na sebagian besar dari mereka yaitu korban
ekonomi atau sosial dari Perang Seratus Tahun. Mereka berkumpul
di luar gerbang kota-kota Prancis pada malam hari, saat tidak
berkeliaran di pedesaan untuk menakut-nakuti para petani. Coquillards
berbicara menggunakan bahasa slang khusus mereka sendiri dan
Villon menjadi ahli dalam bahasa berbelit-belit dan selalu berubah-
ubah ini yang memiliki hubungan dengan bahasa Gipsi.
Villon sudah mulai menyusun ballades, ditulis dengan secara
cukup ahli dan berbeda, saat pada 5 Juni 1455 ia terlibat dalam
insiden paling serius: pembunuhan seorang pendeta. Teman-teman
Villon, yaitu satu-satunya saksi mata insiden tersebut, menyatakan
bahwa Villon hanya membela diri, melawan tantangan pendeta yang
akan mengambil dompetnya. Ini dianggap sangat mustahil, walaupun
banyak pendeta di Paris pada saat itu dikenal bukanlah tokoh-tokoh
suci.
Walaupun demikian, Villon memutuskan untuk melarikan diri
dari Paris alih-alih menghadapi pengadilan dan kematian yang sudah
pasti. Ia kembali setahun kemudian, kelihatannya dengan dilindungi
oleh sepucuk surat dari ayah adopsinya dan surat lain dari seorang
pengacara. Ia juga diduga berada di bawah pengawasan sejumlah
coquillards terkemuka yang sekarang merajalela di Quartier Latin.
Villon tidak pernah berusaha menjadi terkenal, tetapi sebagai
seorang pemuda ia memiliki reputasi tinggi untuk menghibur para
voyous (‘berandalan’) yang juga menjadi temannya; secara efektif ia
yaitu penghibur yang mencampur tragedi, simpati, dan komedi
dalam tingkatan yang hampir setara. Ia sering mengunjungi kedai-
kedai seperti Père Lunette, tempat di rue des Anglais yang dikenal lebih
gaduh sebab sering didatangi oleh para mahasiswa Inggris pemabuk.
Tempat ini juga paling terkenal sebab menyajikan rosbif, acar dan ale
dalam gaya Inggris. Kedai minum favorit lain yang disebutkan oleh
Villon, dan sering didatangi oleh coquillards, yaitu Le Heaume di
Porte Baudoyer, Le Grand Godet di Place de la Grève, Le Barillet di
Grand-Châtelet dan Le Pomme de Pin di rue de la Juiverie, Île de la
Cité.
127
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
Namun, walaupun reputasinya sebagai penyair semakin baik, Villon
masih memiliki ketertarikan fatal terhadap kejahatan. Menjelang Natal
tahun 1456, bersama empat kaki tangan termasuk dua temannya yang
dikeluarkan dari universitas, ia merencanakan kejahatan yang paling
ambisius hingga saat itu: perampokan kapel Kolese Saint-Navarre.
Kali ini, saat rencana tersebut terbongkar, Villon harus keluar dari
Paris secepatnya dan selamanya. Namun, pengasingan ini tidak bisa
ditahannya dan, walaupun menghadapi bahaya, ia kembali setahun
kemudian. Pada awalnya ia secara berhati-hati menyamarkan dirinya
tapi kemudian muncul secara terang-terangan dan bahkan bermabuk-
mabukan. Namun, kehidupan kotornya sekali lagi mengejarnya dan
ia kembali ditangkap pada 1463 sebab terlibat dalam perkelahian
jalanan. Dalam perkelahian tersebut Ferrebuc tertusuk oleh belati
dan hampir mati. Sepertinya Villon akan digantung sebab catatan
‘kehidupan buruknya’, tetapi hukumannya kembali diringankan
menjadi pembuangan, kali ini selama enam tahun. Tidak seorang pun
tahu bagaimana dan kapan Villon meninggal dunia.7
Kehidupan dan karya Villon mengumumkan kelahiran tradisi
panjang penyair, penulis, dan penyanyi Paris yang memainkan peran
badut yang merusak diri sendiri, le bon follastre—yang terbaru yaitu
Serge Gainsbourg, yang meninggal dunia pada 1991 sebab rokok
dan minuman keras, yang kecadelan, presisi, dan antinomianismenya
sepenuhnya ‘Villonesque’. Villon biasanya dideskripsikan sebagai
patron bagi orang-orang kota yang jatuh miskin, desertir, orang
miskin atau orang yang memang tidak mau bekerja.
Kota Villon yang berisikan pemabuk, pengembara dan mereka yang
tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan masih ada di sana.
Ini yaitu kota tanah yang tandus, di tepi-tepi sungai dan di daerah-
daerah pinggiran kota yang dihina dan diabaikan. Sebagian besarnya
dapat ditemukan dalam metro, tempat clochard Paris—gelandangan
mulia yang dibanggakan dalam syair dan lagu sebab kecanduannya
akan gratte-gorge (anggur merah kasar) dan kebebasan—baru-baru
ini digantikan oleh pasukan SDF (Sans Domicile Fixe). Ini yaitu
para tunawisma Paris yang melakukan perjalanan tanpa tujuan
menggunakan sistem transportasi kota. Perjalanan ini sangat bertolak
belakang dengan perjalanan para penumpang lainnya, yang bergerak
128
dalam pola pasti antara rumah, tempat kerja dan tempat kesenangan.
Sedikit sekali kemuliaan atau puitis di sini: Tidak seorang pun merayakan
dunia mentah ini dalam lagu. Namun, kekerasan dan keputusasaan
masyarakat mikro ini yaitu gema autentik bagi Paris milik Villon.
Adegan Karnaval
Penulis Journal d’un bourgeois de Paris tidak diragukan lagi yaitu
orang yang baik hati—ia meratapi kondisi orang miskin dan benar-
benar bersedih melihat “mayat Joan of Arc yang terbakar.” Seperti
Villon, sang ‘borjuis’ memiliki belas kasihan yang besar dan, lebih dari
itu, keingintahuan aktif dalam hal wajah kota yang sedang berubah.
Inilah sebabnya, seperti mayoritas Parisian, sang ‘borjuis’ ter-
dorong oleh rasa ingin tahu untuk pergi dan melihat orang Gipsi
yang datang ke kota untuk pertama kalinya pada 1427. Mereka tidak
diperkenankan masuk ke kota, tetapi berkemah di La Chapelle-Saint-
Dennis. Jumlah mereka hanya beberapa ratus orang tetapi kemudian
mengklaim sebagai sisa-sisa sebuah ‘bangsa’ yang berjumlah beberapa
ribu orang. Mereka berkata bahwa mereka datang dari ‘Mesir Bawah’
dan memberikan catatan tidak jelas tentang perjalanannya, termasuk
beralih agama menjadi pemeluk Kristen dan Islam, kunjungan kepada
Paus, yang membebankan kepada mereka penebusan dosa yaitu
selama tujuh tahun mereka harus mengembara di dunia tanpa pernah
tidur di ranjang, sambil memerintahkan semua uskup untuk memberi
pembayaran satu kali sebanyak sepuluh ribu livre saat mereka
berjalan melewatinya.
Sang ‘borjuis’ sangat mengagumi orang-orang asing ini dan ter-
utama sangat tertarik akan ilmu hitam yang konon mereka kuasai.
“Anak-anak mereka sangat, sangat pintar, baik yang laki-laki maupun
anak perempuan,” catatnya:
Sebagian besar dari mereka—hampir semuanya—menindik telinga dan
mengenakan anting perak di masing-masing telinga, atau dua anting di
masing-masingnya. Ini, kata mereka, yaitu tanda kelahiran yang baik.
Kaum prianya berkulit sangat gelap, dengan rambut berombak; para
wanitanya yaitu wanita paling jelek yang pernah engkau lihat dan
129
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
paling gelap kulitnya, dengan muka berkerut dan rambut sehitam ekor
kuda. Mereka tidak memiliki pakaian kecuali sepotong selimut kasar
tua yang diikatkan di bahu dengan sepotong kain atau tali; di bawah
penutup ini ada baju luar atau kamisol yang sudah jelek. Namun,
kendati miskin, mereka memiliki para penyihir yang membaca garis
tangan dan menyampaikan apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi.
Mereka membawa masalah ke dalam banyak perkawinan, sebab mereka
mengatakan kepada sang suami, “Istrimu telah berselingkuh,” atau kepada
sang istri, “Suamimu telah menipumu.” Yang lebih buruk lagi, konon mereka
berusaha—melalui ilmu hitam atau cara lainnya, seperti bantuan setan
atau keahlian dan kecerdikan mereka sendiri—membuat uang mengalir
keluar dari dompek orang lain ke dalam dompet mereka sendiri.
Sang ‘borjuis’ mengunjungi orang Gipsi tiga atau empat kali dan
terdengar agak gusar dan kecewa sebab ia sendiri tidak ditipu.8
Tentu saja, perilaku tidak Kristiani seperti ini tidak bisa dibiarkan
lebih lanjut. Terlepas dari ketakutan terhadap kekuatan setan mereka,
Uskup Paris memerintahkan mereka untuk pergi. Orang-orang ini
kelihatannya pergi tanpa meninggalkan kutukan seperti kebiasaan
mereka. Namun, bukan kejadian ganjil itu saja yang terakhir terjadi di
Paris: Dalam waktu beberapa minggu, sang ‘borjuis’ bisa melaporkan
bahwa bukan hanya kualitas anggur meningkat sementara harganya
menurun, tetapi Paris juga dikunjungi oleh seorang wanita muda
berusia sekitar dua puluh delapan atau tiga puluh dari Hainaut yang
bernama Margot. Ia pemain tenis terbaik yang pernah dilihat orang
(pada saat itu tenis dimainkan secara berkala di rue Grenier Saint-
Lazare dan di Petit Temple). Margot memainkan forehand dan
backhand (menunjukkan bahwa raket sudah digunakan pada masa
awal ini) dan, sang ‘borjuis’ dengan bersemangat melaporkan, sanggup
menandingi hampir semua pria kecuali pria terkuat.9
Sang ‘borjuis’ melaporkan kejadian ini bersama catatan tentang
festival-festival publik, fluktuasi harga bir dan lobak serta pembantaian-
pembantaian paling mengerikan, kadang kala dilakukan oleh orang
Inggris dan kadang kala oleh Armagnac yang kejam atau kelompok
bandit yang dikenal sebagai ‘Pencambuk’, yang menghantui jalan-
jalan antara Paris dengan kota-kota kecil dan desa-desa di sekitarnya.
Ia melaporkan tentang ‘Perpolitikan Tingkat Tinggi’ dari kejauhan,
130
kemungkinan mendapat informasi sebab meremehkan, lebih tertarik
dengan kedatangan dan kepergian di rue Saint-Martin tempat dia
tinggal. Kadang kala perpolitikan secara harfiah datang ke pintunya,
seperti pada 1436 saat orang Inggris, yang berjumlah sekitar 300
orang, berlari bergerombol menyusuri Grand’rue Saint-Martin sambil
menggedor pintu-pintu dan berteriak, “St. George! St. George! Kalian
pengkhianat Prancis, kami bunuh kalian semua!” Orang Inggris
pada akhirnya berpapasan dengan dua “pemilik rumah yang sopan
dan terhormat,” Jean le Prêtre dan Jean des Croustez, yang “dibantai
sepuluh kali.”10
Jalan-jalan di kota selama periode ini biasanya ramai oleh suara
hiruk-pikuk penjual keliling, pengemis dan penjaga toko. Walaupun
mereka terikat oleh undang-undang tahun 1270 yang melarang mereka
mengganggu konsumen potensial di toko lain, para pedagang masih
diizinkan untuk meneriaki orang yang lewat secara acak. Setiap jenis
perdagangan dibedakan oleh rima dan bahasa slangnya sendiri (yang
bertahan hingga ke abad ke-20) dan oleh kekhususannya sendiri: Para
wanita biasanya menjual tepung, buah-buahan, pakaian, furnitur,
dan keramik; para pria berurusan dengan barang-barang lebih berat
atau barang-barang seperti daging dan anggur yang dianggap lebih
penting. Di setiap bagian kota, pencanang (petugas yang memberi
pengumuman—penerj.) kota dan penjaga mengumumkan peristiwa-
peristiwa publik, eksekusi, dan waktu saat itu.
Walaupun kota terbukti bersemangat dan selalu berubah—
yang menurut Villon seperti ‘Karnaval Besar—kehidupannya juga
sangat keras. Terutama, sang ‘borjuis’ merasa prihatin terhadap
penderitaan ‘le menu peuple’, orang miskin Paris, yang tidak memiliki
kontrol terhadap perpolitikan atau kehidupan mereka sehari-hari. Ia
membuat catatan berkala tentang harga-harga makanan di seluruh
kota, secara berkala melaporkan kurangnya bahan makanan yang
tersedia untuk orang miskin. “Roti yang hitam dan berasa tidak
enak” yaitu makanan pokok mereka; kadang kala digantikan oleh
buah busuk dan bahkan bangkai anjing mati yang mereka makan
untuk menghindari kelaparan. Sang ‘borjuis’ menimpakan kesalahan
atas kondisi ini tepat di kaki para pencinta perang yang bodoh dari
kalangan bangsawan.11 Sikapnya yang santai dalam mengungkapkan
131
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
pandangan menunjukkan bahwa ini, seperti mudahnya ia menerima
kematian, yaitu sikap umum warga kota dari kelas menengah.
Dansa Kematian
Mayat-mayat yaitu pemandangan umum di kota pada saat itu.
Villon menulis bait-bait sedih yang indah untuk menghormati para
gelandangan yang mati kedinginan selama malam-malam musim
dingin yang parah di tepian sungai Seine. Namun pemandangannya
sendiri tidak terlalu puitis. Mayat-mayat berbau dari korban wabah,
lepra atau kelaparan, yang tergeletak di jalan-jalan berlumpur akan
dikumpulkan pada waktu fajar seperti sampah oleh para penggali
kubur. Mereka kemudian mengangkutnya menggunakan gerobak ke
rumah-rumah jenazah di Saints-Innocents.
Permakaman Saints-Innocents sudah sangat lama menjadi bagian
integral dari kehidupan kota bagian dalam. Pada awalnya, ini yaitu
permakaman Romawi, yang sesuai gaya Roma, dibangun di salah satu
rute keluar dari kota. saat Paris telah tumbuh ke arah luar dan di
sekitarnya, permakaman ini menjadi pusat kota abad pertengahan.
Tanah permakaman, tempat yang relatif kecil di pusat Tepi Kanan dan
tidak lebih besar dari alun-alun kota, dikatakan memiliki kekuatan
hebat, yang begitu hebat hingga dikatakan dapat ‘memakan mayat’,
yaitu bisa menghabiskan dagingnya hanya dalam hitungan hari.
Parisian tidak takut akan mati, walaupun mereka berusaha sekuat
tenaga untuk menghindarinya. Lokasi ini, yang dikunjungi oleh Villon
dan begitu banyak aficionados kelas bawah lainnya, sangat dikenal
atas pelacuran dan perbuatan jahat menyenangkan lainnya. Pada
gilirannya, ini menarik para pencuri kecil-kecilan, tukang catut dan
penjual anggur keliling. Pihak berwenang, sebagian sebab takhayul
dan sebagian sebab ketidakpedulian, menutup mata.
Meskipun tidak mencolok, para tukang sihir dan ahli alkimia
menganggap tempat ini sebagai salah satu tempat yang memiliki
signifikansi magis, atau datang di sini di waktu malam untuk mencari
bahan-bahan mentah yang diperlukan untuk ‘ilmu pengetahuan
eksperimental’ mereka (rumah yang dianggap rumah ahli alkimia
Nicolas Flamel, masih dipenuhi coretan-coretan rumus alkimia,
132
berdiri di rue de Montmorency hanya beberapa langkah dari tempat
permakaman ini dulu berada).
Pada 1424, sang ‘borjuis’ Paris juga mencatat, sekali lagi secara
santai sebagaimana sikapnya sehari-hari, kemunculan ‘Danse Macabré’
di permakaman. Ini yaitu serangkaian mural ‘berdansa dengan
sang Kematian’ yang menandai lokasi lubang wabah. Ini yaitu versi
pertama dari gaya yang menyebar ke seluruh Inggris dan Negara-
Negara Rendah, yang terutama berakar di Jerman. Bentuk paling
populer yaitu lukisan di gereja atau permakaman, atau potongan kayu.
Hal yang umum dalam semua versi yaitu representasi sang Kematian
dalam bentuk harfiah sebagai sang Penuai (Reaper), yang mengambil
nyawa dan menunjukkan kesia-siaan eksistensi manusia yang fana.
Asal-usul istilah ‘Macabré’ tidak jelas. Fakta bahwa kata ini
berbentuk posesif (menyiratkan ‘de Macabré’) menunjukkan bahwa
awalnya ini yaitu nama asli pelukis mural atau pujangga yang
menuliskan syair di bawahnya. Kata ini telah dikaitkan dengan
etimologi lain, yang beberapa di antaranya terdengar lebih eksotis,
termasuk turunan dari bahasa Arab Suriah untuk ‘penggali kubur’
(meqabberey) atau distorsi dari ‘Maccabée’ dari Injil, atau bahkan
dewa pagan ‘Machaberey’ (istilah yang muncul dalam bahasa Inggris
dalam ukiran di Paron’s Yard di dekat St Paul’s, yang dieksekusi pada
1439 dan dihancurkan pada 1539). Namun, kemungkinannya kecil,
sebab istilah ‘Macabré’ muncul dalam puisi yang ditulis sekitar
tahun 1376 oleh Jean Lefèvre. Apa pun asal usulnya, danse macabre
terbukti menunjukkan kebutuhan untuk menghadapi kematian
secara tatap muka. Yang tersisa sekarang dari lubang wabah yaitu
struktur-struktur lengkung yang sebelumnya menjadi rumah jenazah
di sepanjang permakaman menyusuri rue de la Ferronerie. Dahulu
kala, struktur-struktur lengkung ini penuh dengan tumpukan tinggi
tulang dan daging membusuk untuk digerogoti oleh tikus. Sekarang,
di tempat ini ada toko-toko pakaian perancang, sebuah toko
makanan, sebuah toko parfum, yang semuanya masuk ke dalam parade
Forum des Halle, pusat perbelanjaan yang masuk jauh ke bawah tanah
ke dalam permakaman.
133
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
13
Peta dan Legenda
Selama seribu lima ratus tahun terakhir, Paris telah
direpresentasikan, dengan berbagai kadar akurasi, dalam ukiran,
lukisan dan manuskrip tercerahkan. Namun demikian, tidak ada peta
kota yang dapat digunakan hingga 1450-an. Paris masa kini dikenal
oleh orang pedalaman dan orang asing sebagai tempat legendaris. Tapi
Paris juga penuh bahaya; tidak seorang pun benar-benar mengenal
kota secara mendalam. Mereka yang perlu dipandu untuk berkeliling—
para pedagang dari daerah atau dari luar negeri—menggantungkan
diri pada tukang catut dan tukang tadah, membawa mereka ke jalan-
jalan belakang yang paling kotor dan paling berbahaya atau, dalam
berbagai kesempatan, terbukti menjadi teman yang tak ternilai dalam
lingkungan yang tidak dapat dipahami dan berbahaya ini. Jika Anda
tidak berasal dari kota ini—yang dilihat oleh predator bermata tajam
dari pakaian, aksen dan tingkah laku—menemukan jalan di Paris
tanpa dirampok, dibunuh atau hanya tersesat umumnya yaitu
masalah kesempatan.
Perancang perkotaan dari Romawi tentu saja membuat peta-peta
militer dan kota dengan sangat teliti, tetapi peta-peta tersebut tidak
selamat dari kehancuran masa pasca-kekaisaran. Salah satu dari
sedikit peta Lutetia yang tersisa yaitu peta polisi, walaupun peta ini
dibuat pada 1705 dan, seperti hampir semua peta kota Gallo-Romawi
lainnya, sebagian besar hanyalah khayalan.1 Gagasan untuk membuat
peta kota juga datang dari Italia, di mana pembuatan peta merupakan
bentuk seni yang telah populer sejak abad ke-12. Aktivitas ini tidak
harus memiliki fungsi politik atau perniagaan—peta Venesia yang
dibuat oleh seorang Milan bernama Hellia Magadizzio pada 1110
untuk doge Ordellafo Fallio, misalnya, yaitu contoh versi peta yang
134
hampir tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya memiliki fungsi
dekoratif. Tetapi pada 1494, François II, Marquis Mantua, mendapat
ide membuat proyek yang memperlihatkan pemandangan kota besar
dalam bentuk lukisan dinding yang serupa dengan camera della città
yang sedang ia bangun di palazzo-nya. Pilihannya yaitu antara Paris
dan Yerusalem.
Pilihan ini lebih sederhana daripada yang terlihat: Paris lebih dekat
dari tempatnya serta lebih penting secara politis dan strategis. Ahli
astrologi dan peramal tangan Paride Cesara mengirimkan pesan
kepada François. Ia berjanji akan membuat buku yang tidak hanya
menjelaskan tentang Paris, tetapi juga banyak kota lainnya, bersama
cerita dan legenda, dan kisah hidup para duke serta raja. Ini jelas sekali
merupakan rujukan pada penggambaran Paris dalam volume Jerman,
Liber cronicarum (‘Buku Kronik’) karya Hartmann, yang diterbitkan
oleh Schedel dari Nuremberg pada 1493. Satu-satunya masalah yaitu
peta ini sepenuhnya Paris imajiner sebab baik seniman maupun
penerbitnya belum pernah melihat kota tersebut.2
Peta Paris pertama yang setengah akurat muncul pada 1550-an, yang
disebut Plans de Munster atau de Braun yang diukir di atas kayu dan
mewakili kota sekitar tahun 1530. Peta ini menawarkan pandangan dari
atas terhadap kota untuk pertama kalinya.3 Penerbitannya didorong
oleh kebutuhan para raja dan ahli ekonominya untuk memahami
dimensi kota yang mengalami perubahan. Sejak periode ini dan
seterusnya, para ahli kartografi Paris memainkan peran menentukan
dalam kebudayaan dan perpolitikan kota. Nama-nama para pembuat
peta hebat selama dua abad kemudian—Quesnel dan de Vassalieu, de
Gomboust, de Bretez dan Verniquet—sama pentingnya bagi sejarah
kehidupan kota seperti para seniman kesusastraan dan pemikir. Para
pembuat peta Paris tidak hanya mengubah bagaimana Parisian dan
pengunjung berpikir tentang kota, tetapi juga bagaimana mereka bisa
secara aktif menggunakannya tanpa terbatasi.
Peta-peta pertama Paris menampilkan kota sebagai ruang melingkar
atau oval; bahkan, biasanya dideskripsikan bundar seperti telur. Peta
ini juga melihat kota secara menyamping, menampilkan utara di
sebelah kanan dan selatan di sebelah kiri (itulah pembedaan masa
kini antara Tepi Kanan dan Tepi Kiri). Peta tersebut yaitu simetri
135
Bagian Dua: Kota Kegembiraan
tidak sempurna, tetapi memiliki keuntungan yaitu menampilkan kota
sebagai dunia tersendiri. Sumbunya bergeser selama lima puluh tahun
kemudian saat peta diputar sekitar 360 derajat untuk mencerminkan
secara lebih akurat pembagian kekuasaan politik dalam kota (Tepi
Kanan perdagangan sekarang mendominasi distrik ‘intelektual’
Tepi Kiri). Kota yang melingkar tetap terpelihara hingga abad ke-20
dengan pembangunan boulevard périphérique, yang melingkari kota
dengan lalu lintas. Di luar daerah ini yaitu wilayah balieue yang
belum terpetakan, yang dalam imajinasi Parisian sama berbahayanya
dengan hutan-hutan dari kota abad ke-15.
Peta-peta pertama Paris juga dimaksudkan untuk menunjukkan
kemegahan kota, monumen, istana, dan gerejanya. Tidak ada ke-
hidupan individu yang tercatat dalam peta-peta ini, tetapi merupakan
representasi statis kemewahan kerajaan. Sekali lagi, pembuatannya
jelas-jelas bersifat politis, dan orang-orang seperti Quesnel secara
mengagumkan cukup terbuka menyampaikan rencana mereka untuk
memetakan kota yang tidak ada duanya di Eropa atau di dunia.
Ambisi terang-terangan yang sama untuk memajukan tujuan politik
dalam pembuatan peta berlaku pula dalam peta-peta kota bagi polisi
dan militer, yang menggeser fokus perhatian pada pembagian antara
kanan yang kaya dengan kiri yang miskin dan berpotensi revolusioner.
Namun demikian, sebenarnya, pada semua tingkatan, semua peta,
baik di masa lalu maupun di masa kini, merupakan fiksi—yaitu
representasi subjektif terhadap sebuah tempat oleh seorang atau
beberapa orang individu. Sejak dahulu sampai sekarang, satu-satunya
cara yang benar untuk merekam kota, mendapatkan esensinya, yaitu
lewat insting dan intuisi.
Abad ke-15 umumnya digambarkan sebagai periode kemunduran:
kematian sebuah era. Begitulah menurut pendapat Johan Huzinga
yang berpengaruh dan kadang kala cemerlang, yang menunjukkan
bahwa konsekuensi esensial dari peperangan pahit selama beberapa
generasi, yang terutama dilakukan di tanah Prancis, merupakan
kemunduran dan dekomposisi idealisme lama.4 Tahun-tahun terakhir
Abad Pertengahan yaitu ‘pemudaran’, senja dari bagian sejarah yang
sangat luas dan kompleks yang secara jeli melihat ujungnya sendiri
dalam realitas dunia yang berubah lebih cepat daripada sebelumnya.
136
François Villon memulai Testament pada 1461, buku besar terakhir
tentang periode abad pertengahan selain sebagai pendahulu human-
isme modern awal menurut Rabelais dan lain-lain. Pada 1470, per-
cetakan pertama dibuka di Paris.
Kedua kejadian ini bukannya tidak berkaitan: Keduanya menjadi
saksi cepatnya perubahan sekaligus pergeseran mendalam dalam
pemikiran dan perilaku yang mendorong sejarah ke depan. Namun
demikian di Paris, ‘pemudaran’ Abad Pertengahan juga berarti periode
rekonstruksi. Pergerakan mendasar sedang terjadi saat dunia Eropa
merasa dirinya kembali bergerak ke arah Italia dan peradaban-
peradaban kuno.
137
BAGIAN TIGA
Kota Penjagalan
1461 – 1669
Mengapa aku ingin tinggal di Paris?
Aku tak tahu cara menipu, berbohong, dan memperdaya.
Nicolas Boileau, 1660
Di kota tua Paris
Ada tiga puluh enam jalan
Dan di quartier Hulepoix ada delapan puluh tiga lagi;
Dan di quartier Saint-Denis tiga ratus enam.
Hitunglah semua dan tenanglah.
Setan mengenal semuanya dengan baik.
Les cris et les rues de Paris, 1567
Bukan rahasia lagi bahwa Setan sering berkunjung ke Paris.
Kedatangannya selalu menjadi pertanda bencana,
Untuk alasan tersebut, Setan menganggap tempat ini sebagai
rumahnya.
René Benoît, pendeta Saint-Marcel, 1568
Gelap oleh Kelebihan Cahaya
Paris pada saat ini memang telah sejahtera dan melimpah oleh
manusia serta ide-ide. Hanya Lyons, yang berada di persimpangan
Italia, Spanyol, dan Jerman, yang dapat dianggap sebagai pesaing
serius dari supremasi Parisian yang terus berkembang. Kota selatan
itu memang pernah sejenak menjadi sarang aktivitas sastra dan filsafat
selama masa awal abad ke-16, menghasilkan tokoh-tokoh seperti
Louise Labé, Maurice Scêve, dan Louis Meigret, yang amat mendalami
kebudayaan Italia dan menyatukan pengaruh Petrarch dan Bembo
dengan bahasa Prancis. Namun Lyons sendiri belum memiliki sebuah
universitas dan orang Lyon terkenal lebih suka menghasilkan uang
daripada menyemai ide. Lembah Loire dipenuhi oleh para penulis—
Ronsard, Du Bellay, Jean Bodin dan Rabelais semuanya berasal dari
wilayah ini—dan ada sejumlah universitas di kawasan-kawasan
sekitarnya yaitu Angers, Orléans (yang mengajarkan hukum sipil,
sebuah mata kuliah yang masih tak dikenal di Paris), Bourges dan
Poitiers. Namun, kehidupan kebudayaan tetap terfokus pada Paris.
Pada intinya, kendati Paris menghasilkan lebih sedikit penulis
ternama selama abad ke-16, seni, filsafat, dan uang mengalir
dengan seimbang ke ibukota, ditarik ke sana dengan berkembangnya
pengaruh kota hingga melampaui Prancis sendiri. Sebagaimana Paris
mengonsolidasikan posisinya sebagai ibukota cendekiawan dan
politik pasca-Perang Seratus Tahun, para spekulator berinvestasi pada
visi arsitektural kota yang semakin megah. Sebagian besar bangunan
di Paris dilahirkan pada model-model neo-klasik Italia—dan Parisian
yang memiliki banyak uang meniru pakaian, makanan, sopan santun,
dan cara bicara (bahasa Prancis, dan khususnya bahasa Prancis-nya
Parisian, pada saat ini telah terinfeksi oleh Italisisme dalam kosakata
140
dan aksen).
Namun kota Renaisans yang baru lahir ini akan tetap menjadi
sebuah tempat yang gelap dan mudah dijangkiti wabah. Saat jembatan
baru di Notre-Dame disapu banjir pada 1499, kejadian ini dirasa tidak
memberi ramalan yang baik bagi abad mendatang (dengan volume
lalu lintas kota yang tinggi dan kepadatan populasi yang berdiam di
jembatan-jembatan, itu berarti bahwa semua jembatan kini harus
diamankan dengan rantai). Namun saat itu yaitu periode optimisme
luar biasa. Nuansa yang baru ini direfleksikan dalam detail-detail
kecil yang memperbaiki kualitas kehidupan sehari-hari, seperti
kemunculan papan nama jalan pertama (sebelumnya, penduduk
maupun pendatang terpaksa bergantung pada papan nama pintu
yang serampangan atau tebakan semata) dan pembentukan ulang dari
rumah jenazah yang bau di permakaman Saints-Innocents menjadi
sebuah air mancur dangkal yang sempurna dalam gaya dekoratif
abad ini. Melihat masih buruknya kondisi kehidupan kota, sangatlah
mengejutkan bahwa air mancur itu akan mendapat pujian tinggi dari
para penulis yang bermata paling tajam dan rasional di masa itu,
“Selamat tinggal Paris sur Seine,” tulis Marc-Antoine de Saint-Amant
sebagai penghormatan kepada kecerdikan para kelas pekerjanya.
“Kota yang hebat … di mana aku belajar menggunakan kata-kata yang
lebih tajam daripada mata pisau.”1
Lebih mengejutkan, dan di luar karakternya, Michel de Montaigne—
yang biasanya penulis yang sangat picik—memuji kota yang suram dan
seram ini sebagai “kejayaan Prancis dan hiasan dunia.” Ia melanjutkan,
menyiram kata-katanya dengan ironi: “Aku mencintainya dengan
lembut, dengan semua kutil-kutil dan noda-nodanya. Aku memang
hanya menjadi orang Prancis melalui kota hebat ini.”2
Namun lebih penting lagi, sebagaimana bahkan diakui oleh si
keras kepala Montaigne dengan enggan, bibit-bibit Renaisans di
Paris sebagian besar berasal dari idealisme pribumi lama dan juga
model-model yang diimpor. Para penulis yang hidup di kota itu
atau hanya berkunjung melihat kepada ide-ide dan kemajuan Eropa
yang ‘universal’, namun kerap kali menjadi Parisian yang tegas dalam
keyakinan dan kesombongan mereka. Clément Marot memuji kaum
wanita Paris—sebelumnya tercatat dalam puisi dari periode abad
141
pertengahan (dan tidak hanya Villon) atas ketangguhan dan perilaku
seksual mereka yang kasar—melampaui kaum wanita Italia; ini yaitu
pujian yang tinggi di masa pengkultusan semua hal yang berbau Italia.
Kepercayaan diri tersebut direfleksikan dalam rekonstruksi kota itu
sendiri: Louvre direstorasi dan diperbarui, melestarikan beberapa
karya asli dari masa Philippe-Auguste; pekerjaan dilanjutkan di istana
Tuileries dan kemudian dinding-dinding kota. Pada saat yang sama,
Sorbonne berkembang kedudukannya sebagai wadah peleburan
kebijakan baru. Memang, kepercayaan diri pribumi di kota ini dan
bukannya kekaguman pada Italia dimunculkan dalam formula di
mana Paris ditujukan sebagai ‘Roma Baru’.
Sang Raja Laba-Laba
Louis XI pada umumnya digambarkan sebagai raja abad pertengahan
terakhir dan monarki Renaisans yang pertama. Tentu saja upacara
penobatannya dilakukan dengan gaya kesemarakan Renaisans yang tak
sepenuhnya sesuai dengan nuansa di masa itu. Ia dinobatkan menjadi
raja pada 1461 di Rheims, lokasi tradisional bagi upacara penobatan
raja-raja Prancis, dan dikepung oleh kerumunan yang antusias pada
setiap langkah menuju Paris, di mana ia dengan lantang dan eksplisit
mendeklarasikan ibukota negaranya.
Kendati Parisian tampak sangat antusias di luar, mengelu-
elukan sang raja saat ia memasuki kota di Porte Saint-Denis dalam
perjalanannya menuju Notre-Dame, mereka juga pernah melihat dan
mendengar semuanya ini dan segera membuat pernyataan sarkastis
tentang monarki dan ketidakpastiannya. Cara Louis memasuki
kota hanya menjadi bahan bakar tambahan bagi orang-orang yang
meragukannya—ia berlalu dengan duduk di atas punggung kuda,
kepalanya dinaungi kanopi satin biru, didampingi air mancur yang
memancarkan anggur dan susu, serta rombongan pengiring wanita
muda yang bertelanjang dada, “Wanita Penggoda,” dalam sebuah
kolam buatan. Pemandangan yang terakhir ini disambut oleh seorang
pencatat kronik kontemporer, yang dengan datar mengagumi payudara
para wanita sebagai ‘droit, séparé, rond et dur’ (‘tinggi, terpisah, bulat
142
dan kencang’).3 Raja sendiri tak mendapat pujian yang berlebihan
seperti itu.
Namun, adegan yang menggelikan ini merupakan penggambaran
keliru tentang kelicikan politik Louis, sebuah kemampuan yang
dibutuhkan dalam dunia istana Paris yang keruh. Louis mengantisipasi
Machiavelli dengan membawa serta seni hitam dari sanjungan, intrik
dan penipuan ke dalam kedudukan raja. Musuh-musuh utamanya,
setidaknya pada awalnya, yaitu para bangsawan yang berpotensi
memberontak dari Brittany, Bourbon, Orléans, Charolais, dan
Dunois. Yang tak kalah berbahaya yaitu fakta yang jelas, seperti yang
terungkap saat upacara penobatan, bahwa populasi Paris juga tak
dapat dipercaya. Di kediamannya di Hôtel des Tournelles (ia dengan
sengaja menghindari Louvre), Louis terus-menerus menyanjung
untuk memperdaya dalam acara-acara makan malam dan perjamuan
yang tiada habisnya, memenangkan hati musuh-musuhnya dengan
“kepandaiannya berbicara.” Visinya jauh melampaui Paris hingga
Prancis, dan kemudian ke Eropa, di mana ia berupaya menempatkan
Prancis, melalui upaya diam-diam dan bukan melalui perang, sebagai
kekuatan utama. Ia dijuluki “sang Laba-laba Universal” sebab jaring
intriknya tersebar ke banyak kepentingan yang tampak berbeda-beda.
Pada periode itulah Prancis mulai memiliki bentuk heksagonal yang
dimilikinya sekarang: Maine, Anjou, Provence, dan Burgundy pada
akhirnya dapat ditundukkan. Kepentingan Louis XI meluas hingga
sejauh Napoli, membentuk suatu hubungan dengan kebudayaan
politik Italia yang terbukti akan menjadi piala beracun pada abad-abad
mendatang, Namun untuk saat ini, sudah cukup bahwa hegemoni
Prancis amat kuat, sebagian besar tak tertandingi, dan diperkaya oleh
rumah harta kebudayaan di negara tetangganya Italia, ruang mesin
yang sesungguhnya dari Renaisans. Namun Parisian membenci
petualangan-petualangan luar negeri ini dan pajak tinggi yang harus
mereka tanggung untuk membiayainya. Louis pun menghabiskan
sebagian besar waktunya jauh dari kota.
Namun ia tidak sepenuhnya melalaikan kehidupan kebudayaan
kota. Lebih penting lagi, ia mendorong perkembangan percetakan
pertama di kota, menghadapi perlawanan keras dari serikat juru tulis
dan penjual buku, yang sejauh ini telah memonopoli penjualan buku
143
di kota. Buku-buku cetak pertama muncul di Paris pada 1463, dibawa
ke sana oleh 2 orang Jerman, Fust dan Schöffer; namun buku-buku
ini dengan cepat disita oleh serikat. Louis, di sisi lain, memberikan
kompensasi bagi keduanya sebesar 2.500 crown, jumlah yang besar
untuk menunjukkan bahwa ia berterima kasih kepada mereka sebab
telah memperkenalkan teknologi baru ke kota. Kedua orang Jerman
itu membuka toko mereka di rue Saint-Jacques di papan nama Soleil
d’Or dan, kendati buku-buku pertama muncul dalam huruf Gotik
Jerman Tinggi (upaya menggunakan huruf Roman dilakukan di
bawah kekuasaan François I), penerbitan segera menjadi industri yang
berkembang. Sebuah percetakan didirikan di Sorbonne pada 1470
oleh dua pencetak Swiss atas undangan Jean Heynlin dan Guillaume
Fichet, cendekiawan yang memiliki ruangan kosong di kolese.4
Salah satu akibat yang kurang diramalkan dari ketiadaan Louis
XI dari Paris, dan ketiadaan raja-raja penggantinya (mereka kerap
terperangkap dalam petualangan Italia), yaitu bahwa kota, yang
kurang memiliki kehidupan istana, telah diambil alih oleh kaum
borjuis, yang mampu membeli bangunan-bangunan mewah dengan
harga murah. Para keturunan bangsawan yang bergaya, tidak dekat
dengan istana, berdiam untuk sementara di Tepi Kiri, rue Saint-
André-des-Arts dan rue de Buci, dan di pinggir timur Tepi Kanan,
rues de la Verrerie, Sainte-Croix-de-la-Bretonnerie, des Archives atau
des Francs-Bourgeois. Di tempat ini, mereka hidup berdampingan
dengan semua strata masyarakat borjuis, dan juga kaum miskin
dari semua kelas. Di tempat ini pula sentimen bahwa Paris—dan
masyarakat Paris—merupakan hal yang terpisah dari monarki,
terbentuk. Tentunya, pembangunan kota pada akhir abad ke-15
dan awal abad ke-16 hanya berutang sedikit pada anggota kerajaan.
Sebuah kawasan ‘intelektual’ dibentuk pada saat yang sama antara rue
Saint-Jacques dan rue de l’Hirondelle, sementara para pemodal dan
ahli hukum lebih menyukai rue des Blancs-Manteaux dan rue Sainte-
Avoye, di utara sungai. Para pengusaha dan pedagang berkumpul di
sekitar rue des Lombards, rue de la Vieille Monnaie dan rue Marivaux,
di utara Tour Saint-Jacques, yang banyak dikagumi Parisian sebab
ketinggiannya. Konon dari tempat itu kita dapat melihat sang penyihir
wanita jahat Italia jika berusaha cukup keras.
144
Memang Italia menjadi sebuah obsesi bagi anggota kerajaan Prancis
selama periode ini. Putra Louis, Charles VIII, sangat mengagumi Italia
sebagaimana ayahnya dan memulai serangkaian serangan kilat ke
negara itu, serangan yang hampir membuatnya dapat merebut Roma.
Penerusnya, Louis XII, terseret ke dalam politik Italia oleh Paus Julius
II, seorang pengikut sejati Machiavelli, yang berupaya menggunakan
kekuatan militer Prancis sebagai kekuatan penjera terhadap orang
Venesia; tentu saja, saat gelombang militer berbalik, sebab hal ini
tak dapat dihindari, Paus mengubah kesetiaannya kepada Venesia
dan Louis dengan cepat dihancurkan. Namun Italia tetap bertahan
dalam imajinasi bangsa Prancis, dan khususnya Parisian. Tata krama,
gaya dan bahasa kebangsawanan dan haute bourgeoisie dari abad
selanjutnya semua ditentukan oleh tetangga selatan mereka.
“Paris bukanlah sebuah kota namun sebuah negara”
François I amat menonjol dengan tubuh setinggi lebih dari 6 kaki
dan gemar mengenakan perhiasan terbaik di Eropa. Ia naik takhta
pada 1515, memasuki Paris di Saint-Denis, melanjutkan perjalanan
ke Notre-Dame dengan dikelilingi gens de la ville (pemerintah kota)
dan gens du roi (pejabat raja), dikawal oleh dua pasukan dan satu
komplemen beranggotakan 400 pemanah. Sama flamboyannya seperti
pendahulunya, Louis XI menghujani warganya dengan koin perak dan
emas saat berjalan di antara mereka dengan mengenakan baju dari
kain perak dan topi putih berhiaskan permata.5
François juga membayangkan dirinya sebagai patron seni. Ia
menganggap dirinya sebagai seorang atlet (ia gemar melakukan per-
tandingan gulat dengan anggota pengiringnya yang lebih kuat) dan
juga yaitu seorang orator ulung serta sastrawan alami. Oleh sebab
itu, ia menganggap sudah menjadi tugasnya membuat Paris sebagai
ibukota kebudayaan, dengan tidak membatasi aktivitas intelektual
dalam wilayah universitas, namun, dalam model Renaisans Italia,
menjadikan istana sebagai jantung budaya di kota. Dengan hal ini
dalam pikirannya, ia membangun kembali dan menambahkan Louvre,
membuatnya sekali lagi sebagai pusat politik di Paris. Dengan maksud
145
yang sama, ia menginvestasikan uang untuk merestorasi sejumlah
châteaux di sekitar Paris dan mendirikan Bibliothèque Nationale.
Ia berbicara dalam bahasa Latin dengan ahli teologi universitas,
mendirikan lembaga profesor regius di Sorbonne, dan mendorong
iklim toleransi humanistik, yang memungkinkan penulis-penulis
satiris seperti Rabelais untuk berkembang. François bahkan melawan
Sorbonne atas nama saudarinya Marguerite d’Angoulême, yang
puisinya Miroir de l’âme pécheresse (‘Cermin sebuah Jiwa Berdosa’)
pada 1531 dikutuk sebagai penistaan terhadap agama.
Namun ada pula suatu kenaifan budaya di dalamnya. François
tak dapat mengerti, misalnya, mengapa banyak rekannya sesama
Parisian tak tahan dengan Benvenuto Cellini, yang telah dua kali
dibawa raja ke Paris. François tanpa rasa malu mengagumi Cellini
sebagai seorang genius, seorang ahli penulis catatan harian, perajin
emas dan pematung. Tentunya Cellini tak dapat membuat dirinya
disayangi oleh eselon lebih tinggi dari masyarakat Prancis saat ia
secara paksa menendang prévôt keluar dari kediaman resminya di
Petit Nestle, tepat di seberang Louvre, di hadapan para pelayan dan
siswanya yang bersenjata lengkap. sesudah itu Cellini beberapa kali
diserang di jalan dan diseret ke pengadilan. Namun, François tetap
setia kepada teman Italia-nya yang bertingkah ini dan menolongnya
keluar dari situasi paling sulit sekalipun.
Sebuah dialog imajiner di masa itu berisi Charles Quint yang
bertanya kepada pesaingnya, François I, kota mana yang paling indah
di Prancis. “Kota terindah yaitu Rouen, sepupuku yang hebat,”
jawab François, “sebab Paris bukanlah sebuah kota melainkan
sebuah negara.” Kebanggaan warga negara semacam ini tak mampu
mencegah raja dari perselisihan dengan Parisian rakyatnya, yang
sering kali membahayakan. Biasanya, masalah utama yaitu uang.
Seperti pendahulunya, François secara fatal sangat tertarik ke
Italia dan mengenakan pajak yang tinggi ke kota untuk membiayai
petualangannya di sana. Pada 1523, raja berada di kediamannya
di Lyons, kota yang sangat khas Italia, saat ia menerima sebuah
permohonan mendesak untuk kembali ke Paris. Satu pasukan
Inggris tengah bergerak cepat ke selatan dan Parisian yang ketakutan
mencemaskan kembalinya masa pendudukan Inggris yang kelam.
146
Secara malu-malu, atau seperti itulah tampaknya, raja menolak untuk
kembali, meski mengabdikan nyawanya bagi kota. Parisian tak pernah
benar-benar memaafkannya untuk itu. Mereka dengan menggerutu
membayar uang tebusan baginya saat ia ditangkap oleh orang Spanyol
pada 1526. saat François jatuh sakit sekembalinya ke ibukota, desas-
desus bohong yang menyebut dirinya telah wafat dengan sukacita
diterima oleh Parisian dari semua kelas sosial. Ia juga secara berkala
disatirkan oleh aktor dan penulis drama Monsieur Cruche, yang
biasanya tampil di Place Maubert. Namun demikian, cukup bijaksana
bahwa tindakannya tidak terlalu berlebihan: Cruche nyaris dipukuli
hingga tewas oleh sekelompok pejabat istana yang tersinggung atas
leluconnya tentang perselingkuhan antara raja dan putri seorang
penasihat di parlement bernama Lecoq.6
Kota Baru
sesudah wafatnya François pada 1547, barulah gaya arsitektur
Renaisans menjadi fitur yang menentukan di pusat kota Paris. Pada
paruh pertama abad ke-16, pembangunan dilakukan di pinggiran
kota, di mana harga tanah lebih murah dan tidak terlalu rentan
terhadap perubahan politik di intra-muros Paris. Wilayah pertama
yang mulai memiliki kehidupannya sendiri yaitu Faubourg Saint-
Germain, yang membentang dari rue Saint-André-des-Arts hingga
Porte de Buci, yang telah digunakan sejak tahun 1430, Saint-Sulpice
dan rue de l’École de Médecine. Salah satu fitur yang paling menarik
dari wilayah ini bagi Parisian dari berbagai sektor di kota yaitu pekan
raya Saint-Germain, yang diadakan sejak Februari setiap tahunnya,
dan yang menempati persimpangan antara apa yang sekarang yaitu
rue de Buci, rue du Four dan rue de l’École de Médecine. Orang-orang
dalam berbagai lapisan masyarakat berdatangan ke pasar-pasar dan
tontonan publik ini, yang menarik para pedagang besar dan kecil serta
penampil dari tempat yang sangat jauh seperti Jerman, Venesia, dan
Inggris.7
Pembangunan juga dilakukan ke arah barat, dengan pendirian
rumah-rumah di antara biara dan gereja, kendati jalannya terbuat dari
147
tanah, tidak seperti jalan-jalan diperkeras yang sudah elegan di Paris
tengah dan timur. Wilayah ini yaitu zona yang masih termarjinalkan,
membentang dari rue du Dragon, rue du Sabot dan rue des Saints-
Pères, menuju Square Boucicaut, di mana pada awal abad ke-16 masih
ada sebuah koloni penghuni lepra.
Di ujung Tepi Kiri yang lain, didirikan sebuah kawasan di antara
rue Gracieuse, rue Lacépèae, rue Geoffroy-Saint-Hilaire dan rue
Daubenton. Kawasan ini sebelumnya yaitu Clos d’Albiac, sebuah
kebun anggur dengan jalan-jalannya yang sempit: Kini dinamai ulang
Villeneuve Saint-René, dengan bangunan-bangunan, toko-toko dan
sumur baru (Puits de l’Ermite, ‘Sumur si Petapa’, kini diperingati di
ruas jalan dengan nama sama yang saat ini membingkai Masjid Agung
Paris). Hingga akhir kekuasaan François pada 1545, wilayah ini telah
berkembang hingga melebihi rue Mouffetard dan Biara Saint-Victor,
rue Censier dan rue La Clef. Di atas semuanya, perkembangan ini
menunjukkan dua hal: Perluasan Paris tak dapat dihentikan; dan
Parisian dapat menjalani kehidupan metropolitan di lokasi yang se-
belumnya dianggap sebagai batas pinggiran kota.
Konsekuensi perkembangan ini menginspirasi François serta para
penerusnya untuk berpikir secara berbeda tentang pengorganisasian
Paris. Sangatlah jelas, misalnya, bahwa kondisi perekonomian kota
tak hanya direfleksikan namun juga distimulasikan secara aktif oleh
kontruksi jalan-jalan besar yang bersih dan teratur, lapangan-lapangan
yang bersisi lurus dan ruang-ruang terbuka publik—semua prinsip
dalam perencanaan kota di Italia masa Renaisans. Rekonstruksi Pont
Notre-Dame dan kemudian pembangunan quais batu di Louvre dan
Châtelet yaitu langkah pertama menuju perencanaan kota yang
rasional, memungkinkan pergerakan bebas selama musim banjir
tertinggi dan saat hujan terderas.
Namun Paris tidaklah kebal dari ketegangan-ketegangan besar
pada masa itu. Terlepas dari adanya pandangan yang tercerahkan dari
istana dan perancang kota, Paris sendiri meluap dengan kebencian
lama dan baru, diperparah oleh gelombang pasang fundamentalisme
Katolik yang akan segera meletus menjadi pembunuhan massal di
jantung ibukota yang hebat itu.
148
15
Pilih Sekarang—Misa atau Mati!
Awal abad ke-16 menjadi saksi dilakukannya upaya-upaya awal
untuk merencanakan dan mengatur kota, yang berarti membuat tata
letak ruas jalan dengan keseragaman fasad yang rapi dan merancang
sebuah kota yang memiliki ruang-ruang publik. Kawasan aristokrat
yang baru di Marais atau Faubourg Saint-Germain amat berbeda
dari lubang-lubang kelinci kotor dan padat yang mengisi pusat
kota. Bagi sebagian besar orang, oposisi ini yaitu perlambang bagi
istana Prancis, yang dikenal suka mengombinasikan kemegahan dan
kehidupan sederhana, dan tempat, di depan mata para pengunjung
yang penuh skandal, sebuah perjamuan makan malam terlalu sering
tereduksi menjadi sebuah pesta seks. Orang-orang asing dari wilayah
Eropa yang lebih baik (khususnya Jerman, Negara-Negara Rendah, dan
Swiss) menulis secara pedas tentang korupsi politik dan kegemaran
publik yang menyebar luas akan kemerosotan moral. Parisian, yang
menghargai kehalusan daripada kekakuan dalam seni bercinta, perang
dan memasak, menghadapi serangan orang-orang luar yang Puritan
dengan ketidakpedulian.
Salah satu dari aspek yang paling mengejutkan dari kehidupan
Paris bagi orang luar yaitu cara seks dan agama terhubung dengan
erat di jantung kota. Di awal tahun 1500-an, para pelacur duduk
dengan tenang di ruang tengah Notre-Dame, bercampur baur dengan
bebas bersama jemaat, membisikkan harga mereka kepada siapa pun
yang mencari mereka. Praktik ini tampaknya telah berlangsung lama.
Penyair Mathieu, salah satu pembenci wanita ternama dalam sejarah
kesusastraan Paris, telah mendeskripsikan dalam Lamentationes
(‘Ratapan’), yang ditulis di akhir abad ke-13, bagaimana para wanita
pergi ke gereja-gereja di Paris dengan berpura-pura suci namun
149
sesungguhnya berhasrat untuk memuaskan keinginan seksual.
“Lebih tidak berdosa menjual kuda di dekat sebuah gereja daripada
menerima apa yang ditawarkan oleh para wanita saleh ini,” Mathieu
memperingatkan. Muku Mathieu yang telah diterjemahkan ke bahasa
Prancis dari bahasa Latin, tetap populer sebagai sebuah panduan
pada adat istiadat seksual hingga jauh ke masa awal Renaisans saat
protitusi berkembang dan, menurut seorang pengamat, kota dapat
menghitung setidaknya “enam ribu gadis cantik yang mengabdi pada
prostitusi.”1 Wisatawan Italia Antoine Atezan yaitu satu dari sekian
banyak orang yang datang ke Paris hanya untuk mengagumi “begitu
banyaknya jumlah gadis yang tata kramanya sangat anggun dan
menggairahkan hingga mereka dapat membangkitkan hasrat Nestor
yang bijak dan si tua Priam.”2
Paris sendiri turut membangkitkn rasa takut di kalangan orang
pedalaman. Hal ini bukan hanya sebab kota itu besar, memiliki
kebudayaan yang kompleks dan mengintimidasi, dihantui oleh para
penipu, pelacur dan penganut aliran sesat. Di abad selanjutnya, kota
ini akan menjadi medan pertempuran bagi ideologi-ideologi agama
yang saling bersaing, ajaran Katolik yang telah mapan, yang terkait
dengan Spanyol, Italia dan keluarga Guise yang berkuasa, dengan
sistem kepercayaan ajaran Protestan yang baru dan menghujat Tuhan.
Sepanjang abad yang penuh gejolak ini, Paris tetap saja menjadi
benteng pertahanan ajaran Katolik. Pemerintah kota Paris memang
amat memperhatikan perkembangan di Jerman—pengasingan Martin
Luther pada 1520 disambut hangat oleh Sorbonne. Luther saat itu tak
lebih dari sekadar biarawan Jerman tak dikenal saat ia memaku
sembilan puluh lima tesisnya ke pintu gereja di Wittenburg, memprotes
korupsi finansial dan moral di sebuah gereja yang dipimpin oleh Roma
dan Madrid. Hanya dalam beberapa tahun, ia telah menjadi salah
satu pemikir paling berpengaruh di Eropa dan, saat traktat Lutheran
diedarkan di sekitar Paris, ia menarik perhatian orang-orang di
lingkaran politik tinggi, yang pada awalnya bahkan meliputi François
I sendiri, yang merasa dibatasi oleh otoritas dan arogansi dari Gereja
universal. saat François terluka dan dipenjara oleh bangsa Spanyol,
ibunya Louise, yang bertindak sebagai wali raja, mengambil tindakan
yang lebih tegas, mendengarkan baik-baik sang Paus, Sorbonne dan
150
parlement, yang mengutuk doktrin Lutheran pada 1521.
saat dibebaskan, sang raja lebih suka untuk menangkap atau
menghancurkan para pemikir baru. Penindasan ini diawali dengan
pelarangan dan pembakaran buku-buku dan penyiksaan para peng-
anut ajaran sesat yang paling ternama. Kondisi ini akan mencapai
puncak hanya dalam beberapa dekade kemudian dalam pembunuhan
massal berdarah dan memalukan. Besarnya pertumpahan darah yang
terjadi setara dengan genosida etnis paling buruk di abad ke-20, dan
sebuah tindakan yang akan selamanya menodai tradisi Katolik di Paris
dan Prancis.
Pelacur sang Pangeran
Dengan latar belakang inilah Catherine de Médicis tiba di istana
François I, dengan kehadiran seksual menggairahkan yang sangat
sesuai dengan iklim sensual pada masa itu. Ia didatangkan dari Italia
oleh François untuk menjadi istri putranya Henri dan dengan segera
dijuluki ‘pelacur sang pangeran’.
Alasan atas julukan ini yaitu sebab Catherine eksotis dan lezat
serta membawa aura kejahatan. Ia menutupi tubuh mungilnya dengan
jubah-jubah elegan dan hak tinggi (alas kakinya dengan segera
mengingatkan para neo-klasik istana yang lebih imajinatif akan sandal
berhak tinggi yang dikenakan oleh para pelacur Roma Tua—di Inggris
kaum wanita yang memakai hak tinggi disebut sebagai penyihir hingga
abad ke-17). Lebih penting lagi, ia segera menjadi tokoh yang paling
kuat dan berkuasa di istana yang paling tidak bermoral di Eropa.
Catherine membawa serta tata krama Italia, seni memasak dan
kegemaran akan teater, dengan kesenangan khusus pada gaya ‘komedi’
Italia—yang biasanya yaitu adaptasi dari Plautus, Terence, dan
penulis antik lainnya—yang saat itu mulai memasuki Prancis. Seniman
keliling dari Italia, seperti ‘Compagnia dei Gelosi’ (‘Persatuan Orang-
orang Pencemburu’), tampil di depan penonton yang menyambut
mereka di Paris dengan sukacita. Putri Catherine sendiri turut
berakting dalam tragi-comédies. Namun hal itu dihentikan sesudah
pertunjukan Sophonisbe, sebuah prosa adaptasi oleh Saint-Gélais
151
dari sebuah tragedi Italia tentang seorang ratu yang lebih memilih
bunuh diri dengan racun daripada terhina. Pertunjukan ini diyakini
Catherine telah menyebabkan kesialannya dan oleh sebab itu hanya
pertunjukan komedi saja yang dapat dipentaskan di istana. Lelucon
Pantalon biasanya berhasil memicu gelak tawa sang ratu.3
Catherine juga kerap menggunakan seks untuk mencapai ke-
inginannya, yang pada awalnya hanya menggunakan pesonanya
sendiri dan nantinya pesona para anak buahnya. Namun minatnya
yang sesungguhnya yaitu pada masalah religius di Roma dan
Madrid. Ia juga mengagumi politik dan misteri terdalam dan tergelap
dari keterampilan kenegaraan; ia yaitu murid Machiavelli dan
doktrinnya bahwa orang yang berkuasa “lebih rentan pada kejahatan
daripada kebaikan.” Tak mengherankan jika selama periode tersebut
sang Peracun Kerajaan menjadi salah satu tokoh terpenting di istana.
Hadiah-hadiah dari Catherine sangat ‘terkenal’ dan harus ditakuti.
Pangeran Protestan de Condé hampir saja mati saat dihadiahi
sekeranjang buah-buahan dari sang ratu; atas nasihat dokter, ia
menyerahkan sebuah apel pada anjingnya, yang mati tak lama sesudah
menyantapnya.
Istana juga dipenuhi oleh para ahli alkimia, peramal, ahli per-
bintangan dan ahli sihir dari berbagai kebangsaan. Desas-desus
yang merebak di London satu abad kemudian menyebutkan bahwa
Catherine memberi pengorbanan kepada Setan. Gosip ini diabaikan
di Prancis sebagai propaganda Jesuit namun tentunya Catherine
menerima nasihat dari para ahli ilmu gaib dengan serius dan bahkan
membangun sebuah menara yang memandangi cakrawala Paris bagi
ahli perbintangan yang paling disukainya, Cosimo Ruggieri, pengganti
Nostradamus saat ia pensiun ke Provence. Menara itu hingga kini
masih berdiri di rue de Viarmes, di dekat bursa saham. Itu yaitu
satu dari sekian banyak lokasi di Paris di mana Setan disebut-sebut
menampakkan diri di dunia, dan konon ditemukan jejak ilmu sihir
di wilayah sekitarnya, yang kini menjadi tanah berpepohonan biasa,
semak-semak dan jalan-jalan kecil berkerikil. Tak ada yang tersisa
dari jendela-jendela kaca yang menutupi ruangan di puncak menara
tempat Ruggeri membaca bintang-bintang dan memanggil kekuatan
supranatural untuk menolong sang ratu.
152
Namun Catherine juga bisa menjadi skeptis dan dengan mudah
mengejek ahli perbintangan yang melakukan kesalahan. “Menyedihkan
sekali ia tak bisa melihat masa depannya sendiri,” demikian ia
mengomentari seseorang yang terkenal sebab mengaku memiliki
kemampuan meramal telah dirampok dan dibunuh di luar batas kota.4
Menara Ruggieri selesai pada Februari 1572, hanya beberapa bulan
sebelum pembantaian pada Hari Santo Bartholomew, sebuah pesta
liar pembunuhan yang, seperti akan kita lihat, sebagian besar akibat
ketidakmampuan Catherine untuk meramalkan atau mengendalikan
akibat dari perjudian pada strategi politik negatif dari duplikasi serta
pembunuhan.
Perang-perang Suci
Sebenarnya, Paris telah diguncang oleh ketegangan amat parah sejak
tesis milik Luther pertama kali diperkenalkan di kota. Sorbonne
memandang dirinya sebagai otoritas religius absolut di kota dan
menyerang Martin Luther sebagai sumber dari ajaran sesat atau
penyimpangan dari ajaran yang resmi. Pihak universitas tak hanya
menyensor buku-buku namun memerintahkan penggeledahan pada
tempat tinggal para mahassiswa, menangkapi mereka yang dicurigai
berselisih paham secara agama atau politik walau hanya sedikit.
Terjadi pula serangan-serangan spontan terhadap mereka yang
dicurigai sebagai penganut ajaran sesat; tempat-tempat pertemuan
penganut Protestan telah diketahui umum, tersebar khususnya di
sepanjang Tepi Kiri, dan mudah sekali menjadi sasaran regu-regu
pembunuh yang penuh dendam. Pada 4 Maret 1557, sekelompok
pelajar Katolik menyerbu rumah seorang pengacara yang dikenal
bersimpati kepada penganut Protestan. saat mendapati bahwa
misa tengah berlangsung, mereka membunuh setiap orang yang
mereka temukan, bahkan membunuh para wanita dari istana, dan
memukuli siapa pun yang tak bisa mereka bunuh. saat polisi tiba
di lokasi kejadian, mereka memberi selamat kepada para mahasiswa
atas tindakan tersebut, menangkapi para ‘penganut ajaran sesat’ untuk
diadili keesokan harinya.
153
Hukuman bagi mereka yang dinyatakan bersalah atas ajaran sesat
yaitu , pada awalnya, biasanya pemenjaraan atau pembuangan;
belakangan, seiring berjalannya waktu, hukuman menjadi lebih maju
dan kejam. Place de la Grère dijuluki ‘ruangan pembakaran’ sebab
bau busuk daging manusia terbakar yang nyaris permanen. Bentuk
penghukuman lainnya meliputi strappado, sebuah alat Italia yang
menarik kaki dan tangan korban hingga nyaris terpisah dan terlepas
dari engselnya saat ia dengan perlahan diturunkan ke dalam api.
Place de l’Estrapade, kini sebuah persimpangan yang nyaman dan
hijau di jantung Quartier Latin, memperoleh namanya dari alat ini,
yang merefleksikan popularitasnya. (Pada abad berikutnya, lokasi
ini menjadi tempat anak laki-laki menjual lentera bernomor untuk
memandu para wisatawan malam hari melalui labirin di quartier,
membanggakan teror dan hantu-hantu yang menderita di lokasi itu.)
Ketegangan sudah memuncak di tahun-tahun awal abad itu di
antara Parisian biasa, termasuk anggota populasi yang paling buta
huruf dan paling sengsara, yang mengidentifikasikan diri mereka
dan kota mereka dengan Misa Suci. Lonjakan pengungsi Protestan
yang masuk ke ibukota, melarikan diri dari pembantaian acak seperti
pembantaian di Wassy tahun 1562, membuat Parisian penganut
Katolik merasa takut akan keamanan mereka dan rasa identitasnya
yang suci. Ini yaitu kota yang dibangun sebagai pesaing Roma
dan yang pada 1560-an dipenuhi oleh ‘para penganut ajaran sesat’
yang tak hanya menolak supremasi kepausan namun secara aktif
berusaha menantangnya. Penganut Protestan semacam ini diberi
nama Huguenots, tanpa melihat apakah mereka benar-benar datang
dari Jenewa, pusat ajaran Protestan Eropa. Di sana, mereka disebut
sebagai kaum Eidgenossen atau ‘konfederasi.’ Istilah ini kemudian
ditransliterasikan ke dalam bahasa Prancis sebagai orang ‘Huguenots’.
Kegelisahan di kalangan Parisian semakin meningkat pada hari
yang disebut ‘Hari Poster’ tanggal 18 Oktober 1534, saat populasi
Katolik terbangun untuk menemukan bahwa propaganda Protestan,
yang dicetak dengan rapi dalam bahasa High Gothic, telah dipasang
di sepenjuru kota, menyatakan bahwa Misa Katolik yaitu sebuah
penipuan dan bertentangan dengan Alkitab. Warga Paris dicekam
teror saat desas-desus akan pemberontakan dan penjagalan berputar
154
di jalan-jalan kota: Umat Kristen akan dibunuh saat Misa, gereja-
gereja dijarah dan Setan sendiri akan menampakkan diri, tertawa
dan mengumumkan akan membunuh raja dan memerintah sebuah
kota terkutuk yang baru. Untuk menenangkan kepanikan, semua
persenjataan iman Katolik di Paris—dari relik-relik Sainte-Chapelle
hingga Sakramen yang Diberkati—dikeluarkan dari Gereja dan diarak
keliling kota dalam sebuah prosesi yang dipimpin oleh Uskup Paris
sendiri. Misa Agung dilakukan di Notre-Dame saat enam ‘penganut
ajaran sesat’ lainnya dilemparkan ke dalam api di Place de la Grève.
Pada saat itu ada sekitar 15 ribu penganut Protestan yang
diketahui di Paris, porsi yang cukup signifikan dan amat terlihat
dari populasi, dan kekerasan sektarian kini telah menjadi bagian
dari kehidupan Parisian. Kendati penganut Protestan bersumpah
setia pada raja, dan bahkan berupaya mendorongnya untuk me-
mihak mereka, mereka juga memublikasikan pamflet-pamflet
yang mendeklarasikan kekaguman terhadap model pemerintahan
Calvin, yang pernah tinggal di Paris walau hanya sebentar sebelum
berdiam di republik Protestan Jenewa. Lebih penting lagi, dari Calvin
mereka mengambil rasa ketidakadilan dan kemarahan mendalam
terhadap ilusi kekuasaan Ilahi yang secara palsu diletakkan di tangan
keluarga kerajaan. Pihak Kerajaan turut mengawasi ketat upaya para
Pereformasi untuk membangun sebuah kuil di Saint-Marcel di sebuah
rumah dekat Bièvre, atau untuk mendirikan tempat-tempat beribadah
yang lebih baik di Saint-Germain-des-Prés, Catherine mengeluarkan
sebuah dekrit pada 1562 yang memperbolehkan kebebasan beribadah
di rumah-rumah pribadi yang bertujuan menghindari konfrontasi
kekerasan di jalan. Namun pada tahap ini, sebuah pola pembunuhan
yang muram telah ditemukan di kedua pihak: Penganut Protestan
terutama mahir merebut gereja-gereja dan membunuh para pendeta
pada saat ketegangan mencapai puncaknya. Gereja Saint-Médard, di
kaki rue Mouffetard, bahkan dibakar oleh para fanatik yang meng-
atasnamakan Gereja Reformasi.
Pada paruh kedua abad ini, populasi Paris juga mengkhawatirkan
adanya konfrontasi militer. Sejumlah tokoh politik dan militer ternama
di Prancis, termasuk Coligny, Laksamana Prancis, sangat bersimpati
pada agama Reformasi, khususnya sebagai satu cara untuk melawan
155
korupsi di ibukota dan menghilangkan pengaruh klaustrofobia dari
Roma atau Madrid dalam kebijakan luar negeri. Orang Huguenots
pada umumnya yaitu prajurit yang baik; sementara pasukan serta
milisi mereka, tampaknya, mampu menduduki Paris kapan pun
mereka mau. Pangeran kaum Huguenot de Condé mengancam
melakukan hal ini pada 1562, dan pada 1567 pasukan Huguenot
memblokade semua akses masuk ke Paris, sampai akhirnya berhasil
dipukul mundur oleh massa yang kelaparan. Perang saudara yang
secara perlahan telah bergolak selama berpuluh tahun akan segera
mencapai titik puncaknya.
“Bunuh mereka semua”
Pemicu pembantaian pada hari Santo Bartholomew yaitu , ironisnya,
sebuah pernikahan. Pada tanggal 18 Agustus 1572, Marguerite de
Valois, seorang Katolik, akan menikahi Henri de Navarre, seorang
aristokrat Protestan dari keluarga Bourbon (yang pada akhirnya akan
menjadi raja dengan nama Henri IV). Undangan telah disebar ke
semua keluarga bangsawan di Prancis dan perayaannya diperkirakan
akan berlangsung selama beberapa minggu; pesta dansa meriah akan
digelar di Louvre, Hôtel de Ville dan Hôtel de Bourbon.
Ini yaitu pernikahan yang dicomblangi oleh Cahterine de
Médicis, dengan tujuan strategis yang amat jelas yaitu menyatukan
dua kekuatan religius berbeda dalam sebuah pesatuan yang didukung
oleh Kerajaan. Kendati sebagian besar penganut Protestan telah
menyatakan bahwa tujuan mereka di Paris hanyalah kebebasan
beribadah, keluarga kerajaan sejak lama telah merasa takut akan
popularitas mereka yang terus berkembang dan potensi mereka
menggulingkan raja. Ancaman ini, yang diantisipasi dengan optimis,
akan menghilang dalam ikatan pernikahan yang diberikati. Ibukota
dipenuhi oleh para bangsawan Protestan dan Katolik untuk perayaan
yang diorganisasi oleh Catherine. Pasangan muda itu dinikahkan di
lapangan di luar Notre-Dame, kendati hanya Marguerite dan sesama
orang Katolik yang diperbolehkan mengikuti Misa dalam gereja yang
besar itu. Beberapa penganut Protestan, yang mewaspadai motif-
156
motif tersembunyi Kerajaan, memilih menjauh dari kota, berdiam
di kawasan-kawasan yang jauh dari Louvre dan kota. Dalam waktu
beberapa hari sesudah pernikahan tersebut, kota akan dipenuhi oleh
mayat-mayat para undangan pernikahan dan orang-orang lainnya
yang terjebak dalam hiruk-pikuk pembunuhan yang tampaknya
meledak tanpa diketahui asalnya.
Strategi terdalam Catherine yaitu menyingkirkan Coligny, yang
percaya diri akan popularitasnya yang semakin besar, menggunakan
kemeriahan pernikahan sebagai tabir bagi rencananya. Pada tanggal
22 Agustus, seorang penembak jitu dikirim atas perintah Catherine
untuk membunuh Coligny saat ia berjalan dari rue des Fossés-Saint-
Germain-l’Auxerrois menuju rue des Poulies, dalam perjalanannya
menuju pertemuan Dewan Louvre. Dua tembakan dilepaskan; Coligny
terluka di bahu kiri namun tetap hidup. Catherine dan para pengiring
kerajaan retinue yaitu salah satu yang pertama mengunjungi dan
secara hipokrit menyatakan bela sungkawa. Namun para pemimpin
Protestan yang saat itu berkumpul di kediaman Coligny di Hôtel de
Béthisy tidak termakan oleh pertunjukan rasa duka anggota kerajaan,
lalu membahas soal pembalasan dendam.
Panik akan potensi pembalasan Protestan, kota pun ditutup
berdasarkan dekrit kerajaan. Kini giliran Kerajaan yang dengan
khawatir memperkirakan masa depan. Sangatlah jelas bagi mereka
semua bahwa upaya pembunuhan Coligny hanya dapat dilakukan
oleh keluarga kerajaan. Pada malam 23 Agustus, Charles IX menulis
kepada Ratu Inggris untuk meyakinkannya bahwa calon pelaku
pembunuhan itu akan dihukum. Di saat yang sama, masa depannya
sendiri menghadapi pemberontakan Protestan tampak suram.
Kemudian, saat jam berdentang pukul 2 pagi tanggal 24 Agustus,
penjagalan pun dimulai. “Bunuh mereka semua,” perintah sang raja,
“sampai tak seorang pun dapat mencelaku tentang hal ini.”5
Tugas pertama yaitu menyingkirkan Coligny dengan benar.
Tugas ini diselesaikan oleh duc de Guise dan anak buahnya, yang
menggorok leher Coligny dan kemudian menggantung kepala yang
terpenggal di jendela apartemennya dengan seutas tali. “Kita telah
memulai dengan baik,” Guise berkata kepada anak buahnya, “namun
kini kita harus mengikuti keinginan sang raja.”6 Anak buah Guise
157
melakukan ini dengan berbaris di jalan-jalan sambil membawa senjata
berdarah, menyeret mayat Coligny yang telah termutilasi, mendorong
penduduk untuk bangkit dan melakukan pembunuhan. Buah zakar
Coligny ditarik hingga terputus dan dilemparkan ke sungai Seine,
diikuti oleh mayatnya yang tak berkepala. Mayat tersebut kemudian
diangkat dari sungai dan digantung pada kakinya selama beberapa
hari di Montfaucon.7
Dari Louvre hingga jalan belakang Île de la Cité dan Quartier Latin,
kegilaan melanda kota. Mayoritas Parisian merupakan penganut
Katolik, sementara penganut Protestan yaitu para pengawas mereka
dari golongan bangsawan (selama bertahun-tahun, banyak keluarga
terpandang Paris yang beralih menganut Protestan sebab merasa
jijik pada kebiasaan suap-menyuap pemerintah dan istana). Sekarang
waktunya membalas dendam. Sebagian besar pembunuhan yang
penting, setidaknya dari sudut pandang politik, terjadi di awal-awal
pembantaian. Namun pembunuhan membabi buta, didorong oleh
rasa haus darah dan kebencian kuno, berlangsung sepanjang hari dan
malam hingga jalan-jalan tampak seperti medan pertempuran. Para
korban yang tewas dan sekarat bukanlah para prajurit, melainkan
pria-pria terhormat yang datang menghadiri pernikahan, para tukang
dan pekerja miskin, orang-orang tua, wanita, anak-anak dan bayi-bayi.
ada pula sejumlah kantong-kantong perlawanan yang cukup
langka—Tavernay, salah satu letnan Coligny, bertahan hingga lebih
dari delapan jam hingga ia terkalahkan akibat kelelahan—namun
sebagian besar dibunuh dengan mudah dan tanpa perlawanan. Pezou,
yang sehari-hari berprofesi sebagai penjagal dan seorang kapten yang
setia kepada Guise, membanggakan dirinya yang telah membunuh
manusia bagaikan hewan dan sesumbar telah menggorok leher lebih
dari 120 penganut Protestan dalam waktu beberapa jam saja, lalu
melempar tubuh mereka ke sungai Seine dengan tangannya sendiri.
“Kota ini tak lebih dari sebuah pemandangan horor dan pem-
bantaian,” tulis seorang saksi mata kontemporer. “Jalan-jalan bergema
oleh pekikan keputusasaan, penjarahan, dan pembunuhan. Dari
setiap penjuru terdengar rintihan orang-orang yang telah ditusuk
ataupun yang tengah sekarat. Mayat terlihat di mana-mana, dilempar
keluar dari jendela, ke lapangan yang telah dipenuhi oleh mayat. Atau
158
mereka diseret melewati lumpur. Ada banyak sekali darah hingga
mengalir seperti air hujan.”8 Saksi mata lainnya menggambarkan
sungai Seine yang memerah oleh darah. Dalam waktu beberapa hari,
sungai Seine begitu penuh oleh mayat hingga mayat-mayat tersebut
mengambang kembali ke tepian sungai sesaat sesudah dilemparkan ke
sungai. Mustahil mengubur korban tewas sebanyak ini. Lubang-lubang
besar digali sebagai pengganti lubang kubur. Raja hanya tertawa saat
para kaptennya melaporkan bahwa Paris tak dapat menelan semua
penganut Protestan.
Pembantaian ini juga menjadi alasan bagi penjagalan penganut
Protestan di kota-kota Prancis lainnya (di Lyons 2 ribu orang tewas
terbunuh dalam satu hari). Contoh Paris membawa negara ke jurang
perang saudara saat kerusuhan-kerusuhan anti-Protestan yang me-
matikan bergolak di Bourges, Rouen, Angers, Orléans, Bordeaux,
Toulouse dan Albi sepanjang bulan September dan Oktober. Sejumlah
basis kekuatan Protestan di Montauban, Nîmes, dan La Rochelle
menutup gerbang kota mereka dalam pembelaan diri.
Namun tak ada yang dapat mengklaim kehormatan sebagai sebuah
kota yang berubah menjadi rumah penjagalan dengan cepat dan
dengan kebanggaan yang amat besar sebagaimana kombinasi tak
suci di Paris dari anggota kerajaan dan massa yang bersatu dalam
kebencian terhadap satu musuh bersama.
159
16
Di Atas atau di Bawah, Sama Saja
Pembantaian Hari Santo Bartholomew memberi Paris reputasi
se-Eropa sebagai ibukota pengkhianatan dan pembunuhan. Kabar
tentang pembantaian ini menyebar dengan cepat ke London, Jenewa,
Wina, dan Madrid (di mana raja Spanyol terbahak-bahak di depan
publik saat mendengar kabar pembantaian itu) dan Roma (di mana
Paus Gregorius XII bergembira dengan sebuah Te Deum). Ini yaitu
masa ketegangan religius di penjuru Eropa, dan Paris—yang secara
fisik tak lebih dari sekadar sebuah kota abad pertengahan—merupakan
ibukota dari konflik ideologis ini. Lebih krusial lagi, di mata warga
Prancis non-Katolik dan tentu saja hampir semua bangsa Eropa,
Parisian yaitu pembunuh, fanatik agama, atau keduanya.
Namun sebenarnya, hanya ada sedikit unsur agama Kristen
dalam Perang Agama Prancis. Pertarungan ini sebenarnya terkait
dengan siapa yang berkuasa di Prancis dan hal inilah yang me-
munculkan faksi Katolik, yang dipimpin keluarga Guise, dan faksi
Bourbon-Huguenot (yang dipimpin raja-raja Navarre) yang saling
melawan. Sejak tahun 1559 dan seterusnya, saat wafatnya Henri II
memunculkan pertanyaan tentang suksesi, telah terjadi delapan perang
dalam waktu tiga puluh tahun. Pembantaian Hari Santo Bartholomew
hanyalah pertempuran paling berdarah dan paling terkenal dari
pertempuran-pertempuran berikutnya. Di seantero dunia Kristen,
Paris memperoleh kemasyhuran negatif sebagai tempat setan dengan
penjagalan tak terbatas. Satu-satunya fitur penebusan dari periode
menakutkan ini dalam sejarahnya yaitu bahwa pertumpahan darah
atas nama agama ini menimbulkan rasa jijik di antara semua orang
yang mau berpikir, yang menjadi bibit munculnya Pencerahan.
Salah satu konsekuensi yang segera muncul dan tak diramalkan
160
sebelumnya dari Pembantaian Hari Santo Bartholomoew yaitu
naik takhtanya Henri III, adik termuda Charles IX. Charles wafat tak
lama sesudah pembantaian di Paris itu. Secara resmi, kematiannya
yaitu akibat tuberkulosis namun desas-desus menyebutkan bahwa
kemungkinan besar ia diracun oleh tangan Catherine sebagai suatu
perjudian politik demi kepentingan kekuasan Katolik. Bahkan
hubungan suci antara ibu dan anak juga dicurigai di kota ini.
sebab itu sangatlah pantas bahwa masa kekuasaan Henri yang
singkat di bagian akhir abad itu yaitu istana yang terkenal sebab
intrik-intrik seksualnya, berkisar dari hubungan seks antarsaudara
kandung hingga pesta pora homoseksual. Namun aktivitas-aktivitas
ini, hanyalah satu contoh paling terlihat dari sifat alamiah kehidupan
yang direndahkan di Paris. Di semua tingkatan masyarakat, moralitas
publik dan privat semakin tersamar ke dalam sebuah matriks
kebutuhan dan kepentingan diri sendiri yang memiliki hubungan yang
longgar dengan kritik Gereja. Daya tarik Ajaran Protestan yang paling
terlihat, khususnya bagi mereka yang berdiri paling dekat dengan
benteng pertahanan kekuasaan di Prancis, yaitu bahwa agama itu
menawarkan sebuah nada dan kode aksi sipil yang murni secara etis.
Ajaran Katolik, di sisi lain, tampaknya diperuntukkan bagi hierarki
serakah dan terdegenerasi yang tujuan utamanya melanggengkan diri
dalam kekuasaan.
Pasca-Pembantaian Hari Santo Bartholomew, Paris jatuh ke
tangan Liga Katolik, dibentuk tahun 1576 dan dipimpin oleh duc
de Guise. Ia akhirnya memiliki kekuasaan politik yang sejak lama
ia yakini sudah menjadi kewajibannya. Liga ini secara resmi tunduk
kepada Kerajaan namun dalam praktiknya mengendalikan kota
dengan tangan yang kejam dan bebas. Liga ini