Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 6

 


juga lebih kejam 

daripada yang berani dilakukan organisasi-organisasi sektarian 

sebelumnya, dan secara aktif memprovokasi pemberontakan serta 

peperangan di kalangan kelas yang lebih rendah. Liga ini berfungsi 

sebagai kekuatan pengawas paramiliter, memprovokasi unjuk rasa 

dan memimpin kerusuhan mematikan terhadap penganut Protestan. 

Liga ini beranggotakan beberapa ribu orang namun, yang terpenting, 

liga ini nyaris memperoleh dukungan penuh dari Parisian. Dalam 

sebuah momen intervensi politik yang langka pada Mei 1588, Henri 


161


berupaya membatasi popularitas Guise yang terus meningkat dengan 

menempatkan para prajurit di jembatan-jembatan kota dan di beberapa 

lokasi di Quartier Latin yang mungkin menjadi tempat munculnya 

pemberontakan pro-Liga. Marah atas pembatasan kebebasan mereka, 

warga Paris bangkit melakukan revolusi dan mendirikan barikade-

barikade di sekitar kota. Henri diam-diam menarik pasukannya dan 

membiarkan badai mereda dengan sendirinya.

Di saat yang sama, lisensi duniawi di Paris melampaui batasan 

semua agama, sosial, dan gender. Henri lebih menyukai seks 

daripada politik dan membuat dirinya dikelilingi oleh pria-pria muda 

yang kewanita-wanitaan—les mignons, atau ‘orang-orang manis 

cilik’—yang memujanya, bersorak saat ia muncul di istana dengan 

berpakaian sebagai seorang wanita, dan menjulukinya ‘Raja Sodom.’ 

Para mignons sendiri dikenal di seluruh Eropa atas gaya berpakaian 

mereka yang berlebihan dan tingkah lakunya yang menggelikan. 

Edmund White menggambarkan mereka sebagai “cukup biseksual 

untuk berduel memperebutkan wanita” dan “cukup pemberani untuk 

mempertahankan monarki saat ia diserang dalam pertempuran 

agama.”1 Namun para mignons juga dibenci oleh orang biasa sebagai 

perwakilan dari sistem politik yang mengalami kemunduran di mana 

seks dan uang dapat membeli keistimewaan serta kekuasaan …

Henri III yaitu  orang yang tak bisa diduga lagi kejam. Pelawaknya, 

Foellet, misalnya dicambuk dan dikirim ke Bastille hanya sebab  

mengatakan bahwa Paris berisikan orang miskin dan juga orang kaya. 

Kebenaran yang sangat jelas dalam pernyataan ini dipandang sebagai 

ancaman langsung terhadap raja. Sementara itu, seiring dengan 

berjalannya abad dan kota menjadi semakin terasosiasi dengan 

fanatisme serta pembunuhan, kata ‘Parisian’ itu sendiri telah menjadi 

istilah penganiayaan di luar istana. Di daerah-daerah, bahkan ‘Parisian’ 

terkejam kerap kali diusir dari pintu-pintu gerbang kota sebagai orang 

gila religius dan pembunuh potensial. 

Kebudayaan yang Berlawanan

Pertanda yang paling terlihat dari kejompoan moral di kota yaitu  

jumlah pelacur dan pengemis yang menyambut para pengunjung. 



162

Bagi siapa pun yang tiba dari kota-kota yang lebih tertib yaitu Angers, 

Rouen atau Dijon—masing-masing dengan populasi kelas-kelas 

kriminalnya sendiri—gerombolan calo, pencuri, pengemis cacat, 

pelacur anak, pemabuk, pelacur tak tahu malu dan bandit tentulah 

tampak sangat mengejutkan. Guillebert de Metz mencatat bahwa 

di pertengahan abad ke-15, ibukota memiliki 80.000 pengemis dari 

populasi sebesar 250.000 jiwa. Data tersebut mungkin saja terlalu 

dilebih-lebihkan, namun ada  banyak insiden yang menandakan 

bahwa pada pertengahan abad ke-16 dunia bawah tanah jauh lebih 

besar dan lebih berbahaya daripada abad-abad sebelumnya dalam 

sejarah kota.

Sebagian besar penadah dan pengembara yang berkumpul di 

Paris pada dekade-dekade pertama abad itu merupakan prajurit 

pengangguran, sering kali datang dari daerah pedalaman, yang 

mendapati diri mereka terdampar di Paris tanpa keahlian dan terputus 

dari latar belakang keluarga masing-masing. Seperti yang terjadi di 

masa kekuasaan Villon, kejahatan yaitu  satu-satunya pilihan untuk 

bertahan hidup bagi pria-pria ini. Demikian pula, walaupun prostitusi 

merupakan profesi yang semi-dihargai, pemerkosaan, hubungan 

seks sedarah dan kehamilan di luar nikah amatlah tabu dan biasanya 

menjadi alasan mengapa para wanita dan gadis-gadis berada di jalan, 

menghidupi diri mereka sendiri dalam kelas bawah yang keras dan 

didominasi oleh kaum pria.

Hal yang paling mengejutkan warga Paris yaitu  kerap terjadinya 

bentrokan publik antara anggota kelas bawah dengan para prajurit 

bergaji yang menghabiskan uang dalam jumlah besar di kedai-kedai 

minum atau kabaret-kabaret. Para prajurit reguler memihak rekan-

rekan mereka yang jatuh miskin pada 1536, saat  banyak veteran 

operasi militer ke Italia kembali ke Paris untuk menemukan bahwa 

Kerajaan lupa membayar mereka. Sempat terjadi kerusuhan dengan 

kekerasan dan Parisian terhormat berusaha menghindari bepergian 

ke luar pada malam hari, atau berkeliaran di jembatan atau gang kecil 

di siang hari sebab  takut dirampok atau dibunuh.

Pada 1536, populasi penjahat telah membengkak yang menjadi-

kannya tak hanya gangguan tapi juga ancaman nyata bagi pemerintah 

kota. Pada 1518, sekelompok kriminal menyerang penjara di Les 


163


Halles dan membunuh petugas pengeksekusi; pada 1525, Port au Sel di 

sungai Seine rusak dalam kerusuhan;  pada 1534, sebuah geng jalanan 

masuk secara paksa ke Louvre dan mencuri Bendera Raja.

Pemerintah ragu-ragu saat  mengatasi masalah ini sebagai suatu 

kejahatan sosial (pada 1554, Kantor Besar untuk Orang Miskin 

dibentuk di Hôtel de Ville untuk membagikan makanan kepada 

orang-orang yang kelaparan) atau kejahatan biasa (secara teknis tak 

mungkin membedakan antara kemiskinan dan kejahatan: orang-

orang yang disangka memiliki kecenderungan kriminal dipenjara 

di sebuah rumah sakit jiwa di Saint-Germain yang dijuluki sebagai 

‘Rumah Kecil (Little House)’ oleh Parisian).

Pada saat inilah legenda atau berbagai legenda dari Cours des 

Miracles (‘Lapangan Keajaiban’) muncul di Paris. Legenda ini 

melibatkan tempat-tempat rahasia di kota di mana para pengemis, 

penadah dan pencuri akan kembali pada malam hari ‘secara ajaib’ 

untuk melepaskan kesengsaraan mereka—kebutaan pura-pura, 

amputasi, atau penyakit parah lainnya. Kemudian mereka akan 

bergaduh dengan minum minuman keras, pelacur dan rekan-rekan 

dalam kejahatan, semua ini di bawah pengawasan ‘Sang Raja Pencuri’. 

Sang ‘raja’ ini pada masa François I disebut ‘Le Ragot’ (bentuk yang 

diubah dari nama ini berasal dari istilah argot atau ‘slang’) atau 

kemudian pada ‘Grand Coësre’ (‘Ketua Besar’). Peraturannya yaitu  

untuk membayar persentase pendapatan harian kepada ‘raja’ (ini 

disebut cracher dans le bassin, ‘meludah di baskom’); sisanya harus 

dihabiskan saat matahari terbit dengan minum minuman keras atau 

dengan pelacur. ‘Raja’ mengenakan sebuah topi wanita, sehelai seprai 

robek dan membawa semacam tongkat kebesaran. Ini benar-benar 

dunia yang telah dijungkirbalikkan.2

ada  setidaknya belasan sekolah untuk perampokan dan 

prostitusi yang tersebar di sepenjuru Paris. Menurut Henri Sauval, 

sekolah semacam ini dapat ditemukan di sepanjang rue du Bac, rue 

de Reuilly, rue de la Mortellerie, the Marché Saint Honoré, rue de 

Tournelles, rue du Marsis, Faubourg Saint-Marcel, dan Butte Saint-

Roch. Sekolah yang paling ‘terkenal’ berada di sebelah apa yang kini 

dikenal dengan nama Place du Caire, dekat rue de Damiette. Cour 

yang didirikan pada abad ke-13 ini, dan dengan halaman yang bau, 



164

hanya dapat dimasuki dari gang yang berliku-liku, merupakan model 

dari Cour des Miracles yang terkenal dalam kisah Notre-Dame de Paris 

karya Victor Hugo. Henri Sauval, yang telah membaca dan mendengar 

cukup banyak tentang tempat ini untuk memunculkan rasa penasaran 

yang tanpa pikir panjang, mengunjunginya bersama seorang 

pemandu—dan boleh dibilang, Sauval menyerahkan nyawanya ke 

tangan orang itu. 

Halaman ini terletak di sebuah lapangan yang berukuran cukup besar dan 

di dalam sebuah cul-de-sac yang bau. Untuk mencapainya Anda harus 

menemukan jalannya melalui jalan-jalan kecil dan jorok, yang berputar-

putar ke segala arah; untuk mencapai lapangan itu, Anda harus menuruni 

sebuah lereng yang cukup panjang dan tidak rata, saya melihat sebuah rumah 

dari lumpur yang setengah terkubur, sangat tua dan busuk, berukuran tak 

kurang dari 50 meter persegi, namun menampung lima puluh wanita yang 

bertugas menjaga banyak sekali anak kecil, telanjang ataupun setengah 

berpakaian. Saya diberi tahu bahwa lima ratus keluarga, bertumpuk satu 

di atas yang lain, hidup di halaman itu. Dahulu ukurannya lebih besar: kini, 

dipelihara oleh kemalasan, bertambah gemuk akibat perbanditan, dalam 

keserakahan dan berbagai macam kejahatan dan perbuatan jahat. Di sana, 

tanpa memiliki pikiran akan masa depan, masing-masing menikmati masa 

kini dan memakan setiap malam dengan kesenangan yang telah diperoleh 

dengan merepotkan orang lain dan bahkan kekerasan di siang hari; sebab  

mereka yang tinggal di sana memperoleh pendapatan dengan merampok; 

dan ini yaitu  satu dari hukum paling mendasar dari cour des miracles 

bahwa tak ada apa pun yang boleh disimpan untuk esok hari. Setiap orang 

hidup dengan lisensi besar; yang bukan merupakan kepercayaan atau 

hukum. Orang-orang yang tinggal di sana tak pernah mendengar soal 

baptisme, pernikahan, dan sakramen...3

Cours des Miracles tak hanya beroperasi di bawah pimpinan mereka 

sendiri, namun juga memiliki bahasa dan aturan main tersendiri, 

membuat struktur kegiatan kriminal dalam suatu hierarki yang ketat. 

Hal ini meliputi: Courtauds de Boutange, pengemis paruh waktu yang 

hanya diperbolehkan bekerja di jalanan saat musim dingin; Capons, 

yang bekerja di kabaret sebagai pencopet yang membawa pisau, 

atau dengan beberapa rekan menarik perhatian pejalan kaki dengan 

berpura-pura menjadi korban perampokan; Francs-mitoux, yang 


165


memalsukan penyakit hingga mampu menipu dokter-dokter terbaik; 

Hubains, yang memiliki sertifikat palsu yang menyatakan bahwa 

mereka telah disembuhkan dari rabies oleh Saint Hubert dan kini harus 

melakukan ziarah untuk berterima kasih atas bantuannya ini; Rifodés, 

yang, dengan didampingi istri dan anak-anaknya, menyerahkan 

sebuah sertifikat kepada Parisian tak waspada yang menyatakan bahwa 

rumah mereka telah hangus terbakar; dan Sabouteux, yang menakut-

nakuti orang dengan serangan epilepsi palsu, atau kesurupan Setan, 

berguling-guling di tanah, dengan mulut berbusa yang sebenarnya 

hanya sabun.

Terjadi perdebatan sengit tentang apakah Cours des Miracles murni 

rekaan kesusastraan. Menurut sejarawan André Rigaud, Henri Sauval 

hampir dipastikan meminjam kisahnya dari seorang penulis bernama 

Olivier Chéreau. Chéreau kemungkinan besar mengambilnya dari 

seseorang bernama Péchon de Ruby, yang pertama kali menulis tentang 

Cours des Miracles dalam karya berjudul La Vie généreuse des merceots, 

gueux et bohémiens (‘Kehidupan Serba Berlebihan dari Para Penipu, 

Bajingan dan Bohemia’), diterbitkan di Lyons pada 1596. Péchon de 

Ruby mengklaim telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di jalan 

mempelajari dan mendokumentasikan kehidupan karakter-karakter 

ini, bahasa mereka, para santo pelindung dan hierarki terbalik dari 

kehidupan profesional serta sosial mereka. Secara alamiah, gambaran 

yang ia berikan bersifat simpatik dan memberikan pandangan yang 

tajam ke dalam masyarakat mikro yang mencemooh semua bentuk 

otoritas serta meremehkan uang sebagai perangkap hina. ‘Kehidupan 

yang pemurah’ yaitu  kebebasan yang ditemukan dengan cara 

menghindari bekerja atau keterikatan pada lahan atau wilayah; dengan 

cara ini, kaum Bohemia yaitu  nenek moyang kasar dari kelompok-

kelompok anarkis yang akan muncul di kawasan yang sama di Paris 

pada abad kesembilan belas, yang mengumumkan perang terhadap 

pekerjaan, keluarga, dan agama.

Dengan cara yang sama, ruas jalan yang paling ‘terkenal’ pada 

periode ini tetap bertahan selama berabad-abad. Sejak abad ke-15, 

rue de la Grande Truanderie dan hubungannya dengan jalan yang 

lebih kecil namun tak kalah buruk, rue de la Petite Truanderie, telah 

dikenal sebagai coupe-gorges, gang penggorok leher di mana truants 



166

(‘penjahat’) dari berbagai jenis mengklaim wilayah itu sebagai milik 

mereka sendiri dan berada di luar hukum. Hanya ada sedikit perubahan 

di bagian ini di pusat kota Paris: Pada suatu sore di akhir musim panas 

di awal abad ke-21, saya menyaksikan, di tengah kerumunan Parisian 

terhormat yang terlalu ketakutan untuk mengintervensi, saat dua 

mucikari berwajah keras menyayat wajah seorang korban di salah satu 

ruas jalan tersebut.

Bertatap Muka dengan Setan

Kehidupan Parisian di abad ke-16 memiliki mitos-mitosnya sendiri. 

Salah satunya (seperti yang kita lihat di Bab 12) yaitu  bahwa tanah 

dari permakaman Saints-Innocents, sebuah lokasi yang cukup kecil di 

pusat Tepi Kanan dan tidak lebih besar daripada lahan publik di kota, 

memiliki kekuatan besar.

Bahkan jika ini benar adanya, pada akhir abad ke-16 permakaman 

itu, yang sudah ada sejak sebelum masa Romawi, amatlah penuh. 

Jasad manusia selalu digali kembali dan ditumpuk di rumah jenazah 

jorok yang membatasi permakaman untuk memberi tempat pada 

mereka yang baru saja wafat; pada ruas jalan di sekitar tempat itu, 

yang seluruhnya merupakan pusat komersial dan permukiman tua, 

sudah terbiasa dengan bau busuk kuat yang tidak dapat hilang bahkan 

di musim dingin; di musim panas, orang dapat terjangkit penyakit 

hanya dengan berjalan-jalan di sekitar rue Saint-Denis.

Tak kalah menakutkan yaitu  desas-desus tentang praktik 

satanisme yang dilakukan di gua-gua bawah tanah, rasa takut yang 

sering dimanfaatkan banyak Parisian demi kepentingan sendiri. 

Salah satunya yaitu  César, yang tewas di penjara bawah tanah pada 

1615 (diduga dicekik oleh Setan sendiri), dan yang memiliki profesi 

menampakkan Setan pada sérapiens muda (slang terbalik pada 

periode itu untuk parisiens), yang membayar uang cukup besar untuk 

ditakuti-takuti.

“Aku menemukan sebuah tambang dalam yang berjarak sekitar 

seperempat liga dari Paris, saat menuju Gentilly,” tulis César dalam 

bukunya Confession pada 1615. “Apabila ada yang ingin melihat Setan, 


167


aku akan membawanya ke sana, namun sebelum memasukinya ia 

harus membayar kepadaku setidaknya 45 atau 50 pistol, kemudian 

ia harus bersumpah agar tidak membicarakannya di kemudian hari, 

tidak merasa takut, dan tidak berdoa kepada Dewa-dewa atau semi-

Ilahiah yang mungkin dapat mengganggu Setan.”

César memiliki enam orang rekan, yang berdandan sebagai orang 

Liar. Mereka akan bersorak dan berteriak, menyalakan obor saat César 

meracau, seolah-olah berkomat-kamit bahasa setan. Klimaksnya 

yaitu  kemunculan seekor kambing yang tak beruntung, sebagai 

Setan itu sendiri, yang telah dicat warna merah tua dan dijamin 

dapat membawa mimpi buruk bagi sang wisatawan di neraka seumur 

hidupnya.4 



168

17 

Hari-Hari Buruk

Desas-desus dan legenda penampakan Setan di Paris tersebar 

ke sepenjuru Prancis dan banyak orang pedalaman menghindari 

Paris sebisa mereka. Desas-desus tentang Paris sebagai tempat tinggal 

Setan kembali muncul pada abad ke-19, saat  penulis-penulis seperti 

Baudelaire, Pétrus Borel atau J.K. Huysmans merangkul penyebab 

buruk Setan dengan nama pemberontakan bawah tanah dan revolusi 

estetika. Namun teror yang diinspirasi oleh Setan pada abad ke-16 

bersifat lebih mendalam dan tentunya telah dijustifikasi.

Ketakutan akan ilmu tenung, ilmu sihir, dan satanisme telah 

menyebar ke penjuru Eropa selama periode ini, yang berpuncak 

pada histeria pembakaran penyihir di abad ke-17. Ketakutan tersebut 

merupakan hal umum bagi penganut Katolik maupun Protestan. 

Di awal abad ke-16, Gereja telah menjadikan satanisme dan ilmu 

sihir sebagai musuh resminya. Hal ini dinyatakan dalam Malleus 

maleficarum (‘Palu Kejahatan’), buku pedoman mencari penyihir 

yang diterbitkan oleh Dominikan pada 1486. Di Paris, hal ini menjadi 

pengalih perhatian yang berguna dari isu-isu politik nyata yang tengah 

dipertaruhkan—terkait faksi agama mana yang memiliki hak untuk 

memerintah kota. Namun bagi sebagian besar orang di kedua pihak, 

berbagai pembantaian yang saling dilakukan penganut Katolik dan 

Protestan di Paris hanya dapat dijelaskan sebagai hasil kerja Setan.

Catherine de Médicis digambarkan sebagai perwakilan bumi dari 

Setan dalam Les Tragiques (‘Orang yang Tragis’), puisi panjang dan 

sangat berapi-api yang ditulis oleh Agrippa d’Aubigné dari kaum 

Huguenot pada akhir 1500-an. Puisi ini bertujuan sebagai suatu 

kiasan dari perang saudara yang berkobar di Prancis sejak tahun 

1560-an yang berpusat pada pembantaian di Hari Santo Bartholomew. 



169


Dalam puisi tersebut, Catherine dituding melakukan ilmu sihir, ilmu 

setan, mengorbankan orang tak berdosa (ia memang digosipkan turut 

mengikuti Misa hitam di Vincennes). Namun yang paling penting, 

setidaknya dari pandangan teologi Calvinis, yaitu  fakta bahwa 

ia menginkarnasikan sebuah prinsip tentang perubahan konstan 

(‘change en discord avec les elemens’) yang merupakan esensi sejati dari 

kejahatan manusia. saat  ia wafat pada tahun 1589 di usia 69 tahun, 

Parisian bersumpah bahwa jika mereka dapat mengambil jasadnya 

mereka akan melemparkan ke sungai Seine. Catherine cepat-cepat 

dan secara sembarangan dimakamkan di Blois. Namun kematiannya, 

meski tampak sangat pantas, tidak menandai berakhirnya penderitaan 

Paris. Sebaliknya, kematian Catherine de Médicis merupakan awal 

dari siklus pembunuhan lainnya.

Siklus ini diawali dengan pembunuhan Henri III pada tahun yang 

sama. Pada saat itu, populasi Paris telah berada di bawah kendali 

keluarga Guise dan Liga Katolik selama sekitar dua puluh tahun. 

Parisian biasa membenci sang raja yang bersifat seperti wanita dan 

cara hidupnya yang boros. sebab  itu, tidaklah sulit bagi Liga untuk 

secara rutin mengumpulkan warga agar turun ke jalan-jalan yang 

melingkari istana. Sorbonne juga berada di luar kendali anggota 

kerajaan dan secara efektif bertanggung jawab atas perubahan suasana 

di kota, menentukan apa yang dianggap layak secara politik maupun 

‘menyimpang dari agama’. Hal ini termasuk berdoa bagi kematian 

sang raja dan kemenangan akhir bagi Liga. sesudah  wafatnya Catherine 

de Médicis, tampaknya seluruh Paris sedang mengorganisasi perang 

melawan raja.

Liga Katolik dan Henri yaitu  musuh mematikan hingga saat Henri 

ditusuk oleh Jacques Clément, seorang biarawan di biara kuno dari 

kelompok biarawan Jacobin di rue Saint-Honoré  (para biarawan ini 

disebut ‘Jacobin’ sebab  rumah pertama mereka berada di rue Saint-

Jacques: nama itu kemudian dipindahkan ke klub politik dari Revolusi 

1789, yang biasa bertemu di biara kuno dari ‘Jacobin’ pertama). 

Clément telah dibujuk oleh Bourgoing, pendeta senior dari kesusteran 

dan teman dekat keluarga Guise, bahwa malaikat akan turun dari 

surga untuk membantunya membunuh raja, atau setidaknya ia akan 

masuk surga sebagai seorang martir berjaya demi tujuan Katolik.



170

Clément pergi menemui raja di château-nya di Saint-Cloud, di barat 

daya kota, pada Selasa 1 Agustus 1589 dengan alasan ia membawa 

surat-surat penting dari para pemrotes yang dipenjarakan di Bastille. 

Pada awalnya, ia tidak diizinkan masuk oleh pengawal namun saat 

raja melihat biarawan itu berdebat dengan prajuritnya, raja meminta 

Clément masuk, menyatakan dengan suara keras bahwa ia bukanlah 

‘musuh para biarawan’ ataupun ia berusaha menghindari mereka. 

Saat raja mulai membaca surat-surat yang dibawanya, Clément 

mengeluarkan belati dan menghunjamkannya ke perut Henri. Sang 

biarawan meninggalkan belati yang patah di dalam usus raja. “Aku 

dibunuh oleh seorang biarawan jahat,” teriak sang raja. “Bunuh dia 

sebelum ia membunuhku!”1

Kabar kematian Henri disambut gembira di Paris Katolik. Duchesse 

de Montpensier—seorang tokoh ternama dalam Liga dan musuh 

bebuyutan raja, dan yang telah mendorong Clément—memeluk 

pembawa pesan yang menyampaikan kabar tersebut. “Ah, temanku,” 

ia berkata, “apakah ini benar? Tiran yang jahat dan licik, apakah ia 

benar-benar mati? Tuhan telah memberikan hadiah besar kepada 

kita! Aku hanya marah pada satu hal: bahwa ia tidak mengetahui 

sebelum kematiannya bahwa akulah yang menyuruh membunuhnya!” 

Bersama dengan duchesse de Nemours, ia pergi ke jalan-jalan Paris, 

berlari, menari dan berteriak keras dengan riang gembira: “Sang Tiran 

sudah Mati! Kabar Gembira untuk Semua!”2 Mengumumkan bahwa 

kematian raja harus dirayakan pita hijau yang ia bagikan ke sepenjuru 

kota.

Sementara itu, duchesse de Nemours pergi ke gereja Les Cordeliers 

dan meludah pada mayat raja. Lampu-lampu dinyalakan setiap 

malam dalam perayaan di penjuru Paris sepanjang masa berkabung. 

Di tingkat yang lebih politis, para pendeta menulis dan menerbitkan 

apologia dan polemik yang mendukung Clément, atau menyebarkan 

gambar dirinya di altar-altar seakan-akan sang biarawan yaitu  santo 

martir.

Sejenak, tampaknya Kerajaan akan jatuh ke tangan Charles de 

Lorraine, duc de Mayenne, seorang anggota terpandang dari Liga 

Katolik dan idola masyarakat Paris yang penuh semangat. Emosi 

publik sudah memuncak oleh kabar-kabar tentang para penganut 


171


Katolik yang terbunuh dan para pendeta yang menjadi martir di 

London. Mayenne bersumpah akan mengosongkan Paris dari 

penganut Protestan dan kaum loyalis yang mendukung Henri 

III, mengembalikan kekuasaan Katolik murni ke takhta. Sejenak, 

Mayenne cukup puas dengan mengambil alih kekuasaan gubernur di 

kota.  Namun ada  perlawanan yang serius dan meyakinkan dari 

Henri de Navarre, seorang Huguenot dari Gascony yang mengklaim 

sebagai keturunan Louis IX dan telah disebut oleh Henri III sebagai 

penerusnya. (Pernikahannya dengan Marguerite de Valois yaitu  

pernikahan menentukan yang memicu Pembantaian pada Hari Santo 

Bartholomew.)

Dalam waktu beberapa pekan pasca-pembunuhan raja, Henri 

bergerak dari markasnya di selatan Normandia, di mana ia dapat 

mengandalkan para sekutu untuk melawan Liga Katolik dan Dewan 

Enam Belas-nya, suatu badan penguasa yang terdiri atas para 

pendukung paus yang taat dan paling fanatik, yang kini mengendalikan 

kota dengan erat. Henri menunggu selama musim dingin, mempelajari 

semua gerakan masuk dan keluar dari Paris, menunggu hingga saat yang 

tepat untuk mengambil alih kota. Serangan pertamanya dilancarkan 

ke Ivry, hanya beberapa hari berjalan kaki dari ibukota. Namun saat 

ini, Mayenne telah memperkuat pasukannya dengan bantuan Spanyol. 

Dengan skala kekejaman yang baru, Henri menerobos mereka dan, 

dengan sebagian besar pasukannya berhasil selamat, ia pun tiba di 

pintu gerbang Paris pada Maret 1590. Pasukannya membakar lahan 

pertanian di sekitar dan menunggu dengan tenang untuk apa yang 

mereka antisipasi akan menjadi pengepungan singkat sebelum Henri 

akhirnya memasuki kota dengan disambut hangat oleh populasi yang 

bersyukur dan tunduk.

“Roti Madame de Montpensier”

Namun, realitasnya sungguh berbeda. Paris yaitu  kota yang kaya dan 

memiliki persediaan makanan yang memadai dan belum siap untuk 

menyerah dengan mudah. Dua serangan pertama yang dilancarkan 

Henri sangatlah lemah dan muram. Saat ia menyurvei kota dari 

ketinggian Montmartre, konon masyarakat menertawakan keberanian 



172

sekaligus kebodohannya.

Akan tetapi, Henri juga keras kepala. Menyadari bahwa kota itu 

terisolasi secara politik maupun militer, ia bersiap-siap pada awal 

Maret untuk melakukan pengepungan jangka panjang. Baginya, 

sangatlah mudah untuk menaklukkan Saint-Germain-des-Prés dan 

desa-desa di sekitar Montrouge, Issy serta Vaugirar. Wilayah yang 

belum bisa direbutnya berada di dalam tembok-tembok Philippe-

Auguste dan dikendalikan oleh Liga. Henri dan para jenderalnya 

berpikir bahwa pemerintahan ini tidak dapat bertahan lebih lama dari 

6 bulan, bahkan jika mereka meyakini Tuhan memihak mereka.

Pada awalnya, anggota Liga tidak kesulitan mempertahankan 

kendali mereka atas kekuasaan politik. Khotbah para pendeta dipenuhi 

oleh propaganda anti-Protestan—Henri tak lebih buruk dari anti-

Kristus, demikian mereka mengklaim, yang datang untuk melancarkan 

pembalasan atas Hari Santo Bartholomew dan menghancurkan kota. 

Para penentang dan orang-orang yang diduga sebagai mata-mata 

dilemparkan ke sungai Seine atau digantung di lapangan publik 

untuk dimutilasi dan dipermalukan. Liga menciptakan milisia di 

setiap quartier, beberapa di antaranya beranggotakan 3 ribu orang. 

Sebagian kecil di antaranya tak memiliki keberanian untuk bertempur 

namun lebih takut kepada para pendeta. Lebih sulit bagi Liga untuk 

mengendalikan amarah dan keputusasaan sebuah populasi yang 

perlahan mati kelaparan. Biara-biara, kesusteran-kesusteran, dan 

gereja-gereja memang masih memiliki suplai makanan, namun pada 

Juni sebagian besar kota mengalami kelaparan. 

Sejumlah tanda awal kondisi ini sudah terlihat jelas. Hewan 

peliharaan, kambing, kuda dan keledai, dijagal serta dijual di toko 

daging dengan harga tinggi. Bahkan kucing dan anjing ditangkap oleh 

pemerintah dan dipanggang di atas api unggun besar di alun-alun. 

Dagingnya diberikan kepada warga kota miskin bersama sekerat roti. 

Orang-orang kaya yang telah membeli pakaian bulu mahal sebagai 

investasi di masa sulit menemukan bahwa pakaian ini juga disita 

dan dimakan oleh sesama warga yang kelaparan. Ini lebih parah dari 

kondisi terburuk yang dapat dihadapi oleh Parisian. Seorang saksi 

mata yang juga anggota Liga melaporkan bahwa, dalam periode awal 

pengepungan, 


173


Warga miskin makan anjing, kucing, tikus, daun anggur serta tumbuhan 

herba lainnya dan rerumputan. Di penjuru kota, yang dapat dilihat 

hanyalah panci-panci berisi bubur mendidih yang diisi daging keledai 

atau bagal. Bahkan kulit hewan-hewan yang dimasak ini turut dijual dan 

disantap dengan nikmat. Di kedai minum dan kabaret, alih-alih anggur, 

para pengunjung meminum ramuan dari tanaman herba yang pahit. Jika 

roti putih untuk orang yang sakit dapat ditemukan, maka harganya akan 

lebih dari satu écu per ponnya. Aku telah melihat dengan mataku sendiri, 

orang miskin mengerumuni bangkai seekor anjing di parit di jalan, dan 

yang lain memakan isi perut yang telah dibuang ke selokan, atau memakan 

tikus got dan tikus rumah yang mati, atau otak dari anjing yang mati.3

Saat angka kematian mulai beranjak naik di awal musim panas, 

jalan-jalan dipenuhi oleh tumpukan tinggi mayat yang membusuk. 

Antara 150 hingga 200 mayat ditemukan setiap paginya. Kemudian, 

munculah berbagai jenis penyakit—perut membengkak dari korban 

busung lapar, baik yang hidup maupun yang mati, kini menjadi 

pemandangan yang umum ditemukan di kota. Tak ada lagi nyanyian 

dan parade untuk kepentingan Liga, hanya erangan dari orang-orang 

yang sekarat dan yang mati. Sebuah delegasi warga miskin Paris 

menyelinap keluar dari parit-parit kota untuk menemui Henri dan 

memberi petisi untuk kebaikan hatinya. Tergerak oleh kondisi Parisian 

yang kelaparan, ia memberi izin bagi sekitar 3.000 warga yang paling 

parah untuk meninggalkan kota. Keesokan harinya, hampir 4.000 

orang berusaha keluar dari Paris; sekitar 800 orang ditangkap oleh 

pasukan Henri dan dipulangkan.

Kondisi dengan cepat kian memburuk. Warga yang miskin dan 

kelaparan mulai menjarah permakaman di malam hari. Mereka mulai 

menggali tulang dan menumbuknya menjadi debu, meyakini bahwa 

debu ini sejenis tepung yang dapat dibuat menjadi roti. Warga yang 

paling kelaparan memakan debu ini, yang mereka sebut ‘roti Madame 

de Montpensier’, orang pro-Katolik sangat fanatik yang telah menari 

di jalan-jalan kota untuk merayakan wafatnya Henri III.

ada  pula pertanda aneh dari bencana selanjutnya. Saat duc 

de Nemours meninggalkan rumah besarnya di suatu pagi untuk 

mengunjungi para penjaga di tembok kota, ia diperingatkan oleh 

seorang penjaga agar tidak berjalan menuju rue des Francs-Bourgeois; 



174

“ada mayat seorang wanita yang dimakan oleh ular dan makhluk-

makhluk beracun,” bisik penjaga yang ketakutan. Halusinasi semacam 

ini kerap terjadi.4 Kanibalisme juga dilaporkan merebak di seantero 

Paris. Yang paling menyedihkan dari semua itu yaitu  kisah seorang 

wanita bangsawan, seorang janda, yang kedua anaknya mati kelaparan. 

Tak mampu membeli roti, ia pun memanggang anak-anaknya dengan 

bantuan pembantunya dan selama dua pekan memakan mereka setiap 

malam, dengan air mata mengalir di pipinya. Tak mengherankan jika 

sang wanita dan pelayannya tewas dalam hitungan hari. “Parisian 

telah memulai pengepungan dengan kebanggaan dan bermartabat,” 

lapor seorang saksi mata lainnya, “namun mereka dengan segera 

berada dalam kondisi kebinasaan ekstrem, memakan perabot rumah 

tangga, barang-barang mereka, memangsa satu sama lain. Lebih dari 

seratus ribu jiwa tewas dalam tiga bulan. Rumput tumbuh di jalan-

jalan, toko-toko tak beroperasi, tak ada yang bergerak. Hanya ada 

horor dan kesunyian.”5

Terlalu Banyak Darah

Ada banyak Parisian yang percaya bahwa sebuah keajaiban dapat 

menyelamatkan mereka. Pada akhir September di tahun pertama 

pengepungan yang buruk itu, keajaiban hampir datang dalam wujud 

sepasukan tentara Spanyol yang telah dikirim atas perintah Madrid 

untuk menyelamatkan penganut Katolik Paris. Perahu-perahu mem-

bawa gandum mencapai kota untuk pertama kalinya dalam berbulan-

bulan. Sorbonne menjamin kemartiran mereka yang tewas di bulan-

bulan terburuk bencana kelaparan dan, kendati tiga puluh ribu orang 

tewas, para pendeta mampu menyatakan bahwa kemenangan besar 

telah diraih.

Sejujurnya, ini bukanlah kemenangan, melainkan hanya satu cara 

memperpanjang pertempuran untuk memperebutkan kota. Henri 

menarik mundur pasukannya namun belum mengaku kalah. ada  

sejumlah upaya untuk mengambil alih kota melalui tipu muslihat. 

Pada Februari 1591, sepasukan kecil anak buah Henri berusaha 

memasuki kota di Porte Saint-Honoré dengan menyamar sebagai 


175


pedagang tepung. Orang-orang Katolik garis keras yang menjaga 

kota tak menunjukkan melemahnya semangat. Mereka membantai 

para tentara tersebut dan mencuri gandum yang dibawanya. Insiden-

insiden serupa terus terulang dalam bulan-bulan mendatang.

Namun, Liga tak memiliki kompetensi untuk menilai suasana hati 

rakyat. Kendati upaya terbaik Dewan Enam Belas untuk ‘memurnikan’ 

parlement dan kantor-kantor lain di kota, ada  gelombang ke-

tidakpuasan yang kian berkembang terhadap pemerintah kota, yang 

tampaknya kebal terhadap penderitaan orang-orang di sekitar mereka. 

Pada November, ketidakpuasan ini menjadi sebuah pemberontakan 

dan kemudian kekuatan revolusioner yang sesungguhnya. Pemicunya 

yaitu  persidangan dua pemuka agama, Magistri dan Brigard, yang 

dinyatakan bersalah sebab  bersimpati kepada keluarga kerajaan. 

Brigard dibebaskan dan Magistri dijatuhi hukuman ringan. Namun, 

Liga merasa sangat marah dengan kurang kerasnya persidangan dan 

penghukuman, dan meminta para pendeta untuk mengutuk tindakan 

tersebut. Pendeta gereja Saint-Jacques mengumumkan bahwa sudah 

satunya untuk “bermain dengan pisau.” Pencelaan dengan cepat 

berubah menjadi pembunuhan. Dalam tindakan pembangkangan 

terhadap pengadilan kota, Bresson dan para hakim lain yang me-

mimpin persidangan dihukum tanpa pengadilan dan digantung dari 

jendela sebuah bangunan di Petit-Châtelet.

Namun persatuan Katolik tidak terganggu. Mayenne bertindak 

keras terhadap kaum ‘ultra’ yang telah menghukum Bresson tanpa 

pengadilan tapi, sebab  mengkhawatirkan suasana hati rakyat, tidak 

melakukan apa pun tentang penggantungan para pendeta. Di saat 

yang sama, kelas borjuis tidak lagi melibatkan diri dalam pidato-

pidato fanatik para ulama dan mulai menyingkir dari agama serta 

pembunuhan. Perdamaian memang masih jauh, namun prosesnya 

sedang berjalan sebagai hasil dari suasana hati yang lelah dan kehabisan 

tenaga. Paris, untuk saat ini, telah melihat terlalu banyak darah.

Sebuah faksi pecahan dari populasi Parisian yang menamakan 

diri mereka sendiri les politiques memutuskan bahwa negosiasi 

merupakan satu-satunya cara keluar dari jalan buntu ini. Bahkan 

Mayenne menerima hal tersebut. Pada Maret 1592, kendati mendapat 

ancaman pengucilan dari Kepala Biarawan Sainte-Geneviève dan 



176

pendeta Saint-Eustache, delegasi yang dipimpin Mayenne pergi untuk 

berunding dengan Henri. Hanya ada satu poin utama dalam agenda: 

peralihan Henri menjadi penganut ajaran Katolik.

Henri tidak terlalu lama ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Ia 

tidak hanya didorong oleh argumentasi Mayenne bahwa tindakan ini 

akan menjadi tindakan cinta yang besar dan dan tidak dapat dibatalkan 

terhadap rakyat Paris, namun juga oleh argumentasi kekasih dan 

pasangannya Gabrielle d’Estrée, yang sangat ingin menjadi ratu 

Paris. ada  pula ancaman bahwa Spanyol akan mendudukkan 

seorang raja asing tetapi penganut Katolik di Paris. Takdir seperti 

ini ingin dihindari oleh Mayenne maupun Henri. Para ahli teologi 

diajak berkonsultasi dan akhirnya pada tanggal 10 Mei, Henri mampu 

mendeklarasikan dirinya siap berpindah agama dengan ucapannya 

yang ternama bahwa ‘Nilai Paris setimpal dengan Misa’. Pada 25 Juli, 

Henri terlihat di Montmartre sedang menerima Komuni. Namun para 

anggota Liga telah mempersiapkan rencana pembunuhan. Seorang 

biarawan dari Lyons bernama Barrière bepergian ke Paris untuk 

bertemu dengan biarawan dan pendeta, lalu mengajukan dirinya 

sendiri sebagai martir yang akan membunuh raja. Anak buah Mayenne 

membongkar rencana itu dan menangkap Barrière serta rekan-rekan 

komplotannya. Mereka kemudian disiksa dan dibunuh dalam penjara 

di Melun. “Bukanlah suatu hal aneh yang menunjukkan kejahatan 

hati manusia bahwa banyak sekali pria religius yang menginginkanku 

mati,” kata raja kepada dirinya sendiri.

Henri tidak memasuki Paris hingga Maret tahun berikutnya. 

Pada saat itu, kota telah dipersiapkan untuk masuknya Henry dalam 

parade kemenangan tetapi bukan sebagai pemenang. Kota kini berada 

di bawah kekuasaan ‘baik’, yang dipimpin oleh pŕevôt des marchands 

Jean Lhuillier yang karismatik dan moderat. Untuk menghindari 

konfrontasi langsung dengan raja, Lhuillier mengirim para prajurit 

Spanyol yang masih berada di kota dan setia kepada Liga ke wilayah 

pedalaman untuk mengejar resimen pasukan Huguenot yang tidak 

pernah ada. Pada 22 Maret, pada pukul empat pagi, Lhuillier sendiri 

yang membuka Porte Neuve di Quai du Louvre. Tepat pada saat 

yang sama, anggota dewan kota, Martin Langlois, membuka Porte 

Saint-Denis. Satu jam berlalu dan pasukan Raja Prancis dengan 


177


tenang berbaris memasukinya. Saat matahari terbit, Henri IV sendiri 

memasuki kota saat pasukannya menyerahkan sebuah traktat yang 

mendeklarasikan amnesti umum.

Warga berkumpul saat raja berjalan menuju rue Saint-Honoré, rue 

des Lombards, dan rue des Arcis. Ia membutuhkan waktu hampir dua 

jam untuk mencapai Pont Notre-Dame, yang tidak pernah dikunjungi 

oleh keluarga kerajaan dalam lima tahun. Para prajurit Spanyol, anggota 

Liga dan orang religius fanatik diperintahkan untuk meninggalkan 

Paris. Perintah tersebut segera dilaksanakan oleh sebagian besar dari 

mereka. Tak akan ada tawanan di kota ataupun darah yang kembali 

tumpah. Henri merasa yakin terhadap teman-temannya di kota 

namun ingin menenangkan atau menetralisasi musuh-musuhnya. 

Rakyat jelata mengelu-elukan kemurahan hatinya dan gembira bahwa 

ia cukup mencintai mereka untuk menjauhkan mereka dari konflik 

lebih jauh. sesudah  setengah dekade dalam kelaparan dan perang, Paris 

kembali memiliki perdamaian, roti, dan seorang raja.



178

18 

Memperlihatkan Surga

Saat perang saudara di Paris berangsur-angsur mulai menjadi 

kenangan, perhatian pertama Henri IV dan para penasihatnya 

di penghujung tahun 1590-an yaitu  membangun kembali kota. 

Pembangunan ini sangat penting secara politik selain dari sudut 

pandang lainnya. Warga Paris tak akan pernah memaafkan jika ia 

tak memenuhi kepercayaan yang mereka berikan sebagai penguasa 

dengan memulihkan Paris seperti sediakala. Lebih jelasnya lagi, Henri 

dan para penasihatnya menyadari bahwa kekuasaan masih rentan dan 

harus segera dikonsolidasi di bekas ibukota yang hebat itu dengan 

tujuan mengusir tantangan di masa depan. Henri sendiri tampaknya 

benar-benar mencintai kota dan ingin menjadikannya hebat kembali 

demi alasan sederhana bahwa ia ingin tinggal di suatu tempat yang 

sibuk dan aktif.

Pertempuran jalanan, pengepungan, dan perang besar yang tak 

kunjung berakhir yang dilakukan di penjuru lanskap kota telah 

menyebabkan kehancuran kota Paris secara fisik dan keuangan. 

Gereja-gereja dan bangunan milik pemerintah hancur. Bahkan ruas 

jalan yang paling kaya di pusat kota kini tak lebih dari jalur berlumpur 

dan hanya Parisian paling kaya yang mampu melintasi kota, dengan 

menunggang kuda atau dalam salah satu kereta kuda yang masih 

berfungsi, tanpa dikotori oleh lumpur dan kotoran manusia. Rumah-

rumah baru telah dibangun secara serampangan dengan bahan-

bahan termurah, bahkan hôtel terbesar di kota nyaris hancur, akibat 

penelantaran selama puluhan tahun. Bagi pengunjung yang pertama 

kali berkunjung ke kota, aspek paling terlihat dari pengabaian ini 

yaitu  bau menyengat dari sistem saluran air yang banjir ataupun 

macet. “Il tient comme boue de Paris” (“Hal itu lengket seperti lumpur 



179


Paris”) yaitu  perkataan yang dipakai di penjuru Prancis untuk 

menggambarkan benda hitam dan bau. “Variole de Rouen et crotte 

de Paris ne s’en vont jamaic avec la pièce” (“Anda tak akan pernah bisa 

menghilangkan cacar dari Rouen atau kotoran dari Paris”) yaitu  

perkataan serupa tentang kotoran di kota tersebut. Rumah-rumah 

dan jalan-jalan penuh dengan tikus besar. Jumlah Parisian yang tewas 

akibat wabah atau penyakit lain hampir sama banyaknya dengan 

korban tewas akibat konflik kekerasan dalam perang saudara selama 

tiga dekade. 

Salah satu tindakan Henri pertama sejak mengambil alih kekuasaan 

yaitu  mengumumkan serangkaian proyek pembangunan yang akan 

menempatkan kembali Paris sebagai permata Eropa. Tindakan ini 

juga merupakan nasihat dari Maximilien de Béthune, yang kelak 

dikenal sebagai duc de Sully. De Sully merupakan salah satu orang 

kepercayaan terdekat Henri dan ahli strategi sepanjang tahun-

tahun terberat dalam konflik terakhir. Ia seorang Protestan dengan 

pandangan yang jelas tentang takdir Henri, sekaligus takdir Paris dan 

Prancis. Selain itu, tak seperti rekan-rekannya di Inggris atau Spanyol, 

ia tak berkeinginan mengambil lahan atau kekayaan di Dunia Baru 

namun melihat masa depan Prancis sebagai pemimpin Eropa, atau 

setidaknya sebagai bagian darinya—Flanders dan Rhineland—berdiri 

sejauh mungkin dari Madrid atau Roma. Sully juga seorang pejabat 

cerdik dan berhati-hati yang melihat bahwa investasi keuangan dalam 

merestorasi Paris ke masa seperti keunggulannya di waktu lampau 

dapat dengan mudah dibayar kembali saat  kota itu menempati posisi 

yang sebenarnya sebagai ibukota budaya dan perekonomian di Eropa 

utara. Pertumbuhan Paris di bawah kekuasaan Sully dan Henri dapat 

diukur dalam peta-peta yang dibuat tahun 1609, saat  proyek-proyek 

raja baru dimulai, dan dalam ukuran kota itu, di peta-peta yang dibuat 

oleh Jacques Gomboust pada 1652, yang menunjukkan kota modern 

pertama berkembang hingga nyaris setengah ukurannya lagi, dipenuhi 

oleh para imigran dan memiliki arsitektur publik terbaik se-Eropa. 

Paris tak akan menjalani perubahan radikal seperti itu lagi hingga 

Kekaisaran Kedua di abad ke-19, saat  Napoleon III menugaskan 

dirinya sendiri untuk menciptakan kota paling spektakuler dalam 

sejarah.



180

Namun membangun kembali Paris bukanlah tugas yang mudah. 

Pada akhir 1590-an, kendati ada  sejumlah upaya perancangan kota 

di awal abad tersebut, Paris masih tetap sebuah kota abad pertengahan, 

meskipun berada dalam kehancuran. Henri menyerahkan penugasan 

kepada para arsitek dan pemborong dengan instruksi ekspres untuk 

menghapus masa lalu dan kenangannya, serta untuk membangun 

sebuah kota dengan gaya klasik seperti yang ia kagumi di Italia. 

Kayu-kayu dilarang dan rumah-rumah di kota baru akan terbuat dari 

bebatuan.1 Modelnya yaitu  lapangan bertiang elegan di Place des 

Vosges yang diselesaikan pada 1605 di lokasi yang dahulu merupakan 

pasar kuda dan dinamakan Place Royale hingga tahun 1800. Alun-

alun ini segera menjadi tempat berduel yang populer, tempat mencari 

pelacur dan tempat berjalan-jalan yang penuh gaya di kota, hanya satu 

langkah jaraknya dari quartier yang bergaya namun sarang penyakit 

di Marais. Henri pada awalnya menganggap alun-alun sebagai cara 

meningkatkan kondisi warga miskin Paris dengan menyediakan 

perumahan berbiaya rendah, namun Place des Vosges akan selalu, 

sejak hari pertamanya, pusat mode yang tidak dapat diubah lagi. Henri 

bahkan memiliki rencana lebih besar untuk membangun sebuah alun-

alun raksasa, Place de France, di pintu masuk menuju Marais dan kota 

di tempat yang sekarang bernama rue de Turenne. Namun hal ini 

masih dalam tahap perencanaan saat kematiannya di tahun 1610.2 

“Klitoris Paris”

Pengaruh modernisasi yang sama juga diaplikasikan pada jembatan 

di atas sungai, yang telah dibersihkan dari rumah-rumah dan toko-

toko yang menjadi jebakan kematian di saat terjadi banjir atau 

kebakaran. Pada 1607, Henri mengumumkan bahwa pekerjaan di 

Pont-Neuf, jembatan batu lebar yang melintasi sungai Seine yang telah 

direncanakan sejak 1566, akhirnya selesai. Warga Paris sebelumnya 

enggan membiayai pembangunan jembatan itu sendiri dan berusaha 

menghambat Henri dengan menolak membayar hingga kota-kota 

dan wilayah lain di Prancis membayar bagian mereka. Henri dengan 

tenang mengenakan pajak yang lebih dan lebih tinggi pada setiap tong 


181


anggur yang memasuki Paris dan pekerjaan itu pun selesai dalam 

waktu enam tahun dari rencana awalnya.3 Di tengah pembangunan, 

jembatan itu menjadi tempat olahraga populer bagi pria muda untuk 

menunjukkan keberanian dengan melompati kaki-kaki jembatan, 

dengan risiko tenggelam di sungai Seine jika mereka gagal. Sang 

raja cukup terkesan dengan permainan ini hingga ia ikut melompat. 

saat  diberi tahu bahwa banyak orang yang tenggelam dengan cara 

ini, ia menjawab: “Mungkin memang benar, namun tidak seorang pun 

dari mereka yaitu  raja”—sebuah gertak sambal yang, setidaknya bagi 

sebagian besar Parisian, merupakan pertunjukan keberanian yang 

menakjubkan.4

saat  pembangunannya akhirnya selesai dan dibuka, Pont-Neuf 

segera menjadi magnet bagi Parisian, yang berbondong-bondong ke 

sana untuk membeli dan menjual berbagai jenis barang, atau berjalan-

jalan tanpa tujuan atau mencari seks dan uang. Di tepian sungai yang 

menghadap ke jembatan pada awalnya ada  sebuah pahatan batu 

yang menggambarkan Yesus Kristus dan Orang Samaria yang murah 

hati. Kenangan terhadapnya dilestarikan di abad ke-19 saat  keluarga 

Cognacq-Jay menggunakan nama ‘La Samaritaine’ untuk toserba 

mereka yang masih berdiri hingga kini.5

Henri juga mengembangkan tanah telantar yang berada di sisi-

sisi jembatan. Di sebelah kanan yang menghadap Tepi Kanan, ia 

memerintahkan pembangunan Place Dauphine (dinamai menurut 

nama putra Henri), sebuah segitiga yang terdiri atas taman dan 

rumah bata merah yang dibangun menurut gaya ‘pedesaan’ yang 

saat itu populer di kota-kota provinsi Rouen dan Orléans. Tempat ini 

dibangun secara sengaja untuk menjadi penyeimbang atas gaya neo-

klasik yang polos dari Marais dan atmosfer yang lebih mirip pedesaan 

di jantung perdagangan kota. Place Dauphine kini terletak setengah 

tersembunyi dari kehidupan sibuk di pusat kota Paris dan, di belakang 

Palais de Justice yang suram, dengan orang-orang yang berpiknik, 

para pemain boules (permainan yang populer di Prancis, yaitu 

melemparkan mangkuk besi agar bisa mendarat sedekat mungkin 

dengan bola sasaran yang dimainkan di permukaan bergelombang—

penerj.) dan para perokok yang bersantai, memiliki suasana daerah 

yang membuat mengantuk. 



182

Tempat ini juga memiliki, setidaknya sejak abad ke-19, daya tarik 

rahasia dan erotis. Ini yaitu  salah satu tempat di mana André Breton 

tergila-gila mengejar Nadja ke sepenjuru Paris; André Malraux, yang 

biasanya yaitu  penulis paling tenang dan bijaksana, menulis bahwa 

Place Dauphine seperti vagina, “dengan bentuk segitiga dan garis-

garis yang sedikit membengkok, dan dengan celah yang memisahkan 

kedua hutannya.”6 Penyair lainnya menggambarkan Place Dauphine 

sebagai “klitoris Paris.”7 Baron Haussmann wafat sebelum ia dapat 

menyelesaikan proyeknya menghapus Place Dauphine dari peta Paris.

Namun pusat keerotisan yang sesungguhnya dari kota Paris di masa 

Henri, dapat ditemukan di bawah jembatan, di sisi sebelah kiri yang 

menghadap Tepi Kanan. Inilah tempat di mana raja memerintahkan 

pembangunan sebuah taman kecil yang sejajar dengan permukaan 

air, tempat ia dapat bercengkerama dengan teman-temannya, para 

penghibur, pelacur kelas tinggi dan wanita dengan moralitas rendah 

lainnya. Pulau ini pada awalnya dikenal sebagai Îlot aux Juifs namun 

segera diberi nama tak resmi oleh Parisian sebagai Square du Vert-

Galant (vert galant, atau ‘pemuda gagah’, yaitu  julukan Henri, yang 

ia peroleh sebab  kesenangannya pada kehidupan mewah dan gemar 

mempertontonkan keerotisannya).

Nama ini tetap bertahan hingga berabad-abad kemudian, beserta 

reputasi pulau itu sebagai lokasi petulangan seksual di malam hari. 

Inilah versi kota dengan kemunduran moral yang telah ditentang 

oleh penganut Protestan. Ini juga menjadi awal bagi tradisi Parisian 

akan semi-rahasia, permainan seks semi-publik yang dilakukan di 

luar ruangan, sebuah tradisi yang tetap bertahan di kota hingga kini, 

dari daerah tempat orang homoseksual berjalan-jalan di Tuileries dan 

jembatan-jembatan di bawah Austerlitz hingga karnaval pan-seksual 

di Bois de Vincennes atau Bois de Boulogne. 

Kaum Moralis dan Kaum Sinis

Salah satu fakta paling menakjubkan dari masa kekuasaan Henri yaitu  

bahwa Parisian dengan mudah membiasakan diri dengannya sesudah  

berpuluh tahun mengalami kekerasan yang tiada henti dan tiada akhir. 


183


Sebagian alasannya yaitu  sebab  mereka lelah berperang dan ingin 

semua bagian dalam populasi untuk bergerak maju dari kehancuran di 

tahun-tahun sebelumnya. Kedua, Henri sendiri yaitu  seorang tokoh 

yang sangat bisa menghilangkan permusuhan yang kecintaannya pada 

seks, musik dan anggur serta ketidakpeduliannya pada kekakuan 

agama atau manuver politik ala Machiavelli membuatnya dengan 

cepat disayang oleh masyarakat luas. Kelemahannya akan wanita amat 

dikenal dan gundik utamanya, Gabrielle d’Estrée, yaitu  seorang 

bintang yang bersinar.

Parisian menertawakan bau badan sang raja yang mirip kambing 

dan penampilannya yang selalu kusut dan bagaimana ia selalu ber-

hasil memuaskan Ratu Marguerite yang cerewet (yang kemudian ia 

ceraikan pada tahun 1599) dan menaklukkan wanita cantik ternama 

seperti Gabrielle. Parisian juga gempar saat  mengetahui kematian 

mendadak Gabrielle pada tahun 1599; kemungkinan besar ia diracuni 

oleh Sebastiano Zametti, salah satu kroni raja dan mungkin salah satu 

selingkuhan Gabrielle. Sudah menjadi ciri khas dari pria itu bahwa, 

kendati sangat sedih atas kematian Gabrielle, ia akhirnya berhasil 

bangkit untuk menikahi Marie de Médicis, seorang wanita yang lebih 

bersahaja daripada Gabrielle. Sang raja menjulukinya ‘bankir gemuk’ 

namun Marie tetap setia memberikan stabilitas seksual dan emosional 

di tahun-tahun mendatang.

Di bawah kepemimpinan Henri, Paris berkembang dan menjadi 

suatu tempat yang menenangkan di mana para wisatawan Eropa 

datang untuk mencicipi kebebasan yang tidak pernah dinikmati oleh 

warga Paris selama hampir satu abad lamanya. Secara mengejutkan, 

kendati terjadi turbulensi politik di akhir abad ke-16, kehidupan 

di Paris juga ditandai oleh kesatuan kebudayaan yang aneh. Perang 

Agama yaitu  perang yang kompleks dan berdarah, namun prinsip 

utama dari konflik itu amatlah sederhana: Pertentangan antara 

pengaruh ajaran Protestan yang makin berkembang dan berbagai 

masalah dalam Gereja Katolik, yang masih belum dapat keluar dari 

pandangan abad pertengahan tentang dunia dan masyarakat. 

Berbagai peristiwa pembunuhan di Paris yaitu  episentrum dari 

konflik ini. Di tingkat politik, krisis dalam pemerintah pusat di Paris 

memberi pertanda bagi monarki absolut yang akan banyak dihormati 



184

dan difitnah pada abad ke-18. Namun di tingkat budaya, kehidupan 

warga Paris anehnya diperkaya oleh sektarianisme dan bahkan 

kekerasan yang paling gila. Dalam contoh pertama, ini yaitu  hasil 

dari kemunculan Calvinisme sebagai suatu kekuatan kesusastraan 

dan politik. Sebenarnya sangat sulit untuk mengetahui siapa penganut 

Protestan dan siapa penganut Katolik berdasarkan kelas sosial mereka 

(kendati secara kasar, para petani dan bangsawan yaitu  penganut 

Katolik dan kelas menengah yang keras kepala yaitu  penganut 

Protestan). Dengan ketidaksukaan mereka kepada para pendeta 

dan sebuah keyakinan kuat akan nilai mereka sendiri, para Calvinis 

sangat mudah dikenali dalam politik dan kesusastraan. Calvin sendiri 

menulis dengan kecemerlangan yang tajam dan tanpa ampun yang 

mematahkan argumen-argumen lawan, dan menekankan bahwa 

Tuhan itu dapat dimengerti dan tidak misterius. Di Paris, di mana 

Calvin telah berdiam dan belajar, dan yang telah diporak-porandakan 

oleh bentrokan antara Gereja Katolik, dengan fanatisme abad 

pertengahannya, dengan musuh Reformisnya, bentuk rasionalisme 

ekstrem ini bertemu dengan kemarahan dan sambutan meriah yang 

seimbang. Nilai penting dan pengaruhnya tidak lagi diperdebatkan.

Para penganut Calvinis sangat ahli dalam bentuk teater bermuatan 

moral (Le Pape malade, ‘Paus yang Sakit’, yaitu  sebuah judul drama 

umum yang dipentaskan dari tahun 1560-an). Mereka juga ahli dalam 

apa yang mereka sebut ‘puisi ilmiah’, yang bertujuan mempelajari 

manusia dalam konteks sejarah, politik dan teologis. Agrippa 

d’Aubigné dan pengikut Gascon dari Henri IV, Guillaume du Bartas 

yaitu  contoh yang baik dari aliran membosankan ini, yang sangat 

dikagumi oleh Milton. Orang-orang seperti Rabelais dan Montaigne, 

yang mendukung humanisme Kristen liberal dan amat bersimpati 

kepada Gereja dengan semua kebesarannya yang kini hancur, berdiri 

tegas sebagai lawan dari Calvin dan para pengikutnya. Tradisi ini 

ditemukan secara utuh dalam Satire Ménippée, sebuah kompedium 

tulisan anti-Katolik yang ditulis oleh berbagai humanis, yang bersatu 

dalam keyakinan pada ‘jalan ketiga’ moderat untuk keluar dari jalan 

buntu yang ditimbulkan oleh Calvin dan musuh-musuh Katolik 

fanatiknya.

Buku ini terdiri atas tiga bagian: Pendahuluan bersifat karikatur 


185


yang memperolok ambisi pan-Eropa dari Katolik Spanyol; bagian 

kedua berisi pidato-pidato imajiner oleh anggota Liga yang tamak 

dan bodoh; dan bagian akhir yang berisikan epigram palsu. Teks ini 

dinamai menurut ahli filsafat Menippus dari Gadara dan bertujuan 

untuk memutarbalikkan fakta dalam perilaku yang diasosiasikan 

dengan salah satu aliran filsafat yang dikenal sebagai Sinik. Aliran 

ini berkembang di Yunani sesudah  abad ketiga Masehi. Buku tersebut 

dijual bebas dalam wujud manuskrip di Paris sesudah  tahun 1593 dan 

diterima dengan sukacita oleh Parisian, yang dapat mengenali rasa 

kekonyolannya yang tinggi dan kurangnya penghormatan pada prinsip 

teologi murni apa pun. Fakta bahwa seorang pendeta, Leroy dari 

Rouen, mungkin telah menyusun teks itu semakin menggarisbawahi 

sifat subversif buku tersebut bagi sebagian besar pembaca. Sebagai 

tambahan, buku itu tak hanya menawarkan kasus koheren bagi 

naiknya Henri IV ke takhta, namun juga berani membandingkan 

kota Paris-nya dengan Yerusalem. Perbandingan ini lebih bermakna 

hiperbolis yang sangat menggelikan daripada sebuah kesesatan di 

sebuah kota yang belum berhasil membebaskan diri dari puing-puing 

yang ditinggalkan oleh kebencian sektarian abad ke-16.

Pembunuh Visioner

Sungguh fakta yang tak terbantahkan, tampak jelas bagi wisatawan 

dan warga, bahwa di bawah kekuasaan Henri IV, Paris segera 

saja menjadi tempat yang lebih mudah dan lebih menarik untuk 

ditinggali. Kejahatan masih menjadi suatu masalah dan raja sendiri 

mengintervensi untuk memperkuat penjagaan kota, menaikkan 

gaji dan melipatgandakan jumlah penjaga. Pada 1607, sebuah barak 

didirikan di Châtelet dan Henri mengawasi pendirian sebuah markas 

kecil bagi para penjaga di setiap quartier dan patroli berkelanjutan di 

sepenjuru kota. Perampokan dan pembunuhan umum terjadi, namun 

jumlahnya berkurang daripada dalam tahun-tahun terakhir di abad 

sebelumnya. ada  sejumlah rencana pembunuhan terhadap raja, 

namun ini diabaikan sebagai bagian dari pekerjaan. Henri, yang tak 

tahu malu tapi menawan, menjelaskan bagaimana dan mengapa ia 



186

mengubah kota itu sebagai bagian dari tugasnya sebagai raja. “Ini 

sangat mudah,” ia menjelaskan pada pengiringnya. “saat  tuan rumah 

tak ada di rumahnya, terjadilah ketidaktertiban; namun saat ia pulang, 

kehadirannya yaitu  ornamen dan semuanya dapat diuntungkan 

darinya.”8

Namun, masih ada sejumlah orang di Paris yang menyimpan 

kemarahan dan kebencian atas apa yang telah Henri, mantan penganut 

ajaran sesat Protestan dan kini hidup bebas dengan kemerosotan 

moralnya, lakukan pada kota sejak kepindahan keyakinannya. Para 

anggota Liga, yang masih bekerja secara semi-tersembunyi di kota, 

tak pernah berhenti menyebarkan hasutan melawannya. Mereka 

mengumpulkan para pendeta yang setia, para biarawan yang tidak 

puas dan bahkan anggota kebangsawanan yang bersimpati atas gerakan 

mereka. Paris masih tetap sebuah kota Katolik, mereka berargumen, 

ahli waris spiritual dari kejayaan Roma dan misinya. Kota kini berada 

di tangan seorang pembohong seperti setan, pencuri dan monster 

anti-Kristen.

Salah satu orang fanatik yang meyakini hal ini yaitu  François 

Ravaillac, petapa yang sangat kurus dan menakutkan, calon biarawan 

yang saleh dan guru yang gagal dari Angoulême. Ia mengklaim 

bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan melihat visi akan 

musuh-musuh Tuhan berdarah-darah, tewas atau dalam pelarian. 

Kebenciannya terhadap raja dan kota barunya—yang bukan Yerusalem 

melainkan Neraka!—dikobarkan oleh komedi teatrikal dalam kabaret 

di kota asalnya. Dalam tradisi Protestan yang sekarang sudah mapan, 

komedi ini dipenuhi oleh argumentasi moral dan diringankan oleh 

humor, ironi atau kecerdasan. Pada April 1610, di Étampes, dalam 

pertunjukan Ece Homo, sebuah propaganda standar Protestan, 

Ravaillac menyadari apa yang seharusnya menjadi pekerjaan hidupnya: 

membunuh raja dan menyelamatkan Paris. Ia pun segera berangkat ke 

kota.

Ravaillac pernah ke Paris sebelumnya, gagal dalam upayanya bertemu 

dengan raja untuk memintanya mengusir semua Protestan dari negara. 

Ia pergi lagi ke kediaman raja di Louvre, tempat dirinya berbincang 

dengan para pelayan kerajaan dan berkeliling selama beberapa hari. 

Pada 10 Mei Ravaillac membeli sebuah pisau yang besar.


187


Pagi hari tanggal 14 Mei, keadaan terasa hangat di luar musim dan, 

saat ia bepergian dari Louvre ke Arsenal untuk mengunjungi Sully yang 

sakit, Henri membuka tirai di kereta kudanya. Ravaillac, dengan pisau 

di tangan, telah mengikuti iring-iringan raja dari rue Saint-Honoré. 

Saat kereta kuda raja berjalan di rue de la Ferronerie dan melalui bau 

busuk di permakaman Saint-Innocents yang berada di sebelahnya, 

kereta kuda itu terpaksa berhenti sebab  adanya sebuah gerobak 

pembawa jerami yang memblokade jalan. Saat Henri membungkuk ke 

arah duc d’Épernon untuk berkomentar, Ravaillac berlari menembus 

para pengawal, masuk ke kereta kuda dan menusukkan pisau panjang 

itu tiga kali ke dada sang raja.

 Bahkan dengan penyiksaan yang amat berat, Ravaillac mengklaim 

bahwa ia bertindak sendirian. saat  raja tewas, beberapa jam ke-

mudian di perpustakaannya, seluruh negara merasa resah. Orang-

orang fanatik di Liga membatasi diri dalam mengungkapkan 

kegembiraan mereka. Namun tampaknya sekali lagi sejarah Paris 

dan Prancis dikutuk untuk ditentukan oleh seorang pembunuh dan 

para pendukung fanatiknya. Rasa takut akan perang saudara kembali 

melumpuhkan kota.

Tetap saja, sebagian Parisian masih bisa menemukan sedikit 

ketenangan melalui eksekusi Ravaillac yang brutal—ia direndam 

dalam air panas, dirobek-robek dan bagian dadanya dipanggang dan 

dimakan oleh massa sebelum sisa jasadnya dibakar menjadi debu.



188

19 

Kebingungan yang Menakjubkan

“Sungguh aneh,” tulis seorang penulis buku harian dan 

pengacara Pierre de L’Estoile dalam jurnalnya pada 1584, “bahwa di 

kota Paris ada  orang-orang yang melakukan pencurian tanpa 

dihukum dan tindakan perbanditan yang lebih cocok dilakukan di 

hutan yang gelap.” Kemarahan L’Estoile sebenarnya ditujukan pada 

kekerasan acak dan mematikan yang telah menjadi makanan pokok 

dalam kehidupan sehari-hari di kota. “Pembunuhan, perampokan 

bersenjata, kebejatan dan segala bentuk tindakan melanggar hukum 

lainnya berkuasa di musim yang luar biasa ini,” tulisnya pada Januari 

1606:

ada  berbagai bentuk kekurangajaran dari para pembantu, termasuk 

pembunuhan … dua pembunuh yang berusaha menghilangkan nyawa 

baron d’Aubeterre dihukum di atas roda di Place de la Grève; seorang prajurit 

digantung sebab  membunuh tuan tanahnya gara-gara uang 10 franc; 

seorang pedagang yang sedang berjalan ke pasar digorok dan ditemukan 

tewas di selokan di Saint-Germain; ini semua tanpa menyebutkan sembilan 

belas pembunuhan lainnya di jalan-jalan kota Paris, yang dilakukan oleh 

orang-orang tak dikenal. Tahun ini dimulai dengan buruk, dan menjanjikan 

hal yang lebih buruk lagi di masa datang.1 

 

Dalam waktu satu hari saja—4 Mei 1596—di paroki Saint-Eustache, 

tujuh belas orang mati kelaparan. Statistik semacam ini dengan 

segera menjadi hal yang umum di abad baru saat kota digulung 

gelombang baru kelaparan dan penyakit. Kota milik Henri memang 

monumental dan terkadang mengagumkan, namun tentu saja bukan 

surga, khususnya bagi warga yang miskin, tua ataupun sakit. Paris 

juga dipenuhi oleh para penjahat berbahaya, berjuluk coupe-bourses 



189


(‘pemotong-tas’) atau tireurs de laine (‘perampas-wol’), yang di siang 

hari bolong menebas tas hingga terbuka atau menarik mantel termahal 

dari bahu warga yang ketakutan.

Konon, hampir semua penjahat itu terkait dengan penjaga kota. 

Yang paling kejam dan ditakuti yaitu  barbets (para ‘setter (salah 

satu jenis anjing)’—disebut demikian sebab  panjang rambut mereka 

menyerupai anjing berbulu panjang yang saat itu tengah menjadi 

tren). Para remaja bersenjatakan belati ini akan begitu saja masuk ke 

rumah-rumah orang kaya dan, dengan belati di leher penghuni rumah 

yang tak beruntung, menuntut uang atau benda lainnya.

Respons para pejabat gereja terhadap kesialan kota itu yaitu  

memerintahkan prosesi pengampunan dosa di kota, dan rombongan 

pria dan wanita yang bertelanjang kaki, tersaruk-saruk menuju salah 

satu gereja bahkan di tengah musim dingin, yaitu  pemandangan yang 

lazim ditemukan. Pada 14 Februari 1589, lebih dari seribu pemohon 

pengampunan dosa, setengah telanjang dan menggigil diterjang angin 

timur sedingin es, berkumpul di paroki Saint-Nicoals-des-Champs 

untuk berjalan menuju gereja. Fakta bahwa hari itu biasanya berisikan 

pesta kostum dan aktivitas karnaval lainnya hanya menambah 

kesucian pengabdian orang-orang yang disebut ‘Katolik yang baik’, 

dan bagi Parisian yang lebih skeptis yaitu  contoh mudahnya orang 

awam tertipu dan kekuatan manipulatif para pendeta yang gila Tuhan. 

Pemandangan ini tak hanya dicemooh oleh penganut Protestan 

namun juga sejumlah kecil ateis di kota, yang kini berani meng-

ungkapkan diri mereka pasca-Dekrit Nantes, deklarasi toleransi 

beragama yang ditandatangani raja pada 1594. Penganut Katolik 

biasa juga mengetahui bahwa pejabat gereja Katolik kini lebih 

tidak bermoral daripada sebelumnya; bahkan Parisian paling jahat 

sekalipun mengetahui adanya fakta bahwa banyak pendeta membawa 

senjata, kerap memimpin milisi pribadi dan terlibat dalam praktik-

praktik sihir penghujatan. Baik biarawati maupun pendeta mencintai 

keduniawian dan menyadari kekuasaan mereka atas kehidupan warga 

Paris biasa. Orang awam seperti L’Estoile merasa muak sebab  mereka 

tidak malu-malu mengenakan baju yang paling modis, meniru para 

bangsawan yang saat itu menyukai renda halus dari Venesia, kacamata, 

wig berbedak serta penggunaan jam tangan indah yang dikalungkan 



190

di leher dan dikenal sebagai montre-horloges. Memelihara janggut 

panjang sejak lama telah menjadi suatu penanda gaya dari masa 

François I dan seterusnya. L’Estoile sangat terkejut dengan semua 

kemerosotan moral ini, yang ia anggap sebagai penghinaan terhadap 

ketaatannya sendiri dalam beragama, khususnya saat ia melihat dua 

biarawati di jalan mengenakan rias wajah, rambut mereka tergulung 

dan dibedaki. Namun tetap saja, seperti yang dicatatnya, kendati 

korupsi yang tampak jelas dilakukan Gereja, begitu banyaknya 

peristiwa kejahatan di kota—dari perampokan hingga pemerkosaan 

dan pembunuhan—membuat gereja-gereja tetap penuh.

Tuhan yang Kasatmata

Henri IV digantikan oleh istrinya, Marie de Médicis, sebagai wali raja. 

Dengan mantap, ia meyakinkan Parisian bahwa masa depan sudah 

aman hingga putra Henri, Louis XIII yang masih muda dan pemurung, 

mencapai kedewasaan pada 1612.

Marie membenci Louvre, yang menurutnya suram dan penuh 

dengan kenangan buruk. Pasca-pembunuhan Henri, ia berencana 

mendirikan sebuah kota kerajaan baru di Tepi Kiri. Ia memulainya 

dengan membeli rumah besar milik duc de Luxembourg-Piney dan 

memerintahkan arsiteknya, Salomon de Brosse, untuk membuat 

sebuah istana yang setara dengan Palazzo Pitti di Florensia. Hasilnya 

yaitu  istana Luksemburg dan taman-tamannya. Marie tak pernah 

melihatnya dalam bentuk yang sempurna sebab  diselesaikan pada 

pertengahan abad yaitu jauh sesudah  ia wafat dalam pengasingan di 

Köln (Cologne) (lokasi di mana Richelieu menempatkannya).

Perubahan besar lain yang dialami kota pada masa ini yaitu  

manuver politik dari kelas penguasa. Sifat kota yang bergejolak dan 

ketidakstabilan di masa lalu telah membuat monarki mencemaskan 

keselamatan diri sendiri dan selalu siap menghentikan ketidakpuasan 

dengan kekuatan maksimum. saat  Louis XIII naik takhta, ia 

menunjukkan ciri khasnya dengan sikap yang menjauhkan diri, 

mudahnya ia bertindak kejam dan jarak yang ia jaga antara dirinya 

dengan kota yang berpenyakit, yang ia tinggalkan pada setiap 


191


kesempatan untuk pergi berburu di pedesaan. Louis sangat senang 

meninggalkan pelaksanaan kekuasaan sebenarnya kepada penasihat 

utamanya, Kardinal de Richelieu, putra seorang pria dari Poitou yang 

arogan namun cerdik yang akan segera menjadi penguasa efektif di 

Paris.

Richelieu memiliki tiga prioritas utama: menghancurkan per-

juangan penganut Protestan di Prancis, memperkuat kekuasaan 

absolut dari monarki, dan memperpanjang garis perbatasan Prancis 

dengan merugikan kerajaan Austria. Richelieu memulai kariernya 

sebagai pendeta untuk Concini, keluarga kaya dan berpengaruh yang 

digosipkan terlibat dalam pembunuhan Henri IV dan dihabisi oleh 

Louis XIII saat ia mencapai kedewasaan. sesudah  pembunuhan itu, 

Richelieu yang cerdik mundur ke Gereja namun ia segera mendekat 

dengan raja dan akhirnya bertanggung jawab atas istana dan para 

menterinya. Ia bangga sebab  dirinya bisa bertindak kejam: “saat  

aku telah membuat keputusan,” katanya, “aku langsung menuju 

tujuan; aku menjungkirbalikkan segalanya; aku meluncuti semuanya 

hingga tak bersisa; dan kemudian aku menutup semuanya dengan baju 

jubah merahku.”2 Musuh-musuhnya dengan misterius menghilang 

secara berkala dan ada  desas-desus akan terjadinya penyiksaan 

serta mutilasi di châteaux Bagneux dan Ruel. Sebagian besar korban 

Richelieu tewas di tiang gantungan, biasanya tanpa persidangan 

dan sebagian besar sebab  diduga berkonspirasi melawannya. Ia 

menganggap dirinya sendiri sangat penting dan mudah marah. Secara 

pribadi, ia datang untuk menyaksikan pemenggalan sejarawan terkenal 

dan terhormat Jacques-Auguste Thou, yang telah menulis dengan 

nada menyetujui terhadap Reformasi dan membuat pernyataan agak 

meremehkan tentang leluhur sang kardinal.

Dampak akhir dari tirani negara seperti ini yaitu  penghormatan 

dalam konteks menghina yang segera menjadi kebiasaan umum 

dari kelas politik. Raja sendiri, tokoh yang dingin dan berbahaya, 

memegang kekuasaan absolut dan digambarkan di parlement sebagai 

‘terinspirasi oleh Ilahi’ dan seorang “Tuhan yang kasatmata”. Richelieu, 

sebagai tangan kanan sang Tuhan, mengabdikan diri sepenuhnya 

tanpa berkomentar.  

Kendati ia seorang penulis yang buruk, Richeliue menganggap 



192

dirinya pelindung seni, menulis buku-buku tentang teologi dan 

drama, dan mendirikan Académie Française. Buku-buku itu terutama 

ditulis untuk memukau para gundiknya (gundik yang paling 

terkenal yaitu  Marion Delorme, duchesse de Comballet, yang juga 

keponakan Richelieu sendiri). Académie Française dimulai sebagai 

kelompok kesusastraan—mencakup sejumlah orang ternama di 

masa itu seperti Jean Ogier de Gombault, Antoine Godeau dan Jean 

Chapelain—yang bertemu secara semi-rahasia untuk membicarakan 

masalah kesusastraan dan filsafat. Richelieu-lah yang mencetuskan 

untuk menjadikannya lembaga resmi yang memberi otoritas pada 

bahasa Prancis dan hasil produksinya. Kemampuan Académie untuk 

berfungsi secara otonom terhambat sejak awal pendiriannya saat  

Richelieu memberi mereka tugas agar memublikasikan serangan pada 

drama Le Cid karya Pierre Corneille, di mana kardinal menyadari 

adanya serangan kepada dirinya sendiri (kecaman akhir Académie 

terhadap drama itu sebenarnya tak lebih dari sebuah kritik yang tidak 

cukup berani dan sombong terhadap tata bahasa dan gaya penulisan 

Corneille).

Di Paris, ambisi Richelieu terpusat pada proyek-proyek untuk 

menambah kebesarannya. Memang benar, ia mendirikan Jardin des 

Plantes, sebagian atas nasihat dokter kerajaan Labrosse sebagai sumber 

pengobatan herba. Namun pemberian dana yang besar darinya 

untuk restorasi Sorbonne yaitu , sepenuhnya untuk memenuhi 

kesombongannya, sementara ia berusaha mencari tempat yang sesuai 

untuk makamnya, dengan cara yang sama, Palais Cardinal, yang akan 

menjadi Palais-Royal, dibangun untuk menghormatinya sebagai titik 

pusat dari apa yang disebut ‘kawasan aristokrat’, dirancang sebagai 

kediaman para penguasa kota dalam kemegahan yang seharusnya 

mereka terima.

Kawasan Paris pada tahap ini sebagian besar berada di bawah 

kendali spekulan yang pintar dan kaya—pria seperti Louis Le Barbier, 

yang mengusir para pelacur dan calo dari Île aux Vaches dan Île Notre-

Drame, menyatukan kedua pulau itu untuk dijadikan enklave paling 

menyehatkan Île Saint-Louis. Le Barbier diperintahkan oleh raja 

untuk meruntuhkan dinding lama di utara Paris, memperluas wilayah 

ibukota dengan sejumlah distrik baru. Kontrak disusun dan disusun 


193


ulang namun hanya sedikit pekerjaan yang dilakukan tanpa adanya 

pembayaran langsung (prioritas Le Barbier yaitu  mengumpulkan 

mahar yang cukup besar bagi putri-putrinya). Richelieu sangat 

membenci Le Barbier dan rekan-rekannya sebab  ambisinya untuk 

kota itu berseberangan dengan oportunisme dan energi wirausahawan 

mereka. Namun kardinal tak bisa menemukan alasan untuk 

membunuh pria-pria ini. Sebaliknya, ia berencana menghancurkan 

mereka dengan perang pengikisan keuangan berkepanjangan yang 

diniatkannya untuk menang, meskipun akan nyaris menghancurkan 

keuangan kerajaan.

Wilayah yang berada tepat di utara sungai, membentang menuju 

apa yang kini disebut rue de Richelieu, yaitu  pusat dari mimpi urban 

sang kardinal dan sebab nya diberi nama ‘Quartier Richelieu’. Sulit 

dikatakan betapa ironisnya niat Corneille saat  ia memuji ‘kota Paris 

baru’ dalam Le Menteur (‘Sang Pembohong’) di tahun 1643 sebagai 

“sebuah kota yang utuh, dibangun dengan megah, dan yang tampaknya 

muncul, sebagai suatu keajaiban, dari selokan tua dan rusak.”3

Teater Jalanan

Kemajuan kebudayaan politik dari pemerintahan absolut bertentangan 

dengan kehidupan sebagian besar Parisian biasa, yang di bawah 

rezim Louis XIII tak kehilangan rasa ironi mereka, atau kegemaran 

pada kesenangan sederhana akan pasar malam dan pasar yang kini 

ditetapkan sebagai bagian utama dari kebudayaan populer Parisian. 

Selama tahun-tahun pertama dari abad baru, dan kendati ditentang 

oleh otoritas agama, para pelawak, seniman keliling kembali menjadi 

pengisi acara di pasar jalanan dan pasar malam, seperti yang mereka 

lakukan di masa abad pertengahan, sebelum Puritanisme dan perang 

saudara membersihkan jalanan dari ménestrels, trouvères, jongleurs 

dan kesenangan tak berbahaya yang mereka tawarkan. 

Favorit Parisian termasuk ‘Gros Guillaume’ (faktanya ia yaitu  

warga asli Normandia bernama Robert Guérin), yang, setidaknya 

menurut Henri de Sauval yang secara rutin menyaksikannya beraksi, 

“sangat gemuk, kulitnya sangat berminyak dan berperut besar” hingga 



194

“ia berjalan untuk mengejar perutnya.” Aksi Gros Guillaume yaitu  

muncul di panggung mengenakan sebuah tong dan wajahnya berbalur 

tepung (mengingatkan para penonton bahwa ia dahulu seorang 

pembuat roti). Ia melawak, bernyanyi dan tertawa menyeringai sambil 

melakukan repertoar yang mengarah antara satire politik yang asam 

dan bahasa mesum, menyasar baik pria maupun wanita dengan 

kecerdasan yang tidak sopan.4

Gros Guillaume biasanya ditemui saat petang atau malam hari 

di Pont-Neuf, yang merupakan pusat kehidupan kebudayaan kota, 

kerumunan sibuk para pedagang kaki lima, calo, pelacur, pembeli, 

pengemis, dan Parisian kelas menengah yang terhormat. Jembatan itu, 

dengan lebar 28 meter, tidak hanya lebih lebar dari jembatan yang ada 

di Eropa, namun juga lebih lebar daripada jalan raya atau jalan mana 

pun. Jembatan ini yaitu  panggung alami bagi para seniman kota, 

menyediakan tempat bagi para penonton untuk mencicipi es


Related Posts:

  • Paris Perancis 6 juga lebih kejam daripada yang berani dilakukan organisasi-organisasi sektarian sebelumnya, dan secara aktif memprovokasi pemberontakan serta peperangan di kalangan kelas yang lebih rendah. Liga ini berfu… Read More