dan ilmu
sihir sebagai musuh resminya. Hal ini dinyatakan dalam Malleus
maleficarum (‘Palu Kejahatan’), buku pedoman mencari penyihir
yang diterbitkan oleh Dominikan pada 1486. Di Paris, hal ini menjadi
pengalih perhatian yang berguna dari isu-isu politik nyata yang tengah
dipertaruhkan—terkait faksi agama mana yang memiliki hak untuk
memerintah kota. Namun bagi sebagian besar orang di kedua pihak,
berbagai pembantaian yang saling dilakukan penganut Katolik dan
Protestan di Paris hanya dapat dijelaskan sebagai hasil kerja Setan.
Catherine de Médicis digambarkan sebagai perwakilan bumi dari
Setan dalam Les Tragiques (‘Orang yang Tragis’), puisi panjang dan
sangat berapi-api yang ditulis oleh Agrippa d’Aubigné dari kaum
Huguenot pada akhir 1500-an. Puisi ini bertujuan sebagai suatu
kiasan dari perang saudara yang berkobar di Prancis sejak tahun
1560-an yang berpusat pada pembantaian di Hari Santo Bartholomew.
169
Dalam puisi tersebut, Catherine dituding melakukan ilmu sihir, ilmu
setan, mengorbankan orang tak berdosa (ia memang digosipkan turut
mengikuti Misa hitam di Vincennes). Namun yang paling penting,
setidaknya dari pandangan teologi Calvinis, yaitu fakta bahwa
ia menginkarnasikan sebuah prinsip tentang perubahan konstan
(‘change en discord avec les elemens’) yang merupakan esensi sejati dari
kejahatan manusia. saat ia wafat pada tahun 1589 di usia 69 tahun,
Parisian bersumpah bahwa jika mereka dapat mengambil jasadnya
mereka akan melemparkan ke sungai Seine. Catherine cepat-cepat
dan secara sembarangan dimakamkan di Blois. Namun kematiannya,
meski tampak sangat pantas, tidak menandai berakhirnya penderitaan
Paris. Sebaliknya, kematian Catherine de Médicis merupakan awal
dari siklus pembunuhan lainnya.
Siklus ini diawali dengan pembunuhan Henri III pada tahun yang
sama. Pada saat itu, populasi Paris telah berada di bawah kendali
keluarga Guise dan Liga Katolik selama sekitar dua puluh tahun.
Parisian biasa membenci sang raja yang bersifat seperti wanita dan
cara hidupnya yang boros. sebab itu, tidaklah sulit bagi Liga untuk
secara rutin mengumpulkan warga agar turun ke jalan-jalan yang
melingkari istana. Sorbonne juga berada di luar kendali anggota
kerajaan dan secara efektif bertanggung jawab atas perubahan suasana
di kota, menentukan apa yang dianggap layak secara politik maupun
‘menyimpang dari agama’. Hal ini termasuk berdoa bagi kematian
sang raja dan kemenangan akhir bagi Liga. sesudah wafatnya Catherine
de Médicis, tampaknya seluruh Paris sedang mengorganisasi perang
melawan raja.
Liga Katolik dan Henri yaitu musuh mematikan hingga saat Henri
ditusuk oleh Jacques Clément, seorang biarawan di biara kuno dari
kelompok biarawan Jacobin di rue Saint-Honoré (para biarawan ini
disebut ‘Jacobin’ sebab rumah pertama mereka berada di rue Saint-
Jacques: nama itu kemudian dipindahkan ke klub politik dari Revolusi
1789, yang biasa bertemu di biara kuno dari ‘Jacobin’ pertama).
Clément telah dibujuk oleh Bourgoing, pendeta senior dari kesusteran
dan teman dekat keluarga Guise, bahwa malaikat akan turun dari
surga untuk membantunya membunuh raja, atau setidaknya ia akan
masuk surga sebagai seorang martir berjaya demi tujuan Katolik.
170
Clément pergi menemui raja di château-nya di Saint-Cloud, di barat
daya kota, pada Selasa 1 Agustus 1589 dengan alasan ia membawa
surat-surat penting dari para pemrotes yang dipenjarakan di Bastille.
Pada awalnya, ia tidak diizinkan masuk oleh pengawal namun saat
raja melihat biarawan itu berdebat dengan prajuritnya, raja meminta
Clément masuk, menyatakan dengan suara keras bahwa ia bukanlah
‘musuh para biarawan’ ataupun ia berusaha menghindari mereka.
Saat raja mulai membaca surat-surat yang dibawanya, Clément
mengeluarkan belati dan menghunjamkannya ke perut Henri. Sang
biarawan meninggalkan belati yang patah di dalam usus raja. “Aku
dibunuh oleh seorang biarawan jahat,” teriak sang raja. “Bunuh dia
sebelum ia membunuhku!”1
Kabar kematian Henri disambut gembira di Paris Katolik. Duchesse
de Montpensier—seorang tokoh ternama dalam Liga dan musuh
bebuyutan raja, dan yang telah mendorong Clément—memeluk
pembawa pesan yang menyampaikan kabar tersebut. “Ah, temanku,”
ia berkata, “apakah ini benar? Tiran yang jahat dan licik, apakah ia
benar-benar mati? Tuhan telah memberikan hadiah besar kepada
kita! Aku hanya marah pada satu hal: bahwa ia tidak mengetahui
sebelum kematiannya bahwa akulah yang menyuruh membunuhnya!”
Bersama dengan duchesse de Nemours, ia pergi ke jalan-jalan Paris,
berlari, menari dan berteriak keras dengan riang gembira: “Sang Tiran
sudah Mati! Kabar Gembira untuk Semua!”2 Mengumumkan bahwa
kematian raja harus dirayakan pita hijau yang ia bagikan ke sepenjuru
kota.
Sementara itu, duchesse de Nemours pergi ke gereja Les Cordeliers
dan meludah pada mayat raja. Lampu-lampu dinyalakan setiap
malam dalam perayaan di penjuru Paris sepanjang masa berkabung.
Di tingkat yang lebih politis, para pendeta menulis dan menerbitkan
apologia dan polemik yang mendukung Clément, atau menyebarkan
gambar dirinya di altar-altar seakan-akan sang biarawan yaitu santo
martir.
Sejenak, tampaknya Kerajaan akan jatuh ke tangan Charles de
Lorraine, duc de Mayenne, seorang anggota terpandang dari Liga
Katolik dan idola masyarakat Paris yang penuh semangat. Emosi
publik sudah memuncak oleh kabar-kabar tentang para penganut
171
Katolik yang terbunuh dan para pendeta yang menjadi martir di
London. Mayenne bersumpah akan mengosongkan Paris dari
penganut Protestan dan kaum loyalis yang mendukung Henri
III, mengembalikan kekuasaan Katolik murni ke takhta. Sejenak,
Mayenne cukup puas dengan mengambil alih kekuasaan gubernur di
kota. Namun ada perlawanan yang serius dan meyakinkan dari
Henri de Navarre, seorang Huguenot dari Gascony yang mengklaim
sebagai keturunan Louis IX dan telah disebut oleh Henri III sebagai
penerusnya. (Pernikahannya dengan Marguerite de Valois yaitu
pernikahan menentukan yang memicu Pembantaian pada Hari Santo
Bartholomew.)
Dalam waktu beberapa pekan pasca-pembunuhan raja, Henri
bergerak dari markasnya di selatan Normandia, di mana ia dapat
mengandalkan para sekutu untuk melawan Liga Katolik dan Dewan
Enam Belas-nya, suatu badan penguasa yang terdiri atas para
pendukung paus yang taat dan paling fanatik, yang kini mengendalikan
kota dengan erat. Henri menunggu selama musim dingin, mempelajari
semua gerakan masuk dan keluar dari Paris, menunggu hingga saat yang
tepat untuk mengambil alih kota. Serangan pertamanya dilancarkan
ke Ivry, hanya beberapa hari berjalan kaki dari ibukota. Namun saat
ini, Mayenne telah memperkuat pasukannya dengan bantuan Spanyol.
Dengan skala kekejaman yang baru, Henri menerobos mereka dan,
dengan sebagian besar pasukannya berhasil selamat, ia pun tiba di
pintu gerbang Paris pada Maret 1590. Pasukannya membakar lahan
pertanian di sekitar dan menunggu dengan tenang untuk apa yang
mereka antisipasi akan menjadi pengepungan singkat sebelum Henri
akhirnya memasuki kota dengan disambut hangat oleh populasi yang
bersyukur dan tunduk.
“Roti Madame de Montpensier”
Namun, realitasnya sungguh berbeda. Paris yaitu kota yang kaya dan
memiliki persediaan makanan yang memadai dan belum siap untuk
menyerah dengan mudah. Dua serangan pertama yang dilancarkan
Henri sangatlah lemah dan muram. Saat ia menyurvei kota dari
ketinggian Montmartre, konon masyarakat menertawakan keberanian
172
sekaligus kebodohannya.
Akan tetapi, Henri juga keras kepala. Menyadari bahwa kota itu
terisolasi secara politik maupun militer, ia bersiap-siap pada awal
Maret untuk melakukan pengepungan jangka panjang. Baginya,
sangatlah mudah untuk menaklukkan Saint-Germain-des-Prés dan
desa-desa di sekitar Montrouge, Issy serta Vaugirar. Wilayah yang
belum bisa direbutnya berada di dalam tembok-tembok Philippe-
Auguste dan dikendalikan oleh Liga. Henri dan para jenderalnya
berpikir bahwa pemerintahan ini tidak dapat bertahan lebih lama dari
6 bulan, bahkan jika mereka meyakini Tuhan memihak mereka.
Pada awalnya, anggota Liga tidak kesulitan mempertahankan
kendali mereka atas kekuasaan politik. Khotbah para pendeta dipenuhi
oleh propaganda anti-Protestan—Henri tak lebih buruk dari anti-
Kristus, demikian mereka mengklaim, yang datang untuk melancarkan
pembalasan atas Hari Santo Bartholomew dan menghancurkan kota.
Para penentang dan orang-orang yang diduga sebagai mata-mata
dilemparkan ke sungai Seine atau digantung di lapangan publik
untuk dimutilasi dan dipermalukan. Liga menciptakan milisia di
setiap quartier, beberapa di antaranya beranggotakan 3 ribu orang.
Sebagian kecil di antaranya tak memiliki keberanian untuk bertempur
namun lebih takut kepada para pendeta. Lebih sulit bagi Liga untuk
mengendalikan amarah dan keputusasaan sebuah populasi yang
perlahan mati kelaparan. Biara-biara, kesusteran-kesusteran, dan
gereja-gereja memang masih memiliki suplai makanan, namun pada
Juni sebagian besar kota mengalami kelaparan.
Sejumlah tanda awal kondisi ini sudah terlihat jelas. Hewan
peliharaan, kambing, kuda dan keledai, dijagal serta dijual di toko
daging dengan harga tinggi. Bahkan kucing dan anjing ditangkap oleh
pemerintah dan dipanggang di atas api unggun besar di alun-alun.
Dagingnya diberikan kepada warga kota miskin bersama sekerat roti.
Orang-orang kaya yang telah membeli pakaian bulu mahal sebagai
investasi di masa sulit menemukan bahwa pakaian ini juga disita
dan dimakan oleh sesama warga yang kelaparan. Ini lebih parah dari
kondisi terburuk yang dapat dihadapi oleh Parisian. Seorang saksi
mata yang juga anggota Liga melaporkan bahwa, dalam periode awal
pengepungan,
173
Warga miskin makan anjing, kucing, tikus, daun anggur serta tumbuhan
herba lainnya dan rerumputan. Di penjuru kota, yang dapat dilihat
hanyalah panci-panci berisi bubur mendidih yang diisi daging keledai
atau bagal. Bahkan kulit hewan-hewan yang dimasak ini turut dijual dan
disantap dengan nikmat. Di kedai minum dan kabaret, alih-alih anggur,
para pengunjung meminum ramuan dari tanaman herba yang pahit. Jika
roti putih untuk orang yang sakit dapat ditemukan, maka harganya akan
lebih dari satu écu per ponnya. Aku telah melihat dengan mataku sendiri,
orang miskin mengerumuni bangkai seekor anjing di parit di jalan, dan
yang lain memakan isi perut yang telah dibuang ke selokan, atau memakan
tikus got dan tikus rumah yang mati, atau otak dari anjing yang mati.3
Saat angka kematian mulai beranjak naik di awal musim panas,
jalan-jalan dipenuhi oleh tumpukan tinggi mayat yang membusuk.
Antara 150 hingga 200 mayat ditemukan setiap paginya. Kemudian,
munculah berbagai jenis penyakit—perut membengkak dari korban
busung lapar, baik yang hidup maupun yang mati, kini menjadi
pemandangan yang umum ditemukan di kota. Tak ada lagi nyanyian
dan parade untuk kepentingan Liga, hanya erangan dari orang-orang
yang sekarat dan yang mati. Sebuah delegasi warga miskin Paris
menyelinap keluar dari parit-parit kota untuk menemui Henri dan
memberi petisi untuk kebaikan hatinya. Tergerak oleh kondisi Parisian
yang kelaparan, ia memberi izin bagi sekitar 3.000 warga yang paling
parah untuk meninggalkan kota. Keesokan harinya, hampir 4.000
orang berusaha keluar dari Paris; sekitar 800 orang ditangkap oleh
pasukan Henri dan dipulangkan.
Kondisi dengan cepat kian memburuk. Warga yang miskin dan
kelaparan mulai menjarah permakaman di malam hari. Mereka mulai
menggali tulang dan menumbuknya menjadi debu, meyakini bahwa
debu ini sejenis tepung yang dapat dibuat menjadi roti. Warga yang
paling kelaparan memakan debu ini, yang mereka sebut ‘roti Madame
de Montpensier’, orang pro-Katolik sangat fanatik yang telah menari
di jalan-jalan kota untuk merayakan wafatnya Henri III.
ada pula pertanda aneh dari bencana selanjutnya. Saat duc
de Nemours meninggalkan rumah besarnya di suatu pagi untuk
mengunjungi para penjaga di tembok kota, ia diperingatkan oleh
seorang penjaga agar tidak berjalan menuju rue des Francs-Bourgeois;
174
“ada mayat seorang wanita yang dimakan oleh ular dan makhluk-
makhluk beracun,” bisik penjaga yang ketakutan. Halusinasi semacam
ini kerap terjadi.4 Kanibalisme juga dilaporkan merebak di seantero
Paris. Yang paling menyedihkan dari semua itu yaitu kisah seorang
wanita bangsawan, seorang janda, yang kedua anaknya mati kelaparan.
Tak mampu membeli roti, ia pun memanggang anak-anaknya dengan
bantuan pembantunya dan selama dua pekan memakan mereka setiap
malam, dengan air mata mengalir di pipinya. Tak mengherankan jika
sang wanita dan pelayannya tewas dalam hitungan hari. “Parisian
telah memulai pengepungan dengan kebanggaan dan bermartabat,”
lapor seorang saksi mata lainnya, “namun mereka dengan segera
berada dalam kondisi kebinasaan ekstrem, memakan perabot rumah
tangga, barang-barang mereka, memangsa satu sama lain. Lebih dari
seratus ribu jiwa tewas dalam tiga bulan. Rumput tumbuh di jalan-
jalan, toko-toko tak beroperasi, tak ada yang bergerak. Hanya ada
horor dan kesunyian.”5
Terlalu Banyak Darah
Ada banyak Parisian yang percaya bahwa sebuah keajaiban dapat
menyelamatkan mereka. Pada akhir September di tahun pertama
pengepungan yang buruk itu, keajaiban hampir datang dalam wujud
sepasukan tentara Spanyol yang telah dikirim atas perintah Madrid
untuk menyelamatkan penganut Katolik Paris. Perahu-perahu mem-
bawa gandum mencapai kota untuk pertama kalinya dalam berbulan-
bulan. Sorbonne menjamin kemartiran mereka yang tewas di bulan-
bulan terburuk bencana kelaparan dan, kendati tiga puluh ribu orang
tewas, para pendeta mampu menyatakan bahwa kemenangan besar
telah diraih.
Sejujurnya, ini bukanlah kemenangan, melainkan hanya satu cara
memperpanjang pertempuran untuk memperebutkan kota. Henri
menarik mundur pasukannya namun belum mengaku kalah. ada
sejumlah upaya untuk mengambil alih kota melalui tipu muslihat.
Pada Februari 1591, sepasukan kecil anak buah Henri berusaha
memasuki kota di Porte Saint-Honoré dengan menyamar sebagai
175
pedagang tepung. Orang-orang Katolik garis keras yang menjaga
kota tak menunjukkan melemahnya semangat. Mereka membantai
para tentara tersebut dan mencuri gandum yang dibawanya. Insiden-
insiden serupa terus terulang dalam bulan-bulan mendatang.
Namun, Liga tak memiliki kompetensi untuk menilai suasana hati
rakyat. Kendati upaya terbaik Dewan Enam Belas untuk ‘memurnikan’
parlement dan kantor-kantor lain di kota, ada gelombang ke-
tidakpuasan yang kian berkembang terhadap pemerintah kota, yang
tampaknya kebal terhadap penderitaan orang-orang di sekitar mereka.
Pada November, ketidakpuasan ini menjadi sebuah pemberontakan
dan kemudian kekuatan revolusioner yang sesungguhnya. Pemicunya
yaitu persidangan dua pemuka agama, Magistri dan Brigard, yang
dinyatakan bersalah sebab bersimpati kepada keluarga kerajaan.
Brigard dibebaskan dan Magistri dijatuhi hukuman ringan. Namun,
Liga merasa sangat marah dengan kurang kerasnya persidangan dan
penghukuman, dan meminta para pendeta untuk mengutuk tindakan
tersebut. Pendeta gereja Saint-Jacques mengumumkan bahwa sudah
satunya untuk “bermain dengan pisau.” Pencelaan dengan cepat
berubah menjadi pembunuhan. Dalam tindakan pembangkangan
terhadap pengadilan kota, Bresson dan para hakim lain yang me-
mimpin persidangan dihukum tanpa pengadilan dan digantung dari
jendela sebuah bangunan di Petit-Châtelet.
Namun persatuan Katolik tidak terganggu. Mayenne bertindak
keras terhadap kaum ‘ultra’ yang telah menghukum Bresson tanpa
pengadilan tapi, sebab mengkhawatirkan suasana hati rakyat, tidak
melakukan apa pun tentang penggantungan para pendeta. Di saat
yang sama, kelas borjuis tidak lagi melibatkan diri dalam pidato-
pidato fanatik para ulama dan mulai menyingkir dari agama serta
pembunuhan. Perdamaian memang masih jauh, namun prosesnya
sedang berjalan sebagai hasil dari suasana hati yang lelah dan kehabisan
tenaga. Paris, untuk saat ini, telah melihat terlalu banyak darah.
Sebuah faksi pecahan dari populasi Parisian yang menamakan
diri mereka sendiri les politiques memutuskan bahwa negosiasi
merupakan satu-satunya cara keluar dari jalan buntu ini. Bahkan
Mayenne menerima hal tersebut. Pada Maret 1592, kendati mendapat
ancaman pengucilan dari Kepala Biarawan Sainte-Geneviève dan
176
pendeta Saint-Eustache, delegasi yang dipimpin Mayenne pergi untuk
berunding dengan Henri. Hanya ada satu poin utama dalam agenda:
peralihan Henri menjadi penganut ajaran Katolik.
Henri tidak terlalu lama ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Ia
tidak hanya didorong oleh argumentasi Mayenne bahwa tindakan ini
akan menjadi tindakan cinta yang besar dan dan tidak dapat dibatalkan
terhadap rakyat Paris, namun juga oleh argumentasi kekasih dan
pasangannya Gabrielle d’Estrée, yang sangat ingin menjadi ratu
Paris. ada pula ancaman bahwa Spanyol akan mendudukkan
seorang raja asing tetapi penganut Katolik di Paris. Takdir seperti
ini ingin dihindari oleh Mayenne maupun Henri. Para ahli teologi
diajak berkonsultasi dan akhirnya pada tanggal 10 Mei, Henri mampu
mendeklarasikan dirinya siap berpindah agama dengan ucapannya
yang ternama bahwa ‘Nilai Paris setimpal dengan Misa’. Pada 25 Juli,
Henri terlihat di Montmartre sedang menerima Komuni. Namun para
anggota Liga telah mempersiapkan rencana pembunuhan. Seorang
biarawan dari Lyons bernama Barrière bepergian ke Paris untuk
bertemu dengan biarawan dan pendeta, lalu mengajukan dirinya
sendiri sebagai martir yang akan membunuh raja. Anak buah Mayenne
membongkar rencana itu dan menangkap Barrière serta rekan-rekan
komplotannya. Mereka kemudian disiksa dan dibunuh dalam penjara
di Melun. “Bukanlah suatu hal aneh yang menunjukkan kejahatan
hati manusia bahwa banyak sekali pria religius yang menginginkanku
mati,” kata raja kepada dirinya sendiri.
Henri tidak memasuki Paris hingga Maret tahun berikutnya.
Pada saat itu, kota telah dipersiapkan untuk masuknya Henry dalam
parade kemenangan tetapi bukan sebagai pemenang. Kota kini berada
di bawah kekuasaan ‘baik’, yang dipimpin oleh pŕevôt des marchands
Jean Lhuillier yang karismatik dan moderat. Untuk menghindari
konfrontasi langsung dengan raja, Lhuillier mengirim para prajurit
Spanyol yang masih berada di kota dan setia kepada Liga ke wilayah
pedalaman untuk mengejar resimen pasukan Huguenot yang tidak
pernah ada. Pada 22 Maret, pada pukul empat pagi, Lhuillier sendiri
yang membuka Porte Neuve di Quai du Louvre. Tepat pada saat
yang sama, anggota dewan kota, Martin Langlois, membuka Porte
Saint-Denis. Satu jam berlalu dan pasukan Raja Prancis dengan
177
tenang berbaris memasukinya. Saat matahari terbit, Henri IV sendiri
memasuki kota saat pasukannya menyerahkan sebuah traktat yang
mendeklarasikan amnesti umum.
Warga berkumpul saat raja berjalan menuju rue Saint-Honoré, rue
des Lombards, dan rue des Arcis. Ia membutuhkan waktu hampir dua
jam untuk mencapai Pont Notre-Dame, yang tidak pernah dikunjungi
oleh keluarga kerajaan dalam lima tahun. Para prajurit Spanyol, anggota
Liga dan orang religius fanatik diperintahkan untuk meninggalkan
Paris. Perintah tersebut segera dilaksanakan oleh sebagian besar dari
mereka. Tak akan ada tawanan di kota ataupun darah yang kembali
tumpah. Henri merasa yakin terhadap teman-temannya di kota
namun ingin menenangkan atau menetralisasi musuh-musuhnya.
Rakyat jelata mengelu-elukan kemurahan hatinya dan gembira bahwa
ia cukup mencintai mereka untuk menjauhkan mereka dari konflik
lebih jauh. sesudah setengah dekade dalam kelaparan dan perang, Paris
kembali memiliki perdamaian, roti, dan seorang raja.
178
18
Memperlihatkan Surga
Saat perang saudara di Paris berangsur-angsur mulai menjadi
kenangan, perhatian pertama Henri IV dan para penasihatnya
di penghujung tahun 1590-an yaitu membangun kembali kota.
Pembangunan ini sangat penting secara politik selain dari sudut
pandang lainnya. Warga Paris tak akan pernah memaafkan jika ia
tak memenuhi kepercayaan yang mereka berikan sebagai penguasa
dengan memulihkan Paris seperti sediakala. Lebih jelasnya lagi, Henri
dan para penasihatnya menyadari bahwa kekuasaan masih rentan dan
harus segera dikonsolidasi di bekas ibukota yang hebat itu dengan
tujuan mengusir tantangan di masa depan. Henri sendiri tampaknya
benar-benar mencintai kota dan ingin menjadikannya hebat kembali
demi alasan sederhana bahwa ia ingin tinggal di suatu tempat yang
sibuk dan aktif.
Pertempuran jalanan, pengepungan, dan perang besar yang tak
kunjung berakhir yang dilakukan di penjuru lanskap kota telah
menyebabkan kehancuran kota Paris secara fisik dan keuangan.
Gereja-gereja dan bangunan milik pemerintah hancur. Bahkan ruas
jalan yang paling kaya di pusat kota kini tak lebih dari jalur berlumpur
dan hanya Parisian paling kaya yang mampu melintasi kota, dengan
menunggang kuda atau dalam salah satu kereta kuda yang masih
berfungsi, tanpa dikotori oleh lumpur dan kotoran manusia. Rumah-
rumah baru telah dibangun secara serampangan dengan bahan-
bahan termurah, bahkan hôtel terbesar di kota nyaris hancur, akibat
penelantaran selama puluhan tahun. Bagi pengunjung yang pertama
kali berkunjung ke kota, aspek paling terlihat dari pengabaian ini
yaitu bau menyengat dari sistem saluran air yang banjir ataupun
macet. “Il tient comme boue de Paris” (“Hal itu lengket seperti lumpur
179
Paris”) yaitu perkataan yang dipakai di penjuru Prancis untuk
menggambarkan benda hitam dan bau. “Variole de Rouen et crotte
de Paris ne s’en vont jamaic avec la pièce” (“Anda tak akan pernah bisa
menghilangkan cacar dari Rouen atau kotoran dari Paris”) yaitu
perkataan serupa tentang kotoran di kota tersebut. Rumah-rumah
dan jalan-jalan penuh dengan tikus besar. Jumlah Parisian yang tewas
akibat wabah atau penyakit lain hampir sama banyaknya dengan
korban tewas akibat konflik kekerasan dalam perang saudara selama
tiga dekade.
Salah satu tindakan Henri pertama sejak mengambil alih kekuasaan
yaitu mengumumkan serangkaian proyek pembangunan yang akan
menempatkan kembali Paris sebagai permata Eropa. Tindakan ini
juga merupakan nasihat dari Maximilien de Béthune, yang kelak
dikenal sebagai duc de Sully. De Sully merupakan salah satu orang
kepercayaan terdekat Henri dan ahli strategi sepanjang tahun-
tahun terberat dalam konflik terakhir. Ia seorang Protestan dengan
pandangan yang jelas tentang takdir Henri, sekaligus takdir Paris dan
Prancis. Selain itu, tak seperti rekan-rekannya di Inggris atau Spanyol,
ia tak berkeinginan mengambil lahan atau kekayaan di Dunia Baru
namun melihat masa depan Prancis sebagai pemimpin Eropa, atau
setidaknya sebagai bagian darinya—Flanders dan Rhineland—berdiri
sejauh mungkin dari Madrid atau Roma. Sully juga seorang pejabat
cerdik dan berhati-hati yang melihat bahwa investasi keuangan dalam
merestorasi Paris ke masa seperti keunggulannya di waktu lampau
dapat dengan mudah dibayar kembali saat kota itu menempati posisi
yang sebenarnya sebagai ibukota budaya dan perekonomian di Eropa
utara. Pertumbuhan Paris di bawah kekuasaan Sully dan Henri dapat
diukur dalam peta-peta yang dibuat tahun 1609, saat proyek-proyek
raja baru dimulai, dan dalam ukuran kota itu, di peta-peta yang dibuat
oleh Jacques Gomboust pada 1652, yang menunjukkan kota modern
pertama berkembang hingga nyaris setengah ukurannya lagi, dipenuhi
oleh para imigran dan memiliki arsitektur publik terbaik se-Eropa.
Paris tak akan menjalani perubahan radikal seperti itu lagi hingga
Kekaisaran Kedua di abad ke-19, saat Napoleon III menugaskan
dirinya sendiri untuk menciptakan kota paling spektakuler dalam
sejarah.
180
Namun membangun kembali Paris bukanlah tugas yang mudah.
Pada akhir 1590-an, kendati ada sejumlah upaya perancangan kota
di awal abad tersebut, Paris masih tetap sebuah kota abad pertengahan,
meskipun berada dalam kehancuran. Henri menyerahkan penugasan
kepada para arsitek dan pemborong dengan instruksi ekspres untuk
menghapus masa lalu dan kenangannya, serta untuk membangun
sebuah kota dengan gaya klasik seperti yang ia kagumi di Italia.
Kayu-kayu dilarang dan rumah-rumah di kota baru akan terbuat dari
bebatuan.1 Modelnya yaitu lapangan bertiang elegan di Place des
Vosges yang diselesaikan pada 1605 di lokasi yang dahulu merupakan
pasar kuda dan dinamakan Place Royale hingga tahun 1800. Alun-
alun ini segera menjadi tempat berduel yang populer, tempat mencari
pelacur dan tempat berjalan-jalan yang penuh gaya di kota, hanya satu
langkah jaraknya dari quartier yang bergaya namun sarang penyakit
di Marais. Henri pada awalnya menganggap alun-alun sebagai cara
meningkatkan kondisi warga miskin Paris dengan menyediakan
perumahan berbiaya rendah, namun Place des Vosges akan selalu,
sejak hari pertamanya, pusat mode yang tidak dapat diubah lagi. Henri
bahkan memiliki rencana lebih besar untuk membangun sebuah alun-
alun raksasa, Place de France, di pintu masuk menuju Marais dan kota
di tempat yang sekarang bernama rue de Turenne. Namun hal ini
masih dalam tahap perencanaan saat kematiannya di tahun 1610.2
“Klitoris Paris”
Pengaruh modernisasi yang sama juga diaplikasikan pada jembatan
di atas sungai, yang telah dibersihkan dari rumah-rumah dan toko-
toko yang menjadi jebakan kematian di saat terjadi banjir atau
kebakaran. Pada 1607, Henri mengumumkan bahwa pekerjaan di
Pont-Neuf, jembatan batu lebar yang melintasi sungai Seine yang telah
direncanakan sejak 1566, akhirnya selesai. Warga Paris sebelumnya
enggan membiayai pembangunan jembatan itu sendiri dan berusaha
menghambat Henri dengan menolak membayar hingga kota-kota
dan wilayah lain di Prancis membayar bagian mereka. Henri dengan
tenang mengenakan pajak yang lebih dan lebih tinggi pada setiap tong
181
anggur yang memasuki Paris dan pekerjaan itu pun selesai dalam
waktu enam tahun dari rencana awalnya.3 Di tengah pembangunan,
jembatan itu menjadi tempat olahraga populer bagi pria muda untuk
menunjukkan keberanian dengan melompati kaki-kaki jembatan,
dengan risiko tenggelam di sungai Seine jika mereka gagal. Sang
raja cukup terkesan dengan permainan ini hingga ia ikut melompat.
saat diberi tahu bahwa banyak orang yang tenggelam dengan cara
ini, ia menjawab: “Mungkin memang benar, namun tidak seorang pun
dari mereka yaitu raja”—sebuah gertak sambal yang, setidaknya bagi
sebagian besar Parisian, merupakan pertunjukan keberanian yang
menakjubkan.4
saat pembangunannya akhirnya selesai dan dibuka, Pont-Neuf
segera menjadi magnet bagi Parisian, yang berbondong-bondong ke
sana untuk membeli dan menjual berbagai jenis barang, atau berjalan-
jalan tanpa tujuan atau mencari seks dan uang. Di tepian sungai yang
menghadap ke jembatan pada awalnya ada sebuah pahatan batu
yang menggambarkan Yesus Kristus dan Orang Samaria yang murah
hati. Kenangan terhadapnya dilestarikan di abad ke-19 saat keluarga
Cognacq-Jay menggunakan nama ‘La Samaritaine’ untuk toserba
mereka yang masih berdiri hingga kini.5
Henri juga mengembangkan tanah telantar yang berada di sisi-
sisi jembatan. Di sebelah kanan yang menghadap Tepi Kanan, ia
memerintahkan pembangunan Place Dauphine (dinamai menurut
nama putra Henri), sebuah segitiga yang terdiri atas taman dan
rumah bata merah yang dibangun menurut gaya ‘pedesaan’ yang
saat itu populer di kota-kota provinsi Rouen dan Orléans. Tempat ini
dibangun secara sengaja untuk menjadi penyeimbang atas gaya neo-
klasik yang polos dari Marais dan atmosfer yang lebih mirip pedesaan
di jantung perdagangan kota. Place Dauphine kini terletak setengah
tersembunyi dari kehidupan sibuk di pusat kota Paris dan, di belakang
Palais de Justice yang suram, dengan orang-orang yang berpiknik,
para pemain boules (permainan yang populer di Prancis, yaitu
melemparkan mangkuk besi agar bisa mendarat sedekat mungkin
dengan bola sasaran yang dimainkan di permukaan bergelombang—
penerj.) dan para perokok yang bersantai, memiliki suasana daerah
yang membuat mengantuk.
182
Tempat ini juga memiliki, setidaknya sejak abad ke-19, daya tarik
rahasia dan erotis. Ini yaitu salah satu tempat di mana André Breton
tergila-gila mengejar Nadja ke sepenjuru Paris; André Malraux, yang
biasanya yaitu penulis paling tenang dan bijaksana, menulis bahwa
Place Dauphine seperti vagina, “dengan bentuk segitiga dan garis-
garis yang sedikit membengkok, dan dengan celah yang memisahkan
kedua hutannya.”6 Penyair lainnya menggambarkan Place Dauphine
sebagai “klitoris Paris.”7 Baron Haussmann wafat sebelum ia dapat
menyelesaikan proyeknya menghapus Place Dauphine dari peta Paris.
Namun pusat keerotisan yang sesungguhnya dari kota Paris di masa
Henri, dapat ditemukan di bawah jembatan, di sisi sebelah kiri yang
menghadap Tepi Kanan. Inilah tempat di mana raja memerintahkan
pembangunan sebuah taman kecil yang sejajar dengan permukaan
air, tempat ia dapat bercengkerama dengan teman-temannya, para
penghibur, pelacur kelas tinggi dan wanita dengan moralitas rendah
lainnya. Pulau ini pada awalnya dikenal sebagai Îlot aux Juifs namun
segera diberi nama tak resmi oleh Parisian sebagai Square du Vert-
Galant (vert galant, atau ‘pemuda gagah’, yaitu julukan Henri, yang
ia peroleh sebab kesenangannya pada kehidupan mewah dan gemar
mempertontonkan keerotisannya).
Nama ini tetap bertahan hingga berabad-abad kemudian, beserta
reputasi pulau itu sebagai lokasi petulangan seksual di malam hari.
Inilah versi kota dengan kemunduran moral yang telah ditentang
oleh penganut Protestan. Ini juga menjadi awal bagi tradisi Parisian
akan semi-rahasia, permainan seks semi-publik yang dilakukan di
luar ruangan, sebuah tradisi yang tetap bertahan di kota hingga kini,
dari daerah tempat orang homoseksual berjalan-jalan di Tuileries dan
jembatan-jembatan di bawah Austerlitz hingga karnaval pan-seksual
di Bois de Vincennes atau Bois de Boulogne.
Kaum Moralis dan Kaum Sinis
Salah satu fakta paling menakjubkan dari masa kekuasaan Henri yaitu
bahwa Parisian dengan mudah membiasakan diri dengannya sesudah
berpuluh tahun mengalami kekerasan yang tiada henti dan tiada akhir.
183
Sebagian alasannya yaitu sebab mereka lelah berperang dan ingin
semua bagian dalam populasi untuk bergerak maju dari kehancuran di
tahun-tahun sebelumnya. Kedua, Henri sendiri yaitu seorang tokoh
yang sangat bisa menghilangkan permusuhan yang kecintaannya pada
seks, musik dan anggur serta ketidakpeduliannya pada kekakuan
agama atau manuver politik ala Machiavelli membuatnya dengan
cepat disayang oleh masyarakat luas. Kelemahannya akan wanita amat
dikenal dan gundik utamanya, Gabrielle d’Estrée, yaitu seorang
bintang yang bersinar.
Parisian menertawakan bau badan sang raja yang mirip kambing
dan penampilannya yang selalu kusut dan bagaimana ia selalu ber-
hasil memuaskan Ratu Marguerite yang cerewet (yang kemudian ia
ceraikan pada tahun 1599) dan menaklukkan wanita cantik ternama
seperti Gabrielle. Parisian juga gempar saat mengetahui kematian
mendadak Gabrielle pada tahun 1599; kemungkinan besar ia diracuni
oleh Sebastiano Zametti, salah satu kroni raja dan mungkin salah satu
selingkuhan Gabrielle. Sudah menjadi ciri khas dari pria itu bahwa,
kendati sangat sedih atas kematian Gabrielle, ia akhirnya berhasil
bangkit untuk menikahi Marie de Médicis, seorang wanita yang lebih
bersahaja daripada Gabrielle. Sang raja menjulukinya ‘bankir gemuk’
namun Marie tetap setia memberikan stabilitas seksual dan emosional
di tahun-tahun mendatang.
Di bawah kepemimpinan Henri, Paris berkembang dan menjadi
suatu tempat yang menenangkan di mana para wisatawan Eropa
datang untuk mencicipi kebebasan yang tidak pernah dinikmati oleh
warga Paris selama hampir satu abad lamanya. Secara mengejutkan,
kendati terjadi turbulensi politik di akhir abad ke-16, kehidupan
di Paris juga ditandai oleh kesatuan kebudayaan yang aneh. Perang
Agama yaitu perang yang kompleks dan berdarah, namun prinsip
utama dari konflik itu amatlah sederhana: Pertentangan antara
pengaruh ajaran Protestan yang makin berkembang dan berbagai
masalah dalam Gereja Katolik, yang masih belum dapat keluar dari
pandangan abad pertengahan tentang dunia dan masyarakat.
Berbagai peristiwa pembunuhan di Paris yaitu episentrum dari
konflik ini. Di tingkat politik, krisis dalam pemerintah pusat di Paris
memberi pertanda bagi monarki absolut yang akan banyak dihormati
184
dan difitnah pada abad ke-18. Namun di tingkat budaya, kehidupan
warga Paris anehnya diperkaya oleh sektarianisme dan bahkan
kekerasan yang paling gila. Dalam contoh pertama, ini yaitu hasil
dari kemunculan Calvinisme sebagai suatu kekuatan kesusastraan
dan politik. Sebenarnya sangat sulit untuk mengetahui siapa penganut
Protestan dan siapa penganut Katolik berdasarkan kelas sosial mereka
(kendati secara kasar, para petani dan bangsawan yaitu penganut
Katolik dan kelas menengah yang keras kepala yaitu penganut
Protestan). Dengan ketidaksukaan mereka kepada para pendeta
dan sebuah keyakinan kuat akan nilai mereka sendiri, para Calvinis
sangat mudah dikenali dalam politik dan kesusastraan. Calvin sendiri
menulis dengan kecemerlangan yang tajam dan tanpa ampun yang
mematahkan argumen-argumen lawan, dan menekankan bahwa
Tuhan itu dapat dimengerti dan tidak misterius. Di Paris, di mana
Calvin telah berdiam dan belajar, dan yang telah diporak-porandakan
oleh bentrokan antara Gereja Katolik, dengan fanatisme abad
pertengahannya, dengan musuh Reformisnya, bentuk rasionalisme
ekstrem ini bertemu dengan kemarahan dan sambutan meriah yang
seimbang. Nilai penting dan pengaruhnya tidak lagi diperdebatkan.
Para penganut Calvinis sangat ahli dalam bentuk teater bermuatan
moral (Le Pape malade, ‘Paus yang Sakit’, yaitu sebuah judul drama
umum yang dipentaskan dari tahun 1560-an). Mereka juga ahli dalam
apa yang mereka sebut ‘puisi ilmiah’, yang bertujuan mempelajari
manusia dalam konteks sejarah, politik dan teologis. Agrippa
d’Aubigné dan pengikut Gascon dari Henri IV, Guillaume du Bartas
yaitu contoh yang baik dari aliran membosankan ini, yang sangat
dikagumi oleh Milton. Orang-orang seperti Rabelais dan Montaigne,
yang mendukung humanisme Kristen liberal dan amat bersimpati
kepada Gereja dengan semua kebesarannya yang kini hancur, berdiri
tegas sebagai lawan dari Calvin dan para pengikutnya. Tradisi ini
ditemukan secara utuh dalam Satire Ménippée, sebuah kompedium
tulisan anti-Katolik yang ditulis oleh berbagai humanis, yang bersatu
dalam keyakinan pada ‘jalan ketiga’ moderat untuk keluar dari jalan
buntu yang ditimbulkan oleh Calvin dan musuh-musuh Katolik
fanatiknya.
Buku ini terdiri atas tiga bagian: Pendahuluan bersifat karikatur
185
yang memperolok ambisi pan-Eropa dari Katolik Spanyol; bagian
kedua berisi pidato-pidato imajiner oleh anggota Liga yang tamak
dan bodoh; dan bagian akhir yang berisikan epigram palsu. Teks ini
dinamai menurut ahli filsafat Menippus dari Gadara dan bertujuan
untuk memutarbalikkan fakta dalam perilaku yang diasosiasikan
dengan salah satu aliran filsafat yang dikenal sebagai Sinik. Aliran
ini berkembang di Yunani sesudah abad ketiga Masehi. Buku tersebut
dijual bebas dalam wujud manuskrip di Paris sesudah tahun 1593 dan
diterima dengan sukacita oleh Parisian, yang dapat mengenali rasa
kekonyolannya yang tinggi dan kurangnya penghormatan pada prinsip
teologi murni apa pun. Fakta bahwa seorang pendeta, Leroy dari
Rouen, mungkin telah menyusun teks itu semakin menggarisbawahi
sifat subversif buku tersebut bagi sebagian besar pembaca. Sebagai
tambahan, buku itu tak hanya menawarkan kasus koheren bagi
naiknya Henri IV ke takhta, namun juga berani membandingkan
kota Paris-nya dengan Yerusalem. Perbandingan ini lebih bermakna
hiperbolis yang sangat menggelikan daripada sebuah kesesatan di
sebuah kota yang belum berhasil membebaskan diri dari puing-puing
yang ditinggalkan oleh kebencian sektarian abad ke-16.
Pembunuh Visioner
Sungguh fakta yang tak terbantahkan, tampak jelas bagi wisatawan
dan warga, bahwa di bawah kekuasaan Henri IV, Paris segera
saja menjadi tempat yang lebih mudah dan lebih menarik untuk
ditinggali. Kejahatan masih menjadi suatu masalah dan raja sendiri
mengintervensi untuk memperkuat penjagaan kota, menaikkan
gaji dan melipatgandakan jumlah penjaga. Pada 1607, sebuah barak
didirikan di Châtelet dan Henri mengawasi pendirian sebuah markas
kecil bagi para penjaga di setiap quartier dan patroli berkelanjutan di
sepenjuru kota. Perampokan dan pembunuhan umum terjadi, namun
jumlahnya berkurang daripada dalam tahun-tahun terakhir di abad
sebelumnya. ada sejumlah rencana pembunuhan terhadap raja,
namun ini diabaikan sebagai bagian dari pekerjaan. Henri, yang tak
tahu malu tapi menawan, menjelaskan bagaimana dan mengapa ia
186
mengubah kota itu sebagai bagian dari tugasnya sebagai raja. “Ini
sangat mudah,” ia menjelaskan pada pengiringnya. “saat tuan rumah
tak ada di rumahnya, terjadilah ketidaktertiban; namun saat ia pulang,
kehadirannya yaitu ornamen dan semuanya dapat diuntungkan
darinya.”8
Namun, masih ada sejumlah orang di Paris yang menyimpan
kemarahan dan kebencian atas apa yang telah Henri, mantan penganut
ajaran sesat Protestan dan kini hidup bebas dengan kemerosotan
moralnya, lakukan pada kota sejak kepindahan keyakinannya. Para
anggota Liga, yang masih bekerja secara semi-tersembunyi di kota,
tak pernah berhenti menyebarkan hasutan melawannya. Mereka
mengumpulkan para pendeta yang setia, para biarawan yang tidak
puas dan bahkan anggota kebangsawanan yang bersimpati atas gerakan
mereka. Paris masih tetap sebuah kota Katolik, mereka berargumen,
ahli waris spiritual dari kejayaan Roma dan misinya. Kota kini berada
di tangan seorang pembohong seperti setan, pencuri dan monster
anti-Kristen.
Salah satu orang fanatik yang meyakini hal ini yaitu François
Ravaillac, petapa yang sangat kurus dan menakutkan, calon biarawan
yang saleh dan guru yang gagal dari Angoulême. Ia mengklaim
bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan melihat visi akan
musuh-musuh Tuhan berdarah-darah, tewas atau dalam pelarian.
Kebenciannya terhadap raja dan kota barunya—yang bukan Yerusalem
melainkan Neraka!—dikobarkan oleh komedi teatrikal dalam kabaret
di kota asalnya. Dalam tradisi Protestan yang sekarang sudah mapan,
komedi ini dipenuhi oleh argumentasi moral dan diringankan oleh
humor, ironi atau kecerdasan. Pada April 1610, di Étampes, dalam
pertunjukan Ece Homo, sebuah propaganda standar Protestan,
Ravaillac menyadari apa yang seharusnya menjadi pekerjaan hidupnya:
membunuh raja dan menyelamatkan Paris. Ia pun segera berangkat ke
kota.
Ravaillac pernah ke Paris sebelumnya, gagal dalam upayanya bertemu
dengan raja untuk memintanya mengusir semua Protestan dari negara.
Ia pergi lagi ke kediaman raja di Louvre, tempat dirinya berbincang
dengan para pelayan kerajaan dan berkeliling selama beberapa hari.
Pada 10 Mei Ravaillac membeli sebuah pisau yang besar.
187
Pagi hari tanggal 14 Mei, keadaan terasa hangat di luar musim dan,
saat ia bepergian dari Louvre ke Arsenal untuk mengunjungi Sully yang
sakit, Henri membuka tirai di kereta kudanya. Ravaillac, dengan pisau
di tangan, telah mengikuti iring-iringan raja dari rue Saint-Honoré.
Saat kereta kuda raja berjalan di rue de la Ferronerie dan melalui bau
busuk di permakaman Saint-Innocents yang berada di sebelahnya,
kereta kuda itu terpaksa berhenti sebab adanya sebuah gerobak
pembawa jerami yang memblokade jalan. Saat Henri membungkuk ke
arah duc d’Épernon untuk berkomentar, Ravaillac berlari menembus
para pengawal, masuk ke kereta kuda dan menusukkan pisau panjang
itu tiga kali ke dada sang raja.
Bahkan dengan penyiksaan yang amat berat, Ravaillac mengklaim
bahwa ia bertindak sendirian. saat raja tewas, beberapa jam ke-
mudian di perpustakaannya, seluruh negara merasa resah. Orang-
orang fanatik di Liga membatasi diri dalam mengungkapkan
kegembiraan mereka. Namun tampaknya sekali lagi sejarah Paris
dan Prancis dikutuk untuk ditentukan oleh seorang pembunuh dan
para pendukung fanatiknya. Rasa takut akan perang saudara kembali
melumpuhkan kota.
Tetap saja, sebagian Parisian masih bisa menemukan sedikit
ketenangan melalui eksekusi Ravaillac yang brutal—ia direndam
dalam air panas, dirobek-robek dan bagian dadanya dipanggang dan
dimakan oleh massa sebelum sisa jasadnya dibakar menjadi debu.
188
19
Kebingungan yang Menakjubkan
“Sungguh aneh,” tulis seorang penulis buku harian dan
pengacara Pierre de L’Estoile dalam jurnalnya pada 1584, “bahwa di
kota Paris ada orang-orang yang melakukan pencurian tanpa
dihukum dan tindakan perbanditan yang lebih cocok dilakukan di
hutan yang gelap.” Kemarahan L’Estoile sebenarnya ditujukan pada
kekerasan acak dan mematikan yang telah menjadi makanan pokok
dalam kehidupan sehari-hari di kota. “Pembunuhan, perampokan
bersenjata, kebejatan dan segala bentuk tindakan melanggar hukum
lainnya berkuasa di musim yang luar biasa ini,” tulisnya pada Januari
1606:
ada berbagai bentuk kekurangajaran dari para pembantu, termasuk
pembunuhan … dua pembunuh yang berusaha menghilangkan nyawa
baron d’Aubeterre dihukum di atas roda di Place de la Grève; seorang prajurit
digantung sebab membunuh tuan tanahnya gara-gara uang 10 franc;
seorang pedagang yang sedang berjalan ke pasar digorok dan ditemukan
tewas di selokan di Saint-Germain; ini semua tanpa menyebutkan sembilan
belas pembunuhan lainnya di jalan-jalan kota Paris, yang dilakukan oleh
orang-orang tak dikenal. Tahun ini dimulai dengan buruk, dan menjanjikan
hal yang lebih buruk lagi di masa datang.1
Dalam waktu satu hari saja—4 Mei 1596—di paroki Saint-Eustache,
tujuh belas orang mati kelaparan. Statistik semacam ini dengan
segera menjadi hal yang umum di abad baru saat kota digulung
gelombang baru kelaparan dan penyakit. Kota milik Henri memang
monumental dan terkadang mengagumkan, namun tentu saja bukan
surga, khususnya bagi warga yang miskin, tua ataupun sakit. Paris
juga dipenuhi oleh para penjahat berbahaya, berjuluk coupe-bourses
189
(‘pemotong-tas’) atau tireurs de laine (‘perampas-wol’), yang di siang
hari bolong menebas tas hingga terbuka atau menarik mantel termahal
dari bahu warga yang ketakutan.
Konon, hampir semua penjahat itu terkait dengan penjaga kota.
Yang paling kejam dan ditakuti yaitu barbets (para ‘setter (salah
satu jenis anjing)’—disebut demikian sebab panjang rambut mereka
menyerupai anjing berbulu panjang yang saat itu tengah menjadi
tren). Para remaja bersenjatakan belati ini akan begitu saja masuk ke
rumah-rumah orang kaya dan, dengan belati di leher penghuni rumah
yang tak beruntung, menuntut uang atau benda lainnya.
Respons para pejabat gereja terhadap kesialan kota itu yaitu
memerintahkan prosesi pengampunan dosa di kota, dan rombongan
pria dan wanita yang bertelanjang kaki, tersaruk-saruk menuju salah
satu gereja bahkan di tengah musim dingin, yaitu pemandangan yang
lazim ditemukan. Pada 14 Februari 1589, lebih dari seribu pemohon
pengampunan dosa, setengah telanjang dan menggigil diterjang angin
timur sedingin es, berkumpul di paroki Saint-Nicoals-des-Champs
untuk berjalan menuju gereja. Fakta bahwa hari itu biasanya berisikan
pesta kostum dan aktivitas karnaval lainnya hanya menambah
kesucian pengabdian orang-orang yang disebut ‘Katolik yang baik’,
dan bagi Parisian yang lebih skeptis yaitu contoh mudahnya orang
awam tertipu dan kekuatan manipulatif para pendeta yang gila Tuhan.
Pemandangan ini tak hanya dicemooh oleh penganut Protestan
namun juga sejumlah kecil ateis di kota, yang kini berani meng-
ungkapkan diri mereka pasca-Dekrit Nantes, deklarasi toleransi
beragama yang ditandatangani raja pada 1594. Penganut Katolik
biasa juga mengetahui bahwa pejabat gereja Katolik kini lebih
tidak bermoral daripada sebelumnya; bahkan Parisian paling jahat
sekalipun mengetahui adanya fakta bahwa banyak pendeta membawa
senjata, kerap memimpin milisi pribadi dan terlibat dalam praktik-
praktik sihir penghujatan. Baik biarawati maupun pendeta mencintai
keduniawian dan menyadari kekuasaan mereka atas kehidupan warga
Paris biasa. Orang awam seperti L’Estoile merasa muak sebab mereka
tidak malu-malu mengenakan baju yang paling modis, meniru para
bangsawan yang saat itu menyukai renda halus dari Venesia, kacamata,
wig berbedak serta penggunaan jam tangan indah yang dikalungkan
190
di leher dan dikenal sebagai montre-horloges. Memelihara janggut
panjang sejak lama telah menjadi suatu penanda gaya dari masa
François I dan seterusnya. L’Estoile sangat terkejut dengan semua
kemerosotan moral ini, yang ia anggap sebagai penghinaan terhadap
ketaatannya sendiri dalam beragama, khususnya saat ia melihat dua
biarawati di jalan mengenakan rias wajah, rambut mereka tergulung
dan dibedaki. Namun tetap saja, seperti yang dicatatnya, kendati
korupsi yang tampak jelas dilakukan Gereja, begitu banyaknya
peristiwa kejahatan di kota—dari perampokan hingga pemerkosaan
dan pembunuhan—membuat gereja-gereja tetap penuh.
Tuhan yang Kasatmata
Henri IV digantikan oleh istrinya, Marie de Médicis, sebagai wali raja.
Dengan mantap, ia meyakinkan Parisian bahwa masa depan sudah
aman hingga putra Henri, Louis XIII yang masih muda dan pemurung,
mencapai kedewasaan pada 1612.
Marie membenci Louvre, yang menurutnya suram dan penuh
dengan kenangan buruk. Pasca-pembunuhan Henri, ia berencana
mendirikan sebuah kota kerajaan baru di Tepi Kiri. Ia memulainya
dengan membeli rumah besar milik duc de Luxembourg-Piney dan
memerintahkan arsiteknya, Salomon de Brosse, untuk membuat
sebuah istana yang setara dengan Palazzo Pitti di Florensia. Hasilnya
yaitu istana Luksemburg dan taman-tamannya. Marie tak pernah
melihatnya dalam bentuk yang sempurna sebab diselesaikan pada
pertengahan abad yaitu jauh sesudah ia wafat dalam pengasingan di
Köln (Cologne) (lokasi di mana Richelieu menempatkannya).
Perubahan besar lain yang dialami kota pada masa ini yaitu
manuver politik dari kelas penguasa. Sifat kota yang bergejolak dan
ketidakstabilan di masa lalu telah membuat monarki mencemaskan
keselamatan diri sendiri dan selalu siap menghentikan ketidakpuasan
dengan kekuatan maksimum. saat Louis XIII naik takhta, ia
menunjukkan ciri khasnya dengan sikap yang menjauhkan diri,
mudahnya ia bertindak kejam dan jarak yang ia jaga antara dirinya
dengan kota yang berpenyakit, yang ia tinggalkan pada setiap
191
kesempatan untuk pergi berburu di pedesaan. Louis sangat senang
meninggalkan pelaksanaan kekuasaan sebenarnya kepada penasihat
utamanya, Kardinal de Richelieu, putra seorang pria dari Poitou yang
arogan namun cerdik yang akan segera menjadi penguasa efektif di
Paris.
Richelieu memiliki tiga prioritas utama: menghancurkan per-
juangan penganut Protestan di Prancis, memperkuat kekuasaan
absolut dari monarki, dan memperpanjang garis perbatasan Prancis
dengan merugikan kerajaan Austria. Richelieu memulai kariernya
sebagai pendeta untuk Concini, keluarga kaya dan berpengaruh yang
digosipkan terlibat dalam pembunuhan Henri IV dan dihabisi oleh
Louis XIII saat ia mencapai kedewasaan. sesudah pembunuhan itu,
Richelieu yang cerdik mundur ke Gereja namun ia segera mendekat
dengan raja dan akhirnya bertanggung jawab atas istana dan para
menterinya. Ia bangga sebab dirinya bisa bertindak kejam: “saat
aku telah membuat keputusan,” katanya, “aku langsung menuju
tujuan; aku menjungkirbalikkan segalanya; aku meluncuti semuanya
hingga tak bersisa; dan kemudian aku menutup semuanya dengan baju
jubah merahku.”2 Musuh-musuhnya dengan misterius menghilang
secara berkala dan ada desas-desus akan terjadinya penyiksaan
serta mutilasi di châteaux Bagneux dan Ruel. Sebagian besar korban
Richelieu tewas di tiang gantungan, biasanya tanpa persidangan
dan sebagian besar sebab diduga berkonspirasi melawannya. Ia
menganggap dirinya sendiri sangat penting dan mudah marah. Secara
pribadi, ia datang untuk menyaksikan pemenggalan sejarawan terkenal
dan terhormat Jacques-Auguste Thou, yang telah menulis dengan
nada menyetujui terhadap Reformasi dan membuat pernyataan agak
meremehkan tentang leluhur sang kardinal.
Dampak akhir dari tirani negara seperti ini yaitu penghormatan
dalam konteks menghina yang segera menjadi kebiasaan umum
dari kelas politik. Raja sendiri, tokoh yang dingin dan berbahaya,
memegang kekuasaan absolut dan digambarkan di parlement sebagai
‘terinspirasi oleh Ilahi’ dan seorang “Tuhan yang kasatmata”. Richelieu,
sebagai tangan kanan sang Tuhan, mengabdikan diri sepenuhnya
tanpa berkomentar.
Kendati ia seorang penulis yang buruk, Richeliue menganggap
192
dirinya pelindung seni, menulis buku-buku tentang teologi dan
drama, dan mendirikan Académie Française. Buku-buku itu terutama
ditulis untuk memukau para gundiknya (gundik yang paling
terkenal yaitu Marion Delorme, duchesse de Comballet, yang juga
keponakan Richelieu sendiri). Académie Française dimulai sebagai
kelompok kesusastraan—mencakup sejumlah orang ternama di
masa itu seperti Jean Ogier de Gombault, Antoine Godeau dan Jean
Chapelain—yang bertemu secara semi-rahasia untuk membicarakan
masalah kesusastraan dan filsafat. Richelieu-lah yang mencetuskan
untuk menjadikannya lembaga resmi yang memberi otoritas pada
bahasa Prancis dan hasil produksinya. Kemampuan Académie untuk
berfungsi secara otonom terhambat sejak awal pendiriannya saat
Richelieu memberi mereka tugas agar memublikasikan serangan pada
drama Le Cid karya Pierre Corneille, di mana kardinal menyadari
adanya serangan kepada dirinya sendiri (kecaman akhir Académie
terhadap drama itu sebenarnya tak lebih dari sebuah kritik yang tidak
cukup berani dan sombong terhadap tata bahasa dan gaya penulisan
Corneille).
Di Paris, ambisi Richelieu terpusat pada proyek-proyek untuk
menambah kebesarannya. Memang benar, ia mendirikan Jardin des
Plantes, sebagian atas nasihat dokter kerajaan Labrosse sebagai sumber
pengobatan herba. Namun pemberian dana yang besar darinya
untuk restorasi Sorbonne yaitu , sepenuhnya untuk memenuhi
kesombongannya, sementara ia berusaha mencari tempat yang sesuai
untuk makamnya, dengan cara yang sama, Palais Cardinal, yang akan
menjadi Palais-Royal, dibangun untuk menghormatinya sebagai titik
pusat dari apa yang disebut ‘kawasan aristokrat’, dirancang sebagai
kediaman para penguasa kota dalam kemegahan yang seharusnya
mereka terima.
Kawasan Paris pada tahap ini sebagian besar berada di bawah
kendali spekulan yang pintar dan kaya—pria seperti Louis Le Barbier,
yang mengusir para pelacur dan calo dari Île aux Vaches dan Île Notre-
Drame, menyatukan kedua pulau itu untuk dijadikan enklave paling
menyehatkan Île Saint-Louis. Le Barbier diperintahkan oleh raja
untuk meruntuhkan dinding lama di utara Paris, memperluas wilayah
ibukota dengan sejumlah distrik baru. Kontrak disusun dan disusun
193
ulang namun hanya sedikit pekerjaan yang dilakukan tanpa adanya
pembayaran langsung (prioritas Le Barbier yaitu mengumpulkan
mahar yang cukup besar bagi putri-putrinya). Richelieu sangat
membenci Le Barbier dan rekan-rekannya sebab ambisinya untuk
kota itu berseberangan dengan oportunisme dan energi wirausahawan
mereka. Namun kardinal tak bisa menemukan alasan untuk
membunuh pria-pria ini. Sebaliknya, ia berencana menghancurkan
mereka dengan perang pengikisan keuangan berkepanjangan yang
diniatkannya untuk menang, meskipun akan nyaris menghancurkan
keuangan kerajaan.
Wilayah yang berada tepat di utara sungai, membentang menuju
apa yang kini disebut rue de Richelieu, yaitu pusat dari mimpi urban
sang kardinal dan sebab nya diberi nama ‘Quartier Richelieu’. Sulit
dikatakan betapa ironisnya niat Corneille saat ia memuji ‘kota Paris
baru’ dalam Le Menteur (‘Sang Pembohong’) di tahun 1643 sebagai
“sebuah kota yang utuh, dibangun dengan megah, dan yang tampaknya
muncul, sebagai suatu keajaiban, dari selokan tua dan rusak.”3
Teater Jalanan
Kemajuan kebudayaan politik dari pemerintahan absolut bertentangan
dengan kehidupan sebagian besar Parisian biasa, yang di bawah
rezim Louis XIII tak kehilangan rasa ironi mereka, atau kegemaran
pada kesenangan sederhana akan pasar malam dan pasar yang kini
ditetapkan sebagai bagian utama dari kebudayaan populer Parisian.
Selama tahun-tahun pertama dari abad baru, dan kendati ditentang
oleh otoritas agama, para pelawak, seniman keliling kembali menjadi
pengisi acara di pasar jalanan dan pasar malam, seperti yang mereka
lakukan di masa abad pertengahan, sebelum Puritanisme dan perang
saudara membersihkan jalanan dari ménestrels, trouvères, jongleurs
dan kesenangan tak berbahaya yang mereka tawarkan.
Favorit Parisian termasuk ‘Gros Guillaume’ (faktanya ia yaitu
warga asli Normandia bernama Robert Guérin), yang, setidaknya
menurut Henri de Sauval yang secara rutin menyaksikannya beraksi,
“sangat gemuk, kulitnya sangat berminyak dan berperut besar” hingga
194
“ia berjalan untuk mengejar perutnya.” Aksi Gros Guillaume yaitu
muncul di panggung mengenakan sebuah tong dan wajahnya berbalur
tepung (mengingatkan para penonton bahwa ia dahulu seorang
pembuat roti). Ia melawak, bernyanyi dan tertawa menyeringai sambil
melakukan repertoar yang mengarah antara satire politik yang asam
dan bahasa mesum, menyasar baik pria maupun wanita dengan
kecerdasan yang tidak sopan.4
Gros Guillaume biasanya ditemui saat petang atau malam hari
di Pont-Neuf, yang merupakan pusat kehidupan kebudayaan kota,
kerumunan sibuk para pedagang kaki lima, calo, pelacur, pembeli,
pengemis, dan Parisian kelas menengah yang terhormat. Jembatan itu,
dengan lebar 28 meter, tidak hanya lebih lebar dari jembatan yang ada
di Eropa, namun juga lebih lebar daripada jalan raya atau jalan mana
pun. Jembatan ini yaitu panggung alami bagi para seniman kota,
menyediakan tempat bagi para penonton untuk mencicipi es