Selasa, 01 April 2025

Paris Perancis 5

 


na sebagian besar dari mereka yaitu  korban 

ekonomi atau sosial dari Perang Seratus Tahun. Mereka berkumpul 

di luar gerbang kota-kota Prancis pada malam hari, saat  tidak 

berkeliaran di pedesaan untuk menakut-nakuti para petani. Coquillards 

berbicara menggunakan bahasa slang khusus mereka sendiri dan 

Villon menjadi ahli dalam bahasa berbelit-belit dan selalu berubah-

ubah ini yang memiliki hubungan dengan bahasa Gipsi.

Villon sudah mulai menyusun ballades, ditulis dengan secara 

cukup ahli dan berbeda, saat  pada 5 Juni 1455 ia terlibat dalam 

insiden paling serius: pembunuhan seorang pendeta. Teman-teman 

Villon, yaitu satu-satunya saksi mata insiden tersebut, menyatakan 

bahwa Villon hanya membela diri, melawan tantangan pendeta yang 

akan mengambil dompetnya. Ini dianggap sangat mustahil, walaupun 

banyak pendeta di Paris pada saat itu dikenal bukanlah tokoh-tokoh 

suci.

Walaupun demikian, Villon memutuskan untuk melarikan diri 

dari Paris alih-alih menghadapi pengadilan dan kematian yang sudah 

pasti. Ia kembali setahun kemudian, kelihatannya dengan dilindungi 

oleh sepucuk surat dari ayah adopsinya dan surat lain dari seorang 

pengacara. Ia juga diduga berada di bawah pengawasan sejumlah 

coquillards terkemuka yang sekarang merajalela di Quartier Latin.

Villon tidak pernah berusaha menjadi terkenal, tetapi sebagai 

seorang pemuda ia memiliki reputasi tinggi untuk menghibur para 

voyous (‘berandalan’) yang juga menjadi temannya; secara efektif ia 

yaitu  penghibur yang mencampur tragedi, simpati, dan komedi 

dalam tingkatan yang hampir setara. Ia sering mengunjungi kedai-

kedai seperti Père Lunette, tempat di rue des Anglais yang dikenal lebih 

gaduh sebab  sering didatangi oleh para mahasiswa Inggris pemabuk. 

Tempat ini juga paling terkenal sebab  menyajikan rosbif, acar dan ale 

dalam gaya Inggris. Kedai minum favorit lain yang disebutkan oleh 

Villon, dan sering didatangi oleh coquillards, yaitu  Le Heaume di 

Porte Baudoyer, Le Grand Godet di Place de la Grève, Le Barillet di 

Grand-Châtelet dan Le Pomme de Pin di rue de la Juiverie, Île de la 

Cité.


127

Bagian Dua:  Kota  Kegembiraan

Namun, walaupun reputasinya sebagai penyair semakin baik, Villon 

masih memiliki ketertarikan fatal terhadap kejahatan. Menjelang Natal 

tahun 1456, bersama empat kaki tangan termasuk dua temannya yang 

dikeluarkan dari universitas, ia merencanakan kejahatan yang paling 

ambisius hingga saat itu: perampokan kapel Kolese Saint-Navarre.

Kali ini, saat  rencana tersebut terbongkar, Villon harus keluar dari 

Paris secepatnya dan selamanya. Namun, pengasingan ini tidak bisa 

ditahannya dan, walaupun menghadapi bahaya, ia kembali setahun 

kemudian. Pada awalnya ia secara berhati-hati menyamarkan dirinya 

tapi kemudian muncul secara terang-terangan dan bahkan bermabuk-

mabukan. Namun, kehidupan kotornya sekali lagi mengejarnya dan 

ia kembali ditangkap pada 1463 sebab  terlibat dalam perkelahian 

jalanan. Dalam perkelahian tersebut Ferrebuc tertusuk oleh belati 

dan hampir mati. Sepertinya Villon akan digantung sebab  catatan 

‘kehidupan buruknya’, tetapi hukumannya kembali diringankan 

menjadi pembuangan, kali ini selama enam tahun. Tidak seorang pun 

tahu bagaimana dan kapan Villon meninggal dunia.7

Kehidupan dan karya Villon mengumumkan kelahiran tradisi 

panjang penyair, penulis, dan penyanyi Paris yang memainkan peran 

badut yang merusak diri sendiri, le bon follastre—yang terbaru yaitu  

Serge Gainsbourg, yang meninggal dunia pada 1991 sebab  rokok 

dan minuman keras, yang kecadelan, presisi, dan antinomianismenya 

sepenuhnya ‘Villonesque’. Villon biasanya dideskripsikan sebagai 

patron bagi orang-orang kota yang jatuh miskin, desertir, orang 

miskin atau orang yang memang tidak mau bekerja.

Kota Villon yang berisikan pemabuk, pengembara dan mereka yang 

tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan masih ada di sana. 

Ini yaitu  kota tanah yang tandus, di tepi-tepi sungai dan di daerah-

daerah pinggiran kota yang dihina dan diabaikan. Sebagian besarnya 

dapat ditemukan dalam metro, tempat clochard Paris—gelandangan 

mulia yang dibanggakan dalam syair dan lagu sebab  kecanduannya 

akan gratte-gorge (anggur merah kasar) dan kebebasan—baru-baru 

ini digantikan oleh pasukan SDF (Sans Domicile Fixe). Ini yaitu  

para tunawisma Paris yang melakukan perjalanan tanpa tujuan 

menggunakan sistem transportasi kota. Perjalanan ini sangat bertolak 

belakang dengan perjalanan para penumpang lainnya, yang bergerak 



128

dalam pola pasti antara rumah, tempat kerja dan tempat kesenangan. 

Sedikit sekali kemuliaan atau puitis di sini: Tidak seorang pun merayakan 

dunia mentah ini dalam lagu. Namun, kekerasan dan keputusasaan 

masyarakat mikro ini yaitu  gema autentik bagi Paris milik Villon.

Adegan Karnaval

Penulis Journal d’un bourgeois de Paris tidak diragukan lagi yaitu  

orang yang baik hati—ia meratapi kondisi orang miskin dan benar-

benar bersedih melihat “mayat Joan of Arc yang terbakar.” Seperti 

Villon, sang ‘borjuis’ memiliki belas kasihan yang besar dan, lebih dari 

itu, keingintahuan aktif dalam hal wajah kota yang sedang berubah.

Inilah sebabnya, seperti mayoritas Parisian, sang ‘borjuis’ ter-

dorong oleh rasa ingin tahu untuk pergi dan melihat orang Gipsi 

yang datang ke kota untuk pertama kalinya pada 1427. Mereka tidak 

diperkenankan masuk ke kota, tetapi berkemah di La Chapelle-Saint-

Dennis. Jumlah mereka hanya beberapa ratus orang tetapi kemudian 

mengklaim sebagai sisa-sisa sebuah ‘bangsa’ yang berjumlah beberapa 

ribu orang. Mereka berkata bahwa mereka datang dari ‘Mesir Bawah’ 

dan memberikan catatan tidak jelas tentang perjalanannya, termasuk 

beralih agama menjadi pemeluk Kristen dan Islam, kunjungan kepada 

Paus, yang membebankan kepada mereka penebusan dosa yaitu 

selama tujuh tahun mereka harus mengembara di dunia tanpa pernah 

tidur di ranjang, sambil memerintahkan semua uskup untuk memberi 

pembayaran satu kali sebanyak sepuluh ribu livre saat  mereka 

berjalan melewatinya.

Sang ‘borjuis’ sangat mengagumi orang-orang asing ini dan ter-

utama sangat tertarik akan ilmu hitam yang konon mereka kuasai. 

“Anak-anak mereka sangat, sangat pintar, baik yang laki-laki maupun 

anak perempuan,” catatnya:

Sebagian besar dari mereka—hampir semuanya—menindik telinga dan 

mengenakan anting perak di masing-masing telinga, atau dua anting di 

masing-masingnya. Ini, kata mereka, yaitu  tanda kelahiran yang baik. 

Kaum prianya berkulit sangat gelap, dengan rambut berombak; para 

wanitanya yaitu  wanita paling jelek yang pernah engkau lihat dan 


129

Bagian Dua:  Kota  Kegembiraan

paling gelap kulitnya, dengan muka berkerut dan rambut sehitam ekor 

kuda. Mereka tidak memiliki pakaian kecuali sepotong selimut kasar 

tua yang diikatkan di bahu dengan sepotong kain atau tali; di bawah 

penutup ini ada  baju luar atau kamisol yang sudah jelek. Namun, 

kendati miskin, mereka memiliki para penyihir yang membaca garis 

tangan dan menyampaikan apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. 

Mereka membawa masalah ke dalam banyak perkawinan, sebab  mereka 

mengatakan kepada sang suami, “Istrimu telah berselingkuh,” atau kepada 

sang istri, “Suamimu telah menipumu.” Yang lebih buruk lagi, konon mereka 

berusaha—melalui ilmu hitam atau cara lainnya, seperti bantuan setan 

atau keahlian dan kecerdikan mereka sendiri—membuat uang mengalir 

keluar dari dompek orang lain ke dalam dompet mereka sendiri.

Sang ‘borjuis’ mengunjungi orang Gipsi tiga atau empat kali dan 

terdengar agak gusar dan kecewa sebab  ia sendiri tidak ditipu.8

Tentu saja, perilaku tidak Kristiani seperti ini tidak bisa dibiarkan 

lebih lanjut. Terlepas dari ketakutan terhadap kekuatan setan mereka, 

Uskup Paris memerintahkan mereka untuk pergi. Orang-orang ini 

kelihatannya pergi tanpa meninggalkan kutukan seperti kebiasaan 

mereka. Namun, bukan kejadian ganjil itu saja yang terakhir terjadi di 

Paris: Dalam waktu beberapa minggu, sang ‘borjuis’ bisa melaporkan 

bahwa bukan hanya kualitas anggur meningkat sementara harganya 

menurun, tetapi Paris juga dikunjungi oleh seorang wanita muda 

berusia sekitar dua puluh delapan atau tiga puluh dari Hainaut yang 

bernama Margot. Ia pemain tenis terbaik yang pernah dilihat orang 

(pada saat itu tenis dimainkan secara berkala di rue Grenier Saint-

Lazare dan di Petit Temple). Margot memainkan forehand dan 

backhand (menunjukkan bahwa raket sudah digunakan pada masa 

awal ini) dan, sang ‘borjuis’ dengan bersemangat melaporkan, sanggup 

menandingi hampir semua pria kecuali pria terkuat.9

Sang ‘borjuis’ melaporkan kejadian ini bersama catatan tentang 

festival-festival publik, fluktuasi harga bir dan lobak serta pembantaian-

pembantaian paling mengerikan, kadang kala dilakukan oleh orang 

Inggris dan kadang kala oleh Armagnac yang kejam atau kelompok 

bandit yang dikenal sebagai ‘Pencambuk’, yang menghantui jalan-

jalan antara Paris dengan kota-kota kecil dan desa-desa di sekitarnya. 

Ia melaporkan tentang ‘Perpolitikan Tingkat Tinggi’ dari kejauhan, 



130

kemungkinan mendapat informasi sebab  meremehkan, lebih tertarik 

dengan kedatangan dan kepergian di rue Saint-Martin tempat dia 

tinggal. Kadang kala perpolitikan secara harfiah datang ke pintunya, 

seperti pada 1436 saat  orang Inggris, yang berjumlah sekitar 300 

orang, berlari bergerombol menyusuri Grand’rue Saint-Martin sambil 

menggedor pintu-pintu dan berteriak, “St. George! St. George! Kalian 

pengkhianat Prancis, kami bunuh kalian semua!” Orang Inggris 

pada akhirnya berpapasan dengan dua “pemilik rumah yang sopan 

dan terhormat,” Jean le Prêtre dan Jean des Croustez, yang “dibantai 

sepuluh kali.”10

Jalan-jalan di kota selama periode ini biasanya ramai oleh suara 

hiruk-pikuk penjual keliling, pengemis dan penjaga toko. Walaupun 

mereka terikat oleh undang-undang tahun 1270 yang melarang mereka 

mengganggu konsumen potensial di toko lain, para pedagang masih 

diizinkan untuk meneriaki orang yang lewat secara acak. Setiap jenis 

perdagangan dibedakan oleh rima dan bahasa slangnya sendiri (yang 

bertahan hingga ke abad ke-20) dan oleh kekhususannya sendiri: Para 

wanita biasanya menjual tepung, buah-buahan, pakaian, furnitur, 

dan keramik; para pria berurusan dengan barang-barang lebih berat 

atau barang-barang seperti daging dan anggur yang dianggap lebih 

penting. Di setiap bagian kota, pencanang (petugas yang memberi 

pengumuman—penerj.) kota dan penjaga mengumumkan peristiwa-

peristiwa publik, eksekusi, dan waktu saat itu.

Walaupun kota terbukti bersemangat dan selalu berubah—

yang menurut Villon seperti ‘Karnaval Besar—kehidupannya juga 

sangat keras. Terutama, sang ‘borjuis’ merasa prihatin terhadap 

penderitaan ‘le menu peuple’, orang miskin Paris, yang tidak memiliki 

kontrol terhadap perpolitikan atau kehidupan mereka sehari-hari. Ia 

membuat catatan berkala tentang harga-harga makanan di seluruh 

kota, secara berkala melaporkan kurangnya bahan makanan yang 

tersedia untuk orang miskin. “Roti yang hitam dan berasa tidak 

enak” yaitu  makanan pokok mereka; kadang kala digantikan oleh 

buah busuk dan bahkan bangkai anjing mati yang mereka makan 

untuk menghindari kelaparan. Sang ‘borjuis’ menimpakan kesalahan 

atas kondisi ini tepat di kaki para pencinta perang yang bodoh dari 

kalangan bangsawan.11 Sikapnya yang santai dalam mengungkapkan 


131

Bagian Dua:  Kota  Kegembiraan

pandangan menunjukkan bahwa ini, seperti mudahnya ia menerima 

kematian, yaitu  sikap umum warga kota dari kelas menengah.

Dansa Kematian

Mayat-mayat yaitu  pemandangan umum di kota pada saat itu. 

Villon menulis bait-bait sedih yang indah untuk menghormati para 

gelandangan yang mati kedinginan selama malam-malam musim 

dingin yang parah di tepian sungai Seine. Namun pemandangannya 

sendiri tidak terlalu puitis. Mayat-mayat berbau dari korban wabah, 

lepra atau kelaparan, yang tergeletak di jalan-jalan berlumpur akan 

dikumpulkan pada waktu fajar seperti sampah oleh para penggali 

kubur. Mereka kemudian mengangkutnya menggunakan gerobak ke 

rumah-rumah jenazah di Saints-Innocents.

Permakaman Saints-Innocents sudah sangat lama menjadi bagian 

integral dari kehidupan kota bagian dalam. Pada awalnya, ini yaitu  

permakaman Romawi, yang sesuai gaya Roma, dibangun di salah satu 

rute keluar dari kota. saat  Paris telah tumbuh ke arah luar dan di 

sekitarnya, permakaman ini menjadi pusat kota abad pertengahan. 

Tanah permakaman, tempat yang relatif kecil di pusat Tepi Kanan dan 

tidak lebih besar dari alun-alun kota, dikatakan memiliki kekuatan 

hebat, yang begitu hebat hingga dikatakan dapat ‘memakan mayat’, 

yaitu bisa menghabiskan dagingnya hanya dalam hitungan hari.

Parisian tidak takut akan mati, walaupun mereka berusaha sekuat 

tenaga untuk menghindarinya. Lokasi ini, yang dikunjungi oleh Villon 

dan begitu banyak aficionados kelas bawah lainnya, sangat dikenal 

atas pelacuran dan perbuatan jahat menyenangkan lainnya. Pada 

gilirannya, ini menarik para pencuri kecil-kecilan, tukang catut dan 

penjual anggur keliling. Pihak berwenang, sebagian sebab  takhayul 

dan sebagian sebab  ketidakpedulian, menutup mata.

Meskipun tidak mencolok, para tukang sihir dan ahli alkimia 

menganggap tempat ini sebagai salah satu tempat yang memiliki 

signifikansi magis, atau datang di sini di waktu malam untuk mencari 

bahan-bahan mentah yang diperlukan untuk ‘ilmu pengetahuan 

eksperimental’ mereka  (rumah yang dianggap rumah ahli alkimia 

Nicolas Flamel, masih dipenuhi coretan-coretan rumus alkimia, 



132

berdiri di rue de Montmorency hanya beberapa langkah dari tempat 

permakaman ini dulu berada).

Pada 1424, sang ‘borjuis’ Paris juga mencatat, sekali lagi secara 

santai sebagaimana sikapnya sehari-hari, kemunculan ‘Danse Macabré’ 

di permakaman. Ini yaitu  serangkaian mural ‘berdansa dengan 

sang Kematian’ yang menandai lokasi lubang wabah. Ini yaitu  versi 

pertama dari gaya yang menyebar ke seluruh Inggris dan Negara-

Negara Rendah, yang terutama berakar di Jerman. Bentuk paling 

populer yaitu  lukisan di gereja atau permakaman, atau potongan kayu. 

Hal yang umum dalam semua versi yaitu  representasi sang Kematian 

dalam bentuk harfiah sebagai sang Penuai (Reaper), yang mengambil 

nyawa dan menunjukkan kesia-siaan eksistensi manusia yang fana.

Asal-usul istilah ‘Macabré’ tidak jelas. Fakta bahwa kata ini 

berbentuk posesif (menyiratkan ‘de Macabré’) menunjukkan bahwa 

awalnya ini yaitu  nama asli pelukis mural atau pujangga yang 

menuliskan syair di bawahnya. Kata ini telah dikaitkan dengan 

etimologi lain, yang beberapa di antaranya terdengar lebih eksotis, 

termasuk turunan dari bahasa Arab Suriah untuk ‘penggali kubur’ 

(meqabberey) atau distorsi dari ‘Maccabée’ dari Injil, atau bahkan 

dewa pagan ‘Machaberey’ (istilah yang muncul dalam bahasa Inggris 

dalam ukiran di Paron’s Yard di dekat St Paul’s, yang dieksekusi pada 

1439 dan dihancurkan pada 1539). Namun, kemungkinannya kecil, 

sebab  istilah ‘Macabré’ muncul dalam puisi yang ditulis sekitar 

tahun 1376 oleh Jean Lefèvre. Apa pun asal usulnya, danse macabre 

terbukti menunjukkan kebutuhan untuk menghadapi kematian 

secara tatap muka. Yang tersisa sekarang dari lubang wabah yaitu  

struktur-struktur lengkung yang sebelumnya menjadi rumah jenazah 

di sepanjang permakaman menyusuri rue de la Ferronerie. Dahulu 

kala, struktur-struktur lengkung ini penuh dengan tumpukan tinggi 

tulang dan daging membusuk untuk digerogoti oleh tikus. Sekarang, 

di tempat ini ada  toko-toko pakaian perancang, sebuah toko 

makanan, sebuah toko parfum, yang semuanya masuk ke dalam parade 

Forum des Halle, pusat perbelanjaan yang masuk jauh ke bawah tanah 

ke dalam permakaman.


133

Bagian Dua:  Kota  Kegembiraan

13 

Peta dan Legenda

Selama seribu lima ratus tahun terakhir, Paris telah 

direpresentasikan, dengan berbagai kadar akurasi, dalam ukiran, 

lukisan dan manuskrip tercerahkan. Namun demikian, tidak ada peta 

kota yang dapat digunakan hingga 1450-an. Paris masa kini dikenal 

oleh orang pedalaman dan orang asing sebagai tempat legendaris. Tapi 

Paris juga penuh bahaya; tidak seorang pun benar-benar mengenal 

kota secara mendalam. Mereka yang perlu dipandu untuk berkeliling—

para pedagang dari daerah atau dari luar negeri—menggantungkan 

diri pada tukang catut dan tukang tadah, membawa mereka ke jalan-

jalan belakang yang paling kotor dan paling berbahaya atau, dalam 

berbagai kesempatan, terbukti menjadi teman yang tak ternilai dalam 

lingkungan yang tidak dapat dipahami dan berbahaya ini. Jika Anda 

tidak berasal dari kota ini—yang dilihat oleh predator bermata tajam 

dari pakaian, aksen dan tingkah laku—menemukan jalan di Paris 

tanpa dirampok, dibunuh atau hanya tersesat umumnya yaitu  

masalah kesempatan.

Perancang perkotaan dari Romawi tentu saja membuat peta-peta 

militer dan kota dengan sangat teliti, tetapi peta-peta tersebut tidak 

selamat dari kehancuran masa pasca-kekaisaran. Salah satu dari 

sedikit peta Lutetia yang tersisa yaitu  peta polisi, walaupun peta ini 

dibuat pada 1705 dan, seperti hampir semua peta kota Gallo-Romawi 

lainnya, sebagian besar hanyalah khayalan.1 Gagasan untuk membuat 

peta kota juga datang dari Italia, di mana pembuatan peta merupakan 

bentuk seni yang telah populer sejak abad ke-12. Aktivitas ini tidak 

harus memiliki fungsi politik atau perniagaan—peta Venesia yang 

dibuat oleh seorang Milan bernama Hellia Magadizzio pada 1110 

untuk doge Ordellafo Fallio, misalnya, yaitu  contoh versi peta yang 




134

hampir tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya memiliki fungsi 

dekoratif. Tetapi pada 1494, François II, Marquis Mantua, mendapat 

ide membuat proyek yang memperlihatkan pemandangan kota besar 

dalam bentuk lukisan dinding yang serupa dengan camera della città 

yang sedang ia bangun di palazzo-nya. Pilihannya yaitu  antara Paris 

dan Yerusalem.

Pilihan ini lebih sederhana daripada yang terlihat: Paris lebih dekat 

dari tempatnya serta lebih penting secara politis dan strategis. Ahli 

astrologi dan peramal tangan Paride Cesara mengirimkan pesan 

kepada François. Ia berjanji akan membuat buku yang tidak hanya 

menjelaskan tentang Paris, tetapi juga banyak kota lainnya, bersama 

cerita dan legenda, dan kisah hidup para duke serta raja. Ini jelas sekali 

merupakan rujukan pada penggambaran Paris dalam volume Jerman, 

Liber cronicarum (‘Buku Kronik’) karya Hartmann, yang diterbitkan 

oleh Schedel dari Nuremberg pada 1493. Satu-satunya masalah yaitu  

peta ini sepenuhnya Paris imajiner sebab  baik seniman maupun 

penerbitnya belum pernah melihat kota tersebut.2

Peta Paris pertama yang setengah akurat muncul pada 1550-an, yang 

disebut Plans de Munster atau de Braun yang diukir di atas kayu dan 

mewakili kota sekitar tahun 1530. Peta ini menawarkan pandangan dari 

atas terhadap kota untuk pertama kalinya.3 Penerbitannya didorong 

oleh kebutuhan para raja dan ahli ekonominya untuk memahami 

dimensi kota yang mengalami perubahan. Sejak periode ini dan 

seterusnya, para ahli kartografi Paris memainkan peran menentukan 

dalam kebudayaan dan perpolitikan kota. Nama-nama para pembuat 

peta hebat selama dua abad kemudian—Quesnel dan de Vassalieu, de 

Gomboust, de Bretez dan Verniquet—sama pentingnya bagi sejarah 

kehidupan kota seperti para seniman kesusastraan dan pemikir. Para 

pembuat peta Paris tidak hanya mengubah bagaimana Parisian dan 

pengunjung berpikir tentang kota, tetapi juga bagaimana mereka bisa 

secara aktif menggunakannya tanpa terbatasi.

Peta-peta pertama Paris menampilkan kota sebagai ruang melingkar 

atau oval; bahkan, biasanya dideskripsikan bundar seperti telur. Peta 

ini juga melihat kota secara menyamping, menampilkan utara di 

sebelah kanan dan selatan di sebelah kiri (itulah pembedaan masa 

kini antara Tepi Kanan dan Tepi Kiri). Peta tersebut yaitu  simetri 


135

Bagian Dua:  Kota  Kegembiraan

tidak sempurna, tetapi memiliki keuntungan yaitu menampilkan kota 

sebagai dunia tersendiri. Sumbunya bergeser selama lima puluh tahun 

kemudian saat  peta diputar sekitar 360 derajat untuk mencerminkan 

secara lebih akurat pembagian kekuasaan politik dalam kota (Tepi 

Kanan perdagangan sekarang mendominasi distrik ‘intelektual’ 

Tepi Kiri). Kota yang melingkar tetap terpelihara hingga abad ke-20 

dengan pembangunan boulevard périphérique, yang melingkari kota 

dengan lalu lintas. Di luar daerah ini yaitu  wilayah balieue yang 

belum terpetakan, yang dalam imajinasi Parisian sama berbahayanya 

dengan hutan-hutan dari kota abad ke-15.

Peta-peta pertama Paris juga dimaksudkan untuk menunjukkan 

kemegahan kota, monumen, istana, dan gerejanya. Tidak ada ke-

hidupan individu yang tercatat dalam peta-peta ini, tetapi merupakan 

representasi statis kemewahan kerajaan. Sekali lagi, pembuatannya 

jelas-jelas bersifat politis, dan orang-orang seperti Quesnel secara 

mengagumkan cukup terbuka menyampaikan rencana mereka untuk 

memetakan kota yang tidak ada duanya di Eropa atau di dunia. 

Ambisi terang-terangan yang sama untuk memajukan tujuan politik 

dalam pembuatan peta berlaku pula dalam peta-peta kota bagi polisi 

dan militer, yang menggeser fokus perhatian pada pembagian antara 

kanan yang kaya dengan kiri yang miskin dan berpotensi revolusioner. 

Namun demikian, sebenarnya, pada semua tingkatan, semua peta, 

baik di masa lalu maupun di masa kini, merupakan fiksi—yaitu 

representasi subjektif terhadap sebuah tempat oleh seorang atau 

beberapa orang individu. Sejak dahulu sampai sekarang, satu-satunya 

cara yang benar untuk merekam kota, mendapatkan esensinya, yaitu  

lewat insting dan intuisi.

Abad ke-15 umumnya digambarkan sebagai periode kemunduran: 

kematian sebuah era. Begitulah menurut pendapat Johan Huzinga 

yang berpengaruh dan kadang kala cemerlang, yang menunjukkan 

bahwa konsekuensi esensial dari peperangan pahit selama beberapa 

generasi, yang terutama dilakukan di tanah Prancis, merupakan 

kemunduran dan dekomposisi idealisme lama.4 Tahun-tahun terakhir 

Abad Pertengahan yaitu  ‘pemudaran’, senja dari bagian sejarah yang 

sangat luas dan kompleks yang secara jeli melihat ujungnya sendiri 

dalam realitas dunia yang berubah lebih cepat daripada sebelumnya. 



136

François Villon memulai Testament pada 1461, buku besar terakhir 

tentang periode abad pertengahan selain sebagai pendahulu human-

isme modern awal menurut Rabelais dan lain-lain. Pada 1470, per-

cetakan pertama dibuka di Paris.

Kedua kejadian ini bukannya tidak berkaitan: Keduanya menjadi 

saksi cepatnya perubahan sekaligus pergeseran mendalam dalam 

pemikiran dan perilaku yang mendorong sejarah ke depan. Namun 

demikian di Paris, ‘pemudaran’ Abad Pertengahan juga berarti periode 

rekonstruksi. Pergerakan mendasar sedang terjadi saat  dunia Eropa 

merasa dirinya kembali bergerak ke arah Italia dan peradaban-

peradaban kuno.


137


BAGIAN TIGA

Kota Penjagalan

1461 – 1669

Mengapa aku ingin tinggal di Paris?

Aku tak tahu cara menipu, berbohong, dan memperdaya.

Nicolas Boileau, 1660

Di kota tua Paris

Ada tiga puluh enam jalan

Dan di quartier Hulepoix ada delapan puluh tiga lagi;

Dan di quartier Saint-Denis tiga ratus enam.

Hitunglah semua dan tenanglah.

Setan mengenal semuanya dengan baik.

Les cris et les rues de Paris, 1567

Bukan rahasia lagi bahwa Setan sering berkunjung ke Paris.

Kedatangannya selalu menjadi pertanda bencana,

Untuk alasan tersebut, Setan menganggap tempat ini sebagai 

rumahnya.

René Benoît, pendeta Saint-Marcel, 1568


Gelap oleh Kelebihan Cahaya

Paris pada saat ini memang telah sejahtera dan melimpah oleh 

manusia serta ide-ide. Hanya Lyons, yang berada di persimpangan 

Italia, Spanyol, dan Jerman, yang dapat dianggap sebagai pesaing 

serius dari supremasi Parisian yang terus berkembang. Kota selatan 

itu memang pernah sejenak menjadi sarang aktivitas sastra dan filsafat 

selama masa awal abad ke-16, menghasilkan tokoh-tokoh seperti 

Louise Labé, Maurice Scêve, dan Louis Meigret, yang amat mendalami 

kebudayaan Italia dan menyatukan pengaruh Petrarch dan Bembo 

dengan bahasa Prancis. Namun Lyons sendiri belum memiliki sebuah 

universitas dan orang Lyon terkenal lebih suka menghasilkan uang 

daripada menyemai ide. Lembah Loire dipenuhi oleh para penulis—

Ronsard, Du Bellay, Jean Bodin dan Rabelais semuanya berasal dari 

wilayah ini—dan ada  sejumlah universitas di kawasan-kawasan 

sekitarnya yaitu Angers, Orléans (yang mengajarkan hukum sipil, 

sebuah mata kuliah yang masih tak dikenal di Paris), Bourges dan 

Poitiers. Namun, kehidupan kebudayaan tetap terfokus pada Paris.

Pada intinya, kendati Paris menghasilkan lebih sedikit penulis 

ternama selama abad ke-16, seni, filsafat, dan uang mengalir 

dengan seimbang ke ibukota, ditarik ke sana dengan berkembangnya 

pengaruh kota hingga melampaui Prancis sendiri. Sebagaimana Paris 

mengonsolidasikan posisinya sebagai ibukota cendekiawan dan 

politik pasca-Perang Seratus Tahun, para spekulator berinvestasi pada 

visi arsitektural kota yang semakin megah. Sebagian besar bangunan 

di Paris dilahirkan pada model-model neo-klasik Italia—dan Parisian 

yang memiliki banyak uang meniru pakaian, makanan, sopan santun, 

dan cara bicara (bahasa Prancis, dan khususnya bahasa Prancis-nya 

Parisian, pada saat ini telah terinfeksi oleh Italisisme dalam kosakata 




140

dan aksen).

Namun kota Renaisans yang baru lahir ini akan tetap menjadi 

sebuah tempat yang gelap dan mudah dijangkiti wabah. Saat jembatan 

baru di Notre-Dame disapu banjir pada 1499, kejadian ini dirasa tidak 

memberi ramalan yang baik bagi abad mendatang (dengan volume 

lalu lintas kota yang tinggi dan kepadatan populasi yang berdiam di 

jembatan-jembatan, itu berarti bahwa semua jembatan kini harus 

diamankan dengan rantai).  Namun saat itu yaitu  periode optimisme 

luar biasa. Nuansa yang baru ini direfleksikan dalam detail-detail 

kecil yang memperbaiki kualitas kehidupan sehari-hari, seperti 

kemunculan papan nama jalan pertama (sebelumnya, penduduk 

maupun pendatang terpaksa bergantung pada papan nama pintu 

yang serampangan atau tebakan semata) dan pembentukan ulang dari 

rumah jenazah yang bau di permakaman Saints-Innocents menjadi 

sebuah air mancur dangkal yang sempurna dalam gaya dekoratif 

abad ini. Melihat masih buruknya kondisi kehidupan kota, sangatlah 

mengejutkan bahwa air mancur itu akan mendapat pujian tinggi dari 

para penulis yang bermata paling tajam dan rasional di masa itu, 

“Selamat tinggal Paris sur Seine,” tulis Marc-Antoine de Saint-Amant 

sebagai penghormatan kepada kecerdikan para kelas pekerjanya. 

“Kota yang hebat … di mana aku belajar menggunakan kata-kata yang 

lebih tajam daripada mata pisau.”1

Lebih mengejutkan, dan di luar karakternya, Michel de Montaigne—

yang biasanya penulis yang sangat picik—memuji kota yang suram dan 

seram ini sebagai “kejayaan Prancis dan hiasan dunia.” Ia melanjutkan, 

menyiram kata-katanya dengan ironi: “Aku mencintainya dengan 

lembut, dengan semua kutil-kutil dan noda-nodanya. Aku memang 

hanya menjadi orang Prancis melalui kota hebat ini.”2

Namun lebih penting lagi, sebagaimana bahkan diakui oleh si 

keras kepala Montaigne dengan enggan, bibit-bibit Renaisans di 

Paris sebagian besar berasal dari idealisme pribumi lama dan juga 

model-model yang diimpor. Para penulis yang hidup di kota itu 

atau hanya berkunjung melihat kepada ide-ide dan kemajuan Eropa 

yang ‘universal’, namun kerap kali menjadi Parisian yang tegas dalam 

keyakinan dan kesombongan mereka. Clément Marot memuji kaum 

wanita Paris—sebelumnya tercatat dalam puisi dari periode abad 


141


pertengahan (dan tidak hanya Villon) atas ketangguhan dan perilaku 

seksual mereka yang kasar—melampaui kaum wanita Italia; ini yaitu  

pujian yang tinggi di masa pengkultusan semua hal yang berbau Italia. 

Kepercayaan diri tersebut direfleksikan dalam rekonstruksi kota itu 

sendiri: Louvre direstorasi dan diperbarui, melestarikan beberapa 

karya asli dari masa Philippe-Auguste; pekerjaan dilanjutkan di istana 

Tuileries dan kemudian dinding-dinding kota. Pada saat yang sama, 

Sorbonne berkembang kedudukannya sebagai wadah peleburan 

kebijakan baru. Memang, kepercayaan diri pribumi di kota ini dan 

bukannya kekaguman pada Italia dimunculkan dalam formula di 

mana Paris ditujukan sebagai ‘Roma Baru’.

Sang Raja Laba-Laba

Louis XI pada umumnya digambarkan sebagai raja abad pertengahan 

terakhir dan monarki Renaisans yang pertama. Tentu saja upacara 

penobatannya dilakukan dengan gaya kesemarakan Renaisans yang tak 

sepenuhnya sesuai dengan nuansa di masa itu. Ia dinobatkan menjadi 

raja pada 1461 di Rheims, lokasi tradisional bagi upacara penobatan 

raja-raja Prancis, dan dikepung oleh kerumunan yang antusias pada 

setiap langkah menuju Paris, di mana ia dengan lantang dan eksplisit 

mendeklarasikan ibukota negaranya.

Kendati Parisian tampak sangat antusias di luar, mengelu-

elukan sang raja saat ia memasuki kota di Porte Saint-Denis dalam 

perjalanannya menuju Notre-Dame, mereka juga pernah melihat dan 

mendengar semuanya ini dan segera membuat pernyataan sarkastis 

tentang monarki dan ketidakpastiannya. Cara Louis memasuki 

kota hanya menjadi bahan bakar tambahan bagi orang-orang yang 

meragukannya—ia berlalu dengan duduk di atas punggung kuda, 

kepalanya dinaungi kanopi satin biru, didampingi air mancur yang 

memancarkan anggur dan susu, serta rombongan pengiring wanita 

muda yang bertelanjang dada, “Wanita Penggoda,” dalam sebuah 

kolam buatan. Pemandangan yang terakhir ini disambut oleh seorang 

pencatat kronik kontemporer, yang dengan datar mengagumi payudara 

para wanita sebagai ‘droit, séparé, rond et dur’ (‘tinggi, terpisah, bulat 



142

dan kencang’).3 Raja sendiri tak mendapat pujian yang berlebihan 

seperti itu.

Namun, adegan yang menggelikan ini merupakan penggambaran 

keliru tentang kelicikan politik Louis, sebuah kemampuan yang 

dibutuhkan dalam dunia istana Paris yang keruh. Louis mengantisipasi 

Machiavelli dengan membawa serta seni hitam dari sanjungan, intrik 

dan penipuan ke dalam kedudukan raja. Musuh-musuh utamanya, 

setidaknya pada awalnya, yaitu  para bangsawan yang berpotensi 

memberontak dari Brittany, Bourbon, Orléans, Charolais, dan 

Dunois. Yang tak kalah berbahaya yaitu  fakta yang jelas, seperti yang 

terungkap saat upacara penobatan, bahwa populasi Paris juga tak 

dapat dipercaya. Di kediamannya di Hôtel des Tournelles (ia dengan 

sengaja menghindari Louvre), Louis terus-menerus menyanjung 

untuk memperdaya dalam acara-acara makan malam dan perjamuan 

yang tiada habisnya, memenangkan hati musuh-musuhnya dengan 

“kepandaiannya berbicara.” Visinya jauh melampaui Paris hingga 

Prancis, dan kemudian ke Eropa, di mana ia berupaya menempatkan 

Prancis, melalui upaya diam-diam dan bukan melalui perang, sebagai 

kekuatan utama. Ia dijuluki “sang Laba-laba Universal” sebab  jaring 

intriknya tersebar ke banyak kepentingan yang tampak berbeda-beda.

Pada periode itulah Prancis mulai memiliki bentuk heksagonal yang 

dimilikinya sekarang: Maine, Anjou, Provence, dan Burgundy pada 

akhirnya dapat ditundukkan. Kepentingan Louis XI meluas hingga 

sejauh Napoli, membentuk suatu hubungan dengan kebudayaan 

politik Italia yang terbukti akan menjadi piala beracun pada abad-abad 

mendatang, Namun untuk saat ini, sudah cukup bahwa hegemoni 

Prancis amat kuat, sebagian besar tak tertandingi, dan diperkaya oleh 

rumah harta kebudayaan di negara tetangganya Italia, ruang mesin 

yang sesungguhnya dari Renaisans. Namun Parisian membenci 

petualangan-petualangan luar negeri ini dan pajak tinggi yang harus 

mereka tanggung untuk membiayainya. Louis pun menghabiskan 

sebagian besar waktunya jauh dari kota. 

Namun ia tidak sepenuhnya melalaikan kehidupan kebudayaan 

kota. Lebih penting lagi, ia mendorong perkembangan percetakan 

pertama di kota, menghadapi perlawanan keras dari serikat juru tulis 

dan penjual buku, yang sejauh ini telah memonopoli penjualan buku 


143


di kota. Buku-buku cetak pertama muncul di Paris pada 1463, dibawa 

ke sana oleh 2 orang Jerman, Fust dan Schöffer; namun buku-buku 

ini dengan cepat disita oleh serikat. Louis, di sisi lain, memberikan 

kompensasi bagi keduanya sebesar 2.500 crown, jumlah yang besar 

untuk menunjukkan bahwa ia berterima kasih kepada mereka sebab  

telah memperkenalkan teknologi baru ke kota. Kedua orang Jerman 

itu membuka toko mereka di rue Saint-Jacques di papan nama Soleil 

d’Or dan, kendati buku-buku pertama muncul dalam huruf Gotik 

Jerman Tinggi (upaya menggunakan huruf Roman dilakukan di 

bawah kekuasaan François I), penerbitan segera menjadi industri yang 

berkembang. Sebuah percetakan didirikan di Sorbonne pada 1470 

oleh dua pencetak Swiss atas undangan Jean Heynlin dan Guillaume 

Fichet, cendekiawan yang memiliki ruangan kosong di kolese.4 

Salah satu akibat yang kurang diramalkan dari ketiadaan Louis 

XI dari Paris, dan ketiadaan raja-raja penggantinya (mereka kerap 

terperangkap dalam petualangan Italia), yaitu  bahwa kota, yang 

kurang memiliki kehidupan istana, telah diambil alih oleh kaum 

borjuis, yang mampu membeli bangunan-bangunan mewah dengan 

harga murah. Para keturunan bangsawan yang bergaya, tidak dekat 

dengan istana, berdiam untuk sementara di Tepi Kiri, rue Saint-

André-des-Arts dan rue de Buci, dan di pinggir timur Tepi Kanan, 

rues de la Verrerie, Sainte-Croix-de-la-Bretonnerie, des Archives atau 

des Francs-Bourgeois. Di tempat ini, mereka hidup berdampingan 

dengan semua strata masyarakat borjuis, dan juga kaum miskin 

dari semua kelas. Di tempat ini pula sentimen bahwa Paris—dan 

masyarakat Paris—merupakan hal yang terpisah dari monarki, 

terbentuk. Tentunya, pembangunan kota pada akhir abad ke-15 

dan awal abad ke-16 hanya berutang sedikit pada anggota kerajaan. 

Sebuah kawasan ‘intelektual’ dibentuk pada saat yang sama antara rue 

Saint-Jacques dan rue de l’Hirondelle, sementara para pemodal dan 

ahli hukum lebih menyukai rue des Blancs-Manteaux dan rue Sainte-

Avoye, di utara sungai. Para pengusaha dan pedagang berkumpul di 

sekitar rue des Lombards, rue de la Vieille Monnaie dan rue Marivaux, 

di utara Tour Saint-Jacques, yang banyak dikagumi Parisian sebab  

ketinggiannya. Konon dari tempat itu kita dapat melihat sang penyihir 

wanita jahat Italia jika berusaha cukup keras.   



144

Memang Italia menjadi sebuah obsesi bagi anggota kerajaan Prancis 

selama periode ini. Putra Louis, Charles VIII, sangat mengagumi Italia 

sebagaimana ayahnya dan memulai serangkaian serangan kilat ke 

negara itu, serangan yang hampir membuatnya dapat merebut Roma. 

Penerusnya, Louis XII, terseret ke dalam politik Italia oleh Paus Julius 

II, seorang pengikut sejati Machiavelli, yang berupaya menggunakan 

kekuatan militer Prancis sebagai kekuatan penjera terhadap orang 

Venesia; tentu saja, saat  gelombang militer berbalik, sebab  hal ini 

tak dapat dihindari, Paus mengubah kesetiaannya kepada Venesia 

dan Louis dengan cepat dihancurkan. Namun Italia tetap bertahan 

dalam imajinasi bangsa Prancis, dan khususnya Parisian. Tata krama, 

gaya dan bahasa kebangsawanan dan haute bourgeoisie dari abad 

selanjutnya semua ditentukan oleh tetangga selatan mereka. 

“Paris bukanlah sebuah kota namun sebuah negara”

François I amat menonjol dengan tubuh setinggi lebih dari 6 kaki 

dan gemar mengenakan perhiasan terbaik di Eropa. Ia naik takhta 

pada 1515, memasuki Paris di Saint-Denis, melanjutkan perjalanan 

ke Notre-Dame dengan dikelilingi gens de la ville (pemerintah kota) 

dan gens du roi (pejabat raja), dikawal oleh dua pasukan dan satu 

komplemen beranggotakan 400 pemanah. Sama flamboyannya seperti 

pendahulunya, Louis XI menghujani warganya dengan koin perak dan 

emas saat berjalan di antara mereka dengan mengenakan baju dari 

kain perak dan topi putih berhiaskan permata.5

François juga membayangkan dirinya sebagai patron seni. Ia 

menganggap dirinya sebagai seorang atlet (ia gemar melakukan per-

tandingan gulat dengan anggota pengiringnya yang lebih kuat) dan 

juga yaitu  seorang orator ulung serta sastrawan alami.  Oleh sebab  

itu, ia menganggap sudah menjadi tugasnya membuat Paris sebagai 

ibukota kebudayaan, dengan tidak membatasi aktivitas intelektual 

dalam wilayah universitas, namun, dalam model Renaisans Italia, 

menjadikan istana sebagai jantung budaya di kota. Dengan hal ini 

dalam pikirannya, ia membangun kembali dan menambahkan Louvre, 

membuatnya sekali lagi sebagai pusat politik di Paris. Dengan maksud 


145


yang sama, ia menginvestasikan uang untuk merestorasi sejumlah 

châteaux di sekitar Paris dan mendirikan Bibliothèque Nationale. 

Ia berbicara dalam bahasa Latin dengan ahli teologi universitas, 

mendirikan lembaga profesor regius di Sorbonne, dan mendorong 

iklim toleransi humanistik, yang memungkinkan penulis-penulis 

satiris seperti Rabelais untuk berkembang. François bahkan melawan 

Sorbonne atas nama saudarinya Marguerite d’Angoulême, yang 

puisinya Miroir de l’âme pécheresse (‘Cermin sebuah Jiwa Berdosa’) 

pada 1531 dikutuk sebagai penistaan terhadap agama.

Namun ada  pula suatu kenaifan budaya di dalamnya. François 

tak dapat mengerti, misalnya, mengapa banyak rekannya sesama 

Parisian tak tahan dengan Benvenuto Cellini, yang telah dua kali 

dibawa raja ke Paris. François tanpa rasa malu mengagumi Cellini 

sebagai seorang genius, seorang ahli penulis catatan harian, perajin 

emas dan pematung. Tentunya Cellini tak dapat membuat dirinya 

disayangi oleh eselon lebih tinggi dari masyarakat Prancis saat  ia 

secara paksa menendang prévôt keluar dari kediaman resminya di 

Petit Nestle, tepat di seberang Louvre, di hadapan para pelayan dan 

siswanya yang bersenjata lengkap. sesudah  itu Cellini beberapa kali 

diserang di jalan dan diseret ke pengadilan. Namun, François tetap 

setia kepada teman Italia-nya yang bertingkah ini dan menolongnya 

keluar dari situasi paling sulit sekalipun.

Sebuah dialog imajiner di masa itu berisi Charles Quint yang 

bertanya kepada pesaingnya, François I, kota mana yang paling indah 

di Prancis. “Kota terindah yaitu  Rouen, sepupuku yang hebat,” 

jawab François, “sebab  Paris bukanlah sebuah kota melainkan 

sebuah negara.” Kebanggaan warga negara semacam ini tak mampu 

mencegah raja dari perselisihan dengan Parisian rakyatnya, yang 

sering kali membahayakan. Biasanya, masalah utama yaitu  uang. 

Seperti pendahulunya, François secara fatal sangat tertarik ke 

Italia dan mengenakan pajak yang tinggi ke kota untuk membiayai 

petualangannya di sana. Pada 1523, raja berada di kediamannya 

di Lyons, kota yang sangat khas Italia, saat  ia menerima sebuah 

permohonan mendesak untuk kembali ke Paris. Satu pasukan 

Inggris tengah bergerak cepat ke selatan dan Parisian yang ketakutan 

mencemaskan kembalinya masa pendudukan Inggris yang kelam. 



146

Secara malu-malu, atau seperti itulah tampaknya, raja menolak untuk 

kembali, meski mengabdikan nyawanya bagi kota. Parisian tak pernah 

benar-benar memaafkannya untuk itu. Mereka dengan menggerutu 

membayar uang tebusan baginya saat ia ditangkap oleh orang Spanyol 

pada 1526. saat  François jatuh sakit sekembalinya ke ibukota, desas-

desus bohong yang menyebut dirinya telah wafat dengan sukacita 

diterima oleh Parisian dari semua kelas sosial. Ia juga secara berkala 

disatirkan oleh aktor dan penulis drama Monsieur Cruche, yang 

biasanya tampil di Place Maubert. Namun demikian, cukup bijaksana 

bahwa tindakannya tidak terlalu berlebihan: Cruche nyaris dipukuli 

hingga tewas oleh sekelompok pejabat istana yang tersinggung atas 

leluconnya tentang perselingkuhan antara raja dan putri seorang 

penasihat di parlement bernama Lecoq.6

Kota Baru

sesudah  wafatnya François pada 1547, barulah gaya arsitektur 

Renaisans menjadi fitur yang menentukan di pusat kota Paris. Pada 

paruh pertama abad ke-16, pembangunan dilakukan di pinggiran 

kota, di mana harga tanah lebih murah dan tidak terlalu rentan 

terhadap perubahan politik di intra-muros Paris. Wilayah pertama 

yang mulai memiliki kehidupannya sendiri yaitu  Faubourg Saint-

Germain, yang membentang dari rue Saint-André-des-Arts hingga 

Porte de Buci, yang telah digunakan sejak tahun 1430, Saint-Sulpice 

dan rue de l’École de Médecine. Salah satu fitur yang paling menarik 

dari wilayah ini bagi Parisian dari berbagai sektor di kota yaitu  pekan 

raya Saint-Germain, yang diadakan sejak Februari setiap tahunnya, 

dan yang menempati persimpangan antara apa yang sekarang yaitu  

rue de Buci, rue du Four dan rue de l’École de Médecine. Orang-orang 

dalam berbagai lapisan masyarakat berdatangan ke pasar-pasar dan 

tontonan publik ini, yang menarik para pedagang besar dan kecil serta 

penampil dari tempat yang sangat jauh seperti Jerman, Venesia, dan 

Inggris.7

Pembangunan juga dilakukan ke arah barat, dengan pendirian 

rumah-rumah di antara biara dan gereja, kendati jalannya terbuat dari 


147


tanah, tidak seperti jalan-jalan diperkeras yang sudah elegan di Paris 

tengah dan timur. Wilayah ini yaitu  zona yang masih termarjinalkan, 

membentang dari rue du Dragon, rue du Sabot dan rue des Saints-

Pères, menuju Square Boucicaut, di mana pada awal abad ke-16 masih 

ada  sebuah koloni penghuni lepra.

Di ujung Tepi Kiri yang lain, didirikan sebuah kawasan di antara 

rue Gracieuse, rue Lacépèae, rue Geoffroy-Saint-Hilaire dan rue 

Daubenton. Kawasan ini sebelumnya yaitu  Clos d’Albiac, sebuah 

kebun anggur dengan jalan-jalannya yang sempit: Kini dinamai ulang 

Villeneuve Saint-René, dengan bangunan-bangunan, toko-toko dan 

sumur baru (Puits de l’Ermite, ‘Sumur si Petapa’, kini diperingati di 

ruas jalan dengan nama sama yang saat ini membingkai Masjid Agung 

Paris). Hingga akhir kekuasaan François pada 1545, wilayah ini telah 

berkembang hingga melebihi rue Mouffetard dan Biara Saint-Victor, 

rue Censier dan rue La Clef. Di atas semuanya, perkembangan ini 

menunjukkan dua hal: Perluasan Paris tak dapat dihentikan; dan 

Parisian dapat menjalani kehidupan metropolitan di lokasi yang se-

belumnya dianggap sebagai batas pinggiran kota.

Konsekuensi perkembangan ini menginspirasi François serta para 

penerusnya untuk berpikir secara berbeda tentang pengorganisasian 

Paris. Sangatlah jelas, misalnya, bahwa kondisi perekonomian kota 

tak hanya direfleksikan namun juga distimulasikan secara aktif oleh 

kontruksi jalan-jalan besar yang bersih dan teratur, lapangan-lapangan 

yang bersisi lurus dan ruang-ruang terbuka publik—semua prinsip 

dalam perencanaan kota di Italia masa Renaisans. Rekonstruksi Pont 

Notre-Dame dan kemudian pembangunan quais batu di Louvre dan 

Châtelet yaitu  langkah pertama menuju perencanaan kota yang 

rasional, memungkinkan pergerakan bebas selama musim banjir 

tertinggi dan saat hujan terderas.

Namun Paris tidaklah kebal dari ketegangan-ketegangan besar 

pada masa itu. Terlepas dari adanya pandangan yang tercerahkan dari 

istana dan perancang kota, Paris sendiri meluap dengan kebencian 

lama dan baru, diperparah oleh gelombang pasang fundamentalisme 

Katolik yang akan segera meletus menjadi pembunuhan massal di 

jantung ibukota yang hebat itu.



148

15 

Pilih Sekarang—Misa atau Mati!

Awal abad ke-16 menjadi saksi dilakukannya upaya-upaya awal 

untuk merencanakan dan mengatur kota, yang berarti membuat tata 

letak ruas jalan dengan keseragaman fasad yang rapi dan merancang 

sebuah kota yang memiliki ruang-ruang publik. Kawasan aristokrat 

yang baru di Marais atau Faubourg Saint-Germain amat berbeda 

dari lubang-lubang kelinci kotor dan padat yang mengisi pusat 

kota. Bagi sebagian besar orang, oposisi ini yaitu  perlambang bagi 

istana Prancis, yang dikenal suka mengombinasikan kemegahan dan 

kehidupan sederhana, dan tempat, di depan mata para pengunjung 

yang penuh skandal, sebuah perjamuan makan malam terlalu sering 

tereduksi menjadi sebuah pesta seks. Orang-orang asing dari wilayah 

Eropa yang lebih baik (khususnya Jerman, Negara-Negara Rendah, dan 

Swiss) menulis secara pedas tentang korupsi politik dan kegemaran 

publik yang menyebar luas akan kemerosotan moral. Parisian, yang 

menghargai kehalusan daripada kekakuan dalam seni bercinta, perang 

dan memasak, menghadapi serangan orang-orang luar yang Puritan 

dengan ketidakpedulian.

Salah satu dari aspek yang paling mengejutkan dari kehidupan 

Paris bagi orang luar yaitu  cara seks dan agama terhubung dengan 

erat di jantung kota. Di awal tahun 1500-an, para pelacur duduk 

dengan tenang di ruang tengah Notre-Dame, bercampur baur dengan 

bebas bersama jemaat, membisikkan harga mereka kepada siapa pun 

yang mencari mereka. Praktik ini tampaknya telah berlangsung lama. 

Penyair Mathieu, salah satu pembenci wanita ternama dalam sejarah 

kesusastraan Paris, telah mendeskripsikan dalam Lamentationes 

(‘Ratapan’), yang ditulis di akhir abad ke-13, bagaimana para wanita 

pergi ke gereja-gereja di Paris dengan berpura-pura suci namun 



149


sesungguhnya berhasrat untuk memuaskan keinginan seksual. 

“Lebih tidak berdosa menjual kuda di dekat sebuah gereja daripada 

menerima apa yang ditawarkan oleh para wanita saleh ini,” Mathieu 

memperingatkan. Muku Mathieu yang telah diterjemahkan ke bahasa 

Prancis dari bahasa Latin, tetap populer sebagai sebuah panduan 

pada adat istiadat seksual hingga jauh ke masa awal Renaisans saat  

protitusi berkembang dan, menurut seorang pengamat, kota dapat 

menghitung setidaknya “enam ribu gadis cantik yang mengabdi pada 

prostitusi.”1 Wisatawan Italia Antoine Atezan yaitu  satu dari sekian 

banyak orang yang datang ke Paris hanya untuk mengagumi “begitu 

banyaknya jumlah gadis yang tata kramanya sangat anggun dan 

menggairahkan hingga mereka dapat membangkitkan hasrat Nestor 

yang bijak dan si tua Priam.”2

Paris sendiri turut membangkitkn rasa takut di kalangan orang 

pedalaman. Hal ini bukan hanya sebab  kota itu besar, memiliki 

kebudayaan yang kompleks dan mengintimidasi, dihantui oleh para 

penipu, pelacur dan penganut aliran sesat. Di abad selanjutnya, kota 

ini akan menjadi medan pertempuran bagi ideologi-ideologi agama 

yang saling bersaing, ajaran Katolik yang telah mapan, yang terkait 

dengan Spanyol, Italia dan keluarga Guise yang berkuasa, dengan 

sistem kepercayaan ajaran Protestan yang baru dan menghujat Tuhan.

Sepanjang abad yang penuh gejolak ini, Paris tetap saja menjadi 

benteng pertahanan ajaran Katolik. Pemerintah kota Paris memang 

amat memperhatikan perkembangan di Jerman—pengasingan Martin 

Luther pada 1520 disambut hangat oleh Sorbonne. Luther saat itu tak 

lebih dari sekadar biarawan Jerman tak dikenal saat  ia memaku 

sembilan puluh lima tesisnya ke pintu gereja di Wittenburg, memprotes 

korupsi finansial dan moral di sebuah gereja yang dipimpin oleh Roma 

dan Madrid. Hanya dalam beberapa tahun, ia telah menjadi salah 

satu pemikir paling berpengaruh di Eropa dan, saat traktat Lutheran 

diedarkan di sekitar Paris, ia menarik perhatian orang-orang di 

lingkaran politik tinggi, yang pada awalnya bahkan meliputi François 

I sendiri, yang merasa dibatasi oleh otoritas dan arogansi dari Gereja 

universal. saat  François terluka dan dipenjara oleh bangsa Spanyol, 

ibunya Louise, yang bertindak sebagai wali raja, mengambil tindakan 

yang lebih tegas, mendengarkan baik-baik sang Paus, Sorbonne dan 



150

parlement, yang mengutuk doktrin Lutheran pada 1521.

saat  dibebaskan, sang raja lebih suka untuk menangkap atau 

menghancurkan para pemikir baru. Penindasan ini diawali dengan 

pelarangan dan pembakaran buku-buku dan penyiksaan para peng-

anut ajaran sesat yang paling ternama. Kondisi ini akan mencapai 

puncak hanya dalam beberapa dekade kemudian dalam pembunuhan 

massal berdarah dan memalukan. Besarnya pertumpahan darah yang 

terjadi setara dengan genosida etnis paling buruk di abad ke-20, dan 

sebuah tindakan yang akan selamanya menodai tradisi Katolik di Paris 

dan Prancis.

Pelacur sang Pangeran

Dengan latar belakang inilah Catherine de Médicis tiba di istana 

François I, dengan kehadiran seksual menggairahkan yang sangat 

sesuai dengan iklim sensual pada masa itu. Ia didatangkan dari Italia 

oleh François untuk menjadi istri putranya Henri dan dengan segera 

dijuluki ‘pelacur sang pangeran’.

Alasan atas julukan ini yaitu  sebab  Catherine eksotis dan lezat 

serta membawa aura kejahatan. Ia menutupi tubuh mungilnya dengan 

jubah-jubah elegan dan hak tinggi (alas kakinya dengan segera 

mengingatkan para neo-klasik istana yang lebih imajinatif akan sandal 

berhak tinggi yang dikenakan oleh para pelacur Roma Tua—di Inggris 

kaum wanita yang memakai hak tinggi disebut sebagai penyihir hingga 

abad ke-17). Lebih penting lagi, ia segera menjadi tokoh yang paling 

kuat dan berkuasa di istana yang paling tidak bermoral di Eropa.

Catherine membawa serta tata krama Italia, seni memasak dan 

kegemaran akan teater, dengan kesenangan khusus pada gaya ‘komedi’ 

Italia—yang biasanya yaitu  adaptasi dari Plautus, Terence, dan 

penulis antik lainnya—yang saat itu mulai memasuki Prancis. Seniman 

keliling dari Italia, seperti ‘Compagnia dei Gelosi’ (‘Persatuan Orang-

orang Pencemburu’), tampil di depan penonton yang menyambut 

mereka di Paris dengan sukacita. Putri Catherine sendiri turut 

berakting dalam tragi-comédies. Namun hal itu dihentikan sesudah  

pertunjukan Sophonisbe, sebuah prosa adaptasi oleh Saint-Gélais 


151


dari sebuah tragedi Italia tentang seorang ratu yang lebih memilih 

bunuh diri dengan racun daripada terhina. Pertunjukan ini diyakini 

Catherine telah menyebabkan kesialannya dan oleh sebab  itu hanya 

pertunjukan komedi saja yang dapat dipentaskan di istana. Lelucon 

Pantalon biasanya berhasil memicu gelak tawa sang ratu.3

Catherine juga kerap menggunakan seks untuk mencapai ke-

inginannya, yang pada awalnya hanya menggunakan pesonanya 

sendiri dan nantinya pesona para anak buahnya. Namun minatnya 

yang sesungguhnya yaitu  pada masalah religius di Roma dan 

Madrid. Ia juga mengagumi politik dan misteri terdalam dan tergelap 

dari keterampilan kenegaraan; ia yaitu  murid Machiavelli dan 

doktrinnya bahwa orang yang berkuasa “lebih rentan pada kejahatan 

daripada kebaikan.” Tak mengherankan jika selama periode tersebut 

sang Peracun Kerajaan menjadi salah satu tokoh terpenting di istana. 

Hadiah-hadiah dari Catherine sangat ‘terkenal’ dan harus ditakuti. 

Pangeran Protestan de Condé hampir saja mati saat  dihadiahi 

sekeranjang buah-buahan dari sang ratu; atas nasihat dokter, ia 

menyerahkan sebuah apel pada anjingnya, yang mati tak lama sesudah  

menyantapnya.

Istana juga dipenuhi oleh para ahli alkimia, peramal, ahli per-

bintangan dan ahli sihir dari berbagai kebangsaan. Desas-desus 

yang merebak di London satu abad kemudian menyebutkan bahwa 

Catherine memberi pengorbanan kepada Setan. Gosip ini diabaikan 

di Prancis sebagai propaganda Jesuit namun tentunya Catherine 

menerima nasihat dari para ahli ilmu gaib dengan serius dan bahkan 

membangun sebuah menara yang memandangi cakrawala Paris bagi 

ahli perbintangan yang paling disukainya, Cosimo Ruggieri, pengganti 

Nostradamus saat ia pensiun ke Provence. Menara itu hingga kini 

masih berdiri di rue de Viarmes, di dekat bursa saham. Itu yaitu  

satu dari sekian banyak lokasi di Paris di mana Setan disebut-sebut 

menampakkan diri di dunia, dan konon ditemukan jejak ilmu sihir 

di wilayah sekitarnya, yang kini menjadi tanah berpepohonan biasa, 

semak-semak dan jalan-jalan kecil berkerikil. Tak ada yang tersisa 

dari jendela-jendela kaca yang menutupi ruangan di puncak menara 

tempat Ruggeri membaca bintang-bintang dan memanggil kekuatan 

supranatural untuk menolong sang ratu.



152

Namun Catherine juga bisa menjadi skeptis dan dengan mudah 

mengejek ahli perbintangan yang melakukan kesalahan. “Menyedihkan 

sekali ia tak bisa melihat masa depannya sendiri,” demikian ia 

mengomentari seseorang yang terkenal sebab  mengaku memiliki 

kemampuan meramal telah dirampok dan dibunuh di luar batas kota.4 

Menara Ruggieri selesai pada Februari 1572, hanya beberapa bulan 

sebelum pembantaian pada Hari Santo Bartholomew, sebuah pesta 

liar pembunuhan yang, seperti akan kita lihat, sebagian besar akibat 

ketidakmampuan Catherine untuk meramalkan atau mengendalikan 

akibat dari perjudian pada strategi politik negatif dari duplikasi serta 

pembunuhan.

 

Perang-perang Suci

Sebenarnya, Paris telah diguncang oleh ketegangan amat parah sejak 

tesis milik Luther pertama kali diperkenalkan di kota. Sorbonne 

memandang dirinya sebagai otoritas religius absolut di kota dan 

menyerang Martin Luther sebagai sumber dari ajaran sesat atau 

penyimpangan dari ajaran yang resmi. Pihak universitas tak hanya 

menyensor buku-buku namun memerintahkan penggeledahan pada 

tempat tinggal para mahassiswa, menangkapi mereka yang dicurigai 

berselisih paham secara agama atau politik walau hanya sedikit. 

Terjadi pula serangan-serangan spontan terhadap mereka yang 

dicurigai sebagai penganut ajaran sesat; tempat-tempat pertemuan 

penganut Protestan telah diketahui umum, tersebar khususnya di 

sepanjang Tepi Kiri, dan mudah sekali menjadi sasaran regu-regu 

pembunuh yang penuh dendam. Pada 4 Maret 1557, sekelompok 

pelajar Katolik menyerbu rumah seorang pengacara yang dikenal 

bersimpati kepada penganut Protestan. saat  mendapati bahwa 

misa tengah berlangsung, mereka membunuh setiap orang yang 

mereka temukan, bahkan membunuh para wanita dari istana, dan 

memukuli siapa pun yang tak bisa mereka bunuh. saat  polisi tiba 

di lokasi kejadian, mereka memberi selamat kepada para mahasiswa 

atas tindakan tersebut, menangkapi para ‘penganut ajaran sesat’ untuk 

diadili keesokan harinya.


153


Hukuman bagi mereka yang dinyatakan bersalah atas ajaran sesat 

yaitu , pada awalnya, biasanya pemenjaraan atau pembuangan; 

belakangan, seiring berjalannya waktu, hukuman menjadi lebih maju 

dan kejam. Place de la Grère dijuluki ‘ruangan pembakaran’ sebab  

bau busuk daging manusia terbakar yang nyaris permanen. Bentuk 

penghukuman lainnya meliputi strappado, sebuah alat Italia yang 

menarik kaki dan tangan korban hingga nyaris terpisah dan terlepas 

dari engselnya saat ia dengan perlahan diturunkan ke dalam api. 

Place de l’Estrapade, kini sebuah persimpangan yang nyaman dan 

hijau di jantung Quartier Latin, memperoleh namanya dari alat ini, 

yang merefleksikan popularitasnya. (Pada abad berikutnya, lokasi 

ini menjadi tempat anak laki-laki menjual lentera bernomor untuk 

memandu para wisatawan malam hari melalui labirin di quartier, 

membanggakan teror dan hantu-hantu yang menderita di lokasi itu.)

Ketegangan sudah memuncak di tahun-tahun awal abad itu di 

antara Parisian biasa, termasuk anggota populasi yang paling buta 

huruf dan paling sengsara, yang mengidentifikasikan diri mereka 

dan kota mereka dengan Misa Suci. Lonjakan pengungsi Protestan 

yang masuk ke ibukota, melarikan diri dari pembantaian acak seperti 

pembantaian di Wassy tahun 1562, membuat Parisian penganut 

Katolik merasa takut akan keamanan mereka dan rasa identitasnya 

yang suci. Ini yaitu  kota yang dibangun sebagai pesaing Roma 

dan yang pada 1560-an dipenuhi oleh ‘para penganut ajaran sesat’ 

yang tak hanya menolak supremasi kepausan namun secara aktif 

berusaha menantangnya. Penganut Protestan semacam ini diberi 

nama Huguenots, tanpa melihat apakah mereka benar-benar datang 

dari Jenewa, pusat ajaran Protestan Eropa. Di sana, mereka disebut 

sebagai kaum Eidgenossen atau ‘konfederasi.’ Istilah ini kemudian 

ditransliterasikan ke dalam bahasa Prancis sebagai orang ‘Huguenots’.

Kegelisahan di kalangan Parisian semakin meningkat pada hari 

yang disebut ‘Hari Poster’ tanggal 18 Oktober 1534, saat  populasi 

Katolik terbangun untuk menemukan bahwa propaganda Protestan, 

yang dicetak dengan rapi dalam bahasa High Gothic, telah dipasang 

di sepenjuru kota, menyatakan bahwa Misa Katolik yaitu  sebuah 

penipuan dan bertentangan dengan Alkitab. Warga Paris dicekam 

teror saat desas-desus akan pemberontakan dan penjagalan berputar 



154

di jalan-jalan kota: Umat Kristen akan dibunuh saat Misa, gereja-

gereja dijarah dan Setan sendiri akan menampakkan diri, tertawa 

dan mengumumkan akan membunuh raja dan memerintah sebuah 

kota terkutuk yang baru. Untuk menenangkan kepanikan, semua 

persenjataan iman Katolik di Paris—dari relik-relik Sainte-Chapelle 

hingga Sakramen yang Diberkati—dikeluarkan dari Gereja dan diarak 

keliling kota dalam sebuah prosesi yang dipimpin oleh Uskup Paris 

sendiri. Misa Agung dilakukan di Notre-Dame saat enam ‘penganut 

ajaran sesat’ lainnya dilemparkan ke dalam api di Place de la Grève.

Pada saat itu ada  sekitar 15 ribu penganut Protestan yang 

diketahui di Paris, porsi yang cukup signifikan dan amat terlihat 

dari populasi, dan kekerasan sektarian kini telah menjadi bagian 

dari kehidupan Parisian. Kendati penganut Protestan bersumpah 

setia pada raja, dan bahkan berupaya mendorongnya untuk me-

mihak mereka, mereka juga memublikasikan pamflet-pamflet 

yang mendeklarasikan kekaguman terhadap model pemerintahan 

Calvin, yang pernah tinggal di Paris walau hanya sebentar sebelum 

berdiam di republik Protestan Jenewa. Lebih penting lagi, dari Calvin 

mereka mengambil rasa ketidakadilan dan kemarahan mendalam 

terhadap ilusi kekuasaan Ilahi yang secara palsu diletakkan di tangan 

keluarga kerajaan. Pihak Kerajaan turut mengawasi ketat upaya para 

Pereformasi untuk membangun sebuah kuil di Saint-Marcel di sebuah 

rumah dekat Bièvre, atau untuk mendirikan tempat-tempat beribadah 

yang lebih baik di Saint-Germain-des-Prés, Catherine mengeluarkan 

sebuah dekrit pada 1562 yang memperbolehkan kebebasan beribadah 

di rumah-rumah pribadi yang bertujuan menghindari konfrontasi 

kekerasan di jalan. Namun pada tahap ini, sebuah pola pembunuhan 

yang muram telah ditemukan di kedua pihak: Penganut Protestan 

terutama mahir merebut gereja-gereja dan membunuh para pendeta 

pada saat ketegangan mencapai puncaknya. Gereja Saint-Médard, di 

kaki rue Mouffetard, bahkan dibakar oleh para fanatik yang meng-

atasnamakan Gereja Reformasi.

Pada paruh kedua abad ini, populasi Paris juga mengkhawatirkan 

adanya konfrontasi militer. Sejumlah tokoh politik dan militer ternama 

di Prancis, termasuk Coligny, Laksamana Prancis, sangat bersimpati 

pada agama Reformasi, khususnya sebagai satu cara untuk melawan 


155


korupsi di ibukota dan menghilangkan pengaruh klaustrofobia dari 

Roma atau Madrid dalam kebijakan luar negeri. Orang Huguenots 

pada umumnya yaitu  prajurit yang baik; sementara pasukan serta 

milisi mereka, tampaknya, mampu menduduki Paris kapan pun 

mereka mau. Pangeran kaum Huguenot de Condé mengancam 

melakukan hal ini pada 1562, dan pada 1567 pasukan Huguenot 

memblokade semua akses masuk ke Paris, sampai akhirnya berhasil 

dipukul mundur oleh massa yang kelaparan. Perang saudara yang 

secara perlahan telah bergolak selama berpuluh tahun akan segera 

mencapai titik puncaknya.

“Bunuh mereka semua”

Pemicu pembantaian pada hari Santo Bartholomew yaitu , ironisnya, 

sebuah pernikahan. Pada tanggal 18 Agustus 1572, Marguerite de 

Valois, seorang Katolik, akan menikahi Henri de Navarre, seorang 

aristokrat Protestan dari keluarga Bourbon (yang pada akhirnya akan 

menjadi raja dengan nama Henri IV). Undangan telah disebar ke 

semua keluarga bangsawan di Prancis dan perayaannya diperkirakan 

akan berlangsung selama beberapa minggu; pesta dansa meriah akan 

digelar di Louvre, Hôtel de Ville dan Hôtel de Bourbon.

Ini yaitu  pernikahan yang dicomblangi oleh Cahterine de 

Médicis, dengan tujuan strategis yang amat jelas yaitu menyatukan 

dua kekuatan religius berbeda dalam sebuah pesatuan yang didukung 

oleh Kerajaan. Kendati sebagian besar penganut Protestan telah 

menyatakan bahwa tujuan mereka di Paris hanyalah kebebasan 

beribadah, keluarga kerajaan sejak lama telah merasa takut akan 

popularitas mereka yang terus berkembang dan potensi mereka 

menggulingkan raja. Ancaman ini, yang diantisipasi dengan optimis, 

akan menghilang dalam ikatan pernikahan yang diberikati. Ibukota 

dipenuhi oleh para bangsawan Protestan dan Katolik untuk perayaan 

yang diorganisasi oleh Catherine. Pasangan muda itu dinikahkan di 

lapangan di luar Notre-Dame, kendati hanya Marguerite dan sesama 

orang Katolik yang diperbolehkan mengikuti Misa dalam gereja yang 

besar itu. Beberapa penganut Protestan, yang mewaspadai motif-



156

motif tersembunyi Kerajaan, memilih menjauh dari kota, berdiam 

di kawasan-kawasan yang jauh dari Louvre dan kota. Dalam waktu 

beberapa hari sesudah  pernikahan tersebut, kota akan dipenuhi oleh 

mayat-mayat para undangan pernikahan dan orang-orang lainnya 

yang terjebak dalam hiruk-pikuk pembunuhan yang tampaknya 

meledak tanpa diketahui asalnya.

Strategi terdalam Catherine yaitu  menyingkirkan Coligny, yang 

percaya diri akan popularitasnya yang semakin besar, menggunakan 

kemeriahan pernikahan sebagai tabir bagi rencananya. Pada tanggal 

22 Agustus, seorang penembak jitu dikirim atas perintah Catherine 

untuk membunuh Coligny saat ia berjalan dari rue des Fossés-Saint-

Germain-l’Auxerrois menuju rue des Poulies, dalam perjalanannya 

menuju pertemuan Dewan Louvre. Dua tembakan dilepaskan; Coligny 

terluka di bahu kiri namun tetap hidup. Catherine dan para pengiring 

kerajaan retinue yaitu  salah satu yang pertama mengunjungi dan 

secara hipokrit menyatakan bela sungkawa. Namun para pemimpin 

Protestan yang saat itu berkumpul di kediaman Coligny di Hôtel de 

Béthisy tidak termakan oleh pertunjukan rasa duka anggota kerajaan, 

lalu membahas soal pembalasan dendam.

Panik akan potensi pembalasan Protestan, kota pun ditutup 

berdasarkan dekrit kerajaan. Kini giliran Kerajaan yang dengan 

khawatir memperkirakan masa depan. Sangatlah jelas bagi mereka 

semua bahwa upaya pembunuhan Coligny hanya dapat dilakukan 

oleh keluarga kerajaan. Pada malam 23 Agustus, Charles IX menulis 

kepada Ratu Inggris untuk meyakinkannya bahwa calon pelaku 

pembunuhan itu akan dihukum. Di saat yang sama, masa depannya 

sendiri menghadapi pemberontakan Protestan tampak suram.

Kemudian, saat jam berdentang pukul 2 pagi tanggal 24 Agustus, 

penjagalan pun dimulai. “Bunuh mereka semua,” perintah sang raja, 

“sampai tak seorang pun dapat mencelaku tentang hal ini.”5

Tugas pertama yaitu  menyingkirkan Coligny dengan benar. 

Tugas ini diselesaikan oleh duc de Guise dan anak buahnya, yang 

menggorok leher Coligny dan kemudian menggantung kepala yang 

terpenggal di jendela apartemennya dengan seutas tali. “Kita telah 

memulai dengan baik,” Guise berkata kepada anak buahnya, “namun 

kini kita harus mengikuti keinginan sang raja.”6 Anak buah Guise 


157


melakukan ini dengan berbaris di jalan-jalan sambil membawa senjata 

berdarah, menyeret mayat Coligny yang telah termutilasi, mendorong 

penduduk untuk bangkit dan melakukan pembunuhan. Buah zakar 

Coligny ditarik hingga terputus dan dilemparkan ke sungai Seine, 

diikuti oleh mayatnya yang tak berkepala. Mayat tersebut kemudian 

diangkat dari sungai dan digantung pada kakinya selama beberapa 

hari di Montfaucon.7

Dari Louvre hingga jalan belakang Île de la Cité dan Quartier Latin, 

kegilaan melanda kota. Mayoritas Parisian merupakan penganut 

Katolik, sementara penganut Protestan yaitu  para pengawas mereka 

dari golongan bangsawan (selama bertahun-tahun, banyak keluarga 

terpandang Paris yang beralih menganut Protestan sebab  merasa 

jijik pada kebiasaan suap-menyuap pemerintah dan istana). Sekarang 

waktunya membalas dendam. Sebagian besar pembunuhan yang 

penting, setidaknya dari sudut pandang politik, terjadi di awal-awal 

pembantaian. Namun pembunuhan membabi buta, didorong oleh 

rasa haus darah dan kebencian kuno, berlangsung sepanjang hari dan 

malam hingga jalan-jalan tampak seperti medan pertempuran. Para 

korban yang tewas dan sekarat bukanlah para prajurit, melainkan 

pria-pria terhormat yang datang menghadiri pernikahan, para tukang 

dan pekerja miskin, orang-orang tua, wanita, anak-anak dan bayi-bayi. 

ada  pula sejumlah kantong-kantong perlawanan yang cukup 

langka—Tavernay, salah satu letnan Coligny, bertahan hingga lebih 

dari delapan jam hingga ia terkalahkan akibat kelelahan—namun 

sebagian besar dibunuh dengan mudah dan tanpa perlawanan. Pezou, 

yang sehari-hari berprofesi sebagai penjagal dan seorang kapten yang 

setia kepada Guise, membanggakan dirinya yang telah membunuh 

manusia bagaikan hewan dan sesumbar telah menggorok leher lebih 

dari 120 penganut Protestan dalam waktu beberapa jam saja, lalu 

melempar tubuh mereka ke sungai Seine dengan tangannya sendiri. 

“Kota ini tak lebih dari sebuah pemandangan horor dan pem-

bantaian,” tulis seorang saksi mata kontemporer. “Jalan-jalan bergema 

oleh pekikan keputusasaan, penjarahan, dan pembunuhan. Dari 

setiap penjuru terdengar rintihan orang-orang yang telah ditusuk 

ataupun yang tengah sekarat. Mayat terlihat di mana-mana, dilempar 

keluar dari jendela, ke lapangan yang telah dipenuhi oleh mayat. Atau 



158

mereka diseret melewati lumpur. Ada banyak sekali darah hingga 

mengalir seperti air hujan.”8 Saksi mata lainnya menggambarkan 

sungai Seine yang memerah oleh darah. Dalam waktu beberapa hari, 

sungai Seine begitu penuh oleh mayat hingga mayat-mayat tersebut 

mengambang kembali ke tepian sungai sesaat sesudah  dilemparkan ke 

sungai. Mustahil mengubur korban tewas sebanyak ini. Lubang-lubang 

besar digali sebagai pengganti lubang kubur. Raja hanya tertawa saat 

para kaptennya melaporkan bahwa Paris tak dapat menelan semua 

penganut Protestan. 

 Pembantaian ini juga menjadi alasan bagi penjagalan penganut 

Protestan di kota-kota Prancis lainnya (di Lyons 2 ribu orang tewas 

terbunuh dalam satu hari). Contoh Paris membawa negara ke jurang 

perang saudara saat kerusuhan-kerusuhan anti-Protestan yang me-

matikan bergolak di Bourges, Rouen, Angers, Orléans, Bordeaux, 

Toulouse dan Albi sepanjang bulan September dan Oktober. Sejumlah 

basis kekuatan Protestan di Montauban, Nîmes, dan La Rochelle 

menutup gerbang kota mereka dalam pembelaan diri.

Namun tak ada yang dapat mengklaim kehormatan sebagai sebuah 

kota yang berubah menjadi rumah penjagalan dengan cepat dan 

dengan kebanggaan yang amat besar sebagaimana kombinasi tak 

suci di Paris dari anggota kerajaan dan massa yang bersatu dalam 

kebencian terhadap satu musuh bersama.


159


16 

Di Atas atau di Bawah, Sama Saja

Pembantaian Hari Santo Bartholomew memberi Paris reputasi 

se-Eropa sebagai ibukota pengkhianatan dan pembunuhan. Kabar 

tentang pembantaian ini menyebar dengan cepat ke London, Jenewa, 

Wina, dan Madrid (di mana raja Spanyol terbahak-bahak di depan 

publik saat mendengar kabar pembantaian itu) dan Roma (di mana 

Paus Gregorius XII bergembira dengan sebuah Te Deum). Ini yaitu  

masa ketegangan religius di penjuru Eropa, dan Paris—yang secara 

fisik tak lebih dari sekadar sebuah kota abad pertengahan—merupakan 

ibukota dari konflik ideologis ini. Lebih krusial lagi, di mata warga 

Prancis non-Katolik dan tentu saja hampir semua bangsa Eropa, 

Parisian yaitu  pembunuh, fanatik agama, atau keduanya. 

Namun sebenarnya, hanya ada  sedikit unsur agama Kristen 

dalam Perang Agama Prancis. Pertarungan ini sebenarnya terkait 

dengan siapa yang berkuasa di Prancis dan hal inilah yang me-

munculkan faksi Katolik, yang dipimpin keluarga Guise, dan faksi 

Bourbon-Huguenot (yang dipimpin raja-raja Navarre) yang saling 

melawan. Sejak tahun 1559 dan seterusnya, saat  wafatnya Henri II 

memunculkan pertanyaan tentang suksesi, telah terjadi delapan perang 

dalam waktu tiga puluh tahun. Pembantaian Hari Santo Bartholomew 

hanyalah pertempuran paling berdarah dan paling terkenal dari 

pertempuran-pertempuran berikutnya. Di seantero dunia Kristen, 

Paris memperoleh kemasyhuran negatif sebagai tempat setan dengan 

penjagalan tak terbatas. Satu-satunya fitur penebusan dari periode 

menakutkan ini dalam sejarahnya yaitu  bahwa pertumpahan darah 

atas nama agama ini menimbulkan rasa jijik di antara semua orang 

yang mau berpikir, yang menjadi bibit munculnya Pencerahan.

Salah satu konsekuensi yang segera muncul dan tak diramalkan 




160

sebelumnya dari Pembantaian Hari Santo Bartholomoew yaitu  

naik takhtanya Henri III, adik termuda Charles IX. Charles wafat tak 

lama sesudah  pembantaian di Paris itu. Secara resmi, kematiannya 

yaitu  akibat tuberkulosis namun desas-desus menyebutkan bahwa 

kemungkinan besar ia diracun oleh tangan Catherine sebagai suatu 

perjudian politik demi kepentingan kekuasan Katolik. Bahkan 

hubungan suci antara ibu dan anak juga dicurigai di kota ini.

sebab  itu sangatlah pantas bahwa masa kekuasaan Henri yang 

singkat di bagian akhir abad itu yaitu  istana yang terkenal sebab  

intrik-intrik seksualnya, berkisar dari hubungan seks antarsaudara 

kandung hingga pesta pora homoseksual. Namun aktivitas-aktivitas 

ini, hanyalah satu contoh paling terlihat dari sifat alamiah kehidupan 

yang direndahkan di Paris. Di semua tingkatan masyarakat, moralitas 

publik dan privat semakin tersamar ke dalam sebuah matriks 

kebutuhan dan kepentingan diri sendiri yang memiliki hubungan yang 

longgar dengan kritik Gereja. Daya tarik Ajaran Protestan yang paling 

terlihat, khususnya bagi mereka yang berdiri paling dekat dengan 

benteng pertahanan kekuasaan di Prancis, yaitu  bahwa agama itu 

menawarkan sebuah nada dan kode aksi sipil yang murni secara etis. 

Ajaran Katolik, di sisi lain, tampaknya diperuntukkan bagi hierarki 

serakah dan terdegenerasi yang tujuan utamanya melanggengkan diri 

dalam kekuasaan.

Pasca-Pembantaian Hari Santo Bartholomew, Paris jatuh ke 

tangan Liga Katolik, dibentuk tahun 1576 dan dipimpin oleh duc 

de Guise. Ia akhirnya memiliki kekuasaan politik yang sejak lama 

ia yakini sudah menjadi kewajibannya. Liga ini secara resmi tunduk 

kepada Kerajaan namun dalam praktiknya mengendalikan kota 

dengan tangan yang kejam dan bebas. Liga ini 


Related Posts:

  • Paris Perancis 5 na sebagian besar dari mereka yaitu  korban ekonomi atau sosial dari Perang Seratus Tahun. Mereka berkumpul di luar gerbang kota-kota Prancis pada malam hari, saat  tidak berkeliaran di pedesaan… Read More